KILL dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 EBOOK INI BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIL, MAKA BELILAH BUKU ASLINYA BOBBY MENGKLIK DUA KALI SEBUAH BOOKMARK DI DESKTOP, DAN browser pun bekerja. Dalam beberapa detik, halaman itu muncul di hadapan kami, hanya terdiri dari dua kata: KITA BANGKIT. Tetapi kali ini kata-kata itu digarisbawahi, dan ketika Bobby menggerakkan kursor ke sana, tanda panah berubah menjadi tangan yang menunjuk. "Sekarang ia berubah menjadi link," katanya. Dia mengklik dan sebuah kotak dialog kecil muncul meminta kata sandi. "Oh, brengsek." "The Straw Men," saranku. Bobby mengetiknya. Sejenak diam, lalu layar pun berubah menjadi berwarna hijau dengan teks putih. INILAH KEBENARANNYA. Mereka yang Membunuh akan Terselamatkan; Mereka yang tak Membunuh akan Terinfeksi. eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com Kill! Diterjemahkan dari The Straw Men, karya Michael Marshall, terbitan Jove Book, New York Published by agreement with the author and the author's agents, Ralph M. Vicinarrza, Ltd Penerjemah: Ella Elviana Penyunting: Marvel Neydi Copyright ? 2002 by Michael Marshall Smith Indonesian Language Translation Copyright ? 2007 by Dastan Books. All rights reserved. Cetakan 1, Juli 2007 Jl. Batu Ampar III No. 14 Condet, Jakarta 13520 Tel.: (021) 8092269 Faks.: (021) 80871671 Hotline SMS: 0817 37 37 37 Website: www.dastanbooks.com E-mail: layanan@dastanbooks.com Direct Selling Layanan Antar: (021) 68 614 614 Pembelian secara on-line dapat dilakukan melalui www.zahra.co.id Marshall, Michael Kill! / Michael Marshall; penerjemah, Ella Elviana; penyunting, Marvel Neydi ? Cet. 1. ? Jakarta: Dastan Books, 2007. Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan 524 hal. ; 14 x 21 cm ISBN 978-979-3972-23-7 Anggota IKAPI I. Judul II. Elviana, Ella (KDT) III Neydi, Marvel 813 Untuk Jane Johnson TERIMA KASIH UNTUK DOUG WINTER YANG MELONTARKAN SEBUAH ungkapan yang membuat benak saya berpikir; untuk Susan Allison, Chris Smith, dan Jim Rickards untuk membuat kisah ini berputar cukup panjang; dan juga untuk Linda Shaughnessy, Bob Bookman, dan David serta Margaret Smith untuk komentar-komentarnya; untuk Nicholas Royle, Howard Ely, Conrad Williams, Stephen Jones, dan Adam Simon untuk dukungannya selama pembuatan buku ini dan proses-proses lainnya. Cinta selalu untuk keluarga saya, dengan ucapan terima kasih khusus pada Paula?karena telah membantu saya melihat celah di dinding tempat saya membanting-bantingkan kepala, dan untuk berada di sana kala saya berhenti.[] "Kita lahir terlalu terlambat untuk dewa-dewa, dan terlalu awal untuk Makhluk. Makhluk adalah sebuah puisi, namun Baru Terlahir, adalah manusia." ?MARTIN HEIDIGGER, LANGUAGE, TRUTH, THOUGHT, Diterjemahkan oleh ALBERT HOFSTADTER PALMERSTON BUKAN KOTA BESAR, BUKAN PULA KOTA YANG dengan meyakinkan dapat dikatakan makmur. Kota itu hanya di sana saja, seperti papan penunjuk di pinggir jalan. la punya masa lalu dan pernah punya masa depan, tetapi masa depan itu kian berdebu dan sunyi, tersenggol semakin menjauh dari jalinan sejarah: bagai keran tua kaku di ujung pipa yang makin berkarat, yang suatu saat akan bocor hebat hingga air pun tak dapat sampai ke ujungnya. Kota itu terletak di Sungai Allegheny, di keteduhan perbukitan, yang dihuni begitu banyak pohon. Rel kereta api dahulu tak jauh dari sana, tepat di seberang sungai, namun pada pertengahan '70- an stasiun ditutup dan jalurnya banyak dialihkan. Secuil sisanya kini hampir terlupakan dan menjadi museum setengah hati, yang bahkan anak sekolah pun enggan berkunjung lagi. Kadang-kadang turis MICHAEL MARSHALL datang melihat-lihat, anak remaja yang acuh tak acuh melongo menatap foto-foto suram dari mereka yang telah lama wafat, lalu memilih kembali ke mobil dan bersenang-senang. Kota itu dibangun di sekitar persimpangan berbentuk huruf T, bentuk huruf itu kabur oleh jalan-jalan di sampingnya yang tampak tak yakin akan fungsinya. Sebuah gereja dari kayu berdiri di persimpangan utama, catnya telah banyak mengelupas, namun masih terlihat menarik di bawah warna langit biru. Kalau kau pergi ke kiri, semisal akan menuju ke arah barat di Route 6 untuk melihatlihat danau Allegheny?mungkin ini satu-satunya alasan kau melewati jalan ini?kau akan sampai ke Jalan Utama. Di sini kau dapat menemukan bank dan toko, jendela banknya bagai cermin dan tanpa nama; sementara jendela-jendela toko tampak perlu dibersihkan, dan perlu bingkai antik murahan. Penataan tampilannya yang kurang menarik seakan mengatakan bahwa barang-barang itu butuh waktu lama sebelum dapat dianggap berharga. Di sebelah selatan jalan, di area luas yang ditempatinya sendiri, terletak rumah cantik bergaya Victoria. Rumah itu sudah kosong selama bertahuntahun, dan meski sebagian besar jendelanya masih utuh, kelupasan catnya lebih parah dari gereja tadi dan beberapa papan mulai menyempil. Jika lapar, kau dapat pergi ke McDonald sedikit lebih jauh ke jalan, sejajar dengan Museum Kereta Api. Kebanyakan orang demikian. Palmerston bukan tempat yang buruk. Suasananya damai, dan orangnya ramah-ramah. Belahan dunia yang menyenangkan, tingkat kejahatan rendah, dan dekat dengan Hutan Pemerintah Susquehannock. Orang dapat lahir, membesarkan anak, dan wafat di sini, tanpa merasa kurang beruntung nasibnya. 12 PALMERSTON PENNSYLVANIA Tak banyak yang bisa dilakukan di antara tahap-tahap kehidupan itu. W A K T U ITU SAATNYA MAKAN SIANG DI HARI RABU, 30 OKTOBER 1991. McD penuh sesak. Sebagian besar meja terisi dan empat antrean memanjang ke arah tempat memesan makanan. Dua gadis kecil, empat dan enam tahun yang sedang ditraktir ibunya, berseru ramai meminta Chicken McNugget. Semua orang menatap papan menu dengan arahan pramuniaga. Ada tiga orang dari luar kota hadir, suatu prestasi bagi industri wisata Palmerston. Salah satunya adalah pria paruh baya yang mengenakan jas, duduk sendirian di meja di sudut. Namanya Steve Harris. Dia dalam perjalanan menuju Chicago setelah tugas penjualan panjang yang hampir seluruh hasilnya mengecewakan. Menara gaya Italia rumah Victoria itu terlihat dari tempat duduknya, dan dia memikirkan rumah itu sambil mengunyah, terheran-heran karena tampaknya tak seorang pun yang ingin memanfaatkan rumah itu untuk diperbaiki. Dua orang asing lainnya adalah sepasang turis Inggris, secara kebetulan duduk di meja sebelah. Mark dan Suzy Campbell melewatkan sarapan akibat perjalanan beberapa ratus mil pagi itu, dan merasa sangat kelaparan. Mereka berharap mendapat makanan mewah, namun setelah berputar-putar sebentar mengelilingi kota, akhimya mereka pasrah di kedai burger itu. Mengunyah roti lapis sambil agak berdesakan, awalnya mereka merasa terganggu namun kemudian sedikit senang mengetahui mereka duduk berdekatan dengan seorang penduduk setempat yang sedang mengobrol. Namanya Trent, tubuhnya tinggi, berusia empat puluhan, dengan 13 MICHAEL MARSHALL rambut berwarna tembaga yang cukup banyak. Mendengar bahwa mereka sedang dalam perjalanan dengan mobil dari pantai timur menuju pantai barat selama beberapa hari, dia menganggukkan kepala setuju?seolah mendapat penjelasan suatu praktik yang dia pahami namun tak berminat untuk melakukannya sendiri, seperti mengoleksi kotak korek api, atau panjat tebing, atau mencari pekerjaan. Dia memahami Inggris sebagai sebuah konsep, dan menganggap negara itu punya sejarah panjang serta industri musik rock yang hebat, yang kedua-duanya dia suka. Perbincangan itu pun berakhir, kehabisan bahan pembicaraan akibat sedikitnya pengalaman yang dialami bersama. Suzy sedikit kecewa, karena dia menikmati obrolan itu. Mark tenggelam dalam pikirannya, dia ingin sedikit berbelanja. Di hotel yang mereka tempati malam sebelumnya, sang bartender menghabiskan cukup banyak waktu mencari gelombang radio untuk memainkan musik yang cukup keras. Tanpa sengaja dia sampai ke stasiun musik klasik, dan untuk sesaat yang menyenangkan, potongan musik Goldberg Variations mengalun di bar. Di stasiun radio itu, Mark membayangkan, hanya ada seorang pria yang terkurung di suatu pegunungan entah di mana, pintunya dihalangi jeruji dari tumpukan rekaman Garth Brooks. Alunan Bach masih mengambang di pikiran Mark di jam-jam berikutnya yang penuh balada manis, kontras dengan kisah rapuhnya pernikahan dan ketulusan anjing-anjing. Dia ingin membeli sekeping CD dan memutarnya di mobil. Palmerston tak punya toko musik klasik. Obrolan dengan Trent mengakibatkan penundaan kecil bagi pasangan Campbell. Tanpanya, mereka sudah keluar dari pintu sejak pukul 12.50. Suzy ingin pergi merokok, dan tanda larangan merokok terpajang di dinding lewat ikon yang dikenal secara 14 PALMERSTON PENNSYLVANIA internasional dengan kalimat pendeknya yang mudah dipahami. Steve Harris tak terburu-buru, dia masih berniat di sana, menatap rumah di sebidang tanah itu sambil bertanya-tanya berapa kira-kira harganya. Pukul 12.53 seorang wanita berteriak di tengah-tengah restoran. TERIAKAN ITU SINGKAT DAN JELAS, MELUKISKAN KEGAWATAN. Orang-orang bergerak menjauh tanpa sadar, menyebabkan bagian tengah gang mengosong. Terlihat jelas dua orang pria?seorang remaja yang beranjak dewasa, yang lain pertengahan dua puluhan, keduanya mengenakan mantel panjang?menjadi fokus perhatian si wanita. Segera tampak bahwa mereka membawa senapan semiotomatis. Cahaya di ruangan mendadak tampak begitu terang, suarasuara menjadi jelas dan kering, seolah atmosfer lembut terhapus dari ruangan. Jika kau sedang berada di McDonald saat hari kerja di waktu jam makan siang dan kopi baru mencapai suhu yang dapat diminum, dan tiba-tiba kau menyadari bahwa malam telah tiba di langit yang biru jernih, maka waktu seperti tergelincir ke dalam momen lambat yang begitu nyata. Seperti detik panjang sebelum terjadinya hantaman dalam sebuah tabrakan mobil, kekosongan ini tidak datang untuk menolongmu. Itu bukan jalan untuk lari, atau anugerah dari Tuhan, dan tidak cukup untuk melakukan apa-apa di dalamnya kecuali menyambut kematian dan bertanya-tanya mengapa datangnya begitu lama. Trent baru akan mengatakan "Billy?" dengan nada kebingungan yang bodoh, ketika kedua pria itu mulai menembak. 15 MICHAEL MARSHALL Mereka berdiri di tengah restoran dan dengan tenang serta cepat menembakkan senapan, batang senapan tersandar aman di bahu mereka. Kala korban pertama terpelanting ke belakang, dengan air muka terkejut yang kelu di wajahnya, kedua penembak itu melanjutkan tembakannya: bersungguh-sungguh, seakan berniat menunjukkan kepada semacam atasan bahwa mereka patut melakukan tugas tersebut, dan berusaha melakukannya sebaik mungkin. Setelah sekitar satu detik, dan dua korban tewas berikutnya, semua orang di restoran mendadak berjuang melarikan diri untuk keluar dari kegilaan itu. Orang-orang mulai menjerit. Mereka berusaha lari, atau sembunyi, atau menarik orang di depan mereka. Beberapa berusaha mencapai pintu, namun senapan segera beralih dan menjatuhkan si pembelot dengan efisien. Rentetan tembakan menyapu para pelancong dari luar kota itu, dan Mark Campbell terkena tembakan langsung di belakang kepalanya di saat yang bersamaan dengan buyarnya wajah sang istri di retakan jendela kaca berbentuk jaring laba-laba yang menghentikan laju pelurupeluru tersebut. Trent tewas membawa geram tak lama setelahnya, separuh berjalan menuju maut ke arah para penembak. Hanya sedikit yang cukup berani untuk mempertimbangkan tindakan positif seperti itu, dan mereka tewas dengan segera. Kebanyakan orang hanya berusaha lari. Keluar dari sana. Wakil direktur Bedloe Insurance berusaha melakukannya, seperti juga asisten-tak-efisiennya yang menjengkelkan. Dua belas anak sekolah mencoba lari. Mereka mencobanya bersamaan sekaligus, sehingga saling bertubrukan. Banyak yang kakinya terjepit di tengah tubuh-tubuh yang terluka, dan tewas dengan janggal, lutut dan panggul saling menyempil saat tumbang. Mereka yang jalannya tak 16 PALMERSTON PENNSYLVANIA terhalang ditembak jatuh saat melarikan diri, menabrak meja, dinding, dan meja layan. Di belakang meja itu pelayan yang masih hidup mengerutkan diri sekecil mungkin, tersadar bahwa dirinya menduduki genangan air seninya sendiri. Dari tempatnya dia bisa melihat kaki gugup Duane Hillman, anak muda yang baru-baru ini pernah jalan bersamanya di rel kereta api. Dia pemuda yang manis, menawarkan untuk memakai kondom. Begitu dia tahu pemuda itu tak hanya tertembak namun juga jatuh saat membawa satu baki minyak panas, dia tak ingin melihatnya. Gadis itu berharap jika dia sama sekali tak menatap ke arahnya, dan membuat dirinya sekecil mungkin, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Sebutir peluru nyasar kemudian menembus meja dan menghunjam tulang belakangnya. Ada orang-orang yang bahkan tak berusaha lari, namun diam di tempat, mata mereka terbuka lebar, jiwa mereka telah lebih dahulu pergi sebelum selongsong peluru menghantam paru-paru, selangkangan, dan perut mereka. Setidaknya salah satu dari mereka, yang baru saja didiagnosis terkena kanker yang sama dengan yang membunuh ayahnya secara perlahan-lahan, tidak menganggap peristiwa ini sepenuhiiya dari sudut negatif: meskipun sebetulnya si dokter muda di rumah sakit, yang tak dia percayai karena terlihat seperti penjahat di acara TV favoritnya, dapat menolong dirinya jika dia tetap hidup dan menuruti nasihatnya. Orang lain yang mematung tak punya alasan yang mirip seperti dirinya. Mereka hanya tak dapat bergerak hingga tak lagi punya pilihan. Di ruangan yang penuh dengan korban, para pembunuh tampak seperti dewa. Mereka terus menembak, kadang-kadang mengubah arah tembakan, senapan beralih menghujani tembakan ke sudut 17 MICHAEL MARSHALL ruangan yang tak disangka-sangka. Mereka mengisi ulang peluru beberapa kali, meski tak pernah secara bersamaan. Mereka sangat efisien. Tak seorang pun saling berbicara selama keseluruhan peristiwa itu. Dari delapan puluh sembilan orang di McDonald saat makan siang itu, hanya empat puluh yang mendengar tembakan akhir maut tersebut. Sembilan belas dari mereka tewas sebelum hari gelap, sehingga jumlah tewas seluruhnya enam puluh delapan. Di antara korban yang hidup-adalah gadis di belakang meja layan, yang tak pemah lagi berjalan dan menjadi alkoholik sebelum menemukan Tuhan dan kehilangan-Nya sekali lagi. Salah satu dari dua gadis kecil itu juga selamat. Dia diasuh oleh seorang bibinya di Iowa, dan menjalani hidup yang relatif damai. Salah satu teman Trent selamat, dan empat tahun kemudian menjadi penjaga pantai di Laguna Beach. Steve Harris juga selamat. Mestinya dia sudah tewas,.dalam rentetan tembakan pertama ke sisi kiri restoran, namun tubuh Suzy Campbell terbanting ke atasnya tepat saat dia mencoba menyelip ke bawah meja. Bobot tubuh wanita itu membuatnya terempas dari tempat duduknya dan jatuh dengan kepala terlebih dahulu ke lantai. Beberapa detik kemudian suami Suzy juga ikut tumbang, yang juga tewas. Kedua wajah pasangan Campbell itu tak lagi dapat dikenali dari paspornya (keduanya disimpan di dalam saku jaket, berjagajaga jika ada orang menyelusup masuk mobil saat mereka makan), namun pakaian yang mereka kenakan?beberapa dikirim kembali ke Inggris dengan hati-hati, yang lain dijual murah di tempat obral Gap di daerah Bay Back di Boston?masih dalam keadaan baik. Hampir tak perlu dibersihkan dan mereka bisa saja berjalan keluar, naik kembali ke mobil sewaannya, lalu pergi. Mungkin dalam 18 PALMERSTON PENNSYLVANIA kenyataan yang lebih menyenangkan seandainya itu terjadi, dan Mark menemukan alunan Goldberg Variations di suatu kebetulan menyenangkan di kota yang dilalui, mereka mengemudi sisa harinya di sepanjang jalan lurus di antara pepohonan dengan dedaunan yang tampak disinari dari dalam: melewati naik-turunnya jalan tol dari sore hingga malamnya, tanpa menyadari bahwa mereka mengemudi sendirian. Dalam dunia ini mereka hanya menyelamatkan nyawa seorang manusia lain, saat Steve Harris membeku di bawah mereka, terpaku hingga tak bergerak akibat benturan kepalanya dengan lantai ubin. Di sekelilingnya adalah tubuh-tubuh manusia. Yang dapat dia lihat hanyalah kekacauan dan maut: yang terasa olehnya hanyalah sengatan dari lukanya dan nyeri menusuk di kepala yang kemudian menjadi gegar otak parah hingga kadang dia merasa nyeri itu tak pernah hilang. Seorang perawat muda, yang tampak mengagumi dirinya karena berhasil selamat di kala hampir semua orang tewas, melewatkan malam itu di rumah sakit Pipersville yang menyebabkan dia tetap terjaga, ketika yang diinginkannya hanyalah tidur. Tetapi itu terjadi di kemudian hari, seperti serangan jantung di tahun 1995 yang berhasil melakukan apa yang dahulu tak berhasil dilakukan peluru. Dia tak pemah berusaha mencari tahu apakah rumah Victoria itu sedang dijual. Dia hanya terus bekerja hingga tak kuat lagi. Di atas bunyi tembakan dan suara batuk-batuk dan jeritan mereka yang sekarat, suara sirene yang mendekat dari kejauhan terdengar makin jelas. Para pembunuli itu masih menembak selama dua puluh detik berikutnya, mengosongkan kantong kecil di dekat meja layan, tempat si ibu dan dua anak gadisnya membeku. Lalu mereka berhenti. 19 MICHAEL MARSHALL Mereka melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan, dengan wajah tak menampakkan ekspresi apa pun terhadap apa yang telah mereka lakukan. Yang lebih muda?remaja bernama Billy? melangkah mundur, dan memejamkan matanya. Yang satunya lagi menembak tepat ke wajahnya. Saat tubuh Billy terkulai kaku ke lantai, pria itu berjongkok untuk melumuri tangannya di genangan darah. Dia berdiri lagi dan mengedarkan pandangan sekali lagi ke sekeliling ruangan, tenang, tak terburu-buru. Dia bahkan tak melirik mobil polisi yang menderu ke Jalan Utama, yang terlalu terlambat untuk menangani peristiwa yang akhirnya membuat nama Palmerston dikenal luas. Kemudian, saat merasa tepat dan siap, pria itu melompat melewati jendela pecah di belakang tubuh pasangan Campbell dan menghilang: dia diyakini melarikan diri, di sepanjang jalur kereta api tua. Dia tak pernah ditemukan. Tak ada yang mampu memberikan gambaran cukup jelas akan wajahnya, dan kemudian dia seakan menghilang dari peristiwa dan hanya menjadi bayang-bayang. Kesalahan seluruhnya ditimpakan pada Billy semata: seorang anak muda yang hanya melakukan apa yang dikatakan padanya, oleh seorang pria yang dia pikir kawan barunya. Sepuluh tahun pun berlalu.[] 20 BAGIAN I "Dari bukit, dan bukan di atas bukit ...." -FRANK LLOYD WRIGHT dalam THE ARCHITECTURE OF TALIESIN PEMAKAMAN ITU BERJALAN LANCAR, DALAM ARTI CUKUP BANYAK yang hadir, orang-orang berpakaian pantas, dan tak ada yang tibatiba berdiri seraya berkata, "Kalian paham, ini artinya mereka mati." Acara itu dilangsungkan di sebuah gereja di pinggir kota. Aku tak mengerti apa artinya gereja denominasi, dan mengapa harus diadakan dengan arahan dari Harold Davids. Sejauh yang kutahu, kedua orangtuaku tak begitu religius dan menganut semacam paham ateisme ramah dan keyakinan bahwa jika Tuhan memang ada maka Davids mungkin mengendarai mobil bagus, yang kemungkinan besar buatan Amerika. 23 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com MICHAEL MARSHALL Acara diatur secara efisien oleh kantor Davids, tak menyisakan sesuatu untuk kukerjakan kecuali menunggu acara dimulai. Kuhabiskan sebagian besar dari waktu dua hariku di lounge Best Western. Aku tahu seharusnya aku pergi ke rumah orangtuaku, namun rasanya tak tahan menghadapinya. Kubaca novel-novel buruk dan membolak-balik macam-macam majalah yang tersedia di hotel, tanpa mendapat apa pun kecuali bahwa kau harus membayar sejumlah besar uang untuk sekali lihat. Tiap pagi aku meninggalkan hotel, bermaksud jalan-jalan sendirian di sepanjang jalan utama, tetapi hanya berhasil sampai tempat parkir saja. Aku tahu apa yang dijual di toko-toko sepanjang jalan Dyersburg, Montana, namun sama sekali tak terarik dengan alat-alat ski maupun barang "seni". Malamnya aku makan di hotel, roti lapis dari layanan kamar dikirim ke bar pada jam makan siang. Semua hidangan disertai kentang goreng yang dari tekstumya tampak telah mengalami sejumlah proses industri sejak dicabut dari tanah hingga sampai di piring. Tak mungkin tanpa kentang goreng. Aku membahas masalah kentang ini beberapa kali dengan para pelayan, tetapi jatuh kasihan melihat kepanikan di mata mereka. Setelah pendeta menjelaskan kepada para pelayat mengapa maut bukanlah kedukaan total seperti yang mulanya terlihat, kami berbaris keluar dari gereja. Terasa sedih tak ingin pergi. Aku merasa aman di sana. Di luar begitu dingin, udaranya begitu kering dan sunyi. Di belakang pemakaman menjulang kaki bukit Gallatin, puncak-puncaknya tampak membisu di kejauhan, seolah dilukis di atas kaca. Dua lubang kubur berdampingan telah disiapkan. Ada sekitar lima belas orang yang datang menyaksikan pemakaman. Davids ada di sana, dan seseorang yang tampaknya asistennya. Mary berdiri di dekatku, rambut putihnya diikat ke belakang 24 BAB SATU membentuk gelung, wajah panjangnya tampak sedikit letih oleh dingin. Beberapa pasangan lainnya tampak samar-samar kuingat. Pendeta itu masih mengucapkan beberapa kata lagi, sebuah kebohongan menghibur untuk meredam peristiwa ini. Mungkin hal itu berhasil bagi beberapa pelayat. Aku sendiri hampir tak mendengamya, berkonsentrasi untuk mencegah kepalaku meledak. Lalu dua orang pria?yang memang tugasnya seperti ini, sama setiap minggu?dengan efisien menurunkan kedua peti mati itu ke dalam tanah. Tambang perlahan-lahan dilalukan dengan tangan, dan peti mati terukur tepat enam kaki di bawah tanah datar tempat mereka yang masih hidup berdiri. Beberapa kalimat masih disampaikan, namun kini hanya komat-kamit yang tergesa?seolah gereja menyadari bahwa waktu kian menipis. Kau tidak bisa menaruh orang di peti kayu tanpa hadirin menyadari ada sesuatu yang keliru sedang terjadi. Diakhiri dengan pernyataan akhir yang sepi, dan begitulah. Selesai sudah. Tak ada lagi yang akan terjadi pada Donald dan Philippa Hopkins. Tak ada yang mencuat dalam pikiran, setidaknya. Beberapa pelayat masih berdiri beberapa lama, tanpa tujuan. Setelah itu, aku sendirian di bawah naungan langit raksasa. Aku berdiri di sana sebagai dua orang. Satu, yang tenggorokannya tercekat membatu, tak mampu membayangkannya bergerak lagi; dan yang lainnya adalah yang sadar akan sosok mematung di samping kuburan, dan juga bahwa, agak jauh sedikit ke sana, orang-orang berlalu dengan mobil sambil mendengarkan Dixie Chicks dan sedikit cemas memikirkan keadaan keuangannya. Kedua sisi diriku ini menganggap hal itu menggelikan. Aku tahu aku tak bisa berdiri terus selamanya. Mereka takkan membolehkan hal itu. Ini tak masuk akal, tak mengubah apa-apa, 25 MICHAEL MARSHALL dan udaranya sangat dingin. Saat aku akhirnya mengangkat muka, aku sadar bahwa Mary masih di sana, berdiri beberapa kaki jauhnya dariku. Matanya mengering, mengeras oleh kesadaran bahwa nasib yang sama akan dia alami tak lama lagi dan hal itu bukan untuk ditertawakan atau ditangisi. Aku mengerucutkan bibir. Dia menggapaiku dan mengepitkan tangannya di lengan. Tak seorang pun dari kami yang berbicara selama beberapa lama. Ketika Mary meneleponku, tiga hari sebelumnya, aku sedang duduk di dennaga hotel yang indah di De la Vina di Santa Barbara. Kadang-kadang aku menganggur, atau memang sedang menganggur lagi, dan menggunakan tabunganku yang pas-pasan untuk liburan yang tak patut kuperoleh. Aku sedang duduk dengan sebotol merlot lokal di hadapanku, selambat mungkin menghabiskannya. Itu bukan botol yang pertama malam itu, sehingga saat ponsel berdering aku bermaksud membiarkan layanan pesan mengambil alih. Namun saat melirik ponsel terlihat siapa yang menelepon. Kupencet tombol BICARA. "Hei," kataku. "Ward," jawab Mary. Lalu diam. Akhirnya aku mendengar suara rendah di seberang. Bunyinya lembut, pekat. "Mary?" tanyaku cepat. "Kau tak apa-apa?" "Oh, Ward," ucapnya, suaranya terdengar gelisah dan sangat tua. Aku langsung duduk tegak di kursiku, berharap samar bahwa ketegaranku yang pura-pura ini entah bagaimana akan dapat mengatasi beratnya beban godam yang akan menghantamku jatuh. "Ada apa?" "Ward, lebih baik kau datang ke sini." Akhirnya aku berhasil memaksanya bicara. Terjadi tabrakan mobil di tengah kota Dyersburg. Kedua orangtuaku tewas seketika. 26 BAB SATU Sebelumnya aku sudah dapat menduga akan datangnya kabar buruk mengenai orangtuaku. Jika bukan tentang mereka, Mary tidak akan menelepon. Namun bahkan sekarang pun, saat aku berdiri di sampingnya di pemakaman sambil menunduk ke arah peti mati mereka, aku tak mampu mengucapkan kalimat untuk membingkai kematian mereka dengan semestinya. Aku kini juga tak bisa membalas telepon Ibu yang pesannya dia tinggalkan di mesin penjawab telepon, seminggu sebelumnya. Waktu itu aku tidak sempat. Aku tidak ingin mereka terhapus dari permukaan bumi tanpa peringatan, dan ditaruh di bawahnya, tempat mereka tak dapat mendengarku. Mendadak aku tersadar, aku tak ingin berada di dekat-dekat jenazah mereka lagi. Aku mundur selangkah dari makam. Mary merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sesuatu yang melekat pada label kardus kecil. Satu set kunci. "Aku telah membuang sampah tadi pagi," ucapnya, "dan mengambil beberapa barang dari kulkas. Susu dan semacamnya. Aku tak ingin kulkas berbau tak enak. Semuanya seperti yang kutinggalkan." Aku mengangguk, menatap kunci-kunci itu. Aku sendiri bahkan tak punya. Tak butuh. Kuncinya ada di dalam, beberapa kali ketika aku datang berkunjung. Aku sadar baru kali inilah aku melihat Mary di tempat lain selain di dapur atau ruang keluarga di rumah Ayah dan Ibu. Seperti itulah rasanya bersama orangtuaku. Kau yang pergi ke rumah mereka, bukan sebaliknya. Mereka cenderung niembentuk semacam pusat kehidupan. Terpaksa. "Mereka sering membicarakanmu, Ward. Sering." Aku mengangguk lagi, meski tak yakin percaya padanya. Hampir selama sepuluh tahun orangtuaku bahkan tak tahu di mana 27 MICHAEL MARSHALL aku berada, dan yang mereka katakan selalu tentang seorang pemuda, anak tunggal yang dahulu pernah berangkat dewasa dan tinggal bersama mereka di negara bagian berbeda. Bukannya kami tak saling mencintai. Kami saling mencintai, dengan cara masingmasing. Aku hanya tak memberi mereka banyak peristiwa untuk diperbincangkan, tak ada hal-hal yang para orangtua cenderung bangga-banggakan tentang anaknya pada teman dan tetangga mereka. Tak punya istri, tak punya anak, tak punya pekerjaan untuk diobrolkan. Aku tersadar Mary masih menyorongkan tangannya, jadi kuambil kunci-kunci itu darinya. "Berapa lama kau akan tinggal?" tanyanya. "Tergantung seberapa lama waktu yang dibutuhkan. Mungkin seminggu. Mungkin kurang." "Kau tahu rumahku," katanya. "Jangan sungkan, kalau-kalau." "Tidak akan," jawabku segera, tersenyum canggung. Aku berharap punya saudara kandung yang dapat mengambil alih pembicaraan semacam ini dariku. Seseorang yang bertanggung jawab dan berbakat sosial. Mary balas tersenyum, namun seperti dari kejauhan, seakan dia mengerti bukan begini keadaan seharusnya. "Kau akan pulang segera, menurutku," katanya, kemudian melangkah menuruni bukit. Di usia tujuh puluh dia sedikit lebih tua dari orangtuaku, dan berjalan dengan aneh. Dia penghuni Dyersburg sejak lama, mantan perawat, dan lebih dari itu aku tak tahu. Aku melihat Davids berdiri di sisi mobil di seberang pemakaman, membunuh waktu dengan mengobrol bersama asistennya namun jelas dia menungguku. Dia memiliki kesan seseorang yang siap dan bersedia untuk bertindak dengan segera dan efisien, untuk memudahkan urusan. 28 BAB SATU Kulirik sekali lagi kuburan-kuburan itu, lalu berjalan dengan gontai di jalur jalan kecil untuk menghadapi tugas-tugas administratif akibat kepergian seluruh keluargaku. DAVIDS MEMBAWA HAMPIR SELURUH BERKAS-BERKASNYA DI MOBIL, dan mengajakku makan siang untuk membereskan semuanya. Aku tak tahu apakah hal itu membuat urusannya jadi lebih menyenangkan daripada jika dikerjakan di kantornya, namun aku menghargai kesopanan seorang pria yang hampir tak kukenal sama sekali. Kami makan di pusat kota bersejarah Dyersburg, di tempat bernama Auntie's Pantry. Interiomya dirancang menyerupai kabin kayu, dengan perabot yang ditebang-tangan oleh para peri. Menu yang ditawarkan adalah macam-macam sup organik dan roti buatan sendiri, disertai salad di atas taoge. Berusia hampir sebaya dengan orangtuaku, tinggi dan kurus dengan paruh berukuran besar, Davids tampak seperti utusan yang diperintah Tuhan jika Dia ingin hujan turun di Neraka. Davids membuka kopernya dan mengeluarkan sejumlah dokumen, menaruhnya di hadapan dengan gaya seorang pebisnis, mengambil menu, dan mulai membaca. Davids adalah pengacara orangtuaku, sejak mereka bertemu dengannya setelah pindah dari California Utara. Aku pernah bicara dengannya beberapa kali sebelum ini, di acara rnmum-minum saat Natal atau Thanksgiving di rumah mereka, namun di benakku dia kini hanyalah salah satu di antara orang-orang yang pertemananku dengan mereka sudah hampir berakhir. Ini menghasilkan campuran aneh antara keinginan melanjutkan hubungan dan jarak yang memisahkan, yang membuatku tak mampu mengobrol banyak. 29 MICHAEL MARSHALL Untungnya, Davids memimpin percakapan segera setelah mangkuk butternut dan sup lichen tiba. Dia meringkas situasi kematian orangtuaku, yang tanpa adanya saksi mengarah pada satu fakta tunggal. Sekitar pukul 11.05 hari Jumat malam, setelah mengunjungi kawan untuk bermain bridge, mobil mereka terlibat tabrakan dari depan di persimpangan jalan Benton dan Ryle. Mobil lainnya adalah kendaraan yang sedang diam terparkir di sisi jalan. Pemeriksaan pasca-kematian memperlihatkan kadar alkohol darah yang sesuai dengan, mungkin, setengah botol anggur yang dirninum Ayah, yang tidak mengemudi, dan jus kranberi yang dirninum Ibu. Jalanan tertutup es, dan belokan itu tidak begitu terang, bahkan tahun sebelumnya terjadi tabrakan di tempat yang sama. Begitulah. Ini hanyalah salah satu dari peristiwa semacam itu, kecuali jika aku ingin terlibat dalam pemeriksaan perdata tanpa hasil, dan aku tak ingin itu. Tak ada lagi yang dikatakan. Setelah itu Davids kembali pada urusan administratif, yakni memintaku menandatangani sejumlah besar berkas, sehingga maierima kepanilikan rumah dan isinya, sejumlah tahah yang belum digarap, dan aset finansial milik Ayah. Masalah pajak yang bakaitan dengan semua itu secara efisien dia jelaskan padaku dan marrintaku menandatangani lebih lanjut. Urusan dengan Kantor Pajak masuk telinga kiri keluar telinga kanan, dan aku hanya melirik berkasberkas itu sepintas lalu. Ayah jelas memercayai Davids, dan dia bukanlah orang yang sembarangan percaya pada orang lain. Baik untuk Ayah maka baik pula untukku. Aku hanya mendengarkan separuh perhatian dan lebih menikmati sup?setelah resepnya kuperbaiki dengan taburan garam dan merica banyak-banyak. Pandanganku tertuju pada sendok terisi penuh yang mengarah ke mulutku, menikmati rasanya dengan 30 BAB SATU sungguh-sungguh dan meresapinya, bemsaha memenuhi pikiranku serapat mungkin. Aku hanya memerhatikan ketika Davids menyebut-nyebut UnRealty. Dia menjelaskan bahwa bisnis ayahku, yang dari situ dia berhasil menjual real estate mahal, telah ditutup. Nilai aset yang tersisa akan ditransfer ke tabunganku, segera setelah proses ini selesai. "Dia menutup UnRealty?" tanyaku, mengangkat wajah menatap pengacara itu. "Kapan?" "Bukan begitu." Davids menggelengkan kepala, menyeka mangkuknya dengan sepotong roti. "Dia memerintahkan agar hal itu dilakukan di saat kematiannya." "Tak peduli apa pun yang mungkin kukatakan?" Davids menatap keluar jendela, dan menggosok-gosok tangannya dengan gerakan kecil untuk membersihkan remah dari jarinya. "Dia cukup jelas mengenai hal itu." Supku tiba-tiba terasa dingin, dan rasanya menjadi seperti cairan rumput kolam. Kudorong mangkuk menjauh. Sekarang aku paham mengapa Davids bersikeras menyelesaikan berkas-berkas ini hari ini, bukannya beberapa waktu sebelum pemakaman. Aku mengumpulkan salinan berkas milikku dan memasukkannya ke dalam amplop yang Davids sediakan. "Itu saja?" suaraku terdengar datar dan tajam. "Kupikir demikian. Maaf kau harus mengalami hal ini, Ward, tetapi lebih baik lupakan saja segera." Davids mengambil dompet dari jaketnya dan terbelalak melihat bon, seakan dia tidak saja tak memercayai penglihatannya tapi juga menganggap rendah tulisan tangan si pelayan. Jarinya ragu-ragu 31 MICHAEL MARSHALL sejenak mengeluarkan kartu kredit, alih-alih mengambil tunai. Kukira dia tak ingin biaya makan siang ini dianggap urusan kantor. "Kau telah sangat membantu," ujarku. Davids mengabaikan ucapanku dengan melambaikan tangan, dan menaruh tip tepat sepuluh persen. Kami bangkit meninggalkan restoran, lewat di antara meja para turis yang asyik mengobrol. Di luar kami bersama-sama berdiri, memerhatikan wanita-wanita bersepatu hak tinggi mondar-mandir di College Street membawa barang belanjaan dan kartu kredit untuk dihabiskan. Akhirnya Davids menyorongkan tangannya dari saku jasnya. "Jika ada sesuatu yang dapat kulakukan, hubungi saja. Aku tak bisa membangkitkan orang mati, tentu saja, tetapi untuk hal-hal lain mungkin aku bisa membantu." Kami berjabatan tangan, dan dia berjalan sedikit terburu-buru membaur ke jalanan, wajahnya mengabur. Baru saat itu kusadari, dengan menyesal karena terlambat, bahwa Davids tidak saja menjadi pengacara Ayah, namun juga telah menjadi sahabatnya, dan aku mungkin bukan satu-satunya yang merasa pagi ini begitu berat. AKU BERJALAN PULANG KE HOTEL DENGAN TANGAN TERKEPAL. PUKUL sembilan aku sudah sangat mabuk. Bir sudah di tangan sebelum pintu hotel ditutup di belakangku. Sejak tegukan pertama aku tahu itu suatu kesalahan. Masaiahnya adalah, tak ada jawaban cerdas dalam situasi itu. Awalnya aku hanya duduk di bar, namun setelah beberapa lama pindah ke pojokan dekat jendela panjang. Tip besar yang kuberikan di muka memastikan bahwa aku tak perlu menunggu, 32 BAB SATU atau bahkan bergerak, supaya gelasku selalu terisi penuh. Satu bir, kemudian scotch. Bir, lalu scotch. Sebuah cara yang tepat dan efisien untuk mabuk, dan bartender berwajah mulus itu terus membawakan pesananku dengan lancar. Aku mengeluarkan dokumen dari amplop manila yang diberikan Davids dan menghamparkannya di hadapanku. Pikiranku tertuju pada satu pokok utama. Selama beranjak dewasa, aku sadar akan satu hal tentang ayahku. Dia adalah seorang pengusaha. Itulah pekerjaannya dan jati dirinya. Dia adalah Homo sapiens bisnismaniens. Setiap pagi dia bangun lalu pergj bekerja, dan pulang malam hari untuk bekerja lagi. Orangtuaku tak pernah membicarakan masa muda mereka, dan jarang sekali tentang apa yang mereka alami dalam konsekuensinya, tetapi aku tahu tentang UnRealty. Ayah pemah bekerja selama beberapa tahun di firma setempat, lalu satu malam dia mengajak Ibu keluar untuk makan malam mewah dan memberitahunya bahwa dia akan membuka biro sendiri. Dia mengatakannya persis demikian, sepertinya, bak iklan jaminan bank. Dia telah berbicara dengan beberapa orang, membuat sejumlah kontak, berkutat dengan buku-buku orang hebat yang mendorong orang untuk suatu saat mencangklong di bar sebuah country club dan berkata, "Aku melakukannya dengan caraku." Itu pasti sulit, tapi Ayah memiliki tekad baja. Baik itu tukang bengkel, tukang pipa, polisi tilang, bahkan resepsionis hotel, semua hanya butuh sekali pandang dan memilih untuk tidak macam-macam dengannya. Jika masuk ke suatu restoran, para staf akan saling berbisik dan sepakat untuk berdiri tegak dan berhenti meludahi sup. Perusahaannya, serta riwayatnya, adalah hal paling nyata yang kupahami dari dirinya. 33 MICHAEL MARSHALL Meski demikian, di surat wasiatnya, dia menetapkan bahwa UnRealty akan ditutup. Alih-alih menyerahkan keputusan kepada putranya, dengan tenang dia menghancurkan hasil kerjanya selama lebih dari 20 tahun. Segera setelah Davids memberitahukan hal ini, aku mengerti ini hanya berarti satu hal. Orangtuaku tak ingin aku mengambil alih bisnis itu. Dalam beberapa hal, itu masuk akal. Aku pernah menjual banyak barang, banyak sekali, namun tak pernah sebuah rumah mahal. Bagaimanapun juga, aku mengerti pikiran mereka. Selalu. Aku tahu tentang majalah Unique Homes, tentang duPontREGISTRY, dan Rumah-Rumah Mewah Christie. Aku tahu konservasi lahan dan ranch, tidak asing dengan nilai kerajinan gaya lama, pemandangan lahan golf, rumah-rumah terpencil yang mementingkan kedamaian. Aku tak bisa menahannya. Sudah mengalir dalam darahku. Bahkan aku mengambil kuliah arsitektur selama dua tahun, sebelum dikeluarkan dari universitas akibat suatu masalah dan beralih ke bidang yang berbeda sama sekali. Dan, Ayah masih tak menginginkan diriku, atau tak percaya bahwa aku dapat mengambil alih usahanya. Semakin kupikirkan hal itu, semakin aku sakit hati. Aku terus minum, berharap keadaan menjadi lebih baik. Namun temyata tidak. Masa bodoh, aku teruskan minum. Bar masih sepi saat malam mulai beranjak. Lalu pukul sepuluh malam serombongan pria dan wanita berjas mendadak menyerbu masuk, melepaskan diri dari impitan grafik-grafik perusahaan yang menekan batin. Mereka berkerumun mengelilingi bagian tengah bar, gara-gara terbiasa membentuk jaringan. Tingkah mereka riang gembira seperti anak kecil, bergairah akan bayangan bersenang-senang serta minum bir ringan. Saat itu otakku sudah terasa sangat berat dan dingin. 34 BAB SATU Suara-suara mulai terdengar mengeras dan memburuk, seakan aku dikelilingi oleh orang yang sedang menyekop kerikil. Aku menjejak lantai tempatku duduk, melayangkan pandangan benci kepada para penyerbu itu. Dua orang pria dengan penuh gaya membuka jaketnya. Seorang bahkan mengendurkan dasinya. Para bawahan mendekati bos-bosnya dan menempel seperti burung pantai mematuk mencari ikan. Aku menahan diri. Aku bisa menghadapi ini. Orang-orang ini mungkin pintar mengolah data dan menghitung aset, tapi untuk masalah ketahanan di bar, mereka tak ada apa-apanya. Aku merasa jumawa. Aku menguasai medan. Dan, bila dipikir-pikir, aku juga mabuk lebih berat dari yang kuduga. Tiga orang pria muncul di pintu. Mereka berhenti, melihat ke sekeliling. Yang kutahu selanjutnya adalah terdengar teriakan, dan orangorang berjas itu tiarap berlindung. Mulanya aku merasa ketakutan, dan baru kemudian tersadar karena dirikulah mereka semua lari. Aku sempoyongan di tengah-tengah ruangan, bajuku basah akibat gelas bir yang terbalik. Tanganku memegang senjata dan benda itu mengarah kepada para pria di pintu, yang meneriakkan perintah-perintah saling berlawanan yang kacau. Mereka tampak begitu ketakutan. Ini mungkin karena jika seorang pria mengarahkan senjatanya padamu, kau ingin melakukan apa yang dia inginkan. Namun sulit jika orang tak mengerti apa yang dia inginkan. Akhirnya aku berhenti menembak. Pria-pria di pintu dengan segera menjadi berenam, lalu berkurang tinggal tiga kembali. Ruangan sunyi di sekelilingku, tapi jantungku rasanya seperti akan meleleh. Semua orang menunggu apakah kejadiannya akan bertambah buruk atau membaik. 35 MICHAEL MARSHALL "Maaf," gumamku. "Ada salah paham." Kutaruh senjata kembali ke dalam jaket, menyapu berkasberkas dari atas meja, dan meluncur keluar. Hampir separuh jalan menuju lobi, aku pun terjatuh, menabrak meja, vas besar, dan bunga seharga seratus dolar jatuh bersamaku. PUKUL TIGA PAGI, KAKU OLEH AIR YANG DINGIN, AKU KEMBALI berbaring di ranjang kamar. Aku telah diperingatkan oleh manajemen hotel maupun polisi setempat, yang bisa memahami kelakuanku, meski bersikeras menahan senjataku sepanjang masa tinggal di sini. Sisa hari diisi oleh pemakaman. Aku punya izin membawa senjata, yang membuat mereka terkejut. Namun mereka mengatakan (cukup beralasan) bahwa dalam surat izin tersebut tak disebutkan bahwa aku boleh mengacung-acungkannya di dalam bar. Berkas-berkas dari kantor Davids, yang menyebutkan bahwa aku kini memiliki uang tunai 1,8 juta dolar, dengan hati-hati kutaruh di atas pemahas agar kering. Aku tak lagi marah pada semua orang. Kenyataan bahwa surat wasiat dan pernyataan Ayah kini beraroma bir tumpah seolah membenarkan tindakannya. Setelah beberapa lama berguling-guling, aku mengambil gagang telepon, lalu memutar nomor. Telepon berdering enam kali, lalu terdengar suara mesin penjawab. Suara yang sangat kukenal, yang mengatakan bahwa Mr. dan Mrs. Hopkins menyesal tak dapat menjawab telepon, dan harap aku bersedia meninggalkan pesan. Suaraku itu kelak akan kembali lagi padaku.[] 36 dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 EBOOK INI BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIL, MAKA BELILAH BUKU ASLINYA