dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 EBOOK INI BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIL, MAKA BELILAH BUKU ASLINYA Seratus Hari Penulis: Nein Arimasen Bagian 1 Buku-buku Baru "Ayo kita ke tokonya Paman B?cher!" ucap seorang anak kepada teman-temannya yang sebagian sedang duduk berdiskusi dan yang lain tampak asik membaca di meja besar yang berdiri di selasar sebuah gedung tua. "Wah, ada buku baru ya?" ucap teman sang anak yang langsung antusia begitu kata 'buku' menyentuh gendang telinganya. "Pastilah!" ucap rekan yang lain. "Ini 'kan hari Selasa pertama awal bulan, hari di mana buku-buku baru diantara ke toko Paman B?cher," tambahnya cepat sebelum teman-temannya berkesempatan menyahuti. "Ayo, ayo!" seru yang lain. Dan bergegas mereka beranjak dari sana menuju ke sebuah toko buku yang umumnya dikenal orang sebagai Toko Buku Paman B?cher. Diantara banyak anak tersebut tampak seorang yang terlihat agak sedih walaupun sama-sama bersemangat hendak melihat buku-buku baru apa saja yang baru turun di toko tersebut. Ia bernama Arme. Arme dan kawan-kawannya adalah murid-murid sebuah perguruan tulis-menulis, yang lulusannya secara umum berkarya di bidang kesusastraan. Tepatnya sebagai penulis. "Hei Arme, kenapa engkau tidak terlihat agak sedih?" tanya seorang kawannya. Saat mereka berjalan bergegas ke tujuan mereka, tak luput dari pemantauannya bahwa temannya ini terlihat agak sedih. "Ehhh, tidak..," ucap Arme cepat. Ia tidak ingin orang tahu permasalahannya dan dikasihani. Dengan cepat ia memaksa untuk merubah suasana hatinya dan tersenyum sambil berkata, "Ayo kita bergegas, nanti telat kita mendapat kabar buku-buku yang baru datang." Kawannya mengangguk cepat. Keduanya pun segera memacu langkah mereka mengejar teman-teman mereka yang telah setombak dua berjalan di depan mereka. Berlari kecil mungkin lebih tepat bila dilihat dari langkah-langkah lebar dan juga cepatnya langkah mereka, serta jarangnya kedua kaki menapak secara bersamaan di atas jalan beralas batu yang sedikit berdebu. Arme hanya punya satu kekuatiran: tigaan. Ia tidak punya cukup banyak tigaan untuk membeli buku-buku. Dari satu angkatannya, ia adalah yang paling miskin. Walaupun demikian karena orang-orang yang ingin menjadi sastrawan umumnya telah membaca banyak ujar-ujar kuno dan juga buku-buku perihal budi pekerti, mereka tidak membedakan orang berdasarkan kekayaannya. Tapi meskipun demikian kadang Arme merasa minder bukan karena ia berpakaian lebih sederhana dari yang lain, akan tetapi ketidakmampuannya untuk membeli buku-buku yang menarik perhatiannya. Ia kadang sampai mengilar demi melihat teman-temannya dapat dengan mudah membeli buku dan melahapnya dari kulit muka sampai kulit belakang. Ia pun mendapat kesempatan dengan dipinjamkan, tapi tentu saja sudah beda rasanya, tidak lagi terkini dalam merasakan wacana dalam buku baru tersebut. Tapi Arme tidak mengeluh. Sudah beruntung dapat bersekolah di sini dan akan tetap mengejar cita-citanya menjadi sastrawan dan menulis cerita yang dapat membuat kehidupan ini berubah, terutama kehidupan orang-orang kecil seperti dirinya. Dan sudah tentu kisah-kisah yang dapat terjangkau oleh siapapun yang ingin membacanya. Seorang rekannya, yang barusan mendapatinya terlihat sedih, bernama Reiche. Reiche inilah yang sering meminjamkan buku-buku barunya kepada Arme. Ia menyukai rekannya yang miskin ini karena pandangannya yang luas dan cara melihat isi suatu buku yang kadang lain dari yang lain. Tidak membeo dari hasil pendapat orang. Padahal buku yang mereka baca adalah buku yang sama. Perbedaan tingkat penghidupan dan pemahamanlah yang menyatukan kedua anak tersebut. "Paman B?cher!!" sorak mereka saat tiba di depan tokok buku yang dimaksud. Segera seorang tua keluar dengan senyum merekah. Sudah diduganya para langganan ciliknya yang setia akan tiba hari ini. Hari di mana buku-buku baru dari Kota Kern dikirim. Segera ia mempersilakan mereka semua masuk dan menjelajahi kulit muka dan judul-judul buku baru yang sengaja dipajangnya di atas sebuah meja besar dekat kaca depan tokonya. Suasana pun segera sunyi. Hanya suara kertas-kertas halaman buku dibalik-balik. Berpasang-pasang mata tampak liar dan cepat menjelajahi berbaris-baris kata-kata dalam kalimat. Tampak wajah-wajah berseri atau berkernyit dahi setelah membaca ringkasan buku-buku baru tersebut. Bagian 2 Kebaikan Sahabat dan Seorang Tua "Sudahlah, ambil saja..!" ucap Reiche sambil menyodorkan sebuah buku ke dalam tangan Arme kawannya. "Tapi...," ucap temannya yang merasa tidak enak dengan pemberian tersebut, walaupun ia tahu pemberian itu dilakukan dengan tulus oleh sahabatnya itu. Melihat ketidaknyamanan temannya itu segera Reiche berpikir keras, lalu ucapnya, "Baiklah.., ini bukan pemberian tapi upah. Jika engkau bisa melaksanakan tugas yang aku minta, buku ini untukmu. Bila tidak, akan aku ambil kembali. Setuju!" "Eh.., tentu! Tapi sejauh tugas itu bisa aku laksanakan..," jawab Arme yang masih agak bingung dengan perkataan sahabatnya yang tiba-tiba memiliki 'tugas' untuknya. "Engkau harus membaca buku itu dan menuliskan rangkumannya kepadaku. Terserah jangka waktunya, tapi harus kurang dari sebulan. Jika dapat, berikan rangkuman itu dan bukunya untukmu. Bila gagal..., ya jangan gagal ya!" ucap temannya itu dengan mimik yang serius. "Te..rima kasih!!" ucap Arme yang menyadari bahwa 'tugas' itu hanya diada-adakan untuk membantunya menjaga harga dirinya. Tugas untuk membaca suatu buku yang ingin ia baca dan membuat rangkumannya, itu bukan tugas sebenarnya. Ia semakin berterima kasih dan kagum atas siasat sahabatnya yang terlihat cerdik itu. Untuk soal kecerdikan meman Reiche tidak ada lawannya di kelas mereka. "Dua minggu..., aku akan selesaikan tugas itu dua minggu!!" ucap Arme yakin. Keduanya pun tertawa gembira. Lepas sudah beban masing-masing, yang satu ingin memberi dan yang satu tidak ingin diberi dengan cuma-cuma. Begitulah kedekatan dan persahabatan kedua anak yang berguru di perguruan tulis-menulis tersebut. Merekapun berpisah dalam suatu simpang jalan. Armee menuju ke satu arah sedangkan Reiche menuju ke arah lain yang berlawanan. Menari-nari dalam jalan dan hatinya Arme bergegas pulang. Saking gembiranya sampai ia tidak melihat bahwa ia hampir saja melanggar seorang tua yang sedang berjalan dalam arah yang berpotongan dengan dirinya. "Hee.., hati-hati, nak!" ucap orang tua itu perlahan. "Aduh.., maaf.. maaf!" ucap Arme sambil menyesali jalannya yang tidak berhati-hati. "Sudahlah, tidak apa-apa. Tidak ada yang terluka 'kan?" berkata orang tua itu lagi dengan kali ini sambil tersenyum. Rupanya ia memaklumi keriangan anak yang hampir menabraknya itu. "Maaf paman, saya mohon diri dulu.., hendak pulang," kata Arme kemudian. Entah bagaimana ia merasa bahwa orang tua itu memperhatikannya dengan sangat. Ia merasa lebih baik bila ia cepat-cepat berlalu dari sana. "Silakan.. silakan!!" ucap orang tua itu sambil terus menatap Arme yang sekarang berjalan bergegas-gegas dan hilang di pengkolan sana. Gumamnya kemudia, "Masak sih anak itu yang dimaksud? Tapi.. boleh jadi.." Lalu ia pun meneruskan perjalanannya. Perlahan-lahan ia menyerat tubuhnya yang telah tua dan renta itu. Sambil sekali-kali ia berbicara pada dirinya sendiri, mengangguk-angguk dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti sedang mengiyakan suatu pemikiran dan menentangnya sendiri. Tak sadar bahwa di pengkolan sana Arme mengintipnya dari pojokan, tersembunyi tidak terlihat. Sang anak entah mengapa, merasa bahwa orang tua yang hampir ditabraknya itu ada apa-apanya. Suatu saat mungkin mereka akan bersilang jalan kembali. Setelah orang tua itu berada cukup jauh, Arme pun berbalik melangkah ke rumahnya sambil tak lupa membayangkan malam yang akan diisinya dengan membaca buku yang menjadi 'tugas' baginya untuk diselesaikan. Sekelebat bayangan dengan ringan melayang rendah di balik rerimbunan di belakang sang anak. Langkah-langkah yang tadi terseret-seret renta beralih jadi gerak terlatih sigap. Dalam dirinya si bayangan bergumam, "Anak yang cerdik, mungkin benar adalah ia yang dimaksud..." Sesaat ditunggunya sampai Arme lenyap dalam di balik pagar rumahnya yang sederhana, pohon-pohon singkong diayam dan tumbuh. Lalu sang bayangan segera berlalu dari sana, memikirkan apa hal yang harus selanjutnya ia lakukan. Bagian 3 Harapan Orang Tua "Ayah..., ayah...!! Lihat ini apa yang kau dapat..!!" ucap Arme segera setelah ia masuk ke dalam rumahnya. Tampak di dalam rumah yang hampir tidak berperabot itu seorang tua sedang menanak nasi dan memasak sayur-sayuran untuk makan malam anak dan dirinya. Ia hanya tersenyum saat mendengar teriakan anak satu-satunya itu. Anak yang diharapkan kelak tidak akan seperti dirinya, menjadi buruh lepasan perkebunan yang makan hari-harinya benar-benar di tangan para pemilik kebun. Dari satu hari ke hari lain pindah dari satu kebun ke kebun lain. Sukur-sukur ada pemilik kebun yang cukup baik sehingga pulangnya ia dibekali dengan makanan baik matang maupun mentah. Bila tidak, cukup ia membawa uang secukupnya yang kadang habis dibelikan makan untuk hari itu. Jika bersisa, ditabungnya untuk dibelikan sandang anaknya dan keperluan lain di rumah itu. Untuk sekolah anaknya, untunglah ada peraturan yang membantu anak-anak yang kurang mampu akan tetapi cerdas. Syukur kepada Sang Pencipta bahwa Arme anaknya adalah anak yang cerdas. Apa-apa yang dibacanya tak pernah ia lupakan. Ingatannya itulah yang dulu membantunya diterima di perguruan tulis-menulis tempat ia sekarang menuntut ilmu. "Apa yang ada ditanganmu itu, nak? Pasti buku ya!" tanya ayahnya. Kadang ia sedih karena ia tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya diluar makan dan pakaian. "Aku memperoleh buku baru, ayah! Tapi bukan pemberian melainkan upah pekerjaan..," ucapnya bangga. "Upah..? Maksudmu?" tanya ayahnya balik dengan tidak mengerti. Lalu Arme pun menjelaskan perihal perjanjiannya dengan Reiche sahabatnya yang memintanya untuk menuliskan ringkasan buku baru itu dalam waktu dua minggu. Bila selesai pada waktu tersebut, ia boleh memiliki buku itu. "Hahahaha.., pintar sahabatmu itu!" ucap ayahnya gembira, "baik hati dia dan juga tetap menjaga muka orang." "Iya, ayah! Menurutku juga demikian," jawab Armee. "Perhatikan baik-baik sahabatmu itu, nak. Jaman susah ini sudah jarang orang seperti dia. Suatu saat ia pasti jadi orang 'besar' bila tetap bisa menjaga sikap seperti itu," ucap ayahnya. "Maksud ayah?" tanya anaknya balik. Ia sudah sering membaca orang-orang besar dalam sejarah, akan tetapi tidak menangkap apa yang dikatakan ayahnya itu mengenai sahabatnya Reiche. "Bukan orang besar seperti dalam buku-bukumu, nak! Melainkan orang yang berjiwa besar, menghormati orang lain bukan karena kedudukan dan kekayaan, serta berupaya membantu orang dengan tidak merendahkan atau melalui belas kasihan. Orang-orang seperti itu yang banyak dibutuhkan oleh tlatah ini," jelas ayahnya. Mengangguk-angguk Arme mendengar penjelasan ayahnya. Ayahnya tidak bersekolah tetapi pergaulannya luas. Dari omong-omong dengan orang-orang di pasar, warung dan ladang ia mendapat banyak informasi yang tidak diperolhe Arme di sekolah. Informasi yang hanya dibicarakan di kalangan rakyat jelata. Jika orang besar adalah seperti itu, adalah sosok yang diharapkan oleh sebagian besar rakyat untuk menjadi pemimpin dari mereka. Pernah sekali ayahnya mengatakan bahwa kita harus luwes dalam menuntut ilmu, bisa dari sekolah dan buku, akan tetapi bisa juga dari orang-orang di sekitar kita. Pendidikan itu tak ada batasnya. Jangan pernah meremehkan orang yang tidak bersekolah, karena bisa saja mereka memiliki pengetahuan-pengatahuan yang tidak dimiliki oleh orang bersekolah karena belum pernah dituliskan. Orang-orang sekolah juga membaca buku yang merupakan hasil dari orang-orang yang berbuat. Orang-orang yang berbuat merupakan orang-orang kebanyakan. Rakyat jelata. Oleh karena itu Arme amat menghormati ayahnya. Dari sekolah dan ayahnya serta buku-buku yang dibacanya ia mulai memahami kehidupan di sekitarnya sampai ia bercita-cita mengubahnya dengan menulis suatu cerita nanti. Cerita yang bisa menggugah siapa saja yang membacanya. "Jika begitu, mulailah tugasmu itu! Nanti ayah panggil bila makan telah siap," usul ayahnya. Arme pun mengangguk mengiyakan. Terasa sekali rasa kasih ayahnya. Tidak seperti kebanyakan orang tua-orang tua yang kurang mampu, ayahnya tidak memaksa ia untuk membantu bekerja di kebun. Menurutnya tak baik bagi seorang anak kecil seperti Arme langsung bekerja, ia harus lebih dulu belajar. Bila telah cukup ilmunya, barulah ia bekerja. Dan ayahnya mengharapkan Arme untuk tidak menjadi buruh sepertinya melainkan bekerja dalam bidang tulis-menulis. Menyampaikan cerita-cerita buruh-buruh seperti dirinya agar orang-orang di pusat tlatah, di kota Kern, tahu bahwa tidak semua tempat indah-indah seperti di sana. Agar mereka mau turun ke desa-desa dan memperhatikan nasib para rakyatnya sendiri. Bagian 4 Pertemuan Kedua Hari ini tepat dua minggu sejak Arme mendapat 'tugas' dari Reiche temannya untuk meringkas buku baru yang dibeli di toko Paman B?cher. Dengan berlari-lari kecil ia menuju sekolahnya, perguruan tulis-menulis untuk ikut pelajaran hari ini. Bukan pelajaran hari ini yang menarik hatinya, melainkan selesainya tugas membuat ringkasan yang diberikan Reichelah yang menjad penyebabnya. Ia telah membuat rangkuman atas buku itu dan sekarang akan menyerahkannya kepada kawannya itu. Sebagai upahnya ia boleh memiliki buku tersebut. Bagi Arme itu adalah tugas yang menyenangkan, membaca buku dan membuat ulasan mengenai hal itu. Ringkasan, sehingga orang tidak perlu membaca menyeluruh buku tersebut bila hanya ingin tahu isinya. Dan itu pun telah diketahui oleh Reiche bahwa Arme pandai membuat ringkasan. Pandangannya mengenai isi suatu buku yang juga lain dari anak yang lain membuatnya semakin mengagumi temannya itu. Walau kadang sering bentrok dengan gurunya dalam hal perpendapat, tetapi Arme tetap dikagumi oleh Reiche. Tiba-tiba "Bugggg!!!" sesosok beban terasa dilanggar oleh Arme. Saat ia berbalik tampak olehnya seorang tua tersungkur di jalan batu yang berdebu itu. "Aduh paman, maaf-maaf!" katanya cepat sambil membantu orang itu berdiri. "Tidak apa-apa..., tidak apa-apa!" ucap orang itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mungkin aku yang sudah tua ini yang tidak melihat jalan.." "Err.. aku juga.. tidak melihat jalan, paman," ucap Arme malu. Ya tadi saking ia bersemangat ia sempat tidak memperhatikan jalan. Walaupun ia sedikit merasa aneh, bagaimana paman yang tersungkur itu bisa tiba-tiba muncul dari jalan yang sepi itu dan langsung terlanggar olehnya. "Hahahahaha!!" tiba-tiba meledak tawa orang tua itu, "Engkau jujur sekali, nak. Aku suka sikapmu itu, terus terang!" Keanehan kemunculan orang tua itu yang tiba-tiba, yang tadi masih menjadi pemikirannya lenyap ditelah oleh kegembiraannya yang segera menular kepada Arme. "Itu 'kan wajar, paman. Masak hal seperti ini saja pake berhohong?" tanyanya balik. "Benar-benar, engkau benar, nak!" ucap orang tua itu mengangguk-angguk. "Eh, sepertinya saya sudah pernah melihat atau bertemu dengan paman?" tanyanya tiba-tiba saat ia teringat hari di mana ia baru memperoleh buku yang ada dalam tangannya itu. "Di mana?" tanya orang itu balik, "salah kali engkau?" "Tidak, aku yakin bahwa itu dirimu, paman. Jika tidak salah, persis seperti keadaan hari ini. Tapi waktu itu aku hanya hampir menabrakmu. Belum melanggarmu seperti sekarang ini," demikian jelas Arme kepada orang tua itu. "Mungkin juga.. mungkin juga..," ucap orang tua itu sambil terlihat berpikir-pikir dengan megerutkan dahi di mukanya yang sudah penuh kerut-kerut ketuaan. "Aku sering lupa akhir-akhir ini," katanya kemudian. "Wajah, paman. Orang tua katanya memang begitu. Itu sudah alami," ucap bocah itu seakan-akan menggurui orang yang malah lebih tepat menjadi gurunya dari sisi umur. Mengangguk-angguk kembali orang tua itu, seakan-akan ia sedang mendapat petuah dari gurunya. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Aku lihat engkau suka membaca. Benar, tidak?" Arme yang tidak menduga pertanyaan itu, tanpa sadar mengangguk. "Bagus kalau begitu. Aku punya sebuah buku yang menarik, tapi tidak untuk dipinjamkan. Kalau mau nanti aku kasih pinjam untuk dibaca di tempat, bagaimana?" ucapnya kemudian setelah berpikir-pikir sesaat dengan terdiam. "Buku apa, paman? Kok sulit sekali! Jika tidak ingin dipinjamkan, ya sudah..!" kata bocah itu dengan cueknya. "Ehhh.., ini buku menarik. Pasti engkau akan tertarik karena sulit mengartikannya, lebih tepat membacanya," ucapnya kemudian. "Sulit mengartikannya?" ucap Arme. Minatnya pun tumbuh mendengar hal itu. Jarang ada buku yang sulit untuk dibaca walaupun ia tidak selalu dapat mengerti. "Baik kalau begitu, nanti sore kita ketemu di tepi hutan sana, dekat sungai kecil yang ada pohon besar yang tumbang dan menjadi jembatan," ucap orang tua itu. "Saya tahu tempatnya, paman!" ucap Arme kemudian. "Baiklah, saya akan datang." "Tapi sendiri, jangan bawa siapa-siapa!" ucap orang itu kemudian. "Mengapa?" tanya Arme balik. Walaupun demikian ia tidak mencurigai orang tua itu. Terasa bahwa orang itu tidaklah bermaksud jelek terhadap dirinya. Intuisi seorang anak kecil. "Nanti aku ceritakan," ucap orang itu kemudian, "sekarang lebih baik engkau sekolah dan serahkan rangkuman itu kepada temanmu..." Arme yang saat itu sedang menunduk karena bukunya tiba-tiba meleset jatuh dari tangannya, seketiga melengak begitu mendengar 'rankuman'. Tapi saat ia menegadahkan kepalanya orang tua itu telah lenyap dari pandangan matanya. Ke empat penjuru angin ia melihat tak tampak pun sisa-sisa kehadiran orang itu. Dengan mengangkat bahunya tanda tak mengerti, Arme pun melanjutkan perjalanannya ke sekolahnya. Perguruan tulis-menulis sudah tampak di kejauhan, di ujung jalan di mana ia saat itu berada. Bagian 5 Di Tepi Hutan Bergegas Arme berjalan sepulangnya dari ia belajar hari itu di perguruan tulis-menulis. Biasanya ia pulang bersama-sama dengan Reiche, sahabatnya, berjalan bersama-sama sampai persimpangan jalan menuju rumah masing-masing tiba. Hari ini ia beralasan ada keperluan sehingga perlu buru-buru pulang. Untung saja Reiche pun mempunyai hajat yang mirip, yaitu kenalan ayahnya akan berkunjung sore ini. Orang yang boleh dikatakan sebagai pamannya. Dengan demikian Reiche tidak terlalu mempermasalahkan bahwa mereka hari ini tidak pulang bersama-sama. "Sebentar lagi sampai..," ucap Arme pada dirinya sendiri. Entah mengapa, ia bersemangat sekali akan tawaran orang yang baru dua kali ditemuinya itu mengenai sebuah buku yang tidak saja sulit dimengerti tetapi juga sulit dibaca. Suatu tantangan yang tidak akan ia lewatkan begitu saja. Ringkasan yang ia berikan kepada Reiche, sesuai dengan pesanannya, memuaskan temannya itu. Suatu ringkasan yang rapi dan terstruktur. Gembira rekannya itu menerima 'laporan' dari Arme. Demikian pula dengan sang penulis rangkuman, upahnya pun sudah berada di tangannya. Sebuah buku baru yang dua minggu lalu mereka beli bersama. "Sebuah buku baru..," demikian gumam Arme yang memang minat bacanya gila-gilaan. Teman-temannya, sesama murid perguruan tulis-menulis sudah pasti memiliki minat baca di atas kebanyakan orang, akan tetapi Reiche ini lebih dari itu. Untung saja ia terhalang kendala ekonomi, bila tidak, sudah dipastikan rumahnya akan penuh dengan tumpukan buku-buku. Akhirnya langkah-langkah kecil Arme membawanya tiba di tepi hutan yang ada di desanya. Dicarinya dengan mata kecilnya sungai yang ia tahu berada di suatu tempat dekat situ yang segera ditemukannya. Sekarang ia hanya perlu menyusurinya sedikit ke hulu sampai bertemu sebatang pohon yang tumbang, yang digunakan sebagai jembatan untuk menyeberang. "Nah itu dia..," gumam sang bocah. Segera ia celingak-celinguk mencari orang yang berjanji akan menemuinya di tempat itu. Tapi tak sesosok bayanganpun ada. "Apa di seberang sana ya...," ucapnya lagi pada dirinya sendiri. Ya mereka, ia dan orang tua itu, memang tidak mengatakan di sisi mana mereka akan bertemu di tempat ini. Tapi sebelum ia sempat menaiki batang kayu dari pohon tua yang telah rebah melintang di tengah sungai itu, tampak si orang tua dengan santainya duduk di tengah-tengah batang pohon dan tersenyum kepadanya. "Eh, paman... tadi 'kan...," ucapnya bingung. "Maksudmu tadi paman belum ada di sini?" ucapnya jenaka sambil memperhatikan wajah bocah yang kebingungan itu. "Err.., iya begitu maksudku," ucapnya masih dengan wajah sedikit bingung. "Tidak, sedari tadi paman telah berada di sini. Hanya mungkin engkau saja yang tidak melihat aku duduk di sini," ucap orang tua itu serius. Arme terdiam sambil mengingat-ingat apakah memang tadi ia agak melamun sehingga tidak benar-benar memperhatikan apakah memang tidak ada orang yang duduk di tengah-tengah batang pohon melintang itu. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak, paman. Saya yakin tadi. Paman belum berada di sini saat saya datang." "Yakin?" tanya orang tua itu lagi. Dan sebelum Reiche berbantahan, saat ia mengedipkan mata, suatu gerakan normal mata yang mulai kering, ia tidak lagi melihat orang tua itu duduk di tempatnya semula. "Paman...?" tanyanya. Dan kembali saat ia mengedipkan mata secara alami, orang tua itu muncul kembali. "Bagaimana bisa...?" tanyanya ingin tahu. Benar-benar tertarik ia pada peragaan menghilang dan muncul yang diperagakan orang tua itu di hadapannya. "Mau mempelajarinya?" tanya orang tua itu kemudian setelah memberikan beberapa saat Reiche mencerna peragaan 'ilmu' yang baru ia lakukan. "Mau, paman!" ucap bocah itu dengan sorot mata yang bersemangat. "Baik, jika begitu. Kita bisa segera mulai," ucap orang itu. Ia pun berjalan dengan asal di atas batang pohon melintang yang telah ditumbuhi lumut itu. Tak terpeleset ataupun tergelincir. Segera ia tiba di depan sang bocah. Bagian 6 Menanti Mata Berkedip "Ilmu dari gerakan yang tadi, yang aku peragakan itu dinamakan Menanti Mata Berkedip," jelas orang tua itu. Saat itu ia telah duduk bersama-sama dengan Arme di atas suatu batu ceper yang banyak terdapat di pinggir sungai kecil berair jernih di pinggir hutan itu. "Menanti Mata Berkedip? Nama yang aneh, paman," tanggap Arme lekas. "Engkau senang nama itu?" tanya orang tua itu balik. Bocah itu mengangguk sambil tersenyum. "Dinamakan demikian untu menunjukkan saat yang penting di mana gerakan tersebut baru tepat untuk dilakukan," jelasnya kepada sang bocah yang duduk dan memperhatikan penjelasannya, "sama seperti Pukulan Menghembus Napas dan Langkah Bergesar Menahan Napas." Lalu dijelaskan oleh orang tua itu bahwa apabila gerakan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan arti tersirat dari namanya, tidak akan maksimal hasil yang diperoleh. Mengagguk-angguk saja bocak itu mendengar penjelasan orang tua itu, orang yang bahkan belum ia kenal namanya dan mungkin juga tidak tahu namanya. Tapi mengapa mereka berdua telah panjang lebar bercerita ke sana-ke mari seakan-akan telah kenal lama. "Nah, untuk awalnya ini buku yang aku janjikan," ucapnya sambil mengangsurkan sejilid kitab kusam yang berisikan tulisan yang rapih. Tulisan yang tertera berupa lambang-lambang yang Arme sendiri belum pernah melihat. "Dengan membaca ini, pertama-tama kamu hapalkan saja dulu, kita akan mulai gerakan menghilang tadi," lanjutnya. "Tapi, paman... Bagaimana cara membaca tulisan-tulisan aneh ini?" kata Arme sambil menunjuk huruf-huruf yang tidak dikenalnya. "Ah, aku lupa! Itu ada cara membacanya," jawab orang tua tersebut. Lalu ia pun menunjukkan kotak-kotak dan silangan yang diisi oleh angka dan huruf yang masing-masing menandakan padanan huruf-huruf itu dengan huruf-huruf yang dikenal oleh Arme dan orang-orang secara umum. "Ini semacam sandi, paman?" tanya bocah itu. Ia pernah membaca bahwa orang-orang yang ingin bertukar pesan tanpa orang lain tahu dan dapat mengartikan pesan mereka menuliskan beritanya dalam huruf-huruf sandi yang kuncinya hanya diketahui oleh kedua pihak yang bersangkutan. Mengangguk orang tua itu meniyakan, "Pintar kamu!" Saat Armee mulai membaca, ia telah dapat menghafal kata-kata tersebut sehingga dapat segera membaca, orang tua itu menghentikannya, "Jangan kau lafalkan dengan bahasa biasa, nanti ada yang mendengar. Lafalkan dengan ini!" Ia kemudian mencoret-coret kota-kotak lain yang menjelaskan bagaimana huruf-huruf sandi tersebut 'dibunyikan'. Mengangguk-angguk Arme atas petunjuk itu. Keanehan buku yang dibaca, adanya sandi membaca dan juga melafalkan rupanya tidak mengusik keingintahuan anak itu. Hal baru yang menarik telah menyedot semua perhatiannya sehingga malah tidak bertanya lebih jauh mengapa harus ada cara-cara untuk merahasiakan isi kitab tersebut. "Baik, engkau sudah bisa bagian pertama. Lafalkan sekali lagi dan hafalkan!" perintah orang tua itu. Setelah mendengar Arme dapat mengulanginya dengan baik dan tanpa salah, oran tua itu kemudian mengambil kitab tersebut dan menyimpannya ke dalam sela bajunya. Lalu katanya, "Sekarang kita bagaimana gerakan dari bagian pertama itu." / u L ) o c 7 n ^ -- delapan arah dan satu pusat o, '/ o' 'L ,L | )' '/ ), '/ ,o | o, 'u )' '/ ,u ,L '/ )' | ), 'L ,L 'L o' '/ )' -- tarik napas tenangkan pikiran ... Demikian Armee membacakan apa yang telah dihafalkannya dari bagian pertama kitab tersebut. Disusul kemudian orang tua itu memperagakan, menunjukkan apa arti dari halapan tersebut, bagaimana pesan tersebut harus diwujudkan dalam gerakan dan juga tarikan napas serta penyatuan pikiran. Terkejut juga orang itu demi melihat Arme dengan tanpa kesulitan berarti dapat menirukan apa yang ia tunjukkan. "Mungkin benar bahwa ini adalah anak yang dimaksud," gumamnya tak jelas. Arme yang sedang berkonsentrasi serius tak menyadari gumaman orang itu. "Selesai untuk hari ini!" ucap orang itu setelah beberapa saat mereka melatih gerakan tersebut. "Latihlah sering-sering, tapi jangan sampai dilihat orang. Nanti paman kasih kabar kapan kita kembali bertemu dan di mana." Sebelum Arme sempat berkata lebih lanjut orang tua itu pun telah menghilang saat matanya sekejap berkedip. Lamat-lamat didengarnya suara, "Setelah berlatih seminggu tubuhmu akan siap untuk gerakan 'menghilang'. Jangan buru-buru! Sampai ketemu lagi..." Kembali Arme kagum akan menghilangnya orang tua itu. Tapi tidak seperti tadi ia sudah tahu sedikit dasar ilmu tersebut dari kalimat-kalimat yang dihapalkannya. Orang tua itu memanfaatkan kebiasaan mata, yang secara alami berkedip, untuk menutupi geraknya. Yang sulit adalah bagaimana kita tahu kapan mata orang yang hendak ditinggalkan itu akan berkedip. Dan ia belum bisa untuk itu. Gerakan yang baru bisa dilakukan oleh Arme adalah Merendah Tak Dianggap. Suatu gerakan dasar untuk bersembuyi ke arah bawah dari penglihatan orang dengan memanfaatkan keterbatasan sudut pandang mata manusia. Bagian 7 Tamu dari Jauh Sementara itu di sebuah rumah besar, bila tidak dikatakan terbesar di daerah itu, tampak seorang anak bergegas pulang. Tadi siang selepas bersekolah ia tidak lagi seperti biasanya bersama-sama dengan sahabat karibnya berjalan pulang bersama dan kadang menghabiskan waktu dengan bercerita tentang buku-buku yang mereka baca di bawah pohon teduh atau di pinggir danau jernih. Ya, hari ini ia harus cepat pulang. Begitulah pesan ayahnya sebelum ia pergi belajar pagi itu ke perguruan tulis-menulis. Akan ada kenalan ayahnya, yang telah dikenalnya baik, sampai ia memanggilnya paman, yang akan berkunjung. Setelah sekian lama tidak melihat dirinya, sang keponakan, sudah tentu sang paman amat ingin bertemu. Dan karena kunjungannya singkat, tidak sampai sore hari, haruslah ia sebagai yang dikunjungi siap sedia segera setelah bersekolah. "Aku sudah pulang...!!" teriak bocah tersebut saat ia memasuki rumahnya yang megah untuk ukuran orang di tempat itu. Gapura menghadang orang masuk ke dalam pekarangannya. Langit-langit yang tinggi dan dinding batu berukiran menghias rumahnya yang kontras dengan bangunan terbuat dari kayu dan bambu yang tampak di sekelilingnya. Masih dalam lingkungan pekarangan yang berpagar tinggi dan bergapura itu. "Nak Reiche sudah ditunggu bapak dan tamunya di pendopo..," ucap seorang tua yang bekerja sebagai pengasuhnya di rumah itu. "Baik, paman. Saya ganti baju dulu," sahutnya gembira. Rupanya sang tamu yang ingin bertemu dengannya telah lama tiba. Segera ia berganti baju yang lebih rapih dan masih bersih, khusus untuk menyambut tamu. "Memang sebaiknya begitu, nak!" ucap orang tua itu lagi sambil sedikit membungkuk hormat. Ia pun meninggalkan anak asuhannya untuk memberitahu kepada ayah sang anak bahwa anak asuhnya akan segera muncul sehabis salin busana. "Hahahaha!! Ini rupanya sekarang keponakanku Reiche..., sudah besar engkau sekarang!!" tawa menggelegar dan ungkapan senang yang kasar tampak membahana. Sudah tampak peringai tamu yang berkunjung itu. Kasar akan tetapi jujur. "Paman..!" ucap Reiche sambil sedikit menunduk hormat. "Apa kabar? Saya lihat paman juga semakin 'besar'," ucapnya balik menggoda. Dan memang sejak tidak lama bertemu sang tamu memang telah bertambah subur. Kembali tertawa membahana menerjang ruang-ruang dari rumah gedongan itu, menimbulkan gema dan gaung di sana-sini. Orang-orang yang sedang bekerja di dapur atau kandang kuda dan sapi melengak, tapi kemudian kembali bekerja setelah diberitahu bisik-bisik bahwa itu hanya ketawa seorang tamu yang punya rumah. "Aku dengar engkau sekarang telah bersekolah, Reiche. Di perguruan tulis-menulis. Pintar nanti jadinya! Jangan seperti pamanmu ini, hanya besar tenaga -- hahahaha," ucapnya ceplas-ceplos. "Ya, paman!" mengiyakan saja Reiche atas wejangan singkat pamannya itu. Sang paman yang berbadan besar dan subur itu tidaklah hanya berisikan daging dan tulang, ia juga jago berkelahi. Ilmu beladiri dan kanuragan dimilikinya, suatu hal yang mutlak dipelajarinya. Apalagi jika melihat pekerjaan yang ditekuninya, mengantar kiriman barang. "Ini, aku ada hadiah buatmu!" katanya sambil memasukkan tangannya yang besar dan berbulu ke dalam kantong di dekat ia duduk. Tak lama setelah mencari-cari keluarlah sebuah kitab kusam dan kumuh. Sebuah kitab kuno. "Ini aku dapat sebagai bayaran suatu hantaran barang, katanya bernilai tinggi," jelasnya, "aku terima karena teringat engkau, Reiche, yang katanya bakal jadi sasterawan." "Terima kasih, paman!" jawab Reiche yang segera matanya berbinar-binar saat melihat kitab kuno tersebut. Suatu kitab kuno sebagai bayaran menghantar barang. Bisa jadi memang suatu barang berharga atau juga tidak. Bila yang terakhir, pastilah pamannya telah dibohongi oleh langganannya itu. "Jaga baik-baik itu pemberian pamanmu," ucap ayahnya, "siapa tahu itu benar-benar berharga dan bisa dijual kembali." Reiche kembal mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum dibukanya kitab itu. Ia masih menimbang-nimbang dan membayangkan apa yang akan ditemui dibalik kulit muka dari buku yang kusam itu. Setelah beberapa saat bercerita mengenai perjalanannya dan sang paman juga menanyakan mengenai sekolahnya, akhirnya Reiche pun diminta meninggalkan mereka berdua. Ada urusan pekerjaan yang tidak menarik bagi anak kecil, demikian kata mereka. Bagi Reiche sendiri ia tidak merasa tersinggung, ia lebih tertarik untuk mulai membaca kitab barunya itu. Sebelum ia beranjak dari pendopo tempat menerima tamu itu, pamannya menanyakan apakah ia berminat untuk belajar ilmu kanuragan darinya. Katanya, walaupun ia berminat jadi sastrawan tak ada salahnya belajar satu dua jurus. Untuk menjaga diri katanya. Reiche yang saat ini hanya senang membaca menolak dengan halus. Sedikit terlihat kekecewaan di wajah sang paman. Ayahnya pun menghiburnya dan mengatakan mungkin sekarang waktunya terlalu cepat. Coba beberap tahun lagi, begitu usulnya. Seketika kembali tawa tersebut membahana ke sana-ke mari. Dan Reiche pun mohon diri untuk pergi ke kamarnya. Bagian 8 Kitab Kuno Bersandi Segera setelah tiba di kamarnya, Reiche pun menutup pintu kamarnya dan menghempaskan diri di tempat tidurnya. Kayu terdengar berderit. Setelah seperti menerawang dan mengatur napasnya, menenangkan hatinya yang penuh dengan debaran keingintahuan, perlahan ia mulai membuka kitab kuno pemberian pamannya itu. "Seratus Hari" Judul yang cukup menarik untuk disimak tapi belum mengisyaratkan apa isi buku tersebut. Sampulnya yang kusam hanya menyisakan judul itu untuk di baca. Hiasan-hiasan dan tulisan kecil-kecil yang mungkin dulunya ada tinggal sisa-sisanya saja. Tak lagi terbaca. Beberapa halaman awal bercerita mengenai penulis kitab itu, pengalaman dia sebagai pendekar sekaligus penulis cerita. Merantau ke berbagai tempat. Bertempur dengan lawan dan bertanding dengan kawan. Menuliskan kisah-kisahnya dan kembali merantau. Tertarik juga Reiche atas kisah hidup yang terdengar bebas dan lepas seperti itu. Terbang ke mana ia mau dan berdiam di mana ia merasa nyaman. Tak terasa bagian cerita-cerita tentang sang penulis pun telah habis dilahapnya. Segera ia membuak bagian baru yang dipisahkan dengan bagian sebelumnya oleh beberapa lembaran kosong. Di awal bagian berikutnya itu terdapa sebuah halaman mengawali yang berisikan diagram-diagaram dengan lambang-lambang aneh. Lambang-lambang yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Reiche. Sesaat setelah pusing dan tidak mengerti apa-apa yang dituliskan di sana, ia pun membuka lembarang-lembaran berikutnya. Tapi apa yang ditemuinya kemudian malah membuatnya semakin bingung. Mulai dari halaman tersebut sampai buku yang cukup tebal itu habis, hanya tulisan-tulisan yang dibuat dari lambang-lambang aneh yang ada. Tulisan-tulisan yang tidak bisa ia baca. Dengan jengkel ia pun menghempaskan dirinya di atas tempat tidur. Menutup matanya dan berusaha mengingat-ingat tentang pelajaran bahasa-bahasa kuno yang pernah diajarkan di sekolahnya. Tiba-tiba ia bangkit mencari-cari dalam rak buku di samping tempat tidurnya, yang berisikan jika tidak puluhan mungkin ratusan buku, suatu buku yang mungkin dapat membantunya membaca isi kitab tua yang baru diperolehnya itu. Sesaat setelah mencari-cari, diambilnya sebuah buku dengan sampul yang masih relatif terlihat baru apabila dibandingkan dengan kitab tua di atas tempat tidurnya itu. Dibolak-baliknya buku itu dan ia pun tersenyu. "Buku ini ditulis dalam bahasa sandi, bukan bahasa asing," ucapnya gembira, "sekarang aku hanya harus memecahkan sandi yang digunakan dan kembal membacanya." Terlarut dalam gembiranya ia pun mulai mencoba mengartikan diagram-diagram, yang menurut buku rujukannya merupak kunci untuk membaca sandi tersebut. Bolak-balik dicobanya untuk mencocokkan jenis-jenis diagram dengan contoh-contoh yang ada. Ada yang membolak-balik huruf, menerjemahkan lambang satu-satu ke lambang baru. Membuat kotak-kotak dan mengisikan huruf-huruf hidup saja. Huruf matinya ditebak belaka. Dalam bahasa tersebut tidak banyak terdapat kata yang mirip sehingga cara tersebut dapat dilakukan. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk sandi yang lain, yang sayangnya tidak ada yang cocok dengan bentuk diagram seperti dilukiskan dalam kitab tua tersebut. "Baiknya kutanyakan saja pada Arme," tiba-tiba ia teringat pada sahabatnya yang cerdik itu. "Tapi.. kalau ini benar-benar berharga.." Akhirnya ia pun memutuskan untuk menyalin diagram-diagram tersebut dan juga beberapa halaman contoh untuk ditunjukkan kepada Arme temannya. Tidak semua buku akan ditunjukkannya. Untuk itu ia akan mengatakan bahwa ia mendapat suatu teka-teki dari pamannya yang butuh untuk dipecahkan. Jika Arme berhasil memecahkan, akan ia serahkan bagian-bagian buku tersebut dalam urutan yang acak sehingga rekannya tidak bisa mengartikan secara utuh. Entah mengapa Reiche yang biasanya senang berbagi dengan sahabatnya merasa bahwa kitab tua itu terlalu berharga untuk diberikan kepada Arme untuk diartikan dan dibaca secara keseluruhan. Mungkin keegoisan seorang anak belaka. Setelah menyalin beberapa bagian lagi dan merekatkannya dalam urut-urutan yang salah ia pun merasa lelah. Menyingkirkan pekerjaan yang baru dilakukannya dan tak lama kemudian pun tertidur. Tak dirasakannya ketukan perlahan oleh pengasuhnya yang hendak membawakan makan siang. Sang pengasuh pun hanya masuk sebentar, membetulkan letak tidur anak asuhnya, membereskan kertas-kertas yang berserakan dan meletakkan makan siang di atas meja. Lalu perlahan ia meninggalkan Reiche yang telah tertidur pulas dan senyum di bibirnya. Bagian 9 Pertemuan Terakhir "Bagus!! Engkau sudah banyak kemajuan dalam beberapa minggu ini," ucap orang tua itu sambil memperhatikan gerakan-gerakan yang dilakukan Arme. Mengangguk-angguk puas ia. Bocah yang dipuji itu tampak kelelahan dengan napas yang terputus-putus. Berat rupanya gerakan-gerakan dasar untuk 'menghilang' yang diajarkan oleh orang tua itu. Orang yang belum mau dipanggilnya sebagai guru, walaupun telah ia menurunkan ilmu-ilmunya kepada bocah itu. "Jangan pikirkan sebutan-sebutan tak bermakna itu," ucapnya suatu saat waktu Arme bermaksud memanggilnya sebagai guru. "Berlakulah cerdik! Bila engkau suatu saat mendapat keuntungan dengan mengaku guru kepadaku, gunakan. Bila sebaliknya, ingkari saja. Temanmu yang memberimu 'tugas', seperti yang engkau ceritakan itu.., tirulah kecerdikannya." Arme pun mengangguk-angguk mengiyakan walau ia tidak seratus prosen setuju dengan pendapat orang tua yang berdiri di hadapannya itu. Dari banyak kitab-kitab dituliskan bahwa kita harus menghormati orang tua dan guru kita. Dan sebutan amatlah penting, karena dari situlah sikap hormat ditumbuhkan. Tanpa sebutan yang menghormat sulit sikap-sikap lain mengikuti. "Untuk ukuran umurmu sekarang, engkau lebih maju dariku saat belajar dulu," ucap orang tua itu setelah mereka sama-sama duduk di atas suatu batu ceper yang banya terdapat di tepi sungai di pinggir hutan tersebut. Orang tua itu menghentikan latihan hari itu karena dilihatnya Arme telah cukup memahami dan juga sudah terlihat lelah. Arme hanya mengangguk bangga. Pujian orang tua itu bukanlah kosong. Dari sekian lama berinteraksi dengannya ia telah kenal sedikit banyak perangai orang itu. Salah satunya adalah tak banyak peradatan dan bicara apa adanya. "Kitab ini kuberikan kepadamu..," katanya tiba-tiba setelah terdiam sesaat dan terlihat menimbang-nimbang apakah langkah yang dilakukannya itu benar adanya. "Tapi, paman..," jawab Arme tak mengerti. Selama ini orang itu benar-benar menjaga kitab itu hati-hati. Ia bahkan hanya boleh membacanya saat benar-benar duduk di depannya. Dengan bingung Arme menerima kitab yang diangsurkan kepadanya itu. "Aku...," ucap orang tua itu. Tak diselesaikannya percakapannya. Agak ragu-ragu ia terlihat hendak menyampaikan sesuatu. Hening pun mengisi suasana di antara mereka. Angin semilir bertiup menyejukkan, menyejukkan tubuh-tubuh yang baru menjadi panas akibat berlatih. "Beberapa saat yang lalu aku melihat seorang yang aku kenal, berbedan besar dan gemuk, bertandang ke tempat ini. Seorang dari masa laluku," ucapnya hati-hati, "Aku tidak tahu apa maksudnya. Hanya mengurusi pekerjaannya atau ada hubungannya dengan aku dan kitab ini." Arme hanya terdiam mendengarkan. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan itu akan berlanjut. "Jika aku tidak lagi datang ke tempat ini, kau pelajari kitab itu baik-baik," ucapnya serius. Susana pun berubah menjadi tegang dan tidak menyenangkan. "Maksud, paman?" tanyanya tidak mengerti. Dalam hatinya kira-kira ia telah sedikit dapat menduga sesuatu. Tapi pikiran itu disimpannya dalam hati. "Jalankan saja apa yang aku minta. Dan berjanjilah jangan ceritakan siapa-siapa pun mengenai kitab ini. Bila engkau berlatih sendiri, pergilah lebih jauh ke dalam hutan. Sekarang-sekarang ini kita berlatih di sini ada aku yang masih bisa merasakan apakah ada orang yang mengintip atau tidak," ucapnya, "Jika engkau sendiri, pastikan tidak ada orang yang mematai. Baik juga apabila kitab tersebut engkau sembunyikan di suatu tempat. Di bawah batu, di dalam lubang pohon atau di sarang ular. Terserah tempat mana yang menurutmu baik dan tidak terpikirkan oleh orang lain." Arme hanya mengangguk mengiyakan. "Jadi ini mungkin pertemuan terakhir kita...," tanyanya agak sedih. Beberapa minggu ini telah sedikit tumbuh kedekatannya dengan orang tua tersebut. "Kelihatannya..." ucap orang itu tak pasti. Wajahnya terlihat sedikit mengeras. "Paman, boleh tahu nama paman..?" tanyan Arme setelah sedikit lama terdiam. Orang tua itu tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Engkau terlalu banyak membaca ujar-ujar kuno," katanya. Lalu ia berkata lagi, "Aku sendiri sudah tidak lagi memakai namaku, tapi untukmu..., aku... adalah keturunan dari Bayangan Menangis Tertawa..." Bagian 10 Menghormati Rahasia Orang Lain "Ini bagian terakhir, tolong ya!" ucap Reiche sambil menyodorkan beberapa helai kertas yang dituliskan dengan lambang-lambang tertentu yang bukan berasal dari lambang-lambang umum yang dikenal orang. "Baik. Dan ini yang kemarin," ucap Arme sambil mengangsurkan kertas dengan isi lambang-lambang yang mirip akan tetapi telah disisipkan tulisan-tulisan tangannya, menjelaskan apa terjemahan dari kata-kata tersebut. Keduanya terdiam. Jika Reiche terdiam karena membaca hasil terjemahan Arme, maka Arme terdiam karena membaca lembaran-lembaran baru dari Reiche yang harus ia terjemahkan. Keduanya sudah melakukan ini hampir dua bulan lamanya. Arme sendiri masih menyimpan banyak pertanyaan, antara lain apa sebenarnya yang diberikan oleh Reiche ini. Apakah sebuah kitab atau hanya kumpulan-kumpulan lembaran-lembaran tulisan. Akan tetapi Reiche tidak mau menceritakannya dengan jelas dan terbuka. Dan karena Arme bukan jenis orang yang senang memaksa, ia membiarkan saja pertanyaan itu mengisi kepalanya tanpa jawaban. Di lain pihak Reiche sendiri pun kadang bertanya-tanya, misalnya dari mana Arme tahu dan terlihat yakin bahwa terjemahannya itu benar. Arme hanya berkata bahwa ia pernah diajari mengenai hal itu oleh seorang yang ditemuinya di pinggir hutan. Tapi sekarang orang itu lagi ditemuinya. Dan untuk yang terakhir ini, Arme memang tidak berbohong seluruhnya. Sedangkan Reiche tidak berani banyak-banyak bertanya dan mencari tahu lebih jauh karena takut sahabatnya itu tidak mau membantunya menerjemahkan lambang-lambang tersebut. Ketepatan terjemahan diperiksanya dengan mencocokkan keselarasan bacaan antar halaman yang telah dipisah-pisahnya. Sampai saat ini semuanya cocok. Lalu mengapa Reiche masih meminta Arme untuk menerjemahkan dan tidak meminta cara membaca lambang-lambang aneh tersebut. Ternyata terdapat aturan pengalihan lambang yang rumit yang bergantung pada nomor halaman dari kitab tersebut. Untuk halaman yang berbeda berlaku aturan yang berbeda. Dan entah mengapa Arme dapat dengan mudah menjelaskannya kepada Reiche akan tetapi tidak dengan mudah dapat dicerna oleh Reiche. Untuk ia yang sanggup 'membayar' jasa Arme, lebih baik bila ia tinggal menerima saja bersihnya, terjemahan tiap halaman tersebut. Jadi dalam bulan-bulan tersebut Arme dapat dengan bebasnya 'membeli' buku-buku baru yang ia sukai dari toko Paman B?cher atas dukungan Reiche sebagai pembayaran 'tugas' yang ia lakukan. Arme sendiri pada awalnya terkejut demi melihat lembarang yang berisi lambang-lambang yang sama dengan lambang-lambang dalam kitab kuno yang diberikan oleh orang tua di tepi hutan sana. Hanya dalam lembaran-lembaran yang diberikan Reiche terjadi pergeseran tempat padanan huruf-huruf yang digunakan. Pergeseran yang dijelasan pada akhir tiap halaman dan bukan di awal. Jadi tiap halaman punya aturan sendiri walaupun dengan kumpulan lambang-lambang yang sama. Dan cerdiknya Reiche, ia tidak membiarkan Arme sempat menyalin lembaran-lembaran yang ia berikan. Ia berikan cukup banyak tugas dan minta diisikan di sela-sela tulisannya. Dengan demikian Arme mau tak mau harus mengembalikan lembaran-lembaran tersebut ditambah terjemahannya. Saat ditanya tentang apa kitab tersebut, Reiche hanya tersenyum dan tidak menjelaskan. Akan tetapi mau tidak mau ada juga yang mengendap di dalam kepala Arme. Daya ingatnya yang kuat membuatnya dapat memanggil kembali ingatannya mengenai lambang-lambang yang tertulis pada lembaran-lembaran yang diberikan oleh Reiche. Tidak urutnya halaman yang diberikan, yang pada awalnya sudah dirasakan aneh, sedikit menghambatnya untuk mengingat-ingat dan menyambung-nyambungkan tulisan-tulisan tersebut. Walaupun bukan termasuk orang-orang yang Sekali-Baca-Tak-Pernah-Lupa, tapi Arme memiliki ingatan yang cukup baik dibandingkan dengan teman-temannya. Mungkin hal ini dikarenakan 'kekurangannya' dalam hal tigaan sehingga ia harus sering meminjam buku baik pada temannya atau di perpustakaan sekolahnya, perguruan tulis-menulis, sehingga sebagian besar yang ia baca harus ia 'tulis' dalam otaknya tersebut. Keduanya tiba-tiba tertawa setelah satu sama lain saling melihat keseriusan yang lain. Tawa yang memecahkan kesunyian setelah adanya kerahasiaan antar mereka berdua dalam dua bulan belakangan ini. Rahasia yang sama-sama mereka saling hormati antar dua orang sahabat dan tidak lagi saling menanyakan. "Mari kita pulang! Sudah tinggal kita berdua di sini," ucap Arme kemudian setelah mengedarkan padangannya dan melihat bahwa pekarangan perguruan tulis-menulis telahlah sepi. Reiche pun mengangguk sambil memberesi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Arme sendiri hanya menyisipkan lembaran-lembaran tersebut ke dalam bajunya. Ia tidak punya tas, hanya berbekal buku tipis dan alat tulis, yang semuanya disimpannya dalam jubahnya yang terbuat dari kain kasar sederhana. Keduanya pun berjalan beriringan bersama sampai di persimpangan jalan untuk kemudian mengambil arah ke rumah masing-masing. Bagian 11 Belajar Beladiri Bersama Waktu pun berlalu dengan cepat. Tak terasa telah enam bulan berlalu sejak Arme mendapat kitab kuno dari orang yang mengaku keturunan Bayangan Menangis Tertawa dan di saat yang hampir bersamaan Reiche menerima kitab Seratus Hari dari kenalan ayahnya yang sudah dianggapnya paman sendiri. Arme semakin tekun melatih gerakan-gerakan yang ditulis dalam kitab kuno yang diberikan kepadanya itu dan Reiche semakin bingung dengan penjelasan-penjelasan yang dibacanya, hasil terjemahan Arme. Bukan karena terjemahannya yang kurang tepat melainkan karena Reiche belum pernah sekalipun belajar beladiri sehingga tidak paham istilah-istilah yang digunakan. Untuk itu akhirnya ia meminta kepada ayahnya agar pamannya yang dulu menawari ia untuk mengajarkan bela diri, sudi mewujudkan niatnya tersebut. Yang sudah tentu disambut dengan gembira oleh orang tersebut. Reiche yang telah banyak membaca dan mendengar bahwa belajar ilmu beladiri itu kadang membosankan orang mencapai suatu tahapan, memohon kepada ayahnya agar Arme dapat menemaninya. Dengan bersama-sama berlatih mereka dapat saling menghilangkan kejenuhan. Awalnya orang yang sudah dianggap paman sendiri oleh Reiche agak keberatan karena ia tidak ingin ilmu andalannya diajarkan kepada orang yang bukan pilihannya. Tetapi setelah didesak oleh Reiche dan dipesan oleh ayah Reiche agar mengajarkan Arme dasar-dasar saja dan bukan gerakan-gerakan pamungkas, akhirnya orang itu pun setuju. Jadi Arme dan Reiche berlatih setelah pulang sekolah sampai menjelang senja, jurus-jurus dasar, kuda-kuda dan langkah-langkah kaki. Setelah Arme pulang, Reiche masih berlatih sedikit lagi jurus-jurus andalan dari orang yang dipanggilnya paman itu ditambah pula dengan kitab Seratus hari yang dipelajarinya secara diam-diam. Bila mana Reiche masih berlatih dengan gurunya, Arme pun demikian. Tapi ia melatih jurus-jurus yang tertulis di dalam kitab kuno miliknya. Rangkaian gerakan yang diberi nama Menanti Mata Berkedip, suatu gerakan untuk menghilang dari pandangan orang yang dihadapi dalam bertarung. Gerakan yang berisi jurus-jurus menghindar dan bersembunyi di balik sudut mati mata. Arme sedikit banyak berterima kasih atas kesempatan ia belajar bareng beladiri bersama Reiche. Dengan berlatih bersama dan berpasangan dalam menyerang dan bertahan, ia dapat mulai memahami maksud dari gerakan-gerakan dalam kitab kuno miliknya. Setelah sorenya berpasangan saling menyerang, ia dapat membayangkan sikap dan posisi tubuhnya dalam imaginasi dan melakukan gerakan-gerakan yang dulu diajarkan oleh orang tua di pinggir hutan tersebut. Jadi boleh dikatakan bahwa baik Arme maupun Reiche mendapat kemajuan masing-masing sesuai 'kesempatan' yang mereka miliki. Demikianlah waktu berlalu, memberikan kesempatan kepada kedua anak manusia untuk saling mengembangkan diri mereka masing-masing. Bagian 12 Pertarungan di Malam Hari "Degg!! Plak-plak-plak!!" bunyi beradunya pukulan dan tangkisan dari dua orang yang sedang berlaga di bawah sinar bulan yang temaram. Akibat benturan barusan keduanya terlempar dua tiga langkah mundur. Sama-sama dengan napas yang terengah-engah. Boleh dikata keduanya memilki ilmu yang setingkat. "Boleh juga engkau sekarang, Pambuka!" seru seorang yang tampak bertubuh besar dan subur. Walaupun besar tapi langkah-langkahnya tidaklah berat melainkan ringan, menandakan ilmu ringan tubuhnya yang telah cukup tinggi. "Sedari dulu, aku begitu-begitu saja Panutu. Malau engkau yang telah banyak berkembang pesat," ucap lawannya yang bertubuh lebih kurus akan tetapi dengan tinggi tubuh yang sama. Rambutnya yang putih tidak cocok dengan raut mukanya yang belum terlalu tua. Belum cukup tua untuk dinaungi rambut-rambut yang hampir seluruhnya telah memutih tersebut. Tiba-tiba orang berambut putih tersebut tidak lagi terlihat oleh lawannya. Akan tetapi alih-alih merasa terkejut, orang yang dipanggil Panutu tetap terlihat tenang. Malah ia menutup mata. Bukan karena ia meremehkan melainkan untuk lebih menajamkan indera pendengarannya ketimbang indera penglihatannya yang sulit untuk mengatasi gerakan-gerakan lawan. Dan "degggg!!" tendangan lawan pada kepalanya dapat dengan mudah ia tangkis dan segera memberikan serangan balasan lurus ke arah dada. Pukulan bertenaga penuh dan keras. Lawannya yang kaget karena serangan dengan tipuan 'menghilang' tadi dapat dengan mudah ditangkis segera melemaskan tubuhnya, mengikuti kesiuran angin serangan ke arah dadanya dan terbang melayang menjauh. Meringankan efek pukulan tersebut, yang tetap dirasanya sedikit menyesakkan dada, "Hmmm, Bulu Angsa Dihembus Angin...!" ucap orang yang dipanggil Panutu, "sudah bisa engkau rapalkan itu rupanya..." "Bila tidak sudah remuk dadaku terkena Pukulan Meriam-mu itu...," jawab lawannya perlahan menanggapai, ".. dan Menanti Mata Berkedip milikku sudah tidak berguna lagi kelihatannya di hadapanmu..." Hening sejenak menyelak pertarungan itu. Baik Pambuka maupun Panutu sedang menimbang-nimbang jurus-jurus apa yang sebaiknya segera dikeluarkan. Dalam beberapa gebrakan barusan telah terlihat bahwa masing-masing telah berhasil memecahkan serangan lawan. Jadi tidak ada lagi gunanya menggunakan gerakan yang telah dapat ditebak dan telah dapat diatasi dengan mudah oleh lawan. Mungkin unsur kejutan lebih berguna di saat ini. Lebih-lebih karena ilmu mereka memang setingkat. Seakan-akan saling mengerti keduanya tiba-tiba meloncat kembali ke tengah dan bertemu di udara dalam suatu benturan keras, "desss!!!" yang mengakibatkan Pambuka terlempar beberapa langkah lebih jauh dari Pambuka yang hanya perlu mengeser selangkah. Dalam benturan depan bobot tubuh memilki pengaruh besar. Dalam hal berat tubuh Pambuka jelas kalah dari Panutu. Ia tidak seharusnya mengadu keras lawan keras. Pambuka tampak mengusap sudut bibirnya yang telah mengeluarkan darah. Telah tumbuh luka dalamnya akibat gempuran terakhir tadi. Tenaga panas dan bergelombang dari Panutu dirasakannya mengalir menggetarkan kedua tangannya dan terus melaju ke dada. Dengan sedikit membuang ke arah samping, ia masih bisa menyelamatkan isi dada dan perutnya. Tapi untuk itu ia harus mengorbankan terlempar tiga empat langkah lebih jauh. Senyum tampak mengembang di wajah Panutu. Dari benturan tadi ia merasakan bahwa tenaga Pambuka tidaklah terlalu sulit untuk dibendung. Ia dapat dengan mudah mengatasinya. Hanya keluwesan dan kecepatan gerak Pambuka yang masih menjadi ganjelan baginya. Makanya tadi ia agak terkejut saat Pambuka menggempur keras lawan keras. Kuatir pula bila lawannya itu memiliki ilmu simpanan. Tapi ternyata tidak. Mungkin bermodalkan nekat Pambuka berencana mencoba menjajal tenaganya keras lawan keras. Pilihan yang salah. Akibat benturan itu telah dapat dilihatnya. Tapi belum Panutu berpikir lebih jauh, kembali Pambuka menyerangnya dengan serangan yang mirip. Keras, sederhana dan lurus. Bagai mengharapkan benturan depan dan kembali keras lawan keras. Tanpa jauh lebih berpikir Panutu segera menanggapi dengan kuda-kuda berat maju setengah langkah sambil menghentakkan kakinya. "Dharrr!!" lantai batu di bawahnya bergetar retak seiring dengan serangkum tenaga yang dihampurkannya lurus ke arah Pambuka. Kembali Pambuka mencoba melawannya dengan tenaga dan kecepatannya. "Degg!!" dan ia pun kembali terlempar tapi kali ini dengan posisi yang telah sigap berdiri. Lebih jauh ia terlempar dari benturan sebelumnya. "Apakah engkau berpikir dengan mengambil jarak lebih jauh, bisa menambah kekuatan seranganmu, Pambuka?" ucap Panutu yang masih belum merasakan hawa serangan Pambuka menyentuh dadanya. Lain dengan Pambuka yang telah dua kali sesak napasnya. "Siapa tahu..," ucap Pambuka pendek. Menarik napas dan kembali menyerang dengan cara yang sama. "Tak ada gunanya," jengek Panutu, "akan muncul hasil yang sama.." "Dherr!!" kembali kakinya menjejak sebelum ia memuntahkan Pukulan Meriam-nya yang disambut dengan pesatnya gerakan Pambuka yang seolah-olah menghadapinya dari depan. Dan... tak dirasakan benturan tenaga oleh Panutu... "Tidak..., ini..," ucapnya setelah baru menyadari bahwa serangan ini hanyalah tipuan. Pambuka telah 'menghilang' sebelum serangannya dimuntahkan. Dan yang ditumbuk oleh Pukulan Meriam-nya hanyalah sisa bayangnya yang segera buyar dan tidak memberikan tekanan balasan. Dan sebelum Panutu sempat mengolah tenaga lebih jauh, suatu kelemahan Pukulan Meriam yang habis tenaganya di satu serangan dan butuh waktu untuk mengisinya kembali, Pambuka telah tiba di depannya. Tiba dalam jarak yang benar-benar lekat. Kurang dari selengan panjang. Panik segera mengisi perasaan Panutu, bahwa Pambuka akan segera menjatuhkan tangan mautnya. Beberapa pukulan sempat ia tangkis dengan tenaga seadanya, karena belum pulih. Tapi totokan-totokan selanjutnya tak bisa ia singkirkan. Dalam suatu gempuran terakhir Panutu terdorong dua tiga langkah dan ujung bibirnya terlihat mulai memerah. Nafasnya pun sesak. Udara terasa miskin untuk dihirup dan pandangannya mulai terlihat gelap. Luka dalam. Ia telah terluka akibat totokan-totokan terakhir itu. Lawan yang baru saja memperoleh kemenangan itu juga tidak berada dalam kondisi baik. Ia tampak pucat dan lebih putih dari sebelumnya. Mungkin mengalahi putih rambutnya. Kembali pula ia mengusap ujung bibirnya yang kembali berwarna merah. Warna dari darah yang menyembur dari dadanya yang sesak. Walaupun oleh Pukulan Meriam ketiga ia tidak berbentur langsung, tapi luka dari pukulan sebelumnya telah merusak kemampuan ia bernafas dan mengalirkan tenaga. Pemaksaan untuk gerak terakhir, menghilang dan menyerang dengan totokan-totokan telah membuat tubuhnya melewati batas lelahnya. Keduanya tampak terdiam. Menarik napas masing-masing dan berpikir apa pertarungan harus dilanjutkan sampai seorang dari mereka tidak lagi bernyawa. Atau... Tiba-tiba terdengar panggilan seseorang, "Paman Panutu...., paman Panutu..., di mana engkau?" Segera berobah wajah Pambuka. Satu lawan baru sudah terlalu banyak baginya. Segera ia mengempos tenaganya yang masih tersisa untuk berlalu dari situ. Pergi melayang keluar dari halaman rumah paling besar dan indah di daerah itu. Bagian 13 Sama-sama Terluka Dengan napas terengah-engah sesosok bayangan tampak berlari terpincang-pincang di tengah kegelapan malam. Bulan yang tadinya ada samar-samar mulai tertutup awan sehingga semakin menghindari orang untuk melihat sosok itu berjalan tertatih-tatih. Ia tampak berpikir sejenak di suatu simpang jalan, ke arah mana ia akan menuju. "Tak mungkin ke rumah Arme," gumamnya, ".. belum saatnya ia tahu kejadian ini.., tapi.." Akhirnya setelah sedikit lama bergulat dengan pikirannya ia memutuskan untuk menuju tempat di mana ia dan Arme, seorang anak yang diajarnya, berlatih. Sebuah hutan kecil yang di salah satu sisinya terdapat sungai yang mengalir. Tak lama sampailah ia di tempat itu. Saat ini telah tengah malam lewat sejak pertarungan dengan lawannya tadi. Orang yang sudah lama ia kenal. Orang yang dulu dekat dengannya. Ia pun menghela napas saat mengingat waktu-waktu lalu di mana mereka berdua menghabiskan waktu belajar ilmu-ilmu dari guru mereka. Waktu yang indah menurutnya. "Sekarang bukan saatnya bernostalgia," tiba-tiba sebuah pikiran menyadarkannya. Segera ia beranjak dari situ, menyeberangi sungai melalui sebuah batang pohon yang melintang rebah dan segera tiba di tepi hutan di seberang sungai. Seperti memperhatikan dan mendengarkan sesuatu, kemudian ia pun bergerak dan lenyap di balik semak-semak yang tumbuh di dalam hutan itu. Hening setelah desah napas terengah-engah itu lenyap di telan malam dalam kerimbunan hutan. Sementara itu jauh dari sana di sebuah halaman rumah besar di daerah itu, seorang tua bertubuh subur dan besar tampak berjalan tertatih-tatih disanggah seorang pemuda yang memperhatikannya dengan kuatir. "Paman Panutu, apa yang terjadi? Dengan siapa paman bertarung tadi?" Menggeleng-geleng saja orang tua yang dipapah itu sebagai tanggapannya atas pertanyaan sang pemuda. "Lupakan saja.. lupakan saja..," ucapnya pelan sambil menahan sakit di dadanya. Totokan-totokan Pambuka, lawannya tadi, melukai isi dadanya. Luka yang jelas tidak ringan saja. "Perlu dipanggilkan tabib, paman?" tanya pemuda itu setelah merebahkan orang tua itu di atas dipannya. "Tidak perlu.. Tinggalkan saja aku dulu..," ucapnya pelan, ".. nanti aku.. bila butuh bantuan.." "Panggil saja aku bila paman Panutu butuh sesuatu," potong pemuda itu demi melihat sulitnya orang tua itu berbicara. Panutu hanya mengangguk lemah. Ia kemudian menutup matanya dan mencoba beristirahat. Pemuda itu segera keluar dan menutup pintu kamar itu dengan perlahan. Bagian 14 Masa Seratus Hari "Paman...!" ucap Arme perlahan saat ia melihat sesosok tubuh yang dikenalinya tampak bersila dengan wajah yang pucat di sebuah batu di dalam hutan itu. Tempat di mana ia sering berlatih sendirian, sejak orang yang bersila di hadapannya itu berpisah dengannya. Tak dinyana ia kembali bertemu dengan orang tersebut, yang terlihat tidak dalam kondisi yang baik. Ya, Arme sedikit banyak telah dapat membedakan antara seorang yang bersila menghumpulkan hawa murni dan seorang yang sedang dalam upaya mengobati dirinya. Orang di hadapannya ini sedang berada dalam keadaan kedua. Ini terlihat dari uap putih di atas ubun-ubunya, yang melayang halus, mukanya yang pucat dan bulir-bulir keringat yang terlihat membasahi sekujur tubuhnya. Orang yang sedang mengumpulkan hawa murni tidak akan berkeringat seperti itu. Dan yang pasti mukanya akan terlihat merah muda dan segar. Tidak pucat seperti ini. Tidak mau mengganggu konsentrasi orang tersebut, yang dapat membahayakan diri orang yang sedang bersemedi, Arme pun beranjak dari situ. Tak terlalu jauh. Ia pun kemudian mulai melakukan latihan-latihan seperti yang dulu diajarkan. Perlahan-lahan dan kemudian semakin cepat. Berpindah dari satu kaki ke kaki lain. Merunduk, meloncat, berguling dan sebagainya. Setelah itu ia mulai melengkapi gerakan-gerakannya dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan sebagaimana diajarkan oleh seorang bertubuh subur dan besar yang mengajarnya bela diri bersama-sama dengan Reiche di rumah temannya itu. Tak terasa waktu pun berlalu dan Arme semakin larut dalam latihannya. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengusik rasanya. Serangkum hawa terasa menjelangnya dari belakang. Segaera ia bergeser untuk melihat apa atau siapa yang melakukan tersebut. Sekelebat bayangan tampak dari sudut matanya. Tapi saat ia berputar untuk matanya menangkap bayangan tersebut, kembali ia hanya melihat sisanya dari sudut mata. Begitu pula saat ia membalik arah putaran dirinya dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Si bayangan seolah-olah tahu di akan berputar ke arah mana. Suatu ingatan akan seseorang mengusiknya. Segera ia mengalihkan pandangannya ke arah tempat orang yang dipanggilnya paman tadi bersila, sekilas terlihat kosong tapi kemudian berisikan orang yang tampak sedang berkonsentrasi. Segera saja Arme tersenyum, "Paman..., jangan bergerak terlalu keras! Paman 'kan sedang terluka.." Sosok yang sedang bersila tersebut tampak menyunggingkan senyum dan lalu membuka matanya, "Cerdik juga engkau memeriksa kembali apa aku ada di tempat atau tidak. Jika tidak pasti engkau tidak bisa menebak siapa yang tadi mengusikmu." Arme hanya mengangguk-angguk mengiyakan. Ia senang bahwa sang paman telah berbicara dan terlihat lebih baik dari tadi. "Apa yang terjadi, paman?" tanyanya perlahan. Ia tahu bahwa orang yang mengajarnya ilmu Menanti Mata Berkedip ini menyimpan banyak rahasia darinya. Dan pertanyaan ini belum tentu dijawabnya dengan suka-rela. Tampak orang itu terdiam mendengar pertanyaan tersebut. Ia tampak berpikir. Mungkin sedang memutuskan apa yang hendak dikatakan dan apa yang tidak hendak dikatakannya kepada Arme. "Aku berbenturan dengan seseorang.. bertarung..," ucapnya akhirnya. "Ah!! Dan paman terluka karenanya?" ucap Arme. Orang tua itu mengangguk. "Jangan tanya dengan siapa aku bertarung dan mengapa!" jelasnya sebelum Arme sempat membuka mulutnya untuk bertanya lebih lanjut. "Tapi aku minta engkau memperhatikan sesuatu," kata orang itu kemudian. "Apa itu, paman? Harus memperhatikan apa?" tanya Arme tidak mengerti. "Bahwa dalam seratus hari kedepan kabarkan padaku bila ada hal-hal aneh, luar biasa atau apa saja yang tidak umum, yang engkau dengar. Boleh dari mana saja, ayahmu, gurumu di perguruan tulis-menulis, rekanmu Reiche, guru beladirimu di rumah gedong itu, orang-orang desa. Pokoknya siapa saja," ucap orang itu sambil sesekali menahan napas. Terlihat bahwa berbicara banyak menimbulkan rasa sakit di dadanya. "Baik, paman!" ucap Arme patuh. Ia semakin tidak mengerti apa hubungannya antara kabar yang luar biasa dengan terlukanya orang itu. Tapi ia diam saja dan menanti penjelasan atau percakapan selanjutnya. "Aku lihat engkau telah berkembang pesat dalam gerakan. Serangan-serangan barusan itu hasil pengajaran gurumu di rumah gedong itu?" tanya sang paman. "Iya, paman! Semoga paman tidak keberatan..," ucapnya. Ia tahu bahwa ia belum meminta ijin pada orang itu untuk berguru pada orang lain. "Tidak... tidak!! Sudah pasti aku tidak berkeberatan..!" ucap orang itu cepat. "Engkau harus belajar ilmu apa saja dari siapa saja. Meramunya dan menciptakan ilmumu sendiri suatu saat. Itu baru pengkristalan ilmu sejati." "Ya, paman!" jawabnya tak mengerti perihal 'pengkristalan ilmu sejati'. "Dan engkau boleh memanggilku sekarang dengan nama Pambuka..," ucapnya pelan. "Ya, paman... Pambuka," ucap Arme pelan. Agak aneh, karena biasanya ia hanya memanggil 'paman' saja kepada orang itu. "Sekarang tolonglah aku untuk mencari bahan-bahan ini untuk mengobati lukaku ini," katanya sambil mengangsurkan sebuah catatan, yang di atasnya tertulis bahan-bahan obat berupa daun-daun, akar dan biji-bijian. "Dibeli atau dicari, paman Pambuka?" tanya Arme mengingat ia tak punya banyak uang untuk membeli apapun. "Ah, aku lupa!" ucap orang itu. Segera ia merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam tigaan perunggu. "Gunakan ini, dan juga beli makanan untuk beberapa hari!" Lalu ia menjelskan di mana sebaiknya Arme membeli bahan-bahan dan makanan agar tidak dicurigai orang. Di desa sebelah mungkin lebih baik, di mana Arme tidak begitu dikenal. Dan ia meminta Arme untuk beberapa hari ini bermalam bersamanya di hutan itu. Ada hal yang harus diselesaikan dan diceritakan. Dan sudah mepet waktunya jelas orang itu. Arme hanya menggangguk dan berkata bahwa ia harus meminta ijin dari ayahnya dulu. Jika tidak bisa mencurigakan bahwa ia beberapa hari tidak pulang. Untuk itu Pambuka mengatakan bahwa tidak akan ada masalah, ia bisa membuatkan surat kepada guru Arme di perguruan tulis menulis agar mengadakan semacam 'kegiatan diskusi malam'. Paginya sudah tentu Arme bersekolah seperti biasa. Arme kembali hanya mengangguk. Ia masih bingung bagaimana bisa Pambuka meyakinkan gurunya di sekolah bahwa ia akan memberikan surat keterangan kepada ayahnya bahwa ia boleh bermalam di hutan ini. Tapi ia hanya diam saja dan menerima saat Pambuka memberikan sebuah batu putih pipih berukir lambang-lambang. Kecil hanya selebar dua ibu jari dan berpanjang dua kali lebarnya. "Tunjukkan saja ini!" kata Pambuka, "sedangkan soal suratnya, engkau karang sendiri saja. Lebih bagus engkau yang menulis kiranya." Arme kembali hanya mengangguk mengiyakan walaupun hatinya masih menyimpan banyak pertanyaan. Bagian 15 Berangkat Bermalam di Hutan Ajakan pulang Reiche yang biasanya diterima Arme ditolaknya engan halus dengan alasan ia ingin berbicara dengan gurunya soal pelajaran tadi. Dan saat Reiche hendak menunggunya ia mengatakan bahwa hal tersebut akan lama, sebaiknya Reiche pulang saja. Ia juga menitip pesan kepada paman Panutu bahwa dalam beberapa hari ini tidak ikut belajar beladiri di rumah Reiche. Alasan tapi tidak diberikannya. Reiche yang mendengar itu hanya mengangkat bahu. Ia dan Arme sama-sama saling tahu bahwa antara mereka banyak terdapat rahasia dan satu tidak akan mendesak yang lain. Setelah mengangguk mengiyakan ia pun pulang. Dalam hatinya Reiche masih bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan Arme dan bolos tidak latihan kok bertepatan dengan terlukanya paman Panutu. Saking aneh dan kebetulannya Reiche sampai lupa memberitahu Arme bahwa sampai dua minggu ke depan tidak ada dulu latihan beladiri di rumahnya. "Ada apa, Arme?" ucap orang yang sedari tadi ditunggu oleh Reiche demi melihat muridnya itu masih berdiri di luar kelas saat ia hendak menuju ruangannya. "Ada sesuatu yang hendak saya bicarakan..," ucap Arme perlahan. Ia tidak ingin teman-teman sekolahnya yang masih banyak berseliweran mendengar percakapan mereka. Melihat sikap yang agak 'rahasia' ini sang guru pun mengajaknya untuk membicarakannya di dalam ruangnya. Guru-guru di perguruan tulis menulis memiliki ruang kerja sendiri-sendiri yang berupa rumah-rumah kecil dengan satu dan lain rumah dipisahkan oleh taman kecil atau kolam kecil. Mereka rata-rata adalah penulis dan penulis memerlukan ketenangan. Oleh karena itu tempat kerja mereka ditata sedemikian rupa sehingga mendatangkan ketenangan dan ditempatkan di atas bukit di belakang bangsal tempat pengajaran berlangsung. "Baik, katakanlah sekarang!" ucap sang guru setelah mereka berada di dalam ruang kerjanya. "Saya ingin meminta surat dari guru Panengah ditujukan kepada ayah saya, bahwa saya selama beberapa hari ini akan bermalam di hutan. Paginya saya akan tetap bersekolah seperti biasa. Hanya malamnya saja di hutan. Dan ini dikaitkan dengan sebuah tugas dari guru Panengah," ucapnya. Terasa kata-katanya agak aneh dan kering. Ia sendiri juga merasa aneh atas permintaan gurunya Pambuka soal ini. Tapi mau tak mau ia pun melakukannya. "Permintaan yang aneh," ucap gurunya. Suatu reaksi yang sudah diduga oleh Arme. Dan sebelumnya gurunya itu menanyakan perihal mengapa ia hendak bermalam di hutan, Arme mengangsurkan batu pipih putih berukir yang diteriman dari Pambuka. Segera terlihat perubahan raut muka Panengah, gurunya itu. "Baik akan aku buatkan surat itu, atau engkau sudah memilikinya tinggal aku salin dan tanda-tangan?" ucapnya setelah terdiam sesaat. Arme pun mengangsurkan selembar kertas berisi tulisan. Panengah membacanya sekilas, mencoret beberapa kalimat dan menggantinya dengan kalimatnya sendiri. Lalu ia mengambil selembar kertas kosong, menyalin dengan cepat kalimat-kalimat yang telah diubahnya itu dan menandatangani surat ijin dan juga menyertakan cap di atasnya. Lalu diberikan surat itu kepada Arme setelah dilipatnya. "Hati-hati engkau di hutan nanti!" ucapnya sambil mengembalikan batu putih pipih yang tadi sempat ditimang-timangnya. Arme mengangguk walau semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini. "Pergilah!" ucap guru Panengah, "Persiapkan dirimu untuk 'diskusi malam' di hutan nanti." "Baik, guru. Terima kasih!" ucapnya lalu mohon diri. Di rumah tak banyak pertanyaan dari ayahnya. Orang tua itu selalu memperbolehkan Arme melakukan apa yang diminta oleh sekolahnya. Ia berharap banyak bahwa Arme akan mendapatkan pengetahuan dan pendidikan yang baik, sehingga tidak perlu hidup susah seperti dirinya. Ia pun hanya membaca sekilas surat dari guru Panengah dan mengangsurkan kembali kepada anaknya, "Simpan saja olehmu! Bersama ayah, bisa hilang nanti" Mereka pun kemudian makan bersama. Tak lama setelah itu Arme pun bergegas keluar untuk pergi ke hutan. Ayahnya berpesan agar ia hati-hati dan banyak-banyak mengambil manfaat dari kegiatannya itu. "Apa yang ditugaskan kepadamu, pasti ada nilai baiknya," begitu pesannya. Arme mengangguk mengiyakan. Dan ia pun berlalu menuju hutan di mana gurunya Pambuka menunggunya. Bagian 16 Malam di Tengah Hutan "Guru... di mana engkau..," panggil Arme perlahan saat ia telah tiba di tempat ia biasanya berlatih. Tempat di mana kemarin ia menemukan gurunya dalam keadaan terluka. Hening tak ada jawaban. Angin malam membelai pelan membuat daun-daun saling berbisik. Tiba-tiba terdengar lirih suara gurunya, "Masuk lebih jauh sedikit sampai ada sungai kecil.. ikuti sampai ke hulu.." Bergegas Arme mengikuti petunjuk suara gurunya. Rupanya guru Pambuka telah berpindah tempat sejak kemarin mereka bertemu. Mungkin dengan alasan makin ke dalam hutan akan semakin baik dan tidak diganggu orang. Arme pun berbegas mengikuti sungai kecil, jauh lebih kecil dari sungai di pinggir hutan. Terus ia berjalan menyusuri ke arah hulu. Di kiri kanannya tampak semak-semak melebar tinggi. Bila tidak tahu posisi tepatnya sungai tersebut, akan sulit menemuinya dalam hutan ini. Tersembunyi di balik daun-daun yang melebat. Tak berapa lama sampailah Arme di suatu lapangan kecil yang berada tak jauh dari sungai kecil tersebut, yang masih jauh menghilang di dalam kegelapan malam. Cahaya apilah yang menariknya ke arah lapangan kecil tersebut. Suatu lapangan yang tampak baru dibuat. Gurunya, Pambuka tampak duduk di tepi sebuah api kecil yang hendak ia besarkan. "Di sini kurasa sudah cukup jauh ke dalam hutan. Semoga tak ada yang melihat api ini dari arah desa," ucapnya pelan seperti kepada dirinya sendiri. Arme hanya mengangguk dan meletakkan barang-barang pesanan gurunya di pinggir api tersebut. Ia pun kemudian duduk dan menunggu hal apa yang akan dilakukan gurunya sehingga memerlukan dirinya untuk beberapa hari menemaninya di tempat itu. Di tengah hutan di pinggir desa. "Ada kejadian aneh di desa atau di tempat lain," tanya gurunya, "yang engkau dengar?" Arme menggeleng saja. Ya, ia tidak mendengar berita apa-apa yang dianggapnya aneh. "Atau ada berita apa yang disampaikan orang-orang..? Atau ceritakan saja apa yang engkau alami dan dengar.." pintanya kemudian Arme tampak bingung, lalu dengan perlahan ia menceritakan apa yang diminta. Gurunya tampak mendengarkan sambil sesekali menyela untuk menanyakan sesuatu. Jika orang bercerita, kadang berbeda penekanannya dengan yang mendengar. Setiap orang boleh jadi secara sadar akan memilih sendiri titik berat dari ceritanya. Demikian pula dengan Arme. "Menarik bahwa ada yang terlambat pulang dari mengembalakan kambing-kambingnya," ucap gurunya kemudian setelah semua cerita selesai ditumpahkan. "Itu berita aneh?" tanya Arme ingin tahu. "Tidak, bila dalam keadaan biasa," jawab gurunya. "Maksud guru?" tanya Arme dengan semakin bingung. "Sebelum aku jawab, kelihatannya engkau sekarang sudah terbiasa memanggilku 'guru', ya?" katanya sambil tertawa, "Apa sebabnya?" "Eh... itu kebiasaan dari sekolah, orang yang mengajar dipanggil guru," ucapnya perlahan. "Tak apa-apa," jawab Pambuka, "tapi ingat pesanku, akuilah aku guru jika bermanfaat bagimu di luar sana. Akan tetapi jika malah membahayakan dirimu, ingkari saja. Bagiku sebutan itu tak penting." Arme mengangguk mengiyakan. "Baiklah, aku berhutang banyak cerita kepadamu," ujarnya. Lalu ia pun mulai bercerita setelah ia meminum ramuan obat yang telah dibuatnya dengan bahan-bahan yang baru saja dibawakan oleh Arme. Angin pun berhenti berhembus. Jengkerik terdiam sunyai. Awan pun menipis. Semua seakan-akan bersiap mendengarkan cerita yang mengalir perlahan dari mulut Pambuka. Bagian 17 Air Lawan Api "Jadi itu sebabnya masa seratus hari itu penting, guru?" tanya Arme berusaha meyakinkan apa yang baru saja diceritakan oleh gurunya itu. Pambuka mengangguk. "Benar! Oleh sebab itu aku minta engkau mendengar-denger apa yang terjadi dalam seratus hari ini sejak aku terluka kemarin," jawabnya. Mengangguk-angguk Arme mendengar penjelasan Pambuka. Terjawab sudah sedikit keinginantahuannya mengapa dalam masa tersebut ia harus memperhatikan kabar-kabar di sekelilingnya. "Sekarang tidurlah, aku akan matikan apinya!" ucap Pambuka. "Mangapa harus dimatikan, guru?" tanya Arme ingin tahu. Ia tidak takut tetapi akan lebih nyaman tentunya tidur dengan api yang menyala dekat mereka. "Tubuh saat tidak terkena cahaya akan mengeluarkan zat-zat yang diperlukan untuk mengobati bagian-bagian yang rusak. Melantonin orang sebut zat itu. Beberapa pengujar telah mengamati dan mencatat hal itu. Selain itu udara hasil pembakaran ini tidak baik bagi paru-paru kita. Tidak sadar kita akan menghirupnya secara dalam saat kita tidur," jelas gurunya. Arme mengangguk mendengar penjelasan gurunya. Penjelasan yang masuk akal. Mereka pun kemudian merebahkan tubuhnya. Hanya saja Arme tidak dapat langsung tidur. Bukan disebabkan oleh situasi di mana mereka berada, melainkan cerita yang baru saja dilantunkan oleh Pambuka, gurunya. Suatu cerita yang membuatnya semakin bersemangat untuk belajar beladiri lebih lanjut. Saat ini ia baru belajar ilmu untuk menghindari serangan dan sedikit menyerang dari guru bersama ia dengan Reiche. Ia ingin bener-benar belajar ilmu beladiri sebenarnya sehingga bisa sehebat gurunya, Pambuka. "Alam ini dipercaya oleh para pengujar tersusun atas empat elemen. Air, api, udara dan tanah begitu mereka menamakannya," jelas gurunya tadi. "Atas elemen-elemen itulah para pengujar beladiri menggubah ilmu-ilmu mereka, menirukan sifat-sifat alam dan mengejawahntahkannya dalam gerak tubuh dan aliran tenaga dalam." Arme mendengarkan dengan tekun uraian tersebut. Falsafah yang mendasari gerakan beladiri ternyata memukai hatinya, jauh melebihi ujar-ujar akan sikap hidup dan juga ilmu sastra yang selama ini dipelajarinya di perguruan tulis-menulis. Ilmu beladiri ternyata tidak hanya buk-bak-bik-buk dengan kepalan dan tendangan belaka. Ada pemikiran yang melandasi mengapa gerakan ini begini dan mengapa begitu. Sudah tentu di samping kegunaannya yang ringkas dalam menyerang dan bertahan. "Ilmuku lebih bersumber pada elemen udara atau juga sering disebut angin. Juga ilmu yang engkau pelajari. Dengan memanfaatkan sifat-sifat udara orang dapat berberak dengan bebas tanpa beban. Lihatlah udara di sekeliling kita ia bergerak bebas ke atas ke bawah tanpa harus mengeluarkan tenaga," jelas gurunya lagi. "Selain itu aku juga memiliki ilmu berdasarkan elemen air. Hal-hal yang mengalir dan juga bersifat dingin. Atas dua unsur inilah ilmu yang aku miliki dikembangkan dulu kala oleh guru dari guru dari guruku, Rancana si Bayangan Menangis Tertawa." Bagi Arme menjadi semakin jelas bahwa Menanti Mata Berkedip adalah bentuk dasar dari ilmu menghindar menggunakan sifat udara. Bila aliran hawa udara telah dimiliki tidak lagi seseorang perlu menanti mata lawannya untuk berkedip. Perbedaan tarikan napas atau perubahan lainnya yang menandakan seseorang sekejap tidak dapat memantau lawannya, segera dapat dimanfaatkan untuk menghilang dan bersembunyi di balik sudut mati mata. Untuk pemula, memang Arme sebaiknya mengamati mata. "Banyak variasi dari keempat elemen dengan takaran-takaran yang berbeda. Dari sifat-sifat tersebut turunlah berbagai jenis ilmu beladiri dan juga ilum-ilmu lain. Termasuk di dalamnya adalah tulis-menulis yang engkau pelajari itu," ucap gurunya kemudian. Demi melihat bahwa Arme tampak tak percaya bahwa ilmu tulis-menulis memilki kekerabatan yang tidak jauh dari ilmu beladiri Pambuka hanya tersenyum, lalu tambahnya, "Untuk yang satu ini aku tidak dapat menjelaskan. Suatu saat engkau akan bertemu dengan guru lain yang mungkin bisa menjelaskannya." "Guruku, dari hasil pencariannya kemana-mana dan berlama-lama dalam akhir hidupnya, berhasil menciptakan apa yang disebut sebagai pukulan Seratus Hari. Suatu pukulan yang tidak ramah terhadap lawan yang terluka karenanya. Dengan pukulan ini seseorang akan mencari tahu unsur elemen apa yang dipunyai lawan, yang menjadi bagian terbesarnya, dan melawannya dengan elemen lawannya. Engkau tahu lawan air adalah api dan lawan udara adalah tanah," berkata Pambuka. "Musuh yang terluka memiliki waktu seratus hari untuk sembuh atau tidak sama sekali." "Dan.. guru telah bertarung menggunakan pukulan itu? Sehingga lawan guru terluka dan...," ucap Reiche tak dapat membayangkan seseorang yang bergulat dalam mempertahankan nyawanya dalam seratus hari. "Benar! Tapi tidak hanya itu, lawanku itu pun telah memuntahkan pukulan yang sama terhadapku," jawab gurunya sambil terlihat agak murung, "Kami sama-sama terluka dan hanya punya waktu seratus hari untuk sembuh atau pergi dari dunia ini." "Jika ilmu guru berdasarkan elemen air dan angin, berarti lawan guru itu.. air dan..," tebak Arme. "Tidak harus mutlak lawan dari keduanya. Bisa salah satu saja. Sejujurnya lawanku itu adalah adik perguruanku sendiri," ucap Pambuka sedih. "Kami sama-sama mewarisi gerakan-gerakan berdasarkan elemen angin dari guru kami akan tetapi jika aku kemudian mempelajari elemen air yang juga merupakan ilmu guru, dia mempelajari elemen api yang entah diperolehnya dari mana. Ia mendengar bahwa api dapat mengalahkan air dan ia ingin mengalahkanku." Termenung sejenak Pambuka. Kisah masa lalunya tidak terlalu mengggembirakan untuk diceritakan. Atau setidaknya ia tidak bangga akan hal itu. "Mengapa kami bersaing, sebaiknya tidak aku ceritakan. Itu tidak ada sangkut-pautnya dengan aku menurunkan ilmuku kepadamu," ucapnya kemudian setelah berpikir sejenak. Agak muram wajahnya ketika mengingat penyebab perseteruannya. Terdiam Arme mendengarkan penjelasan gurunya. Itu rupanya salah satu sisi buruk ilmu beladiri. Saudara seperguruan yang bagai saudara bisa baku hantam karena suatu hal. Tapi ia tidak segera bisa menilai. Ia tidak tahu apa sebab tersebut. "Jelasnya, ia menggunakan Pukulan Meriam. Memuntahkan hawa api ke dalam tubuh lawan. Menggetarkan isi perut dan jantung. Aku telah berusaha menghindar dengan Bulu Angsa Dihembus Angin, gerakan terakhir dari Menanti Mata Berkedip," terang Pambuka, "Dengan mengulang-ulang gerakan yang sama sehingga ia terus menerus mengeluarkan Pukulan Meriam, ia menjadi tak siap saat aku menghindarinya. Menyelinap masuk dan memberikan totokan-totokan ke tubuhnya. Menyalurkan tenaga air untuk merusak aliran hawa api miliknya. Ia berhasil kulukai setelah sebelumnya aku sendiri terluka." "Lalu di mana seratus harinya, guru?" tanya Reiche ingin tahu. Ia tidak melihat kaitan dari nama itu dengan serangan-serangan gurunya. "Menggunakan elemen berlawanan dalam menyerang adalah sudah unsur pukulan Seratus Hari, tapi dimasukkan sehingga lawan terluka. Keras lawan keras," jelas gurunya. "Aku terkena akibat Seratus Hari karena ingin menjebaknya sedangkan ia terkena akibat tak siap mengunci hawa totokanku." Mengangguk-angguk Arme mendengarkan penjelasan gurunya. "Jadi Air lawan Api...," ucapnya tanpa sadar. "Tepat!!" ucap gurunya. Senang ia melihat bahwa muridnya telah dapat menangkap apa yang ia ceritakan. Tanpa terasa Arme membayangkan bagaimana gurunya dan sang lawan bertarung. Berkelebat sana-sini serta saling lempar pukulan dan tendangan sampai keduanya terluka. Tanpa sadar ia pun mengantuk dan akhirnya tertidur. Bagian 18 Mengendalikan Air "Arme, bangunlah! Engkau harus sekolah!" ujar Pambuka perlahan menggugah tubuh Arme yang masih tampak meringkuk tertidur tak jauh dari bekas api unggun di tengah lapangan kecil tersebut. "Sekolah?? Di mana aku??" ucap Arme perlahan dengan nada bingung. Ia lupa bahwa sejak malam kemarin ia telah tinggal bersama Pambuka, gurunya di dalam hutan di luar desanya. "Engkau berada di dalam hutan bersamaku," jelas gurunya sambil tersenyum demi melihat Arme yang masih mengantuk itu. "Ah iya.. aku lupa..," ucapnya malu. Setelah duduk dan mengucak-ucak matanya ia kemudian berkata, "Saya pikir tidak harus bersekolah saat menemani guru di hutan ini?" "Tentu saja tidak! Engkau harus tetap sekolah," ucap gurunya. "Hanya saja engkau bermalam di sini. Malam nanti akan kita mulai sesuatu yang harus segera dilakukan. Dan bagaimana bisa engkau mendengarkan kabar-kabar dalam seratus hari ini bila engkau tidak pergi ke sekolah?" "Ah, betul! Mendengar kabar-kabar," ucapnya lagi. Teringat akan cerita gurunya kemarin malam. "Ini, sudah kubuatkan sarapan untukmu. Makanlah!" ucap Pambuka seraya menunjuk sebuah mangkok kayu kosong dan sebuah kuali besi yang di dalamnya tampak semacam bubur masih mengepulkan asap. Baru saja dimasak. "Apa itu paman?" tanyanya ingin tahu. "Bubur dari umbi dan buah yang kutemukan di sekitar sini. Makanlah! Baik untuk kesehatanmu yang mulai hari ini akan tidur larut malam," ucapnya seraya mengisi mangkoknya sendiri dengan bubur tersebut. Keduanya kemudian makan tanpa berkata-kata lagi. Setelah itu Arme pun pamit dan berangkat ke sekolah seperti biasanya. Belajar di perguruan tulis-menulis, mendengarkan kabar-kabar dan sebentar pulang menengok ayahnya. Menjelang senja kembali ia ke hutan tempat ia akan kembali menemani gurunya yang sedang terluka. "Guru!" panggilnya. "Di sini Arme, di balik pohon besar itu!" ucap gurunya dari kejauhan. Bergegas Arme mengikuti suara itu dan sampailah di suatu lapangan kecil lain yang tampaknya baru dibuat gurunya. Lebih kecil dari tempat mereka bermalam. Di sekeliling tanah tersebut terdapat secarik-carik aliran air. "Tempat yang cocok untuk mulai berlatih," kata gurunya. "Cukup banyak air, tapi tidak terlalu banyak." Arme hanya terdiam memperhatikan apa yang akan selanjutnya dilakukan oleh Pambuka. "Sudah siap?" tanya Pambuka kemudian setelah ia mempersiapkan kayu bakar dan mulai menyalakannya. Saat itu matahari telah mulai pergi dari kaki langit. Menghilang dan meninggalkan kegelapan di atas kepala. Arme hanya mengangguk. Lalu ia pun kemudian duduk setelah gurunya memerintahkan. Keduanya duduk berhadapan bersila dan saling memandang. "Aku akan tunjukkan dengan apa yang disebut Mengendalikan Air," jelas gurunya, "memanfaatkan air yang ada di sekeliling kita melepaskannya mengambang di udara dan menggerakkannya sesuka hati kita." "Mungkinkah itu, guru?" tanya Arme tidak percaya bahwa hal tersebut dapat dilakukan. "Lihat saja!" ucap gurunya tersenyum. Lalu ia pun mulai memperagakan bagaimana air yang ada di carik-carik di dekat mereka mulai perlahan mengambang membentuk kumpulan titik-titik di udara dan kemudian bersatu. Dengan memutar-mutar tangannya Pambuka mengendalikan titik-titik tersebut sehingga bergerak ke sana-ke mari seperti angin. Menggumpal, menyebar, naik, turun dan semacamnya. Setelah selesai memperagakan mulailah Pambuka mengajari Arme bagaimana mula-mula ia merasakan adanya air, mengeluarkan hawa tubunya untuk mencapai air yang ia rasa dan 'memanggil' air tersebut agar mau mengikuti kehendaknya. "Pertama-tama memang selalu sulit," ucap gurunya, "tapi cobalah terus.. pusatkan pikiranmu!" Dan waktupun berlalu saat guru dan murid berlatih bersama-sama itu. Angin bergemerisik di sela-sela daun dan burung-burung malam mulai berbunyi. Bagian 19 Sebuah Pembicaraan "Hai Arme!" "Hai Reiche!" Keduanya tertawa saat menyadari bahwa mereka hampir bersamaan saling menyapa. Saat itu siang sehabis pelajaran hari itu di perguruan tulis-menulis. Para murid pulang lebih cepat dari biasanya karena para guru ada kepentingan untuk membicarakan sesuatu. "Terburu-buru pulang?" tanya Reiche. "Tidak. Dan engkau?" bertanya balik Arme. Yang ditanya menggeleng. Keduanya pun tersenyum. Bertahun-tahun saling bersahabat membuat mereka kadang dapat saling meengerti tanpa saling terlebih dahulu mengucap. Dan saat ini mereka merasa membutuhkan waktu untuk bersama bermain, bercerita atau hal-hal lain yang biasa mereka lakukan bersama akan tetapi beberapa masa belakangan ini tidak dapat lagi dilakukan. Sebab yang masing-masing yang tahu. Rahasia yang dihormati oleh yang lain. "Bagaimana kalau kita ke toko paman Buecher?" usul Reiche kemudian setelah kesunyian menyelinap di antara mereka. "Usul yang bagus! Mari kita ke sana!" jawab Arme yang segera berlari. "Hei, tunggu aku!" ucap Reiche yang segera mengikuti. Keduanya pun kemudian tampak berkejar-kejaran keluar dari halaman sekolah, melintasi pasar dan akhirnya berhenti di ujung deretan toko-toko. Di sebuah rumah yang agak terpisah tampak sebuah toko buku yang mereka tuju. Satu-satunya toko buku di sekitar tempat tinggal mereka. Toko buku paman Buecher. Keduanya pun segera menghilang di balik pintu toko tersebut dengan disertai sorak-sorai gembira. Kegembiraan para kutu buku menemukan barang kegemarannya. Bagian 20 Menyelaraskan Titik Terendah "Tak terasa sudah sebulan berlalu..," ucap Pambuka suatu saat, ".. dan tidak terjadi apa-apa seperti yang aku takutkan..." Mengambang kata-katanya dalam kalimat yang tidak selesai itu. Arme yang mendengarkan mencoba untuk mengerti. "Apa yang seharusnya terjadi, guru?" tanyanya hati-hati. Ya, telah berulang kali ia mencoba bertanya, akan tetapi selalu Pambuka, gurunya, mencoba utuk tidak menjawab tuntas. "Orang itu -- yang betempur denganku -- memiliki sebuah ilmu simpanan yang aku belum tahu pasti, sempai mana ia telah menguasainya. Ilmu untuk mengobati luka dalam dirinya dengan memanfaatkan kehidupan lain..," jelasnya dengan nada seakan-akan sedang bicara pada dirinya sendiri. "Memanfaatkan kehidupan lain, guru?" tanya Reiche kembali. Kali ini dengan penekanan dalam kata-kata 'kehidupan lain' itu. "Lupakanlah... lupakanlah!!" ucap gurunya sambil menggoyang-goyangkan tangannya. "Bila aku sudah pasti, aku akan jelaskan kepadamu sejelas-jelasnya. Sejauh yang aku tahu," katanya kemudian. "Sekarang tetaplah dengar kabar-kabar yang berseliweran dan tidak normal." "Baik, guru!" jawab sang murid patuh. Setelah terdiam sesaat kemudian Pambuka mengajak Arme untuk melatih kembali Mengendalikan Air. Ia telah melihat bahwa muridnya telah bisa sedikit-sedikit menirunya. Tapi baru dalam keadaan duduk. Yang perlu malah orang harus dapat melakukan itu dalam keadaan apa saja, duduk, berdiri, berlari. Bila telah bisa, barulah ilmu itu dapat dimanfaatkan untuk bertahan dari atau menyerang lawan. "Sekarang kita melatihnya dengan berdiri," perintahnya kemudian setelah Arme berhasil memperagakan dengan baik Mengendalikan Air sambil duduk. "Baik, guru!" jawab Arme yang segera melaksanakan perintah Pambuka. Dalam posisi kuda-kuda sejajar, posisi kuda-kuda paling dasar dalam hampir tiap aliran beladiri, Arme mencoba lagi ilmu yang telah berhasil ia rapalkan dalam posisi bersila tadi. Gagal! "Sulit, guru!" katanya, ".. tenagaku tak mau keluar.. ini.." "Itu karena engkau masih menghimpunnya dalam ketinggian pusat saat engkau bersila tadi," jelas gurunya yang melihat jelas kesalahan muridnya. "Saat berdiri, pusat tenaga tetap di bawah pusat, bukan sejengkal dari atas tanah. Ingat sifat air yang selalu mencari titk terendah. Engkau harus angkat sedikit titik terendahnya sehingga sejajar dengan dua jari di bawah pusarmu!" Mengangguk Arme atas penjelasan gurunya. Ia pun segera mempraktekkannya. Sedikit mulai menampakkan hasil walaupun belum sesempurna hasil sebelumnya dalam posisi bersila. Tapi terlihat bahwa Arme mulai dapat mengerti. Lebih sulit ternyata karena ia harus memusatkan pikiran pada dua hal, menjaga titik terendah hawa dalam tubuhnya dan juga bentuk air yang dikendalikannya. "Bagus!" ucap gurunya, "Terus rasakan dan lakukan!" Beberapa saat pun berlalu dan Arme terlihat semakin bisa menjaga bentuk air yang diubah-ubahnya mengambang di udara. Menandakan bahwa ia telah bisa mengeluarkan dan mengandalikan tenaganya. Tiba-tiba gurunya datang mendekat dan menekan pundaknya. "Pyesss!!" hancur berantakan bentuk air yang tadinya mengambang, lepas kendali dan membuyar menghantam tanah. "Lakukan lagi, tapi aku akan mengubah-ubah tinggi rendah berdirimu!" perintah gurunya. Arme pun mengangguk mengerti. Dan mulai melakukannya lagi. Saat bentuk air yang dikendalikan mulai teratur, gurunya menekan perlahan pundaknya sehingga kaki-kakinya membentuk kuda-kuda yang rendah. Ia pun berusaha kembali menggeser titik terendah hawa air dalam tubuhnya. Saat telah berhasil kembali, pundaknya pun diangkat sehingga kembali ia sulit mengendalikan tenagannya. Berulang-ulang sampai ia mulai dapat merasakan posisi titik terendah hawa air dalam tubuhnya dan mulai dapat mengendalikannya sesuka hati lepas dari posisi tinggi rendah kuda-kudanya. "Bagus sekali, Arme!" ucap gurunya yang terlihat amat puas dengan kemajuannya hari itu. "Bila begini terus, minggu depat bisa kita mulai dengan kuda-kuda bergerak dan melompat." Arme hanya mengangguk. Pikirannya masih terpusat pada hawa air yang mengalir keluar masuk tubuhnya melalui tangan turun ke titik di bawah pusar dan kembali menggelung keluar dari tangan pada sisi yang berlawanan. Bagian 21 Pembicaraan Menjelang Pagi "Terima kasih engkau mau menuliskan surat ijin untuk Arme." ucap sebuah suara. "Terus terang aku kaget melihat lencana batu pipihmu itu," jawab suara yang lain, "tak kuduga engkau akan berlabuh di sini." "Itu belum semua.. ada yang lain pula..," kembali suara yang pertama berkata. "Maksudmu?" tanya lawan bicaranya. "Engkau sudah dengar pertarunganku?" tanya suara pertama tak langsung menjawab pertanyaan tersebut. "Aku bisa mengira-ngira..," jawab suara kedua mengambang. "Entah engkau terluka atau engkau hendak mewarisi suatu ilmu yang tidak boleh terhenti dan hanya bisa dilakukan malam hari.." "Aku telah bertarung dengannya," jelas suara pertama. Ia menekankan pada kata "nya" saat mengucapkan. "Tidak mungkin!" desis suara kedua. "Apa yang dicarinya di ini?" "Tidak tahu! Aku hanya kebetulan berbenturan saja dengannya. Dan ia memang telah bertambah maju sejak dulu menghilang," jawab suara pertama sambil menghela napas. "Tong-tong-tong!!" kentungan berbunyi tiga kali. Hari telah menjelang fajar. Satu-dua jam lagi matahari akan mulai nampak. "Sebaiknya aku pergi sekarang," ucap suara pertama. "Hati-hati!" ucap yang kedua. "Engkau juga. Dia walaupun tidak pernah berseteru denganmu dulu, tapi tetap engkau harus berhati-hati!" pesan suara pertama. Lawan bicaranya hanya mengangguk mengiyakan. Lalu dalam sekelebat orang pertama hilang dari tempatnya melalui jendela yang terbuka. Melesat. Orang kedua semakin kagum atas pesatnya ilmu dari orang yang baru saja pergi, walaupun ia melihat bahwa napas orang tersebut belum benar-benar pulih dari lukanya. Masih terdengar suara deru halus saat ia bernapas. Paru-parunya belum sembuh benar. Orang kedua pun menutup jendela kamarnya. Memadamkan lilin dan mencoba satu-dua jam tidur. Sebentar lagi murid-murid akan berdatangan untuk menuntut ilmu dan ia masih merasa letih setelah pembicaraan tadi. Perbincangan dengan orang dari dan mengenai masa lalu. Suatu masa dalam hidupnya yang masih mengejarnya sampai saat ini dan ke tempat ini. Bagian 22 Memanfaatkan Kehidupan Lain "Reiche..," panggil sebuah suara yang terdengar agak berat akibat luka dalam yang dideritanya. "Ya, guru Panutu," jawab seorang pemuda yang tampak duduk di dekat pembaringannya. "Sudah engkau dapat apa yang kupeksan?" tanyanya dalam nada suara yang lemah. Walaupun demikian tampak bahwa sorot matanya dan hawa keinginannya masih tampak kuat, yang membuat Reiche merasa tidak nyaman. "Sulit guru," ucap Reiche pelan. "Tidak mudah untuk mendapatkan seorang yang mau diambil darahnya.." Reiche tidak meneruskan kata-katanya. Permintaan gurunya untuk mendapatkan darah, tepatnya darah manusia, membuatnya kelimpungan. Ayahnya saat itu tidak ada di rumah dan baru bulan depan pulang. Mau tak mau Panutu adalah satu-satunya yang memiliki pengaruh terbesar di rumah itu sebagaimana ayahnya mempercayai dia. "Sudah pasti tidak ada yang ingin bila engkau menanyakannya," ujar gurunya dengan tidak sabar, "engkau paling tidak harus membohonginya. Akan diberi upah tinggi bila ia mau datang menemuiku." "Tapi guru..," ucap Reiche ngeri. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila ada orang yang bersedia menemui gurunya. Ia sendiri kadang-kadang menjadi tidak tenang berada di samping gurunya setelah ia menceritakan cara cepat untuk mengobati luka dalamnya itu. "Engkau tidak usah kuatir akan dirimu," ucap gurunya demi melihat Reiche yang tidak tenang, "Aku sudah pasti tidak akan menggunakan darahmu, darah muridku sendiri. Itu sebabnya aku minta engkau mencari orang untuk dikorbankan. Jika aku tidak selemah ini sudah pasti aku pergi sendiri." "Baiklah, aku akan minta paman pengasuhku untuk mencari orang-orang yang seperti guru minta," ucapnya pelan. "Aku telah bilang, engkau harus mengusahakannya sendiri. Semakin sedikit yang tahu semakin baik..," ucap Panutu dengan sedikit tidak sabar. "Iya, guru..," jawab Reiche dengan menunduk. Keesokan harinya setelah pulang sekolah bergegas Reiche menuju suatu simpang jalan di mana banyak orang-orang sering berkumpul, terutama orang-orang muda yang tidak jelas pekerjaannya. Mereka hanya menghabiskan waktu berdiam di sana dan berbincang-bicang sambil kadang diselingi minum-minum dan merokok. "Eh lihat itu, siapa!" ujar seorang dari mereka demi melihat Reiche celingak-celinguk tampak bingung. Ya, daerah itu bukan tempat mainnya, melainkan tempat yang sering ia hindari. Sebagai anak dari seorang beruang di desanya, bukan tempat kawan-kawan yang nyaman baginya untuk berdiam di sana. "Hei, kamu Reiche bukan?" ucap seorang dari mereka. "Bisa-bisanya kamu nyasar ke sini! Nanti dicari pengasuhmu!" Ucapan terakhir ini segera disambut gelak tawa anak-anak muda yang lain. Orang-orang yang usianya tiga-empat tahun lebih tua dari Reiche. "Aku.. aku..," ia berbicara agak tergagap, bukannya takut melainkan geram dengan penghinaan mereka. Dulu mungkin ia merasa takut, tapi setelah belajar dari guru Panutu ia merasa lebih berani dan yakin bakal dapat mengalahkan mereka jika berhadapan satu-satu. Sayangnya kelompok orang-orang seperti itu senangnya melakukan keroyokkan dan kabur bila salah seorang rekan mereka telah kalah atau sejajar dengan tanah. Ia tidak boleh sampai kehilangan kesabarannya demi tercapai tujuannya, mengajak seorang dari mereka untuk menemui gurunya. "Aku butuh pertolongan..," ucapnya perlahan. "Wah-wah, boleh juga nih!" ucap salah seorang dari mereka. "Ada bayarannya nggak?" menimpali yang lain. "Ya, benar! Ada bayarannya nggak?" sorai yang lain lagi. "Ada, tapi aku hanya butuh satu orang...," jawab Reiche kembali. "Wah jangan hanya satu dong, kalau bisa semuanya," ucap seseorang dari mereka. "Iya, supaya kita bisa dapet semua, sama-sama dapet tigaan," ujar yang lain lagi. "Sebenarnya pekerjaannya banyak, dua-tiga hari sekali, tapi setiap kali hanya butuh satu orang," jelas Reiche setelah ia menimbang-nimbang apa yang ia ucapkan. Dengan cara ini mereka-mereka ini bisa digunakan oleh gurunya. "Boleh-boleh!" ucap seorang dari mereka. "Jadi giliran siapa hari ini?" Masing-masing menunjuk dirinya. Semua ingin segera menerima tigaan yang segera dapat mereka gunakan untuk merokok dan minum-minum. Tak selintas pun terpikirkan oleh mereka pekerjaan apa yang harus mereka lakukan. Ya, tigaan membutakan mata mereka. Mereka akan melakukan apapun untuk memperolehnya. Tidak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi. Begitulah seorang dari mereka ikut dengan Reiche untuk 'bekerja' dengan imbalan tigaan, setelah terlebih dahulu diundi. Teman-temannya hanya melihat dengan iri, menunggu sampai giliran mereka tiba. Keduanya pun berjalan bukan menuju pusat desa melainkan ke arah luar. Ke arah perbukitan yang berseberangan dengan arah luar desa lain, hutan. "Eh, kita tidak menuju rumahmu?" tanya orang yang dibawa Reiche itu agak bingung. "Tidak! Pekerjaanya di sini, bukan di rumahku," jelas Reiche. "Sebenarnya apa sih pekerjaannya?" tanya orang itu. Suatu pertanyaan yang baru diajukannya sekarang dan bukan dari awal-awal tadi. "Menggali harta karun!" ucap Reiche pendek. "Menggali harta karun?" ucap orang itu hampir berteriak. "Sssstt!! Jangan keras-keras! Engkau tentu tidak ingin orang lain tahu, bukan?" ucapnya pelan. "Iya.. iya!!" mengangguk-angguk dengan keras orang itu kepalanya. Ya, harta karun pastilah berjumlah besar dan orang itu sudah membayangkan bagaimana ia akan memperolehnya. Sudah lupa ia tadi bahwa pekerjaan ini berlangsung tiap dua-tiga hari sekali dan satu orang. Tidak cocok dengan gagasan menggali harta karun. "Itu di sana!"" ucap Reiche sambil menunjuk sebuah bukit di mana seorang tua bertubuh subur dan besar telah menanti. "Hei, telah ada seseorang di sana!" ucap orang yang datang bersama Reiche. "Itu guruku! Ia yang tahu keterangan harta karun tersebut," jelas Reiche melanjutkan bohongnya. "Dan engkau dan aku yang akan menggalinya?" tanya orang itu. "Tepat!!" jawab Reiche cepat, kuatir orang itu segera curiga. Kemudian setelah memperkenalkan orang itu kepada gurunya, mereka lalu mengambil jalan sedikit lebih ke atas bukit sampai ke sebuah hutan kecil dengan banyak pohon-pohon yang tumbuh jarang. "Di sini, kita mulai menggali!" ucap Panutu. Segera Reiche dan orang yang dibawanya menerima alat-alat menggali dari Panutu dan mulai menggali. Tak berapa lama terkuaklah sebuah lubang besar yang cukup untuk menampung orang untuk dibaringkan. "Sudah cukup dalam, tapi mana hartanya?" ucap orang itu tidak sabar. Peluh telah meluluh dari sekujur tubunya. Ia tidak tahu saat tadi sedang asiknya menggali bahwa Reiche hanya berpura-pura, terlihat dari kurang berkeringatnya anak itu. "Kamu...!!" tanyanya dengan bingung. Dan sebelum ia berbalik untuk mencari Panutu, sebuah totokan mengenai tengkuk dan bawah ketiaknya. Ia pun berdiri kaku. "Bagu juga idemu!" ucap Panutu kepada Reiche. Orang yang tertotok kaku tersebut masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Menggali lubang untuk dirinya sendiri. Suatu penghematan." Mendadak terbesit kecemasan dalam benak orang itu demi mendengar '..lubang untuk dirinya sendiri..'. Segera wajahnya menjadi pucat pasi dan semakin banyak keringat bercucuran. Namun kali ini adalah keringat dingin. Seberkas rasa sakit menyerang lehernya. Ia tidak bisa melihat karena masih dalam kondisi kaku tertotok. Hanya rasa dingin dan denyut-denyut pada jalan darah di dekat leher yang semakin jelas dirasakannya. Tubuhnya terasa semakin lemas, dingin dan kesadarannya pun menghilang. "Sudah.., sudah cukup!" ucap Panutu demi melihat sejumlah darah dari orang itu memenuhi wadah kayu yang menampung cucuran darah dari lehernya oleh sebuah pipa besi berujung runcing. "Aku akan mulai dengan latihanku mumpung darah ini masih hangat. Engkau kuburkan ia di dalam lubang tersebut!" Reiche hanya mengangguk. Ia pun mendorong orang yang masih tertotok berdiri tersebut akan tetapi sudah tidak bernyawa itu. Berdebum jatuh bunyinya. Tepat di tengah-tengah lubang yang orang itu gali sendiri. Lalu ia pun mulai menutupi jasad orang itu dengan pasir dan tanah yang ada di sekelilingnya. Secepatnya, untuk kemudian menyusul gurunya. Bagian 23 Air Kehidupan Panutu dengan tubuhnya yang besar dan subur akan tetapi dengan wajah yang pucat tanpak bersila di tengah tanah lapang yang berumput pendek itu. Wajahnya kian bertambah mengerikan demi adanya percikan-percikan darah di sana-sini. Di hadapannya sebuah wadah kayu, semacam baskom, tampak penuh terisi cairan merah. Darah. Darah dari orang yang barusan dikuburkan oleh muridnya, Reiche. Orang tua itu pun tampak berkonsentrasi sebentar kemudian dari ubun-ubunya tampak uap mengepul ke atas. Semakin lama semakin putih dan tebal. Butir-butir keringat pun tampak mulai bermunculan dan berjatuhan dari wajah dan lehernya. "Hehhhh!!!" dengan diiringi hembusan napas yang penuh pemusatan pikiran ia mulai menggerak-gerakkan tangannya. Perlahan dan kemudian semakin cepat. Keras lalu lemah. Mengalir lalu patah. Sampai suatu saat ia terdiam dan mulai memandang ke dalam basok berisi darah manusia itu. Perlahan cairan merah yang ada di dalam wadah tersebut tampak seperti hidup, berbuih-buih dan mulai meloncat-locat tapi tidak terpercik ke mana-mana. Lengket. Dengan suatu hentakan cairan tersebut naik ke udara dan bergerak bagaikan api yang menyala. Cairan berwarna merah kehitaman. Menyebar membentuk uap dan mengelilingi diri sang empunya. Perlahan uap merah yang menyebar itu perlahan mengental dan melingkupi orang tua tersebut. Membalutnya dalam warna merah indah dan dingin. Darah. Reiche yang baru saja tiba sehabis menguburkan orang yang dibohonginya itu tampak tertegun melihat apa yang dilakukan oleh gurunya. Ia belum pernah menyaksikan atau membaca mengenai hal tersebut. Ia pun diam untuk tidak mengganggu pemusatan pikiran gurunya. "Syesss!!!" cairan kental berwarna merah yang tadinya membungkus rapat tubuh Panutu tampak seperti air yang dimasukkan ke dalam tungku panas, menguap dan langsung hilang. Perlahan seluruh cairan yang tadi tampak hidup itu menguap dan hilang sama sekali. Hanya warna-warna kemerahan tampak tertinggal pada sekujur tubuh Panutu. "Segar rasanya!!" ucap Panutu saat ia selesai dari rapalan ilmunya dan mulai bangkit. Ia melihat bahwa semua darah telah digunakan dan diserap olehnya tadi. "Terima kasih, Reich!" ujarnya demi melihat muridnya duduk tak jauh dari sana. "Tapi aku masih butuh beberapa kali lagi. Sepuluh orang mungkin sudah cukup," Reiche hanya mengangguk lemah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Mencari sembilan orang lagi untuk dibawa ke sini, bukan perkara mudah. Tapi gurunya pasti tidak mau tahu, permintaan itu harus dituruti demi pengobatannya. "Kepalang tanggung," tiba-tiba sebuah suara berbicara di kepalanya, "lebih baik tanya-tanya mengenai hal ini. Siapa tahu suatu saat ia bisa memanfaatkannya." Setelah membulatkan tekadnya, ia pun mulai berbicara, "Guru, itu ilmu apa tadi?" "Itu disebut Menyerap Air Kehidupan, bagian dari Memanfaatkan Kehidupan Lain," jelasnya. "Air Kehidupan? Darah maksudnya?" tanya Reiche yang pikirannya tiba-tiba saling mengait setelah menyaksikan apa yang barusan itu. "Benar! Darah adalah Air Kehidupan. Orang dapat memanfaatkan air kehidupan dari makhluk lain untuk apa saja. Tapi yang paling bagus adalah dari jenis makhluk yang sama. Dan untuk kita, ya.. darah manusia," ujar gurunya. Tak tampak adanya rasa risih dalam menjelaskan itu. Tampak baginya memanfaatkan nyawa dan tubuh manusia lain adalah biasa-biasa saja. Lalu diceritakannya sedikit bahwa ilmunya itu berdasar dari ujaran empat elemen penyusun alam ini, yaitu air, api, udara dan tanah. Kedua elemen yang dilatihnya adalah api dan berdasar dari gerakan udara. "Tapi darah itu..?" tanya Reiche tanpa sadar. "Hahahaha!! Engkau pintar, Reiche! Baru sedikit diceritakan sudah bisa mengira-ngira. Ya, betul.. darah itu bukan air murni. Melainkan air mengandung api -- sumber perubahan, kehidupan," jelasnya. "Karena kau dilukai oleh pukulan dengan elemen yang berlawanan, yaitu air, aku harus mengobatinya dengan air lagi tapi yang mengandung api. Air mengandung api, yaitu darah itu." "Lalu, lawan guru harus mengobati dirinya dengan api mengandung air?" tebak Reiche demi mendengar penjelasan itu. "Dan itu..." "Benar.., benar demikian!" jawab Pambuka terbahak-bahak, "Api mengandung air. Api yang sifatnya mengalir dan dingin. Tidak mudah memperolehnya. Dan aku sangsikan ia akan dapat memilikinya." "Adakah bendanya guru?" tanya Reiche lanjut. "Mengapa engkau ingin tahu?" tanya Pambuka balik. Ia melihat dengan selidik wajah muridnya. "Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu suatu saat aku terluka dalam keadaan itu," jawab Reiche serius. "Baik.. baik itu untuk tahu. Tapi sejujurnya aku tidak tahu. Guruku pernah bilang dulu ada kitab yang namanya Seratus Hari, di sana orang menuliskan hal-hal yang berlawanan tersebut dan bagaimana mengobatinya," terang Panutu. Teringat Reiche pada kitab kuno yang diberikan oleh gurunya itu dulu kepadanya. Apa kitab itu? "Bukan.., bukan kitab itu!" ujar gurunya yang seakan-akan dapat menebak pikiran Reiche, "Kitab yang aku berikan itu lebih berisi cerita-cerita mengenai kitab sebenarnya. Dan lagi di tengahnya ada tulisan-tulisan aneh. Sudah pasti bukan kitab yang dimaksud itu." Reiche hanya mengangguk namun dalam pikirannya berkecamuk hal lain. Hanya ia yang tahu bagian kitab yang sudah diuraiakn sandinya itu. Mungkin dengan membacanya sekali lagi ia dapa melihat apa itu kitab yang asli atau bukan. Dan ia belum dapat memutuskan apa akan memberitahu Panutu, gurunya, atau tidak. "Mari kita pulang!" ajak Panutu. "Curiga nanti orang-orang, bila kita terlalu lama menghilang." Reiche mengangguk mengiyakan. Mereka pun kemudian kembali ke tempat tinggal mereka tidak lewat jalan mereka tadi datang ke tempat itu. Di sana di tempat dari mana mereka pergi telah muncul sebuah gundukan baru. Sebuah makam orang yang baru saja 'air kehidupan'-nya diambil dan dibiarkan mati kekeringan karenanya. Bagian 24 Orang-orang yang Hilang "Bagus Arme! Engkau sudah lebih menguasainya sekarang," ucap Pambuka demi melihat Arme telah dapat dengan luwes mengendalikan air sesuka hatinya, baik dalam posisi berdiri, duduk ataupun jongkok. "Sedikit lagi, engkau akan segera dapat melakukannya sambil bergerak," tambah gurunya itu lagi. Perkembangan Arme sesuai dengan yang diperkirakan Pambuka. Perlu satu minggu Arme untuk membiasakan dan merasakan perubahan titik terendahnya yang harus dijaga selalu berada dua jari di bawah pusarnya. Dan hari ini mungkin bisa dimulai latihan kelanjutannya. "Terima kasih, guru! Ini juga tas bimbinganmu," ucap Arme dengan bangga. Senang ia bahwa kemajuannya memuaskan hati gurunya. "Sekarang coba engkau lakukan seperti tadi, tapi posisi antara jongkok dan berdiri tidak memutuskan pengendalian airmu. Jadi engkau melakukan jongkok berdiri sambil terus mengendalikan air tersebut," usul gurunya. Arme pun mengangguk mengiyakan dan mulai mencoba-coba. Rupanya bagian berikut dari latihan lebih sulit dari yang dibayangkan oleh Arme. Ia tidak dapat dengan mudah memecah pikirannya untuk mengendalikan air dan berjongkok beridir. Berkali-kali ia mencoba, akan tetapi masih saja gagal. Terlihat air yang dikendalikannya kadang hilang bentuknya dan jatuh memecah di atas tanah. Perlu waktu untuk mengembalikan bentuknya dalam posisi berdiri yang baru. "Sudah.. sudah.., jangan terlalu dipaksakan! Besok kita ulangi lagi," ucap gurunya. Arme yang sudah kelelahan mengangguk setuju. Ia kemudian menghirup napas panjang, menggerakkan tangannya membentuk lingkaran dan menurunkannya menutup ke arah pusar sambil menghembuskan napas. Gerakan menutup dan mengembalikan hawa yang berkeliaran kembali ke bawah pusar. Pusat hawa dalam tubuh. "Ada kabar baru?" tanya Pambuka setelah mereka duduk berdua di tepi api unggun yang mereka baru nyalakan. "Kebetulan ada guru. Ada kabar aneh dari orang-orang pasar," jawab Arme. "Tengan apa?" tanya Pambuka kembali dengan wajah agak was-was. Ia tidak ingin dugaan jeleknya terwujud. Firasat yang sudah menyerang kepalanya beberapa hari belakangan ini. "Para pemuda yang sering nongkrong di pasar katanya bertambah sedikit," jelas Arme. "Pemuda-pemuda yang mana?" tanya gurunya kemudian. "Pemuda-pemuda yang sering nongkrong, kerja serabutan, minum-minum dan sebagainya. Sering buat onar," jelas muridnya. "Sudah berapa lama dan berapa yg hilang?" tanya Pambuka. Ia menekankan kata 'hilang' dalam pertanyaannya itu. "Tidak jelas, karena kadang-kadang memang mereka pindah-pindah dan kabur, kembali lagi atau datang orang baru dan sebagainya. Awalnya para pedagang dan pembeli di pasar tidak menyadari, tapi kok lama-lama pasar terasa lebih nyaman tanpa kehadiran mereka. Dan saat diperhatikan, memang jumlah mereka berkurang banyak," cerita Arme. "Kira-kira berapa yang hilang?" tanya Pambuka lagi, mendesak karena ia ingat akan sesuatu. Sepuluah seharusnya sudah cukup. Tapi baru seminggu saat semua aman-aman saja. "Entah, guru. Ada yang bilang lima ada tujuh. Ada pula yang bilang sudah sepuluh. Jumlahnya semua simpang-siur," jawab Arme. "Tidak mungkin sebanyak itu dalam seminggu," ucap Pambuka. "Lima mungkin jumlah yang wajar." "Apa maksdunya 'jumlah yang wajar', guru?" tanya Arme balik. Ia tidak dapat mengikuti pemikiran gurunya. "Maksudnya adalah jumlah yang seharusnya 'boleh' hilang dalam kurun waktu seminggu," ucap gurunya sambil agak menerawang. Mencoba-coba memikirkan hal lain, jikalau jumlah tersebut, yang diberitakan orang-orang, benar adanya. Dengan perlahan kemudian Pambuka menceritakan pada muridnya mengenai ilmu sesat yang memanfaatkan Air Kehidupan untuk menyembuhkan luka akibat pukulannya itu. Suatu cara dengan mengorbankan kehidupan lain. Bagian 25 Menggali Lubang Masing-masing Hilangnya para pemuda pembuat onak di pasar tidaklah menjadi pembicaraan dan meresahkan apabila dalam kurun waktu yang cukup singkat terjadi terlalu sering. Belasan dalam dua minggu. Perubahan yang mencolok dalam kelompok tukang nonkrong itu. Desas-desus pun mulai dihembuskan angin. Ada yang bilang mereka pindah ke tempat lain, mencari lahan pekerjaan yang lebih baik. Ada yang bilang mereka bergabung dengan gerombolan begal di sisi lain hutan. Ada juga yang bilang mereka mungkin insaf dan kembali ke kampung mereka masing-masing. Ya, sebagaian besar dari mereka memang tidak berasal dari sini, melainkan dari tempat lain. Reiche yang bertugas untuk menjemput para pemuda tersebut dan mengantarkannya kepada gurunya Panutu tidak lagi melakukan hal itu seperti kali-kali pertama. Terlalu mencurigakan bahwa ia muncul dan kemudian orang yang pergi bersamanya benar-benar hilang. Untuk kali-kali awal ia dapat berbohong bahwa mereka telah memperoleh imbalan dan tidak ingin kembali ke kelompoknya untuk berbagi. Suatu alasan yang diterima oleh orang-orang yang memikirkan dirinya sendiri itu. Dan dengan bertambah baiknya kesehatan gurunya, Panutu mulai dapat bergerak lebih lincah, walaupun belum sembuh benar, sehingga dapat mencegat sendiri para pemuda mangsanya itu saat mereka berjalan sendiri di malam hari. Hilangnya para pemuda yang terlihat acak, membuat kecurigaan tidak lagi tertuju pada Reiche. Pada awal-awalnya sempat para pemuda itu menangkap dan menanyakan hal itu kepada dirinya. Akan tetapi dengan berkelit dan menjanjikan sejumlah imbalan, mereka segera lupa dan mau melakukan permintaannya. Untuk itu beberapa benar-benar bekerja menggali dan diberi uang dan kembali. Untuk menutupi kecurigaan. Panutu saat itu tidak datang ke tempat hanya menunggu di rumah. Pun kegiatan itu memang hanya untuk menutupi kejadian sebenarnya, bukan benar-benar untuk memangsa mereka. Demikianlah selain hilangnya para pemuda tukang onar yang menjadi pembicaraan, juga adanya harta karun yang akan digali. Tapi berita terakhir ini hanya diantara para pemuda itu beredar dan mereka berencana untuk menggalinya sendiri, tidak lagi menunggu Reiche untuk menunjukkan tempatnya. Peta dari Reiche telah mereka rampas. Yang mereka tidak tahu bahwa peta itu adalah palsu belaka. Dan malam ini mereka berniat untuk pergi ke sana. Ke bukit di sisi lain desa. Sisi luar yang berlawanan dengan hutan di luar sisi lain desa. Bersepuluh mereka bergegas berjalan. Sisa dari teman-teman mereka yang ada. Mereka tak ambil pusing bahwa jumlah mereka telah berkurang. Jumlah yang sedikit akan membuat mereka dapat lebih banyak bagian dari harta karun itu. Begitu pikir mereka. Anda saja mereka tahu apa yang akan menjelang mereka di bukit sana. "Ini tempatnya?" tanya seorang dari mereka. "Ya, betul! Dulu aku menggali di sana!" ucap seorang dari mereka. Orang itu adalah yang dibiarkan pulang dengan selamat oleh Reiche dan diberi imbalan sebenarnya, Tigaan. Ada dua orang yang benar-benar bekerja dan selamat. Rekannya yang juga mengenali tempat itu menangguk mengiyakan. Dengan demikian yakinlah rekan-rekannya yang lain. "Dan mana galianmu?" tanya seseorang kepada orang yang mengiyakan tempat itu. "Di sana, di belakang pohon itu!" tunjuknya pada sebuah pohon besar yang berdiri angker di atas sebuah bongkahan tanah. Batu-batu besar tampak berjejer menemaninya. "Hmmm..," ucap seorang dari mereka. Terlihat bahwa ia yang paling dapat 'berpikir' di antara mereka. "Jika sudah dua tempat digali dan belum ketemu.., bagaimana kita bisa yakin akan menemukannya? Bukit ini cukup luas untuk semuanya digali dan batu-batunya dibalikkan.., untuk dilihat ada apa di bawahnya." "Ya, betul!" ucap seseorang. "Kalau begitu...?" tanya yang lain. "Lebih baik kita lihat peta yang telah dirampas dari Reiche itu," usul seseorang. Rekan-rekannya mengangguk setuju. Peta tersebut pun dibentangkan di atas batu ceper yang ada di sana. Kesepuluh orang itu berkerumun dan mulai memperhatikan apa-apa yang tertera di sana. "Ada dua puluh tujuh titik di peta ini..," ucap seseorang sambil menunjukkan titik-titik yang diberi tanda khusus di atas peta itu. "Dan beberapa telah diberi tanda silang!" "Mungkin telah digali dan dicari tapi tidak ada?" ucap yang lain sambil memperhatikan dan katanya kemudian, "... benar!! Lihat dua lubang terakhir itu juga telah disilang!!" "Kalau begitu, kita tinggal menggali titik-titik yang lain..," ucap seseorang. "Pas sepuluh titik lagi..," tiba-tiba seorang dari mereka menyeletuk setelah tak sengaja ia menghitung jumlah titik-titik yang masih tersisa. "Ayo, siapa tahu satu dari kita beruntung!!" sorai seseorang yang segera mengambil alat galinya dan menuju ke suatu tempat yang telah dihapalnya dari atas peta itu. Rekan-rekannya yang tahu mau ketinggalan segera memilih posisinya masing-masing. Hanya seseorang yang tadi masih tampak berpikir sedang melihat-lihat posisi titik-titik itu. Teringat olehnya lokasi titik-titik itu seperti mengingatkannya pada sesuatu. Entah apa. Ia telah lupa. Sorak-sorai rekan-rekannya mengalahkan kegalauannya akan posisi dan jumlah titik-titik itu. Ia pun bergegas menggapai alat galinya, meraup peta itu ke dalam sakunya dan bergegas menggali setelah tiba di tempat yang dimaksud. Tempat yang tersisi dari titik-titik yang ditunjukkan oleh peta tersebut. Sementara itu, tak jauh dari sana tampak seorang bertubuh besar dan subur mengamat-amati dari jauh. Langkah yang ringan membuat geraknya tak terdengar. Hanya napasnya yang masih agak kasar dan memburu, menunjukkan ia masih menderita luka dalam. Panutu. Ia tampat tersenyum menyaksikan calon-calon korbannya sedang menggali kuburnya sendiri. Malam ini ia akan berpesta. Tepat pula dengan waktu bulan purnama. Waktu yang sengaja dipilih para pemuda, sehingga mereka tidak perlu membawa penerangan yang berlebihan. Kondisi yang tepat untuk kebutuhan Panutu. Kukuk burung hantu tampak terdengar takut-takut, seakan-akan tahu bahwa air kehidupan orang-orang itu akan segera tertumpah tak lama lagi. Darah akan membasahi bumi dan memuaskan dahaga seorang yang lupa akan rasa hormatnya terhadap kehidupan, bahkan terhadap sesamanya. Bagian 26 Malam Bulan Penuh "Cepat Arme!" ucap Pambuka yang masih tampak agak pucat. Ya, ia belum sembuh benar. Tapi firasatnya mengatakan bahwa malam ini akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sesuatu sulit untuk dibayangkan masih ada di masa ini. "Mau ke mana kita guru?" tanya Arme yang bergegas mematikan api dan membereskan perlengkapannya. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba gurunya mengajak ia berlalu dari sana. Padahal hari ini masih dalam hari di mana ia harus menginap di hutan dan melanjutkan latihannya. "Ke bukit di luar desa sana, di balik desa!" ucap gurunya. "Cepat, mungkin nanti kita tidak akan keburu mencegahnya bila terlambat." "Mecegah apa guru?" tanya Arme kembali. Saat itu mereka telah berjalan perlahan menelusuri jalan setapak dalam hutan dan hampir sampai di tepinya. "Mencegah seseorang yang akan melakukan hal yang tidak baik. 'Dipsa sanguini'." ucap gurunya. "Haus akan air kehidupan. Darah." Arme kemudian teringat akan cerita gurunya di mana orang dapat menggunakan darah untuk menyembuhkan luka yang disebabkan oleh pukulan unsur yang berlawanan, seperti dituliskan dalam kitab Seratus Hari. "Guru maksud lawan guru akan menggunakan cara sesat itu untuk kesembuhannya?" tanya Arme yang dalam hatinya telah dapat membaca kegundahan gurunya, bahwa tebakannya itu benar. Gurunya mengangguk. Lalu tambahnya, "Dan yang tidak diketahui oleh orang itu, adalah akibat lainnya. Dipsa sanguini. Kecanduan darah. Kecanduan hawa air kehidupan. Selalu haus." "Ia akan terus mencari korban-korban untuk memuaskan dahaganya, juga setelah lukanya sembuh nanti. Kelezatan dari air kehidupan dan kemudahan pemulihan luka darinya akan menyebabkan orang ketagihan," jelas gurunya setelah terdiam beberapa saat. Tampak bahwa lukanya masih jauh dari sembuh yang cukup. "Jadi kita akan melanggarnya di sana? Bertempur?" tanya Arme memastikan. Ia masih kuatir dengan kondisi gurunya yang masih jauh dari sehat untuk dapat kembali bertarung. "Tapi engkau belum sembuh benar, guru!" "Untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk muncul, mungkin aku harus mengorbankan tubuh tua ini," ujar gurunya perlahan. Saat itu mereka telah berada di luar hutan dan mencapai jalan memutar desa. Mereka tidak berjalan menembus desa, walaupun itu jalan yang singkat. Malam saat bulan penuh ini, akan jelas terlihat orang dalam ketergesa-gesaan berjalan dan bisa menimbulkan banyak pertanyaan. Lebih baik memutar. Lebih aman. "Engkau nanti hanya melihat, ya!" pesan gurunya. "Biarkan guru yang bertempur dengan orang itu. Engkau hanya memperhatikan bagaimana gerakan-gerakan yang aku ajari dapat digunakan dalam pertempuran sebenarnya." "Tapi guru..!!" bantah Reiche yang segera terdiam setelah melihat tatap serius wajah gurunya itu. Wajah yang terlihat semakin pucat dan lemah. Hanya semangatnya yang memacunya untuk tetap memaksa dirinya untuk terus bergerak. Sesaat keduanya terdiam hanya langkah-langkah mereka terdengar bergesekan dengan rumput-rumput dan batu-batu kecil. "Aneh..!!" ucap Pambuka kemudian seraya memperlambat langkahnya. "Terlihat seperti ada kegiatan di dalam desa sana. Di malam seperti ini?" Arme yang segera memalingkan wajahnya melihat ke arah desa di mana tampak orang-orang berkumpul dengan membawa obor dan peralatan bertani. Tampak mereka bersuara satu sama lain. Jarak yang jauh menghalangi Pambuka dan Arme untuk menangkap pembicaraan mereka. "Kita sebaiknya menunggu dulu mereka berlalu," usul gurunya. "Masih lama waktu sebelum tengah malam." Arme hanya mengangguk. Dan mereka pun duduk di salah satu dahan pohon, di balik rerimbunan sehingga orang-orang desa yang berkumpul dari kejauhan, apabila kebetulan melihat ke arah mereka, tak akan dapat tahu ada orang di situ. "Guru, boleh tahu siapa lawan guru itu?" tanya Arme memecah keheningan, Pambuka tidak langsung menjawab. Ia tampak termenung dan wajahnya semakin memucat. "Ia adalah adik seperguruanku sendiri. Panutu namanya." "Adik seperguruan guru? Paman guruku?" ucap Arme terkejut. Tak disangka bahwa lawan gurunya, yang malam ini juga akan disambangi, adalah masih saudara seperguruan dengan gurunya. Gurunya mengangguk. "Ya, Panutu adalah adik seperguruanku. Kami sama-sama berguru kepada keturunan Rancana, si Bayangan Menangis Tertawa. Tapi jika aku mewarisi ilmu berlatar elemen angin dari guru dan juga air, Panutu hanya air dan entah dari mana ia memperoleh yang lain, api." "Dan kitab Seratus Hari itu? Hasil karya kakek guru Rancana?" tanya Arme yang ingin tahu sejarah nenek-moyang gurunya. "Aku tidak tahu itu. Tapi guruku mengajarkan cara itu tapi tidak memperlihatkan kitabnya dan juga memberitahu siapa yang menulisnya. Jadi aku tidak tahu siapa yang menuliskannya. Kitabnya sendiri aku belum pernah melihatnya," jelas gurunya. Kembali keheningan menyerabak di antara mereka berdua. Kasak-kusuk yang tadinya terdengar kejauhan di dalam desa juga semakin meluruh. Sekarang malam ini benar-benar terasa sunyai. Sepi. Lengang. "Ayo, kita kembali berangkat!" ajak Pambuka. Bergegas mereka kembali melanjutkan perjalannya semua ke bukit di sisi lain luar desa. Sambil berjalan bertanya-tanya mereka dalam hati ke mana orang-orang desa itu menuju atau apa yang hendak mereka lakukan di malam-malam larut seperti ini. Bagian 27 Siasat Menepuk Beberapa Lalat Sekaligus Pemuda itu tampak tegang. Dengan cepat dibolak-baliknya lembar-lembar kertas yang ada ditangannya. Ditatapinya satu persatu dan dibandingkannya dengan yang lain. Tak percaya ia kemudian mengambil sebuah kitab kuno dan melihat tulisan aslinya, membandingkan dengan rumusanya ia buat dan hasil terjemahan kawannya. Persis. Sama. Tidak mungkin terjadi salah menerjemahkan. "Pengobatan dengan menggunakan air kehidupan mencapai puncaknya saat bulan purnama. Di saat itu orang yang diobati dengan meniadakan kehidupan lain akan pula memiliki kelemahan: hawa energinya menjadi paling tinggi dan dapat dengan mudah dipindahkan lagi ke tubuh yang baru berikut energinya sendiri. Habis. Oleh karena itu jenis pengobatan ini tidak dianjurkan dilakukan antara orang-orang belum benar-benar kenal dan saling percaya. Manfaat energi yang menggoda dan mudah dipindahkan sering memicu pertentangan dan pengkhianatan." Keringat dingin tampak menetes di dahi pemuda itu. Ia sempat bergumam, "Jika aku lakukan.., energi guru Panutu akan menjadi milikku. Juga energi dari orang-orang itu.." Matanya tampak menyipit dan keningnya berkerut. Tak lama ia tampak menjadi tenang dan kerutan di wajahnya hilang. Rupanya telah tiba keputusan dalam benaknya. Entah apa. "Tok-tok-tok!!" ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Segera ia mengamankan kertas-kertas dan kitab yang berserakan itu. Merapikannya dan menyelipkannya dalam tumpukan buku-buku yang menyemut di rak buku dekatnya berada. "Maaf, nak Reiche! Ada orang-orang dari desa yang ingin bertemu. Tampaknya ada hal-hal yang kurang baik," ucap pengasuhnya, orang yang mengetuk pintu itu. "Terima kasih, paman!" jawabnya cepat. Ia pun bergegas keluar untuk menemui orang-orang yang menginginkannya. "Hati-hati, nak!" pesan pengasuhnya. "Ya, paman!" jawabnya kembali pendek. Ya, ia sudah ada rencana. Rencana yang bisa menyelesaikan semuanya. Membereskan kebingungannya selama ini. Sekali tepuk beberapa lalat akan berkalang tanah. Sesampainya di depan pendopo rumahnya tampak dua puluhan orang sudah menunggu. Beberapa dikenalnya karena sering berurusan dengan ayahnya dalam hal berdagang, lainnya paling tidak sudah ia kenal wajahnya karena sering bersua walau sekedar bertegur sapa belaka. Mereka pun mengutarakan maksud mereka berkenaan dengan kabar tak sedap yang menyangkut hilangnya para pemuda tukang nongkron di pasar. Dan juga adanya desas-desus harta karun di bukit di luar desa. Mendengar itu Reiche dengan sabar menjelaskan bahwa ia tidak tahu apa-apa, itu semua adalah permintaan dari gurunya Panutu yang minta ia mencarikan bala bantuan untuk suatu urusan di bukit sana. "Mungkinkan orang itu, Ki Panutu yang membunuh pemuda-pemuda itu?" tanya seorang dari mereka. Reiche hanya mengangkat bahu. Tapi ia menambahkan, "Mungkin baiknya kita bertemu sendiri saja dengannya untuk minta penjelasan." Usulnya itu disambut dengan berbagai anggukan dari orang-orang yang berkumpul. "Nanti malam kabarnya ia ada di sana, dekat tengah malam," ujar Reiche. "Baik, jika begitu. Sebelum tengah malam kita berkumpul dan bersama-sama ke sana. Mungkin saja bila ia pelakukan, kita bisa menangkap basah ia," ujar seseorang. Yang lain-lain mengangguk-angguk mengiyakan. Mereka pun kemudian bubar untuk nanti malam kembali berkumpul di alun-alun desa. Selepasnya orang-orang itu pergi, Reiche kembali memikirkan masak-masak apa yang harus ia lakukan agar rencananya benar-benar berjalan dengan lancar dan tidak mengarahkan kecurigaan kepada dirinya. Bila saja guru Pambuka sempat berbuka cakap, bisa habis ia juga menjadi sasaran orang-orang desa. Ia perlu hati-hati. Dan yang harus segera dilakukan adalah memastikan bahwa guru Pambuka berada di sana pada malam ini. Untuk itu ia menugaskan seseorang untuk mengirim pesan ke sana. Yang tidak diketahui Reiche adalah bahwa sisa-sisa pemuda tukang nongkrong itu juga bersiap-siap malam ini untuk pergi ke bukit sana. Untuk menggali harta karun yang didengarnya dari dua orang anggota mereka yang telah membantu Panutu menggali sebuah lubang masing-masing satu. Bagian 28 Dipsa sanguini "Tidak ada apa-apa di sini!" ujar seorang pemuda yang telah menuntaskan lubangnya tempat ia menggali. Sudah cukup dalam dan lebar tanah dikuat dengan cangkut di tangannya. Di sisi lubang tersebut telah terdapat setumpuk tanah dan batu-batu. "Di sini juga tidak ada!" ucap yang lain. Masing-masing tampaknya telah menyelesaikan lubang-lubang di tempat yang ditunjukkan oleh titik-titik di atas peta itu. Seseorang dari mereka tiba-tiba teringat sesuatu. "Mungkin di tempat yang telah dicoret itulah terdapat harta karun yang dimaksud," gumammnya, "Eh, apa maksudmu?" ucap teman yang berdiri di dekatnya, yang mendengar gumamannya. Orang yang bergumam tadi pun segera beranjang dengan diikuti oleh pandangan penuh tanda tanya oleh rekan-rekannya. Ia memperhatikan peta dan menuju ke salah satu titik yang sudah diberi tanda silang, tapi bukan titik yang masih berlubang galian melainkan yang telah ditimbun kembali. Dengan semangat menggila ia menggali tempat yang ditunjukkan itu. Rekan-rekannya yang bagai mendapat semangat pun kemudian membantunya. Menggali dan menggali. Mereka pun mengais-ngais tanah untuk membuat lubang di atasnya. Sementara itu sesosok bayangan tampak bergerak cepat, menyusuri tempat-tempat di mana terdapat lubang-lubang yang baru digali yang di sisinya atau di dalamnya ada seorang pemuda yang sedang mengamati atau mencari-cari. Dengan cepat ia menotok sana-sini. Tanpa suara pemuda-pemuda itu menjadi kaku dan berdiri, jonkok atau duduk mematung. Bayangan itu terdiam sesaat tinggal beberapa orang yang masih belum ia bekukan. Orang-orang yang menggali lubang bersama-sama ini. Ia tidak ingin ada keributan dan lebih baik bila mereka tidak melihat dirinya. Dengan perlahan ia bergerak dan menotok mereka satu-satu pemuda-pemuda yang menonton penggalian itu. Tinggal tiga orang saja masih menggali. "Ada, ada sesuatu di sini!" ucap seorang yang sedang menggali itu. Bergegas ketiganya membuang cangkul mereka dan meneruskannya dengan tangan, takut cankul merusak apa yang tertanam di dalam sana. Tak sadar mereka bahwa rekan-rekan mereka telah berdiam seperti patung dengan sorot mata ketakukan. "Ini... si Srampi!!" ucap seorang yang segera mengenali bahwa 'sesuatu' itu adalah mayat teman mereka yang telah lama menghilang. "Hiyyyy!!!" ucap yang lain. "Ada apa sebe...," ucap yang lain lagi tapi segera terputus saat melihat kedua rekannya sedang terdiam dengan sorot mata melotot ketakukan. Ia pun berbalik dan melihat seorang bertubuh subur dan besar sedang mengamat-amatinya. Sebelum ia sempat berucap, sosok itu telah menjulurkan tangannya dan badannya pun menjadi kaku. "Bagus, bagus..!! Semua sudah lengkap. Tinggal menuai hasilnya aku!" ucapnya. Ia pun dengan enteng membawa satu-satu pemuda itu ke lubangnya masing-masing. Memudahkan untuk menguburkannya nanti. Tak lama ia pun memulai dengan mengucurkan darah dari seorang pemuda. Rekan-rekannya yang lain, yang hanya dapat kaku berdiri dan kebetulan dalam posisi memandanginya, hanya dapat melihat dengan kengerian saat darah pemuda itu mengucur perlahan memenuhi wadah yang diletakkan di dekatnya. Cairan merah tua dan agak kental mengucur perlahan. Uapnya tampak sedikit membumbung dalam udara malam yang cukup dingin itu. Setelah melakukan untuk dua orang lagi, Panutu pun pergi ke tempatnya merapal ilmu untuk memanfaatkan air kehidupan itu. Tidak semua pemuda dapat dimanfaatkannya sekaligus. Harus bertahap. Terlalu berlebih bisa-bisa ia keracunan dan mendapatkan luka dalam. Sementara itu rombongan orang-orang telah menjelang di kaki bukit. Dengan muka tegang mereka berjalan menuju atas, berharap-harap cemas apa yang akan mereka hadapi nanti. "Sebaiknya nak Reiche dulu yang muncul,.," tiba-tiba usul seseorang, "..orang itu 'kan gurunya.." Usul itu segera disetujui oleh beberapa orang lain. Dengan berpura-pura keberatan Reiche akhirnya menyetujui hal itu. Lancar. Mirip dengan apa yang telah ia rencanakan. Desas-desus tambahan yang ia hembuskan tadi pagi telah menyebar dan membuahkan kesempatan kepadanya. "Baik, aku akan ke sana. Tapi jika aku nanti berteriak butuh pertolongan, paman-paman harus segera keluar untuk membantu.., setuju!" ucapnya. "Baik!!" ucap seseorang dan diamini oleh yang lain. Lalu dengan berlangkah agak ragu-ragu Reiche meninggalkan mereka mulai mendaki menuju tempat guru dan para pemuda yang sedang menunggu ajalnya itu berada. Ia berharap rencananya berjalan lancar sama sekali. Bagian 29 Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari Sesosok bayangan tampak mengendap-endap merambat pelan di antara pepohonan yang tumbuh di bukit itu. Tak lama di depannya tampak pemandangan yang tetap saja menumbuhkan bulu romanya kendati ia telah berharap keadaan seperti itu akan ia temui. Di bawah sinar bulan yang hampir penuh tampak beberapa sosok manusia kaku berdiri dalam lubang masing-masing. Diam tertotok. Hanya dari helaan napas dan kerlingan mata dapat terlihat bahwa beberapa mereka masih hidup. Terdapat pula sosok yang telah kaku dan dingin. Dari bagian tubuhnya terdapat lubang sebesar jempol yang telah kering darahnya. Terlihat bahwa air kehidupannya telah dialirkan sampai habis keluar, mengikuti tarikan bumi. Beberapa kerlingan mata dan desahan napas lebih keras dari orang-orang kaku berdiri yang masih hidup tidak diindahkan oleh sosok itu. Seorang pemuda. Reiche. Ia masih ingat akan niatnya. Ia perlu saksi. Dan saksi mata dengan hanya mengetahui sedikit mungkin lebih baik dari yang bebas. Oleh karena itu ia tidak membebaskan totokan mereka melainkan hanya menenangkan dengan anggukan kepala dan memberitahu dengan isyarat seakan-akan berkata bahwa ia akan membereskan masalah itu dan menolong mereka kemudian. Reiche pun berjalan pelan, melewati pepohonan yang kemudian membawanya kepada sebuah ruang terbuka yang agak luas di mana seorang bertubuh subur dan besar tampak bersila dan menggerakkan kedua tangannya. Buliran-buliran air kehidupan berwarna merah tampak bergerak liar di udara meliuk-liuk mengelilingi tubuhnya dan akhirnya mengendap masuk melalui kedua telinganya. Sejenak mata orang menjadi merah sama sekali, bersinar dan kemudia meredup untuk kembali menjadi normal. Ia pun membuka matanya demi melihat orang yang mengendap datang di hadapannya, "Ah.., Reiche! Engkau datang untuk melihat kepulihanku dan tenaga baru yang berhasil aku kumpulkan ini?" Reiche diam seribu bahasa. Ia masih berpikir apa yang harus dijawabnya sehingga gurunya Panutu tidak curiga dan menggagalkan rencananya. Ia pun kemudian mengangguk. "Orang-orang dari desa datang.. mereka sudah menunggu tak jauh dari sini..," ucapnya lirih agar orang-orang yang kaku tertotok tidak bisa mendengarkannya. Mendengus Panutu mendengar hal itu. "Tak usah engkau pikirkan mereka, aku bisa mengatasi mereka setelah tahap akhir ini pulih. Sisa orang-orang itu bisa untuk engkau," ucapnya terbahak. "Tapi aku tidak menginginkannya guru. Guru sebaiknya menghentikan ini, ini tidak benar!" kali ini ia mengucapkannya dengan lantang. Sudah tentu dengan maksud agar ucapannya itu terdengar. "Sudah tidak usah banyak bacot! Angsurkan wadah terakhir itu ke sini.. atau engkau jadi yang berikutnya?" ucapnya bengis. Hilang sudah keramahannya. Pengaruh air kehidupan telah membuatnya haus. Orang yang tidak setuju dengannya adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk menambah kekuatannya. Demikian pula dengan muridnya sendiri. Tanpa bersuara Reiche mengangsurkan wadah berisi cairan merah itu dan menunggu kesempatan bagi dirinya. Panutu yang sudah dirasuki keingingan untuk mendapatkan kesembuhan ditambah dengan tenaga yang berlipat ganda menjadi tidak wasapa terhadap perubahan sikap Reiche yang agak berani membantah. Ia menerima wadah tersebut dan memulai lagi tahap akhir latihan penyembuhannya. Ia pun menutup mata dan mulai memusatkan pikiran. Dan kembali berlangsung keheningan saat gumpalan-gumpalan air kehidupan mulai bergolak liar dan membumbung gaman di udara. Menari kesana-kemari. Dan dengan dengusan napas keras, gerakan terakhir aliran kemerahan itu membumbung, menukik dan mulai masuk ke dalam mulut, lubang hidung dan telinga Panutu. Pada saat akhir itu, tepat sebelum ia sempat mengunci pusat tenagannya di bawa pusar, ia merasakan adanya suatu benda dingin menyeruak punggungnya, tepat di pusat putaran tenaga tulang belakang. Tak bisa dicegah aliran tenaga dari tubuhnya, dan juga aliran yang baru saja ia masukkan mengalir deras keluar. Bobol. Dan sebelum ia bisa berkata apa-apa pandangannya gelap dan ia pun tersungkur. Mati. Dalam kejap terakhirnya dapat ia menduga siap yang melakukannya itu. Tapi semua sudah terlambat. Bagian 30 Panggung Sandiwara Dengan cepat Reiche mengikuti tulisan yang pernah dibacanya dalam kitab Seratus Hari, Mencuri Hawa Curian. Perlahan genangan darah yang tadi keluar dari punggung gurunya mengental dan mulai membentuk sesuatu. Hawa kental dalam darah yang menggumpal. Segera ia memusatkan pikirannya pada gumpalan tersebut sebelum hawa saktinya memudar dan kembali ke alam sekitarnya, seperti wajarnya makhluk hidup berpulang kepada yang menciptakannya. Tangannya mengejang dengan keras saat kesepuluh jari-jarinya menyentuh gumpalan tersebut. Sengatan hawa segera menerjangnya. Pusat tenaga dan simpul-simpul dalam tubuhnya telah ia buka sehingga penyerapan aliran tenaga bisa semampunya terjadi. Mengalir deras rasa hangat dan nyaman. Terus-menerus sampai tidak lagi nyaman dan ia merasakan panas luar biasa. Tangannya terasa melepuh dan wajahnya terasa terbakar, sampai akhirnya tak tahan ia berteriak keras dan terjungkal pingsang. Rubuh tak sadarkan diri tidak jauh dari tubuh gurunya yang telah lebih dulu meninggalkan dunia ini. Rupanya teriakan Reiche menyadarkan orang-orang yang sedang menunggu-nunggu dirinya tak jauh dari sana. Mereka menunggu isyarat dari Reiche untuk bersama-sama menyerang orang yang mereka curigai. Juga dengan alasan sebenarnya, bahwa mereka masih merasa jerih terhadap Panutu. Bergegas orang-orang tersebut berjalan perlahan dan bergerombol. Saat menemukan para pemuda yang kaku dan sebagaian telah mati dengan berdiri dalam lubang seperti kubur, nyali mereka berkurang beberapa bagian. Setelah beberapa saat menunggu dan memanggil-manggil Reiche, akhirnya mereka memberanikan diri untuk terus berlanjut, menuju ke arah yang ditunjukkan oleh kerlingan mata para pemuda yang masih kaku tersebut. Tak ada yang mempu membebaskan mereka dari totokan Panutu. Jadi dibiarkanlah para pemuda itu berdiri kaku seolah dalam calon kubur masing-masing. Sementara itu tak jauh dari kaki bukit Pambuka dan Arme tampak tergugah saat mendegar teriakan orang kesakitan itu. "Itu suara Reiche, guru!" ucap muridnya. Keduanya bergegas memacu langkahnya menaiki bukit. Menuju tempat di mana sesuatu baru saja terjadi. "Benar... ia benar-benar melakukannya..!!" ucap Pambuka demi melihat lubang kubur di mana-mana dengan calong pengisi dan pengisinya berdiri kaku. Ia segera mendekati yang masih bernafas dan membebaskan totokan mereka satu demi satu. Segera masing-masing yang baru bebas itu langsung terduduk lunlai di atas tanah. Tiada lagi tenaga karena nyali mereka telah terbang ke langit. Dengan petunjuk suara lemah salah satu dari mereka Pambuka dan Reiche tahu ke mana mereka harus seterusnya menuju. Di sana di ruang terbuka itu tampak dua tubuh terbujur di atas tanah bergelimpangan darah. Salah satunya tengkurap dengan sebuah bambu berlubang pada punggungnya. Tampak cairan merah pekat telah mengering di lubang bambu tersebut. Bisa diduga darah sang empunya mengalir keluar dari batang itu. Yang satunya lagi tampak masih bernapas dengan napas satu-dua. Beberapa orang berusaha menyadarkannya. Membalikkannya dan membawanya pulang. Sementara yang lain tampak mengikat jasad Panutu dengan kayu dan membawanya seperti membawa binatang hasil buruan. Pambuka yang tahu bahwa kehadiran mereka belum diketahui oleh orang-orang desa di situ segera mengisyaratkan Arme untuk bersembunyi di belakang semak-semak dan memperhatikan apa yang sedang berlangsung. "Anak Reiche telah bertarung dan berhasil mengalahkan orang ini," begitu kata seseorang. "Ya, ia seorang yang berani. Lihat sampai terluka seperti ini," timpal yang lain. Segera orang-orang dari desa itu beranjang pergi dari sana. Masing-masing membantu pemuda yang telah bebas totokannya dan terduduk lemah di lubang masing-masing. Pemuda-pemuda yang telah tiada napasnya dibiarkan dulu, lebih berat membawa orang yang telah tiada nyawa. Beberapa orang tinggal untuk menjaga agar jasad-jasad baru itu tidak diganggu binatang buas. Seperginya orang-orang itu Pambuka segera mengajak Arme pergi dari sana. Wajah muridnya yang penuh dengan pertanyaan tak diindahkannya. Ia memberi isyarat bahwa ia akan memberikan penjelasan nanti, setelah mereka tiba di hutan sana. Bulan purnama pun pelan tertutup awan hitam, seakan bersedih terhadap apa yang baru saja terjadi. Pertumpahan darah, penghianatan dan sebuah sandiwara. Bagian 31 Pesan Perpisahan "Apa yang engkau dengar dari kejadian semalam di atas bukit itu?" tanya Pambuka kepada Arme yang baru saja membeli beberapa keperluan dari pasar. "Orang-orang bilang bahwa Reiche telah berkelahi dengan orang jahat itu, yang membunuhi para pemuda untuk ilmunya. Reiche sekarang menjadi pahlawan," terang Arme. Mengangguk-angguk Pambuka mendengar penjelasan itu. Sudah diduganya akhir kejadian semalam akan menjadi seperti itu. "Dan kamu percaya itu?" tanyanya menguji muridnya. "Saya merasa ada yang janggal, guru..," jawab Arme jujur. Ya, ia merasa ada sesuatu yang aneh mengenai kejadian semalam, dan terlebih bukan saja karena ia adalah teman dekat Reiche, melainkan situasi tempat itu tidak tampak seperti bekas perkelahian. Dan sahabatnya itu bukan jenis orang seperti itu, dari hasil-hasil pembicaraan di antara mereka. "Sahabatmu itu adalah orang yang pintar. Amat pintar bahkan..," ucap gurunya hati-hati. Ia tidak tahu bagaimana dekatnya hubungan muridnya dengan Reiche. Jadi ia ingin menyampaikan pesan yang sebaik-baiknya demi kebaikan muridnya ini. "Maksud guru?" tanya Arme kemudian. "Bisa jadi apa yang dikatakan orang-orang itu adalah benar adanya. Reiche pada akhirnya memutuskan untuk melawan gurunya karena hati nuraninya telah tidak tahan. Dan bila begitu, itu hal yang bagus. Sesuatu perubahan telah timbul dalam murid keponakanku itu. Ia tidak lagi mewarisi watak jelek gurunya," ucap Pambuka. Ia mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan. "Yang aku takutkan adalah, apa yang terlihat bukan apa yang sebenarnya terjadi. Melainkan sama sekali lain." Sunyi sesaat karena Arme menunggu penjelasan lebih lanjut dari gurunya. "Bahwa Reiche tidak melawan gurunya, melainkan membunuh gurunya dengan tujuan mencuri hawa kehidupan gurunya dan juga korban-korban gurunya," perlahan-lahan Pambuka dalam menyampaikan hal ini. Berubah wajah Arme demi mendengar hal ini. Sama sekali tak bisa dibayangkan bahwa sahabatnya dapat melakukan hal yang sekeji itu. Tunduk pada perintah jahat sang guru sudah sulit ia menerimanya, dan ini melakukan dengan sadar kekejian yang lebih dalam. Penghianatan. "Tidak!! Kelihatannya tidak mungkin, guru!" ucapnya terkejut. "Ya, aku tahu kedekatanmu dengan Reiche. Sulit untuk menerima hal itu, bila benar adanya," ucap gurunya menenangkan. "Oleh karena itu aku harus melakukan sesuatu untukmu." "Apa itu guru?" tanya Arme tidak mengerti. "Aku akan mengoperkan tenagaku yang sudah pulih hampir lebih dari setengahnya kepadamu. Terima kasih atas perawatanmu selama ini. Aku harap setengah tenagaku ini cukup untuk engkau menjaga diri dan mengawasi sahabatmu itu," jelasnya. "Sisanya seperempat aku perlukan untuk mencari sang Tabib Semesta untuk mohon pengobatannya." "Jangan.. jangan guru berikan tenagamu itu!!" ucap Arme berusaha mencegah gurunya melakukan hal itu. Ia tahu itu akan membahayakan dan melemahkan kondisi kesehatan gurunya. "Tidak apa-apa, muridku!" ucapnya sambil menepuk kedua bahu muridnya. "Pemberian tenaga ini bukan cuma-cuma, engkau mendapat tugas yang berat. Engkau harus mengawasi sahabatmu itu dan membetulkan kesalahannya, bila tebakanku ini benar, bahwa ia telah mencuri hawa gurunya. Dan untuk tugas ini engkau belum cukup kuat melakukannya dengan tenagamu sendiri." Arme hanya mengangguk saja. Ya, ia tahu. Apalagi bila tebakan gurunya itu benar, sudah bisa dipastikan bahwa Reiche akan memiliki tenaga yang berlipat ganda. Dan ia perlu waktu lama untuk menyamai itu. Operan tenaga dari gurunya adalah satu-satunya jalan cepat untuk menjembatani hal itu. "Setelah pemindahan setengah tenagaku selesai, aku akan pergi. Engkau tak usah menunggu kedatanganku lagi. Mungkin aku tidak kembali. Untuk mengawasi Reiche, mintalah nasehat dari guru tulis-menulismu, guru Panengah dan juga penjual buku B?cher!" "Paman B?cher dan guru Panengah?" ucap Arme bingung. "Guru kenal dengan mereka?" "Mereka adalah kawan-kawan dari masa lampau, sebagaimana juga Panutu. Entah kebetulan kami bisa berdiam di tempatmu ini. Boleh dibilang B?cher dan Panengah malah sudah lama lalu ada di sini. Sudah mapan posisi mereka. Orang-orang pasti tidak curiga jika mereka berasal dari tempat lain," ucapnya sambil tersenyum. "Untuk tahu lebih lanjut, engkau tanya saja mereka. Dan untuk kasus dengan Reiche ini, bisa dipastikan mereka akan senang memberikan nasehat." Arme menangguk dan berjanji akan menjalankan baik-baik pesan gurunya. Bersahabat dengan Reiche untuk selalu menjaganya dari melakukan hal-hal yang tidak baik. Bagian 32 Penutup Pagi yang cerah. Burung-burung bernyanyi riang, Demikian pula dengan suasana hati dua orang pemuda yang telah menamatkan belajarnya di perguruan tulis-menulis dan hendak melanjutkan belajar ke kota Kern, kota pusat tlatah Nusantara. Reiche dan Arme akan pergi menuntut ilmu bersama-sama. Mereka berdua telah memenangkan semacam beasiswa dari perkumpulan penulis di kota tersebut. Adalah Paman B?cher yang mengajak mereka untuk ikut melamar dan mengirimkan karya-karya mereka mengenai ulasan buku-buku dari perkumpulan tersebut. Dengan persetujuan orang tua kedua pemuda tersebut Paman B?cher menjadi penanggung jawab mereka selama mereka bermukin di kota Kern. Dikarenakan lamanya mereka akan belajar di sana, paman B?cher menawarkan Reiche agar ia menjual semua buku-bukunya. Bisa menjadi usaha yang menguntungkan bagi seorang pedagan buku seperti dirinya. Sebenarnya niat sebenarnya adalah untuk mencari sebuah kitab yang diduga dimiliki oleh Reiche. Kitab Seratus Hari. Guru Panengah yang ternyata berilmu tinggi pula telah berusaha menyatroni kamar Reiche di malam hari saat pemiliknya berada di toko buku akan tetapi tidak berhasil menemukan apa yang dimaksud. Kitab itu seperti hilang ditelah bumi. Reiche sendiri mengaku tidak tahu menahu mengenai kitab itu, walaupun ia mengakui pernah membacanya dan menyuruh Arme menerjemahkannya. Paman B?cher yang ternyata adalah keturunan dari keluarga Paras Tampan yang keturuan Rawarang, si Maling Kitab, merasa bertanggung jawab apabila kitab yang berisikan ilmu yang agak sesat itu terjatuh ke tangan sembarang orang. Reiche sendiri yang dicurigai telah menjalankan suatu ilmu yang tidak baik, tidak bisa dibuktikan kesalahannya. Jadi Arme, paman B?cher dan guru Panengah masih mencari-cari kitab itu. Yang tidak diketahui oleh Reiche adalah hubungan antar ketiganya. Ia merasa ketertarikan paman B?cher terhadap kitab itu adalah biasa suatu ketertarikan pemilik toko buku terhadap buku-buku langka belaka. Kitab itu telah ia sembunyikan dengan baik di suatu tempat. Jadi ia dengan lega menjual seluruh koleksinya kembali kepada paman B?cher, dari mana ia dulu membelinya. Demikianlah kisah dua orang anak yang tumbuh di bawah didikan guru yang berbeda, menghasilkan watak yang berbeda pula. Sikap saling menghargai satu-sama lain sampai saat ini tidak membuat keduanya bersilang kepalan. Entah nanti di suatu waktu di masa depan. Waktu pun terus berlanjut mengiringi orang-orang yang terus mencari ilmu untuk membuat hidupnya bermakna. Selesai