dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 Membaca dan Menafsirkan Teks-teks “ Self-Cultivation ” Dalam Kitab Tao Te Ching Oleh: Hendar Putranto ( Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta ) Pengantar: Jika Konfusianisme adalah filsafat Cina yang paling berorientasi sosial dan politis serta mendorong orang untuk terlibat dalam kegiatan hidup bermasyarakat, Taoisme adalah sebaliknya[i]. Taoisme sebagaimana banyak dimengerti orang adalah filsafat yang menekankan pada keserasian dengan Tao. Ia mencari prinsip-prinsip dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia tidak dari dalam diri manusia itu sendiri, melainkan dari alam[ii]. Walau demikian, kita tentu mudah menjadi penasaran dan bertanya, “di mana letak manusia, individu dalam alam pemikiran semacam ini?” Atau juga, “apa yang baik bagi manusia pada umumnya dan bagaimana cara meraihnya?” Dan lebih mendasar lagi, “Apakah Taoisme itu dan apa-apa saja pokok ajarannya?” Digelisahkan oleh pertanyaan yang demikian, penulis tergerak untuk mengungkapkan sisi-sisi lain yang belum familiar diungkap oleh para pemikir serta komentator atas ajaran Taoisme pada umumnya. Tulisan ini bukanlah suatu studi komparasi pemikiran Lao Tsu dengan Confucius. Juga bukan pembandingan Kitab Tao Te Ching dengan Kitab I Ching. Juga bukan suatu usaha untuk mempertemukan pemikiran “Timur” dengan “Barat”. Tulisan ini lebih dimaksudkan untuk mengundang Anda masuk sendiri ke dalam teks asli dan mencicipi apa yang tersaji di sana. Tema yang diangkat di sini adalah self-cultivation (selanjutnya akan diterjemahkan menjadi ‘penempaan diri’) karena penulis percaya bahwa “penempaan diri” adalah tema sentral, the driving force dalam Kitab Tao Te Ching itu. Dan itulah yang akan dibuktikan dalam tulisan ini. Dengan masuk ke dalam teks asli pertama-tama akan dijumpai banyak kesulitan. Kesulitan yang pertama tentu adalah soal penguasaan bahasa atau aksara Cina klasik. Lalu, kedua, mengenali socio-historical context dari teks itu sendiri pada saat disusundan yang terakhir, ketiga, adalah penafsiran teks. Tentu disadari, selain tiga kesulitan ini, ada juga sejumlah kesulitan lain seperti banyaknya asumsi-asumsi yang tercetak di benak penulis yang dididik dalam “tradisi Barat” dan yang terbiasa memperlakukan suatu permasalahan dengan cara-cara Barat: Western modes of philosophical discourse. Namun, dengan masuk ke dalam teks asli, akan dijumpai juga sejumlah keuntungan. Di antaranya: memahami apa yang sebenarnya dipikirkan oleh tokoh tertentu dalam konteks zaman tertentu, menimba keaslian pesan dan tidak mudah untuk menelan mentah-mentah “kata orang.” Tulisan ini akan dibagi ke dalam 5 bagian. Berturut-turut, bagian 1 adalah sedikit pemaparan latar belakang sejarah munculnya Kitab Tao Te Ching (socio-historical context). Setelah itu, bagian kedua, berupa penjelasan atas metode penafsiran yang dipakai. Bagian ketiga akan berbicara langsung tentang teks-teks yang dimaksud (penempaan-diri) beserta tafsirnya. Bagian keempat adalah suatu upaya penulis untuk me-reaktualisasi nilai-nilai yang diperoleh dari bagian ketiga dalam konteks zaman sekarang, k.l. 2500 tahun semenjak Kitab Tao Te Ching muncul. Bagian terakhir adalah tanggapan pribadi penulis. Sedikit Latar Belakang Penulisan Kitab Tao Te Ching (Social Background) Kitab Tao Te Ching yang menjadi salah satu kitab pegangan mendasar dari para penganut Taois, pertama-tama dimulai-kembangkan oleh Lao Tzu (terjemahan harfiahnya: Empu Tua) yang lahir pada tahun k.l. 600 – 500 SM[iii]. Disepakati oleh para ahli bahwa Kitab Tao Te Ching bersama dengan kitab Chuang Tzu merupakan karya-karya Taoisme yang paling tua, namun keduanya tidak identik[iv]. Kebanyakan pakar mengatakan bahwa asal-usul Tao Te Ching bisa ditelusuri dalam periode “Perang Negara-negara” (Warring States) antara 463-222 SM[v]. Pada zaman itu bentuk organisasi sosial yang eksis adalah bentuk piramid-hirarkis. Di puncak piramid ditempati seorang Kaisar yang berperan sebagai Norma Simbolis dari Dunia. Pada tahap di bawahnya, berkumpullah apa yang disebut dengan kelas bangsawan yang berciri feodal dan yang menjadi penguasa atas wilayah-wilayah kecil tertentu (negara/State). Di dasar piramid, sebagian besar terdiri dari para petani kecil (peasant farmers). Tata susunan hirarkis semacam ini biasanya sudah mapan, ajeg, dan ditentukan oleh kelahiran. Namun, pada zaman Warring States, pola ini berubah secara cukup drastis. Status sosial dan kekuasaan tidak lagi bergantung pada ‘di kelas mana seseorang dilahirkan’, namun lebih pada ambisi personal dan kegigihan berjuang. Mengapa demikian? Pada zaman Warring States itu, masyarakat Cina tradisional sedang mengalami keguncangan tata sosial-politis. Mereka tidak lagi mengalami Kaisar sebagai unsur pemersatu dan satu-satunya kuasa yang otoritatif dan mengikat warga negaranya[vi]. Oleh H. G. Creel, dikatakan bahwa ini adalah masa di mana pemberontakan menjadi ciri khas zaman tersebut[vii] Dalam keadaan yang kacau ini muncullah kelas baru yang disebut shih yang anggotanya kebanyakan berasal dari kaum bangsawan yang dilucuti dan direndahkan beserta kaum petani ambisius dan mulai bergerak naik dalam strata sosial. Tadinya, peran shih ini relatif kecil saja dalam masyarakat. Mereka memainkan peran sebagai tentara, penulis kitab, pustakawan, pegawai negeri rendahan, pembantu rumah tangga. Namun, seiring dengan kompleksitas kekacauan yang makin menjadi-jadi, kaum bangsawan cenderung semakin mengandalkan keterampilan khusus mereka itu untuk menunjang ketertiban tata sosial-ekonomi yang pada gilirannya akan semakin mengukuhkan basis kekuasaan dari para penguasa tersebut. Dalam kelas shih ini, masih tercakup kelas shih idealis. Dan La Fargue percaya bahwa kelas shih idealis inilah yang bertanggungjawab terhadap penyusunan Tao Te Ching. Ada beberapa ciri kelas shih idealis ini. Di antaranya adalah (1) bahwa mereka teralienasi. Maksudnya, mereka tidak lagi memandang cara hidup sosial-tradisional maupun tata-susunan politis yang sudah eksis sebagai satu-satunya patokan cara hidup bermasyarakat yang harus dijunjung tinggi. Mereka disebut idealis karena mereka senantiasa mencari norma-norma dan sumber-sumber makna hidup yang melampaui masyarakat konvensional dalam mana mereka hidup. (2) Mereka mempunyai tanggungjawab sosial yang amat kuat meskipun mereka tidak mempunyai posisi resmi dalam struktur pemerintahan. Mereka biasanya berkelana dari negara ke negara, ke tempat-tempat di mana jasa mereka paling dibutuhkan dan ke manapun dirasa kehadiran mereka bisa diterima oleh penguasa lokal untuk menjadi penasehat ataupun juga pegawai[viii]. (3) Mereka menerima dengan penuh kesadaran struktur sosial-politik yang ada pada waktu itu dan tugas resmi mereka di dalamnya. Agak paradoks di sini bahwa mereka tidak berkoar-koar tentang perubahan struktur hirarkis yang ada dalam masyarakat Cina tradisional pada waktu itu, apalagi menjungkirkan para penguasa lalu merenggut ‘kursi’ mereka. Secara politis, posisi mereka adalah ‘memerintah dari tengah.’ Selain itu, (4) mereka menawarkan pondasi baru bagi budaya dan politik Cina, namun pondasi baru ini diperkenalkan kepada publik tidak lewat propaganda di pasar-pasar melainkan langsung lewat teladan hidup yang diberikan oleh masing-masing pribadi dari shih idealis ini. Keprihatinan mereka atas tata sosial-politis yang sedang berkeping-keping dan keinginan mereka untuk menyumbangkan sesuatu guna perbaikan tatanan masyarakat sebenarnya amat bergantung pada dua ide sentral dalam alam pemikiran Dinasti Chou yaitu (a) organisasi sosial yang baik itu bergantung pada penguasa yang mendapatkan penghormatan secara tulus serta kerjasama dari orang-orang yang diperintahnya. Ini terjadi oleh karena kualitas kepribadiannya, karisma (te) yang dimilikinya, dan dengan menunjukkan perhatian yang semestinya serta kompetensi dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan rakyatnya. (b) penguasa yang baik ‘menjadi garpu tala acuan’ bagi masyarakatnya. Adapun yang pantas menjadi fokus perhatian kita dalam paper ini adalah ciri yang kelima (5), yaitu bahwa kaum shih idealis memberikan tekanan khusus pada pembentukan karakter atau penempaan diri (hsiu-shen) [ix] Pembentukan karakter ini adalah sumber otonomi, hak untuk mengikuti norma-norma yang berasal dari dalam diri sendiri daripada terikat pada norma-norma yang berasal atau diberikan dari luar. Kebijakan publik yang baik dalam pandangan Tao Te Ching maupun Mencius adalah kebijaksanaan yang membual dari karakter penguasa yang baik: good character or the right state of mind of the ruler[x]. Dengan mengetahui sekelumit latar belakang sosial dari penulisan Tao Te Ching ini, kita akan melanjutkan pengembaraan ke dalam hutan makna Tao Te Ching dengan menggunakan tongkat acuan ‘penempaan-diri’ di bawah ini. Metode yang dipakai untuk menafsirkan Tao Te Ching Ada 3 pertanyaan yang mau dijawab dalam bagian ini. Pertama, tulisan macam apa sebenarnya Tao Te Ching itu (komposisi). Dua, metode menafsirkan Tao Te Ching yang bagaimana yang dapat dianggap valid atau bisa dipercaya dan ketiga, apakah ayat-ayat dalam Tao Te Ching bisa dimengerti secara literal. Mengikuti alur pemikiran LaFargue[xi], Tao Te Ching lahir dalam periode transisi dari budaya lisan ke budaya menulis dan membaca. Budaya lisan adalah budaya yang masih mendominasi alam penyampaian gagasan dan komunikasi antar manusia, juga di antara para shih yang terpelajar, pada periode terakhir Warring States. Satu hal yang mungkin cukup sering disalah-mengerti dan karenanya perlu diklarifikasi di sini adalah bahwa segenap teks-teks klasik Cina yang kita baca pada saat ini bukan merupakan hasil karya satu orang saja, seperti juga pengerjaan Kitab Suci orang Kristen[xii]. Kitab Tao Te Ching sendiri terdiri dari 81 porsi ujaran, yang disebut “bab/chapter”, dan secara tradisional dibagi ke dalam dua bagian besar (two books) yaitu bab 1-37 dan bab 38-81, yang disusun tanpa kejelasan apa kaitannya bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Masing-masing bab biasanya terdiri dari tiga atau lebih ujaran pendek yang dalam banyak hal sifatnya independen (tidak tergantung atau terkait dengan bab sebelum atau sesudahnya). Kebanyakan peneliti Kitab ini setuju bahwa setidaknya ada sejumlah besar bab yang berasal dari ujaran-ujaran individu tertentu yang pernah diedarkan secara terbatas dalam kalangan tertentu (sekolah Laoist shih), sebagai bagian dari budaya lisan. Namun perlu diperhatikan di sini bahwa yang dimaksud LaFargue dengan budaya lisan bukanlah bahwa ujaran-ujaran tersebut dihapalkan mati oleh para murid guna melestarikan untaian kata-kata bijak dari Sang Guru. Lebih tepat kalau dikatakan demikian: yang namanya amsal/tamsil/peribahasa dalam budaya apapun itu biasanya menempel (Jawa: manjing) di benak orang-orang yang pernah mendengarnya dan yang lalu digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam situasi konkret tertentu. Ada dua konteks yang dapat dikenali dalam proses sirkulasi ujaran-ujaran bijak ini. Pertama, dalam percakapan-percakapan antara kaum Laoist shih sendiri maupun antara kaum Laoist shih dengan tamu-tamu, penguasa-penguasa yang memakai jasa mereka. Oleh LaFargue, konteks yang pertama ini disebut polemic aphorisms. Yang ditekankan dalam pola yang pertama ini adalah ujaran-ujaran yang ditujukan baik secara tersirat maupun tersurat untuk membantah pandangan-pandangan, asumsi-asumsi dari lawan kaum Laoist[xiii]. Kedua, percakapan-percakapan yang terjadi di dalam lingkaran kaum Laoist shih sendiri menyangkut praktek penempaan-diri, termasuk di dalamnya pemberian instruksi dari guru ke murid. Sebagian besar ujaran-ujaran yang masuk ke dalam kategori konteks kedua ini disebut “celebratory”. Artinya, merayakan karakter yang mengagumkan dari kualitas akal budi sebagaimana ingin ditempa oleh para Laoist. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa segala ujaran-ujaran yang terdapat dalam Kitab Tao Te Ching itu sangat “terikat konteks.” Dalam menganalisis teks-teks Tao Te Ching, LaFargue menggunakan pendekatan yang dikembangkan dalam studi Kitab Suci Agama Kristen yaitu pendekatan bentuk (form criticism) dan pendekatan redaksional (redaction critical). Pendekatan bentuk mencoba menganalisis genre atau jenis khas atau bentuk-bentuk (di dalamnya termasuk cerita, hikayat, nyanyian, legenda, dan lain-lain) yang mana kuat didominasi oleh budaya lisan. Pendekatan bentuk juga berarti upaya untuk menafsirkan masing-masing unit dari tradisi lisan dalam konteks sejumlah setting hidup yang konkret di mana ujaran-ujaran itu biasanya digunakan atau ditemukan. Sementara itu, pendekatan redaksional memberi tekanan pada upaya pencarian teknik dan maksud dari “mereka” yang menjalin rangkaian ujaran-ujaran lisan itu ke dalam suatu komposisi tertulis yang lebih panjang dan teratur. Siapakah “mereka” itu? LaFargue berargumen bahwa “mereka” adalah para guru dalam sekolah Laoist shih pada generasi ketiga atau keempat sejak Lao Tzu hidup. Para guru ini oleh LaFargue dinamai “the composers of the chapter-collages.” Kiranya cukup sampai di sini eksplorasi atas hal-ihwal kepengarangan Tao Te Ching dan bagaimana mereka mengumpulkan ujaran-ujaran yang tadinya tersebar-sebar, acak-acakan menjadi satu komposisi kolase (collage) yang lebih teratur dan berseni. Menyangkut pertanyaan ketiga, LaFargue menganalisis persoalan polemic aphorisms dengan cara pendekatan struktur-makna dari polemic aphorisms itu dengan berdasar pada analisis yang teliti atas latar belakang yang implisit hadir saat ujaran-ujaran tersebut dikatakan. Dan ini menyangkut tiga unsur yang hakiki yaitu: target, imaji (image), dan sikap serta orientasi nilai yang mendorongnya. Supaya lebih jelas disampaikan contoh berikut ini: “Orang yang berbicara tidak memahami” (TTC bab 56 ayat 1). Kita keliru kalau menafsirkan secara literal frase ini sebagai “siapapun yang mengatakan apapun pasti pemahamannya kurang.” Sebaiknya frase itu, menurut LaFargue, diartikan sebagai berikut: a. Anda cenderung mudah terpesona oleh pidato atau perkataan yang cerdik (skillful). Dengan begitu Anda mengandaikan bahwa si penceramah alias orang yang menyampaikan perkataan yang cerdik itu sebagai orang yang mempunyai pemahaman mendalam atas apa yang ia katakan (ini yang dimaksud dengan the saying’s target) b. Untuk meng-counter pengertian lazim seperti ini, LaFargue mengajak kita untuk mereka-bayangkan ceramah atau kotbah yang nampak memukau namun sebenarnya kosong (empty-headed eloquence). Dari sini kita bisa melihat hubungan antara perkataan yang cerdik dengan perkataan yang kurang kadar pengetahuannya. c. Untuk menerima alasan di atas, kita diundang untuk mengadopsi sebuah orientasi nilai dan sikap yang mana ‘substansi’ adalah yang paling penting juga tatkala tidak nampak mengesankan Dan apa yang nampak mengesankan itu ada kalanya menunjukkan sesuatu yang malahan kurang penting. Inilah yang dimaksud dengan “postur” yang dicuatkan oleh ujaran atau perkataan dalam Tao Te Ching. Dengan melihat tahapan-tahapan dalam metode menganalisis teks Tao Te Ching ini, kita sebenarnya diajak LaFargue untuk mempraktekkan hermeneutika yang secara sederhana berarti “to reconstruct what the text meant to its initial authors and audience.”[xiv] Mungkin cara ini kurang familiar buat sebagian besar dari kita, terlebih karena metode hermeneutika ini paling banyak digunakan untuk menganalisis teks-teks dalam Kitab Suci agama Kristen[xv]. Namun, pendekatan yang dipilih LaFargue ini paling baik memampukannya untuk terlepas dari jerat tafsir subyektif-intuitif melulu. Pokok-pokok ajaran yang terdapat dalam bagian “Self-Cultivation” beserta tafsirnya Mengingat keterbatasan ruang pengungkapan, maka tidak semua dari 16 bab “self-cultivation” seleksi LaFargue[xvi] akan penulis terjemahkan serta tafsirkan. Di sini, sembari menyadari keterbatasannya, penulis memilih 8 dari 16 bab untuk dianalisis yang penulis anggap mewakili pokok-pokok terpenting ajaran Tao Te Ching tentang penempaan diri. Sementara 8 lainnya hanya akan disinggung sekilas dalam satu-dua kalimat. i. memahami orang lain dan memperoleh penguasaan-diri serta kepuasan hidup [33] [1] Orang yang memahami orang lain adalah (orang yang) pintar Orang yang memahami dirinya sendiri mempunyai Kejernihan Orang yang memenangkan (hati) sesamanya mempunyai kuasa (daya) Orang yang menang atas dirinya sendiri adalah (orang yang) kuat [2] Orang yang puas adalah (orang yang) kaya Yang kuat dalam pelaksanaannya adalah (orang yang) menguasai dirinya sendiri [3] Orang yang tidak meninggalkan tempatnya adalah (orang yang) bertahan lama Orang yang mati dan tidak binasa adalah (orang yang) benar-benar hidup langgeng. Tiga ujaran dalam bab ini langsung mengenai ‘jantung’ penempaan-diri. Ujaran [1] merupakan nasehat kepada shih agar menempatkan penempaan diri lebih daripada pencapaian politik. Sementara ‘yang kuat dalam pelaksanaannya’ [2] mengacu pada usaha yang tak kenal lelah dalam menempa diri, yang akhirnya akan berujung pada penguasaan diri (yu chih). Kekayaan yang dikaitkan dengan kepuasan hidup di sini tentu lebih dititik-beratkan pada kekayaan batin. Semakin orang mampu menguasai dirinya, tidak mudah diombang-ambingkan arus kehidupan dan perubahan-perubahan dari luar, semakin ia menjadi kaya secara batin karena memahami dirinya sendiri dan semakin ia puas menjalani hidup ini. Kaitan ujaran [1] ∓∓∓ [2] dengan [3] ada pada “tidak meninggalkan tempatnya’ yang paling mungkin berarti tidak lari dari upaya untuk memahami diri sendiri (yang biasanya teramat sulit) hingga mencapai penguasaan diri. Dari sikap ini vitalitas hidup akan semakin bertambah, rasa aman atas proses penempaan-diri yang dijalani juga semakin mendalam sehingga ada harapan untuk tegar menghadapi kematian (dan bukan mencapai keadaan imortalitas.) Sebagai tali pengikat dari ketiganya, tiga ujaran ini mau mengacu kepada suatu proses alamiah dari menjadi manusia (naturalness). Dan hal ini tidak terjadi dengan serta merta, melainkan melewati suatu proses yang diwarnai dengan pergulatan batin. ii. Dengan menempa Tao orang akan kehilangan---namun itulah harga yang harus dibayar dan orang tidak akan menyesal karenanya.[48] [1] “Dengan mengerjakan apa yang orang ketahui, orang akan beroleh keberuntungan tiap hari” Mengerjakan Tao, orang akan kehilangan setiap hari--- Terus berkurang dan berkurang terus hingga orang sampai pada tidak melakukan apapun. [2] Tidak melakukan apa-apa, tidak ada sesuatu pun yang tidak terselesaikan. [3] Menaklukkan dunia: hanya lewat tidak melakukan apapun. [4] Orang yang mulai berangkat kerja, tidak mempunyai apa yang sesungguhnya perlu untuk menaklukkan dunia. Ujaran [1] merupakan kebijaksanaan Konfusian yang langsung ditanggapi oleh Kebijaksanaan Laoist segera sesudahnya. Untung (yi) dan rugi (sun) merupakan istilah yang diambil dari Analects Confucius. Ujaran [2], [3] ∓∓∓ [4] merayakan sebuah kemenangan besar dari merek yang bertindak dalam semangat ‘tidak-melakukan apa-apa” (wu wei)[xvii] Menaklukkan dunia merupakan ciri khas pemimpin yang di sini, dengan semangat “tidak melakukan apa-apa”-nya akan menarik semua orang ke dalam lingkaran pengaruhnya dan pada gilirannya akan menjadi Sang Kaisar Yang Baru, yang menggabungkan kembali wilayah-wilayah dalam kekaisarannya menjadi satu di bawah pimpinannya. Kita bisa semakin memahami bagaimana ujaran ini bergaung keras di tengah pertikaian dan perang antar negara (Warring States), periode di mana Tao Te Ching terlahir. iii. Mencontoh pola hidup petani [59] [1] Tatkala tiba saatnya untuk memerintah orang-orang dan melayani Langit (Surga), tak ada seorangpun yang bisa seperti seorang petani. [2] Jadilah seorang petani, artinya berkemas lebih awal. Berkemas lebih awal artinya meningkatkan persediaan Te. Meningkatkan persediaan Te artinya tidak ada suatu apa pun yang mustahil. Tidak ada satu pun yang mustahil, artinya tidak mengatakan apa pun tentang batas. Tidak mengatakan apa pun tentang batas, orang lalu dapat memiliki negara. [3] Orang yang memiliki Ibu (Mu) dari negara[xviii] dapat bertahan untuk waktu yang lama. [4] Ini berarti memiliki akar yang dalam dan pondasi yang kokoh, Artinya Jalan ‘Hidup yang kekal, penglihatan yang baik di usia senja’ Ujaran [1] sungguh paradoksal. Seorang petani yang sederhana dan pekerja keras (?) adalah yang paling cakap untuk menjadi seorang penguasa. Namun dalam ujaran [2] kita bisa memahami peran petani di sini yang dipakai sebagai imaji dari sosok orang yang selalu siap sedia untuk bekerja keras menempa diri (istilah cultivation memang dekat dengan kosakata kaum petani) yaitu bangun pagi-pagi untuk mulai bekerja. Di sini bekerja maksudnya adalah memupuk Te (karisma yang mendayai). Te yang sudah terakumulasi, pada gilirannya akan berubah menjadi kekuatan politis yang tidak tertahankan. Ujaran [3] memakai istilah yang khas pada waktu itu yaitu kuo chih mu (State’s mother) yang mengacu pada pondasi ideal dari masyarakat dan budaya Cina. Akal budi yang sehat-berkualitas yang coba ditempa kaum Laoist adalah pondasi ini. Dan lewat ini ujaran [4] mendapat maknanya yaitu menjadi dewasa, matang dan berumur panjang dengan cara menyimpan energi. iv. tentang meditasi [10] [1] Tatkala ‘membawa jiwamu’, memeluk Sang Tunggal, dapatkah engkau tidak terbagi-bagi? Saat ‘memusatkan Ch’i’, melahirkan Kelembutan, dapatkah engkau menjadi seperti seorang bayi? Saat ‘membersihkan dan memurnikan Cermin misterius’ dapatkah engkau (didapati) tanpa cela? Tatkala ‘mencintai rakyat dan peduli pada kerajaan’ dapatkah engkau tanpa berpengetahuan? Ketika ‘Pintu-pintu Surga membuka dan menutup’ dapatkah engkau tetap tinggal sebagai wanita? Tatkala ‘Kejernihan dan ketelanjangan menyusup-tembus ke mana-mana’ dapatkah engkau tetap tinggal ‘tidak melakukan apa-apa? [2] Hasilkan dan rawat. Hasilkan namun jangan pernah memilikinya Bekerja namun jangan pernah tergantung padanya Berkuasa namun jangan memerintah Inilah Te yang misterius itu. Ujaran [1] dipercaya merupakan instruksi paling eksplisit dan detil tentang meditasi dalam Tao Te Ching. Walaupun dalam ujaran ini didapati istilah-istilah kunci yang akan terus berulang dalam keseluruhan Kitab, seperti ‘memeluk Sang Tunggal, Kejernihan, Wanita (p’in dan tz’u/Femininity), Kelembutan, tidak melakukan apa-apa, namun sayangnya cukup banyak juga frase esoteris (ditandai dengan kutipan ‘ … ‘) yang acuan konkretnya sudah hilang dari lingkup kita. Orang-orang yang bermeditasi kadang-kadang menemukan suatu inner realm (alam kedalaman atau dunia batin) yang pembahasaannya tidak mudah diartikulasikan, apalagi untuk dipahami oleh orang luar. Namun demikian, secara keseluruhan, bab ini ingin mengatakan bahwa meditasi adalah persiapan yang terbaik (sebelum) untuk memerintah. v. menjadi aktif: pikiran, benda-benda. Lalu menjadi diam-hening (stillness) [16] [1] Dorong Kekosongan itu hingga batasnya, Amatilah baik-baik Keheningan. [2] Ribuan benda di sekeliling kita adalah aktif--- Aku memberi perhatian pada Berbalik. Benda-benda tumbuh liar bak rumput liar Semuanya berbalik ke Akar. [3] Kembali ke Akar disebut Diam-Hening. Inilah ‘melaporkan ke dalam’ (fu ming) ‘Melaporkan ke dalam’ menjadi Ajeg. Mengalami ke-Ajeg-an adalah Kejernihan. [4] (orang yang) Tidak mengalami ke-Ajeg-an Artinya tidak memberi perhatian pada tindakan (yang dilakukannya)---suatu nasib buruk. [5] Mengalami ke-Ajeg-an, orang lalu merengkuh-segala Merengkuh segala, kemudian (menjadi) Pangeran yang tidak berpihak Pangeran, lalu Raja Raja, lalu Langit Langit, lalu Tao Tao, orang lalu langgeng. [6] (Sementara itu) menyangkut penghancuran jati-diri (shen) tidak akan ada lagi yang perlu ditakutkan. Ujaran [1] merupakan petunjuk singkat dalam penempaan diri. Ujaran [2] adalah instruksi untuk ‘kembali/berbalik’, tema sentral dalam Tao Te Ching. Di sini perhatian diberikan pada pembalikan disposisi batin seseorang. Bagi batin yang kemrungsung (resah, tidak tenang), dunia nampak penuh dengan kegiatan yang tak beraturan. “Berbalik arah” memberikan gambaran akan suatu peng-hening-an akal budi yang aktif, sehingga orang dimampukan untuk melihat aneka macam keresahan di dunia (yang disimbolkan dengan tumbuh liar bak rumput liar) seolah-olah bersumber dari satu sumber Hening yang sama (Root). Gerak menjauhi Sumber Hening ini berarti ancaman atas jati-diri, kehilangan identitas sebagai bagian dari dunia sebagaimana terungkap dalam ujaran [6]. Langgeng dalam ujaran [5] mengacu kepada rasa aman yang orang temukan tatkala sudah bersesuaian dengan Tao, kebalikan dari ujaran [6]. vi. Tinggalkan kebiasaan hidup di permukaan. Masukilah kedalaman dan temukan kebenaran di sana [52] vii. Kesia-siaan banyak bicara, Persatuan yang Misterius dan Harta Dunia [56] viii. Tao adalah kekosongan yang bermakna mendalam [4] [1] Tao yang kosong Nampaknya orang yang menggunakannya akan kehilangan soliditasnya (kepekatannya). [2] Sebuah palung nampaknya seperti nenek moyang dari ribuan macam benda dan perkara. [3] Ia membasahi nafsu-nafsu Ia menguraikan yang kusut-masai Ia memadukan benda-benda yang berpijar dalam harmoni Ia menghimpun-leburkan debu menjadi satu. [4] Dalam, ia mungkin seperti sesuatu yang bertahan lama Aku tidak tahu barang satu pun yang daripadanya asal-usulnya dapat dikenali--- Nampaknya ia mendahului Tuhan. Ujaran [1] memberikan suatu deskripsi dari seseorang yang sudah mempunyai Tao: ia tidak lagi memproyeksikan Tao yang solid, masif, ke dunia luar maupun dalam yang ia jalani. Sebab sifat Tao adalah intangible (tidak terindrai). Ujaran [2] menegaskan asal-usul Tao dengan mengacu pada istilah nenek-moyang atau leluhur yang bukan hanya berarti pendahulu dari segi hubungan darah, namun lebih-lebih pada suatu roh yang lebih mendasar. Ujaran [3] dan [4] saling melengkapi satu sama lain. Yang satu mendeskripsikan apa yang Tao ‘kerja’-kan, yang lain mengungkapkan sifat elusifnya . Untuk bab ini, LaFargue percaya akan sifatnya yang “celebratory.” ix. Rumah Batin itu seperti lembah: berciri kewanitaan, berkabut, terhampar rendah, ruang kosong. [6] x. Meningkatkan vitalitas [55] xi. Praktek yang esensial [40] [1] Berbalik adalah gerak (dari) Tao. Menjadi Lemah (jo) adalah praktek Tao [2] “Ribuan benda di dunia terlahir dari Sang Ada” Sang Ada terlahir dari Ketiadaan. Apakah dengan ujaran [1] terlebih [2] ini kita memasuki alam metafisik sebagaimana dimengerti dalam tradisi pemikiran Barat, yaitu tentang Ada dan Ketiadaan[xix]? Nampaknya bukan demikian sebab praktek Tao (tao chih yang) di sini adalah deskripsi tentang penempaan diri Laoist, yaitu menempa diri supaya orang akrab dengan Kelemahan. Adapun dalam dua ujaran yang singkat di atas, mau kembali ditegaskan kesadaran kosmis yang dikembangkan oleh Laoist dengan cara membayangkan Tao sebagai asal dari segala sesuatu (Jawa: sangkan paraning dumadi) xii. Yang niscaya adalah yang tidak bersinar gemerlapan dalam dunia [39] xiii. Ch’i yang kosong membawa Harmoni [42] xiv. Paradoks dari mencari, mendengar dan menangkap: Ketiadaan [14] xv. Rahasia Tao: berkelit, licin bak belut (elusive, evasive) Gosoklah cermin kesadaranmu. [21] xvi. Tao: Yang Agung [25] [1] Ada suatu kekacauan, namun ia tidak kekurangan suatu apapun terlahir sebelum Langit dan Bumi Sendirian. Diam. Berdiri tegak sendiri, bergeming. Berputar, tanpa henti. Ia bisa digagas sebagai Ibu Dunia. [2] Aku tak tahu apa namanya, orang bisa menyebutnya ‘Tao.’ Nama dari kehadirannya yang penuh daya: Orang dapat menyebutnya “Yang Agung.” [3] Agung maksudnya berjalan terus-maju berjalan terus-maju maksudnya berjalan nan jauh berjalan nan-jauh maksudnya berbalik (kembali lagi). [4] Ya (Benar): Tao adalah Agung Langit adalah Agung Bumi adalah Agung (Kaisar juga Agung. Dalam semesta ada empat kekuatan Agung Dan Kaisar adalah salah satunya.) Bumi memberikan aturan bagi penghuninya Langit memberikan aturan bagi Bumi Tao memberikan aturan bagi Langit Aturan bagi Tao: segala sesuatu sebagaimana adanya mereka. Dalam meditasi, orang kadangkala mendapat suatu penglihatan (visiun). Itulah yang mau dikatakan dalam ujaran [1]. “Kekacauan” di sini dekat dengan konsepsi “kayu yang belum diukir” (P’u)[xx]. Ujaran [2] lebih dekat ke sifat tidak dapat dinamai dari Tao seperti terungkap di bab 1 Kitab Tao Te Ching[xxi]. Ujaran [3] menggarisbawahi aspek paling mendasar dari visiun Laoist tentang realitas yaitu bahwa Tao adalah asal-usul dan pondasi dari segala sesuatu. Namun alam sosial yang di dalamnya kita hidup sekarang telah membuat kita kesasar dari Sumber itu, oleh karena aturan-aturan sosial yang baku dan superfisial. Maka, hasrat paling mendasar dari segala sesuatu adalah kembali ke Sumber, Tao itu. Dari tema-tema dan analisis atas teks yang penulis lakukan di atas, apakah kita sudah mendapat gambaran yang lebih jelas tentang apa itu Tao dan bagaimana caranya menempa diri? Mungkin masih samar dan bahkan membuat jadi lebih bingung. Namun bila kita tempatkan ke-16 bab ini dalam keseluruhan konstelasi 81 bab dari Tao Te Ching, bisa jadi kadar pemahaman kita tentang Tao dan penempaan diri akan bertambah. Tapi bisa jadi juga tidak. Namun, dalam keseluruhannya, penulis yakin bahwa kesulitan-kesulitan tingkat awal ini tidak akan menyurutkan hati mereka yang memang meminati “Jalan” ini dan mau menyelam lebih dalam ke samudera ‘persatuan’ dengan Alam, dengan Tao. Demikianlah Lao Tzu sudah memperingatkan demikian, “Kata-kataku itu mudah diketahui, dan sangat mudah dilaksanakan. Tapi tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat memahami dan melaksanakannya” [bab 70] Oleh karena itu, mungkin untuk mempermudah gagasan---sesuatu yang di bagian awal paper ini tadi penulis hindari namun yang sekarang penulis pilih---sekaligus untuk memetik nilai-nilai apa yang bisa diaplikasikan dari Tao Te Ching untuk hidup kita di zaman modern ini, kita akan beranjak ke bagian berikutnya di bawah ini. Mengail ikan yang baru dari sungai kebijaksanaan Tao Te Ching: memberi makna Tao Te Ching di abad modern: i. Retournons à la Nature! (Kembalilah ke alam!) demikian Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf Prancis yang hidup di abad ke-17, pernah berseru sebagai kritik atas pendekatan yang terlalu intelektual-rasional dalam zamannya. Gerakan kembali ke alam itu di zaman modern ini semakin banyak bentuknya seiring dengan semakin bertumbuhnya kesadaran manusia akan pentingnya memelihara dan merawat Mother Nature (Ibu Alam) ini. Walaupun kita tidak dapat mengatakan secara pasti apakah kesadaran ekologis ∓ environmentalis (misal seperti nampak pada orang-orang yang tergabung dalam lembaga pecinta alam internasional seperti Green Peace, Walhi di Indonesia, juga para pecinta alam pada umumnya) manusia zaman sekarang dipengaruhi oleh pemikiran Lao Tzu ribuan tahun yang lalu, namun setidaknya kita dapat menangkap suatu indikasi bahwa manusia dengan alam bukanlah dua entitas yang saling berhadapan satu sama lain, apalagi bermusuhan. Kita menemukan resonansi dari idealisme yang dulu dicanangkan Lao Tzu dan para pengikutnya di zaman sekarang. ii. Meditasi à la Tao Ada sebuah buku yang menarik yang mau menyingkapkan rahasia meditasi Timur dari berbagai macam tradisi, dikarang oleh Lu K’uan Yü (Charles Luk).[xxii] Dalam buku itu, dieksplorasi cara-cara penempaan diri menurut sekolah Taois. Dan diajarkan pula meditasi Taoist sebagaimana dikembangkan seturut metode Yin Shih Tsu (Yin Shih Tsu Ching Tso Fa). Di antaranya adalah dengan mengatur postur tubuh (badan tegak, posisi kaki sebaiknya lotus atau setengah lotus, dan sebagainya), mengatur nafas, vibrasi nafas di perut, yang dilanjutkan dengan tanya jawab antara guru dengan murid mengenai pengalaman mereka sendiri dalam mempraktekkan meditasi à la Taoist ini, yang tentu saja bersumber dari pemahaman atas Kitab Tao Te Ching. Buku-buku meditasi Taois semacam ini semakin menjamur belakangan dan nampaknya memperoleh popularitas yang cukup. iii. Menggali nilai-nilai Tao Kepemimpinan (The Tao of Leadership) Satu fenomena menarik lainnya berkenaan dengan ajaran Taoisme adalah penerapannya dalam dunia bisnis, kepemimpinan dan manajemen. Di antaranya bisa dilihat dalam buku Heider, John. The Tao of Leadership: Lao Tzu’s Tao Te Ching Adapted for a New Age. New York: Bantam Books. 1988. Mengacu ke salah satu chapter dalam buku tersebut, dikatakan bahwa “Lao Tzu percaya bahwa kesadaran terus menerus akan pola-pola dalam alam akan membawa insight bagi kita dan kita akan dipermudah untuk menemukan paralelnya dalam perilaku hidup manusia sehari-hari.”[xxiii] Hal lainnya yang disinggung adalah soal sense of power atau perasaan (ingin) berkuasa. Dikatakan demikian, “Lao Tzu percaya bahwa tatkala orang tidak mempunyai rasa berkuasa mereka menjadi mudah membenci orang lain dan tidak ko-operatif. Individu-individu yang berkuasa tidak pernah mempertontonkan kekuatan mereka, namun orang lain mendengarkan mereka karena mereka nampaknya tahu. Mereka merembetkan pengetahuan, namun itu adalah sebuah pengetahuan intuitif yang datang dari pemahaman langsung dan pengalaman akan cara-cara alam. Kekuatan yang sesungguhnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mengubah dunia sembari menjalin hidup secara sederhana, intelligent, dan kaya dari segi pengalaman.” Tanggapan singkat Pertama-tama, pantas dikemukakan kembali di sini apa yang dikatakan oleh Shun Kwong Loi dalam “Ideals of the Good in Chinese Philosophy”[xxiv] tentang idealisme dari ajaran kaum Taoist. Pertanyaan pokoknya adalah, “Apa itu kebaikan menurut para pemikir Laoist?” (terutama Lao Tzu). Yang dianggap baik oleh para Taoist adalah pembalikan (reversal). Lengkapnya demikian, “The Laozi sees reversal as the way the natural order operates: everything that has gone far in one direction will move in the opposite direction, and to be in a low or weak position is to be in a state in which one will thrive. Real strength is a matter of overcoming oneself rather than overcoming others. Hence by having few desires and not striving after worldly goods, one accomplishes what ordinary people pursue, but in an altered sense.” Kedua, soal metode menganalisis teks Tao Te Ching. Kalau kita membaca teks Tao Te Ching dengan menggunakan pendekatan ilmiah seperti yang dianjurkan dan diuraikan oleh LaFargue, kontekstualisasi dari teks memang menjadi kuat dan kita tidak ngawur menafsirkan istilah ini atau itu seturut dengan gerakan hati kita sendiri (tafsir subyektif-intuitif). Namun demikian, pertanyaannya “bukankah kita menafsirkan teks itu agar berbunyi atau bermakna buat hidup kita?” Maka saya berpendapat bahwa teks itu adalah barang mati. Tugas kitalah, para penafsirnya, untuk membuatnya hidup lagi dan mempunyai makna bagi hidup yang sedang kita jalani sekarang. Pendekatan ilmiah hermeneutik sejauh dianggap membantu dan memberi kedalaman makna memang bisa dipakai. Namun bila itu malah membuat orang bingung, saya kria tidak pada tempatnya lagi. Maka dari itu, upaya-upaya untuk mengadaptasi nilai-nilai dari ajaran Taoisme sebagaimana tersampaikan dalam Tao Te Ching oleh sejumlah contoh pribadi yang sudah saya sebutkan di atas, pada hemat saya, menjadi jembatan bagi orang-orang awam untuk dapat ikut mencicipi kekayaan yang terkandung di dalam Tao Te Ching, dan itu, pada gilirannya akan membentuk karakter mereka, membawa mereka kepada kesadaran untuk menempa diri. Ketiga, apakah dengan membaca dan mencoba menafsirkan ayat-ayat, ujaran-ujaran dalam Kitab Tao Te Ching, orang bisa berubah dan berbalik arah? Apakah kedalaman makna yang terkandung dalam ajaran Tao Te Ching dapat dengan serta merta dipahami dan pada gilirannya mengubah hidup orang secara signifikan? Menurut saya tidak semudah itu jalannya. Pemahaman saja, dalam artian intelektual-rasional, tidak mencukupi bagi seseorang untuk sampai pada kebenaran Tao. Kebenaran yang ditunjukkan oleh Tao Te Ching ibaratnya seperti “jari yang menunjuk pada bulan.” Bukan “jari” itu sendiri kebenarannya. Kebenaran Tao tidak memaksa sifatnya. Kebenaran Tao hanya bisa diamini lewat penghayatan dan praktek hidup sehari-hari secara tulus. Persis disitulah penempaan diri (self-cultivation) sehari-hari menjadi bermakna. Dan dengan demikian, kesadaran Tao akan menjadi bagian hidup yang integral dari eksistensi manusia penghayatnya hingga akhirnya ia menjadi master (Tuan) dan bukan lagi murid atau hamba ‘penghafal’ ajaran Tao. Daftar Pustaka: Pustaka Primer: LaFargue, Michael. The Tao of The Tao Te Ching: A Translation and Commentary. Albany (New York): State University of New York Press. 1992. Pustaka Sekunder: Chi-Ming, Tung. An Outline of History of China. Peking: Foreign Language Press. 1959. Creel, H. G. Chinese Thought from Confucius to Mao Tsê-tung. Chicago: The University of Chicago Press. 1953. (diterjemahkan menjadi Alam Pikiran Cina: Sejak Confucius Sampai Mao Zedong oleh Soejono Soemargono. Jogja: Tiara Wacana. 1990. Khususnya hal. 73-121.) Heider, John. The Tao of Leadership: Lao Tzu’s Tao Te Ching Adapted for a New Age. New York: Bantam Books. 1988. Chapter “The Tao of Power” Halaman 12-13 Loi, Sun Kwong. “Ideas of the Good in Chinese Philosophy” dalam A Companion to World Philosophies: Blackwell Companions to Philosophy. Edited by Eliot Deutsch & Ron Bontekoe. Oxford: Blackwell Publishers Ltd. 1997. Luk, Charles (Lu K’uan Yü). The Secrets of Chinese Meditation. London: Rider ∓∓∓ Company. 1964. Khususnya hlm. 163-190 Chapter 5 “Self-Cultivation according to Taoist School.” Rosemont JR, Henry. “Chinese Socio-Political Ideas” dalam A Companion to World Philosophies: Blackwell Companions to Philosophy. Edited by Eliot Deutsch ∓ Ron Bontekoe. Oxford: Blackwell Publishers Ltd. 1997. Halaman 174-184. Sudiarja, Antonius. Diktat Filsafat Cina untuk Mahasiswa/i STF Driyarkara. Tanpa tahun dan penerbit. Umar Hadi, Yosep. “Taoisme” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur: Capita Selecta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993. Khususnya hlm. 75-85 Sumber-sumber dari Internet: Ulrich Theobald, tentang Eastern Zhou Dynasty: Warring States Period (475-221 BC) di http://www.chinaknowledge.de/History/Zhou/zhanguo.htm Tentang Dinasti Kuno Cina khususnya mengenai pemetaan “Ratusan Sekolah Pemikiran” (Hundreds School of Thoughts) di http://www-chaos.umd.edu/history/ancient2.html Catatan Kaki: [i] Henry Rosemont Jr., “Chinese Socio-Political Ideals”, dalam A Companion to World Philosophies: Blackwell Companions to Philosophy, Edited by Eliot Deutsch ∓∓∓ Ron Bontekoe, Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1997, hlm. 180. [ii] Antonius Sudiarja, Diktat Filsafat Cina untuk Mahasiswa/i STF Driyarkara, Tanpa tahun dan penerbit, hlm. 13. Diktat ini diinspirasikan oleh dua buku yaitu John M. Koller, Oriental Philosophies, New York, 1985 dan James K. Feibleman, Understanding Oriental Philosophy, New York, 1976. [iii] Lih. kronologi Sejarah Cina yang bisa diakses di http://eawc.evansville.edu/chronology/chpage.htm . Bdk. Dgn keterangan yang diberikan oleh Yosep Umarhadi, “Taoisme” dalam Seri Filsafat Driyarkara 4 Capita Selecta: Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 75-85 yang merupakan saduran bebas dari Charles Thomas, Oriental Thought: An Introduction to Te Philosophical and Religious Thought of Asia, USA, 1973. Sulit untuk mendapatkan data tanggal dan tahun kelahiran-hidup-kematian Lao Tzu secara eksak, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa Lao Tzu hidup antara abad ke-6 s/d 5 SM. Bisa juga dikatakan bahwa Lao Tzu hidup sezaman dengan Confucius walaupun berusia lebih tua daripadanya. [iv] Creel, H. G., Chinese Thought from Confucius to Mao Tsê-tung, Chicago: The University of Chicago Press, 1953, yang diterjemahkan menjadi Alam Pikiran Cina: Sejak Confucius Sampai Mao Zedong oleh Soejono Soemargono, Jogja: Tiara Wacana, 1990, khususnya hal. 73-121. Mengenai cara menafsirkan yang inter-related antara kedua kitab ini (Tao Te Ching ∓∓∓ Chuang Tzu), bersama dengan pengaruh Yang Chu pada isi dari Tao Te Ching diuraikan secara menarik oleh H. G. Creel pada halaman 99-121. [v] Michael LaFargue, The Tao of The Tao Te Ching, Albany: State University of New York Press hlm. 191. Beberapa pakar sejarah Cina Tradisional itu di antaranya ialah Cho-yun Hsu, Ancient China in Transition: An Analysis of Social Mobility, 722-222 B. C., Stanford, California: Stanford University Press, 1965; juga Wing-tsit Chan, The Way of Lao Tzu (Tao te Ching), Chicago: University of Chicago Press, 1963; dan Herlee G. Creel, Chinese Thought from Confucius to Mao Tsê-tung, Chicago: The University of Chicago Press, 1953. [vi] Michael LaFargue, ibid., hlm. 191 di mana dikatakan “The Emperor had lost effective control, and the heads of the various states engaged in large scale-warfare with each other, each wanting to re-unite the now fragmented Empire under his own leadership. Noble families engaged in ‘class suicide’ by constant internecine struggles.” Siapa-siapa saja yang dimaksud dengan “the heads of the various states” ini? Di antaranya adalah klan/marga Tian, Jiang, 3 keluarga Huan: Wei, Hann ∓∓∓ Zhao. Untuk lebih lengkapnya, bisa dilihat di http://www.chinaknowledge.de/History/Zhou/zhanguo.htm#warfare sementara untuk mengenali peta geografis dari klan-klan yang bertikai ini bisa diakses di http://www.chinaknowledge.de/History/Zhou/mapZhanguo.JPG [vii] H. G. Creel, ibid., hlm. 100. [viii] Dalam hal pengembaraan dari kota ke kota, negara ke negara ini para shih idealis amat bergantung pada falsafah kemasyarakatan yang hidup mengakar pada era Dinasti Kaisar Chou (1122-222 SM), yaitu bahwa Sang Kaisar harus mempunyai sejumlah penasehat yang bijaksana yang dengan tak kenal lelah akan mengingatkannya akan tugas dan tanggungjawab moral-sosial sekaligus mengoreksi Sang Kaisar jika ia menyalahgunakan posisinya atau setting a bad tone for the people (LaFargue, ibid., hlm. 193) [ix] LaFargue, ibid., hlm. 257 catatan kaki no 17. Istilah “self-cultivation” ini diperkirakan malah berasal dari Mencius (373-288 SM). Ada metafor pertanian dari kata hsiu dengan perbandingan “weeding fields” (lahan pertanian yang ditumbuhi bunga-bunga/rumput-rumput liar). Hsiu juga mempunyai konotasi “memperbaiki” seperti “perbaikilah tembok dari rumahku” (Mencius 4B/31,1) [x] LaFargue, ibid., hlm. 194. [xi] LaFargue, ibid., hlm. 196-216. LaFargue, ibid., hlm. 196. Almost all of these works are collections of material put together by others. Diperkirakan baru pada dinasti Han (mulai tahun 206 SM) tradisi menuliskan sendiri pemikiran-pemikiran menjadi sesuatu yang lazim dalam masyarakat Cina. [xiii] Pandangan yang diterima umum adalah bahwa aliran pemikiran Taoist merupakan lawan atau kritik terbesar dari aliran pemikiran Konfusianis. Namun, sebagaimana sudah kita singgung pada bagian I, musuh-musuh kaum Laoist adalah mereka yang berpegang teguh atau membela mati-matian norma-norma sosial konvensional. [xiv] LaFargue, op. cit., hlm. 189. [xv] Sehingga diasumsikan pembaca sudah cukup terbiasa baik dengan alam pikiran Kitab Suci agama Kristen maupun dengan aliran-aliran yang terdapat dalam Hermeneutika sebagai teori Eksegese Biblis itu sendiri beserta distingsi-distingsi di dalamnya. Metode Hermeneutis ini belakangan juga menjadi suatu aliran tersendiri dalam filsafat Barat yang terlepas dari penelitian Kitab Suci, misalnya sebagaimana dikembangkan oleh para filsuf berikut ini: F. Schleiermacher (1768-1834), Paul Ricoeur dalam bukunya De l’Interpretation, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer dalam bukunya Wahrheit und Methode (1960). [xvi] LaFargue, op. cit., hlm. 54-85. [xvii] Untuk uraian panjang lebar mengenai Wu Wei ini bisa dilihat di Umar Hadi, Yosep. “Taoisme” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur: Capita Selecta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993. Khususnya mulai hlm. 79-85. Di sini Umar Hadi secara harfiah menerjemahkan wu wei sebagai “jangan mencampuri” (dan ini kurang tepat). Lebih tepat kalau dikatakan bahwa wu wei ini sebagai suatu sifat spontanitas yang mengalir selaras dengan alam dan kodrat. [xviii] Ini adalah istilah yang khas dari pemikiran Laoist. LaFargue (ibid., hlm. 236) berargumen bahwa istilah Mu (Ibu) di sini adalah suatu hipostatisasi. Artinya berbicara seolah-olah benda/barang/peristiwa/fenomenon adalah sebuah entitas atau kekuatan yang independen. Misalnya: “Cuaca agaknya berperilaku aneh hari ini,” adalah hipostatisasi dari cuaca, atau “Biarkan musik itu mengalir lewat jari-jemarimu” adalah sebuah hipostatisasi dari musik. Hipostatisasi adalah bagian dari Laoist imaginal and linguistic style (lih. LaFargue, ibid., Hlm. 228) [xix] Misalnya sebagaimana dijabarkan oleh filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre dalam L’être et le Néant (Being and Nothingness) (1943) yang banyak mengupas soal kesadaran manusia yang intensional (kesadaran akan sesuatu). [xx] Keterangan yang pantas dicatat di sini adalah bahwa P’u bisa berarti kesederhanaan (simplicity), maupun kodrat alamiah manusia (human nature) sebelum ia dipahat dan dibentuk dalam masyarakat sehingga menjadi barang buatan (artifice). Bisa jadi, ini adalah kritik atas ‘pendewaan’ keluarga, masyarakat dan ritus (li) dalam aliran pemikiran Konfusius. [xxi] Tao yang dapat diungkapkan bukanlah Tao yang abadi. Nama yang dapat disebut bukanlah nama yang abadi. Yang tak bernama asal-usul langit dan bumi. Yang bernama adalah induk dari segala benda. [xxii] Charles Luk (Lu K’uan Yü), The Secrets of Chinese Meditation, London: Rider ∓ Company, 1964, khususnya hlm. 163-190 Chapter 5 “Self-Cultivation according to Taoist School.” [xxiii] Heider, John. The Tao of Leadership: Lao Tzu’s Tao Te Ching Adapted for a New Age. New York: Bantam Books. 1988. Chapter “The Tao of Power” Halaman 12 [xxiv] Sun Kwong Loi, “Ideas of the Good in Chinese Philosophy” in A Companion to World Philosophies: Blackwell Companions to Philosophy (edited by Eliot Deutsch ∓∓∓ Ron Bontekoe), Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1997, hlm. 114-115.