dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 EBOOK INI BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIL, MAKA BELILAH BUKU ASLINYA 1 Bedanya Pemenang dengan Pecundang Sinopsis Gavin adalah cowok populer, jago sepakbola dan sempurna. Sementara Hernan adalah orang yang nggak dipikirkan orang lain, seperti terbuang dari pergaulan. Satu hari Hernan menantang Gavin bermain futsal. Seluruh sekolah ingin menonton pertandingan mereka. Terlebih setelah mereka bertarung seimbang dalam seleksi pembentukan tim untuk kompetisi antar kelas. Siapa yang akan menang? Kenapa mereka saling bersaing? Akhirnya Hernan membentuk tim kedua di kelas kami untuk mengalahkan tim Gavin. Tapi tiba-tiba Gavin nggak bisa main karena luka memar di kakinya. Hernan menolak permintaan Gavin untuk menggantikannya. Akhirnya Gavin memutuskan bermain walaupun pincang. Apa sih yang bikin orang jadi pecundang? Dan kenapa ada orang yang bisa jadi juara? Aku ada diantara mereka, melihat perseteruan mereka. Dan kadang terlibat didalamnya. 2 1 Aku membuka pintu ruangan kelas sekuat tenaga. Pintu ini tinggi besar dan sudah tua, nggak mungkin dibuka tanpa berderak. Dan kayak biasanya, ruangan kelas masih kosong. Aku melihat jam tanganku, jam 06.30. Aku senang karena punya rumah jauh dari sekolah. Aku nggak pernah telat masuk kelas, karena jauh aku selalu bersiap lebih awal. Biasanya sepuluh menit dari sekarang anak yang lain akan datang. Dan benar apa yang sudah sering aku perhatikan, anak yang lain datang sekitar jam 06.40, walaupun nggak pernah orang yang sama, selalu bergantian. Gavin adalah anak yang pertama datang setelahku. ?Hai!? Dia menyapaku. Aku membalasnya sambil tersenyum. Dia adalah cowok paling populer di sekolah. Wajahnya komik banget, itu yang bikin semua cewek kelepar-kelepar kalau ngomong sama dia. Belum lagi, dia itu cowok paling hebat main bolanya. Katanya awal semester kemarin dia diterima masuk klub yang main di Liga Minor Persib. Dan dilihat dari manapun nggak ada cela buat anak ini. ?Nin,? Panggilnya, ?Udah PR Bahasa Inggris?? tanyanya. ?Udah, kenapa?? tanyaku. ?Aku belum selesai,? katanya sambil mendekat dengan membawa buku tulisnya, ?Nomer tiga, ini pake past perfect kan? Gini bukan?? Aku membacanya. Kalimatnya benar. Buat apa dia nanya?!! Pikirku. ?Ini bener kok!? ?Masa sih? Soalnya aku rada pusing kalo udah pake perfect-perfect-an gitu.? Katanya, ?Bener ya?? Sekali lagi aku mengiyakannya. Nggak lama setelah itu beberapa anak datang. Ada yang berkelompok duadua, ada juga yang sendiri. Selanjutnya bisa ditebak, jawabanku menyebar kayak angin. Sebenarnya tindakanku ini nggak mendidik, cuma aku nggak tahan kalau disebut cewek pelit. Jam tanganku menunjukkan jam tujuh kurang satu menit. Anak itu datang. Hernan terburu-buru berlari dari ujung lapangan sambil berusaha membuka tas 3 selendangnya. Jam segini adalah salah satu rekor terbaiknya masuk kelas. Keringatnya merembes dari sela-sela rambutnya. Pas sampai di depanku dia langsung menagih, ?Mana jawaban punya kamu?? tanyanya sambil ngos-ngosan. ?Dipinjem Tina...? jawabku enteng. Dia mencari-cari Tina. Aku membantu menunjukkannya di pojok kelas. Tina dan yang lainnya sedang mengerubuti jawabanku. ?Akhh...nggak bakal sempet,? katanya pedas, lalu dia duduk di sebelahku, ?Kamu masih hapal kan jawabannya?? Aku cuma memandangnya. Melihatku tidak bereaksi apa-apa, dia ngomong lagi, ?Ayolah, masa yang lain dikasih, aku nggak...? ?Soalnya ini bukan pertama kalinya kamu...? ?Mereka juga!? ?Coba kalo PR fisika atau matematika, kamu juga nggak selalu ngasih!? ?Lain kali aku kasih terus, cepetan!!!? ?Selalu ngomong gitu...? ?Akhhh....udah, ini dulu!? Aku menyerah. Dia membuka buku tulisnya dan memulainya dari nomor satu. Aku memberitahunya, malah harus mengejanya, biar dia nggak salah tulis. Cuma dalam waktu lima menit dia menyelesaikannya dengan tulisan acak-acakan, jauh dari kata rapi. ?Makasih ya, Nina!? katanya, ?kamu emang...? ?Temen terbaik sepanjang masa?? aku sudah bosan mendengarnya ngomong itu. Hernan hanya tersenyum karena aku menyambung kalimatnya. Kalimat itu memang cukup jitu buat aku agar selalu lagi-lagi membantunya. Pas dia duduk di bangkunya, guru datang. Kerumunan berpencar, secepat mungkin duduk di tempat masing-masing. ?Collected your homework!? seru bu Nurkiyah dengan nada galak. Bukuku nggak kembali, langsung mendarat di meja guru. 4 2 Bel istirahat cukup melegakan. Pelajaran kedua tadi adalah matematika. Berbanding terbalik dengan keadaan tadi pagi, Hernan selalu bisa jawab pertanyaan Bu Nita ke depan. Hernan memang jagonya matematika, nomor satu di kelas. Sementara aku jagonya bahasa Inggris. Buatku bahasa lebih banyak dipakai dikehidupan sehari-hari daripada angka-angka. Apalagi kalau keluar negeri, pasti kan bahasa yang bisa dipakai pertama kali adalah bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, bukan rumus Phytagoras atau aljabar. Topik itu selalu jadi pertengkaran diantara aku dan Hernan. Dia bilang kalau rumus-rumus nggak dibikin dan angka-angka nggak diolah, komputer nggak bakalan ada di dunia ini. Emang siapa peduli gimana komputer dibikin? Pikirku. Hernan dan aku, dan Gavin adalah teman sekelas sejak kelas satu. Walaupun kita sekelas, tapi nyaris nggak pernah pulang bareng, atau ngumpul bareng pas istirahat. Gavin sangat populer, mungkin aku nggak cukup bagus buat menandingi kepopulerannya. Lagian, selain sekolah biasa, Gavin juga harus latihan sepakbola. Waktu kelas satu dia jadi andalan kita buat menang di kompetisi futsal antar kelas. Buat catatan, tahun kemarin itu pertama kalinya kelas satu bisa menang di kompetisi itu. Sedangkan aku sendiri cukup puas berkumpul dengan teman-temanku di PMR. Aku banyak belajar mengobati orang sakit. Malahan aku punya cita-cita jadi dokter. Kata Hernan, buat masuk jurusan kedokteran aku butuh nilai matematika yang bagus. Aku nggak percaya. Mungkin dia cuma menyindirku. Aku fokus sama pelajaran biologi dan sedikit kimia. Buatku itu cukup untuk membuka jalan masuk ke jurusan kedokteran setelah aku menemukan SMA dan tempat kuliah yang cocok. Aku sudah berpikir sejauh itu padahal SMP juga baru aku jalani setahun lebih, dan belum ada jaminan aku lulus SMP...(tapi amit-amit deh!!!) Hernan??? Aku nggak tahu deh! Hernan itu bisa jadi baik banget tapi bisa jadi pendiam banget, tapi bisa kalem, murah senyum, dan semua itu terjadi tiba-tiba. Moody, kata Tina ngatain dia. Di kelas dua ini aku sekelas sama teman-teman baru. Hanya mereka berdua yang masih sekelas denganku. Di kelas yang baru ini aku mesti cari teman lagi yang 5 bisa dekat, buat tempat curhat. Dan itu susah banget. Jadi akhir-akhir ini aku jadi dekat sama Hernan. ?Maen bola yuk!? teriak Gavin mengajak teman-temannya. Mereka berebutan keluar kelas kayak anak itik berdesakan di pintu. Gavin berlari di depan mereka sambil mengacungkan bola. Katanya kemampuan sepak bolanya jauh melebihi siapapun di sekolah. Prestasinya di Liga Minor Persib adalah pencetak gol terbanyak. Jelas itu alasan kenapa dia punya banyak pengikut. Aku dan Yuni keluar menuju kantin. Hernan mengekor di belakangku dengan Rudi sambil tertawa. Entah dia menertawai apa, tapi aku merasa ada yang salah denganku. Aku berbalik tiba-tiba, tawa mereka berhenti tiba-tiba juga. ?Nggak maen bola?? tanyaku iseng karena sudah terlanjur berbalik. ?Nggak akh, si Gavin itu pasti nggak mau aku sama Rudi maen...? ?Emang mesti nanya dia ya kalo mau maen bola di sekolah?? tanyaku. ?Yaa, nggak gitu sih.? Kilahnya, ?Tapi kan nggak enak banget maen tapi nggak dikasih operan!? Pemain kelas dua. Mungkin itu sebutan yang cocok buat dia dan Rudi. Meskipun nggak jelas dan memang nggak ada yang bikin daftar tingkatan pemain. Tapi aku lihat ada tingkatan kelas buat pemain bola di sekolah ini. Gavin adalah contoh pemain kelas satu, dan Hernan tingkatan berikutnya. Meskipun nggak ada larangan buat main bola di sekolah. Tapi para pemain kelas dua kayak Hernan seakan nggak boleh main di sekolah. Mereka main kalau lapangan kosong atau cuma pas pelajaran olahraga. Makanya mereka suka main di luar sekolah. Mereka suka main sepulang sekolah di dekat kampus Sekolah Tinggi Tehnik di belakang sekolah, cuma terhalang beberapa petak sawah. Di lapang basket itu memang jarang ada yang main, makanya mereka (para pemain tingkat dua) bisa main di situ. Aku sering lewat situ kalau pulang sekolah karena kalau cegat angkot di tempat biasa suka penuh. 3 Aku baru selesai menghabiskan baksoku waktu anak kelas tiga masang selebaran di tembok kantin. Sontak saja banyak anak yang pengen lihat. Gavin salah satunya. Dia dan teman temannya melihat pengumuman itu dengan khusyu. ?Wah, kita mesti bikin tim nih!? seru Gavin diikuti para pengikutnya. 6 Aku penasaran dan ikut dalam kerumunan buat baca itu pengumuman. Ternyata kayak yang sudah bisa aku tebak, itu pengumuman tentang kompetisi futsal antar kelas. Pantesan Gavin semangat banget! Pikirku. Pelajaran berikutnya bikin bahagia anak sekelas karena gurunya nggak ada. Gavin dan teman-temannya bermain sepakbola lagi. Latihan buat kompetisi, katanya. Padahal kompetisi itu baru dua bulan lagi, tapi anak-anak sudah begitu bersemangat. Memang sih kompetisi futsal antar kelas jadi salah satu agenda tahunan. Temanku di OSIS bilang cuma kompetisi ini yang dapat izin dan dana dari sekolah, dua hal yang menjamin berjalannya suatu acara. Soalnya diluaran banyak banget yang bikin kompetisi futsal, jadi sekolah pengen kita bisa berprestasi di futsal. ?Nggak main?? tanyaku waktu lihat Hernan sama Rudi cuma bisa nonton di pinggir lapang. ?Nggak, ada Gavin.? Katanya singkat. ?Kan yang mainnya nggak banyak, tuh Tony aja ikut main!? Tony adalah salah satu anak yang nggak bisa main bola, tingkahnya gemulai. ?Kamu cewek sih, nggak ngerti!? ?Ada kompetisi lagi, tau kan?? tanyaku lagi. Wajah Hernan makin muram. ?Aku tau, tapi kayaknya aku cuma bisa nonton kayak tahun kemarin!? ?Ikutan aja, kan di kelas ini nggak banyak yang jagonya.? ?Katanya Gavin mau bikin seleksi.? ?Kayak tahun kemarin?? Hernan mengangguk dan bilang, ?Itu makanya tadi aku bilang cuma bisa nonton...? Tahun lalu Gavin bikin seleksi buat pemain yang pengen main dikompetisi. Gavin menantang setiap anak yang pengen main buat lawan dia. Setelah satu-lawansatu, dia tentukan siapa yang bisa ikut main dikompetisi. Tahun lalu memang banyak yang jago di kelas. Mungkin itu sebabnya Hernan nggak terpilih. ?Nggak apa-apa donk, ikut aja seleksi itu...kapan?? ?Besok.? Nggak tahu hak apa yang bikin Gavin bisa berbuat sejauh itu. Aku pikir setiap anak yang pengen dan bisa main bola pantas buat ikut dalam kompetisi. Cuma 7 memang sih, Gavin itu, katanya yang paling hebat di sekolah. Jadi dia seakan bisa memilih teman mainnya. ?Tapi si Gavin itu emang hebat ya?? kata Rudi membangunkanku dari lamunan, ?Tuh lihat, dia bisa gocek bola dari belakang sampe depan terus bikin gol...kayak Thiery Henry!? ?Emang sih...? kata Hernan lemah. 4 Pas bel pulang, Dino minta semua anak buat dengar pengumumannya. Seisi kelas sudah tahu apa yang mau dia umumkan, cuma tetap saja anak-anak masih duduk di tempatnya. Aku nggak punya alasan buat keluar duluan. ?Mungkin temen-temen udah lihat pengumumannya,? katanya memulai, ?dua bulan lagi kita bakal ikutan kompetisi futsal antar kelas. Nah, makanya besok bakal diadain seleksi buat nentuin siapa yang bisa main di kompetisi. Pokoknya yang pengen ikutan besok sepulang sekolah kumpul di lapangan. Nanti satu-satu bakal lawan Gavin. Abis itu dia yang nentuin siapa yang gabung ke tim.? Dino menepuk-nepuk punggung Gavin yang tersenyum agak malu. ?Tuh, bener kan?? bisik Hernan dari belakangku, ?si Dino sih udah pasti masuk, padahal aku aja bisa ngalahin dia!? ?Makanya kamu mesti ikutan!? bisikku, ?biar Gavin tau kamu juga jago...? Sebenarnya aku nggak tahu pasti sehebat apa si Hernan main bolanya. Tapi menurutku siapapun punya hak buat main asal mampu. Ada bagusnya juga sih seleksi ini biar timnya nggak acak-acakan, tapi kalau sampai membuang pemain yang pengen banget main memang rada kasar. ?Paling si Gavin bilang, ?mungkin taun depan!?. Padahal jatahku kan cuma tinggal sekarang dan taun depan!? ?Masa baru gitu udah nyerah!? Aku menatap matanya. Sekilas aku melihat sorot mata penuh keyakinan. Dan sekilas itupun aku yakin si Hernan pasti ikut seleksi besok. Hernan mengangkat bahunya dan pergi begitu saja. Setelah itu aku nggak langsung pulang. Latihan PMR dulu. Aku berlatih cara membuat tandu dengan cepat. Rekor terbaiknya adalah satu menit dan itu sudah dua tahun lalu dibikinnya. Sementara rekor terbaikku adalah satu menit setengah dan aku 8 belum bisa mengulanginya lagi. Sebagai anggota PMR kami diharuskan bisa membuat tandu secepatnya karena kecelakaan bisa terjadi dimana saja. Sebenarnya aku nggak terlalu fokus dalam bikin tandu. Aku pengen bisa mengobati orang yang terluka, itu saja sudah cukup bagiku. Urusan bikin tandu, biar anak PMR cowok yang melakukannya. Sekitar jam tiga aku membereskan bajuku dan pulang. Di gerbang sekolah, aku bertemu dengan Gavin. Dia berlumur keringat, kemejanya basah dimana-mana. ?Pulang?? tanyaku ?Yap, eh nggak juga sih.? Katanya ragu, ?Aku ada latihan lagi jam empat.? ?Bola lagi?? Gavin mengangguk sambil tersenyum. Anak ini gila, pikirku. Hampir dua jam dia bermain bola di lapang sekolah. Dan hanya satu jam istirahat, dia harus latihan lagi. Kalau aku sih mending tidur. ?Enak nggak sih jadi pemain bola?? tanyaku tanpa tahu kemana arahnya. ?Nggak enaknya ya kayak gini, sana-sini mesti terus main bola. Asiknya sih dah bisa punya duit tambahan. Kadang suka dapet bonus kalo bikin gol.? Jawabnya berseri-seri. ?Buat kompetisi antar kelas, apa harus ada seleksi ya?? ?Oh iya, harus!? jawabnya langsung, ?Kan biar yang mainnya nggak asal, biar juara lagi!? dia tertawa lepas. Aku cuma tersenyum. ?Aku sih pengennya,? lanjut Gavin, ?Tiga tahun di SMP juara terus, kan gaya!? ?Tapi kan level kamu udah jauh dari pemin-pemain di sini? Pastilah juara terus...? ?Akhh... nggak juga, banyak lho pemain bagus di sini,? sergahnya, ?Lagian yang main di Liga Minor juga nggak semuanya hebat, ada yang biasa-biasa aja...? ?Ke sana ya?? tanyaku menanyakan arahnya pulang (atau latihan), ?Aku ke sini. Di lapang deket STT itu anak-anak kayak Hernan, Rudi suka main di situ. Tau kan?? ?Oiya, aku juga tau...? ?Lewat sana yuk, sekalian nonton mereka dulu sebentar!? ajakku. 9 ?Wahh...nanti lagi aja ya? Aku mesti latihan, takut telat. Pelatihnya macan!? katanya lalu tertawa lebar. Dia pergi ke arah yang berbeda denganku. Yah, dia memang baik. Gavin populer bukan cuma karena dia jago olahraga, tapi juga baik. Cewek-cewek sering bilang dia itu cowok impian. Cewek manapun rela memberi jawaban PR-nya asal bisa mengobrol sama dia. Cuma masalahnya, Gavin bukan anak populer yang bodoh, dia cukup pintar dan rajin. Jarang banget PRnya belum selesai. 5 Hernan mengejar Dimas yang sedang membawa bola. Sambil menahan badannya, Hernan berhasil merebutnya. Terus dia menggocek bola melewati Udin. Dari jauh Hernan menendang bola. Gol!!! Aku melihat lagi dua kali aksi kayak begitu. Bohong banget kalau tadi dia bilang nggak mau ikut seleksi. Aksinya sore ini bagus, malah hebat banget! Aku duduk di dekat pohon besar bersama beberapa anak yang berhenti bermain karena kecapekan. Matahari masih memancar panas, jadi aku memutuskan buat nonton mereka dulu. Papa yang bikin aku suka menonton pertandingan bola. Kadang papa mengajakku kalau nonton sendirian. Awalnya aku nggak suka, tapi karena keterusan aku mulai suka. Apalagi setelah lihat aksi Gavin dan teman-temannya waktu mereka juara tahun lalu. Aku makin suka nonton sepakbola, apalagi futsal. Hernan keluar dari pertandingan dan membeli es teh manis. Dia menghampiriku dan menyapa, ?Belum pulang?? tanyanya. Aku menggeleng. Dia menawarkan minumannya. Aku ragu, tapi aku mengambilnya juga. Aku menghirupnya sekali melalui sedotan dan mengembalikannya. Nafasnya masih tersengal-sengal waktu dia minum. Dadanya naik turun cepat banget. Sama kayak Gavin tadi, keringat juga membasahi bajunya. ?Abis latihan PMR?? tanyanya lagi. ?Yeah, tau nggak berapa lama aku pasang tandu?? ?Berapa? Tiga?? Aku mengisyaratkan untuk menurunkan jawabannya. 10 ?Err...dua menit?? ?Lebih tiga detik...? ?Itu kan jauh dari rekor kamu.? ?Iya sih, cuma kan lumayan, biasanya lebih lama lagi.? ?Jam berapa sekarang?? tanyanya lagi. Aku mengangkat tanganku biar dia melihat sendiri. ?Jam setengah empat, kayak masih siang banget.? ?Panas ya?? Dia mengangguk. ?Tau panas main terus!? sindirku. ?Biar aja, kan biar jago!? ?Biar...bisa lolos seleksi?? tanyaku agak ragu. Dia menghembuskan nafasnya, rada berat. Lalu dia bilang, ?Enak sih main di sini, tapi kayaknya, kalo main bareng Gavin trus menang dikompetisi kayaknya lebih enak...? ?Kamu juga pengen jadi pemain bola? Kayak Gavin?? ?Sempet kepikiran sih, cuma kalo lihat Gavin, kok kayaknya jauh banget deh!? ?Tau nggak tadi Gavin bilang apa?? tanyaku, Hernan kelihatan penasaran, ?Katanya di sekolah juga banyak pemain hebat,? Hernan malah tersenyum mendengarnya. Lalu dia melemparkan plastik bekas minumannya tadi ke tong sampah. Lemparannya meleset, plastik itu cuma membentur dan jatuh ke tanah. Hernan pergi mengambil plastik itu sambil berkata, ?Yaa, tapi kan nggak berarti aku masuk golongan yang banyak itu!? Dia memasukkan plastik bekas tadi ke tong sampah dan kembali duduk di sebelahku. Aku masih ingat di awal semester ini. Waktu itu kita baru tahu kalau kita sekelas lagi. Begitu tahu sekelas lagi sama Gavin, Hernan agak lesu. Awalnya sih aku nggak tahu kenapa dia begitu karena memang kita nggak begitu dekat. Tapi setelah banyak ngobrol di awal semester ini (waktu kelas satu, aku dan dia nggak terlalu banyak punya teman di luar kelas, jadi awal semester masih canggung buat ngobrol sama yang lain), aku tahu kalau Hernan takut nggak bisa bersaing sama Gavin. ?Semangat donk! Belum-belum udah lesu gitu!? seruku memberi semangat. 11 Hernan tersenyum mendengarnya dan berkata, ?Yeah, nggak ada salahnya ikutan.? Aku membalas senyumannya. 6 Hari penting itu akhirnya datang. Mungkin buatku biasa saja, tapi buat orang macam Hernan ini hari yang ditunggu. Kemarin waktu aku pulang, Hernan masih terus main bola, entah sampai jam berapa. Yang pasti pagi ini dia telat lebih dari 10 menit dari bel masuk. Aku nggak pernah menanyakan alasannya telat setiap hari. Kayak biasa, Hernan berjaya dipelajaran fisika. Sementara buat olahraga Gavin selalu jadi yang terbaik. Catatan lompat jauhnya lebih jauh dari anak manapun. Tapi bahkan dipelajaran olahraga sekalipun Hernan nggak ikut main bola. Cuma, pas bola keluar lapang dan bergulir mendekati Hernan, dia menendang balik ke lapangan. Gavin yang menerimanya kelihatan agak kesakitan karena tendangan itu kuat banget. Tapi Gavin cuma bilang makasih. Entah siapa yang memulai kebencian ini, cuma yang pasti aku mulai nggak suka perang dingin ini. Mungkin Hernan merasa terintimidasi sama kehebatan dan kepopuleran Gavin. Sementara Gavin sendiri, entah kenapa nggak pernah sengaja menyapa Hernan, apalagi membiarkannya main bola bareng dia. Sepulang sekolah lapang sudah dikuasai Gavin dan komplotannya. Seperti katanya kemarin, Hernan ada di barisan anak yang menunggu giliran melawan Gavin, satu-lawan-satu. Dia nggak banyak ngomong kayak kemarin. Nggak ada anak yang bisa mengalahkan Gavin pada seleksi itu. Sampai pada giliran Hernan. Gavin dan dia berdiri di ujung lapangan. Waktu peluit dibunyikan, mereka berlari menuju bola yang disimpan di tengah lapang. Hampir semua anak, yang kebanyakan cewek, meneriakkan nama Gavin. Tapi diluar dugaan, Hernan mencapai bola lebih dulu. Aturannya, yang berhasil mencapai bola duluan menjadi penyerang dan yang lainnya bertahan. Mereka harus berduel berebut bola dan pas sampai jarak tertentu mereka baru boleh menendang bola ke gawang yang nggak ada kipernya. Bola nggak boleh ditendang langsung dari tengah lapang. Dari keseluruhan seleksi cuma Hernan yang bisa mengalahkan lari Gavin. 12 Gavin langsung menghalangi Hernan yang membawa bola sedekat mungkin dengan gawang. Gavin menjulurkan kaki kanannya, tapi Hernan berhasil menghindar. Gavin masih bisa mengejarnya. Hernan terus berlari mengejar bola. Gavin menahan badan Hernan dan mengambil bola. Hernan kembali menarik tangan Gavin (setahuku tindakan mereka itu dilarang) dan mengambil lagi bolanya. Teriakan tiba-tiba hilang. Pertarungan Gavin-Hernan membuat semuanya terdiam. Gavin berhadapan dengan Hernan yang membawa bola. Hernan bergerak ke kanan, tapi Gavin bisa menjulur kakinya sampai bola bergerak liar. Bola bergulir ke ujung lapangan. Hernan mencoba mengejar, tapi kakinya tersangkut kaki Gavin. Hernan terjatuh, tangannya melayang ke wajah Gavin. Gavin yang kena tampar juga terjatuh tapi tangan kirinya menghantam perut Hernan. Keduanya berguling saling tindih. Mereka berdua mencoba mengejar lagi, saling beradu badan dan terjatuh lagi. Sekarang Gavin bisa bangun lebih dulu dan mengejar bola. Hernan yang ketinggalan langsung menghalangi dari depan. Setelah mencapai jarak tertentu, Gavin menendang bola sekuat tenaga. Hernan menendangnya juga dari depan. Bola plastik itu meledak karena hantaman mereka berdua. Keadaan semakin sepi dari sorakan. Gavin dan Hernan masih saling berhadapan. ?Udah selesei, aku sudah punya tim yang akan main dikompetisi!? suara Gavin terdengar sayup karena terlalu jauh dariku. Baru deh semua anak bersorak. Meskipun nggak jelas siapa yang menang tapi sorakan itu justru buat Hernan. Ini memang pertama kalinya ada anak yang bisa bertarung seimbang lawan Gavin. Mereka berdua nggak saling ngomong. Gavin pergi ke teman-temannya sementara Hernan berjalan ke arahku. Nggak ada senyuman sama sekali. Dan seleksi hari ini pun selesai. 7 Seleksi kemarin kayaknya mengubah pandangan banyak orang sama Hernan. Sejak pagi, selalu Hernan yang jadi topik gosip hari ini. Sementara anak itu belum juga datang waktu jarum jam panjangku menunjuk angka 12. Jam 7 pas. 13 Bu Ani, guru basa sunda, belum juga datang walaupun bel masuk sudah berdentang. Ini memang kebiasaannya dari kelas satu, kata temanku yang lain. Tibatiba Gavin meminta perhatian dengan berbicara di depan. ?Aku udah bikin daftar pemain,? katanya, beberapa anak terlihat jadi beku, tegang mungkin, ?Kita akan mulai latihan besok. Jadwalnya tiga kali seminggu.? Anak ini serius mau jadi juara, pikirku. Gavin memintaku menuliskan daftar nama itu di papan tulis. Gavin memberikan selembar kertas buku tulis. ?Tulis yang rapi ya?!!? kata Gavin pas memberikannya. Aku membaca semua nama yang ditulis di sana. Nama Hernan sama sekali nggak masuk daftar! Padahal kalau melihat hasil seleksi kemarin, mungkin cuma Hernan yang pantas main bareng Gavin. Tapi nama yang harusnya ada malah nggak ada. Perang dingin ini makin memuakkan. ?Gavin,? panggilku, dia menoleh, ?ini nggak jelas.? Kataku berbohong. Dia menghampiriku. ?Mana?? Aku merendahkan suaraku, untung anak-anak pada ribut, ?Kenapa nama Hernan nggak ada?? Gavin kelihatan bingung. ?Yaa, karena emang aku nggak masukin namanya.? ?Kenapa?? Tiba-tiba Gavin menarik tanganku. Dia membawaku keluar kelas. Anak-anak menyorakinya. Dia masih memegang tanganku sampai ke kantin. Aku menahannya biar dia berhenti. Dia berhenti dan berkata, ?Kamu cewek, kamu nggak bakal ngerti alasannya...? ?Apa yang aku nggak ngerti?? kataku tegas, ?Aku tau kalian berdua hebat. Kalo kalian maen bareng pasti makin hebat.? Gavin tersenyum. ?Pernah denger cerita tentang dua orang jenius yang tinggal serumah?? tanyanya. Aku menggeleng. 14 ?Pertamanya dua orang jenius itu saling bantu mecahin semua masalah. Tapi lama-kelamaan mereka malah bersaing dan akhirnya salah satu keluar dari rumah dan jadi gila. Sementara yang satu lagi bunuh diri!? lanjutnya. Darimana dia dapet cerita kayak gitu! Pikirku. Aku terdiam beberapa saat sampai aku menemukan kalimat untuk diucapkan. ?Dia cuma pengen main dikompetisi antar kelas,? kataku hampir merengek, ?Kamu masuk Liga Minor, mungkin tiga atau empat taun lagi kamu bisa jadi pemain Persib, masuk Tim Nasional. Atau malah main di Eropa atau bawa Indonesia ke Piala Dunia. Tapi dia cuma pengen main dikompetisi antar kelas! Masa gitu aja kamu nggak ngasih?!!? aku menahan sekuat tenaga biar nggak menangis. Gavin terdiam, aku juga. ?Ooo, jadi aku nggak kepilih lagi ya?? Kami berdua menoleh ke asal suara. Hernan berdiri dengan keringat yang membasahi wajahnya, nafasnya tersengal-sengal. Entah berapa lama dia mendengar omonganku sama Gavin. Hernan mengambil kertas yang kupegang. Dia menyebutkan nama-nama yang tertulis di sana. Lalu dia terdiam. ?Gavin,? kata Hernan akhirnya, ?Gimana kalo tim kamu ini lawan timku? Yang menang, boleh nentuin siapa yang main di kompetisi!? Gavin sekarang berhadapan sama Hernan. ?Boleh,? katanya menantang, ?Kapan?? ?Seminggu lagi?? Aku melihat bu Ani masuk ke kelas. Aku memberi tahu mereka berdua. Kami berlari masuk kelas. ?Aduuuhh, ti marana atuh barudak?? suara melengking bu Ani bikin sakit kuping. ?Dari toilet...eh, ti toilet bu...? kataku grogi. ?Tiluan?? Tawa meledak seisi kelas. Aku merasa wajahku berubah merah malu. 8 ?Kamu serius nantang Gavin lagi?? tanya Rudi di belakangku. 15 Kabar tantangan Hernan menyebar kayak asap. Sebentar saja seisi kelas sudah tahu kapan pertandingan itu akan dimulai. Aku melihat Gavin masih bisa tertawa sama teman-temannya, tapi Hernan sama dinginnya dengan kemarin. ?Abis mau gimana lagi?? bisik Hernan, ?Si Gavin itu mesti tau kalo anak-anak yang suka maen di STT juga bisa maen bola.? ?Iya ya, kemaren aja kamu bisa nahan tendangan dia...? ucap Rudi bangga. ?Nggak juga sih,? Hernan menghembuskan nafas dulu sebelum melanjutkan, ?Kemarin tanganku kayaknya mukul matanya, jadi dia nggak fokus.? ?Tapi kan dia juga mukul perut kamu!? ?Kalo itu dia nggak sengaja...? potong Hernan. ?Jadi kamu sengaja mukul matanya?? ?Nggak juga, aku emang sengaja mukul dia, tapi bukan mau ke matanya!? Aku melirik ke arahnya, dia mengangkat bahunya. Pelajaran sejarah ini mulai bikin ngantuk, jadi aku lebih memperhatikan obrolan Hernan dan Rudi di barisan belakang. ?Jadi siapa aja yang mau main bareng kamu?? tanya Rudi lagi. Tak ada jawaban langsung. Kayaknya Hernan lagi berpikir. ?Err...kamu? kalo mau...? ?Iya donk, aku mau...lawan Gavin gitu!? ?Trus Dimas, Dani, Avin sama siapa lagi ya cadangannya?? Pas istirahat, kabar tantangan Hernan menyebar ke seluruh sekolah. Ada yang mendukungnya, ada juga yang mencelanya dan bilang kalau Hernan nggak mungkin bisa mengalahkan Gavin. Tiba-tiba Hernan jadi cowok paling populer mengalahkan kepopuleran Gavin selama ini. ?Para pemain kelas dua? berkumpul di bangku Hernan waktu istirahat hampir beres. Aku nggak tahu apa yang mereka rencanakan. Lalu mereka meneriakkan ?Wooi? yang keras. Gavin ada di sana ketika teriakan itu menggema. Dia cuma tersenyum. 9 Keesokan harinya keajaiban terjadi. Hernan sedang menendang bola waktu aku datang. Aku nggak tahu dari jam berapa dia mulai latihannya. Yang pasti kaus putihnya sudah seluruhnya basah sama keringat. 16 Aku menyimpan tas dan kembali ke lapangan untuk menontonnya. Hernan mengejar bola yang memantul dari gawang. Dari jarak tertentu dia menendang bola lagi. Dia melakukannya terus. Kebanyakan dari tendangannya masuk ke gawang. Pasti masuk donk, nggak ada kipernya!!! Tadinya aku pengen bilang itu tapi nggak jadi. ?Jam berapa?? tanyanya setelah tendangan yang terakhir. Aku melihat jamku dan menjawab, ?Tujuh kurang seperempat.? Dia berhenti. Lalu dia membawa tasnya ke toilet. Lima menit kemudian dia keluar dengan kemeja putih. Wajahnya lebih berseri daripada dua hari kemarin. ?Tumben?? komentarku waktu dia masuk kelas. Dia tersenyum. ?Banyak yang dukung kamu lho!? tambahku. ?Masa sih?? dia berusaha menghindar tapi aku lihat wajahnya memerah. ?Iya, kayaknya sekarang sekolah jadi kebagi dua, pendukung Gavin sama pendukung kamu...? ?Padahal aku cuma pengen lawan dia aja.? Katanya enteng. Komentarnya sederhana tapi aku tahu semangatnya lagi tinggi. Semangat tinggi bikin Hernan jadi orang yang lebih menyenangkan dari biasanya. Semangat tinggi itu juga kayaknya yang bikin keajaiban sampai-sampai dia datang lebih pagi dariku. ?Kamu sih lawan seleb, jadi ikutan terkenal...? ?Iya kali ya,? katanya berseri, ?Enak juga jadi terkenal...? ?Yang penting kamu tetep semangat kayak gitu, biar nggak kalah.? Aku duduk dan memeriksa kolong mejaku. Buku yang kusimpan masih tersimpan rapi di sana. Aku agak malas kalau harus bawa buku pelajaran tiap hari, makanya beberapa buku kusimpan di kolong meja. Toh selama ini belum pernah ada buku yang hilang. ?Nina,? panggil Hernan. Aku menoleh, dan dia berkata, ?Makasih ya!? Keajaiban hari ini terjadi lagi besoknya, besoknya juga, besoknya lagi. Tantangannya sudah bikin Hernan jadi orang yang lebih tanggung jawab sama waktu. 17 Yah, walapun begitu datang dia cuma latihan menendang bola, tapi seenggaknya sudah ada kemajuan. 10 Seminggu hampir berlalu sejak Hernan menantang Gavin. Besok pertandingannya akan dimulai. Setiap hari aku melihat Gavin latihan pas pulang sekolah, malah yang kudengar dia nggak ikut latihan diklubnya buat latihan di sekolah sama teman-temannya. Hernan juga sama saja. Setiap pagi dia latihan sendiri, tapi pas siangnya dia berlatih bareng ?para pemain kelas dua? lainnya, nggak tahu sampai jam berapa. ?Nin, nggak makan bareng Gavin?? tanya Yuni pas istirahat. ?Hah?? aku takut salah dengar. ?Nggak makan bareng Gavin?? ulangnya. ?Nggak, emang kenapa?? ?Lagi marahan yaa?? Aku benar-benar nggak tahu apa maksudnya. ?Nggak, aku sama Gavin nggak marahan.? Kataku makin bingung, ?Emang kenapa sih?? Yuni merendahkan kepalanya dan berbisik, ?Kamu yang kenapa? Jadian sama Gavin tapi nggak bilang-bilang?? ?Siapa yang jadian sama Gavin?? ?Kamu, siapa lagi?? ?Kata siapa?? ?Banyak yang bilang...? ?Iya siapa?? aku mulai emosi. ?Katanya minggu kemaren pas Gavin narik kamu keluar, dia nembak kamu. Tapi gara-gara ada Hernan, kamu nggak jawab. Trus katanya kemaren kamu jadian sama Gavin. Iya kan?? jelas Yuni. Seingatku, kemarin aku memang menonton Gavin latihan. Tapi kita nggak ngomong banyak, apalagi jadian. Aku nggak mendengar lagi kata-kata Yuni. Aku berjalan ke kantin. Di koridor, tatapan orang menunjukkan kalau mereka sudah tahu gosip ini. Jadi terkenal memang masuk dalam daftar cita-citaku, tapi bukan begini caranya. 18 Di kantin, Gavin lagi bercanda bareng teman-temannya. Aku memanggilnya. Seisi kantin jadi riuh. Gavin mendekatiku. Kamipun menjauh dari kantin. ?Hai,? sapaku. Keadaan jadi canggung. ?Hai,? balasnya. ?Errr,? Kenapa aku jadi susah ngomong?, ?Aku tadi denger dari Yuni kalo kita jadian kemarin. Masalahnya, aku nggak inget waktu aku bilang iya...malah aku nggak inget kamu pernah nembak aku.? ?Aku juga nggak tahu,? kata Gavin, ?darimana gosip ini...? Aku memperhatikannya, masih dengan detak jantung yang cepat. Keadaan ini aneh banget buatku. ?Tapi aku,? lanjut Gavin, ?nggak mau kepengaruh sama gosip ini. Besok aku harus lawan Hernan. Aku harus fokus.? ?Siapa ya yang bikin gosip ini?? tanyaku. Kalau cewek lain di posisiku, mungkin dia bahagia banget. Tapi aku malah jadi canggung. ?Siapa yang diuntungin sama gosip ini?? Gavin malah bertanya balik. Aku menggeleng. Aku benar-benar nggak tahu. ?Akhh...udahlah, mungkin cuma orang iseng yang pengen pecahin konsentrasiku...? Pecahin konsentrasi? Hernan? ?Nanti juga ilang sendiri.? Lanjut Gavin. Aku dan Gavin berjalan ke kelas berdua. Begitu mau masuk kelas, Hernan berjalan keluar. Dia tersenyum, tapi kayak yang terpaksa. Masa sih dia sejahat itu? Tanyaku dalam hati. 11 Sepanjang sisa hari itu Hernan nggak menjawab semua pertanyaan Rudi tentang pertandingan besok. Mungkin dia menyangka kalau aku sampai dengar aku bakal memberitahu Gavin. Kalau dia memang berpikir kayak begitu, mungkin aku memang bakal memberi tahu Gavin tentang apa yang kutahu tentang pertandingan besok. Akhirnya kami nggak saling menyapa. Dia bareng ?para pemain kelas dua? langsung pergi ke lapang dekat STT buat latihan, dan Gavin juga melakukan hal yang 19 sama di sekolah. Sedangkan aku nggak mau lagi terlibat dalam perang ini. Setelah sholat, aku langsung pulang. Besoknya, Hernan masih jadi orang yang pertama sampai di sekolah. Begitu masuk kelas aku nggak keluar lagi buat nonton dia menendang bola. Jam tujuh kurang lima belas, kayak biasanya, dia masuk kelas dengan kaus yang sudah berganti kemeja. Aku sama sekali nggak menyapanya, dia juga begitu. Sampai sekarang aku nggak tahu siapa yang menyebar gosip kalau aku pacaran sama Gavin. Tapi mendengar pertanyaan Gavin kemarin dan melihat apa yang terjadi sama Hernan sekarang, dugaan kalau Hernan yang melakukannya semakin mendekati kenyataan. Sepulang sekolah, pertandingan disiapkan. Banyak anak yang sengaja menonton pertandingan ini. Dalam sekejap, sekeliling lapangan penuh dengan anakanak yang menonton. ?Ayo, dukung Gavin donk!? seru Yuni padaku. ?Kenapa mesti gitu?? ?Kamu kan pacarnya,? Yuni makin mendesakku, ?Lagi marahan boleh, tapi jangan jauhin dia donk, ntar dia nggak konsentrasi mainnya!? ?Aku nggak...? Yuni benar juga. Kalau Hernan memang mau bikin konsentrasi Gavin pecah, maka aku mesti balikkan semuanya. Aku harus dekati Gavin dan dukung dia, bikin rencana Hernan berantakan! Aku mendekati para pendukung Gavin dan ikut bersorak buat dia. Aku melihat Hernan bersama teman-temannya tidak memperhatikanku atau memang sengaja tidak melakukannya. Pertandingan dimulai. Sejak awal sudah kelihatan siapa yang lebih unggul. Tim Gavin lebih banyak menyerang. Tim Hernan hanya berusaha tidak kebobolan lebih dulu. Perbedaan antara ?pemain kelas satu? dan ?kelas dua? benar-benar kelihatan. Kalau pas duel Gavin-Hernan yang lalu mereka kelihatan seimbang sekarang malah beda jauh. Akhirnya tim Gavin unggul lebih dulu. Pas babak pertama selesai, Gavin sudah bikin satu gol dan Andi satu lagi. Babak kedua dimulai dengan tendangan langsung Hernan dari tengah lapang. Bolanya memantul dari tiang gawang dan keluar. Seterusnya Hernan jadi lebih hebat. Dia membawa bola, melewati Agil dan berhadapan langsung dengan Gavin. Hernan 20 bergerak ke kiri, mengecoh, dan melewatinya. Gavin mengejarnya. Tapi Hernan keburu menendang dan bikin gol. Hernan kelihatan makin bersemangat. Tapi aksinya yang mirip tadi berhasil dihentikan. Gavin bikin dua gol tambahan setelah itu. Pertandingan berakhir dengan skor 4-1 buat tim Gavin. 12 Kekalahan Hernan kemarin membalikkan lagi topik rumpian di kantin dan di kelas. Hernan bukan lagi jadi topik utama obrolan mereka. Gavin lah yang jadi fokus. Pagi tadi juga Hernan kesiangan lagi. Kebiasaannya selama seminggu kemarin lenyap tanpa bekas. Di kelas, Gavin mengumumkan kalau gosip jadian antara aku dan dia itu salah. Dia menyakinkan semua orang kalau semua gosip itu nggak benar. Dan kayaknya orang-orang percaya. Aneh banget, kemarin dan kemarinnya lagi aku bilang kalau aku bukan pacar Gavin tapi nggak ada yang percaya. Sekarang omongan Gavin bisa langsung menghapus semuanya. Kekuatan kepopuleran memang hebat. Mungkin kemarin Gavin nggak mau ambil pusing sama gosip ini. Kulihat Gavin, kemarin, sama sekali nggak peduli dengan sorakan teman-temannya. Akhirnya istirahat hari ini aku bebas dari tatapan orang-orang. Mungkin sekarang buat mereka aku ada atau nggak sama saja. Ada perasaan aneh karena kejadian ini. Naik-turunnya popularitasku beberapa hari ini bikin aku kecewa sekaligus senang dalam waktu bersamaan. Aku dan Yuni lagi makan bakso waktu aku dengar obrolan antara Avin dan Dani. Mereka berdua ikut di pertandingan kemarin. Dan Hernan adalah topik obrolan mereka. ?Kemaren, abis beres main lawan Gavin aku lihat dia sendirian di lapang STT.? Kata Dani yang sambil mengunyah kripik pedas sampai-sampai suaranya nggak jelas. ?Si Hernan juga sih, ngapain nantangin Gavin?!!? timpal Avin, ?Dia emang hebat, tapi Gavin lebih jago lagi. Mestinya mikir lagi, jadi nggak sampe malu kayak gini...? ?Salah kita juga kali, kemaren kita nggak bisa nahan pergerakan Gavin.? Kilah Dani, ?Tapi emang hebat banget si Gavin tuh!? 21 Ternyata bukan cuma aku yang berpikir kalau mereka berdua itu hebat. Aku memotong bakso dengan sendok tapi malah muncrat. ?Minta tisu donk, Yun!? pintaku, sejenak obrolan mereka menghilang dari telingaku. Yuni memberikannya waktu Dani berkata, ?Dia bilang ada yang sengaja bikin dia kalah...? ?Ya pasti, itu Gavin kan?? ?Bukan itu, katanya gosip...? suara Dani merendah, ?Gitu...? ?Masa sih?? ?Aku juga jadi mikir gitu!? Aku makin berusaha mendengarkan, tapi mereka malah pergi. Mungkin mereka sadar kalau aku ada di situ. Aku yakin sama omongan Avin. Kalau ada yang pengen bikin Hernan kalah, orang itu pasti Gavin. Tapi yang kulihat kemarin Gavin mengalahkannya pakai cara yang sah. Dia nggak melakukan hal curang sama sekali. 13 Pagi ini aku bangun kesiangan. Semalam banyak banget PR yang mesti dikerjakan, latihan evaluasi matematika dan mengarang dengan tema lingkungan hidup dengan bahasa Inggris. Buat yang kedua aku nggak ada masalah, tapi yang pertama bikin aku pusing. Aku mencoba menyelesaikannya sampai jam 1 pagi tapi baru setengahnya berhasil kuisi dan itupun nggak ada jaminan semuanya benar. Aku berlari terburu-buru mengejar angkot. Jalanan macet berat. Lengkap deh semuanya hari ini. Buat pertama kalinya macet bakal bikin aku telat. Inilah bagusnya kota ini, kamu bisa selalu salahkan jalanan macet! Dan memang benar, aku telat. Jam tujuh lebih tiga menit aku baru menghentikan angkot. Perasaan gugup benar-benar bikin aku nggak bisa mikir, apalagi kalau ingat PR yang sisa setengahnya. Telat bikin aku jadi orang bingung. Tapi seperti yang kuharapkan, aku punya teman. Hernan berlari melewatiku pas aku turun dari angkot. Aku ragu memanggilnya tapi aku memanggilnya juga. Dia tiba-tiba berhenti. ?Kok tumben?? tanyanya. Iya, sekarang aku yang ditanya begitu, kataku dalam hati. 22 ?Aku kesiangan...? jawabku. ?Aku bisa liat itu.? Jawabnya, ?Ayo!? Dia memegang tanganku dan membawaku lari. Aku kewalahan karena dia terlalu cepat. Sambil berlari dia berkata, ?Ayo...bentar lagi gerbangnya ditutup!? Aku tahu dia sudah terbiasa dengan ini. Setahuku gerbang ditutup jam tujuh lebih sepuluh menit dan itu lima menit lagi. Aku nggak yakin aku bisa mencapainya. Melihat keringat Hernan yang membasahi kausnya, aku jadi heran, darimana dia berlari? Karena kalau dari depan nggak mungkin keringatnya sebanyak itu. Kami tiba di depan gerbang pas jam tujuh lebih sepuluh menit. Gerbangnya belum ditutup (sebenarnya kami masuk pas banget gerbang ditutup). Barulah Hernan melepaskan pegangannya pas kami sudah ada di dalam. Keringat membasahi kerudungku (padahal ini baru kupakai!!!). ?PR matematika udah?? tanyaku. Sebenarnya aku nggak perlu bertanya. ?Udah, kamu?? ?Tinggal setengahnya, tapi aku...? aku mengganti omonganku, ?Tadinya aku pengen liat punya kamu...tapi malah telat!? ?Aku bikin dua,? kata Hernan. ?Hah?? ?Buat kamu..? lanjutnya, ?Aku kan udah janji...? ?Tapi kan...? ?Tenang, punya kamu bukan aku yang nulis kok.? Katanya sambil tersenyum. Senyum pertamanya selama beberapa hari ini, ?Aku nyuruh kakak nulisin punya kamu.? Hernan membuka tasnya. Aku pikir dia mau mengeluarkan jawaban, tapi aku salah. Dia mengeluarkan handuk kecil dan mengelap keringatnya. Lalu dia mengeluarkan kemeja seragam dan memakainya. Aku baru teringat aku pengen bertanya sesuatu, ?Kamu lari darimana?? tanyaku. Ruang kelasku kelihatan masih ribut sementara yang lain sudah senyap. Gurunya belum datang. Aku mulai tenang. ?Dari rumah.? Jawabnya enteng. ?Dari rumah?? aku kaget mendengarnya. 23 ?Dari rumah,? ulangnya, ?dari rumah ke sini nggak masuk jalur angkot.? ?Jadi?? jawabannya bikin aku makin kaget. ?Ya gini deh kalo aku berangkatnya pas jam enam.? ?Waktu seminggu kemarin gimana?? ?Jam lima.? Kami masuk kelas dan disoraki (aku mulai terbiasa dengan ini). Aku mengumpulkan jawaban punya Hernan begitu gurunya datang. Aku bilang makasih buat semua itu dan larinya hari ini (itu bener-bener nyelamatin aku!). Sekarang aku sudah tahu kenapa dia telat tiap hari. Ternyata itu nggak sesuai dugaanku. Aku selalu berpikir kalau Hernan itu pemalas, tukang tidur, sampai-sampai telat tiap hari. Sekarang aku kagum padanya. Kenyataan ini juga menjawab kenapa dia bisa mengalahkan lari Gavin waktu seleksi. Aku benar-benar nggak bisa membayangkannya. Dari rumah jam enam dan selalu telat sampai sekolah. Aku memang nggak tahu dimana rumahnya, tapi dimanapun itu pasti jauh banget, mungkin lebih jauh dari rumahku. Belum lagi pulangnya. Apalagi kalau dia main bola dulu di STT? Keadaan membaik. Aku bisa bercanda lagi sama Hernan. Padahal selama beberapa hari ini aku menganggapnya memakai cara kotor untuk memecah konsentrasi Gavin dengan gosipnya. Sekarang aku nggak punya tersangka lain yang menyebar gosip itu. Biarlah, toh sekarang gosip itu sudah hilang, kayak yang Gavin bilang. 14 Kompetisi futsal antar kelas tinggal sebulan lagi dimulai. Hernan menjalani kehidupannya seperti biasanya lagi, datang telat, paling sering ke depan pas pelajaran matematika, pulang main bola di STT. Kayaknya dia sudah menerima kekalahannya. Gavin, sama seperti sebelumnya, kembali jadi populer. Dia juga balik lagi latihan di klubnya. Katanya kompetisi di Liga Minor lagi padat-padatnya. Tapi begitupun dia masih sempat main bola bareng teman-temannya. Dia bilang, ?Aku pengen juara di sana dan di sini!? Ambisi yang kuat tapi nggak terkesan berlebihan. Walaupun pada akhirnya mereka berdua tidak saling menyapa. Merekapun tetap tidak bermain bola bareng, bahkan pada pelajaran olahraga sekalipun. Tapi 24 seenggaknya mereka tidak lagi saling bersaing, nggak ada lagi perang dingin diantara mereka. Dan itu lebih baik dari sebelumnya. Suatu hari Hernan mengajakku ke rumahnya. Aku tidak langsung mengiyakannya. Barulah malamnya aku meneleponnya dan bilang aku mau ke rumahnya, asal dia juga mengajari aku matematika. ?Ok, nggak ada masalah.? Jawabnya di ujung telepon. Keesokan harinya dia datang dengan sepeda dengan keranjang di depannya. Aku tertawa lebar waktu dia bilang, ?Aku pinjem dari tetangga...? Dia juga ikut tertawa. Sepulang sekolah dia tidak ikut Rudi main bola di STT. Aku diboncengnya dengan sepeda itu. Tas kami disimpan di depan. Dia juga bikin aku kaget waktu aku disuruh pakai payung. Cuacanya memang agak panas tapi aku pernah merasakan yang lebih parah dari ini. Aku menolaknya, tapi dia memaksa. Akupun menurutinya. Rumahnya sederhana. Ada garasi yang kelihatannya masih dipakai. Kayaknya keluarganya punya mobil, tapi kenapa beli sepeda saja nggak mampu? Di rumahnya ada ibu dan kakak perempuannya. Ibunya gemuk tapi simpatik. Tapi godaan kakaknya bikin aku malu. ?Nah gitu donk,? kata kakaknya, ?kayak cowok, bawa cewek ke rumah!? ?Akhh...diem aja!? seru Hernan. Dia bisa galak juga ya? Pikirku. ?Kenalin ini Nina,? kata Hernan mengenalkanku pada kakaknya, ?Ini kak Asri, dia kuliah kimia, tapi calon guru...? ?Emang kenapa kalo calon guru?!!? ?Aku nggak bilang apa-apa...? ?Dasar...!? Kak Asri memukul pantat Hernan. Ibunya menengahi pertengkaran kakakberadik itu. Hernan masuk ke kamarnya dan meninggalkanku dengan kak Asri. ?Udah lama pacaran sama si kutil?? tanya kak Asri. ?Kutil?? ?Hernan...? ?Kita nggak pacaran kok.? Kataku membela diri, ?Dia tiba-tiba ngajak aku ke sini...? 25 ?Aneh, dia nggak pernah ngajak cewek ke rumah lho. Temennya aja jarang ke sini.? Kata kak Asri sambil memencet-mencet tombol remote TV. Acaranya nggak ada yang menarik, ?Kirain ceweknya, ati-ati aja sama dia!? Apa Hernan emang mikir aku pacarnya? Tanyaku dalam hati. ?Yang mesti ati-ati tuh kakak!? seru Hernan yang sekarang sudah berganti kaus biru tapi masih pakai celana seragam, ?Kalo ngomong asal terus kayak gitu!? Kak Asri tertawa, dan akupun ikut tersenyum. Hernan benar-benar mengajariku matematika. Pertamanya kukira cuma biar aku setuju ke rumahnya. Aku ikut saja, dia menjelaskan satu persatu tentang geometri. Dia juga mengajariku rumus-rumus cepat yang biasa dipakainya kalau ulangan. ?Aku dapet ini dari kak Asri,? katanya berbisik, ?Tapi jangan bilang sama dia aku masih pake ya?!!? ?Emang kenapa?? tanyaku polos. ?Aku bilang rumus cepat kayak gini cuma dipake orang bloon...ssstt...? ?Jadi kamu bloon donk?? sindirku. ?Yaaa, kadang-kadang...? Aku tersenyum mendengar jawaban polosnya. Setelah sholat ashar dia malah membereskan semua bukunya. Kupikir tadinya kita akan meneruskannya. Lalu mengajakku keluar. ?Kemana?? tanya kak Asri yang masih menonton TV. ?Keluar, ada kakak sih!!!? jawab Hernan ketus. ?Heh...kurang ajar!? teriak kak Asri. Sebuah bantal kursi melayang melewatiku dan mengenai kepala Hernan. Dia mengambilnya dan melemparkannya lagi ke kakaknya. Hernan langsung menarik tanganku. Kak Asri mengejar kami sampai pintu pagar. Hernan memacu sepedanya secepat mungkin. Aku berusaha memegang bajunya biar nggak jatuh. ?Mau kemana sih?? tanyaku. Kami masuk ke jalan raya. Hernan melambatkan sepedanya karena beberapa mobil melaju terlalu cepat. Mungkin dia nggak mau aku kaget terus jatuh. ?Kak Asri kuliah semester berapa?? tanyaku karena Hernan nggak mau jawab pertanyaan tadi. ?Semester enam.? Jawabnya singkat. ?Wahh...aku boleh donk belajar kimia sama dia!? Hernan tertawa datar. 26 ?Kenapa?? tanyaku lagi. ?Nggak apa-apa, kak Asri pasti seneng kalo ada yang pengen belajar dari dia.? ?Emang kenapa?? ?Dia suka ngajar,? sepeda kami berbelok di persimpangan, ?Nggak tau kenapa, mungkin emang nurun dari mama.? ?Mama kamu...?? ?Guru SD.? Kami masuk ke halaman parkir stadion Persib (aku sama sekali nggak tahu buat apa kami ke sini), ?Waktu SD, aneh juga diajar sama mama di kelas, bingung mau manggil apa...? Hernan tertawa lagi. Aku nggak pernah melihatnya tertawa sesering ini. ?Hernan, ngapain kita ke sini?? tanyaku saat memasuki stadion. ?Nonton pertandingan.? ?Pertandingan apa?? ?Sepakbola.? ?Iya, makasih, aku tahu ini stadion sepakbola! Nggak mungkin ada balap renang di sini!? kataku kesal karena dia terus menggodaku, ?Siapa lawan siapa?? ?Entar juga tau...? Hernan mengajakku duduk di ujung. Lalu keluar para pemain dari ruang ganti. Saat para pemain sudah ada di lapangan, Hernan menunjuk pada seseorang di sana. Awalnya aku nggak sadar, tapi setelah memicimkan mata aku melihat Gavin memakai kaus biru dengan nomor punggung 10. ?Dia main?? ?Keliatannya gitu...? Sebenarnya jawaban itu nggak perlu juga sih. Gavin berbaris dengan timnya. Dia memang bukan yang paling pendek, tapi jelas dia kelihatan paling muda diantara yang lainnya. Aku melambai padanya tapi Hernan menangkap tanganku. Dia nggak mau Gavin tahu kami ada di situ. ?Kamu sengaja ajak aku ke sini?? tanyaku waktu pertandingan baru saja dimulai. Dia mengangguk dan bersahut, ?Yeah...? ?Kenapa?? ?Buat liatin sama kamu kalo aku nggak benci sama Gavin.? ?Emang aku pernah bilang kalo kamu benci sama Gavin?? 27 Hernan tersenyum dan berkata, ?Nggak juga sih, tapi kejadian kemarenkemaren itu bikin aku ngerasa kalo kamu pikir aku benci Gavin. Apalagi pas ada gosip kamu jadian sama dia.? ?Aku belum pernah jadian sama siapapun!? kataku. ?Iya, aku bilang kan gosip. Aku nggak bilang kamu jadian sama dia.? Di lapangan, Gavin menerima operan dari temannya. Setelah mengecoh satu pemain lawan, dia menendang bola. Bolanya ditepis kiper dan keluar lapangan. Tapi si kiper nggak bangun-bangun. Akhirnya kiper itu diganti. ?Biarpun nggak masuk, Gavin nggak ngasih kesempatan kiper itu main lagi.? Aku sama sekali nggak mengerti omongannya. ?Gavin ngasih bola yang posisinya kagok,? lanjutnya karena melihatku penasaran, ?jadi jatohnya nggak bener, mungkin pinggulnya kebentur.? Aku nggak tahu gimana dia bisa melihat dari posisi sejauh ini. Pertandingan dimulai lagi. Gavin menyundul bola dan gol. Gampang banget! Pikirku. ?Itulah kenapa Gavin disebut tipe pemain jenius,? kata Hernan setelah kami terdiam selama beberapa menit, ?Dia bisa bikin lawan bergerak semaunya dia.? Aku tidak menanggapinya langsung karena tim Gavin juga kebobolan. ?Kamu suka ya sama dia?? tanyaku setelah pertandingan berjalan lagi. ?Nggak, emang aku homo apa?!!? sergahnya. ?Bukan itu,? timpalku karena dia salah mengerti, atau sengaja salah mengerti buat menggodaku, ?Kamu pengen kayak dia ya?? ?Nggak juga,? katanya membela diri, ?Yeah, semua kemampuanku, aku niru dari dia.? Akhirnya ngaku juga!!! teriakku dalam hati. ?Trus, kenapa nggak baikan aja?? ?Emang kita pernah berantem?? ?Yaa, nggak gitu. Tapi kan keliatan banget kalo kalian tuh saingan berat! Apalagi pas kamu nantangin dia waktu itu...? ?Aku nggak mau main sama dia karena dia nggak pernah ngoper.? Katanya, ?Coba aja kamu bayangin, kamu maen bola, tapi orang yang paling banyak pegang bola nggak pernah ngasih bola sama kamu sekali pun. Pasti jadi males kan?!? ?Iya juga sih...? gumamku. 28 Apa yang dibilang Hernan ada benarnya juga. Aku juga nggak tahu kenapa Gavin nggak mau main bareng Hernan. Padahal pasti hebat banget kalau mereka berdua main bareng di kompetisi futsal antar kelas. Pasti juara, aku jamin. Kamipun menikmati pertandingan sampai akhir. Gavin nggak bikin gol lagi. Tapi teman satu timnya bikin dua gol. Mereka menang 3-1. Hernan mengajakku pulang setelah semua pemain, termasuk Gavin, masuk ke ruang ganti. Hernan menungguiku sampai dapat angkot. Setelah angkotku melaju, dia pulang. Hari ini mataku terbuka, Hernan nggak seperti yang kupikirkan selama ini. 15 Seminggu kemudian Gavin nggak masuk sekolah. Awalnya aku nggak menyadarinya tapi setelah tak ada teriakan ajakannya main bola akhirnya aku bertanya juga, ?Dia cedera,? kata Dino. ?Cedera?? ?Kemarin dia maen di Liga Minor, trus cedera deh...? ?Cederanya kenapa? Masa gitu aja nggak masuk!? ?Kaki kanannya bengkak. Ditelepon katanya sih pas dia mau nendang ada yang nendang juga, si bolanya nggak kena, tapi kaki mereka berdua malah beradu. Lawannya juga cedera gitu.? Aku membayangkan sakitnya luar biasa kalau mengingat bagaimana tendangannya dan Hernan beradu waktu mereka memecahkan bola pas seleksi dulu. Mungkin dulu bolanya yang pecah, sekarang kakinya yang kena. ?Kita mau ke rumahnya,? lanjut Dino, ?Kamu ikut aja, dia juga pasti kangen...? lalu Dino tertawa terbahak-bahak. ?Ihh...siapa yang kangen?!!? teriakku. ?Trus ngapain nanya-nanya?? Dino makin memojokkanku. Aku meninggalkannya, dan dia tertawa makin keras. Bahkan teman-temannya juga ikut menertawakanku. Pas bel masuk istirahat aku berpapasan dengan Hernan di toilet. Dia dan Rudi keluar toilet sambil bawa batagor yang diplastikkan. Aku nggak tahu gimana mereka bisa tahan dengan toilet yang bau begitu dan mereka sambil makan. Memikirkannya saja bikin mual. 29 ?Kamu tau Gavin sakit?? tanyaku setelah berhasil mengatasi rasa mualku. Sambil mengunyah dia berkata, ?Ya, aku tau. Dia cedera.? ?Oooh...? ?Kenapa?? ?Dino sama temen-temennya mau ke rumahnya nanti. Mau ikut?? Kami berjalan ke kelas. Rudi sampai kelas lebih cepat, meninggalkan kami. ?Kenapa aku mesti ikut?? ?Karena Dino ngajak aku ikut.? ?Trus, kalo kamu ikut aku mesti ikut?? tanyanya agak sinis, ?Nggak akh...aku mau main bola.? ?Ya udah, aku cuma nanya aja kok!? Pak Ali, guru Biologi, masuk. Hernan langsung menyembunyikan kepalanya di kolong meja biar nggak kelihatan lagi makan. Dan pelajaran favoritkupun dimulai, aku melupakan penolakan Hernan. Pulangnya Dino mengajakku lagi sambil tertawa (kayak biasa!). Aku menolaknya sekali lagi. Setelah itu Yuni yang mengajakku, aku juga menolaknya. 16 Besoknya aku dapat cerita memilukan dari Dino. Kayak biasa, dia berusaha memojokkanku dengan sindirannya. Kemarin-kemarin aku memang nggak tahan dengan kelakuannya, tapi sekarang aku memutuskan buat menerimanya dengan ikhlas. Kalau aku kesal apalagi marah, Dino malah makin senang dan lagian aku nggak perlu buang-buang energi buat kesal sama sesuatu yang nggak berguna. Dari Yuni juga aku dapat cerita yang sama. ?Kasian banget deh!? katanya, ceritanya harusnya sedih tapi dia malah bersemangat. Aku cuma mengangguk-angguk, tapi nggak terlalu memperhatikan ceritanya. ?Dia minta kamu datang hari ini!? ujarnya lagi. Aku nggak percaya! Ini pasti usahanya memojokkanku juga. ?Ihh...serius ini mah!? katanya lagi mencoba meyakinkanku, ?Dia sendiri yang bilang begitu.? ?Mau apa emangnya?? tanyaku ketus. Aku bisa tahan kalau Dino yang melakukannya, tapi temanku sendiri?!! Aku nggak percaya! 30 ?Nggak tau, mau nembak kamu kali...? Yuni langsung menutup mulutnya dengan tangan. ?Tuh kan...boong!? teriakku manja. ?Enggak, eh..iya boong, tapi yang nyuruh kamu datang itu bener. Beneran deh!? katanya datar, ?Telepon aja!? Dia menyodorkan ponselnya. Barulah aku percaya. Yuni nggak mungkin menyodorkan ponselnya dan menantangku meneleponnya kalau itu nggak benar. Aku memutuskan buat ke rumah Gavin sepulang sekolah. Tapi aku minta Yuni menemaniku. ?Nah, gitu donk!? kata Yuni puas. Sepanjang sisa jam pelajaran aku cuma bertanya-tanya mau apa Gavin menyuruhku datang? Tiap kali pertanyaan itu datang, aku selalu menepisnya dan meyakinkan kalau aku akan tahu begitu sampai di rumah Gavin. Sepulang sekolah aku dan Yuni naik angkot menuju rumah Gavin. Aku nggak mau lagi mengajak Hernan karena dia pasti menolaknya. Ternyata rumah Gavin jauh juga, hampir sama jaraknya dari sekolah ke rumahku, cuma beda arah. Rumah Gavin sama sederhananya dengan rumah Hernan. Kalau rumah Hernan kelihatan klasik, rumah jaman dulu yang kawat pagarnya sudah agak berkarat, rumah Gavin lebih kelihatan modern. Luasnya mungkin lebih kecil dari rumah Hernan tapi rumah ini berlantai dua. Kami disambut oleh ibu yang kelihatannya belum sampai umur 40-an. Aku yakin ini ibunya Gavin karena wajahnya mirip. Ibu Gavin menggendong bayi kecil yang sedang menangis. Kata Yuni umurnya baru setahun lebih. Kami menunggu di ruang tamu waktu si ibu memanggil Gavin. Dari foto keluarganya terlihat kalau Gavin anak pertama. Ayah-ibunya kelihatan masih muda, nggak kayak ibu Hernan yang sudah tua. Gavin masuk ke ruang tamu dengan kaki kanan terangkat sedikit. Waktu melangkah kaki kanannya nggak menapak sempurna. Gavin terlihat pincang. ?Hai,? sapanya sambil menahan sakit. Dia menjatuhkan diri di kursi di hadapanku. Aku baru bisa melihat lukanya dengan jelas. Bagian bawah mata kakinya berwarna biru tua dan bengkak. Aku sampai nggak bisa membedakan yang mana mata kakinya, yang mana lukanya, keduanya seperti bersatu membentuk gundukan. ?Hai,? balasku. Aku nggak tahu mau ngomong apa. 31 ?Jauh ya?? tanyanya berbasa-basi. ?Rumahku juga sama jauhnya.? ?Masa?? ?Iya.? Gavin cuma tersenyum karena jawabanku pendek-pendek. Adik kecil Gavin tertatih-tatih mendekati Gavin. Senyum lucunya membuatku gemas sehingga tak melihat apa yang akan dilakukannya. Si adik menginjak kaki Gavin yang bengkak dengan polosnya. ?Auww...Maaaa, ini de Vinanya atuh bawa ke dalem!? teriak Gavin seketika. Yuni langsung menggendong Vina kecil sambil berkata, ?Biar aku aja!? Yuni masuk ke ruang keluarga dan berpapasan sama ibu Gavin. Si ibu pakai celemek, kelihatannya sih lagi masak. Si ibu masuk lagi sementara Yuni bermain dengan Vina kecil di ruang keluarga. Gavin mengurut kakinya yang diinjak. Kaki Vina memang kecil dan nggak mungkin injakannya bikin memar Gavin makin parah, tapi Gavin mengerang kesakitan lebih dari seharusnya. Yuni meninggalkanku berdua dengan Gavin. Kayak yang udah direncanain??? Pikirku. Tapi pikiranku kubuang segera karena mana mungkin bocah sekecil Vina bisa diatur menginjak kaki Gavin? ?Sakit ya?? sekarang aku yang berbasa-basi. Gavin mengangguk dan berkata, ?Apalagi kalo pas bangun tidur...? Aku tersenyum. ?Mungkin ototnya dingin jadi pas digerakin sakit banget.? Gavin juga tersenyum dan berkata, ?Kamu kan anak PMR dan suka biologi, tau nggak cara nyembuhinnya?? ?Ke dokter.? Jawabku polos. Gavin tertawa dan wajahnya menunjukkan kalau jawabanku nggak penting banget. ?Kapan masuk lagi?? tanyaku mengalihkan obrolan. ?Entar kalo udah sembuh,? Gavin tertawa datar, ?Nggak denk, paling juga beberapa hari lagi, asal aku udah bisa jalan aku pasti masuk.? ?Nggak bisa maen bola dulu donk?? 32 ?Yaa, gitu deh,? jawab Gavin, ?Oh iya, itu juga makanya aku minta kamu ke sini...? Aku mulai tenang. Dia nggak mungkin mengaitkan masalah sepakbola sama nembak aku. ?Aku,? lanjut Gavin, ?nggak bisa main bola, mungkin sampe kompetisi futsal antar kelas dimulai. Aku pengen kamu minta Hernan gantiin aku...? Ini sama sekali nggak masuk hitunganku. ?Kenapa nggak minta sendiri?? ?Mungkin kamu lebih bisa bikin dia percaya,? katanya, ?Aku takut dia nolak. Kamu kan deket sama dia. Kayak waktu datang ke stadion seminggu kemaren!? Dia tahu. ?Kamu tau kita datang?? Dia mengangguk dan berkata, ?Aku juga tau Hernan sering nonton pertandinganku.? ?Dia sering...?? ?Yaaa, nggak tiap aku maen sih, tapi sering lah!? katanya sambil mengambil kue kering dari toples. Dia tahu kalau Hernan mengaguminya. Terus ngapain mereka bersaing? ?Dia itu hebat!? katanya setelah mengunyah habis kue dan menepuk-nepuk remah kue dari bajunya. Suara Yuni yang membujuk Vina makan terdengar sampai ruang tamu. ?Kata Hernan kamu yang hebat!? sergahku. ?Dia ngomong gitu?? Aku mengangguk. ?Dia lebih hebat!? katanya. Aku nggak tahu apa maksudnya. Setahuku, kata orang-orang, Gavinlah yang terhebat, ?Sejak SD aku dimasukkin ke sekolah sepakbola sama papa. Jadi wajar kalo aku lebih berkembang karena dikasih latihan yang bener. Tapi Hernan belajar sendiri. Dia yang nggak bisa apa-apa waktu kelas satu, bisa jadi kayak sekarang. Dalam setaun dia kejar aku sampe selevel sama aku. Itu hebat kan?? ?Itu sebabnya kamu nggak mau ngoper sama dia?? ?Tadinya ya karena dia emang nggak bisa maen bola, tapi sekarang-sekarang ini aku jadi iri sama dia karena punya bakat yang lebih hebat.? ?Hernan kesel banget kalo ngomongin itu lho!? 33 ?Nah, itu yang bikin aku takut dia nolak!? katanya memelas, ?Kamu mau kan?? Aku mengangguk dan berkata, ?Yah, tapi kamu mesti janji, begitu sembuh kamu main sama dia di kompetisi futsal antar kelas dan kasih dia operan?!!? ?Aku janji!? katanya tegas, ?Makan donk kuenya!? Aku lega karena aku ke sini nggak ada hubungannya sama perasaan Gavin padaku. Mungkin dari awal dia memang nggak berniat buat nembak aku. ?Oiya...aku juga mau minta maaf!? katanya waktu aku mengunyah kue putri salju yang kekurangan gula halusnya. ?Buat apa?? mulutku masih penuh. ?Aku yang nyebarin gosip kita jadian...? katanya pelan. ?Apa?!!? aku nggak percaya pelakunya dia sendiri, ?buat apa?? lanjutku dengan suara yang lebih tenang. Suara Vina kecil terdengar melengking dari ruang keluarga. Gavin menggaruk kepalanya dan berkata, ?Buat bikin Hernan bingung.? ?Bingung?? tanyaku, ?Kenapa dia harus bingung kalo ada gosip kita jadian?? Gavin cuma diam. ?Masa sih dia suka sama aku?? jelas aku sudah ke-geer-an. ?Hah? Iya gitu?? sekarang Gavin yang kelihatan bingung, ?Aku nggak tau. Bagus donk!? ?Trus kenapa dia mesti bingung, kalo dia nggak suka sama aku?? aku sudah tanggung malu. ?Aku...? kata Gavin terbata-bata, ?Dia itu...kan nggak biasa jadi bahan omongan. Nah, waktu itu kan semua ngomongin dia. Aku bikin gosip itu buat mindahin omongan orang ke gosip kita. Jadi dia bingung sama keadaan itu dan dia ilang konsentrasi buat main. Dan itu berhasil!? ?Ya Allah, Gavin,? kataku tiba-tiba, ?Kok kamu bisa mikir segitunya sih? Kamu tau, Hernan tuh orang yang semangatnya gampang naik-turun? Padahal waktu itu dia udah semangat banget mau ngalahin kamu!? ?Aku juga kan nggak mau malu di depan satu sekolah!? kilahnya, ?Aku tau Hernan orangnya gitu, itu juga makanya aku bikin gosip itu.? Masalah yang tadinya jelas jadi ribet lagi. Aku nggak tahu maksud Gavin sekarang. 34 ?Kadang cara terbaik buat naikin semangat,? lanjutnya, ?adalah dengan menjatuhkannya!? ?Akhh...yang bener aja!? ?Iya donk! Kamu ada di sana buat naikin semangatnya, sementara aku ngejatuhinnya. Kalo dia bisa bangkit dari jatuhnya, keberhasilan cuma nunggu waktu.? ?Dan kalo aku nggak bisa naikin lagi semangatnya?? tanyaku berusaha menyangkal teorinya. ?Nah, itu bedanya pemenang sama pecundang!? ?Hahh...Gavin, kamu tuh ada-ada aja sih!? ucapku lemah. 17 Aku menunggui Hernan keluar dari pertandingan di lapangan STT. Begitu dia menghampiriku, aku langsung meminta apa yang diinginkan Gavin darinya. Dan kayak yang sudah bisa ditebak, dia menolak. ?Aku malah udah daftarin tim kedua dari kelas kita!? katanya setelah menyeruput es teh manisnya. ?Tim kedua? Kamu pengen lawan Gavin lagi?? tak ada gosip tentang ini dari tadi pagi. ?Nggak ada salahnya kan?? sergahnya, ?Aku pengen tau siapa yang terbaik diantara kami.? ?Tapi Gavin pernah ngalahin kamu!? Ups...aku salah ngomong! Hernan pergi, masuk lagi ke pertandingan. ?Hernan,? panggilku sambil menarik tangannya, ?Dia mungkin nggak bisa main sampai kompetisi dimulai!? ?Yaa, bagus. Jadi timku bisa menang mudah!? ?Kamu nggak ngerti ya!? teriakku, ?Kasih dia harga diri donk! Dia udah minta kamu gantiin dia!? ?Apa dia ngasih aku harga diri waktu dia bantai timku 4-1? Kalo dia punya harga diri, kenapa nggak minta sendiri?? Aku kagum padanya karena sekalipun aku sudah berteriak, suaranya masih terkontrol. 35 Dia masuk lagi ke pertandingan. ?Dia iri sama kamu karena punya bakat yang lebih hebat!? teriakku. Dia menoleh tapi nggak ngomong apa-apa, lalu bermain lagi. Gavin minta tolong padaku tapi aku nggak bisa menolongnya. Karena Hernan nggak menghampiriku lagi, aku pulang. Aku nggak tahu gimana caranya kasih tahu penolakan ini sama Gavin. Hernan memang punya hak buat menolak. Tapi mendaftarkan tim kedua dalam satu kelas nggak masuk perhitunganku. Lagian selama ini nggak ada kelas yang mendaftarkan dua tim. Kompetisi kurang dari dua minggu lagi dimulai. Sampai saat itu Gavin nggak mungkin sembuh. Aku pernah merawat orang yang punya luka memar seperti itu dan dia butuh waktu lebih dari sebulan buat memakai tangannya dengan normal. Apalagi memar Gavin ada di kaki yang bakalan susah sembuhnya karena selalu dipakai berjalan. Malamnya aku nggak bisa tidur memikirkan cara buat meminta Hernan menggantikan Gavin. 18 Sampai akhir minggu ini aku memintanya lagi dua kali. Tapi jawabannya selalu sama. Aku menyerah, tapi masih nggak tahu caranya memberitahu Gavin tentang semua ini. Senin berikutnya Gavin masuk sekolah dengan tongkat yang menahan kakinya. Dia masih belum bisa pakai sepatu. Warna biru memarnya sudah hilang tapi bengkaknya masih ada walau nggak kayak waktu aku lihat di rumahnya. Dengan kondisi ini nggak mungkin dia bisa ikut kompetisi. Sementara Hernan nggak melewatkan seharipun buat latihan bareng temantemannya. ?Para pemain kelas dua? sekarang bisa bermain di lapangan sekolah. Aku memberitahu Gavin sebisaku. Aku mengatakannya langsung kalau Hernan sudah mendaftarkan tim kedua dari kelas kita. Reaksi kecewa kelihatan jelas di wajahnya. Selama seminggu sebelum kompetisi dimulai, Gavin cuma bisa menonton latihan teman-temannya. Bahkan teman-temannya juga kelihatan nggak bersemangat. 36 Aku mulai berpikir, kelas kami mungkin masih bisa menang di kompetisi ini tapi bukan tim yang ada Gavinnya. Gavin memberitahuku sesuatu yang mengejutkan dihari kompetisi dimulai. ?Aku akan main!? katanya. Dia memang sudah bisa pakai sepatu tapi jalannya masih pincang. Aku mencoba melarangnya tapi dia sudah memutuskannya. Dia berkata, ?Kalo Hernan emang ingin melawanku, aku akan menghadapinya!? ?Tapi kamu nggak mungkin bisa main!? teriakku. ?Aku percaya temen-temenku. Mereka pasti bisa bermain lebih baik.? Tak ada yang bisa kukatakan lagi. Aku melihat daftar tim yang bermain dan jadwalnya di papan pengumuman. Kompetisi ini diikuti seluruh kelas. Itu berarti 30 tim (10 dari setiap tingkat kelas). Tapi karena Hernan mendaftarkan tim kedua dari kelas kami, jadi kami punya 31 tim yang ikut kompetisi. Ke-31 tim ini dibagi delapan grup. Setiap grup diisi empat tim, kecuali satu grup yang punya tiga tim. Setiap grup akan memainkan pertandingan saling bertemu. Jadi satu tim akan bermain tiga kali, kecuali grup yang berisi cuma tiga tim. Setiap kemenangan diberi nilai tiga, seri nilai satu dan nol buat yang kalah. Hanya tim yang mengumpulkan nilai terbanyak yang bisa lolos ke babak selanjutnya. Di babak 8 besar mereka akan bertanding satu kali, yang menang lolos lagi ke semifinal lalu ke final. Jadi tim yang masuk final seenggaknya akan main enam kali pertandingan. Sekali lagi, kecuali kalau yang masuk final itu dari grup yang cuma punya tiga tim, berarti berkurang satu pertandingan. Tim Gavin akan bermain hari ini, sementara tim Hernan akan main besok. Aku bisa melihat keterkejutan Hernan waktu Gavin keluar memakai kostum futsal. Hernan menghampiriku dan bertanya, ?Dia main?? Aku mengangguk. ?Tapi dia masih pincang?!!? ?Dia percaya sama temen-temennya,? kataku tanpa menatapnya, ?Sesuatu yang kamu nggak punya buat dia!? Aku meninggalkannya dan bergabung sama Yuni. Aku sama sekali nggak menatapnya, jadi aku nggak tahu reaksinya. 37 19 Pertandingan dimulai. Tim Gavin melawan tim dari kelas tiga. Sepanjang pertandingan Gavin sama sekali tidak berlari. Dia cuma menerima bola dan langsung mengopernya. Teman-temannya mesti kerja keras menutup kekurangan pergerakannya. Tapi kayaknya semua itu belum cukup, akhir babak pertama mereka ketinggalan dua gol. Gavin terlihat murung waktu istirahat. Teman-temannya mengkhawatirkannya tapi dia nggak menjawabnya. Sementara itu, Hernan masih ada di ujung koridor menunggu pertandingan babak kedua. Dibabak kedua, Gavin lebih banyak berlari walaupun masih terpincangpincang. Keinginannya buat menang lebih besar karena sedari tadi Hernan mengamatinya. Akhirnya operan Gavin bisa diteruskan jadi gol oleh Dino. Kedudukan menjadi 2-1. Ditengah pertandingan datang seorang bapak. Aku merasa pernah melihat bapak ini, tapi dimana ya? Dia menyuruh pertandingan dihentikan. Akhirnya pertandingan diakhiri sementara. ?Kamu nggak boleh main!? teriaknya pada Gavin. Gavin terlihat ketakutan. ?Kamu istirahat dari klub, bukan buat main di sini!? lanjutnya. Aku ingat siapa bapak itu! ?Dia pelatih Gavin di klub Liga Minor...? bisik Dimas padaku. ?Tapi...? kata Gavin, ?biarin aku main dipertandingan ini aja!? ?Nggak, sebulan lagi kita harus main difinal.? Teriak si pelatih, ?Dan saat itu kamu sudah harus sembuh!? Si pelatih menarik tangan Gavin keluar dari lapangan. Gavin terpincangpincang menurutinya. Tiba-tiba Hernan menepis tangan si pelatih. Karena jauh, aku nggak mendengar apa yang dikatakan Hernan. Tapi setelah itu Gavin membuka kausnya dan memberikannya pada Hernan. Hernan berlari ke toilet. Nggak lama kemudian dia keluar dengan celana olahraga dan memakai kaus Gavin. Dia mau bermain buat tim Gavin. ?Apa kamu bisa main? Kan kamu main di tim lain?? tanyaku waktu dia masih bersiap-siap. 38 ?Aturannya, satu orang nggak boleh main di dua tim. Pertandinganku baru besok.? Katanya sambil melakukan pemanasan kecil. ?Kamu korbanin tim kamu?? Hernan menatapku dan berkata, ?Aku percaya... kalo itu maksud pertanyaanmu, aku percaya Gavin punya harga diri! Dan aku rela kasih harga diriku sampai dia bisa bermain lagi.? Dia berlari ke lapangan sambil menatapku, dia tersenyum. Sudah lama dia tidak melakukannya padaku. Sebelum masuk lapang dia menghampiri Gavin dan mengatakan sesuatu. Aku nggak tahu apa yang dikatakannya. Tapi Gavin tersenyum setelahnya. Hernan memulai lagi pertandingan. Dia mengatur posisi teman-temannya. Akhirnya tim kami bisa menyerang terus. Hernan melakukan tendangan setelah melewati dua pemain dan gol! Harapan terbuka lagi. Diakhir masa pertandingan, Hernan mengoper pada Hadi yang ada di depan gawang. Hadi hanya tinggal mengubah arah bola untuk bisa memasukkannya ke gawang. Akhirnya kami menang 3-2. Pertandingan pertama ini kami punya nilai tiga. 20 Besoknya Hernan nggak bisa main di tim yang didaftarkannya sendiri karena sudah bertanding buat tim lain. Timnya bertanding tanpa Hernan. Mereka menang tipis 1-0 melawan tim dari kelas satu. Merekapun bersorak, tapi Hernan nggak bisa ikut bareng mereka. Gelar ?pengkhianat? menempel padanya sekarang. Dia dijauhi oleh temantemannya dari tim ?para pemain kelas dua?. Aku memahami apa yang dirasakan oleh ?para pemain kelas dua? ini. Hernan sudah mengorbankan kepercayaan temantemannya hanya untuk percaya pada satu orang. Sekarang Gavin yang mendekatinya. Akhirnya setelah dua bulan berseteru mereka bisa saling tersenyum dan mengucapkan ?hai,?. Keadaan Hernan-Gavin memang jadi lebih baik, tapi keadaan kelas jauh lebih buruk dari sebelumnya. Saat aku datang ke sekolah aku melihat Hernan dan Gavin sedang berlatih di lapangan. Kebiasaan Hernan waktu dulu yang datang jam enam pagi sekarang berulang lagi, cuma sekarang ditemani Gavin. Mereka berlari-lari kecil, saling mengoper bola dari ujung ke ujung lapangan. 39 Gavin terlihat masih pincang. Tapi dia berusaha keras mengembalikan kondisinya. Seperti yang kulihat, kakinya sudah mulai membaik. Mungkin dia bisa bermain lagi kalau kami lolos ke delapan besar. Pertandingan kedua berlangsung seminggu setelah pertandingan pertama. Dipertandingan ini tim kami melawan tim dari kelas dua juga. Mereka adalah tim yang sering main bareng Gavin. Hernan sekali lagi memimpin tim sementara Gavin memberi instruksi dari pinggir lapangan. Pertandingan berlangsung kasar. Kuhitung, Hernan terjatuh tiga kali selama babak pertama. Babak pertama berakhir dengan angka 0-0. ?Biarin aja!? kata Gavin saat istirahat, Hernan dan yang lain memperhatikannya, ?Mereka udah bikin empat pelanggaran, kalo mereka bikin yang kelima kita dapet penalti. Nah, kalo itu terjadi, Hernan,? panggilnya, ?kamu yang ambil penalti itu!? Hernan mengangguk tanda mengerti. Aku nggak terlalu paham dengan apa yang dikatakannya. Tapi kemudian aku tahu kalau dalam futsal, tim yang bikin lima kali pelanggaran akan dihukum penalti. Disitulah aku baru mengerti kenapa lapang futsal punya dua titik penalti, satu di dalam lingkaran kiper dan satu lagi di luar. Hukuman penalti karena lima pelanggaran dilakukan di titik yang di luar. Sementara kalau pelanggaran di dalam garis kiper, penalti dilakukan di titik yang ada di dalam. Benar saja apa yang dibilang Gavin. Hadi dihajar dari belakang saat mau mengoper. Hernan melakukan tendangan penalti dengan baik. Tendangannya mengarah ke kiper, tapi karena tendangannya sangat keras bolanya lepas lagi. Gol!! 1- 0 buat tim kami. Tim lawan main makin kasar, sampai akhirnya satu pemainnya dikeluarkan. Dino memanfaatkannya dengan mencetak satu gol lagi. Akhirnya kami menang 2-0 dipertandingan itu. Dan kami punya nilai enam. 21 Kayak yang mau mengejek tim kami, tim ?para pemain kelas dua? juga menang 3-0. Tim yang dikalahkannya adalah salah satu favorit juara selain tim Gavin- Hernan. Mereka kayak yang dapat kekuatan luar biasa karena sakit hatinya pada Hernan. 40 ?Itu bagus,? kata Hernan padaku, ?Siapa tau aku bisa melawan mereka di semifinal atau final!? ?Kamu mau maen kalo kalian bertemu?? tanyaku. Henan menggeleng dan berkata, ?Aku nggak tau. Aku ngerti perasaan mereka. Tapi kalo aku sampai main, mereka bisa bikin aku babak belur lebih parah dari pertandingan kemarin.? Aku mulai mengkhawatirkan keputusan Hernan menggantikan Gavin. Kalau mereka bertemu disemifinal atau final, kayak yang dibilangnya, kuharap Gavin sudah sembuh. Jadi Hernan nggak perlu main buat melawan mereka. Tim ?para pemain kelas dua? sekarang jadi bahan rumpian di seluruh sekolah. Komentar kehebatan mereka jadi topik utama. ?Ternyata anak-anak yang suka maen di STT hebat juga ya?!!? komentar yang kudengar di kantin. ?Aku jadi pengen liat kalo mereka lawan tim Hernan sekarang!? timpal yang lainnya. ?Wahh...iya tuh pasti hebat kalo sampe kejadian.? Ini gila! Sekarang semua orang pengen lihat Hernan dihajar oleh tim yang seharusnya dibelanya. Benar-benar konsekuensi yang beresiko! Pilihannya menjadikannya musuh teman-temannya sendiri. ?Bukan kemampuan yang menunjukkan siapa kita, tapi pilihan kita yang melakukannya!? Kutipan itu kuambil dari film Harry Potter yang kedua. Hernan sudah menjatuhkan pilihan menggantikan Gavin. Dan bagiku itu perbuatan paling jantan yang pernah kulihat dari seorang anak laki-laki. Hanya saja, mungkin orang lain melihatnya dari sudut yang berbeda. Dan aku nggak bisa menyalahkan mereka. 22 Setiap pagi Hernan membantu Gavin mengembalikan kondisinya. Keadaannya sudah bisa dibilang lebih baik sekarang. Sore ini ada pertandingan terakhir dibabak penyisihan. Posisi kami sudah cukup aman dengan dua kemenangan, tapi satu lagi kemenangan bisa membuatku yakin kami bisa jadi juara. Pertandingan terakhir ini Hernan dan teman-teman akan melawan tim dari kelas satu. Tim kelas satu ini sudah kalah dua kali. Mungkin mudah buat kami mengalahkan mereka. 41 ?Mungkin ini pertandingan terakhirku.? Kata Hernan sebelum bermain. Aku menatapnya lirih. ?Kondisi Gavin sudah bagus. Kalo kami masuk delapan besar, dia yang akan main.? ?Kenapa kalian nggak main bareng aja?? tanyaku. ?Aku dan Gavin belum pernah membahasnya.? Kata Hernan sambil mengencangkan tali sepatunya. ?Lagian aku masuk tim ini cuma buat gantiin dia, kalo dia sembuh aku mundur!? Wasit memanggil semua pemain. Dan Hernan pun masuk ke lapangan. Pertandingan ini berat sebelah. Hernan, Dino dan Hadi benar-benar menguasainya. Anak kelas satu, lawan mereka, kelihatan begitu pasrah diserang terusterusan. Akhirnya kami menang 5-0. Hernan bikin dua gol, Hadi dua dan Dino satu. Tim kedua kelas kami juga lolos ke babak delapan besar setelah bermain seri dengan tim dari kelas tiga. Mereka mulai sesumbar bahwa mereka akan masuk final. Beruntung cuma ejekan kecil yang terjadi di kelas, tak ada pertengkaran sampai berkelahi. Hernan sangat jago mengalah. Untuk menentukan lawan dibabak delapan besar dilakukan pengundian. Ada delapan tim yang akan bermain. Pengundian dilakukan pada saat istirahat di kelas kami. Banyak banget anak yang datang sampai kelas ini serasa sesak. Hasil pengundian sudah keluar. Banyak yang senang ada juga yang kecewa karena mendapat lawan yang lebih berat. Dan seperti yang ditakutkan, tim Hernan- Gavin harus melawan tim kedua kelas kami. Prediksi Hernan meleset, kami tidak melawannya di semifinal atau final, tapi di delapan besar. ?Kita tunjukin kalo kita nggak perlu pemain terbaik buat menang!? seru Rudi di depan Hernan. Mereka berdua sudah tidak sebangku lagi. Rudi pindah duduk dengan Dani. Sementara Hernan kadang cuma sendirian, kadang aku duduk bersamanya. ?Aku udah bisa maen,? kata Gavin memulai rapat, ?Hernan, kamu nggak usah main dulu. Biar aku yang mengalahkan mereka. Di semifinal, baru kamu bisa main lagi.? Teman-teman menyetujuinya, dan jujur, aku juga berpikir sebaiknya begitu. ?Aku minta pertandingan ini, aku pengen main!? kata Hernan dengan nada datar. 42 ?Tapi mereka bisa bikin kamu cedera, mereka pasti ngejar kamu terus dipertandingan!? timpal Gavin, ?Dan kalo kamu sampe cedera, walaupun kita bisa masuk final, usaha kamu percuma!? ?Aku menghargai mereka,? kata Hernan, ?makanya aku nggak bisa ninggalin pertandingan ini. Aku akan melawan sekuat tenaga. Makanya aku minta satu pertandingan ini aja! Setelah itu, biarpun menang aku nggak perlu main di semifinal, sisanya kuserahkan padamu.? Gavin menatapku seakan menunggu persetujuan. Buatku, alasan Hernan masuk akal. Satu-satunya cara menghargai tim kedua kami adalah dengan melawannya sekuat tenaga. Itu akan bikin tim kedua kami merasa diakui. Aku mengangguk pada Gavin. Dan dia setuju dengan usul Hernan. Dan pertandingan terakhir Hernan pun akan dimulai besok. 23 Hernan bersiap-siap melakukan pertandingan terakhirnya. Dia berlatih sampai sore. Gavin yang sudah bisa berlari menemaninya. Mereka berdua berduel lagi, saling berebut bola seperti waktu seleksi. Kali ini Hernan bisa menang mudah. Mungkin karena Gavin masih kesakitan. Aku memperhatikan latihan mereka sambil latihan PMR. Hari ini kami baris-berbaris (aku benci latihan ini!). Pagi berikutnya Hernan tidak kesiangan. Walaupun dia nggak latihan pagi tapi dia datang setelah aku. Wajahnya kelihatan segar. Kayaknya Gavin benar, kadang cara terbaik untuk menaikkan semangat adalah dengan menjatuhkannya. Sekarang nggak ada yang bisa menjatuhkan semangat Hernan lagi. ?Aku punya berita bagus,? kata Gavin sebelum pertandingan dimulai. Hernan sedang bersiap-siap di seberang koridor. ?Berita apa?? tanyaku sambil tersenyum. ?Pelatihku diklub Liga Minor pengen Hernan bergabung.? Ini memang berita bagus! ?Dia udah tau?? Gavin menggeleng. ?Punya berita bagus tuh mesti bagi-bagi donk!? seruku. ?Entar abis pertandingan ini,? katanya enteng, ?Mungkin bisa jadi surprise!? Kapanpun ngomongnya berita ini pasti jadi kejutan, pikirku. 43 ?Trus, kenapa kamu kasih tau aku duluan?? ?Karena kamu jadi jembatan buat kami waktu kami masih...? Ya, aku mengerti maksudnya. Lewat aku, mereka saling memberitahu kekaguman satu sama lain sewaktu mereka masih berseteru. Pertandingan dimulai dari tendangan Rudi. Mereka saling menyerang. Permainannya cepat sekali, bolak-balik melakukan tendangan ke gawang. Dan memang seperti yang diduga sebelumnya, Hernan menjadi incaran mereka. Hebatnya, Dani dan teman-temannya melakukan pelanggaran yang membuat wasit bingung. Jadi walaupun Hernan terjatuh berkali-kali, nggak ada penalti buat tim Hernan. Gavin berkali-kali berteriak biar Hernan keluar, tapi dia masih tetap main. Tim ?para pemain kelas dua? sangat hapal dengan gaya permaninan Hernan karena mereka sudah berlatih ratusan pertandingan selama setahun terakhir ini. ?Pergerakan Hernan gampang dibaca.? Gumam Gavin waktu tendangan Hernan berhasil ditahan. Berkali-kali operan Hernan juga bisa dipotong. Diluar dugaan, Rudi mencetak gol lebih dulu. Waktu Hernan akan melakukan tendangan, Dani menghajarnya dari belakang. Dia terpelanting jauh dari tempatnya dijatuhkan. Dia mengerang kesakitan, tapi dia masih tetap mencoba berdiri tapi nggak bisa. Dino menangkapnya waktu dia jatuh lagi. Gavin memutuskan buat menggantinya. ?Biarin aku selesein pertandingan ini!? teriak Hernan. Lalu Gavin mengatakan sesuatu yang kurang jelas karena suaranya pelan. Tapi dari raut mukanya aku tahu Gavin mengatakan kabar baik tadi pada Hernan. Kalau memang akhirnya Hernan diminta bergabung dengan klub Gavin, maka dia memang nggak perlu meneruskan pertandingan ini. Katanya seminggu lagi, klub Gavin akan bermain difinal. Hernan bisa ikut pertandingan final itu kalau dia istirahat sekarang. Gavin menggantikannya. Dia mulai mengatur lagi teman-temannya. Aku melihat luka Hernan. Engkelnya terkilir karena tabrakan dari belakang tadi. Aku mengikatnya biar posisinya nggak berubah. ?Buat sementara kamu jangan banyak gerak.? Kataku padanya. ?Makasih,? ujarnya murung. Aku menatapnya dan berkata, ?Nggak usah sedih gitu deh! Gavin pasti bisa bawa kita menang.? ?Bukan itu,? sahutnya, ?Mereka...? 44 Aku tahu apa maksudnya. Tim kedua kami memang nggak mengerti apa yang Hernan lakukan. Dia sedih karena teman-temannya menganggapnya pengkhianat. ?Hernan, kamu udah ambil pilihan yang bener.? Kataku menghiburnya, ?Mungkin sekarang nggak ngerti, tapi nanti mereka bakal ngerti sendiri.? Sorakan bergemuruh karena Gavin mencetak gol pertamanya lewat sundulan kepala. Lima menit kemudian Gavin bikin gol lagi lewat tendangan bebas. Dan akhirnya kami menang 2-1. Hari berikutnya tak ada pertandingan. Hernan sama sekali nggak bermain bola pas istirahat. Aku menemaninya menonton di pinggir lapangan. Tiba-tiba Rudi dan Dani menghampiri kami. Mereka datang dengan senyum yang terkembang. ?Gimana kakimu?? tanya Dani, ?Aku minta maaf soal itu!? Hernan kelihatan bingung buat menjawabnya. ?Yaa, nggak masalah sih, cuma sedikit pegel,? katanya, ?Untung aku punya suster yang hebat!? lanjutnya sambil menatapku. ?Aku...? ujar Rudi, ?Errr...kami minta maaf buat perlakuan kami selama ini. Sekarang aku ngerti alasan kamu milih ngegantiin Gavin.? ?Bener?? ?Yaa, dan kalo sejak awal kita nggak bersaing sama Gavin dan ikut gabung, kemaren kita nggak perlu berhadapan kayak gitu.? Ujar Rudi. ?Dan mungkin kita bisa juara lebih gampang!? tambah Dani. Aku tersenyum melihat mereka kembali saling menyapa. Bola melesat keluar lapangan. Dari lapangan, Gavin berteriak, ?Rud, ambilin bolanya! Kalian ikutan maen aja, kurang orang nih!? Rudi mengejar bola yang masih bergulir. Dia menghentikannya lalu berbalik dan menendangnya ke lapangan. Dia dan Dani akhirnya ikut bermain. ?Sekarang nggak ada lagi pemain kelas dua.? Gumamku melihat mereka bermain bersama. ?Pemain kelas dua?? Hernan mendongak mendengarnya. ?Yaa, dari dulu aku selalu nganggap ada tingkatan pemain di sekolah ini.? Jawabku. ?Oh ya?? sahut Hernan, ?Aku ada ditingkatan mana?? ?Pemain kelas dua.? ?Dan Gavin?? ?Tingkat satu...? 45 ?Ouuhh..bagus banget aku dijadiin yang kedua!? tukasnya. ?Yaaa...abis kalian selalu maen di STT sih, jadi kesannya kayak orang yang dibuang.? ?Kita nggak sejelek itu lho!!? ?Iya, aku tau. Makanya aku tadi bilang sekarang nggak ada lagi pemain kelas dua di sini.? ?Aneh, padahal aku juga mikir kayak gitu.? ?Pemain kelas dua?? ?Yap, aku baru kenal sepakbola pas masuk ke sekolah ini.? Jelasnya, ?Dibanding Gavin, setaun yang lalu aku nggak bisa apa-apa.? ?Tapi kamu bisa mengejarnya dalam waktu setaun.? Kataku mengulang perkataan Gavin dulu. ?Yeah, lapang STT tuh emang berjasa banget! Anak yang maen di sana lebih sedikit, jadi kesempatan buat maen terus lebih banyak. Belum lagi kalo ada anak dari sekolah lain yang ikut latih tanding. Kita belajar banyak dari sana.? ?Oiya...kamu terima ajakan Gavin gabung di klubnya?? Dia mengangguk dengan antusias, ?Aku udah nggak sabar maen bareng dia, pasti hebat!? Ya, pasti hebat! Ujarku dalam hati. 24 Pertandingan semifinal segera dimulai. Lawan kami dari kelas satu. Dibabak delapan besar mereka mengalahkan tim dari kelas tiga dengan skor 1-0. Ini membikin aku khawatir karena bukan nggak mungkin kami kalah dan sejarah tahun kemarin berulang. Hernan duduk di tepi lapangan. Rudi dan teman-temannya juga ikut menonton bareng semua anggota kelas. Memang nggak semua anggota kelas menonton pertandingan ini, tapi dibanding beberapa kelas lain, pendukung tim kami banyak banget. Malah salah satu tim dari kelas satu nggak pernah ditonton sama anggota kelasnya. Gavin memulai pemanasan. Dia, Dino, Hadi saling mengoper dan menendang ke gawang. Aku yakin tim ini bisa menang! 46 Gavin memulai pertandingan. Serangan kami cukup bagus. Walaupun anak kelas satu juga lumayan jago, tapi pengalaman Gavin dan teman-teman bisa mengalahkan mental bertanding anak-anak kelas satu. Akhirnya dengan kerjasama Dino dan Gavin, Hadi menerima bola dan menendangnya ke gawang. Kiper bisa menjangkaunya tapi tendangannya terlalu keras buat ditahan. Gol pertama di semifinal terjadi diakhir babak pertama. ?Mereka lumayan,? kata Gavin setelah menghabiskan air mineral dalam kemasan, ?Kata kamu mesti gimana?? Hernan menjawab, ?Pemain kiri mereka suka ketinggalan, kalian bisa pake celah itu!? Gavin mengangguk. ?Kamu,? Lanjut Hernan pada Gavin, ?ambil posisi di kanan, biar Hadi tetep di depan. Kalo berhasil ngoper dari sana, pasti masuk!? Sekali lagi Gavin mengangguk dan diikuti sama yang lainnya. Di awal babak kedua ternyata anak-anak kelas satu itu bisa mengecoh Gavin dan teman-temannya. Terjadi salah operan dari Dino yang malah dikejar sama anak kelas satu. Anak kelas satu itu bikin gol setelah melewati kiper. ?Gavin, ke kanan!? teriak Hernan. Gavin menurutinya. Dan akhirnya Hadi bisa bikin gol lagi setelah menerima operan dari Gavin. Kata orang, di lapangan semua pemain itu bloon dan penonton itu jagoannya. Sekarang aku baru mengerti maksudnya. Di lapangan, setiap pemain harus konsentrasi pada tugasnya, jadi bek, atau penyerang, jadi pengelihatan mereka terbatas. Sementara penonton nggak punya beban bermain dan lebih bisa melihat pertandingan secara keseluruhan. Makanya penonton dibilang paling jago. Di akhir babak kedua kami hampir kebobolan lagi. Tapi Dino membayar kesalahannya tadi dan menyelamatkan gawang. Skor 2-1 bertahan sampai wasit meniup peluit akhir pertandingan. Dan buat kedua kalinya dalam dua tahun berturutturut aku melihat timku masuk final! 47 25 Dino menraktir semua pemain termasuk pemain cadangannya di kantin. Dia merayakan masuknya kami ke final. Tahun lalu tim Dino babak belur dibabak penyisihan tanpa menang sekalipun. Pastinya sekarang dia senang banget. Suasana kelaspun kembali seperti semula. Bahkan lebih baik karena sekarang Hernan dan Gavin bersahabat. Anak yang latihan pagi bukan cuma Hernan dan Gavin saja, anak-anak yang lain juga ikutan walaupun tetap saja mereka cuma latihan sebentar karena datang jam setengah tujuh. ?Aku senang kelas kita akur lagi!? kataku saat istirahat. ?Yeah,? Hernan menanggapinya asal karena dia sedang main games di ponsel punya Gavin. ?Dan itu karena kamu sama Gavin!? Hernan tertawa datar, tanpa melihatku, masih sibuk dengan games-nya. ?Gara-gara kami juga kelas jadi kacau, wajar aja kalo kita mesti balikin lagi ke suasana semula.? Aku cuma tersenyum. ?Oiya...hari minggu besok aku dan Gavin main di Liga Minor, nonton ya?!!? ?Kamu udah latihan bareng mereka?? ?Baru kemaren, pas abis maen disemifinal.? ?Emang nggak capek apa maen terus?? ?Capek sih tapi mau gimana lagi, suka sih!? Aku tersenyum mendengarnya. Sesuatu yang disukai, walaupun berat, pasti bisa dilakukan dengan senang hati. Dan mungkin justru kerja keras itu bagian dari kepuasan itu sendiri. Sepulang sekolah, Gavin dan teman-temannya nggak main di sekolah. Mereka ikut Hernan dan yang lainnya main di lapang STT. Banyak juga yang ikut menonton kayak aku. Tapi dipertandingan latihan di STT itu juga Gavin dan Hernan nggak main di satu tim. Mereka saling berlawanan. Kayak pertandingan tantangan Hernan dulu, tapi sekarang lebih banyak tawa yang menghiasinya. 48 26 Sebelum pertandingan final, suasana sangat riuh. Nggak ada celah kosong di sekitar lapangan. Panitia sampai harus membatasnya dengan tali rafia. Latihan PMR hari ini dibatalkan, juga gara-gara pertandingan. Aku ingat menyimpan buku kimia di kolong meja, padahal aku punya PR. Aku mengambilnya ke kelas. Begitu masuk ke kelas aku melihat Hernan dan Gavin sedang mengobrol. Mereka duduk di mejaku. Mereka tersenyum melihatku datang. Aku mengambil buku kimiaku waktu Hernan berkata, ?Ini pertandingan pertama kita, dan kita satu tim.? ?Aku janji bakal ngoper!? seru Gavin. Aku memasukkan bukuku ke dalam tas. ?Dan aku janji bakal bikin gol dari operan itu!? Aku memotong pembicaraan mereka, ?Coba dari dulu kayak gini, kita nggak perlu ngalamin...? ?Nina,? potong Gavin, ?Apapun juga butuh proses. Dan kalo itu emang jalannya, kenapa kita harus ngehindar?? Aku tersenyum mendengarnya. Proses. Ya, sesuatu yang sangat penting buat menentukan hasil akhir. Mereka menang atau kalah difinal ini mungkin sudah bukan masalah lagi. Menang dan kalah memang membedakan pemenang dan pecundang, tapi lebih dari itu, bangkit dari kejatuhan lebih penting dari apapun. Kalau kamu jatuh, berdiri lagi. Dengan cara kayak itu juga kita belajar berjalan sampai akhirnya bisa berlari. Dan setelah berlari kita bisa mengejar apapun, bahkan mengejar pelajaran di sekolah, kayak yang Hernan lakukan setiap hari Aku memberikan tangan pada mereka berdua. Gavin memegang tangan kananku, dan Hernan tangan kiriku. Aku menatap mereka bergantian. Mereka tersenyum, aku juga. Kami berjalan bergandengan ke luar kelas. Suasana begitu riuh begitu kami keluar. Sorakan dimana-mana. Kalau dulu aku sering disoraki karena berjalan dengan salah satu dari mereka, sekarang aku menikmati sorakan itu karena berjalan dengan mereka berdua. 49 27 Lawan kami sudah ada di lapangan. Hernan dan Gavin mengajak temantemannya masuk lapangan juga. Lalu mereka melakukan pemanasan, operan kombinasi, saling menendang ke gawang. Dan mereka melakukannya dengan tawa yang mengembang. Pertandingan dimulai beberapa saat kemudian. Hernan dan Gavin menghadapi bola. Mereka melakukan kick-off. Serangan dilakukan, operan-operan antara Gavin dan Hernan langsung menusuk ke pertahanan lawan. Lawan kami adalah tim dari kelas tiga. Beberapa orang diantaranya adalah orang yang dilawan Gavin tahun lalu difinal. Jadi pastinya mereka pengen banget mengalahkan Gavin. Serangan mereka tertahan. Lawan menyerang balik. Beruntung Hernan bisa mengejarnya dan mengambil bola. Serangan sekarang bergantian ke masing-masing gawang. Heru yang pada pertandingan ini dijadikan kiper harus meloncat ke sana-sini buat menangkap bola. Tembakan Hadi yang terakhir juga bisa ditahan. Bola keluar lapangan. Serangan berikutnya dimulai dari Gavin. Dia mengecoh anak kelas tiga dan mengoper pada Dino. Dino mengoper lagi pada Hernan. Melihat Gavin yang maju ke depan, Hernan memberikan operannya lagi. Gavin adu sprint dengan anak kelas tiga. Dia menahan bola lalu berputar dan melakukan tendangan yang sangat keras. Gol!!! Kami memimpin 1-0. Hernan dan Gavin berpelukan lalu mereka dikerubuti Dino, Heru dan Hadi. Mereka berlari ke arahku sambil tersenyum. Pertandingan dimulai lagi. Kelihatan banget pemain kelas tiga ingin mencetak gol. Bahkan dari tengah lapangan mereka melakukan tendangan. Awalnya Heru bisa menahannya, tapi akhirnya kebobolan juga. Kedudukan 1-1. Babak pertama berakhir. ?Mereka tau nggak mungkin bisa masuk ke pertahanan. Jadi mereka nendang dari tengah.? Kata Gavin. Aku cuma bisa melihat mereka berdiskusi karena aku nggak bisa memberi saran apapun. ?Tendangannya keras banget!? seru Heru. 50 ?Yang penting jangan lengah!? kata Hernan, ?Tutup ruang tembaknya!? Mereka meneriakkan ?Wooi!? yang sangat keras sebelum masuk lagi ke lapangan. Sebelum semuanya bersiap, pemain kelas tiga menendang lagi dari tengah begitu peluit dibunyikan. Heru lengah. Gol kedua buat lawan! Kedudukan 2-1. Sementara kami kalah. Hernan mulai mengatur semuanya. Dia menyuruh Dino berjaga di belakang saja. Hernan dan Gavin menyerang tapi gagal. Waktu terus berlalu, sampai hampir habis. Aku menggigit bibirku karena ingin waktu berhenti. Dalam serangan terakhir, Dino mengoper pada Hernan. Hernan menghentikan bola dan mengangkatnya melewati pemain kelas tiga. Bola dioper lagi pada Hadi. Hernan maju ke ujung dekat gawang. Bola sekarang sudah dipegang Gavin. Bola dioper lambung ke tempat Hernan berdiri. Tanpa menahannya dulu, Hernan langsung menendangnya dengan kaki kanan. Bola melengkung masuk lewat sudut sempit. Gol kedua dicetak Hernan. Semua penonton bersorak dengan gol ini. Hernan sekali lagi berlari ke arahku dan tersenyum, tapi kemudian dia dikerubuti semua pemain dan penonton dari kelasku. Aku cuma bisa tertawa melihatnya. Kedudukan 2-2 dan pertandingan berakhir. Karena kedudukan seri maka pertandingan dilanjutkan dengan perpanjangan waktu. Di perpanjangan waktu mereka juga saling menyerang tapi tak ada gol yang terjadi. Terpaksa pertandingan diakhiri dengan adu penalti. Pemain pertama dari kelas tiga berhasil mencetak gol. 1-0 Gavin bersiap mengambil tendangan penalti. Tendangannya pelan tapi mengecoh kiper. Gol buat kami. 1-1. Penendang kedua dari lawan gagal. 1-1. Hadi melakukan tendangan lambung yang melewati atas kepala kiper. 1-2 buat kami. Penendang ketiga lawan melakukan tendangan dengan baik. 2-2. Dino mengambil tendangan, tapi malah melambung keluar. 2-2. Penendang keempat juga gagal. 2-2. Heru, kiper kami, juga terpaksa melakukan tendangan. Tendangannya keras tapi mengarah ke kiper. Gagal juga. 2-2. 51 Penendang kelima lawan juga gagal karena tendangannya terlalu menyamping. 2-2. Hernan adalah penendang terakhir. Kalau tendangannya masuk maka kami menang. Gavin mengantarnya ke tempat melakukan tendangan sambil berbicara sesuatu, mungkin ucapan pengobar semangat atau semacamnya. Hernan melirikku sesaat sebelum melakukan tendangannya. ?Aku percaya...? gumamku. Dia mengambil jarak yang cukup jauh. Dia berlari, melakukan tendangan. Bola meluncur berputar deras ke samping kiri. Kiper lawan melompat ke arah yang benar. Sepertinya Hernan memakai perhitungan fisika untuk membikin bola melengkung dan meluncur ke tengah. Gol!!! 2-3 dan kami menang. Hernan merlari menuju teman-temannya. Semua penonton dari kelas kami mengejarnya juga. Dia dikerubuti puluhan orang. Aku pengen juga melakukannya tapi aku menahan diri. Kami menang dua tahun berturut-turut! Epilog Hari seninnya kami melakukan upacara. Jujur saja aku tidak mendengarkan omongan kepala sekolah saat ceramah. Aku hanya menunggu saat penyerahan piala. Hernan dan Gavin berbaris di sebelahku. Mereka terus mengulang cerita kemenangan kami. Bahkan aku harus menghentikan mereka beberapa kali agar tidak mengacaukan upacara. Tiba waktunya di akhir upacara, diumumkan pemenang dari kompetisi futsal antar kelas. Juara kedua dipanggil duluan. ?Dan untuk juara pertama kelas...2-F!? teriak pemanggil, ?Dimohon wakilnya maju untuk menerima piala!? ?Ayo, Vin, ke depan!? seru Hernan. ?Ayo bareng!? ?Cuma satu tau, cepetan!? timpal Hernan, ?Lagian itu tim kamu, aku cuma pengganti!? ?Nggak, itu tim kita!? seru Gavin. ?Ayoo, cepetan!? kataku, ?Kalian berdua aja ke depannya!? 52 Mereka menurutiku dan maju berdua. Kepala sekolah memberikan piala kepada mereka berdua. Hernan dan Gavin mengangkat piala itu dengan bangga. Seluruh sekolah bergetar karena tepuk tangan dan beberapa teriakan. Aku tak bisa menahan air mataku jatuh membasahi pipi. Ini mungkin cuma kemenangan kecil dari anak-anak kecil di sebuah kompetisi kecil. Tapi kalau di luar sana ada puluhan atau ratusan Hernan-Gavin lainnya yang bisa kalah tanpa jadi pecundang dengan menerimanya, yang berbesar hati untuk mengakui kehebatan orang lain, yang rela mengorbankan harga dirinya untuk sesuatu yang lebih berharga, kurasa mimpi Indonesia buat masuk Piala Dunia bisa terwujud dalam waktu dekat. Aku percaya itu. Jodhi Pramuji Giriarso 30 Juni ? 05 Juli 2007