dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 Keberagamaan Yang Tulus; Keberagamaan Sejati KH. Jalaluddin Rakhmat Dalam Kitab Matsnawi, Jalaluddin Rumi bercerita: Dahulu, ada seorang muadzin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Ia memanggil orang untuk shalat. Banyak orang memberi nasihat kepadanya: “Janganlah kamu memanggil orang untuk shalat. Kita tinggal di negeri yang mayoritas bukan beragama Islam. Bukan tidak mungkin suara kamu akan menyebabkan terjadinya kerusuhan dan pertengkaran antara kita dengan orang-orang kafir.” Tetapi muadzin itu menolak nasihat banyak orang. Ia merasa bahagia dengan melantunkan adzannya yang tidak bagus itu di negeri orang kafir. Ia merasa mendapat kehormatan untuk memanggil shalat di satu negeri di mana orang tak pernah shalat. Sementara orang-orang Islam mengkuatirkan dampak adzan dia yang kurang baik, seorang kafir datang kepada mereka suatu pagi. Dia membawa jubah, lilin, dan manis-manisan. Orang kafir itu mendatangi jemaah kaum muslimin dengan sikap yang bersahabat. Berulang-ulang dia bertanya, “Katakan kepadaku di mana Sang Muadzin itu? Tunjukan padaku siapa dia, Muadzin yang suaranya dan teriakannya selalu menambah kebahagiaan hatiku?” “Kebahagiaan apa yang kau peroleh dari suara muadzin yang jelek itu?” seorang muslim bertanya. Lalu orang kafir itu bercerita, “Suara muadzin itu menembus ke gereja, tempat kami tinggal. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia berkeinginan sekali untuk menikahi seorang mukmin yang sejati. Ia mempelajari agama dan tampaknya tertarik untuk masuk Islam. Kecintaan kepada iman sudah tumbuh dalam hatinya. Aku tersiksa, gelisah, dan terus menerus dilanda kerisauan memikirkan anak gadisku itu. Aku kuatir dia akan masuk Islam. Dan aku tahu tidak ada obat yang dapat menyembuhkan dia. Sampai satu saat anak perempuanku mendengar suara adzan itu. Ia bertanya, “Apa suara yang tidak enak ini? Suara ini mengganggu telingaku. Belum pernah dalam hidupku aku mendengar suara sejelek itu di tempat-tempat ibadat atau gereja.” Saudara perempuannya menjawab, “Suara itu namanya adzan, panggilan untuk beribadat bagi orang-orang Islam. Adzan adalah ucapan utama dari seorang yang beriman.” Ia hampir tidak mempercayainya. Dia bertanya kepadaku, “Bapak, apakah betul suara yang jelek itu adalah suara untuk memanggil orang sembahyang?” Ketika ia sudah diyakinkan bahwa betul suara itu adalah suara adzan, wajahnya berubah pucat pasi. Dalam hatinya tersimpan kebencian kepada Islam. Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari segala kecemasan dan penderitaan. Tadi malam aku tidur dengan nyenyak. Dana kenikmatan serta kesenangan yang kuperoleh tidak lain karena suara adzan yang dikumandangkan muadzin itu.” Orang kafir itu melanjutkan, “Betapa besar rasa terima kasih saya padanya. Bawalah saya kepada muadzin itu. Aku akan memberikan seluruh hadiah ini.” Ketika orang kafir itu bertemu dengan si muadzin itu, ia berkata, “Terimalah hadiah ini karena kau telah menjadi pelindung dan juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah kau lakukan, kini aku terlepas dari penderitaan. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak, akan kuisi mulutmu dengan emas.” Jalaluddin Rumi mengajarkan kepada kita sebuah cerita yang berisi parodi atau sebuah sindiran yang sangat halus. Adzan yang dilantunkan dengan buruk dapat menghalangi orang untuk masuk Islam. Dari cerita di atas kita tahu keberagamaan yang dimaksudkan untuk membawa orang kepada agama berubah menjadi sesuatu yang menghalangi orang untuk memasuki agama. Dengarlah nasihat Jalaluddin Rumi setelah ia bercerita tentang itu. “Keimanan kamu wahai muslim, hanyalah kemunafikan dan kepalsuan. Seperti ajakan tentang adzan itu, yang alih-alih membawa orang ke jalan yang lurus, malah mencegah orang dari jalan kebenaran. Betapa banyak penyesalan masuk ke dalam hatiku dan betapa banyaknya kekaguman karena iman dan ketulusan Bayazid Al-Bustami.” (Bayazid adalah seorang tokoh sufi yang merintis jalan kesucian dan memberikan kepada Tuhan seluruh ketulusan imannya. -red) Dengan itu sebetulnya Rumi ingin membedakan adanya dua macam keberagamaan atau dua macam kesalehan. Kesalehan yang pertama adalah kesalehan pulasan. Orang meletakkan nilai pada segi-segi lahiriah. Orang meletakkan kemuliaan pada pelaksanaan secara harfiah terhadap teks-teks syariat. Seperti orang yang beradzan, ia merasa adzannya betul-betul melaksanakan perintah agama. Karena adzan itu, seperti disebutkan dalam hadis, adalah satu kewajiban yang mulia. Dengan berpegang pada teks-teks itu, maka orang berlomba-lomba untuk melakukan adzan. Tetapi karena yang mereka ambil hanya bungkusnya dan melupakan hakikatnya, yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang dimaksudkan. Adzan dimaksudkan untuk memanggil orang untuk shalat tetapi dalam cerita di atas, adzan telah berubah menjadi suatu alat untuk menjauhkan orang dari shalat. Adzan tidak lagi menyeru orang untuk beribadah tapi adzan telah menjauhkan orang dari ibadah kepada Allah swt. Itulah keberagamaan jenis pertama, keberagaman muadzin bersuara buruk. Keberagamaan seseorang yang berpegang teguh kepada teks-teks syariat lalu melupakan maksud yang sebenarnya dari ajaran agama. Keberagamaan yang kedua, adalah keberagamaan Bayazid Al-Bustami. Keberagamaan ini menekankan pentingnya memelihara lahiriah agama dengan tidak melupakan segi-segi batiniah dan tujuan-tujuan keberagamaan itu. Inilah keimanan yang tulus seperti keimanan Bayazid Al-Bustami. Tentang Bayazid, Rumi menulis puisi: Setetes saja dari iman Bayazid masuk ke dalam lautan Seluruh lautan akan tenggelam dalam tetesan iman Jika sepercik api dari keimanan Bayazid jatuh di tengah hutan Seluruh hutan akan hilang karena percikan iman Sebuah bintang muncul dalam diri Muhammad Sehingga seluruh kepercayaan Majusi dan Yahudi menjadi punah Jalaluddin Rumi mengingatkan kepada kita bahwa keberagamaan yang tulus, betapa pun kecilnya, mampu mengubah dunia. Dan keberagamaan yang tidak tulus, betapa pun besarnya, tidak berdampak apa-apa kecuali hanya menjauhkan orang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kita memerlukan Islam yang tampil dengan wajah yang ramah. Keterikatan pada bentuk-bentuk lahiriah yang terlalu setia dengan mengabaikan initi dari ajaran Islam bisa jadi akan menghambat ajakan kita pada orang-orang untuk kembali kepada Islam. Bukankah kita sering menemukan orang-orang yang berdakwah dan memanggil orang kepada Islam, tetapi yang mereka teriakan adalah hal-hal yang membuat orang makin menjauh dari Islam. Orang-orang yang datang untuk mencari ilmu dalam sebuah majlis taklim, disirami mereka dengan kecaman dan ejekan dengan suara-suara keras yang menjauhkan kecintaan mereka kepada agama. Yang kita perlukan sekarang adalah suatu keberagamaan yang tulus, betapa pun kecilnya. Yang kita perlukan sekarang adalah satu tetes saja dari keimanan Bayazid Al-Bustami. Satu tetes yang tulus yang membawa orang kembali kepada Allah swt. Marilah kita berusaha untuk mencari rahasia dari setiap ibadah yang kita lakukan. Tulisan ini saya akhiri dengan catatan singkat; keimanan yang sebenarnya adalah keimanan yang dapat menarik semua orang ke haribaan Islam. Apa pun bentuknya. Sufi: Raja Sejati KH. Jalaluddin Rakhmat Salah seorang “bintang” sufi terbesar dalam sejarah bernama Abu Ali Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Ia lebih terkenal dengan nama Fudhail . Fudhail semula adalah seorang perampok yang merampas harta orang-orang di pertengahan jalan. Ia seorang highway man yang merampok pejalan yang sedang berdagang antara Merf dan Baward. Yang menarik dari Fudhail ialah bahwa di tengah kejahatan yang ia lakukan, ia lebih memilih untuk merampas harta benda orang yang kaya. Ia tak pernah mengambil harta benda orang yang miskin. Ia juga sering membagikan kekayaan yang dirampoknya untuk membantu orang miskin. Fudhail bin ‘Iyadh adalah sejenis Robin Hood di masa lalu. Pada suatu saat, Fudhail mencegat satu rombongan orang. Salah seorang yang dihadangnya kebetulan seorang pembaca Al-Quran dan ia sedang membaca ayat: Apa belum datang masanya bagi orang yang beriman agar hati mereka takut kepada Tuhan? (QS. ) Hati Fudhail menjadi lembut. Dia tinggalkan pekerjaan yang selama ini ia geluti. Ia kembalikan barang-barang yang pernah dirampoknya kepada orang-orang yang masih dia kenali. Kemudian Fudhail berguru kepada Imam Abu Hanifah untuk belajar hadis, ulumul Quran, dan fiqih. Kelak, dia pun dikenal sebagai salah seorang perawi hadis di dalam Shahih Bukhari. Dalam fiqih, dia mengikuti mazhab Abu Hanifah. Dan dalam tasawuf, dia mengikuti tradisi para sufi sebelumnya. Yang akan saya ceritakan pada tulisan ini adalah pertemuan Fudhail dengan penguasa saat itu, Harun Al-Rasyid. Fadhl bin Rabi’ mengisahkannya untuk kita: Aku menyertai Harun Al-Rasyid ke Mekkah. Setelah kami melaksanakan ibadah haji, Harun berkata kepadaku, “Ya Fadhl, apakah di sini ada hamba Allah yang bisa aku kunjungi?” Aku menjawab, “Ya. Namanya Abdul Razak Al-Shan’ani.” Kami pergi ke rumahnya dan berbincang sebentar lalu kami pamit. Harun menyuruhku bertanya kepadanya apakah ia punya utang-utang. Ia menjawab, “Ya.” Dan Harun memerintahkan agar utang-utang itu dibayar. Setelah berada di luar, Harun, sang khalifah, berkata kepadaku, “Fadhl, aku masih ingin bertemu orang yang lebih besar daripada orang ini.” Lalu ia mengajakku menemui Sufyan bin Uyainah. Pertemuannya berakhir sama seperti peristiwa sebelumnya. Harun berkata, “Aku ingat bahwa Fudhail bin ‘Iyadh ada di sini. Marilah kita pergi menemuinya.” Kami pun menjumpainya di kamar atas sedang membaca ayat suci Al-Quran. Ketika kami mengetuk pintunya, dia bertanya, “Siapakah itu?” Aku menjawab, “Amîrul Mukminîn.” Fudhail kembali bertanya, “Apa hubungannya aku dengan Amîrul Mukminîn?” Aku berkata, “Bukankah ada hadis Rasulullah saw yang mengatakan bahwa orang tak boleh menghinakan dirinya dengan ibadah kepada Tuhan?” Fudhail menjawab, “Tetapi kepasrahan kepada kehendak Tuhan adalah kemuliaan abadi dalam pandangan kaum sufi. Engkau melihat kerendahan diriku namun aku meihat kemuliaanku.” Kemudian dia turun dan membuka pintu sambil mematikan lampu. Dia berdiri di sebuah sudut. Harun Al-Rasyid, sang khalifah, masuk dan berusaha mencari Fudhail bin ‘Iyadh di kegelapan. Tangan mereka saling bersentuhan. Fudhail berteriak seperti tangannya terbakar api, “Aduh, tak pernah kurasakan tangan sehalus ini! Alangkah baiknya jika tangan ini selamat dari azab Tuhan.” Harun mulai meneteskan air mata. Ia menangis terisak-isak. Ketika sudah tenang kembali, Harun berkata, “Wahai Fudhail , berilah aku nasihat.” Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Ya Amîral Mukminîn, datukmu Abbas adalah paman Nabi Muhammad saw. Dahulu Abbas datang kepada Nabi meminta agar diberi kekuasaan atas umat manusia. Nabi menjawab, “Wahai pamanku, aku akan memberimu kekuasaan selama satu masa atas dirimu sendiri. Yaitu pada masa ketaatanmu kepada Tuhan. Masa ketaatanmu kepada Tuhan lebih baik daripada seribu tahun ketaatan orang kepadamu. Karena kekuasaan itu akan membawa penyesalan di hari kiamat.” Harun Al-Rasyid berkata, “Nasihati aku lagi.” Fudhail meneruskan, “Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, dia memanggil Salim bin ‘Abdillah, Raja’ bin Hayadh, dan Muhammad bin Ka’ab Al-Kurazi. Umar berkata kepada mereka, ‘Kekhalifahan ini sebuah kesulitan. Apa yang harus kulakukan dalam kesulitan ini?’ Salah satu di antara mereka menjawab, ‘Jika engkau hendak diselamatkan kelak dari hukuman Tuhan, ketika engkau memegang kekuasaan, pandanglah orang muslim yang lebih tua darimu sebagai ayahmu; pemudanya sebagai saudaramu; dan anak-anaknya sebagai anak-anakmu juga. Seluruh kawasan Islam ini jadikan sebagai rumahmu dan seluruh penduduknya sebagai keluargamu. Kunjungilah bapakmu, hormati saudaramu, serta sayangi anak-anakmu.’” Lalu Fudhail berkata, “Wahai Amîral Mukminîn, aku khawatir kalau wajahmu yang tampan ini akan membawamu ke dalam api neraka. Bertakwalah kepada Tuhan dan laksanakan kewajiban-kewajibanmu kepada-Nya lebih baik dari ini.” Harun Al-Rasyid bertanya kepada Fudhail apakah dia mempunyai utang. Fudhail menjawab, “Iya. Utang kepada Tuhan. Celakalah aku karena seringkali dia memanggilku untuk mempertanggungjawabkannya.” Harun berkata, “Fudhail, aku berbicara tentang utang-utang kepada manusia.” Fudhail berkata, “Segala puji bagi Allah. Kemurahan-Nya kepadaku sungguh besar dan aku tidak punya alasan untuk mengeluhkan tentang kesulitan hidupku kepada hamba-hamba-Nya.” Harun menghadiahkan kepadanya sekantong uang sejumlah seribu dinar seraya berkata, “Gunakanlah uang ini untuk keperluanmu.” Fudhail menjawab, “YaAmîral Mukminîn, nasihatku ternyata tidak memberikan kebaikan kepadamu. Di sini engkau bertindak salah dan tidak adil.” “Mengapa demikian?” tanya Harun. “Aku inginkan engkau selamat. Namun kau campakkan aku ke dalam siksa neraka,” jawab Fudhail , “bukankah ini tidak adil?” Lalu kami meninggalkannya dengan linangan air mata dan Harun berkata kepadaku, “Wahai Fadhl, Fudhail adalah seorang raja yang sejati…” Kisah ini mengajarkan kepada kita bagaimana seorang sufi memberikan nasihat kepada para penguasa sekaligus menghapuskan gambaran bahwa seorang sufi adalah seseorang yang meninggalkan segala kegiatan dan menyembunyikan dirinya di sudut masjid atau gua di tengah hutan. Seorang sufi adalah seorang yang terus menerus berjuang menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar. Yang membedakan seorang sufi dari seorang moralis yang lain adalah: dia menyampaikan seluruh nasihat kepada penguasa dengan ketulusan hatinya; dengan keinginan untuk menyelamatkan sang penguasa itu dari bencana, baik di dunia maupun di hari akhirat. Cinta Sebagai Agama KH. Jalaluddin Rakhmat Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, “Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku bisa persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.” Suatu hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.. Sang gembala menyapa Tuhan, “Ah, di manakah Engkau, supaya aku bisa menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?” Musa mendekati gembala itu dan bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?” Gembala menjawab, “Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.” Musa murka mendengar jawaban gembala itu, “Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumpal mulutmu dengan kapas supaya kamu bisa mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!” Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Musa yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Mahasempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!” Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi pastilah lebih mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak bisa menahan tangisannya. Ia berkata kepada Musa, “Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini aku berjanji akan mengatupkan mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir. Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa as melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Mahakuasa menegurnya, “Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau bisa menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya.” Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak membutuhkan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.” Suara dari langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.” Tuhan kemudian mengajarkan Musa rahasia cinta. Setelah Musa memperoleh pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari Musa berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya. Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir-hampir Musa kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama. Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa berkata, “Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Karena apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.” Sang gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak bisa melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa. Nabi Musa menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan. Cerita di atas melukiskan kepada kita bahwa ada sekelompok orang yang mengambil cinta sebagai agamanya. Kalau seseorang telah meledakkan kecintaannya kepada Tuhan, dia tidak lagi bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan seluruh kecintaannya kepada Allah swt. Di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna. Dari kisah ini juga kita belajar bahwa untuk bisa mendekati Allah swt, tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan. Tidak jarang ilmu menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah swt. Kita akhiri kisah ini dengan sabda Nabi saw, “Innallâha lâ yanzhuru illâ shuwarikum walakinallâha yanzhuru illâ qulűbikum. Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan tidak memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu.” Doa Memperoleh Hati Yang Khusyu KH. Jalaluddin Rakhmat Ya Allah, Janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu. Wahai Zat, yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus Jangan Kau buat aku lupa untuk berzikir kepada-Mu Jangan Kau biarkan aku dikuasai oleh selain-Mu Jadilah Engkau sahabat pada saat-saat kesepianku Jadilah Engkau benteng pada saat-saat ketakutanku Selamatkan aku dari segala bencana dan kesalahan Lindungilah aku dari segala ketergelinciran Jagalah aku dari datangnya ancaman Palingkanlah dari diriku pedihnya azab-Mu dan muliakanlah aku dengan memelihara kitab suci-Mu yang mulia dan bereskanlah bagiku agamaku, duniaku, dan akhiratku Semoga shalawat dan salam disampaikan kepada Muhammad saw dan keluarganya yang suci. Doa di atas adalah salah satu dari kumpulan doa yang disampaikan oleh Imam Ali kw. Saya mengambilnya dari sebuah buku berjudul Ad’iyatul Imam Ali, doa-doa Imam Ali. Salah satu kelebihan mazhab Ahlul Bait dibandingkan dengan mazhab-mazhab yang lain adalah perbendaharaan doanya. Selain panjang, doa-doa Ahlul Bait disusun dengan bahasa yang sangat indah. Karena itu, seharusnya para pengikut Ahlul Bait paling tidak hapal satu dari doa-doa yang panjang itu. Kita dapat mengambil salah satu dari doa itu dan menjadikannya sebagai wirid kita. Kita telah mengenal doa-doa dari Imam Ali Zainal Abidin yang disebut dengan Shahîfah Sajjâdiyah. Kemudian kita kenal juga doa-doa dari Imam Ja’far Al-Shadiq yang dikenal dengan nama Shahîfah Sâdiqiyyah. Ada pula doa-doa dari Sayyidah Fathimah as yang disebut dengan Shahîfah Al-Zahra. Doa yang akan dibahas kali ini saya ambil dari Shahîfah ‘Alâwiyah, kumpulan doa Imam Ali kw. Karena doa ini panjang, saya akan membahas beberapa bagian dari doa ini saja. Inilah awal dari doa tersebut: Ya Allah, janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu. Wahai Zat yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Sepanjang hari kita memperoleh kebaikan Allah terus menerus. Kesehatan, misalnya. Bila kita sakit, itu artinya kebaikan Allah yang berupa kesehatan itu terputus. Kita mulai doa ini dengan rasa takut akan diambilnya karunia Allah dari kita. Allah tidak pernah mengambil seluruh anugrah-Nya. Dia hanya memutuskan sebagian saja kebaikannya sebagai peringatan kepada kita. Dalam doa tersebut, kita menyeru Tuhan yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Seperti juga disebutkan dalam Doa Kumail, Allah adalah Sarî’ar ridhâ, Yang paling cepat rida-Nya. Tuhan murka melihat kemaksiatan kita, tetapi dia lebih cepat rida akan kita. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah swt berfirman, “Aku sudah marah melihat kemaksiatan penduduk bumi ini. Aku akan hancurkan bumi ini. Tapi aku melihat masih ada bayi-bayi yang menetek kepada susu ibunya. Aku masih melihat orang-orang tua yang sujud dan ruku kepadaku. Berhentilah kemurkaanku.” Kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu. Karena itu di dalam mazhab Ahlul Bait, kita tidak boleh bersandar sepenuhnya kepada amal kita. Amal-amal kita tidak akan cukup untuk memperoleh kasih sayang Allah swt. Amal yang kita lakukan terlalu sedikit. Maksiat kita mungkin jumlahnya jauh lebih besar. Kita harus bersandar pada ampunan Allah. Amal kita ini, selain sedikit jumlahnya dan rendah kualitasnya, juga digerogoti oleh keburukan-keburukan kita. Karena sedikitnya amal-amal manusia dibandingkan kemaksiatannya, ketika menghadapi orang yang meninggal, kita tidak dianjurkan untuk berdoa, “Ya Allah, berilah balasan yang setimpal dengan amal perbuatannya.” Melainkan kita dianjurkan berdoa, “Ya Allah, jenazah yang terbujur di hadapan-Mu ini adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu juga. Dia sudah datang menemui-Mu dan Engkaulah yang paling baik ditemuinya. Jika dia orang yang banyak berbuat baik, lipat gandakan pahala kebaikannya. Dan jika dia orang yang pernah berbuat salah, maafkanlah segala kesalahannya.” Selanjutnya dalam doa Imam Ali kw di atas disebutkan: Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus. Kita meminta kepada Allah agar dikaruniai hati yang khusyu. Kata khusyu berasal dari kata khasya’a yang artinya takut. Seperti disebutkan dalam ayat Al-Quran: Wujűhun yaumaizin khâsyi’ah. Wajah-wajah pada hari itu ketakutan. (QS. Al-Ghasyiyah 2) Khâsyi’an berarti hati yang dipenuhi rasa takut; takut akan Allah swt dan takut bila masa hidupnya takkan sempat untuk mengumpulkan bekal buat hari akhir. Dalam kitab Ihyâ Ulumuddîn, Imam Ghazali menurunkan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Di antaranya adalah tentang kekhusyuan Imam Ali Zainal Abidin as. Diriwayatkan ketika Imam berwudlu hendak salat, tubuhnya selalu bergetar. Orang-orang bertanya, “Mengapa tubuhmu bergetar seperti itu?” Imam menjawab, “Engkau tidak tahu di hadapan siapa sebentar lagi aku akan berdiri.” Hatinya dipenuhi rasa takut luar biasa karena ia akan menemui Allah swt di dalam salatnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan hatinya berguncang keras. Dalam kitab Futűhatul Makiyyah, karya Ibnu Arabi, juga diceritakan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Salah satunya adalah kisah tentang seorang pemuda belia yang mempelajari tasawuf kepada gurunya. Pada suatu pagi, pemuda itu menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. Anak muda itu berkata, “Semalam, aku khatamkan Al-Quran dalam salat malamku.” Gurunya berkata, “Bagus. Kalau begitu, aku sarankan nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan seakan-akan aku berada di hadapanmu dan mendengarkan bacaanmu.” Esok harinya, pemuda itu mengeluh, “Ya Ustadz, tadi malam saya tidak sanggup menyelesaikan Al-Quran lebih dari setengahnya.” Gurunya menjawab, “Kalau begitu, nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan di hadapanmu para sahabat Nabi yang mendengarkan Al-Quran itu langsung dari Rasulullah saw.” Keesokan harinya, pemuda itu berkata, “Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan sepertiga dari Al-Quran itu.” “Nanti malam,” kata gurunya, “bacalah Al-Quran dengan menghadirkan Rasulullah saw di hadapanmu, yang kepadanya Al-Quran itu turun.” Esok paginya pemuda itu bercerita, “Tadi malam aku hanya bisa menyelesaikan Al-Quran itu satu juz saja. Itu pun dengan susah payah.” Sang guru kembali berkata, “Nanti malam, bacalah Al-Quran itu dengan menghadirkan Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al-Quran kepada Rasulullah saw.” Esoknya, pemuda itu bercerita bahwa ia tak sanggup menyelesaikan satu juz Al-Quran. Gurunya lalu berkata, “Nanti bila engkau membaca Al-Quran, hadirkan Allah swt di hadapanmu. Karena sebetulnya yang mendengarkan bacaan Al-Quran itu adalah Allah swt. Dialah yang menurunkan bacaan itu kepadamu.” Esok harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya bertanya, “Apa yang terjadi?” Anak muda itu menjawab, “Aku tak bisa menyelesaikan hatta Al-Fatihah sekalipun. Ketika hendak kuucapkan iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în, lidahku tak sanggup. Karena aku tahu hatiku tengah berdusta. Dalam mulut, kuucapkan: Tuhan, kepadamu aku beribadat, tapi dalam hatiku aku tahu aku sering memperhatikan selain Dia. Ucapan itu tidak mau keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa menyelesaikan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ” Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal dunia. Sebetulnya yang diceritakan guru itu kepada muridnya adalah cara memperoleh hati yang khusyu. Hati yang khusyu adalah hati yang sanggup menghadirkan Allah swt di hadapan kita. Hal itu membutuhkan riyadhah-riyadhah terlebih dahulu. Sekarang kita paham mengapa dalam tarekat, kita harus menghadirkan guru di dalam doa-doa kita. Hal itu sebenarnya adalah suatu latihan. Sulit bagi kita untuk menghadirkan Allah swt sekaligus, kita mulai dengan menghadirkan guru kita terlebih dahulu. Kekhusyuan sering kali datang ketika kita digoncangkan kesulitan hidup. Penderitaan itu bagus karena membuat hati kita lebih khusyu dalam beribadah kepada Allah swt. Orang yang jarang menderita akan sulit memperoleh kekhusyuan. Kesenangan membuat hati kita keras seperti batu. Salah satu indikator kekhusyuan adalah tangisan. Walaupun tidak semua yang menangis itu karena khusyu. Anak-anak, misalnya, menangis bukan karena khusyu, melainkan karena dijewer oleh orang tuanya. Kita pun boleh menangis dengan tangisan karena jeweran. Tuhan ‘menjewer’ kita dengan penderitaan hidup. Kita lalu menangis, kita adukan penderitaan kita kepada Allah swt. Pada perkembangannya, tangisan itu lalu berproses; dari tangisan anak kecil menjadi tangisan karena kekhusyuan. Penderitaan itu berguna untuk melembutkan hati kita. Seperti bunyi salah satu puisi Rumi: Bunga-bunga mawar di taman takkan pernah merekah Sebelum langit menurunkan air matanya Bayi-bayi itu takkan pernah diberi susu Sebelum mereka menangis terlebih dahulu Maka menangislah kamu Supaya Sang Perawat Agung datang memberikan padamu Limpahan susu kasih sayang-Nya. Menderita dan menangis itu perlu. Itulah sebabnya mengapa kaum muslimin sekarang di seluruh dunia, seperti di Aceh, Ambon, Kosovo, dan Chechnya, sedang menderita. Derita itu dimaksudkan supaya mereka bisa meraih lagi kekhusyuan yang hilang. Amalan Sebelum Tidur KH. Jalaluddin Rakhmat Suatu hari Rasulullah saw masuk ke rumah Sayyidah Fathimah as. Ketika itu, Fathimah sudah berbaring untuk tidur. Rasulullah saw lalu berkata, “Wahai Fathimah, lâ tanâmi. Janganlah engkau tidur sebelum engkau lakukan empat hal; mengkhatam Al-Quran, memperoleh syafaat dari para nabi, membuat hati kaum mukminin dan mukminat senang dan rida kepadamu, serta melakukan haji dan umrah.” Fathimah bertanya, “Bagaimana mungkin aku melakukan itu semua sebelum tidur?” Rasulullah saw menjawab, “Sebelum tidur, bacalah oleh kamu Qul huwallâhu ahad tiga kali. Itu sama nilainya dengan mengkhatam Al-Quran.” Yang dimaksud dengan Qul huwallâhu ahad adalah seluruh surat Al-Ikhlas, bukan ayat pertamanya saja. Dalam banyak hadis, sering kali suatu surat disebut dengan ayat pertamanya. Misalnya surat Al-Insyirah yang sering disebut dengan surat Alam nasyrah. Rasulullah saw melanjutkan ucapannya, “Kemudian supaya engkau mendapat syafaat dariku dan para nabi sebelumku, bacalah shalawat: Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad, kamâ shalayta ‘alâ Ibrâhim wa ‘alâ âli Ibrâhim. Allâhumma bârik ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad, kamâ bârakta ‘alâ Ibrâhim wa ‘alâ âli Ibrâhim fil ‘âlamina innaka hamîdun majîd. “Kemudian supaya kamu memperoleh rasa rida dari kaum mukminin dan mukminat, supaya kamu disenangi oleh mereka, dan supaya kamu juga rida kepada mereka, bacalah istighfar bagi dirimu, orang tuamu, dan seluruh kaum mukminin dan mukminat.” Tidak disebutkan dalam hadis itu istighfar seperti apa yang harus dibaca. Yang jelas, dalam istighfar itu kita mohonkan ampunan bagi orang-orang lain selain diri kita sendiri. Untuk apa kita memohon ampunan bagi orang lain? Agar kita tidur dengan membawa hati yang bersih, tidak membawa kebencian atau kejengkelan kepada sesama kaum muslimin. Kita mohonkan ampunan kepada Allah untuk semua orang yang pernah berbuat salah terhadap kita. Hal itu tentu saja tidak mudah. Sulit bagi kita untuk memaafkan orang yang pernah menyakiti hati kita. Bila kita tidur dengan menyimpan dendam, tanpa memaafkan orang lain, kita akan tidur dengan membawa penyakit hati. Bahkan mungkin kita tak akan bisa tidur. Sekalipun kita tidur, tidur kita akan memberikan mimpi buruk bagi kita. Penyakit hati itu akan tumbuh dan berkembang ketika kita tidur. Dari penyakit hati itulah lahir penyakit-penyakit jiwa dan penyakit-penyakit fisik. Orang yang stress harus membiasakan diri memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang membuatnya stress sebelum ia beranjak tidur. Dalam hadis itu tidak dicontohkan istighfar macam apa yang harus kita baca. Tapi ada satu istighfar yang telah dicontohkan oleh orang tua-orang tua kita di kampung. Biasanya setelah salat maghrib, mereka membaca: “Astaghfirullâhal azhîm lî wa lî wâlidayya wa lî ashâbil huqűqi wajibâti ‘alayya wal masyâikhina wal ikhwâninâ wa li jamî’il muslimîna wal muslimât wal mukminîna wal mukminât, al ahyâiminhum wal amwât. Ya Allah, aku mohonkan ampunan pada-Mu bagi diriku dan kedua orang tuaku, bagi semua keluarga yang menjadi kewajiban bagiku untuk mengurus mereka. Ampuni juga guru-guru kami, saudara-saudara kami, muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.” Bila kita amalkan istighfar itu sebelum tidur, paling tidak kita telah meminta ampun untuk orang tua kita. Istighfar kita, insya Allah, akan membuat orang tua kita di alam Barzah senang kepada kita. Istighfar itu pun akan menghibur mereka dalam perjalanan mereka di alam Barzah. Manfaat paling besar dari membaca istighfar adalah menentramkan tidur kita. Nasihat terakhir dari Rasulullah saw kepada Fathimah adalah, “Sebelum tidur, hendaknya kamu lakukan haji dan umrah.” Bagaimana caranya? Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang membaca subhânallâh wal hamdulillâh wa lâ ilâha ilallâh huwallâhu akbar, ia dinilai sama dengan orang yang melakukan haji dan umrah.” Menurut Rasulullah saw, barangsiapa yang membaca wirid itu lalu tertidur pulas, kemudian dia bangun kembali, Allah menghitung waktu tidurnya sebagai waktu berzikir sehingga orang itu dianggap sebagai orang yang berzikir terus menerus. Tidurnya bukanlah tidur ghaflah, tidur kelalaian, tapi tidur dalam keadaan berzikir. Sebetulnya, bila sebelum tidur kita membaca zikir, tubuh kita akan tertidur tapi ruh kita akan terus berzikir. Sekiranya orang itu terbangun di tengah tidurnya, niscaya dari mulut orang itu akan keluar zikir asma Allah. Keutamaan Sayidina Ali KH. Jalaluddin Rakhmat Karena ini bulan Rajab, bulan kelahiran Sayidina Ali kw, saya akan membahas hadis-hadis tentang keutamaan Sayidina Ali kw, berdasarkan riwayat-riwayat yang disepakati oleh mazhab Ahlus Sunnah dan Ahlul Bait. Imam Syafi’i berkata, “Ajaib sekali Ali bin Abi Thalib ini. Musuh-musuhnya berusaha menyembunyikan kemuliaan Sayidina Ali karena kebenciannya, dan para pecintanya berusaha menyembunyikan kemuliaan Sayidina Ali karena rasa takutnya, untuk melindungi diri mereka. Tetapi sekarang kita masih bisa menemukan hadis-hadis tentang keutamaan Sayidina Ali dalam berpuluh-puluh jilid kitab hadis. Allah melindungi dan menyelamatkan hadis-hadis tentang keutamaan Sayidina Ali walaupun pernah ada satu zaman ketika orang yang mendapatkan hadis tentang keutamaan Sayidina Ali dapat kehilangan harta bahkan nyawanya. Walaupun ada satu zaman ketika orang benci sekali mendengar keutamaan Sayidina Ali.” Sekarang pun, orang yang menyebarkan hadis-hadis tentang Sayidina Ali dicurigai sebagai orang yang sesat dari ajaran Islam. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya diundang ke sebuah perguruan tinggi di Garut. Di tempat itu, saya membaca satu hadis tentang Sayidina Ali. Setelah itu, para ulama setempat gempar. Mereka keberatan dengan ucapan saya yang menyebutkan keutamaan Sayidina Ali. Karena itulah, para pencinta Sayidina Ali tidak menyampaikan hadis-hadis tentangnya. Mereka takut dicurigai dan takut dianggap sesat, bahkan takut dibunuh. Pada sisi yang lain, musuh-musuh Sayidina Ali pun berusaha untuk melarang orang membaca hadis-hadis itu dan berusaha menyembunyikannya. Kalau pun mereka menyebarkan hadis-hadis itu, mereka mengganti nama Sayidina Ali dengan nama sahabat Nabi yang lain. Misalnya sebuah hadis yang meriwayatkan: Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya semua rumah yang menghadap ke mesjid ditutup pintunya, kecuali rumah Ali bin Abi Thalib.” Hadis ini kemudian berubah bunyinya menjadi, “Hendaknya semua rumah yang menghadap ke mesjid ditutup pintunya, kecuali rumah Abu Bakar.” Pergantian bunyi hadis itu ialah hanya untuk menyembunyikan keutamaan Sayidina Ali. Walaupun begitu, hadis-hadis itu tetap saja kita dapatkan dalam kitab-kitab hadis sekarang ini. Ada perlindungan Tuhan yang hakiki. Dahulu, orang tidak mau menyebutkan bahwa suatu hadis diterima dari Sayidina Ali. Ada seorang ahli hadis yang selalu mengatakan, “Aku menerima hadis ini dari Abu Zainab.” Ketika orang-orang menanyakan siapa Abu Zainab itu, ia tidak mau menjawab. Di akhir hayatnya, ia bercerita bahwa yang ia maksud dengan Abu Zainab itu adalah Ali bin Abi Thalib. Bahkan pernah di satu zaman, setiap orang yang menyebut nama Ali akan dicurigai. Sehingga di dalam Ilmu Hadis, dikenal seorang perawi hadis bernama aneh, yaitu ‘Uli. Ditulis dengan ‘ain, lam, dan ya. Selidik punya selidik, nama sebenarnya adalah Ali. Hanya ketika itu, ulama yang menyampaikan hadis ini berusaha menyelamatkan dirinya dengan mengganti nama Ali menjadi ‘Uli. Satu hal yang diakui oleh semua mazhab tentang Sayidina Ali adalah kefasihannya dalam berbicara. Sampai Edward Gibbon, seorang ahli sejarah dari Inggris, mengatakan, “Pada diri Ali-lah, bergabung kepiawaian dalam berbicara dan keterampilan dalam memainkan pedang di medan pertempuran.” Biasanya, orang yang pandai bersilat lidah tidak pandai dalam bersilat senjata. Tapi pada Sayidina Ali, dua kepandaian itu berada. Hanya dari Sayidina Ali, kita memperoleh warisan sebuah buku tebal yang berisi ucapan-ucapannya, yaitu Nahjul Balâghah. Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang lain yang mewariskan kepada kita suatu kitab seperti Nahjul Balâghah dari Ali bin Abi Thalib. Di samping Nahjul Balâghah, ada lagi satu kitab yang berisi ucapan-ucapan Sayidina Ali, yaitu Ghurűrul Hikâm. Kefasihan Sayidina Ali ditunjukkan melalui ucapan-ucapannya dalam kitab itu. Salah satunya adalah ucapan: Shihhatul jasâd min qillatil hasâd. Sehatnya tubuh karena ketiadaan rasa dengki. Ucapan itu pendek dan puitis, tetapi maknanya dalam. Kefasihan Sayidina Ali juga dapat kita lihat dalam sebuah hadis yang bersanad dari Imam Ridha as. Diriwayatkan suatu hari para sahabat Nabi berkumpul untuk membicarakan bahasa Arab. Mereka membahas tentang huruf apa yang paling banyak digunakan dalam bahasa Arab. Lalu mereka berkesimpulan, ternyata dalam bahasa Arab, yang paling banyak dipakai itu adalah huruf Alif sehingga sulit sekali orang berbicara dalam bahasa Arab tanpa menggunakan huruf Alif. Waktu itu, Sayidina Ali berada di majelis tersebut. Tiba-tiba ia berdiri dan berkhutbah dengan pembicaraan yang amat panjang, tanpa menggunakan satu pun huruf Alif di dalamnya. Meskipun demikian, khutbahnya tetap mengikuti urutan-urutan khutbah seperti khutbah Rasulullah saw. Yaitu, memuji Allah swt, membaca shalawat kepada Nabi, dan seterusnya. Khutbah itu diucapkan secara spontan oleh Sayidina Ali. Yang menarik, khutbahnya itu bukan saja tanpa Alif, tapi juga mengandung isi yang amat bermakna. Khutbahnya sangat berisi. Berikut adalah terjemahan sebagian dari khutbah itu: Aku puji Dia Yang sangat agung anugerah-Nya, Yang sangat berlimpah kenikmatan-Nya, Yang kasih sayang-Nya mendahului kemurkaan-Nya, Yang sempurna kalimat-Nya, Yang terlaksana kehendak-Nya, Yang terpenuhi segala ketentuan-Nya. Aku memuji Dia dengan pujian yang mengakui rububiyah-Nya, Yang merendah karena ubudiyah-Nya. Aku tunggalkan Dia dengan tauhid-Nya dengan berharap kepada-Nya agar Dia berikan ampunan kepada-Ku pada hari ketika berpisah orang tua dari anak-anaknya…. Sahabat-sahabat Nabi yang lain takjub mendengar khutbah itu. Namun mereka segera menyanggah, “Tanpa huruf Alif saja memang gampang kita berbicara. Yang sulit ialah berbicara tanpa memakai huruf yang ada titiknya.” Mendengar hal itu, Sayidina Ali lalu berdiri menyampaikan khutbahnya secara spontan, tanpa menggunakan satu pun huruf yang ada titiknya. Ucapan-ucapan Sayidina Ali itu terkenal sangat fasih. Para pengikut Sayidina Ali sepanjang sejarah pun umumnya dikenal sebagai ahli-ahli syair. Sampai ada semacam ungkapan dalam bahasa Arab, Siapa yang ingin menjadi penyair, menjadi Syiah-lah walau sedikit. Orang-orang Syiah dalam sejarah terkenal sebagai orang yang fasih berbicara. Doa-doa dari para Imam Ahlul Bait keturunan Sayidina Ali juga terkenal sebagai doa-doa yang amat indah. Sayidina Ali pun piawai dalam ilmu-ilmu Islam. Ibnu Abil Hadid, salah seorang tokoh Muktazilah, dalam Syarah Nahjul Balâghah, berkata, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah swt, atau ilmu makrifat. Dan dari ucapan Sayidina Ali-lah ilmu itu diambil, daripadanya dinukil, kepadanyalah ilmu itu berakhir, dan daripadanya ilmu itu bermula.” Seluruh mazhab yang mempelajari Ilmu Kalam atau Ilmu Makrifat, gurunya pasti bersambung kepada Sayidina Ali. Mazhab Muktazilah misalnya. Pemimpin mazhab itu adalah Wasil bin Atha’, murid dari Hasyim Abdullah bin Muhammad Al-Hanafiyah. Muhammad Al-Hanafiyah adalah putra dan murid Sayidina Ali bin Abi Thalib. Mazhab lain dalam ilmu tentang ketuhanan ini adalah Mazhab Asy’ariyah. Dalam Ilmu Kalam, kebanyakan orang Indonesia mengikuti mazhab ini. Mazhab ini terpulang kepada Abul Hasan bin Abi Bashir Al-Asy’ari. Abi Bashir adalah murid dari Abu Ali Al-Juba’i. Abu Ali Al-Juba’i adalah salah seorang dari para guru kaum Muktazilah. Dan seperti disebutkan di atas, aliran Muktazilah mempelajari ilmunya dari keluarga Ahlul Bait dan akhirnya berujung kepada Sayidina Ali kw. Mazhab lainnya, yaitu Imamiyah dan Zaidiyah juga jelas bersambung kepada Sayidina Ali. Ilmu Islam yang penting lainnya adalah ilmu fikih. Sayidina Ali adalah perintis dan pengasas ilmu fikih di dalam Islam. Di samping Mazhab Jakfari yang secara tegas bersambung kepada Sayidina Ali, mazhab-mazhab fikih lainnya pun secara tidak langsung bersambung kepada Sayidina Ali. Tokoh-tokoh Mazhab Hanafi seperti Abu Yusuf Muhammad mengambil ilmunya dari Abu Hanifah. Abu Hanifah itu pernah belajar selama dua tahun kepada Imam Jakfar Al-Shadiq sehingga Abu Hanifah pernah berkata, “Kalau tidak belajar dua tahun kepada Imam Jakfar Al-Shadiq, celakalah aku.” Jadi, Mazhab Hanafi bersumber kepada Imam Jakfar yang merupakan putra dari Muhammad Al-Baqir. Muhammad Al-Baqir adalah putra dari Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib as. Mazhab Syafi’i bersumber kepada Imam Syafi’i. Imam Syafi’i pernah berguru kepada Muhammad bin Al-Hasan yang juga berguru kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah itu belajar kepada Imam Jakfar Al-Shadiq, demikian seterusnya hingga bersambung kepada Sayidina Ali. Begitu juga halnya dengan Mazhab Maliki. Imam Malik, pendirinya, belajar kepada Rabi’ah yang berguru kepada Ikrimah yang belajar kepada Abdullah Ibnu Abbas. Dan Abdullah Ibnu Abbas adalah salah seorang murid Ali bin Abi Thalib as. Jadi, mazhab-mazhab fikih itu selalu bersumber kepada Sayidina Ali. Aisyah ra, ketika ditanya tentang siapa yang paling mengerti tentang ketentuan fikih, menjawab, “Yang paling mengerti tentang hukum (fikih) adalah Ali bin Abi Thalib.” Tapi kalau kita belajar fikih di Indonesia, dengan menggunakan kitab Bulűghul Marâm, kita akan menemukan bahwa hadis-hadis tentang fikih itu hampir selalu tidak bersumber kepada Sayidina Ali. Biasanya hadis itu bersumber dari Abu Hurairah atau sahabat-sahabat yang lain. Selanjutnya saya akan memberikan beberapa contoh yang menarik dari fikihnya Sayidina Ali. Pernah di zaman Rasulullah saw, Nabi mengutus Sayidina Ali untuk menjadi qadhi di Yaman. (Dalam versi riwayat yang lebih populer di antara kita, yang diutus ke Yaman itu adalah Muadz bin Jabal. Kita kemudian ketahui bahwa hadis tentang Muadz bin Jabal ini dhaif.) Ketika itu, Rasulullah saw mendoakan Sayidina Ali: Ya Allah, berilah petunjuk kepada hatinya dan teguhkanlah lidahnya. Sayidina Ali berkata, “Setelah mendengar doa ini, Aku tidak pernah ragu dalam memutuskan sesuatu.” Saya akan membacakan beberapa contoh keputusan hukum Sayidina Ali yang menakjubkan. Di zaman khalifah Utsman, ada seorang perempuan yang melahirkan dalam usia kehamilan enam bulan. Perempuan itu dibawa ke hadapan khalifah. Menurut Utsman, wanita ini harus dirajam, karena ia pasti telah berzina. Utsman berpendapat, usia kehamilan itu minimal sembilan bulan. Perempuan itu merasa ia belum pernah berzina. Utsman kebingungan dan membawa perempuan itu kepada Sayidina Ali. Sayidina Ali berkata, “Usia kehamilan minimal adalah enam bulan.” Orang-orang bertanya, “Apa dasarnya dalam Al-Quran?” Lalu Sayidina Ali mengutip dua ayat Al-Quran. Ayat yang pertama adalah surat Al-Ahqaf ayat 15: Perempuan itu mengandungkannya dan menyusukannya selama tiga puluh bulan. Ayat yang kedua dari surat Al-Baqarah ayat 233: Dan ibu-ibu itu menyusukan bayi mereka dalam dua tahun yang sempurna. Menurut Sayidina Ali, dalam ayat yang pertama Tuhan berfirman bahwa mengandung dan menyusukan bayi itu ialah selama tiga puluh bulan sementara dalam ayat yang kedua, Tuhan berfirman bahwa menyusukan bayi saja ialah selama dua tahun atau selama dua puluh empat bulan. Sehingga, tiga puluh bulan dikurangi dua puluh empat bulan adalah waktu mengandung minimal, yaitu enam bulan. Kemudian perempuan itu dibebaskan. Riwayat yang lain menceritakan seseorang yang datang dari gunung untuk berhaji sambil membawa budak beliannya. Si budak itu berbuat dosa dan lalu dipukuli oleh majikannya. Ketika dipukuli, budak itu berkata, “Engkau bukan maula-ku. Akulah majikanmu!” Orang yang memukuli itu menjawab, “Akulah majikanmu!” Bertengkarlah kedua orang itu, keduanya mengaku sebagai majikan. Akhirnya mereka datang ke Kufah, menghadap Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, untuk memutuskan siapa di antara mereka yang majikan dan siapa yang budak. Kedua orang itu sama-sama bersumpah bahwa merekalah yang benar dan menyalahkan sesamanya. Semua orang kebingungan kecuali Sayidina Ali. Sayidina Ali berkata, “Berangkatlah kamu berdua dan tidurlah di kota ini semalam. Esok, datanglah kalian kepadaku.” Keesokan subuhnya, Sayidina Ali berkata kepada salah seorang muridnya, “Buatlah dua lubang di dinding seukuran kepala manusia.” Setelah itu, Sayidina Ali membaca wirid-wirid sampai matahari sudah tiba sepenggalan. Kedua orang yang bersengketa itu lalu datang. Mereka masih tetap berdalil seperti hari sebelumnya. Sayidina Ali berkata, “Bangunlah kau berdua. Kupikir tidak ada yang benar di antara kalian. Masukkan kepala kalian di lubang ini.” Kedua orang itu pun memasukkan kepala mereka ke lubang. Kemudian Sayidina Ali berkata kepada muridnya, “Bawakan kepadaku pedang Rasulullah saw. Akan kupukul leher seorang budak di antara mereka.” Tiba-tiba salah seorang di antara mereka mengeluarkan kepalanya dari lubang dengan cepat sementara seorang yang lain tetap berada di lubang itu, karena dia merasa dia bukanlah seorang budak. Sayidina Ali lalu bertanya kepada orang yang mengeluarkan kepalanya, “Kenapa engkau mengaku sebagai seorang majikan?” Budak itu menjawab, “Memang betul akulah budaknya. Tapi dia selalu memukuli aku sehingga aku membalas dia. Aku anggap dia sebagai budakku.” Riwayat lain yang menunjukkan kecerdasan Sayidina Ali menceritakan dua orang perempuan yang bertengkar di zaman khalifah Umar bin Khaththab. Kedua perempuan itu memperebutkan seorang anak. Masing-masing mengaku bahwa anak itu adalah miliknya. Umar kebingungan dan meminta bantuan kepada Sayidina Ali. Sayidina Ali berkata, “Bawakan kepadaku sebilah gergaji.” Para perempuan itu berkata, “Apa yang akan kau lakukan dengan gergaji itu?” “Aku akan bagi bayi itu menjadi dua untuk kalian,” jawab Sayidina Ali. Salah seorang dari perempuan itu menjerit, “Allah, Allah, ya Abal Hasan. Kalau begitu, biarlah perempuan itu yang mengambil anak ini. Aku sudah relakan, ketimbang ia digergaji.” Sayidina Ali lalu berkata, “Allahu Akbar, inilah anakmu. Sebab kalau dia anakmu, kamu tidak akan tega anakmu dibelah menjadi dua.” Perempuan yang lain itu lalu mengakui kesalahannya. Pada waktu yang lain, seorang pemuda dan seorang perempuan menemui khalifah Umar. Pemuda itu berkata, “Demi Allah, perempuan ini adalah ibuku. Dia pernah mengandungkanku dalam perutnya selama sembilan bulan dan menyusukan aku selama dua tahun. Tapi kini dia mengusir aku dan tidak mengakui aku sebagai anaknya.” Perempuan itu membawa empat orang saksi yang bersumpah bahwa anak muda itu adalah seorang pendosa yang mencoba untuk memperkosa perempuan itu. Ketika Umar akan menjatuhkan hukuman, pemuda itu melihat Sayidina Ali dan berkata, “Ya Ali, tetapkanlah hukuman antara aku dan ibuku.” Sayidina Ali berkata kepada perempuan itu, “Apakah engkau mempunyai wali?” Perempuan itu menjawab, “Na’am. Ini ada empat orang saudaraku sebagai wali.” Ali bertanya lagi, “Apakah kau menerima aku menjadi hakim bagimu dan bagi saudaramu?” “Na’am,” perempuan itu menjawab. Lalu Sayidina Ali berkata kepada semua orang, “Aku bersaksi demi Allah dan aku meminta semua orang yang ada di sini untuk menyaksikan bahwa hari ini aku nikahkan perempuan ini dengan anak muda ini dengan mas kawin empat ratus dirham dariku.” Sayidina Ali lalu berkata kepada anak muda itu, “Ambillah perempuan ini ke rumahmu dan pergaulilah dia.” Tiba-tiba perempuan itu berteriak, “Aku minta perlindungan, wahai putra Rasulullah. Anak ini, demi Allah, memang anakku. Saudaraku dulu mengawinkan aku kepada seseorang yang tidak bertanggung jawab. Aku melahirkan dia. Setelah ia dewasa, saudara-saudaraku yang lain mencemoohkan anak ini dan menyuruhku mengusirnya. Aku takut kepada mereka.” Anak itu lalu dilepaskan. Semula ia akan dicambuk oleh Umar. Umar kemudian berkata, “Sekiranya tidak ada Ali, celakalah Umar bin Khaththab.” Riwayat lain tentang kecerdasan Sayidina Ali menceritakan seorang perempuan yang jatuh cinta kepada seorang pemuda dari kalangan Anshar. Tapi pemuda itu tidak membalas cintanya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Karena ditolak, perempuan itu marah. Ia mengambil sebutir telur mentah. Ia keluarkan kuning telurnya dan putih telurnya ia cipratkan kepada pakaian dan kedua pahanya. Ia datang kepada khalifah Umar dan berkata, “Pemuda itu mencoba memperkosaku. Lihatlah ini bekas-bekas perbuatannya.” Umar menyuruh perempuan-perempuan lain yang ada di situ untuk memeriksa keadaan perempuan tersebut. Mereka berkata, “Betul. Pada pakaian dan badannya terdapat bekas-bekas air mani.” Ketika Umar akan menghukum pemuda itu, pemuda itu berkata, “Demi Allah aku tidak melakukan perbuatan itu. Perempuan itu malah yang mengajak aku tapi aku berlindung kepada Allah dan menolaknya.” Umar kemudian bertanya kepada Sayidina Ali, “Ya Abal Hasan, bagaimana pendapatmu?” Sayidina Ali melihat pakaian perempuan itu dan meminta air yang mendidih untuk diteteskan kepada pakaian tersebut. Ketika air panas itu disiramkan, cairan yang dianggap air mani itu lalu mengeras. Sayidina Ali berkata, “Ini adalah telur.” Pemuda itu dibebaskan. Kemudian Umar sekali lagi berkata, “Sekiranya tidak ada Ali, celakalah Umar.” Dalam sebuah hadis yang lain diceritakan seseorang datang ke hadapan Sayidina Ali dengan membawa persoalan waris yang membutuhkan perhitungan yang amat rumit. Ketika itu juga, Sayidina Ali langsung memecahkan masalah itu dengan cepat dan segera membagi-baginya kepada para ahli warisnya. Ternyata Sayidina Ali juga adalah seorang ahli Matematika yang amat ulung. Aku Lebih Baik dari Dia KH. Jalaluddin Rakhmat Suatu hari, Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as, “Hai Musa, bila nanti kau akan bertemu dengan-Ku lagi, bawalah seseorang yang menurutmu kamu lebih baik daripada dia.” Nabi Musa as lalu pergi ke mana-mana; ke jalanan, pasar, dan tempat-tempat ibadat. Ia selalu menemukan dalam diri setiap orang itu suatu kelebihan dari dirinya. Mungkin dalam beberapa hal yang lain, orang itu lebih jelek dari Nabi Musa, tetapi Nabi Musa selalu menemukan ada hal pada diri orang itu yang lebih baik dari dirinya. Nabi Musa tidak mendapatkan seorang pun yang terhadapnya Nabi Musa dapat berkata, “Aku lebih baik dari dia.” Karena gagal menemukan orang itu, Nabi Musa masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun ternyata selalu ada hal-hal yang lebih baik daripada Nabi Musa. Seperti kita ketahui, burung Merak, misalnya, bulunya jauh lebih bagus dari bulu manusia. Sampai akhirnya Nabi Musa melewati seekor anjing kudisan. Nabi Musa berpikir, “Mungkin sebaiknya aku pergi membawa dia.” Ia pun lalu mengikat leher anjing itu dengan tali. Namun ketika sampai ke suatu tempat, Nabi Musa melepaskan anjing itu. Ketika Nabi Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah swt, Tuhan bertanya, “Ya Musa, mana orang yang Aku perintahkan kepadamu untuk kaubawa?” Nabi Musa menjawab, “Tuhanku, aku tidak menemukan seseorang pun yang aku lebih baik darinya.” Tuhan lalu berfirman, “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang kepadaku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik darinya, Aku akan hapuskan namamu dari daftar kenabian.” Kata ana khairun minhu atau “Aku lebih baik dari dia” pertama kali diucapkan oleh Iblis untuk menunjukkan ketakaburannya. Tuhan menyuruhnya untuk sujud kepada Adam as tapi Iblis tidak mau. Ia beralasan, “Aku lebih baik dari dia. Kau ciptakan aku dari api dan Kau ciptakan dia dari tanah.” Takabur yang dilakukan oleh Iblis pertama kali itu adalah takabur karena nasab, takabur karena keturunan. Menurut Al-Ghazali, di antara beberapa faktor yang menyebabkan orang menjadi takabur dan berfikir, “Aku lebih baik dari dia,” adalah nasab. Iblis adalah tokoh takabur karena nasab yang paling awal. Kebanggaan atau kesombongan karena nasab ini pernah menjadi satu sistem dalam masyarakat feodal. Feodalisme adalah sistem kemasyarakatan yang membagi masyarakat berdasarkan keturunannya. Sebagian masyarakat disebut berdarah biru dan sebagian lagi berdarah merah. Ada sebuah buku yang dengan secara terperinci mengkritik sebagian sayyid atau keturunan Rasulullah saw yang merasa bahwa mereka lebih utama dari orang yang bukan sayyid. Sebagian sayyid itu berpendapat bahwa jika ada orang bukan sayyid yang beramal saleh sebanyak-banyaknya, derajatnya akan tetap lebih rendah dari seorang sayyid yang beramal maksiat. Menurut penulis buku tersebut, seorang sayyid yang berpendapat seperti itu pastilah seorang sayyid yang ahmaq atau tolol. Dalam salah satu buku itu, ia memberikan contoh sayyid yang berpikiran seperti itu sebagai orang yang takabur karena nasabnya. Ternyata, penulis buku itu pun adalah seorang sayyid. Namanya Al-Sayyid Abdul Husain Asghai.# Penulis itu mengingatkan saya kepada Imam Ali Zainal Abidin as. Ia pernah menangis terisak-isak di hadapan Baitullah. Thawus Al-Yamani mendekatinya dan bertanya, “Wahai Imam, mengapa engkau harus beribadat seperti ini? Bukankah kakekmu Rasulullah saw dan ibumu Fathimah as?” Lalu Imam dengan marah menjawab, “Jangan sebut-sebut di hadapanku ibuku dan kakekku, karena Allah swt akan memberikan surga kepada siapa saja yang taat kepada-Nya, walaupun ia adalah seorang budak dari Afrika. Dan Allah akan memasukkan ke neraka siapa saja yang maksiat kepada-Nya walaupun ia adalah seorang sayyid dari bangsa Quraisy.” Berbangga sebagai keturunan Rasulullah saw saja adalah suatu perbuatan takabur, apalagi berbangga sebagai keturunan bukan Rasulullah saw. Orang yang berbangga karena keturunannya yang bukan Rasulullah saw adalah seperti orang miskin yang takabur. Hal itu bukan berarti orang kaya boleh takabur. Orang kaya yang takabur pun akan dimasukkan ke neraka. Kehormatan dalam Islam tidak ditegakkan berdasarkan nasab. Tuhan berfirman, “Innâ akramakum ‘indallâhi atqâkum. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa.” (QS. Al-Hujrat 13 ) Pernah pada suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah saw dengan membanggakan nasabnya. Di kalangan masyarakat Arab waktu itu, kebanggaan suatu nasab didasarkan pada jumlah jasa yang dilakukan nasab itu. Karena itu, mereka sering menyebut-nyebut jasa orang tua mereka. Orang itu memperkenalkan dirinya dengan menyebut silsilah orang tuanya sampai keturunan kesembilan. Rasulullah saw hanya menjawab pendek, “Wa anta ‘âsyiruhum fin nâr. Dan engkau, keturunan yang kesepuluh, di neraka.” Ia masuk neraka karena ketakaburannya. Ketika berhadapan dengan orang yang takabur karena nasabnya, yang membanggakan kehebatan orang tuanya, Sayidina Ali berkata, “Ucapan kamu benar. Tapi alangkah jeleknya yang dilahirkan oleh orang tuamu.” Al-Ghazali membagi takabur kepada dua bagian. Pertama, takabur dalam urusan agama dan kedua, takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal. Menurut Al-Ghazali, yang banyak takabur karena ilmu adalah para ilmuwan, filusuf, dan ulama. Apa tanda-tanda orang yang takabur karena ilmunya? Ia tidak mau mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bodoh darinya. Ia merasa dirinya paling pintar dan tidak memerlukan bantuan orang lain. Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menceritakan kisah dua orang yang lulus bersamaan dari perguruan tinggi. Satu orang di antaranya luar biasa pintar dan lulus dengan nilai tertinggi sementara seorang yang lain lulus dengan nilai pas-pasan. Dua tahun kemudian, diselidiki nasib kedua orang itu. Orang yang pintar itu ternyata menganggur sementara orang yang tidak pintar telah menjadi manajer di sebuah perusahaan. Selidik punya selidik, ternyata orang pintar itu tidak tahan bekerja di satu tempat, karena dia tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Ia merasa dirinya pintar sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain. Takabur yang kedua di dalam urusan agama adalah takabur karena amal. Jika seseorang banyak beramal, ia bisa menjadi sombong. Dalam sebuah hadis diriwayatkan seseorang yang datang ke majelis Nabi. Orang itu dipuji para sahabat karena kebagusan ibadatnya. Tapi Nabi mengatakan, “Aku melihat bekas tamparan setan di wajahnya.” Nabi kemudian menyuruh sahabat membunuh orang itu. Orang itu merasa amal dirinya paling baik di antara orang lain. Di waktu lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika ada seseorang yang berkata, ‘Manusia ini semuanya sudah rusak,’(dan ia merasa bahwa hanya dirinya yang tidak rusak) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia yang paling rusak.” Ada orang yang merasa amalnya sudah bagus sehingga dia merendahkan orang lain. Ada juga orang yang merasa dirinya amat saleh dan segera menganggap rendah orang lain yang tidak salat berjemaah di masjid seperti dirinya. Ia pun mengecam orang lain yang salatnya dijamak. Orang-orang seperti itu termasuk orang yang takabur karena amalnya. Sayidina Ali mengajarkan kepada para pengikutnya, “Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti dosanya lebih sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah dalam hatimu: Pasti amalnya lebih banyak dari amalku." Setiap orang pasti ada kelebihannya. Kita juga punya kelebihan, tetapi hal itu tidak menyebabkan kita menjadi lebih mulia daripada orang lain. Begitu kita merasa diri kita lebih mulia dari orang lain dan ingin diperlakukan sebagai orang mulia secara diskriminatif, kita sudah jatuh kepada takabur. Takaburnya bisa karena ilmu atau karena amal. Takabur bagian kedua menurut Al-Ghazali adalah takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan dunia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena nasab, seperti telah dijelaskan di atas. Kedua, karena harta kekayaan. Ketiga, karena kekuasaan. Keempat, karena kecantikan. Kelima, karena banyaknya anak buah dan pengikut. Penyakit yang terakhir ini biasanya diderita oleh para ulama. Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun hanya sebesar biji sawi.” Kita dapat mengukur hati kita, apakah terdapat sebutir takabur atau tidak, dengan menjawab beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut: Ketika Anda masuk ke dalam sebuah majelis dan melihat kawan Anda yang setara dengan Anda duduk di tempat yang lebih mulia, sementara Anda duduk di tempat yang lebih rendah, apakah ada perasaan berat dalam diri Anda? Ketika Anda akan memilih menantu dan memperhatikan keturunan calon menantu itu, lalu ternyata keturunannya tidak sebanding dengan Anda, apakah Anda merasa berat menerimanya? Apakah Anda merasa berat menerima nasihat dari orang yang lebih rendah daripada Anda? Apakah Anda merasa berat untuk memakai pakaian yang jelek ketika menghadiri pengajian? Jika Anda menjawab “ya” untuk salah satu dari pertanyaan di atas, ketahuilah, Anda sudah jatuh ke dalam takabur. Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah saw bersabda, “Pastilah orang yang takabur itu punya cacat dalam dirinya yang ia sembunyikan.” Hadis itu saya kira sangat modern. Menurut Psikologi mutakhir, orang-orang yang arogan atau sombong di dunia ini sebetulnya adalah orang yang menderita cacat tertentu yang tidak kita ketahui dan mereka berusaha menutupinya. Kita dapat mengobati perasaan takabur dengan istighfar dan bersikap tawadhu. Tidak ada obat bagi takabur selain bersikap rendah hati. Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap tawadhu, maka hendaklah kamu bersikap lebih tawadhu lagi kepada mereka. Dan apabila kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap takabur, maka hendaklah kamu bersikap lebih takabur lagi kepada mereka.” Rekayasa Riya KH. Jalaluddin Rakhmat Kita seringkali terpesona oleh penampakan-penampakan lahiriah yang ditangkap oleh mata kita. Begitu pula jika kita ingin mempengaruhi orang lain, kita selalu merekayasa penampilan atau penampakkan lahiriah kita. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah upaya manusia untuk mengatur penampakkan lahiriahnya supaya dinilai orang lain bahwa ia adalah orang alim atau orang saleh yang dekat kepada Allah swt. Upaya rekayasa itu di dalam Islam disebut dengan Riya. Riya berasal dari kata ra’a yang berarti melihat. Secara harfiah, Riya berarti mengatur sesuatu agar dapat dilihat oleh orang lain. Riya adalah mengatur perilaku kita agar dilihat oleh orang lain dan tujuan akhirnya, agar orang lain itu akan menyimpulkan bahwa kita ini orang saleh. Bagaimana bila kita mengatur penampakkan (appearance) kita bukan untuk dinilai sebagai orang saleh melainkan agar dinilai sebagai orang kaya? Hal itu tidak disebut Riya karena yang ingin kita ciptakan bukan citra orang saleh melainkan citra orang kaya. Hal itu tidak apa-apa bila tidak dilakukan secara berlebihan. Mengatur penampilan kita dalam sebuah wawancara kerja, supaya kita diterima, tentu saja tidak merupakan suatu dosa. Suatu hari Rasulullah saw berangkat bersama Aisyah untuk mengunjungi sahabatnya. Mereka tiba di suatu sumur. Rasulullah saw becermin kepada air sumur itu dan memperbaiki serbannya kemudian menyisir rambutnya. Aisyah, seperti biasa, sangat pencemburu. Ia bertanya, “Mengapa kau lakukan itu, Ya Rasulallah?” Rasulullah saw menjawab, “Allah swt senang kepada seorang manusia yang bila ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya, ia menampakkan penampilan yang sebaik-baiknya.” Bila kita kedatangan tamu atau bila kita akan bertamu, kita harus memakai pakaian kita yang paling bagus dan memperbaiki penampilan kita. Hal itu merupakan sunnah Rasulullah saw. Mengatur penampilan seperti itu tidak merupakan Riya. Riya hanya berlaku di dalam ibadat. Di luar itu tidak kita sebut dengan Riya. Kita tidak boleh melakukan Riya walaupun sedikit. Rasulullah saw bersabda, “Ketahuilah bahwa Riya itu haram dan orang yang Riya itu dimurkai Allah swt.” Al-Quran surat Al-Ma’un ayat 4-6 mengecam orang-orang yang Riya di dalam salatnya: Maka celakalah orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya. Di dalam Al-Quran, Tuhan selalu memuji orang-orang yang salat, kecuali dalam surat Al-Ma’un. Dalam ayat lainnya, yaitu ayat 10 surat Fathir, Allah berfirman: Dan orang-orang yang melakukan makar, bagi mereka azab yang pedih, dan makar mereka pasti tidak akan beruntung.Al-Quran menyebut orang yang melakukan Riya di dalam ibadatnya sebagai orang yang sedang melakukan makar kepada Tuhan. Mereka menipu Tuhan; seakan-akan mereka beribadat kepada Tuhan padahal mereka beribadat kepada manusia. Itulah makar yang paling besar. Mereka melakukan tipuan kepada Allah dan kaum beriman padahal sebetulnya mereka menipu diri sendiri hanya mereka tidak menyadarinya saja. Lawan dari Riya adalah ikhlas. Ikhlas ialah membantu orang lain karena Allah dan tidak mengharap balasan serta terima kasih. Sementara Riya ialah membantu orang lain karena mengharap akan balasan atau paling tidak ucapan terima kasih. Kadang-kadang kita tidak mengetahui bahwa yang kita lakukan adalah Riya. Ketika kita mengetahuinya bahwa orang lain, yang telah kita tolong, malah berbuat jelek terhadap kita, kita sering memutuskan untuk tidak lagi menolongnya. Itu pertanda bahwa kita menolong karena mengharapkan balasan. Orang yang betul-betul ikhlas tidak akan memperhitungkan apakah orang yang ditolong akan membalas atau berterimakasih. Meskipun demikian, kita harus mendidik orang agar selalu berterima kasih. Orang yang tidak bisa berterima kasih tidak akan pernah bahagia di dalam hidupnya. Ia akan menderita gangguan psikologis. Orang yang bahagia adalah orang yang penuh dengan rasa terima kasih kepada orang-orang di sekitarnya. Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Jakfar Al-Shadiq as meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, “Akan datang kepada manusia satu zaman ketika orang itu buruk secara batiniah tetapi secara lahiriah mereka tampakkan kebaikannya. Mereka mengharapkan dunia dan tidak mengharapkan apa yang berasal dari Tuhan mereka. Agama mereka adalah Riya yang tidak disertai rasa takut. Allah akan menimpakan kepada mereka siksa, yang sekiranya mereka berdoa dengan doa seperti orang yang akan tenggelam, Tuhan tidak akan mengijabah doa mereka.” Doa orang yang beramal dengan Riya tidak akan diijabah Tuhan. Yang paling berat, orang yang melakukan Riya akan kehilangan seluruh amalnya di hari kiamat nanti. Pada hari kiamat, orang yang Riya akan dipanggil Allah dengan empat gelaran, “Yâ ghâdir, yâ fâjir, yâ khâsyir, yâ fâsiq. Hai si penipu, si durhaka, si perugi, si fasik!” Sayidina Ali kw berkata, “Ada tiga tanda orang yang Riya. Dia sangat rajin beribadat bila ada orang yang melihatnya, dia malas bila sendirian, dan dia sangat senang jika dipuji dalam urusannya.” Kiat Melakukan Riya Berikut ini akan ditunjukkan kiat-kiat untuk melakukan Riya. Hal ini dilakukan untuk mendiagnosa diri kita apakah telah jatuh ke dalam Riya atau tidak. Menurut Al-Ghazali, Riya dilakukan dengan menggunakan lima hal. Pertama, dengan menggunakan tubuh kita. Kita bisa menampakkan kesalehan dengan merekayasa tubuh kita. Al-Ghazali mencontohkan tubuh orang yang dikuruskan untuk menunjukkan bahwa orang itu berpuasa setiap hari, atau orang yang menampakkan bekas sujud di dahinya (yang ia buat dengan menggosok-gosokkan dahinya ke tempat sujud) untuk menampakkan ketekunan dalam beribadat. Tentu saja, tidak semua orang yang kurus tubuhnya dan ada bekas di dahinya adalah orang yang Riya. Contoh lain adalah orang yang sengaja menggetarkan tubuhnya ketika shalat untuk menunjukkan betapa khusyuknya orang itu dalam shalatnya. Kedua, yang dipakai sebagai alat untuk Riya adalah pakaian atau penampilan lahiriah. Misalnya, di zaman dahulu orang memakai pakaian yang compang-camping untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang sufi. Pakaian yang ia pakai terbuat dari kain kasar untuk menunjukkan hidupnya yang sederhana. Bahkan ada orang yang dengan sengaja mengusutkan rambutnya dan menyimpan tanah di atasnya. Ia melakukan hal ini karena ia pernah mendengar sebuah hadis yang meriwayatkan Rasulullah saw ketika memasuki masjid dan menemukan orang yang rambutnya kusut dan tertutup debu. (Pada waktu itu, masjid Nabi tidak beratap sehingga orang yang banyak beribadat di masjid, rambutnya akan tertutupi debu yang terbawa angin padang pasir.) Melihat orang itu, Rasulullah saw bersabda, “Ada orang yang rambutnya kusut masai dan tertutup debu. Sekiranya dia berdoa, Tuhan akan mengijabah doanya.” Tanda untuk menampakkan kesalehan yang lain adalah dengan memakai serban, membawa tasbih, dan memakai baju khusus. Sekali lagi, tidak semua orang yang memakai pakaian seperti itu adalah orang yang Riya. Ketiga,Riya dilakukan dengan ucapan atau perkataan. Ada orang yang mengatur pembicaraannya supaya ia dikenal orang sebagai santri. Ia selalu mengutip ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Ia tampakkan kesalehan itu dengan mengeluarkan kata-kata suci dari bibirnya. Keempat,orang melakukan Riya dengan perbuatan atau perilaku. Misalnya orang yang salat dengan memanjangkan ruku dan sujudnya untuk menampakkan kekhusyukan. Ketika ia mengimami orang banyak, ia baca surat yang panjang sementara ketika ia salat sendirian, ia baca surat yang pendek. Ia menghapalkan surat-surat yang panjang hanya untuk dipertunjukkan kepada orang lain. Amal itu ia pergunakan untuk menimbulkan kesan kesalehan. Menampakkan kesalehan melalui ibadat-ibadat ritual adalah hal yang mudah. Tapi bila Riya itu ditampakkan melalui sedekah atau membantu orang lain adalah hal yang sulit, karena hal itu memerlukan pengorbanan. Kelima, orang melakukan Riya dengan menunjukkan kawan-kawannya atau orang-orang saleh yang ia kenal. Di dalam Psikologi Sosial ada yang dinamakan dengan Gilt by Association, artinya ‘cemerlang’ karena hubungan baik. Maksudnya, agar seseorang dikenal sebagai orang yang hebat atau orang yang mulia, ia ceritakan sahabat-sahabatnya. Ia suka menceritakan hubungannya dengan orang-orang yang terkenal. Satu hal yang penting, tidak semua perbuatan kita untuk mengatur perilaku kita adalah Riya. Bila kita atur penampakkan lahiriah kita untuk, misalnya, memberikan contoh yang baik kepada orang lain; supaya orang lain mengikuti teladan kita, maka hal itu bukanlah Riya. Riya tidak diukur dari kelihatan atau tidaknya sebuah amal tapi diukur dari tujuan amal itu dilakukan. Riya jangan digunakan untuk menilai orang lain tapi gunakan untuk menilai diri sendiri. Riya dan Hubbul Jâh Kalau kita merekayasa perilaku kita dengan maksud agar orang lain menganggap kita orang terhormat, pintar, atau kaya, hal itu tidak disebut dengan Riya. Perilaku seperti itu, bila sedikit dilakukan, tidak apa-apa. Tetapi bila dilakukan berlebihan, maka hal itu disebut hubbul jâh, kecintaan kepada penghormatan. Itu merupakan dosa. Orang yang jatuh kepada hubbul jâh selalu ingin agar dirinya diperlakukan istimewa. Berikut salah satu contoh di antaranya: Apabila seseorang berusaha menampilkan dirinya begitu rupa sehingga orang menilainya sebagai eksekutif yang berkelas (misalnya dengan memakai pakaian mahal yang didesain khusus dan parfum dari luar negeri, yang ia beli bukan atas alasan praktis melainkan alasan gengsi), maka ia tidak memiliki penyakit Riya melainkan penyakit hubbul jâh, kecintaan akan penghormatan. Seorang muslim terlarang untuk berusaha mencari penghormatan dari manusia. Dia harus berusaha mencari penghormatan dari Allah swt. Kalau perlu, dia rela menanggung kemarahan dari makhluk, asalkan mendapat rida dari khalik. Orang yang menderita hubbul jâh, malah bersedia menanggung resiko dibenci Tuhan asal disukai orang banyak. Seorang Riya mengatur perilakunya dalam ibadat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan maksud agar orang menilai dirinya sebagai orang saleh yang taat beragama dan berpegang teguh kepada Al-Quran dan hadis Nabi. Orang seperti ini tidak ingin disebut sebagai orang yang hebat, berkedudukan tinggi, berpangkat, atau orang yang kaya. Dia hanya ingin dinilai orang sebagai orang yang saleh. Untuk itu dia merekayasa perilakunya. Perbedaan Riya dengan yang bukan Riya adalah amat tipis. Semua itu terpulang kepada hati nurani masing-masing. Ada orang yang berusaha memakai busana muslim misalnya peci, untuk menunjukkan bahwa dia orang alim tapi ada juga orang yang memakai peci, untuk menutupi rambutnya yang menipis. Meskipun hal itu masalah hati nurani, kita dapat dengan mudah mengidentifikasi orang yang Riya. Ciri orang Riya adalah ia punya dua wajah; wajah publik dan wajah privat. Wajah publik adalah penampilan yang ia tampakkan di hadapan umum sedangkan wajah privat adalah penampilan yang ia tampakkan di lingkungan yang terbatas. Bila ia salat di depan orang banyak (di hadapan publik), salatnya amat rajin sementara ketika ia salat sendirian (di lingkungan privat), salatnya menjadi malas. Contoh lain adalah seseorang yang selalu melakukan salat sunat di masjid tetapi selalu meninggalkannya ketika ia di rumah. Orang tersebut akan menambah amalnya bila di hadapan orang banyak dan mengurangi amalnya bila ia sendirian. Ketika di hadapan orang banyak, ia akan sangat memperhatikan waktu salat sementara di rumahnya, ia jarang salat tepat waktu. Hiriz Rasulullah Saw KH. Jalaluddin Rakhmat Kali ini saya akan membicarakan sejenis doa yang di dalam istilah para ulama disebut dengan Hiriz. Doa-doa lain dalam jenis itu disebut adalah Hizb, ‘Űdzah, dan Doa Kemenangan. Semua doa itu merupakan doa permohonan perlindungan seorang manusia yang lemah kepada Allah yang Mahaperkasa dalam menghadapi berbagai ancaman, bencana, atau hal-hal yang buruk yang dikuatirkan menimpanya. Hiriz merupakan doa preventif. Artinya, sebelum terjadi sesuatu yang menakutkan dan mengancam kita, kita membentengi diri kita dengan Hiriz. Jika sesuatu itu sudah terjadi, dan kita ingin dilepaskan oleh Tuhan dari hal itu, maka kita memohon dengan Doa Kemenangan. Jika kita sedang berhadapan dengan lawan atau dikelilingi oleh musuh, dan kita ingin melindungi diri kita dari serangan mereka, kita memohon dengan Hizb. Adapun yang akan kita bahas berikut ini adalah Hiriz. Hiriz adalah doa untuk melindungi diri kita atau orang lain dari ancaman bahaya yang akan dihadapi. Semua doa tersebut di atas (Hiriz, Hizb, ‘Űdzah, dan Doa Kemenangan) adalah bagian dari doa perlindungan secara umum yang kita sebut dengan Istiadzah. Istiadzah berasal dari kata ‘âdza yang selain berarti berlindung juga berarti ‘menempel’. Potongan daging yang menempel kepada tulang dalam bahasa Arab disebut ‘űdzah. Oleh karena itu, perlindungan berarti menempelkan diri kita kepada sesuatu atau seseorang yang lebih perkasa dan kuat seperti menempelnya daging kepada tulang. Secara istilah, ‘űdzah berarti doa-doa yang bisa kita bacakan atau tuliskan untuk melindungi seseorang atau sesuatu. Ketika Sayyidah Aminah as sedang mengandung Rasulullah saw, ia bermimpi didatangi seseorang yang menyuruhnya untuk menggantungkan Hiriz atau doa perlindungan pada leher Rasulullah saw ketika ia lahir. Kemudian, Aminah as terbangun dan melihat satu serpihan besi kecil yang di dalamnya ada tulisan doa. Zaman dahulu, sebagian orang Indonesia meniru hal itu dengan menggantungkan kalimat-kalimat suci di leher anaknya untuk melindungi anak itu. Hal itu bukan musyrik dan ada contohnya dari Rasulullah saw. Rasulullah saw yang sangat dicintai oleh Allah swt saja masih harus diberikan ‘űdzah, apalagi manusia biasa seperti kita. Hiriz Nabi yang digantungkan Aminah as itu antara lain berbunyi, “Aku mohonkan perlindungan kepada Allah untuk Muhammad bin Aminah dari setiap orang yang dengki, baik dia sedang menjalankan kedengkiannya maupun dia sedang duduk, atau orang yang berusaha menimbulkan kerusakan, dari kalangan tukang-tukang sihir, dan dari setiap makhluk yang berbuat maksiat (yang memberontak kepada Tuhan), yang selalu siap menghadang di jalan-jalan yang dilewati.” Kita memohon perlindungan dari gangguan setan, baik dalam bentuk jin maupun manusia. Namun dalam doa perlindungan untuk Rasulullah saw, pertama kali dimohonkan perlindungan dari manusia-manusia yang dengki. Kita dianjurkan untuk memohon perlindungan dari para pendengki. Biasanya makin tinggi kedudukan seseorang, makin banyak para pendengkinya. Apalagi seseorang dengan kedudukan seperti Rasulullah saw, kedudukan Sayyidul Anâm, junjungan seluruh amal semesta. Tentu saja, orang yang mendengki Rasulullah saw juga luar biasa. Sejarah kecelakaan manusia sejak awal selalu diakibatkan oleh ulah para pendengki. Iblis menjatuhkan Adam as dari surga karena kedengkiannya. Ia iri hati kepada Adam yang dijadikan khalifah oleh Tuhan. Oleh karena itulah kepada Rasulullah saw diberikan Hiriz untuk melindunginya dari setiap kejahatan para pendengki, baik yang sedang menjalankan kedengkiannya melalui rekaperdaya maupun yang sedang diam; untuk melindunginya dari pendengki aktif dan pendengki pasif. Seorang ustadz pernah menasehati saya agar mendoakan bayi yang baru lahir dengan doa supaya banyak orang yang mendengkinya. Alasannya, jika seseorang banyak pendengkinya, kedudukannya akan makin tinggi. Saya kira ustadz itu keliru karena sebetulnya seseorang banyak didengki itu karena posisinya yang tinggi. Bukan karena banyak didengki lalu posisinya menjadi tinggi. Setiap kemajuan, baik kemajuan material maupun kemajuan ruhaniah, akan selalu mendatangkan pendengki. Untuk melindungi dari hal itu, Al-Quran memberikan kita salah satu doa yang disebut Mu’awidzah, yaitu surat Al-Falaq. Dalam Al-Falaq disebutkan: Katakanlah: aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang meniup dalam ikatan, dan dari kejahatan orang yang dengki dan apabila ia dengki. (QS. Al-Falaq 1-5) Sebelum tidur kita dianjurkan untuk membaca Mu’awidzatain atau dua buah Mu’awidzah; yaitu surat Al-Falaq dan Al-Nas. Surat Al-Falaq diakhiri dengan meminta perlindungan dari para pendengki sementara Al-Nas diawali dengan meminta perlindungan dari semua setan yang akan menyesatkan kita, baik berupa jin maupun manusia. Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan baik oleh Ahlus Sunnah maupun Ahlul Bait, kita temukan keterangan bahwa ketika kita membaca Mu’awidzatain itu, kita dianjurkan untuk meniup tangan kita dan mengusapkannya ke wajah dan tubuh kita. Mu’awidzatain termasuk Hiriz. Hiriz Rasulullah saw selanjutnya meminta perlindungan dari orang-orang yang menimbulkan kerusakan atau kecelakaan. Orang-orang yang dengki sebetulnya berusaha menimbulkan kerusakan pada diri kita. Jika kita kaya, mereka akan berusaha membuat kekayaan kita musnah. Kalau kita cantik, mereka akan berusaha untuk menghilangkan kecantikan kita. Orang yang dengki hanya akan puas dan tentram hatinya bila ia melihat kerusakan pada orang yang didengkinya. Kedengkian terjadi juga di antara para ulama. Banyak derita ulama disebabkan karena kedengkian rekan sejawatnya. Seperti yang terjadi pada seorang ulama bernama Al-Mar’asyi. Dahulu, Al-Mar’asyi adalah ulama yang hijrah dari Iran ke India untuk mengajar di kalangan Ahlus Sunnah. Beliau tidak membawa paham Syi’ahnya. Ia hanya mengajarkan agama dengan mengikuti mazhab kebanyakan penduduk di situ, yaitu Ahlus Sunnah. Sampai kemudian karena ketinggian ilmunya, ia menjadi seseorang yang sangat dihormati, bahkan oleh para penguasa di zaman itu. Itulah awal bencana baginya. Ia dihormati penguasa. Raja mengundangnya ke istana dan mau mendengarkan nasihat-nasihatnya. Ulama lain mulai tumbuh rasa dengkinya. Mereka mencari-cari kesalahan Al-Mar’asyi dan menceritakannya di hadapan penguasa. Akhirnya suatu saat, para ulama itu mendengar bahwa dalam salah satu pengajian, Al-Mar’asyi menyebut nama Imam Ali dengan diimbuhi kalimat ‘alaihis salâm. Mereka langsung menuduh Al-Mar’asyi menganggap Ali sebagai Nabi, tidak lagi sebagai sahabat. Para ulama lain lalu menyebarkan dan mengembangkan cerita itu. Tuduhan itu tidak mempan karena Al-Mar’asyi bisa menjelaskan ceramahnya. Satu saat, ulama yang lain itu berhasil menyusup ke rumah Al-Mar’asyi dan mencuri salah satu naskah beliau. Mereka menyampaikannya ke hadapan Raja. Naskah itu ternyata naskah Ahlul Bait. Mereka mengatakan bahwa telah ada bukti tentang ke-Syi’ahan Al-Mar’asyi. Ia ditangkap dan dihukum dengan siksaan yang mengerikan; ia disiram dengan timah panas sampai daging-dagingnya berserakan. Al-Mar’asyi menjadi seorang syahid. Bencana atau kerusakan yang menimpanya diakibatkan oleh rekan sejawatnya yang iri hati akan posisinya yang tinggi. Salah satu cara para pendengki untuk menimbulkan kerusakan adalah dengan menyebarkan desas-desus atau fitnah tentang orang yang didengkinya. Mereka ‘meniup-niup’ untuk menimbulkan kerusakan. Seperti disebutkan dalam surat Al-Falaq ayat 4: (Aku berlindung) dari kejahatan orang yang meniup dalam ikatan. Jjika Anda menjadi pemimpin yang dihormati dan orang mendengki Anda, orang itu akan berusaha menjatuhkan Anda. Orang itu akan meniup-niupkan fitnah supaya orang-orang yang terikat dengan Anda menjadi lepas. Karena itulah dalam surat di atas disebutkan orang yang meniup-niup dalam ikatan. Para pendengki berusaha untuk melepaskan ikatan antara orang dengan pemimpinnya, isteri dengan suaminya, atau murid dengan gurunya. Ulama yang dengki akan meniupkan berita buruk tentang seorang ulama lain agar murid yang terikat dengan ulama itu akan meninggalkannya dan bergabung dengan ulama itu. Ayat selanjutnya dari Al-Falaq itu berbunyi: Dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.Ayat ini sebetulnya merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya. Ayat ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan orang yang meniup dalam ikatan itu adalah kejahatan orang-orang yang dengki ketika mereka melancarkan kedengkiannya. Hiriz Rasulullah saw selanjutnya meminta perlindungan dari orang yang menghadang pada tempat-tempat pengintaian di jalan-jalan. Orang yang dengki akan selalu mengintai kita untuk mencari kesalahan kita. Mereka mengawasi kita guna mencari kelemahan dan aib kita, kemudian membesar-besarkan dan menyebarkannya. Hasad atau dengki dalam Islam dipandang sebagai dosa yang besar. Dalam bahasa Inggris, dengki diterjemahkan menjadi dua macam; envy atau jealousy. Dalam bahasa Indonesia, jealousy diartikan sebagai kecemburuan. Salah satu makna hasad memang adalah kecemburuan. Kita berlindung dari kecemburuan para pencemburu. Kita mengenal apa yang dinamakan kecemburuan sosial (social jealousy); ada sekelompok masyarakat yang mendapatkan keberuntungan lebih banyak dari masyarakat lain. Masyarakat lain itu lalu mendengki mereka. Seorang isteri yang amat mencemburui suaminya adalah seorang pendengki juga. Kita berlindung dari keburukan yang timbul dari hal itu. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hasad paling dominan di kalangan perempuan. Para istri ketika berkumpul biasanya suka saling menilai sesamanya dan dari situlah timbul kedengkian. Terkadang seorang perempuan terobsesi akan kedengkiannya kepada perempuan lain. Salah satu hal yang menyebabkan seorang suami yang beristri dua akan hidup tak rukun adalah kedengkian dari istri pertama kepada istri kedua dan demikian pula sebaliknya. Ketika Al-Hasan as dan Al-Husain as lahir, Rasulullah saw membacakan Hiriz di atas kepada kedua cucunya itu. Hiriz yang diucapkan Rasulullah saw ini diriwayatkan baik dalam Ahlus Sunnah maupun Ahlul Bait. Dalam Ahlus Sunnah, Hiriz itu berbunyi, “Hai anak, aku serahkan kamu kepada perlindungan Allah, kepada kalimah Allah yang sempurna, dari setiap setan yang akan menyesatkan kamu, dan dari setiap mata yang akan mencelakakan kamu.” Bila kita ingin mencontoh sunnah Rasulullah saw, doa yang pertama kali kita bacakan ketika seorang bayi lahir adalah doa perlindungan. Saya menceritakan ini karena tradisi membacakan istiadzah atau doa perlindungan bagi anak-anak sekarang sudah mulai hilang. Padahal itu sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Anak yang dititipkan kepada kita ini akan berhadapan dengan dunia yang sangat mengerikan. Setan-setan yang mengintainya dari setiap jalan-jalan masuk akan mencelakakan mereka. Kecelakaan itu bisa berupa virus-virus penyakit yang menakutkan atau berupa bahaya-bahaya yang gaib yang tidak kita ketahui. Anak itu berasal dari rahim; tempat yang amat terpelihara tetapi begitu dia keluar dari rahim, dia akan dibanjiri oleh jutaan bakteri dan mikroba yang mengepungnya. Oleh karena itu, kita harus membacakan doa perlindungan bagi anak. Bahkan doa perlindungan itu sudah harus kita ucapkan ketika kita ‘mempersiapkan’ anak itu. Sebelum seorang suami bergaul dengan istrinya, ia harus membaca doa sebagai berikut, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan itu dari keturunanku.” Membalas Kebencian dengan Kasih Sayang KH. Jalaluddin Rakhmat Salah seorang di antara tokoh besar dalam dunia kesucian adalah orang Mesir yang bernama Dzunnun. Karena ia berasal dari Mesir, maka ia dikenal dengan sebutan Dzunnun Al-Mishri, Dzunnun Si Orang Mesir. Ketika ia masih hidup, orang-orang tidak mengenalnya sebagai orang yang dekat dengan Allah. Ia malah lebih banyak dicela dan dicemooh orang karena dianggap kafir, ahli bid’ah, dan orang murtad. Ia tidak pernah membalas semua tuduhan itu dengan kemarahan atau serangan balik. Ia bahkan menunjukkan dirinya seakan-akan ia mengakui seluruh celaan itu. Selama ia hidup, orang-orang tidak mengetahui bahwa Dzunnun adalah salah seorang di antara waliyullah, kekasih Allah. Orang mengetahui kedekatannya dengan Tuhan setelah Dzunnun meninggal dunia. Menurut Al-Hujwiri, pada malam kematian Dzunnun, tujuh puluh orang bermimpi melihat Rasulullah saw. Dalam mimpi itu, Nabi bersabda, “Aku datang menemui Dzunnun, sang wali Allah.” Sesudah kematiannya, konon di atas keningnya tertulis: Inilah kekasih Tuhan, yang mati karena mencintai Tuhan, dan dibunuh oleh Tuhan. Masih menurut Al-Hujwiri, pada saat penguburan Dzunnun, burung-burung di angkasa berkumpul di atas kerandanya sambil mengembangkan sayap mereka seakan-akan ingin melindungi jenazahnya. Pada saat itulah orang-orang Mesir menyadari kekeliruan mereka dalam memperlakukan Dzunnun selama ini. Ada banyak kisah tentang Dzunnun dan hampir semua kisah hidupnya itu menjadi pelajaran yang amat berharga. Kisah-kisah itu menjadi petunjuk bagi kita dalam mendekati Allah swt. Di antara kisah-kisah yang dituturkan tentang Dzunnun adalah satu kisah ketika ia berlayar bersama para santrinya dengan sebuah perahu di atas sungai Nil. Alkisah, pada suatu hari, berlayarlah mereka di sungai Nil. Yang sedang berekreasi di sungai itu bukan hanya orang-orang saleh seperti Dzunnun dan para santrinya, tetapi juga orang-orang yang menggunakan rekreasi sebagai alat untuk melakukan kemaksiatan. Di tengah jalan, bertemulah dua kelompok perahu yang mempunyai “ideologi” yang berbeda itu. Pada perahu yang satu, terdapat Dzunnun, sang kiai, bersama para santrinya. Mereka melantunkan zikir kepada Allah swt. Pada perahu yang lain, ada sekelompok anak muda yang memetik gitar, berhura-hura, berteriak-teriak, dan berperilaku yang menjengkelkan santri-santri Dzunnun. Karena para santri percaya bahwa doa-doa Dzunnun pasti diijabah, mereka meminta Dzunnun untuk berdoa kepada Allah supaya perahu anak-anak muda itu ditenggelamkan Tuhan jauh ke dasar sungai Nil. Dzunnun lalu mengangkat kedua belah tangannya dan berdoa: Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan orang-orang itu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, beri juga mereka satu kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti. Santri-santrinya tercengang. Semula mereka berharap Dzunnun akan mendoakan anak-anak muda yang ugal-ugalan itu agar ditenggelamkan Tuhan karena anak-anak muda itu memandang kehidupan hanya semata-mata kesenangan saja. Tapi aneh bin ajaib, Dzunnun hanya berdoa seperti di atas. Para santri terkejut mendengar doa Dzunnun. Ketika perahu anak-anak muda itu mendekat, mereka melihat Dzunnun ada di perahu itu. mereka menyesal dan meminta maaf. Entah bagaimana, memandang wajah Dzunnun membawa mereka kepada kesucian. Mereka meremukkan alat-alat musik mereka dan bertaubat kepada Tuhan. Waktu itulah Dzunnun memberi pelajaran kepada para santrinya, “Kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti adalah bertaubat di dunia ini. Dengan cara begini, kalian dan mereka puas tanpa merugikan siapa pun.” Kita tertarik dengan cerita Dzunnun ini. Kita terbiasa untuk menaruh dendam kepada orang-orang di sekitar kita. Seringkali setelah kita menjalani kehidupan yang baik, kita jengkel kepada orang-orang yang kita anggap buruk. Ketika ada orang yang memperlakukan kita dengan jelek, kita berharap bahwa kita bisa membalas kejelekan itu dengan kejelekan kita lagi. Untuk itu kita sering menutup-nutupinya dengan berkata, “Supaya ini jadi pelajaran bagi mereka.” Dzunnun melanjutkan tradisi para rasul Tuhan yang mengajarkan kepada kita untuk membalas kejelekan yang dilakukan orang lain dengan kebaikan. Bayangkanlah ketika Anda berdoa supaya saingan Anda hancur, agar musuh Anda binasa, Anda akan memperoleh satu manfaat saja: Kepuasan hati karena hancurnya saingan Anda. Tapi ketika Anda berdoa: Ya Allah, ubahlah kebencian musuh-musuhku menjadi kasih sayang, Anda akan mendatangkan manfaat kepada semua orang. Sama seperti doa Dzunnun Al-Mishri. Dahulu, Nabi Isa as beserta murid-muridnya lewat di depan rombongan pemuda yang ugal-ugalan juga. Mereka bukan saja melakukan tindakan-tindakan maksiat ketika kelompok Nabi Isa datang, mereka juga malah melemparkan batu ke arah Nabi Isa. Nabi Isa berhenti dan memandang mereka untuk kemudian mendoakan kebaikan bagi mereka. Murid-muridnya bertanya, “Mereka melempari batu ke arahmu tapi mengapa engkau malah membalas dengan doa yang baik?” Nabi Isa menjawab, “Itulah bedanya kita dengan mereka. Mereka kirimkan kepada kita keburukan dan kita kirimkan kepada mereka kebaikan.” Rasulullah saw dilempari orang di Thaif ketika beliau mengajak mereka kepada Islam sampai kakinya berlumuran darah. Ketika malaikat datang kepadanya menawarkan untuk menimpakan gunung di atas orang-orang yang menyerangnya, Nabi hanya berkata: Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti. Dzunnun Al-Mishri mengajari kita tradisi para nabi dan orang-orang saleh; membalas kejelekan dengan kebaikan. Jadilah kita seperti pohon Mangga di tepi jalan, yang dilempari orang dengan batu tetapi ia mengirimkan kepada si pelempar itu, buah yang telah ranum. Ahsin kamâ ahsanallâhu ilaik, berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Di antara perbuatan baik yang sangat tinggi nilainya adalah membalas keburukan orang kepada kita dengan kebaikan. Ini bukanlah suatu hal yang mustahil, melainkan ini adalah ajaran kesucian yang akan membawa kita lebih dekat kepada Allah swt. Ramadhan: Bulan Tuhan dan Bulan Persaudaraan KH. Jalaluddin Rakhmat “Wahai manusia, sudah datang kepada kalian bulan Tuhan yang membawa berkat, rahmat, dan ampunan; bulan yang paling utama di sisi Tuhan dari bulan mana pun. Paling utama hari-harinya, malam-malamnya, bahkan jam demi jamnya. Inilah bulan ketika kalian diundang untuk menjadi tamu-tamu Tuhan. Di bulan ini, kalian dijadikan orang-orang yang berhak memperoleh jamuan Tuhan. Di bulan ini, nafas kalian menjadi tasbih, tidur kalian ibadat, amal kalian diterima, dan doa kalian dijawab. Mohonlah kepada Allah dengan niat yang tulus dan hati yang bersih, supaya Dia membimbing kamu untuk menjalankan puasanya dan membaca Kitab-Nya. Malanglah orang yang tidak mendapat ampunan Tuhan di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan lapar dan dahaga kamu di bulan ini lapar dan dahaga pada hari kiamat. Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan para pemimpin kamu dan kasih-sayangi orang-orang kecil di antara kamu. Sambungkan persaudaraan kamu. Pelihara lidah kamu. Jagalah dirimu agar kamu tidak melihat apa yang tidak boleh kamu lihat dan tidak mendengar apa yang tidak boleh kamu dengar. Sayangilah anak-anak yatim orang lain supaya Tuhan menyayangi anak-anak yatim kamu.” Bulan Tuhan Inilah khotbah Nabi saw ketika menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Bulan ini menjadi bulan yang agung karena dinisbatkan kepada Tuhan. Tuhan bukan hanya Wujud yang kepada-Nya kita haturkan persembahan dan kita mohonkan pertolongan. Dalam Al-Quran, Tuhan adalah kampung halaman kita, tempat kembali kita. “Kepada Allah kamu semua kembali.” (QS. Al-Maidah: 48) Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, Sufi penyair dan penyair Sufi, Tuhan adalah “rumpun bambu” kita, sedangkan kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Penderitaan kita yang berkepanjangan karena mengejar keinginan kita sebetulnya hanyalah jeritan pilu karena kerinduan untuk kembali kepada-Nya. Manusia adalah “anak-anak Tuhan” yang dikeluarkan dari rumah-Nya untuk bermain-main di halaman dunia ini (Sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hiburan- QS. Al-An’am: 32). Karena itu, Ka’bah disebut rumah Tuhan, karena ke sanalah para jemaah haji berangkat, meninggalkan segala urusan dunia mereka. Ramadhan disebut bulan Tuhan, karena pada bulan itulah kita pulang, kita meninggalkan halaman permainan kita. Selama kita asyik bermain, kita sibuk membeli “jajanan” yang bermacam-macam: Kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran, atau sebutlah apa saja yang Anda ingat. Kita lupa bahwa ada makanan lain yang jauh lebih sehat dan lebih lezat. Pada bulan Ramadhan Tuhan mempersiapkan jamuan-Nya dan Anda diundang untuk menjadi tamu-Nya. Keasyikan bermain itu digambarkan Rumi dengan indah: “Di atas makanan yang kamu makan untuk memelihara tubuh-Mu, ada makanan yang lain seperti yang dikatakan Nabi, ‘Aku habiskan malamku bersama Tuhanku, dan Dia memberikan makanan dan minuman kepadaku’. Di dunia ini, kamu telah melupakan makanan lain itu. Kamu sibuk mengunyah makanan dunia ini. Siang dan malam kamu hanya menyuapi tubuhmu. Tubuh ini hanyalah kudamu dan dunia ini kandangnya. Makanan kuda tidak cocok untuk penunggangnya; kuda memelihara dirinya dengan caranya sendiri. “Karena kamu tenggelam dalam watak kebinatangan kamu, kamu tetap tinggal di istal bersama kuda dan tidak punya tempat di antara para raja dan pangeran dari dunia tempat hatimu bertahta. Karena tubuhmu yang berkuasa, kamu harus mematuhi perintah tubuh. Kamu terpenjara karenanya, seperti Majnun ketika berangkat menuju negeri Laila. Selama ia sadar, ia mengarahkan untanya ke arah yang benar. Ketika ia tenggelam dalam lamunan kepada Laila, ia melupakan dirinya dan untanya. Sang unta, yang meninggalkan anak di desanya, segera balik arah ke kampung halamannya. Ketika Majnun sadar, ia melihat ia telah bergerak salah jalan selama dua hari. Begitulah ia, bolak-balik selama tiga bulan, sehingga akhirnya ia berteriak, “Unta ini menjadi laknat bagiku!” Sambil berkata begitu, ia meloncat dari untanya dan meneruskan perjalanannya sendiri: Keinginan untaku di belakangku Sedang keinginanku sendiri jauh di muka Dia dan daku sesungguhnya bertentangan (Fîhi mâ Fîhi).” Kita suapi unta kita; padahal ia hanya membawa kita ke kandang binatang. Kita lupa memberi makan ruh kita; padahal ia akan membawa kita ke haribaan Dia. Kita Penunggang unta yang punya tujuan yang berbeda dengan tujuan unta yang kita tunggangi. Dalam tulisan lain, yang berjudul Kerinduan, Rumi menyuruh kita untuk menjadi Yesus di punggung keledai kurus: “Yesus di atas keledai kurus; inilah lambang akal yang harus mengendalikan tabiat hewaniah. Perkuat rohmu seperti Yesus. Jika bagian itu lemah, keledaimu yang kerempeng akan berubah menjadi naga perkasa. Berterimakasihlah ketika apa yang tampak kasar datang padamu dari orang bijak. Sekali waktu, seorang suci, sambil mengendarai keledainya, melihat ular merayap masuk ke mulut seorang yang sedang tertidur! Ia memburu dengan cepat tapi tidak berhasil mencegah ular itu. Ia pukuli orang yang tidur itu berkali-kali dengan tongkatnya. Orang itu terbangun ketakutan dan lari ke bawah pohon apel, dengan apel-apel busuk bertebaran di atas tanah. ‘Makanlah! Hai orang malang, makanlah!’ ‘Kenapa kau lakukan ini padaku?’ ‘Ayo makan lagi, kamu tolol.’ ‘Saya tidak pernah berjumpa dengan kamu sebelumnya! Siapakah kamu ini? Apakah dalam batinmu kamu memusuhi jiwaku?’ Orang arif itu memaksanya untuk makan, dan ia mencoba lari daripadanya. Berjam-jam ia memukuli orang malang itu dan membuatnya lari. Akhirnya, di malam hari, dalam perut yang penuh dengan apel busuk, kelelahan, dan bergelimang darah, ia jatuh dan memuntahkan semuanya, yang baik dan yang buruk, apel dan ular. Ketika ia melihat ular yang buruk keluar dari dirinya, ia bersimpuh di hadapan penyiksanya. ‘Apakah kamu Jibril? Apakah kamu Tuhan? Penuh berkahlah saat ketika kamu pertama melihatku. Waktu itu aku sudah mati dan tidak menyadarinya. Kau berikan kepadaku kehidupan baru. Semua yang aku katakan padamu itu memang tolol! Aku tidak menyadarinya.’ ‘Jika aku jelaskan apa yang aku lakukan, kamu mungkin akan panik dan mati ketakutan. Muhammad berkata: Jika aku menceritakan musuh yang tinggal dalam diri manusia, manusia yang paling berani sekali pun akan menjadi lumpuh. Tak ada yang bisa keluar atau mencari nafkah. Tak akan ada yang salat atau puasa, dan semua kekuatan untuk berubah akan menghilang dari diri manusia. Karena itulah, aku diam ketika aku memukulimu sehingga seperti Daud aku dapat melunakkan besi, sehingga walaupun mustahil, aku dapat meletakkan kembali bulu-bulu pada sayap burung. Diamnya Tuhan diperlukan karena kelemahan hati manusia. Jika aku tadi mengabarkan kepada kamu tentang ular itu, kamu tidak bakalan mampu makan dan sekiranya kamu mampu makan pun, kamu tidak akan memuntahkannya. Aku lihat keadaanmu dan aku dorong keledaiku ke tengah-tengahnya sambil bergumam, ‘Tuhanku, mudahkanlah urusan dia.’ Aku tidak diizinkan mengabarkan kepadamu dan aku tak diizinkan berhenti memukul kamu.’ Orang yang disembuhkan itu, masih sambil berlutut, berkata, ‘Aku tidak mampu berterima kasih kepadamu atas kecepatan kearifanmu dan kekuatan petunjukmu. Semoga Tuhan membalasmu.” Kedatangan Ramadhan adalah kedatangan orang arif dalam cerita Rumi. Ramadhan memukuli kita dengan lapar dan dahaga, agar nanti kita tidak menderita pada hari akhir. Kita dipaksa untuk memuntahkan jajanan kita, untuk kesehatan dan keselamatan kita. Nabi bersabda, “Tidak akan masuk kerajaan langit orang yang memenuhi perutnya.” Tidak akan masuk Rumah Tuhan, orang yang setiap harinya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya. Ular hawa nafsu sudah bersarang dalam dirimu; dan kamu tetap saja tidur lelap. Orang yang tidak sadar bahwa ia tenggelam, tidak akan berusaha menggapai pegangan. Orang yang tidak tahu bahwa rumahnya terbakar tidak akan berusaha menghubungi petugas kebakaran. Orang yang menderita gangguan psikologis tidak merasa sakit, dan karena itu tidak mencari dokter. Bulan Rekonsiliasi Ramadhan adalah tali yang diulurkan Tuhan kepada orang yang tenggelam, air yang disemprotkan Tuhan pada rumah yang terbakar, dan dokter yang memberikan terapi kepada penderita gangguan jiwa. Menurut Al-Quran, sumber segala derita manusia adalah kekalahannya melawan hawa nafsunya. Hawa nafsu itu, dalam konsep para sufi, adalah dimensi kebinatangan dalam diri kita. Pernahkah Anda melihat iklan salah satu pesawat telepon, yang menampilkan para tokoh dunia dengan perilaku kekanak-kanakannya. Dalam diri setiap orang, ada jiwa kanak-kanak. Dalam diri setiap manusia, juga ada jiwa kebinatangannya. Di dalamnya, ada jiwa binatang buas, yang mengubah masyarakat menjadi pertarungan tanpa henti antara sesama serigala. Tidak jadi soal, apakah Anda militer, politisi sipil, atau sekedar pejabat daerah, dengan jiwa ini Anda akan berusaha untuk menang at any cost. Anda tidak peduli lagi dengan jumlah korban dan besarnya kerusakan. Jika Anda hanyalah orang kecil, dengan jiwa binatang buas ini, Anda akan menumpahkan kemarahan dengan memberontak semua aturan, menolak semua kekuasaan, dan menentang setiap kompromi. Filsafat binatang buas dirumuskan oleh Lunatsarsky, ideolog komunis yang menyimpang: “Jauhkan cinta sejauh-jauhnya. Apa yang kita butuhkan adalah kebencian. Hanya dengan kebencian kita akan berhasil menguasai dunia.” Di dalamnya, juga ada jiwa binatang ternak, yang mengubah homo sapiens menjadi homo economicus. Bila jiwa ini mengatur orang-orang kaya, mereka akan menjadi makhluk yang rakus, bakhil, tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Pada akhirnya, ia juga tidak peduli dengan penderitaannya sendiri. Pada orang-orang miskin, jiwa bintang ternak ini akan menjadikan mereka seperti kerbau yang ditusuk hidung. Demi sesuap nasi, mereka akan menjual kehormatannya, agamanya, dan hati nuraninya. Kedua-duanya, kata Rumi, akan menjadi bebek yang melambangkan “kerakusan, paruhnya selalu di tanah, mengeruk apa saja yang terbenam: basah atau kering; tenggorokannya tak pernah santai satu saat pun. Ia tidak mendengar firman Tuhan selain Makan minumlah! Seperti penjarah yang merangsek rumah dan memenuhi kantongnya dengan cepat. Ia memasukkan ke dalam kantongnya, baik dan buruk, permata atau kacang, tiada beda.” (Matsnawi) Namun, kebintangan hanyalah satu sisi dari kepribadian manusia. Di samping insan bahimi, manusia binatang, ia juga menyimpan sifat-sifat ketuhanan; dan karena itu, ia sekaligus insan malakuti. Manusia mempunyai kaki yang berdiri kokoh di atas bumi dan kepala yang menjulang ke langit. Dalam diri manusia selalu terjadi pertarungan antara -apa yang dilukiskan Robert Stevenson- Mr. Jekyll dan Mr. Hyde, antara insan bahimi dan insan malakuti. Pada suatu hari, Nabi saw melihat anak-anak muda sedang bertanding mengangkat batu. Ia memuji mereka seraya berkata, “Manusia yang paling perkasa ialah yang sanggup mengendalikan dirinya.” Manusia paling kuat adalah Mr. Jekyll yang menaklukkan Mr. Hyde. Ramadhan datang untuk memenangkan insan malakuti. Nabi saw memberikan nasihat agar di bulan ini kita mengubah pola hubungan kebinatangan yang berdasarkan kebencian dan permusuhan dengan pola ketuhanan yang berdasarkan cinta dan silaturahmi. Ketimbang mengejar-ngejar kemenangan, yang selalu berakhir dengan kekalahan, daripada memburu keberuntungan, yang selalu berujung pada kemalangan, mengapa tidak kita cari keadilan dan persaudaraan. Baik kepada rakyat kecil maupun para pembesar, Nabi berkata, “Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan para pemimpin kamu dan kasih-sayangi orang-orang kecil di antara kamu. Sambungkan persaudaraan kamu. Sayangilah anak-anak yatim orang lain supaya Tuhan menyayangi anak-anak yatim kamu.” Puasa Bicara KH. Jalaluddin Rakhmat Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis bahwa dengan puasa kita belajar mengendalikan hawa nafsu serta mengendalikan setan yang menipu dan menjebak kita. Pada waktu kita puasa, kita membelenggu setan, membuka pintu surga dan menutup pintu neraka. Kita belajar menahan setan supaya tak masuk ke dalam tubuh kita. Salah satu pintu masuk setan ke dalam tubuh kita adalah melalui makan dan minum. Kita tutup pintu-pintu itu pada waktu siang hari. Kita melemahkan setan; membuatnya tak berdaya. Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu. Di dalam tarekat, puasa adalah upaya mengendalikan diri kita secara lahiriah dan secara batiniah. Secara lahiriah, kita mengendalikan diri dengan mempuasakan seluruh panca indera kita. Dalam ilmu kebatinan, ketika kita melakukan semedi, kita harus menutup tujuh pintu masuk setan. Tujuh pintu itu adalah tujuh lubang dalam tubuh kita. Di antaranya mata, telinga, mulut, dan hidung. Dengan cara itu, kita dapat masuk ke dalam alam kesucian. Secara lahiriah, puasa yang pertama di dalam tarekat adalah puasa menutup mulut kita atau puasa bicara. Puasa bicara bukan berarti meninggalkan pembicaraan yang kotor atau menggunjing orang lain. Dalam hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw bersabda, “Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor.” Ketika kita tak berpuasa pun, hal itu tidak boleh dilakukan, apalagi ketika kita sedang berpuasa. Yang dimaksud dengan puasa bicara adalah setelah meninggalkan pembicaraan tersebut di atas, kita menambah atau memperlebar puasa bicara kita dengan tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Kita tidak berbicara yang tidak berguna. Ciri mukmin yang sejati adalah menghindarkan pembicaraan yang tidak ada manfaatnya. Yang dimaksud dengan manfaat di dalam hal ini adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. Perkataan yang tidak membawa kita dekat kepada Allah swt adalah perkataan yang tidak bermanfaat. Hentikanlah perkataan seperti itu di dalam bulan puasa. Sebaiknya kita gantikan obrolan kita dengan memperbanyak dzikrullah, zikir kepada Allah swt. Mengobrol tanpa menggunjingkan atau menyakiti orang lain memang diperbolehkan dalam agama. Tidak ada salahnya dalam hal itu. Tapi alangkah lebih baiknya bila waktu mengobrol itu kita ganti dengan berzikir kepada Allah. Kita mengurangi suara mulut kita. Jika mulut kita terlalu banyak bicara, kita takkan sanggup lagi mendengarkan suara hati nurani kita. Siti Maryam as dalam Al-Quran dikisahkan pernah berpuasa tidak bicara. Ketika Maryam hilang dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama dengan seorang bayi, orang-orang bertanya, “Hai saudara perempuan Harun, kau pulang dengan sesuatu yang aneh. Padahal kami mengenal engkau bukan sebagai perempuan nakal, melainkan perempuan saleh. Mengapa tiba-tiba kau pulang membawa anak?”(QS. Maryam: 28) Siti Maryam as diperintahkan Allah untuk puasa bicara. Ia disuruh untuk tidak menanggapi tuduhan yang macam-macam itu. Maryam hanya menjawab, “Aku sudah bernadzar kepada Allah yang Mahakasih bahwa hari ini aku tidak akan berbicara kepada seorang manusia pun.” Maryam berjanji kepada Allah untuk berpuasa bicara. Karena Maryam puasa bicara, maka ia mampu mendengar suara bayi dalam kandungannya. Waktu itu juga, ketika Maryam membawa anak kecil, bayi itulah yang menjawab hujatan orang-orang. Bayi itu menjawab, “Salam bagiku ketika aku dilahirkan ketika aku mati dan pada waktu aku dibangkitkan nanti.”(QS. Maryam: 33) Menurut Sayyid Haidar Amuli, bila kita terlalu banyak bicara, kita takkan mampu untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib yang datang kepada kita. Kita juga menjadi tak sanggup mendengar kata-kata hati nurani kita. Suara mulut kita terlalu riuh sehingga isyarat-isyarat dari alam malakut tak terdengar oleh batin kita. Kita terlalu banyak mendengarkan suara kita sendiri. Puasa bicara diajarkan di dalam Al-Quran khusus kepada orang-orang saleh yang tidak hanya menjalankan syariat saja tetapi juga ingin memperindah syariatnya dengan usaha lebih lanjut. Puasa tarekat tidak berarti meninggalkan puasa syariat. Puasa tarekat adalah memperindah puasa syariat; menghiasnya agar lebih bagus. Ketika kita berpuasa, setelah kita meninggalkan kata-kata kotor dan menyinggung perasaan orang, kita juga meninggalkan kata-kata yang biasa-biasa. Hanya supaya pembicaraan kita tidak mengambil alih zikir yang seharusnya kita lakukan di bulan Puasa. Nabi Zakaria as, ketika diberitahu bahwa ia akan mempunyai anak yang bernama Yahya, merasa amat bahagia karena dalam usianya yang amat tua, ia belum juga dikaruniai seorang putra. Zakaria as sering berdoa, “Tuhanku, sudah rapuh tulang-tulangku, sudah penuh kepalaku dengan uban, tapi aku tak putus asa berdoa kepada-Mu.” (QS. Maryam: 4) Satu saat, Tuhan menjawab, “Aku akan memberi kepadamu seorang anak.” (QS. Maryam: 7) Zakaria as hampir tidak percaya, “Bagaimana mungkin aku punya anak, ya Allah. Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta.” (QS. Maryam: 8) Lalu Tuhan menjawab, “Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu.” (QS. Maryam: 9) Zakaria masih penasaran dan ia minta kepada Allah, “Apa tandanya, ya Allah?” Tuhan menjawab, “Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau tidak boleh berkata kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut.” (QS. Maryam: 10) Zakaria as diperintahkan Tuhan untuk mensyukuri nikmat yang diterimanya dengan berpuasa bicara. Itulah juga nasihat kepada seorang suami yang istrinya sedang mengandung; belajarlah puasa bicara. Usahakan sesedikit mungkin berbicara. Insya Allah, jika selama istri kita mengandung, kita berpuasa bicara, maka Allah akan memberikan kepada kita seorang anak seperti Yahya yang cerdas, arif, berhati lembut dan suci, bertakwa kepada Allah swt, dan sangat berkhidmat kepada orang tuanya, tak pernah memaksakan kehendaknya. Itulah ganjaran kepada orang yang puasa bicara. Puasa bicara adalah puasa tarekat. Hanya dengan puasa bicara, batin kita menjadi lebih tajam untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib, mendengarkan hati nurani. Ketika kita terlalu banyak bicara, kita menjadi tuli. Dalam peristiwa mikraj diceritakan ketika Nabi Muhammad saw isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, beliau melihat di pertengahan jalan ada seorang yang mengguntingi lidahnya berulang kali. Malaikat Jibril menjelaskan, “Itulah tukang-tukang ceramah yang suka memberikan nasihat kepada orang banyak tetapi ia tidak mempraktikkan apa yang ia khotbahkan.” Tor Andrae: Sejawat dalam Kafilah Tuhan KH. Jalaluddin Rakhmat “Kemenangan orang-orang Arab menunjukkan sikap yang sangat ramah terhadap umat Kristiani di negeri-negeri yang mereka taklukkan. Hampir tidak ada keluhan dari pihak gereja Kristen. Pada 650 Masehi, Imam Gereja Nestorius sanggup menulis, `Orang-orang Arab ini bukan saja berusaha menghindari peperangan dengan orang Kristen, tetapi juga membela agama kita. Mereka menghormati para pendeta kita dan orang-orang suci kita. Mereka memberikan sumbangan bagi biara dan gereja.` Informasi yang mengejutkan ini; yakni, para pendeta dan rahib disukai secara istimewa oleh para penakluk memang bukanlah isapan jempol. Di Mesir, para pendeta Kristen dibebaskan dari pajak, termasuk pajak jizyah yang dikenakan kepada para pengikut Yahudi dan Nasrani supaya dapat menikmati kebebasan agamanya. Kebijakan yang penuh persahabatan terhadap umat Kristiani ini seluruhnya sesuai dengan ajaran Nabi yang diungkapkan dalam Al-Quran: Akan kamu temukan orang-orang yang paling memusuhi orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan akan kamu temukan orang yang paling dekat kecintaannya kepada orang beriman adalah orang yang berkata,’Kami ini Nashara’ Demikian itu, karena di antara mereka ada para pendeta dan rahib dan mereka tidak menyombongkan dirinya. Apabila mereka mendengar apa yang diturunkan Rasul kamu lihat mata mereka berlinang airmata karena mereka mengakui kebenaran. Mereka berkata, ‘Tuhan kami, kami beriman maka tuliskanlah kami bersama para saksi kebenaran (Al-Maidah 82-83)” Tebaklah siapa yang menulis paragraf di atas? Kaum Muslim liberal yang sudah dikooptasi oleh Kristen internasional, atau kaum Muslim intelektual yang sudah menjadi agen zionisme, atau barangkali kaum apologetik Muslim yang membela toleransi umat Islam dalam dialog antar umat beragama? Tidak sama sekali. Penulis kutipan itu adalah Tor Andrae, profesor sejarah agama dan sekaligus seorang bishop dari Gereja Lutheran di Linkoeping, Swedia. Andrae mengisahkan kerjasama Muslim-Kristen yang rukun selama ratusan tahun. Dan itu terjadi ketika kaum Muslim memegang hegemoni politik. Dalam In The Garden of Myrtles, Andrae menjelaskan sikap bersahabat kaum Muslim itu bukan saja dengan merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi, tapi juga tradisi para ulama terdahulu (salaf yang salih). Disebutkan bahwa menurut Ibn Abbas, para rahib Kristen adalah orang-orang yang menghindari para tiran dan masyarakat yang korup untuk mempertahankan kemurnian agamanya. Mereka tinggal di tempat terpencil dan gua-gua untuk menjalani kehidupan yang suci. Ketika Abu Bakar mengirimkan tentaranya ke Syria, di mana tinggal banyak rahib seperti itu, ia berkata, “Di sana kamu akan menemukan orang-orang yang sudah mengurung dirinya di ruang-ruang sempit. Jangan ganggu mereka. Mereka mengasingkan dirinya karena Allah.” Ali bin Thalib berkata kepada sahabatnya, “Hai Nauf, berbahagialah orang yang menanggalkan dunia ini dan merindukan hari akhirat. Merekalah orang-orang yang menjadikan tanah sebagai tikar pembaringannya, debu sebagai tempat istirahatnya, air sebagai wewangiannya dan Al-Quran serta salat sebagai busananya. Mereka tinggalkan dunia untuk mengikuti jalan Isa.” Menurut Andrae, kelompok kaum Muslim, yang banyak merujuk pada jalan Isa sambil berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah saw adalah kaum sufi. Mereka menghindari perdebatan teologis dan memusatkan perhatiannya pada upaya mendekati Tuhan lewat Cinta. “Ketika Tuhan mencintai hamba-Nya, ia membukakan kepadanya pintu amal saleh dan menutup pintu perdebatan teologis,” kata Ma`ruf Al-Karkhi, salah seorang guru besar tasawuf. Andrae tampak sangat setuju dengan ucapan para sufi itu. Ia menganggap agama yang berhenti pada spekulasi teologis adalah agama yang gersang, tanpa makna, dan akhirnya menimbulkan konflik sosial. Ketika berbicara tentang tasawuf, Andrae sang bishop menanggalkan seluruh pakaian teologisnya. Ia masuk ke dalamnya dengan seluruh emosinya. Ia loncati pagar teologis yang memisahkan Kristen dan Islam. Ia bukan saja mengamati tasawuf, tetapi juga mengalaminya. Maka, dalam tasawuf Islami, ia menemukan bukan saja keimanan Islami tetapi juga keimanan Kristiani. Setelah menceritakan bagaimana ia terpesona dengan para sufi, Andrae menulis pada akhir kata pengantarnya: “Ketika membaca kata-kata sufi, aku merasakan pengalaman yang aneh tetapi sekaligus familiar. Kulihat wajah orang asing dan kutemukan sahabat. Kudapatkan ucapan mereka menyegarkan kembali keimananku. Telah kulihat pancaran sinar dari sumber cahaya yang kuketahui, walaupun sudah dipantulkan lewat prisma baru.” Karena sikapnya yang sangat simpatik kepada Islam, banyak koleganya bingung. Sangat sulit dipahami bagaimana seorang Andrae yang bishop bisa membela Islam lebih dari para penganutnya. “To many, it is no doubt practically inconceivable that the same person could sustain both the identities without the one exercising a destructive influence on the other,” kata Eric Sharpe yang menulis biografinya. Bagi banyak orang Islam juga, sangat sulit dipahami bagaimana Al-Quran dan Sunnah memuji para rahib Kristen, bagaimana para salaf memperlakukan mereka dengan penuh penghormatan; lebih-lebih bagaimana para sufi dulu belajar kesucian dari para rahib Kristen dan para rahib kini belajar kecintaan kepada Tuhan dari para sufi. Tapi, betapa pun gejala keberagamaan seperti ini sulit dipahami, kita tengah menyaksikan banyak pemikir Kristen menyegarkan iman Kristianinya dengan tasawuf dan banyak pengamal tasawuf yang memandang umat Kristiani sebagai sejawatnya dalam kafilah cinta ilahi. Kita berharap Nuzulul Quran yang jatuh bersamaan dengan Natal tahun ini mengantarkan kita kepada kesatuan agama, wahdatul adyan pada milenium baru. Dan Berzikirlah Kamu Sebanyak-Banyaknya KH. Jalaluddin Rakhmat Jalaluddin Rumi pernah bercerita tentang seorang penduduk Konya yang punya kebiasaan aneh; ia suka menanam duri di tepi jalan. Ia menanami duri itu setiap hari sehingga tanaman berduri itu tumbuh besar. Mula-mula orang tidak merasa terganggu dengan duri itu. Mereka mulai protes ketika duri itu mulai bercabang dan menyempitkan jalan orang yang melewatinya. Hampir setiap orang pernah tertusuk durinya. Yang menarik, bukan orang lain saja yang terkena tusukan itu, si penanamnya pun berulang kali tertusuk duri dari tanaman yang ia pelihara. Petugas kota Konya lalu datang dan meminta agar orang itu menyingkirkan tanaman berduri itu dari jalan. Orang itu enggan untuk menebangnya. Tapi akhirnya setelah perdebatan yang panjang, orang itu berjanji untuk menyingkirkannya keesokan harinya. Ternyata di hari berikutnya, ia menangguhkan pekerjaannya itu. Demikian pula hari berikutnya. Hal itu terus menerus terjadi, sehingga akhirnya, orang itu sudah amat tua dan tanaman berduri itu kini telah menjadi pohon yang amat kokoh. Orang itu tak sanggup lagi untuk mencabut pohon berduri yang ia tanam. Di akhir cerita, Rumi berkata: “Kalian, hai hamba-hamba yang malang, adalah penanam-penanam duri. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan-kebiasaan buruk kalian, perilaku yang tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena perilaku buruk itu, sudah banyak orang yang menjadi korban dan korban yang paling menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan tangguhkan untuk memotong duri-duri itu. ambillah sekarang kapak dan tebang duri-duri itu supaya orang bisa melanjutkan perjalanannya tanpa terganggu oleh kamu.” Perjalanan tasawuf dimulai oleh pembersihan diri dengan pemangkasan duri-duri yang kita tanam melalui perilaku kita yang tercela. Jika tidak segera dibersihkan, duri itu satu saat akan menjadi terlalu besar untuk kita pangkas dengan memakai senjata apa pun. Praktek pembersihan diri itu dalam tasawuf disebut sebagai praktek takhliyyah, yang artinya mengosongkan, membersihkan, atau mensucikan diri. Seperti halnya jika kita ingin mengisi sebuah botol dengan air mineral yang bermanfaat, pertama-tama kita harus mengosongkan isi botol itu terlebih dahulu. Sia-sia saja bila kita memasukkan air bersih ke dalam botol, bila botol itu sendiri masih kotor. Proses pembersihan diri itu disebut takhliyyah. Kita melakukan hal itu melalui tiga cara; lapar (upaya untuk membersihkan diri dari ketundukan kepada hawa nafsu), diam (upaya untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang tumbuh karena kejahatan lidah), dan shaum. Setelah menempuh praktek pembersihan diri itu, para penempuh jalan tasawuf kemudian mengamalkan praktek tahliyyah. Yang termasuk pada golongan ini adalah praktek zikir dan khidmah atau pengabdian kepada sesama. Suatu saat, Imam Ghazali ditanya oleh seseorang, “Katanya setan dapat tersingkir oleh zikir kita, tapi mengapa saya selalu berzikir namun setan tak pernah terusir?” Imam Ghazali menjawab, “Setan itu seperti anjing. Kalau kita hardik, anjing itu akan lari menyingkir. Tapi bila di sekitar diri kita masih terdapat makanan anjing, anjing itu tetap akan datang kembali. Bahkan mungkin anjing itu bersiap-siap mengincar diri kita, dan ketika kita lengah, ia menghampiri kita. Begitu pula halnya dengan zikir, zikir tidak akan bermanfaat bila di dalam hati kita masih kita sediakan makanan-makanan setan. Ketika sedang memburu makanan, setan tidak akan takut untuk digebrak dengan zikir mana pun. Pada kenyataannya, bukan setan yang menggoda kita tetapi kitalah yang menggoda setan dengan berbagai penyakit hati yang kita derita.” Zikir harus kita mulai setelah kita membersihkan diri kita dari berbagai penyakit hati dan menutup pintu-pintu masuk setan ke dalam diri kita. Dalam Islam, seluruh amal ada batas-batasnya. Misalnya amalan puasa, kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya pada bulan Ramadhan saja. Demikian pula amalan haji, kita dibatasi waktu untuk melakukannya. Menurut Imam Ghazali, hanya ada satu amalan yang tidak dibatasi; yaitu zikir. Al-Quran mengatakan: Berzikirlah kamu kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzab: 41) Dalam amalan-amalan lain selain zikir yang diutamakan adalah kualitasnya, bukan kuantitasnya. Yang penting adalah baik tidaknya amal bukan banyak tidaknya amal itu. Kata sifat untuk amal adalah ‘amalan shâlihâ bukan ‘amalan katsîrâ. Tapi khusus untuk zikir, Al-Quran memakai kata sifat dzikran katsîrâ bukan dzikran shâlihâ. Betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Karena zikir harus kita lakukan sebanyak-banyaknya, maka tidak ada batasan waktu untuk berzikir. Allah swt memuji orang yang selalu berzikir dalam setiap keadaan. Al-Quran menyebutkan: Orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring. (QS. Ali Imran: 191) Dalam ayat lain, Allah berfirman: Setelah selesai menunaikan shalat,maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah: 10) Bahkan ketika kita mencari anugerah Allah, bekerja mencari nafkah, kita tak boleh meninggalkan zikir. Al-Quran menyebutkan orang yang tidak berzikir sebagai orang yang munafik. Dalam surat Al-Nisa ayat 142, Tuhan berfirman: Dan tidaklah mereka (orang munafik) berzikir kepada Allah kecuali sedikit saja. Jadi, salah satu ciri orang munafik adalah zikirnya sedikit. Tidak apa-apa bila kita berzikir dengan pengucapan yang salah. Karena yang dinilai bukan baik tidaknya zikir kita, tetapi banyak atau tidaknya zikir itu. Emha Ainun Nadjib pernah bercerita kepada saya: Satu saat, sebuah rombongan kyai beserta para santri dan pembantunya pergi naik haji dengan menggunakan kapal laut. Seluruh isi pesantren itu ikut berangkat haji, termasuk seorang perempuan tukang masak. Suatu hari, kyai berjalan di sekitar kapal itu untuk melihat-lihat. Ia menjumpai tukang masaknya sedang mengulek sambal sambil berzikir. Kyai itu berkata bahwa zikir itu diucapkan oleh perempuan tukang masak secara salah. Pengucapannya keliru. Mbok tukang masak itu menjawab, “Wah, aku lupa, catatan zikir itu tertinggal di rumah.” Tiba-tiba, perempuan itu meninggalkan kapal laut yang tengah berlayar dan meloncat ke atas air. Tukang masak itu bisa berjalan di atas air. Sang kyai pun pingsan. Kyai dalam cerita itu hanya memperhatikan ucapan zikir secara lahiriahnya saja sementara tukang masak itu berzikir dengan penuh keikhlasan. Sehingga zikir itu berdampak pada dirinya, meskipun ia mengucapkannya dengan salah. Kita tidak usah ragu untuk mengamalkan zikir, meskipun makhraj kita banyak yang keliru. Untungnya, zikir yang paling utama, yaitu kalimat agung Allah adalah zikir yang paling mudah untuk dilafalkan oleh siapa saja. Bahkan oleh orang Jepang sekali pun yang kesulitan dalam mengucapkan huruf lam. Sehingga kecil kemungkinan untuk mengucapkannya secara salah. Allah swt berulang kali memerintahkan kepada Nabi, makhluk yang paling dikasihinya, untuk memelihara zikirnya. Dalam surat Al-Muzammil ayat 7-8, Tuhan berfirman: Sesungguhnya kamu pada siang itu bertasbih yang panjang dan berzikirlah kamu kepada Tuhanmu dan berserahdirilah kepada Dia dengan penyerahan diri yang sepenuhnya. Allah juga berfirman khusus kepada Rasulullah saw: Berzikirlah kamu menyebut asma Tuhanmu pada waktu pagi dan sore. Dan di waktu malam hendaklah kamu bersujud kepada-Nya dan bertasbihlah pada malam yang panjang. (QS. Al-Insan: 25-26) Nilai panjangnya suatu malam tidak diukur oleh jam tapi oleh lamanya kita berzikir. Dalam ayat lain, Tuhan berfirman: …Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya. Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang. (QS. Qaf: 39-40) Kemudian dalam surat Al-Thur ayat 48-49, Tuhan berfirman: “…Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar). Surat Al-Muzammil ayat 6 berbunyi: Sesungguhnya bangun di waktu malam itu mempunyai dampak yang sangat kuat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Yang dimaksud dengan bacaan di waktu malam adalah zikir. Perintah zikir kepada Rasulullah saw adalah juga sekaligus perintah zikir kepada umat Rasulullah saw yang harus mencontoh Nabinya yang mulia. Kita temukan dalam ayat-ayat Al-Quran itu perintah untuk berzikir pada waktu pagi dan sore. Zikir diperintahkan untuk dilakukan sebanyak-banyaknya tetapi lebih diutamakan pada waktu pagi dan sore. Perintah zikir juga terdapat dalam beberapa hadis Nabi. Rasulullah saw bersabda: Allah swt berfirman, “Aku akan menyertai hamba-Ku ketika dia berzikir kepada-Ku dan ketika bibirnya menyebut nama-Ku.” Pada hadis lain, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin selalu berjalan-jalan di taman surga, hendaklah dia memperbanyak zikir kepada Allah azza wa jalla.” Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Amal paling utama adalah engkau mati dan bibirmu masih basah menyebut Allah Ta’ala.” Hadis yang lain menyebutkan Rasulullah saw bersabda, “Masukilah waktu pagi dan sore dengan lidahmu yang basah dengan zikir kepada Allah.” Berikutnya Rasulullah saw bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Apabila hamba-Ku berzikir kepada-Ku sendirian, Aku pun akan menyebut namanya sendirian. Apabila hamba-Ku menyebut nama-Ku dalam suatu kumpulan, Aku pun akan menyebut namanya dalam kumpulan yang lebih utama dari kumpulan dia. Dan apabila dia mendekatkan diri kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekatkan diri kepadanya satu siku. Apabila dia mendekatkan diri kepada-Ku sambil berjalan, Aku akan mendekatkan diri kepadanya sambil berlari.” Hadis ini menyatakan tentang bolehnya zikir berjamaah dan tentang keutamaan majelis-majelis zikir. Hadis ini sekaligus menyanggah pendapat Ibnu Taimiyyah yang menjelaskan bahwa zikir berjamaah itu bid’ah. Ibnu Taimiyyyah, yang terkenal karena kebenciannya kepada tasawuf dan tuduhannya bahwa para sufi itu kafir, berkata: “Sesungguhnya majelis zikir itu bid’ah. Karena tidak ada di zaman Rasulullah saw dan para sahabatnya. Yang ada di zaman Rasulullah saw itu adalah majelis untuk mengajarkan Al-Quran dan fikih. Adapun majelis zikir adalah bid’ah yang dibuat oleh orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada pengikut tasawuf abad ke-2 Hijriah. Setelah itu, pada majelis zikir itu masuk tarian, nyanyian, dan memukul-mukul genderang yang mengacaukan zikir.” Pada beberapa kelompok tarekat, zikir dibaca sambil menabuh genderang atau alat musik lain. Sampai sekarang, tarekat Maulawi yang bersumber kepada Jalaluddin Rumi, membaca zikir sambil menari. Mengenai Jalaluddin Rumi dan zikir terdapat satu riwayat yang menarik: Pada suatu saat, Rumi mengasingkan diri atau khalwat untuk menulis bukunya yang terkenal Matsnawi-e Ma’nawi. Setelah khalwat, ia keluar dan menjumpai sekumpulan orang yang berdiskusi secara filosofis tentang sumber kehidupan manusia. Mereka berkesimpulan bahwa darahlah yang menjadi sumber kehidupan manusia. Rumi lalu meminta pisau dan mengerat pembuluh nadinya sendiri. Darah keluar dari tubuh Rumi sampai ia pucat pasi. Setelah itu, Rumi menari-nari dengan menyebut asma Allah selama berjam-jam dan ia tidak mati. Kemudian Rumi berkata, “Yang menghidupkan kita sebenarnya bukan darah atau makanan, tetapi dzikrullah.” Rumi yang mengajarkan zikir sambil menari banyak dikritik para ulama. Sebetulnya, sebelum menjadi sufi, Rumi adalah seorang ahli fikih. Ketika ulama datang menggugat tarian zikirnya, Rumi berkata pada ulama itu, “Bukankah kamu seorang ahli fikih? Kamu pasti tahu kaidah fikih yang berbunyi: Dalam keadaan darurat, yang terlarang pun diperbolehkan. (Misalnya ketika kita kelaparan, daging babi pun menjadi halal untuk kita makan, -red.) Ulama ahli fikih itu pun menjawab, “Ya, memang begitu.” Lalu Rumi berkata, “Saya ingin tarian-tarian itu bisa menyelamatkan ruh yang sudah mati. Bila untuk tubuh yang mati saja, barang yang haram diperbolehkan, apalagi untuk ruh manusia yang lebih berharga dari tubuhnya. Itu pun jika menari dianggap haram.” Sekiranya haram sekali pun, tapi bila menari dapat menyelamatkan ruh kita, maka menari menjadi halal. Tidak seluruh ajaran agama harus ada contohnya dari Rasulullah saw. Bisa saja Nabi hanya mengatakan itu tapi ia tidak melakukannya. Misalnya, Nabi saw memerintahkan umatnya untuk berziarah ke makamnya. Nabi bersabda, “Barangsiapa yang berziarah kepadaku setelah aku meninggal dunia sama dengan berkunjung kepadaku ketika aku masih hidup.” Nabi tidak mencontohkan untuk berziarah ke makamnya sendiri. Yang dimaksud dengan sunnah Nabi bukan hanya yang beliau contohkan saja. Yang dicontohkan oleh Nabi disebut sunnah fi’liyyah. Ada juga yang disebut dengan sunnah qawliyyah, yaitu sunnah yang diucapkan oleh Nabi dan sunnah taqririyyah, sunnah dari diamnya Nabi. Berikut ini adalah hadis tentang keutamaan majelis zikir. Rasulullah saw bersabda, “Bila suatu kaum duduk dalam satu majelis dan bersama-sama berzikir kepada Allah swt, para malaikat akan mengiringi mereka dan mencurahkan kepada mereka rahmat Allah swt.” Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim dengan sanad yang sahih dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Jika satu kaum berkumpul berzikir kepada Allah dan mereka hanya mengharapkan keridaan Allah, para malaikat akan berseru dari langit: Berdirilah kalian dengan ampunan Allah kepada kalian dan seluruh keburukan kalian telah Allah ganti dengan kebaikan.” Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dengan sanad yang hasan, Rasulullah saw bersabda, “Jika satu kaum duduk dalam suatu majelis tetapi selama mereka kumpul itu mereka tidak menyebut asma Allah swt atau shalawat kepada Rasulullah saw, maka majelis itu akan menjadi penyesalan yang dalam di hari kiamat nanti.” Zikir bisa diklasifikasikan berdasarkan apa yang kita baca. Menurut Abu Atha’ Al-Sukandari, zikir dapat dikelompokkan menjadi zikir yang berisi pujian kepada Allah swt, misalnya subhânallâh (Mahasuci Allah), alhamdulillâh (segala puji bagi Allah), dan lâilâha illallâh huwa allâhu akbar (tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Agung), tapi ada juga zikir yang berisi doa kepada Allah. Misalnya rabbanâ âtinâ fid dunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah. Zikir pun bisa berisi percakapan kita dengan Allah swt. Dalam zikir itu hanya terdapat ungkapan perasaan kita kepada Allah. Zikir seperti itu disebut Munajat. Orang yang sudah mencapai maqam tertentu, selalu berzikir dengan Munajat. Munajat Pada Zaman Kezaliman KH. Jalaluddin Rakhmat Ya Allah, sungguh kezaliman hamba-hamba-Mu Telah tegak di negeri-Mu Sehingga keadilan dimatikan, jalan-jalan diputuskan Kebenaran dihapuskan, kejujuran disia-siakan Kebajikan disembunyikan, keburukan ditampakkan Ketakwaan direndahkan, petunjuk dihilangkan Kebaikan dimusnahkan, keburukan ditegakkan Kerusakan dikembangkan, kekufuran dikuatkan Kezaliman dipenuhi, perubahan dimusuhi Ya Allah, Tuhanku Tidak ada yang dapat melepaskan kami dari semuanya Kecuali kekuasaan-Mu Tidak ada yang dapat melindungi kami dari semuanya Kecuali anugerah-Mu Ya Allah, Maka hancurkanlah kezaliman Putuskan belenggu penindasan Hancurkan pusat kemunkaran Muliakan orang yang menghindari kezaliman Cabikkan akar-akar para pelaku kesewenang-wenangan Tutupkan kepada mereka kekurangan setelah mereka berlebihan Segerakan, ya Allah, kepada mereka kebinasaan Porak-porandakan mereka dengan perpecahan Turunkan kepada mereka hukuman Sambar nyawa kemunkaran Sehingga tenanglah orang yang ketakutan Tenteramlah orang yang kesulitan Kenyanglah orang yang lapar Dipelihara orang yang terlantar Dilindungi orang yang terusir Dikembalikan orang yang terbuang Supaya orang fakir dikayakan Orang yang meminta perlindungan dilindungi Orang besar dihormati, orang kecil disayangi Orang teraniaya dimuliakan, orang zalim dihinakan Orang kesusahan dibahagiakan Supaya lepaslah segala derita, dan hilanglah segala nestapa Matilah pertikaian dan hiduplah kasih sayang Pengetahuan menjulang tinggi dan perdamaian menyebar luas Perpecahan disatukan dan ketenangan dikokohkan Iman dikuatkan dan Al-Quran dibacakan Sungguh, Engkaulah Maha Pembalas Pemberi nikmat, Penabur karunia! Munajat di atas disampaikan oleh salah seorang sufi besar, yang kepadanya bersambung hampir semua silsilah tarekat. Ia lahir dan tumbuh besar ketika dunia Islam diterpa berbagai kerusuhan dan kekacauan. Pamannya, Zaid, pernah melakukan pemberontakan dan ditindas habis-habisan. Ribuan ulama dibantai karena mendukungnya. Dengan pedih, Imam Jakfar Al-Shadiq menyaksikan berbagai malapetaka itu. Ia tidak mempunyai senjata yang lengkap atau tidak memperoleh cukup dukungan dari pengikut yang setia. Ia membaca doa ini ketika dunia Islam baru saja mengalami pergantian kekuasaan. Kekuasaan Dinasti Umayyah baru saja ditumbangkan dan Dinasti Abbasiyah mulai melakukan pembenahan. Sejarah mencatat berbagai kezaliman yang dilakukan para penguasa Umayyah. Abdullah bin Muhammad bin Hasan dilantik menjadi pemimpin pemberontak. Ia dilanjutkan oleh salah seorang jenderal yang sangat ditakuti, Abul ‘Abbas. Setelah berhasil menumbangkan Dinasti Umayyah, Abul ‘Abbas ternyata melanjutkan cara kekerasan yang sama, bahkan mungkin lebih kejam dari penguasa sebelumnya. Ia diberi gelar Abul ‘Abbas, Sang Penumpah Darah. Dalam pertikaian di antara kelompok elite waktu itu, nasib rakyat makin terpuruk. Kelaparan terjadi di mana-mana. Tindakan kekerasan dianggap lazim. Kekuasaan menjadi rebutan. Dalam kemelut besar ini, Jakfar Al-Shadiq tidak melibatkan diri dalam kelompok elite mana pun. Ia mendirikan madrasah, mengajarkan pengetahuan dan kesucian. Kepadanya berguru para fuqaha, seperti Abu Hanifah dan Malik. Tetapi kepadanya juga belajar para arifin, yang kelak menjadi bintang-bintang dunia tasawuf. Ketika pembantaian rakyat dan mahasiswa terjadi beberapa waktu lalu, ketika bayang-bayang ketakutan terhampar di depan kita, saya ingat doa ini. Saya ingin mempersembahkan doa ini buat mereka yang gugur, dari pihak mana pun. Saya membaca doa ini lagi, sambil memandang lukisan Bismar Siregar yang dihadiahkan kepada saya. Dalam lukisan itu tampak bumi Indonesia yang kelabu, gelap, dan mencekam. Saya harus mengakhiri tulisan ini, karena pipi saya tiba-tiba menghangat. Saya menjadi melankolis. Diam Itu Emas KH. Jalaluddin Rakhmat Salah satu praktek yang harus ditempuh para sufi dalam perjalanan mereka mendekati Tuhan disebut dengan Al-Shumt. Dalam praktek ini, seorang sufi berusaha mengendalikan lidahnya dengan membiasakan diri untuk banyak diam dan mengurangi pembicaraan. Dalam kitab Ihyâ ‘Ulűmuddîn, Imam Al-Ghazali menceritakan seorang saleh yang mempunyai kebiasaan untuk bicara hanya setelah salat Isya saja. Kebiasaan ini ia kerjakan selama lebih dari empat puluh tahun. Jika tidak ada hal yang sangat perlu untuk ia bicarakan, ia lebih memilih untuk diam. Dengan ini ia mengurangi pembicaraannya hampir pada tingkat nol. Menurut Sayyid Haidar Amuli, jika kita menutup mulut untuk tidak bicara, itu berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak. Sebenarnya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Seperti disebutkan dalam Al-Quran: Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam. (QS. Al-Qiyamah: 2) Hati bisa berbicara. Ketika mulut seseorang terlalu banyak bicara, ia tidak akan dapat mendengar suara hati nuraninya. Suara hatinya tersumbat oleh riuhnya suara-suara mulutnya sendiri. Tuhan memberikan isyarat-isyarat gaib-Nya kepada kita melalui hati kita. Jika kita terlalu banyak bicara, isyarat-isyarat gaib itu akan terhalang. Dalam Al-Quran, Allah swt menunjukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara. (QS. Al-Rahman: 1-4) Masih dalam Ihyâ Ulűmuddîn, Imam Al-Ghazali mengelompokkan pembicaraan kepada empat macam. Pertama, pembicaraan yang hanya mengandung bahaya saja dan tidak memiliki manfaat. Kedua, pembicaraan yang mempunyai manfaat dan tidak di dalamnya tidak mengandung bahaya. Ketiga, pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya. Keempat, pembicaraan yang tidak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat. Pembicaraan yang banyak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat jelas harus kita hindari. Kita pun harus menghindari pembicaraan yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada bahayanya. Pembicaraan seperti itu adalah pembicaraan yang berlebihan. Nabi saw bersabda, “Manusia yang paling baik adalah manusia yang memberikan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan omongannya.” Jenis pembicaraan yang ketiga, yaitu pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya itu juga lebih baik kita hindari. Sesuai satu dalil dalam Ushul Fiqh yang menyatakan bahwa bahwa bila di dalam satu unsur terdapat bahaya sekaligus manfaat, maka unsur itu harus kita tinggalkan. Misalnya, di dalam rokok terkandung manfaat dan bahaya sekaligus. Yang harus lebih dahulu kita perhatikan adalah bahaya yang terdapat dalam rokok itu. Karena itu, kita tinggalkan rokok. Demikian pula halnya dengan minuman keras. Al-Quran bercerita tentang manfaat yang ada dalam minuman keras namun bahaya yang terdapat di dalamnya lebih besar: Katakanlah pada keduanya itu (khamar dan judi) terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (QS. Al-Baqarah: 219) Imam Al-Ghazali hanya memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja; yaitu pembicaraan yang hanya memiliki manfaat dan tidak mengandung bahaya. Keutamaan Diam Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.” Hadis lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sufyan menceritakan seseorang yang datang menemui Rasulullah saw. Orang itu meminta, ”Wahai Rasulallah, ceritakan kepadaku tentang Islam, yang setelah engkau tiada aku tidak akan bertanya lagi kepada siapa pun.” Nabi menjawab, ”Katakanlah: Kamu beriman kepada Allah lalu beristiqamahlah kamu.” Orang itu bertanya lagi, ”Ya Rasulallah, dari hal apa aku harus berhati-hati?” Rasulullah saw menjawab dengan isyarat tangan yang menunjuk kepada lidahnya. Uqbah bin Amir pernah bertanya kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulallah, apakah arti dari keselamatan itu?” Nabi saw menjawab, ”Kendalikanlah lidah kamu; jadikanlah rumahmu sebagai tempat yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman dengan kehadiran orang-orang saleh;, dan menangislah akan kesalahan kamu.” Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin menjaminkan kepadaku apa yang ada di antara kedua gerahamnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, aku jaminkan bagi dia surga.” Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah saw berkata, ”Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan lidahnya.” Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.” Seorang Arab dari dusun pernah datang menemui Nabi saw seraya berkata, ”Wahai Rasulallah, tunjukanlah aku kepada satu amal yang bisa memasukkan aku ke dalam surga.” Nabi berkata, ”Berikanlah makanan kepada yang lapar, berikanlah minuman kepada yang dahaga, perintahkan kebaikan, dan larang keburukan. Jika engkau tidak mampu melakukan itu semua, tahan lidahmu kecuali untuk yang baik saja.” Sebuah hadis yang lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Amal yang paling ringan dilakukan tubuh kita adalah diam.” Diam adalah satu-satunya amal yang bentuknya tidak sulit untuk dikerjakan tetapi dalam prakteknya susah untuk dilakukan, padahal diam merupakan amal saleh. Dalam riwayat lain, Rasulullah berkata, ”Selamatnya manusia adalah karena ia memelihara lidahnya. Ketergelinciran lidah lebih berbahaya daripada luka-luka di dalam tubuh.” Ketergelinciran lidah adalah kebinasaan yang paling berat. Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Demi Allah Yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada yang kita perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain lisan kita.” Thawus Al-Yamani, salah seorang sufi besar, pernah berkata, “Lidahku adalah binatang buas. Kalau aku lepaskan dia, dia akan memakanku.” Wahab bin Munabbih menyebutkan, ”Wajiblah buat orang yang berakal untuk bertindak arif dalam mengetahui keadaan zamannya dan menjaga lisannya serta memperhatikan urusannya.” Seorang tokoh sufi lain, Hasan Al-Bashri, berkata, ”Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya.” Dalam Nahjul Balâghah, Imam Ali berkata, ”Al-lisân mîzânul insân. Lidah itulah ukuran manusia.” Dalam riwayat lain, Imam Ali menyebutkan, ”Lisan itu adalah penerjemah hati.” Imam Ali juga berkata, ”Betapa banyaknya darah tertumpah karena lidah; betapa banyaknya manusia yang binasa karena lidahnya; dan betapa banyaknya ucapan yang menyebabkan kamu kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perbendaharaan lidahmu sebagaimana kamu menyimpan perbendaharaan emas dan uangmu.” Ucapan Imam Ali yang lain tentang hal ini adalah, “Kecelakaan manusia karena lidahnya dan keselamatan manusia terletak dalam pengendalian lidahnya” Kejahatan Lidah Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa kejahatan yang dapat dilakukan oleh lidah kita. Hanya satu cara yang bisa kita lakukan untuk menghindari kejahatan lidah, yaitu dengan jalan diam. Kejahatan lidah yang pertama adalah berbicara hal-hal yang tidak perlu. Nabi saw bersabda, ”Seseorang tidak dianggap mukmin sebelum dia menghindari segala sesuatu yang tidak perlu baginya.” Ciri seorang muslim yang baik ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat darinya. Anas, seorang sahabat Nabi, bercerita; Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, ”Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Nabi berkata, ”Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.” Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, ”Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.” Kejahatan kedua adalah pembicaraan yang berlebihan. Kelebihan pembicaraan dapat terjadi bila kita ingin menunjukkan kefasihan pembicaraan kita kemudian kita hias pembicaraan kita dengan hal-hal yang tidak perlu, agar orang lebih tertarik pada omongan kita. Penyebab kelebihan pembicaraan juga adalah adanya sikap ingin menunjukkan kepada orang lain tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pantas untuk kita tunjukkan. Terkadang kita sering berbicara kepada orang tentang sesuatu yang sebenarnya orang lain tidak berkepentingan dengan hal itu. Tetapi lidah kita gatal untuk menceritakannya pada orang lain. Banyak berbincang-bincang atau mengobrol juga termasuk ke dalam kategori pembicaraan yang berlebihan. Al-Quran menyebutkan, ”Tidak ada kebaikan pada banyaknya suatu obrolan kecuali dalam perbincangan itu ada perintah untuk bersedekah, berbuat baik, atau perintah untuk mendamaikan sesama manusia.” (QS Al-Nisa: 114) Dalam suatu hadis disebutkan, ”Berbahagialah orang yang menahan kelebihan pembicaraannya dan membelanjakan kelebihan hartanya.” Kejahatan ketiga adalah mengobrol tentang hal-hal yang batil. Di hari akhirat nanti, terjadi perbincangan antara para penghuni surga dan para penghuni neraka. Ahli surga bertanya kepada ahli neraka, “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke neraka?” Para ahli neraka menjawab, “Dahulu kami tidak pernah melakukan salat, tidak memberi makan kepada orang miskin, dan kami biasa mengobrolkan hal-hal yang batil dengan orang-orang yang membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir: 42-45). Kejahatan lidah yang keempat adalah berdebat. Debat memang berguna bagi murid yang sedang belajar. Tetapi bagi seorang alim, debat adalah sesuatu yang harus ia hindari. Seringkali lidah kita gatal untuk mendebat seseorang. Kita menikmati perdebatan karena dengan perdebatan kita dapat memuaskan nafsu binatang buas yang ada pada diri kita. Sifat binatang buas ini mendorong kita untuk mengalahkan, menghancurkan, dan membuat kita lebih tinggi daripada orang lain. Nabi berkata, ”Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, walaupun perdebatan itu benar, maka Tuhan akan berikan kepadanya tempat paling tinggi di surga. Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan yang batil, maka Tuhan akan bangunkan baginya rumah di taman-taman surga.” Dalam riwayat lain disebutkan Nabi bersabda, ”Janganlah engkau debat saudaramu; janganlah engkau lawan dia; dan janganlah engkau menjanjikan sebuah janji kepadanya lalu kau langgar janji itu.” Kejahatan lidah yang kelima adalah perkataan yang di dalamnya terkandung unsur permusuhan, kedengkian, menyakitkan, serta menjatuhkan harga diri orang lain. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari; Suatu saat ada sahabat yang mencemooh Imam Ali kw karena kepalanya yang tidak berambut. Orang itu berkata, ”Hai, lihat! Sudah datang Si Botak!” Mendengar ucapan itu, Nabi berkata, ”Janganlah kau kecam sahabat-sahabatku.” Kejahatan keenam adalah melebih-lebihkan pembicaraan untuk menunjukkan kefasihan dalam berbicara. Diriwayatkan dari Sayyidah Fatimah as, Nabi saw pernah bersaba, ”Sejelek-jeleknya umatku ialah orang yang di pagi harinya banyak memperoleh kenikmatan, lalu ia makan dan berpakaian secara berlebihan, dan ia banyak melebih-lebihkan pembicaraannya.” Kejahatan lidah yang ketujuh adalah lidah yang sering mengucapkan kata-kata kotor. Rasulullah saw bersabda, ”Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk, dan melaknat.” Kata-kata kotor adalah kata-kata yang apabila kita mengucapkannya kita dianggap tidak sopan. Sedangkan kata-kata kasar adalah kata-kata yang sebaiknya tidak kita ucapkan karena ada kata-kata lain yang jauh lebih halus. Seorang mukmin harus bisa menyampaikan makna ingin diutarakannya dengan bahasa yang halus. Di sisi lain, Islam pun memuji orang-orang yang berkata jujur dan apa adanya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. Rasulullah saw bersabda, “Di bawah kolong langit ini, di atas bumi yang hijau ini, tidak ada lidah yang lebih jujur daripada lidah Abu Dzar.” Tetapi Abu Dzar juga pernah ditegur oleh Rasulullah saw karena terlalu jujur dalam berkata. Suatu saat, Abu Dzar bertengkar dengan sahabat Amar bin Yasir. Amar adalah orang yang berkulit hitam karena ada garis keturunan dari ibunya yang berkulit hitam. Ketika bertengkar, Abu Dzar berkata kepada Amar, “Hai, anak perempuan berkulit hitam!” Rasulullah saw mendengar hal itu. Ia menegur Abu Dzar, “Celakalah kamu, Abu Dzar! Tidak ada kelebihan orang berkulit putih di atas orang berkulit hitam; (tidak ada kelebihan) orang Arab di atas orang ‘Ajam.” Mendengar ucapan Rasulullah saw tersebut, Abu Dzar langsung merebahkan tubuhnya. Ia letakkan pipinya di atas tanah lalu memerintahkan Amar untuk menginjak kepalanya sebagai tebusan ucapannya tadi. Kejahatan lidah yang kedelapan adalah melaknat. Sementara kejahatan yang kesembilan adalah lebih banyak bernyanyi daripada membaca Al-Quran. Al-Ghazali menyebutkan ada nyanyian-nyanyian yang diperbolehkan dalam Islam untuk kita nyanyikan. Tapi sebagian besar nyanyian itu tidak bermanfaat dan melalaikan kita dari Allah. Nyanyian yang baik adalah nyanyian yang di dalamnya ada ungkapan-ungkapan kerinduan kepada Allah dan terkandung pujian-pujian untuk Allah swt. Perjuangan Mustadhafin KH. Jalaluddin Rakhmat Al-Quran tak pernah menyebut kata kemerdekaan. Istilah itu memang punya makna spesifik dalam sejarah manusia. Ketika masyarakat terdiri dari dua macam anggota -orang merdeka dan budak- merdeka berarti bebas dari perbudakan. Al-Quran menyebut kata “budak” dan “tuan”, “’abd” dan “mawla”. Ketika dunia terdiri dari bangsa yang menjajah dan bangsa yang terjajah, merdeka berarti melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain. Kemerdekaan menjadi sebuah konsep dalam hubungan internasional. Indonesia disebut merdeka karena ia melepaskan diri dari kekuasaan Belanda. Kata “bangsa” juga didefinisikan sebagai satu kelompok besar manusia -apa pun ras dan etniknya- yang mempunyai penjajah yang sama. Al-Quran tak menyebut bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Tetapi Al-Quran berkisah tentang kelompok-kelompok manusia -boleh jadi terdiri dari satu bangsa atau bangsa-bangsa lain yang berlainan- yang berhubungan satu sama lain dengan sistem yang tidak adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah, Al-Quran menyebut “alladzînastakbaru” dan “alladzînastudh’ifu”. Ada kelompok yang arogan dan penindas serta ada kelompok yang dilemahkan atau ditindas. Karena bertahan hidup dalam sistem yang tidak adil, keduanya disebut sebagai orang-orang zalim. Penduduk negeri mana pun, yang mempertahankan sistem yang zalim, akan dihempaskan dalam pengadilan Tuhan. Keduanya nanti akan saling menyalahkan. “Sekiranya kamu melihat peristiwa dahsyat ketika orang-orang zalim dihadapkan pada Tuhan mereka sambil mereka saling melemparkan omongan satu sama lain. Berkata orang-orang yang tertindas kepada mereka yang arogan: Sekiranya tidak karena kamu, tentulah kami termasuk orang-orang yang beriman. Berkata para penguasa arogan kepada orang-orang tertindas: Betulkah kami yang menyimpangkan kamu dari petunjuk setelah petunjuk itu datang kepada kamu? Justru kamu sendiri yang berdosa. Berkata orang-orang yang tertindas kepada penguasa yang arogan: Tidak, bukankah kamu yang membuat rekayasa siang dan malam ketika kalian menguasai kami dengan memerintahkan kami ingkar kepada Tuhan dan mengangkat saingan-saingan Tuhan. Kedua belah pihak merasakan penyesalan ketika mereka melihat azab dan kami jadikan belenggu di atas kuduk orang-orang kafir. Mereka tidak dibalas kecuali dengan apa yang mereka kerjakan. Di depan Tuhan, orang-orang tertindas mengadu kepada Tuhan. Mereka mempersalahkan para penguasa arogan untuk dosa-dosa mereka. Sebaliknya, para penindas menolak tuduhan itu dengan mengatakan bahwa kebenaran sudah datang kepada mereka. Di sini Al-Quran tidak menjelaskan penindasan dengan cara Marxian, yakni menimpakan semua kesalahan kepada pihak penindas. Al-Quran tidak membangkitkan kesadaran kelas. Baik penindas maupun orang tertindas, bertanggung jawab atas sistem yang tidak adil. Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaannya, dan kekuasaannya. Orang tertindas bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang, merekayasa, mendesain berbagai peristiwa untuk menipu orang-orang tertindas. Pada gilirannya, kaum mustadhafin tak pernah mau berpikir kritis, sehingga dengan mudah digiring ke dalam rekayasa para penindas.” Inilah penjelasan Al-Quran untuk negara-negara yang hidup dalam sistem yang zalim. Karena kasih sayangnya, Tuhan selalu mengirimkan para pembaharu, para pemberi peringatan. Sayangnya, kaum mustakbirin menolak mereka dengan membanggakan kekayaan dan para pengikutnya; kaum mustadhafin mencurigai mereka karena rekayasa kaum mustakbirin. Al-Quran juga menyebutkan, “Dan kami tidak mendatangkan kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan kecuali orang-orang yuang hidup mewah di negeri itu akan berkata kepadanya: Sesungguhnya kami menolak misi kamu. Seraya mereka berkata: Kami lebih banyak kekayaan dan anak buah dari kamu dan kami tidak akan disiksa. Katakan sesungguhnya Tuhanku meluaskan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendakinya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” Para pemberi peringatan itu dahulu adalah para nabi, yang salah satu tugasnya ialah “...membuang beban-beban yang menghimpit mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung mereka.” (QS. Al-A’raf: 157) Perjuangan kemerdekaan bukan hanya mengusir penjajah asing, atau menghancurkan orang-orang kaya, atau menggantikan satu rezim dengan rezim yang lain. Perjuangan kemerdekaan adalah penciptaan suatu kondisi ketika orang-orang yang kaya dan berkuasa bekerja sama dengan orang miskin dan lemah membangun tatanan sosial yang adil. Kedua pihak berjuang -dalam istilah Al-Quran- “dalam jalan Allah dan jalan mustadhafin.” Dengan begitu, mereka menjadi kelompok yang mengemban misi Ilahi: melindungi dan menyelamatkan bangsa dari sistem yang menindas. “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan di jalan kaum mustadhafin -yakni laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tertindas- yang berkata: Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang penduduknya orang zalim. Jadikan bagi kami dari sisi-Mu pelindung dan berilah kami dari sisi-Mu pembela.” (QS. Al-Nisa: 75) Mereka yang menjerit memohonkan kehadiran kaum pembela itu bukan hanya orang-orang tua kita di zaman Belanda, tetapi juga penduduk Indonesia pada zaman Orla ketika mereka ramai-ramai memuja Soekarno dan menahan lapar demi revolusi; juga bangsa Indonesia pada zaman Orba ketika tanah mereka digusur, anak-anak mereka diculik, dan keamanan hidup mereka diancam; saya takut, juga bangsa Indonesia kini yang memperingati kemerdekaan dengan perut yang lapar, jiwa yang frustasi, dan hati yang mencemaskan hari esok. Pemerintahan berulang kali berganti, tetapi kita masih juga termasuk kaum mustadhafin. Ridha Ilahi KH. Jalaluddin Rakhmat Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, “Wahai Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik. Saya melakukan salat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!” “Baik,” kata Musa seraya melanjutkan perjalannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah salat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan. Ketika kembali dari Sina, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang saleh, “Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, “Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, “Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek. “Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga. Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini: “Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menyebabkan aku senang kepadanya.” Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusaha keras untuk menguasainya –lahir dan batin, lalu kita mohon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berkewajiban untuk melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya, sambil berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?” “Janganlah kamu memberi dan menganggap pemberianmu sudah banyak,” firman Tuhan (QS. Al-Mudatsir: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu bertanya seperti itu, ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. Ia tidak berjalan menuju Tuhan. Ia berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya. Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan kawan-kawannya. Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, bacalah doa ini setelah salat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, karena kasih sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.” Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa Nabi Muhammad saw ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki berlumuran darah, “Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku, ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah–Mu bagiku lebih agung dan lebih luas. aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan. Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku. Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali melalui-Mu.” Rahasia Haji: Perspektif Sufi KH. Jalaluddin Rakhmat Pada 10 Zulhijjah, dari atas untanya, Nabi Muhammad saw menyampaikan khotbah. Usai khotbah, seseorang bertanya, “Saya berziarah dulu (tawaf) ke Baitullah, setelah itu saya melempar jumrah?” Beliau berkata, “If’al, lâ harâj (lakukan saja, tidak ada salahnya). Yang lain berkata, “Saya bercukur dulu sebelum menyembelih.” Beliau berkata, “Lakukan saja, tidak ada salahnya.” Yang lain bertanya lagi, “Saya menyembelih sebelum melempar?” Beliau berkata, “Lakukan saja, tidak ada salahnya.” Kata Abdullah bin Umar, “Setiap Nabi saw ditanya tentang sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan, beliau selalu berkata: ‘Lakukan saja, tidak ada salahnya.’” (Shahîh al-Bukhari, Kitab al-Hajj) Para ulama menghitung tak kurang dari 24 cara ibadah haji yang disampaikan kepada Rasulullah saw, dan beliau membenarkannya: bercukur sebelum melempar, bercukur sebelum menyembelih, menyembelih sebelum melempar, tawaf ifadhah sebelum melempar, tawaf ifadhah sebelum bercukur, melempar dan ifadhah bersamaan sebelum bercukur, tawaf ifadhah sebelum menyembelih, sai sebelum tawaf, dan lain-lain. Berbagai cara haji itu mula-mula memang dipertengkarkan oleh para sahabat Nabi. Masing-masing merasa hajinya yang paling benar. Ketika setiap cara itu dikemukakan kepada Nabi, beliau membenarkan semuanya; “Lakukan saja, tidak ada salahnya.” “Bukankah ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang harus dilakukan oleh mukallaf -dan Nabi saw tidak menentukan dengan tegas cara-cara dan urutannya- pelaksanaanya terbuka luas. Setiap mukallaf dapat melakukannya sesuai dengan keyakinannya,” tulis Muhammad Jalil Isa ketika mengomentari hadis ini (lihat kitabnya, Mâ lâ Yajuz Fîhi al-Khilâf, hlm 66). Sebagai Rasul Allah, Nabi saw berhak menentukan mana-mana cara dan urutan haji yang benar. Tapi beliau malah menyerahkannya kepada pertimbangan praktis para pengikutnya. Bandingkan perilaku Nabi saw ini dengan sebagian besar kita. Tak ada hak pada kita untuk menentukan mazhab fikih yang benar atau salah, tapi kita malah menetapkan hanya cara dan urutan ibadah haji seperti yang kita amalkan saja yang benar. Dengan mengutip ucapan para sahabat, kita masing-masing berkata, “Nahnu ashwâb (kamilah yang paling benar).” Ketika Nabi saw berkata if’al lâ harâj, beliau bukan saja mengajarkan penghargaan pada pemahaman agama yang berbeda. Beliau juga menunjukkan bahwa yang paling penting dari ibadah haji bukanlah ritus-ritus formalnya, melainkan hakikatnya. Ritus-ritus itu, walaupun tidak boleh ditinggalkan, hanyalah wahana untuk tujuan haji yang sebenarnya. Kita tak perlu mempertentangkannya. Yang perlu dibicarakan adalah bagaimana membersihkan ibadah haji kita dari kata-kata kotor, kefasikan, dan pertengkaran, apa pun alasannya. Inilah yang disebut adab haji atau rahasia haji (asrâr al-hajji) Keutamaan Haji Banyak hadis menjelaskan keutamaan ibadah haji dan tempat-tempat yang mulia, yang diziarahi jemaah haji: Barangsiapa yang haji ke Baitullah, kemudian tidak berkata kotor dan tidak berbuat dosa, ia keluar dari dosanya seperti ketika ia keluar dari perut ibunya. Barangsiapa yang meninggal di salah satu haramain (Mekah dan Madinah), ia tidak akan dihadapkan kepada pengadilan Tuhan, tidak akan diperiksa, dan akan dikatakan padanya, “Masuklah ke sorga”. Orang-orang yang berhaji adalah rombongan Tuhan dan para peziarah-Nya. Jika mereka meminta, Tuhan akan mengabulkan permintaannya. Jika mereka meminta ampunannya, Tuhan akan mengampuninya. Jika mereka berdoa, Tuhan akan mengabulkannya. Jika mereka meminta syafa’at, mereka akan diberi syafa’at (lihat Kitab Rahasia Haji, Ihya Ulumiddin, juz 1). Semua keutamaan haji ini hilang bila orang meninggalkan adab batiniahnya. Haji adalah safar rohani menuju Allah swt. Menurut al-Ghazali, orang tidak akan mencapai Tuhan tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterikatan kepada hawa nafsu. Dahulu, untuk mencapai Tuhan, para pendeta meninggalkan tanah airnya, mengembara dengan menanggung berbagai kesulitan. Mereka hidup sederhana sambil merendahkan dirinya di hadapan kebesaran Allah swt. Boleh jadi mereka berpakaian kusam dan berambut kusut-masai, berkelana dalam perjalanan panjang mencari Tuhan. Ketika Nabi saw ditanya para pemeluk agama terdahulu tentang kependetaan dan pengembaraan, beliau berkata: “Allah sudah menggantikannya untuk kami dengan jihad dan takbir pada setiap tempat yang mulia.” Yang dimaksud Nabi dengan Jihad dan takbir ini adalah haji. Dalam ibadah haji, setiap Muslim menjalani kehidupan kependetaan. Bukankah ketika mereka wuquf di Arafah, Tuhan membanggakan jemaah haji di hadapan para malaikat-Nya: Hamba-hamba-Ku, datang kepada-Ku dengan rambut kusut-masai dari setiap sudut negeri yang jauh. Wahai hamba-hamba-Ku, bubarlah dari Arafah dengan ampunan-Ku atas kamu. Jemaah haji adalah jemaah pendeta, rombongan orang suci. Sepuluh Rahasia Haji Untuk menjalankan tugas kependetaan itu, selain memperhatikan ritus-ritus haji, jemaah haji harus menjaga adab-adab batiniah ibadah haji. Al-Ghazali menyebutkan sepuluh etika haji. Pertama, Hendaknya ia berhaji dengan harta yang halal. Ia harus meninggalkan perhatian pada urusan pekerjaan dan bisnisnya. Ia harus mencurahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah swt. Rasulullah saw pernah menubuatkan jenis-jenis haji pada akhir zaman: “Pada akhir zaman nanti, manusia yang keluar melakukan ibadah haji terdiri dari empat macam. Para pejabat haji untuk pesiar, pedagang untuk berniaga, orang miskin untuk mengemis, dan ulama untuk kebanggaan. Kedua, hendaknya ia berusaha untuk tidak menyerahkan dirinya diperas orang-orang yang mengganggu jemaah haji. Tentang itu al-Ghazali menyebutkan para perompak zaman dulu yang merampok jemaah haji di perjalanan. Ia mengutip pendapat para ulama bahwa lebih baik meninggalkan sunat haji daripada mendukung kezaliman. Ketiga, hendaknya ia tidak memboroskan bekalnya untuk makan dan minum yang mewah atau membeli kelezatan-kelezatan di perjalanan. Ia harus banyak menggunakan hartanya untuk bersedekah, menolong orang lain, atau memberikan bekal pada teman seperjalanan. Keempat, hendaknya ia meninggalkan segala macam akhlak yang tercela -kekejian dan kefasikan, serta perdebatan dan perbantahan. Yang termasuk kekejian adalah berkata kotor, kasar atau yang menusuk perasaan. Juga berdusta, memfitnah dan menipu. Kelima, diutamakan memperbanyak berjalan. Sekarang ini mungkin lebih baik meninggalkan Arafah dan menuju Mina dengan berjalan kaki daripada dengan kendaraan. Dengan berjalan kaki, ia akan sempat tidur di Muzdalifah dan pagi-pagi berangkat menuju Mina. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan tiba di Mina lebih cepat dari orang yang menyewa kendaraan. Keenam, karena berkaitan dengan jenis kendaraan masa lalu, kita tidak menyebutkannyya di sini. Ketujuh, hendaknya ia berpakaian sederhana dan meninggalkan tanda-tanda kesombongan dan kemewahan. Bukankah pada waktu ihram, kita dianjurkan untuk tidak menyisir rambut sehingga rambut kita akan kelihatan kusut-masai. Haji dimaksudkan untuk membesarkan Allah dan mengecilkan diri kita. Kedelapan, berkenaan dengan unta, yang tidak relevan pada waktu sekarang. Kesembilan, berkenaan dengan kewajiban untuk berkurban dan membagikan daginnya kepada fakir miskin. Kesepuluh, hendaknya ia bersabar menerima musibah yang menimpa badannya atau bila ia kehilangan hartanya. Rahasia haji dari al-Ghazali sebetulnya menggambarkan perspektif sufi. Ratusan tahun sebelum al-Ghazali lahir, Ja’far al-Shadiq ra, tokoh besar dalam dunia tasawuf, memberikan nasihat kepada para jemaah haji: “Jika engkau berangkat haji, kosongkanlah hatimu dari segala urusan, dan hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah swt. Tinggalkan setiap penghalang dan serahkan urusanmu kepada Penciptamu. Bertawakallah kepada-Nya dalam setiap gerak dan diammu. Berserah dirilah kepada ketentuan-ketentuan-Nya, hukum-hukum-Nya, dan takdir-Nya. Tinggalkan dunia, kesenangan, dan seluruh makhluk. Keluarlah dari kewajiban yang dibebankan kepadamu dari makhluk Tuhan. Janganlah bersandar kepada bekalmu, kendaraanmu, sahabatmu, kekuatanmu, kemudaanmu dan kekayaanmu. Buatlah persiapan seakan-akan engkau tidak akan kembali lagi. Bergaullah dengan baik. Jaga waktu-waktu dalam melaksanakan kewajiban yang ditetapkan Allah dan Sunnah Nabi saw, berupa adab, kesabaran, syukur, kasih-sayang, kedermawanan, mendahulukan orang lain sepanjang waktu. Bersihkan dosa-dosamu dengan air taubat yang ikhlas. Pakailah pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hari dan kekhusukan. Berihramlah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi kamu mengingat Allah dan mencegahmu mentaati-Nya. Bertalbiahlah kamu dengan menjawab panggilan Allah dengan ikhlas, suci dan bersih dalam doa-doa kamu, seraya tetap berpegang pada tali yang kokoh. Bertawaflah dengan hatimu bersama para malaikat sekitar ‘Arasy, sebagaimana kamu bertawaf dengan jasadmu bersama manusia di sekitar Baitullah. Keluarlah dari kelalaianmu dan ketergelinciranmu ketika engkau keluar ke Mina dan janganlah mengharapkan apa pun yang tidak halal dan tidak layak bagimu. Akuilah segala kesalahan di tempat pengakuan (Arafat). Perbaharuilah perjanjianmu di depan Allah swt dengan mengakui keesaan-Nya. Mendekatlah kepada Allah di Muzdalifah. Sembelihlah tengkuk hawa nafsu dan kerakusan ketika engkau menyembelih dam. Lemparkan syahwat, kerendahan, kekejian dan segala perbuatan tercela ketika melempar Jamarat. Cukurlah aib-aib lahir dan batin ketika mencukur rambut. Tinggalkan kebiasaan menuruti kehendakmu dan masuklah kepada perlindungan ke mesjid al-Haram.” Berputarlah sekitar Baitullah dengan sungguh-sungguh mengagungkan Pemiliknya dan menyadari kebesaran dan kekuasaan-Nya. Beristilamlah kepada hajar aswad dengan penuh keridhoan atas ketentuan Allah dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tinggalkan apa saja selain Allah ketika engkau tawaf perpisahan. Sucikan ruhmu dan batinmu untuk menemui Dia pada hari pertemuan dengan Dia, ketika kamu berdiri di Shafa. Tempatkan dirimu pada pengawasan Allah dengan membersihkan perilakumu di Marwah.” Hijrah dan Rahbaniyyah KH. Jalaluddin Rakhmat “Pada suatu hari,” kata Abdullah ibnu Mas’ud, “aku sedang menyertai Rasulullah saw yang sedang mengendarai keledainya. Ia memanggilku: ‘Hai Ibnu Ummi ‘Abd, tahukah kamu dari mana Bani Israil mengadakan tradisi kependetaan?’ Aku menjawab: ’Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Ia bersabda lagi: ‘Setelah Nabi Isa as, muncullah para tiran.’ Mereka melakukan penentangan kepada Allah. Orang-orang yang beriman marah. Mereka memerangi para tiran itu, tetapi kalah, sampai tiga kali. Tidak tersisa dari orang-orang beriman itu kecuali sedikit saja. Mereka berkata: ‘Perlawanan kita terhadap mereka telah membinasakan kita. Nanti tidak tersisa lagi seorang pun yang memanggil manusia kepada agama. Marilah kita berpisah dan menyebar di bumi sampai Allah membangkitkan seorang Nabi yang dijanjikan kepada Isa as, yakni Muhammad saw.’ Mereka tersebar di gua-gua pegunungan. Mereka adakan kependetaan. Sebagian di antara mereka berpegang teguh pada agamanya; sebagian lagi menjadi kafir. Kemudian Rasulullah saw membaca ayat: Dan kependetaan yang mereka adakan tidaklah Kami wajibkan atas mereka. Sampai akhir ayat. Kemudian beliau bersabda: ‘Hai Ibnu Ummi ‘Abd, tahukah kamu kependetaan umatku?’ Aku berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Ia bersabda: ‘Hijrah, jihad, salat, puasa, haji, dan umrah.’” (Tafsir Mizan 19:182). Setiap agama mengenal sejumlah tradisi yang dilakukan para pengikutnya semata-mata untuk menyembah Tuhan. Mereka mempersembahkan seluruh harta dan jiwanya untuk Tuhan. Tradisi ini dijalankan secara konsisten dan terus menerus oleh sekelompok pengikut yang sangat saleh dan secara temporer oleh pengikutnya yang lain. Tradisi ini disebut kependetaan, rahbaniyyah. Pada agama Budha, setiap pengikut dianjurkan selama beberapa waktu menjalankan kehidupan sebagai pendeta. Mereka meninggalkan keluarganya, hidup sederhana, beribadat siang dan malam, dan menyerahkan seluruh perilakunya kepada Tuhan. Mereka tinggal di biara. Pada agama Kristen, menurut Rasulullah saw, tradisi kependetaan dimulai sejak umat Kristiani dikejar-kejar, dibunuh, dan ditindas. Untuk menyelamatkan agama, sebagian di antara pemeluk Kristen masuk ke gua-gua mempraktikan jalan kesucian. Setelah Islam datang, tradisi kependetaan ini dijalankan dalam hijrah, jihad, salat, puasa, haji, dan umrah. Ciri utama semua ibadat yang bersifat rahbaniyyah adalah kebergantungan kepada Allah saja dan keterlepasan dari apa pun dan siapa pun selain Dia. Yang pertama disebut al-inqitha’ ilallah dan yang kedua al-iqitha’ ‘an man siwah. Ketika orang melakukan haji dan umrah, ia meninggalkan tanah airnya dan segala urusan di dalamnya. Ia melepaskan pekerjaannya. Ia melepaskan keluarganya. Ia melepaskan kekayaannya. Selama periode haji, kepentingannya hanya satu: menjalankan semua kehendak Allah. Pada waktu puasa, seorang muslim mengendalikan hawa nafsunya dan menundukkannya kepada kehendak Allah. Kepada siapa saja yang melakukan salat, Nabi berpesan: “Salatlah kamu seperti salat orang yang berpisah dengan dunia ini.” Seperti haji dan umrah, dalam hijrah dan jihad kita harus meninggalkan rumah kita dan bergerak menuju Allah dan Rasul-Nya. Rumah kita itu dapat berupa pekerjaan kita, kekayaan kita, kedudukan kita, kekuasaan kita, juga ambisi dan kepentingan kita. Secara singkat, rumah kita adalah Ego (yang saya tulis dengan huruf besar) kita. Anda belum berhijrah bila Anda hidup seperti kerang yang membawa rumahnya ke mana pun ia bergerak. Ketika Nabi saw berhijrah, para sahabat menyusulnya. Ada di antara mereka yang berangkat ke Madinah tidak untuk menyusul Nabi, tapi untuk menemui pacarnya. Ada juga yang berangkat karena pertimbangan bisnisnya. Mereka bergerak, tapi tidak menanggalkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Mereka menempuh perjalanan panjang sambil memikul egonya. Kelak pada hari akhirat, ada seorang pejuang menyatakan bahwa hidupnya sudah dipersembahkan untuk menegakkan agama. Tuhan berkata: “Kamu bohong, kamu berjuang untuk disebut sebagai pemberani.” Ia diseret pada wajahnya dan dilemparkan ke neraka. Ia sudah berjihad, tetapi dalam jihadnya ia gagal melepaskan egonya. Setiap tahun, kita memperingati peristiwa hijrah. Kita dianjurkan untuk berhijrah. Pada saat yang sama, kita juga diperintahkan untuk jihad. Keduanya diajarkan Nabi saw untuk melanjutkan perjuangan menentang tirani. Bukan pergi ke gua, umat Muhammad saw harus mengibarkan bendera perlawanan dan menancapkannya di medan perang. Tetapi hijrah dan jihad harus ditegakkan di atas kependetaan, yakni melepaskan ego kita. Anda sudah bertekad menentang tirani dan menegakkan pemerintahan yang adil dan bersih. Mengapa kini Anda sibuk memenangkan kelompok Anda, dengan berbagai manuver, termasuk dengan bekerja sama dengan sistem yang zalim? Anda sudah berniat memperjuangkan Islam. Mengapa Anda menyerang sesama muslim, menyebarkan aibnya, untuk menonjolkan diri Anda sendiri? Mengapa kini Anda meletakkan kepentingan kelompok Anda, bahkan kepentingan pribadi Anda, di atas kepentingan Islam dan kaum muslimin? Anda sudah berhijrah, berjihad, tetapi Anda tidak melepaskan ego Anda. Hijrah dan jihad Anda kehilangan roh rahbaniyyah-nya. Kita sudah lama kehilangan roh dalam salat, puasa, haji, dan umrah kita. Dan kini kita kehilangan hijrah dan jihad kita. Tuhan, ampunilah kami! Khidmat: Jalan Cepat Menuju Tuhan KH. Jalaluddin Rakhmat Pada suatu hari, seorang kiai muda dari Pesantren Lirboyo datang menemui saya dengan membawa sebuah buku tebal yang berisi renungan-renungan sufistik. Kiai itu tak pernah menempuh pendidikan formal, ia hanya masuk pesantren. Buku yang dibawanya diketik sendiri melalui mesin tik yang tampaknya dibuat di Jerman sebelum Perang Dunia II. Setelah berbincang dengannya, saya menyadari bahwa kiai ini luar biasa. Ia banyak menggunakan istilah-istilah, bukan saja dalam bahasa Arab, tetapi juga dalam bahasa Inggris modern. Saya tertarik untuk mengetahui di mana dan bagaimana ia belajar. Ia bercerita bahwa ia pernah belajar kepada salah seorang ulama, yang di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dianggap sebagai seorang sufi. Ketika ia berguru pada ulama itu, ia selalu diberi tugas untuk memandikan kuda Pak Kiai. Ia melakukannya dengan penuh gembira karena ia pernah mendengar cerita tentang seorang santri yang juga diperintahkan untuk mencuci kuda Syaikh Khalil di Bangkalan. Santri yang suka memandikan kuda itu lalu menjadi ulama besar dan mendirikan Nahdlatul Ulama. Namanya KH. Hasyim Asy’ari. Cerita-cerita itu menunjukkan kepada kita bahwa mereka yang lebih banyak berkhidmat kepada kiainya daripada belajar, ternyata memperoleh ilmu yang luar biasa dan pengetahuan yang sangat tinggi. Hal ini juga mengingatkan saya kepada salah seorang kiai di Purwakarta yang mengaku bahwa ketika ia nyantri di pesantrennya, ia jarang menghapal kitab. Dalam program-program hapalan dan imtihan, ia lebih sering tidak hadir karena selalu dipanggil untuk memijat kiainya. Setelah ia keluar dari pesantren, ia malah berhasil mendirikan pesantrennya sendiri. Para santri di atas mendapatkan pelajaran pertama mereka dalam Islam; yaitu khidmat. Perkhidmatan tidak bisa diajarkan melalui lisan tapi harus dengan praktik. Bila kita belajar tasawuf kepada para sufi zaman dahulu, pelajaran pertama yang kita dapatkan bukanlah dengan duduk di kursi dan memegang kertas; tetapi membersihkan lantai dan toilet. Kita terbiasa untuk menggerakkan telunjuk kita pada setiap orang dengan sejumlah perintah-perintah tertentu. Kita sering menggunakan telunjuk kita untuk menyuruh orang berkhidmat kepada kita, bukan untuk berkhidmat kepada mereka. Kita terbiasa dikhidmati. Oleh karena itu, semestinya kita belajar tentang khidmat langsung di dalam praktiknya. Berikut ini adalah beberapa ayat Al-Quran dan hadis Rasulullah saw yang menunjukkan pentingnya berkhidmat dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Perkhidmatan dalam Al-Quran Di dalam Al-Quran, khidmat seringkali disebut dengan istilah jihad dan dilakukan dengan dua hal; bi amwalikum wa anfusikum, dengan harta dan jiwa kita. Di dalam konteks ini, Al-Quran selalu menyebutkan kata amwalikum (hartamu) sebelum anfusikum (jiwamu). Al-Quran mengajarkan kita untuk berkhidmat dengan harta sebelum dengan jiwa. Banyak di antara kita yang sering rela mengorbankan nyawa tetapi tidak rela mengorbankan hartanya. Manusia sering mengorbankan kesehatannya, tubuhnya, bahkan jiwanya demi harta. Oleh karena itu, perkhidmatan dengan harta di dalam Islam lebih didahulukan daripada perkhidmatan dengan jiwa. Contoh perkhidmatan dengan harta yang merupakan salah satu rukun Islam adalah mengeluarkan zakat. Ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan karakteristik orang takwa selalu menyebut perihal zakat atau infak di jalan Allah sebagai salah satu cirinya. Surat Al-Baqarah ayat 2-4 menyebutkan ciri-ciri orang takwa sebagai orang yang mengimani yang gaib, menegakkan salat, mengeluarkan infak, dan mengimani kitab-kitab terdahulu. Kemudian dalam surat Ali Imran ayat 133-135, Allah berfirman: Bersegeralah kamu kepada ampunan Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi; yang disediakan bagi orang-orang yang takwa, yaitu mereka yang menginfakkan hartanya, baik dalam suka dan duka; yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain. Sesungguhnya Tuhan mencintai orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila berbuat keji dan menganiaya diri sendiri, mereka cepat ingat kepada Allah dan memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Kemudian mereka tidak mengulangi perbuatan dosanya itu padahal mereka mengetahuinya. Tanda-tanda orang takwa juga disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 177: Bukanlah kebajikan itu kamu menghadap ke Timur dan ke Barat, tetapi yang disebut kebajikan itu ialah kamu beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada karib kerabat yang dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, peminta-minta, dan yang memerdekakan hamba sahaya dan mengerjakan salat, mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan dan penderitaan, dan orang-orang yang tabah di dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang takwa. Surat Ali Imran ayat 92 menyebutkan infak akan sesuatu yang dicintai sebagai syarat untuk mencapai kebajikan. Ayat tersebut berbunyi: Kamu belum berbuat kebajikan sebelum kamu menginfakkan apa yang kamu cintai. Kemudian dalam surat Al-Dzariyat ayat 15-19, Tuhan berfirman: Sesungguhnya orang-orang takwa itu akan ditempatkan di surga yang mempunyai mata air-mata air. Mereka mengambil apa yang mereka kehendaki yang telah Allah anugerahkan kepada mereka. Inilah orang-orang yang dahulunya suka berbuat baik; pada malam hari mereka sedikit mempergunakan waktunya untuk berbaring dan kalau telah sampai waktu sahur mereka merintih membaca istighfar; dan yang dalam hartanya ada hak bagi orang miskin yang berkekurangan. Dari ayat-ayat di atas, kita lihat bahwa menginfakkan harta selalu disebut sebagai ciri orang takwa. Sementara mengerjakan salat sebagai karakteristik orang takwa tidak selalu disebutkan dalam ayat-ayat itu. Ketika turun ayat: Kamu belum berbuat baik sebelum kamu menginfakkan apa yang kamu cintai (QS. Ali Imran: 92), seorang sahabat Nabi bernama Thalhah menjadi amat gelisah. Ia sibuk memikirkan hartanya yang paling ia cintai. Ia ingat bahwa ia amat menyukai kebun miliknya yang terletak di samping masjid Nabi. Ia sering melihat Nabi berbaring di kebun itu sebelum pergi ke masjid. Ia kemudian datang menemui Nabi dan berkata, “Ya Rasulallah, tak ada harga yang paling saya cintai selain kebun di samping masjid ini. Sekarang saya infakkan kebun ini di jalan Allah setelah saya mendengar ayat 92 surat Ali Imran.” Setelah mendengar ayat itu, sebaiknya kita juga sudah dapat memikirkan harta apa yang paling kita cintai. Setelah itu, kita harus menginfakkan harta yang paling kita cintai itu. Karena bila kita tidak melakukannya, kita belum mencapai kebajikan. Surat Muhammad ayat 36-37 berbunyi: Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu supaya memberikan semuanya, niscaya kamu akan kikir dan Dia akan mengeluarkan kedengkianmu.” Dalam Tafsir Ibnu Katsir, berkenaan dengan ayat ini disebutkan: Sesungguhnya Allah swt tahu bahwa kalau kau mengeluarkan rezekimu, pada saat yang sama kau mengeluarkan penyakit-penyakit batinmu, di antaranya kedengkian, iri hati, egoisme, dan mementingkan diri sendiri. Dengan kebiasaan mengeluarkan harta, akan keluar juga kedengkianmu. Para psikoterapis mengetahui ada banyak sekali gangguan jiwa, seperti kegelisahan, keresahan, dan stres yang berkepanjangan, yang bermula dari perbuatan kita yang selalu mementingkan diri kita sendiri; menghendaki orang lain berperilaku seperti yang kita kehendaki dan menginginkan dunia berjalan seperti yang kita atur. Kita menjadi sangat menderita bila sesuatu yang kita inginkan itu tidak terjadi. Yang selalu kita pikirkan adalah keinginan-keinginan ego kita. Untuk menghilangkan ego, kita harus melakukan latihan-latihan. Di antara latihan itu adalah mengeluarkan harta. Harta adalah sesuatu yang selalu kita inginkan. Kita hanya bisa belajar untuk menaklukkan keinginan-keinginan kita dengan mengeluarkan harta yang kita cintai. Dalam surat Al-Taubah ayat 102, Tuhan memerintahkan Nabi saw: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Rasulullah saw pernah bercerita tentang orang-orang yang telah mencapai derajat yang tinggi. Sekiranya salah seorang di antara mereka mati, Tuhan akan menggantikannya dengan orang yang sama seperti mereka. Menurut Rasulullah saw, karena orang-orang inilah Allah menurunkan hujan, memumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, serta membuat sehat dan sakit. Kalau mereka datang di satu tempat, Allah akan selamatkan tempat itu dari tujuh puluh bencana. Setelah itu, Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian bagaimana mereka mencapai derajat yang setinggi itu? Mereka mencapainya bukan karena banyaknya salat dan haji; mereka mencapai derajat itu karena dua hal. Pertama, al-sakhâwah (kedermawanan) dan kedua, al-nasîhatul lil muslimîn (hatinya bersih dan tulus terhadap sesama muslim).” Dua hal inilah yang mengantarkan orang kepada tingkat yang lebih tinggi. Kedermawanan dan kebersihan hati memang memiliki keterkaitan. Kalau orang sudah dermawan, insya Allah, hatinya pun bersih. Seperti disebutkan dalam surat Muhammad 36-37 di atas, bila kita mengeluarkan harta kita, Tuhan juga akan menghilangkan penyakit-penyakit hati kita. Kebakhilan merupakan ungkapan egoisme. Orang yang bakhil adalah orang yang tidak mau berbagi dengan orang lain dan ingin memiliki sesuatu hal hanya untuk dirinya sendiri. Sebuah cerita klasik dari Cina mengisahkan tentang delapan manusia biasa yang kemudian diangkat menjadi dewa. Mereka menjadi dewa karena perkhidmatan mereka yang luar biasa kepada sesama manusia. Salah seorang di antaranya menjadi dewa karena ia berkhidmat kepada orang lain meskipun hatinya terus menerus disakiti. Sementara seorang yang lain diangkat menjadi dewa karena perkhidmatannya kepada orang tua dengan melwati berbagai macam ujian dan halangan. Hadis-Hadis Tentang Perkhidmatan Dalam hadis Qudsi, Tuhan berfirman, "Semua makhluk adalah keluargaku. Dan di antara makhluk-makhluk itu yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling santun dan sayang terhadap hamba-hamba-Ku yang lain, serta senang memenuhi keperluan mereka." Dalam hadis ini disebutkan bahwa manusia yang paling Allah cintai adalah manusia yang paling banyak berkhidmat kepada sesama manusia. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, "Semua makhluk adalah anggota keluarga Allah. Dan makhluk yang paling dicintai Allah adalah mereka yang paling berguna bagi seluruh anggota keluarga-Nya dan sering memasukkan rasa bahagia kepada mereka." Hadis lain menyebutkan Nabi saw mengatakan jika seseorang tersenyum ketika berjumpa dengan saudaranya yang lain, Allah akan menghitung senyumnya itu sebagai kebaikan. Kalau seseorang menyingkirkan rasa sedih dari hati saudaranya yang lain, tindakan itu juga Allah hitung sebagai kebaikan. Dan tidaklah Allah disembah dengan cara yang lebih dicintai-Nya seperti memasukan rasa bahagia pada hati orang lain. Rasulullah saw bersabda, "Memenuhi keperluan seorang mukmin lebih Allah cintai daripada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakkan ratusan ribu dirham atau dinar." Dalam hadis lain, Rasulullah saw menyebutkan, "Jika seorang muslim berjalan memenuhi keperluan sesama muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh kali thawaf di Baitullah." Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw berkata, "Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba. Di antara hamba-hamba itu, ada sebagian manusia yang Allah ciptakan untuk melayani keperluan manusia yang lain. Kepadanya manusia berlindung untuk memenuhi keperluannya. Mereka itulah yang akan memperoleh kedamaian pada hari kiamat nanti." Nabi juga bersabda, "Ada orang-orang yang Allah berikan harta kepada mereka supaya mereka membagikan harta tersebut kepada hamba-hamba Allah yang lain. Dan kalau mereka tidak membagikannya, Allah akan ambil harta itu dan dipindahkan kepada orang lain yang bisa membagikan hartanya kepada sesama manusia." Hadis-hadis itu mengingatkan saya kepada teman saya, seorang ustad di Bandung. Orangnya sederhana dan pekerjaannya berjualan tembakau di pinggir jalan. Ia mengajarkan kepada saya sebuah doa, yang sederhana tetapi bagi saya luar biasa. Doa itu berbunyi: Ya Allah buatlah aku lelah dalam membagi-bagikan harta-Mu, bukan lelah karena mencari harta-Mu." Nabi Muhammad saw menyebut setiap perkhidmatan kita kepada orang lain sebagai sedekah. Nabi juga menyebutkan apabila seseorang tersenyum melihat wajah saudaranya untuk membahagiakan hatinya, ia telah bersedekah. Menyingkirkan duri di tengah jalan dan memenuhi keperluan orang yang kesusahan dihitung sebagai sedekah. Demikian pula dengan mengambil air yang diperuntukkan bagi orang lain. Segala bentuk perkhidmatan kita kepada sesama manusia dihitung Tuhan sebagai sedekah. Inilah cara yang lebih bisa mendekatkan diri kita kepada Allah swt. Sebuah cerita sufi mengisahkan kejadian di zaman Nabi Musa as. Waktu itu, Bani Israil mengundang Tuhan makan malam. Undangan itu disampaikan Nabi Musa kepada Tuhan dan Tuhan menyanggupinya. Bani Israil pun mempersiapkan pesta dan memasak hidangan untuk menjamu Tuhan. Seorang miskin dari jauh mencium bau makanan dan ia datang menghampiri sumber bau itu. Dalam keadaan lapar ia meminta sedikit makanan kepada para juru masak. Juru masak menolaknya karena mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk Tuhan. Tibalah waktu makan malam. Namun, setelah lama mereka menunggu, ternyata Tuhan tidak juga datang. Esoknya, dengan perasaan kesal, Nabi Musa as mengadu kepada Tuhan; mempertanyakan mengapa Tuhan tidak datang. Tuhan menjawab, "Aku akan datang sekiranya engkau berikan makanan pada orang miskin itu. Dengan memberikan makanan kepadanya, sebenarnya engkau sudah memberikan makanan kepada-Ku.” Cerita di atas sebenarnya sesuai dengan sebuah hadis Qudsi: Pada hari kiamat nanti, Allah akan berkata kepada hamba-hambanya, "Hai hamba-hamba-Ku, dahulu Aku lapar, engkau tidak memberi makan pada-Ku. Dahulu Aku sakit, engkau tidak menjenguk-Ku. Dahulu Aku telanjang, engkau tidak memberi pakaian pada-Ku.” Kemudian hamba-hamba-Nya bertanya, "Tuhan, bagaimana mungkin aku melakukan itu semua sedangkan Engkau Tuhan semesta alam?" Tuhan menjawab, "Dahulu ada hamba-Ku yang sakit, sekiranya kau jenguk dia, engkau akan temukan Aku disitu. Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, sekiranya kau beri makanan pada dia, engkau akan temukan Aku di situ. Dahulu ada hamba-Ku yang telanjang, sekiranya kau berikan pakaian kepadanya, engkau akan temukan Aku disitu." Ibn 'Arabi menjadikan hal ini sebagai pembahasan yang lengkap sebanyak satu jilid dalam kitabnya Futűhat Al-Makiyyah. Dalam pembahasan tentang penampakan Tuhan di bumi, ia menyebutkan bahwa kita bisa menemukan Tuhan melalui perkhidmatan kepada sesama hamba-Nya. Kita adalah hamba-hamba Allah dan kita adalah anggota keluarga Allah. Faidah Khidmat Perkidmatan dalam tasawuf memiliki beberapa fungsi. Pertama, untuk menaklukkan ego kita; untuk mengalahkan upaya kita yang selalu mementingkan diri sendiri. Kita mempunyai kecenderungan untuk senantiasa ingin dikhidmati. Kita tidak hanya menginginkan manusia untuk berkhidmat kepada kita, tetapi kita juga ingin seluruh alam semesta untuk melayani kita. Faidah yang kedua dari berkhidmat kepada sesama manusia adalah meruntuhkan kesombongan. Orang yang sombong akan sulit memasuki kerajaan Tuhan seperti sulitnya unta memasuki lubang jarum. Tuhan berkata, "Kebesaran adalah busana-Ku. Barangsiapa yang menyaingi kebesaran-Ku akan Aku campakkan dia." Orang yang tidak mau berkhidmat dan hanya mau dikhidmati orang lain, orang itu pastilah orang yang sombong. Marilah kita belajar menghancurkan kesombongan pada diri kita dengan berkhidmat. Ketiga, latihan perkhidmatan mendekatkan diri kita kepada Allah. Seorang muslim harus melayani dan menerima manusia dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan orang yang ber-golden card sampai kalangan orang yang hanya ‘sampah’ card. Kalau kita banyak disibukkan dengan berkhidmat kepada orang lain, kita tidak akan punya waktu untuk mengembangkan penyakit hati kita. Keempat, dengan berkhidmat kita belajar mencintai. Salah satu penyakit manusia modern adalah keinginannya untuk selalu dicintai. Sepanjang waktu, kita hanya belajar cara-cara dan kiat-kiat untuk dicintai. Banyak buku dijual yang menulis tentang self improvement. Dalam buku-buku itu diajarkan bagaimana supaya Anda dicintai oleh suami atau istri Anda. Namun sebanyak apa pun kiat dan teknik yang kita baca, suatu saat pasti ada orang yang tidak mencintai kita. Ketika kita berkhidmat kepada orang lain, kita mulai belajar untuk mencintai orang lain. Perhatian kita beralih dari ingin dicintai menjadi ingin mencintai. Tugas kita adalah mencintai orang lain. Imam Ali Zainal Abidin pernah berdoa: Ya Allah, aku mohon agar aku bisa mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu. Kita harus belajar mencintai. Psikologi modern menyebutkan tak ada orang yang fall in love (jatuh cinta), yang ada adalah learn to love (belajar mencintai). Cinta adalah suatu proses. Tasawuf adalah ilmu untuk belajar mencintai Tuhan. Sebelum belajar mencintai Tuhan yang terlalu abstrak, belajarlah mencintai hamba-hamba Tuhan. Zaman dahulu, bila ada orang yang datang untuk belajar tasawuf kepada guru sufi. Guru itu selalu berkata, “Apakah kamu mempunyai istri? Belajarlah kamu untuk mencintai istrimu sebelum kamu belajar mencintai Tuhanmu.” Adapun faidah kelima yang kita peroleh dengan praktik perkhidmatan kepada sesama manusia adalah mensucikan jiwa kita. Seorang murid Abul Said Abul Khair pernah berkata, “Guru, di tempat lain ada orang yang bisa terbang.” Abul Khair menjawab, “Tidak aneh. Lalat juga bisa terbang.” “Guru, di sana ada orang yang bisa berjalan di atas air,” muridnya berkata lagi. Abul Khair berkata, “Itu juga tak aneh. Katak pun bisa berjalan di atas air.” Muridnya berujar lagi, “Guru, di negeri itu ada orang yang bisa berada di beberapa tempat sekaligus.” Abul Khair menjawab, “Yang paling pintar seperti itu adalah setan. Ia bisa berada di hati jutaan manusia dalam waktu bersamaan.” Murid-muridnya bingung dan bertanya, “Kalau begitu Guru, bagaimana cara yang paling cepat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt?” Ternyata, murid-muridnya beranggapan bahwa orang yang dekat kepada Allah swt itu adalah orang yang memiliki berbagai keajaiban dan kekuatan supra natural. Abul Said Abul Khair menjawab, “Banyak jalan untuk mendekati Tuhan; sebanyak bilangan nafas para pencari Tuhan. Tetapi jalan yang paling dekat kepada Allah adalah membahagiakan orang lain di sekitarmu. Engkau berkhidmat kepada mereka.” Gabungkan Kami Bersamamu! KH. Jalaluddin Rakhmat Ketika Imam Husayn as bersiap-siap untuk berangkat, Ummu Salamah datang. Dengan airmata berlinang, ia memohon, “Janganlah engkau dukakan daku dengan kepergianmu ke Iraq. Aku telah mendengar kakekmu Rasulullah saw bersabda, ‘Anakku Al-Husayn akan terbunuh di bumi Iraq, di bumi yang dikenal dengan nama Karbala’. Masih kusimpan tanahmu dalam botol yang diberikan Nabi kepadaku.” Imam Husayn berkata, “Yâ Ummah, aku tahu aku akan terbunuh, terbantai karena kezaliman dan permusuhan. Allah telah berkenan memperlihatkan kepadaku keluargaku dan sahabatku yang dihalau; anak-anakku yang disembelih, ditawan, dan dibelenggu. Mereka minta pertolongan tetapi tidak mereka dapatkan pertolongan.” “Ajaib! Lalu mengapa engkau pergi padahal engkau akan terbunuh?” ujar Ummu Salamah. Imam Husayn menjawab, “Yâ Ummah, jika aku tidak berangkat hari ini, aku akan berangkat esok. Jika tidak esok, esoknya lagi. Demi Allah, kematian tidak dapat dihindari. Sungguh, aku tahu hari ketika aku terbunuh, detik-detik ketika aku terbunuh, dan kuburan yang di situ aku dikebumikan. Aku mengetahuinya seperti mengetahuimu. Aku melihatnya seperti melihatmu. Jika engkau mau, akan kuperlihatkan padamu tempat pembaringanku dan tempat sahabat-sahabatku.” Ummu Salamah memohonkannya. Ia memperlihatkan kepadanya turbah (tanah) sahabat-sahabatnya dan memberikan sebagian untuk Ummu Salamah. Dipesankannya agar ia menyimpannya dalam botol lagi. Bila ia melihatnya bersimbah darah, yakinlah bahwa Husayn terbunuh. Pada hari kesepuluh Muharam, sesudah Zhuhur ia melihat kepada kedua botol itu. Dan keduanya telah berubah menjadi genangan darah. Peristiwa yang saya kutip dari Maqtal Al-Husayn, tulisan Abdul Razzaq Al-Musawi, diriwayatkan oleh banyak muhaddits. Tak seorang pun mempersoalkan keabsahannya. Tetapi banyak orang bertanya, seperti Ummul Mukminin ra, mengapa Imam Husayn pergi juga padahal ia telah mengetahui bahwa ia akan terbunuh. Sebagian bahkan menolak hadis itu hanya dengan alasan: Tidak mungkin Imam Husayn menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan. Bukankah Tuhan berfirman, “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195). Izinkan saya bertanya: Apa yang dimaksud dengan kebinasaan? Apakah setiap kematian dianggap kebinasaan? Apakah setiap kehidupan keberuntungan? Ketika Nero membakar kota Roma, ia tertawa menyaksikan ratusan ribu orang yang terpanggang hangus. Apakah Nero beruntung dan rakyat yang mati semua binasa? Hitler bersenang-senang di istananya, ketika jutaan manusia dijebloskan ke kamar gas dan dibunuh dengan gas beracun. Apakah Hitler beruntung dan rakyat yang tertindas itu celaka? Vlad The Impaler, raja Kristen dari Rumania, melemparkan tawanan Turki yang Muslim ke sebuah lembah yang dipenuhi dengan tombak-tombak, yang bagian tajamnya diarahkan ke atas. Kaum muslimin itu tertusuk puluhan tombak dan mati karena kehabisan darah. Apakah kaum Muslim itu binasa dan Raja Rumania itu beruntung? Kejadian seperti itu berulang terus dalam sejarah umat manusia: Pengungsi Palestina yang dibunuh tentara Israel di Sabra dan Shatilla, Muslim Bosnia yang dibantai Kristen Serbia, pejuang Muslim Kashmir yang didrel serdadu Hindu dari India, Muslim Ambon yang dijagal oleh saudara-saudaranya yang berbeda agama. Bila kita mengukur kebinasaan dari kekalahan dalam pertempuran, kelemahan dalam perbekalan, atau kekurangan dalam dukungan, ucapkanlah salam perpisahan kepada Islam. Kebinasaan dan keberuntungan tidak terletak pada kematian dan kehidupan; tetapi pada tujuan yang menyertai keduanya. Imam Ali, yang digelari George Jourdac sebagai Suara Keadilan Insani, memberikan kriteria tegas: Al-Hayât fî mawtikum qâhirîn; wal mawt fî hayâtikum maqhűrîn.Kehidupan itu dalam kematianmu yang menaklukkan dan kematian itu dalam kehidupanmu yang ditaklukkan. Dalam peribahasa Melayu, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. Mati untuk menegakkan kalimah Allah adalah kebaikan yang di atasnya tidak ada yang lebih baik lagi. Hidup mewah dengan mencampakkan syariat adalah kehinaan yang di bawahnya tidak ada yang lebih hina lagi. Imam Husayn berkata dalam khutbahnya, “Aku tidak melihat kematian selain kebahagiaan; dan aku tidak melihat kehidupan bersama orang yang zalim selain kehinaan.” Ketika Allah swt berfirman –Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa- Dia meletakkan kehormatan dan kemuliaan pada ketakwaan. Harta menjadi mulia bila berada di tangan orang yang beragama, yang memperoleh dan mengeluarkan harta itu sesuai dengan tuntunan syariat. Harta menjadi fitnah yang mencelakakan bila dipegang oleh orang yang mencari dan membelanjakannya dengan cara yang haram. Kekuasaan menjadi mahkota yang mulia bila dipergunakan untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kezaliman. Kekuasaan menjadi godaan yang menjerumuskan bila dijalankan untuk menyengsarakan rakyat dan memperkaya diri dan golongan. Rasulullah saw bersabda, “Jika para penguasamu adalah orang-orang yang baik di antara kalian; jika orang-orang kayamu adalah orang-orang yang dermawan di antara kalian; jika urusanmu selalu dimusyawaratkan di antara kamu, maka punggung dunia lebih baik bagimu dari perutnya. Jika para penguasamu adalah orang-orang buruk di antara kamu; jika orang-orang kayamu orang-orang yang bakhil; dan urusan diserahkan pada isteri-isterimu, maka perut bumi lebih baik bagimu dari punggungnya.” Zaman buruk yang digambarkan Nabi adalah zaman Imam Husayn. Pada masanya, Bani Umayyah menegakkan kekuasaan dengan mengalirkan darah orang yang tidak bersalah, menumpuk kekayaan dengan merampas hak orang-orang kecil, dan menyebarkan ideologi “Might is right” – yang berkuasa adalah yang benar. Ia “membayar” para ulama untuk melegitimasikan kekuasaannya dan menghamun-maki orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran. Agama diberi makna sesuai dengan kehendak penguasa. Lewat mesin propaganda waktu itu –antara lain, khotbah-khotbah Jumat dan majlis-majlis pengajian- ajaran keluarga Rasulullah saw (pasangan Al-Quran) dianggap sebagai Islam yang sesat dan fatwa keluarga Akilat Al-Kabad sebagai Islam yang benar. Simaklah ucapan Imam Ali as ketika menyaksikan ulah Bani Umayyah: “Ingatlah bahwa bencana yang buruk bagi Anda di mata saya ialah bencana Bani Umayyah, karena bencana itu buta dan menciptakan kegelapan pula. Melandanya umum tetapi akibat buruknya adalah bagi orang-orang tertentu. Orang yang tetap berpandangan cerah di dalamnya akan tertimpa kesedihan, dan orang yang tetap buta di dalamnya akan menjauhi kesedihan itu. Demi Allah, Anda akan mendapatkan Bani Umayyah sesudah saya adalah orang yang terburuk bagi Anda, seperti unta betina tua pembangkang yang menggigit dengan mulutnya, memukul dengan kaki depannya, menendang dengan kaki belakangnya, dan menolak untuk diperahi susunya. Mereka akan tetap menguasai Anda sehingga mereka hanya akan meninggalkan di antara Anda orang-orang yang bermanfaat bagi mereka atau orang-orang yang tidak merugikan mereka. Petaka mereka akan berlanjut hingga permintaan tolong Anda pada mereka seperti permintaan tolong oleh budak pada tuannya atau pengikut pada pemimpinnya. Bencana mereka akan menimpa Anda seperti ketakutan bermata jahat dan perpecahan jahiliah di mana tak akan terlihat menara petunjuk atau suatu tanda (keselamatan). Kami Ahlul Bait bebas dari kejahatan dan kami tidak termasuk kalangan orang yang akan melahirkannya.” (Puncak Kefasihan, Khotbah 92) Apa yang dikuatirkan Imam Ali betul-betul terjadi pada zaman Imam Husayn. Muawiyyah mati dan meninggalkan Yazid (la.) sebagai penguasa. Dalam hadis ia mendapat julukan “bocah yang bodoh.” Abdullah bin Hanzhalah (yang jasadnya dimandikan para malaikat), melaporkan perilaku Yazid, ketika bersama delegasi Madinah kembali dari Syam: “Wahai manusia, kami baru saja kembali dari seorang lelaki yang meninggalkan salat, minum minuman keras, menikahi ibu dan saudara kandung, bermain bersama monyet dan anjing. Jika kita tidak melepaskan baiat kepadanya, aku takut kita akan dilempari batu dari langit.” Ibnu Khaldun, sosiolog Islam itu, dengan tegas menyatakan bahwa para ulama Muslimin telah sepakat (ijmak) berkenaan dengan kefasikan dan kemaksiatan Yazid. Orang dengan kualitas seperti itu, yang mencemoohkan agama dengan syair-syairnya, diangkat sebagai penguasa Islam. Ia memaksa semua orang untuk berbaiat kepadanya. Di Madinah, di kota Rasulullah yang mulia, Marwan bin Al-Hakam memaksa Imam Husayn untuk berbaiat kepadanya. Ia juga mengancam untuk membunuh cucu Nabi itu jika menolaknya. Imam Husayn berkata, “Yazid manusia yang fasik, pendosa, pembunuh orang yang tidak bersalah, yang menyebarkan kefasikan dan kemaksiatan. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang seperti dia!” Dan Imam Husayn memilih kematian daripada tunduk kepada kezaliman. Dengan darahnya di Karbela, ia meletakkan tonggak sebuah mazhab yang meletakkan kehormatan, bukan pada kekuatan fisik dan kekuasaan, tetapi pada pengorbanan untuk agama yang memihak keadilan. Baginya, kemenangan sejati diperoleh ketika benih kemaslahatan umat tumbuh subur dari siraman darah dan airmatanya. Bila Yesus, menurut pandangan Kristiani mati untuk menebus dosa umat manusia, Imam Husayn gugur untuk meletakkan nilai kemanusiaan di atas nilai-nilai kekuasaan, keturunan, kekayaan, dan kepandaian. Kematiannya menghidupkan kembali Islam Muhammadi yang asli, yang memasukkan Salman orang Persia dalam kelompok Ahli Bayt karena ketakwaannya dan mengeluarkan Abu Lahab, keluarga dekat Nabi dari kelompok Ahli Bayt karena keingkarannya. Ketika ia meninggalkan Madinah, ia menulis surat wasiat kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiyyah: “Aku keluar bukan karena kesombongan dan kepongahan, bukan juga untuk berbuat kerusuhan dan kezaliman. Aku keluar untuk menimbulkan perbaikan dalam tubuh umat kakekku Muhammad saw. Aku ingin melakukan amar makruf nahi munkar. Aku ingin mengikuti perjalanan hidup kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib. Jika orang menerimaku dengan penerimaan kebenaran maka Allah lebih utama untuk dipatuhi kebenaran-Nya. Barangsiapa yang menolakku, aku akan bersabar sampai Allah memutuskan kebenaran antara aku dan mereka. Dialah sebaik-baiknya Hakim.” Lebih dari seribu tahun sesudah itu, seorang perempuan tua dan peneliti yang tekun berbicara di depan para pejabat Jerman, termasuk presiden dan anggota parlemen di sebuah istana di Berlin. Ia memperingatkan para penguasa Dunia Barat untuk tidak mengajari orang Islam memperjuangkan hak asasi manusia. Sejarah Islam adalah perjuangan panjang untuk menentang tirani dan otokrasi. Dengan suara yang serak karena ketuaan, ia mengisahkan pengorbanan Imam Husayn di Karbela. Inilah contoh utama pengorbanan besar untuk menegakkan pemerintahan yang adil dan beradab. Perempuan itu namanya Annemarie Schimmel. Jauh di sebelah timur, di bumi Indonesia, kita menangis pada hari Asyura, bukan karena menyesali nasib. Kita menangis untuk memasukkan arwah kita dalam barisan Imam Husayn. Kata Imam Hasan Al-Askari, “Bukan golongan kami yang tidak menderita karena derita kami dan tidak bergembira karena kegembiraan kami.” Kita menangis duka karena para imam yang berduka. Dan mereka hanya berduka karena redupnya cahaya kebenaran dan berkobarnya api penindasan. Duhai, alangkah bahagianya bila kami bergabung bersamamu, Ya Aba Abdillah. Kami penuhi panggilanmu, labbaik, wahai Penyeru Allah. Jika badan dan lidah kami tidak dapat memenuhi panggilanmu ketika engkau mencari pertolongan, hati kami, pendengaran kami dan penglihatan kami telah menjawab seruanmu! Menghapus Amal Dengan ‘Ujub KH. Jalaluddin Rakhmat Hadis-Hadis Tentang Ujub Dalam Kitab Al-Kafi, terdapat sebuah hadis yang bersanad kepada Ali bin Suwaid dari Abul Hasan as: Aku bertanya tentang ujub yang menghancurkan amal. Ia bersabda: Ujub itu terdiri dari beberapa tingkat. Tingkatan pertama dari ujub itu adalah keburukan amal seorang hamba itu dibaguskan, lalu hamba itu melihat amalnya itu sebagai amal yang baik, amalnya itu membuatnya takjub dan dia mengira dia sudah melakukan kebaikan. Dalam riwayat lain, setelah mengatakan itu, beliau membaca surat Kahfi ayat 103-105: Katakanlah aku kabarkan kepada kalian yang paling rugi amalnya. Itulah orang yang pekerjaannya itu sesat dalam kehidupan dunia ini. Tapi mereka mengira mereka sedang melakukan kebaikan. Itulah derajat ujub yang pertama: Melakukan perbuatan buruk tapi kemudian setan menghias perbuatan buruknya dan dia menduga dia sudah melakukan kebaikan. Ada anak-anak muda yang terlibat dalam “pergerakan” mengambil uang orang tuanya dengan penuh keikhlasan karena mereka mencuri demi perjuangan menegakkan Islam. Ada juga anak muda yang menganggap orang tuanya sesat dan ketika ia diusir oleh orang tuanya itu, anak muda itu dengan bangga merasa bahwa ia sedang menjalani perbuatan baik. Amal-amal buruk itu dihias setan sehingga dianggap sebagai amal-amal yang baik. Contoh lain dari ujub pada tingkatan ini adalah perbuatan suatu kelompok yang menyebarkan kebohongan dan fitnah terhadap kelompok lain serta menceritakan hal-hal buruk tentang kelompok lain yang tak mereka sukai. Ketika orang bertanya mengapa mereka melakukan semua ini, kelompok itu menjawab, “Kami hanya melindungi umat Islam dari kesesatan akidah.” Mereka melancarkan kebohongan dengan dalih kemaslahatan umat. Berkata bohong sudah jelas merupakan amal buruk, tapi amal buruk itu kemudian dihias setan sebagai salah satu metode perjuangan. Dan kemudian orang mengira ia sudah melakukan kebaikan. Tingkatan ujub yang kedua adalah ketika seorang hamba itu beriman kepada Tuhannya lalu dia mengira dengan imannya itu ia sudah berbuat baik kepada Allah Ta’ala. Padahal Allahlah yang memberikan kebaikan itu kepadanya. Orang-orang dalam tingkatan ini melakukan amal salih dan lalu mengira bahwa dengan amal salehnya itu ia memiliki hak atas Tuhan dan Tuhan berkewajiban untuk memenuhi doanya dan memberikan pahala kepadanya. Sama halnya ketika Anda membantu seseorang kemudian Anda berharap orang yang Anda bantu itu mau berkhidmat kepada Anda. Anda marah bila orang yang Anda tolong itu lalu tidak berbuat baik kepada Anda. Ada orang yang menganggap Tuhan sebagai orang yang ia tolong. Ia berpikir bahwa amal saleh yang ia lakukan itu sudah banyak dan lalu meminta Tuhan untuk memberi pahala kepadanya sebagai kewajiban Tuhan atasnya. Hadis berikutnya tentang ujub ialah dari Imam Ja’far as. Beliau berkata: Sesungguhnya Allah Ta’ala tahu bahwa dosa itu lebih baik bagi seorang muslim daripada ujub. Tuhan menguji seorang muslim dengan dosa supaya ia terhindar dari ujub. Sekiranya Tuhan tidak ingin menghindarkan manusia dari ujub, manusia tidak akan diuji dengan dosa selama-lamanya. Imam Ja’far as mendefinisikan salah satu ciri orang yang melakukan ujub sebagai orang yang mengira bahwa dirinya adalah orang suci yang tidak pernah berbuat salah dan tidak melakukan dosa. Dalam riwayat lain, Imam Ja’far as berkata: Barang siapa yang masuk ke dalam dirinya ujub, pastilah dia binasa. Imam Ja’far juga berkata: Apabila seseorang berbuat dosa, kemudian dia menyesali dosa-dosanya; atau dia beramal baik dan merasa gembira dengan amalnya itu -bahkan bersenang-senang dengan amalnya sehingga dia mengurangi amalnya- maka sesungguhnya penyesalan akan dosa-dosanya jauh lebih baik dari perasaan gembira yang masuk ke dalam hatinya karena amal-amalnya. Masih tentang ujub, Imam Ja’far as bercerita: Seorang alim mendatangi seorang yang banyak beribadah. Orang alim itu bertanya, “Bagaimana ibadah kamu?” Sang ‘Abid berkata, “Kepada orang seperti aku kau bertanya tentang salatku? Aku sudah menyembah Allah sejak dulu.” Orang alim bertanya lagi, “Bagaimana tangisanmu dalam ibadatmu?” Dia menjawab, “Aku menangis dalam ibadatku sampai mengalir seluruh air mataku.” Lalu orang alim berkata, “Sekiranya engkau tertawa -tidak menangis- tapi hatimu takut kepada Allah, itu lebih utama daripada engkau menangis lalu engkau ujub dengan tangisanmu itu karena orang yang ujub tidak akan naik amalnya sedikit pun juga.” Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga hal yang mencelakakan manusia. Pertama, kebakhilan yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti, dan merasa kagum dengan kehebatan dirinya.” Nabi saw juga bersabda, “Sekiranya kalian tidak berbuat dosa lagi, aku kuatir kalian akan jatuh kepada dosa yang lebih besar dari itu; ujub dan ujub.” Ibnu Mas’ud berkata, “Kecelakaan itu karena dua hal; satu karena putus asa dan satu lagi karena ujub.” Putus asa yang membinasakan manusia, menurut Ibnu Mas’ud, adalah putus asa dari kasih sayang Allah, putus asa dari keselamatan, dan putus asa dari kemampuan untuk memperbaiki manusia di sekitarnya. Semua keputus-asaan itu menghancurkan amal. Kedua hal yang mencelakakan manusia itu (putus asa dan ujub), mengakibatkan orang menjadi malas beribadah dan amal saleh. Padahal manusia itu hanya dibalas karena amal salehnya. Ujub membuat Anda malas karena ujub membuat Anda mengira Anda sudah menjadi orang baik sehingga Anda tak perlu meningkatkan amal saleh Anda. Ujub sering diartikan sebagai takjub akan amal-amal salih. Namun menurut para ulama, termasuk Imam Khumaini, takjub juga dapat terjadi terhadap amal-amal buruk kita. Orang bisa bangga dengan amal buruknya. Ujub adalah melakukan perbuatan buruk tapi kemudian perbuatan buruk itu dihias sehingga tampak seolah-olah seperti amal yang baik. Ada orang yang jarang salat berjamaah di masjid. Perbuatan tidak salat berjamaah adalah perbuatan buruk. Nabi saw bersabda, “Janganlah kamu mengucapkan salam kepada Yahudi umatku.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulallah, siapa itu Yahudi umatmu?” Nabi menjawab, “Orang yang tidak pernah menghadiri salat berjamaah.” Dengan tidak melakukan salat berjamaah, orang itu telah menjadi Yahudi umat Rasulullah saw. Tapi kemudian masuklah setan ke dalam hati orang itu sehingga ia malah mengatakan: “Saya justru bangga tidak salat berjamaah dengan para ahli bid’ah. Lebih baik tidak salat dengan orang yang tidak semazhab, karena salatnya juga tidak sah.” Orang seperti itu telah jatuh kepada ujub. Wal ya’udzubillah. Definisi-Definisi Ujub Kata ujub (Al-‘Ujub) secara bahasa berasal dari kata ‘ajiba-ya’jabu-‘ujban, yang berarti kagum. Dari kata ujub itu kemudian masuk ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata takjub. Ta’ajub berarti mengagumi sesuatu. Sedangkan sesuatu yang mengagumkan disebut ‘ajib. I’jâb berarti menimbulkan kesan kepada orang lain supaya orang lain itu kagum terhadap kita. Dalam psikologi modern, hal itu disebut impression formation. Hal ini misalnya terjadi ketika saya berbicara di hadapan para ulama Nahdlatul Ulama (NU). Saya membawa makalah yang ditulis dengan huruf Arab gundul dan mengutip kitab-kitab kuning (yang sebenarnya saya kutip dari kutipan juga). Saya berusaha untuk membentuk kesan agar para ulama NU beranggapan bahwa yang berbicara di depan mereka bukan saja lulusan perguruan tinggi tapi juga mahir menelaah kitab kuning. Yang dimaksud dengan ujub, menurut kamus bahasa Arab Munjid, adalah suatu keadaan kejiwaan yang sewaktu-waktu dapat kita temukan di dalam diri kita. Umumnya ujub didefinisikan melalui indikator-indikator tertentu. Tanda-tanda tersebut biasanya adalah sombong, takabur, menolak dikritik orang, serta menganggap diri kita sempurna. Beberapa ulama akhlak dan tasawuf mendefinisikan ujub sebagai: menganggap besar kenikmatan dan cenderung kepada kenikmatan itu sambil lupa untuk menisbahkan nikmat kepada Sang Pemberi Nikmat. ‘Alamah Al-Majlisi, penulis Mafâtih Al-Jinân, mengartikan ujub sebagai menganggap sudah banyak beramal salih dan menganggap amal salih yang telah dilakukan itu besar dan hebat. Adapun merasa bahagia dengan amal salih, masih menurut Al-Majlisi, bila itu dilakukan sambil merendahkan diri di hadapan Allah swt dan bersyukur kepada-Nya atas taufik yang diberikan Allah kepadanya, hal itu tidak disebut dengan ujub melainkan suatu kebaikan yang terpuji. Imam Khumaini melancarkan beberapa kritik atas definisi yang diberikan Al-Majlisi tersebut. Pertama, Imam Khumaini berpendapat bahwa ujub itu bukan hanya berkenaan dengan amal salih saja, tapi juga dapat berkenaan dengan amal yang salah. Kedua, ujub tidak hanya di dalam masalah amal-amal saja tapi juga berada dalam dataran akidah. Kritik ketiga dari Imam Khumaini adalah tentang perasaan bahagia akan amal salih. Menurut Imam, bahagia dengan amal salih itu boleh-boleh saja untuk orang awam. Tetapi untuk orang yang telah mencapai maqam tertentu, ia tidak akan pernah bahagia dengan amal salihnya. Ia akan selalu merasa bahwa dia tidak berarti apa-apa. Kalaupun ia bisa beramal saleh, itu pun karena anugerah Allah swt. Ia akan selalu merasa kurang akan amal-amalnya. Ayatullah Ahmad Al-Fahri menulis bahwa yang dimaksud dengan ujub adalah jika manusia telah menganggap dirinya tak memiliki kekurangan lagi. Ia merasa dirinya sudah tak bercacat. Bila ia beribadah, ia merasa ibadahnya sempurna. Ahmad Al-Fahri mengutip hadis dari Imam Musa bin Jakfar as: Beliau pernah memberi nasihat kepada sebagian putranya, “Hai anak-anakku. Hendaknya kamu sungguh-sungguh beramal. Janganlah kamu mengeluarkan dirimu dari perasaan kurang. Jangan sampai dirimu tidak merasa bercacat dalam beribadah kepada Allah atau dalam mentaatinya. Karena Allah tidak pernah bisa diibadati dengan ibadat yang sebenar-benarnya. Sampai Nabi saw saja bersabda: Aku belum mengenal-Mu dengan pengenalan yang sebenarnya dan aku belum beribadat kepada-Mu dengan ibadat yang sebenarnya.” Dalam kitab Al-Kafi terdapat sebuah hadis dari Jabir. Jabir meriwayatkan: Berkata Abu Jakfar kepadaku, “Ya Jabir, semoga Allah tidak mengeluarkan kamu dari perasaan kurang atau perasaan bersalah.” Berkenaan dengan hal ini, Syeikh Baha’uddin Al-‘Amili berkata, “Tidak syak lagi. Orang yang beramal salih, baik berpuasa di siang hari dan salat tahajud di malam hari, semua amal itu pastilah menimbulkan rasa bahagia di hatinya. Bila ia merasakan kebahagiaannya sebagai pemberian dari Allah dan nikmat Allah kepadanya, seraya ia takut Allah akan menghilangkan kenikmatan itu darinya, dan ia berharap Allah akan menambahnya; maka tidaklah kita hitung rasa bahagia itu sebagai perasaan ujub. Namun bila orang itu melihat bahwa amal-amal salihnya itu adalah sifatnya; bahwa semua amal salih itu terjadi karena kemauannya; dan dia menganggap amal-amal salihnya telah besar, lalu melihat dirinya sudah tidak mengalami kekurangan lagi, maka masuklah dia ke dalam ujub.” Banyak ayat di dalam Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk senantiasa mensucikan diri. Tetapi dalam surat Al-Nisa dan Al-Najm, Allah swt justru mengecam orang yang mensucikan diri mereka. Para pensuci diri yang dikecam Allah adalah mereka yang menganggap diri mereka sebagai orang-orang suci dan menonjolkan kesucian dirinya itu. Dalam surat Al-Nisa ayat 49 tersebut, Allah swt berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menonjolkan kesucian dirinya, padahal Allahlah yang mensucikan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Perrhatikan bagaimana mereka berbuat dusta kepada Allah dan cukuplah perbuatan dosanya sebagai perbuatan yang nyata.” Dan dalam surat Al-Najm ayat 32, Allah swt berfirman, ”Janganlah kamu anggap dirimu suci. Allah mengetahui siapa yang paling takwa di antara kamu.” Mengapa Tuhan melarang dan mengecam orang-orang yang mensucikan dirinya? Di dalam kitab-kitab tafsir dijelaskan bahwa istilah ‘mensucikan diri’ pada dua ayat di atas tidak sama maksudnya dengan istilah ‘mensucikan diri’ dalam ayat-ayat yang lain. Kita diperintahkan untuk mensucikan diri kita tetapi kita dilarang untuk menganggap diri kita suci. Kita tidak boleh memperlihatkan kepada orang lain tentang kesucian diri kita atau menonjolkan kesalihan kita Nabi Muhammad saw adalah orang yang secara nyata telah disucikan oleh Allah. Meskipun demikian, kesuciannya tidak menghalangi dirinya untuk beribadah dan bersyukur. Diriwayatkan pada suatu malam Ummu Salamah terbangun dari tidurnya. Ia mendengar Nabi Muhammmad sedang beristighfar sambil menangis di sudut kamar. Ummu Salamah bertanya, ”Wahai Nabi Allah, mengapa engkau harus menangis dan merintih seperti itu padahal Allah telah mensucikan dirimu?” Nabi menjawab, ”Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur….” Peristiwa itu menggambarkan kepada kita bahwa Rasulullah tidak menganggap dirinya sebagai orang suci. Rasulullah masih menganggap dirinya kurang dalam hal ibadah dan bersyukur. Dalam salah satu doanya, Rasulullah berkata, ”Ya Allah, aku belum mengenal Engkau dengan pengenalan yang sebenar-benarnya. Aku belum beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang sebenar-benarnya.” Mengapa Nabi saw melakukan hal seperti itu? Karena Nabi saw tidak ingin melanggar surat Al-Nisa ayat 49 dan Al-Najm ayat 32. Allah swt menilai orang yang menonjolkan kesucian dirinya sebagai orang yang telah melakukan dosa yang nyata. Begitu juga halnya dengan orang yang mengklaim diri mereka sebagai orang yang diridhai Allah. Al-Quran bercerita tentang orang-orang kaya yang mengatakan Allah telah memuliakan mereka dengan memberikan rezeki yang banyak. Namun ketika mereka sengsara mereka berkata, ”Tuhan sudah meninggalkan diriku.” (QS. Al-Fajr: 15-16). Orang-orang tersebut telah jatuh ke dalam pensucian diri yang tercela. Orang yang menganggap diri mereka suci dan menonjolkan kesucian diri itu disebut I’jâb. Perbuatan yang mereka lakukan disebut ujub. Dalam tasawuf, ujub diartikan sebagai perasaan kagum akan kesucian diri kita. Rasulullah saw bersabda, ”Ada tiga hal yang menbinasakan manusia; mengikuti kebakhilan, memperturuti hawa nafsu, dan merasa takjub terhadap pendapatnya sendiri.” Dalam surat Al-Kahfi ayat 103-105, Allah swt bercerita tentang ujub: Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan kufur terhadap perjumpaan dengan dia; maka hapuslah amalan-amalan mereka dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi amalan mereka pada hari kiamat. Ayyatullah Al-Fahri menerangkan tanda-tanda orang yang melakukan ujub dalam amal salih sebagai berikut; Pertama, mereka merasa bangga dengan amal-amal mereka dan benar-benar bersandar pada amalnya itu. Ia yakin dengan amalnya itu ia dapat masuk surga. Kedua, mereka memandang amal orang lain lebih jelek daripada amal dirinya. Selanjutnya Ayatullah Al-Fahri juga menyebutkan bahwa ujub itu terbagi ke dalam beberapa bagian; Pertama, ujub dalam artian merasa bahwa kita memiliki akidah yang paling benar. Orang lain yang berbeda akidah dengan kita dianggap sesat. Kedua, ujub dalam akhlak. Kita merasa bahwa akhlak kita jauh lebih mulia daripada akhlak orang lain. Ketiga, ujub dalam amalan. Ketiga ujub di atas dapat menghancurkan amal kita dan menghilangkan seluruh pahala dari amal kita tersebut. Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata, ”Barangsiapa yang kemasukkan ujub, ia pasti celaka.” Rasulullah saw pernah bercerita tentang dua orang Bani Israil yang saling bersahabat. Salah seorang di antara mereka adalah seorang pendosa dan yang lainnya adalah orang yang rajin beribadah. Sahabat yang suka beribadah itu tidak henti-hentinya memandang saudaranya yang satu itu sebagai orang yang tenggelam dalam dosa. Berulang kali dia berkata kepada sahabatnya, ”Cobalah kamu kurangi berbuat dosa.” Suatu saat, si pendosa itu dipergoki sedang berbuat dosa oleh si salih. Sahabat yang penuh dosa itu berkata, ”Biarkan aku! Hal ini adalah urusanku dengan Tuhanku. Apa engkau diutus Tuhan untuk mengurus aku?” Sahabat yang salih itu marah dan berkata, ”Demi Allah, Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosa kamu dan Tuhan tidak akan memasukkan kamu ke dalam surga.” Tak lama setelah peristiwa tersebut, kedua orang itu meninggal dan bertemu di hadapan Allah swt. Tuhan berkata kepada si salih, ”Apakah engkau mengetahui keputusanku? Apakah engkau mampu menentukan apa yang ada di tanganku? Masuklah kamu ke neraka.” Sementara Tuhan berkata kepada si pendosa, ”Pergilah kamu dan masuklah ke surga dengan kasih sayang-Ku.” (Ushűl Al-Kâfi, juz dua halaman 313) Hadis ini menggoncangkan banyak orang, terutama orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli ibadah. Mereka mempersoalkan keadilan Ilahi; mengapa pendosa bisa masuk surga dan ahli ibadah masuk neraka. Seorang ulama berpendapat bahwa ada dua kesalahan yang dilakukan si salih; dalam perihal ibadahnya dan dalam hal mendikte Tuhan dengan ibadahnya itu. Ibadah adalah obat yang akan menyelamatkan kita sedangkan maksiat adalah racun yang akan membinasakan kita. Kelirulah orang yang makan obat tapi sekaligus meminum racun. Ibadahnya adalah obat dan ujub adalah racun. Orang yang takjub akan dirinya itu adalah orang yang selalu mencemooh orang lain yang berdosa. Dia ujub dengan keadaan dirinya bahkan kemudian ia melakukan perbuatan mendikte Tuhan. Ia bersikap ‘sok tahu’ terhadap keputusan Tuhan. Mendikte Tuhan adalah dosa yang besar. Nabi bersabda, ”Celakalah orang-orang yang mendikte terhadap putusan Tuhan.” Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ahmad dengan sanad yang shahih, diceritakan tentang seseorang yang ibadahnya sangat bagus. Ia dipuji para sahabat di hadapan Nabi tapi kemudian Rasulullah saw malah menyuruh para sahabatnya untuk membunuh orang itu. Tak ada seorang pun sahabat yang berhasil membunuhnya. Rasulullah saw lalu bersabda, “Sekiranya kau bunuh dia, umatku tak akan terpecah sepeninggalku.” Dalam hadis yang lain, diceritakan bahwa si ahli ibadah tersebut pernah memasuki suatu majlis bersama Rasulullah saw. Nabi bertanya kepadanya, ”Apakah kamu merasa bahwa kamulah yang paling salih di majlis ini?” Orang itu menjawab, ”Ya Nabi Allah, memang begitulah keadaanku.” Sahabat ini termasuk orang yang sangat ujub dengan amal dan akidahnya. Ada tiga macam penyakit yang diderita manusia. Penyakit jasmani, penyakit jiwa, dan penyakit ruh. Zaman dahulu, orang percaya bahwa semua penyakit dalam tubuh kita disebabkan oleh gangguan ruh jahat pada ruh kita sehingga pengobatannya pun dilakukan dengan tehnik pengusiran ruh jahat dalam tubuh yang disebut dengan exorcism. Kemudian datanglah zaman Renaissance, tepatnya pada masa Descartes, ketika orang mulai menyebut bahwa diri manusia itu terdiri dari dua bagian; jiwa dan tubuh. Kedokteran modern hanya bertugas untuk menyembuhkan tubuh dan tidak mau berhubungan dengan jiwa. Di zaman New Age, orang percaya bahwa jiwa menguasai tubuh manusia (mind over matter). Penyakit-penyakit tubuh disebabkan oleh gangguan kejiwaan. Namun dewasa ini, para ahli mengatakan bahwa justru ruh manusialah yang menentukan keadaan tubuh dan jiwa (spirit over matter and mind). Ujub adalah penyakit ruh, bukan penyakit jiwa. Perasaan cemas, jengkel, kecewa, dan sedih yang luar biasa adalah penyakit jiwa. Tapi perasaan ujub, takabur, dan dengki adalah penyakit ruh. Penyakit ruh berpengaruh pada sebab timbulnya penyakit jiwa. Jika seseorang memiliki rasa dengki, jiwanya akan stress dan hidupnya tidak akan tentram. Imam Ali kw berkata, ”Tidak pernah aku melihat orang yang menzalimi orang lain dan sekaligus menzalimi diri sendiri seperti orang yang dengki.” Ujub merupakan penyakit ruh yang membuat kita merasa diri kita ini memiliki akidah, ibadah, dan akhlak yang paling bagus. Orang kaya yang sering dimintai bantuan, biasanya berkata, ”Rasa-rasanya aku saja yang diterus dimintai pertolongan. Aku telah banyak membantu orang. Apa tidak ada orang kaya selain aku?” Orang kaya seperti ini telah jatuh kepada ujub. Ujub paling banyak diderita oleh orang yang baru saja memeluk mazhab baru. Mereka akan terkena ujub baik dalam akidah, ibadah, maupun amal salih. Mereka menganggap kelompok merekalah yang paling benar; ibadah dan amal salih merekalah yang paling sesuai sunnah dan kelompok merekalah yang akan diselamatkan. Kelompok atau mazhab lain diklaim sebagai kelompok yang celaka dan ingkar sunnah. (Selesai) Rasulullah Penebar Berkah KH. Jalaluddin Rakhmat Pada suatu saat, Rasulullah saw berwudhu. Segera sesudah itu, para sahabat sibuk memperebutkan bekas air wudhu Nabi yang mulia. Ketika menceritakan hal ini, Imam Bukhari sampai menulis: “Para sahabat bahkan hampir berkelahi untuk memperoleh bekas air wudhu Rasulullah itu.” (lihat Shahîh Bukhâri 1: 59105 dan Fathul Bâri 1: 256-408) Dalam fikih, sebagaimana kita ketahui, air bekas dipakai atau air musta’mal tidak boleh dipakai lagi untuk berwudhu kecuali, menurut Imam Syafii, air bekas wudhu Rasulullah saw. Meskipun merupakan air musta’mal, air itu tetap bisa dipakai berwudhu. Mengapa para sahabat berebut untuk memperoleh bekas wudhu Rasulullah saw –sampai sahabat lain yang tidak kebagian pun menggesekkan tangannya kepada tangan orang lain yang mendapat air wudhu bekas Rasulullah saw? Karena mereka percaya bahwa bekas sentuhan tangan Rasulullah saw yang suci itu mampu mendatangkan berkah. Al-Quran menyatakan di mana pun Rasulullah berada, beliau akan selalu mendatangkan berkah untuk sekitarnya. Dalam surat Al-Isra ayat 1, Allah swt berfirman: Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya…. Rasulullah mendatangkan berkah tidak hanya untuk para sahabatnya, tetapi juga untuk seluruh alam semesta. Dalam Al-Quran, Allah swt berfirman: Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107) Berkah adalah termasuk kepada ‘rahmat’ yang disebutkan dalam ayat tersebut. Riwayat lain dalam Shahih Bukhari menyebutkan: Suatu hari, Rasulullah saw memanggil dua orang sahabatnya; ‘Amr bin ‘Ash dan Bilal bin Rabah. Saat itu Rasulullah sedang berwudhu. Kemudian Rasulullah memercikkan ludahnya pada air bekas wudhu. Beliau menyuruh dua orang sahabat tersebut untuk meminum air itu. “Ada berkah pada air itu,” ucap Rasulullah saw. Kedua orang itu amat percaya akan berkah dalam air wudhu itu sehingga mereka langsung meminumnya. Pada waktu yang lain, Rasulullah saw tidur siang di sebuah taman. (Di kalangan masyarakat Arab dikenal kebiasaan tidur di siang hari. Imam Ghazali menganjurkan tidur siang ini agar kita bangun di malam hari untuk melakukan salat malam, -red.) Karena udara yang panas, keringat bercucuran dari dahi Rasulullah. Seorang sahabat perempuan melihat kejadian ini. Segera dia mengambil wadah dan dengan hati-hati menggunakannya untuk menadah air keringat Rasulullah. Beberapa saat kemudian Nabi terbangun dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Perempuan itu menjawab, “Ya Rasulallah, aku mengambil berkah dari keringatmu.” Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa cawan yang pernah memperoleh tetesan keringat Rasulullah saw itu sering dipinjam oleh banyak sahabat yang lain. Jika ada orang yang sakit, cawan itu dipinjam untuk diisi dengan air. Orang yang sakit itu lalu meminumnya. Ia sembuh karena berkah air yang dimasukkan ke dalam cawan tempat Rasulullah saw pernah meneteskan keringatnya. Anda boleh tidak percaya. Tetapi saya amat meyakininya karena peristiwa itu terdapat dalam kitab-kitab hadis yang sahih. Air tersebut mengandung berkah. Air yang biasanya hanya untuk menghapuskan haus juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit. Berkah adalah tambahan yang terdapat dalam sesuatu. Jika suatu makanan hanya mengenyangkan saja, makanan itu hanyalah makanan biasa. Tetapi jika makanan itu menjadi obat dan bermanfaat, bukan saja untuk diri kita tetapi juga untuk orang lain, makanan itu menjadi makanan yang mengandung berkah. Oleh karena itulah, sebelum makan, kita dianjurkan berdoa, “Allâhumma bârik lanâ fî mâ razaqtanâ, Ya Allah, berkahilah apa yang telah Engkau rizkikan kepada kami….” Rezeki yang mendatangkan berkah adalah rezeki yang walaupun sedikit, mendatangkan manfaat yang besar. Begitu pula dengan hidup. Hidup yang penuh berkah tidak dihitung berdasarkan panjang pendeknya usia, melainkan berdasarkan manfaat yang diberikannya. Tentu saja yang paling ideal adalah hidup yang panjang usianya dan panjang pula amalnya. Menurut Rasulullah saw seperti itulah manusia yang paling baik. Namun bila ada orang yang berusia pendek tapi hidupnya mendatangkan manfaat untuk orang sekitarnya, hidupnya adalah hidup yang penuh berkah. Tempat pun ada yang dapat mendatangkan berkah. Bila dahulu orang mengambil berkah dari orang yang menebarkannya; yaitu Rasulullah saw, maka kita sekarang mencari berkah dari tempat yang memancarkannya; misalnya Masjidil Haram. Majelis-majelis pengajian dan tempat-tempat yang pernah dikunjungi orang salih juga adalah tempat-tempat yang mampu mendatangkan berkah. Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, ada seorang ibu yang datang sambil membawa anak kecil. “Ya Rasulallah,” pinta ibu itu, “ini anakku. Izinkan dia untuk berkhidmat kepadamu dengan menjadi khadammu.” Anak itu bernama Anas bin Malik. Suatu hari, Anas mengundang Rasulullah saw untuk makan di rumahnya. Rasulullah saw bertanya, “Di mana tempat salatmu? Tunjukkanlah kepadaku.” Rasulullah lalu salat di tempat itu. Setelah salat, beliau mencelupkan tangannya yang mulia ke sebuah bejana dan memercikkannya ke sudut rumah tempat ia salat. Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, rumah Anas banyak dikunjungi para sahabat dan tabi’in yang tak sempat berjumpa dengan Rasulullah. Mereka ingin salat di tempat Rasulullah saw pernah salat. Tempat itu dipandang sebagai tempat yang mendatangkan berkah. Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Imam Al-Nawawi menganggap riwayat ini sebagai dalil tentang bolehnya mengambil berkah dari orang yang saleh. Jika kita mengharapkan rumah kita mengandung berkah, undanglah orang-orang salih yang berakhlak baik, ahli ibadah, dan alim. Mintalah mereka untuk salat di tempat itu seperti Rasulullah saw salat di tempat Anas bin Malik. Berkah, menurut Islam, adalah sesuatu yang menyebar. Jika orang saleh datang di suatu tempat, keberkahan itu menyebar ke tempat-tempat di sekelilingnya. Rasulullah saw memerintahkan kita untuk makan bersama orang-orang salih. Insya Allah, makanan yang kita makan itu adalah makanan yang penuh berkah. Mereka Yang Dicintai Ilahi KH. Jalaluddin Rakhmat Imam Al-Ghazali membagi kitab Ihya Ulumuddin ke dalam empat bagian; seperempat yang pertama disebut dengan rubu’ al-‘ibâdat, tentang ibadah, seperempat yang kedua disebut dengan rubu’ al-mu’amalat, tentang muamalah, seperempat yang ketiga disebut dengan rubu’ al-muhlikat, tentang hal-hal yang mencelakakan manusia, dan seperempat terakhir disebut dengan rubu’ al-munjiat, tentang hal-hal yang menyelamatkan manusia. Di dalam seperempat yang terakhir itu, Al-Ghazali menulis sebuah bagian khusus yang ia sebut dengan Kitab Mahabbah, Buku Tentang Cinta. Kitab ini telah disadur ke dalam berbagai bahasa di dunia dan menjadi bahan kajian para pemikir yang memperbincangkan tentang cinta Ilahi, termasuk di antaranya Thomas Aquinas, seorang tokoh Gereja Katolik. Judul lengkap dari kitab ini adalah Kitabul Mahabbati wal Syauqi wal Uns wal Ridha, Buku Tentang Cinta, Kerinduan, Kemesraan, dan Keridaan. Pada kitab itu, Al-Ghazali menjelaskan kewajiban mencintai Allah swt. Ia menulis: “Ketahuilah, seluruh umat sepakat bahwa kecintaan kepada Allah swt itu wajib karena seluruh ketaatan tanpa kecintaan kepada Allah swt adalah ketaatan yang palsu. Ketaatan adalah buah dari kecintaan. Karena itu, kita harus mendahulukan cinta sebelum taat.” Kemudian Al-Ghazali menerangkan dalil-dalil Al-Quran dan hadis tentang keharusan kita beragama dengan berdasar pada cinta Ilahi. Dalam salah satu hadis itu, Rasulullah saw bersabda bahwa belum sempurna agama seseorang sebelum ia memasukkan cinta ke dalamnya. Saya mencoba mengumpulkan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menceritakan tentang orang-orang yang dicintai Allah dan orang-orang yang mencintai Allah. Ternyata, jumlah ayat-ayat yang menunjukkan kecintaan Allah kepada manusia jauh lebih banyak dari ayat-ayat yang menunjukkan kecintaan manusia kepada Allah. Hal ini berarti bahwa kecintaan Tuhan kepada hamba-Nya jauh lebih besar dari kecintaan hamba kepada Tuhannya. Menurut Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi, seorang tokoh sufi terbesar, Tuhan mencintai makhluk-Nya yang mempunyai sifat seperti Dia. Hal ini sama dengan satu prinsip dalam Psikologi Modern yang menyatakan bahwa kita cenderung untuk mencintai orang yang sifatnya sama dengan kita dan condong untuk membenci orang yang perilakunya berbeda dengan kita. Bila kita ingin disukai dan dicintai seseorang, usahakanlah untuk melakukan hal-hal yang ia lakukan. Manusia mencintai mereka yang memiliki kesamaan sifat dengannya. Begitu pula halnya dengan Tuhan, Dia menyukai dan mencintai orang-orang yang bersifat dengan sifat-sifat Tuhan. Lalu siapa saja yang meraih cinta Ilahi karena kesamaan sifat itu? Pertama, orang-orang yang berbuat baik atau Al-Muhsinîn. Ihsan (perbuatan baik) adalah salah satu sifat Allah. Allah adalah Zat yang paling banyak berbuat baik kepada makhluk-Nya. Dia bahkan telah berbuat baik kepada makhluk-Nya jauh sebelum mereka mempunyai nama. Al-Quran bercerita: Tidak ingatkah manusia satu saat ketika namanya saja belum disebut tetapi Tuhan telah berbuat baik kepada-Nya. (QS. Al-Insân: 1). Sebelum manusia mempunyai nama, Tuhan telah menempatkannya dalam rahim seorang ibu dan Dia memperlakukannya dengan penuh kasih. Tuhan berfirman: Aku tempatkan manusia dalam sebuah tempat yang sangat terpelihara....(QS. Al-Mursalât: 21) Nabi Musa as pernah mengingatkan Qarun untuk berbuat baik dan mengeluarkan kelebihan hartanya. Musa berkata, “Berbuat baiklah kamu seperti Allah juga telah berbuat baik kepadamu.” Tapi Qarun membantah, “Aku mempunyai harta karena ilmuku.” (lihat QS. Al-Qashash: 77-78) Qarun menganggap hartanya ia peroleh semata karena pekerjaannya, bukan karena kebaikan Tuhan. Dan Tuhan pun melenyapkan Qarun ke dasar laut. Kita harus berbuat baik dengan dasar karena Allah juga telah berbuat baik kepada kita. Allah swt berfirman: Berinfaklah kamu di jalan Allah. Janganlah kamu jerumuskan dirimu di dalam kebinasaan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah: 195) Beberapa kitab tafsir mengartikan ayat itu sebagai berikut; anugerah dan kebaikan Allah kepada kita harus disusul dengan kebaikan kita kepada makhluk-makhluk Allah yang lain. Bila tidak, kebaikan Allah itu akan menjerumuskan kita kepada kecelakaan. Jika Allah memberikan kebaikan-Nya berupa kekayaan kepada kita, lalu kekayaan itu tidak kita pergunakan untuk berbuat baik kepada makhluk-Nya, kita akan terjerumus dalam kebinasaan. Kedua, orang-orang yang bertaubat atau Al-Tawwâbin. Tawwâb adalah salah satu sifat Tuhan. Dalam sebuah doa disebutkan, “Innaka antat tawwâbur rahîm. Sesungguhnya Engkau, ya Allah, adalah yang tawwâb dan yang penuh kasih sayang.” Tuhan berfirman: Innallâha yuhibbut tawwâbîna wa yuhibbul mutathâhhirîn. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan banyak mensucikan dirinya. (QS. Al-Baqarah: 222) Tawwâb berasal dari kata tâba-yatűbu-taubatan yang berarti kembali. Tawwâb adalah orang yang sering kembali. Orang yang bertaubat kepada Allah swt pada hakikatnya adalah orang yang kembali lagi kepada Allah swt. Doktrin Kristiani menyebutkan bahwa manusia adalah domba-domba yang tersesat, oleh karena itu mereka harus kembali lagi kepada gembalanya. Dalam ajaran Islam, kita adalah orang-orang yang tergelincir dalam perjalanan hidup kita dan sudah waktunya kita kembali lagi kepada-Nya. Kita adalah anak-anak Tuhan yang bermain-main di kampung halaman dunia untuk kemudian Tuhan panggil kita kembali pulang. Sesungguhnya kehidupan di dunia hanyalah permainan dan senda gurau. (QS. Muhammad: 36). Selama kita bermain di dunia, kita sering merasa keasyikan dalam permainan dan melupakan untuk kembali kepada Tuhan. Selama itu pula Tuhan tidak berhenti memanggil kita. Ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Lukman: 15) Sekian ribu kali kita meninggalkan Tuhan, sekian ribu kali pula Tuhan memanggil kita kepada-Nya. Tuhan tak pernah bosan untuk menerima orang yang kembali pada-Nya. Karena kesamaan sifat tawwâb itulah, Tuhan mencintai orang-orang yang banyak kembali kepada-Nya. Ketiga, orang-orang yang mensucikan diri atau Al-Mutathahhirîn. Berkenaan dengan kesucian, Al-Quran menerangkan ada dua pensuci yang dicintai Allah swt. Pertama, orang yang mensucikan dirinya atau Al-Mutathahhirîn dan kedua, orang yang mensucikan orang lain atau Al-Muthahhirîn. Dalam surat Al-Taubah ayat 108 yang bercerita tentang pendirian Masjid Kuba, Allah swt berfirman: Masjid yang ditegakkan di atas dasar takwa sejak hari pertamanya adalah yang paling berhak kamu lakukan salat di dalamnya. Di tempat itu ada orang-orang yang senang mensucikan dirinya. Dan Allah juga mencintai orang-orang yang mensucikan orang lain. Allah tidak hanya mencintai orang-orang yang mensucikan dirinya tetapi juga mereka yang menjaga kesucian dirinya, keluarganya, karib kerabatnya, dan lingkungannya. Dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan: Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...(QS. Al-Tahrim: 6) Berkenaan dengan mensucikan orang lain ini, saya teringat kepada satu cerita sufi; Alkisah, segerombolan pencuri tiba di suatu desa. Karena mereka tak mendapatkan tempat untuk menginap, mereka singgah di sebuah pesantren milik seorang kyai yang memiliki anak lumpuh. Supaya diperbolehkan tinggal di tempat itu, para pencuri itu menyamar menjadi rombongan santri. Tengah malam ketika santri-santri yang asli salat malam, para santri palsu itu menjalankan “dinas”-nya; mencuri di rumah-rumah penduduk. Pada suatu pagi, ketika para santri gadungan itu kembali dari pekerjaan, mereka mendapati putra kyai yang lumpuh itu sedang berlari ke sana kemari. Mereka takjub dan bertanya kepada kyai. Sang kyai menjawab, “Anak saya memang lumpuh sejak dahulu. Ketika Anda datang ke tempat ini dan mengambil wudhu di masjid kami, saya ambil sebagian air wudhu Anda. Saya ambil berkah air wudhu itu untuk memandikan anak saya. Bekas air wudhu itulah yang menyembuhkannya.” Semua pencuri itu tersentuh hatinya dan mereka pun kembali ke jalan yang benar. Melalui peristiwa itu, Tuhan seakan-akan ingin mengajarkan mereka bahwa meskipun mereka tidak suci, air wudhu mereka dapat mensucikan orang lain. Keempat, orang-orang yang takwa atau Al-Muttaqîn. Allah swt berfirman: Sesungguhnya kekasih Tuhan itu hanyalah orang-orang yang takwa.... (QS. Al-Anfal: 34) Yang dimaksud dengan takwa menurut Al-Quran berbeda dengan takwa dalam pembicaraan umum di masyarakat kita. Bila kita melihat dalam banyak peraturan perundang-undangan, akan kita temukan bahwa syarat untuk menempati jabatan tertentu adalah takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Bila takwa itu tidak hanya sekedar bicara, negeri kita akan menjadi negeri yang makmur namun bila takwa itu hanya di bibir saja, negeri kita akan mendapat bencana. Allah swt berfirman: Sekiranya satu penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami bukakan pintu keberkahan dari langit dan dari bumi, tetapi kaum itu hanya berdusta saja dan karena itu kami siksa mereka karena perbuatan mereka. (QS. Al-A’raf: 96) Kelima, orang-orang yang bersabar atau Al-Shâbirîn. Salah satu asma Allah adalah Al-Shabűr, yang Mahabersabar. Allah mencintai para penyabar, yaitu mereka yang diuji Allah tapi mereka mengendalikan diri mereka untuk tidak mengadu kepada siapa pun kecuali kepada Allah yang telah memberikan ujian itu. Mereka tidak merasa lemah karena musibah yang menimpa mereka dan mereka tidak merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuasaan untuk memikulnya. Tuhan adalah Zat Yang paling bersabar. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang sabar ketika disakiti, selain Allah.” Menurut Ibn Arabi, setiap hari kita menyakiti Tuhan dengan dosa-dosa kita dan Tuhan selalu sabar terhadap kita. Oleh karena itu, Tuhan pun menyenangi hamba-hamba-Nya yang tetap bersabar ketika disakiti oleh hamba-hamba-Nya yang lain. Allah memuji para nabi dan menyebut mereka sebagai orang yang paling bersabar. Mereka mencapai derajat yang tinggi, yaitu derajat ‘Ulul ‘Azhmi, karena kesabaran mereka. Allah swt berfirman: Bersabarlah kamu seperti sabarnya ‘ulul ‘azhmi di antara para rasul. (QS. Al-Ahqaf: 35) Tidak ada sesuatu yang bisa memberikan kesabaran kepada kita kecuali kecintaan kita kepada Allah. Jika seseorang cinta kepada Allah, maka apa pun yang Allah berikan kepadanya, akan dia terima dengan gembira. Dia akan selalu bersabar atas apa pun yang ditimpakan Allah untuknya. Syahdan, seorang sufi pergi menengok sufi lain yang sedang sakit. Ia memberikan nasihat kepada si sakit, “Belum menjadi pencinta sejati, mereka yang tidak bersabar menerima ujian yang datang dari kekasihnya.” Sufi temannya itu menjawab, “Belum menjadi pencinta sejati, mereka yang belum mencintai apa pun yang diberikan kekasihnya.” Karena penyakit itu pemberian dari Allah, sufi itu tidak hanya bersabar atas sakitnya tapi juga mencintai pemberian Allah tersebut. Imam Ali kw berkata, “Sahabat sejati adalah ia yang tetap mencintaimu walaupun kamu membuat dia marah.” Masih tentang kesabaran, ada satu cerita sufi lain yang menarik. Al-Syibli, seorang guru sufi yang dianggap menyebarkan kesesatan, dijebloskan ke penjara. Para santrinya datang menjenguknya. “Siapa kalian?” Al-Syibli bertanya. “Kamilah para pencintamu,” jawab mereka. Lalu Al-Syibli mengambil bebatuan dan mulai melempari mereka. Semua santri yang datang langsung berlari menjauh. Al-Syibli berkata, “Kalian bukan pencinta sejati. Aku berikan kalian batu tetapi kalian malah berlari menjauhiku.” Seorang pencinta sejati akan menerima lemparan batu dengan gembira karena batu itu berasal dari kekasihnya. Mereka yang mencintai Tuhan dengan kecintaan sejati adalah mereka yang ketika ditimpa berbagai musibah dari Tuhan, mereka tidak akan mengeluh dan memaki Tuhan. Mereka akan bersabar dalam menempuh segala bencana yang ditimpakan kepadanya. Ketika dalam penderitaan, mereka tidak akan menggugat Tuhan, melainkan mereka akan berdoa dengan doa Nabi Ayyub as: Sungguh penderitaan telah menimpaku, sedangkan Engkau Yang Paling Penyayang dari semua yang menyayangi. (QS. Al-Anbiya: 83) Keenam, orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan atau Al-Mutawakkilîn. Dalam surat Ali Imran ayat 159, Tuhan berfirman: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. Ayat tersebut turun berkenaan dengan satu peristiwa setelah Perang Uhud. Ketika Perang Uhud, kaum muslimin menderita kekalahan. Banyak sahabat nabi yang lari terbirit-birit meninggalkan pertempuran. Bahkan ada seorang sahabat yang kabur begitu jauh, sehingga baru kembali tiga bulan berikutnya. Ketika mereka kembali ke Madinah, para sahabat itu merasa malu karena telah meninggalkan peperangan. Mereka juga merasa takut karena berpikir bahwa Nabi akan teramat murka. Tapi Nabi malah menyambut mereka dengan penuh kasih sayang. Lalu turunlah ayat di atas yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut: Maka dengan rahmat dari Allah jugalah engkau lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu berhati keras dan kasar, tentulah mereka akan berpaling darimu. Maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Apabila engkau sudah menetapkan suatu keputusan, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal (berserah diri).” (QS. Ali Imran: 159) Ketujuh, orang-orang yang menegakkan keadilan atau Al-Muqsithîn. Lawan dari Al-Muqsithîn adalah Al-Mufsidîn atau orang-orang yang menimbulkan kerusakan, kekacauan, dan kehancuran. Ketika Tuhan bercerita tentang Al-Mufsidîn, Tuhan berfirman: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka datang kepadamu untuk meminta putusan, maka putuskanlah perkara itu di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, mereka tidak akan memberikan mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai mereka yang menegakkan keadilan. (QS. Al-Mâidah: 42) Kedelapan, orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi saw. Dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 31, Allah swt berfirman: Katakan oleh kamu Muhammad: Kalau kalian mencintai Allah, ikutilah aku. Nanti Allah akan mencintaimu. Yang mengikuti sunnah Rasulullah saw adalah para pencinta Allah dan mereka yang dicintai Allah. Kesembilan, orang-orang yang mencintai Allah. Mereka yang mencintai akan dicintai pula oleh Allah. Jika kita ingin cinta yang tak bertepuk sebelah tangan, cintailah Allah. Bila kita mencintai manusia, belum tentu manusia yang dicintai itu akan membalas cinta kita. Salah satu penderitaan manusia modern adalah mengejar orang yang tidak pernah mencintai mereka. Banyak orang yang menjadi fans dari seorang selebriti; mereka menempelkan gambarnya di kamar-kamar mereka, sementara sang selebriti itu tak pernah tahu. Mengapa kita tak memilih untuk mencintai Tuhan. Tuhan akan selalu membalas kecintaan kita. Bahkan Dia membalasnya dengan berlipat ganda. Bila kita mendekati manusia satu siku, dia menjauh satu hasta. Tetapi bila kita mendekati Tuhan satu siku, Dia akan mendekati kita satu hasta. Kalau kita datang kepada Tuhan dengan merangkak, Tuhan akan menyongsong kita dengan berlari. Kesepuluh, orang-orang yang terus menerus berjuang di jalan Allah dalam satu barisan yang kokoh. Allah swt berfirman: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (QS. Al-Shaf: 4) Allah mencintai mereka yang berjuang di jalan Allah dalam satu organisasi yang kokoh dan teratur. Rasulullah saw pun amat memperhatikan keteraturan dalam suatu barisan. Sebelum salat berjamaah, beliau selalu memeriksa barisan makmum dan berkata, “Bereskanlah shaf kalian karena membereskan shaf itu adalah bagian dari menegakkan salat.” Kesebelas, orang-orang yang dipilih Allah untuk menyelamatkan umat dari kemurtadan. Dalam Al-Quran surat Al-Mâidah ayat 54, Allah swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan datangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya; yang bersikap lemah lembut terhadap kaum mukmin dan keras terhadap kaum kafir; yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela.... Mereka yang Tidak Dicintai Ilahi KH. Jalaluddin Rakhmat Dalam Al-Quran, tidak ada kata “membenci” tapi yang ada adalah kata “tidak mencintai”. Sebelum kata yuhibbu, diawali dulu dengan kata ‘la’. Innallaha layuhibbu (sesungguhnya Allah tidak mencintai). Yang tidak dicintai Tuhan kadang-kadang merupakan orang atau perbuatan. Pertama, mu’tadin, orang-orang yang melakukan sesuatu dengan melewati batas. Dalam Al-Quran disebutkan, “Perangilah orang yang memerangi kamu. Janganlah kamu melewati batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melewati batas.” (QS. Al-Baqarah: 190). Dalam perintah perang pun, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang melewati batas. Di dalam peperangan islam, misalnya, kita tidak boleh menyerang atau mengejar musuh yang sudah lari, merusak tanaman, mengganggu perempuan, atau mengganggu orang-orang yang sedang beribadat, dsb. Kedua, dalam Al-Quran, di antara orang-orang yang tidak dicintai Allah adalah orang yang berbuat kerusakan (kafir yang berkhianat), orang-orang yang berbuat zalim, orang-orang yang sombong, para pengkhianat, para pembuat kerusakan, orang-orang yang berlebihan. Apa saja yang berlebihan? Tidak dicintai oleh Allah. Ayat ini berkenaan dengan perintah makan dan minum: Makan dan minumlah kamu, tapi jangan berlebih-lebihan karena Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31) Jalaluddin Rumi bercerita tentang orang yang dalam hidupnya hanya mengejar makanan saja. Rumi menggambarkan dengan bagus dengan mengatakan, “Orang itu hanya taat kepada satu perintah Tuhan, yaitu: Makan dan minumlah kamu. Tapi ia tidak menaati kalimat yang berikutnya.” Dalam Al-Quran, ada cerita bahwa suara yang paling jelek di hadapan Allah adalah suara keledai. Sesungguhnya suara yang paling jelek adalah suara keledai. (QS. Lukman: 19) Menurut Rumi, yang dimaksud dengan paling jelek suaranya bukanlah yang paling keras suaranya. Ketika Allah menciptakan seluruh makhluk dan ruh ditiupkan ke dalam diri mereka, semuanya hidup. Kalimat pertama yang mereka ucapkan adalah memuji Allah swt, bertasbih kepada-Nya. Tapi ketika semua bertasbih, keledai tidak bertasbih. Dia diam saja. Suatu saat ketika seluruh binatang diam, keledai itu berteriak. Orang-orang bertanya, “Mengapa keledai itu?” Ternyata keledai itu berteriak karena lapar. Kata Rumi, “Suara yang paling jelek di sisi Allah adalah orang yang hanya bersuara ketika perutnya lapar, atau ia hanya bersuara ketika membela kepentingan dirinya saja.” Dalam kebiasaan kita pun, orang-orang akan bersuara keras hanya ketika membela kepentingan dirinya saja tapi ketika berbicara tentang kepentingan bangsa, suaranya jadi melemah, bahkan tidak bunyi sama sekali. Itulah orang yang berbicara keras dan buruk. Hadis Tentang Cinta Ilahi Nabi saw telah menjadikan kecintaan sebagai syarat iman. Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw saw, “Ya Rasulallah, apa iman itu?” Rasulullah saw menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai daripada apa pun selain keduanya.” Dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik: Tidak beriman kamu sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai dari siapa pun selain mereka. Kemudian dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Tidak beriman kamu sebelum aku (Rasulullah) lebih dicintai dari keluarganya, hartanya, dan seluruh umat manusia.” Semua hadis di atas menjelaskan ayat Al-Quran, surat Al-Taubah ayat 24: Katakanlah jika orang tua, anak-anak, saudara, istri-istri, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, dan rumah yang kalian tinggali, lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka bersiap-siaplah mereka menerima azab dari Allah. Dalam hadis lain, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mencintai Allah, “Cintailah Allah atas anugerah-Nya kepada kalian dan cintailah aku atas kecintaan Allah kepadaku.” Al-Ghazali tidak melanjutkan hadis ini. Dalam lanjutan hadis itu, Rasulullah berkata, “Dan cintailah keluargaku karena kecintaan aku kepada mereka.” Sumber cinta yang pertama adalah Allah, kemudian kita mencintai siapa saja yang dicintai Allah, termasuk rasul-Nya, dan mencintai apa yang dicintai oleh pencinta Allah, termasuk ahlul baitnya. Karena itu, doa yang biasa kita baca adalah: “Ya Allah, aku mohonkan kepada-Mu cinta-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai setiap amal yang membawa kami ke dekat-Mu. Rasulullah saw bersabda: Kalau kita mencintai saudara kita, ungkaplah kecintaan itu. Kalau bapak mencintai anak, ungkaplah kecintaan itu kepada anak-anaknya, jangan disembunyikan. Karena kecintaan itu menimbulkan berkah. Ada seorang anak yang menderita sepanjang hidupnya, karena ia mengira bapaknya tidak mencintainya. Suatu saat ketika bapaknya sekarat di rumah sakit, menghembuskan napasnya yang terakhir, anak itu tidak datang juga karena ia tahu bapaknya tidak menyukainya. Ibunya bercerita bahwa sebelum meninggal dunia, bapaknya mengatakan bahwa ia sangat mencintai anaknya dan bangga akan anaknya. Anak itu menjerit keras karena selama ini ia membenci bapaknya dengan dugaan bahwa bapaknya tidak mencintainya. Padahal di saat-saat terakhir, bapaknya mengungkapkan bahwa ia cinta anaknya. Kita dianjurkan jika kita mencintai seseorang, kita harus mengungkapkan kecintaan itu. Dan itu menyenangkan. Kita bahagiakan orang lain dengan kecintaan kita. Kalau kita sembunyikan, orang lain tidak akan tahu dan ia tidak akan bahagia karena kecintaan kita. Suatu saat, saya pernah melakukan umrah. Seorang supir taksi yang baik mengantarkan saya ke tempat kelompok keturunan sahabat anshar. Mereka adalah para petani miskin yang tinggal di perkebunan kurma. Kami datang ke sana dan salat bersama di masjid yang sangat sederhana. Pemimpin kelompok itu bernama Al-Anshari. Waktu masuk ke tempat itu, saya diperkenalkan sebagai tamu dari Indonesia. Saya bercerita tentang islam di Indonesia. Dia memegangi kepala saya dan mencium dahi saya. Dia berkata, “Aku mencintaimu.” Saya senang sekali dan terkesan dengan kecupannya di dahi saya. Ada seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata, “Ya Rasulallah, aku mencintaimu.” Lalu Nabi berkata, “Kalau begitu, bersiaplah untuk miskin.” Ia lalu berkata, “Aku juga mencintai Allah.” Nabi berkata, “Kalau begitu, bersiaplah untuk mendapat ujian.” Dalam sebuah buku sufi, Essential Sufism, disebutkan bahwa orang-orang modern sangat sulit untuk bisa mencintai dengan tulus karena kecintaan yang tulus membawa resiko yang banyak. Resiko yang pertama adalah keterlibatan seluruh kepribadian kita. Sementara orang modern inginnya mandiri, bebas, independen, tidak mau meleburkan diri, dan tidak mau melibatkan diri terlalu banyak. Akhirnya mereka tidak berhasil mencintai siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Salah satu resiko besar dari kecintaan adalah hilangnya ego dan keakuan kita. Rasulullah saw berkata, “Siap-siaplah menghadapi kemiskinan dan ujian.” Suatu hari Rasulullah saw melihat Mash’ab bin Umair datang dan memakai pakaian yang lusuh dan compang-camping. Dahulu Mash’ab adalah anak orang kaya raya di Mekkah. Wajahnya tampan. Di antara sahabat Nabi ada yang terkenal karena ketampanannya, Mash’ab bin Umair, Al-Syammas. Pada waktu muda, orang tua Mash’ab sering menghiasinya dengan pakaian yang indah. Namun, ketika ia sudah masuk Islam, ia mendatangi majlis Nabi saw. Rasulullah saw lalu berkata, “Lihatlah orang itu yang telah Allah sinari hatinya. Dahulu aku pernah melihat dia beserta kedua orang tuanya. Mereka memberinya makanan enak, minuman nikmat, dan pakaian bagus. Kemudian kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya membawa ia kepada keadaan sekarang ini.” "Agama Itu Nashîhah...." KH. Jalaluddin Rakhmat Suatu malam, menjelang waktu subuh, Rasulullah saw bermaksud untuk wudhu. "Apakah ada air untuk wudhu?" beliau bertanya kepada para sahabatnya. Ternyata tak ada seorang pun yang memiliki air. Yang ada hanyalah kantong kulit yang dibawahnya masih tersisa tetesan-tetesan air. Kantong itu pun dibawa ke hadapan Rasulullah. Beliau lalu memasukkan jari jemarinya yang mulia ke dalam kantong itu. Ketika Rasulullah mengeluarkan tangannya, terpancarlah dengan deras air dari sela-sela jarinya. Para sahabat lalu segera berwudhu dengan air suci itu. Abdullah bin Mas'ud bahkan meminum air itu. Usai salat subuh, Rasulullah duduk menghadapi para sahabatnya. Beliau bertanya, "Tahukah kalian, siapa yang paling menakjubkan imannya?" Para sahabat menjawab, "Para malaikat." "Bagaimana para malaikat tidak beriman," ucap Rasulullah, "mereka adalah pelaksana-pelaksana perintah Allah. Pekerjaan mereka adalah melaksanakan amanah-Nya." "Kalau begitu, para Nabi, ya Rasulallah," berkata para sahabat. "Bagaimana para nabi tidak beriman; mereka menerima wahyu dari Allah," jawab Rasulullah. "Kalau begitu, kami; para sahabatmu," kata para sahabat. "Bagaimana kalian tidak beriman; kalian baru saja menyaksikan apa yang kalian saksikan," Rasulullah merujuk kepada mukjizat yang baru saja terjadi. "Lalu, siapa yang paling menakjubkan imannya itu, ya Rasulallah?" para sahabat bertanya. Rasulullah menjawab, "Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku; tidak pernah melihatku. Tapi ketika mereka menemukan Al-Kitab terbuka di hadapan, mereka lalu mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa; sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka akan menjual seluruh hartanya." Hadis di atas dimuat dalam Tafsir Al-Dűr Al-Mantsűr, karya mufasir Jalaluddin Al-Syuyuti. Mudah-mudahan kita semua termasuk dalam kelompok ini; mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah tetapi mencintainya dengan sepenuh hati. Masih dalam kitab ini, diriwayatkan bahwa suatu saat Rasulullah saw bersabda, "Berbahagialah mereka, para saudaraku(ikhwâni)." Para sahabat bertanya, "Apakah yang kau maksud dengan ikhwâni itu adalah kami, ya Rasulallah?" "Tidak," jawab Rasulullah, "kalian adalah para sahabatku. Yang aku maksud dengan ikhwâni adalah mereka yang datang sesudahku." Bayangkan, Rasulullah menyebut orang yang sezaman dengannya sebagai para sahabat tapi menyebut orang yang datang sepeninggalnya dengan panggilan yang sangat mesra, ikhwâni, para saudaraku. Merekalah kaum yang datang sesudah beliau dan tidak pernah berjumpa dengannya tetapi mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa dan raga. Kecintaan terhadap Rasulullah tidak saja merupakan kewajiban -sebagaimana sering disebut dalam banyak hadis- tapi juga merupakan syarat mutlak atau conditio sine quanon; syarat yang, tidak boleh tidak, mesti ada apabila kita ingin menjalankan syariat Islam. Tidak mungkin orang bisa menjalankan sunnah Rasulullah dengan seluruh hatinya apabila ia tidak mencintainya. Dasar agama adalah cinta; salah satunya adalah cinta kepada Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis yang teramat populer, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, "Al-Dînu nashîhah." Ucapan Nabi ini seringkali diterjemahkan secara keliru ke dalam Bahasa Indonesa menjadi: Agama itu nasihat. Saya anggap keliru karena dalam hadis itu diceritakan setelah Rasulullah bersabda itu, para sahabat bertanya, "Kepada siapa nashîhah itu, ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab, "Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kepada seluruh kaum muslimin." Di situlah letak kekeliruan terjemahan itu. Bagaimana mungkin kita harus memberikan nasihat kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para imam? Dalam bahasa Arab, kata nashîhah selain berarti nasihat, juga berarti mengikhlaskan, memurnikan, atau membersihkan kecintaan seseorang. Orang yang memiliki kecintaan yang tulus disebut sebagai nâshih. Taubat yang keluar dari hati yang tulus disebut sebagai taubatan nashűha. Orang Arab menyebut madu yang murni sebagai 'asalun nâsh. Jadi, kata nashîhah berarti kecintaan yang tulus. Oleh karena itu, hadis di atas sebenarnya berarti, "Dasar agama itu adalah kecintaan yang tulus." Dasar yang pertama tentu saja adalah kecintaan yang tulus kepada Allah swt. Dalam hadis yang lain, Rasulullah membagi kaum muslimin ke dalam dua golongan. Satu golongan ia sebut dengan kaum nashâhah dan satu golongan lagi ia sebut dengan kaum ghasâsah. Nashâhah (bentuk jamak dari nâshih, red.) adalah golongan orang yang selalu menampakkan kecintaan yang tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para Imam, dan seluruh kaum muslimin. Adapun ghasâsah, menurut Rasulullah, adalah para pengkhianat yang tidak memiliki hati yang bersih. (lihat Al-Targhîb, II: 575) Masih dalam kitab yang sama diriwayatkan sabda Rasulullah saw yang menjelaskan hadis di atas: "Kaum mukmin itu satu sama lain saling mencintai walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Tetapi kaum yang durhaka itu satu sama lain ghasâsah (saling mengkhianati) sesama mereka walaupun tempat tinggal mereka berdekatan." Kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya adalah ikatan yang dapat mempersatukan seluruh mazhab. Al-Zamakhsyari, penulis kitab Tafsir Al-Kasyaf, yang menurut beberapa orang bermazhab muktazilah, menulis sebuah syair tentang ikhtilaf di kalangan kaum muslimin dan jalan keluar dari perpecahan itu: Banyak sekali keraguan dan pertentangan Masing-masing merasa di jalan yang benar Aku berpegang pada kalimat lâ ilâha ilallah Dan kecintaanku kepada Ahmad dan Ali Berbahagia anjing karena mencintai Ashabul Kahfi Bagaimana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi Al-Quran menceritakan seekor anjing yang memiliki karamah mampu tidur selama tiga ratus tahun. Keberuntungannya itu disebabkan karena kecintaan anjing itu kepada Ashabul Kahfi. Maka, bagaimana kita bisa celaka karena kecintaan kepada keluarga Nabi? Kecintaan terhadap keluarga Nabi disepakati oleh semua mazhab. Imam Syafii pun dikenal sebagai orang yang mencintai ahli bait Nabi. Imam Syafii pernah berkata, "Aku sangat heran bila aku sebut nama Ali Al-Murtadha dan Fathimah Al-Zahra, orang segera berdiri dan berteriak: Ini Rafidi!" Imam Syafii lalu bersyair: Kalau yang disebut Rafidi itu adalah mencintai keluarga Nabi Hendaknya menyaksikan seluruh jin dan manusia, bahwa aku ini Rafidi Mencintai keluarga Nabi adalah bagian dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan: Katakan olehmu Muhammad: Aku tidak minta upah dalam mengajarkan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku. (QS. Al-Syura: 23). Mendengar ayat ini, para sahabat bertanya, "Lalu siapa keluarga yang wajib kami cintai itu?" Rasulullah saw menjawab, "Ali, Fathimah, dan kedua putranya." Hadis itu disebutkan dalam seluruh kitab tafsir dan disepakati oleh semua mazhab. Akan tetapi mengapa dalam perkembangannya orang dijauhkan dari ahlul bait? Salah satunya adalah alasan politis. Sepanjang sejarah Islam, kelompok ahlul bait adalah mereka yang tertindas secara politik. Kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi. Secara perlahan, ahlul bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan ahlul bait dihapuskan dari salawat kaum muslimin. Menurut saya, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu bila kita ingin mempersatukan kaum muslimin, persatukanlah mereka dari titik pertemuan ini; yaitu kecintaan kepada keluarga Nabi. Dalam penjelasan hadis "Agama itu nashîhah", selanjutnya disebutkan tentang kecintaan yang tulus atau nashîhah kita terhadap sesama kaum muslimin. Kecintaan kita kepada kaum muslimin dapat ditampakkan dalam usaha untuk menjaga kesatuan kaum muslimin. Lawan dari nashîhah adalah ghasâsah; mengkhianati kaum muslimin, berlaku tidak jujur, memfitnah mereka, dan bahkan mengkafirkan saudara-saudaranya. Hal ini termasuk kepada dosa besar. Oleh sebab itu kelompok ini dipisahkan oleh Rasulullah dari kaum mukmin dan disebut sebagai kelompok pengkhianat. Dalam hadis yang dapat kita baca dalam Hayâtush Shahâbah, terdapat riwayat sebagai berikut: Pada suatu saat, ketika Rasulullah saw berkumpul dengan para sahabatnya di Masjid, beliau berkata, "Sebentar lagi akan muncul seorang penghuni surga...." Tak lama kemudian masuk ke dalam masjid seorang lelaki dengan mengepit sandal di tangan kanannya. Dengan janggut yang masih basah oleh air wudhu, ia lalu salat. Keesokan harinya, Rasulullah menyebutkan hal yang sama dan lelaki yang sama kemudian masuk ke dalam masjid dan salat. Begitu pula keesokan harinya lagi. Tiga kali Rasulullah mengucapkan hal itu dan selalu lelaki yang itu pula muncul di masjid. Abdullah bin Amr bin Ash merasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang dilakukan oleh lelaki itu sehingga Nabi yang mulia menyebutnya sebagai penghuni surga. Abdullah lalu mengunjungi rumah lelaki itu dan berkata, "Aku bertengkar dengan ayahku. Aku tak bisa tinggal serumah dengannya sementara ini. Bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk beberapa malam?" pinta Abdullah. "Silahkan," lelaki itu membolehkan. Tinggallah Abdullah di rumahnya. Setiap malam ia mengawasi ibadah orang itu. "Tentulah ibadahnya sangat menakjubkan sampai Nabi menyebutnya penghuni surga," pikir Abdullah. Tapi ternyata tak ada yang istimewa dalam ibadahnya. Lelaki itu tak salat malam; ia baru bangun menjelang waktu subuh. Terkadang ia bangun di tengah malam, tapi itu hanya untuk menggeserkan tempat tidurnya, berzikir sebentar, lalu tidur lagi. Selama tiga malam, Abdullah tidak melihat sesuatu yang khusus yang dilakukan orang itu. Akhirnya Abdullah pamit. Sebelum pergi, Abdullah berkata terus terang, "Sebetulnya aku tak bertengkar dengan ayahku. Aku hanya ingin tahu apa yang menjadikanmu sangat istimewa sehingga Nabi menyebutmu penghuni surga?" Orang itu menjawab, "Aku adalah seperti yang engkau lihat. Memang itulah diriku." Abdullah pun akhirnya pergi. Tapi setelah agak jauh, lelaki itu memanggil kembali Abdullah. Ia menjelaskan, "Aku memang seperti yang engkau lihat. Hanya saja aku tak pernah tidur dengan menyimpan niat jelek terhadap sesama kaum muslimin." Abdullah berkata, "Justru itulah yang tidak mampu aku lakukan; tidak menyimpan rasa dendam, benci, dan dengki terhadap sesama kaum muslimin...." Mungkin kita semua seperti Abdullah bin Amr bin Ash, kita tak bisa membuang niat jelek kita terhadap sesama kaum muslimin. Boleh jadi kita mampu berlama-lama salat, mampu mengisi malam dengan zikir, tapi seringkali kita tidak mampu untuk menyingkirkan dendam di hati kita terhadap sesama kaum muslimin. Salah satu bentuk kecintaan kita terhadap kaum muslimin adalah dengan menghilangkan rasa benci kita terhadap mereka. Apa pun mazhab mereka, bagaimana pun mazhab mereka, seperti apa pun golongan mereka, mereka adalah saudara kita dalam Islam. Bila ada sebesar debu saja kedengkian kita terhadap kaum muslimin, berarti kita sudah melanggar ajaran al-dînu nashîhah. Agama itu kecintaan yang tulus. Cinta Ilahi: Perspektif Sufistik KH. Jalaluddin Rakhmat Dalam Al-Quran, tidak ada kata “membenci” tapi yang ada adalah kata “tidak mencintai”. Sebelum kata yuhibbu, diawali dulu dengan kata ‘la’. Innallaha layuhibbu (sesungguhnya Allah tidak mencintai). Yang tidak dicintai Tuhan kadang-kadang merupakan orang atau perbuatan. Pertama, mu’tadin, orang-orang yang melakukan sesuatu dengan melewati batas. Dalam Al-Quran disebutkan, “Perangilah orang yang memerangi kamu. Janganlah kamu melewati batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melewati batas.” (QS. Al-Baqarah: 190). Dalam perintah perang pun, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang melewati batas. Di dalam peperangan islam, misalnya, kita tidak boleh menyerang atau mengejar musuh yang sudah lari, merusak tanaman, mengganggu perempuan, atau mengganggu orang-orang yang sedang beribadat, dsb. Kedua, dalam Al-Quran, di antara orang-orang yang tidak dicintai Allah adalah orang yang berbuat kerusakan (kafir yang berkhianat), orang-orang yang berbuat zalim, orang-orang yang sombong, para pengkhianat, para pembuat kerusakan, orang-orang yang berlebihan. Apa saja yang berlebihan? Tidak dicintai oleh Allah. Ayat ini berkenaan dengan perintah makan dan minum: Makan dan minumlah kamu, tapi jangan berlebih-lebihan karena Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31) Jalaluddin Rumi bercerita tentang orang yang dalam hidupnya hanya mengejar makanan saja. Rumi menggambarkan dengan bagus dengan mengatakan, “Orang itu hanya taat kepada satu perintah Tuhan, yaitu: Makan dan minumlah kamu. Tapi ia tidak menaati kalimat yang berikutnya.” Dalam Al-Quran, ada cerita bahwa suara yang paling jelek di hadapan Allah adalah suara keledai. Sesungguhnya suara yang paling jelek adalah suara keledai. (QS. Lukman: 19) Menurut Rumi, yang dimaksud dengan paling jelek suaranya bukanlah yang paling keras suaranya. Ketika Allah menciptakan seluruh makhluk dan ruh ditiupkan ke dalam diri mereka, semuanya hidup. Kalimat pertama yang mereka ucapkan adalah memuji Allah swt, bertasbih kepada-Nya. Tapi ketika semua bertasbih, keledai tidak bertasbih. Dia diam saja. Suatu saat ketika seluruh binatang diam, keledai itu berteriak. Orang-orang bertanya, “Mengapa keledai itu?” Ternyata keledai itu berteriak karena lapar. Kata Rumi, “Suara yang paling jelek di sisi Allah adalah orang yang hanya bersuara ketika perutnya lapar, atau ia hanya bersuara ketika membela kepentingan dirinya saja.” Dalam kebiasaan kita pun, orang-orang akan bersuara keras hanya ketika membela kepentingan dirinya saja tapi ketika berbicara tentang kepentingan bangsa, suaranya jadi melemah, bahkan tidak bunyi sama sekali. Itulah orang yang berbicara keras dan buruk. Hadis Tentang Cinta Ilahi Nabi saw telah menjadikan kecintaan sebagai syarat iman. Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw saw, “Ya Rasulallah, apa iman itu?” Rasulullah saw menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai daripada apa pun selain keduanya.” Dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik: Tidak beriman kamu sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai dari siapa pun selain mereka. Kemudian dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Tidak beriman kamu sebelum aku (Rasulullah) lebih dicintai dari keluarganya, hartanya, dan seluruh umat manusia.” Semua hadis di atas menjelaskan ayat Al-Quran, surat Al-Taubah ayat 24: Katakanlah jika orang tua, anak-anak, saudara, istri-istri, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, dan rumah yang kalian tinggali, lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka bersiap-siaplah mereka menerima azab dari Allah. Dalam hadis lain, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mencintai Allah, “Cintailah Allah atas anugerah-Nya kepada kalian dan cintailah aku atas kecintaan Allah kepadaku.” Al-Ghazali tidak melanjutkan hadis ini. Dalam lanjutan hadis itu, Rasulullah berkata, “Dan cintailah keluargaku karena kecintaan aku kepada mereka.” Sumber cinta yang pertama adalah Allah, kemudian kita mencintai siapa saja yang dicintai Allah, termasuk rasul-Nya, dan mencintai apa yang dicintai oleh pencinta Allah, termasuk ahlul baitnya. Karena itu, doa yang biasa kita baca adalah: “Ya Allah, aku mohonkan kepada-Mu cinta-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai setiap amal yang membawa kami ke dekat-Mu. Rasulullah saw bersabda: Kalau kita mencintai saudara kita, ungkaplah kecintaan itu. Kalau bapak mencintai anak, ungkaplah kecintaan itu kepada anak-anaknya, jangan disembunyikan. Karena kecintaan itu menimbulkan berkah. Ada seorang anak yang menderita sepanjang hidupnya, karena ia mengira bapaknya tidak mencintainya. Suatu saat ketika bapaknya sekarat di rumah sakit, menghembuskan napasnya yang terakhir, anak itu tidak datang juga karena ia tahu bapaknya tidak menyukainya. Ibunya bercerita bahwa sebelum meninggal dunia, bapaknya mengatakan bahwa ia sangat mencintai anaknya dan bangga akan anaknya. Anak itu menjerit keras karena selama ini ia membenci bapaknya dengan dugaan bahwa bapaknya tidak mencintainya. Padahal di saat-saat terakhir, bapaknya mengungkapkan bahwa ia cinta anaknya. Kita dianjurkan jika kita mencintai seseorang, kita harus mengungkapkan kecintaan itu. Dan itu menyenangkan. Kita bahagiakan orang lain dengan kecintaan kita. Kalau kita sembunyikan, orang lain tidak akan tahu dan ia tidak akan bahagia karena kecintaan kita. Suatu saat, saya pernah melakukan umrah. Seorang supir taksi yang baik mengantarkan saya ke tempat kelompok keturunan sahabat anshar. Mereka adalah para petani miskin yang tinggal di perkebunan kurma. Kami datang ke sana dan salat bersama di masjid yang sangat sederhana. Pemimpin kelompok itu bernama Al-Anshari. Waktu masuk ke tempat itu, saya diperkenalkan sebagai tamu dari Indonesia. Saya bercerita tentang islam di Indonesia. Dia memegangi kepala saya dan mencium dahi saya. Dia berkata, “Aku mencintaimu.” Saya senang sekali dan terkesan dengan kecupannya di dahi saya. Ada seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata, “Ya Rasulallah, aku mencintaimu.” Lalu Nabi berkata, “Kalau begitu, bersiaplah untuk miskin.” Ia lalu berkata, “Aku juga mencintai Allah.” Nabi berkata, “Kalau begitu, bersiaplah untuk mendapat ujian.” Dalam sebuah buku sufi, Essential Sufism, disebutkan bahwa orang-orang modern sangat sulit untuk bisa mencintai dengan tulus karena kecintaan yang tulus membawa resiko yang banyak. Resiko yang pertama adalah keterlibatan seluruh kepribadian kita. Sementara orang modern inginnya mandiri, bebas, independen, tidak mau meleburkan diri, dan tidak mau melibatkan diri terlalu banyak. Akhirnya mereka tidak berhasil mencintai siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Salah satu resiko besar dari kecintaan adalah hilangnya ego dan keakuan kita. Rasulullah saw berkata, “Siap-siaplah menghadapi kemiskinan dan ujian.” Suatu hari Rasulullah saw melihat Mash’ab bin Umair datang dan memakai pakaian yang lusuh dan compang-camping. Dahulu Mash’ab adalah anak orang kaya raya di Mekkah. Wajahnya tampan. Di antara sahabat Nabi ada yang terkenal karena ketampanannya, Mash’ab bin Umair, Al-Syammas. Pada waktu muda, orang tua Mash’ab sering menghiasinya dengan pakaian yang indah. Namun, ketika ia sudah masuk Islam, ia mendatangi majlis Nabi saw. Rasulullah saw lalu berkata, “Lihatlah orang itu yang telah Allah sinari hatinya. Dahulu aku pernah melihat dia beserta kedua orang tuanya. Mereka memberinya makanan enak, minuman nikmat, dan pakaian bagus. Kemudian kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya membawa ia kepada keadaan sekarang ini.” Dewa Ruci; Perjalanan Sufi (I) Jalaluddin Rakhmat Menjelang Bharatayudha, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota Kurawa buat melakukan Sidang Istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari Pendawa kecuali karena satu hal saja; Pendawa memiliki Bhima yang sangat sakti. Di samping sangat perkasa, Bhima juga ksatria yang jujur, lugu, dan kuat kemauan. Ia tidak bisa dibeli. Ia bepegang teguh pada keyakinannya. Bhima berkata, "Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala dhen alani, nadhyan bahu kanan-kering jen ala binuwang." Supaya Kurawa menang, sidang memutuskan: Binasakan Bhima. Tapi, masalahnya, Bhima terlalu kuat untuk dikalahkan. Dibuatlah sebuah skenario. Bhima harus dibuang. Caranya bagaimana? Bhima sangat hormat dan patuh kepada gurunya, Resi Dhurna. Resi Dhurna memerintahkan Bhima untuk mencari air kehidupan: Tirta Perwita, tirta prawita, atau tirto sucining ngaurip, tirta kamandalu. Amrtanjiwangi, amrta, atau tirta amrta. Menurut Sang Begawan, siapa saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup yang sempurna. Ia akan memiliki pranawa- "ilmu kebebasan jiwa." Ia akan memahami rahasia kejadian alam semesta dengan segala isinya. Ia akan "saestu sumerep purwa-wekasaning jagadh royo" atau ilmu tentang sangkan paraning dhumadhi. Bhima tidak boleh ragu-ragu dalam mencari tirta amrta ini, karena "jen rering rangu bade mboten sumerep sarto dhumugi telenging kawruh kasunyataan." Tirta amrta ini tidak mudah diperoleh. Ia berada di Gunung Candramuka, di Rimba Palasara. Tanpa ragu, Bhima berangkat, walaupun saudara-saudaranya menghalanginya. Tekadnya sudah bulat. Ia harus berkhidmat kepada gurunya. Ia memasuki gua di Gunung Candramuka itu. Di situ ia bertemu dengan dua raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Melalui pertempuran yang dahsyat, Bhima berhasil mengalahkan keduanya; yang ternyata kemudian -setelah mati- berubah menjadi Bhatara Indra dan Bhatara Bayu. Dan melalui suara batin, Bhima mendengar dari kedua dewa itu bahwa Dhurna sebenarnya berdusta. Tirta kehidupan itu tidak berada di Candramuka. Bhima bergegas ke Ngastina. Dhurna berkata kepadanya, "O, anakku, hal ini tidak mengherankan. Memang kami sengaja, telah kurencanakan sedari semula. Sebenarnya kami hanya ingin mengetahui seberapa jauh kesanggupanmu pada umumnya. Tempat air hidup ini sebenarnya terletak di tengah-tengah rimba Palasari tadi, di dalam sebuah gua yang berbentuk 'sumur gumuling' Silakanlah kembali mengambilnya dari dalam gua tersebut. " Bhima kembali lagi. Tetapi sebelum kembali, ia sekali lagi menghadap saudara-saudaranya, mohon doa restunya. Mereka meminta Werkudara untuk tidak berangkat. Tapi Bhima tidak menghiraukannya. Ia masuk ke dalam Gua Sigrangga, di tengah rimba Palasara. Di sini juga, alih-alih air kehidupan, Bhima bersua dengan seekor ular besar. Ular itu membelit tubuh Bhima dengan belitan yang sangat ketat. Ketika dengan "kuku Pancanaka" Bhima berhasil mengalahkannya, ular itu menghilang dan menjelma menjadi bidadari, Dewi Maheswari. Kali ini, Sang Dewi memberitahu putra kedua Pendawa itu bahwa air kehidupan sebenarnya tidak terletak di Gua Sigrangga. Ia kembali lagi kepada gurunya. Seperti biasa, Pendeta Dhurna mengatakan bahwa ia hanya ingin menguji muridnya. Pada kali pertama, ia ingin menguji keikhlasannya; kedua, kesetiaannya; dan ketiga, ketetapan akan kesempurnaan hidupnya. Air kehidupan itu sebenarnya ada di dalam lautan selatan, yang penuh gelombang besar. Dalam perjalanannya menuju Laut Selatan, ia sampai di sebuah rimba belantara, yang penuh bahaya, Wana Sunyapringga. Di sini, ia tiba-tiba dicegat oleh empat saudara. Mereka menghalang-halangi maksud Bhima untuk menceburkan dirinya ke dalam samudra. Keempat saudara itu adalah Anoman, kera yang berwarna putih; Jajagwreko, raksasa yang berwarna merah; Setubandha, gajah berwarna hijau; dan Begawan Maenaka, pendeta berwarna kuning. Bhima sendiri berwarna hitam. Bhima menolak nasihat keempat bersaudara itu dengan mengatakan tekadnya untuk "nggebyur ing telenging samudro,….sanadhyan tumekeng antaka anetepi ugo janji kautaman." Bhima mengusir mereka dalam pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya. Bhima mengembalikan mereka ke tempatnya masing-masing. Lepas dari halangan saudara-saudaranya sekekuatan (tunggil bayu), Bhima melocat ke dalam lautan. Ia disambut dengan semprotan racun dari ular besar Nabatnawa. Bhima dapat menghindarkan bahaya bisa ular itu dengan aji Jalasengsara yang dimilikinya. Ia juga bisa berjalan di dalam dan di atas air laut. Segera terjadilah pertempuran mati-matian di antara Bhima dan Nabatnawa. Kemenangan -sudah dapat diduga- berada pada Bhima, tetapi ular yang terluka dengan Kuku Pancanakanya itu mengeluarkan banjir darah yang mencelup air samudra menjadi merah. Ketika Bhima mengambil air laut yang merah itu dan mempersembahkannya kepada gurunya sebagai air amrta, Resi Dhurna menolaknya. Ia mengatakan bahwa yang diberikan Bhima itu bukan amrta sejati, tetapi air yang sudah tercemari. Ia diperintahkan untuk terjun kembali. Sekarang Bhima yang perkasa sudah hampir kehabisan tenaga. Ia diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar. Ia berulangkali dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam. Ia merasa terpuruk dan hampir mendekati ajalnya. Pada saat itulah Dewa Ruci muncul. Ia menaruh kasihan kepada Bhima yang sengsara. Ia mula-mula muncul sebagai cahaya yang terang benderang (mencorong manter sak sodho lanang). Setelah itu ia muncul sebagai anak kecil yang rupanya persis seperti Bhima. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog yang sangat mistikal antara mereka. Saya tidak bermaksud mengutip semua dialog ini, tetapi ingin menutup kisah singkat ini dengan mengutip sebagian kecil dialog seperti terdapat pada Tjeritera Dewa Rutji : "Adaku pada tempat ini," kata Dewa Rutji selandjutnja, ialah hanja untuk "mengejobungah" (rindu akan kegirangan, kesukaan, suka tjita). "Mungkinkah keinginan tuan itu tertjapai pada tempat jang sunji senjap seperti ini?" Tanja Bima heran. Djawab Dewa Rutji: "Kaki, ijo sedjatine bungah iku kang wus anggedekhake panarimo lan santoso. Margo ono ing paramean aku ora seneng, kekurangan aku ora nggrantes, tjatjad wus ndhak anggep pantes. Dhene kang ndhak pangan jen ono godong kumlejang kang tibeng ngarsaku, lamun sepen sepi." (Ketahuilah, wahai anakku pada hakikatnja, sukatjita itu dapat memperbesar rasa "menerima" atau terima kasih (aanvaarden en berusten.) dan keteguhanku. Pada suatu pesta aku tidak merasa lebih senang lagi. Kekurangan dan kemiskinan, kemelaratan bagiku tidak berarti penderitaan atau kesedihan. Ilat (tjatjad) saya anggap tidak merugikan diriku. Makananku ialah amat sederhana, artinja sederhana sadja!) Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R. Ng. Ronggowarsito. Siapa pun penulisnya, naskah Dewa Ruci yang kita ketahui sekarang, tampaknya telah diislamkan atau dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam, khususnya tasawuf. Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama "angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan" . Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko. Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi, kita akan melihatnya sangat sufistik. Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritera. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu. Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf. R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya. Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana. Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai. Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti. Menurut Dr Simuh , ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu: Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah. Dewa Ruci, Gilgamesh, Aleksander, dan Khidhir Sangat tidak mungkin membahas penafsiran Dewa Ruci sebagai buku tasawuf di sini. Kita memerlukan bukan saja buku tersendiri untuk itu tetapi sebuah penelitian yang mendalam -boleh jadi dengan menggunakan pendekatan hermeneutik mutakhir (yang dikritik sangat nihilistik belakangan ini)- kepada teks Dewa Ruci. Apa yang saya sampaikan di sini hanyalah simplifikasi dari pemahaman saya yang juga sebenarnya sangat sederhana kepada Cerita Dewa Ruci. Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa. Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria. Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh. Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia. "Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM. "Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan: O Gilgamesh, whither do you fare? The life you seek, you will not find When the gods created man, They apportioned death to mankind; And retained life to themselves O Gilgamesh, fill your belly, Make merry, day and night; Make of each day a festival of joy, Dance and play, day and night! Let your raiment be kept clean, Your head washed, body bathed, Pay heed to the little one, holding onto your hand, Let your wife delighted your heart, For in this is the portion of man Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada "the portion of man". Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi. Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis. Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya. Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis. Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam. Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat. Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi. Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai, dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu. Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa . Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia. Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian. Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas. Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah. Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan. Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak. Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai. Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian. Kisah Aleksander ini disebutkan dalam Al-Quran sebagai kisah Zulqarnain. Kitab-kitab tafsir menjelaskan maksud perjalanan Zulqarnain ini sebagai upaya mencari air kehidupan. Kisah Zulqarnain ini dikisahkan segera setelah Tuhan bercerita tentang perjalanan Musa as untuk belajar kepada seorang manusia yang juga hidup abadi . Al-Quran tidak menyebutkan nama guru ruhani ini. Hadits menyebutkannya sebagai Khidhir: Diriwayatkan oleh Sa'id bin Jubayr: Aku berkata kepada Ibnu Abbas -Nauf al-Bikali menyatakan bahwa Musa, sahabat Al-Khidhr, bukanlah Musa dari Bani Israil. Ibn Abbas berkata: Musuh Allah itu berdusta. Diriwayatkan oleh Ubayy bin Ka'ab bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Musa berdiri menyampaikan khotbah di hadapan Bani Israil. Ia ditanya siapakah manusia yang paling berilmu. Musa menjawab, “Aku.” Allah memperingatkan dia karena ia tidak menisbahkan pengetahuan pada Tuhan semata. Allah mewahyukan kepadanya, “Di pertemuan di antara dua lautan ada hamba Kami yang lebih berilmu dari kamu.” Musa bertanya, “Ya Allah, di mana bisa kujumpai dia?” Allah berkata, “Bawalah ikan dan masukkan ke dalam wadah dan berjalanlah (sampai kamu kehilangan ikan itu).” Berangkatlah Musa beserta pembantunya -Yusya bin Nun, sampai mereka mencapai sebuah batu. Keduanya beristirahat dan tidur di atasnya. Ikan tergoncang dalam wadah dan terlempar ke dalam laut dan mengambil jalan ke laut seperti dalam terowongan (QS. Al-Kahfi; 61). Allah menghentikan arus air di kedua arah yang dibuat ikan itu, sehingga jalan itu mirip terowongan. Ketika Musa bangun, sahabatnya lupa menyebutkan ikan itu. Mereka melanjutkan perjalanan selama sisa hari itu dan sepanjang malam. Pada pagi harinya, Musa menyuruh pembantunya, "Bawalah makanan pagi kita. Sebenarnya kita sudah menemui kelelahan dalam perjalanan ini." (QS. Al-Kahfi; 62). Musa tidak kelelahan sampai ia mencapai tempat yang diperintahkan Allah untuk dicari Musa. Pelayannya berkata, "Ingatkah Anda ketika kita beristirahat di atas batu? Aku lupa pada ikan itu. Hanya Setanlah yang membuat aku lupa. Ikan itu sudah mengambil jalan ke laut dengan sangat mengherankan." (QS. Al-Kahfi; 63). Adanya terowongan untuk ikan itu, bagi Musa dan pembantunya adalah hal yang sangat mencengangkan. Musa berkata: Itulah tempat yang kita cari. Jadi mereka kembali lagi, menapak tilas yang pernah dilewatinya (QS. Al-Kahfi: 64). Mereka kembali sampai mereka berjumpa dengan seorang berjubah . (Bersambung) ? Makalah KH. Jalaluddin Rakhmat yang disampaikan pada Seminar Tasawuf dalam Tradisi Jawa, sekaligus ulang tahun Yayasan Tazkiya Sejati, yang dilaksanakan pada 5 Agustus, 2000 di Jakarta Design Center, Jakarta. Catatan Kaki Singkatan Kisah Dewa Ruci dalam makalah ini merujuk pada buku ini; yakni, Dr A. Seno-Sastroamidjojo. Tjeritera Dewa Rutji. Djakarta: Penerbit Kinta, 1967. 2 Dr A.Seno-Sastroamidjojo, ibid, menulis: "Oleh sebagian besar bangsa Djawa terutama, lebih-lebih jang kini telah tergolong pada jang dinamakan 'angkatan tua' pun dianggap selaku pembimbing dalam usahanja mentjari djalan ke arah tertjapainja 'kawruh kasampurnaan (ilmu pengetahuan mengenai usaha mencapai kesempurnaan hidup. 3 Dr Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Sebuah Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, 1988. h. 58. Menarik untuk segera ditambahkan bahwa menurut Dr. Simuh, Kitab Suluk Suksma ini dipengaruhi sangat oleh ajaran Syiah, karena di situ disebutkan peranan Imam Zainal Abidin sebagai cucu buyut Nabi yang luhur budinya, yang rela menyerahkan haknya sebagai imam kepada raja kafir dan beliau puas hanya sebagai pemuka para santri (lihat h. 59). 4 Joseph Campbell. Occidental Mithology: The Masks of God. New York: Penguin Books, 1976. h 90-92 5 Lihat kisah perjalanan Musa dan Khidhr dalam Al-Kahf 60-82. Kisah Zulqarnain dilanjutkan dalam Al-Kahf 83-99. Saya kira ada maksud Tuhan yang tidak saya ketahui mengapa Kisah Zulqarnain itu merupakan sambungan dari kisah Musa dan Khidhr, wallahu a'lam. 6 Shahih al-Bukhari 6, hadits 249. ? Disampaikan pada Seminar Tasawuf dalam Tradisi Jawa, sekaligus ulang tahun tazkiya Sejati, Agustus 5, 2000 di Jakarta Design Centre, Jakarta. Singkatan Kisah Dewa Ruci dalam makalah ini merujuk pada buku ini; yakni, Dr A. Seno-Sastroamidjojo. Tjeritera Dewa Rutji. Djakarta: Penerbit Kinta, 1967. Dr A.Seno-Sastroamidjojo, ibid, menulis: "Oleh sebagian besar bangsa Djawa terutama, lebih-lebih jang kini telahtergolong pada jang dinamakan 'angkatan tua' pun dianggap selaku pembimbing dalam usahanja mentjari djalan kearah tertjapainja 'kawruh kasampurnaan (ilmu pengetahuan mengenai usaha mencapai kesempurnaan hidup. Dr Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Sebuah Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, 1988. h. 58. Menarik untuk segera ditambahkan bahwa menurut Dr Simuh, Kitab Suluk Suksma ini dipengaruhi Sangat oleh ajaran Syiah, karena di situ disebutkan peranan Imam Zainal Abidin sebagai cucu buyut Nabi yang luhur budinya, yang rela menyerahkan haknya sebagai imam kepada raja kafir dan beliau uas hanya sebagai pemuka para santri (lihat h. 59). Joseph Campbell. Occidental Mithology: The Masks of God. New York: Penguin Books, 1976. h 90-92 Lihat kisah perjalanan Musa dan Khidhr dalam Al-Kahf 60-82. Kisah Zulqarnain dilanjutkan dalam Al-Kahf 83-99. Saya kira ada maksud Tuhan yang tidak saya ketahui mengapa Kisah Zulqarnain itu merupakan sambungan dari kisah Musa dan Khidhr, wallahu a'lam. Shahih al-Bukhari 6, hadits 249. Gabungkan Kami Bersamamu! KH. Jalaluddin Rakhmat Ketika Imam Husain as bersiap-siap untuk berangkat, Ummu Salamah datang. Dengan air mata berlinang, ia memohon, “Janganlah engkau dukakan daku dengan kepergianmu ke Iraq. Aku telah mendengar kakekmu Rasulullah saw bersabda, ‘Anakku Al-Husain akan terbunuh di bumi Iraq, di bumi yang dikenal dengan nama Karbala’. Masih kusimpan tanahmu dalam botol yang diberikan Nabi kepadaku.” Imam Husain berkata, “Yâ Ummah, aku tahu aku akan terbunuh, terbantai karena kezaliman dan permusuhan. Allah telah berkenan memperlihatkan kepadaku keluargaku dan sahabatku yang dihalau; anak-anakku yang disembelih, ditawan, dan dibelenggu. Mereka minta pertolongan tetapi tidak mereka dapatkan pertolongan.” “Ajaib! Lalu mengapa engkau pergi padahal engkau akan terbunuh?” ujar Ummu Salamah. Imam Husain menjawab, “Yâ Ummah, jika aku tidak berangkat hari ini, aku akan berangkat esok. Jika tidak esok, esoknya lagi. Demi Allah, kematian tidak dapat dihindari. Sungguh, aku tahu hari ketika aku terbunuh, detik-detik ketika aku terbunuh, dan kuburan yang di situ aku dikebumikan. Aku mengetahuinya seperti mengetahuimu. Aku melihatnya seperti melihatmu. Jika engkau mau, akan kuperlihatkan padamu tempat pembaringanku dan tempat sahabat-sahabatku.” Ummu Salamah memohonkannya. Ia memperlihatkan kepadanya turbah (tanah) sahabat-sahabatnya dan memberikan sebagian untuk Ummu Salamah. Dipesankannya agar ia menyimpannya dalam botol lagi. Bila ia melihatnya bersimbah darah, yakinlah bahwa Husain terbunuh. Pada hari kesepuluh Muharam, sesudah Zhuhur ia melihat kepada kedua botol itu. Dan keduanya telah berubah menjadi genangan darah. Peristiwa yang saya kutip dari Maqtal Al-Husain, tulisan Abdul Razzaq Al-Musawi, diriwayatkan oleh banyak muhaddits. Tak seorang pun mempersoalkan keabsahannya. Tetapi banyak orang bertanya, seperti Ummul Mukminin ra, mengapa Imam Husain pergi juga padahal ia telah mengetahui bahwa ia akan terbunuh. Sebagian bahkan menolak hadis itu hanya dengan alasan: Tidak mungkin Imam Husain menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan. Bukankah Tuhan berfirman, “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195). Izinkan saya bertanya: Apa yang dimaksud dengan kebinasaan? Apakah setiap kematian dianggap kebinasaan? Apakah setiap kehidupan keberuntungan? Ketika Nero membakar kota Roma, ia tertawa menyaksikan ratusan ribu orang yang terpanggang hangus. Apakah Nero beruntung dan rakyat yang mati semua binasa? Hitler bersenang-senang di istananya, ketika jutaan manusia dijebloskan ke kamar gas dan dibunuh dengan gas beracun. Apakah Hitler beruntung dan rakyat yang tertindas itu celaka? Vlad The Impaler, raja Kristen dari Rumania, melemparkan tawanan Turki yang Muslim ke sebuah lembah yang dipenuhi dengan tombak-tombak, yang bagian tajamnya diarahkan ke atas. Kaum muslimin itu tertusuk puluhan tombak dan mati karena kehabisan darah. Apakah kaum Muslim itu binasa dan Raja Rumania itu beruntung? Kejadian seperti itu berulang terus dalam sejarah umat manusia: Pengungsi Palestina yang dibunuh tentara Israel di Sabra dan Shatilla, Muslim Bosnia yang dibantai Kristen Serbia, pejuang Muslim Kashmir yang didrel serdadu Hindu dari India, Muslim Ambon yang dijagal oleh saudara-saudaranya yang berbeda agama. Bila kita mengukur kebinasaan dari kekalahan dalam pertempuran, kelemahan dalam perbekalan, atau kekurangan dalam dukungan, ucapkanlah salam perpisahan kepada Islam. Kebinasaan dan keberuntungan tidak terletak pada kematian dan kehidupan; tetapi pada tujuan yang menyertai keduanya. Imam Ali, yang digelari George Jourdac sebagai Suara Keadilan Insani, memberikan kriteria tegas: Al-Hayât fî mawtikum qâhirîn; wal mawt fî hayâtikum maqhűrîn.Kehidupan itu dalam kematianmu yang menaklukkan dan kematian itu dalam kehidupanmu yang ditaklukkan. Dalam peribahasa Melayu, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. Mati untuk menegakkan kalimah Allah adalah kebaikan yang di atasnya tidak ada yang lebih baik lagi. Hidup mewah dengan mencampakkan syariat adalah kehinaan yang di bawahnya tidak ada yang lebih hina lagi. Imam Husain berkata dalam khutbahnya, “Aku tidak melihat kematian selain kebahagiaan; dan aku tidak melihat kehidupan bersama orang yang zalim selain kehinaan.” Ketika Allah swt berfirman -Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa- Dia meletakkan kehormatan dan kemuliaan pada ketakwaan. Harta menjadi mulia bila berada di tangan orang yang beragama, yang memperoleh dan mengeluarkan harta itu sesuai dengan tuntunan syariat. Harta menjadi fitnah yang mencelakakan bila dipegang oleh orang yang mencari dan membelanjakannya dengan cara yang haram. Kekuasaan menjadi mahkota yang mulia bila dipergunakan untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kezaliman. Kekuasaan menjadi godaan yang menjerumuskan bila dijalankan untuk menyengsarakan rakyat dan memperkaya diri dan golongan. Rasulullah saw bersabda, “Jika para penguasamu adalah orang-orang yang baik di antara kalian; jika orang-orang kayamu adalah orang-orang yang dermawan di antara kalian; jika urusanmu selalu dimusyawaratkan di antara kamu, maka punggung dunia lebih baik bagimu dari perutnya. Jika para penguasamu adalah orang-orang buruk di antara kamu; jika orang-orang kayamu orang-orang yang bakhil; dan urusan diserahkan pada isteri-isterimu, maka perut bumi lebih baik bagimu dari punggungnya.” Zaman buruk yang digambarkan Nabi adalah zaman Imam Husain. Pada masanya, Bani Umayyah menegakkan kekuasaan dengan mengalirkan darah orang yang tidak bersalah, menumpuk kekayaan dengan merampas hak orang-orang kecil, dan menyebarkan ideologi “Might is right” - yang berkuasa adalah yang benar. Ia “membayar” para ulama untuk melegitimasikan kekuasaannya dan menghamun-maki orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran. Agama diberi makna sesuai dengan kehendak penguasa. Lewat mesin propaganda waktu itu -antara lain, khotbah-khotbah Jumat dan majlis-majlis pengajian- ajaran keluarga Rasulullah saw (pasangan Al-Quran) dianggap sebagai Islam yang sesat dan fatwa keluarga Akilat Al-Kabad sebagai Islam yang benar. Simaklah ucapan Imam Ali as ketika menyaksikan ulah Bani Umayyah: “Ingatlah bahwa bencana yang buruk bagi Anda di mata saya ialah bencana Bani Umayyah, karena bencana itu buta dan menciptakan kegelapan pula. Melandanya umum tetapi akibat buruknya adalah bagi orang-orang tertentu. Orang yang tetap berpandangan cerah di dalamnya akan tertimpa kesedihan, dan orang yang tetap buta di dalamnya akan menjauhi kesedihan itu. Demi Allah, Anda akan mendapatkan Bani Umayyah sesudah saya adalah orang yang terburuk bagi Anda, seperti unta betina tua pembangkang yang menggigit dengan mulutnya, memukul dengan kaki depannya, menendang dengan kaki belakangnya, dan menolak untuk diperahi susunya. Mereka akan tetap menguasai Anda sehingga mereka hanya akan meninggalkan di antara Anda orang-orang yang bermanfaat bagi mereka atau orang-orang yang tidak merugikan mereka. Petaka mereka akan berlanjut hingga permintaan tolong Anda pada mereka seperti permintaan tolong oleh budak pada tuannya atau pengikut pada pemimpinnya. Bencana mereka akan menimpa Anda seperti ketakutan bermata jahat dan perpecahan jahiliah di mana tak akan terlihat menara petunjuk atau suatu tanda (keselamatan). Kami Ahlul Bait bebas dari kejahatan dan kami tidak termasuk kalangan orang yang akan melahirkannya.” (Puncak Kefasihan, Khotbah 92) Apa yang dikuatirkan Imam Ali betul-betul terjadi pada zaman Imam Husain. Muawiyyah mati dan meninggalkan Yazid (la.) sebagai penguasa. Dalam hadis ia mendapat julukan “bocah yang bodoh.” Abdullah bin Hanzhalah (yang jasadnya dimandikan para malaikat), melaporkan perilaku Yazid, ketika bersama delegasi Madinah kembali dari Syam: “Wahai manusia, kami baru saja kembali dari seorang lelaki yang meninggalkan salat, minum minuman keras, menikahi ibu dan saudara kandung, bermain bersama monyet dan anjing. Jika kita tidak melepaskan baiat kepadanya, aku takut kita akan dilempari batu dari langit.” Ibnu Khaldun, sosiolog Islam itu, dengan tegas menyatakan bahwa para ulama Muslimin telah sepakat (ijmak) berkenaan dengan kefasikan dan kemaksiatan Yazid. Orang dengan kualitas seperti itu, yang mencemoohkan agama dengan syair-syairnya, diangkat sebagai penguasa Islam. Ia memaksa semua orang untuk berbaiat kepadanya. Di Madinah, di kota Rasulullah yang mulia, Marwan bin Al-Hakam memaksa Imam Husain untuk berbaiat kepadanya. Ia juga mengancam untuk membunuh cucu Nabi itu jika menolaknya. Imam Husain berkata, “Yazid manusia yang fasik, pendosa, pembunuh orang yang tidak bersalah, yang menyebarkan kefasikan dan kemaksiatan. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang seperti dia!” Dan Imam Husain memilih kematian daripada tunduk kepada kezaliman. Dengan darahnya di Karbela, ia meletakkan tonggak sebuah mazhab yang meletakkan kehormatan, bukan pada kekuatan fisik dan kekuasaan, tetapi pada pengorbanan untuk agama yang memihak keadilan. Baginya, kemenangan sejati diperoleh ketika benih kemaslahatan umat tumbuh subur dari siraman darah dan airmatanya. Bila Yesus, menurut pandangan Kristiani mati untuk menebus dosa umat manusia, Imam Husain gugur untuk meletakkan nilai kemanusiaan di atas nilai-nilai kekuasaan, keturunan, kekayaan, dan kepandaian. Kematiannya menghidupkan kembali Islam Muhammadi yang asli, yang memasukkan Salman orang Persia dalam kelompok Ahli Bayt karena ketakwaannya dan mengeluarkan Abu Lahab, keluarga dekat Nabi dari kelompok Ahli Bayt karena keingkarannya. Ketika ia meninggalkan Madinah, ia menulis surat wasiat kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiyyah: “Aku keluar bukan karena kesombongan dan kepongahan, bukan juga untuk berbuat kerusuhan dan kezaliman. Aku keluar untuk menimbulkan perbaikan dalam tubuh umat kakekku Muhammad saw. Aku ingin melakukan amar makruf nahi munkar. Aku ingin mengikuti perjalanan hidup kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib. Jika orang menerimaku dengan penerimaan kebenaran maka Allah lebih utama untuk dipatuhi kebenaran-Nya. Barangsiapa yang menolakku, aku akan bersabar sampai Allah memutuskan kebenaran antara aku dan mereka. Dialah sebaik-baiknya Hakim.” Lebih dari seribu tahun sesudah itu, seorang perempuan tua dan peneliti yang tekun berbicara di depan para pejabat Jerman, termasuk presiden dan anggota parlemen di sebuah istana di Berlin. Ia memperingatkan para penguasa Dunia Barat untuk tidak mengajari orang Islam memperjuangkan hak asasi manusia. Sejarah Islam adalah perjuangan panjang untuk menentang tirani dan otokrasi. Dengan suara yang serak karena ketuaan, ia mengisahkan pengorbanan Imam Husain di Karbela. Inilah contoh utama pengorbanan besar untuk menegakkan pemerintahan yang adil dan beradab. Perempuan itu namanya Annemarie Schimmel. Jauh di sebelah timur, di bumi Indonesia, kita menangis pada hari Asyura, bukan karena menyesali nasib. Kita menangis untuk memasukkan arwah kita dalam barisan Imam Husain. Kata Imam Hasan Al-Askari, “Bukan golongan kami yang tidak menderita karena derita kami dan tidak bergembira karena kegembiraan kami.” Kita menangis duka karena para imam yang berduka. Dan mereka hanya berduka karena redupnya cahaya kebenaran dan berkobarnya api penindasan. Duhai, alangkah bahagianya bila kami bergabung bersamamu, Ya Aba Abdillah. Kami penuhi panggilanmu, labbaik, wahai Penyeru Allah. Jika badan dan lidah kami tidak dapat memenuhi panggilanmu ketika engkau mencari pertolongan, hati kami, pendengaran kami dan penglihatan kami telah menjawab seruanmu! Konsep Din dan Islam: Eksklusif dan Inklusif KH. Jalaluddin Rakhmat ”Dan barangsiapa menganut Dîn selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran 85). Berdasarkan ayat Ali Imran 85, ada dua pandangan yang berbeda tentang kriteria agama yang benar. Sebagian besar mufasir menjelaskan bahwa agama yang benar, din al-haqq adalah dan hanyalah Islam. Agama apa pun selain Islam ditolak. Termasuk kepada kelompok ini adalah Dr Aflatun Muchtar, dalam bukunya, ia menulis (1), Bertolak dari konsep dîn al-haqq di atas, maka din itu dapat dibedakan menjadi dua: dîn al-haqq, yaitu Islam yang membawa ajaran dasar tauhid, akhlak, dan ajaran yang berhubungan dengan aspek jiwa, akal, materi, dan sosial dan din yang dianut orang -orang Yahudi dan Nasrani yang juga mengklaim diri sebagai pengikut dîn al-haqq dan golongan lain yang telah mengubah petunjuk-Nya dengan mereka. Mereka yang disebut terakhir, secara prinsip telah mengubah hakikat din yang benar. Oleh karena itu, Allah memberikan penegasan bahwa siapa saja yang menganut dîn selain Islam akan tertolak dan mereka itu di akhirat akan digolongkan sebagai orang-orang yang merugi. Sebagian ulama lainnya, yang digolongkan Muthahhari dalam kelompok mufakkirűn mustanîrűn, berpendapat -masih berdasarkan ayat yang sama- bahwa yang dimaksud dengan Islam di sini adalah kepasrahan kepada al-Haqq, Kebenaran atau Allah dan bukan agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad saw (2). Dengan demikian, siapa saja yang berserah diri pada Kebenaran, yang ia temukan dalam perjalanan hidupnya, kemudian ia memberikan komitmen total kepadanya, ia telah menganut dîn yang benar. Tidak jadi soal apakah kebenaran yang diyakininya itu Islam atau pun agama lainnya. Menurut Muthahhari, yang menganut paham ini, sebagai contoh adalah George Jordac, penulis buku Ali: Shaut al-‘Adalat al-Insaniyyah, dan penyair Kahlil Gibran. Saya akan memasukkan ke dalam kelompok ini juga Dr Abdul Karim Soroush (3), pemikir Islam kontemporer dari Iran. Soroush, pada gilirannya, menyebut Thabathabai, penulis tafsir Mizan, ke dalam kelompoknya juga. Perbedaan pendapat di antara kedua kelompok ini bersumber pada konsep Dîn dan Islam. Aflatun Muchtar telah meneliti konsep Dîn dalam Al-Quran dengan merujuk pada asal-usul semantiknya, perkembangan pengertiannya dalam periode Mekah dan Medinah, serta kandungan maknanya. Ia juga menjelaskan berbagai Dîn dalam perpektif Al-Quran dari segi ajarannya dan keabsahannya. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Islam, dalam pengertian “Dîn yang diwahyukan kepada kepada Nabi Muhammad saw atau segala segala yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Muhammad Rasul-Nya yang terakhir.” (4) Walhasil, Dîn yang absah dan benar, yang diterima Allah pada zaman ini hanyalah agama Islam yang dibawa Muhammad saw. Saya tidak mau dan tidak mampu untuk melihat kesalahan logis yang dilakukan Muchtar dalam penelitiannya. Muchtar telah dengan bagus mewakili pandangan kelompok pertama. Saya ingin memberikan pandangan kelompok kedua. Kita akan melihat kembali makna konsep Dîn, dengan menggunakan metode yang sama yang dilakukan Muchtar, tetapi dengan kesimpulan akhir yang berbeda. Saya akan mulai dengan kembali lagi melihat berbagai kamus untuk melacak makna semantiknya. Makna Din Secara Bahasa " Dîn: sejenis kepasrahan dan kerendahan. Inilah makna yang pokok dan makna-makna yang lain kembali ke sini. Maka al-dîn artinya ketaatan. Dikatakan dâna -yadînu-dînan, bila ia menyertai, menyerah kepada, dan mentaati (seseorang). Qawm din: yakni, kaum yang berserah diri dan taat. Madînah, tempat ketaatan, disebut demikian karena di tempat itu ditegakkan ketaatan kepada pemerintahan. Madînah juga berarti budak perempuan (Budak laki-laki: madîn)." (5) Banyak penulis kamus sepakat dengan al-Mushtafawi bahwa makna pokok -primary meaning- dari Din adalah kepatuhan. Makna pokok lainnya -seperti dihimpun Edward William Lane (6)- adalah a state of abasement, submissiveness, al-Din lillah, obedience to, and the service of God. Dari makna pokok inilah kemudian berkembang makna-makna lainnya: 1. Religion, yang menurut al-Shihhah, disebut demikian karena agama adalah kepatuhan dan kepasrahan kepada hukum; karena itu din juga berarti syariat dan wara’, menghindarkan diri dari perbuatan yang melanggar hukum. Dalam pengertian ini, lihat Al-Quran 3:17. 2. A particular law; a statue; or an ordinance. Dalam Al-Quran, makna ini dapat dipahami dari Ma kana li ya’khudza akhahu fi din al-malik (Al-Quran 12:76): Yusuf tidak akan mengambil saudaranya (sebagai budak karena mencuri) menurut hukum Raja Mesir. 3. A system of usages, or rites and ceremonies etc., inherited from a series of ancestors, seperti disebutkan dalam hadits Nabi saw kana ‘ala dini qawmih. Ia mengikuti kebiasaan lama yang didapatnya pada kaumnya, yang diwarisi dari Ibrahim dan Ismail, dalam hal haji dan pernikahan; ada juga yang menyebutkan, dalam hal akhlak seperti kedermawanan dan keberanian. 4. Custom, habit, or business. Seperti dalam kalimat ma zala dzalika dini. Itu selalu menjadi kebiasaanku. 5. A way, a course, mode, or manner, of acting, or conduct, or the like. 6. Management, conduct, or regulations, of affairs, 7. Retaliation, by slaying for slaying, or wounding for wounding, or mutilating for mutilating. 8. A reckoning, seperti dalam Al-Quran 9:36 Bila kita perhatikan makna-makna tambahan itu, kita masih bisa melihat makna asalnya; yakni, kepatuhan atau kepasrahan. Hukum disebut Dîn, karena peraturan tidak bisa tegak tanpa kepatuhan. Tradisi atau adat kebiasaan disebut Dîn karena perilaku tertentu dipatuhi dan dijalankan terus menerus; lalu, seluruh anggota komunitas harus pasrah padanya. Cara mengatur tingkah laku menurut prosedur tertentu juga terbentuk karena kepatuhan yang berlangsung lama, sehingga menjadi kebiasaan. Bila kepatuhan itu dilanggar, bila aturan yang baku iti tidak dipenuhi, orang mendapat hukuman dari masyarakatnya. Karena itu, balasan disebut juga Dîn. Menurut makna asalnya, Dîn sama saja dengan Islam. Saya mengutip lagi dari Muchtar: Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khadla’a (tunduk) dan istaslama (sikap berserah diri), dan juga addâ (menyerahkan atau menyampaikan). Pengertian lain dari Islam adalah al-inqiyâd (tunduk patuh), dan al-ikhlâsh (tulus) di samping itu diartikan juga dengan al-tha’ah (taat) serta al-salâm (damai atau selamat) (7). Muchtar menegaskan makna kepatuhan dan ketundukan ini dengan mengutip Al-Mawdudi, yang mengartikan Islam sebagai “tunduk, berserah diri, taat, dan patuh kepada perintah dan larangan yang berkuasa (al-amir) tanpa membantah.” Dengan menggunakan makna asal dari kedua kata itu -Din dan Islam- kita lihat lagi Ali Imran 83 dan Ali Imran 85: Maka apakah mereka mencari selain kepatuhan kepada Allah (ghayr dîn Allah), padahal kepadanya pasrah tunduk patuh (aslama) semua yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa. Hanya kepada Allah sajalah mereka dikembalikan. Barangsiapa yang mencari kepatuhan (dîn) selain kepasrahan diri (al-islâm), maka ia tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi. Jadi secara denotatif, din dan Islam itu bermakna sama. Secara konotatif, din menunjukkan kepatuhan yang umum. Orang bisa patuh pada tradisi, kebiasaan, hukum, prosedur perilaku, atau sanksi dan hukuman. Orang juga bisa hanya patuh kepada Allah saja, dîn Allah. Kepatuhan pada selain Dia diletakkan din bawah kepatuhan kepada Dia. Al-Quran menyebut kepatuhan kepada Allah itu sebagai kepatuhan kepada Kebenaran, din al-Haqq. Nabi Muhammad saw diutus Tuhan untuk membawa petunjuk dan kepatuhan kepada Kebenaran, agar segala kepatuhan kepada yang lain ditundukkan. Tuhan berfirman: Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kepatuhan kepada kebenaran agar Dia mengunggulkannya di atas semua kepatuhan… (Al-Quran 9:33, 48:28, 61:9) Makna Islâm secara bahasa Tanpa harus melacak makna kata Islam dari kata-kata asalnya seperti salam, silm, dan sebagainya, kita kan mengutip apa yang dikatakan kamus-kamus bahasa Arab tentang makna Islâm. Sekali lagi, kita merujuk pada Lane. Islâm berasal dari kata aslama yang berarti: • Sama dengan sallama, yang berarti menyerahkan sesuatu, menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang di bawah kekuasaan orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada (Tuhan); menurut Al-Shihhah, al-Qaműs, al-Muhkam, al-Mishbâh, Ibn Atsîr, Taj al-Arűs. • Membayar di muka, seperti dalam kalimat aslama fi al-tha'âm; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mughrib, al-Mishbah. • Sama dengan kata istaslama: Menyerah, menyerahkan diri, pasrah; memasuki perdamaian; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mishbah, al-Qaműs. • Sama dengan tasallama: menjadi Islam. Al-Shihhah dan al-Mishbah mendefinisikan Islam sebagai ungkapan kerendahan hati atau kepasrahan dan ketaatan secara lahiriah kepada hukum Tuhan serta mewajibkan diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh Nabi saw. Menurut al-Tahdzîb dan al-Muhkam, bila ketaatan itu juga diikuti dengan hati, maka ia disebut iman. Ini menurut madzhab Syafi'I; tetapi menurut madzhab Abu Hanifah, tidak ada perbedaan antara kedua istilah itu. • Aslamtu 'anhu, berarti aku meninggalkannya setelah aku terlibat di dalamnya; seperti di dalam kalimat kâna râ'iya ghanamin tsumma aslama. Jika kita merujuk beberapa kamus Al-Quran (8), kita menemukan makna asal aslama adalah patuh, pasrah, atau berserah diri. Beberapa kamus Al-Quran lainnya yang lebih klasik tidak secara eksplisit menyebutkan makna asal ini, tetapi menyebutkan tingkatan-tingkatan Islam, yang menunjukkan sebenarnya pada tingkatan kepasrahan. Al-Raghib al-Ishfahani (9) menulis: Di dalam syarak, Islam itu ada dua macam: (1) di bawah iman, yakni hanya mengakui dengan lidah saja. Dengan begitu, darahnya terpelihara; tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalamnya atau tidak. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya - Berkata orang Arab Badwi itu: Kami telah beriman. Katakan: Kamu belum beriman. Tetapi katakanlah: kami telah islam (Al-Hujurat 14); (2) di atas iman, bersamaan dengan pengakuan ada juga keyakinan dalam hati, pelaksanaan dalam tindakan, dan penrehan diri kepada Allah dalam segala hal yang telah Ia tetapkan dan tentukan. Seperti yang diingatkan dalam kisah Ibrahim: Ketika Tuhan berkata kepadanya: Islamlah (pasrahlah), Ibrahim berkata: Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam (Al-Baqarah 131); dan firman Allah: Sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan (Ali Imran 19) Al-Mushtafawi (10) menulis: Islam itu bertingkat-tingkat: Pertama, kepasrahan dalam amal lahiriah, gerakan badaniah, dan anggota-anggota jasmaniah seperti dalam Berkata orang Arab Badwi itu: Kami telah beriman. Katakan: Kamu belum beriman. Tetapi katakanlah: kami telah islam (Al-Hujurat 14). Kedua, menjadikan diri sesuai atau sejalan secara lahir dan batin, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam amalnya, niatnya, dan hatinya, seperti dalam Kamu tidak akan dapat memperdengarkan kepada mereka (petunjuk) kecuali kepada orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, maka mereka itulah yang berserah diri (al-Rum 53). Ketiga, menghilangkan kontradiksi sama sekali. Baik dalam amal, niat, maupun eksistensi zat. Pada tingkat ini tidak ada lagi eksistensi diri atau melihat diri. Seluruh wujudnya tenggelam dalam samudra wujud Yang Haq, fana dalam kebesaran cahaya Dia. Pada tingkat ini tercerabutlah bekas kontradiksi itu dari akarnya. Yang tampak adalah hakikat makna penyerahan diri dan penyesuaian diri kepada Al-Haq yang Mutlak- Sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan penuh (Ali Imran 19). 1. hal. 76 2. Murtadha al-Muthahhari, Al-‘Adl al-Ilahi. Qum: Jamaah al-Mudarrisin, 1405, hal 316. 3. Saya mendengar pendapat Soroush ini dalam suatu seminar di Universitas Utrecht, yang diselenggarakan oleh Institute for Islam and Modern Challenges, Mei 2000. Ie mengutip Thabathabai sebagai rujukannya. 4. Muchtar mengutip Rusydi ‘Ulyan, lihat hal 237 5. Hasan al-Mushtafawi. Al-Tahqiq fi kalimat Al-Quran al-Karim. Teheran: Pangah-e Tarjameh-o Nasyr-e Kitab, 1365; entri "Din". 6. Edward William Lane, Arabic-English Lexicon. “Din”. Beirut: Librarire du Liban, 1968. Saya tidak menguti nama-nama Kamus yang dirujuknya, untuk menyingkatkan tulisan. 7. Hal 234 8. Seperti Sayyed Ali Akbar Qurasyi, Qamus-e Quran. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1367, 3:301; Majma' al-Lughat al-'Arabiyyah, Mu'jam alfazh al-Quran al-Karim menunjukkan tiga arti aslama: berserah diri, mengikhlaskan (pengabdian), dan masuk islam. Ia juga mendefinsikan Islam sebagai "penyerahan lahir dan batin dan kadang-kadang (dalam Al-Quran) yang dimaksud adalah penyerahan lahir saja". . 9. Al-Raghib al-Ishfahani. Mufradat al-Quran. Beyrut: Dar al-Syamiyah, 1996, hal. 423. 10. Hasan al-Mushtafawi. Al-Tahqiq fi kalimat Al-Quran al-Karim. Teheran: Pangah-e Tarjameh-o Nasyr-e Kitab, 1365; 5: 220. Berdoa dengan Bisikan Cinta KH. Jalaluddin Rakhmat Doa adalah salah satu bentuk percakapan antara seorang hamba kepada Tuhan, antara seorang kekasih kepada yang dikasihinya. Kata doa berasal dari kata dâ'a, yad'u, du'âan atau da'watan; yang berarti undangan, seruan, atau panggilan.Ketika berdoa, kita memanggil Tuhan dan Tuhan pun memanggil kita. Pada hakikatnya berdoa adalah saling memanggil di antara sepasang kekasih. Adab Berdoa Dalam berdoa, kita harus memiliki adab-adab tertentu di hadapan Allah swt. Nabi Isa as pernah bersabda, "Janganlah kamu berkata bahwa ilmu itu ada di langit, sehingga yang naik langitlah yang akan mendapat ilmu itu; dan janganlah pula kamu berpikir ilmu itu ada di perut bumi, sehingga siapa saja yang masuk ke dalamnya akan memperoleh ilmu. Ilmu itu tersembunyi di dalam hati nuranimu. Beradaplah di hadapan Allah dengan adab kaum ruhaniyyin. Berakhlaklah di hadapan Allah dengan akhlak kaum shiddiqin. Kelak ilmu itu akan memancar dari hatimu. Allah akan memberikan ilmu itu kepadamu dan memenuhi hatimu dengannya..." Allah memerintahkan kita untuk senantiasa beradab di depan-Nya. Lalu, apa tanda beradab di hadapan Allah? Sebuah hadis Qudsi -yang membuat saya terkejut ketika membacanya- meriwayatkan Allah berfirman: Hamba-Ku, apakah memang perbuatan kamu, menyuruh Aku tetapi perhatianmu ke kanan dan ke kiri. Kemudian engkau berbicara dengan sesama hamba-Ku yang lain. Engkau mengerahkan seluruh perhatianmu kepadanya dan engkau tinggalkan Aku?" Adab kita ketika kita berdoa kepada Allah sama halnya dengan adab kita ketika berbicara dengan sesama manusia. Waktu kita bercakap-cakap dengan orang lain, kita selalu memusatkan perhatian kita kepadanya dan tidak melirik ke kiri dan ke kanan. Namun ketika kita bermunajat kepada Allah swt, perhatian tidak kita curahkan kepada-Nya, pikiran kita melayang ke pada makhluk-makhluk yang lain. Kita lupa kepada Sang Khaliq yang kita hadapi. Apakah termasuk perilaku yang indah bila kita menghadap Tuhan sementara perhatian kita ke sana kemari? Alkisah, Nabi Muhammad saw pernah keluar rumah untuk meninjau ternak dan gembalanya. Seorang gembala di tempat itu tengah melepaskan bajunya. Begitu ia melihat Nabi datang, ia segera mengenakannya kembali. Nabi berkata kepadanya, "Teruskan saja perbuatannmu. Kami ahlulbait. Kami tidak akan mempekerjakan orang yang tidak beradab di hadapan Allah dan tidak malu atas kesendiriannya di hadapan Allah." Gembala itu hanya merasa malu bila ia berada di hadapan orang lain. Di hadapan Allah, ia tidak malu. Al-Quran memberikan contoh doa-doa yang beradab. Doa Ayyub as, misalnya. Ketika Ayyub ditimpa penderitaan karena penyakit yang tak kunjung terobati, ia berdoa, "Tuhanku, sungguh kesengsaraan telah menimpaku saat ini. Sementara Engkau Maha Pengasih dari segala yang mengasihi." Ketika dilanda derita, Ayyub as tidak berdoa dengan doa yang berisi perintah-perintahnya kepada Allah untuk diberikan kesembuhan. Karena adab dalam berdoa adalah tidak menggunakan kalimat-kalimat perintah di dalamnya. Tidak ada fi'il 'amr di situ. Yang selalu disebut-sebut dalam doa adalah nama Allah swt meskipun Allah yang menguji dengan penderitaan itu. Begitu pula dengan Ibrahim as. Ketika beliau sakit, Ibrahim tidak berdoa dengan permintaan: "Karena Engkau yang menimpakan sakit kepadaku, sembuhkanlah aku." Melainkan Ibrahim as berdoa, "Apabila aku sakit, Dialah Yang memberikan kesembuhan." Contoh lain dari doa yang beradab adalah doa Adam as yang amat kita kenal: "Tuhan kami, kami telah menzalimi drii kami sendiri. Sekiranya Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." Dalam doa itu, tak ada satu pun kalimat perintah. Di Indonesia, sering kita mendengar doa-doa resmi dalam berbagai acara, yang isinya rangkaian perintah kita kepada Tuhan. Maklum, biasanya yang berdoa adalah para pejabat di kantor sehingga dia menganggap Tuhan sebagai salah satu anak buahnya. Sebuah doa yang pernah saya dengar di sebuah institusi pemerintah berbunyi, "Tuhan, lunakkanlah hati para inspektur sehingga kota Bandung dapat memperoleh Parasamya Purnakarya Nugraha." Doa tersebut tidak salah, hanya kurang beradab. Adab lain dalam berdoa adalah dengan tidak meminta hal-hal yang sangat spesifik; tidak mendikte Tuhan bahwa itulah hal yang paling baik bagi kita. Misalnya kita dianjurkan tidak berdoa, "Tuhan, sembuhkanlah aku." Tetapi sebaiknya kita berdoa, "Ya Allah, duhai Sang Mahapenyembuh...." Lebih beradab lagi bila kita berdoa dengan hal-hal yang bersifat umum dan memasukkan ke dalam doa itu, bukan saja diri kita, tetapi juga kaum muslimin dan muslimat seluruhnya. Tingkatan Doa Doa dalam tingkatan paling rendah adalah doa-doa orang awam. Doa jenis ini ditandai dengan rangkaian perintah kepada Tuhan. Biasanya doa ini berisi permintaan kita agar diberi sesuatu, berisi harapan kita dan permohonan agar dilindungi dari hal-hal yang ditakuti. Tingkatan selanjutnya adalah doa yang berbunyi: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga dan berlindung kepada-Mu dari api neraka." Dalam doa ini, kita meminta kepada Tuhan agar diberi surga dan dijauhkan dari neraka. Pada tingkatan ini, kita mengharapkan pahala dan dilepaskan dari siksa; kita memohon keberuntungan dan dihindarkan dari malapetaka; kita menginginkan harta yang banyak dan dijauhkan dari kesengsaraan. Seluruh doa kita hanya berkisar di antara ganjaran dan hukuman. Lebih tinggi lagi tingkatannya adalah doa yang berbunyi, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan rida-Mu dari murka-Mu." Berbeda dengan doa sebelumnya, sang pendoa sudah tidak lagi memikirkan pemberian atau ancaman Tuhan, tetapi ia hanya memperdulikan keridaan dan kemurkaan Allah swt. Doa pada tingkatan berikutnya berisi pengakuan akan kehinaan dan kekecilan diri kita. Doa itu hanya berisi percakapan hamba kepada Tuhannya; yang menceritakan betapa lemahnya ia di hadapan kebesaran Tuhannya. Doa ini bersifat pengakuan dan pengaduan diri kita kepada Allah. Seperti doa Nabi Adam as: Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami. Sekiranya Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi. Doa-doa seperti itu sulit untuk diamini ketika dipanjatkan bersama-sama. Sebaliknya, doa yang berisi kalimat-kalimat perintah, amat mudah untuk kita amini. Karena doa yang isinya perintah hanya ditujukan untuk diri sendiri, sifatnya sangat egois. Doa itu misalnya: "Tuhanku, ampunilah aku, sayangi aku, tingkatkan derajatku, dan berilah rezeki kepadaku." Kalimat dalam doa itu semua berujung kepada kata "aku". Sekali lagi, doa itu tidak salah, tetapi doa itu merupakan doa dalam tingkatan yang paling rendah. Ketika kita mendengar doa yang berisi pengakuan akan kehinaan diri, kita sulit untuk mengamininya. Untuk doa seperti itu, klita tidak mengikuti dengan menyebutkan "Amin.", melainkan kita mengikuti doa itu dengan sepenuh hati dan menghayati setiap kata di dalamnya. Kita dianjurkan untuk mengadu kepada Allah swt; mengakui segala kenistaan kita di hadapan-Nya. "Tuhanku, kepada diri-Mu, aku adukan diri yang memerintahkan kejelekan, yang bergegas melakukan kesalahan, yang tenggelam dalam kemaksiatan pada-Mu, yang menjadikan aku orang celaka dan terhina...." Tingkatan doa yang paling tinggi adalah doa yang merupakan bisikan-bisikan cinta dari seorang kekasih kepada yang dikasihinya. Doa itu merupakan rayuan pencinta kepada Sang Tercinta agar Dia memelihara cinta-Nya. Munajat Imam Ali Zainal Abidin yang terangkum dalam Shahifah Sajjadiyah dipenuhi dengan seruan-seruan yang mengungkapkan cinta. Doa-doa itu senada dengan isi surat Majnun kepada Laila: "Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Aku tidak meminta apa-apa kecuali engkau mengenang bahwa di satu tempat ada seseorang yang sekiranya tubuhnya dicabik-cabik binatang buas, ia akan masih tetap menyebut namamu." Dalam ucapan itu, meskipun ada permintaan, tetapi disampaikan dengan cara yang amat halus; dengan cara yang penuh adab. Salah satu doa Imam Ali Zainal Abidin yang penuh dengan ungkapan cinta itu adalah sebagai berikut: Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku Pertemuan dengan-Mu kecintaanku Kepada-Mu kerinduanku Cinta-Mu tumpuanku Pada Kekasihku gelora rinduku Rida-Mu tujuanku Melihat-Mu keperluanku Mendampingi-Mu keinginanku Mendekat kepada-Mu puncak permohonanku. Rabiah Al-Adawiyah, seorang sufi besar, berdoa dengan doa yang amat terkenal. Dalam doa itu, Rabiah bertutur: "Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukkanlah aku ke dalam neraka itu dan besarkan tubuhku di dalamnya, sehingga tak ada tempat lagi di neraka bagi hamba-hamba-Mu yang lain. Namun kalau aku menyembah-Mu karena menginginkan surga-Mu, berikan surga itu kepada hamba-hamba-Mu yang lain. Bagiku, Engkau sudah cukup...." Doa indah dari Rabiah telah sampai pada tingkatan cinta. Karena doa itu telah menjelma menjadi bisikan cinta, orang merasa enak dalam memanjatkannya. Meskipun doa itu teramat panjang, karena kita tengah mengucapkan rayuan, kita akan tahan berlama-lama. Orang yang telah berdoa dengan tingkatan yang paling atas akan merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika ia berdoa dengan rangkaian doa-doa yang panjang. Syafa'at; Buah Cinta Ahlul Bait Nabi KH. Jalaluddin Rakhmat Dalam Al-Quran surat Al-Syura, Allah swt berfirman: Barangsiapa yang menginginkan keuntungan akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menginginkan keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia. Dan tidak ada baginya suatu bagian pun dari akhirat. Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih. Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat ketakutan karena kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan, sedang siksaan menimpa mereka. Dan orang-orang yang saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. Demikianlah karunia yang dengan itu Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada Al-Qurba." Siapa yang melakukan kebaikan (dengan mencintai keluarga Rasulullah saw), akan Kami tambahkan baginya kebaikan itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Pembalas kebaikan dengan kebaikan. Apakah mereka sudah berkata bahwa Muhammad ini sudah berbohong mengatasnamakan Allah (padahal hanya untuk kepentingan keluarganya). Kalau Allah kehendaki Dia dapat mengunci mati hatinya; dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Al-Quran). Sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala isi hati. (QS. Al-Syura 20-24) Dalam kitab tafsir Mîzân, mufassir Sayyid 'Allamah Thabathaba'i menerangkan ayat-ayat ini sebagai berikut: Ketika Allah menjelaskan bahwa Dia menurunkan Al-Kitab dengan kebenaran dan untuk menegakkan keadilan, Al-Quran menggambarkan adanya orang-orang yang tidak mau menerima kitab ini sebagai pedoman hidup mereka sehingga mereka berada dalam kesesatan. Setelah itu Allah menyuruh Rasulullah untuk menyampaikan kepada umatnya agar selain berpegang kepada Al-Kitab, mereka juga harus berpegang kepada kecintaan kecintaan keluarga Nabi saw. Dalam ayat 22 surat Al-Syura di atas, disebutkan bahwa orang-orang yang zalim akan ketakutan melihat amal kejahatan yang mereka lakukan. Menurut 'Allamah Thabathaba’i, inilah dalil yang menyatakan bahwa amal-amal yang kita lakukan di dunia akan dapat kita lihat di akhirat. Cinta Yang Mendatangkan Syafa'at Para ahli tafsir menerangkan satu konsep yang disebut dengan nama Berwujudnya Amal-Amal Kita. Konsep ini berarti bahwa amal-amal yang kita lakukan di dunia akan diberikan wujud oleh Allah swt sehingga dapat kita lihat di akhirat. Al-Quran menyebutkan hal itu dalam surat Al-Kahfi ayat 49: ...Mereka menemukan apa yang mereka amalkan itu hadir di depan mereka. Juga dalam surat Al-Zalzalah ayat 6: Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Sebuah hadis Nabi saw, yang diriwayatkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Al-Rűh, menceritakan apa yang akan terjadi ketika kita meninggal dunia. Waktu itu para sahabat sedang berada di sekitar pemakaman. Rasulullah saw datang menemui mereka. Lalu Rasulullah bercerita: Apabila seorang mukmin meninggal dunia, sejauh-jauh penglihatan akan terdapat para malaikat (yang menjemput jenazah mukmin itu). Para malaikat itu berbaris sementara malaikat maut duduk dekat kepala si Mukmin dan berkata, ”Hai ruh yang indah, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridaan-Nya.” Ruh itu keluar dari jasadnya dengan amat mudah seperti keluarnya tetesan air dari wadahnya. Malaikat maut mengambil ruh itu dan tidak melepaskan dari tangannya sekejap mata pun. Dari ruh itu keluar bau semerbak yang memenuhi seluruh alam malakut. Ketika ruh jenazah itu lewat, para malaikat bertanya, ”Siapakah ruh ini?” Malaikat maut menjawab, ”Inilah ruh Fulan bin Fulan.” Dibawalah ia ke langit untuk menghadap Allah swt dan diterima oleh Allah dengan segala keridaan-Nya. Kemudian ia dikembalikan lagi ke alam barzakh. Saat itu datang malaikat yang bertanya, "Siapa Tuhanmu dan siapa yang diutus untuk datang kepadamu?" Ia menjawab, "Tuhanku adalah Allah dan utusan yang datang kepadaku adalah Rasulullah." Malaikat melanjutkan pertanyaannya, "Dari mana kau tahu tentang Rasulullah?" Ia menjawab, "Aku mengetahuinya dari Al-Kitab, aku beriman dan mencintainya." Mendengar jawab hamba Allah yang saleh itu terdengarlah suara keras dari langit. Rasulullah melanjutkan ceritanya: Namun apabila seorang kafir atau ahli maksiat meninggal dunia, turunlah malaikat ke bumi dengan wajah yang menakutkan. Malaikat maut duduk di samping kepalanya dan berkata, ”Hai jiwa yang kotor, keluarlah kamu menuju kemurkaan Allah dan azab-Nya.” Betapa susah ruh itu keluar dari jasadnya, sampai-sampai seluruh tubuhnya seakan-akan pecah berkeping-keping. Ketika malaikat memegang ruh orang kafir itu, bau menyengat seperti bangkai keluar dari ruh itu memenuhi seluruh alam malakut. Para malaikat bertanya, "Siapakah ruh yang busuk itu?" Disebutlah ia dengan nama yang paling jelek yang ia peroleh di dunia ini. Ia dibawa ke langit tetapi pintu-pintu langit tertutup rapat baginya. Jenazahnya dilemparkan ke bumi. Ketika malaikat mengajukan beberapa pertanyaab kepadanya, ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu dengan baik. Maka disempitkanlah kuburannya sesempit-sempitnya. Setelah itu datanglah makhluk yang wajahnya sangat menakutkan dengan bau yang sangat menjijikkan. Ruh kafir itu bertanya, "Siapakah engkau?" Makhluk itu menjawab, ”Akulah amal burukmu dan aku akan menemanimu sejak barzakh sampai mahsyar nanti.” Selain hadis Nabi di atas, sebuah kisah sufi juga menceritakan tentang berwujudnya amal saleh dan amal buruk di akhirat kelak. Alkisah, seorang tokoh sufi bernama Malik bin Dinar pada mulanya adalah seorang ahli maksiat. Waktu itu pekerjaannya setiap hari ialah mabuk minuman keras. Suatu saat ia ditanya oleh seseorang, ”Apa yang menyebabkan kamu kembali kepada jalan yang benar?” Malik bin Dinar menjawab dengan cerita, ”Dahulu aku mempunyai anak perempuan yang amat aku sayangi. Setiap hari pekerjaanku meminum arak. Dan setiap saat aku hendak meminum arak, tangan anakku selalu menepiskan minuman itu; seolah-olah ia melarang aku untuk meminumnya. Sampai suatu saat anakku meninggal dunia. "Aku berduka luar biasa. Dalam keadaan duka aku tertidur dan bermimpi seakan-akan aku berada di padang Mahsyar. Aku seperti berada di tengah-tengah orang yang kebingungan. Dalam keadaan bingung itu, aku melihat sosok seekor ular yang sangat besar. Ular itu bergerak dan mengejarku. Aku lari menghindar. Di tengah jalan, aku berjumpa dengan seorang tua yang berwajah amat jernih. Aku berhenti di samping orang tua itu dan meminta kepadanya perlindungan. "Orang tua itu jatuh iba kepadaku. Sambil menangis ia berkata, 'Aku ingin sekali menolongmu tetapi aku terlalu lemah.' Karena rasa takut yang mencekam segera aku pergi dari sisi orang tua itu dan sampailah aku pada tepian neraka jahanam. Hampir saja aku loncat ke dalamnya karena ketakutan. Tetapi saat itu aku mendengar suara, Tempatmu bukan di sana. Dalam keadaan lemah aku berlari mendekati orang tua tadi untuk meminta pertolongannya lagi, tapi ia hanya menjawab, 'Aku tak bisa menolongmu karena aku terlalu lemah. Berangkatlah ke bukit Amanah, mungkin di sana ada titipan buatmu.' "Aku berangkat menuju tempat itu, di sana aku bertemu dengan banyak anak kecil yang berwajah sangat indah. Tiba-tiba aku melihat anakku sendiri, ia mendekatiku dan memegang tanganku seraya berkata, 'Inilah bapakku.' Lalu dengan tangannya yang lain dia mengusir ular besar itu. "Kemudian anak itu berkata, ’Apakah belum datang kepada orang beriman untuk takut kepada Allah?’ Aku bertanya kepadanya, ’Apakah kamu bisa membaca Al-Quran?’ Anakku menjawab, ’Pengetahuanku tentang Al-Quran di sini lebih baik daripada pengetahuan bapak.’ Aku menanyakan padanya perihal orang tua yang berwajah jernih. Ia menjawab, ’Dia adalah amal saleh yang setiap hari bapak lakukan. Karena amal saleh bapak sedikit, amal itu menjadi lemah dan tidak sanggup membantu bapak.’ Aku bertanya lagi, ‘Lalu siapakah ular itu?’ Anakku menjawab, ’Itulah maksiat yang setiap hari bapak perkuat tenaganya karena dosa yang bapak lakukan.’ "Sejak itu, kalau aku berbuat maksiat aku selalu ingat bahwa hal itu akan memperkuat ular berbisa yang menakutkan. Dan setiap kali aku lelah dalam beramal saleh, aku ingat bahwa hal itu akan memperlemah amal salehku.” Cerita Malik bin Dinar itu sesuai dengan hadis yang menunjukkan bahwa amal-amal kita akan hadir di hadapan kita. Percayalah, kita akan di temani dua makhluk, makhluk yang baik dan buruk. Keduanya akan bertarung di alam barzakh. Kalau makhluk yang baik itu menang, terusirlah makhluk yang buruk dan kita akan ditemani di alam barzakh oleh makhluk yang baik. Sebaliknya, amal jelek pun bisa mengusir amal yang baik. Kita semua percaya bahwa amal saleh yang kita lakukan jauh lebih sedikit daripada amal salah yang sering kita perbuat. Oleh sebab itu, kita bisa menduga bahwa di alam barzakh nanti yang paling banyak menemani kita adalah amal buruk kita. Malang betul kita semua, bila di alam barzakh itu kita hanya mengandalkan amal saleh yang kita lakukan. Oleh karena itu, karena kasih-Nya kepada kita, Allah swt memberi wewenang kepada Rasulullah saw untuk memberi syafa'at. Alangkah bahagianya kita di alam barzakh nanti ketika makhluk yang menakutkan berdesakan mengelilingi kita dan amal baik sudah terusir dari kita, lalu datanglah syafa'at Rasulullah saw. Dan makhluk jelek itu pun tersingkir sehingga kita hanya ditemani oleh amal saleh kita sampai hari akhir. Tidak ada kebahagiaan yang paling besar selain memperoleh syafa'at Rasulullah saw. Lalu, kepada siapakah syafa'at Rasulullah itu diberikan? Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ”Syafa'atku aku khususkan kepada dia yang mencintai keluargaku diantara umatku.” Mudah-mudahan kita memperoleh syafaat Rasulullah saw dengan wasilah kecintaan kita kepada keluarganya. (lihat kitab Tarikh Bakdad al-Khatib Al-Baghdadi juz II). Siapa saja keluarga Nabi saw yang harus kita cintai? Al-Zamakhsyari meriwayatkan sebuah hadis tentang hal ini; ketika Rasulullah saw membaca ayat, Aku tidak meminta upah darimu kecuali kecintaan kepada Al-Qurba. Para sahabat bertanya, "Ya Rasulallah, siapa Al-Qurba yang harus kita cintai itu? Rasulullah bersabda, ”Ali, Fathimah, dan kedua anaknya.” Orang tua kita terdahulu tahu bahwa kecintaan kepada Ali, Fathimah, dan kedua putranya bisa memadamkan bencana; terutama bencana di alam kubur. Mereka juga percaya bahwa hal itu bisa memadamkan bencana yang terjadi pada saat sekarang. Oleh karena itu, kalau ada bala bencana di sebuah kampung, mereka sering membaca syair: Lî khamsatun uthfi bihâ haral wabâ il khâthimah Al-Musthafâ wal Murtadhâ wabnahumâ wal Fâthimah Aku persembahkan yang lima kepada Allah Untuk padamkan panasnya bencana yang mengerikan Yaitu Al-Musthafa (Rasulullah saw), Al-Murtadha (Sayidina Ali), kedua putranya (Hasan dan Husain), serta Fathimah Al-Fakhrurrazi, dalam kitabnya Mafâtihul Ghaib, menyebutkan,”Sudah teguhlah dalil bahwa yang empat orang itu adalah keluarga Nabi saw. Dan apabila sudah teguh dalil itu, sudah pastilah mereka yang dikhususkan untuk kita muliakan dengan kemuliaan yang lebih dari manusia yang biasa." Ada beberapa dalil mengapa kita harus mencintai ahlul bait Nabi. Pertama, adalah dalil ayat mawaddah lil qurbâ di atas (QS. Al-Syura:23). Kedua, tidak diragukan lagi bahwa Nabi saw sangat mencintai keluarganya. Rasulullah saw bersabda, "Fathimah adalah belahan jiwaku, sebagian dari diriku, siapa yang menyakiti Fathimah, ia menyakitiku.” Rasulullah juga mencintai Ali dan kedua cucunya; Hasan dan Husain. Karena sudah teguh keadaannya, wajiblah bagi umatnya untuk meniru Rasulullah saw. Artinya, karena Rasulullah mencintai mereka, wajiblah kita mencintai mereka. Allah berfirman, Katakanlah: Hai manusia sesunguhnya aku aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya. Dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk.(QS. Al-Araf: 158 ) Ketiga, dalam tasyahud, ketika salat, kita harus membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Hal ini merupakan suatu kehormatan yang tidak diberikan selain kepada keluarga Nabi Muhammad saw. Semuanya itu, menurut Al-Fakhrurrazi, menunjukkan bahwa kecintaan kepada Muhammad dan keluiarganya adalah sesuatu yang wajib bagi kita semua. Al-Fakhrurrazi mengutip ucapan Imam Syafi’i, ”Jika rafidhi itu berarti mencintai keluarga Muhammad, maka hendaklah seluruh jin dan manusia menyaksikan bahwa aku ini adalah rafidhi.” Hadis tentang Buah Cinta Kepada Ahlul Bait Bentuk kecintaan kepada Nabi saw dan keluarganya diantaranya diwujudkan dengan membaca shalawat kepadanya. Berikut hadis tentang fadhilah shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya. Seseorang bertanya kepada Aba Abdillah as tentang firman Allah swt, Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 56). Aba Abdillah as berkata, ”Shalawat dari Allah swt kepada Nabi adalah rahmat-Nya, dari malaikat adalah pensuciannya, dan dari manusia adalah doanya.” Orang itu lalu bertanya lagi, ”Bagaimana kami mengucapkan salam penghormatan kepada Nabi dan keluarganya?” Aba Abdillah berkata, ”Katakanlah: ‘Shalawâtullâhi wa shalawâtu malâ’ikatihî wa an biyâihî wa rasűlihî wa jamî’i khalqihî ’ala Muhammadin wa âli Muhammad wasallâmu ‘alaihi wa âlihi wa rahmatulâhi wa barakâtuh.’” Orang itu bertanya lagi, "Apa balasan orang yang membacakan shalawat kepada Nabi saw?“ Imam yang mulia menjawab, "Dikeluarkan dari dosa-dosanya, demi Allah, sama seperti ketika ibunya melahirkan dia.” Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, ”Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sepuluh kali, Allah akan mengirimkan rahmat dan para malaikat akan mengucapkan doa kepadanya seratus kali.” Dalam hadis lain Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, "Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya seratus kali, Allah akan kiirimkan kesejahteraan kepadanya, para malaikat akan mendoakannya seribu kali. Bukankah kamu mendengar perintah Allah swt, Ialah Allah yang mengirimkan rahmat-Nya kepada kamu dan para malaikat-Nya untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya, dan dia sangat penyayang kepada kaum mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 43). Masih dari Imam Ja’far as, ”Semua kata yang dibacakan orang untuk menyeru Allah swt tertutup dari langit, sampai dia membaca shalawat kepada Muhammmad dan keluarganya. Nanti pada hari kiamat, tidak ada yang lebih berat dalam timbangan selain shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.” Imam Ali Ridha as berkata, ”Barangsiapa yang tidak mampu menghapuskan seluruh dosanya, perbanyaklah bacaan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, karena itu akan menghapuskan dosa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Nabi saw pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.” Itulah fadhilah membaca shalawat. Shalawat adalah ungkapan kecintaan kita kepada Rasulullah dan keluarganya. Kalau orang banyak membaca shalawat, insya Allah, kecintaan kepada Rasulullah akan bertambah. Dalam teori komunikasi, ada teori yang disebut dengan mere exposure theory; teori terpaan semata-mata. Sebuah penelitian ilmu komunikasi menunjukkan hal ini: Suatu saat kepada mahasiswa diperlihatkan beberapa transparansi foto. Ada beberapa foto yang sering tampak dan ada beberapa foto yang jarang tampak. Foto itu ada yang ditampakkan sepuluh kali, delapan kali, dan lima kali. Setelah itu kepada mahasiswa diberikan seluruh foto yang tadi diperlihatkan di layar. Ada hal yang menarik dalam kejadian itu; mereka diperintah untuk memilih foto mana yang paling mereka sukai. Ternyata mereka menyukai foto yang paling sering muncul. Hal ini bisa dianalogikan, jika ada orang yang sering muncul dihadapan kita, lama-kelamaan kita akan menyukai orang tersebut. Begitu pula dengan shalawat. Dengan seringnya kita membaca shalawat, kita selalu menghadirkan nama Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya akan tumbuh dengan sendirinya kecintaan kepada orang-orang yang sering kita sebut. Hal ini juga dikenal dalam teknik iklan atau propaganda. Agar sesuatu disukai orang, lakukanlah iklan tentang sesuatu itu berkali-kali. Seorang propagandis Hitler pernah berkata, "Kebohongan pun akan dipercaya menjadi keimanan kalau kita mengulanginya terus menerus. Kebenaran adalah kebohongan yang dikalikan seribu.” Kalau kebohongan saja bisa menjadi kebenaran, apa lagi kata-kata suci seperti shalawat yang sering kita bacakan. Shalawat, insya Allah, akan menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Lewat kecintaan itulah kita akan meniru perilaku orang yang kita cintai. Kecintaan kita kepada keluarga Rasulullah saw merupakan ungkapan cinta kepada Rasulullah juga. Al-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kasyaf, menulis: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati syahid. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, dia mati dengan ampunan-Nya. Ketahuilah barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Nabi saw, dia mati sebagai orang mukmin yang sempurna imannya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Nabi saw, dia mati dalam keadaan Malaikat Maut akan menggembirakannya dengan surga, kemudian Munkar dan Nakir akan menghiburnya. "Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia akan diiringkan masuk ke surga seperti diiringkannya pengantin ke rumah suaminya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan bukakan pintu surga pada kuburannya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan jadikan kuburannya tempat berkunjung Malaikat Rahmat. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. “Dan barangsiapa yang mati dalam kebencian kepada keluarga Muhammad saw, dia akan datang pada hari kiamat dengan tulisan pada kedua matanya; Inilah orang yang putus asa dari rahmat Allah.“ Na'udzu billâhi min dzalik. Kita berlindung kepada Allah dari hal seperti itu. "Agama Itu Nashîhah...." KH. Jalaluddin Rakhmat Suatu malam, menjelang waktu subuh, Rasulullah saw bermaksud untuk wudhu. "Apakah ada air untuk wudhu?" beliau bertanya kepada para sahabatnya. Ternyata tak ada seorang pun yang memiliki air. Yang ada hanyalah kantong kulit yang dibawahnya masih tersisa tetesan-tetesan air. Kantong itu pun dibawa ke hadapan Rasulullah. Beliau lalu memasukkan jari jemarinya yang mulia ke dalam kantong itu. Ketika Rasulullah mengeluarkan tangannya, terpancarlah dengan deras air dari sela-sela jarinya. Para sahabat lalu segera berwudhu dengan air suci itu. Abdullah bin Mas'ud bahkan meminum air itu. Usai salat subuh, Rasulullah duduk menghadapi para sahabatnya. Beliau bertanya, "Tahukah kalian, siapa yang paling menakjubkan imannya?" Para sahabat menjawab, "Para malaikat." "Bagaimana para malaikat tidak beriman," ucap Rasulullah, "mereka adalah pelaksana-pelaksana perintah Allah. Pekerjaan mereka adalah melaksanakan amanah-Nya." "Kalau begitu, para Nabi, ya Rasulallah," berkata para sahabat. "Bagaimana para nabi tidak beriman; mereka menerima wahyu dari Allah," jawab Rasulullah. "Kalau begitu, kami; para sahabatmu," kata para sahabat. "Bagaimana kalian tidak beriman; kalian baru saja menyaksikan apa yang kalian saksikan," Rasulullah merujuk kepada mukjizat yang baru saja terjadi. "Lalu, siapa yang paling menakjubkan imannya itu, ya Rasulallah?" para sahabat bertanya. Rasulullah menjawab, "Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku; tidak pernah melihatku. Tapi ketika mereka menemukan Al-Kitab terbuka di hadapan, mereka lalu mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa; sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka akan menjual seluruh hartanya." Hadis di atas dimuat dalam Tafsir Al-Dűr Al-Mantsűr, karya mufasir Jalaluddin Al-Syuyuti. Mudah-mudahan kita semua termasuk dalam kelompok ini; mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah tetapi mencintainya dengan sepenuh hati. Masih dalam kitab ini, diriwayatkan bahwa suatu saat Rasulullah saw bersabda, "Berbahagialah mereka, para saudaraku(ikhwâni)." Para sahabat bertanya, "Apakah yang kau maksud dengan ikhwâni itu adalah kami, ya Rasulallah?" "Tidak," jawab Rasulullah, "kalian adalah para sahabatku. Yang aku maksud dengan ikhwâni adalah mereka yang datang sesudahku." Bayangkan, Rasulullah menyebut orang yang sezaman dengannya sebagai para sahabat tapi menyebut orang yang datang sepeninggalnya dengan panggilan yang sangat mesra, ikhwâni, para saudaraku. Merekalah kaum yang datang sesudah beliau dan tidak pernah berjumpa dengannya tetapi mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa dan raga. Kecintaan terhadap Rasulullah tidak saja merupakan kewajiban -sebagaimana sering disebut dalam banyak hadis- tapi juga merupakan syarat mutlak atau conditio sine quanon; syarat yang, tidak boleh tidak, mesti ada apabila kita ingin menjalankan syariat Islam. Tidak mungkin orang bisa menjalankan sunnah Rasulullah dengan seluruh hatinya apabila ia tidak mencintainya. Dasar agama adalah cinta; salah satunya adalah cinta kepada Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis yang teramat populer, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, "Al-Dînu nashîhah." Ucapan Nabi ini seringkali diterjemahkan secara keliru ke dalam Bahasa Indonesa menjadi: Agama itu nasihat. Saya anggap keliru karena dalam hadis itu diceritakan setelah Rasulullah bersabda itu, para sahabat bertanya, "Kepada siapa nashîhah itu, ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab, "Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kepada seluruh kaum muslimin." Di situlah letak kekeliruan terjemahan itu. Bagaimana mungkin kita harus memberikan nasihat kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para imam? Dalam bahasa Arab, kata nashîhah selain berarti nasihat, juga berarti mengikhlaskan, memurnikan, atau membersihkan kecintaan seseorang. Orang yang memiliki kecintaan yang tulus disebut sebagai nâshih. Taubat yang keluar dari hati yang tulus disebut sebagai taubatan nashűha. Orang Arab menyebut madu yang murni sebagai 'asalun nâsh. Jadi, kata nashîhah berarti kecintaan yang tulus. Oleh karena itu, hadis di atas sebenarnya berarti, "Dasar agama itu adalah kecintaan yang tulus." Dasar yang pertama tentu saja adalah kecintaan yang tulus kepada Allah swt. Dalam hadis yang lain, Rasulullah membagi kaum muslimin ke dalam dua golongan. Satu golongan ia sebut dengan kaum nashâhah dan satu golongan lagi ia sebut dengan kaum ghasâsah. Nashâhah (bentuk jamak dari nâshih, red.) adalah golongan orang yang selalu menampakkan kecintaan yang tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para Imam, dan seluruh kaum muslimin. Adapun ghasâsah, menurut Rasulullah, adalah para pengkhianat yang tidak memiliki hati yang bersih. (lihat Al-Targhîb, II: 575) Masih dalam kitab yang sama diriwayatkan sabda Rasulullah saw yang menjelaskan hadis di atas: "Kaum mukmin itu satu sama lain saling mencintai walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Tetapi kaum yang durhaka itu satu sama lain ghasâsah (saling mengkhianati) sesama mereka walaupun tempat tinggal mereka berdekatan." Kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya adalah ikatan yang dapat mempersatukan seluruh mazhab. Al-Zamakhsyari, penulis kitab Tafsir Al-Kasyaf, yang menurut beberapa orang bermazhab muktazilah, menulis sebuah syair tentang ikhtilaf di kalangan kaum muslimin dan jalan keluar dari perpecahan itu: Banyak sekali keraguan dan pertentangan Masing-masing merasa di jalan yang benar Aku berpegang pada kalimat lâ ilâha ilallah Dan kecintaanku kepada Ahmad dan Ali Berbahagia anjing karena mencintai Ashabul Kahfi Bagaimana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi Al-Quran menceritakan seekor anjing yang memiliki karamah mampu tidur selama tiga ratus tahun. Keberuntungannya itu disebabkan karena kecintaan anjing itu kepada Ashabul Kahfi. Maka, bagaimana kita bisa celaka karena kecintaan kepada keluarga Nabi? Kecintaan terhadap keluarga Nabi disepakati oleh semua mazhab. Imam Syafii pun dikenal sebagai orang yang mencintai ahli bait Nabi. Imam Syafii pernah berkata, "Aku sangat heran bila aku sebut nama Ali Al-Murtadha dan Fathimah Al-Zahra, orang segera berdiri dan berteriak: Ini Rafidhi!" Imam Syafii lalu bersyair: Kalau yang disebut Rafidhi itu adalah mencintai keluarga Nabi Hendaknya menyaksikan seluruh jin dan manusia, bahwa aku ini Rafidhi Mencintai keluarga Nabi adalah bagian dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan: Katakan olehmu Muhammad: Aku tidak minta upah dalam mengajarkan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku. (QS. Al-Syura: 23). Mendengar ayat ini, para sahabat bertanya, "Lalu siapa keluarga yang wajib kami cintai itu?" Rasulullah saw menjawab, "Ali, Fathimah, dan kedua putranya." Hadis itu disebutkan dalam seluruh kitab tafsir dan disepakati oleh semua mazhab. Akan tetapi mengapa dalam perkembangannya orang dijauhkan dari ahlul bait? Salah satunya adalah alasan politis. Sepanjang sejarah Islam, kelompok ahlul bait adalah mereka yang tertindas secara politik. Kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi. Secara perlahan, ahlul bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan ahlul bait dihapuskan dari salawat kaum muslimin. Menurut saya, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu bila kita ingin mempersatukan kaum muslimin, persatukanlah mereka dari titik pertemuan ini; yaitu kecintaan kepada keluarga Nabi. Dalam penjelasan hadis "Agama itu nashîhah", selanjutnya disebutkan tentang kecintaan yang tulus atau nashîhah kita terhadap sesama kaum muslimin. Kecintaan kita kepada kaum muslimin dapat ditampakkan dalam usaha untuk menjaga kesatuan kaum muslimin. Lawan dari nashîhah adalah ghasâsah; mengkhianati kaum muslimin, berlaku tidak jujur, memfitnah mereka, dan bahkan mengkafirkan saudara-saudaranya. Hal ini termasuk kepada dosa besar. Oleh sebab itu kelompok ini dipisahkan oleh Rasulullah dari kaum mukmin dan disebut sebagai kelompok pengkhianat. Dalam hadis yang dapat kita baca dalam Hayâtush Shahâbah, terdapat riwayat sebagai berikut: Pada suatu saat, ketika Rasulullah saw berkumpul dengan para sahabatnya di Masjid, beliau berkata, "Sebentar lagi akan muncul seorang penghuni surga...." Tak lama kemudian masuk ke dalam masjid seorang lelaki dengan mengepit sandal di tangan kanannya. Dengan janggut yang masih basah oleh air wudhu, ia lalu salat. Keesokan harinya, Rasulullah menyebutkan hal yang sama dan lelaki yang sama kemudian masuk ke dalam masjid dan salat. Begitu pula keesokan harinya lagi. Tiga kali Rasulullah mengucapkan hal itu dan selalu lelaki yang itu pula muncul di masjid. Abdullah bin Amr bin Ash merasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang dilakukan oleh lelaki itu sehingga Nabi yang mulia menyebutnya sebagai penghuni surga. Abdullah lalu mengunjungi rumah lelaki itu dan berkata, "Aku bertengkar dengan ayahku. Aku tak bisa tinggal serumah dengannya sementara ini. Bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk beberapa malam?" pinta Abdullah. "Silahkan," lelaki itu membolehkan. Tinggallah Abdullah di rumahnya. Setiap malam ia mengawasi ibadah orang itu. "Tentulah ibadahnya sangat menakjubkan sampai Nabi menyebutnya penghuni surga," pikir Abdullah. Tapi ternyata tak ada yang istimewa dalam ibadahnya. Lelaki itu tak salat malam; ia baru bangun menjelang waktu subuh. Terkadang ia bangun di tengah malam, tapi itu hanya untuk menggeserkan tempat tidurnya, berzikir sebentar, lalu tidur lagi. Selama tiga malam, Abdullah tidak melihat sesuatu yang khusus yang dilakukan orang itu. Akhirnya Abdullah pamit. Sebelum pergi, Abdullah berkata terus terang, "Sebetulnya aku tak bertengkar dengan ayahku. Aku hanya ingin tahu apa yang menjadikanmu sangat istimewa sehingga Nabi menyebutmu penghuni surga?" Orang itu menjawab, "Aku adalah seperti yang engkau lihat. Memang itulah diriku." Abdullah pun akhirnya pergi. Tapi setelah agak jauh, lelaki itu memanggil kembali Abdullah. Ia menjelaskan, "Aku memang seperti yang engkau lihat. Hanya saja aku tak pernah tidur dengan menyimpan niat jelek terhadap sesama kaum muslimin." Abdullah berkata, "Justru itulah yang tidak mampu aku lakukan; tidak menyimpan rasa dendam, benci, dan dengki terhadap sesama kaum muslimin...." Mungkin kita semua seperti Abdullah bin Amr bin Ash, kita tak bisa membuang niat jelek kita terhadap sesama kaum muslimin. Boleh jadi kita mampu berlama-lama salat, mampu mengisi malam dengan zikir, tapi seringkali kita tidak mampu untuk menyingkirkan dendam di hati kita terhadap sesama kaum muslimin. Salah satu bentuk kecintaan kita terhadap kaum muslimin adalah dengan menghilangkan rasa benci kita terhadap mereka. Apa pun mazhab mereka, bagaimana pun mazhab mereka, seperti apa pun golongan mereka, mereka adalah saudara kita dalam Islam. Bila ada sebesar debu saja kedengkian kita terhadap kaum muslimin, berarti kita sudah melanggar ajaran al-dînu nashîhah. Agama itu kecintaan yang tulus. Konsep Din dan Islam; Eksklusif dan Inklusif (III) KH. Jalaluddin Rakhmat Tingkatan Islam dan Iman menurut Thabathabai Setelah Tuhan mengisahkan perjuangan Ibrahim as sebagai tauladan yang utama, contoh orang yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan; setelah Ibrahim dan Ismail melaksanakan perintah Tuhan untuk membangun kembali Ka’bah; setelah keduanya berdoa agar dijadikan orang-orang Islam, Tuhan memanggil Ibrahim. Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131) Bukankah Ibrahim sudah Islam, dengan mematuhi semua perintah Allah swt? Mengapa ia disuruh Islam lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini Thabathabai menulis tentang tingkatan keislaman dan keimanan. Saya mengutipnya agak lengkap di bawah ini: Orang-orang berbeda dalam tingkat kepasrahannya kepada aturan Tuhan. Mereka juga berbeda dalam tingkat keislamannya. Pertama, tingkat pertama Islam adalah menerima dan mematuhi perintah dan larangan dengan membaca dua kalimat syahadat, tidak jadi soal apakah iman sudah atau belum memasuki hatinya. Allah berfirman: Orang Arab dari dusun itu berkata: Kami beriman. Katakan, “Kamu tidak beriman. Tapi katakanlah: Kami Islam; karena iman belum masuk pada hati kamu.” (QS. Al-Hujurat; 14) Kedua, Islam tingkat ini diikuti dengan tingkat pertama iman yaitu penyerahan dan kepasrahan hati untuk menerima keyakinan yang benar secara terperinci dengan diikuti oleh amal-amal salih; walaupun sewaktu-waktu mungkin saja berbuat salah. Allah Ta’ala berfirman tentang sikap orang yang takwa: Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami dan mereka itu muslim. (QS. Al-Zukhruf; 69) Dan Ia berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara keseluruhan. (QS. Al-Baqarah; 208) Jelaslah Islam yang datang setelah iman ini bukanlah Islam pada tingkat yang pertama. Setelah Islam ini, datanglah tingkat kedua dari iman; yaitu keyakinan yang penuh kepada hakikat agama. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu-ragu dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang beriman tulus. (QS. Al-Hujurat; 15) Ia juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apakah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang a kan menyelamatkan kalian dari azab yang pedih. Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri kamu. (QS. Al-Shaf; 10-11). Di sini, kaum mukminin diberi petunjuk kepada iman yang bukan iman sebelumnya. Ketiga, tahap kedua iman itu membawa kita kepada Islam pada tingkat yang ketiga. Ketika jiwa sudah dipenuhi dengan iman tersebut di atas dan mulai berakhlak dengan akhlak berdasarkan iman itu, maka tunduklah kepadanya semua kekuatan hewani, yaitu semua kecenderungan ke arah dunia dan segala godaannya. Sekarang manusia menyembah Allah seakan-akan ia melihatnya dan jika ia tidak melihatnya sekalipun, ia meyakini bahwa Allah melihatnya. Di dalam batinnya dan dirinya yang paling dalam, tidak ada lagi apa pun yang tidak tunduk kepada perintah-Nya dan larangan-Nya atau kecewa kepada ketentuan-Nya. Allah berfirman: Maka demi Tuhanmu, tidak beriman mereka sampai mereka mengambil kamu sebagai pengutus untuk apa-apa yang mereka pertikaikan di antara mereka. Lalu mereka tidak dapatkan dalam diri mereka keberatan atas apa-apa yang engkau tentukan dan pasrah dengan kepasrahan yang sebenarnya. (QS. Al-Nisa; 65) Setelah tingkat keislaman ini, sampailah orang kepada tingkat iman berikutnya. Allah berfirman: Berbahagialah orang-orang yang beriman, sampai kepada firmannya. Dan orang-orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak berguna. (QS. Al-Mukminun; 1-3) Begitu juga firman Allah: Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131) Akhlak-akhlak yang mulia seperti rida, kepasrahan, keteguhan hati, kesabaran dalam menaati perintah Allah, kesempurnaan zuhud dan wara’, cinta dan benci karena Allah termasuk akhlak orang yang mencapai tingkat ini. Keempat, tingkat Islam yang keempat datang setelah tingkat iman yang ketiga. Pada tingkat iman sebelumnya, hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan budak dengan tuannya. Karena ia melakukan sebenar-benarnya pengabdian dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuannya, menerima apa yang dicintainya dan diridainya. Memang tidak bisa dibandingkan antara kepemilikan dan kekuasaan seorang tuan atas budaknya dengan kepemilikan dan kekuasaan Tuhan semesta alam di atas makhluk-makhluk-Nya. Kepemilikan dia adalah kepemilikan yang sebenarnya. Selain Tuhan, tidak ada yang memiliki wujud yang mandiri secara zat, sifat, maupun perbuatan. Kadang-kadang setelah manusia sampai pada tingkat kepasrahan yang ketiga ini, bantuan Ilahi menariknya dan menampakkan kepadanya hakikat yang sebenarnya, bahwa seluruh kerajaan kepunyaan Allah semata-mata. Tidak sesuatu pun dapat memiliki sesuatu kecuali karena Dia. Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Pengungkapan realitas seperti ini adalah anugerah Ilahi yang Tuhan berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Orang tidak akan sampai kepada tingkat ini semata-mata karena kemauannya. Mungkin inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang digambarkan dengan doa Ibrahim dan Ismail: Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang pasrah kepadamu dan jadikan juga keturunan kami orang yang pasrah kepadamu. Dan tunjukkan kepada kami, cara pengabdian kami kepada-Mu. (QS. Al-Baqarah; 128) Bandingkanlah ini dengan ayat: Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131). Ayat ini secara lahiriah menunjukkan perintah tasyri’i bukan takwini; perintah legislatif bukan perintah kreatif. Ibrahim sudah Islam dengan pilihannya sendiri, memenuhi panggilan Tuhannya dan menjalankan perintahnya. Inilah perintah yang diterimanya pada awal hidupnya. Kemudian dalam ayat yang baru saja disebut, pada akhir hayatnya, Ibrahim dan anaknya Ismail berdoa memohonkan Islam dan agar ditunjuki cara pengabdian. Permohonan Ibrahim ini jelaslah bukan sesuatu yang sudah dimilikinya. Ia memohonkan sesuatu yang tidak berada di dalam kemampuannya. Pendeknya, Islam dalam doa Ibrahim dan Ismail adalah Islam pada tingkat yang keempat, dan yang paling tinggi. Tingkat Islam ini diikuti dengan tingkat iman yang keempat. Pada tingkat ini, seluruh keadaan dan perbuatannya dipenuhi oleh keadaan yang disebut di atas. Allah berfirman: Ketahuilah bahwa para kekasih Allah itu, tidak ada takut pada mereka dan tidaklah mereka berduka cita, orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa. (QS. Yunus; 42). Kaum mukminin yang disebutkan dalam ayat ini, sudah berada pada tingkat keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari Allah. Tidak ada suatu peristiwa pun terjadi tanpa seizin Allah, karena itu mereka tidak berduka cita karena hal yang dibenci menimpa mereka. Tidak juga takut karena ancaman bahaya yang menghadang mereka. Inilah iman yang datang setelah Allah melimpahkan anugerahnya. Renungkanlah. Penutup Marilah kita kembali pada pertanyaan awal kita: Apakah hanya Islam agama yang diterima Allah? Jawaban kita bisa “ya” dan “tidak”. Ya, bila yang kita maksud adalah Islam sebagai kepasrahan sepenuh hati kepada kebenaran, yang kita peroleh melalui proses pencarian yang tulus dan sungguh-sungguh. Tidak, bila yang dimaksud dengan Islam adalah institusi keagamaan seperti yang tercantum dalam kartu identitas kita. Bila pertanyaan ini kita sampaikan lebih spesifik: Apakah orang yang beragama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, Budha, akan diterima di sisi Allah? Jawabannya tergantung kepada ideologi yang Anda anut. Sebagai al-mutasyaddidun, Anda hanya akan mengatakan Islam saja yang diterima Allah. Sebagai al-mustanîrun, Anda akan berkata bahwa agama adalah jalan menuju Tuhan. Seperti dikatakan para sufi, jalan menuju Tuhan sebanyak nafas manusia. Mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang meliputi langit dan bumi. Ketika menjelaskan orang yang “spiritually intelligent”, Zohar dan Marshall menulis, “Sebagai orang Masehi, Muslim, Budha atau siapa saja yang cerdas secara spiritual, saya mencintai dan menghormati tradisi saya—tetapi saya mencintainya karena ia adalah salah satu di antara banyak bentuk untuk mengungkapkan potensialitas dari inti jiwa kita. Saya memiliki penghormatan yang mendalam dan setia pada tradisi-tradisi dan bentuk-bentuk keberagamaan lainnya.” Boleh jadi saya juga membayangkan diri saya mampu menghayati bentuk-bentuk keberagamaan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi, sufi abad ke-13: “Hatiku telah mampu menerima berbagai bentuk: padang gembala rusa atau biara pendeta Kristen, dan kuil berhala, Ka’bah tempat peziarah, dan Kitab Taurat dan Al-Qur’an, aku mengikuti agama cinta; ke mana pun unta cinta membawaku, ke situlah agamaku dan keimananku.” Kembali Menuju Pengobatan Sufi KH. Jalaluddin Rakhmat Orang yang sehat secara spiritual mengandung arti orang itu tidak lagi memiliki penyakit-penyakit hati. Biasanya, kesehatan spiritual ditandai dengan kedekatan kepada Tuhan dan kepribadian yang memancarkan sifat tenang, sabar, dan cinta yang besar kepada semua makhluk. Usaha manusia dalam mencari makna sehat tercermin dalam periode sejarah yang panjang. Pertama, masa ketika orang memberi perhatian penuh pada keberadaan jiwa (mind); dan mengesampingkan keberadaan materi (matter). Pada dekade ini, sakit atau sehatnya manusia ditentukan berdasarkan jiwanya. Otomatis pengobatan yang dilakukan pada saat itu adalah pengobatan yang berkenaan dengan jiwa manusia. Corak kehidupan spiritualisme ini dapat ditemukan dalam Budhisme atau Animisme (sekitar tahun 623 M). Periode kedua adalah masa saat orang melakukan pendekatan yang memberikan perhatian penuh pada keberadaan jiwa dan materi (mind and matter period). Kedua pendekatan ini berjalan dengan hukumnya masing-masing; sakit fisik disembuhkan oleh para dokter sementara sakit jiwa ditangani oleh para ahli psikolog dan psikiater. Corak pendekatan kesehatan seperti ini ditemukan pada Masa Renaisans (antara tahun 1400-1500 M). Periode ketiga adalah masa ketika orang menganggap jiwa dan fisik sama pentingnya dalam menentukan kesehatan manusia. Pendekatan seperti ini dimulai pada abad ke-19. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa jiwa dapat mempengaruhi fisik. Hal ini dibuktikan dengan suatu peristiwa di sebuah rumah sakit Amerika. Di rumah sakit itu terdapat pasien anak yang menderita kanker stadium lanjut. Suatu hari, dokter membisikkan ke telinga anak tersebut bahwa setiap malam dia akan didatangi ratusan pasukan makhluk angkasa luar untuk menggempur penyakit kankernya. Dalam tempo sebulan, keajaiban terjadi. Anak tersebut sembuh total. Kasus ini menunjukkan bahwa jiwa berperan dalam menyembuhkan penyakit fisik (soul over matter). Periode keempat adalah periode tumbuhnya pendekatan baru yang disebut dengan Holistic Medicine (Pengobatan Menyeluruh). Metode ini tidak saja meliputi penyembuhan secara fisik dan jiwa, namun menyertakan juga penyembuhan spiritual atau ruh yang telah lama ditinggalkan pada masa Budhisme dan Animisme. Ada beberapa alasan yang menyebabkan bangkitnya pengobatan spiritual. Pertama, karena ditemukannya banyak cacat dalam metode kedokteran modern. Pada sebuah seminar yang pernah saya ikuti, seorang dokter menyebutkan bahwa hanya 30 % dari pengobatan modern yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Sisanya hanyalah trial and error. Kedua, banyak pendekatan pengobatan modern dilakukan tanpa memahami penderitaan pasien. Contohnya dalam mengatasi halusinasi, sampai kini tidak banyak yang dapat dipahami mengenai penyakit ini. Ketiga, pengobatan modern telah banyak melakukan kesalahan. Di Amerika Serikat tercatat sekitar sepuluh ribu orang meninggal setiap tahun karena kesalahan petugas medis, baik berupa kesalahan diagnosa maupun kesalahan dari segi farmasi. Keempat, pengobatan modern membutuhkan biaya yang teramat tinggi. Ongkos rumah sakit saat ini sangat mahal. Di Indonesia, kata hospital diterjemahkan sebagai rumah sakit, artinya rumah untuk orang sakit (house of the sick). Seorang teman saya di Amerika menyanggah makna itu. Menurut dia, terjemahan yang pantas untuk kata hospital adalah “rumah miskin” atau house of the poor. Masuk rumah sakit selama tiga hari saja bisa membuat orang jatuh miskin. Alasan-alasan di atas memunculkan arus besar dalam masyarakat untuk mencari pengobatan alternatif. Meskipun demikian, pengobatan alternatif pun tak luput dari kelemahan, misalnya tidak adanya catatan yang lengkap tentang keberhasilan dan kegagalan pengobatan tersebut. Dalam perkembangan terakhir, pengobatan spiritual telah disambut oleh masyarakat Barat dengan kesadaran penuh. Adapun masyarakat Indonesia masih perlu banyak belajar pada masyarakat Barat, karena sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih percaya kepada takhayul dan belum sampai pada kesadaran spiritualisme. Padahal pada masa lalu bangsa Indonesia pernah mencapai era kesadaran spiritual yang tinggi seperti terlihat dalam sastra Melayu Klasik karya Hamzah Fansuri dan beragam tulisan oleh raja-raja di tanah Jawa. Kemandegan spiritualisme di Indonesia terjadi karena penindasan dan penjajahan yang terus menerus, feodalisme, dan tingkat pendidikan yang rendah. Sayangnya, semua faktor itu masih ada sampai saat ini. Agama adalah jalan untuk kembali pada kejayaan spiritualisme. Tasawuf mengenal urusan pengobatan atau penyembuhan kesehatan dengan istilah Pengobatan Sufi (Sufi Healing). Dalam Pengobatan Sufi, dibahas cara-cara mengobati penyakit hati seperti rakus, iri hati, dan kebencian pada orang lain. Penyakit-penyakit hati ini dapat mempengaruhi dan merusak kesehatan jiwa, dan selanjutnya kesehatan jiwa dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Pengobatan spiritual berujung pada pengobatan oleh diri sendiri, seperti halnya juga dalam kedokteran modern. Yang dapat menyembuhkan penyakit ruh adalah diri kita sendiri, bukan dokter atau pun ulama. Boleh jadi ulama atau dokter yang dianggap sebagai penyembuh pun bisa saja menderita sakit ruh. Yang paling utama dalam proses penyembuhan spiritual adalah kesadaran untuk berusaha menyembuhkan diri sendiri. Hikmah dari Kisah Waliyullah KH. Jalaluddin Rakhmat Dunia tasawuf mengenal banyak cerita sufi. Sebagian dari cerita itu termuat dalam kitab Tadzkiratul Awliya, Kenangan Para Wali, yang ditulis oleh Fariduddin Attar. Buku ini ditulis dalam bahasa Persia, meskipun judulnya ditulis dalam bahasa Arab. Selain berarti kenangan atau ingatan, kata tadzkirah dalam bahasa Arab juga berarti pelajaran. Sehingga Tadzkiratul Awliya berarti pelajaran yang diberikan oleh para wali. Attar mengumpulkan kisah para wali; mulai dari Hasan Al-Bashri, sufi pertama, sampai Bayazid Al-Busthami. Dari Rabiah Al-Adawiah sampai Dzunnun Al-Mishri. Selain buku ini, Attar juga menulis buku cerita sufi berjudul Manthiquth Thayr, Musyawarah Para Burung. Berbeda dengan kitab pertama yang berisi cerita para tokoh sufi, kitab ini berbentuk novel dan puisi sufi. Sebagian besar ceritanya bersifat metaforis. Fariduddin dijuluki Attar (penjual wewangian), karena sebelum menjadi sufi ia memiliki hampir semua toko obat di Mashhad, Iran. Dahulu, orang yang menjadi ahli farmasi juga sekaligus menjadi penjual wewangian. Sebagai pemilik toko farmasi, Attar terkenal kaya raya. Sampai suatu hari, datanglah seorang lelaki tua. Kakek itu bertanya, "Dapatkah kau tentukan kapan kau meninggal dunia?" "Tidak," jawab Attar kebingungan. "Aku dapat," ucap kakek tua itu, "saksikan di hadapanmu bahwa aku akan mati sekarang juga." Saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Attar terkejut. Ia berpikir tentang seluruh kekayaan dan maut yang mengancamnya. Ia ingin sampai pada kedudukan seperti kakek tua itu; mengetahui kapan ajal akan menjemput. Attar lalu meninggalkan seluruh pekerjaannya dan belajar kepada guru-guru yang tidak diketahui. Menurut shahibul hikayat, ia pernah belajar di salah satu pesantren di samping makam Imam Ridha as, di Khurasan, Iran. Setelah pengembaraannya, Attar kembali ke tempat asalnya untuk menyusun sebuah kitab yang ia isi dengan cerita-cerita menarik. Tradisi mengajar melalui cerita telah ada dalam kebudayaan Persia. Jalaluddin Rumi mengajarkan tasawuf melalui cerita dalam kitabnya Matsnawi-e Ma'nawi. Penyair sufi Persia yang lain, Sa'di, juga menulis Gulistan, Taman Mawar, yang berisi cerita-cerita penuh pelajaran. Demikian pula Hafizh dan beberapa penyair lain. Tradisi bertutur menjadi salah satu pokok kebudayaan Persia. Kebudayaan Islam Indonesia juga mengenal tradisi bercerita. Islam yang pertama datang ke nusantara adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia lewat jalur perdagangan sehingga metode penyebaran Islam juga dilakukan dengan bercerita. Mereka menggunakan wayang sebagai media pengajaran Islam. Dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, Attar menjelaskan mengapa ia menulis buku yang berisi cerita kehidupan para wali. Alasan pertama, tulis Attar, karena Al-Quran pun mengajar dengan cerita. Surat Yusuf, misalnya, lebih dari sembilan puluh persen isinya, merupakan cerita. Terkadang Al-Quran membangkitkan keingintahuan kita dengan cerita: Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang cerita yang dahsyat, yang mereka perselisihkan. (QS. An-Naba; 1-3). Bagian awal dri surat Al-Kahfi bercerita tentang para pemuda yang mempertahankan imannya: Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini. (QS. Al-Kahfi; 10) Surat ini dilanjutkan dengan kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidhir, diteruskan dengan riwayat Zulkarnain, dan diakhiri oleh cerita Rasulullah saw. Demikian pula surat sesudah Al-Kahfi, yaitu surat Maryam, yang penuh berisi ceritera; Dan kenanglah kisah Maryam dalam Al-Quran. Ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke satu tempat di sebelah timur. (QS. Maryam; 16) Al-Quran memakai kata udzkur yang selain berarti "ingatlah" atau "kenanglah" juga berarti "ambillah pelajaran." Attar mengikuti contoh Al-Quran dengan menamakan kitabnya Tadzkiratul Awliya. Alasan kedua mengapa cerita para wali itu dikumpulkan, tulis Attar, adalah karena Attar ingin mendapat keberkahan dari mereka. Dengan menghadirkan para wali, kita memberkahi diri dan tempat sekeliling kita. Sebuah hadis menyebutkan bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang amat dekat dengan Allah swt. Bila mereka tiba di suatu tempat, karena kehadiran mereka, Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam bencana. Para sahabat bertanya, "Ya Rasulallah, siapakah mereka itu dan bagaimana mereka mencapai derajat itu?" Nabi yang mulia menjawab, "Mereka sampai ke tingkat yang tinggi itu bukan karena rajinnya mereka ibadat. Mereka memperoleh kedudukan itu karena dua hal; ketulusan hati mereka dan kedermawanan mereka pada sesama manusia." Itulah karakteristik para wali. Mereka adalah orang yang berhati bersih dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk yang hidup dalam paradigma cinta. Dan mereka ingin menyebarkan cinta itu pada seluruh makhluk di alam semesta. Attar yakin bahwa kehadiran para wali akan memberkahi kehidupan kita, baik kehadiran mereka secara jasmaniah maupun kehadiran secara ruhaniah. Dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi menjelaskan dalil dianjurkannya menghadirkan orang-orang salih untuk memberkati tempat tinggal kita. Ia meriwayatkan kisah Anas bin Malik yang mengundang Rasulullah saw untuk jamuan makan. Tiba di rumah Anas, Rasulullah meminta keluarga itu untuk menyediakan semangkuk air. Beliau memasukkan jari jemarinya ke air lalu mencipratkannya ke sudut-sudut rumah. Nabi kemudian shalat dua rakaat di rumah itu meskipun bukan pada waktu shalat. Menurut Imam Nawawi, shalat Nabi itu adalah shalat untuk memberkati rumah Anas bin Malik. Imam Nawawi menulis, "Inilah keterangan tentang mengambil berkah dari atsar-nya orang-orang salih." Sayangnya, tulis Attar dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, sekarang ini kita sulit berjumpa dengan orang-orang salih secara jasmaniah. Kita sukar menemukan wali Allah di tengah kita, untuk kita ambil pelajaran dari mereka. Oleh karena itu, Attar menuliskan kisah-kisah para wali yang telah meninggal dunia. Attar memperkenalkan mereka agar kita dapat mengambil hikmah dari mereka. "Saya hanya pengantar hidangan," lanjut Attar, "dan saya ingin ikut menikmati hidangan ini bersama Anda. Inilah hidangan para awliya." Attar lalu menulis belasan alasan lain mengapa ia mengumpulkan ceritera para wali. Yang paling menarik untuk saya adalah alasan bahwa dengan menceritakan kehidupan para wali, kita akan memperoleh berkah dan pelajaran yang berharga dari mereka. Seakan-akan kita menemui para wali itu di alam ruhani, karena di alam jasmani kita sukar menjumpai mereka. Seringkali kita juga lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran dari cerita-cerita sederhana ketimbang uraian-uraian panjang yang ilmiah. Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu. Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, "Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan." Bayazid menjawab, "Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu." Murid itu heran, "Mengapa, ya Tuan Guru?" "Karena kau tertutup oleh dirimu," jawab Bayazid. "Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?" pinta sang murid. "Bisa," ucap Bayazid, "tapi kau takkan melakukannya." "Tentu saja akan aku lakukan," sanggah murid itu. "Baiklah kalau begitu," kata Bayazid, "sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, "Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang." Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, "Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!"" "Subhanallah, masya Allah, lailahailallah," kata murid itu terkejut. Bayazid berkata, "Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir." Murid itu keheranan, "Mengapa bisa begitu?" Bayazid menjawab, "Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu." "Kalau begitu," murid itu kembali meminta, "berilah saya nasihat lain." Bayazid menjawab, "Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!" Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. "Hati-hatilah kalian dengan ujub," pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya. Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt. Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, "Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?" Nabi menjawab, :"Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber-istiqamah-lah kamu." Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi. Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama. Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, "Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah." Nabi hanya berkata, "Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya." Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, "Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?" Sahabat yang ditanya menjawab, "Allahumma, na'am. Ya Allah, memang begitulah aku." Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, "Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?" "Aku," jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, "Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku'." Nabi tetap bertanya, "Siapa yang mau membunuh orang itu?" Umar bin Khaththab menjawab, "Aku." Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, "Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?" Nabi masih bertanya, "Siapa yang akan membunuh orang itu?" Imam Ali bangkit, "Aku." Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, "Ia telah pergi, ya Rasulullah." Nabi kemudian bersabda, "Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku...." Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah-tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya. Berlarilah Menuju Allah KH. Jalaluddin Rakhmat Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Ibrahim as. Ibadat haji, misalnya, adalah salah satu contoh tradisi Ibrahim yang masih terus dilaksanakan. Demikian juga dengan ibadat kurban. Dalam ibadat salat, kita mengakhiri salat kita dengan membaca salawat kepada Ibrahim dan keluarganya, di samping kepada Muhammad saw dan keluarganya. Al-Quran pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada Ibrahim: Fa ayna tadzhabun. Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS. Al-Takwir; 26) Al-Quran mengisahkan jawaban Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. Al-Shaffat; 99) Pertanyaan fa ayna tadzhabun, “Lalu ke mana kamu pergi?” juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, “Quo Vadis?”Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan Al-Quran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng; kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran. Seperti jawaban Ibrahim as, seorang sufi adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya. Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku. (QS. Al-Hijr; 29) Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf. Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah swt berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat; 50) Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir. Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada satu, Allah swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Dalam Al-Quran surat Luqman, ayat 15, Allah swt juga berfirman: Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?” Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?” Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.” Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.” Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali padanya. Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah jalan tasawuf. Karena para sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu jalan kepada Allah itu adalah dengan menyucikan diri –meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah. Perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya. Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti “tumbuh”. Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya. Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia menamakannya dengan aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya tazakka. Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita. Allah swt berfirman: Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah....(QS. Al-Nisa; 100). Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata “rumah” dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita. Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadat, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan salat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadat dengan ibadat para pedagang. Kita menjual ibadat kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadat, kita mengutamakan kepentingan pribadi kita. Hal ini berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari “rumah” mereka. Mereka beribadat bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepada-Nya. Mreka merasa berutang budi atas segala anugrah Allah kepada mereka. Itulah ibadat yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta. Al-Quran menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya –karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. Allah swt berfirman: Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah; 165) Tulisan ini diawali dengan kisah Ibrahim dan ditutup dengan kisah Ibrahim pula. Syahdan, Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Ibrahim berkata kepadanya, “Mana mungkin sang Khaliq mematikan kekasih-Nya?” Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, “Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?” Mendengar jawaban agung itu, Ibrahim berkata, “Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga.” Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan seseorang yang telah sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat nawafil (di samping ibadat fardhu) hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya.” (HR. Bukhari) Islam Amerika versus Islam Arab? KH. Jalaluddin Rakhmat Sore itu, di sebuah restoran hotel berbintang, saya berkumpul dengan sekelompok muslimah. Sambil makan siang, kita merencanakan sebuah seminar internasional di Jakarta. "Subhannalah sekali, yah, kita bisa berkumpul sekarang ini," kata perempuan paling muda di situ, "Insya Allah, kita akan mengundang syaikh kita. Masya Allah, beliau bersedia datang ke Indonesia." Kemudian, perempuan muda itu nyerocos memimpin rapat dengan memasukkan setiap ungkapan bahasa Arab dalam setiap kalimatnya. Saya segera menyela dengan menanyakan apakah ia pengikut Ustadz Fulan. Saya mengenal ustadnya itu sebagai orang yang sangat saleh. Kesalehan itu ditampakkan dengan banyak memasukkan zikir dalam pembicaraan. Jika Anda datang ke pesantrennya, Anda akan menemukan pengumuman semacam, "Toko 100 meter lagi, insya Allah," "Alhamdulillah, ini ruang makan," atau "Allahu Akbar, ini mushalla." (Kalimatnya tentu saja tidak persis seperti itu. Saya mengubahnya hanya supaya pesantren itu mudah-mudahan tidak teridentifikasi). Ustadnya sendiri memakai pakaian Arab - jubah dan serban. Jika Anda agak dekat dengan beliau, Anda akan mencium minyak kesturi, asli dibeli dari Madinah. Satu botol kecil minyak itu pernah diberikannya kepadaku. Bila saya memakai parfumnya itu, keluarga saya segera mendengus sambil berkata, "Bau Arab!" "Kesalehan" perempuan itu dan ustadznya mengingatkan saya kepada serangan kawan saya yang kejawen: "Aku tidak mau mengikuti kamu, karena agama kamu itu agama Arab. Mungkin lebih baik bagiku ikut Kristen saja." Saya menjelaskan kepadanya bahwa Islam itu agama universal, melintas ruang dan waktu. "Omong kosong," kata dia, "buktinya kamu harus sembahyang dengan bahasa Arab. Dalam Kristen kita membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia, dan sembahyang dengan menggunakan bahasa Indonesia." Untunglah waktu itu dan sampai sekarang, walaupun saya sudah diberi gelar kyai, saya tidak pernah memakai jubah atau serban yang dirancang gaya Arab. Saya tegaskan bahwa bahasa Arab itu hanya dipergunakan untuk membaca Al-Quran dan doa-doa standar dalam salat. Untuk menyampaikan doa sendiri, baik di dalam maupun di luar salat, kita boleh menggunakan bahasa Indonesia. Sambil sedikit menyerang balik, saya juga menyebut kebiasaan orang Katolik untuk menyampaikan doa-doa baku mereka dengan bahasa Latin atau para mahasiswa yang menyanyikan lagu Godiamus Igitur atau kalangan kedokteran yang terus menerus menggunakan bahasa Latin. Sekiranya saya berdebat lagi dengan teman Kejawen itu sekarang, saya mungkin tidak berkutik. Ia akan menyebut perempuan muda itu (maaf, saya berulangkali menyebutnya karena kekaguman saya) dan berbagai contoh Islamisasi yang berbentuk Arabisasi: Protes kepada Gus Dur karena mau mengganti assalamu ‘alaikum dengan selamat pagi. Bank Islam yang mengganti istilah-istilah perbankan dari bahasa Inggris ke bahasa Arab. Hotel yang disebut Islami karena memasang kaligrafi Arab di setiap ruangan. Organisasi yang disebut Islami karena menyebut Anggaran dasar dengan Qanun Asasi. Sebuah buku Islam yang dikritik karena tidak ada tulisan Arab di dalamnya. Pesta pernikahan yang memisahkan tamu pria dari tamu perempuan. Lasykar Jihad yang gentayangan dengan jubah putih dan serban. Keharusan berwajah brewok dan berjanggut. Perempuan yang menutup seluruh mukanya (Empat contoh terakhir ini tidak berkaitan dengan penggunaan Bahasa Arab, tetapi merujuk pada kebudayaan Arab). Betulkah kita harus menjadi orang Arab untuk menjadi Muslim yang baik? Betulkah nama apa pun sebaiknya harus diganti dengan nama Arab, bila kita masuk Islam atau naik haji? Inilah pertanyaan yang mengusik Dr. Jeffrey Lang (seorang mualaf yang menulis buku Even Angels Ask tentang pengalamannya sebagai muslim di Amerika, -red.) ketika ia masuk Islam. Ia memutuskan untuk tidak mengganti namanya, seperti Cassius Clay yang menjadi Muhammad Ali. Ia juga tidak melepaskan dasi dan jasnya untuk diganti dengan jubah dan serban seperti Cat Stevens, yang mengganti namanya menjadi Yusuf Islam. Ia juga pernah berusaha menggunakan thank God sebagai pengganti alhamdulillah dalam percakapan ringan di sebuah Islamic Center. Saya akan mengutip satu bagian dari buku Dr. Lang untuk Anda -masih dalam bahasa Inggris. At the Islamic Center one evening, I was greeted by an American Muslim who asked me how things were going. "Very well, thank God. And how are you?" I responded. "Alhamdulillah!" (All praise belongs to God) he answered. "And how are you?" he asked again. "Fine, thank God!" I repeated. He looked dissatisfied and a few seconds later repeated his question, and I repeated my answer. Another few conversation, and then the same question and answer. I realized he would not give up until he received a satisafactory reply. I held on a little longer but finally gave him the answer he wanted: "Alhamdulillah, "I sighed. With an approving look on his face he nodded, "Alhamdulillah." Banyak orang Islam memang merasa belum puas kalau belum menggunakan kata-kata seru -interjections- dalam bahasa Arab. Dengan jenaka, Dr. Lang menceritakan kawannya, yang tertarik dengan Islam. Supaya diterima penuh dalam masyarakat Islam, kawannya itu sudah menemukan kuncinya: "Pakai tutup kepala timur tengah, pelihara janggut panjang, katakan al hamdu lillah, ma sya Allah, as salamu alaikum, jazakallahu khayran dalam situasi yang tepat." Kawannya yang lain, yang sudah masuk Islam, berkomentar bahwa orang Islam itu tampaknya menduga Tuhan hanya mengerti Bahasa Arab. Kesan bahwa Islam itu agama orang Arab adalah salah satu di antar stereotip yang popular di Barat. Kita menyebutnya setereotip, karena kesan itu terus bertahan walaupun "survei membuktikan" bahwa lebih dari 85 persen umat Islam itu bukan Arab. Karena itu, tidak mengherankan jika para mualaf umumnya, termasuk Dr. Lang dan kawan-kawannya menangkap kesan itu. Delapan tahun setelah masuk Islam, Dr. Lang membawa semua keluarganya pergi hijrah ke Arab Saudi. Ia ingin menikmati Islam dalam lindungan negara Islam, the land of the Prophet! Delapan tahun ia hidup bersama komunitas Islam dalam lingkungan budaya Amerika. Ia tertarik kepada Islam bukan karena perilaku orang Islam di Amerika. "My only Muslim contacts for many years were drug users, adulterers, and gamblers," tulis Dr. Lang. Selama delapan tahun ia telah menyaksikan bagaimana Muslim yang salih saling mendengki, saling memaki, dan saling memfitnah. Dengan sedih ia harus menyaksikan kawannya, seorang Muslim bule juga, yang akhirnya pindah ke agama Budha, karena dalam agama Budha ia menemukan pemeluk agama yang mempraktekkan apa yang diajarkan agamanya. Dengen kecewa ia harus melihat di depan matanya bagaimana orang-orang Islam yang saleh itu menjual -Dr. Lang menggunakan kata "melacurkan"- agamanya untuk tujuan-tujuan duniawi (Hal yang tidak aneh di negeri kita dan juga di negeri-negeri Islam yang lain). Ia melakukan hijrah ke Saudi bukan untuk menemukan masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Ia tahu keadaan masyarakat Islam seperti yang dipelajarinya dalam pengalaman hidupnya sebagai Muslim. Ia pergi ke negeri Rasulullah untuk menemukan kedamaian dan ketentraman dalam menjalankan ajaran Islam. Ia ingin menjalankan salat berjamaah, salat Jumah, puasa Ramadan dan liburan-liburan Islam bersama saudara-saudaranya kaum muslimin. Tetapi, setahun kemudian, ia terbang kembali, pulang ke kampung halamannya, ke Universitas Kansas. Ia menyadari bahwa "there was no escape for being American." Karena alasan yang tidak bisa dipahaminya, Arab Saudi telah mencekiknya secara ruhaniah: Di negeri yang menyaksikan kebangkitan Nabi Muhammad, yang mengandung dua kota Islam yang paling suci dan Ka'bah yang menjadi arah salat saya, negeri yang didominasi oleh kaum muslimin, dan tanah air bagi kebudayaan yang dipenuhi agama, saya merasa beku secara spiritual, tanpa harapan sama sekali. Di Arab Saudi, Islam berhenti sebagai kekuatan untuk perkembangan kepribadian, dan iman saya segera kehilangan daya hidupnya. Bukan karena negeri itu kekurangan orang-orang saleh dan beragama -sebaliknya, saya banyak berjumpa dengan kaum Muslimin yang ihklas dan taat di sana- tetapi dalam pandanganku, gerakan Islam di kerajaan Saudi diarahkan menuju masa lalu yang diidealisasikan. Saya tidak bisa menjadi bagian daripadanya; sesuatu pemahaman agama yang didasarkan pada penafsiran Islam, yang secara cepat kehilangan kepercayaanku. Dr. Lang ingin meninggalkan watak keamerikaannya dan menjadi Muslim. Ia gagal. Tetapi ia berhasil menemukan pencerahan baru. No escape for being American. Ia tidak perlu lari dari keamerikaannya. Menjadi Islam tidak berarti harus menanggalkan semua latar belakang budaya kita. Islam tidak pernah datang pada suatu vakum kultural. Karena itu, kita menemukan Islam Arab, Islam Iran, Islam India, Islam Cina, Islam Indonesia. Mengapa tidak boleh ada Islam Amerika? Sebelum Dr. Lang sampai ke situ, di benua Eropa seorang mantan Komunis yang menjadi Muslim, Dr. Roger Garaudy menegaskan bahwa ada hambatan besar bagi kaum muslimin untuk mengembangkan ijtihad: keterikatan kepada masa lalu dan taklid kepada Barat. Yang pertama melihat masa lalu sebagai rujukan ideal. Pemikiran Islam terdahulu, hasil ijtihad orang-orang Islam ratusan tahun yang lalu dianggap begitu sakral sehingga sebagian kaum Muslim dengan bangga menyebut dirinya Salafi (Secara harafiah berarti merujuk kepada yang terdahulu, masa lalu, masa yang sudah lewat. Menurut Kamus, salafa berarti to be over, be past, be bygone, precede, antecede). Karena ratusan tahun pertama sejarah Islam bergabung dengan sejarah Arab, maka Islam masa lalu berjalin berkelindan dengan kearaban. Dari sinilah muncul anggapan bahwa menjadi Muslim adalah menjadi orang Arab. Mereka tidak bisa memisahkan antara kebudayaan Arab dengan ajaran Islam. Islam yang melintas ruang dan waktu sekarang dibatasi pada Ruang Arab dan Waktu yang lalu. Dr. Lang pernah ditegur oleh orang Maroko karena tidak berpakaian yang sesuai dengan Sunnah. Pakaian yang "menyunnah" itu mestilah jalabiyah gaya orang Maroko. Ia mengingatkan kawannya bahwa bahkan pakaian yang dikenakan oleh orang Saudi sekarang tidak sama dengan pakaian Hijaz abad keenam, pada zaman Rasulullah. Saya teringat kepada jenis-jenis busana Muslim sekarang ini. Menurut kawan saya dari Jemaat Tabligh, yang di situ Lang pernah menjadi salah seorang anggotanya, pakaian Islam bagi pria itu adalah pakaian orang India (Pakistan); yakni, kemeja yang memanjang sampai ke atas lutut. Bagi kebanyakan orang Indonesia, busana Muslim untuk salat dan acara keislaman adalah baju koko tanpa kerah. Bagi saudara saya dari Lasykar Jihad, pakaian Islami adalah pakaian orang Arab Selatan. Bagi saudara saya yang lain, yang terpengaruh Syiah, busana Muslim adalah apa yang dipakai oleh para mullah di Iran. Maka sah-sah saja kalau Dr. Jeffrey Lang mengusulkan agar busana Muslim bagi orang Barat ialah pakaian lengkap, dengan jas dan dasi. Tapi, jika kita menerima usulan Lang, tidakkah kita jatuh pada hambatan besar kedua: mengekor Barat? Memang, di samping kaum "fundamentalis" yang mengekor kebudayaan Arab, kita menemukan juga kaum "liberal" yang mengekor Barat. Kelompok ini melihat Barat sebagai puncak peradaban. Mereka kemudian membungkus kebudayaan Barat dengan kemasan Islam. Saya pernah mendengar seorang mubalig -yang sekaligus doktor lulusan Amerika- bercerita di depan saya bahwa di Amerika Islamnya banyak tetapi Muslimnya sedikit; di Arab Saudi, Muslimnya banyak tapi Islamnya sedikit. Dari pemujaan kepada Barat yang berlebihan tidak jarang sebagian di antara mereka meninggalkan sebagian syariat, yang dianggapnya bukan ajaran Islam. Kelompok kedua ini juga jatuh pada jebakan kelompok pertama: tidak dapat memisahkan antara kebudayaan Arab dan ajaran Islam. Agar tidak jatuh kepada jebakan-jebakan itu, Dr. Lang menganjurkan agar kita tetap mengembangkan sikap kritis. Ia menulis, "The most effective way to counter either danger is not to discourage questioning and criticism, but, on the contrary, the Muslim community should encourage both. We are most prone to error when we refuse to be self-critical." Kita harus selau bertanya dan mempertanyakan. Even Angels Ask, bahkan malaikat pun bertanya! Lihatlah, bagaimana malaikat yang sangat dekat dengan Tuhan "berani" mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menujuk khalifah di muka bumi: Apakah Engkau akan jadikan di sana makhluk yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah (QS. Al-Baqarah; 30). Pertanyaan malaikat inilah yang sangat mengesankan Dr. Jeffrey Lang. Ini juga yang membawanya kepada Islam. Jika ia ditanya mengapa masuk Islam, jawabannya singkat saja: Al-Quran. Bacalah Al-Quran dengan terus bertanya. Pada Bab 2 dari buku Even Angels Ask, Dr. Lang menunjukkan bagaimana setiap pertanyaan yang mengusik dia dijawab oleh rangkaian ayat-ayat Al-Quran satu demi satu. Membaca Al-Quran menjadi dialog ruhani yang menyejukkan. Pada akhir bukunya, Dr. Lang menyarankan agar Islam Amerika harus menciptakan iklim intelektual yang mendukung penelitian kritis. Ia menyaksikan pada masyarakat Muslim di Amerika ada keengganan untuk menerima kritik satu sama lain. Mereka cenderung saling menuduh dengan tuduhan kafir atau bid'ah. Di antara sesama Muslim disebarkan desas-desus dan fitnah, berita dusta, dan pergunjingan. Seorang mualaf baru kawan Lang pernah berkata kepadanya bahwa hiburan favorit orang Islam adalah bergunjing dan menyebarkan fitnah. Membaca buku ini dari awal sampai akhir adalah mengikuti perjalananan spiritual bukan saja seorang Muslim Amerika tetapi juga perjalanan intelektual Muslim di mana pun, ketika ia dihadapkan pada kegelisahan karena benturan Islam konseptual dengan Islam aktual. Dr. Lang menulis buku ini untuk anaknya. Ia sudah menjawab beberapa pertanyaan yang mengganggunya. Ia ingin agar anaknya melanjutkan penelitian kritis ini dengan berpijak pada hasil kajian kritisnya. Apa saja yang sudah ia pertanyakan dan sudah ia temukan jawabannya? Secara singkat, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Betulkah menjadi Muslim berarti menjadi Arab? Betulkah setiap Muslim harus berjuang mendirikan negara Islam, kalau perlu dengan menghancurkan negara Amerika? Betulkah Islam agama yang misoginis -yang membenci perempuan? Bagaimanakah strategi dakwah Islam di Barat, agar kita menarik non-Muslim ke pangkuan Islam dan sekaligus mempertahankan putra-putra Islam dalam pangkuan Islam? Seluruh buku ini menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sangat menakjubkan. Ia menulis dengan sangat persuasif. Ia meyakinkan kita tidak saja dengan argumentasi yang logis dan tidak terbantahkan, bukan hanya dengan dalil akli dan nakli. Ia juga menyentuh emosi kita dengan kisah-kisah yang terkadang jenaka, terkadang mengharukan. Seperti Dr. Murad Hofmann, muslim Jerman yang menulis Islam als Alternative, saya juga ingin menggaris-bawahi anjuran Lang agar kita tidak bersandar secara membuta pada masa lalu kita, tidak mendogmakan pendapat, kecuali kalau kita ingin jatuh pada atrofi dan kehancuran. Dengan latar belakang budaya kita masing-masing, marilah kita kembangkan Islam yang kontekstual, Islam yang tumbuh subur pada tanah mana pun. Bukan hanya Islam Arab, tetapi juga Islam Amerika, Islam India, dan tentu saja Islam Indonesia. Ali bin Abi Thalib; Penghulu Para Sufi KH. Jalaluddin Rakhmat Di antara sekian banyak sahabat Nabi, hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang diberikan sebutan karamallahu wajhah; sebuah sebutan yang juga berarti doa “Semoga Allah memuliakan wajahnya” atau “Allah telah memuliakan wajahnya.” Semua ulama sepakat bahwa doa itu hanya dikhususkan untuk Imam Ali saja seperti halnya sebutan shalallahu ‘alaihi wa alihi wassalam untuk Nabi Muhammad. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini. Salah satu riwayat di antaranya menjelaskan alasan tentang doa itu. Pertama, di antara semua sahabat Nabi saw, hanya Ali bin Abi Thalib yang tidak pernah menyembah berhala. Dia masuk Islam dalam usia yang masih kecil sehingga tak sempat beribadah kepada berhala. Artinya, wajahnya tak pernah disujudkan kepada berhala. Ali kecil langsung sujud kepada Allah swt. Alasan kedua, Imam Ali adalah orang yang dikenal tak pernah melihat aurat, baik aurat dirinya sendiri maupun aurat orang lain. Konon, dalam sebuah pertemuan di Shiffin, pasukan Imam Ali bertemu dengan pasukan Muawiyah. Sebelum perang berkecamuk, biasanya diadakan mubarazah atau duel antara dua orang yang mewakili pasukan yang akan bertempur. Imam Ali menantang Muawiyah ber-mubarazah namun Muawiyah tak berani dan Amr bin Ash menggantikannya. Dalam duel itu, Amr terdesak dan mengalami kekalahan. Ketika Imam Ali hendak memukulkan pedangnya ke kepala Amr, Amr lalu membuka auratnya sehingga Imam Ali segera berbalik memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amr. Karena Imam Ali tak mau melihat aurat, selamatlah Amr. Semasa hidupnya, Imam Ali dikenal sebagai seorang pria yang gagah dan tampan. Banyak hadis yang meriwayatkan Imam Ali memiliki kepala yang agak botak sehingga orang yang tak senang pada Imam Ali memberikan julukan ashla yang berarti “Si Botak”. Umar bin Khattab pernah berkata, “Sekiranya tak ada si ashla, celakalah Umar!” Ketika banyak sahabat lain mengecam Imam Ali dengan memberikan julukan ashla, Rasulullah saw berkata, “Janganlah kalian mengecam Ali karena ia sudah tenggelam dalam kecintaan kepada Allah.” Imam Ali sering menjadi fana atau larut dalam kecintaannya kepada Allah. Pernah suatu hari, Abu Darda menemukan Ali terbujur kaku di atas tanah seperti sebongkah kayu di sebuah kebun kurma milik seorang penduduk Mekkah. Dengan tergopoh-gopoh, Abu Darda mendatangi Fathimah untuk berbelasungkawa, karena ia mengira Ali telah meninggal dunia. Fathimah hanya berkata, “Sepupuku, Ali, tidak mati melainkan ia pingsan karena fana dalam ketakutannya kepada Allah. Ketahuilah, kejadian itu sering menimpanya.” Bagi Imam Ali, salat juga tidak merupakan peristiwa biasa. Baginya, salat adalah pertemuan agung dengan Allah swt. Imam Al-Ghazali mengisahkan hal ini dalam kitab Ihya Ulumuddin: Suatu hari, menjelang waktu salat, seorang sahabat menemukan Imam Ali dalam keadaan tubuh yang berguncang dan wajah yang pucat pasi. Ia bertanya, “Apa yang telah terjadi, wahai Amirul Mukminin?” Imam Ali menjawab, “Telah datang waktu salat. Inilah amanat yang pernah diberikan Allah kepada langit, bumi, dan gunung tetapi mereka menolak untuk memikulnya dan berguncang dahsyat karenanya. Sekarang, aku harus memikulnya.” Dengan sikapnya itu, Imam Ali ingin mengajarkan sahabatnya bahwa salat bukanlah kejadian biasa. Salat adalah amanat yang di dalamnya mengandung perjanjian mulia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Alangkah anehnya bila kita masih belum merasakan kekhusukan itu di dalam salat kita. Tuhan berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang mukmin itu; yaitu mereka yang khusyuk di dalam salatnya. (QS. Al-Mukminun; 1) Imam Ali juga dikenal karena salatnya yang khusyuk. Banyak sahabat yang memuji salat Ali sebagai salat yang mirip dengan salat Rasulullah saw. Puluhan tahun sejak kematian Rasulullah, seorang sahabat bernama ‘Umran bin Husain, salat di belakang Imam Ali di Basrah. ‘Umran berkata, “Lelaki itu mengingatkan aku pada salat yang dilakukan Rasulullah saw.” ‘Umran terkesan akan salat Ali bukan karena gerakan-gerakan lahiriahnya melainkan karena kekhusyukannya. Ibn Abi Al-Hadid, seorang tokoh Muktazilah, bercerita tentang ibadah Imam Ali. Ia menyebutkan Ali sebagai orang yang paling taat beribadah dan yang paling banyak salat dan puasanya sehingga dari Ali-lah orang banyak belajar tentang salat malam. Selain itu, Ali senantiasa melazimkan wirid dan menunaikan ibadah-ibadah nafilah. “Dalam Perang Shiffin,” Al-Hadid bercerita, “di tengah-tengah perang yang berkecamuk, Ali masih mendirikan salat. Sesudah salat, ia membaca wirid. Dalam kesibukan perangnya, ia tak meninggalkan wiridnya padahal anak panah melintas di antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya.” Banyak hadis meriwayatkan kehidupan Imam Ali yang teramat sederhana. Ali bekerja keras membanting tulang untuk nafkah keluarganya. Istrinya, Fathimah, setiap hari menggiling gandum sampai melepuh tangannya. Suatu saat, setelah memenangkan sebuah peperangan, kaum muslimin memiliki banyak tawanan perang. Fathimah berkata pada Ali, “Bagaimana jika kita meminta salah seorang tawanan kepada Rasulullah untuk menjadi pembantu kita?” Imam Ali enggan menyampaikan permohonan ini pada Rasulullah karena merasa sangat malu. Ia meminta Fathimahlah yang memintakan hal itu. Pergilah Fathimah menemui Rasulullah saw. Begitu ia berada di hadapan Nabi yang mulia, Fathimah tak kuasa menyampaikan maksudnya. Ia pulang lagi ke rumahnya. Imam Ali lalu pergi untuk menyampaikan hal itu dan ia pun tak kuasa mengutarakan keinginan itu dan kembali lagi. Akhirnya keduanya memutuskan untuk pergi bersama-sama ke tempat Rasulullah. Disampaikanlah hajat itu tapi Rasulullah tak menjawab permintaan mereka. Keduanya pulang dengan perasaan malu dan takut akan kemurkaan Rasulullah. Malam harinya Nabi datang ke rumah Ali. Nabi menyaksikan Ali hanya berselimutkan sarung yang amat pendek padahal malam teramat dingin. Jika selimut itu ditarik ke atas, terbukalah bagian bawah dan jika selimut itu ditarik ke bawah, terbukalah bagian atas. Rasulullah terharu melihat kesederhanaan Ali. Ia berkata kepada keluarga mulia itu, “Maukah kalian aku berikan pembantu yang lebih baik dari seluruh isi langit dan bumi?” Rasulullah saw kemudian memberikan wirid untuk dibacakan oleh keluarganya itu seusai salat. Wirid itu berisi 33 kali tasbih, tahmid, dan takbir.Begitu setianya Imam Ali dengan wiridnya itu, ia tak pernah meninggalkannya bahkan saat perang sekali pun. Ia melazimkannya dalam setiap keadaan. Di masa kekuasaan Muawiyah, karena kebencian Muawiyah pada Imam Ali, para khatib Jumat diperintahkan untuk mengakhiri setiap khutbahnya dengan kecaman kepada Ali. Cacian dan makian ini berlangsung selama hampir puluhan tahun. Ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa, perintah ini dihapuskan. Namun meskipun Muawiyah begitu membenci Ali, ia harus mengakui keutamaan sifat-sifat Ali. Suatu saat, Darar bin Dhamrah Al-Khazani diminta Muawiyah untuk bercerita tentang Imam Ali kw. Ia tak mau memenuhi permintaan itu. Ia takut, bila ia menceritakan keadaan Ali apa adanya, ia akan dianggap sebagai orang yang mengutamakan Ali, dan ia akan dihukum. Oleh sebab itu Darar hanya berkata, “Ampunilah aku, wahai Amirul Mukminin! Jangan perintahkan aku untuk mengungkapkan hal itu. Perintahkan aku untuk melakukan hal lain saja.” “Tidak,” ujar Muawiyah, “aku takkan mengampunimu.” Akhirnya Darar bercerita tentang Ali dalam bahasa Arab yang teramat indah. Terjemahannya sebagai berikut: “Ali adalah seorang yang cerdik cendekia dan gagah perkasa. Ia berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari kedalaman dirinya dan hikmah keluar dari sela-sela ucapannya. Ia mengasingkan diri dari dunia dengan segala keindahannya untuk kemudian bertemankan malam dengan seluruh kegelapannya, di sisi Allah. Air matanya senantiasa mengalir dan hatinya selalu tenggelam dalam pikiran. Ia sering membolak-balikkan tangannya dan berdialog dengan dirinya. Ia senang dengan pakaian yang sederhana dan makanan yang keras.” “Demi Allah, ia dekat kepada kami dan kami senang berdekatan dengannya. Ia menjawab bila kami bertanya. Namun betapa pun ia dekat dengan kami, kami tak sanggup menegurnya karena kewibawaannya. Jika tersenyum, giginya tampak bagai untaian mutiara. Ia memuliakan para ahli agama dan mencintai orang miskin. Orang kuat tak berdaya di hadapannya karena keadilannya sementara orang yang lemat tak putus asa di sisinya.” “Aku bersaksi demi Allah, aku sering melihatnya berada di mihrab pada sebagian tempat ibadatnya. Malam telah menurunkan tirainya dan gemintang tak tenggelam, saat itu ia memegang janggutnya dan merintih dengan rintihan orang yang sakit. Ia menangis dengan tangisan orang yang menderita. Seakan-akan kudengar jeritannya Ya Rabbana, ya Rabbana.....” “Ia menggigil di hadapan kekasihnya lalu berkata pada dunia: Kepadaku kau datang mencumbu. Kepadaku kau merayu. Enyahlah dan pergi! Tipulah orang selain aku. Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu. Usiamu pendek, posisimu rendah. Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya perantauan.” Muawiyah mendengar Darar yang bercerita dengan penuh perasaan. Meskipun ia amat membenci Ali, tapi ia tak kuasa menahan tangisan begitu mendengar penuturan Darar. Pada kesempatan lain, Darar pernah ditanya, “Bagaimana kerinduanmu kepada Ali?” Darar menjawab, “Aku rindu kepadanya seperti kerinduan seorang perempuan yang kekasihnya disembelih di pangkuannya. Air matanya takkan pernah kering, dukanya panjang dan takkan pernah usai.” Imam Ali selalu mengisi malamnya dengan tangisan dan orang-orang yang mengenalnya akan mengisi kisah Ali dengan tangisan pula. Dalam tasawuf, menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih. Imam Ali berkata, “Salah satu ciri orang yang celaka adalah ia yang memiliki hati yang keras. Dan ciri hati yang keras adalah hati yang sukar menangis.” Nabi saw bersabda, “Jika engkau membaca Al-Quran, menangislah. Jika tidak bisa, berusahalah agar engkau menangis.” Pada salah satu doanya yang teramat indah, Imam Ali memohon: “Tuhanku, berilah daku kesempurnaan ikatan kepada-Mu. Sinarilah bashirah¬ hati kami dengan cahaya karena melihat-Mu sehingga kalbu kami menorehkan tirai cahaya dan sampailah ia pada sumber kebesaran; arwah kami terikat pada keagungan kesucian-Mu. Air mata tidak mengering kecuali karena hati yang keras dan hati takkan keras kecuali karena banyaknya doa.” Psikologi dan Agama; Bersaudara atau Bermusuhan KH. Jalaluddin Rakhmat Pada tanggal 26 Juli 1875, di Kesswil, Swiss, lahir seorang anak dari ibu yang ahli bahasa dan bapak yang pendeta Protestan. Bayi ini tumbuh menjadi anak yang suka merenung dan tenggelam dalam mimpi-mimpinya. Ia sering mengalami pengalaman-pengalaman aneh. Misalnya, pada suatu hari di sekolah, anak kecil ini menulis sebuah karangan yang sangat bagus. Begitu bagusnya sehingga gurunya menuduh anak itu menjiplak karangan orang dewasa. Ia berusaha menyakinkan gurunya bahwa semuanya itu betul-betul karyanya sendiri. Sang guru bertahan pada dugaannya; dan anak kecil itu menelan kepahitan selama beberapa hari. Tiba-tiba, begitu ceritanya sebagaimana yang ia tuliskan; Ada keheningan batiniah…seakan-akan nafas alam semesta dari gemintang dan ruang yang tidak terhingga menyentuhku, atau seakan-akan sesosok ruh masuk ke ruangan tanpa kelihatan- ruh dari seseorang yang sudah meninggal dunia, tetapi masih terus hadir dalam keabadian jauh sampai ke masa depan. Kehadiran sosok gaib itu mendatangkan rasa damai, tentram, dan bahagia. Semua derita karena konflik dengan gurunya lenyap seketika. Ia melanjutkan sekolahnya ke Fakultas Kedokteran di Zurich. Ia lulus dengan menulis tesis tentang pengalaman trance yang dialami oleh Helene Preiswerk, saudara sepupunya. Ketika magang sebagai psikiater, ia terpesona oleh kekuatan simbolis yang muncul dari para pasiennya. Pernah ia mendengarkan pengalaman pasien yang melihat matahari dengan phallus. Dengan sangat mengherankan, psikiater kita ini menemukan apa yang diceritakan pasien itu pada gambar peninggalan Mesir Kuno. Ia termasuk pendukung awal psikoanalisis. Bersama Freud, ia bekerja selama lima tahun. Tidak selalu keduanya sepakat. Pada suatu hari,. ketika keduanya berbincang tentang parapsikologi di sebuah rumah tua di Wina, suara keras tiba-tiba terdengar dari lemari buku. Ia mengemukakan teori sinkronisitas kepada Freud. Suara keras dari lemari buku itu adalah “kebetulan yang berarti.” Selama mereka berbincang tentang para psikologi, suara itu akan terdengar lagi. Memang setelah itu, suara keras lainnya menggelebap. Tapi, Freud menolak mentah-mentah teori itu. Dalam perjalanannya ke Amerika Serikat, ia mengajak Freud untuk saling menganalisis mimpi. Freud mau menganalisis tapi tidak mau dianalisis. Ia ingin menegaskan pentingnya pengalaman spiritual, tetapi Freud tetap memandang teramat penting pengalaman seksual. Sejak itulah, ia bercerai dengan Freud. Orang yang kita bicarakan ini kelak terkenal sebagai pendiri mazhab piskologi analitis, Carl Gustav Jung. Jung telah menaikkan psikonalisis dari “gejolak seksual” ke “kedamaian spiritual.” Jung melaporkan bahwa ia tidak pernah menemukan pasien yang berusia setengah umur yang masalah psikologisnya tidak berkaitan pada akhirnya dengan keberagamaan. Siapa saja, apa pun agamanya, pada satu momen dalam kehidupannya, harus berhadapan dengan masalah-masalah moral, religius, dan spiritual. Manusia, kata Jung, adalah “naturaliter religiosa,” secara fitriah memang tidak bisa berpisah dengan agama. Jung hanya bisa menyembuhkan orang yang mengalami goncangan mental dengan memberikan jawaban atas masalah spiritual yang dihadapinya. Pada 1944, Jung menderita myocardial infraction, dan beberapa kali mengalami apa yang nanti dikenal sebagai near death experience, pengalaman menjelang kematian. Di ranjang rumah sakitnya, beberapa kali Jung mengalami penglihatan ruhaniah, spiritual vision. Jika selama ini ia berusaha menjelaskan pengalaman spiritual secara ilmiah agar diterima pada lingkungan akademis, kali ini Jung sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin menyampaikan kebenaran. Akhirnya ia menerbitkan Seven Sermons of the Dead, Synchronicity: An Acausal Connecting Principle, Answer to Job, Mysterium Conjunctionis, Memories, Dreams, Reflections. Pada akhir hayatnya ketika Jung diwawancara BBC apakah ia berpikir bahwa Tuhan itu ada, Jung menjawab, “I don’t think, I know He exists.” Sumbangan Psikologi untuk Kehidupan Beragama Saya mengisahkan Jung untuk menunjukkan bahwa psikologi tidak selalu memusuhi agama. Psikologi memberikan sumbangan yang sangat berarti untuk memahami pengalaman keagamaan. Psikologi dapat menunjukkan apakah keberagamaan Anda itu membuat jiwa Anda lebih sehat dan hidup Anda lebih bahagia; atau apakah keberagamaan Anda dapat menjerumuskan Anda pada penyakit mental yang mengganggu hidup Anda dan hidup orang lain. Hanya sekedar contoh saja, belakangan popular istilah kecerdasan spiritual. Danah Zohar, dalam Spiritual Intelligence, menulis tentang karakteristik orang yang spiritually dumb. Salah satu di antaranya ialah merasa diri paling salih, memonopoli kebenaran agama hanya untuk dirinya dan kelompoknya, menafikan atau setidak-tidaknya merendahkan paham keagamaan yang berbeda dengannya. Orang yang spiritually intelligent akan berkata seperti Zohar: As a spiritually intelligent Christian, Muslim, Budhist or whatever, I love and respect my tradition –but I love it because it is one of the many forms expressing the potentiality of the centre. I have a deep and abiding respect for other traditions and other forms, and may even imagine myself capable of living some of these forms. As the thirtiteenth-century Sufi mystic Ibn Arabi expressed it: My heart has become capable of every form: it is a pasture For gazelles and a convent for Christian monks, And a temple for idols and the pilgrim’s Ka’ba and the tables of the Torah and the book of the Koran. I follow the religion of love: whatever way Love’s camels take, that is my religion and my faith. Karakteristik lain dari orang yang spiritually dumb adalah perhatian yang berlebihan kepada lambang-lambang kesalehan: aksesori kesalehan (seperti jubah, serban, tasbeh), ritus-ritus keagamaan, penggunaan bahasa yang sakral, dan sebagainya. Jika Anda menelaah pembahasan riya dalam Ihya ‘Ulum al-Din, Anda akan memahaminya dengan sangat baik bila Anda mempunyai latar belakang psikologis. Sebaliknya orang yang cerdas secara spiritual, tulis Khalil A. Khavari, profesor emeritus psikologi dari University of Wisconsin-Milwaukee, dalam Spiritual Intelligence, adalah keinginan untuk memberikan kontribusi bagi umat manusia. Bagi orang seperti itu, kesalehan adalah kemampuan untuk berkhidmat bagi orang lain, untuk menghibur orang yang menderita, mengenyangkan yang lapar, menyembuhkan yang sakit, memberikan pakaian kepada orang yang telanjang. Nabi Muhammad saw sedang menjelaskan ciri orang yang cerdas secara spiritual, ketika ia bersabda, “Manusia yang paling baik ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.” Ini bukan saja spiritualitas yang cerdas, tetapi juga keberagamaan yang sehat. Seorang gadis Australia berusia delapan tahun tersentuh hatinya ketika mendengar sebuah puisi di sekolahnya. Perlahan-lahan puisi ini tumbuh dalam hatinya sebagai benih keimanan. Pada usia 41 tahun, benih ini berkembang menjadi pohon keimanan yang kokoh, ketika Amatullah Armstrong berbaiat di depan mursyid tarekatnya. Saya terjemahkan puisi ini untuk Anda sebagaimana yang saya kutip dari bukunya: The Sky is not the Limit: An Australian Woman’s Spiritual Journey within the Traditions: Abou Ben Adhem Leigh Hunt Abou Ben Adhem (semoga kabilahnya bertambah!) Bangun suatu malam dari mimpinya yang dalam dan indah dan melihat, dalam cahaya rembulan di biliknya, yang membuatnya gemerlap, seperti bunga Lili yang merkah, Seorang malaikat sedang menulis dalam buku emasnya. Ketentraman yang luar biasa membuat Ben Adhem berani, dan kepada yang hadir di kamarnya ia berkata, “Apa yang sedang engkau tuliskan?” Bayangan itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang menyejukkan segalanya, Berkata, “Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan.” “Apakah namaku salah satu di antaranya?” kata Abou. “Tidak, tidak ada,” menjawab Sang Malaikat. Abou bicara lebih perlahan tapi seraya masih ceria, ia berkata, “Kalau begitu, aku mohonkan,” “Tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia.” Malaikat menulis dan menghilang. Malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang sangat mempesona dan memperlihatkan nama-nama orang yang telah diberkati cinta Tuhan, Dan nun di sana! Nama Ben Adhem di atas nama semuanya. Konsep spiritual intelligence lahir dari mazhab baru dalam psikologi: Psikologi Transpersonal. Psikologi Transpersonal disebut baru bila melihat perkembangannya pada awal milenium ketiga. Dasar-dasar psikologi ini sudah diletakkan jauh sebelumnya oleh antara lain Carl Gustav Jung, William James, Abraham Maslow, Victor Frankel dan Assagioli, serta belakangan ini oleh Ken Wilbur, Stanislav Grof, Seymour Boorstein, Daniel Goleman dan lain-lain. Kelahiran Psikologi Transpersonal (selanjutnya PT) membantu umat beragama lebih dari sekedar memahami gejala keagamaan; tetapi juga membantu melakukan transformasi spiritual. Tidak mungkin saya membicarakan Psikologi Transpersonal sekarang ini: baik karena keterbatasan ruang dan waktu (alasan yang dikemukakan) maupun karena keterbatasan pengetahuan saya (alasan yang sebenarnya). Saya hanya akan memberikan contoh pengalaman Malcolm Goldsmith, seorang psikolog yang memasuki PT karena kegagalannya untuk merasakan kenikmatan sembahyang: Saya telah berusaha keras bersembahyang selama bertahun-tahun. Saya telah berusaha bangun jam 5:30 pagi untuk melakukan sembahyang satu atau dua jam, membaca Alkitab, dan merenung; sembahyang harian dalam jemaat; membaca buku-buku; mencoba pola-pola baru; gerakan sosial dan keterlibatan; pengasingan diri dan ritret. Sering kali hasil akhirnya adalah pengalaman berbicara kepada ketiadaan dan mendengarkan keheningan yang menulikan telinga sebagai balasannya. Saya merasa seperti nabi yang berkata, ”Sungguh engkau adalah seorang Tuhan yang menyembunyikan dirinya.” Walaupun saya sering mengalami kegagalan, saya tetap setia melakukan sembahyang. Karena sangat sering dan pada waktu-waktu tertentu dalam hidupku saya menyadari sesuatu ‘kelainan’ (otherness) yang saya tahu saya mempunyai kebutuhan untuk memberikan respon kepadanya. Karena itu, saya dapat memahami dan mengerti ucapan Dag Hammarskjold, mantan sekjen PBB yang menulis, :”Once I answered Yes to Someone— or Something. And from that hour I was certain that existence is meaningful and that, therefore, my life, in self surrender, has a goal.” Saya tidak percaya bahwa ketidakmampuan saya sembahyang disebabkan oleh ‘kurang iman’. Saya selalu ingin beriman walaupun iman itu saya peroleh dengan sangat sulit. Seperti Thomas Merton, saya percaya bahwa keinginan untuk memperoleh rida Tuhan sungguh-sungguh akan menyenangkan Tuhan, tak jadi soal apakah keinginan itu terpenuhi atau tidak. Saya telah menyadari bahwa entah bagaimana ada pertentangan antara otak saya dan hati saya. Secara intelektual, saya tahu apa yang disebut sembahyang, saya telah mencoba mempraktikkan apa yang telah saya pelajari tetapi selalu saja ada sesuatu yang hilang. Apa pun macamnya “sesuatu itu”, saya menafsirkannya sebagai pengalaman sembahyang. Malcolm Goldsmith kemudian menemukan gabungan antara hati dan otak; ia tahu bahwa kita hanya bisa sembahyang dengan baik bila kita mengenal siapa diri kita. Setiap orang punya caranya yang unik dalam berhubungan dengan Yang Mahakuasa, sesuai dengan tipe kepribadiannya. Seperti kata Nabi Muhammad saw, “Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.” Dari kegelisahannya dalam sembahyang, Goldsmith sampai kepada studi tentang tipologi kepribadian Myers-Briggs, yang lagi-lagi bisa dilacak kepada Carl Gustav Jung. Ia menulis bukunya dengan judul yang memikat, seperti parafrase dari sabda Nabi Muhammad: Knowing Me Knowing God. Dalam perkembangannya yang terakhir, PT bukan saja menyumbang pada kehidupan beragama, tetapi juga menerima sumbangan daripadanya. Tradisi mistikal dari berbagai agama: Zen Budhism, Yoga, Sufisme, Kabbalah, Shamanisme, Tradisi Mistikal Kristiani, telah menjadi pusat perhatian dan penelitian para psikolog. Psikologi sudah bergerak dari studi perilaku yang bisa diamati, bawah-sadar yang tersembunyi, kesadaran, sampai kepada ruh atau kesadaran paling tinggi, yang melintasi (trans) diri yang biasa, terbatas, dan personal. Sumbangan agama bagi psikologi memerlukan diskusi tersendiri, di luar luas lingkup makalah ini. Tetapi kita dapat menyimpulkan kontribusi agama pada psikologi dengan menyimak percakapan antara Freud dengan muridnya Flugel, pada tahun 1938. Flugel: Ceritakan padaku Maestro, bagaimana sebenarnya cara psikoanalisis menyembuhkan pasiennya? Freud: Pada suatu saat selama analisis, si analis mencintai pasiennya, dan pasien dapat mengetahuinya, dan sembuhlah pasien itu. Agama membantu para psikoterapis untuk mendekati manusia dengan pendekatan cinta. Jika sains berusaha menganalisis jenis bola lampu, bahannya, komponennya, kabelnya, strukturnya; maka agama berusaha untuk menghubungkan bola lampu itu dengan Pusat Energi- Pusat Cinta, Yang Mahakasih dan Mahasayang. Psikologi –sebagai sains- hanya menggunakan akal. Agama menaikkan akal ke pangkuan Cinta. Jalaluddin Rumi menutup perbincangan kita: Jika kamu bangun kandang ayam- Jangan simpan unta –dengan leher panjang – di dalamnya Ayam itu akal dan kandang itu tubuhmu Unta adalah keindahan Cinta, dengan kepala tegak dan menjulang tinggi (Divan-e Syams-e Tabrizi, 31168-69) Daftar Bacaan Boorstein, Seymour. 1980. Transpersonal Psychotherapy. PaloAlto: Science and Behavior Books Boorstein, Seymour. 1997. Clinical Studies in Transpersonal Psychotherapy. New York: State University of New York Press. Cortright, Brant. 1997. Psychotherapy and Spirit: Theory and Practice in Transpersonal Psychotherapy. New York: State University of New York Press. Dossey, Larry. 1989. Recovering the Soul: A Scientific and Spiritual Search. New York: Bantam Books. Goldsmith, Malcolm. 1997. Knowing Me Knowing God. Nashville: Abingdon Press. Khavari, Khalil A. 2000. Spiritual Intelligence. Ontario: White Mountain. Mann, Richard D. 1984. The Light of Consciousness: Explorations in Transpersonal Psychology. New York: New York: State University of New York Press. Scotton, Bruce W, et al. 1996. Textbook of Transpersonal Psychiatry and Psychology. New York: BasicBooks. Sinetar, Marsha. 2000. Spiritual Intelligence: What We Can Learn from the Early Awakening Child. New York: Orbis Book. Sterling, Marysol Gonzalez. 1995. I-Ching and Transpersonal Psychology. Maine: Samuel Weiser Inc. Tart, Charles T. 1991. Transpersonal Psychologies: Perspectives on the Mind from Seven Great Spiritual Traditions. San Francisco: HarperSan Francisco. Walsh, Roger N dan Frances Vaughan. 1980. Beyond Ego: Transpersonal Dimensions in Psychology. Los Angeles: J.P. Tarcher, Inc. Washburn, Michael. 1988. The Ego and the Dynamic Ground. New York: State University of New York Press. Wilber, Ken. 1980. The Atman Project. Madras: The Theosophical Publishing House. Zohar, Danah dan I. Marshall. 2000. Connecting with our Spiritual Intelligence. New York: Bloomsbury.. Mengapa Kita Mudah Berghibah KH. Jalaluddin Rakhmat Suatu hari di zaman Nabi, seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulallah, apakah yang disebut dengan ghibah?" Rasulullah saw menjawab, "Ghibah adalah menceritakan keburukan orang lain di belakang dia." Sahabat itu bertanya lagi, "Bagaimana bila keburukan itu memang terdapat pada dirinya?" Rasulullah menjawab, "Itulah yang disebut dengan ghibah." "Lalu bagaimana bila keburukan itu tidak terdapat pada dirinya?" "Hal itu disebut dengan buhtân atau fitnah. Dosanya lebih besar daripada ghibah," jawab Rasulullah. Sebuah hadis meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang mempergunjingkan seorang muslim -baik lelaki maupun perempuan, Allah tidak akan menerima salat dan shaumnya selama empat puluh hari empat puluh malam sampai orang yang dipergunjingkan itu memaafkannya." Ibadat salat dan shaum orang yang senang bergunjing tidak akan diterima Allah. Hadis yang lain menyebutkan bahwa sebenarnya salat dan shaum orang yang bergunjing itu -sekiranya dilakukan dengan benar- dicatat oleh para malaikat tetapi tidak dicatat dalam kitab amal orang itu. Salat dan shaumnya dicatat malaikat di kitab amal orang yang dipergunjingkannya. Meskipun yang disebut dalam hadis itu adalah salat dan shaum, para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah keseluruhan ibadat yang dilakukan orang itu. Kaidah-kaidah ushul fiqh sering menyebutkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Nabi saw pun menyebutkan dua ibadat itu hanya sebagai contoh saja. Pahala dari ibadat orang yang bergunjing dipindahkan Tuhan kepada orang yang dipergunjingkannya. Rasulullah pernah bercerita: Di Hari Kiamat nanti, ada orang yang dihempaskan di Pengadilan Allah. Kemudian diberikan kepadanya seluruh kitab catatan amalnya di dunia. Namun di dalamnya ia tak melihat satu kebaikan pun. Ia berkata, "Tuhanku, ini bukan kitabku karena aku tak melihat di situ ketaatanku." Tuhan menjawab, "Tuhanmu tidak pernah salah dan tidak pernah lupa. Seluruh amalmu hilang karena pergunjinganmu kepada orang banyak." Sementara ada seseorang lagi yang diberikan kitab catatan kebaikannya di dunia. Ia terkejut karena melihat di dalamnya ketaatan yang amat banyak; salat, shaum, dan haji yang tak pernah ia lakukan. Ia berkata, "Tuhanku ini bukan kitabku karena aku tak mengamalkan seluruh ketaatan ini." Tuhan menjawab, "Karena si Fulan pernah mempergunjingkanmu, maka seluruh kebaikannya dipindahkan ke dalam catatan amalmu." Pada sebuah hadis lain, Rasulullah saw bersabda, "Jika engkau tinggalkan ghibah, engkau melakukan sesuatu yang lebih dicintai Allah azza wa jalla daripada sepuluh ribu rakaat salat sunat yang engkau lakukan." Rasulullah juga bersabda, "Bila seseorang yang berghibah bertaubat, Allah tidak akan mengampuninya sampai orang yang dighibahkan itu melepaskannya." Maksudnya, taubat orang yang bergunjing tidak akan diterima Allah kecuali bila orang yang dipergunjingkan itu telah memaafkannya. Sebuah hadis lain yang sering kita dengar berbunyi, "Sesungguhnya ghibah itu haram bagi setiap muslim. Ghibah akan memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar." Semua kebaikan yang kita lakukan dalam hidup tidak akan hilang atau lolos dari catatan Allah swt. Hanya saja karena ghibah yang kita lakukan, Allah memindahkan kebaikan kita ke catatan orang yang kita pergunjingkan. Imam Ali Zainal Abidin as sering berbicara tentang hak. Ucapan-ucapan Imam tentang hak itu dikumpulkan para pengikutnya dalam "Kitabul Huqűq". Di dalamnya tertulis hak orang tua terhadap anaknya, hak istri terhadap suaminya, dan hak-hak setiap orang terhadap orang yang lain. Selain itu, juga terdapat hak dari setiap anggota tubuh kita. Pada bagian itu, Imam berkata, "Hak telinga kita adalah dibersihkan dari pendengaran ghibah." Di hari akhir nanti, telinga akan menuntut haknya untuk tidak mendengarkan ghibah dan hal-hal yang tak halal didengar. Demikian pula dengan lidah, ia berhak untuk tidak mengucapkan ghibah dan hal-hal yang tak halal diucapkan. (Lihat Kitab Al-Bihâr, juz 74) Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata, "Jika engkau melakukan ghibah, mintalah agar engkau dihalalkan dari ghibah itu dengan memohon maaf kepada orang yang engkau pergunjingkan. Bila engkau tak dapat menemuinya, beristighfarlah kepada Allah." Selama orang yang kita pergunjingkan belum memaafkan, amal-amal kita akan ditahan dalam kitab amal orang itu. Amal kita "disandera" sampai kita memperoleh maaf dari orang itu. Kalau kita tak bisa meminta maaf kepada orang itu, karena orang itu telah meninggal dunia, kita harus membacakan istighfar untuk orang itu kepada Allah, setiap kali kita mengingat nama orang itu. Dalam doa-doa salat malam kita, dahulukanlah berdoa bagi orang yang telah kita pergunjingkan. Itulah kifarat dari ghibah. Imam juga berkata, "Kifarat dari ghibah adalah hendaknya orang itu menyesal dan bertaubat untuk tidak lagi melakukan hal yang sama." Ghibah tak hanya dilakukan lewat ucapan, bisa juga melalui tulisan dan gerakan. Ada beberapa hal yang menyebabkan kita senang melakukan ghibah; Pertama, Al-Ghadhab atau kemarahan. Jika kita marah, jengkel, dan tidak suka terhadap seseorang, kita akan mencari orang yang mau mendengarkan kejengkelan kita dan dengan mudah kita akan menceritakan keburukan orang yang kita marah terhadapnya itu. Sebuah syair Arab menyebutkan jika seseorang sedang marah, maka matanya hanya akan melihat keburukan dari orang yang dimarahi, tetapi jika seseorang sedang senang, matanya hanya akan melihat kebaikan dari orang yang kita senangi. Dalam sebuah buku berjudul Verbally Abused Relationship, halaman pembukanya bertuliskan; "Jika engkau tidak suka pada seseorang, cara mengangkat sendoknya saja akan membuatmu tersinggung. Namun jika engkau suka pada seseorang, sekiranya piring dilemparkan ke pangkuanmu, engkau akan tertawa gembira." Karena itu, bila kita sedang marah, kita hanya akan melihat pada diri orang yang kita marahi itu aib dan keburukannya saja. Kita juga tak akan puas bila aib dan keburukan itu hanya kita ketahui saja. Kita ingin menyampaikan keburukan itu kepada orang lain. Alasan kedua mengapa orang senang berghibah adalah Al-Hiqd atau dendam. Dendam adalah kemarahan yang disimpan dalam hati untuk suatu saat kita keluarkan untuk memukul balik orang yang kita marahi. Dalam dendam terdapat unsur keinginan untuk membalas kembali. Itu adalah salah satu sifat binatang buas yang terdapat dalam hati kita. Pembalasan dapat dilakukan dengan tindakan ataupun ucapan. Yang dilakukan dengan ucapan disebut dengan bergunjing. Ghibah adalah alat psikologis untuk membalas dendam. Dalam Al-Quran, Allah swt berfirman, "Celakalah setiap orang yang melakukan humazah dan lumazah." (QS. Al-Humazah; 1) Terdapat perbedaan antara humazah dan lumazah. Humazah adalah perbuatan memaki-maki yang dilakukan di depan orang yang bersangkutan sementara lumazah dilakukan di belakang orang tersebut. Ghibah termasuk ke dalam perbuatan lumazah. Alasan ketiga dari dilakukannya ghibah adalah kedengkian. Bila kita dengki terhadap orang lain, akan mudah bagi kita untuk menceritakan keburukan orang itu. Alasan keempat, kita melakukan ghibah untuk bermain-main. Manusia adalah makhluk yang senang untuk mempermainkan orang lain. Tuhan berfirman: Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan. (QS. Al-Ankabut; 64) Permainan itu ada yang mendatangkan murka Allah maupun ridha Allah. Ghibah adalah permainan yang menyebabkan murka Allah swt. Alasan kelima dari bergunjing adalah irâdatul iftikhâr wal mubâhah, keinginan untuk menaikkan harga diri. Karena itu, kita senang mempergunjingkan orang-orang yang terhormat. Dengan itu kita seakan-akan berkata bahwa orang terhormat itu masih jauh lebih rendah dari diri kita karena keburukan-keburukan mereka. Dengan menceritakan kejelekan mereka, kita ingin menunjukkan bahwa kita lebih terhormat daripada mereka. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah sifat hubbul jâh, keinginan akan kedudukan, kehormatan, dan status penting dalam masyarakat. Bila ada pesaing yang menghalangi kita untuk mencapai kedudukan itu, kita cenderung untuk menjatuhkan pesaing kita melalui pergunjingan. Berusahalah untuk menghentikan pergunjingan. Agar amal kita yang sedikit tidak menjadi hilang di Hari Akhirat. Supaya kita tak terhempas di Pengadilan Tuhan karena memperoleh kitab catatan amal yang tak berisi. Pelaksanaan Syariat Islam dalam Politik KH. Jalaluddin Rakhmat Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai menga¬dakan pengajian setiap Jumat malam di mesjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat. Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggung jawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dengan ucapan yang tidak disangka-sangka berikut ini. “Akhirnya, kita tidak boleh lupa—dan ini benar-benar penting—bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni meng¬gulingkan pemerintah yang tidak Islami—di mana pun di dunia ini—dan menggantinya dengan pemerintahan Islam.” “Hisyam!” Saya menginterupsi. “Apakah Anda bermaksud mengata¬kan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam penghianatan politik?!” Saya berpikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang dokter yang hendak menyampaikan kabar kepada pasiennya bahwa tumornya adalah tumor ganas. “Ya,” dia berkata, “Ya, itu benar.” Dr Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematika di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa “absurdnya” gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. “Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim—menurut agama mereka—berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, Luxembourg, Ekuador atau Brazil jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal, ” kata Dr Lang selanjutnya. Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang. Ia mencoba mencari sejak kapan wacana ini muncul dan apa alasannya. Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb Dari penelitiannya yang panjang, bukan sebagai orientalis tetapi sebagai pengamat partisipan, ia memperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, ide “negara Islam” –al-dawlah al-islamiyyah- bermula dari keinginan untuk menjalankan syariat Islam dalam konteks sosial politik umat Islam kontemporer. Kedua, ide negara Islam ditunjang oleh konsep klasik dar al-Islam dan dar al-Harb. Dunia ini dibagi dua. Satu bagian dunia diperintah dengan syariat Islam dan sisanya diperintah oleh aturan bukan ajaran Islam. Dalam bahasa Sayyid Quthub, dalam bukunya yang sangat revolusioner, Ma’alim fi al-Thariq, satu bagian hidup dalam lindungan al-nizham al-Islami, dan bagian lain dalam al-nizham al-jahili. Dr. Lang merumuskannya dengan bagus: Formulasi hukum politik ini memisahkan dunia menjadi dua wilayah yang tidak ada sangkut pautnya; dar al-Islam, negara yang diperintah oleh kaum Muslim menurut syariah (hukum Islam), dan dar al-harb, negara yang tidak di bawah kendali orang Muslim yang mana harus ditundukkan dengan jalan, kalau perlu, penaklukkan, supaya tunduk di bawah pemerintahan Islam. Menurut teori ini, keadaan perang yang terus menerus terjadi antara wilayah Muslim dan non-Muslim. Banyak orang dalam dunia akademis dan media Barat menyatakan bahwa teori ini memperlihatkan karakter Islam yang suka perang. Menurut teori Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb (untuk selanjutnya saya sebut DIH), kita harus terus menerus dalam situasi berperang sebelum seluruh dunia ini diperintah oleh syariat Islam. Untuk itu, yang menjadi alasan utama adalah ayat Al-Quran 9:5, terkenal sebagai ayat pedang: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam penelitian Dr. Lang, semua ayat yang berkenaan dengan perang menyiratkan bahwa Islam memperkenankan peperangan hanya untuk mempertahankan diri atau membela korban-korban kesewenang-wenangan dan penindasan. Bahkan ayat pedang yang baru saja disebut, berkenaan dengan Perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh orang-orang musyrik. Sebagian besar para ulama tafsir menyebutkan ayat pedang sebagai ayat yang “bertentangan” dengan ayat-ayat perintah perang dengan tujuan mempertahankan diri atau menentang penindasan. Untuk mengatasi “pertentangan” ini, dikemukakanlah teori nasikh-mansukh. Ayat-ayat yang melarang agresi militer (QS. 2; 191-193; QS. 2; 256; QS. 4; 91; QS. 8; 61), dimansukh oleh ayat 9; 5. Dr. Lang mengutip teori nasikh-mansukh ini dari salah seorang aktivis, Muhammad Abdul Salam Faraj, yang dieksekusi pada tanggal 15 April 1982 bersama dengan kelompok yang dituduh membunuh Presiden Anwar Sadat. Ia menulis dalam Kewajiban yang Dilalaikan: Kebanyakan ahli tafsir menyatakan pendapat tertentu tentang ayat yang mereka sebut ayat pedang (9; 5). Inilah ayat itu: “Apabila telah usai bulan-bulan haram itu, bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu menjumpai mereka, tangkap mereka, kepung mereka, dan sergap mereka.” Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya: Al-Dahak ibn Muzahim berkata, “(Ayat ini) membatalkan perjanjian, kontrak, dan kesepakatan apa pun antara Nabi dan orang kafir.” Al-‘Ufi berkata tentang ayat ini, “Menurut Ibn ‘Abbas, ‘Tidak ada persetujuan, tidak ada pakta pertahanan dengan orang-orang kafir yang dikenal setelah diturunkannya perintah pembatalan tuntutan kewajiban yang ditetapkan oleh perjanjian itu.” Mufassir Muhammad ibn Ahmad ibn Juzzay Al-Kalbi berkata, “Pembatalan perintah untuk berdamai dengan orang-orang kafir, memaafkan mereka, berhubungan dengan mereka secara pasif, dan mentolerir penghinaan-penghinaan mereka sebelum perintah memerangi mereka. Oleh karena itu, tampaklah berlebihan jika pembatalan perintah hidup dengan damai bersama orang-orang kafir diulang dalam setiap bacaan Al-Quran. Perintah hidup secara dami dengan mereka disampaikan dalam 114 ayat yang tersebar di 54 surat. Semua ayat itu dihapuskan oleh ayat 9; 5 dan 2; 216 (Diwajibkan atas kamu untuk berperang) Argumentasi nasikh-mansukh ini sudah kita ketahui sangat rentan kritik. Pertama, semua hadis yang dijadikan dalil nasikh-mansukh terhitung hadis yang lemah. Kedua, banyak pertentangan di antara para ulama tentang ayat yang di-nasakh, dan dengan ayat mana ia di-nasakh. Ketiga, formula teori nasikh-mansukh ini juga diikhtilafkan di antara para ulama ‘Ulum Al-Quran. Keempat, nasikh-mansukh dikemukakan untuk “mendamaikan” ayat-ayat yang bertentangan; padahal Al-Quran sendiri menegaskan tidak ada pertentangan di dalamnya dan “akhirnya” menurut Dr. Lang, “Teori nasikh-mansukh ini kelihatannya mengklaim bahwa Tuhan menurunkan informasi yang berlebihdan dalam wahyu terakhir pada umat manusia sehingga Dia harus sering-sering mengoreksinya sendiri selama proses penyampaiannya. Persepsi ini sangat sulit disesuaikan dengan gambaran Al-Quran tentang Tuhan. Tidak mengherankan cukup banyak muallaf Islam memberi tahu saya bahwa mereka betul-betul kaget dan keimanannya sangat terguncang ketika pertama kali menemukan teori ini.” Pemerintahan Khilafah Kita tinggalkan Dr. Lang dan mencoba melacak teori “negara Islam” ini dari apa yang disebut oleh Eickelman dan Piscatori sebagai konsep baru yang dimunculkan para pemikir Islam abad kedua-puluh untuk “reinventing tradition.” Negara Islam bisa dihubungkan dengan sistem khalifah, yang merujuk pada pemerintahan Khulafa Al-Râsyidin. Sistem khalifah adalah tradisi pertama dalam menerapkan syariat Islam pada kehidupan bernegara. Abu Al-Hasan Al-Mawardi (991-1058) merumuskan konsep khilafah ini dalam makalahnya yang terkenal Kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Menurut Al-Mawardi, pemerintah Islam diperlukan untuk melaksanakan syariat Islam. Adalah pembaharu Islam dari Mesir, Sayyid Rasyid Ridha, yang menghubungkan sistem khalifah ini dengan konsep negara Islam. Ia melihat sistem khilafah yang dijalankan oleh empat khalifah yang pertama sebagai contoh ideal pemerinatahan Islam. Hukumat Al-Khilafah adalah al-khilafah al-Islamiyyah. Karena tidak mungkin kita menghidupkan kembali sistem khilafah, kita aplikasikan sistem khilafah pada negara Islam modern. Sudah banyak kritik pada sistem khilafah ini. Tidak mungkin tulisan singkat ini meliput semua argumentasinya. Saya hanya akan menyampaikan pokok-pokok argumentasi terhadap sistem khilafah. Pertama, sistem pemerintahan khulafa al-rasyidin itu –bila mempelajari tarikh agak mendalam- tidaklah seideal seperti yang digambarkan. Saya takut menyebutkan contoh-contohnya karena pembaca akan menganggap saya “menyerang kesucian para sahabat Nabi”. Cukuplah saya mengutip lagi, pernyataan Munawir Sadzali, yang menyebut sahabat Nabi itu sebagai “political animals”. Kedua, di antara para khalifah itu sendiri terdapat perbedaan sistem pemerintahan. Misalnya, dalam hal pengangkatan kepala pemerintahan. Abu Bakar dipilih lewat rapat singkat dan tergesa-gesa –menurut Umar bin Khaththab “faltah”- di Saqifah Bani Sa’idah. Tidak semua yang hadir dalam rapat itu setuju dengan pemilihan Abu Bakar. Umar diangkat melalui surat semacam “Supersemar” oleh Abu Bakar ketika ia sakit. Surat itu sendiri ditulis oleh Utsman yang kemudian menisbahkan surat itu kepada Abu Bakar tanpa seorang saksi pun. Utsman ditunjuk oleh Dewan Formatur yang semua anggotanya diangkat oleh Umar menjelang kematiannya. Ali diangkat atas desakan penduduk Madinah yang baru saja mengalami kerusuhan karena pembunuhan Utsman. Sebagai tambahan, tidak perlu disebutkan bahwa setiap khalifah yang empat itu memerintah dengan gaya yang berbeda. Kedua, secara historis sistem khilafah ini tidak pernah dijadikan rujukan pemerintahan, kecuali ketika Otsmaniyyah mengalami keruntuhan pada abad XVIII dan XIX. Penguasa Otsmaniyyah ingin memberikan legitimasi kepada kekuasaannya dengan menemukan kembali tradisi khilafah. Disebarkan juga cerita bahwa sebelum kejatuhannya, khalifah terakhir Abbasiyyah menitipkan khilafah kepada Otsmaniyyah, dengan begitu dibuatlah silsilah sampai kepada Rasulullah saw. “There were obvious political reasons why Ottoman sultans of the age of decline reformulated an appropriated the classical theory of the caliphate,” kata Halil Inalcik dalam The Cambridge Historical Islam Ketiga, berkaitan dengan fungsi khilafah sebagai pelaksana syariat Islam, kita melihat apa yang disebut sebagai syariat Islam itu berubah-ubah sepanjang sejaah. Pada pemerintahan reformasi Ottoman –tanzimat 1839-1876- dibuat perundang-undangan tentang hukum pidana dan dagang di Eropa. Di Mesir, undang-undang tentang waqaf dirumuskan berbeda dengan ketentuan waqaf seperti ada pada kitab-kitab fiqih klasik. Bahkan Arab Saudi, yang terkenal konservatif, telah mengundang-undangkan The Social Insurance Law, yang berbeda dengan fiqih klasik tentang faraidh. Di Iran sekarang telah terjadi banyak perundang-undangan baru yang dianggap bagian dari syariat Islam, tetapi berbeda dengan kompendium fiqih klasik. Walhasil, klaim bahwa syariat Islam tidak berubah-ubah memerlukan pemikiran ulang kita semua. Wilayat Al-Faqih Dari khazanah Ahl al-Sunnah, kita berpindah ke khazanah Syiah. Konsep segara Islam dirimuskan oleh Imam Khomeini dalam wilayat al-Faqih. Saya juga tidak akan mengulang kembali konsep ini yang sudah saya tulis pada tempat lain. Pada pokoknya, para fuqaha adalah orang yang melanjutkan kepemimpinan para Nabi dari para imam. Konsep wilayat al-Faqih ini sedang dan telah mengalami modifikasi berkali-kali. Kita dapat membuat rentangan konsep ini dari dalam spektrum dari statis ke populis. Wilayat al-Faqih Syaikh Jawad Mughniyyah sangat populis; sedangkan wilayat al-Faqih dari Ayatullah Khayri sangat statis. Walaupun konsep ini lahir dari ijtihad ulama Syiah, di kalangan Ahl al-Sunnah pun kita melihat kecenderungan untuk mengartikan negara Islam sebagai negara yang diperintah oleh ahli fiqih. Anda dapat menemukan konsep ini bahkan pada konsep politik dari para ulama PAS, setelah memenangkan pemilu belakangan ini. Syariat tidak lain daripada ketentuan hukum sebagaimana dirumuskan oleh para ulama.. Saya agak ngeri membayangkan hidup dalam pemerintahan Islam seperti ini di Indonesia. Para ulama mungkin sepakat untuk memutuskan bahwa saya murtad, dan karena itu harus dihukum mati. Atau, seperti Afghanistan, saya akan ditembak karena tidak berjanggut. Kesatuan al-Din dan al-Dawlah Imam Khomeini, seperti juga para pemikir Islam lainnya, menegakkan argumentasi tentang negara Islam pada ketidak terpisahan antara agama dan negara dalam Islam. Bukankah sanagt aneh bila Islam yang mengatur kaki mana yang masuk ke toilet tidak mengatur negara; padahal negara sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Kesatuan antara al-din dan al-dawlah juga sering dinisbahkan kepada Nabi saw yang menghimpun dalam dirinya kekuasaan spiritual dan politis sekaligus. Pada prinsipnya, saya setuju dengan kesatuan agama dan negara; negara namun tidak dalam pengertian keharusan mendirikan agama Islam. Saya sependapat dengan kesatuan the religious dan the political; tetapi tidak dalam bentuk Islamic State. Dalam makalah ini saa tidak akan merinci bentuk alternatif ini kecuali sekadar menegaskan bahwa keterlibatan Islam dalam politik harus ditujukan untuk menegakkan keadilan, menentang tirani, membela mustadhafin, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia. Pada bagian terakhir ini, saya juga hanya ingin menyampaikan beberapa kesukaran untuk mempertahankan konsep kesatuan agama dan negara sebagai karakteristik khas ajaran Islam (saya merujuk kepada Eickelman dan Piscatori lagi dalam Muslim Politics). Pertama, tidak adanya pemisahan antara urusan negara dengan urusan agama bukan hanya khas Islam. Moral Majority di Amerika, teologi pembebasan di negara-negara Amerika Latin, aktivis Sikh di India, pendeta Budha di Myanmar dan Vietnam , semua berpendapat bahwa urusan negara tidak bisa dipisahkan dari urusan agama. Kedua, karena agama tidak dapat dipisahkan dari politik maka seluruh kehidupan menjadi sangat politis. Muatan politik yang mencakup berbagai kegiatan muslim menyebabkan umat Isalam tidak mampu dan tidak merasa perlu membangun struktur politik. Ketiga, penegasan kesatuan ini menegaskan persepsi kaum orientalis bahwa politik Islam, berbeda dengan politik yang lain adalah politik yang tidak rasional, emosional, tak terkendalikan dan sulit diramalkan. Kembali kepada cerita Dr. Lang, orang yang menganut paham negara Islam memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama kekerasan, agama agresif, agama yang tidak bisa diajak berdamai. Kesimpulan Saya tidak punya kesimpulan apa pun. Tulisan ini dibuat tidak sebagai tulisan ilmiah. Ia hanyalah kumpulan coretan dan renungan Saya selama ini. Saya tidak tahu apakah hasil refleksi ini konstruktif atau destruktif. Yang pasti, pandangan Saya dalam tulisan ini sudah berbeda jauh dengan pandangan politik Saya sebelumnya. Terserah kepada Anda untuk menerima atau menolaknya. Jika Anda ikut merenungkan kembali pandangan Anda sebelumnya, Anda sudah bergabung bersama Saya. Tidak dalam partai politik, tetapi dalam “reinventing traditions.” Menyambut Ramadhan dengan Ziarah Kubur KH. Jalaluddin Rakhmat Sebagian kaum muslim Indonesia, dari dulu sampai sekarang, biasa menyambut bulan Ramadhan dengan acara ziarah ke kubur. Orang Jawa menyebutnya nyadran, sementara orang Sunda menyebutnya nadran. Dalam acara itu, mereka berkunjung ke pusara orang tua atau karib kerabat yang telah mendahului mereka menghadap Allah swt. Belakangan ada sebagian di antara kita yang memandang ziarah kubur sebagai perbuatan yang tidak diajarkan Islam, tetapi diadopsi dari ajaran leluhur. Betulkah pendapat itu? Apakah ziarah kubur merupakan sunnah yang dianjurkan Nabi saw ataukah bid'ah, hal baru yang dibuat-buat kemudian hari? Apa dasar-dasar ziarah dalam Al-Quran dan Sunnah?. Ziarah ke kuburan dapat terdiri dari tiga macam. Kesatu, ziarah orang-orang mulia yang masih hidup kepada orang-orang mulia yang telah meninggal. Misalnya para ulama yang mengunjungi pusara ulama lainnya. Di dalam hadis-hadis kita temukan bahwa kebiasaan orang-orang mulia untuk berziarah ke kuburan orang-orang mulia lainnya dicontohkan oleh Rasulullah saw. Menurut hadis-hadis sahih yang sampai kepada kita, diriwayatkan ketika Rasulullah saw melakukan perjalanan isra-mikraj, beliau berziarah ke kuburan para nabi dengan diantarkan malaikat Jibril. Jibril memerintahkan Nabi turun dari Buraq dan melakukan salat di samping kuburan setiap nabi. Dari peristiwa itu juga Nabi mengajarkan adab ziarah, Beliau turun dari kendaraannya dan menunaikan salat di dekat kuburan dengan penuh kerendahan hati, lalu berdoa di depan kuburan. Hadis yang meriwayatkan ziarahnya Rasulullah ke kuburan para nabi terdapat dalam semua kitab hadis yang berkenaan dengan peristiwa Isra. Di dalam hadis yang diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, disebutkan bahwa Fathimah ra setiap hari Jumat berziarah ke kuburan Hamzah, pamannya yang syahid pada Perang Uhud. Waktu Fathimah mengunjungi makam Hamzah, Rasulullah tidak pernah melarangnya bahkan beliau menganjurkannya. Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, setiap hari Fathimah berziarah ke pusara ayahnya. Setiap hari ia menangis dan berdoa agar ia dapat segera menyusul ayahnya. Tentang Sayyidah Fathimah, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Fathimah itu adalah bagian dari diriku. Siapa yang membuat marah Fathimah, ia membuat marah aku; dan siapa yang menyakiti Fathimah, ia menyakiti aku (Shahih Bukhari). Aisyah juga pernah berkata bahwa tidak ada orang yang paling menyerupai Nabi, dalam hal wajah dan akhlaknya, selain Fathimah. Saya mengutip hadis-hadis itu untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Fathimah juga merupakan perbuatan yang harus dicontoh. Tidak mungkin Fathimah yang dijamin kesuciannya dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 33 melakukan perbuatan tercela. Seperti halnya Fathimah yang setiap Jumat berziarah kepada Hamzah, kita juga harus secara rutin mengunjungi kuburan keluarga kita. Bila kita buka kitab-kitab tasawuf tentang amalan-amalan yang harus dilakukan setiap hari Jumat, salah satu di antaranya adalah berziarah ke kuburan kaum muslimin. Demikian pula salah satu amalan dalam menyambut Ramadhan adalah berziarah ke kuburan kaum muslimin. Tradisi berziarah di antara orang-orang mulia itu dilanjutkan oleh para ulama besar berikutnya. Imam Syafii, misalnya, sering berziarah ke makam Abu Hanifah di Mekkah. Ketika Imam Syafii melakukan salat dalam kunjungannya ke makam Abu Hanifah, ia tinggalkan qunut pada salat subuhnya demi menghormati Abu Hanifah yang telah meninggal dunia (karena Abu Hanifah tidak menfatwakan tentang kewajiban qunut pada salat subuh). Imam Syafii memberikan sebuah contoh yang sangat indah, yang sayangnya tidak diteruskan oleh para pengikutnya; yakni, menghargai orang yang pendapatnyaberbeda, meskipun ia telah meninggal dunia.Setiap kali Imam Syafii berziarah ke makam Abu Hanifah, ia berdoa di depan makam itu dan bertawasul kepada Allah swt dengan perantaraan Abu Hanifah untuk memenuhi hajat-hajatnya. Imam Syafii meniru Rasulullah saw ketika berdoa di depan kuburan para nabi atas perintah Jibril as. Ketika Fathimah binti Asad, istri Abu Thalib berhijrah ke Madinah, ia meninggal dunia. Rasulullah saw menguburkannya di Baqi. Saat pemakaman, Rasulullah saw turun ke kuburan Fathimah binti Asad dan berbaring di sisinya seraya memeluk ibu asuhnya itu. Lalu Rasulullah membaca doa tawasul: Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu dengan bertawasul kepada nabi-nabi-Mu dan nabi-nabi yang Kau utus sebelum aku. Salah satu adab dalam berziarah adalah berdoa dan memulai doa kita dengan membaca tawasul yang singkat, seperti yang diajarkan Nabi saw di atas: Ya Allah aku bermohon kepada-Mu melalui tawasul kepada Nabi-Mu dan keluarganya, janganlah engkau azab mayit ini. Sebuah hadis menyebutkan, barang siapa yang berziarah ke kuburan dan membaca doa itu, Allah akan menganugrahkan perlindungan dari dahsyatnya hari kiamat. Jenis ziarah yang kedua, adalah ziarah orang-orang mulia kepada kuburan orang-orang biasa. Nabi saw sering berziarah ke kuburan kaum muslimin. Beliau sering berdoa di atas kuburan mereka seraya beristighfar memohonkan ampunan bagi para pendurhaka yang menjadi ahli kubur itu, sebagai bukti bahwa kedatangan Nabi adalah rahmatan lil 'alamin. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari menyebutkan: Rasulullah saw melewati dua kuburan. Lalu beliau berkata, "Kedua ahli kubur ini sedang diazab Tuhan, meskipun bukan karena dosa yang besar." Rasulullah saw lalu meletakkan di atas kedua kuburan itu pelepah kurma yang masih hijau sambil berdoa. Rasulullah kemudian berkata, "Sesungguhnya kedua pelepah kurma itu, insya Allah, akan meringankan azab mereka sampai pelepah itu mengering." Dengan berkah kehadiran Rasulullah ke kuburan itu, Tuhan meringankan azabnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam Fathul Bâri, ketika membahas hadis ini menulis: "Ada kemungkinan, kuburan itu bukan kuburan kaum muslimin melainkan kuburan kaum kafir. Hal itu menunjukkan bolehnya berziarah ke kuburan orang kafir. Apa rahasianya meringankan azab untuk orang kafir itu? Rahasianya adalah ketika Rasulullah datang, Allah menurunkan rahmat-Nya, karena Nabi membaca zikir, menyebut asma Allah. Kedua pelepah kurma yang masih hijau itu sebetulnya selalu bertasbih selama mereka dalam keadaan basah." Seluruh pepohonan dan tanaman bertasbih kepada Allah swt. Kedua pelepah kurma itu disimpan Nabi agar selalu bertasbih untuk meringankan azab para penghuni kubur. Sekiranya yang meninggal adalah orang Islam, maka manfaat dari doa Rasulullah itu akan berlipat ganda karena ia memperoleh syafaat Nabi saw. Nabi bersabda, "Syafaatku kukhususkan untuk orang-orang yang berbuat dosa besar dari kalangan umatku." Semua keterangan di atas menunjukkan bahwa Rasulullah yang teramat mulia juga mengunjungi kuburan mereka yang tidak mulia, bahkan para pendosa. Selain itu, Rasulullah mengunjungi kuburan kaum muslimin untuk memberikan penghormatan kepada mereka. Seperti dalam sebuah hadis riwayat Bukhari: Di zaman Nabi, hidup seorang perempuan kulit hitam yang pekerjaannya membersihkan masjid. Ketika ia meninggal dunia, kaum muslimin menshalatkan dan menguburkannya pada malam hari. Suatu saat, ketika Rasulullah mengunjungi pekuburan, beliau melewati kuburan perempuan itu. Wangi harum yang semerbak tercium oleh ruh Rasulullah yang suci. Rasulullah bertanya kepada para sahabat yang menyertainya, "Kuburan siapakah ini?" "Ini adalah kuburan perempuan kulit hitam yang sering membersihkan masjid," jawab para sahabat. Rasulullah lalu bertanya, "Mengapa kalian tidak memberitahu aku ketika kalian menguburkannya?" Kemudian Rasulullah salat di depan kuburan perempuan kulit hitam itu. Setelah salat, Rasulullah bertanya lagi, "Bagaimana perbuatannya ketika ia hidup?" Para sahabat menjawab, "Ia adalah perempuan yang baik." "Apa pekerjaan yang dilakukannya?" Rasulullah masih bertanya. "Ia membersihkan masjid," jawab para sahabat. Rasulullah saw tidak hanya mengunjungi kuburan perempuan kulit hitam itu, seorang budak belian yang pada masa itu sering diperlakukan dengan hina, tetapi beliau juga mensalatkan dan mendoakannya. Tuhan menyingkapkan tirai alam malakut kepada Nabi dan memperlihatkan perempuan itu sebagai orang yang mulia di alam barzakh, yang menyebarkan harum semerbak di sekitarnya. Sayyid Ismail bin Mahdi Al-Hasani, dalam Kitab Nafasur Rahmân, menulis: Hendaknya orang-orang yang mulia sering berkunjung ke orang-orang yang kurang mulia di antara mereka. Walaupun mereka adalah para ahli kasyaf. Dengan berkunjung ke kuburan, mereka dapat melihat keadaan orang-orang yang dikubur sehingga mereka dapat mendoakan kebaikan bagi para ahli kubur itu. Saya teringat sebuah kisah ketika seorang yang salih pergi mengunjungi pekuburan kaum muslimin. Setelah mengucapkan salam, orang salih itu lalu berdoa. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan para penghuni kubur di sekitarnya. Usai berdoa, tiba-tiba ia mendapati dirinya berada di sebuah taman yang sangat indah. Ia menyusuri setapak jalan yang membawanya ke istana yang megah. Di tempat itu duduk seseorang di atas tahta yang gemerlapan. Puluhan khadam melayaninya. Wajahnya ceria dan gembira. Namun tiba-tiba wajah yang cerah itu berubah muram. Ia melihat dari salah satu sudut tamannya berdatangan rombongan lebah dengan dengungan yang amat nyaring. Orang di atas tahta lalu menjulurkan lidahnya untuk disengat kawanan lebah itu. Serangga-serangga itu pun lalu merubungi lidah orang itu sampai pingsan. Setelah itu, kawanan lebah pun menghilang. Ketika orang itu tersadar, wajahnya menjadi ceria gembira seperti sedia kala. Namun lebah-lebah itu datang lagi dan peristiwa yang sama terulang kembali. Orang salih yang melihat semua ini keheranan, "Apa yang terjadi dengan dirimu?" tanyanya. "Dahulu, ketika aku masih hidup, alhamdulillah, aku banyak beramal salih. Aku sering membantu orang-orang yang kekurangan, aku tak meninggalkan ibadatku di hari-hari yang mulia, dan aku pun berziarah ke Masjidil Haram. Tapi satu saat, aku jatuh cinta pada anak perempuan tetanggaku. Aku melamarnya namun orang tuanya tak menerima lamaranku. Karena jengkel, kusebarkan berita pada orang banyak bahwa sebenarnya perempuan itu telah menikah diam-diam.Karena berita yang kusebarkan, sampai sekarang perempuan itu tak menemukan jodohnya. Tak ada seorang pun yang melamarnya. Aku lalu meninggal dunia. Setiap kali perempuan itu menangis menyesali nasibnya, Tuhan mengirimkan kawanan lebah itu untuk menyiksa diriku. Aku bermohon kepada-Nya agar dilepaskan dari azab ini, tapi Tuhan berkata bahwa aku tak bisa dilepaskan dari azab ini sebelum perempuan itu memaafkanku dan sebelum ia menemukan jodohnya. Tapi aku telah mati dan tak bisa meminta maaf kepadanya. Aku lalu bertawasul dengan perantara Imam Ali kw. Imam Ali berkata, "Nanti akan datang kepadamu seorang salih, sampaikan pesanmu kepadanya." Kini engkau telah datang kepadaku. Tolong sampaikan permohonan maafku kepada perempuan itu dan keluarganya dan tolong bantu mencarikan jodoh bagi dirinya. Hanya dengan itulah aku bisa selamat dari azab ini." Orang yang salih itu berziarah sehingga Tuhan menyingkapkan tirai malakut kepadanya. Ia mampu melihat keadaan ahli kubur yang diziarahinya. Kisah ini menunjukkan bahwa ziarah orang salih ke kuburan adalah sebuah amal yang utama walaupun kuburan itu adalah kuburan orang awam, orang kebanyakan. Ziarah tidak hanya dilakukan kepada orang-orang yang salih tetapi juga kepada orang-orang yang biasa. Contoh lain dari ziarah orang yang mulia kepada orang yang tidak semulia dia adalah kebiasaan Rasulullah saw untuk berkunjung ke kuburan para syuhada Perang Uhud. Banyak di antara para jamaah haji Indonesia yang ketika berangkat ke Madinah tak mengunjungi kuburan para syuhada Perang Uhud itu. Bahkan kepada Rasulullah pun mereka tak berziarah padahal Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang mengunjungiku setelah aku mati sama seperti mengunjungiku ketika aku hidup." Rasulullah juga bersabda, "Siapa yang naik haji, pergi ke Masjidil Haram, tapi tak mengunjungi aku, ia telah melecehkan aku." Dalam hadis yang lain Rasulullah berkata, "Barang siapa yang berziarah padaku, aku pastikan syafaatku baginya." Ketika kita meninggal, di malam pertama kesendirian kita, perasaan sedih, cemas, dan takut yang luar biasa akan menyergap kita di alam Barzakh. Malam itu adalah saat yang paling menakutkan bagi ahli kubur. Di waktu itu, sebagian ahli kubur akan mendapatkan kehormatan dan kebahagiaan dikunjungi Rasulullah saw yang mulia. Mereka yang beruntung itu adalah mereka yang pernah berziarah ke kuburan Rasulullah saw. Jenis ziarah yang ketiga adalah ziarah dari kaum muslimin yang awam kepada kaum muslimin awam lainnya. Inilah ziarah yang biasa kita lakukan kepada orang tua, karib kerabat, dan saudara-saudara kita. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang diterima dari Abu Hurairah: Rasulullah saw bersabda, "Sering berkunjung kepada kuburan itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat dan kepada maut. Hadis ini juga dimuat oleh Al-Turmudzi dalam shahih-nya. Ziarah kubur adalah sunnah Rasulullah saw. Ziarah juga adalah cara kita untuk mendoakan orang-orang yang telah mendahului kita. Al-Quran mencontohkan doa itu: Tuhanku ampunilah orang-orang yang telah mendahului kami dalam keimanan. (QS. Al-Hasyr:10). Itulah perintah Al-Quran agar kita mendoakan orang-orang yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Doa itu kita baca ketika berziarah ke kubur. Perintah ziarah kubur ditujukan baik bagi lelaki maupun perempuan. Bila ziarah kubur itu memiliki pahala dan keutamaan yang amat besar, maka melarang perempuan untuk berziarah akan menyebabkan mereka kehilangan amal salih dan syafaat Rasulullah saw. Islam tidak memberikan ajaran yang diskriminatif; yang hanya menguntungkan kaum lelaki saja. Sebagian pendapat yang mengharamkan perempuan berziarah didasarkan kepada hadis dari Abu Hurairah: Rasulullah saw bersabda, "Allah melaknat perempuan-perempuan yang berziarah ke kubur." Bila dilakukan penelitian terhadap hadis ini akan ditemukan bahwa dari segi sanadnya, hadis ini tidak cukup kuat. Hadis ini pun bertentangan dengan hadis-hadis lain yang disepakati kesahihannya oleh semua orang, misalnya hadis yang menganjurkan bila kita berkunjung ke kuburan, kita mengucapkan salam kepada para ahli kubur. Hadis itu menceritakan Rasulullah yang mengajarkan bacaan salam bagi ahli kubur kepada Aisyah. Sekiranya perempuan yang berziarah kubur itu dilaknat, Rasulullah tidak akan mengajarkan bacaan salam itu kepada Aisyah, istrinya sendiri. Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah pernah menemukan seorang perempuan sedang berziarah sambil menangis. Rasulullah tidak melarang perempuan itu berziarah. Beliau hanya berkata, "Penghuni kubur itu sedang diazab padahal keluarganya sedang menangis." Hadis ini lalu menimbulkan kesalahpahaman; bahwa mayit diazab karena tangisan keluarganya. Sampai suatu saat -setelah Rasulullah saw meninggal- Aisyah mendengar Abdullah Ibnu Umar berkata, "Mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya." Aisyah lalu berkata, "Semoga Allah menyayangi Abdullah Ibnu Umar. Ia tidak berbohong, ia hanya salah dengar." Ziarah kubur bermanfaat bagi penziarah dan yang diziarahi. Rasulullah saw bersabda, "Ziarahilah orang-orang yang sudah mati di antara kamu karena mereka bergembira dengan ziarah yang kau lakukan. Dan hendaklah orang menyampaikan hajatnya di kuburan kedua orang tuanya setelah ia berdoa terlebih dahulu kepada mereka." (Bihârul Anwâr, juz 10, hal. 97) Riwayat lain dari Dawud Al-Riqqi menyatakan: Aku bertanya kepada Abu Abdillah as, "Kalau ada seseorang berdoa di kuburan bapak, ibu, karib kerabat, atau yang bukan saudaranya, apakah itu ada manfaatnya?" Abu Abdillah menjawab, "Betul, itu bermanfaat. Kunjungan itu akan merupakan hadiah bagi mereka. Hadiah itu akan masuk kepada mereka sama seperti kalian memberikan hadiah bagi sesama kalian." Salah satu adab ziarah adalah berbicara kepada orang yang telah meninggal dunia. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari mengisahkan suatu peristiwa setelah Perang Uhud. Rasulullah mengajak bicara kepada para jenazah syuhada Uhud, "Apakah kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Rasulullah kepada kalian itu benar?" Umar bin Khaththab berkata, "Ya Rasulallah, kau ajak bicara orang yang mati padahal dia tak mendengarmu." Rasulullah saw menjawab, "Hai Umar, engkau tidak lebih mendengar dari mereka." Para ahli kubur mendengar ucapan kita sama seperti orang yang masih hidup. Salam yang kita ucapkan kepada para ahli kubur pun pada hakikatnya adalah mengajak mereka bicara: Salam bagi kalian, hai penghuni kampung ini. Kalian telah mendahului kami dan insya Allah, kami akan menyusul kalian. Satu saat, Imam Ali kw melewati pekuburan. Ia mengajak bicara para ahli kubur, "Hai, penghuni kampung yang penuh kesepian. Hai, penghuni kubur yang penuh kegelapan. Hai, mereka yang bergelimang debu. Hai, mereka yang terasing dari kampung halamannya. Hai, mereka yang dalam kesendirian dan ketakutan. Kalian telah mendahului kami dan kami pasti akan menyusul kalian. Adapun rumah-rumah kalian telah dihuni oleh orang lain. Suami-suami dan istri-istri kalian telah menikah lagi dengan orang lain. Harta-harta kalian telah dibagi-bagikan. Ini berita kami untuk kalian, lalu bagaimana berita kalian untuk kami?" Imam Ali lalu menengok sahabat-sahabatnya dan berkata, "Kalaulah mereka itu diberi izin untuk berbicara, mereka akan menjawab pertanyaan kita dengan ucapan: Sesungguhnya bekal yang paling baik untuk alam kubur itu adalah takwa." Adab yang sebaiknya kita amalkan ketika ziarah ke kubur adalah mengucapkan salam seperti di atas. Lalu ketika kita sampai di kuburan, letakkan tangan kita di atas kuburan seraya membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Qadr tujuh kali, surat Al-Ikhlas sebelas kali, Ayat Kursi, serta membaca bagian awal dan akhir dari surat Al-Baqarah. Bila kita masih mempunyai waktu, bacalah surat Yasin di kuburan itu. Setelah itu bacalah doa. Bila waktu kita sedikit, kita dapat cukup membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan Al-Nas masing-masing satu kali saja. Setelah itu lalu membaca doa tawasul kepada Nabi Muhammad dan keluarganya agar mayit itu tidak diazab Allah swt. Puasa: Dari Syariat ke Hakikat KH. Jalaluddin Rakhmat “Pada zaman Nabi Syuaib, seseorang menemui sang Nabi: Tuhan telah melihat semua perbuatan buruk yang aku lakukan. Tetapi karena kasih-sayang-Nya, ia tidak menghukumku. Tuhan kemudian bicara kepada Syuaib: Jawablah dia. Kamu berkata Tuhan tidak menghukumku. Sebaliknyalah yang terjadi. Tuhan telah menjatuhkan hukuman, tetapi kamu tidak menyadarinya. Kamu sudah berputar-putar tanpa arah di rimba belantara. Tangan dan kakimu terbelenggu. Kamu adalah poci yang terus menumpuk karat. Makin lama kamu makin buta dari hal-hal ruhaniah. Ketika asap menjilati poci tembaga yang baru, orang akan segera melihat bekasnya. Tetapi dengan permukaan yang segelap kamu, siapa yang tahu kapan ia menjadi lebih hitam. Di kala kau berhenti tafakur, tumpukan karat menembus masuk ke cermin jiwamu. Tak ada lagi gemerlap di dalamnya. Jika kamu menulis sekali di atas selembar kertas, tulisanmu terbaca jelas. Jika kamu terus-menerus mencoreti kertas yang sama, tulisanmu tak kan terbaca. Tenggelamkan dirimu dalam asam yang membersihkan tembaga. Kikis habis noda-noda hitammu. Begitulah Syuaib berkata, dan dalam satu tarikan nafas bunga-bunga mawar merekah di dada orang itu. Tetapi masih juga ia berkata: Aku tetap minta tanda bahwa Tuhan sudah menghukumku. Tuhan berkata melalui Syuaib: Tak akan kuungkapkan rahasiamu. Akan aku berikan padamu tanda supaya kamu mengerti. Kamu telah melakukan banyak ibadat, puasa, salat, dan zakat; tapi tak satu pun kaurasakan lezat!. Banyak sekali kulit kacang tapi tidak ada kacang manis di dalamnya. Mesti ada rasa, mesti ada biji kenikmatan. Tanpa itu, biji arbei tak akan melahirkan benih yang kelak menjadi pohon yang berbuah. Amal gersang tanpa rasa tidak berguna. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa.” Surat bi-ja-n naba-syad ju-z khaya-l. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa. Dengan itu, Jalaluddin Rumi mengakhiri satu paragraph puisinya dalam Matsnawi II, 3420-3450. Jika Anda sudah tidak dapat menikmati ibadat Anda, Anda sedang mendapat hukuman Tuhan. Ketika kemaksiatan terus menerus dilakukan, yang pertama kali diambil Tuhan dari para penyembah-Nya adalah “jiwa” keberagamaan. Salat hanya tinggal gerak badan tanpa getaran hati. Masjid berubah dari tempat beribadah menjadi saluran pengerahan massa (dan dana). Ibadah haji dan umrah menjadi salah satu di antara sejumlah wisata. Baitullah hanya tampak sebagai seonggok batu dari zaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai bulan Ramadhan. Nabi Muhammad saw bersabda: “Banyak sekali yang berpuasa yang tidak memperoleh apa pun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” Ketika seorang perempuan mencaci-maki pembantunya, Nabi menyuruhnya berbuka: “Bagaimana mungkin kamu berpuasa sedangkan kamu mencaci maki hamba Tuhan?” Apa yang ditegaskan Nabi dalam sabdanya itu adalah puasa tanpa jiwa, dan karena itu tanpa kelezatan. Lalu apa jiwa dari puasa? Hakikat Puasa: Tunduk pada Kehendak Ilahi Nabi Muhammad saw bersabda, “Semua amal anak Adam dilipat-gandakan. Kebaikan dilipat-gandakan sepuluh sampai seratus kali. Kecuali puasa, kata Tuhan. Puasa untuk Aku dan Aku yang akan memberikan pahalanya. Orang yang berpuasa meninggalkan keinginannya dan makanannya hanya karena Aku. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: Kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya” (Bukhari dan Muslim). Jadi, hakikat puasa, menurut Nabi saw adalah meninggalkan keinginannya untuk menjalankan perintah Tuhan; menanggalkan kehendak diri dan menjalankan kehendak Ilahi. Sayyed Hossein Nasr, dalam Ramadan: Motivating Believers to Action: An Interfaith Perspective, yang disunting Laleh Bakhtiar, menulis tentang puasa dengan sangat menyentuh, tetapi mendalam: “Aspek paling sulit dari puasa ialah ujung pedang pengendalian diri yang diarahkan pada jiwa hewani, the carnal soul, al-nafs al-ammarah seperti disebut dalam Al-Quran. Dalam puasa kecenderungan jiwa hewani untuk memberontak perlahan-lahan dijinakkan dan ditenangkan melalui penaklukan kecenderungan ini secara sistematik pada kehendak ilahi. Setiap saat merasakan lapar, jiwa seorang Muslim diingatkan bahwa demi mematuhi Perintah Ilahi gejolak jiwa hewani harus dikesampingkan. Itulah sebabnya puasa bukan hanya menahan diri dari makan saja, tetapi juga menahan diri dari semua dorongan hawa nafsu. Sebagai akibat dari pengendalian sistematis ini, jiwa manusia menjadi sadar bahwa ia tidak tergantung pada lingkungan alam di sekitarnya. Ia sadar bahwa ia berada di dunia ini tetapi bukan bagian daripadanya. Orang yang puasa dengan penuh keimanan segera menyadari bahwa ia hanyalah peziarah di dunia ini dan ia diciptakan sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk mencapai tujuan di seberang wujud material ini. Lebih-lebih lagi, sifat segala sesuatu yang semula kosong dan fana sekarang muncul sebagai anugrah Ilahi. Makan dan minum yang kita anggap sebagai hal biasa sepanjang tahun, pada waktu puasa, tampak sebagai karunia dari surga (ni’mah) dan mencapai makna ruhaniah seperti sebuah sakramen. Berpuasa adalah memakai perisai kesucian menghadapi hawa nafsu duniawi. Puasa bahkan secara fisik memasukkan ke dalam tubuh kesucian kematian yang tentu saja digabungkan dengan kelahiran spiritual. Dalam puasa manusia diingatkan bahwa ia telah memilih Tuhan di atas hawa nafsu. Karena itulah. Nabi saw sangat mencintai puasa. Inilah unsur dasar dari apa yang kita kenal sebagai kefakiran spiritual Muhammad, seperti dalam sabdanya: “Kefakiran ruhaniah adalah kemuliaanku.” Kematian nafsu membersihkan jiwa manusia dan mengosongkan air kotor dari residu psikisnya yang negatif. Sang individu -dan melalui dia umat Islam- direnovasi dengan puasa dan diingatkan akan kewajiban dan tujuan moral dan spiritual. Karena itulah kedatangan bulan penuh berkat ini disambut dengan gembira. Di bulan ini pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman dan rahmat Ilahi turun kepada para pencarinya. Melaksanakan puasa berarti mengalami peremajaan dan kelahiran kembali yang mempersiapkan setiap mulim menghadapi tahun berikutnya dengan tekad untuk hidup dan bertindak sesuai dengan Kehendak Ilahi. Puasa juga menaburkan wewangian ruhaniah kepada jiwa manusia, yang harumnya akan terus tercium lama setelah periode menahan diri berkahir. Puasa memberikan jiwa sumber energi yang akan menggerakkannya sepanjang tahun.” Walhasil, hanya puasa dengan hakikatnya, puasa dengan rohnya yang memberikan kelezatan ruhaniah; yang menjadi sumber kekuatan Muslim dalam menghadapi gelombang kehidupan. Ketika ia berpuasa sebenarnya, yakni, menundukkan seluruh dirinya pada kehendak Ilahi, ia menyerap tenaga yang tak terhingga. Puasa menjadi sumber energi yang membersihkan jiwa dan raganya. Larry Dossey, seorang dokter, menghabiskan usianya untuk meneliti pengaruh doa terhadap kesehatan tubuh. Doa seperti apakah yang mempunyai pengaruh besar bagi penyembuhan penyakit – fisikal maupun psikologis? Ia sampai pada kesimpulan, bahwa “healing words” –yang kemudian menjadi judul bukunya- hanya terjadi jika orang yang menyampaikan doa itu melakukan “centering”. Centering adalah meniadakan diri dan melenyapkan diri kita pada Pusat Wujud, central core of being. Dossey mengutip psikolog Lawrence LeShan, yang menulis: “Orang hanya sampai pada modus ini, jika ia sudah berhasil, walaupun untuk sekejap, menyerahkan semua keinginan dan hasrat dirinya … dan orang lain… dan membiarkan dirinya berada, dan karenanya berada bersama, dan menjadi satu dengan Semua wujud.” Meniadakan diri dan menenggelamkan diri pada Yang Mahaada adalah hakikat puasa. Sebelum sampai ke situ, seorang muslim harus menjalankan tarekat puasa. Di sini, ia mengendalikan semua alat indranya –yang lahir dan batin- dari melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki Tuhan. Ia bukan saja mengendalikan mulutnya dari menyebarkan gosip, intrik, makian, dan ancaman; tetapi juga ia mengendalikan daya khayalnya dari rencana-rencana jahat atau niat-niat buruk. Ia tidak saja menutup mata lahirnya dari pandangan yang dilarang Tuhan; tetapi juga menutup daya pikirnya dari melakukan kelicikan, pengkhianatan, dan penyelewengan. Jauh sebelum sampai ke tarekat puasa, seorang Muslim tentu saja harus memenuhi syariat puasa- paling tidak, menahan diri untuk makan, minum, dan seks sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Pada tingkat syariat pun, para ahli fikih menegaskan bahwa puasa harus disertai dengan niat yang berdasarkan keimanan dan keinginan untuk memperoleh rida Tuhan. Tanpa îmâ-nan wahtisa-ban, puasa kita tidak sah. Jadi, termasuk yang menentukan sah-tidaknya puasa adalah niat. “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya,” sabda Nabi saw, yang dikutip Bukhari sebagai hadis pertama dalam kumpulan hadisnya. Berdasarkan niatnya, ada dua macam puasa. Pertama, puasa yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dirinya di atas kebutuhan untuk mendapatkan rida dan ampunan Tuhan. Kedua, puasa yang dilakukan untuk memperoleh rida Tuhan di atas kebutuhan-kebutuhan dirinya. Secara syariat, yang pertama, dihitung tidak sah. Secara psikologis, ia juga dianggap keberagamaan yang tidak dewasa. Keberagamaan Ekstrinsik dan Intrinsik Para psikolog pernah berdebat tentang apa yang mereka sebut sebagai the great paradoxes of the psychology of religion. Mereka tidak mengerti mengapa agama yang mengajarkan persaudaraan di antara sesama manusia melahirkan para pemeluk yang memiliki tingkat prasangka yang tinggi. Penelitian demi penelitian menunjukkan ada hubungan yang erat antara perilaku beragama (seperti rajin beribadat, pergi ke gereja atau mesjid) dengan prasangka, prejudice. Secara sederhana, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa makin rajin orang beribadat, makin besar prasangkanya pada kelompok manusia yang lain. Prasangka adalah pandangan menghina terhadap kelompok lain. Anggota-anggota kelompok lain dianggap inferior, lebih rendah derajatnya, tidak sepenuhnya dianggap manusia. Untuk itu, kepada kelompok lain itu digunakan label-label atau gelar-gelar yang melepaskan mereka dari sifat kemanusiaannya. Kita menyebut mereka munafik, sesat, pengikut setan, atau bangsa lain (tidak sebangsa dengan kita). Setelah dicabut dari segala sifat manusianya, mereka tidak lagi patut dikasihani dan karena itu boleh saja difitnah, dirampas haknya, dianiaya, atau sedikitnya dicampakkan kehormatannya. Mereka dianggap sumber dari segala sifat buruk: malas, immoral, tidak jujur, licik, bodoh, jahat, kejam dan sebagainya. Penelitian klasik tentang prejudice dilakukan Adorno et al (1950). Waktu itu, Adorno mengidentifikasi beberapa karakteristik prejudice: kepribadian otoriter, fanatisme kesukuan (ethnosentrisme), konservatisme politik dan ekonomi, dan anti-Semitisme. Jadi, sangat mengherankan, mengapa orang-orang saleh sering menampakkan prejudice lebih besar dari orang yang kurang saleh. Allport berusaha menjawab paradoks ini dengan membagi dua macam keberagamaan: tidak dewasa dan dewasa. Keberagamaan yang tak dewasa, agamanya anak-anak, memandang Tuhan sebagai “Bapak” yang bertugas melayani kehendaknya: merawat, menjaga, dan mengurus segala keperluannya. Keberagamaan seperti ini cocok untuk masa kanak-kanak, tetapi menjadi disfungsional ketika orang beranjak dewasa. Keberagamaan yang tak dewasa bersifat menghakimi dan menilai orang lain. Orang menjalankan praktek-praktek agama untuk memenuhi kebutuhannya. Kelak Allport merevisi teorinya dengan menyebutnya keberagamaan ekstrinsik dan keberagaman intrinsik. Menurut Allport, dalam orientasi ekstrinsik, orang menggunakan agama untuk tujuan-tujuan pribadi. Nilai-nilai ekstrinsik bersifat instrumental dan utilitarian. Agama digunakan untuk berbagai tujuan- mendapatkan rasa aman, status atau pembenaran diri. Dalam bahasa teologi, tipe ekstrinsik menghadap Tuhan tanpa berpaling dari dirinya. Buat orang yang berorientasi intrinsik, motif keagamaan diletakkan di atas segala motif pribadi. Sekedar contoh, ketika seorang Muslim berjuang, ia meletakkan keridaan Tuhan di atas segala kebutuhan-kebutuhan pribadinya. “Rida dari Allah lebih besar” (Al-Quran 9:72). Ia akan mengorbankan kepentingan kelompoknya, jika kepentingan itu menyebabkan ia tidak lagi dapat memenuhi kehendak Ilahi. Dengan sangat mengagumkan, “survei membuktikan” bahwa prejudice memang hanya berkaitan dengan orientasi keberagamaan yang ekstrinsik. Dalam istilah syariat puasa, prejudice dan juga penyakit penyakit psikologis lainnya hanya berkaitan dengan orang yang menjalankan puasa untuk kehendak dirinya. Orang yang menikmati puasanya hanyalah orang yang melakukan puasa karena keimanan dan karena memenuhi kehendak Ilahi –îmâ-nan wahtisa-ban. Inilah puasa yang difirmankan Tuhan: Puasa hanyalah untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya. Puasa yang dilakukan bukan untuk Tuhan adalah puasa tanpa jiwa. Surat bi-ja-n naba-syad ju-z khaya-l. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa. Prolog Sufi: Beragama dengan Cinta KH. Jalaluddin Rakhmat Khazanah ilmu tasawuf mengenal seorang perempuan yang dianggap sebagai salah satu dari para tokoh sufi terbesar sepanjang sejarah. Namanya Rabiah Al-Adawiyah. Konon, suatu hari Rabiah pernah diketemukan berlari-lari ke pasar dengan membawa seember air di tangan kanannya dan sebilah obor di tangan kirinya. Orang-orang keheranan. Mereka bertanya, “Hai Rabiah, apa yang kau lakukan?” Rabiah menjawab, “Dengan air ini, aku ingin memadamkan neraka dan dengan api ini aku ingin membakar surga; supaya setelah ini orang tidak lagi menyembah Tuhan karena takut akan neraka dan karena berharap akan surga. Aku ingin setelah ini hamba-hamba Tuhan akan menyembah-Nya hanya karena cinta.” Seperti yang pernah diucapkan Imam Ali kw, banyak orang menyembah Tuhan karena mengharapkan sesuatu. Ibadat mereka lakukan sebagai suatu investasi agar suatu saat Tuhan membayar hasil ibadat itu kepada mereka. Imam Ali menyebut ibadat mereka yang mengharapkan pahala sebagai ibadat para pedagang. Ada juga orang yang menyembah Tuhan karena takut akan siksa-Nya. Mereka takut menghadapi azab Tuhan. Menurut Imam Ali, ibadat mereka sama seperti pengabdian seorang budak belian kepada tuannya. Ibadat yang sebenarnya adalah ibadat karena cinta. Itulah ibadat orang-orang merdeka. Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara menyembah Tuhan, bukan karena mengharapkan pahala-Nya atau takut karena siksa-Nya. Para sufi ingin mengabdi kepada Tuhan karena kecintaan kepada-Nya. Seorang tokoh sufi yang lain, Junaid Al-Baghdadi, mendefinisikan tasawuf sebagai “Engkau berusaha untuk selalu bersama Allah tanpa ada persyaratan apa-pun. Engkau ingin selalu bergabung dengan Allah tanpa pamrih apa-pun selain kebersamaan bersama-Nya.” Sejak saat itu, para ulama dan orang-orang salih mengembangkan kiat-kiat agar kita menyembah Allah karena cinta semata, bukan karena siksa atau pahala. Cinta yang disebut Junaid sebagai cinta tanpa prasyarat; unconditional love. Sesungguhnya kalau kita kembali kepada ajaran Islam, kita akan menemukan cinta tanpa pamrih itu. Jibril pernah datang menemui Rasulullah saw dan bertanya, “Apakah Islam itu?” Rasulullah saw menjawabnya dengan menjelaskan tentang rukun Islam. Jibril kembali bertanya, “Apakah Iman itu?” Rasulullah saw kembali menjawab dengan menjelaskan tentang rukun Iman. Dan ketika Jibril mengajukan pertanyaan terakhir, “Apakah Ihsan itu?” Rasulullah saw menjawab, “Ihsan adalah kau beribadat kepada Tuhan seakan-akan kau melihat Dia. Dan apabila kau tak melihatnya, maka rasakanlah bahwa Tuhan melihatmu.” Yang dipelajari dalam tasawuf adalah upaya menghadirkan Tuhan dalam ibadat-ibadat kita. Sekiranya kita tak sanggup melihat-Nya, maka setidaknya kita bisa merasa kehadiran Tuhan dalam ibadat-ibadat kita. Hal ini mengingatkan kita akan sebuah cerita klasik dari tanah Jawa: Konon, seseorang pernah datang untuk belajar tasawuf kepada Sunan Kalijaga. Sunan mengajaknya terlebih dulu untuk salat bersama. Orang itu pun salat pada barisan pertama, tepat di belakang sang sunan yang menjadi imam. Ketika salat, murid baru itu melihat bahwa sarung yang dipakai sunan telah robek. Pada waktu salat ia berfikir bahwa salatnya tidak begitu sah karena sarung yang dipakai imam salat ada lubangnya. Seusai salat ia datang menemui Sunan Kalijaga dan berkata, “Wahai Sunan, ketika aku salat, aku lihat ada lubang di kain sarungmu.” Sunan menjawab, “Kau belum pantas untuk menjadi muridku karena ketika kau salat, perhatianmu tidak kau tujukan kepada Allah swt. Padahal dalam salat, kau mengucapkan, “Inni wajahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardh, Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dia yang menciptakan langit dan bumi.” Sementara ketika kau salat, yang kau perhatikan hanyalah sobekan di sarungku....” Seorang sufi adalah ia, yang ketika melakukan ibadat, berusaha merasakan seakan Tuhan memperhatikannya. Ia memusatkan segala perhatiannya kepada Allah dan memutuskan seluruh ikatannya kepada apa pun selain Allah swt. Sebelum kita belajar tasawuf, biasanya kita dianjurkan untuk belajar fikih. Apa yang membedakan fikih dengan tasawuf? Fikih mempelajari bagian-bagian lahiriah dari agama. Para ahli fikih menyebutkan, “Hukum itu ditetapkan berdasarkan bentuk-bentuk lahirnya.” Bila fikih membicarakan salat, yang dibahas adalah gerakan-gerakan salat yang bisa kita lihat dengan mata dan bisa kita dengar dengan telinga. Para sufi mengajarkan kita untuk memelihara adab-adab batiniah dari setiap ibadat yang kita lakukan. Tasawuf tidak lagi membicarakan salat seperti apa yang kita lihat atau dengar. Tasawuf ingin mengajarkan kita cara-cara memelihara adab-adab batiniah dalam salat. Salat, sebagaimana seluruh benda di dunia ini, memiliki dua bentuk, lahiriah dan batiniah. Para sufi mengatakan bahwa untuk setiap maujud, selain mereka memiliki bentuk di alam mulk, juga memiliki bentuk di alam malakut. Al-Quran mengatakan: Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah terdapat malakut segala sesuatu. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Mulk; 1) Dalam tasawuf, diajarkan upaya untuk mencapai alam malakut dari ibadat-ibadat kita. Oleh sebab itu, apabila fikih yang kita pelajari membicarakan ibadat dari segi lahiriah, tasawuf membicarakan ibadat dari segi batiniahnya. Secara ilmiah, orang mengatakan fikih berkaitan dengan dimensi eksoteris dari ajaran Islam sementara tasawuf berkaitan dengan dimensi esoteris dari ajaran Islam. Seluruh agama tentu memiliki dimensi esoteris. Karenanya, kita sering menemukan apa yang diajarkan tasawuf juga terdapat dalam ajaran-ajaran agama lain. Tasawuf mengajarkan cara-cara mencapai pertemuan dengan Tuhan sementara mistisisme ajaran agama lain juga berusaha mempertemukan kita dengan Allah swt. Terakhir, saya ingin menyebutkan satu lagi definisi dari tasawuf. Ada orang yang mengatakan bahwa Islam berkaitan dengan syariat, Iman berkaitan dengan akidah, dan Ihsan berkaitan dengan akhlak. Tasawuf, dengan mengesampingkan aspek-aspek filsafatnya, adalah sebuah ajaran etika, sebuah ajaran akhlak. Tasawuf pada intinya berusaha mendekatkan diri kita dengan Allah swt. Dan Allah swt hanya dapat didekati dengan akhlak yang baik. Abu Muhammad Al-Jariri, dalam Awârihul Ma’arif, menulis: “Yang disebut tasawuf adalah memasuki semua akhlak yang mulia dan meninggalkan semua akhlak yang tecela....”