dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA III. Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan Nurcholish Madjid Ketua Yayasan Paramadina A. Mukadimah Untuk kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan agama dan politik dalam Islam. Ibaratkan menimba air Zamzam di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada habis-habisnya. Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri. Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja Dunia Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya memberi jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam Islam. Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari'ah (pemilik syari'ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia. Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah). Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat Nabi Muhammad s.a.w. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.8 B. Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang dirasa paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik. Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa' dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba. Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab "madinah" berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu "d-y-n" (dal-ya'-nun), dengan makna dasar "patuh", sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu. Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk "agama" ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut "agama" itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak.9 Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound). Karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya,10 bahkan alam raya itu sendiri juga,11 yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa.12 Karena kepatuhan serupa itu merupakan "hukum alam" (lebih tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.13 Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab "din" itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta "agama". Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian "a-gama" yang berarti. "tidak kacau", yakni, teratur atau berperaturan. ("Agama" dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama). Kembali ke perkataan "madinah" yang digunakan Nabi s.a.w. untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum. Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga "polisi"). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut "kota" (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti "kebudayaan", dan hadlarah menjadi berarti "peradaban", sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan "hidup berpindah-pindah" (nomadism) dan makna kebahasaan "(tingkat) permulaan" (bidayah, alis "primitif''). Karena itu "orang kota" disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan "orang kampung" disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum "badui" Juga sering disebut al-A'rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-'Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama. Dalam al-Qur'an mereka yang disebut al-A'rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.14 Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur'an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru "berislam" (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.15 C. Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan nomenklaturnya. Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu keimanan. Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab'i), sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu,16 sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama.17 Itu sebabnya dalam al-Qur'an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.18 Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme (thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur'an digambarkan sebagai permusuhan kepadaAllah.19 Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan Nabi s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan menjalankan hukum aturan manusia dengan asli,20 masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain. Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil "tanpa pandang bulu" banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat.21 Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika "orang kecil" melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu "orang penting" maka dibiarkan berlalu.22 Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri).23 Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya.24 Bahkan konsep tentang "hapus-menghapuskan" ini, menurut Ibn Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri. D. Islam dan Politik Modern Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktek tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi Barat, yang kemudian berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern. Beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara "modernisme" dan "modernitas". Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai "kebijakan final" umat manusia, perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban. jadi "modernisme", sebagai "isme", mendekati ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi. Sedangkan "modernitas" adalah suatu ungkapan tentang kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif dan negatif yang campur aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar. Tetapi, tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa kesucian, dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern sekarang menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tapi dalam beberapa hal lain justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigines untuk kesenangan dan cendera mata orang-orang kaya Eropa (!) dan pengisi museum antropologi mereka (Republika, 19 Maret 1998), pembersihan etnis dan genosida oleh bangsa-bangsa ("modern") Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah supreme, amat jauh mengatasi bangsa-bangsa "modern" tersebut, biar pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah. Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas itu tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam tidak lain ialah, tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan kesarjanaan mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya agama, yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya tetap relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri.25 Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Wa 'l-Lah-u a'lam. V. Perspektif Jender Dalam Islam (1/4) oleh Nasaruddin Umar Dosen IAIN Jakarta Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina A. Pendahuluan Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan, walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Jender adalah suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Jender (gender discourse).99 Sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu. Dimensi teologi jender masih belum banyak dibicarakan, padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber dari tradisi keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction). Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan jender.100 Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor produksi.101 Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama, khususnya agama-agama Ibrahimiah (Abrahamic religions) sebagai salah satu faktor menancapnya faham patriarki di dalam masyarakat, karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Lebih dari itu, agama Yahudi dan Kristen dianggap mentolerir faham misogyny, suatu faham yang menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari sorga karena rayuan Hawa. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother God ke The Father God di dalam mitologi Yunani. Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai "as it should be" (keadaan sebenarnya), bukannya "as it is" (apa adanya). Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik "kesadaran" teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat. Pandangan di sekitar teologi jender berkisar pada tiga hal pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci beberapa agama. Mitos-mitos tentang asal-usul kejadian perempuan yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejalan dengan apa yang tertera di dalam Kitab Suci tersebut. Mungkin itulah sebabnya kaum perempuan kebanyakan menerima kenyataan dirinya sebagai given dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa happy jika mengabdi sepenuhnya tanpa reserve kepada suami. Tidaklah heran jika para feminis --sebagaimana dapat dilihat dalam buku-buku yang bercorak feminis-- memulai pembahasan dan kajiannya dengan menyorot aspek-aspek teologi, seperti cerita tentang tulang rusuk, perempuan sebagai helper Adam, dan pelanggaran Hawa dihubungkan dengan dosa warisan (original sin). 1. Pengertian Gender Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin".102 Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.103 Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.104 Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).105 Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).106 H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan.107 Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).108 Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan".109 Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. 2. Perbedaan Sex dengan Gender Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti "jenis kelamin") lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender. B. Pangkal Stereotip Jender: Asal-usul Kejadian Manusia Hampir semua agama dan kepercayaan membedakan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan. Agama-agama yang termasuk di dalam kelompok Abrahamic religions, yaitu Agama Yahudi, Agama Kristen, dan Agama Islam menyatakan bahwa laki-laki (Adam) diciptakan lebih awal dari pada perempuan. Di Dalam Bibel ditegaskan bahwa perempuan (Hawwa/Eva)110 diciptakan dari tulang rusuk Adam,111 seperti dapat dilihat pada Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah Kitab Kejadian 2:21-23: "21 Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu".112 Berbeda dengan Bibel, al-Qur'an menerangkan asal-usul kejadian tersebut di dalam satu ayat pendek (Q., s. al-Nisa'/4: 1) sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut. Cerita tentang asal-usul kejadian itu hanya ditemukan di dalam beberapa hadits. Keterangan dari Bibel dan hadits-hadits mengilhami para exegesist, mufassir, penyair, dan novelis menerbitkan berbagai karya. Karya-karya tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olah manusia, terutama laki-laki, secara biologis adalah makhluk supernatural, terlepas sama sekali dengan makhluk biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tidak heran kalau Darwin dengan teori evolusinya dianggap "murtad" di kalangan kaum agamawan, karena mengembangkan faham yang bertentangan dengan teks Kitab Suci. 1. Hawa dan Lillith Ada informasi menarik dalam literatur Yahudi bahwa Hawwa (Eva) adalah pasangan kedua (the second wive). Pasangan pertama Adam ialah Lillith.113 Ia diciptakan dari tanah bersama-sama dengan Adam dalam waktu bersamaan. Lillith tidak mau menjadi pelayan (helper) Adam lalu ia meninggalkan Adam. Adam kemudian merasa sepi di sorga lalu Tuhan menciptakan pasangan barunya, Hawa dari tulang rusuknya sebagai pelayan baru (the new helper).114 Makhluk misterius Lillith juga dihubungkan dengan salah satu pasal dalam Kitab Perjanjian Lama (Issalah/34:14).115 Dalam literatur klasik Islam, Lillith atau nama-nama lainnya tidak pernah dikenal. Dalam hadits hanya dikenal nama Hawa sebagai satu-satunya isteri Adam. Dari pasangan Adam dan Hawa lahir beberapa putra-putri yang kemudian dikawinkan secara silang. Dari pasangan-pasangan baru inilah populasi manusia menjadi berkembang. Dalam al-Qur'an memang diisyaratkan kemungkinan adanya makhluk sebangsa manusia pra Adam, sebagaimana yang akan diuraikan nanti, tetapi makhluk itu tidak dihubungkan dengan pribadi Adam, melainkan Adam sebagai species manusia. Lagi pula, kalau makhluk yang bernama Lillith itu diciptakan untuk menjadi pelayan Adam lalu menolak untuk menjalankan tugasnya, berarti ada makhluk pembangkang lain selain Iblis. Padahal dikenal sebagai pembangkang selama ini hanya Iblis. V. Perspektif Jender Dalam Islam (2/4) oleh Nasaruddin Umar Dosen IAIN Jakarta Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina 2. Misteri Nafs al-Wahidah Dalam al-Qur'an tidak dijumpai ayat-ayat secara rinci menceritakan asal-usul kejadian perempuan. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi isteri Adam sama sekali tidak pernah ditemukan dalam al-Qur'an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipermasalahkan.116 Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan yaitu Q., s. al-Nisa'/4:1 sebagai berikut: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari "diri" yang satu (a single self), dan dari padanya Allah menciptakan pasangan (pair)-nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan "diri yang satu" (nafs al-wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) "dari padanya" (minha), dan apa yang dimaksud "pasangan" (zawy) pada ayat tersebut? Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhur seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa'ud, Tafsir Jami al-Bayan an Tafsir al-Maraghi, semuanya menafsirkan kata nafs al-wahidah dengan Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan "dari bagian tubuh Adam", dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam. Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dlamir "ha" pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam tetapi "dari jins (gen), unsur pembentuk Adam".117 Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan al-nafs al-wahidah dengan "roh" (soul).118 Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti "jiwa" (Q., s. al-Ma'idah/5:32), "nafsu" (Q., s. al-Fajr/89:27), "nyawa/roh" (Q., s. al-'Ankabut/29:57). Kata al-nafs al-wahidah sebagai "asal-usul kejadian" terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti Q., s. al-Syu'ra/42:11, nafs itu juga menjadi asal-usul binatang.119 Kalau dikatakan al-nafs al-wahidah ialah Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan? Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite "dari satu diri" (min nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufid al-takhshish) lalu diperkuat (ta'kid) dengan kata "yang satu" (wahidah) sebagai shifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafs120 masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si Pembicara (Mukhathab).121 Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh jadi suatu genus dan salah satu speciesnya ialah Adam dan pasangannya (pair/zawj-nya) (Q., s. al-A'raf/7:189), sedangkan species lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q., s. al-Syura/42:11) serta tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (Q., s. Thaha/20:53). Surah al-Nisa' di atas agaknya kurang relevan dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Ada ayat-ayat lain lebih khusus berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti asal-usul manusia dari "air"/al-ma' (Q., s. al-Furqan/25:54), "air hina"/ma'in mahin (Q., s. al-Mursalat/77:20), dan "air yang terpancar"/ma'in dafiq (Q., s. al-Thariq/86:6), "darah"/'alaq (Q., s. al-'Alaq/96:2), "saripati tanah"/sulalatin min thin (Q., s. al-Mu'minun/23:12), "tanah liat yang kering"/shalshalin min hama'in mahan (Q., s. al--Hijr/ 15:28), "tanah yang kering seperti tembikar"/shalshalin ka 'l-fakhkhar (Q., s. al-Rahman/55:15), "dari tanah"/min thin (Q., s. al-Sajdah/32:7), dan "diri yang satu" (nafs al-Wahidah (Q., s. al-Nisa'/4: 1). Akan tetapi asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan (reproduction). Ada kesulitan dalam memahami kisah asal-usul kejadian manusia dalam al-Qur'an karena ada loncatan atau semacam missing link dalam kisah-kisah tersebut. Al-Qur'an tidak menerangkan secara runtut dari A sampai Z, tetapi dari A meloncat ke X dan Z. Apa yang terjadi antara A dan X atau Z tidak dijelaskan. Al-Qur'an bercerita tentang asal-usul sumber manusia pertama dari "gen yang satu" (nafs al-wahidah), Gen yang melahirkan species makhluk biologis seperti jenis manusia, jenis binatang, dan jenis tumbuh-tumbuhan. Dalam komponen lain ayat-ayat berbicara tentang asal-usul manusia dalam konteks reproduksi, seperti pada Q., s. al-Mu'minun/23:12-14. Ayat-ayat kejadian manusia dalam al-Qur'an tidak cukup kuat dijadikan alasan untuk menolak atau mendukung teori evolusi dan untuk hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Terdapat beberapa ayat mengisyaratkan adanya makhluk sejenis manusia selain dan sebelum Adam; seperti pertanyaan malaikat yang bernada protes terhadap keinginan Tuhan untuk menciptakan khalifah di bumi yang mengkhawatirkan terjadinya pengulangan sejarah pertumpahan darah (Q.,s. al-Baqarah/2:30) dan penggunaan dlamir plural (khalaqa-kum) pada penciptaan manusia awal (Q., s. al-A'raf/7:11). Ayat-ayat itu dapat dihubungkan dengan kemungkinan adanya makhluk sejenis Adam pra Adam. Sementara banyak ayat mengisyaratkan manusia sebagai ciptaan yang unik the unical creation, sebagaimana diuraikan terdahulu. Konsep teologi yang menganggap Hawa/Eva berasal usul dari tulang rusuk Adam membawa implikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber ajaran agama mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Kalangan feminis Yahudi dan Kristen cenderung mengartikan kisah-kisah itu sebagai simbolis yang perlu diberikan muatan makna lain.122 Sedangkan Feminis Muslimah seperti Mernissi123 cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat (sanad), materi hadits (matan), asal-usul (sabab wurud) terhadap beberapa hadits yang memojokkan kaum perempuan, yang diistilahkannya dengan hadits-hadits misogyny, disamping melakukan kajian semantik dan sabab nuzul terhadap beberapa ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan perempuan. Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian tersebut bisa melahirkan sikap ambivalensi di kalangan perempuan; di satu pihak ditantang untuk berprestasi dan mengembangkan karier agar tidak selalu menjadi beban laki-laki tetapi di lain pihak, ketika seorang perempuan mencapai karier puncak, keberadaannya sebagai perempuan shaleh dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan dan prestasi perempuan tidak cukup hanya diukur oleh suatu standar profesional tetapi juga seberapa jauh hal itu direlakan kaum laki-laki. Kondisi yang demikian ini tidak mendukung terwujudnya khalifat-un fi 'l-ardl yang ideal, karena itu persoalan ini perlu diadakan klarifikasi. C. Fungsi Keberadaan Laki-laki dan Perempuan Keberadaan Hawa untuk melengkapi salah satu hasrat Adam. Anggapan seperti ini dapat dilihat dalam Kitab Tawrat dan Kitab Injil, seperti dalam Genesis/2:18-19 ditegaskan bahwa tidak baik seorang laki-laki sendirian dan karenanya Eva diciptakan sebagai pelayan yang tepat untuk Adam (a helper suitable for him).124 Dari pasal-pasal tersebut secara teologis mengesankan kedudukan perempuan, bukan saja sebagai subordinasi laki-laki, tetapi juga memberikan kedudukan yang inferior di dalam masyarakat. Dalam sumber Yahudi, yakni dalam Midras dijelaskan bahwa secara substansial penciptaan perempuan dibedakan dengan laki-laki. Laki-laki diciptakan dengan kognitif intelektual (cognition-by-intellect/hokhmah), sedangkan perempuan diciptakan dengan kognitif instink (cognition-by-instinct/ binah).125 Jika diperhatikan secara cermat beberapa pernyataan dalam Bible, terutama dalam Kitab Kejadian, pernyataan-pernyataan itu dengan jelas menunjukkan bahwa kedudukan perempuan sangat timpang dibanding kedudukan laki-laki. Persoalan ini menjadi sangat fundamental karena tersurat di dalam Kitab Suci yang harus diyakini oleh pemeluknya. Hal yang seperti ini sering dijumpai dalam masyarakat, misalnya beberapa mitos destruktif tetap lestari hingga sekarang karena dianggap sebagai bagian dari doktrin agama. Problem teologis seperti ini menjadi hambatan terberat dialami kalangan feminis. Carmody mengungkapkan bahwa, sejumlah mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan berbagai agama, misalnya tidak bisa menolak mitos di sekitar Mary (Maryam) tanpa melepaskan kepercayaan, karena dalam kepercayaan Kristen, cerita tentang Jesus dan Mary dianggap sebagai nonmythologual aspects.126 Dalam al-Qur'an, tidak ditemukan suatu ayat yang menyebutkan cerita tentang asal-usul kejadian perempuan. Yang ada hanya cerita tentang kesombongan Iblis yang berdampak pada Adam dan pasangannya, harus meninggalkan sorga.127 Hanya ada beberapa riwayat yang kontroversi menceritakan asal-usul keberadaan kejadian perempuan, yang redaksinya hampir sama dengan cerita yang ada dalam Kitab Kejadian, seperti dalam hadits: "Ketika Allah mengusir Iblis keluar dari Taman lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Karena ia tidak mempunyai teman bermain maka Allah menidurkannya kemudian mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya lalu Ia mengganti daging di tempat semula kemudian Ia menciptakan Hawa dari padanya. Ketika bangun, Adam menemukan seorang perempuan duduk di dekat kepalanya. Adam bertanya: Siapa anda? Hawa menjawab: perempuan. Adam kembali bertanya: Kenapa engkau diciptakan? Hawa menjawab: Supaya engkau mendapatkan kesenangan dari diri saya. Para malaikat berkata: Siapa namanya? Dijawab: Hawwa. Mereka bertanya: mengapa dipanggil Hawa? dijawab: Karena diciptakan dari sebuah benda hidup".128 Redaksi riwayat di atas sangat mirip dengan redaksi Kitab Genesis, khususnya Pasal 21-23. Riwayat-riwayat semacam ini diragukan keabsahannya oleh, bukan saja dari kalangan feminis muslimah seperti Riffat Hasan tetapi juga kalangan ulama seperti Muhammad Rasyid Ridla. Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Ridla mengesankan bahwa tradisi pemahaman yang mempersepsikan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, bukan bersumber dari al-Qur'an tetapi pengaruh ajaran Kitab Suci sebelumnya, "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalamKitab Perjanjian Lama (Kejadian 2:21) niscaya pendapat yang keliru tidak pernah terlintas dalam benak seorang muslim".129 Wibke Walther mendukung pendapat tersebut dengan mengemukakan beberapa bukti sejarah bahwa pada era awal Islam, yakni pada masa Nabi, kaum perempuan mendapatkan kemerdekaan sangat berbeda dengan yang pernah membudaya sebelumnya. Belakangan setelah wilayah Islam meluas dan bersentuhan dengan budaya lain, khususnya faham asketisme Kristen kedudukan perempuan dalam dunia Islam mengalami dekadensi.130 Pendapat yang sama juga diungkapkan Fatima Mernissi dan Muhammad Iqbal. 1. Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur'an Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'rif/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187). Secara ontologis, masalah-masalah substansial manusia tidak diuraikan panjang lebar di dalam al-Qur'an. Seperti mengenai roh, tidak dijelaskan karena hal itu dianggap "urusan Tuhan" (Q., s. al-Isr'a'/17:85). Yang ditekankan ialah eksistensi manusia sebagai hamba/'abid (Q., s. al-Dzariyat/51:56) dan sebagai wakil Tuhan di bumi/khalifah fi al-ardl (Q., s. al-An'am/6:165). Manusia adalah satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q., s. al-Thin/95:4) tetapi tidak mustahil akan turun ke derajat "paling rendah" (asfala safilin/Q., s. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah dari pada binatang (Q., s. al-A'raf/7:179). Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q., s. al-Hujurat/49:13). Al-Qur'an tidak menganut faham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi 'abid dan khalifah (Q., s. al-Nisa'/4:124 dan s. al-Nahl/16:97). Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-ma'rah) digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. al-Mumtahanah/60:12), seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan "superpower"/'arsyun 'azhim (Q., s. al-Naml/27:23); memiliki kemandirian ekonomi/al-istiqlal al-iqtishadi (Q., s. al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, wanita mengelola peternakan (Q., s. al-Qashash/28:23), kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi/al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (Q., s. al-Tahrim/66:12). Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan "oposisi" terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (Q., s. al-Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q., s. al-Nisa'/4:75). Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di dalam kitab-kitab suci lain. Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki kemampuan dan prestasi besar sebagaimana layaknya kaum laki-laki. 2. Penafsiran Berwawasan Jender Hampir semua tafsir yang ada mengalami gender bias. Hal itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya Timur-Tengah yang androcentris. Bukan hanya kitab-kitab Tafsir tetapi juga kamus. Sebagai salah satu contoh, al-dzakar/mudzakkar (laki-laki) seakar kata dengan al-dzikr berarti mengingat. Kata khalifah di dalam kamus Arab paling standar, Lisan al-Arab, menyatakan bahwa: "khalifah hanya digunakan di dalam bentuk maskulin" (al-khalifah la yakun illa al-dzakar). Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti dalam ayat warisan (Q., s. al-Nis'a'/4: 11), persaksian (Q., s. al-Baqarah/2:228, s. al-Nisa'/4:34), dan laki-laki sebagai "pemimpin"/qawwamah (Q., s. al-Nisa'/4:34), akan tetapi ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan. Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (gender roles) ketika itu. Seperti diketahui ayat-ayat mengenai perempuan umumnya mempunyai riwayat sabab nuzul jadi sifatnya sangat historical. Lagi pula ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan detail (muayyidat). Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqashid) ayat-ayat essensial,131 yang juga menjadi tema sentral al-Qur'an. Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab khusus (sabab nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, a) apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa memperhatikan kasus turunnya (yufid al-'alm), atau b) berlaku universal dengan syarat memperhatikan persamaan karakteristik illat (khushush al-'illah), yang meliputi empat unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau c) hanya mengikat peristiwa khusus yang menjadi sebab (khushush al-sabab) turunnya ayat, dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak mengcover secara langsung peristiwa-peristiwa lain.132 Al-Qur'an dan Nabi Muhammad telah melakukan proses awal dalam membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah. Al-Qur'an dan hadits yang berbicara tentang beberapa kasus tertentu, hendaknya dilihat sebagi suatu proses yang mengarah kepada suatu tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Al-Qur'an mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan menyampaikan ide-idenya, misalnya dengan: a) disampaikan secara bertahap (al-tadrij fi al-tasyri), b) berangsur (taqlil al-taklif), dan c) tanpa memberatkan (a'dam al-haraj). Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara bertahap. Jika kita perhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, dan poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan amanah dalam masyarakat.133 Dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam, kiranya kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab Fiqh. Mestinya juga dilihat dan dibandingkan bagaimana status dan kedudukan perempuan sebelum Islam. Misalnya dalam soal warisan; anak perempuan mendapat separoh bagian dari yang didapat anak laki-laki (Q., s. al-Nisa'/4:11). Ketika ayat ini memberikan bagian kepada anak perempuan, meskipun itu hanya separoh, tanggapan masyarakat ketika itu sama ketika ayat haid diturunkan (akan diuraikan tersendiri), yaitu menimbulkan kekagetan (shock) dalam masyarakat, karena ketentuan baru itu dianggap menyimpang dari tradisi besar (great tradition) mereka. Ketentuan sebelumnya harta warisan itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa mempertahankan clan atau qabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki. Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama dengan perempuan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak memperoleh harta warisan dari bapak dan neneknya karena ia masih belum dewasa. Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan ketika itu ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa membedakan peran jenis kelamin (gender role), sementara peran sosial berdasarkan peran jenis kelamin ketika itu sangat menentukan. Mencari titik temu antara wahyu (revelation) dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para ulama berusaha merumuskan suatu pranata --kemudian lebih dikenal dengan Fiqh Islam-- dengan melakukan sintesa antara kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar al-Qur'an. Meskipun laki-laki dalam Fiqh Islam masih terkesan dominan tetapi martabat perempuan sudah diakui, bahkan perempuan selalu di bawah perlindungan laki-laki. Kalau ia sebagai isteri dipertanggung jawabkan oleh suami, sebagai anak dipertanggung jawabkan oleh Bapak, sebagai saudara dipertanggungjawabkan oleh saudara laki-laki, meskipun ia lebih tua, dan menerima mahar dari laki-laki. Kaum laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga clan dan/kabilah yang ketika itu sangat rawan. Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha', memang ada beberapa hal dalam kitab Fiqh dinilai telah selesai memenuhi tugas historisnya. Jika kita konsisten terhadap kaidah al-hukmu yadur ma'a al-illah (hukum mengikuti perkembangan zamannya) maka fiqh Islam sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian. Salah satu upaya al-Qur'an dalam menghilangkan ketimpangan peran jender tersebut ialah dengan merombak struktur masyarat qabilah yang berciri patriarki paternalistik menjadi masyarakat ummah yang berciri bilateral-demokratis. Promosi karier kelompok masyarakat qabilah hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan kelompok masyarakat ummah ukurannya adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan suku bangsa. Itulah sebabnya Rasulullah sejak awal mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah,134 karena Yatsrib terlalu berbau etnik (syu'ubiyah), sedangkan Madinah terkesan lebih kosmopolitan. V. Perspektif Jender Dalam Islam (3/4) oleh Nasaruddin Umar Dosen IAIN Jakarta Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina 3. Praktek Kesetaraan Jender pada Masa Nabi Kehidupan perempuan di masa Nabi perlahan-lahan sudah mengarah kepada keadilan jender. Akan tetapi setelah beliau wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi kultur-kultur androsentris (untuk tidak menyebut kultur misogyny). Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Persia di Timur, bekas jajahan Romawi dengan pengaruh kebudayaan Yunaninya di Barat, dan ke Afrika, seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir Kunonya di bagian Selatan. Pusat-pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum perempuan sebagai the second sex. Para ulama yang berasal dari wilayah tersebut sulit melepaskan diri dari kebudayaan lokalnya di dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Akibatnya, fiqh yang berkembang di dalam sejarah Islam adalah fiqh patriarki. Dapat dimaklumi, komunitas Islam yang semakin jauh dari pusat kotanya (heartland), akan semakin kuat mengalami proses enkulturasi. Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita tidak bisa sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun Nabi telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudkan hal itu. Seperti diketahui bahwa wahyu baru saja selesai turun Nabi keburu wafat, maka wajar kalau Nabi tidak sempat menyaksikan blueprint ajaran itu sepenuhnya terwujud didalam masyarakat. Terlebih kedudukan perempuan yang berkembang dalam dunia Islam pasca Nabi tidak bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin mendekati kondisi ideal tetapi malah semakin jauh. Jika dilihat sejarah perkembangan karier kenabian Muhammad, maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender (gender equality/al-musawa al-jinsi). Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula tidak bisa mendapatkan harta warisan atau hak-hak kebendaan, karena yang bersangkutan oleh hukum adat jahiliyah dianggap tidak cakap untuk mempertahankan qabilah, kemudian al-Qur'an secara bertahap memberikan hak-hak kebendaan kepada mereka (Q., s. al-Nisa'/4:12). Semula laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas, kemudian dibatasi menjadi empat, itupun dengan syarat yang sangat ketat (Q., s. al-Nisa'/4:3). Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi kemudian diberikan kesempatan untuk itu, meskipun dalam beberapa kasus masih dibatasi satu berbanding dua dengan laki-laki (Q., s. al-Baqarah/2:228 dan s. al-Nisa'/4:34). Pola dialektis ajaran Islam menganut asas penerapan bertahap (relatifering process/al-tadrij fi al-tasyri). Di sinilah perlunya mengkaji al-Qur'an secara hermeneutik, guna memahami suasana psikologis latar belakang turunnya sebuah ayat (sabab nuzul) atau munculnya sebuah hadis (sabab wurud). Kedudukan perempuan pada masa Nabi sering dilukiskan dalam syair sebagai dunia mimpi (the dream of woman). Kaum perempuan dalam semua kelas sama-sama mempunyai hak dalam mengembangkan profesinya. Seperti dalam karier politik, ekonomi, dan pendidikan, suatu kejadian yang sangat langka sebelum Islam. Tidak ditemukan ayat atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif dalam dunia politik. Sebaliknya al-Qur'an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Dalam Q., s. al-Tawbah/9:71 dinyatakan: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Kata awliya' dalam ayat tersebut di atas menurut Quraish Shihab mencakup kerjasama, bantuan, dari penguasaan; sedangkan "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.135 Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa kaum perempuan dipermulaan Islam memegang peranan penting dalam kegiatan politik. Q., s. al-Mumtahanah/60:12 melegalisir kegiatan politik kaum wanita: "Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum wanita beriman untuk melakukan bai'at dari mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dari kaki mereka dari tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia (bay'at) mereka dari mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". Istri-istri Nabi terutama 'A'isyah telah menjalankan peran politik penting. Selain 'A'isyah, juga banyak wanita lain yang terlibat dalam urusan politik, mereka banyak terlibat dalam medan perang, dari tidak sedikit di antara mereka gugur di medan perang, seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah. Sedangkan kaum perempuan yang aktif di dunia politik dikenal misalnya: Fathimah binti Rasulullah, 'A'isyah binti Abu Bakar, 'Atika binti Yazid ibn Mu"awiyah, Ummu Salamah binti Ya'qub, Al-Khayzaran binti 'Athok, dan lain sebagainya. Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dari tetap menghormati ajaran agamanya. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah nama penting seperti Khadijah binti Khuwaylid (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan, Zaynab binti Jahsy, profesinya sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan yang berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah ibn Mas'ud dan Qilat Ummi Bani Anmar dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses, al-Syifa' yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh Khalifah 'Umar sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah. Begitu aktif kaum wanita pada masa Nabi, maka 'A'isyah pernah mengemukakan suatu riwayat "Alat pemintal di tangan wanita lebih baik dari pada tombak di tangan kaum laki-laki." Dalam riwayat lain Nabi pernah mengatakan "Sebaik-baik permainan seorang wanita muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun."136 Jabatan kontroversi bagi kaum wanita adalah menjadi Kepala Negara. Sebagian ulama masih menganggap jabatan ini tidak layak bagi seorang wanita, namun perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman pendukung pendapat ini mulai berkurang. Bahkan al-Mawdudi yang dikenal sebagai ulama yang secara lebih tekstual mempertahankan ajaran Islam sudah memberikan dukungan kepada Fatimah Jinnah sebagai orang nomor satu di Pakistan.137 Dalam bidang pendidikan tidak perlu diragukan lagi, Al-Qur'an dan Hadits banyak memberikan pujian kepada perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan. Al-Qur'an menyinggung sejumlah tokoh perempuan yang berprestasi tinggi, seperti Ratu Balqis, Maryam, istri Fir'awn, dari sejumlah istri Nabi. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam klasik ditemukan beberapa nama perempuan menguasai ilmu pengetahuan penting seperti 'A'isyah isteri Nabi, Sayyidah Sakinah, putri Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib, Al-Syekhah Syuhrah yang digelari dengan "Fikhr al-Nisa" (kebanggaan kaum perempuan), adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, Mu'nisat al-Ayyubi (saudara Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat al-Taymi'yah, Zaynab, putri sejarawan al-Bagdadi, Rabi'ah al-Adaw'iyah, dan lain sebagainya. Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan banyak dijelaskan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat wanita yang membuat keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi tidak dilarang mengadakan perserupaan dalam hal kecerdasan dan amal ma'ruf.138 Peran sosial perempuan dalam lintasan sejarah Islam mengalami kemerosotan di abad kedua, setelah para penguasa muslim kembali mengintrodusir tradisi hellenistik di dalam dunia politik. Tradisi hellenistik banyak mengakomodir ajaran Yahudi yang menempatkan kedudukan perempuan hampir tidak ada perannya dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, para ulama --diantaranya dengan sponsor pemerintah-- sedang giat-giatnya melakukan standarisasi hukum dengan melaksanakan kodifikasi kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab hadits. Apakah ada kaitan antara pembukuan dan pembakuan kitab fiqh dan proses penurunan peran perempuan, masih perlu diteliti lebih jauh. D. Perempuan dan Dosa Warisan Konsep teologi yang juga memberikan citra negatif kepada kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari Sorga ke planet bumi. Karena rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya terlempar ke bumi. Akhirnya, kaum perempuan harus menanggung akibat lebih besar, seperti yang dapat dilihat dalam Kitab Talmud dan Bibel. Dalam Agama Yahudi, asal-usul terjadinya dosa asal (original sin) juga lebih banyak dipersalahkan kaum perempuan. Bahkan kalangan misogyny menganggap perempuan sebagai "setan betina" (female demon) yang harus selalu diwaspadai. 1. Kutukan terhadap Hawa dan Adam Dalam Kitab Talmud (Eruvin 100b) disebutkan bahwa akibat pelanggaran Hawa/Eva di Sorga maka kaum perempuan secara keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan: 1. Perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya Hawa/ Eva tidak pernah mengalaminya. 2. Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit. 3. Perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti yang diharapkan. 4. Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri. 5. Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua. 6. Perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan. 7. Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki. 8. Perempuan masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi. 9. Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya. 10. Perempuan lebih suka tinggal di rumah.139 Mungkin banyak kaum perempuan dewasa ini tidak sadar kalau poin pertama sampai terakhir bukan sekedar peristiwa alami, tetapi oleh orang-orang yang mempercayai kitab itu diyakini sebagai bagian dari "kutukan" Tuhan terhadap kesalahan Hawa. Sedangkan kutukan yang ditimpakan kepada laki-laki, dan ini menarik untuk diperhatikan, adalah sebagai berikut: 1. Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari pada bentuk normal sesudahnya. 2. Laki-laki akan merasa lemah ketika ejakulasi. 3. Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri. 4. Laki-laki akan merasa susah dalam memperoleh mata pencaharian. 5. Laki-laki pernah makan rumput di lapangan rumput bersama binatang ternak, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan. 6. Laki-laki akan makan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya. 7. Adam kehilangan ketampanan menakjubkan yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya. 8. Ditinggalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki. 9. Adam dibuang dari taman sorga dan kehilangan status sebagai penguasa jagat raya. 10. Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur.140 Kutukan yang ditimpakan kepada kaum laki-laki, selain lebih lunak kutukan itu juga langsung atau tidak langsung menimpa kaum perempuan. Sebaliknya, kutukan terhadap perempuan lebih berat dan monumental serta hanya dialaminya sendiri, tidak dialami kaum laki-laki. Dalam Bibel juga dipersepsikan bahwa kaum laki-laki pantas memiliki superioritas di atas perempuan, sebaliknya kaum perempuan pada tempatnyalah mengabdikan diri kepada kaum laki-laki, karena selain diciptakan dari tulang rusuk Adam dan untuk melengkapi kesenangan Adam, juga dianggap penyebab langsung jatuhnya Adam dari syorga, seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian (3:12): "Manusia itu menjawab: "Perempuan yang kamu tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan".141 Sebagai sanksi terhadap kaum perempuan antara lain dikatakan dalam Kitab Kejadian (3:16) "FirmanNya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak, dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu."142 Jika doktrin-doktrin tersebut dilihat dalam perspektif sejarah, maka Islam adalah suatu sistem nilai yang progressif pada zamannya. Ajaran-ajarannya yang kontroversi ketika itu tidak hanya dapat ditawarkan (accessible) tetapi juga dapat diterima (acceptable) dalam kurun waktu yang singkat. Dapat dibandingkan ajaran Bibel baru populer setelah 'Isa/Yesus meninggal, sedangkan Nabi Muhammad sempat menyaksikan ajarannya dianut di sekitar Timur-Tengah. V. Perspektif Jender Dalam Islam (4/4) oleh Nasaruddin Umar Dosen IAIN Jakarta Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina 2. Menstrual Taboo Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi. Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi. Perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan. Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus (menstrual huts), suatu gubuk khusus dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi atau mengasingkan diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan "mata iblis" (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.143 Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik144 yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.145 Upaya lain dalam mengamankan tatapan "mata iblis" ialah dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat menghalangi tatapan mata tersebut. Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau cadar. Cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip "ayat-ayat jilbab"146 dan hadits-hadits tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab Tawrat147 dan Kitab Injil.148 Bahkan menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code): The tradition that women veil themselves when they go out in public a very old in the orient. Probably the first reference is to be found in the Assyirian Code, where it a ruled that wives, daughters, widows, when, going out in public, must be veiled.149 (Tradisi penggunaan kerudung ke tempat-tempat umum sudah berlangsung sejak dahulu kala di Timur. Kemungkinan referensi paling pertama ditemukan ialah di dalam hukum Asyiria, yang mengatur bahwa: isteri, anak perempuan, janda, bilamana pergi ke tempat-tempat umum harus menggunakan kerudung). Asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan berbagai macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropologis, berawal dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah "si mata Iblis" dalam melakukan aksinya.150 Penggunaan cadar/kerudung (hood)151 pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstruasi. Kerudung dan semacamnya semula bertujuan untuk menutupi tatapan mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan, karena hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana di dalam masyarakat dan lingkungan alam. Kerudung dari semacamnya semula dimaksudkan sebagai pengganti "gubuk pengasingan" bagi keluarga raja atau bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan. Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual hut menjadi cadar (menstrual hood) juga dilakukan di New Guinea, British Columbia, Asia, dan Afrika bagian Tengah, Amerika bagian Tengah, dan lain sebagainya. Bentuk dan bahan cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Bentuk cadar di Asia agak lonjong menutupi kepala sampai pinggang dan bahannya juga bermacam-macam; ada yang dari serat kayu yang ditenun khusus dan ada yang dari wol yang berasal dari bulu domba.152 Selain mengenakan cadar perempuan haid juga menggunakan cat pewarna hitam (cilla') di daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik, dan bahan dari tengkorak kepala manusia. Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah kaum perempuan. Masyarakat tradisional dahulu kala sudah pernah muncul perdebatan seru. Apakah boleh perempuan yang bukan bangsawan menggunakan cadar/kerudung sebagai pengganti pengasingan di gubuk menstruasi. Agama Yahudi dan selanjutnya dalam agama Kristen, dua agama besar sebelum Islam juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. Yang jelas tradisi penggunaan kerudung, jilbab, dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan. 3. Haydl dalam Islam Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haydl.153 Dalam al-Qur'an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi'l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl).154 Dari segi penamaan saja, kata haydl sudah lepas dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haydl dijelaskan dalam Q., s. al-Baqarah/1:222: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah: "Haydl itu adalah 'kotoran' oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haydl; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haydl, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda "lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haydl) kecuali bersetubuh". Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai "hal yang alami" (adzan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Usayd ibn Hudlayr dan Ubbad ibn Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut.155 Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Rasulullah kembali menegaskan bahwa: "Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)", "Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima')". Bahkan Rasulullah seringkali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktek. Riwayat lain yang secara demonstratif disampaikan 'A'isyah, antara lain, 'A'isyah pernah minum dalam satu bejana yang sama dalam keadaan haydl, juga pernah menceritakan Rasulullah melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima') sementara dirinya dalam keadaan haid, juga darah haydl dan bekasnya yang terdapat dalam pakaian 'A'isyah; sama sekali Rasulullah tidak memperlihatkan perlakuan taboo terhadapnya.156 Jika diteliti lebih cermat, meanstream ayat di atas sesungguhnya bukan lagi haydl-nya itu sendiri tetapi pada al-mahidl-nya atau "tempat" keluarnya darah itu (mawdhi 'al-haydl), karena Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan al-haydl. Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk mashdar/verbal noun tetapi yang pertama menekankan "tempat" haid (mawdhi 'al-haydl) sedangkan yang kedua menekankan "waktu" dan "zat" haid ('ayn al-haydl) itu sendiri. Banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan perbedaan pengertian kedua istilah tersebut. Pada hal menyamakan atau membedakan pengertian tersebut masing-masing mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih jauh akan berimplementasi kepada persoalan hukum. Kalau al-mahidl diartikan sama dengan al-haydl, maka ayat tersebut berarti jauhilah perempuan itu pada waktu haydl artinya dilarang bergaul dan bersenang-senang, dan ini jelas menyalahi struktur makna yang dikehendaki Sang Mukhathab. Akan tetapi kalau yang dimaksud ayat itu ialah al-mahidl dalam arti mawdhi 'al-haydl, maka ayat itu berarti jauhilah tempat haydl dari perempuan itu. Penggunaan logika yang kedua ini menjadi jelas tanpa harus lagi ada "penghapusan" (nasakh) atau pengkhususan (takhshish). Kalau yang dimaksud al-mahidl yakni al-haydl maka akan menimbulkan kejanggalan dalam pengertian, karena yang bermasalah (adzan)157 dalam lanjutan ayat itu ialah waktu haid (zaman al-haydl), bukan tempat haid (mawdhi' al-haydl), jadinya tidak logis dalam pengertian (ghayr ma'qul al-ma'na) karena sesungguhnya yang bermasalah (adzan) ialah mawdhu'-nya. Haydl itu sendiri bukan adzan karena haydl hanya di-'ibirah-kan dengan darah yang khusus. Al-Razi dalam tafsirnya memberikan alternatif lain dengan mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti al-haydl, sedangkan yang kedua berarti tempat haid.158 Implementasi dari pengertian ini ialah persoalan haid sebagaimana yang ditanyakan sahabat Nabi dan sekaligus menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan fisik-biologis, tempat keluarnya darah haidh itu bukan persoalan tabunya darah haid seperti yang dipersepsikan oleh umat-umat terdahulu. Perintah untuk "menjauhi" (fa'tazilu) dalam ayat di atas bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab'id) tetapi memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan langsung (i'tizal). Sedangkan darah haid disebut al-adzan karena darah tersebut adalah darah tidak sehat dan tidak diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita. Bahkan kalau darah itu tinggal di dalam perut akan menimbulkan masalah, karena itulah disebut adzan. Mengenai pembersihan diri (thaharah)159 dari haydl, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh160 ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi, kecuali Abu Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu tujuh hari. Sekalipun kurang tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin.161 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza'i dan Ibn Hazm.162 Dari gambaran tersebut di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak menganut faham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita. Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat. E. Penutup Banyak hal yang perlu diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan. Terutama anggapan sadar dan bawah sadar bahwa kaum laki-laki lebih utama dari pada kaum prempuan. Semenjak dahulu kala, orang banyak berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin tetapi hasilnya belum banyak mengalami kemajuan. Persepsi itu memang sulit dihilangkan karena berakar dari atau didukung oleh ajaran teologi. Padahal Max Weber pernah menegaskan bahwa tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat tanpa mengubah sistem etika, dan tidak mungkin mengubah etika tanpa meninjau sistem teologi dalam masyarakat. Diskursus mengenai perempuan seringkali terlalu tematis, sehingga dilupakan persoalan asasinya. Para feminis telah banyak mencurahkan perhatian untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, tetapi tidak sedikit perempuan merasa enjoy di atas keprihatinan para feminis tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan ideal ialah mereka yang bisa hidup di atas kodratnya sebagai perempuan, dan kodrat itu dipahami sebagai takdir (divine creation), bukan konstruksi masyarakat (social consttuction). Dalam praktek terkadang sulit dibedakan mana pesan yang bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari mitos. Agama pada hakekatnya menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Pesan-pesan agama untuk kemaslahatan manusia mestinya dapat dijangkau oleh umat (mukallaf). Sedangkan pesan yang lahir dari mitos seringkali memberikan muatan lebih (over loads). Untuk itu, perlu adanya reidentifikasi masalah dan reinterpretasi sumber-sumber ajaran agama. Islam tidak sejalan dengan faham patriarki mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih besar, baik di dalam maupun di luar rumah. Al-Qur'an tidak memberikan penegasan tentang unsur dan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, tidak juga mengenal konsep dosa warisan, dan skandal buah terlarang adalah tanggung jawab bersama Adam dan Hawa. Perbedaan anatomi fisik-biologis antara laki-laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan. Catatan kaki: 99 Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3. 100 Evelyn Reed, Woman's Evolution, From Matriarchal Clan to Patriarchal Family, New York, London, Montreal, Sydney: Tathefinder, 1993, h. IV. 101 Lihat misaslnya Frederick Engels, The Origin of Family Private Property and State, New York: International Publisher Company, 1976. Buku ini banyak mengilhami para feminis marxis dan sosialis di dalam memberikan solusi terhadap gender stereotyping di dalam masyarakat. 102 John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983, h. 265. 103 Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World Dictionary, New York: Webster's New World Cleveland,1984, h.561. Bandingkan dengan kamus Oxford yang mendefinisikan gender sebagai a grammatical classification of objects roughly corresponding to the two sexes and sexlessness, property of belonging to such a class. (Lihat C.T. Onionss (ed.), The Word Dictionary of English Etymology, Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1979, h.). 104 Helen Tierney (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Vol. I, NewYork: Green Wood Press, h. 153. 105 Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction, California, London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 1993, h. 4. 106 Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h.2. 107 H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989, h. 2. 108 Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3. 109 Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3. 110 Dalam literatur Arab disebut Hawwa dan literatur Inggris disebut Eva. Dalam sumber-sumber Yahudi sering dikatakan Ha-ishah secara literal berarti "wanita" tetapi sesungguhnya yang dimaksud ialah "pelayan" (ezer/belper) Adam. Seperti dalam Islam, literatur Yahudi mempunyai beberapa istilah terhadap wanita (female), yaitu almah untuk wanita usia kawin, betulah untuk gadis perawan, bachurah untuk wanita remaja, naarah wanita antara 12 sampai 12,5 tahun, dan nikevah untuk wanita usia dewasa, serta yaldah untuk wanita yang belum dewasa. (Lihat Lisa Aiken, To be Jewish Woman, Northvale, New Jersey, London: Janson Aronson INC., 1992, h.12). 111 Kata Adam bersumber dari bahasa Hebrew Adamah berarti bumi (earth). Dapat berasal dari akar kata alef (yang satu) dan dom (sunyi, diam, bisu). Lihat Ibid, h. 6-7. 112 Dikutip dari Kitab Bibel edisi Indonesia. 113 Lillith digambarkan sebagai "setan betina" (female demon) yang berwajah manusia, berambut panjang, dan mempunyai sayap, gentayangan di malam hari. Lihat Lisa Aiken, op. cit., h. 23., Monica Sjoor dan Barbara Mor, The Great Cosmic Mother, Rediscovering the Religion of the Earth, San Fransisco: Harper and Row Publishers, 1985, h. 276-277. 114 Sumber ini tidak terlalu populer di kalangan Yahudi karena dianggap kepercayaan sempalan, namun demikian cerita ini ditemukan dalam Talmud, seperti dalam Erubin 1006, Bava Batra 736, Niddah 246, Sabbat 1516. Lihat dalam Rabbi DR I. Epstein (Editorship), Hebrew-English Edition of the Babilonia Talmud, Vol. I (Erubin), London; Jerusalem: The Sonicino Press, 1976, h. 73a-73b. Juga dalam Vol. 6 (Niddah), h. 246. 115 Lisa Aiken, loc. cit. dan dalam Holy Bible, Guelp, Ontario: The Gideons International in Canada, h. 516, diistilahkan dengan The Night Monster. 116 Riffat Hasan memparmasalahkan, mengapa selalu dikatakan Adam wa zawj, sekiranya Adam laki-laki maka kata paling tepat digunakan ialah kata zawjah. (Lihat Riffat Hasan, "Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam," dalam Ulumul Qur'an, Vol.1, 1990/1410 H., h. 51). Akan tetapi alasan ini lemah, karena kata zawj tidak mesti berarti isteri, dan tidak mesti memakai huruf ta marbutah (zawjah) sebagai simbol perempuan (muannats) untuk menunjukkan makna isteri, karena yang ditekankan pada ayat ini ialah pasangan (pair), seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berpasang-pasangan (Q., s. Thaha/20:53 dan s. al-Syura/42:11). Lagi pula kata ganti (dlamir) yang merujuk ke Adam semuanya menggunakan dhamir mudzakkar, di antaranya paling tegas ialah uskun anta wa zawjuk-a 'l-jannah (Q., s. al-Baqarah/2:35 dan s. al-A'raf/7:19). Kata uskun sudah cukup mengisyaratkan Adam sebagai mudzakkar tetapi diperkuat (ta'kid) dengan kata anta, kata ganti untuk orang pertama tunggal laki-laki. 117 Muhammad al-Razi Fakhr-u 'l-Din al-'Allamah Shaba'-u 'l-Din 'Umar, Tafsir al-Razi, Juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., h.179. Dengan begitu, kata min dari kata al-nafs al-wahidah bukan menunjuk kepada penciptaan awal (ibtida' al-takhliq) tetapi hanya sebagai ibtida' al-ghayah. Jadi asal-usul Hawa bukan dari Adam tetapi dari unsur "Gen Yang Tunggal" dari mana seluruh makhluk hidup berasal. Sedikit koreksi kepada Komentar Yusuf Ali dalam The Holy Quran-nya bahwa tidak benar al-Razi yang berpendapat bahwa dhamir "ha" bukan Adam tetapi dari nafs. Hanya al-Razi mengungkapkan pendapat ulama lain (al-Ishfahani), sebagaimana ciri tafsir al-Razi selalu mengungkapkan pendapat lain sebagai perbandingan. 118 Lihat S.V. Mir Ahmed Ali dengan special notes/musyarrih, Hujjatul Islam Ayatullah Haji Mirza Mahdi Pooya Yazdi, The Holy Qur'an, Karachi, Pakistan: Muhammad Khaleel Shirazi, 1964, h. 359. 119 "(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dan jenis binatang ternak pasang-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." 120 Menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengapa bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, beberapa benda alam atau nama-nama benda yang menakjubkan seperti matahari (al-syams), bulan (al-qamar), langit (al-sama'), angin (al-rih), tanah, bumi (al-ardl), jiwa (al-nafs), dan lain sebagainya dikategorikan dalam bentuk (bahasa) perempuan (mu'annats)? Boleh jadi ini berkaitan dengan mitologi Mesir Kuno dan Asia Tengah pada umumnyayang menganut faham The Mother God. Bulan misalnya dianggap sebagai "Ibu Alam Semesta" (The Mother, of Universe) karena mempunyai cahaya yang membawa kesuburan dan sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, masih banyak menganggap bulan sebagai dewi yang sangat berpengaruh, dan menurut Owen, dari sinilah sebabnya mengapa umat Islam sejak awal sampai sekarang menjadikan bulan sebagai simbol dan Bulan Sabit menjadi semacam lambang "Palang Merah" dunia Islam. (Lihat Barbra Walker, The Women's Encyclopaedia of Myths and Sacrets, San Fransisco, Harper & Row, 1983, h. 669. Lihat pula Lara Owen, Her Blood is Gold, Celebrating the Power of Menstruation, San Francisco: Harper San Francisco, 1993, h. 30-31. Proses peralihan The Mother God ke The Father God membawa implikasi sosial. Beralihnya masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki dinilai mempunyai hubungan dengan,peralihan itu. Agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dianggap merombak sistem dan struktur masyarakat matriarki yang pernah dibangun oleh mitologi sebelumnya ke sistem patriarki. (Lihat misalnya Merlin Stone, When God was a Woman, New York, London: A Havest/HBJ Book Harcourt Brace Jovaniche, 1976., dan J. Edgar Bruns, God as Woman, Woman as God, New York, Paramus, Toronto: Paulist Press,1973. Akan tetapi Susan Starr Scred tidak setuju membesar-besarkan agama sebagai faktor paling dominan dalam pembentukan suatu sistem masyarakat seperti masyarakat matrifocal atau patrifocal, matriarcal atau patriarcal, dan matrilineal atau patrilineal, karena faktor ekologi dan budaya juga sangat menentukan. Lihat Susan Starr Scred, Priestess, Mother, Sacred Sister Religious Dominated by Women, NewYork, Oxford. Oxford University Press, 1984, h, 284. 121 Misalnya dalam Q., s. al-A'rif/7:56 (In-na rahmat-a 'l-Lah-i qarib-un min al-muhsinin), mestinya dikatakan qaribah sebagai sifat dari rahmah yang berbentuk mu'annats, akan tetapi karena shifat men-shifat-i hakekat maushuf yakni al-ihsan yang berbentuk mudzakkar maka shifat pun harus mudzakkar lalu digunakanlah kata qarib. 122 Lihat misalnya Susan Weidman Schneider,Jewish and Female; Choices and Changes in Our Lives Today, New York: Simon and Schuster,1984, dan Philip Culbertston, The Future of Male Spirituality, New Adam, Minneapolis: Foetress Press, 1992. 123 Di antara karya Fatima Mernissi yang paling populer ialah The Veil and the Male Elite, a Feminist Interpretation of Women's Right in Islam, yang edisi Inggrisnya diterbitkan di 21 kota Dalam buku ini Mernissi antara lain seolah menggugat kalangan Penguasa dan ulama memberikan muatan kultur Arab berlebihan terhadap beberapa Ayat dan Hadits, terutama sesudah Rasulullah wafat. 124 Holy Bible, op. cit, h. 2. 125 Lihat Judith R Baskin (Ed.), Jewish Woman Historical Prospective Detroit: Wayne State University Press, 1991, h. 79. Bandingkan dengan kedudukan perempuan dalam pandangan gereja yang diilustrasikan oleh Nelle Morton sebagai berikut: GOD MAN WOMAN CHILD EARTH Perempuan ditempatkan di bawah Tuhan dan laki-laki dan di atas anak-anak dan bumi. (Nelle Morton, Preaching the Word, dalam Alice L. Hageman (Ed)., Sexist Religion and Women in the Church, New York: Assosiation Press, 1974, h. 42). 126 Denise Lardner Carmody, Mythological Woman, Contemporary Reflections on Ancient Religious Stories, New York: Crossroad, 1992, h. 154-155. 127 Lihat misalnya kisah-kisah Adam dan pasangannya dalam Q., s. al-Baqarah/2:34-38, s. al-A'raf/7:11-27, s. Thaha/20:115-123. 128 Dikutip dari al-Razi, op: cit., Juz III, h. 2. 129 Muhammad Rasyid Ridla', Tafsir al-Manar, juz IV, Kairo: Dar al-Manar, 1367 H., h. 330. 130 Wiebke Walther, Women in Islam, from Mediaeval to Modern Time, New York: Markus Wiener Publishing Princeton, 1993, h. 51. 131 Yang dimaksud ayat-ayat essensial di sini ialah ayat-ayat yang menjadi tema pokok dalam al-Qur'an, seperti melaksanakan amanah (Q., s. al-Nisa'/4:58), mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q., s. al-Nahl/16:90), menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (Q., s. Alu 'Imran/ 3:104), dan men-tawhid-kan Tuhan (Q., s. al-Ikhlash/112:1-40). 132 Pendapat pertama dipegang oleh jumhur Ulama dengan alasan bahwa meskipun ayat-ayat itu diturunkan dalam suatu sebab khusus tetapi menggunakan redaksi umum (am), jadi mereka mengutamakan bunyi teks dari pada konteks, lagi pula menurut mereka, al-Qur'an tidak hanya untuk dijadikan petunjuk oleh masyarakat tempat dan waktu di mana al-Qur'an diturunkan tetapi juga untuk masyarakat sampai akhir zaman. Fungsi sabab nuzul lebih banyak merupakan penguat penjelasan (bayan ta'kid), dan sangat terbatas yang sampai ke bayan takhshish, yang berfungsi untuk mengkhushushkan jangkauan ayat, sebagai konsekuensi pada kaidah pertama (al-'ibrah bi 'umu-m al-lafdh, la-bi khushu-sh al-sabab), bahkan ada yang mengatakan ayat-ayat tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan riwayat sabab nuzul, karena ayat-ayat itu turun kebetulan pada saat terjadinya sebab itu. Pendapat yang kedua cenderung dipegang oleh al-Syathibi yang terkenal dengan kitabnyaAl-Muwafaqat-nya. Kalau jumhur penekanannya pada analisa teks maka Syathibi lebih berorientasi kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah) dan dengan demikian selain mengandalkan teknik analogi (qiyas) dengan memperhatikan secara cermat semua unsur qiyas, juga lebih berkonsentrasi kepada kajian konteks dari pada detail teks. Orisinalitas pendapat al-Syathibi terletak di antara dua kaidah (pertama dan ketiga) di atas, dan seolah-olah ingin mengembangkan kaidah lain bahwa yang dijadikan pegangan ('ibarah) ialah yang lebih dekat mengantar kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Kedudukan teks (lafzh) ditempatkan sejajar dengan sabab nuzul sambil melakukan penelitian kritis (istiqra') terhadap dalil-lalil lain, kemudian dipilih atau dibentuk suatu bentuk solusi. Sedangkan pendapat ketiga berpegang kepada kaidah al-'ibrah bi khushush al-sabab la-bi 'umum al-lafzh, pendapat ini tidak umum di kalangan ulama. 133 Lihat kembali catatan kaki nomor 131. 134 Konsep Madinah (kota) diuraikan dengan menarik oleh Nurcholish Madjid bahwa Madinah berasal dari akar kata yang sama dengan madaniyah atau tamaddun yang berarti "peradaban" (civilization). Secara literal madinah adalah "tempat peradaban", atau suatu lingkungan hidup yang ber-"adab" (kesopanan, "civility"), yakni tidak "liar". Padanannya dalam bahasa Arab ialah al-hadlarah, satu akar kata dengan hadlir (Indonesia: "hadir") yang menunjuk kepada pengertian "pola hidup menetap di suatu tempat" (sedentary). Pengertian tersebut erat kaitannya dengan tsaqafah (budaya/culture). Lawan dari kata konsep tersebut ialah badawah, badiyah, atau badw, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad), terkesan primitif, seperti pola kehidupan padang pasir. Kata badawah seakar kata dengan ibtida', seperti dimaksud pada "madrasah ibtidaiyyah" (sekolah tingkat permulaan), artinya orang-orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah (bedouin). Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadma, 1992, h. 312-313. 135 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992, h. 271. 136 Ibid, h. 278. 137 Lihat Masdud Hasan, Sayyid Abul A'la Al-Mawdudi and His Thought, Vol. II, Lahore Pakistan: Islamic Publication (Pvt) Ltd., t.th, h. 493. Lihat pula Farhat Haq, Islamic Reformism and the State: The Case of the Jammiat-i-Islami at Pakistan, (Dissertation), Ithaca: Cornell University, 1988, h. 280. 138 Lihat Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Manthur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, Juz XI, Beirut: Dar Shadir, h, 67. 139 Lihat Talmud op. cit, Vol. II (Erubin) h. 100b. 140 Lihat Lisa Aiken op. cit., h. 21, yang mengutipnya dari Me'am Loez on Genesis 3:17-19. 141 Bible, op. cit., h. 2. 142 Ibid. 143 Lihat Thomas Buckley and Alma Gottlies (Ed.), Blood Magic, the Antropology of Menstruation, Berkeley, Los Angeles, London: University ff California Press, 1988, h. 6-7. Lihat Pula PaulaWeidger, Menstrual and Menopause, The Physiology and Psychology, The Myth and Reality, New York: Alfred. A. Knoft., 1976, h. 85. 144 Kata kosmetic itu sendiri berasal dari bahasa Greek, cosmetikos yang arti dan konotasinya berhubungan erat dengan kata cosmos yaitu perihal keteraturan bumi. Juga berhubungan dengan kata cosmology, yang menunjuk kepada kajian astronomi tentang keserasian antara ruang dan waktu (space-time relationship) yang juga menjadi sasaran kajian metafisik. Istilah lain yang erat hubungannya kata tersebut ialah kata cosmogony yang berarti deskripsi tentang asal-usul alam semesta (description of the origin of the universe). Juga dengan kata cosmography berarti deskripsi tentang keserasian lmgkungan alam (description of the order of nature). Akan tetapi istilah "kosmetik" yang sekarang menjadi alat kecantikan wanita lebih dekat kepada kata cosmetikos tadi, berarti sesuatu yang harus diletakkan pada anggota badan wanita guna menjaga terpeliharanya keutuhan lingkungan alam. (Lihat Judi Grahn, Blood, Bread, and Roses, How Menstruation Created the World, Bostom: Beacon Press, 1993, h. 72-73). 145 Lihat ibid., h. 89-95. 146 Misalnya dalam Q., s. al-Ahzab/33:59 dan s. al-Nur/24:31. 147 Ada beberapa istilah yang semakna dengan jilbab (veil) dalam Kitab Tawrat, antara lain tif'eret. (Isaiah: 3:19-20). Diskursus mengenai jilbab dalam agama Yahudi pernah lebih seru dari pada yang belum lama ini diributkan dalam dunia Islam. Dalam Agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab (uncovered) dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat jatuhnya talak karena hal tersebut dianggap suatu ketidaksetiaan terhadap suami. ...the woman going out in public pleaces with uncovered constituted legitimate cause for divorce, as through it were synonimous with unfaitfullness. Lihat Louis M. Epstein, Sex Laws and Customs in Judaism, New York: Ktav Publishing House, INC., 1967, h. 41. 148 Istilah yang sepadan dengan cadar atau kerudung dalam Bible ialah: redid zammah, re'alah, za'if, mitpahat. Lihat ibid. h. 37. 149 Ibid, h. 36. 150 Ibid. 151 Penggunaan kata "hood" dalam bahasa Inggris yang berarti "kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher" dan kata hat berarti "topi" mempunyai kedekatan makna -dan boleh jadi berasal dari akar kata yang sama-- dengan kata hut berarti "bangunan sementara (temporary wooden house) bagi wanita yang sedang menstruasi. Secara etimologis makna kata hut berkonotasi negatif, karena bisa juga berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan kata "hood" selain berarti kerudung/cadar, juga berarti "penjahat" dan "buaya darat". Karena itu, penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula. 152 Judi Grahn, op. cit., h. 91-92. 153 Kata haydl adalah istilah khusus digunakan dalam al-Qur'an istilah ini tidak ditemukan dalam teks Tawrat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah kata haydl, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hadla-hadlan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu. Lihat Louis Ma'luf, Al-Munjid fi- al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1987, h.164. Hanya dalam Lisan al- Arab dikemukakan pendapat lain mengenai asal-usul kata tersebut. Menurut Al-Lihyani, Abu Sa'd, dan Abu Sukait, kata hadla dan hasha mempunyai arti yang sama yaitu "mengalir, menampal". Lihat Lisan al-Arab al-Muhith, Beirut: Dar Lisan al-'Arab, Juz 1, t.t., h.770. Hanya ada kesulitan kalau kedua kata itu diartikan sama, karena keduanya masing-masing mempunyai konteks penggunaan dalam al-Qur'an. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Qur an tetapi kata mahish lebih banyak berarti "jalan keluar" terhadap berbagai masalah, sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haid. 154 Q., s. al-Thalaq/65:4 dan s. al-Baqarah/2:222. 155 Lihat Tafsir Al-Qur'an al-Azhim, Juz 1, h. 258. 156 Banyak lagi riwayat yang serupa disampaikan oleh isteri-isteri Nabi yang lain. Lihat ibid., h. 259-260. 157 Kata adzan menurut bahasa berarti sesuatu yang keji dan tidak diinginkan (ma yukrihu min kulli syay'), karena itu kata adzan dalam tafsir yang berbahasa Indonesia sering diartikan dengan penyakit dan juga sering pula dengan kotoran. Bahkan menurut Thabathaba'i darah haid itu sendiri bukan dzat ('ayn)-nya yang darurat melainkan sesuatu yang dari luar (dlarurah lighayrih) kemudian memberi nilai tersendiri, seperti firman Allah dalam s. al-Ahzab/33:57: "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Maksudnya bukan menyakiti Allah dan Rasul-Nya secara fisik melainkan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula dalam ayat haydl tadi, bukan haydl-nya ansich yang adzan tetapi karena kedatangan darah haid itu setiap bulan dan membawa masalah bagi wanita. Lihat Thabathaba'i; Tafsir al-Mizan, Juz 2, h. 207. 158 Al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz h. 64. 159 Kata thaharah termasuk kata yang sering muncul dalam kitab suci terdahulu, seperti dalam kitab Taurat sering dihubungkan dengan mikvah/family purity yaitu melakukan mandi secara ritual dengan air yang telah diberkahi, biasanya pada petang hari ketujuh masa menstruasi. Lihat Lisa Aiken, ibid, h. 164-165. Makna thaharah tersebut mempunyai kemiripan fungsi dalam Islam, yaitu melakukan pembersihan sesudah melakukan persetubuhan atau seusai menjalani menstnrasi. Hanya dalam Tafsir al-Alusi memberikan komentar bahwa yang dimaksud bersih dari ayat tersebut ialah pembersihan secara hakiki, yakni melakukan pembersihan diri secara sempurna (al-thaharah al-kamilah) dengan mandi, maksudnya berhentinya haid tidak bisa dijadikan ukuran tetapi mandi wajib sesudah haid itulah yang dijadikan 'ibarah. Al-Alusi cenderung sependapat dengan 'Ashim yang membaca yaththahharna (dengan tasdiq) yang memfaedahkan upaya intensif untuk membersihkan diri. Lihat Tafsir al-Alusi, Juz 2.: h.123. Imam Syafi'i cukup dengan mandi seperti mandi janabah, yakni menbasahi seluruh anggota badan, sebagian ulama lain seperti 'Atha' dan Thawus berpendapat bahwa wanita pasca haid mesti mandi dan berwudlu. Lihat al-Razi dalam op. cit" h. 69. 160 Angka tujuh di sini semata-mata berdasar pada kebiasaan wanita bahwa umumnya mereka menjalani masa haid selama tujuh hari, tidak ada hubungannya sama sekali dengan angka tujuh seperti yang dianut dalam agama Yahudi. Ini bisa dilihat dalam diskursus empat imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, sama sekali tidak pernah ada yang menyinggung hubungan antara angka tujuh hari dengan penciptaan dan perilaku makrokosmos. 161 Lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Juz 1, ...h.258. 162 Lihat Tafsir al-Nahr al-Mad, Juz 1, h. 216. II. Konsep-konsep Dasar dalam Al-Qur'an II.5. KONSEP-KONSEP TEOLOGIS oleh Djohan Effendi Perkataan teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi agama Islam. Ia istilah yang diambil dari agama lain, yaitu dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani. Hal ini tidaklah dimaksudkan untuk menolak pemakaian kata teologi itu. Sebab pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama lain tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi jika istilah tersebut bisa memperkaya khazanah dan membantu mensistematisasikan pemahaman kita tentang Islam. Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of Religion and Religions berarti "ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup keseluruhan bidang agama." Dalam pengertian ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadankan dengan istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Istilah fiqih di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih sebagaimana kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqih seperti yang pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam Abu Hanifah, Bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar yang isinya bukan tentang ilmu fiqih, tapi justru tentang aqidah yang menjadi obyek bahasan ilmu kalam atau tauhid. Boleh jadi, ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al-fiqh-u 'l-ashghar. Sebab, keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman yang tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut bidang ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang pokok), sedangkan yang kedua meyangkut bidang furu'iyah (detail atau cabang). Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya ingin dikatakan bahwa pemakaian istilah teologi mempunyai alasan cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih utuh dan lebih terpadu. Pijakan tulisan ini tentang teologi al-Qur'an. Kita tentu sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur'an adalah ide tauhid. Pertanyaan yang perlu kita munculkan, bagaimana sebaiknya kita memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu dalam kehidupan kita sebagai muslim? Dalam pengalaman kita --sekurang-kurangnya sebagian dari kita-- mengenal atau pernah diberi pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu tersebut, pertama-tama kita diperkenalkan dengan apa yang disebut sebagai "hukum akal." Hal ini bisa kita baca dalam buku-buku ilmu tauhid, dari yang sangat tradisional hingga yang termasuk modern seperti buku Risalah Tawhid karya Muhammad Abduh, misalnya. Melalui kategori-kategori yang dirumuskan sebagai hukum akal itu, yakni: wajib, mustahil dan harus, kita diajak memahami tentang konsep ketuhanan dan kenabian. Maka kita pun mengetahui sifat-sifat Tuhan dan Nabi-nabi, baik yang dikategorikan sebagai sifat-sifat yang wajib, sifat-sifat yang mustahil maupun sifat-sifat yang harus. Masalah-masalah lain seperti kepercayaan tentang malaikat, kitab-kitab wahyu, hari akhirat maupun qadla dan qadar, adalah kelanjutan atau pelengkap dari kepercayaan terhadap Tuhan dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan di sekitar hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu tauhid. Jelas sekali pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat dalam ilmu tauhid sangat intelektualistik sifatnya. Lebih-lebih kalau kita memasuki pembahasan yang lebih rumit, terutama ketika membicarakan sifat-sifat Tuhan, yang selama ini dikenal sebagai "sifat dua puluh." Dalam membahas sifat dua puluh itu, muncul berbagai konsep seperti sifat nafsiyah, Salbiyah, ma'ani dan sifat ma'nawiyah. Juga dikemukakan pembahasan tentang kaitan atau ta'alluq sifat-sifat Tuhan dengan alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang ta'alluq ma'iyah, ta'alluq ta'tsir, ta'alluq hukmiyah, ta'alluq bi 'l-quwwah, ta'alluq shuluhi qadim, ta'allaq tanjizi qadim, ta'alluq tanjizi hadits. Kebanyakan dari kita tentu tidak akrab dengan istilah-istilah atau konsep -konsep tersebut. Dengan mengemukakan hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya teologi yang dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan dunia praktis, dengan problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu adalah teologi yang steril dan mandul. Ia tidak mempunyai relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi semacam itu tidaklah membuahkan elan vital (gairah hidup). Ia tidak melahirkan innerforce (kekuatan batin), moral maupun spiritual, yang membuat kita bergairah dalam aksi untuk membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita dari segala bentuk kemusyrikan. BENTUK-BENTUK KEMUSYRIKAN Dalam memahami ide tauhid, ada baiknya bila kita memahami apa-apa yang oleh al-Qur'an dianggap sebagai syirik atau kemusyrikan. Al-Qur'an mengemukakan dua ciri utama dari kemusyrikan, yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik atau sekutu, dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad atau saingan. Kedua ciri utama itu wujud dalam berbagai bentuk manifestasi. Kalau kita mendengar perkataan syirik atau kemusyrikan yang segera terbayang dalam angan-angan kita biasanya penyembahan berhala, seperti dilakukan para penganut agama-agama "pagan." Dan memang al-Qur'an sendiri menyinggung bahkan mengecam orang-orang yang menjadikan berhala sebagai ilah atau sesembahan (QS. 6:74; 7:138; 21:52). Selain berhala al-Qur'an juga mengemukakan hal-hal lain yang bisa dijadikan obyek sesembahan selain Tuhan, misalnya penyembahan benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang (QS. 41:37) atau benda-benda mati lainnya (QS. 4:117). Juga disinggung adanya penyembahan makhluk halus seperti jin (QS. 6:101) atau tokoh-tokoh yang dipertuhan atau dianggap mempunyai unsur-unsur ketuhanan (QS. 4:171; 5:116; 6:102; 19:82-92; 16:57; 17:40 dan 37:49). Berkenaan dengan penyembahan berhala, benda-benda langit atau benda-benda mati lainnya, atau penyembahan makhluk halus atau manusia yang dipertuhan, kiranya dari segi keberagamaan kita sebagai muslim, bukanlah persoalan yang masih memerlukan perhatian lebih banyak. Masalahnya sangat jelas dan karena itu menghindarinya pun sangat mudah. Akan tetapi masalah kemusyrikan tidak berhenti sampai di situ saja. Al-Qur'an masih mengemukakan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah kemusyrikan, yang lebih halus sifatnya, terutama berkaitan dengan ciri kemusyrikan yang menempatkan adanya andad atau saingan terhadap Tuhan, bukan dalam bentuk penyembahan melainkan dalam bentuk kecintaan (QS. 2:165). Dalam kategori ini bisa dimasukkan juga sikap ketaatan yang sama sekali tanpa reserve terhadap ulama (QS. 9:31) atau sikap fanatisme golongan, aliran atau juga organisasi yang berlebih-lebihan (QS. 23:52-53; 30:31-32). Hal-hal lain yang oleh al-Qur'an dijadikan contoh sebagai saingan Tuhan dalam kaitannya dengan kecintaan kita adalah keluarga dan kerabat dekat kita, kekayaan, usaha atau bussiness kita, dan rumah-rumah mewah kita (QS. 9:24). Selain itu masih ada satu hal lagi yang oleh al-Qur'an disebutkan sebagai "sesuatu yang bisa menjadi ilah atau sesembahan kita," yaitu hawa nafsu kita sendiri (QS.25:43). Berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan tersebut, sebagaimana dikemakakan al-Qur'an, menunjukkan bahwa masalah kemusyrikan bukanlah sesuatu yang sederhana, karena itu usaha kita menjadi orang yang benar-benar bertauhid bukanlah masalah yang mudah. KESERAKAHAN DAN KETIDAKPEDULIAN SOSIAL Berangkat dari berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan yang disebutkan al-Qur'an di atas, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa teologi al-Qur'an tidak sekedar terbatas pada aspek kepercayaan saja. Ia sangat terkait dengan hal-hal yang sangat praktis. Kebertauhidan tidak hanya menyangkut kepercayaan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi juga menyangkut pandangan dan sikap kita terhadap manusia, benda dan lembaga. Hubungan manusia dengan benda, baik pandangan maupun sikapnya, mendapat sorotan yang sangat tajam dalam al-Qur'an. Khususnya berkaitan dengan kekayaan. Hal ini menarik dan perlu untuk dikaji lebih jauh. Suatu hal yang sangat menggoda untuk direnungkan adalah, justru pada surat-surat atau ayat-ayat yang diwahyukan di masa-masa permulaan kenabian Muhammad saw tidak terdapat kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ada malah kecaman terhadap keserakahan dan ketidakpedulian sosial. Untuk memperjelas hal ini ada baiknya bila lebih dahulu dikemukakan tentang periodisasi turunnya al-Qur'an. Seperti kita ketahui masa turunnya al-Qur'an dibagi dalam dua priode: periode Mekkah (610-622 M.) dan periode Madinah (622-632 M.). Periode Mekkah sendiri juga dibagi dalam tiga tahap, tahap Mekkah awal (610-615 M.), tahap Mekkah pertengahan (616-617) dan tahap Mekkah akhir (618-622 M.). Pada masa periode Mekkah awal terdapat 48 surah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Di sini hanya diambil 12 surah paling awal saja, yakni: (1) Surah al-'Alaq, (2) Surah al-Mudatstsir, (3) Surah al-Lahab, (4) Surah al-Quraysy, (5) Surah al-Kawtsar, (6) Surah al-Humazah, (7) Surah al-Ma'un, (8) Surah al-Takatsur, (9) Surah al-Fil, (10) Surah al-Layli, (11) Surah al-Balad, dan (12) Surah al-Insyirah. Sengaja hanya diambil 12 surah di atas, sebab surah yang ke-13 adalah Surah al-Dhuha. Beberapa mufassir menceriterakan bahwa Surah al-Dhuha turun sesudah Nabi mengalami masa jeda di mana wahyu terhenti beberapa lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun atau diwahyukan kepada Nabi pada masa-masa sangat awal dari kenabian, atau dari sejarah Islam. Ke-12 surah tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah penyembahan berhala. Enam surah di antaranya justru menyinggung masalah keserakahan terhadap kekayaan dan ketidakpedulian terhadap orang-orang yang menderita. Dalam Surah al-Lahab, yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari hukuman di Hari Akhirat. Tidak berguna baginya kekayaannya, dan apa yang dikerjakannya! Akan dibakar ia dalam api menyala Surah al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6, dengan keras mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya itu bisa mengabadikannya. Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk harta kekayaan dan menghitung-hitungnya. Ia menyangka harta kekayaannya bisa mengekalkannya. Dalam surah yang turun berikutnya, Surah al-Ma'un, orang-orang yang tidak mempedulikan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang yang membohongkan agama. Tahukah engkau orang yang membohongkan agama Itulah dia yang mengusir anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin. Surah berikutnya yang turun dalam urutan ke-8, Surah al-Takatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan. Kalian menjadi lalai karena perlombaan mencari kemegahan dan kekayaan. Hingga kalian masuk ke pekuburan. Dalam Surah al-Layli yang diwahyukan dalam urutan ke-10 diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil. Maka siapa yang suka memberi dan bertaqwa. Dan membenarkan nilai kebaikan Kami akan memudahkan baginya jalan kebahagiaan. Dan siapa yang kikir dan menyombongkan kekayaan. Dan mendustakan nilai kebaikan Kami akan mudahkan baginya jalan kesengsaraan. Dan tiada berguna baginya kekayaannya ketika ia binasa. Yang terakhir Surah al-Balad yang diwahyukan dalam urutan ke-11, menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Dan Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia menempuh jalan mendaki. Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan budak sahaya. Atau memberi makanan di masa kelaparan. Pada anak yatim yang punya tali kekerabatan. Atau orang papa yang terlunta-lunta. Pesan-pesan al-Qur'an di atas, yang diwahyukan justru di masa yang sangat awal dari kenabian, sangat jelas dan sama sekali tidak memerlukan penafsiran. Ia memperlihatkan betapa, dalam al-Qur'an masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak sekedar masalah etik dan moral. Ia langsung menyangkut kebertauhidan kita. REFORMASI SOSIAL Kalau kita renungkan mengapa masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial mendapat sorotan tajam pada masa yang sangat awal dari kenabian Muhammad, mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa Risalah Nabi kita terutama untuk mengadakan reformasi sosial. Hal ini bisa kita kaitkan dengan penegasan al-Qur'an yang mengatakan bahwa Muhammmad diutus tidak lain kecuali dalam rangka membawa rahmat bagi seluruh alam (QS. 21:107). Dengan perkataan lain, misi utama Nabi Muhammad saw adalah membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang disemangati nilai-nilai rahmah. Anjuran Nabi agar kita selalu memulai kegiatan dan kerja kita dengan ucapan "Bismillahirrahmanirrahim" (bism-i 'l-Lah-i 'l-rahman-i 'l-rahim), memberikan suatu isyarat kepada kita agar kita menjadikan diri kita sebagai perwujudan dari nilai-nilai rahmah itu bagi sesama makhluk Tuhan. Dengan perkataan lain apapun profesi kita, motivasi dan orientasi kita tidak boleh bergeser dari ide untuk menciptakan --atau setidak-tidaknya menjadi bagian dari proses menciptakan-- suatu tata kehidupan yang dilandasi nilai-nilai rahmah itu. Pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana kaitan antara sorotan tajam terhadap kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial dengan cita-cita tentang reformasi sosial yang dilandasi semangat mewujudkan kehidupan yang penuh rahmah itu? Kaitannya sangat jelas, bahwa keserakahan dan ketidakpedulian sosial adalah yang menimbulkan suatu kehidupan yang tidak disemangati nilai-nilai rahmah. Karena itu reformasi sosial mestilah ditandai, pertama-tama oleh distribusi kekayaan yang adil. Itulah prioritas utama yang digumuli Nabi dalam usaha mewujudkan reformasi sosial. II.6. KONSEP-KONSEP KOSMOLOGIS (1/2) oleh Achmad Baiquni Telah banyak kitab yang ditulis ulama masyhur untuk menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur'an --yang merupakan garis-garis besar ajaran Islam itu-- dengan menggunakan ayat-ayat lain di dalam kitab suci tersebut, sebagai bandingan, dan dengan Sunnah Rasul sebagai penjelasan. Namun, dalam al-Qur'an sendiri, ciptaan Tuhan di seluruh jagad raya ini secara jelas disebutkan sebagai "ayat-ayat Allah", misalnya dalam surah 'Ali Imran 190 disebut, Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar). Karenanya, maka sebagai padanan untuk mendapatkan arti ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut al-Kaun dapat digunakan juga ayat-ayat Allah yang berada di dalam alam semesta ini. Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka tidaklah mengherankan apabila ketetapan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang berisi konsep-konsep Kauniyah sangat bervariasi, tergantung pada pengetahuan mufassir tentang alam semesta itu sendiri. Untuk memberikan contoh yang nyata, kita dapat menelaah ayat-ayat berikut, Dan tidakkah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa agama sama, [1] dan ardh [2] itu dahulu sesuatu yang padu, kemudian kami pisahkan keduanya (QS. al-Anbiya': 30. Dan sama' itu kami bangun dengan kekuatan dan sesungguhnya kamilah yang meluaskannya (QS. al-Dzariyat: 47). Seseorang yang hidup dalam abad 9 M akan mengatakan bahwa kata sama' artinya langit; pengertiannya ialah bahwa langit itu adalah sebuah bola super raksasa yang panjang radiusnya tertentu, yang berputar mengelilingi sumbunya. Dan pada dindingnya tampak menempel bintang-bintang yang gemerlapan di malam hari. Bola ini dikatakan mewadahi seluruh ruang alam dan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Ia merasa yakin bahwa persepsinya mengenai langit itulah yang sesuai dengan apa yang dapat diamati setiap hari, kapan pun juga. Bintang-bintang tampak tidak berubah posisinya yang satu terhadap yang lain, dan seluruh langit itu berputar-putar dalam satu hari (siang dan malam). Apa yang kiranya dapat kita harapkan dari orang ini andaikata ia diminta memberikan penafsiran (bukan sekadar salinan kata-kata) ayat-ayat tersebut? Tentu saja ia akan memberikan interpretasi yang sesuai dengan persepsinya tentang langit, serta ardh yaitu bumi yang datar yang dikurung oleh bola langit. Dan mungkin sekali ia akan mengatakan bahwa ayat 30 surah al-Anbiya' itu melukiskan peristiwa ketika Tuhan menyebutkan langit menjadi bola, setelah ia sekian lama terhampar di permukaan bumi seperti layaknya sebuah tenda yang belum dipasang. Dapat kita lihat dalam kasus ini bahwa konsep kosmologis dalam al-Qur'an, mengenai penciptaan alam semesta, yang dikemukakan orang itu sangatlah sederhana. Dan itu tidaklah benar, karena konsepsinya tidak mampu mengakomodasikan gejala yang dinyatakan ayat 4 surah al-Dzariyat. Sebuah langit yang berbentuk bola dengan jari-jari tertentu bukanlah langit yang bertambah luas. Apalagi kalau ia melingkupi seluruh ruang kosmos beserta isinya; tidak ada lagi sesuatu yang lebih besar daripadanya. Pada hemat saya, sesuatu konsepsi mengenai alam semesta yang benar harus dapat dipergunakan untuk menerangkan semua peristiwa yang dilukiskan ayat-ayat dalam kitab suci; ia harus sesuai dengan konsep-konsep kosmologis dalam al-Qur'an. Untuk mendapatkan konsepsi yang benar itu pada hakekatnya telah diberikan petunjuk sang pencipta misalnya dalam ayat 101 surah Yunus, Katakanlah (wahai Muhammad), Perhatikanlah dalam intighon apa yang ada di sama' dan di ardh (QS. Yunus: 101). Dalam teguran ayat 1 dan 18 dalam surah al-Ghasyiyah, Maka apakah mereka itu tak memperhatikan onta-dalam intighon, bagaimana ia diciptakan. Dan sama', bagaimana ia ditinggikan. (QS. al-Ghasyiyah: 1 dan 18). Serta dalam ayat 190 dan 191 surah Ali Imran, Sesungguhnya dalam penciptaan sama' dan ardh, serta silih bergantinya siang dan malam, terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar). Yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan pikirkan tentang penciptaan sama' dan ardh, wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia; Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa azab neraka. (QS. Ali Imran: 190 dan 191). Dengan diikutinya perintah dan petunjuk ini, maka muncullah di lingkungan umat Islam suatu kegiatan observasional yang disertai dengan pengukuran, sehingga ilmu tidak lagi bersifat kontemplatif belaka, seperti yang berkembang di lingkungan Yunani, tapi mempunyai ciri empiris sehingga tersusunlah dasar-dasar sains. Penerapan metode ilmiah ini, yang terdiri atas pengukuran teliti pada observasi dan penggunaan pertimbangan yang rasional, telah mengubah astrologi menjadi astronomi. Karena telah menjadi kebiasaan para pakar menulis hasil penelitian orang lain, maka tersusunlah himpunan rasionalitas kolektif insani yang kita kenal sebagai sains. Jelaslah di sini bahwa sains adalah hasil konsensus di antara para pakar. Kita ingat ayat 3, 4 dan 5 surah al-'Alaq, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. yang mengajar dengan qalam. [3] Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya. Penalaran tentang "bagaimana" dan "mengapa", yang menyangkut proses-proses alamiah di langit itu, menyebabkan timbulnya cabang baru dalam sains yang dinamakan astrofisika, yang bersama-sama astronomi membentuk konsep-konsep kosmologi. Meskipun ilmu pengetahuan keislaman ini tumbuh sebagai akibat dari pelaksanaan salah satu perintah agama, kiranya perlu kita pertanyakan apakah benar konsep kosmologi yang berkembang dalam sains itu sejalan dengan apa yang terdapat dalam al-Qur'an. Sebab obor pengembangan ilmu telah mulai berpindah tangan dari umat Islam kepada para cendekiawan bukan Islam sejak pertengahan abad ke 13 sampai selesai dalam abad 17, sehingga sejak itu sains tumbuh dalam kerangka acuan budaya, mental dan spiritual yang bukan Islam, dan yang memiliki nilai-nilai tak Islami. Mari kita kaji sambil menelusuri perkembangan ilmu kealaman sejak akhir abad 19 hingga akhir abad 20, ketika ia berjalan sangat cepat, jauh melampaui kelajuannya dalam abad-abad sebelumnya, sejalan dengan kecanggihan instrumentasi yang dipergunakan dalam observasi dan matematika sebagai sarana komputasi. Kita akan menemukan bahwa pada tahap-tahap tertentu ia tampak tidak sesuai dengan ajaran agama kita, sedangkan dalam fase-fase lain menghasilkan kesimpulan yang sehaluan dengannya. Seseorang yang hidup pada akhir abad 19, yang telah mengetahui melalui kegiatan sainsnya, bahwa bintang-bintang di langit jaraknya dari bumi tidak sama, dan bahkan mampu mengukur jarak itu dan mengatakan berapa massanya, tak lagi akan mengatakan, langit itu sebuah bola super raksasa. Ia akan mengatakan, langit adalah ruang jagad-raya, yang di dalamnya terdapat bintang-bintang, sebagian diikuti satelitnya, dan ada bintang-bintang kembar dan gerombolan-gerombolan bintang dalam galaksi kita yang disebut Bimasakti. Karena konsep kosmologi yang berlaku waktu itu berasal dari Newton, ia akan mengatakan juga bahwa bola super besar yang mewadahi seluruh ruang kosmos itu tidak ada sebab baginya ruang jagad-raya ini tak berhingga besarnya dan tidak mempunyai batas. Sudah tentu konsep kosmologi sains abad yang lalu ini tidak sesuai dengan konsep al-Qur'an, karena tak dapat mengakomodasi peristiwa yang: dilukiskan ayat 30 surah al-Anbiya' dan ayat 47 surah al-Dzariyat. Lebih dari itu bahkan bertentangan dengan ajaran agama kita; sebab alam semesta yang tak terbatas dan tak berhingga besarnya, dianggap tak berawal dan tidak berakhir. Dan kita akan melihat sepanjang pertumbuhan sains selanjutnya bahwa ide-ide semacam ini, yang mengandung konsepsi tentang alam yang langgeng, ada sejak dulu dan akan ada seterusnya, selalu timbul-tenggelam. (Karena itu, maka saya selalu menganjurkan agar umat Islam yang ingin mengejar ketinggalan mereka dalam sains dan teknologi akhir-akhir ini bersiap-siap mengadakan langkah-langkah pengamanan dengan meng-Islamkan sains, sehingga sains kembali dapat berkembang dalam kerangka sistem nilai yang Islami). Dari uraian di atas bahwa konsep kosmologi sains pada abad ke 19 gagal total dan sama sekali tak mampu menerangkan apa yang terkandung dalam dua ayat tersebut di atas. Padahal mereka baru merupakan sebagian saja dari ayat-ayat al-Qur'an yang berisi konsep-konsep kosmologi. Kita dapat juga mengemukakan beberapa ayat lainnya sebagai berikut, Dalam pada itu Dia mengarah pada penciptaan sama', dan ia penuh dukhon [4], lalu Dia berkata kepadanya dan kepada ardh, Datanglah kalian mematuhi-Ku dengan suka atau terpaksa; keduanya menjawab: kami datang dengan taat (QS. Fushshilat: 11) Maka Dia menjadikannya tujuh sama' dalam dua hari, dan Dia mewahyukan kepada tiap sama' peraturannya masing-masing; dan kami hiasi langit dunia dengan pelita-pelita, dan Kami memeliharanya; demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat: 12) Allah-lah yang telah menciptakan tujuh sama' dan ardh seperti itu pula (QS. al-Thalaq: 12) Allah-lah yang menciptakan sama' dan ardh dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, dan pada waktu itu pula bersemayam di arsy-Nya [5] (QS. al-Sajadah:4) Dan Dialah yang telah menciptakan sama' dan ardh dalam enam hari, ada pun Arsy-Nya telah tegak pada ma' [6] untuk menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya (QS. Hud: 7) Sesungguhnya Allah menahan sama' dan ardh agar jangan lenyap, dan sungguh jika keduanya akan lenyap dan tak ada siapa pun yang dapat menahan keduanya itu selain Allah; Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun dan Maha Pengampun (QS. Fathir: 41) Pada hari Kami gulung sama' seperti menggulung lembaran tulis; sebagaimana Kami telah mulai awal penciptaan, begitulah Kami akan mengembalikannya; itulah janji yang akan kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya (QS. al-Anbiya': 104) Sekarang mari kira cari pengertian yang terdapat dalam ayat itu. Kita telah melihat dari contoh-contoh yang diberikan, bahwa dengan bekal pengetahuan abad 19 saja seseorang tak mungkin memahaminya; meski ia seorang pakar yang ulung sekali pun. Sebab konsepsinya tentang alam semesta memang salah hingga tidak cocok dengan apa yang ada dalam al-Qur'an. Apa yang akan dikatakan oleh seorang kosmolog atau seorang fisikawan abad 20, jika ia ditanya tentang konsep kosmologi sains yang mutakhir yang dihasilkan penelitian para pakar? Secara garis besar, jawabnya kira-kira sebagai berikut: Konsepsi mengenai alam semesta ini sebenarnya mulai mengalami perubahan sejak tahun 1929 ketika Hubble melihat dan yakin bahwa galaksi-galaksi di sekitar Bimasakti menjauhi kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jarak dari bumi; yang lebih jauh kecepatannya lebih besar, sehingga dalam sains terdapat istilah alam yang mengembang (expanding universe). Hal ini mengingatkan orang pada pacuan kuda; kuda yang paling laju akan berlari paling depan. Karena kelajuan dan jarak masing-masing galaksi dari bumi diketahui, tidak sulit untuk menghitung kapan mereka itu mulai berlari. Pada tahun 1952 Gamow berkesimpulan bahwa galaksi-galaksi di seluruh jagad-raya yang cacahnya kira-kira 100 milyar dan masing-masing rata-rata berisi 100 milyar bintang itu pada mulanya berada di satu tempat bersama-sama dengan bumi, sekitar 15 milyar tahun yang lalu. Materi yang sekian banyaknya itu terkumpul sebagai suatu gumpalan yang terdiri dari neotron; sebab elektron-elektron yang berasal dari masing-masing atom telah menyatu dengan protonnya dan membentuk neotron sehingga tak ada gaya tolak listrik antara masing-masing elektron dan antara masing-masing proton. Gumpalan ini berada dalam ruang alam dan tanpa diketahui sebab musababnya meledak dengan sangat dahsyat sehingga terhamburlah materi itu ke seluruh ruang jagad-raya; peristiwa inilah yang kemudian terkenal sebagai "dentuman besar" (big bang). Sudah barang tentu gumpalan sebesar itu tak pernah bergelimpangan di ruang kosmos; sebab gaya gravitasi gumpalan itu akan begitu besar sehingga ia akan teremas menjadi sangat kecil. Lebih kecil dari bintang pulsar yang jari-jarinya hanya sebesar 2 sampai 3 kilometer dan massanya kira-kira 2 sampai 3 kali massa sang surya, dan bahkan lebih kecil dari lobang hitam (black hole) yang massanya jauh melebihi pulsar dan jari-jarinya menyusut mendekati ukuran titik. Gambarkan saja dalam angan-angan, berapa besar kepadatan materi dalam titik yang volumenya nol itu jika seluruh massa 100 milyar kali 100 milyar bintang sebesar matahari dipaksakan masuk di dalamnya! Inilah yang biasa disebut sebagai singularitas. Jadi konsep dentuman besar terpaksa dikoreksi yaitu bahwa keberadaan alam semesta ini diawali oleh ledakan maha dahsyat ketika tercipta ruang-waktu dan energi yang keluar dari singularitas dengan suhu yang tak terkirakan tingginya. II.6. KONSEP-KONSEP KOSMOLOGIS (2/2) oleh Achmad Baiquni Para pakar berpendapat bahwa alam semesta tercipta dari ketiadaan sebagai goncangan vakum yang membuatnya mengandung energi yang sangat tinggi dalam singularitas yang tekanannya menjadi negatif. Vakum yang mempunyai kandungan energi yang luarbiasa besarnya serta tekanan gravitasi yang negatif ini menimbulkan suatu dorongan eksplosif keluar dari singularitas. Tatkala alam mendingin, karena ekspansinya, sehingga suhunya merendah melewati 1.000 trilyun-trilyun derajat, pada umur 10-35 sekon, terjadilah gejala "lewat dingin". Pada saat pengembunan tersentak, keluarlah energi yang memanaskan kosmos kembali menjadi 1.000 trilyun-trilyun derajat, dan selurnh kosmos terdorong membesar dengan kecepatan luar biasa selama waktu 10-32 sekon. Ekspansi yang luar biasa cepataya ini menimbulkan kesan-kesan alam kita digelembungkan dengan tiupan dahsyat sehingga ia dikenal sebagai gejala inflasi. Selama proses inflasi ini, ada kemungkinan bahwa tidak hanya satu alam saja yang muncul, tetapi beberapa alam; berapa? duakah? tigakah? atau berapa? para ilmuwan tidak tahu. Dan masing-masing alam dapat mempunyai hukum-hukumnya sendiri; tidak perlu aturannya sama dengan apa yang ada di alam kita ini. Karena materialisasi dari energi yang tersedia, yang berakibat terhentinya inflasi, tidak terjadi secara serentak, maka di lokasi-lokasi tertentu terdapat konsentrasi materi yang merupakan benih galaksi-galaksi yang tersebar di seluruh kosmos. Jenis materi apa yang muncul pertama-tama di alam ini tidak seorang pun tahu; namun tatkala umur alam mendekati seper-seratus sekon, isinya terdiri atas radiasi dan partikel-partikel sub-nuklir. Pada saat itu suhu kosmos adalah sekitar 100 milyar derajat dan campuran partikel dan radiasi yang sangat rapat tetapi bersuhu sangat tinggi itu lebih menyerupai zat-alir daripada zat padat sehingga para ilmuwan memberikan nama "sop kosmos" kepadanya Antara umur satu sekon dan tiga menit terjadi proses yang dinamakan nukleosintesis; dalam periode ini atom-atom ringan terbentuk sebagai hasil reaksi fusi-nuklir. Baru setelah umur alam mencapai 700.000 tahun elektron-elektron masuk dalam orbit mereka sekitar inti dan membentuk atom sambil melepaskan radiasi; pada saat itu seluruh langit bercahaya terang benderang dan hingga kini "cahaya" ini masih dapat diobservasi sebagai radiasi gelombang mikro. Menurut perhitungan kami, alam semesta mempunyai dimensi 10; yaitu 4 buah dimensi ruang-waktu yang kita hayati, dan 6 lainnya yang tidak kita sadari, karena "tergulung" dengan jarij-ari 10-32 sentimeter yang bermanifestasi sebagai muatan listrik dan muatan nuklir. Dimensi yang kita hayati adalah dimensi yang, katakan saja, "terbentang" dan mengejawantah sebagai ruang-waktu. Kalau semua yang telah dirintis secara matematis ini mendapatkan pembenaran dari eksprimen atau observasi di alam luas, maka ada kemungkinan bahwa alam yang kita huni ini mempunyai kembaran (shadow world) yang sebenarnya berada di sekeliling kita, tapi tak dapat kita lihat; ia hanya dapat kita hubungi lewat medan gaya gravitasi sedangkan hukum alamnya tidak perlu sama dengan yang berlaku di dunia ini. Begitulah kira-kira uraian fisikawan itu. Sudah tentu apa yang dikatakan itu adalah hasil mutakhir kegiatan penelitian dan saling kaji antara para pakar dan merupakan konsensus. Selama perjalanan mencari kebenaran itu, sebenarnya sains telah mengalami penyelewengan-penyelewengan yang akhirnya terbongkar kesalahannya, karena tak cocok dengan kenyataan, dan mendapatkan pembetulan. Saya akan mengungkapkan beberapa saja yang relevan, sebagai contoh. Pertama, ketika persamaan matematis Einstein, yang dirumuskan untuk melukiskan alam semesta, dinyatakan oleh Friedman bahwa ia memberi gambaran kosmos yang mengembang, ia segera diubah oleh si-perumus agar sesuai dengan konsep kosmologi pada waktu itu; yaitu kosmos yang statis. Tapi langkah pembetulan itu mendapat tamparan, karena Hubble mengobservasi justeru jagad-raya ini berekspansi. Einstein mengalah dan kembali ke perumusannya yang semula yang melukiskan alam yang tak statis, tapi berekspansi. Kedua, ketika gagasan Gamow tentang dentuman besar yang menjurus pada konsep alam semesta yang berawal dikumandangkan beberapa kosmolog yang dipelopori Hoyle mengajukan tandingan yang dikenal sebagai kosmos yang mantap (steady state universe) yang menyatakan bahwa alam semesta ajeg sejak dulu sampai sekarang dan hingga nanti tanpa awal dan tanpa akhir. Namun terungkapnya keberadaan gelombang mikro yang mendatangi bumi dari segala penjuru alam secara uniform, oleh Wilson dan Penzias pada 1964, telah mendorong para pakar mengakuinya sebagai kilatan dalam alam semesta yang tersisa dari peristiwa dentuman besar. Dengan demikian maka konsepsi yang berawal lebih dikukuhkan. Ketiga, ketika dentuman besar tak dapat disangkal, beberapa ilmuwan mencoba mengembalikan keabadian kosmos dengan mengatakan, alam semesta ini berkembang-kempis (oscillating universe). Namun Weinberg menunjukkan kepalsuannya. Sebab alam yang berkelakuan seperti itu, meledak dan masuk kembali tak henti-hentinya tak berawal dan tak berakhir, entropinya besarnya tidak terhingga; suatu asumsi yang konsekuensinya tak didukung kenyataan. Kita lihat bahwa hasrat mempertahankan konsepsi alam semesta yang tak berawal (tak diciptakan) selalu menemui kegagalan, karena tak sesuai dengan kenyataan yang terobservasi. Bagaimana para fisikawan-kosmolog dapat mengatakan semuanya itu tanpa melihat sendiri kejadiannya? Sebenarnya mereka melihat dua gejala, yaitu ekspansi alam semesta dan radiasi gelombang mikro, yang mereka pergunakan untuk menelusuri kembali peristiwanya yang terjadi sekitar 15 milyar tahun lalu, seperti layaknya tim detektif yang ingin memecahkan sebuah misteri dengan menggunakan sekelumit abu rokok dan pecahan-pecahan gelas yang berserakan di sekitar tempat kejadian. Kalau para detektif itu cukup memakai penalaran logis saja, maka para pakar, di samping menggunakan pertimbanganpertimbangan rasional, harus melandasinya juga dengan pengetahuan sunnatullah, segenap peraturan Allah swt yang mengendalikan tingkah laku alam, yang dalam ayat 23 surah al-Fath dinyatakan memiliki stabilitas, sebagai sunnat-u 'l-lah yang berlaku sejak dulu, sekali-kali kamu tak akan menemukan perubahan pada sunnatullah itu. Apakah para fisikawan-kosmolog mengetahui nasib alam itu pada akhirnya? Ada dua pandangan yang dianut dalam sains yaitu, pertama, alam semesta ini "terbuka," sehingga ia akan berekspansi selamanya, dan kedua jagad raya ini "tertutup," sehingga pada suatu saat ekspansinya akan berhenti dan alam kembali mengecil untuk akhirnya seluruhnya mencebur kembali dalam singularitas, tempat ia keluar dulu kala. Kapan? Mereka tak tahu. Sebab mereka tak mempunyai informasi berapa sebenarnya massa yang terkandung dalam alam ini; sebagian massa itu bercahaya, sebagian gelap, sedangkan sebagian lagi dibawa zarah-zarah yang disebut neutrino. Qaul yang pertama didasarkan pada kenyataan bahwa masa seluruh alam ini tak cukup besar untuk menarik kembali semua galaksi yang bertebaran, karena bintang-bintang yang bercahaya dan materi antar bintang, yang terobservasi pengaruhnya, hanya dapat menyajikan sekitar 20 persen saja dari gaya yang diperlukan, yaitu yang dinamakan gaya kritis. Sedangkan qaul yang kedua mendasari pernyataannya dengan adanya neutrino- neutrino yang mereka percayai membawa sebagian besar dari massa alam ini sehingga sebagai totalitas kekuatan gaya kritis itu akan terlampaui. Sekarang marilah kita gali konsep-konsep kosmologi dalam al-Qur'an, tidak dengan pengetahuan orang abad ke 9 atau ke 19 melainkan dengan pengetahuan seseorang dari abad 20. Saya akan menafsirkan ayat-ayat yang telah dicantumkan di atas, dan yang saya pilih di antara sekian banyak ayat yang mengandung konsep- konsep tersebut, sebagai berikut, Dan tidakkah orang yang kafir itu mengetahui bahwa ruang waktu dan energi-materi itu dulu sesuatu yang padu (dalam singularitas), kemudian kami pisahkan keduanya itu (QS. al-Anbiya': 30) Dan ruang waktu itu Kami bangun dengan kekuatan (ketika dentuman besar dan inflasi melandanya sehingga beberapa dari dimensinya menjadi terbentang) dan sesungguhnya Kamilah yang m eluaskannya (sebagai kosmos yang berekspansi) (QS. al-Dzariyat: 47) Dalam pada itu Dia mengarah pada penciptaan ruang-waktu dan ia penuh "embunan" (dari materialisasi energi), lalu Dia berkata kepadanya dan kepada materi: Datanglah kalian mematuhi (peraturan)-Ku dengan suka atau terpaksa; keduanya menjawab: Kami datang dengan kepatuhan. (QS. Fushshilat: 11). Maka dia menjadikannya tujuh ruang-waktu (alam semesta) dalam dua hari, dan Dia mewahyukan kepada tiap alam itu peraturan (hukum alam)-nya masing-masing; dan kami hiasi ruang-waktu (alam) dunia dengan pelita-pelita, dan Kami memeliharanya; demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS. Fushshilat: 12) Allah-lah yang menciptakan tujuh ruang-waktu (alam semesta), dan materinya seperti itu pula. (QS. al-Thalaq: 12) Allah-lah yang menciptakan ruang-waktu dan materi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, dan pada saat itu pula menegakkan pemerintahan-Nya (yang seluruh perangkat peraturannya ditaati oleh segenap mahluk-Nya dengan suka hati) (QS. al-Sajadah: 4) Dan Dia-lah yang telah menciptakan ruang-waktu dan materi dalam enam hari, sedang pemerintahan-Nya telah tegak pada fase zat alir (yaitu sop kosmos) untuk menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalannya (QS. Hud: 7) Sesungguhnya Allah menahan ruang-waktu (alam semesta) dan materi di dalamnya agar jangan lenyap (sebagai jagad-raya yang terbuka), dan sungguh jika keduanya akan lenyap tiada siapa pun yang dapat menahan keduanya selain Allah; sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun dan Maha Pengampun (QS. al-Fathir: 41) Pada hari Kami gulung ruang-waktu (alam semesta) laksana menggulung lembaran tulis; sebagaimana Kami telah mulai awal penciptaan, begitulah Kami akan mengembalikannya; itulah janji yang akan kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya (QS. al-Anbiya': 104). Demikian konsep-konsep kosmologi yang dapat digali dari al-Qur'an sebagaimana saya melihatnya selaku orang yang berkecimpung dalam bidang sains. Mengatakan bahwa apa yang telah saya lakukan ini sebagai usaha menarik-narik al-Qur'an agar sejalan atau cocok dengan sains, hasil karya pikir manusia, adalah suatu tuduhan yang tak berdasar. Apa yang telah saya lakukan di sini bukanlah pembenaran (justification) sains dengan al-Qur'an; karena ada beberapa konsepsi sains yang telah saya tolak, karena tidak sesuai dengan al-Qur'an. Dan tidak pula saya menarik al-Qur'an agar sesuai dengan sains. Patokan saya adalah kebenaran kitab suci umat Islam, dan apa yang bertentangan dengannya saya tolak. Dan bukankah justeru Allah swt sendiri yang mengungkapkan adanya gejala ekspansi kosmos dan radiasi gelombang mikro kepada para ilmuwan, untuk membimbing mereka dari kesesatan dalam memahami ciptaanNya, hingga para ilmuwan yang setia kepada tradisi umat Islam, yang salaf, memeriksa ruang-waktu (alam semesta) serta materi di dalamnya sesuai dengan perintah-Nya dalam surah Yunus 101 itu mendapatkan petunjuk ke arah yang benar seperti tercantum dalam surah Fushshilat 53, Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka itu bahwa ia (al-Qur'an) adalah yang benar. Dalam awal uraian saya telah dikatakan bahwa penggalian konsep-konsep kosmologi dalam al-Qur'an merupakan pekerjaan yang tak kunjung henti. Memang begitulah karena sains akan terus berkembang dan akan senantiasa menemukan hal-hal yang baru yang dapat lebih melengkapi pengetahuan manusia hingga dapat lebih memahami ayat-ayat Allah. CATATAN Di bawah ini disajikan pertimbangan yang saya pergunakan untuk memilih kata-kata dalam penafsiran. 1. Sama', kini tak lagi diartikan sebagai bola super-raksasa yang dindingnya ditempeli bintang-bintang, melainkan ruang alam yang di dalamnya terdapat bintang-bintang, galaksi-galaksi dan lain-lainnya. Karena secara eksprimental dapat dibuktikan bahwa ruang serta waktu merupakan satu kesatuan, maka saya gunakan istilah ruang-waktu sebagai ganti "ruang". 2. Ardh, bumi atau tanah; karena bumi baru terbentuk sekitar 4,5 milyar tahun lalu di sekitar matahari, dan tanah di bumi kita ini baru terjadi sekitar 3 milyar tahun lalu sebagai kerak di atas magma. Maka saya condong mengartikan kata-kata ardh dengan istilah "materi," yakni bakal-bumi, yang sudah ada sesaat setelah Allah menciptakan jagad-raya. Dan karena telah terbukti bahwa materi dan energi setara dan dapat berubah dari yang satu menjadi yang lain, maka saya akan mencakup keduanya dalam istilah energi-materi. 3. Qalam, pena; karena orang dapat menulis sesuatu tak hanya dengan pena, misalnya dengan lidi-aren, dengan pangkal bulu, dengan bolpen, dengan vulpen, dengan kuas, dengan mesin ketik dan lain-lain sebagainya, maka saya condong untuk menggunakan istilah sarana tulis sebagai ganti "pena". Malahan saya lebih suka mengartikan sebagai "karya tulis". 4. Dukhan asap atau uap; pada saat awal penciptaan, atom-atom yang belum berbentuk karena suhu alam masih sangat tinggi dan elektron-elektron belum dapat ditangkap oleh inti-inti atom, bahkan inti atom pun pada saat itu belum terbentuk! Oleh karenanya, maka saya condong menggunakan istilah embunan, yang kecuali terkandung dalam asap dan uap juga lebih mengena bila dipergunakan melukiskan gejala yang ditemukan pada suatu sistem yang mendingin dari suhu yang sangat tinggi (dalam kasus ini bertrilyun-trilyun derajat). 5. Arsy, singgasana atau tahta; karena melukiskan Tuhan duduk di singgasana adalah syirik, saya condong untuk menafsirkan sebagai pemerintahan lengkap dengan sarana, aparatur dan peraturannya. Sebab jika kita mengatakan: itu keputusan Bina Graha, hal ini tidak berarti bahwa gedung itulah yang mengambil keputusan, melainkan pemerintah Indonesia yang bertindak. Karenanya, maka saya lebih suka mempergunakan katakata "Pemerintahan" (Allah) untuk mengartikan kata-kata arsy. 6. Ma', air atau zat alir; karena dalam fase penciptaan alam itu air yang terdiri dari atom oksigen dan atom-atom hidrogen belum dapat berbentuk, maka saya memilih maknanya sebagai zat alir. Dan karena pada saat itu isi alam semesta yakni radiasi dan materi pada suhu yang sangat tinggi itu wujudnya lain daripada yang kita dapat temui di dunia sekarang ini, maka penggunaan istilah "sop kosmos" sebagai keterangan melukiskan zat yang sangat rapat tapi dapat mengalir pada suhu yang amat tinggi, tidaklah terlalu aneh. II.7. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS (1/2) oleh Jalaluddin Rakhmat Al-Qur'an adalah kitab manusia. Karena al-Qur'an seluruhnya berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia. Dr. Yusuf Qardhawi (1977: 33) Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu Islam, kata Fazlur Rahman (1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauung, yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi adalah cara memandang realitas. Di antara realitas penting yang diulas ideologi adalah manusia. Toute ideologie precise d'emblee, tacitement on explicitement, la nature de l'individu et la place qui lui est assignee daus la groupe, en fonction de l'objektif social poursuiri. Pour une religion eschatologique comme l'Islam, dieu sera la reference primordial et unique puisqu'll est, a la fois, I origine et le fin de la destine e humaine, tulis Marcel A. Boisard (1979: 84), ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur'ani mengenai manusia dalam bab Les Fils d'Adam. Agak mengherankan, walaupun Boisard mengakui pentingnya filsafat antropologis dalam Islam, ia kemudian menyebutkan bahwa al-Qur'an diwahyukan untuk memperkenalkan Tuhan kepada manusia; bukan untuk menjelaskan manusia -non pour expliquer l'humain (Boisard, 1979: 84). Karena itu dalam seluruh bukunya, Boisard hampir tidak pernah membahas karakteristik manusia menurut al-Qur'an, seperti lazimnya filsafat manusia (philosophic de l'homme). [1] Dirk Bakker (1965) dalam bukunya Man in the Qur'an, mengulas manusia dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia, sesama manusia, Tuhan, dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan, tapi tidak membahas principe d'entre manusia. Adalah Rahman (1980), yang secara khusus menjelaskan principe d'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan dalam kalimatnya, The only different is that while every other creature follows its nature automatically, man ought to follow his nature; this tranformation of the is into ought is both fhe unique privelege and the unique risk of man (Rahman, 1980: 24) Rahman mengulas manusia dengan mengulas pandangan al-Qur'an tentang kedudukan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Ia tidak memulai dari konsep dasar yang digunakan al-Qur'an untuk mengabsorbsikan manusia. Dalam tulisan tersebut, juga dalam tulisan lain (Rahman, 1967) --yang membahas amanah sebagai inti kodrat manusia-- uraian Rahman tidak berbeda dengan pembahasan al-Ghazali yang lebih klasik (Lihat Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun) dan beberapa tulisan lainnya (Lihat Mutahhari, 1986) membahas karakteristik khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali, juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya, seperti Fazlur Rahman, mereka meneliti ayat-ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan manusia, lalu menyimpulkan secara induktif. Yang kita perlukan di sini, sebetulnya menemukan bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep-konsep dasar manusia. Dengan kata lain, kita mengidentifikasikan istilah-istilah al-Qur'an tentang manusia, kemudian mengenal bidang semantik setiap istilah itu, sebagaimana digunakan dalam al-Qur'an. Saya sangat terkesan dengan Izutsu (1964, 1965) yang memperkenalkan metodologi semantik [2] dalam memahami konsep-konsep dasar al-Qur'an. Tidak mungkin dalam makalah ini, saya menguraikannya secara terperinci. Izutsu sendiri berkata, Unfortunately, what is called semantics today is so bewilderingly complicated. It is extremely difficult, if not absolutely impossible, for an outsider even to get a general idea of what it is like (Izutsu, 1964: 10). Malangnya di samping makalah ini tidak dimaksudkan untuk itu, penulis makalah ini juga outsider. Jadi, dengan resiko salah beberapa langkah. Pertama, kita memilih istilah-istilah kunci (key-terms) dari vocabulary al-Qur'an, yang kita anggap merupakan unsur konseptual dasar dari Weltanschauung Qur'ani ini. Kedua, kita menentukan makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning). Makna pokok yang berkenaan dengan constant semantic element which remains attached to the word whereever it goes and however it is used (Izutsu, 1964: 19). Makna nasabi adalah makna tambahan yang terjadi karena istilah itu dihubungkan dengan konteks di mana istilah itu berada. Ketiga, kita menyimpulkan weltanschauung yang menyajikan konsep-konsep itu dalam satu kesatuan. Ketika Izutsu membahas kosep Tuhan dan manusia dalam al-Qur'an, ia menyebut pembahasannya sebagai semantics of the Koranic weltanschauung. Ia mengambil konsep Allah sebagai istilah kunci dan menjelaskan hubungan konsep itu dengan manusia. Ia menyebutkan tiga hubungan ontologis, hubungan komunikasi nonlinguistik, dan hubungan komunikasi linguistik. Ia sama sekali tidak menyebut berbagai konsep yang digunakan al-Qur'an untuk merujuk manusia. Tulisan ini mengambil jalan lain. Pertama, akan dibahas istilah-istilah kunci manusia dan bidang semantiknya. Kedua, akan dibahas implikasi dari bidang semantik tersebut untuk memperoleh gambaran tentang Weltanschauung Qur'ani. BASYAR, INSAN, DAN AL-NAS Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepada makna pokok manusia: basyar, insan, dan al-Nas. Ada konsep-konsep lain yang jarang dipergunakan dalam al-Qur'an dan dapat dilacak pada salah satu di antara tiga istilah kunci di atas, unas, anasiy, insiy, ins. Unas disebut lima kali dalam al-Qur'an (2:60; 7:82; 70:160; 17:71; 27:56) dan menunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam QS. 2:60, misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalam Bani Israil. Surat 17:21 dengan jelas menunjukkan makna ini pada hari kami memanggil setiap unas dengan imam mereka. Anasiy hanya disebut satu kali (25:49). Anasiy dalam bentuk jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy (Lihat al-Thabrasi, 1937), yang merupakan bentuk lain dari insan. Ins disebut 18 kali dalam al-Qur'an, dan selalu dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia yang mukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29; 46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6). Basyar. Marilah kita kembali kepada ketiga istilah kunci tadi. Basyar disebut 27 kali. [3] Dalam seluruh ayat tersebut, basyar memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata, Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (3:47); atau bagaimana kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah basyar --manusia biasa yang "seperti kita," bukan superman. Kata Basyar dihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan mitsluna (enam kali) diantara ayat-ayat tersebut di muka. Nabi Muhammad saw, disuruh Allah menegaskan bahwa secara biologis, ia seperti manusia yang lain, Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu (18:110; 41:6). Tentang para Nabi, orang-orang kafir selalu berkata, Bukankah ia Basyar seperti kamu, ia makan apa yang kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum (33:33). Ayat ini ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata, Bukankah Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus sebelummu para utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan Yusuf as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tapi ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia (12:31). Secara singkat konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia: makan, minum, seks, berjalan di pasar. Dari segi inilah, kita tidak tepat menafsirkan basyarun mitslukum sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa. Kecenderungan para Rasul untuk tidak patuh pada dosa dan kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tapi sifat-sifat psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya untuk tidak menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (95: 4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologi manusia. Yusuf Ali (1977: 1759) dengan tepat menafsirkan ayat ini to man God gave the purest and the best nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God has made him (QS 30:30). Al-Syaukani (1964, 5: 465) menyebutkan umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untuk menunjukkan kelebihan manusia secara fisiologis: berjalan tegak, dan makan dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabi berkata, Tak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripada manusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan, dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah. Insan. Sekali lagi, kekeliruan penafsiran, umumnya para mufassir bermula dari salah paham tentang semantic field istilah insan, yang berbeda dengan basyar. Insan disebut 65 kali dalam al-Qur'an. [4] Kita dapat mengelompokkan konteks insan dalam tiga kategori. Pertama, Insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah. kedua, Insan dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia. Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. Pada kategori pertama, kita melihat keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dengan hewani. Menurut al-Qur'an, manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, Yang mengajar dengan pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya. [5] (96: 4, 5), "Ia mengajarkan (insan) al-bayan" [6] (55: 3). Manusia diberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karena itu juga, kata insan berkali-kali dihubungkan dengan kata nazhar. Insan disuruh menazhar (merenungkan, memikirkan, menganalisis, mengamati) perbuatannya (79: 35), proses terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga terbentuknya buah-buahan (80: 24-36), dan penciptaannya (86: 5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah menjelaskan sifat insan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu al-Haq (41: 53). Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul amanah (33: 72). Menurut Fazlur Rahman (1967: 9), amanah adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam istilah al-Qur'an "mengetahui nama-nama semuanya" dan kemudian menggunakannya, dengan inisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan dunia yang baik. (Al-Thabathabai, tt, 351-352) mengutip berbagai pendapat para mufassir tentang makna amanah dan memilih makna amanah sebagai predisposisi (isti'dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai pemikul al wilayah al-ilahiyyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebutkan sebagai perjanjian (ahd, mitsaq, 'isr). [7] Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan secara metaforis [8] dalam surat 7:172. Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insan dalam al-Qur'an juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (75: 36; 75:3; 50:16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik (29:8; 31:14; 46:15); amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya (53: 39). Karena itu, insanlah yang dimusuhi setan (17:53; 59:16) dan ditentukan nasibnya di hari Qiyamat (75:10, 13, 14; 79:35; 80:17; 89:23). Keempat, dalam menyembah Allah, insan sangat dipengaruhi lingkungannya. Bila ia ditimpa musibah, ia cenderung menyembah Allah dengan ikhlas; bila ia mendapat keberuntungan, ia cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik (10:12; 11:9; 17:67; 17:83; 39:8, 49; 41:49, 51; 42:48; 89:15). II.7. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS (2/2) oleh Jalaluddin Rakhmat Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur'an, manusia itu cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15), tergesa-gesa (17:11; 21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72), banyak membantah atau mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah, gelisah, dan segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (84:6; 90:4), tidak berterima kasih (100:6), berbuat dosa (96:6; 75:5), meragukan hari akhirat (19:66). Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan: kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan kekuatan mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan dengan kategori ayat-ayat ketiga. Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula basyar berasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air (25:54). Ini mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik basyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi (1973: 76), manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh," kata Abbas Mahmud al-'Aqqad (1974, 7:381). Al-Nas. Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut al-Qur'an (240 kali, lihat 'Abd al-Baqi, al-Mu'jam; pada kata al-Nas). Tak mungkin dalam makalah singkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang memperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial. Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Dengan memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah (22:11; 29:10), yang menjual pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan Allah. Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitas rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut al-Qur'an sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21; 28,68; 30:6, 30; 45:26; 34:28,36; 40:57), tidak bersyukur (40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1), fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92), kafir (17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18). Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman (4:66; 38:24; 2:88; 4:46; 4:155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (18:22; 7:3; 27:62; 40:58; 69:42), yang bersyukur (34:13; 7:10; 23:78; 67:23; 32:9), yang selamat dari azab Allah (11:116), yang tidak diperdayakan syetan (4:83). Surat 6116 menyimpulkan bukti kedua ini, Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah. Ketiga, al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi juga manusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur'an dengan petunjuk atau al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35; 39:27; dan sebagainya). WELTANSCHAUUNG QUR'ANI TENTANG MANUSIA Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial. Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang dilambangkan manusia dengan unsur tanah. Pada keadaan itu, manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alam semesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar. Namun manusia sebagai insan dan al-Nas bertalian dengan unsur hembusan Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia menjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar, kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kata al-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab. Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam yang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu. Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yang membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan iman dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut 'amal shalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu dan iman adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Inilah hakikat kemanusiaannya," tulis Mutahhari (tt.: 17). Keduanya harus dikembangkan secara seimbang. Dalam pandangan al-Qur'an, sedikit sekali orang yang dapat mengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit orang yang beriman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagi orang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang disebut al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu" (QS. 58:11). Makna hidup manusia diukur sejauh mana ia berhasil beramal sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkan iman dan ilmunya. Ia lah yang menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang paling baik amalnya (QS. 67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yang ada dipermukaan bumi sebagai perhiasan untuk menguji mereka, siapa diantara mereka yang paling baik amalannya (18:7). Bila Sartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidup ini medan untuk membuktikan 'amal shalih. CATATAN 1. Obyek formal dari filsafat manusia ialah inti manusia, alam kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang ingin ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu prinsip adanya (principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11) 2. Metodologi semantik didefinisikan sebagai an analytic study of the key-terms of language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the Weltanschauung or world-view of the people who use that language as tool not only of speaking and thinking, but, more important still, of conceptualizing and interpreting the world that surround them (Izutsu, 1964:11) 3. Lihat al-Baqi, al-Mu'jam. 4. Karena banyak, pembaca dianjurkan melihat sendiri dalam Al-Baqi, Mu'jam. 5. Dr Muhammad Mahmud Hijazi (1968,30:65) menjelaskan ayat ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuk meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan percobaan sehingga sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta tabiat segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti memenuhi kehendak manusia." 6. Al-Bayan ditafsirkan sebagai kemampuan berbicara, pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan mengembangkan ilmu. Lihat al-Syaukani (1964, 5:131), al-Thabathabai (TT, 19:95) 7. Abd al-Karim Biazar menulis tentang the Covenant in the Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam setiap surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan manusia pada perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama (Allah) pihak kedua (Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi yang harus dipenuhi pihak kedua, janji, ancaman, saksi, sumpah dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan pelajaran dari masa lalu. Biazar (1366) banyak memberikan contoh-contoh yang menarik. 8. Tentang perjanjian manusia di alam dzarrah ini, terjadi banyak ikhtilaf di kalangan mufassir. Uraian berbagai pendapat tersebut beserta kritiknya disajikan lengkap oleh Subhani (1400:75 106). II.9. KONSEP-KONSEP KEADILAN oleh Abdurrahman Wahid Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan yang mudah diperoleh secara gamblang itu. Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas al-Qur'an sebagai sumber pemikiran paling baik tentang keadilan. Kebetulan persepsi semacam itu sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya al-Qur'an yang menjadi firmanNya (kalamu 'l-Lah) juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan? Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks dan rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada itu saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka? "Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa dalam wawasan teologis kaum skolastik (mutakallimin) Muslim sejak delapan abad terakhir ini. Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan segera melihat hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi dewasa ini justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah ketidakadilan dalam ukuran sangat massif. Demikian juga, persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah paham tentang kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau bukan, dan paham-paham besar lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar seperti Sosialisme, Komunisme, Nasionalisme dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan serba praktis seperti itu adalah sebuah pelarian yang tidak akan menyelesaikan masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah yang disederhanakan, justru akan menambah parah keadaan. Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan yang hakiki dan berdayaguna penuh untuk jangka panjang, dan merasa puas dengan "pemecahan" sementara yang tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang. Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan hak-hak perolehan warga masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi, pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis yang menyederhanakan masalah. Memang berdayaguna besar dalam jangka pendek, terbukti dengan kemauan mendirikan negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam dasawarsa terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu ternyata membawa hasil buruk, terbukti dengan "di bongkar pasangnya" Komunisme dewasa ini oleh para pemimpin mereka sendiri di mana-mana. Rendahnya produktivitas individual sebagai akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga masyarakat yang sudah berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan perombakan total seperti diakibatkan oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet beberapa waktu lalu. Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga meninjau masalah keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan, bahkan yang paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan dan selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan kemasyarakatan Islam yang lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia di masa-masa mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham yang dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib yang sama dengan yang menentang Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya secara baik dan tuntas, bukankah hanya melalui jalan pintas belaka. Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an. Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba pula untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal pokok dan sosok kasar dari apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati. PENGERTIAN KEADILAN Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan). Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka. Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan al-Qur'an agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing. Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan oleh al-Qur'an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural. Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik. PERMASALAHAN Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam al-Qur'an itu, secara langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk penuangannya yang terasa "sangat berbalasan" (talionis, kompensatoris). Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu bentuk tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat adil, walaupun dalam sisi-sisi yang lain justru wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat dikemukakan sebagai contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika "berbuat adil" dengan menjaga ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa mempersoalkan apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan yang adil. Dengan demikian, pemenuhan tuntutan keadilan yang seharusnya berwajah utuh, lalu menjadi sangat parsial dan tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya belaka. Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu juga terlihat dalam sederhananya perumusan apa yang dinamakan keadilan itu sendiri. Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia melahirkan anak yang dikandungnya, cukup dengan jumlah tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat terasa watak berbalasan dari "pemenuhan keadilan" yang berbentuk seperti ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri). Dari pengamatan akan kedua hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan dalam pandangan al-Qur'an itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa keadilan dalam kehidupan itu sendiri. Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan? Dapatkah wawasan keadilan itu menampung kebutuhan akan persamaan derajat agama dikesampingkan oleh kebutuhan akan hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik pribadi demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam al-Qur'an memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat modern di masa datang. Diperlukan kajian-kajian lebih lanjut tentang peta permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun jelas sekali bahwa visi keadilan yang ada dalam al-Qur'an dewasa ini harus direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan relevansi berjangka panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi rumit dan memerlukan refleksi filosofis, di samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk merampungkannya secara kolektif. Masalahnya, masih punyakah umat Islam kejujuran intelektual seperti itu, atau memang sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan "kerangka operasionalisasi" serba terbatas, sebagai pelarian yang manis? II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (1/4) oleh Nurcholish Madjid Masalah kebahagiaan (sa'adah) dan kesengsaraan (syaqawah) adalah masalah kemanusiaan yang paling hakiki. Sebab tujuan hidup manusia tak lain ialah memperoleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan. Semua ajaran, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan semata (seperti Marxisme, misalnya) menjanjikan kebahagiaan bagi para pengikutnya dan mengancam para penentangnya dengan kesengsaraan. Gambaran tentang wujud kebahagiaan atau kesengsaraan itu sangat beranekaragam. Namun semua ajaran dan ideologi selalu menegaskan bahwa kebahagiaan yang dijanjikannya atau kesengsaraan yang diancamkannya adalah jenis yang paling sejati dan abadi. Dalam agama-agama, gambaran tentang wujud kebahagiaan dan kesengsaraan itu dinyatakan dalam konsep-konsep tentang kehidupan di surga dan di neraka. Meskipun ilustrasi tentang surga dan neraka itu berbeda-beda --dalam banyak hal perbedaan itu sangat radikal dan prinsipil-- namun semuanya menunjukkan adanya keyakinan yang pasti tentang pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan dalam hidup manusia. Kebahagiaan atau kesengsaraan itu dapat terjadi hanya di dunia ini saja seperti dalam Marxisme, atau di akhirat saja seperti dalam agama-agama other-wordly, atau di dunia dan akhirat seperti dalam Islam. Kitab Suci al-Qur'an menyajikan banyak ilustrasi dan penegasan yang kuat tentang kebahagiaan dan kesengsaraan Dalam sebuah firman disebutkan tentang terbaginya manusia ke dalam dua kelompok: yang sengsara (syaqiy penyandang syaqawah, yakni, kesengsaraan) dan yang bahagia (sa'id, penyandang sa'adah, yakni kebahagiaan). Al-Qur'an melukiskan keadaan itu demikian, Jika Hari (Kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorang pun akan berbicara kecuali dengan izin-Nya Mereka manusia akan terbagi menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia. Ada pun mereka yang sengsara, maka akan tinggal dalam neraka di sana mereka akan berkeluh kesah semata. Kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada, kecuali jika Tuhanmu menghendaki hal berbeda. Sebab Tuhanmu pasti melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak-Nya. Ada pun mereka yang bahagia, maka akan berada dalam surga, kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada kecuali jika Tuharmu menghendaki hal berbeda, sebagai anugerah yang tiada batasnya. (QS. Hud/11:105-108) Munculnya persoalan pengertian kebahagiaan dan kesengsaraan ini dalam Islam, patut kita bahas secara sungguh-sungguh, disebabkan adanya perbedaan interpretasi atas ayat-ayat suci yang menggambarkan kebahagiaan dan kesengsaraan itu. Perselisihan tentang wujud kebahagiaan atau kesengsaraan itu, yaitu, apakah berupa pengalaman kerohanian semata, atau pengalaman jasmani semata, ataukah pengalaman rohani dan jasmani sekaligus, merupakan bagian dari dialog Islam sejak masa klasik. Dalam tulisan ini kita akan membicarakan konsep kebahagiaan dan kesengsaraan sebagai pengalaman keagamaan (pribadi). Ini akan banyak menyangkut konsep-konsep kefilsafatan dan kesufian yang cukup rumit, namun dirasa perlu kita mulai membahasnya mengingat perkembangan keagamaan di negeri kita yang pesat dengan tuntutan-tuntutannya yang terus meningkat. KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN: JASMANI DAN ROHANI? Di atas telah disinggung, sebagian agama mengajarkan adanya kebahagiaan dan kesengsaraan rohani semata. Bagi agama-agama itu, kehidupan jasmani adalah kesengsaraan, karena sifatnya yang membelenggu sukma manusia. Kebahagiaan hanya diperoleh dengan tindakan dan perilaku meninggalkan dunia, dalam orientasi hidup yang mengarah ke kehidupan rohani saja. Marxisme, tentu saja, mengajarkan tentang adanya kebahagiaan atau kesengsaraan yang hanya bersifat jasmani, dan dengan sendirinya, semua itu berlangsung hanya dalam hidup di dunia ini saja. Ateisme dengan sendirinya mengingkari kehidupan sesudah mati atau akhirat. Kaum Marxis yang ateis ini mirip dengan gambaran dalam al-Qur'an tentang golongan manusia pemuja waktu (al-Dahr), yang hanya mempercayai kehidupan duniawi ini saja, dan kematian adalah fase final hidup manusia, bukan fase peralihan seperti diyakini agama-agama (Lihat QS. al-Jatsiyah/45:24). Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan rohani atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan keduanya. Dalam Islam, seseorang dianjurkan mengejar kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini (Lihat QS. al-Qashash/28:77). Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka manusia didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta berusaha menghindar dari penderitaan azab lahir dan batin (QS. al-Baqarah/2:200). Walaupun begitu, banyak pula dijanjikan kehidupan yang bahagia sekaligus di dunia ini dan di akhirat kelak untuk mereka yang beriman dan berbuat baik. Kehidupan yang bahagia di dunia menjadi semacam pendahuluan bagi kehidupan yang lebih bahagia di akhirat. Barangsiapa berbuat baik, dari kalangan pria maupun wanita, dan dia itu beriman maka pastilah akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan pastilah akan Kami ganjarkan kepada mereka pahala mereka (di akhirat), sesuai dengan sebaik-baik apa yang telah mereka kerjakan (QS. al-Nahl/16:97). Demikian itu masalah kebahagiaan, demikian pula masalah kesengsaraan. Orang yang ingkar kepada kebenaran dan berbuat jahat diancam baginya kesengsaraan dalam hidup di dunia ini sebelum kesengsaraan yang lebih besar kelak di akhirat, Adapun orang-orang yang jahat, maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar dari sana, mereka dikembalikan ke dalamnya, sambil dikatakan kepada mereka: "Sekarang rasakanlah azab neraka ini, yang dahulu kamu dustakan." Dan pastilah Kami (Tuhan) buat mereka merasakan azab yang lebih ringan (di dunia ini) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat nanti) agar kiranya mereka mau kembali. (QS. al-Sajdah/32:20-21) Penegasan-penegasan ini tidak perlu dipertentangkan dengan penegasan-penegasan terdahulu di atas bahwa ada perbedaan antara kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi, dan bahwa tidak selamanya mengejar salah satu akan dengan sendirinya menghasilkan yang lain. Tapi memang ada dan banyak, perilaku lahir dan batin manusia yang membawa akibat pada adanya pengalaman kebahagiaan atau kesengsaruan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Beberapa nilai akhlak luhur seperti jujur, dapat dipercaya, cinta kerja keras, tulus, berkesungguhan dalam mencapai hasil kerja sebaik-baiknya (itqan), tepat janji, tabah, hemat, dan lain-lain adalah pekerti-pekerti yang dipujikan Allah sebagai ciri-ciri kaum beriman. Ciri tersebut akan membawa mereka pada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi sekaligus, dengan kebahagiaan di akhirat yang jauh lebih besar. MASALAH INTERPRETASI Meskipun para ulama sepakat tentang adanya kebahagiaan dan kesengsaraan dunia-akhirat itu, mereka tetap berselisih tentang kebahagiaan dan kesengsaraan yang sejati dan abadi Pangkal perbedaan itu ialah adanya perbedaan dalam tafsiran atas berbagai keterangan suci tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, baik dari al-Qur'an maupun Sunnnah, khususnya keterangan atau pelukisan tentang surga dan neraka Yaitu perbedaan antara mereka yang memahami teks-teks suci secara harfiah dan mereka yang melakukan interpretasi metaforis (ta'wil) Bagi mereka yang memahami teks-teks suci itu secara harfiah, pengertian tentang kebahagiaan dan kesengsaraan akan cenderung bersifat fisik. Sebab hampir seluruh keterangan dan pelukisan tentang surga dan neraka dalam Kitab dan Sunnah menggambarkan tentang pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan yang serba fisik. Kemudian ada beberapa keterangan, baik dalam Kitab maupun Sunnah yang memberi isyarat bahwa pengalaman kebahagiaan dan kesengsaraan itu tidak fisik, melainkan rohani atau sekurang-kurangnya psikologis. Dalam kemungkinan tinjauan yang lebih menyeluruh, yang dikaitkan dengan "kebijaksanaan" Tuhan sebagai yang Maha Kasih-Sayang dan Maha Adil, maka pelukisan kebahagiaan dan kesengsaraan apa pun harus diterima sebagai sesuatu yang wujudi atau eksistensial, dan harus dipahami dalam konteks adres pembicaraan (al-mukhathab). Ibn Rusyd mengaitkan perkara ini dengan kenyataan terbaginya manusia dalam susunan tinggi dan rendah, yang melahirkan piramida eksistensial, manusia dengan kaum khawas (al-khawash atau orang-orang khusus, the specials) menempati puncak piramida itu, dan kaum awam (al-awam orang-orang umum atau kebanyakan, the commons) menempati bagian-bagian bawah sampai ke dasar piramida. Kaum awam ini membentuk bagian terbesar struktur piramidal masyarakat manusia. Meskipun pendekatan ini mengesankan elitisme, namun dalam pandangan Ibn Rusyd tidaklah terhindarkan karena kenyataan dalam masyarakat menunjukkan adanya orang-orang tertentu yang jumlahnya tidak banyak, yang sanggup memahami kebenaran- kebenaran hakiki lewat alegori-alegori dengan melakukan "penyeberangan" (al-i'tibar) ke pengertian-pengertian sebenarnya di balik alegori-alegori. Bagi mereka ini, seluruh keterangan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, berbentuk pelukisan kehidupan di surga dan neraka dalam Kitab Suci dan Sabda Nabi, adalah metafor-metafor atau makna-makna kiasan (majaz). Mereka yang mampu memahaminya dengan melakukan al-i'tibar, jika mendapatkan bahwa pengertian harfiah pelukisan itu adalah mustahil atau absurd, menurut Ibn Rusyd wajib melakukan pemahaman serupa itu. Pemahaman me lalui metode i'tibar adalah interpretasi alegoris atau ta'wil. Dengan jalan itu kaum khawas dapat menerima agama dan rahmat yang dikandung agama itu pada dataran yang lebih tinggi daripada kaum awam. Tapi Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Kasih-Sayang kepada sekalian umat manusia tentu mustahil mengalamatkan sabda-Nya hanya kepada orang-orang khusus yang jumlahnya sedikit itu. Sebab dengan demikian berarti Tuhan menjanjikan kebahagiaan hanya kepada kelompok kecil manusia saja, suatu hal yang jelas mustahil yang kualifikasi kelompok kecil itu ialah kesanggupan memahami hal-hal abstrak di balik ungkapan-ungkapan kiasan. Karena itu Tuhan juga mengarahkan sabda-Nya kepada khalayak umum, sesuai dan setingkat dengan cara berfikir serta kemampuan mereka menangkap pesan dan memahami masalah. Karena itu, dalam pandangan Ibn Rusyd dan para filsuf Muslim, pelukisan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi kebanyakan bersifat fisik, karena memang pelukisan yang bersifat fisik itulah yang dapat ditangkap dan dipahami umum. Karena yang pokok ialah iman kepada Allah serta berbuat baik, maka pengertian tentang hakikat kebahagiaan dan kesengsaraan itu menjadi kurang relevan bagi kaum awam. Mereka ini wajib menerima pelukisan tentang surga dan neraka apa adanya, sesuai dengan cara yang sekiranya akan mendorong mereka berbuat baik dan mencegah dari berbuat jahat. (Lihat Ibn Rusyd, Fashl al-Maqa]). II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (2/4) oleh Nurcholish Madjid Para filsuf menemukan dukungan bagi metodologi ta'wil mereka dalam berbagai penjelasan, bahwa dalam al-Qur'an Tuhan memang menyediakan berbagai "tamsil-ibarat", alegori atau metafor, termasuk mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan. Maka sementara masalah adanya kebahagiaan dan kesengsaraan itu, baik di dunia maupun di akhirat, adalah nyata dan tidak mungkin diingkari, namun "tamsil-ibarat" dan pelukisan mengenai hakikatnya dapat menerima penafsiran-penafsiran, termasuk penafsiran alegoris (tamtsili ataupun ta'wil). Bahwa banyak kandungan al-Qur'an yang bersifat tamsil-ibarat, dapat dipahami dari firman berikut, Dan sungguh telah Kami (Tuhan) beberkan untuk manusia dalam al-Qur'an ini setiap bentuk tamsil-ibarat. Namun kebanyakan manusia tidak menerimanya, kecuali dengan sikap ingkar. (QS. al-Isra'/17:89, lihat juga QS. al-Kahf/16:54, QS. al-Rum/30:58 dan QS. al-Zumar/39:27). Lebih jauh lagi, ada berbagai isyarat bahwa keterangan tentang surga dan neraka pun bersifat tamsil-ibarat, seperti dapat diketahui dari firman berikut, Tamsil-ibarat surga (jannah: kebun) yang dijanjikan untuk mereka yang bertaqwa ialah, sungai-sungainya mengalir di bawahnya, dan buah-buahannya tumbuh tanpa berhenti, demikian pula naungan rindang yang diberikannya. Itulah tempat kesudahan bagi mereka yang bertaqwa, sedangkan tempat kesudahan mereka yang menentang ialah api neraka. (QS. Al-Rad/13:35) Tamsil-ibarat surga yang dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa ialah, di dalamnya ada sungai-sungai dari air, yang tidak akan rusak; dan sungai-sungai dari susu, yang tidak akan berubah cita-rasanya; dan sungai-sungai dari khamar, yang segar melezatkan bagi yang meminumnya, dan sungai-sungai dari madu, yang murni-bersih. Di dalam surga itu mereka mendapatkan buah-buahan dari segala macam, juga memperoleh ampunan dari Tuhan mereka. Sebagaimana juga (tamsil-ibarat) orang yang kekal di dalam neraka, yang diberi minum dengan air mendidih, yang minuman itu memotong-motong usus mereka. (QS. Muhammad/47:15) Jadi karena pelukisan tentang surga dan neraka itu disebut sebagai tamsil-ibarat dalam al-Qur'an, sepatutnya tidaklah dipahami menurut makna bunyi lafal lahiriahnya. Inilah yang dicari dan dikejar para filsuf dan kaum sufi. Karena merupakan pemahaman keagamaan yang lebih batini (esoterik) daripada lahiri (eksoterik), maka filsafat dan tasawuf acapkali sengaja dibuat tidak bisa diarah oleh orang umum, dan disampaikan hanya kepada kalangan tertentu yang terbatas, sebagai ajaran "rahasia" bagi kaum khawas. Dan memang kenyataannya pendekatan esoterik senantiasa sulit dipahami kaum awam, sehingga banyak salah pengertian yang kemudian mengundang polemik dan kontroversi. Beberapa pelopor pemahaman esoterik, seperti al-Hallaj dan Suhrawardi, harus menemui kematian di tangan penguasa, akibat intrik-intrik politik yang menjerat mereka. Sebagian tokoh lagi, seperti Ibn 'Arabi, telah meninggalkan karya-karya besar yang sampai sekarang dipelajari orang dengan penuh minat, dan ketokohannya disanjung dan dikecam secara sama. Walaupun pemahaman esoterik senantiasa rumit, sulit dan ruwet, namun tidak berarti tertutup rapat untuk setiap orang, malah dalam banyak hal merupakan kebutuhan. Karena tidak jarang pendekatan esoterik memang menyegarkan. BAHAGIA DAN SENGSARA: PANDANGAN KEFILSAFATAN DAN KESUFIAN Walaupun begitu dalam zaman sekarang pendekatan esoterik tidak lagi dapat dipertahankan sepenuhnya sebagai kerahasiaan, karena berbagai hal. Pertama, karena akses pada bahan bacaan, termasuk di bidang kesufian atau mistisisme, yang tumbuh pesat tidak mungkin lagi dibendung. Bahkan kiranya memang tidak perlu dan tidak dibenarkan untuk dibendung. Kedua, tingkat kecerdasan anggota masyarakat yang semakin tinggi menuntut pengertian-pengertian agama yang tidak konvensional atau, apalagi, stereotipikal. Ketiga pergaulan kemanusiaan sejagad makin tidak terhindarkan, berkat kemajuan teknologi informasi dan transportasi. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam pembahasan di atas, pandangan kefilsafatan dan kesufian tentang bahagia dan sengsara cenderung mengarah pada pengertian-pengertian yang lebih rohani daripada jasmani atau, barangkali lebih psikologis daripada fisiologis. Selain berdasarkan isyarat tentang banyaknya kandungan al-Qur'an yang disebut sebagai tamsil-ibarat di atas, kaum sufi dan para filsuf juga mendapatkan banyaknya penegasan bahwa kebahagiaan tertinggi jika bukannya seluruh kebahagiaan itu sendiri, terwujud dalam ridla Allah. Sebuah firman mengatakan, Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman, pria maupun wanita, surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal di sana selama-lamanya; (dijanjikan pula) tempat-tempat tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan abadi. Dan keridlaan dari Allah adalah yang akbar. Itulah sebenarnya kebahagiaan yang agung. (QS. al-Tawbah/9:72) Dalam menafsirkan firman Allah ini, Sayyid Quthub mengatakan, ... Kebahagiaan di surga menanti kaum beriman, Surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal di sana selama-lamanya; juga tempat-tempat tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan abadi... sebagai tempat kediaman yang tenang tenteram. Dan di atas itu semua mereka akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dan lebih agung lagi; Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar. Surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya tidaklah berarti apa-apa dan akan menjadi tidak seberapa di depan hebatnya keridlaan Allah yang Maha Pemurah. Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar. Saat perjumpaan dengan Allah, saat menyaksikan Keagungan-Nya, saat pembebasan diri dari kungkungan jasad yang campur aduk ini serta dari beban bumi dan iming-iming jangka pendeknya, saat dari lubuk hati manusia yang mendalam terpancar sinar dari Cahaya yang mata tidak mampu memandangNya, saat pencerahan ketika relung-relung sukma benderang dengan berkas Ruh Allah... semuanya adalah satu momen dari momen-momen yang bertumpu pada kelangkaan amat sedikit bagi manusia dalam suasana kesucian total; sungguh dihadapan itu semua tidaklah bermakna lagi setiap kesenangan, juga tidak setiap harapan... Apalagi keridlaan Allah meliputi seluruh sukma, dan sukma-sukma itu tercekam di dalamnya tanpa kesudahan! "ltulah kebahagiaan sejati yang agung". (Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur'an, jilid 10, hal. 254-5) Dengan tafsirnya itu, Sayyid Quthub telah melakukan pendekatan filosofis dan sufi pada masalah hakikat kebahagiaan. Tafsiran bahwa kebahagiaan tertinggi dan paling agung, sebagai keridlaan Allah --sebagai pengalaman kesaksian rohani akan Wujud Maha Benar itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian itu semua bentuk kebahagiaan menjadi tidak bermakna apa-apa adalah sebuah tafsiran kasyafi (theophanic, epiphanic, yakni, bersifat penyingkapan dan pengalaman spiritual akan kehadiran Kebenaran Ilahi). Metodologi seperti itu dikembangkan dalam tasawuf. Tercapainya pengalaman tersebut, termasuk dalam hidup sekarang ini jika mungkin, menjadi tujuan semua olah-rohani (riyadlah) dan perjuangan spiritual (mujahadah), seperti yang diajarkan kaum sufi. KEBEBASAN DAN KEBAHAGIAAN Salah satu tema utama dalam metodologi kesufian ialah takhalli, yaitu sikap pengosongan diri dan pembebasannya dari setiap belenggu yang menghalangi jalan kepada Allah. Pembebasan adalah juga salah satu tema pokok seruan Nabi kepada umat manusia, termasuk pembebasan dari belenggu budaya dan tradisi, jika menghalangi pada Kebenaran. Jika kalimat persaksian dimulai dengan al-nafy atau peniadaan dalam fase negatif tiada Tuhan, maka tujuannya ialah pembebasan diri dari setiap belenggu. Belenggu itu dilambangkan dalam konsep tentang "Tuhan" atau "Sesembahan", yaitu setiap bentuk obyek ketundukan (Arab: Ilah). Dan jika kalimat persaksian itu harus mutlak diteruskan dengan al-itsbat atau peneguhan dalam fase afirmatif "kecuali Allah" (al-Lah, yang menurut banyak ahli termasuk 'Ali ibn Abi Thalib dan Ja'far al-Shadiq, terbentuk dari kata-kata Illah dan artikel "al"-yakni, Tuhan atau Sesembahan yang sebenarnya), maka yang dimaksudkan ialah kemestian kita tunduk pada Allah, Tuhan yang sebenarnya itu dan tidak kepada apa dan siapapun yang lain. II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (3/4) oleh Nurcholish Madjid Karena Allah adalah Wujud yang tak dapat dibandingkan dengan sesuatu apapun (laysa ka-mitslihi syay-un, QS. al-Syura 42:11), serta tiada suatu apa pun yang sepadan dengan Dia (wa lam yakun lauu kufuw-an ahad-un, QS.al-Ikhlash/112:4) maka tunduk pada Tuhan berarti tunduk dalam maknanya yang dinamis, berupa usaha yang tulus dan murni untuk mencari, dan terus mencari Kebenaran. Usaha mencari Kebenaran inilah sifat kehanifan (hanifiyyah) manusia atas dorongan fithrah atau kejadian asalnya sendiri yang suci. Maka tunduk secara benar --dalam bahasa Arab disebut Islam, yaitu sikap pasrah yang tulus kepada Allah, Tuhan yang sebenarnya-- justru akan secara langsung membawa pada kebebasan dan pembebasan diri dari setiap nilai dan pranata yang membelenggu sukma. Tuhan tidak mungkin diketahui manusia sebab tidak akan terjangkau oleh pikiran dan khayalnya, maka sesungguhnya keyakinan atau klaim "mengetahui Tuhan" (yang diindikasikan oleh sikap "berhenti mencari") adalah suatu jenis pembelengguan diri. Tidak saja karena hal ini akan merupakan contradiction in terms (berupa kemustahilan suatu wujud nisbi seperti manusia dapat menjangkau atau mengetahui Wujud Mutlak, yaitu Tuhan), tapi juga akan berarti bahwa Tuhan telah disejajarkan dengan apa yang tercapai oleh pikirannya sendiri. Padahal pikirin itu tak akan luput dari dorongan diri sendiri dan keinginannya. Dengan kata lain, keyakinan bahwa diri sendiri telah "mengetahui Tuhan akan berakhir dengan penuhanan keinginan diri sendiri, atau sikap dan pandangan yang mengangkat keinginan diri sendiri itu sebagai Tuhan. Inilah antara lain tafsir atas peringatan dalam Kitab Suci bahwa di antara manusia ada yang menjadikan hawa atau keinginan dirinya sendiri sebagai Tuhan (Lihat, QS. 25:43 dan 45:23). Jadi sesungguhnya kebahagiaan dimulai dengan "negasi dan afirmasi", suatu proses "pembebasan dan ketundukan," seperti dilambangkan dalam kalimat syahadat pertama. Mengenai negasi atau peniadaan yang menghantarkan kita kepada afirmasi itu, atau pembebasan yang membimbing kita kepada ketundukan dinamis tersebut --dari banyak penjelasan dalam kitab Suci tentang berbagai akibat dan implikasinya-- salah satu yang patut sekali kita renungkan terbaca (terjemahnya) demikian, Katakan (wahai Muhammad): "Jika orang-orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, jodoh-jodohmu, serta karib-kerabatmu; (dan jika) kekayaan yang telah berhasil kamu kumpulkan, perdagangan yang kerugiannya kamu kuatirkan, serta tempat tinggal yang untukmu menyenangkan; (jika itu semua) lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan daripada perjuangan di jalan-Nya, maka tunggulah sampai saat Allah melaksanakan keputusan-Nya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka yang bersemangat jahat". (QS. al-Tawbah/9:24) Firman Allah ini tidaklah dipahami bahwa Nabi D4uhammad datang untuk membawa pertentangan dalam keluarga, besar ataupun kecil. Juga tidak untuk mendoronng manusia agar meninggalkan kegiatan duniawi. Yang pertaa tidak benar, karena al-Qur'an sarat dengan ajaran tentang kewajiban memelihara cinta kasih di antara keluarga, kerabat dan umat manusia pada umumnya. Dan yang kedua juga tidak benar karena al-Qur'an mengajarkan pandangan yang optimis-positif kepada kehidupan, dengan kemungkinan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia ini, suatu hal yang manusia dipesan jangan sampai melupakannya. Firman Allah tersebut hanya menegaskan, bahwa jalan menuju Kebenaran, yaitu "jalan Allah" (sabil al-Lah) dapat ditempuh baru setelah seseorang mampu membebaskan diri dari belenggu lingkungannya, baik sosio-kultural (orang tua, keluarga dan masyarakat) mau pun sosio-ekonomi dan fisik (pekerjaan, kedudukan, dan tempat tinggal). Sebab seperti dikatakan A. Yusuf Ali dalam menafsirkan firman ini, Hati manusia terikat kepada (1) sanak-kadangnya sendiri- orang tua, anak-anak, saudara, suami atau isteri, atau karib kerabat, (2) kekayaan dan kemakmuran, (3) perdagangan atau cara-cara memperoleh keuntungan dan penghasilan, (4) gedung-gedung indah, baik untuk gengsi mau pun kesenangan. Jika semuanya ini menjadi halangan dalam jalan Allah, kita harus memilih mana yang lebih kita cintai. Kita harus mencintai Allah, biarpun harus mengorbankan itu semua. (A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary, Brentwood, Maryland: Amana Corp, 1983, h. 445, catatan 1272). Serupa dengan makna firman Allah itu, Nabi Isa al-Masih, sepanjang catatan dalam Perjanjian Baru, juga pernah menyatakan, "Karena aku datang untuk membuat manusia melawan ayahnya, anak perempuan melawan ibunya, dan menantu perempuan melawan mertua perempuannya" (Matius 10:35). Dalam melakukan pendekatan psikoanalitis terhadap agama dan gejala keagamaan, Erich Fromm mengatakan bahwa dengan pernyataannya itu Nabi Isa tidak bermaksud mengajarkan kebencian pada orang tua, melainkan untuk menggambarkan dalam bentuk yang paling tegas dan drastis sebuah prinsip, orang harus memutuskan hubungan kekeluargaan yang bersifat membelenggu, dan menjadi bebas sepenuhnya, agar ia menjadi manusia sejati. (Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion, New Haven, Conn,: Yale University Press, 1972, h. 78). Begitulah contoh implikasi proses pembebasan diri yang diterangkan dalam Kitab Suci, yang proses pembebasan itu merupakan konsistensi pernyataan negatif atau al-nafy pada bagian pertama kalimat syahadat, "Tiada Tuhan." Tetapi pembebasan dari belenggu-belenggu sosio-kultural dan sosio ekonomi hanyalah separuh jalan menuju kepada kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan "bertemu" dengan Tuhan, Sang Kebenaran. "TANYALAH JALAN" (SAL SABIL-AN) Setelah proses pembebasan, separoh lagi jalan yang harus ditempuh ialah yang dilambangkan dalam pernyataan tekad untuk tunduk pada Sang Kebenaran itu sendiri, yang merupakan konsistensi pertanyaan afirmatif atau al-itsbat pada bagian kedua kalimat syahadat, "kecuali Allah". Inilah Islam yaitu ketundukan kepada Yang Maha Benar (al-Haqq). Telah dikemukakan bahwa ketundukan kepada Allah Sang Kebenaran Mutlak, adalah ketundukan yang dinamis, artinya ketundukan dalam wujud usaha tak kenal henti secara tulus "mencari"' "mendekat" (taqarrub), dan akhirnya "bertemu" (liqa) dengan Kebenaran. Usaha terus-menerus mencari Kebenaran itu disebut berjalan menempuh "Jalan Allah" (sabil al-Lah), dan wujud nyata usaha tersebut pada pribadi yang bersangkutan ialah adanya kualitas "kesungguhan dalam berusaha" (dinyatakan dalam kata-kata Arab juha -usaha penuh kesungguhan), sehingga melahirkan sikap hidup jihad (dalam dimensinya yang lebih fisik), ijtihad (dalam dimensinya yang lebih intelektual), dan mujahadah (dalam dimensinya yang lebih spiritual). Yang pertama banyak ditempuh oleh ahli perang dan para pahlawan, yang kedua oleh para pemikir baik dalam bidang fiqh maupun Kalam, dan yang ketiga oleh kaum sufi dan ahli 'Irfan. Jalan Allah yang harus ditempuh melalui ketiga fase itu juga disebut "jalan lurus" (al-shirath al-mustaqim), karena jalan itu membentang langsung antara diri kita yang paling suci, yaitu fitrah kita dalam hati nurani (nurani, artinya, bersifat terang, sebagai sumber kesadaran akan kebenaran), lurus ke arah (sekali lagi ke arah) Kebenaran Mutlak. Tapi justru karena kemutlakanNya, maka Sang Kebenaran itu sungguh mutlak dan tak akan terjangkau. Akibatnya, dalam menempuh jalan lurus itu kita tidak boleh berhenti, sebab perhentian berarti menyalahi seluruh prinsip tentang Kebenaran Mutlak. Maka dalam perjalanan menempuh jalan yang lurus itu justru kita harus terus menerus bertanya dan bertanya, apa selanjutnya? Apakah tak ada kemungkinan sama sekali bahwa jalan yang telah kita tempuh apalagi yang masih akan kita tempuh, akan menyesatkan kita dari Kebenaran, karena tidak lurus lagi? Siapa Tahu? Pertanyaan dan penanyaan itu adalah eksistensial dan esensial sekali dalam mencari, mendekat dan bertemu dengan Kebenaran. Pertanyaan dan penanyaan itulah yang mendasari ketulusan hati dalam permohonan kepada Tuhan, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (QS. al-Fatihah/1:6). Seorang yang memang tunduk patuh kepada Allah (muslim) akan terus menerus memohon petunjuk jalan yang lurus itu, terutama dalam setiap kali shalat, kemudian "diaminkan," baik secara sendirian maupun bersama orang lain. Dan kalau shalat itu disebutkan dalam al-Qur'an sebagai kewajiban atas kaum beriman dengan dikaitkan pada pembagian waktu selama sehari-semalaman (pagi, siang, sore, saat terbenam matahari dan malam) (QS. al-Nisa 4:103), maka salah satu "pesan" yang dikandungnya ialah agar kita bertanya tentang jalan yang lurus itu setiap saat, tanpa henti-hentinya. Ini berarti bahwa jalan yang telah kita tempuh, juga yang akan kita tempuh, tak boleh dipastikan sebagai mutlak lurus. Justru amat berharga dalam menempuh jalan itu semangat mencari dan berusaha yang sungguh-sungguh, yaitu jihad, ijtihad dan mujahadah tersebut tadi. Dalam kesungguhan mencari dan menemukan jalan itu kita tidak perlu takut membuat kekeliruan, asalkan tak disengaja, karena kekeliruan pun, yang toh tidak akan kita sadari pada saat mengalaminya sendiri, masih akan memberi kebahagiaan, meskipun tidak sepenuhnya. Inilah makna penegasan Nabi bahwa barangsiapa berusaha dengan sungguh-sungguh, lalu ia menempuh jalan yang (ternyata) benar, ia akan mendapatkan pahala ganda, dan jika (ternyata) keliru, maka ia masih mendapatkan satu pahala (sebuah Hadist terkenal). Sesungguhnya dalam Al-Qur'an dilukiskan bahwa berusaha secara dinamis, mencari dan menemukan jalan ke arah Kebenaran itu sendiri, sudah merupakan sumber mata air pengalaman kebahagiaan yang tinggi. Al-Qur'an melukiskan bahwa dalam surga, yaitu dalam tempat dan lingkungan pengalaman kebahagiaan sejati, para penghuninya akan diberi minum yang sejuk dan amat menyegarkan yang airnya diambil dari mata air yang bernama "salsabil-an" atau "sal sabil-an." Sebuah metafor, alegori atau makna kiasan yang sungguh indah; karena perkataan Arab sal sabil-a itu tidak lain arti harfiahnya ialah "tanyalah jalan". Mereka (yang bahagia) di sana disajikan minuman dalam piala yang ramuannya ialah zanjabil, dari mata air yang ada, yang disebut salsabil. (QS. al-Insan/76:17-18) Menafsirkan metafor dalam firman ini, Muhammad Asad mengatakan bahwa begitulah Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana dikutip Zamakhsyari dan Razi, menerangkan kata-kata salsabil-an jelas merupakan kata majemuk itu, yang dapat dibagi menjadi dua komponen, "salsabil-an" ("tanyalah [atau "carilah"] jalan"): yakni, "carilah jalanmu ke surga dengan cara melakukan perbuatan baik". (Lihat, Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, h. 917, catatan 17). Dan Yusuf Ali menafsirkan firman itu dengan mengatakan bahwa mata air salsabil (-an) ini membawa kita kepada ide metaforis yang lain. Perkataan itu secara harfiah berarti, "Carilah Jalan". Jalan itu sekarang terbuka menuju Hadirat Yang Maha Tinggi... (Lihat, A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, h. 1658, catatan 5850). Kembali kepada metodologi takhalli di kalangan kaum Sufi, telah kita bicarakan, metodologi itu mengharuskan adanya proses pengosongan diri dari anggapan-anggapan, asumsi-asumsi dan klaim-klaim tentang pengetahuan yang benar, agar supaya dalam menempuh jalan lurus mencari Kebenaran itu terjadi kemurnian sejati (ikhlash). Jika dalam konteks duniawi berpikir selalu menuntut adanya pra-asumsi atau premis, maka dalam konteks pencarian Kebenaran sejati itu, pra-asumsi dan premis justru harus dilepaskan. Tapi, meskipun tanpa ada pra-asumsi atau premis, berpikir dalam konteks kesufian tidaklah berarti tiadanya rasionalitas. Kenyataan bahwa al-Qur'an senantiasa menyerukan penggunaan akal untuk mencari dan menerima Kebenaran menunjukkan bahwa antara rasio dan pengalaman keagamaan tidaklah terdapat pertentangan. Justru tasawuf sebagai bidang yang menggarap segi esoterik keagamaan, adalah suatu bentuk perkembangan rasionalitas yang tertinggi. Kata Erich Fromm: I should like to note that, quite in contrast to a populer sentiment that mysticism is an irrational type of religious experience, it represents", the higgest development of rationality in religious thinking. As Albert Schweitzer has put it: "Rational thinking which is free from assumptions ends in mysticism." (Erich Fromm, ibid, h. 90, catatan 9). (Saya harus memberi catatan bahwa, sangat berlawanan dengan perasaan umum bahwa mistisisme adalah suatu jenis pengalaman keagamaan yang tidak rasional, ia justru mengetengahkan perkembangan tertinggi rasionalitas dalam pemikiran keagamaan. Seperti dinyatakan oleh Albert Schweitzer: "Pemikiran rasional yang bebas dari asumsi-asumsi berakhir dalam mistisisme"). II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (4/4) oleh Nurcholish Madjid Pembuangan asumsi-asumsi adalah fase pembebasan yang amat sulit dalam menempuh jalan menuju hakikat. Kesulitan itu dapat dipahami antara lain dari peringatan Ibn 'Arabi dalam sebuah syair kesufiannya, Barangsiapa mengaku dengan pasti bahwa Allah bergaul dengan dirinya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu adalah tanda bahwa ia tak tahu apa-apa. Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri, maka waspadalah, sebab yang sadar di antaramu tentulah tidak seperti yang alpa. Ketiadaan kemampuan menangkap pengertian adalah ma'rifat begitulah memang pandangan akan hal itu bagi yang berakal sehat. Dia adalah Tuhan yang sebenarnya, yang pujian kepada-Nya tidak terbilang, Dia adalah Yang Maha Suci, maka janganlah kamu buat bagi-Nya perbandingan. (Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, 1:270). Jadi perasaan tahu Tuhan adalah justru pertanda tidak tahu apa-apa. "Mengetahui Tuhan" mengesankan adanya hasil pencarian rasional yang luar biasa. Tetapi sekali orang menginsafi bahwa Tuhan adalah Wujud Mutlak, yang berarti tidak akan terjangkau wujud nisbi seperti manusia dan seluruh alam raya ciptaan-Nya, maka ia pun akan paham bahwa perasaan, apalagi keyakinan, bahwa bila ia tahu Tuhan adalah kebodohan yang tiada taranya. Dalam gambaran Ibn 'Arabi, bahkan seandainya seseorang dapat mengetahui alam gaib, maka saat alam gaib itu tersingkap baginya adalah juga saat ia tertutup baginya. Jadi, sejalan dengan sifat paradoksal kenyataan-kenyataan, justru saat seseorang tahu alam gaib adalah juga saat ia tidak tahu. Jika matahari ilmu telah terbenam. maka bingunglah akal-pikiran yang kemampuannya hanya dalam teori pembuktian. Kalau seandainya alam gaib itu dapat disaksikan oleh mata penglihatan, maka saat munculnya alam gaib itu adalah juga saat ia terbenam. (Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, 3:57) Maka perjalanan mencari Tuhan mengikuti garis lurus atau al-shirath al-mustaqim adalah perjalanan yang mensyaratkan. kekosongan pikiran perbandingan mengenai Tuhan dan bebas dari asumsi-asumsi, yang diistilahkan dalam ilmu tasawuf sebagai akhalli, pengosongan diri. Inilah tawhid dalam tingkatnya yang amat tinggi, sekaligus amat abstrak (mujarrad). Kemudian ada isyarat dalam al-Qur'an bahwa Nabi sendiri pun melakukan takhalli Nabi diperintahkan agar menyatakan bahwa beliau hanyalah seorang Utusan Tuhan, antara lain untuk mengajarkan kepercayaan pada adanya alam gaib, namun beliau hanyalah seorang manusia yang diutus Allah, dengan mengikuti ajaran yang diwahyukan pada beliau dan menyampaikan ajaran itu kepada masyarakat manusia, Katakan (Muhammad): "Aku tidak pernah mengaku kepadamu bahwa aku memiliki perbendaharaan Allah juga tidak aku mengetahui alam gaib. Aku pun tidak pernah mengaku kepadamu bahwa aku adalah seorang malaikat. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku." Katakan (Muhammad): "Apakah sama antara orang yang melihat dan orang buta? Apakah kamu tidak berpikir?" (QS. al-An'am/6:50) Lebih lanjut, senafas dengan prinsip-prinsip di atas, Nabi juga diperintahkan Allah menyatakan bahwa beliau tidaklah bermaksud membuat hal-hal baru terhadap apa yang telah diwariskan pada Rasul terdahulu, dan bahwa beliau sendiri juga tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah terhadap beliau (misalnya, mengingat bahwa sebagai Rasul terdahulu ada yang menjadi korban, sampai terbunuh, oleh misi sucinya) Nabi hanyalah mengikuti wahyu yang diterimanya, dan beliau hanyalah seorang pembawa peringatan yang tidak meragukan, Katakan (Muhammad): "Aku bukanlah seorang pembuat bid'ah di antara Rasul-rasul (yang sudah-sudah), dan aku tidak pula tahu apa yang akan diperbuat (oleh Tuhan) kepadaku, juga tidak (apa yang diperbuat) kepadamu. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah seorang pembawa peringatan yang jelas tidak meragukan. (QS. al-Ahqaf/46:9) Bagi seorang yang menerima pengajaran langsung dari Tuhan dan bertugas menjadi utusan-Nya, Nabi pasti mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Beliau pasti mengetahui pula siapa yang mendapat petunjuk Tuhan dan siapa pula yang sesat di antara manusia ini, termasuk di antara beliau sendiri berhadapan dengan kaum yang menolak kebenaran yang beliau ajarkan. Namun Allah masih mengajari beliau agar menerapkan apa yang disebut (dalam bahasa Inggris) the benefit of the doubt atau hikmah keraguan, sebagai metodologi pencarian kebenaran, Katakan (Muhammad): "Siapa yang memberi kamu semua rizqi, baik yang dari langit maupun yang dari bumi? Katakan: "Allah! Dan boleh jadi kami, atau kamu, yang pasti berada di atas petunjuk kebenaran, atau pasti berada dalam kesesatan yang terang." (QS. Saba'/34:24) Semuanya itu dalam pandangan kesufian dan filsafat Islam, adalah jalan sebenarnya menuju dan menemukan kebahagiaan. Metafor yang telah disebutkan bahwa "mata air" di surga itu dinamakan "sal sabil-an" atau "tanyalah jalan" melukiskan bahwa kebahagiaan tidaklah bersumber dari perasaan kepastian dalam pengalaman pencarian Kebenaran. Justru pengalaman rohani ketika dengan penuh ketulusan hati dan niat yang murni sungguh-sunggah mencari, dalam ketegangan antara kecemasan dan harapan (khawf-an wa thama'-an) yaitu kecemasan kalau-kalau gagal menemukan Kebenaran, dan harapan bahwa dengan Kebenaran itu akhirnya bakal terjadi perjumpaan (liqa). Seraya dengan itu, terJadi pula perlibatan diri dalam usaha perbaikan bumi dan menjaganya dari kerusakan yang mungkin menimpa. Itulah inti jalan menuju kebenaran, dan sumber sejati cita-rasa piala melimpah (ka's-an dihaq-an) penuh minuman kebahagiaan. Semua itu dapat kita timba dari petunjuk Ilahi dalam al-Qur'an, yang patut sekali kita renungkan: Serulah Tuhanmu sekalian, dengan kerendahan hati dan suara sunyi sesungguhuya Allah tidak suka kepada mereka yang kelewat batas. Dan janganlah kamu merusak bumi setelah bumi itu diperbaiki. Lalu serulah Dia dalam kecemasan dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat kebaikan. (QS. al-A'raf/7:54-55) RAHMAT ALLAH DAN KERIDLAAN-NYA Dengan mengutip sebuah firman Allah di bagian terdahulu dan tafsir atau komentarnya Sayyid Quthub, kita mengetahui bahwa keridlaan Allah adalah ganjaran kebahagiaan yang tertinggi dan paling agung kepada kaum beriman dan bertaqwa. Dan keridlaan (Indonesia: kerelaan, yakni, perkenan) Allah itu tidak terpisah dari rahmat atau kasih Allah kepada manusia. Kebahagiaan tertinggi adalah pengalaman hidup karena adanya rahmat dan keridlaan Allah. Seperti ditafsirkan banyak ahli pikir Islam, termasuk Sayyid Quthub tersebut di muka, sebagai puncak pengalaman kebahagiaan, keridlaan Allah membuat segala kenikmatan yang lain menjadi tidak atau kurang berarti. Rahmat dan keridlaan Allah itulah yang dijanjikan kepada orang-orang beriman dan berjuang di jalan-Nya, seperti difirmankan, Mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwa mereka adalah lebih agung derajatnya disisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia. Tuhan mereka menjanjikan kabar gembira kepada mereka, dengan rahmat dan keridlaan-Nya dari Dia, serta surga-surga yang di sana mereka peroleh kenikmatan yang mapan. (QS. Al-Tawbah/9:20-21) Lebih menarik lagi adanya keterangan bahwa keridlaan itu sesungguhnya suatu nilai yang timbal balik antara Allah dan seorang hamba-Nya. Sesungguhnya hal ini adalah sangat masuk akal belaka, karena dengan sendirinya Allah akan rela kepada seorang hamba, jika hamba itu rela kepada-Nya. Dan kerelaan seorang hamba kepada Khaliqnya tak lain adalah salah satu wujud nilai kepasrahan (Islam) hamba itu kepada-Nya. Inilah gambaran tentang situasi mereka yang telah mencapai tingkat amat tinggi dalam iman dan taqwa, seperti gambaran mengenai mereka itu dari masa lalu. Dan mereka, para pelopor pertama, yang terdiri dari para Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rela kepada mereka, dan mereka pun rela kepada-Nya. Dan Dia menyediakan untuk mereka surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya, dan mereka kekal di sana selama-lamanya. Itulah kebahagiaan yang agung. (QS. al-Tawbah/9:100) Juga seperti lukisan tentang jiwa yang mengalami ketenangan sejati (muthma'innah), yang dipersilakan dengan penuh kasih sayang kembali kepada Tuhannya dalam keadaan saling merelakan antara Tuhan dan hamba-Nya, kemudian dipersilakan pula agar masuk ke dalam kelompok para hamba Tuhan, dan akhirnya dipersilakan masuk ke surga, lingkungan kebahagiaan, Wahai jiwa yang tenang-tenteram, kembalilah engkau kepada Tuhanmu, merelakan dan direlakan, kemudian masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah engkau ke dalam surga-Ku. (QS. al-Fajr/89:27-30) Jadi keridlaan Allah itulah tingkat kebahagiaan tertinggi. Maka kaum sufi senantiasa menyatakan, "Oh Tuhanku, Engkaulah tujuanku, dan keridlaan Engkaulah tuntutanku." Bagi kaum sufi, kebahagiaan yang lain tak sebanding dengankeridlaanAllah sampai-sampai, seperti didendangkan Rabi'ah al-'Adawiyah, "masuk neraka" pun mereka bersedia, karena mereka rela kepada Allah dan mengharapkan kerelaan-Nya. III. Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Teologi, Filsafat, Tasawuf dan Hadits III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (1/2) oleh Masdar F. Mas'udi Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau, dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar" landasannya adalah "realitas kehidupan." Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama, bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial, adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti, amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai berikut. Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah, justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan relevansi pemikiran yang diresponinya. Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran, dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi. Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu, bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang bersifat teoritis). Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak. Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis. PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa dipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra, "cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing. Dengan kedua perkembangan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia. Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka. Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi, faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar "rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus. Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij, Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah, Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah. Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110 H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok (komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij. Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya: menangguhkan). Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya. Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni teologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah, manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian. III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2) oleh Masdar F. Mas'udi Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus bertindak yang terbaik bagi manusia. Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu, pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa 'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun juga, diluar diri manusia sendiri. Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu? Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat mendikte manusia. Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan" yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya. Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih) Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifat atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat yang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarik postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian juga berkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq). TIGA KRITIK Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatu ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya, al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang sama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengan keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding kedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari. Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si anak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anak tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan seperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu, jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk manusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebih lanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka? Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy, Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung argumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah) dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di atas batas-batas manusia tadi. Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus diterima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja mengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologi yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu melalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengan sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855 M). Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain sebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaran pendapat yang berbeda. Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya. Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa saja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenal dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya. Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi umat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliran teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa). Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaran yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan" suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu, terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis) yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dan dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan dengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindak sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya. TAWARAN ALTERNATIF Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" seperti tersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologis atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah. (Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya "teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehingga kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini." Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (seperti Mu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepada kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu kita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yang mengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yang terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu doktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologi baru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dari proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan pesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, beda antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis. Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat terbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis, sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang selama ini seperti cenderung terpisah. III.13. FILSAFAT ISLAM (1/3) oleh Harun Nasution Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran. Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi. Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah: 1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu. 2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran. 3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini. Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M. Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M) satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib. Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals). Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis. Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa. Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi (al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa. Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah gambaran berikut: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus. Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter. Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars. Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari. Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus. Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri. Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan. Akal X menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal. Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah malaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X. Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut paham emanasi. Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik al-Ghazali. III.13. FILSAFAT ISLAM (2/3) oleh Harun Nasution Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian: 1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak. 2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra. ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi. iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini. iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut. v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu. 3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan: 1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni. 2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni. 3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni. 4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni. Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak. Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali. Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat. Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum alam. Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam. Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu: 1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman 2. Pembangkitan jasmani tak ada 3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan. Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang percaya bahwa alam ini qadim. Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?. Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan. Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari. Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal 1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan filosofis. 2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis. 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan. Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf Islam. III.13. FILSAFAT ISLAM (3/3) oleh Harun Nasution Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah. Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai permulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis, alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil. Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan, Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air. Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula, Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia' mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air. Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan. Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada," seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti yang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun, menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah. Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada" tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti disebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerima konsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada," kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadi ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis). Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran filsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan, Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari surat Ibrahim menyebut: Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit. Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnya alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali. Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat immateri dan tak mempunyai pancaindra. Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut hal itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada. Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dan kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari filsafat mereka. Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain, menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya. Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafat benar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa. Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian barat. Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain. DAFTAR KEPUSTAKAAN De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R. Jones, London, Luzac & Co., 1970. Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t. Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966. Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni, 1961. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983. Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964. Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969. Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938. O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs, London, Routledge & Kegan Paul, 1964. Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden, 1963. III.14. TASAWUF (hal. 42) oleh Harun Nasution (1/4) Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya. ASAL KATA SUFI Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata: 1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa. 2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan. 3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi. 4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf. 5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H). ASAL-USUL TASAWUF Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong. Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak. Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini. Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam. Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan. Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri? Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil." Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya. Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya." Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17). Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal." Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan. Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf. JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur. Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. III.14. TASAWUF (hal. 42) oleh Harun Nasution (2/4) Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat. Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita. Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati. Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan. Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf. PENGALAMAN SUFI Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi. Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu." Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya." Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku." Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku." Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan." Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut: Kucintai Engkau dengan dua cinta, Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu, Cinta karena diriku Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu, Cinta kepada diri-Mu, Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab, Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua. Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi. Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan." Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas. Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr. Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada." Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat. Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya. Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad III.14. TASAWUF (hal. 42) oleh Harun Nasution (3/4) Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion ittihad. Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa. Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan. Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)." Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad." Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah." Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau. Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa." Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan." Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?" Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad. Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana." Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau." Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku." Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid. Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku." Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah." Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid. Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar). Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan. Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut: Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata Dalam bentuk manusia yang makan dan minum Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan terjadilah hulul. Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini: Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku. III.14. TASAWUF (hal. 42) oleh Harun Nasution (4/4) Hulul juga digambarkan dalam syair berikut: Aku adalah Dia yang kucintai Dan Dia yang kucintai adalah aku, Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh, Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia, Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami. Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan, "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, Yang Maha Benar bukanlah Aku, Aku hanya satu dari yang benar, Maka bedakanlah antara kami." Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina. Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud. Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq. Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud. Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya. Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah. Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya. Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam. Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad. Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil. Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir. Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat. Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal. Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki. Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam. Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan. Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta. Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti sekarang. DAFTAR KEPUSTAKAAN Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963. Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949. Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964. III.16. MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI oleh Komaruddin Hidayat Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174). Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan. Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka protret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah meniadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda. Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual pare ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia. Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya: Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this development our modern theory of man lost its intellectual center. We acquired instead a complete anarchy of thought. (Ernst Cassier, 1978, p.21) Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya. Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih. Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar. Meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisis pengenalan diri, secara sederhana kita bisa membedakan dua paradigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigma materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi (downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yang bersifat imateri (upward causation). Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan pare sufi. Kritik terhadap aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and religious being. Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana tetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam memahami kehidupan yang penuh nuansa ini. Progressive reductionism works as follows. An art object is only mass and light waves; an act of love only chemiphysical, only electrical charges; therefore, the art object or act of love is only a flow of electricity. (Ralph ross, 1962, hal. 8). Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya. Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku. Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity. Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis bahwa man has gained the mistery of the material world before knowing himself. Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal. Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality. Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS. 89:27). Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah." Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan hamba-Nya. Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibn 'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dhahir, bukannya Yang Bathin. KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi sufi. Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits yang menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya? Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula. DAFTAR KEPUSTAKAAN Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York, 1980. Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul 'Arabi, Lahore, 1938 Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978. Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977. Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan III, Princeton, 1982. Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, 1973 Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962. Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, 1976. Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978. III.17. PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIA oleh M. Bambang Pranowo Elingana yen ana timbalan Yen wis budal ora kena wakilan, Ora kena wakilan Timbalane kang Maha Kuasa Gelem ora gelem bakale lunga (Ingatlah jika telah datang panggilan Kau harus pergi dan tak bisa kau wakilkan, tak bisa kau wakilkan Panggilan dari Yang Maha Kuasa Mau tak mau kau harus pergi jua) Nyanyian puitis di atas adalah penggalan dari sebuah nyanyian keagamaan yang cukup panjang. Di Jawa, nyanyian itu disebut pujian atau erang-erangan. Pujian tersebut biasanya didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan salat berjamaah. Mungkin berkat susunannya yang ritmis dan mudah dihapal maka pujian tersebut seringkali menjadi "nyanyian" populer yang dilakukan bukan hanya di mesjid dan langgar, tapi juga di sawah dan ladang ketika seseorang menggembalakan ternaknya, atau di rumah-rumah ketika ibu-ibu berusaha menidurkan anaknya. Tidak jelas siapa pengarang pujian yang cukup populer tersebut, terutama di desa-desa bagian Jawa Tengah Selatan. Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan oleh kalangan pesantren. Perlu dicatat, para kyai pemimpin pesantren kebanyakan juga pemimpin tarekat, sehingga tidak mengherankan kalau pujian yang diciptakan sarat dengan pesan-pesan kesufian. Dan, dari pujian tersebut tercermin sebuah permintaan agar manusia menyadari bahwa suka atau tidak, ia harus memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kembali ke haribaannya. Panggilan Tuhan tersebut tidak dapat didelegasikan kepada siapapun juga. Memang, di antara pesan kesufian yang terpenting adalah ajakan agar manusia menyadari sepenuhnya sifat kefanaan dari kehidupan dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yang kekal hanyalah Tuhan, maka dunia ini dipandang benar-benar bermakna hanya apabila ia senantiasa diorientasikan kepada Tuhan. Lalai dari kesadaran berketuhanan berarti manusia telah terjerat oleh perangkat serba kefanaan. Dalam "perangkap" seperti itu manusia cenderung berorientasi hanya kepada usaha mewujudkan kesenangan sementara yang segera dapat dinikmati kini dan di sini, di dunia yang fana ini. Ia lupa bahwa manusia disebut manusia tidak lain karena roh sukma yang ditiupkan Tuhan masih melekat di jasad atau raganya. Begitu sukma meninggalkan raga, ia dianggap sudah tiada. TEORI CERMIN AL-GHAZALI Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau lahiriah belaka? Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya (lihat Ghazali, t.t., vol.I: h. 119-125). Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan Tuhan. Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah). Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah, puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir merupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari mereka. Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi sebagai berikut: Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang. Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. (Riwayat Bukhari dan Abi Hurairah) Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan memperoleh ridha Allah. Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalam kaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral). Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh penggeledahan dan interogasi diri: apakah ibadah yang kita lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena yang lain? Dalam kaitannya dengan upaya rohani seperti itulah kisah sufistik yang dicatat dari pesantren --Tarekat Qadariah-Naqshabandiyah di Jawa Timur-- merupakan ilustrasi relatif menarik. Di sebuah desa hidup seorang yang dikenal oleh kalangan luas sebagai orang yang sangat alim. Segala pujian dilimpahkan orang kepada si Alim atas kesalehan dan kealimannya. Mendengar berbagai pujian tersebut si Alim jadi gelisah. Jangan-jangan dirinya rajin beribadah itu bukan karena Allah melainkan justru karena orang memujinya sebagai orang alim. Pada suatu pagi ia pun pergi menuju pasar di seberang desa. Sesampainya di pasar secara demonstratif ia sengaja mencuri ayam yang sedang diperjualbelikan. Karena tertangkap basah maka iapun dipukuli banyak orang. Ayam dikembalikannya dan ia pun pulang dalam keadaan babak belur. Orang sepasar akhirnya bergumam: "Oh, ternyata ia hanya pura-pura alim, padahal sebenarnya ia tak lebih dari seorang maling!" Mendengar omongan seperti itu ia bukannya sedih melainkan bersyukur kepada Allah. Setibanya di rumah ia langsung sujud syukur "Alkhamdulillah, ya Allah, kini aku beribadah bukan karena manusia, tetapi insya Allah benar-benar karena Engkau semata." Demikianlah, dari sudut pandang kesufian, hidup ini merupakan pergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian, keberanian untuk melakukan penggeledahan dan interogasi diri merupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naik yang akan mengantarkan diri seseorang kepada derajat yang terus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkat rohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dari yang terendah hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaum sufi dengan istilah-istilah sebagai berikut: (1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya. (2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya. (3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk memperolehnya. (4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan mendorong hawa nafsu. (5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan mengutamakan orang lain di kala berada. (6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu datangnya dari Allah semata. (7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah. (8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan harapannya. (9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti. (10)Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima nasib pahit. Mengenal selintas maqam-maqam tersebut seolah-olah mustahil nilai-nilai kesufian tersebut dapat diwujudkan dalan kehidupan yang sudah serba modern ini. Namun, jika maqam-maqam tersebut dipandang sebagai tidak lain dari upaya pendakian rohani menuju ridla Allah, maka maqam-maqam tersebut adalah acuan yang memang harus dimiliki mereka yan benar-benar merindukan leburnya diri kembali kepada Yan Maha Hakiki. Menengok pada luka menganga yang menjangkiti dunia modern seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas, hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual; semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Dan, melalui sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan marnpu mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang seperti itu. Akhirnya, semua itu terpulang kepada manusia sendri apakah ia akan menundukkan sukmanya kepada kehidupan yang berorientasi pada kebutuhan jasadi yang bersifat kini dan di sini (sukma dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia akan mengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpin kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahaya Ilahi. DAFTAR KEPUSTAKAAN Firdaus A.N., "Jalan ke Surga" (Kumpulan 772 Hadist Qudsi), Yayasan Kesejahteraan Bersama, tanpa tahun. Al-Ghazali, Imam, "Ihya' 'Ulum al-Din", vol.I, (dengan terjemahan Jiwa oleh Misbah Zaini Mustofa), Raja Murah, Pekalongan, 1981. Johns, A.H., "Sufism As a Category in Indonesian Literature And History," dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2 (1961), hal. 10-23. Madjid, Nurcholish., "Tasauf dan Pesantren", dalam M. Dawam Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1985. Zarkasyi, Muhamad Nawawi Shidiq, "Soal-Jawab Thoriqiyah", Pesantren Raudlatul Thulab, Berjan, Purwokerto, 1977. III.8. ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI oleh Jalaluddin Rakhmat Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh. Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman: Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29) Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya. Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb). RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS) Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani. Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah). Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya. Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53) Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2). Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30) Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga. Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk. AKAL Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa). Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan. HATI SUKMA (QALB) Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya. Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS. 7:1-79). Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir. Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas. Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani --hati yang kotor. Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9). Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt. Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani. DAFTAR KEPUSTAKAAN Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy, Kairo, 1983. Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983. Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906. Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H. ------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo, 1327 H. ------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978. Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949. V.42. UNIVERSALISME ISLAM DAN KOSMOPOLITANISME PERADABAN ISLAM Oleh Abdurrahman Wahid Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tawhid), etika (akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedlaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri. Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu, waktu itu di kawasan "Dunia Islam" waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah Islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini. Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup (Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial. Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah "orang besar", walaupun sasarannya selalu "orang kecil". Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan. Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit, ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyrakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar. Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat. Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya? Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu. Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam. Watak kosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad s.a.w mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India. Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslim, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara lain bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka, karena mampu saling berdialog secara demikian bebas. Kebebasan kaum Mu'tazilah untuk mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-Qur'an turun dalam bentuk huruf dan bahasa yang sekarang dikenal (bahasa Arab, huruf Hija'iyyah) dan menganggap Kitab Suci kaum Muslim tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu yang sekarang tentunya dianggap sikap seorang murtad dari agama Islam, adalah dari pertanda kuatnya watak kosmopolitan dari peradaban Islam waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya mendapatkan peluang untuk diutarakan dengan bebas. Dalam situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya apapun bagi Islam, karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi budayanya sendiri, yang dalam kasus Mu'tazilah mengambil bentuk koreksi al-Asy'ari, al-Maturidi dan al-Baqillani yang berujung pada ilmu kalam skolastik dari kaum Sunni. Koreksi itupun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak muncul sebagai hardikan atau tuntutan ilegal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi. Baru ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah sajalah, sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak kosmopolitan dari peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka. Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di antara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan intelektual (intellectual tension) yang mewarnai situasi seperti itu akan memotori kosmopolitanisme yang menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara keseluruhan. Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus al-A'ain, yang sepenuhnya menggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'i mujtahid di bidang hukum agama (fiqh), justru menundukkan proses pengambilan hukum agama (istinbat al-ahkam) kepada sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya hanya sekedar menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara tidak kreatif dan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas. Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideologi lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumberdaya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.