dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 Antara Kekasih dan Rasa Minder Pramoedya Ananta Toer Pramudya Ananta Toer Indonesian@rt - Cinta ternyata memberi pengaruh besar terhadap sastrawan kondang, Pramoedya Ananta Toer. Dulu, dirinya minder (rendah diri) jika berhadapan dengan orang, apalagi yang sekolahnya lebih tinggi. Maklum saja, ia SLTP saja tidak lulus. "Saya menyelesaikan sekolah yang seharusnya tujuh tahun, saya jalani sepuluh tahun," ungkapnya kepada indonesianart beberapa waktu lalu di rumahnya, Bojonggede Bogor. Maka dari itu, ayahnya memberi tekanan yang keras terhadapnya. Maka tidak heran jika ia tumbuh dalam rasa minder. Namun waktu menentukan lain. Ketika di Belanda, ia berjumpa dengan seorang gadis, yang kemudian menjadi kekasihnya. Di tahun 1953 itulah rasa percaya dirinya tumbuh. "Setelah punya kekasih orang Belanda, minder saya hilang," kata Pram sambil terkekeh. Maka sejak itu, menurutnya, ia berani tampil di depan publik. Dan ketika pulang ke Indonesia, ia berani ceramah di depan para mahasiswa Universitas Indonesia. "Itulah pertama kali saya berani ceramah di depan publik," tambahnya lagi. Usia memang memberi pengalaman yang berharga bagi lelaki yang pernah dinominasikan mendapat Nobel ini. Maka sejak itu karyanya mengalir tanpa mesti ragu dengan kekurangannya dalam hal sekolah. Untuk mengejar pengetahuan, ia banyak meluangkan waktu di penjara. "Saya belajar bahasa Jerman dan bahasa Inggris justru di penjara," tutur Pram diikuti dengan hembusan rokok kretek filternya. Namun, ia masih sangat menyayangkan dibakarnya naskah-naskah yang ditulisnya di penjara."Mereka membakarnya di belakang rumah saya," ujarnya menceritakan perilaku tentara-tentara yang memusnahkan karya-karyanya di jaman pemerintahan Soeharto. Padahal sebuah karya sastra tidak bisa diulang lagi sama persis. Namun untungnya, ia masih menyisakan beberapa naskah yang masih tersisa. Bukan itu saja, sebentar lagi seluruh buku-bukunya akan diterbitkan dalam bahasa Catalan, Spanyol. (cahyo) Arti Penting Sejarah Pidato Pramoedya Ananta Toer pada peluncuran ulang Media Kerja Budaya, 14 Juli 1999 di Aula Perpustakaan Nasional source: Jaringan Kerja Budaya Para hadirin yang terhormat, Sebetulnya apa yang saya katakan dalam 10 tahun ini sudah sering saya katakan secara lisan. Sekarang saya sampaikan lagi secara lisan. Pertamakali tentang negara kita adalah negara maritim terdiri dari belasan ribu pulau tetapi mengapa diduduki oleh Angkatan Darat. Dari bupati kadang-kadang sampai kepala desa. Mengapa ini bisa terjadi . Ini adalah kesalahan historis. Kesalahan lain dengan kekeliruan. Kesalahan berasal dari sudah dari otak, kalau keliru itu adalah salah dalam pelaksanaan teknis. Kenapa terjadi kesalahan ini? Dalam abad ke 16 Indonesia dikuasai oleh Portugis. Portugis menamakan Indonesia, India Portugis. Portugis dihalau Belanda, menamakan Indonesia, Hindia Belanda. Kenapa kata Hindia dipergunakan? Karena dalam abad ke 16 itu dunia Barat mencari rempah-rempah. Dan rempah-rempah itu mereknya Hindia. Padahal asalnya dari Maluku dan Aceh (Sumatra) itu sebabnya terbawa-bawa terus nama India dan sampai sekarang pun kita belum pernah mengkoreksinya, nanti akan menyambung. Pada waktu Belanda menguasai Indonesia menjadi kekuasaan maritim di dunia. VOC ini, Serikat Dagang Belanda yang membangun imperium maritim terbesar di dunia dengan ibukotanya Batavia. Dan Batavia ini menyebabkan lahirnya Java-centrisme, semua diukur untuk kepentingan Jawa. Jadi VOC itu mengirimkan pembunuh keluar Jawa untuk menundukkan luar Jawa. Dari Luar Jawa membawa harta di bawa ke Jawa. Ini Perbuatan VOC. Tetapi kemudian VOC bangkrut, kapal-kapalnya pada tenggelam karena korupsi para pejabat, dengan mengangkuti barang-barang berlebihan. Bangkrut VOC, kemudian muncul pemerintah Hindia Belanda, karena sudah tidak mempunyai kekuasaan laut lagi. Pertahanan Hindia Belanda itu didasarkan pada pada pertahanan Darat. Dan pertahanan Darat dipertahankan sistemnya pada sekarang ini. Padahal sistem pertahanan Indonesia harus pertahananan laut. Salah satu bukti kelemahan pertahanan Darat untuk negara maritim. Pada tahun 1812, waktu Hindia Belanda dikurung oleh Inggris dari laut, dalam beberapa hari angkat tangan. Waktu diserang oleh Jepang pada 1942 dalam beberapa hari juga angkat tangan. Jadi kalau itu diteruskan sampai sekarang, itu bukan lagi kekeliruan, tetapi kesalahan. Persoalannya adalah keberanian untuk mengkoreksi kesalahan. Keberanian tidaknya itu terserah kepada angkatan muda yang belum terpakukan pada sebuah sistem. Sekarang ini kekeliruan pada waktu Hindia Belanda melaksanakan politik etik, yakni politk balas budi kepada Hindia, timbul organisasi-organisasi pribumi, di Belanda pun muncul organisasi mahasiswa dan terpelajar yang dipelopori oleh Sutan Kasayangan jumlahnya sangat sedikit. Karena yang terbanyak ke Belanda dari Indonesia adalah babu dan jongos. Ada organisasi kecil, sangat kecil. Makin banyak pelajar yang kesana dan kemudian buangan Indische Party, lantas timbul perhimpunan Indonesia. Dengan munculnya Perhimpunan Indonesia itu, pemuda dan buangan ini menemukan tanah air dan nation-nya. Bukan tanah air dan nation yang konkrit tetapi masih fiktif dan ini dinamakan Indonesia. Pada waktu itu nama Indonesia sedang populer. Dipopulerkan oleh Adolf Bastian orang Jerman. Sebetulnya yang menemukan nama ini orang Inggris, tetapi sekarang ini Saya lupa namanya sorry ya! Disini terdapat kekeliruan, bukan kesalahan. Karena nama Indonesia itu kepulauan Hindia. Bastian menggunakan kata Indonesia itu untuk etnographi. Karena itu pada persiapan kemerdekaan bagaimana wilayah dan penduduk Indonesia. Orang yang waktu ikut perhimpunan Indonesia adalah ras melayu, itu sesuai dengan ajaran Bastian. Jadi Maluku segala tidak masuk Indonesia, tetapi Malaya, Singapura masuk Indonesia. Tetapi ini dibantah oleh grup lain yang mengatakan Indonesia bukan persoalan etnographi, tetapi persoalan kesamaan dalam penjajahan, yaitu wilayah bekas Hindia Belanda, yang terakhir menang. Jadi nama Indonesia masih terbawa. Dan partai permulaan itu adalah PKI pada tahun 1923, setelah itu partai semua menggunakan nama Indonesia. Sebelumnya PKI namanya Partai Komunis en Hindia. Jadi di sini ada kekeliruan menggunakan nama Indonesia. Zaman Majapahit namanya Nusantara. Zaman Singasari lebih tua lagi Dipantara, Nusantara di antara dua benua. Jadi ada keberanian mengkoreksi atau tidak? Terserah. Kembali lagi kita ke masa lewat. Mengapa Belanda yang begitu kecil bisa menguasai Indonesia? Luas wilayahnya tidak lebih besar dari Jawa Barat. Karena politik kolonial Belanda adalah politik parternalisme. Karena Belanda itu pedagang, maka golongan menengah itu dibasmi. Golongan menengah pada waktu itu praktis terdiri atas pemilik kapal dan pedagang antar pulau dan internasional. Kapal-kapal mereka dihancurkan oleh kapal meriam Belanda di laut. Mereka terdesak ke pelabuhan-pelabuhan, terdesak terus ke pedalaman sampai kembali menjadi petani. Dan golongan menengah yang kosong ini diisi oleh orang-orang Tionghoa, itu history. Dalam politik paternalisme kolonial perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme. Produk perkawinan itu begitu mendalamnya menghancurkan golongan menengah pribumi. Produk perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme, adalah satu kelas khusus dalam masyarakat kelas ini pada zamannya dinamai priyayi. Priyayi ini yang melahirkan kemudian birokrasi kolonial. Karena sudah asal-usulnya demikian maka kita bisa menduga mentalnya demikian. Politik paternalisme ini merasuk dalam-dalam kehidupan, sehingga orang memanggil satu-samalain itu bapak atau saudara, padahal itu panggilan, sapaan yang hipokrit. Tidak ada hubungan apa-apa. Mengapa mesti memanggil bapak, memangnya sudah kawin sama dengan ibunya. Untuk mengguunting putus partenalisme itu, Bung Karno pernah menciptakan kata sapaan Bung. Dengan kata Bung orang yang dihadapi dianggap mandiri. Jadi sebaliknya kita menilai kembali penemuan Bung Karno, karena dengan sapaan itu orang dianggap mandiri. Pada waktu di Buru saya pernah dipanggil oleh Sersan Karo-Karo, ia berkata "bapak sudah tua, sudah saya anggap orang tua sendiri, lalu bak-buk saya dipukul." Saya ikut jengkel dengan persoalan paternalistik ini, karena sudah ikut mengalami pahitnya. Jadi, tadi saya sudah katakan Jawa sentrisme, VOC, kemudian Hindia Belanda juga mengirim pembunuh-pembunuhnya dari Jawa ke luar Jawa untuk mendudukkan luar Jawa, dan dari luar Jawa mengambil kekayaan ke Jawa. Pola ini berlangsung sampai sekarang. Itu sebabnya Bung Karno pernah berencana memindahkan Ibukota ke Palangkaraya. Tapi sebelum bisa melaksanakan muncullah yang namanya Harto. Saya pernah menerima seorang pustakawan Universitas Cornell nama Ben Abel, dia itu orang Dayak dari Palangkaraya. Saya tanya bagaimana hutan Palangkaraya, karena menurut Semaoen, pemikir perpindahan Ibukota ke Palangkaraya. Saya tanya ke Pak Semaoen, "Biayanya apa?" Pak Semaoen menjawab "Gampang saja untuk Indonesia, hutan Palangkaraya." Tapi Ben Abel yang datang ke rumah. Saya tanya, "Bagaimana hutan Palangkaraya?" Jawabnya "Gundul, sudah habis semua." Jadi hutannya habis ibukotanya tidak jadi pindah. Demikianlah kisah sedikit tentang Orde Baru. Sekarang terjadi gerakan separatis. Ada Aceh Merdeka, Papua Merdeka, segala macam Merdeka. Apa sebabnya demikian? Ini masih tetap dalam suatu kesalahan yang memenage Indonesia sebagai negara maritim oleh pendudukan Angkatan Darat. Kalau dimanage sebagai negara maritim, laut akan menghubungkan satu pulau ke pulau lainnya. Tapi dengan pendudukan Angkatan Darat memisahkan dari pulau satu dengan pulau lainnya. Ini salah satu kesalahan besar yang memudahkan terjadi disintegrasi Indonesia. Dan kemudian ini tugas angkatan muda untuk membenahi semua ini. Ada keberaniaan untuk membenahi jangan belagak pikun ya? Saya sendiri tidak setuju dengan federasi, tetapi otonomi luas, seperti juga diperingati Bung Karno "sekarang ini adalah abad campur tangan asing dan federasi memudahkan campur tangan asing". Apalagi tidak dimanage sebagai negara maritim, Saya masih pas dengan negara kesatuan, ya terserah itu pendapat pribadi Saya. Sekarang tentang demokrasi. Masalah kita adalah masalah demokrasi. Sumbernya adalah revolusi Perancis, seluruh dunia menimba dari revolusi Perancis, seluruh negara Barat negara-negara demokrasi. Tetapi apa yang diperbuat oleh negara-negara demokrasi di luar negerinya, penjajahan dan penghisapan. Jadi Demokrasi Barat tidak sepenuhnya demokratis. Itu baru demokratis kepentingan. Sebab dalam 300 tahun lamanya negara-negara Utara menjadi makmur karena dimakmurkan oleh negara-negara Selatan. Saya dalam keliling belakangan ini, melihat betapa indahnya hutan di Amerika Serikat dan Kanada, hutan dan kota berpeluk-pelukkan. Tapi apa yang diperbuat Amerika dan Kanad, hutan Indonesia dilumat menjadi kertas, bubur kertas. Banyak pembunuhan terjadi. Pembunuhan massal 1965-66, pembunuhan sampai sekarang ini dikecam juga oleh negara-negara Utara, tetapi siapa yang memasok senjata yang memungkinkan pembunuhan juga dari Utara. Bagaimana kita harus mengatakan? Itu sebabnya pada angkatan muda Saya serukan supaya siap-siap memasuki millenium ketiga dan mengubah kehidupan dan hubungan luar-negeri lebih manusiawi, buka seperti sekarang. Itu tugas angkatan muda sekarang, jangan pura-pura goblok. Karena demokrasi di Indonesia kalau bisa meraih kedaulatan manusia, kedaulatan pribadi. Karena kita ini masih hidup dalam budaya panutan. Budaya panutan itu biar satu orang yang berfikir yang lain ikut saja. Jadi belum dimulai budaya individual, masih budaya kelompok. Soekarno pernah mengatakan "setiap kemajuan diraih bukan oleh kelompok tetapi oleh individu" itu Soekarno mengatakan. Dan sebagai contoh budaya panutan ini, kita mengenal Suwardi Soerjaningrat menguba namanya Ki Hadjar Dewantara, bukan maksudnya merendahkan beliau, tetapi memproklamasikan diri pendeta perantara para dewa. Ini adalah budaya panutan. Jadi dia memproklamasikan diri untuk dianut oleh orang lain. Tetapi jeleknya budaya panutan kalau dalam keadaan kritis sang panutan hanya menjawab yang mengikuti yang menanggung. Itu jeleknya. Jadi ini supaya ditumbuhkan budaya individu, bukan budaya panutan, saya kira cukup jelas toh. Dan sekarang dalam kehidupan kita ini pertentangan Timur-Barat sudah tidak ada yang ada sekarang adalah Utara-Selatan. Ini saya minta menjadi pikiran, dan dicarikan jalan keluar, supaya hubungan Utara-Selatan lebih manusiawi, bukan seperti sekarang ini Saya kira cukup sekian dulu. Terimakasih Banyak Catatan Pinggir: Pram http://www.tempo.co.id/majalah/index-isi.asp?rubrik=cat&nomor=1 NO. 08/XXVIII/27 Apr - 3 Mei 1999 Pram Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali-tiap tahun seperti tak disangka-sangka-dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram. Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin. Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka-dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman "Demokrasi Terpimpin" Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman "Orde Baru" ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya-dan ia disambut. Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx-seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute's Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah "pesimisme pemikiran, optimisme kehendak". Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya-yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu-bahwa "mereka pernah punya seorang ayah". Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu-itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah. George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang "paling anarkis" dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat "anarkis" itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel-seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu-mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak "mengetahui". Dan "mengetahui" bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib. Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang-seperti diakuinya malam itu-punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru? Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara "komunis" dan antikomunis"-seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal-tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan. Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: "Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat... melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian." Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak.... Manusia belum mati-mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali. Goenawan Mohamad Copyright @ PDAT 1 9 9 8 Jang Harus Dibabat Dan Harus Dibangun Pramoedya Ananta Toer Bintang Timur, 10 Aug, 1 Sept, 7 Sept, 12 Okt 1962 Bagian I: 10 Aug, 1 Sept Tahun 1953, atau 10 th. jl, merupakan perkisaran jang penting terutama dalam dunia sastra Indonesia. Pada th. itu nampak benar berapa galangan jang dengan penuh kesabaran dibangunkan oleh Sticusa, bagian demi bagian mulai berhasil. Pemerintah Belanda jang mulai ragu2 tentu manfaat kerdja Sticusa bagi keuntungan keuangan diwaktu dekat mendatang dengan gopahgapah hendak menarik djatah dana dari Dana Bernhard ke pada Sticusa. Sebaliknja, Sticusa, jang dipimpin oleh para bekas residen atau asisten residen serta orang2 dari bekas kabinet van Mook, mengerti benar, bahwa ikatan- batin dengan golongan intelektual Indonesia harus dipelihara dan diselamatkan, buat menjelamatkan hubungan ekonomi dan djuga politik dengan negeri bekas djadjahan, jang dalam keadaan bagaimanapun harus tetap bisa memberikan keuntungan moril dan materiil bagi Belanda. Begitulah untuk menundjukkan manfaat Sticusa, untuk membuktikan, bahwa hubungan kultural merupakan bagian penting dalam mempertahankan dominasi ekonomi dan politik atas negeri bekas djadjahannja, pada bulan Djuli 1953 Sticusa dengan gerak tjepat telah menjelenggarakan Simposion Sastra Modern Indonesia. Kesengadjaan dari Simposion ini benar2 mengagumkan. Undangan bukan sadja terbatas pada para sardjana dan seniman Belanda, djuga sardjana2 Inggris, Djerman, Australia, Amerika dan Indonesia tentu. Dengan demikian, Simposion Sastra Modern Indonesia jang pertama-tama, bukan hanja tidak berlangsung di Indonesia, djuga mempunjai forum jang sedikit-banjaknja bersifat internasional. Daja penarik Simposion jang mendapat sukses gilang gemilang ialah "rijst-tafel" atau "makanan Indonesia," dan Simposion berlaku dari pagi2 sampai matari Belanda hilang samasekali dari langit Eropa. Besoknja seluruh pers Belanda, dan beberapa pers Eropa diluar Nederland, memberitakan laporan2 dari Simposion ini, dan Sticusa "terpaksa" tidak dirubuhkan oleh pemerintah Belanda. Pers Indonesia djuga banjak memberitakan peristiwa ini. Bahkan setahun kemudian Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI mau tak mau harus djuga bergerak menjeleggarakan Simposion Sastra pula. Simposion Sastra pertama jang berlangsung di Nederland ini mengandung unsur2 bagi perkembangan sastrawan dan sastra Indonesia sesudah itu. Disinilah sardjana hukum Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan, bahwa "Revolusi telah menjebabkan manusia modern Indonesia menginsafi, bahwa kemerdekaan jang telah diperdjuangkannja dengan bersemangat itu pada hakikatnja membuatnja lebih melarat, karena ia telah kehilangan se- gala2nja..." (dan dalam situasi kehilangan semua2nja ini pembitjara itu sendiri, telah berhasil mengeduk keuntungan berlimpah sampai dapat meningkatkan djumlah miljuner nasional dengan dirinja sendiri). Andil Takdir kepada Revolusi memang meragukan, sekalipun ia anggota KNIP dari sajap PSI, seorang kapitalis jang bitjara atas nama sosialis. Pada waktu itu Takdir masih sangat berpengaruh karena djasa2nja sebelum pendudukan Djepang, baik dilapangan kebudajaan pada umumnja maupun dilapangan sastra pada chususnja terutama dibidang pengadjaran-sastra jang selamanja ketinggalan dari perkembangan sastra itu sendiri. Benar waktu itu telah timbul djuga Angkatan 45 jang menolak Takdir, tapi masarakat sastra sendiri masih kurang kritik. Dan benar sekali, bahwa dalam simposion ini Asrul Sani sebagai wakil Angkatan 45 djuga angkat bitjara, tapi Angkatan Pudjangga Baru jang disini diwakili oleh Takdir sudah sampai pada taraf perkembangannja jang masak, dilandasi oleh pengalaman jang luas, sehingga tidak semudah itu dapat didorong ke belakang. Maka dalam Simposion ini Takdir berhasil dalam pengutaraannja bahwa suatu impasse sedang mentjekam Indonesia dibidang sastra dan kebudajaan pada umumnja. Ia berhasil membuktikan, bahwa Revolusi merupakan bantahan terhadap kebudajaan Pudjangga Baru. Dan 10 th kemudian, 1962, tidak lain dari Iwan Simatupang dengan tjerpennja Tegak Lurus Dengan Langit jang telah berdjasa dalam memberi bentuk pada pikiran Takdir ini sehingga mendjadi semakin djelas, bahwa Revolusi 45 tjumalah sadisme! Sama sekali bukan sesuatu jg mengherankan, bila Iwan ini djuga jang pada th 1953, beberapa bulan setelah selesai Simposion melajangkan surat kepada Sticusa; sedia tandatangani sjarat apa pun djuga bila Sticusa mau undang gua ke Nederland. Sjarat2 apa jang telah ditandatangani oleh Iwan ini, tak ada jang tahu, ketjuali dia sendiri dan Sticusa, setidak2nja dia dapat undangan ke Nederland (1955). Dan sama sekali bukan sesuatu jang mengherankan, bila Iwan jang ini djuga, jang telah gondol beberapa puluhribu uang modal Pekan Teater, sesuai dengan pandangannja, bahwa Revolusi 45 hanjalah sadisme, karena itu harus dirubuhkan sambil mendapat keuntungan dari pekerdjaan ini. Apakah sebabnja Takdir bisa punja sikap dan pandangan sedemikian negatif terhadap Revolusi 45 jang agung itu? Tidaklah sulit untuk menemukan sumbernja. Sudah sejak aktivita-budaja-nja jang pertama-tama, ia mengimpi dan berangan, berillusi tnt kemadjuan Indonesia jang tjepat, jang deras. Hanja peradaban dan kebudajaan Barat sadja mampu mempolai kemadjuan ini. Tak ada jang bisa mengatakan, bahwa impian, angan2 dan illusinja djahat, sebaliknja--sesuatu kewadjaran sadja bagi seorang mendeburkan darah patriotisme dlm dirinja. Apabila ia melakukan kekeliruan, maka ini ialah tidak atau kurang adanja kesungguhan pdnja untuk melakukan kekeliruan, maka ini ialah tidak atau kurang adanja kesungguhan pdnja untuk mengenal realita dari bangsanja sendiri plus kehidupannja. Ia seorang idealis jang menutup mata terhadap realita jang hidup, karena impiannja terlalu keras, terlalu indah, sedangkan kenjataan terlalu pahit, dangkal, lamban, dan serba mendjengkelkan. Langkah pemikiran selandjutnja bukan lagi suatu kekeliruan, tapi suatu kesalahan, karena ia hendak membangunkan impian dgn djalan meniadakan dan memunggungi realita itu sendiri dan karena kekagumannja pd Barat ia terimalah Barat itu sebagai ukur segala jang hidup pd bangsanja. Rekonstruksi membangunkan kuburan, sedangkan tjandi Prambanan diketjamnja sbg urgensi adalah membangunkan jang djustru hidup sekarang ini. Nampaknja ketjamannja ini revolusioner, kalau orang melupakan kenjataan lain, bahwa Takdir pulalah jang menjatakan bahwa penamaan "terjerambut" (atau ontworteld) baginja merupakan pujian! Takdir pulalah jang dg gagah2an mempelopori gerakan "guntungputus" dg masalampana [- lampaunja?]. Waktu revolusi mentjapai tarafnja jang panas, ia djustru pergi ke Nederland untuk menghadiri Kongres Filsafat (1945) sehingga djabatannja sebagai mahaguru di UI dibekukan. Dan tindakannja ini disamakan dengan tindakan Dr. Sumitro, sewaktu ikut menghadiri Kongres Havana sebagai pena sihat delegasi Belanda, djuga ini terdjadi pada tahun panas2nja Revolusi. Gugatan jang tertudju padanja mejebabkan Takdir dlm madjalah "Pembangunan," 1947, berusaha membersihkan dirinja dengan bergajutan pada R.A. Kartini jang terus menerus dihormati, baik didjaman pendjajahan Belanda, Djepang, maupun semasa Revolusi itu, pdhal, bukankah Kartini mengandjurkan kerdja sama antara Pribumi dengan Belanda? Dan djustru gajutan ini mendjelaskan pada kita, bahwa Takdir tak banjak mengerti tentang perdjuangan kemerdekaan jang sedjak permulaan abad ini melulu kreteria dan taraf2nja. Madjalah "Pembangunan" tidak pernah mempunjai otorita, sehingga suaranja pun padam tanpa meninggalkan gaung. Dan sedjak Kongres Filsafat tsb praktis ia semakin lama semakin dekat pada golongan ko, golongan penchianat semasa Revolusi itu, malah dimasa pemerintahan federal di Djakarta, perusahaannja mendapat kemadjuan tjepat dan melompat. Revolusi jang digerakkan oleh Rakjat, oleh kenjataan jg hidup, mengakibatkan terdjadinja desilusi pdnja, karena Revolusi merupakan guru jang lebih baik bagi kehidupan ini daripada mahaguru jang manapun djuga. Takdir jang mempunjai gaja-penulisan jang polemis, tetap dapat mempertahan gajanja ini, hanja nadanja dimasa Revolusi 45 dan sesudahnja terdengar mineur. Setelah pemulihan kedaulatan, ia njatakan desillusinja ini dlm artikel "Buku dan Ketjerdasan Rakjat dalam Bahaja" jang dimuat dlm madjalah "Siasat" IV/171/18 Djuni 1950. Diantaranja ia menulis: ...Pemerintah sekarang tidak akan dapat sebenar- benarnja memenuhi kebutuhan rakjat 70 juta ini akan makanan, pakaian dan perumahan. Sebab kemakmuran dalam arti jang sebenarnja pada hakekatnja ialah akibat sesuatu pertumbuhan sikap hidup, kegiatan dan kepandaian berusaha dari dalam rakjat sendiri, baik sebagai suatu satuan, maupun sebagai individu. Kutipan ini, jang merupakan pentjetakan atas pidatonja dalam malam pertemuan jang diselenggarakan oleh penerbit kebangsaan "Pustaka Rakjat" di Hotel des Indes memperlihatkan dengan djelas segi pemikiran Takdir jang tidak menguasai persoalan politik, (waktu itu RI baru 1/2 tahun berdaulat!) dan mentjoba menutupi kelemahannja dengan ekonomi sebagai seorang pengusaha jang sedang merasa terantjam perusahaannja karena kebidjaksanaan pembagian kertas jang pada waktu itu sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Kesalahan politik nampak dari pandangannja jang tidak djelas terhadap Rakjat jang sepandjang abad merupakan unit ekonomi jang terus-menerus menghasilkan kemakmuran. Rakjatlah penghasil kemakmuran. Kemakmuran tidak datang dari sikap hidup jang manapun. Tapi apakah kemakmuran itu kembali lagi kepada Rakjat jang menghasilkannja, ini adalah politik bukan lagi ekonomi apa pula sikap hidup! Sedang sudah setjara apriori Takdir mengetok palu-hakimnja, bahwa Pemerintah sekarang tidak akan dapat sebenar2nja memenuhi kebutuhan Rakjat. Sudah dari nadanja orang dapat dengarkan suatu sinisme jang lahir dari desilusi. Tapi desilusi ini tidak mampu mengadjari Takdir untuk mulai beladjar melihat dan memahami realita. Bagi mereka jang menganggap sastra hanjalah sastra, tidak lebih dan tidak kurang, tentu akan bertanja: apakah hubungannja semua ini dengan sastra? Djawabnja atas pertanjaan ini adalah djawaban atas faktor2 kedjiwaan apakah jg menguasai seorang pengarang, serta bagaimana kondisi kedjiwaannja, karena sebuah pabrik jang didirikan dengan sjarat2 tertentu untuk menghasilkan tahu, tentulah ia djadi pabrik tahu, terketjuali bila sjarat2 itu diubah, berubah, sehingga djadi pabrik bom. Itu pula pentingnja dimulai tradisi untuk menempatkan karjasastra sebagai bahan gubal, dan bukan mantra karena tindjauan dan penilaian teknik semata, untuk sampai pada wudjut sebagai manusia pengarang dan dengan demikian untuk mendapatkan faham jang lebih tepat tentang manusia Indonesia sebenarnja. Sedang saran ini sama sekali tidak menjalahi Takdir jang sendiri menghendaki dan mempraktekkan seni bertendens, artinja seni jang memikul tugas, paling sedikit tugas sosial. Pada alinea lain kita dapatkan kutipan jang sebenarnja suatu kekatjauan jg telah mentjampuradukkan masalah kebudajaan dan perdagangan: "Apabila kami mengemukakan ini, hal itu bukan sekali2 untuk mengeluarkan kritik, bukan djuga oleh karena kami takut Pustaka Rakjat tidak akan dapat mendjalankan usahanja lagi. Kami hanja bermaksud sepintas lalu menundjukkan, bahwa buku dan bersama dengan itu ketjerdasan rakjat dalam bahasa." Pendeknja, pandangan kultural Takdir setelah 1950, atau setelah kedaulatan tidak lagi ditangan Belanda setelah perusahaannja tidak mendapatkan pesanan2 langsung dari Departemen van Onderwijs [dan] Eredienst pemerintah Federal, merupakan kekatjauan jang tjampurbaur antara soal2 perdagangan dan ilusi2 kultural ini berkembang semakin menjata sampai pada th 1953 dalam simposion sastra Indonesia di Amsterdam. Takdir sebagai budajawan, sudah sedjak mudanja menjindir, mengemplang dan mentjoba menggiling apa sadja jang serba tradisional terutama adat nenek mojangnja sendiri, tanpa keinginan ataupun kemauan baik untuk memahami latarbelakang dan fungsi historiknja. Demikianlah, maka kondisi kedjiwaan setiap pengarang, dalam usaha mendapatkan pengertian jang sehat tentang sastra dari bangsa jang sedang membangun dan membentuk diri sebagai bangsa Indonesia dewasa ini sangat penting untuk ditelaah setjara terbuka. Segi2 positif Takdir dalam perdjuangan kebudajaan dimasa sebelum Perang Dunia II ternjata disusul dengan tjepatnja oleh perkembangan dari segi2nja jang negatif, hanja karena ia seorang idealis jang memunggungi kenjataan hidup sudah sedjak mulanja. Perkembangan ini semakin tragic sewaktu terdjadi apa jang lazim dinamai dengan "pergolakan daerah," suatu istilah jang sebenarnja berisikan motif2 politik jang sakitan. Dalam persiapan2 untuk meletuskan "pergolakan daerah," golongan2 anti-revolusionar jang djuga mendapat dukungan dari parasardjana idealis jang memunggungi kenjataan (misalnja pernjataan2 dukungan "dengan pertimbangan ilmiah" dari paramahaguru Universita Andalas pada PRRI) mentjoba menarik kekuatan dari dukungan golongan adat, seperti jang telah dilangsungkan Palembang pada bulan Djanuari 1957. Kongres Adat ini didalangi oleh Dewan Garuda jang menelorkan putusan2 jang oleh sementara pers jang masih dapat menghormati Revolusi, persatuan dan kesatuan nasional, diketjam sebagai bersifat feodal dan kontra-revolusionar. Bahkan persiapan mentjetuskan "pergolakan daerah" ini dirasa sebagai bahaja bagi negara Indonesia. Angkatan muda jang tergabung dalam puluhan organisasi setjara terburu2 menjiarkan siaran kilat berisikan 5 pasal jang berseru agar seluruh pemuda dan Rakjat tetap waspada dan tetap memelihara persatuan Bangsa dan Keutuhan Negara. Seruan itu ditudjukan pada semua kekuatan anti-separatisme dikalangan masarakat. Selandjutnja diharapkan kepada barisan pemuda agar tjukup bidjaksana, tjakep untuk mengatasi tiap2 politik adudomba jang bermaksud mentjegah persatuan. Dan ini adalah tindaklaku parapemuda. Sebaliknja golongan tua, termasuk Takdir dan Hazairin, sebagai tokoh2 penting dalam Kongres Adat Sumsel itu, telah menundjukkan bahwa kesardjanaan mereka ternjata tjuma keahlian teknis semata. Para pemuda itu membuktikan pula, bahwa jg mula harus benar dan tepat adalah politik. Bila politiknja tidak benar, maka kesardjanaan hanja ketukangan jang tidak bertudjuan. Sebagai bukti ketukangan tanpa politik jang benar ini Takdir kemudian menerbitkan pidatonja dalam Kongres Adat Sumsel berdjudul Perdjuangan Untuk Otonomi dan Kedudukan Adat Didalamnja, (Pustaka Rakjat 1957). Dan risalah ini merupakan titik penghabisan bagi kegiatan kebudajaan Takdir jang masih mempunjai sumbangan bagi kebudajaan Indonesia. Memang setelah itu ia masih ikut buka mulut dalam diskusi "Batjaan Tjabul" OPI, tapi hal itu tidak mampu memperbaiki posisinja didalam pembiaran [?] kebudajaan apalagi sastra Indonesia. Tokoh seangkatan Takdir jang djuga berkembang setjara tragik adalah Tatengkeng dari Indonesia Timur jang pada tarafnja jang terachir menggabungkan diri dengan Permesta. Kedua2nja dapat disamakan dengan tokoh Gregori Melechov dalam roman Sjolokov And Quiet Flows the Don, seorang tokoh perang jang hebat dalam revolusi bolsjewik, jang karena tidak punja ketegasan dilapangan politik achirnja mondar mandir tidak karuan ke berbagai pihak, dan achirnja lenjap sebagai sampah. Sampai disini orang terpaksa mengingat doktrin jang dipegang oleh seniman2 dan budajawan2 jang tergabung dalam organisasi kebudajaan Lekra, jang mengadjarkan bahwa "politik adalah panglima." Pengalaman dari orang2 pintar tapi tragik itu membuktikan kebenaran dari doktrin Lekra tsb. Sampai disini pula dapat ditentukan bahwa untuk menghindari terdjadinja ulangan2 tragedi jg sia2 didengar para budajawan2 dan seniman jang toh diharapkan sumbangannja pada nasion-building, maka ketidaktugasan politik, jang menjebabkan timbulnja seni dan pemikiran gelandangan, harus disapu, harus dibabat. Tidak perlu diberikan luang seketjil2nja pun untuk membiarkan berkembang dan berlarut unsur2 penjakit ini, jang ternjata masih dapat mengembangkan sajapnja sampai dewasa ini, sebagaimana telah disinggung dalam Gedjala Sikisma dalam Perkembangan Tjerpen Dewasa Ini, jang telah dimuat dalam "Lentera" beberapa waktu jl. Jang Harus Dibabat dan harus Dibangun II Oleh: Pramoedya Ananta Toer (III) Bintang Timur (Lentera), 7 September 1962 Ada segolongan pengarang muda jang berpendapat bahwa dalam mengeritik sastra, orang tak boleh mengeritik pengarangnja. Sebenarnja, orang dapat menerima saran ini, sekiranja masjarakat dan manusia Indonesia adalah masjarakat dan manusia jang telah mendapatkan bentuknja, djadi bukan dalam periode transisi jang sedang membentuk dan membangun diri. Dalam periode ini sastra bukan hanja meneruskan jang sudah ada, djuga sebagaimana halnja dengan masjarakat dan manusianja, sedang membentuk dan membangun diri. Tugas sastra sangat penting peranannja dalam masa ini. Karena itu djuga setiap pengarang jang tugasnja adalah mempengaruhi djalannja pembentukan dan pembangunan diri itu harus djelas, karena bila pengarang itu seorang gelandangan tanpa tujuan, seorang nabi dari adjaran jang terkenal dengan nama "filsafat iseng" mau tak mau karjanja akan meninggalkan kotoran2 hitam dalam proses pembentukan dan pembangunan diri jang dalam djaman modern ini harus berdjalan serba tjepat, efisien dan selamat untuk dapat segera setaraf bahkan melampaui negara2 jang sudah lama menikmati kemerdekaan nasional. Ada seorang pengarang remadja jang pernah melontarkan tanja: "Mengapa pengarang jang satu mesti gulingkan pengarang lain? Bukankah dua2nja djuga tjari duit?" Dengan mudah orang dapat menangkap bangun dan wudjud tanggapan pengarang remadja ini atau fungsi sastra sebagai sumber penghasilan doang, ia belum tahu, mungkin djuga tidak mau tahu tentang fungsi sosialnja dan lebih tidak tahu lagi tentang sedjarah sastra Indonesia itu sendiri, jang setjara tradisional berdjuang melawan penindasan, kezaliman, baik diluar maupun dalam rangka imperialisme kolonialisme. Pertanjaan itu kemudiannja: "kalau hendak menandingi madjalah X terbitkanlah madjalah jang lebih baik dari X. Kalau hendak menandingi pengarang Z terbitkanlah karja2 jang lebih baik dari karja pengarang Z." Nasihat ini tidak baik bila dikatakan pada siswa, mahasiswa, guru atau mahaguru jang tjuma tahu sastra itu dari djurusan bentuk, teknik gajabasa, idea2 dan tjara pengungkapan, pendeknja dari segi ketukangannja. Tapi, baik guru maupun murid sastra dengan predikat atau tidak, paling mula harus mengetahui, bahwa setiap sobek kertas jang digunakan dalam penerbitan, adalah dibeli dengan devisen jang dihasilkan oleh keringat buruh dan tani jang notabene sudah kekurangan kemakmuran! Adalah munafik bilan hasil keringat jang terlalu mahal diperas dari massa besar pekerdja itu tjuma dipergunakan buat mentjetak keisengan perseorangan jang diberi prepetensi dan predikat "sastra." Sastra adalah bertugas. H. B. Jassin sendiri pernah merasa perlu menterdjemahkan tugas sastra ini pada tahun2 Revolusi Agustus dari karja Sartre, dalam "Mimbar Indonesia" sedang karja Sartre ini kemudian pun ditjetak pula didalam madjalah "Indonesia" (1949). Bahwa sastra memikul tugas, kini tak banjak lagi disangsikan orang. Pada awal tahun 1950-an sastra banjak kala dianggap sebagai tudjuan, sebagai mantra, suatu anggapan jang menjalahi realita. Ada djuga seorang pengarang muda jang baru marak namanja pada hari2 belakangan ini berpendapat, bahwa kritik sastra harus dibatasi pada masalah sastra, tidak boleh keluar dari batas sastra. Pendapat sematjam ini sesungguhnja jang beberapa tahun jang lalu ikut membisingkan persoalan tentang PASTERNAK dalam pers Indonesia. Mereka pada ramai2 mengutuk US jang "menindas kebebasan sastra," tapi sama sekali tidak bitjara tentang fitnah DOKTER ZHIVAGO terhadap Revolusi Oktober. Mereka tidak pernah bitjara, bahwa Nobel buat PASTERNAK adalah hadiah buat fitnah jang terindah oleh politik, oleh tatatertib, sastra boleh berchianat asalkan dia bernilai sastra. Sastra hidup didalam segala matjam kejakinan. Tapi jang mana jang sastra, kalau sastra itu harus punja tugas? Dan tugas jang mana? Jang menentang atau jang membantu Rakjat, ataukah jang tak perduli pada Rakjat, tapi dalam pada itu hidup dari keringat Rakjat. Maka, kalau dalam alam Manipol, tidak lain dari BUNG KARNO sendiri jang mengatakan bahwa apabila "Rakjat marah kepada saja, marahilah saja, saja akan tundukkan kepala," maka benar2 suatu keanehan bila sastra dialam Indonesia jang sedang membangun diri ini bisa benarkan hidupnja sastra didalam segala matjam kejakinan, baik kejakinan jang merusak maupun jang membangun. Tragedi sastra sematjam ini ada di Indonesia dan sedang bermain dengan meriahnja. Malah dengan mudah orang dapat menjediakan timbangan buat mengkilonja mungkin djuga dengan sebuah baskule bila penerbitan pada umumnja jang harus ditimbang. Bila dibidang ini pada tahun 1953 GAJUS SIAGIAN pernah menulis PENERBITAN MEDAN dalam sebuah madjalah Belanda terbitan Amsterdam, jakni Medan sebagai sumber-penerbitan-tanpa-tugas kini kita dapat kemukakan 2 matjam pernerbit di Djawa ini jang luarbiasa aktifnja. Analisa dan Inmajorita. Dengan tjatatan, bahwa Inmajorita jang dibangun untuk membendung Manipol tidak ketahuan dimana alamatnja. Mengapa ada pengarang-muda berpendapat bahwa kritik sastra harus bisa dibatasi pada masalah sastra? Tidak susah untuk dapat memahaminja. Pertama karena aktivita reaksioner jang bersumberkan djiwa reaksioner dengan demikian tidak mudah dikontrol dan didjeladjah dan dengan demikian pula boleh memperpandjang keamanan dirinja. Kedua karena pengadjaran sastra masih menderita kebolongan, terutama dibidang filsafah-sosialnja. Memang berat untuk menjadari bahwa pengadjaran sastra ternjata tidak punja batas, karena hidup itu sendiri jang djadi landasan sastra memang tidak berbatas, lebih luas dari laut dan langit, dan lebih dalam daripada samudra atau djurang. Apabila falsafah-sosial telah umum dalam sistem pengadjaran kita, pastilah sudah, bahwa setiap peladjar apalagi pengarang, akan mengerti dengan sendirinja, bahwa sastra hanjalah bangunan atas jang tergantung pada basisnja, jakni kehidupan sosial, kamunal ataupun individual. Sastra sebagai bangunan atas akan bergerak bila basis bergerak, dia akan mendjulang bila basis mendjulang, dan demikian seterusnja. Lihatlah bangunan atasnja sadja! Djangan lihat basisnja! Mengapa orang dapat mengatakan demikian? Karena basisnja, basis individual patut mendapat perlindungan dari koreksi dan penghakiman mungkin djuga penghukuman. Demikianlah, meremehkan kehidupan satra adalah djuga meremehkan adanja kekuatan jang harus dihidupkan dalam alam pembentukan dan pembangunan diri ini. Meremehkan ini bukan sadja berarti menghambat perkembangan kearah tertjiptanja masjarakat adil dan makmur dibidang spiritual , djuga melakukan penghamburan devisen jang dihasilkan oleh djerihpajah Rakjat. Meremehkan ini adalah djuga laku tidak mendidik masarakat dan Rakjat itu sendiri. Didalam alam Manipol sastra Indonesia harus berani bebaskan matjam kritik jang menilai sastra tjuma dari perfeksi ketukangannja. Kritik sastra Indonesia dalam alam Manipol, harus bisa memaafkan kekurangan2 jang terdapat didalam ketukangan, bahkan harus mengisi kelemahannja, tapi basis politik, basis ideologi sama sekali tidak boleh meleset. Basis sastra Indonesia adalah masjarakat dan manusia Indonesia jang sedang berkelahi dan berdjuang memenangkan keadilan dan kemakmuran. Itulah basis jang benar. Jang diluar itu adalah kuriosita atau keanehan belaka. Memang ada segolongan orang jang menilai sastra dari keanehannja, dari ketidak-samaannja dengan jang umum. Tapi bila jang demikian djadi ukuran, atau salah satu ukuran, objek2 penulisan sangat mudah didapatkan dirumahsakit2 gila. Jang harus dibabat & harus dibangun PERDJALANAN JANG LAMBAT DARI SASTRA INDONESIA Oleh : Pramoedya Ananta Toer Bintang Timur (Lentera), 12 Oktober 1962 Tidak bisa dikatakan, bahwa Indonesia tak punja tradisi sastra jang pandjang dan sangat tua. Sastra daerah jang begitu berkembang, terutama di Djawa, Sunda, Bali dan Sulawesi Selatan-Tengah, Atjeh, Minang, Lampung dts. sebenarnja telah dapat dikatakan djaminan dari adanja basis jg baik bagi kehidupan sastra modern. Dari tradisional kearah modern memang terdapat berier histori jang tebal jang melingkupi pandangandunia, sikap, volume aindex pengetahuan, resonansi hubungan internasional, penggarapan atas pengaruh2 pada generasi2 sesudahnja. Karena itu adalah tdk benar, bila tradisi hanja bersifat mengulang dan memamahbiak jg sudah ada serta membajangkan perkembangan jg modern. Perdjalanan sastra modern Indonesia semestinja tidak lambat. Tapi mengapa lambat? MENENGOK KELUAR BARANG SEDJENAK Negeri-negeri Asia lainnja djauh lebih madju daripada Indonesia pada masa-masa sebelum perang dunia ke-II. India telah dimahkotai hadiah Nobel karena tjerpen2 Tagore. Singapura dan Malaja serta Vietnam (ingat sdja pd Pierre Do-Dinh), tapi dimasa sebelum Perang Dunia II itu, Indonesia baru menjumbangkan HIKAJAT KANTJIL, surat2 Kartini, dan karja Multatuli jang notabene adalah pengarang Belanda. MENGAPA? Apakah sebab semua ini? Mula2 sekali dapat dinjatakan disini, karena perkembangan ilmu pengetahuan sebelum perang dunia-II tidak menggembirakan di Indonesia. Penemuan2 keilmuan dapat dihitung dengan djari2 tangan dan kaki, sedang penemuan2 jang dilakukan oleh bangsa Indonesia malah bisa dihitung dengan djari2 sebelah tangan. Dalam pada itu kosmopolitisme meradjarela dikalangan kamu intelektual, sehingga ketjintaan dan watak kebudajaan sendiri serta raut2nya menjadi mendatar. Pendalaman2 jang bersungguh2 atas man[s]alah2 nasional tidak berkembang, achirnja pun ketjinta[a]n dan pengetahuan tentang ma[n]usia Indonesia (djadi termasuk kondisi, posisi, situasinja) djadi mendatar pula. Gerakan kebudajaan "Budi Utomo" pada permulaan abad ini tidak bisa dikatakan telah diselesaikan dengan baik, terutama setelah "budi Utomo" melakukan lompatan kearah kepartaian dan mentjoba mendampingi "Sarekat Islam" serta "Indische Partij" tanpa mengurangi djasa2nja bagi sedjarah. Terutama kos[mo]politisme jang tak terlawankan pada waktu itu, dan tidak begitu disadarinja akan bahajanja pada masa2 djauh kemudian hari, telah banjak mendjerumuskan kaum intelektual Indonesia dalam tjara pengurangan-barat. Sedang kebangunan negeri2 Asia lainnja jang sangat sedikit diperkenalkan di Indonesia sebagai akibat dari politik pemberitaan Hindia Belanda, menjebabkan kaum intelektual Indonesia kehilangan sesuatu jang sangat dibutuhkannja, jakni: bahan perbandingan. Tidaklah mengherankan apabila Kartini pernah menjatakan keheranannja, bahwa wanita berwanapun (maksudnja Pandita Ramabai) boleh dan dapat madju. Politik pengadjaran Hindia jang terang2an mengsabat kemadjuan bangsa Indonesia dapat dikatakan biangkeladi timbulnja dari semut faktor tsb. sedang kaum feodal sebagai penguasa kedua di Hindia, dan berkompromi tanpa malu dengan Belanda. Telah berhasil dalam kurun jang sangat pandjang menikmati kemadjuan sebagai haknja, lebih dari golongan dan manapun dalam masjarakat. Maka watak penguasa, dan watak komprominja dengan pendjadjah pun membikin kaum intelektualnja sedemikian rupa, tidak mempeladjari wudjut dari masjarakatnja sendiri. Maka djuga sastra Indonesia jg lahir dimasa itu praktis tidak dibatja oleh kaum intelektual jg karena kosmopolitismenja lebih suka membatja lektur asing. (Nasib sastra Indonesia pada waktu itu hampir dapat disamakan dengan nasib film Indonesia dewasa ini). Dengan demikian sastra Indonesia merupakan konsumsi bagi pembatja jang nisbiah kurang mempunjai persiapan dan aspresiasi. Sebuah polemik tnt karja MARCO berdjudul MATA GELAP jang menggelumbang hampir keseluruh pers di Djawa pada tahun 1914 membukakan pada kita satu pintu buat menindjau pedalaman sastra pada waktu itu, jang tak dapat dikatakan menjenangkan, dibandingkan dengan jang telah ditjapai oleh India ataupun Tiongkok. Satu kalimat diantara sekian banjak polemik jang menuduh MARCO merasa berkepala besar seakan sudah sebesar MULTATULI merupakan satu titik pula jg memberikan kemungkinan pada kita untuk menilai kader kosmopolitisme pd masa itu. TANPA SEDJARAH SULIT Dalam keadaan dimana fakta2 tidak menarik perhatian, amatlah muskil utk bisa mengharapkan lahirnja penjusunan fakta itu sendiri, mempeladjari perkembangannja, menjusun sedjarahnja, dan merumuskan filsafat-sedajrahnja. Sedang tanpa adanja sedjarah ini, perkembangan sastra untuk selandjutnja merupakan perdjalanan didalam kegelapan. Orang tak melihat titik tudjuan. Sekalipun sedjarah sastra Indonesia sampai dewasa ini baru berumur lk. 62 tahun, suatu perdjalanan jang tak dapat dikatakan pandjang, namun, terlalu sedikit jang telah diketahui umum tnt sedjarah sastra itu sendiri. Dan sedikitnja pengetahuan sedjarah ini djuga jang menjebabkan untuk sekian lama Balai Pustaka, badan penerbitan pemerintah djadjahan jg bertugas untuk mengimbangi satra perlawanan, bisa dianggap sebagai titiktolak sedjarah sastra modern Indonesia. Dari sini pula kita dapat memahami mengapa dalam masa gentingnja nasib revolusi bisa terdjadi seorang tjerpena mengumumkan tjerpennja tnt sang tikus jang menggerogoti bukunja, dan seorang kritikus menelaah serta memudji tjerpen tsb. (1949). Pun kita bisa mengerti mengapa banjak peminat sastra, sastrawan dan kritikus menolak unsur politik memasuki gelanggang sastra. Tidak mengherankan karena titiktolak sastra Indonesia jang sedjak tahun 1901 begitu militan menentang dan melaan pendjadjahan itu, tidak dilihatnja dalam kegelapan itu. KETIDAKDJELASAN SEDJARAH DAN NILAI KRITIK: Ketidakdjelasan sedjarah menjebabkan nilai kritik sastra pun mendjadi tidak djelas, karena tidak mempunjai pegangan, dan dengan sendirinja djuga ukuran tentang apa sebenarnja jang sudah terdjadi djauh sebelum itu. Sedang pada pihak lain pun meragukan kemampuannja untuk melihat perspektif dan haridepan sastra Indonesia. Dalam situasi demikian, mau tak mau kita terpaksa terima setiap kritik sastra dengan reserve, karena kritik sastra jg mungkin telah diambil umum sebagai ukuran untuk masa kini, bila dimasukkan dalam vorm sedjarah sastra itu sendiri bisa tjuma sementara sadja maknanja. [Trims kpd Ben Abel atas bantuannya. --agb] MA'AF: Atas Nama Pengalaman oleh Pramoedya Ananta Toer REPRODUCED FROM MAJALAH PROGRES, No. 2, 1992. Sudah terbit. Sejak 17 Agustus 1945 aku menjadi warganegara Indonesia, sebagaimana halnya dengan puluhan juta orang penduduk Indonesia waktu itu. Waktu itu umurku 20. Tetapi aku sendiri berasal dari etnik Jawa, dan begitu dilahirkan dididik untuk menjadi orang Jawa, dibimbing oleh mekanisme sosial etnik ke arah ideal-ideal Jawa, budaya dan peradaban Jawa. Kekuatan pendidikan yang dominan dan massal adalah melalui sastra, lisan dan tulisan, panggung, musik dan nyayian, yang membawakan cuplikan-cuplikan dari Mahabharata: sebuah bangunan raksasa yang terdiri dari cerita falsafi dan tatasusila, acuan-acuan religi, dan dengan sendirinya resep-resep sosial dan politik. Enerzi, dayacipta, pergulatan, telah dikerahkan berabad, melahirkan candi-candi dan mythos tentang para raja yang sukses, dan mendesak dewa-dewa setempat menjadi dewa-dewa kampung. Untuk itu "jutaan" manusia sepanjang sejarah etnikku terbantai. Tentu saja tidak angka resmi bisa ditampilkan. Yang jelas, sejalan dengan pendapat pakar Cornell, Ben Anderson, klimaks Mahabharata adalah "mandi darah saudara-saudara sendiri". Memang pada jamannya sendiri bangsa-bangsa lain juga pernah mengalami peradaban dan budaya 'kampung' demikian. Yang berhasil keluar dari kungkungannya, jadilah bangsa yang merajai dunia. Pada awal abad 17 masyarakat Belanda menghimpun dana untuk membiayai pelayaran-pelayaran mencari rempah-rempah, melintasi sejumlah samudra dan menghampiri sejumlah benua. Di negeriku, beberapa belas tahun kemudian, tepatnya pada 1614, raja Jawa yang paling kuat dan berkuasa, raja pedalaman, generasi kedua dan raja ketiga Mataram, Sultan Agung, justru menghancurkan negara bandar dagang Suarabaya, hanya karena membutuhkan pengakuan atas kekuasaannya. Ironi histori Jawa termaktub di sini: pada waktu Belanda mengelilingi dunia mencari rempah-rempah, Surabaya suatu bandar transit rempah-rempah yang sama untuk konsumsi internasional dihancurkan oleh seorang raja pedalaman Jawa, Sultan Agung. Mataram sendiri adalah kerajaan kuat kedua di Jawa yang menyingkiri laut karena tidak ingin menghadapi kedahsyatan Portugis di laut. Sultan Agung ini juga yang gagal total menghalau koloni kecil Belanda di Batavia pada 1629. Kekalahan itu membuat Mataram kehilangan Laut Jawa, laut pelayaran internasional pada masanya. Untuk menghilangkan malu yang diderita, untuk memperthankan kewibawaan Mataram, para pujangga etnik Jawa berceloteh, bahwa pendiri Mataram, ayah Sultan Agung, mempersunting puteri Laut Selatan (pulau Jawa), Nyi Roro Kidul. Untuk menyatakan, kata Prof. H. Resink, bahwa Mataram masih punya keterlibatan dengan laut. Dalam kronik etnik Jawa, Sultan yang satu ini diagungkan begitu tinggi dengan membuang segala faktor yang memalukan. Juga dalam pengajaran sejarah dalam Republik Indonesia sekarang. Orang akan membelak bila mengikuti materi tertulis orang Barat tentang dia. Sedang pendiri Mataram, Sutawijaya, dengan dalih ingkar janji sebagai didendangkan oleh para pujangga etnik Jawa, marak jadi raja setelah membunuh ayah angkat yang membesarkannya, yang memberinya fasilitas sebagai seorang pangeran. Kronik yang diwariskan pada kami tidak pernah ada yang menyinggung tentang nurani, yang nampaknya memang tak terdapat dalam pembendaharaan bahasa Jawa. Diawali dengan kekalahan Sultan Agung, hilangnya kekuasaan atas jalur dagang di L. Jawa, beroperasinya kapal-kapal meriam Barat, golongan menengah Jawa, yang senyawa dengan pemilikan kapal dan pedagang antar-pulau serta internasional terhalau dari bandar-bandar dan tergiring ke pedalaman, menjadi mundur, dan terjatuh dalam kekuasaan satria pedalaman dan ikut mundur. Namun para pujangga pengabdi sistim kekuasaan, menyingkirkan kenyataan yang menggejala ini. Setelah Sultan Agung marak, Mataram ke 4 justru bersahabat dengan Belanda. Para pujangga tetap tidak mengambil peduli. Nyai Roro Kidul, justru dibakukan sebagai kekasih setiap raja Mataram, generasi demi generasi, dikembangkan kekuasaannya sedemikain rupa sehinggga menjadi polisi. aneh tapi nyata bahwa semua ini terjadi sewaktu Jawa praktis mulai memeluk Islam. Penyebaran agama baru ini tidak disertai peradabannya sebagaimana halnya dengan hindusisme, karena praktis sebgai akibat sekunder dari terhalaunya para pedagang Islam dari jalur laut oleh kekuatan Barat yang Nasrani, kelanjutan dari penghalauan atas kekuasaan Arab di Semenanjung Iberia. Dapat dikatakan penyebaran Islam di Jawa adalah akibat sekunder dari gerakan Pan-Islamisme internasional pada jamannya. Lebih mengherankan lagi bahwa pada waktu tulisan ini dibuat, Nyai Roro Kidul telah dianggap menjadi kenyataan. Sebuah hotel di pantai selatan Jawa Barat menyediakan kamar khusus untuk Dewi Laut Selatan tersebut. Bagaimana bisa terjadi suatu negara yang berideologi Pancasila, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai silanya yang pertama menerima kehadiran seorang dewi laut, kekasih para raja Mataram. Para pujangga tidak pernah teringat bahwa dengan kekuasaan tanpa batas Dewi Laut Selatan, Mataram tidak pernah menang dalam konfrontasinya dengan kekuasaan Barat yang datang dari ujung dunia. Sejak kegagalan Sultan Agung, Jawa tetap terkungkung dalam peradaban dan budaya 'kampung', ditelan mentah-mentah oleh Belanda selama 3 1/2 abad. Sungguh tragi-komedi yang mengibakan. Sedang Belanda datang hanya dengan kekuatan sebiji sawi, bangsa berjumlah kecil, negeri kecil, di ujung utara dunia, setelah melintasi Samudera Atlantik, Hindia, Pasifik. Juga dalam perut kekuasaan Belanda, Jawa tetap memuliakan peradaban dan budaya 'kampung'nya dengan klimaks 'kampung'nya: "mandi darah saudara-saudara sendiri", sampai 1965-66. .... Dan karena sudah tidak dalam perut kekuasaan Eropa lagi, jelas pembantaian mencapai skala tanpa batas. Penjajahan Belanda, ataui Eropa, atas negeriku telah banyak meredam klimaks-klimaks ini. Tanpa penjajahan, negeriku akan tiada hentinya mencucukan darah putera-puterinya. Perebutan tempat kedua setelah Belanda dalam kekuasaan administrasi di Jawa dalam pertengahan abad 18, yang konon mengucurkan seperempat dari jumlah penduduk wilayah kerajaan Jawa. Sedang seorang pangeran yang mendapat tempat ketiga setelah Belanda, Mangkunegara I, baru-baru ini malahan diangkat menjadi pahlawan nasional. Maka itu seorang wisatawan mancanegara yang mempunyai pengetahuan tentang Jawa dan Indonesia akan mengangguk mengerti mengapa dalam tahun 80-an menjelang akhir abad 20 ini patung para Satria Pandawa berangkat perang naik kereta perang di Jalan Thamrin, Jakarta. Itulah patung dalam babak klimaksnya Mahabharata, "mandi darah saudara-saudara sendiri". Dalam penjajahan selama 3 1/2 abad kekuatan etnikku tidak pernah menang menghadapi kekuatan Eropa, di semua bidang, terutama bidang militer. Para pujangga dan pengarang Jawa, sebagai bagian dari pemikir dan pencipta dalam rangka peradaban dan budaya 'kampung' menampilkan keunggulan Jawa, bahkan dalam menghadapi Belanda, Eropa, Jawa tidak pernah kalah. Cerita-cerita masturbasik yang dipanggungkan, juga yang tertulis, juga cerita lisan dari mulut ke mulut, menjadi salah satu penyebab aku selalu bertanya: mengapa etnikku tidak mau menghadapi kenyataan? Sedikit pengetahuan yang kudapatkan dari sekolah dasar dan sedikit bacaan dari literatuir Barat, mula-mula tanpa kusadari, makin lama makin kuat, membuat aku melepaskan diri dari peradaban dan budaya 'kampung' asal etnikku sendiri. Sekali lagi maaf. Di luar Jawa pernah suatu kekuatan etnik menang mutlak atas Eropa. Itu terjadi di Ternate pada 1575. Portugis diusir dari bentengnya dan menyerah. Karena ini tidak terjadi di Jawa, tentara yang menyerah itu tidak dibikin mandi darahnya sendiri, tetapi digiring ke pantai, diperintahkan menunggu sampai dijemput armada Portugis. Dan karena terjadi jauh di luar Jawa, di Maluku, tidak pernah disinggung dalam mata pelajaran sejarah resmi sampai 1990 ini. Mungkin perlu waktu sampai seorang peneliti asing menerbitkan karyanya. Atau mungkin sudah pernah terbit hanya aku saja yang tidak tahu. Sekiranya dahulu aku terdidik suatu disiplin ilmu, misalnya ilmu sejarah, aku akan lakukan penelitian yang akan menjawab: mengapa semua ini terjadi dan terus terjadi. Tetapi aku seorang pengarang dan pendidikan minim, jadi bukan materi-materi historis yang kukaji, tetapi semangat-semangatnya, yang kumulai dengan tetralogi Bumi Manusia, khusus menggarap arus-arus yang datang dan pergi dalam periode Kebangkitan Nasional Indonesia. Dan jadilah kenyataan baru, kenyataan sastra, kenyataan hilir, yang asalnya adalah hulu yang itu juga, kenyataan historis. Kenyataan sastra yang mengandung di dalamnya reorientasi dan evaluasi perdaban dan budaya, yang justru tidak dikandung oleh kenyataan historik. Jadinya karya sastra adalah sebuah thesis, bayi yang memulai perkembangannya sendiri dalam bangunan-atas kehidupan masyarakat pembacanya. Dia sama dengan penemuan-penemuan baru di segala bidang, yang membawa masyarakat selangkah lebih maju. Sengaja kuawali dengan thema Kebangkitan Nasional Indonesia--yang walau terbatas di bidang regional dan nasional namun tetap bagian dari dunia dan umat manusia--setapak demi setapak juga kutulis pada akar historinya, yang untuk sementara ini belum siap terbit, atau mungkin tidak akan bisa terbit. Dengan demikian telah kucoba untuk dapat menjawab: mengapa bangsaku jadi begini, jadi begitu. Maka juga aku tidak menulis sastra hiburan, tidak mengabdi pada status quo, bahkan berada di luar dan meninggalkan sistem yang berlaku. Akibatnya memang jelas: dianggap menganggu status quo dalam sistem yang berlaku. Dan karena menulis adalah kegiatan pribadi--sekalipun pribadi adalah juga produk seluruh masyarakat, masa sekarang dan masa lalunya--konsekwensinya pun harus dipikul sendirian. Dan kalau ada simpati datang padanya, darimana pun datanganya, bagiku itu suatu nilai lebih, yang sebenarnya tak pernah masuk dalam hitunganku. Untuk itu tentu saja kuucapkan terimakasih. Sebelum sampai pada tetralogi, telah kutulis sejumlah karya yang semua bakalnya bermuara padanya. Dalam kurun ini pun sudah mulai permusuhan dari kalangan yang pada masa itu sedang giat memburu status quo. Dan mengherankan, bahwa pada mulanya karya-karya itu disambut dengan cukup baik, bahkan beberapa kali malah mendapatkan hadiah penghargaan. Terutama semasa demokrasi terpimpin dalam tahun-tahun akhir 50-an dan paroh pertama 60-an periode doktrin Trisakti--berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berpribadi di bidang kebudayaan--suatu doktrin universal bagi negara nasionalis di manan pun berada, namun menjadi momok bagi negara-negara padat modal yang haus ladang usaha di seluruh muka bumi. Sejarah mengajarkan banyak tentang kekuasaan modal. Bangsa-bangsa merdeka diubah menjadi bangsa kuli, orang-orang lugu dibentuk menjadi komprador, pengangguran diubah menjadi pembunuh bayaran dengan sergam dan tanda pangkat, rimba-belantara diretas-retas dengan infrastrktur, kota-kota, pelabuhan, muncul dari tiada atas perintahnya, tenaga kerja disedotnya dari mana saja, sampai-sampai dari dusun yang tak pernah terdengar jelas namanya. Pemerintah dari sekian banyak negara dibuatnya hanya jadi pelaksana kemauannya, dan bila sudah tak dihekendakinya, dijatuhkannya. Itu cerita yang membosankan, yang menjadi bagian pengalaman banyak bangsa di dunia, dan pengalaman setiap orang yang memikul akibatnya bersama-sama, baik yang mendapatkan keuntungan darinya mau pun yang dirugikan olehnya. Dan setiap pengalaman bagi seorang pengarang menjadi fondasi bagi proses kreativitasnya, tak perduli pengalaman itu indrawi atau pun batiniah. Apakah Indonesia dengan kemerdekaannya akan menyesuaikan diri dengan kekuasaan modal yang tidak berkebangsaan itu atau akan menentangnya seperti selama itu dibuktikan dengan revolusi 1945? Sudah sejak tahun-tahun revolusi, Soekarno menolak tawaran monopoli dari Ford dengan imbalan pembangunan jalan raya trans-Sumatra-Jawa. Dalam perkembangan semasa kemerdekaan nasional, dia juga yang mengenyampingkan alternatif penyesuaian: blok kapitalis dan blok komunis. Bukan suatu kebetulan bila dia jugalah yang melahirkan istilah Dunia Ketiga. Apa pun keberatan orang tentang sejumlah kelemahannya, jelas ia mempunyai faktor intern keindonesiaan prima. Ia tak menghendaki negaranya menjadi hemesphere blok mana pun. Dan Indonesia semakin terperosok dalam kesulitan ekonomi. Dalam kesulitan ekonomi luar biasa ini aku memberikan dukunganku, dan dengan sendirinya ikut mendapatkan bagian dari kesulitan tersebut. Dukungan juga datang dari hampir semua organisasi dan gerakan, termasuk gerakan yang mendukung untuk menjatuhkan Soekarno. Dalam masa ini LEKRA mengangkat aku jadi anggota plenonya. Orang bilang organisasi ini adalah organisasi mantel PKI. Sampai sekarang pun aku masih heran, mengapa apa saja yang bersangkutan dengan PKI dicap sebagai sesuatu yang jahat. Yang jelas partai ini kontestan pemilihan umum yang tampil sebagai salah satu pemenang, bukan partai bandit tanpa idealisme. Artinya partai itu bukan kekuatan yang sudah berkuasa dan menerapkan sistim kekuasaannya. Perlu kukedepankan soal kekuasaan, karena yang ini cenderung membuat orang jadi bandit, apalagi kalau puluhan tahun dipegangnya, dan tanpa pernah berkenalan dengan semangat Verlichting, Aufklarung, masih terkungkung dalam peradaban dan budaya 'kampung'. Puluhan tahun sebagai warganegara Indonesia dengan tanah airnya yang berupa jajaran gunungapi dan penduduknya yang berupa sebaran gungapi lainnya, setiap waktu bisa meletus tanpa pemberitahuan, membuat bawahsadar penuh sesak dengan pengalaman indrawi dan batini. Dalam penahanan selama 14 tahun 2 bulan, terampas dari semua dan segala, semua pengalaman yang telah lalu aku renungkan dari bawah larsa militer yang menginjakku. Semua menjadi lebih jelas, bahwa semua itu hanya pengalaman alamiah belaka, suatu lingkaran setan histori dari peradaban dan budaya 'kampung' tanpa reorientasi ke dalam atau pun ke luar. Sedang kelahiran apa pun yang dinamakan Orde Baru ini tidak lain dari ulangan kejadian sejarah pada dasawarsa kedua abad 13, dimythoskan oleh pujangga Jawa beberapa abad kemudian sebagai legenda Gandring. Seorang pemuda, digambarkan sebagai berandalan, memesan keris pada seorang empu keris bernama Gandring. Pemesan itu, Ken Arok, membunuhnya sebelum keris itu usai. Tentu saja semua dilakukan dengan rahasia. Senjata tajam itu secara rahasia pula dipinjamkan pada Kebo Ijo, yang ke mana-mana pamer dengan keris pinjaman, dan bertingkah seakan miliknya sendiri. Pada suatu kesempatan Ken Arok mencurinya dan dengannya ia membunuh penguasa Singasari. Kebo Ijo dihukum mati dan Ken Arok menggantikan Tunggul Ametung sebagai penguasa. Empu Gandring, sebelum menghembuskan nafas penghabisan, sempat menyatakan kutukan: "Arok, anak dan cucunya, 7 raja, akan terbunuh oleh keris itu!" Memang sejarah membuktikan beberapa raja terbunuh, tidak sampai 7, namun pola dari kedua dasawarsa abad 13 tersebut terjadi dan terjadi tanpa tercatat, dalam berbagai varian. Dan dalam abad 20 ini, masih tetap di Jawa, Empu Gandring tersebut menitis dalam di;-Soekarno, sang pandai Pancasila. Anak desa Pangkur ini (sampai abad 20 di Jawa hanya ada satu desa dengan nama ini, Kecamatan Pangkur, Kabupaten Ngawi) tidak pernah diberitakan mendapatkan pendidikan standard semasanya. Yang diberitakan adalah ia putera Brahma, Ciwa, dan Wisnu sekaligus. Yang jelas ia anak cerdik, pemberani, dan pandai. Mungkin karena pendidikan standardnya minim, boleh jadi malah nihil, dengan lindungan para dewa utama, dengan kekuasaan di tangan, telah menutup babak Hindu Jawa dan mengawali babak Jawa Hindu. Candi makam terbesar di Jawa Timur, Kagenengan, adalah candi makamnya, sekalipun sekarang sudah tak ada sosok bentuknya lagi. Ken Arok abad ke 13 datang padaku waktu aku dalam pengasingan di Buru. Tanpa Buru barang tentu ia takkan temukan aku, dan dia akan tinggal terkerangkeng dalam legenda. Para dewa utama abad 13 itu masih tetap dewa utama abad 20, penguasa modal, teknologi, informasi. Hanya, waktu kutulis kisah Arok dan Dedes dalam pengasingan di Buru, penampilannya aku persolek dengan tafsiran baru agar dapat keluar dari kerangkeng legenda. Tentu saja akan ada yang tidak setuju dengan pikiran ini. Dan memang aku tak mengharapkan persetujuan siapa pun. Sebaliknya siapa pun dapat pikirannya masing-masing, apalagi kalau yang bersangkutan tidak pernah diperlakukan seperti diriku, khususnya 10 tahun dibuang dan kerjapaksa di Buru. Seorang sesama tapol--sudah tak teringat olehku siapa namanya--mengajukan pertanyaan: apakah siklus Arok tidak bisa digantikan dengan gambaran lain? Bisa, dan setiap orang bisa membuatnya untuk dirinya sendiri bila punya perhatian, kepentingan dan kemauan, asal tidak melupakan pola peradaban dan budaya 'kampung' yang itu-itu juga, lingkaran setan, yang hanya bisa diputuskan oleh reevaluasi atasnya, Verlichting, Aufklarung, yang menghasilkan kreativitas yang menjebol plafonnya sendiri. Tentu saja Orde Baru akan menanggapi dengan klisenya: itu pembelaan untuk PKI. Itu hak Orde Baru untuk membela diri. Yang jelas, pada masanya partai ini sah, legal, salah satu kontestan pemenang dalam pemilu, dan karenanya juga mempunyai beberapa orang menteri dalam kabinet. Dia takkan mengkup kemenangannya sendiri. Kup cenderung dilakukan oleh partai yang kalah dalam pemilu, bahkan tidak ikut pemilu. Dr. J. Krom pernah menyatakan, bahwa petualangan Arok sebelum berkuasa merupakan "schelman roman". Betul. Juga betul, bahwa dalam konsep kekuasaan a la Jawa, dan mungkin juga pada bangsa dari etnis-etnis lain di dunia dengan peradaban dan budaya 'kampung'nya, hanya kekuasaan adikodrati saja yang memungkinkan sesuatu bisa terjadi, maka maraknya seseorang di singgasana kekuasaan hanya terjadi dengan ridlanya. Ini satu lagi acuan ideal-ideal dan peradaban Jawa tentang kekuasaan. Kekuasaan adalah ridla Tuhan dan kalau sudah dicapai, jadilah ia orang kedua sesudah Tuhan. Dengan kekuasaan, semua kejahatan akan terbasuh, bahkan dibenarkan, halal. Selanjutnya menyusul tulisan dan ucapan dari mereka yang ikut mendapatkan keuntungan darinya. Pernah didongengkan padaku semasa kecil, juga dari bacaan, bahwa yang jahat akan dikalahkan oleh yang baik. Yang tidak pernah didongengkan: yang baik dengan sendirinya juga akan dikalahkan oleh yang jahat. Suatu mata rantai yang sambung-menyambung. Kalau rangkaian itu tidak ada, tak tahu lagi orang mana yang baik dan mana yang jahat. Suatu lingkaran setan yang tak habis-habisnya. Sebagai pengarang tentu saja dilontarkan padaku pertanyaan yang tidak kalah klisenya: apakah akan menulis tentang masa sekarang? Kan sudah banyak menulis tentang masa lewat yang sudah jadi sejarah? Lagi pula yang sekarang toh juga sejarah, sejarah kontemporer? Memang banyak dan akan semakin banyak sarjana menerbitkan penelitiannya tentang berbagai aspek Orde Baru. Mereka banyak membantu kita dalam memahami banyak hal. tetapi sebagai pribadi dan pengarang yang ikut memikul beban perubahan, aku memandangnya dengan timbangan nasional. Era Soekarno dengan Trisaktinya tak lain sebuah thesis. Orde Baru antithesis. maka itu bagiku memang belum bisa ditulis, suatu proses yang belum bisa ditulis secara sastra, belum merupakan suatu keutuhan proses nasional, karena memang masih menuju pada sinthesisnya. Masih di Buru, seorang wartawan Indonesia yang bertingkah-laku sebagai jaksa, mengajukan pertanyaan, apakah aku tidak menaruh dendam terhadap Orde Baru? Ini adalah proses nasional, bukan urusan dendam pribadi. Apa yang kami ceritakan cuma pencerminan tingkat peradaban dan budaya kita sendiri. Kemajuan dan keanekaragaman teknologi, statistik pembangunan ataupun hutang luar negeri, peningkatan infrastrukutr perhubungan dari warisan kolonial, perusakan hutan dan paket banjir tahunan, semua menduduki tempat sebagai rias antithesis dalam proses nasional. Semasa kolonial, Belanda mengekspor pembunuh bayaran berbedil, berseragam dan dengan pangkat-pangkat militer, untuk menaklukkan dan mengendalikan luar Jawa dan Madura. Baru pada 1904, dan sporadis sebelum itu, Belanda mengirimkan orang Jawa tanpa bedil ke luar Jawa-Madura, tapi dengan pacul. Nampaknya kenal betul peta demografis dan geografis Indonesia sehingga dapat menarik kesimpulan klasik yang bisa diambil keuntungannya. Dan Belanda nampaknya juga tahu, para penggantinya tidak akan dapat berbuat lain kecuali meneruskannya; bukan lagi menduduki tempat sebagai ria thesis atau pun antithesis, nampaknya sebagai kodrat yang terbawa oleh kelahiran Indonesia. Satu ironi lagi: Indonesia, yang secara politis dan administratif dipersatukan oleh Soekarno tanpa pertumpahan darah--sebuah fenomena khusus dalam sejarah umat manusia--harus dipertahankan persatuan dan kesatuannya dengan tradisi kolonial, yaitu dua macam export dari Jawa: pembunuh bayaran berbedil dan orang Jawa berpacul. Dengan tradisi seperti itu, Indonesia mempunyai cacat genetik yang parah. Semaoen--penasihat pribadi Presiden Soekarno--pernah memberikan terapi untuk cacat genetik itu: pindahkan ibukota keluar dari Jawa, ke Palangkaraya, di Kalimantan Tengah. Tetapi Semaoen almarhum sudah tidak sempat mengalami apa yang terjadi dengan hutan-hutan di Kalimantan sekarang. Mengunyah masalah ini dalam sastra sudah pasti membutuhkan waktu lama dan belum tentu memuaskan pengarang mau pun pembacanya. Dan kondisi peradaban dan budaya 'kampung' akan menempatkan pengarangnya jadi sasaran kekuasaan yang merasa terancam kemapanannya. Tentu saja yang dimaksud adalah para pengarang yang coba-coba membuat penilaian dan penilaian kembali peradaban dan budaya 'kampung' yang telah memapankan selapisan golongan atas dalam masyarakatnya. Juga para cendikiawan, juga kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang telah cerah, tetapi terutama adalah para pengarangnya, karena profesinya tidak terikat pada sesuatu disiplin ilmu. Kepeduliannya pada pengekspresian kesedaran dan bawahsadarnya pribadi, para penguasa--artinya pembesar, bukan pemimpin--sibuk membuat kordon penyelamat kemapanannya. Pengarang dengan demikian, sebagai pribadi yang hanya punya dirinya sendiri, mendapatkan tekanan terberat. Namun apa pun perlakuan yang ditimpakan padanya, pengalaman pribadinya adalah juga pengalaman bangsanya, dan pengalaman bangsanya adalah juga pengalaman pribadinya. Sebagian, kecil atau besar atau seluruhnya, akan membuncah dalam tulisan-tulisannya dan akan kembali pada bangsanya dalam bentuk kenyataan baru, kenyataan sastra. Hakikat fiksi karenanya adalah juga hakikat sejarah. Apabila sebagai pengarang harus kutangguhkan begitu banyak ketidakadilan di tanahair sendiri, penganiayaan lahir-batin, perampasan kebebasan dari penghidupan, hak dan milik, penghinaan dan tuduhan, bahkan juga perampasan hak untuk membela diri melalui mass-media mau pun pengadilan, aku hanya bisa mengangguk mengerti. Sayang sekali kekuasaan tak bisa merampas harga diri, kebanggaan diri, dan segala sesuatu yang hidup dalam batin siapa pun. Kekuatiran akan terganggunya kemapanan, yang sejak masa kolonial dikenal sebagai "rust en orde" dan diindonesiamerdekakan menjadi "keamanan dan ketertiban" tidak jarang melahirkan tuduhan-tuduhan menggelikan. Baik sebelum mau pun selama di Buru dakwaan yang terus-menerus disemburkan Orde Baru adalah: hendak mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, tanpa pernah mengajukan pembuktian. Biasanya diucapkan di depan appel atau sewaktu santiaji alias indoktrinasi. Salah satu sila dari Pancasila adalah Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Untuk ukuran kemanusiaan, tanpa tambahan adil dan beradab pun, perlakuan mereka terhadap kami cukup memuakkan, bahkan menjijikkan. Dakwaan merubah UUD? Pernah sekali waktu seorang perwira aku dengar bersumbar: Timor Timur? Uh, dalam dua hari bisa kami atasi. Dan benar, Timor Timur kemudian dicaplok, bagian timur P. Timor yang tak pernah diklaim oleh para pendiri Republik yang menyusun UUD 45 itu. Dari dua dakwaan itu tanpa ragu membuat aku membikin kesimpulan: apa yang dituduhkan itu justru apa yang mereka lakukan atau ingin lakukan. Karena sejumlah kejadian cocok dengan kesimpulan, kadang aku cenderung untuk menilainya sebagai rumus. Tapi kemudian kuperlunak menjadi: apa yang terucapkan sebagai X adalah minus X. Dalam percakapan pribadi beberapa pejabat menyayangkan keanggotaanku pada LEKRA. Jadi menurut gambaran orde Baru, LEKRA adalah organisasi kejahatan. Sampai sekarang pun aku tak pernah menyesal menerima pengangkatan sebagai anggota pleno LEKRA, kemudian diangkat jadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan salah seorang pendiri Akedemi Multatuli, semua disponsori LEKRA. Malahan aku bangga mendapat kehormatan sebesar itu, yang takkan diperoleh oleh setiap orang, dan tidak mengurangi kebanggaanku sekiranya benar ia organisasi mantel PKI. Semua itu sudah lewat, tetapi belum menjadi sejarah, karena sebagai proses belum menjadi kebulatan sinthetik. Pada waktu aku masih di Buru ternyata orang pertama LEKRA dan orang pertama Lembaga Sastra sudah lama bebas. Sekiranya aku bukan pengarang, boleh jadi semua perlakuan yang menjijikkan itu tidak akan aku alami. Tetapi pada segi lain, semua yang aku alami merupakan bagian dari fondasi kepengaranganku untuk masa-masa mendatang, sekiranya umur masih memungkinkan dan kesehatan fisik mau pun mental masih bisa diandalkan. X minus X memang membantu aku dalam memahami Orde Baru, yang mereka anggap akan abadi dalam kebaruannya. Sebagai tapol angkatan terakhir yang akan meninggalkan P. Buru, kami masih harus melakukan korve membuat dua macam surat pernyataan sekian salinan, menyatakan tidak akan menyebarkan Marxisme, Leninisme, Komunisme, momok yang mereka bikin-bikin sendiri untuk menjadi ketakutannya sendiri. Surat lain adalah pernyataan, bahwa sebagai tapol kami telah diperlakukan secara wajar di P. Buru. Secara hukum, surat-surat korve tersebut memang surat dagelan, tetapi dengannya kami bisa membeli nomor untuk embarkasi ke kapal yang berangkat ke Jawa. Betapa indahnya sekiranya surat-surat korve itu tersimpan baik dalam arsif negara. Kertas-kertas itu akan jadi bagian sejarah betapa sekian manusia Indonesia telah membuat topeng dan jubah malaikat kesucian untuk para penguasa dan kekuasaannya. Seorang pemimpin tidak membutuhkan jubah dan topeng. Di dermaga pelabuhan Namlea, di mana kapal "Tanjungpandan" sudah siap mengangkut, 500 orang angkatan terakhir yang akan diberangkatkan pulang ke Jawa sudah meninggalkan daratan. Tinggal beberapa belas di antara kami, termasuk aku. Letkol Lewirisa komandan kamp terakhir datang padaku dan bilang tanpa ditanya tanpa diharapkan: "Pram, pelayaran akan langsung ke Jakarta." Itu berarti X minus X, kami, rombongan beberapa belas orang tidak menuju ke Jakarta. Baru kami boleh naik ke kapal dan dikucilkan dari yang lain-lain. Kamp kerja paksa yang kami tinggalkan semula dinamai Tefaat, tempat pemanfaatan tenaga kerja kami, sisa hidup kami, dengan harus membiayai hidup, perumahan, jaringan jalanan ekonomi dan lingkungan, membuat sawah dan ladang dari padang ilalang dan hutan, dan masih harus memberi makan para serdadu yang menjaga kami, masih ditambah dengan pembunuhan terhadap sejumlah dari kami. Menurut korve tulis, itu harus dinyatakan wajar. Juga mereka yang tewas dalam kerjapaksa untuk mendapatkan uang. Juga pembayaran pajak oleh tapol yang melakukan pertukangan dan kerajinan tangan. Untuk siapa dan kepada siapa tidak jelas. Menurut korve tulis ini juga harus dinyatakan wajar. Dan bangunan-bangunan, puluhan banyaknya, besar dan kecil, dengan peralatan rumahtangga, semua dibangun dan dibiayai oleh tapol, juga harus dianggap wajar bila dijual pada instansi lain tanpa ganti rugi pada tapol. Juga perampasan begitu saja sapi-sapinya. Dan semua ini memang sedang menuju pada sejarah, tapi belum sejarah. Masih panjang lagi daftarnya. Semua kebanditan, besar dan kecil akan terpulang pada bangsa ini, bangsaku, yang melahirkan suatu kekuasaan macam ini. Bukan maksudku mendirikan dunia utopi dengan bangsa ini, menduduki bagian dunia dengan tanpa cacat--bangsa-bangsa lain pun punya segi gelapnya--yang aku maksudkan adalah bangsa ini belum melahirkan cercah kecerahan, Verlichting, Aufklarung. Para brahmin tetap masih menduduki tempat sebagai asesori kekuasaan kasta satria, yang hidup dari dan untuk kekuasaan semata, karena memang tidak produktif apalagi kreatif, seperti sebelum datangnya kolonialisme. Tidak mengherankan bila ribuan naskah isinya berputar sekitar ke"hebat"an para satria dalam membunuh yang dianggap lawannya, dan ribuan lagi naskah yang isinya resep tentang hidup bahagia (dalam alam kehidupan sumpek) dan nasihat-nasihat berkelakuan indah dan baik (dalam alam kehidupan banditisme), tentang alam gaib dan teknik berhubungan dengannya (dalam suasana belum lagi mengenal lingkungan sendiri). Apa yang dikatakan letkol Lewerisa tepat minus X. Kami beberapa belas orang sebelum kapal sampai ke Jakarta, diturunkan di Tanjungperak, Surabaya, untuk disimpan di pulau penjara Nusa Kambangan, di selatan Jawa. Hanya karena jasa pers internasional, yang meributkannya, akhirnya kami sampai ke Jakarta, memasuki penjara baru yang lebih longgar. Dalam tahanan kota sejak akhir 1979 sampai 1991, tanpa suatu keputusan pengadilan mana pun. Banyak terjadi korban tuduhan baru, yang, sebagai pengarang tentu saja memperkaya materi yang harus diendapkan. Setidak-tidaknya, membuat sejarah hidup pengarang menjadi semakin panjang. Dalam tahanan kota dengan kebebasan nisbiah dapat kuikuti koran dalam dan luar negeri. Tuduhan ternyata datang berantai dari Indonesia sendiri sampai dari bagian-bagian Asia Timur dan Eropa: semasa Soekarno aku melarang terbit sejumlah buku sesama pengarang. Aku menteror para pengarang Indonesia yang tidak sepikiran dengan artikelku "Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun". Bahkan seorang tokoh sastra terkemuka, memberikan kuliah pada suatu universitas negeri, menyatakan telah dipecat karena ulahku. Kebetulan tokoh tersebut, seperti halnya sejumlah yang lain, semasa revolusi justru menjadi pejabat pada dinas balatentara pendudukan Belanda, sebagian lain, karena umurnya, barangtentu tidak menyertai revolusi. Pecat-memecat dari sesuatu jabatan bukan urusanku, dan memang tidak pernah. Tuduhan-tuduhan itu hanya tabir asap terhadap apa yang mereka sendiri telah dan ingin lakukan. Pada hari-hari awal peristiwa 1965 merekalah yang menteror dan menghancurkan seluruh kertasku, termasuk naskah Panggil Aku Kartini Saja jilid III dan IV, Kumpulan Karya Kartini, Wanita Sebelum Kartini, Kumpulan Cerpen Bung Karno, 2 jilid terakhir trilogi Gadis Pantai, Sebuah Studi tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Studi Percobaan tentang Sejarah Bahasa Indonesia. Sedang direktur Balai Pustaka menjawab atas permintaaanku untuk menarik kembali 2 jilid sastra Pra-Indonesia, mendapat jawaban: telah dibakar atas permintaan atasan. Seorang tokoh sastra penting yang semasa Orla menempatkan diriku sebagai lawan, pernah menyampaikan nama-nama tokoh sastra penting dewasa ini yang ikut menyerbu ke rumahku pada 1965 tersebut. Malahan sebelum menyerbu telah mendapat pesan dari tokoh sastra generasi lebih tua agar mengambilkan naskah Ensiklopedi Sastra Indonesia yang sedang aku susun. Pada awal tahun 80-an Beb Vuyk di Belanda melancarkan tuduhan, LEKRA mengirimkan 'knokploeg' untuk menghajar lawan-lawannya.Di antara kurbannya adalah musikolog Bernard Ijzerdraat. Di Belanda isyu tentang pengiriman knokploeg nampaknya tetap hidup sampai menjelang akhir 1991. Waktu terakhir kali Beb Vuyk datang ke Indonesia dan menemui musikolog tersebut, ia mendapat sangkalan darinya. Namun ia tak pernah merevisi tuduhannya. Sebaliknya beberapa anggota LEKRA telah mereka bunuh, di antaranya adalah pematung nasional Trubus dalam perjalanan ke Jakarta memenuhi panggilan Presiden Soekarno. Sampai sekarang tidak ada yang pernah mengaku bertanggungjawab, juga atas pembunuhan ratusan ribu saudaranya sendiri. Memang beda dari apa yang dinamai kaum teroris di Utara, begitu beraksi begitu menyatakan dirinya yang bertanggungjawab, mereka tidak memerlukan topeng atau pun jubah malaikat. Jangankan pembunuhan massal, pencurian sekecil-kecilnya adalah kejahatan, dan semua itu bisa terjadi hanya karena peradaban dan budaya 'kampung', peradaban dan budaya masyarakat bangsa-bangsa yang terasing, merasa tidak aman dan terancam karena ulah sendiri, dan topeng dan jubah kesucian menjadi seragam parade yang mengasyikkan untuk dipanggungkan dalam drama-komik. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tugas mengelola semua materi yang belum selesai itu dalam suatu karya sastra. Bukan mencerminkan atau memantulkan kejadian-kejadian, karena sastra tidak bertugas memotret, tetapi mengubah kenyataan-kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi, yang membawa pembacanya lebih maju daripada yang mapan. Apakah sikap demikian sikap subversif, atau kriminal? Itu pun terserah pada tuan-tuan yang berkuasa, yang mempunyai serdadu, polisi, dan perangkat administratif. Tindakannya tak lain dari apa yang tingkat peradaban budayanya bisa berikan. Sekiranya lebih maju dari takaran peradaban dan budayanya, semoga demikian, boleh jadi itu suatu isyarat positif, kutukan 7 turunan Gandring tidak akan berlaku sampai 2 generasi, karena babak sinthesis sedang di ambang pintu. Yang jelas, semua yang telah terjadi akan abadi dalam ingatan bangsa ini dan umat manusia sepanjang abad, tak peduli orang suka atau tidak. Para pengarang akan menghidupkannya lebih jelas dalam karya-karyanya. Para pembunuh dan terbunuh akan menjadi abadi di dalamnya daripada sebagai pelaku sejarah saja. Topeng dan jubah suci akan berserakan. Sekali lagi, maaf. Jakarta, November 1991. "Omong Kosong Saja Rekonsiliasi" Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Forum Keadilan, 26 Maret 2000 Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang saksi korban peristiwa G30S. Tanpa melalui proses peradilan, pada 1965, ia ditahan dan kemudian dibuang ke Pulau Buru. Laki-laki kelahiran Blora, 75 tahun silam itu, dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), partai yang disebut mendalangi pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat. Praktis, tak kurang dari 14 tahun, Pramoedya tak mengenal kehidupan lain selain Pulau Buru. Kini, penghasil sejumlah roman masyhur itu--antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan Arus Balik--telah menghirup udara bebas. Pram--demikian ia biasa disapa--ingin menghabiskan sisa umurnya dengan bertani. Ia memang memiliki sebidang tanah pertanian di daerah Bojonggede, Bogor. Kamis pekan lalu, di rumahnya, ia diwawancarai Yus Ariyanto dan Andrianto Soekarnen dari FORUM seputar pengungkapan kembali masalah G30S dan rekonsiliasi yang dilontarkan Gus Dur. Gus Dur tak berkeberatan masalah G30S dibuka lagi. Secara pribadi ia juga sudah minta maaf kepada korban peristiwa G30S. Apa pendapat Anda? Memang, masalah itu harus diselesaikan secara hukum. Gus Dur sendiri sowan kepada Soeharto. Itu mengecewakan. Rekonsiliasi bagaimana yang diinginkan? Kok, sepertinya gampang amat. Orang yang dipukul merasakan terus rasa sakitnya, sementara orang yang memukul sudah lupa. Omong kosong saja rekonsiliasi. Lihat saja, pelarangan buku-buku saya. Itu saja mereka tidak mampu membatalkan. Belum lagi naskah-naskah yang dirampas dari saya. Kapan dikembalikan? Naskah saya ada delapan yang dibakar Angkatan Darat. Memangnya negara bisa membuat naskah saya? Lantas, menaruh konsep rekonsiliasi dalam bentuk salaman begitu saja. Gampang amat! Menurut Anda, langkah apa yag harus ditempuh? Dirikan hukum! Semua mesti lewat hukum. Kita lihat buktinya saja. Soeharto tidak mau bertanggung jawab. Ia senyam-senyum saja. Padahal, orang-orang dibunuhi. Saya sudah bosan mendengar semua itu. Yang ada hanya ngomong. Bagaimana jika pemerintah memberi ganti rugi kepada korban-korban peristiwa G30S? Mana mungkin punya uang untuk mengganti? Minyak saja mau ditarik subsidinya. Padahal, minyak itu kan cukup menggali di tanah air sendiri. Lebih baik yang realistis sedikit saja. Mereka tidak akan mampu mengganti satu saja naskah saya yang dihancurkan. Beberapa waktu lalu Anda bertemu Gus Dur. Apakah masalah itu sempat dibicarakan? Ya, dibicarakan. Ia bilang tulis saja daftarnya. Berikan kepada protokol. Dalam hati, saya yang tidak percaya. Saya tidak percaya kepada semua elite politik Indonesia. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas kejadian sekarang. Jadi, terhadap Gus Dur sendiri Anda tidak percaya? Tidak percaya. Alasannya? Mereka ikut bertanggung jawab atas keadaan seperti itu, atas pembunuhan-pembunuhan itu, dan atas berdirinya Orde Baru. Gus Dur kan sudah minta maaf.... Gampang amat! Seumur hidupnya, orang merasakan penderitaan. Terus, yang sudah mati bagaimana? Ia kemudian malah sowan kepada Soeharto. Belakangan ini dibentuk berbagai macam KPP HAM. Apakah Anda masih pesimistis melihat perkembangan itu? Saya tahu itu. Tapi, kalau hanya sejauh ngomong, ya bisa saja. Yang saya inginkan adalah kenyataan, bukan omongan. Bagaimana bisa percaya kalau saya baca koran isinya menteri yang satu saling tuding dengan menteri yang lain soal siapa yang korupsi. Lalu, terdakwa kasus korupsi besar malah lolos. Itu yang saya baca. Bagaimana saya bisa percaya hukum? Kembali ke soal pembantaian massal pada 1965-1966, siapa yang harus bertanggungjawab terhadap semua pembantaian itu? Pertama kali adalah Soeharto. Kenapa Soeharto? Karena ia sama sekali tidak pernah bicara soal itu dan ia bisa menjadi orang nomor satu akibat pembantaian itu. Yang dibantai waktu itu adalah pendukung Soekarno. Dengan pembantaian itu Soekarno kehilangan kekuatan. Jadi, yang dibantai itu bukan pengikut PKI? Banyak orang PNI dan NU yang ikut dibunuhi. Yang dibunuhi itu para pendukung Soekarno. Yang lolos ya jadi tahanan. Ada yang bilang, saat itu banyak pendukung Soekarno atau orang PKI yang membunuhi orang NU. Versi mana yang benar? Itu omongan mereka saja. Mereka itu bisanya menuduh dulu. Yang dibunuh itu dibilang karena memberontak. Seperti yang saya alami sendiri. Saya dituduh membakar perpustakaan orang. Sebabnya apa? Sebabnya adalah perpustakaan saya yang dibakar. Cara mereka seperti itu: menuduh. Saya tahu itu lantaran pernah mengalami sendiri. Ada yang menyebut Banser NU hanya pelaksana. Menurut Anda, mereka juga pantas dikenai tuntutan hukum? Apa kalau melaksanakan pembunuhan tidak perlu dituntut? Kan, aneh. Perintah dari mana datangnya, itu tidak soal, tapi yang melaksanakan! Siapa yang mau ditahan selama 14 tahun seperti saya. Sewaktu dibebaskan, saya mendapat surat berdasarkan hukum tidak terbukti terlibat G30S. Itu setelah 14 tahun, ketika saya sudah dipukuli dan dirampas segala milik saya. Anak dan istri saya menanggung selama itu. Sewaktu saya ditangkap, anak saya yang termuda berumur dua bulan. Saya pulang dari Pulau Buru, ia sudah lulus SD [Pram tertawa kecut]. Mereka melalui masa itu dengan sangat berat. Mereka dihina, diejek, bahkan diludahi karena anak tapol. Bagaimana mengganti kerugiannya? Tahun 60-an, katanya, hubungan orang-orang NU, PNI, dan PKI cukup akrab karena tergabung dalam Nasakom... Indonesia belum bisa mengalami kehidupan yang demokratis. Orang belum bisa bersaing secara terbuka. Itu masalahnya. Kalau kalah bersaing, lalu membunuh. Apa benar waktu itu orang-orang yang tidak setuju dengan ide revolusi disingkirkan? Iya. Saya setuju karena kita sedang menghadapi Barat. Soekarno itu lolos dari tujuh kali usaha pembunuhan. Jangan lupa itu. Tahun 1963 saja, Inggris melanggar wilayah kita lebih dari 100 kali. Disingkirkan itu konkretnya bagaimana? Ya dibebaskan dari tugas-tugas. Saya membenarkan hal itu karena waktu itu Indonesia menghadapi bahaya dalam perang dingin. Harus diambil aturan-aturan yang tidak normal atau darurat. Apa dalam penyingkiran itu tidak ada pelanggaran HAM? Kalaupun pelanggaran HAM itu terjadi, tidak seperti sekarang. Sewaktu Mochtar Lubis ditahan, ada kebebasan bergerak. Ia mendapatkan makanan yang lebih baik dibandingkan di zaman Orde Baru. Sewaktu di Pulau Buru, untuk makan saja saya harus cari sendiri. Saya diharuskan kerja paksa. Kalau sakit, obat-obatan harus beli sendiri. Di masa Orde Lama kalau tahanan sakit, ia dirawat. Bukankah pada zaman Soekarno banyak terjadi pelanggaran HAM oleh negara? Bukan oleh negara. Saya sendiri diculik oleh Angkatan Darat pada 1960. Angkatan Darat tidak bisa digolongkan dalam kelompok negara? Angkatan Darat itu negara dalam negara. Negara kita negara maritim, tapi diduduki oleh Angkatan Darat. Itu sudah sering saya katakan. Oh, ya, tadi Anda bilang yang pertama bertanggung jawab soal pembantaian pada 1965-1966 adalah Soeharto. Setelah itu siapa lagi? Banyak. Seluruh [komponen] Orde Baru. Setidaknya, walaupun tahu, mereka mendiamkan saja apa yang terjadi. Waktu itu, sampai bayi-bayi dibunuh dan kepala-kepala diarak. Jadi, yang terjadi ketika itu apa? Suasana chaos yang diciptakan Soeharto, atau apa? Itu konspirasi internasional karena modal asing mau masuk. Soekarno kan menolak modal asing. Karena itu, ia mesti dijatuhkan. Persoalan intinya itu. Konspirasi itu tidak mempersoalkan jatuhnya korban jutaan nyawa? Ya. Kan banyak dokumennya, seperti yang dari CIA dan segala macam itu. Itu bisa dipelajari sendiri. Anda punya datanya? Ya. Tapi, itu untuk saya sendiri. Tapi, data itu penting karena sampai sekarang masalah jumlah korban itu simpang-siur.... Saya ngomong korbannya dua juta karena Soedomo mengatakan itu. Ia kan yang berkuasa. Saya tidak ingat lagi di mana saya mendengar itu. Tapi, saya ingat bahwa ia yang mengatakan. Sarwo Edhie mengatakan tiga juta. Ia mengatakan itu kepada Permadi. Mengapa Anda mengambil versi Sudomo dan bukan Sarwo Edhie? Waktu itu kan ia Pangkopkamtib. Jadi, ia mestinya punya bahan tertulis. Apakah ia benar atau tidak, saya tidak tahu. Jumlahnya kan sedang diteliti oleh panitia penelitian korban 1965-1966 yang dipimpin Sulami. Menurut Anda, setelah Soeharto, banyak lagi yang mesti dimintai pertanggungjawaban. Secara teknis, itu kan sangat merepotkan? Kalau tidak mampu mendirikan hukum ya bubar saja kekuasannya. Apa bukan institusinya yang mesti dikerjar? Penerapan hukum atau rasa keadilan mesti tercipta bagi semua. Kalau pemerintahnya enggak mampu ya minggir saja. Sebeanrnya gampang saja kalau mau beres. Yang tidak mampu, minggir. Anda pribadi akan menuntut? Saya akan menuntut Angaktan Darat, mulai dari kopral satu sampai kolonel yang pernah menganiaya saya. Siapa saja mereka itu? Hanya ingat beberapa saja. Ada Pembantu Letnan Karo-Karo. Ada Koptu Sulaeman yang menghajar saya dengan pistol sampai saya hampi rtuli. Lantas, Kolonel Samsi. Di Pulau Buru, dulu saya bertemu Pangdam Pattimura. Setelah jenderalnya pergi, saya dihajar oleh kolonel itu. Keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S sampai sekarang masih kontroversial. Bagaimana sebenarnya? Sampai sekarang, peristiwa itu memang masih menjadi teka-teki karena para pelakunya diam saja. Tidak ada pengadilan soal itu. Tidak ada pengadilan Orde Baru terhadap orang komunis. Semuanya salah dan dihukum mati. Orang-orang yang mestinya bisa menjawab dibunuh tanpa pengadilan. Aidit dan Nyoto dibunuh tanpa proses pengadilan. Apakah itu bagian dari rekayasa? Jelas, itu rekayasa. Mereka dibunuh supaya tidak membongkar kebenaran. Yang membunuh Aidit kan diangkat menjadi Gubernur Lampung, yaitu Yasir Hadibroto. Berarti, tindakannya dibenarkan. Bagaimana sebenarnya kondisi setelah peritiwa G30S itu? Gus Dur mengaku anggota NU juga ikut membantai.... Gerakan pemudanya itu kan hanya pelaksana. Tapi, setidak-tidaknya kan semua ikut menyokong berdirinya Orde Baru. Mereka kan tidak menghalang-halangi. Gus Dur ketika itu sedang berada di luar negeri.... Justru sebagai intelektual, ia mesti ngomong. Paling tidak, mesti ngomong. Tidak bisa ketidakadilan dibiarkan terjadi. Semua intelektual Orde Baru ikut bertanggung jawab. Bukankah sebagian elite-elite politik sekarang adalah orang-orang yang ikut menumbangkan Orde Baru? Yang menumbangkan Orde Baru adalah generasi muda. Para elite itu hanya mengaku-ngaku. Elite sekarang yang ikut berkuasa tidak ada yang mengucapkan terima kasih kepada generasi muda yang menjatuhkan Soeharto. Ada model rekonsiliasi, yang di dalamnya proses pengadilan dijalani. Tapi, ketika seseorang dinyatakan bersalah, mereka langsung diampuni. Anda setuju dengan model itu? Itu cara "mengadali" orang saja. Ia mesti menjalani hukuman. Karena itu, setiap orang wajib mendirikan hukum. Setiap orang perlu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap orang, tidak terkecuali. Jangan belajar ke luar negeri untuk bisa lolos dari tanggung jawab. Rupanya, Anda tidak percaya sedikit pun dengan rekonsiliasi... Saya tidak percaya. Saya yang ikut menderita, bukan ikut mengatur. Selama lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, banyak terjadi pelanggaran HAM. Jika semua minta diungkap, apa itu tidak menghabiskan energi kita sebagai bangsa? Padahal, tantangan bangsa ini ke depan masih banyak.... Kalau pikirannya seperti itu, berarti membenarkan pelanggaran atas kemanusiaan. Sikap seperti itu saja sudah membenarkan pelanggaran terhadap kemanusiaan. Kekuasaan apa pun di Indonesia yang tidak bisa mendirikan hukum, ya tidak akan mendirikan hukum. Rekonsiliasi tidak akan bisa menghilangkan kesakitan. Itu hanya omongan orang berkuasa. Apakah semua yang terlibat harus masuk penjara? Ya, terserah bagaimana hukum mengaturnya. Bukan saya yang mengatur. Untuk kaum intelektual yang waktu itu diam saja, apa bentuk hukumannya? Ya hukuman intelektual. Bentuknya apa? Jangan bertanya kepada saya. Itu urusan angkatan muda. Merekalah yang harus memikirkan. Itu latihan untuk mereka menghadapi hari depan: bagaimana sebaiknya kalau berkuasa. Jangan tagih saya. Satu hari ini saja paling tidak 15 tagihan datang kepada saya. Bagaimana cara meluruskan sejarah secara lebih jujur? Persoalannya, manusianya dulu. Kalau manusianya bandit ya apapun yang dipegang, persoalan kebanditan. Indonesia itu bertumpuk masalah sejarah. Dari nama Indonesia saja sudah salah. Indonesia itu artinya Kepulauan India. La, apa hubungannya dengan India? Sampai sekarang persoalan itu tidak ada yang mengoreksi. Apa jenis penderitaan paling menyakitkan yang Anda alami? Terutama hancurnya naskah-naskah saya. Kenapa naskah saya bisa menumpuk sampai delapan? Waktu itu saya dituduh komunis. Saya baru pulang dari undangan ke Tiongkok pada 1956. Penerbit-penerbit itu ngeri menerbitkan buku saya. Jadi menumpuk. Anda tidak pernah menganggap diri Anda sebagai komunis.... Tidak. Mempelajari komunisme saja tidak pernah. Saya mengikuti diri saya sendiri saja. Apa yang dimaui Pram itu yang dijalankan Pram. Sebagai pribadi, Anda juga merasa gagal? Ya gagal. Dari kecil, saya dididik bagaimana bagusnya Indonesia di kemudian hari: demokratis dan modern. Apa jadinya sekarang? Saya alami sendiri. Jangankan modern dan demokratis, semakin lama semakin primitif. Jadi, apa yang diajarkan dan menjadi impian kami dulu sekarang kenyataannya begini: menjadi negara pengemis. Apa ini semua? Memang tragis untuk saya. Apalagi, untuk para perintis kemerdekaan. Apabila melihat keadaan seperti ini, mereka akan menangis. Mereka tidak menyaksikan. Zaman Soekarno, orang Indonesia dihormati oleh dunia internasional. Kita negara kedua yang membebaskan diri dari imperialisme Barat setelah Vietnam. Bukan itu saja. Indonesia mendukung perjuangan antikolonial di Asia-Afrika. Soekarno menjadi mercusuar di dunia internasional. Sekarang, apa yang dikatakan? Kita minta dolar. Jauh bedanya. Melihat kondisi seperti itu, Anda tak percaya di masa depan Indonesia bisa... Tidak ada apa-apa. Sekarang negara ini sudah menjadi negara pengemis. Semua elite begini ke luar negeri [Pram memperagakan cara pengemis meminta-minta]. Setidaknya, itu yang saya lihat. Selebihnya, saya tidak tahu. Negara ini sudah menjadi negara pengemis. Apa sebabnya Indonesia yang begini besar bisa dijajah Belanda yang begitu kecil? Karena elitenya tidak punya watak. Akibatnya, negeri besar dengan segala kekayaan alamnya ini menjadi pengemis. Itu terjadi dari dulu. Dari zaman kolonial sampai sekarang. Negara ini sudah terpuruk. Kalau tidak dibantu luar negeri, kan, semakin terpuruk? Memang harus menjadi pengemis. Maka, terjadilah. Kapan luar negeri membantu Indonesia? Tidak pernah. Mereka justru mengeduk Indonesia. Karena itu, Soekarno menolak modal asing. Ia tahu, elite kita itu tidak punya karakter. Kalau modal asing masuk, elite menjadi herder penjaganya. Apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan banyak persoalan di masa lalu itu? Mungkin ada skema penyelesaian yang sederhana.... Itu kalian [generasi muda] yang harus cuci piring semuanya. Jangan pura-pura bodoh kepada saya. Pram: Sastra, Sensor dan Negara SASTRA, SENSOR DAN NEGARA Seberapa Jauhkah Bahaya Novel? (Literature, Censorship, and the State: How Dangerous are Stories?*) Oleh Pramoedya Ananta Toer Saya warganegara Indonesia dari ethnik Jawa. Kodrat ini menjelaskan bahwa saya dibesarkan oleh sastra Jawa, yang didominasi oleh sastra wayang, lisan maupun tulisan, yang berkisah tentang Mahabarata dan Ramayana, vesi Jawa, serta kunyahan-kunyahan atasnya dengan masih tetap bertumpu pada kewibawaan Hindu. Sastra yang dominan ini tanpa disadari mengagungkan klas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta-kasta di bawahnya tidak punya peran sama sekali. Pekerjaan pokok kastra satria adalah membunuh lawannya. Selain sastra wayang yang agak dominan adalah sastra babad, juga mengagungkan kasta satria, yang ditangan para pujangganya menyulap kejahatan atau kekalahan para raja menjadi mitos yang fantastik. Salah satu contoh bagaimana pujangga Jawa memitoskan kekalahan Sultan Agung, raja pedalaman Jawa, yang dalam operasi militer terhadap Batavia-nya Belanda pada dekade kedua abad 17 telah mengalami kekalahan total. Akibatnya Mataram kehilangan kekuasaannya atas Laut Jawa sebagai jalan laut internasional. Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudra Hindia). Mytos ini melahirkan anak-anak mytos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristrikan Sang Dewi tersebut. Anak mytos lain: ditabukan berpakaian hijau di Pantai Laut Selatan. Ini untuk memutuskan asosiasi orang pada pakaian hijau Kumpeni Belanda. Dan tanpa disengaja oleh pujangganya sendiri, Sang Dewi telah mengukuhkan kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Bahkan menjadi polisi batin rakyat Mataram. Di sini kita berhadapan dengan sastra dalam hubungannya dengan negara, dan dipergunakan oleh negara, dengan fungsi pengagungan karyanya sendiri. Diturunkan dari generasi ke generasi akibatnya adalah menafikan kemajuan jaman, memberi beban histori yang tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik daripada yang sekarang. Pendapat ini membuat saya meninggalkan sama sekali sastra demikian. Meninggalkan sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan seperti itu, sejauh pengalaman saya, langsung saya bertemu dengan sastra hiburan yang memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung kekuasaan agar masyarsakat tak punya perhatian pada kekuasaan negara. Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa pembacanya berhenti di tempat. Karena pengalaman pribadi sebagai anak keluarga pejuang kemerdekaan maka saya memaafkan diri sendiri kalau tidak menyukai sastra hiburan, sastra golongan kedua ini. Seiring dengan pengalaman pribadi tersebut, walau pada awalnya tidak saya sadari, langsung saya tertarik pada sastra yang bisa memberikan keberanian, nilai-nilai baru, cara pandang-dunia baru, harkat manusia, dan peran individu dalam masyarakatnya. Estetika yang dititikberatkan pada bahasa dan penggunaannya diabdikan pada orientasi baru peranan individu dalam masyarakat yang dicitakan. Sastra dari golongan ketiga ini yang kemudian jadi kegiatan saya di bidang kreasi. Setiap karya sastra adalah otobiografi pengarangnya pada tahap dan situasi tertentu. Maka juga ia produk individu dan bersifat individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari sumbangan individu pada kolektivitas. Juga dalam hubungan kekuasaan, standar budaya yang berlaku, sikap pengarang sebagai individu terpancarkan baik dengan sadar atau tidak. Sampai di sini tugas pengarang adalah melakukan evaluasi dan reevaluasi kemapanan di semua bidang kehidupan. Laku ini diambil karena pengarang bersangkutan tidak puas, merasa terpojokkan, bahkan tertindak oleh kemapaman yang berlaku. Ia berseru, malah melawan, bahkan memberontak. Bukan suatu kebetulan bila pernah dikatakan pengarang --dengan sendirinya dari golongan ketiga ini-- dinamai oposan, pemberontak, bahkan biangrevolusi seorang diri dalam kebisuan. Di negara-negara dengan kehidupan demokrasi beratus tahun, kalah menang dalam pertarungan idea adalah suatu kewajaran. Itu bukan berarti bahwa demokrasi tidak punya cacad. Eropa yang demokratis di Eropa justru tidak demokratis di negeri-negeri yang dijajahnya. Sebagai akibatnya di negeri-negeri jajahan yang tak mengenyam demokrasi kalah-menang dalam pertarungan idea bisa melahirkan dendam berlarut sebagai akibat konsep tradisional tentang gensi pribadi dan panutan patrimonial. Di Indonesia sensor atas karya sastra dikenal baru dalam dekade kedua abad ini. Sebelumnya sensor lebih banyak ditujukan pada masa-media. Dan sejalan dengan tradisi hukum, tindakan terhadap delik pers diputuskan melalui pengadilan. Larangan terhadap beredarnya beberapa karya sastra Mas Marco Kartodikromo, di luar tradisi, diberlakukan tanpa prosedur hukum, dan dilakukan oleh pejabat-pejabat Pribumi kolonial setempat-setempat. Larangan dan penyitaan, juga oleh pejabat kolonial Pribumi pernah dilakukan terhadap karya ayah saya, tetapi karya itu bukan karya sastra tetapi teks pelajaran sekolah-sekolah dasar yang tidak mengikuti kurikulum kolonial. Larangan terhadap karya sastra memang suatu keluarbiasaan. Berabad lamanya setelah kerajaan-kerajaan maritim Nusantara terdesak oleh kekuasaan Barat dan menjadi kerajaan-kerajaan pedalaman atau desa yang agraris; kekuasaan feodalisme yang semata-mata dihidupi petani mengakibatkan lahirnya mentalitas baru yang juga merosot. Para pujangga Jawa mengukuhkan budaya "tepo seliro" (=tahu diri), kesadaran tentang tempat sosialnya terhadap kekuasaan sesuai dengan hierarkinya, dari sejak kehidupan dalam keluarga sampai pada puncak kekuasaan. Penggunaan eufemisme (=Jawa Kromo) sampai 7 tingkat yang berlaku sesuai hierarki kekuasaan, menterjemahkan semakin kerdilnya budaya tradisional. Maka dalam sastra Jawa evaluasi dan reevaluasi budaya belum pernah terjadi. Itu bisa terjadi hanya dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang kalau perlu, menafikan semua eufemisme, maka juga dalam sastra Indonesialah sensor kekuasaan itu terjadi. Idea-idea dari semua penjuru dunia yang ditampung oleh masyarakat moderen Indonesia pada menjelang akhir abad 20 sudah tak mungkin dibendung pantulannya oleh kekuasaan yang segan menjadi dewasa. Untuk memungkinkan orang-orang dengan kekuasaan negara dapat tidur dengan nyenyak tanpa perlu memajukan dirinya, lembaga sensor memang perlu diadakan. Jawa dikodratkan memiliki faktor-faktor geografi yang menguntungkan. Dari semua pulau di Indonesia, di Jawalah penduduknya berkembang yang dengan faktor-faktor klimatologis mendukung pertanian. Bukan suatu kebetulan bila kolonialis Belanda membuat Jawa menjadi suatu imperium dunianya di luar Eropa. Dengan kepergiannya, Jawa masih tetap jadi pusat Indonesia, dengan penduduknya mayoritas di seluruh Indonesia, masuknya sejumlah budaya tradisional ke dalam kekuasaan negara memang tidak dapat dihindarkan. Di antara budaya tradisional Jawa yang terasa menekan ini adalah "tepo-sliro", dalam kehidupan kekuasaan sekarang dinamai dengan bahasa Inggris "self-censorship". Nampaknya kekuasaan malu menggunakan nama aslinya. Dengan demikian menjadi salah satu faset dalam kehidupan modern Indonesia bagaimana orang menyembunyikan atavisme. Saya cenderung memasukkan sastra golongan ketiga ini ke dalam sastra avant-garde. Saya nilai pengarang golongan ketiga ini mempunyai kemurnian mengevaluasi dan mereevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan. Dan sebagai individu seorang diri sebaliknya ia pun harus menanggung seorang diri pukulan balik setiap individu lain yang merasa terancam kemapanannya. Jadi sampai seberapa jauhkah karya sastra bisa berbahaya bagi negara? Menurut pendapat saya pribadi karya sastra, di sini cerita, sebenarnya tidak pernah menjadi bahaya bagi negara. Ia ditulis dengan nama jelas, diketahui dari masa asalnya, dan juga jelas bersumber dari hanya seorang individu yang tak memiliki barisan polisi, militer, maupun barisan pembunuh bayaran. Ia hanya bercerita tentang kemungkinan kehidupan lebih baik dengan pola-pola pembaruan atas kemapanan yang lapuk, tua, dan kehabisan kekonyolannya. Dalam pada itu setiap negara pada setiap saat bisa berubah dasar dan sistemnya, dengan atau tanpa karya sastra avant-garde. Perubahan demikian telah dialami oleh negara Indonesia sendiri dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin dan kemudian demokrasi pancasila, yaitu era kemerdekaan nasional setelah tumbangnya negara kolonial yang bernama Hindia Belanda dan peralihan pendudukan militeris Jepang. Dalam masa demokrasi liberal di mana negara tetap berdasarkan pancasila, pancasila itu tak banyak diacuhkan; dalam masa demokrasi terpimpin sewaktu Presiden Soekarno dengan segala konsekwensinya hendak mandiri dan mengebaskan pengaruh dan keterlibatan perang dingan para adikuasa, pancasila lebih banyak dijadikan titik berat. Soekarno sebagai penggali pancasila tidak bosan-bosannya menerangkan bahwa pancasila di antaranya digali dari San Min Chui Sun Yat Sen, Declaration of Independent Amerika Serikat, dan Manifes Komunis dalam hal keadilan sosial. Semasa demokrasi pancasila yang ditandai dengan gerakan de-Soekarnosasi, rujukan-rujukan pancasila bukan saja tidak pernah disebut lagi bahkan pernah ada upaya dari seorang sejarawan orde baru yang membuat teori bahwa pancasila bukan berasal dari Soekarno. Dalam sejumlah peralihan ini tidak pernah terbukti adanya karya sastra yang memberikan pengaruhnya. Dan memang sastra avant-garde praktis belum pernah lahir. Karya-karya saatra Indonesia praktis baru bersifat deskriptif. Bila toh ada avant garde yang lahir, itu terjadi semasa penindasan militerisme Jepang, suatu pemberontakan yang sama kerasnya dengan penindasannya, individu tersebut, Chairil Anwar, dengan sajaknya "Aku", menyatakan >>Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang<<. Ia menolak diperlakukan sebagai binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah Jepang dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang harus bertanggung jawab atas karyanya. Kempeitai menangkap dan menganiayanya. Memang kemudian ia dibebaskan. Ironinya, masyarakat pembaca yang banyak membaca dan menyukai sajak tersebut, umumnya tak mengkaitkannya dengan masa pendudukan militeris Jepang waktu ia menciptakannya. Maaf kalau saya hanya bicara tentang sastra Indonesia. Namun saya percaya bicara tentang sastra manapun adalah juga bicara --walau tak langsung-- tentang sastra regional dan internasional sekaligus, karena setiap karya sastra adalah otobiografi seorang individu, seorang dari ummat manusia selebihnya, yang mempersembahkan pengalaman batinnya pada kolektivitas pengalaman umat manusia. Berdasarkan historinya, Indonesia memerlukan barisan besar pengarang dari golongan avant-garde. Berabad lamanya rakyat bawah membahakan feodalisme. Dengan kemenangan kolonialisme, rakyat kemudian juga harus membiayai hidupnya kolonialisme. Walau feodalisme sebagai sistem sudah dihapuskan oleh proklamasi kemerdekaan namun watak budayanya masih tetap hidup, bahkan elit kekuasaan mencoba melestarikannya. Sastra avant-gardelah yang menawarkan evaluasi, reevalusai, pembaruan, dan dengan sendirinya keberanian untuk menanggung resikonya sendirian. Di sini menjadi jelas bahwa cerita, karya sastra, sama sekali tidak berbahaya bagi negara yang setiap waktu dapat berganti dasar dan sistem. Karya sastra para pengarang avant-garde hanya mengganggu tidur pribadi-pribadi dalam lingkungan elit kekuasaan, yang kuatir suatu kali cengkeramannya atas rakyat bawahan bisa terlepas. Saya sendiri, walau berasal dari keluarga pejuang kemerdekaan dan sendiri pun pejuang kemerdekaan, dalam 50 tahun kemerdekaan nasional ternyata justru kehilangan kemerdekaan pribadi saya selama 33,5 tahun. 2,5 tahun dirampas Belanda, hampir satu tahun dirampas kekuasaan militer selama orde lama, dan 30 tahun selama orde baru, di antaranya 10 tahun kerja paksa di Pulau Buru dan 16 tahun sebagai ternak juga jadi warganegara dengan kode ET, artinya tahanan di luar penjara. Sebagai pengarang barangtentu saya berontak terhadap kenyataan ini. Maka dalam karya-karya saya, saya mencoba berkisah tentang tahap-tahap tertentu perjalanan bangsa ini dan mencoba menjawab: mengapa bangsa ini jadi begini? Bahwa karya-karya dilarang beredar di tanahair saya sendiri atas permintaan beberapa pribadi adalam elite kekuasaan, bagi saya tidak jadi soal. Larangan-larangan tersebut malah memberi nilai lebih pada karya-karya tersebut tanpa disadari oleh kekuasaan. Mungkin ada yang heran mengapa bagi saya sastra bertautan erat dengan politik. Saya tidak akan menolak kenyataan itu. Menurut pandangan saya setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi berbangsa, selalu bertautan dengan politik. Bahwa seseorang menerima, menolak, bahkan mengukuhi sesuatu kewarganegaraan adalah suatu sikap politik. Bahwa seseorang mengibarkan benderan kebangsaannya, itu adalah perbuatan politik. Bahwa seseorang membayar pajak, itu adalah pengakuan pada kekuasaan, jadi juga berarti ketaatan politik. Juga sastra tidak bisa lepas dari politik sejak sastra itu sendiri dilahirkan ummat manusia. Selama ada masyarakat manusia dan kekuasaan yang mengatur atau pun merusaknya, di situ setiap individu bertautan dengan politik. Pernah lahir anggapan bahwa politik adalah kotor maka sastra harus terpisahkan dari politik. Memang bisa saja politik kotor di tangan dan dari hal politisi yang kotor. Kalau ada yang kotor barangtentu juga ada yang tidak kotor. Dan bahwa sebaiknya sastra harus terpisahkan dari politik sebenarnya keluar dari pikiran para pengarah yang politiknya dalah tidak berpolitik. Politik sendiri tidak bisa diartikan hanya sebatas kepartaian, ia adalah semua aspek yang bersangkutan dengan kekuasaan, dan selama masyarakat ada kekuasaan juga ada, tak peduli bagaimana eksistensinya, kotor atau bersih. Dan dapat dikatakan sastra yang "menolak" politik sesungguhnya dilahirkan oleh para pengarang yang telah mapan dalam pangkuan kekuasaan yang berlaku. Jakarta 24 Agustus 1995. *) Uraian di atas ditulis untuk disampaikan pada tanggal 4 September 1995 di Manila dalam serentetan acara penyerahan Hadiah Magsaysay 1995 kepada para pemenang yang berlangsung dari tgl. 30 Agustus 1995. Judul uraian adalah atas permintaan Ramon Magsaysay Award Foundation kepada penulis. HASTA MITRA, ed PRAMOEDYA ANANTA TOER : TAHUN 1965 TAHUN PEMBABATAN TOTAL Artikel Pramoedya Ananta Toer, dimuat dalam Lembaran Kebudayaan "LENTERA," Bintang Timoer, 9 Mei 1965 Dengan dipersenjatai oleh amanat "Banting Stir" Bung Karno di depan MPRS, termasuk di dalamnya asas "Berdikari", amanat Dasawarsa KAA-I, dan amanat Harpenas, Rakyat Indonesia dan para pekerja kebudayaan makin diperlengkapi persenjataannya untuk mengganyang kebudayaan Manikebu, Komprador, Imperialis dan Kontra Revolusi secara total. Segala macam kebudayaan kosmopolit yang mendukung dan mengembangkan nihilisme-nasional tersebut benar-benar sudah tidak dapat ditenggang lagi, tak peduli dari mana pun datangnya dan siapa pun pendukungnya. Revolusi Indonesia tidak membutuhkan penadahan dan tukang-tukang tadah kebudayaan setan dunia. Untuk waktu yang lama tukang-tukang tadah ini menadahi segala macam penyakit dunia kapitalis-imperialis pada satu segi, dan secara aktif ikut melakukan pembentukan ideologi-setan pada lain segi."17 Agustus 1965 yang akan datang, dalam merayakan 20 tahun kemerdekaan Indonesia, kebudayaan-setan ini seyogianya sudah harus tidak lagi mengotori bumi dan manusia Indonesia. Sebagaimana diketahui potensi pengembangan kebudayaan-setan ini masih kuat dalam masyarakat kita, baik yang dilakukan oleh sementara instansi resmi, swasta maupun perseorangan. Dapat disinyalemenkan, bahwa mempertahankan kebudayaan-setan tersebut, sengaja dilakukan untuk merongrong menanjaknya situasi revolusioner dewasa ini, dan karenanya semakin menanjak situasi revolusioner itu, semakin meningkat cara-cara perongrongan atasnya. Jelas, bahwa mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan-setan ini tidak lagi soal selera sebagaimana mereka selalu mencoba meyakinkany tetapi telah merupakan sistem perongrongan yang terorganisasi. Dan karena itu pengganyangan terhadapnya mau tak mau harus pula secara terorganisasi. Kepada instansi-instansi resmi yang setelah 8 Mei 1964, yaitu setelah pelarangan Manikebu oleh Bung Karno, masih meneruskan operasinya, tahun ini juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Kepada instansi-instansi tidak resmi atau swasta juga akan dimintai tanggung jawabnya dan keterangan-keterangan ke mana saja produksi kebudayaan-setannya itu dikirimkan. Penerbit sebaagai alat pembantu pembentukan ideolozi dalam tahun "Banting Stir" in akan dihadapkan pada ujian, sedang penerbit-penerbit gelap yang tidak tercatat, dalam hubungan dengan kedudukannya sebagai alat pembantu pembentukan ideolozi tersebut, adalah sebagai kontra revolusioner. Sebagaimana diketahui, untuk waktu yang lama penerbit 'Endang' (Jakarta) menjadi produsen buku-buku antikom, demikian juga halnya dengan "Inmajority'. Kemana sajakah buku-buku terbitan mereka ini dikirimkan? Dan bagaimanakah rencana konkret mereka, dan proyek politik itu berafiliasi pada kekuatan apa? Sebagaimana diketahui penerbit-penerbit yang menerbitkan karya-karya Manikebu adalah seperti penerbit-penerbit pemerintah, penerbit-penerbit swasta untuk tidak menyebut beberapa nama. Apakah sebabnya penerbit-penerbit tersebut menerbitkannya dan apa sebabnya tidak pernah menarik kembali penerbitan-penerbitan tersebut dari peredaran' Apakah sebabnya ada penerbit yang justru menerbitkan buku-buku plagiat Hamka, sedang sudah diketahuinya karya tersebut adalah plagiat? Bukankah Presiden Soekarno telah menggariskan agar berkepribadian sendlri pada sekitar Konsepsi Presiden tahun 1957? Apakah perbuatannya tersebut mendukung tugas perongrongan, ataukah hanya karena ketamakan belaka? Juga pada tahun ini perusahaan-perusahaan penerbitan yang secara demonstratif mempampangkan gigi, bahwa mereka berani menerima dan memobilisasi tenaga-tenaga Manikebu/BPS takkan luput dari keharusan memberikan pertanggungjawaban. Gerakan Manikebu secara dialektik telah menyebabkan organisasi-organisasi massa belajar beraksi dalam satu front persatuan yang bulat. Dan aksi front kini telah menjadi tradisi di Indonesia. Maka gerakan mengembangkan kebudayaan-setan sebagai sistem perongrongan ini secara dialektik pun akan memutuskan aksi-aksi front yang akan datang Perkembangan yang demikian takkan dapat dielakkan, sedang kemenangan-kemenangan baru sama pastinya dengan hancurnya lawan-lawan revolusi. Dalam tahun 'Banting Stir', tahun 'Berdikari', ketukangtadahan kebudayaan asing sama artinya dengan mempertahankan ideologi lama untuk menyerimpung revolusi, karena ia mempertahankan kondisi lama kondisi di bawah tindakan imperialisme-kolonialis. Kita masih bisa bertanya sekarang ini, apakah sebabnya buku Z.A. Ahmad, Membentuk Negara Islam masih pada meringis di pinggir-pinggir jalan Jakarta, sekalipun di trotoar, dan apakah sebabnya buku Doktor Zhivago terjemahan Trisno Sumardjo diterbitkan?" Kita masih bisa bertanya bagaimanakah sikap penerbit-penerbit yang selama ini berafiliasi pada "Franklin Foundation" Amerika Serikat, dan karenanya selama ini ikut melakukan agresi kebudayaan di Indonesia? Apakah tanpa bantuan "Franklin Foundation" AS penerbit-penerbit semacam ini masih hidup terus, dan adakah kelangsungan hidupnya dalam alam berdikari justru, karena mendapatkan bantuan gelap, ataukah karena memang telah berdikari sebagai kolone kelima di bidang kebudayaan? Kita tahu bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari kristalisasi kreatif yang telah dicapai oleh suatu taraf perkembangan ideologi. Setiap tindak penadahan atas kebudayaan-setan secara langsung melakukan tindak sabotase terhadap kristalisasi kreatif tersebut pada satu segi, dan terhadap manifestasinya pada segi yang lain. Sedang secara politik penerbit-penerbit demikian membentuk satu golongan tertentu dalam masyarakat dengan ideologi tukang tadah, golongan yang menjadi tawanan jinak imperialisme-imperialisme, dan dengan sendirinya melucuti dari militansi patriotik dan militansi internasionalisnya. Dengan bersenjatakan 'Berdikari', 'Berkepribadian dalam Kebudayaan, dan 'Banting Stir', pembersihan terhadap penerbit yang menjadi pabrik ideologi gelandangan telah merupakan suatu tantangan bagi semua organisasi kebudayaan yang progresif revolusioner. Pembersihan ini bukan saja akan mengakibatkan terjadinya perkembangan yang sehat dalam pembinaan kepribadian nasional, juga menghabisi perbentengan terakhir musuh-musuh revolusi. Sedang di bidang sosial-ekonomi secara edukatif akan membantu penerbit-penerblt Manipolis memasuki form-nya sebagai alat revolusi sesuai dengan tuntutan situasi revolusioner dewasa ini. Juga di bidang penerbitan, setiap kekalahan pada pihak lawan mengakibatkan terjadinya kemajuan ganda pada kekuatan Wawancara Pramoedya dalam Optimis Saya Menarik Diri Optimis, 24 Juli 1981, pp.18-20 Optimis: Anda pernah menyebut diri anda sebagai penulis. Apa artinya? PAT: Menulis adalah panggilan hidup saya. Panggilan untuk mempersembahkan segala sesuatu yang baik kepada nation saya. Jadi bukan untuk mengejar popularitet atau kekayaan. Bahwa nation memberi penghidupan pada saya atas karya yang saya persembahkan, ya saya berterima kasih banyak. Tapi tanpa itu pun, saya akan tetap menulis sepanjang saya masih bisa melakukannya. Pekerjaan saya memang menulis. Saya hanya bisa menulis, maka saya hanya menulis.... O: Sejak kapan anda menulis? PAT: Mulai dari masa kanak-kanak. Ayah saya, Toer, kebetulan juga seorang pengarang. O: Bagaimana anda memandang tanggapan-tanggapan yang ditujukan terhadap karya tulis anda? PAT: Saya menghargai tanggapan-tanggapan ataupun kritik-kritik dari siapapun dan dari manapun datangnya. Yang menyetujui tulisan saya ataupun yang tidak menyetujui. Yang menyenangi ataupun tidak menyenangi. Semua itu saya anggap sebagai nilai sosial dalam kehidupan. Jadi tanggapan-tanggapan itu bukan merupakan tanggung jawab saya pribadi. Tanggung jawab saya adalah menulis. Komitmen saya terhadap nation Indonesia adalah tulisan. Apakah jawaban ini bisa memuaskan anda? Barangkali tidak memuaskan.... O: Belum memuaskan. Tolonglah anda sampaikan pandangan anda terhadap kasus pelarangan buku anda, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. PAT: Baiklah, saya bertolak dari sikap bahwa menulis itu adalah hak setiap manusia. Tak ada yang dapat melarang dan tak ada yang dapat merampas hak itu, kecuali dengan force majeure. Karena itu walaupun di dalam tahanan--dan tidak diberi ijin--saya tetap menulis. Dan setelah Jenderal Soemitro (ketika itu Pangkopkamtib) berkunjung ke Pulau Buru dan memberi lampu hijau, saya menulis secara terbuka. Tulisan itu saya berikan kepada Komandan Inrehab di sana. Entah bagaimana kebijaksanaan komandan, saya kurang tahu. Begitulah ketika dibebaskan tahun 1979, saya membawa beberapa naskah dan yang kemudian diterbitkan. Setahu saya di Indonesia berlaku sensor represif dan bukan sensor preventif. Jadi setiap orang berhak menerbitkan buku. Bahwa kemudian buku-buku itu dilarang, say pikir demikianlah konsekuensi sensor represif. Soal pelarangan ini, tidak mengherankan bagi saya. Saya telah menyaksikannya sejak masih kanak-kanak, ketika buku-buku karangan ayah say dilarang dan dirampas di tahun '35. Kemudian saya mengalaminya sendiri ketika tahun '60, salah satu buku saya [Hoakiau di Indonesia] dilarang dan saya ditahan selama setahun. Selanjutnya semua buku-buku saya dilarang karena "katanya" saya terlibat peristiwa G.30.S PKI. Larangan itu sampai sekarang belum dicabut. Saya sebut "katanya," sebab ternyata setelah ditahan selama belasan tahun saya dibebaskan dengan sepucuk surat resmi yang menegaskan bahwa secara hukum saya tidak terbukti terlibat G.30.S PKI. Bagi saya semuanya itu merupakan suatu deretan. Saya telah berkali-kali mengalaminya. Karena itu tidak lagi mengherankan. O: Anda tidak heran. apakah sebelumnya memang telah ada perasaan bahwa Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa akan dilarang? PAT: Bukan karena ada perasaan. Tetapi larangan di tahun 1966 kan belum dicabut. Artinya besar kemungkinan setiap buku say yang diterbitkan akan dilarang. O: Lantas perasaan anda sendiri bagaimana? PAT: Tentu tidak senang. Larangan itu sangat tidak menyenangkan. Tetapi persoalannya, apakah ada hukum di Indonesia yang bisa memberi kepada saya basis untuk naik banding. Saya tidak tahu. Saya belum berhubungan dengan ahli-ahli hukum. Kepada pemerintah saya ingin memohon untuk meninjau keputusannya kembali. apakah sesungguhnya larangan itu telah adil dan benar? Masalah keadilan dan kebenaran selalu mempunyai impact yang panjang bagi perkembangan nation.... O: Mengenai alasan pelarangan itu.... PAT: Itu merupakan tuduhan yang saya pikir haruslah dibuktikan. apa benar buku itu mengajarkan Marxisme, Leninisme ataupun Komunisme? di Indonesia kan sudah banyak sarjana Sosial Politiknya yang bisa dimintakan penilaiannya. Saya sendiri tidak pernah mempelajari filsafat tersebut. Saya merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan. Tuduhan itu langsung menyangkut pribadi saya Dituduh bertentangan dengan TAP MPR adalah amat berat. Itu bisa diartikan bahwa saya in pengkhianat bangsa. Karena itulah saya mempertanyakan apakah keputusan itu telah adil dan benar? O: Status hukum anda bagaimana? PAT: Saya masih wajib lapor sekali sebulan. Apakah itu tahanan atau tidak, saya kurang tahu. Ya, saya tidak tahu status juridisnya. Dulu saya juga ditahan tanpa surat perintah. O: Dapatkah anda membandingkan buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa itu dengan karya anda yang lain? PAT: Tidak dapat. Mungkin saya berbeda dengan penulis lainnya. Kalau saya telah menulis dan tulisan itu dicetak, saya tidak akan membacanya lagi. Itulah kesatuan komitmen saya dengan nation pada suatu waktu. Maka selesai. Saya tidak memegangnya lagi. Saya tidak membacanya lagi. O: Dari dulu memang demikian? PAT: Dari dulu memang begitu. Pertanggungjawaban saya telah selesai. Kalaupun harus ada perbaikan karena ada kesalahan cetak dan sebagainya, orang lainlah yang melakukannya. Bukan saya. O: Kalau begitu kami ingin mendengar penilaian anda tentang karya kesusastraan dari penulis lain. PAT: Saya tidak lagi mengikuti kesusastraan. Perkembangan kebudayaan lainnya juga kurang saya ikuti. Saya sedang menarik diri. Melihat televisi pun saya hanya kadang-kadang saja. Begitu pula membaca dan tidak membaca kesusastraan. O: Mengapa? PAT: Tidak tahu.... Saya sungguh tidak tertarik. Saya hanya sesekali membaca koran. Itu pun tidak berlangganan. Begitu banyak buku dan majalah yang dikirimkan orang kepada saya. Sudah menumpuk. Tapi saya tak dapat membacanya. Tidak sanggup. Secara praktis saya memang belum mengikuti kehidupan aktif. Saya masih belajar menyesuaikan diri. Pengalaman empat belas tahun ditahan masih menekan saya sampai sekarang. Masih ada sindrom tahanan pada diri saya. Tertekan. Merasa tertekan. Dan sekarang saya tak bisa menulis. Ya, untuk menuliskan satu kalimat pun sangat sukar. Empat hari belum tentu cukup bagi saya untuk menyelesaikan satu kalimat. O: Jadi anda sedang tidak menulis? PAT: Tidak bisa menulis. Saya mau menulis. Tetapi tidak bisa. O: Tidak juga mengisi catatan harian? PAT: Saya sungguh tidak bisa menulis! Waktu baru bebas dulu, saya sedikit demi sedikit masih bisa menulis. Tetapi sekarang sudah tidak bisa. Saya terpaksa harus minta maaf karena begitu banyak surat-surat yang memang tak dapat saya jawab. O: Persisnya, kapan anda terakhir menulis? PAT: Ketika di Pulau Buru. O: Sampai tahun berapa? PAT: Oh, sampai saat dibebaskan--tahun 1979--saya masih tetap menulis. Juga masih mengisi buku harian. O: Apakah anda menarik diri karena tidak lagi percaya pada budaya sekeliling anda? PAT: Saya menarik diri karena merasa asing. Dan makin lama makin merasa asing. Mungkin perasaan ini tidak baik. Tetapi demikianlah perasaan saya. O: Tadi anda mengatakan tetap berhasrat untuk kembali menulis. Usaha apa yang anda lakukan? PAT: Apa maksudnya? O: Apa yang anda lakukan sekarang agar bisa kembali menulis? Atau anda tidak melakukan apa-apa? PAT: Soalnya lebih banyak berkaitan dengan lingkungan. Lingkungan di sini terlampau bising dan udaranya pun sangat kotor. Sepuluh tahun saya telah terbiasa hidup dalam kesunyian. Tiba-tiba jadi begini. Setiap kali saya mendengar motor melintas dengan meraung-raung, saraf saya terganggu.... O: Kalau hanya itu masalahnya, mengapa tidak berusaha pindah ke tempat lain yang lebih cocok buat anda? PAT: Syaratnya belum ada. Dan lagi saya memang masih merasa belum aman. Empat belas tahun merasa tidak aman, tidak mudah menghilangkannya.... O: Atau mungkin pindah ke luar negeri. Pernah terpikirkan? PAT: Ya, samar-samar ada. Tetapi seperti saya katakan tadi, saya dalam keadaan menarik diri. Dan apakah mungkin saya ke luar negeri? Saya memang telah banyak mendapat undangan dari sana. O: Pernahkah terbayangkan sebelumnya bahwa anda akan mengalami saat-saat seperti ini, tidak mampu menulis...? PAT: Dulu, dulu saya juga mengalaminya. Mungkin inilah masa-masa kelelahan. Tentang ini ada tulisan pendek saya yang telah banyak diterjemahkan, "Sunyi Senyap di Siang Hidup," yang saya karang sekitar tahun '54-'55. Tapi saya selalu percaya--dan ini lebih merupakan sesuatu yang mistis--bahwa hari esok akan lebih baik dari hari sekarang. Dan untuk itu sebelum tidur saya menyerahkan diri sepenuhnya. O: Menyerahkan diri kepada siapa? PAT: Ya, kalau saya katakan secara mistis, kan sudah jelas. Mistik itu kesatuan manusia dengan Tuhan. Yang saya maksud adalah mistik dalam pengertian yang sesungguhnya. Jangan dikacaukan pengertian-pengertian mistik, religi, magi dan sebagainya. O: Hikmah apa yang anda peroleh dari masa penahanan? PAT: Saya hidup di tengah-tengah orang Indonesia yang menderita. Saya bersama mereka dan merupakan bagian dari mereka. Setiap pengalaman bagi pengarang bukan hanya materi tetapi sekaligus juga fondasi kulturil. Tapi kalau dia tidak kuat menderitakannya, tentu dia collapse. Bagi yang kuat, orbitnya menjadi lebih luas. O: Bagaimana proses kreativitas anda berlangsung? PAT: Pertama kali saya tidak begitu mendasarkan diri pada ilham. Kalau toh ada suatu pengertian tentang ilham, maka ilham itu lebih tepat dikatakan sebagai produk kerja keras. Tanpa kerja keras tidak ada sesuatu yang bisa dinamakan ilham. Tentang kuartenarius yang terakhir, saya memang telah lama berkeinginan untuk menulis sejarah Indonesia. Bukan sejarah fisiknya. Tetapi pergulatan jiwa Indonesia itu menjadi manusia Indonesia sampai sekarang ini. Saya ingin menuliskannya dalam bentuk roman, karena buku sejarah biasanya kurang dibaca orang. Dengan meromankan histori, saya ingin mengajak setiap orang mulai dari lulusan SD hingga profesor untuk hidup di dalam histori. Sebelum tahun '65 saya sudah mulai mempelajari sejarah Indonesia modern. Proses penulisannya begini. Materi historis yang statis--yang telah saya peroleh--saya hidupkan dengan tetesan-tetesan elemen baru. Itulah yang berproses, antara data yang statis dengan tetesan kimia baru. Itu pulalah yang terjadi dalam otak saya. Saya hanya mencatat proses yang terjadi. Saya mengikutinya dan tidak memaksakan. Saya hanya melukiskan perkembangan. Perkembangan ini akan sampai kepada klimaks atau kesimpulan. Terhadap klimaks atau kesimpulan inilah biasanya orang bersikap suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang. Begitu. ________________________________________ "Yang Tidak Setuju, Ya minggir Saja" Tempo, 4 Mei 1999 http://www.tempo.co.id/majalah/indexisi.asp?rubrik=waw&nomor=1 NO. 09/XXVIII/4 - 10 Mei 1999 Wawancara Paramoedya Ananta Toer "Yang Tidak Setuju, Ya minggir Saja" Setelah 20 tahun tak menyentuh sepatu, Pramoedya Ananta Toer "terpaksa" mengenakannya untuk sebuah perjalanan jauh. Ke New York. Diiringi anggota Partai Rakyat Demokratik, keluarganya, wartawan asing dan lokal, serta kamera televisi asing yang merekam keberangkatannya ke Bandara Cengkareng, Pram melangkahkan kakinya-dalam rangka memenuhi undangan ke AS. Di sana Pram akan meluncurkan buku terjemahan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ia mengenakan sepatu. SEBELUM berangkat, Pram bersedia menerima Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamim, dan fotografer Robin Ong dari TEMPO hingga beberapa kali. Sembari mengenakan kaus putih dan kain sarung, Pram, ketika menjawab pertanyaan TEMPO, sesekali suaranya meninggi dan keras tatkala menjawab pertanyaan agak sensitif. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, Pram mengaku ayahnya seorang nasionalis yang pernah dipenjara Belanda. Sejak SD, "Saya banyak membaca karena orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk ukuran kota kecil," tutur Pram. Pram mulai membaca koran dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa sejak usia delapan tahun, sehingga ketertarikannya pada sejarah dan politik tampaknya dimulai pada usia yang sangat dini. Pendidikan formalnya hanya berakhir hingga SMP, tetapi minatnya untuk mendalami ilmu pengetahuan dan politik tetap intens. Pada awal 1960-an, Pram dikenal sebagai salah satu tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi yang berafiliasi kepada PKI (Partai Komunis Indonesia). Kegiatan Pram di Lekra dan wewenangnya sebagai staf redaksi Lentera, lembaran budaya harian Bintang Timur, belakangan membuat ia terlibat dalam polemik terkenal, yang hingga kini tampaknya masih menyimpan rasa tak nyaman pada beberapa sastrawan yang berseberangan dengan dia. Ini disebabkan perbedaan konsep berkesenian di antara kedua kubu itu: kubu pertama, Pram dengan Lekra-nya. Kubu kedua adalah pencetus Manifes Kebudayaan. Perbedaan kedua kubu itu kemudian dirangkum dalam sebuah buku yang komprehensif berjudul Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto. Terakhir, pada 1965, PKI tumbang. Orang-orang yang bersimpati dan berafiliasi dengan partai itu pun "diangkat". Ada yang dibunuh, tidak sedikit pula yang dipenjarakan. Salah seorang yang dipenjarakan itu adalah Pram, yang sampai dibawa ke Pulau Buru. Tanggal 13 Oktober 1965, Pram ditangkap di rumahnya-kini disita-di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu. Di Pulau Buru, hidupnya selama belasan tahun tidak mematikan semangatnya untuk menulis. Beberapa karyanya-tetralogi pulau Buru, dimulai dari Bumi Manusia, [Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah], dan berakhir dengan Rumah Kaca--berhasil diselundupkan ke luar dan diterbitkan. Pada 1979 ia dibebaskan, meski melalui berbagai rintangan. Ia tetap rajin menulis, dengan tulisan tangan atau dengan sebuah mesin tik tua, karena, "Saya tidak bisa mengikuti irama teknologi," katanya ketika ditanya mengapa tidak menggunakan komputer. Dengan kacamata setebal plus empat setengah, ditemani 32 batang rokok sehari, Pram mengisi hari-harinya dengan membaca koran serta mendokumentasikannya dengan rapi di perpustakaannya yang mengagumkan dan terpelihara. Berikut adalah petikan wawancara Pram dengan TEMPO beberapa hari sebelum keberangkatannya ke AS: ________________________________________ Waktu di Pulau Buru, apakah pernah terpikirkan bahwa Anda akan seperti ini, diundang ke mana-mana? Tak pernah membayangkan. Menulis, bagi saya, adalah tugas pribadi dan tugas nasional. Setelah saya menyelesaikan tugas, ya sudah, saya tak pernah memikirkannya atau membaca ulang tulisan saya sendiri. Anda kan banyak menulis roman sejarah, termasuk saat di Pulau Buru, bagaimana mengorganisasikan data itu? Penulisan tetralogi itu punya sejarah panjang. Setelah saya menerbitkan Hoakiau di Indonesia, saya diculik dan ditahan. Pulang dari tahanan ini, saya diminta mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti). Bagaimana saya mengajar di perguruan tinggi? SMP saja saya tidak tamat. Jadi saya mengajar dengan cara saya sendiri. Setiap mahasiswa yang saya beri kuliah, saya wajibkan mempelajari koran selama satu tahun, lalu mereka membuat naskah kerja. Saya mengajar mulai 1962 sampai 1965. Kalikan saja, tiga puluh naskah dari 30 mahasiswa. Itu sekian tahun yang saya pelajari, saya mendapat petunjuk, sumber-sumber historis. Dari sanalah saya mempunyai bahan-bahan sejarah. Tapi waktu Anda dibawa ke Pulau Buru, bahan-bahan itu kan ditinggal? Kalau ada sesuatu yang sangat menarik, saya tidak lupa. Apa betul untuk mengingat kembali setting sejarah dan mengembalikan ingatan, Anda selalu menceritakan berulang-ulang kepada teman-teman di Pulau Buru? Ceritanya, sebelum diberikan izin menulis, sekitar sebelum pemilu tahun 1971, kami-sekitar 12 orang-dikucilkan dan tak boleh bergaul di antara satu dengan yang lain. Saya bercerita kepada mereka setiap saat apel. Akhirnya cerita itu menyebar ke seluruh kamp konsentrasi yang tak kecil itu. Luas Pulau Buru itu satu setengah kali Pulau Bali sementara kamp konsentrasi itu luasnya sepertiga dari Pulau Buru. Pada 1973 saya baru dibebaskan dari pengucilan. Apakah Anda dikenal oleh kawan-kawan itu sebagai pencerita? Oh, tidak. Praktis tidak begitu. Saya menulis saja. Tetapi waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. Karena keadaan yang mencekam itu, saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil. Apa betul pembebasan Anda pada 1979 ada campur tangan pihak asing? Betul. Sebelum meninggalkan Buru kami harus menandatangani surat pernyataan bahwa kami diperlakukan dengan baik. Sebagai tahanan politik yang tak punya hak, ya kami tanda tangani saja. Ternyata, di utara Selat Madura, sekitar 30 orang diturunkan dari kapal. Sementara itu, kapalnya langsung berangkat ke Jakarta. Rencananya, sebetulnya, kami mau disembunyikan di Pulau Nusakambangan. Tapi, sejak di Pulau Buru, tampaknya kami sudah diamati oleh gereja Katolik. Saya melihat sendiri orang gereja itu diusir, ia tidak boleh dekat-dekat. Tapi dia memantau sampai dunia internasional tahu bahwa ada sebagian tahanan politik yang tak diangkut ke Jakarta. Lantas itu menjadi berita internasional.Setelah diketahui persoalannya oleh pihak internasional, rupanya mereka mengalah. Bagaimana dengan pembelaan Anda terhadap Soekarno, terutama berkaitan dengan para sastrawan tahun 1960-an yang menyerang Bung Karno dengan pandangannya yang membatasi pengarang melalui Manifes Kebudayaan. Kenapa Anda begitu kukuh membela pandangan realisme sosialis sampai sekarang ? Saya tak pernah membela realisme sosialis. Saya memang diminta berbicara mengenai realisme sosialis di UI. Dengan pengetahuan saya yang sedikit ya saya laksanakan. Kok terus dicap pendukung realisme sosialis. Saya terima undangan itu justru untuk mencari input. Sekarang kan Anda dekat dengan beberapa orang Manifes Kebudayaan, tetapi kelihatannya masih berjarak juga dengan beberapa yang lain. Apa yang membedakan sikap Anda ini? Soal Manifes Kebudayaan, itu persoalan pada masa Soekarno, saat Indonesia terjadi perang dingin. Semua orang supaya bersatu melawan Barat yang menghendaki Indonesia jadi jarahannya. Saya membantu Soekarno dan itu didukung juga oleh semua yang menghendaki Indonesia menjadi negara yang mandiri. Sementara itu, Manifes Kebudayaan kan menghendaki kebebasan kreatif. Itu dilakukan setelah Central Intelligence Agency (CIA) membuat kongres. Setelah itu baru muncul Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Dan kita tahu tujuan CIA. Itu yang kita lawan. Soekarno sendiri mengatakan bahwa ia tahu orang-orang yang menerima uang dari Amerika berikut jumlahnya. Anda menganggap penanda tangan Manifes Kebuda-yaan itu pengkhianat Soekarno? Menurut saya begitu. Sampai sekarang rasanya tidak berubah. Sejauh mana sih Manifes Kebudayaan merongrong kewibawaan Soekarno? Karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat. Bukankah orang Manifes Kebudayaan itu sedang mengkritik Soekarno? Itu bukan mengkritik. Ia membuat jalan lain yang merugikan. Apakah hubungan Anda dengan H.B. Jassin baik-baik saja? Dia guru saya. Tetapi, setelah saya menilai ia tidak konsekuen dengan ajarannya, ya saya tinggalkan. Dia guru saya yang mengajarkan tentang humanisme universal. Lantas ada penindasan terhadap minoritas Tionghoa, dia diam saja. Ada pembantaian jutaan orang, dia diam saja. Hak-hak satu setengah juta orang dirampas dan diinjak-injak, dia diam saja. Malah dia diberi penghargaan Mahaputra oleh Orde Baru. Jadi bagaimana prinsipnya tentang humanisme? Karena itu, ketika dia sakit, no. Saya tidak mau tahu. Sebetulnya berapa keras benturan antara Anda dan orang-orang Manifes Kebudayaan ketika itu? Saya cuma membuat polemik. Saya hanya menulis. Masa semua kekuatan ini harus erkepal pada jari tinju untuk membela dan memukul lawan RI. Itu saja. Yang tidak setuju, ya minggir saja. Negara kan dalam keadaan bahaya. Soekarno sendiri sudah tujuh kali lolos dalam pembunuhan. Anda juga dituduh membakar karya-karya orang Manifes Kebudayaan? Omong kosong. Kalau saya bakar dokumentasi orang lain, kan gila. Jika saya mau, saya bawa pulang. Kenapa Anda seperti hidup dalam dendam masa lalu? Itu terserah saja, kan orang punya pendapat. Menurut penilaian saya sendiri saya tidak pernah mengkhianati prinsip saya. Apa betul sastrawan-sastrawan Lekra, katanya, dulu sangat arogan dan menindas? Menindas? Kekuasaannya itu dari mana? Yang berkuasa itu Angkatan Darat karena menguasai teritorial. Saya bekerja membantu harian Bintang Timur. Kantor Bintang Timur pernah dilempar granat sekali, tak pernah ada penyelidikan. Padahal Bintang Timur itu loyal terhadap Soekarno. Pelarangan-pelarangan ide itu bukan berasal dari Soekarno, bukan dari Lekra, tapi Angkatan Darat. Koran-koran dibredel. Itu dilakukan oleh Angkatan Darat. Tapi yang dituduh melakukan itu Lekra. Aneh-aneh saja. Sekarang kita bicara karya sastra. Dalam Bumi Manusia, buku itu seperti bercerita sendiri. Kemudian terjadi pergeseran teks pada Jejak Langkah saat pengarang menjadi pihak yang berkisah. Apakah itu disengaja? Cerita itu yang bermain sendiri. Dan ini memang satu cara menulis yang saya pelajari dari Steinbeck dan Idrus. Jadi, kalau kita membaca, kata-kata itu membangunkan gambar di dalam otak. Sampai setua ini, itulah cara saya (menulis). Dengan sastra membela rakyat, seperti yang Anda katakan, apakah itu bukan bagian pandangan realisme sosialis? Barangkali. Tetapi saya tak tahu betul. Saya hanya menulis yang saya yakini. Dan keyakinan terbesar adalah berpihak pada rakyat dengan cara dan kemampuan apa pun. Bahwa itu disalahkan silakan saja, itu hak orang lain. Karena itu, saya tak pernah merasa punya musuh dalam sastra. Kalau setiap karya harus menyuarakan rakyat, lalu sebetulnya bagaimana penilaian Anda terhadap karya yang tak bercerita tentang rakyat? Ya, boleh saja bercerita tentang individual asalkan membela kebenaran, keadilan. Dalam sebuah karya sastra mana yang lebih penting, pembelaan pada rakyat, atau keindahan yang diciptakan dalam karya sastra itu? Soal keindahan itu banyak persoalan. Apa itu keindahan? Menurut Pujangga Baru, keindahan itu terletak pada bahasa. Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan: pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa. Kalau yang lebih penting adalah pemihakan kepada rakyat, sementara keindahan itu nomor dua, lalu apa bedanya antara karya sastra yang membela rakyat dan pidato politik yang membela rakyat? Ya, itu sejalan saja. Setiap orang tidak bisa lepas dari politik. Politik dalam hal ini berarti kekuasaan. Segala sesuatu yang bersinggungan atau terangkum dalam kekuasaan adalah politik. Mengibarkan bendera Merah Putih serta pemihakan pada RI itu sudah politik. Membayar pajak itu sudah politik, karena itu memberikan masukan kepada kas negara. Kalau tak menolak menjadi warga negara Indonesia itu juga politik. Tidak ada yang bebas dari politik. Termasuk karya sastra? Termasuk. Semuanya. Katanya Anda tak membaca karya-karya sastrawan Indonesia, Anda tak tertarik atau tak mau? Tidak ada artinya untuk saya. Orang dalam penindasan, membaca dengan foya-foya. Membaca buku Perjalanan Pengantin (karya Ajip Rosidi, Red.), saya tak bisa. Orang yang tertindas seperti saya tak bisa menikmati karya seperti itu. Kalau karya Seno Gumira Adjidarma? Cuma karya dia yang saya baca. Satu saja cerpennya yang saya baca. Dan itu sudah lama sekali. Ketika saya baru pulang dari Pulau Buru. Dan saya lihat dia pengarang baik. Dia mempunyai keberanian. Tidak ragu-ragu menyatakan kebenaran yang dia anggap kebenaran Novel Saman karya Ayu Utami? Satu halaman saya baca. Isinya seks melulu. Untuk saya, itu kan sudah lewat. Apakah itu sebabnya semua tulisan Anda, jika bukan novel-novel tentang revolusi, novel sejarah? Ya, karena, menurut saya, sejarah itu penting. Sejarah itu kan rumah tempat orang melanglangi dunia. Jadi, kalau dia tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan. Peristiwa Mei, misalnya, jatuhnya Orde Baru, apakah akan dibuat novel? Saya tidak menulis itu. Itu merupakan suatu bagian dari proses yang belum selesai. Soal Orde Baru. Jika saya tulis juga, itu menjadi jurnalisme. Bukan sastra. Dari sekian karya Anda meski-pun Anda tidak pernah membacanya kembali, mana yang paling Anda sukai? Sama saja. Semua itu anak-anak rohani saya. Masing-masing punya sejarahnya sendiri. Semua saya sayang. Kebebasan ini membuat Anda kembali berkumpul dengan keluarga. Apakah Anda pernah berterima kasih untuk kembali berkumpul dengan Orde Baru itu? Terima kasih? Buat apa saya berterima kasih. Pernah ada pertemuan dengan wartawan lokal dan luar negeri. Mereka bertanya apakah saya tidak menginginkan amnesti. Lha, yang berhak memberikan amnesti itu saya kepada kekuasaan. Seperti sekarang, Budiman menolak grasi, itu (keputusan) yang betul. Kenapa diampuni, memang dia salah apa? Kan persoalannya karena pemikiran dia tidak sama dengan penguasa. Sekitar tiga tahun sebelumnya saya ucapkan itu: saya yang berhak memberikan amnesti, bukan sebaliknya. Copyright @ PDAT 1 9 9 8 LEBIH JAUH DENGAN Pramoedya Ananta Toer PENGANTAR REDAKSI Minggu, 4 April 1999 PRAMOEDYA Ananta Toer, pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, hari Senin (5/4) ini terjadwal berangkat ke Amerika Serikat untuk kunjungan ke berbagai tempat termasuk Kanada, selama sekitar dua bulan. Ada acara penting Pramoedya selama di AS, antara lain ia akan menerima penghargaan dari Universitas Michigan bersama tiga penerima penghargaan lain yakni Kofi Annan (Sekjen PBB), Aharon Barak (Jaksa Agung Pengadilan Tinggi Israel), dan Shirley M Malcom (Direktur Pendidikan dan Sumber daya Manusia di Asosiasi Amerika untuk Pengembangan Ilmu). Pram juga akan memberikan ceramah di berbagai universitas, mengiringi terbitnya buku The Mute's Soliloquy (penerbit Hyperion East, New York), yang merupakan terjemahan bukunya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. "Saya tidak menyiapkan apa-apa, ya kalau ditanya menjawab. Seperti gong, kalau dipukul berbunyi," kata ayah dari delapan anak dan kakek dari 15 cucu ini, ketika ditanya persiapannya ke AS. Pengarang yang telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel ini kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, dan dibuang ke Pulau Buru setelah peristiwa G30S. Pada peristiwa terakhir itu ia kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil. Ia dilepas dari Pulau Buru tahun 1979, meski itu bukan berarti "bebas". Hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Terakhir, ia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ia menganggap Ketua PRD, Budiman Sudjatmiko, sebagai figur paling pantas sebagai Presiden RI. PRD pula yang pernah memberikan penghargaan kepada Pram di tahun 1996-jadi semasa Soeharto berkuasa-di mana karena penghargaan itu lagi-lagi Pram diperiksa yang berwenang. Penghargaan lain yang pernah diterimanya adalah PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award. Perjalanan ke AS sekarang merupakan perjalanannya ke luar negeri yang pertama setelah 40 tahun. Waktu itu, tahun 1959, terakhir kali Pram berkeliling ke beberapa negara Eropa. PERJALANAN Anda ke Amerika ini punya makna atau tidak?MM MYa, ada. Saya mempunyai kesempatan lebih luas untuk melawan kekuasaan yang menindas saya sampai sekarang. Sampai sekarang? Sampai sekarang. Buku-buku saya 'kan belum dicabut larangannya. Ketika di Belanda tahun 50-an, ada kesan Anda tidak suka, bahkan mungkin agak memberontak terhadap keadaan. Apa yang sebetulnya membuat Anda tidak betah di Eropa waktu itu? Belanda itu sudah ratusan tahun, sudah established, sedangkan saya baru tiga tahun merdeka. Saya tidak bisa akomodasi. Dan sekarang mau ke Amerika, kira-kira bagaimana ini? Ini persoalan melawan kekuasaan. Lain lagi. Akan tetapi Amerika 'kan pusatnya multinasional? Yang itu adalah soal kedua. Yang satu adalah bahwa saya bisa kalahkan semua, walaupun sendirian. Tidak merasa aneh atau lucu bahwa Amerika yang sekarang justru membantu Anda? Bukan aneh. Itu keterbelakangan Indonesia di bidang hukum. Larangan-larangan itu, pemberitahuan kepada si pengarangnya saja tidak. Saya tahu dari koran. Padahal dari zaman kolonial saya kumpulkan peristiwa-peristiwa delik tulisan. Mengapa Anda mengumpulkan tulisan-tulisan semacam itu? Saya mempelajari sejarah. Saya memang bukan ahli sejarah, tetapi suka pada sejarah. Itu saja soalnya. Mulai mengumpulkannya tahun 1960-an. Setelah saya keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin datang kemari minta saya mengajar di Universitas Res Publica. Saya bilang, bagaimana mungkin saya mengajar di perguruan tinggi, SMP saja saya tidak tamat. Cara mengajar pun saya tidak tahu, karena belum punya pengalaman. Karena tidak mengerti tentang perguruan tinggi, ya, saya punya cara sendiri. Setiap mahasiswa saya wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Dari situ, dari naskah-naskah kerja mereka, saya mendapat petunjuk ke sana, ke sana, dan ke sana. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang saya kasih tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional itu penuh dengan mahasiswa saya, ha... ha.... SUMBER-sumber sejarah yang banyak dipakai dalam buku-buku Anda, katakanlah seperti Arus Balik, kebanyakan menggunakan apa? Itu dari bacaan waktu anak-anak. Bukan dari Negarakertagama atau Pararaton? Kalau di Arus Balik ini praktis tidak dipakai. Kalau dalam manuskrip (tentang) Ken Arok, sumbernya memang dari Pararaton. Apakah dalam Pararaton atau Negarakertagama data antropologisnya lengkap? Nggak. Sejarah untuk orang Jawa 'kan hanya tumpukan mitos. Kita belum belajar sejarah secara rasional, baru setelah kemerdekaan kita mulai berpikir ke arah itu. Kita berpikir rasional itu baru saja. Jadi hasil-hasil karya Anda mencoba merasionalisir "dongeng-dongeng" seperti yang ada dalam Pararaton atau Negarakertagama? Iya. Saya mencoba, berhasil atau tidak, itu soal lain. Saya menulis dan berhasil atau tidak, terserah pembaca. Saya kalau menulis tidak saya baca lagi. Kalau sudah selesai serahkan ke penerbit, mau nggak menerbitkannya. Nggak pernah saya lihat lagi. Kalau sudah dicetak pun nggak saya baca lagi. Dalam manuskrip Ken Arok dan Ken Dedes, dari mana data mengenai setting sosial dan sekte-sekte agama pada saat itu? Dari logika saja. Boleh 'kan? Belum dilarang 'kan? Di Arus Balik juga begitu. Kalau itu hanya dari logika, sebagaimana dalam karya-karya Anda, apakah Anda melihat pertempuran ideologi antara Syiwa dan Islam sangat dominan dalam sejarah Nusantara ini? Syiwa itu 'kan Dewa Perusak. Penghancur. Syiwaisme itu berpengaruh terus dalam kebudayaan politik di Jawa. Nggak boleh ada dua raja, salah satu harus dibinasakan. Lain dengan pengaruh Buddhis di Jawa Barat, raja-raja banyak, tetapi ber-"uni". Maluku juga ber-"uni" raja-rajanya, walaupun tidak terpengaruh ideologi Buddhisme. Akan tetapi di wilayah pengaruh Syiwaisme tidak bisa, hanya ada satu orang, dan itu wakil yang di atas di bumi ini. Bebas dari kesalahan. Sampai sekarang? Sampai sekarang. Dan itu masih dominan? Ha... ha... ha... Iya, Jawa. Kalau sudah nggak jadi Jawa lagi seperti saya, ya lain. Masalahnya, mengapa Syiwa yang dominan? Itu yang menjawab sejarah. Kenyataannya memang Syiwaisme yang dominan. Atau memang karena paham Syiwaisme itu yang cocok dengan kebudayaan Jawa? Saya tidak bisa menjawab soal itu. Hanya dari kenyataan historis saja yang saya pakai. Dalam karya-karya Anda, humor hampir tidak pernah muncul. Begitu pula soal seks. Mengapa? Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek. Kalau soal seks banyak, cuma tidak mendetail. Lha itu, di Bumi Manusia banyak seksnya, seks itu banyak. Dulu saya inferior complex, dan hilangnya karena seks. Lho, bagaimana bisa? Itu, sama orang Eropa yang menjajah saya. Setelah itu, hilang perasaan (inferior). Di dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini tidak diceritakan? Nggak tahu saya kalau itu dibuang oleh penerbitnya. Saya tadi 'kan bilang, habis nulis nggak baca lagi. Mengapa Anda justru tidak menciptakan novel yang berlatar belakang G30S? Ini proses sedang menjadi, belum selesai. G30S itu bukan hanya peristiwa 1 Oktober saja, tetapi seluruh Orde Baru itu adalah G30S. Prosesnya belum selesai, kalau ditulis menjadi jurnalisme. Sori, saya bukan melecehkan jurnalisme. Fungsinya lain. Sebagai proses G30S itu belum selesai. Habibie 'kan kelanjutan Orba saja. Orbaba (Orde Baru yang Baru). Selesainya bagaimana? Harus out semua, ganti angkatan muda. Itu menurut saya. Termasuk seluruh pegawai negeri sipil yang ada sekarang? Iya, out. Semua terlibat, paling tidak (mereka) menganggukkan kepala terhadap pembantaian, perampasan hak-hak. Proses itu belum selesai karena peristiwanya, atau proses dalam diri Anda? Proses nasional yang belum selesai. Berarti Anda masih melakukan pencatatan terus? Bukan hanya pencatatan, tetapi kliping. Lalu suatu saat akan ditulis dalam bentuk novel? Iya, tetapi masih menghendaki adanya suatu pengendapan. Persoalannya bagi saya, saya harus tinggal di desa yang tenang. Tidak takut berkejaran dengan waktu? Nggak soal. Kalau nggak bisa, ya nggak soal. Kalau soal mati, setiap saat saya sedia mati. Nggak soal. Kalau persoalan G30S prosesnya dianggap belum selesai sehingga belum bisa menuliskannya, mengapa waktu tahun 1945, ketika proses revolusi, Anda bisa menulis banyak novel, padahal waktu itu prosesnya juga belum selesai? Karena hari depannya itu sudah dijanjikan, yaitu Indonesia yang merdeka, demokratis, modern. Bahwa ternyata begini, isinya kekecewaan saja, itu soal lain. Bukankah Habibie juga sekarang sering menjanjikan Indonesia yang demokratis? Habibie belum pernah teruji oleh sejarah. Saya nggak perlu dengarkan itu. Wawasan kenegaraan juga tidak punya, apalagi wawasan ke-Indonesiaan. Wawasan ke-Indonesiaan yang Anda maksudkan itu bagaimana konkretnya? Mengerti tentang Indonesia. Misalnya, waktu Belanda berhasil mendirikan imperium maritim nomor satu di dunia, ibu kotanya dipilih Batavia. Ini menyebabkan terjadinya Java sentrisme, dan itu tidak dikoreksi sampai sekarang. VOC datang ke sini untuk menundukkan daerah di luar Jawa, lalu diekspor pembunuh dari Jawa. Apa ini tidak diteruskan sampai sekarang? Dari sejak VOC? Ini tak pernah dikoreksi. Terus, ibu kota Batavia, semua lalu berkiblat ke Batavia. Hasilnya apa? Orang-orang luar Jawa pada lari ke Jawa. Itu sebabnya Soekarno mau memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, di tengah-tengah Indonesia, supaya pembagian penduduk merata. Akan tetapi ini tidak terwujud karena keburu Harto tampil. Konsekuensi dari pikiran itu adalah negara federal? Saya tidak setuju pada federalisme. Karena apa? Soekarno sudah memperingatkan bahwa abad ini adalah abad intervensi asing. Jadi kalau ada federalisme, akan lebih mudah asing melakukan intervensi. Bukan sebaliknya, karena dengan federalisme masing-masing daerah bisa memperkuat diri? Tidak mungkin itu. Sekarang saja Riau mau bergabung dengan Malaysia. Jadi, yang penting apa supaya tidak Jawa sentris? Pendidikan ke-Indonesiaan belum pernah ada. Seperti nama Indonesia itu 'kan keliru, karena berarti kepulauan India, tetapi kok tidak dikoreksi sampai sekarang? Kelemahan kita, kalau sudah pegang kekuasaan tidak berani koreksi diri. Ini baru soal nama. Kalau bukan federalisme, apa otonomi? Ya, otonomi luas, jangan federalisme. Federalisme itu adalah kehendak Belanda dulu, dan itu dihancurkan oleh Soekarno dalam satu hari, dalam parlemen di tahun 1950. Namun juga ada akibatnya, yakni Indonesia lalu dianggap bangsa. Indonesia itu bukan bangsa. Indonesia itu nation, terdiri dari bangsa-bangsa. Jawa itu bangsa, Batak bangsa, Aceh bangsa. Ini disusutkan jadi suku bangsa. Ini artinya tidak menghargai sistem nilai masing-masing. Bangsa Indonesia itu tidak ada, yang ada nation Indonesia. Itu saja tidak pernah dikoreksi sampai sekarang. Padahal akibatnya (terjadi) pelecehan terhadap sistem nilai setempat. Namun konsekuensi yang paling logis dari pemikiran itu adalah negara federal? Tidak bisa. Persoalannya begini. Kita itu negara maritim, tetapi kenapa diduduki Angkatan Darat. Dia yang berkuasa. Ini saja menyebabkan segala macam kekacauan. Kalau begitu soalnya menjadi lebih sederhana, Angkatan Darat harus kembali ke barak? Betul, dari dulu saya berseru-seru begitu. Kalau tak setuju negara federal, tetapi setuju otonomi luas, lalu isi otonomi itu apa? Negara kita ini kaya. Sekarang sedang dibicarakan soal pembagian rezeki antara daerah dan pusat. Itu betul. Kayak Aceh, gasnya sudah hampir habis, jalan yang mulus saja tidak ada. Itu 'kan keterlaluan. Jadi kalau semua sudah dilingkupi kekuasaan laut, nggak ada persoalan federalisme. Sekarang setiap kapal bisa nyolong di laut Indonesia. Jadi Angkatan Laut yang diperkuat, bukan Angkatan Darat. "Arus Balik" dong? Ha... ha... Zaman Belanda yang berkuasa di pertahanan AD. Ketika diserbu AL Inggris tahun 1812, hanya dua hari, angkat tangan. Tahun 1942 diserbu AL Jepang, dua hari Belanda angkat tangan. Padahal AD Hindia Belanda itu menghasilkan sekian banyak jenderal, seperti sekarang. Ini bukti historis, lho, sebab pertahanan laut Hindia Belanda tidak punya. Jadi militerisme AD itu bukan hanya Orde Baru, tetapi sudah ada sejak Orde Mataram? Mataram punya AL, cuma kalah. Lain dengan Banten yang mementingkan AL, bahkan sempat mendatangkan instruktur dari Batavia. Ketika itu siapa yang menguasai laut menguasai dunia. Kalau begitu secara prinsip mitos itu sudah betul? Bukan, mitosnya itu karena dia kalah. Waktu menyerang Batavia, walaupun kalah, Mataram sempat menggunakan pasukan laut. Seluruh pesisir utara dikerahkan. Namun karena nggak pernah ada latihan, bagaimana bisa menang melawan kompeni? Laut Jawa, laut internasional jatuh ke tangan Belanda, lalu Mataram bilang: gua juga masih punya laut, punya Nyai Roro Kidul. MENURUT Anda, periode sejarah terpenting di Nusantara pada rentang waktu mana? Tahun 1945. Itu luar biasa. Satu orang bisa mempertautkan satu bangsa secara politis, Indonesia. Orang itu adalah Soekarno. Namun tidak pernah ada penghargaan terhadap Soekarno, malah ia dicaci-maki, dituding diktator segala macam. Kalau soal multinasional bangsa kita sudah kalah. Negeri-negeri komunis pun sudah mengakomodasi kapitalisme. Kalau begitu paham kapitalisme betul? Kapitalisme primitif waktu itu. Pandangan Anda pribadi terhadap kapitalisme bagaimana? Kalau saya pribadi nggak setuju, karena kapitalisme itu sudah merupakan politik, bukan sekadar dagang. Itu sebabnya Soekarno tidak setuju masuknya modal asing. Untuk Soekarno, cukup utang, lalu kita bangun sendiri. Sebab kalau modal asing sudah masuk dia akan berpengaruh pada kekuasaan, malah bisa kerja sama. Buktinya sekarang, kalau ada perselisihan antara perusahaan dengan buruh, kekuasaan berpihak kepada modal, bukan kepada buruh. Kalau begitu sistem kapitalisme atau mekanisme pasar harus berhenti pada dataran ekonomi saja? Mestinya begitu, jangan sampai ikut menguasai. Akan tetapi, apa mampu? Persoalannya 'kan sampai seberapa jauh moralitas yang berkuasa? Benteng moralnya sampai seberapa? Akan tetapi di negara mana pun, belajar dari pengalaman Barat, membangun sebuah masyarakat hanya berdasarkan moralitas adalah mimpi? Atau sebaliknya, tanpa moral jadi bandit semua. Bukankah ini berarti perlu ada sistem yang harus mencurigai, bahwa moral manusia itu cenderung tidak keruan? Tidak juga. Orang yang moralnya kuat karena apa? Karena pengalaman. Ia belajar dari pengalaman. Zaman Orde Baru satu setengah juta orang dirampas hak-haknya. Bahkan tenaganya dirampas untuk kerja paksa. Dan Golkar, PPP, PDI mengangguk saja. Ini moral apa? Belum lagi yang dibantai. Di situ persoalannya. Orde Baru membentengi diri dengan anggapan bahwa moral semua pejabat baik. Soal menteri boleh berkampanye apa tidak misalnya, mereka bilang boleh, karena moral menteri baik, tidak akan menggunakan fasilitas negara? Saya juga bisa bikin rumus: kalau Orba "x" itu artinya "minus x", ha... ha... Saya lawan dengan rumus itu. Setiap apa yang mereka katakan sebetulnya artinya sebaliknya. Akan tetapi kalau orang nggak mau menggunakan rumus saya itu, bukan salah saya. Antara Kekasih dan Rasa Minder Pramoedya Ananta Toer Hal 1 Arti Penting Sejarah Hal 2 Catatan Pinggir: Pram Hal 7 Jang Harus Dibabat Dan Harus Dibangun bag I Hal 10 Jang Harus Dibabat Dan Harus Dibangun bag III Hal 17 Maaf atas nama pengalaman Hal 23 "Omong Kosong Saja Rekonsiliasi" Hal 37 Pram: Sastra, Sensor dan Negara Hal 46 TAHUN 1965 TAHUN PEMBABATAN TOTAL Hal 52 Saya Menarik Diri Hal 55 Yang Tidak Setuju, Ya minggir Saja Hal 60 LEBIH JAUH DENGAN Pramoedya Ananta Toer Hal 67