dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 EBOOK INI BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIL, MAKA BELILAH BUKU ASLINYA CECEP SYAMSUL HARI Soska Novel Worldwide Copyright © Cecep Syamsul Hari Email: cecepsyamsulhari@yahoo.co.id Official website: http://www.freewebs.com/cecepsyamsulhari Edisi E-book diterbitkan oleh: Orfeus E-books Januari, 2008 3 Cecep Syamsul Hari lahir di Bandung, Jawa Barat, Indonesia, 1 Mei 1967. Reputasinya sebagai penyair tak dapat dipisahkan dari dua buku kumpulan puisinya yang paling dikenal: Kenang-kenangan (1996, Remembrance) dan Efrosina (Euphrosine, cetakan pertama sebanyak 1.000 eksemplar pada tahun 2002; cetak ulang sebanyak 10.000 eksemplar pada tahun 2005). Karya-karyanya dipublikasikan secara internasional dalam sejumlah jurnal dan antologi: Heat Literary International (Sydney, Australia, 1999), Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings (United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006). Ia menerjemahkan sejumlah buku, antara lain: Para Pemabuk dan Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja (selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation of Bukhari's hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected short stories of R.K. Narayan, 2002). Ia pun menjadi editor sejumlah buku, di antaranya: Kisah-kisah Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq Ismail, et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A Perspective of Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes, 2004). Pada tahun 2006, Cecep Syamsul Hari tinggal di Korea Selatan sebagai sastrawan tamu (writer in residence) atas undangan Korea Literature Translation Institute. Pada bulan Desember 2007 s.d. Februari 2008, ia tinggal di Selangor, Malaysia, sebagai sastrawan tamu atas undangan Rimbun Dahan Arts Residency. Cecep Syamsul Hari adalah redaktur majalah sastra Horison. * 4 Daftar Isi 1 Tubuh Pria Itu Pecah Berkeping-keping Ratusan Kupu-kupu Bersayap Warna-warni 2 Le Petite Soska Dua Esai dan Tiga Surat Cinta 3 Testamen dan Buku Harian Hanya Ada Satu Kali Penerbangan ke Kendari Catatan 5 1 6 Tubuh Pria Itu Pecah Berkeping-keping 7 UNTUK urusan nama, saya tidak semujur kakak saya. Ayah saya, Rahmansyah Syaefullah, memberi saya nama Syamsul Heri Rahmansyah. Tiga belas tahun kemudian seorang pegawai administrasi sekolah dasar yang kemungkinan besar bermusuhan dengan huruf y dan patut diduga sangat suka pada huruf a menulis di ijazah SD saya Samsul Hari; tanpa y dalam Syamsul; mengubah e dalam Heri menjadi a; dan dengan tangan besi mengirim Rahmansyah untuk selamanya ke pembuangan politik. Lebih dari itu, entah siapa yang mengilhaminya, ia memberi saya nama depan: Cecep. Ketika saya melanjutkan sekolah saya ke SMP, lalu ke SMA, kemudian ke perguruan tinggi, nama saya harus sesuai dengan ijazah SD saya kecuali jika saya mau mengurus kesalahan administratif itu melalui mekanisme birokrasi lembagalembaga pemerintahan Orde Baru; dimulai dengan mengurusnya di unit yang paling kecil, RT (Rukun Tetangga), dengan membawa surat keterangan dari kepala sekolah yang wajib dilampirkan di ijazah SD; lalu Pak RT akan memberi surat pengantar yang harus saya bawa kepada Ketua RW (Rukun Warga) untuk mengurus surat pengantar Pak RW yang mesti saya bawa ke kelurahan untuk mendapatkan surat pengantar serupa dari Kepala Desa yang wajib saya bawa ke kecamatan. Setelah urusan dari RT hingga kecamatan selesai, saya harus pergi membawa surat pengantar Pak Camat ke balai kota yang melalui salah seorang pegawainya yang berwenang akan memberi saya rekomendasi untuk saya bawa ke kantor catatan sipil yang akan mengubah akta kelahiran saya dan mengembalikan nama saya ke jalan yang benar. 8 Ayah saya tidak memandang perubahan nama akibat kelalaian administratif itu sebagai urusan penting. Begitu pun saya di kemudian hari memutuskan berdamai dengan nama pemberian pegawai administrasi itu sampai pada suatu hari di tahun 1986 saya melakukan pemberontakan kecil ketika saya mulai mengirimkan puisi-puisi saya ke rubrik “Pertemuan Kecil” koran Pikiran Rakyat yang waktu itu masih diasuh Saini KM. Jangan tanya saya apa nama ijazah SD Saini KM. Saya tidak tahu. Yang saya tahu kemudian “KM” di belakang Saini ternyata bukan seperti yang saya duga, Kartahadimaja, melainkan nama lain. Pemberontakan kecil itu ialah dalam tulisan-tulisan saya, saya menggunakan nama kompromistis: mempertahankan y dalam Syamsul, menerima Hari untuk Heri, tidak lagi mengungkit-ungkit nasib Rahmansyah, dan menerima nama depan Cecep itu, yang bagi masyarakat Sunda memiliki makna amelioratif sebagai anak kesayangan. Demikianlah, nama itulah, Cecep Syamsul Hari, yang kemudian lebih dikenal kawan-kawan saya ketika puisi-puisi saya kerap dimuat di Pikiran Rakyat. Untuk sementara waktu tidak muncul persoalan. Bahkan dengan bangga saya dapat menuliskan nama kompromistis itu di KTP saya sampai suatu siang di tahun 1999 saya pergi mengurus paspor ke kantor imigrasi. Saya memerlukan paspor karena pada tahun itu saya diundang menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru, Malaysia. Rencananya, kami, delegasi Indonesia, akan pergi naik kapal laut ke Batam, dan dari Pelabuhan Sekupang menyeberang ke Singapura menumpang kapal cepat, lalu dari sana kami akan naik bis menuju 9 tempat acara itu diselenggarakan di Hotel Hyatt, Johor Bahru. Pengalaman pergi ke Johor Bahru adalah pengalaman pertama saya naik kapal laut, “berkayuh” dalam istilah orang Malaysia. Sejak itu saya jatuh cinta pada kapal laut meskipun kesempatan berkayuh jarang sekali saya dapatkan. Bersama berkas-berkas lain, di kantor imigrasi itu saya diminta menyerahkan fotokopi ijazah saya. Maka, si pegawai administrasi yang imortal seperti kesatria Highlander itu muncul kembali sebagai pemenang. Nama paspor saya akhirnya terpaksa menyesuaikan diri dengan nama di dalam ijazah SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi saya. Apalah arti sebuah nama, kata seorang pujangga Inggrisi yang namanya memberikan arti yang besar dalam membersihkan kotoran dan aib salah satu negeri moyang kolonialisme yang di masa lalu menyombongkan diri mengklaim matahari tidak pernah tenggelam di wilayahnya itu. Untunglah pula ayah dan saya, ketika saya berangkat dewasa dan mulai paham urusan-urusan administrasi pemerintahan, tidak cukup gila untuk mengurus persoalan kecil yang menjanjikan banyak kerumitan itu. Jadi, yang sudah terjadi, ya biarkanlah terjadi. Let’s gone be bygone. Ini hanya persoalan sebuah kata yang tidak mau menerima kehadiran huruf y; pertempuran diam-diam di dalam kata yang lain antara sesama huruf vokal a dan e; dan Rahmansyah yang apa boleh buat dipaksa mati muda di pembuangan politik.  SAHABAT-sahabat saya kemudian memanggil saya Cecep. Namun, di kafe-kafe yang pernah saya kunjungi yang sebagian kecil di antaranya menjadi 10 kafe langganan saya, para penyanyi atau pelayan—selalu saja terbuka jalan yang membuat sebagian dari mereka menjadi kenalan saya—biasa memanggil saya Sam atau Mas Sam. Sam menjadi semacam nama alias untuk kehidupan saya yang lain. Kehidupan malam. Juga untuk kehidupan rehat siang atau jeda sore berongkos mahal ketika saya merasa segar kembali dan siap menjalani sisa hari itu bukan melalui siesta alias tidur siang seperti umumnya dilakukan para pekerja Meksiko dan para penyair Yogya yang saya kenal, dan bukan juga dengan jalan-jalan sore di mal seperti ditempuh para ABG di kota-kota besar, melainkan dengan segelas machiato atau latte atau secangkir kopi pekat Italia yang kadang-kadang dicampur light-rum. Jauh sebelum kafe menjadi sangat populer di negeri saya yang sangat rakus pada segala sesuatu berbau modis, dari mulai gaya pakaian sampai gaya pemikiran, dari mulai gaya hidup hippies yang pura-pura populis hingga gaya hidup borjuis yang pura-pura elitis, sebagai seorang remaja yang tumbuh di kota besar saya sering mengunjungi tempat-tempat yang sejak awal tahun 1990-an, melihat cara kerjanya, dapat dikategorikan sebagai kafe. Saya rasa itu dimulai sejak saya duduk di kelas satu SMA ketika saya menjalin persahabatan dengan seorang gadis. Sejenis persahabatan yang aneh karena beberapa hari setelah kami duduk di kelas tiga sering pula kami melakukan aktivitas yang umumnya dilakukan orang yang sedang berpacaran. Ya, semacam itulah. Berpegangan tangan, duduk berdampingan saling merapatkan badan di halte bis kota atau 11 bangku taman sekolah, dan kadang-kadang juga berciuman. Yang terakhir ini seingat saya hampir seluruhnya dilakukan di rumah gadis itu ketika kebetulan hanya kami berdua saja yang sedang berada di ruang tamu, di ruang tengah atau di ruang makan. Seingat saya pula, kami belum pernah berciuman di kamar pembantu maupun di kamar mandi. Sedangkan di kamar tidur, kami hanya sekali pernah melakukannya, di sebuah malam yang heboh ketika dengan kekuatan banteng betina yang terluka gadis itu meninju dagu saya. Diam-diam ternyata tumbuh juga perasaan cinta di dalam diri saya lengkap dengan berbagai hukuman yang dapat dipastikan muncul mengiringi perasaan semacam itu: cemburu, takut ditinggalkan, rindu, keinginan untuk sepenuhnya memiliki, dan semacamnya. Karena saya belum pernah mengalami hal serupa dengan gadis lain, saya kira gadis itu tak bisa tidak merupakan cinta pertama saya. Nama gadis cinta pertama saya itu, Neni Aryani. Neni dan saya memiliki hobi yang sama: bermain musik dan bernyanyi. Di rumahnya kami sering memainkan lagu favorit kami berdua: Castles Made of Sand atau dikenal pula dengan judul lain: Little Wing. Lagu itu tak bisa dipandang sebelah mata. Itu sebuah komposisi sulit. Penciptanya Jimi Hendrix. Banyak penyanyi yang membawakan kembali lagu itu dengan interpretasi musikal berlainlainan. Meskipun dasarnya merupakan komposisi rock namun para penyanyi jazz sangat menyukainya dan lama kemudian lagu itu pun memasuki barisan standar khasanah lagu-lagu jazz. Di tahun 1994 Tuck & Patti, duet pria gitaris berkulit putih dan wanita vokalis berkulit hitam, mempopulerkan kembali lagu itu. 12 Kesannya jadi sakral. Di awal tahun 2000-an kelompok musik bersaudara, The Corrs, kembali mempopulerkan lagu itu. Kesannya menjadi profan. Cair dan seksi. Dulu, kami berdua biasa memainkannya dengan gitar dan piano. Neni menarikan jari-jemarinya yang lincah namun gemulai di atas tuts piano dan menyanyikan lagu itu dengan lengkungan-lengkungan suara yang sekilas mirip Aretha Franklin. Mendesah dan membebaskan. Sementara pada saat yang bersamaan saya mengiringi dentingan piano dan alunan suara Neni dengan petikan gitar. Kadang-kadang kami menyanyikan pula Smoke Gets in Your Eyes dan Fly Me to the Moon. Keduanya juga lagu standar jazz. Fly Me to the Moon biasa kami mainkan tanpa gitar, Neni mengiringi saya menyanyikan lagu itu dengan permainan piano yang sangat lentur, seperti tarian fokstrot. Neni jauh lebih kaya daripada saya. Lebih tepat saya katakan ayahnya jauh lebih kaya dibandingkan ayah saya. Ia sering mengisi kantong saya yang kerap kosong dan mentraktrir saya minum, makan, dan nonton, dan saya membalasnya dengan membantunya mengerjakan tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan di rumah dan menjadi ensiklopedia ilmu pengetahuan yang sedang saja tebalnya bagi rasa ingin tahunya yang besar. Singkatnya, kami saling mengisi kekurangan kami masing-masing. Dengan sadar. Saya percaya Neni dalam keadaan sadar pula ketika pada suatu hari di tahun 1986—waktu itu kami baru saja lulus SMA yang berarti pula kini kami bebas berbuat apa saja tanpa harus takut dimarahi guru—mengusulkan kepada saya bahwa hubungan kami mulai hari itu harus secara tegas didefinisikan sebagai 13 sahabat saja. Tidak lebih tidak kurang. Menurutnya, hubungan kami tidak mungkin di masa depan ditingkatkan menjadi sepasang kekasih serius apalagi ditingkatkan lagi menjadi sepasang suami-isteri serius. Alasan Neni adalah ini: kami sudah sangat terbuka satu sama lain sehingga apabila kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih lalu menikah kemudian menjalani kehidupan sebagai ayah dan ibu dari sejumlah anak, pengetahuan kami masing-masing atas kekurangan kami masing-masing akan menjadi senjata yang sangat berbahaya untuk saling menikam dari belakang jika terjadi percekcokan atau perselisihan. Pada akhirnya kami akan terpaksa bercerai. Dan perceraian selalu meninggalkan luka yang pedih, dalam, dan lama. Seperti luka yang lama ditanggung Neni akibat perceraian mama-papanya. Bertahun-tahun yang lalu, mamanya tiba-tiba saja pergi dari rumah itu dengan seorang lelaki yang lebih tampan dari iblis sebelum dikutuk karena menolak bersujud di depan Adam. Meninggalkan Neni 15 tahun dan Nana 10 tahun. Kakak-beradik itu tiba-tiba tidak punya mama dan sebagai gantinya menemukan papa yang dulu penyayang berubah menjadi pemabuk. Begitulah, selepas SMA kami pun berpisah. Saya melanjutkan pendidikan saya di IKIP Bandung, dan dua minggu setelah saya lulus dari perguruan tinggi yang mencetak calon-calon guru itu hingga sekarang saya telah menjalani berbagai jenis pekerjaan: loper koran; penjaga toko pakaian; sopir angkot; pelayan rumah makan Padang; penjual polis asuransi jiwa; pramuniaga mainan anak-anak; pramuniaga buku-buku pelajaran; 14 pramuniaga mobil bekas; makelar jual-beli tanah; distributor Amway (pekerjaan ini telah berhasil melatih saya terampil memakai dasi); guru Tsanawiyah; guru SMA; pegawai bagian penilaian kredit sebuah bank (dimungkinkan bekerja di tempat itu karena dua sebab: pertama, saya mengantongi sertifikat lulus pelatihan perbankan, dan kedua, isteri saya adalah salah seorang pemegang saham di bank itu); editor bahasa sebuah majalah seni rupa; pemilik rental, sekaligus toko perakitan, komputer; dosen tidak tetap di dua perguruan tinggi swasta untuk mata kuliah sosiologi dan penulisan ilmiah; penyunting dan penerjemah lepas sebuah penerbitan besar di Bandung; pemimpin redaksi sebuah jurnal puisi dan esai yang sekali berarti setelah itu almarhum; manajer program sebuah yayasan penerbit buku-buku seni rupa merangkap sekretaris pribadi seorang pelukis ternama; bos outlet yang menjual berbagai jenis telefon genggam baru dan bekas beserta seluruh aksesorisnya; dan dosen tamu di sebuah perguruan tinggi negeri untuk mata kuliah penulisan kreatif. Nasib jugalah yang membawa saya menjadi salah seorang redaktur sebuah majalah sastra yang paling panjang umur di sebuah negeri yang tidak terlalu hirau pada umur manusia dan mahluk hidup lain. Sementara itu, selepas SMA, Neni yang berparas bidadari itu melanjutkan studinya dalam ilmu ekonomi di sebuah universitas di Singapura, lalu mengambil master dalam hukum internasional di sebuah universitas di Amerika Serikat, dan meraih gelar doktor dengan disertasi perihal cyber-crime di universitas lainnya lagi di negara yang sama. Hingga beberapa tahun yang lalu, kami masih sering kontak melalui surat-surat biasa dan surat-surat elektronik. Email terakhir yang 15 saya terima dari Neni, saya peroleh sekitar seminggu setelah Soeharto memutuskan mengundurkan diri, dan setelah itu Neni seperti tiba-tiba ditelan bumi, tak pernah terdengar kabarnya lagi. Saat ini usia kami masing-masing sudah masuk kepala 3. Saya sudah punya seorang anak perempuan yang berkulit hitam manis seperti ayahnya dan seorang anak laki-laki yang kulitnya putih-mulus seperti ibunya. Si bungsu ini tampannya bukan main. Saya tidak tahu ketampanannya diwarisi dari siapa. Jelas bukan dari saya. Semua orang tahu saya jauh dari tampan seperti halnya panggang jauh dari api. Mungkin ketampanan anak saya itu diwariskan dari kakeknya, ayah saya, yang dulu di masa mudanya konon disukai para gadis.  DALAM pandangan Raudha, isteri saya, ayah saya setampan Frank Sinatra. Tentu saja saya menolak keras pendapat isteri saya karena pada hemat saya Frank Sinatra sama sekali tidak tampan. Saya kira hanya isterinya, mantan pacarnya, dan orang aneh saja yang yakin Frank Sinatra tampan. Karena isteri saya bukan isterinya dan juga bukan mantan pacarnya, jadi saya kira isteri saya adalah orang aneh itu. Ngomong-ngomong tentang isteri saya, sebenarnya Raudha adalah isteri saya yang ketiga. Maksud saya, sebelum kawin dengan Raudha saya pernah dua kali menikah dengan dua perempuan yang berbeda. Pernikahan pertama saya dilakukan dengan hanya bermodalkan keberanian. Modal nekat. Orangtua kami masing-masing tidak setuju kami menikah karena menurut mereka usia kami masih sangat muda, lagi pula kami 16 masih kuliah dan oleh sebab itu lebih baik kami menyelesaikan kuliah kami dulu. Kami tidak mempedulikan keberatan orangtua kami. Akhirnya mereka menyerah. Saya dan Indah Rusmini pun menikah. Tidak dirayakan. Hanya keluarga dekat saja yang diundang. Untunglah tidak dirayakan karena enam bulan kemudian kami bercerai. Orangtua kami benar, kami masih sangat muda. Ego kami sama besarnya. Kemauan kami untuk menang sendiri sama kuatnya. Semua urusan rumah tangga dan semua perkara sepele menjadi persoalan. Memasuki bulan ketiga perkawinan, “simfoni pecah piring”—istilah sastrawan Medan, A. Rahim Qahhar—pun terjadi. Piring-piring mulai beterbangan di dapur, kadang-kadang diterbangkan Indah dan lain waktu diterbangkan saya, semuanya karena persoalan kecil, yang bermunculan dalam kalimat-kalimat interogatif seperti ini: “Kenapa nasi belum matang?”; “Kenapa nasi sudah matang tapi sayur lodehnya belum dimasak?”; “Kenapa sayur lodeh ini terlalu asin?”; “Kenapa kaus kakimu bau sayur lodeh?”; “Kenapa kamu tidur pakai kaus kaki?”; “Kenapa kamu membaca sambil tidur?”; “Kenapa cangkir kopi kamu simpan di tempat tidur?”; “Kenapa kamu pulang telat dan mengganggu tidurku?”; “Kenapa kamu pakai daster di dapur?”; dan sejenisnya, dan sebagainya. Urusan musik dan penyanyi idola pun menjadi persoalan besar. Indah selalu marah besar kalau saya mendengarkan Jimi Hendrix dan saya tak tahan Rhoma Irama menggoda Indah sepanjang malam. Indah mengejek Jimi sebagai “si Bising” karena petikan gitarnya yang mendengking-dengking dan saya membalas ejekan Indah dengan menyebut Rhoma sebagai “si Gasing” karena gaya jogetnya 17 yang balik kiri lalu menghadap ke depan lalu balik kanan lalu menghadap lagi ke depan lalu mengangkat kaki kiri lalu setelah kaki kiri diturunkan mengangkat kaki kanan lalu setelah kaki kanan diturunkan berputar ke belakang sebelum akhirnya kembali menghadap ke depan. Lalu, ketika seekor kucing berbulu putih tebal dari negeri entah-berentah tanpa diundang datang sebagai mahluk ketiga dalam kehidupan rumah tangga kami dan saya memutuskan untuk memeliharanya, kepala ikan dan kucing itu pun menimbulkan masalah yang berlaut-larut. Kami berdua penggemar ikan, cuma saya tak suka kepala ikan dan Indah sebaliknya. Sejak kecil saya selalu memberi kucing jenis apa pun yang saya pelihara kepala ikan karena menurut saya kepala ikan jenis apa pun hanya pantas dimakan seekor kucing sedangkan bagi Indah kepala ikan adalah bagian yang paling mewah dari seekor ikan. Maka bermingguminggu lamanya kosa kata “kepala ikan” dan “kucing” yang diungkapkan dalam nada yang keras pun berhamburan ke seluruh sudut rumah kontrakan kami dan gaungnya sampai ke rumah-rumah tetangga. Namun, saya kira, yang membuat kami bercerai enam bulan setelah kami menikah adalah karena Indah bersikeras tidak ingin punya anak sebelum kuliahnya selesai dan kami berdua memperoleh pekerjaan tetap dan saya dapat membeli rumah sendiri, dan sebelum semua cita-cita mulia itu tercapai ia bersikeras pula tidak mau ber-KB dengan cara apa pun: memasang spiral, minum pil antihamil, disuntik secara teratur atau menghitung-hitung kalender untuk 18 mengetahui masa subur dan masa tidak subur, dan dengan tegas menyuruh saya memakai kondom. Saya alergi kondom. Itulah persoalannya. Setiap kali saya menyarungkan kondom ke tempat yang semestinya, tak berapa lama kemudian tubuh saya dipenuhi bentol-bentol yang gatalnya bukan main. Bayangkanlah melakukan hubungan intim sambil menanggung duka gatal di seluruh tubuh. Saya bisa menerima menunda punya anak tetapi saya tidak bisa menerima kenyataan harus memakai kondom, dan dengan demikian harus menanggung duka gatal itu setiap kali melakukan hubungan seksual, untuk suatu jangka waktu yang tak bisa ditentukan. Siapa berani menjamin segera setelah saya selesai kuliah saya dapat pekerjaan tetap dan segera setelah saya dapat pekerjaan tetap saya bisa segera membeli rumah sendiri? Saya pun akhirnya sadar bahwa saya tidak bisa meniru jejak teman kuliah saya, Fais dan Dewi Kania, yang menikah di usia muda namun hidup rukun-rukun saja. Maka pernikahan diam-diam itu pun berakhir pula dengan diam-diam, dimulai di lingkungan keluarga dan diakhiri di lingkungan keluarga pula. Meskipun terjadi banyak keributan selama masa perkawinan, ketika kami bercerai kami melakukannya secara baik-baik. Inilah kata-kata Indah terakhir sebelum kami resmi dipisahkan talak satu: “Indah harap Kakak menemukan pengganti yang lebih baik dari Indah.” Dan inilah jawaban saya: “Kakak harap Adik pun memperoleh pengganti yang lebih baik dari Kakak.” 19 Pengganti Indah Rusmini itu datang setahun kemudian, sebulan setelah saya menempuh ujian sidang skripsi saya. Dan sesuai harapan Indah, isteri kedua saya ini memang lebih baik dari Indah. Namanya Abidah as-Salihah, dan sesuai dengan namanya ia betul-betul menempa dirinya sendiri sebagai `abd, hamba, yang menjalankan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan-Nya. Kecuali sedang haid, Abidah biasa puasa selang sehari atau lazim disebut puasa Daud dan tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Pernah pada suatu hari ia menangis dengan kesedihan yang sempurna dari pagi sampai datang waktu shalat dhuhur. Saya sangat cemas melihatnya menangis begitu rupa. Ketika saya tanya kenapa ia menangis demikian memilukan ia menjawab terbata-bata bahwa hari itu ia terlambat shalat subuh. Seketika itu juga saya merasa sangat berdosa dan meminta maaf kepadanya dan memohon ampun kepada Tuhan karena saya pikir sayalah yang menjadi penyebab Abidah terlambat bangun dan ketinggalan waktu shalat subuh. Mungkin ia kelelahan karena malamnya saya terlalu bersemangat bercinta. Lepas shalat isya hingga pukul tiga dini hari kami melakukannya tiga kali. Sebagai isteri yang salihah, ia mengikuti saja kemauan suaminya. Saya memang keterlaluan. Sejak itu saya memutuskan melakukan hubungan intim dengan Abidah hanya sekali seminggu, dan setiap hubungan intim cuma dilakukan satu kali. Kelak keputusan bersejarah dalam kehidupan saya sebagai lelaki dan sebagai suami ini saya berlakukan pula kepada Raudha. Saya yang kurang memperoleh pendidikan agama dengan lembut diajari Abidah berbagai cara untuk menemukan jalan ke surga. Sampai suatu ketika, tiga 20 bulan setelah hari perkawinan kami, Tamtamur, kucing peliharaan kami, tanpa alasan yang jelas lari ke luar pintu pagar rumah kami dan Abidah yang mencemaskan nasib Tamtamur mengejarnya untuk membawanya masuk kembali ke dalam rumah. Seorang tukang ojek sepeda motor berkulit hitam-arang, berambut lurus-panjang dan berkumis tebal yang mengebut motornya seperti setan membanting setang motornya ke samping berusaha menghindari tabrakan dengan Tamtamur karena para tukang ojek sepeda motor percaya menabrak mati kucing adalah alamat akan memperoleh nasib sial seumur hidup. Tamtamur kami tersayang selamat. Abidah saya tersayang tidak. Tubuh Abidah terlempar kembali ke pintu pagar rumah kami setelah bagian belakang kepalanya membentur tembok beton lebih dulu akibat hantaman sangat keras sepeda motor setan itu. Selama dua minggu Abidah koma di rumah sakit dan pada hari kelima belas ia membuka matanya sekerjapan, lalu bibirnya bergerak-gerak, dan ketika saya mendekatkan telinga kanan saya ke bibirnya, Abidah berbisik lirih. Saya kaget karena suara itu bukanlah suara Abidah melainkan suara yang belum pernah saya dengar keluar dari mulut manusia mana pun sebelumnya. Mungkinkah suara malaikat? Mungkin saja saya kira. Saya menduga di wilayah perbatasan antara hidup dan mati, Abidah yang salihah itu meminta tolong kepada malaikat untuk menyampaikan pesan terakhirnya kepada saya. Inilah pesan terakhirnya: “Papa harus sabar. Ikhlaskan kepergian Mama. Mama sudah menemukan jalan ke surga. Janganlah berlarut-larut dalam kesedihan. Janganlah repot-repot mencari pengganti Mama. Mama sudah punya 21 calon pengganti Mama untuk Papa. Ia sepupu Mama sendiri. Mama yakin Raudha tidak akan pernah mengecewakan Papa….” Saya percaya pesan Abidah yang sudah menemukan jalannya sendiri ke surga itu adalah amanat yang wajib saya jalankan. Saya pun tidak melarutkan diri saya ke dalam kesedihan dan setahun setelah kematian Abidah saya menikahi saudara sepupunya, Raudha, isteri saya yang sekarang, yang telah memberi saya anak perempuan yang hitam manis seperti ayahnya dan anak laki-laki yang kulitnya putih-mulus seperti ibunya. Si bungsu yang tampan. Yang ketampanannya tidak mengikuti jejak ayahnya melainkan mengikuti jejak kakeknya, ayah saya.  SETELAH saya pikir-pikir, alih-alih mirip Frank Sinatra ayah saya lebih mirip aktor Kaharudin Syah yang pernah berperan sebagai Soeharto dalam film Janur Kuning. Di zaman kejayaan penguasa Orde Baru yang sebagai jenderal memasang lima bintang di pundaknya, jenderal bintang lima lainnya adalah Panglima Besar Sudirman dan arsitek perang gerilya A.H. Nasution, film yang menceritakan peristiwa pengambilalihan Yogya selama enam jam dari tangan para serdadu Belanda dan di sana-sini cenderung mengultuskan Soeharto itu kerap diputar meskipun tidak sesering film Pengkhianatan G-30 S/PKI yang bertahuntahun wajib ditayangkan TVRI setiap tanggal 30 September. Dalam film yang disutradarai Arifin C. Noer itu yang berperan sebagai Soeharto adalah aktor Amoroso Katamsi. Kalau dipikir-pikir lagi, ayah saya juga memiliki kemiripan 22 wajah dengan Amoroso Katamsi. Namun, ayah sendiri pernah berkata dengan keyakinan yang luar biasa kepada saya bahwa wajahnya sangat mirip Al-Pacino. Sejak rezim Orde Baru runtuh dan sang jenderal bintang lima yang senyumnya dan sepak terjang anak-anaknya sangat terkenal itu lengser, Janur Kuning dan Pengkhianatan G-30 S/PKI tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi. Kembali ke Neni. Saya tidak tahu apakah saat ini ia masih tinggal di apartemennya yang luas di Seattle, Amerika Serikat, atau sudah pindah ke kota lain. Terakhir ia bekerja sebagai corporate-lawyer perusahaan teknologi informasi yang berkantor pusat di Jerman. Emailnya terakhir memberi saya kabar bahwa ia sudah menikah. Ia telah menemukan pria idamannya yang periang, bukan pemabuk, kolektor pemantik api dan kisah-kisah lucu dari seluruh penjuru dunia. Orang Indonesia juga. Batak Muslim. Suaminya, Ahmad Syubbanuddin Nasution, adalah seorang doktor dalam ilmu politik lulusan Ohio State University. Satu-satunya ironi, puncak dari puncak ironi saya kira, dalam hubungan saya dengan Neni di masa silam adalah saya pernah bersikap sangat heroik menolak keras ajakannya melakukan hubungan intim yang muncul dari suasana tak terkendali sebagai konsekuensi logis dari peristiwa berciuman kami yang kelamaan. Akan tetapi, malam itu ia dalam keadaan mabuk berat. Terlalu banyak minum anggur koleksi ayahnya. Dan waktu itu saya berpikir adalah sebuah tindakan yang tidak dapat dikatakan beradab melakukan persanggamaan dengan seseorang yang secara temporer sedang kehilangan kesadarannya. Apa yang harus 23 saya jelaskan ketika ia memperoleh kesadarannya kembali, satu atau dua jam kemudian, di kamar tidur penuh sapuan warna pink dan sesak dengan boneka panda dan barbie, dan menemukan dirinya, diri kami berdua, telanjang seperti sepasang domba yang bulu-bulunya habis dicukur, dan sadar bahwa keperawanannya baru saja hilang? Jadi, sebagai jawaban atas ajakannya itu, saya menampar pipinya. Saya kira tamparan saya sangat keras karena membuatnya terjungkal ke ranjang dan baru siuman kembali kira-kira setengah jam kemudian. Yang pertama kali dilakukannya setelah siuman adalah meninju dagu saya dengan kekuatan banteng betina yang terluka. Kali ini, giliran saya yang terjengkang ke ranjang.  NOVEL yang belum kelar saya tulis itu, dalam kepala saya, sebenarnya sudah lama selesai. Catatan-catatan garis besarnya (rough draft), sudah pula saya bereskan ketika saya diinapkan selama lebih kurang empat minggu di paviliun penatar Pusat Penataran dan Pengembangan Guru (PPPG) Bahasa di Srengseng Sawah, di daerah perbatasan Bogor-Jakarta yang dekat sekali jaraknya ke Depok, pada bulan April 1999. Nama kegiatan kerjasama majalah sastra Horison dan PPPG itu adalah MMAS, singkatan dari “Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra” sebuah program pelatihan yang bersifat workshop. Dalam pelatihan itu saya menjadi asisten tetap Ismail Marahimin (dua asisten tetap lainnya: Maman S. Mahayana dan Sunu Wasono) untuk materi menulis meskipun kadang-kadang saya juga menjadi asisten serep Taufiq Ismail untuk materi apresiasi sastra apabila salah 24 seorang dari tiga asisten tetapnya (Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, dan Moh. Wan Anwar) berhalangan. Ismail Marahimin hingga pensiunnya adalah dosen dalam mata kuliah menulis populer di Universitas Indonesia (UI). Di tahun 1970-an dia pernah melahirkan sebuah novel dan peluang untuk menjadi satu-satunya novel yang pernah dia tulis sangat besar. Saya kira, buku karangan Ismail Marahimin yang dijadikan panduan materi dalam pelatihan MMAS dan juga merupakan buku teks yang menjadi bacaan wajib para mahasiswa pengikut mata kuliahnya di UI, Menulis Secara Populer, saat ini jauh lebih populer di kepala para guru di Indonesia dibandingkan novelnya, Dan Perang Pun Usai. Setiap malam ketika saya sudah selesai memeriksa tugas-tugas menulis para guru peserta pelatihan MMAS, saya mengisi waktu saya dengan menulis sketsa-sketsa peristiwa, tokoh-tokoh, dan latar untuk novel saya itu dan memikirkan bentuk dan teknik penulisan yang kira-kira tepat untuk novel itu. Saya juga sadar betul bahwa novel saya itu adalah novel dengan banyak tokoh atau karakter. Dan karena saya seorang optimis, saya memandang banyaknya tokoh atau karakter itu bukan sebagai kelemahan melainkan sebagai kelebihan. Pada mulanya, dalam pikiran saya, dari segi bentuk dan teknik penulisan novel itu haruslah berada di luar berbagai jenis novel yang pernah dikenal orang selama tiga ratus tahun terakhir yang berdasarkan penelitian para sarjana sastra Barat, setelah saya pelajari, dapat dikelompokkan ulang berdasarkan abjad sebagai berikut: (1) antinovel; (2) anschauungsroman; (3) apollonian novel; (4) 25 autobiographical novel; (5) bildungsroman; (6) biblical novel; (7) black novel; (8) crime novel; (9) critique novel; (10) christian novel; (11) deduction novel; (12) demonology novel; (13) detective novel; (14) dramatic novel; (15) education novel; (16) empirical novel; (17) epic novel; (18) epistolary novel; (19) epistemology novel; (20) essay novel; (21) expedition novel; (22) experiment novel; (23) erastianism novel; (24) fable novel; (25) filmy novel; (26) gender novel; (27) genesis novel; (28) gothic novel; (29) hellenistic novel; (30) histamine novel; (31) historical novel; (32) induction novel; (33) judaism novel; (34) kitsch novel; (35) laxative novel; (36) machismo novel; (37) novel of manners; (38) novel of manqué; (39) naïveté roman; (40) nouveau roman; (41) orpheus novel; (42) picaresque novel; (43) pittoresque novel; (44) poetical novel; (45) poignant novel; (46) proletarian novel; (47) proliferate novel; (48) psychological novel; (49) psywar novel; (50) quipy novel; (51) quixotic novel; (52) renaissance novel; (53) roman à bord; (54) roman à clef; (55) sadism novel; (56) science-fiction novel; (57) scintillate novel; (58) sentimental novel; (59) senility novel; (60) spiritual novel; (61) teenager novel; (62) ubiquitous novel; (63) utopian novel; (64) verbiage novel; (65) vogue novel; (66) white novel; (67) whittle novel; (68) xenophobia novel; (69) xylophonic novel; (70) yankees novel; (71) zealot novel; dan (72) zest novel.ii Tentu saja memilah-milah novel dari segi bentuk dan teknik penulisan hingga mencapai 72 jenis adalah pekerjaan gila, dan setelah saya timbang26 timbang, menulis novel yang dari segi bentuk dan teknik penulisan harus berada di luar berbagai jenis novel ini adalah pekerjaan yang jauh lebih gila lagi. Menulis novel, ya, menulis novel, pikir saya. Apa pun yang perlu dimasukkan, ya, dimasukkan, dan apa pun yang tidak perlu dimasukkan, ya, dibuang saja, pikir saya lagi. Ke dalam jenis apa novel saya kelak dikelompokkan orang, ya, wallahualam.  ISTILAH novel itu sendiri berasal dari bahasa Italia, novella, yaitu sebuah prosa naratif fiksional yang panjang dan kompleks yang secara imajinatif berjalinberkelindan dengan pengalaman manusia melalui suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan melibatkan sekelompok atau sejumlah orang (tokoh, karakter) di dalam latar (setting) yang spesifik. Perlu digarisbawahi bahwa pengertian fiksional itu sendiri senantiasa berkembang dari zaman ke zaman. Dalam perkembangan sastra Barat (Eropa dan Amerika), novel telah menjadi genre sastra tersendiri dan dalam kerangka kerjanya yang luas berkembang ke dalam berbagai jenis, seperti telah saya sebutkan di atas. Jenis novel terkadang juga dirujuk melalui penandaan sejarah perkembangan kesusastraan yang ditandai pandangan dunia yang dominan pada masa itu tempat novel-novel yang menjadi wakil dari masing-masing pandangan dunia tersebut dominan pula pada masanya, seperti novel-romantik (masa ketika kaum Romantik dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia sastra) dan novel-realis 27 (masa ketika kaum Realis dan pandangan-pandangannya menempati posisi yang pernah ditempati kaum Romantik). Meskipun bentuk-bentuk awal novel modern dapat ditemukan di sejumlah tempat, antara lain pada zaman Roma klasik, di Jepang pada sekitar abad ke-10 dan ke-11, dan pada masa Elizabethan di Inggris, novel Don Quixote de la Mancha (1605) karya pengarang Spanyol, Miguel de Cervantesiii, dipandang sebagai asal-muasal novel modern. Tema novel tersebut, mengenai pertentangan antara idealisme yang muskil versus kehidupan praktis dan membumi yang dihadirkan dalam karakter seorang kesatria konyol yang bahkan dengan kincir angin pun bertarung, dipercaya menjadi referensi literer novel-novel Barat sesudahnya. Sejumlah novel yang memikat perhatian diketahui telah bermunculan di Perancis pada abad ke-17; akan tetapi di Inggris-lah novel sebagai suatu genre sastra meletakkan dasar-dasar literernya melalui karya-karya novelis Daniel Defoeiv dan Samuel Richardsonv pada pertengahan abad ke-18, sekaligus memapankan posisi novel sebagai genre sastra yang memiliki akar literer kuat. Popularitas novel kemudian menjadi umum di Eropa hingga memasuki abad ke-19 ketika ia berkembang bukan saja sebagai karya prosa naratif fiksional sematamata tetapi tumbuh sebagai bentuk karya sastra dengan variasi tema, karakterisasi, plot, latar, dan gaya yang berbagai-bagai dan luar biasa. Novel menjadi karya yang memikat perhatian banyak orang karena dapat memberikan pencitraan dan perlambangan yang lebih meyakinkan (a more faithful 28 image) dari suatu realitas kehidupan sehari-hari daripada yang dapat dilakukan genre sastra lainnya. Bahkan pun fantasi-fantasi extravagant novel-novel gothic dan science-fiction, sumber-sumber inspirasinya dapat dilacak dari permukaan realitas kehidupan sehari-hari. Kepercayaan terhadap takhyul dan alam supranatural komunitas masyarakat tertentu, misalnya, menjadi sumur imajinasi novel-novel gothic sedangkan kepercayaan terhadap suatu masa depan “yang mungkin lebih baik sekaligus mengancam” menjadi oase imajinasi novel-novel science-fiction. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa di kemudian hari para sineas Hollywood mengeksploitasi profitasi kedua jenis novel ini dengan mengangkatnya ke layar perak, seperti yang mereka lakukan terhadap karya-karya Marey Shelley (Frankenstein, 1818), Bram Stroker (Dracula, 1879), dan H.G. Wells (The Island of Doctor Moreau, 1896). Pada dasarnya perkembangan novel menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah tarik-menarik antara upaya si pengarang untuk keluar atau menyebal dari konvensi-konvensi mapan sebuah zaman dan upaya untuk terus-menerus menangkap, mengolah, menilai, melukiskan tanpa pretensi atau bahkan melecehkan spirit zaman itu. Inilah yang menjelaskan kenapa novel-novel realis dan naturalis bermunculan pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, sebuah zaman ketika karya sastra menemukan audiensnya yang sangat luas dan media massa belum begitu berperan. Pada masa inilah Charles Dickens, Thackeray dan George Eliot menulis di Inggris; Balzac, Gustave Flubert dan Emile Zola di Perancis; Turgenev, Tolstoy dan Dostoevsky di Rusia; Nathaniel Hawthorne dan 29 Herman Melville di Amerika. Novel menjadi referensi jurnalistik untuk mengungkapkan realitas yang bersembunyi di tempat-tempat gelap karena sempadan hipokrisi moralitas dan kesantunan semu aristokratis. Dengan datangnya abad ke-20 dan akibat-akibat yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa itu, khususnya Perang Dunia I dan II, karakter dalam novel pun menjadi semakin kompleks dan konvensikonvensi lama yang secara kuat direpresentasikan dalam bahasa dan struktur novel sebelumnya, dipertanyakan. Hal itu antara lain dilakukan James Joyce, Virginia Woolf dan Franz Kafka, para penulis yang memeriksa kembali bagaimana realitas diletakkan “novel-novel konvensional” karena kesetiaan terhadap konvensi-konvensi sastrawi lama. Pada masa yang sama dalam penulisan drama (plays), Luigi Pirandello melakukan apa yang dilakukan Joyce dan Woolf dalam novel; dan di wilayah kesenian yang lain, Igor Stravinsky membongkar konvensi-konvensi lama musik klasik dan menulis sejumlah komposisi dengan karaktrer baru yang menyebal dari “persoalan abadi” pertentangan antara harmoni dan disonansi, tonalitas dan atonalitas, seraya mengedepankan konsep estetik baru, suatu konsep tentang bunyi yang disusun kembali dari horison kreativitas yang antara lain dapat kita simak dalam Le Sacre du Printers dan Symphony in Three Movements. Di Indonesia, novel-novel awal yang terbit pada zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru dan masa-masa sesudahnya seperti yang misalnya terlihat dalam karya-karya Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer hingga karya-karya 30 Mangunwijaya, Umar Kayam dan Ahmad Tohari, merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah tarik-menarik itu. Kita juga menemukan kenyataan adanya pencarian konvensi-konvesi baru sebagai upaya keluar dan menyebal dari konvensi-konvensi sastrawi lama seperti terlihat pada novel Belenggu Armijn Pane, yang dapat dikatakan sebagai tonggak novel Indonesia modern, dan pada novel-novel yang ditulis Iwan Simatupang dan Budi Darma. Pada lebih dari satu dasa warsa terakhir, cerpen, seperti juga puisi, tumbuh pesat seiring dengan bermunculannya kolom budaya surat kabar yang menyediakan rubrik khusus untuk kedua genre sastra itu, berdampingan dengan majalah sastra Horison yang telah melahirkan banyak penyair dan pengarang cerpen kenamaan sejak pertengahan tahun 1960-an. Sementara itu, kegairahan menulis novel sampai akhir tahun 1990-an berlangsung biasa-biasa saja dan mungkin itu pula yang menyebabkan kenapa ketika sebuah novel baru diterbitkan, dari pengarang lama maupun baru, perhatian orang begitu besar. Itulah yang terjadi pada Olenka dan Ny. Talis Budi Darma, Bumi Manusia dan Arus Balik Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar Mangunwijaya, Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari, Para Priyayi Umar Kayam, hingga Saman Ayu Utami. Sejak awal tahun 2000-an penerbitan novel di Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat dan para novelis berbakat pun bermunculan, misalnya, untuk menyebut beberapa nama: Dewi Lestari, Eliza Vitri Handayani, Eka Kurniawan, Dewi Sartika, Ratih Kumala. Pada sisi yang lain, gairah penerbitan 31 novel di Indonesia pertengahan pertama tahun 2000-an diramaikan pula dengan bertaburannya novel-novel teenager yang memiliki ciri-ciri arbitrasi yang seragam (homogeny arbitrary), baik dari aspek lingkungan sosial, kultural, psikologis, maupun lingkungan kebahasaan. Segi struktur novel-novel teenager yang cenderung ringan (light) ini, meskipun di sana-sini mengundang kritik dan polemik, memperlihatkan resepsitas yang tinggi di kalangan para pembaca yang menjadi sasaran-pasarnya. Tidak ada cara yang lebih baik dalam mengapresiasi novel selain dengan sebanyak-banyaknya membaca novel. Pengetahuan atas struktur novel, yaitu tema, karakterisasi, plot, latar dan gaya, hanya diperlukan sebagai pengantar ke arah pengoptimalan cara baca kita terhadap genre sastra itu. Tema adalah ide sebuah cerita. Pada saat menulis cerita, pengarang bukan sekadar ingin bercerita tetapi juga menyampaikan sesuatu kepada pembacanya yang dapat berupa masalah kehidupan, pandangan hidupnya atau penilaiannya terhadap kehidupan. Pada karya yang berhasil, tema tersembunyi dalam tindakantindakan, pikiran-pikiran, dan ucapan-ucapan tokoh yang diciptakan pengarang. Tema tidak harus berwujud ajaran moral (seperti yang dipercaya para penganut mazhab lama kesusastraan) tetapi bisa semata-mata berwujud pengamatan pengarang atas kehidupan. Tema dalam karya-karya besar novel modern seringkali sederhana saja. Novel Boris Pasternak, Doctor Zhivago, misalnya, temanya adalah percintaan antara Yuri (Zhivago) dan Lara (Larissa). Perjalanan cinta mereka dibingkai latar peristiwa besar, yaitu revolusi Rusia. Tema yang 32 sama dapat kita temukan dalam novel Ernest Hemingway, A Farewell to Arms. Hanya, dalam novel yang disebut terakhir, latarnya adalah Perang Dunia I. Pada kedua novel yang mengantarkan para pengarangnya meraih hadiah Nobel tersebut, sebagai pembaca kita dilibatkan ke dalam konflik dalam maupun konflik luar tokoh-tokoh utama yang mempengaruhi perjalanan dan akhir kehidupan mereka. Karakterisasi adalah perwujudan atau representasi watak atau personalitas manusia dalam cerita fiksi. Pada novel-novel modern terdapat kecenderungan untuk memberikan penekanan pada perwatakan tokoh (karakter). Karakter dalam novel-novel modern, baik watak psikologis maupun sosialnya, biasanya kompleks. Yang dimaksud watak psikologis adalah struktur jiwa tokoh yang bersangkutan yang terkadang aneh, luar biasa, dan mengejutkan. Misalnya, seperti yang diperlihatkan pembukaan novel Notes from Underground (Dostoevsky) berikut ini: “I am a sick man… I am a spiteful man. I am an unattractive man. I believe my liver is diseased.” Membaca pembukaan novel itu saja sudah dapat dibayangkan kira-kira kita akan mengikuti karakter kehidupan macam apa. Watak psikologis yang dimiliki sang tokoh akan membimbingnya pada watak sosial yang dijalaninya dalam kehidupan ketika karakter yang bersangkutan bertemu, bersentuhan, bersinggungan dan melakukan relasi sosial dengan karakter-karakter lainnya. Pada novel-novel psikologis, Dostoevsky dipandang sebagai pelopornya, perhatian pengarang yang memberikan penekanan pada watak psikologis tokohtokohnya sangat terlihat. Di Indonesia, Budi Darma, pengarang beberapa novel 33 psikologis yang kuat, adalah contoh yang baik dari bagaimana seorang pengarang membentuk watak psikologis tokoh-tokohnya. Secara teknis, pengarang melukiskan karakter dalam novel dengan lima cara: perbuatan tokoh, ucapan-ucapan tokoh, penggambaran fisik tokoh, pikiranpikiran tokoh, dan keterangan langsung pengarang. Dalam novel, kelima cara itu digunakan secara optimal. Dalam penulisan cerpen, cara yang satu biasanya lebih ditonjolkan dari cara yang lain. Plot adalah rencana atau cerita utama suatu karya sastra dan disebut pula sebagai struktur naratif. Dalam sejarah kritik kesusastraan, pengertian tentang plot telah mengundang banyak perdebatan. Dalam Poetics vi, Aristoteles menekankan pentingnya plot dan menyebutnya sebagai “jiwa” (soul) dari suatu tragedi. Apa yang disebut plot dalam cerita pada dasarnya sulit dicari. Ia tersembunyi di balik jalan cerita (narasi). Akan tetapi, jalan cerita bukanlah plot melainkan manifestasi atau bentuk jasmanih plot. Menurut E.M. Forstervii dalam Aspects of the Novel, plot membutuhkan suatu level pengorganisasian naratif yang sangat tinggi daripada yang misalnya biasa diperlukan dalam cerita-cerita fabel. Jalan cerita, menurut Forster, adalah peristiwa-peristiwa naratif yang disusun di dalam rangkaian-waktu peristiwa-peristiwa itu (narrative of events arranged in their time-sequence) tempat plot mengorganisasikan peristiwa-peristiwa itu dalam kerangka pengertian hubungan sebab-akibat (sense of causality). Dengan demikian, plot dan narasi memiliki pengertian yang berbeda meskipun kedua pengertian tersebut sering dikacaukan. Narasi memuat peristiwa-peristiwa dan plot 34 menggerakkan peristiwa-peristiwa tersebut. Jika Aristoteles menyebut plot sebagai jiwa dari suatu tragedi, kita dapat mengatakan bahwa plot adalah jiwa dari suatu narasi. Narasi mengandung perkembangan peristiwa di dalamnya dan yang menyebabkan perkembangan peristiwa tersebut adalah konflik. Dengan demikian, intisari plot adalah konflik. Konflik dalam novel tak bisa diperikan begitu saja dan mesti ada dasarnya. Karena itulah plot sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut: pengenalan, timbulnya konflik, puncak konflik, dan akhir konflik—yang dapat berupa klimaks maupun antiklimaks. Latar adalah bingkai (frame) waktu, peristiwa atau lokasi tempat narasi (jalan cerita) berlangsung. Dalam novel modern latar disusun pengarangnya menjadi unsur narasi yang penting. Dalam sebuah narasi, latar berjalinberkelindan dengan tema, karakterisasi dan plot. Bagi sejumlah pengarang, susunan dan perilaku tokoh yang ia ciptakan bergantung pada lingkungan tempat tokoh itu berada dan diperlakukan sama pentingnya dengan personalitas tokoh itu. Sebagai contoh, latar bagi Emile Zolaviii, novelis dan kritikus Perancis pendiri gerakan naturalis, merupakan bagian sangat penting karena dia percaya bahwa lingkungan (environment) menentukan watak seseorang. Pandangannya dibuktikan dalam novelnya, Theresa. Kebetulan pada masa yang sama dalam kriminologi berkembang “mazhab lingkungan” yang beranggapan bahwa lingkungan sosial berpengaruh besar terhadap menjadi jahat atau saleh seseorang. Teori ini lahir sebagai kritik atas teori Lambrosso di Italia yang beranggapan 35 watak jahat diturunkan secara genetik dan bahwa ciri-ciri orang jahat dapat dilihat dari bentuk fisiknya. Latar juga menunjukkan aspek-aspek yang lebih terperinci dari waktu, peristiwa atau lokasi. Jika berbicara tentang tempat, misalnya, maka ia mestilah menunjukkan pula anasir lain yang hakiki dari tempat tersebut, seperti cara berpikir penduduknya, kekhasan pakaian atau cara hidup mereka. Membaca karya-karya R.K. Narayan, novelis dan pengarang cerpen India, kita akan dipertemukan dengan pengetahuan mendalam pengarang yang bersangkutan terhadap kota tempat tinggalnya (yang ia samarkan dengan nama “Malgudi”). Graham Greene, novelis Inggris, mengaku bahwa ia mengenal India karena ia membaca karya-karya R.K. Narayan.ix Ahmad Tohari lewat Ronggeng Dukuh Paruk berhasil melukiskan prototype desa kecil di Jawa; Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik merekonstruksi kota Blambangan abad ke-15 dengan memikat; tak kalah memikat pula, Eiji Yoshikawa, dalam Taiko, melukiskan latar kerajaan-kerajaan di Jepang pada abad yang sama dengan Arus Balik; dan latar yang dipilih Budi Darma dalam Olenka sangat mendukung tokoh-tokoh kesepian yang diciptakannya. Dalam novel yang berhasil, latar terintegrasi dengan tema, karakterisasi, gaya, maupun kaitan filosofis genre sastra itu dengan realitas. Latar tidak bisa dipaksakan. Demikian pula apa yang sering disebut-sebut para kritikus sastra sebagai “warna lokal”. Dalam novel, latar dan warna lokal muncul secara alamiah berjalin-berkelindan dengan karakter-karakter yang dihadirkannya. Oleh sebab 36 itulah mencoba-coba mengubah latar Perang Dunia I dalam A Farewell to Arms dengan latar Perang Dunia II, misalnya, akan menyebabkan novel tersebut kehilangan kesatuannya. Pemilihan latar juga dapat membentuk tema atau plot tertentu. Contoh dalam novel-novel Indonesia mutakhir adalah pemilihan latar kehidupan tokoh-tokoh dari generasi in-between yang dilakukan Ayu Utami dan Dewi Lestari yang dengan sendirinya membentuk tema dan plot yang khas, baik dalam Saman dan Larung maupun Supernova dan Akar. Begitu pula latar kehidupan tokoh-tokoh dari masa depan yang diangkat Eliza Vitri Handayani dalam Area X, dan latar kehidupan tokoh-tokoh dari masa silam yang dihadirkan Eka Kurniawan dalam Cantik Itu Luka, membentuk tema dan plot yang tak kalah khasnya. Dalam buku-buku pelajaran kesusastraan di Indonesia sering disebut-sebut tentang gaya yang lazimnya dikupas dalam judul “Gaya Bahasa”, lengkap dengan menyebutkan contoh penggunaan gaya bahasa itu, seperti: personifikasi, metafora, peyoratif, amelioratif, totem pro parte, asosiasi, hiperbola, repetisi, dan lain-lain. Pembicaraan tentang gaya bahasa biasanya kerap dilakukan ketika membahas karya-karya para sastrawan Indonesia masa Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Memasuki periode 1945 dan sesudahnya, memperbincangkan “gaya” dalam pengertian “gaya bahasa” tidak lagi memadai. Pengertian gaya telah berkembang menjadi sangat luas meliputi bagaimana si pengarang menggunakan kalimat, dialog, dan detail; bagaimana cara ia memandang persoalan; dan bagaimana ia memilih bentuk dan teknik penulisan novelnya. 37 Menurut pengertian kesusastraan, gaya atau style (berasal dari bahasa Yunani: stilus) adalah cara berekspresi yang lain daripada yang lain (a distinctive manner of expression) yang membedakan satu pengarang dengan pengarang lainnya meskipun menjadi sesuatu yang biasa pula manakala kita menemukan keserupaan gaya antara satu pengarang dengan satu atau banyak pengarang lainnya. Dalam penggunaan kalimat ada pengarang yang sering menyampaikan ceritanya, baik novel atau cerpen, dengan kalimat-kalimat pendek atau panjang, kompleks atau sederhana. Gabriel Garcia Marquez dalam Tumbangnya Seorang Diktator menggunakan kalimat-kalimat panjang dengan banyak sekali koma dan titik koma; Mochtar Lubis menulis kalimat-kalimat sederhana dan pendek-pendek; Virginia Woolf, Milan Kundera, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, dan Hamsad Rangkuti menggunakan kalimat-kalimat panjang atau pendek secara berirama; sedangkan kalimat-kalimat panjang atau pendek atau kedua-duanya sekaligus yang bertendensi filsafat dapat ditemukan antara lain pada karya-karya Iwan Simatupang. Namun demikian, gaya bercerita karya-karya besar dunia biasanya sederhana, enak dibaca, kaya, dan padat. Sifat ekonomis atau pemborosan dalam cerita juga merupakan unsur gaya. Ada pengarang yang suka memperpanjang cerita, boros dengan kalimat dan kadang-kadang kalimat yang satu hampir sama artinya dengan kalimat yang lain; para novelis Jepang seperti Kawabata Yasunari, Natsume Soseki, Yukio Mishima, Kenzaburo Oe, Kobo Abe (dilakukan pula sejumlah pengarang Jepang generasi 38 sesudahnya yang besar di negeri lain, seperti Kazuo Ishiguro) menggunakan pengulangan-pengulangan kalimat yang dianggap perlu secara sengaja justru untuk memperoleh efek estetika tertentu; ada juga pengarang yang betul-betul hemat dengan kata-kata dan menggunakan kalimat yang perlu dan fungsional saja. Yang juga menjadi ciri dari gaya seorang pengarang adalah penggunaan dialog sebagai unsur utama jalan cerita. Umar Kayam termasuk yang sangat efektif menggunakan kekuatan dialog sebagaimana Ernest Hemingway juga melakukan hal serupa dalam karya-karyanya. Baik Kayam maupun Hemingway membangun karakterisasi dan suasana melalui ucapan-ucapan tokoh-tokohnya. Pengarang yang belum berpengalaman dengan teknik ini tetapi dengan keras kepala mencobanya sering menjerumuskan ceritanya sendiri menjadi artifisial dan dibuat-buat. Penggunaan detail juga merupakan gaya pengarang. Dalam puisi, di Indonesia, para penyair yang sangat teliti menggunakan detail dalam baris-baris sajaknya adalah Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono; Idrus dan Hamsad Rangkuti dalam cerpen; Pramoedya Ananta Toer dalam novel; Umar Kayam dan Ahmad Tohari dalam novel maupun cerpen. Penggunaan detail ini juga digunakan Franz Kafka bahkan sejak kalimat awalnya, seperti terlihat dalam novelnya yang sangat terkenal, The Trial. Banyak pembaca novel menyediakan dirinya sendiri untuk tergila-gila pada karya pengarang tertentu; pada dasarnya mereka terpikat pada gaya si pengarang itu.  39 NOVEL yang belum kelar saya tulis itu adalah sebuah novel cinta. Berkisah tentang perjalanan hidup seorang lelaki yang di masa mahasiswanya di tahun 1980-an, sezaman dengan masa mahasiswa saya, terlibat berbagai gerakan pemikiran dalam cahaya pandangan filsafat dan ideologi yang berlain-lainan. Khususnya sejak awal tahun 1980-an, gerakan pemikiran di kalangan mahasiswa itu mengkristal dalam bentuk kelompok-kelompok diskusi yang tersebar di dalam dan di luar kampus di seluruh Indonesia. Pada gilirannya kelompok-kelompok diskusi inilah yang antara lain kelak menjadi dasar dari terbentuknya berbagai organisasi-organisasi perlawanan di bawah tanah terhadap rezim otoriter Orde Baru. Kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang kekuatan utamanya terletak pada gerakan penyusupan pemikiran akan pentingnya perubahan ini merupakan embrio dari gerakan-gerakan politik mahasiswa sepanjang tahun 1990-an yang kemudian berkembang menjadi gerakan besar menumbangkan rezim Soeharto di pertengahan kedua tahun 1990-an. Harus saya akui, melihat watak psikologis dan sosial yang saya lekatkan pada lelaki itu, saya merasa bahwa dia, si tokoh utama dalam novel saya, adalah alter-ego saya. Sayang sekali bahwa sampai sebelum saya bertemu dengan kawan lama saya, Abdullah Mahfuz, teman-temannya seangkatan memanggilnya Afuz, di rumahnya di komplek perumahan dosen Universitas Tadulako, Palu, saya masih belum punya model untuk tokoh utama saya. Sedangkan untuk nama, saya sudah menemukannya: Kafka. 40 Aneh bukan, model untuk tokoh utama belum punya tetapi nama untuknya sudah ada? Sebenarnya tidak aneh apabila saya ceritakan asal-muasalnya. Malam itu saya sedemikian lelahnya setelah menunaikan salah satu tugas wajib saya sebagai seorang suami, memberi isteri saya nafkah batin. Raudha pun sama lelahnya. Kami berdua tertidur amat pulasnya. Seorang pria kurus berkulit susu, bercuping telinga runcing, berambut lebat-ikal, berkening luas dan lebar, beralis tebal, berbibir tipis, berhidung bengkung, dan memiliki sepasang mata yang bulat berbinar-binar, mengunjungi saya. Ia datang berpakaian setengah lengkap, memakai dasi garis-garis diagonal dari bahan yang murah, berkemeja katun putih, berjas wol hitam tetapi hanya bercelana pendek dan tanpa alas kaki. Tiba-tiba saja ia sudah berada di samping saya yang dalam mimpi saya waktu itu sedang berdiri di depan sebuah lemari buku yang tingginya menjangkau langit di sebuah perpustakaan mahaluasnya yang belum pernah saya lihat di mana pun sebelumnya.x Saya memutar tubuh saya hingga berhadap-hadapan dengan pria menyedihkan itu, dan ia pun berkata: “Someone must have been telling lies about me, for without having done anything wrong I was arrested one fine morning….” Dua detik kemudian, tubuh pria itu pecah berkeping-keping, lalu kepingan-kepingan itu berubah menjadi serpihanserpihan kertas, kemudian serpihan-serpihan kertas itu perlahan-lahan saling menyatukan dirinya kembali membentuk sebuah buku. Dasar mimpi. Saya tidak merasa aneh, terkejut, heran atau takjub menyaksikan peristiwa ajaib itu. Saya ambil buku itu, dan di sampulnya jelas terbaca: The Trial. 41 Saya terbangun dan segera membangunkan Raudha. Saya ceritakan mimpi saya kepadanya. Raudha yang masih terkantuk-kantuk memandang saya dengan perasaan penuh kasih. Lalu isteri saya yang kegilaannya pada novel menandingi kegilaan suaminya pada puisi itu, berkata lirih: “Papa kan tahu The Trial itu novel Kafka. Mama yakin pria dalam mimpi itu Kafka sendiri. Siapa tahu dia ingin menyampaikan sesuatu yang ada hubungannya dengan novel Papa. Mungkin dia ingin namanya jadi judul buku Papa.” Setelah itu, Raudha tidur kembali. Tinggallah saya sendirian terjaga dan gelisah. Bahwa The Trial itu novel Franz Kafka, saya tahu. Yang pria dalam mimpi itu ucapkan memang kalimat pembuka The Trial yang aslinya berbahasa Jerman dan edisi Inggris-nya berbunyi seperti ini: Someone must have been telling lies about Joseph K., for without having done anything wrong he was arrested one fine morning….” Lalu saya berselancar ke beberapa situs di internet mencari-cari foto Franz Kafka dan setelah menemukannya yakinlah saya yang diyakini Raudha benar adanya. Pria dalam mimpi saya itu adalah Franz Kafka. Apakah Franz Kafka sebenarnya Joseph K. sendiri dan apakah Joseph K. tak lain tak bukan Franz Kafka sendiri? Saya kira, satu-satunya orang yang tahu pasti adalah Franz Kafka sendiri. Di luar persoalan itu, bahwa Raudha mengaitkan Franz Kafka versi mimpi dengan novel saya, bagi saya adalah sebuah tafsir mimpi yang cemerlang. Aneh juga isteri saya menafsirkan mimpi itu dengan sangat baiknya padahal sepengetahuan saya ia bukanlah pengikut Sigmund Freud mengingat begitu 42 seringnya ia mengkritik keyakinan dan definisi Freud tentang mimpi—bahwa mimpi adalah “via regia” yang mengantar kita ke ketidaksadaran dan bahwa mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi— dan menyebutnya sebagai suatu pendekatan sistematis yang bersifat kuasi-ilmiah untuk menghilangkan unsur-unsur ilahiah mimpi. Raudha percaya bahwa hakikat mimpi secara maknawi jauh lebih kaya dan secara spiritual jauh lebih suci daripada yang dipahami dan didefinisikan Freud. Bukankah dalam khasanah eskatologis, mimpi merupakan salah satu dari 46 tanda kenabian? Untuk urusan mimpi, Raudha lebih percaya pada sebuah kitab kuning karangan Ibn Sirin yang dalam majelis Rebo-an pendapat-pendapatnya kadang-kadang dikutip uwak-nya, Buya Mahmud, seorang ulama sepuh yang sangat dihormati di Cimahi. Raudha juga selalu serius apabila sedang berbicara tentang psikoanalisa. Adapun pendapatnya tentang psikoanalisa Freud adalah ini: “Gerakan psikoanalisa bukannya membawa manusia semakin dekat ke dalam medan rahasia pribadi manusia melainkan membawa manusia semakin jauh ke luar medan rahasia pribadi manusia.” Dengan kata lain, Raudha yang komisaris sebuah bank syariah ini, berpendapat bahwa Sigmund Freud telah gagal memahami jiwa manusia. Sejak malam itu saya pun membulatkan hati saya. Tokoh utama dalam novel saya yang belum selesai-selesai itu jika kelak akhirnya kelar akan saya beri nama “Kafka”. Nama itu juga akan menjadi judul novel itu. Kebetulan malam itu di luar kamar tidur kami bulan penuh bercahaya. Bulan purnama. Maka saya 43 berpikir apabila Kafka dalam novel saya menuntut saya memberinya nama belakang, “Purnama” akan menjadi nama belakang yang bagus untuknya. Sebuah nama blasteran Austria-Hungaria-Indonesia. Dan setelah berulang-ulang saya menggumamkan nama itu, Kafka Purnama, pada banyak kesempatan, ternyata dari segi rhyme effect nama itu nyaman diucapkan dan enak didengar. Keinginan untuk memberi judul novel saya sesuai tokoh utama, Kafka, bertahan sampai pertengahan kedua tahun 2005, ketika saya diberi tahu sahabat saya, Joni Ariadinata, bahwa sebuah novel berjudul Lorca telah diterbitkan. Novel itu ditulis seorang pengarang yang saya lupa namanya. “Tidak baik bagi publikasi, jika novel Akang bersikeras diberi judul Kafka. Nanti dikira meniru-niru, meskipun novel Akang sudah bertahun-tahun dikerjakan,” kata Joni. “Punya ide yang lebih baik, Jon? Nama itu sudah terlanjur mendarah mendaging dengan diri saya bertahun-tahun ini,” jawab saya. “Bukankah sebenarnya novel itu lebih merupakan percintaan platonis antara Kafka dengan Ran?” “Masa?” “Iya. Tafsirku mengatakan begitu. Meskipun Akang tidak secara langsung mengisahkan Ran, dalam novel itu, sebenarnya Ran, hampir disebut dengan seluruh kata-kata.” “Jadi bagaimana menurutmu, Jon?” “Sudah beri judul Ran, saja.” 44 “Itu judul film Akira Kurosawa.” “Apa tuh, ya,” Joni terlihat bingung. “Ya sudah, Jon. Saya ganti saja judulnya jadi Soska.” “Soska?” “Itu cara guru filsafat Kafka, Mr. Ismail Batubara, memanggil Kafka, murid kesayangannya. Dia memanggilnya Le Petite Soska. Artinya: si sosialiskanan yang bertubuh kecil. Tapi Le Petite-nya kita buang…. ” “Ya gitu aja Kang, gitu aja. Lagi pula Le Petite sudah terlanjur dipake Wing Kardjo dan siapa tuh si pengarang Pangeran Kecil itu?” “Antoine de Saint Exupéry.” “Ya itu dia.” Begitulah cara novel ini memilih judulnya sendiri: Soska.  SAYA seorang introvert. Pada saat saya masih seorang mahasiswa saya lebih banyak berurusan dengan puisi dan kucing kesayangan daripada berurusan dengan gerakan politik bawah tanah atau organisasi-organisasi mahasiswa di dalam dan di luar kampus. Sebagian dari masa mahasiswa saya juga disibukkan untuk mengurusi kehidupan perkawinan pertama saya yang lebih banyak ributnya daripada damainya. Betul saya sudah menikah tiga kali, akan tetapi dari dulu hingga kini tetap saja saya sangat tidak terampil membuat wanita jatuh cinta. Mungkin karena saya tidak mahir merayu. Sementara tokoh utama saya itu dalam hampir semua hal sebaliknya. Dia memang kadang-kadang menyukai hidup sendiri tetapi itu disebabkan karena pandangan-pandangan filsafat dan aktivitas 45 politiknya serta sejarah kehidupan pribadinya di masa lampau yang psikologis dan mistis sifatnya. Dalam kehidupan organisasi di kampus, dia adalah seseorang yang mampu mengubah pandangan politik orang lain menjadi sepaham dengan dirinya. Dia dapat membuat sahabat-sahabat dekatnya setia kepadanya. Bahkan bersedia mati untuknya. Tentu saja untuk yang terakhir ini, saya sedikit melebih-lebihkan. Satu-satunya persamaan saya dengan tokoh utama saya sangat bersifat kebetulan, kira-kira seperti persamaan Hemingway dengan seorang letnan warga negara Amerika, Frederick Henry, tokoh utama dalam A Farewell to Arms, yaitu bahwa di masa paling ranum dalam kehidupan saya dan tokoh utama saya, masa ketika kami setiap hari kecuali Minggu berseragam SMA putih-abu, kami berdua pernah mencintai seseorang. Seperti Frederick Henry mencintai suster berkebangsaan Inggris, Catherine Barkley. Siapa wanita yang menjadi cinta pertama saya, sudah saya ceritakan. Sedangkan nama wanita yang menjadi cinta pertama tokoh utama saya adalah Yulia Maharani. Tokoh utama saya memiliki panggilan kesayangan untuknya: Ran. Kemudian, Nasib mengutus saya untuk sering bepergian ke daerah-daerah. Sampai akhir tahun 2004 saya sudah pergi ke semua provinsi kecuali Aceh dan Papua untuk urusan-urusan yang pribadi sifatnya, dan untuk urusan dua pekerjaan: MMAS dan SBSB. MMAS sudah saya ceritakan. SBSB adalah singkatan dari “Sastrawan Bicara Siwa Bertanya”, sebuah kegiatan yang pada intinya mempertemukan para sastrawan Indonesia dan karya-karya mereka langsung 46 dengan para siswa sekolah menengah atas, siswa-siswa Madrasah Aliyah, dan para santri. Seringnya saya bepergian ke daerah-daerah itu ternyata mendatangkan, dalam istilah Buya Mahmud, “barokah”. Pada suatu hari di bulan April 2003 ketika saya berada di Palu selama lebih kurang dua minggu akhirnya saya memiliki kesempatan menemui Afuz. Saya hanya pernah sekali bertemu dengan Afuz setelah penerima beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) ini dikirim sebagai tenaga dosen ke Universitas Tadulako. Itu terjadi pada suatu siang di tahun 1997 di bandara Soekarno Hatta. Saya sedang check-in untuk mendapat nomor seat di sebelah pintu darurat dalam pesawat yang akan membawa saya ke Padang sedangkan Afuz yang pergi berombongan juga sedang check-in pesawat dari perusahaan penerbangan yang sama yang akan membawa dia dan rombongannya pergi ke tujuan lain. Saya lupa ke mana. Yang jelas bukan ke Palu. Kami tak sempat bicara panjang lebar. Sosok Afuz yang tinggal dalam ingatan saya ternyata tak banyak berubah, masih langsing dan kurus. Tetap ramah, dan senyumnya yang dulu sangat terkenal juga masih menjadi ciri khasnya. Satu-satunya yang berubah dalam dirinya adalah rambutnya yang tambah tipis. Setelah pertemuan di bandara itu, kabar tentang dirinya sayup-sayup sampai, misalnya bahwa ia menyelesaikan program masternya di Universiti Kebangsaan Malaysia. Menurut isteri saya, ia pernah dua kali berkunjung ke rumah kami ketika ia sedang berada di Bandung mengikuti seminar atau acara 47 sejenisnya dan pada dua kali kesempatan ia berkunjung itu kebetulan saya sedang tidak ada di rumah. Saya lupa sedang berada di mana saya saat itu. Meskipun selama menjadi mahasiswa hubungan pertemanan Afuz dan saya biasa-biasa saja, saya tidak bisa melupakan sebuah fase dalam hubungan kami yang bukannya menjauhkan tetapi malah mendekatkan kami. Fase itu adalah ketika kami sama-sama mencintai seorang gadis berkulit terang dan wajahnya lembut rupawan. Nama gadis itu Ratna Suminarsari. Cinta yang kami duga segi tiga itu ternyata jajaran genjang karena rupanya cinta Ratna sudah lama dijatuhkan kepada orang lain. Kemudian kami tahu orang lain itu adalah teman sekelas dan seangkatan kami sendiri. Sebut saja namanya: X. Ya, begitulah. Setelah itu saya dan Afuz seperti disatukan oleh perasaan senasib-sepenanggungan, sejinjing-sepikulan. Di kemudian hari perasaan senasibsepenanggungan sejinjing-sepikulan sebagai dua orang yang kalah bersaing itu saya abadikan dalam sebuah sajak berjudul “Sebelum Makan Malam”. Sajak itu saya bawa ke Palu untuk saya perlihatkan kepada Afuz. Perihal Ratna, saya dan Afuz dan juga kawan-kawan lain seangkatan di program S-1 maupun D-3, tidak ada yang mengira akan meninggal dalam usia masih sangat muda. Gadis yang baik itu. Yang senyumnya bagai buaian itu. Tuhan punya cara aneh dan beragam mengambil nyawa seseorang. Ratna dipanggil pulang kepada-Nya justru ketika ia sedang menjadi tamu-Nya dalam musim haji tahun 1990. Ratna yang waktu itu terpisah dari ayah-ibunya terperangkap dalam kerumunan panik para jemaah haji di terowongan Harat al-Lisan di Mina. Konon, 48 menurut, saya lupa Fais atau Nirwan, kematian kekasihnya itulah yang membuat X menghilang dari kampus selama setahun. Kehilangan orang yang pernah kita cintai, meskipun orang yang pernah kita cintai itu tidak pernah mencintai kita, adalah kesedihan yang menekan. Seandainya X tahu sedalam apa duka saya dan Afuz mendengar kabar meninggalnya Ratna….  DIANTAR Pak Wagimin, sopir yang memandu kami ke mana pun kami pergi di Palu, saya meninggalkan Hamid Jabbar dan Jamal D. Rahman di hotel itu dengan perasaan rusuh. Saya mendengar TNI sedang mempersiapkan sebuah operasi besar-besaran untuk menumpas GAM di Aceh. Malam sebelumnya saya menerima telefon dari Ceu Ati, isteri kakak saya, bahwa kakak saya yang memimpin sebuah LSM di Banda Aceh berkali-kali dipanggil aparat keamanan setempat untuk dimintai keterangan seputar kegiatan organisasinya yang diduga ikut memfasilitasi aktivitas penggalangan opini publik di dalam negeri yang dianggap menguntungkan GAM. Aktivitas kakak saya dan LSM-nya sebenarnya sebatas memberikan konseling psikologis kepada masyarakat sipil yang anggota keluarganya menjadi korban tewas atau hilang selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di masa Orde Baru. Tidak lebih dari itu. Saya dan kakak saya hanya berselisih umur dua tahun. Dalam hampir semua hal kami memiliki kemiripan: bentuk rambut, bentuk dahi, bentuk alis, bentuk mata, bentuk hidung, cara berjalan, tinggi badan, susunan gigi, cara bicara, begitu pun warna kulit sehingga apabila kami kebetulan berjalan berdampingan 49 orang mungkin akan menduga kami berdua saudara kembar. Akan tetapi, apabila orang lebih jeli lagi memperhatikan sebenarnya ada pembeda yang sangat penting untuk menandai yang mana kakak saya dan yang mana saya. Tahi lalat. Saya memiliki tahi lalat di pipi sebelah kanan sedangkan kakak saya tidak memilikinya. Pembeda lainnya tentu saja nama. Nama kakak saya adalah Dewa Bujana Rahmansyah. Karena ia lebih sering menggunakan namanya tanpa Rahmansyah, ia kerap diduga lahir di Bali. Entah apa yang ada dalam pikiran ayah saya sehingga memberi nama kakak saya seperti itu. Di kemudian hari nama kakak saya tanpa Rahmansyah diketahui sama persis dengan nama gitaris kelompok musik Gigi. Ceu Ati berkata sudah seminggu Dewa tidak menelefon. Itu di luar kebiasaan. Biasanya setiap hari ia menelefon, dan setiap hari dua kali ia menelefon. Malam di atas pukul sebelas, dan sore di bawah pukul enam. Telefon genggamnya pun sulit dihubungi. Segera setelah menerima telefon Ceu Ati, saya mencoba mengontak Dewa, berulang-ulang. Berkali-kali pula gagal. Saya sangat cemas karena saya tidak kenal seorang pun di Aceh kecuali seorang penyair yang dulu tidak sengaja tertukar fotonya dengan foto saya di halaman biodata buku Mimbar Penyair Abad 21 terbitan Balai Pustaka, 1996. Seingat saya nama penyair itu Noerdin F. Joes. Membawa perasaan rusuh karena khawatir atas nasib Dewa ditambah tangisan Ceu Ati di telefon yang menambah cemas itulah saya pergi menuju rumah Afuz.  50 SEKITAR pukul tiga dini hari, saya baru meninggalkan rumah Afuz. Ia sebenarnya meminta saya untuk tidur di rumahnya tetapi saya menolak halus kebaikan hatinya karena masih ada laporan yang mesti saya tulis dan lima jam ke depan saya masih harus bertugas sebagai presenter untuk para sastrawan tamu kegiatan SBSB di SMU Bala Keselamatan. Afuz memberi tahu saya bahwa lebih kurang sebulan sebelumnya, X juga berada di Palu. Ia tinggal di hotel yang sama dengan tempat saya menginap. Tak lama, cuma dua hari. Dalam setahun terakhir, X dan Afuz tiga kali bertemu. Afuz adalah contact-person X di Palu dan bertugas mengurus semua appointment X dengan para pemohon dana bantuan, baik lembaga maupun perorangan, yang dialamatkan ke yayasan asing tempat X bekerja, Freedom for Asian Foundation. Berbeda dari biasanya, pada kunjungannya terakhir ke Palu, X tidak datang sendirian. Seorang perempuan muda menemaninya. Penampilannya seperti seorang mahasiswi. X mengenalkan perempuan itu kepada Afuz. Afuz lupa nama perempuan itu. Hal lain yang tak kalah anehnya, X menemui Afuz seperti seseorang yang tahu tidak akan pernah lagi bertemu dengan sahabatnya. Seperti seseorang yang datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Yang membuat Afuz terkejut dan tak habis pikir, X membawa sebuah testamen yang ditandatangani seorang notaris di Jakarta yang isinya antara lain menyebutkan bahwa X mewariskan separuh dari kekayaan pribadinya untuk ketiga anak Afuz. 51 Malam itu, dari perbincangan saya dengan Afuz, pengetahuan saya tentang X bertambah sedemikian banyaknya. Ada juga yang sangat pribadi sifatnya. Afuz juga mengatakan kepada saya bahwa di dalam ingatan X, saya tak kurang tak lebih hanyalah “si penyair yang mengunci pintu” dan “seseorang yang pendiamnya minta ampun”. Dan ini yang membuat saya tertawa tergelak-gelak: sejak zaman mahasiswa kami dulu hingga pertemuan dengan Afuz itu, X yakin benar bahwa saya seorang homo. Dalam perjalanan pulang ke hotel, menembus jalanan dini hari kota Palu yang sudah sepenuhnya menjadi sepi, saya tahu novel saya akhirnya akan selesai.  BAHKAN sebelum pesawat Merpati pukul satu siang dari Palu di hari Jumat yang panas itu tinggal landas, saya sudah memutuskan X adalah model dari tokoh utama novel saya. Ketika transit di Makassar dan dalam penerbangan pesawat yang sama menuju Surabaya saya mulai memetakan dan mengembangkan karakter tokoh utama saya. Ketika transit di Surabaya, menunggu pesawat Merpati dengan nomor penerbangan lain dari Lombok yang akan membawa saya ke Bandung, saya sudah selesai menyusun kembali kehidupan X dengan imajinasi saya sebagai kehidupan tokoh utama saya. Lima belas menit sebelum pesawat itu mendarat di bandara Husein Sastranegara, saya sudah berhasil mengambil keputusan untuk mengisahkan sebagian besar fase kehidupan tokoh utama saya dalam bentuk dan teknik penulisan epistolary novel, yaitu novel yang ditulis seperti orang menulis buku harian. Ketika saya menuruni tangga pesawat sambil melambai-lambaikan telapak tangan kanan saya kepada Raudha yang menjemput 52 saya di ruang tunggu bandara di tingkat dua, X dalam pikiran saya sudah sepenuhnya menjadi Kafka. Dan ketika saya berlari-lari di ruang kedatangan bandara yang sempit untuk memeluk Raudha dan mencium keningnya, saya berteriak-teriak seperti orang gila: “Mama…. Mama…. Saya sudah menemukan karakter! Saya sudah menemukan karakter!”  53 Ratusan Kupu-kupu Bersayap Warna-warni 54 SETELAH kakek dan ibu saya, sayalah yang menjadi satu-satunya orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma. Hidup saya terkutuk, dan saya akan menjadi orang yang paling kesepian di dunia. Saya segera ingin menceritakan semuanya kepada anda hanya saya sadar saya memerlukan sedikit waktu untuk mempersiapkan hati saya, pikiran saya, perasaan saya, hingga saya dapat membuka diri saya sampai kemungkinan yang paling muskil. Akan lebih baik bila anda bersedia bersabar mengetahui lebih dulu masa kecil dan masa remaja dan masa keemasan yang singkat dari usia dewasa saya. Saya harap anda bersedia menjadi pendengar saya yang setia. Sebagaimana saya memperlakukan anda sebagai sahabat saya, anggaplah saya sahabat anda. Setelah semua ini selesai, anda dapat melupakan saya. Sejak kecil saya tidak menyukai kekerasan. Saya enggan berkelahi. Saya pantang menyakiti binatang. Saya tidak tahan melihat darah dan itu barangkali sebabnya sampai sekarang saya bermusuhan dengan warna merah, dan itulah antara lain yang menjadi alasan saya menolak tawaran seorang sahabat yang juga seorang pengurus partai yang memiliki atribut serba merah untuk menjadi kader partai itu. Itu pula yang menyebabkan saya tidak begitu tertarik dengan perempuan yang memakai lipstik atau mengecat merah kuku-kuku jari tangan dan kakinya dan oleh sebab itu pula saya sampai detik ini tidak menyukai warna bendera negara saya—saya lebih suka warnanya putih seluruh, sebab kalau merah disimbolkan sebagai keberanian dan putih sebagai kesucian saya berpendapat seseorang tak perlu berani apabila dia suci karena dalam kesucian telah terkandung keberanian, dan saya kira warna merah dalam bendera saya secara 55 tidak langsung telah ikut andil membuat negara saya menjadi tempat yang sangat luas untuk pertumpahan darah, saya tidak asal bual dan anda saya pastikan akan sependapat dengan saya bila anda, saya tahu anda banyak membaca, meneliti kembali teori arketif dan mimpi kolektif Carl Gustav Jung—dan saya juga tidak menyukai bendera Polandia, Monaco, Jepang dan negara-negara lain yang mengandung warna merah dominan, dan oleh sebab itu pula sampai saat ini saya tidak pernah menjadi bagian dari fans Manchester United dan Liverpool dan kesebelasan Belgia dan PSSI dan kesebelasan-kesebelasan lain berkaus merah, dan saya memilih menjadi fans kesebelasan Belanda atau Perancis atau Persib saja. Akan tetapi, bila tiga kesebelasan itu mengganti kostumnya dengan warna merah, saya akan meninggalkan mereka dan menjadi bagian dari fans kesebelasan yang kausnya berwarna lain. Biru, oranye, hijau, atau apalah asal bukan merah. Perihal warna merah dalam dunia olahraga, akhir-akhir ini ada lelucon yang bunyinya seperti ini: “Kalau mau sukses, ubahlah semua atribut anda dengan warna merah, karena warna merahlah yang merajai dunia olahraga….” Mungkin ada benarnya guyonan kering khas orang Inggris itu. Arena balap Formula 1 atau yang lebih dikenal dengan F-1, bertahun-tahun dikuasai tim Ferari yang serba merah. Dalam kompetisi Liga Inggris era 1970-an hingga 1980-an “The Red Devils” (Liverpool) menguasai Inggris dan Eropa. Pada tahun 1990-an kekuasaan itu beralih ke “The Red Devils” lain, Manchester United, dan di era 2000-an “The Gunners” alias Arsenal yang juga berkostum merah giliran tampil menjadi penguasa liga kick and rush meskipun tidak terlalu berjaya di wilayah Eropa. 56 Saya tidak suka pistol atau senapan mainan dan puji Tuhan saya tidak ditakdirkan menjadi seorang polisi atau tentara atau satpam bank atau perampok bank sehingga tak usah sekali pun memegang pistol atau senapan sungguhan. Berkaitan dengan masalah pistol dan senapan ini saya akan selalu bersyukur dengan seluruh hati saya karena saya tidak dilahirkan di awal abad ke-20 di Irlandia bagian utara sebab sangat mungkin saya terpaksa membunuh seseorang di masa perang saudara dan saya akan senantiasa bersyukur dengan seluruh hati saya karena tidak dilahirkan pada pertengahan abad ke-20 di Sisilia karena sangat mungkin kemiskinan dan balas dendam mendorong saya hijrah ke Amerika dan melemparkan saya menjadi anak buah Al-Capone atau Vito Corleone dan saya akan setiap hari bersyukur pula sebab saya tidak dilahirkan di Aceh sebab kemungkinan besar saat ini saya sedang bergerilya di hutan-hutan. Ngomong-ngomong tentang perang saudara Irlandia, anda pernah membaca cerpen Liam O’Flaherty? “Sniper”? Wah! anda harus membacanya. Itu cerpen bagus. Bukan bagus, istimewa. Saya selalu merasa hati saya dibetot, didempet, ditekan, diris-iris setiap kali membacanya. Cobalah anda bayangkan kesedihan seorang kakak (seorang sniper) yang tidak sengaja membunuh adiknya (juga seorang sniper) setelah mereka saling mengintai sehari penuh dari subuh hingga malam tiba menahan haus dan lapar di atap gedung yang dipisahkan sebuah jalan lebar yang murung. Ketika masa saling intai yang nyaris abadi itu usai, salah seorang dari mereka kena tembak, terjengkang, menggelosor dari atas atap, jatuh berdebam menimpa badan jalan. Si pemenang pertarungan turun, mengendap-endap mendekati tubuh 57 korbannya yang sudah menjadi mayat dengan lubang bekas hantaman peluru di kepalanya yang menjadi semerah saus tomat, lalu membalikkan tubuh kaku itu. Apa yang ia lihat? Wajah adiknya. Saya tak keberatan memberikan kumpulan cerpen O’Flaherty saya kepada anda lain waktu. Mungkin akan saya kirimkan lewat pos. Saya hanya ingin anda berjanji setelah membaca “Sniper” anda bersedia juga membaca puisi berjudul “Elegi buat Perang Saudara”. Saya berpendapat, melihat strukturnya, puisi itu adalah tafsir liris atas cerpen itu. Puisi itu ditulis penyair Taufiq Ismail tahun 1960, termasuk ke dalam puisi-puisi yang dia tulis sebelum era Tirani dan Benteng. Bunyinya begini: Dengan mata dingin dia turun ke medan/ Di bahunya tegar tersilang hitam senapan/ Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan/ Mengayun lengan kasar berbulu dendam// Angin pun bagai kampak sepanjang hutan/ Bukit-bukit dipacu atas kuda kelabu/ Dada dan lembah menyenak penuh deram/ Di ujung gunung lawannya sudah menunggu// Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya/ Di kaki langit teja mengantar malam tembaga/ Luluhlah senja dalam denyar. Api mesiu/ Di ujung gunung lawan rebah telungkup bahu// Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan/ Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu/ Ketika senja berayun malam di dahan-dahan// Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji/ Telentang kaku di bumi. Telah dibunuh adik sendiri//. 58 Anda suka puisi itu? Saya terus terang tidak menyukainya. Saya lebih menyukai sajak-sajak Taufiq Ismail yang lain, terutama “Buku Tamu Musium Perjuangan”, “Karangan Bunga”, “Seorang Tukang Rambutan kepada Isterinya”, “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini”, dan tentu saja di atas semua itu, “Dengan Puisi, Aku”. Saya juga tidak suka ketapel dan selalu heran kenapa teman-teman saya waktu kecil dulu membuang-buang waktu mereka mengumpulkan batu-batu kecil, lalu batu-batu kecil itu mereka masukkan ke saku kiri-kanan celana kedodoran mereka, kemudian meletakkan sebutir batu ke dalam potongan persegi empat kulit ketapel itu, setelah itu mencari pohon-pohon di kebun atau di tegalan atau di pematang sawah atau di dekat halaman rumah, sesudahnya memperhatikan apakah di salah sebuah ranting dari salah sebuah dahan dari salah sebuah pohon mereka melihat seekor burung, lalu menarik tali ketapel mereka, memicingkan sebelah mata mereka membidik burung itu, dan melesatlah si batu kecil layaknya sebutir peluru mencari serdadu lawan, seperti sperma mencari indung telur. Sesabar itu kawan-kawan saya di waktu kecil mulai belajar untuk melukai, dan membunuh, mahluk hidup lain. Saya juga berusaha sesedikit mungkin berurusan dengan pisau dan perkara ini menjadi sangat rumit semenjak saya suka memasak.  SAYA pertama kali mengenal Ratna Suminarsari pada sebuah hari di tahun 1986 dalam kegiatan Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus 59 (OPSPEK), nama alias perpeloncoan, yang melelahkan, kadang-kadang menyenangkan, namun lebih banyak menyebalkan. Sebuah ritual konyol yang harus dialami setiap mahasiswa baru. Akan tetapi, ajaib juga setelah bertahuntahun saya mulai menikmati kegiatan itu sebagai sebuah kenangan dari banyak sekali kenangan-kenangan saya. Pagi itu saya melihat seorang gadis kurus, berkulit terang, berambut lurus, mahasiswi satu fakultas dan satu jurusan, seangkatan dan sesama korban perpeloncoan. Ia kelihatan cemas, bingung, dan ketakutan. - Ada apa? - Saya lupa bawa obat merah. - Lalu kenapa? - Saya takut kena marah…. Tanpa pikir panjang saya keluarkan botol mercurochrome milik saya sendiri—isinya yang asli telah saya pindahkan ke botol lain dan saya ganti dengan sirup stroberi—dari kotak kertasnya dan saya berikan kepada Ratna Suminarsari, gadis itu. Ia peranakan Sunda-Tionghoa. Ibunya yang lahir di Nanking masih memeluk Budha ketika menikah dengan ayahnya yang Muslim dan asli Garut. Dua tahun setelah pernikahan mereka dan setahun setelah anak pertama mereka lahir, ibunya sukarela masuk Islam. Keluarga kecil itu kemudian pindah ke Bandung. Masuk tahun ketiga menetap di Bandung, Ratna Suminarsari pun lahir. Ayah dan ibu Ratna memulai usaha mereka di Bandung dengan membuka toko kelontong dan lambat laun mencoba pula merambah bidang-bidang usaha 60 lain hingga akhirnya tumbuh menjadi sepasang suami isteri yang sukses mengelola perusahaan kurir dan jasa angkutan. Kepandaian Ratna memasak, saya kira, diturunkan dari ibunya. - Ambillah. - Kamu gimana? - Mereka masih dapat kotaknya. - Gimana kalau kamu ketahuan? - Asal jangan kamu yang kena marah. Agak tersipu, ia mengambil botol obat merah itu dan memasukkannya ke dalam tas yang terbuat dari bekas kantung terigu. Tas wajib bagi para pelonco seperti kami. - Nuhun.xi Tak ada yang bisa saya lakukan selain tersenyum. Di dalam gedung, pada saat pemeriksaan, saya ketahuan! Bukan saja kena marah, saya digiring keluar seorang panitia berbibir muncul berkepala gundul bersenjatakan pentungan kertas koran yang digumpalkan dan dipadatkan. Di bawah bentakan-bentakan, di lapangan bola voli yang keras, saya dihukum pushup seratus kali dan sit-up lima puluh kali. Masih belum puas, ia menyuruh saya jalan jongkok dua puluh lima kali putaran dan lari juga dua puluh lima kali putaran mengelilingi gedung olahraga yang kumuh itu. Kemudian, senior sangar dan gundul itu yang terheran-heran karena saya yang waktu itu bertubuh tipis dan masih memiliki perut yang sangat rata tidak juga pingsan membawa saya kembali ke dalam gedung, menyuruh saya berdiri tegap dalam sikap sempurna dan kaku di 61 atas pentas yang biasa digunakan untuk pertunjukan kesenian selama dosen-dosen penatar menyampaikan materi P-4xii hingga datang waktu istirahat makan siang bersama para terhukum lain karena dosa serupa atau dosa yang lain. Sesekali saya lihat Ratna, nun jauh di sana, di negeri cahaya kunangkunang yang berputar-putar, di seberang segala musim, takdir dan impian, di tengah rimba kesunyian kekal dan bisu enam ratus mahasiswa baru fakultas saya, duduk bersila atau bersimpuh di atas ubin yang dingin, menoleh ke arah saya, tersenyum dengan wajah Grasiaxiii menghibur kesedihan manusia yang mengadu kepadanya karena dianiaya. Ketika waktu istirahat tiba, ketika orang lain berbaris ke luar gedung, di bawah bentakan-bentakan, “tunduk! tunduk! pemalas! cepat! dasar embe!xiv tunduk! jalan! tunduk! ditajong siah ku aing!xv monyong!xvi monyet! tunduk! jalan! cepat! pemalas kalian! cepat! cepat! tunduk! tunduk! tunduk! tunduk! tunduk! jalan!” para senior Neo-Nazisme bertampang bengis yang tiba-tiba saja muncul dari kerak neraka, Ratna menyebal keluar dari barisannya, berlari ke arah pentas, bergegas naik, dan memegang kedua lengan saya. Sepasang telapak tangannya halus sekali…. Nekad juga anak ini, pikir saya. - Kamu nggak apa-apa? (pelan, suaranya seperti orang menahan tangis). - Pusing. - Kita makan berdua, ya? Mau, ya? Saya bawa rendang…. Mama yang masak…. 62 Dari langit segala huru-hara tiba-tiba terdengar suara guntur: “Hey! Romeo! Juliet! the show is over. Cepat turun! Siang-siang pacaran. Masuk barisan kalian. Cepat!” Saya tatap wajah pembentak yang rupa-rupanya memiliki paru-paru lebih kuat dari Semelexvii ketika berseru kepada Zeus untuk menampakkan diri dalam wujudnya yang asli. Si pembentak itu mahasiswi satu fakultas lain jurusan, seksi acara, angkatan 1985. Namanya Meita Intania. Kelak saya tahu membentak bukanlah sifatnya yang asli. Sejak peristiwa obat merah itu saya menerima limpahan perhatian dan kasih sayang Ratna. Ratna-lah, dan bukan ibu saya yang sebenarnya seorang master dalam urusan mengolah makanan, yang membuat saya memiliki hobi keempat: memasak (waktu itu saya sudah punya tiga hobi lain: memancing, mengoleksi foto berbagai jenis burung, dan menonton sepak bola). Selain masakan Sunda yang rata-rata mudah diolah karena serba direbus, dipepes atau digoreng, masakan favorit Ratna adalah sambel goreng udang, gerinting udang basah, daging masak Bali, ayam kelia, sayur lodeh Betawi, kambing rica-rica Manado, dan rendang. Memang, gadis Sunda peranakan yang satu ini lidahnya lebih mirip lidah Padang, suka segala sesuatu yang serba pedas. Menurut pengakuan Ratna, dari semua masakan favoritnya, ia selalu merasakan kenikmatan yang aduhai ketika membuat rendang. Ibunya menurunkan resep rendang khas itu kepada Ratna, dan Ratna menularkannya kepada saya. Apa kekhasannya, sebentar lagi akan anda ketahui. 63 Membuat rendang sebenarnya mudah sekali, asal punya sedikit kesabaran. Namun untuk pemula mulailah dengan ½ kilogram daging sapi sebab seberapa banyak daging yang akan dibuat rendang berhubungan erat dengan peta perbumbuan yang harus disiapkan secara seimbang dengan banyaknya daging dan berpengaruh pada keseimbangan kosmologis racikan bumbu dengan kepaduan rasa yang pada gilirannya akan menentukan apakah rendang yang kita buat layak mengisi usus besar kita atau justru lebih sesuai mengisi tempat sampah di dapur kita. Siapkan pula 4 buah lombok atau cabe merah, 1 potong terasi, 6 siung bawang merah dan 4 siung bawang putih, 1 ½ sendok teh ketumbar, ½ sendok teh jintan, 6 butir kemiri, ½ kelingking jahe, sepotong lengkuas, sedikit asam (gunakan feeling anda, jangan sampai terlalu asam), 2 sendok teh gula, garam secukupnya (periksa juga feeling anda, jangan sampai keasinan), dan siapkan pula santan dari satu butir kelapa (boleh juga santan instan). Setelah itu, godoklah daging sampai setengah matang. Nah, di sini kita akan sampai pada kekhasan resep rendang ibu Ratna. Biasanya rendang yang sering kita jumpai di restoranrestoran Padang bentuknya tidak beraturan, ada yang persegi empat, jajaran genjang, pentagon, seperempat lingkaran, ada juga yang gembung-bulat dengan ukuran rata-rata sepanjang jari, kira-kira 5 cm. Namun rendang versi ibu Ratna yang diturunkan kepada anaknya dan ditularkan kepada saya bentuknya indah dilihat, memperlihatkan kecermatan, ketelitian, dan kesabaran juru masaknya. Bentuknya segi empat dengan panjang x lebar = 3 x 3 cm. Sebagai seseorang yang sedikit rumit berurusan dengan pisau, ukuran sekecil itu membuat saya repot minta ampun karena saya tidak bisa memegang 64 pisau dengan telapak tangan telanjang tetapi harus dengan sarung tangan, dan ketika bersama-sama Ratna di dapur rumahnya yang beraroma lemon saya mencoba membuat rendang untuk pertama kalinya, terpaksa saya membalut lebih dulu gagang pisau itu dengan kain serbet, dan kerepotan ini membuat daging yang saya iris tidak beraturan bentuknya. Melihat kekacauan ini, Ratna menyuruh saya menjadi asistennya saja. Itulah pengalaman pertama saya menjadi seorang asisten. Rendang ukuran mini itu, kata Ratna, akan sangat membantu nafsu makan kita, sebab kita tidak perlu menggigitnya berulang-ulang tetapi cukup blam! dimasukkan ke dalam mulut lalu dikunyah pelan-pelan. Hmmm. Nyam-nyam. Bumbu-bumbu kemudian ditumbuk sampai halus lalu dicampur dengan santan dan daging (yang sudah dipotong-potong), kemudian digodok terus sampai santannya habis. Di sini kita sampai pada kekhasan kedua resep rendang ibu Ratna: anggur putih! Ya, betul, anggur putih, bukan anggur merah. Jangan pernah mencoba bereksperimen menggantinya dengan anggur merah. Percayalah saja kepada ibu Ratna karena saya yakin di masa silam tentu ia telah juga melakukan eksperimen semacam itu. Masukkan lima sendok makan anggur putih itu ke dalam larutan santan. Aduklah santan beranggur itu hingga kental benar, terus-menerus, tanpa terhenti-henti, dengan penuh perjuangan dan ketabahan, sampai kering. Jika santannya sudah habis dan dagingnya masih kenyal, airnya ditambah dan digodok lagi hingga dagingnya benar-benar empuk dan siap dihidangkan. Empat tahun yang lalu saya berhenti makan daging yang berasal dari semua hewan darat dan sejak itu saya tidak pernah makan rendang lagi. Ratna 65 sendiri sudah tidak dapat menikmati rendang khasnya sejak musim haji tahun 1990. Bukan karena ia memutuskan berhenti makan daging dan menjadi seorang vegetarian tetapi karena ia termasuk salah seorang korban dalam kecelakaan massal di terowongan Harat al-Lisan. Musibah Mina, begitulah orang menyebut peristiwa itu karena terjadi di kota Mina pada saat para peziarah melakukan salah satu rukun ibadah haji, melempar jumrah. Tubuhnya tidak pernah kembali ke Bandung. Ia dikuburkan di komplek pemakaman Ma’la, di Makkah. Ayah dan ibu Ratna selamat dari musibah itu tetapi tidak pernah dapat meloloskan diri dari kesedihan hebat yang diakibatkan musibah itu. Setahun setelah kematian Ratna, saya menghadiri pemakaman ibu Ratna, dan setahun setelah kematian ibu Ratna, saya hadir dalam pemakaman ayah Ratna. Mereka berdua dikuburkan di komplek pemakaman Sirnaraga di Jalan Pajajaran, Bandung. Apabila Suratan tidak terlalu suka bergurau, dan ramalan Sumarsono, seorang sahabat saya di masa lampau, menjadi kenyataan, seharusnya saat ini saya dan Ratna sudah memiliki tiga orang anak. Yang pertama perempuan, lahir tahun 1992; yang kedua laki-laki, lahir tahun 1995; yang ketiga perempuan, lahir tahun 1998. Kami sekeluarga hidup bahagia. Saya bahagia sebagai suami Ratna dan sebagai seorang ayah dari tiga anak; Ratna bahagia sebagai isteri saya dan sebagai seorang ibu dari tiga anak; ibu Ratna bahagia sebagai nenek dari tiga cucu; ayah Ratna bahagia sebagai kakek dari tiga cucu; dan anak-anak berbahagia sebagaimana umumnya anak-anak. 66 Nama ketiga anak saya yang tidak jadi dilahirkan dari rahim Ratna itu adalah: Evita Lina Kurniasari, Fauzy Dylan Pandita, dan Sinta Wulan Banondari. Nama-nama Evita, Fauzy, dan Sinta adalah hasil penemuan dan kesepakatan saya dan Ratna. Lina Kurniasari: nama ibu Ratna. Dylan Pandita: nama kakak Ratna. Wulan Banondari: nama ibu saya. Dylan Pandita, kakak Ratna, meninggal pada usia sangat muda: 10 tahun. Ibu saya, Wulan Banondari, pada suatu subuh ditemukan terkapar berlumuran darah di dapur. Ibu bunuh diri. Menggorok lehernya sendiri dengan pisau daging. Ibu tidak pernah bisa menerima kenyataan suaminya mati di tangan anaknya sendiri.  MESKIPUN sejak kecil saya enggan berkelahi, bukan berarti saya tidak pernah terlibat duel, perkelahian satu lawan satu. Selama hidup saya, saya pernah dua kali bertarung. Perkelahian pertama terjadi ketika saya berumur 12 tahun. Waktu itu saya masih anak kelas 6 SD. Perkelahian kedua terjadi ketika saya duduk di kelas terakhir SMA. Dalam perkelahian pertama lawan saya adalah seekor anjing, dan pada perkelahian kedua lawan saya adalah suami ibu saya sendiri. Guru wali kelas saya waktu SD adalah seorang lelaki separuh baya berkulit legam berkumis tebal bertubuh gempal, periang, banyak tertawa, menyukai petualangan dan tamasya. Fotografi bukan saja hobinya melainkan juga hidupnya. Ke mana-mana ia selalu menenteng kameranya, Nikon tua warna hitam, dingin dan berat. 67 Setiap kenaikan kelas ia selalu membawa kami pergi piknik. Di kelas 3, Pak Suminto, nama wali kelas kami itu, membawa kami tamasya ke Situ Aksan. Itulah satu-satunya situ (danau) yang masih tersisa di kota Bandung. Sekarang sudah punah, sudah tidak ada bekasnya lagi dan telah lama berganti wajah menjadi permukiman kaum urban yang padat. Di kelas 4, Pak Suminto membawa kami ke kebun binatang di Jalan Tamansari. Sampai sekarang kebun binatang itu masih menjadi tujuan melancong favorit warga kota Bandung dan sekitarnya. Pada hari Raya Idul Fitri dan beberapa hari sesudahnya tempat itu berubah menjadi lautan manusia sehingga jangan heran apabila mungkin membuat kita bingung apakah para pentamasya itu yang sedang melihat kaum binatang atau hewan-hewan di kebun itu yang sedang melihat kaum manusia. Konon, sejak kebun binatang itu berdiri, saya sendiri tidak percaya kisah ini, ada kebiasaan aneh dari para wali kota terpilih untuk segera setelah usai dilantik pergi ke kebun binatang membawa sekantong kacang asin dan memberikannya dengan penuh perhatian dan ketulusan yang luar biasa kepada orang utan di kebun binatang itu. Apakah kebiasaan ini semacam simbolisme, bahwa kelak selama mereka memegang jabatan publik itu mereka akan berperilaku dan bersikap rendah hati? Entahlah, saya tidak tahu. Ngomong-ngomong, anda tahu perbedaan monyet (monkey) dengan kera (ape)? Monyet dan kera yang terbagi-bagi lagi jenisnya menjadi bermacammacam itu adalah mahluk primata. Orang utan, misalnya, termasuk ke dalam golongan kera. 68 Primata ini aneh. Merekalah satu-satunya kelompok binatang yang kedua matanya berada di depan, bukan di samping. Mereka hewan berotak besar, ini bisa diartikan cerdas, yang dapat berjalan tegak sebagaimana manusia, dan semua ibu jari mereka baik yang di tangan maupun yang di kaki dapat ditekukkan untuk menyentuh jari-jari lainnya. Ibu jari kaki manusia tak bisa melakukannya. Nah, kembali ke perbedaan antara monyet dan kera itu, inilah perbedaannya: monyet memiliki ekor sedangkan kera tidak memilikinya. Di kelas 5, Pak Suminto membawa kami ke Maribaya, dan di kelas 6 ia membawa kami ke Situ Cangkuang. Situ Cangkuang berada di Kabupaten Garut. Danaunya cukup luas dan waktu itu tanaman eceng gondok belum merajalela. Orang masih bisa leluasa berakit-berakit di sana. Di dekat Situ Cangkuang terdapat sebuah candi peninggalan Hindu. Candi Cangkuang namanya. Sewaktu pergi piknik ke candi itu, saya baru saja mengubah model rambut saya yang lurus dengan gaya yang sedang sangat populer pada masa itu. Gaya John Travolta (dalam Saturday Night Fever). Musik disko juga sedang sama populernya. Nah, teman saya yang tergila-gila pada gaya goyang disko John Travolta dan model rambutnya membujuk saya mengikuti jejaknya meniru-niru si John. Maka, kalau anda pada suatu ketika melihat album foto saya, pada salah sebuah foto berwarna yang sudah memburam anda akan melihat ada seorang anak bertubuh paling kecil di antara teman sekelasnya sedang bergaya di depan Candi Cangkuang dengan rambut ikal-gimbal dan menekuk sebelah kakinya dan mengacungkan tangan kanannya ke atas, telunjuknya lurus menuding langit, persis 69 seperti poster-poster si John yang pada masa itu banyak terdapat di kamar gadisgadis remaja. Anda mungkin akan tertawa terpingkal-pingkal melihat si mungil bergaya begituan sedangkan dalam pikirannya ia sedang membayangkan bahwa dirinya tak lain tak bukan adalah John Travolta. Tentu saja si kurcaci itu tak memiliki dagu belah si John yang legendaris. Ketika model rambut saya masih menyerupai gaya raja disko itulah saya berkelahi dengan anjing itu. Anda tak perlu percaya pada fakta yang, terus-terang belum pernah saya ungkapkan kepada siapa pun kecuali kepada anda: anjing itu bisa bicara! Ya, bicara dalam bahasa manusia. Layaknya saya bicara kepada anda sekarang ini. Kalau anda suka di dalam mini bar itu saya lihat ada Heineken. Saya kira dapat sedikit menghangatkan tubuh anda. Atau apa perlu memesan minuman lain jenis dari layanan room-service? Anda boleh memesan Chivas Regal kalau anda mau. Kalau anda meminumnya dengan takaran yang tepat, tidak berlebih, minuman itu dapat membuat mata anda terbuka sepanjang malam tanpa membuat anda mabuk. Jangan, sebaiknya jangan Martini. Anda tentu tahu apa akibatnya bagi daya rangsang adrenalin. Saya kira Martini hanya cocok diminum pasangan yang sedang berbulan madu. Lagi pula tak ada Martini yang enak di hotel mana pun. Martini yang pas sampai ke hati hanya mungkin didapat bila kita meraciknya sendiri. O, tidak. Terima kasih. Sehari setelah pesta perkawinan saya dengan Meita Intania, saya berhenti minum minuman yang mengandung alkohol. Bukan. Bukan karena saya penganut agama yang saleh. Saya kira agama saya cuma agama KTP. Sekadar formalitas. Ya, tentu saja saya percaya Tuhan, seperti saya 70 percaya di dunia lain ada surga dan neraka dan di dunia ini selain manusia ada juga jin. Saya sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali saya pergi ke masjid dan kapan terakhir kali saya melakukan shalat. Saya berhenti minum karena saya sudah tidak memerlukannya. Bagaimana? O, masa-masa sangat mabuk saya sudah usai. Itu terjadi ketika saya masih duduk di tahun-tahun pertama perguruan tinggi. Apabila tak ada di antara teman-teman lama saya yang pernah melihat saya mabuk atau memegang botol minuman, itu karena saya mengatur urusan ini dengan tertib sebagaimana dengan tertib pula saya mengatur urusan-urusan saya yang lain. Saya tak pernah mabuk di depan umum. Mabuk bagi saya urusan pribadi sebab saya mabuk bukan untuk membuktikan apa pun. Misalnya untuk membuktikan bahwa saya pemberani. Mabuk saya juga bukan untuk meraih kenikmatan sesaat. Saya biasa mabuk di kamar tidur saya di malam hari ketika ibu saya dan pembantu kami, Bi Encum, sudah nyenyak tidur. Pagi-pagi sekali saya bangun, dan ketika ibu saya keluar dari kamar tidurnya dan Bi Encum sedang sibuk di dapur, saya sudah terlihat segar. Mabuk saya adalah mabuk pelarian, eskapisme. Ketika saya merasa tak perlu lagi melarikan diri karena saya sudah menemukan pelabuhan untuk pelarian diri saya, Meita, saya berhenti mabuk. Saya menjadikan masa-masa mabuk berat saya sebagai pengalaman berharga. Akan sangat menyedihkan jika hidup saya seluruhnya putih atau seluruhnya hitam. Apabila itu yang terjadi, saya tak akan pernah sampai-sampai pada hakikat pemahaman jiwa manusia. Sekurang-kurangnya pemahaman atas jiwa saya sendiri. Meskipun Meita sudah tidak lagi menjadi pelabuhan saya, kami bercerai beberapa bulan sebelum ibu saya bunuh diri, sekarang saya sudah sangat matang 71 dalam menghadapi persoalan apa pun, jadi saya tak akan pernah melarikan diri lagi. Tapi, who knows? Siapa yang dapat mengira kejadian berat tak tertanggungkan apa yang mungkin menimpa seseorang? Jika hal itu terjadi lagi kepada saya, dan ternyata saya menganggap melarikan diri sebagai satu-satunya jalan yang mungkin untuk menyelesaikannya, saya sudah berjanji tidak akan melarikan diri saya lagi ke haribaan alkohol. Saya akan melarikan diri ke tempat lain. Ke sesuatu yang lain. Nah, saya kira pesanan anda sudah datang. Tolong bukakan pintu dan beri pelayan itu tip. Ada beberapa pecahan ribuan di atas meja itu. Saya harus ke kamar mandi sebentar….  WAKTU itu saya kebelet kencing. Saya pergi mencari kamar mandi umum yang letaknya agak jauh berada di luar komplek candi. WC umum itu memiliki empat bilik, tampaknya tak dibedakan mana bilik untuk laki-laki dan mana bilik untuk perempuan. Bilik pertama terisi, bilik kedua dan ketiga tidak ada airnya, sedangkan bilik keempat yang saya masuki walaupun ada airnya namun keadaannya sangat kotor dan baunya sangat mesum. Temboknya penuh coretan-coretan spidol, pilok, dan bolpen berbagai warna dengan kata-kata rucah, jorok, dan aneh-aneh. Kecuali orang gila atau orang yang kepepet masturbasi, saya kira tak seorang pun manusia waras mau berlama-lama berada di tempat super jorok seperti itu. Begitulah setelah hajat saya terpenuhi saya segera keluar, dan baru beberapa langkah saja saya menjauh dari pintu WC itu ketika saya menangkap sepasang mata merah saga sekor anjing besar berbulu coklat memandang saya 72 dengan tatapan memusuhi. Air liur tak henti-henti menetes dari lidahnya yang menjulur, dan kemudian dia berkata dengan suara ngirung, sengau. Di tanah Sunda, kita disebut ngirung apabila terlalu banyak menyisipkan, biasanya bukan hasil dari suatu tindakan yang disengaja, ny atau ng dalam kata-kata kita. - Manusia, mau ke mana kamu? Saya terkesiap namun cepat-cepat menguasai diri. Perihal kemampuan saya menguasai diri, saya sudah cukup lama dilatih kakek saya yang di masa mudanya dikenal sebagai jawara. Tahun-tahun belakangan ini, saya melatih kemampuan menguasai diri juga dengan senam pernafasan dan yoga. - Saya mau makan siang, anjing, dengan teman-teman dan guru saya. - Tak bisa, manusia. Langkahi dulu mayat saya. Saya mencari kamu dari dulu, manusia. Urusan saya dan kamu harus diselesaikan. - Saya tidak mengerti, anjing. Urusan apa? Saya baru ketemu kamu sekarang, anjing. Kita belum pernah bertemu sebelumnya. Tak ada urusan apa pun yang harus diselesaikan antara saya dan kamu, anjing. - Kamu jangan pura-pura, manusia. Dulu kamu membunuh saya dan memaksa isteri saya kawin dengan kamu. - Apakah kamu sudah gila, anjing. Umur saya 12 tahun. Saya belum pernah mimpi basah. Penis saya pun belum kuat tegak lama. Apakah masuk akal saya merebut isterimu untuk saya kawini, anjing. Punya pacar pun saya belum. Asal kamu tahu, anjing, saya melukai burung dan kecoa pun tak pernah, apakah masuk akal pula 73 saya membunuh kamu, anjing? Lagi pula kalau memang saya pernah membunuh kamu, mengapa kamu masih hidup, anjing? - Kamu, manusia! Kamu itu Sangkuriang! Kamu jangan pura-pura, manusia. Jangan dusta. Jangan berkelit. Kamulah yang di hutan dulu membunuh saya, manusia, memberikan jantung saya kepada Dayang Sumbi isteri saya yang kemudian kamu paksa untuk mau kawin dengan kamu. Kamu anak keparat, manusia. Durhaka. Calon penghuni neraka. Manusia, kamu yang membuat ibumu sendiri bunuh diri supaya tidak kawin dengan kamu. Aku ayahmu, Si Tumang yang kamu bunuh di hutan. Mengapa aku masih hidup, manusia? Kuceritakan kepada kamu sebuah rahasia, wahai anak durhaka. Kesaktianku tak tertandingi di dunia ini. Aku tak dapat dibunuh siapa pun karena cuma akulah yang bisa membunuh diriku sendiri, manusia. - O, jadi kamu, anjing, ayah saya. Lalu yang di rumah saya tadi pagi menghajar ibu saya bapaknya siapa, anjing? Wah hebat! Temanteman saya pasti takjub, anjing. Wahai anjing, menyingkirlah…. - Tidak, sebelum kamu jadi mayat, manusia. - Baiklah kalau itu maumu, anjing. Bunuhlah saya kalau kamu bisa, anjing. Maka tanpa menunda waktu lebih lama, anjing itu menyerang saya, moncongnya menganga memperlihatkan gigi-giginya yang runcing yang mengincar leher saya. Air liurnya menetes-netes di udara. Saya berkelit ke 74 samping, anjing itu menabrak angin. Lalu, ia membalikkan tubuhnya dan mencoba menggigit kaki saya. Saya mengangkat kaki kanan saya ke atas kemudian dalam hitungan detik kaki kanan saya turunkan kembali tepat ketika moncong anjing itu gagal menggigit kaki kanan saya dan dengan kaki kiri saya yang terlatih saya menghantam batok kepala anjing itu sampai pecah. Darah muncrat. Duel itu berlangsung sangat singkat. Anjing yang mengaku ayah saya itu mati. Darah dari batok kepalanya merembes ke tanah membentuk tumpahan saus kemerahmerahan. Tiba-tiba, bangkai anjing itu menghilang dan genangan darah itu berubah menjadi ratusan kupu-kupu bersayap warna-warni. Mereka lalu berputarputar melingkari kepala saya sehingga dari jauh kepala saya akan terlihat seperti mengenakan mahkota kupu-kupu. Lalu mereka terbang berkelompok ke arah Situ Cangkuang. Meninggalkan tempat perkelahian itu, saya bergumam pelan, “Dasar anjing!” - Boleh saya memotong kisah Kakak sebentar? - Silakan. - Kak Kafka tahu jenis anjing itu? - Saya kira anjing itu jenis herder blasteran. Hasil perkawinan antaretnis anjing keturunan Jerman dengan anjing keturunan Sunda. - Apakah Kakak pernah bertemu anjing itu sebelumnya? - Kalau anda betul-betul menyimak cerita saya, anda akan tahu bahwa baru kali itulah saya bertemu anjing itu. 75 - Apakah Kakak pernah melihat anjing itu dalam mimpi? - Tidak. - Kakak pernah bertemu anjing itu lagi? - Tidak. - Dalam bahasa apa anjing itu bicara dengan Kakak? - Seperti sudah saya katakan, dalam bahasa manusia. - Hmm…. - Bahasa daerah saya, Sunda. - Apakah Kakak percaya pada reinkarnasi? - Tidak. - Waktu Kakak berkelahi dengan anjing itu, Kakak sudah tahu kisah Sangkuriang? - Semua anak di tanah Sunda tahu. - Kak Kafka percaya anjing itu ayah Kakak? - Tidak. - Kakak yakin telah membunuh anjing itu? - 100%. - Apakah pernah terpikirkan oleh Kakak untuk menulis puisi tentang anjing? - Lucu sekali pertanyaan anda. Saya bukan penyair. Saya cuma penikmat sajak-sajak bagus. Tapi, kalau anda mau, saya bersedia membacakan untuk anda sebuah puisi dalam bahasa Indonesia tentang anjing betulan dan anjing mainan yang sama-sama 76 cerdasnya. Saya hapal di luar kepala puisi itu. Judulnya “Anjing”. Ditulis penyair Joko Pinurbo. Mau saya bacakan? - Mau. Mau, Kak. - Oke, bunyinya begini: Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan dan anjinganjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet dan sok polisi: sepi berkelebat sedikit saja ia sudah panik lalu menyalak keras sekali. Anjing-anjingan sungguh kalem lagi pemalu – maklum, tubuhnya terbuat dari waktu, eh, batu. Entah kenapa malam lebih takut pada anjing-anjingan ketimbang pada anjing sungguhan sehingga anjing sungguhan jadi cemburu. “Aku yang sibuk menjaga rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!” kata anjing sungguhan kepada anjing-anjingan. Aku sering terbangun dari tidurku mendengar dua ekor anjing bertengkar hebat di depan pintu. Dari suaranya aku bisa tahu bahwa anjing sungguhan makin lama makin frustasi. Aku baru sadar bahwa anjing-anjingan bisa lebih anjing dari anjing sungguhan. Tapi kalau tidak ada anjing sungguhan, anjing-anjingan pasti akan sangat kesepian. Nah, berdamai-damai sajalah kalian, anjing-anjingku. - Anda suka puisi itu? - Puisinya lucu. - Anda perhatikan bahwa anjing dalam puisi itu bisa bicara? - Ya. 77 - Itu tidak membuat anda kemudian harus percaya bahwa anjing yang mengaku ayah saya dan terpaksa saya bunuh, dapat bicara. Anda masih ingin mendengar cerita tentang kaki kiri saya?  KAKEK saya dulu dikenal sebagai jawara. Namanya tidak hanya menggetarkan dunia persilatan di daerah asalnya, Subang, tetapi juga getarannya sampai ke daerah Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Pangalengan, Ciwidey, Cianjur, Sukabumi, dan Bandung. Sepanjang hidupnya kakek telah membunuh 13 manusia, 2 ekor harimau, dan 11 babi hutan. Dari 13 orang yang dibunuh kakek, 5 di antaranya tentara Nipon, 5 orang begal (dalam satu kesempatan), dan 3 orang komunis (dalam satu kesempatan) di paruh kedua tahun 1960-an. Kakek sayalah yang membuat kaki kiri saya dapat membunuh seekor anjing sekali tendang. Sebagai jawara, kakek saya termasuk sangat pelit menurunkan ilmunya. Ia tidak mendirikan perguruan silat dan oleh karena itu ia tak punya murid. Sebenarnya disebut sama sekali tak punya murid juga tidak tepat sebab ia menurunkan ilmunya kepada tiga orang. Orang pertama adalah isteri kakek (nenek saya) sendiri. Orang kedua adalah anak tunggal kakek (ibu saya) sendiri. Dan orang ketiga adalah cucu semata wayang kakek yang tak lain tak bukan adalah saya sendiri. Nenek sudah menjadi murid kakek sebelum kakek peristeri. Menurut cerita nenek, pada hari pertama kakek menurunkan ilmunya yang dilakukan kakek cuma memandang nenek lama sekali. Matanya menyisir seluruh tubuh nenek, dari 78 telapak kaki ke ubun-ubun, lalu dari ubun-ubun ke telapak kaki. Kemudian kakek memegang telapak tangan kanan nenek, dan berseru: ”Dampal leungeun maneh! Dampal leungeun maneh nu katuhu! Omat tong dipake sakali oge nampiling batur. Matak paeh.” (“Telapak tanganmu! Telapak tangan kananmu! Jangan pernah sampai dipakai untuk menampar orang lain. Yang ditampar olehmu pasti mati.”) Begitulah kakek selalu dapat melihat di mana inti kekuatan jiwa seseorang tersembunyi. Menurut kakek inti kekutan jiwa seseoranglah yang membuat orang itu memiliki kelebihan dari orang lain. Tidak seperti umumnya keyakinan para pendekar yang menganggap inti kekuatan jiwa seseorang terdapat di dalam hati, kakek percaya bahwa inti kekuatan jiwa seseorang berada di telapak tangan atau di telapak kaki (yang sebelah kanan atau yang sebelah kiri). Apabila latihanlatihan fisik dipusatkan di bagian itu kemudian mengisinya dengan semacam kekuatan spiritual maka bagian tubuh yang meyimpan inti kekuatan jiwa itu akan menjadi senjata yang sangat dahsyat. Dapat digunakan untuk membunuh orang hanya dengan sekali tampar, sekali pukul, atau sekali tendang. Dalam tubuh nenek, inti kekuatan jiwa itu terdapat di telapak tangan kanannya. Nenek saya seorang penyayang binatang. Ia memelihara puluhan kucing, anjing, angsa, dan ayam. Ia perempuan Sunda yang sangat lembut yang tak pernah berpikir selintas pun untuk menyakiti mahluk hidup lain. Bahkan nyamuk sekalipun. Bertahun-tahun kemudian, ketika nenek menyadari betul akibat yang mungkin ditimbulkan kekuatan telapak tangan kanannya terhadap mahluk hidup lain, dengan sukarela tanpa dipaksa siapa-siapa nenek memotong dengan telapak 79 tangan kirinya sendiri telapak tangannya yang kanan. Kakek sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Waktu itu, ibu saya belum lahir. Ibu lahir dua tahun setelah nenek menghilangkan telapak tangannya sebelah kanan. Kakek mulai mengajari ibu ilmu silat ketika usia ibu menginjak 10 tahun. Tujuh tahun kemudian, kakek menyisir dengan pandangannya yang tajam seluruh bagian tubuh ibu seperti yang di masa silam dilakukannya terhadap nenek, dari ubun-ubun ke telapak kaki dari telapak kaki ke ubun-ubun, kemudian berkata lembut kepada ibu: “Geulis, kameumeut Apa, omat tong sakali oge dipake nampiling eta dampal leungeun maneh nu kenca. Tong boro sirah jelema, cacak batu ge ancur!” (“Putriku yang cantik, jangan pernah menampar orang dengan telapak tangan kirimu. Jangankan kepala manusia, batu pun hancur bila kena tamparanmu!”). Seperti nenek, ibu saya juga seorang penyayang binatang dan tak pernah menyakiti mahluk hidup lain. Selain memelihara kucing, anjing, angsa, dan ayam, sejak kecil ibu pun memelihara bebek, ikan, dan kambing. Yang tidak mau ibu pelihara cuma burung karena menurut keyakinan ibu burung-burung sebaiknya dibiarkan bebas berkeliaran di langit dan biar saja Tuhan sendiri yang memeliharanya. Bukankah Tuhan tinggal di langit? Pada umur delapan belas tahun ibu menikah. Ayah saya meninggal ketika saya masih berada dalam kandungan ibu. Ibu menikah lagi ketika usia saya masih satu tahun. Setahun setelah menikah lagi, menyadari akibat yang mungkin ditimbulkan kekuatan telapak tangan kirinya terhadap mahluk hidup lain, khususnya kepada suaminya (ayah tiri saya) yang bejat dan pemabuk yang sering 80 menyiksa ibu dan memukul kepala ibu tanpa sebab yang jelas, yang tanpa kenal waktu memaksa ibu melayani nafsu seksualnya kapan pun dia mau (bahkan ketika ibu dalam keadaan haid), yang di luar pengetahuan ibu punya banyak pacar gelap dan sekian dari pacar gelapnya adalah para pelacur, ibu dengan telapak tangannya sebelah kanan memotong telapak tangannya sebelah kiri. Itu dilakukannya semata-mata supaya jangan sampai membunuh suaminya (ayah tiri saya). Seperti ibu, pada umur 10 tahun, saya mulai dilatih kakek ilmu silat. Persis seperti yang dialami ibu, pada umur saya yang ke-17 tahun kakek menyisir dengan pandangannya yang tajam seluruh bagian tubuh saya, dari ubun-ubun ke telapak kaki, dari telapak kaki ke ubun-ubun, lalu berteriak: “Incu aing, kameumeut aing! Suku kenca anjeun! Suku kenca anjeun! (Cucuku, kesayanganku! Kaki kirimu! Kaki kirimu!)” Mendengar kakek berteriak-teriak seperti itu, saya tidak memerlukan penjelasan apa pun lagi. Saya segera paham bahwa inti kekuatan jiwa saya ada di (telapak) kaki kiri saya. Menyadari itu, saya bangga sekaligus sedih. Bangga karena sewaktu-waktu kaki saya dapat diandalkan untuk menyelamatkan hidup saya, sedih karena saya tahu dengan (telapak) kaki kiri saya itulah suami ibu (ayah tiri saya) kelak akan menemui ajalnya. Itu terjadi setahun kemudian setelah kakek berteriak-teriak tentang kaki kiri saya. Saya tak bisa lagi menanggungkan rasa sakit dan menahan amarah saya yang terpendam bertahun-tahun kepada ayah tiri saya yang memperlakukan ibu saya seperti hewan. Sebenarnya kakek bisa saja dengan santai membunuh ayah tiri saya seandainya kakek tidak terikat sumpah setahun setelah membunuh 3 orang 81 komunis bahwa ia tidak akan membunuh orang lagi. Sebagai jawara yang terikat etika kependekaran, kakek tak bisa tidak harus memegang sumpahnya. Lagi pula jika kakek melanggar sumpah, bencana besar akan segera datang menimpa bukan saja kakek, melainkan juga keturunan kakek. Akan tetapi sebenarnya, tanpa kakek melanggar sumpah pun bencana besar tetap menimpa kami. Bagi saya, bencana besar itu dimulai sejak pertarungan saya dengan ayah tiri saya: sejak hari itu ibu tidak pernah mau berbicara lagi dengan saya, tak mau lagi tersenyum kepada saya, tak mau lagi menatap saya, tak mau lagi menyentuh saya. - Waktu Kakak membunuh anjing gila itu, usia Kakak masih dua belasan tahun, kan? - Tak mungkin lebih tua dari itu. - Kok sudah bisa membunuh anjing itu sekali tendang dengan kaki kiri? Bukankah kakek Kak Kafka baru tahu inti kekuatan jiwa Kakak waktu umur Kakak tujuh belas tahun? Kok bisa? - Kakek memastikannya ketika umur Kakak tujuh belas tahun. Tetapi inti kekuatan jiwa itu sendiri sudah terdapat dalam diri Kakak sejak lahir. - O, begitu…. Tinggal dengan siapa kakek Kak Kafka sekarang? - Anda sudah mulai banyak bertanya. - Mengenai kakek Kakak ini, tiba-tiba banyak sekali pertanyaan yang begitu saja muncul dalam pikiran saya. - Bukan salah anda…. 82 - Apakah nenek dan kakek Kak Kafka masih hidup? - Hmm…. Nenek saya meninggal pada umur 70 tahun. Kakek saya masih hidup. Usianya sekarang 103 tahun. - Wow! Panjang umur betul kakek Kakak ini. Apa kira-kira rahasianya, Kak? - Ilmu pamungkas sukma itu. Ilmu itu membuat pemiliknya berusia lebih lama daripada kebanyakan manusia pada umumnya. - Apa dia tidak kesepian, Kak? - Dia siapa? - Kakek Kak Kafka. - Pertanyaan seperti itu tidak memerlukan jawaban. - Kapan terakhir kali Kakak ketemu dia? - Di hari pemakaman ibu. - Apa yang dikerjakannya sehari-hari, Kak? - Menunggu. - Menunggu? - Kakek saya sedang menunggu seseorang datang untuk mengakhiri hidupnya. Seseorang yang kesaktiannya sebanding dengan atau lebih tinggi dari kakek. - Apakah kakek Kak Kafka tidak bisa meninggal dengan cara yang wajar? Sakit, misalnya? - Tidak. Kakek saya terikat perjanjian dengan gurunya. Kakek saya harus mati di tangan seseorang. Itulah takdirnya. Kutukannya. 83 - Apakah kakek Kak Kafka tahu siapa orang itu? - Setelah ibu saya wafat, orang kedua yang mengetahuinya selain kakek adalah saya sendiri…. Maukah anda menjadi orang ketiga dan terakhir yang mengetahuinya?  84 2 85 Le Petite Soska 86 April – Desember 1999 RUKMANA menelefon. Ia menanyakan apakah surat dari Freedom for Asian Foundation sudah sampai. Ia juga bilang bahwa ia memutuskan untuk keluar dari KONTRAS dan akan terjun sepenuhnya di dunia politik. Kawankawan lamanya di GMNI memintanya bergabung ke PDI pimpinan Mega.  Aku yakin, Rukmana ikut berperan di belakang layar membantuku memperoleh pekerjaan itu: asisten program officer. Sebagai representative lawyer Freedom for Asian Foundation di Indonesia, semua urusan hukum yayasan itu adalah tanggung jawabnya.  Ibu yang bertahun-tahun tak pernah lagi mengajakku bicara, ibu yang bertahun-tahun tak mau lagi tersenyum kepadaku, ibu yang bertahun-tahun selalu menghindar dariku, pergi untuk selamanya. Ketika semua orang satu persatu meninggalkan komplek pekuburan kecil di sebuah desa di Subang siang itu, tinggal aku dan kakek yang tersisa. Kami berdua mematung dalam diam yang asing hingga udara panas tengah hari berubah menjadi udara sejuk senja hari. Hujan gerimis, dan di kejauhan desir halus arus sungai Cikembang seperti suara tangis seorang perempuan. Meita menginterlokal, turut berduka cita, dan mohon maaf tidak bisa ikut mengantar jenazah ibu ke tempat istirahatnya yang terakhir.  Januari - Desember 1998 87 NAMAKU masuk daftar hitam. Telefon disadap. Aku selalu dikuntit orang.  Dengan mudah aku dapat mengatakan diriku terkena paranoia, dan persoalan selesai, jika bukan karena HD yang memberiku kabar dan menyuruhku hati-hati. Dalam sebuah pertemuan di rumah dinas Pangdam Siliwangi, HD menerima bocoran informasi bahwa ia, aku, dan sejumlah nama lain telah dikelompokkan militer (entah militer yang mana, banyak sekali friksi dan faksi di dalam tubuh militer sekarang ini) ke dalam gerakan anti-Soeharto. Sejumlah aktifis PRD yang dibredel Soesilo Soedarman dua tahun yang lalu karena dianggap dalang “Kasus 27 Juli 1996”, diculik. SFM dan WT, keduanya penyair yang banyak menulis puisi yang berpihak kepada rakyat kecil dan tertindas, raib. Diculik juga? Dibunuh? Entahlah. Kontakkontakku di kalangan seniman, jarang memberikan informasi yang netral, selalu terkesan didramatisasi, dan harus dikonfirmasi ke berbagai sumber lain yang dapat memperlakukan fakta dengan lebih dingin.  Aku kasihan kepada Meita, meskipun dia sendiri tidak pernah mengeluh, karena rumah kami kini bagaikan tempat penampungan para pengungsi. Kegaduhan seperti ini merupakan hal baru baginya yang terbiasa dengan suasana serba tenang dan tertib bagi lima tahun perkawinan kami yang bagai lautan cinta yang tak pernah mengenal pasang surut. Ya, meskipun hingga saat ini Meita 88 belum diberi tanda-tanda akan memberiku anak. Pengalamannya menjadi aktifis terjadi bertahun-tahun yang lalu, sebagai panitia OPSPEK yang membuatnya jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Ah, betapa setelah Ran di masa yang jauh—masa yang telah menjadi halaman-halaman putih dalam ingatanku—dan Ratna yang nyaris dapat menggantikan kedudukan Ran dalam hatiku seandainya tidak direnggut takdir begitu saja dariku, aku tak pernah berhenti mencintai Meita, perempuan yang lebih sabar dari bumi.  Sepanjang hari orang-orang datang dan pergi. Setiap malam ada saja diskusi yang ramai dan panas di ruang tamu. Kemarin malam dua orang tokoh mahasiswa UI sayap kiri mampir ke sini, menginap semalam, dan baru pulang pagi tadi. Mereka menceritakan situasi terakhir (versi mereka) gerakan mahasiswa di Jakarta dan peta aliansinya dengan gerakan-gerakan lain, perorangan maupun kelompok. Termasuk faksi militer yang cenderung pada perubahan. Yang menarik adalah Amien Rais saat ini mengumpulkan dalam dirinya hampir seluruh komponen dan anasir moral-force. Ia telah menjadi simbol perlawanan. Simbol reformasi.  Dua kamar kosong di rumah kami dua hari yang lalu menjadi tempat bermalam enam mahasiswa dari Semarang dan Salatiga. Pagi ini mereka meneruskan perjalanan ke Jakarta. 89 Malam ini, di ruang tamu, aku berdiskusi dengan Arman, Ismet, Asep, Nita, Reza, Yuli, Agus, Doddy, Anwar, Nanang, Eko, Adi, Jajang, Dadan, Imran, Harun, Budi, Zaky. Kecuali Jajang dan Nanang yang mahasiwa UNSIL, Tasik, yang lainnya adalah mahasiswa Bandung: ITB, UNPAD, STIKOM, UNPAR, STISI, dan IKIP. Mereka semuanya aktifis di kampusnya masing-masing. Ada yang kanan ada yang tengah ada yang kiri. Ada yang merah, oranye, putih, dan hijau. Betul-betul pelangi.  Aku tidak selincah dulu. Usia ranum dan energik kemahasiswaanku, sepuluh tahunan lalu. Aku (dan Rukmana) cuma ingin membantu mereka yang sedang berhadapan langsung dengan tembok raksasa rezim itu dengan cara kami sendiri yang harus kami akui kecil sekali kontribusinya. Ini terutama berulangulang kukatakan kepada Ismet, Nita, Budi, Doddy, Anwar, Asep, dan Nanang. Belakangan ini, hampir setiap malam mereka tidur di sini. Ismet, mahasiswa semester empat STIKOM yang pemujaannya terhadap Tan Malaka melebihi pemujaan Anwar terhadap Imam Ali, menjadi seksi sibuk di malam hari: membeli goreng-gorengan, masak indomie, menyiapkan teh manis dan kopi. Anak muda gondrong yang jangkung, ceking, pendiam, berwajah flamboyan namun jarang mandi dan selalu bersepatu lancip dan berikat pinggang kulit dengan gesper metal berbentuk tengkorak dan dikenal memiliki banyak pacar ini, suka menulis puisi. Seminggu yang lalu, ia memintaku membaca seratusan sajaknya. Baru selesai kubaca kemarin. Membaca puisi-puisinya, aku pikir, Ismet akan lebih berhasil menjadi wartawan daripada menjadi penyair. 90  Rumah Makan “Sedap Malam”. Menyenangkan: meskipun akhirnya cuma bertiga yang hadir, aku, Hans dan Rukmana. Menyesakkan dada: kami hampir putus asa mencari kepastian nasib Yani Fatmawati. Kami mulai bersiap-siap menerima kenyataan Yani meninggal sebagai salah seorang martir dalam penyerbuan militer dan orang-orang suruhan Suryadi ke kantor PDI pimpinan Mega, 27 Juli 1996. Akan tetapi, seorang sahabat Rukmana, FM, kenalan Yani dan juga kenal dengan sejumlah orang di lingkaran dalam PRD, menduga kemungkinan besar Yani saat ini masih berada di salah satu kamp pertahanan NPA (New People Army), Tentara Partai Komunis Filipina, di Basilan. FM mendengar dari kenalan PRD-nya, AS, yang belum lama berselang mengunjungi kamp-kamp itu bahwa sejumlah aktifis komunis berusia muda dari Indonesia (dan beberapa negara lain) sedang dilatih NPA. Seorang sersan NPA, Thomas Honasan, bercerita kepada AS tentang seorang perempuan Indonesia yang memimpin sepuluhan anak muda Indonesia lain seusianya atau sedikit lebih muda darinya yang datang ke kamp pelatihan Thomas di Basilan pada bulan Desember 1996. Thomas menyebutkan ciri-ciri perempuan itu kepada AS. Ketika FM meminta AS menceritakan kembali ciri-ciri perempuan itu, FM segera teringat kepada Yani. Menyedihkan: Samiun hanya dapat hadir sebagai bagian dari kenangan duka kami. Ia dan isterinya meninggal empat tahun lalu. Pada suatu subuh hujan 91 deras yang licin dan angker, mobilnya ditabrak truk kontainer. Di jalan tol Cikampek, dalam perjalanan pulang ke Serang. Lain-lain: Syubban sedang menyelesaikan program masternya dalam Ilmu Politik di Ohio State University, Amerika Serikat. Belakangan ini emailnya datang beruntun. Abdul Gani seperti ditelan bumi, tak terlacak. Dan meskipun aku siap menanggung tiket pesawatnya pulang-pergi, Afuz kesulitan meninggalkan Palu. Ia menginterlokal kami, menyampaikan salam dan mohon maaf. Anaknya sudah tiga, dan katanya sambil ketawa-ketiwi, “Windy tambah gemuk dari hari-ke hari”.  Terus terang aku agak rendah diri di depan Rukmana yang sekarang. Ia kuliah lagi, mengambil S-1 hukum pidana di sebuah perguruan tinggi swasta dan baru saja menyelesaikan program masternya. Cepat sekali. Di kartu namanya tertulis: Drs. Rukmana Ekadjati, S.H., M.Hum. Ia sedang bersiap-siap untuk mengambil gelar doktor di UI. Tapi bukan karena itu. Yang membuatku agak rendah diri di depannya karena kepercayaan dirinya yang semakin mengarca. Kuat, kukuh, keras. Tak mengherankan bila di kalangan pengacara muda Jakarta, ia termasuk lawyer yang sangat diperhitungkan dan disegani. Ia aktif juga di KONTRAS. Meskipun wajahnya tidak pernah muncul di koran atau televisi, seperti Munir, aku punya dugaan kuat, Rukmana-lah yang 92 sebenarnya menjadi konseptor dan otak dari sepak terjang lembaga pencari orang hilang dan korban tindak kekerasan itu. Dengan Hans, sejak kami lulus tahun 1992, aku hanya sekali pernah bertemu di rumah pamannya di Jalan Cihampelas. Sekarang tempat tinggal tetapnya tidak jelas. Entah di mana. Mobilitas fisiknya tetap tinggi. Ia dan kelompoknya merupakan simpul dari jaringan organisasi bawah tanah Islam militan di Pulau Jawa. Ia banyak berkeliling dari kota ke kota, kampus ke kampus, pesantren ke pesantren, majlis taklim ke majlis taklim. Ia punya hotline dengan YAF, Lingkaran Ciganjur, AS, AFM, Habib UM, dan AMF. Seperti Rukmana, Hans belum beristeri. Hans dan Rukmana punya cara berbeda untuk mengatasi persoalan seksual mereka. Yang pertama dengan menjalankan puritanisme Islam yang tegas: menghukum dirinya sendiri dengan puasa Daud, tahajud setiap malam, mengharamkan onani. Yang kedua menghadapinya dengan sangat enteng: jika masih bisa makan di luar, kenapa repot-repot buka rumah makan. Ya, aku pikir, dan aku percaya, masing-masing orang punya kelemahan dan kelebihan. Selalu ada unsur malaikat dan iblis dalam diri setiap orang. Namun di dalam diri Hans, aku sama sekali tidak melihat kelemahan. Tidak ada unsur iblis sedikit pun di dalam dirinya. Tingkat keimanannya kepada Allah sudah sampai pada apa yang dikatakan Nietzsche sebagai das Heiligste und Mächtigste. Seandainya ia hidup sezaman dan bersahabat dengan filosof “pemakai martil” itu, yang terakhir ini akan punya a living model untuk konsep manusia adikodrati 93 yang diidam-idamkannya: ebermencsh. Seorang penulis komik dari negeri yang sering sekali tergelincir, Amerika, memelesetkan tokoh idaman Nietzsche itu menjadi karakter komik: superman.  Dibandingkan Hans dan Rukmana, dalam beberapa hal, aku bergerak mundur, jika tidak jalan di tempat.  Nasib baikku adalah nasib baik Meita.  Teror melalui telefon menjadi makanan sehari-hariku sebulan ini.  Aku menduga aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai kota telah mendekati titik kulminasi. Kerusuhan besar pecah di Medan. Toko-toko, bankbank, dan pasar-pasar dirusak, dijarah, dibakar. Kerusuhan meluas hingga ke Lubuk Pakam di Kabupaten Deli Serdang. Perekonomian Medan lumpuh. Penduduk keturunan Tionghoa pergi mengungsi menyelamatkan diri. Dalam sejarah kerusuhan di mana pun di dunia ini yang pertama kali menjadi korban selalu kaum minoritas. Kerusuhan pecah pula di Yogya. Jalan Gejayan porak poranda seperti kawasan perang. Batu, petasan dan bom molotov berseliweran. Kabar terakhir yang kudengar korban tewas dari kalangan sipil mulai jatuh: Moses Gatotkaca.  94 Menghadiri pameran lukisan. Menurut Amelia Chandra, satu dari tiga orang pemandu tamu pameran tersebut, lukisan-lukisan itu dijual dengan sistem lelang dan akan diberikan kepada penawar tertinggi yang baru akan diketahui pada hari penutupan pameran dua hari lagi. Seluruh hasil penjualan lukisan akan digunakan untuk mendanai perjuangan gerakan mahasiwa Bandung. Amelia menunjukkan kepadaku sebuah lukisan, ditempatkan agak terpisah, anggun dan mewah. Aku langsung jatuh cinta pada lukisan itu.  Amelia menelefon. Lukisan itu dan sepuluh lukisan lain dengan ukuran yang lebih kecil dan harga yang lebih rendah yang kubeli dengan nama-nama lain yang berbeda jatuh ke tanganku.  Empat mahasiwa Trisakti ditembak mati: Elang Mulya, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto. 12 Mei. Siang itu ribuan mahasiswa bergerak dari kampus Trisakti di Grogol menuju Gedung MPR/DPR di Slipi. Mereka memprotes pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden dan menuntut pemulihan kehidupan ekonomi yang jatuh ke dalam krisis sejak setahun lalu. Dan tembakan-tembakan itu pun menyalak. Sepanjang sore. Masyarakat mulai mengamuk. Perusakan terjadi di Grogol dan menyebar ke wilayah lain di Jakarta.  95 Semalaman menelefon kawan-kawan: AFM, Romo D, BAW, Rukmana, me-recheck konfirmasi perkembangan terakhir Jakarta. Aku mencoba menelefon GM, tak bisa masuk. Telefonnya sibuk terus. Aku men-dial telefon genggam FM yang dipercaya punya akses langsung kepada Prabowo. Juga sibuk terus, meskipun me-retry berulang-ulang. Di Bandung, aku mengontak pelukis TS yang memiliki jaringan luas ke kalangan aktifis atas dan aktifis bawah, aktifis veteran dan pemusik HR, YS, HD, beberapa pemimpin mahasiswa, dan Hans berkali-kali, setiap kali ada perkembangan baru. Turbulansi politik sudah bukan dalam hitungan hari atau jam, tetapi menit. Telefon dari Surabaya, Semarang, Yogya, Jakarta, silih berganti datang. Di sela-sela rapat, Nita yang sedang menyusun skripsi dan belakangan kuketahui teman seangkatan Amelia Chandra di jurusan yang sama, terpaksa menjadi penerima telefon dadakan di ruang tengah. Email mengalir tak henti-henti. Romo D, BAW dan Rukmana bolak-balik menelefon.  Akhirnya. Ya Tuhan! Kerusuhan besar meledak. Jakarta dibakar, dijarah, dan diperkosa.  Inilah kerusuhan terbesar yang pernah terjadi di negeri ini sepanjang abad ke-20.  96 Menurutku yang ditunggu-tunggu rakyat yang sudah muak pada rezim ini akan terjadi tak lama lagi. Aku menelefon Rukmana: “Jemput aku dan Hans!”  Headline Kompas: Soeharto Mundur.  Bersama Rukmana dan Hans berdiri di Senayan, sebagai anonim, di antara ribuan mahasiswa dengan berbagai warna jaket mereka. Vox populi, vox Dei. Hans bergumam: “Kebenaran akan datang. Kebatilan akan runtuh.”  Soeharto mengundurkan diri. Menyerahkan kekuasaan kepada Habibie.  Tiba kembali tadi pagi. Tuhan, tak ada kota yang lebih kucintai selain Bandung.  Meita minta cerai.  Email dari Syubban: “Merdeka! Soeharto jatuh. Merdeka! Orde Baru runtuh. Merdeka! Aku bisa kawin sekarang!”  Kabar terakhir dari HR dan dikonfirmasi TS dan HD: SFM tidak diculik. Ia ternyata sedang bertapa di kampungnya di Tasik. 97 Syukurlah. Meita pasti sangat sedih kalau ternyata SFM betul-betul diculik. Di Indonesia, dalam kehidupan politik, “diculik” adalah eufimisme untuk tindakan menghilangkan nyawa orang lain secara paksa dan brutal. Aku telah membaca semua buku SFM. Aku berharap suatu saat dapat berbincang-bincang secara pribadi dengan penyair yang sajak-sajak cintanya menurutku jauh lebih bagus daripada sajak-sajak sosialnya. Meita adalah pengagum beratnya.  WT mungkin Camus yang lahir di negeri yang keliru. Di masa yang keliru. Aku tak pernah lupa kata-katanya: “Hanya ada satu kata, lawan!” seperti dulu Camus berkata: “Aku melawan, jadi aku ada”. Ia masih belum jelas nasibnya. Sebagian kontakku yakin ia telah dibunuh. Sebagian mendengar “dari sumbersumber intelijen yang layak dipercaya” ia dijemput satu unit kecil pasukan elit marinir Amerika dan disembunyikan di sebuah kapal induk armada ketujuh. Sebagian yang lain mengatakan ia berkelana dalam penyamaran—seperti dulu Tan Malaka dalam penyamaran berkelana—dan kabarnya sekarang tinggal di rumah Mr. Coultier, seorang tokoh Partai Buruh Australia. Kontakku yang lain lagi konon pernah melihatnya di stasiun Solo Balapan, berdagang cendol.  Sepucuk surat dari Freedom for Asian Foundation kantor perwakilan Jakarta datang pagi ini. Aku diminta hadir untuk wawancara.  Bagaima mungkin aku tega menceraikan Meita? 98  Sejauh ini yang sudah dapat dipastikan tewas 15 orang. 7 mahasiswa dan 8 rakyat biasa. Aku tidak yakin dengan jumlah korban tewas ini. Melihat cara kerja militer yang sangat metodis dan sitematis di dalam sejarah konflik di Indonesia, aku yakin korban tumbal Sidang Istimewa yang berjatuhan di Semanggi jauh lebih banyak.  Aku tak pernah ingin menceraikan Meita tetapi dia juga punya hak untuk punya anak, untuk memperoleh keturunan. Di usiaku yang sekarang, sangat menyedihkan bila aku bersikap egois, hanya mementingkan diriku sendiri. Sesak sekali dadaku malam ini. Nessun Dorma sayup-sayup terdengar dari ruang tengah. Dan mataku basah.  Maret 1986 – November 1989 (26 Maret 1986) RAN, kemarin pagi, aku bercerita banyak kepada Bu Winarti. Aku ceritakan semua yang kuketahui tentang kamu. Semua perasaanku kepadamu. Bu Winarti masih ingat ketika aku datang kepadanya lebih kurang dua tahun yang lalu, meminta nasehatnya bagaimana mengatasi perasaan rendah diriku, menentukan penjurusan IPA-IPS, dan tentang kau. Kukatakan kepada beliau tak ada lagi rasa rendah diri, dan keraguan tentang penjurusan dulu itu tak beralasan karena ternyata aku tak salah pilih. 99 Tetapi kukatakan kepada Bu Winarti bahwa kau tetap hidup dalam hidupku, mimpi dalam mimpiku, angan dalam anganku.  (27 Maret 1986) “Eh, ketemu lagi, doain aja deh aku…” begitulah kau lontarkan katakatamu. Ran, aku mencintai kamu. Kamu pernah tahu. Kini pun aku masih mencintai kamu. Masihkah kamu tahu?  (28 Maret 1986) Yey! Rupanya kau belum mandi. Belakangan kau bilang baru saja beresberes dan menguras bak mandi. Agak lama kau baru kembali, membawa nampan dengan dua gelas sirup markisa di atasnya. Kau tampak segar. Habis mandi, sih!  (31 Maret 1986) Daftar lagu yang direkam kembali dalam satu kaset. Khusus untukmu, Ran. Side A: All the Way (Sammy Davis Jr.); Here Comes the Sun (The Beatles); Blueberry Hill (Skeeter Davis); All My Love (Cliff Richard); Honesty (Billy Joel); Moon River (Jerry Butler); Sunshine on My Shoulder (John Denver); Early Morning Rain (Peter, Paul & Mary); To Love Somebody (Bee Gees); One Day in Your Life (Michael Jackson). Side B: When I Falling Love (Nat King Cole); If Not for You (George Harrison); Bridge over Troubled Water (Nana Mouskouri); Goodbye to the Island 100 (Bonnie Tyler); Moonlight Eyes (Nazareth); Scarborough Fair (Simon & Garfunkel); Vision (Cliff Richard); Sorrow (M. Schuman); Goodbye My Love (Theresa Tang); When You’re Gone (Maggie McNeal). Ran, kamu sangat suka Goodbye My Love. Masih ingat ketika pada suatu sore sehabis rapat OSIS kita pulang bareng jalan kaki hingga Astanaanyar? Sepanjang jalan kamu pelan menyenandungkan lagu berlirik bahasa negeri ayahmu itu.  (3 April 1986) Ran, aku gelisah!  (15 Mei 1986) Akhirnya! Ran, aku terkejut ketika diberi tahu Bu Winarti, pagi itu juga, bahwa kita akan berjalan paling depan, berdampingan, memimpin barisan para lulusan tahun ini. Menurut Bu Winarti, pilihan jatuh ke tangan kita karena selain kita berdua aktifis dan pernah memimpin OSIS (aku ketua, kau sekretaris) juga karena terutama kita termasuk yang berprestasi terbaik. Coba Bu Winarti memberitahuku sehari sebelumnya, aku tentu akan memilih memakai pakaian adat Sunda hingga akan terlihat lebih sesuai dengan kebaya yang kamu pakai. Tidak cuma berbatik. 101 Sukar kulukiskan perasaanku, berdampingan dengan seseorang yang sejak lama kucintai diam-diam dari awal hingga akhir acara perpisahan. Banyak yang membuatku bahagia hari itu meskipun tentu saja yang paling membahagiakan dari semuanya adalah karena kita betul-betul dimuliakan Bu Winarti. Aku tidak terlalu terkejut ketika diumumkan sebagai murid dengan NEMxviii ke-3 terbaik, dinyatakan sebagai siswa teladan bersama dua siswa lain, mendapat piagam penghargaan sebagai aktifis OSIS. Dan juga yang sudah kamu duga itu, ya, itu dia, lulus PMDKxix. Tentang yang terakhir ini aku teringat pada suatu hari ketika Bu Riris Malakiano, wali kelas tigaku, sambil marah-marah mencoret pilihanku dan memintaku dengan sangat mengganti pilihanku dengan pilihan lain yang menurutnya lebih cocok untukku: Sospol UNPAD. “NEM setinggi itu! Sayang kalau cuma masuk IKIP,” kata Bu Riris. “Tapi Bu, saya….” “Mau jadi guru? Bukan di situ bakatmu!” Aku bersikeras tak mau mengganti pilihanku. Bu Riris akhirnya mengalah, dan berkata pelan, “Ya… mungkin sudah takdirmu. Mungkin kamu akan menemukan jalanmu sendiri. Tapi ibu tetap yakin kamu tak akan pernah bisa menjadi guru meskipun kamu masuk IKIP dan lulus dengan ijazah guru.” Apa maksud Bu Riris yang cantik ini, ya, Ran? 102 Bu Riris memintaku naik ke atas panggung, bersama teman-teman lain yang lulus PMDK juga. Ucapan selamat dan jabat tanganmu yang tulus membahagiakan aku. Aku minta izin padamu. Kau mengangguk dan tersenyum.  (29-30 Mei 1986) Selesai juga akhirnya! Ran, aku mengumpulkan dan mengetik ulang 19 Sajak cinta untukmu. Juli tahun ini usiamu 19 tahun. Inilah puisi-puisi itu: Padamu Jua (Amir Hamzah), Derai-derai Cemara; Cintaku Jauh di Pulau (Chairil Anwar), Surat Cinta; Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi (Goenawan Mohamad), L’éducation Sentimentale; Haiku (Subagio Sastrowardoyo), Dengan Puisi, Aku (Taufiq Ismail), A Cradle Song (William Blake), A Farewell (Tennyson), Ode to Autumn (John Keats), My Love is Like a Red Red Rose (Robert Burns), Present in Absence (John Donne), Stanza; Hutan Bogor (Rendra), Bunga; Sungai Bening (Sitor Situmorang), Langit Ungu Matahari Jingga (Saini KM), Malam Laut (Toto Sudarto Bachtiar). Aku tidak akan pernah berhenti berterima kasih kepada Bu Winarti yang dalam hatiku akan selalu menjadi guruku tersayang. Sejak di kelas satu beliau menyediakan dirinya untuk menjadi “keranjang sampah” (istilah beliau sendiri) persoalan-persoalan pribadiku. Beliau pun tak bosan-bosan meminjamkan bukubuku sastra (novel dan kumpulan puisi), baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Beliau tahu aku suka membaca dan nilai bahasa Inggrisku sejak kelas satu selalu 9. 103  (20 Juni 1986) Sepucuk surat singkat dan kartu lebaran yang dibuat sendiri datang tadi siang, dikirimkan 11 Juni 1986 (stempel pos). Ran, kartu lebaranmu sederhana. Karena kesederhanaannya itulah menjadi sangat indah dalam hatiku. Sebuah lukisan cat air: rumpun bambu, gunung yang jauh, danau yang samar. Warna biru di mana-mana. Ada tulisan tanganmu di situ: Wilujeng boboran. Mugi kersa ngahapunten sagala kalepatan abdi. xx Nb: Terima kasih untuk kaset dan “19 Sajak Cinta” itu.  (23 Juni 1986) Sabtu, 21 Juni 1986. Pukul empat lebih seperempat petang. Pembantumu membukakan pintu, mempersilakan aku masuk. Tapi waktu itu aku lebih suka berdiri di halaman, memandang sekitar. Gerimis turun. Rantingranting pohon dan bunga-bunga basah. Hamparan rumput di taman lembut dan segar seperti agar-agar. Tiba-tiba ibumu keluar dan menyuruhku masuk. Aku gugup, “Monggo, eh, mangga, Bu.” Ibumu mengajakku ngobrol. Katanya kamu sedang mandi. Ibumu sangat baik, Ran. Kemudian kau datang berbaju putih, berenda motif kembang-kembang yang dipadukan dengan rok panjang hitam. Paduan warna yang semakin mempercantik wajahmu yang klasik. Bibirmu lembab, matamu cemerlang, rambutmu basah. Kita saling menyapa, bersamaan: “Hai!” 104 Ibumu tersenyum dan pergi. Dan malam ini Sammy Davis Jr. bernyanyi: When somebody loves you, it’s not good unless she loves you. All the way. Happy to be near you, when you need someone to cheer you. All the way. Taller than the tallest tree is that’s how it’s got to feel. Deeper than the deep blue sea is that’s how deep it goes if it’s real. When somebody needs you, it’s no good unless he needs you. All the way. Through the good or lean yours and for all the inbetween years, come what may. Who knows where the road will lead us. Only a fool would say. But if you let me love you, it’s for sure I’m gonna love you. All the way, all the way.  (11 Juli 1986) Till a’ the seas gang dry, my dear, and the rocks melt wi’ the sun: And I will love thee still, my dear, while the sands o’ life shall run (Burns).  (12 Juli 1986) Ran, saat pamit pulang kepadamu hatiku panas dengan bara, jiwaku pusing, kepalaku pedih. Hanya ada dua kalimat dalam dadaku: Aku tidak ingin kamu direbut orang lain. Aku mencintai kamu. Begitulah, ketika sampai di perempatan jalan itu, aku putuskan untuk kembali, ke rumahmu. Dan saat tiba di depan pintu rumahmu, hari telah berubah gelap. Di langit bulan patah dan satu-satunya bintang berkabut. 105 Kau keluar, mempersilakan aku masuk. Aku tetap di luar. Nafasku berlari cepat. Aku tatap matamu dan lepaslah dua kalimat itu: “Aku tidak ingin kamu direbut orang lain. Aku mencintai kamu.” Kau tertegun. Mukamu memias. Kau menunduk. “Maafkan aku,” kataku. Perlahan mukamu tengadah kembali. Kau pandang aku dan kembali menunduk. “Maafkan saya,” katamu. Dan langit runtuh. Dan selamat datang duka dan kegelapan! Bernyanyilah sepuas-puasnya untukku, Maggie, she’s gone, McNeal, she’s gone.  (15 Juli 1986) Langit rebah. Mata air berhenti mengalir.  (2 September 1986) Begini saja, Ran. Sekali lagi, aku mencintai kamu. Yuk, Aku mau belajar sekarang!  (19 September 1986) Tentu saja tak ada masa lalu yang paling membekas hingga kini selain ketika sosok Ran hadir. 106 Tolonglah! Biarkan malam berlalu tanpa masa lalu.  (19 Oktober 1986) Entah apa yang harus kulakukan kini.  (9 Januari 1987) Kemarin ke Wyata Guna, di Jalan Pajajaran, setelah lebih kurang dua pekan absen. Menjadi tenaga pengajar volunteer di sana sangat menyenangkan. Kadang-kadang tugasku seharian cuma membacakan cerita. Aku selalu terkagumkagum dan sering dibuat terkejut oleh begitu pekanya hati mereka. Ran, bagi mereka dunia gelap. Namun, hati mereka berlimpahan cahaya. Ada surat lagi dari Corrine Hordeau. Perangkonya tujuh franc. Ia menyisipkan dua helai kartu pos. Ada La Maire dan L’Eglise. Ada juga Rue Jean Jures dan Avenue General de Gaulle yang lengang. Keindahan kota St. Saulve. … I send you postcards because I had promise you. You remember?? Yes, I received a lot of presents, I obtained a lot of pleasures…. I have anything forgive you, the most important thing that you write me…. I hope these postcards enjoyed you…. As soon. Corrine. P.S. I’m sorry for my bad English. Aku agak terlambat membalas suratnya terakhir.  (28 Januari 1987) Surat dari pen-friend baru: Christina Georgerini. Tinggal di Livorno, Italia. 107 I am an eighteen girl with very dark and long hair, and my eyes as blue as sky. I’ve heard your country, a big and nice one. And Bali. Would you like to tell me more about this Goddess Island? I like my place, Livorno. Someday you must go here. Please write me soon. Christina. Suratnya ditulis di atas selembar kertas bekas yang bagian belakangnya penuh kalimat-kalimat berirama seperti pantun (bahasa Italia?) yang aku tidak ngerti. Apakah Italia negeri miskin?  (24 Maret 1987) Ran (maaf) aku tetap mencintaimu.  (16 Juni 1987) Hatiku kini batu.  (18 Juni 1987) Ran, hari ini secara resmi, bagi kami, masa kuliah semester II telah berakhir. Aku tak pergi ke kampus. Kemarin membayar SPP dan iuran kemahasiswaan. Ketemu Yusuf Supriatna, sang ketua himpunan, di sekretariat. Ada juga Fahmi Iskandar (Fais) dan Abdullah Mahfuz (Afuz). Kami diskusi. Afuz bertanya: “Bagaimana kabar Ratna?” Aku cuma tersenyum. Aku memang selalu berusaha menghindar darinya. Kenyataan bahwa meskipun aku dan Ratna satu jurusan tetapi berbeda program, Ratna D-3 dan aku S-1, sangat membantu. 108 Ah, Ran, aku teringat hari-hari penataran dan OPSPEK, nama alias perpeloncoan, yang melelahkan, kadang-kadang menyenangkan, tetapi lebih banyak menyebalkan….  (22 Juni 1987) Pergi ke kampus, biasanya tempat pertama yang kukunjungi adalah perpustakaan. Mengembalikan dan meminjam buku lain. Bertemu Meita Intania yang usianya dua tahun lebih tua dariku dan yang entah kenapa tiba-tiba berbicara panjang lebar tentang masalah pribadinya. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik baginya. Di depan Laboratorium Micro Teaching, Ratna berdiri gelisah. - Maaf, membuatmu lama menunggu. - (Tersenyum). Nggak apa-apa. Belum lama kok.  (29 Juni 1987) Menerima limpahan perhatian Ratna, ada sesuatu yang mengganjal di dadaku: sakit, nyeri, pedih, perih. Kamu, Ran.  (15 Juli 1987) Seminggu yang lalu. Pergi ke kampus untuk membuktikan perkataan Nirwan Nazir perihal nilai-nilai ujianku. Ternyata benar. Nirwan memang orang 109 jujur. Bahasa Inggris: A. Bahasa Indonesia: A. Hukum Islam: A. Pengantar tata Hukum Indonesia: G alias Gagal, harus mengulang tahun depan. Masa berkabung “12 Juli” selama satu tahun, telah kuakhiri tiga hari lalu. Kapan aku dapat bersikap realistis? Lebih damai menghadapi kenyataan? Kadang-kadang aku bertanya: Apakah aku masih waras? Atau sudah gila?  (25 Juli 1987) Akhirnya aku bercerita tentang Ran kepada orang lain. Kepada Ningrum dan Nirwan. Aku tak ingin melukai perasaan Ratna, sahabat tersayang mereka berdua.  (11 Oktober 1987) Ran, inilah awal kesadaran. Soe Hok Gie mengajariku! Pengunduran diriku yang “kontroversial” dari kepengurusan himpunan (wakil ketua), seperti dugaanku, mengundang banyak reaksi. Kawan-kawan seangkatan umumnya tak mengerti; para senior ada yang tak setuju, mengacungkan jempol, mendukung, ada juga yang tiba-tiba membenci (aku baru tahu rasanya dibenci orang). Sedangkan kebanyakan dosen menyayangkan. Akan tetapi, apa peduliku? Aku ditunjuk PD III, dan kemudian disetujui PR III, untuk mengikuti diskusi pemimpin informal mahasiswa. Mewakili kampus kami. Peserta lainnya berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa. Seorang peserta datang terlambat. Andreas, utusan dari Satya Wacana. 110 Pada pertemuan inilah aku berkenalan dengan R. Bagus Sartono, wakil dari kampusku juga. Keningnya yang luas, kedua matanya yang cekung, wajahnya yang lonjong, kata-katanya yang sistematis dan terangkai lugas, memperlihatkan ia berpikir dengan kepala jernih, membawaku pada kesimpulan bahwa ia bukan jenis mahasiswa kebanyakan. Memperhatikan pandangan-pandangannya tentang banyak hal, aku mengambil kesimpulan lagi: baginya persoalan seberat apa pun ringan saja. Seringan senyum dan ayunan kakinya ketika ia melangkah. Beberapa hari setelah pertemuan itu aku membentuk kelompok diskusi. Kuajak Rukmana Ekajati, anak Sejarah, dan Hanson Sihombing (seorang mualaf, lebih suka dipanggil Hans), anak Dunia Usaha. Aku menerbitkan buletin. Namanya Seminar, singkatan dari “Seruan Mahasiswa Indonesia untuk Kebenaran”. (Afuz ngeledek, “Bukan Seminarsari?” Aku tertawa dan balik ngeledek, “Naksir, ya?”). Dengan Seminar ini aku merasa dapat mengasah kepekaan sosialpolitikku. Biaya penerbitannya kutanggung sendiri. Aku menjadi pemimpin redaksi, tukang fotokopi, penulis, sekaligus loper buletin empat halaman itu. Edisi pertamanya sebagian kubagi-bagikan pula kepada para peserta diskusi pemimpin informal mahasiswa se-Jawa itu. Gara-gara Seminar aku kencang dicurigai dan dituduh mahasiswa lain, terutama yang berasal dari lingkungan organisasi formal kampus, sebagai “seorang agen dari kekuatan politik yang besar dan tidak kelihatan”. Agen CIAxxi, kali. 111 Rezim ini telah suskes menciptakan generasi penakut dan pencuriga. Ran, aku melangkah. Gie, terima kasih.  (12 Oktober 1987) Di kampus banyak hal terjadi, dan di kelas, Ran, demokrasi mati. Ada seorang dosen yang memproklamasikan dirinya sebagai pengikut “powerism”. Wah, bahaya! Bukankah, sekurang-kurangnya menurut Lord Acton, power tends to corrupt and the absolute power tends to corrupt absolutely? Di sisi lain, aku perhatikan kawan-kawanku lebih banyak melakukan aktivitas rekreatif, hura-hura. Tak memiliki kepekaan terhadap persoalanpersoalan sosial-politik. Ini juga menjadi kecenderungan mahasiswa pada umumnya, termasuk mahasiswa kampusku, dan menjadi salah satu topik yang kami bahas dalam pertemuan pemimpin informal mahasiswa se-Jawa yang lalu. Dan di sini, di kampus ini, aku kerap merasa bosan. Suasananya terlalu tenang dan sumuhun dawuh xxii. Mereka pikir karena mereka “cuma” akan jadi guru? Begitu sempitkah mereka memahami arti “guru”? Kadang-kadang aku menyesal kenapa tidak kuikuti saran Bu Riris dulu…. Ada seorang dosen muda yang sering bicara panjang lebar tentang demokrasi namun sangat text-book thinking. Buku teksnya dari zaman dia mahasiswa sepuluh tahunan yang lalu. Kami dijejali teori-teori demokrasi, tetapi di luar, para petinggi kampus cenderung pamer kekuasaan. Bahkan himpunan mahasiswa pun menggunakan 112 tangan jurusan untuk menekan mahasiswa membayar iuran himpunan atau kalau tidak (membayar) kontrak kredit dibatalkan. Ada dosen lain yang kelihatan nikmat sekali setiap kali mengutip kata-kata Thomas Jefferson. Namun kuperhatikan, entah sadar entah tidak, ia mengelola mata kuliah seperti Lenin mengurus Rusia. Kunikmati parodi ini. Terus-terang, Ran, aku merasa terhibur memperhatikan tindak-tanduk orang dengan pribadi yang terbelah, split-personality, seperti dosen itu. Ah, bukankah aku juga pribadi yang terbelah?  (13 Oktober 1987) Seminar edisi kedua yang mengkritik habis-habisan militerisme terselubung dalam kehidupan bernegara menimbulkan banyak reaksi…. Sudah dapat dipastikan Soeharto kembali jadi presiden. Ini bukan hal baru. Kebulatan tekad dilakukan di mana-mana, jauh sebelum pemilu, sebuah rencana strategis, sistematis dan terstruktur the rulling class: GOLKAR + BIROKRASI + ABRI. The rulling class berhasil menciptakan arus pembebekan dan kelatahan nasional. Aku takjub ketika Soeharto berkata “miris” untuk berkuasa lagi dan minta jika nanti dipaksa turun, jangan lewat ribut-ribut. Namun kupikir pula, ini penjabatan presiden seumur hidup yang dibuat secara legal, menumpang kendaraan MPR supaya tidak terlihat inkonstitusional. Aku pikir juga akal bulus pressure groups sangat kuat dalam hal ini. 113 1 Oktober yang lalu anggota MPR/DPR dilantik. Ada “kasus Ali Said” yang tidak biasa dalam konvensi kenegaraan. Gaji dan tunjangan anggota MPR/DPR naik. Mudah-mudahan mereka tidak lupa bahwa uang gaji dan tunjangan mereka berasal dari rakyat dan tingkat “kevokalan” mereka harusnya naik juga. Kecuali jika mereka tidak malu untuk terus-menerus 4N: ndatang, nduduk, ndiam, nduit. He… he…. Ran, aku melihat juga peran ulama di negeri ini terpinggirkan. Sebagian karena ulah mereka sendiri. Mengeluarkan fatwa tentang porkas saja tidak serius, lama lagi munculnya. Kudengar bahkan banyak dari mereka yang merasa “aman dan nyaman berteduh di bawah pohon beringin”. Aku mampir ke British Council tadi pagi. Aku memerlukan sejumlah referensi. Ternyata memfotokopi di sana lama sekali. Antri. Ran, mengapa kau harus menjadi bagian dari hidupku? Mengapa aku tidak dapat melupakanmu? Apakah aku harus terus berkabung seumur hidup? Dan George Harrison berkata seperti ini: What I feel I can’t say but my love is there for you anytime of day. What I know I can do if I give my love to everyone like you. But if it’s not love that you need then I’ll try my best to make everything succed. And tell me, what is my life without your love? And tell me who am I without you by my side.  (14 Oktober 1987) 114 Ran, tadi malam kegelisahan begitu mencekam. Sebelum akhirnya aku tertidur (pukul dua). Pulas. Dan bangun setengah lima pagi. Malam itu, aku tiba-tiba rindu kematian. Padanya kukatakan, datanglah kau bersama samudera. Yang ada hanya sepi, kebiruan. Kuliah. Mr. Ismail Batubara ngotot. Ia menyuruhku membaca, dan dua minggu kemudian harus menerangkan di depan kelas, The Indonesian Society in Transition (Wertheim). Tapi guru politik dan filsafatku tersayang ini tak mau meminjamkan bukunya kepadaku. Payah. Seminggu sebelumnya aku sudah mencari buku itu ke mana-mana: perpustakaan kampus yang bukunya terbatas dan mengenaskan itu, British Council, pasar buku loakan Cikapundung. Nihil! Padahal Mr. Ismail pun beberapa kali, jika tak mau dikatakan sering, meminjam bukuku. Yang dua ini bahkan belum beliau kembalikan: Penelitian Agama (aku lupa nama editornya) dan Exploring Society (dieditori Robert G. Burgess). Buku yang disebut terakhir termasuk buku baru dalam penelitian sosiologi empiris. Tak apalah. Rupanya aku tengah disuruh berproses, berpayah-payah. Bahasan Ningrum cs. tentang “Religi dan Kebudayaan” bagus (boleh dikatakan neo-Freudian) namun mengandung banyak kekeliruan teoretis yang bersifat elementer. Aku menambahkan beberapa pandangan. Di luar, Ningrum nanyain buletin Seminar edisi berikutnya. Aku bilang lagi “reses”. 115 Aku bertemu kawan-kawan seangkatan, dan memberi mereka pekerjaan rumah, sebuah pertanyaan tentang kebenaran mutlak. Ketemu Hans. Aku minta ia merencanakan pertemuan. Sebelum pulang aku nengok Nirwan. Katanya sakit. Namun di tempat kosnya tidak ada. Tetangganya bilang dia pulang kampung. Sakit kok pulang kampung….  (14 Oktober 1987) Ran, kemudian aku ingat kamu lagi. Sampai mampus pun aku ingat kamu. (Sorry Ran, aku lagi marah-marah. Diksiku menjadi kurang terkendali). Dan lagi-lagi, George Harrison: If not for you, I couldn’t even find the door. I couldn’t even see the floor. I’d be sad and blue. If not for you, the night would see me wide awake. The day would surely have to break. It would not be new. If not for you my sky would fall, rain would gather too. Without your love I’ve be nowhere at all, I’d be lost if not for you. If not for you, the winter would hold no spring. I couldn’t hear the robin sing. I just wouldn’t have a clue.  (17 Oktober 1987) Ran, aku bangun setengah tiga pagi. Aku mimpi, lama, tidak biasa, juga buruk. Aku mimpi ketemu kamu. Mengucapkan salam dan duduk lama-lama. 116 Ngobrol. Aku lihat orang lain, Ratna Suminarsari, yang begitu kristal, begitu lembut, menangis. Kemarin malam mimpiku sama persis. Tapi yang berdiri dalam diam di kejauhan memandang kita ngobrol itu orang lain lagi: Meita Intania. Nanti malam program “sarasehan kopi pahit” dimulai. Kerja sama dengan Acep Sumiyadi. Mahasiswa yang di jurusannya terkenal sebagai pembaca puisi hebat dan pengagum berat penyair Sutardji Calzoum Bachri ini adalah ketua himpunan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Masih banyak yang ingin kutulis. Tetapi sulit sekali rasanya. Mimpi tadi malam dan malam sebelumnya membuatku sangat terganggu.  (18 Oktober 1987) Ran, inilah pendapat kawan-kawanku tentang kebenaran mutlak itu. Bagi Abdullah Mahfuz, kebenaran mutlak itu diri kita, ego kita, dan di akhir diskusi ia bilang, “Yang didasarkan keimanan kita.” Terpengaruh temanteman lain, tampaknya. Menurut Ningrum kebenaran mutlak itu agama dan tidak bersifat relatif tetapi betul-betul—ia menekankan betul kata “betul-betul”—mutlak, absolut. Baginya kebenaran mutlak adalah dogma. Namun, menurut Nirwan Nazir, kebenaran mutlak itu tidak ada di dunia ini. Ia akan kita rasakan bila kita sudah mati! Aku bertanya kepadanya: “Apakah pada saat kita masih hidup kita tidak dapat menemukan kebenaran mutlak?” Ia menjawab tegas: “Tidak!”. 117 Fahmi Iskandar alias Fais bilang, “Kebenaran mutlak itu Tuhan”. Rasanya, pendapat ini diketahui semua orang. Nirwan mendukung pendapat Fais. Menurutnya, jika kita tidak menempatkan Tuhan sebagai kebenaran mutlak, kita hanya akan mengulangi kesalahan Faust: menjual jiwa kita kepada Mephisto. Maklum Ran, dia pengagum Goethe hingga ke ubun-ubun. Seolah-olah cuma dia seorang di dunia ini yang membaca Faust. Windy Sudirman berpendapat kebenaran mutlak itu hati nurani. Apa yang menurut hati nuranimu benar, itulah kebenaran. Bagi Windy kebenaran mutlak itu juga adalah Kasih yang menuntun manusia pada pembebasan spiritual. Aku suka pendapat yang terakhir ini, sangat teologis. Sementara itu, Cecep Syamsul Hari, “si penyair yang mengunci pintu”— kami menyebutnya begitu karena ia sangat tergila-gila pada puisi dan pendiamnya minta ampun—bilang kebenaran mutlak itu nonsens. Tidak ada. Kebenaran selalu bersifat plural. Relatif. Ketika kutanya apa alasannya. Ia cuma senyum-senyum, klamas-klemes. Aku merangkum pendapat-pendapat kawan-kawanku ini untuk topik utama Seminar edisi ketiga. Bahan dari sumber-sumber lainnya sudah cukup memadai. Kuliah kedua. Hukum pidana. Yang masuk asisten dosen tetapi dia tak mau ngasih kuliah karena katanya takut ditegur “senior”. Ya Tuhan! Pulang. 118 Sepanjang jalan ngobrol dengan Windy Sudirman. Bercanda berulang kali. Manas-manasin teman-teman lain. - Kamu baik. Tapi sayang kalau kita dekat, di kelas kita ada yang cemburu. - Ini rayuan atau pujian? - (Windy tertawa). Dua-duanya…. - Ngomong-ngomong siapa yang cemburu itu? - Ada, aja! - Cemburu ke kamu atau cemburu ke aku? - Ya ke aku, ya ke kamu juga! - Afuz, ya? - Pingin tahu aja…. (Windy tertawa lagi). Di kelas kami, gigi Windy yang putih seluruh, berbaris amat rapi, sungguh tiada tandingan. Mestinya ia jadi model film iklan pasta gigi. Lagi pula wajahnya memang wajah seorang model. Ayahnya Jawa, maminya Manado. Malamnya diskusi “sarasehan kopi pahit” sampai sekitar pukul dua belas. Pertemuan rutin berikutnya akan dilakukan dengan memanfaatkan kelompok diskusi yang sudah ada: Kelompok Studi Lingkar. Ahmad Budianta, pengagum berat Tan Malaka namun seorang Soekarnois dalam berpikir dan Marhaenis dalam bertindak menimbulkan rasa kagumku. Kabarnya, dia sering memprotes kebijaksanaan birokrasi di jurusannya yang sering merugikan mahasiswa dan oleh karena itulah dia dianggap “pemberontak”. 119 Pikiran-pikirannya yang cerdas, keluar dari hasil kunyahannya atas bacaan-bacaan yang cerdas pula, sering dianggap aneh. Karena itu jugalah, konon, dia tidak luluslulus. Ahmad bilang aku harus mampu “mewarnai” himpunan mahasiswa, fakultas, kampus kami dan kalau bisa kampus-kampus lain. Ini jawabanku, Ran: “Ya. Dan sayalah yang memilih warnanya, bukan Anda.”  (20 Oktober 1987) Ran, Senin kemarin seperti biasanya hari rumah dan istirahat. Sudah setahun lebih ibuku selalu menghindar untuk bertemu denganku, bahkan di rumah ini, rumah pemberian kakekku ini. Ia mengurung diri seharian di kamar. Entah apa yang dikerjakannya. Mungkin bertapa. Untuk urusan itu ibuku memang ahlinya. Kenapa ibu bersikap seperti itu kepadaku? Bukankah rumah ini menjadi damai justru setelah ayah tiriku mati? Entahlah, aku semakin sering mabuk akhir-akhir ini. Mungkin ibu dan Bi Encum juga sebenarnya tahu. Aku meneruskan penerjemahan bab tentang demokrasi dari buku Roger H. Soltau, An Introduction to Politic. Malam ini aku lelah sekali. Penerjemahan kawan-kawanku cukup baik tetapi mentah. Semuanya kurevisi kembali. Tanggung jawabku sebagai ketua kelompok. 120 Tadi pagi ke British Council. Aku menemukan buku yang lumayan menarik. Ditulis B.N. Pandly, South and South-East Asia 1945-1979: Problems and Politics. McMillan Press, 1980. Setidaknya aku membaca “pendapat kedua” lainnya tentang demokrasi terpimpin Soekarno, revolusi, dan apa yang disebut Pandly, coup d’etat PKI serta pengganyangannya. Buku itu kandungan isinya hampir sama dengan sebuah bab dalam World Politic since 1965, ditulis Peter Colvocoressi. Yang aku garis bawahi dan aku ingat terus dari buku ini, Ran, adalah kalimat berikut (hlm. 317): in a counter coup, widely believed to have had American aid, something like a half million communists (including Aidit) or supposed communist were killed and the army established its control over Soekarno and the country. Begitu murahnya nyawa dalam suatu revolusi! Hok Gie bilang sekitar 300.000 orang. Namun sampai saat ini kayaknya hanya rezim ini yang tahu berapa sesungguhnya jumlah yang mati pada waktu ritus balas dendam itu dilakukan, dengan garang, dengan sangat garang. Aku sama sekali tidak bangga kakekku pernah menjadi bagian dari ritus balas dendam itu ketika ia membunuh 3 orang komunis di kampungnya di Subang. Pembantaian yang mendapat restu, dan dilakukan di hadapan sejumlah, tentara. Para tentara itu menyuruh kakek mengambilalih tugas mereka untuk menghemat peluru. Kakek membunuh mereka satu persatu, masing-masing dengan sekali pukulan di kepala. 121 Lalu ke perpustakaan daerah di Cikapundung, mencoba mencari (lagi) Indonesian Society in Transition. Tak ada. Yang kutemukan malah Protest Movement in Rural Java Sartono Kartodirdjo. Mr. Ismail mendidikku sungguh-sungguh rupanya. Malaikat maut kerja sekaligus kemarin (19 Oktober), sekitar pukul tujuh pagi, di Jakarta. Tabrakan kereta api. Bintaro. Berita terakhir malam ini, pukul sembilan, korban meninggal mencapai seratus lima puluh orang, tiga ratusan lainnya luka-luka berat dan ringan. Aku sedih sekali. Ran, ternyata bukan hanya pada saat revolusi nyawa terasa murah.  (25 Oktober 1987) Hans dan Rukmana kompak sekali. Kelompok diskusi kami mulai jalan secara lebih teratur. Rukmana mengenalkan pacarnya kepadaku. Namanya Yani Fatmawati, anak Geografi. Manis dan kelihatannya smart. Wajahnya mirip-mirip Meita. Ternyata Rukmana punya good taste juga. Rukmana pun mengenalkan aku kepada Ahmad Syubbanuddin Nasution (Syubban) dan Umar Said. Sementara Hans membawa Samiun Salim dan Abdul Gani Ibrahim (Gani). Keempat orang itu berasal dari UNPAD dan ITB. Di kalangan aktifis di kampusnya, Syubban sangat terkenal dengan “Sumpah Syubban”-nya: “Langit saksiku! Sebelum Soeharto turun aku tidak akan kawin!” 122 Dicapai sejumlah kesepakatan, antara lain kelompok diskusi kami akan bergerak di bawah tanah. Tujuan kelompok diskusi kami adalah juga yang menjadi tujuan kelompok-kelompok diskusi dan organisasi bawah tanah lain: MERUNTUHKAN REZIM OTORITER ORDE BARU. Perjuangan ke arah itu akan memakan waktu yang lama dan kemungkinan gagalnya sangat besar. Kami tahu siapa yang kami hadapi, tritunggal kekuasaan: Soeharto + Militer + GOLKAR. Tiga kekuatan raksasa. Kami sepakat untuk menggunakan semua cara yang mungkin untuk mencapai tujuan itu. Langkah pertama yang akan kami lakukan adalah menyusupkan pemikiran tujuan itu sebagai sebuah arus berpikir organisasiorganisasi formal kampus. Kami percaya pada akhirnya mahasiswalah dan bukan elemen masyarakat lain yang kelak akan menjadi ujung tombak dalam menggulingkan Soeharto. Jaringan menjadi perkara penting. Hubungan dengan berbagai kelompok lain, di bawah dan di atas tanah, harus mulai dibina. Di Bandung, IKIP, UNPAD, dan ITB akan menjadi tempat-tempat pematangan pertama untuk arus berpikir itu. Aku mengurus IKIP. Syubban mengurus UNPAD. Gani mengurus ITB. Menyangkut masalah jaringan, poros Bandung-Jakarta mendesak untuk segera dibentuk. Rukmana, Yani, Umar, Samiun, akan melakukan dan membina kontak dengan Jakarta. Khususnya dengan kawan-kawan di UI dan Trisakti. Waduh, Ran, my bonnie lass, pulpenku rusak. 123 (Terpaksa kulanjutkan dengan spidol hijau Bi Encum). Terlalu sering kugunakan atau tidak hati-hati? Tampaknya yang terakhirlah penyebabnya. Pulpen elok nian itu hadiah dari Ratna bulan Juni lalu. Waktu itu, ia menungguku di depan Laboratorium Micro Teaching. Ia mengajakku ke toko buku Gramedia, di Jalan Merdeka. Aku membeli tiga buku. Ia membeli setumpuk majalah dan segebung buku. Ia bertanya kepadaku apakah tidak keberatan jika ia memberiku hadiah kecil. - Asal tidak merepotkan. - Saya belikan pulpen, ya? - Wah, terima kasih. - Kamu pilih sendiri ya…. - Your wish is my command. Ia tertawa. Aku mengambil pulpen yang harganya paling murah. “Jangan yang itu… jangan yang itu… simpan lagi!” jeritnya panik. “Sudah sudah sudah, saya yang pilih sendiri.” Akhirnya ia memilihkannya sendiri untukku. Aku mengintip harganya. Mahal sekali. - Terlalu mahal, Inar. - Terlalu murah untuk orang sebaik kamu. 124 - Aku tidak sebaik yang kamu kira. - Pulpen ini pun tidak semahal yang kamu kira. Tak bisa tidak, aku cuma bisa tertawa mendengar jawabannya. Sambil menunggu bis, Ratna Suminarsari (hanya aku seorang yang memanggilnya Inar) cerita bahwa Afuz sering ke rumahnya. Dan kemarin malam ia mengungkapkan isi hatinya. “Saya bilang ke Afuz,” kata Inar, “saya perlu waktu untuk memikirkannya.” Inar lama diam. “Bagaimana kabar Ran?” tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan ini tidak mengejutkan. Setelah bercerita tentang kamu, Ran, ke Nirwan dan Ningrum beberapa waktu lalu, pertanyaan itu hanya tinggal menunggu waktu keluar dari bibir Inar. “Aku tidak tahu,” jawabku singkat. Inar diam lagi. Lebih lama dari sebelumnya. “Afuz anak baik. Agak childish memang, tapi baik. Tidak ada alasan bagi kamu untuk menolaknya kalau memang kamu mencintainya,” kataku. “Kecuali kalau kamu mencintai orang lain.” Bis datang. Tidak terlalu penuh. “Hati-hati,” kataku ketika ia naik lewat pintu belakang bis itu. 125 Inar masih sempat tersenyum manis sekali dan melambaikan tangannya. Ia termasuk seorang perempuan yang dilimpahi karunia langit: memiliki senyum yang meruntuhkan. Senyum yang memiliki kualitas kenangan. Inar menolak Afuz.  (30 November 1987) Ran, seminggu aku tak menulis. Betul-betul tak sempat. Banyak sekali yang harus kulakukan. Terkadang ketika kesempatan untuk menulis ada, aku telah terlalu lelah. 26 Oktober. Ujian Ilmu Politik. Masalah-masalah demokrasi dan sosialisme lancar kujawab. Lainnya tidak. Aku pikir hasilnya tidak begitu baik. Pulang, langsung ke Gramedia (dengan Inar) membeli buku Masalah Sosial Budaya Tahun 2000. Bunga rampai. Tulisan Soedjatmoko yang kuperlukan ada di situ. 27 Oktober. Ke perpustakaan Cikapundung (dengan Inar). Pulang dari rumah Inar, langsung ke kampus. Janji ketemu Afuz. Ditunggu sampai pukul lima sore Afuz tidak muncul. 28 Oktober. Pengakuan Inar: “Aku akan menjadi sahabatmu, dan hanya akan menjadi sahabatmu, sebelum Ran-mu itu benar-benar menjadi masa lalu bagimu”. Sore itu Inar mengajariku memasak. Tak tanggung-tanggung: membuat rendang! 126 Di ruang kuliah akhirnya aku membahas buku Van Neil, The Emergence of The Modern Indonesian Elite. Mula-mula Mr. Ismail tak setuju dan memberiku waktu dua minggu lagi. Aku bersikeras. Akhirnya aku diperbolehkan maju membahas buku itu. Diskusi berkembang ke sana-ke mari. Sebagai moderator, Afuz kurang tegas. Menjawab pertanyaan Ningrum tentang penafsiran Pancasila, aku bilang bahwa dasar negara kita itu sangat berbahaya jika ditafsirkan dari point of view ideologi lain seperti liberalisme, Marxisme ataupun eksistensialisme. Sama berbahayanya jika ditafsirkan secara kejawen. Tafsir terbaik Pancasila adalah agama. Duduk di kursinya, di sudut barat yang jauh dan sunyi, Mr. Ismail manggut-manggut. Mungkin mengantuk. Mr. Ismail mengundangku ke rumahnya, sore itu juga. Kami berbincangbincang sampai beberapa saat sebelum waktu shalat magrib tiba. Akhirnya beliau meminjamkan Indonesian Society in Transition itu. Namun aku tidak lagi disuruh membahasnya. Aku pamit dan mencium punggung telapak tangan Mr. Ismail, dosen yang paling kuhormati bukan saja di jurusan tetapi juga di kampusku itu; seorang guru yang kepadanya aku belajar filsafat dan pemikiran agama, dan sebagai murid aku bersedia mencuci kakinya; seorang Master in de rehcten yang mantan anggota Tentara Pelajar dan tidak meneruskan karir kemiliterannya sebab memilih mengabdi kepada bangsanya dengan caranya sendiri: memperdalam ilmu 127 pengetahuan dan mengajarkannya; kabur dari McGill University, Kanada, mengikuti dorongan hati nurani; menguasai dan fasih berbicara dalam delapan bahasa asing: Belanda, Jepang, Perancis, Spanyol, Inggris, Jerman, Arab, dan Persia. Sayang, “Soedjatmoko” yang ensiklopedis dan lurus ini hidup di “lingkungan intelektual” yang terlalu kecil untuk menampung pemikir sebesar itu, sehari-hari dikelilingi orang-orang separuh matang. Kesepian. Lebih sayang lagi, Mr. Ismail yang berperawakan kecil dan wajahnya mengingatkan orang kepada Sutan Sjahrir ini, tidak menulis. “Kamu menyembunyikan banyak hal,” katanya kepadaku di teras depan rumahnya, “jiwamu menderita. Jangan sampai rahasiamu membunuhmu.” Mr. Ismail lama sekali menatapku. “Soska”xxiii, katanya lembut, “suatu ketika kamu harus berhenti melarikan diri.” 3 November. Aku tidak berani mengatakan bahwa seminar sehari tentang gerakan kemahasiswaan 1980-an sepenuhnya realisasi ideku, tetapi setidaknya move-ku mengumpulkan ketua himpunan mahasiswa dan para stafnya pertengahan September lalu tidak mubazir. Yusuf dan aku memiliki kesamaan pandangan dan berjanji untuk tetap berada di jalur masing-masing dan terus berkomunikasi. Yusuf aktifis HMI. Sayang, hasilnya tak sesuai dengan harapanku. Memang betul kata Afuz: “Jangan percaya pada seseorang yang berumur di atas 40 tahun”. 128 Para pembicara adalah para PR III dari IKIP, ITB dan UNPAD. Ketigatiganya berbicara dengan nada yang sama yang jika disimpulkan membentuk kalimat imperatif yang kacau-balau ini: Perjuangan daripada gerakan daripada mahasiswa 80-an saat ini harus dipahami sebagai daripada bagian daripada upaya ikut mengambil bagian secara aktif daripada menyukseskan pembangunan, meninggalkan cara berpikir lama daripada gerakan mahasiswa 66/74/78 dan daripada orientasi politik praktis, yaitu dengan berusaha dengan sungguhsungguh daripada meraih prestasi akademik. Waduh, kau minta komentarku, Ran? Daripada, deh!  9 November. Dengan Afuz dan kabut. Di kaki gunung Burangrang. Pagi hari. burangrang kula datang teu niat nantang teu pisan-pisan kaendahan nu lawas jigana moal kungsi mulang katineung uing kaasih uing: anjeun! xxiv  17 November. 129 Ran, tiga orang mahasiswa meninggal dunia dalam kasus helm. Radio Nederland pagi ini mengupas insiden itu. Rukmana, Gani, dan Syubban menggerakkan sekitar dua ratus mahasiswa Bandung, demo ke DPR mengecam pihak kepolisian Ujung Pandang.  19 November 1987. Kelompok diskusi kami berkumpul untuk mendesain pola gerakan di kampus masing-masing, membentuk jaringan kerja dan informasi, dan membahas lebih jauh “Kasus Ujung Pandang”. Gani, Umar Said, Syubban, hadir. Samiun berhalangan. Sehabis diskusi itu, kami berempat: Hans, Yani, aku, Rukmana, berkumpul di sekretariat himpunan Sejarah yang sempit di samping Gedung Garnadi, sebelah menyebelah dengan kantin fakultas tempat kami biasa makan siang. Kepada mereka bertiga aku menawarkan blue-print penguasaan organisasi-organisasi formal (himpunan mahasiswa dan senat) di lingkungan fakultas kami dalam satu dua tahun ke depan. Kujelaskan pula visi, warna, dan implementasinya ke dalam sejumlah program teknis. Untuk menjalankan program-program itu tidak bisa tidak pada musim pemilihan ketua himpunan yang akan datang mereka bertiga harus menjadi ketua himpunan di jurusannya masing-masing. Hans di Dunia Usaha, Yani di Geografi, Rukmana di Sejarah. Blue-print itu pun dibahas kami berempat dengan alot. Perkiraanku, sejauh tidak ada variabel independen yang mempengaruhi rencana A, mereka bertiga 130 akan terpilih sebagai ketua himpunan. Kubahas pula rencana B dan C jika rencana A gagal. “Anda sendiri?” tanya Hans. “Saya lebih suka Afuz yang menjadi ketua himpunan. Ia ‘orang kita’ juga. Namun, saya tidak tahu kalau keadaan memaksa. Kita lihat saja nanti…” jawabku. Yani berkata, “Belum pernah terjadi perempuan menjadi ketua himpunan di Geografi.” “Anda akan menjadi yang pertama,” jawabku. Aku menegaskan kepada Rukmana, “Kelak, Anda saja yang memimpin senat.” Ketika pembahasan sampai pada persoalan memperluas lingkaran pengaruh yang menjangkau seluruh himpunan mahasiswa dan fakultas di kampus kami, Hans mengusulkan pendirian sebuah organisasi yang dapat mempengaruhi opini publik. “Saya sudah lama memikirkan,” kataku, “dan sedang melangkah untuk mewujudkan, hal itu. Persoalannya adalah bagaimana kita menyiasati lubanglubang peraturan teknis NKK/BKK. Dan saya kira bentuk yang paling mungkin adalah unit kegiatan. Sebuah unit pers. Kebetulan saya punya kawan. Namanya R. Bagus Sartono, angkatan 82, dari fakultas lain, yang bisa membantu kita menggolkan rencana itu. ‘Warna’-nya memang kurang begitu jelas tetapi orangnya selain dapat diandalkan juga sangat cerdas. Suatu hari akan saya perkenalkan kepada Anda semua.”  131 28 November. Ujian Hukum Adat. Aku lupa kesimpulan Van Dijk. Agak sore, ke rumah Inar. Mama-papanya baru saja pergi. Ada undangan makan malam. Pertemuan bisnis. Lepas isya itu, Bi Iroh, pembantu di rumah Inar, masuk ke kamar tidurnya. Di meja makan, di dapur yang luas dan resik dan beraroma lemon itu, kami makan malam berdua. Inar tiba-tiba kelihatan manjanya. Kami bercanda dan bercakap-cakap tentang banyak hal. Ia pembaca yang rakus dan penikmat musik dan film. Ia penggemar Chopin, Vivaldi, The Beatles, The Police, Queen, Duran Duran dan Tracy Chapman. Sesekali ia juga mendengarkan Barbra Streisand, terutama untuk dua lagu ini: The Shadow of Your Smile dan Some Enchanted Evening. Ia pengagum berat Robert de Niro dan Al-Pacino. Untuk The Beatles dan dua aktor watak ini kami nyambung. Saling pamer pengetahuan, bersambutgayung. Bi Iroh kelihatannya sudah tidur. Terjadi begitu saja. Aku bilang bahwa sudah saatnya aku pulang. Kami berdiri. Lengannya belum lagi sampai ke grendel pintu ketika tiba-tiba kami begitu dekat. Kami saling menatap. Dan, Ran, di kamar tamu itu, aku mencium Inar. Mula-mula keningnya, sepasang alisnya, kedua kelopak matanya, lalu pucuk hidungnya, kemudian bibirnya yang lembut seperti permen karet. Ia mula-mula menolak, kemudian menyerah, lalu setelah pagutan yang lama, ia mendorong kuat tubuhku. Aku melihat matanya berair. 132 Ia menangis, membebankan seluruh punggung dan kesadarannya ke tembok pastel kamar tamu yang bisu. Aku menyesal. Pukul sembilan. Aku minta maaf. Inar diam saja. Aku pamit. Inar mengantarku hingga pintu pagar. Selang beberapa langkah dari rumahnya, ketika aku memanggil seorang tukang becak, tiba-tiba aku ingat kesimpulan Van Dijk. Bandit!  (4 Desember 1987) Aku ke rumah Hermawan, sahabat SMA yang kini nyeniman dan aktifis kampus. Ngobrol soal politik, situasi terakhir di ITB, Indonesia sepuluh tahun lagi, rencana “kudeta” anak seni rupa angkatan 86, Tigor dan kasetnya, wanita lain selain Susi dalam kehidupannya, lukisan terbarunya, The Beatles, Deep Purple dan Earth, Wind and Fire, nostalgia SMA, tentang kamu, dan seterusnya, dan sebagainya. - Barangkali kenal Gani? Anak Fisika, konon ia aktifis juga…. - Sebentar (dia berpikir cukup lama) ya… ya.. yang pendek gempal dan berkaca mata tebal itu, ya? Tidak dekat sih. Tahu aja. Orangnya kelihatan sangat serius. Kenal di mana? - Ada yang mengenalkan. Hermawan rupanya tahu banyak tentang Gani. Sekitar tengah malam aku ajak Hermawan belanja buah-buahan di Pasar Andir. Sehabis itu kami masak mie, dengar musik, dan begadang semalaman. 133  (16 Desember 1987) “Le petite Soska!” sapa Mr. Ismail kepadaku, pagi itu, “someday you’ll shoud find our own epistemology.” Ran, Soska lagi! Kali ini ada Le Petite-nya. Di perpustakaan. Mencatat bagian-bagian penting dari Politics in Developing Area (Gabriel Almond). Sekitar pukul satu siang, setelah menunggu tiga jam, sesudah menghabiskan enam batang rokok dan dua teh botol, akhirnya R. Bagus Sartono datang juga. “Sudah lama?” katanya. “Baru saja… tiga jam,” jawabku. Kesal. Sartono tertawa-tawa ringan, “Macet sekali….” Di bawah rindang pohon beringin yang akar-akarnya bagai gerombolan ular sanca tua, di atas sebuah kursi taman beton yang mati segan hidup pun tak mau, di gigir kolam berteratai penuh ikan mas dan mujair, beberapa meter saja dari Gedung Isola yang berdiri rapuh seperti raksasa perempuan yang bertahuntahun kurang makan dan enggan berganti gaun, pertemuan ini menjadi diskusi tahap akhir kami berdua untuk mendirikan Unit Pers Mahasiswa (UPM). Kami mematangkan langkah-langkah strategis dan taktis untuk mewujudkan rencana itu. Siang itu, dicapai kesepakatan penunjukan angota134 anggota pertama yang sekaligus akan menjadi badan pendiri, tidak lebih dari sepuluh orang. Aku memasukkan tiga nama dari fakultasku, FPIPS: Hanson Sihombing, Rukmana Ekajati, Yani Fatmawati. Sisanya menjadi bagian Sartono yang mengajukan lima nama dari fakultasnya, FPBS: Khalid Alkatiri, Ajang Heryawan, Yayan Prawira, Acep Sumiyadi, dan Eriyandi Gunawan. Aku berkata kepada Sartono bahwa melihat komposisi badan pendiri seperti ini dan kenyataan bahwa ia lebih senior dariku tidak ada yang lebih layak menjadi ketua selain dirinya sendiri. Sartono tersenyum, dan dengan santai berkata, “Jika begitu, Anda jadi wakil saya.” Aku menolak, dan memilih menjadi sekretaris saja. “Kenapa sekretaris?” tanya Sartono. “Bukankah seorang pelupa, yang membuat seseorang harus menunggu sampai tiga jam, membutuhkan sekretaris yang bisa tepat waktu?” Sartono meledak tawanya. Ran, itulah asal-muasal aku menempati posisimu di OSIS kita dulu. Ah ya, betapa aku harus meminangmu dengan seluruh akal dan sepenuh hati supaya kamu mau menjadi sekretarisku. Aku melobi Bu Winarti agar bersedia membujukmu. Diam-diam menghubungi teman sekelasmu, Evawani, kawanku di kelas satu, meminta bantuannya membujukmu pula. Mendekati Erlina, teman SDku yang juga teman SMP-mu, dan meminta kesediaannya meriwayatkan padamu 135 semua yang baik-baik tentang aku setelah membujuknya lebih dulu dengan katakata manis, puja-puji, berbatang-batang coklat dan jepit rambut, mengajaknya nonton film dan teater, mengantarnya pulang berkali-kali, dan akibatnya malah membuat Erlina nyaris jatuh cinta padaku. Diam-diam pula aku menelefon bibimu yang cantik itu, bekas kakak kelas kita, dan mengatakan bahwa aktivitasmu di OSIS tidak akan mengganggu pelajaranmu. Kemudian mempertimbangkan sejumlah alasan dan dasar pemikiran yang kira-kira dapat kamu terima mengapa aku memilih kamu, bukan yang lain. Alasanku sebenarnya cuma satu waktu itu: agar kamu terus-menerus berada di dekatku. Dengan begitu, setiap hari aku dapat memandang wajahmu, menyapa lembut namamu, mendengar suaramu, pergi ke mana-mana berdua denganmu dan, tentu saja, menjagamu. Setelah itu, aku dan Sartono berdiskusi panjang lebar dengan PR III. Sabtu nanti, pukul sepuluh pagi, kami diminta menghadapnya kembali untuk mengajukan proposal pendirian UPM secara resmi.  (22 Desember 1987) Hari Sabtu lalu kami tidak berhasil bertemu PR III. Baru dapat bertemu Senin, kemarin. Langkah pertama! Pendirian UPM di-acc PR III. Semua program disetujui, kecuali, seperti persis diduga Sartono, penerbitan koran kampus yang direncanakan akan diberi nama Isola Pos. Menurut PR III, “Ini prosesnya panjang.” 136 Kemarin siang itu juga, tanpa menunda-nunda, aku dan Sartono mengurus seluruh persoalan administrasi yang diperlukan dan mencatatkan diri secara resmi di Bagian Kemahasiswaan u.p. Bagian Minat dan Bakat Mahasiswa. Beres. Tinggal menunggu Surat Izin Kegiatan. Kami berdua tidak mengira prosesnya demikian cepat. Kami gembira sekali. Di jalan lengang dan teduh penuh pohon rimbun dekat gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa yang kumuh, kami melompat-lompat hingga berpeluh seperti anak-anak yang gembira menemukan mainannya kembali. Aku dan Sartono merayakan “kemenangan” ini dengan upacara minum teh dan membaca sepuas-puasnya puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad dan Sutardji Calzoum Bachri di kamarnya yang dingin dan lembab, sesak oleh buku dan berdebu, berjendela sempit dan muram, berpintu coklat dan di sana-sini dimakan rayap. Aku memperlakukan penuh aniaya meja kecil berukir di samping tempat tidur Sartono sebagai tamtam dalam birama dangdut pak-ketipak-ketipuk (pong!) pak-ketipak-ketipuk (ping!) mengiringi Sartono membaca puisi “Shanghai” Sutardji Calzoum Bachri. Kami ketawa-ketiwi, riang dan puas sekali. Di tengah keributan senja hari yang nyaris kekal itu, seekor tikus memperlihatkan dengan takut-takut wajahnya yang tirus, keluar dari kegelapan kolong dipan yang rahasia, mencericit dan lari terbirit-birit, menyisir pinggir tembok yang catnya mengelupas di sana-sini. Barangkali pergi, ke dunia peri….  (11 Maret 1988) 137 Setelah diskusi dan perdebatan yang panas dengan para aktifis masjid kampus di Bandung yang berkumpul di Al-Furqon, sore itu, Mr. Ismail berkelakar(?): “Kalau kita semua ditangkap, tunjuk si ini.” Telunjuknya diarahkan padaku. Aku membalas kelakar(?) Mr. Ismail, “Sudah selesai, Pak. Bapak sudah dapat bersin lagi.” Mr. Ismail sedang flu. Hari itu, hari terakhir Sidang Umum MPR. H.J. Naro batal jadi wapres. Ah, semua orang tahu pencalonannya hanyalah bagian dari dagelan demokrasi Orde Baru…. Pola, bentuk, dan karakteristik jaringan antarmasjid kampus di Bandung, sudah mulai dapat kupetakan. Sekarang sepenuhnya terserah Hans. Ia memiliki seluruh syarat kecerdasan alamiah dan moral, termasuk posisinya sebagai mualaf yang membuatnya akan dengan senang hati diterima di lingkungan aktifis masjid mana pun.  (13 Maret 1988) Sekitar pukul setengah sebelas, Rukmana, Hans, Yani, datang memenuhi undanganku. Di kamarku yang diperangkap cahaya, di lantai atas, kami bicara panjang lebar tentang perlunya kembali merenungkan “visi dasar” dan “penyusupan pikiran”. Pada kesempatan itu kami bahas pula perkembangan UPM yang masih lelengkah halu, masih seperti anak-anak yang sedang belajar berjalan.  (15 Maret 1988) 138 Pukul tujuh lebih sepuluh menit! Aku terlambat, Ran. Menurut peraturan sebenarnya aku masih boleh masuk. Masih ada sisa waktu lima menit. Lagi pula aku tak pernah terlambat. Baru kali ini. Tapi dosen mata kuliah psikologi sosial bertubuh tambun itu berkata dengan nada fasis, “Anda tidak boleh masuk! Anda cowboy….” Gara-garanya, aku pakai celana blue-jeans. Padahal jelas bukan bajakan: Levi Strauss 501, classic, original. Hadiah dari Inar. Sakit hati juga, diusir. Tapi apa boleh buat. Aku pergi ke kantin, sarapan, menunggu jam perpustakaan buka. Tak ada kuliah lain hari itu. Aku tak punya rencana berlama-lama di perpustakaan. Sekadar menunggu Inar. Ibu sakit. Kelihatannya tidak terlalu berat. Tapi aku selalu panik kalau melihat ibu kurang sehat. Tadi malam aku menelefon Inar. Dia ingin ketemu ibu. Bayangkan, Ran, dia ingin ketemu ibu yang selalu menghindar ketemu anaknya sendiri, di rumahnya sendiri! Di lantai dua perpustakaan yang besar, agung, dan selalu sepi pengunjung, aku duduk sendiri membaca I’m an Aborigin Boy. Sebuah buku propaganda pemerintah Australia. Buku itu ditutup dengan kalimat yang sangat kolonialistis: the right place for them (maksudnya, orang-orang Aborigin itu) is settlement. Dosen itu telah melakukan politik diskriminasi kepadaku, Ran. Mengingkari hakku memperoleh pengetahuan dan melecehkan aku sebagai seorang mahasiswa pembayar SPP. Apa masa remajanya kurang bahagia? Apa hubungannya celana jeans dengan kecerdasan atau kedunguan? Mengapa mahasiswa IKIP tak boleh 139 pakai celana jeans ke kampus? Aku merasa menjadi si anak Aborigin yang dianiaya dalam buku itu. Hanya nasibku jauh lebih baik, settlement itu: perpustakaan. Afuz menyusulku ke settlement, eh, perpustakaan. Selain memberi tahu tugas-tugas psikologi sosial dan pembagian kelompok diskusi mata kuliah itu, ia menyarankan aku minta maaf kepada si dosen yang patut diduga masa kecilnya kurang bahagia itu. Minta maaf? Ia khawatir dosen killer itu membuatku gagal menempuh ujian mata kuliah itu di akhir semester. Aku selalu menyukai kawanku yang satu ini. Afuz selalu bicara tanpa tedeng aling-aling dan sebenarnya cerdas juga. Aku menjawab singkat dan hatihati kepadanya: “Nama baik itu beban. Mencarinya dengan cara menjilat adalah suatu kejahatan.” Afuz berdiri, menepuk kesal bagian belakang kepalaku dan pergi menuruni tangga menuju lantai satu perpustakaan. Setelah Afuz pergi, aku baru merasakan kehadiran orang lain di situ, empat meter di depanku terhalang meja penuh tumpukan buku, sedang melihatku dengan pandangan sayang dan penuh simpati seseorang kepada kekasihnya: Cecep Syamsul Hari. Aku sering cemas melihat cara anak pendiam yang kelihatannya tidak memiliki banyak kawan di kampus dan sama sekali tidak punya teman perempuan itu memandangku, dalam diskusi di kelas atau di tempat lain, terutama ketika aku sedang mempresentasikan suatu pikiran atau gagasan. 140 Kabar burung yang kudengar, Cecep seorang homo. “Sudah lama kamu di situ?” tanyaku. “Tak selama yang kamu duga,” jawabnya. “Kamu diusir dosen itu juga?” tanyaku lagi. “Ya,” jawabnya singkat.  (19 Maret 1988) Ibu sudah sembuh. Kakek datang menjenguk. Kedatangan kakek yang kelakuannya persis seperti ibu, lebih suka mengasingkan diri, adalah suatu kejadian istimewa bagi kami. Kakek tak lama tinggal di rumah kami, cuma sehari.  (14 April 1988) Ran, juga dibahas dasar-dasar gerakan. Informan mereka ada di mana-mana. Kertas penuh coretan lalu dibakar…. Ratna menganugerahiku berbagai kebaikan. Apa yang akan Tuhan lakukan kepadaku, jika, tanpa mauku, aku melukai gadis yang sangat baik dan lembut ini? Sampai saat ini belum ada proklamasi resmi di antara kami berdua bahwa kami saling mencintai. Semua berjalan begitu saja. Aku tahu bahwa kau, Ran, belum sepenuhnya menjadi masa lalu bagiku, dan aku pikir, Inar pun tahu kau belum sepenuhnya menjadi masa lalu bagiku.  (30 April 1988) 141 Kegiatan pertama UPM. Persiapan hanya seminggu. Seminar sehari “Pers dan Arus Zaman”. Sayang, Dindin S. Maolani, S.H. tidak datang. Yang hadir Ahmad Saelan (wartawan HU Pikiran Rakyat) dan Aceng Ruhendi Saefullah (pemimpin redaksi Salam) yang karirnya sedang naik ke langit yang tinggi. Kedua penceramah itu tidak dibayar. Cuma memperoleh kenang-kenangan plakat. Ah, plakat, tak di himpunan mahasiswa, tak di senat, tak di UPM. Aku benar-benar malu. Kupikir Sartono pun sama malunya. Keinginan kami berdua sesungguhnya dapat memberi para penceramah itu honorarium yang layak. Yang patut. Mereka berdua membuat makalah, suatu kerja intelektual, kerja pikiran. Seandainya mereka tidak membuat makalah pun, selama tiga jam di ruangan itu mereka telah bekerja keras. Dan yang namanya kerja intelektual, kerja berpikir, seharusnya diberi honor yang layak. Aku pikir, di masa depan, UPM harus dapat memperlakukan para penceramah dan tamu yang diundang dengan lebih beradab. Aku akan membicarakan ini dengan kawan-kawan nanti. Sehabis kegiatan, di tangga gedung Isola, aku berkata kepada Khalid, wakil ketua UPM yang baru saja ditinggal minggat pacarnya itu, “Tradisi tidak memberi honor ini harus segera dilempar ke laut mulai kegiatan berikutnya. Kesannya mahasiswa itu miskin, papa, tidak punya usaha, kuuleunxxv. Mungkin lain kali kita dapat melibatkan sponsor untuk urusan-urusan seperti ini.” Seraya tangannya bergerak cepat ke sana-ke mari dan jari telunjuknya sesekali menuding ke arah langit yang murung, ke arah sepasang merpati putih di 142 angkasa yang mendung, ke arah tanah, ke arah pohon beringin nun jauh di sana, ke arah sepasang kekasih berjas almamater biru di bangku taman pinggir kolam yang duduk mesra berdampingan, ke arahku, ke arah siapa saja, Khalid berkata dengan suara keras dan nada kesal: “Iya, itu. ‘Kejahatan’ itu. Terbelakang! Primitif! Memalukan karuhun.xxvi Masa cuma plakat, tidak diberi honor. Apa mereka makan plakat? Makan nuhun? Ada sebuah hadis Nabi (ia mengutip sebuah hadis dalam bahasa Arab dengan fasih) yang artinya ‘buruh harus dibayar sebelum peluhnya kering’. Pak Saelan dan Pak Aceng itu kan kita undang untuk bekerja. Di seminar ini mereka melakukan tugasnya sebagai intelektual. Sebagai pemikir. Nggak bener kita ini. Kita harus ngomong ke Sartono sekarang juga,” katanya. Khalid kelihatannya geram sekali siang itu. Orang yang baru ditinggal pacar memang aneh kalau tidak geram.  (16 Mei 1988) Beberapa hari sebelum Musyawarah Mahasiswa himpunan mahasiswa civics hukum (HMCH) dilaksanakan, 7-8 Mei 1988, aku membujuk Afuz untuk bersedia dicalonkan sebagai ketua himpunan. Penolakan Afuz yang biasanya lembut itu keras sekali, Ran. Ia mendasarkan penolakannya pada dua alasan: pertama, akulah calon resmi fraksi S-1 angkatan 86 berdasarkan musyawarah kelas; kedua, ia tidak mau “melangkahi” aku. 143 Ketika Mumas berlangsung, dalam kapasitas sebagai ketua fraksi, aku melobi ketua-ketua fraksi lain yang menyokong pencalonanku untuk melimpahkan dukungan fraksi mereka kepada Afuz. Sedangkan kepada angotaanggota fraksi kami kukatakan bahwa memilih Afuz sama dengan memilih aku, menolaknya sama dengan menolak aku. Akhirnya, setelah melewati proses persidangan alot dan diwarnai perdebatan antarfraksi yang panas dan pukulan-pukulan palu sidang yang memekakkan telinga, dalam pemungutan suara sangat mendebarkan yang ditingkahi teriakan “Yes!” atau “Huuuu!” setiap kali kartu suara dibuka, meskipun perbedaan suaranya tipis sekali Afuz berhasil mengungguli calon kuat lain, anak D-3, angkatan 86 juga, sang Faust kita itu: Nirwan. Afuz ditetapkan sebagai formatur tunggal sekaligus ketua HMCH 1988/1989 dan anggota Badan Perwakilan Mahasiswa FPIPS 1989/1990.  (21 Juni 1988) Senang sekali berada di beranda kamarku lagi, menikmati Symphony No. 1 in E Flat Major K16 Wolgang Amadeus Mozart dan Prelude Op. 28-15 in D Flat Major “Raindrop” Frederic Chopin, kedua komposisi itu kesukaan Inar, sambil selang sebentar menikmati teh hangat manis dan memandang horison senja hari di kejauhan, petak-petak sawah penuh padi kekuningan menjelang panen jauh di bawah, dan gadis tetangga di loteng sebelah, setelah seminggu lamanya ditelikung hutan Gunung Gede. 144 Mestinya kamu ikut, Ran. Mungkin Tuhan masih mau memaafkan kita kalau cuma mencuri satu-dua ikat edelweis saja di sana.  (25 Juni 1988) Langkah kedua! Tadi pagi, Rukmana, Afuz, Hans dan Yani dilantik sebagai ketua himpunan mahasiswa jurusannya masing-masing. Pelantikan dilakukan PD III di ruang senat FPIPS. Sorenya, kecuali Afuz, kami berkumpul di sekretariat himpunan mahasiswa Sejarah.  (1 Juli 1988) Seharian di rumah Inar. Masak, makan siang, dengar musik, nonton video musik Queen, dan lain-lain. Sejak kejadian itu, aku tak pernah berusaha menciumnya lagi. Ran, Mr. Ismail berkata kepadaku setelah perbincangan yang lama di rumahnya sore tadi: “Awas, saya tidak bermaksud menyuruh kamu berontak! Kebajikan yang dilakukan sendirian akan membentur tembok kejahatan yang terorganisasi.”  (4 Juli 1988) Tadi pagi, di gerbang kampus IPB, Ran, aku berpapasan dengan seseorang. Ia berjalan cepat sekali, dan tiba-tiba raib ditelan keriuhan jalan raya. Wajahnya sangat mirip denganmu. Masih saja kurasakan jalan darahku sejenak terhenti. Betapa ingin aku melupakanmu. Betapa sulit aku melupakanmu. 145 Dan sajak “Hutan Bogor” Rendra, menyelundup diam-diam dalam hatiku. Badai turun di dalam sajak-sajakku Selalu, sayang, aku terkenang kepadamu…. Aku dan Rukmana gagal meyakinkan Ivan dan kelompoknya untuk bergabung dengan jaringan kami. Di terminal Baranang Siang, di sebuah warung makan, kami berdua sepakat untuk tidak menyerah. Dalam waktu dekat akan dicoba meyakinkan mereka lagi. Seperti biasa, menghadapi jalan buntu seperti ini, Hans yang akan turun. Aku pikir Yani sebaiknya ikut.  (11 Juli 1988) Selesai kuterjemahkan beberapa karya Allen Ginsberg, antara lain “America”. Juga sebuah puisi penyair Irlandia, Patric Kavanagh, “If Ever You Go to Dublin Town”. Saat ini sedang kukerjakan penerjemahan sajak-sajak Po Chu-i, hidup antara 772-846 M. Aku jatuh cinta pada sajaknya: “Desa Chu-ch’en”. Entahlah, meskipun pengetahuanku atas puisi tak dapat dibandingkan dengan Cecep Syamsul Hari yang pendiam itu, aku selalu menyukai sajak-sajak bagus. Dan bila menemukan sajak bagus dalam bahasa asing, bahasa Inggris maksudku, begitu saja aku menerjemahkannya. 146 Koleksi terjemahanku sudah lumayan banyak. Kusimpan dalam map-map yang ditandai khusus di dalam laci tersendiri. Mungkin suatu saat aku perlu juga memperlihatkannya ke Cecep. Siapa tahu dia bisa belajar banyak dari karya-karya asing. Cuma aku masih cemas untuk menjalin persahabatan dengannya. Kepada Afuz ternyata Cecep lebih dapat terbuka, juga untuk urusan menceritakan kehidupan yang pribadi sifatnya. Menurut Afuz, sifat Cecep yang selalu memperlihatkan sikap bermusuhan kepada perempuan tetapi sangat penuh perhatian terhadap yang berjenis kelamin sebaliknya, belum tentu mengindikasikan Cecep seorang homo. Bisa saja sikap itu muncul karena pengalaman traumatik dengan perempuan di masa lalu, misalnya.  (15 Agustus 1988) Ran, aku sakit. Sekitar dua minggu lalu aku mengirim surat kepadamu.  (17 November 1988) Ran, benar apa yang dikatakan Keith Watson (Education in the Third World, 1982) tentang akibat pendidikan (sistem) kolonial yang antara lain menyebabkan… these elites become divorced, as a result of their education, from the real needs, feelings and aspirations of the rural hinterland. Berapa banyak korban dari lingkungan kaum terpelajar Indonesia modern yang sejarahnya relatif masih berusia muda ini, yang tercerabut, terpisah, terasing 147 dari kenyataan sosial masyarakat mereka, dari keinginan dan aspirasi masyarakat kebanyakan akibat sistem pendidikan warisan kolonial ini? Siapa yang mau bertanggung jawab atas kematian kreativitas berpikir, yang paling tidak sehari-hari kulihat di kampusku, kampus yang mendidik caloncalon guru yang kelak akan mendidik kaum terpelajar ini? Aku ngeri, Ran, aku ngeri. Bagaimana sistem pendidikan abdi dalem (a bank concept of education, meminjam istilah Paolo Freire) ini bukan menciptakan manusia yang berpikir melainkan menciptakan mesin. Sepanjang jalan yang kulihat cuma slogan, dan slogan, dan slogan. Pembangunan telah dimitoskan, dimistifikasi, sedemikian rupa. Dalam kehidupan seperti ini, berpikir secara radikal dalam pengertian filsafat (to radix – secara mendalam) adalah satu-satunya jalan menghancurkan mitos itu…. Rasanya aku semakin jauh dari Tuhan. Mabuk teruslah engkau! Bandit!  (18 November 1988) Palestina mendeklarasikan kemerdekaannya. Atas nama UPM, Sartono dan aku mengirim surat pembaca ke beberapa koran daerah dan nasional mengucapkan selamat kepada bangsa yang teraniaya dan terlunta-lunta itu dan kepada para pencinta kemerdekaan di mana pun, di dunia ini.  (5 Januari 1989) 148 It is a story of the first world war (1914-1918) that is different from any other that was written. Ran, All Quiet on the Western Front Erich Maria Remarque, membuatku sangat terpesona. Mengharukan. Menyesakkan. Berkisah tentang pemuda Paul Baumer, terjun ke dalam kancah perang parit yang bengis dan kejam, tak mengenal belas kasihan. Ia direkrut bersama kawan-kawannya sekelas. Aku selalu ingin menulis novel. Dan selalu ingin menulis novel yang memiliki karakter seperti Paul Baumer di dalamnya…. Bulan ini Fais akan menikah dengan adik manisku, Dewi Kania. Adik kelas yang selalu menganggapku sebagai kakaknya tersayang. Tempatnya bercurah hati. Mengadukan banyak persoalan, dan sesekali datang kepadaku semata-mata untuk menangis. Begitu pula ketika suatu saat hubungannya dengan Fais dihantam badai. Mereka akan nikah agama, diam-diam, karena tidak disetujui kedua orangtua dari kedua belah pihak. Dewi menderita asma yang akut. Setiap kali menghadapi persoalan berat asmanya kambuh. Kasihan sekali jika melihatnya dalam kondisi seperti itu. Ia sebenarnya too young to be married. Tapi ia begitu berani. Fais dan Dewi Kania memintaku menjadi salah seorang saksi perkawinan mereka, di masjid UNPAD, Dipati Ukur. Bertemu Yani. Ia terlihat kusut. Sore itu Yani menumpahkan masalah pribadinya kepadaku. Ah, bagaimana bisa sahabatku Rukmana menyia-nyiakan gadis yang sebaik, secantik, dan secerdas ini?  149 (11 April 1989) Pertemuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) I telah selesai dua minggu lalu. Ada cerita tentang mosi tak percaya, demo untuk Janer Sinaga, perkelahian yang nyaris terjadi antara peserta utusan Ujung Pandang dan daerah lain, kawankawan sesama panitia yang stres. Ada juga kisah-kisah cinta antarpanitia, panitiapeserta, peserta-peserta. Sebuah campuran kisah romantisme dan heroisme. Sumarsono yang all-out sebelum dan selama hajatan itu berlangsung, tumbang. Ia harus menjalani rawat-inap. Di RS Hasan Sadikin. Penyakitnya campuran dari kelelahan, stres, merasa ditinggalkan, dan tifus. Ketika beberapa hari lalu aku dan Inar menengoknya, ia sudah diperbolehkan makan makanan yang lembut. Wajahnya terlihat lebih segar dibandingkan kunjunganku dua hari sebelumnya. Tenaganya mulai pulih. Inar sengaja membawa agar-agar. Dengan sentuhan dan lengan seorang ibu yang memegang gagang sendok seakan-akan memegang kehidupan, ia menyuapi Sumarsono yang diperlakukannya seperti bayi. Sedikit demi sedikit. Sabar dan telaten. Waktu seolah-olah berhenti atau bergerak lambat, berpindahpindah secara mistis dari mangkuk dalam genggaman telapak tangan kiri Inar ke bibir Sumarsono yang bergetar. Aku melihat Sumarsono sangat terharu. Seperti menahan tangis. Ketika Inar selesai menyuapinya, aku membantu Sumarsono kembali berbaring. Tengkuknya bertopang pada dua buah bantal yang empuk. 150 Inar yang perasaannya sangat peka itu menangkap gestur halus Sumarsono bahwa dia ingin berbicara berdua denganku. Ia berdiri, memeriksa termos yang kebetulan hampir kosong, mengambilnya, dan berkata kepada kami berdua bahwa ia akan keluar sebentar. Mencari air panas. Ia meletakkan punggung telapak tangan kanannya sebentar di dahi Sumarsono, tersenyum, dan kemudian pergi. - (Menunjuk pintu keluar dengan lirikan matanya). Siapa dia, Mas? - Teman. - Lebih tampak seperti pacar Mas. (Tersenyum). - Hanya teman. - Siapa namanya, Mas? - Ratna. Ratna Suminarsari. - Bagaimana kabar ibu Mas, katanya sakit? (Ia mencoba menegarkan suaranya). - Sudah sembuh. (Aku menggengam erat tangannya). Jangan banyak pikiran, Marsono. Istirahat saja. - (Termenung). Maaf ya Mas… (diam beberapa saat, mengatur nafasnya). Menurut penglihatan saya, Mbak Ratna sangat pantas jadi isteri Mas kelak. Maaf tapi ya Mas, hati saya mengatakan apa yang Mas cari selama ini ada dalam diri Mbak Ratna…. Ia lama terdiam. Memejamkan kedua matanya. Wajahnya terlihat tenang sekali. Ran, aku pernah bercerita tentang kamu kepada Sumarsono. 151 Aku menceritakan semuanya kepada Sumarsono seperti yang kuceritakan kepada Ningrum dan Nirwan. Kamu tahu? Ia hanya duduk diam mendengarkan tanpa sekali pun berusaha memotong pembicaraanku. Dan setelah selesai, ia tak berkomentar sedikit pun, hanya memandangku dengan tatapan yang aneh. Mistis. Aku mengenalnya pertama kali ketika ia mengikuti pendidikan dasar jurnalistik UPM. Angkatan pertama. Lama kemudian aku sering bercakap-cakap dengannya dan mengambil cukup banyak pengetahuannya tentang filsafat dan mistikisme Jawa. Ia seorang Solo berdarah ningrat yang sangat kuat menjalankan laku, tirakatan. Selalu tidur sedikit di malam hari. Biasa puasa empat puluh hari berturut-turut. Tak pernah bocor puasa Senin-Kamis. “Mas akan dikutuk bila menyakiti Mbak Ratna,” kata Sumarsono tibatiba. Pelan namun tegas tetapi di telingaku terdengar seperti guntur. Di sore habis hujan itu. Di rumah sakit dengan bau karbol menyengat itu.  (3 Mei 1989) Ran, aku dan Rukmana sepakat sudah saatnya mengambil jarak dengan UPM. Mundur secara teratur. Jika tidak ada sesuatu yang luar biasa, menurut dugaan kami berdua, setelah R. Bagus Sartono yang tak lama lagi akan menyelesaikan studinya, Hanslah yang akan memegang pimpinan unit kegiatan yang punya moto kebanggaan ini: “Hanya ada dua unit kegiatan di kampus kami: yang pertama UPM, dan yang kedua unit kegiatan lain.” 152 Target kami, tahun ini atau selambat-lambatnya pertengahan tahun depan, Hans alias Hanson Sihombing sudah akan menjadi Ketua UPM yang kedua. Setahap demi setahap Hans telah menempatkan dirinya sebagai standar nilai, kerja, dan moralitas UPM. Mobilitasnya ke atas dan ke bawah sama baiknya. Ia juga memiliki kemampuan dan kekuatan karakter yang lebih dari cukup untuk “menangani” beberapa mahasiswa anarkis dan oportunis yang sudah mulai menyusup ke dalam tubuh organisasi ini. Aku juga percaya, dan dalam hal ini rasa percayaku jauh lebih kuat daripada Rukmana, UPM akan menjadi lebih besar, lebih solid, jika dipimpin Hans. Namun yang lebih penting, apabila UPM di tangan Hans dengan leluasa kami dapat mengarahkan opini publik mahasiswa kampus ini sesuai dengan visi dasar yang kami bahas beberapa waktu yang lalu di kamarku yang diperangkap cahaya, yang penuh dengan perdebatan yang alot, panas, dan diakhiri dengan upacara minum teh di sore yang kering itu. Visi dasar kelompok diskusi kami kemudian dirumuskan Rukmana dan menjadi pegangan kami untuk tindakantindakan selanjutnya. Satu-satunya saingan Hans adalah Acep Sumiyadi. Ia memiliki karakter yang sama kuatnya dengan Hans.  (21 Juli 1989) Ran, Umar Said setelah lama tak muncul, menemuiku tadi pagi. Sendiri. Ia sengaja mencariku. Aku ajak ia ke kantin. Ia ngomong banyak sekali. Ngaler153 ngidul. Katanya, berbisik, seraya menoleh kanan-kiri, kami berenam: aku, Gani, Syubban, Hans, Samiun, Rukmana, dan Umar sendiri, telah masuk black-list militer. Kodam, menurut Umar yang mengutip sebuah sumber yang tidak mau dia sebutkan, mencatat kami sebagai kader-kader kiri yang berbahaya dan harus diwaspadai. Jika benar omongan Umar, intel itu pasti kurang kerjaan. Namun terus-terang, aku agak keder juga, Ran, hanya tak kutampakkan di depan Umar yang terlihat sangat nervous. Tak ada yang lebih menakutkan saat ini, di bawah rezim otoriter-militeristik yang sangat kuat cengkeramannya ini, selain dituduh kiri. Dituduh PKI. Itu sama artinya dengan divonis mati. Mungkin aku harus segera menemui Yani. Aku cemas, setelah putus dengan Rukmana enam bulan yang lalu ia tak pernah lagi datang dalam pertemuan-pertemuan kami. Di kampus pun sulit ditemui. Sebulan yang lalu, tak sengaja aku bertemu dengan Yani di pasar buku Palasari. Ia sedang berada di sebuah kios buku bersama seorang lelaki yang jauh lebih tua. Mereka berdua terlihat lengket. Yani mengenalkan lelaki berjanggut runcing-tipis itu kepadaku sambil senyum-senyum dan sedikit bercanda sebagai “Kawan Lenin”. Si lelaki itu mengaku mahasiswa tahun terakhir sospol UI.  (23 Juli 1989) Inar menungguku memberinya kepastian, Ran. Ia memberiku waktu satu minggu. Jika aku betul-betul mencintainya, maka ia tak mau kamu, Ran, masih 154 menjadi bagian dari kehidupanku. Kamu, Ran, harus sepenuhnya menjadi masa lalu. “Bagaimana perasaanmu sendiri, bila kamu tahu aku mencintaimu tetapi pada saat yang sama kamu juga tahu kamu harus bersaing dengan masa laluku? Aku tak mau bersaing terus-menerus dengan masa lalumu. Itu persaingan yang tidak adil. Kalau kamu ingin memasukkan aku ke dalam suatu persaingan, beri aku persaingan yang dapat diterima akal sehatku. Kamu boleh memilih aku atau memilih Ran. Memilih masa depanmu atau memilih masa silammu. Aku memberimu waktu untuk berpikir. Tapi jangan lebih dari seminggu. Beri aku kepastian.” Ran, aku akan memberi Inar kepastian. Aku akan melamarnya, minggu depan.  April – Mei 1991 (20 April) “AKU pernah membaca tulisanmu tentang Iqbal. Di mana ya… aku lupa. Waktu itu kita nggak nyangka, ya, bakal ketemu di Yogya,” kata Ran, kemarin sore itu. Aku tertegun. Aku teringat koridor di ruang dalam sebuah hotel seusai acara penutupan “Pekan Diskusi dan Apresiasi Tingkat Nasional tentang Hidup, 155 Pemikiran, Kepenyairan dan Karya-karya Iqbal” di kampus UII, Yogyakarta, 20- 25 September 1989. Malam yang memalukan itu. Malam ketika aku serius bersoal-jawab dengan Taufik Rahzen yang berpakaian serba hitam. Malam ketika aku pindah ke kursi lain meninggalkan Rahzen dan para pengagumnya, untuk berdiskusi dengan teman-teman lain dari Medan dan Ujung Pandang padahal aku tahu Ran hanya dipisahkan sebuah taman, duduk sendiri berteman sunyi, beberapa meter saja di seberangku. Sungguh lebih goblok dari Faust aku malam itu.  (30 April) Tiba di rumah Ran pukul empat petang. “Shalatlah dulu,” kataku. “Sambil menunggumu shalat, biar kuselesaikan membaca tulisan Beni ‘yang nakal’ ini.” Ada sebuah tulisan Beni Setia di Pikiran Rakyat hari itu. Tentang Sepuluh Orang Utusan. Kumpulan puisi terbaru Saini KM. “Bagaimana, selesai?” Ran duduk kembali, di dekatku, setelah meletakkan sepasang gelas berleher panjang berisi sirup markisa itu. Ah, aku teringat sebuah masa yang ranum ketika di hari-hari Jumat yang telah menjadi petang-petang kekal dalam ingatanku, aku selalu datang ke rumahnya. Ketika kami berbicara dan berdiskusi tentang apa saja. 156 Selain warna gordennya, ruang tamu ini tak banyak berubah. Lukisan 2 x 2 meter dalam bingkai kayu warna coklat tua itu masih berada di tempat yang sama. Tergantung persis di tengah-tengah dinding yang juga berfungsi sebagai pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah dan berhadapan langsung dengan pintu rumah. Lukisan reproduki yang memperlihatkan figur seorang samurai sedang menghunus dengan tangan sebelah kanan pedang panjangnya yang teracung vertikal ke arah langit sementara telapak tangan kirinya mengenggam hulu pedang pendeknya yang ujung runcingnya terarah ke depan. Ia seakan-akan muncul dari lubang besar berwarna merah di belakangnya, matahari senja hari yang anehnya tidak temaram melainkan menyala terang di atas tanah yang gersang. Wajah samurai itu sangat keras, memperlihatkan bahwa ia telah banyak ditempa oleh latihan dan pertarungan sebenarnya. Kuncir di bagian belakang kepalanya seperti ekor bajing yang sedang menungging. Ada butir-butir peluh menempel di dahinya. Sepasang alisnya yang lebat hitam melengkung seperti sayap elang. Sorot mata samurai itu sangat tajam. Betul-betul sorot mata seorang pendekar. Betul-betul Takezo. Benar-benar Musashi. Dan kursi ini, masih kursi tamu yang sama. Lembut. Empuk. Hijau. Sehijau kenangan. “Ingat Toto-chan?” Ran mengangguk. “Beni menulis dengan kenakalan sekaligus dengan rasa hormat si ‘Gadis Kecil di Tepi Jendela’ itu terhadap gurunya, Pak Kobayashi.” 157 Maka mengalirlah. Kami bicara tentang skripsi Arief Budiman dan adiknya, Soe Hok Gie. “Bagaimana skripsimu?” “Jalan di tempat. Skripsimu?” “Tertegun-tegun.” Kami tertawa. “Kamu tahu, Kafka? Aku masih menyimpan ’19 Sajak Cinta’ itu….” “Aku kira, kau sudah melupakannya….” “Aku orang yang tak mudah melupakan…. Sering aku berpikir, seandainya hidup berhenti di usia 19 tahun…. Aku sangat suka sajak Toto Sudarto Bachtiar dan John Donne yang kamu pilihkan untukku. ‘Stanza’ Rendra sangat memabukkan dan ‘Derai-derai Cemara’ Chairil Anwar lebih kekal dari kenangan. Sajak Goenawan Mohamad, ‘Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi’ selalu melemparkan aku ke kehampaan tetapi sajak Taufiq Ismail, ‘Dengan Puisi, Aku’, membuatku berusaha untuk lebih bijak dari sebelumnya. ‘Bunga’ Sitor Situmorang mengenalkan aku pada hakikat sunyi, dan ‘Langit Ungu Matahari Jingga’ Saini KM membuatku tahu cinta dapat pula dihampiri dengan pikiran, tak cuma dengan perasaan. Dan ‘My Love is Like a Red Red Rose’, Robert Burns, oh, benar-benar pernyataan cinta yang ingin didengar setiap wanita. Kamu tahu, Kafka? Itulah hadiah ulang tahun yang membuatku dewasa. Hadiah ulang tahun terindah yang pernah kuterima.…” “Aku harap kamu melupakan pengantarnya.” 158 “Kenapa?” “Itu tulisan terburuk yang pernah kubuat.” “Aku malah suka pengantar itu. Di situ kamu membiarkan dirimu telanjang. Kamu sangat jujur dengan dirimu sendiri….” Lalu kami bicara tentang Yogya. Ran mengulang pertanyaan yang sama seperti yang disampaikannya Jumat lalu. “Kamu tahu apa yang membuatku terkesan di Yogya waktu itu?” Ran menggelengkan kepala. “Kamu lewat, memakai jilbab.” Malam itu, Ran menjadi bagian dari pertunjukan tarian teatrikal Islami sebuah kelompok penari yang dipimpin seorang perempuan penyair yang sedang naik daun. Tarian yang dipergelarkan dalam acara penutupan pekan diskusi itu mengharuskan seluruh pendukungnya berjilbab. “Kamu kecewa karena pada kenyataannya aku tak berjilbab?” “Tidak juga,” kataku. “Ada lagi yang membuatku terkesan waktu itu.” “Apa itu?” “Ketika kamu duduk, sendirian. Malam-malam. Seusai acara penutupan. Rambutmu kamu biarkan bergerai lepas ke bahumu. Aku kelihatannya saja bercakap-cakap serius dengan orang berbaju hitam dan juga kawan-kawan lain yang ribut itu. Nonsens. Tidak. Aku lebih goblok dari Faust waktu itu. Seharusnya aku datang. Menghampiri kamu dan mengajakmu bicara. Apa saja.” 159 Ran membisu dan matanya menembus jauh ke dalam hatiku. Lalu kuberikan bungkusan dalam kantong plastik itu. Baju hangat warna pink. R. Bagus Sartono, sahabatku, menyebutnya “ikan pari”. Ia pernah menghadiahkan ikan pari mentah dan segar untuk pacarnya dan membuat geger keluarga calon isterinya. Sejak itu ia menyebut apa pun hadiah yang diterima dari atau diberikan kepada seseorang yang khusus sebagai “ikan pari”. “Tak terlalu bagus. Namun mungkin berguna dalam cuaca dingin….” “Terima kasih sekali.” “Jangan dibuka sekarang.” “Aku tak bisa membalasnya.” “Aku minta dibalas gitu?” Gugup, Ran berkata, “Maksudku, aku ingin sekali membalasnya. Hanya aku masih belum tahu bagaimana caraku membalasnya.” Aku tersenyum. Azan magrib. Aku pamit pulang. Langit gaib. Awan mengandung hujan. “Di pojok itu,” aku menunjuk sudut tenggara taman di halaman rumah Ran, “tak ada lagi bunga dahlia. Ke mana?” Ya Tuhan! Ran tertawa. “Bukan dahlia. Apalah namanya. Tapi bukan dahlia….” Chek-in di sebuah hotel di Jalan Pasirkaliki. Lelah sekali. Sekitar pukul sebelas malam aku tertidur. Pulas sekali.  160 (1 Mei) Pukul tujuh malam lebih sedikit, Hans datang. Setengah jam setelahnya Rukmana muncul. Tak berapa lama kemudian pelayan hotel mengantarkan nasi goreng dan kopi pesanan kami. Kami diskusi semalaman. Menyusun rencana. Membuat cetak-biru pembentukan jaringan antarkampus dan program lima tahun ke depan. Asap rokok menyesakkan kamar. Abu bertebaran. Rukmana membawa kabar yang ditunggu-tunggu, hasil penyelidikannya menguatkan dugaan kami selama ini: Umar Said adalah informan yang disusupkan militer. Ia menyarankan kami semua untuk tidak berada “di tempat terbuka” dulu sementara waktu. “Umar?” tanyaku. “Urusankulah,” kata Rukmana. Disepakati, Rukmana akan berangkat ke Salatiga besok pagi. Lusa, Hans ke Surabaya dan aku ke Yogya. Dari Yogya, aku akan langsung pergi ke Jakarta, menghadiri undangan sebuah kelompok kiri mahasiswa UI yang mengundang kami berempat untuk hadir dalam diskusi bulanan mereka. Hans dan Rukmana kemungkinan tidak dapat hadir dalam pertemuan itu. Sekurang-kurangnya Hans akan berada di Surabaya selama dua minggu, dan Rukmana akan berada di Salatiga tidak kurang dari seminggu. Banyak orang yang harus mereka temui di dua kota itu. 161 Kami akan bertemu lagi bulan depan. Kapan dan di mana pertemuan itu dilakukan akan diatur Rukmana. Tengah malam Rukmana pergi. Aku mengantarnya turun ke bawah. Cuaca malam kota Bandung belakangan ini tak terlalu bersahabat. “Rukmana,” aku berkata lembut kepadanya, “aku sama sekali tak bermaksud masuk ke dalam urusan pribadimu.” “Masalah Yani, ya?” “Aku mencemaskan dia.“ “Percuma diteruskan. Kami berdua lebih banyak tak cocoknya.” “Boleh aku mengatakan satu hal?” “Silakan.” “Biasanya kita tahu betapa berartinya seseorang ketika kita telah kehilangan.” Rukmana tersenyum tipis. “Kedengarannya seperti datang dari pengalaman pribadimu….” “Karena itulah aku berani mengatakannya kepadamu.” “Sudahlah, Kafka. Aku harus pergi. Tak apa jaketmu ini kupinjam dulu, kan?” “Aku masih punya serep di atas.” “Oke. Sampai ketemu nanti. Hati-hati di Yogya, ya.” “Oke.” “Eh, carikan Hans pacar dong!” 162 Rukmana dan aku tertawa. “Wah itu akan menjadi tugasku yang paling sulit.” Kami kembali tertawa. Malam begitu cepat menelan punggung Rukmana. Hans bercakap-cakap denganku hingga pukul satu pagi. Setelah itu tinggal aku dan sepi. Wajah Ratna dan Ran datang silih berganti. Tanpa diundang John Donne muncul di kepalaku: Where none can match her, in some close corner of my brain: There I embrace and kiss her; and so I both enjoy and miss her.  (2 Mei) Siang hari. Aku bertemu orang yang disarankan Hans. Meskipun berpakaian necis orang itu tampak kumuh. Wajahnya berbisul-bisul. Rambutnya lurus dan ranggas. Sepasang matanya sempit memberi kesan licik. Hidungnya bengkung. Gigi-giginya kuning kehitaman. Mungkin karena nikotin dan jarang disentuh pasta gigi. Ketika ia tersenyum aku melihat mulut serigala dan ketika ia tertawa aku mendengar suara hyena. Ia memakai parfum, dari jenis yang paling murah, kukira. Ia bicara dengan kalimat putus-putus, bombastis, tanpa silogisme, nadanya merendahkan orang lain. Kosa katanya terbatas. Belum sepuluh menit bicara, ia telah menista lima nama yang seluruhnya kukenal. Menyimak semua omongannya aku punya keyakinan bila suatu saat ia memperoleh kekuasaan, ia akan segera menjadi tiran. 163 Bagaimana Hans bisa blunder memilih orang seperti ini? Waktuku terbuang percuma. Kembali ke hotel. Tidur. Bangun. Hari sudah gelap. Hujan lebat. Aku janji kepada Ran memberikan alamat Ajip Rosidi di Jepang. Ran, yang sedang menyelesaikan skripsinya tentang Para Penari Izu Kawabata Yasunari, siapa tahu membutuhkannya. Pukul sembilan malam. Ran berdiri di ambang pintu. “Masuklah….” “Terima kasih, Ran. Aku tak lama. Aku cuma ingin segera memenuhi janjiku. Kamu tahu, aku tak pernah percaya pada esok hari…” “Ya. Aku tahu. Tapi masuklah, please. Aku mohon. Akan kubuatkan kopi. Hujan lebat sekali….” Ran lama memandangku. Ingin sekali kulayari telaga bening itu. “Sudah malam…. Aku bawa payung.” “Aku mohon sekali lagi, masuklah barang sebentar. Tak akan makan waktu lama menyeduh kopi. Kamu harus menghangatkan badanmu. Sepatumu basah. Kamu kedinginan. Aku cemas kamu kena flu.” “Bukan salahmu kalau aku kena flu. Biar kusalahkan hujan, virus, atau payung Inggris itu saja, ya….” Aku tertawa. Ran diam saja. 164 Di beranda itu, Ran berkata, “Apakah kamu punya nama samaran lain selain namaku?” “Maksudmu?” “Aku membaca tulisanmu tentang musibah Mina itu. Memakai namaku….” “Menulis untuk mengenang seseorang yang hampir menjadi isteriku…. Aku tak kuasa menggunakan namaku sendiri. Tak terpikirkan nama lain olehku waktu itu.” “Aku ikut berduka.” “Terima kasih. Sudah nasibku mungkin. Selalu kehilangan orang yang kucintai.” “Kamu yakin tak ingin membicarakannya denganku?” Aku diam beberapa saat memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini, dan memutuskan untuk tidak menjawabnya secara langsung. “Apakah kamu masih mau membukakan pintu untukku seandainya sewaktu-waktu aku singgah ke rumah kenangan ini?” “Sejak dulu aku selalu membukakan pintu untukmu.” “Sebagai seseorang yang pernah kamu kenal sudah cukup bagiku.” “Apabila itu maumu.” “Terima kasih.” 165 “Kafka, jangan menunggu seseorang terlalu lama dan jangan membiarkan seseorang menunggu terlalu lama. Aku punya firasat kamu tak akan pernah singgah ke rumah ini lagi….” “Ran, aku punya firasat, jauh di dalam hatimu sebenarnya kamu mencintaiku.” Sekelebatan langit bercahaya. Lalu suara guntur yang jauh, angin yang menderu, kerisik ranting dan daun-daun, dan aliran hujan yang bergegas menerobos talang rumah, mencari lembab tanah. Kugenggam tangan Ran. “Ada sebuah ruang di dalam hatiku yang akan selalu menjadi milikmu,” kataku. Ran tersenyum. Senyum yang samar. Lalu, sangat perlahan, aku mengecup kening Ran. Ragu. Tipis. Dingin. Waktu berhenti dan semua suara menjadi sunyi. Ketika waktu meloloskan diri dan sunyi menemukan suaranya kembali, aku melihat kilauan mutiara menggenang dalam ceruk mata Ran yang abadi. Lalu kulepas kembali genggaman itu. Hujan masih sangat deras ketika kubuka pintu pagar rumah itu. Kembali ke hotel. O, my pity Chairil! Hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyakkoyak sepi.  166 (Di Hotel P., Yogya, 4 Mei 1991) Jumat sore kemarin check-out dari hotel itu. Langsung ke stasiun. Hans telah menunggu. “Kusut betul kamu,” kata Hans. “Aku terjaga semalaman,” jawabku. “Nggak aneh. Kau tidur semalaman baru mengejutkan. Bagaimana orang itu?” “Siapa?” “Yang kamu temui kemarin.” “Aku ketemu banyak orang kemarin.” “Orang yang kuusulkan.” “O, pria itu. Kenapa?” “Aku cuma minta pendapatmu.” “Apa perlu?” “Aku cuma ingin tahu.” “Satu-satunya yang menyenangkan dari orang itu adalah parfumnya.” “Lho! Kamu serius?” “Dua rius. Membuat harum ketiakmu agak sedikit menghibur dan lebih menyenangkan dari sebelumnya.” “Sialan,” maki Hans. Aku tertawa…. 167 Sekitar pukul dua dini hari aku turun di stasiun Yogya. “Nginap di hotel itu lagi?” tanya Hans. “Di mana lagi?” “Kamar nomor 6?” “Punya saran lain?” “Iwan Simatupang betul kamu… le petite bourgeois!” “Ini yang benar: bourgeois, humaniste et poète. Kesimpulan tepat Clavdia Chauchat untuk orang yang nama depannya sama denganmu, Hans Castrop. The Magic Mountain. Thomas Mann.” Hans nyengir. Aku tertawa. “Sampai nanti Hans… jangan sampai tertinggal kereta. Baik-baik di jalan.” “Hati-hati.” “Kamu juga, hati-hati. Eh, Hans….” “Ya?” “Coret orang itu dari daftar.” “Oke.” “Satu hal lagi.” “Apa?” “Kamu masih belum tertarik punya pacar?” “Ah, kau!” “Gadis cantik berjilbab di kursi samping kita itu turun di Gubeng.” “Lalu?” 168 “Teman sekursinya yang tak berjilbab turun di sini.” “Lalu?” “Dia belum pernah ke Surabaya.” “Lalu?” “Tak ada yang menjemputnya di sana.” “Lalu?” “Dia belum punya pacar.” “Lalu?” “Dia pasti kesepian.” “Lalu?” “Lalu. Lalu. Lalu. Ajak ngobrol dong dia. Siapa tahu nasibmu beruntung. Atau kamu lebih suka pacaran dengan punggung kursi di depanmu?” “Ah, sialan kau!” Kami berdua tertawa. Wajah Ran dan Ratna bergantian muncul di hadapanku. Ke mana pun aku berpaling. Ringan bagai udara kamar. O, my humble Toto… mereka tak tahu aku di mana… ku tak tahu cintaku di mana, terlalu hampir tetapi terasa sepi, sekali tertangkap terlepas kembali. Tiba-tiba saja aku ingin bunuh diri. Seseorang mengetuk pintu.  169 Dua Esai dan Tiga Surat Cinta 170 Mandala, Bandung, Sabtu, 23 Juni 1990 Iqbal dan Saya Oleh Kafka Purnama DOSEN saya, Mr. Ismail Batubara, setelah beberapa waktu mengamati saya menemukan kenyataan bahwa meskipun pemikiran-pemikiran saya yang ditangkapnya di kelas atau di dalam tulisan-tulisan saya disandarkan pada suatu kerangka berpikir religius, menemukan juga jejak-jejak sosialisme di dalamnya. Itulah pula yang rupanya menjadi sebab kenapa ia selalu terlihat gemas ketika memanggil saya: “Le Petite Soska” alias si sosialis-kanan bertubuh kecil. Sebagai seorang sahabat, Mr. Ismail Batubara, pernah meminta saya di sebuah hari yang saya lupa tanggal, bulan, dan tahunnya, untuk di masa depan menemukan epistemologi saya sendiri. Saya sadar tugas mencari “epistemologi saya sendiri” adalah tugas yang berat dan belum tentu saya dapat menemukannya. Saya pun sadar benar tak bisa menanggung beban itu. Beruntunglah pada suatu hari saya “bertemu” dengan Iqbal. ** BAGI peminat sastra profetik (sufistik) di Indonesia, nama Mohammad Iqbal tentulah tak asing lagi. Terutama sejak Bahrum Rangkuti menerjemahkan salah satu karyanya, Asrar-i Khudi di tahun 1950-an, kehidupan, pemikiran dan karya-karyanya mulai dilirik. 171 Iqbal yang dilahirkan di Sialkot pada tahun 1877 dan meninggal pada tahun 1938, bersama-sama Rabindranath Tagore dapat dikatakan sebagai penyair India terbesar abad ke-20. Ia juga penyair Muslim terkemuka abad ini, dan karena perannya dalam melahirkan negara Pakistan, ia dipandang sebagai Bapak Spiritual negara itu. Iqbal juga seorang filsuf, pemikir pembaru Islam dan ahli tasawuf. Ia memiliki pandangan yang khas tentang tasawuf. Untuk mengetahui pandangannya itu, kita harus terlebih dahulu menjelajahi pemikiran filsafatnya tentang Tuhan dan manusia sebab dari sinilah asal-muasal pandangan ketasawufannya terbentuk. ** DALAM The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal membagi pemikiran filsafat ketuhanannya ke dalam tiga fase. Pertama, Iqbal mengupayakan dasar-dasar epistemologis dan metodologis sebelum merumuskan wujud Tuhan. Kedua, Iqbal merumuskan wujud Tuhan sebagai Realitas Terakhir, yaitu suatu kehidupan kreatif yang terarah secara rasional. Pada fase ketiga, berdasarkan pengalaman-pengalaman Iqbal mengkonkretkan rumusannya tentang wujud Tuhan, yaitu bahwa Realitas Terakhir sesungguhnya adalah Ego Mutlak. Secara keseluruhan, filsafat ketuhanan Iqbal bercorak antropomorfis. Hal ini bisa dipahami mengingat seluruh pemikiran filsafatnya adalah demi 172 kepentingan manusia. Ini tercermin dari seruan Iqbal untuk menumbuhkan sifatsifat Allah dalam diri manusia. Sementara itu, manusia menduduki tempat yang agung dalam pemikiran filsafat Iqbal. Karya-karya prosa dan puisinya mengandung gagasan-gagasan yang bertujuan menyadarkan manusia akan kehebatan khudi-nya. Karena itulah filsafat kemanusiaan Iqbal dikenal sebagai filsafat khudi. Khudi adalah perkataan Persia (dan juga Urdu) yang berkonotasi negatif. Iqbal memilihnya sebagai salah satu terminologi inti pemikiran filsafatnya dan diberi arti lain yang serba positif untuk menggambarkan “a unique I” (sebuah saya yang unik), kreatif, dan senantiasa bergerak maju. Secara leksikal, khud berarti diri (self), sedangkan khudi berarti mementingkan diri sendiri, arogansi, dan egotisme. Bagi Iqbal, secara etis khudi bermakna kepercayaan diri, keyakinan diri, penjagaan diri, bahkan penegasan diri, jika yang demikian itu diperlukan untuk kepentingan kebenaran, keadilan, kewajiban, bahkan dalam menghadapi kematian. Khudi dapat pula diterjemahkan sebagai personality yang dalam filsafat kemanusiaan Iqbal dipahami sebagai fakta sentral dalam konstitusi manusia. Menurut Iqbal, manusia adalah mahluk yang unik sebagaimana uniknya Tuhan. Bila Tuhan unik sebagai Pencipta, manusia unik dibandingkan mahluk apa pun di dunia ini, yaitu sebagai pencipta kedua. 173 Istilah lain untuk khudi adalah ego. Bagi Iqbal, khudi, personality atau ego bukanlah substansi (seperti antara lain dipahami Al-Ghazali) melainkan perbuatan yang harus dinilai dari sikap, kemauan, tujuan, dan aspirasi-aspirasinya. Kesadaran antropomorfistik dan kesadaran sebagai pencipta kedua adalah posisi tertinggi yang dapat diraih setiap manusia yang sadar akan agamanya. Posisi tertinggi itu dalam terma Iqbal disebut mard-e mumin atau insan-e kamil. Posisi tertinggi ini hanya dapat diraih melalui latihan mental dan spiritual yang reflektif dan kontemplatif atau dalam bahasa eskatologis, melalui jenjang fikr dan dzikr yang intens. Di sinilah tasawuf memainkan peranannya. Iqbal, seperti juga Rumi, Hamzah Fansuri (bapak bahasa dan sastra Melayu) dan belakangan Ali Syari`ati mengecam para sufi yang terjerumus pada sikap egoisme, eksklusivisme, asosial, dan hanya puas dalam kehidupan zuhud (asketik). Padahal seorang Muslim yang telah mendapat makrifat pertama (pengetahuan) lalu berzuhud, kemudian mendapat pengetahuan setelah zuhud (kasyf), harus berada di tengah keramaian sebab kehidupan zuhud bukanlah tujuan tasawuf melainkan tahapan awal dari latihan ruhani. Ia harus menerima dan menjalankan kewajiban normatif untuk mengelola alam ini secara kreatif dan menyebarkan kasih sayang kepada manusia dan mahluk lainnya. Tentang ini Iqbal berkata: 174 Janganlah bermain di tepian/ Di sana tarian kehidupan bergerak lamban/ Terjunilah samudera dan lawanlah/ Ombak dan gelombangnya/ Keabadian adalah kemenangan dalam perjuangan//. Bagi Iqbal, hubungan yang intim yang telah diraih seorang sufi dengan Entitas Abadi tidaklah berarti pemisahan dirinya dari kehidupan normal. Ia harus menerjunkan diri ke dalam samudera dan menantang ombak dan gelombangnya sebagai metafora sosial yang dinamis dan penuh perjuangan. Dalam hal ini, Iqbal mengambil misal dari peristiwa mikraj Nabi Muhammad. Seandainya Nabi seorang sufi, kata Iqbal, Nabi tidak akan kembali ke bumi oleh karena telah merasa tenteram bertemu Tuhan dan berada di sisi-Nya. Akan tetapi, Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial, mengubah jalan sejarah, dan melakukan transformasi kultural. Kesadaran profetik seperti inilah yang (harus) mendasari tasawuf Islam dan menjadi tanggung jawab para sufi. Dengan kata lain, suatu bentuk tasawuf berkesadaran profetik yang mengantarkan para sufi ke dalam hubungan yang intim dengan Entitas Abadi; melihat-Nya dalam cahaya khudi-nya (sebagai pencipta kedua) untuk membawa dan melanjutkan pesan-pesan profetik kepada umat manusia di dalam kehidupan yang membumi. Kepada sufi yang telah meraih posisi tertinggi sebagai mard-e mumin atau insan-e kamil seperti inilah Iqbal bahkan bersedia mengabdi “bagaikan budak”. 175 ** BANYAK jalan menuju Roma, pasti banyak jalan pula menuju “epistemologi saya sendiri”. Apabila dosen dan sahabat saya, Mr. Ismail Batubara, kebetulan termasuk orang yang membaca esai ini, saya ingin mengatakan kepadanya bahwa melalui pemikiran filsafat kemanusiaan Iqbal, saya kira saya sudah menemukan jalan menuju “epistemologi saya sendiri” yang dimaksudkannya itu. (Penulis adalah mahasiswa Civics Hukum FPIPS IKIP Bandung, ketua Kelompok Diskusi Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan [KDMIP], dan anggota Akademi Iqbal). 176 Mandala, Bandung, Jumat, 20 Juli 1990 Jemaah Haji, Syuhada, dan Keprihatinan Kita Oleh Yulia Maharani TAHUN ini saya berduka. Tahun ini kaum muslimin Indonesia berduka. Musibah besar terjadi di terowongan Harat al-Lisan di Mina. Musibah Mina. Enam ratus orang lebih jemaah haji asal Indonesia dipastikan meninggal dalam musibah itu. Pada tahun ini, jumlah jemaah haji yang diberangkatkan dari Indonesia 82.000 orang, terbesar selama pemerintahan Orde Baru. Jumlah ini meningkat 40% bila dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 57.912 orang. Beberapa kalangan memandang peningkatan jumlah jemaah haji tahun ini disebabkan kesadaran beragama masyarakat Indonesia yang meningkat pula. Selain itu, menurut menteri agama, Munawir Sjadzali, peningkatan jumlah itu ada hubungannya pula dengan keberhasilan pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi. Ongkos Naik Haji (ONH) biasa tahun ini Rp 5.320.000,- naik 3,3% dibanding tahun lalu dan yang tertinggi di negara-negara ASEAN. Namun, di luar semua itu, seperti dikemukakan Dr. Martin van Bruinessen, bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat 176 penting. Haji selain berfungsi ibadah, berperan pula sebagai sarana pencarian ilmu. Kita mencatat beberapa nama orang Indonesia yang berhaji seraya menuntut ilmu, seperti Syaikh Yusuf al-Makassari yang berangkat ke tanah suci tahun 1644 dan baru kembali 26 tahun kemudian. Ia berguru kepada ulama besar Madinah, Ibrahim al-Kurani, yang juga guru dari para reformis besar Islam seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab di Arabia, Syah Waliyullah di India, dan Ma Mingxin di Cina. Ketika kembali ke Indonesia, Syaikh Yusuf menjadi penyebar tarekat Khalwatiyah dan menduduki peran politik penting sebagai penasihat Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Disamping Syaikh Yusuf, kita mengenal Abd al-Rauf Singkel yang memperdalam ilmu di Makkah dan Madinah dan kemudian mencapai kedudukan tinggi di Aceh. Seperti Syaikh Yusuf, ia pun berguru kepada Ibrahim al-Kurani. Setelah kembali ke Nusantara, ia menyebarkan tarekat Syatarriyah yang terkenal itu. Selain kedua ulama besar itu, kita mengenal sejumlah ulama lain yang bahkan menjadi guru (syaikh) terkenal di Makkah dan Madinah, antara lain: Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfudz al-Tarmisi, Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi. Berbeda dengan fungsi haji dalam era komunikasi dan informasi saat ini yang cenderung menyempit menjadi semata-mata ibadah ritual, fungsi haji zaman dulu selain ibadah dan menuntut ilmu juga memiliki fungsi politis dan sosiologis serta berperan besar dalam mengembangkan proses islamisasi di Nusantara. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, haji juga berfungsi menjadi alat pemersatu 177 Nusantara dan mendorong munculnya gerakan-gerakan antikolonialisme. Pemberontakan para petani Banten di tahun 1888 yang diabadikan Sartono Kartodirdjo dalam sebuah buku yang sangat bagus, diilhami pengalaman tokohtokohnya ketika mereka berada di Makkah. ** PADA saat itu perjalanan haji memakan waktu berbulan-bulan (bandingkan dengan sekarang yang untuk mencapai Jeddah hanya diperlukan waktu 11 jam). Selain mesti menempuh jalan laut (mula-mula dengan kapal layar, lalu dengan kapal api) juga harus menempuh perjalanan darat. Termasuk melintasi gurun pasir. Kebanyakan dari mereka berusaha tiba di sana sebelum bulan Ramadhan supaya dapat menjalankan ibadah puasa dan shalat tarawih di Masjid al-Haram. Mereka tinggal agak lebih lama di sana sebelum pulang ke Tanah Air. Sebagian menetap di sana dan dikenal sebagai “Jawah Mukim”. Kesempatan yang cukup lama untuk saling bertemu di antara para jemaah haji yang berasal dari berbagai suku bangsa memberikan keleluasaan kepada mereka untuk saling bertukar pikiran dan bertukar pengalaman. Dalam sebuah tulisannya, Snouck Hurgronje menunjukkan bagaimana para jemaah haji yang berasal dari Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Minangkabau dan Aceh bergaul akrab selama di Makkah. Mereka, misalnya, ikut membicarakan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Mata mereka kemudian terbuka melihat kenyataan-kenyataan pahit bangsa-bangsa Muslim di bawah penjajahan Belanda, Inggris dan Perancis. 178 Meskipun sekarang fungsi ibadah haji cenderung menyempit (disempitkan?) menjadi hanya ibadah ritual—dan mungkin diperlakukan sebagian orang sebagai simbol status sosial—dan tidak lagi memiliki fungsi politis dan sosiologis, kuatnya loyalitas bangsa Indonesia terhadap Islam merupakan faktor pendorong untuk menunaikan ibadah haji. Kedudukan ibadah haji sebagai satu dari lima rukun Islam dan banyaknya keutamaan yang disandangnya serta disediakannya pahala berlimpahan bagi mereka yang menjalankannya, termasuk faktor penting yang mempengaruhi orang untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan banyak yang menunaikannya lebih dari satu kali. ** SECARA harfiah kata hajj berarti “maksud seseorang yang ingin mengunjungi tempat suci”. Oleh karena itu, kunjungan dari berbagai penjuru dunia ke Kabah di Makkah dikenal dengan sebutan haji. Haji mengandung berbagai makna simbolik. Dari sudut pandang praktis dan konseptual, menurut Ali Syari`ati, haji termasuk rukun Islam yang terpenting selain jihad dan tauhid yang memberikan motivasi kepada bangsa-bangsa Muslim dan yang membuat warga negara bangsa-bangsa Muslim itu sadar, merdeka, terhormat, dan memiliki tanggung jawab sosial. Dalam Ihya Ulum al-Din, Al-Ghazali mengutip beberapa hadis Nabi yang banyak meriwayatkan keutamaan ibadah haji dan pahala surga bagi mereka yang menjalankannya dengan penuh kebajikan (haji mabrur) dan kedudukan sebagai syuhada bagi mereka yang wafat ketika tengah melaksanakan ibadah haji. Dalam 179 sebuah hadis sahih, Nabi Muhammad berdoa kepada Allah untuk mengampuni orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang yang dimohonampunkan oleh orang yang melaksanakan ibadah haji. Begitu besar keutamaan ibadah haji. ** TAHUN ini saya berkabung. Tahun ini kita semua berkabung. Sampai Kamis (19/7) kemarin, tercatat 613 orang jemaah haji asal Indonesia yang meninggal. Musibah ini terjadi bersamaan waktunya dengan pelaksanaan salah satu wajib haji, yaitu melontar jumrah (ada tiga jumrah, masing-masing: Ula, Wustha, dan Uqba). Musibah ini adalah musibah terburuk dalam sejarah haji Indonesia setelah beberapa tahun silam ratusan jemaah haji Indonesia meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat terbang di dekat Kolombo, Sri Langka. Terlepas dari kelalaian penyelenggara haji (pemerintah Arab Saudi) yang seharusnya bekerja lebih profesional, sepenuh hati menjamin keselamatan para tamu Allah di tanah yang hingga akhir zaman disucikan itu, kita semua berharap kejadian ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang dan persoalan keamanan (tidak hanya kenyamanan dan kemudahan) para jemaah haji kita dan para jemaah haji dari negeri-negeri lain betul-betul dijamin. Tuhan jugalah yang Maharahim dan Maha Berkehendak. Semoga mereka semua yang meninggal dalam musibah Mina itu dimasukkan ke dalam barisan para syuhada dan memperoleh pahala selayaknya syuhada. Insya Allah, mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan Tuhan dalam Al-Quran 180 (3:169-170): “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapatkan rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang dilimpahkan-Nya kepada mereka.” (Tulisan ini didedikasikan untuk para korban musibah Mina dan untuk Ratna Suminarsari, salah seorang jemaah haji Indonesia yang wafat dalam musibah itu). 181 Bandung, 28 Juli 1988 Yts. Yulia Maharani Bukankah surat cinta ini ditulis Ditulis ke arah siapa saja Seperti hujan yang jatuh rimis Menyentuh arah siapa saja (Goenawan Mohamad) Aku mendengar percakapan Zinda Rud dan Rumi. Zinda Rud bertanya: “Siapakah manusia? Siapakah Tuhan? Apakah dunia?” Rumi Menjawab: “Manusia adalah pedang. Tuhan pemilik pedang. Dunia tempat menajamkan pedang. Timur mengenal pedang tapi tak dapat menajamkannya. Barat pengasah pedang tapi tak kenal pemiliknya.” Ran, aku bahkan tak kenal pemilik pedang…. Semakin hari aku semakin merasa kalah. Kini aku tidak tahu apa yang ingin kuraih dalam hidupku. Aku selalu merasa terasing. Sendiri. Sering aku berpikir kenapa aku tak mati saja. Ran, aku semakin jauh dari Tuhan. Salam. Kafka Purnama Bandung, akhir Desember 1989 182 Yts. Yulia Maharani Karena laut tak pernah dusta, lautlah aku Karena laut tak pernah takluk, lautlah aku Terlalu hampir tetapi terlalu sepi Tertangkap sekali terlepas kembali (Toto Sudarto Bachtiar) Ran yang baik, karena kedatangan igauan ini mungkin akan mengganggumu, maka kusampaikan permintaan maafku lebih dulu. Masih ujian? Atau baru usai? Aku doakan semoga senantiasa dipilihkan dan ditetapkan Tuhan untukmu jalan yang baik dan lempang. Beberapa hari yang lalu, sore-sore, seorang kawan memberiku kaset rekaman “khotbah” Emha Ainun Najib di Aula UNPAD, Sabtu, 9 Desember 1989 dan meminta aku memberikan tanggapan karena katanya isinya kontroversial. Namun rekaman itu belum kusentuh. Emha dapat menunggu. Kawan yang memberikan kaset itu kepadaku bilang bahwa ia melihatmu hadir di acara itu. Lima bulan terakhir aku hanya membaca, menulis (untuk kubaca sendiri), berdiskusi dengan banyak orang, dengan banyak kelompok orang, dan dalam waktu-waktu tertentu tetap mengabari cakrawala dan langit bahwa aku tetap memilih menjadi manusia berjalan, manusia pergi. 183 Tadi pagi, aku baru pulang dari Bogor dan Jakarta. Menemui sejumlah kawan. Ah, Ran, perkuliahan bukanlah tembok-tembok kelas yang angkuh itu, melainkan awan dan laut, dan ilmu bukankah aliran sungai yang gelisah mencari ibu samudera? Lima tahun dan lima bulan terakhir (untuk) entah sampai kapan akulah air sungai itu. Faust? Aku sering berpikir, apakah tak mungkin suatu saat kelak ketika senantiasa menjadi elang berumah di angin, aku disampaikan waktu pada sebuah tebing tempatku hinggap sejenak dan berkata kepada diriku sendiri, seperti Faust berkata kepada dirinya sendiri: Da steh’ ich nun, ich armer tor Un bin so klug als wie zuvor Nah, di sinilah aku, si goblok yang malang Tak lebih bijak dari sebelumnya Dan, setelah sekian lama, pada kau seorang masih kurasakan keberartian hidup dan bercerita meskipun kusadari sungguh di hadapanmu aku tak pernah dewasa. Ran sayang, Indonesia kita sedang menuju ke senja. Apa boleh buat, hari memang tak lagi pagi. Indonesia kita tak lagi terasa sebagai tujuan, kini, ia lebih 184 terasa sebagai kepentingan. Indonesia kita ibarat lelaki renta dalam kemudaan usianya. Indonesia kita bagai panggung Voltaire yang lugu, dipenuhi aktor yang buruk. Indonesia kita bukan lagi kau, aku, kami atau kita, tetapi mereka. Indonesia kita adalah apologia. Indonesia kita bagai sebuah peti, dan kita membuat peti di dalam peti ini (Taufiq Ismail) Indonesia kita bukan elang terbang tapi pipit pulang. Indonesia kita bagai istana khayali yang terus dipercantik para pemain demam panggung yang mengigaukan alam bawah sadar para raja: selama hayat dikandung badan tetap berada di atas panggung kekuasaan. Bahkan ketika pertunjukan telah usai. Kursikursi penonton kembali kosong, dan layar diturunkan. Indonesia kita telah menjadi gugusan penjara, dan di salah satu penjara itu Mochtar Lubis menulis, dalam negeri tanpa keadilan tembok tinggi dengan kawat berduri 185 bukan batas antara dunia bebas dan yang terpenjara soalnya hanya hari ini kami esok engkau Masalahnya adalah bagaimana sedapat mungkin membesarkan diri kita hingga tak ada penjara yang cukup bagi kita. Maka kuteruskan berjalan, menuju sepi. Seperti elang yang sendiri. Menempuh malam dan angin. Menuju kuburku kelak. Entah di mana. Ran yang lebih ramah dari mawar, seminggu setelah pulang dari Yogya akhir September lalu seseorang berkata: kita tak pernah dewasa di depan orang yang kita cintai. Entahlah, tetapi di depanmu, aku memang tak pernah dewasa. Salam. Kafka Purnama Bandung, 15 Januari 1990 186 Yts. Yulia Maharani Ran yang baik, sekali lagi mohon maaf untuk peristiwa di Yogya itu. Aku tak bermaksud meninggalkanmu diam-diam, pulang ke Bandung tanpa pamit kepadamu. Aku cuma tidak tahu apa yang harus kulakukan waktu itu. Mungkin telah datang saatnya bagiku untuk mengubah tujuan hidupku. Aku tidak marah kau menyebutku seorang pesimis dalam suratmu yang lalu. Ada seseorang yang diam-diam mencintaiku, dan aku sedang belajar untuk mencintainya. Namanya Ratna Suminarsari. Aku memanggilnya Inar. Salam. Kafka Purnama 187 3 188 Testamen dan Buku Harian 189 Maret, 2003. RUPANYA tak banyak tamu Palu Golden Hotel hari ini sebab selain Kafka dan saya, hanya ada dua tamu lain yang sedang sarapan, sepasang lelakiperempuan setengah baya. Mereka berdua sarapan tanpa banyak diselingi percakapan di meja makan samping jendela yang berbatasan dengan taman. Kafka terlihat segar. Necis dan muda. Saya heran, sepertinya Kafka tidak pernah tumbuh menjadi tua sejak saya mengenalnya 17 tahun yang lalu, ketika sebagai mahasiswa tingkat satu kami berdua sama-sama harus mengikuti masa perpeloncoan. Pagi itu seorang mahasiswa senior berkepala plontos, menyeret seorang mahasiswa baru bertubuh kurus berwajah murung, dan menyuruhnya berdiri menghadap ke arah kami, enam ratusan mahasiswa baru Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang semuanya duduk bersimpuh di lantai keras gedung olahraga itu. Wajahnya digarang-garangkan. Dia berbicara dengan nada suara yang menghentak-hentak, meledak-ledak, sok kuasa. “Lihat ke mari! Perhatikan baik-baik wajah teman kalian ini. Dia mencoba menipu kami. Dia menguji ketelitian dan kesabaran kami. Dia pikir tugas-tugas kalian yang diberikan kepada kami tidak akan kami periksa. Dia keliru! Hari ini dia akan menjadi contoh bagi kalian semua.” Kemudian mahasiswa senior berkepala plontos itu menyeret mahasiswa baru itu, Kafka, ke atas pentas bersamaan dengan suara ramai dan seruan-seruan keras yang menyuruh kami untuk menundukkan kepala. Lima menit kemudian 190 terdengar teriakan di sana-sini untuk mengangkat muka kami kembali, dan si mahasiswa baru itu sudah berpindah tempat ke sudut pentas, di belakang deretan kursi para penatar. Sepanjang pagi hingga siang itu Kafka berdiri di sana, dalam sikap sempurna, bersama para terhukum lainnya, dipunggungi para penatar yang bergantian menceramahi kami dalam beberapa sesi. Saya kebetulan duduk di bagian depan, dan dengan jelas dapat melihat raut wajah Kafka yang memendam kemarahan. Melihat atribut yang dipakainya, saya tahu, dia kawan seangkatan saya, satu jurusan. Ketika masa istirahat makan siang tiba, saya segera berdiri dan menghampirinya untuk berkenalan. Saya baru berjalan beberapa langkah ketika seorang gadis berlari ke arah pentas dan memegang tangan Kafka yang dihukum karena memberikan kotak kertas obat merah tanpa botolnya itu. Tiba-tiba, persis dari samping saya, terdengar bentakan keras seorang mahasiswi senior: “Hey! Romeo! Juliet! the show is over. Cepat turun! Siangsiang pacaran. Masuk barisan kalian. Cepat!” Kafka dan gadis itu, Ratna Suminarsari, bergegas turun, dan hilang dalam kerumunan orang-orang yang bergerak ke arah pintu keluar untuk makan siang. “Ke mana perempuan itu?” “Siapa? Maya?” “Ya.” “Pulang.” “Kapan?” 191 “Kemarin siang.” “Masih muda benar dia.” “Begitulah, seperti yang kau lihat.” “Tak punya rencana kawin lagi?” “Percuma.” “Kau yakin kau tak mungkin punya anak?” “Kau yakin kemandulan bisa disembuhkan?” “Sorry, aku terlalu jauh masuk dalam urusan pribadimu.” “Tak ada yang kusembunyikan darimu, Fuz.” “Gimana kabar Meita?” “Ternyata kami lebih cocok jadi sahabat ketimbang suami-isteri.” Kafka tersenyum samar. Mendekatkan cangkir tehnya ke mulutnya, dan menyeruputnya perlahan-lahan. Sepasang tamu berkulit bule masuk dari arah lobi, langsung menuju meja panjang tempat menu makan pagi dihidangkan. Cuma ada tiga menu makan pagi di meja itu, conro Makassar, bubur Manado dan nasi goreng. Selebihnya, pepaya yang telah dipotong-potong kecil segi empat dan semangka yang telah dipotong-dipotong kecil menjadi segi tiga sama sisi. Minumannya: air bening, kopi, teh, dan jus mangga. “Dia sedang hamil. Saat ini sudah empat bulan kukira.” “Meita?” “Ya.” “Dia sudah nikah lagi?” 192 “Ya.” “Kapan?” “Tahun lalu.” “Siapa suaminya?” “Kau tak akan percaya….” “Orang yang kukenal?” “Teman kita juga. Hans.” “Hanson Sihombing?” “Dunia lebih sempit dari yang kita kira….” Kafka melambaikan tangannya ke arah pelayan restoran hotel itu, dan setelah pelayan itu mendekat, berbisik ke telinganya. Pelayan itu menganggukangguk, menghilang beberapa saat, dan kembali lagi membawa sebungkus rokok. “Kau mungkin tak akan percaya, Fuz, bila kukatakan aku sungguhsungguh bahagia. Apa yang membuat Meita bahagia, selalu, dan akan selalu, membuatku bahagia.” “Kapan kau terakhir ketemu mereka?” “Meita dan Hans?” “Ya.” “Tiga bulan yang lalu….” Kami lama berdiam diri. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saya cukup lama mengenal Hans ketika kami masih sama-sama aktif di himpunan dan senat meskipun saya tak mengenal dekat Hans sebagaimana Kafka mengenalnya. 193 “Bagaimana kabar teman kita yang lain,” tanya saya. “Siapa?” “Rukmana. Kau cukup sering bertemu dengannya?” “Tidak terlalu sering.” “Kudengar dia sekarang sangat berpengaruh di lingkaran dalam partai yang berkuasa, ya?” Kafka tak menjawab pertanyaan saya. Ia hanya tersenyum. “Yani bagaimana? Apa benar dia….” “Jangan selalu percaya apa yang kau dengar, Fuz. Terkadang, tidak mengetahui lebih baik daripada mengetahui.” “Ah, aku cuma kangen kawan-kawan kita. Masa-masa mahasiswa kita dulu. Aku sebenarnya sempat juga naksir dia, dulu….” Kafka tertawa. “Serius! Seandainya tidak didului Rukmana,” kata saya lagi. “Kupikir cuma Ratna yang kau taksir….” Kembali kami berdiam diri dan tenggelam dalam pikiran, dan kenangan, masing-masing. Lelaki dan perempuan setengah baya yang telah berada di restoran itu sebelum kami datang, beranjak pergi, bergandengan tangan. Mereka berhenti sebentar di depan konter resepsionis yang terlihat jelas dari tempat kami. Lobi dan restoran hotel itu hanya dipisahkan pembatas ruangan dari rotan. 194 “Kafka, kau yakin dengan testamenmu? Maksudku… dengan semua pewarisan itu?” “Fuz, sekali lagi kau tanyakan itu, kau bukan lagi kawanku.” Lagi-lagi kami berdiam diri beberapa saat lamanya. Mata Kafka menerawang jauh, entah ke mana. “Aku punya firasat buruk, Fuz. Aku merasa aku tak akan pernah bertemu kau lagi.” “Aku tidak percaya pada firasat.” “Aku percaya kau tidak percaya pada firasat.” “Dan setahuku, kau orang paling rasional yang pernah kukenal.” “Mungkin. Dan mungkin pula kau akan mengubah pendapatmu setelah kau membaca buku itu.” “Aku belum sempat membacanya.” “Testamen dan buku harian itu, kaulah satu-satunya orang yang kuingat ketika aku berpikir kepada siapa aku harus memberikannya.” “Aku akan membacanya, malam ini…. Jadi ke Aceh? ” “Minggu depan. Aku harus beres-beres laporan dulu di Jakarta…. Apa kata Windy tentang Harun Araniri? Tak kusangka mereka pernah sekelas….” “Dia alumnus program doktor UPI paling cepat di angkatannya. Windy bilang, orangnya sangat cerdas dan dapat dipercaya. Dan bukan kali ini saja dia bermitra dengan lembaga-lembaga donor. Siapa saja yang akan kau temui di Banda Aceh?” 195 “Beberapa dosen Unsyiah, termasuk teman Windy-mu itu, tiga yayasan kemanusiaan, dan sebuah LSM yang memberikan pelayanan psikologis kepada masyarakat sipil yang anggota keluarganya menjadi korban DOM.” Tiba-tiba Kafka tersenyum simpul. “Kenapa? Ada yang aneh?” tanya saya. “Nggak…. Cuma dalam pikiranku begitu saja muncul nama gitaris Gigi. Namanya sama persis dengan orang LSM yang akan kutemui di Banda Aceh nanti…. Kita berangkat sekarang?” “Ayo. Kukira sudah waktunya. Kita akan mampir ke beberapa toko perajin ukiran kayu dan koperasi para pedagang bawang goreng khas Palu yang kuceritakan itu, dan setelah itu aku langsung antar kau ke bandara….”  April, 2003. SAYA sangat terkejut ketika adik saya dengan nafas memburu memberi tahu saya seorang pria yang mengaku kawan lama saya sedang menunggu di rumah saya. Saya bergegas pulang meninggalkan lapangan sepak bola itu, masih memakai sepatu bola saya. Betul-betul di luar sangkaan, ternyata memang sahabat lama saya…. Kami berdua berpelukan hangat sekali. - Aduh sastrawan kita ini, gemuk kamu sekarang. - Dan bapak dosen kita ini, habis rambutnya sekarang. (Kami berdua tertawa.) - Kacau! Aku baru pulang dari Bandung, kemarin. 196 - Hah? - Iya. Isteri dan anak-anakku masih di sana. Mertuaku sakit. Empat hari yang lalu aku sempat menelefon ke rumahmu. Isterimu belum pulang. Kata pembantumu kamu sedang ke luar kota. Dia cuma bilang ada acara sastra. SBSB itu, ya? Coba kalau aku tahu kamu ke Palu. - Iya. Bagaimana urusannya sampai namamu tak ada di buku telefon? Berkali-kali aku menelefon ke fakultasmu. Mesin yang menjawab. Eh, gimana kabar Windy dan anak-anak? Kapan mereka pulang? - Telefon ini masih atas nama penghuni rumah yang lama. Windy dan anak-anak alhamdulillah sehat. Aku baru akan menjemput mereka bulan depan. Agak sibuk di sini…. Sudah berapa lama kamu di sini? Nginap di mana? - Seminggu. Palu Golden. - Itu hotel paling bagus di sini. Gimana acaranya, sukses? - Alhamdulillah. - Seperti inilah rumahku, Cep, beda betul dengan rumahmu di Cimahi. - Jangan merendah untuk meninggi begitulah…. Itu kan rumah isteriku. 197 - Rumahmu atau rumah isterimu yang penting nyaman, kan? Aku pernah dua kali ke rumahmu. Kamu tak ada. Sibuk sekali rupanya kamu, ya. - Dibilang sibuk sekali tidak, dibilang tidak sibuk sekali juga tidak. (Tertawa.) Bagaimana kalau kita sudahi dulu urusan rumah dan kesibukan itu. Aku haus nih…. Sambil menikmati teh manis dan bir dingin nonalkohol kami berbincangbincang tentang banyak hal, dan sebagaimana umumnya bila sahabat lama bertemu, akhirnya kami mampir juga ke masa lalu. Kenangan yang sama kemudian membawa kami kembali ke Ratna Suminarsari. - Aku menulis sajak tentang kita, Fuz. - Kita siapa? - Aku, kamu, dan Ratna. - Mana? Kamu bawa? - Dengan bukunya tentu. Sahabat saya mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Sampulnya lumayan menarik. Agak berbau mistis. Dan warna merahnya sangat dominan. Judulnya Efrosina. Menurutnya, buku itu dicetak terbatas, hanya untuk keperluan Festival Puisi Internasional Indonesia tahun 2002. Jadi eksklusif sifatnya. Saya mencaricari puisi yang disebutkannya, “Sebelum Makan Malam”, dan menemukannya di halaman 72. Jauh di lubuk hati, saya membacanya. 198 Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz. Tertegun-tegun menunggu kekuasaan tumbuh dewasa: Tanpa peluru, sepatu berlumpur darah itu, dan belajar membaca manusia sebagai kumpulan keinginan dan kesedihan. Bukan fosil atau gambar separuh badan sebagai sasaran tembakan. Seperti engkau, aku lahir dari sebuah sejarah yang lecak dan selingkuh. Tetapi kita mencinta negeri yang sama, yang senyumnya bagai impian, seperti pada masa remaja kita mencintai wanita yang sama, yang senyumnya bagai buaian. Cinta dan kekuasaan bersandar pada waktu, Afuz, seperti babad rambutmu yang menipis dan hikayat luka dalam aliran darahku. Segalanya menjadi selalu mungkin: Barangkali karena ada rumah kanak-kanak dalam batin kita yang penuh senyum dan gelak tawa. Bahkan ketika pecahan mortir dan kenangan menderas dari jauh dan jatuh dua kaki dari lubang persembunyian, juga impian, kita yang rapuh. Seperti Peter Pan, Tom Sawyer atau Bimbilimbica, kita menunggu hadiah ulang tahun bukan saja dari pasangan paman dan bibi yang tambun dan riang. Tetapi juga dari sahabat hayalan, Tuhan, serdadu yang mulutnya penuh roti, sepasang granium, tiga grasia, dan peri-peri riuh di hutan-hutan jauh. - (Saya menarik nafas panjang usai membaca sajak itu.) “Seperti pada masa remaja kita mencintai wanita yang sama, yang senyumnya bagai buaian….” (Kembali saya menarik nafas panjang). Aku iri padamu. Mengapa para penyair bisa membuat luka menjadi indah? 199 - Aku tidak tahu. Menurutmu? - Barangkali karena ada rumah kanak-kanak dalam batin mereka yang penuh senyum dan gelak tawa, ya? - Mungkin. Tapi, aku pikir, kamu yang bukan penyair pun punya rumah kanak-kanak itu. Bahkan menurutku, setiap orang punya rumah kanak-kanak dalam hatinya masing-masing. - Buku ini untukku, Cep? - Ya. Aku membawanya untukmu. - Bulan lalu, X ada di sini….  200 Hanya Ada Satu Kali Penerbangan ke Kendari 201 TAK ada kota yang lebih damai dari Kendari. Itulah yang selalu kurasakan setiap kali bangun pagi. Pagi? Sebenarnya aku terlalu percaya diri menyebut “bangun pagi”. Sudah setahun terakhir aku selalu terlambat bangun. Aku kira inilah hubungan sebab-akibat yang logis dari sebuah kehidupan yang lebih berpihak pada malam, ya, yang kutempuh dua belas bulan terakhir ini. Apakah aku sedang sendirian atau ketika sedang bersama seseorang menghabiskan malam, aku hanya bisa tidur di bawah pukul tiga pagi. Pukul sebelas. Cahaya matahari sudah menyebar ke semua sudut rumah ini. Menerobos lubang angin di atas kusen jendela depan. Menembus kaca dan tirai tipis yang masih tertutup. Seperti biasa, rumah ini layaknya tanpa penghuni. Selalu sepi. Bagai kuburan. Adikku rupanya masih betah di Raha, di rumah paman sebab belum juga pulang meskipun sudah berjanji akan kembali dua minggu yang lalu. Papa entah di mana saat ini setelah seminggu yang lalu dari Pekanbaru menelefon kami, menanyakan kabarku dan kepadaku menanyakan kabar Dina, adikku. Kasihan papa. Mengapa dia belum dapat juga menerima kenyataan bahwa mama sudah tak mungkin lagi kembali kepadanya. Kepada kami. Aku dan Dina sudah dapat menerima kemungkinan dari kesedihan atas kenyataan itu ketika mama masih terbaring sakit. Sebenarnya akulah yang lebih tepat dikatakan sudah dapat berdamai dengan kenyataan itu. Dina masih sering diam-diam pergi ke Raha. Ada saja alasannya. Kangen ketemu sobatnyalah, refreshing-lah, ingin ketemu bibi, dan semacamnya. Sebenarnya ia sama saja seperti papa. Melarikan diri. 202 Mengapa aku dan Dina begitu mencintai mama padahal mama bukan ibu kandung kami? Beberapa tahun yang lalu, ketika papa kembali dari Jepang dan membawa wanita lembut yang baru saja menyelesaikan studi program masternya di Universitas Tokyo, dan berkata dengan nada datar kepada kami bahwa mulai hari itu kami “punya mama lagi”, aku dan Dina segera tahu mama bukan saja dapat menggantikan ibu kandung kami—yang hanya singgah sebentar dalam kehidupan masa kecilku dan jauh lebih singkat lagi dalam kehidupan masa kecil Dina, dan wajahnya telah lama berubah menjadi kenangan samar lewat foto-foto lama—melainkan lebih dari itu: menjadi sahabat dekat kami, tempat kami membagi semua kegembiraan dan kesedihan kami. Sebenarnya Mama Yulia, begitulah kami memanggilnya, lebih pantas menjadi kakak daripada menjadi mama. Denganku, mama yang berdarah campuran Sunda-Jepang dan memiliki nama lengkap Yulia Maharani Hayashi itu, hanya berselisih umur 13 tahun dan dengan Dina cuma 10 tahun tetapi kami begitu takjub melihat bagaimana mama dapat segera menjadi ibu bagi kami padahal mama belum pernah menikah sebelumnya. Namun, bukankah untuk menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya pengalaman tidaklah penting? Bukankah menjadi ibu sebenarnya lebih merupakan naluri daripada keterampilan yang dipelajari? Lebih merupakan keikhlasan daripada kewajiban? Dan, Tuhan, kenapa mama yang baik ini mengisi kehidupan kami seperti senja mengisi sebuah hari? Begitu singkat. 203 Ah, bukankah sebenarnya pula aku tak ada bedanya dengan Dina dan papa. Setelah kepergian mama, bukankah aku lebih sering lari dari rumah? Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di kampus, bertemu teman-teman, menenggelamkan diriku dalam omong kosong kehidupan nyeniman di Taman Budaya, lalu pulang ke rumah menjelang tengah malam, nonton MTV, membaca atau melamun hingga dini hari, dan… tidur. Esoknya, rutinitas itu pun kembali berulang. Bangun sekitar pukul sebelas siang. Mandi. Ganti baju. Sarapan. Pergi. Dan ketika aku harus menemani seseorang—Sahal menyebutnya “klien” atau “tamu”—aku merasa seperti pesakitan yang memperoleh pembebasan sementara. Aku tak pernah menemani klien lebih dari satu minggu dan dalam satu bulan cuma ada satu klien. Itu aturan main. Aturan mainku. Takjub juga kalau kupikirkupikir, aku tak pernah bertemu secara fisik dengan papa dan Dina selama tiga bulan terakhir. Kami hanya saling telefon atau mengirim SMS. Menanyakan kabar masing-masing. Rumah itu ada baiknya segera dijual, seperti usul Dina, lalu kami pindah ke rumah lain, di bagian kota yang lain, sehingga kami semua, aku, papa, dan Dina dapat membebaskan diri dari tahun-tahun kenangan yang menghunjam jauh ke dalam lubuk hati kami, merantai kami, membelenggu kami. Kenangan tentang mama. Terus-terang, aku sendiri punya rencana, segera setelah studiku selesai, akan segera pindah ke Raha. Kota itu memang sangat panas namun bila malam datang, Anda akan menemukan langit yang tak akan pernah Anda peroleh di kota lain. Apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, atau Surabaya. 204 Bayangkanlah sebuah kanvas mahabesar yang sangat biru dan jernih. Itulah langit Raha siang hari. Dan bayangkanlah sebuah kanvas mahabesar yang sangat hitam tetapi dipenuhi taburan jutaan permata bintang-bintang yang saling merapat satu sama lain dan berkilauan. Itulah langit malam hari Raha. Selama tiga hari di Medan, setiap malam aku selalu menengadahkan kepalaku ke langit mencari permata-permataku. Ada memang. Namun tak seindah seperti yang biasa kulihat di Raha. Di hari keempat, menyebal dari kebiasaan, aku bangun pagi-pagi benar. Meninggalkan lelaki itu dengan secarik pesan di samping pesawat telefon, bergegas keluar dari pintu hotel itu, menuju bandara Polonia. Setiap hari, dari Jakarta, hanya ada satu kali penerbangan ke Kendari. Aku terpaksa menginap semalam di sebuah hotel dekat bandara Soekarno-Hatta di kota yang tak akan pernah kusukai itu. Dan esok paginya dengan Merpati pukul enam pagi aku terbang ke Kendari. Tak ada yang perlu kuingat-ingat dari lelaki Jakarta yang mengaku seorang pengacara dan tokoh partai yang kutinggalkan di Novotel Medan itu kecuali bahwa ia menafsirkan diriku semata-mata sebagai tubuhku dan menerjemahkan tubuhku sebagai sekadar payudara dan vaginaku. Dengan kata lain, diriku baginya tak lebih dari sebuah objek seksual dan oleh sebab itu aku tak memberikan sedikit pun ruang dalam hatiku baginya selain menganggapnya sebagai seorang pembeli. Seorang penyewa. Tipe lelaki kebanyakan yang selalu membuatku sebal setelah meninggalkannya.  205 HARI itu aku lelah sekali. Aku cuma bermalas-malasan di tempat tidur. Mencoba berkali-kali menelefon Dina dan papa yang sungguh suatu kebetulan luar biasa telefon genggam mereka berdua sama-sama dalam keadaan tidak aktif. Aku pergi ke dapur membuat jus tomat, menyeduh secangkir kopi, membikin sandwich yang sebenarnya terlalu siang untuk dipilih sebagai menu sarapan. Lalu kembali ke kamar tidur. Mengirim SMS ke sejumlah teman, dan membaca novel Mario Puzo tentang Don terakhir yang kubeli di sebuah toko buku di Medan dan baru kubaca separuh jalan. Ya, begitulah, tiga hari tiga malam dengan lelaki yang dalam banyak hal tak tahu adat itu mulut dan tangankulah yang dipaksa bekerja keras. Selebihnya aku tinggal sendirian di kamar hotel (membaca, nonton TV, melamun) atau pergi jalan-jalan ke mal di pusat kota yang tak begitu jauh jaraknya dari Istana Maimun, belanja, makan dan minum, lalu kembali ke hotel sementara lelaki yang juga mengaku memiliki perusahaan garmen di Medan itu, menghabiskan waktunya menemui rekan-rekan bisnisnya. Pak Rukmana yang posesif. Ia tak mau aku terlihat bersamanya ketika ia sedang menjamu tamu-tamunya yang selalu diterimanya di lobi atau restoran hotel. Ia membebaskan aku pergi sesukaku ke mana pun di siang hari asal ketika ia kembali ke kamar di malam harinya aku sudah dalam keadaan siap melakukan apa pun yang dimintanya. Ya… apalagi kalau bukan permintaan yang begituan. Aku sempat cemas ia termasuk dari jenis lelaki yang memiliki kelainan seksual, yang baru terangsang setelah terlebih dulu melakukan kekerasan terhadap teman 206 kencannya. Untunglah kecemasanku urung menjadi kenyataan. Memang tak semua manusia posesif dengan sendirinya seorang Marquis de Sade. Sahal tahu aku sudah pulang. Pundi-pundinya akan bertambah lagi, 30% dari pendapatanku menjadi jamuan seksual si lelaki berwajah bulat berperut buncit seperti kerbau yang nafsu seksnya jauh lebih besar daripada daya tahan penisnya. 30% dari keringatku (dari tubuhku) yang lebih dari cukup untuk digunakan Sahal membengkakkan tabungannya di bank, membiayai gaya hidupnya yang serba wah dan borju. Suaranya di telefon yang membuatku terbangun lebih pagi dari biasanya, menandakan ia sedang riang betul. Seniorku yang satu ini sudah sangat menikmati perannya yang lain. Germoku. Sahal adalah jenis mahasiswa yang lebih banyak berada di luar daripada di dalam ruang kuliah. Sudah tujuh tahun ia membawa-membawa status mahasiswa tetapi belum memperlihatkan tanda-tanda kuliahnya akan segera rampung. Ia tinggal di rumah sendiri. Secara ekonomi hidupnya mandiri dan sudah lama tidak bergantung lagi pada bantuan orangtuanya di Makassar sana. Di luar kuliah, ia bekerja paruh waktu di sebuah biro perjalanan, pekerjaan yang membuatnya memiliki pergaulan yang luas dan kenalan yang beragam. Kadang-kadang ia juga menjadi pemandu wisata turis lokal atau asing yang tersesat ke Kendari. Sahal pula yang mengenalkan, dan membawaku, ke permainan ini. - Gimana kabarnya Medan, Dani, sukses? (Suara Sahal terdengar renyah). - Sukses… sukses…. Emangnya jurkam apa? 207 - (Tertawa). Dia sempat telefon aku. Marah-marah. Katanya kamu masih punya hutang satu hari…. - Lain kali pilih-pilih, dong, Kak. Jangan kasih lembu kayak gitu…. - (Tertawa lagi). Cuma itu kakap yang Kakak punya bulan ini. Dia nggak kurang ajar kan? - Mana ada klien yang nggak kurang ajar…. - Maksudku nggak macem-macem… nggak ngasari kamu kan? - Nggaklah. Cuma bete aja kalau kliennya kayak gitu. Main jebus aja…. Bagian Kakak sudah kutransfer. - Oke. Thanks. Bisa nerima klien tiga hari lagi? - Kakak belum lupa aturan mainku, kan? - Mana bisa lupa, Dani sayang? Satu bulan satu klien. Tiga hari dari sekarang kan sudah bulan yang baru.… Percayalah klienmu kali ini lain. Ia jenis klien dari tipe idealmu. - Ke luar kota? - Belum tahu. Kamu siap-siap saja kujemput Senin malam nanti. Pukul tujuh. Kita makan malam di restoran Fajar. - Eh, Kak… yakin bukan lembu, kan? - (Tertawa). Jangan cemas. Udah, dulu ya…. Ah, apakah aku sudah terjebak dalam permainan berbahaya ini? Apakah aku sudah mulai sulit untuk keluar dari jeratan berbagai kenikmatan dan kesenangan yang disediakan dengan mudah permainan ini? Tentu saja apabila aku 208 dapat memainkannya dengan baik. Mungkinkah suatu ketika aku terlempar begitu jauhnya dan tak dapat lagi kembali? Apa yang kucari sebenarnya? Materi? Kasih sayang? Petualangan? Bagaimana apabila suatu saat permainan ini berubah menjadi semacam candu yang membuatku tergantung dan ketagihan dan aku tak lagi dapat meloloskan diri dari jeratannya? Apakah ini memang permainan? Apakah aku sedang melarikan diri? Dalam pesawat yang membawaku ke Kendari kemarin, aku lebih banyak merenung dan berpikir. Menilai apa yang kulakukan setahun terakhir, setelah kepergian mama. Aku tahu suatu ketika aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai. Bukan karena aku takut pada akhirnya papa dan Dina tahu. Bukan itu. Aku hanya sadar bahwa suatu saat aku harus berhenti melarikan diri. Mungkin aku sudah harus menetapkan fokus dalam kehidupanku. Misalnya sesegera mungkin menyelesaikan skripsiku, lalu kawin. Kawin? Ya, kenapa tidak? Mungkin sudah saatnya aku punya pacar tetap. Barangkali ada baiknya aku mulai membuka diri terhadap Sigit, sahabat dekatku sejak sekolah menengah dan yang sekarang ini juga sedang menyelesaikan skripsinya. Sigit yang penuh perhatian. Sigit yang kepadanyalah aku bersedia mencurahkan isi hatiku. Sigit yang selalu merasa tak akan pernah dapat meraihku. Sigit yang malang.  KAMI tidak berlama-lama di rumah makan itu. Hanya ada dua meja terisi. Meja kami dan sebuah meja panjang di dekat pentas yang para penghuninya beranjak pulang lebih kurang lima belas menit setelah kami datang. Ini bukan pertama kalinya aku makan malam di restoran paling top di Kendari itu. Saking 209 ngetop-nya mereka yang akan makan malam di tempat ini harus memesan tempat beberapa jam sebelumnya karena biasanya seluruh meja terisi. Aku pikir persoalannya bukan terutama karena rumah makan itu selalu penuh pengunjung tetapi karena itulah cara pengelola restoran menjaga gengsi tempat itu. Seorang pria bertubuh tambun yang biasa mengiringi para pengunjung yang ingin menyumbangkan suara mereka, dan juga keyboardist dan penyanyi tetap restoran itu, memperdengarkan lagu-lagu lembut. Suaranya yang serak dan berat terdengar seksi ketika ia mulai memainkan Misty. Aku agak terkejut ketika dari salah seorang pelayan, sewaktu aku pergi ke toilet, aku tahu bahwa lagu itu dimainkan Jim, sang pemain keyboard, atas permintaan Kafka, tamuku. Aku segera dapat mengukur level Kafka. Kalau Anda sudah tidak asing lagi dengan kehidupan malam, biasa menghabiskan malam-malam Anda di kafe-kafe yang sangat bermartabat, yang bermartabat, atau sama sekali tidak bermartabat, maka bukan hal yang aneh apabila Anda segera dapat mengukur level seseorang dari lagu yang dia minta untuk dimainkan atau dari lagu yang dia nyanyikan. Kafka tak sedikit pun menyentuh nasi. Hanya dia, setelah menghabiskan dua mangkuk kecil tomyam, terlihat rakus melahap ikan baronang bakar dan selusin udang ukuran sedang. Ia masih tak banyak bicara. Hanya sesekali tanpa sungkan-sungkan ia mengambilkan irisan-irisan ikan dan dengan anggun menyimpannya di atas piringku. - Tak ada sumber protein yang lebih baik daripada ikan. (Katanya, tersenyum). 210 - Mas Kafka ini anggota angkatan laut, Maya. (Sahal menimpali). - O, ya? (Aku ragu. Pria berperawakan kecil ini?). - Iya. Mas Kafka tidak makan daging semua hewan darat. (Sahal tertawa). Ia maniak segala jenis ikan. Kecuali piranha, kali. - Oooo…. (Aku tak tahu harus menjawab apa). Kesan pertamaku, Kafka orangnya serius. Jenis manusia tanpa humor. Kering. Formal. Tertib. Seperti pakaiannya yang perlente dan rapijali itu. Ah, tetapi paling tidak selera musiknya baik. Apabila seseorang di sebuah kafe atau di sebuah jamuan yang menyediakan hiburan musik memesan Misty pada kesempatan pertama, sudah dapat diniscayakan ia memiliki selera musik yang baik. Aku dan Sahal baru saja menyelesaikan makan malam kami ketika kulihat Kafka berdiri dan berjalan pelan ke arah Jim. Kulihat mereka saling berbisik sebentar, dan tak berapa lama kemudian kudengar dari atas pentas Kafka berkata, “Lagu ini saya persembahkan untuk Maya. Untuk hari-hari yang akan kita lalui bersama.” Jim mengutus intro. Dan All the Way pun mengalun seperti riak danau senja hari. Gila! Ini lagu kesukaan mama. Lagu kesukaanku juga. Sering kulihat mama malam-malam masih duduk di depan komputer yang menyala, dan All the Way berkali-kali menyelusup keluar dari program Winamp-nya, lalu menembus pintu kamar kerjanya yang separuh terbuka. 211 Pernah suatu malam aku menyelinap masuk ke kamar kerja mama, memeluknya dari belakang, mencium pipinya sebelah kanan, dan menggodanya, “Lagu itu punya kenangan khusus ya, Ma? Entar Dani bilangin sama Papa.” Mama menarikku duduk di pangkuannya, tersenyum, memelukku erat, mengusap rambutku, lalu berkata pelan, “Semua orang punya kenangan, Dani. Dan setiap kenangan selalu khusus, bagi pemiliknya….” Karena begitu seringnya mama memutar lagu ever-green itu, lamakelamaan aku pun menyukainya. Tak banyak orang tahu ini lagu kesukaanku. Aku mengerling ke arah Sahal. Sahal cuma mengangkat bahu. Suara Kafka tak bisa dibilang sempurna. Itu bisa dipahami. Ia toh bukan penyanyi profesional. Yang membuat lagu itu terdengar begitu indah di telingaku semata-mata karena Kafka melantunkannya dengan suara dalam dan penuh penghayatan. - (Aku segera berdiri dan menyerbunya ketika ia sudah berada kembali di dekat meja kami dan mendaratkan kecupan ringan di pipinya sebelah kanan). Mas Sammy Davis Jr., itu lagu kesayanganku. - Dari cara anda ngelangut, saya sudah dapat menebaknya…. (Ia tersenyum dan membimbingku duduk kembali di kursiku). - Ah, Mas Kafka, itu karena dia ngantuk…. (Sergah Sahal). 212 - Tentu saja saya percaya dia sama ngantuknya denganmu seandainya bola mata Nona kita ini tidak berbinar-binar. (Tertawa). Sesudahnya, tak banyak perbincangan di meja makan. Pukul sembilan malam kami telah berada kembali di Hotel Aden. Sahal menunggu di kursi lobi hotel ketika kami berdua masuk ke dalam restoran yang bersebelahan dengan lobi. Aneh, sehabis makan malam, tamutamuku yang lain biasanya langsung menyeretku ke tempat tidur. Dengus syahwat mereka bahkan sudah tercium ketika masih berada di dalam mobil, semakin kuat ketika sudah melihat pintu kamar, dan segera menjadi babi ketika sudah berada di dalam kamar. Kafka memesan teh dengan krimer cair terpisah. - Teh krimer baik diminum malam hari. Membuat tubuh kita jadi ringan dan otot-otot kita rileks. Pernah mencoba? - Belum…. - Cobalah. Ia mengirup teh krimernya pelan-pelan. Aku pun mengikuti caranya minum, menghirup teh krimer itu pelan-pelan. Rasanya agak aneh. - Saya ingin anda ikut saya besok ke Palu. Tak akan lebih dari dua hari. - Apa yang bisa saya bantu di sana? (Tiba-tiba aku merasa bodoh mengajukan pertanyaan seperti itu). 213 - Tak ada. Saya hanya ingin anda tak keberatan menjadi teman perjalanan saya. Saya dengar anda berasal dari sana? - Bukan. Saya lahir di Raha. - Ayah anda tak keberatan anda bepergian dengan orang yang baru anda kenal? - Papa sedang di luar kota. - Apa perlu malam ini saya mampir ke rumah anda barang sebentar meminta izin ibu anda? - Mama sudah meninggal. - (Diam agak lama). Rupanya nasib kita tak jauh beda. Kehilangan ibu tak ubahnya kehilangan kehidupan…. (Wajahnya tiba-tiba terlihat murung). - Sudah lama ibu Kakak meninggal? - Cukup lama. (Memandang ke arah kaca jendela, tembus hingga ke jalan raya yang pekat dan sepi. Lalu menatap lama mataku). Mama anda? - Setahun lebih. - Saya kira sudah saatnya kita istirahat. Sahal sudah mengurus semua keperluan untuk perjalanan kita besok. Ia akan mengantar kita ke bandara. 214 - Baiklah. Sampai jumpa besok, Kak. (Aku berdiri. Mencium pipinya). Jangan ragu-ragu untuk menelefon saya bila Kakak tak bisa tidur. Saya biasa tidur setelah jam tiga pagi. - Wah! Rupanya persamaan kita bertambah lagi. Saya kira kita akan cocok satu sama lain. (Berdiri. Menyentuh punggungku. Menggandeng tanganku. Berjalan keluar menuju lobi hotel). Sahal sudah jatuh tertidur di kursi lobi hotel itu. Kafka agak keras mengguncang-guncang bahunya. - Bangun, Penidur…. - Sorry, Mas. Lelah sekali aku. Gimana, aku sudah boleh pergi? - Kau antarlah dulu Nona ini pulang…. - (Heran). Pulang? - Ya. Besok pagi antarlah lagi ke mari. - Oke, kalau begitu. (Melihat ke arahku). Oke, Maya, ayo kuantar kamu pulang. (Kembali mengarahkan pandangannya ke arah Kafka). Bisa ikut ke toilet, Mas? - Silakan. Minta kuncinya di resepsionis….  PUKUL tiga lebih dua puluh lima menit. Aku sudah sepuluh menit berada di kamar 109 ini. Duduk di salah satu kursi memegang remote TV. Saluran HBO sedang memutar sebuah film lama yang dibintangi Charles Bronson. Aku tak tahu judulnya. Lagi pula apa urusannya? Papaku mungkin kenal Bronson, tetapi aku tidak. Aku memindahkan saluran TV ke MTV. Tapi jika datang ke 215 mari hanya untuk sekadar nonton MTV, aku lebih suka melakukannya di kamar tidurku sendiri. Dia menyuruhku menunggu. Katanya, beberapa menit lagi pekerjaannya selesai. Dia memang terlihat asyik memelototi barisan huruf-huruf yang saling merapat di layar monitor notebook-nya. Sangat serius kelihatannya. Aku seperti hilang di kamar itu, dan jika pun dianggap ada, barangkali aku tak ubahnya properti lain di kamar itu. Ia berpaling kepadaku, “Bisa sedikit anda kecilkan volumenya? Terima kasih. Sebentar lagi. Tak akan lama…. Maaf membuat Anda menunggu. ” Aku baru saja selesai packing dan hendak pergi ke kamar mandi ketika HP-ku berdering. Ah, mungkin papa atau Dina. Aku segera lari ke meja makan dan menyambar HP itu. Bukan nomor papa. Juga bukan nomor Dina. - Hallo, Mas Kafka. Katanya mau istirahat? - Saya kesepian. Tak keberatan anda segera ke mari? - Saya perlu 30 menit. Saya harus pesan taksi dulu. - Tak usah repot-repot, saya sudah mengirim seorang pesuruh hotel menjemput anda. Katanya alamat anda tak susah dicari…. Sudah packing? - Sudah. - Besok pagi kita berangkat dari sini. - Oke. Pada dasarnya aku adalah tipe orang yang menunggu. Aku bukan penstimulus. Aku perespon. Dalam situasi semacam itu, ketika seorang lelaki 216 dewasa dan seorang perempuan dewasa berada di dalam sebuah kamar yang sangat pribadi pada waktu yang sangat pribadi pula, berdasarkan pengalaman, aku lebih suka bersikap menunggu. Kita tak pernah bisa menebak apa keinginan klien. Lagi pula, setelah kupikir-pikir, setelah lebih kurang setahun menempuh kehidupan seperti ini, “menunggu” adalah sikap yang terbaik. Itu akan membuatku tak bisa ditebak, dan ketika diriku tak bisa ditebak, maka nilaiku akan naik di mata klienku. Kulihat Kafka menutup notebook-nya, kemudian berdiri, dan melangkah ke kamar mandi. Terdengar suara guyuran kloset. Kucuran air kran wastafel. Suara mulut yang berkumur. Dan tak lama berselang pintu kamar mandi itu terbuka kembali. Wajah Kafka terlihat segar. Ia berjalan ke arah pintu kamar, membukanya lebar-lebar. “Biar asapnya keluar…,” katanya seperti berkata kepada dirinya sendiri. Ia menarik satu kursi lainnya yang tadinya terletak sejajar dengan kursi yang sedang kududuki dan hanya terpisah sebuah meja bulat yang ringkih. Ia meletakkan kursi itu tepat di hadapanku. Dua meteran jaraknya. Ia duduk menyandar dengan nyaman, mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, dan menghisapnya dalam-dalam. Matanya lurus menembus ambang pintu, memandang ke arah taman yang temaram. Tak berapa lama, tangannya menjangkau kaleng coca-cola di atas meja, menyeruputnya, dan menyimpannya kembali. Kemudian ia mengambil remote TV dan mematikannya. 217 “Jadi, siapa yang akan bercerita lebih dulu?” tanyanya dengan suara yang datar. Aku terdiam. Terus-terang, baru pertama kali aku berhadapan dengan seorang tamu yang dapat mengendalikan dirinya sebegitu rupa. Apabila ia ternyata seorang pemburu, tentulah ia seorang pemburu yang sangat sabar yang hanya akan bertindak ketika buruannya sudah benar-benar terjerat dalam perangkapnya dan tak bisa lagi meloloskan diri. Kalau ia orang yang biasa bertindak hati-hati, maka tentulah ia telah melewati masa-masa latihan yang lama, termasuk latihan menghadapi situasi seperti ini. Tiba-tiba aku teringat si lelaki Jakarta itu dan sejumlah pria lain setahun terakhir dan aku begitu saja sadar bahwa tidak semua tamuku babi. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa aman sekali, seakanakan memperoleh kembali ketenteraman dan perlindungan yang beberapa tahun lalu hanya mama yang mampu memberikannya. Tiba-tiba pula aku merasa menjadi seorang anak kecil yang rapuh di hadapan papa yang mengetahui segala sesuatu.  SENJA sudah selesai. Satu jam yang lalu. Langit kota Palu yang jarang disentuh hujan ini, mulai bertabur bintang-bintang. Di bawah, kolam renang terlihat sepi. Bangku-bangku taman seperti sekumpulan bayangan. Angin kencang. Daun-daun lebar dan runcing pohon-pohon kelapa sawit yang bertebaran di sepanjang kebun terpelihara rapi yang mengelilingi kolam renang itu seperti menari-nari. Tarian yang kaku. Debur ombak Teluk Palu sayup-sayup sampai. Jauh di seberang teluk, jajaran bukit bagai bongkahan-bongkahan batu raksasa 218 yang sedang bertapa. Duduk di sebuah kursi rotan yang nyaman, di beranda belakang sebuah kamar sekelas suite Palu Golden Hotel tempat kami menginap, aku menikmati kesendirian yang memukau itu. Kafka belum pulang. Sehabis check-in, mandi, dan berganti pakaian, ia langsung pergi ke komplek perumahan dosen Universitas Tadulako bersama penjemputnya, seorang lelaki berperawakan langsing berambut jarang yang kelihatannya sudah saling mengenal lama sekali. Lelaki yang sama yang menjemput kami di bandara. Dari perbincangan mereka berdua di dalam mobil, aku dapat mengambil kesimpulan jadwal Kafka di Palu dalam dua hari ini akan sangat padat. Lelaki penjemput kami, Abdullah Mahfuz, Kafka memanggilnya Afuz dan mengenalkannya kepadaku dengan menambahkan Pak di depannya, adalah kontak Kafka di Palu ini. Pak Afuz-lah yang mengatur jadwal pertemuan para pemohon bantuan dana penelitian dari berbagai kalangan di kota ini, baik pribadi (kebanyakan dosen) maupun organisasi (kebanyakan LSM), untuk bertemu langsung dengan Kafka sebagai program officer Freedom for Asian Foundation. Yayasan karitasi itu berkantor pusat di Tokyo, Jepang, dan memiliki kantor perwakilan di ibu kota sejumlah negara di Asia. Kafka sendiri berkantor di Jakarta. Sebagai program officer yang bertanggung jawab untuk mengelola kegiatan-kegiatan yayasan itu di Indonesia, Kafka menghabiskan rata-rata delapan bulan dalam setahun untuk turun langsung ke lapangan dan itu artinya mengunjungi kota-kota yang berserak di sana-sini di seluruh Indonesia, dari 219 Sumatera hingga Papua. Selama tiga minggu terakhir ini, ia menghabiskan waktunya di Sulawesi, bertemu banyak orang dan organisasi yang selalu menerimanya dengan tangan terbuka karena mereka tahu mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang mewakili sebuah organisasi besar berkantung sangat tebal yang kepadanya mereka berharap memperoleh bantuan pendanaan untuk kegiatan-kegiatan mereka. Palu adalah ibu kota provinsi terakhir di Sulawesi yang Kafka kunjungi setelah Manado, Gorontalo, Makassar, dan Kendari. Rupanya malam ketika kami berjumpa pertama kali di restoran Fajar, Kafka baru pulang dari Raha. Menyewa sebuah mobil kijang yang dikemudikan Sahal yang juga bertindak sebagai pemandunya, Kafka cuma sehari di sana, bertemu dengan seorang peneliti dari Biro Pusat Statisitik setempat. Di Palu, sedikitnya ada empat orang dosen (semuanya dari Universitas Tadulako) dan dua LSM yang menunggu kedatangan Kafka. Lusa, ia sudah harus kembali ke Jakarta sebelum berangkat lagi ke Medan dan Banda Aceh. Aku menatap lama sekali langit Palu, mencari permata bintang-bintangku. Ada memang. Tetapi tak sebercahaya ketika mereka kulihat di langit Raha. Kembali ingatan tentang mama menyergapku. Lalu papa. Lalu Dina. Temanteman masa kecilku. Mama lagi. Kemudian kamar tidurku yang dikuasai warna pink. Dan dini hari yang aneh itu, di kamar 109 Hotel Aden. 220 Ketika Kafka berkata, “Jadi siapa yang akan bercerita lebih dulu?” aku tak tahu harus menjawab apa. Bagaimanapun aku merasa Kafka masih menjaga jarak denganku. Ia selalu menyapaku dengan “anda” bukan dengan “kamu” atau dengan nama lainku pemberian Sahal, “Maya”. Nama yang selain Sahal mungkin hanya diketahui tamu-tamuku. Aku cuma tersenyum. Melihatku berdiam diri seperti itu dan membalas pertanyaannya hanya dengan senyuman panjang, Kafka berkata lagi, “Mau saya dongengi?” Ya, Tuhan! Aku betul-betul merasa seperti anak kecil di hadapannya. Anak kecil yang memiliki sayap kupu-kupu. Dan aku tahu, sayap-sayapku rapuh. - Saya suka dongeng. Nenek saya pendongeng yang hebat. Dongengdongeng yang pernah diceritakannya di masa kecil saya masih saya ingat dengan baik. Akan jadi sangat tebal bila saya menuliskannya dalam sebuah buku. Ibu saya suka mendongeng. Tapi dulu. Dulu sekali…. Pernah mendengar kisah “Manusia Panjang?” - Belum. - Nah, itu dongeng yang akan saya kisahkan kepada anda sekarang. Dongeng itu belum pernah saya dengar dari ibu, nenek dan orang lain. Juga belum pernah saya ceritakan kepada siapa pun. Tahu kenapa? - Kenapa, Kak? - Karena saya baru saja akan mengarangnya. (Kafka tertawa.) 221 - (Aku tak bisa berbuat lain kecuali ikut tertawa juga). Awas kalau nggak seru! - Paling tidak akan membuat anda tertidur. (Kafka tertawa lagi). Dongeng yang buruk. Kafka menceritakannya dengan semangat bermainmain. Ia cuma ingin membuatku merasa terhibur dan tertawa, barangkali. Aku memang tertawa, sedikit, hanya untuk membuatnya senang. Aku memang tertidur. Ketika Kafka masih memainkan perannya sebagai pendongeng, mataku sudah mulai berat. Samar-samar kudengar suara Kafka, “Anda lelah sekali, gadis kecil yang rapuh. Tidurlah….” Lalu kurasakan tubuhku melayang dalam cengkeraman kedua lengannya yang kemudian hati-hati membaringkanku di tempat tidur. Masih dapat kulihat ia menarik selimut tebal itu hingga ke dadaku, lalu lamat-lamat kudengar suara pintu kamar ditutup, pintu kamar mandi yang terbuka dan tertutup kembali, dan tubuh seseorang kemudian menyelusup ke dalam selimut lain dan berbaring di tempat tidur sebelah yang hanya satu meteran jaraknya dari tempat tidurku. Ketika Kafka membangunkanku sekitar pukul delapan pagi, aku masih memakai pakaian yang sama yang kupakai malam itu: celana jeans biru, kemeja lengan panjang warna biru dalam balutan sweater warna yang sama. Satu-satunya yang tanggal dari tubuhku malam itu hanya sepatuku yang terlihat kaku dan kedinginan di bawah kursi. Aku tahu, Kafka tak menyentuhku sama sekali. Kafka kulihat sudah rapi dalam pakaian perjalanan serba coklat. 222 “Kita masih punya waktu satu jam. Cukup untuk anda mandi, ganti pakaian, dan sarapan.” Itulah yang dikatakan Kafka pagi itu sebelum kami pergi meninggalkan hotel menuju bandara Wolter Monginsidi.  KAFKA baru kembali ke hotel pukul sepuluh malam. Wajahnya terlihat lelah meskipun senyumnya mengembang seperti biasanya. “Uh, hari yang melelahkan,” ujarnya singkat. “Rasanya kota Palu tambah panas saja, ya? Sudah makan malam?” Aku menggeleng. Aku sama sekali tak merasa lapar malam itu. “Kita makan di kamar saja, ya. Room service di hotel ini tidak akan membuat kita menunggu terlalu lama.Tolong pilihkan menu untuk kita. Apa saja yang cocok untuk makan malam yang terlambat. Saya kira sebaiknya saya mandi dulu. Air hangat akan membuat otak saya kembali segar….” Setelah acara makan malam yang dingin di kamar dengan temperatur AC 18 derajat Celcius, dan berjam-jam sesudahnya ketika aku menjadi pendengar yang baik baginya—di atas single bed yang sangat lebar itu, di kursi kamar, di kursi beranda, dan di tempat tidur itu lagi—dan menyimak ceritanya yang pada beberapa bagian bagiku tak masuk akal, barulah aku mulai mengetahui banyak hal tentang Kafka. Pengetahuan yang membantuku untuk sedikit demi sedikit memahami siapa klienku yang lain daripada yang lain ini meskipun sebenarnya aku biasa dibayar bukan untuk memahami atau mendengarkan tamu melainkan untuk tujuan yang lebih terbatas sifatnya. 223 Itu semua dimulai ketika Kafka berkata bahwa setelah kakek dan ibunya, dialah yang menjadi satu-satunya orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma. Kafka juga berkata bahwa karena ilmu itulah hidupnya menjadi terkutuk, dan ia akan menjadi orang yang paling kesepian di dunia. Kakeknya diam-diam mewariskan ilmu itu kepada Kafka tanpa sepengetahuannya. Kafka tidak mau menjelaskan lebih jauh kepadaku apa sesungguhnya ilmu pamungkas sukma itu dan kenapa ilmu itu membuatnya menjadi orang yang terkutuk dan kesepian. Ia juga enggan menjawab pertanyaanku ketika kutanyakan kepadanya apakah ilmu pamungkas sukma itu ada hubungannya dengan inti kekuatan jiwa yang diceritakannya itu. Ia hanya menyebutkan bahwa ilmu itu adalah ilmu yang terlarang, yang dapat digunakan untuk memusnahkan jiwa atau nyawa seseorang dengan cara yang sangat halus namun mengerikan. Bukan hanya itu, orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma juga dapat menundukkan maut. Sebelum bunuh diri, ibunya menulis surat wasiat dan mengungkapkan rahasia itu kepada Kafka: orang yang memiliki ilmu pamungkas sukma hanya dapat mati oleh pemilik ilmu pamungkas sukma juga. Ilmu itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menghilangkan nyawa pemiliknya sendiri. Kalau Anda bertanya kepadaku bagaimana pendapatku tentang cerita klienku itu, menurutku, sebagian dari kisahnya sungguh-sungguh terjadi dan sebagian lagi hanya khayalannya saja. Ada yang masuk akal dan ada yang tidak masuk akal. Ada beberapa bagian dari ceritanya yang kupercayai, dan ada beberapa bagian dari ceritanya yang aku tidak mempercayainya sama sekali. 224 Aku tidak percaya Kafka pernah membunuh anjing gila itu. Aku tidak percaya kaki kiri Kafka dapat membunuh orang sekali tendang. Aku tidak percaya Kafka pernah membunuh ayah tirinya sendiri. Aku bahkan tidak percaya Kafka punya ayah tiri. Aku tidak percaya ibu Kafka mati bunuh diri. Aku tidak percaya Kafka punya ilmu pamungkas sukma, seandainya ilmu itu memang ada. Aku tidak percaya kakeknya sedang menunggu Kafka, cucunya sendiri, untuk mencabut nyawanya. Aku bahkan tidak percaya saat ini kakek Kafka masih hidup. Aku tidak percaya hidup Kafka terkutuk. Aku percaya Kafka penikmat musik dan sajak-sajak bagus. Aku percaya Kafka bisa memasak. Aku percaya Kafka pernah menikah dan kemudian bercerai dengan seorang perempuan bernama Meita. Aku percaya Kafka pernah mencintai dan kemudian sangat kehilangan seorang perempuan bernama Ratna. Aku percaya aku telah jatuh cinta kepada Kafka, dan aku tidak ingin ia menjadi orang yang paling kesepian di dunia.  225 Catatan i William Shakespeare. Karya-karyanya yang terdiri dari 37 drama dan 160 soneta dan puisi, yang sebelumnya diterbitkan terpisah-pisah, dikumpulkan dalam The Illustrated Stratford Shakespeare, London: Chancellor Press, first published in 1993, reprinted 2003. i i Pengelompokan novel dari segi bentuk ke dalam 72 jenis ini merupakan pemetaan kompilatif yang merujuk pada antara lain: Leonard Dodsworth, The Survival of Novel: A Contemporary Survey, London: Faber and Faber (1970); Malcolm Bradbury and David Palmer, The Contemporary English Novel (Stratford-Upon-Avon Studies 18), New York: Holmes & Meier Publisher (1979); Julia Strinberg, The Modern Novel, London: The Hogarth Press (1985); Esther Van Homrigh and Thérèse le Vasseur, A History of Western Novel, London: Secker & Walburg (1998: khususnya halaman 125-232 dan 711-824). i ii Meninggal di Madrid, Spanyol, 23 April 1616. i v Nama aslinya, Daniel Foe. Lahir di London, 1660, dan meninggal 24 April 1731, di kota yang sama. Novel-novelnya: Robinson Crusoe (1719), Moll Flanders (1722), dan Roxana (1724). v Meninggal 4 Juli 1761 di Parson’s Green, dekat London. Samuel Richardson inilah yang dipandang sebagai peletak dasar-dasar penulisan epistolary novel. Novel-novelnya yang utama adalah Pamela (1740) dan Clarrisa (1747). vi Lihat: Aristoteles, “Poetics” dalam Reading for Liberal Education, Locke, Louis G. et.al. (eds.), New York: Holt Rinehart and Winston, 1967. vii Lihat: E.M. Forster, Aspects of the Novel, Harmondsworth: Penguin Books, 1970. viii Nama aslinya, Émile Édouard Charles Antoine, lahir 2 April 1840 di Paris dan meninggal 28 September 1902 di kota yang sama. Ia menulis sekitar dua puluh novel. Selain Theresa (Thérèse Raquin), antara lain: Nana (1880), Germinal (1885), L’Oeuvre (1886), dan La Bête Humaine (1890). ix “Since the death of Evelyn Waugh,” tulis Graham Green dalam endorsement buku Under the Banyan Tree and Other Stories, “Narayan is novelist I most admired in the English language.” x Kelak barulah saya ketahui, ketika saya memperoleh kesempatan berkunjung ke Mesir, dan melakukan perjalanan darat dari Kairo ke Alexandria lebih kurang 400 kilometer jauhnya, bahwa perpustakaan yang saya lihat dalam mimpi itu meskipun masih jauh lebih luas, mirip sekali interiornya dengan Perpustakaan Alexandria, perpustakaan yang dapat dikatakan tertua di dunia. xi Terima kasih. xii Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. xiii Dalam mitologi Yunani ada tiga grasia. Mereka adalah gadis-gadis yang membantu para Musae, puteri-puteri Zeus. xiv Dasar kambing! 226 xv Kutendang baru tahu rasa kau! xvi Salah satu bentuk makian kasar yang diarahkan pada penistaan terhadap bibir. xvii Anak perempuan dari Cadmus dan Harmonia, dan ibu dari Dionysus. Saingan Hera, isteri Zeus. xviii Nilai Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) Murni. xix Penelusuran Minat dan Kemampuan. xx Selamat Hari Raya. Mohon segala kesalahan saya dimaafkan. xxi Central Intelligence Agency (Dinas Rahasia Amerika Serikat). xxii Ketaatan total terhadap seseorang atau sesuatu tanpa daya kritis. xxiii Sosialis kanan. xxiv Burangrang/ aku datang/ bukan untuk menantang/ sama sekali bukan/ keindahan kenangan/ tiada mungkin akan pulang/ pujaanku kekasihku/ kau! xxv Tidak memiliki kreativitas. xxvi Leluhur.