dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 Mereka yang Tidak Dicintai Ilahi KH. Jalaluddin Rakhmat Dalam Al-Quran, tidak ada kata “membenci” tapi yang ada adalah kata “tidak mencintai”. Sebelum kata yuhibbu, diawali dulu dengan kata ‘la’. Innallaha layuhibbu (sesungguhnya Allah tidak mencintai). Yang tidak dicintai Tuhan kadang-kadang merupakan orang atau perbuatan. Pertama, mu’tadin, orang-orang yang melakukan sesuatu dengan melewati batas. Dalam Al-Quran disebutkan, “Perangilah orang yang memerangi kamu. Janganlah kamu melewati batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melewati batas.” (QS. Al-Baqarah: 190). Dalam perintah perang pun, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang melewati batas. Di dalam peperangan islam, misalnya, kita tidak boleh menyerang atau mengejar musuh yang sudah lari, merusak tanaman, mengganggu perempuan, atau mengganggu orang-orang yang sedang beribadat, dsb. Kedua, dalam Al-Quran, di antara orang-orang yang tidak dicintai Allah adalah orang yang berbuat kerusakan (kafir yang berkhianat), orang-orang yang berbuat zalim, orang-orang yang sombong, para pengkhianat, para pembuat kerusakan, orang-orang yang berlebihan. Apa saja yang berlebihan? Tidak dicintai oleh Allah. Ayat ini berkenaan dengan perintah makan dan minum: Makan dan minumlah kamu, tapi jangan berlebih-lebihan karena Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31) Jalaluddin Rumi bercerita tentang orang yang dalam hidupnya hanya mengejar makanan saja. Rumi menggambarkan dengan bagus dengan mengatakan, “Orang itu hanya taat kepada satu perintah Tuhan, yaitu: Makan dan minumlah kamu. Tapi ia tidak menaati kalimat yang berikutnya.” Dalam Al-Quran, ada cerita bahwa suara yang paling jelek di hadapan Allah adalah suara keledai. Sesungguhnya suara yang paling jelek adalah suara keledai. (QS. Lukman: 19) Menurut Rumi, yang dimaksud dengan paling jelek suaranya bukanlah yang paling keras suaranya. Ketika Allah menciptakan seluruh makhluk dan ruh ditiupkan ke dalam diri mereka, semuanya hidup. Kalimat pertama yang mereka ucapkan adalah memuji Allah swt, bertasbih kepada-Nya. Tapi ketika semua bertasbih, keledai tidak bertasbih. Dia diam saja. Suatu saat ketika seluruh binatang diam, keledai itu berteriak. Orang-orang bertanya, “Mengapa keledai itu?” Ternyata keledai itu berteriak karena lapar. Kata Rumi, “Suara yang paling jelek di sisi Allah adalah orang yang hanya bersuara ketika perutnya lapar, atau ia hanya bersuara ketika membela kepentingan dirinya saja.” Dalam kebiasaan kita pun, orang-orang akan bersuara keras hanya ketika membela kepentingan dirinya saja tapi ketika berbicara tentang kepentingan bangsa, suaranya jadi melemah, bahkan tidak bunyi sama sekali. Itulah orang yang berbicara keras dan buruk. Hadis Tentang Cinta Ilahi Nabi saw telah menjadikan kecintaan sebagai syarat iman. Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw saw, “Ya Rasulallah, apa iman itu?” Rasulullah saw menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai daripada apa pun selain keduanya.” Dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik: Tidak beriman kamu sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai dari siapa pun selain mereka. Kemudian dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Tidak beriman kamu sebelum aku (Rasulullah) lebih dicintai dari keluarganya, hartanya, dan seluruh umat manusia.” Semua hadis di atas menjelaskan ayat Al-Quran, surat Al-Taubah ayat 24: Katakanlah jika orang tua, anak-anak, saudara, istri-istri, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, dan rumah yang kalian tinggali, lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka bersiap-siaplah mereka menerima azab dari Allah. Dalam hadis lain, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mencintai Allah, “Cintailah Allah atas anugerah-Nya kepada kalian dan cintailah aku atas kecintaan Allah kepadaku.” Al-Ghazali tidak melanjutkan hadis ini. Dalam lanjutan hadis itu, Rasulullah berkata, “Dan cintailah keluargaku karena kecintaan aku kepada mereka.” Sumber cinta yang pertama adalah Allah, kemudian kita mencintai siapa saja yang dicintai Allah, termasuk rasul-Nya, dan mencintai apa yang dicintai oleh pencinta Allah, termasuk ahlul baitnya. Karena itu, doa yang biasa kita baca adalah: “Ya Allah, aku mohonkan kepada-Mu cinta-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai setiap amal yang membawa kami ke dekat-Mu. Rasulullah saw bersabda: Kalau kita mencintai saudara kita, ungkaplah kecintaan itu. Kalau bapak mencintai anak, ungkaplah kecintaan itu kepada anak-anaknya, jangan disembunyikan. Karena kecintaan itu menimbulkan berkah. Ada seorang anak yang menderita sepanjang hidupnya, karena ia mengira bapaknya tidak mencintainya. Suatu saat ketika bapaknya sekarat di rumah sakit, menghembuskan napasnya yang terakhir, anak itu tidak datang juga karena ia tahu bapaknya tidak menyukainya. Ibunya bercerita bahwa sebelum meninggal dunia, bapaknya mengatakan bahwa ia sangat mencintai anaknya dan bangga akan anaknya. Anak itu menjerit keras karena selama ini ia membenci bapaknya dengan dugaan bahwa bapaknya tidak mencintainya. Padahal di saat-saat terakhir, bapaknya mengungkapkan bahwa ia cinta anaknya. Kita dianjurkan jika kita mencintai seseorang, kita harus mengungkapkan kecintaan itu. Dan itu menyenangkan. Kita bahagiakan orang lain dengan kecintaan kita. Kalau kita sembunyikan, orang lain tidak akan tahu dan ia tidak akan bahagia karena kecintaan kita. Suatu saat, saya pernah melakukan umrah. Seorang supir taksi yang baik mengantarkan saya ke tempat kelompok keturunan sahabat anshar. Mereka adalah para petani miskin yang tinggal di perkebunan kurma. Kami datang ke sana dan salat bersama di masjid yang sangat sederhana. Pemimpin kelompok itu bernama Al-Anshari. Waktu masuk ke tempat itu, saya diperkenalkan sebagai tamu dari Indonesia. Saya bercerita tentang islam di Indonesia. Dia memegangi kepala saya dan mencium dahi saya. Dia berkata, “Aku mencintaimu.” Saya senang sekali dan terkesan dengan kecupannya di dahi saya. Ada seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata, “Ya Rasulallah, aku mencintaimu.” Lalu Nabi berkata, “Kalau begitu, bersiaplah untuk miskin.” Ia lalu berkata, “Aku juga mencintai Allah.” Nabi berkata, “Kalau begitu, bersiaplah untuk mendapat ujian.” Dalam sebuah buku sufi, Essential Sufism, disebutkan bahwa orang-orang modern sangat sulit untuk bisa mencintai dengan tulus karena kecintaan yang tulus membawa resiko yang banyak. Resiko yang pertama adalah keterlibatan seluruh kepribadian kita. Sementara orang modern inginnya mandiri, bebas, independen, tidak mau meleburkan diri, dan tidak mau melibatkan diri terlalu banyak. Akhirnya mereka tidak berhasil mencintai siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Salah satu resiko besar dari kecintaan adalah hilangnya ego dan keakuan kita. Rasulullah saw berkata, “Siap-siaplah menghadapi kemiskinan dan ujian.” Suatu hari Rasulullah saw melihat Mash’ab bin Umair datang dan memakai pakaian yang lusuh dan compang-camping. Dahulu Mash’ab adalah anak orang kaya raya di Mekkah. Wajahnya tampan. Di antara sahabat Nabi ada yang terkenal karena ketampanannya, Mash’ab bin Umair, Al-Syammas. Pada waktu muda, orang tua Mash’ab sering menghiasinya dengan pakaian yang indah. Namun, ketika ia sudah masuk Islam, ia mendatangi majlis Nabi saw. Rasulullah saw lalu berkata, “Lihatlah orang itu yang telah Allah sinari hatinya. Dahulu aku pernah melihat dia beserta kedua orang tuanya. Mereka memberinya makanan enak, minuman nikmat, dan pakaian bagus. Kemudian kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya membawa ia kepada keadaan sekarang ini.” "Agama Itu Nashîhah...." KH. Jalaluddin Rakhmat Suatu malam, menjelang waktu subuh, Rasulullah saw bermaksud untuk wudhu. "Apakah ada air untuk wudhu?" beliau bertanya kepada para sahabatnya. Ternyata tak ada seorang pun yang memiliki air. Yang ada hanyalah kantong kulit yang dibawahnya masih tersisa tetesan-tetesan air. Kantong itu pun dibawa ke hadapan Rasulullah. Beliau lalu memasukkan jari jemarinya yang mulia ke dalam kantong itu. Ketika Rasulullah mengeluarkan tangannya, terpancarlah dengan deras air dari sela-sela jarinya. Para sahabat lalu segera berwudhu dengan air suci itu. Abdullah bin Mas'ud bahkan meminum air itu. Usai salat subuh, Rasulullah duduk menghadapi para sahabatnya. Beliau bertanya, "Tahukah kalian, siapa yang paling menakjubkan imannya?" Para sahabat menjawab, "Para malaikat." "Bagaimana para malaikat tidak beriman," ucap Rasulullah, "mereka adalah pelaksana-pelaksana perintah Allah. Pekerjaan mereka adalah melaksanakan amanah-Nya." "Kalau begitu, para Nabi, ya Rasulallah," berkata para sahabat. "Bagaimana para nabi tidak beriman; mereka menerima wahyu dari Allah," jawab Rasulullah. "Kalau begitu, kami; para sahabatmu," kata para sahabat. "Bagaimana kalian tidak beriman; kalian baru saja menyaksikan apa yang kalian saksikan," Rasulullah merujuk kepada mukjizat yang baru saja terjadi. "Lalu, siapa yang paling menakjubkan imannya itu, ya Rasulallah?" para sahabat bertanya. Rasulullah menjawab, "Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku; tidak pernah melihatku. Tapi ketika mereka menemukan Al-Kitab terbuka di hadapan, mereka lalu mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa; sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka akan menjual seluruh hartanya." Hadis di atas dimuat dalam Tafsir Al-Dűr Al-Mantsűr, karya mufasir Jalaluddin Al-Syuyuti. Mudah-mudahan kita semua termasuk dalam kelompok ini; mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah tetapi mencintainya dengan sepenuh hati. Masih dalam kitab ini, diriwayatkan bahwa suatu saat Rasulullah saw bersabda, "Berbahagialah mereka, para saudaraku(ikhwâni)." Para sahabat bertanya, "Apakah yang kau maksud dengan ikhwâni itu adalah kami, ya Rasulallah?" "Tidak," jawab Rasulullah, "kalian adalah para sahabatku. Yang aku maksud dengan ikhwâni adalah mereka yang datang sesudahku." Bayangkan, Rasulullah menyebut orang yang sezaman dengannya sebagai para sahabat tapi menyebut orang yang datang sepeninggalnya dengan panggilan yang sangat mesra, ikhwâni, para saudaraku. Merekalah kaum yang datang sesudah beliau dan tidak pernah berjumpa dengannya tetapi mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa dan raga. Kecintaan terhadap Rasulullah tidak saja merupakan kewajiban -sebagaimana sering disebut dalam banyak hadis- tapi juga merupakan syarat mutlak atau conditio sine quanon; syarat yang, tidak boleh tidak, mesti ada apabila kita ingin menjalankan syariat Islam. Tidak mungkin orang bisa menjalankan sunnah Rasulullah dengan seluruh hatinya apabila ia tidak mencintainya. Dasar agama adalah cinta; salah satunya adalah cinta kepada Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis yang teramat populer, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, "Al-Dînu nashîhah." Ucapan Nabi ini seringkali diterjemahkan secara keliru ke dalam Bahasa Indonesa menjadi: Agama itu nasihat. Saya anggap keliru karena dalam hadis itu diceritakan setelah Rasulullah bersabda itu, para sahabat bertanya, "Kepada siapa nashîhah itu, ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab, "Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kepada seluruh kaum muslimin." Di situlah letak kekeliruan terjemahan itu. Bagaimana mungkin kita harus memberikan nasihat kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para imam? Dalam bahasa Arab, kata nashîhah selain berarti nasihat, juga berarti mengikhlaskan, memurnikan, atau membersihkan kecintaan seseorang. Orang yang memiliki kecintaan yang tulus disebut sebagai nâshih. Taubat yang keluar dari hati yang tulus disebut sebagai taubatan nashűha. Orang Arab menyebut madu yang murni sebagai 'asalun nâsh. Jadi, kata nashîhah berarti kecintaan yang tulus. Oleh karena itu, hadis di atas sebenarnya berarti, "Dasar agama itu adalah kecintaan yang tulus." Dasar yang pertama tentu saja adalah kecintaan yang tulus kepada Allah swt. Dalam hadis yang lain, Rasulullah membagi kaum muslimin ke dalam dua golongan. Satu golongan ia sebut dengan kaum nashâhah dan satu golongan lagi ia sebut dengan kaum ghasâsah. Nashâhah (bentuk jamak dari nâshih, red.) adalah golongan orang yang selalu menampakkan kecintaan yang tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para Imam, dan seluruh kaum muslimin. Adapun ghasâsah, menurut Rasulullah, adalah para pengkhianat yang tidak memiliki hati yang bersih. (lihat Al-Targhîb, II: 575) Masih dalam kitab yang sama diriwayatkan sabda Rasulullah saw yang menjelaskan hadis di atas: "Kaum mukmin itu satu sama lain saling mencintai walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Tetapi kaum yang durhaka itu satu sama lain ghasâsah (saling mengkhianati) sesama mereka walaupun tempat tinggal mereka berdekatan." Kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya adalah ikatan yang dapat mempersatukan seluruh mazhab. Al-Zamakhsyari, penulis kitab Tafsir Al-Kasyaf, yang menurut beberapa orang bermazhab muktazilah, menulis sebuah syair tentang ikhtilaf di kalangan kaum muslimin dan jalan keluar dari perpecahan itu: Banyak sekali keraguan dan pertentangan Masing-masing merasa di jalan yang benar Aku berpegang pada kalimat lâ ilâha ilallah Dan kecintaanku kepada Ahmad dan Ali Berbahagia anjing karena mencintai Ashabul Kahfi Bagaimana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi Al-Quran menceritakan seekor anjing yang memiliki karamah mampu tidur selama tiga ratus tahun. Keberuntungannya itu disebabkan karena kecintaan anjing itu kepada Ashabul Kahfi. Maka, bagaimana kita bisa celaka karena kecintaan kepada keluarga Nabi? Kecintaan terhadap keluarga Nabi disepakati oleh semua mazhab. Imam Syafii pun dikenal sebagai orang yang mencintai ahli bait Nabi. Imam Syafii pernah berkata, "Aku sangat heran bila aku sebut nama Ali Al-Murtadha dan Fathimah Al-Zahra, orang segera berdiri dan berteriak: Ini Rafidi!" Imam Syafii lalu bersyair: Kalau yang disebut Rafidi itu adalah mencintai keluarga Nabi Hendaknya menyaksikan seluruh jin dan manusia, bahwa aku ini Rafidi Mencintai keluarga Nabi adalah bagian dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan: Katakan olehmu Muhammad: Aku tidak minta upah dalam mengajarkan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku. (QS. Al-Syura: 23). Mendengar ayat ini, para sahabat bertanya, "Lalu siapa keluarga yang wajib kami cintai itu?" Rasulullah saw menjawab, "Ali, Fathimah, dan kedua putranya." Hadis itu disebutkan dalam seluruh kitab tafsir dan disepakati oleh semua mazhab. Akan tetapi mengapa dalam perkembangannya orang dijauhkan dari ahlul bait? Salah satunya adalah alasan politis. Sepanjang sejarah Islam, kelompok ahlul bait adalah mereka yang tertindas secara politik. Kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi. Secara perlahan, ahlul bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan ahlul bait dihapuskan dari salawat kaum muslimin. Menurut saya, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu bila kita ingin mempersatukan kaum muslimin, persatukanlah mereka dari titik pertemuan ini; yaitu kecintaan kepada keluarga Nabi. Dalam penjelasan hadis "Agama itu nashîhah", selanjutnya disebutkan tentang kecintaan yang tulus atau nashîhah kita terhadap sesama kaum muslimin. Kecintaan kita kepada kaum muslimin dapat ditampakkan dalam usaha untuk menjaga kesatuan kaum muslimin. Lawan dari nashîhah adalah ghasâsah; mengkhianati kaum muslimin, berlaku tidak jujur, memfitnah mereka, dan bahkan mengkafirkan saudara-saudaranya. Hal ini termasuk kepada dosa besar. Oleh sebab itu kelompok ini dipisahkan oleh Rasulullah dari kaum mukmin dan disebut sebagai kelompok pengkhianat. Dalam hadis yang dapat kita baca dalam Hayâtush Shahâbah, terdapat riwayat sebagai berikut: Pada suatu saat, ketika Rasulullah saw berkumpul dengan para sahabatnya di Masjid, beliau berkata, "Sebentar lagi akan muncul seorang penghuni surga...." Tak lama kemudian masuk ke dalam masjid seorang lelaki dengan mengepit sandal di tangan kanannya. Dengan janggut yang masih basah oleh air wudhu, ia lalu salat. Keesokan harinya, Rasulullah menyebutkan hal yang sama dan lelaki yang sama kemudian masuk ke dalam masjid dan salat. Begitu pula keesokan harinya lagi. Tiga kali Rasulullah mengucapkan hal itu dan selalu lelaki yang itu pula muncul di masjid. Abdullah bin Amr bin Ash merasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang dilakukan oleh lelaki itu sehingga Nabi yang mulia menyebutnya sebagai penghuni surga. Abdullah lalu mengunjungi rumah lelaki itu dan berkata, "Aku bertengkar dengan ayahku. Aku tak bisa tinggal serumah dengannya sementara ini. Bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk beberapa malam?" pinta Abdullah. "Silahkan," lelaki itu membolehkan. Tinggallah Abdullah di rumahnya. Setiap malam ia mengawasi ibadah orang itu. "Tentulah ibadahnya sangat menakjubkan sampai Nabi menyebutnya penghuni surga," pikir Abdullah. Tapi ternyata tak ada yang istimewa dalam ibadahnya. Lelaki itu tak salat malam; ia baru bangun menjelang waktu subuh. Terkadang ia bangun di tengah malam, tapi itu hanya untuk menggeserkan tempat tidurnya, berzikir sebentar, lalu tidur lagi. Selama tiga malam, Abdullah tidak melihat sesuatu yang khusus yang dilakukan orang itu. Akhirnya Abdullah pamit. Sebelum pergi, Abdullah berkata terus terang, "Sebetulnya aku tak bertengkar dengan ayahku. Aku hanya ingin tahu apa yang menjadikanmu sangat istimewa sehingga Nabi menyebutmu penghuni surga?" Orang itu menjawab, "Aku adalah seperti yang engkau lihat. Memang itulah diriku." Abdullah pun akhirnya pergi. Tapi setelah agak jauh, lelaki itu memanggil kembali Abdullah. Ia menjelaskan, "Aku memang seperti yang engkau lihat. Hanya saja aku tak pernah tidur dengan menyimpan niat jelek terhadap sesama kaum muslimin." Abdullah berkata, "Justru itulah yang tidak mampu aku lakukan; tidak menyimpan rasa dendam, benci, dan dengki terhadap sesama kaum muslimin...." Mungkin kita semua seperti Abdullah bin Amr bin Ash, kita tak bisa membuang niat jelek kita terhadap sesama kaum muslimin. Boleh jadi kita mampu berlama-lama salat, mampu mengisi malam dengan zikir, tapi seringkali kita tidak mampu untuk menyingkirkan dendam di hati kita terhadap sesama kaum muslimin. Salah satu bentuk kecintaan kita terhadap kaum muslimin adalah dengan menghilangkan rasa benci kita terhadap mereka. Apa pun mazhab mereka, bagaimana pun mazhab mereka, seperti apa pun golongan mereka, mereka adalah saudara kita dalam Islam. Bila ada sebesar debu saja kedengkian kita terhadap kaum muslimin, berarti kita sudah melanggar ajaran al-dînu nashîhah. Agama itu kecintaan yang tulus. Cinta Ilahi: Perspektif Sufistik KH. Jalaluddin Rakhmat Dalam Al-Quran, tidak ada kata “membenci” tapi yang ada adalah kata “tidak mencintai”. Sebelum kata yuhibbu, diawali dulu dengan kata ‘la’. Innallaha layuhibbu (sesungguhnya Allah tidak mencintai). Yang tidak dicintai Tuhan kadang-kadang merupakan orang atau perbuatan. Pertama, mu’tadin, orang-orang yang melakukan sesuatu dengan melewati batas. Dalam Al-Quran disebutkan, “Perangilah orang yang memerangi kamu. Janganlah kamu melewati batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melewati batas.” (QS. Al-Baqarah: 190). Dalam perintah perang pun, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang melewati batas. Di dalam peperangan islam, misalnya, kita tidak boleh menyerang atau mengejar musuh yang sudah lari, merusak tanaman, mengganggu perempuan, atau mengganggu orang-orang yang sedang beribadat, dsb. Kedua, dalam Al-Quran, di antara orang-orang yang tidak dicintai Allah adalah orang yang berbuat kerusakan (kafir yang berkhianat), orang-orang yang berbuat zalim, orang-orang yang sombong, para pengkhianat, para pembuat kerusakan, orang-orang yang berlebihan. Apa saja yang berlebihan? Tidak dicintai oleh Allah. Ayat ini berkenaan dengan perintah makan dan minum: Makan dan minumlah kamu, tapi jangan berlebih-lebihan karena Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31) Jalaluddin Rumi bercerita tentang orang yang dalam hidupnya hanya mengejar makanan saja. Rumi menggambarkan dengan bagus dengan mengatakan, “Orang itu hanya taat kepada satu perintah Tuhan, yaitu: Makan dan minumlah kamu. Tapi ia tidak menaati kalimat yang berikutnya.” Dalam Al-Quran, ada cerita bahwa suara yang paling jelek di hadapan Allah adalah suara keledai. Sesungguhnya suara yang paling jelek adalah suara keledai. (QS. Lukman: 19) Menurut Rumi, yang dimaksud dengan paling jelek suaranya bukanlah yang paling keras suaranya. Ketika Allah menciptakan seluruh makhluk dan ruh ditiupkan ke dalam diri mereka, semuanya hidup. Kalimat pertama yang mereka ucapkan adalah memuji Allah swt, bertasbih kepada-Nya. Tapi ketika semua bertasbih, keledai tidak bertasbih. Dia diam saja. Suatu saat ketika seluruh binatang diam, keledai itu berteriak. Orang-orang bertanya, “Mengapa keledai itu?” Ternyata keledai itu berteriak karena lapar. Kata Rumi, “Suara yang paling jelek di sisi Allah adalah orang yang hanya bersuara ketika perutnya lapar, atau ia hanya bersuara ketika membela kepentingan dirinya saja.” Dalam kebiasaan kita pun, orang-orang akan bersuara keras hanya ketika membela kepentingan dirinya saja tapi ketika berbicara tentang kepentingan bangsa, suaranya jadi melemah, bahkan tidak bunyi sama sekali. Itulah orang yang berbicara keras dan buruk. Hadis Tentang Cinta Ilahi Nabi saw telah menjadikan kecintaan sebagai syarat iman. Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw saw, “Ya Rasulallah, apa iman itu?” Rasulullah saw menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai daripada apa pun selain keduanya.” Dalam hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik: Tidak beriman kamu sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai dari siapa pun selain mereka. Kemudian dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Tidak beriman kamu sebelum aku (Rasulullah) lebih dicintai dari keluarganya, hartanya, dan seluruh umat manusia.” Semua hadis di atas menjelaskan ayat Al-Quran, surat Al-Taubah ayat 24: Katakanlah jika orang tua, anak-anak, saudara, istri-istri, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, dan rumah yang kalian tinggali, lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka bersiap-siaplah mereka menerima azab dari Allah. Dalam hadis lain, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mencintai Allah, “Cintailah Allah atas anugerah-Nya kepada kalian dan cintailah aku atas kecintaan Allah kepadaku.” Al-Ghazali tidak melanjutkan hadis ini. Dalam lanjutan hadis itu, Rasulullah berkata, “Dan cintailah keluargaku karena kecintaan aku kepada mereka.” Sumber cinta yang pertama adalah Allah, kemudian kita mencintai siapa saja yang dicintai Allah, termasuk rasul-Nya, dan mencintai apa yang dicintai oleh pencinta Allah, termasuk ahlul baitnya. Karena itu, doa yang biasa kita baca adalah: “Ya Allah, aku mohonkan kepada-Mu cinta-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai setiap amal yang membawa kami ke dekat-Mu. Rasulullah saw bersabda: Kalau kita mencintai saudara kita, ungkaplah kecintaan itu. Kalau bapak mencintai anak, ungkaplah kecintaan itu kepada anak-anaknya, jangan disembunyikan. Karena kecintaan itu menimbulkan berkah. Ada seorang anak yang menderita sepanjang hidupnya, karena ia mengira bapaknya tidak mencintainya. Suatu saat ketika bapaknya sekarat di rumah sakit, menghembuskan napasnya yang terakhir, anak itu tidak datang juga karena ia tahu bapaknya tidak menyukainya. Ibunya bercerita bahwa sebelum meninggal dunia, bapaknya mengatakan bahwa ia sangat mencintai anaknya dan bangga akan anaknya. Anak itu menjerit keras karena selama ini ia membenci bapaknya dengan dugaan bahwa bapaknya tidak mencintainya. Padahal di saat-saat terakhir, bapaknya mengungkapkan bahwa ia cinta anaknya. Kita dianjurkan jika kita mencintai seseorang, kita harus mengungkapkan kecintaan itu. Dan itu menyenangkan. Kita bahagiakan orang lain dengan kecintaan kita. Kalau kita sembunyikan, orang lain tidak akan tahu dan ia tidak akan bahagia karena kecintaan kita. Suatu saat, saya pernah melakukan umrah. Seorang supir taksi yang baik mengantarkan saya ke tempat kelompok keturunan sahabat anshar. Mereka adalah para petani miskin yang tinggal di perkebunan kurma. Kami datang ke sana dan salat bersama di masjid yang sangat sederhana. Pemimpin kelompok itu bernama Al-Anshari. Waktu masuk ke tempat itu, saya diperkenalkan sebagai tamu dari Indonesia. Saya bercerita tentang islam di Indonesia. Dia memegangi kepala saya dan mencium dahi saya. Dia berkata, “Aku mencintaimu.” Saya senang sekali dan terkesan dengan kecupannya di dahi saya. Ada seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata, “Ya Rasulallah, aku mencintaimu.” Lalu Nabi berkata, “Kalau begitu, bersiaplah untuk miskin.” Ia lalu berkata, “Aku juga mencintai Allah.” Nabi berkata, “Kalau begitu, bersiaplah untuk mendapat ujian.” Dalam sebuah buku sufi, Essential Sufism, disebutkan bahwa orang-orang modern sangat sulit untuk bisa mencintai dengan tulus karena kecintaan yang tulus membawa resiko yang banyak. Resiko yang pertama adalah keterlibatan seluruh kepribadian kita. Sementara orang modern inginnya mandiri, bebas, independen, tidak mau meleburkan diri, dan tidak mau melibatkan diri terlalu banyak. Akhirnya mereka tidak berhasil mencintai siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Salah satu resiko besar dari kecintaan adalah hilangnya ego dan keakuan kita. Rasulullah saw berkata, “Siap-siaplah menghadapi kemiskinan dan ujian.” Suatu hari Rasulullah saw melihat Mash’ab bin Umair datang dan memakai pakaian yang lusuh dan compang-camping. Dahulu Mash’ab adalah anak orang kaya raya di Mekkah. Wajahnya tampan. Di antara sahabat Nabi ada yang terkenal karena ketampanannya, Mash’ab bin Umair, Al-Syammas. Pada waktu muda, orang tua Mash’ab sering menghiasinya dengan pakaian yang indah. Namun, ketika ia sudah masuk Islam, ia mendatangi majlis Nabi saw. Rasulullah saw lalu berkata, “Lihatlah orang itu yang telah Allah sinari hatinya. Dahulu aku pernah melihat dia beserta kedua orang tuanya. Mereka memberinya makanan enak, minuman nikmat, dan pakaian bagus. Kemudian kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya membawa ia kepada keadaan sekarang ini.” Dewa Ruci; Perjalanan Sufi (I) Jalaluddin Rakhmat Menjelang Bharatayudha, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota Kurawa buat melakukan Sidang Istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari Pendawa kecuali karena satu hal saja; Pendawa memiliki Bhima yang sangat sakti. Di samping sangat perkasa, Bhima juga ksatria yang jujur, lugu, dan kuat kemauan. Ia tidak bisa dibeli. Ia bepegang teguh pada keyakinannya. Bhima berkata, "Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala dhen alani, nadhyan bahu kanan-kering jen ala binuwang." Supaya Kurawa menang, sidang memutuskan: Binasakan Bhima. Tapi, masalahnya, Bhima terlalu kuat untuk dikalahkan. Dibuatlah sebuah skenario. Bhima harus dibuang. Caranya bagaimana? Bhima sangat hormat dan patuh kepada gurunya, Resi Dhurna. Resi Dhurna memerintahkan Bhima untuk mencari air kehidupan: Tirta Perwita, tirta prawita, atau tirto sucining ngaurip, tirta kamandalu. Amrtanjiwangi, amrta, atau tirta amrta. Menurut Sang Begawan, siapa saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup yang sempurna. Ia akan memiliki pranawa- "ilmu kebebasan jiwa." Ia akan memahami rahasia kejadian alam semesta dengan segala isinya. Ia akan "saestu sumerep purwa-wekasaning jagadh royo" atau ilmu tentang sangkan paraning dhumadhi. Bhima tidak boleh ragu-ragu dalam mencari tirta amrta ini, karena "jen rering rangu bade mboten sumerep sarto dhumugi telenging kawruh kasunyataan." Tirta amrta ini tidak mudah diperoleh. Ia berada di Gunung Candramuka, di Rimba Palasara. Tanpa ragu, Bhima berangkat, walaupun saudara-saudaranya menghalanginya. Tekadnya sudah bulat. Ia harus berkhidmat kepada gurunya. Ia memasuki gua di Gunung Candramuka itu. Di situ ia bertemu dengan dua raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Melalui pertempuran yang dahsyat, Bhima berhasil mengalahkan keduanya; yang ternyata kemudian -setelah mati- berubah menjadi Bhatara Indra dan Bhatara Bayu. Dan melalui suara batin, Bhima mendengar dari kedua dewa itu bahwa Dhurna sebenarnya berdusta. Tirta kehidupan itu tidak berada di Candramuka. Bhima bergegas ke Ngastina. Dhurna berkata kepadanya, "O, anakku, hal ini tidak mengherankan. Memang kami sengaja, telah kurencanakan sedari semula. Sebenarnya kami hanya ingin mengetahui seberapa jauh kesanggupanmu pada umumnya. Tempat air hidup ini sebenarnya terletak di tengah-tengah rimba Palasari tadi, di dalam sebuah gua yang berbentuk 'sumur gumuling' Silakanlah kembali mengambilnya dari dalam gua tersebut. " Bhima kembali lagi. Tetapi sebelum kembali, ia sekali lagi menghadap saudara-saudaranya, mohon doa restunya. Mereka meminta Werkudara untuk tidak berangkat. Tapi Bhima tidak menghiraukannya. Ia masuk ke dalam Gua Sigrangga, di tengah rimba Palasara. Di sini juga, alih-alih air kehidupan, Bhima bersua dengan seekor ular besar. Ular itu membelit tubuh Bhima dengan belitan yang sangat ketat. Ketika dengan "kuku Pancanaka" Bhima berhasil mengalahkannya, ular itu menghilang dan menjelma menjadi bidadari, Dewi Maheswari. Kali ini, Sang Dewi memberitahu putra kedua Pendawa itu bahwa air kehidupan sebenarnya tidak terletak di Gua Sigrangga. Ia kembali lagi kepada gurunya. Seperti biasa, Pendeta Dhurna mengatakan bahwa ia hanya ingin menguji muridnya. Pada kali pertama, ia ingin menguji keikhlasannya; kedua, kesetiaannya; dan ketiga, ketetapan akan kesempurnaan hidupnya. Air kehidupan itu sebenarnya ada di dalam lautan selatan, yang penuh gelombang besar. Dalam perjalanannya menuju Laut Selatan, ia sampai di sebuah rimba belantara, yang penuh bahaya, Wana Sunyapringga. Di sini, ia tiba-tiba dicegat oleh empat saudara. Mereka menghalang-halangi maksud Bhima untuk menceburkan dirinya ke dalam samudra. Keempat saudara itu adalah Anoman, kera yang berwarna putih; Jajagwreko, raksasa yang berwarna merah; Setubandha, gajah berwarna hijau; dan Begawan Maenaka, pendeta berwarna kuning. Bhima sendiri berwarna hitam. Bhima menolak nasihat keempat bersaudara itu dengan mengatakan tekadnya untuk "nggebyur ing telenging samudro,….sanadhyan tumekeng antaka anetepi ugo janji kautaman." Bhima mengusir mereka dalam pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya. Bhima mengembalikan mereka ke tempatnya masing-masing. Lepas dari halangan saudara-saudaranya sekekuatan (tunggil bayu), Bhima melocat ke dalam lautan. Ia disambut dengan semprotan racun dari ular besar Nabatnawa. Bhima dapat menghindarkan bahaya bisa ular itu dengan aji Jalasengsara yang dimilikinya. Ia juga bisa berjalan di dalam dan di atas air laut. Segera terjadilah pertempuran mati-matian di antara Bhima dan Nabatnawa. Kemenangan -sudah dapat diduga- berada pada Bhima, tetapi ular yang terluka dengan Kuku Pancanakanya itu mengeluarkan banjir darah yang mencelup air samudra menjadi merah. Ketika Bhima mengambil air laut yang merah itu dan mempersembahkannya kepada gurunya sebagai air amrta, Resi Dhurna menolaknya. Ia mengatakan bahwa yang diberikan Bhima itu bukan amrta sejati, tetapi air yang sudah tercemari. Ia diperintahkan untuk terjun kembali. Sekarang Bhima yang perkasa sudah hampir kehabisan tenaga. Ia diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar. Ia berulangkali dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam. Ia merasa terpuruk dan hampir mendekati ajalnya. Pada saat itulah Dewa Ruci muncul. Ia menaruh kasihan kepada Bhima yang sengsara. Ia mula-mula muncul sebagai cahaya yang terang benderang (mencorong manter sak sodho lanang). Setelah itu ia muncul sebagai anak kecil yang rupanya persis seperti Bhima. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog yang sangat mistikal antara mereka. Saya tidak bermaksud mengutip semua dialog ini, tetapi ingin menutup kisah singkat ini dengan mengutip sebagian kecil dialog seperti terdapat pada Tjeritera Dewa Rutji : "Adaku pada tempat ini," kata Dewa Rutji selandjutnja, ialah hanja untuk "mengejobungah" (rindu akan kegirangan, kesukaan, suka tjita). "Mungkinkah keinginan tuan itu tertjapai pada tempat jang sunji senjap seperti ini?" Tanja Bima heran. Djawab Dewa Rutji: "Kaki, ijo sedjatine bungah iku kang wus anggedekhake panarimo lan santoso. Margo ono ing paramean aku ora seneng, kekurangan aku ora nggrantes, tjatjad wus ndhak anggep pantes. Dhene kang ndhak pangan jen ono godong kumlejang kang tibeng ngarsaku, lamun sepen sepi." (Ketahuilah, wahai anakku pada hakikatnja, sukatjita itu dapat memperbesar rasa "menerima" atau terima kasih (aanvaarden en berusten.) dan keteguhanku. Pada suatu pesta aku tidak merasa lebih senang lagi. Kekurangan dan kemiskinan, kemelaratan bagiku tidak berarti penderitaan atau kesedihan. Ilat (tjatjad) saya anggap tidak merugikan diriku. Makananku ialah amat sederhana, artinja sederhana sadja!) Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R. Ng. Ronggowarsito. Siapa pun penulisnya, naskah Dewa Ruci yang kita ketahui sekarang, tampaknya telah diislamkan atau dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam, khususnya tasawuf. Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama "angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan" . Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko. Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi, kita akan melihatnya sangat sufistik. Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritera. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu. Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf. R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya. Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana. Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai. Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti. Menurut Dr Simuh , ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu: Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah. Dewa Ruci, Gilgamesh, Aleksander, dan Khidhir Sangat tidak mungkin membahas penafsiran Dewa Ruci sebagai buku tasawuf di sini. Kita memerlukan bukan saja buku tersendiri untuk itu tetapi sebuah penelitian yang mendalam -boleh jadi dengan menggunakan pendekatan hermeneutik mutakhir (yang dikritik sangat nihilistik belakangan ini)- kepada teks Dewa Ruci. Apa yang saya sampaikan di sini hanyalah simplifikasi dari pemahaman saya yang juga sebenarnya sangat sederhana kepada Cerita Dewa Ruci. Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa. Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria. Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh. Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia. "Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM. "Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan: O Gilgamesh, whither do you fare? The life you seek, you will not find When the gods created man, They apportioned death to mankind; And retained life to themselves O Gilgamesh, fill your belly, Make merry, day and night; Make of each day a festival of joy, Dance and play, day and night! Let your raiment be kept clean, Your head washed, body bathed, Pay heed to the little one, holding onto your hand, Let your wife delighted your heart, For in this is the portion of man Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada "the portion of man". Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi. Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis. Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya. Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis. Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam. Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat. Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi. Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai, dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu. Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa . Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia. Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian. Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas. Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah. Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan. Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak. Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai. Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian. Kisah Aleksander ini disebutkan dalam Al-Quran sebagai kisah Zulqarnain. Kitab-kitab tafsir menjelaskan maksud perjalanan Zulqarnain ini sebagai upaya mencari air kehidupan. Kisah Zulqarnain ini dikisahkan segera setelah Tuhan bercerita tentang perjalanan Musa as untuk belajar kepada seorang manusia yang juga hidup abadi . Al-Quran tidak menyebutkan nama guru ruhani ini. Hadits menyebutkannya sebagai Khidhir: Diriwayatkan oleh Sa'id bin Jubayr: Aku berkata kepada Ibnu Abbas -Nauf al-Bikali menyatakan bahwa Musa, sahabat Al-Khidhr, bukanlah Musa dari Bani Israil. Ibn Abbas berkata: Musuh Allah itu berdusta. Diriwayatkan oleh Ubayy bin Ka'ab bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Musa berdiri menyampaikan khotbah di hadapan Bani Israil. Ia ditanya siapakah manusia yang paling berilmu. Musa menjawab, “Aku.” Allah memperingatkan dia karena ia tidak menisbahkan pengetahuan pada Tuhan semata. Allah mewahyukan kepadanya, “Di pertemuan di antara dua lautan ada hamba Kami yang lebih berilmu dari kamu.” Musa bertanya, “Ya Allah, di mana bisa kujumpai dia?” Allah berkata, “Bawalah ikan dan masukkan ke dalam wadah dan berjalanlah (sampai kamu kehilangan ikan itu).” Berangkatlah Musa beserta pembantunya -Yusya bin Nun, sampai mereka mencapai sebuah batu. Keduanya beristirahat dan tidur di atasnya. Ikan tergoncang dalam wadah dan terlempar ke dalam laut dan mengambil jalan ke laut seperti dalam terowongan (QS. Al-Kahfi; 61). Allah menghentikan arus air di kedua arah yang dibuat ikan itu, sehingga jalan itu mirip terowongan. Ketika Musa bangun, sahabatnya lupa menyebutkan ikan itu. Mereka melanjutkan perjalanan selama sisa hari itu dan sepanjang malam. Pada pagi harinya, Musa menyuruh pembantunya, "Bawalah makanan pagi kita. Sebenarnya kita sudah menemui kelelahan dalam perjalanan ini." (QS. Al-Kahfi; 62). Musa tidak kelelahan sampai ia mencapai tempat yang diperintahkan Allah untuk dicari Musa. Pelayannya berkata, "Ingatkah Anda ketika kita beristirahat di atas batu? Aku lupa pada ikan itu. Hanya Setanlah yang membuat aku lupa. Ikan itu sudah mengambil jalan ke laut dengan sangat mengherankan." (QS. Al-Kahfi; 63). Adanya terowongan untuk ikan itu, bagi Musa dan pembantunya adalah hal yang sangat mencengangkan. Musa berkata: Itulah tempat yang kita cari. Jadi mereka kembali lagi, menapak tilas yang pernah dilewatinya (QS. Al-Kahfi: 64). Mereka kembali sampai mereka berjumpa dengan seorang berjubah . (Bersambung) ? Makalah KH. Jalaluddin Rakhmat yang disampaikan pada Seminar Tasawuf dalam Tradisi Jawa, sekaligus ulang tahun Yayasan Tazkiya Sejati, yang dilaksanakan pada 5 Agustus, 2000 di Jakarta Design Center, Jakarta. Catatan Kaki Singkatan Kisah Dewa Ruci dalam makalah ini merujuk pada buku ini; yakni, Dr A. Seno-Sastroamidjojo. Tjeritera Dewa Rutji. Djakarta: Penerbit Kinta, 1967. 2 Dr A.Seno-Sastroamidjojo, ibid, menulis: "Oleh sebagian besar bangsa Djawa terutama, lebih-lebih jang kini telah tergolong pada jang dinamakan 'angkatan tua' pun dianggap selaku pembimbing dalam usahanja mentjari djalan ke arah tertjapainja 'kawruh kasampurnaan (ilmu pengetahuan mengenai usaha mencapai kesempurnaan hidup. 3 Dr Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Sebuah Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, 1988. h. 58. Menarik untuk segera ditambahkan bahwa menurut Dr. Simuh, Kitab Suluk Suksma ini dipengaruhi sangat oleh ajaran Syiah, karena di situ disebutkan peranan Imam Zainal Abidin sebagai cucu buyut Nabi yang luhur budinya, yang rela menyerahkan haknya sebagai imam kepada raja kafir dan beliau puas hanya sebagai pemuka para santri (lihat h. 59). 4 Joseph Campbell. Occidental Mithology: The Masks of God. New York: Penguin Books, 1976. h 90-92 5 Lihat kisah perjalanan Musa dan Khidhr dalam Al-Kahf 60-82. Kisah Zulqarnain dilanjutkan dalam Al-Kahf 83-99. Saya kira ada maksud Tuhan yang tidak saya ketahui mengapa Kisah Zulqarnain itu merupakan sambungan dari kisah Musa dan Khidhr, wallahu a'lam. 6 Shahih al-Bukhari 6, hadits 249. ? Disampaikan pada Seminar Tasawuf dalam Tradisi Jawa, sekaligus ulang tahun tazkiya Sejati, Agustus 5, 2000 di Jakarta Design Centre, Jakarta. Singkatan Kisah Dewa Ruci dalam makalah ini merujuk pada buku ini; yakni, Dr A. Seno-Sastroamidjojo. Tjeritera Dewa Rutji. Djakarta: Penerbit Kinta, 1967. Dr A.Seno-Sastroamidjojo, ibid, menulis: "Oleh sebagian besar bangsa Djawa terutama, lebih-lebih jang kini telahtergolong pada jang dinamakan 'angkatan tua' pun dianggap selaku pembimbing dalam usahanja mentjari djalan kearah tertjapainja 'kawruh kasampurnaan (ilmu pengetahuan mengenai usaha mencapai kesempurnaan hidup. Dr Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Sebuah Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, 1988. h. 58. Menarik untuk segera ditambahkan bahwa menurut Dr Simuh, Kitab Suluk Suksma ini dipengaruhi Sangat oleh ajaran Syiah, karena di situ disebutkan peranan Imam Zainal Abidin sebagai cucu buyut Nabi yang luhur budinya, yang rela menyerahkan haknya sebagai imam kepada raja kafir dan beliau uas hanya sebagai pemuka para santri (lihat h. 59). Joseph Campbell. Occidental Mithology: The Masks of God. New York: Penguin Books, 1976. h 90-92 Lihat kisah perjalanan Musa dan Khidhr dalam Al-Kahf 60-82. Kisah Zulqarnain dilanjutkan dalam Al-Kahf 83-99. Saya kira ada maksud Tuhan yang tidak saya ketahui mengapa Kisah Zulqarnain itu merupakan sambungan dari kisah Musa dan Khidhr, wallahu a'lam. Shahih al-Bukhari 6, hadits 249. Gabungkan Kami Bersamamu! KH. Jalaluddin Rakhmat Ketika Imam Husain as bersiap-siap untuk berangkat, Ummu Salamah datang. Dengan air mata berlinang, ia memohon, “Janganlah engkau dukakan daku dengan kepergianmu ke Iraq. Aku telah mendengar kakekmu Rasulullah saw bersabda, ‘Anakku Al-Husain akan terbunuh di bumi Iraq, di bumi yang dikenal dengan nama Karbala’. Masih kusimpan tanahmu dalam botol yang diberikan Nabi kepadaku.” Imam Husain berkata, “Yâ Ummah, aku tahu aku akan terbunuh, terbantai karena kezaliman dan permusuhan. Allah telah berkenan memperlihatkan kepadaku keluargaku dan sahabatku yang dihalau; anak-anakku yang disembelih, ditawan, dan dibelenggu. Mereka minta pertolongan tetapi tidak mereka dapatkan pertolongan.” “Ajaib! Lalu mengapa engkau pergi padahal engkau akan terbunuh?” ujar Ummu Salamah. Imam Husain menjawab, “Yâ Ummah, jika aku tidak berangkat hari ini, aku akan berangkat esok. Jika tidak esok, esoknya lagi. Demi Allah, kematian tidak dapat dihindari. Sungguh, aku tahu hari ketika aku terbunuh, detik-detik ketika aku terbunuh, dan kuburan yang di situ aku dikebumikan. Aku mengetahuinya seperti mengetahuimu. Aku melihatnya seperti melihatmu. Jika engkau mau, akan kuperlihatkan padamu tempat pembaringanku dan tempat sahabat-sahabatku.” Ummu Salamah memohonkannya. Ia memperlihatkan kepadanya turbah (tanah) sahabat-sahabatnya dan memberikan sebagian untuk Ummu Salamah. Dipesankannya agar ia menyimpannya dalam botol lagi. Bila ia melihatnya bersimbah darah, yakinlah bahwa Husain terbunuh. Pada hari kesepuluh Muharam, sesudah Zhuhur ia melihat kepada kedua botol itu. Dan keduanya telah berubah menjadi genangan darah. Peristiwa yang saya kutip dari Maqtal Al-Husain, tulisan Abdul Razzaq Al-Musawi, diriwayatkan oleh banyak muhaddits. Tak seorang pun mempersoalkan keabsahannya. Tetapi banyak orang bertanya, seperti Ummul Mukminin ra, mengapa Imam Husain pergi juga padahal ia telah mengetahui bahwa ia akan terbunuh. Sebagian bahkan menolak hadis itu hanya dengan alasan: Tidak mungkin Imam Husain menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan. Bukankah Tuhan berfirman, “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195). Izinkan saya bertanya: Apa yang dimaksud dengan kebinasaan? Apakah setiap kematian dianggap kebinasaan? Apakah setiap kehidupan keberuntungan? Ketika Nero membakar kota Roma, ia tertawa menyaksikan ratusan ribu orang yang terpanggang hangus. Apakah Nero beruntung dan rakyat yang mati semua binasa? Hitler bersenang-senang di istananya, ketika jutaan manusia dijebloskan ke kamar gas dan dibunuh dengan gas beracun. Apakah Hitler beruntung dan rakyat yang tertindas itu celaka? Vlad The Impaler, raja Kristen dari Rumania, melemparkan tawanan Turki yang Muslim ke sebuah lembah yang dipenuhi dengan tombak-tombak, yang bagian tajamnya diarahkan ke atas. Kaum muslimin itu tertusuk puluhan tombak dan mati karena kehabisan darah. Apakah kaum Muslim itu binasa dan Raja Rumania itu beruntung? Kejadian seperti itu berulang terus dalam sejarah umat manusia: Pengungsi Palestina yang dibunuh tentara Israel di Sabra dan Shatilla, Muslim Bosnia yang dibantai Kristen Serbia, pejuang Muslim Kashmir yang didrel serdadu Hindu dari India, Muslim Ambon yang dijagal oleh saudara-saudaranya yang berbeda agama. Bila kita mengukur kebinasaan dari kekalahan dalam pertempuran, kelemahan dalam perbekalan, atau kekurangan dalam dukungan, ucapkanlah salam perpisahan kepada Islam. Kebinasaan dan keberuntungan tidak terletak pada kematian dan kehidupan; tetapi pada tujuan yang menyertai keduanya. Imam Ali, yang digelari George Jourdac sebagai Suara Keadilan Insani, memberikan kriteria tegas: Al-Hayât fî mawtikum qâhirîn; wal mawt fî hayâtikum maqhűrîn.Kehidupan itu dalam kematianmu yang menaklukkan dan kematian itu dalam kehidupanmu yang ditaklukkan. Dalam peribahasa Melayu, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. Mati untuk menegakkan kalimah Allah adalah kebaikan yang di atasnya tidak ada yang lebih baik lagi. Hidup mewah dengan mencampakkan syariat adalah kehinaan yang di bawahnya tidak ada yang lebih hina lagi. Imam Husain berkata dalam khutbahnya, “Aku tidak melihat kematian selain kebahagiaan; dan aku tidak melihat kehidupan bersama orang yang zalim selain kehinaan.” Ketika Allah swt berfirman -Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa- Dia meletakkan kehormatan dan kemuliaan pada ketakwaan. Harta menjadi mulia bila berada di tangan orang yang beragama, yang memperoleh dan mengeluarkan harta itu sesuai dengan tuntunan syariat. Harta menjadi fitnah yang mencelakakan bila dipegang oleh orang yang mencari dan membelanjakannya dengan cara yang haram. Kekuasaan menjadi mahkota yang mulia bila dipergunakan untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kezaliman. Kekuasaan menjadi godaan yang menjerumuskan bila dijalankan untuk menyengsarakan rakyat dan memperkaya diri dan golongan. Rasulullah saw bersabda, “Jika para penguasamu adalah orang-orang yang baik di antara kalian; jika orang-orang kayamu adalah orang-orang yang dermawan di antara kalian; jika urusanmu selalu dimusyawaratkan di antara kamu, maka punggung dunia lebih baik bagimu dari perutnya. Jika para penguasamu adalah orang-orang buruk di antara kamu; jika orang-orang kayamu orang-orang yang bakhil; dan urusan diserahkan pada isteri-isterimu, maka perut bumi lebih baik bagimu dari punggungnya.” Zaman buruk yang digambarkan Nabi adalah zaman Imam Husain. Pada masanya, Bani Umayyah menegakkan kekuasaan dengan mengalirkan darah orang yang tidak bersalah, menumpuk kekayaan dengan merampas hak orang-orang kecil, dan menyebarkan ideologi “Might is right” - yang berkuasa adalah yang benar. Ia “membayar” para ulama untuk melegitimasikan kekuasaannya dan menghamun-maki orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran. Agama diberi makna sesuai dengan kehendak penguasa. Lewat mesin propaganda waktu itu -antara lain, khotbah-khotbah Jumat dan majlis-majlis pengajian- ajaran keluarga Rasulullah saw (pasangan Al-Quran) dianggap sebagai Islam yang sesat dan fatwa keluarga Akilat Al-Kabad sebagai Islam yang benar. Simaklah ucapan Imam Ali as ketika menyaksikan ulah Bani Umayyah: “Ingatlah bahwa bencana yang buruk bagi Anda di mata saya ialah bencana Bani Umayyah, karena bencana itu buta dan menciptakan kegelapan pula. Melandanya umum tetapi akibat buruknya adalah bagi orang-orang tertentu. Orang yang tetap berpandangan cerah di dalamnya akan tertimpa kesedihan, dan orang yang tetap buta di dalamnya akan menjauhi kesedihan itu. Demi Allah, Anda akan mendapatkan Bani Umayyah sesudah saya adalah orang yang terburuk bagi Anda, seperti unta betina tua pembangkang yang menggigit dengan mulutnya, memukul dengan kaki depannya, menendang dengan kaki belakangnya, dan menolak untuk diperahi susunya. Mereka akan tetap menguasai Anda sehingga mereka hanya akan meninggalkan di antara Anda orang-orang yang bermanfaat bagi mereka atau orang-orang yang tidak merugikan mereka. Petaka mereka akan berlanjut hingga permintaan tolong Anda pada mereka seperti permintaan tolong oleh budak pada tuannya atau pengikut pada pemimpinnya. Bencana mereka akan menimpa Anda seperti ketakutan bermata jahat dan perpecahan jahiliah di mana tak akan terlihat menara petunjuk atau suatu tanda (keselamatan). Kami Ahlul Bait bebas dari kejahatan dan kami tidak termasuk kalangan orang yang akan melahirkannya.” (Puncak Kefasihan, Khotbah 92) Apa yang dikuatirkan Imam Ali betul-betul terjadi pada zaman Imam Husain. Muawiyyah mati dan meninggalkan Yazid (la.) sebagai penguasa. Dalam hadis ia mendapat julukan “bocah yang bodoh.” Abdullah bin Hanzhalah (yang jasadnya dimandikan para malaikat), melaporkan perilaku Yazid, ketika bersama delegasi Madinah kembali dari Syam: “Wahai manusia, kami baru saja kembali dari seorang lelaki yang meninggalkan salat, minum minuman keras, menikahi ibu dan saudara kandung, bermain bersama monyet dan anjing. Jika kita tidak melepaskan baiat kepadanya, aku takut kita akan dilempari batu dari langit.” Ibnu Khaldun, sosiolog Islam itu, dengan tegas menyatakan bahwa para ulama Muslimin telah sepakat (ijmak) berkenaan dengan kefasikan dan kemaksiatan Yazid. Orang dengan kualitas seperti itu, yang mencemoohkan agama dengan syair-syairnya, diangkat sebagai penguasa Islam. Ia memaksa semua orang untuk berbaiat kepadanya. Di Madinah, di kota Rasulullah yang mulia, Marwan bin Al-Hakam memaksa Imam Husain untuk berbaiat kepadanya. Ia juga mengancam untuk membunuh cucu Nabi itu jika menolaknya. Imam Husain berkata, “Yazid manusia yang fasik, pendosa, pembunuh orang yang tidak bersalah, yang menyebarkan kefasikan dan kemaksiatan. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang seperti dia!” Dan Imam Husain memilih kematian daripada tunduk kepada kezaliman. Dengan darahnya di Karbela, ia meletakkan tonggak sebuah mazhab yang meletakkan kehormatan, bukan pada kekuatan fisik dan kekuasaan, tetapi pada pengorbanan untuk agama yang memihak keadilan. Baginya, kemenangan sejati diperoleh ketika benih kemaslahatan umat tumbuh subur dari siraman darah dan airmatanya. Bila Yesus, menurut pandangan Kristiani mati untuk menebus dosa umat manusia, Imam Husain gugur untuk meletakkan nilai kemanusiaan di atas nilai-nilai kekuasaan, keturunan, kekayaan, dan kepandaian. Kematiannya menghidupkan kembali Islam Muhammadi yang asli, yang memasukkan Salman orang Persia dalam kelompok Ahli Bayt karena ketakwaannya dan mengeluarkan Abu Lahab, keluarga dekat Nabi dari kelompok Ahli Bayt karena keingkarannya. Ketika ia meninggalkan Madinah, ia menulis surat wasiat kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiyyah: “Aku keluar bukan karena kesombongan dan kepongahan, bukan juga untuk berbuat kerusuhan dan kezaliman. Aku keluar untuk menimbulkan perbaikan dalam tubuh umat kakekku Muhammad saw. Aku ingin melakukan amar makruf nahi munkar. Aku ingin mengikuti perjalanan hidup kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib. Jika orang menerimaku dengan penerimaan kebenaran maka Allah lebih utama untuk dipatuhi kebenaran-Nya. Barangsiapa yang menolakku, aku akan bersabar sampai Allah memutuskan kebenaran antara aku dan mereka. Dialah sebaik-baiknya Hakim.” Lebih dari seribu tahun sesudah itu, seorang perempuan tua dan peneliti yang tekun berbicara di depan para pejabat Jerman, termasuk presiden dan anggota parlemen di sebuah istana di Berlin. Ia memperingatkan para penguasa Dunia Barat untuk tidak mengajari orang Islam memperjuangkan hak asasi manusia. Sejarah Islam adalah perjuangan panjang untuk menentang tirani dan otokrasi. Dengan suara yang serak karena ketuaan, ia mengisahkan pengorbanan Imam Husain di Karbela. Inilah contoh utama pengorbanan besar untuk menegakkan pemerintahan yang adil dan beradab. Perempuan itu namanya Annemarie Schimmel. Jauh di sebelah timur, di bumi Indonesia, kita menangis pada hari Asyura, bukan karena menyesali nasib. Kita menangis untuk memasukkan arwah kita dalam barisan Imam Husain. Kata Imam Hasan Al-Askari, “Bukan golongan kami yang tidak menderita karena derita kami dan tidak bergembira karena kegembiraan kami.” Kita menangis duka karena para imam yang berduka. Dan mereka hanya berduka karena redupnya cahaya kebenaran dan berkobarnya api penindasan. Duhai, alangkah bahagianya bila kami bergabung bersamamu, Ya Aba Abdillah. Kami penuhi panggilanmu, labbaik, wahai Penyeru Allah. Jika badan dan lidah kami tidak dapat memenuhi panggilanmu ketika engkau mencari pertolongan, hati kami, pendengaran kami dan penglihatan kami telah menjawab seruanmu! Konsep Din dan Islam: Eksklusif dan Inklusif KH. Jalaluddin Rakhmat ”Dan barangsiapa menganut Dîn selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran 85). Berdasarkan ayat Ali Imran 85, ada dua pandangan yang berbeda tentang kriteria agama yang benar. Sebagian besar mufasir menjelaskan bahwa agama yang benar, din al-haqq adalah dan hanyalah Islam. Agama apa pun selain Islam ditolak. Termasuk kepada kelompok ini adalah Dr Aflatun Muchtar, dalam bukunya, ia menulis (1), Bertolak dari konsep dîn al-haqq di atas, maka din itu dapat dibedakan menjadi dua: dîn al-haqq, yaitu Islam yang membawa ajaran dasar tauhid, akhlak, dan ajaran yang berhubungan dengan aspek jiwa, akal, materi, dan sosial dan din yang dianut orang -orang Yahudi dan Nasrani yang juga mengklaim diri sebagai pengikut dîn al-haqq dan golongan lain yang telah mengubah petunjuk-Nya dengan mereka. Mereka yang disebut terakhir, secara prinsip telah mengubah hakikat din yang benar. Oleh karena itu, Allah memberikan penegasan bahwa siapa saja yang menganut dîn selain Islam akan tertolak dan mereka itu di akhirat akan digolongkan sebagai orang-orang yang merugi. Sebagian ulama lainnya, yang digolongkan Muthahhari dalam kelompok mufakkirűn mustanîrűn, berpendapat -masih berdasarkan ayat yang sama- bahwa yang dimaksud dengan Islam di sini adalah kepasrahan kepada al-Haqq, Kebenaran atau Allah dan bukan agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad saw (2). Dengan demikian, siapa saja yang berserah diri pada Kebenaran, yang ia temukan dalam perjalanan hidupnya, kemudian ia memberikan komitmen total kepadanya, ia telah menganut dîn yang benar. Tidak jadi soal apakah kebenaran yang diyakininya itu Islam atau pun agama lainnya. Menurut Muthahhari, yang menganut paham ini, sebagai contoh adalah George Jordac, penulis buku Ali: Shaut al-‘Adalat al-Insaniyyah, dan penyair Kahlil Gibran. Saya akan memasukkan ke dalam kelompok ini juga Dr Abdul Karim Soroush (3), pemikir Islam kontemporer dari Iran. Soroush, pada gilirannya, menyebut Thabathabai, penulis tafsir Mizan, ke dalam kelompoknya juga. Perbedaan pendapat di antara kedua kelompok ini bersumber pada konsep Dîn dan Islam. Aflatun Muchtar telah meneliti konsep Dîn dalam Al-Quran dengan merujuk pada asal-usul semantiknya, perkembangan pengertiannya dalam periode Mekah dan Medinah, serta kandungan maknanya. Ia juga menjelaskan berbagai Dîn dalam perpektif Al-Quran dari segi ajarannya dan keabsahannya. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Islam, dalam pengertian “Dîn yang diwahyukan kepada kepada Nabi Muhammad saw atau segala segala yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Muhammad Rasul-Nya yang terakhir.” (4) Walhasil, Dîn yang absah dan benar, yang diterima Allah pada zaman ini hanyalah agama Islam yang dibawa Muhammad saw. Saya tidak mau dan tidak mampu untuk melihat kesalahan logis yang dilakukan Muchtar dalam penelitiannya. Muchtar telah dengan bagus mewakili pandangan kelompok pertama. Saya ingin memberikan pandangan kelompok kedua. Kita akan melihat kembali makna konsep Dîn, dengan menggunakan metode yang sama yang dilakukan Muchtar, tetapi dengan kesimpulan akhir yang berbeda. Saya akan mulai dengan kembali lagi melihat berbagai kamus untuk melacak makna semantiknya. Makna Din Secara Bahasa " Dîn: sejenis kepasrahan dan kerendahan. Inilah makna yang pokok dan makna-makna yang lain kembali ke sini. Maka al-dîn artinya ketaatan. Dikatakan dâna -yadînu-dînan, bila ia menyertai, menyerah kepada, dan mentaati (seseorang). Qawm din: yakni, kaum yang berserah diri dan taat. Madînah, tempat ketaatan, disebut demikian karena di tempat itu ditegakkan ketaatan kepada pemerintahan. Madînah juga berarti budak perempuan (Budak laki-laki: madîn)." (5) Banyak penulis kamus sepakat dengan al-Mushtafawi bahwa makna pokok -primary meaning- dari Din adalah kepatuhan. Makna pokok lainnya -seperti dihimpun Edward William Lane (6)- adalah a state of abasement, submissiveness, al-Din lillah, obedience to, and the service of God. Dari makna pokok inilah kemudian berkembang makna-makna lainnya: 1. Religion, yang menurut al-Shihhah, disebut demikian karena agama adalah kepatuhan dan kepasrahan kepada hukum; karena itu din juga berarti syariat dan wara’, menghindarkan diri dari perbuatan yang melanggar hukum. Dalam pengertian ini, lihat Al-Quran 3:17. 2. A particular law; a statue; or an ordinance. Dalam Al-Quran, makna ini dapat dipahami dari Ma kana li ya’khudza akhahu fi din al-malik (Al-Quran 12:76): Yusuf tidak akan mengambil saudaranya (sebagai budak karena mencuri) menurut hukum Raja Mesir. 3. A system of usages, or rites and ceremonies etc., inherited from a series of ancestors, seperti disebutkan dalam hadits Nabi saw kana ‘ala dini qawmih. Ia mengikuti kebiasaan lama yang didapatnya pada kaumnya, yang diwarisi dari Ibrahim dan Ismail, dalam hal haji dan pernikahan; ada juga yang menyebutkan, dalam hal akhlak seperti kedermawanan dan keberanian. 4. Custom, habit, or business. Seperti dalam kalimat ma zala dzalika dini. Itu selalu menjadi kebiasaanku. 5. A way, a course, mode, or manner, of acting, or conduct, or the like. 6. Management, conduct, or regulations, of affairs, 7. Retaliation, by slaying for slaying, or wounding for wounding, or mutilating for mutilating. 8. A reckoning, seperti dalam Al-Quran 9:36 Bila kita perhatikan makna-makna tambahan itu, kita masih bisa melihat makna asalnya; yakni, kepatuhan atau kepasrahan. Hukum disebut Dîn, karena peraturan tidak bisa tegak tanpa kepatuhan. Tradisi atau adat kebiasaan disebut Dîn karena perilaku tertentu dipatuhi dan dijalankan terus menerus; lalu, seluruh anggota komunitas harus pasrah padanya. Cara mengatur tingkah laku menurut prosedur tertentu juga terbentuk karena kepatuhan yang berlangsung lama, sehingga menjadi kebiasaan. Bila kepatuhan itu dilanggar, bila aturan yang baku iti tidak dipenuhi, orang mendapat hukuman dari masyarakatnya. Karena itu, balasan disebut juga Dîn. Menurut makna asalnya, Dîn sama saja dengan Islam. Saya mengutip lagi dari Muchtar: Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khadla’a (tunduk) dan istaslama (sikap berserah diri), dan juga addâ (menyerahkan atau menyampaikan). Pengertian lain dari Islam adalah al-inqiyâd (tunduk patuh), dan al-ikhlâsh (tulus) di samping itu diartikan juga dengan al-tha’ah (taat) serta al-salâm (damai atau selamat) (7). Muchtar menegaskan makna kepatuhan dan ketundukan ini dengan mengutip Al-Mawdudi, yang mengartikan Islam sebagai “tunduk, berserah diri, taat, dan patuh kepada perintah dan larangan yang berkuasa (al-amir) tanpa membantah.” Dengan menggunakan makna asal dari kedua kata itu -Din dan Islam- kita lihat lagi Ali Imran 83 dan Ali Imran 85: Maka apakah mereka mencari selain kepatuhan kepada Allah (ghayr dîn Allah), padahal kepadanya pasrah tunduk patuh (aslama) semua yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa. Hanya kepada Allah sajalah mereka dikembalikan. Barangsiapa yang mencari kepatuhan (dîn) selain kepasrahan diri (al-islâm), maka ia tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi. Jadi secara denotatif, din dan Islam itu bermakna sama. Secara konotatif, din menunjukkan kepatuhan yang umum. Orang bisa patuh pada tradisi, kebiasaan, hukum, prosedur perilaku, atau sanksi dan hukuman. Orang juga bisa hanya patuh kepada Allah saja, dîn Allah. Kepatuhan pada selain Dia diletakkan din bawah kepatuhan kepada Dia. Al-Quran menyebut kepatuhan kepada Allah itu sebagai kepatuhan kepada Kebenaran, din al-Haqq. Nabi Muhammad saw diutus Tuhan untuk membawa petunjuk dan kepatuhan kepada Kebenaran, agar segala kepatuhan kepada yang lain ditundukkan. Tuhan berfirman: Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kepatuhan kepada kebenaran agar Dia mengunggulkannya di atas semua kepatuhan… (Al-Quran 9:33, 48:28, 61:9) Makna Islâm secara bahasa Tanpa harus melacak makna kata Islam dari kata-kata asalnya seperti salam, silm, dan sebagainya, kita kan mengutip apa yang dikatakan kamus-kamus bahasa Arab tentang makna Islâm. Sekali lagi, kita merujuk pada Lane. Islâm berasal dari kata aslama yang berarti: • Sama dengan sallama, yang berarti menyerahkan sesuatu, menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang di bawah kekuasaan orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada (Tuhan); menurut Al-Shihhah, al-Qaműs, al-Muhkam, al-Mishbâh, Ibn Atsîr, Taj al-Arűs. • Membayar di muka, seperti dalam kalimat aslama fi al-tha'âm; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mughrib, al-Mishbah. • Sama dengan kata istaslama: Menyerah, menyerahkan diri, pasrah; memasuki perdamaian; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mishbah, al-Qaműs. • Sama dengan tasallama: menjadi Islam. Al-Shihhah dan al-Mishbah mendefinisikan Islam sebagai ungkapan kerendahan hati atau kepasrahan dan ketaatan secara lahiriah kepada hukum Tuhan serta mewajibkan diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh Nabi saw. Menurut al-Tahdzîb dan al-Muhkam, bila ketaatan itu juga diikuti dengan hati, maka ia disebut iman. Ini menurut madzhab Syafi'I; tetapi menurut madzhab Abu Hanifah, tidak ada perbedaan antara kedua istilah itu. • Aslamtu 'anhu, berarti aku meninggalkannya setelah aku terlibat di dalamnya; seperti di dalam kalimat kâna râ'iya ghanamin tsumma aslama. Jika kita merujuk beberapa kamus Al-Quran (8), kita menemukan makna asal aslama adalah patuh, pasrah, atau berserah diri. Beberapa kamus Al-Quran lainnya yang lebih klasik tidak secara eksplisit menyebutkan makna asal ini, tetapi menyebutkan tingkatan-tingkatan Islam, yang menunjukkan sebenarnya pada tingkatan kepasrahan. Al-Raghib al-Ishfahani (9) menulis: Di dalam syarak, Islam itu ada dua macam: (1) di bawah iman, yakni hanya mengakui dengan lidah saja. Dengan begitu, darahnya terpelihara; tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalamnya atau tidak. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya - Berkata orang Arab Badwi itu: Kami telah beriman. Katakan: Kamu belum beriman. Tetapi katakanlah: kami telah islam (Al-Hujurat 14); (2) di atas iman, bersamaan dengan pengakuan ada juga keyakinan dalam hati, pelaksanaan dalam tindakan, dan penrehan diri kepada Allah dalam segala hal yang telah Ia tetapkan dan tentukan. Seperti yang diingatkan dalam kisah Ibrahim: Ketika Tuhan berkata kepadanya: Islamlah (pasrahlah), Ibrahim berkata: Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam (Al-Baqarah 131); dan firman Allah: Sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan (Ali Imran 19) Al-Mushtafawi (10) menulis: Islam itu bertingkat-tingkat: Pertama, kepasrahan dalam amal lahiriah, gerakan badaniah, dan anggota-anggota jasmaniah seperti dalam Berkata orang Arab Badwi itu: Kami telah beriman. Katakan: Kamu belum beriman. Tetapi katakanlah: kami telah islam (Al-Hujurat 14). Kedua, menjadikan diri sesuai atau sejalan secara lahir dan batin, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam amalnya, niatnya, dan hatinya, seperti dalam Kamu tidak akan dapat memperdengarkan kepada mereka (petunjuk) kecuali kepada orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, maka mereka itulah yang berserah diri (al-Rum 53). Ketiga, menghilangkan kontradiksi sama sekali. Baik dalam amal, niat, maupun eksistensi zat. Pada tingkat ini tidak ada lagi eksistensi diri atau melihat diri. Seluruh wujudnya tenggelam dalam samudra wujud Yang Haq, fana dalam kebesaran cahaya Dia. Pada tingkat ini tercerabutlah bekas kontradiksi itu dari akarnya. Yang tampak adalah hakikat makna penyerahan diri dan penyesuaian diri kepada Al-Haq yang Mutlak- Sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan penuh (Ali Imran 19). 1. hal. 76 2. Murtadha al-Muthahhari, Al-‘Adl al-Ilahi. Qum: Jamaah al-Mudarrisin, 1405, hal 316. 3. Saya mendengar pendapat Soroush ini dalam suatu seminar di Universitas Utrecht, yang diselenggarakan oleh Institute for Islam and Modern Challenges, Mei 2000. Ie mengutip Thabathabai sebagai rujukannya. 4. Muchtar mengutip Rusydi ‘Ulyan, lihat hal 237 5. Hasan al-Mushtafawi. Al-Tahqiq fi kalimat Al-Quran al-Karim. Teheran: Pangah-e Tarjameh-o Nasyr-e Kitab, 1365; entri "Din". 6. Edward William Lane, Arabic-English Lexicon. “Din”. Beirut: Librarire du Liban, 1968. Saya tidak menguti nama-nama Kamus yang dirujuknya, untuk menyingkatkan tulisan. 7. Hal 234 8. Seperti Sayyed Ali Akbar Qurasyi, Qamus-e Quran. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1367, 3:301; Majma' al-Lughat al-'Arabiyyah, Mu'jam alfazh al-Quran al-Karim menunjukkan tiga arti aslama: berserah diri, mengikhlaskan (pengabdian), dan masuk islam. Ia juga mendefinsikan Islam sebagai "penyerahan lahir dan batin dan kadang-kadang (dalam Al-Quran) yang dimaksud adalah penyerahan lahir saja". . 9. Al-Raghib al-Ishfahani. Mufradat al-Quran. Beyrut: Dar al-Syamiyah, 1996, hal. 423. 10. Hasan al-Mushtafawi. Al-Tahqiq fi kalimat Al-Quran al-Karim. Teheran: Pangah-e Tarjameh-o Nasyr-e Kitab, 1365; 5: 220. Berdoa dengan Bisikan Cinta KH. Jalaluddin Rakhmat Doa adalah salah satu bentuk percakapan antara seorang hamba kepada Tuhan, antara seorang kekasih kepada yang dikasihinya. Kata doa berasal dari kata dâ'a, yad'u, du'âan atau da'watan; yang berarti undangan, seruan, atau panggilan.Ketika berdoa, kita memanggil Tuhan dan Tuhan pun memanggil kita. Pada hakikatnya berdoa adalah saling memanggil di antara sepasang kekasih. Adab Berdoa Dalam berdoa, kita harus memiliki adab-adab tertentu di hadapan Allah swt. Nabi Isa as pernah bersabda, "Janganlah kamu berkata bahwa ilmu itu ada di langit, sehingga yang naik langitlah yang akan mendapat ilmu itu; dan janganlah pula kamu berpikir ilmu itu ada di perut bumi, sehingga siapa saja yang masuk ke dalamnya akan memperoleh ilmu. Ilmu itu tersembunyi di dalam hati nuranimu. Beradaplah di hadapan Allah dengan adab kaum ruhaniyyin. Berakhlaklah di hadapan Allah dengan akhlak kaum shiddiqin. Kelak ilmu itu akan memancar dari hatimu. Allah akan memberikan ilmu itu kepadamu dan memenuhi hatimu dengannya..." Allah memerintahkan kita untuk senantiasa beradab di depan-Nya. Lalu, apa tanda beradab di hadapan Allah? Sebuah hadis Qudsi -yang membuat saya terkejut ketika membacanya- meriwayatkan Allah berfirman: Hamba-Ku, apakah memang perbuatan kamu, menyuruh Aku tetapi perhatianmu ke kanan dan ke kiri. Kemudian engkau berbicara dengan sesama hamba-Ku yang lain. Engkau mengerahkan seluruh perhatianmu kepadanya dan engkau tinggalkan Aku?" Adab kita ketika kita berdoa kepada Allah sama halnya dengan adab kita ketika berbicara dengan sesama manusia. Waktu kita bercakap-cakap dengan orang lain, kita selalu memusatkan perhatian kita kepadanya dan tidak melirik ke kiri dan ke kanan. Namun ketika kita bermunajat kepada Allah swt, perhatian tidak kita curahkan kepada-Nya, pikiran kita melayang ke pada makhluk-makhluk yang lain. Kita lupa kepada Sang Khaliq yang kita hadapi. Apakah termasuk perilaku yang indah bila kita menghadap Tuhan sementara perhatian kita ke sana kemari? Alkisah, Nabi Muhammad saw pernah keluar rumah untuk meninjau ternak dan gembalanya. Seorang gembala di tempat itu tengah melepaskan bajunya. Begitu ia melihat Nabi datang, ia segera mengenakannya kembali. Nabi berkata kepadanya, "Teruskan saja perbuatannmu. Kami ahlulbait. Kami tidak akan mempekerjakan orang yang tidak beradab di hadapan Allah dan tidak malu atas kesendiriannya di hadapan Allah." Gembala itu hanya merasa malu bila ia berada di hadapan orang lain. Di hadapan Allah, ia tidak malu. Al-Quran memberikan contoh doa-doa yang beradab. Doa Ayyub as, misalnya. Ketika Ayyub ditimpa penderitaan karena penyakit yang tak kunjung terobati, ia berdoa, "Tuhanku, sungguh kesengsaraan telah menimpaku saat ini. Sementara Engkau Maha Pengasih dari segala yang mengasihi." Ketika dilanda derita, Ayyub as tidak berdoa dengan doa yang berisi perintah-perintahnya kepada Allah untuk diberikan kesembuhan. Karena adab dalam berdoa adalah tidak menggunakan kalimat-kalimat perintah di dalamnya. Tidak ada fi'il 'amr di situ. Yang selalu disebut-sebut dalam doa adalah nama Allah swt meskipun Allah yang menguji dengan penderitaan itu. Begitu pula dengan Ibrahim as. Ketika beliau sakit, Ibrahim tidak berdoa dengan permintaan: "Karena Engkau yang menimpakan sakit kepadaku, sembuhkanlah aku." Melainkan Ibrahim as berdoa, "Apabila aku sakit, Dialah Yang memberikan kesembuhan." Contoh lain dari doa yang beradab adalah doa Adam as yang amat kita kenal: "Tuhan kami, kami telah menzalimi drii kami sendiri. Sekiranya Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." Dalam doa itu, tak ada satu pun kalimat perintah. Di Indonesia, sering kita mendengar doa-doa resmi dalam berbagai acara, yang isinya rangkaian perintah kita kepada Tuhan. Maklum, biasanya yang berdoa adalah para pejabat di kantor sehingga dia menganggap Tuhan sebagai salah satu anak buahnya. Sebuah doa yang pernah saya dengar di sebuah institusi pemerintah berbunyi, "Tuhan, lunakkanlah hati para inspektur sehingga kota Bandung dapat memperoleh Parasamya Purnakarya Nugraha." Doa tersebut tidak salah, hanya kurang beradab. Adab lain dalam berdoa adalah dengan tidak meminta hal-hal yang sangat spesifik; tidak mendikte Tuhan bahwa itulah hal yang paling baik bagi kita. Misalnya kita dianjurkan tidak berdoa, "Tuhan, sembuhkanlah aku." Tetapi sebaiknya kita berdoa, "Ya Allah, duhai Sang Mahapenyembuh...." Lebih beradab lagi bila kita berdoa dengan hal-hal yang bersifat umum dan memasukkan ke dalam doa itu, bukan saja diri kita, tetapi juga kaum muslimin dan muslimat seluruhnya. Tingkatan Doa Doa dalam tingkatan paling rendah adalah doa-doa orang awam. Doa jenis ini ditandai dengan rangkaian perintah kepada Tuhan. Biasanya doa ini berisi permintaan kita agar diberi sesuatu, berisi harapan kita dan permohonan agar dilindungi dari hal-hal yang ditakuti. Tingkatan selanjutnya adalah doa yang berbunyi: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga dan berlindung kepada-Mu dari api neraka." Dalam doa ini, kita meminta kepada Tuhan agar diberi surga dan dijauhkan dari neraka. Pada tingkatan ini, kita mengharapkan pahala dan dilepaskan dari siksa; kita memohon keberuntungan dan dihindarkan dari malapetaka; kita menginginkan harta yang banyak dan dijauhkan dari kesengsaraan. Seluruh doa kita hanya berkisar di antara ganjaran dan hukuman. Lebih tinggi lagi tingkatannya adalah doa yang berbunyi, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan rida-Mu dari murka-Mu." Berbeda dengan doa sebelumnya, sang pendoa sudah tidak lagi memikirkan pemberian atau ancaman Tuhan, tetapi ia hanya memperdulikan keridaan dan kemurkaan Allah swt. Doa pada tingkatan berikutnya berisi pengakuan akan kehinaan dan kekecilan diri kita. Doa itu hanya berisi percakapan hamba kepada Tuhannya; yang menceritakan betapa lemahnya ia di hadapan kebesaran Tuhannya. Doa ini bersifat pengakuan dan pengaduan diri kita kepada Allah. Seperti doa Nabi Adam as: Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami. Sekiranya Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi. Doa-doa seperti itu sulit untuk diamini ketika dipanjatkan bersama-sama. Sebaliknya, doa yang berisi kalimat-kalimat perintah, amat mudah untuk kita amini. Karena doa yang isinya perintah hanya ditujukan untuk diri sendiri, sifatnya sangat egois. Doa itu misalnya: "Tuhanku, ampunilah aku, sayangi aku, tingkatkan derajatku, dan berilah rezeki kepadaku." Kalimat dalam doa itu semua berujung kepada kata "aku". Sekali lagi, doa itu tidak salah, tetapi doa itu merupakan doa dalam tingkatan yang paling rendah. Ketika kita mendengar doa yang berisi pengakuan akan kehinaan diri, kita sulit untuk mengamininya. Untuk doa seperti itu, klita tidak mengikuti dengan menyebutkan "Amin.", melainkan kita mengikuti doa itu dengan sepenuh hati dan menghayati setiap kata di dalamnya. Kita dianjurkan untuk mengadu kepada Allah swt; mengakui segala kenistaan kita di hadapan-Nya. "Tuhanku, kepada diri-Mu, aku adukan diri yang memerintahkan kejelekan, yang bergegas melakukan kesalahan, yang tenggelam dalam kemaksiatan pada-Mu, yang menjadikan aku orang celaka dan terhina...." Tingkatan doa yang paling tinggi adalah doa yang merupakan bisikan-bisikan cinta dari seorang kekasih kepada yang dikasihinya. Doa itu merupakan rayuan pencinta kepada Sang Tercinta agar Dia memelihara cinta-Nya. Munajat Imam Ali Zainal Abidin yang terangkum dalam Shahifah Sajjadiyah dipenuhi dengan seruan-seruan yang mengungkapkan cinta. Doa-doa itu senada dengan isi surat Majnun kepada Laila: "Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Aku tidak meminta apa-apa kecuali engkau mengenang bahwa di satu tempat ada seseorang yang sekiranya tubuhnya dicabik-cabik binatang buas, ia akan masih tetap menyebut namamu." Dalam ucapan itu, meskipun ada permintaan, tetapi disampaikan dengan cara yang amat halus; dengan cara yang penuh adab. Salah satu doa Imam Ali Zainal Abidin yang penuh dengan ungkapan cinta itu adalah sebagai berikut: Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku Pertemuan dengan-Mu kecintaanku Kepada-Mu kerinduanku Cinta-Mu tumpuanku Pada Kekasihku gelora rinduku Rida-Mu tujuanku Melihat-Mu keperluanku Mendampingi-Mu keinginanku Mendekat kepada-Mu puncak permohonanku. Rabiah Al-Adawiyah, seorang sufi besar, berdoa dengan doa yang amat terkenal. Dalam doa itu, Rabiah bertutur: "Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukkanlah aku ke dalam neraka itu dan besarkan tubuhku di dalamnya, sehingga tak ada tempat lagi di neraka bagi hamba-hamba-Mu yang lain. Namun kalau aku menyembah-Mu karena menginginkan surga-Mu, berikan surga itu kepada hamba-hamba-Mu yang lain. Bagiku, Engkau sudah cukup...." Doa indah dari Rabiah telah sampai pada tingkatan cinta. Karena doa itu telah menjelma menjadi bisikan cinta, orang merasa enak dalam memanjatkannya. Meskipun doa itu teramat panjang, karena kita tengah mengucapkan rayuan, kita akan tahan berlama-lama. Orang yang telah berdoa dengan tingkatan yang paling atas akan merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika ia berdoa dengan rangkaian doa-doa yang panjang. Syafa'at; Buah Cinta Ahlul Bait Nabi KH. Jalaluddin Rakhmat Dalam Al-Quran surat Al-Syura, Allah swt berfirman: Barangsiapa yang menginginkan keuntungan akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menginginkan keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia. Dan tidak ada baginya suatu bagian pun dari akhirat. Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih. Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat ketakutan karena kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan, sedang siksaan menimpa mereka. Dan orang-orang yang saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. Demikianlah karunia yang dengan itu Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada Al-Qurba." Siapa yang melakukan kebaikan (dengan mencintai keluarga Rasulullah saw), akan Kami tambahkan baginya kebaikan itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Pembalas kebaikan dengan kebaikan. Apakah mereka sudah berkata bahwa Muhammad ini sudah berbohong mengatasnamakan Allah (padahal hanya untuk kepentingan keluarganya). Kalau Allah kehendaki Dia dapat mengunci mati hatinya; dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Al-Quran). Sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala isi hati. (QS. Al-Syura 20-24) Dalam kitab tafsir Mîzân, mufassir Sayyid 'Allamah Thabathaba'i menerangkan ayat-ayat ini sebagai berikut: Ketika Allah menjelaskan bahwa Dia menurunkan Al-Kitab dengan kebenaran dan untuk menegakkan keadilan, Al-Quran menggambarkan adanya orang-orang yang tidak mau menerima kitab ini sebagai pedoman hidup mereka sehingga mereka berada dalam kesesatan. Setelah itu Allah menyuruh Rasulullah untuk menyampaikan kepada umatnya agar selain berpegang kepada Al-Kitab, mereka juga harus berpegang kepada kecintaan kecintaan keluarga Nabi saw. Dalam ayat 22 surat Al-Syura di atas, disebutkan bahwa orang-orang yang zalim akan ketakutan melihat amal kejahatan yang mereka lakukan. Menurut 'Allamah Thabathaba’i, inilah dalil yang menyatakan bahwa amal-amal yang kita lakukan di dunia akan dapat kita lihat di akhirat. Cinta Yang Mendatangkan Syafa'at Para ahli tafsir menerangkan satu konsep yang disebut dengan nama Berwujudnya Amal-Amal Kita. Konsep ini berarti bahwa amal-amal yang kita lakukan di dunia akan diberikan wujud oleh Allah swt sehingga dapat kita lihat di akhirat. Al-Quran menyebutkan hal itu dalam surat Al-Kahfi ayat 49: ...Mereka menemukan apa yang mereka amalkan itu hadir di depan mereka. Juga dalam surat Al-Zalzalah ayat 6: Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Sebuah hadis Nabi saw, yang diriwayatkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Al-Rűh, menceritakan apa yang akan terjadi ketika kita meninggal dunia. Waktu itu para sahabat sedang berada di sekitar pemakaman. Rasulullah saw datang menemui mereka. Lalu Rasulullah bercerita: Apabila seorang mukmin meninggal dunia, sejauh-jauh penglihatan akan terdapat para malaikat (yang menjemput jenazah mukmin itu). Para malaikat itu berbaris sementara malaikat maut duduk dekat kepala si Mukmin dan berkata, ”Hai ruh yang indah, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridaan-Nya.” Ruh itu keluar dari jasadnya dengan amat mudah seperti keluarnya tetesan air dari wadahnya. Malaikat maut mengambil ruh itu dan tidak melepaskan dari tangannya sekejap mata pun. Dari ruh itu keluar bau semerbak yang memenuhi seluruh alam malakut. Ketika ruh jenazah itu lewat, para malaikat bertanya, ”Siapakah ruh ini?” Malaikat maut menjawab, ”Inilah ruh Fulan bin Fulan.” Dibawalah ia ke langit untuk menghadap Allah swt dan diterima oleh Allah dengan segala keridaan-Nya. Kemudian ia dikembalikan lagi ke alam barzakh. Saat itu datang malaikat yang bertanya, "Siapa Tuhanmu dan siapa yang diutus untuk datang kepadamu?" Ia menjawab, "Tuhanku adalah Allah dan utusan yang datang kepadaku adalah Rasulullah." Malaikat melanjutkan pertanyaannya, "Dari mana kau tahu tentang Rasulullah?" Ia menjawab, "Aku mengetahuinya dari Al-Kitab, aku beriman dan mencintainya." Mendengar jawab hamba Allah yang saleh itu terdengarlah suara keras dari langit. Rasulullah melanjutkan ceritanya: Namun apabila seorang kafir atau ahli maksiat meninggal dunia, turunlah malaikat ke bumi dengan wajah yang menakutkan. Malaikat maut duduk di samping kepalanya dan berkata, ”Hai jiwa yang kotor, keluarlah kamu menuju kemurkaan Allah dan azab-Nya.” Betapa susah ruh itu keluar dari jasadnya, sampai-sampai seluruh tubuhnya seakan-akan pecah berkeping-keping. Ketika malaikat memegang ruh orang kafir itu, bau menyengat seperti bangkai keluar dari ruh itu memenuhi seluruh alam malakut. Para malaikat bertanya, "Siapakah ruh yang busuk itu?" Disebutlah ia dengan nama yang paling jelek yang ia peroleh di dunia ini. Ia dibawa ke langit tetapi pintu-pintu langit tertutup rapat baginya. Jenazahnya dilemparkan ke bumi. Ketika malaikat mengajukan beberapa pertanyaab kepadanya, ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu dengan baik. Maka disempitkanlah kuburannya sesempit-sempitnya. Setelah itu datanglah makhluk yang wajahnya sangat menakutkan dengan bau yang sangat menjijikkan. Ruh kafir itu bertanya, "Siapakah engkau?" Makhluk itu menjawab, ”Akulah amal burukmu dan aku akan menemanimu sejak barzakh sampai mahsyar nanti.” Selain hadis Nabi di atas, sebuah kisah sufi juga menceritakan tentang berwujudnya amal saleh dan amal buruk di akhirat kelak. Alkisah, seorang tokoh sufi bernama Malik bin Dinar pada mulanya adalah seorang ahli maksiat. Waktu itu pekerjaannya setiap hari ialah mabuk minuman keras. Suatu saat ia ditanya oleh seseorang, ”Apa yang menyebabkan kamu kembali kepada jalan yang benar?” Malik bin Dinar menjawab dengan cerita, ”Dahulu aku mempunyai anak perempuan yang amat aku sayangi. Setiap hari pekerjaanku meminum arak. Dan setiap saat aku hendak meminum arak, tangan anakku selalu menepiskan minuman itu; seolah-olah ia melarang aku untuk meminumnya. Sampai suatu saat anakku meninggal dunia. "Aku berduka luar biasa. Dalam keadaan duka aku tertidur dan bermimpi seakan-akan aku berada di padang Mahsyar. Aku seperti berada di tengah-tengah orang yang kebingungan. Dalam keadaan bingung itu, aku melihat sosok seekor ular yang sangat besar. Ular itu bergerak dan mengejarku. Aku lari menghindar. Di tengah jalan, aku berjumpa dengan seorang tua yang berwajah amat jernih. Aku berhenti di samping orang tua itu dan meminta kepadanya perlindungan. "Orang tua itu jatuh iba kepadaku. Sambil menangis ia berkata, 'Aku ingin sekali menolongmu tetapi aku terlalu lemah.' Karena rasa takut yang mencekam segera aku pergi dari sisi orang tua itu dan sampailah aku pada tepian neraka jahanam. Hampir saja aku loncat ke dalamnya karena ketakutan. Tetapi saat itu aku mendengar suara, Tempatmu bukan di sana. Dalam keadaan lemah aku berlari mendekati orang tua tadi untuk meminta pertolongannya lagi, tapi ia hanya menjawab, 'Aku tak bisa menolongmu karena aku terlalu lemah. Berangkatlah ke bukit Amanah, mungkin di sana ada titipan buatmu.' "Aku berangkat menuju tempat itu, di sana aku bertemu dengan banyak anak kecil yang berwajah sangat indah. Tiba-tiba aku melihat anakku sendiri, ia mendekatiku dan memegang tanganku seraya berkata, 'Inilah bapakku.' Lalu dengan tangannya yang lain dia mengusir ular besar itu. "Kemudian anak itu berkata, ’Apakah belum datang kepada orang beriman untuk takut kepada Allah?’ Aku bertanya kepadanya, ’Apakah kamu bisa membaca Al-Quran?’ Anakku menjawab, ’Pengetahuanku tentang Al-Quran di sini lebih baik daripada pengetahuan bapak.’ Aku menanyakan padanya perihal orang tua yang berwajah jernih. Ia menjawab, ’Dia adalah amal saleh yang setiap hari bapak lakukan. Karena amal saleh bapak sedikit, amal itu menjadi lemah dan tidak sanggup membantu bapak.’ Aku bertanya lagi, ‘Lalu siapakah ular itu?’ Anakku menjawab, ’Itulah maksiat yang setiap hari bapak perkuat tenaganya karena dosa yang bapak lakukan.’ "Sejak itu, kalau aku berbuat maksiat aku selalu ingat bahwa hal itu akan memperkuat ular berbisa yang menakutkan. Dan setiap kali aku lelah dalam beramal saleh, aku ingat bahwa hal itu akan memperlemah amal salehku.” Cerita Malik bin Dinar itu sesuai dengan hadis yang menunjukkan bahwa amal-amal kita akan hadir di hadapan kita. Percayalah, kita akan di temani dua makhluk, makhluk yang baik dan buruk. Keduanya akan bertarung di alam barzakh. Kalau makhluk yang baik itu menang, terusirlah makhluk yang buruk dan kita akan ditemani di alam barzakh oleh makhluk yang baik. Sebaliknya, amal jelek pun bisa mengusir amal yang baik. Kita semua percaya bahwa amal saleh yang kita lakukan jauh lebih sedikit daripada amal salah yang sering kita perbuat. Oleh sebab itu, kita bisa menduga bahwa di alam barzakh nanti yang paling banyak menemani kita adalah amal buruk kita. Malang betul kita semua, bila di alam barzakh itu kita hanya mengandalkan amal saleh yang kita lakukan. Oleh karena itu, karena kasih-Nya kepada kita, Allah swt memberi wewenang kepada Rasulullah saw untuk memberi syafa'at. Alangkah bahagianya kita di alam barzakh nanti ketika makhluk yang menakutkan berdesakan mengelilingi kita dan amal baik sudah terusir dari kita, lalu datanglah syafa'at Rasulullah saw. Dan makhluk jelek itu pun tersingkir sehingga kita hanya ditemani oleh amal saleh kita sampai hari akhir. Tidak ada kebahagiaan yang paling besar selain memperoleh syafa'at Rasulullah saw. Lalu, kepada siapakah syafa'at Rasulullah itu diberikan? Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ”Syafa'atku aku khususkan kepada dia yang mencintai keluargaku diantara umatku.” Mudah-mudahan kita memperoleh syafaat Rasulullah saw dengan wasilah kecintaan kita kepada keluarganya. (lihat kitab Tarikh Bakdad al-Khatib Al-Baghdadi juz II). Siapa saja keluarga Nabi saw yang harus kita cintai? Al-Zamakhsyari meriwayatkan sebuah hadis tentang hal ini; ketika Rasulullah saw membaca ayat, Aku tidak meminta upah darimu kecuali kecintaan kepada Al-Qurba. Para sahabat bertanya, "Ya Rasulallah, siapa Al-Qurba yang harus kita cintai itu? Rasulullah bersabda, ”Ali, Fathimah, dan kedua anaknya.” Orang tua kita terdahulu tahu bahwa kecintaan kepada Ali, Fathimah, dan kedua putranya bisa memadamkan bencana; terutama bencana di alam kubur. Mereka juga percaya bahwa hal itu bisa memadamkan bencana yang terjadi pada saat sekarang. Oleh karena itu, kalau ada bala bencana di sebuah kampung, mereka sering membaca syair: Lî khamsatun uthfi bihâ haral wabâ il khâthimah Al-Musthafâ wal Murtadhâ wabnahumâ wal Fâthimah Aku persembahkan yang lima kepada Allah Untuk padamkan panasnya bencana yang mengerikan Yaitu Al-Musthafa (Rasulullah saw), Al-Murtadha (Sayidina Ali), kedua putranya (Hasan dan Husain), serta Fathimah Al-Fakhrurrazi, dalam kitabnya Mafâtihul Ghaib, menyebutkan,”Sudah teguhlah dalil bahwa yang empat orang itu adalah keluarga Nabi saw. Dan apabila sudah teguh dalil itu, sudah pastilah mereka yang dikhususkan untuk kita muliakan dengan kemuliaan yang lebih dari manusia yang biasa." Ada beberapa dalil mengapa kita harus mencintai ahlul bait Nabi. Pertama, adalah dalil ayat mawaddah lil qurbâ di atas (QS. Al-Syura:23). Kedua, tidak diragukan lagi bahwa Nabi saw sangat mencintai keluarganya. Rasulullah saw bersabda, "Fathimah adalah belahan jiwaku, sebagian dari diriku, siapa yang menyakiti Fathimah, ia menyakitiku.” Rasulullah juga mencintai Ali dan kedua cucunya; Hasan dan Husain. Karena sudah teguh keadaannya, wajiblah bagi umatnya untuk meniru Rasulullah saw. Artinya, karena Rasulullah mencintai mereka, wajiblah kita mencintai mereka. Allah berfirman, Katakanlah: Hai manusia sesunguhnya aku aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya. Dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk.(QS. Al-Araf: 158 ) Ketiga, dalam tasyahud, ketika salat, kita harus membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Hal ini merupakan suatu kehormatan yang tidak diberikan selain kepada keluarga Nabi Muhammad saw. Semuanya itu, menurut Al-Fakhrurrazi, menunjukkan bahwa kecintaan kepada Muhammad dan keluiarganya adalah sesuatu yang wajib bagi kita semua. Al-Fakhrurrazi mengutip ucapan Imam Syafi’i, ”Jika rafidhi itu berarti mencintai keluarga Muhammad, maka hendaklah seluruh jin dan manusia menyaksikan bahwa aku ini adalah rafidhi.” Hadis tentang Buah Cinta Kepada Ahlul Bait Bentuk kecintaan kepada Nabi saw dan keluarganya diantaranya diwujudkan dengan membaca shalawat kepadanya. Berikut hadis tentang fadhilah shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya. Seseorang bertanya kepada Aba Abdillah as tentang firman Allah swt, Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 56). Aba Abdillah as berkata, ”Shalawat dari Allah swt kepada Nabi adalah rahmat-Nya, dari malaikat adalah pensuciannya, dan dari manusia adalah doanya.” Orang itu lalu bertanya lagi, ”Bagaimana kami mengucapkan salam penghormatan kepada Nabi dan keluarganya?” Aba Abdillah berkata, ”Katakanlah: ‘Shalawâtullâhi wa shalawâtu malâ’ikatihî wa an biyâihî wa rasűlihî wa jamî’i khalqihî ’ala Muhammadin wa âli Muhammad wasallâmu ‘alaihi wa âlihi wa rahmatulâhi wa barakâtuh.’” Orang itu bertanya lagi, "Apa balasan orang yang membacakan shalawat kepada Nabi saw?“ Imam yang mulia menjawab, "Dikeluarkan dari dosa-dosanya, demi Allah, sama seperti ketika ibunya melahirkan dia.” Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, ”Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sepuluh kali, Allah akan mengirimkan rahmat dan para malaikat akan mengucapkan doa kepadanya seratus kali.” Dalam hadis lain Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, "Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya seratus kali, Allah akan kiirimkan kesejahteraan kepadanya, para malaikat akan mendoakannya seribu kali. Bukankah kamu mendengar perintah Allah swt, Ialah Allah yang mengirimkan rahmat-Nya kepada kamu dan para malaikat-Nya untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya, dan dia sangat penyayang kepada kaum mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 43). Masih dari Imam Ja’far as, ”Semua kata yang dibacakan orang untuk menyeru Allah swt tertutup dari langit, sampai dia membaca shalawat kepada Muhammmad dan keluarganya. Nanti pada hari kiamat, tidak ada yang lebih berat dalam timbangan selain shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.” Imam Ali Ridha as berkata, ”Barangsiapa yang tidak mampu menghapuskan seluruh dosanya, perbanyaklah bacaan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, karena itu akan menghapuskan dosa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Nabi saw pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.” Itulah fadhilah membaca shalawat. Shalawat adalah ungkapan kecintaan kita kepada Rasulullah dan keluarganya. Kalau orang banyak membaca shalawat, insya Allah, kecintaan kepada Rasulullah akan bertambah. Dalam teori komunikasi, ada teori yang disebut dengan mere exposure theory; teori terpaan semata-mata. Sebuah penelitian ilmu komunikasi menunjukkan hal ini: Suatu saat kepada mahasiswa diperlihatkan beberapa transparansi foto. Ada beberapa foto yang sering tampak dan ada beberapa foto yang jarang tampak. Foto itu ada yang ditampakkan sepuluh kali, delapan kali, dan lima kali. Setelah itu kepada mahasiswa diberikan seluruh foto yang tadi diperlihatkan di layar. Ada hal yang menarik dalam kejadian itu; mereka diperintah untuk memilih foto mana yang paling mereka sukai. Ternyata mereka menyukai foto yang paling sering muncul. Hal ini bisa dianalogikan, jika ada orang yang sering muncul dihadapan kita, lama-kelamaan kita akan menyukai orang tersebut. Begitu pula dengan shalawat. Dengan seringnya kita membaca shalawat, kita selalu menghadirkan nama Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya akan tumbuh dengan sendirinya kecintaan kepada orang-orang yang sering kita sebut. Hal ini juga dikenal dalam teknik iklan atau propaganda. Agar sesuatu disukai orang, lakukanlah iklan tentang sesuatu itu berkali-kali. Seorang propagandis Hitler pernah berkata, "Kebohongan pun akan dipercaya menjadi keimanan kalau kita mengulanginya terus menerus. Kebenaran adalah kebohongan yang dikalikan seribu.” Kalau kebohongan saja bisa menjadi kebenaran, apa lagi kata-kata suci seperti shalawat yang sering kita bacakan. Shalawat, insya Allah, akan menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Lewat kecintaan itulah kita akan meniru perilaku orang yang kita cintai. Kecintaan kita kepada keluarga Rasulullah saw merupakan ungkapan cinta kepada Rasulullah juga. Al-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kasyaf, menulis: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati syahid. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, dia mati dengan ampunan-Nya. Ketahuilah barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Nabi saw, dia mati sebagai orang mukmin yang sempurna imannya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Nabi saw, dia mati dalam keadaan Malaikat Maut akan menggembirakannya dengan surga, kemudian Munkar dan Nakir akan menghiburnya. "Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia akan diiringkan masuk ke surga seperti diiringkannya pengantin ke rumah suaminya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan bukakan pintu surga pada kuburannya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan jadikan kuburannya tempat berkunjung Malaikat Rahmat. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. “Dan barangsiapa yang mati dalam kebencian kepada keluarga Muhammad saw, dia akan datang pada hari kiamat dengan tulisan pada kedua matanya; Inilah orang yang putus asa dari rahmat Allah.“ Na'udzu billâhi min dzalik. Kita berlindung kepada Allah dari hal seperti itu. "Agama Itu Nashîhah...." KH. Jalaluddin Rakhmat Suatu malam, menjelang waktu subuh, Rasulullah saw bermaksud untuk wudhu. "Apakah ada air untuk wudhu?" beliau bertanya kepada para sahabatnya. Ternyata tak ada seorang pun yang memiliki air. Yang ada hanyalah kantong kulit yang dibawahnya masih tersisa tetesan-tetesan air. Kantong itu pun dibawa ke hadapan Rasulullah. Beliau lalu memasukkan jari jemarinya yang mulia ke dalam kantong itu. Ketika Rasulullah mengeluarkan tangannya, terpancarlah dengan deras air dari sela-sela jarinya. Para sahabat lalu segera berwudhu dengan air suci itu. Abdullah bin Mas'ud bahkan meminum air itu. Usai salat subuh, Rasulullah duduk menghadapi para sahabatnya. Beliau bertanya, "Tahukah kalian, siapa yang paling menakjubkan imannya?" Para sahabat menjawab, "Para malaikat." "Bagaimana para malaikat tidak beriman," ucap Rasulullah, "mereka adalah pelaksana-pelaksana perintah Allah. Pekerjaan mereka adalah melaksanakan amanah-Nya." "Kalau begitu, para Nabi, ya Rasulallah," berkata para sahabat. "Bagaimana para nabi tidak beriman; mereka menerima wahyu dari Allah," jawab Rasulullah. "Kalau begitu, kami; para sahabatmu," kata para sahabat. "Bagaimana kalian tidak beriman; kalian baru saja menyaksikan apa yang kalian saksikan," Rasulullah merujuk kepada mukjizat yang baru saja terjadi. "Lalu, siapa yang paling menakjubkan imannya itu, ya Rasulallah?" para sahabat bertanya. Rasulullah menjawab, "Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku; tidak pernah melihatku. Tapi ketika mereka menemukan Al-Kitab terbuka di hadapan, mereka lalu mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa; sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka akan menjual seluruh hartanya." Hadis di atas dimuat dalam Tafsir Al-Dűr Al-Mantsűr, karya mufasir Jalaluddin Al-Syuyuti. Mudah-mudahan kita semua termasuk dalam kelompok ini; mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah tetapi mencintainya dengan sepenuh hati. Masih dalam kitab ini, diriwayatkan bahwa suatu saat Rasulullah saw bersabda, "Berbahagialah mereka, para saudaraku(ikhwâni)." Para sahabat bertanya, "Apakah yang kau maksud dengan ikhwâni itu adalah kami, ya Rasulallah?" "Tidak," jawab Rasulullah, "kalian adalah para sahabatku. Yang aku maksud dengan ikhwâni adalah mereka yang datang sesudahku." Bayangkan, Rasulullah menyebut orang yang sezaman dengannya sebagai para sahabat tapi menyebut orang yang datang sepeninggalnya dengan panggilan yang sangat mesra, ikhwâni, para saudaraku. Merekalah kaum yang datang sesudah beliau dan tidak pernah berjumpa dengannya tetapi mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa dan raga. Kecintaan terhadap Rasulullah tidak saja merupakan kewajiban -sebagaimana sering disebut dalam banyak hadis- tapi juga merupakan syarat mutlak atau conditio sine quanon; syarat yang, tidak boleh tidak, mesti ada apabila kita ingin menjalankan syariat Islam. Tidak mungkin orang bisa menjalankan sunnah Rasulullah dengan seluruh hatinya apabila ia tidak mencintainya. Dasar agama adalah cinta; salah satunya adalah cinta kepada Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis yang teramat populer, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, "Al-Dînu nashîhah." Ucapan Nabi ini seringkali diterjemahkan secara keliru ke dalam Bahasa Indonesa menjadi: Agama itu nasihat. Saya anggap keliru karena dalam hadis itu diceritakan setelah Rasulullah bersabda itu, para sahabat bertanya, "Kepada siapa nashîhah itu, ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab, "Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kepada seluruh kaum muslimin." Di situlah letak kekeliruan terjemahan itu. Bagaimana mungkin kita harus memberikan nasihat kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para imam? Dalam bahasa Arab, kata nashîhah selain berarti nasihat, juga berarti mengikhlaskan, memurnikan, atau membersihkan kecintaan seseorang. Orang yang memiliki kecintaan yang tulus disebut sebagai nâshih. Taubat yang keluar dari hati yang tulus disebut sebagai taubatan nashűha. Orang Arab menyebut madu yang murni sebagai 'asalun nâsh. Jadi, kata nashîhah berarti kecintaan yang tulus. Oleh karena itu, hadis di atas sebenarnya berarti, "Dasar agama itu adalah kecintaan yang tulus." Dasar yang pertama tentu saja adalah kecintaan yang tulus kepada Allah swt. Dalam hadis yang lain, Rasulullah membagi kaum muslimin ke dalam dua golongan. Satu golongan ia sebut dengan kaum nashâhah dan satu golongan lagi ia sebut dengan kaum ghasâsah. Nashâhah (bentuk jamak dari nâshih, red.) adalah golongan orang yang selalu menampakkan kecintaan yang tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para Imam, dan seluruh kaum muslimin. Adapun ghasâsah, menurut Rasulullah, adalah para pengkhianat yang tidak memiliki hati yang bersih. (lihat Al-Targhîb, II: 575) Masih dalam kitab yang sama diriwayatkan sabda Rasulullah saw yang menjelaskan hadis di atas: "Kaum mukmin itu satu sama lain saling mencintai walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Tetapi kaum yang durhaka itu satu sama lain ghasâsah (saling mengkhianati) sesama mereka walaupun tempat tinggal mereka berdekatan." Kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya adalah ikatan yang dapat mempersatukan seluruh mazhab. Al-Zamakhsyari, penulis kitab Tafsir Al-Kasyaf, yang menurut beberapa orang bermazhab muktazilah, menulis sebuah syair tentang ikhtilaf di kalangan kaum muslimin dan jalan keluar dari perpecahan itu: Banyak sekali keraguan dan pertentangan Masing-masing merasa di jalan yang benar Aku berpegang pada kalimat lâ ilâha ilallah Dan kecintaanku kepada Ahmad dan Ali Berbahagia anjing karena mencintai Ashabul Kahfi Bagaimana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi Al-Quran menceritakan seekor anjing yang memiliki karamah mampu tidur selama tiga ratus tahun. Keberuntungannya itu disebabkan karena kecintaan anjing itu kepada Ashabul Kahfi. Maka, bagaimana kita bisa celaka karena kecintaan kepada keluarga Nabi? Kecintaan terhadap keluarga Nabi disepakati oleh semua mazhab. Imam Syafii pun dikenal sebagai orang yang mencintai ahli bait Nabi. Imam Syafii pernah berkata, "Aku sangat heran bila aku sebut nama Ali Al-Murtadha dan Fathimah Al-Zahra, orang segera berdiri dan berteriak: Ini Rafidhi!" Imam Syafii lalu bersyair: Kalau yang disebut Rafidhi itu adalah mencintai keluarga Nabi Hendaknya menyaksikan seluruh jin dan manusia, bahwa aku ini Rafidhi Mencintai keluarga Nabi adalah bagian dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan: Katakan olehmu Muhammad: Aku tidak minta upah dalam mengajarkan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku. (QS. Al-Syura: 23). Mendengar ayat ini, para sahabat bertanya, "Lalu siapa keluarga yang wajib kami cintai itu?" Rasulullah saw menjawab, "Ali, Fathimah, dan kedua putranya." Hadis itu disebutkan dalam seluruh kitab tafsir dan disepakati oleh semua mazhab. Akan tetapi mengapa dalam perkembangannya orang dijauhkan dari ahlul bait? Salah satunya adalah alasan politis. Sepanjang sejarah Islam, kelompok ahlul bait adalah mereka yang tertindas secara politik. Kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi. Secara perlahan, ahlul bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan ahlul bait dihapuskan dari salawat kaum muslimin. Menurut saya, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu bila kita ingin mempersatukan kaum muslimin, persatukanlah mereka dari titik pertemuan ini; yaitu kecintaan kepada keluarga Nabi. Dalam penjelasan hadis "Agama itu nashîhah", selanjutnya disebutkan tentang kecintaan yang tulus atau nashîhah kita terhadap sesama kaum muslimin. Kecintaan kita kepada kaum muslimin dapat ditampakkan dalam usaha untuk menjaga kesatuan kaum muslimin. Lawan dari nashîhah adalah ghasâsah; mengkhianati kaum muslimin, berlaku tidak jujur, memfitnah mereka, dan bahkan mengkafirkan saudara-saudaranya. Hal ini termasuk kepada dosa besar. Oleh sebab itu kelompok ini dipisahkan oleh Rasulullah dari kaum mukmin dan disebut sebagai kelompok pengkhianat. Dalam hadis yang dapat kita baca dalam Hayâtush Shahâbah, terdapat riwayat sebagai berikut: Pada suatu saat, ketika Rasulullah saw berkumpul dengan para sahabatnya di Masjid, beliau berkata, "Sebentar lagi akan muncul seorang penghuni surga...." Tak lama kemudian masuk ke dalam masjid seorang lelaki dengan mengepit sandal di tangan kanannya. Dengan janggut yang masih basah oleh air wudhu, ia lalu salat. Keesokan harinya, Rasulullah menyebutkan hal yang sama dan lelaki yang sama kemudian masuk ke dalam masjid dan salat. Begitu pula keesokan harinya lagi. Tiga kali Rasulullah mengucapkan hal itu dan selalu lelaki yang itu pula muncul di masjid. Abdullah bin Amr bin Ash merasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang dilakukan oleh lelaki itu sehingga Nabi yang mulia menyebutnya sebagai penghuni surga. Abdullah lalu mengunjungi rumah lelaki itu dan berkata, "Aku bertengkar dengan ayahku. Aku tak bisa tinggal serumah dengannya sementara ini. Bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk beberapa malam?" pinta Abdullah. "Silahkan," lelaki itu membolehkan. Tinggallah Abdullah di rumahnya. Setiap malam ia mengawasi ibadah orang itu. "Tentulah ibadahnya sangat menakjubkan sampai Nabi menyebutnya penghuni surga," pikir Abdullah. Tapi ternyata tak ada yang istimewa dalam ibadahnya. Lelaki itu tak salat malam; ia baru bangun menjelang waktu subuh. Terkadang ia bangun di tengah malam, tapi itu hanya untuk menggeserkan tempat tidurnya, berzikir sebentar, lalu tidur lagi. Selama tiga malam, Abdullah tidak melihat sesuatu yang khusus yang dilakukan orang itu. Akhirnya Abdullah pamit. Sebelum pergi, Abdullah berkata terus terang, "Sebetulnya aku tak bertengkar dengan ayahku. Aku hanya ingin tahu apa yang menjadikanmu sangat istimewa sehingga Nabi menyebutmu penghuni surga?" Orang itu menjawab, "Aku adalah seperti yang engkau lihat. Memang itulah diriku." Abdullah pun akhirnya pergi. Tapi setelah agak jauh, lelaki itu memanggil kembali Abdullah. Ia menjelaskan, "Aku memang seperti yang engkau lihat. Hanya saja aku tak pernah tidur dengan menyimpan niat jelek terhadap sesama kaum muslimin." Abdullah berkata, "Justru itulah yang tidak mampu aku lakukan; tidak menyimpan rasa dendam, benci, dan dengki terhadap sesama kaum muslimin...." Mungkin kita semua seperti Abdullah bin Amr bin Ash, kita tak bisa membuang niat jelek kita terhadap sesama kaum muslimin. Boleh jadi kita mampu berlama-lama salat, mampu mengisi malam dengan zikir, tapi seringkali kita tidak mampu untuk menyingkirkan dendam di hati kita terhadap sesama kaum muslimin. Salah satu bentuk kecintaan kita terhadap kaum muslimin adalah dengan menghilangkan rasa benci kita terhadap mereka. Apa pun mazhab mereka, bagaimana pun mazhab mereka, seperti apa pun golongan mereka, mereka adalah saudara kita dalam Islam. Bila ada sebesar debu saja kedengkian kita terhadap kaum muslimin, berarti kita sudah melanggar ajaran al-dînu nashîhah. Agama itu kecintaan yang tulus. Konsep Din dan Islam; Eksklusif dan Inklusif (III) KH. Jalaluddin Rakhmat Tingkatan Islam dan Iman menurut Thabathabai Setelah Tuhan mengisahkan perjuangan Ibrahim as sebagai tauladan yang utama, contoh orang yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan; setelah Ibrahim dan Ismail melaksanakan perintah Tuhan untuk membangun kembali Ka’bah; setelah keduanya berdoa agar dijadikan orang-orang Islam, Tuhan memanggil Ibrahim. Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131) Bukankah Ibrahim sudah Islam, dengan mematuhi semua perintah Allah swt? Mengapa ia disuruh Islam lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini Thabathabai menulis tentang tingkatan keislaman dan keimanan. Saya mengutipnya agak lengkap di bawah ini: Orang-orang berbeda dalam tingkat kepasrahannya kepada aturan Tuhan. Mereka juga berbeda dalam tingkat keislamannya. Pertama, tingkat pertama Islam adalah menerima dan mematuhi perintah dan larangan dengan membaca dua kalimat syahadat, tidak jadi soal apakah iman sudah atau belum memasuki hatinya. Allah berfirman: Orang Arab dari dusun itu berkata: Kami beriman. Katakan, “Kamu tidak beriman. Tapi katakanlah: Kami Islam; karena iman belum masuk pada hati kamu.” (QS. Al-Hujurat; 14) Kedua, Islam tingkat ini diikuti dengan tingkat pertama iman yaitu penyerahan dan kepasrahan hati untuk menerima keyakinan yang benar secara terperinci dengan diikuti oleh amal-amal salih; walaupun sewaktu-waktu mungkin saja berbuat salah. Allah Ta’ala berfirman tentang sikap orang yang takwa: Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami dan mereka itu muslim. (QS. Al-Zukhruf; 69) Dan Ia berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara keseluruhan. (QS. Al-Baqarah; 208) Jelaslah Islam yang datang setelah iman ini bukanlah Islam pada tingkat yang pertama. Setelah Islam ini, datanglah tingkat kedua dari iman; yaitu keyakinan yang penuh kepada hakikat agama. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu-ragu dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang beriman tulus. (QS. Al-Hujurat; 15) Ia juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apakah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang a kan menyelamatkan kalian dari azab yang pedih. Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri kamu. (QS. Al-Shaf; 10-11). Di sini, kaum mukminin diberi petunjuk kepada iman yang bukan iman sebelumnya. Ketiga, tahap kedua iman itu membawa kita kepada Islam pada tingkat yang ketiga. Ketika jiwa sudah dipenuhi dengan iman tersebut di atas dan mulai berakhlak dengan akhlak berdasarkan iman itu, maka tunduklah kepadanya semua kekuatan hewani, yaitu semua kecenderungan ke arah dunia dan segala godaannya. Sekarang manusia menyembah Allah seakan-akan ia melihatnya dan jika ia tidak melihatnya sekalipun, ia meyakini bahwa Allah melihatnya. Di dalam batinnya dan dirinya yang paling dalam, tidak ada lagi apa pun yang tidak tunduk kepada perintah-Nya dan larangan-Nya atau kecewa kepada ketentuan-Nya. Allah berfirman: Maka demi Tuhanmu, tidak beriman mereka sampai mereka mengambil kamu sebagai pengutus untuk apa-apa yang mereka pertikaikan di antara mereka. Lalu mereka tidak dapatkan dalam diri mereka keberatan atas apa-apa yang engkau tentukan dan pasrah dengan kepasrahan yang sebenarnya. (QS. Al-Nisa; 65) Setelah tingkat keislaman ini, sampailah orang kepada tingkat iman berikutnya. Allah berfirman: Berbahagialah orang-orang yang beriman, sampai kepada firmannya. Dan orang-orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak berguna. (QS. Al-Mukminun; 1-3) Begitu juga firman Allah: Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131) Akhlak-akhlak yang mulia seperti rida, kepasrahan, keteguhan hati, kesabaran dalam menaati perintah Allah, kesempurnaan zuhud dan wara’, cinta dan benci karena Allah termasuk akhlak orang yang mencapai tingkat ini. Keempat, tingkat Islam yang keempat datang setelah tingkat iman yang ketiga. Pada tingkat iman sebelumnya, hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan budak dengan tuannya. Karena ia melakukan sebenar-benarnya pengabdian dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuannya, menerima apa yang dicintainya dan diridainya. Memang tidak bisa dibandingkan antara kepemilikan dan kekuasaan seorang tuan atas budaknya dengan kepemilikan dan kekuasaan Tuhan semesta alam di atas makhluk-makhluk-Nya. Kepemilikan dia adalah kepemilikan yang sebenarnya. Selain Tuhan, tidak ada yang memiliki wujud yang mandiri secara zat, sifat, maupun perbuatan. Kadang-kadang setelah manusia sampai pada tingkat kepasrahan yang ketiga ini, bantuan Ilahi menariknya dan menampakkan kepadanya hakikat yang sebenarnya, bahwa seluruh kerajaan kepunyaan Allah semata-mata. Tidak sesuatu pun dapat memiliki sesuatu kecuali karena Dia. Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Pengungkapan realitas seperti ini adalah anugerah Ilahi yang Tuhan berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Orang tidak akan sampai kepada tingkat ini semata-mata karena kemauannya. Mungkin inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang digambarkan dengan doa Ibrahim dan Ismail: Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang pasrah kepadamu dan jadikan juga keturunan kami orang yang pasrah kepadamu. Dan tunjukkan kepada kami, cara pengabdian kami kepada-Mu. (QS. Al-Baqarah; 128) Bandingkanlah ini dengan ayat: Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131). Ayat ini secara lahiriah menunjukkan perintah tasyri’i bukan takwini; perintah legislatif bukan perintah kreatif. Ibrahim sudah Islam dengan pilihannya sendiri, memenuhi panggilan Tuhannya dan menjalankan perintahnya. Inilah perintah yang diterimanya pada awal hidupnya. Kemudian dalam ayat yang baru saja disebut, pada akhir hayatnya, Ibrahim dan anaknya Ismail berdoa memohonkan Islam dan agar ditunjuki cara pengabdian. Permohonan Ibrahim ini jelaslah bukan sesuatu yang sudah dimilikinya. Ia memohonkan sesuatu yang tidak berada di dalam kemampuannya. Pendeknya, Islam dalam doa Ibrahim dan Ismail adalah Islam pada tingkat yang keempat, dan yang paling tinggi. Tingkat Islam ini diikuti dengan tingkat iman yang keempat. Pada tingkat ini, seluruh keadaan dan perbuatannya dipenuhi oleh keadaan yang disebut di atas. Allah berfirman: Ketahuilah bahwa para kekasih Allah itu, tidak ada takut pada mereka dan tidaklah mereka berduka cita, orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa. (QS. Yunus; 42). Kaum mukminin yang disebutkan dalam ayat ini, sudah berada pada tingkat keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari Allah. Tidak ada suatu peristiwa pun terjadi tanpa seizin Allah, karena itu mereka tidak berduka cita karena hal yang dibenci menimpa mereka. Tidak juga takut karena ancaman bahaya yang menghadang mereka. Inilah iman yang datang setelah Allah melimpahkan anugerahnya. Renungkanlah. Penutup Marilah kita kembali pada pertanyaan awal kita: Apakah hanya Islam agama yang diterima Allah? Jawaban kita bisa “ya” dan “tidak”. Ya, bila yang kita maksud adalah Islam sebagai kepasrahan sepenuh hati kepada kebenaran, yang kita peroleh melalui proses pencarian yang tulus dan sungguh-sungguh. Tidak, bila yang dimaksud dengan Islam adalah institusi keagamaan seperti yang tercantum dalam kartu identitas kita. Bila pertanyaan ini kita sampaikan lebih spesifik: Apakah orang yang beragama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, Budha, akan diterima di sisi Allah? Jawabannya tergantung kepada ideologi yang Anda anut. Sebagai al-mutasyaddidun, Anda hanya akan mengatakan Islam saja yang diterima Allah. Sebagai al-mustanîrun, Anda akan berkata bahwa agama adalah jalan menuju Tuhan. Seperti dikatakan para sufi, jalan menuju Tuhan sebanyak nafas manusia. Mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang meliputi langit dan bumi. Ketika menjelaskan orang yang “spiritually intelligent”, Zohar dan Marshall menulis, “Sebagai orang Masehi, Muslim, Budha atau siapa saja yang cerdas secara spiritual, saya mencintai dan menghormati tradisi saya—tetapi saya mencintainya karena ia adalah salah satu di antara banyak bentuk untuk mengungkapkan potensialitas dari inti jiwa kita. Saya memiliki penghormatan yang mendalam dan setia pada tradisi-tradisi dan bentuk-bentuk keberagamaan lainnya.” Boleh jadi saya juga membayangkan diri saya mampu menghayati bentuk-bentuk keberagamaan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi, sufi abad ke-13: “Hatiku telah mampu menerima berbagai bentuk: padang gembala rusa atau biara pendeta Kristen, dan kuil berhala, Ka’bah tempat peziarah, dan Kitab Taurat dan Al-Qur’an, aku mengikuti agama cinta; ke mana pun unta cinta membawaku, ke situlah agamaku dan keimananku.” Kembali Menuju Pengobatan Sufi KH. Jalaluddin Rakhmat Orang yang sehat secara spiritual mengandung arti orang itu tidak lagi memiliki penyakit-penyakit hati. Biasanya, kesehatan spiritual ditandai dengan kedekatan kepada Tuhan dan kepribadian yang memancarkan sifat tenang, sabar, dan cinta yang besar kepada semua makhluk. Usaha manusia dalam mencari makna sehat tercermin dalam periode sejarah yang panjang. Pertama, masa ketika orang memberi perhatian penuh pada keberadaan jiwa (mind); dan mengesampingkan keberadaan materi (matter). Pada dekade ini, sakit atau sehatnya manusia ditentukan berdasarkan jiwanya. Otomatis pengobatan yang dilakukan pada saat itu adalah pengobatan yang berkenaan dengan jiwa manusia. Corak kehidupan spiritualisme ini dapat ditemukan dalam Budhisme atau Animisme (sekitar tahun 623 M). Periode kedua adalah masa saat orang melakukan pendekatan yang memberikan perhatian penuh pada keberadaan jiwa dan materi (mind and matter period). Kedua pendekatan ini berjalan dengan hukumnya masing-masing; sakit fisik disembuhkan oleh para dokter sementara sakit jiwa ditangani oleh para ahli psikolog dan psikiater. Corak pendekatan kesehatan seperti ini ditemukan pada Masa Renaisans (antara tahun 1400-1500 M). Periode ketiga adalah masa ketika orang menganggap jiwa dan fisik sama pentingnya dalam menentukan kesehatan manusia. Pendekatan seperti ini dimulai pada abad ke-19. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa jiwa dapat mempengaruhi fisik. Hal ini dibuktikan dengan suatu peristiwa di sebuah rumah sakit Amerika. Di rumah sakit itu terdapat pasien anak yang menderita kanker stadium lanjut. Suatu hari, dokter membisikkan ke telinga anak tersebut bahwa setiap malam dia akan didatangi ratusan pasukan makhluk angkasa luar untuk menggempur penyakit kankernya. Dalam tempo sebulan, keajaiban terjadi. Anak tersebut sembuh total. Kasus ini menunjukkan bahwa jiwa berperan dalam menyembuhkan penyakit fisik (soul over matter). Periode keempat adalah periode tumbuhnya pendekatan baru yang disebut dengan Holistic Medicine (Pengobatan Menyeluruh). Metode ini tidak saja meliputi penyembuhan secara fisik dan jiwa, namun menyertakan juga penyembuhan spiritual atau ruh yang telah lama ditinggalkan pada masa Budhisme dan Animisme. Ada beberapa alasan yang menyebabkan bangkitnya pengobatan spiritual. Pertama, karena ditemukannya banyak cacat dalam metode kedokteran modern. Pada sebuah seminar yang pernah saya ikuti, seorang dokter menyebutkan bahwa hanya 30 % dari pengobatan modern yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Sisanya hanyalah trial and error. Kedua, banyak pendekatan pengobatan modern dilakukan tanpa memahami penderitaan pasien. Contohnya dalam mengatasi halusinasi, sampai kini tidak banyak yang dapat dipahami mengenai penyakit ini. Ketiga, pengobatan modern telah banyak melakukan kesalahan. Di Amerika Serikat tercatat sekitar sepuluh ribu orang meninggal setiap tahun karena kesalahan petugas medis, baik berupa kesalahan diagnosa maupun kesalahan dari segi farmasi. Keempat, pengobatan modern membutuhkan biaya yang teramat tinggi. Ongkos rumah sakit saat ini sangat mahal. Di Indonesia, kata hospital diterjemahkan sebagai rumah sakit, artinya rumah untuk orang sakit (house of the sick). Seorang teman saya di Amerika menyanggah makna itu. Menurut dia, terjemahan yang pantas untuk kata hospital adalah “rumah miskin” atau house of the poor. Masuk rumah sakit selama tiga hari saja bisa membuat orang jatuh miskin. Alasan-alasan di atas memunculkan arus besar dalam masyarakat untuk mencari pengobatan alternatif. Meskipun demikian, pengobatan alternatif pun tak luput dari kelemahan, misalnya tidak adanya catatan yang lengkap tentang keberhasilan dan kegagalan pengobatan tersebut. Dalam perkembangan terakhir, pengobatan spiritual telah disambut oleh masyarakat Barat dengan kesadaran penuh. Adapun masyarakat Indonesia masih perlu banyak belajar pada masyarakat Barat, karena sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih percaya kepada takhayul dan belum sampai pada kesadaran spiritualisme. Padahal pada masa lalu bangsa Indonesia pernah mencapai era kesadaran spiritual yang tinggi seperti terlihat dalam sastra Melayu Klasik karya Hamzah Fansuri dan beragam tulisan oleh raja-raja di tanah Jawa. Kemandegan spiritualisme di Indonesia terjadi karena penindasan dan penjajahan yang terus menerus, feodalisme, dan tingkat pendidikan yang rendah. Sayangnya, semua faktor itu masih ada sampai saat ini. Agama adalah jalan untuk kembali pada kejayaan spiritualisme. Tasawuf mengenal urusan pengobatan atau penyembuhan kesehatan dengan istilah Pengobatan Sufi (Sufi Healing). Dalam Pengobatan Sufi, dibahas cara-cara mengobati penyakit hati seperti rakus, iri hati, dan kebencian pada orang lain. Penyakit-penyakit hati ini dapat mempengaruhi dan merusak kesehatan jiwa, dan selanjutnya kesehatan jiwa dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Pengobatan spiritual berujung pada pengobatan oleh diri sendiri, seperti halnya juga dalam kedokteran modern. Yang dapat menyembuhkan penyakit ruh adalah diri kita sendiri, bukan dokter atau pun ulama. Boleh jadi ulama atau dokter yang dianggap sebagai penyembuh pun bisa saja menderita sakit ruh. Yang paling utama dalam proses penyembuhan spiritual adalah kesadaran untuk berusaha menyembuhkan diri sendiri.