dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 ANALISIS SOSIAL DALAM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN* Oleh: Darmawan Salman** Modul ini bertujuan memberi wawasan, kerangka dan contoh kasus tentang analisis sosial dalam perencanaan pembangunan. Analisis sosial dalam hal ini mencakup dua dimensi: (1) analisis potensi modal sosial untuk implementasi pembangunan; (2) analisis dampak sosial dari implementasi pembangunan. Sebelum menguraikan dua dimensi analisis sosial dimaksud, terlebih dahulu diuraikan konsep dan kerangka sistem sosial dalam konteks pembangunan. 1. Sistem Sosial-Budaya dalam Konteks Pembangunan Bila kita memandang kehidupan manusia sebagai sebuah sistem, maka setidaknya terdapat empat aspek yang harus diperhatikan di dalam sistem kehidupan manusia tersebut. Keempat aspek tersebut adalah: (1) aspek kehidupan biologis; (2) aspek kehidupan kepribadian atau psikologis; (3) aspek kehidupan kemasyarakatan atau aspek sosial; (4) aspek kehidupan kultural atau aspek budaya (Parsons, 1950). Masing-masing aspek merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar yakni sistem kehidupan manusia. Secara sibernetik keempat subsistem dari sistem kehidupan manusia merupakan sebuah hirarki yang tersusun ke bawah secara berurut: (1) subsistem budaya; (2) subsistem sosial; (3) subsistem kepribadian atau personalitas; (4) subsistem organisme biologik. Masing-masing subsistem pada akhirnya dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya akan terdapat pula sejumlah subsistem yang lebih kecil lagi. Semakin ke atas hirarki sibernetik ini semakin kaya informasi, semakin ke bawah semakin kaya energi. Sistem sosial budaya, dengan demikian, mengacu pada hanya dua dari empat subsistem kehidupan. Artinya, subsistem kepribadian/personalitas dan subsistem organisme biologis, berada diluar pembicaraan ini. Diasumsikan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian dan organisme biologik relatif tidak terlalu signifikan hubungannya dengan kagiatan pembangunan. Tentu saja, asumsi ini tidak selalu benar. Secara sosiologis, pengertian sistem sosial mengacu pada pemahaman yang menyatukan antara subsistem sosial dengan subsistem budaya. Diasumsikan bahwa realitas kemasyarakatan otomatis menyatu dengan realitas budaya. Bahwa budaya di satu sisi, dan masyarakat pada sisi lainnya, tidak akan bisa dipahami dan dianalisis tanpa mengaitkannya satu sama lain (Sallatang, 1999). Termasuk dalam melihat korelasinya dengan kegiatan pembangunan. ____________ * Makalah dipresentasikan dalam Diklat Fungsional Penjenjangan Perencana-Pertama (DFPP-Pertama), Bappenas-PSKMP Unhas, Makassar, 2005. ** Tenaga pengajar Sosek Pertanian dan peneliti pada PSKMP, Unhas. S1 Sosek Pertanian (Unhas, 1986), S2 Sosiologi Pedesaan (IPB, 1993), S3 Ilmu Sosial (Unpad, 2002). Dilihat dari hirarki sibernetiknya, sistem budaya berfungsi sebagai regulator atau pengarah bagi sistem sosial. Pada sistem budaya, terdapat sejumlah sistem nilai, sistem norma, sistem ideologi ataupun sistem pengetahuan, yang mempengaruhi, mengatur dan mengarahkan tindakan sosial para individu anggota suatu masyarakat. Dengan demikian, apakah suatu masyarakat akan berperilaku “environmentalis-ramah lingkungan” atau berprilaku “eksploitatif-merusak lingkungan”, akan sangat ditentukan oleh sistem budaya yang mereka anut. Tindakan ekonomi dan tindakan sosial anggota suatu masyarakat merupakan hasil konstruksi dari sistem nilai, norma, ideologi dan pengetahuan mereka. Di sini, menjadi sangat penting bagi seorang perencana atau pelaksana pembangunan, untuk memahami karakteristik latar budaya suatu masyarakat. Tindakan masyarakat hanya bisa dipahami dengan memahami latar budayanya. Namun demikian, harus juga dipahami bahwa sistem nilai, norma, ideologi dan pengetahuan, bukanlah suatu yang sepenuhnya “turun dari langit”. Secara dialektik, sistem nilai, norma, idelogi dan pengetahuan suatu masyarakat merupakan sebuah hasil proses belajar, hasil akumulasi pengalaman, dimana proses belajar dan proses mengalami tersebut berlangsung dalam dunia sosial kehidupan mereka. Dengan demikian, sistem budaya secara sebaliknya, juga merupakan hasil dari konstruksi sistem sosial (Koentowidjoyo, 1987). Artinya, ketika sistem sosial sekian lama berproses berdasarkan acuan sistem budayanya, pada gilirannya nanti sistem budaya tersebut bisa mengalami perubahan gradual sebagai hasil belajar dan hasil pengalaman dan praktek kehidupan yang berlangsung dalam sistem sosial. Menurut Berger (1988) terdapat tiga tahap hubungan dalam dialektika antara sistem sosial dengan sistem budaya. Pertama, proses dimana individu menginternalisasi apa yang menjadi pranata dalam sistem budayanya. Ini disebut tahap internalisasi. Kedua, proses dimana individu menimbang dan menilai apa yang diinternalisasi dari lingkungan sosial budayanya. Ini disebut tahap obyektivasi. Ketiga, proses dimana individu melakukan tindakan berdasarkan hasil obyektivasi dari apa yang diinternalisasi. Ini disebut tahap eksternalisasi. Siklus ini berulang sedemikian rupa sehingga sistem sosial mengalami dinamika. Dalam konteks pembangunan, dialektika antara sistem sosial dan sistem budaya menjadi penting untuk dipahami. Pertanyaan yang sering muncul dalam wacana pembangunan adalah: yang mana harus didahulukan, apakah mengubah struktur (sistem sosial) atau mengubah budaya (sistem budaya)? Dengan memahami dialektika sistem sosial dengan sistem budaya, kita akan dapat mensimplifikasi persoalan bahwa yang manapun didahulukan, apakah mengubah struktur atau mengubah kultur, pada akhirnya, dalam sepanjang perjalanan pembangunan, keduanya akan melebur dalam suatu dialektika perubahan. Modal sosial dalam pembangunan juga dapat dilihat dalam konteks dialektika antara sistem sosial dengan sistem budaya. Hal-hal apa dalam tatanan nilai, norma, simbol dan pengetahuan masyarakat yang fungsional dalam pencapaian tujuan mereka secara bersama dan kordinatif? Hal-hal apa dalam struktur dan interaksi sosial masyarakat yang mendukung pencapaian tujuan secara terorganisir dan kolektif? Ini adalah poin-poin dalam menganalisis potensi modal sosial dalam pembangunan. Dampak sosial-budaya dari kegiatan pembangunan juga harus dipahami dalam konteks dialektika demikian. Bahwa, sekali suatu pembangunan berdampak mengubah sistem budaya suatu masyarakat, maka itu berarti ia juga sekaligus mengubah sistem sosialnya. Begitu pula, sekali suatu pembangunan mengubah sistem sosial suatu masyarakat, maka itu berarti ia juga sekaligus mengubah sistem budayanya. 2. Pola Kebudayaan, Struktur Sosial dan Pembangunan Pembangunan adalah suatu proses perubahan terencana. Artinya, tanpa dibangunpun, sebuah masyarakat sebenarnya pasti akan berubah, pasti akan berkembang. Hanya saja, perubahan tersebut akan berlangsung tanpa terencana, ia akan berlangsung sesuai dinamika internal dan respon eksternal dari masyarakat itu sendiri. Dengan pembangunan, perubahan suatu masyarakat didesain dalam suatu skenario, dengan arah perubahan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Secara sosial budaya, dengan demikian, pembangunan dapat diartikan sebagai proses mengubah pola kebudayaan dan struktur sosial suatu masyarakat, sesuai kehendak dari pihak yang mendesain pembangunan tersebut. Lazimnya, selama ini, pihak yang mendesain pembangunan adalah negara, atau tepatnya rezim yang berkuasa. Dengan demikian, akan diubah ke arah mana pola kebudayaan dan struktur sosial suatu masyarakat, sangat dipengaruhi oleh paradigma dan teori pembangunan apa yang dianut oleh suatu negara. Di Indonesia, paradigma dan teori pembangunan yang dominan dianut adalah modernisasi. Terutama semasa rezim Orde Baru. Pada rezim pasca Orde Baru, paradigma dependensi telah sedikit diadopsi, tetapi ciri modernisasi tetap signifikan dalam praktek pembangunan. Dengan paradigma dan teori modernisasi, pembagunan diartikan sebagai proses mengubah pola kebudayaan dan struktur sosial dari cirinya yang tradisional sederhana menuju ciri baru yang modern dan kompleks. Modernisasi berdoktrin bahwa kalau masyarakat negara tertinggal ingin mengejar negara maju di Barat dan di Utara, maka lakukanlah modernisasi, tinggalkanlah pola kebudayaan tradisional, tinggalkanlah struktur sosial yang sederhana dan homogen. Pola kebudayaan yang berciri agraris-tradisional-feodalistik-moralistik harus ditransformasi manjadi pola kebudayaan yagn industrial-modernis-kapitalistik-rasionalistik. Struktur sosial yang berciri homogen-patronase, harus diubah menjadi struktur sosial terdiferensiasi dan kontraktual. Dengan berubahnya pola kebudayaan dan struktur sosial, modernisasi juga menghendaki terjadinya diferensiasi lembaga di dalam masyarakat. Pembagian kerja dan spesialisasi keahlian harus berlangsung dalam masyarakat, dan akibatnya adalah lembaga-lembaga juga harus terdiferensiasi. Fungsi-fungsi yang sebelumnya dimonopoli oleh lembaga keluarga/rumah tangga, dengan modernisasi fungsi-fungsi tersebut didistribusi kepada lembaga-lembaga yang semakin terdiferensiasi. Demikianlah, rumah tangga yang pada awalnya sekaligus sebagai unit produksi, dengan modernisasi, fungsi produksi tersebut diambil oleh pabrik. Bahkan, rumah tangga yang sebelumnya berfungsi sebagai unit konsumsi, oleh modernisasi fungsi tersebut diambil alih oleh restoran/rumah makan. Selanjutnya, lembaga-lembaga yang hadir menggantikan lembaga keluarga tersebut, berdiferensiasi lagi, semakin berkembang biak lagi, seiring dengan munculnya fungsi-fungsi baru, sehingga semakin komplekslah lembaga-lembaga dalam masyarakat. Demikianlah, pembangunan dengan skenario modernisasinya, sebenarnya sangat identik dengan perubahan pada pola kebudayaan, struktur sosial dan diferensiasi kelembagaan, dan pada ujungnya ia sebenarnya identik dengan proses peningkatan kompleksitas masyarakat. 3. Modal Sosial dalam Pembangunan Modal sosial telah semakin disadari urgensinya dalam pembangunan pada dekade terakhir. Menurut Fukuyama (2001), perkembangan ekonomi berkelanjutan pada berbagai negara ternyata berkorelasi dengan kebajikan sosial dalam masyarakatnya. Kebajikan sosial dalam bentuk kejujuran, sifat amanah dan dan dapat dipercaya menjadi prakondisi bagi berkembangnya tatanan yang mendukung manifestasi etos kerja dari kelompok enterpreneurship dalam menumbuhkan ekonomi. Terkait dengan proposisi di atas, konsep modal sosial menjadi sesuatu yang relevan. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Coleman (1988), yang memfokuskannya pada “sumberdaya yang muncul (emerging resources) dari hasil hubungan/interaksi antar orang yang memungkinkan pencapaian tujuan bersama”. Menurut Coleman, faktor-faktor yang mendukung munculnya modal sosial di balik interaksi antar individu adalah oblogasi (obligations), ekspektasi (expectations) dan saling kepercayaan (trustworthiness). Bahwa, modal sosial muncul bila terdapat saling kepercayaan antar individu dalam berinteraksi, sedemikian rupa sehingga satu individu dapat menjamin tindakan individu lainnya untuk tidak keluar dari kepercayaan yang diberikan, dan pada gilirannya dapat mengekspektasi perilaku individu tersebut selanjutnya. Faktor lain adalah bekerjanya saluran informasi (information channell) yang menjamin basis yang sama dalam bertindak. Faktor ketiga yang dikemukakan Coleman adalah bekerjanya norma-norma dan sanksi yang efektif. Interaksi antar individu akan menghasilkan modal sosial bila bekerja sebuah norma yang dipatuhi bersama dan terdapat sanksi yang efektif terhadap pelanggaran atas norma tersebut. Dalam konteks yang lebih operasional dalam pembangunan, Grotaert dan van Bastelaer (2002) mendefinisikan modal sosial sebagai “institutions, relationships, attitudes, and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development” (“kelembagaan-kelembagaan, hubungan-hubungan, perilaku-perilaku dan nilai-nilai yang mengarahkan interaksi diantara individu dan memberi kontribusi dalam perkembangan ekonomi dan sosial”). Artinya, sesuatu di balik interaksi antar individu bernilai modal sosial bila ia berkontribusi dalam perkembangan ekonomi dan sosial. Berdasarkan definisi ini, modal sosial dianalisis dalam dua bentuk (Uphoff, 2002). Pertama, bentuk modal sosial struktural (structural social capital), yaitu bentuk relatif obyektif dan dapat diamati dari sebuah struktur sosial seperti jaringan-jaringan (networks), ikatan-ikatan (associations) dan kelembagaan-kelembagaan (institutions) serta petunjuk (rules) dan prosedur (procedurEs) di balik bentuk struktural tersebut. Kedua, bentuk modal sosial kognitif (cognitive social capital), yaitu bentuk relatif subyektif dan elemen tidak terlihat dari interaksi antar individu seperti norma-norma perilaku (norms of behavior), nilai-nilai tersebar (shared values), hubungan timbal-balik (reciprocity) dan kepercayaan (trust). Kedua bentuk ini saling menguatkan satu sama lain, tetapi juga dapat muncul secara sendiri-sendiri. Keberadaan modal sosial dapat dianalisis dalam tiga level. Pertama, level mikro (micro level). Modal sosial ditemukan dalam bentuk jaringan horizontal antar individu dan rumah tangga beserta nilai dan norma yang terikat dengan jaringan tersebut. Contoh: bentuk gotong royong dan arisan dalam masyarakat. Kedua, level menengah (mezo level). Bentuk ini mencakup hubungan horizontal dan vertikal antar kelompok (dengan kata lain level dimana individu dan masyarakat berada sebagai satu kesatuan). Contoh: pengelompokan regional dari organisasi lokal, misalnya kasus UMSS di Filipina. Ketiga, level makro (macro level). Bentuk ini mencakup kelembagaan dan lingkungan politik yang berfungsi sebabagai latar (backdrop) dari aktivitas ekonomi dan sosial yang nyata serta kualitas dari pengaturan kepemerintahan (governance arrangements). Misalnya: supremasi hukum, sistem peradilan, atau kualitas kekuatan kontrak yang semuanya merupakan determinan dalam pertumbuhan ekonomi. Terdapat empat perspektif/cara pandang dalam menganalisis potensi modal sosial dalam pembangunan. Perspektif komunitarian (communitarian perspective) mendeskripsikan modal sosial sebagai kelompok dan organisasi lokal dengan fokus pada modal sosial produktif, misalnya dalam fungsinya untuk menanggulangi kemiskinan. Perspektif jaringan (networks view) menganalisis modal sosial dengan fokus hubungan-hubungan antara dan di dalam asosiasi horizontal dan vertikal. Pandangan ini menjembatani dikotomi intra dan antar ikatan komunitas. Manfaat modal sosial dilihat pada keanggotaan dari komunitas yang dengan itu menekan perilaku non kompromis anggota. Perspektif kelembagaan (institutional view) menempatkan lingkungan politik, hukum dan kelembagaan sebagai determinan pokok dari kekuatan jaringan komunitas. Perspektif sinergi (synergy view) mengintegrasikan fokus mikro, meso dan makro dari perspektif jaringan dan kelembagaan, yang pada gilirannya terfokus pada saling hubungan antara dan didalam pemerintahan dan masyarakat sipil. 4. Analisis Potensi Modal Sosial dalam Pembangunan Untuk menganalisis potensi modal sosial, telah dikembangkan sebuah instrumen yang disebut SOCAT atau Social Capital Assesment Tools (Krishna dan Shrader, 2002). Prinsip dasar dari SOCAT adalah: (1) ia mencakupi berbagai dimensi modal sosial (kognitif versus struktural; horizontal versus vertikal; homogen versus heterogen; formal versus informal); (2) ia mengintegrasikan metode kuantitatif dan kualitatif. Terdapat tiga fokus analisis potensi modal sosial SOCAT yakni: (1) profil komunitas (community profile), (2) surveri rumah tangga (household survey) dan (3) profil organisasi (organizational profile). 4.1. Analisis Profil Komunitas Analisis profil komunitas dilakukan dengan dua metode yakni “diskusi terbuka dengan komunitas” (open ended community discussions) dan “wawancara terstruktur dengan komunitas” (structured community interviews). Melalui “diskusi terbuka dengan komunitas”, data-data yang perlu dikumpulkan dan dianalisis adalah: (1) definisi batas-batas komunitas dan identifikasi asset-asset komunitas; (2) kasus-kasus aksi kolektif yang terdapat dalam komunitas; (3) diskusi mengenai pengelolaan komunitas (community governance) dan proses pengembilan keputusan yang berlangsung; (4) identifikasi atas bentuk-bentuk organisasi lokal yang ada; (5) penilaian terhadap saling hubungan antara organisasi lokal dengan level komunitas; (6) diskusi mengenai jaringan-jaringan kelembagaan dalam komunitas. Dari keseluruhan diskusi ini, output yang diharapkan adalah: (1) peta komunitas yang mengindikasikan lokasi asset dan pusat pelayanan komunitas; (2) catatan observasi proses diskusi dan ringkasan hasil diskusi; (3) daftar dari keberadaan asset dan jasa komunitas; (4) studi kasus aksi kolektif dan organisasi sosial yang ada; (5) diagram Ven yang menunjukkan aksesibilitas organisasi lokal yang berbeda; (6) diagaram kelembagaan dari saling hubungan antara organisasi lokal dengan penyedia jasa. Melalui wawancara terstruktur terhadap komunitas, data-data yang perlu diungkap adalah: (1) karakteristik umum komunitas mencakup umur, ukuran, aktivitas ekonomi utama, batas geografis, pola hubungan dengan dunia luar, persepsi tentang solidaritas, saling kepercayaan, dan kualitas kehidupan; (2) jasa/pelayanan utama mencakup fasilitas listrik, lampu umum, air bersih, jasa komunikasi, pembuangan sampah, pasar umum, fasilitas transportasi, dan keamanan/keselamatan umum; (3) kondisi demografis dan migrasi masuk/keluar; (4) kondisi pendidikan; (5) kondisi kesehatan; (6) isu-isu lingkungan; (7) dukungan komunitas mencakup kelompok lapis bawah, NGO dan organisasi pemerintah. 4.2. Survei Rumah Tangga Melalui survei rumah tangga, data yang dikumpul mencakup: (1) karaketristik rumah tangga; (2) genogram; (3) dimensi struktural modal sosial mencakup karakteristik dan densitas organisasi, ekspektasi menyangkut jaringan dan saling bantu, pola-pola eksklusi dan bentuk-bentuk aksi kolektif yang ada; (4) dimensi kognitif dari modal sosial mencakup norma-norma, nilai-nilai, perilaku dan kepercayaan yang berkaitan dengan solidaritas, kepercayaan dan resiprositas. Output dari survei ini dapat diklasifikasi dalam tiga kelompok data yakni: pemahaman tentang solidaritas, kepercayaan dan kerjasama serta konflik dan resolusi konflik. 4.3. . Analisis Profil Organisasi Penyusunan profil organisasi dilakukan dengan menggunakan koleksi data melalui wawancara semi terstruktur dengan pemimpin, anggota dan non anggota dari suatu organisasi. Informan kunci ditujukan mengungkap data kemunculan dan sejarah organisasi, kualitas keanggotaan, kapasitas instititusional dan kepemimpinan, partisipasi, budaya organisasi, jaringan kelembagaan dan sebagainya. Berdasarkan sifat mobilisasi sumber, pola-pola organisasi, pola-pola pembagian manfaat dan karakteristik reinvestasi surplus, terdapat lima kategori fungsional tipe aksi kolektif dan organisasi sosial dalam sebuah komunitas. Pertama, tipe dukungan bersama (mutual support). Pada tipe aksi kolektif ini, sumber-sumber individual dimanfaatkan bersama berdasarkan prinsip timbal-balik (resiprositas) tradisional antar rumah tangga dalam suatu pola hubungan diadik. Ikatan timbal-balik yang tercipta sifatnya ad-hoc (sementara, sesuai kebutuhan), terbentuk dan berkembang pada saat dibutuhkan dalam kondisi tertentu, antara keluarga-keluarga, teman setetangga, atau teman sekerabat. Pada tipe ini, manajemen organisasi tidak terlalu dibutuhkan, ia direplikasi hanya saat dibutuhkan, dan anggotanya bisa berganti sesuai kesepakatan. Di Indonesia, tipe aksi kolektif seperti ini banyak ditemukan dalam bentuk kegiatan gotong royong. Kedua, tipe pengelompokan sumber (resources pool). Pada tipe ini, sumber-sumber individual dikumpulkan bersama untuk tujuan pemanfaatan secara kolektif oleh para anggota. Berlawanan dengan tipe “dukungan bersama” yang diatur dalam prinsip diadik, pada tipe pengelompokan sumber aksi-aksi dilakukan dengan peran-peran tertentu yang terlembagakan. Manfaat dari aksi kolektif dibagi diantara para anggota menurut aturan yang telah disepakati. Aksi komunitas yang semacam ini menghasilkan bukan hanya perilaku terpola dari para anggota dalam hal partisipasi tetapi juga meningkatkan kemampuan anggota untuk menciptakan aturan-aturan guna mengejar manfaat secara bersama atas dasar kesepakatan bersama. Di Indonesia, tipe aksi kolektif seperti ini bisa dilihat pada kasus arisan yang banyak berlangsung di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Uang dikumpulkan oleh sejumlah anggota untuk kemudian secara bergilir diterima oleh tiap anggota. Manfaat dari aksi kolektif seperti ini adalah terkumpulnya modal lebih besar pada rumah tangga pada waktu tertentu sehingga bisa diinvestasikan atau dimanfaatkan pada kegiatan berskala besar dibanding hanya berbasis pada modal individu. Pada arisan kerja tipe dukungan bersama seperti ini juga bisa ditemukan, misalnya pada kasus kombong di Enrekang Sulawesi Selatan. Ketiga, tipe manajemen asset (asset management). Jika ada asset komunitas yang dimilki secara kolektif para anggota, haruslah terdapat organisasi untuk pemanfaatan secara kolektif dan pengelolaan secara kolektif. Pada tipe ini, individu tertentu ditetapkan sebagai anggota dari kelompok pengelola asset melalui konsensus komunitas untuk memikul tanggung jawab atas manajemennya, sementara para anggota mengkontribusikan sumber-sumber seperti kapital dan tenaga. Di Indonesia, tipe organisasi sosial seperti ini mungkin dapat ditemukan dalam praktek pengelolaan tanah ulayat. Pengalaman manajemen asset seperti ini dapat direplikasi dalam mengelola asset bersama bagi pembangunan. Keempat, tipe manajemen sumberdaya (resource management). Pada tipe manajemen asset, surplus tidak tercipta dalam aksi kolektif yang berlangsung, sedangkan pada tipe manajemen sumberdaya, ada kegiatan komunitas yang bisa menghasilkan surplus untuk dibagikan dan direinvestasi. Tipe organisasi sosial seperti ini lazimnya dikembangkan atas dasar kepentingan-kepentingan ekonomis dari anggota-anggota komunitas. Untuk menjadi anggota dalam organisasi seperti ini terdapat persyaratan tertentu untuk menjadi anggota di dalamnya dengan peran-peran khusus dan tanggung jawab yang dispesifikasi kepada para pemimpin dan anggota-anggotanya. Tipe manajemen sumberdaya mempunyai anggaran rumah tangga yang tertulis dan menjelaskan kepada anggotanya perihal manajemen organisasi, partisipasi, pembagian hasil/manfaat serta sanksi-sanksi yang dikenakan bagi pelanggaran dan ketidakpatuhan. Cakupan kegiatan dari organisasi ini, mulai dari manajemen sumber-sumber hingga hubungan sosial antara para anggota digerakkan ke arah manfaat bagi para anggota tanpa relevansi substantif dengan yang bukan anggota dalam komunitas itu. Di Indonesia, tipe organisasi sosial seperti ini dapatdilihat pada aktivitas koperasi. Kelima, tipe otonomi desa (village autonomy). Berbeda dengan penciptaan surplus pada tipe manajemen sumberdaya, organisasi sosial bagi pemerintah sendiri akan diwujudkan dengan syarat adanya norma-norma sosial tertentu untuk mencapai cita-cita bersama dan wewenang untuk memobilisasi sumber individual dari seluruh rumah tangga anggota komunitas itu. Organisasi sosial demikian bukan untuk mereinvestasi surplus mereka ke arah konsolidasi basis organisasional mereka, tetapi juga untuk mentransfer sebagian surplus ke kegiatan organisasional lainnya dalam komunitas bersangkutan. Pada tipe ini, organisasi sosial telah menciptakan jaringan pada tingkat komunitas lokal keseluruhan. Untuk kepentingan pembangunan, yang perlu dicatat di sini adalah sejauhmana sebuah organisasi sosial memiliki norma-norma untuk memaksakan mobilisasi sumber serta mentransfer surplus itu dalam sebuah komunitas. 5. Analisis Dampak Pembangunan terhadap Sistem Sosial Budaya Dengan mengacu kepada paradigma dan teori pembangunan versi modernisasi, yang selama lebih dari tiga puluh tahun dianut oleh Indonesia, perubahan pada kondisi sosial-budaya sebenarnya bukanlah sekedar tampak dari kegiatan pembangunan, melainkan ia adalah target perubahan dari pembangunan itu sendiri. Ia adalah subyek yang otomatis menjadi target dari pembangunan. Ia adalah entitas yang memang menjadi bagian dari rencana pembangunan yang didesain. Ia bukanlah sekedar dampak. Wacana tentang dampak sosial-budaya dari kegiatan pembangunan muncul, itu karena sering terjadi perubahan sosial-budaya diluar dari yang direncanakan. Seringnya terjadi pembangunan fisik infrastruktur-fasilitas yang hanya memikirkan dan merencanakan pembangunan fisik itu sendiri tanpa mengantisipasi perubahan sosial-budaya apa yang kemungkinan terjadi akibat perubahan fisik tersebut. Bahkan dampak tersebut bukan hanya muncul setelah proyek pembangunan fisik selesai, setelah bangunan fisik berfungsi, tetapi juga ketika proses pembangunan itu sendiri sementara berlangsung. Dengan demikian, khusus untuk pembangunan fisik infrastruktur dan fasilitas, dampak sosial budayanya akan dapat diidentifikasi bila ia dilihat sebagai rangkaian sejumlah tahapan proses pembangunan. Tahapan-tahapan tersebut dapat diidentifikasi atas: (1) tahapan perencanaan (pra implementasi); (2) tahapan pelaksanaan (proses implementasi); (3) tahapan pemamfaatan (pasca implementasi). 5.1. Dampak Sosial-Budaya pada Tahapan Perencanaan Pembangunan Ketika pada suatu daerah, atau suatu komunitas, terdengar akan terkena suatu proyek pembangunan fisik, katakanlah pembangunan waduk, pengaspalan jalan, pebaikan jembatan, atau konstruksi bangunan sekolah, ketika itu pula dalam masyarakat sebenarnya sudah terjadi kasak-kusuk. Mereka telah menggunjingkan pembangunan tersebut satu sama lain. Mereka telah mendiskusikan apa yang akan berubah bila pembangunan tersebut jadi terlaksana. Pada saat seperti itu, bila detail perencanaan pembangunan disusun tanpa kemudian menanyai aspirasi masyarakat tenyang proyek yang akan dilaksanakan tersebut, maka ketika itulah masyarakat mulai terpinggirkan oleh pembangunan. Akan timbul rasa termarginalisasi dan ketakberdayaan terhadap sebuah desain perubahan yang berhubungan langsung dengan hidup dan nasib mereka tetapi mereka tidak dilibatkan. Mereka seakan dialienasikan dari perubahan yang justru menjadikan mereka sebagai obyeknya. Bila masyarakat dihargai aspirasinya pada fase perencanaan pembangunan, atau fase sosialisasi sebuah rencana pembangunan, maka dalam masyarakat tersebut akan muncul apa yang disebut sebagai sense of identification, kepekaan didalam mengidentifikasi kebutuhan dan masalah yang mereka hadapi. Sebaliknya, bila sebuah pembangunan hadir begitu saja ditengah masyarakat, maka yang muncul adalah sense of alienation, rasa keterasingan dari pembangunan, kepekaan akan marginalitas atau peminggiran akibat pembangunan. 5.2. Dampak Sosial Budaya pada Tahapan Pelakasanaan Pembangunan Pada tahapan pelaksanaan pambangunan, dampak sosial budaya menjadi lebih beragam lagi. Ketika ganti rugi diberikan secara tidak pantas dan tidak adil, ketika itu protes sosial akan muncul. Tidak jarang, dampak penggusuran rumah tangga dari tempat tinggalnya, akan menyebabkan terjadinya gelombang pergolakan sosial, seperti yang misalnya terjadi pada sejumlah pembangunan waduk, lapangan golf, lokasi pemukiman ataupun lokasi industi. Manajemen pembangunan yang tidak becus akan memacu terjadinya tindakan resistensi dalam masyarakat. Sekali praktek pembangunan yang tidak becus demikian terjadi, sustainabilitas pembangunan secara sosial tidak terjamin. Proyek pembangunan yang dijalankan kemudian menjadi rawan aksi protes. Bahkan cukup banyak bukti menunjukkan bahwa pembangunan dengan penggusuran tanah yang tidak adil pada akhirnya berdampak jangka panjang dalam bentuk penyerobotan dan perusakan bangunan setelah rezim yang menggusur tersebut jatuh. Atau bisa juga, masyarakat menderita stres dalam kondisi ketakberdayaan bila rezim sang pemilik pembangunan tidak jatuh-jatuh. Dampak protes juga sering muncul ketika sebuah pembangunan tidak mengindahkan nilai budaya dan penghargaan religius-historis suatu masyarakat. Ketika seorang konglomerat-kapitalis Jakarta seenaknya ingin membangun sebuah resort mewah dikawasan yang diproteksi secara historis-religius-kultural masyarakat Bali, maka ketika itulah pergolakan muncul, protes sosial meledak. Ketika pembangunan sebuah kawasan industri tidak memamfaatkan tenaga kerja lokal, atau memamfaatkan tetapi dengan upah yang eksploitatif, ketika itulah protes masyarakat setempat terjadi. Ketidakterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan juga bisa menyebabkan tidak adanya rasa memiliki terhadap hasil pembangunan pada masyarakat. Pembangunan tidak melahirkan sense of integrity dalam masyarakat. Bahkan ketika petani dipaksa mengganti pupuk urea prill menjadi urea tablet secara paksa dan tidak rasional, ketika itulah aksi protes terjadi. Kita akan dapat menemukan sejumlah variasi dampak ekstrim dari pelaksanaan pembangunan. 5.3. Dampak Sosial-Budaya pada Tahapan Pemanfaatan Pembangunan Pembangunan akan memberi kesempatan, fasilitas dan peluang kepada masyarakat untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraannya. Ketika hasil-hasil pembangunan tersebut tidak terdistribusi relatif adil dan merata dalam masyarakat, maka ketika itulah dampak kesenjangan sosial-ekonomi akan terjadi. Pembangunan menyebabkan masyarakat terpolarisasi atas yang kaya dan yang miskin, pembangunan akan memacu kecemburuan sosial, pembangunan akan meledakkan konflik sosial. Sebuah bangunan kawasan industri, perkebunan besar, atau eksplorasi pertambangan yang hanya memberi kemamfaatan kepada segolongan masyarakat sebaliknya meminggirkan masyarakat lain, sangat rawan dengan dampak kecemburuan sosial dan potensi konflik. Apalagi bila pihak yang diuntungkan tersebut adalah kelompok pendatang pada sebuah komunitas lokal. Hasil pembangunan juga sering berdampak pada “matinya” budaya lokal. Ketika sebuah industri dibangun di tengah komunitas lokal, maka tunggulah, nilai dan norma budaya masyarakat lokal tersebut akan terpinggirkan, secara perlahan penganutnya akan mengikuti nilai dan norma budaya yang dikonstruksi oleh kompleks industri tersebut. Demikianlah, maka ketika sebuah pusat wisata pantai tidak terhindarkan harus menghadirkan prostitusi di dalam kawasannya, maka ketika itulah komunitas lokal tersebut juga mengenal prostitusi: sebagian menolaknya, sebagian menikmatinya. Pembangunan adalah sebuah ajaran tentang rasionalisme dan individualisme. Maka, ketika sebuah pusat ekonomi hadir di tengah masyarakat desa yang kaya akan gotong royong, terpola dalam aktifitas saling memberi dan menolong, dengan pusat ekonomi tersebut mereka akan berubah secara perlahan menjadi sangat rasional, komersial, dan individualistik. Jangan lagi menuntut dari mereka kegotong-royongan atau saling tolong, karena dalam hidup ini memang tidak ada yang gratis menurut rasionalisme dan individualisme. Dari berbagai ilustrasi diatas, dampak sosial budaya kegiatan pembangunan dapat diklasifikasi dalam beberapa kategori. Pertama, dampak yang sifatnya berhubungan langsung dengan perubahan struktur sosial seperti kesenjangan sosial, sehingga struktur sosial yang awalnya berpola stratifikasi oleh pembangunan berubah menjadi struktur polarisasi. Ini sangat lazim terjadi dalam praktek pembangunan kita, nilai tambah pembangunan hanya dinikmati oleh lapisan masyarakat tertentu saja, sebaliknya lapisan masyarakat lain justeru hanya sering menjadi korban. Kedua, dampak yang sifatnya berhubungan dengan perubahan pola interaksi/proses sosial dalam masyarakat. Ketika praktek pembebasan tanah tidak berlangsung dalam masyarakat, pola konflik dan konfrontasi tidak dikenal oleh masyarakat. Tetapi karena pembebasan tanah demi pembangunan tidak adil, masyarakat kemudian mengenali tindakan protes, pergolakan sosial dan pengrusakan. Pembangunan jadinya menstimulasi perilaku konflik dalam masyarakat. Ketiga, dampak yang berhubungan dengan kondisi psiklogis seseorang yang terkenai pembangunan. Tidak sedikit orang yang wilayah tinggalnya terkena kegiatan pembangunan menderita stres dan depresi karena ketidakberdayaan menolak dampak pengorbanan demi pembangunan. Penelitian Dr. Meutiah Hatta di Jakarta misalnya, menunjukkan bahwa hampir semua korban penggusuran demi pembangunan menderita stres ringan, stres berat, bahkan depresi. Juga, tidak sedikit orang sekitar Kedungombo, Jawa Tengah, menderita gangguan jiwa karena berada dipuncak ketakutan dituduh komunis akibat menolak meninggalkan rumah berhubung ganti rugi dari pihak pengelola proyek terlalu rendah. Keempat, dampak yang berhubungan dengan nilai dan norma budaya masyarakat. Nilai dan norma lokal sangat banyak yang terbongkar akibat terpaan industrialisasi. Semakin kuatnya komersialisme, individualisme, dan rasionalisme, menjadikan niali tradisional-lokal seperti kegotong-royongan, kolektivisme, dan moralisme, tereduksi bahkan hilang dalam tatanam nilai dan norma masyarakat. 6. Pendugaan Dampak Sosial Budaya Kegiatan Pembangunan Dampak sosial budaya kegiatan pembangunan bukanlah hal yang mudah diduga. Pertama, ini disebabkan karena ruang sosial-budaya itu sendiri bukanlah ruang yang hampa udara, bukanlah ruang yang statis. Ia memiliki isi dan ia sifatnya dinamis. Hal yang pada suatu saat dianggap melanggar norma dan nilai secara ekstrim suatu masyarakat, pada saat lain sudah bisa ditolerir oleh masyarakat bersangkutan. Begitu pula sebaliknya. Suatu dampak yang sebelumnya tidak dipersoalkan oleh masyarakat, pada saat lainnya justeru menjadi masalah signifikan. Terdapat relativitas waktu yang harus diperhatikan didalam menduga dampak. Kedua, reaksi masyarakat terhadap suatu proyek pembangunan, ia kadang berbeda dari suatu lokalitas ke lokalitas lainnya. Pada suatu daerah, prostitusi terang-terangan dibalik industri pariwisata sudah bisa diterima; pada daerah lainnya prostitusi tersembunyi bisa menimbukan protes radikal. Pada suatu daerah, polusi bau bisa diterima oleh masyarakat; pada daerah lain polusi bau memicu protes sosial. Terdapat relativitas lokasi yang harus diperhatikan dalam pendugaan dampak. Ketiga, untuk dampak yang sama, sering kali proyek berbeda akan terpresentasi secara berbeda pula. Untuk dampak penyerapan tenaga kerja misalnya, dampak penyerapan tenaga kerja sebuah industri manufaktur akan berbeda secara sosio-psiklogis dengan penyerapan oleh industri pemukiman. Tenaga kerja yang diserap oleh sebuah pabrik manufaktur akan merasa lebih tenteram dan terjamin masa depannya dibanding buruh yang diserap oleh sebuah industri pemukiman. Terdapat realitas proyek yang harus diperhatikandi dalam menduga dampak. Keempat, peranan agen demokrasi juga harus dilihat. Proyek yang jenisnya sama dan waktunya sama bisa saja berbeda dampak sosial budaya yang dihadapinya, ketika dalam masyarakat hadir agen demokrasi yang berbeda. Reaksi suatu masyarakat terhadap pencemaran yang tidak memiliki LSM dan tokoh gerakan protes akan berbeda dengan masyarakat yang didalamnya bekerja LSM atau advokator. Kelima, dampak sosial budaya bukanlah hal yang mudah dikuantifikasi. Dampak sosial-budaya sifatnya kualitatif dan subyektif. Ia tidak bisa dihitung dalam angka-angka. Karena itu, pendugaan dampak sosial yang mencoba membandingkannya dengan dampak ekonomi dan dampak lingkungan, sering kali kesulitan dalam mencari standar yang sederajat untuk membandingkan dampak. Siapa yang bisa mengkuantifikasi dampak stres dan depresi dari pembangunan ? Relativitas angka-angka harus diperhatikan. Setidaknya lima relativisme ini yang harus disadari lebih dahulu didalam upaya menduga dampak sosial-budaya sebuah kegiatan pembangunan. Selanjutnya, dampak sosial-budaya dapat diduga dengan memperhatikan variabel-variabelyang berhubungan dengan karakteristik perencanaan, model pelaksanaan dan tingkat kemamfaatan dari suatu kegiatan pembangunan. Variasi-variasi pada tiga tahapan pembangunan ini yang selanjutnya mempengaruhi dampak sosial-budayanya. Contoh sederhana pendugaan dampak sosial-budaya dapat dilihat seperti ilustrasi berikut ini. 6.1. Ilustrasi Kasus Pemerintahan negara Indonesia (nama samaran sebuah negara) berencana membangun sebuah waduk di daerah Jawa Tengah (nama samaran propinsi di negara samaran tersebut), untuk memenuhi kebutuhan air persawahan di propinsi tersebut dan sekitarnya. Pendanaan bagi pembangunan waduk berasal dari Bank Dunia, bernilai jutaan dollar, diberikan dalam bunga rendah dan masa mencicil yang cukup lama. Pemerintah mentargetkan dalam tiga tahun waduk tersebut harus berfungsi. Untuk pembangunan waduk tersebut, empat buah desa sekitar sungai yang akan dibendung harus ditenggelamkan. Itu berarti pemindahan pemukiman harus dilakukan secara besar-besaran, karena total penduduk keempat desa mencapai sekitar 10.000 jiwa, atau sekitar 2.500 rumah tangga. Lahan tani, pemukiman, serta bangunan rumah dan tanaman/pohon para warga tersebut harus diberi gantu rugi. Untuk pembangunan waduk selama tiga tahun, dibutuhkan tenaga kerja sekitar 1.000-2.000 orang. Selain untuk pekerjaan kasar, tenaga kerja yang dibutuhkan tersebut harus memiliki keterampilan dalam teknik bangunan dan hidrologi. Juga, dibutuhkan bahan bangunan seperti batu gunung dan pasir untuk konstruksi bendungan dan saluran. Alat-alat berat akan harus dimasukkan ke kawasan, sementara jalanan menuju desa-desa tersebut hanya jalan pengerasan. Daerah rencana proyek tersebut, meskipun jalanan ke sana belum beraspal, sangat dekat dengan ibu kota propinsi. Di ibu kota propinsi, terdapat sebuah Universitas Negeri yang maju, beberapa penerbitan surat kabar berkiprah, bahkan LSM lokal yang memiliki jaringan internasional juga sudah berkembang. Sedangkan jarak antara lokasi bakal waduk dengan ibu kota kabupaten lebuh dekat lagi. Di ibu kota kabupaten tersebut berkembang ekonomi yang sudah berciri industri, tetapi dipinggiran kotanya kegiatan pertanian masih sangat dominan. Masyarakat yang mendiami desa-desa yang akan ditenggelamkan untuk pembangunan waduk dikenal sebagai suku yang berwatak keras. Pada masyarakat tersebut berkembang sebuah nilai yang terwariskan turun temurun, nilai ini sangat mengapresiasi penghargaan terhadap hak orang lain. Nilai ini juga menjunjung tinggi harkat-martabat seseorang, sangat menjunjung solidaritas sosial dan ikatan kekerabatan serta kegotongroyongan. Dengan nilai inilah berkembang sistem sanksi sosial dalam masyarakat. Dengan nilai inilah perilaku masyarakat terpolakan. Warga masyarakat yang berdiam di lokasi calon waduk relatif homogen. Mereka berasal dari satu suku saja, bahkan mereka cenderung masih saling terkait dalam suatu klan keluarga luas. Tingkat kehidupan sosial ekonomi relatif “merata”, tidak ada yang berlaku kaya, juga tidak ada yang terlalu miskin. Karena ada yang memiliki tanah dan ada yang tidak, relasi sosial cenderung berpola patronase. Pola patronase ini juga dikondisikan oleh masih tingginya penghargaan masyarakat terhadap status sosial yang sifatnya askriktif, yakni status yang dimiliki karena garis keturunan. Secara umum, pola budaya masyarakat ini masih feodalistik, dalam arti ia adalah pola budaya yang masih mengacu pada nilai dan eksistensi tanah (feod: bahasa Jerman) sebagai acuan tatanam budaya. 6.2. Ilustrasi Pendugaan Kasus Untuk menduga dampak sosial-budaya yang kemungkinan muncul pada kegiatan pembangunan seperti diatas, pertama-tama perhatian harus ditujukan pada tahapan-tahapan kegiatan pembangunan itu sendiri yakni tahapan pra implementasi, tahapan implementasi dan tahapan pasca implementasi pembangunan. Kita harus mampu memprediksi, meskipun tidak secara tetap betul, dampak sosial-budaya yang kemungkinan muncul. Pada kasus di atas, pada tahap pra implementasi pembangunan, setidaknya sudah bisa diduga bila sosialisasi proyek kepada masyarakat tidak dilakukan secara dini, target tiga tahun penyelesaian proyek bisa menjebak pihak pelaksana untuk terburu-buru memulai pekerjaan tanpa mengindahkan lagi pentingnya sosialisasi. Sindrom yang sering kita alami adalah, bahwa sebuah proyek berasal dari pusat, dana dan peralatan semuanya didatangkan dari luar, maka pelaksana proyek merasa tidak berkepentingan lagi mendekati masyarakat untuk menjelaskan esensi dan tujuan dari proyek. Dampak marginalisasi masyarakat lokal akan terjadi pada proyek seperti di atas bila sosialisasi pra implementasi tidak dilakukan. Dampak marginalisasi pada proyek seperti di atas akan muncul lebih nyata lagi ketika penduduk harus dipindahkan dari rumah dan lingkungan hidupnya. Mereka harus tercerabut dari rumah, tanah dan kawasan pemukiman tempatnya lahir dan tumbuh. Inilah marginalisasi yang sebenarnya, yang lebih dekat maknanya kepada makna penggusuran. Dampak penggusuran pada proyek seperti di atas merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Ketika marginalisasi secara riil harus dirasakan masyarakat, lalu praktek pembebasan tanah tidak mengindahkan prinsip ganti rugi yang adil, maka pada kasus seperti di atas potensi dampak protes masyarakat akan lebih signifikan lagi. Masyarakat akan sangat potensil melakukan protes sosial karena meskipun mereka tinggal di desa tetapi pengetahuan mereka tentang adanya anggaran khusus untuk pembebasan tanah yang bernilai cukup tinggi, tidak bisa dihalangi. Apalagi pada kasus di atas yang sangat dekat dengan akses media massa dan LSM. Pada tahap pelaksanaan, dampak utama yang akan muncul adalah ketegangan-ketegangan dalam proses pelibatan tenaga kerja lokal ke dalam proyek. Di satu pihak, proyek membutuhkan tenaga berkualifikasi khusus; disis lain tenaga kerja masyarakat lokal sangat berlimpah sehingga tidak semua bisa direkrut. Ketegangan-ketegangan tidak bisa dihindari dalam hal ini, akan muncul pertanyaan pada masyarakat lokal tersebut, mengapa yang lain direkrut dan yang lain tidak. Dampak lain secara sosial adalah kebisingan, hiruk pikuk dan kesibukan selama pembangunan fisik yang bisa meningkatkan stres dalam masyarakat. Pada tahap pasca implementasi proyek, atau pada tahap pemanfaatan hasil pembangunan, dampak yang paling signifikan adalah perubahan sosial-ekonomi secara gradual yang otomatis harus terjadi. Kawasan bendungan akan diikuti oleh berkembangnya wisata, intensifikasi pertanian akan berlangsung karena lancarnya irigasi, komersialisasi ekonomi dan individualisasi sikap hidup, secara perlahan akan terjadi. Perubahan sosial-ekonomi akan menerpa petani dan mengubah struktur sosial serta pola budayanya. Nilai-nilai lokal asli akan berasimilasi dengan nilai-nilai baru yang berkembang seiring dengan ciri industrial masyarakat yang diakibatkan oleh kehadiran bendungan, bisa juga nilai lokal tersebut bersifat resisten sehingga konflik antar penganut nilai berbeda bisa tercipta. 7. Prinsip Dasar Penanganan Dampak Sosial-Budaya Prinsip pertama dalam penaganan dampak sosial-budaya kegiatan pembangunan adalah prinsip pencegahan. Apapun dampak sosial-budaya yang dibayangkan akan muncul harus secara dini dicegah. Bila tidak, akumulasi ketegangan, kecemburuan sosial dan potensi konflik akan tumbuh secara perlahan dan meledak dalam bentuk dampak yang sangat besar. Persoalannya disini adalah, perencana dan pelaksana pembangun sering kali menganggap remeh protes dan pembangkangan kecil masyarakat lokal. Protes dan pembangkangan tersembunyi selalu dianggap bisa hilang dengan sendirinya. Pada hal, pengalaman menunjukkan bahwa pergolakan di Kalimantan, Irian dan sebagian Jawa, itu adalah hasil akumulasi dari protes dan pembangkangan tersembunyi yang selama ini tidak diperhatikan. Setiap unit proyek cenderung memperhatikan dampak pada proyek itu sendiri secara terisolir dari proyek lain, padahal yang diperlukan disini adalah pencegahan dini pada setiap unit proyek agar tidak tercipta akumulasi dengan unit proyek lainnya. Bila pencegahan dampak sosial tidak bisa dilakukan secara tuntas, prinsip kedua yang harus dipegang adalah, lebih baik meledakkan potensi ketegangan, kecenburuan atau konflik dalam skala kecil dengan intensitas tinggi, dari pada memaksa meredam potensi ketegangan, kecemburuan dan konflik tersebut sehingga suatu saat Ketika ia harus meletus skala dan akibatnya menjadi besar sekali. Dalam sosiologi konflik, ini disebut sebagai prinsip savety falve (prinsip katup pengaman). Ketiga prinsip negosiasi dan konsensus. Resistensi masyarakat terhadap suatu kegiatan pembangunan, atau terhadap suatu hasi pembangunan, secara sosial-budaya bisa diselesaikan dengan menggunakan teknik negosiasi dan konsensus yang baik. Untuk kepentingan ini, public hearing harus dilakukan secara berkala untuk dapat menangkap inti dari aspirasi masyarakat yang bisa dijadikan pegangan dalam negosiasi dan konsensus. Masyarakat harus didekati oleh perencana dan pelaksana pembangunan, bukan malah menjauhi dan memarginalkannya. DAFTAR PUSTAKA Coleman, J.C., 1999. “Social Capital in the Creation of Human Capital”, dalam Dasgupta dan Serageldin (Eds.), Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington: The World Bank. Grootaert C. dan T. van Bastelaer, 2002. Understansing and Measuring Social Capital: A Multidiciplinary Tool for Practitioners. Washington: The World Bank. Koentowidjoyo, 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Bentang Budaya. Parsons, Tallcot, 1950. The Social System. New York: Kumarian Press. Sallatang, M. Arifin, 1999. Masyarakat, Budaya dan Lingkungan (Makalah TMPP-D). Makassar: PSKMP Unhas.