dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 RINGKASAN ILMU LOGIKA Perlunya Ilmu Logika Disadari atau tidak, akal manusia pada hakekatnya memerlukan suatu aturan dalam menganalisa berbagai masalah. Karena Ilmu Logika merupakan ilmuyang mengatur cara berpikir (analisa) manusia, maka keperluan kita kepada Ilmu Logika adalah untuk menga-tur dan mengarahkan kita kepada suatu cara berpikir yang benar. Kalau Anda bertanya: “Bagaimanakah dengan kekeliruan berpikir sebagian orang yang sudah mempelajari Ilmu Logika (Mantiq)?” Jawaban kami: - Dengan pertanyaan yang biasa disebut – dalam istilah bahasa Arab – dengan jawaban naqidh (kontra), yaituyang berarti jawaban dengan membalas perta-nyaan, adalah: “Bagaimanakah dengan kekeliruan berbicara pada sebagian orang yang sudah mempelajari bahasa tertentu, misalnya bahasa Inggris?” - Dengan penjelasan adalah: “Dengan jawaban naqidh di atas dapatlah dimen-gerti bahwa belajar suatu ilmu tidak menjamin bahwa perbuatan sehari-hari seseorang itu terarahkan dengan ilmu yang dipelajarinya. Adakah ia mem-praktekkannya dalam kehidupan sehari-hari atau tidak. Sebab Ilmu Logika ti-dak mengajari orang untuk berpikir, melainkan mengajari orang untuk menga-tur dengan baik pikirannya sehingga mencapai suatu hasil pemikiran yang be-nar, sebagaimana pelajaran bahasa Indonesia, ia tidak mengajari orang untuk berbicara tetapi mengajari orang untuk mengatur pembicaraan sehari-harinya. Kemudian ada hal lain yang sangat mungkin menjadi sebab adanya kesalahan berpikir pada sebagian atau banyak orang yang sudah mempelajari Ilmu Logi-ka, yaitu adanya kesalahan dalam penerapan kaidah-kaidahnya. Subyek Ilmu Logika Yang menjadi subyek (pokok bahasan) Ilmu Logika adalah definisi dan argumen. Maka dari itu kadangkala ia membahas tentang ilmu-ilmu “Gambaran” (tashawwuri, concept). Yakni kepahaman yang belum terhukumi atau kepahaman tunggal. Tujuannya, supaya kita dapat menjabarkan dengan baik suatu kepahaman tunggal yang masih majhul. Tentunya, dengan memberikan rumus-rumus logis untuk itu. Subyek inilah yang disebut sebagai “definisi”. Akan tetapi, kadangkala Ilmu Logika membahas ilmu-ilmu “keyakinan” (Tashdiqi, As-sent). Yakni, kepahaman yang berhukum. Yang juga biasa disebut dengan statemen atau proposisi atau kalimat-berita. Tujuannya, supaya kita dapat membuktikan dengan baik atau mengetahiu kebenaran suatu proposisi atau statemen yang masih majhul. Tentu saja, dengan memberikan rumus-rumus argument yang tepat dan logis. Subyek inilah yang disebut sebagai “argument”. Ilmu Ada beberapa pembagian tentang ilmu. Sebelum kita memasuki pembagian ilmu yang kita perlukan dalam pembahasan ringkasan logika ini, perlu kami sajikan di sini pembagian menurut asal muasalnya: 1. Ilmu Panca indera (hissi,sense,external sense,sensory). Yaitu ilmu yang hanya kita dapati lewat panca indera. 2. Ilmu Khayal (imagination). Ilmu ini setingkat lebih tinggi dari ilmu panca indera, sebab disini dilakukan perbandingan atas apa-apa yang didapat dari ilmu panca indera. Maka yang satu – misalnya pohon kelapa – lebih tinggi dari yang lain – misalnya pohon jagung. Begitu juga batu, lebih keras dari tanah, lebih berat dari kapas (B.J-nya) dan seterusnya. Selain perbandingan, perpaduan juga dilakukan. Misalnya, perpaduan warna merah dengan baju, air, kertas, rumah, langit dan se-bagainya. Perpaduan di sini kadangkala menghasilkan sesuatu yang tidak mem-punyai wujud (eksistensi). Misalnya emasyang dipadu dengan gunung. 3. Ilmu Wahmi (estimative faculty). Yaitu mengetahui sesuatu yang tidak material dan tidak mempunyai ukuran. Seperti cinta kasih, marah, sedih dan lain seba-gainya. 4. Ilmu Aqli (Intelectual). Yaitu ilmu yang dengannya manusia dikatakan manusia. Ilmu ini dicapai dengan kesempurnaan akal. Akal tersebut mengelola ilmu-ilmu sebelumnya, yaitu yang didapat dengan panca indera, khayal dan wahmi. Maka, ia – akal – mengambil kesimpulan-kesimpulan universal dari individu-individu yang ia bandingkan satu sama lain. Begitu juga ia – akal – mengambil hasil yang benar dari perbandingan-perbandingan yang ia lakukan, dan menolak hasil-hasil yang salah. Ilmu Logika justru diadakan demi meluruskan pekerjaan akal tersebut se-hingga terlepas dari pengaruh-pengaruh panca indera, khayal dan wahmi yang sa-lah, dan untuk mencapai kebenaran hakiki. Di samping itu ilmu akal bertugas memajukan ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan. Setelah kita mengetahiu asal-muasal ilmu tersebut, di sini perlu kami sajikan 3 pemba-gian lain terhadap ilmu, demi memperjelas subyek ilmu logika yang telah kami singgung di depan, dan demi memudahkan kita mendefinisikan ilmu dan ilmu logika. Pembagian pertama, adalah pembagian ilmu dilihat dari hubungannya dengan keyaki-nanan. Kalau kita bayangkan tentang langit, bumi, sudut, keseluruhan, manis, panas, bagian dan lain-lain, yang ada dalam akal, yang merupakan informasi atau ilmu kita, di sini kita tidak dapat mempercayai atau meyakini kebenaran atau kesalahannya. Inilah yang dimak-sudkan dengan ilmu gambaran, yaitu “Ilmu (Pengetahuan)Yang Tidak Disertai Dengan Suatu Keyakinan”. Tetapi kalau kita bayangkan hal-hal seperti berikut ini: langit itu tinggi, bumi itu bulat, jumlah sudut segi empat sama dengan jumlah sudut tegak lurus, bagian lebih besar dari keseluruhan dan lainnya, di sini kita meyakini baik kesalahan atau kebe-narannya. Hal ini karena pahaman tersebut mengandung hukum. Dengan demikian maka keyakinan kita itulah yang menjadikan ilmu kita sebagai ilmu keyakinan. Yaitu “keyaki-nan kita pada kebenaran atau kesalahan (Kebohongan)Suatu Hukum”. Hal-hal yang berhubungan dengan ilmu gambaran adalah sebagai berikut: 1. Kata tunggal (mufrad, singular). Mencakup kata benda, kerja dan bantu. Se-perti rumah, menulis dan “di” pada “di pasar”. 2. Hubungan Hukum dalam proposisi yang diragukan kebenaran atau kesalahan-nya. Sebab kalau kita sudah yakin maka termasuk tashdiqi. Misalnya, ketika orang meragukan proposisi “Muhammad itu Nabi”. 3. Hubungan bukan hukum. Seperti pada kalimat-kalimat perintah, larangan, per-tanyaan dll. Di sini, kalimat-kalimat tersebut – seperti, “Pergilah!”, “Jangan pergi!”, dsb – tidak bias disifati dengan salah atau benar. Maka, kita tidak bias meyakini kebenaran atau kesa-lahannya. Tentu, karena pada hubungan bukan hukum itu tidak mengandung hukum. Kalau anda berkata, “Sebagian besar – atau bahkan semuanya – dari kalimat-kalimat perintah, larangan, pertanyaan, dll, dapat disifati dengan salah (bohong) atau benar. Den-gan demikian kita dapat meyakini kebenaran atau kesalahannya. Misalnya, perintah orang tua kita kepada kita, “Shalatlah!”. Di sini kita dapat yakin (percaya) bahwa orang tua kita, betul-betul menginginkan kita shalat. Begitu pula kalau ada orang bertanya sesuatu, dia tidak akan keluar dari dua sifat, benar atau bohong. Kalau dia tahu tetapi bertanya, maka dia bohong, sebab kebiasaan orang bertanya adalah orang yang tidak tahu. Begitu pula dia benar atau sebaliknya. Jawabannya adalah: Yang anda sifati dengan benar atau salah (bohong) bukanlah perin-tah atau larangan itu sendiri. Tetapi pengetahuan lain yang anda dapat dari kalimat-kalimat perintah atau larangan itu. Sebenarnya ketika anda mendengar perintah atau pertanyaan itu, anda mengetahui 2 hal (ilmu). Pertama, kepahaman (ilmu) anda pada kalimat-kalimat itu sendiri. Kedua, kepa-haman lain yang ketahiu di balik kalimat-kalimat itu, yaitu anda memahami bahwa pada umumnya orang yang memerintahkan suatu pekerjaan, ia menginginkan pekerjaan itu dilakukan oleh yang diperintah. Atau pada umumnya, orang yang tidak tahulah yang ber-tanya, bukan sebaliknya. Kemudian, kalau penyuruh dalam menyuruh itu betul-betul, dan kalau penanya itu ti-dak tahu betul terhadap masalah yang ditanyakannya, anda – bahkan kita – katakan benar. Dan kalu sebaliknya, anda katakan salah (bohong). Pembahasan kita adalah ilmu (pengetahuan) yang pertama, bukan yang kedua. Karena yang kedua, yang disifati, pada hakekatnya adalah pengetahuan anda sendiri – kalau tepat maka benar, kalau tidak maka salah (bohong). Bukan kalimat perintah atau Tanya itu sendiri. 4. gabungan tak berhukum. Seperti buku Ahmad, merah delima, yang pergi, ka-lau kamu pergi dan lain-lain. Tetapi, kalau kita katakana, “Ini buku Ahmad”, maka telah menjadi hubungan hukum. Yaitu menghukumi “Ini” dengan “buku Ahmad”. Begitu juga kalau kita katakana, “Kalau kamu pergi aku juga pergi”. Sedangkan ilmu keyakinan hanya berhubungan dengan proposisi – gabungan dari DHH, yaitu Dihukum, Hukuman dan Hubungan. Perlu diketahui bahwa ilmu keyakinan ini dibagi menjadi dua: 1. Yakin, yaitu meyakini kebenaran atau kesalahan suatu hukum dengan tidak memungkinkan lagi kebalikannya. 2. Zhan, yaitu meyakini kebenaran atau kesalahan suatu hukum, namun masih memungkinkan kebalikannya. Pengertian (Ilmu) Tahap Pertama dan Tahap Kedua Pembagian kedua dari tiga pembagian ilmu tersebut terdahulu adalah dilihat dari sudut tingkatannya yang terbagi menjadi 2 bagian: Pengertian tahap pertama dan kedua. Pengertian tahap pertama dan kedua ini dalam bahasa Arab disebut Ma’qulatu al-awwaliyah dan Ma’qulatu ats-Tsanawiyyah; atau Primary intelegibles dan Secondary in-telegibles, dalam bahasa Inggris. Ilmu tahap pertama ini adalah Ilmu (pengetahuan) yang didapat melalui ilmu Hissi (panca indera). Misalnya, kesimpulan “kesamaan” dan “perbedaan” antara Ahmad, Ali, Ammar, Yahya dan lain-lain yang ada pada ilmu panca indera. Atau adanya mereka sen-diri dalam kepahaman kita. Sedang ilmu tahap kedua adalah Kesimpulan-kesimpulan atau hasil-hasil yang didapat dari perbandingan-perbandingan yang dilakukan akal terhadap pengertian (ilmu)tahap pertama. Maka dari itu ia tidak mempunyai eksistensi (kewujudan) di luar akal. Misalnya pahaman tentang universal dan partikulir. Ketika akal melihat Husain dalam dirinya, ia memahami bahwa Husain merupakan suatu pahaman dari wujud luar, begitu pula akal memahami bahwa pahaman Husain, mi-salnya, tidak sama atau sama dengan pahaman Hasan, Ali, Muhammad dst. Jelasnya, pe-mahaman akal terhadap suatu apapun yang ada diluar akal (seperti gunung, pohon dll) atau pemahaman terhadap perbandingan-perbandingan yang sederhana yang dilakukan terhadap pemahaman-pemahaman itu – misalnya Ali dan Ahmad sama-sama manusia, mahasiswa, bangsa Indonesia dll dan tidak sama wajahnya, tingginya, dll – disebut seba-gai pahaman atau pengertian tahap pertama. Begitu pula, ketika akal melihat pahaman Husain dari sisi lain, yakni dari sisi bahwa pahaman Husain itu hanya bias diterapkan pada satu orang diluar akal (mishdaq, eksten-si), maka akal akan mengatakan bahwa pahaman semacam itu adalah pahaman “Partiku-lir”. Akan tetapi kalau akal melihat “kesamaan” mereka, misalnya sebagai “manusia”, hal mana bias diterapkan pada lebih dari satu wujud luar akal, maka akal akan mengatakan bahwa pahaman tersebut adalah pahaman “Universal”. Maka dari itu para ahli logika mendefinisikan masing-masing sebagai Suatu pahaman yang mempunyai satu ekstensi untuk ”partikulir”, dan Suatu pahaman yang mempunyai banyak ekstensi untuk pahaman “Universal”. Di sini, pahaman merupakan sebagian dari zat yang dimiliki oleh keduanya. Karena ek-sistensi sesuatu tidak boleh keluar dari essensinya (batasannya), maka universal dan par-tikulir tidak boleh keluar dari pahaman itu sendiri. Kalau sudah tidak keluar dari paha-man, maka tidak bisa mempunyai eksistensi di luar akal. Akan kami terangkan pengertian mafhum (pahaman) dan mishdaq (ekstensi) secara te-rinci dalam bab yang membahas keduanya. Ringkasnya, mafhum adalah gambaran (pa-haman) yang didapat dari sesuatu di luar akal. Sedang mishdaq (ekstensi) adalah sesuatu yang darinya diambil suatu pahaman. Tambahan penjelasan: Salah satu perbedaan yang mencolok antara pahaman tahap pertama dan kedua adalah, pahaman tahap pertama mempunyai eksistensi di luar akal (karena pahaman tersebut memang diambil dari luar akal), sedang pahaman tahap kedua tidak mempunyai eksistensi di luar akal (sebab ia diambil dari pahaman juga, yakni pahaman tahap pertama). Pembagian ketiga dari tiga pembagian ilmu yang kami maksud adalah pembagian ilmu dilihat dari segi perlunya kepadapikiran atau tidak. Ketika kita melihat kembali informasi yang ada dalam akal kita, seperti langit, ada, manis, langit itu tinggi, lima adalah setengah dari sepuluh, dll;di sini kita tidak perlu menggunakan pikiran untuk memahami dan mempercayainya. Inilah yang kita sebut mu-dah, yaitu Ilmu yang untuk memahami atau mempercayainya tidak perlu menggunakan pikiran. Sesuai dengan contoh di atas, dapat dimengerti bahwa yang tidak memerlukan pikiran, mencakup gambaran dan keyakinan yaitu yang mengandung hukum dan yang tidak. Tetapi sebaliknya, ketika kita melihat lagi informasi yang ada, semacam ruh, aliran li-strik, bumi berputar, jumlah sudut segi empat sama dengan jumlah sudut lingkaran dll, di sini untuk memahami – yang mencakup gambaran dan merupakan syarat keyakinan, sebab tidak mungkin mempercayai sesuatu tanpa adanya kepahaman terlebih dahulu – dan untuk mempercayai – khusus untuk keyakinan – perlu adanya pemikiran. Inilah yang kita sebut ilmu perhitungan (Naazhari), yaitu Ilmu yang untuk memahami atau meyakininya perlu kepada usaha pemikiran. Tambahan Penjelasan Tentang Subyek Ilmu Logika: Dalam definisi ilmu perhitungan (nazhari) terdapat kata “…pikiran”. Apakah pikiran itu? Pikiran adalah Gerak akal dari yang diketahui (Maklum, Known) kepada yang tidak diketahui (Majhul, Unknown). Penjelasan: Semua informasi yang ada dalam akal kita dengan cara apapun kita mendapatkannya dan dalam tingkatan yang manapun, pada hakekatnya adalah ilmu. Dengan kata lain, ilmu adalah semua yang kita ketahui dalam akal kita. Maka dari itu, ketika akal menemukan suatu kesulitan, yaitu ingin mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya, ia berpikir. Pertama, ia – akal – membawa kesulitannya kepada kepustakaannya, yaitu informasi-informasi (ilmu) yang dipunyainya. Kedua, ia – akal – berusaha mencari jawaban kesulitannya di kepustakaan yang ia mi-liki, dengan memeriksa tiap sudut informasinya, sebelum kemudian memilih yang diang-gapnya sesuai. Ketiga, ketika akal sudah menemukan jawabannya, yang ia lakukan pada tahap kedua, maka ia kembali dengan membawa penemuannya itu kepada apa yang ia tidak ketahui (majhul) sebelumnya. Inilah yang dikatakan perjalanan (gerak) akal dari yang diketahui(ma’lum) kepada yang tidak diketahui (majhul). Para ahli logika muslim masa lalu, semacam Ibnu sina dan Farabi mengatakan: Subyek ilmu lagika adalah pengertian tahap kedua (ma’qulatu ats-tsaniah, secondary intele-gibles). Pernyataan mereka itu tidaklah bertentangan dengan pernyataan para ahli logika kontemporer yang menyatakan bahwa subyek pada ilmu logika adalah definisi dan argu-men. Sebab pada kenyatannya bahan dasar dari sebuah definisi dan argumen adalah pa-haman-pahaman yang berkenaan dengan pengertian tahap kedua. Sebagaimana yang akan anda pelajari dalam buku satu ini pengetahuan terhadap paha-man universal dan bagian-bagiannya merupakan bekal pokok untuk dapat membuat defi-nisi yang logis. Dan tanpa mengetahui seluk beluk pahaman universal, seseorang tidak akan mampu membuat satu definisi sekalipun. Begitu pula dengan sebuah argumen (lihat jilid 2). Sebab argumentasi adalah menerapkan kaidah atau statement universal kepada individunya. Sementara anda telah mengetahui bahawa pahaman universal termasuk pa-haman atau pengertian tahap kedua yang tiada berekstensi atau berwujud luar. Dengan demikian, disamping kita mengetahui bahwa kedua pernyataan diatas tidak bertentangan, kita juga dapat mengetahui bahwa gerak akal dari yang diketahui menuju yang belum diketahui, yakni dalam melacak informasinya guna mendapat jawaban kesu-litannya yang nantinya akan berbentuk definisi dan argumen, haruslah menembus kedae-rah pengertian tahap kedua. Hal ini menunjukkan bahwa pembahasan ilmu logika hanya-lah berkenaan dengan akal atau pahaman dalam akal. Sebab, sebagaimana maklum pa-haman tahap kedua tidak mempunyai ekstensi atau wujud luar. Inilah yang membedakan-nya dengan ilmu filsafat, karena subyek ilmu filsafat adalah wujud (ada) di luar akal. Dan kalau kadangkala ilmu – tentu yang ada dalam akal – dibahas oleh ilmu filsafat, di sana, yang dibahas bukanlah segi kewujudan ilmu itu dalam akal. Tetapi, dilihat dari segi keek-sistensian ilmu itu diluar akal. Yakni, melihat ilmu sebagai sifat akal. Sehingga karena akaladalah suatu wujud di luar akal maka ilmu yang merupakan sifat akal tersebut juga merupakan suatu wujud di luar akal. Dengan penjelasan diatas- mengenai subyek ilmu logika – dapat dipahami bahwa apa yang dikatakan para ahli logika masa lalu dan sekarang tidak ada perbedaan makna. Yaitu antara definisi dan argumen dengan ma qulatuts tsaniyah. Definisi Ilmu Para ahli banyak berbeda pendapat dalam mendefinisikan ilmu. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan segi dalam melihat ilmu yang mereka definisikan. Namun, yang demikian itu tidak harus disebabkan oleh kerancuan pandangan dan pengertian – lihat definisi ilmu logika dan bab definisi. Dan para ahli itu sama-sama mengerti bahwa definisi mereka itu tidak bertentangan. Bahkan, ada yang menyatakan, dan ini yang paling kuat yang diikuti sampai sekarang, bahwa ilmu tidak bisa didefinisikan. Pernyataan yang di-kemukakan oleh Mulla Shadra dan – setidaknya – Baba Afdhaluddin Kasyani. Karena pelanglangan kealam renungan perlu bekal yang cukup, maka komentar atas perbedaan pendapat itu kami tunda sampai pada kesempatan yang lain. Kemungkinan dalam men-genal filsafat, filsafat atau logika yang rinci. Bagi yang berminat untuk itu dan lain-lainnya kami anjurkan mengikuti terus pelajaran buku ini dengan seksama demi memper-banyak bekal seraya meminta ampun kepada Allah dan meningkatkan taqwa, demi mem-bersihkan ruh kita dan mencapai yang kita cari – sebenarnya. Sebab yang kita cari bukan ilmu yang tertulis, melainkan ilmu yang didefinisikan oleh Imam Ali as bahwa, “Ilmu itu adalah cahaya yang Allah berikan dalam hati yang Ia kehendaki”. Sedangkan Allah ber-firman, “Dan bertakwalah kamu kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kamu.”(QS. 2:282) Baiklah, kita kembali ke masalah pokok kita mengenai definisi ilmu. Dengan penjelasan terdahulu dapatlah dengan mudah kita mendefinisikan ilmu sebagai “Adanya Gambar Sesuatu Dalam Akal”. Penjelasan Kata “gambar” dalam definisi di atas, menunjukkan bahwa ilmu yang kita definisikan adalah ilmu hushuli bukan khudhuri. Sebab ilmu juga terbagi menjadi hushuli dan khud-huri. 1. Hushuli adalah pengetahuan terhadap sesuatu yang didapat oleh akal melalui gambarnya, bukan dianya. Misalnya, ilmu kita tentang manis, putih, wangi, panas, bunyi mobil dll. Perlu diketahui bahwa gambar sesuatu di sini merupa-kan lawan dari sesuatu itu sendiri, bukan gambar pada kata “gambar dinding” misalnya. 2. khudhuri adalah pengetahuan tentang sesuatu yang didapat oleh akal melalui diri sesuatu itu sendiri. Bukan gambarannya. Misalnya, pengetahuan (ilmu) ki-ta tentang keadaan jiwa kita sendiri, dari keberadaannya, senang-susahnya, benci-cintanya dst. Definisi Ilmu Logika Dengan uraian terdahulu dapatlah dipahami bahwa definisi ilmu logika adalah: Ilmu yang membahas aturan-aturan umum tentang kebenaran berpikir. Kadangkala dalam mendefinisikan sesuatu, kita melihat zat-zat yang dimilikinya. Ke-mudian kita jadikan zat-zat tersebut sebagai definisi. Definisi yang demikian disebut “de-finisi dengan batasan penuh”. Namun, kadangkala kita melihat hal-hal diluar zatnya yang ia miliki secara khusus. Kemudian kita jadikan sebagai bagian dari definisinya. Definisi yang demikian ini disebut “definisi dengan gambaran penuh”. Untuk lebih jelasnya lihat bab definisi dari buku ini. Maka dari itu dalam kitab-kitab ilmu ahli logika, dalam mendefinisikan ilmu logika terdapat perbedaan. Perbedaan itu ada karena adanya kelainan segi dalam memandang ilmu logika dan kelainan tujuan dari definisi masing-masing. Contoh, Syeikh Muzhaffar dalam mantiqnya mengatakan bahwa ilmu logika adalah: “Alat pengukur (penguji) yang dengan memperhatikannya terjagalah pikiran dari kesalahan”. Ibnu Sina sendiri dalam beberapa bukunya mendefinisikan ilmu logika ini dengan be-berapa definisi. Ia melakukannya dengan pandangan yang berbeda dari setiap sudut yang memungkinkan, dan dengan tujuan-tujuan tertentu pula. Karena buku ini merupakan pe-mula – yang kami beri nama Ringkasan Logika Muslim – maka walaupun banyak hal yang harus kami sajikan dalam masalah definisi ilmu logika ini, terpaksa tidak dapat kami lakukan. Mudah-mudahan buku lanjutan dari buku ini dapat menyajikannya kepada saudara-saudara sesuai dengan rencana kami, Insya Allah. Alhasil, - kecuali sebagian de-finisi yang mungkin memang salah – perbedaan definisi dalam mendefinisikan apa saja dalam kitab para ahli ilmu logika atau filsafat, tidak menunjukkan adanya kerancuan pan-dangan terhadap hakekat sesuatu yang mereka definisikan. Artinya, semua definisi itu sudah sesuai dengan syarat-syaratnya. Hubungan Ilmu Logika Dengan Ilmu-ilmu Lainnya Perbedaan pendapat terjadi di kalangan ahli ilmu logika baik muslin atau non muslim dalam memposisikan ilmu logika. Ada yang mengatakan sebagai ilmu tersendiri, dan ada yang mengatakan pula sebagai ilmu alat. Artinya, ilmu yang digunakan dan dipersiapkan untuk ilmu-ilmu lainnya. Semacam pisau, yang dibuat dengan tujuan sebagai alat memo-tong. Tetapi, ada juga yang memadukan keduanya, yaitu dari satu segi sebagai ilmu ter-sendiri (mustaqil) dan dari segi lain sebagai ilmu alat. Pada hakekatnya pikiran ketiga inilah yang benar. Sebab tidak dilihat dari segi pemba-hasannya – logika – mengenai aturan-aturan umum berpikir; di sini pembahasannya ter-sendiri. Namun, dilihat dari segi kegunaan ilmu logika sebagai alat guna menarik kesim-pulan-kesimpulan universal bagi setiap ilmu, maka ia sebagai ilmu alat. Kesimpulnnya, di samping ilmu logika sebagai ilmu tersendiri, ia juga sebagai alat bagi ilmu-ilmu yang lain. Hal inilah yang mungkin ingin diterangkan oleh para ahli ilmu logika muslim, termasuk Al-Farabi dan Ibnu Sina, sehingga mereka dalam beberapa buku karangan mereka sendiri, disatu tempat dengan tempat yang lainnya, berbeda mendefini-sikan logika, yakni di satu tempat mengatakan sebagai ilmu tersendiri, dan ditempat lain mengatakan sebagai ilmu alat. Hal mana akhirnya, menimbulkan istilah bahwa ilmu logika itu adalah “ilmunya ilmu”. Begitu juga dikalangan non muslim istilah ini ada dan tersebar, seperti yang dikatakan Francis Bacon, “L’art de tous les arts” – lihat halaman 487 dalam Cours de la Philosophie, karangan Lahr. Kesimpulannya, di samping sebagai ilmu, yang pembahasannya tersendiri, ilmu logika juga sebagai alat bagi ilmu-ilmu yang lain, apapun bentuk dan rupa ilmu-ilmu itu. Baik geografi, fisika, matematika atau filsafat dll. Di sinilah kita harus pandai-pandai menerapkan ilmu logika ini dalam disiplin ilmu apa saja. Sebab tujuan pokonya adalah meluruskan pikiran kita dalam memikirkan bermacam masalah dan keilmuan. PEMBAHASAN LAFAZH (KATA) Sebenarnya yang diperlukan dalam pembahasan ilmu logika adalah makna dari suatu kata, bukan kata-kata itu sendiri. Akan tetapi, kita perlu membahas kata-kata itu secara umum – tanpa melihat dari segi bahasa tertentu. Hal itu disebabkan, adanya kata-kata di-perlukan untuk mencapai makna, dan dalam memahamkan sesuatu, satu sama lain di an-tara kita memerlukan kata-kata. Tujuan lain yng lebih penting dari itu adalah agar kita mempunyai gambaran dan pen-gertian penuh atas hakekat dam posisi lafazh itu sendiri, sehingga dalam mencari hakekat (essensi) sesuatu atau mempercayai suatu proposisi universal kita tidak dipengaruhi oleh bentuk rupa dan indahnya. Bentuk dan rupa kata-kata bias beragam, bahkan mungkin be-rubah walaupun dalam satu bahasa tertentu. Maka seandainya makna – hakekat – sesuatu kita ukur dengan kata-kata, maka hakekat sesuatu itu juga bisa beragam. Padahal hakekat (essensi) setiap sesuatu harus satu dan tidak beragam. Perlu diketahui, bahwa salah satu dari pembagian wujud, adalah wujud dibagi menjadi Wujud Hakiki dan Wujud Bukan Hakiki (I’tibari). 1. Wujud Hakiki Yaitu kewujudan sesuatu yang tidak dibuat-buat. Wujud hakiki ini dibagi menjadi dua: (i) Wujud luar akal Wujud luar akal adalah wujud yang ada diluar akal, semacam langit, rumah, pena dll. Wujud ini disebut dengan “wujud luar”. Maka dari itu untuk menyelamatkan dari kerancuan pembahasan, kadangkala para ahli logika mengatakan “Rumah khariji” (“rumah luar” atau “rumah luar akal”). (ii) Wujud dalam akal Wujud dalam akal yaitu gambar-gambar dari “wujud luar” yang ada di dalam akal kita. Semacam gambaran (ilmu) akal tentang langit, rumah dll. Wujud ini disebut wu-jud dzihni (“wujud dalam” atau “wujud dalam akal”). Untuk membedakan dengan wujud luar, para ahli logika kadangkala mengatakan “rumah dzihni” (“rumah dalam” atau “ rumah dalam akal”). 2. Wujud Bukan Hakiki Yaitu wujud yang dibuat-buat. Wujud ini juga dibagi menjadu dua: (i) Wujud kata (Lafazh) Manusia – satu sama lain – untuk mengutarakan pikiran dan keinginannya tidak bisa selalu membawa makna-makna alias wujud luar. Bahkan, kadangkala tidak mampu melakukannya – misalnya ingin mengatakan bahwa laut itu luas, sedang ia ditempat yang jauh dari laut. Maka, manusia perlu kepada sesuatu yang lain, demi memudahkan komunikasinya. Kekuatan fitrahnya telah membuat manusia mampu membuat sesuatu yang diperlukannya tersebut. Hasil buatan manusia inilah yang disebut “kata”. Wujud ini adalah wujud yang di-buat-buat oleh manusia sesuai dengan kesepakatannya. Karena itulah hasil kesepaka-tan tersebut berbeda antara kelompok dengan kelompok yang lain. Kesepakatan yang dibuatnya telah membuat “kata” mempunyai hubungan erat den-gan maknanya. Sehingga, ketika kita mendengar katanya – misalnya, “langit” – seakan kita melihat makna yang dikandungnya itu sendiri. Jadi, kata-kata berfungsi men-datangkan makna dalam akal pendengarnya. (ii) Wujud tulisan (Katbi) Dengan kata – hasil penemuannya – manusia belum dapat mencukupi segala keper-luan komunikasinya, karena kata-kata hanya dapat dipakai dalam komunikasi jarak dekat atau langsung, sedangkan komunikasi yang diperlukannya mencakup yang tidak langsung. Karena keperluannya itulah akhirnya manusia membuat lagi sesuatu yang baru untuk melambangkan – mewakili – kata-kata itu, sehingga akhirnya mencapai makna. Inilah yang disebut “tulisan”. Jadi, untuk mengutarakan pikiran dan keinginannya yang tidak langsung – kepada yang jauh atau akan dating – manusia menggunakan tulisan untuk mendatangkan ka-ta-kata, yang dengan kedatangan kata-kata tersebut akan datang pula makna yang di-inginkannya pada akal pembaca tulisannya. Dalil Ketika anda melihat asap, pikiran anda beralih pada suatu wujud lain, yaitu api. Hal ini tidak lain karena asap itu merupakan petunjuk atau pendalil terhadap wujud api tersebut. Dengan contoh diatas kita dapat memposisikan – mengkhususkan – masing-masing ba-gian pada kejadian itu dalam posisi berikut: 1. Asap berfungsi sebagai pendalil. 2. Api berfungsi sebagai yang didalili. 3. Tabiat (sifat) asap yang membawa akal kita kepada api disebut sebagai dalil. Begitulah, setiap yang anda ketahui – baik dari penglihatan, pendengaran, penciuman dan lain-lain – yang dengan mengetahuinya akal anda berpindah darinya kepada suatu yang lain, kita katakana sebagai pendalil, dan yang anda ketahui berikutnya sebagai yang didalili atau yang ditunjuki, sedangkan sifat yang dimiliki – yaitu yang memindahkan akal kita kepada yang didalili disebut dalil. Dengan demikian kita dapat mendefinisikan dalil sebagai: Sesuatu yang kalau diketa-hui, akal akan mengetahui sesuatu yang lain. Pembagian Dalil Sebab dari perpindahan akal di atas, adalah pengetahuan akal itu sendiri terhadap erat-nya hubungan di dalam akal antara pendalil dan yang di dalili. Sedang keeratan itu sendiri disebabkan oleh pengetahuan akal tentang keeratan keduanya di luar akal. Karena keeratan keduanya – pendalil dan yang didalili – bermacam-macam bentuknya, maka dalil dibagi menjadi tiga: Aqliyah (secara akal), Natural (Thabi’iyah) dan wadh’iyah (peletakan), dan masing-masing dibagi menjadi bersuara dan yang tidak. 1. Dalil Aqliyah – Secara Akal Dalil aqliyah adalah kalau keeratan antara pendalil dan yang didalili, di luar akal, me-rupakan keeratan zati atau hakiki, seperti efek dan pengefek. Ketika kita melihat bekas tapak kaki atau rambu di jalan yang keduanya merupakan efek, akal kita berpindah da-rinya kepada suatu yang lain, yaitu adanya orang yang berjalan atau adanya pembuat rambu – yang keduanya sebagai pengefek. Maka, bekas tapak kaki dan rambu befungsi sebagai pendalil terhadap adanya orang yang berjalan atau pembuat rambu, dengan dalil akal. Hasil dalil akal tidak bisa berbeda pada setiap orang. Dalil akal ini dibagi menjadi dua: (i) Dalil aqliyah yang bersuara Yaitu yang pendalilnya berupa suara atau bisa didengar. Seperti kalau kita menden-gar suara orang berbicara di luar rumah yang tak nampak, kita dengan pendengaran tadi dapat mengetahui adanya orang yang berbicara di luar rumah tersebut. (ii) Dalil aqliyah yang tak bersuara Yaitu yang pendalilnya tidak berupa suara. Seperti bekas tapak kaki, dan rambu ja-lan pada contoh di atas. 2. Dalil Tabiat (Thabi’iyah, Natural) Dalil natural adalah kalau keeratan antara pendalil dan yang didalili, di luar akal, meru-pakan keeratan yang sesuai dengan tabiat manusia. Seperti kalau kita mendengar kata “aduh”, akal kita berpindah darinya kepada suatu yang lain, misalnya orang yang mengu-capkan kata tadi kesakitan atau keheranan dan lain-lain. Hasil dalil tabiat bisa berbeda sesuai dengan natural atau kebiasaan masing-masing orang, kelompok, suku, atau bangsa. Seperti kata “ah” bagi bangsa kita Indonesia ber-makna kesal, kecewa dll. Namun, bagi orang Arab bermakna atau menunjukkan rasa sakit. Dalil tabiat ini dibagi menjadi dua: (i) Dalil tabiat yang bersuara Yaitu yang pendalilnya berupa suara. Seperti “aduh” pada contoh di atas. (ii) Dalil tabiat yang tidak bersuara Yaitu yang pendalilnya tidak bersuara, seperti pucat pada wajah, yang bermakna orang tersebut malu, takut dan lain-lain. 3. Dalil Peletakan (Wadh’iyah) Dalil peletakan adalah kalau keeratan antara pendalil dan yang didalili merupakan kee-ratan yang timbul karena pengistilahan atau peletakan, yang menjadikan adanya salah satu dari keduanya – pendalil – sebagai dalil terhadap wujud yang lain – yang didalili. Seperti kata “buku” mempunyai hubungan erat dengan maknanya karena peletakan, bukan hubungan hakiki atau natural. Dengan dasar bersuara atau tidaknya dalil ini juga dibagi menjadi dua: (i) Dalil peletakan yang bersuara, yaitu yang pendalilnya berupa suara. Semacam kata “buku” pada contoh di atas. (ii) Dalil peletakan yang tidak bersuara, yaitu yang pendalilnya tidak be-rupa suara. Semacam kata “buku” yang dituliskan , atau semacam rambu jalan, misalnya penunjukan tanda berhenti, belok kanan, dan lain-lainnya. Peringatan! Dengan melihat rambu-rambu jalan, kita dapat mengetahui dua hal. Pertama, kita mengetahui bahwa ada orang yang membuat rambu-rambu tersebut. Dalil yang demikian adalah dalil aqli. Kedua, kita mengetahui bahwa kita disuruh berhenti atau belok kanan, misalnya. Maka dalil ini adalah dalil peletakan. Dalil Kata Peletakan Dengan penjelasan terdahulu dapat dipahami bahwa perpindahan akal dari suatu kata kepada maknanya – pada dalil peletakan – terjadi karena hubungan yang sangat erat anta-ra keduanya. Sehingga kalau kita mendengar katanya seakan kita melihat maknanya. Be-gitu pula kalau kita melihat maknanya seakan datang pula kata itu pada pikiran kita. Per-pindahan itu bisa terjadi hanya pada akal yang mengetahui hubungan keduanya. Dengan demikian kita dapat mendefinisikan bahwa dalil kata peletakan (wadh’iyah) – yang bersuara atau tidak – adalah “Suatu kata yang dengan mengetahuinya dari pembi-cara atau penulis – dapat mengetahui makna yang dimaksud. Pembagian Dalil Kata Dilihat dari segi cocok tidaknya suatu kata pada maknanya, kata dibagi menjadi tiga: 1. Dalil kata cocok (muthabiqiyah) Dalil kata cocok adalah kata yang menjadi pendalil terhadap seluruh makna yang memang telah diletakkan semula. Seperti, pendalilan kata “buku” terhadap seluruh maknanya. Maka masuklah kulitnya, tulisan atau gambarnya, dan seluruh kertasnya. “Dalil cocok” ini sebenarnya merupakan asal dari peletakan suatu kata. Sedangkan kedua dan ketiga dalam pembagian berikut merupakan cabang dari dalil cocok ini. 2. Dalil kandungan atau bagian (tadhamuniyah, implication) Dalil kata kandungan adalah kata yang menjadi pendalil terhadap sebagian makna awal. Misalnya pada kalimat “buku anda merah”, kata “buku” hanya menjadi pendalil terhadap kulitnya saja. 3. Dalil kata kelaziman (iltizam, concomitance) Dalil kata kelaziman adalah kata yang menjadi pendalil terhadap suatu makna yang bukan maknanya, baik cocok atau bagian, namun merupakan kalaziman makna asal-nya. Seperti pendalilan kata air terhadap gelas pada kalimat, “berilah aku air”. Syarat-syarat dalil kata kelaziman antara lain: 1. Kelaziman antara arti kata dan arti kelazimannya merupakan kelaziman dalam ak-al. Jadi, kelaziman keduanya tidak boleh hanya di luar akal. 2. Kelaziman antara keduanya harus merupakan kelaziman yang jelas; yakni begitu menggambarkan makna pertama, ia – akal – langsung dapat menggambarkan makna kedua yang menjadi kelazimannya. Pembagian Kata (Lafazh) Pembahasan kata yang selalu dibahas setelah pembahasan dali adalah pembagian kata. Pembagian terpenting pada kata ada tige bagian. Karena dalam pembagian kata kadang-kala kita melihat dari segi bahwa kata itu satu, kata itu berbilang atau dari segi mutlaknya – bukan satu atau berbilangnya. Pembagian Pertama Dilihat Dari Segi Satunya Kata Kalau kita menggabungkan satu kata dengan artinya, terdapat lima pembagian pada ka-ta. Hal ini disebabkan, arti atau makna tersebut terkadang hanya satu, sebagaimana ka-tanya – yang kemudian disebut dengan kata khusus (mukhtash) – dan kadangkala makna tersebut berbilang – lebih dari satu. Sedang kalau berbilang, mempunyai empat pemba-gian: Persekutuan (musytarak), Perpindahan (manqul), Improvisasi (murtajal), hakiki dan majazi. 1. Kata Khusus (Mukhtash) Kata khusus adalah kata yang mempunyai satu makna. Misalnya, gunung, manusia, binatang, dll. 2. Kata Persekutuan (Musytarak) Kata persekutuan adalah kata yang mempunyai makna berbilang sejak dari asal. Artinya, tidaklah yang satu mendahului yang lainnya dalam arti menirukannya kemu-dian. Misalnya kata “buku” yang bermakna tulang sendi; bagian yang keras pada per-temuan dua ruas; butir; beberapa helai kertas yang terjilid dll. 3. Kata Perpindahan (Manqul) Kata perpindahan adalah kata yang dipindahkan dari makna awal atau asalnya, ka-rena adanya hubungan antara makna awal dengan makna kedua. Perpindahan ini dis-yarati dengan perpindahan yang benar-benar. Artinya, ketika kita mendengar katanya, maka makna kedualah yang mendahului datang ke akal kita. Misalnya kata “Kodak” yang arti asalnya adalah nama merk dari salah satu kamera. Kata tersebut kemudian berpindah dari makna asalnya menjadi kamera itu sendiri. Makna kedua ini lebih cepat datang ke akal kita sewaktu kita mendengarkan kata tersebut, serta tidak mem-bayangkan arti asalnya. Perpindahan kepada makna kedua itu mempunyai hubungan, yaitu karena kedua mempunyai fungsi sebagaimana makna pertama – alat untuk me-motret. 4. Kata Improvisasi (Murtajal) Kata improvisasi adalah kata yang dipindahkan dari makna asalnya kepada makna kedua dengan tanpa adanya hubungan antara keduanya. Kata improvisasi ini keba-nyakan terdapat pada nama-nama, misalnya pada nama “shiddiq” yang artinya jujur, padahal si empunya mana mungkin pembohong. Begitu juga pada nama-nama seperti Abdullah (hamba sahaya Allah), Abdurrahman (hamba sahaya Yang Maha Pengasih), dan sebagainya, yang peletakannya tidak memperhatikan kaitan dan hubungan antara kedua maknanya. 5. Kata Hakiki dan Majazi Kata hakiki dan majazi adalah kata yang mempunyai makna berbilang, tetapi pada asalnya kata tersebut hanya diletakkan pada salah satu maknanya. Kemudian, kata itu diletakkan pada makna yang lain karena adanya hubungan antara kedua makna terse-but. Namun, peletakan pada makna kedua tidak sampai menimbulkan perpindahan dan peletakan yang mandiri sebagaimana makna pertama. Peletakan kata pada makna pertama – yang asal dan mandiri – disebut dengan “hakiki”; misalnya, kata singa yang diletakkan pada binatang buas mirip macan. Sedang peletakan pada makna kedua – yang tidak asal atau tidak mandiri – disebut dengan majazi. Seperti kata singa yang diletakkan pada seseorang yang mempunyai sifat pemberani. Perhatian! 1. Kata persekutuan, majazi dan improvisasi tidak bisa dibuat definisi – batasan – dan argumen, kecuali kalau diiringi dengan suatu alamat (tanda) yang menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah bukan makna asal. Akan tetapi kalu improvisasi berubah menjadi perpindahan (manqul), maka tidak perlu adanya alamat tersebut, karena perubahan kepada perpindahan itu sendiri merupakan suatu alamat yang menjelaskan maksudnya. 2. Kata Majazi memerlukan alamat dalam pemakaiannya, meski tidak untuk definisi dan argumen. 3. Kata perpindahan dibagi menjadi dua: 1. Perpindahan “ditentukan” (ta’yini), yaitu perpindahan yang awalnya dila-kukan oleh orang tertentu. Perpindahan ditentukan ini sering terjadi pada setiap disiplin ilmu. 2. Perpindahan “tertentukan” (ta’ayyuni) yaitu perpindahan yang sejak awal dilakukan oleh sekelompok manusia dengan tanpa bermaksud memandiri-kan peletakannya, akan tetapi karena sering dipakai dan menjadi terkenal, maka terjadi perpindahan dari makna asalnya kepada makna yang kedua. Pembagian Kedua Dilihat Dari Segi Berbilangnya Kata Maksud dari pembagian kata ini – dilihat dari segi berbilangnya kata – adalah pemba-gian yang didasari oleh perbandingan kata dengan kata yang lain. Artinya, kita memban-dingkan satu kata dengan kata yang lain, sehingga dapat kita ketahui adakah di antara kata-kata itu yang mempunyai kesamaan arti atau tidak. Beberapa kata yang sama arti dis-ebut “persamaan” misalnya jagat, dunia, alam; dan yang tidak sama artinya disebut “ per-bedaan”; misalnya jagung, langit, dan lain-lain. 1. Persamaan (Taraduf, Muradif, Synonym, Sinonim) Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kata persamaan adalah, “Persekutuan beberapa – lebih dari satu – kata dalam satu makna”. Misalnya, jagat-dunia, jadwal-daftar-tabel dan lain sebagainya. 2. Perbedaan (Mutabayin, Divregent) Dengan penjelasan di atas dapat pula dipahami bahwa kata perbedaan adalah, “Setiap kata mempunyai satu makna” atau “Jumlah makna sesuai dengan jumlah kata”. Contoh: rumah, gunung, dll. Perhatian! Perbedaan yang dimaksud di sini, bukan perbedaan yang dimaksud dalam bab yang akan datang, yaitu pada bab “Empat Perhubungan”, yang membahas bertemu tidaknya beberapa – lebih dari satu – kata dalam satu ekstensi (individu). Sebab di sini beberapa kata yang berbeda arti, walaupun bertemu dalam satu ekstensi tetap dikatakan perbedaan, misalnya manusia dan rasional, berbeda dengan perbedaan di “Empat Perhubungan”. Bagian-bagian Kata Perbedaan Karena perbedaan antar kata mengikuti perbedaan antar makna, dank arena hubungan antar makna mempunyai pembagian: Persamaan, ketidaksamaan dan pertentangan, maka perbedaan kata juga terbagi menjadi tiga: 1. Perbedaan Persamaan (Tamatsul, Mitslan) Perbedaan persamaan adalah beberapa kata yang berbeda makna, namun kita memper-hatikan – memandang – kesamaan essensi atau bagian essensi atau sifat-sifat yang mereka miliki; dan tidak memperhatikan – memandang – perbedaan yang dimiliki. Misalnya: Ahmad, Hasan, Ammar dan lain-lain yang mempunyai kesamaan essensi yaitu sebagai manusia. Sedang perbedaan yang ada tidaklah kita lihat – perhatikan. Misalnya, dari segi nama, pekerjaan, umur, sifat, dll. Sedang contoh bagi kesamaan dalam bagian essensi adalah kuda dan manusia. Kalu kita lihat kesamaannya, yaitu kesamaan dalam bagian es-sensi keduanya – sebagai binatang – maka kuda dan manusia menjadi perbedaan persa-maan. Akan tetapi kalau kita memandang perbedaannya maka akan menjadi perbedaan ketidaksamaan. (Lihat bagian berikut). Tambahan Kalau kesamaan dalam perbedaan di atas terdapat pada spesies (nau’) maka disebut “perserupaan”. Tapi kalau terdapat pada jenis (genus) disebut “perjenisan”(mutajanis) dan kalau terdapat pada jumlah disebut “kesamaan” (mutasawi) serta kalau terdapat pada keadaan (kaif, quality) disebut dengan mutasyabih (serupa). Sedang nama untuk keselu-ruhan disebut perbedaan perserupaan atau perbedaan persamaan (tamatsul, mitslan). Hukum dari perbedaan persamaan atau perserupaan ini adalah “Tidak bida berkumpul – bersatu”. 2. Perbedaan Ketidaksamaan (Mutakhalif) Perbedaan ketidaksamaan adalah beberapa kata yang berbeda dan dilihat dari segi per-bedaannya; jadi tidak dilihat dari segi persamaannya baik mempunyai kesamaan dalam satu essensi atau bagian essensi atau sifat-sifatnya. Misalnya, Ahmad, Hasan, Ali, Ammar, dan lain-lain. Walaupun mereka sama dalam essensi mereka, yaitu sebagai manusia, tetapi kita tidak melihat dari segi persamaannya, melainkan kita melihat dari segi perbedaannya. Seperti perbedaan pada nama, tinggi, orang tua, berat, warna kulit, pekerjaan dan lain-lain. Contoh lain adalah kuda dan manusia, perbedaannya adalah manusia sebagai binatang rasional, sedang kuda sebagai binatang meringkik, misalnya. Hukum perbedaan ketidaksamaan adalah “Tidak bisa berkumpul kecuali bila terjadi pada sifat”. Contoh dari perbedaan ketidaksamaan yang berkumpul adalah putih dan manis yang berkumpul pada gula misalnya; atau hijau dan pahit yang berkumpul pada empedu; dan lain sebagainya. 3. Perbedaan Pertentangan (Taqabul) Perbedaan pertentangan adalah beberapa kata yang berbeda makna dan tidak bisa ber-kumpul di satu tempat, waktu dan segi. Seperti: Manusia dan bukan manusia, melihat dan buta, atas dan bawah, hitam dan putih, dan seterusnya. Penjelasan tiga syarat di atas: 1. Disyaratkan dengan satu tempat, untuk mengangkat kemungkinan berkumpulnya beberapa makna dalam satu waktu tapi berlainan tempat. Seperti, Ahmad ada (di kelas) dan tidak ada (di rumah) pada jam 5 tepat. 2. Disyaratkan dengan satu waktu, untuk mengangkat kemungkinan berkumpulnya beberapa makna dalam waktu yang berbeda. Seperti, panas dan dingin pada satu tempat dalam waktu yang berbeda. 3. Sedang syarat satu segi adalah untuk mengangkat kemungkinan berkumpulnya beberapa makna – lebih dari satu – dari segi yang berlainan. Seperti atas dan ba-wah yang berkumpul pada lantai dua, misalnya. Lantai dua dikatakan atas dari – segi memandang – lantai pertama, sedang dikatakan bawah dari – segi meman-dang – lantai tiga dan seterusnya. Begitu juga seperti ayah dan anak bisa berkum-pul pada Ahmad – misalnya – namun, dikatakan ayah dilihat dari segi anaknya, sedangkan dikatakan anak dari segi ayahnya. Perbedaan Pertentangan dibagi menjadi empat: 1. Pertentangan perlawanan (naqidhan) Adalah pertentangan antara positif dan negatif. Seperti manusia dan bukan manu-sia, buku dan bukan buku, dll. Pertentangan (Naqidhan) adalah dua makna yang bersifat wujud dan bukan wujud, yaitu bukan wujud dari wujud pertama. Hukum pertentangan adalah “Tidak bisa ber-kumpul dan tidak bisa terangkat kedua-duanya”. Maksudnya adalah tidak ada suatu wujud yang bisa disifati dengan kedua-duanya dan juga bisa lepas dari keduanya. Misalnya, alam. Maka ia tidak bisa kita katakana manusia dan bukan manusia seka-ligus. Begitu juga kita tidak bisa mengangkat manusia dan bukan manusia daripa-danya. Yaitu kita katakan “Alam adalah bukan manusia dan bukan bukan manusia”. Maka dari itu alam – dalam contoh tersebut – tidak bisa disifati dengan manusia dan bukan manusia sekaligus, begitu juga ia tidak bisa lepas dari keduanya. Alhasil alam harus mempunyai satu diantara keduanya, yaitu bukan manusia. 2. Pertentangan pemilikan dan tidak (Malakah wa ‘Adamuha) Pertentangan pemilikan dan tidak adalah dua hal yang salah satunya merupakan wujud yang menyifati sesuatu yang sesuai untuk disifati, dan yang satu merupakan ketidakwujudan dari wujud yang pertama, pada sesuatu yang sesuai untuk disifati ter-sebut. Misalnya, melihat dan buta. Melihat adalah suatu wujud yang hanya dapat menyifa-ti sesuatu yang sesuai untuk disifati. Sedang buta adalah ketidakwujudan dari wujud yang pertama – malihat – pada sesuatu yang sesuai untuk disifati tersebut. Seperti manusia dan binatang lainnya. Tetapi kalau pada sesuatu yang tidak sesuai untuk dis-ifati – seperti pohon – tidak bisa dikatakan buta. Apalagi melihat. Maka dari itu pertentangan pemilikan dan bukan pemilikan bisa dikatakan terhadap sesuatu yang sesuai untuk disifati saja. Dengan demikian hukum pemilikan dan bukan pemilikan adalah “Tidak bisa berkumpul tetapi bisa terangkat kedua-duanya”. Seperti melihat dan buta terangkat pada pohon, sebab pohon tidak bisa dikatakan buta, ka-rena ketidaksesuaian tadi. 3. Pertentangan kontra (Dhiddan, Contrary) Adalah dua hal yang sama-sama berupa wujud yang saling bergantian menyifati se-suatu (maudhhu’, subject), dan untuk memahami yang satu tidak perlu membayang-kan yang lain. Seperti, panas dan dingin, hitam dan putih, wanita dan pria, dll. Perlu diketahui bahwa: 1. Pertentangan kontra selalu berupa sifat. 2. “Saling bergantian”, yakni kalau yang satu datang maka yang lain pergi. Bukan kalau yang satu pergi yang lain datang. 3. Perbedaan keduanya harus merupakan perbedaan puncak. Seperti hitam dan putih, tidak seperti putih dan cokelat, merah dsb. Sebab “pertentan-gan” merupakan hubungan dari dua sesuatu, bukan merupakan hubungan dari banyak hal – sesuatu. Hukum pertentanga kontra adalah “Tidak bisa berkumpul, tapi bisa terangkat kedua-duanya”. Semacam warna hitam dan putih, terangkat pada benda yang berwarna merah misalnya. 4. Pertentangan Mutadhayifain Pertentangan ini adalah “dua wujud yang untuk memahami – membayangkan – sa-lah satunya haruslah memahami – membayangkan – yang lainnya”. Seperti ayah dan anak, atas dan bawah, dll. Hukum pertentangan mutadhayifain ini adalah “Tidak bisa berkumpul tetapi bisa terangkat”. Seperti rumah, pohon adalah bukan ayah dan bukan anak. Begitu juga Tuhan bukan di atas dan bukan di bawah Pembagian Ketiga Dilihat Dari Mutlaknya Kata Maksud dari pembagian ini – dilihat dari segi mutlaknya kata – adalah pembagian yang didasari atas perbandingan kata yang mutlak – tidak dilihat dari satu atau banyaknya kata – dengan maknanya. Maksud pembagian tersebut adalah untuk mengetahui adakah ba-gian katanya menunjukkan atau menjadi pendalil terhadap bagian maknanya atau tidak. Dengan dasar demikian, kata dibagi menjadi dua: Tunggal dan majemuk. 1. Kata Tunggal (Mufrad, Singular) Kata tunggal atau mufrad adalah “kata yang bagiannya tidak menunjukkan bagian maknanya”. Misalnya: Ali, Abdullah, rumah, alam, dll. Penjelasan: Seperti pada definisi di atas, kata tunggal adalah kata yang bagiannya tidak menunjuk-kan (menjadi penunjuk) kepada bagian maknanya. Mialnya kata Ali. Kalau kita perhatikan kata Ali merupakan gabungan dari A, L, dan I, dari AL dan I, atau A dan LI. Kemudian, kalau kita lihat makna dari kata Ali, kita juga menjumpai suatu wujud yang terdiri dari bagian-bagian, kepala, tangan, kaki, dsb. Sekarang, kalau kita perhatikan bagian kata Ali, dan kita hubungkan dengan bagian maknanya, dapat kita ketahui bahwa bagian kata Ali tersebut tidak menunjukkan (menjadi penunjuk) kepada bagian manapun dari maknanya. Begitu pula, kata Abdullah – sebagai nama orang – dll. Inilah yang dimaksud dengan kata tunggal dalam istilah logika. Bagian-bagian kata tunggal Kata tunggal dibagi menjadi tiga: 1. Kata Nama (ism) seperti air, langit, Ali, sekolah, dll. 2. Kata kalimat (The word, the verb), seperti pergi, tidur, makan, dll. Dalam isti-lah bahasa disebut “kata kerja”. 3. Kata Alat (addaatun, the particle, the instrument). Seperi dengan, di, ke, dll. Dalam istilah bahasa disebut “kata Bantu”. 2. Kata Majemuk (Murakkab, Compound) Kata ganda atau murakkab adalah “kata yang bagiannya menunjukkan bagian mak-nanya”. Misalnya, rumah besar, langit tinggi, Ali pandai, Fathimah pergi ke pasar, Abdul-lah – sebagai julukan – dll. Penjelasan: Denga memperhatikan penjelasan pada kata tunggal dapatlah dengan mudah anda mengetahui kata majemuk dalam istilah ini. Yaitu kata yang bagiannya menunjukkan (menjadi petunjuk) kepada bagian maknanya. Seperti pada “Ali pandai” terdapat rangka-pan “Ali” dan “pandai”. Kata Ali menunjukkan kepada pribadi Ali-nya, sedang kata pan-dai menunjukkan kepada sifatnya, yaitu kepandaiannya. Kata majemuk disini – ilmu lo-gika – tidak sama dengan kata majemuk dalam istilah bahasa. Bagian-bagian kata majemuk Kata majemuk dibagi menjadi dua: 1. Lengkap (taam), yaitu kalimat sempurna. Seperti, Ali itu pandai, rumah itu suci, dll. 2. Kurang (naqish), yaitu kalimat yang tidak sempurna. Seperti “Kalau Ali da-tang…”, “Harga setiap insane…”, dll. Kata Majemuk lengkap dibagi menjadi dua: (i) Proposisi (khabar, proposition). Yaitu kalimat yang bisa disifati dengan benar atau salah, alias gabungan DHH. Lihat pembagian ilmu tashawuri dan tashdi-qi. Seperti, “Ali seorang alim”. (ii) Kalimat keinginan (insya’). Yaitu kalimat yang tidak bisa disifati dengan benar atau salah, alias hubungan bukan hukum. Seperti “Tulislah!”, “Apakah kamu seorang sarjana?” dan lain-lain. PAHAMAN DAN EKSTENSI Sebagaimana telah kami terangkan dalam bab-bab terdahulu, bahwasanya wujud dalam akal merupakan pahaman dari wujud luar akal, sudah tentu keduanya mempunyai efek yang berbeda. Seperti api, di luar akal ia mempunyai efek membakar, menyinari dan lain sebagainya. Akan tetapi di dalam akal, ia – api – tidak mempunyai efek tersebut, bahkan mempunyai efek lain, misalnya menakutkan. Wujud dalam akal itulah yang disebut pa-haman, sedang wujud luar disebut ekstensi. Dengan demikian kita dapat mendefinisikan – walaupun bukan dengan definisi hakiki, lihat definisi ilmu dan bab definisi – bahwa pahaman (mafhum) adalah “Gambar sesuatu dalam akal yang diambil dari Hakekat (wujud) sesuatu di luar akal”. Misalnya Ahmad, manis, panas, suara ibu, harumnya bunga dan lain-lain. Sedangkan ekstensi (mishdaq) sebagai “Hakikat (wujud) sesuatu yang kepadanya pa-haman bisa diterapkan” atau “Hakekat (wujud) sesuatu yang darinya diambil suatu pa-haman”. Misalnya Ahmad, manis, panas, suara ibu, harumnya bungan dan lain-lain. Hubungan Pahaman dan Ekstensi Adalah kecocokan pahaman itu sendiri dengan ekstensinya. Misalnya manusia, sebagai pahaman, berarti binatang rasional. Sedang hakekat (wujud) sesuatu yang kepadanya bisa diterapkan pengertian (pahaman) manusia atau binatang rasional, merupakan ekstensinya. Misalnya Ahmad, Ali, Ja’far, dsb. Perhatian! Istilah pahaman dan ekstensi di atas banyak dipakai dalam peristilahan logika dan filsa-fat. Namun, ada istilah lain yang jarang digunakan. Istilah tersebut adalah ekstensi yang bermakna umum “Sesuatu yang darinya diambil pahaman”. Istilah ini tidak hanya men-cakup wujud luar, tetapi juga wujud dalam, seperti ilmu panca indera (hissi) dan penger-tian tahap pertama. Sebab, pengertian tahap pertama diambil dari ilmu panca indera, se-dang pengertian tahap kedua diambil dari pengetahuan tahap pertama. Pembagian pahaman Pahaman dilihat dari segi ekstensinya dibagi menjadi dua. Sebab, pahaman terkadang mempunyai satu ekstensi saja sedang yang lain tidak. Denga demikian pahaman dibagi menjadi dua, partikulir dan universal. 1. Pahaman Partikulir (Juzi) Pahaman partikulir adalah “Suatu pahaman yang mempunyai satu ekstensi”. Seperti pahaman Ahmad, Jakarta, Indonesia, buku ini dan lain-lain. Pahaman partikulir dibagi menjadi dua, Hakiki dan hubungan. 1. Partikulir hakiki Adalah yang sesuai dengan definisi di atas. Seperti pahaman Ahmad dan lain-lain. 2. Partikulir hubungan (Idhafi) Adalah suatu pahaman yang dihubungkan dengan pahaman yang lebih luas. Misal-nya Ahmad, dihubungkan dengan manusia dan lain-lain. Perhatian! Partikulir Hubungan ini kadangkala partikulir hakiki, seperti Ahmad – apabila kita memandang secara mandiri, maka ia adalah pahaman partikulir hakiki. Tetapi kalau kita lihat Ahmad, kemudian kita hubungkan dengan pahaman yang lebih luas misalnya manu-sia, maka ia menjadi pahaman partikulir hubungan. Dan kadangkala partikulir hubungan berupa pahaman universal, misalnya manusia. Pada hakekatnya manusia adalah pahaman universal, karena ia mempunyai ekstensi lebih dari satu, seperti Ahmad, Ali dan yang lain. Akan tetapi karena kita menghubungkan dengan pahaman yang lebih luas, misalnya binatang, maka ia menjadi partikulir hubungan. Begitu juga kalau kita menghubungkan binatang dengan benda hidup, benda hidup dengan benda, dst, maka pahaman-pahaman universal tersebut menjadi pahaman partikulir hubungan. 2. Pahaman Universal Pahaman universal adalah “Suatu pahaman yang mempunyai banyak – lebih dari satu – ekstensi”. Misalnya manusia, binatang, buku, rumah, sekutu Tuhan, Tuhan, dll. Perhatian! Pahaman universal ini tidak harus mempunyai ekstensi yang nyata, yakni, boleh jadi hanya di alam misal. Sebab, kadangkala akal memahami suatu pahaman universal tanpa mengambil dari ekstensi-ekstensi yang nyata – ada. Bahkan akal hanya mentakdirkan atau memisalkan saja, dalam akal pikiran, ekstensi-ekstensi yang banyak yang bisa diterapkan kepada ekstensi-ekstensi tersebut pahaman universal yang dipahaminya. Misalnya, sekutu Tuhan, perkumpulan (pertemuan) antara dua hal yang bertentangan dsb. Pahaman universal kadangkala juga hanya mempunyai satu ekstensi pada hakekatnya, namun akal memahaminya sebagai pahaman universal. Dalam hal ini akal tidak melakukan kesalahan, dan pahaman universal itupun tidak rusak. Misalnya pahaman tentang Tuhan atau pencipta. Tuhan atau Pencipta mempunyai pengertian universal , yaitu sesuatu yang menciptakan – alam ini. Apapun bentuknya dan berapapun jumlahnya. Maka dari itu untuk mengatakan bahwa Tuhan itu satu memerlukan argument. Dan seandainya tidak memerlukan argument maka tidak akan ada orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu dua, tiga dst, sebagaimana yang kita dengar dari pengakuan-pengakuan mereka itu. Pahaman universal dibagi menjadi dua bagian, Universal sama dan Universal beda. 1. Universal sama (mutasawi, mutawathi) Adalah pahaman universal yang ekstensi-ekstensinya, satu sama lain, sama. Misal-nya, manusia. 2. Universal beda (tafawut, musyakkik) Adalah pahaman universal yang ekstensi-ekstensinya, satu sama lain, berbeda. Mi-salnya benda putih, wijud, dll. Benda putih bisa diterapkan pada awan, air, kapur, salju, dll yang diantara mereka ter-dapat perbedaan, yaitu dari segi putihnya, yang satu lebih kuat dari yang lain, dan yang lain lebih lemah. Berbeda dengan manusia, yang tidak bisa salah satu ekstensinya dikata-kan lebih baik, kuat, lemah, kemanusiaannya atau kebinatangan- rasionalnya. Dan kalau terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut terdapat di luar kemanusiaannya. Semacam tinggi-rendahnya, pandai-tidaknya, dll. EMPAT PERHUBUNGAN Kalau dua pahaman universal yang saling berbeda makna dihubungkan maka akan menghasilkan apa yang disebut sebagai “Empat Perhubungan”. Artinya, hasil perhubun-gan tersebut tidak akan keluar dari empat macam bentuk. Maksud dari menghubungkan di sini adalah kita melihat kedua pahaman yang dihu-bungkan, dalam ekstensi masing-masing. Adakah keduanya saling bertemu atau tidak. Kalau bertemu, adakah bertemu dalam seluruh ekstensi keduanya atau sebagian. Dan ka-lau pada sebagian, adakah yang satu lebih luas dari yang lain atau sama-sama mempunyai keluasan dalam satu segi tersendiri. Dengan demikian hubungan tersebut menjadi empat macam: Bertemu pada seluruh ekstensi, bertemu pada sebagian ekstensi dan yang satu berpisah dari yang kedua pada ekstensi yang lain, bertemu pada sebagian ekstensi dan keduanya saling berpisah pada ekstensi yang lain yang saling mengkhususkan keduanya atau keduanya tidak saling bertemu. 1. Hubungan Sama (Tasawi, Equivqlence) Hubungan sama adalah “Dua pahaman universal yang berbeda makna, yang saling bertemu pada semua ekstensi keduanya”. Misalnya manusia dan rasional. Makna kedua-nya berbeda, sebab manusia adalah bunatang rasional dan berupa golongan (spesies, nau”), sedang rasional adalah bagian essensi manusia dan berupa differentia (pembeda) manusia. Akan tetapi keduanya saling bertemu pada ekstensi masing-masing. Maka dari itu dapat kita katakan sebagai berikut: 1. Semua manusia, rasional. 2. Semua rasional, manusia. Kalau kita ganti manusia dengan huruf A, dan rasional dengan huruf B, sedang sama kita ganti dengan tanda =, maka hubungan di atas akan menghasilkan A=B dan B=A. 2. Hubungan Umum dan Khusus Mutlak Hubungan umum dan khusus mutlak adalah “Dua pahaman universal yang berbeda makna, yang satu mencakup pahaman lainnya pada ekstensi keduanya, dan tidak seba-liknya”. Misalnya binatang dan manusia. Ekstensi binatang mencakup manusia dan bukan manusia – dari benda berkembang yang perasa (binatang). Sebab pahaman binatang adalah “Benda berkembang yang perasa dan bergerak dengan kehendak”. Sedang paha-man manusia hanya mempunyai ekstensi yang berupa binatang rasional (tidak seluruh binatang). Jadi kita dapat mengatakannya sebagai berikut: 1. Sebagian binatang adalah manusia, sebagian binatang adalah bukan manusia. 2. Setiap manusia adalah binatang. Kalau kita ganti binatang dengan huruf A, dan manusia dengan huruf B, sedang lebih luas (umum) dan khusus kita ganti dengan tanda >, <, maka hubungan di atas menjadi A>B atau B -B 4. –A < -B 5. –A = -B Keterangan: (-) berarti bukan dan lain-lain yang menunjukkan kenegatifan. Pada nomor 1 sampai dengan 3 dapat dikatakan bahwa A tidak berkumpul – seti-daknya – dengan –B pada sebagiannya. Maka dapat kita katakana bahwa “-A tanpa –B”. Berarti “-A bersama B, sebab, dua hal yang berlawanan tidak terangkat kedua-duanya – lihat perbedaan perlawanan. Dengan demikian, akan menghasilkan ketidakbenaran per-kataan, bahwa “A bersama B”, sebab dua perlawanan tidak berkumpul. Dengan uraian ini menjadi jelas bahwa ketiga hubungan itu tidak benar, sebab menghasilkan kesalahan dari statemen “A bersama B” padahal hubungan asalnya adalah “A bersama B” yaitu “A=B”. Kita urai satu kemungkinan lagi dari dua kemungkinan yang masih belum kita uraikan “-A < -B” dan “-A = -B”. Kalau menjadi “-A < -B” maka “-B tanpa –A”. Kemudian men-jadi “-B bersama A”, sebab perlawanan dua hal tidak terangkat, maka tidak benarlah per-kataan bahwa “B bersama A”, sebab perlawanan dua hal tidak berkumpul semua. Dengan demikian hasil ini –A < -B juga tidak benar, sebab menyimpang dari hubungan semula, yaitu A = B atau B = A alias “A bersama B” atau “B bersama A”. Dengan uraian di atas dapat dikatakan bahwa hasil yang benar adalah “-A = -B”, sebab kemungkinan yang lain yang ada, telah terbukti kesalahannya. Perlu diketahui, bahwa menjadi lima hubungan yang dimungkinkan di atas karena pada hubungan umum dan khusus mutlak bisa berbali-kan. Berarti bukan ada hubungan baru yang keluar dati empat perhubungan. 2. Perlawanan Hubungan Umum dan Khusus Mutlak Pada perlawanan hubungan umum dan khusus mutlak ini kami akan menguraikannya seperti pada perlawanan hubungan sama. Hubungan umum dan khusus mutlak yakni A>B atau sebaliknya, perlawanannya tidak akan keluar dari: 1. -A=-B 2. -A//-B 3. -AX-B 4. -A>-B 5. -A<-B Hubungan pertama –A=-Bakan menghasilkan “A=B”, sebab perlawanan hubungan sa-ma menghasilkan hubungan sama juga. Maka hasil ini - ( -A=-B ) tidak benar, sebab kembalinya, menjadi hubungan sama, yaitu “A=B”. padahal hubungan yang dikehendaki adalah hubungan umum dan khusus mutlak, yaitu “A>B”. Pada hubungan nomor 2 sampai nomor 4, dapat disimpulkan menjadi “-A tanpa –B”, walaupun hanya pada sebagian ekstensinya. Maka dapat diuraikan menjadi “-A bersama B”, sebab perlawanan dua hal tidak terangkat semua. Uraian ini menghasilkan “B tanpa A”. berarti ada ekstensi B yang tidak tercakup A. Padahal hubungan yang dikehendaki semula adalah A>B. Artinya semua ekstensi B tercakup A dan tidak sebaliknya. Dengan demikian, hasil pada nomor 2 sampai nomor 4 tidak benar. Maka tertentulah hasil dari perlawanan hubungan umum dan khusus mutlak, namun terbalik A yang tadinya lebih umum, sesudah diperlawankan menjadi lebih khusus, -A<-B. 3. Perlawanan Hubungan Umum dan Khusus Dari Satu Segi Perlawanan dari hubungan umum dan khusus dari satu segi ini menghasilkan 2 bentuk hubungan. Pertama: Menjadi hubungan umum dan khusus dari satu segi juga. Misalnya, putih dan burung yang menjadi bukan-putih dan bukan-burung. Bukan-putih berpisah dengan bu-kan-burung pada burung yang bukan putih, begitu pula sebaliknya, yakni bukan-burung. Sedang bukan-putih berkumpul dengan bukan-burung pada batu-hitam, langit-biru, dll, begitu juga sebaliknya. Kedua: Menjadi hubungan perlawanan. Misalnya binatang dan bukan manusia yang menjadi bukan-binatang dan bukan-bukan-manusia, ataubukan binatang dan manusia, sebab menolak penolakan berarti menetapkan. Pada contoh ini, bukan-binatng tidak per-nah berkumpul dengan manusia. Begitu pula sebaliknya, sebab setiap yang bukan bina-tang pasti bukan manusia, dan setiap manusia pasti binatang. Setiap manusia pasti bukan-bukan-binatang, sebab manusia adalah binatang. Kalau dua hasil di atas kita gabungkan akan menghasilkan apa yang dikatakan para ahli logika dengan istilah “perlawanan partikulir”. Artinya adalah tidak berkumpul, walaupun setidaknya pada sebagian ekstensi keduanya. Gabungan tersebut adalah sebagai berikut: Pada contoh pertama -A X –B Pada contoh kedua -A // -B __________________________________ Menjadi -A tanpa –B Penjelasan dengan cara sirkel Hubungan umum dan khusus dari satu segi adalah AXB. Perlawanannya tidak akan keluar dari: 1. –A = -B 3. –A < -B 5. –A // -B 2. –A > -B 4. –A X –B Pada hasil pertama tidak bisa dibenarkan, sebab setelah dikembalikan, akan menjadi A=B – sebab perlawanan hubungan sama adalah sama – sedang hubungan yang dikehendaki adalah AXB. Pada hasil kedua dan ketiga juga tidak bisa dibenarkan. Sebab setelah dikembalikan –A > -B menjadi A < B, dan –A < -B menjadi A > B. Artinya, hubungan tersebut menjadi hu-bungan umum dan khusus mutlak. Sedang yang dikehendaki adakah umum dan khusus dari satu segi. Dengan demikian maka tertentulah bahwa hasil perlawanan dari umum dan khusus dari satu segi adalah perlawanan partikulir, alias sebagian hasilnya umum dan khusus dari satu segi dan pada sebagian yang lain menghasilkan hubungan perlawanan. 4. Perlawanan Hubungan Perlawanan Perlawanan hubungan perlawanan juga menghasilkan hubungan partikulir. Misalnya ada dan bukan-ada. Perlawanannya adalah bukan ada dan bukan-bukan-ada atau bukan-ada dan ada. Dengan demikian hasilnya juga merupakan hubungan perlawanan, yaitu tidak pernah berkumpul (bertemu) pada ekstensi2 kedunya. Sedang contoh yang menghasilkan umum dan khusus dari satu segi adalah manusia dan batu yang menjadi bukan-manusia dan bukan-batu. Bukan-manusia berkumpul dengan bukan-batu pada pohon, langit dan lain-lainnya; dan berpisah dengan bukan-batu di batu, begitu pula sebaliknya. Yaitu, bukan-batu berkumpul dengan bukan-manusia pada langit, laut, pohon dan lain-lain; dan berpisah dengan bukan-manusia pada manusia. Penjelasan dengan cara sirkel Hubungan perlawanan adalah A//B. Perlawanannya tidak akan keluar dari: 1. –A=-B 3. –A<-B 5. –A//-B 2. –A>-B 4. –AX-B Dengan uraian seperti pada hubungan umum dan khusus dari satu segi, hasil perlawanan hubungan perlawanan ini, juga menmghasilkan hubungan perlawanan partikulir. LIMA UNIVERSAL Pembagian lain yang sangat penting terhadap pahaman universal adalah pembagian universal menjadi lima bagian, yaitu golongan, pembeda, jenis, sifat umum dan sifat khu-sus, yang terkenal dengan nama “lima universal” (kulliyatu al-khamsah, Isagoge). Pem-bagian ini sangat penting karena selain banyak berperan dalam pembahasan filsafat dan pembahasan lain dalam logika, ia juga sangat berperan dalam subyek pertama ilmu logika – yaitu definisi. Bahkan bisa dikatakan bahwa tanpa mengetahui pembagian ini, seseorang tidak akan dapat mendefinisikan sesuatu secara baik dan logis. Pembagian pertama dalam bahasan Lima Universal ini adalah pembagian pahaman universal menjadi dua bagian, Universal Zat dan Universal Sifat. 1. Universal Zat (Kulli Zati, Universal Essential) Universal Zat adalah “pahaman universal yang menjadi asas essensi (hakekat) suatu ekstensi (individu)” atau “pahaman universal yang masuk dalam essensi suatu ekstensi” Penjelasan: Maksud dari definisi di atas adalah satu pahaman universal yang kalau tidak dibubuh-kan dalam essensi suatu individu, maka individu tersebut tidak bisa menjadi wujud. Mi-salnya benda, binatang, dan rasional terhadap Ahmad sebagai individu dari manusia. Ka-lau pahaman benda, binatang atau rasional kita ambil dan tidak dimasukkan dalam essensi Ahmad, maka si Ahmad tidak bisa digolongkan dan dikategorikan sebagai manusia. Sebab benda, binatang dan rasional merupakan suatu yang harus dimiliki oleh essensi manusia atau hakekat manusia. 2. Universal Sifat (Kulli ‘Aradhi, Universal Accidental) Universal sifat adalah “pahaman universal yang tidak termasuk dalam essensi suatu ekstensi”. Penjelasan: Maksud dari definisi di atas adalah suatu pahaman yang merupakan kebalikan dari pa-haman zat. Yaitu suatu pahaman yang ada dan tidaknya tidak mempengaruhi essensi sua-tu ekstensi. Artinya, suatu ekstensi tetap wujud sekalipun pahaman tersebut kita cabut darinya. Misalnya tertawa, berjalan (sebagai sifat bukan kata kerja), sarjana dan lain-lain. Kalau kita cabut sifat-sifat tersebut dari Ahmad – misalnya – sebagai ekstensi dari paha-man manusia, maka Ahmad tetap tergolong manusia. Sebab zat-zat manusia pada si Ah-mad masih tetap dikatakan manusia, karena binatang rasional masih tetap ada padanya. Sifat-sifat Khusus Universal Zat Ciri-ciri khusus universal zat yang banyak dikenal ada 4 macam. Namun pada hakekat-nya sebagian universal sifat mempunyai kesamaan sifat dengan universal zat pada tiga dari empat sifat tersebut. Empat ciri tersebut adalah: 1. Universal zat tidak bisa dipisah dari ekstensinya, baik pada wujud-luar atau dalam. Seperti binatang pada manusia, kuda dan lain-lain, baik pada wujud-luar atau dalam. Pahaman binatang tidak boleh dipisahkan dari manusia atau kuda dan lain-lainnya. Tidak seperti sifat rajin, atau putih pada tembok, yang bisa dipisahkan dari si rajin dan tembok. Akan tetapi sifat ini, yakni tidak terpisahnya universal zat dari ekstensinya, tidak khusus dimiliki universal zat, sebab sebagian universal sifat juga mempunyai sifat ini. Misalnya ganjil pada angka 3, 5, 7, dan seterusnya. Ganjil tidak bisa di-pisahkan dari angka-angka tersebut walaupun bukan merupakan zat mereka. Baik di-pisahkan di wujud luar atau dalam. 2. Universal zat tidak disebabkan oleh sesuatu, atau – dengan kata lain – tidak bersebab. Maksudnya, kezatannya pada suatu ekstensi bukan merupakan akibat dari suatu pe-nyebab selain dari essensi itu sendiri. Misalnya, kebinatangan pada manusia. Kebinatangan pada manusia buka merupakan akibat dari sesuatu yang lain dari ke-manusiaan itu sendiri. Artinya, ia (manusia) binatang karena ia manusia. Bukan lanta-ran sesuatu yang lain yang telah memberinya – manusia – kebinatangan. Tidak seperti pada universal sifat yang merupakan akibat dari sesuatu yang lain. Seperti tertawa yang diberikan Allah pada manusia, atau seperti putihnya tembok, yang merupakan akibat dari putihnya kapur. Dan putihnya kapur sendiri merupakan akibat dari sesuatu yang lain, sebab putih pada kapur bukan merupakan zat kapur. Sifat kedua ini pun tidak hanya dimiliki uni-versal zat secara khusus, sebab sebagian universal sifat mempunyai cirri semacam ini. Misalnya pada contoh nomor 1. 3. Universal zat terang ketetapannya atau mudah (badihi, dharuri). Artinya, dalam me-netapkan kebinatangan atau kerasionalan pada manusia – misalnya – tidak memerlu-kan pikiran dan argumen. Berbeda dengan menetapkan sifat pandai, penyair, sarjana pada si Ahmad, misalnya. Akan tetapi sifat ini pun dimiliki oleh kebanyakan universal sifat. Seperti tinggi pada langit, panas pada api, putih pada kapas dan lain-lain. 4. Universal zat mendahului essensi dalam wujud dalam. Yaitu, binatang dan rasional harus dibayangkan terlebih dahulu sehingga dapat membayangkan manusia. Tidak seperti sifat pandai, penyair, putih dan lain-lain yang membelakangi essensi manusia atau kapas dan lain-lain dalam kepahaman. Dalilnya adalah sebagai berikut: Essensi, haruslah merupakan gabungan dari beberapa universal zat (lihat bab defi-nisi). Dan setiap yang mempunyai bagian pasti didahului oleh bagiannya. Dahulu mendahului disini bukan dahulu mendahului dalam waktu, tetapi dalam tingkatan yang dalam istilah logika dan filsafat disebut “dahulu-mendahului zati”. Dengan de-mikian universal zat mendahului essensi. Dan sudah tentu juga mendahului universal sifat. Jadi, membayangkan zat-zat kemudian membayangkan essensi lalu mem-bayangkan sifat. Contoh: Binatang rasional, kemudian manusia, lalu penyair. Sebenarnya, sifat yang dimiliki universal-zat secara khusus hanyalah sifat yang te-rakhir ini. Oleh karena itulah sifat tersebut merupakan sifat pembeda antara universal zat dan sifat. Pertanyaan siapa-Dia ?Dan Apa-Dia ? Sebelum kita lanjutkan pembahasan universal, Kami palingkan Anda pada suatu masa-lah yang perlu diketahui sebelum memasuki pembahasan tersebut. Yaitu mengenai kata Tanya “Siapa-Dia”dan “Apa-Dia”. Kata tanya “Siapa-Dia” adalah menanyakan ciri2 atau sifat2 sesuatu yang ditanyakan. Dan jawaban yang benar untuk pertanyaan tersebut adalah menyebutkan sifat2 sesuatu yang ditanyakan. Misalnya, “Siapakah-Dia-yang menjadi khotib di masjid fulan itu ?”jawabnya-misal-adalah-bapak Ahmad; yang mempunyai pesantren fulan; pengarang buku fulan; lulusan universitas fulan; dan lain2. Dalam pertanyaan ini tidak boleh dija-wab dengan –misal – manusia;binatang rasional dan lain2 yang berupa zat. Sedang per-tanyaan “apa-Dia” adalah menanyakan hakekat atau essensi sesuatu yang ditanyakan. Dan jawaban yang benar adalah menyebutkan essensi yang dimilikinya, baik secara global maupun rinci. Misalnya pertanyaan tentang “Apakah Ahmad, manusia, dan kuda itu ?”. Jawaban yang benar untuk menawab pertanyaan semcam itu adalah dengan menyebut zat2 yang dimiliki oleh sesuatu yang ditanyakan. Baik menyebutkannya secara global maupun rinci, secara lengkap atau tidak, misalnya Ahmad adalah “manusia”, atau “bina-tang” atau “binatang rasional” atau “benda berkembang yang perasa yang bergerak den-gan kehendak dan rasional”. Kesimpulan: Pertama: pertanyaan “siapa-Dia” adalah untuk menanyakan sifat2 (‘aradh, acci-dent) sesuatu yang ditanyakan. Kedua: pertanyaan “apa-Dia “adalah untuk menanyakan zat-zat sesuatu yang dita-nyakan, baik keseluruhan atau sebagian, secara global maupun rinci. Pembagian Universal Zat dan Sifat Pembagian kedua dalam bahasan lima universal adalah pembagian terhadap universal zat dan sifat. Universal zat dibagi menjadi tiga bentuk pahaman: golongan, jenis dan pembeda. Sedang universal sifat dibagi menjadi dua bentuk pahaman, sifat khusus dan umum. 1. Universal-Golongan (Nau’, species) Kalau ada orang bertanya, “Apakah Ahmad, Ali, Hasan, dan Ja’far itu?”. Untuk men-jawab pertanyaan diatas kita harus memperhatikan dua hal dibawah ini: Pertama, pertanyaan tersebut tidak dapat kita jawab dengan menyebutkan sifat2 mere-ka, dengan mengatakan, misalnya, “Mereka adalah siswa sekolah fulan”. Sebab yang di-tanyakan adalah hakekat (essensi) mereka (apa-dia) dan bukan identitas mereka. Kedua, individu2 (ekstensi2) yang ada satu sama lain – mempunyai kesamaan essensi (hakekat). Dan jumlah (banyak) yang ada pada mereka hanya terdapat pada bilangannya saja (bukan jumlah dalam banyak ragam hakekat). Dengan memperhatikan dua hal diatas dapat kita simpulkan bahwa jawaban dari perta-nyaan tersebut adalah satu jawaban, yang didalamnya tergabung 4 individu yang sama essensinya. Dan sudah tentu harus berupa zat bukan berupa sifat. Jawaban inilah yang dikatakan golongan yang jawabannya – sesuai dengan contoh – adalah “manusia”. Dengan demikian, golongan dapat kita definisikan sebagai “Suatu pahaman universal tentang hakekat, yang didalamnya terdapat gabungan, yang jumlahnya hanya terdapat pada bilangannya saja, dan untuk menjawab pertanyaan apa-dia” 2. Universal-Jenis (Jins, Genus) Kalau ada orang bertanya, “Apakah Eko, kuda, gajah, dan singa ini?”. Untuk menjawab pertanyaan diatas kita harus memperhatikan dua hal di bawah ini: Pertama, pertanyaan tersebut menanyakan hakekat mereka – apa – dia – bukan identitas mereka – siapa-dia. Kedua, ekstensi-ekstensi yang ada – satu sama lain – berbeda essensi. Dengan memperhatikan dua hal diatas dapat kita simpulkan bahwa jawaban pertanyaan tersebut adalah suatu jawaban, yang tergabung di dalamnya empat individu (ekstensi) yang tidak mempunyai kesamaan essensi. Jawaban inilah yang dikatakan jenis yang ja-wabannya – sesuai dengan contoh – adalah binatang. Karena binatang mencakup Eko, kuda, gajah dan singa. Dengan demikian, kita dapat mendefinisikan universal-jenis dengan, “Suatu pahaman universal tentang hakekat, yang di dalamnya terdapat gabungan, yang jumlahnya (ba-nyaknya) terdapat pada essensi dan untuk menjawab pertanyaan apa-dia atau “Suatu pahaman universal tentang hakekat yang di dalamnya terdapat gabungan, yang satu sama lain berbeda essensi dan untuk menjawab pertanyaan apa-dia”. 3. Universal-Pembeda (Fashl, Differentia) Setelah jenis sesuatu diketahui, mungkin timbul pertanyaan lain yang layak untuk dita-nyakan. Misalnya, setelah diketahui bahwa Eko adalah dari jenis binatang, penanya mungkin ingin mengetahui pembeda Eko dari yang lainnya, maka ia bertanya – missal – “Apakah zat pembedanya?” Untuk menjawab pertanyaan diatas kita juga harus memperhatikan dua hal dibawah ini: Pertama, pertanyaan tersebut menanyakan hakekat atau zat, bukan sifat atau identitas. Hal ini nampak jelas pada pertanyaan “apakah zat pembedanya?” Kedua, karena essensi merupakan gabungan dari jenis dan pembeda (lihat bab definisi) maka zat yang ditanyakan adalah bagian dari suatu essensi yang merupakan pembeda dari yang lainnya dan pengkhusus bagi essensi itu sendiri. Rasional, merupakan jawaban dari contoh diatas. Dengan memperhatikan dua hal diatas dapatlah kita mendefinisikan pembeda dengan “suatu pahaman universal tentang bagian pengkhusus suatu essensi yang untuk menjawab pertanyaan, apakah zat pembedanya”. 4. Universal Sifat Khusus (‘Aradh Khash, property) Dalam banyak hal kita dapat melihat sesuatu, baik golongan maupun jenis atau ekstensi, yang mempunyai suatu kekhususan pada dirinya. Namun kekhususan itu secara akal dapat dipisahkan dari pemiliknya. Artinya, kalau kekhususan itu dipisahkan dari pemiliknya, essensi pemilik tersebut tetap utuh. Dengan demikian kekhususan yang dimiliki tidak masuk dalam essensi pemiliknya. Misalnya tertawa, yang menjadi salah satu sifat khusus dari golongan manusia. Dengan penjelasan diatas, dapatlah kita mendefinisikan sifat khusus sebagai “Pahaman universal yang berupa (bisa dijadikan) predikat yang khusus bagi dan keluar dari essensi subyeknya” atau “Pahaman universal yang berupa hukuman yang khusus bagi dan keluar dari essensi yang dihukum” atau “Pahaman universal yang berupa suatu ke-terangan – yang menerangkan – yang khusus bagi dan keluar dari essensi yang diterang-kan”. Penjelasan Istilah subyek (maudhu’, subject), dihukum (D, mahkum ilaih, mahkum) dan yang dite-rangkan (D), mempunyai satu arti, yaitu sesuatu yang dihukumi atau diterangkan. Misal-nya, manusia pada proposisi “manusia adalah binatang”, “manusia adalah binatang ra-sional”, “manusia adalah tertawa – yang tertawa” dll. Namun yang akan sering dipakai dalam buku ini adalah 2 istilah pertama. Begitu pula tentang istilah predikat (mahmul, predicate), hukuman (H, mahkum bihi, hukum) dan ke-terangan (yang menerangkan, M) mempunyai satu arti, yaitu sesuatu yang menghukumi, ketetapan atau menerangkan. Misalnya pahaman binatang, binatang rasional, tertawa – yang tertawa – dan lain2 pada contoh proposisi diatas. Perlu diingat bahwa kedua predi-kat pertama – binatang dan binatang rasional – merupakan suatu predikat yang tidak ke-luar dari subyeknya, yakni manusia. Sedang tertawa – yang tertawa – merupakan predikat yang keluar dari subyeknya, yaitu keluar dari hakekat atau essensi subyek yang ia predi-kati, yakni manusia. 5. Universal Sifat Umum (‘Aradh ‘aam, Commons predicate) Selain suatu golongan, jenis dan ekstensi mempunyai sifat khusus, mereka juga mem-punyai sifat umum. Artinya mempunyai sifat yang dimiliki mereka dan selain mereka. Misalnya, sifat berbentuk. Ia disamping dimiliki binatang, juga dimiliki oleh pepohonan, bebatuan dan lain2. begitu juga sifat berjalan pada manusia dan Ahmad. Anda dapat mengetahui suatu sifat merupakan sifat umum apabila anda melihat sifat tersebut dimiliki oleh suatu pahaman universal yang lebih luas ketimbang subyek yang disifati semula. Baik pemilikan oleh yang lebih luas tersebut merupakan pemilikan khusus atau juga umum. Misalnya sifat berjalan dan berbentuk pada manusia dalam proposisi “Manusia adalah berjalan – yang berjalan – atau berbentuk. Kalau sifat berjalan dan berbentuk tersebut dimiliki oleh pahaman yang lebih luas dari manusia, misalnya binatang, maka sifat2 itu bagi manusia merupakan sifat umum. Sebab sifat2 itu pasti dimiliki oleh binatang selain manusia, yang tergabung dalam pahaman binatang – secara universal. Dengan demikian kita dapat mendefinisikan sifat umum sebagai “suatu pahaman uni-versal yang berupa predikat yang keluar dari essensi subyek yang mempredikati subyek dan lainnya”. Perlu diketahui 1. Kadangkala, suatu sifat bisa menjadi khusus dan umum kalau dihubungkan dengan dua subyek atau lebih. Misalnya berjalan (baca: yang berjalan). Ia me-rupakan sifat khusus bagi binatang, tetepi merupakan sifat umum bagi manu-sia, gajah dan lain2. 2. Kadangkala, suatu sifat menjadi zat bagi yang lainnya. Misalnya berwarna (baca : yang berwarna). Bagi benda, ia - berwarna - menjadi sifatnya. Tetapi bagi “yang putih”, “yang hitam”, “yang merah”” dan lain2, ia menjadi jenis-nya. Hal ini dapat diketahui dari definisi benda dan yang putih, yang hitam dan yang lain-lain. Pada definisi benda, “yang berwarna” tidak masuk dida-lamnya, alias tidak menjadi asas essensinya, sebab definisi benda adalah sesu-atu yang –bisa- mempunyai tiga ukuran (dimensi), yaitu panjang, lebar dan tebal. Tetapi pada definisi “yang hitam” (misalnya), maka ia –yang berwarna” – masuk di dalamnya, alias menjadi asas essensinya. Sebab definisi “yang hi-tam” adalah yang berwarna dengan warna arang”. 3. Kadangkala universal sifat khusus dan universal pembeda, berbentuk kata tunggal dan ganda. Contoh tunggal farikeduanya adalah “tertawa” (baca: yan g tertawa) dan “rasional”, yang keduanya bagi manusia. Sedang contoh gan-danya adalah “berdiri tegap”, “terang kulitnya”, bagi manusia; “perasa dan bergerak dengan keinginan”, bagi binatang. PEMBAGIAAN LIMA UNIVERSAL Masing-masing dari pahaman lima universal dibagi menjadi beberapa bagian: 1. Universal golongan, dibagi menjadi dua: a. Universal golongan hakiki Yaitu suatu golongan yang sesuai dengan definisi asalnya. b. Universal golongan hubungan Yaitu suatu universal zat yang dihubungkan dengan dan terletak di bawah universal zat lainnya yang lebih luas. Misalnya manusia dan binatang, kalau dihubungkan dengan universal zat lainnya yang lebih luas. Keduanya berupa universal zat yang berada di bawah universal lainnya yang lebih luas, yang dalam hal ini kepadanya kedua universal tersebut dihububngkan. Yaitu menghubungkan manusia dengan binatang dan binatang dengan benda berkembang. Dengan penghubungan ini, dan binatang menjadi sebagian dari benda berkembang. Golongan hubungan, bisa jadi dai golongan hakiki – atau bahkan dai jenis. Yang terpenting adalah bahwa ia – golongan hubungan – harus berupa universal zat dan dihubunga\kan dengan universal zat lainnya yang lebih luas. Oleh karena itu, hubungan antara golongan hakiki dan golongan hububungan berupa hubungan umum dan khusus mutlak. Yakni universal golongan hubungan lebih luas ketimbang golongan hakiki. Golongan hubngan ini dibagi menjadi tiga: (i) Golongan terendah ( golongan hakiki, golongannya golongan saafil ). Yaitu suatu golongan yang tidak ada golongan lagi di bawahnya. Misalnya Manusia. (ii) Golongan tengah ( Mutawassith ). Yaitu suatu golongan yang di atas dan di bawahnya terdapat golongan. Misalnya binatang. Dibawh dan di atas binatang terdapat golongan lain,, yaitu manusia dan benda berkembang. (iii) Golongan teratas ( 'Aliy ). Yaitu suatu golongan yang golongan lain hanya terdapat di bawahnya. Seperti benda. Di bawah benda terdapat golongan lain seperti benda berkembang, benda hidup ( binatang ) dan manusia. Sedang di atasnya tidak terdapat golongan. Sebab substansi , yang hanya satu-satunya di atas benda, hanya berupa jenis, alias tidak bisa berupa golongan sebagaimana benda, misalnya. 2. Universal Jenis, dibagi menjadi dua: a. Universal Jenis Dekat ( Qarib ) Yaitu suatu jenis yang adanya – dalam urutan – langsung di atas golongan yang diperhatikan. Baik golongan hakiki atau hubungan. Misalnya benda cair terhadap golongan air, benda tak berkembang terhadap benda cair, benda terhadap benda tidak berkembang, substansi terhadap benda dan lain-lainnya. Lihat contoh grafik di bawah dengan mengambil benda cair sebagai golongan yang diperhatikan. b. Universal jenis Jauh ( Ba'id ) Yaitu suatu jenis yang adanya - dalam urutan – tidak langsung di atas golongan yang diperhatikan. Baik golongan hakiki atau hubungan. Misalnya benda tidak berkembang, benda dan substansi terhadap air. Atau benda dan substansi terhadap benda cair dan lain-lain. Lihatlah contoh grafik di bawah dengan mengambil benda cair sebagai golongan yang diperhatikan. Perhatian! Ada pembagian lain dalam membagi jenis, yaitu suatu pembagian yang membagi jenis menjadi tiga bagian: Jenis terendah ( saafil, inferior genus ), jenis tengah ( mutawassith, the intermediate genus ), dan jenis tertinggi ( jenisnya jenis, jenis 'aliy, jinsu ajnas, the higher genus ). jenis terendah adalah jenis yang paling dekat dengan golongan hakiki; jenis tertinggi adalah jenis yang paling jauh dari golongan hakiki; sedang jenis pertengahan adalah di antara keduanya. Lihat diagram di bawah ini: 3. Universal Pembeda, dibagi menjadi dua: a. Universal pembeda dekat ( Qarib ) Yaitu suatu pembeda yang membedakan golongan ( baik hakiki atau hubungan ) dari golongan yang lain yang bersatu dalam satu jenis, misalnya rasional. Ia membedakan manusia dari golongan lainnya seperti kuda harimau burung dan lain-lainyang bersatu dalam satu jenis yaitu binatang. Atau perasa yang menjadi pembeda bagi binatang. b. Universal Pembeda jauh ( Ba'id ) Yaitu suatu pembeda yang dihubungkan dengan suatu golongan dari jenisnya – baik yang jauh atau dekat – atau golongan hubungan yang ada diatasnya. Misalnya perasaan – pembeds binatang – yang dihubungkan dengan manusia, kuda, kucing dan lain-lain sebgai golongannya. Misalnya dengan membuat proposisi "manusia adalah binatang perasa", bukan "manusia adalah binatang rasional". Oleh karena itu, definisi tersebut – manusia adalah binatang perasa – dikatakan definisi dengan jenis dekat ( binatang ) dan pembeda jauh ( perasa ). Lihat bagan dengan mengambil manusia sebagai yang diperhatikan: Tambahan Pembeda mempunyai hubungan dengan jenis atau golongannya. Dengan kata lain, kalau pembeda kita hubungkan dengan jenisdan golongannya, maka ia mempunyai hubungan tersendiri. Kalau dihungkan dengan jenisnya, maka ia – pembeda – menjadi pembaginya. Misalnya rasional terhadap binatang. Ia – rasional – membagi binatang menjadi dua, yaitu binatang rasional dan tidak rasional. Sementara kalau dihubungkan dengan golongannya, maka ia – pembeda – menjadi asasnya. Misalnya, rasional terhadap manusia, ia – rasional – sebagai salah satu asas manusia, sebb manusia adalah binatang rasional. 4. Dan 5. Universal ssifat khusus dan umum, dibagi menjadi dua: a. Universal sifat lazim ( Lazim, concomitence ) Yaitu suatu pahaman universal yang secra akal tidak mungkin terpisah dari ekstensinya. Seperti ganjil dan genap untuk anka tiga dan empat, samanya jumlah sudut segiti tiga dengan jumlah dua sudut tegak lurus, universalnya manusia dan lain-lain. Sifat lazim ini dibagi menjadi tiga: 1. Lazim Dalam Wujud Luar ( khariji ) Yaitu yang kelazimannya hanya pada wujud luarnya saja. Seperti samanya jumlah sudut segi tiga dengan jumlah dua sudut tegak lurus. Sebab bisa saja orang membayangkan segi tiga tanpa membayangkan juga, atau mengetahui kesamaannya dengan jumlah sudut tegak lurus. Karena itu kesamaan tersebut tidak lazim di dalam akal. 2. Lazim Dalam Wujud Dalam ( Dzihni ) Yaitu yang kelazimannya hanya pada wujud dalam akal saja. Seperti universalnya manusia, rasiona dan lain-lain, atau partikulirnya pahaman Ahmad, budi, dan lain-lain. 3. Lazim Dalam Essensi ( Mahiyat, Essence ) Yaitu yang kelazimannya dalam wujud luar dan dalam. Seperti ganjil genapnya angka tiga dan empat. Sebab, baik di luar maupun di dalam akal,angka tiga dan empat, tetap melazimi ganjil dan genap. Dilihat dari jelas dan tidaknya, sifat lazim dibagi menjadi dua: (1). Lazim jelas ( Bayyin, Clear ) Yaitu yang kelazimannya tidak memerlukan pembuktian dan dalil. Lazim jelas dibagi menjadi dua: a. Lazim jelas lebih khusus. Yaitu yang hanya menggambarkan yang dilazimi, cukup menggambarkan lazim tersebut. Seperti genapnya empat, dengan hanya menggambarkan empat. Sebab dengan hanya menggambarkan empat sudah cukup untuk membayangkan genap. b. Lazim Jelas lebih umum Yaitu yang untuk meyakini atau mengetahui kelazimannya hanya diperlukan terlebih dahulu membayangkan yang dilazimi, lazim dan hubungan keduanya, dan tidak cukup hanya membayangkan yang dilazimi saja. Seperti dua adalah setengah dari empat. Pada contoh ini, kita cukup dengan hanya membayangkan dua, empat dan hubungan keduanya, untuk meyakini bahwa dua adalah setengan dari empat. Atau meyakini bahwa kelaziman lapar adalah makan, kita cukup membayangkan lapar, makan dan hubungan keduanya. b. Universal Sifat Tidak Lazim ( Muftariq, separate ) Yaitu suatu pahaman universal yang secara akal bisadimungkinkan berpisah dari ekstensinya. Seperti hitamnya orang negro, mudanya manusia, gemetarnya orang yang terkkejut dan lain-lain. Universal sifat tidak lazim dibagi menjadi dua: 1. Selamanya ( Daim, Permanent ) Yaitu suatu sifat yang selamanya melekat pada yang di sifati. Seperti hitamnya orang negro ( tentu bagi yang berkulit hitam ). Sifat yang dikategorikan sebagai sifat tidak lazim, karena secara akal ia bisa berubah, walaupun pada kenyataannya tidak pernah berubah. Yakni akal tidak melihat kemustahilan terhadap perubahan yang mungkin terjadi pada sifat tersebut. 2. Sementara ( Ghairi daim, Unpermanent ) Yaitu suatu sifat yang tidak selamanya melekat pada yang disifati. Seperti mudanya manusia, gemetarnya orang yang terkejut, dan lain-lain. Universal Tidak Lazim "sementra" ini dibagi menjadi dua: a. Lambat hilanya. Seperti mudanya manusia. b. Cepat hilangnya. Seperti gemetarnya atau pucatnya orang yang terkejut atau ketakutan. Lihat bagandi bawah ini: DEFINISI Pengertian dan Pentingnya definisi Seringkali kita melihat adanya suatu dilema dalam suatu bahasa dalam masyarakat, yang kandas begitu saja di pinggiran pantai kehidupan kompleks manusia yang selalu ingin maju walau tanpa terarah. Kemudian dengan sangat tragis masyarakat berlomba untuk mengekskusi, menginjak-injak dan melaluinya, walaupun tak ada bahtera untuk menyelamatkan mereka. Katakanlah dilema manusia. Anehnya dilima tersebut datang dari para tokoh dan pakar masyarakat itu sendiri, yang dengan susah payah mereka renungkan sebelum kemudian dicetuskan dan menjadi dilema. Tak jarang keringat kuning menghujan, atau bahkan rambut bagus mereka pun mulai bosan menemani mereka dalam usaha-usahaitu. Lalu....., siapa yang salah? Para pakarkah yang kurang bertanggung jawab pada agama, etika ilmiah dan bangsa, yang biasanya hanya memperindah makalahnya dengan kata-kata istilah tetapi tidak dengan mutu bahasannya, ataukah masyarakat yang suka mengekskusi karena dianggap dilema itu tidak penting, walaupun tak jarang mereka terombang ambing karenanya? Kemudian tak adakah rasa kasih yang hakiki – bukan semu – untuk menyelamatkah bangsa tercinta dari kerancuan pengetahuan pandangan tentang sejarah, akhlak, agama dan lain-lain? Kasih yang tak dibangun di atas pondasi kepentingan pribadi ddan golongan? Atau di atas pondasi kefanatikan yang buta? Kami berharap para pakar kita dapat menyadari dan merenungi pertanyaan yang dipaksakan itu. Dan bagi generasi muda sejaman kami, kami harap untuk menyatukan langkah dan hidup bersatu untuk lebih lagi membangun bangsa besar kita, Indonesia. Kebanyakan penyebab timbulnya dilema yang mengenaskan itu adalah ketidak jelasan batasan ( definisi ) pada setiap pembahasan, yang kemudian muncul sebagai dilema. Maksud kami bukanlah menolak adanya batasan pada kebanyakan dilema, tetapi kami menolak batasan yang kabur atau sangan tendensius pada setiap permasalahan.Mialnya definisi budaya, sosial, kebebasan, hak, plitik, filsafat, logika, modern, kuno ilmiah, agama, aqidah, syirik, musyrik, muslim, mukmin, qadim, hadits, adil, zat, sifat, tauhid, kafir, ma'shum, mukjizat, kerammat, ilham, Islam, mazhab, taqlid, ahli sunnah, ahli wajib, jama'ah, qur an, hadits, furu', bid'ah, dhalah, ijtihad, akhlak, tawadhu, sombong, ibadah, persatuan, ulama kyai, dan seterusnya, baik yang menyangkut budaya, sains, agama dan lain-lain. Sungguh tidak jarang keindahan nama dan kata telah banyak mempesona, sehingga masyarakat bahkan para pakarberlomba membuang permata indah yang dimiliki atau yang mesti dicapai dan menggantikannya dengan keindahan semu yang ada pada simbol-simbol penghias yang tak bertulang, dan dengan cara yang sadistis telah memasukkannya ke dalam alam idelis mereka. Sehingga mereka merasa gagah dan bangga dikatakan modernis, intelek dan semacamnya, walaupun hanya sebatas bahasa. Begitu pula mereka merasa rendah hati dan minderdikatakan sebagai orang kolot, santri, kuno, dan tidak modern. Sungguh di luar dugaan, bangsa, agama, akidah, ilmu pengetahuan, yang kesemuanya itu adalah sangat mahal bagi kehidupan mmanusia, dapat ditukar hanya dengan keindahan kata yang semu, semacam sosial, modernis, intelek, cendekiawan dan sebagainya. Akhirnya, mudah-mudahan promosi yang mengutamakan kwantitas dan keduniaan, yang tidak mengutamakan kwalitas dan tanggung jawab dunia-akhirat tersebut akan segera berakhir, demi kita, keluarga, anak cucu dan bangsa tercinta. Dan mudah-mudahan ppelajaran definisi ini dapat membantu – walaupun sekedarnya – untuk itu amin. Ringkasnya Supaya kita dapat menguasai ucapan, pena dan pikiran kita, kita harus mengetahui pembagian, syarat-syarat, asas dan aturan-aturan definisi sehingga: 1. Sesuatu yang dibahas selalu nampak jelas dalam akal kita. 2. Memberitahukan dengan benar dan jujur pada selain kita 3. Selain untuk mengetahui yang belum kita ketahui, pengetahuan tentang definisi ini juga untuk mmembuka dan merinci sesuatu yang kita ketahui secara global seperti manusia, syirik, bid'ah dan lain-lain. Oleh karena itu definisi yang banyak dipakai untuk definisi ( definisinya definisi ) adalah "kumpulan dari pengetahuan gambaran ( concept ) yang menerangkan gambaran yang belum diketahui atau yang merinci gambaran yang sudah diketahui". Pembagian Definisi Sebagaimana maklum, definisi adalah menerangkan sesuatu yang belum diketahui atau merinci yang sudah diketahui. Pada awalnya, definisi bertujuan mmemberikan gambaran penuh sesuai dengan hakekat sesuatu yang didefinisikan sehingga sesuatu tersebut tergambar dengan jelas, dan juga membedakannya dari seesuatu yang lain dengan pembedaan yang penuh atau sempurna sehingga ia nampak berbeda dari yang lain. Kedua tujuan awal tersebut tidah dapat dipenuhi kecuali dengan menerangkan at-zat yang dimilikinya. Kalau hal itu tidak bisa dilakukan - karena sulit, misalnya – maka kita cukup mebedakannya saja dari yang lain. Hal ini bisa kita lakukan dengan hanya menyebut satu zat, zat dicampur sifat khusus, sifat khusus dan sebagainya. Deengan demikian, pada garis besarnya ada dua cara dalam mendefinisikan sesuatu. Pertama, adalah dengan zatnya. Definisi ini disebut batasan ( had, limid, term of syllogism ). Kedua, adallah dengan sifatnya atau sifat dan zatnya. Definisi ini disebut gambaran ( rismun, descriptive defunisition, imprint ). Dan pada masing-masing cara terbagi menjadi dua, lengkap dan kurang. 1- Definisi Dengan Batasan Lengkap ( Had Al-Tam, Perfect Definition ) Definisi dengan batasan-lengkap adalah "Suatu definisi yang menunjukkan hakekat dan esensi sesuatu yang didefinisikan ( Defined )" Dengan demikian definisi dengan batasan-lengkap harus menckup seua zat-zat yang dimiliki, Yaitu yang menjadi asas bagi essensi yang didefinisikan ( defined), karena ia merupakan perinciannya. Seperti "binatang rasional", substansi yang bisa menerima tiga dimensi: Panjang, lebar dan tinggi; dan "bentuk yang mempunyai tiga sisi", yang masing-masing sebagai definisi manusia, benda san segitiga. Definisi yang menyebut zat-zt yang dimiliki oleh yang didefinisi bukanlah hal yang mudah. Sebab bisa jadi sifat lazim ditempatkan sebagai jenis, jenis jauh sebagai jenis dekat atau sifat khusus sebagai pembeda dekat. Maka dari itu tidak berlebihan kalau Ibnu Sina dalam kitab Hududnya ( definisi-definisi ) mengatakan bahwa mendefinisikan sesuatu dengan batasan-lengkap merupakan pekerjaan yang hampir mustahil untuk dilakukan oleh manusia. Definisi dengan batasan-lengkap, dapat dilakukan dengan menyebut jenis dekat dan pembeda dekatnya. Misalnya "Manusia adalah binatang rasional". Namun kalau jenis dekat ari definisi tersebut tidak diketahui oleh penanya, makakita dapat merincinya dengan batasan lengkapnya.Misalnya dengan medifinisikan binatang sebagai "benda berkembang yang perasa dan bergerak dengan kehendak". Dengan demikian definisi manusia yang lebih rinci ketibang binatang rasional adalah "benda berkembang yang perasa, bergerak dengan kehendak dan rasional". Kalau definisi ini masih nampak belum jelas bagi penanya, makka kita dapat dengan lebih rinci lagi mendefinisikan manusia dengan rincian "benda" terlebih dahulu sebagai "substansi yang bisa menerima tiga dimensi". Dengan demikian, definisi manusia yang lebih rinci dari definisi kedua adalah "Substansi yang bisa menerima tiga dimensi, berkembang, perasa, bergerak dengan kehendak danrasional". Perincian-perincian tersebut di atas dapat dilakukan sampai pada sesuatu yang tidak memerlukan perincian lagi,yang disebabkan kejelasannya ( badhihi, dharuri, mudah ). Seperti pemahaman tentang wujud dan sesuatu. Dengan penjelasan di atas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1- Jenis dekat dan pembeda dekat menckup semua zat yang dimiliki oleh defined. Maka dari itu mendefinisikan sesuatu dengan yang lebih rinci tidak diharuskan, walaupun hal itu lebih baik. Hanya dalam beberapa keadaan saja yang dalam mendefinisikan sesuatu harus dengan yang lebih rinci. Yaitu ketika penanya tidak dapat memahami jenis dekat suatu definisi. 2- Tidak ada perbedaan dalam pahaman antara definisi dan defined, kecuali dalam kerincian dan tidaknya saja. 3- Hanya dengan kesesuaian dan kecocokannya saja definisi dapat menjadi "petunjuk" atas defined. 2- Definisi Dengan Batasan-Kurang (Had Al-Naqish, defect Definition ) Definisi dengan batasan-kurang adalah "suatu definisi dengan sebagian zat yang didefinisikan (defined )". Walaupun definisi ini tidak mencakup semua zat yang dipunyai defined, namun ia harus mempunyai pembeda dekat, baik tanpa digabungkan dengan sesuatu apapun atau digabungkan dengan zat lain yang berupa jenis jauh. Dengan kata lain, definisi dengan batasan-kurang ini dapat dilakukan dengan hanya menyebutkan pembeda dekat suatu defined, atau dengan menyebutkan jenis jauh dan pembeda dekatnya. Misalnya "benda yang rasional" dan "benda yang perasa", sebagai definisi dari manusia dan binatang. Dengan penjelasan di atas dapatlah iambil suatu kesimpulan bahwa: 1- Definisi dengan batasan-kurang tidak menyamai defined daam kepahaman karena tidak mencakup seluruh zat yang dipunyai defined. 2- Faedah dari batasan-kurang hanya dappat membedakan defined dari yang lain saja. Ia tidak dapat memberikan gambaran penuh dalam gambaran kita tentang defined, berbeda halnya dengan definisi dengan batasan penuh. 3- Ia menunjukkan defined dengan kelaziman, bukan dengan kecocokan atau kesesuaian sebagaimana definisi dengan batasan penuh. Sebab ia merupakan "penunjukan" bagian terhdap keselurahannya. 3- Definisi Dengan Gambaran-Lenkap ( Rismun Al-Tam, Peerfect Descriptive Definition,Imprint ) Definisi dengan gambaran-lengkap adalah "suatu definisi dengan menerangkan jenis dekat dan fifat khusus yang didefinisi". Pada penjelasaan yang lalu, kami katakan bahwa mendefinisikan sesuatu dengan batasan penuh adalah pekerjaan yang sangat berat.Oleh karena itu, para ahli menganjurkkan kita untuk menerangkan definisi dengan gambaran-lengkap ini pada tempat-tempat pelik yang kita jumpai. Sifat khusus yang bisa ewakili pembeda dekat adalah sifat khusus yang lazim dan jelas serta lebih khusus, karena ia paling dekat dengan hakekat dan paling mirip dengan pembeda dekat. Namun, kalau hal itu tidak juga bisa dilakukan, kita dapat mmenggantikannya dengan sifat khusus yang lazim, jelas dan yang lebih umum. Beberpa definisi berikut ini adaah sebagai contoh dari definisi dengan gambaran-lengkap. "Binatang tertawa" ( baca: yang tertawa ), "bentuk yang mempunyai tiga sudut", "angka yang kalau dikalikan dengan dirinya sendiri menjadi sembilan"; masing-masing sebagai definisi manusia, segitiga, dan tiga. 4- Definisi Dengan gambaran- Kurang ( Rismun Al-Naqish, defect Discrptive Definition ) Definisi dengan gambaran-kutang adalah "suatu definisi yang denganmenerangkan sifat khusus saja atau dengan jenis jauh dari yang didefinisi". Seperti kalau kita mendefinisikan manusia sebagai "tertawa" ( baca yang tertawa ), "benda tertawa", benda berkembang yang menulis" dansebagainya. Seperti yang kami singgung pada awal pembahasan tentang definisi. Bhwa dengan satu zat, zat dicampur sifat khusus dan lain-lain, hanya dapat membedakan defined dari yang lain. Maka sekarang menjadi jelas bahwa definisi-definisi tersebut masing-masing adalah definisi engan batasan-kurang, gambaran-lengkap dan gambaran-kurang. Ada beberapa definisi lain yang digolongkan ke dalam definisi dengan gambara-kurang, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti. Mereka itu adalah definisi dengan contoh penyerupaan dan pembgian. Dengan penjelasan yang dahulu pula, dapat dipahami bahwa definisi terhadap satu hal bisa beragam sesuai dengan segi memandangnya. Hal ini sangat perlu diketahui oleh orang-orang yang ingin memahami rahasia perbedaan yang ada pada definisi dan bagi orng-orang yang ingin berkomentar terhadapnya serta bagi yang tidak ingin sesat dalam definisi-definisinya. Perlu diketahui pula bahwa beberapa hal tidak dapat didefinisi. Hal itu dikarenakan kesederhanaannya atau tidak mempunyai rangkapan (seperti Tuhan ) atau karena tdak memiliki jenis dan pembeda ( seperti jenis atas ) atau karena kejelasannya ( seperti ilmu ) , dan lain-lain. Lihat bagan tentang definisi berikut: Syarat-syarat Definisi Karena definisi bertujuan menjelaskan dan merinci defined, maka untuk membuat definisi, kita harus memperhatikan syarat-syarat definisi. Sehingga tujuantersebut dapat dicapai dengan baik dan sempurna. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1- Definisi harus sama dengan defined dalam jumlah ekstensinya. Artinya, di mana ada ekstensi definisi di sana pula ada defined, begitu pula sebaliknya, tanpa ada kelebihan dan kekurangan dari keduanya. Inilah yang diistilahkan dalam logika, bahwa definisi harus lengkap ( jami' ) dan melarang ( mani' ). Lengkap adalah jumlah ekstensi definisi tidak boleh kurang atau lebih sedikit dari jumlah ektensi defined. Sedang makud dari melarang, yakni melarang ektensi lain masuk ke dalam ektensi defined. Dengan demikian definisi itu tidak boleh terbuat dari beberapa hal: a- Terbuat dari sesuatu yang bersifat lebih khusus dari defined. Karena tidak khusus ( sempit ) tidak mencakup semua ektensi yang lebih luas. Maka dari itu definisi yang lebih khusus tidak bisa dikatakan lengkap. Misalnya "manusia adalah yang menulis". b- Terbuat dari sesuatu yang lebih umum dari defined. Karena yang lebih umum mencakup semua ekstensi defined dan yang lain. Dengan demikian definisi yang bersifat lebih umum tidak mampu melarang masuknya ekstensi lain ke dalam ektensi defined. Maka dari itu ia tiak melarang. Misalnya "manusia adalah yang perasa". c- Terbuat daru sesuatu yang berlawanan dengan defined. Karena definisi yang berlawanan dengan defined tidak akan bertemu dalam ekstensinya, maka dari itu ia tidak dapat dikatakan lengkap dan melarng. Misalnya "manusia adalah benda mati". 2- Definisi harus lebih jelas dan terang dari defined dalam kepahaman, karena definisi bertujuan untuk menerangkan defined. Dengan demikian definisi tidak boleh terbuat dari: a- Sesuatu yang sama dalam kejelasannya dengan defined. Seperti definisi ayah bahwasanya ia adalah "yang punya anak". b- Sesuatu yang lebih tidak jelas dari defined. Misalnya "manusia adalah kumpulan atom-atom yang masing-masingnya dipertahankan oleh intelegence, sehingga tidak timbul tabrakan dan ledakan, yang intelegence itu juga mengarahkan atom-atom manusia itu sesuai naturnya". 3- Definisi harus mempunyai segi kesammaan dan perbedaan dengan defined. Sebab kkalau sama dan tidak mempunyai segi perbedaan, mmaka definisi tersebut tidak berfaedah. Dan berarti – logikanya – defined diketehui sebelum diketehui, misalnya "manusia adalah manusia tau insan". Sedang kalau berbeda dan tidak mempunyai segi kesamaan, maka definisi dan defined tidak akan pernah bertemu. Dengan demikian definii ini tidak akan dapat memenuhi tugasnya, yaitu menjelaskan atau merinci defined. Bahkan definisi ini adalah menyesatkan kepahaman. Misalnya "politik adalah jahat". Tambahan Perlu diketahui bahwa segi kemanusiaan itu terkadang ada dalam pahaman dan terkadang ada dalam ekstensi. Maksud dari kesamaam yang ada dalam pahaman adalah definisi dan defined mempunya kesamaan arti dalam akal kita. Misalnya definisi manusia sebagai "binatang rasional". Dalam akal kita binatang rasional adalah manusia dan manusia binatang rasional. Karena definisi juga dituntut untuk mempunyai segi perbedaan, maka segi perbedaan yang ada pada contoh tersebut adalah bahwa binatang rasional merupakan pahamanrinci dari manusia. Jadi perbedaanya adalah pada global dan rincinya saja. Namun, kalau segi perbedaan ini tidak ada, seperti definisi manusia adalah manusia atau insan, maka definisi semacam ini tidak memberikan faedah apa-apa, kecuali kalau menghadapi orang-orang yang banyak ragu semacam orang-orang Sophist, atau hanya ingin menjelaskan kkata-katanya saja. Definisi yang mempunyai sifat-sifat tersebut di atas disebut dengan definisi dengan predikasi - pertma ( hamlun awwaly ) dan yang dapat dipenuhioleh definisi dengan batsan-lengkap. Sedang maksud kesamaan yang ada pada ektensi adalah bahwa definisi dan defined bertemu pada wujud luar. Baik pertemuan itu sama, yakni setiap ada ekstensi definisi di sana pula ada ekstensi defined, seperti rasional dan manusia ketika anda mendefinisikan manusia sebagai rasional. Atau tidak sama, yakni ekstensi definisi lebih luas dari pada ekstensi defined , sepeerti binatang dan manusia ketika anda mendefinisikan manusia sebagai binatang. Perbedaan yang ada pada kesamaan semacam ini ada dalam kepahaman. Hal ini nampak jelas karena – seperti dalam contoh – pahaman rasional bukan pahaman manusia dan pahaman binatang bukan pahaman manusia. Definisi mempunyai sifat-sifat di atas disebut dengan predikasi-kebanyakan, yakni sering dipakai oleh kebanyakan orang. Definisi dengan predikkasi-kebanyakan ini dapat ipenuhi oleh definisi dengan batasan-kurang, gambaran-penuh, gambaran-kurang, predikasi dari lima univeral terhadap ekstensi-eksensinya ( seperti "ahmad adalah manusia", "manusia adalah golongan", "binatang adalah jenis" dan lain-lain ) 4- Definisi tidak boleh berputar. Yaitu yang untuk memhaminya perlu kepada defined. Seperti mendefinisikan angka ganjil bahwa sanya ia adalah yang tidak genap,yang mana untuk memahami angka genap akhirnya perlu untuk memahami angka ganjil juga. Yakni "angka yang tidak genap". Sebab genap adalah "angka yang tidak ganjil" Definsi tidak boleh berputar karena ia tidak memberikan faedah, menyimpang dari tujuan awal dari efinisi – yang bertujuan menerangkan defined – dan berati defined diketahui sebelum diketahui. Sebab ketika anda akan mendefinisikan defined berarti defined belum diketahui. Sementara ketika anda mendefinisakan defined degan sesuatu yang memerlukan defined untuk dimengerti, maka berarti anda mengetahui defined sebelum mengetahui definisi. Ini berarti anda telah mmengetahui defined sebelum mengetahui defined ( ustahil kan? ). Berputarnya definisi ada dua macam: Jelas dan terselubung. Conth di atas adalah contoh dari putaran yang jelas, sebab begitu kita tanyakan "angka genap itu apa", jawabannya adalah "yang tidak ganjil". Sedang contoh putaran yang terselubung adalah "genap pertama" sebagai definisi dari angka "dua". Sebab untuk memahami genap, kita perlu mendefinisikannya sebagai "angka yang bisa dibagi menjadi dua bagian yang sama". Dan untuk memahami dua yang sama kita perlu mendefinisikan sebagai "dua hal yang saling mencocoki satu sama lain". Sedang untuk memahami "dua hal" memerlukan kepahaman tentang "dua". Dengan demikian definisi pertma melewati dua tahapan lain sebelum kemudian kembali kepada defined, yangdiperlukan untuk memahami definisi pertama. Lihat bagan di bawah ini: 5- Definisi tidak boleh trdiri dari kata-kata yang asing, tida jelas,persekutuan dan majazi yang tanpa petunjuk pada makna yang dimaksud. Anehnya banyak orang merasa keren dan cendekiawan hanya dengan mengganti bahasa indonesia yang baik dengan bahasa asing. Definisi dengan Contoh Definisi dengan contoh ini tergolong definisi dengan gambaran-kurang. Yaitu "suatu definisi dengan menyebutkan sebagian ekstensi defined" . Misalnya mendefinisikan manusia sebagai "Ali, Ahmad, Husain, dan Nur Huda". Definisi ini sangat mudahmudah dipahami oleh pemula – ke alam pelanglangan logika dan filsafat – sehingga dapat membeda-bedakan sesuatu yang harus dibedakan. Definisi dengan penyerupaan Definisi dengan penyerupaan ini juga tergolong dalam definisi dengan gambaran-kurang. Yaitu "suatu definisi dengan menyerupakan defined dengan sesuatu yang lain, karena keserupaannya". Misalnya mendefinisikan dua pahaman unifersal yang berbeda sebagai "dua hal yang menyerupai dua garis yang sejajar". Definisi ini dapat di lakukan engan satu syarat, yaitu diketehuinya keserupaan tersebut oleh yang di ajak bicara. Definii dengan peyerupaan banya berfaedah dalam penjelasan sesuatu yang hanya berfifat akliah, yaitu dengan menyerupakannya dengan sesuatu yang bisa dirasa denganpanca indra. Sebab, sesuatu yang bisa dirasa dengan panca indra lebih mudah untuk diketahui dari pada sesuatu yang untuk diketahuinya hanya memerlukan perenungan. Misalnya, menyerupakkan ilmu dengan cahaya ketika mendefinisikan ilmu sebagai "cahaya".Yakni suatu yang nampak dengan sendirinya dan menampakkan yang lainnya. Definisi Dengan Pembagian Definisi dengan pembagian adalah "definisi dengan menyebutkan bagian-bagian defined". Misalnya mendefinisikan kata-kata sebagai "kata kerja, benda dan bantu".Bagian-bagian sesuatu dapat dijadikan definisinya, sebab sama dengan yang dibagi yang kebanyakan memang lebih jelas darinya. Artinya, lebih mudah untuk dipahami. Misalnya juga ketika kita mendefinisikan manusia sebagai "laki-laki dan perempuan". PEMBAGIAN DAN PENGELOMPOKAN Pada hari ini sejuta kata ada di tangan kita. Yang dengan kita dapat memahami makna yang dimaksud. Kemudian dengan semua itu kita dapat saling melukiskan apa saja melalui komunikasi kita sehari-hari, baik dari masalah-masalah urusan rumah tangga sampai labiratorium, dari langgar sampai ke perguruan tinggi, dari ladang sampai ruang angkasa, dari rencong sampao perang bintang, dari tambak sampai laut luas, dari kedai sampai plaza, dari bumi sampai mars, dari pijat sampai sinar laser dan sebagainya. Namun kalau kita renungi, bagaimmana manusia dapat menciptakan kata-kata yang betul-betul menjadi asas kehidupan dinamismereka itu? Yang tanpa kata, kita betul-betul tidak akan mampu menilai keidupan dan menghargainya? Adakah mereka dengan serta merta mampu menciptakan semua itu? Atau perlahan dan bertahap? Jawaban pertanyaan di atas adalah, perlahan.Mereka bermula dari kepahaman tentang wujud. Kemudian wujud itu merekabagi menjadi yang hidup dan yang mati, yang hidup dibagi menjadi yang perasa dan tidak, yang perasa dibagi menjadi yang rasional dan tidak, yang tidak rasional dibagi menjadi menjadi yang meringkik dan tidak, ..... dan seterusnya. Pembagian itu mereka lakukan dan terus mereka lakukan sesuai dengan kemampuan setiap generasi. Setiap manusia memahami sesuatu makna dengan pembagian-pembagian itu, mereka selalu meletakkan ke atasnya suatu kata khusus demi kemudahan komunikasi mereka. Jadi kata itu timbul setelah manusia memahami suatu makna ( lihat, bab pembagian lafazh ). Dengan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa pembagian merupakkan asas kehidupan manusia, dan membuatnya dinamis serta berkembang. Selanjutnya, yang perlu diketahui adalah bahwa pembagian semacam itu tidak pernah berhenti, sebab dengan semakin tingginya ilmu mmanusia maka semmakin banyak pula bagian-bagian sesuatuyang dapat diungkapnya. Tambahan Setelah kita mengetahui syarat-syarat definisi, kita belum bisa menggunakannya tanpa suatu pertolongan lain.Yaitu pembagian. Akan kami jelaskan setelah kita menyelesaikan pelajaran pembagian ini, tentang cara penerapan pembagian dalam definisi – Insya Allah. Asas-asas Pembagian Karena pembagian sangat penting dan agar pembagian memenuhi tugasnya, yaitu memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, maka ia harus berjalan di atas asas-asas pembagian yang sudah digariskan secara logis. Asas-asas tersebut adalah: 1- Pembagian hendaknya dapat memberikan hasil yang berguna. Yakni pada setiap bagian mempunyai hukum atau ciri-ciri yang hkusus. Misalnya, membagi manusia menjadi yang jenius dan tidak. Tidak seperti membagi zat asam – misalnya – menjadi yang dikeluarkan oleh pohon pisang, mangga, pepaya dan lain sebagainya. Sebab pembagian semacam ini tidak memberikan manfaat. 2- Bagian-bagian yang dihasilkan satu sama lain harus berbeda dan tidak saling memasuki. Artinya satu bagian tidak masuk dalam bagian yang lain. Sepeti membagi binatang mmenjadi manusia, singa, kuda, amir, burung perkutut dan seterusnya. Seab Amir dan burung perkutut mmasing-masing termasuk manusia dan burung. 3- Pembagian harus mempunyai dasar tertentu. Artinya, kita harus menentukan satu dasar pembagian, yang atas dasar tersebut kita akan melakukan pembagian. Misalnya, kita menentukan dasar warna kulit sebelum kita mmembagi manusia pada yang berkulit putih, hitam, sawo matang dan seterusnya. Dengan demikian satu hal bisa dibagi menjadi beberapa pembagian sesuai dengan dasar pembagian yang ditentukan. 4- Pembagian harus lengkap dan melarang. Artinya, bagian-bagian yang dihasilkan harus sama dengan yang dibagi, tidak lebih luas dan tidak lebih sempit. Degan demikian pembagian dikatakan lengkap dan melarang, karena mencakupi seluruh yang dibagi dan melarang masuk selain ekstensinya. Definisi Pembagian Dengan penjelasan terdahulu dapat kita mendefinisikan pembagian sebagai "membagi sesuatu menjadi golongan-golongan atau unsur-unsurnya". Penjelasan Perlu diketahui bahwa golongan yang dimaksud dalam definisi di atas lebih luas dari golongan yang dimaksud dalam pembahasan lima universal. Sebab golongan di sini tidak dituntut harus berbeda dalam esensinya. Seperti membagi manusia menjadi dua golongan kulit putih dan hitam dan seerusnya. Dengan demikian kata golongan di sini lebih condong kepada makna bahasa bukan maka istilah yang dipakai dalam logika. Golongan-golongan Pembagian Pembagian mempunyai dua golongan, pembagian-alami ( natural ) dan pembagian-logika. 1- Pembagian-Alami ( Tabi'iyyah, Natural ) Pembagian-alami adalah "membagi keseluruhan menjadi bagian-bagian atau unsur-unsurnya". Seperti membagi manusia menadi binatang dan rasional; atau menjaadi daging, darah, tulang dan seterusnya. Pembagian-alami dibagi menjadi: Akliah, Alamiah dan Buatan. 1- Pembagian-alami yang akliah adalah membagi atau mengurai yang dibagi menjadi bagian-bagian yang berupa wujud dala. Semacam membagi manusia menjadi binatang dan rasional. Bagian dalam pembagian ini disebut yang akliah. 2- Pembagian-alami yang alamiah ( thabi 'iyyah ) adalah membagi atau mengurai yang dibagi menjadi unsur-unsur yang berupa wujud luar. Semacam membagi manusia menjadi daging, darah, tulang dan seterusnya; atau air menjadi oksigen dan hidrogen. Bagian pada pembagian ini disebut bagian yang alamiah. 3- Pembagian-alami yang buatan ( shana 'iyah ) adalah membagi sesuatu yang berupa hasil karya manusia menjadi bagian-bagiannya. Seperti membagi rumah menjadi dinding, lantai, pintu dan seterusnya. Bagian pada pembagian ini disebutbagian-buatan. 2- Pembagian-Logika ( Manthiqi ) Pembagian-logika adalah "membagi universal menjadi partikulir-partikulirnya ". Seperti membagi binatang mnjaddi manusia, kuda, kicing dan seterusnya; atau mmembagi manusia menjadi Ali, Husain, siti, dan seterusnya. Pembagian-logika dibagi menjadi dua: 1- Pembagian jenis kepada golongan-golongannya. 2- Pembagian golongan kepada partikulir-partikulirnya. Syarat-syarat pembagian-logika: 1- Harus mmenentukan suatu dasar pembagian sebelumnya untuk sesuatu yang akan dibagi yang darinya bagian-bagian akan keluar. Seperti membagi binatang atas dasar rasional, ia akan terbagi menjadi binatang rasional dan tidak rasional 2- Ekstensi dari bagian-bagianharus sama dengan ekstensi yang dibagi. Artinya, pahaman yang dibagi harus bisa diterapkan pada ekstensibagiannya. Misalnya wujud luar manusia yang mana ia sebagai ekstensi manusia yang sebagai bagian dari biatang, ia-wujud luar manusia yang merupakan ekstensi manusia- harus bisa dikatakansebagai binatang. 3- Bagian-bagian yang ada tidak boleh saling memasuk. Misalnya, pembagian manusia kepada kulit putih, hitam, sarjana, kaya, alim dan seterusnya. Sebab bisa saja orang kulit putih juga sarjana dan kaya. 4- Mata rantai dari bagian-bagian haruslah urut. Misalnya, membagi binatang manjadi manusia, kuda, kucing dan seterusnya. Kemudian membagi manusia menjadi sarjana dan bukan sarjana dan seterusnya. Bukan membagi binatang menjadi sajana dan bukan sarjana. Perbedaan Pembagian Logika dan Alami 1- Pada pembagian-logika, bagian dapat dipredikatkan kepada yang dibagi. Begitu pula sebaliknya. Seperti predikasi atas manusia "bahwasanya binatang" dan "binatang ini adalah manusia". Tapi pada pembagian-alami hal di atas tidak bisa dilakukan. Maka tidak bisa kita katakan bahwasanya oksigen itu adalah air, atau air adalah oksigen. 2- Pemadian-logika, dimulai dari atas ke bawah, yaitu dari jenis ke golongan kemudian ke kelompok-kelompok serta individu-individunya. Sedang pembagian-alamisecra sekaligus dan langsung. Metode Pembagian Supaya pembagian menghasilkan hasil yang benar dan mencakup semua yang dikandung oleh yang dibagi, maka kita bisa menggunakan dua metode yang ada, tsuna'i dan rinci. 1- Pembagian dengan dua susunan plus dan minus ( tsuna'i ) Yaitu pembagian yang dilakukan dengan memakai sistemm positif dan negatif. Misalnya membagi binatang menjadi rasional dan tidak; membagi rasional menjadi laki-laki dan bukan; membagi laki-laki menjadi asia dan bukan; pembagian Asian menjadi Indonesia dan bukan; membagi Indonesian menjadi orang jawa dan bukan dan seterusnya.. Sehingga, walaupun pembagian kita hanya menghasilkan sua bagian, misalnya, membagi binatang kepada rasional dan tidak, akan tetapi dua bagian tersebut dapat mencakup seluruh ekstensi binatang. 2- Pembagian dengan metode rinci ( tafshiliyyah ), yaitu membagi seuatu kepada semua bagian-bagiannya. Seperti membagi manusia menjadi laki-laki dan perempuan. PENGELOMPOKAN Kalau kita bekerja di toko buku – misalnya – maka kita harus dapat menyusun dan mengelompok-ngelompokkan buku-buku yang akan kita jual untuk konsumen, supaya memudahkan mereka dalam mencari buku-buku yang diperlukan. Misalnya, kita pisahkan buku-buku agama pada satu tempat, begitu pula yang lainnya. Kemudian buku-buku agama itu pun dikelompokkan lagi. Misalnya, buku-buku tafsir, fiqih, filsafat-tauhid, aqidah, sosial, sejarah dan lain-lain. Masing-masing diletakkan pada satu tempat khusus. Kalau kita telah melakukan semua itu bererti kita telah mengelompokkan buku-buku di toko terebut. Dengan demikian pengelompokan itu adalah " Peletekan ndividu-individu dalam kelompok-kelompok yang berbeda yang didasarkan pada sifat khususnya". Dasar-dasar Pengelompokan Dasar-dasar pengelompokan tidak berbeda deengan dasar-dasar pembagian, Yaitu diharuskan adanya satu dasar bagi pegelompokan yang dilakukan. Perbedaan antara pembagian dan pengelompokan: 1- Bagian-bagian pada pembagian, satu sama lain berbeda hakekat, sedng pada pengelompokan tidak; alias hanya dibedakan dengan sifat-sifat khususnya. Maka dari itu pembagian yang menghasilkan golongan dikatan penggolongan, yang menghasilkan kelompok – yaitu yang dibedakan dengan sifat – disebut pengelompokan, dan yang menghasilkan individu disebut pengindividuan. 2- Pembagian selalu dari atas ke bawah, sedang pengelompokan tidak ( misalnya anda mengumpulkan mengumpulkan nama-nama pengarang sesuai dengan huruf abjad dan mengelompokkan buku-buku atas dasar nama-nama tersebut ). Pelengkap Dalam pelajaran definisi, kami telahmenguraikan dan merinci cara-cara mmendefinisikan sesuatu, sehingga kita dapat mengetahui apa-apa yang sebelumnya berupa majhul-tashawwuri. Di sin perlu kami berikan contoh menetrapkan teori-teori tersebut sesuai dengan janji kami pada awal bab pembagian. Kita mengambil manusia sebagai contoh ini. Langkah pertama, kita harus enyadari bahwa kita belum mengetahui hakekat manusia. Langkah kedua, kita harus mencari jenis manusia itu. Kalau kita menjumpainya, maka kita akan berpndah kepada langkah ketiga, yang dari langkah tersebut hakekat pikiran, seperti yang kami terangkan sebelumya mengenai pikiran, dimulai. Mengenai jenis manusia tentu sudah maklum yaitu "binatang". Langkah ketiga, gerak akal dari majhul ( yang belum diketahui )kepada yang dikeahui. Maksudnya, melihat manusiadan semua golongan yang ada dalam naungan Langkah keempat, kita harus bisa mencari zat atau sifat yang dapat membedakan manusia dari golongn lainnya. Kalau hal ini tidak bisa kita lakukan berarti kita tidak akan bisa mengatasi masalah kita, yaitu untuk daat mendefinisikan manusia. Tetapi kalau hal itu bisa dilakukan, maka berarti kita telah membatasinya baing dengan batasan-batasan atau gambaran-lengkap. Tentu dalam hal ini pembeda manusia adalah "rasional" dan sifat khususnya adalah "tertawa", misalnya. Dan berarti kita dapat membagi manusia pada jenis-dekat dan pembeda-dekatnya atau pada jenis-dekat dan sifat khususnya, dengan pembagian alami yang akliah. Langkah kelima, kal kita dengan membawa bekal penemuannyayang dilakukan pada langkah keempat, kembali kepada yang asalnya majhul yaitu "manusia". Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa "manusia adalah binatang rasional", sebagai definisidengan batasan-lengkapnya, atau "binatang tertawa" sebagai definisi dengan gambaran-lengkapnya. Satu lagi yang perlu anda kuasai sebbelum anda menefinisikan sesuatu. Yaitu cara membuat tangga pahaman.Tangga pahaman ini harus anda mulai dari bawah. Yakni dari pahamanyang partikulir, atau minimal dari sesuatu yang akan anda definisikan. Dan untuk keatasnya ( baca: yang luas ) harus beranjak secara perlahan. Maksudnya tidak boleh eloncat. Karena kalau sampai terjadi loncatan, jenis dari yang akan anda definisikan, yang semestinya jauh bisa menjadi jenis dekat. Sehingga anda tidak akan dapat mendefinisikannya dengan batasan, melainkan hanya dengan gambaran. Misalnya, ketika anda mau mendefinisikan air.Anda terlebih dahulu harus mencari pahaman universal yang lebih luas sedikit dari air. Misalnya "benda cair".Dan anda tidak boleh meloncat, misalnya mengambil "benda tidak berkembang" sebagai pahaman di atasnya. Sebab ia adalah urutan setelah "benda cair". Kalau hal itu sampai terjadi, anda tidak akan dapat mmenemukan jenis-dekat air. Itu berarti anda tidak dapat memberikan batasan untuk air. Dan satu-satunya yang dapat anda lakukan adalah memberikan gambaran. Sebab batasan, mestilah diambil dari jenis-dekat dan pembeda-dekat. Sementra jenis-dekat suatu golongan adalah pahaman yang lebih luas yang secara langsung ( tidak berjarak ) ada di atasnya.Perhatikan beberapa contoh tangga pahaman berikut ini. TANGGA PAHAMAN Keterangan Diagram ( mengambil diagram pertama ): Kalau anda ingin mendefinisikan "air", maka anda tinggal mengambil "Benda cair" sebagai jenisnya, dan carilah benda atau,kalau tidak bisa, sifat khususnya yang dapat membedakannya dari golongan-golongan lain yang bersatu dengannya di "benda cair". Begitu pula kalau anda ingin mendefinisikan "benda-cair". Maka anda tinggal mengambil "benda tak berkembang" dan menambahkan benda atau sifat khusus kepadanya. Begitulah seterusnya. Akhirnya dengan puji syukur ke hadirat Allah SWT, kami akhiri buku pertama ini dengan harapan semoga bermanfaat bagi kaum muslimin, khususnya bangsa kita tercinta Indonesia.