IMPERIUM Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). IMPERIUM Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2008 ROBERT HARRIS a eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com MR. Collection's mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt IMPERIUM by Robert Harris Copyright ? 2007 by Robert Harris 2006 Robert Harris has asserted his right under the Copyright, Designs and Patents Act, 1988 to be identified as the author of this work IMPERIUM Alih bahasa: Femmy Syahrani Editor: Siska Yuanita GM 402 08.032 Foto sampul: ? Araldo de Luca/CORBIS ? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Jakarta, Mei 2008 416 hlm; 23 cm ISBN-10: 979 - 22 - 3774 - 7 ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 3774 - 0 Dicetak oleh Percetakan Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan Untuk mengenang Audrey Harris 1920-2005 dan kepada Sam TIRO, M. Tullius, sekretaris Cicero. Dia bukan hanya juru tulis sang orator, dan asisten dalam kegiatan penulisannya; dia pun penulis dengan reputasi yang patut diperhitungkan, serta pencipta stenografi, yang memungkinkan ucapan pembicara publik dicatat secara lengkap dan benar, secepat apa pun ia berbicara. Setelah Cicero wafat, Tiro membeli peternakan di lingkungan Puteoli, dan ke sanalah dia pensiun, dan hidup, menurut Hieronymous, hingga usia seratus tahun. Asconius Pedianus (dalam Milon. 38) merujuk buku keempat tentang kehidupan Cicero karya Tiro. Dictionary of Greek and Roman Biography and Mythology, Jilid III, disunting oleh William L. Smith, London, 1851 "Innumerabilia tua sunt in me officia, domestica, forensia, urbana, provincialia, in re privata, in publica, in studiis, in litteris nostris..." "Sungguh tak terkira pengabdianmu kepadaku?di dalam dan luar rumah, di dalam dan luar Roma, dalam urusan pribadi dan umum, dalam kajian dan karya tulisku..." Cicero, surat kepada Tiro, 7 November 50 SM BAGIAN SATU SENATOR 79-70 SM "Urbem, urbem, mi Rufe, cole et in ista luce viva!" Roma! Berdiamlah di Roma, kawanku yang baik, dan hiduplah dalam cahayanya!" Cicero, surat kepada Caelius, 26 Juni 50 SM a I NAMAKU Tiro. Selama 36 tahun aku bekerja sebagai sekretaris kepercayaan negarawan Romawi, Cicero. Pada mulanya tugas ini terasa menggairahkan, lalu mencengangkan, kemudian melelahkan, dan akhirnya sangat berbahaya. Pada tahun-tahun itu, kukira dia lebih lama melewatkan waktu denganku daripada dengan siapa pun, termasuk keluarganya sendiri. Aku menyaksikan rapat pribadinya dan mengantarkan pesan rahasianya. Aku menuliskan pidato, surat, dan karya tulisnya, bahkan puisinya?begitu deras arus kata-katanya, sehingga aku harus menciptakan sesuatu yang umum disebut stenografi untuk mengatasi banjir kata-kata tersebut, sistem yang kini masih digunakan untuk mencatat perdebatan senat, dan untuk itu baru-baru ini aku diberi uang pensiun yang lumayan. Uang ini, bersama sedikit warisan dan kebaikan hati beberapa teman, sudah memadai untuk memenuhi kebutuhanku pada masa pensiun ini. Aku tidak perlu banyak. Orang lanjut usia dapat hidup dengan makan udara, dan aku sudah sangat tua?hampir seratus tahun, atau demikianlah aku diberitahu. Sepanjang beberapa dasawarsa setelah kematiannya, aku sering ditanya, biasanya dengan berbisik-bisik, seperti apa Cicero sebenarnya, tetapi aku selalu berdiam diri. Bagaimana aku tahu siapa yang mata-mata pemerintah dan siapa yang bukan? Setiap saat bisa saja aku dibinasakan. Namun, karena hidupku sudah 13 a eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's mendekati ajal, dan karena aku tidak takut pada apa pun lagi? siksa pun tidak, karena aku tidak akan bertahan sedetik pun di tangan algojo atau pembantunya?kuputuskan untuk mengajukan karya ini sebagai jawabanku. Aku akan mendasarkan tulisan ini pada ingatanku, dan pada dokumen-dokumen yang dipercayakan kepadaku. Karena sisa waktuku tinggal sedikit, aku berniat menuliskannya dengan cepat, menggunakan sistem stenoku, pada beberapa puluh gulung kecil kertas terbaik?jenis Hieratica tentu saja?yang telah lama kukumpulkan untuk tujuan ini. Sebelumnya aku mohon maaf atas semua kesalahan dan ketidakpantasan gaya menulisku. Aku juga berdoa kepada dewa-dewa agar aku sempat mencapai akhir cerita ini sebelum ajal menjemputku. Kata-kata terakhir Cicero kepadaku adalah permintaan agar aku menyampaikan kebenaran tentang dirinya, dan inilah yang akan kuupayakan. Jika dia tidak senantiasa tampil sebagai simbol budi pekerti, biarlah. Kekuasaan memberikan banyak kemewahan bagi manusia, tetapi dua tangan yang bersih jarang termasuk di dalamnya. Dan tentang kekuasaan serta dirinyalah aku akan berdendang. Yang kumaksud adalah kekuasaan politis resmi?yang dalam bahasa Latin dikenal sebagai imperium?kekuasaan atas hidup dan mati, sebagaimana dimandatkan oleh negara kepada seseorang. Ratusan orang mengincar kekuasaan tersebut, tetapi Cicero adalah sosok unik dalam sejarah republik ini, dalam arti dia mengejarnya tanpa bantuan sumber daya apa pun selain bakatnya sendiri. Tidak seperti Metellus atau Hortensius, dia bukan berasal dari keluarga aristokrat yang agung, dengan piutang budi politik turun-temurun selama beberapa generasi yang dapat ditagih pada saat pemilu. Dia tidak memiliki armada perang perkasa yang mendukung pencalonannya, seperti Pompeius atau Caesar. Dia tidak memiliki harta berlimpah seperti Crassus untuk melicinkan jalan. Yang ia miliki hanyalah suaranya?dan dengan kekuatan tekad semata, dia mengubahnya menjadi suara paling termasyhur di dunia. 14 * * * Usiaku 24 tahun ketika aku mulai mengabdi kepadanya. Usianya 27 tahun. Aku budak rumah, yang dilahirkan di tanah keluarga di perbukitan dekat Arpinum, dan belum pernah melihat Roma. Dia pengacara muda, yang menderita kelelahan saraf, dan sedang berjuang mengatasi cacat alami yang besar. Pasti tak banyak orang yang bersedia bertaruh pada keberhasilan kami. Suara Cicero saat itu belum menjadi alat yang menggentarkan seperti di kemudian hari, hanya suara serak yang sesekali cenderung gagap. Aku yakin masalahnya adalah kepalanya disesaki begitu banyak kata, sehingga saat penuh tekanan, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, ibarat sepasang domba yang, ketika didesak kawanan dari belakang, berimpitan di gerbang karena berusaha melewatinya bersamaan. Yang pasti, kata-kata tersebut sering terlalu muluk untuk dapat dipahami para pendengarnya. "Si Cendekiawan", demikian julukan para pendengarnya yang gelisah, atau "si Yunani"?dan kedua sebutan ini tidak dimaksudkan sebagai pujian. Meskipun tak ada yang meragukan bakatnya dalam oratoria, perawakannya terlalu lemah untuk mengusung ambisinya, dan tekanan terhadap pita suaranya akibat beracara beberapa jam, sering kali di udara terbuka dan di segala musim, membuat suaranya serak atau habis hingga berhari- hari. Insomnia kronis dan lemah pencernaan menambah penderitaannya. Jujur saja, jika dia ingin terjun ke bidang politik, sebagaimana yang didambakannya dengan sangat, dia membutuhkan bantuan profesional. Oleh karena itu, dia memutuskan pergi ke luar Roma beberapa lama, merantau untuk menyegarkan pikiran sekaligus berkonsultasi dengan guru-guru retorika terkemuka, yang sebagian besar tinggal di Yunani dan Asia Kecil. Karena aku bertanggung jawab merawat perpustakaan kecil milik ayahnya, dan memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang Yunani, Cicero meminta izin ayahnya untuk meminjamku, 15 sebagaimana orang meminjam buku, dan membawaku ke Timur. Tugasku adalah mengatur perjalanan, menyewa kendaraan, membayar guru, dan seterusnya, dan setelah setahun, akan kembali ke majikan lamaku. Pada akhirnya, seperti buku yang amat bermanfaat, aku tidak pernah dikembalikan. Kami bertemu di pelabuhan Brundisium pada hari kami dijadwalkan bertolak. Ini terjadi pada masa pemerintahan konsul Servilius Vatia dan Claudius Pulcher, tahun ke-675 setelah berdirinya Roma. Cicero saat itu belum menjadi sosok mengesankan seperti di kemudian hari, yang raut wajahnya begitu terkenal sehingga dia tak mungkin melangkah di jalanan sepi tanpa dikenali orang. (Apa gerangan yang terjadi pada ribuan patung dada dan lukisan wajah itu, yang dulu menghiasi begitu banyak rumah pribadi dan gedung umum? Mungkinkah semuanya benar-benar dihancurkan dan dibakar?) Pemuda yang berdiri di dekat dermaga pada pagi musim semi itu bertubuh kurus dan bahunya melengkung, lehernya sangat jenjang, dan di situ jakun yang besar, sebesar kepalan bayi, naik-turun bilamana dia menelan. Matanya menonjol, kulitnya pucat, pipinya tirus: pendeknya, dia mencerminkan kondisi tubuh yang tidak sehat. Aku ingat saat itu berpikir, Yah, Tiro, sebaiknya kaunikmati perjalanan ini sepuasnya, karena pasti tak akan berlangsung lama. Pertama-tama kami ke Athena, tempat Cicero menjanjikan dirinya sendiri keasyikan mempelajari filsafat di Akademi. Aku membawakan tasnya ke ruang kuliah dan sedang berbalik hendak pergi saat dia memanggilku kembali dan bertanya aku hendak ke mana. "Duduk di tempat teduh bersama budak-budak lainnya," sahutku, "kecuali ada hal lain yang Tuan perlukan." "Tentu saja ada," katanya. "Aku ingin kau melakukan tugas yang sangat melelahkan. Aku ingin kau masuk ke sini bersamaku dan belajar sedikit filsafat, supaya aku punya teman bicara dalam perjalanan kita yang panjang." Jadi aku mengikutinya masuk, dan mendapat hak istimewa 16 mendengarkan Antiochus dari Ascalon sendiri menekankan tiga prinsip dasar Stoisisme?bahwa budi pekerti itu cukup untuk memperoleh kebahagiaan, bahwa budi pekerti sajalah yang baik, dan bahwa emosi tidak dapat dipercaya?tiga aturan sederhana yang, andai saja diikuti manusia, dapat memecahkan semua masalah di dunia. Semenjak itu, aku dan Cicero sering memperdebatkan persoalan-persoalan semacam itu, dan dalam wilayah akal ini, perbedaan status kami selalu terlupakan. Kami tinggal bersama Antiochus selama enam bulan, lalu melanjutkan perjalanan ke tujuan kami yang sesungguhnya. Aliran retorika yang dominan pada masa itu adalah apa yang disebut metode Asiatik. Dengan gaya rumit dan berbunga-bunga, penuh frase angkuh dan irama berdenting, penyampaiannya disertai dengan mengayun-ayunkan tubuh dan berjalan mondarmandir. Di Roma, pendukung utamanya adalah Quintus Hortensius Hortalus, yang secara umum dipandang sebagai orator terkemuka masa itu, dan gerakan kakinya yang gesit membuatnya dijuluki sang "Maestro Menari". Cicero, yang ingin mengetahui kiat-kiatnya, sengaja mencari semua mentor Hortensius: Menippus dari Stratonikeia, Dionysius dari Magnesia, Aeschylus dari Knidos, Xenocles dari Adramyttium?nama-nama itu sendiri sudah menggambarkan citarasa gaya mereka. Cicero menghabiskan berminggu-minggu bersama masing-masing orang tersebut, mempelajari metode mereka dengan sabar, sampai akhirnya dia merasa telah menguasainya. "Tiro," katanya kepadaku suatu malam, sambil makan sepiring sayuran rebus yang biasa, tanpa selera, "aku sudah bosan dengan penari-penari berminyak wangi ini. Aturlah perahu dari Loryma ke Rhodus. Kita akan mencoba car a lain, dan mendaftar di sekolah Apollonius Molon." Demikianlah, pada suatu pagi musim semi, selepas subuh, ketika selat Laut Carpathus tampak semulus dan seputih mutiara (mohon kalimat berbunga-bunga yang sesekali kutuliskan ini dimaklumi: aku terlalu banyak membaca puisi Yunani, sehingga tak 17 mampu lagi mempertahankan gaya Latin yang kaku), kami diseberangkan oleh para pendayung dari daratan utama ke pulau tua yang berbatu-batu itu. Di dermaga, sosok gempal Molon sendiri telah menanti kami. Molon seorang pengacara, berasal dari Alabanda, yang membela para terdakwa di pengadilan-pengadilan Romawi dengan cemerlang, dan pernah diundang untuk berbicara di depan senat dalam bahasa Yunani?kehormatan yang belum pernah terdengar? dan setelahnya dia pensiun ke Rhodus dan membuka sekolah retorika. Teori oratorianya, yang bertolak belakang dengan teori Asiatik, sederhana saja: jangan terlalu banyak bergerak, tegakkan kepala, jangan menyimpang dari inti pembicaraan, buat mereka tertawa, buat mereka menangis, dan setelah kau memperoleh simpati mereka, duduklah cepat-cepat?"Karena," kata Molon, "tak ada yang mengering lebih cepat daripada air mata." Ini jauh lebih sesuai dengan selera Cicero, dan dia berserah di bawah ajaran Molon sepenuhnya. Tindakan pertama Molon adalah memberinya semangkuk telur rebus dengan saus ikan bilis pada malam itu, dan, setelah Cicero menghabiskannya?dengan berkeluh-kesah, sungguh?dia melanjutkan dengan sepotong besar daging merah, dibakar di atas arang, ditemani secawan susu kambing. "Kau perlu daging, anak muda," kata Molon kepada Cicero, sambil menepuk dadanya sendiri yang bidang. "Buluh lemah tak mungkin bisa menyuarakan nada yang perkasa." Cicero melotot kepadanya, tetapi dengan patuh mengunyah sampai piringnya kosong, dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, dia tidur nyenyak. (Aku mengetahuinya, karena dulu aku tidur di lantai di luar pintu kamarnya.) Saat fajar menyingsing, latihan fisik dimulai. "Berbicara di dalam forum," kata Molon, "sebanding dengan berlomba lari. Perlu stamina dan kekuatan." Dia menonjok Cicero main-main, yang berseru "Uf!" keras-keras dan terhuyung ke belakang, hampir terjatuh. Molon menyuruhnya berdiri dengan kaki terpentang, 18 lutut kaku, lalu membungkuk dan menyentuh tanah di sebelah kedua kaki, dua puluh kali. Setelah itu, dia menyuruhnya berbaring tertelentang dengan tangan di belakang kepala dan berulang- ulang bangkit duduk tanpa menggeser kaki. Dia menyuruhnya berbaring menelungkup dan mengangkat tubuh hanya dengan kekuatan tangan, sekali lagi dua puluh kali, sekali lagi tanpa menekuk lutut. Itulah program hari pertama, dan setiap hari setelah itu latihan-latihan lain ditambahkan dan durasinya ditingkatkan. Cicero kembali tidur nyenyak, dan tak pernah ada lagi masalah dengan selera makannya. Untuk pelatihan pidato sesungguhnya, Molon mengajak muridnya yang bersemangat itu keluar dari halaman yang teduh, memasuki terik siang hari, dan menyuruhnya membacakan bacaan latihan Molon?biasanya adegan pengadilan atau solilokui dari Menander?sambil berjalan mendaki bukit terjal tanpa jeda. Dengan cara ini, sementara kadal berkeliaran di sekitar kaki dan hanya kerik jangkrik di pepohonan zaitun sebagai pendengar, Cicero memperkuat paru-paru dan mempelajari cara mengucapkan jumlah kata maksimum dalam satu tarikan napas. "Atur nada penyampaianmu di rentang tengah," Molon mengajarkan. "Di situlah letak kekuatan. Jangan terlalu tinggi atau terlalu rendah." Pada sore hari, untuk proyeksi bicara, Molon mengajaknya turun ke pantai berkerikil, mengatur jarak tujuh puluh meter (jangkauan maksimum suara manusia), dan menyuruhnya berpidato melawan debur dan desis lautan?Molon menjelaskan, itu suara yang paling mendekati gumam tiga ribu orang di ruang terbuka, atau dengung latar beberapa ratus orang yang bercakap-cakap dalam senat. Cicero harus terbiasa dengan gangguan seperti ini. "Tapi bagaimana dengan isi pidatoku?" tanya Cicero. "Aku harus menarik perhatian, terutama melalui kekuatan argumen, bukan?" Molon mengangkat bahu. "Aku tak peduli soal isi. Ingat Demosthenes: 'Hanya ada tiga hal yang penting dalam oratoria. Penyampaian, penyampaian, dan sekali lagi: penyampaian."' 19 "Dan gagapku?" "G-g-gagap juga t-t-tidak menggangguku," sahut Molon sambil menyeringai dan mengedipkan mata. "Sungguh, kegagapan malah menambah daya tarik dan kesan jujur yang menguntungkan. Demosthenes sendiri sedikit cadel. Pendengar merasa akrab dengan kekurangan seperti ini. Yang membosankan hanyalah kesempurnaan. Nah, mundurlah di sepanjang pantai ini dan usahakan agar suaramu tetap terdengar olehku." Demikianlah, sejak sangat dini, aku mendapatkan hak istimewa melihat kiat-kiat oratoria diturunkan dari seorang pakar kepada pakar lain. "Jangan memiringkan leher secara feminin, jangan memain-mainkan jari. Jangan menggerakkan bahu. Kalau harus menggunakan jari untuk berisyarat, coba tekuk jari tengah dan tahan dengan jempol, luruskan tiga jari lain?seperti itu, bagus. Tentu saja mata harus selalu searah dengan gerakan, kecuali saat kita menolak: 'Ya dewa-dewa, hindarkan kami dari wabah itu!' atau 'Aku merasa tidak pantas menerima kehormatan seperti itu.'" Tidak ada yang boleh dituliskan, karena orang yang layak disebut orator tak akan bisa membayangkan dirinya membaca naskah atau merujuk lembar catatan. Molon menyukai metode standar menghafal pidato: metode perjalanan khayalan berkeliling rumah si pembicara. "Letakkan topik pertama yang ingin kaubicarakan di aula masuk, dan bayangkan topik itu tergeletak di situ, lalu topik kedua di atrium, begitu seterusnya, berjalan berkeliling rumah sebagaimana kau biasa melakukannya, menempatkan satu bagian pidatomu tidak hanya di setiap ruangan, tetapi di setiap relung dan patung. Pastikan setiap tempat mendapat pencahayaan yang baik, terdefinisikan dengan jelas, dan unik. Kalau tidak, kau akan meraba-raba layaknya orang mabuk yang mencari tempat tidurnya seusai pesta." Cicero bukan satu-satunya murid di akademi Molon pada musim semi dan musim panas itu. Setelah beberapa waktu, bergabunglah adik Cicero, Quintus, dan sepupunya, Lucius, dan juga 20 dua temannya: Servius, pengacara rewel yang ingin menjadi hakim, dan Atticus?yang necis dan memesona?yang tidak berminat pada oratoria, karena dia tinggal di Athena, dan jelas tidak berniat berkarier dalam politik, tetapi senang melewatkan waktu bersama Cicero. Mereka semua mengagumi perubahan kesehatan dan penampilan Cicero, dan pada malam terakhir bersama?karena saat itu sudah musim gugur dan sudah tiba waktunya pulang ke Roma?mereka berkumpul untuk mendengarkan dampak ajaran Molon pada kemampuan oratorianya. Andai aku masih ingat apa yang dibicarakan Cicero malam itu setelah bersantap, tetapi sayangnya aku adalah saksi hidup pernyataan sinis Demosthenes, bahwa isi tidak berarti apa-apa dibanding penyampaian. Aku berdiri diam-diam tanpa terlihat, di antara bayang-bayang, dan yang dapat kuingat sekarang hanyalah ngengat yang berputaran laksana serpih abu di sekeliling obor, gemintang di atas pekarangan, dan wajah terpukau pemuda-pemuda itu, merona dalam cahaya api, menatap Cicero. Akan tetapi, aku masih ingat kata-kata Molon, setelah anak didiknya duduk dengan diiringi anggukan terakhir kepada juri khayalan. Setelah hening panjang, Molon berdiri dan berkata, dengan suara parau: "Cicero, aku mengucapkan selamat padamu dan aku kagum padamu. Pada Yunani dan nasibnyalah aku merasa iba. Satusatunya sisa kejayaan kami adalah kefasihan kami yang unggul, dan sekarang itu pun telah kaurenggut. Pulanglah," katanya, dan berisyarat dengan ketiga jari terjulur melintasi teras bercahaya lampu, ke arah lautan yang jauh dan gelap, "pulanglah, anakku, dan taklukkan Roma." Baiklah. Bicara memang mudah. Namun, bagaimana caranya? Bagaimana cara "menaklukkan Roma", tanpa senjata apa pun selain suara? Langkah pertama sudah jelas: menjadi senator. Pada masa itu, untuk masuk ke senat, orang harus berusia sekurang- kurangnya 31 tahun dan menjadi jutawan. Tepatnya, aset 21 senilai sejuta sestertius harus ditunjukkan kepada pihak berwenang demi sekadar memenuhi persyaratan menjadi calon dalam pemilu tahunan bulan Juli, saat dua puluh senator baru dipilih untuk menggantikan senator yang wafat pada tahun sebelumnya atau terlalu miskin untuk mempertahankan kursinya. Akan tetapi, dari mana Cicero dapat memperoleh sejuta? Ayahnya jelas tidak memiliki uang sebanyak itu: tanah keluarganya tidak luas dan sudah berkali-kali digadaikan. Oleh karenanya, dia menghadapi tiga pilihan tradisional. Namun, bekerja mencari uang terlalu banyak makan waktu, dan mencurinya terlalu berisiko. Maka, tak lama setelah kepulangan kami dari Rhodus, dia menikahi uang itu. Terentia berusia tujuh belas tahun, berdada rata seperti anak lelaki, berambut hitam pendek dengan ikal-ikal kecil yang rapat. Saudari tirinya seorang perawan kuil Dewi Vesta, menjadi bukti status sosial keluarganya. Lebih penting lagi, Terentia memiliki dua blok apartemen kumuh di Roma, tanah hutan di pinggir kota, dan peternakan; nilai seluruhnya: satu seperempat juta. (Ah, Terentia: sederhana, agung, dan berada?sungguh hebat engkau! Baru beberapa bulan lalu aku melihatnya, diusung dengan tandu terbuka di jalan pesisir menuju Napoli, berteriak-teriak kepada para penandu agar bergerak lebih cepat: rambutnya putih dan kulitnya berkerut-kerut seperti walnut, tetapi selain itu tak ada yang berubah.) Jadi Cicero, pada waktunya, menjadi senator?bahkan merajai pemilu, karena kini dia dipandang sebagai pengacara terbaik kedua di Roma, setelah Hortensius?lalu dalam rangka dinas wajib pemerintahan, dikirim ke Provinsi Sisilia, sebelum diperbolehkan menduduki kursi senat. Gelar resminya adalah quaestor, jabatan magistratus paling junior. Istri tidak diperbolehkan menemani suaminya dalam penugasan ini, jadi Terentia?aku yakin hal ini melegakan hati Cicero?tinggal di rumah. Namun, aku ikut bersama Cicero, karena saat itu aku sudah menjadi semacam perpanjangan dirinya, digunakan tanpa berpikir, layaknya tangan atau kaki tambahan. Salah satu alasan aku tak dapat dibuang 22 begitu saja adalah karena aku telah menciptakan suatu metode untuk mencatat kata-katanya secepat dia mengucapkannya. Dari. permulaan yang kecil?dengan segala kerendahan hati aku dapat mengklaim diri sebagai pencipta tanda "&"?sistemku akhirnya membengkak menjadi buku pegangan, yang berisi sekitar empat ribu lambang. Sebagai contoh, aku menemukan bahwa Cicero senang mengulang-ulang beberapa frase, yang kemudian kuringkas menjadi satu garis, atau bahkan beberapa titik?yang membuktikan satu hal yang telah diketahui kebanyakan orang, bahwa politikus pada dasarnya mengatakan hal-hal yang sama berulang kali. Dia mendikte kepadaku dari bak mandi dan dari kursi santai, dari dalam kereta yang terayun-ayun dan saat berjalan- jalan di pedesaan. Dia tidak pernah kehabisan kata dan aku tidak pernah kehabisan lambang untuk menangkap dan merekam kata-kata yang beterbangan di udara itu agar kekal selamanya. Kami ditakdirkan untuk saling melengkapi. Namun, kembali ke Sisilia. Jangan kuatir: aku tak akan menguraikan kegiatan kami secara terinci. Seperti sebagian besar kegiatan politik, kegiatan kami pun membosankan bahkan saat kami mengalaminya, tanpa perlu dikenang lagi enam puluhan tahun kemudian. Kenangan yang mengesankan, dan penting, adalah perjalanan pulangnya. Cicero sengaja menangguhkan kepulangannya satu bulan, dari Maret ke April, untuk memastikan dia melewati Puteoli pada masa reses senat, persis saat semua kelompok politik kelas atas berada di Teluk Napoli, menikmati mandi mineral. Aku diperintahkan menyewa perahu berdayungdua- belas terbaik yang kutemui, agar dia dapat memasuki pelabuhan dengan bergaya, pertama kalinya mengenakan toga bertepi ungu khas senator Republik Romawi. Karena Cicero telah meyakinkan dirinya bahwa dia sukses besar di Sisilia, dia harus menjadi pusat perhatian di Roma. Di seratus petak pasar yang menyesakkan, di bawah keteduhan ribuan pohon platanus Sisilia yang berdebu dan menjadi sarang tawon, dia telah menegakkan keadilan Romawi, tanpa memihak dan de- 23 ngan penuh martabat. Dia membeli gandum dalam jumlah besar, untuk memberi makan para pemilih di ibu kota, dan mengirimkannya dengan harga termurah. Pidato-pidatonya dalam upacara pemerintah merupakan adikarya kefasihan. Dia bahkan berpurapura tertarik pada percakapan penduduk setempat. Dia tahu dia menjalankan tugasnya dengan baik, dan dalam banjir laporan resmi kepada senat, dia membualkan prestasinya. Harus kuakui bahwa aku sesekali menghaluskan sesumbar ini sebelum menyerahkannya kepada kurir resmi, dan berusaha menyindir halus Cicero bahwa mungkin Sisilia bukanlah pusat dunia. Dia tidak menghiraukanku. Saat ini pun aku masih dapat mengenang Cicero waktu itu, berdiri di haluan kapal, menyipitkan mata untuk melihat pelabuhan Puteoli, ketika kami pulang ke Italia. Apa yang diharapkannya? aku bertanya-tanya. Kelompok musik yang mengiringinya menepi ke pantai? Perwakilan konsul yang mempersembahkan mahkota daun dafhah? Memang ada kerumunan orang, tetapi bukan untuk menyambutnya. Hortensius, yang sudah mengincar jabatan konsul, sedang mengadakan perjamuan di atas beberapa kapal pesiar berwarna meriah di dekat situ, dan para tamu sedang menunggu diseberangkan ke pesta itu. Cicero melangkah ke darat?tanpa diacuhkan. Dia melihat ke sekelilingnya dengan bingung, dan saat itu beberapa orang penggembira, yang melihat jubah senator Cicero yang masih baru dan berkilau, bergegas mendatanginya. Cicero menegakkan bahu dengan penuh harap gembira. "Senator," panggil seseorang, "ada kabar apa dari Roma?" Entah bagaimana, Cicero berhasil mempertahankan senyum. "Aku bukan datang dari Roma, kawan baikku. Aku baru pulang dari provinsi." Seorang lelaki berambut merah, tak pelak lagi sudah sangat mabuk, berkata, "Oooooh! Kawan baikku! Dia baru pulang dari provinsi..." Terdengar dengus tawa, nyaris tidak ditahan. 24 "Apanya yang lucu?" sela orang yang ketiga, ingin mendamaikan suasana. "Kau tak tahu ya? Dia baru pulang dari Afrika." Senyum Cicero kini tampak heroik. "Sebenarnya, dari Sisilia." Barangkali percakapan yang senada dengan ini masih berlanjut. Aku tak ingat lagi. Orang-orang mulai menjauh setelah menyadari mereka tak akan mendapatkan gosip dari kota, dan tak lama kemudian Hortensius datang dan mengantar sisa tamunya ke perahu-perahu mereka. Kepada Cicero dia mengangguk, cukup sopan, tetapi jelas-jelas tidak mengundangnya bergabung. Kami ditinggalkan berdua. Mungkin peristiwa ini tampak sepele, tetapi Cicero sendiri sering berkata, pada saat inilah ambisi dalam dirinya mengeras menjadi sekokoh karang. Dia dipermalukan?oleh kepongahannya sendiri?dan dengan bukti kejam disadarkan tentang betapa remeh dirinya di dunia ini. Lama sekali dia berdiri di sana, mengamati Hortensius dan teman-temannya berpesta di seberang perairan, mendengarkan seruling yang riang, dan ketika berpaling, dia telah berubah. Aku tidak melebih-lebihkan. Aku melihat sendiri di matanya. Baiklah, air mukanya tampak berkata, kalian orang-orang tolol boleh bersuka ria; aku akan bekerja. "Pengalaman ini, Tuan-tuan, kupandang lebih berharga bagiku daripada andaikan waktu itu aku dielu-elukan dengan tepuk tangan meriah. Sejak saat itu, aku tak lagi memikirkan apa yang kira-kira didengar dunia tentang diriku: sejak hari itu, aku berupaya agar aku dilihat secara pribadi setiap hari. Aku hidup di mata masyarakat. Aku sering mengunjungi forum. Baik penjaga pintu maupun tidurku tidak menghalangi siapa pun untuk masuk ke rumah dan menemuiku. Saat aku tak ada pekerjaan pun, aku tidak pernah berpangku tangan, sehingga aku tak pernah mengenal apa yang disebut masa santai." Aku menemukan alinea ini dalam salah satu pidatonya belum lama ini, dan aku dapat menjamin kebenaran kata-kata tersebut. Dia meninggalkan pelabuhan itu bagaikan lelaki dalam mimpi, 25 naik melalui Puteoli dan keluar ke jalan raya utama, tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Aku tertatih-tatih di belakangnya, membawa koper sebanyak yang kubisa. Mula-mula langkahnya lambat dan penuh pikiran, tetapi kian lama kian lekas, hingga akhirnya dia berjalan begitu cepat ke arah Roma, dan aku kesulitan menyamai langkahnya. Dan dengan hal ini, berakhirlah gulungan kertas pertamaku, dan dimulailah kisah Marcus Tullius Cicero yang sesungguhnya. 26 Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER http://jowo.jw.lt