dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 :: Mata Elang : Chapter 1 “Pelajaran kosong”. Tanyakan pada pelajar SMA manapun, kata-kata ini nilainya tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada “batal ulangan” sekalipun. Mungkin kata-kata yang bisa menandingi nilai “pelajaran kosong” hanyalah “dua jam pelajaran kosong”. Itulah sebabnya suasana kelas hari ini ramai sekali. Keramaian ini dimulai saat mereka mendengar bahwa guru biologi, Bu Tanti, tidak bisa mengajar hari ini karena sakit. Itu berarti, dua pelajaran penuh, dua kali 45 menit, mereka bebas dari pengawasan guru. Guru-guru yang lain sibuk mengajar. Bu Tanti memberikan tugas meringkas dua bab dari buku diktat. Tapi rasanya murid-murid tidak ada yang menganggap penting tugas itu sekarang. Yang penting sekarang adalah pelajaran kosong, dan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. ”Kalian bisa diam, tidak?” tiba-tiba saja Bu Mirna, yang sedang mengajar ekonomi di kelas sebelah, masuk ke dalam kelas. Murid-murid cepat-cepat kembali ke tempat duduknya masing-masing. Bertepatan dengan itu, Pak Yusril, kepala sekolah SMA Antonius mengetuk pintu kelas. “Terima kasih, Bu Mirna. Saya akan jaga di kelas ini,” kata Pak Yusril. Ada seorang laki-laki yang membuntutinya. “Anak-anak, ini Pandu. Mulai hari ini dia akan menjadi anggota kelas 2C ini. Tolong perlakukan dia dengan baik. Pandu, ceritakan sedikit tentang dirimu sehingga teman-teman barumu bisa mengenalmu lebih baik,” kata Pak Yusril. “Nama saya Pandu. Pandu Prasetya. Saya pindahan dari SMA Mataram di Yogyakarta. Ayah saya polisi, baru saja selesai tugasnya di Yogya, dan dipindah ke Semarang ini. Saya anak bungsu dari 5 bersaudara, kakak saya laki-laki semua. Pasti ada yang bertanya-tanya kenapa ayah saya memberi nama Pandu padahal saya anak bungsu? Kakak-kakak saya semua bernama Pandu. Jadi kalo ada yang naksir saya, mau telepon ke rumah, carinya Pandu Prasetya. Kalo nggak nanti pada bingung Pandu yang mana.” kata Pandu tanpa malu-malu dengan gaya yang ramah dan kocak. “Huh,” gersah Niken yang duduk di samping jendela, “Pe-de benar cowok satu ini. Lagaknya sok ganteng”, batinnya. “Nik, cakep yach tu cowok,” Wulan yang duduk di sebelahnya berbisik. “Cakep apanya, ah?” “Bagaimana sih kamu? Perawakannya tegap, tinggi lagi. Rambutnya keren. Ketahuan lah kalau bapaknya polisi. Matanya seperti mata elang…” bisik Wulan, mulai berandai-andai. “Seperti mata jangkrik.” sahut Niken asal-asalan. “Niken!” panggil Pak Yusril. “Ya Pak!” Mendengar namanya dipanggil, Niken sontak berdiri. “Aduh, jangan-jangan Pak Yusril mendengar percakapanku dengan Wulan?” “Kamu ketua kelas, saya ingin kamu duduk dengan Pandu. Wulan, kamu pindah di samping Arya. Pandu, kamu duduk di samping Niken.” “Baik, Pak.” sahut Wulan dan Pandu hampir bersamaan. “Duh, sial! Kenapa pula si jangkrik itu musti duduk di sebelahku? Benar-benar sial.” gerutu Niken dalam hati sambil duduk kembali. “Kamu beruntung sekali bisa duduk di sebelah si mata elang.” bisik Wulan sebelum berdiri. “Kalau saja aku bisa bertukar tempat dengan kamu sekarang, aku bakal merasa sangat beruntung.” Niken balas berbisik. Dia tidak menyangka Pandu sudah berdiri di sebelahnya. Tapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menebar senyum lalu duduk. “Niken, tugas apa yang diberikan Bu Tanti?” tanya Pak Yusril. “Meringkas bab 3 dan bab 4 dari buku paket, Pak.” jawab Niken. “Bagus. Sekarang kalian duduk manis dan meringkas. Saya akan duduk di sini, menonton kalian meringkas.” kata Pak Yusril sambil duduk di depan, di kursi guru. Anak-anak terlihat kecewa. Hilanglah harapan mereka untuk bersenang-senang selama 2 jam pelajaran. Seandainya saja bukan Pak Yusril, sedikit-banyak mereka pasti protes. Mereka sangat menghormati Pak Yusril. Bukan karena dia galak, melainkan justru karena Pak Yusril tidak pernah marah, tapi penuh wibawa. Jadi sekarang mereka terpaksa diam dan meringkas. “Niken, aku boleh ikut lihat buku diktatnya? Aku belum punya buku itu.” tanya Pandu. Niken berpikir sejenak, lalu menjawab, “Nih, pinjam saja. Aku sudah selesai meringkas. Kemarin malam aku nggak ada kerjaan, jadi aku sudah meringkas separuh. Pas anak-anak ramai tadi aku terusin meringkas yang separuhnya. Jadi kamu boleh pinjam, nih,” kata Niken sambil mendorongkan buku itu ke arah Pandu. Sebetulnya Niken belum selesai, kurang satu sub-bab lagi, tapi dia malas sharing satu buku dengan Pandu. Lagipula Pandu perlu mulai dari awal, sedangkan Niken sudah hampir selesai, tinggal halaman terakhir. “Terima kasih,” kata Pandu, lalu mulai menulis. Niken mengambil buku kecil dari tasnya, menyobek secarik kertas dari situ, lalu sibuk menulis pula. “Kamu lantas menulis apa?” bisik Pandu. Niken diam saja. Malas dia menjawab cowok yang satu ini. “Niken?” “Bukan urusanmu. Kamu meringkas saja, sana…” “Iiih… galaknya nona ketua kelas.” kata Pandu, lalu meneruskan ringkasannya. Diam-diam Pandu mencoba membaca yang Niken tulis. Cuma ingin tahu saja. Sekilas empat baris terbaca. Berat memikul dunia Malu menyandang nama Iblis bertopeng cinta Maut perangkap asmara Pandu tercenung. Pandu bisa melihat gadis yang satu ini sangat berbeda dari gadis kebanyakan. Sorot matanya tajam. Dia terlihat begitu cerdas dan dapat dipastikan dia penuh percaya diri. Ketua kelas pula. Makhluk hidup dari mana pula ini? Pandu bertekad untuk mengetahui lebih banyak tentang gadis misterius yang galak tapi teramat manis ini. * Berkat kelincahannya dalam bermain basket, sebentar saja Pandu mendapat banyak teman. Cewek-cewek juga sering berlama-lama di dekat Pandu, maklum, Pandu memang ganteng dan gagah. Niken yang duduk di sebelahnya jadi enggan tinggal di kelas tiap jam istirahat. Karena tiap istirahat, mejanya pasti dikerumuni banyak cewek ceriwis dan centil. Niken lebih suka ngobrol dengan Wulan di kantin. Di pihak lain, Pandu sudah berhasil mendapatkan banyak informasi tentang Niken. Tidak sulit untuk memperoleh keterangan sebanyak mungkin, karena hampir semua orang mengenal Niken. Niken yang manis, Niken yang galak, Niken yang pandai dan selalu menjadi juara kelas. Keterlibatannya di organisasi sekolah juga sangat besar. Boleh dibilang, Niken adalah orang nomer satu se-angkatan. Selain cerdas, Niken rupanya juga pandai bergaul. Pergaulannya cukup luas. Pantas saja semua orang mengenalnya. Dari cowok yang berkacamata tebal yang selalu menyibukkan diri di laboratorium fisika, sampai cowok gondrong yang kerjaannya tiap hari hanya menenteng-nenteng gitarnya, mereka semua kenal Niken. Kesan yang didapat dari masing-masing pun sangat baik terhadap Niken. Teman ceweknya pun banyak, bahkan cewek-cewek itu sengaja membuntuti dan meniru-niru Niken ke mana-mana. Singkat cerita, Niken itu benar-benar idola di kalangan murid-murid. Nilai sempurna diberikannya untuk Niken, karena disamping semua kelebihan di atas, sahabat Niken yang paling dekat, Wulan, adalah anak pembantu rumah tangga. Ini cukup menarik, mengingat Niken itu anak konglomerat. Papanya yang keturunan Cina, pemegang saham cukup tinggi di Pertamina, perusahaan minyak nasional di Indonesia. Selain itu, papanya adalah direktur dari bermacam-macam perusahaan besar di berbagai tempat di Jawa. Benarbenar gadis yang beruntung. Rumahnya megah, seperti Gedung Putih. Di kawasan elite pula. Menurut anak-anak yang sudah pernah ke rumahnya, rumah Niken itu seandainya nasi goreng, komplit pake telor. Ada fasilitas gym’nya, ada kolam renang, sauna, ruang karaoke, ruang bilyar, lapangan tenis, wah, pokoknya katanya segala ada deh. Meski sudah mengetahui banyak tentang Niken, tetap saja dia terlihat misterius. Misalnya, konon sampai sekarang ini Niken belum pernah pacaran. Ini sangat aneh, mengingat Pandu banyak mendengar pengakuan bisik-bisik dari teman-teman cowoknya, kalo mereka naksir Niken. Tak satupun dari mereka yang berhasil mengambil hatinya. Apa dia tidak doyan cowok? Rasanya koq tidak mungkin. Empat baris puisi yang sekilas dilihatnya senantiasa terbayangbayang di ingatannya. Niken bicara tentang asmara di puisinya. Jadi dia pasti pernah jatuh cinta, Pandu menyimpulkan. Tapi dengan siapa? Di mana dia sekarang? Puisi itu sendiri begitu misterius, susah menyimpulkan begitu saja dari empat baris puisi itu. “Aku harus berhasil mendapatkan kertas kecil itu, itu satu-satunya cara untuk mengetahui lebih banyak tentang Niken.” * Sepi… Kau, mungkin telah membusuk Tapi tidak lebih busuk dari si busuk penyamun itu Suci cintamu Pedih deritamu Berat memikul dunia Malu menyandang nama Iblis bertopeng cinta Maut perangkap asmara Kau, tinggal kenangan Pahit kekecewaan Memberi seribu teladan Kau, mewangi sepanjang hari Mekar di dalam hati “Huh?! Tetap saja tidak mengerti.” keluh Pandu. Dia berhasil mencuri lihat buku mungil itu dari tas Niken. Dibacanya berulang kali. Tetap saja penuh misteri. Siapa yang dimaksud ‘penyamun’ itu? Siapa yang tinggal di hatinya? “Ah, benar-benar bikin penasaran cewek yang satu ini,” gumamnya, sambil meletakkan kertas itu di atas meja. Budi, teman sekelas, sekaligus teman main basketnya, menepuk pundaknya. “Hey, Ndu! Tumben kamu enggak dikerumuni cewek hari ini? Macam James Bond saja kamu.” “Tadi aku bilang sama mereka, aku belum buat pe-er. Jadi mereka menyingkir.” “Apaan nich?” tanya Budi mengambil kertas itu dari meja. “Eh… jangan…” cegah Pandu. Tapi terlambat. Secarik kertas itu sudah berada di tangan Budi. “Ini tulisan tangan si Niken, kan?” Budi mengenali tulisan Niken. Pandu diam saja. “Iya niiiih… Wah Niken bisa puitis juga, yach?” kata Budi sambil tertawa. Lalu membacanya keras-keras. Teman-teman yang lain tertarik, lalu mulai berkerumun di situ. Budi bak seorang penyair, berdiri atas meja Niken dan mulai membaca puisinya, berulangulang. Bel tanda istirahat selesai sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, tapi anak-anak masih berkerumun di sekitar situ sambil tertawa-tawa melihat gaya Budi yang kocak. Niken yang hendak masuk kelas cuma bisa berdiri kaku di depan pintu. Malu sekali rasanya. Dengan mata geram ditatapnya Budi lekat-lekat. Yang lain berhenti tertawa, dan bubar jalan, menyadari Niken sudah berada di situ. Budi pelan-pelan turun dari atas meja, lalu mengembalikan kertas itu pada Pandu, sambil tersenyum, “Terima kasih, kamu benar-benar ahli bikin ketawa.” Niken tidak berkata apa-apa waktu duduk. Pandu tak sanggup menatap wajahnya. Dingin sekali tatapan matanya. Tapi dia merasa harus meminta maaf. Biar bagaimana kejadian tadi gara-gara dia. “Sorry, Niken. Aku nggak berniat…” “Sudah puas kamu sekarang?” serobot Niken. Percakapan mereka terhenti karena Bu Santi, guru matematika, sudah masuk ke kelas. Pandu sempat melihat setitik air mata di sudut mata Niken. Dia menyesal sekali. Niken, di lain pihak, cuma satu kata yang ada di otaknya sekarang. “Perang!” * Siang itu juga, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Pandu berusaha menjelaskan apa yang terjadi. “Niken, aku serius tidak memberikan kertas itu pada Budi. Sumpah! Memang aku yang mengambil kertas itu dari tasmu, tapi itu cuma untuk memuaskan rasa ingin tahuku saja. Aku memang salah, aku seharusnya mencegah Budi membaca puisi itu. Maafin aku, ya?” kata Pandu tulus. “Kalau tujuanmu ingin mempermalukan aku, kenapa pakai menyewa Budi sebagai aktor? Kenapa nggak kamu lakukan sendiri?” jawab Niken sinis, sambil memberesi buku-bukunya dari laci. “Sudah kubilang, aku sama sekali nggak berniat mempermalukan kamu. Aku cuma ingin baca, terus aku kembalikan lagi. Budi datang pada saat yang salah.” “Jadi kamu menimpakan kesalahan padanya? Nol rasa tanggung jawabmu, ya? Bapakmu yang polisi pasti bangga.” Pandu menelan ludahnya. “Maafkan aku, Niken. Aku memang salah. Aku tapi sama sekali nggak bermaksud untuk bikin kamu malu. Sumpah! Lagipula, kenapa kamu mesti marahmarah begini, sih? Puisi kamu itu bagus sekali lho… Kenapa kamu mesti malu?” “Aku nggak butuh penilaianmu. Terserah aku dong mau marah atau bangga. Sekarang ini aku malu dan marah. Kamu mau apa?” “Ya sudah, ya sudah… Maaf dong…” Niken merengut. “Permisi, aku musti pulang sekarang.” katanya kemudian, karena Pandu masih duduk di sebelahnya, menghalangi jalan keluarnya. Pandu berdiri dan mempersilahkannya untuk lewat. Niken bergegas keluar menenteng tasnya. Pandu mengejarnya. “Sudah dimaafin belum nich aku?” teriaknya. Niken berlari menjauh, ke arah pintu gerbang luar. Malas meladeninya. Cowok sialan. Serasa ingin menangis kalo mengingat kejadian yang tadi. Benar-benar memalukan. Puisi tadi adalah ungkapan isi hatinya. Bagaimana dia tidak marah? Enak saja Pandu bilang kenapa mesti malu. Niken tidak pernah mengungkapkan emosinya pada orang-orang, jadi ini adalah pengalaman pertamanya. Ya gara-gara si mata jangkrik itu. “Suatu saat pasti aku balas!” janji Niken pada diri sendiri. * Untuk melakukan aksi balas dendamnya, Niken harus menggali lebih dalam tentang cowok yang dibencinya itu. Agak susah, karena dia anak baru pindahan dari luar kota, tidak banyak orang yang mengenalnya dengan dekat. Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari anak-anak basket dan cewek-cewek yang sering mengerumuninya, Pandu yang orang Jawa asli itu tinggal di rumah kontrakan di daerah Manyaran. Jabatan ayahnya di Polri tidak begitu tinggi, jadi ibunya harus ikut menopang keluarga dengan membuka usaha jahit pakaian. Kakaknya empat orang, laki-laki semua. Tapi hanya Pandu yang masih tinggal bersama orang-tuanya. Hidupnya penuh kesederhanaan, tapi kelihatannya bahagia. Kemana-mana Pandu naik sepeda bututnya. Selain main basket, dia hobi main piano rupanya. Cuma itu keterangan yang berhasil didapatnya dalam waktu singkat. Kurang kuat untuk melancarkan aksi balas dendam. Niken harus mengetahui lebih banyak tentang pribadinya. After all, this is a personal war! Maka dari itu, Niken mengurungkan niatnya untuk pindah tempat duduk. Dengan duduk di sebelah Pandu, semakin mudah menyusun siasat untuk balas dendam, bukan? Tapi ke mana anak itu hari ini? Ini sudah jam tujuh kurang tiga menit. Bel pertama sudah bunyi dua menit yang lalu. 3 menit lagi pelajaran mulai. Pandu biasanya tidak pernah terlambat. Tuh, bel sudah berbunyi lagi. Kemana dia? Mata Niken jelalatan ke luar kelas mencari sesosok Pandu. Bu Tanti sudah masuk kelas, langsung memperingatkan murid-murid untuk menyusun buku catatannya, karena ringkasan mereka akan diperiksa. Beberapa anak panik mencari buku catatannya di dalam tas dan di laci. Beberapa lemas karena belum selesai meringkas. Yang nekad langsung antri lapor tidak membawa buku. Niken tenang-tenang saja. Ringkasannya sudah selesai dua hari yang lalu. Malah dia sudah mulai meringkas bab berikutnya. Niken melongok ke arah luar jendela. Itu dia si mata jangkrik! Dia dihukum lari keliling lapangan tengah karena terlambat. “Hihi.. sukurin.” “Maaf Bu, saya terlambat.” kata Pandu saat masuk kelas. “Kamu anak baru, ya?” “Betul, Bu. Saya Pandu.” “Baiklah, Pandu. Silahkan duduk. Kamu sudah selesai meringkas? Bawa kemari buku catatanmu.” “Sudah, Bu.” Pandu lalu mencari-cari buku catatan biologi dari tas kumalnya, lalu diletakkan di atas tumpukan buku di meja guru. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Niken, iseng. “Bukan urusanmu.” jawab Pandu singkat. “Iiih… galaknya. Ya sudah. Aku kan tanya baik-baik.” “Aku musti mengantar ibu beli kain di pasar. Biasanya juga begitu sih, tapi tadi sial, ban sepedaku kena paku di tengah jalan dari rumah kemari. Makanya lama. Kamu tumben tanyatanya?” Pandu heran. Selama ini Niken jarang buka mulut. Paling-paling cuma bilang permisi kalau mau lewat. “Nggak boleh tanya-tanya?” “Boleh, tapi nanti yah. Soalnya Bu Tanti meperhatikan kamu terus tuh.” bisik Pandu menunjuk ke arah depan. Oh, baik juga dia, memperingatkan dia sebelum Bu Tanti menyemprotnya. Juga mengantar ibunya ke pasar sampai rela terlambat. Tapi itu tak cukup untuk mengurangi rasa bencinya. * “Jadi, kamu setiap hari mengantar ibumu ke pasar?” tanya Niken penuh selidik. Ini jam istirahat, jadi dia bebas bertanya sekarang. “Nggak. Cuma kalo ibu dapet orderan aja.” “Pagi, Niken,” Jimmy mengagetkannya dari jendela. “Nih aku beliin sate telor dari kantin buat kamu,” “Aku nggak lapar.” jawab Niken singkat. “Aku punya aqua juga.” tawar Jimmy sambil mengacungkan segelas aqua. “Enggak haus.” Merasa kehadirannya tidak diinginkan, Jimmy pun berlalu. “Jimmy itu anak 2A kan?” tanya Pandu hati-hati, takut kalau macan betina ini mengaum lagi seperti hari itu. “He eh.” “Kamu koq ketus amat sama dia?” “Aku nggak akan ketus sama dia kalau dia tidak berniat mau pacarin aku. Dia terang-terangan bilang suka sama aku seminggu yang lalu.” “Kenapa? Nggak suka sama dia?” “Aku nggak ada niat untuk pacaran. Aku nggak punya waktu buat semua itu.” “Trus, kenapa kamu mesti ketus sama dia?” Pandu masih tidak mengerti. “Karena dia tidak mau menyerah. Kalau aku bersikap baik-baik sama dia, nanti aku dikiranya memberi angin. Blo’on bener sih kamu?” “Oooh… Kamu nggak boleh atau nggak ingin pacaran?” “Nggak boleh?? Maksudmu?” “Nggak boleh sama ortu,… biasanya anak cewek kan nggak boleh pacaran sama ortunya.” “Itu juga sih. Tapi aku memang sama sekali nggak ada keinginan untuk pacaran. Apalagi sama Jimmy.” “Apa sih jeleknya Jimmy?” pancing Pandu. ”Okay, Pandu. Kamu benar-benar usil deh. Rasa ingin tahumu itu benar-benar segede gajah.” Pandu ketawa. “Baiklah. Aku nggak akan tanya-tanya lagi tentang Jimmy.” lanjutnya. Pandu membesarkan hatinya, “Pelan-pelan aku pasti bisa mengerti. Sabar…” Niken gantian bertanya, “Ganti topik. Yang agak asyik sedikit. Mmmm… Siapa tokoh idolamu?” “Wah, pertanyaanmu seperti pertanyaan buat finalis kontestan Miss World deh.” Pandu ketawa lagi. “Okay, biasanya kalo aku bilang nama tokoh idolaku, orang-orang pasti bilang ‘Siapa?’, jadi aku bilang Ibu Teresa saja.” “Jadi siapa sebenarnya tokoh idolamu itu? Pamela Lee Anderson?” goda Niken. “Kamu bisa becanda juga ternyata.” Pandu terheran-heran. Niken tersenyum. “Oh, ternyata dia manis sekali kalau tersenyum.” batin Pandu. “Siapa dong?” desak Niken lagi. “Sun Tzu”. “Siapa?” kata Niken, bercanda. Tentu saja dia tau siapa Sun Tzu, karena Sun Tzu juga salah satu idolanya. “Tuh kan…” kata Pandu lagi. “Sun Tzu Wu, jendral Cina yang mengarang Ping Fa, seni siasat perang Cina itu? Atau kamu kenal Sun Tzu yang laen?” tanya Niken iseng. “Jadi kamu tahu Sun Tzu?” Pandu terheran-heran. “Kamu heran? Aku yang seharusnya lebih heran. Kamu koq bisa kenal Sun Tzu? Satu, tampang kamu enggak ada Chinesenya sama sekali. Nggak sipit seperti aku. Rasanya lebih wajar kalo aku lebih tahu tentang Sun Tzu daripada kamu.” jawab Niken geli. “Tidak ada orang yang tahu tentang pribadi Sun Tzu, karena dia sangat misterius. Seperti yang dilukiskan dalam kutipan yang terkenal dari bukunya, ‘Bergeraklah samar sehingga kau tak kasat mata. Selimuti dirimu dengan misteri sehingga kau tak tersentuh…’” Pandu belum sempat menyelesaikan kutipannya, Niken sudah menyeletuk. “Maka digenggamanmulah nasib lawan-lawanmu.” “Kamu?!…” Pandu terperanjat. “Jadi kamu bener-bener tau Sun Tzu?” “Eeeh… dibilangin… Aku juga lagi heran tentang hal yang sama. Aku sih punya bukunya, ‘The art of war’, dalam bahasa Inggris. Sudah aku lalap habis. Dari mana kamu tahu tentang dia?” “Aku nggak sengaja pinjam bukunya di perpustakaan waktu masih SMP. Buku itu benar-benar bagus. Aku baca terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sih. Judulnya Falsafah Perang Sun Tzu. Karena bagus sekali sampai aku fotocopy lho…” Pandu mengaku. “Kalau kamu memang suka, besok aku bisa bawakan bukuku. Kamu boleh pinjam kalu mau. Asal kamu nggak keberatan baca buku berbahasa Inggris.” “Wah, terima kasih sekali, Niken. Baru kali ini ada orang yang bisa menanggapi omonganku tentang Sun Tzu.” “Sama, aku sendiri sengaja nggak pernah bilang-bilang kalo suka Sun Tzu, takut dikira licik, padahal memang iya!” jawab Niken tergelak-gelak. Pandu melihat kilau indah di mata Niken saat Niken tertawa. Gadis ini benar-benar mempesonanya. Nilai plus lagi untuk pengetahuannya tentang Sun Tzu. Kalau dihitung-hitung, berapa nilai Niken sekarang ya? Dalam skala satu sampai sepuluh, mungkin sudah sebelas nilainya. “Kamu sendiri, selain Sun Tzu, siapa tokoh idolamu?” gantian Pandu yang tanya. “Ya Sun Tzu itu doang.” jawab Niken, seperti menutup-nutupi sesuatu. Pandu mendesak, “Ayo dong, aku sudah jujur sama kamu tadi. Gantian dong…” Niken menggeleng. Untung saja bel segera berbunyi. Pak Heri, guru bahasa Indonesia, sudah berdiri di depan pintu. Pandu buru-buru menyobek kertas dari buku tulisnya, “Dilanjutin nanti pulang sekolah yah!” Niken merebut kertas itu dari tangan Pandu, lalu menulis, “Nggak ada yang perlu dilanjutin.” Pandu mengambil kertas itu kembali ke tangannya, “Please, tinggal sebentar siang ini di kelas.” Belum sempat Niken mengambil kertas itu kembali, tiba-tiba kertas itu sudah diserobot seseorang dari belakang. dari belakang. Keduanya terperanjat. Pak Heri! Guru yang terkenal killer itu membaca yang baru saja ditulis Niken dan Pandu. “Kalian berdua, nanti pulang sekolah tinggal di kelas selama satu jam.” kata Pak Heri, sambil membuang kertas itu ke tempat sampah. * Jam dua siang. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Pak Heri sudah menunggu di depan pintu kelas 2C. “Pak, maafkan kami.” kata Pandu memelas. “Kamu kan yang ingin bercakap-cakap? Sekarang saya berikan kesempatan sepuas-puasnya, satu jam. Silahkan. Pintu saya tutup. Satu jam dari sekarang, cari saya di ruang guru. Awas kalo berani keluar sebelum satu jam.” jawab Pak Heri sambil menutup pintu. “Sial!” gerutu Niken dalam hati, sambil menghentakkan kakinya ke lantai. “Kamu! Selalu saja cari gara-gara.” tuduh Niken sambil menudingkan jarinya ke arah Pandu. “Hey, jangan bilang begitu. Kita cuma sedang bernasib jelek. Sekarang kita enjoy saja.” “Enjoy bagaimana? Aku baru kali ini dihukum guru. Ini gara-gara kamu.” Niken menggerutu. “Jadi kamu murid alim ya? Ketua kelas, panutan semua orang? Kelihatannya kamu begitu sempurna.” jawab Pandu dengan nada sinis. Niken diam saja. Dia masih jengkel. Dia ada les bahasa Inggris jam setengah 3 siang ini. “Kamu lagi mikir apa?” tanya Pandu. “Aku ada les jam setengah 3. Sekarang aku harus kelaparan sampai jam setengah 4 karena aku mesti les dari jam setengah 3 sampe jam setengah 4. Sudah terlambat les, masih nggak sempat makan dulu. Aku benci kamu.” “Ya sudah… ya sudah… Aku yang salah. Oke? Sekarang pertanyaanku dijawab dong… Siapa tokoh idolamu?” “Sudah kubilang, Sun Tzu. Seandainya saja kamu tadi percaya, ini semua nggak akan terjadi.” Niken menggerutu lagi. “Sayang sekali aku bukan orang yang mudah ditipu. Kamu bisa menipu semua orang, tapi kamu nggak bisa nipu aku.” “Omong kosong apa lagi nich?” “Baiklah kalo kamu memang nggak mau jawab. Aku tanya yang laen. Kamu bilang kamu nggak mau pacaran, tapi kamu menyebut-nyebut tentang asmara di puisi kamu. Apa maksudmu? Berarti kamu pernah jatuh cinta dong?” “Sok tau kamu. Sekadar informasi, orang tidak perlu mengalami untuk menyelami perasaan. Belajar dari pengalaman orang lain itu terkadang lebih baik daripada harus mengalami sendiri.” “Jadi bukan kamu yang jatuh di perangkap cinta?” tanya Pandu, masih penasaran. “Bukan.” “Lalu siapa dong?” “Aku nggak suka kamu tanya-tanya melulu. Aku nggak akan jawab.” kata Niken ketus. “Jadi ini yang kamu dapat setelah baca falsafah perang Sun Tzu? Sok misterius.” sindir Pandu. Niken diam saja. Dia seperti ingin berpegang teguh pada prinsipnya, untuk tidak membuka dirinya, terutama pada orang asing. Berlama-lama mereka mengacuhkan satu sama lain. Pandu sendiri sudah tidak bersemangat lagi untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Gadis yang satu ini benar-benar susah dimengerti. Lama sekali menunggu satu jam usai. Ini bahkan baru lewat sepuluh menit. Pandu mengambil walkman dari tasnya, lalu mulai memutar kasetnya sambil manggutmanggut. “Lagu apa sih?” tanya Niken, memecah kesunyian. Pandu tidak mendengarnya, karena volume walkmannya yang keras. Niken lalu menyenggol kakinya. Pandu melepas salah satu ear piece-nya. “Ada apa lagi?” tanya Pandu. “Lagu apa?” “Ini? Kamu gak bakal suka lah. Ini Metallica, Enter Sandman” kata Pandu. “Aku boleh ikut dengerin?” tanya Niken. Heran, tapi dengan sopan Pandu memberikan ear piece yang dipegangnya ke Niken. Niken ikut menyanyi… Something’s wrong, shut the light Heavy thoughts tonight and they aren’t of snow white Dreams of war, dreams of liars, dreams of dragon’s fire And of things that will bite Sleep with one eye open, gripping your pillow tight… “Heh? Kamu tahu juga lagu ini?” Pandu tak percaya. Setiap tingkah gadis ini benar-benar membuat dia surprise. Niken pura-pura tak mendengar yang barusan Pandu bilang. Dia asyik dengan lagunya. “Hey? Kamu suka Metallica juga?” tanya Pandu lagi, kali ini lebih keras, memastikan Niken mendengarnya. “Kamu akhir-akhir ini sering tanya-tanya ke orang-orang tentang aku kan? Masa’ belum dengar kalo aku itu satu-satunya cewek anggota rock band kampus? Kita sering manggung di acara-acara radio.” Pandu meringis. “Ketahuan deh. Darimana Niken bisa tahu kalau Pandu belakangan ini menyelediki latar belakangnya? Pasti Wulan yang melapor saat Pandu tanya-tanya tentang Niken beberapa waktu yang lalu.” kutuknya dalam hati. “Nggak tuh. Nggak ada yang bilang. Kamu anggota rock band?” Pandu semakin tak percaya. Apa sih yang tidak disukai gadis ini? Niken mengangguk. Dari tadi dia memang sudah mengangguk-angguk mengikuti irama lagu rock itu. “Aku boleh ikut main band?” tanya Pandu. “Aku bisa main key board, kalau kalian masih butuh pemain. Tapi aku nggak punya key board. Aku cuma punya piano usang di rumah.” “Eh, kebetulan kita memang sedang seleksi anggota baru, karena sebagian anggota band sudah kelas tiga, mereka ingin lebih banyak konsentrasi ke pelajaran. Termasuk Ronny, pemain keyboard kita. Kalo kamu emang suka musik rock, kamu boleh ikut seleksi” kata Niken menawarkan dengan gaya profesionalnya. “Kapan seleksinya?” “Rencananya sih minggu depan, hari Selasa abis pulang sekolah.” “Aku pasti datang. Kamu pegang instrumen apa sih?” tanya Pandu. Kali ini dia sudah siap mental dengan apapun jawaban Niken. Dia tak bakal kaget kalau jawabannya ‘bass gitar’ sekalipun. “Drummer. Merangkap backing vocal dan kadang-kadang solo. Tergantung lagunya.” Tuh, kan, benar… harus siap mental. Niken bisa nge-drum juga! “Kamu bisa main musik? Maksudku selain drum.” tanya Pandu lagi. Mengorek keterangan lebih lanjut tak ada salahnya, kan? “Aku bisa main piano, gitar, harmonica, saxophone, trompet.” Nah lho… bisa mati terkejut kalau nggak siap mental. “Wah, Nik, jadi kamu bisa main band seorangan dong? Kamu bisa main bass gitar, melodi gitar, ngedrum, main keyboard, dan vocalist. Bikin solo-band saja, lah.” goda Pandu. “Hey, baru kali ini kamu panggil aku Nik.” kata Niken. “Cuma Wulan yang panggil aku Nik.” “Mama papa kamu manggil apa?” Niken diam sejenak, lalu menjawab, “Niken, dong.” “Bohong. Kamu kenapa sih mesti bohong sama aku?” tanya Pandu. Dia ahli mencium kebohongan, rupanya. “Aku dipanggil Fei Fei di rumah.” Niken mengaku. Pandu tersenyum. Puas dia bisa mengetahui sedikit rahasia Niken. “Koq Fei Fei?” tanya Pandu. “Namaku Niken Tjakrawibawa. Alias Tjan Siang Fei. Awas kamu kalo sampe ada yang tahu tentang ini. Aku harus bunuh kamu.” “Tenang aja. Swear. Aku boleh panggil kamu Fei dong?” tanya Pandu nakal. “Nggak. Yang lain bakal curiga dong.” “Baiklah, kalau sendirian, aku boleh panggil Fei?” tawar Pandu. Setelah berpikir sebentar, Niken mengangguk. “Kamu sendiri? Kamu waktu itu bilang serumah namanya Pandu semua. Nggak kreatif yah ayahmu?” “Bukan begitu. Emang sudah turun-temurun begitu. Ayahku juga Pandu. Kakekku pun juga Pandu. Pandu laen-laen. Aku Pandu Prasetya. Mereka kalo di rumah panggil aku Pras. Tapi di luaran namaku Pandu. Kakak-kakakku juga begitu semua.” “Oh… Enak dong punya kakak cowok semua.” kata Niken, mengambang. “Kata ‘enak’ rasanya terlalu rendah untuk menggambarkan betapa enaknya. Kita kompak, lima bersaudara. Ngirit, juga. Bajuku ya hampir semua baju lungsuran kakak-kakakku. Aku nggak keberatan. Masih bagus-bagus, koq. Tapi mereka di luar kota semua sekarang. Tiga di Yogya, sudah menikah. Satu masih kuliah di Jakarta. Kamu sendiri, punya saudara? Sori, aku belum sempat mendapat keterangan tentang kakak atau adikmu. Researchku belum selesai.” kata Pandu tersenyum. “Aku punya seorang kakak perempuan. Dulu… Sekarang sudah meninggal.” kata Niken menerawang. “Oh… sori… aku tidak bermaksud…” “Nggak papa… Wajar kalo kamu tanya koq.” Mereka terdiam sesaat. Tak tahu harus berkata apa. “Kenapa kakakmu meninggal? Kecelakaan?” tanya Pandu. Dia benar-benar cocok jadi detektif. Pertanyaannya mendetail. Niken diam saja. Mendadak kepalanya jadi pusing, ia lalu memijit-mijit pelipisnya. “Pusing?” tanya Pandu. “Iya.” jawab Niken singkat. “Kamu pasti lapar. Sorry yah gara-gara aku, kamu ikut dihukum Pak Heri.” kata Pandu penuh penyesalan. “Nggak papa. Kamu juga belum makan. Sama kan? Jadi kamu nggak layak mengasihani aku. Soal kakakku…” “Sudahlah,” cegah Pandu. “Nanti kamu tambah pusing.” “Dia meninggal bunuh diri.” lanjut Niken. Pandu terdiam. Sekarang ada titik terang. Berarti puisi Niken itu… Seolah tahu yang dipikirkan Pandu, Niken melanjutkan, “Puisiku, itu tentang cici ku. Dia meninggal tiga tahun yang lalu, saat aku masih kelas 2 SMP. Dia masih kelas 2 SMA waktu itu, seumur aku sekarang. Dia pacaran sama anak pejabat. Sombong sekali tu anak. Aku benci sama dia. Aku masih ingat, hari-hari terakhir sebelum kakak meninggal, dia menangis terus di kamar. Tiap aku dekati selalu marah-marah. Baru setelah dia meninggal aku baru tahu, ternyata dia hamil, dan cowok bangsat itu tidak mau mengakui perbuatannya. Sejak itu aku berjanji tidak akan jatuh cinta, nggak akan pacaran. Papa malah punya ide bagus. Dia bilang, kalau sudah saatnya aku menikah nanti, dia akan mencarikan jodoh untukku. Aku setuju saja. Itu lebih baik daripada pacaran.” Kali ini Pandu betul-betul terperanjat. Benar-benar kaget. Ear piece yang di telinga kirinya dilepas. Walkmannya dimatiin. Ini kasus berat, pikirnya. “Kamu tau, nggak semua cowok itu jahat.” Tidak ada yang bisa dia bilang kecuali itu. “Aku nggak percaya itu. Kak Tasya bukan cewek yang nakal. Jadi dia pasti benar-benar jatuh cinta, sampai seperti itu. Aku nggak mau jadi seperti dia. Karena itu aku menghindar setiap ada cowok yang suka sama aku. Jimmy misalnya. Untunglah aku sendiri juga bukan orang yang mudah jatuh cinta. Jadi aku nggak tersiksa, sama sekali.” “Oke lah kalo kamu memang bahagia seperti ini. Aku sendiri nggak bisa memberikan pendapat tentang cinta. Semua kakak-kakakku menikah atas dasar cinta. Aku sih ingin seperti mereka. Tapi aku sendiri belum pernah jatuh cinta. Belum pernah pacaran. Jadi aku nggak bisa memberikan nasehat.” kata Pandu jujur. “Kamu belum pernah pacaran?!” tanya Niken tidak percaya. “Kenapa? Apa susah dipercaya?” “Tentu saja. Kamu tau berapa biji cewek yang nempel kamu kayak perangko? Lebih dari sepuluh. Itu yang jelas-jelas nekad. Yang nggak nekad tapi menyimpan hasrat pun banyak. Aku yakin di Yogya kamu pasti juga punya banyak penggemar.” “Ya memang tuh. Nggak tau kenapa bisa begitu. Kata Ibu itu kutukan.” kata Pandu sambil ketawa lepas. “Kakak-kakakku juga mengalami kutukan yang sama. Tapi Ibu selalu wantiwanti, cinta itu nggak boleh dibuat mainan. Kamu harus bener-bener yakin, baru boleh pacaran. Berhubung aku belum pernah merasa cocok sama satupun dari mereka, yah, aku nggak pernah pacaran.” Niken manggut-manggut. “Ada kutukan lain di keluarga Pandu. Masing-masing kakakku punya cita-cita menikah dengan wanita kaya, untuk mengangkat derajat keluarga. Nggak serius tentu, itu muncul kalo pas lagi waktu bercandaan aja. Ibu yang mewejangi untuk menomersatukan cinta, diatas segalanya. Kekayaan itu tidak menjamin kebahagiaan. Walhasil, kakak-kakakku yang sudah menikah ya menikah dengan gadis biasa-biasa saja. Walaupun mereka dikelilingi gadis-gadis cantik waktu bujangan, gadis yang dinikahi pada akhirnya nggak terlalu cantik. Tapi kakak-kakak iparku itu luar biasa baek dan sabar.” “Jadi seperti apa sih cewek yang kamu idam-idamkan?” “Yang seperti ibuku. Sederhana, sabar, bijaksana… ngg… nggak tau ah, Fei! Nanti kalo aku udah nemu pasti aku kasih tahu.” kata Pandu malu. “Aku sih nggak punya tipe cowok idaman. Rasanya itu bakal ditentuin Papa.” kata Niken. “Aku masih nggak percaya cewek mandiri dan terpelajar seperti kamu masih percaya perjodohan.” sahut Pandu terlihat kecewa. “Tapi aku hargai pendirianmu. Aku ingin berteman denganmu, kalau boleh.” “Kita cocok omong-omongan. Aku merasa klop terutama setelah ngomongin Sun Tzu tadi.” kata Niken tersenyum. “Tapi… terus terang saja aku masih dendam sama kamu karena kejadian puisiku waktu itu.” lanjutnya. “Aku udah minta maaf. Kamu mau apa lagi?” Niken berpikir keras. Lalu tersenyum licik. Niken membisikkan sesuatu ke telinga Pandu. Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya. Niken mengangguk-angguk. Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi tanda tidak setuju. “Ayolah,” kata Niken. “Kamu harus buktikan kalo kamu memang serius dan tulus ingin berteman denganku. Nggak mudah mendapat kepercayaan dariku.” “Baiklah, kalau itu memang harga yang harus aku tebus. Tapi kita berteman mulai saat ini? Tak ada lagi dendam?” tanya Pandu akhirnya. “Janji.” sahut Niken mantap. * Pagi itu, Niken spesial angkut-angkut podium dan microphone ke lapangan tengah. Anak-anak sound system diam saja. Niken kalau sudah ada maunya memang nggak ada yang bisa mencegah. Semua anak berkumpul di lapangan tengah, sambil bertanya-tanya satu sama lain, apa hari ini ada upacara mendadak. Ada apa pula ini? Termasuk guru-guru tidak ada yang tahu. Mereka semua berkumpul di lapangan, seperti prajurit menunggu komando dari jendral. Tiba-tiba Pandu muncul dari kerumunan, menuju ke arah podium. “Test, test… 1, 2, 3.” katanya sambil mengetuk-ngetuk microphone di hadapannya. “Guru-guru dan rekan-rekan sekalian,” lanjutnya, “Yang belum kenal saya, nama saya Pandu Prasetya, dari kelas 2C. Saya ingin membacakan sesuatu yang penting. Buat yang merasa, yah dihayati saja.” Yayangku,… Paras wajahmu, gerak-gerikmu, selalu terbayang di mataku. Kamu membuat aku gelisah tiap malam, tidak bisa tidur. Aku jadi nggak doyan makan garagara mikirin kamu. Yayangku yang manis, aku cinta kamu. Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Aku nggak tau mesti gimana kalo aku nggak lihat wajahmu barang sehari saja. Kau begitu lincah, senyummu begitu menggoda. Suaramu, indah bagaikan tiupan angin malam. Akan aku lakukan apa saja untuk mendapatkan cintamu. Jangan buat aku patah hati. Terimalah segala rasa cintaku. Yang sangat mencintaimu, selamanya. Pandu. Semua tertawa. Terutama anak-anak cowok. Sinting benar ini anak menyatakan cinta di depan umum, tak tahu malu. Walaupun ketawa-ketiwi, harus diakui, gadis-gadis yang berkumpul di situ, termasuk guru-guru wanita, sangat mengharapkan surat itu ditujukan untuk salah satu diantara mereka. Niken ketawa di ujung koridor. Cuma dia yang tahu bahwa surat itu sesungguhnya ditujukan untuk anjing mungil Pandu yang memang bernama Yayang. Walaupun malu setengah mati, Pandu merasa lega. Hari ini dia sudah berdamai dengan gadis yang bakal jadi teman sejatinya. Dia yakin itu. * Berminggu-minggu Pandu mendapat ledekan dari teman-temannya gara-gara proklamasi cintanya itu. Cewek-cewekpun banyak yang nggodain, bertanya-tanya, apakah surat itu ditujukan untuk mereka. Niken puas sekali dengan aksi balas dendamnya. Beberapa gadis jadi mundur teratur, merasa Pandu sudah memilih salah seorang dari mereka. Namun beberapa justru tambah getol mendekati Pandu, termasuk Ratna, cewek cantik dari kelas 1D. Banyak cowok yang mengejarnya, tapi kelihatannya Ratna lebih memilih untuk mendapatkan Pandu. Banyak yang meramalkan, pasangan Pandu-Ratna kalau benar-benar jadi bakal bikin sensasi. Cowoknya cakep, ceweknya cantik kayak bidadari. ‘Princess’, demikian julukan yang diberikan oleh teman-temannya. Sementara itu, nama besar Pandu jadi semakin melejit – walaupun melejitnya diawali dengan tragedi proklamasi cinta, tapi semakin menjadi-jadi setelah Pandu lolos seleksi menjadi anggota band di mana Niken juga bergabung. Penggemarnya jadi bertambah banyak. Termasuk cewek-cewek dari SMA-SMA lain, karena band mereka sering manggung di acaraacara yang diselenggarakan oleh stasiun radio. Seperti hari ini, mereka manggung di pelataran Universitas Diponegoro, sebagai bagian dari acara unjuk band yang diadakan oleh Boss FM. Mereka melakukan tour band ini karena hobi dan untuk cari pengalaman saja. Mumpung masih muda ini. Tinggal satu jam lagi sebelum mereka manggung. Aneh, Niken belum datang. Anak-anak pada gelisah. Mereka tidak bisa tampil tanpa drummer. Apalagi hari ini Niken bakal jadi vocalist utama di salah satu lagu mereka. Hendro, yang pegang melodi gitar, sekaligus penanggung jawab band, berusaha mengontak Niken ke nomer rumahnya, tapi dijawab tidak ada di rumah. Kemana pula anak satu ini? Mendengar Hendro ribut-ribut mencari Niken, Pandu diam-diam menghilang. Lho? Dia berusaha mencari telepon umum. Dia tahu nomer telepon yang ada di kamar Niken. Niken yang kasih. Tapi dia sudah disumpah untuk tidak memberitahukan nomer itu ke siapapun. Cuma Wulan dan Pandu yang tahu. “Fei?” “Pandu, aku sudah tunggu-tunggu telfon kamu dari tadi. Aku nggak bisa keluar. Mama curiga kalau aku mau pergi main band. Aku sudah dilarang dari dulu-dulu, tapi tetep aja nekad. Mama tahu dari Jimmy, sialan bener tu anak pake acara lapor-lapor ke mama segala. Kunci mobilku disita, ada di kamar mama nih. Kamu bisa jemput aku?” Niken sepertinya lega sekali mendengar Pandu meneleponnya. “Jemput kamu? Jemput pake apa?” Pandu bingung. “Kamu kan punya sepeda. Tolong dong, aku nggak enak sama yang laen. Aku kepengen banget manggung hari ini.” desak Niken. “Gimana caranya kamu keluar?” “Ngg… aku bisa keluar lewat jendela. Tepat seperempat jam lagi, aku tunggu kamu di ujung jalan Merdeka, tau kan? Yang ada warung baksonya? Aku bakal ada di sekitar situ. Makanya kamu cepetan jalan sekarang.” “Oke deh. Kamu hati-hati yah…” Jantung Niken berdebar keras. Belum pernah dia mau melarikan diri dari rumah seperti ini. Pelan-pelan dibukanya jendela kamarnya yang menuju ke arah luar. Dengan berhati-hati, kakinya satu per satu keluar dari jendela. “Huh,” gerutunya. “Mau main band saja susah amat!” Dia tidak bisa keluar lewat pintu gerbang, karena satpam selalu jaga di pintu depan, dia bakal ketahuan, dong. Niken harus melompat pagar samping. “Tinggi juga, oi…” katanya dalam hati. Setelah berdoa singkat komat-kamit, Niken mulai memanjat pagar yang tingginya dua kali lipat tingi badannya itu. “Sukses!” serunya dalam hati waktu melompat di atas kedua kakinya di tanah lagi. Lari, Niken! Lari! Belum sampai di ujung jalan, Niken sudah bisa melihat Pandu duduk di atas sepedanya. Lega sekali dia melihat Pandu hari ini. Pandu mengayuh sepedanya ke arah Niken. Niken langsung melompat ke atas boncengannya waktu Pandu mendekat. “Kita nggak punya banyak waktu. Ayo.” ajak Niken. “Kamu nggak pernah bilang kalo kamu nggak diijinin nge-band sama ortu kamu?” tanya Pandu heran. “Wah, dari awal aku memang nggak bilang kalo aku ikut nge-band. Mereka bisa bunuh diri kalo tau aku sudah setahun nge-band.” jawab Niken, masih terengah-engah. “Lantas, kenapa kamu nekad?” “Entahlah. Mungkin karena kutukan. Boleh dibilang aku sebenarnya tipe pemberontak. Aku benar-benar bisa enjoy dan lepas saat main band. Nggak salah, kan? Nggak ngerti deh, kenapa mereka larang-larang aku begitu. Aku tahu mana yang benar, mana yang salah. Menurutku, main band bukan hal yang jelek. Makanya aku tetap lakukan walaupun tahu mereka bakal marah besar.” “Kamu kelihatannya diproteksi ketat sama mama-papa kamu ya?” “Ya. Tapi sebenarnya papa-mama nggak ada di rumah tadi. Tapi rumah dijaga ketat. Persis seperti penjara. Mama pergi sama temannya, nggak tau ke mana, setengah jam yang lalu dia berangkat. Papa sih memang selalu pergi ke luar kota, ngurus bisnis.” “Kamu tau kan kalo kamu boleh telfon aku kapan aja kalo kamu kesepian?” tanya Pandu memastikan. “Tahu, tahu… Cepetan ah, jangan sama ngobrol melulu. Nggak sampai-sampai nanti.” “Kalo gitu, pegangan yang erat. Aku mau ngebut.” kata Pandu seraya mengayuh sepedanya lebih kencang. Niken pegangan di besi boncengan sepeda Pandu. Tapi tetap berasa mau jatuh. Saat benarbenar mau jatuh, Niken meraih pinggang Pandu, dan memegangnya erat-erat. Pandu yang duduk di sadel cuma senyum-senyum saja. “Belum pernah bonceng sepeda yah?” tanya Pandu geli. “Belum. Aku bisa naik sepeda, tapi belum pernah bonceng. Apalagi bonceng orang usil seperti kamu.” “Aku sudah bilang tadi, pegangan yang erat. Kamu malah nggak pegangan koq. Salah sendiri.” “Aku nggak tahu kalau maksud kamu pegangan itu pegangan pinggang kamu.” bela Niken. “Mau pegang apa lagi selain pinggangku?” tanya Pandu tambah geli. Niken diam saja. Dia sudah cukup malu dengan memegang pinggang Pandu. Tapi dengan begitu dia merasa nyaman sekarang, tidak berasa mau jatuh lagi. “Kamu udah sering boncengin cewek yah?” tanya Niken penuh selidik. “Sering sekali.” kata Pandu ketawa. “Siapa aja?” tanya Niken. “Ibuku.” Niken bermaksud menjitak kepala Pandu, kalau saja ia tak berasa mau jatuh lagi karena lepas satu tangan dari pinggang Pandu. Buru-buru didekapnya lagi pinggang Pandu erat-erat. “Sialan kamu Pandu!” teriaknya. * Acara band tadi berlangsung dengan sukses. Mbak Merlina, salah satu penyiar radio Boss FM yang sudah lama Niken kenal yang bilang. Hari ini mereka luber pengunjung, band yang bersedia tampil juga banyak. Tiga jam mendengarkan musik rock benar-benar memuaskan hati. Sekarang ini masalah yang ada buat Niken tinggal bagaimana caranya pulang. Pasti orang rumah sudah pada menyadari bahwa Niken raib dari rumah. Mereka pasti juga sudah lapor ke Mama. Bukan tidak mungkin mama sekarang ada di kamarnya, menunggunya pulang dengan penuh amarah. “Nik, apa kamu bakal nggak nge-band lagi setelah ini?” tanya Pandu. “Nggak dong. Aku cuma harus ekstra hati-hati mulai dari sekarang. Masalahnya sekarang aku harus pulang.” “Aku nggak masalah mengantar kamu pulang, Niken” kata Pandu menjelaskan. “Tapi kamu mesti siap mental dimarahin. Walaupun seharusnya kamu sudah siap mental dari waktu minggat tadi.” “Iya. Kayaknya nggak ada jalan lain.” kata Niken masih berusaha berpikir keras. “Aku punya akal!” kata Niken tiba-tiba. “Antarkan aku pulang.” katanya seraya memegangi boncengan sepeda Pandu, siap-siap untuk naik. “Baiklah,” kata Pandu. “Apa rencanamu?” katanya sambil mulai mengayuh sepedanya. :: Mata Elang : Chapter 2 “Niken, ini buku catatan sejarahmu yang aku pinjam…” kata Jimmy dari luar jendela, sambil menyodorkan buku catatan Niken. Setelah Niken menerimanya, Jimmy cepat-cepat pergi. “Aneh. Baru kali ini dia nggak berusaha berlama-lama di dekatmu, Niken. Kamu nggak merasa aneh?” tanya Wulan. Pandu mengiyakan. “Pasti ada apa-apanya,” kata Pandu. “Coba dilihat bukumu.” Niken membuka bukunya. Tidak ada apa-apa. Aman-aman saja. Eh… tunggu… ada amplop biru yang diselipkan di sampul mikanya. “Nah… betul kan sangkaanku?” kata Pandu berbangga hati. Masih bingung, Niken membuka amplop kecil itu. Ada secarik kertas di dalamnya. Dibuka dan dibacanya pelan-pelan. Niken, kamu cantik sekali hari ini. “Apa katanya?” tanya Wulan tidak sabar. “Cuma sebaris” kata Niken sambil menunjukkan isi surat itu kepada Wulan. Pandu ikut mengintip. Ditatapnya wajah Niken dengan serius dan seksama. “Apa-apaan kamu, Ndu?” tanya Niken jengah. “Memastikan si Jimmy bener apa salah. Aku lihat hari ini kamu biasa-biasa saja. Sama seperti kemarin. Wajah manis, rambut dikuncir satu, rapi di belakang, dengan pita kuning. Baju kamu juga biasa aja. Wah, sepertinya dia salah tuh…” kata Pandu bercanda. “Dasar mata jangkrik!” kata Niken menggerutu. “Mata jangkrik?” tanya Pandu bingung. Wulan tertawa terbahak-bahak. Pandu tambah bingung. “Siapa mata jangkrik? Aku?” tanya Pandu. “Nggak merasa tho?” tanya Niken acuh. “Seperti apa sih mata jangkrik itu?” tanya Pandu. “Seperti yang kamu punya!” kata Niken sambil menjitak kepala Pandu. “Kamu masih marah sama Jimmy, Nik?” tanya Pandu kemudian, sambil mengusap-usap kepalanya yang sebetulnya tidak begitu sakit itu. “Nggak koq. Mama bilang, aku nggak boleh marah sama dia, karena ada kemungkinan, kemungkinan besar malah, papa berniat menjodohkan aku dengan Jimmy. Jimmy itu anak salah satu partner bisnis papa.” Pandu terkejut. Wulan juga. “Mereka nggak mungkin mencari di seluruh pelosok rumah. Aku akan ke rumah tetangga sebelah, aku kenal baik sama mereka. Mereka baik sekali. Dari tetangga sebelah, aku bisa panjat ke atap rumahku. Dari atap, aku bisa turun lewat tangga belakang. Kalau ditanya dari mana, aku jawab, dari atap. Merenung, cari inspirasi buat bikin puisi. Mereka pasti percaya, deh.” “Kamu memang gila, Fei!” “Kamu suka sama Jimmy, Nik?” tanya Wulan. Niken mengangkat bahu. “Nggak tau. Kata mama, aku musti mendekatkan diri padanya. Nggak harus pacaran, cuma mengenalnya lebih dekat. Biar bagaimana dia bakal jadi calon suamiku.” Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pandu,” Percakapan mereka terhenti karena sapaan dari luar jendela. Semua menoleh. Ratna rupanya. “Aku boleh minta tolong sama kamu, Ndu?” tanya Ratna dengan nada super-manjanya. “Kalo aku memang bisa bantu, aku pasti bantu.” jawab Pandu ramah. “Tolong ajari aku kalkulus dong, aku sama sekali nggak ngerti. Besok Kamis ada ulangan matematika kalkulus.” “Boleh,” kata Pandu yang memang jago matematika. “Di mana?” “Aku bisa datang ke rumahmu, supaya kamu nggak usah susah-susah ke rumahku. Sore ini bagaimana?” “Baiklah. Jam tiga?” “Oke. Sampai ketemu nanti sore.” kata Ratna centil, sambil berlalu. “Ndu, ini sudah ketiga kalinya aku dengar Ratna minta tolong tentang kalkulus. Memangnya dia benar-benar bodoh?” tanya Niken. “Dia memang selalu begitu kalau mau ulangan. Jadi lupa semua, harus diulang kembali. Setiap ada bahan baru juga begitu.” kata Pandu menjelaskan. “Cantik-cantik tapi bodoh…” kata Wulan geli. “Kalo aku bilang, dia nggak bodoh koq. Aku pernah ambil dia di panitia acara seminarku. Dia cukup berpotensi. Otaknya jalan. Feelingku sih ini cuma cara dia untuk mengambil hatimu aja Ndu.” kata Niken. “Apapun alasannya, aku cuma berbaik hati menolong dia. Aku nggak ada maksud-maksud lain.” kata Pandu tegas. “Aku tau kamu nggak ada maksud-maksud lain. Siapa yang nuduh? Aku bilang, dia yang punya maksud terselubung.” kata Niken. Pandu hanya diam saja. Kata-kata Niken masuk akal. Tapi dia tidak mungkin menolak menolong teman. “Kata Bapak, kalau kita punya kelebihan, kita harus menggunakan kelebihan itu untuk menolong sesama.” demikian kata Pandu kemudian. * Hari masih pagi. Pandu bersiul-siul sambil mengayuh sepedanya dengan riang melintasi pintu gerbang timur sekolah. Melihat Wulan berdiri di pintu gerbang, dia mengerem sepedanya. Wulan setengah berlari ke arah Pandu. “Ada apa Wulan?” “Niken. Dia meneleponku tadi malam. Katanya mulai hari ini dia bakal diantar-jemput Jimmy. Setiap hari. Termasuk ke kegiatan-kegiatan sekolah. Termasuk latihan band katanya.” “Bukannya papa-mama Niken nggak setuju dia nge-band?” tanya Pandu heran. “Iya. Tapi sekarang mereka mengijinkan dengan syarat Jimmy harus ikut kemana pun Niken pergi.” “Oooh…” desah Pandu. “Niken yang malang. Seandainya saja aku bisa menolongnya.” “Salah. Aku juga tadinya berpendapat begitu. Niken ternyata sama sekali nggak ingin aku membantunya. Dia menuruti keinginan ortu-nya itu dengan senang hati. Aku berkali-kali tanya, apa dia suka sama Jimmy. Jawabnya selalu nggak.” Pandu menimpali, “Aku nggak ngerti gimana cewek sepandai Niken bisa jadi bodoh sekali dalam masalah seperti ini. Seakan-akan dia sama sekali tidak ingin mengenal dan merasakan apa itu cinta. Aku sendiri memang belum pernah, tapi aku ingin sekali mengenal dan merasakan apa itu cinta.” “Ndu, aku memberitahumu, cuma sekedar memperingatkan, jangan sekali-sekali kamu menentang atau mempermasalahkan hal ini di depan Niken. Aku sudah mencoba semalaman kemarin meyakinkan dia, buntut-buntutnya dia malah marah-marah. Ya sudah, aku akhirnya menyerah.” “Baiklah. Kita harus dukung Niken. Walaupun aku masih tetap merasa keyakinan Niken ini perlu diluruskan. Kalau dia memang bahagia seperti itu, yah kita mau nggak mau sebagai temannya harus dukung dia, kan?” “Itu dia mobil Jimmy, Ndu.” kata Wulan sambil menunjuk ke arah luar gerbang. Benar saja, Niken ikut turun dari mobil itu setelah diparkir tidak jauh dari gerbang timur itu. Melihat kedua temannya ngumpul di dekat situ, Niken berlari kecil ke arah mereka. “Hallo friends…” sapa Niken. “Punya bodyguard baru kamu yah?” Pandu meledek. “Mama yang suruh. Mama bilang, Jimmy bisa dipercaya. Perjanjiannya, aku tetep nggak mau pacaran. Cuma aku harus mau membiasakan diri dengan Jimmy.” “Jadi kamu sudah pasti akan kawin sama Jimmy?” tanya Pandu. Niken mengangguk pelan. Pandu berkata lagi, “Aku masih nggak mengerti…” Wulan langsung menyeletuk, mengingatkan pembicaraan mereka barusan, “Pandu…” “Nggak papa, Ndu, kamu mau ngomong apa?” tanya Niken. “Aku nggak mengerti. Kamu udah pasti kawin sama Jimmy, tapi kamu nggak mau pacaran sama dia. Apa maksudmu?” “Aku nggak cinta sama dia. Kenapa mesti pacaran sama dia? Karena pada akhirnya aku bakal kawin sama Jimmy, aku harus mulai membiasakan diri sama dia. Kawin kan gak harus saling mencintai.” Pandu baru saja mau bilang, “Harus, dong!”, tapi Wulan sudah duluan menonjok perut Pandu dengan sikunya. “Sudah bikin pe-er Pak Heri, Nik?” tanya Wulan mengalihkan bahan pembicaraan. “Pe-er yang mana?” tanya Niken. “Bikin essay tentang biografi seorang pahlawan?” Pandu mengingatkan. “Aduh! Iya! Aku lupa. Mati aku. Koq bisa pikun begini sih? Gimana nich?” kata Niken panik. “Tenang, tenang, Nik…” kata Pandu. “Pelajaran bahasa masih jam ke lima. Kamu masih ada waktu untuk bikin essay itu.” “Dapat biografi pahlawan-nya dari mana dong?” kata Niken hampir putus asa. “Begini saja deh. Aku kebetulan punya ide lain untuk bikin essay. Kamu boleh menyalin essayku, aku buat baru lagi dengan tokoh yang lain.” kata Pandu menyarankan. “Kamu baek sekali, Ndu! Kebetulan gaya nulis kamu sama Niken hampir sama. Pasti tidak akan ketahuan. Ide bagus tuh, Nik” kata Wulan. “Aku nggak enak, Ndu. Kamu musti nulis ulang lagi,” kata Niken. “Ide sudah ada di kepala. Sementara kamu nyalin essayku, essay baruku pasti sudah selesai.” kata Pandu mantap. “Tunggu apa lagi?” tanya Wulan. “Mumpung belum bel masuk nih, cepetan gih, bikin!” * “Pandu Prasetya, kemari!” panggil Pak Heri dengan nada galak. “Saya, Pak.” jawab Pandu sambil melangkahkan kaki menuju ke depan kelas. “Aku suruh kamu mengarang tentang pahlawan, kenapa kamu mengarang tentang ibumu?” bentak Pak Heri. Niken menggigit bibirnya. Dia merasa bersalah sekali sudah mengambil essay Pangeran Diponegoro-nya Pandu. Sudah terlambat sekarang. Tapi mengapa Pandu terlihat tenangtenang saja? “Bapak nggak bilang kan, pahlawan-nya harus sudah mati apa masih hidup. Ibu itu pahlawan saya. Kalau bapak baca lebih jauh, bapak bisa merasakan jiwa kepahlawanan ibu saya. Ibu yang melahirkan saya dan ke-empat kakak laki-laki saya. Ibu yang dengan penuh jerih-payah membesarkan kami, dengan uang gaji bapak yang pas-pasan. Waktu saya masih kelas satu SD, saya sering mengomel karena baju seragam saya jelek sekali, karena lungsuran dari kakak saya yang nomer tiga. Setiap pulang sekolah, selalu saja ada tambahan lubang di baju seragam saya. Ibu selalu dengan hati-hati menambal lubang itu. Suatu hari, ibu mengejutkan saya dengan membelikan baju seragam baru. Saya sangat senang sekali. Saya tidak tahu kalau ibu menabung selama enam bulan hanya untuk membeli baju seragam saya itu. Sekarang bapak bilang, kalau bukan jiwa pahlawan, kata apa yang cocok untuk diberikan pada ibu saya itu?” pertanyaan retorik Pandu itu menyudahi kotbah panjang-lebarnya. Pak Heri mengangguk-angguk puas. Ia bahkan bertepuk tangan, diikuti oleh teman-teman sekelasnya. Niken yang paling keras tepuk tangannya. Pandu sahabatnya ini memang tidak hanya rupawan, tapi manis juga hatinya. * Acara Gelar Seni merupakan event tahunan yang sudah dilangsungkan sejak jaman dahulu kala di SMA Antonius. Tahun lalu, waktu kelas satu, Niken dipilih menjadi salah satu anggota panitia bidang acara panggung. Tahun ini dia terpilih menjadi koordinator bidang yang sama. Pandu jadi salah satu anggota tim perlengkapan, atau dalam bahasa lain, tim angkut-angkut barang. Niken mendapat banyak bantuan, terutama dalam hal promosi acara, dari Mbak Merlina dan kawan-kawan penyiar radio Boss. Anak-anak radio Boss 'rame-rame'. Dulu, waktu Niken masih boleh pergi keluar sendiri naik mobil, dia sering mampir malam-malam kumpul di radio Boss. Kadang-kadang malah jadi penyiar dadakan, kalau kebetulan ada yang sedang sakit. Akhirakhir ini Niken merasa kegiatannya jadi dibatasi lantaran kemana-mana harus membawa Jimmy. Seperti tuyul saja tu anak mengikutinya ke mana-mana. Walaupun Jimmy sering bilang, dia kapan aja, ke mana pun, jam berapa pun, mau menemani Niken, tapi sungkan juga mengajak-ajak Jimmy keluar malam ke radio Boss, misalnya. Makanya, kalo mama-papa lagi keluar kota, Niken curi-curi pergi jalan-jalan sendiri ke luar. Refreshing. Seperti hari Sabtu malam ini. Dia janji akan menjemput Pandu ke radio Boss malam ini. Wulan sebetulnya mau ikut, tapi ibunya sedang sakit flu, jadi dia mesti menjaga dua adik kecilnya di rumah. Jam delapan malam. Dengan alasan mau fotocopy, Niken sukses mengelabui satpam yang berjaga di pintu gerbang. Lolos! Niken cepat-cepat tancap gas sebelum satpam berkumis yang galak itu berubah pikiran. Niken belum pernah ke rumah Pandu, tapi Pandu sudah berkali-kali memberi tahunya, pakai acara menggambar peta pula. Lagipula Pandu bilang, dia akan menunggunya di depan rumah, jadi tidak susah kan semestinya untuk menemukan anak jangkrik di gelap malam begini? Begitu Pandu masuk mobil, langsung kena damprat. “Sial lo Pandu ya! Masa’ kamu kasih petunjuk lewat jalan satu arah, aku disuruh lewat arah yang berlawanan, gimana sih?” Pandu bingung. Ngomong apaan sih Niken ini? Niken masih ribut-ribut, “Ini jalan depan rumahmu, kan satu arah. Kamu kasih petunjuk aku masuk dari arah gang yang salah! Tu di mulut gang ada tanda dilarang masuk!” “Oooooooooooooh…” Pandu menepuk dahinya. “Sori, Fei. Aku kan biasanya naik sepeda, jadi itu route terdekat, begitu. Aku lupa kalo gang ini arahnya dari sebelah sono,” kata Pandu geli melihat Niken komat-kamit terus. “Ah blo’on amat kamu, kasih petunjuk ke rumah sendiri saja salah.” Niken masih mengomel. “Yang penting kan sampai, ya kan? Nanti pulangnya aku lewatin jalan mobil deh.” kata Pandu yang tak sanggup menahan gelinya melihat Niken sewot begitu. “Kamu punya kaset yang laen?” tanya Pandu, mendengar lagu pop slow yang diputar Niken. “Protes melulu sih?!” “Ngantuk dong, dengerin lagu slow begini. Ini lagu apaan sih?” tanya Pandu. “John Denver. Annie’s song. Aku suka. Jangan diganti.” “Gak punya kaset yang lain?” “Nggak.” jawab Niken singkat. “Ah masa?!” “Bener. Orang ini CD-player. Kamu masukin kaset yah nggak cocok lubangnya” kata Niken geli. “CD yang laen dong!” Pandu tak kalah protesnya. “Ribut amat sih? Dinikmati gitu lho…” “Aku kirain kamu suka lagu-lagu rock. Ternyata lagu cengeng begini kamu juga suka, ya?” “Aku suka apa saja yang berbau musik.” kata Niken cuek sambil nyanyi. You fill up my senses Like a night in a forest Like a mountain in springtime Like a walk in the rain Like a storm in the desert Like a sleepy blue ocean You fill up my senses Come fill me again… Diam-diam Pandu mengamati cerianya wajah Niken malam ini. Enak juga ternyata lagunya, walaupun slow begini, apalagi kalo Niken ikut nyanyi. Suara Niken empuk sekali, bak bantal dari busa. Makanya kontras sekali kalo dia menyanyi lagu-lagu rock. Kontras bukan berarti jelek. Kombinasi yang bagus. Suara lembut dan musik kasar. Niken memang punya bakat besar di bidang musik. Dia sering melihat Niken saat latihan bareng Hendro dan Bram, mengarahkan melodi gitar mereka. Dia pribadi juga sering mendapat masukan positif dari Niken buat variasi keyboardnya. Dengan hobinya menulis puisi, Niken pasti bisa jadi komposer lagu tenar. Apalagi dengan suara dan wajahnya yang saingan manisnya. “Sori… kamu ngantuk ya dengerin lagu slow begini?” tanya Niken yang jadi merasa berdosa melihat Pandu terbengong-bengong. “Nggak. Aku ternyata bisa enjoy koq. Masih punya banyak lagu slow?” tantang Pandu. “Kalo mau dengerin lagu rock, lebih baik sekarang saja. Di Boss Radio, mereka seringnya putar lagu-lagu cengeng lewat jam 9 malam.” “Nggak masalah. Aku pengen tau gimana kehidupan penyiar yang sebenarnya. Makanya aku langsung mau waktu kamu ajakin. Eh, ngomong-ngomong mana bodyguard kamu?” goda Pandu. “Jimmy? Aku bosan ngeliat dia terus. Sudah lama aku puasa nggak ke radio Boss karena dia.” gerutu Niken. “Nggak boleh bosan dong. Nanti kalo udah kawin musti liat dia tiap hari, 24 jam lagi!” kata Pandu geli. “Kawin? Siapa yang mau kawin?” “Ya kamu, dong… Aku calon saja belum ada. Kamu kan yang katanya sudah pasti kawin sama si Jimmy?” “Iya, tapi kan nggak dalam waktu dekat ini. Paling-paling lima belas tahun lagi.” kata Niken dengan gaya super cueknya. “Lima belas tahun?! Wah… semoga aja si Jimmy tahan bantingan, mau nunggu kamu selama itu.” kata Pandu kaget. Lima belas tahun, berarti mereka bakal berumur 32 tahun dong! “Biarin. Nggak kawin juga nggak papa. Eehh… yang jual martabak sukaanku masih buka. Mampir sebentar beli martabak yah…” kata Niken sambil meminggirkan Honda civicnya. Sebentar kemudian Niken sudah kembali dengan membawa dua plastik besar penuh martabak. “Banyak bener kamu belinya, Fei?” tanya Pandu heran. “Buat anak-anak radio Boss. Kamu gak mau?” “Mau juga sih…” Mata Pandu berbinar-binar melihat martabak. Hidungnya peka sekali kalo mencium bau makanan enak. Niken lalu membuka satu bungkus martabak. Di baginya menjadi dua, separuh diberikan ke Pandu, yang separuh langsung masuk ke mulutnya. “Kamu jago makan juga yah?” tanya Pandu dengan mulut penuh martabak. Niken cuma mengangguk-angguk. Mulutnya juga penuh makanan, tidak bisa menjawab. Tangannya yang satu di kemudi, yang satu memegang martabak. “Persneleng tiga,” perintah Niken. “Hah? Apa?” “Blo’on, pindahin ke persneleng tiga, sekarang.” kata Niken. Pandu cepat-cepat memindah persneleng dari gigi dua ke gigi tiga. “Wah… bahaya nich sopir lagi asyik makan martabak!” kata Pandu setelah shocknya reda. “Gigi empat.” sahut Niken tanpa menanggapi komentar usil Pandu. Pandu menuruti saja perintah Niken. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia tanyakan pada Niken, tapi lebih baik tidak usah saja, pikirnya. * “Mbak Merlina baik yach, tadi kita dikenalin sama Jabrique, grup rock lokal yang lumayan tenar. Gelar Seni kali ini bakal meriah banget karena Jabrique janji mau muncul.” kata Niken sepulangnya dari Radio Boss. Dia kelihatan girang sekali. Pandu sibuk menggeledah semua CD koleksi Niken. Gila koleksinya dari Mozart sampe metal ada semua. “Setel yang ini dong…” kata Pandu sambil mengacungkan cover CD Bryan Adams. “Sorry, Ndu, itu covernya doang. CD-nya ada di kamarku. Kamu mau nggak mau mesti dengerin lagu2 yang ada di jukeboxku. Ada 5 cd koq, kamu pencet-pencet aja tombol ini sendiri, sampe nemu CD yang kamu suka.” kata Niken sambil memencet satu tombol di car stereonya. “Yak ini aja deh!” kata Pandu waktu mendengar intro lagu Nirvana, Come as you are.” “Fei…” “Apa?” “Kamu koq nggak keliatan sedih?” tanya Pandu takut-takut. “Lha kenapa koq mesti sedih?” tanya Niken heran. “Aku baru aja denger tadi sore, katanya papa kamu punya simpanan di Malang yah?” “Ah, kalo itu aku sudah tahu dari dulu koq. Kamu baru tahu sekarang yah?” kata Niken seakan tak peduli. “Iya. Nggak sedih?” Niken mendesah. “Kamu sungguh-sungguh ingin tahu?” “Ya sungguhan dong, aku kan temen kamu. Kalo kamu sedih, aku pengen hibur kamu…” “Aku nggak papa koq. Awalnya sih terang sedih. Aku sudah tahu sekitar empat tahun yang lalu, lebih malah. Sudah lama kan? Sebelum cici ku meninggal. Cici yang bilang ke aku. Dia marah besar waktu itu. Semua hadiah miliknya yang dari papa dibuang ke lantai. Yang barang pecah belah ya jelas pecah. Ribut sekali rumah waktu itu. Trus dia minggat sebulan gak balikbalik. Ya gara-gara minggat itu dia kenal sama si Edi, anak pejabat itu. Waktu itu aku nggak sesedih cici. Cuma kecewa saja, koq papa tega berbuat begitu. Kasian mama. Dia kuatir sekali waktu cici minggat.” Niken menghela napas panjang. “Tadinya aku benci sama si wanita lain itu. Koq jahat, sudah tahu papaku sudah menikah, sudah punya anak dua, koq ya nekad aja. Usut punya usut, ternyata wanita itu juga sama-sama nggak tahu kalo papaku itu sudah punya keluarga. Jadi sama-sama dibohongin, gitu. Yang jahat memang papaku.” “Kamu hebat, Fei, bisa kuat begitu. Kalau saja hal seperti itu terjadi di keluargaku, aku bisa gila.” kata Pandu jujur. “Ya, karena kamu dibesarkan di keluarga yang harmonis. Tuhan nggak akan kasih salib yang nggak bisa dijalani, Ndu. Sejak kecil, aku jarang ketemu papa. Mama sih tadinya selalu di rumah. Sejak empat tahun yang lalu itu, mama jadi jarang ada di rumah juga. Mungkin itu juga yang bikin cici jadi gak betah di rumah, trus main sama Edi jelek itu.” Pandu menatap mata Niken lekat-lekat. “Kamu sendiri?” “Sejak cici meninggal, aku jadi tau kalo cici udah milih jalan yang salah. Aku nggak mau seperti dia. Sedih itu bisa dilampiaskan ke hal-hal yang laen. Belajar, misalnya, dengerin musik, berenang, jogging, nge-band...” kata Niken sambil senyum. “Aku nggak bisa bayangin betapa bosannya kamu di rumah. Abis pindah Semarang, aku juga kesepian banget. Setidaknya aku masih ada ibu…” kata Pandu menerawang. Tiba-tiba ada nada bersemangat di kalimat Pandu, “Kamu ada acara apa Jum’at tanggal 14 bulan depan?” “Gak ada acara apa-apa. Emang kenapa?” tanya Niken. “Hari Jum’at tanggal 14 bulan depan, ibuku ulang tahun. Kakak-kakakku mau datang semua dari luar kota. Daripada bengong di rumah, kenapa kamu nggak ikut ngerayain ulang tahun ibuku? Ibu belum punya banyak teman di Semarang, jadi bakal cuma acara keluarga aja. Mau ya?” tanya Pandu menawarkan. “Makasih, Ndu. Kamu baek. Aku tau niatmu baik, pengen menghibur aku, biar aku nggak kesepian. Tapi nggak usah, ah.” tolak Niken baik-baik. ”Kenapa nggak?” “Ndak enak dong, aku nanti ngabis-abisin makanan lho?” goda Niken. “Nggak papa. Ayolah…” ajak Pandu setengah memaksa. “Baiklah.” kata Niken akhirnya. “Jam berapa aku harus sampe sana?” “Jam 6 bagaimana? Kamu bisa ikut bantu-bantu nyapu, ngepel, masak-masak dulu?” kata Pandu dengan senyumnya yang nakal. “Serius nich…” “Fei, kamu musti mikir, gimana kamu bisa keluar rumah tanpa Jimmy?” tanya Pandu mengingatkan. “Oh… iya! Aduh, anak jelek itu lagi.” keluh Niken. “Gini deh… Aku ada akal.” kata Pandu sambil tersenyum licik. “Kali ini kita harus jahat sedikit. Jum’at pagi itu, aku bisa bawa mobil kakakku ke sekolah. Aku kerjain mobil Jimmy siang itu sebelum pulang sekolah, jadi aku bakal anterin kamu dan Jimmy pulang. Aku akan pura-pura nggak begitu bisa nyetir, apalagi ke daerah atas, jadi aku akan suruh Jimmy nyetir mobilku sampe ke rumahmu.” “Oh… pinter juga kamu, Ndu! Jadi satpam bakal mengira itu mobil Jimmy, dan sorenya kamu bisa jemput aku pake mobil yang sama. Aku bakal siap di depan pintu gerbang, jadi kamu nggak usah turun mobil. Aduh, Pandu baek, deh!” kata Niken langsung mengerti rencana licik Pandu, sambil mencubit pipi Pandu gemas. “Namanya juga Pandu…” kata Pandu sambil menepuk dadanya. * Siang itu, rencana bulus mereka berjalan dengan mulus. Jimmy sama sekali tidak menaruh curiga. Satpam apalagi. Sorenya, satpam yang mengenali mobil yang tadi siang, membiarkan saja Niken pergi, mengira Jimmy yang datang menjemputnya. Begitu Niken masuk mobil, Niken dan Pandu nggak bisa menahan ketawa. “Aduh, aku udah deg-degan terus nungguin kamu…” kata Niken. “Aku malah santai saja. Lebih deg-degan waktu jemput kamu nge-band itu.” kata Pandu sambil melirik Niken. Sekilas dia bisa melihat Niken pake rok. Apa? Niken pake rok? Penasaran, kali ini dia nggak melirik lagi, tapi menatap dengan jelas, sambil mengucek-ucek mata. Dia nggak salah lihat. Niken sore ini pake rok katun biru muda sederhana, rambutnya dikepang tempel di belakang. Rapi sekali. Wajahnya tampak polos sekali dan cantik sekali walaupun tanpa make-up. “Aku bawa kado buat ibumu” kata Niken mengagetkan lamunannya. “Ah, kamu ngado segala. Mestinya nggak usah, Fei.” “Nggak papa. Nggak repot koq. Cuma kain.” “Hey, jangan gigit-gigit jari gitu dong… jelek…” kata Pandu sambil berusaha menyingkirkan jemari Niken jauh dari mulutnya. “Sorry… aku memang begini kalo nervous.” Niken mengaku. “Nervous??” “Iya… aku belum pernah ketemu ibumu, sekarang aku malah bakal ketemu seluruh keluargamu. Gile…” “Alaaa… mau ketemu ibuku aja nervous. Malu-maluin. Eh,aku kasih tahu nih, untung kamu bukan pacarku. Pasti kamu bakal disorot habis-habisan kalo kamu memang pacarku. Itu udah dialami oleh semua kakak-kakak iparku. Jadi kamu santai saja. Ibu tahu kalau kamu cuma teman koq.” “Iya. Kenapa sih mesti nervous begini? Kayak mau ketemu camer saja. Padahal waktu aku pertama kali mau ketemu camer malah nggak nervous kayak gini.” kata Niken ketawa ngikik. “Emang kamu udah pernah ketemu camer?” “Udah. Mama-papanya Jimmy maksud kamu kan? Sudah dong. Mereka datang ke rumah. Aku sama sekali nggak nervous. Cuek saja. Pada dasarnya karena aku nggak respek sama papanya Jimmy, maupun sama mamanya. Itu keluarga jauh lebih hancur-hancuran daripada keluargaku.” “Nah… kita udah nyampe. Turun yuk.” ajak Pandu sambil turun dari mobil. Rupanya Niken masih belum ilang nervousnya. Pandu lalu membuka pintu dari luar. “Hoi, manja sekali minta dibukain pintu segala, tuan putri? Minta dituntun masuk juga nih?” Pandu meledeknya. “Enak saja. Aku bisa jalan sendiri.” Pandu meraih lengan Niken, mencegahnya untuk terus jalan. “Tunggu. Sebelum kamu masuk ke rumahku, kamu mesti maklum, rumahku ini nggak rumah gedongan kayak rumahmu…” “Kamu lebih baik berhenti ngomong, sebelum kamu bikin aku tersinggung.” kata Niken. “Aku nggak bermaksud begitu. Maksudku…” “Aku tau koq maksudmu. Aku yakin rumahmu ini jauh lebih indah daripada rumah gedonganku. Kamu nggak usah takut lah. Aku udah sering ke tempat yang jauh lebih buruk dari ini, rumah Wulan misalnya. Aku malah sering nginep sana dulu. Jadi kamu nggak usah takut aku bakal merasa nggak nyaman.” Pandu takjub mendengar jawaban Niken yang begitu tegas. Belum sampe di pintu depan, ibu Pandu sudah menjemput keluar. “Silahkan masuk, wah, senang sekali kita kedatangan tamu.” sambutnya ramah. “Kenalin, bu. Ini Niken, teman Pandu. Nik, ini ibuku.” kata Pandu. “Panggil saja ibu. Nama saya Sulastri.” kata ibunya Pandu menjabat tangan Niken. “Selamat ulang tahun, Bu.” kata Niken sambil menyerahkan kadonya. “Waduh, repot-repot lho, nak Niken ini. Ayo Pandu, diajak masuk dong.” Pandu lalu mengenalkan satu-per-satu anggota keluarganya yang lagi berkumpul di situ semua. Ayah Pandu, Pandu Pahlawan. Kakaknya yang nomer satu, Pandu Darmawan, dan istrinya, Sandra. Yang nomer dua, Pandu Sanjaya, dan istrinya Marini. Kakaknya yang nomer tiga, yang minjemin mobil, Pandu Wardhana, dan istrinya Adriana. Yang nomer empat Pandu Aditya belum menikah dan belum punya pacar. Kakak-kakak Pandu semua ganteng-ganteng. Terutama yang nomer satu. Katanya dia pernah menang lomba wajah di majalah Mode. Nggak mengherankan. Memang ganteng sih. Alisnya tebal dan tajam, tulang rahang dan pipinya yang menonjol memberi aksen gagah di wajahnya. Itu semua pasti didapat dari ayah Pandu yang memang gagah, dan ibunya yang lembut dan melankolis. Susah juga menghafal nama mereka, terutama karena namanya Pandu semua! Kakaknya yang nomer satu sudah punya anak, masih umur dua tahun, nggak bosen-bosen berceloteh, ngajak omong Niken. Lagi in the mood kali. Namanya Yunita. Sebentar saja Niken sudah akrab dengan Yunita. Rupanya Yunita sangat tertarik dengan pita rambut Niken. Niken lalu melepas pitanya, dan Yunita menerimanya dengan senang hati. Niken malah lalu iseng menguncir rambut Yunita dengan pitanya. Makanan malam itu sederhana, sayur lodeh, goreng-gorengan, dan ca kangkung. Niken sudah tambah ca kangkung dua kali. Dia sangat menikmati suasana rumah Pandu malam itu. Mungkin karena di rumah dia jarang, atau boleh dibilang hampir nggak pernah ada acara makan malam bareng. Apalagi karena keluarga Pandu begitu ramah menerima Niken. Mereka seolah-olah tidak menganggap Niken sebagai tamu, melainkan seperti kedatangan teman lama. Melihat keluarga Pandu begitu harmonis, Niken sebetulnya merasa rendah diri. Tapi sebentar saja rasa rendah diri itu hilang, karena asyik mengobrol dengan Pandu dan kakakkakaknya. Kalau sedang bersenang-senang memang waktu tidak terasa jadi berjalan begitu cepat. Tahutahu saja sudah jam setengah sepuluh malam. Niken harus pulang sekarang. Kalau tidak kereta kencananya akan berubah menjadi labu! Setelah berpamitan, termasuk sama si kecil Yunita, Niken dan Pandu undur diri. “Makasih Ndu, kamu bener-bener bikin aku seneng malam ini. Aku udah lupa kapan terakhir kali aku merasa seperti ini.” kata Niken. Hatinya berbunga-bunga. “Aku juga terima kasih kamu mau datang. Suasana rumahku jadi tambah meriah ada kamu.” Waktu mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Niken, Niken terpekik kaget. “Kenapa, Fei?” “Tuh… papa ada di teras depan.” kata Niken menunjuk ke arah teras rumahnya. “Mati deh aku. Gimana nih?” lanjut Niken, seakan tidak mau turun. Seandainya saja waktu bisa berhenti pada saat ini, berhentilah! Papanya berdiri, menuju ke arah pintu gerbang. “Ayo turun, Fei. Aku temeni.” kata Pandu berusaha membesarkan hati Niken. Keduanya lalu turun dari mobil. “Niken! Masuk!” bentak papa Niken galak. “Selamat malam Pak Tjakrawibawa. Hari ini ibu saya ulang tahun. Niken saya undang karena Niken satu-satunya teman baik saya di sekolah.” kata Pandu tanpa rasa takut. “Hmm… Niken, masuk!” ulang papa Niken dengan nada yang sama. “Pak, tolong jangan marahi Niken. Ini semua ide saya.” kata Pandu. “Niken, kamu sudah lupa janji kamu untuk nggak pacaran?!” “Nggak Pa. Kami nggak pacaran koq. Pandu cuma temen baek. Bener Pa!” kata Niken membela diri. “Sudah, nggak usah banyak omong. Masuk!” Niken lalu cepat-cepat masuk. “Selamat malam, permisi Pak.” Pandu pamitan dengan sopan. “Jangan pernah datang-datang lagi ke sini. Niken nggak pantas sama laki-laki seperti kamu.” Pandu diam saja, lalu pergi. * Sampai di rumah, keluarga Pandu sudah tidak sabar menunggu Pandu pulang. Mereka sudah ingin berkomentar tentang cewek yang baru saja bertandang di rumah mereka. “Ndu,” kata kakaknya begitu Pandu melewati ruang tengah. “Manis sekali Niken itu.” “Manis, tapi papanya galak banget.” keluh Pandu. “Kenapa emangnya?” “Tadi aku ketemu papanya, aku diusir, coba. Katanya, aku nggak pantas buat Niken. Aku rasanya marah sekali sekarang. Pertama, aku kasian sama Niken tertekan sekali di rumah. Kedua, Niken berhak menentukan pasangannya sendiri, walaupun tololnya Niken sendiri nggak tau itu. Ketiga, aku bukan pacarnya Niken, meski aku yakin, beruntung sekali orang yang bisa pacaran sama orang seperti Niken.” jawab Pandu geram. Ibunya menimpali, seolah tak mendengar keluh kesah Pandu yang barusan. “Niken lain sekali dengan Ratna, cewek yang sering kemari itu, Ndu.” “Ibuuu….!” Pandu merengek. “Sudah aku bilang berkali-kali, Niken itu bukan pacarku, dan dia nggak ada niatan untuk pacaran sama aku, atau sama siapapun.” "Ibu hanya berkomentar koq,” kata ibunya membela diri. “Ratna itu orangnya lemah lembut, nggak penuh gairah hidup seperti Niken. Hal yang paling aku suka dari Niken, dia rendah hati walaupun anak orang kaya. Malahan, hari ini dia nggak keliatan seperti anak orang kaya. Satu hal yang aku nggak suka dari Ratna, dia suka sekali merayu kamu. Niken sama sekali nggak.” “Ya jelas aja, karena Niken nggak suka hal-hal yang berbau pacaran.” jawab Pandu. “Kalau begitu Ratna itu pacarmu?” tanya bapaknya. “Bukan juga. Aduh… koq jadi pada tanya yang aneh-aneh sih?” Pandu merasa jengah. “Kenapa kamu koq nggak suka Ratna?” tanya bapaknya lagi. “Yah… nggak tau ya… Ratna itu, terlalu dependen sama orang. Dia nggak pernah bisa mandiri. Lagian aku memang nggak sreg sama dia. Udah ah, tanya-tanya melulu, orang lagi kesel abis ketemu papanya Niken itu lho!” “Kalo kamu nggak berani pacaran sama Niken, aku boleh nyoba?” goda Aditya. Semua pada ketawa. “Aku sudah bilang, Niken itu orang yang unik. Dia nggak percaya sama yang namanya pacaran. Dia sudah dijodohin koq sama papanya.” kata Pandu sambil melepas sandalnya. “Hah? Dan Niken menurut saja?” tanya kakak-kakak iparnya hampir berbarengan. “Iya. Kakaknya meninggal, bunuh diri, gara-gara pacaran terlalu bebas. Semenjak itu dia jadi antipati sama kata ‘cinta’.” “Lha kamu sendiri suka nggak sama Niken?” tanya bapaknya ingin tahu. “Nggak tau ya, aku selama ini nggak pernah ngeliat Niken sebagai orang yang bisa aku pacari, jadinya ya rasa sayang nggak pernah tercetus.” “Wah, sayang lho… padahal Niken itu maniiiiis sekali. Mungil. Matanya sipit, mungil. Mulutnya mungil. Idungnya juga mungil. Aku suka deh yang mungil-mungil begitu.” kata Aditya bercanda. “Aku juga…” gumam Pandu tanpa sadar. “Ha ha… ! Jadi kamu suka sama Niken dong…!” Aditya menggoda adiknya. “Ah! Dasar! Aku capek nih. Hatiku gerah sekali rasanya. Aku mau tidur aja.” kata Pandu menuju ke kamarnya dengan langkah gontai. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, sedang apa ya Fei Fei sekarang? Dia lalu balik lagi ke ruang tengah, mengambil sandalnya, terus keluar lagi. “Ndu, mau ke mana kamu?” tanya bapaknya. “Mau ke wartel di ujung jalan.” jawabnya sambil terus berjalan. "Ada apa ke wartel?" tanya bapaknya lagi. "Telepon." jawab Pandu singkat. “Koq nggak pake telfon rumah aja?” tanya ibunya. “Nggak, ah. Nanti aku digodain terus.” Yang lain lalu tambah cekikikan. Sudah jam setengah 11 malam, tapi rumah Pandu masih ramai sekali seperti pasar malam. Telepon ada di ruang tengah. Bisa tidak dengar apa-apa kalo telepon Niken dari rumah. “Fei Fei?” Pandu menelepon telepon kamar Niken. “Ndu…” suara Niken kedengaran seperti barusan menangis. “Kamu habis dimarahi ya? Sorry ya Fei… gara-gara aku, kamu jadi disemprot papa kamu.” “Nggak Ndu. Aku senang koq malam ini. Aku malah yang mau minta maaf, papaku kasar sekali sama kamu tadi.” “Udahlah, Fei. Aku udah biasa koq. Kamu jangan nangis dong… Aku belum pernah melihat kamu nangis seperti ini. Aku jadi merasa bersalah, kamu menangis karena aku.” “Aku nangis karena aku baru sadar, koq bahagia tu susah amat dapatnya. Untuk senangsenang barang semalam aja, aku mesti berbohong, mesti dimarahi habis-habisan sama papa. Kamu beruntung sekali, Ndu.” “Kamu welcome kapan aja ke rumahku, Fei.” Niken terdiam. “Aku dilarang keras ke rumahmu. Papa ngancam, kalo sampe kejadian malam ini terulang lagi, aku bakal dimasukin ke sekolah asrama. Mending mati aku daripada masuk asrama. Jadi malam ini adalah yang terakhir kali kamu melihat aku di rumahmu. Aku nggak berani lagi. Terima kasih buat malam yang indah tadi, Ndu. Aku nggak akan pernah lupa.” kata Niken setengah terisak. “Sudah… jangan nangis lagi, dong. Fei, aku percaya, di mana ada kemauan, pasti ada jalan. Kamu harus yang sabar. Percaya deh, banyak jalan untuk meraih kebahagiaan. Tinggal kita mau ambil kesempatan yang ada atau nggak. Aku pasti bantu kamu, kapan saja.” Mendengar itu, Niken seperti mendapat separuh kekuatannya kembali. “Benar juga yang kamu bilang, Ndu. Setidaknya aku masih punya kamu.” “Nah… gitu dong. Supaya kamu lega, sepertinya aku musti bilang sesuatu. Tadi, begitu aku pulang, aku langsung diinterogasi. Kayak kamu tu pacarku aja, Fei. Semua bilang kamu cantik. Malah Mas Adit bilang dia naksir kamu. Tapi kamu tadi memang manis deh, keliatan laen dari biasanya. Mungkin karena kamu pakai rok. Gimana? Sudah tambah oke sekarang?” tanya Pandu yang kata-katanya selalu terdengar manis di telinga Niken. Niken tertawa kecil. “Ada-ada saja, ah. Tapi makasih Ndu. Aku udah nggak sedih lagi koq.” “Sungguh, nih?” “Iya iya… Jangan kuatir. Bukan Niken namanya kalau nggak tahan banting.” “Ya udah, kalo gitu aku udahan dulu. Ngantuk nih… Aku mesti pulang trus langsung bobok.” “Pulang? Emangnya kamu ini di mana?” tanya Niken bingung. “Di wartel non! Cari mati deh kalo aku telfon dari rumah. Rumah masih ramai sekali, lagi. Aku bisa habis digodain mereka seperti tadi. Mending jalan sedikit ke wartel.” gerutu Pandu. “Ya sudah, pulang sana. Makasih sekali lagi Ndu, dan maaf atas sikap papaku tadi.” “Nggak aku masukin hati koq. Selamat tidur, Fei Fei” * Siang itu, saat jam pulang sekolah, Wulan terengah-engah menghampiri Niken yang sedang sibuk di theatre, mengurus gladi bersih buat acara panggung Gelar Seni besok. “Nik! Niken!!” panggil Wulan sambil berlari menuju panggung. “Ada apa, sih?” Wulan sibuk mengatur nafasnya. Niken mengisyaratkan pada anak-anak soundsystem untuk istirahat sejenak. “Pandu, Nik! Dia sama Jimmy ada di halaman parkir belakang, berantem kata anak-anak. Mereka pada ramai-ramai mau nonton di sana. Cepetan dong!” “Hah?!” Niken spontan menaruh mapnya di tangga panggung, langsung lari menuju ke halaman parkir motor dan sepeda di belakang sekolah. Belum sampai halaman parkir, dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut. Niken mempercepat larinya. Wulan yang sudah kelelahan cuma bisa mengikutinya dari belakang. Sesampai di situ, Niken tidak bisa melihat apa-apa, karena banyak orang berkerumun di situ. Susah payah dia berusaha menembus kerumunan ke arah tengah. Benar saja, Pandu dan Jimmy ada di tengah-tengah kerumunan. Pipi Pandu merah kena jotosan. Ada darah di sudut bibirnya. Baju mereka kotor dan amburadul. Rambut keduanya acak-acakan. ”Stop, stop! Apa-apaan sih kalian ini?” teriak Niken, karena suasana masih begitu bising. “Dia yang mulai.” Telunjuk Pandu mengarah ke Jimmy. “Aku nggak mau tau siapa yang mulai. Sudah, ayo ikut aku ke UKS.” Keduanya tidak ada yang beranjak dari tempat mereka berdiri masing-masing. Niken mengulangi lagi, “Mau ikut aku ke UKS apa nggak?” “Aku nggak akan pergi dari sini sebelum masalah ini diselesaikan.” kata Jimmy ngotot. “Masalah apa? Dan bisakah itu diselesaikan dengan cara kayak gini?” tanya Niken. “Kamu masalahnya!” tuding Jimmy. Niken tersontak kaget. “Aku?” tanya Niken. “Iya. Kamu, Niken. Dia menuduh aku yang enggak-enggak sama kamu kemarin malam. Katanya aku ngerebut pacarnya. Dia bilang, Niken itu hak miliknya dia. Nggak ada orang lain yang boleh sentuh dia. Aku bilang, Niken itu bukan hak milik siapa-siapa. Dan lagi, aku sama Niken cuma berteman. Eh… dia nggak percaya malah nantang.” jawab Pandu emosi. “Aku cuma bilang, kamu harus menjauhi Niken, dia milikku. Kamu ngotot nggak mau koq. Siapa yang nggak emosi?” balas Jimmy. “Stop. Sudah cukup. Muak aku mendengarkan argumen kalian. Jimmy, Pandu benar. Aku sama dia cuma teman, dan aku belum menjadi hak milik kamu. Aku juga nggak mau Pandu jauhi aku.” kata Niken membela Pandu, setelah mengetahui duduk permasalahannya. “Ya sudah kalo memang maumu begitu. Tapi aku nggak berani tanggung-jawab kalo papamu sampai tahu kamu belain Pandu dalam masalah ini.” kata Jimmy setengah mengancam. “Tunggu!” kata Pandu. “Jangan bawa-bawa papa Niken di sini. Ini masalah antara kita. Kamu nggak boleh campur aduk begitu, dong!” Anak-anak masih ribut. Niken merasa jengkel sekali. Apalagi setelah mendengar ancaman Jimmy tadi. “Bubar! Semuanya bubar!” kata Niken dengan suara lantang. Mereka semua lalu bubar jalan, Niken kalo sudah marah gempar, deh. Tinggal Jimmy, Pandu dan Niken yang ada di situ. Niken merogoh saku bawahannya, lalu memberikan tissue, satu buat Pandu, satu buat Jimmy. “Jim, aku bener nggak ada apa-apa sama Pandu. Kita cuma teman baik. Aku nggak pernah larang kamu bergaul dengan siapapun, kan? Kenapa kamu nggak beri aku kebebasan yang sama?” “Niken, akuilah. Kita pun nggak pacaran. Status kita cuma sedikit lebih baik dari kamu dan Pandu. Kamu bisa bilang kamu nggak ada apa-apa sama Pandu. Tapi kamu juga bisa bilang kamu nggak ada apa-apa sama aku. Aku cuma ingin kamu hargai aku sedikit.” “Apa yang kamu mau? Pacaran sama aku? Aku udah bilang, aku nggak bisa pacaran sama kamu, karena aku nggak cinta sama kamu.” “Itu karena kamu nggak pernah mau berusaha untuk itu.” sanggah Jimmy. Niken diam saja. Demikian juga Pandu. “Kamu sama sekali nggak pernah tersenyum kalo ketemu aku. Apapun yang aku lakukan, kamu nggak pernah terhibur. Belakangan ini aku perhatikan, kamu selalu ceria setiap ketemu Pandu. Siapa yang nggak jengkel?” “Kami punya banyak kesamaan,…” Belum sempat Niken melanjutkan kata-katanya, Jimmy sudah menyerobot. “Apa katamu? Banyak kesamaan? Yang aku lihat justru banyak perbedaan. Dia anak Jawa, Niken. Bukan chinese seperti kita.” Muka Niken memerah. Telinganya memanas. Niken nggak bisa bilang apa-apa karena jengkel sekali, sekaligus malu sama Pandu. Pandu yang lalu menyahut, “Benar sekali kamu, Jim. Kamu cuma punya satu kesamaan sama Niken. Sama-sama bermata sipit. Lain dari itu tidak. Niken berjiwa besar, berhati mulia, temannya banyak. Kamu? Jiwamu kerdil, hatimu busuk, temanmu cuma sebatas orang yang ingin memanfaatkan kekayaanmu!” Kata-kata Pandu tadi walaupun memang benar adanya, terdengar begitu pedas di telinga. Jimmy mulai bergerak mendekati Pandu, bermaksud menjotosnya lagi. Niken mencegahnya. “Jimmy, sudahlah. Rasanya kita berdua nggak ada harapan lagi. Aku akan minta mama untuk membatalkan semuanya.” “Niken? Jangan bilang begitu dong. Maafin aku, aku tadi termakan emosi. Kamu boleh berteman dengan Pandu, ayolah. Maafkan aku.” bujuk Pandu yang kaget mendengar katakata Niken. “Pergilah, Jimmy. Sudah nggak ada apa-apa antara kita.” Muak sekali Niken melihat wajah Jimmy. Merasa sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi, Jimmy lalu berkata, “Baiklah, Niken. Tapi aku nggak akan pergi sebelum bilang sesuatu yang aku mau bilang dari dulu. Kamu perlu belajar mencintai orang, Niken. Kalau nggak, kamu nggak akan pernah bahagia.” Setelah Jimmy pergi, Pandu duduk di trotoar dekat Niken. “Kamu nggak papa, Fei?” Niken diam saja. Dia masih memikirkan kata-kata Jimmy barusan. “Fei!” “Hah? Apa? Kamu ngaget-ngagetin aku aja, Ndu!” Niken terkaget dari lamunannya. “Kamu nggak papa, kan?” Pandu mengulangi pertanyaannya. “Yang papa tu kamu. Tuh liat, bibirmu berdarah gitu. Nggak sakit, apa?” kata Niken sambil mengambil tissue satu lagi dari sakunya. Pelan-pelan luka di bibir Pandu dia bersihkan dengan tissuenya. “Aduuh…!” Pandu mengerang kesakitan. “Sakit ya? Salah sendiri, kenapa mesti berantem sama Jimmy? Sekarang yang sisa tinggal sakitnya, kan?” “Pelan-pelan dong!” Pandu masih mengaduh-aduh. “Ya ini udah pelan-pelan, tahu? Kamu tahan sedikit lah. Manja bener.” Baru kali ini Pandu melihat wajah Niken begitu dekat. Dari dekat gini jadi tambah jelas manisnya. Wajah Niken bersih tanpa noda sedikitpun. Nggak ada jerawat, bisul, atau kurap. Niken jadi sadar Pandu dari tadi memperhatikannya. “Kenapa?” tanyanya. “Jujur aja, kamu manis sekali, Fei. Cowok yang berhasil dapetin kamu bakal beruntung banget. Aku juga nggak nolak kalo diberi koq.” “Heh! Kalo ngomong yang bener!” “Duh! Jangan kasar gitu dong, perih nih!” kata Pandu memegangi dagunya. “Makanya jangan macem-macem.” kata Niken mengancam. “Aduh, iya deh… Iya…” Pandu pasrah sambil memonyongkan bibirnya untuk dibersihkan lukanya. Niken tiba-tiba teringat sesuatu, “Oh! Iya! Aku musti segera kembali ke theatre. Aku belum selesai ngatur gladi bersih buat besok. Aku mesti double cek ke Jabrique apa mereka jadi tampil. Kemarin sih mereka bilang jadi.” “Aku boleh ikut lihat gladi bersihnya?” “Lihat nggak boleh. Harus ikut bantu angkut-angkut.” “Kalau nggak males, ya...” katanya sambil mengikuti Niken ke theatre. Untung anak-anak masih sabar nunggu di dekat panggung. Juned, salah satu anak yang tugas MC besok, melapor. “Niken, anak dekorasi hari ini mau ngelembur sampe malem. Speakerspeaker ini mau ditaruh dimana?” “Ditaruh di belakang panggung aja, jadi besok gampang ngeluarinnya lagi. Kamu udah latihan sama Heni?” “Tuh di belakang panggung. Dia grogi banget, dia maunya semua naskah ditulis, katanya mau dihafalin di rumah. Aku udah bilang, itu nggak baik. Lupa satu nanti lupa semua. Mending rileks aja. Coba deh kamu yang ngomongin.” “Ya kamu yang sabar ngelatih dia. Maklum lah, dia kan masih kelas satu, baru pertama kali ini dia MC di panggung. Aku nggak akan pilih dia kalo aku nggak yakin dia mampu. Kamu mesti bisa bikin dia nyante, lebih percaya diri. Oke?” “Oke deh.” kata Juned menuju ke belakang panggung. “Mber!” panggil Niken. Yang dia maksud Hengki, yang panggilan akrabnya memang ‘comberan’. Itu gara-gara waktu perploncoan awal masuk SMA dulu, dia memaki diri sendiri waktu jatuh di comberan. Kebetulan salah satu orator berdiri di dekatnya. Dengan alesan itu comberan di SMA Antonius, termasuk barang langka, harus dicintai. Terus dia disuruh duduk di comberan, sambil minta maaf karena sudah memaki-maki comberan. Sejak itu dia dipanggil comberan. Hengki itu yang dia tugaskan penanggung jawab tim dekorasi panggung. “Mber, kata Juned, anak-anak dekor mau ngelembur yah? Kamu yakin betul mereka mau ngelembur? Aku nggak mau mereka nanti mengomel di belakang lho…” “Bener koq, Niken. Mereka malah merasa nggak enak sendiri karena belum selesai sampe hari H minus satu. Mereka yang minta untuk diijinkan kerja sampe selesai. Tapi kayaknya nggak bakal sampe malem, koq. Paling sore nanti udah kelar semua.” “Baiklah kalo gitu. Aku nanti bilang Mas Manto, yang jaga sekolah.” “O, iya, Niken. Sandra baru aja pulang. Dia kan kamu tugasi mengatur jalannya acara gladi bersih hari ini. Baru aja selesai setengah jam yang lalu. Dia pesan ke aku, dia harus pulang cepetan. Tapi pelaksanaan nggak jauh beda dari jadwal. Nggak molor-molor. Semua band pendukung termasuk Jabrique juga sudah dia hubungi. Semua oke.” “Bagus. Endang jadi menari besok?” “Wah, nggak tau. Sandra nggak bilang. Aku sih denger kalo dia sakit. Eh, Wulan tadi pesan, dia mau beli makanan buat anak-anak, nanti balik kemari lagi. Tanya ke dia deh, mungkin dia tau.” “Oke. Aku nanti pulangnya sesudah anak dekor kelar, koq.” “Nggak usah, Niken. Kamu pulang aja. Kamu dari pagi tadi udah di sini terus. Suara kamu aja udah serak-serak banjir begitu. Ntar besok nggak layak tampil lho…” “Nggak papa. Aku nggak bisa tenang sebelum segalanya selesai. Kalo pulang bisa-bisa aku balik ke sini lagi. Lagian aku kan bisa bantu-bantu.” “Silahkan aja. Eh, Ndu. Kita butuh tambahan tenaga dari regu perlengkapan. Kita lagi dalam rangka mau mindah-mindahin perlengkapan band dari panggung, biar anak-anak dekor kerjanya lebih leluasa.” “Siap boss. Ruangan ini juga perlu dibersihin, apalagi sesudah kalian selesai ndekor nanti pasti tambah banyak sampahnya. Aku siap bantu sampai kelar nanti.” “Makan makaaaaaaann…” teriak Wulan. Dengar kata makan, anak-anak menghambur ke arah Wulan dan dengan suka rela membawakan kantong-kantong plastiknya berisikan nasi goreng itu. “Nggak salah kamu di seksi konsumsi, Wulan. Kamu nggak pernah biarin kita-kita ini kelaparan…” puji Pandu. Wulan menyeret Niken menjauh dari yang lain. “Nik, si Endang gak jadi nari besok. Acaranya diganti Sulis yang setelah dipaksa-paksa mau juga manggung komedi sendirian.” “Oh… ya sudah… Sebenere nggak usah diganti juga kita udah cukup punya banyak acara koq.” “Nik, tadi Jimmy sama Pandu gimana? Sudah gencatan senjata?” tanya Wulan dengan nada kuatir. “Ruwet dah, Lan. Jimmy keterlaluan banget. Akhirnya aku suruh dia pergi. Acara perjodohan akan aku batalkan.” “Separah itu, heh?” Niken mengangguk. “Si Pandu suka sama kamu?” “Nggak. Siapa yang bilang?” tanya Niken heran. “Lha tadi, kenapa mereka berkelahi?” “Itu mah karena Jimmy yang kelewat cemburu aja.” “Nik, kalo misalnya, ini cuma misalnya lho ya. Misalnya Pandu suka sama kamu, kamu mau nggak sama dia?” “Nggak. Aku kan udah bilang, aku nggak mau pacaran.” “Sungguh, nih?” tanya Wulan. “Sungguhan. Kenapa sih? Kamu naksir dia yah…? Aaah… Wulan naksir Pandu rupanya yah?” goda Niken. “Bukan aku. Ratna. Dia tadi nangis waktu dengar Pandu berantem sama Jimmy gara-gara kamu. Tau sendiri lah si Ratna. Cengengnya minta ampun. Dia pake acara mendekam di kapel segala lho. Nangis sehabis-habisnya di situ. Sampe romo sama koster yang lagi bersih-bersih di sakristi jadi bingung dibuatnya. Kalo kamu nggak keberatan, aku mau kamu ngomongin Pandu soal Ratna. Soalnya dia kayaknya masih di kapel sekarang ini. Nggak mau keluarkeluar. Nggak mau makan segala. Siapa tau Pandu bisa bujuk dia… Tolong Nik…” “Kenapa kamu nggak bilang ke Pandu sendiri?” “Ayolah, gampangan kamu yang bilang ke dia. Dia pasti menurut sama kamu.” bujuk Wulan. “Iya deh, nanti aku bilangin. Tapi dia harus angkut-angkut speaker gede-gede itu dulu sama anak-anak. Abis itu ya…” “Ndu…” sapa Niken waktu Pandu baru saja selesai angkut-angkut, sambil menyodorkan tissue untuk mengelap keringatnya. “Kamu hari ini promosi tissue apa gimana sih? Aku udah ngabisin tiga tissuemu hari ini.” “Kayaknya kamu butuh satu lagi deh.” kata Niken sambil menyodorkan satu tissue lagi. “Tapi yang ini buat Ratna.” “Ratna?” tanya Pandu bingung. “He’eh. Dia nangis sesiangan di kapel tuh.” “Trus apa hubungannya sama aku?” “Erat sekali. Dia nangis lantaran tau kamu berantem sama Jimmy tadi, dan dia tau itu garagara aku. Sama seperti Jimmy, dia pasti merasa sedikit banyak cemburu. Banyak, mungkin.” “Lantas, aku bisa apa?” tanya Pandu masih tak mengerti. “Tu anak belum makan siang, dari tadi menangis terus, bikin bingung orang. Kalo nggak cepat-cepat ditolong, dia bisa pingsan, kehabisan tenaga karena belum makan, atau lebih parah, kehabisan air mata.” “Aku nggak berminat meladeni dia hari ini. Capek.” jawab Pandu ogah-ogahan. “Ayo, dong. Aku juga merasa bersalah, nih. Paling nggak, temui dia. Jelasin kalo nggak ada apa-apa antara kita. Jadi dia nggak salah paham, dan yang penting nggak menangis terus.” “Kamu sungguh-sungguh ingin aku deketi dia, Fei?” “Kata Wulan sih, dia cinta sama kamu. Nggak tau gimana koq dia bisa cinta sama orang konyol kayak kamu, tapi kenyataannya emang iya. Ratna cantik, lembut. Itu kan kriteria cewek idamanmu, kalo nggak salah. Kenapa nggak diembat aja?” “Baiklah. Aku akan bujuk dia untuk pulang dan nggak nangis lagi. Rasanya nggak bakal susah sih. Nanti aku balik ke sini lagi.” “Ndu, nggak usah cepat-cepat kembali kesini juga nggak papa. Kamu bakal aku butuhin lagi nanti kalo anak-anak dekor selesai.” Pandu mengangguk ragu, lalu berlalu dari situ, menuju ke arah kapel di depan. :: Mata Elang : Chapter 3 Ini hari Minggu sore, hampir malam. Gelar Seni sudah secara resmi dibuka tadi pagi. Niken seharian tadi sudah banjir keringat karena dari tadi sibuk mondar-mandir, lari kesana kemari. Rambutnya dikuncir ekor kuda di belakang, jadi tidak mengganggu. Dari tadi siang dia tidak sempat pulang. Niken sengaja bawa baju ganti, jadi dia tadi bisa mandi dan ganti baju di kamar mandi sekolah, untuk acara band nanti malam. Bandnya akan menjadi acara pembukaan pentas band malam ini. Acara puncaknya sih Jabrique band. “Niken, si Heni demam panggung, tuh, aku udah berusaha nenangin dia, tapi kayaknya gagal total. Tolong dong…” keluh Juned. Niken mengangguk mengerti, lalu menghampiri Heni yang duduk di belakang panggung yang sedang komat-kamit menghafal naskahnya, seperti sedang menghafal mantera saja. Melihat Niken datang menghampirinya, Heni langsung berdiri dan mengeluh, “Niken, kamu gantiin aku jadi MC hari ini ya. Aku nggak sanggup. Aku takut…” “Kenapa mesti takut?” Niken memegangi tangan Heni. Dingin sekali tangannya. Keringat dinginnya sudah membuat kertas naskah yang dipegangnya jadi bergelombang dan kucel. “Aku udah bilang sama Juned, aku nggak mungkin milih kamu jadi MC kalo aku nggak yakin sama kemampuanmu. Aku tahu kamu bisa, Heni!” lanjut Niken dengan nada mantap. “Kamu sepertinya sudah salah pilih, Niken. Aku nggak bisa....” “Kamulah yang nggak sadar sama kemampuanmu sendiri, Hen. Buang deh itu naskah. Kamu mesti ngomong dari dalam hati kamu.” Pandu yang juga berdiri di dekat situ, sedang mempersiapkan diri untuk manggung di acara pertama, membisikkan sesuatu pada Niken. Lalu dia berlalu. Sebentar saja dia datang lagi, membawa Galih. Tanpa ba bi bu, Galih mencium pipi Heni, lalu cuma menganggukkan kepala, terus pergi lagi. Niken bengong. Heni apalagi. Tapi kemudian, Heni meremas kertas naskahnya, lalu berkata, “Ayo, aku udah siap. Mana Juned?” Niken tambah bengong. Semenit kemudian, Heni dan Juned sudah asyik bercuap-cuap di atas panggung. Niken yang menonton dari pinggir panggung masih terbengong-bengong. “Itu yang namanya kekuatan cinta.” bisik Pandu. Niken masih bengong, menatap wajah Pandu, meminta penjelasan. “Aku tau Heni sudah lama naksir Galih. Galih juga suka sama Heni, tapi nggak tau kalo Heni naksir dia, jadi nggak berani ngomong. Hari ini aku sudah jadi mak comblang yang baik kan?” kata Pandu sambil mengedipkan sebelah matanya. Niken lalu tertawa terbahak-bahak. “Terus kenapa Galih nggak bilang apa-apa sama Heni?” “Cinta nggak butuh kata-kata, Fei. Heni tahu sekarang kalo Galih juga cinta sama dia. Itu saja cukup.” Niken kembali ke kebengongannya. Pandu mau tidak mau harus mengagetkannya, karena Heni dan Juned sudah menyebut-nyebut band mereka. “Hoi! Mau manggung sekarang apa tahun depan?” “Oh…! Ya sekarang dong!” kata Niken menyambar stick drum-nya di meja. Baru aja Niken keluar dari panggung, Sandra dengan wajah pucat sudah menyambutnya dengan berita buruk. “Niken, aku baru aja dikontak manager Jabrique. Mereka nggak bisa manggung malam ini karena ada komitmen lain. Bull shit, lah. Gimana nih? Padahal Jabrique udah dijadwalkan nyanyi 2 lagu malam ini. Gimana dong, Niken?!” Kepala Niken jadi pusing mendadak. Seperti drum yang dipukul-pukul rasanya, tapi tanpa ritme yang jelas. “Kasih aku waktu buat mikir, San. Aku keluar panggung dulu. Sumpek.” Niken keluar lewat pintu panggung belakang. Pandu mengikutinya. “Koq Jabrique nggak bertanggung jawab begitu, sih?” Pandu mengomel. “Ini salahku. Mestinya aku punya back-up plan buat ini. Seharusnya aku tahu mereka bisa membatalkan sewaktu-waktu. Mereka kan band terkenal. Teman-teman pasti kecewa semua. Aduh, kepalaku jadi pusing deh. Aku nggak tau mesti gimana.” sahut Niken jujur. Baru kali ini Pandu mendengar Niken nggak tahu harus berbuat apa. Biasanya Niken pasti punya jalan keluar. “Rileks, Fei. Kalo rileks kita pasti nemuin jalan keluar.” kata Pandu berusaha menghibur, sambil mendekat ke arah Niken. Kedua tangannya diletakkan di bahu Niken, kiri dan kanan, lalu mulai memijit-mijit bahu Niken. Niken memejamkan matanya. Enak sekali dipijit begini. Apalagi kalau sedang pusing seperti sekarang. Angin malam semilir membantu menenangkan suasana hatinya. Pikirannya melayang ke ciuman Galih tadi. Pandu ikut memejamkan matanya, ikut berpikir, sementara tangannya masih memijit bahu Niken. Kasihan Fei Fei, dia pasti capek seharian sibuk terus, kata Pandu dalam hati. Hari ini dia melihat sisi lain dari Niken. Niken bisa juga merasa tak berdaya. Entah setan dari mana, tibatiba saja dia bisa merasakan sesuatu yang harusnya dia ketahui sejak pertama ketemu Niken. Cinta! “Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?” Pandu mengutuk dirinya dalam hati. Walaupun belum pernah merasakan ini sebelumnya, dia yakin ini tak lain dan tak bukan adalah cinta. Ibunya benar, cinta itu datangnya nggak terduga-duga, dan kalau sudah datang tak bisa diusir-usir. Kalau saja ibu ada di sini sekarang, ibu pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah dia bilang terus terang sama Niken? Dengan resiko berat harus kehilangan persahabatannya? Atau tidak usah bilang, dengan resiko kehilangan kesempatan memperoleh cinta sejati? Aduh, kepala Pandu jadi ikut pusing. “Ndu, kamu udah menemukan jalan keluar belum?” Niken membuyarkan angan-angannya. “Belum.” sahut Pandu singkat. “Tapi aku sudah menemukan yang lain,” serunya dalam hati. “Kita punya waktu sekitar satu jam sebelum jadwal manggung buat Jabrique. Ide apapun aku bakal pertimbangkan deh, karena aku sama sekali blank, aku nggak punya ide sama sekali.” “Sssh… jangan berpikir yang buruk-buruk dulu. Cobalah menikmati suasana malam ini.” kata Pandu masih memejamkan matanya. “Ndu, jangan tidur kamu ya!” ancam Niken. “Nggak nggak… jangan kuatir. Aku sedang ikut berpikir koq. Kamu coba tenang dulu, lah.” Setelah diam selama kurang lebih lima menit, Pandu membuka matanya. “Aku ada ide! Fei, apapun yang terjadi, percaya deh sama kata-kataku. Aku bakal kembali tepat di saat yang ditentukan, dengan solusiku. Aku sekarang harus pergi dulu. Kamu tunggu di sini.” “Hey… tunggu. Aku ikut dong.” ”Kamu di sini aja. Anak-anak di sini butuh dukunganmu. Percaya deh. Aku sudah punya solusi yang tepat. Kamu nggak usah kuatir, ok?” kata Pandu sambil berlari ke arah depan. * Sudah saatnya. "Mata jangkrik itu di mana sih?" gerutu Niken. “Niken, liat tuh Pandu manggung.” kata Sandra menunjuk ke arah panggung. Benar katanya. Dia muncul dari depan panggung dengan menenteng keyboard. “Gila tu anak. Tampil tanpa persiapan lagi. Moga-moga aja nggak kacau-balau.” Well it’s been building up inside of me for oh, I don’t know how long I don’t know why but I keep thinking something’s bound to go wrong… Don’t worry baby… Don’t worry baby… …But I can’t back down now because I pushed the other guys too far… Don’t worry baby… Don’t worry baby… Dari samping panggung Niken dapat mendengar jelas suara Pandu. Maklum, speaker ada di dekat situ. Suaranya begitu jernih, Niken jadi merasa tenang sekarang. Sepertinya Pandu sudah menyelamatkan shownya malam ini. Tanggapan anak-anak yang nonton di depan panggung pun sangat positif. Histeris, malah. Selama menyanyi, Pandu sesekali menoleh ke arah Niken berdiri. Niken selalu tersenyum manis setiap tahu Pandu menoleh ke arahnya. Nggak cuma itu, karena Pandu tau Jabrique dijadwalkan nyanyi dua lagu malam ini, dia menyanyi lagi setelah lagu itu selesai, kali ini lagu REO Speedwagon. Pandu sangat ahli memainkan keyboardnya. I can’t fight this feeling any longer And yet I’m still afraid to let it flow What started out as friendship has grown stronger I only wish I had the strength to let it show I tell my self that I can’t hold out forever I said there is no reason for my fear ‘Cause I feel so secure when we’re together You give my life direction You make everything so clear And even as I wander I’m keeping you in sight You’re a candle in the window On a cold, dark winter’s night And I’m getting closer than I ever thought I might And I can’t fight this feeling anymore I’ve forgotten what I started fighting for It’s time to bring this ship into the shore And throw away the oars, forever ‘Cause I can’t fight this feeling anymore I’ve forgotten what I started fighting for And if I have to crawl upon the floor Come crushing through your door Baby, I can’t fight this feeling anymore… Seusai lagu itu, dia membungkuk memberi hormat dan menebar ciuman pada penonton dengan tangannya. Sambutan penonton begitu meriah, semua tersepona oleh lagu-lagu Pandu tadi. Niken dari belakang panggung lega sekali. Begitu Pandu sampai di belakang panggung, langsung dipeluknya. “Terima kasih, Ndu, showmu bener-bener sudah menyelamatkan malam ini. Aku nggak tau mesti bilang apa. Aku lega sekali.” kata Niken sambil berteriak-teriak histeris. “Jangan senang-senang dulu. Aku musti ngomong sesuatu sama kamu. Keluar yuk.” ajak Pandu, yang walaupun senang dipeluk Niken harus dengan berat melepasnya. “Ada apa sih, Ndu? Kamu boleh ngomong apa aja deh. Aku bener-bener ngerasa bersyukur punya kamu.” “Lagu tadi… Aku sungguh-sungguh menyanyikannya.” kata Pandu. “Lalu? Maksudmu? Hmm.. Aku nggak ngerti maksud kamu.” Wajah Niken yang tak berdosa benar-benar menggambarkan kebingungan. “Aku sayang kamu, Fei. Sebelum kamu protes, aku mesti bilang, aku juga baru menyadarinya sejam yang lalu.” kata Pandu mengungkapkan isi hatinya. Nah, segalanya sudah terucap. “Ndu, kamu mestinya kenal sifatku lebih dari ini. Kamu tau sendiri aku…” “Aku tahu. Kamu sering bilang. Kamu nggak percaya sama yang namanya cinta atau pacaran atau apapun sinonimnya, dan segala tetek bengeknya. Aku sangat paham. Makanya aku juga baru nyadar sekarang, karena mungkin aku nggak pernah berpikir ke situ juga. Tapi aku juga tau, orang sebaik kamu layak dicintai, dan layak untuk berbahagia. Aku cuma ingin dapat mencintaimu, dapat bikin kamu bahagia...” “Stop, Pandu. Aku nggak mau denger lagi.” kata Niken sambil menutup kedua telinganya. Pandu memegang kedua tangan Niken, menjauhkannya dari telinganya. “Kamu harus mau dengar, Fei. Bahkan Jimmy pun bisa bilang, kamu harus mau belajar mencintai. Membuka dirimu. Kamu berhak dan sangat layak dicintai, Fei.” “Aku nggak bisa percaya sama diriku sendiri. Selama ini aku bisa jaga diriku sendiri baik-baik. Cinta bakal merusak segalanya. Termasuk persahabatan kita. Ayolah, Ndu, tarik kembali katakatamu.” pinta Niken dengan memelas. ”Aku bisa saja menarik kata-kataku. Tapi aku nggak bisa menipu diriku sendiri, Fei. Aku cinta sama kamu. Maksudku cinta, adalah selamanya, Fei. Aku belum pernah merasa seperti ini. Aku merasa seperti mati-hidupku ada di tanganmu sekarang.” Niken menengadah ke arah langit. Pandu jadi tahu apa yang ada di otak kecil Niken sekarang. “Kamu berpikir tentang kejadian buruk yang menimpa kakakmu? Kamu harusnya tahu, aku bukan cowok semacam itu.” “Bagaimana aku bisa tahu? Aku yakin cici waktu itu juga mengira pacarnya yang brengsek itu sangat mencintainya.” Harus diakui Niken cukup kaget karena Pandu sanggup membaca pikirannya. “Baiklah. Bagaimana kalo aku berjanji nggak akan pernah menyentuhmu. Aku nggak perlu itu untuk mengungkapkan cintaku, Fei. Aku bilang ini dengan tulus hati. Kamu bisa percaya sama aku, Fei. Aku nggak pernah mengecewakan kamu kan?” “Kalo kamu butuh cinta, kenapa nggak ambil yang available saja. Ratna misalnya.” “Kamu nggak paham-paham juga, ya, Fei? Aku nggak cinta sama Ratna. Aku cintanya sama kamu. Cinta itu nggak bisa dipaksain. Fei, aku nggak minta kamu jawab sekarang. Aku tahu kamu belum siap, karena kamu belum pernah mengenal apa itu cinta. Aku berharap, mungkin, dengan melihat caraku mencintaimu, kamu bisa melihat bahwa ada cinta yang suci, yang layak diperjuangkan. Aku cuma ingin kamu nggak menolak aku sekarang ini.” “Aku nggak tau mesti bilang apa, Ndu. Kamu seharusnya nggak bilang begini. Kamu merusak segala-galanya. Aku kira kamu temanku. Ternyata kamu menusukku dari belakang dengan embel-embel cintamu.” kata Niken sambil berlari berlalu dari situ. Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengikuti Niken saat ini juga percuma, dia yakin tidak akan bisa meyakinkan gadis yang teramat keras kepala ini. Wulan yang baru mau menyelamati Niken atas suksesnya acara mereka malam itu, melihat Niken berlari keluar jadi mengurungkan niatnya. Dia menatap Pandu yang masih berdiri terpaku di belakang panggung. Pasti ini ulah Pandu, pikirnya. “Kamu apain dia, Ndu?” tuduh Wulan. “Aku cuma berusaha jujur sama dia, kalo aku sayang sama dia…” kata Pandu masih menatap Niken yang bayangannya semakin kecil menjauh. “Kamu cinta sama Niken? Aduh, Ndu… kamu koq nambah-nambahin masalah sih?” keluh Wulan. “Kamu udah pernah diceritain Niken tentang kakaknya? Tentang niat perjodohannya?” “Sudah, sudah. Sudah semua. Aku nggak bisa mencegah semua itu terjadi, Wulan. Aku…” “Seandainya Niken cinta sama kamu pun, dia nggak akan berani melawan papanya. Papanya bisa shock kalo tau hal ini.” Pandu diam saja. Dia masih bingung. Bukan bingung akan perasaan cintanya, itu dia sudah yakin. Bingung mesti berbuat apa. Musti bersikap bagaimana terhadap Niken. “Wulan, kamu pernah bilang, kamu nggak yakin Niken benar dalam prinsipnya yang nggak mau menerima cinta. Aku benar-benar cinta sama dia, Wulan. Boleh percaya boleh nggak, tapi aku belum pernah jatuh cinta, dan belum pernah pacaran. Mungkin itu juga sebabnya dia nggak bereaksi tadi, karena aku nggak tau bagaimana caranya merayu cewek… Aku butuh bantuanmu…” “Tunggu. Kamu bilang apa tadi? Kamu belum pernah pacaran?” tanya Wulan berusaha mengoreksi. “Kamu boleh tanya sama ibuku, sama siapa saja yang pernah kenal aku. Aku belum pernah jatuh cinta. Persahabatanku sama Niken itu hubungan terdekatku dengan seorang cewek. Itu juga lantaran aku nggak sadar aku sudah jatuh cinta sama dia sejak awal jumpa. Sekarang aku baru sadar, dan perasaan itu sungguh indah, tapi sangat menusuk, sakit sekali. Apalagi kalau memikirkan dia bakal menjauhi aku. Oh, Wulan, kamu harus bantu aku.” “Aku nggak tau mesti bantuin gimana. Niken itu orang yang susah di hal-hal seperti ini. Aku nggak bisa bantuin kamu sebelum aku yakin Niken juga cinta sama kamu.” “Aku cuma butuh kamu bantuin aku untuk meyakinkan dia untuk mau membuka dirinya. Kalau pada akhirnya terbukti bahwa dia nggak mencintaiku, akan ada seorang cowok yang beruntung yang bisa memilikinya, membahagiakan dia. Kamu percaya Niken layak mendapatkan itu kan?” “Iya sih. Baiklah. Aku nggak berani janji apa-apa, melihat kondisinya seperti ini sekarang. Kata-katamu tu selalu meyakinkan. Aku nggak tahu kenapa Niken nggak mau percaya sama kamu. Semoga saja kamu nggak bohongin aku.” “Aku nggak akan pernah main-main sama yang namanya cinta. Dosa kata ibuku. Kamu bisa percaya deh sama aku tentang yang satu ini.” “Duh, Gusti, kamu punya banyak pilihan, kenapa juga hatimu mesti memilih jatuh cinta sama orang yang sulit, Pandu?” Pandu hanya bisa membisu. Campur aduk perasaannya saat ini. Bahagia, karena baru saja menyadari perasaan hatinya. Berbunga-bunga, penuh rasa cinta. Di saat yang sama juga merasa sedih, karena tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya yang meluap-luap itu pada gadis yang dicintainya. Juga bingung, karena mungkin rasa cintanya ini bakal membuat gadis itu menderita. * Malam itu juga, Pandu menceritakan segala-galanya pada ibunya. Ibunya sabar, diam mendengarkan. Di tengah-tengah keputusasaannya, Pandu bahkan sempat menangis. Terakhir kali ibunya melihat Pandu menangis waktu kelas 1 SD, waktu kakeknya meninggal. Pasti Pandu sangat mencintai gadis ini. “Ibu nggak heran kamu jatuh cinta sama Niken.” kata ibunya kemudian. “Ibu nggak keberatan, walaupun Niken bukan gadis Jawa?” tanya Pandu. “Tentu saja nggak. Kamu sudah Ibu besarkan, Ibu didik dengan pengertian bahwa semua manusia itu sama di mata Tuhan. Ibu bangga, kamu bisa melihat jati diri Niken dari balik perbedaan kulitnya. Ibu pun bisa melihat Niken sebagai seorang gadis yang teramat cantik, karena kecantikan dari dalam dirinya.” “Bagaimana aku bisa yakin kalau ini benar-benar cinta, Bu? Bukan sekadar perasaan sementara saja?” tanya Pandu. “Itu kamu harus bisa merasakannya sendiri. Ibu nggak bisa menilai. Ibu cuma bisa menyarankan, ikuti kata hatimu.” Ibunya lalu menghibur Pandu dengan bercerita tentang jaman ibu pacaran sama bapak dulu, cerita-cerita cinta kakak-kakaknya, dengan segala perjuangannya masing-masing. Dengan mendengarkan cerita ibunya, Pandu jadi semakin yakin dia perlu memperjuangkan cintanya, karena cinta itu hal yang paling mulia di dunia ini, yang layak untuk dipertaruhkan. * Hari Senin, tanggal 17. Anak-anak bersiap-siap untuk mengikuti upacara bulanan yang selalu diadakan tiap tanggal 17. Niken tadi sudah sampai sekolah jam setengah tujuh kurang, tapi lupa kalau hari ini tanggal 17, jadi tadi tidak memakai seragam upacara. Lantas pulang lagi, ngebut, ganti baju seragam lalu kembali ke sekolah lagi. Sampai sekolah jam tujuh kurang lima menit, bertepatan dengan bel pertama masuk. Pintu gerbang hampir saja ditutup. Niken cepat-cepat lari ke dalam kelas, untuk menaruh tas sekolahnya. Dari jauh dilihatnya koridor sudah sepi, semua anak sudah mulai berbaris di lapangan, rupanya. Setelah menaruh tasnya dari luar jendela, dia berbalik ke arah lapangan. Dilihatnya Pandu baru saja keluar dari WC putra. Berusaha menghindar, dia balik kanan, masuk ke dalam kelas lagi. Rupanya Pandu cukup awas matanya. Maklum, mata elang ini. “Fei," panggil Pandu cepat. "Untung ada kamu. Tolongin dong aku dari tadi di WC berusaha pake dasi ini nggak bisa-bisa.” kata Pandu dengan nada putus asa. Niken ragu-ragu mendekat. Dia lalu tersenyum geli melihat dasi Pandu yang kucel karena terlalu banyak dilipat-lipat. “Kenapa nggak dipakai dari rumah dasinya? Kan bisa minta tolong ibumu?” tanya Niken sambil menerima dasi dari tangan Pandu. “Panas dong pake dasi dari rumah, apalagi aku naik sepeda.” kilah Pandu. Niken yang sedari kecil sering melihat papanya memakai dasi, ilmu pasang dasi bukanlah hal yang baru untuknya. Niken lalu menaikkan kerah baju Pandu. Sekilas, tak sengaja ditatapnya wajah Pandu. Alisnya yang tebal, mata coklatnya benar-benar menawan. “Aduh, kenapa jadi deg-degan begini, sih?” keluhnya dalam hati, lalu memusatkan perhatiannya pada dasi yang menggantung di leher Pandu. “Malu-maluin ah, cowok nggak bisa pakai dasi.” kata Niken, matanya masih tertumbu pada dasi Pandu. “Emang cowok harus bisa pake dasi? Aku belum pernah ke acara di mana aku harus pake dasi koq.” bela Pandu. “Nih… sudah jadi. Gimana? Bagus nggak?” tanya Niken sambil merapikan hasil karyanya. “Perfect. Makasih ya Fei. Oh ya… tentang kemarin…” “Tolong jangan sebut-sebut tentang kemarin, Ndu. Please.” “Aku cuma mau minta maaf, kalau aku sudah sakiti hati kamu kemarin. Tapi aku benar-benar serius, Fei.” lanjutnya. Niken diam saja, membeku. “Keluar, yuk. Upacara sudah hampir mulai, tuh!” kata Pandu mengingatkan. * Selesai upacara, seisi sekolah jadi gempar karena Ratna kehilangan gelang emasnya yang dia tinggal di laci mejanya. Bodoh benar Ratna, dia memang sering menaruh barang-barang berharga di laci. Uang, gelang, dan lain-lain. Kepala sekolah mengumumkan akan mengadakan penggeledahan segera. Dari kelas satu sampai kelas tiga. Semua kelas akan digeledah total sampai gelang Ratna ketemu. Anak-anak berkumpul di depan kelasnya masing-masing. Niken melihat Jimmy lewat. Jimmy yang juga melihatnya memandang Niken dengan tampang licik. Niken mengernyitkan dahinya. Instingnya langsung bekerja. “Pandu!” Niken memanggil Pandu yang berdiri tidak jauh dari situ. “Perasaanku nggak enak. Bisa jadi ini adalah akal-akalannya Jimmy. Coba cek tas kamu, Ndu.” kata Niken mengajak Pandu masuk kelas, ke arah meja mereka. Pandu mengecek seisi tasnya. Tidak ada apa-apa. Tak ada satupun barang yang hilang, maupun barang yang mencurigakan. “Cek ulang,” perintah Niken. “Aku nggak mungkin salah.” gumamnya. “Pasti ada apa-apanya, nih.” Niken lalu melongok ke laci meja Pandu. “Astaga, Pandu!” Pandu terkejut, ikut melongok ke arah lacinya. Tidak cuma gelang Ratna yang ada di situ. Uang dalam jumlah besar juga ada di situ. Pandu dan Niken saling menatap, tidak percaya. “Fei, aku nggak pernah…” kata Pandu bingung. “Aku percaya. Kamu nggak akan mencuri. Sekarang bagaimana kita menghapus bukti ini, dan cepat!” kata Niken panik. “Ndu, pindahin semua uang ke laciku. Aku bisa mengaku itu uangku. Ayo cepat.” katanya. Good idea. Selesai memindahkan semua uang kertas itu ke laci Niken, mereka baru nyadar. “Gelangnya?!” kata mereka hampir bersamaan. “Taruh di laciku aja, Ndu. Siapa tau mereka percaya bahwa itu gelangku.” kata Niken. “Nggak. Aku nggak akan lakukan itu. Terlalu beresiko, Fei.” kata Pandu sambil memegangi gelangnya. “Lebih beresiko kalo ada di lacimu, Ndu. Ayo dong, berikan padaku.” “Jangan!” “Nggak usah berebut, serahkan pada saya.” tiba-tiba Pak Yusril sudah berada di ruang kelas. Seperti tercekik, mereka tak bisa berkata apa-apa. Pandu menyerahkan gelang itu pada Pak Yusril dengan gemetaran. “Kalian berdua, ikut saya ke kantor.” Dengan langkah lunglai dan kepala tertunduk, mereka berdua mengikuti Pak Yusril ke kantor kepala sekolah. “Niken, kamu tunggu di luar. Saya mau bicara dengan Pandu dulu.” Niken lalu duduk di kursi di luar kantor kepala sekolah dengan cemas. Dari luar tidak terdengar apa-apa. Setidaknya Pandu tidak dibentak-bentak, pikirnya. Kalau dibentak pasti terdengar dari luar ruangan. "Kasihan Pandu. Jimmy kurang ajar," pikir Niken geram. Setengah jam kemudian, pintu terbuka kembali. “Pandu, kamu tunggu di luar. Niken, masuk.” Setelah menutup pintu, Niken duduk di depan meja Pak Yusril. “Ceritakan apa yang kamu tahu.” kata Pak Yusril. “Ini semua ulah Jimmy, Pak. Dia yang memfitnah Pandu. Saya nggak punya buktinya sekarang, tapi Pandu nggak bersalah.” “Benarkah itu? Kenapa Jimmy mau memfitnah Pandu?” tanya Pak Yusril. “Karena Jimmy cemburu sama Pandu. Ceritanya panjang, Pak. Mereka hari Sabtu kemarin berkelahi di lapangan parkir setelah pulang sekolah. Ini pasti akal-akalannya Jimmy, Pak. Saya tidak mencuri gelang itu. Pandu juga tidak mungkin.” “Aneh sekali.” kata Pak Yusril kemudian. “Karena Pandu baru saja mengakui semua perbuatannya.” “Apa?!” “Pandu bilang, kamu tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini. Kamu cuma berusaha menyadarkan dia bahwa mencuri itu salah. Dia yang melakukan semua ini. Dia pun sama sekali tidak menyebut nama Jimmy. Dia mencuri gelang itu waktu anak-anak sudah keluar semua ke lapangan pagi tadi.” “Dia bohong, Pak. Saya bersama dia tadi sebelum upacara. Di kelas 2C. Waktu saya masuk, dia dari WC putra, dan dia mengaku sudah lama di WC karena nggak bisa pake dasi. Terus saya yang memakaikan dasinya. Dia ke lapangan bersama saya, Pak.” “Kamu tahu hukuman apa yang harus saya berikan untuk pencuri?” Pak Yusril bertanya lagi. Niken menggeleng lemah. “Skors seminggu untuk pertama kali ketahuan. Kedua kali dikeluarkan.” jawab Pak Yusril tegas. “Pak, ini masalah serius. Saya belum pernah berbohong, terutama dalam masalah kritis seperti ini. Saya tidak akan membela Pandu jika saya yakin Pandu bersalah. Ini hampir ujian naik kelas, Pak. Kalau diskors, Pandu…” “Pandu sudah mengakui perbuatannya, Niken. Kalau kamu bisa menunjukkan bukti-bukti bahwa dia bukan pencurinya, saya bersedia mencabut hukuman itu.” “Saya tahu Jimmy pencurinya. Tapi saya tidak punya bukti apa-apa sekarang.” kata Niken lemas. “Saya tidak ada jalan lain, Niken. Hukuman Pandu mulai besok pagi. Kalian berdua kembali ke kelas.” Di luar pintu, Niken melihat Pandu duduk tertunduk di kursi. “Ndu, kenapa kamu bilang begitu sama Pak Yusril? Kenapa kamu mengaku bersalah kalau kamu nggak berdosa?” Pandu diam saja. Dia lalu melangkah menuju ke kelas. “Pandu. Jawab dong. Kita bisa sama-sama mencari bukti bahwa Jimmy pencurinya. Kamu nggak perlu mengakui sesuatu yang bukan kesalahanmu.” kata Niken sambil berusaha mengikuti langkah Pandu. “Fei, dengar. Pikir dong. Kalau aku nggak akui ini, masalah ini bakal diekspose besar-besaran. Besar kemungkinannya kamu ikut diskors. Kita cuma bisa lebih hati-hati di lain waktu, jadi tidak terjebak seperti ini lagi. Yang sudah terjadi ya sudah. Jimmy pasti sudah memikirkan segala-galanya. Bagaimana kamu bisa menemukan bukti bahwa dia yang mencuri? Kamu nggak punya bukti apapun untuk memulai tuduhanmu. Semua bukti mengarah ke aku. Ini jalan keluar terbaik, percayalah, Fei. Jangan perpanjang masalah ini.” “Kamu bisa minta waktu untuk membuktikan ketidakbersalahanmu, Ndu. Aku pasti akan bantu.” cegah Niken. “Berapa lama, Fei? Seminggu, sebulan, dua bulan? Pak Yusril tidak akan setuju. Dia pasti menganggap aku pencuri yang berusaha melepaskan diri dari hukuman, dan kamu berusaha menolong pelarianku. Sudahlah, Fei. Lupakan saja.” Niken terpana. Dari kata-kata Pandu, Niken bisa jelas menangkap bahwa Pandu mengaku cuma dengan maksud untuk melindunginya. Kenapa dia harus berbuat seperti itu? “Ndu, tunggu!” kata Niken mengikuti Pandu. “Aku bisa melindungi diriku sendiri. Aku nggak butuh pertolonganmu untuk membelaku, Ndu. Kamu nggak perlu berkorban seperti ini.” “Fei, aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kamu sampai ikut diskors. Aku melihat ini satu-satunya cara untuk melepaskan kamu dari segala tuduhan. Sudahlah, Fei, kamu nggak akan pernah mengerti.” “Karena yang kamu bilang kemarin, karena kamu sayang sama aku?” tanya Niken lagi. Pandu menatap wajah Niken lekat-lekat. Wajah yang begitu polos dan tanpa dosa. Digenggamnya kedua lengan Niken dengan kedua tangannya. “Aku pun nggak tahu, Fei, kenapa aku berbuat seperti ini. Kamu boleh bilang aku gila. Memang kenyataannya begitu. Kamu satu-satunya cewek yang bikin aku seperti ini, Fei. Aku mengerti kamu nggak mau tahu. Tapi aku nggak akan pernah menyesali keputusanku ini. Suatu saat aku akan membuatmu percaya, cinta suci itu ada, dan layak diperjuangkan.” Sesudah berkata-kata, Pandu cepat-cepat berlalu ke kelas. Niken mengikutinya dengan langkah pelan-pelan di belakang. Ada perasaan asing menyelimuti hatinya waktu Pandu ngomong tadi. Belum pernah ada orang yang rela berkorban buat dia seperti ini. Dia dibesarkan di lingkungan yang kurang toleransi, dimana tiap orang harus berjuang untuk kepentingannya sendiri. Lingkungan yang memproteksi dirinya dari luar, sehingga dia tak pernah merasa kecewa, tak pernah merasa kekurangan, selalu berkecukupan, tapi di lain pihak haus akan kebebasan dan kebahagiaan yang tidak pernah didapatnya dari pojok manapun di rumahnya. Dalam waktu berbulan-bulan belakangan ini, Pandu secara tidak langsung telah mengajarkannya untuk menghargai hal-hal kecil yang menyentuh hatinya. Pandu telah mengenalkannya pada sisi lain di dunia ini yang membuatnya bahagia. Pandu tadi bilang, dia satu-satunya cewek yang bikin Pandu seperti itu, otak Niken menganalisa, Pandu juga satu-satunya orang yang bikin Niken jadi seperti ini. Pandu yang baik, Pandu yang ganteng, Pandu yang… mata elang? * Siang itu Niken mengajak Wulan main ke rumahnya, seperti biasanya. Ngobrol-ngobrol di kamar, Wulan suka sekali membaca puisi-puisi Niken. Terutama akhir-akhir ini, setelah kenal Pandu, Niken lebih sering menulis puisi-puisi ringan yang riang, dibanding puisi-puisinya terdahulu yang membuat orang sedih saja. “Wulan, kamu sudah pernah jatuh cinta? Jatuh cinta tu rasanya seperti apa sih?” tanya Niken. “Kamu nggak pernah ngomong seperti ini, Nik. Tumben. Kesambet apa sih?” Wulan balas bertanya. Niken diam saja, tapi wajahnya memelas, seakan berkata, “Jawab dong…” “Sama seperti kamu, aku juga belum pernah jatuh cinta. Naksir sering, tapi jatuh cinta... sepertinya belum pernah. Kenapa sih tanya-tanya?” “Emang apa bedanya naksir sama jatuh cinta?” Niken tidak mau menjawab, malah bertanya lagi. “Blo’on benar ini anak. Naksir tu cuma sekadar suka karena dia ganteng, atau karena salah satu kelebihan di dirinya. Biasanya ya karena ganteng itu tadi. Misalnya, aku naksir Brad Pitt, gitu. Nggak berarti aku pengen pacaran sama dia. Brad Pitt kayaknya contoh kejauhan deh. Misalnya Mas Bayu, tetangga sebelah rumahku. Kalo ngeliat dia rasanya gimanaaa gitu. Tapi ya cuma sebatas itu aja. Nggak ada niatan untuk menyayang atau disayang sama dia.” “Trus kalo cinta yang kayak gimana?” “Reaksi orang terhadap cinta tu lain-lain, Nik. Ada yang nggak suka makan, nggak bisa tidur, mikirin si jantung hati. Ada yang malah makan terus, tidur juga pulas, karena mimpiin si jantung hati. Jadi aku nggak bisa jelasin definisinya, karena terlalu abstrak dan tiap orang lainlain reaksinya.” “Oke… Kasih contoh cinta jadi aku bisa ngerti dong.” kata Niken. “Banyak dong… Romeo and Juliet, yang paling terkenal. Mati demi membela cinta. Cinta yang aku pernah rasakan adalah cinta ibuku. Aku nggak pernah ketemu bapakku. Tapi ibu mencurahkan segala cintanya pada aku dan adikku. Ibuku yang seorang diri menjadi ibu dan bapakku sekaligus. Masih banyak contoh-contoh lain, Nik. Yang pasangan-pasangan terkenal legendaris biasanya karena mereka mati tragis membela cinta. Ya seperti Sam Pek dan Eng Tay, Roro Mendut dan Pronocitro. Cinta yang paling terkenal, cinta Yesus yang rela mati menebus dosa manusia, makhluk yang dicintainya.” “Hmm…” Niken cuma menggumam. “Mereka terkenal karena seakan-akan mereka telah menjadi pahlawan cinta. Memperjuangkan cinta mereka sampai titik darah terakhir. Membuktikan bahwa cinta sejati itu benar-benar ada dan mereka nggak segan-segan mempertaruhkan nyawa untuk memperolehnya.” “Jadi yang dialami kakakku, itu bukan cinta?” tanya Niken ragu-ragu. “Menurutku itu cinta juga. Sepihak tapinya. Kakakmu benar-benar cinta mati sama cowok itu, tapi si cowok bajingan itu cuma mempermainkan dia aja. Kalo kamu mau cerita yang sebenarnya, kenapa nggak tanya saja sama itu cowok? Dia kan saksi hidup. Kenapa kamu nggak tanya ke dia?” Wulan menyarankan. “Kenapa aku nggak pernah mikir itu, Wulan? Pinter juga kamu.” Niken mengacungkan jempolnya. “Wulaaan…” kata Wulan sambil menepuk dadanya. “Aku telfon dia sekarang yah…” kata Niken. “Silahkan saja. Aku perlu keluar?” tanya Wulan. “Nggak usah. Kamu di sini aja, kalo ngantuk tidur aja, Wulan.” saran Niken. “Aku ke kamar cici dulu, pasti nggak susah untuk menemukan nomor telepon Edi.” lanjutnya. Memang tidak susah mencari nomer telepon Edi di kamar Tasya, kakak Niken. Namanya jelas ada di address book Tasya, di baris nomor satu, pula. Setelah mendapatkan nomer teleponnya, Niken balik lagi ke kamarnya, lalu mengambil gagang telepon wireless di kamarnya. “Hallo, bisa bicara dengan Edi?” “Ya, ini Edi. Ini siapa yah?” tanya Edi. Jelas saja itu Edi, orang Niken menelepon nomor telepon genggamnya. “Namaku Niken.” kata Niken. Dia ingin tahu apakah Edi mengenal namanya. “Niken… adiknya Tasya?” tanya Edi. Halus sekali suaranya waktu menyebut nama Tasya. “Betul.” “Apa yang bisa aku bantu, Niken?” tanya Edi sopan. Niken tidak menyangka Edi bisa sesopan ini. Terakhir kali bertemu Edi, dia tidak seperti ini. Sombong sekali. “Aku ingin keterangan darimu. Aku ingin tahu, apakah cici itu benar-benar cinta sama kamu, dan apakah kamu nggak cinta sama cici, sampai dia mati bunuh diri?” tanya Niken to the point. “Tasya… dia sangat mencintai aku. Rasanya aku nggak akan mungkin bisa menemukan orang yang mencintai aku seperti dia. Aku… walaupun malu, aku harus mau mengakui, aku nggak menganggap serius Tasya waktu itu. Aku terlalu bejat. Aku menganggap Tasya terlalu naif, mengumbar kata-kata cinta. Aku sendiri nggak pernah mengerti apa sebenarnya cinta, dan belum pernah merasakannya, sampai saat sudah terlambat.” kata Edi pelan. “Lantas kenapa kamu bunuh dia secara nggak langsung? Dia hamil, Edi, kamu tau kan?” tuding Niken emosi. “Aku tahu. Aku memang benar-benar bajingan. Nggak seharusnya aku mempermainkan cintanya. Aku yang memaksa dia untuk menyerahkan kehormatannya padaku. Yang ada di kepalaku waktu itu cuma kenikmatan seksual belaka, sementara dia mengira aku mencintainya. Waktu aku tahu dia hamil, aku tahu nggak mungkin ada orang lain yang bisa menghamili dia selain aku. Aku panik. Aku nggak mau mengorbankan masa depanku. Tasya sendiri malah sudah siap untuk menikah, dan lain-lain. Aku egois sekali. Aku usir dia dari rumahku, aku nggak mau mengakui perbuatanku. Dia menangis memohon-mohon malam itu.” “Kamu nggak berperasaan, Edi.” “Benar. Aku memang jahat. Mungkin kamu nggak tau, tapi dia jatuh di depan rumahku malam itu. Hujan deras. Dia keguguran. Aku bawa dia ke rumah sakit. Ada sedikit perasaan lega waktu itu, mengetahui bahwa aku nggak harus bertanggung-jawab…” “Keguguran? Jadi kenapa dia bunuh diri?” Niken bingung. “Dia sakit hati karena perlakuanku. Dia berkali-kali bilang dia mencintaiku. Aku bilang, aku nggak sanggup mencintainya, apalagi menikahinya. Aku sakiti perasaannya lagi. Aku bahkan bilang, aku hanya mempermainkannya. Terakhir kali aku bertemu dia ya di rumah sakit itu. Aku pergi, meninggalkan dia sendirian di kamar. Aku nggak tahu bagaimana dia bisa pulang ke rumah malam itu. Naik taksi, mungkin.” Edi lalu melanjutkan, “Aku shock waktu mendengar Tasya bunuh diri. Aku nggak menyangka dia benar-benar mencintaiku. Saat itu aku baru sadar bahwa aku juga mencintainya. Tapi sudah terlambat. Aku sudah mengecewakannya dengan keegoisanku. Sepeninggal Tasya, aku sama sekali nggak pernah pacaran apalagi menyentuh cewek lagi. Aku selalu ingat kekejamanku padanya. Di setiap cewek yang kutemui, aku bisa melihat mata Tasya yang penuh cinta, yang kecewa, yang mau mengorbankan segala-galanya untukku. Walaupun kamu bukan orang yang tepat, aku ingin meminta maaf, Niken. Maaf aku merenggut nyawanya. Aku seharusnya melindunginya, bukan melukainya.” kata Edi penuh rasa penyesalan. Niken jadi bingung. Dia nggak mengharapkan jawaban seperti ini dari Edi. “Seandainya cici masih hidup sekarang, apa yang bakal kamu lakukan?” tanya Niken kemudian. “Oh, Niken, seandainya saja aku dapat kesempatan kedua, aku akan bilang bahwa aku juga mencintainya sepenuh hatiku, aku akan minta ampun, telah menyakiti hatinya. Tau nggak, Niken? Aku hampir saja ikut bunuh diri seminggu setelah Tasya dikubur, setelah aku menyadari bahwa aku juga mencintainya. Terus kakakku yang menyadari ada yang nggak beres, aku masuk terapi. Terapi itu benar-benar menolongku, lah. Sekarang aku bisa hidup normal lagi. Aku sekarang banyak mendekatkan diri pada Tuhan. Banyak orang yang datang padaku minta nasehat. Setiap kali ada yang meminta nasehat tentang cinta, aku selalu mengatakan, kesempatan itu datang hanya sekali. Renggut kesempatan itu dan jangan lepaskan lagi.” jawab Edi mantap. “Edi, aku yakin cici bahagia di alam sana melihat kamu sudah berubah. Cintanya juga telah kau balas. Rasanya kamu sudah cukup meminta maaf. Sorry anggapanku tentang kamu selama ini begitu jelek.” “Wajar aja, Niken. Aku sangat mengerti, koq. Aku memang bajingan, bejat dan tidak tahu diri. Semua kata-kata jelek lah. Cocok buat aku. Aku bahkan nggak mengerti kenapa gadis semanis Tasya bisa mencintai bajingan seperti aku. Aku benar-benar merasa beruntung pernah merasakan cinta tulus Tasya.” “Baiklah, Edi. Rasanya udah cukup keterangan yang aku perlukan dari kamu.” kata Niken lega. “Niken, makasih kamu mau meneleponku. Aku sudah lama menunggu kabar dari keluarga Tasya. Aku sudah lama ingin minta maaf. Pernah aku datang ke rumahmu, belum sempat bilang apa-apa, sudah diusir satpam. Kalo kamu butuh bantuanku, apa saja, aku pasti dengan senang hati membantumu, Niken.” janjinya. “Nggak perlu, Edi. Kata-katamu tadi sudah sangat membantuku keluar dari kepompongku. Terima kasih, Edi. Selamat siang.” * Di kamarnya, Niken tidak bisa tidur malam itu. Dia sibuk memutar otaknya, bagaimana cara membuktikan bahwa Jimmy-lah pelaku pencurian gelang itu. Dia harus bisa membuktikan bahwa Pandu tidak bersalah. Tapi bagaimana caranya? Kalau Jimmy pelakunya, berarti Jimmy ada di kelas 1D pada saat anak-anak sudah berkumpul di lapangan. Untuk balik lagi ke lapangan, Jimmy harus melewati kelas 2C, di mana Pandu dan Niken berada sebelum upacara mulai. Kapan dia menaruh gelang dan uang itu di laci Pandu? Niken berpikir lagi, mereka adalah dua orang terakhir yang memasuki lapangan, karena segera sesudah mereka masuk ke barisan, upacara segera dimulai. Niken nggak memperhatikan apakah Jimmy ada di lapangan waktu itu. Tapi yang jelas, Jimmy tidak mungkin sempat mengambil gelang di kelas 1D, lantas ke kelas 2C, menaruh gelang dan uang di laci Pandu, sebelum Niken masuk ke kelas 2C. Jam tujuh kurang 5 menit dia sampai sekolah. Anak-anak baru saja mulai berbaris karena bel baru saja berbunyi. Kalau asumsinya betul, Jimmy pasti ada di kelas 1D waktu Niken menaruh tasnya. Waktu akan menaruh gelang dan uang di laci Pandu, Jimmy pasti melihat Niken dan Pandu di kelas. Jadi dia mengurungkan niatnya. Dia baru bisa menaruh uang itu setelah Niken dan Pandu keluar dari kelas. Karena pintu besar ke arah lapangan dari arah 2C ditutup segera sesudah Niken dan Pandu lewat, Jimmy harus lewat pintu kecil samping kantin. Bingo! Ya. Besok dia harus bertanya sama ibu yang jaga kantin, apa dia melihat Jimmy lewat situ setelah upacara dimulai. * “Jadi ibu tidak melihat Jimmy, anak kelas 2A itu lewat sini?” tanya Niken menegaskan. Ibu kantin menggeleng. Niken memutar otaknya lagi. Bagaimana mungkin? Apa teorinya salah? “Tolong diingat-ingat lagi, Bu. Ibu tahu Jimmy, yang tinggi, kulitnya putih, kurus, sipit, kan?” “Iya. Ibu sering lihat dia beli makanan di kantin.” “Dan dia nggak lewat sini kemarin pagi?” “Endak.” “Ibu yakin?” tanya Niken sekali lagi. “Yakin. Mata ibu masih awas.” Ibu kantin terlihat jengkel karena Niken berkali-kali menanyakan hal yang sama. “Sayang sekali. Ibu kenal Pandu? Pandu diskors gara-gara tingkah Jimmy.” keluh Niken. “Pandu yang ganteng itu? Pandu yang pernah pidato di lapangan tentang cinta itu? Dia anak yang baik sekali, satu-satunya anak yang sering beri persenan, padahal ibu tahu dia bukan dari golongan orang kaya.” “Iya. Pandu yang ganteng itu.” kata Niken tersenyum, ingat efek aksi balas dendamnya. “Pandu, dia difitnah sama Jimmy, dijebak seakan-akan dia mencuri gelang.” Ibu kantin menggeleng-geleng. “Astaga-naga… Anak sebaik Pandu tidak mungkin mencuri gelang.” “Itu juga keyakinan saya, Bu. Saya tahu Pandu tidak bersalah. Tapi saya nggak punya bukti untuk melepaskan Pandu dari hukumannya.” “Kalau Jimmy lewat sini, memangnya bisa membantu Pandu?” “Bisa sekali. Karena itu berarti membuktikan teori saya bahwa Jimmy terlambat mengikuti upacara, dan dia orang terakhir yang masuk lapangan upacara dari arah gedung kelas. Padahal saya tau persis, Jimmy nggak terlambat datang, malah dia datang pagi-pagi, karena saya papasan dengan dia jam setengah tujuh kurang.” “Sebetulnya,… Jimmy memang lewat sini…” kata ibu kantin ragu-ragu. “Dua kali malah. Dia lewat sekali, lalu balik lagi, memberi sejumlah uang, lalu memaksa saya untuk berjanji tidak mengatakan kepada siapa-siapa kalau dia datang terlambat. Katanya, dia bisa dihukum kepala sekolah kalau ketahuan terlambat.” lanjut ibu kantin. “Jadi benar Bu? Jimmy betul-betul lewat sini?” “Iya. Saya nggak berani bilang karena Jimmy sudah memberi banyak uang. Seratus ribu rupiah.” kata ibu kantin jujur. Niken lalu merogoh sakunya. Dia cuma punya punya dua puluh ribu rupiah hari itu. “Ini Bu…” kata Niken seraya memberikan uang itu pada ibu kantin. “Jangan,…” ibu kantin menolak. “Saya cuma ingin menolong Pandu. Dia anak baik. Tolong kalau ketemu Jimmy, kembalikan uang ini.” kata ibu kantin malah memberikan uang seratus ribu pada Niken. “Jangan, Bu. Jimmy punya banyak uang di gudangnya. Saya ingin ibu terima uang ini juga. Saya cuma bawa segini hari ini…” Ibu kantin menatap mata Niken. Niken mengangguk-angguk. “Salam buat Pandu kalau ketemu, yah? Semoga keterangan dari saya membantu.” “Saya usahakan, Bu.” * Niken pagi itu juga menemui Pak Yusril. Setelah berbincang-bincang lama sekali, memanggil ibu kantin segala, setelah ditimbang-timbang, Pak Yusril akhirnya percaya bahwa Jimmy yang memfitnah Pandu, dan Pandu tidak bersalah. Pagi itu juga Jimmy dipanggil Pak Yusril, dan dipaksa mengaku. Rupanya karena bukti-bukti cukup kuat menuduhnya, juga takut pada Pak Yusril, Jimmy mengakui perbuatannya. Surat skors langsung keluar. Besok pagi Jimmy bakal memulai masa hukuman skorsnya. Tiga minggu. Seminggu karena telah mencuri gelang Ratna, seminggu karena memfitnah Pandu, dan seminggu lagi karena telah menyuap ibu kantin untuk mengubur dosa-dosanya. Niken tersenyum puas. Usaha detektif kecil-kecilannya berhasil dengan gemilang. Surat pembatalan skors Pandu sudah ada di tangannya. Nanti siang dia akan menyampaikannya sendiri ke rumah Pandu. Seharian ini dia sama sekali tidak bisa konsentrasi ke pelajaran. Apalagi kalau menyadari bangku kosong Pandu di sebelahnya. Jadi kangen sama Pandu. Kangen celotehnya, candanya yang ceplas-ceplos. Baru sehari Pandu tidak masuk sudah kangen. Bagaimana jadinya kalau sampai seminggu. Bu Tanti yang lagi menjelaskan ‘Mitosis’ nggak menarik lagi buatnya. Lagu “Fallen” yang didengarnya tadi pagi di radio terngiang-ngiang terus di telinganya. I can’t believe it… You’re a dream coming true I can’t believe how I have fallen for you And I was not looking, was content to remain And it’s ironic To be back in the game You are the one who’s led me to the sun How could I know that I was lost without you And I want to tell you You control my brain And you should know that You are life in my veins “Niken!” suara Bu Tanti mengagetkannya. “Ya Bu?” “Kamu belum menjawab pertanyaan saya.” “Mati aku!” seru Niken dalam hati. “Tanya apa sih dia, aku koq nggak denger sama sekali?” bisik Niken ke Memed, yang duduk di depannya. Memed nggak dengar-dengar. “Maaf, Bu, saya tadi tidak mendengar, mohon diulangi lagi pertanyaannya.” akhirnya Niken harus mengakui ketuliannya. “Saya tadi tanya, kamu sedang memikirkan sebelah kamu yang hilang ya?” tanya Bu Tanti sambil tersenyum geli. Sekelas langsung riuh-rendah. Waktu Bu Tanti tanya pertama kali tadi, mereka sudah cekikikan. Eh, Niken malah pakai acara tanya lagi. Dua kali ketawa, deh. Niken memang konyol. Biarkan saja. Baru kali ini jatuh cinta, sih. Mohon maklum, saudara-saudara. :: Mata Elang : Chapter 4 Pandu sedang suntuk sendirian di kamarnya. Acara radio tidak ada yang menarik. Lagu-lagu yang diputar lagu cengeng semua. "Talk show murahan yang sering diadakan beberapa stasiun radio benar-benar membuat perut mulas", gerutu Pandu sambil mematikan radionya. Kamar dikuncinya dari dalam. Ibunya sudah memanggil-manggil sejak setengah jam yang lalu untuk makan siang, tapi dia selalu menjawab belum lapar. Memang belum lapar, koq. Di ranjangnya tersebar foto-foto Niken. Iya. Foto Niken waktu acara ulang tahun ibunya. Baru saja diafdruk, selesai kemarin sore. Ditatapnya sekali lagi salah satu foto di mana Niken terlihat jelas. Niken dengan senyumnya yang manis. Dia kelihatan feminin sekali. Semakin lama melihat fotonya, dia semakin suka. Semakin batinnya tersiksa. “Aaaah, Fei Fei… kenapa kamu begini mempesona?” “Hey, suara apa itu?” pikir Pandu dalam hati. Ada yang bermain piano. Seingat Pandu, di rumah ini tidak ada yang bisa main piano selain dirinya sendiri. "Siapa pula yang main piano?" Tertarik, dia lalu keluar kamar, menuju ke ruang tengah. Alangkah terkejutnya Pandu melihat Niken sedang asyik memainkan jari-jemarinya yang lentik di piano usang miliknya. Niken pun mulai menyanyi. I only see things black and white, never shades of grey My eyes don’t work that way, no… I can’t imagine fantasies, they never cross my mind Could be why I’m lonely time to time Only you, if only you could reach me now Can you teach me how Teach me how to dream, help me make a wish If I wish for you, will you make my wish come true? I’m a stranger here, stranger than it may seem Take me by the heart… Teach me how to dream You lift me up and give me hope every single day I never dream that I could feel this way When I’m down I know where I’m gonna turn Oh, I’ve got so much to learn… When I turn out the light, I turn to you for my inspiration As long as we’re together, you and me, we’re gonna dream forever… Pandu menunggu dengan sabar sampai Niken selesai memainkan seluruh lagu, baru dia mendekatinya. “Kamu… ngapain sih ke mari? Katanya nggak boleh ke sini lagi?” “Aku bilang mau ke rumah Wulan.” jawab Niken. “Aku ada hal penting yang harus aku katakan langsung padamu.” Niken lalu menelan ludahnya. “Pandu,... rasanya... aku.. juga sayang kamu...” Pandu tidak semudah itu percaya kata-kata Niken. Dia tersenyum, lalu menggeleng-geleng. “Jebakan apa lagi nih?” tanyanya. “Lho? Bagaimana sih? Nih, aku bawa surat dari kepala sekolah. Surat pembatalan skorsmu. Aku berhasil buktikan bahwa Jimmy biang keladinya. Dia diskors tiga minggu, Ndu. Tiga minggu!” kata Niken jingkrak-jingkrak kegirangan. “Koq bisa?” Pandu masih terheran-heran sambil membaca surat yang dibawa Niken. “Nikeeenn… detektif ulung” kata Niken bangga. “Makasih Fei.” kata Pandu kemudian. “Tapi aku tidak mengharapkan terima kasih. Aku pengen kamu minta maaf.” kata Niken pasang tampang serius. “Salah apa lagi aku sekarang?” tanya Pandu. “Kamu sudah berikan perasaan asing yang aneh yang aku nggak pernah rasakan sebelumnya. Aku nggak tau cara mengontrolnya.” “Kalau kamu bilang itu kesalahan, rasanya itu kesalahan bersama, Fei. Kamu juga berikan perasaan yang sama duluan ke aku. Jadi aku nggak perlu minta maaf, kecuali kamu minta maaf dulu ke aku.” kata Pandu tersenyum. “Aku takut, Ndu…” kata Niken sambil menundukkan kepalanya. Pandu lalu lebih mendekat sampai bisa memegang dagu mungil Niken. Diangkatnya wajah Niken pelan-pelan dengan tangannya. “Yang kamu bilang tadi.. kamu... serius mencintaiku, Fei?” Niken mengangguk pelan, berusaha menunduk lagi. Pandu cepat-cepat mengangkat wajah Niken lagi. “Kalau begitu kamu nggak perlu takut, Fei. Yang kita rasakan ini sesuatu yang teramat indah. Aku nggak takut. Fei, apapun yang terjadi, aku nggak akan pernah berhenti mencintaimu. Aku nggak akan pernah menyerah. Percayalah.” Niken menatap mata elang Pandu yang menyorot tegas. Ada keteduhan di sana. Dia yakin, seandainya dia ditakdirkan untuk mencintai satu orang saja di dunia ini, dia tidak akan pernah menyesal memilih Pandu. “Aku percaya koq. Kalo nggak percaya, aku nggak mungkin datang kemari hari ini. Oh iya, Ndu. Berhubung aku belum pernah jatuh cinta, bahkan tadinya aku tidak pernah bermaksud untuk jatuh cinta, ini semua terjadi begitu saja di luar kendaliku, pasti aku bakal berbuat banyak kesalahan. Aku mungkin orang yang paling bodoh tentang hal-hal yang berkaitan dengan perasaan. Kalo aku salah, tolong jangan marah, ya…” Pandu tersenyum lebar. “Gadis bodoh. Aku juga belum pernah jatuh cinta. Kita belajar samasama. Cuma satu langkah awal yang harus kamu ingat. Jangan tutup pintu hatimu. Maka segalanya akan berjalan dengan natural, asal kamu mengikuti kata hatimu.” “Ndu, kamu bisa jelasin, bagaimana aku bisa jatuh cinta sama kamu?” tanya Niken. “Koq kamu malah tanya aku? Aku juga heran. Masuk akal buat aku untuk jatuh cinta sama kamu. Tapi kamu jatuh cinta sama aku? Suatu hal yang aku pikir tadinya impossible. Aku seperti mimpi saja.” “Hey? Kenapa masuk akal buat kamu untuk jatuh cinta sama aku, tapi nggak buat aku?” tanya Niken heran. “Karena kamu punya pendirian yang kukuh, bahwa seumur idup kamu gak bakal jatuh cinta. Rasanya itu sudah harga mati yang gak bisa ditawar-tawar lagi. Sedangkan aku memang dari kecil punya impian untuk menemukan cinta sejatiku. Seperti Sang Pangeran di cerita Cinderella.” “Yep. Salah satu cerita yang aku paling benci.” kata Niken. “Lho? Semua orang suka Cinderella. Baru kali ini aku denger ada orang benci Cinderella. Emangnya kenapa?” Pandu menyatakan keheranannya. “Keenakan pangerannya. Masa’ dia boleh milih dari sekian banyak cewek se-kerajaannya untuk dijadiin istri? Wah, kalo aku hidup di jaman itu, pasti aku boikot nggak mau datang. Enak saja. Kayak mau beli baju aja. Dicoba-coba dulu, dansa-dansa dulu. Makanya aku gak suka cerita model-model seperti itu. Kayak cerita Ande-ande lumut. Wah. Itu juga pelanggaran hak asasi wanita tuh!” Niken protes. “Hmm… kalo aku pangerannya, dan kamu Cinderella-nya, biar kamu boikot nggak mau datang pun aku akan cari kamu sampe dapat.” kata Pandu sambil ketawa. Mau tak mau Niken jadi tersipu-sipu mendengar kalimat Pandu barusan. Lalu dia meneruskan, “Gini lho, moral cerita Cinderella itu, dari sekian banyak cewek cantik yang bisa saja dipilih Pangeran, Pangeran cuma milih Cinderella, atas dasar cinta. Hampir sama moral ceritanya dengan Ande-ande Lumut.” Pandu mencoba menjelaskan. Dia tidak terima begitu saja cerita Cinderella-nya diprotes oleh Niken. Niken masih kurang puas. “Ya, tapi kan nggak perlu pake cara seperti itu. Lihat cerita Putri Salju. Pangerannya yang datang ke hutan, mencari-cari Putri Salju, mencari cintanya. Itu baru namanya cinta sejati.” “Hmm… tapi kayaknya kamu lebih cocok jadi Cinderella.” kata Pandu. “Kenapa?” “Karena ukuran kaki kamu kecil sekali. Pangeran jadi mudah mencarimu.” kata Pandu sambil tertawa lepas. “Tapi kamu nggak cocok tuh jadi pangerannya.” “Kenapa?” Pandu curiga, Niken pasti bermaksud membalas ejekannya. “Karena kamu lebih cocok jadi tikus dapur. Nakal, usil, licik, bau lagi!” Niken gantian yang tertawa terbahak-bahak. “Tertawanya berhenti dulu...” Ibu Pandu menengahi. “Pandu belum makan siang tuh. Dari tadi disuruh makan jawabannya 'ogaaah' melulu” lanjut Ibu Pandu. “Oh iya. Sampe lupa nggak tanya. Kalo belum makan, makan di sini saja, Fei.” kata Pandu menawarkan. “Tapi Ibu cuma masak kering tempe lho…” Ibu Pandu setengah berbisik. “Niken juga belum makan, sih. Niken tapi belum pernah makan kering tempe. Sering dengar, tapi belum pernah makan.” “Kalau lapar ya makan saja dulu. Siapa tau suka.” kata Ibu Pandu. “Wah, Bu. Mestinya jangan ditawari. Niken itu apa-apa suka. Ngabis-ngabisi malah, kalo udah suka.” ledek Pandu. “Nggak papa diabisin kalo suka ya malah bagus” kata Ibu Pandu. Niken cuma mesam-mesem sambil bilang terima kasih. Setelah secicip, ternyata Niken suka sekali kering tempe. Entah karena Ibu Pandu yang jago masak, atau karena memang pada dasarnya Niken rakus, pokoknya yang jelas siang itu Niken makan kenyang. * “Pandu… tunggu dong!” teriak Ratna menyusul Pandu yang sedang berjalan membarengi Niken ke kantin saat istirahat pertama. Mereka berdua berhenti dan menoleh. “Ada apa, Ratna?” tanya Pandu setelah dekat. “Besok aku ada ulangan matematika lagi. Ulangan yang lalu aku dapet jelek. Tolong dong, Pandu…” rengek Ratna manja. “Sudah dua kali ulangan matematika ini kamu dapat jelek, Ratna. Aku bukannya nggak mau menolong, tapi apa gunanya pertolonganku kalo kamu tetap saja dapat nilai jelek?” tanya Pandu. “Aku nggak punya orang lain yang sanggup membantu aku. Please…” “Ratna, tujuan kamu minta tolong aku kan supaya dapet bagus, ya kan? Aku sudah berusaha semampuku untuk mengajari kamu, tapi nyatanya nggak ada hasilnya koq. Ini mungkin salahku, aku yang nggak sanggup mengajari kamu, Ratna.” jawab Pandu. “Ayo, dong. Aku berjanji akan lebih berkonsentrasi. Bagaimana?” “Kamu minta tolong Bu Lidya, guru matematika-mu, deh. Mungkin dia punya solusi yang lebih baik buat kamu. Siapa tahu dia mau meluangkan waktu untuk mengajari kamu?” saran Pandu. “Nggak mau. Bu Lidya galak dan benci sama aku. Dia kasih nilai jelek terus. Tolong aku, dong Pandu…” rengek Ratna lagi. “Tolongin dia, lah, Ndu.” jawab Niken yang jadi jengah melihat Ratna merengek melulu. “Aku bukannya nggak mau menolong, Niken. Tapi aku merasa usahaku bantuin dia selama ini nggak ada hasilnya.” keluh Pandu. Setelah diam sesaat, Pandu berkata lagi, “Aku ada jalan lain. Niken juga pandai matematika. Siang ini kamu ada acara apa, Niken?” tanya Pandu. “Hah?” Niken kaget. “Aku… ada acara apa yah? Aku ada extra badminton di lapangan indoor belakang jam tiga sore. Emangnya kenapa?” tanya Niken curiga. “Nah, aku juga ada basket jam tiga di lapangan luar. Kita kumpul di rumahku, sekalian makan siang, jam setengah tiga semuanya harus sudah kelar. Kamu pulang, aku sama Niken kembali ke sekolah. Gimana?” “Ide jelek.” kata Niken. “Lho? Jelek gimana?” tanya Pandu. “Aku harus pulang dulu.” kata Niken. Aku kan nggak bisa latihan badminton pake baju begini. Lagipula, raketku juga di rumah. Mau main badminton pakai tangan kosong?” tanya Niken geli. “Tuh, kan… Niken nggak bisa. Kamu saja, Ndu. Yaaa?” bujuk Ratna. “Tunggu. Nik, kamu abis badminton ngapain?” tanya Pandu. “Pulang.” jawab Niken singkat. “Ya tau, pulang. Maksudku ada acara apa gitu?” “Gak ada acara apa-apa.” “Sama dong. Mau nge-date sama aku, Neng?” tanya Pandu becanda. Niken tertawa kecil. Dasar Pandu usil. Pandu melanjutkan, “Begini,... maksudku, Ratna bisa ke sekolah atau ke rumahku, terserah dia, sesudah jam setengah enam. Kamu selesai badminton jam 5 kan, Nik?” Niken mengangguk. “Iya.” “Setuju, Ratna?” tawar Pandu. “Baiklah. Aku nggak punya pilihan lain, kan?” tanya Ratna. Pandu mengangguk. “Bu Lidya.” Pandu lalu ketawa. Gimana nggak ketawa melihat wajah Ratna seperti habis menggigit cabe rawit. “Jadi nanti sore jam setengah enam aku ke rumahmu yah. Makasih Pandu…” kata Ratna manja sambil nyelonong pergi. Setelah Ratna berlalu, Niken memukul bahu Pandu. “Apa-apaan sih, Ndu, mengajak aku ikut-ikutan mengajari si cengeng itu?” tanya Niken. “Aku capek mengajari dia, Fei. Aku harus terus-menerus mengulang yang aku ajarkan mingguminggu sebelumnya. Begitu terus. Lumayan kalo dia lantas mendapat nilai bagus, gitu, paling tidak kan aku jadi merasa berjasa. Ini nggak. Jadi aku merasa buang-buang waktu saja.” “Sudah tahu begitu koq malah ajak-ajak aku.” Niken merengut. “Memangnya kamu nggak cemburu ngeliat Ratna seminggu sekali datang ke rumahku? Frekuensinya lebih pasti dan lebih sering daripada kamu ke rumahku lho…” goda Pandu. “Nggak tuh.” jawab Niken sambil mengambil segelas es teh manis di meja kantin, lalu menyerahkan uang dua ratus perak ke ibu kantin sambil tersenyum. “Masa nggak, sih? Gimana kalau nanti kamu nggak usah ikut ke rumahku, nanti aku mau boncengin Ratna ke toko buku, beli buku matematika, trus pulangnya beli es krim?” goda Pandu lagi. Masih kurang puas dia rupanya. “Berani?!” ancam Niken sambil melotot. “Sarana transportku cuma sepeda, jadi mau nggak mau aku harus boncengin dia kalau mau ke toko buku. Beli es krim kan karena ada toko es krim di sebelah toko buku.” Niken merengut lagi. “Kamu sungguh-sungguh mau ke toko buku?” tanya Niken kemudian. Pandu tidak tahan lagi menahan tertawanya. “Nggak dong. Aku cuma becanda, Fei. Kamu lucu deh.” Niken tambah cemberut. “Sorry… sorry…” kata Pandu masih menebar senyum-senyum nakalnya. “Sebagai permintaan maaf, nanti sore setelah pulang badminton kita mampir beli es krim sebelum pulang. Aku boncengin. Mau?” Niken tersenyum lebar. Tentu saja dia mau. * “Bagaimana tadi latihan badmintonnya?” tanya Pandu sambil menuntun sepedanya. “Aku single lawan Yeni, menang. Double sama Jeremy, kalah tipis sama Septi dan Komang. Aku emang nggak pernah sukses kalo suruh main double. Apalagi kalo lawan cowoknya cepat kayak Komang. Komang jago di double.” keluh Niken. “Pak Mahmud tadi melatih three-on-three. Lebih asyik daripada main basket biasa. Lebih cepat.” kata Pandu sambil mengelap keringatnya. “Mobilku aku tinggal di sini saja yah?” tanya Niken. “Iya. Nanti aku anterin kamu balik ke sini lagi dari rumahku. Paling jam tujuh udah selesai.” kata Pandu. Sepanjang perjalanan dari sekolah ke kedai es krim mereka terus mengobrol. “Kamu masih sering bikin puisi, Fei?” tanya Pandu. “Iya. Tiap malam sebelum tidur.” “Memangnya kalau nggak bikin puisi nggak bisa tidur?” “Bisa. Cuma seringnya belum mengantuk, jadi daripada nganggur ya bikin puisi.” “Kamu koq bisa yah bikin puisi gitu. Bagus-bagus lagi puisimu. Setidaknya satu yang pernah aku baca itu. Aku dulu waktu di SMP pernah disuruh bikin puisi sebagai salah satu tugas untuk pelajaran bahasa Indonesia. Gagal total. Aku disuruh bikin puisi tentang pemandangan. Berhubung waktu itu aku sedang di rumah saja, dan rumahku itu dekat pasar, jadi pemandangan yang aku lihat ya pemandangan pasar. Seperti ini nih kira-kira.” “Pasar Bringharjo yang bau Banyak sapi-sapi bau Daging-daging bau Laler hinggap di tempat-tempat bau Tak heran rumahku jadi ikut bau” Niken ketawa. Lucu sekali Pandu berteriak-teriak bau. “Aku masih ingat betul ekspresi guru bahasa Indonesia-ku waktu itu. Bu Rosiana. Aku langsung dikasih nilai lima. Untungnya cuma sekali itu aku disuruh bikin puisi. Benar-benar perjuangan berat deh bikin satu puisi seperti itu saja.” “Aku bikin puisi tu cuma menulis apa yang terlintas di otak. Nggak harus dengan kata-kata yang indah. Yang penting bermakna dalam.” kata Niken. “Fei, apa sih yang kamu nggak bisa? Kamu tuh apa-apa bisa. Aku nggak bisa bikin puisi, nggak bisa njahit, nggak bisa masak. Kayaknya kamu tuh segala bisa.” “Hmm… apa yah yang aku nggak bisa? Tadinya aku kirain aku nggak bisa pacaran. Tapi kamu udah buktiin bahwa aku salah. Aku cuma nggak mau nyoba aja.” Niken berpikir sejenak. “Kamu bisa berenang?” tanya Pandu. “Bisa. Waktu kecil aku les berenang. Di rumah ada kolam renang. Harus bisa renang, dong. Gimana kalau nggak sengaja kecebur?” “Kamu bisa menggambar?” “Nggak ahli kayak Pablo Picasso, tapi kalo cuma bikin wajah orang gitu aja sih bisa.” “Bisa masak?” “Masak yang dimasak pembantuku, aku bisa semua, karena kalo liburan aku sering nganggur, jadi terus ke dapur, ngeliat mereka masak, terus ikut bantu-bantuin. Masakan favoritku, sup bakso soun.” “Menjahit?” “Waktu SMP kan ada pelajaran menjahit. Tadinya ya nggak bisa. Terus gara-gara harus bisa pas SMP itu, aku akhirnya bisa juga. Wulan yang ngajari.” “Ah… aku tahu yang kamu nggak bisa. Kamu bisa ngomong Jawa?” Niken tersenyum. “Ampun ngenyek nggih, Mas. Kulo laer ing tanah Jawa, kudu saged ngomong Jawa. Panjenengan saged nulis ngangge aksara Jawa?” Aksen bahasa Jawa Niken pun walaupun agak kaku tapi nggak begitu jelek. Pandu tercengang. “Kamu bisa nulis Jawa juga? Trus apa dong yang nggak bisa?” “Oh, ya. Aku nggak bisa ngganti ban serep mobilku. Pernah ban mobilku bocor di sekolah, aku harus minta tolong bapak tukang parkir untuk bantuin aku ganti ban serep.” “Kalau itu wajar lah karena kamu perempuan. Yang kamu nggak bisa, tapi nggak membutuhkan tenaga cowok, apa dong?” “Oh. Aku tahu. Tapi jangan diketawain yah. Aku nggak bisa dandan. Sama sekali nggak bisa. Aku tahu hasil akhirnya harus seperti bagaimana, tapi aku nggak tahu gimana caranya menuju ke hasil akhir itu. Pernah aku coba iseng-iseng, waktu pesta ulang tahun mama, sekitar 2 tahun yang lalu. Pakai segala macam peralatan make-up mama. Coreng-moreng persis pemain opera Cina. Putus asa, aku nggak pernah berusaha mencoba lagi. Aku bahkan nggak punya satupun peralatan make-up sendiri. Lipstik sekalipun.” “Memangnya Mama kamu nggak pernah ngajarin?” “Nggak. Tapi Mama punya ide bagus. Tiap kali mau ke pesta yang butuh make-up, aku ke salon. Masalah selesai, kan?” “Wah. Aku nggak bisa bantuin kamu, deh. Aku bahkan nggak punya kakak perempuan yang bisa aku tanyain. Ibu juga nggak pernah pake make-up. Sorry deh.” “Nggak masalah. Aku nggak merasa rendah diri koq. Seperti yang aku bilang, aku sudah punya solusinya.” “Bagaimana kalau kamu nggak punya banyak duit, jadi nggak bisa ke salon tiap kali mau ke pesta?” “Nggak tiap pesta aku ke salon koq. Cuma kalau pesta besar-besaran. Paling setahun satu-dua kali. Kalo aku emang dilahirkan di keluarga yang lain, yang nggak punya banyak duit, pasti sekarang ini aku bisa dandan. Memang nasibku harus begini, Ndu.” “Kamu koq kesannya merana karena punya banyak duit. Orang tu biasanya sedih karena nggak punya duit. Kamu yang punya banyak duit malah sedih.” “Kenyataannya, aku selalu bisa menemukan jawaban dari “tapi seandainya aku tidak kaya” setiap aku menemukan keberuntunganku karena jadi anak orang kaya.” “Misalnya?” “Oke. Sebutkan keuntungan jadi orang kaya. Apa saja lah yang terlintas di otakmu sekarang.” “Kamu punya rumah besar dengan fasilitas yang komplit?” “Rumah besar bener-bener bikin aku merasa kesepian. Fasilitas yang komplit, itu memang membantu aku untuk melepaskan diri dari kesepian. Kembali ke pertanyaan semula, seandainya, sendainya saja aku tidak kaya, aku nggak butuh rumah besar, apalagi fasilitas yang komplit itu, karena aku nggak bakal kesepian.” “Oke, oke. Kamu jadi sedih kan? Aku nggak pengen bikin kamu jadi sedih.” “Aku nggak sedih koq. Karena sekarang aku sudah ada kamu.” kata Niken sambil memeluk pinggang Pandu dari boncengannya. Kebetulan dua detik kemudian, mereka pas sampai di depan rumah Pandu. Ratna sudah menunggu di teras depan. Melihat Pandu dan Niken berboncengan, apalagi pegangan Niken di pinggang Pandu begitu kencang, hati Ratna terbakar api cemburu. Rupanya dia belum sempat mendengar berita bahwa Pandu sudah jadian sama Niken. Cepat-cepat dia keluar lagi, ke arah mobilnya, bermaksud ingin pulang. “Lho, lho, lho… Ratna, kamu mau ke mana?” tanya Pandu heran. “Pulang.” jawab Ratna singkat. “Sorry kita dateng terlambat. Tapi cuma telat lima menit saja koq.” kata Pandu bingung sambil melirik jam tangannya. “Jadi kamu sekarang pacaran sama Niken?” tuding Ratna tanpa basa-basi. Walaupun heran akan reaksi Ratna, Pandu mengangguk-angguk. “Niken, kamu tuh nggak boleh pacaran kan sama papa-mama kamu? Mereka tahu kamu pacaran?” Ratna berbalik menuding Niken. Gosip yang didengarnya cukup up-to-date juga ternyata. “Ratna, kami belum lama pacaran koq. Baru dua minggu. Papa-mama Niken belum tahu tentang ini. Ratna, tolong jangan bikin gara-gara.” Pandu yang menjawab. “Aku nggak akan bikin gara-gara. Tapi lambat laun mereka pasti tahu. Lagipula mereka berhak untuk tahu. Tapi sekarang aku mau pulang. Aku nggak peduli mau dapet berapa ulangan matematika besok, tapi aku mau pulang sekarang.” Pandu cuma bisa mendesah menatap mobil Ratna yang melaju terburu-buru. Dia lalu menggenggam jemari Niken. “Kamu nggak papa kan, Fei?” Niken menggeleng. “Aku juga mau pulang, Ndu. Capek. Karena aku nggak perlu ngelesin si Ratna, anterin aku balik ke sekolah dong…” “Oke. Yuk naik.” ajak Pandu. Dari suaranya sama sekali tidak terdengar nada keberatan karena harus bolak-balik dari sekolah, ke rumahnya, lalu balik lagi ke sekolah lagi tanpa istirahat. “Kamu suka es krim vanilla ya, Fei?” tanya Pandu memecah kesunyian. Niken dari rumahnya tadi sudah lima menit tak melontarkan sepatah kata pun. “Nggak juga. Aku suka es krim apa aja kecuali strawberry. Cie Tasya cuma suka mocha. Sampe bosan aku melihat es krim mocha di lemari es. Besok hari ulang tahun Cie Tasya. Tadi pagi mama sudah beli es krim mocha satu dus. Bunga matahari kesukaan cie Tasya juga sudah dipesan. Aku yakin rumahku pasti sore ini sudah penuh bunga matahari. Terutama kamar cie Tasya…” “Ulang tahun yang keberapa, Fei?” “Dua puluh satu.” Setelah diam lagi sejenak, Niken tiba-tiba berseru, “Oh, aku ingin mengundang Edi, bekas pacar kak Tasya itu untuk datang ke rumah besok!” “Hah?” Pandu jadi kaget. “Gila kamu, Fei? Kamu bercanda kan?” “Nggak. Aku yakin sekali Edi sudah berubah, berubah menjadi cowok yang diinginkan kak Tasya. Nanti sampai di rumah aku akan telepon dia.” Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya. Cewek yang satu ini kalo sudah ada maunya, susah diberitahu. Tapi kekeras-kepalaannya inilah salah satu di antara jutaan sisi menarik Niken. “Kalo terjadi perang gimana?” tanya Pandu berusaha menakut-nakuti. “Ya biar aja. Sudah lama nggak ada perang di rumah. Biar ramai.” ujar Niken cuek. “Terserah kamu, lah. Asal kamu jangan undang aku aja.” “Kenapa? Takut nih ye… Mana bisa praktek siasat perang Sun Tzu kalo nggak pernah maju ke medan perang?” ejek Niken. “Tapi yang bakal terjadi besok di rumahmu itu bukan perang beneran. Perang mulut. Idih! Aku nggak mau ikut campur lah.” “Bagaimana kalo aku undang? Masa’ kamu menolak undanganku? Kamu kan belum pernah masuk ke rumahku?” ledek Niken. Dia sebetulnya juga tidak sungguh-sungguh berniat mengundang Pandu. Cari maut namanya. “Aku akan datang kalau kamu undang. Kapan aja aku siap. Kamu kan yang belum siap mengenalkan aku sebagai pacar ke keluargamu?” Sebenarnya Pandu gentar juga, sih. Tapi nggak mau kalah, dong. “Oke. You’re officially invited. Besok datang jam tujuh malam. Aku akan suruh Edi jemput kamu.” Pandu langsung menghentikan sepedanya. “Serius nih?” tanyanya sambil memegang bahu Niken. Niken mengangguk ragu. Pandu langsung menjitak kepalanya pelan. “Jangan ngomong sesuatu yang kamu tahu bakal kamu sesali di kemudian hari, Fei.” “Ndu, yang dibilang Ratna tadi benar juga. Cepat atau lambat papa-mama pasti tahu. Temantemannya banyak. Lebih baik tahu dari aku langsung, daripada dari gosip orang lain.” kata Niken. “Kalau kamu memang siap, aku juga siap, Fei.” kata Pandu yakin. “Sungguh, Ndu? Bagaimana kalau kamu diusir lagi sama papa?” “Diusir ya pulang, dong. Itu kan rumahnya dia. Aku bisa apa coba?” “Aku pokoknya bakal belain kamu, Ndu. Aku nggak akan ijinkan papa ngusir kamu lagi. Kamu bakal makan malam di rumahku. That’s final. Tapi papaku bisa benar-benar kejam, katakatanya bisa jadi begitu menyakitkan. Aku takut kamu sakit hati, trus nggak mau ketemu aku lagi.” “Aku nggak akan menyerah kalau selama kamu nggak menyerah, Fei.” “Fei Fei!!” Suara itu terdengar begitu familiar di telinga Niken. “Mama…?” Niken terkejut sekali melihat mamanya naik mobil BMW-nya lewat di dekat sekolahnya. “Oh, tentu saja!” seru Niken dalam hati, menyadari kebodohannya. “Salon mama kan dekat sini.” “Masuk ke mobil, sekarang!” bentak mama sambil membuka pintu mobil dari dalam. “Ma, mobilku di lapangan parkir, tinggal dekat situ.” kata Niken menunjuk ke arah lapangan parkir. “Nanti biar diambil Pak Isyur. Pak Isyur, nanti ambil kunci mobil dari non Niken.” kata mama ke Pak Isyur, salah satu sopir keluarganya. “Ayo, masuk.” desak mama. Niken menatap wajah Pandu sekilas sebelum masuk ke mobil. Walaupun wajah itu begitu diliputi ketegangan, tetap saja berusaha tersenyum untuk membesarkan hati Niken tanpa berkata-kata. Mama langsung membentak Niken begitu pintu mobil ditutup. “Itu cowok yang diusir papa kapan hari ya?” Niken mengangguk lemah. "Diadili lagi deh," pikirnya. “Kamu sudah lupa, janji-janji sendiri nggak mau pacaran? Kamu apa-apaan boncengan sama cowok dekil itu? Nggak tahu malu!” “Namanya Pandu, Ma. Bukan cowok dekil.” bela Niken. “Kamu sudah lupa apa yang terjadi pada kakakmu?” “Gimana bisa lupa, sih Ma? Tapi mama tau nggak, Edi pacar cici tu sekarang sudah berubah jadi anak baik-baik, sejak cie Tasya meninggal. Dia benar-benar berubah, Ma. Cinta Cie Tasya yang merubah Edi.” “Mau berubah kek, mau mati kek, mama nggak urusan. Penyesalannya nggak bisa mengembalikan Tasya, kan?” jawab mama sinis. “Ma, rasanya sudah waktunya kita maafin Edi. Edi memang salah besar dulu. Tapi aku sangat berterima kasih sama Edi, karena dia sudah membuka mataku, bahwa cinta itu memang ada. Cie Tasya benar-benar cinta sama Edi, dan sekarang cintanya sudah bersemi.” “Sudah mulai bisa ngomong cinta-cintaan kamu sekarang, ya? Lantas mau menasehati orang tua?” “Bukan begitu maksud Fei Fei, Ma. Fei sayang banget sama Pandu. Fei cuma pengen mama bisa ngerti. Percaya deh, Ma. Fei nggak akan berbuat kesalahan yang sama seperti cici.” “Mestinya kamu sudah bisa mengerti sekarang, cinta itu nggak ada gunanya. Lihat cicimu, lihat mama. Pokoknya kamu nggak boleh pacaran, apalagi sama anak dekil itu.” “Kenapa memangnya koq terutama Pandu?” desak Niken. “Dia bukan dari golongan kita, Fei Fei. Apa kamu tidak sadar? Kamu cuma bakal menderita kalau sama dia. Tidak ada bibit, bebet ataupun bobot yang bisa dipandang. Kamu bisa pilih cowok yang lebih baik, yang dari golongan kita.” “Golongan kita? Golongan apa yang mama maksud? Golongan yang mendewakan materi? Golongan orang-orang berduit dan berdasi? Golongan yang memandang rendah golongan lain karena merasa golongannya yang terbaik? Atau cuma semata-mata karena Pandu orang Jawa, Ma?” tanya Fei Fei emosi. Sudah lama dia ingin mengungkapkan perasaan muaknya terhadap aksi penggolong-golongan ini. “Fei Fei! Mama sudah cukup toleran membiarkan kamu bergaul dengan Wulan anak pembantu itu. Seharusnya mama tahu, dia cuma membawa dampak buruk buat kamu. Kamu sekarang berani melawan orang tua, ya?!” Mereka terus perang mulut sampai depan garasi. Masuk ke rumah, kebetulan ada Papa di rumah, sedang membaca koran di ruang tengah. Maklum, besok ulang tahun Tasya. Biasanya Papa memang selalu ada di rumah setiap hari ulang tahun Tasya. Tasya itu adalah anak kesayangan Papa. Papa nggak pernah memarahi Tasya. Kesalahan apapun yang Tasya buat, Papa selalu belain. Mama langsung melapor tentang kejadian barusan. Papa langsung naik pitam. “Seingat Papa, Papa sudah memperingatkan kamu untuk tidak dekat-dekat sama cowok berandal itu.” kata Papa. “Kamu sengaja mau melawan orang tua ya?!” Papa membentak. Niken tersentak kaget. “Dia bukan cowok berandal, Pa. Bukan juga cowok dekil, Ma. Namanya Pandu. Fei sayang sama dia, Pa, Ma…” “Sayang,.. sayang…? Memangnya anak sehijau kamu tahu arti kata sayang?” tanya Papa sinis. Niken jengkel sekali diperlakukan seperti ini. Seperti anak kecil saja. Niken lalu menjawab, “Tentu saja tahu. Fei sudah besar, Pa. Tahu mana yang benar, mana yang salah. Apapun arti kata sayang atau cinta itu, Fei nggak pernah dapat dari Papa. Rasanya Papa yang perlu bertanya pada diri sendiri, apa arti cinta itu. Cinta itu personal. Cinta berarti setia. Nggak mungkin bisa yang tadinya cinta terus lama-lama nggak cinta. Apalagi mencintai orang lain dan membuat orang yang dicintai luka. Fei yakin itu bukan cinta, ya kan Pa?” Papa geram. Ditamparnya pipi Niken. “Kamu sudah berani mengkuliahi orang-tua, ya?!” “Berani karena aku tahu aku benar. Selama ini aku diam saja, tidak pernah berkomentar apalagi protes tentang Tante Mia, simpanan papa yang sering kemari itu. Diam bukan berarti aku nggak bisa menilai. Karena Papa nggak tahu apa artinya cinta, Papa nggak berhak melarang atau menceramahi aku untuk nggak pacaran sama Pandu.” kata Niken sambil menangis lalu lari masuk kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Perih sekali pipinya. Dia masuk kamar bukan cuma karena ingin menangis, tapi juga karena mendengar sayup-sayup bunyi telepon di kamarnya. “Fei?” Sudah bisa ditebaknya, Pandu. Niken tidak bisa menjawab karena sibuk mengatur napasnya. Pandu bisa mendengar isak tangis Niken lewat telepon. “Sudah… cup… jangan menangis, sayang. Seperti habis digebukin saja, Fei.” kata Pandu berusaha bercanda untuk membuat Niken tertawa. Tapi Niken malah tambah kencang menangisnya. “Hey, Fei? Kamu nggak diapa-apain kan sama Mama kamu?” tanya Pandu heran. Dia belum pernah mendengar Niken menangis seperti ini. “Nggak.” “Sungguh?” “Hmm… Cuma ditampar sama Papa. Sekali.” “Ya ampun…” Pandu mengelus dadanya. Kasihan sekali Fei Fei, katanya dalam hati. “Fei,… kalau kamu nggak kuat, kapan saja kamu boleh menyerah. Kamu tinggal bilang terus terang. Aku sangat mengerti koq.” Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba dia sadar, dengan menggelengkan kepalanya, bagaimana Pandu bisa tahu? Dia lalu tertawa sendiri. “Koq ketawa sih?” Pandu jadi tambah bingung. “Nggak. Aku barusan geleng-geleng. Trus aku mikir, bagaimana kamu bisa tahu kalo aku geleng-geleng, kalo aku nggak sambil ngomong?” katanya geli. “Aku belum mau menyerah koq, Ndu. Doain semoga aku bisa kuat ya, Ndu. Aku nggak ingin menyerah sampai kapanpun. Ingat nggak, Ndu, aku pernah bilang, mau hepi itu susah buat aku. Butuh banyak pengorbanan. Kamu juga mesti sabar, yah?” “Fei, kamu pernah tanya, seperti apa sih tipe cewek idamanku. Sekarang aku tahu. Yang persis seperti kamu, Fei. Semuanya yang ada di dalam dirimu aku suka. Aku sanggup menunggu kamu selama apapun. Untuk mendapatkan yang terbaik, orang mesti sabar.” Niken tersenyum puas. Lega sekali rasanya. “Ndu, kamu tetap datang besok sore, yah? Aku belum sempat telepon Edi, sih. Setelah ini nanti aku telfon dia.” “Kamu yang undang, aku pasti datang.” “Aku cuma pesan sekali lagi, kamu mesti ekstra sabar. Tadi saja di depanku mama sudah ceramah tentang golongan. Besok sore bisa tambah ganas, Ndu.” “Aku heran gimana cewek sebaik kamu bisa lahir dari lingkungan rasialis seperti itu. Kamu pasti anak pungut, Fei.” goda Pandu. “Iya. Anak keluarga Pandu.” “Huh. Kamu nggak mirip papa-mamaku sama sekali. Nggak mungkin, lah. Lagipula, kalo kamu anak keluarga Pandu, berarti kita saudara, dong. Mana boleh pacaran. Ngaco kamu, Fei!” “Ya sudah deh. Aku mau telepon Edi. Jangan lupa berdoa malam ini. Kalo perlu berdoa novena.” “Iya deh, nanti aku minta ibuku ikut berdoa. Biasanya doa ibuku tu selalu terkabul.” Niken lalu menutup teleponnya. Lalu menelepon Edi. Edi senang sekali Niken mau mengundangnya datang untuk merayakan hari ulang tahun Tasya. Niken sudah memperingatkan bahwa orangtuanya masih menyimpan dendam kesumat padanya, dan Niken tidak akan menyalahkan kalau Edi tidak bersedia datang. Edi sepertinya tidak perduli. Dia berjanji datang besok sore, setelah menjemput Pandu. Seraya meletakkan gagang telepon, Niken menatap cermin di hadapannya. Pipinya masih merah. Dipegangnya pelan-pelan. “Aduh!” Dia lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuknya. Kelelahan, Niken ketiduran. * Niken terbangun karena teleponnya berbunyi lagi. “Hallo?” kata Niken sambil menoleh ke arah jam weker di sebelah tempat tidurnya. Jam setengah dua belas malam. “Fei!” Suara Pandu masih kedengaran segar-bugar. “Ini sudah hampir tengah malam, yo. Kamu nggak bobok?” tanya Niken. “Kangen. Aku lagi dengerin radio, dengerin lagu trus jadi inget kamu. Sampe aku rekam di kaset lagunya. Nih dengerin…” My heart is filled with so much love And I need someone I can call my own To fall in love that’s what everyone’s dreaming of I hold this feeling, oh so strong Life is too short to live alone without someone to call my own I will care for you, you will care for me Our love will live forever Shower me with your love… I close my eyes and pray all my wishes come true Every night I go to sleep Until you’re mine I’ll wait for you endlessly Can’t you see Fairy tales, they do sometimes come true If you believe, it could happen to you Like the stars that shine, way up in the sky Our love will live forever “Fei, karena aku, kamu ditampar papa kamu. Aku janji, aku nggak akan pernah sakitin kamu.” “Yah nggak sakitin tapi bangunin orang lagi tidur nyenyak.” gerutu Niken. “Aku gak bisa bobok… Inget kamu…” “Lha aku udah bobok, nih.” “Mimpiin aku nggak?” “Nggak.” “Makanya aku telfon. Aku harus memastikan kamu mimpiin aku.” “Iya… iya… lagipula kamu koq tumben senang dengerin lagu melankolis begini sih?” “Gara-gara kamu.” “Koq?” “Semenjak kenal kamu aku jadi suka dengerin lagu-lagu cengeng begini. Cocok sama suasana hati. Nggak tau kenapa.” Niken cekikikan. “Sudah berdoa?” tanya Pandu. “Oh, iya belum. Aku ketiduran setelah telepon Edi tadi. Besok sore kamu bakal dijemput dia. Jadi siap-siap saja.” “Tuh kan.. untung kan aku telepon, mengingatkan kamu untuk berdoa. Udah berdoa sana, trus bobok. Met bobok, sayang…” “Centil ah sayang-sayangan segala.” Niken tersipu malu. “Memang sayang koq.” * Dari pulang sekolah sampai sore ini, Pandu sibuk membongkar lemari pakaiannya. Tidak puas, dia mengobrak-abrik lemari bapaknya juga. Tujuannya cuma satu. Menemukan pakaian yang pantas untuk dipakai ke rumah Niken malam ini. Sebetulnya banyak pilihan. Cuma karena bingung dan senewen, rasanya dari tadi tidak ada yang pas. Ibunya sampai ikut-ikutan pusing memilihkan ini-itu. Lebih pusing lagi melihat kamarnya yang ikut berantakan. Kakak-kakaknya selama ini jatuh cinta ya jatuh cinta, tapi tidak pakai acara membongkar seisi rumah seperti ini. “Pras, ini bagus nih…” kata ibu menunjuk hem biru muda lengan panjang dari timbunan celana-celana panjang. “Nggak… jelek ah, Bu.” Pandu menolak. “Bagaimaina dengan yang ini?” Pandu menoleh lagi. Hem batik biru lengan panjang yang ada di tangan ibu itu keren juga. Tapi apakah cukup keren untuk acara malam ini? Pandu menggeleng ragu. “Pras, sudahlah. Capek sudah ibu melihat kamu bongkar-bongkar begini. Nanti pasti ibu juga yang beres-beres. Lagipula, Niken juga pasti tidak menginginkan kamu datang sebagai orang lain. Tunjukkan jati dirimu, Pras, jati diri yang dicintai Niken. Supaya papa-mamanya Niken bisa melihat seperti apa Pandu yang diidolakan anaknya itu.” “Begitu ya, Bu? Jadi batik ini bagus ya, Bu?” tanya Pandu masih bingung. Ibunya tersenyum. “Tentu saja. Itu yang ibu berusaha bilang dari satu jam yang lalu.” Lalu ibu meneruskan, “Ini sudah jam lima, lho. Kamu lebih baik mandi dulu. Percuma pakai baju bagus-bagus kalo bau kecut.” “Oh, ya.” Pandu lalu berdiri. Lututnya terasa kaku setelah hampir dua jam penuh duduk di lantai. “Edi tadi telfon bilang mau jemput jam lima.” * Sementara itu, di rumahnya, Niken pun sedari tadi mendekam di kamarnya. Hatinya degdegan. Sudah dari tadi deg-degannya. Semakin mendekati jam tujuh, semakin kencang debar jantungnya. Sambil menyisir rapi poni di dahinya, komat-kamit Niken melontarkan doa. “Biarlah malam ini terjadi sesuai keinginanmu, Tuhan.” Jam tujuh kurang seperempat. Pelan-pelan Niken keluar kamarnya setelah melongok terlebih dahulu. Merasa aman, dia lalu melangkah ke ruang tengah. “Oma…!!” Begitu melihat neneknya di ruang tengah, Niken langsung lari memeluk nenek tercintanya itu. Oma Lilian itu mama-nya papa. Satu-satunya anggota keluarganya yang bisa dikategorikan ‘manusiawi’. Sayang sekali Oma kena stroke tahun lalu, jadi sekarang dia harus menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda. Sayang sekali Oma ini terkenal dengan sikap keras kepalanya. Sudah berkali-kali papa dan mama memaksa Oma untuk tinggal bersama mereka, tapi Oma tidak pernah mau. Oma lebih suka tinggal di rumah kecilnya di Kudus. Dan Oma bisa marah besar kalau ada yang menyinggung-nyinggung untuk menjual saja rumah Kudus. Di surat wasiatnya, Oma sudah menulis, rumahnya di Kudus itu sampai kapan pun tidak boleh dijual. Nanti kalo Oma wafat, rumah itu boleh dipakai untuk tujuan sosial. Pokoknya rumah itu tidak boleh dijual. Di Kudus Oma punya taman bunga anggrek. Walaupun sekarang sudah agak susah untuknya merawat bunga-bunga anggreknya, Oma masih selalu menyempatkan diri merapikan tamannya setiap hari. Niken sering ke Kudus kalau liburan. Daripada menganggur di rumah. Dari kecil Niken selalu dekat dengan Omanya. Tasya juga dulu dekat sama Oma. “Kapan datang, Oma?” tanya Niken. “Tadi siang, dijemput papamu. Rumahmu hari ini semarak sekali, Fei Fei. Kuning-kuning bunga matahari. Kamu juga memakai baju kuning-kuning. Kamu memang manis…” kata Oma sambil mencubit pipi Niken dengan sayang. “Oma, aku hari ini mengundang dua orang yang sangat dibenci papa-mama. Oma bantuin Fei Fei ya…” pinta Niken manja. “Tergantung, siapa dulu orangnya.” Ragu-ragu, Niken cerita ke neneknya, “Orang yang pertama, namanya Edi.” “Edi yang pacarnya Tasya?” tanya Oma langsung bisa menebak. Niken mengangguk. “Yang kedua?” tanya Oma. “Oma koq nggak tanya, kenapa Niken mau mengundang Edi?” Niken heran. Omanya tersenyum lebar. “Edi anak yang baik. Oma sering bertemu dengannya di kuburan Tasya. Dia sering berlama-lama di situ. Kita sering bicara dari hati ke hati. Bukannya kamu dulu yang benci sekali sama dia?” tanya Oma. “Itu dulu. Sebelum Fei tau kalo Edi itu sudah berubah jadi orang yang baik. Rasanya sudah waktunya kita memaafkannya.” “Bagus. Oma tidak pernah bilang sama kamu, karena Oma tahu kamu dulu dendam kesumat sama dia. Oma bangga punya cucu seperti kamu, Fei. Oke, sekarang siapa yang kedua?” tanya Omanya lagi. Niken gantian yang tersenyum tersipu-sipu. Melihat gelagat, Oma langsung menebak, “Pacar kamu ya?” Lagi-lagi Niken cuma bisa mengangguk-angguk. “Papa-mama tahu?” bisik Oma. “Dua-dua sudah pernah melihat orangnya, sih. Namanya Pandu, Oma. Pandu Prasetya.” “Orang Jawa yah?” tanya Oma. “Koq Oma tahu?” Niken mengkerutkan wajahnya. Oma hari ini seperti tukang ramal saja. “Nebak aja, dari namanya. Trus gimana?” “Ya Oma pasti tau lah cerita selanjutnya. Papa sama Mama nggak ada yang setuju Fei pacaran sama Pandu. Padahal Fei sayang banget sama Pandu. Pandu juga sayang sama Fei koq.” Oma tersenyum lagi. Agak aneh juga mendengar cucunya yang keras kepala ini jatuh cinta. Pasalnya, Niken dari kecil selalu benci sama anak laki-laki, apalagi anak laki-laki yang sok jagoan. Waktu kecil pun Niken sering berkelahi dengan anak laki-laki. Berkali-kali Mamanya dipanggil guru SD Niken. Ini mungkin salah satu sebab Papa lebih menyukai Tasya yang pendiam dan tidak pernah membuat onar. Tapi dari kecil Oma bisa melihat Niken itu orang yang kuat, dan selalu berpegang teguh pada prinsipnya. Sayang sekali beda umur Tasya dan Niken cukup banyak, empat tahun. Seandainya saja cuma beda setahun, misalnya, Niken pasti bisa melindungi Tasya. Kekeras-kepalaannya sudah terkenal seantero jagat. Niken paling benci ikut acara-acara keluarga. Oma pernah tanya kenapa, dan jawabannya sangat memuaskan. Waktu itu Niken masih berumur sepuluh tahun. Prestasinya di kelas sangat membanggakan, di bidang apapun. Jawaban yang membuat Oma tertarik waktu itu, adalah “Acara keluarga seperti ini cuma dijadikan ajang unjuk diri. Unjuk keluarga. Ini lho aku yang terbaik. Anakku masuk ke sekolah favorit, universitas favorit. Anakku menikah dengan konglomerat kelas kakap. Memuakkan.” Sejak saat itu, Oma tahu bahwa Niken itu punya pribadi yang lain dari orang kebanyakan. Sungguh mengherankan mengingat Niken dimanjakan dari bayi. “Kamu sudah pikirkan baik-baik, Fei?” tanya Oma. Niken mengangguk tanpa ragu. “Baiklah, kalau kamu memang mantap, Oma pasti dukung. Jadi penasaran, seperti apa sih, orang yang berhasil mengambil hati cucuku yang konon tidak pernah jatuh cinta ini?” goda Omanya. Niken tertawa kecil. Senang sekali mendapat dukungan tulus dari Oma. Lega sekali Niken, setidaknya dia masih punya Oma yang mau mengerti. “Non, ada tamu buat non Fei Fei.” lapor salah satu pembantu rumah tangganya. Niken tersenyum menatap Omanya, lalu mendorong kursi rodanya ke arah ruang tamu. Pandu melangkah ragu-ragu masuk ke ruang tamu dari pintu luar. Rumah Niken benar-benar besar dan megah. Atau dengan kata lain, mewah. Isi ruang tamu ini mungkin kalau dikalkulasi ada berpuluh-puluh juta rupiah. Lampu kristal chandelier yang menggantung manis di tengah-tengah ruang tamu dengan cahaya lampunya yang redup benar-benar terlihat… mahal. Vas antik di pojok ruangan itu pasti harganya mahal sekali. Ubinnya dari marmer, mengkilap, sampai-sampai Pandu bisa melihat bayangan wajahnya sendiri di lantai. Kursi sofanya yang berwarna hitam terlihat begitu empuk. Bisa tertidur kalau duduk di situ barang lima menit. “Ndu!” sapaan ramah itu terdengar begitu melegakan di telinganya. “Fei Fei… Ini buat kamu… Hadiah buat kamu karena hari ini kamu keliatan cantik banget.” kata Pandu sambil menyerahkan serangkaian bunga ke tangan Niken. “Sudah sempat research dia rupanya,” bisik Oma sambil menyenggol siku Niken setelah melihat bunga yang diberikan Pandu itu lily putih. Niken tersipu malu. Iya, bagaimana Pandu bisa tahu kalau dia suka bunga lily putih? Pandu mendengar bisikan Oma tadi. Dia lalu ikut berbisik, “Aku dapat bocoran dari Wulan.” Tapi dari mana dia tahu kalo Niken bakal terlihat cantik malam ini? Mudah saja, Niken kan memang selalu terlihat cantik. “Ndu, kenalin, ini Omaku. Oma, ini Pandu yang tadi Fei bilang.” Pandu lalu menjabat tangan Oma. Tangan Pandu dingin sekali. Maklum, nervous, mau ketemu camer. “Papa-mamanya Niken itu cuma manusia, bukan macan. Jadi kamu nggak usah takut.” saran Oma yang bisa mencium kegugupan Pandu. Pandu mengangguk. “Dan ini Edi. Oma rupanya sudah kenal baik sama Edi. Ce-es malah.” gurau Niken. “Mari masuk.” ajak Oma. Niken lalu mendorong kembali kursi roda Oma masuk ke ruang tengah. Rupanya Papa dan Mama sudah ada di ruang tengah. “Ma, Pa, kenalkan ini Pandu…” “Siapa yang suruh kamu undang dia? Dan cowok tengik itu?” kata Papa sambil menunjuk ke arah Pandu dan Edi. “Aku yang undang mereka.” Oma menjawab dengan tegas. “Suka atau tidak suka, hari ini mereka akan makan malam bersama kita. Kamu berdua tinggal pilih. Makan malam dengan tampang cemberut seperti itu sepanjang malam, atau berusaha untuk tersenyum sesekali.” “Tapi mam…” sahut Papa protes. “Aku ingin makan malam dengan tenang. Jadi sebaiknya kalian jaga kelakuan masing-masing.” Oma memperingatkan sekali lagi. Nggak punya pilihan lain, Papa cuma diam saja. “Cuma makan malam. Sesudah itu aku nggak janji apa-apa.” kata Papa kemudian. “Kalau begitu ayo kita mulai makan sekarang.” ajak Mama. Rasanya Mama juga sudah tidak sabar menanti makan malam selesai. Menu masakan malam ini masakan kesukaan Tasya semua. Sup kepiting, bakmi goreng, kodok goreng mentega, dan bu yung hai. Melihat sup kepiting di hadapannya, Edi jadi teringat Tasya. Dari tadi dia masih belum bisa menghabiskan sendokan keduanya. “Nggak suka sup kepitingnya, Edi?” tanya Niken. “Suka… suka koq. Permisi, aku mau ngecek mobilku…” Alasan rendahan. Semua orang juga tahu kalau Edi nggak betul-betul berniat ngecek mobilnya. Niken baru saja mau beranjak mengikuti Edi, kalau saja Oma nggak memperingatkan dengan tatapannya yang bilang ‘jangan’. Oma yang lalu memutar kursi rodanya menuju ke arah luar. “Pura-pura saja.” umpat Papa. “Pa, ayolah. Masa’ Papa nggak melihat perubahan Edi yang drastis? Dia nggak lagi sombong seperti dulu. Edi yang sekarang benar-benar simpatik. Bahkan Oma pun bilang begitu.” “Aku tidak tahu bagaimana caranya Oma bisa mendukung kamu, tapi Mama tetap nggak bisa maafin Edi, dan sebelum kamu lebih jauh, lebih baik kamu lupakan saja rencana pacaranmu itu.” kata Mama. “Tante, saya bisa mengerti sikap proteksi Tante dan Oom terhadap Fei Fei. Menurut saya wajar saja, mengingat kejadian tragis yang menimpa Tasya. Tapi Fei Fei bukan Tasya, dan saya juga bukan Edi. Fei Fei cewek pertama, dan bukan tidak mungkin bakal jadi yang terakhir, yang saya cintai. Yang kami perlukan saat ini cuma sedikit kelonggaran waktu untuk membuktikan bahwa cinta kami layak untuk dihargai.” “Omong kosong!” Papa menggebrak meja makan. Niken kaget sekali. Piring-piring di dekat Papa sampai ikut meloncat. Ikut kaget juga, mungkin. “Kamu cuma ingin mengeruk kekayaan keluarga kami, kan? Karena Fei Fei anak kami satusatunya, dia ahli waris tunggal. Seperti mendapat durian runtuh, kan?” ejek Papa dengan nada yang teramat sinis. Pandu sudah siap dengan hinaan seperti itu. Bahkan tadi dia sudah mempersiapkan diri untuk hinaan yang lebih jelek dari itu. Ini belum seberapa. “Papa, sudah cukup!” Niken tidak terima Pandu diejek seperti itu. “Saya nggak butuh kekayaan Niken. Saya yakin bisa berhasil dengan usaha saya sendiri. Saya punya modal yang cukup untuk itu. Otak, kemauan, dan kemampuan. Kalau memang membantu, saya bersedia tanda tangan hitam di atas putih, menyatakan bahwa saya nggak akan memperoleh duit sepeser pun dari Fei Fei, bahkan misalnya kami menikah nanti, justru saya yang akan memberi uang pada Fei Fei, bukan menerima. Bagaimana, Oom?” kata Pandu menawarkan, masih dengan nada sopan. “Muluk-muluk.” kata Papa. “Apa kerjaan ayahmu?” tanya Papa. “Polisi.” “Salah, saya sudah cek. Polisi rendahan, dengan gaji pas-pasan.” Pandu diam saja. Memang kenyataannya begitu. Mau apa? “Kamu ke sekolah naik apa?” tanya Papa lagi. “Sepeda.” “Kalo sepeda rusak, naik apa?” “Ya dibikin betul. Kalo tidak bisa ya jalan. Dianugerahi kaki sama Tuhan, sayang kalau tidak digunakan.” “Fei Fei dari kecil selalu naik mobil ke mana-mana. Tidak pernah hidup kekurangan. Kamu tidak akan bisa membahagiakan dia.” “Papa! Papa nggak tanya, apa selama ini Fei bahagia? Nggak pernah hidup kekurangan bukan berarti bahagia, Pa!” protes Niken. Pandu lalu menengahi, “Terlalu dini untuk menilai apakah saya bisa membahagiakan Fei Fei apa nggak.” “Betul, Pa. Pandu itu termasuk orang pandai di sekolah. Nggak pernah mengalami kesulitan di bidang studi apapun. Dia punya masa depan yang cerah.” kata Niken seperti orang jual jamu. “Sekarang jawab pertanyaanku. Sesudah SMA, kamu mau melanjutkan kuliah di mana?” tanya Papa lagi. “Dari kecil saya ingin masuk ITB. Kalau bisa saya ingin mendapat beasiswa untuk kuliah di sana, jadi tidak merepotkan ibu sama bapak.” jawab Pandu jujur. “Nah, Fei Fei itu bakal sekolah di luar negeri. Amerika.” kata Papa. “Oh ya?!” tanya Niken terkejut. “Siapa yang bilang? Koq aku malah belum tahu? Apa aku nggak berhak untuk memutuskan di mana aku mau kuliah?” Pertanyaan Niken keluar bertubitubi. “Mama yang bilang. Kamu bakal masuk Universitas di Amerika. Titik.” kata Mama. “Nggak. Fei nggak mau. Apa enaknya kuliah di Amerika? Dari dulu Fei nggak pernah mimpi ingin kuliah di luar negeri koq.” Seperti biasanya, Niken dan kemauannya yang keras. “Ini demi masa depanmu, Fei.” kata Mama lagi. Niken cemberut. Segala sesuatu selalu sudah diputuskan tanpa didiskusikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan. Dirinya! “Kalau kamu memang mencintai Fei Fei, kamu mestinya mendukung dia untuk kuliah di Amerika demi masa depannya.” kata Papa kepada Pandu. Pandu terdiam. Kata-kata Papa Niken ada benarnya. Apalagi kalau Niken tidak mau kuliah di Amerika cuma karena demi dia. Tidak adil buat Niken. Dia cewek yang cemerlang. Dia harus mendapat kesempatan meniti karier setinggi mungkin. “Fei, yang dibilang papa kamu benar juga. Aku nggak berhak berdiri di tengah jalan, menghalang-halangimu.” Pandu lalu berdiri. “Selamat malam. Terima kasih atas undangan makan malamnya. Selamat tinggal, Niken.” “Tunggu, Pandu…” Niken mengikuti Pandu yang sudah sampai di ruang tamu. Merasa diacuhkan, Niken lalu memegang lengan Pandu. “Ndu. Dengerin aku dulu, kenapa sih? Sampai dua menit yang lalu, aku nggak tahu kalau aku bakal kuliah di Amerika. Nggak pernah ingin, nggak pernah terpikir pula. Selama ini aku selalu memikirkan kuliah di UI. Ambil kedokteran. Dari kecil aku cuma ingin jadi dokter. Kamu nggak berdiri di tengah jalanku, Ndu. Kalau kamu pergi, kamu justru membawa pergi impianku.” “Fei, coba pikirkan. Aku nggak ingin suatu saat aku, atau kamu, bertanya-tanya, seandainya saja waktu itu Niken kuliah di Amerika….” “Aku nggak akan pernah begitu, dan nggak akan pernah membuat kamu merasa seperti itu. Jujur saja aku nggak suka mendengar ide kuliah di Amerika. Sama sekali nggak ingin. Sama sekali bukan karena kamu, juga. Percaya deh, aku cukup keras kepala. Kamu pun tahu. Kalau aku memang ingin kuliah di Amerika, nggak ada seorangpun atau apapun yang bisa mencegahku.” jawab Niken tegas. “Fei, ini kesempatan bagus buat kamu, buat masa depan kamu. Aku nggak mau jadi penghalang. Kamu bisa bilang nggak menyesal sekarang, tapi nanti-nanti? Aku yang bakal menyesal, pasti. Menyesal karena orang yang penuh bakat seperti kamu nggak berusaha sebisa mungkin untuk mengembangkan kemampuanmu.” “Kenapa orang-orang selalu ingin memutuskan perkara untukku? Apa aku nggak bisa mengambil keputusan sendiri? Apa orang lain, termasuk kamu, tahu apa yang terbaik untukku?” “Dalam hal ini, ya. Saat ini aku bisa melihat, kuliah di Amerika adalah yang terbaik untukmu. Seandainya aku ada di posisimu sekarang, aku pasti mengambil kesempatan itu tanpa pikir panjang. Sorry, Fei. Aku mesti pulang sekarang. Terima kasih makan malamnya. Good night…” Edi dan Oma rupanya mendengarkan percakapan barusan, karena mereka tepat berada di luar ruang tamu. “Aku antar, Pandu. Aku juga ingin pulang.” kata Edi. “Nggak usah, Edi. Aku nggak ingin mengacaukan kesempatanmu untuk menjalin hubungan baik dengan keluarga Tasya.” “Aku sudah punya hubungan baik dengan Oma dan adiknya Tasya. Itu sudah cukup buatku. Aku ternyata belum cukup kuat untuk melepas Tasya.” Jelas sekali Edi barusan menangis. Matanya merah. “Ayolah, aku antar pulang sekarang.” lanjut Edi lagi. “Permisi, Oma, Niken. Sup kepitingnya enak sekali. Terima kasih sudah memberiku kesempatan.” “Selamat malam, Oma.” kata Pandu berpamitan. “Senang sekali ketemu Oma. Sekarang saya tahu dari mana Niken mendapat segala kualitas baiknya.” “Ndu,…” Niken nggak tau lagi mesti ngomong apa. Sepertinya Pandu sudah yakin sekali pada keputusannya. Niken jadi berasa ingin menangis. Cengeng sekali, kutuknya dalam hati. Niken lalu berlari ke kamarnya. Pandu menoleh mendengar langkah lari Niken. Ditatapnya sampai bayangannya menghilang. :: Mata Elang : Chapter 5 “Fei Fei…” Oma mengetuk pintu kamar Niken. Niken sudah dua jam tidak keluar kamar. Dari luar, terlihat lampu di kamarnya masih terang-benderang. Niken mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir terus tanpa henti. "Tidak ada salahnya membuka pintu buat Oma", pikirnya. Masih memeluk boneka Sylvester-nya yang besarnya setengah badannya, Niken memutar kunci pintu kamarnya. Begitu Oma masuk, buru-buru dikuncinya lagi pintu itu. “Wah… kasihan tuh Sylvester jadi basah…” kata Oma berusaha menghibur cucu tersayangnya itu saat melihat wajah Niken yang basah air mata dan bibir mungilnya cemberut. Dari kecil kalau marah Niken selalu memonyongkan bibirnya yang memang merah itu. “Oma, mestinya aku tahu aku bakal sakit begini kalau jatuh cinta. Ini semua salahku sendiri. Aku bodoh sekali.” “Yang Oma tahu, Pandu tadi pasti benar-benar sayang sama kamu. Dia mau datang ke rumahmu walaupun tahu dia bakal dicaci-maki habis-habisan. Itu berarti cintanya untukmu lebih berharga buatnya daripada harga dirinya. Sesuatu yang untuk cowok biasanya sangat dia junjung tinggi.” Niken masih diam saja, memikirkan baik-baik kata-kata yang barusan Oma bilang. Oma melanjutkan, “Dia bahkan rela melepaskan sesuatu yang sangat berharga buat dia itu, cintanya, demi masa depanmu. Demi yang dia pikir terbaik untukmu. Jadi dia pergi itu bukan karena dia berhenti mencintaimu, tapi karena dia teramat sangat mencintaimu, Fei Fei. Kamu mestinya tidak boleh bersedih.” “Tapi Fei nggak pengen koq kuliah di luar negeri. Fei pengen masuk fakultas kedokteran di UI. Fei kan juga sudah sering bilang sama Oma, kan? Papa pasti juga tahu kalau selama ini mendengarkan apa yang Niken katakan. Selama ini Fei berusaha keras susah-susah mengumpulkan nilai-nilai bagus cuma untuk masuk UI. Katanya susah banget masuk UI kalo nggak benar-benar siswa teladan. Fei nggak bisa berubah arah begitu saja. Papa memang selalu begitu.” Niken mengomel panjang lebar. “Oma tahu. Dari dulu kamu selalu bilang ingin masuk FKUI. Papamu mungkin nggak tahu, karena dia tidak pernah di rumah. Saran Oma, kamu lakukan apa yang kamu inginkan. Ambil keputusan terbaik yang kamu bisa, sesudah itu, jalani keputusan itu dengan sepenuh hati.” “Bagaimana dengan Pandu?” “Oma lihat, Papa dan Mamamu benar-benar tidak setuju saat ini melihat kamu dan Pandu pacaran. Selama kamu masih sama Pandu, Papamu pasti berusaha untuk melepaskan kamu dari dia. Mungkin akibatnya akan fatal. Terutama buat Pandu. Papamu bisa saja menghalalkan segala cara untuk memisahkan kamu dan Pandu. Kamu mungkin bakal menyesal kalau meneruskan hubungan kamu sama Pandu sekarang. Mungkin ini yang terbaik. Kita lihat saja bagaimana nanti. Oma janji akan bantu kamu. Kamu tenang saja.” “Janji Oma?” “Ya, janji. Yang jelas nanti Oma akan lapor ke papamu bahwa kamu sudah putus hubungan sama Pandu. Jadi keadaan aman terjamin dulu. Oma belum punya ide sekarang ini bagaimana caranya membantumu. Tapi pasti beres deh…” Ada sedikit kelegaan di hati Niken. “Lagipula,” lanjut Oma lagi. “Oma lihat Pandu begitu mencintaimu. Rasa sayang itu tidak bisa cepat hilang seperti ditiup angin. Kalau memang jodoh nanti pasti kembali lagi.” “Fei juga sayang sama Pandu. Kenapa sih susah amat sudah sama-sama sayang tidak bisa bersatu?” keluh Niken. Oma tersenyum sambil mengelus-elus rambut Niken. “Mau denger cerita cinta Oma?” Niken mengangguk, tertarik. “Kamu tahu kan kalau Oma itu juga anak orang kaya, walaupun nggak sekaya kamu sekarang?” Niken bingung. “Tapi kata Papa, waktu Papa masih kecil, papa nggak punya duit, makanya Papa bisa berhasil seperti sekarang ini karena gemblengan dari Opa?” “Iya. Tunggu dulu. Oma belum selesai cerita, kan. Baru saja dimulai. Oma itu anak saudagar kaya di Pati. Opa itu cinta pertama Oma. Oma ketemu dia tahun 1943, waktu Oma masih umur enam belas tahun. Dia anak pengusaha saingan ayah Oma. Karena tahu bakal dilarang pacaran, terutama karena waktu itu jarang orang pacaran. Oma bahkan sudah dijodohkan sama anak seorang juragan beras yang kaya dari Juana.” “Wah… Oma pacaran juga, yah? Terus, bagaimana jadinya?” Niken tambah tertarik. “Waktu itu jaman perang. Tiga tahun kami pacaran sembunyi-sembunyi, tidak ada orang yang tahu. Tahun 1946, rumah dan pabrik ayah Opamu yang memang letaknya bersebelahan, terbakar habis. Sejak saat itu, Oma nggak pernah dengar lagi kabar Opa selama setahun lebih. Sementara itu, Oma sudah hampir dinikahkan sama pria Juana itu. Mendadak sebulan sebelum pesta pernikahan, Opamu muncul di rumah. Sehat walafiat.” “Lalu?” tanya Niken. “Lalu, dia melamar Oma. Tentu saja tidak diperbolehkan. Apalagi semua tahu kalau Opa-mu bukan lagi anak orang kaya, karena ayahnya sudah bangkrut karena kebakaran itu. Opamu rupanya selama setahun bekerja memeras keringat sampai bisa membeli rumah kecil di Kudus itu. Baru dia berani melamar Oma. Oma tidak peduli tidak direstui orang tua, besoknya Oma sama Opa menikah catatan sipil. Karena peristiwa itu, Oma sama sekali tidak mendapat hak warisan keluarga. Oma tidak peduli. Oma tidak butuh warisan.” “Ooh… pantesan Oma ngotot nggak mau jual rumah Kudus. Rupanya rumah bersejarah, ya?” “Jadi kamu dengar sendiri, Oma juga pernah mengalami seperti yang kamu alami sekarang. Mencintai tapi tida memiliki. Oma bahkan tidak tahu Opamu masih hidup selama setahun lebih. Tapi kami berdua sama-sama mencintai, jadi bisa bersatu lagi.” Niken nggak percaya ternyata Oma-nya ini punya kisah cinta yang seru. “Melihat kamu sekarang, Fei, Oma jadi seperti melihat diri Oma sendiri waktu Oma masih muda. Kamu mesti yakin sama keinginanmu sendiri. Pasti kamu dapat jalan. Kamu boleh percaya deh kata-kata Oma. Lihat Oma. Saksi hidup bahwa cinta itu ada.” “Terus cowok Juana itu bagaimana nasibnya, Oma?” tanya Niken geli. “Oh, dia juga nggak betul-betul ingin menikahi Oma. Dia juga terpaksa koq dijodohkan. Sesudah Oma menikah sama Opamu, dia pernah datang ke rumah, berterima kasih.” “Wah, jadi pada jaman orang pada dijodohin, Oma sudah berani pacaran. Oma pasti nakal sekali yah…” goda Niken. “Tapi Oma hebat deh, pacaran backstreet 3 tahun nggak ketahuan. Oma top deh.” kata Niken sambil mengacungkan jempolnya. “Ada-ada saja kamu ini, Fei.” “Makasih ya Oma, Fei jadi terhibur abis denger cerita Oma. Sekarang Oma pasti capek. Oma tidur sama Fei Fei ya malam ini. Biar Sylvester tidur di lantai.” “Kasian, sudah basah masih tidur di lantai lagi. Masuk angin dia nanti…” gurau Oma. * “Ndu!” panggil Wulan saat istirahat pertama. “Kalau kamu mau mengkuliahi aku tentang Niken, urungkan saja niatmu, Wulan. Aku lagi nggak mood.” kata Pandu. “Nggak. Aku ke sini disuruh Niken.” “Disuruh Niken? Kemana dia? Koq hari ini nggak masuk?” kata Pandu sambil menunjuk kursi di sebelahnya. “Dia masuk koq pagi-pagi tadi. Trus dipanggil Pak Yusril, katanya kita mau ikut ambil bagian di acara festival di Universitas Diponegoro tahun ini, kayaknya masih 10 bulan lagi sih. Bakal jadi acara besar-besaran, kayaknya. Ini dia keluar, ke Undip, mengurus pendaftaran dan tetek bengeknya. Aku cuma disuruh kasih ini ke kamu.” kata Wulan sambil menyodorkan sepucuk surat. Wulan terus berdiri di depannya selama Pandu membaca yang ditulis Niken. Rupanya bukan surat, tapi puisi. Tangan-tangan kecil kita Berusaha menggapai dunia Bukan salah siapa-siapa Dunia tak tergenggam Melati di taman hati Akan terus bersemi Dengan sabar menanti Sentuhan lembut penuh kasih Sepercik gerimis pemuas dahaga Cukup untuk melati selamanya Jika kita tak putus sabar Di hari mendatang Dunia pasti ‘kan tergenggam Tangan-tangan kecil kita “Apa katanya?” tanya Wulan. “Kenapa?” tanya Pandu. “Dia bilang apa ke kamu?” “Aku tahu semalam kamu diundang makan malam. Aku pernah diundang makan malam, suasananya benar-benar nggak enak. Makanya belakangan aku nggak pernah mau datang kalau ada papa-mamanya. Kemarin kamu dibantai ya?” “Nggak.” jawab Pandu singkat. “Memangnya Niken bilang apa ke kamu?” “Pagi tadi dia cerita panjang lebar tentang kisah cinta neneknya. Dengan wajah ceria dia meyakinkanku bahwa cinta sejati itu bener-bener ada, dan dia nggak akan berhenti sampai dia berhasil mendapatkannya kembali. Aku sama sekali nggak ngerti maksudnya. Makanya aku tanya ke kamu ini.” “Dia… Wulan, aku juga jadi nggak mengerti sekarang.” Pandu jadi ikutan bingung. “Kemarin malam, aku sudah ucapkan selamat tinggal ke dia. Koq sekarang…?” “Selamat tinggal? Maksudmu?” “Gini deh. Kemarin, satu-satunya alesan yang berhasil membuat aku pulang cuma karena Niken mau disekolahkan di luar negeri. Dan aku merasa bakal jadi penghalang prestasi Niken kalau aku terus pacaran sama dia. Jadi aku pulang, dan aku lepaskan dia. Semalaman aku nggak bisa tidur. Aku bahkan menangis kemarin malam, karena nggak tahu aku mesti sedih atau gembira.” “Kalau kemarin dia putus sama kamu, kenapa dia nggak keliatan seperti orang habis putus?” tanya Wulan. “Itu dia yang bikin aku bingung. Jangan-jangan dia nggak mengerti maksudku. Tapi setahuku dia paham betul koq. Terakhir kali aku tinggal juga nangis koq. Bukannya aku ingin dia menangis, tapi koq dia masih bicara tentang cinta sih?” kata Pandu seakan-akan bertanya pada diri sendiri. “Lantas, dia bilang apa di suratnya?” tanya Wulan tambah bingung. “Bukan surat, tapi puisi. Nih, baca aja sendiri. Pasti tambah pusing seperti aku setelah baca deh.” Wulan lalu membaca puisi yang ditulis Niken kemarin malam. Dia lalu mengernyitkan dahinya. Alisnya naik turun. “Ndu, sungguh tadi pagi dia itu kelihatan hepi koq. Puisinya juga nggak menunjukkan tandatanda kesedihan. Sejak kenal kamu, puisi Niken memang selalu bernada hepi. Tidak terkecuali yang ini. Eh, itu dia datang.” kata Wulan sambil menunjuk ke arah luar gerbang. Niken sedang berjalan masuk membawa setumpuk map di tangannya. “Gimana Nik?” tanya Wulan datang menghampiri Niken di luar kelas. “Bagus, kita bisa ikutan di acara festival. Universitas dan sekolah dari luar Jawa juga bakal ikut ambil bagian, lho. Pasti ramai nih. Temanya ‘Generasi Muda dalam Pembangunan’. Aku nggak tau kapan susunan panitia harus final, tapi yang jelas nggak dalam waktu dekat ini lah. Karena kan minggu depan udah mulai test kenaikan kelas.” lapor Niken berapi-api. “Maksudku bukan itu. Maksudku dia…” kata Wulan sambil menunjuk ke arah Pandu. “Lha bagaimana? Udah kamu sampaikan yang aku pesan?” tanya Niken. “Ya sudah. Makanya itu aku bingung.” “Ya sudah kalau sudah. Berarti sudah beres. Makasih ya Wulan.” Niken tersenyum. Wulan cuma menggeleng-gelengkan kepalanya. Niken nggak sempat ngomong apa-apa ke Pandu karena bel sudah berbunyi. * Setelah bel pulang sekolah, Pandu tidak tahan lagi untuk tidak angkat bicara. “Fei, kamu bisa tinggal di kelas sebentar?” “Bisa saja. Apalagi kalo kamu nggak berdiri-berdiri begini kan aku juga nggak bisa lewat.” kata Niken geli. “Kamu ini bagaimana, sih? Tersambar geledek tadi malam? Kena amnesia?” “Kamu sudah baca yang aku tulis semalam?” tanya Niken seperti nggak mendengar yang barusan Pandu bilang. “Itu yang aku ingin ngomong.” jawab Pandu. “Sudah apa belum?” tanya Niken lagi. “Sudah dong. Tapi aku nggak mengerti maksudmu. Lebih baik kamu bicara pakai bahasa yang bisa aku mengerti saja, deh.” “Wah, nggak seru, dong, kalau aku mesti menjelaskan segala-galanya. Apa tujuannya aku menulis puisi coba? Dianalisa sendiri lah…” kata Niken geli, dan berusaha mengelak. “Oke, nih aku baca lagi. Sekaligus aku berikan analisaku. Kalau salah jangan marah ya, kamu tahu sendiri bakat puisiku minus.” “Mulai sana.” Pandu membuka lagi kertas yang dilipat empat itu. Tangan-tangan kecil kita Berusaha menggapai dunia Bukan salah siapa-siapa Dunia tak tergenggam “Kita itu maksudnya kamu sama aku kan?” tanya Pandu memastikan. “Aduh pinteeeeeerrr… Kalau sudah besar mau jadi penerbang ya?” ledek Niken. Pandu tersenyum geli. "Memang gila ini anak", batinnya. “Kita, menggapai dunia, tapi dunia tak tergapai, bukan salah siapa-siapa… Hmm… Kayaknya ini aku bisa menangkap. Kamu bilang, kemarin kita putus tapi kamu nggak nyalahin siapasiapa, gitu kan?” “Kira-kira begitu intinya. Tapi nggak cuma itu. Tangan-tangan kecil kita, kata ‘kecil’ di situ menunjukkan fakta bahwa tangan kita masih terlalu kecil untuk menggapai ‘dunia’ saat ini.” “Jadi?” “Jadi, aku sayang kamu, kamu sayang aku. Tapi ada hal-hal lain yang di luar jangkauan kita yang nggak memungkinkan kita untuk bersatu saat ini.” “Aku mengerti sekarang. Aku lanjutin ya…” Melati di taman hati Akan terus bersemi Dengan sabar menanti Sentuhan lembut penuh kasih “Awas kamu kalo tanya ‘Melati itu siapa?’!” ancam Niken. “Nggak. Aku ngerti koq. Yang kamu maksudkan di sini cinta kan? Tapi yang aku nggak mengerti adalah apa maksud kamu bilang sabar menanti?” “Aduh… bener-bener blo’on deh. Perasaan aku menulis puisi itu pakai bahasa Indonesia. Apa sebegitu susah dimengerti sih?” “Oke-oke. Aku mikir lagi.” kata Pandu sambil memutar otaknya. Payah, seperti ujian bahasa Indonesia saja. “Gabungin sekalian sama dua baris di bawahnya.” kata Niken memberi petunjuk. Sepercik gerimis pemuas dahaga Cukup untuk melati selamanya “Nyerah deh, Fei. Aku sepertinya mengerti maksud kamu, tapi nggak sesuai dengan kenyataan bahwa kita sekarang udah nggak pacaran.” “Kamu udah ada di arah yang bener. Kamu tadi bilang kamu mengerti maksudku, apa yang kamu mengerti?” “Kamu berusaha bilang, kamu bakal tetap sayang sama aku, dan mau menungguku. Aku nggak ngerti dua baris selanjutnya, tapi itu kan kira-kira intinya?” “Ah, susah deh main teka-teki sama kamu. Aku jelasin saja deh.” “Puji Tuhan!” kata Pandu menghela napas lega. Niken tertawa. “Setelah kamu pulang, aku menangis terus. Aku nggak tau berapa lama aku menangis, tapi sampe agak larut sih. Aku berusaha menenangkan diri dengan menulis puisi, tapi nggak ada kata-kata yang keluar. Semakin aku berusaha melupakan kesedihanku dengan memikirkan sesuatu, semakin aku teringat kamu.” “Sejauh ini masih bisa aku mengerti, karena aku juga mengalami hal yang sama. Lantas?” “Waktu itu aku memikirkan, betapa jelek nasibku, sangat ironis sekali. Aku yang nggak pernah ingin jatuh cinta, yang tahu apa akibatnya kalau aku jatuh cinta, akhirnya jatuh cinta juga, dan segera sesudah aku memberikan hatiku, aku mengalami akibat yang aku sudah tahu sebelumnya.” “Fei… Maaf kalau aku melukaimu. Aku nggak pernah bermaksud seperti itu. Aku benar-benar sayang sama kamu. Aku tahu kamu mungkin nggak akan pernah percaya lagi sama aku abis kejadian semalam.” “Aku tahu itu. Aku baru sadar setelah Oma masuk. Justru karena kamu sayang sama aku, maka kamu ambil keputusan semalam. Aku sangat menghargai pengorbananmu, Ndu. Dan itu bukan membuat aku jadi patah hati, tapi justru bangga, dan aku jadi tambah sayang sama kamu.” “Tapi aku nggak pengen kamu tambah sayang sama aku, karena kamu bakal tambah kecewa dan susah melupakanku.” “Kamu nggak bisa mencegah itu. Aku sendiri juga nggak bisa. Kamu tahu burung albatross nggak, Ndu?” “Tahu. Yang tinggalnya di daerah dingin.” “Burung albatross itu seumur idup cuma satu pasangannya. Mereka menunggu sampai menemukan pasangannya, trus abis itu hidup berdua selama-lamanya. Sebelum yang cewek datang, yang cowok bikin sarang dulu, terus memanggil ceweknya untuk datang, untuk tinggal di sarang yang baru saja dia buat. Bahkan bila terbang berdua pun, harmonis sekali. Kalau yang satu berubah arah 10 derajat, yang satu mengikuti arahnya, seperti dua garis sejajar di angkasa.” Pandu masih diam saja mendengarkan Niken ngomong dengan matanya yang berbinar-binar. “Aku pengen seperti burung albatross itu. Aku sudah menemukan cinta sejatiku. Aku nggak perlu harus memilikinya sekarang, kalau sekarang memang bukan waktu yang tepat. Aku mau menunggu sampai saat yang tepat itu datang. Sampai kita bisa bersama lagi.” “Jadi kamu nggak bermaksud ngelupain aku?” tanya Pandu. Niken menggeleng. “Sama sekali nggak. Baca bait selanjutnya.” Pandu menurut. Jika kita tak putus sabar Di hari mendatang Dunia pasti ‘kan tergenggam Tangan-tangan kecil kita “Kamu bilang, suatu saat nanti kita pasti bersama lagi, begitu?” “Tepatnya, aku cuma ingin bilang, aku akan terus mencintaimu. Kamu sudah berhasil menunjukkan padaku betapa kamu sayang aku. Tangan-tangan kita tetap kecil, nggak berubah. Tapi dengan kesabaran, suatu saat nanti pasti kita bisa raih apa yang kita mau.” “Kamu mau terus mencintaiku sampai kapan? Bagaimana kalau kita nggak akan pernah punya kesempatan untuk bersama lagi?” “Seperti burung albatross tadi, selamanya. Kalau aku nggak punya kesempatan untuk bersama lagi, setidaknya aku sudah puas sudah menemukan cinta sejatiku.” Pandu tertegun. Dia tidak menyangka Niken sekuat ini. “Fei, kamu pernah bilang, kamu bakal jadi orang yang terbodoh dalam masalah cinta? Kamu salah, Fei. Aku belum pernah denger orang bilang begini. Di film-film sekalipun. Baiklah kalau kamu memang yakin. Aku pun akan menyimpan segala rasa cintaku untukmu selamanya. Kamu baru saja memberikan aku kekuatan untuk itu.” “Nah, sudah mengerti, kan? Aku boleh pulang sekarang? Nanti orang-orang mengira kita pacaran lho…” goda Niken. “Oh ya… Kita nggak mau itu terjadi. Ya kan?” kata Pandu yang berdiri bersandarkan meja sambil mengedipkan sebelah matanya. “Fei…” kata Pandu pelan waktu Niken lewat di hadapannya. “Apa lagi?” tanya Niken. Pandu lalu dengan sigap meletakkan tangan kanannya di punggung Niken dan mendorong punggung Niken ke arahnya. Kurang dari sedetik kemudian, wajah Niken sudah berhadaphadapan dengannya. Ditatapnya lekat-lekat sepasang mata yang membuatnya jatuh cinta itu. Lalu pelan-pelan Pandu mendekatkan bibirnya ke pipi Niken. Niken sama sekali nggak bisa bergerak atau berkata apapun. Dia cuma bisa memejamkan matanya sambil tersenyum. Sebuah ciuman manis yang menggetarkan hati. Ciuman pertama buat keduanya. Niken masih memejamkan matanya waktu Pandu menarik kembali bibirnya dari pipi Niken tiga detik kemudian. Dia baru membuka matanya saat Pandu memegang dagunya. “Sayang sekali kamu tadi nggak bisa merasakan gimana rasanya dicium kamu.” kata Niken kemudian sambil tersenyum manis. Niken lalu pelan-pelan mencium pipi kanan Pandu sambil agak jinjit. Bibir mungilnya sudah mendaratkan ciuman tipis yang di pipi Pandu terasa hangat dan lembut. “Aku yakin nggak semanis ciuman kamu barusan.” jawab Pandu setelah Niken selesai. “Aku kan cuma menirukan yang kamu lakukan. Pembalasan namanya.” jawab Niken. “Nah, sekarang, kalau ada yang melihat kita, pasti kita benar-benar dikira pacaran.” kata Pandu tersenyum lebar. “Oh ya, lupa. Terus bagaimana, dong?” “Ya kamu pulang dong, cepetan kabur sana.” kata Pandu sambil ketawa. “Oke, aku pulang dulu yah, my friend.” kata Niken tersenyum, lalu mencium pipi Pandu yang kiri, lalu berkata “Yang sebelah sini iri nanti.” Niken baru saja membalikkan badannya saat Pandu menariknya kembali. “Bilang aja kamu minta dicium lagi.” katanya. Niken ketawa. Pandu lalu mencium pipinya lagi. Kali ini sedikit lebih lama dari yang tadi. “Ndu, kita ini jadinya pacaran lagi apa nggak sih?” tanya Niken. “Nggak. Kita cuma saling cinta.” * Kuyakin dalam hatiku kau satu yang ku perlu Kurasa hanya dirimu yang membuatku rindu Bila saat nanti kau milikku, Kuyakin cintamu takkan terbagi takkan berpaling Karena ku tahu engkau begitu… Hingga ku pasti menunggu selama apapun itu Demi cinta yang kurasakan, yang hanyalah kepadamu Percayalah ku sungguh-sungguh mengatakan semua Yakinkan hatimu kau milikku Karena ku tahu engkau begitu… * Selama berbulan-bulan, Niken dan Pandu sama-sama sabar memendam impian mereka untuk bersama. Sekarang mereka telah naik ke kelas tiga. Seharusnya anak kelas tiga tidak boleh punya menghabiskan banyak waktu di luar pelajaran, termasuk kegiatan organisasi sekalipun. Walaupun begitu, Niken mendapat sedikit dispensasi, karena dia jadi ketua panitia acara festival akbar di Universitas Diponegoro. Lagipula nilai-nilai Niken tidak sedikitpun terpengaruh dengan kegiatan-kegiatan ekstranya. Waktu naik kelas yang lalu, Niken meraih ranking pertama, Pandu cuma terpaut tipis di belakangnya, ranking dua. Acara puncak festival kali ini adalah pawai bunga. Peserta festival harus mendekor kendaraan berangkaikan bunga. Acaraacara lain yang berlangsung selama seminggu penuh itu antara lain lomba memasak, lomba matematika, fisika, kimia, komputer, lomba band, acapella, adu-debat, dan masih banyak lagi. Festivalnya tinggal dua hari lagi. Semua sudah siap. Rancangan dekor untuk kendaraan bunga juga sudah siap. Kendaraan bunga harus didekor di lapangan pada satu hari sebelum hari terakhir festival, karena pawai bunganya di hari terakhir festival, maklum acara puncak. Ujian kelulusan nasional tinggal tiga bulan lagi. Menjelang ujian, hampir setiap hari ada test atau ulangan. Sebagai persiapan ujian. Sampai rasanya sudah hafal semua bahan pelajaran dari kelas satu sampai kelas tiga. Untung sekali kegiatan di sekolah begitu banyak menyita waktu Niken dan Pandu sehari-hari, jadi keduanya sama-sama tidak begitu memikirkan masalah mereka. Papa dan Mama pun sepertinya percaya akan kata-kata Oma, sehingga sama sekali tidak pernah menyinggung-nyinggung nama Pandu lagi. Niken bahkan menurut saja mengisi formulir-formulir pendaftaran untuk berbagai universitas di Amerika. Namun tekadnya sudah bulat, dia cuma ingin masuk fakultas kedokteran di Universitas Indonesia, di Jakarta. Pandu pun tidak tahu rencana Niken ini, karena Niken yakin, seandainya dia bilang ke Pandu, Pandu pasti akan memaksa-maksa dia lagi untuk ke Amerika saja. Niken merasa keputusan yang diambilnya ini adalah yang terbaik, dan tanpa desakan atau paksaan pihak manapun. Keberadaan Pandu pun tidak masuk dalam pertimbangannya dalam mengambil keputusan. Ini adalah impiannya dari kecil, dan siapapun tidak bisa menghalanginya. Sore ini adalah latihan terakhir buat band yang akan tampil, termasuk band dadakan yang dibentuk Pandu dan kawan-kawan khusus buat acara festival kali ini. Niken sebagai ketua panitia harus melihat seluruh acara latihan terakhir, termasuk band Pandu ini. Ada tiga band yang akan tampil dari SMA Antonius. Niken kali ini tidak mengambil bagian sama sekali di lomba band, karena dia lebih ingin berkonsentrasi di lomba kimianya. Lagipula dia tidak punya banyak waktu untuk latihan, karena mengorganisasi seluruh acara festival benar-benar sudah menyita banyak waktunya. Belum lagi harus belajar untuk ujian. Hari ini Niken bisa lebih relaks, karena tugasnya hari ini cuma menonton latihan terakhir. Banyak sekali anak-anak yang supportif hadir sore ini, terutama karena mereka ingin melihat band sekolah mereka sebelum tampil di lomba. Pandu sengaja tidak membentuk band dengan keyboad, karena dia sendiri juga tidak punya banyak waktu untuk latihan. Pandu sebenarnya juga tidak ingin ikut andil di band, karena dia juga mengikuti lomba matematika dan aduargumentasi. Tapi akhirnya setelah dipaksa-paksa, dia mau jadi vokalis utama. Niken yang duduk di baris paling depan tak bisa melepaskan perhatiannya dari Pandu di panggung theatre yang terlihat manis sekali. Kocak sekali gaya Pandu di panggung, sesuai dengan lagu yang dinyanyikannya. Sambil terus menyanyi, Pandu berjalan turun panggung ke arah Niken, lalu menyanyi di depannya, sambil menyambut tangan kanan Niken sambil tersenyum. Niken malu sekali, apalagi anak-anak yang lain bersorak-sorai semua. Dasar Pandu tidak tahu malu. Pandu terus menyanyi sambil menarik tangan Niken untuk berdiri. Niken menggeleng-geleng sambil melotot. Tapi karena didorong-dorong teman-teman kiri-kanan dan belakangnya, mau tak mau Niken berdiri juga. Pandu menuntunnya sampai kira-kira dua langkah dari kursi tempat Niken duduk. Niken jadi geli melihat Pandu yang menyanyi tepat di hadapannya sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya. Anak-anak spontan tepuk tangan dan bersuit-suit setelah Pandu selesai menyanyi. Niken kembali duduk. Mukanya merah padam karena malu. Untung sekali lagu Pandu tadi mengakhiri acara latihan terakhir band sore ini. Jadi anak-anak lalu bubar jalan. “Kamu payah tadi, Ndu…” kata Niken setelah agak sepi. “Payah bagaimana? Jelek nyanyinya?” “Bagus koq nyanyinya. Tapi nanti kita dikirain pacaran lagi…” “Nggak lah… Kamu nggak sadar kamu satu-satunya cewek yang duduk di baris paling depan tadi? Tenang saja… Mereka pasti nggak curiga.” “Sudah siap lomba matematikanya, Ndu?” tanya Niken. “Yah mau dipersiapkan seperti apa lagi? Hampir tiap hari ada ulangan matematika. Itu sudah bisa dibuat persiapan kan? Kamu sendiri bagaimana?” “Aku ditraining terus sama Bu Ndari di lab kimia. Lombanya kan teori dan praktek. Teori sih jauh lebih mudah daripada praktek. Tapi sepertinya aku sudah cukup menguasai bahan lah… Waktu ujian praktikum kimia kemarin aku dapat nilai bagus koq.” “Iya, aku juga denger. Selamet yah. Aku denger kamu dapet nilai tertinggi seangkatan buat ujian praktikum kimia sekaligus biologi. Yang kimia terutama, kamu nomer satu, sementara nomer duanya nilainya lumayan jauh di bawahmu. Aku doain semoga sukses lah lombanya.” “Lomba argumentasimu tiap hari ya, Ndu?” “Iya, soalnya pesertanya banyak, dan pake sistem gugur. Lumayan deg-degan juga, soalnya topiknya bakal ditentukan saat session itu, dan juga diundi pro atau kontranya. Semoga aja nggak dapet bahan yang aneh-aneh. Aku sudah rajin baca koran dan dengerin berita di teve setiap hari sih.” “Wah, dengerin berita akhir-akhir ini justru bikin aku deg-degan. Bagaimana tidak? Demo di mana-mana. Suasananya tambah hari tambah panas deh. Untung Semarang nggak pernah ada demo yang pake acara bakar-bakaran. Kantor papa yang di Solo kena korban bakarbakaran massal lho.” “Oh ya? Fei… aku juga jadi kuatir, karena target mereka tuh terutama orang keturunan Cina. Kamu jelas-jelas kelihatan kalo keturunan Cina. Aku takut kalau…” “Heh… jangan ngomong yang nggak-nggak, dong. Aku bisa jaga diri sendiri. Kamu tahu nggak kalo aku bisa karate? Nggak ahli sih, tapi pernah belajar sama Opa waktu kecil.” “Kamu belajar karate waktu kecil? Kamu nakal ya waktu kecil?” tanya Pandu heran. “Wah, nakal sekali. Lawanku cowok berbadan besar-besar. Semakin besar badannya, apalagi yang gendut-gendut, semakin aku tertarik untuk menjatuhkan. Tapi aku nggak asal bertarung. Aku cuma melawan kalo dilawan duluan. Itu prinsip yang diajarkan Opa.” “Hah? Kamu jago berkelahi?” “Pertamanya nggak. Aku masih inget, waktu itu di SD ada anak cowok sombong sekali, dia selalu iri karena aku dapat nilai bagus. Terus suatu hari, buku catatanku yang di meja disobeksobek sama dia. Aku marah, tapi nggak bisa apa-apa karena dia berbadan besar. Trus aku lapor sama Opa. Lalu aku diajari karate itu tadi.” “Trus besoknya kamu pukuli dia?” tanya Pandu tertarik akan cerita Niken yang seru. “Wah, nggak. Aku kan sudah janji sama Opa untuk nggak memulai perkelahian. Kira-kira seminggu setelah kejadian buku sobek itu, dia mengganggu salah satu teman cewekku sampai temanku menangis. Trus aku belain temanku itu. Trus dia tantang aku. Ya aku jawab tantangannya. Trus udah deh, berkelahi, ditonton anak banyak. Ada rasa puas waktu itu karena aku berhasil bikin biru matanya.” “Kamu menakutkan juga ya, Fei. Aku aja waktu SD nggak pernah berkelahi.” “Aku sering sekali. Tiap sehabis berkelahi aku pasti masuk ruang guru. Dinasehati untuk tidak berkelahi. Aku nggak pernah merasa bersalah karena aku nggak pernah yang memulai. Mama pasti marah-marah abis itu karena dia jadi sering dipanggil guru.” kata Niken mengenang masa kecilnya yang heboh. “Trus kapan kamu berhenti berkelahi?” “Sampai semua anak cowok sombong yang di sekolah satu-satu sudah bertarung denganku, dan semua kapok untuk memulai lagi. Akhirnya keadaan aman dan damai.” kata Niken sambil tertawa terbahak-bahak. “Kamu pasti ditakuti cowok-cowok di sekolahmu yah…?” tanya Pandu geli. Kalimat Niken tadi berkesan seakan-akan Niken seorang pahlawan pembela kebenaran dan keadilan. “Kira-kira begitulah.” “Cicimu juga jago berkelahi?” tanya Pandu. “Nggak. Cici tu pendiam. Kalem sekali dari kecil. Bisa jadi waktu dilahirkan nggak menangis juga. Kalo nggak disapa nggak akan bicara duluan. Pemalu sekali. Papa selalu bilang, koq aku nggak bisa seperti cici. Aku selalu saja buat onar. Bikin malu keluarga. Pokoknya aku sama cici tu bertolak belakang sekali, lah. Cici nggak begitu pandai di sekolah. Kasihan sekali dia dari kecil hari-harinya penuh acara les.” “Memangnya kamu nggak?” “Nggak. Aku dari kecil suka memberontak. Aku nggak mau les kalo merasa nggak ada gunanya. Aku lebih suka belajar sendiri. Akhirnya aku cuma les Inggris dari kecil, karena aku merasa butuh seorang guru untuk latihan conversation. Selebihnya aku les bidang-bidang yang aku sukai, termasuk renang, piano, saxophone, nge-drum, dan lain-lain. Itu pun aku daftar-daftar sendiri di sekolah musik. Tadinya mama cuma suruh aku les piano di sekolah musik. Trus setelah itu aku yang daftar-daftar sendiri.” “Aku nggak pernah les piano, lho…” kata Pandu mengaku. “Trus kamu bisa canggih main piano dari mana?” tanya Niken keheranan. “Waktu masih kecil di Yogya, aku tetanggaan sama Mas Baron Kanginan.” “Baron Kanginan yang pemain piano klasik yang sering main di konser nasional itu?” tanya Niken kaget. “Iya. Waktu aku kecil dulu, Mas Baron belum ngetop. Dia cuma ikut ngeband kecil-kecilan di kampusnya. Aku sering mendengar dan melihat dia main piano dari jendela kamarku yang berhadap-hadapan dengan kamarnya. Suatu hari dia memanggilku. Trus dia menawari aku untuk mengajari aku main piano. Tentu saja aku mau sekali.” “Wah… beruntung amat kamu bisa diajari langsung sama Baron Kanginan. Pantas saja kamu punya gaya main piano yang lain dari orang kebanyakan. Baron Kanginan kan unik sekali.” “Piano yang di rumah itu juga pemberian Mas Baron sebelum dia pindah ke Jakarta. Dia bilang waktu itu dapat tawaran konser. Dia nggak bakal sanggup memindah piano seberat itu ke Jakarta, makanya dia hadiahkan ke aku.” “Kamu masih sering kontak sama dia?” “Masih. Kadang-kadang dia masih kangen Yogya, terus ya menginap di rumahku. Sejak pindah ke Semarang, aku belum pernah bertemu dia lagi. Tapi dia tahu koq kalau kita pindah Semarang. Dia kan hampir seumur sama kak Darmawan yang di Jakarta. Mereka masih sering kumpul-kumpul katanya.” Niken cuma manggut-manggut. “Manggut-manggut seperti burung pelatuk saja kamu, Fei. Sudah sore lho. Nanti kamu dicariin mama kamu, lho…” kata Pandu mengingatkan. “Aku musti di sini sampai anak-anak perlengkapan selesai memindahkan alat-alat ke gudang.” “Biar aku aja. Nanti aku laporan ke kamu. Kamu capek kan dari tadi siang belum pulang rumah?” “Nggak. Ini tanggung jawabku, Ndu. Mana bisa aku serahkan ke kamu?” “Ya sudah. Aku temani.” Pandu yakin tidak akan bisa melawan kehendak tuan putrinya ini. “Niken, kunci gudangnya kamu yang tanggung jawab, kan?” tanya Rudi. “Iya. Sudah selesai semua ya?” “Sudah barusan. Anak-anak sudah pada mau pulang. Ini kuncinya. Aku pulang duluan ya…” kata Rudi sambil menyerahkan kunci ke Niken. “Iya. Makasih ya Rud.” kata Niken sambil memutar-mutar kunci itu di jarinya. “Fei, ikut aku yuk…” “Mau ngapain?” “Ikut aja…” kata Pandu sambil menggandeng tangan Niken. “Iya,… iya…” kata Niken sambil melepaskan gandengan Pandu, takut ada orang yang melihat, lalu mengikuti langkah Pandu. Rupanya Pandu berjalan menuju ruang musik lewat belakang. Lalu dia duduk di kursi piano. Pelan-pelan dibukanya penutup piano itu. “Besok kamu ulang tahun kan?” Niken mengangguk. Tujuh belas tahun. Sudah sebulan ini dia bertengkar dengan Papa karena menolak merayakan ulang tahunnya secara besar-besaran seperti anak-anak gadis yang lain. Akhirnya Papa nggak bisa apa-apa karena Niken mengancam untuk nggak akan datang kalau Papa nekad mengadakan pesta apapun untuknya. Niken cuma ingin makan di rumah saja, mengundang Oma dari Kudus. “Besok hari Minggu, kita mungkin nggak bakal sempet ketemu. Aku ingin ngasih kado hari ini. Boleh kan?” Niken mengangguk lagi. Pandu lalu mulai sibuk dengan pianonya. Mendengar intro lagu yang sangat dikenalnya, Niken lalu ikut duduk di kursi piano yang memang cukup panjang untuk buat berdua itu. Tangan kanannya ikut memainkan variasi melodi. Pandu lalu menyanyi. Niken tidak ikut menyanyi karena suaranya tidak pas dengan tangga suara yang dipilih Pandu. Terlalu rendah untuknya. Dia lebih suka menikmati suara empuk Pandu sambil ikut iseng memainkan piano bagian kanan. Tangan kanan dan kiri Pandu begitu lincah di atas piano. Pasti dia sudah latihan dahulu. Susah memainkan lagu Guns ‘n Roses ini dengan piano, lebih gampang memainkannya dengan gitar. Shed a tear ‘cause I’m missin’ you I’m still alright to smile Girl, I think about you every day now Was a time when I wasn’t sure But you set my mind at ease There is no doubt you’re in my heart now Said, woman, take it slow, it’ll work itself out fine All we need is just a little patience Said, sugar, make it slow and we come together fine All we need is just a little patience I sit here on the stairs ‘cause I’d rather be alone If I can’t have you right now, I’ll wait, dear Sometimes I get so tensed but I can’t speed up the time But you know, love, there’s one more thing to consider Said, woman, take it slow and things will be just fine You and I’ll just use a little patience Said, sugar, take the time ‘cause the lights are shining bright You and I’ve got what it takes to make it… “Makasih Ndu…” kata Niken saat Pandu selesai memainkan seluruh lagu. “Ini hadiah ulang tahun terindah yang aku terima.” “Tunggu. Aku masih punya satu lagi.” kata Pandu. “Copot sepatumu.” Walaupun keheranan, Niken menurut juga, lalu mencopot sepatunya. “Kaos kakinya juga.” “Kamu mau apa sih, Ndu?” tanya Niken heran. Pandu yang tidak sabar lalu berlutut di bawah kaki Niken, sambil mencopot kaos kaki Niken sendiri. Lalu dia merogoh saku celananya, sebentuk cincin ada di tangannya. Niken masih tak mengerti. Pandu lalu memakaikan cincin itu di jari telunjuk kaki Niken. “Oh..!” Niken terpekik. “Toe ring…” kata Niken setelah mengerti. “Kalau aku kasih cincin di tangan kan aneh, kita kan nggak pacaran. Makanya aku kasih cincin buat kaki aja. Orang-orang juga jarang melihiat. Jadi nggak akan ada yang tanya.” kata Pandu menjelaskan. “Makasih sekali lagi, Ndu… Nggak akan aku copot dari jari kakiku.” kata Niken. “Selamat ulang tahun, Fei Fei.” kata Pandu sambil mencium pipi kiri Niken. Ini ketiga kalinya Pandu mencium pipi Niken. Dua kali waktu di kelas 2C. Niken masih belum lupa bagaimana rasanya yang pertama dan kedua dulu. Niken memejamkan kedua matanya. Rasanya persis sama seperti yang kali ketiga ini. Pandu masih menatap wajah Niken yang begitu halus. Mata Niken masih terpejam erat. Wajahnya terlihat begitu polos. Pandu baru ragu-ragu ingin mencium bibir mungil Niken, saat Niken membuka matanya. Sadar bahwa Pandu hendak menciumnya, Niken malah mencium Pandu duluan. Walaupun agak kaget, Pandu pun balas menciumnya. Sepuluh detik kemudian, Pandu melepaskan ciumannya. “Fei,… Kamu nggak perlu menciumku untuk bilang kamu sayang aku. Aku juga nggak harus. Maksudku, jangan merasa terpaksa karena kamu takut aku nanti bilang kamu nggak sayang aku kalau kamu nggak mau cium aku. Aku akui aku tadi memang ingin mencium kamu, tapi aku takut kamu bakal bereaksi lain.” “Terpaksa? Koq kamu bisa bilang begitu?” “Kamu kan tadinya anti cowok, lagipula aku waktu itu pernah menawarkan untuk nggak pernah menyentuhmu. Ini berarti aku melanggar tawaranku sendiri.” “Apa aku pernah menerima tawaranmu itu, Ndu? Kamu nggak melanggar apa-apa koq. Lagipula yang kita lakukan sekarang ini cuma mengungkapkan rasa sayang kita satu sama lain. Dan aku tahu kita berdua sama-sama tahu batas-batas koq. Aku tapi benar-benar menikmati perasaan dicium kamu. Rasanya damai, dan aku seperti lupa segalanya. Bahkan lupa bahwa sekarang ini kita nggak berstatus pacaran.” “Jadi kamu suka?” “Ah, sudah diam, sekarang cium aku lagi. Nanti kamu bakal tahu sendiri aku suka apa nggak.” Dan Pandu pun melakukan apa yang Niken bilang. * Perhaps I had a wicked childhood Perhaps I had a miserable youth But somewherein my wicked, miserable past There must’ve been a moment of truth For here you are, standing here, loving me Whether or not you should So, somewhere in my youth or childhood I must have done something good Nothing comes from nothing Nothing ever could So, somewhere in my youth or childhood I must have done something good… * :: Mata Elang : Chapter 6 Ini hari ulang tahun Niken. Tapi Niken sibuk mengepak pakaian dan barang-barangnya ke koper sambil marah-marah. Ada apa gerangan? Oma pun tak kuasa menahan Niken untuk tidak pergi. Niken sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal di rumah lamanya, yang memang tidak dijual karena biasanya disewakan. Tapi kebetulan sudah dua bulan ini tidak ada yang menempati. Kembali ke persoalan mengapa Niken marah. Pasalnya, Papa baru saja mengumumkan akan menikahi Tante Mia. Itu sama sekali tidak berarti menceraikan Mama. Jadi Tante Mia mulai hari ini bakal tinggal di rumah. Niken marah besar. Satu, ini semua terjadi secara tiba-tiba. Tidak ada yang merencanakan Tante Mia bakal tinggal di rumah ini sampai hari kemarin. Kedua, waktu ditanya Tante Mia bakal tidur di kamar mana, Papa juga masih bingung. Jawabnya, mungkin di kamar Tasya. Apa-apaan? Hal yang paling menjengkelkan, Papa tahu betul Niken benci setengah mati sama Tante Mia. Apakah Papa nggak bisa cari hari lain yang lebih pantas untuk mengumumkan berita seperti ini, mengingat ini hari ulang tahunnya? “Fei Fei, ayolah jangan marah-marah begitu…” bujuk mamanya. Oma masih menghalanghalangi di pintu dengan kursi rodanya. “Ma, mama juga mestinya marah dong. Sejak kapan mama kehilangan semangat untuk mempertahankan keluarga ini? Kenapa mama seperti menyerah begitu saja? Apa sih istimewanya Tante Mia? Biasanya yang Fei denger tu oom-oom serong sama cewek-cewek ABG, atau tante-tante yang lebih muda. Tante Mia cuma beda umur 2 tahun sama Mama. Malah Tante Mia tu keliatan lebih tua dari Mama. Fei benar-benar nggak mengerti.” Niken masih mengomel sambil terus memindahkan barang-barangnya dari lemari ke koper. “Ceritanya panjang, Fei.” Oma yang jawab. “Oma akan ceritakan semuanya kalau kamu berjanji untuk tinggal.” Niken berpikir sejenak sambil menatap omanya. “Oma, sebenarnya Fei nggak sungguhsungguh ingin tahu. Fei sudah muak. Papa mau berbuat apa saja aku sudah nggak peduli lagi.” katanya kemudian sambil terus mengepak pakaiannya ke dua buah kopernya. “Fei, seandainya saja kamu anak laki-laki…” keluh mamanya pelan. Niken tersentak. “Memangnya kenapa, Ma?” katanya, menghentikan proses memasukmasukkan barang-barangnya. “Cerita singkatnya begini. Sesudah kamu lahir, mamamu sempat keguguran sekali. Sesudah itu dokter bilang, mamamu sudah tidak mungkin bisa punya anak lagi. Papamu kecewa sekali karena dia sangat menginginkan anak laki-laki untuk meneruskan usahanya.” kata Omanya menjelaskan. “Terus memangnya kenapa?” tanya Niken lagi, mengulangi pertanyaannya. “Lalu Papamu jengkel, sering uring-uringan dan mulai jarang pulang. Ternyata dia diam-diam menikahi Tante Mia, karena yakin kalau terus terang sama Mama, Mama pasti tidak setuju. Kejadian ini sudah bertahun-tahun yang lalu. Kamu bahkan sudah punya adik laki-laki sekitar tiga tahun lebih muda, Fei.” lanjut Mama. “Mama pun baru tahu sekitar lima tahun yang lalu, saat semuanya sudah terlambat.” kata Mamanya menambahkan. “Papa begitu pandai menyimpan kebusukannya.” kata Niken geram. “Ayolah, Mama. Ikut aku pergi dari rumah ini. Rumah ini bakal terasa asing dengan adanya Tante Mia di sini.” “Nggak bisa begitu, Fei. Biar bagaimanapun Papamu itu suami Mama. Mama harus tetap tinggal di sini.” kata Mama. “Walaupun Papa sudah mengkhianati Mama seperti ini?” tanya Niken. Mama mengangguk pelan. Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ma, tapi Fei Fei harus pergi. Rumah ini sudah bukan rumah Fei lagi. Kalau boleh, Fei untuk sementara ingin tinggal di rumah Jalan Kenanga. Boleh, Ma? Kalau nggak boleh, Fei akan ke rumah Wulan.” “Fei, Mama butuh kamu di sini. Cuma kamu satu-satunya yang Mama miliki saat ini.” Niken lalu memeluk mamanya. Ini pelukan pertamanya setelah sekian lama. Niken sudah lupa kapan terakhir dipeluk atau memeluk mamanya. Mungkin waktu masih kecil dulu. “Ma, Mama tahu sendiri Fei orangnya seperti apa. Setiap hari bisa bentrok sama Tante Mia kalau Fei di sini. Suasana bakal tambah kacau. Buat Fei Fei apalagi. Bentar lagi udah mau ujian. Fei harus pergi.” jawab Niken mantap. “Baiklah. Kamu benar juga. Mama jadi ingat, rumah di Jalan Kenanga itu atas nama Mama. Nanti Mama akan ke notaris, menghibahkan rumah itu ke kamu. Mama takut kalau rumah itu bakal dipindahtangankan secara paksa ke Tante Mia sebagai cara Papamu untuk memaksamu pulang.” “Terserah mama. Pokoknya Fei butuh tempat tinggal sampai lulus SMA nanti. Dan Fei nggak mau tinggal di rumah ini.” “Pamit sama Papa dulu, Fei…” saran Omanya sewaktu Niken sudah siap akan berangkat. “Males ah…” jawab Niken ogah-ogahan. “Ayolah, Fei. Bilang saja nanti sesudah ujian kamu pulang kemari lagi. Nanti Mama yang jelaskan ke Papa, supaya Papa nggak marah sama kamu.” bujuk Mama. Dengan wajah cemberut, Niken akhirnya setuju untuk berpamitan dengan Papa. “Fei pergi dulu untuk sementara ya, Pa. Sampai kelar ujian nanti.” “Baiklah,” kata Papa mengijinkan. “Tante Mia koq nggak dipamitin?” tanya Papa melihat Niken langsung nyelonong pergi. Niken pura-pura tidak dengar, dan berjalan menuju garasi. Dibukanya bagasi mobilnya. Kedua koper besar-besar itu ditaruhnya di bagasi. Lalu cepat-cepat menstater mobilnya pergi. * Hari keenam festival akbar. Besok pemenang lomba selama festival akan diumumkan. Sore ini banyak sekali anak-anak di lapangan dan gedung kampus Universitas Diponegoro, mempersiapkan acara puncak besok. Kontingen dari masing-masing sekolah sibuk mendekor kendaraan bunganya masing-masing. Kampus universitas jadi bau wangi. Macam-macam bunga ada di situ. Jadi walaupun lelah, semua kelihatan bersemangat. Terutama Niken. Di hari ketiga, dia lolos ke babak praktek lomba kimia. Entah bagaimana nanti hasil akhirnya, tapi menurutnya sendiri sih lumayan. Pandu tidak berhasil lolos masuk final adu debat, tapi kelihatannya dia bakal sukses di lomba matematika tingkat SMA. Keduanya sama-sama menjadi anggota pendekor kendaraan bunga buat pawai besok. Sayang sekali Niken tidak sempat melihat Pandu manggung saat lomba band kemarin lusa, karena bertepatan waktunya dengan babak praktek lomba kimianya. “Niken!!” Niken menoleh mendengar ada yang memanggil namanya. Jimmy rupanya. Lari-lari dari jauh menghampirinya. Spontan Niken berdiri. “Ada apa, Jimmy? Koq kamu kayak dikejar-kejar setan begitu?” tanya Niken. “Pucat sekali mukamu, Jim,” kata Wulan yang duduk di sebelah Niken. Jimmy lalu menarik Niken agak menjauh dari kerumunan anak-anak. Pandu yang kebetulan melihat ikut mendekat. “Niken, aku baru saja ditelepon Mama. Kompleks rumah kita di Kinanti diserbu massa demonstran. Mama sempat lari lewat belakang. Waktu lewat rumahmu, katanya rumahmu sudah dibakar massa. Mama pesan aku untuk memberitahu kamu untuk jangan pulang ke rumah.” Jimmy memaksudkan rumah gedongan Niken yang memang satu kompleks dengan rumah tinggal Jimmy. Niken kaget sekali mendengar berita buruk Jimmy. Gunting yang dipegangnya jatuh ke tanah. Untung tidak mengenai kakinya. “Sudah, gitu dulu yah. Aku diajak mengungsi ke Bali sama Mama. Aku mau ke airport ketemu Mama sekarang. Bye Niken…” kata Jimmy lalu cepat-cepat lari. Niken masih terbengong-bengong menatap Jimmy dari kejauhan. Galau sekali hatinya. Lalu dia mulai berjalan menuju arah Jimmy lari. “Hey, mau ke mana kamu, Fei?” cegah Pandu sambil meraih lengan Niken. Langkah Niken terhenti. “Aku mau ke Kinanti, Ndu.” “Ngapain ke sana? Jimmy spesial kemari bilang kamu jangan ke sana koq, kamu malah mau ke sana, gimana sih?” “Mama, Oma, Papa, semua ada di sana, Ndu. Aku harus ke sana.” jawab Niken emosi. “Trus kamu kalo ke sana lantas bisa apa, Fei? Mau cari mati?” balas Pandu ikutan emosi. “Lalu bagaimana dong? Aku nggak bisa diam saja di sini, kan?!” “Tunggu sampai keadaan tenang, nanti aku temani kamu ke sana. Gimana?” Pandu berusaha menyarankan. “Nanti-nanti bisa terlambat.” Niken masih ngotot. “Kamu bahkan nggak tau apa mereka berhasil melarikan diri sebelum demonstran masuk. Kamu kan yang bilang sendiri Papa-Mamamu jarang di rumah? Omamu mungkin sekarang sudah ada di Kudus. Kamu nggak tau kan? Yang penting kamu tenang dulu. Kalo sudah tenang kan bisa berpikir jernih…” Pandu belum selesai ngomong saat tiba-tiba saja mereka dikagetkan oleh suara tembakan. Spontan anak-anak yang berdiri termasuk Pandu dan Niken langsung tiarap di tanah. Suara tembakan itu terus dar-der-dor berkali-kali. Keras sekali. Pasti sumbernya tidak jauh dari sini. “Ada apa ini, Ndu?” tanya Niken bingung. “Entahlah.” Sebentar kemudian mereka mendengar suara ibu-ibu, mungkin salah satu dosen di kampus itu, dari atas podium, “Anak-anak, lari semua, lari selamatkan diri masing-masing…!” Suaranya terhenti bersamaan dengan bunyi dor yang keras. Dikomando begitu, semua anak-anak di lapangan lari menuju pintu gerbang. Tapi ternyata justru massa demonstran ada di pintu gerbang, siap masuk ke arah dalam. Semua lalu lari terbirit-birit masuk kembali ke lapangan, tanpa tahu arah. “Ayo Fei, ikut aku!” ajak Pandu sambil menggandeng tangan Niken. Mereka lalu lari ke arah pintu gerbang parkir belakang, satu-satunya pintu keluar lain yang Pandu tahu, karena dia selalu masuk lewat situ dengan sepedanya. Mereka sudah hampir sampai ke pintu gerbang saat mereka mendengar suara lantang yang menyuruh semua tiarap. Pandu dan Niken sama-sama tidak mempedulikannya. Tiba-tiba lengan Niken dicekal dari samping. “Mau lari ke mana, nona manis?” Suara laki-laki bertubuh tegap yang membawa gobang itu sungguh sangat menyeramkan. “Dia mau lari lewat pintu belakang.” jawab Pandu dengan nada galak. Niken bingung menatap wajah Pandu. Pandu pura-pura tidak tahu Niken menatapnya. “Untung saya menangkapnya.” lanjut Pandu lagi. “Baiklah. Bawa dia ke bangsal utama tempat semua gadis-gadis.” suruh laki-laki itu. "Dia cantik, kamu beruntung sekali", kata laki-laki garang itu mengedipkan matanya ke arah Pandu. Pandu lalu mencekal lengan Niken, balik kanan, lalu membawanya menuju ke bangsal. “Apa-apaan, Ndu?” bisik Niken. “Sssh… Diam saja. Aku akan pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kamu. Sepertinya aku aman di sini.” kata Pandu. “Hey, terus jalan, jangan berhenti.” seru laki-laki itu galak melihat Pandu dan Niken berjalan pelan-pelan. “Fei, di hitungan ke tiga, kamu lari ke arah pintu gerbang belakang itu. Kayaknya yang jaga cuma si galak itu. Aku pasti bisa lari dari sini. Percayalah.” bisik Pandu. “Kamu bermaksud ingin berkelahi dengan si galak itu, lebih baik jangan. Jangan nekad, Ndu. Apa yang membuat kamu mengira kamu bakal menang melawan dia?” jawab Niken balas berbisik. “Sudahlah, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Lakukan saja apa yang aku bilang tadi. Kita nggak punya banyak waktu, dan nggak punya pilihan lain. Oke?” “Baiklah.” “Satu, dua, tiga!” Niken cepat-cepat balik kanan lalu lari menuju ke arah pintu gerbang. Pandu pelan-pelan lari, pura-pura mengejarnya. Di luar dugaannya, ternyata lumayan banyak penjaga di pintu gerbang belakang. Tidak cuma satu si galak itu. “Berhenti!” teriak Pandu. Salah seorang penjaga menangkap Niken. Pandu lalu menghampirinya lagi. “Terima kasih. Dia akan saya bawa ke bangsal sekarang.” kata Pandu sambil membawa Niken kembali. Untung tidak ada yang curiga. Mereka pasti mengira Niken ingin melarikan diri dan Pandu mengejarnya. “Fei, banyak sekali orang di sini. Rasanya kita nggak mungkin bisa lari dari tempat ini.” bisik Pandu dengan nada kuatir setelah agak jauh dari pintu gerbang. “Ndu, selamatkan saja dirimu. Pergi dari sini sebelum mereka tahu bahwa kamu bukan salah satu dari mereka. Jangan berusaha menyelamatkanku. Aku yakin aku bakal baik-baik saja.” Niken balas berbisik. Baik Niken maupun Pandu tahu bahwa kata-kata Niken tadi sama sekali tidak berdasar pada kenyataan. Semakin dekat ke arah bangsal, suasana semakin terasa mencekam. Jeritan terdengar menggaung dari arah dalam bangsal. Hati Pandu terasa tersayat-sayat mendengarnya, terutama memikirkan bahwa salah satu dari jeritan itu mungkin saja bakal keluar dari mulut Niken. “Fei, aku akan tetap tinggal di sini. Akan aku pikirkan bagaimana cara menyelamatkanmu. Jangan putus harapan, ya…” katanya sambil mengantar Niken masuk ke dalam bangsal. Niken terpekik saat pintu bangsal terbuka. “Ndu, aku takut…” bisiknya sambil menyembunyikan kepalanya di dada Pandu. Pandu merasa bersalah karena tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa. Dilihatnya sekeliling. Di bangsal kotor itu banyak baju-baju kotor berserakan, berlumuran darah. Banyak mayat gadis-gadis telanjang, sepertinya mereka habis diperkosa, lalu dibunuh. Ada banyak juga yang masih hidup, tapi melihat kondisi mereka, sepertinya mereka lebih memilih mati. “Fei, aku nggak sanggup meninggalkan kamu di sini. Kita keluar sama-sama, atau mati samasama. Aku nggak akan keluar tanpa kamu." Niken masih tak bisa berkata apa-apa. Yang dilihatnya barusan adalah pemandangan yang paling mengerikan dalam sejarah hidupnya. Jauh melebihi adegan film-film horor sekalipun. Ini begitu nyata, begitu dekat di pelupuk mata. "Aku ada akal. Ikut aku.” kata Pandu tiba-tiba, sambil menarik lengan Niken untuk bergerak menjauhi tempat mengerikan itu. Niken yang kepalanya masih sempoyongan karena shock cuma bisa mengikuti Pandu yang menggandeng tangannya. Sambil berjalan, Pandu berbisik menjelaskan, “Aku ingat waktu lomba debat, dari jendela ruang kelas yang dibuat debat aku bisa melihat jalan ke luar. Dan ruang kelas itu kalo nggak salah, nggak jauh dari bangsal ini. Kita mungkin bisa keluar lewat jendela. Ayo!” Setengah berlari, setengah berjingkat-jingkat, Niken mengikuti langkah Pandu. Mereka tak ingin gerakgerik mereka terdengar siapapun, karena itu berarti "skak-mat". “Sial! Ruangannya dikunci!” keluh Pandu saat sampai di depan ruang kelas itu. Dipukulnya daun pintu ruangan itu dengan kesal. “Minggir, Fei.” katanya kemudian. Niken mundur selangkah. Pandu berlutut, lalu membenturkan sikunya di kaca pintu bawah. Kaca gelas itu langsung berhamburan. Suara pecahnya kaca begitu keras, pasti menarik perhatian orang. “Cepat masuk!” Pandu membantu Niken masuk lewat pintu kaca yang sekarang sudah pecah bagian bawahnya. “Lekas buka jendelanya” kata Pandu saat Niken sudah masuk ke dalam ruang kelas. Pandu lalu masuk juga ke dalam ruang kelas itu, sementara Niken membuka jendela untuk keluar dari tempat berdarah itu. Jantung mereka berdebar kencang karena mereka dapat mendengar dengan jelas ada suara langkah kaki yang semakin lama semakin keras. “Loncat, Fei! Keluar! Sekarang!” kata Pandu sambil setengah mengangkat tubuh Niken, membantunya untuk memanjat keluar dari jendela. Akhirnya Niken berhasil menjejakkan kembali kakinya ke tanah, di luar kelas. Dari kaca jendela dia bisa melihat sesosok bayangan yang menuju ke arah kelas. “Awas, Ndu! Ayo cepat!” buru Niken sambil menggapai-gapaikan tangannya ke arah Pandu. “Lari Fei, pergi ke rumahku. Di sana kamu aman. Aku temui kamu di rumah. Bilang ibu untuk jangan kuatir.” kata Pandu. Niken cepat-cepat lari. Semenit kemudian dia dikagetkan oleh suara tembakan. Datangnya dari arah ruang kelas. Langkah larinya terhenti. Tapi kemudian dia lari lagi karena melihat ada orang yang keluar dari jendela kelas, siap untuk mengejarnya. Kebetulan Niken menemukan sepeda yang tergeletak di tengah jalan. Diraihnya sepeda itu cepat-cepat, lalu dikayuhnya sekuat tenaga. * Sesampainya di rumah Pandu, Niken mengetuk-ngetuk pintu pagar dengan tidak sabar. Ibu Pandu yang membuka pintu. “Oh Niken, ayo masuk. Pandu tidak ada di rumah…” katanya sambil membuka pintu. “Niken tahu. Niken baru saja bersama Pandu…” jawab Niken. Nafasnya masih tak teratur. Jantungnya masih berdegup dengan kencang. “Ibu nggak dengar ada ramai-ramai di kampus Undip?” “Masya Allah… Kamu nggak apa-apa, Niken?” tanya Ibu Pandu. “Pandu yang menolong saya keluar. Katanya saya disuruh kemari, karena saya lebih aman di sini. Dia juga menyuruh saya untuk menyampaikan ke ibu untuk jangan kuatir. Tapi saya pun nggak tahu apakah Pandu bisa selamat apa nggak. Mestinya saya nggak menuruti katakatanya untuk lari duluan.” kata Niken menyesal, sambil terisak. Ibu Pandu lalu memeluk Niken. Niken menangis di pelukan Ibu Pandu. Rasanya seluruh tenaganya sudah habis terkuras. Tak sanggup lagi untuk berbuat apa-apa. “Kamu tenang saja dulu di sini. Ibu yakin, kalau Pandu bilang dia akan baik-baik saja, maka dia akan baik-baik saja.” Tangis Niken makin keras. Dia teringat suara tembakan terakhir yang didengarnya tadi. Tapi dia menurut saja waktu ibu Pandu menuntunnya masuk ke dalam. Sebelum sampai di dalam rumah, Niken pingsan. * Waktu membuka matanya lagi, Niken terperanjat melihat Pandu duduk di kursi di dekatnya. “Sudah sadar, Fei?” tanya Pandu sambil tersenyum manis. “Koq kamu sudah ada di sini?” tanya Niken heran. “Kenapa? Kirain aku sudah mati ya?” gurau Pandu. “Nggak lucu ah, ngomong seperti itu.” Niken cemberut. “Gini lho ceritanya. Persis sesudah kamu pergi, ada dua orang yang masuk ke kelas. Seorang bermaksud menembakku, seorang berusaha melompat jendela untuk mengejarmu. Tapi sebelum dia sempat menembakku, salah seorang anggota aparat polisi sudah ada di depan pintu, menembak orang yang hendak menembakku tadi. Yang melompat jendela akhirnya terkejar setelah beberapa meter, tapi kamu sudah jauh.” “Tanganmu nggak papa, Ndu?” tanya Niken setelah melihat siku Pandu dibalut perban. “Nggak papa, koq. Cuma agak perih kena pecahan kaca aja.” Niken lalu diam saja. Lega sekali rasanya Pandu selamat. “Kenapa lagi? Kecewa yah aku nggak mati?” kata Pandu bercanda lagi. “Aku sudah bilang, nggak lucu guyonan seperti ini. Apalagi tadi kita memang benar-benar sudah hampir mati.” “Maaf, maaf. Tapi asyik juga melihat kamu tiduran di ranjangku begini.” kata Pandu dengan matanya yang nakal. “Sialan.” kata Niken lalu duduk di ranjang. “Kamu tahu nggak kita itu beruntung banget? Nggak banyak orang yang selamat dari peristiwa di kampus tadi siang. Korban nyawa banyak sekali. Untunglah Wulan juga selamat. Aku tadi ketemu dia waktu petugas kesehatan membalut lukaku. Dia kena luka bakar, karena sembunyi di salah satu kendaraan bunga buat pawai. Tadinya sih aman-aman saja, sampai saat-saat terakhir ada yang berusaha menyulut api di semua kendaraan bunga. Tapi dia nggak papa koq. Sekarang sudah pulang ke rumah.” “Syukurlah.” kata Niken. Pandu tiba-tiba teringat akan sesuatu. “Oh ya, aku juga punya kabar tentang keluargamu, Fei.” “Bagaimana, Ndu? Apa mereka selamat?” “Menurut keterangan dari Bapak, tak ada satu orangpun yang berhasil selamat keluar dari rumahmu sebelum rumahmu dibakar habis. Tapi Omamu sudah berhasil dihubungi, dia baikbaik saja di Kudus.” “Bagaimana dengan Mama dan Papa?” tanya Niken. “Fei, kamu mesti tabah…” “Kamu nggak bercanda, Ndu?” Pandu menggeleng lemah. Niken langsung meledak tangisnya. Pandu mendekat, lalu membiarkan Niken menangis tersedu-sedu di pundaknya. “Mereka nggak pernah ada di rumah. Kenapa juga mereka mesti ada di rumah saat kejadian naas itu?” kata Niken penuh sesal di sela-sela isak tangisnya. “Kata Oma, kalau situasi sudah membaik, dia akan datang ke Semarang. Tapi sementara kamu tinggal di sini dulu.” kata Pandu. “Aku pulang ke Kenanga saja, Ndu. Nggak enak ah tinggal di sini. Ngerepotin.” “Jangan aneh-aneh kamu. Kalau terjadi apa-apa lagi gimana? Kamu sendirian di sana? Yang bener aja.” kata Pandu tidak setuju. “Tadi Ibu juga menawari kalau kamu mau tinggal di sini sementara, sampai situasi benar-benar aman. Aku bisa tidur di depan teve. Aku kadangkadang tidur di situ koq.” “Baiklah. Melihat kamu ngotot begini kayaknya aku nggak punya pilihan lain kecuali melarikan diri dari rumahmu, dan rasanya aku belum cukup sinting.” kata Niken. “Tapi aku butuh barang-barang dari rumahku. Baju, seragam sekolah, dan lain-lain. Kenanga aman nggak sih?” tanya Niken. “Demonstrasi siang tadi nggak merembet sampai daerah Kenanga koq. Gampang, nanti pas Bapak mau dinas sore, sekitar satu jam lagi, kita bisa dianter ke rumahmu naik mobil, pulangnya naik mobil kamu. Gimana?” Niken mengangguk setuju. Benar-benar hari yang melelahkan. * Sekitar sebulan setelah hari naas itu, suasana di kota Semarang kembali normal. Acara puncak, pawai kendaraan bunga itu tentu saja dibatalkan. Para pemenang lomba diumumkan lewat surat kabar. Sayang sekali acara akhir yang seharusnya mengakhiri sepekan kompetisi yang bagus itu harus menjadi hari kelabu yang penuh duka. Bunga-bunga yang masih segar tidak lagi dijadikan untuk ajang pamer, melainkan untuk mengubur jazad para korban. Yang lebih ironis lagi, sebagian besar para pembuat onar hari itu masih belum berhasil ditangkap pihak yang berwajib, dan sepertinya kasus ini akan ditutup begitu saja karena terlalu banyak tersangka yang buron, dan terlalu susah untuk membuktikan keterlibatan masing-masing dalam peristiwa berdarah itu. Niken mendapat tempat kedua di lomba kimia, sedangkan Pandu menang lomba matematika. Rasanya menang lomba kali ini sama sekali tidak ada artinya mengingat kenangan pahit yang sampai sekarang masih terus menghantui mimpi Niken di malam hari. Niken sudah kembali ke rumahnya di Kenanga. Oma sejak minggu lalu datang ke Semarang karena dijadwalkan besok sore untuk ikut hadir dalam pembacaan warisan keluarga Tjakrawibawa. Lumayan sejak ada Oma, Niken jadi tidak merasa kesepian. Lamunannya selalu melayang ke papa-mama, juga cici-nya. Rasa nelangsa karena rasanya sudah tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali Oma tersayangnya. "Niken, lihat siapa yang datang..." suara manis Oma membuyarkan lamunannya. Pandu melongokkan wajahnya yang kocak dari belakang punggung Oma. Niken tersenyum. Anak ini memang selalu tahu cara membuat orang senang, batinnya. "Yuk ke teras belakang aja." ajak Niken. "Kangen tidur di ranjangku nggak?" tanya Pandu iseng. "Nggak. Ranjang kamu bau." jawab Niken seenaknya. Pandu melongo. Membelalakkan matanya lebar-lebar. "Bau apa?" tanyanya kemudian. "Bau... apa ya? Susah menjelaskannya." Niken pura-pura berpikir. "Ya kalau begitu kamu perlu sering tidur di situ untuk melenyapkan baunya. Mulai besok, bagaimana?" tantang Pandu. "Boleh..." Niken tidak pernah takut menerima tantangan. "Oh.." lanjutnya, "Nggak bisa, Ndu. Besok ada hal penting yang harus aku lakukan." "Hal penting?" Pandu mengernyitkan dahinya. "Iya. Pembacaan warisan. Aku sebetulnya sama sekali nggak tertarik untuk datang. Pengacara Papa, Pak Suyudi itu yang memaksa semua orang yang tercantum namanya di dalam daftar warisan harus datang." "Kenapa kamu nggak mau datang?" tanya Pandu lagi. Niken diam saja. Dia juga tidak tahu jawabannya. Malas? Seharusnya tidak. Ini mungkin kewajiban terakhir yang harus dilakukannya sebagai anak papanya. Masih sakit hati? Sakit hati apa? Semua itu sudah jauh dari benaknya. Tidak perlu diusir juga sudah pergi sendiri. Yang ada sekarang hanya perasaan bersalah, karena selama ini sebagai anak dia merasa tidak pernah dekat dengan papa maupun mamanya. Tidak sempat menunjukkan pengabdiannya sebagai anak. Dan sekarang sudah terlambat. Seakan tahu yang dipikirkan Niken, Pandu menepuk-nepuk punggung Niken dengan halus. Tanpa sadar air mata Niken mengalir ke pipi. "Sudahlah Fei. Kamu pasti mikir, aku ini arogan sekali ya? Tadi kamu sudah bisa tertawa-tawa. Sekarang aku datang, kamu malah nangis. Aku memang nggak berguna. Sssh.. sudah.. jangan menangis lagi." Niken masih sesenggukan. Kalau sudah menangis begini jadi susah berkata-kata. "Fei," kata Pandu sambil masih menepuk-nepuk punggung Niken. "Papi dan mami kamu pasti juga merasa bersalah meninggalkan kamu sendirian seperti ini. Jangan menambah rasa bersalah mereka dengan terus-menerus larut dalam kesedihanmu. Kamu musti bangkit. Kamu musti kuat." Niken mendongakkan kepalanya. Ditatapnya wajah Pandu yang duduk di sampingnya. Pandangan mata Pandu begitu teduh, begitu nyaman. Seolah menghipnotisnya dengan katakata "Semuanya akan baik-baik saja." Pelan-pelan isaknya berhenti. "Lagipula, seperti yang aku sudah bilang dari dulu-dulu, kamu masih ada aku. Selamanya. Kamu usir aku sekalipun, aku akan tetap setia menjagamu. Aku nggak akan ke mana-mana." Tersenyum, Niken memeluk Pandu. Hangat sekali rasanya dalam pelukan Pandu. Kalau katakata Pandu tadi benar, dunianya bakal sempurna sekali, selamanya. "Memangnya kamu kira aku mau ke mana?" tanya Niken blo'on. "Nggak tahu. Tapi aku harap juga nggak kemana-mana." sahut Pandu. "Gimana kalau aku mau pipis? Kan musti ke WC. Masa' suruh di sini terus?" Niken tambah menjadi-jadi pura-pura blo'onnya. "Niken!!!!" Niken yang sekarang sudah hafal, kalau Pandu memanggilnya 'Fei' itu berarti situasi biasa dan aman-aman saja. Kalau dia panggil "Niken", itu berarti situasi sudah memanas. "Kamu nakal ya? Sebentar nangis, sebentar godain. Minta dicium apa?" kata Pandu sambil memegang dagu Niken dan memonyongkan mulutnya. "Hus Pandu..." kata Niken menyingkirkan tangan Pandu dari dagunya, walaupun dengan setengah hati. "Ingat status kita sekarang apa? Aku bukan pacarmu. Nggak boleh cium-cium!" "Memangnya kenapa?" tanya Pandu. Setelah menepiskan tangan Niken, dipegangnya lagi dagu mungil itu. "Nggak ada yang tahu ini. Selama nggak ada yang lihat, kita aman kan?" lanjutnya dengan nada nakal. "Kan ada.." "Oma?" Belum sempat Niken menjawab, Pandu sudah menyahut. "Oma kan merestui kita. Dia senang malah kalau kita jadian." "Pandu!!!" Gantian Niken yang teriak. Ternyata Pandu itu cepat sekali geraknya. Terutama kalo soal mencuri ciuman. Secepat kilat bibirnya sudah menyentuh bibir Niken. Di luar dugaannya, Niken spontan menjauhkan tubuhnya. "Jangan, Ndu." sahut Niken tertunduk. "Kenapa?" tanya Pandu hati-hati. "Aku nggak tahu." Niken menggeleng-gelengkan kepalanya yang kelihatan berat sekali itu. "Jangan bohong." sahut Pandu. Diangkatnya dagu Niken supaya dia bisa menatap wajahnya. "Kalaupun kita nggak pacaran, kita bersahabat. Kamu kan bisa bilang apa saja yang kamu mau. Jangan kuatir aku nggak akan tersinggung." Niken terdiam. "Sungguh, Pandu. Aku juga masih belum tahu jelas perasaanku. Yang jelas, semenjak papamama meninggal, aku jadi sering berpikir, aku ini anak yang nggak berbakti. Kalau aku bisa memutar ulang kejadian hari itu, aku mungkin akan berkata lain." "Semuanya sudah ..." "Aku belum selesai." Sebelum Pandu selesai bicara, Niken sudah memotongnya. "Aku mungkin akan berkata: Papa, Fei akan belajar mencintai Tante Mia seperti keluarga sendiri, kalau itu yang Papa mau. Fei akan pergi ke Amerika kalau itu yang papa mau..." "Fei nggak akan lagi ketemu Pandu kalau itu yang papa mau?" sahut Pandu menebak arah jalan otak Niken. Niken sudah akan menundukkan kepalanya kalau saja Pandu tidak menahan dagu Niken dengan tangannya. Keduanya sama-sama tidak berkata apa-apa sesudah itu. Niken tidak bisa berkata apa-apa karena jujur saja memang kata-kata Pandu itu persis yang akan dia katakan. Walaupun dia tahu untuk melupakan Pandu, akan membutuhkan seluruh masa kehidupannya di dunia ini. Pertemuan mereka begitu singkat, kurang lebih setahun, tapi sudah menorehkan makna yang sangat tajam di hatinya. Sedangkan Pandu, dia masih terkejut akan kata-kata Niken tadi. Dia tak menyangka Niken sanggup bilang begitu. Walaupun memang secara de facto selama ini mereka tidak pernah pacaran, tapi dia tahu persis Niken sayang dia, dan Niken pun sudah paham betul akan perasaannya. Selama ini yang menjadi kendala hanya orang tua Niken yang tidak menyetujui hubungan mereka. Setelah melalui berbagai peristiwa, sekarang justru setelah orang tuanya meninggal, Niken malah berubah arah. "Benar-benar memusingkan!" batin Pandu. :: Mata Elang : Chapter 7 "Wulan, ada yang nyari tuh!" ibu Wulan mengetuk kamarnya. Wulan yang sedang mengerjakan soal-soal kimia sambil mendengarkan radio, jadi bingung. "Siapa, Bu? Malammalam begini?" "Cowok. Ganteng. Cepet temuin sana." goda ibunya. "Oooh.. Kamu toh, Pandu! Ada apa malam-malam mencariku?" Walaupun Wulan lega yang mencarinya ternyata cuma Pandu, heran juga melihat Pandu ada di rumahnya malam ini. "Lagi bingung, nih." kata Pandu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Bingung apa? Ujian kimia besok ya? Mustinya kamu ke rumah Niken, dia kan yang jago kimia." tebak Wulan. "Aku bahkan tidak bisa konsentrasi untuk belajar. Ini lebih serius dari ujian kimia." jawab Pandu masih dengan tampang bingungnya. "Lalu?" "Kamu sering ngobrol sama dia akhir-akhir ini?" tanya Pandu. "Semenjak EBTANAS mulai awal minggu ini sih nggak. Memangnya ada apa? Niken kenapa?" "Dia nggak papa, kayaknya. Aku nggak tahu. Dia sepertinya paling ahli bikin orang patah hati." jawab Pandu dengan nada sinis. "Patah hati? Aduh,... ada apa pula ini? Setahuku Niken bukan tipe orang yang suka menyakiti hati orang. Lagipula, terakhir aku cek, dia bukannya masih cinta mati sama kamu?" "Terakhir aku ketemu dia, dia bilang ga mau ketemu aku lagi tuh." keluh Pandu. "Ha? Kenapa dia bisa berubah drastis begitu?" Pandu mengangkat bahunya. Pandangan matanya kosong menatap ke arah pintu depan. Wulan menggoyang-goyangkan tangannya persis di depan wajah Pandu. "Malah melamun!" ujarnya kemudian. Pandu tersontak kaget. "Sorry.." Cuma itu saja yang terucap dari bibirnya, lalu seakan-akan hendak kembali lagi ke lamunannya. "Aku sudah bilang, aku nggak tahu. Kamu yang memaksa." kata Niken kemudian, setelah keduanya terdiam beberapa lama. Pandu tidak menjawab. Dilepaskannya dagu Niken, dan beranjak pergi. "Ndu!" panggil Niken sambil mengikutinya. "Jangan pergi dulu. Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan." "Aku yakin kamu sudah tahu persis apa yang kupikirkan. Aku pulang dulu." jawab Pandu singkat, dan meninggalkan Niken sendirian di ruang tengah. Limbung, Niken terduduk di kursi. Pikirannya kembali melayang ke papa-mamanya. Peristiwa setragis ini, biasanya cuma ada di tv, batinnya berteriak, "Aku pasti berdosa besar sampai dihukum seperti ini!" "Jadi tujuan kamu kemari cuma mau melamun? Kalau begitu aku tinggal masuk ya, masih banyak soal-soal kimia yang masih ingin aku kerjakan," desak Wulan, dengan harapan dengan begitu Pandu akan mengatakan apa sebenarnya tujuan dia ke rumahnya malam ini. "Aku nggak tahu lagi musti berbuat apa, Wulan." Pandu mendesah panjang. "Sepertinya dia sudah nggak butuh seorang Pandu lagi. Rasanya aku ini hanya beban untuknya. Seolah-olah hubunganku dengannya adalah dosa yang menyebabkan terenggutnya nyawa orang-tuanya." "Astaga, Pandu! Koq kamu bisa berpikiran buruk seperti ini sih? Dapat dari mana pikiran sejelek ini?" "Dari Niken. Dia sendiri yang bilang..." "Nggak mungkin. Nggak mungkin Niken bilang begitu. Nggak mung..." Pandu menyela, "Aku juga nggak akan percaya kalau nggak mendengarnya sendiri, Wulan. Sungguh, ini kata-kata Niken sendiri." Wulan terdiam. "Memang akhir-akhir ini Niken terlalu larut dalam kesedihannya," pikirnya dalam hati. "Ndu.." kata Wulan setelah berpikir beberapa saat. "Orang yang sedang galau pikirannya seperti Niken ini, omongannya sering yang nggak-nggak. Ditelan mentah-mentah dulu lah, Pandu. Beri dia waktu. Aku saja nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya ditinggal kedua orang tua sekaligus. Aku masih ada ibuku. Di saat-saat seperti ini, dia butuh kamu sebagai tiang sandaran, Ndu. Cobalah untuk menahan emosi. Aku yakin Niken sama sekali tidak bermaksud menyakiti perasaanmu." Menghadapi wajah putus-asa Pandu, Wulan jadi tidak yakin lagi akan yang kata-kata yang baru saja diucapkannya sendiri. Rasanya terlalu berat untuk membiarkan Pandu sakit hati seperti ini terus-terusan. Tapi di lain pihak dia juga yakin Niken pasti merasakan hal yang sama. Pelan-pelan Pandu mencerna kata-kata Wulan yang masih terngiang-ngiang di telinganya. Direkam dan diputarnya di otak perlahan-lahan, berkali-kali. Wulan masih terdiam, tidak berani mengganggu Pandu bahasa tubuhnya seperti orang yang sedang khusuk bermeditasi. "Baiklah Wulan. Aku permisi pulang dulu." kata Pandu sambil berdiri. "Lho?" ujar Wulan bingung. "Oh ya, terima kasih. Rasanya kata-katamu itu pas sekali. Aku mungkin tadi cuma butuh orang untuk menyadarkanku akan hal ini." kata Pandu kemudian. "Ooh..." Wulan menghela napas lega. "Syukurlah kalau aku tadi mengatakan hal yang benar." batinnya. "Terima kasih sekali lagi, Wulan. Maaf sudah mengganggu jam belajarmu." "Jangan sungkan-sungkan begitu, Ndu. Aku yakin kalau aku punya masalah kamu pasti juga akan meluangkan waktumu untuk menolongku sebisamu, kan?" Pandu mengangguk sambil tersenyum. Semakin lega Wulan melihat senyum di wajah Pandu. Setelah Pandu lenyap dari pandangannya, Wulan mengutuki sahabatnya itu dalam hati "Aduh Niken! Ada apa denganmu kali ini?!" * Sudah lima menit Niken menunggu di dalam ruangan ber-AC ini. Ada seorang anak laki-laki seumurnya yang dari tadi menatapnya dengan penuh rasa benci. “Siapa sih itu, Oma? Koq pandangan matanya nggak enak begitu?” bisik Niken ke Oma yang duduk di sebelahnya. “Itu anak Papamu sama Tante Mia. Anak yang paling besar. Ada dua lagi adiknya, perempuan semua. Kayaknya tidak dijadwalkan untuk hadir, karena dianggap masih terlalu kecil.” Niken lalu berpikir sebentar, lalu melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah anak laki-laki itu. “Hallo, siapa namamu?” tanya Niken ramah. Anak laki-laki itu diam saja. Tidak berniat sama sekali untuk menjawab, malah melengos. Tidak putus asa, Niken pindah ke kursi sebelah satunya. “Namaku Niken. Keluargaku biasa panggil aku Fei Fei. Kamu boleh panggil aku apa aja.” kata Niken sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan. Diliriknya Oma yang memperhatikannya terus. Niken lalu tersenyum. Melihat senyum Niken yang begitu ramah, akhirnya anak itu membuka mulutnya. “Namaku Hendri. Keluargaku biasa panggil aku Hendri. Kamu boleh panggil aku Hendri.” “Kocak juga kamu rupanya.” kata Niken tersenyum lebar. “Aku sebenarnya ingin menemuimu setelah pemakaman sebulan yang lalu.” lanjut Niken. “Tapi kamu sepertinya menghindariku terus. Enggak jadi deh akhirnya. Aku cuma ingin mengucapkan bela sungkawa karena kamu kehilangan kedua orangtuamu, sama seperti aku. Cuma aku yang bisa mengerti persis bagaimana perasaanmu, harus kehilangan kedua orangtuamu.” “Kamu nggak tau gimana rasanya. Aku nggak pernah dekat sama Mami apalagi Papi. Aku nggak begitu sedih koq.” “Kalau begitu aku benar-benar tahu persis perasaanmu. Karena aku juga nggak pernah dekat sama Papa Mama. Tapi aku tetap saja sedih, terutama kalau mengingat kata terakhir yang aku ucapkan pada Papa adalah selamat tinggal untuk sementara. Menyesal sekali kata terakhir itu aku ucapkan dengan penuh kebencian, lebih tepatnya kekecewaan. Lebih menyesal lagi karena aku tidak sempat berbaikan kembali. Aku yakin kamu pasti merasa hal yang sama, ya kan?” “Aku dari awal memang nggak suka rencana Mami mau tinggal di Semarang. Makanya aku nggak ikut ke Semarang. Mami duluan yang ke Semarang. Rencananya sesudah naik kelas nanti aku bakal dipindah ke Semarang. Aku masih ngotot nggak mau. Sejak Mami pergi dari Malang, aku sama sekali nggak mau ngomong sama Mami. Aku masih marah.” “Dan waktu kamu dengar kejadian naas itu, rasanya menyesal sekali kamu nggak sempat minta maaf sama Mami kan? Banyak hal yang aku sesali, Hendri. Aku bahkan menyesal tidak memberikan kesempatan buat diriku sendiri untuk lebih mengenal Tante Mia. Aku benci sekali sama Tante Mia karena telah menghancurkan keharmonisan rumah tangga keluargaku. Walaupun aku juga sadar, keharmonisan itu pasti sebetulnya sudah hancur sebelum ada Tante Mia.” “Kamu tahu? Aku juga benci sama Papi, setelah tahu bahwa ternyata Papi itu punya istri pertama. Aku baru tahu nggak lama sebelum Mami mau pindah ke Semarang. Sejak itu aku benci Papi dan segala sesuatu yang berbau Tjakrawibawa, termasuk kamu, saat aku mendengar bahwa Papi punya anak perempuan dengan istri pertamanya. Rasanya kebencianku itu nggak beralasan. Maafin aku, ya. Eh, aku boleh panggil kamu cici?” tanya Hendri, yang ternyata memanggil papa Niken "papi". Niken heran. Kenapa Hendri mau manggil dia cici? Baru saja dia akan bertanya “Kenapa?” sebelum akhirnya sadar bahwa status Hendri itu termasuk adiknya. "Telat mikir. Bodoh sekali". “Tentu saja boleh. Belum pernah ada yang memanggilku cici sebelum ini.” “Hendri, dengerin aku. Seandainya Papa mewariskan apapun padaku, aku akan berikan padamu. Aku nggak butuh apapun dari Papa. Rumah di Jalan Kenanga itu punya Mama, dan kebetulan sudah jadi hak milikku. Itu sudah lebih dari cukup buatku.” “Cie, aku juga baru mau mengatakan hal yang sama. Aku nggak ingin pindah dari Malang. Di Malang aku tinggal sama Oma dan Opa dari Mami. Uang tabungan Mami cukup-cukup sekali buat menghidupi seratus anak. Jadi aku bermaksud menolak warisan apapun dari Papi. Jangan berikan padaku. Aku nggak mau.” “Nah lho… bagaimana ini?” tanya Niken bingung. “Dilihat aja nanti. Belum tentu diwarisi juga.” kata Hendri tersenyum. Niken jadi teringat Omanya yang duduk sendirian. Niken lalu berjalan ke arah Oma, mendorong kursi rodanya jadi Oma bisa duduk di sebelah Hendri juga. “Oma, ini Hendri.” kata Niken mengenalkan. “Bagaimana sih kamu, Fei? Oma tuh sudah kenal. Tadi Oma juga sudah bilang…” kata Oma geli. “Oh, iya. Lupa.” kata Niken sambil menepuk dahinya. Kebetulan yang dijadwalkan untuk hadir sudah hadir semua. Lalu acara pembacaan warisan dimulai. Dimulai dari warisan Papa, lalu Mama, lalu Tante Mia. Seperti dugaan Niken, semua milik Mama diwariskan untuknya, kecuali rumah tinggalnya di Kebumen yang memang sudah dihuni oleh Oom Yongki, adik mama. Mobil BMW yang memang diatasnamakan Mama, jadi milik Niken. Juga harta benda Mama di bank termasuk deposito, tabungan dan simpanan emas. Niken bahkan tidak tahu bahwa Mama memegang polis asuransi jiwa, jadi Niken sebagai ahli waris mamanya mendapat hak penuh atas asuransi jiwanya. Semua harta millik Tante Mia tidak semua diwariskan ke Hendri, melainkan dibagi tiga. Sesudah adik-adiknya besar, baru mereka berhak mendapatkan warisannya masing-masing. Tapi sepertiganya langsung diberikan pada Hendri. Termasuk dua rumah di Surabaya dan beberapa mobil mewah. Sampai saat pembacaan warisan Papa, tidak ada satupun orang yang protes. Papa mewariskan banyak hal ke banyak orang. Sepertinya seluruh keluarganya mendapat jatah yang adil. Untuk adik-adiknya, untuk Oma, bahkan teman-temannya. Barang-barang yang diwariskan termasuk saham-saham miliknya, tanah di beberapa tempat termasuk apartemennya yang di Jakarta, uang, dan masih banyak lagi barang kecil-kecil yang sayangnya sudah hangus bersama terbakarnya rumah Kinanti. Untuk Niken, Papa memberikan rumah Kinanti, yang sekarang tinggal berharga tanah. Papa lebih banyak memberikan warisannya pada Hendri, termasuk uang tabungan pribadinya, karena dia anak laki-laki satu-satunya. Niken merasa lega. Dia sudah punya rencana bagus untuk memanfaatkan warisan Papa. Tanah Kinanti akan dia jual dan uangnya akan dia gunakan untuk menolong korban demonstran di hari naas itu. Walaupun uang mungkin tidak akan cukup untuk melupakan dan menebus kejadian naas itu, tapi pasti sedikit banyak akan membantu meringankan beban banyak orang. Warisan Mama yang jumlahnya tidak sebanyak warisan Papa, akan digunakannya untuk membiayai kuliah kedokterannya sampai selesai. Beres, kan? Segera setelah selesai pembacaan warisan, Hendri langsung maju ke depan dan berbisik-bisik pada bapak Notaris. Setelah itu dia duduk kembali. “Kenapa, Hen?” tanya Niken. “Aku ingin mewariskan warisan Papa itu untuk dibagi rata buat kedua adikku setelah besar nanti. Biar mereka nanti yang memutuskan kegunaan warisan Papa itu.” kata Hendri. “Benar-benar ironis…” gumam Oma. “Maksud Oma?” tanya Niken. “Papamu itu dari muda ingin punya anak laki-laki untuk diwarisi kalau dia sudah meninggal. Sesudah dia tidak ada, anak laki-laki satu-satunya malah tidak mau diwarisi. Apa bukan ironis namanya?” “Warisan Papi untuk kamu mau diapain, cie?” tanya Hendri. “Oh, aku sudah putuskan untuk menghabiskan semuanya untuk korban demonstran waktu lalu. Rasanya lebih tepat untuk itu.” kata Niken. “Oma bangga sekali punya cucu-cucu seperti kalian. Hendri, kamu harus mengajari adikadikmu supaya bisa seperti kamu.” kata Oma sambil memeluk kedua cucunya. * Sabtu kemarin adalah hari terakhir ujian nasional. Hari ini hari Senin. Murid-murid kelas tiga terlihat begitu ogah-ogahan datang ke sekolah. Bahkan daftar murid terlambat hari ini mendadak berlipat ganda dari hari-hari biasanya. Sepertinya energi mereka sudah terkuras habis minggu lalu. Beberapa anak bahkan tak terlihat batang hidungnya. Gedung kelas tiga terpisah dari gedung induk SMA Antonius. Hari ini murid-murid diharuskan datang karena ada acara kerja bakti membersihkan kampus selama tiga hari berturut-turut. Dari tadi pagi anakanak kelas tiga terlihat menggerutu sambil mengutuki orang-orang yang bertanggungjawab atas ide gila kerja bakti ini. Untunglah tak satupun dari mereka yang mengetahui siapa otak dibalik ide gila tersebut. Kalau sampai ada yang tahu, pasti saat ini orang tersebut sudah lari pontang-panting dikejar-kejar anak seangkatan. Atau mungkin juga tidak. Tak terlihat ada satupun anak yang mempunyai energi cadangan untuk mengejar kambing sekalipun. Kecuali Pandu. Anak itu dari tadi sibuk mondar-mandir dari ruang soundsystem ke ruang musik. Kegiatan anehnya ini luput dari perhatian semua orang, karena semua anak sedang sibuk, atau pura-pura sibuk bekerja bakti membersihkan ruang-ruang kelas. Tiba-tiba.... "Test... test.. Dengar semua suara saya?" Suara Pandu terdengar dari seluruh loudspeaker yang ada di gedung kelas tiga, yang memang biasanya digunakan untuk pengumuman. Kegiatan kerja bakti jadi mendadak berhenti total. Mendengarkan pengumuman jauh lebih menarik daripada kerja bakti. Beberapa anak berdoa komat-kamit agar pengumuman itu akan berbunyi "Anak-anak kelas tiga boleh pulang sekarang". "Rekan-rekan Antonians, hari ini saya Pandu, dengan seijin kepala sekolah, akan menjadi radio DJ dadakan untuk menemani teman-teman yang sedang sibuk bekerja bakti dengan alunan musik. Maaf untuk sementara tidak bisa menerima request lagu, berhubung kompilasi lagu yang ada saat ini sangat terbatas jumlahnya. Akan tetapi jangan kuatir, selera teman-teman pasti terpenuhi. Di sini saya sudah sedia tembang-tembang instrumental, jazz, pop, rock, klasik, dan dangdut. Lagu pertama yang akan saya putar ini adalah rekaman suara saya sendiri. Jangan takut, cuma satu lagu ini saja yang belum dirilis ke publik. Saya harus mengucapkan terima kasih pada Mas Baron Kanginan yang mengiringi lagu ini dengan alunan pianonya, juga membantu merekam ke kaset. Lagu ini saya persembahkan untuk orang yang selama ini memenuhi otak dan hati saya, meski waktu mengerjakan soal-soal ujian. Fei, lagu ini buat kamu.." Niken yang sedang berdiri di atas meja membersihkan kaca jendela, tersontak kaget. Walaupun tidak ada anak yang tahu 'Fei' itu namanya, tapi dia tahu. Dua tiga detik setelah Pandu selesai berbicara, jantung Niken berdebar keras berusaha menduga-duga lagu apa kiranya yang akan dimainkan anak nekad ini. Begitu Niken mendengar intronya yang dimainkan dengan piano, Niken tercenung. Lagu ini lagu kesayangan papanya! Dan sangat dikenalnya.. Tapi... bagaimana mungkin... Pandu kan tidak bisa bahasa...?? mo ming wo jiu xi huan ni shen shen de ai shang ni mei you li you mei you yuan yin mo ming wo jiu xi huan ni shen shen de ai shang ni cong jian dao ni de na yi tian qi ni zhi dao wo zai deng ni ma ni ru guo zhen de zai hu wo you zen hui rang wu jing de ye pei wo du guo ni zhi dao wo zai deng ni ma ni ru guo zhen de zai hu wo you zen hui rang wo hua zhe shou zai feng zhong chan dou mo ming wo jiu xi huan ni shen shen de ai shang ni zai hei ye li qing ting ni de sheng yin Walaupun semenjak kecil Niken biasa mendengar papa-mamanya bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin, Niken tidak pernah benar-benar berusaha belajar dan mengerti artinya. Butuh konsentrasi penuh untuk menghayati lirik lagu tersebut dan memahami maksudnya. Sulit, tapi bukan di luar jangkauan kemampuannya. Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu mencintaimu sedalam dalamnya tanpa alasan, tanpa sebab Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu mencintaimu sedalam dalamnya Sejak hari pertama ku berjumpa denganmu Tahukah kau, aku menantikanmu Jika kau memang peduli padaku bagaimana bisa kau biarkan malam tak berujung menemaniku Tahukah kamu, aku menantikanmu Jika kau memang peduli padaku bagaimana bisa kau biarkan tanganku gemetar mengayuh di tengah2 angin Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu mencintaimu sedalam dalamnya di kegelapan malam kudengar suaramu Campur aduk perasaannya saat ini. Niken jadi menyadari betapa kangen dirinya untuk dipeluk papanya. Meskipun Niken tak pernah merasa dekat secara pribadi dengan papanya, papanya tetap papanya. Niken tak menyangka bahkan suara papanya pun masih dapat diingatnya dengan jelas. Suara serak dan batuk-batuknya di pagi hari, siulan dan senandung kecil papanya dari dalam kamar mandi tiap pagi dan sore bila suasana hatinya sedang enak. Mamanya sebaliknya bersuara sumbang dan tidak bisa mengikuti ritme, tidak hobi menyanyi seperti papanya. Sewaktu kecil, Niken pernah melihat mamanya berdiri terpaku di depan kamar mandi selagi papanya menyanyi-nyanyi kecil di “studio mini”nya itu. Seperti apa wajah mama waktu itu jadi tergambar jelas di ingatannya sekarang. Wajah yang mendambakan kehangatan dan memimpikan lagu-lagu yang dinyanyikan suaminya itu ditujukan untuknya. Niken baru menyadari sekarang bahwa sejauh-jauhnya hatinya dari orang-tuanya, banyak hal dari mereka yang secara tidak langsung berimbas besar di dirinya. Heran bercampur bangga pada dirinya sendiri karena dia sanggup mengingat hal-hal kecil seperti itu, hanya dengan mendengarkan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Pandu. “Pandu!” serunya dalam hati. Bahkan beberapa saat dalam lamunannya tadi dia lupa bahwa suara yang sedang mengalun lembut dari loudspeaker murahan itu adalah suara yang paling dikangeninya saat ini. “Terima kasih, Pandu…” batinnya lagi. Tak disadarinya air matanya mengalir pelan di pipinya. Didengarkannya lagi lagu itu dengan sepenuh hatinya dengan mata berkaca-kaca. “Pandu pasti sudah latihan mati-matian sebelumnya”, pikirnya. Pasti sulit menyanyikan lagu ini dengan lafal yang benar, terutama buat orang seperti Pandu yang sama sekali tidak bisa mengucapkan sepatah katapun dalam bahasa Mandarin. Entah dia belajar dari siapa. Yang jelas bukan darinya. Niken pasrah, membiarkan perasaannya larut dibuai oleh lagu romantis Pandu. Perasaan yang sudah lama ditekan dan dihalang-halanginya untuk muncul ke permukaan, kali ini dibiarkannya lepas, liar tanpa kontrol. Dan harus diakuinya, perasaan ini indah dan sangat memanjakan dirinya. Sendirian di dalam ruang soundsystem, Pandu memejamkan matanya untuk menenangkan debar jantungnya. “Kira-kira Niken sedang apa sekarang, ya?” Jantungnya yang berdegup keras ini bukan karena grogi suaranya terdengar di seluruh pelosok gedung kelas tiga, tapi karena lagu ini adalah cerminan murni dari suara hatinya yang menginginkan hanya seorang. Niken. Dia sudah membayangkan kemungkinan terburuknya. Niken tambah benci padanya dan tak ingin mengenalnya lagi. Sepertinya itu resiko yang harus diambilnya, untuk membuat gadis bodoh yang amat dicintainya itu mengerti akan perasaannya. Bahwa dia tidak akan gentar mencintai Niken sampai kapanpun, sampai Niken berhenti mencintainya sekalipun. Tapi tentu saja dia mengharapkan reaksi positif dari Niken. Tidak harus sekarang, asalkan suatu saat dalam masa hidupnya. Larut dalam lamunannya, Pandu tak menyadari lagu itu sudah selesai sekitar semenit yang lalu. Keheningan itu memecahkan lamunannya. Cepat-cepat memencet tombol ‘stop’ untuk menghentikan putaran kasetnya, Pandu mulai bercuap-cuap lagi. “Demikianlah maestro yang memang karyanya sudah tak asing lagi di telinga rekan-rekan sekalian. Maksud saya tentunya Mas Baron Kanginan. Malu sebenarnya suara saya diiringi Mas Baron. Tapi apa boleh buat, untuk menyanyikan lagu dalam bahasa asing saja sudah sulit, apalagi latihan pianonya. Untung ada Mas Baron yang mau membantu. Maaf tadi sunyi senyap setelah lagu selesai. Maklum DJ masih belum profesional. Baiklah! Tanpa panjang lebar lagi, saya putar lagu kedua, ini Aerosmith, Crazy....” Tangan Pandu sibuk menempatkan kaset pada slotnya, lalu menekan tombol ‘play’. Niken sudah lama berdiri di luar ruang soundsystem sambil mengetuk-ngetuk pintu kayu itu. Sepertinya suara di dalam soundsystem terlalu keras sehingga ketukannya tak terdengar oleh Pandu. Tak sabar, digedornya pintu itu dengan kedua tinju tangannya. Mendengar gedoran pintu, Pandu meloncat dari kursinya dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka, Niken langsung memberikan senyumannya yang terlebar untuk Pandu. Seperti terhipnotis, Pandu pun ikut tersenyum lebar. Ketika dua detik kemudian senyum lebar Niken yang manis berubah menjadi tertawa kecil, Pandu tergelitik untuk bertanya “Koq malah tertawa?” “Habis kamu lucu sekali.” sahut Niken masih tergelak. “Lucu bagaimana?” Pandu mengerutkan alisnya. “Ya yang tadi itu. Kamu lucu bisa nyanyi lagu mandarin segala. Dari semua kegilaanmu selama ini, rasanya yang kali ini bisa meraih penghargaan tertinggi. Ngomong-ngomong, aku boleh masuk nggak?” tanya Niken sambil melirik ke dalam ruang soundsystem. Setelah dipersilahkan masuk dan Pandu menutup pintunya kembali, Niken menatap Pandu yang masih menyandarkan punggungnya di pintu. Membaca wajah Pandu yang penuh tanda tanya, Niken tersenyum lagi, berusaha menghapus kegugupan dari wajah Pandu. Tapi ternyata tak semudah itu melenyapkan ketegangan itu hanya dengan sebuah senyuman. “Bagus tadi lagunya, Ndu” Suara Niken memecah kesunyian. “Terima kasih, Fei. Tapi kita berdua sama-sama tahu, bukan tanggapan seperti itu yang ingin kudengar darimu.” “Kamu tahu arti lagu tadi?” Pertanyaan bodoh, Niken! serunya dalam hati. Pandu melongo. “Tentu saja aku tahu arti lagu itu luar kepala. Buat apa aku nyanyi kalau nggak tahu artinya?” “Maaf,.. Bukan itu sebenarnya yang hendak aku katakan. Entah kenapa yang keluar di mulut jadi lain..” keluh Niken. Perhatian Pandu mendadak terpusat ke arah putaran kasetnya. Mengikuti arah pandangan Pandu, Niken hendak mengingatkan Pandu bahwa lagu Aerosmith ini sebentar lagi selesai. Pandu langsung mengetahui apa yang hendak Niken katakan. “Tenang saja. Kaset itu isinya lagu-lagu kompilasi. Biarkan saja berputar sampai habis. Sekarang aku lebih tertarik ingin mendengar apa yang ingin kau katakan.” “Kamu tahu? Lagu tadi... Papa sering mendendangkannya...” Deg! Sesaat Pandu limbung mendengar kata-kata Niken. Tanggapan Niken ini jauh di luar dugaannya. “Fei...” Pandu mendekat. “Sama sekali aku tak bermaksud mengkorek lukamu...” “Kamu selalu begitu. Tidak pernah membiarkan aku selesai bicara. Aku juga tidak bilang kamu mengkorek luka, koq.” Pandu membisu. Dibiarkannya Niken menyelesaikan kata-katanya kali ini. “Mendengarkan lagumu tadi, aku jadi menyadari dua hal penting. Pertama, bahwa Papa dan Mama justru sekarang malah tambah dekat di hatiku. Aku bukan anak yang tak berbakti. Sampai kapanpun mereka tetap papa-mamaku, yang memang jauh dari sempurna. Seperti aku pun yang tak sempurna. Tapi aku harus menemukan jati diriku sendiri, kemauanku sendiri. Aku tak pernah ingin hidup di bawah bayang-bayang mereka selama mereka hidup, dan aku tidak ingin memulainya sekarang.” Wajah Pandu berubah cerah. Di luar perkiraannya, lagu tadi sudah menyelamatkannya lebih dari yang dia harapkan. “Yang kedua?” tanya Pandu kemudian. “Aku jadi menyadari betapa sulit mengenyahkanmu dari hidupku. Apapun yang kulakukan, sepertinya tak membuatmu menjauhiku. Justru sebaliknya. Benar-benar mengesalkan!” Pandu menatap mata bening Niken. Rasanya tak salah bila dia menyimpulkan bahwa di situ ditemukannya penyesalan, kepercayaan dan harapan. Penyesalan akan keraguan dan sikapnya sendiri, kepercayaan akan cinta Pandu, dan harapan akan kebahagiaannya bersama Pandu. Ditemukannya pula jawaban atas semua pertanyaannya. Secara refleks, Pandu menarik pinggang Niken ke arahnya bak penari salsa. Ingin rasanya memeluk dan mencium Niken saat itu juga. Untung dia ingat ini di ruang sound system, di sekolah, pada jam pelajaran pula. Bisa berabe kalau sampai ada orang tahu. Mereka bisa dikeluarkan dari sekolah sebelum hasil ujian diumumkan! Dengan berat hati dilepaskannya pinggang Niken dari pegangannya. “Sebetulnya aku datang kemari cuma ingin berkomentar satu hal. Kenapa jadi berlarut-larut dan melenceng dari tujuan awal begini?” Niken menepuk dahinya. “Komentar apa?” tanya Pandu tertarik. “Di kegelapan malam kamu sering mendengar suaraku?” tanya Niken sambil tertawa keras sekali. “Menakutkan sekali! Kalau aku jadi kamu, aku akan bawa-bawa pisau dapur tiap mau tidur! Kamu kira aku tuyul?!” * “Mari masuk Niken. Pandu lagi tidur siang tuh. Katanya capek setelah tiga hari kerja bakti di sekolah. Dibangunkan saja. Sudah jam setengah lima sore ini.” kata Ibu Pandu saat melihat Niken datang. “Hei, bangun, jangan ngorok terus!” kata Niken, mengagetkan Pandu yang sedang tidur dengan pulas. Niken lalu menyalakan lampu kamar Pandu. “Kamu kejam deh. Masih pegal-pegal nih!” Pandu mengomel. Sepertinya dia belum betul-betul bangun. “Jalan-jalan yuk.” ajak Niken. “Malas ah…” kata Pandu bersiap-siap mau bobok lagi. Niken cepat-cepat menarik bantalnya. Buk! Kepala Pandu membentur kasur. “Apa-apaan sih kamu, Fei? Aku ngantuk nih…” kata Pandu sambil memohon-mohon Niken untuk mengembalikan bantalnya. “Ayo lah… aku sudah sampai di sini masa’ diusir sih? Cuaca di luar cerah tuh. Ayo keluar yuk…” ajak Niken lagi. “Ah, kamu memang kalo udah ada maunya…” Pandu mengomel sambil beranjak berdiri. “Oke, aku mandi dulu, kamu baca-baca majalah tuh” lanjut Pandu sambil menunjuk tumpukan majalah di lemari bukunya. Setelah Pandu keluar kamar, Niken mengamati kamar Pandu dengan cermat. Nggak banyak berubah sejak terakhir dia kemari. Kamar kecil Pandu ini nggak begitu rapi, tapi nggak acakacakan. Paling mejanya aja yang penuh buku, sampai nggak ada tempat lagi untuk menulis. Wajar saja karena baru saja selesai musim ujian. Tapi diluar itu semuanya rapi. Tidak ada pakaian kotor di lantai, tidak ada makanan atau minuman di kamarnya. Eh, ada juga foto Niken di meja kecil dekat tempat tidurnya. Niken tersenyum sambil menyambar salah satu majalah yang tadi ditunjuk Pandu. “Kamu keluar dulu, gih.” kata Pandu mengagetkan Niken. “Kamu koq kilat mandinya?” tanya Niken. “Ya ini udah selesai. Sekarang aku mesti ganti baju. Makanya kamu keluar dulu deh.” kata Pandu sambil mengusir-usir Niken keluar dari kamarnya. Tadi dia lupa membawa pakaiannya ke kamar mandi, seperti biasanya, jadi sekarang dia cuma membalutkan handuk di pinggangnya. Rambutnya basah habis keramas. Diam-diam Niken mengamati Pandu yang bertelanjang dada. Seksi juga, berotot lagi. “Hihi…” Niken tertawa dalam hati. “Eh… cepetan dong. Kamu koq malah bengong?” kata Pandu lagi. “Iya iyaa… Galak amat! Ini aku keluar.” kata Niken keluar kamar sambil masih tertawa-tawa. Begitu Pandu keluar kamar, Niken yang tak sabar langsung menggandengnya keluar rumah. “Pamitan sama ibumu, cepat. Aku tadi sudah.” Sambil jalan, karena masih ditarik-tarik dengan paksa oleh Niken, Pandu berpamitan “Bye Bu… doakan aku kembali utuh ya…” gurau Pandu. Habisnya Niken seperti menarik-narik kambing ke balai penyembelihan binatang. “Ada apa sih?” tanya Pandu saat mereka sudah ada di mobil Niken. “Nih… baca nih…” kata Niken menunjukkan sepucuk surat berkop Universitas Indonesia. Pandu lalu membaca surat itu dengan cermat. Sampai di alinea terakhir, dia lalu tersenyum. “Wah… selamat, Fei, kamu lolos PPKB! Nggak usah ikut UMPTN! Hebat. Jarang lho orang yang lulus PPKB buat FKUI!” kata Pandu berteriak-teriak. “Makanya itu aku pengen merayakan hari bersejarah ini. Catat, ini tanggal 15 Mei.” “Nggak cuma kamu lho yang lolos PPKB.” kata Pandu serius. “Siapa lagi?” tanya Niken. “Aku.” kata Pandu sambil menunjuk dirinya sendiri. “Kamu? Yang benar, Ndu?” tanya Niken nggak percaya. “Eh, nggak percaya. Aku juga baru mendapat suratnya kemarin. Mau aku ambilkan di rumah?” tanya Pandu. “Aku malah mendapat keringanan uang SPP untuk tahun pertama dari Depdikbud. Nanti tahun kedua tergantung evaluasi prestasiku di tahun pertama di ITB, begitu katanya.” “Wah… selamat yah… Ini betul-betul perlu dirayakan. Kamu mau ke mana? Ada ide?” tanya Niken. “Kamu kan yang dari tadi teriak-teriak ingin jalan-jalan. Aku kirain kamu sudah ada rencana mau ke mana?” tanya Pandu geli. “Aku kan cuma tanya kamu ingin ke mana. Siapa tahu kamu punya ide lebih baik. Kan baik aku menawarkan, kan? Kalo nggak ada ide ya aku kembali ke rencanaku semula.” “Memangnya menurut rencana jahatmu semula kamu mau ke mana?” “Jahat? Ada deh…” kata Niken sambil mengedipkan sebelah matanya. “Oke lah. Aku ikut saja.” kata Pandu lalu memejamkan matanya. “Sialan, kamu malah bobok lagi… Dasar tukang ngorok!” Niken mulai mengomel lagi. “Memangnya aku tadi ngorok?” tanya Pandu serius. “Wah, keras sekali…” kata Niken sambil tertawa geli. “Seriusss??!” tanya Pandu lagi. “Serius!” jawab Niken ikut-ikutan pasang tampang serius. Pandu lalu diam saja. Malu, dong. “Memangnya kenapa sih kalo ngorok?” tanya Niken. “Nggak enak saja. Selama ini kan aku bobok sendirian, jadi ngorok juga nggak masalah. Tapi misalnya aku menginap di tempat orang, atau kalau udah kawin nanti, kan kasihan istriku kalau aku ngorok setiap malam. Bisa nggak bisa bobok dia.” Niken tambah kencang ketawanya. “Culun sekali kamu, Ndu. Kamu pasti tadi capek aja, jadi mengorok. Waktu sebulan aku di rumahmu aku kadang-kadang keluar kamar ambil minum, kamu juga tenang-tenang saja koq tidurnya. Lagipula, kurasa kau butuh istri yang seperti aku…” kata Niken sambil tersenyum. “Kenapa?” “Begitu kepalaku menempel bantal, aku pasti langsung tertidur. Makanya sebelum menyentuh bantal aku pasti bikin puisi dulu. Kalo nggak bisa-bisa batal nggak bikin puisi melulu setiap hari.” “Tapi bagaimana bisa kawin sama kamu? Kita pacaran saja nggak…” kata Pandu. “Lho? Kita tu nggak pacaran tho?” tanya Niken bengong. “Bagaimana sih? Kan kamu dulu yang bilang nggak mau pacaran dulu.” “Lha trus yang kemarin di ruang soundsystem, kamu kira aku ngapain?” “Kamu kan cuma datang mengomentari laguku...” “Ah, Pandu, kamu emang bodoh sekali! Kamu nggak mau ya pacaran sama aku?” “Lho? Apa aku pernah bilang nggak mau? Aku justru yang selama ini bilang cinta ! Ingat laguku kemarin lusa ?” Niken lalu terdiam. Pas dia lagi mau berbicara sepatah kata, kebetulan Pandu juga mau mengatakan sesuatu. “Kamu duluan, deh.” kata Niken sambil mengganti persneleng empat. “Nggak. Kamu saja duluan.” “Aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi kecuali kamu, Ndu. Akhir-akhir ini aku sering merasa kesepian banget di rumah. Jadi inget cici, mama, papa. Aku merasa beruntung masih punya kamu. Rasanya Tuhan mengirimkan kamu pada saat yang tepat…” “Fei… awas sepeda motor!” teriak Pandu. Niken kaget. Rupanya dia tak sadar melamun. “Kamu melamun ya?” tanya Pandu setelah Niken meminggirkan mobilnya. Niken menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal. “Bahaya nich… Kamu berhenti dulu lah kalo mau ngobrol. Atau aku yang nyetir ya? Kamu mau ke mana sih?” usul Pandu. “Yah sudah, kita berhenti di sini dulu aja. Mumpung di bawah pohon rindang. Angin semilir lagi. Wah. Seandainya aku bawa buku puisiku, bisa bikin puisi nih…” gumam Niken melantur. “Fei, kamu pakai parfum ya?” tanya Pandu. “Nggak.” kata Niken sambil mencium-cium bajunya. “Kenapa memangnya?” “Wangi.” “Wangi? Swear deh aku nggak pake parfum.” “Nah kan,... kamu nggak bisa bilang kita selama ini pacaran, karena aku saja nggak tahu bahwa tanpa parfum tu kamu wangi sekali. Aku baru tahu sekarang. Dan aku suka sekali. Aku ingin tahu hal-hal kecil seperti ini yang aku belum tahu. Misalnya, apa film kesukaanmu, apa makanan kesukaanmu, siapa cinta pertamamu, dan bahkan kamu belum sempat menjawab pertanyaanku yang dulu, siapa tokoh idolamu selain Sun Tzu.” “Aku juga nggak tahu banyak tentang kamu di hal-hal yang kecil seperti itu, rasanya kita cuma perlu lebih banyak meluangkan waktu berdua. Seperti sekarang ini. Atau seperti waktu di dalam ruang soundsystem. Bicara dari hati ke hati. Itu kan yang namanya pacaran? Tapi, kalo kamu cuma ingin tahu aja, film kesukaanku ‘Gone with the wind’, makanan favoritku bakmi, tokoh idolaku selain Sun Tzu adalah cici, dan cinta pertamaku, tentu saja kamu. Pakai acara tanya segala.” “Memangnya kamu nggak pernah naksir siapa-siapa sebelum aku?” tanya Pandu. “Nggak.” Niken menggeleng mantap. “Kamu pernah naksir cewek ya?” tanya Niken. Pandu mengangguk. “Bu Fani, guruku waktu SD kelas dua.” “Hah?! Guru SD? Ah, kamu yang benar saja?” “Bener! Bu Fani tu sabaaarrr sekali. Aku inget aku sempat sering datang ke sekolah pagi-pagi sekali, sengaja cuma ingin membersihkan kelas, demi ingin mendapat pujian Bu Fani sewaktu dia masuk ke kelas. Tapi cuma sebentar saja sih naksirnya, karena terus aku tahu Bu Fani sudah punya suami. Kalau aku ingat-ingat lagi, bodoh sekali aku. Seandainya saja waktu itu dia belum punya suami, trus memangnya aku bisa apa? Akunya masih anak kelas 2 SD!” “Wah… kamu centil juga ya kelas 2 SD sudah pakai acara naksir-naksiran segala? Aku waktu SD kan masih benci sekali sama semua cowok di sekolahku”. “Masa’ nggak pernah ada satupun orang yang kamu kagumi, Fei? Seperti Bu Fani-ku gitu?” Niken berpikir sebentar. “Nggak. Kamu yang pertama kali bikin aku seperti ini.” jawabnya mantap. “Kamu nggak keberatan pacaran sama aku, Fei?” “Memangnya kenapa, Ndu?” “Kamu nggak pernah merasa, sering kali pas aku boncengin kamu naik sepeda, atau kita jalan-jalan berdua, selalu saja dapat tatapan aneh dari orang-orang? Mereka seperti melihat ikan pacaran sama burung, yang nggak punya tempat di mana-mana untuk bersama. Ikannya nggak bisa tinggal di udara, burung nggak bisa tinggal di air.” “Jadi kamu merasa nggak nyaman jalan sama aku?” tanya Niken. “Bukan begitu maksudku.” “Lalu?” Pandu bingung mesti menjawab bagaimana tanpa menyinggung perasaan Niken. Memang nyata-nyata perbedaan kulit mereka begitu jelas. “Baiklah, Ndu. Aku mengerti.” kata Niken sambil hendak menstater mobilnya lagi. “Lho, tunggu dulu.” kata Pandu merebut kunci mobil dari tangan Niken. “Sabar dong, non. Aku masih bingung mau ngomong apa.” “Kenapa mesti bingung? Tinggal ngomong saja. Bilang saja, Fei, aku nggak nyaman pacaran sama kamu.” Niken cemberut. “Aku nggak bisa bilang begitu karena aku belum pernah benar-benar pacaran sama kamu. Lagian aku sudah bilang, bukan begitu maksudku. Aku cuma pengen kamu jujur sama aku. Kalo aku jawab duluan, apa aku merasa nyaman, kalau kamu merasa nggak nyaman, nantinya kamu nggak enak bilang terang-terangan, karena aku sudah duluan bilang nggak papa.” “Jadi kamu nggak papa?” “Pandangan orang-orang itu sesuatu yang nggak bisa dihindari, kemana pun kita pergi. Aku sih selalu merasa nyaman, karena aku tahu persis cewek yang aku boncengin atau yang jalan bareng aku ini manis sekali, dan orang-orang itu cuma iri karena nggak bisa boncengin atau jalan bareng cewek semanis kamu.” “Ah, gombal!” Jawaban Pandu tadi cukup untuk membuat pipi Niken panas karena malu. “Lho? Kamu tadi kan tanya, tuh sudah aku jawab. Koq malah aku dibilang gombal, ya sudah deh.” “Jadi menurutmu aku ini manis?” tanya Niken lagi. Rupanya masih belum puas dipuji dia. Ingin pipinya tambah merah. “Memangnya nggak pernah ada orang yang bilang kamu itu manis sekali?” tanya Pandu. Niken menggeleng. “Yah sekarang aku kasih tahu. Waktu pertama kali aku melihatmu, dengan tampangmu yang sok judes di kelas waktu itu, kamu sudah keliatan manis. Makin aku mengenalmu, kamu terlihat semakin manis di mataku.” “Ngomong-ngomong soal mata, pertama kali lihat kamu di kelas waktu itu, satu-satunya yang menarik perhatianku cuma matamu. Wulan waktu itu bilang mata kamu tajam kayak mata elang. Lalu aku perhatikan, memang iya. Sorot matamu tajam sekali, tapi kalau kamu memandangku terlihat begitu lembut.” “Koq setelah itu kamu sering panggil aku mata jangkrik? Memangnya matanya jangkrik seperti mata elang?” “Naaaah… aku nggak mau mengakui kalo matamu tu yang terindah yang pernah aku lihat. Terutama sama Wulan. Gengsi dong.” “Jadi kamu juga cuek dengan pandangan aneh orang-orang itu?” “Aku sudah biasa koq. Kalo jalan-jalan sama Wulan juga begitu. Kalau lagi iseng, aku kagetin mereka, ‘Ngapain lihat-lihat?!’ Lagipula mereka pasti melihat kita begitu serasi, Ndu, makanya mereka seperti itu. Mereka iri melihat pundakmu yang pas sekali buat kepalaku. Juga tanganku yang pas sekali melingkar di pinggangmu kalau kamu boncengin.” kata Niken tersenyum. “Fei, diinget-inget yah, ini tanggal 15 Mei, tanggal yang bersejarah. Karena mulai hari ini, Fei Fei resmi jadi calon istri Pandu.” “Apa?! Calon istri?!” “Nggak mau?” “Aaa… aku… Tapi…” Niken gelagapan. Pandu ketawa sekeras-kerasnya. Niken jadi bingung. Dipukul-pukulnya pundak Pandu. “Awas kamu ya Ndu. Kamu mempermainkan aku!” “Nggak, aku nggak akan pernah mempermainkan kamu. Aku serius koq. Aku pacaran cuma ingin sekali. Kamu sudah pas sekali buatku, Fei. Kamu bahkan jauh lebih bagus dari kriteria cewek yang selama ini aku dambakan. Aku nggak ingin kehilangan kamu.” kata Pandu sambil menepiskan poni di dahi Niken. “Aku bersyukur kamu masuk dalam hidupku, Ndu. Kamu memperkenalkan sisi lain di diriku yang aku sendiri tadinya nggak kenal. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku bener-bener bakal kawin sama si Jimmy. Aku nggak akan dapat kesempatan untuk mengenal apa itu cinta, dan betapa indahnya saat-saat bersamamu seperti ini.” “Bagus kalau begini...” kata Pandu lagi. “Malam-malam nanti aku nggak akan lagi dengar suara tuyul!” goda Pandu teringat akan komentar sadis Niken kemarin lusa. Niken tersenyum. “Kamu yang tuyul, perampok!” “Koq bisa?” “Merampok semua isi hatiku. Nggak tersisa sedikitpun. Padahal waktu pertama kali aku lihat kamu tuh kesannya kamu cowok playboy, yang punya banyak cewek di mana-mana.” “Hah? Playboy? Jadi aku punya tampang playboy?” “Iya.” “Huh. Tampang ganteng-ganteng begini dibilang tampang playboy.” “Lha… justru karena ganteng itu…” “Jadi kamu setuju dong kalo aku ganteng?” goda Pandu. “Nggak tau, ah. Kamu suka sekali memutar-balikkan kata-kataku.” “Ya sudah deh kalo emang aku punya tampang playboy. Tapi aku nggak lho. Kamu saja beruntung bisa jadi pacar pertamaku lho. Dan yang terakhir, I hope…” “Oke, sudah cukup rayuan gombalnya. Sekarang aku harus ngebut karena kalau tidak kita akan terlambat.” kata Niken sambil menstater mobilnya lagi setelah merebut kunci kontaknya dari tangan Pandu. “Mau ke mana sih kita?” “Sudah aku bilang, liat saja nanti.” * Ternyata tadi Niken mengajak Pandu ke gereja. Misa Sabtu sore. Ada-ada saja Niken. Pakai acara rahasia-rahasiaan segala tadi. Cuma mau ke gereja saja. “Mau ke mana nih? Sekarang aku nggak ada rencana mau ke mana-mana lagi. Mau makan di mana?” tanya Niken. “Kamu mau ke gereja saja pake mengedipkan mata segala. Dasar. Aku kirain mau ke mana. Pantas kamu rapi sekali. Untung aku juga pakai baju rapi.” Pandu setengah mengomel. “Ya kalo kamu tadi aku liat nggak pakai baju yang rapi ya aku suruh ganti lagi dong. Ayo nih, ke kiri atau ke kanan? Mau ke mana kita?” kata Niken sampai di ujung Jalan Pemuda. “Makan nasi goreng babat suka?” tanya Pandu. “Suka dong… tapi mampir ke Kenanga yah, aku mau ganti sandal saja. Nggak enak pakai sepatu begini. Panas.” Pandu mengangguk. Sambil membuka pintu rumahnya, Niken berkata, “Kamu duduk di sofa ruang tengah sana. Empuk.” “Fei, aku boleh pinjam telfonnya?” tanya Pandu. “Boleh aja. Itu wireless di meja.” tunjuk Niken. “Aku tinggal masuk kamar dulu ya…” lanjut Niken. “Sudah selesai telefonnya?” kata Niken saat keluar kamar lagi. “Sudah. Makasih ya.” “Dengerin radio saja ya, bosan aku dengerin CD kamu.” pinta Pandu waktu mereka sudah di mobil lagi. “Bagus juga, ini Boss FM jam segini biasanya adanya acara kuis. Aku sering iseng ikutan jawab sendiri, tapi nggak pernah ikutan telefon. Males. Aku bisa diledekin anak-anak Boss kalo salah jawab.” “… Acara kuis hari ini kita tunda lima menit, karena permintaan dari sohib karib kita. Niken, kalo kamu dengerin, yang satu ini buat kamu.” “Hah? Koq bisa begini?” batin Niken bingung sambil mengeraskan volume radionya. “Itu suara Mbak Merlina. Biasanya dia kan nggak memandu acara kuis. Lagian apa-apaan kasih salam ke aku, tumben amat? Koq tahu bisa kalo aku bakal dengerin radio malam ini?” Dia langsung sadar. “Pasti Pandu!” katanya sambil menatap wajah cowok yang duduk di sampingnya itu. Pandu sedang asyik menikmati lagu “Nothing else matters”-nya Metallica itu sambil ikut nyanyi. “Hey,” kata Niken sambil menguncang-guncangkan tubuh Pandu. “Ini kerjaan kamu yah?” tuduhnya. “Yee… ge-er amat. Yang namanya Niken kan nggak cuma kamu. Tapi ini lagu bagus, jangan dipindah channelnya.” kata Pandu. Niken mengerutkan keningnya. “Kalau bukan Pandu, lalu siapa? Yah mungkin saja Niken yang lain", pikirnya. So close no matter how far Couldn’t be much more from the heart Forever trusting who we are And nothing else matters Never opened myself this way Life is ours, we live it our way All these words I don’t just say And nothing else matters … “Niken sayang,” Suara Pandu muncul dari radio!, pekik Niken dalam hati. Nah! Dia lalu menatap tajam mata Pandu yang tersenyum-senyum aneh. “Inget waktu aku proklamasi cinta di tengah lapangan, kira-kira setahun yang lalu? Aku masih menyimpan kertasnya. Sekarang aku akan proklamasi sekali lagi, kali ini aku serius, dan ini untukmu. Oh, ya. Lagu Metallica yang di background ini juga requestku.” Yayangku,… Paras wajahmu, gerak-gerikmu, selalu terbayang di mataku. Kamu membuat aku gelisah tiap malam, tidak bisa tidur. Aku jadi nggak doyan makan garagara mikirin kamu. Yayangku yang manis, aku cinta kamu. Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Aku nggak tau mesti gimana kalo aku nggak lihat wajahmu barang sehari saja. Kau begitu lincah, senyummu begitu menggoda. Suaramu, indah bagaikan tiupan angin malam. Akan aku lakukan apa saja untuk mendapatkan cintamu. Jangan buat aku patah hati. Terimalah segala rasa cintaku. Yang sangat mencintaimu, selamanya. Pandu. Niken masih ternganga. Masih belum hilang shocknya. “Niken, kita dari Boss FM, mau ngucapin selamat. Pandu sayang sekali sama kamu. Mbak Merlin sampai terharu waktu dia telepon barusan, minta suaranya direkam per telepon.” terdengar suara Mbak Merlina dari radio. “Buat Pandu, good luck! You’ve inspired all of us in Boss FM radio station! Oke, kita nggak mau bikin para penggemar kuis menunggu-nunggu lebih lama lagi. Kuis malam hari ini…” “I love you, Fei, and nothing else matters.” kata Pandu. Kali ini nggak dari dalam radio. Pandu mengecilkan volume radio. “Gila kamu, Ndu.” Cuma itu yang bisa keluar dari mulutnya. Pandu diam saja, sambil memainkan jari-jemari Niken. “Kenapa mesti lewat radio?” tanya Niken kemudian. “Aku pasti nggak sanggup lah ngomong langsung di depanmu. Pasti kamu ketawa keras-keras sebelum aku selesai.” “Tahu nggak, aku tadi kaget setengah mati waktu denger suara kamu di radio, Ndu. Kamu memang sinting.” “Aku cuma mau bilang, aku cinta sekali sama kamu. Kamu sudah merubah definisi kata ‘cantik’ di duniaku. Karena hanya kamu yang cantik di mataku.” Pandu baru akan mencium pipi Niken, waktu suara Mbak Merlina mengagetkan mereka berdua. “Hallo Niken, Pandu, kalo kalian masih di situ, selamat menikmati malam yang indah ini. Lagu ini milik kalian. Nggak gangguin lagi deh... Selamat malam…” From my youngest years to this moment here I’ve never seen such a lovely queen From the skies above to the deepest love I’ve never felt crazy like this before Paint my love, you should paint my love It’s the picture of a thousand sunsets It’s the freedom of a thousand doves Baby, you should paint my love… “Aku jadi pengen bikin puisi, Ndu.” kata Niken habis Pandu menciumnya. “Ya bikin saja.” kata Pandu. “Bikin gimana? Aku nggak punya bolpen dan kertas.” “Ngomong saja. Seperti deklamasi gitu.” “Nggak ah.” Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ayo lah. Buat aku ini.” bujuk Pandu. “Baiklah.” kata Niken akhirnya. Hati ini Ingin jadi milikmu Pahami tiap bilik sanubarimu Jiwa ini Ingin berkelana, mengembara bersamamu Jalan seiiring alunan langkahmu Diri ini Ingin jadi permaisurimu Bertahta membangun dinasti yang agung di istanamu Cinta ini Ingin selamanya kuberikan untukmu Menembus segala ruang dan waktu Untukmu Pandu, Pahlawanku, kekasih hatiku, Mata Elang ku. *** :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 1 Niken baru saja menyalakan telepon genggamnya setelah beberapa langkah keluar dari perpustakaan yang terletak di gedung utama Fakultas Kedokteran UI, ketika telepon itu berdering. Dari nadanya Niken sudah menebak siapa yang menelepon. Nada itu memang dibuatnya khusus untuk.. "Pandu!" kata Niken menjawab telepon tersebut. Setelah memastikan bahwa dia benar-benar sudah keluar dari gedung perpustakaan tersebut, Niken lalu meneruskan, "Kamu seperti tukang ramal saja. Tahu-tahunya kalau aku baru saja menghidupkan telepon ini?" "Bagaimana tidak tahu? Dari tadi aku berusaha menghubungi kamu. Sudah kira-kira dalam sejam ini tiap lima menit aku telepon kamu. Apa nggak ingat kalau kita janjian ketemu di internet sore ini sekitar... hmm.. sejam yang lalu? Kamu ini di mana sih?" tanya Pandu tidak sabar. "Oh...sori sori, Ndu. Aku lupa. Ada tugas anatomi yang belum aku selesaikan. Baru saja aku keluar dari perpus, buku-buku yang aku ingin pinjam ternyata sudah 'out' dipinjam semua. Terpaksa aku ambil materi dari jurnal-jurnal medis. Mudah-mudahan saja boleh. Aku tadi bermaksud telepon sebelum berangkat ke perpus, tapi aku tergesa-gesa, bahkan belum sempat makan siang. Ini kamu masih di internet cafe?", tanya Niken yang merasa bersalah karena mengingkari janjinya. Kalau saja tangannya yang satu tidak membawa hp, dan yang satunya lagi tidak penuh jurnal dan folder, dia pasti sudah menepuk dahinya berulang-ulang. "Sudah nggak. Aku cuma bawa uang ngepas untuk satu jam. Karena sudah lewat satu jam, ya aku pulang. Habis ini kamu langsung pulang? Nanti aku telepon lagi kalau kamu sudah sampai kost. Lebih murah telepon ke kost kan daripada telepon ke hp, Fei." "Iya. Ini aku bawa banyak jurnal dan folderku berat sekali. Aku musti pulang. Tapi aku nanti pergi lagi ada latihan band hari ini. Katanya si Surya mau nraktir anak-anak sehabis latihan band. Hari ulang tahunnya. Nanti kalau tidak terlalu malam pulangnya, aku telepon kamu, deh? Bagaimana?" "Baiklah. Tapi kalau kamu diburu deadline, mustinya kamu di rumah saja kerjain itu tugastugas yang menumpuk. Sekali-sekali nggak hadir latihan band kan nggak dosa." kata Pandu berusaha menasehati gadisnya yang kelihatannya akhir-akhir ini sibuk sekali itu. "Mustinya sih iya. Nggak enak sama anak-anak. Aku sudah janji..." "Ya sudah, ya sudah. Jangan pulang malam-malam. Nanti sakit malah kamu nggak bisa bikin tugas." "Iya, boss! Sejak kapan kamu suka ngatur-ngatur begini?" sahut Niken setengah bercanda. "Aku bukan bermaksud..." "Duh, Pandu, kamu koq serius sekali." potong Niken. "Aku tahu, sayang. Don't worry. I can take care of myself. Aku buru-buru nih. Sampai nanti yah.. bye.." Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memencet tombol 'OFF' di teleponnya. Sudah tiga kali ini Niken membatalkan janji untuk bertemu dengannya. Tidak tiga kali berturut-turut, sih, tetapi tiga kali secara total. Pertama sekitar tiga bulan yang lalu, saat Niken berjanji untuk pergi ke Bandung setelah mendapat libur beberapa hari untuk mid-semester. Kedua kali ketika ulang tahun Niken dan Pandu berjanji untuk menemuinya di Jakarta. Niken kebetulan ada test kimia kedokteran besoknya. Ini yang ketiga kali. Tidak separah yang dua sebelumnya, tapi janji tetap saja janji. "Ah sudahlah", desah Pandu. "Toh liburan Paskah kemarin Niken datang ke Bandung. Pasti Niken sedang dibanjiri oleh tugas kuliahnya." Pandu menghibur dirinya sendiri. "Ada apa, Romeo? Koq melongo begitu kayak kulit kacang yang kehilangan isinya?" Gurauan Erik, teman satu kost Pandu, membuyarkan lamunannya. "Juliet, oh Juliet.. Di manakah dikau Juliet...??" sahut Agung yang ternyata datang bersama Erik, sambil membawa sebungkus makanan di tas plastik. "Bawa apa kamu, Gung?" tanya Pandu menyelidik sambil mencium-cium bau tas plastik tersebut. Dari bentuknya sudah kelihatan pasti itu makanan. "Batagor!!!" seru Pandu yang sensor penciumannya peka sekali pada makanan yang satu itu. "Bagi dong..." pintanya seperti anak kecil minta permen. "Bilang dulu, kenapa kamu bermuka masam begitu sambil menatap telepon? Pasti barusan menelepon Julietmu, ya kan?" tebak Agung sambil menjauhkan tas plastiknya dari hidung Pandu. "Kalau iya, kenapa? Ayo dong jangan kejam begitu. Perutku langsung protes nih setelah hidungku mencium bau batagor yang harum." "Berarti iya kan? Lalu kenapa kamu bermuka masam? Biasanya kalau habis menelpon si Juliet, kamu seperti macan tutul yang jingkrak-jingkrak kegirangan sampai rontok semua tutultutulnya. Kenapa kali ini seperti macan tutul sakit gigi?" tanya Agung lagi. Pandu diam saja. Dihempaskannya tubuhnya di sofa panjang di ruang tengah itu. "Sudahlah, Gung. Kita kan memang beli untuk dimakan bersama-sama." jawab Erik yang bisa membaca situasi, sambil merampas tas plastik itu dari tangan Agung, lalu sibuk membuka isinya. "Ayo, kamu ambil piring dan garpu", perintahnya kemudian, sambil menatap Agung. "Piring?? Garpu??? Erik, sejak kapan kamu jadi beradab begini? Batagor itu lebih nikmat dimakan pakai tangan, seperti ini nih caranya...!" kata Agung sambil mempraktekkan gaya makan batagornya. Diambilnya batagor, langsung dimasukkan ke mulutnya tanpa digigit terlebih dahulu, dikunyah-kunyah sebentar, lalu sambil setengah melotot, ditelannya. Lalu ekspresi wajahnya berubah, sekarang terlihat sangat puas. Lidahnya menjilat minyak yang masih menempel di jemari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengelus-elus perutnya yang agak buncit. "Nikmat...!" Tanpa dikomando, Pandu dan Erik langsung menyerbu batagor yang memang terlihat menggoda, memanggil-manggil mereka, seakan tak sabar untuk menjadi bagian dari isi perut mereka. "Niken tadi sibuk, jadi lupa pada janjinya untuk ketemu di internet sore ini" ujar Pandu seperti laporan, tanpa ditanya-tanya lagi oleh Erik maupun Agung. Rupanya efek batagor cukup besar juga sampai bisa membuat orang menumpahkan uneg-unegnya. "Kuliah kedokteran pasti begitu lah, Ndu. Dia pasti benar-benar lupa lantaran terlalu sibuk. Jangan terlalu diambil hati begitu." kata Erik. "Kalau kamu mau yang nggak begitu sibuk, pacari anak yang ambil kuliah di akademi tata boga. Cantik-cantik, dan ahli bikin perut senang!" Agung menimpali. Biasa anak satu ini, yang keluar dari mulutnya tidak pernah hal yang serius. "Hus, Agung!" sahut Erik. "Pandu ini cinta mati sama Niken. Bisa dilihat kenapa. Kita semua sudah pernah ketemu Nikennya Pandu ini. Cantik dan pintar, cocok sekali jadi pasangan Pandu. Posisinya nggak bisa digantikan sama siapapun, apalagi sama koleksi ceweq tatabogamu itu." lanjutnya sambil melirik Pandu. Pandu masih membisu. "Untunglah kalau begitu. Bisa ludes koleksi ceweq tata-bogaku kalau si Pandu mulai tertarik menggali lubang ke arah situ. Antara aku dan Pandu, jelas mereka bakal pilih Pandu! Pandu kan mahasiswa Teknik Elektro ITB, IPnya tinggi, ganteng pula! Sedangkan aku? Murid Akademi Tata Boga, bisaku cuma masak, jelek, gendut pula!" keluh Agung, walaupun keluhannya itu cuma seperempat hati, karena dia tahu persis Pandu bukan orang yang suka merebut ceweq temannya. Mau tidak mau, Pandu tersenyum. Lalu menyahut, "Nggak usah kuatir, Gung. Kamu boleh simpan semua koleksi ceweqmu itu. Aku tidak tertarik sama sekali. Cuma makanannya sering lempar kemari yah?" "Gitu dong, Ndu. Senyum. Aku sekarang paham kenapa gadis-gadis bisa semaput lihat kamu tersenyum begitu. Kata mereka, senyummu bisa melumerkan kutub utara!" sahut Agung sambil tertawa renyah. "Kamu kalau ngomong begitu lagi kita harus menanyakan orientasi seksualmu, Gung. Kamu masih doyan ceweq atau pilih Pandu saja?" gurau Erik sambil mengedipkan sebelah matanya ke Agung. Tumben anak ini bisa centil begini. Sepertinya virus lucu Agung sudah mulai menular. Dekat-dekat Agung terus sih. "Erik! Kalau aku sudah berubah orientasi, kamu bakal jadi orang pertama yang aku hubungi. Akan kunyatakan cintaku padamu tanpa ragu-ragu lagi. Kamu pasti mau menerimaku, kan?" Agung seperti disulut api jadi tambah membara. Erik yang tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu, langsung terlihat panik, dan pura-pura pingsan terlentang di sofa. Melihat Erik memejamkan matanya, Pandu dan Agung langsung menyambar dua batagor yang masih tersisa. * "Kamu dari mana aja sih, non?" Belum sempat Niken menutup pintu rumah kostnya, Farah yang sedang duduk di kursi malas ruang tengah tampaknya sudah lama menunggunya. "Dari perpus. Kenapa kamu koq pasang tampang galak begitu?" tanya Niken heran. Hampir saja folder yang ditangannya jatuh karena kaget. "Ini telepon bunyi terus dari tadi nyariin kamu. Siapa lagi kalau bukan Mas Pandu'mu itu. Kamu janjian sama dia ya? Koq nggak nongol? Dia panik sekali cari kamu terus". berondong Farah. "Sori Farah. Gangguin tidur siangmu ya? Aku lupa nggak bilang dulu ke dia kalau aku ga bisa ketemu dia di internet. Makanya dia cariin mungkin dikira aku ada apa-apa." "Tugas anatomi itu ya?" tanya Farah. "Dari bulan lalu nggak selesai-selesai? Memang deadlinenya kapan?" "Senin besok." jawab Niken singkat. "Makanya aku bilang juga itu kegiatan ngeband-mu itu perlu dikurangi. Gimana mau selesai juga kalau kamu sibuk ngeband dan pulang malam-malam melulu? Pulang-pulang sudah teler langsung bobok. Mana sempat terjamah tugas anatomi kamu itu?" kritik Farah pedas. "Iya Farah.. Kamu ini jauh lebih galak daripada dosen anatomiku, deh." sahut Niken yang sekedar mengiyakan Farah supaya Farah cepat tutup mulut. Rupanya Farah tidak secepat itu bungkam. Dia merasa perlu menasehati adik kelasnya yang akhir-akhir ini terlihat seperti orang yang kehilangan semangat belajar. Yang ada diotaknya tiap hari hanya ngeband saja. "Kamu banyak berubah, Niken. Tahun lalu kamu rajin sekali belajar dan tidak ada tugas yang kamu kerjakan pada detik-detik terakhir. Tahun ini sebaliknya. Tidak pernah ada tugas yang kamu kerjakan tepat waktu. Selalu terlambat." kata Farah setengah mengomel. "Iya kegiatan band banyak menyita waktu belajarku. Aku juga jadi bingung cara mengatur jadwal belajar. Tapi sesudah konser gabungan bulan depan, aku akan lebih konsen ke belajar, deh." janji Niken, sambil buru-buru masuk kamarnya sebelum diinterogasi lebih lanjut. "Phew!" desah Niken sambil bersandar pada pintu kamarnya yang tertutup. Kata-kata Farah tadi walaupun pedas memang betul adanya. Entah kenapa dia lebih mengutamakan main band daripada kuliah belakangan ini. Bahkan membolos pun sudah bukan hal yang aneh buatnya. Main band dan kumpul-kumpul sama anak-anak band jauh lebih menarik daripada menenggelamkan diri dalam tugas-tugas kuliahnya yang tumpukannya sudah menjadi bukit kecil itu. Banyak bahan kuliah yang belum selesai dicatatnya, beberapa catatan milik temannya yang harus dikembalikan secepatnya juga masih belum selesai disalin. Diliriknya meja belajarnya itu dengan berat hati. "Tunggu yah, aku pasti akan selesaikan kamu-kamu semua. Sekarang... aku musti berangkat ngeband." ujar Niken mengucap janji pada diri sendiri. * Anak-anak band sudah kumpul semua di studio mini milik Surya yang bapaknya dulu adalah salah satu personel grup band yang pernah ternama di tanah air. Dari luar ruangan studio tadi memang tak terdengar suara apa-apa. Begitu Niken membuka pintunya, pekak telinganya. Leo, yang biasanya memegang keyboard, sedang mencoba kemampuannya main drum. Gaya main drumnya persis seperti anak TK yang mendapat mainan baru. Semua drum di hadapannya itu dipukulnya dengan sekuat tenaga. Niken cepat-cepat menghampirinya sambil menutup kedua telinganya dengan dua jari telunjuknya. “Leo..!! Apa-apaan sih ini? Kamu bermaksud merusak drum ini?” tanya Niken bingung. “Aha!” celetuk Dion sambil mengepulkan asap rokoknya. “Serahkan pada ahlinya saja, Leo. Kamu nggak lulus ujian.” Leo meringis, lalu membela diri. “Kirain kamu nggak jadi datang. Makanya mereka bermaksud merekrut anggota baru untuk menggantikanmu pegang drum”. “Hah? Busyet.. Baru terlambat setengah jam saja sudah mau ditendang. Kejam kalian, ya?” Mata Niken memandang tajam rekan-rekan sepermainannya itu satu per satu. “Kamu aset penting band kita, Niken. Mana mungkin ada yang bisa menggantikan kamu.” kata Surya sambil tersenyum. “Tapi akhir-akhir ini kamu memang sering terlambat latihan. Sibuk belajar ya? Atau... kedatangan mas-nya dari Bandung?” Niken tersenyum kecut. “Sori.. sori... aku memang akhir-akhir ini dibanjiri tugas. Tapi nggak ada yang datang berkunjung koq.” Dalam hatinya Niken berpikir, dalam sehari saja dia sudah mengecewakan tiga orang. Pertama Pandu, karena lupa pada janjinya. Kedua Farah, yang kecewa akan prestasinya akhir-akhir ini. Sekarang bandnya yang menuntutnya untuk tepat waktu. “Nih..” Leo menyodorkan sepasang stick millik Surya yang dipegangnya kepada Niken. “Oh.. Aku punya sendiri koq.” kata Niken sambil mengeluarkan dua stick yang ada di dalam tasnya. Tanpa dikomando, mereka mulai melatih lagu andalan mereka yang diciptakan Niken khusus untuk konser gabungan. * Seusai latihan band, ruangan studio sudah penuh asap rokok. Tiap mereka latihan memang biasanya ada beberapa teman yang setia datang menonton karena hobi, ngefans atau karena tidak ada kerjaan. Hari ini luar biasa ramai karena Surya sudah berjanji akan menraktir semua orang yang dikenalnya untuk merayakan hari ulang tahunnya. Latihan band tadi terpaksa dihentikan sebelum waktunya. Terlalu banyak orang, ruangan jadi panas sekali. Yang merokok juga makin banyak. Sudah dari tadi Niken berasa mual karena asap rokok ini. Matanya juga memerah, perih. Tampaknya semua teman bandnya juga merasakan hal yang sama sehingga konsensus untuk selesai latihan mudah tercapai. “Mau tissue, Niken? Minum?” tawar anak-anak silih berganti. Beberapa anak memang mendewakan band mereka. Mereka bahkan sudah membuat fan club kecil-kecilan yang menjual kaos dan CD rekaman band mereka. “Terima kasih.” sahut Niken sambil menerima segelas air dan tissue itu, lalu duduk diantara mereka. Salah satu menyodorkan sepaket rokoknya yang sudah terbuka dan terlihat lusuh. Niken menggelengkan kepalanya. “Aku ngga merokok.” Sahutnya kemudian. Dipaksakannya sedikit untuk tersenyum. Yang menyodorkan paket rokok tadi lalu tersenyum simpul. “Tapi ini bukan rokok.” Niken terlihat bingung sambil memandangi rokok yang dipegang orang itu. “Sudah, jangan menggoda Niken.” Surya yang dari tadi memperhatikan percakapan Niken bermaksud menyudahinya. “Dia masih polos. Nggak kayak kita-kita.” “Memangnya itu tadi apa?” tanya Niken setelah orang tadi berlalu. “Ganja.” jawab Surya singkat. Dia yakin benar Niken memang sungguh tak tahu. Gadis seperti dia mana bisa membedakan yang mana rokok, yang mana gulungan marijuana? Niken memang tahu beberapa teman bandnya kadang-kadang mengkonsumsi obat-obat terlarang, tapi tak tahu ada yang bisa dihisap seperti rokok begitu. Tiba-tiba dadanya terasa sesak dan mual. Niken berdiri, agak terhuyung beranjak keluar dari ruangan yang pengap itu. Begitu membuka pintu, Niken menghela napas panjang untuk melenyapkan rasa sesak di dadanya. Disandarkannya tubuhnya di tembok putih yang berhadapan dengan ruang band itu. Dipejamkannya matanya. Paru-parunya masih sibuk mengatur nafasnya ketika dia dikagetkan oleh ketukan di bahunya. “Ada apa, Surya?” tanya Niken spontan membuka matanya. “Sepertinya kita akan berangkat sekarang.” “Berangkat? Memangnya kita mau ke mana?” tanya Niken heran. “Pesta ulang tahunku...” “Aku kira bakal di sini, di rumahmu ? ” “Nggak. Kita mau ke Exodus, clubbing.” Niken mengangkat alisnya. “Kalau begitu aku nggak usah ikut aja yah?” “Lho? Kenapa? Anak-anak pada kecewa lho kalau kamu nggak ikut...” “Aku sebetulnya ada banyak tugas yang harus aku kerjain. Deadlinenya besok Senin, lagi.” “Ayo lah.. ikut dong, Niken. Malam ini saja. Janji nggak akan malam-malam selesainya. Lagipula, kamu boleh pulang jam berapapun kamu mau. Minimal sejam saja rame-rame bareng kita.. Ayo dong... Please...” bujuk Surya sambil memasang tampang memelasnya. Persis seperti anak anjing yang sedang merajuk. “Baiklah, baiklah. Janji nggak akan mengomel kalau aku pulang duluan?” “Tentu saja. Janji.” * Begitu masuk Exodus Club, Surya, Niken dan gerombolannya lagi-lagi disambut asap rokok yang menyengat bercampur dengan aroma alkohol. Suara musik remix tanpa vocal menghentak-hentak seakan meninju-ninju dinding jantung Niken. Kerasnya hentakan itu membuat kakinya jadi tak bisa berlama-lama menyangga tegak tubuhnya. “Mau minum apa, Niken?” tanya Surya. “Lemon jus.” jawab Niken setelah berpikir sejenak. Setelah bertanya-tanya pada orang-orang lain di sekitarnya, Surya beranjak ke arah bar diikuti beberapa temannya. Beberapa menit kemudian dia sudah kembali lagi kewalahan membawa tiga gelas penuh minuman dengan kedua tangannya. Niken buru-buru menghampirinya. “Yang paling kiri ini lemon jus kamu, Nik.” “Thanks.” Sejenak saja teman-temannya sudah ramai-ramai menyerbu lantai dansa yang disorot lampulampu kedip-kedip. Merah, hijau, biru, kuning... kalau terlalu lama diperhatikan mata Niken jadi berkunang-kunang. “Turun yuk Nik...” ajak Leo. Niken mengangguk. Agak tergesa-gesa dihabiskannya lemon jus itu dengan tiga kali sedot, lalu mengikuti langkah Leo ke lantai dansa. Lagu-lagu yang diputar di sini bukan lagu-lagu yang akrab di telinga Niken. Tapi digoyangkannya juga tubuhnya mengikuti nada lagu ini. Sejenak pikiran Niken benar-benar kosong, lepas dari kejenuhan dan depresi yang akhir-akhir ini menghimpitnya perlahan-lahan. Tidak pernah disangkanya remang-remang lampu disco dan musik remix seperti ini bisa menenangkan pikirannya. Lain sekali dari latihan band sekalipun, karena memukul drum itu masih tetap menyita kerja otaknya. Tak terasa sudah sejam penuh Niken bergoyang nonstop di lantai dansa. Ketika tiba-tiba seluruh pengunjung club dikejutkan oleh teriakan panik beberapa orang wanita. Arah suara sepertinya dari dekat ruang remix. Musik pun tiba-tiba dihentikan. Seperti dikomando, orangorang bergerak ke arah datangnya suara dan mulai mengerumuni daerah itu. “Ada apa, nih ? ” bisik Surya pada Niken. Sedari tadi dia memang sengaja berdansa dekatdekat Niken dan mengamatinya setiap saat. Dia tak tahu seberapa sering Niken pergi clubbing sebelum ini, tapi menurut keyakinannya pasti jarang sekali atau mungkin bahkan tidak pernah. Dia tak ingin Niken didekati cowoq-cowoq iseng yang sering mangkal mencari mangsa. Niken mengangkat bahunya. Teriakan tadi begitu memang begitu mengagetkan. Keras sekali, bahkan suara musik yang sekeras tadi tidak berhasil menenggelamkan suara teriakan itu. Niken akhirnya berhasil menembus kerumunan ke arah tengah. Ternyata yang dikerumuni ini adalah seorang gadis muda yang jelas-jelas sudah pingsan, tergeletak di lantai. Sepertinya tak seorang pun berani mendekatinya atau mengaku kenal dengannya. Niken baru saja hendak balik kanan karena tak ingin terlibat dalam urusan ini, ketika dia merasa wajah gadis ini sangat familiar. Dilihatnya dengan lebih seksama. Make-upnya begitu tebal... tapi ini jelas.. “Wulan!!!” Semerta-merta Niken menghamburkan dirinya ke arah tubuh Wulan yang tergolek tak berdaya, yang hampir tak dikenalinya. Walaupun hatinya penuh berbagai macam pertanyaan, diantaranya “Bagaimana Wulan bisa ada di sini? Bukankah Wulan kuliah di Semarang? Kenapa dia bisa seperti ini? Apa yang terjadi?” “Panggil ambulans, cepat!” Teriak Niken panik. Air matanya mengalir deras di pipinya tanpa disadarinya, tanpa dapat dikendalikannya. Melihat orang-orang di sekelilingnya terpaku, tak beranjak sesenti pun, Niken jadi putus asa, paniknya berlipat ganda. Surya lalu menghampirinya. “Nik, kita bawa ke RSCM aja yang dekat sini. Ayo aku antar. Kita ke sana sekarang pakai mobilku.” usulnya. Niken mengangguk lemah. Surya lalu menjulurkan tangannya untuk meraih tubuh Wulan, membopongnya pergi dari situ. “Wulan...” desah Niken meremas jari-jari Wulan yang dingin. Kepala Wulan ada di pangkuannya. Seribu pertanyaan dan kekuatiran campur aduk di otaknya. Leo dan Surya yang duduk di jok depan sedari tadi tak berkata sepatahpun. Mereka mengenali jelas gadis yang dikenali Niken ini sepertinya overdosis, kena serangan jantung. Niken yang murid kedokteran pasti juga tahu itu. Bagaimana Niken bisa mengenal gadis yang seperti itu, mereka tak habis mengerti, tapi mereka bisa melihat sepertinya Niken memang sangat dekat hubungannya dengan si gadis bernama Wulan ini. “Nama pasien?” tanya perawat yang berjaga di bagian administrasi unit gawat darurat. Tadi setibanya di rumah sakit, Wulan sudah langsung dibawa ke dalam ruangan. “Wulan Andari.” jawab Niken. “Alamat?” Niken bingung menjawab pertanyaan ini. Dia tak tahu di mana Wulan tinggal di Jakarta ini. Ini juga hal yang aneh, pikirnya. Kenapa Wulan tidak menghubunginya kalau dia ada di Jakarta? Sudah berbulan-bulan ini sejak kesibukannya melonjak memang Niken sudah tidak menghubungi Wulan sama sekali. Sebelumnya dia masih sering menelepon seminggu sekali sekadar bertukar kabar. Biar bagaimanapun Wulan masihlah sahabat terbaiknya. “Alamat?” tanya perawat itu lagi, dengan nada yang sama. Untung kelihatanya perawat itu cukup sabar. Leo lalu menyenggol siku Niken. Niken tersadar lalu mendiktekan alamat kostnya sendiri. Selagi menunggu di ruang tunggu yang sepi itu, mendadak Niken teringat untuk mengabari ibunya Wulan. Diteleponnya rumah Wulan di Semarang. “Bima?” Niken mengenali suara yang mengangkat telepon. Adik Wulan. “Kak Niken yah?” “Iya. Ibu ada?” “Ibu...” Lalu Niken mendengar Bima terisak-isak. “Lho, Bim? Ada apa?” “Kak Niken belum dengar ya? Ibu meninggal dua bulan yang lalu...” Tangis Bima makin keras. “Sori banget, Bim.. Aku belum dengar. Wulan sudah berbulan-bulan ini nggak kontak aku... ” “Ibu sakit kanker paru-paru, Kak. Ketahuannya sudah parah, jadi cuma beberapa bulan trus nggak ada. Sejak Ibu sakit itu Kak Wulan nggak kuliah. Sibuk terus cari duit. ” Deg ! Kenapa Wulan nggak cari dia saat dia butuh duit ? Niken masih tak habis pikir. “Ya sudah, Bim... Nanti aku telepon lagi kalau Wulan sudah pulang” Niken merasa percuma memberitahu Bima tentang kondisi Wulan. Hanya akan membingungkannya saja. Lagipula dia melihat Leo berjalan ke arahnya. Mungkin sudah ada kabar dari dokter, pikirnya. Segera disudahinya percakapannya dengan Bima di telepon. “Nik, kamu dipanggil dokter tuh. Aku di sini dulu yah, merokok. ” kata Leo, mengambil sepaket rokok dari saku bajunya. “Surya ada di dalam.” lanjutnya. Niken mengangguk dan bergegas menuju ke dalam. Seperti dugaannya, dokter bilang Wulan kena serangan jantung akibat pemakaian amphetamine yang berlebihan. Tadi di ruang gawat darurat Wulan bahkan sempat kena serangan jantung yang kedua, dan jantungnya berhenti bekerja. Tapi berhasil diselamatkan oleh alat kejut. Dokter tadi sudah memberi obat untuk memulihkan detak jantung dan tekanan darah Wulan, juga sudah menulis resep obat tersebut untuk segera dibeli di apotik rumah sakit. Sekarang Wulan sudah dipindahkan ke ruang pasien biasa. “Kamu pulang dulu aja, Nik. ” saran Surya. “Kamu aja yang pulang. Aku mau tinggal di sini menemani Wulan. Aku ingin ada saat dia bangun.” “Kamu butuh tidur juga. Besok pagi-pagi aja ke sini lagi. Nanti aku antar.” paksa Surya lagi. “Suryaaa... Sudahlah. Kamu nggak akan sanggup membujuk aku pulang deh. Buang-buang energi saja kamu ini.” “Oke oke... terserah kamu. Besok pagi aku kemari pakai mobil kamu yang kamu parkir di depan rumahku. Supaya besok kamu bisa pulang kost. Tadi bukannya kamu bilang ada banyak tugas?” “Duh, kamu baik sekali, Surya. Makasih ya. Sorry banget udah ngerepotin, di hari ulang tahunmu pula!” Niken merasa bersalah sudah “merusak” pesta ulang tahun Surya. “Nggak papa Nik. Emang tadi udah waktunya pulang, juga. Jangan sungkan-sungkan begitu, Nik.” “Ya sudah, sekali lagi terima kasih, Surya.” * Jam dua belas kurang sepuluh, Wulan masih belum bangun. Tadi dokter sudah bilang bahwa kondisi Wulan sudah normal, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Jadi Niken pun sudah tenang sekarang, tidak panik lagi. Niken sudah mulai mengantuk, apalagi melihat Wulan yang kelihatannya tidur dengan pulas. Didekatkannya kursi yang didudukinya ke sisi ranjang Wulan yang tinggi, lalu direbahkannya kepalanya yang berasa berat itu ke kasur di hadapannya. Bau steril rumah sakit sudah tak tercium lagi karena pengaruh kantuk yang tak tertahankan. Sekitar jam tiga dini hari, Wulan membuka matanya. Dilihatnya sekeliling. “Ini pasti ruangan rumah sakit,” pikirnya. “Tapi siapa yang membawaku kemari?” Matanya lalu tertumbuk pada gadis yang tertidur menelungkupkan kepalanya. “Siapa dia?” Sedetik kemudian dia merasakan pusing yang luar biasa. Erangan lirih Wulan membuat Niken terbangun. “Kamu sudah bangun, Wulan?” tanya Niken. “Koq... ka- kamu, Nik?” Wulan terbata-bata sambil masih mengerutkan kening dan memegang kepalanya. “Iya. Aku. Kaget ya? Kebayang kan betapa kagetnya aku tadi? Sudahlah kita bahas nanti saja. Kamu kenapa? Pusing? Aku panggilkan suster ya?” tawar Niken. Wulan mengangguk. Beberapa menit setelah Niken memencet bel, seorang perawat masuk ke ruangan. “Bagaimana mbak Wulan? Sudah baikan?” tanyanya. “Pusing sekali, suster.” jawab Wulan. Perawat tadi lalu keluar dan kembali lagi membawa obat dan air minum. Setelah menunggui Wulan meminum obatnya, perawat itu keluar ruangan. “Masih pusing?” tanya Niken. Wulan mengangguk. “Aku nggak papa koq, Nik. Kamu tidur lagi aja, deh.” “Kamu mau tidur lagi?” tanya Niken. “Nggak. Pusing begini mana bisa tidur?” keluh Wulan. “Ya udah. Aku temani.” “Udah Nik... tidur ajaaa...” “Kangen sama kamu, ngga boleh? Kalo ngga boleh aku ngambek lho!” ancam Niken. “Ah, belagu kamu. Kapan coba terakhir kamu telpon aku?” “Aduh... sorry banget, Wulan... Satu-satunya alasanku cuma sibuk. Klise banget yah? Nggak mutu yah? Maafin aku. Aku temen yang ngga pedulian yah? Sorry.. sorry.. sorry......” Niken melihat airmata Wulan sudah menggenang di pelupuk matanya. “Nggak kamu aja koq. Aku juga nggak ngontak kamu. Kita sama aja.” “Iya kenapa sih kamu nggak ngontak aku? Pergi ke Jakarta aja nggak bilang-bilang. Padahal tahu ada sahabatnya di Jakarta. Aku tadi telepon rumah kamu, dari situ aku baru tahu bahwa ibu kamu sudah nggak ada. Aku kira aku sahabatmu. Bahkan masalah sebesar ini kamu nggak curhat ke aku, yang katanya sahabatmu ini.” protes Niken, berulang kali melontarkan kata ‘sahabat’ dengan sinis. Wulan diam saja. Sepertinya dia tak tahu harus menjawab apa. Merasa tidak ditanggapi, Niken meneruskan, “Kalau kamu butuh, kan aku bisa bantuin.” “Nah!” tuding Wulan. “Apa?” tanya Niken kaget dan heran melihat perubahan sikap Wulan yang mendadak ini. “Ya inilah sebabnya kenapa aku nggak cerita ke kamu.” jawab Wulan. “Inilah sebabnya? Apa sebabnya?” Niken tambah bingung. “Aku nggak ingin dikasihani. Juga nggak ingin bergantung sama orang lain. Termasuk kamu.” jawab Wulan tegas. Niken mendengus. Wulan memang selalu begini. Sok kuat menanggung bebannya sendiri. Tapi nggak mau mengakui kalau kewalahan dan butuh bantuan. “Jadi ini jalan keluarmu? Mengagetkanku dengan pingsan hampir mati di lantai dansa. Kamu tahu nggak sih betapa paniknya aku tadi ?” “Aku mana tahu kalau kamu bakal pergi clubbing ? ” Pembelaan Wulan kali ini benar-benar sangat kabur. “Apa bedanya, Wulan ? Bersyukurlah tadi aku ada di situ. Nggak ada orang lain yang sepertinya mengenalmu, atau berusaha menolongmu. ” “Oh ya?” Jawaban Wulan ini terdengar begitu aneh di telinga Niken. “Apa maksudmu ‘oh ya’ ? Memangnya kamu tadi clubbing sama siapa?” tanya Niken. “Teman.” Niken mengernyitkan dahinya. “Kamu berkerut-kerut gitu seperti Bu Lydia kalau sedang mikir soal susah buat dilempar ke murid yang nakal.” Wulan berusaha mencairkan suasana. Niken tak bergeming. “Teman yang mana? Koq aku nggak lihat ada seorang pun?” tanya Niken lagi. Wulan menyadari, dia jelas kalah keras kepala kalau dibandingkan Niken. Jadi lebih baik dia menyerah sekarang. Kalau diterus-teruskan, buntut-buntutnya dia tetap saja harus menjelaskan semuanya. Menyerah sekarang berarti tidak menghabiskan tenaga yang tidak perlu. “Baik non. Sepertinya aku musti cerita dari awal deh. Janji nggak akan ketiduran sebelum aku selesai cerita?” “Apa-apaan sih kamu, Wulan ? Sejak kapan aku pernah ketiduran waktu kamu cerita ? Ayo cepetan cerita. Dari tadi muter-muter aja.” sahut Niken kesal. Wulan meringis. “Begini ceritanya. Beberapa bulan yang lalu, ibuku sakit. Kamu tahu kan emang dari dulu ibuku sakit-sakitan. Nah kali ini akhirnya dia mau juga ke dokter setelah aku paksa-paksa. Ternyata dokter bilang ibuku sakit kanker, Nik. Kanker paru-paru. Udah stadium ganas lagi. Entah bagaimana koq ibuku bisa tahan sampai saat itu, aku juga tidak mengerti. Sejak itu ibuku keluar masuk rumah sakit terus, karena kondisinya tambah lama tambah parah. Dua bulan kemudian, ibuku meninggal. Duit ibuku habis buat biaya dokter dan rumah sakit.” Wulan diam sejenak, menghela napas. “Kalau itu aku sudah tahu dari Bima.” “Kamu mau diceritain apa nggak sih ? ” Gantian Wulan yang kesal. “Oh iya, mau dong. Terusin, terusin...” “Mau nggak mau aku musti berhenti kuliah. Cari duit. Mau makan apa aku dan adik-adikku kalau aku ngotot kuliah ?” keluh Wulan. “Nah ini. Kembali ke permasalahan semula. Kenapa sih kamu nggak bilang? Aku kan bisa bantuin. Pinjemin lah paling nggak. Kamu bisa kembalikan kapan aja kamu mau. Cuma duit aja. Kamu tau aku ada.” “Aku tau kamu ada duit. Tapi dari dulu aku nggak pernah minta bantuan kamu atau siapapun. Dan nggak berniat memulainya.” Wulan membela diri. “Oke lah. Kamu memang selalu punya alasan. Juga selalu punya cara sendiri untuk mengatasi permasalahanmu. Lalu? Apa yang kamu lakukan?” “Aku...” Wulan ragu-ragu untuk meneruskan kalimatnya. Ditatapnya mata Niken. Mata yang lelah itu terlihat begitu memahaminya meskipun dia belum menceritakan separuh dari permasalahannya, membuatnya untuk memberanikan diri menumpahkan segala-galanya. “Ada teman kuliahku yang menawari pekerjaan. Waktu itu aku cerita kalau aku butuh kerjaan, apa saja pokoknya dapet duit. Dia tanya, jadi pengedar mau nggak? Pengedar di sini maksudnya bukan seperti loper koran. Pengedar obat. Aku bilang oke. Aku nggak menyadari bahwa setelah itu hidupku jadi tambah gelap aja. Jumlah teman dan kenalanku jadi tambah banyak. Awalnya aku kuatir sekali. Takut bakal ketahuan polisi, takut adik-adikku tahu, takut dosa, dan lain-lain. Lama-lama biasa koq.” Melihat Niken yang menatapnya lekat-lekat dengan pandangan tak percaya, Wulan berkata, “Kaget ya non? Ini belum seberapa. Lama-lama biasa karena aku tidak hanya menjadi pengedar tapi juga pemakai. Tadinya aku bersumpah tidak akan menyentuh barang-barang itu. Tugasku hanya mengambil barang dari tempat yang dijanjikan, dan memberikannya kepada orang yang mengontakku dengan kode tertentu.” Wulan menerawang, menatap langit-langit ruangan yang bercat putih itu. “Ternyata bukan hal yang sulit untuk terjerat di dalam lingkaran setan itu jika bermain-main di tepiannya.” lanjutnya kemudian. “Ya sudah... ya sudah...” Niken melihat Wulan yang hampir menangis begitu, jadi bingung. “Yang penting kan sekarang kamu sudah jera.” Wulan tidak menjawab, cuma menatap Niken sedih. Niken tak mengerti apa maksud tatapan Wulan ini. Terasa begitu asing dan aneh sekali. “Kenapa, Wulan?” tanyanya sambil menggenggam ujung-ujung jari Wulan. “Berkali-kali aku berusaha keluar dari lingkaran setan itu, berulang kali aku mengutuk diriku sendiri betapa bodoh perbuatanku ini. Lingkaran setan ini kayak Hotel California, you can check out anytime you like, but you can never leave.” Wulan mengutip salah satu lagu kesayangan mereka waktu SMA yang sering diputar berulang-ulang di kamar Niken sampai mereka hafal liriknya luar kepala. “Nik, tolong jangan ceramahi aku tentang apa yang baik dan yang buruk. Kepalaku masih terasa berat sekali. Aku janji akan berusaha lebih kuat menentang arus ini. Aku nggak tahu entah kapan bisa benar-benar bersih, tapi aku akan terus berusaha.” Ketidak-yakinan terdengar jelas di nada suara Wulan. “Jalani saja pelan-pelan. Aku akan bantu kamu, dukung kamu, apapun yang terjadi. Bahkan walaupun malam ini termasuk malam paling menyedihkan dalam hidupku, bahkan lebih menyedihkan daripada ketika aku kehilangan orang-tuaku, aku rela mengalami ribuan malam seperti ini asalkan kamu janji untuk terus berusaha. Aku juga nggak akan menyerah.” Wulan menyangga berat tubuhnya dengan mengepalkan tangan kanannya di ranjang. Dipeluknya Niken erat-erat. “Sungguh, nggak jarang aku terpikir untuk menghubungimu, menceritakan semua ini. Terutama di saat-saat aku merasa membutuhkan seorang teman. Tapi aku takut kamu bakal menjauhiku, memandangku asing. Aku takut sekali, Nik. Terima kasih kamu masih mau jadi temanku...” “Huss, Wulan! Sudahlah. Mulai sekarang kamu musti janji untuk nggak segan-segan cerita ke aku kapanpun. Itu kalau kamu masih mau jadi temanku.” Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat, seolah-olah dengan anggukannya itu sakit kepalanya turut lenyap. Setelah itu mereka terus berbincang-bincang sampai subuh. Wulan menceritakan beberapa detail tentang keterlibatannya dengan yang dia sebut ‘lingkaran setan’ itu. Dari orang-orang baru yang dikenalnya sampai jenis obat yang akhir-akhir ini digemarinya. Niken pun menceritakan kesibukannya akhir-akhir ini, teman-teman bandnya, dan juga Pandu. Sampai saat Surya datang, siap untuk mengantar Niken pulang, mereka masih belum selesai melepas kangen. “Aku harus pulang sekarang. Jangan kuatir. Aku akan datang lagi nanti sore. Aku akan bawa buku-bukuku supaya aku bisa mengerjakan tugas-tugasku di sini.” Niken memeluk Wulan lagi, erat-erat, untuk kesekian kalinya hari ini, sebelum pergi. * :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 2 Sore itu Niken bersenandung kecil di koridor rumah sakit sambil menenteng tas ransel merah di pundaknya yang berisikan pakaian ganti buat Wulan, komplit dengan handuk, sikat gigi, sabun, dan teman-temannya. Bahkan tak lupa Niken membelikan majalah terbaru dan beberapa buku komik miliknya yang dia yakin Wulan pasti suka. Beberapa buku diktat yang tak muat masuk ke dalam ranselnya didekapnya di dada. Sambil berjalan dan terus bernyanyi kecil, Niken berusaha mengingat-ingat kalau-kalau ada yang terlupa dibawanya. Ketika kirakira sepuluh langkah dari ruangan Wulan, Niken tercenung. “Kenapa banyak perawat berkerumun di sini?” Panik, dia setengah berlari mendekati kerumunan perawat di luar kamar Wulan itu. “Ada apa, sus?” tanya Niken. Tak seorangpun menjawab pertanyaannya, sampai akhirnya perawat yang memberikan obat pada Wulan semalam mengenalinya, lalu berkata dengan sopan, “Nona... temannya Wulan penghuni kamar ini ya?” Niken mengangguk cepat, dengan harapan perawat tadi akan cepat memberikan jawaban yang dia inginkan. “Nona Wulan tidak ada di kamarnya. Kami sudah berusaha mencarinya tapi tidak diketemukan. Sampai akhirnya ada yang melapor dari bagian Security, katanya dari rekaman security camera, Wulan terlihat melangkah keluar rumah sakit dibawa seorang pria.” Tak percaya akan pendengarannya, Niken tetap membuka pintu masuk ke ruangan Wulan. Melihat ranjang kosong, lutut Niken mendadak lemas. “Pergi ke mana dia?” batinnya cemas. “Siapa tamu terakhir Wulan, suster?” tanya Niken. Dia teringat, setiap masuk dia harus melaporkan diri dan dicatat identitasnya dengan menunjukkan KTP atau SIM. Pria yang pergi bersama Wulan tadi pasti juga melakukan hal yang sama. “Benar. Karena kasusnya obat-obatan dan ada kemungkinan berhubungan dengan pihak kepolisian, menurut prosedur kami semua tamu untuk pasien seperti nona Wulan ini harus dicatat identitasnya. Kami ada catatannya.” Perawat itu lalu mengisyaratkan pada Niken untuk mengikutinya ke arah meja administrasi. Setelah membalik-balik halaman buku daftar pengunjung yang tebal itu, perawat lalu menunjukkan nama pengunjung terakhir yang masuk ke kamar Wulan. “Dion Sahara.” ulang Niken diotaknya. Dengan cepat dihafalkannya alamat dan nomer telepon yang tercatat di situ. “Terima kasih, sus. Saya pergi dulu. Tolong kalau ada kabar tentang Wulan, kabar apa saja, hubungi saya. Alamat dan nomer telepon saya ada di buku ini juga.” Niken menunjuk namanya di buku daftar pengunjung itu. Setelah masuk ke mobil, Niken buru-buru mengambil organisernya. Di daftar alamat, ditulisnya nama, alamat dan nomer telepon Dion Sahara, sebelum dia lupa. “Dion Sahara”, gumamnya lagi. Nama itu asing sekali di telinganya. Dia tak pernah mendengar Wulan menyebut nama itu. Niken mendesah. “Tapi akhir-akhir ini aku sungguh sudah tidak lagi mengenal Wulan.” Sedih sekali hatinya menyadari kenyataan itu. Niken lalu menyalakan hp yang dimatikannya saat memasuki gedung rumah sakit tadi. “Ada apa sayang…” sapa Pandu begitu telepon diangkat. Tak urung Niken yang tadinya panik jadi tertawa kecil. “Dasar Pandu centil”, batinnya. “Tolong kamu hubungi kak Adit dong” pinta Niken. Aditya, kakak Pandu, sudah menduduki posisi lumayan di Polri. Dia lalu menceritakan semuanya tentang Wulan dan misteri Dion Saharanya. Didiktekannya alamat dan nomer telepon Dion Sahara. “Baiklah. Nanti aku akan suruh kak Adit kontak kamu kalau dia sudah mendapat keterangan lebih lanjut” janji Pandu. “Thanks Ndu.” Niken lalu diam. Pikirannya melayang ke Wulan. Kemana dia? Apa dia sudah kuat jalan? Siapa si Dion Sahara ini? Apa dia memaksa Wulan ikut bersamanya? Kenapa Wulan tidak meninggalkan pesan untukku? “Fei,” Pandu seakan bisa merasakan apa yang dirasakan Niken saat ini. “Aku tahu kamu pasti cemas sekali. Tenangkan diri dulu. Jangan memikirkan yang terburuk. Nanti malah justru yang terburuk itu bakal terjadi. Pikirin yang positif-positif aja. Sabtu ini aku ke sana, deh.” “Nggak usah… aku tahu kamu sibuk…” “Aku mau nengokin cewekku yang manis nggak boleh?” goda Pandu, berusaha menghibur Niken. Dia merasa tak berdaya mendengar Niken begitu sedih, sementara dia begitu jauh, tak bisa berbuat apa-apa. Niken tersenyum lagi. Pandu memang pakar dalam hal mencairkan suasana hatinya. “Cewek yang mana?” serang Niken seperti biasanya. Lega Pandu mendengar Niken bisa menanggapi guyonannya. Berarti dia masih baik-baik saja. “Cewek yang sibuk melulu nggak punya waktu buat cowoknya,” sahut Pandu pura-pura kesal. Niken tahu Pandu tidak sungguh-sungguh marah, tapi dia memang merasa bersalah sudah mengacuhkan Pandu akhir-akhir ini. “Mau datang ya datang saja. Aku kan nggak janji bisa nemenin.” “Nikennn!!! Nggak kangen ya? Udah nggak sayang ya?” Pandu merajuk. “Iya iya, kangen. Sayang. Duh, kamu tambah galak deh. Nanti kalau di sini jangan galak begini ya?” “Gitu dong. Oke, aku sebetulnya lagi ada kelas, nih. Waktu telepon bergetar tadi aku lihat kamu yang telepon, jadi aku keluar ruangan sebentar.” “Oh sorry, sorry. Aku lupa jadwal kamu. Bye Pandu.” * “Kenapa kamu senyam-senyum gitu? Ada cewek yang bisa digaet?” tanya Boneng celingukan setelah melihat tampang temannya yang meringis terus sejak keluar sebentar tadi. Boneng memang terkenal mata keranjang, cewek yang dekat dia banyak, dan semuanya ditanggapi dengan manis dan tangan kaki terbuka. Hanya sampai sekarang dia masih mengeluh tak pernah menemukan cinta. Semakin terobsesilah dia mengencani banyak cewek. “Kamu yang dipikir cewek terus,” bisik Pandu sambil mengatupkan mulutnya dan menempelkan telunjuknya vertikal di bibir. “Pak Hisham boring abisssss..” gerutu Boneng sambil memelototi kertas fotokopinya. Bahan kuliah hari ini. Di bagian atas tertulis judul ‘Penguat Diferensial’ agak besar, masih bisa terbaca. Dari judul itu ke bawah, tulisannya kecil-kecil dan rapat-rapat. Seperti biasa, pengiritan biaya fotokopi. Ada teori lain di balik ini. Mungkin Pak Hisham berniat mempromosikan optik “Sehat Mata” milik istrinya yang tidak jauh lokasinya dari kampus. Makin kecil tulisannya, makin banyak jumlah siswa bermata minus. “Kalau saja minggu depan tidak ada kuis, aku tak akan repot-repot datang sore-sore begini,” keluh Boneng lagi. “Kenapa memangnya? Berapa cewek yang ngantri kamu pacari malam ini?” tebak Pandu tepat pada sasaran. Boneng tersenyum bangga. Predikat ‘Jaka Kampus’ memang layak disandangnya. Meskipun ada tanda tanya besar apakah sang ‘Jaka Kampus’ kita ini masih perjaka, tapi tak ada orang lain yang bisa mengalahkan Boneng dalam hal menggaet cewek. Bahkan menurut desasdesus, Boneng, yang nama aslinya Priambudi ini, sudah berpengalaman dalam hal bercinta. Jurus-jurusnya terkenal mematikan. Dia seperti punya ilmu magis. Disentuh ujung jarinya saja si cewek langsung klengar tergelepar, seperti terhipnotis, rela mau menyerahkan segalagalanya. Menurut legenda tersebut, Boneng juga sangat perkasa. Entah ini fakta atau gosip murahan, yang jelas Boneng menyukainya. Awalnya Boneng gregetan mendengar namanya bergaung seperti itu di kampus, tapi setelah dilihat lagi ternyata ini justru menguntungkan bagi Boneng, karena mendapatkan cewek justru makin mudah! “Riana, anak tingkat satu jurusan sipil. Masih polos,” kata Boneng mengerjap-kerjapkan matanya. Pandu gantian tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Hari ini Riana, besok pasti muncul nama baru. Buat apa dihafal? “Ditanya kok malah tambah parah senyumannya? Hayo kenapa senyum-senyum seperti abis menang lotere begitu?” desak Boneng. “Sabtu besok aku berangkat ke Jakarta. Cuma sampai Minggu malam sih, tapi bisa ketemu Niken sejam saja aku rela capek-capek ngebis dari Bandung.” Boneng melongo. “Kenapa tak terpikir olehku? Kamu bisa senyum-senyum begini pasti garagara Niken seorang!” Senyum Pandu masih tersungging di bibirnya. Kadang-kadang terlihat giginya terpajang rapi berderet-deret. Sepertinya hari ini akan sulit menghapus senyum itu dari wajah Pandu. * Pensil di tangan Niken itu sudah berkali-kali diketuk-ketukkannya di atas meja. Niken masih tak habis pikir. Dia mengira Dion adalah salah satu orang yang bertanggungjawab atau paling tidak terlibat dalam dunia obat-obatan yang dikenal oleh Wulan akhir-akhir ini. Tapi menurut keterangan kakak Pandu, orang yang bernama Dion Sahara ini catatannya kriminalnya bersih, sama sekali tidak pernah terlibat dalam urusan kepolisian. Niken berusaha mengingat-ingat apakah Wulan menyebut nama Dion waktu bercerita panjang lebar malam itu, tapi gagal. Dipandanginya lagi catatan nama dan alamat serta nomer telepon Dion Sahara di organisernya itu. Sementara otaknya melayang, tak sadar tangannya melingkari bagian nama Dion itu dengan pensil berkali-kali. Ketika disadarinya, nama Dion itu sudah penuh coret-coretan pensilnya. Sambil menghapus coret-coretan itu dengan setipnya, Niken meyakinkan dirinya, dia harus tahu siapa Dion Sahara ini. Maka besoknya, sesudah selesai mengerjakan tugas laborat, Niken langsung pergi menuju alamat yang sekarang sudah dihafalnya luar kepala itu. Bukan sengaja dihafal, tapi karena sudah lebih dari seribu kali dipandanginya. Jalan Pasir Putih I nomor 3. Rumah berpagar coklat itu biasa-biasa saja kelihatannya dari luar. Bukan model rumah yang megah dan mewah, tapi juga bukan yang bobrok butuh direnovasi. Ragu-ragu, Niken meraih gembok di pintu pagar itu lalu diketukkan ke arah pagar coklat itu sambil memejamkan matanya untuk menenangkan debar jantungnya sambil berdoa singkat. Seorang wanita dengan bayi di gendongannya muncul dari dalam. Niken menebak usianya pasti awal tiga puluhan. Ketika lebih dekat, Niken bisa melihat bayi yang digendongnya itu di sekitar mulutnya berlepotan bubur bayi. Niken cukup lega melihat sosok ‘manusiawi’ yang berdiri di hadapannya. Tadi dia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Lima anjing doberman yang sedang lapar, atau tukang daging yang menggenggam pisau besar yang berlumuran darah. “Permisi, Bu, apakah ini rumah Bapak Dion Sahara?” tanya Niken dengan nada sesopan mungkin. Wanita itu mengangguk, tapi masih tak beranjak membukakan gembok pintu. “Bapak Dion ada di rumah?” tanya Niken lagi. Wanita itu memandangi Niken dari ujung rambut ke ujung kaki. Niken merasa jengah dipelototi seperti itu. Setelah wanita itu puas meneliti figur di hadapannya, ia berkata, “Ada apa mencari Mas Dion?” Niken mengambil kesimpulan, wanita ini pasti istri atau adik Dion. Susah payah ia berusaha menemukan alasan kedatangannya ini. “Sial!” kutuknya dalam hati. “Tadi sudah aku hafalkan beberapa alasan, tapi mengapa sekarang lupa semua?” “Saya... ada urusan dengan Bapak Dion Sahara.” kata Niken kemudian. “Bodoh sekali Niken, masa mencari alasan saja begitu sulit?” kritik Niken pada dirinya sendiri. “Tentu saja semua orang mencari Mas Dion karena ada urusan. Urusan apa?” tegas wanita itu lagi. Niken sadar, rasanya percuma dia bersandiwara. Mungkin lebih baik jujur, dengan begitu dia akan mendapatkan petunjuk keberadaan Wulan. “Saya ingin menanyakan pada Bapak Dion apakah dia mengetahui di mana teman saya berada. Nama teman saya Wulan. Apakah ibu pernah mendengar nama teman saya?” tanya Niken hati-hati. Wanita itu diam saja. Sambil mengelap mulut bayinya yang kotor dengan selendangnya, dia berkata, “Mas Dion sudah lama tidak pulang. Kalau mencari orang hilang, rasanya di sini adalah tempat yang salah.” Sesudah berkata begitu, wanita itu balik kanan dan masuk kembali ke dalam rumah. Niken tidak sempat mencegahnya. Ia berusaha mengetukkan lagi gembok itu, tapi percuma saja. Wanita itu tidak muncul-muncul lagi. * Niken berlari secepat mungkin menuju ruang laborat. Menurut jadwal Niken sudah terlambat dua puluh lima menit. Begitu sampai di depan pintu, Pak Purba sudah menatapnya dengan sepasang mata yang menyelidik. ”Terlambat lagi?” tanya Pak Purba. “Maaf, Pak. Lain kali tidak...” Belum sempat Niken menyatakan alasan keterlambatannya, Pak Purba sudah menyuruhnya duduk. Wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dan sepertinya tidak ingin tahu mengapa Niken terlambat. “Tugas praktikum besar kali ini adalah tugas kelompok. Satu kelompok dua orang. Karena kamu terlambat, semua kelompok sudah terbentuk. Masih tinggal sisa seorang yang belum mendapatkan kelompok. Kamu satu kelompok dengan Sadu.” kata Pak Purba sambil menunjuk ke arah pojok kanan. “Baik, Pak.” Niken mengiyakan. Dia lalu duduk di sebelah Sadu. “Matilah aku!” batinnya. Niken tahu, anak laki-laki yang duduk di sebelahnya ini aneh perangainya. Wajahnya selalu tertutup bayangan topinya. Dia tidak pernah balas menyapa kalau disapa orang. Bajunya selalu berwarna hitam atau abu-abu tua. Entah berapa pasang baju yang dimilikinya, karena Niken selalu mendapatinya memakai baju yang itu-itu saja. Padahal dengar-dengar dia anak orang kaya. Motornya selalu bersih mengkilap. Hanya satu hal yang membuat Niken agak terhibur – prestasi Sadu tahun lalu termasuk cukup baik, di atas Niken, malah. Pak Purba sudah menulis jadwal penggunaan ruang praktikum untuk masing-masing kelompok. Niken lalu menyalin waktu-waktu dan ruangan yang ditentukan untuknya ke dalam organisernya. “Tiga kali dalam seminggu selama satu bulan!”, gerutunya dalam hati. Bagaimana dia harus berkomunikasi sendirian dengan si Drakula ini selama tiga kali dalam seminggu? Bagaimana kalau si Drakula ini benar-benar akan menggigit dan menghisap darahnya? Niken merinding. Sedetikpun dia tak berani melirik ke arah sebelahnya. Dia terus menyalin prosedur dan catatan yang diberikan Pak Purba di papan tulis. Saat selesai, Niken baru menyadari dia tinggal sendirian di ruangan itu. Bahkan si Drakula yang duduk di sebelahnya sudah tidak ada di situ. Ada perasaan lega hari ini dia tidak perlu bertegur-sapa dengan Sadu. Niken cepat-cepat membereskan alat-tulisnya dan beranjak ke luar kelas. “Hey!” sapaan seseorang di depan pintu ruang praktikum mengejutkan Niken. Jantung Niken hampir saja copot kalau tidak didekapnya lagi dadanya erat-erat! “A... aa..?” jawab Niken terbata-bata. Seperti di film horor saja, kutuknya dalam hati. Sosok yang menakutkan itulah yang menyapanya. Sebetulnya yang akan dikatakannya adalah “ada apa”, tapi begitu melihat yang menyapanya adalah Sadu, detak jantungnya justru bertambah cepat. “Besok Senin aku akan datang agak terlambat. Kamu mulai dulu saja kalau sudah datang duluan.” kata Sadu sambil berlalu tanpa menunggu jawaban Niken. Niken yang jantungnya masih berdegup dengan keras karena kehilangan beberapa denyut barusan cuma bisa melongo. Ketakutan jelas sekali terlihat di wajahnya. Ketika Niken akhirnya berhasil mengatur detak jantungnya, Sadu sudah berlalu dengan kencang di atas motor besarnya. * Sore itu, di kamarnya, Niken melampiaskan semua keluh-kesahnya kepada Pandu yang baru saja datang. Semua diceritakannya panjang lebar. Tentang Wulan, tentang kesibukannya akhir-akhir ini, tentang band, tentang nilai-nilainya yang merosot, dan tak lupa tentang Drakula bermotor. Pandu hanya mendengarkan dengan sabar dan dengan ekspresi yang penuh antusias. “Kamu koq diam saja dari tadi?” tanya Niken. Rupanya dia baru sadar bahwa dia sudah bercerita nonstop selama hampir sejam, sementara lawan bicaranya tidak menunjukkan ada tanda-tanda bosan atau keberatan, tapi juga tidak memberikan tanggapan apa-apa selain ah uh ah uh. “Sudah selesai ceritanya?” Pandu tidak menjawab pertanyaan malah balik bertanya. “Sudah. Tunggu... Ya, sepertinya sudah.” Pandu lalu melebarkan kedua tangannya seperti sayap malaikat. Lalu didekapnya Niken eraterat sambil berkata, “Aku kangen sekali, Fei! Tak kusangka hidupmu terus berjalan dengan lancar tanpaku. Aku iri sekali pada orang-orang yang bersentuhan dan bersapaan denganmu setiap hari, sementara aku cuma jadi penonton di pinggir yang hanya bisa mendengarkan siaran ulang...” Air mata Niken tumpah karena terharu. Dia juga merasakan hal yang sama. Lelah karena hidup tanpa orang yang disayangi. Hari-hari terus berlalu, dengan atau tanpa orang yang disayangi. Pandu melanjutkan, “Kadang kalau aku sedang makan sesuatu yang enak, yang aku yakin kamu pasti suka, aku jadi inget kamu. Ingin rasanya terbang ke tempatmu membawa makanan untuk kita makan sama-sama. Aku bahkan nggak tahu gimana wajahmu kalau pas bangun tidur. Mustinya dulu waktu SMA sih pernah lihat, tapi sudah nggak ingat karena waktu itu nggak kuperhatikan...” “Huh?” Niken mendongak. “Maksudmu?” “Temen sekosku ada yang spesial tiap pagi selalu bangun pagi-pagi lalu ke rumah ceweknya. Tujuannya cuma ingin melihat ceweknya itu bangun pagi.” kata Pandu sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi Niken. “Hah? Kenapa begitu?” “Menurut temenku itu, wajah ceweknya kalau pas bangun tidur itu nggak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Jadi dia rela bangun pagi-pagi untuk melihatnya tiap hari.” “Ah, bohong itu,” kata Niken tergelak. “Pasti karena dia dapat sarapan gratis tiap hari di rumah ceweknya!” Pandu ikut tertawa. Dia tahu walaupun yang keluar dari mulut Niken adalah kata olok-olok, Niken sudah mengerti maksudnya. “Begini deh. Besok kamu boleh datang pagi-pagi kemari. Aku janji nggak akan bangun sebelum kamu datang. Kamu boleh lihat wajah bangun tidurku sepuasnya.” Niken menawarkan diri. “Aku ada ide yang lebih bagus lagi. Bagaimana kalau aku tidak usah pulang? Aku belum bilang sama kakak kalau aku mau ke Jakarta.” Niken membelalakkan matanya. “Hus! Ranjangnya cuma satu!” “Aku kan bisa tidur di lantai.” “Nanti masuk angin.” “Biarin.” “Masuk angin, masa dibiarin? Nanti nggak bisa pulang balik ke Bandung kalau sakit.” “Biarin. Malah bagus, kan? Aku sakit di sini, kamu temani aku sepanjang hari. Mimpiku jadi kenyataan.” “Pandu!” Malam itu ternyata mereka tidak tidur sampai kira-kira jam lima pagi sampai akhirnya tertidur berdua di atas lantai beralaskan selimut. * “Selamat pagi, sayang.” Niken tersenyum waktu mendengar tiga kata itu menyambutnya bangun di pagi hari. Pandangannya masih belum begitu jelas. Tapi beberapa detik kemudian dia baru menyadari bahwa Pandu sedang memelototinya. “Sedang apa kamu, Ndu?” tanya Niken heran. Secara refleks ditariknya lagi selimutnya untuk menutupi tubuhnya. Padahal tidak ada yang perlu ditutupi. Niken masih mengenakan pakaian tidur lengkap. Pandu sama sekali tidak menjawab, malah terus menatap wajahnya, seperti video kamera yang sedang merekam gambar. Setelah beberapa saat, Niken baru ingat percakapannya tentang ‘wajah bangun tidur’ semalam. “Bagaimana wajah bangun tidurku?” tanya Niken geli. “Memang betul, nggak bisa dilukiskan dengan kata-kata.” jawab Pandu. “Hah? Seperti apa sih? Coba aku lihat.” kata Niken sambil beranjak menuju ke arah meja riasnya untuk bercermin. Pandu cepat-cepat mencegahnya. “Jangan. Nanti hilang. Tolong biarkan aku melihatnya sebentar lagi.” Niken bengong. Dibiarkannya saja Pandu yang tak berkedip menatapi wajahnya. Lamakelamaan dia merasa jengah dan malu. “Sudah, ah. Kasihan tuh matamu kering butuh air. Kedip sekali kenapa kek!” Bukannya menjawab atau berkedip, Pandu malah memagut bibir Niken. Niken yang tidak menyangka akan dicium spontan meronta, tapi cuma sebentar. Niken membalas ciumannya. Pagutan hangat Pandu memberikan sensasi yang sangat dirindukannya. Niken membuka matanya mencari mata Pandu, yang kemudian didapatinya masih terpejam erat, lalu Niken kembali memejamkan matanya. Bisa dirasakannya cinta Pandu dan dirinya yang menggelora saling beradu saat itu. Entah berapa lama mereka tenggelam dalam dunia di mana hanya ada mereka berdua. Niken merasa tubuhnya jadi ringan dan melayang-layang ketika Pandu berkata lirih di telinganya, “Mungkin kata terdekat untuk menjelaskan wajah bangun tidurmu adalah ‘seksi’. Kamu sungguh sangat sempurna, Fei...” Niken baru tersadar kembali ketika dekapan Pandu hampir membuatnya tak bisa bernapas. Susah payah Niken melepaskan lilitan tubuh tegar itu dari badannya. Niken tahu, Pandu mendekapnya begitu erat karena tak bisa mengontrol sensasi yang juga dirasakannya. “Pandu, kamu terlalu baik. Kalau cowok lain dalam posisi seperti ini dengan ceweknya, pasti sekarang sudah tumpang-tindih di atas ranjang.” kata Niken polos. “Aku bukan orang yang munafik, Fei. Kalau aku mau pasti akan kulakukan. Aku pun bukan orang yang mengagungkan keperawanan. Aku cuma merasa sekarang ini belum saatnya. Kita sama-sama belum siap. Lagipula kita masih punya banyak waktu untuk menikmati ini di masa depan. Aku cukup sabar untuk itu.” Niken mengangguk. Pandu ini memang seperti versi laki-laki dari Niken. Mereka serupa, hanya berbeda jenis kelamin. Jadi tidak sulit bagi Niken untuk memahami Pandu, dan begitu pula sebaliknya, karena hampir semua idealisme-idealisme yang dianut Pandu, juga diimani oleh Niken. “Aku cinta kamu, Ndu.” bisik Niken. “Sepertinya aku sekarang sudah jarang mengucapkan kata-kata ini, dan rasanya kalau didengar seperti klise. Tapi aku mau bilang bahwa aku benarbenar mencintaimu. Jangan pernah lupa itu.” * Senin sore jam empat kurang lima menit, Niken sudah berada di dalam ruang praktikum itu. Hari ini spesial dia memakai scarf. Gila memang, tapi dia benar-benar takut si Drakula itu akan mencakar atau menghisap darah dari lehernya. Bahkan semalam dia tak bisa tidur memikirkan hari ini akan bertatap-muka dengan si Drakula bertopi itu. Karena tahu Sadu hari ini akan terlambat, dia langsung memulai membuka-buka buku panduannya. Seperti biasa buku organisernya juga selalu terbuka. Melihat organisernya, ia lalu membuka bagian daftar alamat dan melihat kembali nama dan alamat Dion Sahara. Guratan bekas coret-coretan pensilnya masih jelas terlihat melingkari nama Dion. Ia terus berpikir keras bagaimana caranya menemukan Wulan kembali, siapa dan dimana Dion Sahara saat ini, dan ke mana dia membawa pergi Wulan. “Sudah sampai mana?” Pertanyaan itu mengagetkan Niken. Sadu sudah berdiri di sampingnya mengamati apa yang sedang dilakukannya. “Ah... belum koq, belum mulai.” Niken melirik arlojinya. Jam empat lebih lima menit. “Lho? Katanya akan terlambat? Koq cuma terlambat lima menit?” “Kalau aku tidak datang awal kamu pasti akan merenung di sini seperti tadi sampai aku datang. Buang-buang waktu saja. Pantas saja nilaimu semester kemarin jeblok, kerjaanmu cuma melamun sepanjang hari.” sahut yang ditanya dengan nada sinis. “Orang ini jarang bicara tapi ternyata kalau sudah bicara nadanya sungguh tidak enak didengar. Lebih baik tidak usah bicara daripada bicara tapi menyakitkan hati,” gerutu Niken dalam hati. “Bukan urusanmu.” jawab Niken singkat. “Tentu saja ini urusanku, nilaiku mungkin akan terpengaruh gara-gara ini.” “Kalau kamu takut, kita bisa bekerja sendiri-sendiri, jadi kamu tidak usah tergantung aku.” tantang Niken. “Jelas kamu yang rugi. Nilaiku jauh di atasmu. Tapi terserah kamu. Aku memang lebih suka kerja sendiri.” Sepertinya Sadu menerima tantangannya dengan berani. “Ya sudah. Kerja sendiri sana dan jangan menggangguku.” sahut Niken ketus. Dalam hati ia yakin akan berhasil tanpa bantuan drakula tak tahu sopan santun ini. “Terus saja melamunkan Dion. Aku tidak pernah suka dengan orang yang berhubungan dengan Dion.” “Tunggu!” Niken berseru. Matanya membelalak waktu Sadu menyebut nama Dion seakan dia akrab dengan nama itu. “Kamu kenal Dion Sahara?” tanyanya. Yang ditanya tidak menjawab malah menjauh. Sadu lalu duduk di pojok kelas, tempat yang sepertinya sangat disukainya. Ketakutan Niken akan si Drakula ini mendadak lenyap, bahkan ia berani menyingkirkan buku yang sedang dibaca Sadu untuk menarik perhatiannya. “Kamu mengenal orang itu? Kamu mengenal Dion Sahara?” tanyanya lagi dengan nada mendesak. Sadu masih tidak menjawab dan berusaha menarik bukunya kembali untuk dibacanya. Niken menekan buku itu di atas meja dengan tangannya supaya tidak bisa diangkat oleh Sadu. “Hey! Aku bukan di sini untuk membahas kehidupan sosialmu. Kalau kamu tidak menyingkirkan tanganmu aku bisa merebutnya dengan cara yang kasar,” ancam Sadu. Diancam begitu Niken mengkeret. Kalau yang mengancamnya tidak bertaring panjang dan suaranya tidak seberat ini, dia masih bisa lebih memberanikan dirinya. Bahkan anak-anak rock dan metal yang selama ini dikenalnya tidak ada yang mengerikan seperti makhluk yang dihadapannya saat ini. Pelan-pelan dengan tidak rela Niken melepaskan buku Sadu. “Maaf. Aku... aku benar-benar ingin tahu di mana Dion berada. Aku harap kamu mau memberitahuku.” kata Niken dengan nada sopan dan berusaha menyembunyikan ketakutannya. Melihat Sadu lalu asyik membaca bukunya dan tidak mempedulikan pertanyaan Niken, ia lalu kembali duduk di bangkunya. Beberapa menit mereka sama-sama diam dan menekuni pekerjaan mereka masing-masing, pekerjaan yang seharusnya mereka kerjakan bersama-sama. Niken berusaha melupakan kejadian tadi. Dianggapnya dia tidak mendengar Sadu menyebut nama Dion Sahara. Walaupun dia sungguh ingin tahu keberadaan orang tersebut, Niken tidak sudi memohonmohon pada si Drakula bertemperamen keras itu. “Pasti akan ada cara lain untuk menemukan Dion,” harapnya dalam hati. Tiba-tiba telepon genggam Niken bergetar. Nomornya tidak dikenal. Sadu melirik ke arahnya. “Hallo?” kata Niken setengah berbisik. Dia tidak ingin percakapannya didengarkan oleh Sadu. “Hallo! Siapa ini?” kata Niken dengan agak keras setelah mendengar tidak ada tanggapan dari ujung sana. “Wulan... Wulan...? Kamu ada di mana? Kamu bersama Dion Sahara? Kemana dia membawamu?” Samar-samar Niken mengenal suara orang yang meneleponnya. Sambungan telepon terputus. Setelah berkali-kali gagal menghubungi nomor yang masuk tadi, Niken tak ayal menangis tersedu-sedu karena putus asa. Feelingnya mengatakan Wulan sedang dalam bahaya, tapi ia tak berdaya untuk menolongnya. “Kamu benar-benar ingin bertemu Dion?” tanya Sadu. Nada suaranya sangat berbeda dari tadi. Niken mengangkat wajahnya. Sadu sudah duduk di bangku depannya, menghadap ke arahnya. Niken lalu mengangguk, mengharap Sadu akan membuka tabir misteri yang selama ini menghantuinya. “Kenapa kamu tidak pergi ke tempat di mana dia selalu mangkal?” tanya Sadu dengan nada heran. “Bagaimana aku bisa tahu di mana dia selalu mangkal, siapa Dion pun aku tidak tahu!” sahut Niken masih dengan nada putus asa. “Jadi kamu tidak mengenal Dion?” Sadu semakin heran. Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. Pikirnya, “Apa yang membuat dia yakin aku mengenal Dion? Semenjak tadi bukannya aku yang mendesaknya untuk memberitahuku di mana Dion berada?” “Aku cuma tahu dia membawa pergi temanku. Siapa dan orang seperti apa Dion itu, aku sama sekali tidak tahu. Yang aku tahu, tadi temanku barusan menelepon, dan firasatku mengatakan dia sedang dalam bahaya. Tapi aku juga tidak punya petunjuk di mana kira-kira dia berada. Aku... aku bodoh sekali!” Pecah lagi tangisnya karena panik membayangkan apa yang sedang dialami Wulan saat ini. “Ikut aku.” Sadu menarik lengan Niken. Niken cepat-cepat menumpahkan buku dan organiser di meja ke dalam tasnya dan menggamit tas itu. “Pakai ini. Naik.” Perintah Sadu ketika mereka sampai di depan motor Sadu. Tangannya menyodorkan sebuah helm ke arah Niken. Walaupun bingung, Niken menuruti semua kata-kata Sadu. Tanpa berkata-kata lagi, Sadu melaju ke jalan raya dengan kecepatan tinggi, menyalip semua kendaraan yang dilaluinya dari kiri dan kanan. Niken tidak berani memejamkan matanya barang sedetikpun. Walaupun ngeri, dia merasa aman berada di belakang motor besar Sadu. Dia pun merasa harus menghafalkan route ke mana Sadu membawanya. Beberapa lampu merah diterjang Sadu tanpa sedikitpun merasa gentar. Sepertinya dia sudah biasa mengendarai motor gila-gilaan seperti ini. Seandainya ada polisi yang melihat kegilaan Sadu, mau mengejar pun tidak akan sempat. Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sepatah kata pun. Sampai akhirnya Sadu memperlambat laju motornya. Mereka ada di depan sebuah bangunan tua. “Sebuah motel,” tebak Niken dalam hati. “Ayo turun,” kata Sadu, kembali mencekal lengan Niken sambil berlari. Dengan satu tangan, Niken melepaskan helm yang dipakainya sambil berlari menjajari langkah lari Sadu. Mereka memutari hotel itu dan masuk dari pintu belakang yang dengan mudah dibuka oleh Sadu. Sadu lalu membuka satu persatu ruangan hotel itu, sambil meneriakkan nama Dion berkali-kali dengan nada garang. Sepertinya semua ruangan hotel itu tidak pernah dikunci. Dion lalu naik ke lantai dua. Niken dengan susah-payah mengikutinya. Langkah kaki Sadu lebar-lebar, tidak seperti langkahnya yang kecil-kecil. Seorang laki-laki muncul dari dalam sebuah kamar di lantai dua itu. “Ada apa?” tanya orang itu. “Kamu sedang apa?” tanya Sadu galak. Tidak mendapatkan jawaban sepatahpun, dengan satu tangan masih menggandeng Niken, Sadu masuk ke dalam kamar laki-laki tersebut. Saat pintu dibuka, Niken langsung menjerit. Sadu lalu membalikkan badan Niken ke arahnya. Niken membenamkan wajahnya di dada Sadu. Kedua matanya dipejamkannya, tapi ia tak sanggup menahan air matanya mengalir begitu deras. Sadu terus menepuk-nepuk punggungnya sementara Niken terus menangis terisak-isak. Ketika didengarnya tangis Niken mulai mereda, Sadu melepaskan Niken dan memegang kedua bahu Niken. “Aku baru akan membawanya ke rumah sakit, tapi kulihat dia sudah meninggal...” kata orang tadi. “Kita keluar dulu.” katanya sambil menuntun Niken keluar dari tempat itu. Sampai di luar, Niken menarik nafas panjang, menghirup udara segar. Di dalam tadi begitu pengap dan penuh asap rokok. Sadu meninggalkannya beberapa lama, dan ketika kembali ia membawa teh botol dingin yang belum terbuka. Sadu membuka teh botol itu dengan pisau Swiss-Army yang menjadi gantungan kunci motornya, lalu diberikannya pada Niken. “Terima kasih, Sadu.” kata Niken. Rasanya baru kali ini dia bisa memanggil nama Sadu tanpa membayangkan sosok drakula. “Itu tadi...” Sebelum Sadu menyelesaikan perkataannya, Niken sudah menjawab, “Ya, itu tadi Wulan, orang yang sedang aku cari-cari. Kenapa dan bagaimana dia bisa berada di sini, aku tidak tahu.” “Aku sudah mengira kamu tidak tahu dari reaksimu yang begitu terkejut seperti tadi. Aku justru baru mau memberitahumu. Aku bisa menebak apa yang terjadi pada temanmu itu.” Niken tercenung. Sadu lalu menceritakan sekelumit jalan hidup Dion, yaitu laki-laki yang ada mereka temui di dalam tadi, yang ternyata adalah kakaknya. Menurut Sadu, Wulan pasti adalah satu dari sekian banyak wanita yang diperalat oleh Dion. Mereka dengan mudah dapat diperalat karena berhutang banyak uang pada Dion, ditambah dengan ketergantungan mereka pada obat-obatan, yang memang awalnya adalah perangkap yang sengaja dipasang oleh Dion. Sejak itu mereka tak dapat melepaskan diri dari cengkeraman Dion. Dion adalah germo merangkap bandar judi merangkap pemasok narkoba. Wanita-wanita yang berhasil masuk perangkapnya hampir dipastikan akan menjadi pelacur. Tapi entah apa yang terjadi padanya, mungkin bunuh diri, mungkin lalai, yang jelas tadi tubuhnya sudah membiru, mati karena overdosis. Tangannya masih menggenggam telepon. Mungkin Niken adalah orang yang terakhir mendengarnya hidup. Niken geram sekali. Seorang yang bernama Dion Sahara ini telah menghancurkan hidup sahabatnya. Wulan tadinya baik-baik saja sebelum mengenal orang jahat ini. Hidupnya telah terbuang sia-sia. “Sadu, kamu bisa membantuku?” “Katakan saja.” “Aku ingin masuk ke dalam hidup Dion. Aku ingin membalas perlakuannya pada Wulan. Aku cuma ingin kamu bantu aku mendekati Dion. Setelah itu semua adalah urusanku.” kata Niken mantap. Nekad sekali cewek satu ini, pikir Sadu. “Tidak bisa. Terlalu bahaya. Tahukah kamu betapa bahayanya kakakku ini? Aku jadi seperti ini juga karena dia. Aku takut bukan saja kamu akan gagal membalas dendam, justru kamu yang akan terjerat dalam perangkapnya.” “Aku tidak peduli. Masuk ke neraka pun aku tidak takut. Aku akan sangat berhati-hati. Kalaupun aku masuk ke dalam perangkapnya, aku akan mati seperti Wulan. Aku sudah siap.” “Jangan gila, Niken. Kamu tidak akan berkata seperti ini kalau kamu mengenal Dion. Pada saat kamu menyadarinya nanti, semuanya sudah terlambat. Kamu bisa kehilangan segala-galanya. Cita-cita, harga diri, kebebasan.” “Bantulah aku, Sadu. Kamu satu-satunya yang dapat menolongku.” pinta Niken tidak menghiraukan kata-kata Sadu. Melihat Niken tidak bisa dibujuk lagi, Sadu akhirnya berkata, “Baiklah, tapi kamu harus janji, aku harus kau ikut-sertakan dalam rencana balas dendammu. Aku harus berada di sampingmu dan bertanggung jawab atas keselamatanmu. Kalau tidak, aku tidak akan membantumu.” Tanpa berpikir panjang lagi, Niken menyanggupi. Dua orang selalu lebih kuat daripada satu. :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 3 Sejak saat itu Niken jadi rajin membuat tugas-tugas kuliahnya. Dia pun menggantungkan drum sticknya. Tadinya rekan-rekannya menolak dengan keras, tapi akhirnya mereka mau melepaskan Niken dengan catatan Niken tetap mengaransemen lagu-lagu mereka. Keluarnya Niken dari band ini juga atas perintah Sadu. Karena Sadu juga tak ingin kuliahnya terganggu, Niken harus mengikuti syarat-syarat yang diajukan oleh Sadu. Misalnya, siang hari hanya untuk kuliah. Niken tidak boleh tidak masuk satu jam kuliah pun. Sadu membuat jadwal yang ekstensif, isinya kegiatan belajar Niken selama seminggu. Jika tugas yang dijadwalkan hari itu sudah selesai, barulah Sadu mau membantu Niken. Seperti sore ini, Niken sudah menyelesaikan jadwal tugasnya hari ini yaitu belajar untuk ujian pra-semester. Sadu sendiri yang menanya-jawabi Niken dan dia cukup puas dengan jawaban-jawaban Niken. Setiap sore Sadu selalu pergi ke rumah kost Niken dan mengecek tugas hari itu. Kalau Niken melakukan tugasnya dengan baik, dia akan memberikan informasi yang cukup banyak mengenai Dion. Hari ini Sadu membawa tas olah raga yang cukup besar. Bunyinya gemerincing waktu ditaruhnya di atas meja. “Pelajaran sore ini sangat penting. Mungkin aku tidak akan bisa mengulangnya lagi, jadi perhatikan baik-baik,” kata Sadu. Sambil berkata begitu, dia membuka tas olah raga yang di atas meja itu. Pertama-tama yang dikeluarkannya adalah dua botol anggur merah. “Lihat ini.” kata Sadu kemudian. Tangan kirinya memegang sebotol anggur, tangan kanannya memegang pembuka botol. Perlahan-lahan, selangkah demi selangkah, dibukanya botol itu. Pertama-tama plastik penutup bagian atas dirobeknya dengan bagian ujung runcing pembuka botol. Ditaruhnya botol itu di atas meja, lalu ujung runcing pembuka botol itu ditusukkannya ke tutup botol itu. Dengan satu tangan, diraihnya mulut botol dan bagian bawah dari pembuka botol. Dengan tangan yang satunya lagi ia memutar handel atas pembuka botol itu searah jarum jam, sampai pembuka botol itu sudah masuk seluruhnya ke dalam tutup botol. Lalu dengan satu tangan ditutupkannya handel kiri-kanan pembuka botol itu, membuat tutup botolnya mencuat ke atas keluar dari botolnya. Semua dilakukannya dengan sangat hati-hati tapi sistematik, supaya Niken dapat dengan mudah melihatnya. “Bagaimana? Mudah kan? Coba kau lakukan.” Diacungkannya tutup botol dan botol satunya yang belum terbuka ke arah Niken. “Bilang dong dari tadi kalau cuma mau membuka botol. Aku sudah bisa.” Niken lalu menerima kedua benda itu dari tangan Sadu, membuka botol tadi, pelan-pelan menirukan gaya Sadu tadi. Ketika tutup botol mencuat, Niken lalu berkata geli, “Ayo, tepuk tangan untukku.” “Kenapa tidak kau cegah aku membuka botol tadi?” tanya Sadu bingung. “Karena kamu nggak bilang mau ngapain. Walaupun aku sudah tidak takut lagi padamu, tapi kita masih tetap kurang komunikasi. Kamu cuma bicara seperlunya, sementara aku cuma mendengarkan saja.” Niken mengutarakan uneg-unegnya. Sadu yang dikritik diam saja. Melihat ke arah Niken pun tidak. “Tuh kan. Coba, tadi kamu pas datang kemari. Ingat-ingat, apa kamu tadi bilang ‘Hallo Niken’ atau ‘Selamat sore, Niken’? Mana ada. Kalimat pertamamu selalu ‘Sudah selesai?’. Kamu kaku sekali, Sadu. Kamu tadi kan menganggap aku belum bisa membuka botol, tanpa menanyakan apakah aku pernah membuka botol, atau apakah aku pernah melihat orang buka botol.” Panjang lebar Niken berkomentar tentang kekakuan si Drakula. Pakai contoh kalimat, pula. “Jadi kamu mau aku kalau datang bilang ‘Hallo, selamat sore, Niken’ terlebih dahulu, baru kemudian ‘Sudah selesai?’” tanya Sadu kemudian. Dilihatnya Niken begitu berapi-api, mungkin hal ini sangat penting buat Niken, pikirnya. Niken tambah gemas. Cowok di depannya ini seperti dibesarkan oleh beruang di dalam hutan. Sebutan drakula mungkin tidak lagi cocok untuknya. Mowgli lebih cocok. “Ya sudahlah,” Niken mendesah. “Terserah kau.” Sadu mengangkat botol anggur itu, lalu mengambil gelas anggur dari dalam tasnya. “Seperti kantong Doraemon saja tasmu itu. Apa saja isinya?” tanya Niken menunjukkan keingin-tahuannya. Sadu diam saja. “Lihat. Begini caranya minum anggur.” Baru saja dia mendekatkan mulutnya ke arah mulut gelas, Niken sudah protes lagi. “Minum pun harus diajari?” Sadu meliriknya dengan pandangan yang tajam. Tidak mempedulikan protes Niken, dia lalu menghirup udara dari dalam gelas itu, baru meminumnya secicip. “Sekarang kamu.” Diputarnya gelas itu seratus delapan puluh derajat, baru diberikannya kepada Niken. “Kamu kenapa, sih? Kena AIDS? Kenapa nggak sekalian saja pakai gelas yang baru?” “Jangan banyak protes.” ujar Sadu galak. “Aku cuma bawa satu gelas.” Niken geli melihat ekspresi wajah Sadu. Tapi dia tidak berani tertawa. Dengan serius ditirukannya cara Sadu meminum anggur tadi. Setelah satu cicip, diangkatnya gelas tadi sambil bertanya, “Bagaimana? Bisa tepuk tangan sekarang?” Sadu cuma mengangguk-angguk tanda puas. Dia lalu mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya. “Aku boleh tanya sesuatu?” tanya Niken kemudian. “Aku paling nggak suka orang yang bertanya apakah dia boleh bertanya sesuatu. Kalau aku jawabnya nggak boleh, apa kamu benar-benar akan urung bertanya?” Nah, kan, kalau ditanya selalu malah balas bertanya dengan nada yang tidak enak, batin Niken. “Kenapa kamu mau membantuku? Biar bagaimanapun, Dion itu kan kakakmu?” Niken mengemukakan pertanyaannya dengan lugas, bahkan tidak mempedulikan pertanyaan retorik Sadu tadi. Satu detik, dua detik, tiga detik. Tidak ada reaksi sama sekali dari orang yang ditanya. “Kamu tidak perlu menjawab pertanyaanku kalau memang tidak mau menjawab,” kata Niken kemudian. “Aku tidak suka orang yang menghindari pertanyaan.” Setelah berkata begitu, Niken lalu duduk membelakangi Sadu. Dalam hati ia resah, baru kali ini dia menghadapi orang yang sulit diajak berkomunikasi seperti ini. Parahnya, justru orang yang sulit diajak berkomunikasi itu adalah satu-satunya orang yang dapat membantunya. “Aku... Sebetulnya...” kata Sadu akhirnya setelah diam beberapa lama. “Sudahlah.” potong Niken. “Anggap saja aku tidak pernah bertanya.” “Aku tidak ingin kau salah paham denganku. Kamu pada satu waktu akan mempertanyakan motifku. Kenapa Sadu mau membantu Niken menyalahi kakak kandungnya sendiri?” “Lah, kamu tanya padaku, aku suruh tanya siapa?” tanya Niken masih membelakangi Sadu. “Aku belum selesai, kamu sudah ribut lagi.” keluh Sadu. Niken lalu membalikkan badannya, diam saja mengigit jarinya sambil menatap kedua bola mata Sadu, mengharap Sadu akan bercerita lebih banyak. Setidaknya sepatah atau dua patah kata lagi, lah. Ternyata Sadu tidak hanya meneruskan barang sepatah dua patah kata. Dia bercerita panjang lebar, bagaimana dari kecil sampai sekarang dia tidak pernah akur dengan kakaknya. Dion yang delapan tahun lebih tua dari Sadu, adalah kakak pertamanya. Kakak keduanya adalah wanita dari rumah berpagar coklat yang pernah ditemui oleh Niken. Sejak kecil Dion memang nakal. Waktu SD dia tinggal kelas tiga kali, SMP dua atau tiga kali. Sadu sudah tidak bisa menghitung lagi. Sudah berpuluh-puluh kali Dion pindah sekolah karena bermasalah. Berkelahi, merokok, masalah apa saja pernah dilakukannya. Bahkan waktu SMA mereka pernah satu sekolah. Sedari kecil dia malu punya kakak yang liar seperti Dion. Semua orang menunggu-nunggu apakah dia akan jadi seperti Dion. Saat kakaknya yang perempuan sudah kuliah, ada seorang teman Dion yang naksir dia. Dion memanfaatkan keadaan itu. Dia ‘menjual’ adiknya sendiri, kakak Sadu itu, dengan harga yang sangat mahal. Tentunya tanpa sepengetahuan dan sepertujuan kakak Sadu. Dapat uang banyak, dan pergaulannya yang luas, Dion berkembang pesat menjadi pangeran muda dunia hitam. Kakak Sadu hamil tanpa suami, ayahnya meninggal karena stroke, dan ibunya bunuh diri tak lama kemudian. Sadu tentu saja menganggap Dion orang yang bertanggung jawab atas semua hal ini. Selama ini Sadu mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang kakaknya yang bengal itu. Setiap kali dia ingin melakukan sesuatu untuk menjatuhkan Dion, niat itu selalu harus diurungkannya karena Dion selalu sudah selangkah lebih dulu darinya. Entah kenapa Dion selalu mengetahui rencananya, dan berhasil menyabotasenya sebelum rencana tersebut dilaksanakan. “Karena itu kali ini aku harus merencanakannya dengan sempurna,” tutur Sadu mengakhiri cerita panjang lebarnya. “Kamu pikir aku membantumu? Aku lah yang sudah ingin melancarkan serangan ini sejak beberapa tahun yang lalu. Aku harap kamu bisa membantuku. Maka sekarang tugasmu adalah mengikuti semua petunjukku. Betapapun membosankan. Setelah aku merasa kamu sudah siap barulah kita beraksi. Aku tidak ingin gagal lagi.” Niken terpana. Tak disangkanya di balik wajah yang muram itu tersimpan kebencian yang begitu mendalam. “Maafkan aku, Sadu. Aku tidak tahu masa lalumu sepedih itu. Salut deh kamu bisa melalui semua itu dan masih bisa berdiri tegak begitu.” “O ya,” kata Niken lagi, “Akhirnya aku menemukan satu kesamaan di antara kita berdua. Kita sama-sama yatim piatu.” “Kamu juga...?” Pertanyaan Sadu terhenti ketika hp Niken berdering. Rupanya Pandu yang sedang kesal karena emailnya sudah berhari-hari tidak dibalas. Setelah telepon ditutup, Niken menceritakan kisahnya. Latar belakang keluarganya, bagaimana orang-tuanya bisa meninggal, dan tentang Pandu dan cintanya. “Kenapa kamu tidak pernah bilang sebelumnya kalau kamu sudah punya pacar?” keluh Sadu. “Kita harus menghentikan semuanya sebelum terlambat.” “Menghentikan apa? Menghentikan rencana kita? Tidak bisa.” Niken menggeleng. Apa-apaan? Hati dan pikirannya sudah dicurahkan seluruhnya untuk itu. “Aku cuma bisa mengusahakan keselamatan kita berdua. Itupun aku tidak 100 persen yakin bisa. Kalau masih harus menyelamatkan cintamu juga, rasanya aku tidak sanggup.” “Maksudmu?” Niken masih tidak mengerti. “Aku tidak bisa menjamin di akhir semua ini, kamu akan tetap memiliki seorang Pandu.” Mata Niken berkaca-kaca. Baru dihadapkan dengan kemungkinan akan kehilangan Pandu saja rasanya sudah sedih sekali, apalagi kalau benar-benar harus kehilangan dia. Tapi tekadnya sudah bulat. Tidak ada yang bisa menghalanginya lagi. “Aku sudah menceritakan hal ini pada Pandu. Maksudku bukan detailnya, karena kamu sudah pesan untuk tidak mengatakannya pada siapa-siapa. Tapi dia sudah tahu tentang niatan ini dan dia bilang dia akan support aku sepenuhnya.” “Jadi kamu sudah yakin? Walaupun dengan resiko kehilangan cintamu? Apakah hasilnya nanti akan setara dengan pengorbananmu, kita pun masih belum tahu. Apakah Pandu tahu dia mungkin akan kehilangan kamu? Tidak cuma dalam artian putus, tapi misalnya kamu meninggal? Apa dia rela?” “Ini hidupku, bukan hidup Pandu. Rela tidak rela, yang akan terjadi harus terjadi. Aku pasrah saja. Hidupku kuserahkan dalam tanganmu. Jangan kecewakan aku.” Sadu sebetulnya masih ragu, tapi dilihatnya Niken sangat ngotot, dia lalu ingat akan barangbarang di dalam tasnya. Dia lalu menumpahkan seisi tasnya ke atas meja bundar itu. “Ini... dari mana kamu dapat barang-barang ini?” tanya Niken. Menyentuh pun dia tidak berani. Segala macam obat-obatan dan narkotika ada di situ. Ada dua buah jarum suntik di dalam bungkus sterilnya pula. Ada korek api dan kertas aluminium foil. “Bukan hal yang sulit untuk mendapatkan semua ini. Tapi aku cuma akan memperagakan sekali. Kamu harus mengingatnya baik-baik.” Begitulah Niken harus mengingat-ingat semua nama sebutan dari setiap benda, bentuk dan warnanya, efek sampingnya, cara menggunakannya, cara meraciknya, dan lain lain. Semuanya dengan sukarela diperagakan oleh Sadu, dalam dosis yang kecil sekali, tentunya. Tapi biarpun begitu, karena banyaknya, pada akhirnya Sadu kewalahan juga. “Cukup, Sadu. Kamu tidak perlu memperagakannya.” Niken ngeri dan hendak menutup matanya waktu Sadu menyilet tangannya dan membubuhkan sedikit bubuk putih ke atasnya. “Jangan tutup matamu. Kamu harus berani. Lihat.” perintah Sadu. Dua detik kemudian dia memejamkan matanya sambil mengejan. Sepertinya efeknya sudah dirasakannya. Sepertinya sudah dari tadi. “Sadu? Kamu tidak apa-apa?” tanya Niken cemas. Diguncang-guncangkannya badan Sadu. Sadu memberi isyarat pada Niken untuk diam. “Biarkan aku tidur sebentar.” kata Sadu lirih. Ia lalu menyandarkan tubuhnya pada tembok dan tertidur di situ. Lama sekali Sadu tertidur duduk di situ. Niken duduk bersimpuh di sampingnya, sejengkalpun tidak berani beranjak. Dia takut sewaktu-waktu Sadu akan siuman dan membutuhkan bantuannya. Bola mata Sadu kadang terlihat berdenyut-denyut di balik kelopak matanya. Baru kali ini Niken membiarkan pria lain, selain Pandu, tidur di dalam kamarnya. Dan Sadu tidur di situ semalaman, tidak bergeming sedikitpun. Waktu membuka matanya lagi, Sadu mendapati wajah Niken yang cemas menatapnya. “Takut?” Niken mengangguk. “Jangan takut. Kamu lihat aku menggunakannya sedikit-sedikit sekali? Nanti aku ajarkan trik supaya terlihat sudah memakai banyak padahal yang masuk cuma sedikit. Ini karena aku memakai dalam jumlah lebih banyak dari biasanya. Maaf, tapi kamu harus mencoba supaya tubuhmu terbiasa. Aku akan mengajarimu dan di sisimu selalu. Jangan pernah melakukannya saat aku tidak ada. Oke?” Niken mengangguk lagi. Sebetulnya ia masih merasa gemetaran, tapi memandang wajah Sadu yang begitu meyakinkannya, kekhawatirannya sedikit terangkat. Sadu lalu mengetesnya dengan menunjuk dan menanyakan nama-nama benda-benda yang berserakan di sekitar mereka. Niken seperti biasanya berhasil menyebutkan satu-persatu dengan sempurna. Diam-diam Sadu kagum akan kepandaian Niken. Lebih kagum lagi akan ketegarannya. Setelah Niken selesai, Sadu bertepuk-tangan dengan semangat. Niken tadinya bingung dan kaget melihat Sadu bertepuk tangan begitu. Lalu dia teringat, semalam dia dua kali menggoda Sadu untuk bertepuk tangan. “Tidak kusangka sense of humourmu lumayan juga,” Niken mengakui kehebatan Sadu. Bahkan saat tersenyum begitu kau juga terlihat begitu tulus, tambahnya dalam hati. * Jangan pernah tinggalkan aku Jangan sekalipun berkata Cinta kasih kita tak punya hari esok Tinggallah sebentar lagi Temani aku melewatkan malam ini Aku tak berarti sendiri tanpamu Jika aku harus menghapusmu Nafas terakhirku akan mengiringi Kepergianmu esok hari “Apa ini, Niken?” tanya Sadu waktu mereka belajar bersama siang itu. Niken mengangkat kepalanya memandang kertas yang dipegang oleh Sadu. “Oh!” ujar Niken sambil merampas kertas itu dari tangan Sadu. “Ini... lirik lagu, tapi belum selesai. Kemarin malam aku tidak bisa tidur, iseng-iseng membuat lagu buat anak-anak band.” “Tak kusangka...” Niken menunggu lanjutan kata-kata Sadu, tapi sia-sia. Sadu sudah menunduk lagi menenggelamkan diri dalam bukunya. “Apa yang tak kamu sangka?” tanya Niken penasaran. Sadu lalu melanjutkan kata-katanya. Soalnya dia melihat Niken sudah mengepalkan tangannya di atas meja sambil memegang bolpen. Bisa bahaya kalau bolpen itu dijadikan senjata rahasia. “Kamu sepertinya orang yang nekad dan sangat keras kepala. Tak kusangka ada orang yang bisa tahan pacaran denganmu. Pada awalnya aku sama sekali tidak mengira kamu punya pacar, bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana kamu bisa berpacaran.” “Ini hinaan, ya?” tanya Niken bingung. “Sebetulnya nggak juga. Kan kamu betul-betul pacaran. Aku sudah mendengar sendiri kamu menelepon Pandu. Cuma aku salut sama dia, dia pasti orang yang sabar luar biasa. Juga selamat untukmu, berhasil menemukan cowok seperti dia.” “Benar-benar menghina, rupanya!” seru Niken. “Kurasa dia juga beruntung bisa berpacaran denganku!” tambahnya. “Iya beruntung sekali tentunya. Kamu makhluk yang spesial, sudah tergolong langka dan harus dilestarikan. Seperti barang antik. Mendingan dijual ke museum saja, siapa tahu bisa jadi jutawan.” Niken bengong. Sadu tidak pernah mengolok-olok orang seperti ini. Dia terkejut karena tidak siap sama sekali dikatai seperti itu. Kalau yang dihadapinya adalah orang lain, dia pasti sudah membalas dengan kata-kata yang sama pedasnya. Kali ini dia benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Setelah terkejutnya lenyap, Niken akhirnya berkata, “Sejak kapan kamu bisa bergurau begitu? Kukira kamu orang yang dibesarkan oleh beruang, tidak pernah bersosialisasi dengan orang lain. Masih bingung siapa yang mengajarimu bahasa manusia.” “Kamu kalau bertemu teman-teman eks-SMPku, kalau ditanya apa kenal Sadu Sahara, pasti bilang aku orang yang ngocol dan ceria.” kata Sadu. Sesudah berkata demikian, Sadu heran pada dirinya sendiri, kenapa musti bilang seperti itu pada Niken. Aneh, dia suka sekali bicara dengan Niken. Mungkin karena Niken penuh energi dan juga membawa keceriaan pada orang yang dekat dengannya, sekaligus mengingatkannya pada jati dirinya. Mungkin karena dia rindu akan gaya hidupnya yang dahulu. Mengenang masa lalu yang begitu penuh warna, Sadu jadi sedih melihat bayangan sosok gelap dirinya yang sekarang. Niken percaya. Pasti kepahitan hidupnya lah yang telah merenggut tawa dan keceriaan itu. Melihat air muka Sadu berubah muram, Niken jadi ingin menghiburnya. “Kamu tahu tidak, sebelum aku mengenalmu, aku selalu mengasosiasikan kamu dengan drakula. Drakula penyedot darah... Bahkan pernah muncul di mimpi burukku, mengejarngejarku....” kata Niken sambil menyeringai. Kedua tangannya membentuk cakar, giginya diperlihatkan semua. “Sekarang masih begitu?” “Nggak. Drakulanya sudah rada jinak.” jawab Niken dengan nada riang. “Siapa bilang? Aku sedang haus daraaaah...” Suara Sadu dibuat seserak mungkin, ganti kedua tangannya yang menyakar, dan memperlihatkan gigi-gigi taringnya. Semakin lama kedua tangannya yang membentuk cakaran itu semakin dekat dengan leher Niken, seperti mau mencekiknya. “Jangan... tolong...!!! Tolooooooong...!!!” pekik Niken lalu cepat berdiri dan berlarian keliling kamar. Tentu saja dia tahu Sadu hanya bercanda dengannya, tapi dia juga ingin menanggapi candanya. Sadu tidak mempedulikan teriakan Niken. Dia terus ikut mengejar Niken. Niken lalu naik ke atas meja tulisnya. Sadu juga mengejarnya naik ke situ dan mendekatinya, seakan-akan hendak menghisap darah dari leher jenjang Niken. Sampai saat mereka sudah begitu dekat, baru Niken sadar, dia tidak pernah sedekat ini dengan cowok selain dengan Pandu. Kesadaran itu membuatnya gugup, jantungnya berdebardebar. Niken bahkan kuatir Sadu akan dapat mendengar betapa kencang degup jantungnya saat itu. Karena gugupnya, tanpa sadar dia sudah berada di pinggir meja sementara kaki kirinya sudah melangkah ke belakang. Karena tahu Niken hampir jatuh, Sadu dengan sigap meraih pinggang Niken dan membawanya kembali dekat dengannya. Satu dua detik mereka saling bertatapan begitu dekat. “Kamu apa-apaan, Niken?” tanya Farah, teman sekostnya, yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar Niken. Niken memang tidak pernah mengunci kamarnya bila ada tamu. Bahkan tadi pintunya dibiarkan terbuka. Sadu segera melepas pegangannya dari pinggang Niken. Niken juga cepat-cepat melompat turun dari atas meja, diikuti oleh Sadu. “Kamu mengejutkan orang sekost, tahu? Kirain kamu diapain, koq berteriak tolong-tolong.” kata Farah lagi. “Tidak ada apa-apa, koq.” jawab Niken malu. “Kami cuma sedang bercanda.” sambung Sadu. “Ya sudah, bercanda jangan keterlaluan ya.” kata Farah lalu keluar lagi dari kamar Niken. Begitu Farah berlalu, Sadu juga cepat-cepat memberesi buku-bukunya dan mengeloyor keluar dari kamar Niken tanpa pamit. * Pandu tertawa terbahak-bahak di telepon waktu Niken melaporkan tentang kejadian siang tadi. “Koq kamu malah ketawa?” tanya Niken. “Bisa kubayangkan betapa pucatnya wajahmu saat itu. Bisa-bisa nanti malam kamu mimpi buruk sampai mengigau dalam tidurmu. Atau malah tidak bisa tidur sama sekali! Aku nggak heran kalau kamarmu sekarang sudah kamu lumuri bawang putih...” Pandu tak sanggup menahan gelak tawanya lagi. Niken cemberut. Bagaimana mungkin Pandu malah tertawa? Reaksi yang dibayangkan oleh Niken sebelumnya adalah cemburu atau marah, atau lantas melarang Niken bertemu lagi dengan Sadu. Ini malah...? “Nggak cemburu?” tanya Niken memancing. “Cemburu? Cemburu sama Sadu? Perlukah aku cemburu sama dia?” Pandu balik bertanya. “Siapa tahu kamu cemburu, toh Sadu seorang laki-laki. Kalau kamu bertanya apa aku ada rasa sama dia, jawabannya jelas tidak.” jawab Niken. “Aku nggak cemburu, dan aku percaya padamu. Apalagi kamu sudah bilang begitu, aku sama sekali nggak kuatir.” Memang benar, bahkan sebetulnya Pandu merasa bersyukur atas kemunculan seorang Sadu di dalam hidup Niken. Sepertinya sejak mengenalnya, kuliah Niken jadi jauh lebih teratur. Pandu jadi tidak perlu mengkuatirkannya lagi. Tadinya ia mengira Niken akan harus mengulang beberapa mata kuliah, tapi kelihatannya sekarang Niken sudah bisa mengejar ketinggalannya. Malam itu Sadu datang lagi, seperti biasanya. Layaknya matahari yang setiap hari selalu dijadwalkan untuk terbenam, Sadu pun setiap hari datang ke rumah kost Niken. Meskipun dari sore tadi hujan deras mengguyur kota Jakarta sampai beberapa daerah kebanjiran, Sadu tetap datang dengan motornya. Niken mengira malam ini Sadu tidak akan datang karena kikuk dengan kejadian tadi siang. Tapi nyatanya tidak, Sadu bersikap sepertinya tidak terjadi apaapa. Karena Sadu sudah datang dan tidak mempermasalahkan peristiwa tadi siang, Niken juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengungkit-ungkitnya lagi. “Apa kamu tidak takut masuk angin?” gerutu Niken ketika membukakan pintu sambil membawa payung. Yang dipayungi malah menunjukkan sikap seperti tidak butuh perlindungan dari hujan. “Payungnya di sini, kamu malah ngeloyor ke sana.” teriak Niken berusaha mengalahkan suara hujan. Ketika keduanya sama-sama sudah masuk ke dalam kamar Niken, Sadu berkata, “Buat apa aku dipayungi? Toh sudah basah kuyub. Tambah basah sedikit juga tidak apa-apa.” Tubuh Sadu dari atas sampai bawah basah kuyub. Lantai kamar Niken jadi ikut basah karena air yang menetes dari tubuh Sadu. Niken lalu mengambil handuk dan keset. Ditaruhnya keset itu tepat di depan kaki Sadu. “Berdiri di sini, jangan ke mana-mana. Aku harus mengepel lantai dulu.” Sambil berkata begitu, diberikannya handuk yang diperuntukkan untuk mengelap badan Sadu. Sadu menuruti saja kata-kata Niken. Rupanya tadi sepatu boot-nya juga lupa belum dicopot jadi meninggalkan jejak kotor dari serambi sampai ke dalam kamar Niken. Begitu Niken selesai mengepel ruang depan, dia langsung kembali masuk ke kamarnya, menyemprot Sadu dengan galak, “Lihat nih, kamarku belum pernah sekotor ini!” Tak urung Sadu jadi merasa bersalah. Jarak antara serambi sampai pintu kamar Niken cukup jauh, kasihan juga Niken harus mengepel jejak sepatu boot-nya yang kotor. “Sini, biar aku yang mengepel kamar ini,” kata Sadu beranjak bermaksud mengambil kain pel itu dari tangan Niken. Sebelum Sadu sempat menginjakkan kakinya keluar dari area keset, Niken sudah menghardiknya, “Jangan coba-coba melangkahkan kakimu keluar dari keset!” Sadu sampai terkejut dan spontan menarik kembali kakinya dan berdiri dengan tegak di atas keset biru itu. “Kesinikan sepatu maksiatmu itu. Akan aku taruh di luar.” ujar Niken kemudian. Sadu pun mencopot sepatunya satu-per-satu dan diberikannya pada Niken. Dia sadar, meskipun sepatunya adalah biang kotoran dan sudah disingkirkan, badannya masih penuh air. Jika ia melangkah keluar dari keset, sia-sialah Niken mengepel ruangan ini, dan ia pasti akan tambah marah. Jadi sambil terus berdiri di situ, ia membiarkan saja Niken yang sedang mengepel kamarnya sambil terus bersungut-sungut. Ketika selesai mengepel lantai, Niken melihat Sadu yang tengah berdiri di atas keset. Ekspresi wajahnya tak terkatakan lucunya. Takut, menyesal, bingung, kasihan, bercampur menjadi satu. Basah kuyup pula! Niken tak dapat menahan senyumnya. “Kalau kamu begitu terus, nanti pasti sakit. Paling tidak ganti bajumu dengan ini,” kata Niken mengambilkan kaos tidurnya yang berukuran besar. Sadu masih tidak berkata apa-apa, menuruti yang dikatakan Niken. Sekarang wajah lucu itu memakai baju bergambar koala. Baju itu kalau dipakai Niken begitu longgar, tapi sekarang dipakai oleh Sadu terlihat agak sesak. Niken tambah geli melihat ekspresi wajah Sadu yang masih belum berubah. “Wajahmu begitu lucu, Tuhan pun akan tertawa melihat hasil ciptaanNya yang gagal ini.” Niken tertawa melihat pemandangan kocak di hadapannya itu. “Kau begitu galak, kalau kamu mati, begitu kamu muncul di gerbang akhirat, penjaga pintu pasti langsung akan membukakan pintu karena takut kamu damprat.” balas Sadu tak mau kalah. Niken membelalakkan matanya. Kata-kata Sadu tadi dianggapnya sebagai tantangan. Tantangan untuk terus mengolok-oloknya. “Kamu begitu membosankan, bahkan bayanganmu pun sudah berpikir akan segera meninggalkanmu.” “Nilai-nilai di kertas ujianmu jelek-jelek, bahkan penjual kacang pun malu berdagang memakai kertas bekas kertas ujianmu.” “Baju yang kamu pake itu-itu saja, pengemis pun enggan memakai baju bekasmu.” “Bajuku kenapa? Bajuku keren.... daripada kaos bergambar koala ini?” tuding Sadu pada kaos yang dipakainya. “Keren apanya? Kamu sebetulnya punya berapa baju sih? Sepertinya cuma dua. Satu warnanya item, satu warnanya abu-abu. Mending kaos koalaku itu, cute!” Niken membela kaos koalanya. Ketika Sadu agak lama terdiam, Niken menyahut lagi, “Kenapa, sedang menghitung berapa banyak bajumu? Sudah kubilang cuma ada dua!” “Iya, baru kusadari semua bajuku warnanya gelap, yah?” Sadu menggumam. “Kaos koala itu kuhadiahkan untukmu untuk membuat iri baju-bajumu yang lain.” ujar Niken kemudian. Dia juga malas memakai kaos itu lagi karena sekarang sudah dipakai oleh Sadu. “Terima kasih.” kata Sadu. Sepertinya dia sudah lupa semenit yang lalu dia masih asyik menggoda Niken. “Ada apa?” tanya Niken heran melihat perubahan sikap lawannya. “Ada yang mengganggu pikiranmu?” “Aku baru ingat, aku harus beli baju baru.” jawab Sadu. Niken bengong. Mungkinkah pengaruh dirinya begitu besar terhadap Sadu, sampai satu cercaan tentang baju darinya saja membuat air muka Sadu berubah begini? Sadu akhirnya menyadari dia telah membuat Niken bingung. “Sepupuku akan menikah. Dion pasti akan hadir dalam pernikahan ini. Ini saat yang tepat untuk memperkenalkanmu pada Dion.” Niken terperanjat mendengar perkataan Dion barusan. Dia tahu hari itu akan tiba, tapi tidak disangkanya akan tiba secepat itu. “Apakah menurutmu aku sudah siap?” tanya Niken memastikan. “Anggap saja ini tes untuk menguji kesiapanmu. Ini kesempatan yang baik karena kita akan bertemu Dion di tempat yang ‘netral’. Dion juga tidak akan macam-macam dalam sebuah acara keluarga. Aku akan memperkenalkanmu padanya, sebagai pacarku.” “Apa?!” Niken kaget. Apa dia tidak salah dengar? “Kalau tidak sebagai pacarku, apa tidak aneh aku membawa seorang wanita ke dalam acara perkawinan seperti itu?” Niken berpikir sebentar, lalu berkata, “Baiklah, tapi aku harus minta bilang sama Pandu dulu.” “Boleh saja. Tapi nantinya akan ada hal-hal yang kamu harus putusi sendiri, tidak akan sempat meminta ijinnya. Kamu tahu itu.” Sadu mengingatkan. Niken mengangguk. Hatinya girang sekaligus cemas. Girang karena dia sudah selangkah maju mendekati arah tujuannya, cemas memikirkan resiko yang terkait untuk meraih yang ditujunya. Dirinya bagaikan sedang mendayung sebuah perahu di tengah samudra yang luas, dengan Sadu sebagai penunjuk arahnya. Di sekelilingnya hanya terlihat air, entah kapan mereka akan berlabuh di pulau tujuan. Yang bisa dilakukannya hanya terus mendayung, sambil berharap agar daratan akan segera nampak di cakrawala. Apakah daratan itu pulau yang mereka tuju? * :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 4 Bolak-balik Niken menatap jam weker yang ditaruh di meja belajarnya. Setumpuk buku dan kertas fotocopy-an ada di depannya. Sudah dari subuh tadi dia bangun dan belajar, non-stop, cuma berhenti buat minum susu sekitar jam 10 pagi tadi. Sudah jam 2 siang, materi ujian Patologi Anatomi masih belum bisa dihafalnya dengan sempurna. Sadu kemarin sudah mengancam, kalau sampai jam 4 sore masih belum bisa juga, malam ini dia tidak akan jadi diajak pergi ke pesta perkawinan saudara sepupunya itu. “Sadu memang sadis!” teriaknya menumpahkan seluruh kekesalannya. Ujian masih besok Senin, ini kan baru hari Sabtu sore. Kenapa harus selesai dihafal sekarang? Buku diktat yang tebal itu dipukul-pukulkan ke kepalanya, seakan-akan dengan begitu, materi yang ada di dalamnya akan rontok merasuk ke otaknya. Seandainya saja bisa semudah itu, dia tidak perlu susah-susah menghafal seperti sekarang. “Ada apa mengataiku?” Sadu mengagetkannya. Dia sudah berdiri di depan pintu kamar Niken, entah sejak kapan, Niken tidak memperhatikan. Niken diam saja walaupun hatinya masih mengomel. Omelan itu tergambar dengan jelas di wajahnya walaupun mulutnya tak mengeluarkan suara satu desibel pun. Sadu otomatis tersenyum. “Belum selesai ya? Aku juga belum. Minggir, minggir sedikit, kasih tempat.” katanya sambil meraih kursi dari depan meja rias Niken. Diangkatnya kursi belajar Niken beserta orangnya lalu dipinggirkan sedikit supaya Sadu mendapat bagian meja. Niken otomatis memekik tertahan waktu kursinya terangkat, dengan dua tangannya kuat-kuat mencengkeram kursi yang didudukinya itu. Kalau tidak teringat akan waktu yang mengejar, Niken sudah akan beradu mulut dengan Sadu. Tapi dia tahu diri dan membiarkan saja Sadu menyita separuh bagian mejanya. Untuk menghadapi ujian hafalan seperti ini biasanya Niken membuat sendiri rangkuman dalam rupa poin-poin. Tapi karena waktunya cuma sedikit, dia hanya menyediakan satu lembar kertas yang cukup lebar untuk menggambar diagram dan menulis istilah-istilah penting yang sulit untuk dihafal. Berkali-kali perut Niken berbunyi karena protes sudah sejak pagi tadi tidak diberi masukan. Niken sama sekali tidak menghiraukannya dan terus membaca. “Apa yang disebut sistem reticuloendotelial?” Tiba-tiba sunyi senyap itu dipecahkan oleh suara lantang Sadu. “Kau bertanya padaku?” tanya Niken menunjuk hidungnya sendiri, dengan nada agak heran sambil melirik jam wekernya. Puji Tuhan, masih jam tiga kurang seperempat! pekiknya dalam hati. “Ya. Apa itu sistem reticuloendotelial?” Kali ini Sadu mengatakannya dengan agak cepat. Meskipun begitu, kata ‘reticuloendotelial’nya terdengar begitu jelas. “Ini masih jam berapa, koq sudah mulai tanya-jawab?” “Loh, aku benar-benar bertanya, malah dikira mengetes.” Niken tidak percaya. Anak jenius ini pasti sedang mempermainkannya. Sistem reticuloendotelial termasuk bahan materi umum. Kalau pertanyaan yang diajukan Sadu lebih spesifik dalam sistem reticuloendotelial, misalnya, apa fungsi sel kupffer dalam hati, itu masih bisa dipercayainya. Kalau cuma definisi sistem reticuloendotelial, tidak perlu membaca dan menghafal dari buku. Dengan hadir dan mengerjakan beberapa praktikum pun pasti bisa menjelaskannya dengan baik. Lagipula, tadi jelas sekali dia mengucapkan ‘reticuloendotelial’ dengan fasih. Kalau tidak tahu pasti tidak akan bisa mengucapkannya sefasih itu. “Maksudmu kamu nggak tahu apa arti sistem reticuloendotelial?” tanya Niken memastikan. “Betul. Kalau tahu, ngapain aku tanya?” “Karena kamu kurang kerjaan dan bermaksud menggangguku supaya aku tidak berhasil menghafal semuanya dalam waktu yang ditentukan.” jawab Niken berusaha menerka arah pembicaraan. Sadu tergelak. Sudah tentu dia tahu jawaban atas pertanyaannya tadi. Dia cuma khawatir Niken sebentar lagi akan jatuh pingsan karena kelaparan. “Kalau kamu sudah merasa yakin tahu apa itu sistem reticuloendotelial, ayo kita makan bakmi ayam di warung pojok gang. Aku belum makan siang, lapar. Kita teruskan belajarnya sesudah makan. Ayo!” Sambil berkata begitu, Sadu berdiri dan menutup bukunya. “Nggak bisa. Tinggal sejam lagi sudah jam empat. Sudah tidak banyak waktu buatku untuk menghafal. Aku baru mau makan sesudah lewat jam empat.” sahut Niken tegas. Dia tidak mau membuang-buang waktu berharganya. Dia sungguh-sungguh ingin pergi ke pesta itu. Bahkan dia sudah spesial membeli rok pesta. “Aku tahu. Kita teruskan besok saja. Kamu sudah berusaha mati-matian. Tanya jawabnya aku undur sampai besok jam empat saja.” “Tapi... Kenapa...?” “Aku nggak mau kamu jatuh pingsan di pesta. Dan lagi, kalau kamu mau datang ke pesta nanti malam, kamu harus tampil secantik dan sesegar mungkin. Aku nggak mau ada orang yang bilang aku berselera rendah punya pacar jelek.” “Aku tahu aku tidak begitu cantik, tapi aku juga tidak jelek!” protes Niken. Selama ini Pandu juga selalu memujinya manis. “Lihat tuh mata kamu hitam seperti panda. Mata hitam buat panda memang kelihatan cakep, tapi di kamu jelek sekali. Sudah sipit, hitam, seperti habis aku jotos saja. Nanti orang mengira aku orang yang ringan tangan, alias suka memukul ceweknya.” Niken spontan berdiri dan menatap wajahnya sendiri di depan cermin meja riasnya. Betul juga, pikirnya. Sudah beberapa malam ini dia kurang tidur karena mempersiapkan bahan ujian. “Jangan kuatir,” kata Niken kemudian. “Ini bisa ditutupi dengan foundation dan bedak.” Katakata Niken itu mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia harus meminjam make-up pada salah satu teman kostnya. Kalau cuma lipstik dia memang punya, tapi foundation dan bedak? Satu hal lagi, mungkin dia juga harus les make-up kilat dengan salah satu dari mereka. Duh, banyak sekali yang harus dilakukannya hari ini! “Mana? Meja riasmu bersih sekali cuma ada sisir doang. Mana bedak? Mana foundation?” Sadu teliti sekali dan dengan mudah bisa menebak kalau Niken tidak punya kosmetik dan alat-alat kecantikan. Sebenarnya memang tidak sulit untuk menebaknya, karena memang Niken tidak pernah terlihat menggunakan kosmetik apapun selama dia mengenalnya. Niken baru saja akan membantah, ketika Sadu sudah berkata lagi dengan suara keras, “Ayo! Kalau kamu nggak ikut aku sekarang, nanti malam juga nggak boleh ikut aku pesta.” Kasar sekali orang ini, batin Niken dalam hati. Ketika Sadu lalu menarik tangannya untuk menggandeng dan memaksanya ikut pergi, Niken kembali menarik paksa tangannya. “Aku bisa jalan sendiri.” Dalam hati sebetulnya Niken bersorak gembira karena tidak jadi tanya jawab sore ini. Dia memperkirakan kalau besok belajar dari pagi, sebelum sore pasti sudah hafal luar kepala. Begitu sampai di warung mie ayam, Sadu langsung berteriak “Pak Mo, mie ayam dua porsi cepetan yah!” Gayanya seperti sudah kenal lama sama si bapak yang jual bakmi. “Kenapa pesan dua porsi? Emangnya kamu yakin aku bakal pesen mie ayam?” tanya Niken. “Lho? Non, di sini jualnya cuma mie ayam, kamu mau pesen apa lagi? Tapi, tadi aku pesen dua porsi bukan buat kamu koq. Aku memang benar-benar sedang lapar.” Sadu berkelit. Huh, dasar egois, pikirnya. “Satu lagi mie ayamnya, Pak.” kata Niken lalu memesan untuknya sendiri. Begitu mie ayam Sadu selesai dibikin, yang dua porsi tadi itu, Sadu lalu menawarkan satu porsinya untuk dimakan Niken dahulu. Niken menggeleng. “Aku belum mau semaput. Masih kuat tahan kalau cuma lima menit lagi.” Dia bersikukuh tidak ingin menerima mie ayam Sadu karena jengkel dengan perkataan Sadu yang tadi. “Sudah, makan saja dulu.” kata Sadu sambil menyodorkan mie itu ke hadapan Niken. “Nanti kalau mie kamu datang, aku yang makan. Kan buat aku juga lebih enak, masih panas.” Karena tidak enak hati diperhatikan oleh bapak penjual mie ayam, Niken akhirnya menurut saja. Ketika beberapa menit kemudian bapak itu mendekat lagi untuk mengantarkan mie ayam yang sudah jadi, bapak itu bertanya, “Den Sadu, cewek cakep ini siapa? Pacarnya?” Niken menghentikan suapan bakminya. Dia heran kenapa bapak itu bisa tahu nama Sadu. Dia bahkan tidak memperhatikan pertanyaan bapak itu selanjutnya. Sementara dirinya masih terbengong-bengong, Sadu sudah menjawab, “Iya Pak, kenapa? Cakep yah?” katanya sambil merangkul pundak Niken. Niken langsung melotot dan hampir tersedak. Sambil susah payah menelan segerombolan bakmi yang sudah setengah masuk di kerongkongannya, Niken lalu berkata perlahan pada Sadu, “Apa katamu?” Sadu lalu menginjak kaki Niken, menahan Niken untuk tidak berkata apa-apa lagi. Niken yang cuma pakai sandal jepit spontan tambah mendelik. “Pantes nggak Pak, saya sama nona ini?” Sadu sudah terdengar berkata-kata gila lagi. Tangannya masih belum lepas dari pundak Niken. Malah sekarang wajahnya didekatkan sampai bersejajar dengan wajah Niken, seakan-akan bapak penjual bakmi itu adalah fotografer yang sedang akan memotret mereka. “Cocok sekali. Yang cewek cakep, yang cowok gagah. Memang jodoh!” kata bapak itu sambil berlalu. Niken masih mendelik, wajahnya seperti meminta penjelasan atas kejadian barusan. “Latihan, Nik. Malam ini kan kamu bakal disapa orang-orang sebagai pacarku. Jangan kaget begitu dong!” kata Sadu setengah berbisik. “Ini kaki tolong yah!” Niken langsung membentaknya. Sadu sungguh lupa kakinya yang satu masih di atas kaki Niken. Pantas saja wajah Niken sudah merah padam seperti ingin membogem-mentahkannya! Cepat-cepat diangkatnya kakinya yang tidak tahu diri itu. “Maaf.. maaf..” kata Sadu berulang-ulang sambil mengatupkan kedua tangannya seperti menyembah-nyembah Niken. Niken lalu meneruskan makan bakminya, sedetikpun tidak melirik ke arah Sadu. Tidak mempedulikan tingkahnya sama sekali. Padahal Sadu sudah pasang tampang sekocak mungkin untuk membuat Niken tertawa. “Masih marah?” tanya Sadu setelah melihat usahanya sia-sia. “Tumben kamu peduli apa aku marah atau tidak. Kamu tidak pernah peduli apa kata orang.” Niken masih berkonsentrasi pada bakminya. Heran, kenapa bakminya tidak habis-habis. “Ya sudah, terserah kau saja lah. Nanti aku jemput jam lima. Kamu sudah harus siap.” kata Sadu sambil beranjak pergi. Memang tidak tahu aturan, Niken bersungut-sungut dalam hati. “Untung saja aku bukan pacarnya sungguhan. Bisa mati ribuan kali karena kesal!” * Jam lima kurang seperempat. Sore tadi Niken berhasil membujuk Farah untuk mendandaninya. Waktu di kamarnya tadi, Farah sempat bertanya apakah Niken sudah putus dengan Pandu. Niken cuma menjawab dengan senyuman. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak ingin membocorkan rencana dan rahasianya itu pada siapapun. Tidak ada satupun orang yang bisa dipercayainya, kecuali Pandu, dan Sadu tentunya, yang memang terlibat dalam masalah ini. Wajar saja Farah menanyakan hal ini, karena Pandu dua minggu yang lalu saja masih datang ke rumah, dan masih terdengar rajin menelepon, tapi Niken hari ini terlihat rapi sekali mau kencan dengan orang lain. Sedangkan di pihak lain, Sadu juga tiap hari menyatroni kost Niken. Semua orang juga sering melihat mereka berduaan di kamar. Jadi siapa sebetulnya pacar Niken, tidak ada yang tahu pasti. Niken tidak peduli dan tidak ingin membenarkan atau menyalahkan gosip-gosip yang beredar di belakangnya. Hasil kerja Farah cukup bagus, Niken mengamati dirinya sendiri di depan kaca riasnya. Rambutnya yang sebahu disanggul dan diberi tusuk yang manis, sepadan dengan rok satin biru muda yang dipakainya. Make-upnya juga tidak terlalu menyolok. Pendek kata, Niken hari ini terlihat lain dari biasanya. Baru saja Niken melihat jam weker di meja tulisnya, dia mendengar suara ketukan dari luar pintu kamarnya. “Sudah waktunya. Niken, semangat!” kata Niken dalam hati, mengepalkan tangannya untuk menyemangati dirinya sendiri. Setelah menghela napas panjang, dia lalu memakai sepatu hak tingginya. Memakai sepatu ini memang sengaja dilakukannya pada saat-saat terakhir, karena dia paling tidak suka pada bagian ini. Semakin pendek waktu untuk memakai sepatu maksiat ini, semakin baik. Ketika Niken membuka pintu kamarnya, ternyata Sadu tidak berada di depan pintu. Ia sedang duduk di sofa depan dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya. “Ayo, sebelum rambutku memutih, kita berangkat.” ajak Niken. Sadu berdiri. Mereka lalu saling memperhatikan ‘kostum’ masing-masing. Sadu mengenakan jas hitam, kemeja biru tua dan dasi panjang hitam. Tanpa topi seperti biasanya, rambutnya disisir rapi. Niken tidak pernah menyadari betapa lebat dan indah rambut Sadu. Kalau rapi begini, pasti teman-teman ceweknya banyak yang naksir dia! “Kenapa kamu mengetuk pintu kamarku? Biasanya juga langsung masuk...” tanya Niken kemudian. “Psstt.. jangan merusak suasana. Aku tidak ingin bertengkar malam ini. Ingat, malam ini kita adalah pasangan yang dimabuk cinta. Jangan sampai membuat Dion curiga. Dia sangat pandai mencium ketidakberesan.” kata Sadu sambil melingkarkan tangannya ke pinggangnya sendiri, mengisyaratkan Niken untuk menggandengnya. Sebetulnya saat melihat Niken pertama kali tadi, jantung Sadu seakan lompat sampai menyentuh lantai. Ia hampir tidak percaya yang di hadapannya ini Niken yang setiap hari ditemuinya. Malam ini Niken terlihat feminin sekali, seperti layaknya seorang wanita. Sekilas mengingatkannya pada sosok ibunya. Ibunya yang cantik. Di balik rok satinnya juga terlihat lekuk tubuh Niken yang diberinya nilai delapan. Nilai sembilan dan sepuluh cuma diperuntukkan bagi fotomodel dan pragawati. Kalau saja tadi Niken tidak menanyakan perihal ketukan pintu, dia pasti sudah mengkhayal yang indah-indah. “Kita belum sampai di ‘panggung sandiwara’. Di ‘belakang panggung’ kita hanya teman biasa. Tolong ingat itu.” kata Niken sambil terus berjalan. Sampai di luar, Niken bingung karena tidak menemukan sepeda motor Sadu. “Kita jalan kaki?” tanyanya. Sadu menunjuk mobil sedan yang diparkir di seberang rumah. “Kamu kira aku tega melihatmu dandan cakep-cakep begitu lantas naik motor? Kalau mendadak hujan bagaimana?” Niken lalu mengikuti langkah Sadu menuju ke arah mobil yang ditunjuknya tadi. Tanpa disuruh, Sadu membukakan pintu untuk Niken. Hari ini dia sepertinya sungguh-sungguh berusaha menjadi seorang gentleman. Niken jadi tidak tega mengacuhkannya. Dia lalu mengucapkan terima kasih. Sepanjang perjalanan, Sadu tidak henti-hentinya bercerita ini-itu. Ia menceritakan kenakalannya waktu SMP. Bagaimana ia dan teman-temannya sering mengerjai guru-guru sampai pernah diskors beberapa hari. Ada guru wanitanya yang tidak tahan bau parfum. Suatu hari Sadu datang pagi-pagi membawa sebungkus tissue basah, dan seluruh permukaan kelas dibersihkannya menggunakan tissue basah sebelum pelajaran mulai. Papan tulis, daun pintu dan jendela, semua meja dan kursi, termasuk meja kursi guru, tidak ada satupun yang luput dari sapuan tissue basah yang wangi itu. Bahkan kapur-kapur yang tak berdosa pun dilapnya dengan tissue basah. Walhasil kelasnya pagi itu jadi wangi sekali. Bahkan bagi anakanak dari kelas sebelah yang tidak alergi pada wewangian pun tetap merasa wanginya sangat menusuk hidung. Kebetulan hari itu pelajaran pertamanya adalah mata pelajaran si guru wanita yang alergi bau parfum itu. Murid-murid pura-pura cuek dan berkata tidak merasa mencium bau aneh saat ditanya pada awalnya. Reaksi si guru sudah dapat ditebak. Dalam waktu beberapa menit saja, si guru yang naas itu sudah lantas bersin-bersin tiada henti sampai wajahnya merah padam mengenaskan, sampai akhirnya muntah-muntah dan minta ijin pulang. Pernah Sadu ribut-ribut di kelas sampai membuat marah guru matematikanya, lalu guru matematika itu melempar penghapus papan tulis ke arahnya. Malang bagi sang guru, Sadu sempat melihatnya sebelum penghapus itu mengenai wajahnya, lalu menunduk cepat-cepat, dan plaakkk!! Penghapus itu mendarat dengan mulus di jidat temannya yang gendut yang duduk di belakangnya, yang sama sekali tidak melihat ada bahaya mengancam. Besoknya guru itu diadukan oleh orangtua temannya itu kepada kepala sekolah. Malam-malam waktu Persami yang kebetulan tempatnya di dekat daerah pekuburan Cina, Sadu dan teman-teman segengnya berhasil membuat tunggang-langgang anak-anak sesekolahan beserta guru-guru pembimbingnya saat mereka menyamar menjadi hantu berkepala kambing. Ada satu anak laki-laki yang bahkan lari terbirit-birit tanpa celana karena sedang buang air besar waktu mendengar orang-orang berlarian dan berteriak-teriak ada hantu. Ekspresi wajah Sadu waktu bercerita sangat lucu, Niken senang melihat sisi Sadu yang seperti ini. Sadu terlihat seperti masuk dalam karakternya yang sebenarnya dan enjoy sekali. Katakatanya kocak dan nadanya sangat menyenangkan. Niken jadi betah berlama-lama mendengarkan cerita-cerita Sadu dan terus tertawa pada lelucon-leluconnya. Sadu sengaja berbuat begitu untuk mencairkan suasana, supaya di ‘panggung sandiwara’ nanti mereka bisa berakting dengan sempurna. Semakin melihat Niken gembira mendengarkan lelucon-leluconnya, semakin bersemangat dia meneruskan ceritanya. Mata Niken terlihat berbinar-binar saat mendengarkan ceritanya, dan bagi Sadu, hal itu adalah sebuah pemandangan yang teramat indah. Tidak terasa mereka sudah sampai di Bogor, dan sampai di depan sebuah villa yang pekarangannya sangat besar. Pesta perkawinan itu memang diadakan di halaman belakang villa pribadi milik paman Sadu. Halaman depannya saja selebar ini, apalagi halaman belakangnya, paling tidak ada satu hektar luas tanahnya. Kata Sadu, batas tanah di bagian belakangnya adalah sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih. Niken ingat, dalam salah satu penuturan Sadu, keluarga Sadu dari pihak ibunya memang tergolong konglomerat, karena kakek dari ibunya adalah salah satu pengusaha teh yang terkenal di Jawa Barat. Kakak ibunya, yaitu paman yang memiliki villa megah ini, adalah penerus usaha teh kakeknya. Ibu Sadu mendapatkan warisan dalam rupa uang, yang sayang sekali dalam waktu sekejab habis dibuat judi ayah Sadu. Harta keluarga Sadu yang tersisa sebelum ibu Sadu meninggal hanyalah hasil simpanan sewaktu menikah dulu. Sebelum meninggal, ibunya sempat membagi harta itu di antara Sadu dan kakak perempuannya. Di saat ibunya meninggal, ia bersumpah tidak akan memaafkan Sadu dan kakak perempuannya kalau sampai membiarkan Dion datang menyembahyangi jenasahnya. Ibunya juga berpesan pada mereka untuk sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang uang simpanan itu pada Dion. Kebenciannya pada anaknya sendiri itu dibawanya sampai mati. “Sudah siap?” tanya Sadu sambil mematikan mesin mobilnya. Niken tidak menjawab. Ia menatap Sadu seakan-akan ingin mendapatkan kekuatan starter dari matanya. Sadu memegang kedua pundak Niken sambil berkata, “Kalau aku nggak yakin, aku nggak akan membawamu kemari. Tugasmu sekarang adalah tampil sesempurna dan semenarik mungkin. Kurasa hal itu bukan hal yang susah, karena dari kost tadi sampai di sini saja kamu sudah berhasil membuatku hampir tak bisa berkedip. Bayangkan, bagaimana perihnya mataku kalau terus-terusan begini?” Sadu lalu membiarkan Niken yang termangu, ia turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Niken dari luar. Tangannya diulurkan untuk membantu Niken turun. Niken lalu tersenyum, membalas senyuman Sadu yang manis sekali barusan. Dengan riang digamitnya lengan Sadu lalu mereka berdua berjalan berdampingan. Begitu masuk ke halaman belakang tempat pesta, mata Niken mulai mencari-cari Dion. Niken tidak begitu mengingat wajahnya, waktu di hotel kumuh itu terlalu gelap dan waktu itu suasana hatinya sangat kacau balau. “Jangan dicari, biarkan dia yang datang pada kita.” kata Sadu berbisik mengingatkan, seperti tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Niken. Niken mengangguk. Sadu lalu memperkenalkan Niken pada sanak-keluarganya yang sudah datang di situ, termasuk pada mempelai peremuan, sepupu Sadu itu. Niken memuji gaun pengantin sepupu Sadu, bahkan berkata gaun itu seperti yang diinginkannya kalau menikah nanti. Sepupu Sadu itu sepertinya sangat menyukai Niken, sekejab saja dia sudah akrab berbincang-bincang dengan Niken. Pergaulan memang bukan suatu hal yang pernah menyulitkan Niken. Malam itu tak terkecuali. Sebentar saja dia sudah akrab bercakap-cakap dengan banyak orang, seperti sudah lama kenal saja. Ini juga dikarenakan topik bahasan yang dikuasai oleh Niken cukup luas, jadi dia bisa menimpali percakapan apapun dengan baik. Malam ini Niken adalah orang kedua yang menarik perhatian orang, setelah pengantin wanita, tentu saja. “Well well... sepertinya tinggal aku yang belum dikenalkan pada gadis cantik ini.” Niken menoleh ke arah datangnya suara itu. Seorang lelaki muda berbadan tinggi tegap sudah berdiri di dekat Sadu. Wajahnya tampan, putih mulus tapi di dagunya terlihat bintik-bintik kehijauan, tanda bekas cukuran yang masih fresh. Tatapan matanya sangat mempesonakan, tidak heran kalau Sadu bilang banyak wanita yang bertekuk-lutut tanpa syarat di hadapannya. Nampaknya salah satu dari wanita itu adalah wanita yang berdiri di sebelahnya, menggelendot di lengannya. Dion seperti Sadu tapi dalam versi yang lebih berkarisma dan memikat. Dia tidak terlihat mempunyai sisi gelap seperti Sadu. “Ini Niken, pacarku.” Sadu lalu menggandeng tangan Niken dan dibawanya ke hadapan Dion. “Tidak kusangka selera adikku ini sangat tinggi. Tidak percuma dia jadi adikku! Benar-benar salut!” kata Dion sambil menepuk pundak Sadu. Kalau orang lain yang melihat, pasti tidak mengira ada dendam sebesar gunung es di antara mereka berdua. Niken tersenyum sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan orang yang sangat dibencinya itu. “Niken.” katanya menyebutkan namanya sendiri. “Dion. Dion Sahara. Sorry, aku tidak mendengar nama belakangmu.” kata Dion. “Aku memang belum mengatakannya.” kata Niken. Setelah diam beberapa jenak, Niken melanjutkan, “Tjakrawibawa. Nama ayahku Tjakrawibawa.” Dion mengernyitkan dahinya. Dari wajahnya, sepertinya Dion pernah mendengar nama yang baru saja disebutnya. Niken ingin tahu apakah Dion bisa menebak asal-usulnya. “Apa kamu ada hubungan keluarga dengan mendiang Benny Tjakrawibawa, direktur Tjakra Group?” Niken terperanjat. Dia tahu ayahnya dan perusahaan yang dipimpinnya itu memang sangat berkuasa sewaktu ayahnya masih hidup, tapi tidak disangkanya sebegitu terkenalnya sampai Dion bisa menyebut nama ayahnya. Sadu pun tidak pernah menanyakan asal-usul dirinya. “Dia ayahku. Kau kenal dengan dia?” Sadu juga terlihat sangat terkejut mendengar ucapan Dion barusan. Lebih kaget lagi setelah mendengar jawaban Niken. Dia baru sadar bahwa selama ini dia terlalu menganggap remeh kakaknya ini. Dia yang sudah mengenal Niken sekian lama, baru malam ini mendengar nama ayah Niken. Sementara Dion yang baru beberapa menit mengenalnya, sudah berhasil menerka garis keturunan Niken. Dalam hati ia merasa kakaknya yang walaupun tidak pernah kuliah ini memang sangat pintar. Kepandaiannya sebenarnya tidak kalah dengan Sadu, cuma bedanya, Dion lebih suka belajar sendiri. Dion tidak suka dengan sistem pengajaran guru-murid. Meskipun Dion tinggal kelas, sebetulnya dia sudah menguasai seluruh bahan pelajaran, bahkan lebih dari itu. Hal itu sengaja dilakukannya atas dasar prinsipnya yang tidak mau dikekang. Dion pernah berkata pada Sadu, dia tidak perduli dengan nilai, yang penting adalah dia sudah mengerti. Dion terbahak-bahak. “Siapa yang tidak mengenal Pak Benny? Senang sekali bisa berkenalan denganmu, manis. Apa sih yang membuat wanita cantik dan terpelajar sepertimu tertarik pada adikku yang bodoh ini?” tanya Dion melirik Sadu yang berdiri di sebelahnya. Niken memandangi Sadu dan Dion bergantian. Setelah dengan cepat mengatur beberapa kalimat untuk mengalir dari otaknya, Niken lalu berkata, “Sadu ini seperti berlian mentah yang belum dipotong. Apa kamu pernah melihat seperti apa batu berlian yang masih murni? Bentuknya tidak indah seperti berlian-berlian yang sudah dibentuk, hanya seperti batu kaca biasa. Dalam pandangan orang yang tidak tahu berlian pasti menganggap berlian mentah itu adalah barang tidak berharga. Tapi berlian tetap berlian. Berlian mentah jelas nilai nominalnya jauh lebih berharga daripada berlian yang sudah dipotong. Hanya dari batu berlian yang mentah itu bisa dibuat berlian yang sangat indah. Akulah tukang batu yang bisa membuat berlian mentah itu menjadi perhiasan yang tak ternilai artinya.” Sadu melongo mendengar jawaban Niken. Dia tahu Niken akan menjawab dengan jawaban yang menyanjungnya, tapi tidak dikiranya jawabannya akan penuh arti seperti itu. Dia mengira Niken akan memuji kepandaiannya atau apa lah. Dion sendiri juga terlihat terpukau atas jawaban Niken. “Memang hebat!” kata Dion sambil bertepuk tangan. “Boleh aku mengambilkan minuman untuk nona yang cantik ini?” lanjutnya kemudian. “Red wine, thanks.” sahut Niken. Melihat Dion berlalu, Niken lekas-lekas menggamit lengan Sadu dan mengajaknya menyingkir ke pinggir taman. “Kamu tidak pernah bilang bahwa Dion itu tampan sekali!” katanya protes. Dia merasa berhak diberi peringatan untuk mempersiapkan dirinya. “Lho? Bukannya kamu sudah pernah bertemu dengan Dion? Yang waktu di...” “Iya! Aku sama sekali tidak ingat. Aku tidak begitu memperhatikan wajahnya waktu itu. Kamu juga tidak pernah menunjukkan fotonya, kek.” Niken membela diri. “Salah siapa? Aku kira kamu sudah jelas...” Sadu tidak jadi meneruskan kalimatnya ketika dilihatnya wajah Niken semakin cemberut. Tidak disangkanya gadis kecil ini bisa begitu dewasa dalam satu menit, dan bisa begitu manja menit berikutnya. Benar-benar membingungkan tapi sekaligus sangat mengasyikkan! “Baiklah, memang salahku.” kata Sadu kemudian. “Tapi kulihat kamu bisa mengatasinya dengan baik. Kalau tidak tahu kau sedang bersandiwara, aku betul-betul mengira kau jatuh cinta padaku dengan kata-kata puitismu yang seperti itu.” kata Sadu menggoda. Ia berusaha mengembalikan keceriaan Niken. “Jangan mimpi kamu!” kata Niken memperingatkannya. “Aku tidak berani...” “Bagus kalau kau tahu diri. Aku tidak akan...” Belum selesai Niken melanjutkan kata-katanya, Sadu sudah meraih pinggang Niken, membalikkan badan Niken sehingga mereka menghadap arah yang sama, yaitu ke arah tengah taman, sambil berkata di telinganya, “Aku juga sangat mencintaimu.” Niken cuma sempat bingung dua detik, ketika kemudian dilihatnya Dion dan gadis yang terus mengikutinya sudah berjalan menuju ke arah mereka berdiri dengan dua gelas anggur merah di tangannya. Niken maklum, Sadu cuma ingin memberitahunya bahwa musuh sudah mendekat. Dalam hati dia sangat berterima kasih. Diciumnya pipi Sadu karena yakin Dion sedang memperhatikan mereka. Dibiarkannya tubuhnya dipeluk erat oleh Sadu dari belakang. Seandainya tadi Niken berhenti sejenak dan memperhatikan Sadu, dia akan bisa melihat betapa merahnya wajah Sadu waktu dicium pipinya oleh Niken! “Anggur merah untuk nona cantik,” kata Dion sambil memberikan segelas anggur merah itu kepada Niken. “Kamu tidak bilang mau minum apa, jadi aku tidak mengambilkan untukmu.” katanya pada Sadu. “Tidak apa-apa. Nanti aku bisa ambil sendiri. Hey, sudah cukup kamu mewawancarai Niken, mengapa kamu tidak mengenalkan gadis yang kau bawa?” Dion menoleh pada gadis di sebelahnya yang sedari tadi diam saja. “Namanya Lisa.” jawabnya singkat. Diacungkannya tangan Lisa untuk menjabat tangan Niken dan Sadu. Seperti robot, gadis itu menurut saja. Setelah menjabat tangan, Lisa pamit mau ke toilet. “Apa yang bisa kukatakan, sama sekali tidak bisa dibandingkan kualitasnya dengan gadismu.” kata Dion menepuk-nepuk bahu adiknya. “Karena buatmu yang penting adalah kuantitas, bukan kualitas.” sindir Sadu pedas. Maksudnya adalah, Sadu selama ini memang tidak pernah punya pacar, sementara teman wanita Dion sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan saat ini pasti lebih dari satu. “Dia tidak bisa dibilang pacar. Wanita buatku cuma seperti dasi. Dekat dengan tubuh, tapi bukan suatu hal yang penting, hanya sebagai pelengkap kostum saja.” Diteguknya anggur di gelas yang dipegangnya, lalu ia melanjutkan, “Kalau aku bisa menemukan gadis seperti Niken yang benar-benar mencintaiku seperti Niken mencintaimu, pasti aku akan sangat bersyukur. Aku bahkan sanggup meninggalkan kehidupanku yang sekarang demi dia. Sayang aku masih belum bisa menemukan wanita yang posisinya sebagai pemakai dasiku, bukan hanya sekedar dasi. Mungkin seumur hidup aku cuma akan bisa memakai dasiku sendiri.” Dion lalu menepuk-nepuk bahu Sadu lagi dan menambahkan, “Makanya jaga baik-baik Niken ini. Dia terlalu baik untukmu. Kalau kamu lengah aku bisa merebutnya.” “Jangan harap.” kata Sadu sambil mempererat pelukannya di pinggang Niken. Niken sendiri sedang terdiam merenungkan kata-kata panjang Dion barusan. Mungkin cuma dia yang sadar bahwa Dion sengaja memakai dasi sebagai perumpamaan untuk membalas perumpamaan berlian Niken tadi. Kejadian ini mengingatkannya pada perselisihannya dengan Pandu waktu SMA yang mempersatukan mereka berdua. Pandu yang dibencinya, ternyata justru adalah orang yang bisa mengimbanginya. Bagi Pandu, Niken adalah wanita pemakai dasinya, dan bagi Niken, Pandu adalah berlian mentahnya. Orang-orang lain hanyalah dasidasi dan batu-batu yang tidak penting. “Sedang apa Pandu sekarang?” pikirnya dalam hati. Tiba-tiba Niken didera rasa kangen yang amat sangat. Betapa ironisnya mengingat sekarang dirinya ada di dalam pelukan laki-laki lain. Yang Niken tidak tahu, saat ini Pandu sedang berada di serambi depan kost Niken. Pandu tahu Niken malam ini keluar dengan Sadu, tapi dia spesial datang untuk menyemangati Niken menghadapi ujiannya hari Senin besok. Satu lagi yang Niken tidak tahu, saat ini ada tiga orang pria yang menaruh perhatian padanya. Pandu yang sangat mencintainya, Sadu yang akan selalu melindunginya, dan Dion, yang menganggap Niken yang baru ditemuinya ini sebagai wanita yang paling menarik di sepanjang sejarah hidupnya. Ketika Sadu kembali dari mengambil minuman untuk dirinya sendiri, dilihatnya Niken sedang asyik berbincang-bincang dengan Dion. Karena tidak ingin mengganggu, ia lalu pergi ke tepi sungai di belakang. Dia ingat waktu kecil dia sering bermain-main di sini. Betapa indahnya masa itu, masa-masa di saat dia dan Dion masih sering bermain bersama. Pertengkaran diantara mereka hanya berkisar seputar rebutan mainan. Sadu lalu melepas kancing jas dan mengendorkan dasinya, mencopot sepatu dan juga kaos kakinya. Dilipatnya celana panjangnya sampai lutut. Sambil duduk di rerumputan tepi sungai, kakinya direndamnya di dalam air. “Rupanya kamu ada di sini. Aku cari kamu ke mana-mana.” keluh Niken sambil melepas sepatu hak tingginya. “Sepatu seperti ini adalah kutukan bagi cewek. Aku yakin kalau aku sering-sering memakai sepatu seperti ini, kemampuan otakku pasti akan menurun drastis. Mana bisa berpikir pakai sepatu yang menyiksa begini?” Sadu tidak terlihat ingin menanggapi Niken kali ini. Niken lalu duduk di samping Sadu. Kakinya juga diceburkannya ke dalam air. Ketika Sadu melihat Niken mulai akan angkat bicara lagi, dia lalu menutup mulut Niken dengan tangannya. “Dengar...” “Apa?” “Kau tidak mendengar?” “Apa?” ulang Niken sekali lagi. Dia benar-benar tidak mendengar apa-apa. Cuma suara jangkrik, air yang mengalir, dan angin malam yang berhembus sepoi-sepoi. Suara musik dari taman bahkan sama sekali tidak terdengar dari sini. “Benar. Tidak ada suara apapun selain suara jangkrik bersahutan. Biarkan saja seperti ini.” Tidak ingin mengganggu keasyikan Sadu, Niken lalu berdiam diri. Dengan kaki masih menggantung di tepi sungai, Niken merebahkan tubuhnya terlentang di atas rerumputan. Benar kata Sadu, pikirnya, kalau saja ia membawa kertas dan bolpen pasti dia sudah mendapat banyak ilham untuk menulis puisi, hal yang sudah lama sekali tidak dilakukannya karena tidak pernah sempat. Niken terus memejamkan matanya menikmati suara alam yang begitu syahdu. Tidak berapa lama, Niken tertidur. Sadu baru menyadari bahwa Niken sudah tertidur ketika dia akan bangkit mengajak Niken pulang. Tapi dilihatnya Niken sudah tertidur pulas. Dia jadi merasa bersalah karena akhir-akhir ini sudah membuat Niken belajar dengan keras sampai kelelahan. Dicopotnya jas yang dipakainya, lalu diselimutkan di atas tubuh Niken. Dia lalu juga merebahkan diri di sebelahnya. Ketika Dion akan pulang, dia juga mencari Niken dan Sadu ke mana-mana. Saat dilihatnya Niken dan Sadu berbaring berdua di tepi sungai, dia tidak ingin mengganggu mereka. Walaupun dalam hatinya ada rasa yang sangat kuat untuk ingin memiliki Niken, dia sadar bahwa Niken bukanlah mainan yang biasa diperebutkan Sadu dan dirinya di kala kecil dulu. Dia merasa banyak bersalah pada keluarganya, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengganggu hubungan Niken dan Sadu, si empunya Niken. Dia sama sekali tidak paham bahwa Sadu sama sekali tidak memiliki Niken. Ada orang lain yang sangat dicintai oleh Niken. Pandu! Pandu yang saat ini masih menunggu di depan kost Niken... :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 5 Niken terbangun karena merasa telapak kakinya dingin sekali karena terbenam dalam genangan air selama berjam-jam. Kedua kakinya dari lutut ke bawah juga tak bisa digerakkan karena kram. “Aah...” Niken mengerang pelan saat berusaha meluruskan kakinya. Ribuan jarum serasa menusuk-nusuk betisnya. Dengan menopang berat seluruh badannya pada sikunya, ia lalu menyeret kakinya naik dengan perlahan-lahan. Sadu terbangun karena mendengar erangan Niken. Dia langsung panik saat melihat wajah Niken yang sepertinya sedang menahan sakit. “Ada apa?” tanya Sadu. Kantuknya hilang seketika. “Betisku kram.” kata Niken masih sambil meringis kesakitan. Sadu lalu membantu meluruskan kedua kaki Niken. Ia lalu menghangatkan kedua telapak tangannya dengan menggosok-gosokkannya satu sama lain. Setelah merasa cukup hangat, diletakkannya kedua tangannya itu untuk memijit-mijit betis Niken. “Sudah lumayan. Terima kasih.” kata Niken kemudian. “Sudah pagi.” kata Sadu melirik jam tangannya. Jam setengah empat pagi. “Ayo kita pulang.” Setelah memakai jas, kaos kaki dan sepatunya, Sadu lalu mengambil sepatu hak tinggi Niken dan mengulurkan tangannya untuk membantu Niken berdiri. Niken meremas tangan yang diulurkan oleh Sadu dan menggunakannya untuk menopang badannya untuk berdiri. Belum sampai bisa berdiri tegak, Niken sudah berasa akan jatuh lagi. Ia merasa tidak ada kekuatan sama sekali di kakinya. Sadu cepat-cepat menyangga badan Niken supaya tidak jatuh lagi. “Nggak bisa jalan?” tanya Sadu. Niken menggeleng lemah. Masih sambil menyangga tubuh Niken, pelan-pelan Sadu membungkuk dan jongkok. “Ayo naik.” katanya menawarkan punggungnya untuk menggendong Niken. Niken melihat tidak ada pilihan lain, lalu ia merebahkan tubuhnya di punggung Sadu dan membiarkan badan tegap Sadu mengangkat tubuhnya. Setelah pelan-pelan mendudukkan Niken di jok mobil belakang, Sadu segera menstater mobilnya dan pergi. Niken tidur lagi di sepanjang perjalanan. * Sementara itu di depan rumah kost Niken, Pandu tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Niken akan datang. Dia sudah menunggu semalaman tapi yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan batang hidungnya. Karena lapar, Pandu lalu mencoba berjalan keluar untuk melihat apakah ada warung yang sudah buka. Sampai di ujung gang, ia melihat bapak penjual mie sedang membuka warungnya. “Sudah buka, Pak?” tanya Pandu dengan sopan. “Sudah. Duduk saja.” kata bapak itu menurunkan kursi dari atas meja untuk diduduki tamunya. “Terima kasih, Pak. Satu porsi bakmi dan teh hangat, Pak. Nggak tergesa-gesa, kok.” katanya kemudian. Pada saat yang bersamaan, mobil Sadu sudah sampai di depan kost Niken. Sadu membantu Niken turun. Kram di betis Niken sudah hilang. “Aku sudah nggak papa, koq. Bisa berjalan sendiri.” kata Niken. Sadu tetap berjalan di samping Niken sampai di dalam kamar Niken untuk berjaga-jaga kalaukalau Niken jatuh. “Sungguh sudah tidak apa-apa?” tanya Sadu memastikan. Niken mengangguk pasti. “Terima kasih. Aku sungguh merepotkan.” katanya. “Baiklah kalau begitu.” kata Sadu kemudian. “Nanti sore jam lima aku datang lagi. Jangan lupa belajar.” * Sudah merupakan kebiasaan bagi Sadu untuk makan di warung bakmi ujung gang itu sebelum ke kost Niken atau sesudah dari sana. Tak terkecuali pagi itu. Sadu agak terkejut melihat sudah ada orang lain yang duduk di dalam warung itu sepagi ini. Ia lalu tersenyum menyapa orang itu, lalu berkata pada bapak penjual bakmi, “Pak Mo, seperti biasa yah.” “Pagi-pagi sudah sampai di sini lagi?” tanya Pak Atmo, bapak penjual bakmi itu. Sadu cuma tersenyum. Ini adalah kali kedua ia pagi-pagi berada di warung bakmi itu. Yang pertama kali adalah waktu ia semalaman tidur di dalam kamar kost Niken. “Pacarnya nggak ikut?” tanya Pak Atmo lagi. “Baru saja saya antar pulang.” jawab Sadu. “Pulang pagi? Keasyikan semalam yah, nggak ingat waktu, seperti waktu itu?” goda Pak Atmo. Sadu cuma tertawa. Pak Atmo memang sudah biasa menggodanya seperti ini. Waktu dulu pagi-pagi ia datang ke mari dia juga digoda seperti ini. Baru saja bakmi yang dipesan Sadu akan selesai dibuat, handphone Sadu berdering. “Ya?.... Hah?? Jangan kuatir, aku segera ke sana.” Cuma singkat pembicaraan di telepon yang dapat didengar dengan jelas oleh Pandu yang duduk di meja sebelah. “Pak Mo, bakminya dibungkus saja. Tolong cepat ya Pak.” Begitulah instruksi Sadu pada Pak Atmo setelah itu. Kebetulan pada saat itu bakminya sudah matang. Pak Atmo segera membungkus bakmi itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. “Kembaliannya buat bapak saja!” kata Sadu sambil langsung melompat ke atas mobilnya lagi dan mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi. * Niken tergolek lemah di ranjangnya. Beberapa detik sesudah ia merebahkan dirinya di atas ranjang, bahkan belum sempat mengganti pakaiannya, tiba-tiba rasa sakit yang tak terhingga menyerang perutnya. Dugaannya pasti maag, karena sudah berhari-hari ini makannya tidak teratur. Beban pikirannya juga banyak. Siang belajar, malam ditraining oleh Sadu. Karena itu tadi ia menelepon Sadu yang menurut tebakannya pasti masih belum jauh dari kostnya, untuk membelikan obat maag dan kembali ke kostnya. Tanpa mengetuk pintu lagi Sadu masuk ke kamar Niken. “Bagaimana? Sakit sekali?” tanya Sadu menghampiri Niken yang masih tergolek di ranjang. Niken cuma mengangguk dan merintih kesakitan berulang-ulang. Sadu keluar mengambil segelas air dari dapur, lalu memberikan air dan obat yang baru saja dibelinya itu kepada Niken. “Kamu musti makan.” kata Sadu kemudian. “Ini, kubelikan bakmi yang di ujung jalan itu.” Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. “Harus. Nanti malah tambah sakit. Sakit maag itu obatnya ya makan. Aku ambilkan mangkok dulu.” Sadu lalu keluar lagi ke dapur mengambil mangkok dan sendok. Sebentar saja semangkuk mie dengan sendoknya sudah siap di tangan Sadu. Niken masih terus menggeleng. “Aku nggak punya tenaga buat makan.” Kedua tangannya masih memegangi perutnya yang sakitnya bukan kepalang. Sadu lalu duduk di ranjang Niken. Dibuatnya Niken duduk di ranjang dengan bersandarkan bantal di punggungnya. “Kamu duduk saja. Aku suapi.” Niken menyerah saja. Dia terlalu lemah untuk ngotot kali ini. Sakit perutnya itu datang pergi. Kalau saat datang, nyerinya bukan main. Jarak antara datang dan pergi itu tadinya cukup dekat, dan interval sakitnya cukup panjang. Saat sakitnya datang, Niken terus memegangi perutnya sambil memejamkan mata, jadi Sadu selalu menghentikan suapannya. Ia baru menyuapi lagi saat sakit Niken sudah reda. Begitu seterusnya, jadi bakminya sampai lama tidak habis-habis. Setelah sekitar lima belas menit, Niken berkata, “Sepertinya jarak antara sakit sudah bertambah panjang, kurasa obatnya sudah mulai bereaksi.” Berbarengan dengan itu, handphone Niken berdering. Niken menunjuk tas kecilnya yang dibawanya pesta semalam, di mana ia menyimpan telepon genggamnya itu. Sadu mengambilkan barang yang ditunjuk Niken. “Kamu di mana sih, Fei?” Rupanya Pandu, yang sudah berdiri di depan rumah kost Niken lagi. “Di kamar.” “Di kamar siapa?” tanya Pandu tidak sabar. “Di kamarku lah, di kamar siapa lagi?” Niken heran kenapa Pandu bertanya hal seperti itu. “Lho? Aku ada di depan kostmu. Koq aku tidak melihatmu masuk?” tanyanya heran. “Kamu ada di depan kostku? Koq aku tidak lihat kamu waktu aku masuk?” Gantian Niken yang bertanya dengan keheranan. “Masuk saja,” tambah Niken kemudian. “Pintunya tidak dikunci.” “Pandu?” tanya Sadu saat Niken menutup teleponnya. Niken mengangguk. Sakitnya mendadak menyerang lagi. Sudah tidak separah tadi, tapi masih cukup untuk membuatnya meringis kesakitan. Terdengar ketukan di depan pintu kamar Niken. Niken mengeluh dalam hati, ia sudah bilang pintunya tidak dikunci, kenapa musti mengetuk pintu lagi? Pandu memang tidak seperti Sadu yang suka masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu lebih dahulu. Niken menatap Sadu, Sadu mengerti maksud tatapan Niken. Ia lalu berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu itu, lalu kembali lagi ke sisi ranjang Niken. Sadu sama sekali tidak memperhatikan keterkejutan Pandu melihat dia yang membukakan pintu kamar Niken. Orang yang sama yang di warung bakmi tadi, yang barusan kencan semalaman dengan pacarnya. Otak Pandu memutar ulang percakapan di warung bakmi antara Pak Atmo dengan orang yang ternyata adalah Sadu ini. “Masih sakit? Kalau masih sakit terus kita ke dokter ya?” tanya Sadu khawatir melihat interval sakit Niken yang menurut hitungannya masih panjang. Yang ditanya cuma menggeleng lemah. Pandu masih diam terpaku di depan pintu. Ia masih tidak mempercayai apa yang dilihat oleh matanya. Lelaki yang ada di samping Niken itu bukan dirinya, tapi ia sangat memperhatikan dan sikapnya terlalu baik pada Niken. Di saat yang bersamaan otaknya juga terus memutar dan mengingat-ingat seluruh percakapan yang didengarnya sebelum ini di warung bakmi. Pacarnya... tidak hanya hari ini... panggilan telepon itu... “Kamu naik kereta pagi?” Pertanyaan Niken membuyarkan lamunan Pandu. Rupanya sakit Niken baru saja reda lagi. “Sudah semalaman aku di sini.” jawab Pandu dengan nada agak kesal. “Kan kamu tahu aku pergi ke pesta perkawinan itu.” kata Niken sambil membetulkan posisi duduknya. “Tapi kau tidak bilang kalau akan menginap di sana.” “Aku memang tidak berencana akan menginap di sana. Kalau memang akan menginap aku pasti bilang, kan?” “Lalu kamu di mana dan ngapain semalaman?” Sadu terus menoleh bolak-balik antara Niken dan Pandu ketika mereka bercakap-cakap barusan. Ia lalu lama memandangi wajah Pandu karena merasa pernah melihat Pandu di suatu tempat, tapi tidak dapat diingatnya. Sadar dirinya dipandangi oleh orang yang dari tadi sudah ditebaknya pasti yang bernama Sadu itu, entah kenapa Pandu jadi tambah jengkel. “Jadi dia yang bernama Sadu?” tanya Pandu. Nada suaranya tidak enak didengar di telinga. Niken heran, Pandu tidak pernah sekasar ini pada orang yang belum pernah dikenalnya. Sadu juga terkejut mendengar Pandu berkata demikian. Ia semakin berusaha mengingat-ingat di mana pernah melihat Pandu. Tapi otaknya tadi cukup shock mendengar Niken sakit, jadi ia sudah lupa bahwa Pandu adalah orang yang ada di warung bakmi tadi. “Sorry aku lupa mengenalkan. Pandu, kenalkan, ini Sadu. Sadu, ini Pandu, pacarku.” kata Niken memperkenalkan mereka satu sama lain. “Tidak usah repot-repot.” kata Pandu memotong pembicaraan. “Kamu apa nggak salah mengenalkan? Sebenarnya yang pacarmu itu aku atau dia?” Niken semakin heran atas sikap aneh Pandu pagi ini. Sadu apalagi. “Kamu ngomong apa, Ndu? Jangan begitu dong. Nggak mau kenalan ya sudah. Jangan tidak sopan begitu.” “Aku tidak sopan?!” Nada suara Pandu semakin meninggi. “Sepertinya aku sudah mengganggu keasyikan kalian berdua. Sebaiknya aku pergi.” kata Pandu lalu mulai melangkah pergi. Niken lalu memanggil Pandu dengan suara keras, “Kamu jangan pergi sebelum masalah ini jelas. Kamu,” kata Niken menoleh ke arah Sadu. “Juga jangan pergi.” Ketegangan di ruangan itu begitu tebal, seperti bisa diiris dengan pisau. Sadu bisa melihat mata Niken sudah berkaca-kaca ingin menangis. Niken belum pernah dibentak-bentak Pandu seperti ini, dan sekarang Pandu membentaknya di hadapan orang lain. Jelas saja Niken berasa ingin menangis. Ditambah sakit perutnya juga mendadak menyerang lagi, ia lalu diam sebentar sambil memegangi perutnya dan merintih perlahan. Pandu sudah hendak maju menolongnya, tapi segera mengurungkan niatnya ketika dilihatnya Sadu sudah kembali duduk di sebelah Niken. “Sekarang, tolong jelaskan apa maksudmu berkata seperti itu.” kata Niken setelah sakitnya reda lagi. Ia lega melihat Pandu akhirnya mau duduk di ujung ranjangnya, di dekat kakinya. Pandu diam saja. Ia kalau sedang marah justru tidak ingin banyak berkata. Ia cuma menatap Niken dengan pandangan mata yang tajam. Mata elang yang biasanya memandang Niken dengan penuh kasih sayang itu hari ini tidak lagi begitu. “Kamu marah karena aku pulang pagi?” tebak Niken hati-hati. Ia terus memutar otaknya, mencari ide untuk menjawab pertanyaan kenapa Pandu bisa semarah ini. Yang ditanya masih diam saja tidak bergeming. Sadu tidak tahan lagi untuk berbicara. Ia melihat air mata Niken sebentar lagi akan menetes dari danau matanya. Ia tidak ingin melihat Niken menangis. “Niken kecapaian lalu tertidur di pesta kemarin, dan kami tidak melakukan suatu hal pun yang melanggar kepercayaanmu. Kamu harusnya percaya pada Niken.” “Diam kamu!” bentak Pandu berbalik memandang Sadu dengan sorot mata yang penuh kebencian. Sadu kaget, tapi sama sekali tidak gentar. Ia merasa kecemburuan Pandu terlalu berlebihan. Sadu yakin benar-benar tidak pernah melakukan hal yang tidak benar dengan Niken. Belum pernah. Bukannya dia tidak ingin, tapi karena ia yakin Niken tidak ingin. “Sepertinya aku orang terakhir yang tahu bahwa aku sudah dikhianati. Seluruh dunia sudah tahu dan menertawakanku. Cuma aku yang terlalu bodoh untuk menyadarinya.” kata Pandu kemudian. “Apa maksudmu berkata demikian? Kapan aku pernah mengkhianatimu? Sadu juga sudah bilang barusan...” Pandu cepat-cepat memotong kata-kata Niken. “Simpan pembelaanmu. Aku tidak ingin dengar. Aku begitu percaya padamu, Fei. Aku begitu karena aku sayang. Aku tidak menyangka kamu sanggup menyakitiku.” Air mata Niken mengalir dengan deras. Mimpi pun ia tak pernah berniat mengkhianati Pandu. Mendengar Pandu menuduhkan hal yang bertentangan dengan hatinya, Niken begitu sedih dan kalut. “Kalau kamu tidak percaya pada Niken, kau boleh dengar kata-kataku. Siapapun tak akan bisa merebut hati Niken. Seluruhnya adalah milikmu. Aku saksinya.” kata Sadu berusaha membela Niken. Ia sungguh tidak tahan melihat Niken menangis begitu. “Apa tidak dengar aku tadi suruh kamu diam?!” Lagi-lagi Sadu kena bentakan. Sadu bersyukur paling tidak Pandu tidak menggunakan nada yang sama untuk menyerang Niken. Tapi ia jadi tidak respek sama orang yang bernama Pandu ini. Selama ini ia menganggap Pandu pasti seperti dewa sampai berhasil mendapatkan gadis seperti Niken. Tapi nyatanya Pandu kasar seperti ini, sungguh ia tidak mengerti kenapa Niken bisa begitu sayang pada orang seperti itu. “Pandu... aku salah apa...?” Cuma itu yang bisa keluar dari Niken di sela isak tangisnya. “Niken, aku tadinya datang kemari ingin menyemangatimu untuk ujian besok. Tak kusangka aku begitu bodoh, sudah ada orang lain yang melakukannya dengan lebih baik dariku. Aku lebih baik pulang saja daripada lebih lanjut mempermalukan diriku sendiri.” Pandu lalu beranjak berdiri. Seperti biasa, kalau sedang jengkel, ia tidak pernah memanggil Niken dengan sebutan ‘Fei’. Niken tidak lagi mempedulikan sakitnya. Dengan seluruh kekuatannya ia bangun dan mencegah langkah Pandu dengan berdiri tepat di depannya. Karena badannya masih lemah, ia memegang pundak Pandu untuk dijadikan sandaran. Ditatapnya mata Pandu lekat-lekat. Ia tidak percaya Pandu akan meninggalkannya begitu saja tanpa kejelasan. “Kalau tidak percaya padaku, kamu mau percaya sama siapa, Ndu?” Pandu membalas memandang mata Niken lekat-lekat, seakan berusaha mencari kebenaran di dalamnya. Mata Niken begitu bening, terlihat air matanya masih menggenang di pelupuknya. Tidak tega melihat gadis yang paling disayanginya menangis, Pandu memejamkan matanya. Walaupun matanya sudah terpejam, bayangan Niken yang sedang menangis tetap terbayang dengan jelas di otaknya. Ia lalu membuka matanya lagi. “Aku pulang dulu.” kata Sadu kemudian. “Kalian berdua bicaralah baik-baik.” Sadu lalu membuka pintu kamar Niken hendak melangkah keluar. “Tunggu. Justru aku yang ingin pulang. Aku muak melihat diriku sendiri di sini tidak tahu malu.” Pandu menyingkirkan Niken yang berdiri di depannya lalu cepat-cepat melangkah keluar. Sadu berusaha mencegahnya di depan pintu, tapi tenaga Pandu cukup kuat untuk melawannya dan melepaskan diri. Niken lalu mengejar Pandu yang sudah sampai di pintu pagar. “Jangan pergi... Aku nggak tahu apa yang membuatmu marah seperti ini. Tapi kamu harus percaya aku tidak pernah mengkhianatimu.” pinta Niken. Pandu membalikkan badannya, menghadap ke arah jalan, membelakangi Niken. Sekuat tenaga kedua tangan Niken membalikkan kembali badan Pandu untuk berhadapan dengannya lagi. “Ayolah. Jangan pergi. Kamu bilang kamu datang ke sini untuk menyemangatiku. Kamu tahu aku nggak akan bisa membiarkan kamu pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan padaku. Jangan pergi... Aku masih belum menunjukkan lagu yang baru selesai kubuat. Pandu...” Air matanya mengalir lagi di pipinya. “Jangan menangis.” kata Pandu mengusap air mata dari kedua pipi Niken dengan tangannya. “Baiklah. Kalau kamu benar-benar masih menganggapku, kalau masih menginginkanku, aku minta kamu lupakan rencana gilamu itu. Aku kira aku bisa tahan, tapi ternyata aku nggak bisa mendengar kamu jadi pacar orang lain, walaupun itu hanya pura-pura. Aku bisa gila kalau kamu terus begini.” Niken menelan ludahnya. “Maksudmu, kau ingin aku menghentikan usaha balas dendamku?” Pandu mengangguk. “Kau bisa bilang aku egois, Fei, tapi aku nggak bisa biarkan ada orang lain yang memilikimu walaupun hanya sebutan saja.” “Kaulah yang memiliki hatiku, Pandu. Memilikiku sepenuhnya.” Niken terus berusaha meyakinkan Pandu. “Kalau begitu tidak ada masalah kan untuk melepas semua itu? Aku merasa hasil akhirnya pun nggak akan sebanding dengan rasa sakit hatiku. Aku ingin melenyapkan semua kemungkinan untuk kehilanganmu. Lagipula, lihat dirimu. Apa gunanya menyiksa diri seperti ini? Demi apa? Apa kamu kira aku nggak sedih melihatmu sakit seperti ini?” Niken terdiam. “Jangan minta aku untuk berhenti sekarang, Ndu. Aku baru saja berhasil menjejakkan kakiku selangkah lebih maju untuk mencapai tujuanku. Aku akan lebih menjaga kesehatanku. Aku janji kamu nggak akan kehilangan aku.” kata Niken. Tubuhnya bergetar saat mengucapkan kata-kata tadi. Dia juga tak bisa kehilangan Pandu. Niken bisa mengerti kekhawatiran Pandu, dan ia pun merasa itu sebetulnya memang tidak berlebihan, tapi pada saat yang bersamaan ia tidak rela usahanya terbuang sia-sia, apalagi di saat ia sudah melihat setitik terang di ujung terowongan gelapnya. “Keras kepala!” seru Pandu dalam hati. Ia tahu, apapun yang dia katakan hari ini, tak akan bisa merubah pendirian gadis berkepala batu yang berdiri di depannya. Dilihatnya mata Niken yang penuh harap memohon dirinya untuk tetap tinggal. “Kamu yakin aku nggak akan kehilangan kamu?” tanya Pandu setelah diam beberapa lama. Niken cepat-cepat mengangguk tanpa berpikir panjang. “Pikir lagi baik-baik, jangan asal mengiyakan. Kamu bisa menjamin aku nggak akan kehilangan kamu?” Pandu bertanya untuk kedua kalinya. “Aku nggak ingin kehilangan kamu. Aku cuma tahu itu. Soal bagaimana akhir cerita ini, aku nggak tahu, tapi aku berharap kita akan tetap saling memiliki.” Niken tahu, ia tidak bisa membohongi Pandu. Pandu tahu persis resiko yang mereka hadapi. “Nggak ingin itu hal yang lain. Aku juga nggak ingin.” Dengan suara serak dan mata memerah, Pandu akhirnya berkata, “Kalau aku diberi waktu ribuan tahun pun untuk menjelaskan pada hatiku bagaimana aku bisa kehilangan kamu hari ini...” Pandu meletakkan tangannya di mulut Niken yang sudah hendak protes. Ia lalu melanjutkan, “.. aku nggak akan pernah bisa menjelaskannya. Tapi hari ini sepertinya takdir sudah memaksaku untuk berpaling darimu.” Niken menutup kedua telinganya. “Cukup! Aku nggak mau dengar!” “Aku tahu kamu bisa mendengarku. Dengar, Fei, kamu hari ini cantik sekali. Aku harus mengatakan hal ini sebelum aku berubah pikiran lagi.” Pandu lalu memegang kedua tangan Niken yang menutupi telinganya itu, lalu dibawanya ke antara mereka berdua. “Aku berharap suatu hari kita bisa bertemu lagi untuk menyambung kembali cerita kita yang terputus ini, dan semoga ini bukan akhir dari kisah cinta termegah yang pernah ada. Selamat tinggal Niken.” Setelah berkata begitu, Pandu melepaskan tangan Niken. Niken juga tahu, Pandu sama keras kepalanya dengan dirinya. Ia merasa kekuatannya untuk menahan Pandu pergi kali ini sudah habis. Apapun yang dikatakannya tak akan bisa membuat Pandu kembali. Air matanya jatuh satu-satu menatap punggung Pandu yang berjalan semakin lama semakin jauh tanpa menoleh. “Pandu!!!!” seru Niken putus asa sambil menangis. Karena sakitnya menyerang lagi, ia lalu jongkok dan meletakkan satu tangan di perutnya dan yang satu lagi di atas lututnya dan menangis di situ. Napasnya tersengal-sengal karena ia terus menangis. Roknya yang panjang dibiarkannya menyapu tanah. Sadu yang dari tadi mengamati dari dalam lalu ikut jongkok di sebelah Niken. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ingin rasanya Sadu memegang erat-erat pundak Niken untuk menghibur gadis itu, tapi ia bahkan tidak berani menyentuhnya, seakan takut kalau kena sentuhannya, Niken akan hancur berkeping-keping seperti vas cina yang retak. Jadi Sadu hanya diam saja, hatinya ikut remuk menatap Niken yang terus menangis. Pandu masih mendengar teriakan terakhir Niken itu, dan air mata pun menetes di pipinya. Cepat-cepat diusapnya air mata itu, dan ia terus berlari secepat mungkin untuk menyingkirkan bayangan Niken yang terus mengikutinya. * Sadu kuatir sekali pagi itu tidak menemukan Niken di antara teman-temannya. Kemarin sore ia tidak jadi belajar atau tanya jawab bersama Niken. Niken sama sekali nggak bisa diajak bicara apalagi diajak belajar. Sampai jam sepuluh malam ia terus berusaha memaksa Niken untuk cuma sekedar makan nasi soto yang sudah dibelinya siang tadi, tapi Niken cuma makan beberapa sendok. Niken sudah tidak menangis, maagnya juga sepertinya sudah tidak sakit lagi, tapi ia sama sekali tidak mau diajak berkomunikasi. Akhirnya Sadu pulang setelah berkalikali mengingatkan Niken untuk tidak lupa datang jam setengah delapan untuk ikut ujian. Tapi dimana Niken sekarang? Sudah waktunya. Para siswa sudah masuk ke ruang ujiannya masing-masing. Pengawas seperti biasa didatangkan dari luar, sepertinya kali ini dari Dinas P&K. Ia terus mencari-cari Niken sebelum masuk ke ruangan, tapi sia-sia. Sepertinya Niken tidak akan muncul hari ini. Sadu menatap bangku kosong tempat Niken seharusnya duduk. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika ujian mulai, ia membalik-balik kertas soal dan lembar jawabannya. Hanya ada satu lembar kertas lembar jawaban. “Tidak ada uraian!” pekiknya dalam hati. Saat waktu selesai dan alat tulis harus diletakkan, ia cepat-cepat menuliskan nama di atas ketas lembar jawabannya. Niken Tjakrawibawa. Ia sudah mengingat-ingat nomor ujian Niken waktu menatap bangku kosong Niken tadi, karena dihitungnya bangku Niken berbeda 16 tempat dengannya, berarti nomor ujian Niken pasti 16 nomor sebelum nomornya. * Begitu keluar dari ruang ujian, Sadu cepat-cepat membawa motornya menuju ke rumah kost Niken. Tidak seperti biasanya, kali ini pintu kamar Niken dikunci. Sadu tahu Niken ada di kamarnya karena dari luar terlihat lampunya menyala. Mobilnya pun masih diparkir di depan rumah. Dari tadi Sadu mencoba menelepon, tapi handphone Niken juga tidak aktif. Sadu mengetuk-ngetuk pintu kamar Niken sambil memanggil-manggil namanya. “Pergilah. Aku ingin sendiri.” kata Niken dari dalam. Entah apa yang sedang dilakukannya, keluh Sadu. Tidak ingin pulang, Sadu lalu mampir di warung bakmi seperti biasanya. “Es teh, Pak Mo.” kata Sadu. Ketika Pak Atmo membawakan es tehnya, ia bertanya pada Sadu, “Kemarin pagi kenapa tibatiba tidak jadi makan?” “Kemarin pagi...” Sadu tiba-tiba menoleh ke arah meja di mana Pandu duduk kemarin. Teringatlah sekarang di sinilah ia pernah melihat wajah Pandu sebelumnya! Kemarin pagi, di tempat ini! Saat ia menerima telepon Niken yang meminta dibelikan obat, saat Pak Atmo menggodanya dengan guyonan-guyonan tentang ‘pacarnya’, Pandu ada di sini! Sadu cepat-cepat keluar, ia bahkan lupa tidak membayar ataupun meminum es tehnya. Secepat kilat sudah kembali berada di luar kamar Niken, mengetuk-ngetuk pintu Niken dengan tidak sabar, “Niken! Buka pintunya! Aku tahu pernah melihat Pandu di mana. Aku tahu sekarang kenapa kemarin ia begitu marah! Cepat... buka pintunya!” Sadu berpikir, kalau ini tidak menarik perhatian Niken, apa yang bisa? Benar saja, pintu itu pun terbuka. Begitu pintu itu terbuka, Sadu cepat-cepat masuk. Ia tidak mau terkunci di luar lagi kalau Niken berubah pikiran. “Katakan apa maksudmu? Apa yang kamu bilang tadi? Pandu kenapa?” tanya Niken bertubitubi. Semalaman ia tidak tidur memikirkan dan mengulang kembali kejadian kemarin pagi. Ia paham, ia tidak bisa memberikan apa yang Pandu mau, yaitu merelakan untuk tidak meneruskan aksi balas dendamnya, dan itu lah yang membuat Pandu meninggalkannya. Tapi ia masih heran kenapa Pandu bersikap begitu aneh sebelumnya. Kalau saja Pandu tidak begitu marah, ia pasti akan bisa membujuk Pandu untuk mendukung rencananya lagi. Kemarin kejadiannya begitu cepat dan begitu aneh, ia sama sekali tidak mengerti. “Pandu. Aku tahu kenapa dia begitu marah kemarin. Dia sudah salah paham padamu. Dia mengira aku pacaran denganmu.” tutur Sadu. “Dapat berita burung dari mana dia koq sampai bisa mengira seperti itu?” tanya Niken bingung. “Dari aku.” Sebelum mata Niken yang melotot membacoknya, Sadu lalu menceritakan bagaimana ia kemarin bertemu dengan Pandu di warung bakmi Pak Atmo. Diceritakannya semua yang dikatakan Pak Atmo padanya, apa saja yang kira-kira didengar oleh Pandu kemarin pagi. “Ditambah lagi kamu meneleponku, ditambah lagi aku sudah berada di dalam kamarmu saat ia masuk kemari. Aku rasa kalau aku adalah dia, aku juga akan marah.” kata Sadu menjelaskan apa yang baru saja disadarinya. “Ya Tuhanku!” seru Niken pada dirinya sendiri. Sejenak ia tak tahu harus berkata atau berbuat apa. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” tanya Niken kemudian. “Kemarin memang aku merasa pernah melihat Pandu entah di mana. Demi Tuhan aku tidak ingat, Niken. Aku tahu bodoh sekali, hal sepenting ini bisa sampai lupa. Tapi aku sungguh nggak ingat. Maaf...” kata Sadu dengan nada sangat menyesal. Lucu sekali, pikir Sadu. Kenapa ia harus mengatakan hal ini pada Niken? Bukankah bagus sekali sekarang Niken sudah putus dengan Pandu? Tapi Sadu tahu, Niken sangat menderita. Ia tak bisa membiarkan Niken seperti ini. “Baiklah. Sekarang kamu keluar saja. Aku mau ganti baju dan pergi ke Bandung.” kata Niken mendorong Sadu untuk keluar kamarnya. “Apa? Kamu mau ke mana? Kamu nggak bisa ke mana-mana, Niken. Besok lusa ada ujian Farmakologi. Apa kamu nggak mau tahu apa yang terjadi pada ujian tadi pagi?” tanya Sadu. Ia jengkel kenapa Niken sama sekali tidak mempedulikan dirinya sendiri. “O ya, bagaimana ujian hari ini? Keluar banyak tentang Sitopatologi Komprehensit, nggak?” Niken menanyakan bagian yang paling belum dikuasainya. “Lumayan. Aku yakin kamu dapat nilai bagus.” jawab Sadu. “Maksudmu, kalau aku ikut ujian tadi pagi, menurutmu aku pasti bisa mengerjakannya?” tanya Niken lagi. Ia jadi menyesal tadi tidak ikut ujian. “Bukan. Maksudku, kamu pasti akan mendapat nilai yang bagus.” Sadu menatap Niken dengan sungguh-sungguh. Niken masih tidak mengerti. Jelas-jelas ia tidak ikut ujian tadi. Apa maksudnya...? “Kamu...? Oh, jangan bilang kamu tadi...?” Niken sadar, Sadu bisa seyakin itu dirinya mendapatkan nilai bagus, pasti karena yang nama yang ditulis di kertas jawaban Sadu bukan nama Sadu, melainkan nama Niken. Sadu mengangguk. “Kamu ini bodoh sekali, Sadu!” Sadu menggeleng. “Kamu juga bodoh. Kalau tidak ketahuan, aku yakin bisa membujuk Pak Purba untuk memberikan ujian ulang. Lagipula masih ada ujian praktek. Nilai-nilaiku selama ini cukup baik. Kalau kamu yang tidak ikut ujian, dengan nilai-nilaimu yang seperti itu mana bisa dipertimbangkan untuk ikut ujian ulang? Kemungkinan terburuk adalah kalau ketahuan, nilai kita berdua akan digugurkan. Ya sudah, kita sama-sama mengulang.” Sepertinya Sadu sudah begitu yakin atas keputusannya. “Terima kasih atas apa yang sudah kau lakukan untukku. Tapi sekarang aku benar-benar harus pergi. Aku ingin menjelaskan segalanya pada Pandu, supaya ia tidak salah paham lagi. Ayo keluar.” Niken mendorong-dorong Sadu keluar lagi. Sadu berdiri tegak tak bergeming. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Niken jelas kalah kuat dibandingkan Sadu. Seperti semut mendorong gajah. “Ya sudah. Aku pergi saja. Aku tidak harus berganti pakaian.” kata Niken memutuskan untuk pergi tanpa berganti pakaian. Kembali Sadu menghalangi Niken di depan pintu. Niken jadi jengkel karena tidak bisa keluar dari kamarnya sendiri. “Kalau kamu terus menghalangiku, aku akan sangat membencimu.” ancam Niken. “Baiklah, kau boleh pergi.” kata Sadu kemudian. “Tapi kamu harus janji akan kembali sebelum nanti malam jam sepuluh, atau aku akan mencari tahu di mana Pandu tinggal, dan menyusulmu ke sana. Kamu tidak mau kesalahpahamannya bertambah besar, kan?” Sadu balas mengancam. Sebetulnya ia tidak tahu mau memulai mencari alamat Pandu dari mana, tapi yang penting bicara dulu. “Oke, oke. Aku akan pulang nanti malam. Nah, sekarang menyingkirlah.” “Kamu harus berjanji. Aku akan menunggumu di sini.” kata Sadu memegang lengan Niken. Ia tidak akan melepaskannya sebelum ia yakin Niken akan memenuhi janjinya. “Aku berjanji.” Niken melepas toe-ring pemberian Pandu dari jari kakinya. Toe ring yang tidak pernah dilepasnya selama ini. Yang tadi malam terus dipandanginya untuk mengenang saat Pandu memberikan benda itu padanya. “Ini,” Niken meletakkan toe-ring itu di atas meja tulisnya. “Ini adalah barangku yang paling berharga. Ini pemberian Pandu waktu aku ulang tahun ke tujuh belas. Jagalah benda ini dengan nyawamu. Kalau sampai jam sepuluh malam aku belum pulang, kau boleh membuang cincin ini. Bagaimana?” Mata Niken berkaca-kaca saat melepaskan toe-ring itu dari kakinya dan mengucapkan perkataannya barusan. Hatinya sakit sekali menyadari dirinya sudah kehilangan seorang Pandu. “Tidak perlu sedrastis itu, Niken. Aku cuma ingin kamu lebih serius dalam belajar. Demi masa depanmu sendiri.” Niken mengangguk. “Aku tahu, aku tahu kamu bermaksud baik. Boleh aku pergi sekarang?” Sadu melepaskan lengan Niken. Niken tergesa-gesa pergi naik mobilnya, ia bahkan tidak menutup pintu pagar. Ia juga tidak mendengar Sadu meneriakkan "Hati-hati!". Cuma satu yang ada di pikirannya, Pandu. Ia harus menemui Pandu dan mendapatkannya kembali sebelum semuanya terlambat. “Tuhan, beri aku satu kesempatan lagi!” doanya berulang-ulang di sepanjang perjalanan ke Bandung. * :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 6 Di dalam kamar Niken, Sadu sedang asyik membandingkan buku catatannya dengan buku catatan Niken. Jelas sekali perbedaannya. Punya Niken buku catatannya lebih komplit daripada buku diktat. Sadu sampai tersenyum-senyum geli membolak-balik buku catatan Farmakologi Niken. Sepertinya Niken merangkum sendiri, mengetik atau menyalin dari beberapa buku diktat dan fotocopyan dari dosen, lalu di print. Tidak heran Niken selalu membutuhkan persiapan yang lama sekali untuk belajar. Beberapa rangkuman itu sudah terjilid rapi. Masih diwarna-warnai dengan highlighter pula. Di dalamnya banyak terdapat gambar-gambar dan diagram. Walaupun banyak gambar yang berguna, tapi ada banyak pula gambar-gambar yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan bahan kuliah. Misalnya gambar hati dan bungabunga, yang hampir di tiap halaman ada. Tulisan nama ‘Pandu’ atau ‘I love Pandu’ atau ‘Niken loves Pandu’ juga sering muncul. Sadu sendiri tidak pernah membuat rangkuman serajin itu. Biasanya ia hanya menambahkan catatan di kertas fotocopyan dosen. Selebihnya ia hanya menuliskan halaman-halaman penting dari buku diktat. Pantas saja buku diktat Niken masih rapi, tidak ada satupun halamannya yang sobek-sobek. Niken banyak membuat pembatas-pembatas halaman pakai sticker warnawarni. Sementara buku-buku diktat Sadu kumal sekali karena sering dibawa ke mana-mana dan sering dibuat alas tidur. Menilik banyaknya gambar dan coretan-coretan yang tidak berkaitan dengan pelajaran, Sadu jadi tertawa sendiri. Ada rasa perih di hatinya yang dibiarkannya begitu saja. Ia dapat merasakan cinta Niken terhadap Pandu yang begitu besar. “Apakah cintaku pada Niken sebesar cinta Niken pada Pandu?” gumamnya. Entahlah. Tapi Sadu berpikir, mungkin selamanya tidak akan ada orang yang bisa menggantikan posisi Pandu di hati Niken. Tidak dirinya, tidak orang lain. Seberapa pun besar cintanya pada Niken. Tapi benarkah? Mungkinkah Niken akan melihat ke arahnya jika Pandu tidak ada di sisinya? Suatu hari nanti, bila ia terus mencintai Niken, melindunginya, menjagainya, apakah Niken akan memberikan hati padanya? Kegiatan dan pikiran yang berkecamuk di otak Sadu itu terhenti karena tiba-tiba ia mendengar suara ketukan pintu. Karena tidak ingin beramah-tamah dengan teman sekost Niken, Sadu tidak mempedulikan ketukan pintu itu. Walaupun sudah lama didiamkan ternyata yang di luar pintu tidak mengenal putus asa. Pintu itu masih tetap saja digedor-gedor dari luar. Dengan terpaksa dan ogah-ogahan Sadu membukakan pintu. “Hah? Pandu?!” seru Sadu kaget setelah melihat orang yang berdiri di depan pintu. “Kamu?!” Pandu terlihat sama terkejutnya melihat lagi-lagi Sadu yang membukakan pintu kamar Niken. “Mana Niken?” tanya Pandu setelah masuk ke dalam kamar dan tidak menemukan orang yang dicarinya. “Pergi mencarimu. Kamu ngapain kemari? Niken pergi ke Bandung mencarimu...” Sadu jadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kamu sendiri, ngapain di sini?” tanya Padu dengan nada tidak senang. “Aku... Bukan urusanmu. Yang penting kamu sekarang cepat pulang, Niken sudah berangkat kira-kira... satu jam yang lalu.” kata Sadu sambil sekilas melirik jam tangannya. “Bukan urusanku? Kamu kira kamu siapa, punya hak apa kamu ada di dalam kamar ini?” Pandu semakin marah. Ia merasa pria aneh di depannya ini benar-benar bagaikan drakula yang sudah menancapkan dengan dalam gigi-gigi taringnya yang tajam di leher Niken. Sadu diam saja. Meskipun dia ingin sekali melawan, ia tahu pasti perbuatannya itu hanya akan membuat persoalan bertambah rumit. Setelah hampir semenit mereka saling diam dan saling pandang, Sadu akhirnya berkata, “Sebaiknya kamu cepat pulang ke Bandung, Niken pasti nanti bingung mencarimu kalau tidak menemukanmu di sana.” “Tolong jangan ikut campur dalam urusan ini.” Pandu tidak suka mendengar perkataan Sadu barusan yang dianggapnya terlalu sok tahu dan mengguruinya. Sadu mengambil langkah drastis. Ia mencengkeram kerah baju Pandu sambil berkata, “Kalau kau tidak pergi sekarang, kau mungkin akan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki hubunganmu dengan Niken. Niken sangat mencintaimu. Awas kalau kamu sampai mengecewakannya.” Dasar Pandu tidak suka digertak, apalagi oleh orang yang tidak disukainya, ia lantas membalas ancaman Sadu itu dengan melepas topi yang dipakai Sadu dan menjambak rambutnya. “Kalau bukan gara-gara kenal kamu, Niken nggak akan punya pikiran untuk membalas dendam. Kalau bukan gara-gara kamu, sekarang ini hubunganku dengan Niken tidak perlu acara perbaikan. Sebaiknya kamu berdiri jauh-jauh dan jangan menggangguku.” Mereka saling menatap, lalu Sadu melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Pandu. Sedetik kemudian Pandu juga mengikuti. Sebersit Pandu melihat sebentuk benda yang sangat dikenalinya. Pandu menangkap tangan Sadu, ia bertanya, “Dari mana kau dapatkan ini?” Air muka Pandu berubah drastis. Ia tidak habis pikir bagaimana benda sepenting itu bisa berada di tangan Sadu. Sadu menatap ke arah benda yang disebut Pandu, yang ia selipkan di jari kelingkingnya, cincin jari kaki Niken. “Oh, ini... tadi aku tidak mengijinkan Niken untuk pergi, karena dia harus belajar. Lusa ada ujian. Karena dia ngotot ingin mencarimu, ia lalu meninggalkan benda ini sebagai jaminan bahwa dia akan pulang nanti malam.” Pandu merasa kerongkongannya sangat kering, beberapa lama ia berdiam diri tanpa berkata apa-apa. Ia lalu melepaskan tangan Sadu. Sejenak kemudian Pandu berkata, “Berikan padaku.” Sadu berpikir Pandu memang lebih berhak untuk memegang benda itu dibanding dia, maka ia segera melepas toe-ring itu dari jari kelingkingnya. Pandu merebut cincin itu dari tangan Sadu, lalu keluar dari kamar itu tanpa pamit. * Niken duduk melamun dan merenung di bangku di depan kost Pandu sambil memainkan gantungan kunci mobilnya. Ia tahu Pandu sedang dalam perjalanan pulang, ia sudah menelepon handphonenya waktu tidak menemukan Pandu di sini tadi. Sebenarnya temanteman kost Pandu satu-per-satu sudah menawarkan Niken untuk menunggu di dalam, tapi Niken pernah melihat bagaimana kondisi kost Pandu, dan dia memilih menunggu di luar. Anak-anak cowok yang gila-gila itu memang sering keluar-masuk kamarnya dengan pakaian yang tidak senonoh. Maklum, di dalam semua anak laki-laki, jadi tidak tahu malu. Sebenarnya Niken tidak keberatan, tapi justru mereka yang mendadak jadi alim gara-gara ada orang lain di situ. Niken jadi merasa mengganggu kebebasan mereka, makanya ia memilih untuk menunggu di luar saja. Setiap anak kost yang keluar atau masuk dan menyapanya, pasti menyuruhnya untuk menunggu di ruang dalam, malah ada pula yang menawarkan untuk menunggu di dalam kamarnya! Niken tidak punya kunci kamar Pandu, dan kamar Pandu terkunci, jadi ia tak bisa menunggu di situ. Agung, teman kost Pandu yang kocak, sempat menemaninya beberapa lama. Darinya, Niken jadi tahu bahwa Pandu belum pulang sejak pergi ke Jakarta. Agung malah terheran-heran kenapa Niken ada di sini dan Pandu ada di sana. Agung juga berulang kali memuji Pandu sebagai cowok yang paling setia, katanya bahkan Romeo pun kalah setia kalo dibandingkan sama Pandu. Walaupun wajah Niken tersenyum-senyum waktu Agung berkata demikian, hatinya terasa sakit sekali karena merasa cintanya tidak sebanding dengan cinta Pandu padanya. Ia jadi merasa bersalah selama ini telah mengesampingkan Pandu, telah membuat Pandu salah sangka padanya. Sedangkan Pandu sendiri tidak pernah melakukan suatu hal pun yang bisa membuat Niken salah sangka. Beberapa kali ia harus menghapus air mata yang meleleh di pipinya. Cengeng sekali dia hari ini. Entah kenapa setiap kali hatinya meneriakkan nama Pandu, matanya seperti ikut merasakan kepedihan hatinya itu. Niken juga baru menyadari bahwa menunggu seperti ini memang sangat menyiksa. Masih lumayan dirinya sekarang menunggu dengan sebuah kepastian bahwa Pandu memang akan datang. Dua malam yang lalu Pandu menunggu semalaman di depan kostnya seperti ini, bedanya malam itu Pandu tidak tahu kapan dia akan pulang. Niken sadar, saat itu Pandu terus menunggu karena yakin sekali Niken akan segera pulang. Tapi Niken telah mengecewakan keyakinan Pandu itu karena penantiannya terbukti sia-sia belaka. “Cewek.. godain dong!” Niken hampir melompat karena kaget. Siapa lagi kalau bukan Agung yang baru saja pulang. “Masih menunggu Pandu?” tanya Agung, menanyakan hal yang tidak perlu. Ya, jelas-jelas Niken masih di situ menunggu Pandu. Niken cuma menjawab pertanyaan Agung yang tidak perlu itu dengan anggukan. Agung lalu duduk di sebelah Niken, sambil berkata, “Jangan kuatir, Niken, nanti kalau Pandu pulang, aku akan marahi dia karena sudah membuatmu menunggu sekian lama. Sudah berapa lama kamu menunggu?... Sudah enam jam lebih!” Agung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Disuruh menunggu sampai kapan pun aku nggak keberatan.” Niken menggumam sendiri. Matanya menerawang jauh. Sebenarnya air mata sudah mulai mengumpul lagi di pelupuknya, tapi ia berusaha untuk tidak memikirkannya supaya tidak menangis di depan Agung. Agung pura-pura tidak mendengar gumaman Niken tadi walaupun didengarnya dengan jelas. “Sebenarnya siapa sih yang suka duluan, kamu atau Pandu?” tanya Agung mengalihkan bahan pembicaraan. Ia sebetulnya sudah terlalu sering mendengar cerita tentang Niken dari Pandu. Bagaimana mereka pertama kali bertemu, bagaimana cinta mereka berkembang melewati berbagai macam cobaan. Tapi selama ini ia tidak pernah mendengar cerita versi Niken. Niken tersenyum mengenang pertama kali ia dan Pandu bertemu. Dengan senyum tersungging di bibirnya, Niken mengaku, “Sepertinya aku duluan yang naksir Pandu. Cewek mana sih yang nggak naksir sama cowok ganteng bermata elang seperti Pandu?” Agung tertawa mendengar jawaban Niken yang menurutnya tergolong sangat hiperbola. Ia juga senang karena merasa sukses membuat Niken tersenyum. Jangan panggil namanya Agung kalau tidak bisa membuat orang tertawa! “Gitu dong, senyum. Kamu kalau senyum manis sekali, lho.” goda Agung. “Padahal si Pandu bilang dia duluan yang naksir kamu lho. Koq ceritanya terbalik-balik begini sih?” Agung memberi umpan lagi agar Niken mau bercerita lebih banyak. “Masa? Dia bilang begitu? Dia bilang nggak, kenapa dia naksir aku?” Niken malah bertanya dengan mata berbinar-binar. Rupanya Agung sudah berhasil membuatnya sejenak lupa akan kepedihan hatinya. “Dia bilang kamu cewek tergalak yang pernah ditemuinya!” Agung tergelak-gelak. Niken ikut tertawa. Sadar dirinya dipermainkan, Niken lalu berniat ingin membalas ledekan Agung, ia berkata, “Kenapa sih kamu bernama Agung? Apa waktu masih bayi orang tuamu sudah tahu kalau kamu bakal berbadan ‘agung’ seperti sekarang?” “Waaaah... penghinaan nih!” Agung sadar Niken balik membalasnya. Tapi ia senang karena usahanya berhasil. Sudah tidak ada lagi wajah yang sedih seperti tadi. “Orang tuaku merasa aku nantinya akan jadi orang besar. Cuma kayaknya betul kamu, nama itu jadi boomerang. Entah nantinya bisa jadi orang besar atau tidak, tapi yang jelas aku jadi gendut begini. Mustinya aku diberi nama ‘Imut’ saja yah!” Begitulah sampai Pandu datang saat mereka berdua masih tertawa-tawa saling melempar canda. “Sorry mengganggu yang lagi bersenang-senang.” tegur Pandu. “Nah, yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang. Hey, Pandu! Kalau kamu nggak pulang-pulang bisa aku embat ini cewek nganggur!” goda Agung, yang sama sekali tidak tahu suasana hati Pandu. “Ambil saja.” jawab Pandu pendek. Agung kaget mendengar Pandu berkata begitu, biasanya Pandu selalu menanggapi godaannya dengan pembalasan yang lebih kejam. “Niken sudah menunggu lama, lho...” lapor Agung, lagi-lagi mengatakan sesuatu yang tidak perlu. Pandu tahu berapa lama Niken sudah ada di situ. Ia juga sudah berusaha secepat mungkin untuk pulang. Pandu tidak menjawab dan tidak berkata apa-apa. Sepertinya ia hanya menunggu Agung untuk masuk ke ruang dalam. Agung merasa kehadirannya di situ mengganggu, lagipula tidak tahu mau berkata apa lagi, tahu diri ia lalu masuk. “Capek?” tanya Niken saat Pandu menghempaskan tubuh penatnya di bangku itu. Pandu mengangguk. “Mananya yang capek, sini aku pijitin...” Niken menawarkan jasa pijatnya yang memang sering dilakukannya pada Pandu. “Yang capek di sini...” Pandu mengepalkan tangannya dan menekan ke arah dada di mana terdapat jantungnya. Niken cuma menatap lama tempat yang dimaksud oleh Pandu itu. Ia tidak pernah bermaksud untuk melukai orang yang begitu dicintainya. “Kamu kenapa kemari?” tanya Pandu kemudian. Niken tahu, tanpa diberitahu olehnya pun, Pandu sudah paham apa alasan Niken datang kesitu. Bertanya seperti itu hanyalah untuk menyindirnya. “Aku sudah membuatmu salah paham. Aku datang untuk minta maaf, dan untuk memberikan lagi hatiku untukmu, karena memang itu adalah milikmu. Itu kalau kamu masih mau. Aku harap kamu masih mau...” Niken sebetulnya bukan model orang yang suka mengalah seperti ini. Biasanya Pandu selalu mengikuti kata-katanya, jadi ia tidak pernah dihadapkan pada situasi seperti ini. Tapi Niken merasa kali ini sepertinya ia sudah membuat kesalahan yang begitu besar, Pandu berhak menyindirnya, bahkan jika Pandu tidak memaafkannya pun ia tidak akan menyalahkannya. “Aku sudah salah paham?” tanya Pandu. Nada suara Pandu membuat Niken jengah. Niken tahu Pandu marah, tapi ia juga tidak suka mengulang-ulang kata maaf. Niken lalu menyampaikan hal yang menjadi tujuan utama kehadiran dirinya di situ. “Kamu ada di warung bakmi sebelum ke rumahku, ya? Kamu mendengar yang nggak-nggak, kamu marah. Aku nggak menyalahkan kamu marah, tapi sungguh, semua yang kamu dengar itu nggak benar. Tukang bakmi itu memang suka menggoda Sadu. Waktu aku di sana juga begitu. Lalu kamu masuk ke kamarku, Sadu ada di situ. Aku tahu kamu pasti tambah marah. Ditambah lagi aku tidak mau...” “Masalahnya nggak sesimpel itu.” Pandu memotong penjelasan Niken. Ia lalu mengambil cincin yang sejak tadi dikantonginya. “Coba tebak aku dapat ini dari mana?” tanya Pandu. Lagi-lagi pertanyaan yang ia sudah tahu jawabannya. Niken terkejut melihat toe-ringnya sudah berada di tangan Pandu lagi. Pandu menimang-nimang cincin itu di telapak tangannya. “Buatku benda ini sangat berharga. Aku mohon kamu jangan memberikannya lagi pada orang lain.” “Aku tidak... Aku cuma...” Niken terbata-bata tak tahu harus berkata apa. “Kamu tahu? Kamu sangat berarti bagiku, Fei. Bagaikan nafas untuk paru-paruku. Aku mengira aku juga seperti itu bagimu. Selama ini aku mengira kamu membutuhkanku. Baru kusadari betapa aku salah.” “Omong kosong apa ini, Ndu? Atas dasar apa kamu bilang aku nggak butuh kamu? Kamu kira aku ngapain di sini? Bahkan aku besok lusa ada ujian.” Niken jengkel karena kata-kata Pandu terus memojokkan dirinya. “Aku lihat kamu memang sudah nggak butuh aku. Akui saja. Kamu lebih membutuhkan Sadu, yang siap menolongmu kapanpun juga. Aku sama sekali nggak menyalahkanmu. Aku sadar memang aku nggak bisa membantumu.” “Kamu tahu, aku bahkan bolos ujian tadi pagi.” “Jangan membuatku merasa bersalah. Kali ini nggak akan mempan.” Pandu berlagak acuh. Sebetulnya dengan satu kalimat yang barusan Niken laporkan, Pandu sudah langsung merasa khawatir nilai-nilai Niken akan tambah terpuruk. Pandu tahu, bagi Niken bolos kuliah memang bukan hal yang baru, tapi bolos ujian baru kali ini terjadi. Sekalipun Niken merasa kata-kata Pandu benar-benar tidak masuk akal dan tidak tersirat ada niatan untuk merekonsiliasi hubungan mereka, ia diam saja karena tidak ingin makin mengobarkan api pertengkaran. “Kamu sudah minta ujian ulang?” tanya Pandu kemudian. Niken mengangkat bahu. Ia bingung apakah mesti memberitahukan bahwa Sadu sudah menggantikannya ikut ujian. Ia tidak tahu bahwa Pandu sangat mudah membaca gelagatnya. “Kenapa kamu lantas diam saja? Apa yang ingin kau katakan?” Niken makin mengkeret. Ia merasa kalau dia memberitahukan hal itu pada Pandu, pasti Pandu bertambah marah. Tapi kalau tidak memberitahukannya, Pandu sepertinya juga akan marah. Melihat Niken diam beberapa lama, Pandu lalu berkata, “Sejak kapan kamu takut padaku, Fei? Bilang saja, takut apa?” “Mungkin aku tidak perlu ujian ulang.” Niken akhirnya memutuskan untuk jujur saja. Daripada bohong lalu ketahuan di kemudian hari, malah tambah runyam nantinya. “Koq bisa? Kamu ijin sakit?” tanya Pandu heran. Ia tahu tidak semudah itu mengundurkan diri dari ujian. “Ada orang bodoh yang tidak menuliskan namanya sendiri di lembar jawabannya, malah menulis namaku.” “Sadu?” tebak Pandu. Niken menjawab dengan menganggukkan kepalanya. Pandu sudah yakin sekali tebakannya seratus persen betul walaupun tidak dijawab dengan anggukan itu sekalipun. Ia tahu, siapa lagi yang mau berbuat seperti itu demi Niken? Dari awal melihat Sadu, ia sudah merasakan ada cinta di sorotan mata Sadu saat memandang Niken. Justru itulah sebabnya ia marah pada Niken, karena Niken begitu polos tidak menyadarinya. Justru itu pula ia ingin Niken tidak meneruskan niat balas dendamnya, karena itu hanya akan membuat Niken semakin dekat dengan Sadu. Semurni apapun tujuan awalnya, Sadu tidak bisa memungkiri dirinya sendiri bahwa ia sangat mencintai Niken. Pandu merasa hanya masalah waktu saja, Niken akan dengan mudah direnggut dari sisinya. Pandu lalu menundukkan kepalanya, menyembunyikannya di antara kedua lengannya yang diletakkannya di atas lututnya. Rasanya kepalanya sudah mau meledak. Semalam, seperti Niken, ia juga tidak bisa tidur. Karena itulah pagi-pagi ia sudah memutuskan untuk datang lagi pada Niken untuk mengajak Niken melupakan semua perkataannya dan kembali padanya. Tapi rasanya sekarang ia menyadari jelas sudah tidak mungkin. Ia dihadapkan lagi pada kenyataan yang begitu pahit. Cinta mereka sudah digerogoti oleh virus aneh yang bernama Sadu. Tidak ada obat penawarnya. “Kamu pulang saja, Fei. Buat apa kamu terus di sini?” Suara Pandu terdengar penuh keputusasaan. “Kenapa kamu bilang begitu? Aku nggak akan pergi sebelum masalah ini selesai.” “Masalah ini tidak akan selesai.” keluh Pandu. Ia lalu seperti mendapatkan ilham dari kata-kata Niken barusan. “Kamu mau masalah ini selesai? Aku akan selesaikan sekarang juga.” Pandu lalu berdiri, dengan mudah ia mengangkat tubuh Niken dari atas bangku itu untuk berdiri. “Pergi. Pergi sekarang. Bawa ini.” Pandu memberikan toe-ring yang sedari tadi digenggamnya itu kepada Niken. “Lupakan aku. Sekarang ini cuma Sadu yang bisa membantumu. Pergilah padanya. Ia juga sangat mencintaimu.” Pandu mendorong-dorong Niken untuk pergi. Niken yang tidak bisa melawan dorongan Pandu itu mau tak mau terus mundur selangkah demi selangkah dengan terseret-seret. “Kamu gila, Pandu! Kalaupun Sadu memang mencintaiku, aku...” Pandu tidak mengijinkan Niken menyelesaikan kata-katanya. “Tidak mencintainya, kan? Aku tahu. Pergilah. Ini yang terbaik buat kita. Kalau kamu terus begini kita cuma akan saling menyakiti, dan pada akhirnya kamu akan membenciku, dan mungkin malah lebih mencintai Sadu.” Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di depan pintu mobil Niken. Pandu merebut kunci mobil Niken dari tangan Niken, lalu membuka pintu mobil itu, dan mendorong paksa Niken masuk ke dalamnya, dan menstater mobil itu. Niken terus berteriak-teriak histeris tidak ingin pulang. Pandu tidak mempedulikannya, ia lalu menutup pintu mobil dari luar. Niken masih tetap berusaha membuka pintu itu dari dalam, tapi Pandu juga menahannya dari luar. Tidak kekurangan akal, Niken membuka jendelanya. Ia bermaksud ingin melompat keluar lewat jendela. Pandu menghalang-halangi niat Niken dengan badannya. “Niken...!” kata Pandu dengan suara keras. “Dengarkan aku,” kata Pandu setelah melihat Niken tidak kunjung putus asa melawannya. Air mata sudah mengalir di pipi Niken sejak mulai berteriak-teriak tadi. Pandu lalu berlutut di luar mobil, sambil memegang kedua tangan Niken dari luar jendela. “Dengar. Percayalah padaku, ini yang terbaik buat kita berdua. Berusahalah untuk melupakanku. Aku juga akan begitu. Aku cuma minta satu hal. Cincin itu, jangan pernah kau berikan pada orang lain...” Niken sudah menangis terisak-isak. Rasanya ingin sekali ia memeluk Pandu dan menangis di bahunya. Sambil membelai rambut Niken, lalu mengistirahatkan kedua tangannya di tengkuk Niken, Pandu berkata dengan lembut, “Jangan menangis. Aku merasa, kita pasti akan bertemu lagi. Saat itu, kau bisa ceritakan padaku betapa indah hidupmu, betapa kau berterima kasih atas keputusanku hari ini. Lalu aku akan bercerita betapa hidupku sangat menderita tanpamu. Lalu kamu akan menertawakanku. Percayalah, sayang. Ini semua aku lakukan untukmu.” “Kalau ini semua untukku, mengapa aku sekarang begitu sedih?” Pandu tidak menjawab. Ia mengecup bibir Niken dengan lembut. Ia merasa ia perlu melakukannya. Untuk dirinya, juga untuk Niken. “Pergilah. Nggak lama, kamu akan bisa tertawa lagi. Aku tadi melihatmu begitu gembira bercanda ria dengan Agung. Jadilah Niken yang seperti itu. Aku hanya bisa membuatmu sedih dan menghalangi langkahmu.” Walaupun berkata demikian, Pandu masih belum juga melepaskan tangannya yang masih memegang kepala Niken. Sepertinya tangannya itu pun masih belum rela untuk melepaskan Niken. “Aku cuma ingin bergembira lagi bersamamu, Ndu...” “Karena itu kamu harus pergi. Pergilah sekarang. Kejar cita-citamu, raih harapanmu. Semuanya.” Pandu lalu melepaskan tangannya dan berdiri lagi. Melihat Niken terus menangis dan tidak terlihat akan segera pergi, Pandu lalu menggertaknya, “Kalau kamu nggak pergi-pergi juga, aku sendiri yang akan membawamu ke Jakarta malam ini juga.” Niken bisa melihat kebulatan tekad Pandu dari matanya. Ia sama sekali tidak mempunyai tenaga, keyakinan ataupun keberanian untuk melawannya. Tidak sanggup berkata apa-apa lagi, ia lalu berusaha tersenyum walaupun dengan berderaian air mata tak tertahankan, lalu melambaikan tangannya pada Pandu sebagai tanda perpisahan. Pandu sangat terharu melihat Niken seperti itu, ia juga tersenyum, mengangkat dan melambaikan tangannya untuk mengucapkan selamat tinggal. Lalu Niken membawa hatinya yang selaksa dihujani ribuan panah itu pergi dari tempat itu. * :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 7 Sudah lebih dari tengah malam saat Niken sampai di Jakarta lagi. Malam itu saat membuka pintu kamarnya, Niken melihat Sadu tertidur menelungkupkan kepala di atas meja belajarnya. Niken sudah sangat lelah, badannya sangat membutuhkan tidur nyenyak, jadi ia sama sekali tidak bermaksud membangunkan Sadu. Baru beberapa detik setelah Niken merebahkan kepala di atas bantalnya, ia langsung tertidur. Ketika ia bangun, hari sudah pagi. Sinar matahari telah tak sabar mengintip dari sela-sela korden jendela. Ia heran melihat Sadu sudah tidak ada di kamarnya. Baru saja ia ingin meletakkan kepalanya kembali untuk tidur sebentar lagi, matanya tertumbuk pada sesobek kertas di atas meja sisi ranjangnya. Dipungut lalu dibacanya. Selamat pagi, Niken. Kamu tidur lelap sekali. Aku sudah bangun dari tadi dan menunggumu bangun, tapi kamu sepertinya akan lama baru bangun. Kenapa kamu tidak membangunkanku waktu datang kemarin malam? Selamat sudah bisa menyambung kembali benang yang putus, aku nggak akan mengganggumu hari ini. Terima kasih sudah menepati janjimu. Sampai ketemu besok, jangan lupa ada ujian Farmakologi jam sembilan pagi. Belajar!!! Ya, besok ada ujian Farmakologi. Tapi Niken tidak ada semangat sedikitpun untuk belajar. Ia baru mau tidur lagi ketika tiba-tiba jam weker yang ada di meja belajarnya berbunyi. Terkejutnya setengah mati. Ia merasa tidak pernah memasang weker itu semalam. Cepatcepat ia bangkit untuk mematikan jam weker yang berdering dengan nyaring di telinganya itu. Jam setengah delapan pagi, gumamnya. “Whooaaa, masih pagi sekali,” katanya sambil menggeliat seperti cacing berjemur. Niken melihat buku diktat dan buku rangkumannya tertumpuk rapi di atas mejanya tepat di tengah-tengah. Ada sesobek surat lagi di atas tumpukan buku-buku itu. Aku tahu kamu pasti nggak akan bisa bangun untuk belajar. Sengaja aku pasang jam weker ini supaya kamu bisa bangun. Capek ya? Salah siapa pergi ke Bandung.(gambar lidah menjulur keluar). Tapi kamu harus belajar. Ayo bangun! Sikat gigi sana, itu mulut bau, tau!(gambar lidah menjulur keluar lagi.) Niken mengomel dalam hati. Bisa-bisanya Sadu menulis surat seperti ini. Ia lalu mencoba membaui mulutnya dengan mengatupkan tangannya membentuk tempurung di depan mulutnya. Memang perlu menggosok gigi, kalau tidak nanti bisa pingsan sendiri waktu menghafal nama-nama obat-obatan yang memusingkan itu. Setelah mandi dan menggosok gigi, ia lalu duduk di kursi meja belajarnya. Masih belum ada semangat untuk belajar. Setelah memaksakan diri, dibukanya buku rangkumannya. Ia kaget melihat buku itu sudah penuh coretan highlighter. Ada secarik kertas lagi yang dilipat dua dan diselipkan di halaman pertama. Yay!!! Akhirnya kamu belajar juga. Nah, gitu dong, jangan malas. Aku sudah memberi tanda di bagian yang penting-penting yang harus dihafal, yang menurutku bakal keluar di ujian besok. Kalau kamu sudah bisa menghafal semua sesuai petunjukku, dijamin ujian besok bisa lulus. Oya, terimakasih buku rangkumanmu ini komplit sekali, lebih sakti dari primbon. Lain kali aku fotocopy punyamu saja, ya. Mau tak mau Niken tersenyum. Ia tidak mengira akan bisa tersenyum lagi setelah kejadian kemarin. Memang hari terus berganti tidak peduli ia sedang sedih atau tidak. Yang terpenting, besok ada ujian dan Sadu memang benar, ia harus belajar. Ia mengira tidak dapat hidup tanpa Pandu, tapi nyatanya hidup tetap berjalan. Matahari masih tetap terbit, angin masih tetap bertiup, dan besok ujian Farmakologi tetap ada. Lagipula, siapa tahu Pandu berkata benar, suatu hari nanti, mungkin, jika mereka memang ditakdirkan untuk bertemu lagi di tempat dan waktu yang berbeda, keadaan akan sudah berubah. “Semoga saja hari itu akan ada,” doa Niken sambil membuka halaman kedua buku rangkumannya. Niken bingung melihat bukunya sudah penuh coretan tulisan tangan Sadu dengan menggunakan pensil. Kebanyakan Sadu menulis bagian di rangkuman ‘yang ini ada di buku diktat yang ini di halaman sekian’. Atau ‘perhatikan gambar atau diagram penting di buku diktat untuk mempermudah hafalan yang ini’. Halaman-halaman penting buku diktat juga penuh tulisan serupa. Di setiap akhir pembahasan, Sadu selalu menyelipkan pertanyaan ulasan untuk mengetes apakah Niken benar-benar sudah mengerti. Lalu pesan-pesan seperti, ”Sudah mengerti?”, atau “Sekarang boleh istirahat 10 menit, ngemil itu penting, lho”. Belajar seperti ini bagi Niken sangat mengasyikkan karena materinya cepat masuk ke otak, seperti ada tutor yang membimbingnya selangkah demi selangkah. Sebentar saja tidak terasa sudah lima dari keseluruhan tujuh bab dilalapnya habis. Terkadang ia berhenti dan teringat peristiwa kemarin di Bandung, tapi coretan highlighter Sadu warna-warni menarik perhatiannya, menahannya untuk tidak berlama-lama larut dalam lamunannya. Kira-kira jam lima sore, teleponnya berdering. Niken cepat-cepat lari mengambil teleponnya yang ada di meja sebelah ranjangnya. Tanpa melihat layar teleponnya, ia langsung menerima telepon itu. ”Ndu?” kata Niken waktu menjawab telepon itu. “Sorry... bukan Pandu, ini cuma aku. Aku tidak menyangka kamu akan pulang kemarin malam. Aku kira kamu bakalan menginap di sana.” Rupanya bukan Pandu melainkan Sadu. Oh, kenapa nama mereka begitu mirip, memikirkannya saja lidah dan otak Niken seperti terpelintir. “Aku kan sudah janji. Lagipula Pandu sudah tidak menginginkanku. Untuk apa aku berlamalama di sana?” “Bukannya kamu kemarin ke sana untuk menjelaskan semuanya?” Sadu bingung atas jawaban Niken. “Iya, tapi aku gagal...” ujar Niken dengan nada mengeluh. “Sudahlah jangan ungkit-ungkit lagi persoalan ini. Ada apa kamu menelepon?” “Kamu butuh aku ke sana?” tanya Sadu kuatir Niken akan seperti hari sebelumnya. Mogok makan, mogok belajar. “Nggak.” sahut Niken. “Jangan ganggu. Aku sedang belajar.” tolak Niken. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan Sadu. “Sungguh? Sungguh belajar?” Sadu tidak lantas percaya begitu saja. Dia masih ingat dua hari yang lalu Niken kukuh sekali tidak mau menyentuh apalagi membuka buku-bukunya. Sadu waktu pulang tadi mengira Niken akan semangat lagi belajar setelah hilang ngantuknya karena sudah berbaikan lagi dengan Pandu. Tapi sepertinya masalahnya sudah bertambah parah. Berarti semangat belajar Niken juga akan menurun ke tingkat yang lebih gawat lagi. “Kamu tidak percaya? Tinggal satu bab lagi selesai. Menurutku kamu berbakat jadi tutor. Besok kalau lulus daftar saja di UI jadi dosen. Siapa tau nanti bisa jadi Prof.” “Kamu belajar menurut catatanku?” selidik Sadu. Ia masih tidak percaya. Bahkan ia sudah siap-siap mau berangkat ke rumah Niken. Kunci sepeda motor sudah ada di genggamannya. “Aku tanya,” Niken berlagak main tebak-tebakan. “Kalo hasil lab ESR-nya tinggi, berarti apa?” “Oke.” Sadu mengerti maksud Niken. “Kalau kamu bisa menjawabnya sendiri, aku percaya kamu sudah banyak mengerti.” Niken tersenyum puas. Ini memang bukan soal yang sulit kalau sudah belajar. “Berarti ada infeksi atau gangguan pada sel darah merah. ESR adalah laju endap darah yang menunjukkan kecepatan mengendapnya darah.” Sadu manggut-manggut. Ia meletakkan kembali kunci sepeda motor di atas meja. “Bagaimana? Sudah percaya?” “Bagaimana kalau SGPT dan alkaline fosfatnya tinggi...?” tanya Sadu. Niken langsung menjawab dengan mantap, “Berarti ada gangguan dalam fungsi hati. Hasil MCU yang lain juga harus dilihat untuk memastikan adanya gangguan hati, yaitu pemeriksaan protein total, bilirubin total, SGOT, gamma GT. Puas sama jawaban saya, Pak Dosen?” Sadu tergelak. Nada suara Niken saat mengatakan ‘Pak Dosen’ rasanya mengejek sekali. Tapi dia sangat puas Niken bisa menjawab dengan benar. Berarti usahanya kemarin seharian tidak sia-sia. “Bagus kalau kamu sudah paham,” ujar Sadu kemudian. “Malam ini sebaiknya kamu tidur lebih awal supaya besok bisa bangun.” “Baik, Pak.” * Jam sembilan kurang sepuluh. Peserta ujian sudah diperkenankan masuk ruang ujian lima menit yang lalu, tapi Niken masih belum nampak batang hidungnya. Hal itu tentu saja membuat kuatir Sadu. Jangan-jangan Niken akan tidak datang lagi seperti dua hari yang lalu. Sadu juga sudah berada di dalam ruang ujian. Ia sudah siap-siap menghafalkan nomor ujian Niken lagi, ketika dilihatnya Niken lari-lari menuju ruang ujian. “Anak gila. Ujian bisa-bisanya terlambat!” gerutu Sadu. Tapi tak ayal dia lega sekali karena Niken sudah datang. Berarti Niken masih peduli pada masa depannya, dan masalah Pandu sudah tidak mempengaruhinya lagi. Waktu Niken lewat melalui mejanya, Sadu berbisik, “Kenapa telat, non?” “Berisik ah!” Cuma itu jawaban Niken yang lalu cepat-cepat duduk dan mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal karena berlari-larian tadi. Bodoh sekali kemarin malam dia salah menyetel jam wekernya bukan jam tujuh pagi tapi jam tujuh malam. Jadi ketika terbangun, sudah jam delapan lebih dua puluh menit. Panik setengah mati, Niken lantas cepat-cepat menggosok gigi dan cuci muka, lalu langsung berangkat ke kampus. Bahkan ia tidak ingat apakah ia sempat mengunci pintu mobilnya saat turun tadi. Tapi ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Toh tidak ada benda-benda berharga di dalam mobilnya. * Sadu menertawakan kebodohan Niken saat Niken menceritakan apa yang terjadi pagi tadi sambil berjalan di lapangan depan. “Jadi kamu belum mandi?” “Pikirmu?” “Pasti belum!” Sadu tertawa lagi. “Pantas saja baunya minta ampun nih!” Sadu mengibasibaskan tangannya di depan hidungnya. “Oh, minta dihajar?” ancam Niken sambil mengangkat tangannya. Sayang sekali saat itu dia tidak membawa buku diktat yang tebal-tebal itu. Kalau ada buku diktat pasti sudah digebuknya Sadu tanpa ampun. Berhubung hari ini cuma ada ujian, Niken tidak membawa apapun selain kartu mahasiswa dan alat tulis. Ia bahkan tidak membawa dompet lantaran tadi terlalu tergesa-gesa. Sadu cepat-cepat mengambil langkah seribu guna menghindari bogem Niken di pantatnya. Niken mengejarnya. Biarpun badannya kecil mungil, tapi kalau hanya soal kejar-mengejar bukanlah masalah yang berat untuknya. Tadi pagi dia sudah pemanasan pula. Rupanya Sadu cukup gesit. Berkali-kali Niken hampir berhasil menangkapnya tapi berkali-kali pula ia berhasil menghindarkan diri. Sadu benar-benar harus lari sekencang mungkin jika dia mau lepas dari kejaran Niken. Dan itu tidaklah mudah. “Cukup, Niken... Cukup...” kata Sadu sambil masih berlari. Kalau berhenti pasti Niken akan menghajarnya. Tiada jalan lain selain terus berlari. “Kamu belum lelah-lelah juga mengejarku?” “Awas kalau sampai tertangkap pasti aku habisi.” Sudah saatnya untuk minta ampun. Nafas Sadu sudah hampir putus. Paru-parunya butuh sumbangan ransum oksigen. Dari mana mendapatkannya kalau terus-menerus lari begini? “Kau boleh memukulku. Tapi sekali saja.” kata Sadu menawarkan gencatan senjata. “Tidak ada tawar-menawar. Sudah loyo yah?” ejek Niken merasa lawannya sudah hampir menyerah dan mulai siap-siap mengibarkan bendera putih. Sambil terus berlari, Sadu menghadap ke arah belakang, ke arah yang mengejarnya. Gerakan tangannya memohon ampun, tapi masih terus berlari. “Buk!” Sadu menabrak orang karena tidak memperhatikan jalan saat berlari. Sedetik kemudian Niken hampir berhasil menangkapnya dan baru saja ia hendak memukul pantat Sadu dengan tasnya, ketika... “Dion!” Sadu terkejut karena menabrak orang, dan lebih terkejut lagi melihat orang yang ditabraknya ternyata adalah kakaknya sendiri, yang notabene bukan mahasiswa UI. Niken tidak sempat mengerem langkah larinya. Ia menabrak punggung Sadu yang berhenti mendadak. Masih terbawa momentum, badannya lalu terpental ke belakang. Sadu tidak tahu Niken akan jatuh, sementara Niken juga tidak tahu bagaimana sampai kedua tangan Dion yang sigap berhasil menyelamatkannya sebelum tubuhnya menyentuh tanah. “Tubuhmu ringan sekali.” kata Dion, masih belum melepaskan tangan kanannya yang ada di kepala Niken maupun tangan kirinya yang di pinggang Niken. Saat itu Niken juga masih menyandarkan hampir keseluruhan berat badannya pada kedua tangan Dion. Saat itu Niken juga tidak mengerti maksud kata ‘ringan sekali’ itu apakah pujian atau sindiran. Sadu otomatis membalikkan badannya saat Dion menangkap Niken tadi. Ia melihat sinar aneh di mata Dion, seperti melihat sisi Dion yang lain yang tak pernah dilihatnya sebelum ini. Dion yang ia kenal tidak pernah menolong orang tanpa pamrih. Tindakannya selalu penuh maksud, baik terselubung maupun nyata. Saat Dion menolong Niken tadi walaupun cuma masalah sepele, ia jelas terlihat begitu tulus ingin menolong. Pemandangan yang dilihat oleh Sadu saat ini sungguh aneh. Yang satu kakaknya, yang satu wanita yang dicintainya, walaupun bukan miliknya. Harus diakui mereka berdua terlihat sangat serasi. Keserasian yang unik. Dion yang putih, tinggi dan atletis, dengan Niken yang juga putih, tapi mungil dan terlihat sangat kecil dibandingkan Dion. Kalau dilihat sekelibatan, Niken terlihat tak berdaya dan Dion terlihat sangat melindunginya. Kalau Dion mau, membunuh Niken mungkin mudah sekali seperti memelintir semut. Tapi kalau ditilik lebih lanjut lagi, Niken justru terlihat seperti semut ganas yang siap menggigit. Tangan kekar yang sanggup memelintir si semut ini justru nampak kalah tak berdaya di hadapan si semut. Sadu membayangkan dirinya adalah Dion yang sedang memegang Niken, karena bentuk tubuhnya memang mirip Dion. “Rupanya seperti ini kalau aku bersebelahan dengan Niken,” ia menggumam dalam hati. Ia lalu berharap Dion tidak cepat-cepat melepaskan Niken, karena pemandangan itu dilihatnya begitu memabukkan. Bagaikan melihat dirinya sendiri yang sedang memeluk Niken. Sekaligus pada saat yang bersamaan ia juga ingin Dion cepat-cepat melepaskan Niken karena didera cemburu. Tidak terlihat ada tanda-tanda Dion akan segera melepaskan Niken. Rupanya seperti Sadu, Dion juga menikmati pemandangan indah yang sedang dialaminya, dan tidak ingin segera keluar dari perasaan itu. Dion teringat waktu masih kecil kalau hari panas ia sering mencuri-curi menceburkan diri ke dalam bak mandi. Walaupun sudah berkali-kali dilarang dan dimarahi ibunya, tapi tetap saja dilakukannya. Ia tahu salah, tapi berendam di dalam bak mandi sungguh mengasyikkan, ia tak pernah berusaha menahan diri untuk tidak melakukannya. Justru karena dilarang itu juga menambah keasyikannya. Ada kenikmatan tambahan karena tahu tidak boleh. Perasaan yang dirasakannya saat ini hampir sama seperti waktu menceburkan diri ke dalam bak, hanya ini seribu kali lebih indah. Mungkin kalau menceburkan diri berdua dengan Niken ke dalam bak mandi, perasaannya akan sama seperti sekarang. Sementara itu di pihak lain, Niken adalah satu-satunya orang yang bisa menganalisa kejadian ini dengan akal sehat, karena dialah yang tidak dipengaruhi ataupun dibutakan oleh cinta. Ia bisa berpikir dengan jernih. Kejadian kali ini membuatnya percaya kuat bahwa Dion tertarik padanya. Entah seberapa tertarik, itu akan dapat dibuktikannya sendiri nanti. Yang jelas ia harus bisa memanfaatkan keadaan ini sebaik-baiknya karena ini adalah tiket menuju keberhasilan rencananya. Itulah sebabnya Niken juga tidak berusaha melepaskan diri. Hari lain dan dengan orang lain, Sadu sekalipun, pasti ia akan cepat-cepat menarik dirinya dan melepaskan diri. Kali ini lain. Tiba-tiba Niken merasa dirinya sudah berubah. Begitu manipulatif, begitu kejam. Kenapa dia bisa berubah jadi begini? Mungkinkah karena itu Pandu tidak menginginkannya lagi? Mungkinkah Pandu melihat perubahan besar dalam dirinya, sehingga Pandu tidak mengenalinya lagi? Memikirkan hal itu, hatinya bergolak. Niken tidak menyadari bahwa sebetulnya hatinya sama sekali tidak berubah. Setidaknya sampai sekarang masih belum. Bahkan dalam pelukan orang lain sekalipun, yang ada di otaknya cuma nama Pandu. Sadulah yang akhirnya pertama kali membongkar adegan yang seperti sudah berlangsung seperti keabadian. Lama-lama kecemburuannya berhasil membunuh perasaannya yang satu lagi itu. Ia menarik tangan Niken dan mengikuti gerakan itu, Dion otomatis melepaskan kedua tangannya. “Lain kali kalau lari sama lihat jalan.” kata Dion yang setelah ‘kembali ke alam nyata’ jadi kikuk, tidak tahu musti berkata apa untuk menyembunyikan kekikukkannya. Ia tidak ingin Niken ataupun Sadu membongkar kelemahannya. Dion tidak sadar bahwa sudah terlambat untuk menyembunyikan itu semua karena sudah sejak tadi Niken memperhatikannya. “Ada apa kamu kemari?” tanya Sadu langsung pada pokok permasalahannya. Ia tidak suka melihat kakaknya masuk ke dalam ‘sarang’nya. Seharusnya ia menyadari betapa Dion juga tidak suka Sadu yang selama ini sering mencampuri dan mengganggu urusannya, bahkan berusaha membuat cemar namanya. “Aku kemari mencarimu. Ada yang penting ingin kubicarakan.” Dion serius menatap Sadu. Ia lalu menatap Niken, mengisyaratkan bahwa yang akan dibicarakannya adalah rahasia, dan tidak ingin Niken mengetahuinya. Sadu juga menyadari maksud isyarat Dion itu, dan Sadu juga tidak ingin Niken mengetahuinya kalau hal itu benar adalah rahasia. Biasanya yang dibicarakan oleh Dion tidak layak untuk diketahui orang biasa. Apalagi yang rahasia. “Maaf Niken. Kamu jalan duluan, deh. Nanti aku susul.” ujar Sadu. Niken mengangguk. Walaupun ini menguak rasa ingin tahunya, tapi ia berusaha menahan diri. “Aku tunggu di depan sana, ya?” Niken menunjuk ke arah pintu gerbang. Senyuman manis Dion dan anggukan Sadu mengantar Niken pergi. Setelah Niken berlalu, cepat-cepat Dion mengajak Sadu duduk di bawah pohon yang rindang. “Kamu tahu siapa Niken?” tanya Dion cepat. Sadu tidak mengerti maksud Dion bertanya seperti itu. Ia tidak langsung menjawab. “Maksudku, apa kamu tahu Niken sudah punya pacar, pacar lain selain kamu?” Deg! Dari mana Dion tahu?, pikir Sadu. Memang sulit menyembunyikan sesuatu dari kakaknya yang mahatahu ini. “Tahu. Namanya Pandu. Dari SMA mereka pacaran. Tapi sekarang sudah putus.” jawab Sadu tegas. “Yakin sudah putus?” tanya Dion dengan nada menyelidik. “Kalau kamu tidak percaya, tanya sendiri ke orangnya.” Sadu menunjuk Niken yang berdiri agak jauh bersandar di pintu gerbang. “Jangan kuatir, aku pasti akan tanya dia juga. Aku ingin tahu jawabanmu dulu,” Dion membatin. Ia sudah cukup heran mendengar Niken punya pacar di Bandung. Ia mencium ketidakberesan. Tapi tadi dilihatnya mereka berdua berkejaran dan bercanda, sepertinya dugaannya keliru. “Mau aku panggilkan dia?” tanya Sadu lagi. Dijawab dengan anggukan, Sadu lalu berteriak memanggil nama Niken. Niken berlari-lari kecil menghampiri mereka. “Ini, rupanya Dion ingin menanyakan...” Belum sempat Sadu menyelesaikan kata-katanya, Dion sudah mendahului berkata, “Siapa Pandu? Apa hubunganmu dengannya?” Niken terkejut, tapi dengan cekatan ia berhasil menyembunyikan keterkejutannya itu dengan baik. “Seseorang yang sangat berarti bagiku. Yang membentuk kepribadianku. Karena dia lah aku menjadi aku yang sekarang. Kalau bukan karena dia, mungkin aku tidak akan pernah mengenal yang namanya cinta.” Lancar sekali kata-katanya saat menjelaskan siapa Pandu. Karena itu adalah kata-kata jujur yang keluar langsung dari dalam hatinya. “Masih mencintainya?” tanya Dion menegaskan. Lucu sekali, bahkan Sadu tidak pernah menanyakan hal ini padanya, malah Dion yang sekarang menanyakannya. Cara Dion menanyakannya juga membuat Niken semakin yakin bahwa Dion menyukai dirinya. Niken tersenyum pahit. “Meskipun aku mencintainya setengah mati juga tidak berhasil membuatnya kembali padaku.” Dari tadi yang dikatakannya tidak ada yang bohong. Dion pun bisa merasakan bahwa semua yang dikatakan oleh Niken itu benar adanya. Dia cukup ahli dalam menilai seseorang sedang membohonginya atau tidak. “Jadi sekarang kamu benar-benar mencintai... mencintai Sadu?” tanya Dion. Ingin sekali ia mengganti nama Sadu di kalimat itu dengan namanya sendiri. Tapi kalau itu dia sudah tahu jawabannya adalah tidak. “Apa Niken perlu mengulang kotbahnya tentang berlian?” tanya Sadu berusaha ingin menjawab pertanyaan untuk Niken. Dia tahu Niken sebetulnya tidak suka berbohong. Kalau menjawab mencintainya, berarti Niken berbohong. Ia tahu Niken tidak mencintainya. Yang dicintainya adalah Pandu. “Aku tidak bertanya padamu.” kata Dion. Ia merasa Sadu sengaja mengatakan hal itu untuk mengingatkannya kembali bagaimana ia sangat terpikat dengan ‘berlian’ itu. Niken cukup bingung menjawab pertanyaan sesimpel itu. Kalau harus menjawab jujur, jelas jawabannya adalah tidak. Tapi tentu saja ia tak bisa mengatakan tidak. Terkilas jawaban terbaik menurut otaknya yang bekerja dengan keras. “Kalau saja Sadu lebih mencintaiku daripada mencintai pelajarannya, tentu aku tidak akan sesedih ini.” Sadu sangat terperanjat mendengar jawaban Niken yang sangat di luar dugaannya. Walaupun tidak mengerti arah yang dituju Niken, ia merasa Niken adalah kawan dan bukan lawan, jadi ia bertekad untuk terus mendukung apapun yang dikatakan oleh Niken. Sepertinya Dion juga tidak menduga jawaban Niken akan seperti itu. Ia baru saja akan menyerah pada kenyataan bahwa Niken adalah milik adiknya seorang. Kenapa sekarang seperti ada jendela yang terbuka saat pintu ditutup? Dion lalu menatap ke arah Sadu, yang wajahnya tidak menyiratkan keterkejutan. Dion tetap percaya Niken berkata fakta. “Apa maksudnya?” Dion masih menatap Sadu, mencoba mendapat jawaban dari pihak lain, sambil mengendus-endus apakah ada kebohongan. “Benar. Aku memang bersalah, tidak pernah memperhatikannya, menganggap remeh dirinya. Boleh dibilang aku lebih mencintai studi dan karir daripada dia.” Dalam hati Niken berpekik dengan girang. Kata-kata Sadu tadi cuma sekedar mengulangi pernyataannya, hanya sedikit berubah dari kata-kata awalnya. Karena Sadu tidak mengetahui maksud ucapan Niken, Sadu hanya bisa mengartikan, merubah dan mempermak kata-kata Niken supaya menjadi tidak sama persis tapi keluar dari mulutnya sendiri. Niken tersenyum dan sekilas menganggukkan kepalanya untuk memberi tanda pada Sadu bahwa ia menyetujui pilihan kata-katanya. Dion tidak melihatnya karena masih memandang wajah Sadu. “Kamu tidak mencintainya?” tegas Dion lagi. Sadu semakin bingung. Hatinya terus meneriakkan bahwa ia sangat mencintai Niken, tapi sepertinya ia harus meredamnya. Sambil menatap Niken yang sedari tadi juga terus menatapnya, Sadu berkata, “Bohong kalau aku bilang tidak mencintainya. Tapi aku harus merelakan dia untuk meraih kebahagiaannya sendiri, karena sepertinya aku tidak bisa memberikan kebahagiaan padanya.” Bingo! Sadu memang cerdas, puji Niken dalam hati. Tidak mungkin Dion tidak mempercayai kata-katanya sekarang. “Kalau kamu tidak mencintainya, bolehkah aku mencintainya?” tanya Dion pelan. Mendengar itu, Niken dan Sadu sama-sama terkejut. Meskipun Niken sedari tadi sudah dapat menebak bahwa Dion menyukainya, ia tidak menyangka Dion akan begitu berterus-terang seperti itu. Apalagi Sadu. Keduanya lalu berbalik memandang Dion dengan wajah yang penuh tanda tanya. “Benar,” Dion mengaku. Ia bahkan mengaku pada hatinya sendiri kali ini. “Aku tertarik pada Niken. Seumur-umur belum pernah ada seorang wanita yang membuatku seperti ini. Akan tetapi, aku tidak akan meneruskannya kalau kau melarangku.” “Aku? Melarangmu? Punya hak apa aku melarangmu? Lagipula, kalau aku melarangmu, apakah kau lantas benar-benar tidak akan mencintai Niken? Sejak kapan kau mendengarkan kata-kataku?” Pertanyaan Sadu yang bertubi-tubi dikeluarkannya dengan nada sinis. “Aku tahu. Selama ini sikapku sangat buruk, maafkan aku. Aku selalu merasa kau adik kecil yang berusaha merusak semua rencanaku. Tapi kau mempunyai sesuatu,... “ Dion menelan ludahnya. “... seseorang... yang sangat aku inginkan. Kalau kamu mengijinkan, aku akan sangat berterima kasih, dan aku akan berubah.” Dion terlihat sungguh-sungguh berjanji. Bahkan Niken pun percaya Dion tulus, terlihat tulus mencintainya. “Hallo?”Niken menengahi. “Kenapa dari tadi tidak ada yang menanyakan padaku? Apakah aku ini terlihat seperti barang yang bisa diperjual-belikan?” Kedua pria itu terdiam, masing-masing tenggelam dalam pergelutannya. Dion lebih bisa berani menghadapi Sadu daripada menghadapi Niken. Ia tidak berani mengatakan pada Niken bahwa ia mencintainya. Ia takut akan dihadapkan pada kenyataan bahwa Niken hanya mencintai adiknya seorang dan hatinya akan hancur berkeping-keping mendengarnya. Sementara Sadu mulai paham akan maksud Niken. Tapi ia sebetulnya sangat tidak menyetujui niatan Niken untuk bermain api seperti ini. Kalau salah langkah ketiganya bisa hangus. Ketiganya, Niken, Dion dan dirinya. “Lupakan saja kata-kataku tadi. Hapus saja, hapus.” Dion akhirnya membuka suara. Rasa takutnya membuatnya mengatakan demikian. Ia tidak ingin tambah merusak hubungannya dengan sang adik yang sudah sulit diselamatkan lagi, sementara ia juga tidak ingin ditolak mentah-mentah oleh Niken. Harga dirinya adalah hal yang sangat penting bagi dirinya. “Aku pulang dulu,” Dion lalu menambahkan, “Jangan lukai dia.” Niken dan Sadu masih melongo saja saat Dion beranjak pergi dari bawah pohon yang rindang itu. Begitu bayangan Dion sudah tak terlihat lagi, Sadu cepat-cepat mencurahkan seluruh kebingungannya dengan satu kalimat, “Apa maksudmu tadi, Niken?” “Maksudmu, kenapa aku tiba-tiba ingin ‘putus’ sama pacar gelapku?” Niken bertanya dengan nada geli. Ia masih belum lupa bahwa cowok di depannya ini masih berhutang pukulan di pantatnya. Tidak menjawab, tidak mengangguk maupun menggeleng, Sadu hanya terus memandangi Niken dengan wajah yang meminta keterangan lebih lanjut. “Karena aku yakin Dion menyukaiku. Kesempatan emas ini tidak akan aku biarkan berlalu begitu saja. Apa kau juga tidak merasa bahwa Dion menyukaiku?” Sadu merengut. “Terang-terangan dia menyukaimu. Dia bahkan bilang dia mencintaimu tadi.” “Aku menyadarinya sebelum dia mengatakannya” Niken membela diri. “Kau tetap akan mendukungku, kan?” tanya Niken. Wajah Sadu masih menampakkan ketidaksenangannya. “Lihat-lihat dulu,” katanya kemudian. “Berani?!” Niken sigap sekali tangannya sudah mendarat di bokong Sadu. “Plaakk!” Sadu mendelik. Niken spontan tertawa. Sebelum Niken berhasil mendaratkan ceplesan satu lagi, Sadu cepat-cepat lari sambil berteriak minta ampun. * Tidak sulit bagi Niken untuk membuat Sadu mau mendukungnya kembali. Niken hanya tinggal berjanji untuk belajar terus selama dua minggu ini sampai semua ujian selesai. Maka dari itu Niken benar-benar giat membaca dan belajar selama dua minggu ini. Dia bahkan sering pulang larut malam setelah seharian mengeram diri di perpustakaan, membaca bukubuku acuan yang tidak dimilikinya. Dia yakin ujian-ujiannya kali ini telah dilaluinya dengan gemilang. Bahkan ujian Patologi Anatomi yang dilaluinya dengan curang itu pun sepertinya tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak Universitas. Permohonan Sadu untuk mendapat ujian ulang juga sudah dikabulkan. Dia hanya mendapat tambahan satu tes praktikum minggu depan, selain tentu saja mengulang ujian teori itu dengan soal-soal baru. Mikrobiologi adalah ujian terakhir siang tadi. Sesiangan tadi Niken sudah merayakan ‘kebebasannya’ dengan teman-teman sekelasnya yang tadi ikut ujian Mikrobiologi, termasuk Sadu. Sadu sekarang sering ikut Niken kalau ada acara kumpul-kumpul. Tadinya dia sama sekali tidak peduli untuk bersosialisasi, tapi sekarang sedikit demi sedikit temannya di kampus sudah bertambah berkat Niken. Pelan-pelan ia kembali menjadi Sadu yang dulu, yang periang dan ceria. Belum sepenuhnya, tapi sudah terlihat tanda-tanda kesembuhan. Baru jam setengah tujuh malam. Niken sudah mendapat nomor telepon Dion dan juga ijin dari Sadu untuk menelepon kakaknya itu. Niken sudah dari tadi menekan nomor-nomor itu di keypad handphonenya, tapi sudah hampir dua menit, ia masih belum memencet tombol OK. Merayu cowok belum pernah menjadi sisi kuatnya. Sosialisasi, pelajaran, sport, adalah hal-hal yang bukan merupakan masalah bagi Niken. Sebelum mengenal Pandu, dia bahkan tidak menyukai topik percintaan. Saat berpacaran dengan Pandu, ia baru menyadari bahwa berbagi kelelahan dan kegembiraan itu adalah hal yang sangat mengasyikkan, terutama dengan orang yang dicintai. Tapi kalau disuruh mendekati pria, kalau tidak ada hal yang berhubungan dengan pelajaran atau urusan band atau kepentingan lain, rasanya aneh sekali baginya. Tapi ini juga penting, pikirnya. Niken percaya kalau ia melakukan sesuatu dengan sungguhsungguh, pasti hasilnya akan baik. “Sekaranglah saatnya untuk belajar, Niken!” katanya dalam hati menyemangati diri sendiri. Niken berdoa komat-kamit dan mengharap Wulan di alam sana akan melindungi dirinya, lalu memencet tombol OK. “Hallo?” Dion sudah menjawab teleponnya. Suaranya di telepon lembut sekali seperti kasur busa yang empuk. Sangat berbeda dengan suara Sadu yang serak dan garang. “Dion?” tanya Niken. Menelepon handphone Dion, apa mungkin yang menerima adalah Sadu? Pertanyaan bodoh tapi sepertinya dalam hubungan perteleponan adalah hal yang biasa. “Betul, saya bicara dengan siapa, ya?” tanya Dion yang tidak mengenali nomor yang meneleponnya. Dia juga masih belum begitu mengingat suara Niken. “Ini Niken.” jawab Niken singkat. Jujur saja jantungnya berdegup keras, semua kata-kata yang sudah disusun rapi di otaknya buyar. Saat ini dia sedang mengutuki dirinya sendiri yang tidak menulis kata-kata yang sudah direncanakannya tadi. “Niken? Niken yang... temannya Sadu?” Pelan sekali suara Dion saat mengatakan ‘teman’. “Betul sekali. Kamu kenal berapa Niken memangnya?” Dion tertawa. Ia terkejut sekaligus senang sekali ditelepon oleh Niken. Mungkin umpannya waktu itu sudah dimakan oleh sang ikan, pikirnya. “Nggak banyak, mungkin sepuluh atau lima-belas,” jawab Dion sekenanya. “Ada perlu apa meneleponku, manis?” tanyanya dengan nada rayuan. “Hari ini adalah hari terakhirku ujian. Aku ingin pergi merayakannya, tapi teman-teman yang ada di daftar nomor telepon di handphoneku sedang pergi atau sibuk. Aku ingat pernah menanyakan nomor teleponmu, jadi aku meneleponmu.” “Bagaimana dengan Sadu?” tanya Dion. “Apalagi dia. Di malam minggu begini dia lebih suka berdiam di perpustakaan, belajar. Sepi katanya kalau perpustakaan di malam minggu, dia lebih bisa serius belajar.” Niken tahu Dion pasti akan menanyakan tentang Sadu, jadi tadi dia sudah berunding dengan Sadu untuk memberikan jawaban yang tepat. “Kau sedang sibuk?” tanya Niken lagi. Ia berharap Dion tidak menolak ajakannya. Pertama kali mengajak keluar cowok dan ditolak akan membawa dampak negatif pada percaya dirinya. “Untukmu, aku pasti akan meluangkan waktuku,” jawaban Dion begitu enak didengar. Kalau saja Niken tidak memasang tembok beton besar di hatinya, pasti sudah leleh mendengar ucapan yang begitu manis. “Kalau gitu kita ketemu satu jam lagi di arena bowling Plaza Senayan?” “Aku belum makan,” kata Dion. Ia sebetulnya tidak begitu suka didikte begitu, tapi jarang ditemuinya ada wanita yang berani mendiktenya seperti itu, jadi ia tidak begitu keberatan. “Bagaimana kalau kita makan dulu, steak suka?” “Suka. Aku juga belum makan, koq. Tapi aku juga ingin main bowling. Makan di sana saja ya, jangan jauh-jauh.” “Baiklah, aku jemput saja. Minta alamat dong,” kata Dion sambil mengambil pulpen. Niken tidak ingin membantah. Rencana awalnya adalah bertemu di Plaza Senayan. Tapi ia melihat tidak ada jeleknya dijemput dari kostnya, maka ia pun mendiktekan alamat kostnya. * “Kamu nggak capek-capeknya membuatku surprised,” kata Dion setelah selesai makan. Mereka berdua sedang mengantri membeli frozen yoghurt. Saat makan berdua tadi ia merasa Niken sangat sederhana tapi mempesona. Cahaya dari matanya bersinar-sinar saat ia menjelaskan suatu hal yang disukainya. Tak ada satu detikpun pembicaraannya dengan Niken yang membosankan. Semuanya sangat menyenangkan dan menarik hati. Dion bisa memastikan Niken adalah gadis yang cerdas dan terpelajar, tapi sekaligus anggun dan sopan. Gayanya begitu natural dan sama sekali tak terlihat berusaha untuk mendekatinya. Dion sudah sangat terbiasa melihat wanita-wanita yang menyerahkan diri begitu saja padanya, melihat Niken yang penuh energi dan memberi jarak justru lebih menarik baginya. “Apa maksudmu?” “Gadis mungil sepertimu bisa makan full baby back ribs, dengan kentang goreng dan salad. Semua kau lalap habis, dan sekarang masih mau makan frozen yoghurt?” Niken cuma tersenyum meringis memperlihatkan gigi-giginya yang berbaris rapi. Mereka lalu asyik main bowling. Dalam sesi ini pun hati Dion tak henti-hentinya memberikan pujian pada gadis yang ada di sisinya malam ini. Ia tidak pernah begini bersemangat saat main bowling, atau main apapun, seks sekalipun. Bagi Dion ini lebih menggairahkan daripada seks. Sungguh. Dion sering sengaja melemparkan bola dengan asal, karena dengan begitu ia selalu berhasil memancing Niken untuk meledakkan tawa renyahnya. Niken lalu akan melangkah mengambil bola bowling dengan gayanya seperti peragawati di atas catwalk, sambil mencibir ke arahnya. Dion suka sekali melihatnya, tidak bosan-bosan. Bisa ditebak karena sikap Dion yang demikian, akhirnya setelah main tiga game, ketigatiganya dimenangkan dengan mudah oleh Niken. Niken lalu mengejeknya dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah menang melawan laki-laki sebelumnya. Bahkan mengatai Dion lebih lemah dari perempuan. Dion tersenyum dalam hati, “Kalau ia melihat kekuatanku, pasti terkejut.” Niken sendiri tidak menyangka akan bisa menikmati malam itu. Ia mengira malam ini akan seperti menjalankan tugas, tapi Dion ternyata sangat ramah dan menyenangkan. Sesekali Dion mengumbar rayuannya, yang membuat bulu kuduknya merinding, tapi secara mayoritas dinilainya malam ini sangat menyenangkan. * “Yah, sudah sampai di depan kostmu.” Suara Dion terdengar begitu kecewa akan berpisah dengan Niken. Niken tersenyum sambil memegang gagang pintu siap-siap akan melangkah keluar dari mobil. Dion lalu menambahkan, “Aku senang sekali malam ini. Terima kasih. Aku sudah lupa kapan aku segembira ini.” “Aku justru yang mau berterima kasih. Malam yang indah. Terima kasih kau mau menemaniku malam ini.” balas Niken. Ia ingin berkesan sopan dan menghargai. Dion lalu mendesah sambil berkata, “Semoga akan ada kesempatan lain bagi kita untuk bersenang-senang seperti ini. Oh, sungguh aku sangat menyukaimu, Niken.” Niken melepas pegangannya dari gagang pintu, tidak jadi keluar. “Begini saja.” kata Niken setelah diam beberapa saat. Ia menoleh ke arah Dion dan memandangnya lekat-lekat.“Kalau kau memang serius, aku akan mempertimbangkannya.” “Aku tidak pernah tidak serius...” “Tunggu..” potong Niken. “Aku belum selesai bicara. Kalau kau berhasil menemukan jawaban dari teka-tekiku, baru kau boleh bicara lagi tentang ini.” Niken lalu mengungkapkan teka-tekinya sebelum akhirnya turun dari mobil meninggalkan Dion termangu-mangu. Aku adalah dua ditambah dua Aku dingin, aku hangat Sah dan tidak sah Kewajiban atau kesalahan Kadang dijual sebagai barang berharga Tak berarti setelah pembelian Anugerah yang luar biasa Akhir yang tak terelakkan Dan mungkin juga menyenangkan Bila didapat hasil paksaan Apakah aku? * :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 8 Matahari bersinar dengan terik, memberikan panasnya tanpa ampun bagi siapapun di belahan bumi yang beruntung ini, termasuk bagi berjubel orang di pelataran UI yang sedang mengeluelukan band mereka yang pentas siang ini. Tapi sepertinya mereka tak ada yang protes. Niken dengan senang hati mengiyakan waktu anak-anak band memintanya menjadi guest-drummer untuk pentas sehari ini. Toh dia juga sudah tidak ada kerjaan. Seperti para penonton, peluhnya ikut menari-nari dari pelipis turun sampai ke dagunya. Rambutnya juga basah kuyub sebelum akhirnya diikatnya ke atas. Dia senang mendengar banyak orang masih meneriakkan namanya, menambah semangat baginya untuk memukul drum. Betapa ia rindu suasana seperti ini, di mana ia bisa lepas tanpa memikirkan apapun, hanya beat lagu yang ada di otaknya. Kalau sudah begini, berjam-jam pun ia rela main drum sampai tangan-tangan mungilnya kepayahan. Ia tidak habis pikir kenapa orang-orang bisa sampai kecanduan minum obat sampai teler, karena pasti efek yang diberikan drumnya ini lebih hebat daripada efek narkoba. Tadi waktu gantian ngedrumnya, ia sempat mengecek hpnya dan ada puluhan sms dari Dion menanyakan keberadaannya, juga satu sms dari Sadu yang mengatakan bahwa Dion mencarinya dan menyuruhnya untuk berhati-hati. Sadu juga bilang akan menontonnya siang ini. Teringat akan sms-nya, Niken lalu mencari-cari Sadu di antara penonton. Tentu tidak begitu sulit menemukannya menilik badan Sadu yang tergolong tinggi. Hanya satu yang menyulitkan, Sadu tidak suka memakai baju berwarna cerah dan menyolok, jadi dengan baju hitam dan celana hitamnya seperti biasanya, Sadu akan tenggelam seperti bayangan saja di antara penonton segini banyak. Setelah mencari-cari beberapa lama, akhirnya ditemukannya juga Sadu, yang ternyata sedang nangkring di atas pohon. Tepat dugaannya, ia mengenakan baju dan celana hitam, mengingatkan Niken pada rekan-rekan kerja Sinterklas. Niken lalu melambaikan tangannya untuk memberi isyarat pada Sadu bahwa ia tahu di mana dia berada. Sadu juga membalas lambaiannya, lalu turun dari pohon dan berjalan ke arah panggung. Niken menunggu sampai lagu selesai, lalu memberikan sticknya pada drummer penggantinya, memberi hormat dan melempar ciuman pada penonton untuk kesekian kalinya, lalu turun lewat belakang panggung. “Hoi, aku di sini!” teriak Sadu sambil melambaikan tangannya lagi. Niken tersenyum, dengan riang ia berlari-lari kecil ke arah Sadu. “Hebat kamu, kalau tahu kamu sehebat ini, aku nggak akan menyuruhmu berhenti,” puji Sadu. Ia belum pernah menonton Niken manggung sebelumnya, acara-acara seperti inilah yang biasanya selalu dihindarinya. Tersenyum lebar, Niken mempertontonkan gigi-giginya yang berbaris dengan rapi. Sadu lalu menambahkan, “Sudah berjam-jam kamu memukul drum, apa gak loyo itu tangan?” Lalu Sadu mengangkat kedua tangan Niken dengan kedua tangannya memegang pergelangan tangan Niken. “Ini duniaku yang lain, di sinilah aku merasa nyaman. Tanganku masih kuat beberapa jam lagi.” “Sorry... aku telah merenggut kenyamanan dan dunia ini darimu,” ujar Sadu sambil melepaskan tangan Niken. “Nggak papa,” kata Niken, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jujur saja saat itu aku sudah jenuh karena dunia itu sudah merenggut duniaku yang lain. Seperti ini lebih baik, aku jadi lebih bisa menghargai dan menikmatinya,” lalu teriaknya kemudian dengan menghela napas dan memejamkan matanya ke arah langit, “Oh, aku sangat senang sekali hari ini!” Bisa terlihat adrenalinnya masih tinggi setelah bernyanyi dan memukul drum berjam-jam, dan perkataannya tadi seperti meletupkan puncak adrenalinnya itu. Sekitar dua-tiga detik kemudian, sebelum Niken sempat membuka matanya kembali, saat ia masih menikmati letupan perasaannya, ia merasakan hangat di bibirnya. Seseorang sudah mencium bibirnya. Kaget, tapi harus diakuinya ciuman itu dirasakannya begitu hangat dan lembut. Ketika membuka matanya, ia semakin kaget karena ia menemukan Dion yang sedang menciumnya. Mata Dion terpejam, tangannya merengkuh pinggang dan punggung Niken, khusuk sekali. Niken terkejut juga melihat sikap Dion yang mendadak seperti ini, tapi ia lalu paham kenapa Dion begini. Di tengah-tengah puncak adrenalin dan keterkejutannya, ia pun membalas ciuman Dion. Tak sempat berkata apa-apa, Sadu bahkan tak tahu dari mana arah datangnya Dion, tiba-tiba saja sudah muncul di hadapan Niken dan langsung menciumnya. Bahkan dia yang adiknya sendiri pun tidak disapanya. Lebih heran lagi karena melihat Niken yang bukannya meronta malah mengijinkan. Setelah beberapa saat berlalu, Dion melepaskan pagutannya dari bibir Niken, tapi kedua tangannya masih berparkir di pinggang Niken. “Betulkah jawabanku?” Niken tersenyum dan mengangguk. “Argh! Kau membuatku gila berhari-hari. Aku tak bisa tidur, kata-kata itu terngiang-ngiang di telingaku sepanjang hari.” Dion lalu melafalkan teka-teki Niken, kata per kata, tanpa dikurangi ataupun ditambahi sedikitpun. Aku adalah dua ditambah dua Aku dingin, aku hangat Sah dan tidak sah Kewajiban atau kesalahan Kadang dijual sebagai barang berharga Tak berarti setelah pembelian Anugerah yang luar biasa Akhir yang tak terelakkan Dan mungkin juga menyenangkan Bila didapat hasil paksaan Apakah aku? “Aku merasa bodoh sekali setelah menemukan jawabannya. Seharusnya aku bisa menebaknya begitu cepat karena itu bukan hal yang asing bagiku. Tadi pagi waktu aku menyadari jawabannya, aku sedang berendam di kamar mandi sambil memikirkanmu. Aku cepat-cepat keluar bahkan hampir lupa memakai pakaian, dan berusaha menemukanmu untuk memberikan jawabannya.” Dion bercerita panjang lebar. Hari-harinya sejak bertemu Niken waktu itu memang dilaluinya dengan penuh kekacauan, otaknya seperti tak ada isi lain kecuali teka-teki yang dilontarkan oleh Niken. Jangankan dua ditambah dua, satu ditambah satu pun dia mungkin tak tahu jawabannya. “Ciuman. Sesimpel itu, aku memang begitu bodoh!” lanjutnya. “Setelah tahu jawabannya, aku malah bertambah gila. Aku berulang kali meneleponmu dan Sadu, aku pergi ke kostmu untuk menemuimu. Katanya kau sudah pergi sejak pagi. Aku bahkan sudah menyuruh anak buahku untuk mencari tahu alamatmu di Semarang, siapa tau kau pulang ke sana. Waktu akhirnya aku tahu kau ada di sini, aku sempat melihatmu dari jauh, kamu sedang berada di atas pentas. Aku sudah lupa di mana aku memarkir mobilku, karena aku cuma ingat langsung lari ke arahmu.” Dion hampir tak mengambil nafas saat bercerita tadi. Ia lalu menghela napas panjang. “Akhirnya aku menemukanmu. My God, Niken, aku nggak akan melepaskanmu lagi!” Detik itu pula Niken merasa kedua kakinya sudah masuk ke dalam kubangan kerbau, dan akan sulit buatnya untuk keluar dari kubangan itu tanpa kotoran di tubuhnya. * Sejak peristiwa ciuman di pelataran UI itu, Niken secara resmi sudah menjadi pacar Dion. Dion dengan bangga selalu membawanya ke mana-mana, baik ke acara penting seperti pembukaan sebuah hotel bintang lima, ataupun hanya untuk menemaninya minum-minum di club. Niken jadi terbiasa bertemu dengan ‘tamu-tamu’ Dion. Banyak trik-trik yang diajarkan oleh Sadu dahulu, juga diulang oleh Dion. Dion sangat menyayanginya, ia tak akan membiarkan seorang pun berani mengganggu Niken, jadi Niken merasa cukup aman. Trik-trik seperti ‘habiskan minumanmu sebelum turun ke lantai dansa, atau kalau tidak bisa, setidaknya pesan minuman baru setelah dari lantai dansa, dan jangan meminum dari gelas yang sama’, atau ‘jangan mencampur minuman, kalau malam itu kau minum bir, ya minum bir saja, jangan dicampur dengan yang lain’. Dan masih banyak lagi yang selalu diingat-ingat oleh Niken di belakang otaknya. Hampir sebulan berlalu, peranan Niken dalam hidup Dion semakin besar. Berulang kali Dion menyatakan niatnya untuk meninggalkan dunia gelapnya, yang selalu dijawab Niken dengan senyuman. Dion terlihat sangat sungguh-sungguh, tapi Niken tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia cuma ingin cepat menyelesaikan rencana balas dendamnya, dan kembali ke kehidupan normalnya, maksudnya, sebelum ia bertemu dengan Dion. Terhadap Niken, sikap Dion boleh dibilang sangat sopan. Niken mendengar banyak cerita dari teman-teman dan anak buah Dion yang mengatakan bahwa mereka sangat heran melihat Dion yang berubah sejak mengenal Niken. Mereka lebih heran lagi waktu tahu bahwa Niken tidak tinggal di ‘rumah hijau’ – sebutan mereka pada rumah Dion yang sekelilingnya memang berpagar tanaman tinggi. Dion cuma tertawa waktu ada yang menyindirnya sudah tidak doyan seks lagi, karena memang cuma itu tujuannya mengenal cewek sebelumnya. Sesudah manis sepah dibuang. Sepenuh hati ia menunjukkan pada Niken bahwa dia tidak bermaksud seperti dengan gadisgadis yang sudah-sudah. Niken tahu itu, tapi ia masih saja memasang pagar beton yang begitu tinggi, saingan tingginya dengan pagar tanaman di sekeliling rumah Dion yang megah itu. Di lubuk hatinya, ia sudah mencap Dion sebagai orang yang berbahaya dan sebersitpun masih tak ada niatan di hatinya untuk mencintai orang seperti Dion. Sikap Niken itu pun dapat dirasakan oleh Dion. Sikap yang menghindar saat ia berusaha berbuat lebih lanjut dari sekedar mencium. Bahkan Niken tidak mengijinkannya berlama-lama mencium bibirnya. Dion menduga Niken masih tidak mempercayainya, dan ia sadar dengan reputasi seperti miliknya, wajar bagi Niken untuk membuat batas seperti itu. Ia tidak marah justru menghormati sikap Niken yang demikian. Sementara itu ia terus berusaha menunjukkan pada Niken bahwa ia bisa dipercaya dan bahunya selalu ada untuk sandaran Niken. Tapi semakin Dion terlihat berusaha, semakin Niken merasa bingung. Makin lama ia mengenal Dion, ia makin merasa Dion seperti anak kecil yang polos dan tak berdosa, yang terperangkap mainannya sendiri dan berusaha mati-matian untuk keluar demi dirinya. Ia sama sekali tidak melihat Dion seperti setan yang diceritakan oleh Sadu. Kadang-kadang terkilas niatan di hatinya untuk menyudahi semua ini dan melupakan semuanya, tapi hatinya berontak tiap kali terbayang wajah lugu Wulan yang tergolek tak berdaya. Lagipula tidak sulit untuk mendapatkan recharge energi untuk membenci Dion. Dia tinggal menghubungi Sadu, yang selalu dapat diandalkan di bidang ini. Niken juga masih sering memikirkan Pandu. Pandu sama sekali tidak pernah meneleponnya, tapi melalui bekas teman SMAnya ia selalu mencari kabar tentang Pandu. Katanya Pandu sekarang aktif sekali di kegiatan mahasiswa, bahkan dicalonkan untuk menjadi ketua dewan mahasiswa. Mendengar itu, Niken lega, karena sepertinya hidup Pandu setelah kehilangannya juga tidak menjadi lebih buruk. Menilik hidupnya sendiri pasca Pandu, juga tidak terlalu mengenaskan. Niken tak tahu harus merasa bangga atau malu pada dirinya sendiri. Bangga karena bisa terus hidup dengan normal tanpa Pandu atau malu karena hal yang sama. Dua minggu lagi kuliah akan mulai lagi. Walaupun jadwal semester depan belum keluar semua, tapi Niken sudah bisa membau hawa tugas panjang yang menantinya. Sebetulnya Niken ingin sekali pulang ke Semarang menengok Omanya karena sudah lama ia tidak bertemu Oma, satu-satunya keluarganya yang tersisa. Oma sekarang sudah pindah ke Semarang, karena menjagai adik-adik tirinya yang juga pindah dari Malang setahun yang lalu. Tapi kalau bertemu Oma, pasti Oma akan menanyakan tentang Pandu, dan ia tak tahu harus menjawab bagaimana. Haruskah ia mengatakan ia sudah putus dengan Pandu, kalau iya, apa sebabnya? Ya, apa sebabnya? Kalau mengatakan hal yang sebenarnya dan menceritakan tentang Dion, pasti Oma akan kuatir sekali. Niken terpaku memandangi halaman terakhir diarinya. Akhir-akhir ini ia jarang menulis di situ, karena paranoid orang lain akan membacanya. Ia hanya sering menggambar-gambar apa yang dirasakannya. Seperti kemarin, setelah sorenya dicium oleh Dion, ia menggambar tulang anjing yang membusuk terkubur di tanah. Hanya ia yang tahu bahwa tulang anjing itu adalah dirinya, sebagai barang yang sangat diinginkan oleh anjing, tapi terkubur di tanah dan tak tahu kapan akan berhasil ditemukan dan digigit oleh si anjing. Akankah nanti si anjing marah karena menemukan tulangnya sudah menjadi busuk? Hari ini ia menggambar elang. Elang yang mengepakkan sayapnya lebar-lebar dengan matanya yang indah dan cemerlang. Elang itu tentu saja melambangkan Pandu, Pandu yang sangat dirindukannya. Ia masih terus memandangi gambar elang yang baru saja selesai dibuatnya, ketika kemudian didengarnya suara ketukan dari luar pintu kamarnya. “Pandu?! Ada apa kamu kemari?” Walaupun hati Niken girang, otaknya memberi signal terkejut ke seluruh organ tubuhnya. “Aku sendiri juga heran kenapa aku akhirnya kemari.” Walaupun Niken geli melihat Pandu bengong di depan pintu, tapi ia mempersilahkan Pandu juga untuk masuk dan duduk. Pandu duduk di kursi meja belajar Niken. “Aku butuh bantuanmu.” “O ya? Bantuan seperti apa?” “Cuma kau yang bisa membantuku.” “Jangan berbelit-belit seperti ini, kau tahu dengan begitu cuma akan membuatku penasaran.” “Baiklah. Begini,” kata Pandu meneruskan. “Sebenarnya aku mau pulang ke Semarang, besok hari Minggu kak Adit mau merit. Tapi...” “Tapi?” tanya Niken tidak sabar. Pandu terlihat aneh sekali hari ini. Pandangan Pandu lalu tertumbuk pada gambar elang di buku harian Niken. Niken baru sadar belum menutup buku hariannya hanya setelah melihat Pandu menatap ke arah buku harian itu. Niken cepat-cepat menutup buku keramatnya itu dan mengambilnya dari atas meja dan mendekapnya erat-erat di depan dadanya. Cuma sekilas saja melihatnya, tapi Pandu langsung tanggap bahwa Niken sedang memikirkan dirinya. Kalau Niken menggambar burung yang lain, mungkin dia tidak akan berpikir begitu. Tapi karena yang digambar adalah elang, tidak mungkin elang itu berarti orang lain. Untung Niken cukup bisa menggambar, jadi gambar elangnya tidak mirip ayam, tapi benar-benar mirip elang. Kecuali itu adalah ayam yang sedang menyaru jadi elang. Yang jelas hanya dengan melihat gambaran itu, Pandu jadi punya kekuatan dan kepercayaan diri untuk melanjutkan kata-katanya. “Tapi aku belum bilang sama keluargaku kalau aku sudah putus sama kamu, dan aku juga belum siap untuk bilang saat ini. Sorry Niken, aku tahu ini bodoh sekali, tapi aku sungguh...” “Jadi kau ingin memintaku untuk ikut bersamamu ke Semarang untuk hadir di pesta perkawinan kak Adit?” Niken menyela dengan nada girang. Tentu saja dia mau. Tidak usah ditanya alasannya pun ia akan mau. Pandu mengangguk. “Aku tahu kau pasti menganggapku bodoh sekali,” katanya hendak mengulangi kalimat sebelumnya yang belum selesai sudah dipotong oleh Niken. “Tapi pasti pertanyaannya jadi macam-macam, ‘Kenapa kamu putus sama Niken?’ saja udah pasti membuatku bingung menjawabnya.” Niken lalu mengambil tas dari bawah ranjang dan kemudian sibuk mengisi tas itu dengan baju-bajunya. “Niken? Kamu ngapain?” tanya Pandu bingung. “Packing! Kita berangkat secepatnya,” jawab Niken sambil terus sibuk memilah-pilih bajunya. “Pergi ke mana?” tanya Pandu dengan nada yang bertambah bingung. “Ke Semarang, sayang! Bukannya kamu bilang mau ke Semarang?” Pandu jadi ingat gadisnya ini memang sering membuatnya surprise, dan betapa ia kangen surprise-surprise kecil yang dilakukan Niken tanpa disadarinya. Ia mengira akan sulit membujuk Niken untuk ikut pulang ke Semarang, apalagi berpose di sana sebagai pacarnya dan berakting untuk menunjukkan bahwa hubungan mereka baik-baik saja, tapi ternyata tanpa membantah Niken langsung menyetujuinya. Malah bersemangat sekali langsung ingin pulang. “Mana yang lebih bagus? Rok pink kembang-kembang, atau merah, atau yang hitam ini?” tanya Niken yang lalu melemparkan rok-rok itu ke atas ranjangnya. Pandu memandangi rok-rok itu, sambil bolak-balik memandang Niken, seperti ahli fashion yang sedang akan memberikan penilaiannya. “Yang hitam jelas jangan. Kayak mau ke pemakaman aja. Yang kembang-kembang... bagus, tapi rasanya pernah kau pakai di acara keluarga sebelumnya. Yang merah perfect deh, cocok banget buat kamu, dan aku belum pernah melihatmu pakai baju itu.” Niken lalu melipat rok merah itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam tas. “Siap!” Tidak ada dua menit packing, Niken sudah siap dengan semangat empat-lima. “Jujur aja aku nggak menyangka bakal semudah ini membujukmu,” kata Pandu kemudian. “Tenang, aku nggak semudah itu,” kata Niken. “Kau juga harus menemaniku ketemu Oma.” “Jadi... Oma juga belum tahu...?” Niken menggeleng sambil tertawa cekikikan. Berdua mereka lalu berjalan ke halte bus sampai stasiun Gambir naik kereta yang membawa mereka ke Semarang. * “Kamu jangan mau pergi lantas pergi, dong!” Dion kesal saat menelepon Niken karena tidak menemukannya di kost. Saat itu kereta sudah hampir sampai di Semarang. “Sorry, aku pikir kau tidak akan melarang, aku sudah kangen sekali ingin bertemu Oma. Juga ada undangan kawinan. Besok Senin aku sudah pulang lagi, koq.” Niken bahkan tidak ingat untuk menelepon Dion terlebih dahulu. Dion cemberut. Ia baru saja membeli mobil baru. Maserati Spyder GT. Ia ingin membawa Niken jalan-jalan naik mobil barunya ini. Tak tahunya Niken malah sudah pergi ke Semarang. “Undangan kawin kenapa tidak mengajakku?” Dion masih merajuk. “Aku ingin berdua saja dengan Oma. Kita sudah bersama terus hampir setiap hari akhir-akhir ini.” Niken berusaha memberi alasan, tapi akhirnya dia menyadari bahwa jalan terbaik untuk keluar dari masalah ini adalah dengan merayu Dion. “Ayolah, nanti aku belikan oleh-oleh cemilan enak dari Semarang.” “Duh!”, seru Niken pada dirinya sendiri. “Apa tidak ada rayuan yang lebih bagus selain makanan?” Diliriknya Pandu yang duduk di depannya, yang sedang tersenyum. Waktu ia mengucapkan kata-kata yang barusan, ia bisa mendengar Pandu terkikik tertahan. Untung tidak keras, dan Niken bisa memastikan Dion tidak mendengarnya. “Janji? Belikan aku bandeng presto, lumpia, dan wingko babat. Dan yang lain-lain yang enakenak?” tanya Dion masih dengan nada merajuk. “So pasti. Nanti aku belikan pia kemuning juga.” Niken geli, rupanya rayuan makanannya cukup jitu. Mungkin memang benar orang bilang jalan ke hati pria adalah melalui perutnya. “Baiklah kalau begitu,” Dion akhirnya menyerah. “Sepertinya aku harus menemukan kegiatan lain tanpamu kali ini. Telpon aku tiap hari, ok?” Setelah menutup teleponnya, Niken langsung menendang tulang kering Pandu. “Sudah berani ngetawain aku yah?” katanya galak. “Ha ha, dari dulu juga berani,” ujar Pandu. Rupanya ia tidak pernah takut pada kegalakan Niken yang jelas pura-pura itu. Niken kembali menendang tulang kering Pandu di daerah yang sama. Pandu mengaduh keras. Kali ini Niken benar-benar menendangnya dengan sekuat tenaga, dan itu berarti pasti nanti akan benjol tulang keringnya ini. Minimal membiru. “Ampun deh. Kamu tambah galak aja, Fei.” Pandu terkejut dia masih memanggil Niken ‘Fei’. Niken juga terhenyak saat mendengarnya, tapi ia pura-pura tidak mendengar. “Itu tadi Sadu?” tanya Pandu mencoba mengalihkan pembicaraan supaya tidak membahas kecerobohannya memanggil Niken dengan panggilan kesayangan barusan. “Bukan.” Pandu heran. Kalau bukan Sadu lantas siapa lagi? Ia menunggu sesaat kalau-kalau Niken akan meneruskan atau menjelaskan lebih lanjut. Tidak ada tanda-tanda seperti itu. “Lalu siapa?” Pandu tidak sabar lagi ingin mendapatkan kejelasan dari Niken. “Dion.” Lagi-lagi jawaban yang singkat. “Dion?” Pandu memikirkan nama itu sejenak. “Dion yang kakaknya Sadu?” tanyanya terperanjat setelah menyadari siapa yang dimaksud Niken. “Ternyata ingatanmu masih oke juga,” Niken cuma menjawab pertanyaan Pandu dengan sindiran. “Serius nih, kamu pacaran sama Dion? Dion Sahara?” tanya Pandu memastikan. Ia masih tidak percaya Niken segila itu. Niken tidak suka pada nada yang digunakan oleh Pandu. Seakan dia manusia bodoh yang tidak mengerti benar dan salah. “Rasanya aku tidak perlu menjelaskan padamu. Kamu itu siapaku?” Niken terkejut sendiri mendengar kata-katanya yang begitu pahit. Ia yakin hati Pandu pasti tertusuk mendengar ini. Sedetik kemudian ia menyesal telah mengatakan hal itu, tapi yang sudah dikatakannya tak bisa ditelan kembali. Benar, Pandu juga tidak menyangka Niken akan berkata seperti itu. Ia mengira walaupun statusnya sudah bukan pacar Niken, tapi ia masih tetap orang terdekat Niken yang masih berhak mencampuri urusan dalam negerinya. “Maaf, aku tidak tahu aku sudah melanggar batas. Mungkin karena aku belum biasa...” kata Pandu berusaha menjernihkan suasana. Mereka lalu tidak berkata apa-apa lagi satu sama lain sampai di Stasiun Poncol di Semarang. Niken tidak bisa menolak keinginan ayah Pandu yang datang menjemput mereka untuk mengantarnya pulang. Niken sudah berusaha bersikap sesopan mungkin pada ayah Pandu, mungkin bahkan lebih sopan dari biasanya, tapi Niken bisa menebak ayah Pandu pasti dapat mengira mereka berdua sedang bertengkar karena sama sekali tidak melontarkan satu kata pun pada yang lain. Niken sedang tidak mood untuk memperbaiki sikapnya dan dalam hal ini dia bisa jadi sangat keras kepala. Sementara Pandu tidak berkata apa-apa karena cuma tidak ingin mereka sampai bertengkar di depan ayahnya. Ia juga sudah biasa dengan sikap Niken yang kekanak-kanakan seperti ini. Pandu tahu, dengan beberapa kalimat manis biasanya Niken pasti akan takluk dan hilang kesalnya. Tapi ia juga sedang tidak mood untuk berkata apapun, terutama karena merasa tersingkir dari hidup Niken. * Besoknya, sekitar jam sembilan pagi, Pandu sudah menongolkan diri di depan rumah Niken. Ia sudah bertekad untuk menghilangkan kekakuan yang terjadi kemarin. Niken sendiri yang membukakan pintu depan. Semalam hatinya juga sudah nyaman hanya dengan tidur bersama nenek tersayangnya. Tidak banyak yang mereka perbincangkan, tapi hanya dengan berada di situ ia sudah bisa melepas semua rindu dan lelahnya. “Masih marah?” tanya Pandu. “Aku kira kamu yang marah,” balas Niken sambil tersenyum. Niken tidak tahu betapa leganya Pandu melihat senyuman Niken pagi itu. “Mana pernah aku bisa berlama-lama marah sama kamu?” Pandu rupanya masih belum terbiasa untuk tidak melontarkan godaan-godaan ringannya. Tapi Niken cuek saja. Hatinya pun jingkrak-jingkrak kegirangan melihat Pandu hari ini. “Ke rumahku, yuk,” ajak Pandu. “Kukenalkan dengan calon istri kak Adit. Cantik lho.” “Aku yakin pasti cantik. Kak Adit juga ganteng begitu.” “Gantengan mana yah sama adiknya?” “Gantengan dia, tapi centilan kamu.” Niken tergelak. Ia sampai lupa Pandu masih berdiri di depan pintu pagar, belum masuk ke dalam. “O ya, kamu nggak mau bertemu Oma dulu?” “Oh, hampir lupa, aku juga punya tugas, ya?” Pandu mengedipkan sebelah matanya, lalu masuk. Pandu selalu senang ngobrol dengan Oma, ia merasa Oma seperti orang tua yang terperangkap di masa mudanya. Wajah dan tubuhnya memang menunjukkan tanda-tanda penuaan, tapi hati, gairah dan semangatnya masih tetap seperti anak muda. Pandu juga mengundang Oma juga adik-adik tiri Niken untuk datang semua pada pesta perkawinan kakaknya, yang sudah jelas disanggupi dengan senang oleh Oma. Di tempat lain, di rumah Pandu siang itu, seperti biasanya Niken bergaul dengan akrab dan leluasa dengan keluarga Pandu yang sudah dianggapnya sebagai ekstensi dari keluarganya sendiri. Niken dan Pandu juga habis-habisan digodai oleh keluarga Pandu saat ayah Pandu menceritakan bagaimana mereka berdua kemarin marahan saat datang di Semarang. Keluarga Pandu bergantian membujuk mereka untuk mengatakan perihal apa yang membuat mereka bertengkar kemarin, tapi Pandu dan Niken cuma saling tersenyum dan saling memandang penuh arti, yang justru membuat keluarga Pandu jadi tambah semangat menggodai mereka. “Betul katamu, Ndu, calon istri kakakmu memang cantik sekali,” ujar Niken saat Pandu mengantarnya pulang. “Itu belum seberapa. Aku kenal cewek yang lebih cakep dari dia.” kata Pandu berlagak tak peduli. “Ya, aku tahu. Aku kan?” kata Niken dengan gaya pedenya. Pandu tertawa terbahak-bahak sampai air liurnya muncrat ke dashboard. “Jijik ah, nih lihat, ke mana-mana.” Niken lalu mengambil tissue dari tas kecilnya dan mengelap dashboard yang sudah menjadi tumbal tawa Pandu barusan. “Apa aku memang sebegitu gampang ditebak?” Niken mengangguk. Memang ia merasa tidak pernah kesulitan menebak yang dipikirkan Pandu. Kecuali saat Pandu datang ke Jakarta yang terakhir kali itu. “Tapi aku justru senang kalau kau bisa mudah menebak hatiku.” Beberapa saat kemudian, Pandu melanjutkan, “Tahu nggak, sejak putus denganmu, aku jadi tahu lebih banyak apa artinya cinta.” Niken diam saja. Sejak putus dengan Pandu, ia justru pacaran dengan orang yang dibencinya, jadi apa itu cinta rasanya justru menjadi definisi yang buram buatnya. Pandu meneruskan lagi, “Cinta bagiku, adalah mengetahui aku tetap merasakan hal yang sama dengan atau tanpa status pacar. Aku tetap sayang, dan kadarnya tidak berkurang sedikitpun.” “Kamu pasti ingin tahu apakah aku juga merasakan hal yang sama, ya kan?” Niken bisa menebak arah pembicaraan Pandu. “Aku berharap aku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi aku memang ingin tahu.” “Kalau pertanyanmu adalah apakah aku masih mencintaimu, jawabannya adalah iya. Nggak ada orang lain yang kucintai selain kamu. Tapi jika lalu kamu bertanya apakah aku mau pacaran lagi denganmu dan mengembalikan status kita, jawabannya, aku nggak tau.” Melihat Pandu cuma menatapnya tanpa berkedip, Niken lalu berkata lagi, “Statusku sekarang adalah pacar Dion. Sekalipun aku nggak mencintainya, tapi aku harus menyelesaikan ini dulu, dan sebelum selesai, aku nggak bisa kalau kamu menginginkanku untuk melepaskannya. Bila kamu menganggap aku nggak tulus mencintaimu gara-gara ini, ya itu pandanganmu. Aku nggak bisa bilang apa-apa.” “Kalau begitu, berjanjilah dua hal padaku.” kata Pandu tahu ia tak dapat membelokkan kekerasan hati Niken. “Anggap saja aku sudah berjanji.” kata Niken sungguh-sungguh. “Berjanjilah untuk selalu berhati-hati. Dan berjanjilah untuk datang padaku kalau kau membutuhkan pertolongan.” “Kamu percaya aku cinta kamu?” tanya Niken. “Aku percaya kamu cinta aku, nggak lebih sedikit dari cintaku padamu.” * Begitulah selama di Semarang, walaupun tidak dengan status pacaran, mereka tetap pergi berdua ke mana-mana, bahkan sekali naik sepeda waktu Niken mau mencari oleh-oleh buat Dion. Dalam hati mereka masing-masing merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bersama. Kalau ditanya jujur, mereka sama-sama tidak tahu bagaimana harus memberi definisi hubungan mereka saat ini. Pacaran bukan, teman lebih. Niken sempat berpuitis mengolok-olok hubungan mereka sebagai ‘belahan jiwa yang terpisah’, yang dibalas Pandu dengan jitakan lembut di jidatnya. Pandu juga pulang ke Bandung lewat Jakarta. Akan banyak menimbulkan pertanyaan bila Pandu langsung pulang ke Bandung dan Niken ke Jakarta. Untuk menghindari pertanyaanpertanyaan yang tidak perlu, mereka sepakat untuk naik kereta barengan dari Semarang ke Jakarta, baru Pandu melanjutkan naik kereta dari Jakarta ke Bandung. Tapi karena di Stasiun Gambir Niken dijemput oleh Dion, Pandu hanya bisa menyaksikan Niken pergi dari jauh. Sore itu Dion menjemput Niken dengan Maserati anyarnya yang berwarna biru tua mengkilap. Dion mengira Niken berpekik senang karena menyukai mobil barunya, tapi sebetulnya itu karena Niken merasa rencananya sebentar lagi akan dapat terlaksana. Niken tahu sebagian besar uang untuk membeli mobil ini pastilah didapat dari uang muka yang diberikan oleh pembeli kelas kakap yang dari Medan. Berarti transfer uang muka itu sudah diterima. Walaupun masih belum ditetapkan tanggal dan jamnya, minggu depan adalah serahterimanya. Niken masih ingat dengan jelas pembicaraan Dion di telepon dengan encik Medan itu. Satu transaksi dengan encik Medan itu sama artinya dengan tidak usah bertransaksi lagi selama setahun. Menurut penuturan Dion, encik itu jarang menghubunginya, tapi sekali transaksi selalu dalam jumlah besar. Ini baru akan pertama kali encik itu bertransaksi dengannya. Dulu seharusnya sudah pernah akan jadi transaksi dengan si encik, dan jumlahnya pun hampir sama dengan yang kali ini, tapi karena satu atau lain hal, menurut Dion adalah karena kompetisi, pesanan itu dibatalkan. Setiap kali ada berita baru, baik dirasanya penting atau tidak penting, Niken selalu mengkonfirmasikan dengan Sadu. Tak terkecuali hal ini. Sadu bilang, dia ingat memang dulu encik itu pernah akan membeli barang dari Dion, tapi waktu menyelidiki untuk menjebak Dion, mata-mata encik itu mengetahui jejaknya. Karena itulah encik itu tidak jadi memesan karena mengira Sadu adalah antek polisi. Niken dan Sadu sudah menyusun rencana rapi untuk menyingkap jaringan Dion dengan menggunakan kesempatan ini. Kalau sudah ditetapkan hari dan waktunya, Sadu akan menghubungi temannya yang ada di dalam badan kepolisian untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Niken merasa akhir petualangannya sudah dekat. Ia sudah tidak sabar lagi ingin mencicipi arak kemenangannya. Tapi di lain pihak, karena Dion mendapatkan banyak uang kali ini, ia membanjiri Niken dengan hadiah dan perhatiannya. Yang paling penting, Dion jadi punya lebih banyak waktu untuk dihabiskannya dengan Niken. Hal ini membuat Niken semakin merasakan sisi baik Dion. Niken sadar, kalau dia adalah dirinya yang biasanya, tanpa benteng tinggi di hatinya itu, mungkin saat ini sudah luluh pada semua kebaikan Dion. * “Mau ke mana lagi kita hari ini? Kemarin sudah main di kebun binatang mengunjungi nenek moyang seharian, masih belum puas?” tanya Niken siang itu. “Aku ingin mengajakmu ke tempat yang aku sering ceritakan. Ke tempat anak-anak manis itu.” Tempat anak-anak manis itu adalah sebuah yayasan sosial. Kalau hatinya sedang senang, Dion suka membagi kesenangannya itu dengan orang lain. Dion memberikan separuh dari uang muka yang diterimanya pada sebuah yayasan sosial yang mengurus hydrocephalus. Ia bahkan punya seorang anak asuh yang tinggal di sini. Begitu masuk di rumah yayasan itu, Dion disambut dengan senyuman dan sambutan yang begitu ramah. Di tempat ini, Dion dikenal bukan sebagai Dion yang mengerikan dan penuh duri, tapi sebaliknya sebagai sosok kakak malaikat yang dinanti-nantikan oleh teman-teman kecinya itu. Sebagai seorang yang ditraining sebagai calon dokter, Niken tahu tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit mereka, jalan satu-satunya adalah operasi, yang membutuhkan dana sangat besar. Bantuan moril dan materiil dari orang-orang seperti Dion ini memang tepat sekali, itulah yang mereka perlukan. Berada di tempat seperti itu, Niken tak kuasa untuk tidak menitikkan air mata. Ia pun melihat Dion dalam situasi yang sama. Saat menemani anak-anak itu bermain, dilihatnya Dion sesekali mengusap air mata dari ujung matanya sebelum sempat meluncur ke pipinya. Semula saat mendengar cerita-cerita Dion mengenai anak-anak hydrocephalus itu, Niken mengira itu semua hanya untuk mengambil hatinya. Tapi Niken melihat ketulusan hati Dion bukan tipuan. Dion bukan orang yang tidak berhati nurani, justru sebaliknya ia punya banyak kasih sayang yang meluap-luap. Dion selalu muluk-muluk bilang cintanya pada Niken seluas lautan, tapi jelas cintanya pada Niken hanya sepersekian cinta tulus Dion pada anak-anak malang ini. Spontan hati Niken berteriak. Sebesar apapun kesalahan Dion di masa lalu, apa bukan Tuhanlah yang berhak menghukumnya, apa sebenarnya haknya untuk menilai Dion hanya dari satu kesalahan yang diperbuatnya? Bagi anak-anak di yayasan ini, Dion adalah pahlawan yang dielu-elukan. Adilkah dia merenggut Dion dari mereka yang sangat membutuhkan? Egoiskah dirinya? Dan benteng di hati Niken itu sudah mulai rusak parah. :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 9 “Nggak bisa!” Sadu berulang kali meneriakkan kedua kata itu ketika Niken berusaha untuk meyakinkannya bahwa Dion tidak seburuk yang mereka kira, dan bahwa Niken tidak berniat untuk melanjutkan rencana semula. “Bagian mana dari penjelasanku yang nggak kamu mengerti?” Niken sudah lelah berargumen dengan orang kolot di depannya ini. Dia sudah berusaha menerangkan panjang lebar dengan memberikan contoh-contoh hal dilakukan oleh Dion yang yang dirasakan menyentuh hatinya, tapi Sadu, yang justru adalah adik kandung Dion, malah sama sekali tidak bergeming. Semula Niken mengira Sadu akan menurut saja kalau Niken berkata cukup sudah. Tidak semudah itu. “Kamu sudah terpedaya olehnya, Niken. Inilah hebatnya Dion,” Sadu mencibir. Ia tidak habis pikir bagaimana Niken yang tadinya berapi-api sekarang berbalik bersahabat dengan musuh besarnya. Musuh besar yang juga kakaknya sendiri. Orang bilang persaudaraan melebihi segalanya, darah lebih kental daripada air dan minyak, tapi api kebencian sudah membakar habis darah sama yang mengalir di tubuhnya. Tapi kalau Niken sudah memutuskan, maka tidak ada yang bisa merubah pikirannya. Sadu mustinya juga tahu jelas tentang hal ini, karena dari beberapa bulan belakangan ini ia sudah mengenal Niken dari jarak dekat. Benar saja, Niken tetap bersikukuh pada pendiriannya. “Aku tahu aku keras kepala, tapi aku tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mungkin Dion memang memperdayaiku, tapi itu bukan urusanku. Orang dewasa adalah yang mau menyadari kesalahannya dan memperbaikinya. Dion juga sangat menyayangimu, cobalah untuk memaafkannya.” Sekali lagi Niken berusaha untuk mengulangi argumennya dengan gaya persuasif, sedari tadi gaya apapun juga sudah dicobanya. “Bagian mana dari kata ‘tidak’ yang nggak kamu mengerti?” tanya Sadu mengulang perkataan Niken sebelum ini. Rupanya dalam hal kekolotan, Sadu tidak kalah dibanding Niken. Dari tadi keduanya samasama ngotot, tidak ada yang mau mengalah. “Terserah kau lah.” Niken mengangkat bahu sambil mendesah. Ia harus mengakui kekeraskepalaan lawannya sejajar dengan dirinya. Kalau diterus-teruskan, pasti bisa saling jambak saling terkam layaknya macan kumbang yang berebut buruan. “Ya, memang ini terserah aku,” ujar Sadu yang lalu mendekat ke arah Niken. Sadu mengangkat telunjuknya sejajar dengan hidung Niken lalu berkata, “Sedari awal aku sudah bilang, ini bukan tentang kamu. Ini tentang aku dan dendamku. Bukan aku yang membantumu, tapi kau yang membantuku. Kalau kamu sudah nggak mau membantuku, ya sudah, kau cukup memberitahuku. Tapi jangan menyuruhku untuk mengikuti kemauanmu. Tekadku sudah bulat sebelum aku bertemu denganmu.” Terperangah, Niken lalu berkata, “Jadi kamu akan tetap meneruskan ini tanpaku?” Sadu mengangguk mantap. Anggukan itu bagaikan angin puyuh yang menerpa hati Niken, membawa pergi semua hormat dan respeknya pada sosok di depannya ini. Anggukan yang penuh kebencian dan dendam yang mendalam. Ia cuma sebuah pion di permainan catur antara Sadu dan Dion. “Kita lihat siapa yang menang di akhir permainan ini. Kamu tinggal pilih mau memihak mana. Pihak yang menang, atau yang kalah. Aku sarankan kau tetap pada rencana semula, di pihakku, kamu tahu Dion sudah berada di posisi kalah.” Memang rencana mereka sudah sempurna, ibaratnya tinggal memencet tombol off, maka Dion akan mati, seperti sesudah acara TV usai. Besok malam adalah saatnya. “Jangan, jangan Sadu. Kau akan menyesal.” Satu-satunya yang belum dicoba Niken adalah memohon. Tapi itu pun tidak dihiraukan oleh Sadu. “Sebaiknya kau jangan mengacaukan rencanaku. Kau tidak ingin meneruskannya, persetan denganmu. Tapi kau tidak boleh memihak Dion dan berbalik melawanku. Aku peringatkan, jangan coba-coba.” Dari nada suaranya, peringatan itu lebih tepat dikatakan ancaman. Terus terang saat itu Niken bingung. Ia seperti terjepit di tengah-tengah dan tidak bisa keluar. Kalau memihak Sadu seperti rencana semula, berarti berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau berbalik melawan Sadu, berarti ia membenarkan perbuatan salah Dion. Kalau diam saja dan tidak melakukan apa-apa, ia tetap merasa bertanggung jawab atas situasi saat ini. Lalu ia harus bagaimana? “Kau dengar kataku?” tanya Sadu berusaha meyakinkan Niken. Telunjuknya masih mengacung tepat di depan hidung Niken. Niken menatap telunjuk Sadu di depan hidungnya itu. Pelan-pelan ia lalu menengadah menatap wajah pemilik telunjuk itu. Ditatapnya lekat-lekat mata Sadu yang menatap balik padanya. Tiba-tiba seluruh bulu-bulu halus di tubuhnya bergidik. Dengan pakaiannya yang serba hitam, Sadu terlihat begitu menakutkan. Terutama dengan pandangan mata yang seperti itu, Niken jadi heran pada dirinya sendiri kenapa selama ini tidak pernah melihatnya. Mungkin insting awalnya tentang Sadu memang benar. “Jangan mengancamku,” Niken menepiskan telunjuk itu dari hadapannya. “Coba saja hancurkan aku. Tidak akan semudah itu, Sadu. Kau akan hancur bersamaku.” * Baru hari ini Niken merasa sulit sekali menghubungi Dion. Memang Niken tahu Dion sibuk sekali mempersiapkan pengiriman barang, tapi biasanya ia selalu punya waktu untuk Niken. Dari tadi pagi Niken sudah bolak-balik menelepon Dion, bahkan mencoba mencarinya di rumah hijau, tapi yang dicari tidak kelihatan batang hidungnya juga. Biasanya susah sekali menyuruh Dion untuk enyah dari hadapannya, sekarang mau menemuinya saja sudah seharian tidak bisa. Handphonenya tidak aktif. “Pikir dong Niken, di mana kira-kira dia sekarang?” keluhnya setelah keseribu kalinya gagal mencoba menelepon handphone Dion. Ia lalu menghempaskan kepalanya ke stir mobilnya yang masih diparkir di depan rumah hijau. Ia sudah menunggu beberapa jam di dalam rumah tanpa hasil maka Niken bermaksud menyelusuri kota mencari Dion. Sudah sore, Sadu pasti juga sudah bersiap-siap. Sambil menstater mobilnya, pelan-pelan Niken berpikir. Ia sudah ke dua club yang biasa jadi tempat mangkal Dion, dan sudah berpesan pada orang-orang di sana kalau melihat Dion segera menyuruhnya untuk menghubungi Niken. Ia juga sudah menelepon club-club lain dan berpesan hal yang sama. Berarti Dion tidak ada di sana. Lalu di mana? Ia mencoba memutar kembali sebulan lebih kebersamaannya dengan Dion. Kemana saja Dion pernah membawanya. Sepertinya tidak ada yang terlewatkan. Semua club sudah dihubunginya. Semua hotel... semua... Hotel? Niken jadi teringat hotel kumuh di mana ia melihat Dion pertama kalinya. Sadu yang membawanya ke situ. Selama ini Dion tidak pernah mengajaknya ke sana. Ya, tempat apa itu? Niken berpikir. Dion tidak pernah berbisnis di sana. Tapi kenapa Sadu bisa tahu tempat itu? Walaupun bayangan tempat itu sangat mengerikan di ingatan Niken, ia merasa harus memeriksa tempat itu untuk melihat apakah Dion ada di sana. Ia harus berhasil menghubungi Dion sebelum Sadu mendahuluinya. Sambil ngebut, ia berusaha memutar rekaman di otaknya perjalanan menuju ke hotel kumuh itu. Tidak begitu jelas tapi ia terus berusaha. Setiap bundaran, setiap persimpangan, setiap tikungan, diingatnya dengan sungguh-sungguh. Kurang dari sejam, ia sudah berada di tempat itu. Tanpa peta, tanpa petunjuk arah. Semua ada di otaknya. “Sel-sel otak yang handal,” katanya pada diri sendiri. Ia bersyukur atas ingatannya yang bisa diandalkan pada saat-saat penting seperti ini. Serta merta Niken ingat harus memutar ke belakang gedung dan masuk dari pintu belakang, maka tanpa berpikir dua kali ia langsung melakukannya. Pintu belakang itu seperti dulu, tidak dikunci. Niken pelan-pelan membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya ke dalam. Sepi sekali, lebih sepi dari kuburan. Ia lalu berjingkat-jingkat masuk. Saat Niken datang dengan Sadu dulu, hari masih siang, jadi banyak sinar dari luar yang masuk ke dalam. Sekarang sudah sore menjelang malam, sinar dari luar sangat minimal dan di dalam sama sekali tidak ada lampu yang menyala, Niken jadi tidak bisa melihat dengan jelas. Spontan ia berjalan dengan satu tangan rambatan di dinding. “Tolol sekali, kenapa aku tidak membawa pisau atau gunting. Kalau sampai ada apa-apa bagaimana aku bisa membela diri?” Niken tiba-tiba menyadari ketidaksiapannya. Tapi ia punya satu senjata. Ia tahu semua rencana Sadu, jadi ia bisa selalu satu langkah di depannya. Sebetulnya ada satu hal yang membuatnya heran. Ia tahu proses pengiriman barang akan dilaksanakan di gudang milik Dion di dekat pelabuhan, tapi ia tadi sudah ke sana, dan Dion tidak ada di sana, barang-barangnya juga tidak ada di sana. Suara tikus berlarian di dekat kakinya mengagetkan Niken. Tak sadar ia memekik tertahan. “Niken! Kamu ngapain ke sini?” Suara Dion terdengar kaget. Niken melongok. Dion ada di lantai atas sambil membawa senter. Rupanya ia mendengar suara dari lantai bawah dan memeriksanya. “Kenapa aku kesini? Tentu saja mencarimu,” gerutu Niken sambil cepat-cepat berjalan ke arah lantai atas. “Handphonemu rusak, ya? Susah sekali mencarimu sejak pagi tadi.” Niken melampiaskan semua kekhawatiran dan ketakutannya dalam dua kalimat tadi. Ia merasa lega sekali sudah menemukan Dion. “Handphoneku hilang. Aku juga tidak tahu ada di mana.” “Lalu kenapa kau ada di sini, nggak di pelabuhan?” tanya Niken. “Semalam si encik menelepon, ia merasa pelabuhan tidak aman, lalu menyuruhku mencari tempat lain. Karena handphoneku hilang, aku memutuskan untuk memakai tempat ini karena tempat ini ada teleponnya.” “Oh, rupanya begitu.” kata Niken manggut-manggut. Tiba-tiba terbersit di pikirannya. Semua ini terlalu kebetulan. Mendadak handphone Dion hilang, dan mendadak si encik merubah tempat. Ia lalu menatap Dion yang berdiri tegap di depannya. “Kamu sendirian?” tanya Niken sambil melihat ke sekeliling. “Aku ditemani ini.” kata Dion sambil memperlihatkan pistol di sakunya. “Jangan kuatir, aku cukup berpengalaman. Encik juga berjanji akan membawa banyak anak buah, segalanya akan beres. Aku cuma tinggal mengawasi saja.” “Bodoh, kenapa kamu tidak membawa banyak orang.” keluh Niken. Kalau ia ada di pihak Sadu, tentu saja ia akan senang mendengar kenyataan ini. Tapi kali ini tidak. “Kamu masih belum menjawab kenapa kamu kemari, kenapa kau mencariku?” Niken melirik ke arah arlojinya. Ia tidak punya banyak waktu. Ia harus menjelaskan semuanya dalam waktu yang singkat. “Dengarkan aku baik-baik.” ujar Niken kemudian. Ia bersandar pada pegangan tangga yang terbuat dari kayu yang sudah terlihat agak lapuk. “Sadu sedang dalam perjalanan kemari. Kemungkinan besar dengan polisi. Aku tidak tahu lagi apa yang akan dilakukannya. Sebaiknya kita pergi dari sini sekarang juga.” “Apa maksudmu?” Dion terperanjat mendengar penuturan Niken. “Sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan, ayo cepat pergi.” ajak Niken menggamit lengan Dion dan mengajaknya turun. Dion menepiskan tangan Niken. “Dan meninggalkan semua di sini? Kau kira aku bodoh?” “Kau justru lebih bodoh kalau tidak pergi sekarang. Apalah artinya uang, Dion, percayalah padaku. Nanti aku akan jelaskan semuanya, sekarang yang penting kita cepat pergi dari tempat ini.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau menjelaskan semuanya padaku.” Kepalanya ternyata tidak kalah keras dengan adiknya. Sia-sia saja Niken berusaha untuk menyeret Dion dengan menarik-narik lengan Dion. Sesentipun tidak bergeming. “Baiklah. Kau menang. Kau memang keras kepala. Persis seperti adikmu.” Niken menarik napasnya dan menghembuskannya kembali keras-keras. “Aku tahu rencana Sadu, karena aku tadinya sepihak dengannya. Semua ini adalah jebakan, Dion. Kau bisa dekat denganku karena itu memang rencanaku. Rencanaku untuk menghancurkanmu. Tapi aku...” Belum selesai Niken bercerita, ia melihat mata Dion berubah membelalak seperti melihat hantu, dan Niken merasakan tangan kekar Dion menggapai dan memeluk tubuh mungilnya. Dor! Dor! Dua tembakan terdengar memekakkan telinga Niken. Tubuh Dion mengejang sesaat lalu menunduk dan menyeret tubuh Niken masuk ke dalam salah satu kamar di lantai atas. Niken terseret-seret tak sanggup mengikuti langkah Dion yang cepat dan lebar-lebar. Dion menutup pintu kamar itu dan menguncinya. Ia lalu melempar meja yang ada di tengah ruangan untuk menahan pintu itu. Niken terpekik ketika melihat darah mengucur dari punggung Dion di dekat daerah dekat bahunya saat Dion sedang meletakkan meja itu di dekat pintu. “Kau kena?” tanya Niken mendekati Dion. “Kenapa Niken? Kenapa kau begitu membenciku?” tanya Dion terpuruk bersandarkan dinding. Ia lalu menjatuhkan dirinya terduduk di lantai. Melihat kondisi Dion sekarang, Niken tidak tahan lagi untuk tidak menangis. “Maafkan aku, Dion. Aku nggak tahu harus bilang apa selain maaf.” katanya di sela-sela isak tangisnya. “Kenapa harus kau? Kenapa kau sangat membenciku?” Dion mengulang pertanyaannya yang masih belum terjawab itu. Niken menelan ludahnya. Ia harus menceritakan semuanya. “Kau ingat pertama kali bertemu denganku?” tanya Niken. “Waktu di pesta perkawinan sepupuku?” “Bukan. Di tempat ini. Di kamar ini.” “Di... di sini?” Niken heran, rupanya Dion tidak pernah benar-benar mengenalinya sebagai gadis yang dibawa oleh Sadu siang itu kemari. Pantas saja selama ini ia tidak pernah merasakan sepercikpun kecurigaan Dion terhadapnya. “Aku teman Wulan. Siang itu Sadu membawaku kemari dan aku mendapatinya sudah meninggal. Di sini. Di tempat ini. Tidak ingat?” “Wulan siapa?” tanya Dion lagi. “Wulan yang meninggal di tempat ini. Kamu nggak amnesia kan?” Niken jadi tambah heran Dion berlagak tak tahu apa-apa. Jelas-jelas waktu itu Niken melihat Dion di sini. “Aku benar-benar tak tahu Wulan yang mana. Kalau kau maksud gadis yang meninggal di sini waktu itu, aku tidak mengenalnya.” Gantian Niken yang terperanjat mendengar kata-kata Dion. “Apa maksudmu kau tidak mengenalnya?” “Dia menelepon sebelum kemari. Katanya ia punya informasi untukku. Tapi begitu sampai di sini, tak lama ia pingsan dan koma. Kondisinya sudah payah waktu itu. Waktu kau datang itu dia baru saja meninggal. Aku memang tidak memanggil ambulans karena bermaksud menjaga kerahasiaan tempat ini. Rupanya dia temanmu?” “Kau tidak mungkin tidak mengenalnya. Kau yang menjemput dia dari rumah sakit, kan?” tuduh Niken. “Rumah sakit? Jadi dia memang sakit? Lalu kenapa kau menyalahkanku atas kematiannya?” Niken makin bingung atas jawaban Dion yang sama sekali tidak nyambung. Pembicaraan keduanya lalu terhenti karena dikejutkan oleh suara orang berusaha mendobrak pintu dari luar kamar. “Sadu!” teriak Niken dari dalam kamar menerka orang yang berada di luar kamar. “Kalau kau cuma ingin melaporkan Dion pada polisi, laporkan saja. Kenapa musti melukainya?” “Siapa bilang aku bermaksud melaporkannya pada polisi? Aku cuma ingin melenyapkannya.” Ternyata betul Sadu, dan ia terus berusaha mendobrak pintu dengan paksa. Di tengah-tengah kepanikannya, Niken mengambil handphone di saku celananya. Dengan cepat ditekannya speed-dial nomer 1. Pada saat yang bersamaan pintu sudah berhasil didobrak dari luar. “Buang pistol itu, atau kutembak dia!” Sadu mengarahkan pistol itu ke arah kepala Niken, dan menyuruh Dion untuk mengenyahkan pistol yang digenggamnya. Spontan Niken mengangkat kedua tangannya melihat pistol yang diarahkan padanya. Melihat keadaan sudah tidak memungkinkan lagi untuk tawar-menawar, Dion menyerah. Ia meletakkan pistol itu dan menendangnya ke ujung ruangan arah dalam, jauh darinya, juga jauh dari Sadu. “Kau, buang handphone itu, jangan coba-coba, aku sudah peringatkan.” Seperti Dion, Niken tidak punya pilihan lain selain meletakkan handphone itu ke lantai dan meluncurkan handphone itu dengan kakinya searah dengan pistol milik Dion tadi. “Sadu, lepaskan Niken. Kau boleh lakukan apa saja padaku, terserah padamu.” kata Dion. “Aku memang tidak bermaksud mencelakakan Niken. Ia sudah begitu baik membantuku sampai terjadi hari ini. Kau begitu tolol sangat mempercayainya. Sejak ada Niken di sisimu, kau justru bertambah bodoh. Kau jadi tidak awas lagi, memudahkanku untuk menyingkirkanmu.” “Aku tahu kau begitu membenciku. Kau adalah adikku, tapi kau sangat membenciku. Sebenarnya apa salahku padamu...?” Dion lalu meringis, menahan rasa ngilu di punggungnya. Sadu cuma menatap Dion dengan pandangan benci. Dion lalu melanjutkan sambil menatap Niken, “Dia pasti menceritakan tentang apa yang terjadi pada adik perempuanku, kakak Sadu. Yang temanku memperkosanya. Aku sering mendengar cerita itu beredar di luaran. Sungguh aku tidak tahu menahu soal ini. Yang aku tahu cuma gara-gara itu aku diusir dari rumah.” “Tentu saja kau tidak tahu-menahu. Semua itu adalah perbuatanku. Kamu hanyalah seekor kambing hitam.” “Aku sudah bisa menebaknya. Aku tahu kau sejak dulu membenciku walaupun aku tak tahu mengapa. Yang aku tak habis pikir, bagaimana kau bisa membuat Niken juga membenciku?” “Sebenarnya itu hanya kebetulan. Kebetulan Niken mengenal Wulan. Kebetulan keadaannya seperti itu. Aku tinggal membumbuinya saja.” Niken masih tidak mempercayai pendengarannya. Ia tidak percaya Sadu ternyata begitu manipulatif, semua hal yang diketahuinya tentang Dion ternyata hanya karangannya saja. “Wulan adalah anak buahku. Aku juga tidak tahu bagaimana sampai kau mengira Wulan adalah anak buah Dion. Ia bermaksud ‘menyeberang’ ke arah Dion, maka sebelum terlambat aku sudah menyuruh anak-anak untuk mengerjainya.” “Tapi mengapa Dion yang menjemput Wulan dari rumah sakit?” Niken masih bingung dengan kenyataan yang saling bertentangan. “Oh, itu yang membuatmu mengira Wulan adalah anak buah Dion?” kata Sadu manggutmanggut. Rupanya ia hanya punya satu misteri di balik semua ini, dan sekarang sudah terjawab. Sementara di otak Niken dan Dion banyak misteri yang masih belum terjawab. “Aku tidak pernah menjemput seorang Wulan dari rumah sakit. Wulan ini siapa sih?” sanggah Dion kemudian. Ia berpikir cukup lama sampai akhirnya berkata begitu. Ia memastikan pada dirinya sendiri bahwa ia sungguh tidak pernah mengenal Wulan yang disebut-sebut ini. “Akulah yang menjemput Wulan saat itu. Apa di rumah sakit itu tidak ada yang bilang bahwa yang menjemput Wulan itu naik sepeda motor?” Ah, iya! Kenapa Niken tidak pernah menanyakan naik apa orang yang menjemput Wulan saat itu. Mungkin karena waktu itu ia mengira itu bukan hal yang penting. Niken menatap ke arah Dion yang dari wajahnya terlihat masih bengong dan belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi. “Wulan adalah sahabatku. Boleh dibilang satu-satunya sahabatku. Aku membencimu karena mengira kau penyebab kematiannya. Rupanya itu pun aku salah. Ini cuma karena Sadu memakai KTPmu untuk menjemput Wulan dari rumah sakit. Betapa bodohnya aku!” “Kau cukup pintar, Niken.” puji Sadu. “Aku bahkan belum menjelaskan semuanya, kau sudah mengerti.” Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab di kepala Dion. “Kalau kau memang begitu membenciku, kenapa kau kemari hari ini untuk memperingatkanku?” “Aku berubah pikiran. Aku sudah lama tidak membencimu. Sejak mengenalmu, aku merasa sulit sekali untuk membencimu meskipun aku sudah berusaha sekuat tenaga. Sepertinya instingku selalu mengatakan bahwa kau adalah orang yang baik. Nakal tapi baik.” Niken berusaha memberikan senyumnya yang termanis. Ia tidak bermaksud membuat Dion memaafkannya dengan senyuman itu, ia hanya ingin sekali memberikan senyum manisnya itu untuk sedikit mengobati lara Dion. Otomatis Dion juga ikut tersenyum. Sekejap tadi ia merasa sakitnya hilang. Sadu yang melihat dua orang yang saling tersenyum, langsung berteriak, “Cukup! Muak aku melihat kalian berdua. Kau tahu? Inilah yang membuatku membencimu!” “Ini apa? Apa yang membuatmu benci?” Dion menoleh ke arah Sadu lagi. “Kau begitu mudah membuat orang menyukaimu. Dari kecil kau begitu nakal, tapi ayah dan ibu tetap menyayangimu. Mereka lebih menyayangimu dan tidak pernah menghiraukanku. Nilai-nilaimu tidak pernah bagus, kau pulang sekolah selalu dengan baju robek-robek karena berkelahi, tapi pacarmu segudang dan ayah-ibu tetap lebih menyayangimu ketimbang aku yang selalu mendapatkan nilai bagus dan tidak pernah membuat masalah. Saat kau mulai menyelami dunia hitam, mereka semua juga menutup sebelah mata. Saat aku yang melakukannya, semua kalang kabut dan membenciku.” “Kau? Kau rupanya...?” “Ya...” Sadu berbalik memandang Niken. “Aku sama bejatnya dengan Dion di bidang ini. Hanya kau yang tidak tahu. Dion adalah sainganku. Kalau tidak ada dia, akulah raja di sini. Hanya saja ia begitu mudah mendapatkan bisnis kiri-kanan, aku dibuatnya kewalahan dan kehilangan pelanggan. Aku semakin membencinya dan bertekad menghancurkannya.” “Pantas saja kau tidak berniat melaporkannya pada polisi, karena kau juga takut kejahatanmu terungkap.” Niken merangkum apa yang dimengertinya. “Kau memang pintar, manis.” Sadu lalu mendekati Niken dan meletakkan pistol dingin itu tepat di pipi Niken. Dengan mengerahkan seluruh keberaniannya, Niken menepiskan pistol itu dari pipinya. Ia merasa Sadu tidak akan menembakkan pistol itu. Setidaknya tidak sekarang. “Kalau begitu,” ujar Niken menganalisa lagi. “Encik itu adalah kau.” Sadu tersenyum lebar. Ia merasa puas akan hasil kerjanya. Ia tidak peduli Niken membongkar rahasianya. Toh semuanya sudah terjadi. Semuanya sudah terlambat. Ia justru senang Niken mengatakan hal itu. Seakan memuji kepintarannya mengatur strategi. “Dan...” lanjut Niken lagi. “Kau yang mencuri handphone Dion. Kau sengaja membuatku tak bisa menghubungi Dion seharian. Kalau aku tidak salah terka, pasti kau juga sebetulnya sengaja membuat putus hubunganku dengan Pandu. Kau hebat sekali, Sadu.” Niken menepuk tangannya. Terdengar nada sindiran pada tiap tepukannya. “Kakakmu ini terlihat badung tapi sebetulnya hatinya baik. Tapi kau... kau dari luar terlihat jahat. Insting pertamaku mengatakan kau bukan orang baik. Aku bahkan menyamakan kau dengan drakula. Lalu kau pura-pura menjadi orang baik. Kau berhasil menipuku. Sayang sekali kau tidak memiliki secuilpun kebaikan yang Dion miliki. Instingku memang benar. Tidak seharusnya aku mempercayaimu. Kau cuma orang jahat yang terlihat jahat tapi berpura-pura baik.” “Ha ha ha....” Sadu tertawa terbahak-bahak. Tertawanya seperti dipaksakan. Getir tapi memang kenyataannya begitu. “Aku akan menganggap ini sebagai pujian. Sudah, aku sudah cukup terhibur. Sekarang kembali pada tujuan semula.” Sadu berbalik lalu mendekat ke arah Dion yang masih duduk di lantai. Dengan cepat Sadu mengacungkan pistol yang sedari tadi sudah siap tembak itu di atas batok kepala Dion. “Aku ingin kau memohon padaku.” “Tidak akan.” Dion menggeleng. “Peluru ini akan menembus otakmu.” “Aku tidak peduli. Mati di tanganmu adalah kehormatan. Aku bisa tunjukkan pada ayah dan ibu bahwa aku bersih. Mereka sudah membela anak yang salah. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka dan melaporkan semua kejahatanmu.” “Kau...!!!” Sadu terlihat jengkel mendengar kata-kata Dion barusan. “Baik! Sampaikan salamku pada mereka berdua!” “Tunggu!!!!” seru Niken membuat kedua kakak-beradik itu memandang ke arah Niken. “Statusku sekarang ini adalah pacarnya. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal.” katanya kemudian. “Hah! Lucu sekali! Kau masih menyebut diri sebagai pacarnya. Bukankah kau sudah mengaku tidak mencintainya, bahkan membencinya?” sindir Sadu. Sementara itu Dion masih tidak berkata apa-apa, cuma menatap ke arah Niken. “Aku tidak membencinya. Aku membencinya karena kau, dan aku menyesal. Aku memang tidak mencintainya, tapi aku sangat menyayanginya dan aku tahu dia sangat menyayangiku. Aku minta waktu, beberapa menit saja. Kau berhutang ini padaku. Setidaknya, setelah semua yang kau lakukan padaku.” “Baiklah,” kata Sadu mengalah. Ia memang merasa bersalah telah memanfaatkan dan menipu Niken. Kalau bisa menghapus sedikit dosanya, maka ia tidak keberatan untuk memberikan sedikit waktu saja. Ia lalu mundur sekitar lima langkah memberi jarak supaya Niken bisa bercakap-cakap dengan Dion. “Sakit?” tanya Niken jongkok di hadapan Dion, membelakangi Sadu. Ia lalu menengok ke arah punggung Dion, dengan takut-takut memegang luka di punggung Dion. Dion mengangguk. “Aku sudah mengerti kenapa kau tadinya membenciku, dan bahwa kau sekarang sudah tidak lagi membenciku. Tapi aku masih belum mengerti kenapa kau tidak bisa mencintaiku.” “Karena hatiku sudah lama menjadi milik orang lain...” “Kalau... seandainya saja hatimu adalah milikmu sendiri dan bukan milik orang lain, apakah kau akan mencintaiku?” Niken berpikir cukup lama. “Ini pertanyaan yang sulit.” katanya sambil berusaha tersenyum. “Tapi aku akan mencoba untuk menjawabnya.” Niken lalu duduk bersila, masih tetap menghadap Dion. Jongkok lama-lama membuat betisnya berasa mau kram. “Kalau aku tidak pernah mencintai Pandu...” Niken lalu cepat-cepat menyambung, “Pandu adalah orang yang memiliki hatiku.” Dion tersenyum. “Kalau itu aku sudah tahu. Bukankah aku pernah menanyakan padamu?” “Oh iya.” Niken teringat kejadian waktu ia menabrak Sadu sesudah ujian itu. “Kalau aku tidak mencintainya, aku mungkin sudah mati. Kalaupun hidup, aku akan menjadi orang yang sangat tidak menyenangkan. Aku adalah aku yang seperti ini karena dia. Aku yakin, seandainya aku tidak pernah mencintai Pandu, kau sama sekali tidak akan tertarik padaku.” Dion terdiam. Bukan jawaban seperti ini yang dipikirkannya. Ia mengira kemungkinan jawaban dari pertanyaannya tadi hanya ‘iya’ atau ‘tidak’. Mana tahu ada jawaban aneh seperti itu. Niken tapi meneruskan kata-katanya. “Tapi kalau kau menanyakan, kalau aku sudah tidak mencintai Pandu, apakah aku bisa mencintaimu, jawabannya adalah iya. Sangat mungkin sekali, dan banyak sekali alasannya.” Mata Dion berbinar-binar. Sejak tertembak tadi matanya terlihat sayu sekali, baru sekarang Niken bisa melihat sinar lagi di mata Dion. “Benarkah? Kau tidak bohong?” Seperti anak kecil Dion mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Niken mengangguk-angguk dengan yakin. “Kau begitu baik padaku, juga pada anak-anak di yayasan itu, kebaikanmu itu sudah menyentuh hatiku. Kau juga begitu setia. Aku tahu sejarahmu dengan wanita, tapi sesuatu mengatakan padaku bahwa kalau aku bersamamu, kau hanya akan memandangku saja selamanya. Kau juga begitu tulus dan begitu mencintaiku. Aku tidak akan tidak bisa tidak mencintaimu.” Dion bingung menghitung ada berapa kata ‘begitu’ dan berapa kata ‘tidak’ yang dilontarkan Niken barusan. Ia tidak begitu jelas, tapi ia tahu Niken bersungguh-sungguh, dan itu sudah lebih dari cukup untuknya. “Sudah cukup, kesabaranku sudah habis. Cinta-cinta melulu yang dibicarakan. Sungguh memuakkan melihat kalian berdua sepanjang hari.” Sadu bergerak mendekati mereka lagi dengan membawa pistol yang ujungnya mengarah ke depan. Tapi Niken masih tidak beranjak untuk berdiri, ia tetap duduk bersila menghadap arah Dion. “Minggir.” Pistol itu masih mengarah ke arah depan, ke arah Dion, tapi pinggirnya menyentuh pelipis Niken yang duduknya membelakangi Sadu. Niken tidak bereaksi. Dion memelototinya. “Minggir, Niken. Kamu jangan nekad.” “Kau memang pintar, Sadu. Kau menggunakan aku, orang yang dicintai oleh Dion, untuk mengancamnya menjatuhkan pistolnya. Kau tahu ia tidak akan melawan kalau melihat aku dalam bahaya. Tapi aku juga tahu siapa orang yang paling kau sayangi dan mungkin bisa membuatmu menjatuhkan pistol itu.” Sadu tidak berkata apa-apa. Ia tak tahu ke mana tujuan Niken, tapi diam adalah yang terbaik saat ini. “Kakak perempuan dan keponakanmu. Kau sangat menyayanginya kan? Dari nadamu bicara setiap membicarakan mereka, aku tahu kau pedih karena penderitaan mereka. Tadinya aku mengira kau pedih karena sangat membenci Dion dan ingin membalaskan dendam bagi mereka, tapi sekarang aku tahu kau pedih karena kau merasa sangat berdosa. Apapun alasannya, kau sangat mencintai mereka. Karena itu aku sudah mengamankan mereka. Kalau sampai terjadi apa-apa padaku, aku jamin mereka tidak akan selamat.” “Kau bohong! Kau cuma menggertakku!” Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih membelakangi Sadu. Sadu lalu menggoyang-goyangkan bahu Niken. “Kau bohong kan?” “Kalau tidak percaya telepon saja ke rumahmu.” “Kau!!! Sialan kau, Niken!!!” Sadu mengarahkan pistol itu ke arah Niken. “Hati-hati, jangan sampai menembus batok kepalaku. Kalau cuma lecet, mungkin aku masih bisa memaafkanmu.” “Aku tidak peduli!!” seru Sadu kemudian. Karena jengkel ia lalu menembak dinding di belakang Dion. Dor! Cat kering dan rontokan batu bata menimpa kepala Dion. Niken kaget. Ia tidak menyangka Sadu akan tetap menembak. “Tadinya aku tidak ingin membunuhmu, tapi sekarang kau sungguh membuatku kesal. Sungguh berani! Kau harus menemani Dion ke neraka!” Di saat-saat kritis, Dion menendang lutut Niken sekuat tenaga untuk menggeser tubuh Niken. Niken mengaduh dan kehilangan keseimbangannya karena kaki Dion seperti pengungkit yang berusaha menciduknya ke arah lain. Dor! Sadu sudah melepaskan tembakannya lagi, kali ini tepat menembus kepala Dion. Darah segar mengalir dari dahinya yang berlubang. Niken terpekik kaget, ia meneriakkan dan memanggil nama Dion berulang-ulang. Air matanya bercucuran di pipi, tak kalah derasnya dengan darah yang mengalir dari kepala Dion. “Kau bukan manusia!” Niken lalu bersimpuh dan menegakkan kembali tubuh Dion yang tergolek lunglai. Gerakan Dion yang terakhir tadi memberinya ide untuk mengulanginya untuk Sadu. Ia menyepak kaki Sadu yang masih berdiri. Tak ayal Sadu terjengkang dan pistolnya lepas dari genggamannya. Pada saat Sadu berusaha mengambil pistol itu kembali dan hendak berdiri, ruangan itu sudah penuh dengan aparat polisi yang menyuruhnya untuk angkat tangan menyerah. * “Kau tidak apa-apa, Niken?” Aditya, kakak Pandu lah yang pertama kali mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Niken cuma menggeleng. Aditya lalu mengisyaratkan pada petugas paramedis untuk memeriksa Niken dan Dion. Niken pasrah saja dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia masih shock karena kejadian barusan. “Pandu sedang dalam perjalanan kemari. Aku akan mengantarmu pulang, oke, Niken?” Mendengar suara Aditya lagi, Niken menjawab dengan anggukan. * Aditya masih terus menemani Niken yang sedari tadi cuma duduk di kamarnya, ia baru pergi setelah Pandu datang. Begitu Pandu melihat Niken, ia tidak berkata apa-apa langsung memeluknya. Niken lalu menangis sepuasnya di dalam pelukan Pandu. “Aku bodoh sekali, Pandu. Bodoh sekali!” “Aku juga bodoh. Tapi bodoh-bodoh begini kita toh selamat karena kita banyak pintarnya dari bodohnya.” Niken mengangkat wajahnya untuk menatap Pandu. “Kau tak tahu betapa aku kaget mendengar telepon aneh itu. Aku langsung tahu kau sedang dalam bahaya, cepat-cepat aku menelepon kantor kak Adit di Jakarta. Ia langsung menyuruhku mengaktifkan Conference call, dan semua percakapanmu dengan Dion dan Sadu tadi semua ada dalam kaset rekaman di kantor kak Adit.” “Hah?” Niken terkejut. Ia bahkan tidak sadar teleponnya sudah tersambung saat dilemparkan di ujung ruangan. “Kata kak Adit, itu cukup untuk memasukkan Sadu ke dalam penjara. Teleponmu sangat bagus, Niken, semua pembicaraanmu dapat kudengar dengan jelas. Aku kuatir sekali. Untunglah kau selamat. Tapi aku perlu tahu sesuatu, kakak Sadu, kau sembunyikan di mana dia?” “Kakak Sadu? Aku sama sekali tidak tahu di mana dia. Mustinya ada di rumahnya. Aku tadi cuma menggertaknya saja.” Pandu melongo. Ia tidak tahu Niken dapat keberanian dari mana menggertak seperti itu. “Sekali lagi kau jadi dewa penyelamatku.” Niken kembali memeluk Pandu. “Kalau tidak ada kamu, aku sudah mati dua kali.” “Hus, jangan lagi bicara kematian. Menyadari betapa tipis jarak antara kau dengan kematian hari ini, aku jadi tahu bahwa aku nggak sanggup kehilangan kamu. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan kalau sampai nggak ada kamu. Jadi kau harus berjanji akan mengijinkan aku mati duluan. Jangan sampai kau mati mendahuluiku.” “Katanya nggak mau bicara tentang kematian? Malah kamu yang mengulang-ulang kata mati.” Niken menggerutu. “Janji dulu dong...” “Janji! Tapi kamu juga harus janji nggak boleh mati sebelum kita punya cucu banyak.” Pandu tersenyum lebar. “Kalau mau punya cucu berarti harus punya anak. Kalau mau punya anak berarti harus...” “O, harus dong!” Niken mengerjap-kerjapkan matanya penuh arti. Cepat sekali dia sudah lupa akan kepedihannya. Sosok yang berdiri di depannya ini sungguh penuh daya magis yang keberadaannya membawa kebahagiaan tak terhingga. Sebelum Niken menyadarinya, Pandu sudah mencium bibirnya. Lama sekali. Saat Pandu menghentikan kegiatannya, Niken mendadak teringat sesuatu. “Telepon interlokal Jakarta-Bandung lama begitu, nanti siapa yang bayar?” Pandu cuma menjawabnya dengan ciuman. Yang lebih lama dari yang barusan. *