dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 EBOOK INI BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIL, MAKA BELILAH BUKU ASLINYA e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 1 Kisah Kino Pertama-tama, ini adalah serial tentang kehidupan di kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Ini juga cerita tentang Kino, seorang pria yang menjalani masa remaja, dan akhirnya tumbuh sebagai lelaki matang. Pada babak awal cerita, Pembaca dapat menyimak kisah-kisah pubertasnya. Pada masa awal inilah, seksualitas dan sensualitas terbentuk. Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang melodramatik. Kino tergolong pemuda biasa seperti kita-kita semua. Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi pada siapa saja, karena merupakan kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan dengan seksama. Kita letakkan di lipatan-lipatan yang tak mudah ditemukan, agar tak menjadi keseronokan yang tidak sopan. Halaman-halaman berikut ini bermaksud mengungkap kelumrahan itu tanpa tergelincir menjadi keseronokan. Entah apakah maksud itu tercapai, Pembaca jua lah yang menjadi jurinya. Nama dan tempat dalam cerita ini -tentu saja- adalah hayal belaka. Tetapi jika ada kesamaan dengan apa yang Anda temui dalam hidup nyata, penulis hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah sebuah kebetulan. Sambil mengucap terimakasih, karena kisah ini bisa mengungkap kenyataan. Judul-judul dari Kisah Kino : 1. Awal Perjumpaan 2. Musim Berderap Berlalu 3. Seorang Bidadari dan Sebuah Mimpi 4. Musim Badai Tiba 5. The Twilight Zone 6. Kembang Semusim 7. Suara Kesunyian 8. Sang Troubador 9. Menguntai Masa Lalu Extra : Binar Bintang di Bentang Malam ? Aneka Kisah Wanita di Sekitar Kino e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2002 0 BINAR BINTANG DI BENTANG MALAM Beberapa kisah semi-erotik maupun erotik-sepenuhnya tentang Rien, Alma, Rima dan Indi. Mereka adalah para kejora yang berkerejap indah di kehidupan Kino... para kupu semarak yang berterbangan di sekitarnya ... para kelopak harum yang menyeruak di sekelilingnya. Mereka memang bukan Sang Bidadari, Tris... yang dipuja-puji Kino. Tetapi mereka tak bisa lekang dari kisah-kasih pemuda itu, bukan? 1. Rien: Tarian Sepenuh Jiwa 2. Alma : The Way We Were.... 3. Indi: Ensiklopedia Penuh Warna (1) 4. Indi: Ensiklopedia Penuh Warna (2) 5. Rima: Pendakian Tiada Henti e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 3 Rien: Tarian Sepenuh Jiwa Dengan rambut yang kini meriap menyentuh bahu, hidung bangir yang tegak di antar dua mata bak telaga bening, dan bibir basah yang selalu siap menyungging senyum, Rien adalah Dang Hyang Tari: seorang queen of the dance terkenal di ibukota. Apalagi ia adalah juga pencipta, seorang koreografer ulung yang mencampurkan tradisi dan modernisasi. Satu tariannya, The Cocoon mengundang pujian setinggi langit dari para kritikus dalam dan luarnegeri. Itulah tarian sepenuh jiwa tentang kempompong yang berubah menjadi kupu-kupu. Di bawah sorot tunggal lampu panggung yang kosong (kecuali oleh sebuah pohon hidup setinggi satu setengah meter di tengahnya), Rien meliukkan tubuhnya yang terbungkus kain putih sekujur badan, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Gerakannya aneh, sekaligus magis karena ada warna tarian wilayah Indonesia Timur, sedikit Bali, ditambah sedikit gerakan Serampang Duabelas, juga penuh lentingan-lentingan yang sulit ditiru. Seperti tari-tari balet modern. Kadangkadang ia meliuk ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh lantai panggung; lalu memutar sambil menjulur ke atas dalam gerakan lembut; lalu tangannya terentang menerobos keluar dari balutan kain; lalu kelima jarinya merentang dan bergerak cepat seperti digetarkan oleh motor listrik. Satu cincin yang dipakai di jari tengahnya, berkerejap-berkilau bagai pemantik laser. Penonton kerap bertepuk tangan. Kritikus tari duduk terpana di baris depan. Media massa segera meliput kemana pun ia pergi. Namanya pun melejit: Rienduwati, Ratu Baru Dunia Tari. Sebuah stasiun televisi mewawancarainya di belakang panggung. Wajahnya sumringah masih berpeluh. Tubuhnya yang agak kurus tetapi padat-berisi, terbungkus ketat oleh baju kaos dan celana panjang hitam. Matanya itu..... Ya, matanya terus berbinar sepanjang wawancara. Dan ia bercerita tentang kegairahan mencipta tarian-tarian modern yang tak sepenuhnya melupakan tradisi lokal. Bercerita tentang karya monumentalnya, The Cocoon itu. Konon itulah pula ekspresi jiwanya. "Mengapa harus kepompong, Mbak Rien?" tanya si pewawancara, seorang gadis muda yang tampak sekali mengagumi tokoh yang diwawancarainya. "Ya, dia itu, kan, menjelma dari tidur panjang penuh penantian, ke kemerdekaan yang bisa membuatnya terbang. Aku menyimpulkan metamorfosa itu sebagai suatu yang megah, sekaligus rumit. Bayangkan saja, betapa bedanya antara ulat yang uget-uget, lalu kepompong yang patuh dan diam, lalu kupu-kupu yang indah!" kata Rien bersemangat, dalam satu tarikan nafas yang panjang. Si pewawancara agak menganga, dan sempat dua atau tiga detik lupa mengajukan pertanyaan berikutnya. Untunglah Rien sangat santai, dan malah bercanda menepuk lengan pewawancaranya sambil berucap, "Begitulah kira-kira, jeng!" Demikianlah nama Rien semakin mencuat. Apalagi kemudian ia sering menari di pusat-pusat kebudayaan asing di ibukota. Tak lama setelah debut-nya di Gedung Kesenian, Rien pun berkeliling Eropah selama satu bulan penuh; menari di beberapa festival di Jerman, Perancis, Inggris dan Italia. Usianya masih sangat muda untuk ukuran koreografer sekaliber itu. Ia sedang menapak angka 30. Tetapi kalau melihat penampilannya yang ceria, segar, dan enerjik, orang pasti menyangka ia baru berusia 20-an. Dan ia masih melajang walau sudah tinggal di apartemen mewah dan punya sebuah BMW hadiah sepasang suami-istri pengusaha Jerman yang terkagum kepadanya. Beberapa kali pria mencoba mendekatinya, tetapi ditampik dengan halus. Alasan terkuat yang diajukan Rien adalah: ia terlalu sibuk dengan sanggar dan tariannya. Dan memang ia sangat sibuk di tahun-tahun pertama karirnya. Setelah The Cocoon, ia menciptakan dua karya cemerlang lagi. Satu diberi judul Padi - Kapas, ditarikan berpasangan dengan seorang penari pria asal Riau. Satu lagi bernama Serambi Para Gadis yang dinarikannya bersama 6 penari pengiring wanita. Kalau The Cocoon mengesankan kecanggihan Rien sebagai penari tunggal, maka dua karya lainnya ini memastikan Rien sebagai koreografer yang telah matang. Tetapi setelah beberapa saat menjadi lajang paling populer seantero ibukota, Rien akhirnya luluh juga. Ada seorang pria yang mendekat kepadanya, dan koran atau majalah mulai bergosip tentang mereka. Namanya Tiyar, seorang gitaris kelompok jazz yang berjumpa-pandang dengan ratu tari itu pada sebuah acara kesenian yang diadakan Pusat Kebudayaan Jepang. Tiyar adalah pemuda berdarah campuran. Ibunya orang Jepang. Ayahnya seorang Indo-Belanda. Oleh sebab itu ia bertampang unik, dengan mata Eropa yang kebiruan tetapi rambut Asia yang hitam legam. Semua orang bilang ia cute. Maka ia pun punya rasa percaya-diri yang cukup melimpah. Maka ia pun dengan gagah menegur lebih dahulu sambil memandang takjum sekaligus takjim. "Halo, tarian Anda sungguh mengagumkan...," katanya sambil mengacungkan tangan untuk bersalaman. Rien memandang pemuda bercelana jeans dan berkaos putih di depannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu ia tersenyum, tetapi tidak menyambut tangan yang telah tersodor. "Saya Tiyar, gitaris yang sebentar lagi manggung..," kata Tiyar tetap gagah berani, walau tangannya terpaksa ditarik kembali. "Saya Rien, penari yang baru turun dari panggung," jawab Rien ringan sambil melap lehernya dengan sapu tangan. Harum semerbak menyebar dari setangan tipis itu. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2004 0 "Riendu. Saya sudah tahu nama Anda. Semua orang sudah tahu," kata Tiyar masih dengan gaya penuh percaya diri. "Apakah orang juga tahu nama Tiyar?" ucap Rien yang tiba-tiba ingin mencandai pemuda cakep yang ... ah, kenapa ia tiba-tiba ingat seorang pemuda secakep ini di masa lampaunya, di kampung sana? Tiyar tersipu, "Wah, pasti belum banyak yang tahu saya," katanya sambil melangkah merendengi Rien yang menuju kamar ganti pakaian. "Ini jalan menuju kamar ganti, lho..," kata Rien santai, "Kalau panggung, ke arah yang berlawanan." Tiyar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Saya mau menanyakan sesuatu kepada Anda," katanya sambil terus merendengi Rien. Beberapa kru band melihat ke arah mereka, dan salah seorang bersuit-suit menggoda. "Oh! .. saya kira mau minta tandatangan," kata Rien lagi sambil tertawa kecil. Boleh, dong, sekali-kali menggoda pemain band, ucapnya dalam hati. "Berapa nomor telepon rumah Anda?" tanya Tiyar sebelum keberaniannya hilang. Mereka sudah sampai di depan kamar ganti khusus untuk Rien, dan wanita itu membalikkan badan menghadapi Tiyar yang kini terdiam menunggu jawaban bagai seorang terdakwa menunggu keputusan hakim. "Mau mengajak makan malam?" tanya Rien dengan ringan, seakan-akan bertanya kepada seorang yang sudah dikenalnya lama. Tetapi justru pertanyaan seperti ini yang tidak diduga oleh Tiyar. "Eh.. ah, bukan begitu," ucap pemuda itu gugup, "Saya cuma ingin tahu nomor telepon..." Rien tersenyum manis dan penuh godaan. Rasain! sergahnya dalam hati sambil berbalik dan masuk ke ruang ganti. Lalu sambil tetap tersenyum ia melirik sekali lagi ke Tiyar yang terpaku di depan pintu. Lalu ia tutup pintu kamar gantinya. Tiyar pun hilang dari pandangan mata. Kalau memang ia memerlukan nomor teleponku, pikir Rien, biarlah ia berusaha sedikit lebih keras. ***** Dan berusahalah Tiyar lebih keras. Agak sulit mulanya, karena Rien memang tidak mengumbar nomor telepon pribadi. Dia biasa dihubungi di sanggarnya. Karena itulah Tiyar ke sana. Berkali-kali ke sana, hanya untuk menunggu Rien berhenti melatih atau berlatih. Sudah dua kali ia datang, tetapi Rien masih harus melatih anak buahnya. Tiyar pulang dengan tangan hampa. Pada suatu hari ia menunggu tak kurang dari 1 jam, hanya untuk kecewa karena sebuah stasiun televisi Jerman ternyata punya janji wawancara. "Tetapi saya sudah di sini sejak 1 jam yang lalu, Rien!" protes Tiyar ketika Rien dengan ringannya melambaikan tangan sebelum menuju kolam ikan di bawah pohon perdu, tempat ia menerima kru televisi Jerman itu. "Aku tahu," ujar Rien sambil menembakkan lirik matanya yang bisa menumbangkan beringin itu. "Lalu, musti menunggu berapa lama lagi?" kejar Tiyar. "Dua, ..... mungkin tiga, mungkin empat jam," jawab Rien ringan. Langkahnya gemulai tetapi cukup cepat untuk membuat Tiyar tergopoh-gopoh di belakangnya. Tiyar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sial, umpatnya dalam hati, dua jam lagi aku janji latihan band. Kru televisi kemudian mengatur berdiri Rien, dekat sebuah patung batu di pinggir kolam. Suara gemercik air terdengar lamat-lamat. Sinar mentari tak terlalu banyak, tetapi ada beberapa lampu sorot dan reflector yang dibawa khusus untuk memberi efek cahaya sempurna. Seorang juru rias dengan sigap memupuri muka Rien yang berdiri patuh. Sementara Tiyar berdiri di kejauhan, masih bimbang apakah akan menunggu atau mengulang usahanya besok. Rien memandang pemuda itu berdiri di bawah sebuah pohon. Ketika itulah, ketika melihat pohon itu, .... melihat seorang pemuda berdiri di bawahnya dengan wajah penuh harap.... Rien tiba-tiba teringat lagi seseorang dari masa lalunya. Suasananya mirip: latihan menari, dan seseorang yang menunggu! Ingatan itu seperti menyelinap dan muncul tiba-tiba di depan mata-hatinya. Ingatan itu juga seperti sebuah cubitan; tidak sakit, tetapi cukup menyengat. Sebuah perasaan hangat yang sulit dicerna tiba-tiba memenuhi dadanya. Di manakah dia sekarang? bisik Rien dalam hati. Tiyar melihat Rien memandang ke arahnya. Pemuda itu menoleh ke belakang. Ia ragu-ragu, benarkah wanita mempesona itu sedang memandangnya, atau pohon di belakangnya? Ketika pasti bahwa tidak ada siapa-siapa di belakangnya, kecuali sebuah pohon yang tak begitu menarik, Tiyar menoleh kembali ke Rien. Dan Rien tersenyum. Jantung Tiyar berdegup setengah kali lebih cepat dari sebelumnya. Cepat-cepat ia membalas senyum itu. Dan Rien tersenyum lebih lebar lagi, memperlihatkan sederet giginya yang bak mutiara itu. Wahai, Tiyar seperti disiram air sejuk di tengah siang yang kerontang ini. Lalu bibir Rien bergerak, mengucapkan sesuatu tetapi tak terdengar. "Apa?" tanya Tiyar dengan suara keras, membuat semua orang menengok ke arahnya. "Besok!" teriak Rien membalas, dan semua orang menengok ke arah wanita itu. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 5 "Apanya yang besok?" teriak Tiyar. Semua orang menengok ke pemuda itu lagi. "Besok jam 4 sore. Aku tunggu di sini!" sahut Rien. Semua orang tidak menengok ke wanita itu lagi, melainkan memandang pemuda itu. Menunggu reaksinya. Tiyar berpikir cepat. Besok ada janji dengan salah satu majalah musik. Bisa ditunda! Maka cepat-cepat ia mengepalkan tinju, lalu membuat gerakan membetot dengan tangannya sambil berteriak "Yes!" Rien tertawa renyai melihat tingkah pemuda itu. Semua orang ikut tertawa. Pemimpin kru televisi bahkan bertepuk tangan. Juru rias sejenak menggeleng-gelengkan kepalanya. Kameraman yang bertolak-pinggang dan berwajah angker itu pun ikut tersenyum. Tiyar was terribly happy! ***** Begitulah akhirnya Tiyar menjadi pacar Rien setelah delapan makan malam, satu kencan di disko, dan satu kali pergi bareng ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Sekarang, kemana pun Rien manggung, pasti ada Tiyar. Kemana pun band Tiyar menggelar jazz-rock-nya, ke sanalah Rien pergi. Pasangan itu tampak serasi. Yang satu tampak gagah dengan tubuh selalu terbungkus t-shirt putih bersih. Yang satu tampak cantik walau juga cuma dibungkus t-shirt ungu atau hitam. Keduanya selalu memakai celana jeans. Konon, setiap membeli jeans, pasti sepasang. Media massa sibuk membuat spekulasi. Pertanyaannya satu: kapan mereka menikah? Padahal usia mereka terpaut hampir 3 tahun. Seorang jurnalis iseng mengangkat topik ini, tetapi ia didamprat redakturnya. Kata redakturnya yang berkaca-mata tebal dan berusia hampir 60 tahun itu, jangan memancing kemarahan pembaca yang tidak peduli pada usia, dan yang ingin terus membaca kisah dewa-dewi. Maka sang jurnalis yang baru berusia 25 tahun itu dengan cemberut menghapus alinea-alinea yang menyoal usia Rien dan Tiyar. Tetapi sesungguhnyalah soal usia ini jadi topik cukup hangat di antara mereka berdua. Misalnya, pada sebuah malam penuh bintang, ketika dengan manja Rien duduk di pangkuan Tiyar di tepi pantai, pemuda itu berbisik di telinganya, "Kapan aku bisa menyusul usia kamu?" "Kalau kamu sudah bisa beli mesin waktu!" sergah Rien sambil mengucek-ucek rambut kekasihnya. "Berapa harga mesin waktu?" bisik Tiyar sambil mencium leher Rien yang selalu semerbak itu. "Tanya saja di tokonya," kata Rien sambil mendorong tubuhnya ke belakang, menyandar sepenuhnya ke dada Tiyar yang kokoh dan bidang itu. "Bagaimana kalau kamu saja yang mengurangi usiamu?" kata Tiyar sambil melingkarkan tangannya di pinggang Rien. Hmm.., nyaman sekali mendekap tubuh kekasih di depan debur ombak dan di bawah sejuta bintang. "No way!" sergah Rien sambil mencubit lengan kekasihnya gemas. "Aduh! Kenapa harus mencubit, sih?!" "Gemes! Kamu suka tanya-tanya yang tidak bisa dijawab!" sergah Rien mencubit lagi. Tiyar mengaduh lagi. Juga mengaduh dalam hati, karena sesungguhnya ia agak risau dengan perbedaan usia. Seorang rekan satu band pernah bertanya menyindir, apakah enak menjadi daun muda. Kalau itu bukan si Gatot yang ototnya diperlukan untuk menabuh drum, pasti Tiyar sudah meninjunya! Rien juga tahu apa yang di-aduh-kan Tiyar. Maka ia membalikkan tubuhnya, duduk di pangkuan Tiyar sambil menghadapnya. Kedua tangannya dikaitkan ke leher pemuda itu. Pandangan mereka beradu. Rien tersenyum, lalu mengecup bibir pemuda itu sekilas. "Kamu risau soal usia lagi, ya!?" ucap Rien setengah berbisik. Tiyar mengangguk sambil memandang dua telaga bening di depannya. Oh, sejuk sekali telaga itu. Bisakah ia berenang di sana? "Kenapa musti risau?" tanya Rien lagi sambil mengecup ujung hidung pemuda itu dengan lembut. "Karena aku ingin menikahimu," kata Tiyar tegas. Ini adalah kali ketiga ia mengatakan kalimat yang persis sama, kata demi kata. Rien tertawa renyai. Ia sudah bisa menduga jawabnya. Dan ia juga sudah selalu menjawabnya dengan tak kalah tegas, "No way, Hosey!". "Apakah karena aku lebih muda?" desak Tiyar. "Bukan-bukan-bukan," kata Rien sambil berdendang. Ada lagu dang-dut yang berisi lirik itu. Rien suka menggoda Tiyar dengan mengatakan bahwa dang-dut lebih mudah dicerna daripada lengkingan gitar jazz. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2006 0 "Ayolah kita menikah, Rien!" ujar Tiyar sambil merengkuh tubuh kekasihnya, lalu mencium bibirnya yang ranum itu. Rien sejenak gelagapan. Ia melepaskan diri dengan mendorong sekuat tenaga. "Kamu mengajak menikah seperti mau memperkosa!" sergah Rien sambil tertawa. "Sekarang aku yang gemes. Ayo kita kawin!" kata Tiyar mencoba mencium lagi, tetapi gagal. "Jangan di sini," kata Rien sambil tertawa nakal. Tiyar semakin gemas. Direngkuhnya kuat-kuat tubuh mungil yang sintal-padat itu. Diciumnya bibir merekah-basah yang menggairahkan itu. Dilumatnya sepenuh hati. Dibuatnya Rien mengerang-mendesah. Tiyar tidak peduli dan terus mencium. Panjang dan lama sekali ciuman itu. Kira-kira 12 menit 32 detik. "Pulang, yuk?" bisik Rien dengan nafas memburu ketika ciuman mereka usai. "Your place or mine?" bisik Tiyar juga dengan nafas memburu. "Ke sanggar saja!" desah Rien. Itu adalah permintaan yang tak mengherankan Tiyar. Wanita pujaannya ini punya sebuah kamar yang mirip gua pertapaan di sanggarnya. Di sana cuma ada kasur berlaskan tikar rotan Kalimantan. Seluruh lantainya ditutupi tikar pandan dengan corak tradisional, berwarna hijau-kuning-merah yang agak kusam. Dindingnya dihiasi berbagai kain tenun Sumbawa. Ada pula sebuah kain tenun Sumatera Barat terselampir seenaknya. Di pojok ruangan ada dudukan lampu setinggi satu meter, terbuat dari padas. Kalau lampu dinyalakan, cahayanya hanya temaram saja, seperti lampu sentir minyak tanah di desa-desa. Di salah satu dinding ada cermin besar yang bisa memantulkan seluruh isi ruang. Di kamar itulah Rien mencipta banyak tarian, termasuk tiga masterpieces-nya. ***** Di "gua pertapaan" Rien itulah mereka juga sering bercinta dan bercinta lagi. Rien menumpahkan segala kegairahan badaniahnya di atas tubuh kokoh kekasihnya. Ia seperti tak letih-letihnya menggumuli tubuh yang dengan sukahati melayani segala permintaannya itu. Bagi Rien, pemuda ini adalah lover boy yang mengagumkan. Dengan pemuda inilah ia bisa mengarungi samudera sensual yang penuh dengan puncak-puncak ombak kenikmatan itu. Ia bisa leluasa duduk di pinggul pemuda itu, merasakan dirinya bagai dipancang-tegak oleh kekuatan yang nyaris tak pernah sirna. Ia bisa bebas bergerak, bahkan menarikan tarian erotik, di atas tubuh yang berpeluh itu. Lagi dan lagi ia merengut puncak demi puncak kenikmatan, yang makin lama makin tinggi menggapai langit birahi. Sejak berpacaran dengan Tiyar, ada sesuatu yang terbangkit di diri Rien. Entah betul, entah tidak. Gairah sensual Rien selalu menggebu pada percumbuan mereka. Anehnya, setiap kali sehabis bercinta dengan pemuda itu, selalu datang inspirasi indah untuk sebuah tari. Seringkali setelah pemuda itu pulang, setelah Rien puas tergeletak di kasur percintaan mereka, datang ide untuk gerakan-gerakan tari. Lalu, malam-malam, atau pagi-pagi sekali, Rien bangun untuk mematangkan ide itu. Bertelanjang dada ia menari sendirian di depan cermin, mencoba gerakan-gerakan baru dan mencatat setiap gerak yang telah ia rasakan sempurna. Apakah semua seniman begitu? Apakah semua seniman memakai sumberdaya seksual untuk pemicu daya cipta? Mungkinkah ada hubungan antara orgasme dan ide yang cemerlang? Ah, pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab oleh Rien. Ia juga akhirnya tak peduli, dan tak pernah mau mencoba membuktikan benar-tidaknya. Ia terus saja berkarya, dan terus pula bercinta. Tiyar pada mulanya terkejut ketika mereka pertama-kali bercinta, kira-kira empat bulan yang silam, atau tiga bulan setelah perkenalan mereka. Tidaklah ia menyangka bahwa wanita cantik yang cerdas dan kreatif itu ternyata adalah seorang petualang sensual di atas ranjang. Tiyar pada awalnya berlaku sopan dalam bercinta, berusaha menunjukkan bahwa ia tidak mengejar badan melainkan hati wanita itu. Tetapi setelah dua kali bercinta, Tiyar tak peduli lagi. Ia pun melayani saja segala permintaan Rien, betapa pun liar dan sensualnya permintaan itu. Seperti malam ini, di awal percumbuan, Rien berbisik serak, "Eat me, please...". Dan Tiyar pun dengan senang hati memenuhi permintaan itu. Dan wanita itu mengerang-erang menikmati tiga kali puncak kenikmatan. Tubuh bagian atasnya masih terbungkus lengkap. Hanya dari pinggang ke bawah yang terbuka-bebas. Sebuah kursi rotan dibawa masuk kamar, khusus untuk itu. Dan di atas kursi itu Rien menggelepar-geleparkan orgasmenya sambil merintihmemohon agar Tiyar melakukannya lagi dan lagi. Ia minta dikulum. Ia minta digigit-gigit kecil. Ia minta ditelusupiditelusuri. Ia minta ini, ia minta itu. Semua diberikan oleh Tiyar. Lalu, lama setelah itu, Rien minta digendong ke kasur yang tergeletak dingin di lantai. Di situ ia minta Tiyar melumatluluh- lantakkan tubuhnya yang telah telanjang sepenuhnya. Di situ mereka bergumul kekiri-kekanan, depan-belakang, atas-bawah. Lalu Rien minta di atas. Tiyar pun sukarela menggeletakkan tubuhnya yang memang sudah cukup letih. Lalu Rien mendominasi permainan yang seperti tak pernah bisa dihentikan ini. Berkali-kali wanita itu menjerit-jerit kecil, menggigit bibirnya sendiri, meremas bahu Tiyar di bawahnya, menjepitkan kedua pahanya yang sudah basah kuyup oleh peluh mereka berdua. Berkali-kali! Barulah 95 menit kemudian, ... mungkin lebih...., mungkin dua jam kemudian.... keduanya terhempas di pantai pencapaian bersama. Tergeletaklah keduanya dengan nafas terengah-engah dan wajah letih tetapi penuh kepuasan. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 7 Kasur dan seprainya sudah awut-awutan centang-perentang basah dan lengket pula di sana-sini. Rien menelungkup di dada lover boy-nya. Ia pejamkan mata dengan nikmat. Dan saat itulah ia berpikir tentang sebuah gerakan kaki untuk proyek tarian berikutnya, yang diberi judul Untuk Langit Untuk Laut (For the Sky, For the Sea). Ia berpikir tentang sebuah gerakan menendang sambil meregang, seperti ketika tadi ia menikmati orgasmenya, entah yang keberapa! ***** Nama Riendu terus mencuat di dunia panggung. Setelah tariannya, orang mulai melirik kemampuan aktingnya. Sebuah sinetron segera dibuat untuknya dan Rien mendapat banyak sekali uang untuk 12 episode. Baginya, sinetron ini juga tidak terlalu baru karena kisahnya adalah tentang seorang penari ronggeng di sebuah dukuh terpencil. Rien sangat menyukai peran ini karena ia juga bisa "memaksa" sutradaranya memakai beberapa gerakan ciptaannya sendiri. Hidup Rien mulai gemerlap dan sibuk. Tiyar dengan setia berada di sampingnya, dan Rien bersyukur memiliki pacar yang bisa disandarinya kalau sedang capai, bisa diajak bercanda kalau sedang gundah, dan bisa diajak bercinta kapan saja! Sinetronnya belum lagi ditayangkan, ketika pada suatu malam di sela shooting seorang asistennya datang membawa sebuah foto seorang anak dara yang minta ditandatangani. Sambil menghirup minuman dingin, dengan acuh tak acuh Rien menerima foto itu dan bersiap-siap membubuhkan tandatangan. Ia sudah siap untuk ini: menjadi populer dan dikejar-kejar pemburu tandatangan. Ia telah buat sebuah tandatangan sederhana yang bisa digoreskan dalam satu gerakan. Ia hampir tak pernah mengamati benda yang ditandatangani. Kali ini pun ia siap menggores, tetapi... sebentar dulu! "Eh?!" Rien menjerit, tidak jadi menggoreskan tandatangannya, matanya terpaku pada foto gadis di tangannya. Ia kenal gadis itu. Nun di sebuah kota kecil, ia pernah lihat gadis ini. Ia tak pernah lupa matanya yang lembut dan wajahnya yang manis-polos itu. "Kenapa?" Tiyar menjulurkan kepala dari sebelahnya, ikut memandangi foto itu. "Aku rasanya kenal anak ini," kata Rien sambil mengernyitkan dahi. "Itu foto anak SMA, ada sejuta yang seperti dia," kata Tiyar seenaknya. "Justru itu. Aku kenal sewaktu anak ini masih SMA. Sekarang pasti bukan SMA lagi," kata Rien sambil terus mengamati foto di tangannya. "Orangnya ada di luar, Mbak," kata sang asisten yang berdiri patut di sebelah Rien, memberanikan diri menyela. "Kamu tahu namanya?" tanya Rien. "Alma," kata asistennya. Tentu saja! sergah Rien dalam hati sambil bangkit menarik tangan asistennya dan berkata, "Antar saya ke anak itu!" Di luar, Alma berdiri gelisah. Ia tidak yakin tindakannya itu bijaksana. Ia memang bermaksud meminta tandatangan sambil mencoba mengadu untung, siapa tahu Mbak Rien masih ingat. Ketika Alma melihat Mbak Rien keluar dari sebuah tenda tempat para artis beristirahat, gadis itu hampir tak mengenalinya lagi. Maklumlah, wanita penari yang cantik itu kini semakin jelita dengan pakaian yang "wah" dan dengan aura yang penuh kharisma. Baru setelah dekat, Alma sadar ia berhadapan dengan Dang Hyang itu, dan lututnya lemas. Lidahnya kelu. "Hai!" seru Rien riang melihat Alma berdiri terpaku. Ia tidak bisa lupa gadis ini, walau sekarang tampak agak kurus. "Mbak Rien?" ucap Alma ragu-ragu. "Ya! Apa kabar kamu, Alma!" seru Rien dengan riang. Tiyar yang melongok dari tenda sempat terheran, tetapi lalu masuk lagi. Mereka berpelukan, walau Alma sempat kikuk menyambut rentangan tangan seorang bintang. Sedangkan Rien sendiri tanpa canggung menempelkan pipinya ke pipi gadis itu. Kurus sekali dia, pikir Rien sambil membayangkan seorang anak SMA dengan seragam putih abu-abu. "Mbak tidak lupa kepada saya...," bisik Alma seperti mau menangis. Sesungguhnya ia terharu diterima seperti ini oleh seseorang yang fotonya menghiasi sampul majalah wanita di seluruh Indonesia. Rien tertawa sambil mencengkram erat bahu Alma, "Tidak! Mana mungkin Mbak lupa sama cah ayu seperti ini." Pipi Alma merona merah, dan sambil tersipu berkata, "Ah, bisa aja, Mbak!" Hmm..., logatnya sudah seperti anak metropolitan, pikir Rien. Ia lalu menarik Alma untuk ikut masuk ke tenda para artis. Dengan canggung gadis itu mengikutinya. Ia seperti sedang bermimpi, melihat dari dekat para artis yang sedang shooting! Lalu mereka bercakap-cakap panjang lebar. Terutama Rien yang memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan, dan Alma menjawab polos betapa ia kini sudah berpraktek dengan mayat-mayat di rumah sakit, sudah pandai membersihkan e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2008 0 nanah dari borok-borok di kaki pasien miskin dan para gembel, sudah pernah melihat darah tumpah ruah dari seorang ibu yang mengalami perdarahan... "Astaga!... Anak sehalus ini akan menjadi tukang bedah perut orang?" seru Rien sambil tertawa riang. Tiyar ikut tertawa, dan berkomentar, "Asal jangan meninggalkan guntingnya di dalam!" Alma ikut tertawa, agak lega karena ternyata para bintang itu manusia juga. Bisa bercanda dan tertawa seenaknya. Pastilah mereka makan nasi, dan sekali-kali pasti juga makan tempe, pikir Alma sambil melanjutkan tawanya dalam hati. Lalu mereka bernostalgia tentang kota kecil nun di sana. Tentang pasar yang satu-satunya, dan tentang stasiun bis kota yang hanya ramai di akhir pekan. Kemudian juga tentang anak-anak peserta sanggar yang kata Alma sekarang sudah berpencaran. Ada yang jadi pegawai bank, ada yang jadi pramugari, ada yang kawin dengan juragan perahu. Tak satu pun yang jadi penari! ... Rien tertawa gelak mendengar yang terakhir ini. "Bagaimana kabar Kino?" tiba-tiba saja keluar pertanyaan itu dari mulut Rien yang sedang tertawa. Dan begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, begitu pula Rien tersadar. Tawanya berhenti. Eh, mengapa aku bertanya tentang dia? sergah hati kecilnya. Alma ikut terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak siap menjawabnya, karena ia pun tidak tahu kabar pemuda yang sempat mengisi relung-relung terdalam hatinya. Sekarang ia sulit sekali masuk ke relung-relung itu; sulit menemukan apakah nama pemuda bermata lembut yang selalu gundah itu tetap tergores di dinding hatinya. "Maaf," kata Rien melihat gadis di depannya terpana tak bisa menjawab. Ah, tetapi apa perlunya minta maaf? sergah hati kecilnya lagi. "Saya juga tidak tahu, Mbak. Maaf juga," ucap Alma memelas, tetapi justru tampak lucu. Rien pun segera tergelak untuk mencairkan suasana. Sudahlah, kata hati kecilnya, hentikan pertanyaan tentang pemuda itu. "Ya, sudah! Kita ngomong yang lain saja," kata Rien ringan di antara tawanya. Lalu celoteh mereka berdua berlanjut. Tiyar pun merasa tersingkirkan, dan sambil bersungut pemuda itu meraih sebuah minuman dingin dan berlalu ke arah beberapa kru film yang sedang duduk-duduk main kartu remi. Kalau saja shooting tidak segera dimulai, mungkin mereka akan bicara sampai berjam-jam lagi. Namun sutradara akhirnya berteriak, orang-orang segera berkemas, Rien pun siap dibedaki dan di-brief untuk adegan berikutnya. Alma tahu diri. Dia segera pamit sambil memohon untuk boleh menemui Rien lagi di lain waktu. Rien tersenyum manis sambil mengangguk, lalu memberikan nomor telepon pribadinya. Alma segera mencatatnya, lalu segera meninggalkan wilayah shooting. Tak sedikit pun ia ingat bahwa fotonya belum lagi ditandatangani! ***** e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 9 Alma : The Way We Were.... Gadis kota kecil bermata lembut dan berwajah innocent itu tetap saja bermata lembut dan berwajah innocent. Kecuali kini ia adalah mahasiswi ibukota yang terkadang terlihat sangat letih akibat kuliah yang ekstra berat di fakultas kedokteran. Tubuhnya menjangkung sedikit. Juga menjadi agak kurus, walau justru membuatnya lebih semampai. Kalau ia memakai baju terusan (yang belum pernah dilakukannya di kota kelahiran dulu), Alma tampak matang dan dewasa. Rambutnya dipotong agak pendek, sehingga lehernya yang jenjang itu makin tampil indah. Gadis itu kini juga adalah gadis ibukota. Penampilannya berubah, walau kesederhanaan masih membekas kuat. Ia kini memakai lipstik dan minyak wangi merek terkenal, yang dulu hanya pernah ia lihat di meja rias Ibu. Ia juga memakai berbagai asesori, walau tak mewah. Secara keseluruhan ia tetap Alma yang dulu, dengan senyum manis yang terkesan terlalu sopan, walau kalau tertawa bisa berderai lepas renyai. Bicaranya tetap polos dan tanpa prejudis, walau kini logat ibukotanya semakin kental. Ia tetap Alma yang dulu suka bersepeda ke pantai, walau kini ia lebih suka naik mobil ke mana-mana. Hobi pecinta-alamnya agak terbengkalai, diganti hobi mengoleksi kaset penyanyi pop. Dua tahun pertamanya di ibukota adalah masa yang tak enak: sebuah kemarau yang teramat panjang di hatinya. Sebuah kegersangan yang berujung di sepucuk surat yang tak jadi dikirimkan ke seseorang nun di sana. Ironisnya, surat itu pula yang memegat-putus dirinya dengan masa lampau. Sejak surat itu selesai, maka usai sudah sebuah babak hidup belianya. Namun, lebih ironis lagi, sampai saat ini surat itu sebenarnya masih ada, tetapi Alma lupa di mana ia meletakkannya. Mungkin di antara puluhan buku dan diktat yang tergeletak begitu saja di kamarnya yang agak semrawut. Mungkin di bawah baju-bajunya. Mungkin terselip di salah satu diari usang di pojok meja. Mungkin... Alma kini agak lupa isi surat itu, tetapi ia masih bisa mengira-ngira. Paling tidak ia ingat salah satu kalimat yang ia tulis dengan agak gemetar itu: ... lupakan Alma, dan belajarlah lebih giat lagi.... Ia juga ingat, surat itu akhirnya selesai setelah hampir selusin lembar kertas merahmuda tersobek-tercabik. Tetapi, setelah jadi, surat itu tidak dikirim. Surat itu menggeletak selama seminggu di mejanya. Lalu ia membawanya ke kantor pos, tetapi di pintu masuk ia menghentikan langkah. Tidak jadi membeli perangko dan mengirimnya. Lalu surat itu diselipkan di diarinya dan dua minggu kemudian diari itu habis terisi. Lalu diari itu diganti.... Surat itu tak pernah terkirim. Alma tak pernah lupa mengapa ia menulis surat terakhir itu. Mengapa dengan berlinang air mata ia mengambil keputusan pedih itu. Alma ingat, surat itu ia tulis dua malam setelah Devan menciumnya di beranda..... ****** Devan.... Alma menggigit bibirnya ketika nama pemuda ini melintas di hatinya. Kuliah anatomi lanjutan sedang berlangsung di siang yang terik. Dosen di depan kelas sebetulnya selalu menarik untuk didengar, tetapi ini bukan jam yang terbaik untuk duduk-diam. Hampir semua mahasiswa, 99,9%-nya lah (kecuali si Alex yang sepertinya tidak pernah mengantuk itu!) terlihat berjuang keras melawan kantuk. Alma pun sudah 7 kali menguap, dan sudah 11 kali melirik ke arlojinya. Lambat sekali jalannya jarum-jarum jam itu! Devan... Alma tersenyum sendiri mengenang pemuda jangkung yang mengendarai jip CJ-7 dan selalu berkacamata pilot itu. Dia pasti sudah menunggu dengan sabar di pelataran parkir. Enak betul dia!.. kuliahnya selalu selesai sebelum pukul 12 siang. Apakah anak-anak ekonomi memang tidak banyak perlu mendengarkan dosen mengoceh di depan kelas? Apakah persoalan ekonomi selalu lebih ringan daripada persoalan badan manusia yang sakit? Sore nanti pemuda itu kembali harus memimpin regu basketnya bertanding lawan anak-anak teknik. Alma tentu saja harus ada di pinggir lapangan, dan harus ikut berteriak-teriak sambil mengepalkan tinjunya yang kecil. Setiap kali bola masuk oleh Devan, maka Alma berteriak paling keras sehingga sering dicubit oleh Pasya, temannya sesama anak kedokteran yang sama-sama berpacaran dengan anak ekonomi. Bedanya, pacar Pasya tidak bisa main basket sepandai Devan, sehingga lebih sering duduk di bangku cadangan. Lebih menyebalkan lagi bagi Pasya, pacarnya selalu main di penghujung pertandingan, saat kesempatan menjaringkan bola sudah semakin kecil. Alma tiba-tiba teringat sesuatu. Diambilnya tas dari kolong meja, dan dengan hati-hati ia mengintip ke dalamnya. Hmm,.. ternyata ia tidak lupa membawa tempat minum berwarna biru tua itu. Di dalamnya ia telah membuat air jeruk dingin yang manis dan segar untuk Devan. Tadi pagi ia sempat ribut karena jeruk yang telah disiapkannya ternyata dipindahkan oleh Mbok Iyem. Dengan panik ia mengaduk-aduk lemari es ketika tidak menemukan jeruk-jeruk itu. Baru setelah menjerit sana-sini, Mbok Iyem dengan tenangnya menyodorkan tas plastik penuh berisi jeruk. Huh!... hampir saja! Alma baru saja meletakkan kembali tasnya, ketika Profesor Tasrif akhirnya kehabisan bahan pembicaraan. Dosen tua yang selalu berkemeja putih itu akhirnya menghentikan kuliahnya lebih cepat 2 menit dari jadwal yang seharusnya. Semua mahasiswa bernafas lega; terburu-buru Alma memasukkan buku dan alat tulisnya. Pasya di sebelahnya juga sudah bangun (dari tadi ia tertidur dengan dagu tertumpang di tangannya!), dan sudah berberes pula. Hebat sekali gerakan kedua gadis ini, serba cepat dan akurat. Pada saat mahasiswa lain masih merenggangkan otot-otot mereka setelah duduk 2 jam lebih, pada saat mereka masih dengan lesu memasukkan alat-alat tulis mereka, Alma dan Pasya e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20010 0 sudah melesat keluar kelas. Hampir saja mereka menabrak Profesor Tasrif yang segera berseru, "Duh-duh-duh... tak kan lari gunung dikejar!" Pasya cekikikan sambil berseru, "Sorry Prof!... Gunung yang ini bisa lari!" Profesor Tasrif pun geleng-geleng saja sambil menghela nafas, teringat masa mudanya. Mana mungkin ia bisa berteriak begitu kepada profesornya yang orang Belanda itu! ***** Devan melihat kedua gadis itu berlari kecil keluar dari gedung kuliah. Alma menuju tempat parkir, Pasya berbelok ke arah kantin. Senang sekali Devan melihat kekasihnya tampak riang. Baginya, Alma adalah burung lincah yang selalu ceria. Walau kadang-kadang ia terlihat ringkih dan letih, tetapi gadis itu selalu membinarkan cahaya kasih di matanya setiap kali mereka berjumpa. Dengan sigap Devan melompat turun dari jipnya, bersiap menyambut kekasihnya dengan wajah penuh senyum. Cepat sekali Alma sudah berada di depannya, dengan nafas terengah-engah dan butir-butir kecil keringat di ujung hidungnya. "Sudah lama?" tanya Alma sambil membiarkan Devan meraih tas dari bahunya. "Baru dua jam," kata Devan kalem sambil membuka pintu dan meletakkan tas di kursi belakang. Alma tertawa mendengar jawaban itu. Betapa menyebalkannya menunggu dua jam. "Sudah ma-em?" tanya Alma lagi sambil naik ke atas jip, dan sambil dengan manja membiarkan pinggangnya di rengkuh Devan yang membantunya naik. "Sudah," kata Devan pendek, lalu disambung, "... tadi pagi." Alma tertawa lagi. Betapa menyebalkannya menunggu dua jam dengan perut kosong! Devan berjalan memutar untuk menuju sisi pengemudi. Alma mengikuti langkah kekasihnya dengan pandangan. Betapa kalemnya pemuda itu, tidak pernah mengeluh walau harus menunggu berjam-jam. He is sooooo cool! bisik hatinya. Sejak berpacaran, belum pernah sekalipun Alma mendengar Devan mengeluh atau mengomel. Bahkan ketika rombongan mahasiswa luarkota mengalahkan regunya dengan telak, Devan tetap saja kalem. Bahkan ketika Alma sedang tidak in the mood dan sedang uring-uringan, Devan tetap saja tenang. Seperti gunung, ia tegak-diam dalam teduh. Ketika akhirnya Devan telah duduk di sisinya, Alma mengeluarkan bungkusan roti yang sudah ia siapkan dari rumah. Ia tahu Devan suka telur dadar, maka dibuatnya dua sandwiches berisi telur dan keju. Setelah membuka bungkusnya dengan hati-hati, Alma mengerat salah satu roti itu dengan tangannya. Lalu, ketika akhirnya mobil mulai bergerak, gadis itu menyuapi kekasihnya dengan sabar. Alma pernah melihat ibunya menyuapi ayah seperti ini, mesra sekali. Ia ingin seperti ibunya! ***** Bulan September ini, genap dua tahun mereka berpacaran. Sepulang dari bertanding basket yang berakhir dengan kemenangan anak-anak ekonomi, Devan mengantar Alma. Sebelum berpisah, Devan berjanji akan menjemput pukul 8 malam. Mereka akan pergi menonton malam ini, merayakan pertautan cinta mereka. Dua tahun yang lalu, pada malam seperti ini pula, Devan mencium Alma di beranda yang temaram. Waktu itu bukan malam minggu, dan mereka baru saja pulang menghadiri sebuah rapat mahasiswa. Alma sebetulnya agak risih karena belum mandi. Tetapi sejak berteman dengan Devan yang ia kenal pada masa perploncoan itu, Alma merasa semakin dekat kepadanya. Devan lebih tinggi setingkat darinya, dan semasa penggojlokan yang meletihkan, Alma beruntung mendapat "dewa pelindung" yang kalem dan tidak banyak cing-cong itu. Mulanya Alma menyangka Devan akan mencari keuntungan dari kepolosan seorang gadis kota kecil. Tetapi dugaan itu segera sirna, karena justru akhirnya Alma yang mengambil keberuntungan darinya. Setelah perpeloncoan selesai, hubungan mereka berlanjut, dan semakin lama semakin dekat. Nah,.. malam itu mereka berjalan diam-diam dari pintu pagar ke beranda. Rasanya jauh sekali beranda itu.... karena mereka berjalan bergandengan dan sama-sama sedang gundah menimbang-nimbang: sekarang atau nanti? Sudah berkalikali mereka berjalan bergandengan seperti ini, dan sudah berkali-kali mereka merasa hanya berdua saja di dunia yang luas di bawah langit yang tak berbatas. Berkali-kali muncul pertanyaan itu di hati mereka: sekarang atau nanti? Rupanya Devan lebih cepat mengambil keputusan. Ketika mereka tinggal dua langkah saja dari beranda, Devan menghentikan langkahnya dan menahan langkah Alma. Gadis itu sejenak merasakan tubuhnya lemas tak berdaya. Jantungnya berdegup keras dan hatinya masih penuh dengan pertanyaan: sekarang atau nanti? Tetapi lalu semuanya seperti sirna -keraguan menguap, kegelisahan melenyap- ketika Devan merengkuh dan memeluknya. Lalu pemuda yang penuh ketenangan itu mengangkat dagu Alma. Lalu pemuda itu mencium Alma. Lalu bintang-bintang seperti hilang dari langit, dan langit itu sendiri berubah menjadi bentangan beludru hitam yang maha luas. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 11 Alma menyambut ciuman itu dengan sepenuh hati. Lembut sekali Devan menciumnya, mula-mula seperti memberi salam dengan menempelkan kedua pasang bibir mereka. Tetapi lalu berubah menjadi gairah, karena Alma membuka bibirnya yang ranum, dan Devan mengulum bibir itu. Dan mereka saling mengulum. Dan Alma merasa tubuhnya seringan embun di pagi hari yang melayang-layang di antara dedaunan. Indah sekali ciuman itu, memberikan getar-getar kecil di sekujur tubuh mereka, membuat keduanya seperti dua serangga yang bertukar madu. "Mmmmh...," Alma mengerang dan melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda jangkung itu. Kedua kakinya juga terpaksa menjinjit untuk bisa dengan leluasa menikmati ciumannya. Devan merengkuh gadis itu lebih erat lagi, memeluk pinggangnya dan mengangkatnya sedikit. Ringan sekali tubuh gadis ini, pikir Devan. Mungkin aku bisa mengangkatnya dengan sekali gendong, dan lalu melompat ke bubungan atap rumah. Cukup lama mereka berciuman, sampai akhirnya Alma melepaskan diri untuk mengambil nafas. Devan merenggangkan pelukannya dan mereka berpandangan dengan jarak yang sangat dekat. Alma bisa melihat dua bola mata yang lembut memandangnya. Dari kelembutan itu datang pula kehangatan yang mampu menembus kalbu. Hidungnya yang mancung - karena Devan memiliki darah asing- terlihat jelas dan memberi ketegasan pada wajahnya yang gagah. Alma terpukau memandang wajah yang sejak lama dipujanya itu. "Aku rasa kita sekarang sudah resmi pacaran," bisik Devan sambil tersenyum. Alma menahan tawanya, "Kenapa baru sekarang kamu menciumku?" bisiknya. "Lho.. seharusnya kapan?" kata Devan sambil membelalakkan matanya dengan lucu. "Seminggu yang lalu," kata Alma sambil merapatkan pelukannya. Devan mengernyitkan keningnya, "Seminggu lalu aku bertanding lawan anak-anak sosial-politik." "Ya, memang. Kenapa tidak menciumku di belakang ruang ganti, sewaktu kita tinggal berdua saja?" "Eh, tapi aku belum mandi, kan?" tanya Devan ragu-ragu. "Sudah. Kamu sudah mandi. Sudah wangi. Sudah segar," kata Alma yakin. "Oh, ya?. Tapi kamu, kan, belum mandi," kata Devan merasa terdesak. "Sekarang malah kita berdua belum mandi!" sergah Alma sambil tertawa dan mempererat pelukannya. Devan ikut tertawa. Lalu mereka berdua berpelukan saja, tidak melanjutkan ciuman. Mereka merapatkan saja kedua tubuh mereka, dan Alma memejamkan matanya menikmati degup jantung Devan yang dekat sekali di telinganya. Lalu dengan enggan mereka memisahkan diri dan akhirnya Devan pulang setelah mengucapkan selamat malam. Tanggal delapan bulan kesembilan itulah Alma mengukir prasasti cinta keduanya di tengah galau-semarak kampus, di belantara beton ibukota yang hiruk-pikuk. Inilah prasasti yang jauh berbeda dari gita cinta yang ia nyanyikan di tengah keasrian-keteduhan kota kecil di lingkung bukit tempat cinta pertamanya dulu bersemi. ***** Film yang mereka tonton tidak terlalu bagus. Bahkan semakin menyebalkan di tengah-tengahnya, sehingga Alma memaksa Devan keluar dari bioskop sebelum film usai. Sebagian penonton juga tampaknya memiliki pikiran yang sama. Sepasang kekasih itu pun akhirnya keluar. "Film-nya nggak seru!" sergah Alma dengan sebal sambil menggamit lengan Devan. "Ceritanya terlalu bertele-tele, sutradaranya mungkin baru belajar" kata Devan kalem. Heran! pikir Alma, kekasihku ini selalu berkomentar dengan tenang, walaupun isi komentarnya bisa juga pedas. "Sutradaranya bego!" sergah Alma memancing emosi Devan. Ia ingin tahu, seberapa tegar kekasihnya ini. "Mungkin baru lulus akademi sinematografi," jawab Devan kalem. "Yuk, kita minta lagi duit karcis kita. Sebel betul, deh rasanya harus membayar mahal untuk film kampungan!" ucap Alma senyinyir mungkin. "Bukan salah bioskopnya, dong," kata Devan dengan nada yang sama. Tidak sedikit pun menampakkan emosi. "Habis, salah siapa? Salah kita?" sergah Alma sambil mengguncang-guncang lengan kekasihnya. "Ya," jawab Devan membiarkan tangannya diguncang-guncang. Apalah artinya guncangan Alma dibandingkan tabrakan-tabrakan full body contact di pertandingan basket! "Ngga mau!" kata Alma seperti anak kecil kehilangan permennya, "Kamu aja yang salah. Aku ngga!" "Ya, sudah. Maaf," kata Devan sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Mereka sudah memasuki pelataran parkir. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20012 0 "Ih, sebel!" sergah Alma, lebih kepada dirinya yang gagal membangkitkan emosi Devan daripada kepada siapa-siapa. Devan tertawa kecil mendengar dan melihat tingkah Alma. Dia tahu, gadis itu memancing emosinya. Tentu saja dia bisa menahan emosi, karena dia tahu dirinya sedang dipancing! "Nanti kita beli permen coklat, supaya kamu ngga sebel lagi," kata Devan kalem. Alma tertawa kecil, tahu bahwa permainannya berakhir dengan kekalahan di pihaknya. Dengan gemas dicubitnya pinggang Devan yang cuma bergeming sedikit. "Aku ngga mau coklat," sergah Alma manja sambil memeluk pinggang kekasihnya, "Aku mau dicium yang lamaaaaaaaaaaaa... sekali!" Devan cuma tersenyum mendengar permintaan itu. ***** Mereka pergi ke pinggir pantai dan Devan memarkir mobilnya menghadap laut yang berdebur-debur dalam gelap. Bulan sedang mati dan mendung menutupi sebagian besar bintang di langit. Suasana sepi memicu romantisme pada siapa pun. Devan mencium Alma lama sekali, sesuai permintaan gadis itu. Mereka pindah duduk ke kursi belakang, dan dengan manja Alma menyandarkan tubuhnya di dada kekasihnya. Satu tangannya memeluk pinggang Devan, dan satu tangan lainnya merengkuh leher pemuda itu. Devan menopang kepala gadis itu dengan tangannya yang kukuh, sementara tangan yang lain bisa bergerak leluasa. Mereka sering ke tempat ini untuk bercumbu, dan sering terlibat dalam heavy petting yang mengasyikkan. Alma selalu suka dibawa ke sini, direngkuh oleh pemuda atletis ini, dicium dan dikulum selama-lama mungkin. Terlebih-lebih lagi, Alma selalu menikmati tangan Devan yang mengelus-meraba sekujur tubuhnya. Pemuda itu dengan perlahan dan penuh ketenangan selalu berhasil membangkitkan gairah asmaranya, membawanya ke puncak kegairahan. "Hmmmmm...," Alma mengerang sambil menggeliatkan badannya ke kiri ketika tangan Devan menelusupi dadanya, masuk ke bawah behanya yang telah longgar karena kaitnya telah terlepas. Sebuah serbuan kenikmatan memenuhi dada gadis itu, membuat kedua payudaranya langsung membusung-menggembung penuh antisipasi. Apalagi dengan satu jarinya pemuda itu mengelus-elus daerah di sekitar puncak payudaranya....... Oh, Alma mengerang dan mengerang lagi dengan mulut yang masih dipenuhi ciuman kekasihnya. Semakin lama elusan dan rabaan tangan Devan semakin menimbulkan nikmat luarbiasa di diri Alma. Gadis itu bergerakgerak gelisah dalam pelukan kekasihnya, mengucapkan kata-kata yang tak jelas karena bibirnya sedang dilumat oleh pemuda itu. Tetapi, walau tak jelas, Devan bisa menangkap permintaan kekasihnya. Ia meremas dada Alma, karena ia tahu gadis itu ingin diremas. Ia mengurut-urut puncak payudara Alma, karena ia mengerti apa yang dimau gadis itu. "Oooh, ...Dev.." akhirnya Alma bisa mengerang dengan cukup jelas karena mereka harus melepaskan ciuman untuk mengambil nafas. "Kamu senang?" bisik Devan dengan nafas memburu. Ia sendiri sangat senang meraba-meremas dada Alma yang menggairahkan itu. Tetapi ia merasa perlu bertanya, memastikan apakah kekasihnya juga menikmati permainan ini. Bukankah ia berkewajiban memberinya kenikmatan terlebih dahulu... ladies first? Alma tidak menjawab. Ia terlalu bergairah untuk bisa menjawab. Tetapi ia mengangkat tubuhnya, membawa dadanya ke muka pemuda itu lebih dekat lagi. Ia lalu mengerang dan menarik kepala Devan ke dadanya. Ia meminta sesuatu yang lebih dari sekedar remasan dan rabaan. Devan pun mengerti sepenuhnya, karena ini bukanlah yang pertama. Dengan ujung lidahnya, ia memenuhi permintaan kekasihnya dan Alma pun mengerang keras sambil memejamkan matanya merasakan kenikmatan yang panas memercik di puncak payudaranya. Ia meremas gemas rambut pemuda itu, meminta lagi dan lagi. Ia terus mendaki semakin tinggi di bukit birahi yang kini tampak menerjal itu. Devan pun memberikan dukungan bagi pendakian ini dengan mengulum dan menggigit kecil. "Aaah!" Alma mengerang keras ketika merasakan payudaranya seperti hendak meletup oleh rasa geli-gatal yang tak terperi. Sebentuk energi yang mendesak-desak kini terkumpul di tubuhnya, meriak-riak dari dadanya ke perutnya, ke pinggulnya, ke pahanya, ke kakinya. Lalu secara instingtif Alma meraih tangan kekasihnya yang masih bebas, mendorong tangan itu ke bawah sambil membuka kedua pahanya. Devan pun mengerti permintaan yang satu ini. Ia pun menyingkap rok kekasihnya, menelusupkan tangannya untuk meraba paha yang mulus dan halus itu. Telapak tangannya bagai meluncur di atas pentas sutra yang licin, lancar sekali merayap dari lutut ke pangkal paha, lalu ke celah yang terbalut oleh kain tipis menerawang itu. "Mmmmhhh ....," Alma mendesah gelisah, "Aku pengin Dev.......," Devan mengangkat mukanya dari dada Alma. Gadis itu memandangnya dengan mata berbinar penuh birahi dan permohonan. Devan mengecup pipinya sambil berbisik, "Buka?" e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 13 Alma mengangguk dan mendesahkan "ya" yang nyaris tak terdengar. Gadis itu membuka pahanya lebih lebar, membiarkan kekasihnya menarik celana dalamnya dan meloloskannya dari kedua kakinya. Kini tubuhnya di bagian bawah terbebas sudah dari segala kukungan. Kini ia membuka dirinya untuk sebuah kenikmatan yang sudah beberapa kali ini diberikan oleh Devan pada malam-malam seperti ini. "Kamu juga mau, kan?" desah Alma sambil merapatkan pelukannya. "Kamu saja dulu," bisik Devan sambil mulai mengusap-usap lembut di bawah sana. Alma bagai tersentak ketika telapak tangan yang hangat itu menekan-mengusap bagian paling pribadinya. Lalu mulailah permainan-permainan kecil yang mengasikkan itu. Alma membiarkan tubuhnya rileks tersandar di tangan Devan yang kokoh, menelentang bebas di sepanjang jok belakang itu, membiarkan kekasihnya membangkitkan sebuah crescendo musik sensual di tubuhnya. Matanya setengah terpejam. Mulutnya setengah terbuka karena hidungnya tak cukup leluasa menampung nafasnya yang memburu. Wajahnya tampak bersinar indah ketika ia mulai mendaki puncak asmara. Dadanya yang telanjang tampak turun-naik dengan bergairah. Dengan sabar Devan menggunakan jemarinya untuk membawa Alma ke lautan birahi yang bergelora-bergelombang. Pertama ia hanya mengusap-usap saja di bagian atas dan permukaan, menyebarkan kehangatan sambil mengendurkan otot-otot Alma yang tegang. Setelah gadis itu benar-benar rileks terbuai usapannya, barulah Devan menelusupmenelusur dengan jari-jarinya. Mudah sekali melakukan hal itu, karena lembah sempit di bawah sana telah basah-licin oleh cairan-cairan cinta yang mengalir lamat-lamat dari sumbernya. Alma mengerang lagi, semakin lama semakin keras. Devan menciumnya, mengulum bibirnya yang basah dan menghirup nafasnya yang hangat itu. Seakan-akan, dengan mencium Devan ingin memberi bantuan pernafasan agar kekasihnya bisa mencapai puncak kenikmatan. Sementara tangannya kini tak lagi cuma mengusap atau menelusup-menelusur. Melainkan, tangan itu kini bergerak menggosok-mengurut dengan cepat. Semakin lama semakin cepat. Semakin bergelinjang-bergeletar pula lah tubuh Alma. Suara erangannya memang terbungkam oleh ciuman Devan, tetapi tetap keluar dalam bentuk jeritan-jeritan terputus. Lalu Alma tiba di puncak asmara yang tinggi itu. Ia mengerang panjang sebelum sejenak berhenti bergerak karena ia meregang dan tangannya mencengkram jok mobil. Devan mengurut-menggosok lebih kuat. Alma mengejang dan melentingkan tubuhnya, lalu... "Dev!" gadis itu menjerit kecil, "Aaaaaaaaaaah!" Tubuhnya bergetar hebat, menggelepar kuat di bawah pelukan kekasihnya yang dengan sekuat tenaga menjaga keseimbangan. Lama sekali Alma menggelepar dan meregang menikmati orgasme yang panjang bertalu-talu itu. Puas sekali Alma menjejak puncak tinggi yang kini menjanjikan puncak-puncak berikutnya. Dikepitkannya kedua kakinya, seakan dengan begitu ia bisa mencegah tangan kekasihnya meninggalkan lembah kewanitaannya. Karena ia ingin mendaki lagi, kali ini bersama-sama Devan. Ia ingin juga ikut meremas dan mengurut, memberikan kenikmatan setelah menerimanya. Dan malam pun semakin pekat dengan gelora asmara, mendung semakin menebal, lalu hujan mulai turun. Mobil mereka terkurung air yang bagai dicurahkan dari langit. Tentu saja mereka tak peduli, karena kini mereka bersama-sama mendaki. Bersama-sama memberikan dan menerima. Erangan mereka lenyap ditelan gemuruh hujan dan debur ombak. ****** Hubungan keduanya semakin mengarah ke penyatuan yang sepenuhnya setelah Devan membawa Alma menemui kedua orang tua dan kakak-kakaknya. Seperti yang telah pemuda itu duga sebelumnya, Alma pasti dengan mudah bisa diterima di keluarganya. Gadis itu punya kharisma khusus yang membuat keluarga Devan langsung menyukainya. Salah seorang kakak perempuan Devan -yang minta dipanggil Kak Nana- bahkan mengusulkan sebuah pertunangan sebagai langkah menuju perkawinan. Alma tersipu saja dengan pipi merah. Devan duduk tenang seperti tak mendengar apa-apa. Orang tua Devan mengusulkan agar mereka berdua belajar dulu yang rajin sampai merasa cukup untuk melanjutkan hubungan. Justru pada saat seperti itulah, ketika pertungangan dibicarakan dan pernikahan dicanangkan, Alma menemukan sekeping masa lalunya di diri Mba Rien. Ia membaca sebuah majalah yang sampulnya berhiaskan wajah wanita itu. Cantik sekali ia, sergah Alma dalam hati. Sejenak ia ragu, apakah bijaksana jika ia mencoba menemui wanita yang kini sangat terkenal itu. Tetapi entah kenapa ia merasa harus menemui wanita itu. Entah kenapa ia tiba-tiba dipenuhi nostalgia tentang kota kelahirannya. Maka dengan nekad ia datang ke tempat shooting tanpa diantar Devan. Dengan nekad pula ia membujuk seorang asisten Mba Rien untuk membawa fotonya sewaktu di SMA untuk ditandatangani. Ia berharap, foto itu bisa mengingatkannya pada sebuah kota kecil nun di sana. Dan ia berhasil.... (lihat cerita Rien: Tarian Sepenuh Jiwa). Tetapi keberhasilan itu musti dibayar mahal. Di kamarnya, sepulang dari bertemu dengan Mba Rien, Alma tercenung. Nama Kino muncul kembali di hatinya, dan dengan gelisah ia mulai membongkar buku-bukunya. Ia ingin menemukan surat yang tak pernah sempat ia kirimkan dulu. Lama sekali ia membongkar dan mencari, sampai akhirnya, menjelang tengah malam, ia menemukan surat itu masih tersampul rapi. Dengan agak gemetar, Alma merobek sampul itu dan membaca isinya... e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20014 0 Kino sayang..., Lama sekali Alma tidak berkirim surat, dan lama pula suratmu tidak datang. Sudah hampir empat bulan ini kita tak saling berkabar. Alma sendiri tak tahu, mengapa jarak yang memisahkan kita kini semakin jauh rasanya. Kita semakin jauh melangkah ke tujuan yang tak berpapasan. Suratmu yang terakhir pun sangat pendek, seakan ada keengganan di dalamnya. Alma pun tak bergairah membacanya, dan tak punya keinginan menjawabnya. Berbeda sekali dengan dulu. Sebentuk pedih tiba-tiba menyekat di kerongkongan Alma. Ia berhenti membaca untuk menghela nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengisi dadanya dengan keteduhan, tetapi gagal. Setitik air menggeliat keluar dari sudut matanya. Dengan segala daya, Alma mencoba terus membaca... Alma harus mengakui, Alma kini sudah berbeda, walaupun tidak bisa menjelaskan mengapa orang bisa berubah setelah terpisah. Mungkin alam memang penuh kuasa, dan ibukota telah mengubah Alma, membuat Alma tak lagi gundah memikirkan kamu. Tak lagi bersemangat mencari tahu tentang keadaanmu. Alma sudah bukan yang dulu lagi, Kino sayang. Pandangan Alma mengabur oleh air yang menggenang di kedua matanya. Ia berhenti membaca, meraih tisu dari meja, dan menghapus airmatanya. Tak urung, setetes air sempat jatuh di atas kertas surat, tepat di atas kata "sayang", membuat kata itu tak terbaca lagi. Dengan gundah, Alma lalu melanjutkan membaca... Alma juga merasa ada yang berubah pada dirimu, walaupun tidak tertulis di surat. Alma merasakan hubungan kita semakin dingin. Kata-katamu tidak lagi mesra dan ceritamu tidak lagi menarik untuk dibaca. Terakhir kamu berkirim surat, malah ada nama-nama gadis yang tidak Alma kenal. Ada Rima, ada Indi. Siapa mereka? Betulkah mereka cuma teman-teman biasa? Alma menarik nafas panjang dan melepaskannya dalam hempasan. Ia ingat, surat Kino yang terakhir itu membuatnya marah, tetapi tak tahu kenapa musti marah. Saat itu ia sudah mulai erat berhubungan dengan Devan dan sudah mulai tertarik oleh pemuda itu. Justru ia sendiri yang tidak pernah menyebut nama teman-temannya, karena toh tampaknya Kino tidak begitu peduli. Alma juga punya sahabat-sahabat baru di sini. Ada Devan, ada Pasya, Abimanyu, Ollie, Tami, dan Kris. Salah seorang di antara mereka, Devan, sangat baik dan Alma menyukainya. Alma minta maaf karena baru menyatakannya sekarang. Tetapi entah kenapa, sulit sekali Alma menulis surat akhir-akhir ini. Alma selalu harus memaksa diri untuk menulis. Kali ini Alma merasa harus menyampaikannya. Alma tersenyum kecut membaca baris ini. Surat tak pernah sampai, bagaimana mungkin Kino mengetahui segalanya yang kini sudah berlangsung dua tahun? Tetapi, apa pula reaksinya? Ia bahkan berhenti menulis surat sama sekali. Tidak ada selembar pun kabar darinya, atau permintaan kepada aku untuk menulis. Ia tidak peduli, bukan? Kino sayang,... agaknya kita memang harus berpisah. Lupakan Alma, dan belajarlah lebih giat lagi supaya semua cita-citamu tercapai. Alma yakin, kamu pasti akan menjadi arsitek terkenal di masa depan. Alma berdoa semoga kamu selalu berhasil dalam hidup. Maafkan Alma, dan maafkan pula semua yang pernah Alma lakukan terhadapmu. Alma tercenung kelu setelah membaca surat itu. Betapa tragisnya akhir cinta pertamanya yang berujung pada kebimbangan. Semua pesan yang telah ditulisnya dengan berderai airmata (ia ingat sekali saat itu hatinya hancur berkeping-keping!) tak pernah sampai ke tujuan. Semua keputusan dan permintaan maafnya tak pernah tiba di tangan Kino. Apa yang ada di benak pemuda itu pun ia tak pernah tahu. Apakah ia sudah tahu? Apakah ia punya mata-mata di sini yang memberinya informasi rahasia? Terlebih-lebih lagi, Alma kini bertanya dalam hati: apakah Kino masih mencintaiku? Atau apakah benar selama ini ia mencintaiku? Apakah aku sendiri mencintainya? Pada pertanyaan yang terakhir ini, Alma tak sanggup menahan tangisnya. Karena ia tahu persis jawaban dari pertanyaan itu. Ia tahu persis bahwa cinta pertamanya adalah kepada seorang pemuda bermata lembut yang selalu gundah dan penuh kebimbangan itu. Ia tahu setahu-tahunya, mengerti semengerti-mengertinya bahwa cinta pertama itu sangat indah dan menawan. Ia mengenang dengan pedih lambaian tangan pemuda itu dan senyumnya yang manis tetapi penuh kepasrahan. Ia mengenang perlakuan pemuda itu kepadanya, cara pemuda itu melindunginya, menggandeng tangannya meniti tepian sungai.... "He's my hero...," bisik Alma sambil menahan sedu. Tetapi, sebagaimana layaknya semua pahlawan, Kino akan menjadi monumen di bentang kehidupan Alma. Ia akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan, namun ia adalah semata kenangan. Sebuah noktah yang berbinar paling terang di antara noktah yang lain, tetapi ia tetaplah noktah. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 15 Sampai menjelang pukul dua pagi, Alma masih tersedu. Lamat-lamat ia mendengar sebuah nyanyian di hatinya. Sebuah lagu yang dulu sering mereka senandungkan bersama di tengah suasana perkemahan... Mem'ries.... light the corners of my mind.... Misty water color memories, of the way we were Scattered pictures..., of the smiles we left behind... Smiles we gave to one another, for the wa y we were Can it be that it was so simple then.... Or has time rewritten ev'ry line.... If we had the chance to dot it all again... Tell me would we... Could we...... Mem'ries....... may be beautiful and yet.... what's too painful too remember, we simply choose to forget... So it's the laughter we will remember... Whenever we remember... The way we were Lalu kantuk datang menyergapnya, memberi kedamaian yang meletihkan. Memberikan pengampunan kepada kepedihan dan ketakberdayaan. Bagai payung raksasa, ufuk memerah di langit di luar kamar. Alma tertidur di atas bantalnya yang basah.... e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20016 0 Indi: Ensiklopedia Penuh Warna (1) "Indi Tantina!" suara mengguntur dari Pak Robertus menyentak seluruh kelas. Semua orang menengok ke arah tempat duduk Indi, ke arah seorang gadis berambut pendek yang tersenyum-senyum sambil sesekali menggigit bibirnya. Wajahnya yang manis tetapi galak itu kini berubah penuh penyesalan, tetapi tetap saja nakal!. Apa lagi yang diperbuatnya kali ini? "Maju ke depan!" sentak Pak Robertus, guru matematika nomor wahid dalam soal teriak-teriak di depan kelas. Dengan tenang Indi bangkit dari duduknya, berjalan cepat ke depan kelas, masih dengan senyumnya yang ditahan. Seluruh kelas sudah tahu kebiasaan guru matematika yang galak ini, yaitu kalau ada murid yang bersalah, maka dia harus melakukan semacam "pengakuan dosa" di depan kelas. "Hayo. Mulailah mengaku di depan kelas!" ujar Pak Robertus sambil duduk di kursinya, menghadap seluruh kelas dengan matanya yang galak itu. Di tangannya ada sebuah buku bersampul coklat, dan bertuliskan nama Indi. Apa yang terjadi dengan buku itu? Indi mendehem sejenak, sebelum mulai bicara dengan suaranya yang lantang. Gayanya berdiri tegak seperti orang membaca Sumpah Pemuda. Matanya masih berbinar nakal dan wajahnya masih menahan senyum. "Saya,.... Indi Tantina,... dengan ini mengaku belum menyelesaikan PR dan telah mengisi buku PR Matematika dengan lukisan..." Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan gadis yang terkenal paling nakal di kelas ini. Bebarapa waktu yang lalu, dia juga membuat ulah dengan menempelkan poster Pak Dodo -guru olahraga- dalam bentuk karikatur di dinding kantin. Kali ini Indi menggambarkan seseorang dalam bentuk yang berlebihan, dan Indi sungguh menyesal lupa menyobek halaman itu ketika menyerahkan buku PR Matematika-nya. Pak Robertus memukul meja, meminta kelas berhenti tertawa, lalu berseru kembali ke Indi, "Hayo, mengaku yang lengkap!" "Saya mengisinya dengan lukisan ...... nggg,... Lukisan wajah seorang cowok!" kata Indi sambil menggigit bibirnya. Lukisan itu sebenarnya lucu, gabungan dari lukisan wajah gorila dan wajah cowok itu. Makanya dari tadi Indi menahan senyum. Kelas tertawa lagi. Beberapa orang bersuit-suit dan bertepuk tangan. Pak Robertus memukul meja lagi, dan berseru, "Siapa namanya!" Indi menoleh dan membelalakkan matanya yang indah tetapi nakal itu, "Lho, Pak... Apa perlu disebut namanya?" "Ya! Kamu harus mengaku dengan lengkap!" ujar Pak Robertus, tetapi ia melengos tidak mau menatap balik ke muridnya. Sebetulnya dalam hati ia juga ragu, apakah perlu menyebut nama? "Tapi....," Indi mengalihkan lagi pandangan ke depan kelas, menatap nanar ke teman-temannya. Ada yang mengedipkan mata memberi dukungan moril, ada yang mencibir menyatakan ketaksetujuan, ada yang meniupkan ciuman menggoda. "Tapi apa?" sergah sang guru, sebetulnya tidak lagi segalak tadi karena ia pun mulai ragu, apakah perlu membongkar sesuatu yang tampaknya urusan pribadi. Diam-diam ia kagum pada gambar hitam putih yang dibuat dengan pensil itu. Bagus dan sangat detil. Tetapi ia guru matematik, dan wibawanya dipertaruhkan di depan kelas. "Nggak enak sama orangnya, Pak...," kata Indi memelas, memohon ampunan dan memandang gurunya dengan gaya merayu. Kelas tertawa lagi, dan beberapa anak laki-laki bersuit-suit lagi. "Saya tidak melihat wajahnya di sini!" kata sang guru sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Anak itu memang tidak ada di kelas ini. "Tetapi temen-temen-nya banyak di sini..," kata Indi kembali memelas. Seluruh kelas tertawa lagi terbahak-bahak. Pak Robertus bangkit dan menuju samping Indi yang meringkuk takut dijewer. Tetapi sang guru tidak menjewer, melainkan berkata tegas sambil menuding-nuding Indi dengan bukunya sendiri, "Kamu meremehkan pelajaran saya. Kamu harus minta maaf dengan menyelesaikan PR khusus yang sudah saya siapkan. Mengerti!?" Indi mengangguk-anguk cepat sambil menggigit bibirnya. Matik aku!, siapa yang bisa membantu membuatkan PR yang pasti banyak itu? Cepat-cepat pikirannya melayang ke Mas Kino-nya. Tetapi cepat-cepat pula pikiran itu dibuang. "Satu lagi!" kata Pak Robertus sambil kali ini beralih memandang seluruh kelas, "Kamu harus menyatakan nama cowok itu, supaya temen-temen-nya tahu dan kamu kapok. Mengerti!?" Indi mengangguk-angguk lagi, tetapi masih mencoba menawar, "Boleh nggak menyebut inisialnya saja, Pak!" e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 17 "Tidak! Harus lengkap, atau perlu saya beberkan halaman buku ini di depan kelas?" ancam Pak Robertus sambil berpura-pura akan membuka buku Indi. "Jangan, Pak!" jerit Indi penuh permohonan, "Saya akan sebut namanya lengkap!" Pak Robertus bertolak pinggang dengan wajah penuh kemenangan, "Hayo sebut namanya!" Kelas tiba-tiba menjadi hening, menunggu dengan tegang nama yang akan keluar dari mulut Indi. Gadis itu mengedarkan lagi pandangannya ke seluruh kelas sambil menggigit bibirnya. Rika dan Mutia, dua sahabat Indi, tampak ikut gelisah karena mereka tahu siapa yang digambar gadis itu. Indi menghela nafas dalam-dalam, menguatkan hatinya, lalu cepat-cepat berkata, "Namanya Dicky!" Kelas bagai meledak oleh tawa dan teriakan-teriakan. Semua orang tahu, Dicky adalah jagoan sekolah yang punya pengikut banyak sekali, termasuk hampir semua cowok di kelas Indi. Semua orang juga tahu, jagoan itu "naksir berat" kepada Indi. Dengan cepat muncul diskusi-diskusi informal tentang apa yang akan terjadi berikutnya jika Dicky tahu bahwa gadis pujaannya melukis wajahnya. Spekulasi bermunculan: apakah gambar itu berupa pujian, atau sebaliknya penghinaan? Beberapa anak meminta Pak Robertus menunjukkan gambar ke semua orang. "Diam!" bentak sang guru, dan kegaduhan segera mereda. "Kita lanjutkan pelajaran, dan Indi boleh kembali ke bangkunya. Gambar ini saya simpan untuk barang bukti!" katanya sambil menyobek satu halaman dan melipat-lipatnya menjadi seperempat. Indi menghempaskan nafas lega sambil bergegas menuju bangkunya. ***** Dicky tentu saja tidak seperti gorila, walau memang tidak bisa dikatakan ganteng sama sekali. Ia jagoan berkelahi, dan wajah bukan sesuatu yang penting baginya. Otot dan keberanian menantang musuh jauh lebih penting. Tetapi belakangan ini ia terpikat gadis dari kelas lain yang lincah dan manis, si Indi itu. Belakangan ini ia sering melihat ke cermin, dan baru tahu bahwa wajahnya memerlukan sedikit perhatian! Siang ini ia mendapat kabar tentang kelakuan Indi di pelajaran matematika, dan hati Dicky agak berbunga. Ternyata gadis itu menaruh perhatian pula kepadaku! sergahnya dalam hati. Tetapi ia kecewa karena ada suara-suara yang menasehatinya agar jangan terlalu optimis. Gambar itu mungkin saja bermaksud mengejek. Dicky pun bimbang. Tetapi, bukan Dicky namanya kalau kebimbangan itu dibiarkan berlanjut. Ia mencegat Indi yang baru keluar dari gerbang bersama Mutia. "Aduh, kita dicegat, nDi!" kata Mutia sambil memegang lengan sahabatnya. Indi tenang-tenang saja, meneruskan langkah seakan-akan tidak ada apa-apa. "Halo, Indi..," sapa Dicky se-galant mungkin. Ia berusaha tampak cool dengan kacamata hitamnya. Tetapi tetap saja ia seperti jawara petantang-petenteng. Tingkahnya lebih cocok untuk menghadapi musuh berkelahi daripada memikat cewek. "Halo, Dick. Sakit mata, ya?" balas Indi sambil tersenyum. Grr! Dicky menggeram dalam hati. Cewek ini seperti caberawit. Untung senyumnya manis buaaaa...nget! Sambil melepaskan kacamata hitamnya, dengan tenang Dicky berkata, "Aku antar pulang, ya?" Mutia bergidik membayangkan Indi naik motor berwarna merah darah milik Dicky yang konon tidak ada rem-nya. Belum lagi suara motor itu, bisa membuat seluruh kota gempar. Indi kelihatan tenang saja dan berkata, "Ngga mau. Nanti masuk angin!" Dicky merendengi jalan kedua gadis itu sambil menunjuk ke seberang jalan, "Mana mungkin ada angin kalau naik yang itu!" Serentak Indi dan Mutia menengok ke seberang jalan, ke sebuah sedan putih yang diparkir di bawah pohon dan "dikawal" beberapa jagoan lain anak buah Dicky. Itu pasti mobil salah satu dari anak di sekolah ini. Mudah-mudahan pemiliknya masih sehat! Indi menghentikan langkah. Mutia berdoa semoga temannya tidak berubah jadi konyol. Dicky ikut berhenti melangkah, merasa agak heran juga atas keberanian si caberawit ini. "Apa, sih, maksud kamu sebenarnya?" kata Indi sambil menatap Dicky lekat-lekat. Sang jawara tiba-tiba merasa kepalanya gatal sekali. Sial, bagaimana caranya menghadapi cewek? gerutunya dalam hati. Kalau cowok seperti ini, aku tinggal menonjok hidungnya saja keras-keras. Tetapi kalau cewek, gimana ya? "Aku pengin ngomong sama kamu," kata Dicky menguat-nguatkan hati. "Ya ngomong, dong!" sergah Indi. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20018 0 "Jangan di sini, dan tidak dengan dia..," kata Dicky sambil menoleh ke Mutia. Siapa, sih cewek cantelan ini? gerutu pemuda itu dalam hati. "Ini Mutia, temanku. Dia boleh dengar apa saja," sergah Indi membuat Mutia semakin yakin bahwa ia tidak salah memilih teman. "Oke...si Mumut boleh ikut...," kata Dicky. "Namanya Mutia!" potong Indi galak sambil menghentakkan kakinya di tanah. "Oke... Oke... marmut... eh, Mutia,... boleh ikut!" kata Dicky sambil mengangkat tangan seperti sedang bersiap menangkis serangan lawan. "Tapi aku tidak mau diantar," kata Indi sambil mulai melangkah lagi. Dicky bergegas merendengi kedua gadis itu lagi. Busyet! si caberawit ini bandel banget, gerutunya dalam hati. "Ayolah, Indi.... sekali-kali pulang naik mobil," rayu Dicky. Tetapi itulah kesalahan Dicky. Pemuda ini salah strategi, karena menyangka Indi akan terpikat oleh fasilitas kenyamanan pulang di siang terik. Ia lupa, banyak cewek lebih suka cowok yang mengandalkan dirinya sendiri daripada mobilnya. Apalagi mobil pinjaman. Dicky sudah melakukan kesalahan terbesar. Indi berhenti melangkah lagi, lalu dari mulutnya yang menggemaskan itu keluar serentetan mitraliur yang pada intinya berisi satu pernyataan, ... get the hell out of my sight!... menyingkir dari depanku! Dicky menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong. Menyerah setelah diserang bertubi-tubi. Ia melangkah mundur, menjauhi Indi yang dengan galak memelototkan matanya yang bulat indah itu. Sambil menjauh, ia cuma sempat berkata, "Oke... Oke..." berkali-kali. Lalu cepat-cepat ia meninggalkan arena yang sangat asing baginya itu, menyebrang jalan menuju gang-nya yang sejak tadi mengamati diam-diam. "Jangan ada yang buka mulut!" bentak Dicky ketika tiba di seberang jalan. Anak buahnya segera mengunci mulut mereka dan membuang kuncinya jauh-jauh. Sungguh tidak bijaksana berbicara di siang terik dengan seorang jagoan yang diusir oleh sang putri pujaan! ****** Dicky bukan satu-satunya cowok di ensiklopedia kehidupan Indi. Ada Wandi, seorang jagoan lain dari sekolah lain yang punya kebiasaan lain pula! Kalau Dicky cenderung "tembak langsung", maka Wandi bisa juga bergaya sedikit puitis. Suatu hari Indi pernah kaget setengah-mati menerima sekuntum mawar dibungkus plastik bening dari seorang bocah ingusan. Kata bocah itu, seseorang menugaskannya mengantar bunga itu ke Indi. Cepat-cepat Indi mengedarkan pandangan ke seberang jalan, mencari siapa gerangan pemberi bunga misterius itu. Si bocah tertawa serak sambil bilang, "Orangnya udah pergi, Non!". Di lain waktu Indi pernah makan bakso bersama Rika dan Mutia, tetapi ketika hendak membayar, si Abang Bakso menolak mati-matian. Katanya, semua bakso yang dimakan Indi hari itu, dan seminggu setelah itu, sudah dibayar oleh seseorang! Bayangkan, ada orang membayar bakso seminggu dimuka! "Siapa, sih orangnya, Bang?" desak Rika dan Mutia berbarengan. Indi diam saja, karena sejak menerima mawar itu dia tahu siapa yang suka berulah demikian. Indi bertemu secara tidak sengaja dengan jagoan itu beberapa bulan yang lalu. Waktu itu Indi terseok dari angkot yang dinaikinya, dan hampir saja jatuh terpelanting kalau tidak ditahan oleh tubuh Wandi yang walaupun kerempeng ternyata kokoh juga. Indi mengucapkan terimakasih, dan Wandi membantu membereskan buku-bukunya yang berantakan. Dari buku-buku itulah si jagoan tahu nama Indi dan sekolahnya. Sebenarnya Indi kemudian sudah lupa peristiwa yang mirip kejadian sinetron itu, sampai kemudian ia menerima mawar yang bertulisan... "dari seseorang yang membantu membereskan buku-bukumu di Jl. Dg..". Si Abang Bakso mesem-mesem tidak mau menjawab desakan-desakan Rika dan Mutia. Bukan saja dia tidak mau mengungkapkan nama sang dermawan, tetapi ia juga takut setengah mati pada Wandi yang punya anak buah sama banyaknya dengan butiran-butiran bakso yang dibuatnya setiap pagi! "Siapa dia Indi... Kamu kayaknya tahu, deh!" sergah Rika melihat temannya yang satu ini tenang-tenang saja menikmati minuman dinginnya. "Someone special, lah!" kata Indi dengan kenes, membuat teman-temannya gemes. "Alaaaah!.. paling-paling si gorila itu, kan?" kata Mutia sambil mencibir. "Eh, jangan menghina, ya!" kata Indi kalem, "Gini-gini, banyak fans-nya, lho!" Mereka bertiga tertawa-tawa bersama menikmati minuman dingin yang juga gratis! ****** e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 19 Lalu juga ada Hara, yang tidak bisa dikategorikan jagoan sama sekali, tetapi tak kalah populernya karena memimpin sebuah grup band musik hard-rock anak-anak SMA. Grupnya pernah manggung di sebuah acara untuk merayakan "perdamaian" antara tiga SMA yang selama ini berperang-batu. Penampilan gitaris kidal ini cukup memukau, dan Indi terus terang sempat tertarik ketika pertama kali melihatnya. Apalagi kemudian ada yang membisikinya, mengatakan bahwa penggemar Sting [dulu pemain The Police... penulis] itu ternyata juga ingin kenalan. Tetapi setelah berkenalan, Indi kecewa berat. Ternyata Hara pemalu sekali dan tidak bisa buka mulut sama sekali ketika mereka berkenalan. Apalagi setelah teman-temannya meninggalkan mereka berdua, Hara pun berubah menjadi orang bisu. Dengan kesal, Indi meninggalkannya di belakang panggung sendirian. Ngapain kenalan sama orang bisu! sergahnya dalam hati. Hara mencoba menghubunginya berkali-kali, lewat kurir segala!, .. tetapi Indi menolak dengan halus. Hara bahkan membuat sebuah lagu khusus, sebuah lagu soft-rock yang diberinya judul "Indah Sekali Dia" dan Indi cekikikan membaca liriknya yang sangat gombal itu. Rika dan Mutia bahkan menjadikan lagu yang sebetulnya enak didengar itu menjadi lagu dang-dut. Sungguh kurangajar mereka, bukan?! ***** Ada seorang lagi, dan kali ini sempat menjadi pacar "resmi" Indi. Nama kecilnya Eming, dan nama panjangnya Indi lupa karena memang sangat panjang! Dia bukan anak SMA, tetapi anak STM. Di jaman Indi sekolah, anak STM dianggap "kelas dua" dibandingkan anak SMA. Tetapi Eming adalah anak STM yang berkategori istimewa karena dia sangat trampil dengan mesin dan punya mobil yang konon dirakitnya berdua dengan Ayah-nya, seorang pemilik bengkel besar. Nama Eming populer, bahkan di kalangan anak-anak SMA yang tentu saja doyan mobil. Maka dari itu, ketika akhirnya terdengar kabar bahwa Indi menjadi pacar Eming, bahkan Dicky-pun "merestui"-nya. Jagoan itu bilang, "Kalau sama si Mi-ing itu, biarin. Pokoknya asal jangan dengan Wandi!" Sementara Wandi berpikiran sama, dia punya jargon ABD... Asal Bukan Dicky! Sedangkan Hara tentu saja patah hati, lalu menciptakan lagu romantis berjudul "Jahat Sekali Dia"...!! Eming dan Indi berpacaran selayaknya anak-anak seumur mereka berpacaran: sering pergi bareng, jalan-jalan sore dan yang semacamnya. Eming jelas sekali sangat sayang kepada pacarnya yang bagai kuntum segar kalau dibawa jalan-jalan bersama gerombolan anak STM yang "suram" itu. Indi suka kepada Eming, karena cowok ini galant serta punya harga diri sehingga bisa bergaul dengan semua orang walau pada mulanya dipandang remeh. Indi juga suka pada keterbukaannya, dan pada kelembutan hatinya. Eming mengingatkan Indi pada seseorang yang sangat disukainya, seseorang yang menolaknya dengan halus ketika ia telah menyerahkan diri. [Bagi Pembaca yang belum tahu, silakan baca serial Kino, terutama "Interlude Indi"... penulis]. Maka Eming juga menjadi tumpahan kekecewaan dan pelarian Indi. Dengan Eming, gadis centil ini bisa bermanjamanja secara terbuka. Bisa percaya bahwa cowok itu tidak akan memanfaatkan keterbukaannya, sebab Indi adalah gadis yang lumayan liberal dalam pacaran. Indi mengijinkan Eming mencium bibirnya sepuas hati, karena Indi juga menyukainya. Indi mengijinkan Eming meraba dadanya yang ranum, karena memang enak diberlakukan begitu. Indi bahkan menikmati remasan-remasan Eming di sekujur tubuhnya, atau usapan bergairah di bawah sana. Indi merasa bahwa dengan Eming hubungan mereka bisa aman, karena selama ini Eming tampak bisa menjaga diri. Tetapi lalu terjadilah peristiwa itu.... e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20020 0 Indi: Ensiklopedia Penuh Warna (2) Peristiwa itu terjadi pada suatu siang yang terik.... Indi malas ke sekolah, dan gagal membujuk Mutia dan Rika ikut membolos. Akhirnya ia nekad sendirian ke rumah Eming, padahal belum tahu apakah cowok-nya itu ada di rumah atau tidak. Sudah beberapa kali Indi bertandang ke sana, dan kedua orangtua Eming sudah biasa menyuruh gadis manis itu langsung saja ke kamar Eming. Entah kenapa, Ayah dan Ibu Eming sangat percaya bahwa kedua remaja itu tidak akan macam-macam. Indi pun menghargai kepercayaan itu, walaupun kadang-kadang ia tersenyum sendiri kalau ingat kelakuan cowok-nya! Rumah Eming bersebelahan dengan bengkel milik Ayahnya, dan kamar Eming terletak di antara bengkel dan rumah utama. Di depan kamar itu ada lagi bengkel kecil tempat Eming biasanya mengutak-atik mesin mobil kesayangannya. Juga ada sebuah go-kart dan sebuah motor trail di sana. Dari pagi sampai siang bengkel Ayah Eming sangat bising. Maklum, di seantero kota, bengkel itu termasuk yang paling populer. "Misi, Oom... Eming ada?" teriak Indi, melawan bising, kepada seorang gaek berpakaian montir yang sedang bertolak pinggang memberi instruksi kepada pegawainya. Ia menoleh mendengar suara Indi. "Eh, si nDi...," sahutnya dengan berteriak juga, "Ada upacara apa lagi di sekolah?" "Ah, si Babe bisa aja!" sergah Indi mendengar godaan orang tua yang sangat ramah itu. "Eming sedang asyik dengan go-kart-nya. Besok katanya mau balapan," kata orang tua itu. Indi mengernyitkan dahi, "Lho, besok 'kan janjian sama Indi?" sergahnya seakan-akan sedang menyampaikan keluhan kepada pihak yang berwenang. Ayah Eming tertawa sambil kembali mengamati pekerjaan para pegawainya, "Kalau sudah dengar ada balapan go-kart, Eming mana ingat apa-apa lagi!" Sambil mencemberutkan muka, Indi melangkah masuk ke bengkel, menuju pintu samping yang menghubungkan bengkel dengan rumah. Hatinya tiba-tiba kesal. Betulkah aku kalah penting dibandingkan go-kart? gerutunya. Eming sedang asyik berjongkok mengutak-atik mesin go-kart-nya. Ia tidak mendengar ada orang datang dari belakang. Indi berdehem keras-keras, tetapi kalah oleh suara bising dari bengkel. Dengan kesal, Indi menendang pantat Eming. Tidak terlalu keras, sih... "Hey!" si empunya pantat ternyata jongkok dengan gamang, sehingga tendangan lemah-lembut itu pun sudah membuatnya tersungkur ke depan. Hampir saja hidungnya mencium mesin go-kart yang belepotan oli. Indi menahan tawanya, tetapi tidak berkata apa-apa dan berdiri menunggu Eming yang bangkit sambil menggerutu, "Dateng-dateng main tendang aja!" "Mau aku tendang lagi?" kata Indi dengan galak, sambil mengambil ancang-ancang menendang. Eming memasang muka sedih, "Kurus begini mau kamu tendangin?" katanya memelas sambil menyelampirkan lap kuning dekil ke bahunya. Gaya merayunya boleh juga! Indi benar-benar menendang lagi dengan kakinya yang terbungkus sepatu basket itu. Tetapi tentu saja Eming sudah siap. Sekali tangkap, kaki mulus itu tercekal erat di tangannya. Nah-lo!. "Lepaskan!" jerit Indi. "Enak, aja!" sergah Eming sambil menarik kaki gadis itu. Terpaksalah Indi tertatih-tatih mendekat sambil menjaga keseimbangan dengan merentangkan kedua tangannya. "Awas, ya.. Eming!" ancam Indi tetapi tak berdaya terus ditarik mendekat. "Awas apa?" tantang cowok itu sambil melap bibirnya dengan punggung tangan yang masih bebas, dan sambil terus menarik Indi mendekat. "Awas nanti aku gigit!" ancam Indi kehilangan akal. Eming menarik Indi sampai tubuh gadis itu menubruk tubuhnya. Lalu cepat-cepat dilepaskannya kaki Indi, dan dengan dua tangan yang di sana-sini hitam kena oli, pemuda itu memeluk kekasihnya. Secepat kilat pula ia mencium gadis itu tepat di bibirnya yang ranum. "Eming! Bajuku kena oli!" Indi menjerit, tetapi terlambat. Dalam dua detik bibirnya sudah dilumat gemas oleh Eming. Sial bagi Indi, ciuman itu ternyata bagai air segar di panas terik. Niat hati ingin berontak dan menggigit, apa daya tubuh lemas dan ingin terus didekap-dipeluk. Selama setengah menit Eming menikmati kemenangannya, lalu melepaskan pelukannya sambil cengar-cengir. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 21 "Jelek!" sergah Indi sambil menahan senyum. "Aku cuci tangan dulu, ya!" kata Eming tidak peduli, lalu meninggalkan Indi menuju kamar mandi. "Mandi sekalian. Badan kamu bau oli!" teriak Indi sambil melangkah ke kamar Eming. Gadis itu biasa bebas masuk ke kamar pemuda yang berantakan tetapi, entah kenapa, selalu terasa nyaman itu. Apalagi ada seperangkat stereo dan berlusin-lusin kaset (waktu itu belum jaman CD, lho!) yang tersebar di mana-mana. Sambil membuka sepatu dan melemparkannya sembarangan, Indi memilih kaset kelompok Chicago. Sejenak kemudian, lagulagu jazz-rock memenuhi udara. Ini merebahkan tubuhnya di kasus yang masih berantakan, menelungkup sambil mengikuti syair Just You and Me. Kakinya ditekuk sehingga kedua tumitnya yang terbungkus kaos kaki menyentuh bokongnya. Tidak lama kemudian Eming muncul dengan badan segar. Ia benar-benar mandi, walau dengan gaya cowboy, tidak lebih dari 5 menit. Di tangannya ada sebotol air es dan dua gelas. "Beresin dulu, dong... baru tidur-tiduran!" celoteh pemuda itu sambil ikut duduk di kasur. Iseng, ditepuknya pantat Indi yang bahenol, membuat pemiliknya menjerit kaget. "Sekali lagi kamu begitu, ... aku siram pake air es!" ancam Indi sambil cemberut. Eming senang sekali melihat si cantikmanis itu cemberut, karena makin cantik saja. Aneh, ya... ada orang yang semakin cantik kalau cemberut. "Kamu, kok, galak banget hari ini. Semua-semua, marah. Apa-apa, marah," gerutu Eming sambil ikut telungkup di sebelah kekasihnya. "Besok kamu ke mana!" sergah Indi tak mempedulikan ucapan Eming. "Ngga ke mana-mana," jawab Eming kalem .... syair lagu Chicago melantun merdu... "You are my love and my life...., you are my ins - pi - ra - tion.... Just you 'n me.... Simple 'n free.... Life is so easy, when you are beside me.... . Indi mengernyitkan dahi, "Betul-betul ngga kemana-mana?" "Paling-paling mengantar Tuan Puteri, pulang sekolah ke..... mana, tuh?" Eming malah balik bertanya. "Ke pasar bunga, beli bonsai," sambung Indi, karena tahu siapa yang dimaksud "Tuan Puteri" itu adalah dirinya, "Jadi, kamu ngga balapan?" "Ya, balapan, dong!" sahut Eming sambil meneruskan syair Chicago... give me your own special smile....promise you'll never leave me.... Oh, begitu, pikir Indi. Jadi aku akan diantar ke pasar bunga, lalu dia akan mengajakku menontonnya balapan. Ah, pintar juga si ceking ini mengatur waktu. Sambil meraih kepala cowok itu dengan gemas, Indi mencium pipinya yang kini sudah segar bau sabun mandi. Sambil berkata pula dengan lemah-lembut, "Kamu kok baek banget, sih!" Hati Eming berbunga-bunga mendengar ucapan lembut yang jauh berbeda dari hentakan dan makian sebelumnya. Ia sebenarnya sudah tahu, pasti Indi datang menuntut janjinya. Makanya, ia sudah siap dengan jawaban. Berhadapan dengan si caberawit ini, harus selalu siap-siaga. ***** Jika Indi bertandang ke Eming, atau sebaliknya pemuda itu bertandang ke kekasihnya di malam Minggu, pastilah ada saat-saat bergairah. Saat-saat berciuman yang berlama-lama, karena Indi tidak mau cuma dicium sekilas seperti angkot menurunkan penumpang. Terburu-buru, gitu... Indi tidak mau dianggap penumpang yang harus ditinggalkan sebelum kakinya menjejak bumi. Indi akan membiarkan Eming menciumnya, asalkan pemuda itu mau menciumnya lama dan lembut dan sayang dan manja dan ..... "Jangan digigit, dong!... Sakit!" sergah Indi setelah ciuman semakin bergelora. Ia meronta melepaskan diri. Eming sibuk mengatur nafasnya yang memburu, "Habis... kamu duluan yang gigit!" sahutnya tak mau kalah. "Kalau cewek boleh, kalau cowok ngga!" kata Indi tertawa kecil, lalu menarik lagi leher pemuda itu dan membiarkan lagi bibirnya dilumat-habis. Mmmm... sambil sekali-sekali bermain dengan lidah. Eming termasuk ahli berciuman. Indi suka dicium pemuda ini, maka ia sering memejamkan mata membiarkan dirinya terhanyut-terlena dalam dekapan hangat yang bergelora itu. Dalam soal ciuman, jangan kira Indi tidak punya pengalaman, karena ia punya "koleksi" cowok lumayan banyak sebelum resmi jadi pacar Eming. Indi tahu, mana cowok yang bisa ciuman, mana yang bego. Indi juga punya satu referensi khusus, yakni seorang mahasiswa indekosan sebelah rumah.... yang kalau mencium pasti membuat dirinya meminta lebih banyak!... Sedangkan Eming, bagi Indi, termasuk pandai berciuman, walau ah.... tentu saja..... masih kalah juga kalau dibandingkan mahasiswa indekosan itu! Di tengah ciuman yang hangat-bergelora itu, Indi membiarkan pula Eming bermain dengan dadanya yang tak sanggup membungkus debar jantungnya. Membiarkan puting payudaranya dielus-elus dari atas baju seragamnya... Mmmm... nikmat sekali. Ada getar-getar halus yang timbul dari elusan-rabaan itu, yang naik ke atas lehernya untuk bergabung e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20022 0 dengan rasa lembut-manja akibat bibirnya yang dihisap-kulum penuh gairah. Juga, getar-getar itu, turun ke bawah berpusar di perutnya membuat nafasnya bersusulan tak karuan. "Buka aja...," desah Indi tak tahan dirangsang lewat baju. Lebih enak diremas-remas langsung! Eming dengan sigap membuka kancing baju Indi satu per satu. Tidak butuh waktu lama untuk itu. Sekejap pula beha gadis itu dilepas kaitnya, dan dua payudara yang ranum itu pun bebas-lepas merdeka-terbuka. Pemiliknya mengerang ketika tangan Eming mulai mengelus, ....lalu memijat, ....lalu meremas. Indi juga bukan gadis egois. Ia tahu pemuda yang mencium dan meraba-meremas-gemas ini juga perlu mendapat perhatian. Maka dengan telaten gadis itu mengusap-menelusur tubuh kekasihnya, semakin lama semakin ke bawah. Tidak lama kemudian, telapak tangan yang halus itu sudah tiba di atas celana jeans yang tak sanggup menyembunyikan tonjolan keras-tegang di bawah sana. Telapak tangan halus itu pun mulai mengelus, naik-turun perlahan dan penuh perasaan. Eming pun mengerang di tengah kesibukannya memainkan lidah Indi yang basah dan hangat itu. Indi ikut mendesah-mengerang pula. Matanya terpejam nikmat karena sebuah rasa geli-gatal yang sangat dikenalnya itu kini menyebar-merata di sekujur tubuhnya yang mulai berkeringat tipis. Mereka berciuman dalam posisi berbaring miring berhadapan. Dengan manja Indi menaikkan kakinya, memeluk pinggul pemuda itu. Tubuh mereka pun semakin rapat. Dan karena tangan Indi terselip di antara keduanya, maka sambil mengelus-elus pemuda itu, tak sengaja pula punggung tangannya bergesekan dengan tubuhnya sendiri. Tepat di antara dua pahanya. Gesekan yang membawa panas! "Buka, dong, nDi...," Eming mengerang . Ia juga ingin diremas-remas langsung. Dan Indi pun cepat-cepat menarik turun resleting celana Eming... ternyata pemuda itu tidak memakai celana dalam... sehingga cepat sekali tangan Indi bisa bertemu dengan daging keras-tegang-kenyal yang berdenyut-denyut liar itu!.. Besar dan panjang dan panas. "Cupang, dong, Ming," Indi mendesah gelisah, melepaskan diri dari pagutan kekasihnya. Nafasnya memburu keras dan ia ingin Eming segera melakukan apa yang digemarinya: mengulum putingnya dan membuat cupangan di seluruh permukaan dadanya yang putih mulus itu! Eming menurunkan sedikit posisi tubuhnya, dan seperti bayi dahaga segera menelusupkan kepalanya ke dada Indi, menangkap salah satu puting susunya yang tegak menantang, lalu langsung menyedot dan mengulum dengan bergairah. Indi menjerit kecil, antara kaget dan terpesona. Dengan cepat tubuhnya seperti dilecut oleh tegangan birahi maha tinggi, mungkin 10.000 volt besarnya! Bukan itu saja, Indi juga memanfaatkan punggung tangannya untuk menggosok-gosok celah sempit di antara kedua pahanya. Buku-buku jarinya mengelus-melesak celah yang mulai basah itu. Semakin ia bergairah mengelus-elus kejantanan Eming, semakin pula ia terangsang oleh gesekan-gesekan di bawah sana. Maka semakin bergairahlah percumbuan itu, dipenuhi erangan-erangan tertahan, sementara kaset Chicago sudah berputar-balik untuk yang kedua kalinya. Eming merasakan gejolak di tubuhnya juga semakin lama semakin tak terkendali. Ia menikmati remasan dan elusan tangan yang halus mulus itu sepanjang kejantanannya. Apalagi jika telapak mulus itu tiba di ujung atas, dan di sana meremas-remas. Ahhhh... bukan main rasanya. Seluruh tubuh pemuda itu bergetar-bergelora, dari ujung rambut sampai ujung jempol. Ia menikmati pula puting kenyal yang semakin lama semakin mengeras dan semakin basah oleh ludahnya sendiri. Ia menyedot dan mengulum sepuas-puasnya, merasakan betapa bukit lembut yang membusung di dada Indi itu berdegup-degup sesuai irama jantungnya yang bekerja keras. Dan Indi juga semakin terlena. Ia semakin mengangkat kakinya tinggi-tinggi di pinggang Eming. Rok seragamnya tersibak sampai pinggul, menampakkan celana nilon coklat muda yang sudah agak basah di bagian di antara dua paha mulus itu. Tak tahan hanya dengan elusan tangannya sendiri, Indi menarik tubuh Eming lebih mendekat lagi, lalu menggunakan kejantanan pemuda itu untuk merangsang dirinya sendiri. Digosok-gosokkannya batang tegak-tegang itu di atas kain nilon tipis yang tak sanggup menyembunyikan radiasi panas di bawahnya. Eming menggelinjang kegelian merasakan ujung kejantanannya menelusuri permukaan halus-licin yang basah di sana-sini. Tepat pada intro lagu ke empat di side B kaset Chicago, Indi mulai merasakan kedatangan orgasme pertamanya. Seperti kereta api di kejauhan yang sudah memberi tanda, Indi merasakan segumpal rasa nikmat muncul jauh di dalam pinggulnya. Lalu gumpalan kenikmatan itu membesar dan menyebar ke mana-mana. Mula-mula hanya di sekitar pinggang dan paha. Tetapi lalu cepat sekali memenuhi seluruh tubuhnya, sehingga kini seluruh tubuhnya seperti sebuah gumpalan gas padat yang hendak meledak setiap saat. "Aaah!" gadis itu mengerang keras dan melepaskan cengkramannya pada kejantanan Eming. Ia tak sanggup melakukannya sendiri, karena geli sekali. Ia ingin Eming yang melakukannya untuknya. Maka ia tarik tubuh pemuda itu sambil berguling menelentang. Ia bawa tubuh pemuda itu ke atas tubuhnya, sambil merentangkan kedua kakinya lebar-lebar, lalu mengepit pinggangnya erat-erat. Eming sigap memposisikan tubuhnya di antara kedua paha Indi, sambil cepat-cepat meloloskan celana jeansnya sampai lutut. Sehingga kini tubuh bagian bawahnya yang telanjang itu melesak-melekat di selangkangan Indi yang hanya tersaput celana nilon tipis. Kejantanannya tepat berada di permukaan kewanitaan gadis itu, yang kini sudah terkuak-terpampang siap menerima gesekan-gesekan final menuju puncak kenikmatan. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 23 Dan mulailah Eming bergerak, maju-mundur, naik-turun..... Dan Indi mengerang semakin keras, meraih leher pemuda itu untuk mengulum bibirnya. Ciuman mereka bergairah sekali, sejalan dengan semakin dekatnya Indi ke puncak asmara. ... Dan setelah beberapa kali gesekan-gosokan, Indi menjerit tertahan di dalam ciuman kekasihnya... Dan tubuhnya bergeletar-bergejolak hebat ketika orgasme meledak-ledak tak terkendali. Selagi Indi meregang menikmati orgasme itulah, Eming terlanda nafsu yang membuta. Dengan tanpa pikir panjang ia menarik celana dalam Indi untuk membukanya. Gadis itu masih terpejam dan mengerang menikmati rasa geli-gatal merebak di sekujur tubuh, sehingga tak bereaksi ketika akhirnya celana dalam itu lepas terbuang. Sekejap tubuh Indi bagian bawah terpampang-telanjang, menampakkan kewanitaannya yang agak membasah-berkilauan, agak meronamerah pula. Lalu Eming bersiap menelusupkan-menusukkan kejantanannya dengan penuh determinasi. Ia tak ingat apa-apa lagi kecuali perasaan ingin segera masuk tenggelam dalam-dalam di tubuh gadis yang masih meronta-meregang menikmati orgasmenya itu. Tetapi tanpa pengalaman yang cukup, ternyata tidaklah mudah melakukan hal itu. Upaya pertamanya tidak berhasil karena kejantanannya melejit naik ketika ia mencoba mendorongnya masuk. Indi tiba-tiba tersadar dari alunan orgasmenya, dan merasakan sebuah tusukan kecil di selangkangannya. Sejenak ia mendesah, karena tusukan itu terasa nikmat, tetapi meleset ke atas dan menyentuh bagian sensitif yang tersembunyi. Tetapi lalu gadis itu terkaget, kenapa tubuh bagian bawahnya terasa begitu terbebas? Cepat-cepat ia membuka mata dan melirik ke bawah. "Eming! Apa-apaan....," belum habis ia menjerit, Eming sudah mencium membungkamnya. Indi meronta kuat-kuat, menyadari bahwa kekasihnya sedang berupaya menyempurna-tuntaskan percumbuan mereka dengan sebuah persetubuhan. Seperti disiram air dingin, gairah Indi tiba-tiba sirna berganti panik karena ternyata Eming bersikeras melanjutkan percumbuan. Indi berusaha mendorong tubuh pemuda itu kuat-kuat, tetapi Eming bereaksi sama kuat. Mereka saling dorong, dan hampir saja Indi kalah kalau ia tidak segera mengangkat kedua lututnya, dan menggunakan lutut itu untuk mendorong perut Eming. "Stop! Eming!" jerit Indi sambil mendorong sekuat-kuatnya. Eming terkejut dan merasa ulu hatinya sesak. Tenaganya langsung melemah, dan ia terguling ke sisi ranjang, hampir saja jatuh ke lantai. Cepat-cepat Indi bangkit dari kasur, mencari dan menemukan celana dalam tergeletak dekat kakinya. Ia pun lalu melompat turun dan bergegas menuju sudut kamar yang paling jauh dari ranjang. Di situ ia cepat-cepat pula memakai celananya. Eming tertegun di pinggir ranjang sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti orang yang berusaha mengusir pikirannya. Ia memang baru sadar apa yang terjadi, dan cepat-cepat pula menaikkan celana jeansnya yang tadi sudah melorot sampai lutut. Ia malu sekali, dan menundukkan kepala. "Gila kamu!" jerit Indi sambil mengancingkan baju dan merapikan rambutnya. "Sorry!" cuma itu yang bisa dikatakan Eming sambil tetap menunduk. "Aku mau pulang!" jerit Indi lagi sambil memasang sepatunya. Eming bangkit dan mencoba memeluk kekasihnya, tetapi dengan kasar gadis itu meronta. "Sorry,... aku sudah bilang sorry!" sergah Eming penuh penyesalan. "Masa bodo!" sahut Indi sambil memasukkan kakinya ke sepatu yang kedua, lalu melangkah keluar. "Indi!" seru Eming sambil mencoba menahan tangan gadis itu. Tetapi Indi meronta lagi dan berhasil melepaskan tangannya lalu melangkah cepat keluar. "Aku anterin pulang. Tunggu!" teriak Eming sambil mencari-cari sandal atau sepatunya. Sialan, jika diperlukan, barangbarang itu sembunyi di mana? Indi tidak menengok lagi, melangkah cepat menuju pintu keluar, menerobos bengkel yang masih bising dan sibuk. "Lho, kok sudah pulang nDi?" teriak Ayah Eming dari balik sebuah mobil sedang yang sedang dibetulkan. Lelaki tua itu heran, biasanya Indi bertandang sampai sore dan pulang diantar Eming dengan wajah ceria. Kali ini gadis itu keluar dengan cemberut dan tidak tengok kiri-kanan. Sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, lelaki tua itu kembali mengalihkan perhatiannya ke pekerjaannya. Urusan anak-muda adalah urusan anak-muda! Eming berlari mengejar Indi, tetapi gadis itu sudah naik angkot yang pertama dijumpainya. Pemuda itu lalu balik ke dalam, dan sebentar kemudian terdengar raungan motornya keluar. Kembali Ayah Eming menggeleng-gelengkan kepalanya. Urusan anak-muda selalu dramatis! ****** e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20024 0 Sejak itulah hubungan Indi dan Eming memburuk. Berkali-kali Eming mencoba minta maaf, tetapi Indi diam seribu basa. Lewat Mutia dan Rika, pemuda itu juga mencoba untuk membujuk Indi, tetapi bahkan kedua sahabat itu pun dibentak oleh Indi agar tidak ikut campur. Sekali waktu, Eming mencegat Indi pulang sekolah sendirian, karena kebetulan Mutia atau Rika tidak masuk. Terpaksa Indi bersedia berjalan berendengan menuju tempat menunggu angkot. "Jangan begitu, dong, nDi. Aku, kan, sudah minta maaf!" ucap Eming berulang-ulang. "Kali ini kamu sudah kelewatan!" sergah Indi sambil mendekap bukunya erat-erat di dada. Wajahnya tampak dingin dan tak-acuh. "Habis kamu juga sih...," sahut Eming membela diri. Ia lama-lama kesal juga diperlakukan sebagai pesakitan terus menerus. Indi menghentikan langkahnya. Eming ikut berhenti. Wah, panjang, nih, urusannya! pikir pemuda itu gelisah. "Indi mau bilangin kamu sekali ini saja. Tidak akan Indi ulang," kata gadis itu tegas dan getas. Eming diam menunggu. "Indi menghargai cowok yang tahu diri. Indi suka cowok yang tidak memanfaatkan kelemahan ceweknya. Kamu tidak memenuhi kedua syarat itu!" kata Indi sambil mulai melangkah lagi. Eming terdiam, tidak mengikuti langkah Indi. Ia kehabisan kata-kata dan pikirannya sedang sibuk mencerna ucapan Indi yang terasa benar belaka. Apalagi kalimat terakhir itu..... Kalimat ultimatum itu. Di kejauhan terlihat sebuah motor merah darah meraung-raung mendekat: Dicky. Eming minggir teratur, berdiri di tepian jalan. Dicky melintas cepat sambil menengok sekilas kepadanya. Dalam hitungan detik, Dicky sudah tiba di samping Indi yang sudah meninggalkan Eming. "Ada apa, nDi? Si Mi-ing ngaco, ya!?" tegur jagoan itu dengan nada bersahabat, tanpa turun dari motornya. Indi tersentuh juga oleh teguran yang penuh concern itu. Kalau gadis itu mau, dia tinggal menganggukkan kepala satu kali, dan tamatlah riwayat Eming. Tetapi ia tidak ingin ada keributan, dan terlebih-lebih lagi ia merasa sudah cukup menghukum Eming. Sambil tersenyum manis, gadis itu berkata lembut kepada Dicky, "Ah, biasa, lah, Dick. Ngga ada apa-apa." "Betul, nih,.... beres-beres aja?" desak Dicky sambil mengendalikan motornya agar bisa berjalan seperlahan langkah Indi. "Betul!" kata Indi meyakinkan, lalu sambil tetap tersenyum gadis itu merajuk, "Tetapi kakiku pegal, nih, jalan kaki. Bisa boncengan sampai rumah?" Wow! Dicky merasa jantungnya melompat keluar dan menggelepar jatuh di tanah. Permintaan Indi ini bagai durian runtuh... Mungkin lebih itu... Bagai emas Monumen Nasional yang runtuh menimpa kepalanya! Cepat-cepat Dicky menghentikan dan meminggirkan motornya, lalu memposisikan duduknya lebih maju lagi. Sejenak kemudian ia merasakan gadis pujaannya meraih pinggangnya, lalu duduk di jok belakang. Dunia saat itu terasa berisi kecoa-kecoa saja di mata Dicky, dan dia sanggup mengalahkan negara Amerika Serikat sekalipun kalau diberikan cukup tank atau kapal selam. Dengan Indi diboncengannya, Dicky melarikan motornya, melesat menuju utara. This world is mine! jeritnya dalam hati. Sebaliknya bagi Eming, dunia sudah runtuh. Pemuda ini menunduk dan menghela nafas dalam-dalam. Selesailah sudah salah satu babak paling indah dalam hidupnya. Kini ia mungkin harus berkonsentrasi ke go-kart saja, dan teringat akan hal itu ia pun bergegas menuju mobilnya. Forget that girl! sergah hatinya. Tetapi bisakah? e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 25 Rima: Pendakian Tiada Henti Lembayung mulai melingkupi ufuk langit. Ratusan perdu kini tinggal bayang-bayang hitam, seperti serdadu bergerombol dalam diam. Angin tak terlalu kencang, tetapi tentu saja dingin. Puncak gunung ini cukup tinggi untuk ukuran para pendaki pemula. Dalam remang yang menemaram, Rima duduk di tanah memeluk lututnya, memandang ke depan sana: kabut tipis di mana-mana. Jaket besar-tebal membungkus tubuhnya, memberi hangat yang lumayan. Tubuhnya letih, tetapi hatinya lapang. Setelah mendaki empat jam penuh, Rima merasa nikmat-hikmat duduk memandang Sang Teja yang bersiap menggelap. Sebentar lagi langit akan berubah menjadi hamparan hitam maha luas. Lalu akan ada satu dua bintang, sebelum akhirnya jutaan-milyaran kerlap-kerlip akan memenuhi semesta maha tinggi itu. Pada saat seperti itulah Rima dan selusin pendaki lainnya akan merasa sekecil butir debu. Merasa seperti kutu tak berdaya di bawah naungan alam yang amat perkasa. Merasa akan dengan mudah terhembus lenyap dari muka bumi jika alam berniat begitu. Seorang pendaki lamat-lamat menyanyikan puja-puji kepada alam, diiringi harmonika temannya. Rima ikut berbisik mengucap syairnya. Hatinya terasa dipenuhi rasa lega karena ternyata bumi begini luas. Ternyata kepada kita disediakan begitu banyak kelapangan-keleluasaan. Tidak ada tembok di sini. Tidak ada atap. Semuanya terbuka-terhampar. Betapa bedanya di bawah sana, di tempat yang hiruk-pikuk dan sempit oleh rumah, gedung, jembatan, pagar-tembok, tangsi militer, toko, rumahsakit... entah apa lagi! Betapa terhimpitnya di bawah sana, dan betapa banyaknya masalah. Setiap hari di bawah sana ada masalah menyerbu bagai banjir bandang. Kadang-kadang itulah yang menyebabkan kita tenggelam, atau hanyut, atau terlindas-tandas. Kita tidak bisa lari, karena kesana-kesini terbentur tembok. Ada banyak tembok kasat mata. Tak kurang banyak pula tembok maya-nestapa. Semuanya siap mencegah sembari ikut merajahrajam. Rima menarik nafas dalam-dalam, memenuhi dadanya dengan udara segar yang bisa mengusir keluh di hatinya. Seandainya hidup ini selalu luas-lapang seperti di puncak gunung, tentu tak akan ada gundah. Tentu semuanya akan nyaman belaka. Tetapi,.... Rima menghempaskan nafasnya kuat-kuat, tetapi hidup ini bisa menjadi bajingan. Life is a bitch!. Hidup ini sungguh tak mau kompromi. Bahkan kepada seorang gadis kecil yang kehilangan Ibunya sewaktu masih berusia 5 tahun... ****** Rima menggigit bibirnya sendiri setiap kali ingat Ibu. Ia tak pernah ingat wajah Ibu yang sesungguhnya, karena itulah ia hanya bergantung kepada sebuah foto yang kini hampir lusuh di dompetnya. Dari foto itu Rima bisa selalu mengenang matanya yang teduh tetapi agak sipit. Terlahir dari keluarga campuran, ibunya termasuk cantik sekali. Rambutnya yang ikal datang dari Kakek yang berasal dari Indonesia Timur. Bibirnya yang tipis dan matanya yang sedikit sipit datang dari Nenek yang masih punya kerabat di Hong Kong. Foto hitam-putih itu dibuat di sebuah studio, memperlihatkan Ibu ketika berusia 20-an, sebelum menikah dengan Ayah. Cantik sekali, Ibu mengerling tajam, dengan tubuh putih-mulus dibalut kebaya modern. Di setiap puncak gunung di mana pun Rima mendaki, selalu ia sempatkan berbisik ke langit, "Ibu, Rima rindu padamu. Peluklah Rima dari atas sana.".. Dan seperti nyata, Ibu pun datang memeluknya dalam bentuk kabut tipis yang merayap pelan-pelan di sekujur tubuh. Atau dalam bentuk kelam-malam yang membungkus semua isi alam. Atau dalam bentuk wangi edelweis yang merebak di pagi hari. Ketika Rima masih kecil, ia tak pernah tahu apa arti Ibu yang tiada. Baru setelah berusia belasan, setelah Ayah semakin sering pulang malam atau tidak pulang selama 3 hari berturut-turut, Rima tahu mengapa Ibu sebaiknya hadir di setiap rumahtangga. Juga ketika salah seorang kakak pria-nya (Rima adalah satu-satunya wanita) meninggal akibat over-dosis, Rima pun sadar bahwa Ayah adalah pria yang tak berdaya. Kakaknya yang tertua menghilang dari rumah ketika Rima berusia 12 dan baru muncul lagi ketika Rima lulus SMA. Ia ingat, kakaknya datang dengan sebuah motor Harley Davidson, dengan tubuh penuh tatoo. Lalu ia mendengar kakaknya bertengkar riuh dengan Ayah di ruang tamu. Lalu Ayah terjengkang ditinju kakaknya, dan Rima berdiri saja di bingkai pintu seperti menonton film Kung Fu. Mengapa ia tidak menjerit melihat hidung Ayahnya berdarah? Mengapa ia sering ikut merasa ingin meninju hidung itu? Mengapa ia tidak bisa melupakan perempuan yang dibawa Ayah dan disetubuhinya di kamar Ibu? Mengapa ia tetap geram kalau ingat gelas yang dilemparkan kepadanya ketika Ayah mabuk di ruang tamu? Mengapa ia sering tak mau menuruti perintah Ayah? Mengapa ia sering berharap agar Ayah masuk penjara atau tewas di jalan raya? Mengapa....? Rima menunduk, menyembunyikan mukanya di antara kedua lututnya. Malam di puncak gunung sudah semakin gelap. Salah seorang pendaki berteriak mengatakan bahwa api unggun sudah menyala. Seorang lainnya menegur Rima dan menawarkan rokok. Ada juga suara-suara lain di sekelilingnya. Ada tawa. Ada nyanyi. Ada teriakan-lepas. Ada cekakakcekikik. Rima diam saja membiarkan dirinya terbungkus oleh aneka suara itu. ****** "Aku tidak percaya ungkapan 'alam yang kejam'...," ucapan Kino terngiang di telinga Rima, "Alam selalu bersahabat. Lihatlah!" kata pemuda itu sambil membentangkan tangannya. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20026 0 Dan Rima ingat, itulah pertama kali ia berdiri di puncak sebuah gunung yang tidak terlalu tinggi. Itulah saat ia resmi menjadi anggota Pencinta Alam bersama-sama Kino. Itulah pula saat ia melirik ke pemuda jangkung di sebelahnya dan berbisik dalam hati,.. siapa pacarnya? Bagi Rima, pemuda atau lelaki atau cowok bukan mahluk asing. Ayahnya adalah salah satu contoh mahluk itu. Seluruh kakaknya adalah mahluk itu pula. Pacar-pacarnya, dari sejak SMP sampai detik ini, adalah mahluk itu pula. Maka bagi Rima tidak ada yang asing dari pemuda di sebelahnya ini. Kecuali satu... pemuda ini mengajaknya naik gunung, sementara yang lain biasanya ingin menaiki "gunung"-nya yang tak terlalu besar itu! "Banyak yang mati waktu naik gunung," kata Rima waktu itu, mencoba mengundang perdebatan. "Lebih banyak yang mati di jalan raya," jawab Kino kalem. "Kalau orang yang naik gunung sama banyaknya dengan yang di jalan raya, mungkin yang mati di gunung akan lebih banyak," sergah Rima tak mau kalah. "Kalau orang yang naik gunung segitu banyak, gunungnya meledak dan semuanya mati!" kata Kino, dan Rima tertawa tergelak-gelak mendengar jawaban telak itu. Kino selalu bisa membuatnya tertawa. Pemuda itu mempesonanya sejak awal, karena Rima lahir dan besar di tengah kakak-kakaknya yang brengsek. Salah satu kakaknya -yang nomor dua- sering menampar. Kakak yang lain pernah memperlihatkan buku porno kepadanya, dan meraba dada dan pantatnya ketika ia masih SMP. Kakak itulah yang kemudian tewas OD. Kakak tertuanya -yang meninju Ayah itu- adalah pemimpin salah satu kelompok gangster ibukota. Kakak tertua ini yang sering memberinya uang dan mengajarinya minum bir, selain membekalinya dengan pil anti hamil dan sekotak kondom. Bagi Rima, Kino adalah kebalikannya dari semua itu! Rima "menemukan" Kino dalam suasana perploncoan yang seru. Pemuda itu sedang duduk di bawah gerbang kampus, membaca Proklamasi keras-keras dan berulang-ulang. Sementara ia sendiri harus berdiri di seberang jalan sambil memberi hormat ke setiap angkot yang lewat. Ketika hukuman bagi keduanya usai, mereka berjalan beriringan tak sengaja, dan saling tukar senyum untuk sekedar merasa senasib. Lalu mereka sering bersama-sama, dan akhirnya Kino berhasil membujuknya ikut mendaki. Rima ingat sekali, sebelum mendaki ia sedang gundah karena Ayahnya memberi kabar bahwa ia akan menikah. Gila, sudah setua itu mau menikah. Mengapa tidak segera setelah Ibu meninggal saja ia menikah? Mengapa harus menunggu, dan menyiksa diri sekaligus anak-anaknya, sebelum memutuskan menikah? Rima marah sekali waktu itu. Begitu marahnya sampai ia merasa putus asa dan berpikir tentang bagaimana caranya menemui Ibu secepatnya! "Ayolah, di gunung kita bisa berpikir lebih jernih!" desak Kino ketika mendengar alasan Rima bahwa ia sedang suntuk. "Nggak, ah! Capek jalan jauh..," Rima menolak. "Nanti aku gendong!" sergah Kino sambil membungkuk memperagakan kesiapan untuk menggendong. Rima tertawa sambil mencubit lengan pemuda itu. "Tinggi, nggak, gunungnya?" tanya Rima mulai ragu atas penolakannya sendiri. "Ah, tidak. Kelihatan dari sini, kok!" kata Kino bersemangat. "Dasar bego,... bulan juga kelihatan dari sini!" sergah Rima sambil mencubit lagi. Ia senang sekali mencubiti Kino karena pemuda ini rupanya tahan cubitan. Akhirnya ia berangkat, dan ternyata memang gunungnya tak terlalu tinggi selain juga landai. Betapa benarnya Kino, puncak gunung ternyata memberinya udara segar yang dengan cepat menjernihkan keruh di benaknya. Puncak gunung ternyata mampu menghapus Ayah dari pikirannya. Baru kali ini Rima merasa bisa lepas dari bayang-bayang lelaki tua itu! Sejak itulah ia terpikat pada Kino, selalu ingin didekatnya, dan berharap pemuda itu juga menyukainya. Tetapi Kino ternyata cuma senang berdekatan. Kino ternyata tak menyukainya sebagaimana ia berharap pemuda itu menyukainya. Kino ternyata hanya mau jadi sahabatnya. Rima sempat terluka, dan berdiri lama di depan cermin: apakah aku kurang cantik? Tetapi lama kelamaan bisa Rima menerima penolakan pemuda itu, dan mereka kemudian menjadi sahabat-karib saja. Itu pun sudah cukup bagi Rima. ***** "Hei, melamun lagi!" hentak seseorang. Rima mengangkat muka, menemukan wajah tegar Yardin, sang pemimpin pendakian. Tersenyum, Rima menarik tangan pemuda itu, mengajaknya duduk dekat-dekat. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya mahasiswa jurusan sipil yang lebih tinggi dua tingkat dari Rima itu. Ia duduk dekat sekali di sisi gadis itu. Bahu mereka bersinggungan akrab. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 27 "Macam-macam.... Ujian semester, perang di Timur Tengah, nasib Tim Bulutangkis, pengaruh gerhana matahari terhadap kesehatan...," kata Rima sambil menelusupkan tangannya di bawah lengan Yardin. "Tidak satu pun ada yang relevan untukku," sela Yardin dengan nada mengeluh. Rima tertawa. Ia tahu, pemuda ini memancing percakapan lebih intim. Pasti pemuda ini ingin Rima menjawab dengan "memikirkan kamu" atau yang semacamnya. Sayang sekali, Rima memang tidak memikirkannya. "Kenapa, sih, kamu tidak pernah memikirkan sesama mahasiswa?" desak Yardin. "Lho, kok bisa menyimpulkan begitu. Aku sering memikirkan sesama mahasiswa," sahut Rima menahan senyum. "Misalnya, memikirkan aku, ...begitu?" ucap Yardin nekad. "Ya. Aku sering memikirkan kamu," jawab Rima sambil mempererat pelukannya di lengan pemuda itu. Ia memang sayang kepada pemuda yang maha-penolong kepadanya ini. Ia tahu pemuda ini berminat kepadanya. Sangat berminat, bahkan! "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Yardin menoleh, memandang dari jarak dekat wajah Rima yang tomboy tetapi manis itu. Ia suka pada mukanya yang halus tak berjerawat itu, pada hidungnya yang mungil dan lucu itu, pada matanya yang membola-mempesona itu. "Banyak!" sergah Rima sambil menyandarkan kepalanya di bahu Yardin. "Tolonglah, ungkapkan satu saja di antaranya," kata pemuda itu penuh permohonan. "Perbuatan kamu seminggu yang lalu, misalnya," kata Rima. Segera Yardin menegakkan duduknya. Sekujur tubuhnya menegang, dan Rima tersenyum sambil tetap menyandar di bahu pemuda itu. Aku menyentuh sebuah titik sensitif, bisik Rima dalam hati. "Aku, kan, sudah minta maaf, Rima...," kata Yardin dengan suara pelan. Rima tertawa kecil, "Dan aku, kan, sudah memaafkan." "Tetapi kenapa diungkit lagi?" tanya Yardin masih dengan suara pelan. Rima tertawa lagi, "Lho, katanya ingin tahu apa yang aku pikirkan!" "Berarti kamu belum memaafkan," sergah Yardin cepat. "Memikirkan dengan memaafkan, kan, bisa sejalan. Bagaimana, sih, kamu!?" sergah Rima tak kalah cepat. "Malam itu aku tidak bermaksud begitu...," kata Yardin, tetapi segera dipotong Rima, "Alaaah!... ngga usah diulang. Aku tahu kamu tidak bermaksud meraba-raba dan mengajak bercumbu begitu jauh." "Ssst!" Yardin menempelkan telunjuk di bibirnya sambil melihat berkeliling. Ia takut ucapan Rima terdengar yang lain, walaupun sebenarnya mustahil karena angin mulai mengencang mengeluarkan suara berkesiut. Rima tertawa kecil dan dengan suara pelan berkata, "Aku tahu kamu suka, walaupun kamu tidak bermaksud. Aku tahu kamu ingin kita berbuat lebih jauh, walaupun kamu tidak bermaksud. Kenapa, sih, musti minta maaf terus?" "Jadi, apa yang kamu 'pikirkan' itu?" desak Yardin. Rima menarik lengan pemuda itu, merapatkannya lebih dekat ke tubuhnya, lalu mencium sekilas pipinya, sambil berbisik, "Aku tidak keberatan, tetapi tidak harus begitu jauh, dan tidak harus menuntut aku jadi pacarmu." Terdengar Yardin menghela nafas lega dan menundukkan kepalanya. Diambilnya sebutir batu kecil, dilemparkannya ke depan, ke tempat gelap. "Satu lagi...," kata Rima masih dengan berbisik. "Apa?" kata Yardin sambil menengok, menemukan sepasang mata bening menatapnya tajam. "Kalau aku bilang tidak, artinya tidak. Kalau aku bilang mau, bukan berarti seterusnya mau," ucap Rima tanpa berkedip. Yardin menunduk lagi, lalu berucap pelan, "Padahal aku berharap kamu mau jadi pacarku, Rim. Aku bukan cuma ingin bercumbu." "I know..," ucap Rima, "Tetapi aku tidak mau jadi pacarmu. Aku tidak mencintaimu, walau aku suka padamu" "Apakah karena ada yang lain?" desak Yardin. "Ada," jawab Rima, tetapi buru-buru ia melanjutkan, "Jangan tanya namanya, karena tidak akan kujawab." Yardin terdiam. Ia mendengar selentingan, salah satu sahabat Rima (semua isi kampus tahu empat sahabat itu: Rima - Ridwan - Tigor - Kino, R2TK) adalah kekasih Rima. Tetapi mana mungkin, karena Rima tetap mau diajak naik gunung e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20028 0 terpisah dari sahabatnya, dan tetap mau dicium bahkan diraba-raba seperti minggu lalu. Tetapi Rima juga bukan gampangan, dan Yardin sebetulnya merasa bangga terpilih sebagai orang yang boleh mencumbunya, walau "serba tanggung". Ah, rumit sekali gadis ini, keluh Yardin dalam hati. "Hei, gantian kamu yang melamun!" sentak Rima. Yardin menghela nafas dalam-dalam, "Makan malam, yuk!" ujarnya mengalihkan topik. "Oke," sahut Rima riang, "Tetapi cium dulu, dong!" Yardin mencium pipi Rima yang dingin karena angin gunung itu, lalu bangkit dan menarik gadis itu ikut bersamanya. Malam itu mereka menyantap lontong yang dibawa dari rumah, dengan lauk dua kerat dendeng manis. Sedap sekali! ****** Jadi kini ada dua hal penting dalam kehidupan Rima: gunung dan lelaki.... Ia menyukai yang pertama. Sedangkan yang kedua... hmmm... ia sering terlibat kontradiksi dan ironi. Ia kehilangan figur Ayah sepanjang hidupnya, sehingga ia berkembang menjadi tomboy. Tetapi pada saat yang sama ia merindukan pelukan-rengkuhan, sehingga ia juga sering berganti pacar, dan sering membiarkan pacar-pacarnya berlaku sebagaimana layaknya lelaki kepada lawan jenisnya. Bagaimana jika keduanya -gunung dan lelaki- bergabung? Macam-macam pun bisa terjadi. Ada peristiwa yang paling berkesan ketika Kino mencium tetapi menolak ajakan bercumbu (baca Serial Kino, episode... cari ndili, deh!). Ada peristiwa lucu ketika para lelaki berebut membantunya untuk menarik perhatiannya. Ada peristiwa sedih ketika seorang lelaki jatuh dan patah kakinya, sementara Rima adalah satu-satunya wanita saat itu. Ada pula peristiwa bergairah, seperti malam itu ketika Yardin kembali menciumnya di balik batu di seberang api unggun. "Bibir kamu manis sekali," bisik pemuda itu disela-sela pagutan-kulumannya. "Itu, kan, rasa dendeng," bisik Rima sambil membiarkan bibir bawahnya digigit perlahan. Yardin tertawa pelan, "Mmmm...," ia mengulum bibir Rima, "Boleh aku kunyah bibir ini?" bisiknya. "Jangan," desah Rima, "Nanti aku berubah jadi kuntilanak, lho!" "Mmmm.. bikin gemes saja kamu," Yardin kembali mengulum bibir Rima dengan Semangat Empat Lima. "Mmmm...," Rima mengerang. Tangannya merangkul leher pemuda itu. Tubuhnya tersembunyi jaket besar dan bayangbayang batu yang bergerak-gerak sesuai gerak api unggun. "Tanganku kedinginan, Rim..," bisik Yardin sambil menelusupkan tangannya ke bawah jaket gadis itu. "Alaah!.. bilang saja pengin memegang-megang," sergah Rima sambil menggigit bibir Yardin. Pemuda itu mengaduh, tetapi dengan cepat pula menelusupkan tangan ke bawah kaos wol gadis itu. "Hiiiy... dingin!" Rima bergidik merasakan telapak tangan pemuda itu melintas di atas behanya. "Nanti juga hangat," bisik Yardin sambil menciumi leher Rima, membuat gadis itu menggelinjang kegelian. "Aku hitung sampai tiga, kalau tidak segera hangat, kamu harus keluarkan lagi tangan itu!" ancam Rima lalu memulai hitungan, "Satu...." Yardin tertawa tertahan, menggigit dagu Rima, dan cepat-cepat memasukkan tangannya ke balik beha gadis itu. Hmm.. hangat sekali, dan halus sekali. Tidak terlalu besar, dada yang selalu terbungkus kaos tebal itu. Tetapi tetap saja menggairahkan untuk dielus-elus dan diremas. "Dua....," Rima melanjutkan hitungan, lalu mengerang, "Oooh...". Yardin membawa tangannya ke puncak salah satu payudara Rima. Dengan jari-jarinya ia meraba-raba puting yang segera tegak-mengeras. "Ngg..," Rima mengerang dan mencoba mengatur nafasnya yang tiba-tiba memburu, "Dua setengah....," Yardin tersenyum dalam hati, sambil terus mempermainkan puting Rima yang kini sudah sepenuhnya berdiri. Sambil diselingi meremas-remas. Sambil menciumi terus leher yang harum. Rima menggelinjang gelisah. "Aaah,.. Yardin," Rima mendesah gelisah,"Ngga usah dihitung lagi, ya?" "Terserah..," jawab Yardin sambil menahan senyum dan menciumi bahu Rima di balik jaketnya. "Cium, dong ..," desah Rima. Yardin mengangkat mukanya dari bahu gadis itu dan mulai mencium bibirnya, tetapi.. "Bukan cium bibir..," sergah Rima setelah membiarkan pemuda itu sejenak mengulumnya. e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 29 "Oh!.. cium yang itu. Sorry!" kata Yardin sambil melepaskan ciumannya, lalu menelusupkan kepalanya ke bawah, ke balik jaket Rima. Gadis itu melihat ke sekeliling. Beberapa pendaki tampak asyik bernyanyi-nyanyi di sekitar api unggun. Ada juga yang sudah bersiap tidur meringkuk di sleeping bag. Tidak ada yang melihat ke arah batu tempat mereka bercumbu. Maka dengan hati-hati Rima mengangkat kaosnya dan melebarkan jaketnya untuk menyembunyikan kepala Yardin. Kalau ada orang menengok ke arah mereka, dan kalau pemandangan tak terhalang bayang-bayang, maka akan terlihat Rima seperti sedang memeluk sesuatu yang terbungkus jaket! Begitu Yardin mulai mencium dan menjilat dan mengulum puncak payudaranya, Rima terpejam nikmat sambil menggeliat dan memeluk erat-erat pemuda itu ke dadanya. Ia bersandar ke batu di belakangnya, membiarkan tubuhnya seperti tersiram air hangat dari ujung rambut sampai ujung jempol kakinya. Nafasnya mulai memburu, apalagi Yardin kadang-kadang menyedot dan menggigit-gigit kecil. Setiap kali pula Yardin melingkar-lingkarkan lidahnya di pangkal puting susunya yang sudah basah itu. Sebuah getaran halus mulai terbentuk di selangkangannya, dan Rima pun merenggangkan kakinya. Yardin merasakan Rima bergerak-gerak gelisah. Ia menelusupkan satu tangannya ke bawah, menerobos celana jeans yang membungkus ketat pinggang gadis itu. Rima menarik nafas dalam-dalam agar perutnya mengempis dan agar tangan pemuda itu bisa menelusup. Yardin pun tak menunda lagi, merasakan telapak tangannya meluncur deras di atas kulit mulus, lalu tiba di balik celana dalam yang hangat. Rima mengerang ketika jari tengah Yardin mulai dengan nakal dan cekatan melakukan gerakan-gerakan mengelus sambil menelusup sambil mengitik. Cepat sekali ia merasakan tubuhnya dipenuhi tanda-tanda orgasme. Seluruh otot tubuhnya menegang. Jantungnya berdegup lima kali lebih cepat. Nafasnya semakin memburu. Pinggulnya terasa penuh. Kewanitaannya terasa geli-gatal-nikmat. Tubuhnya bergetar seperti mobil yang dilarikan kencang tetapi dengan persneling rendah. Sejenak sebelum dirinya terlena dalam perjalanan menuju orgasme, Rima teringat bahwa pemuda itu belum mendapat imbalan atas gairah yang dibangkitkan di tubuhnya. Betapa egoisnya aku, desah gadis itu dalam hati, lalu mulai menelusupkan tangannya ke bawah perut Yardin. Ia menemukan kejantanan pemuda itu telah menegang-menegak meminta perhatian. Dengan konsentrasi yang terbagi antara menikmati dan memberikan kenikmatan, Rima pun mulai mengelus, meremas, mengurut. Yardin mengerang tanpa melepaskan ciuman dan kulumannya di dada Rima. Sejalan dengan malam yang bertambah kelam, percumbuan mereka pun semakin bergairah. Gerakan-gerakan mereka semakin cepat, berpadu serasi dan tetap dalam kurungan jaket besar dan terlindung bayang-bayang batu besar. Rima menjepit tangan Yardin ketika orgasmenya datang tanpa bisa ditahan lagi. Pada saat yang sama, ia mempercepat gosokan tangannya di balik jeans pemuda itu. Yardin mengerang-erang, dan menyedot payudara gadis itu seperti seorang bayi yang kehausan. Rima menahan erangannya dengan susah payah, melentingkan tubuhnya, meregang dan meregang.... "Oooh!" sebuah jeritan kecil tak bisa tertahan keluar dari mulut Rima. "Uuuh!" Yardin juga mengerang keras ketika ejakulasi yang amat kuat menyentak tubuhnya seperti orang kena setrum 1000 volt. Salah seorang pendaki samar-samar mendengar jeritan itu di antara nyanyian teman-temannya. Ia menengok ke arah sumber suara, tetapi cuma melihat sebuah batu besar dan kegelapan di sekitarnya. Ia mengernyit, mencoba menembus gelap, tetapi gagal melihat apa-apa. "Paling-paling si Rima dan si Yardin...," ujar salah seorang pendaki yang sedang meringkuk di dalam sleeping bag ketika melihat temannya celingukan "Ngapain mereka?" kata pendaki yang masih mencoba-coba mengintip dalam gelap itu. "Main petak umpet" sahut yang di dalam sleeping bag sambil tertawa. Pendaki yang tadi mendengar erangan Rima dan Yardin menggeleng-gelengkan kepala sambil berucap pelan, "Asal jangan gituan. Nanti kita semua kuwalat." Dari dalam sleeping bag, temannya menyahuti sambil menahan tawa, "Jangan kuatir. Paling-paling cuma senggolsenggolan." Temannya ikut menahan tawa sambil mengeluh, "Kapan aku dapat pasangan untuk senggol-senggolan?" "Kamu harus lebih sering mandi pagi, baru dapet!" sergah temannya sambil tertawa tergelak. ****** Satu hal yang membuat Rima sendiri heran adalah kenyataan bahwa walaupun pacarnya berganti-ganti setiap tahun, ia tetap bisa mempertahankan kegadisannya. Ia selalu bisa menolak -kadang-kadang dengan kasar- kalau ada lelaki yang mengajak bercumbu lebih jauh. Ia menikmati rabaan dan kelitikan di mana saja di tubuhnya, tetapi ia menolak setiap e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20030 0 kali pacarnya mencoba all in. Setiap kali pacarnya sudah siap melanjutkan percumbuan secara maksimal, Rima teringat Ayah dan sebentuk rasa benci segera menyelinap. Maka, setiap kali pula gairah gadis itu seperti api disiram air es. Langsung padam. Percuma ia dibekali pil anti hamil atau sekotak kondom oleh kakaknya yang tertua. Ia tidak pernah memakainya, karena merasa tidak memerlukannya. Ia menikmati seks, tetapi tidak punya cukup alasan untuk bersetubuh. Baginya, bersetubuh akan menimbulkan persoalan besar. Kenapa? Karena setiap kali gairahnya sedang memuncak, dan setiap kali ia juga sebenarnya ingin melanjutkan percumbuan ke jenjang tertinggi, selalu terbayang peristiwa itu... Waktu itu ia baru berusia 15 tahun. Sepulang sekolah yang lebih awal dari biasanya, Rima menemukan rumah dalam keadaan kosong, tetapi pintu tak terkunci. Ia heran, tetapi tanpa wasyangka langsung masuk dan menuju dapur untuk minum. Ia memang haus. Bibi Iyem tidak ada, mungkin sedang mengambil jemuran. Mobil BMW Ayah ada di halaman, tetapi Pak Ujang supirnya tidak kelihatan, mungkin sedang tidur-tiduran di gardu jaga. Setelah minum, Rima melangkah ringan ke tangga menuju lantai dua. Rumah mereka besar sekali dengan 7 kamar dan sebuah ruang keluarga yang luas. Dari ruang keluarga ini ada tangga melingkar ke atas. Kamar tidur Rima ada di lantai dua itu, di sebelah kamar tidur Ibu, yakni sebuah kamar besar yang dibiarkan kosong sejak Ibu meninggal. Menurut Ayah, kamar itu dulunya kamar tidur utama. Kini kamar itu terlalu banyak meninggalkan kenangan tentang Ibu, sehingga Ayah pindah tidur di kamar di bawah. Rima merawat kamar itu, seakan-akan Ibu masih ada. Sambil menggumamkan lagu kesayangannya, gadis itu melangkah ringan ke kamarnya. Tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar erangan dan rintihan dari kamar sebelah. Sambil mengernyitkan dahi karena keheranan, Rima bersijingkat menuju pintu yang tampaknya tidak tertutup dengan baik. Dengan satu tangan ia mendorong pintu itu, dan apa yang terlihat membuatnya terkesiap. Di situ, di ranjang besar yang jarang ditiduri itu, terlihat Ayah sedang menggumuli seorang wanita muda yang telanjang bulat. Erangan dan rintihan datang dari wanita itu. Tubuh Ayah juga telanjang dan berpeluh bergerak naik turun penuh energi. Mereka berdua rupanya sedang dalam puncak birahi, sehingga sama sekali tak tahu ada Rima yang berdiri tertegun di pintu. Segalanya terlihat jelas oleh Rima. Pemandangan itu sangat memukul perasaan si gadis remaja. Hatinya hancur luluh menyadari bahwa Ibu ternyata telah tersingkir jauh dari kehidupan Ayah. Sulit baginya untuk mengerti, mengapa Ayah harus melakukan kegiatan menjijikkan itu di ranjang Ibu. Mengapa ia sanggup melakukannya di bawah foto besar Ibu, di atas seprai putih yang digantinya setiap minggu? Sejak saat itu, persetubuhan sepasang manusia punya konotasi buruk di benak Rima. Tetapi, akibat pergaulannya, Rima juga tahu bahwa seks itu memberikan kenikmatan. Apalagi kakak-kakaknya sangat liberal, dan membiarkan Rima menonton koleksi video porno mereka. Rima menonton berbagai adegan di layar kaca sejak SMP, tetapi melihat Ayah melakukannya di ranjang Ibu, gadis ini jadi benci pada persetubuhan. Kontradiksi inilah yang terbawa sampai sekarang, membuat hidup Rima juga penuh ironi dan paradoks. Rima adalah gadis tegar dan cerdas walaupun tidak menolak minum bir sampai mabuk, atau dibawa ke tempat gelap untuk dicumbu. Ia bisa punya kharisma, dan tidak sembarangan pria bisa menjadi pacarnya. Ia sekaligus seorang pemilih, seorang yang choosy, tetapi juga seorang yang setia kepada sahabat-sahabat prianya. Ia bisa terpesona sampai ke tulang sum-sum pada seorang pria (salah satunya Kino), tetapi juga bisa berang dan menghujat pria (salah satunya adalah Ayahnya). Kekontrasan pun berlanjut di segala aspek: Ia anak orang kaya karena Ayah adalah seorang pengusaha sukses, tetapi pakaiannya sederhana dan hidupnya sama sederhana dengan mahasiswa semacam Kino yang datang dari kota kecil. Ia bisa bergaul dengan yuppies di berbagai night club di ibukota, tetapi tak juga malu makan di warung kecil di seberang kampus. ****** Lalu tentang Kino. Kalau kini ia marah besar kepadanya, itu adalah karena ia tak sanggup melihat pemuda itu terlibat dalam penghianatan seorang istri. Bagi Rima, penghianatan dalam perkawinan adalah sebuah kesalahan besar. Rima tak mau menerima apa pun alasan seseorang berhianat kepada perkawinan. Kehilangan Ibu dan punya Ayah yang amburadul membuat gadis ini mendamba keutuhan keluarga. Ia tak rela ketika tahu Kino memacari istri orang, karena ia ingin pemuda itu tetap menjadi panutannya. Dengan getir, Rima menyadari, harapan itu semakin pupus. Dengan getir, Rima sadar bahwa ia mungkin harus terus mendaki untuk mencari ketinggian yang paling melegakan. Maka ia pun terus mendaki dan mendaki lagi. Gunung demi gunung ditaklukkannya. Puncak demi puncak didudukinya. Setiap kali hatinya gundah, ia akan mencari gunung untuk didaki. Setiap kali mencapai puncak gunung, ia mendapatkan kelegaan di sana, tetapi setiap kali pula ia harus turun ke dunia yang hiruk-pikuk. Malam itu, ketika Rima mendengar kabar kecelakaan yang dialami Kino, ia terkesiap dan mengeluh dalam hati, "Mampukah aku mendaki gunung yang satu ini?"