Kamis, 20 September 2007 EMILE DURKHEIM EMILEDURKHEIM A.BIOGRAFI Emile Durkheim lahir di epinal, prancis 15 April 1858, ia keturunan pendeta yahudi dan ia sendiri belajar untuk belajar jadi pendeta (rabbi). Tetapi ketika umur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademik ketimbang teologis (Mastrovic, 1998). Ia bukan hanaya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan pada umumnya dan banyak memberikan perhatian pada maslaah kesustraan dan estetika. Ia juga menbdalami metode ilmiah dan prinsip moral yang di perlukan untuk memahami kehidup sosial, ia menolak tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapat pendidikan ilmiah yang dapat di sumbangkan untuk pedoman masyarakat. Meski ia tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di paris. Hasratnya terhadap ilmu makinn besar kaiatannya dalam perjalannya ke jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang di rintis oleh Wilhelm Wundt (Durkhaime 1993/1887) beberapa tahun sesudah kunjungannya ke jerman, Durkhaime menerbitkan sejumlah buku di antaranya adlah tentang pengalaman selama di jerman (R.jones.1994). penerbitan bukunya itu membantu Durkhaime mendapat jabatan di jurusan filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. disinilah Durkaime pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Prancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelum kehebohan meledak di Universitas Prancis karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab Durkhaime adalah mengajarkan padagogik di sekolah pengajar dan kuliah terpenting adalah bidang pendidikan moral. Tujuan interaksional umum mata kuliahnya adalah mengkomunikasiskan sistem moral kepada para pengajar yang di harapkan kemudian akan di teruskan kepad anak-anak muda dalam rabngka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang di lihatnya terjadi di tengah masyarakat prancis. Tahun-tahun berikutnya di tandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis Doktornya, The Devisien of labor in society dalam bahasa perancis dan tesisnya tentang Montesque dalam bahasa latin (W.Miller, 1993). Buku metodologi utama, the Rule of sosiological method , terbit tahun 1899 di ikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam dalam studi tentang bunuh diri, sekitar tahun 1896 ia menjadi profeesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Prancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu pendidikan dan pada tahun 1913 titel ini diubah menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi. Karyanya yang sangat terkenal lainnya, the elementary forms of religious life, di terbitkan pada 1912. Kini Durkhaime sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi di masa hidupnya ia dianggap berpikirtan libberal dan ini di tunjukkan oleh peran publik aktif yang di mainkan dalam membela Alfred Dreyfus, seorang kapten tentara yahudi yang di jatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang di rasakan bermotif anti-yahudi. Durkhaime merasa sangt terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-yahudi yang melatar belakangi pengadilan. Namun Durkhaime tidak mengaitkan pandangan anti-yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang di hadapi masyarakat perancis sebagai keseluruhan (Birnbaum dan todd, 1995). Ia berkata Bila masyarakat mengalami penderitaan, maka perlu menemukan seseorang yang dapat dinggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang itu dapat di jadikan sasaran balas dendam kemalangan itu, dan orang yang menentang pendapat umum yang diskriminatif, biasanya akan di tunjukkan sebagai kambing hitam yang akan di jadikan korban, yang menyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus1894.keriangan meluap di jalan raya, rakyat merayakan kemenangan atas apa yang dianggap sebagai penyebap penderitaan umum,sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus di salahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari yahudi, melalui fakta ini juga segala sesuatu telah di lihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur.(lukes, 1972:345). Perhatian Durkhaime terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap morallitas dan krisis moral yang di hadapi masyarakat modern. Menurut Durkhaime, jawaban atas perkawa Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauaan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tidak dapat di lakukan secara cepat dan mudah, Durkhaime yang menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang mengobarkan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebencian itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar :“mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik”(Lukes, 1972;347) Tetapi minat Durlhaime terhadap sosialisme juga di jadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif , meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkhaime sebenarnya menamakan Marxisme sebagai”seperangkat hipotesis yang dapat di bantah dan ketinggalan zaman”(Lukes, 1972;323). Menurut Durkhaime, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada pembaruan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tidak tertaraik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialis. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkhaime, sosialisme sangat berbeda dari apa yang biasanya kita pikirkan sebagai sosialisme. Bag Durkhaime, sosialisme mencerminkan sebuah sistem di mana di dalamnya prinsip moral di temukan memlalui prinsip sosiologis ilmiah di tempat prinsip moral itu di terapkan. Durkhaime berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tidak hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur melalui jurnal L’annee sociologique yang didirikan tahun 1898. sebuah lingkaran iltelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkhaime berada di pusatnya. Melalui jurnal itu, Durkhaime dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi – yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologis Durkhaime meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Prancis tersohor. Tetapi, karya Durkhaime mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure Of Social Action (1937) karya talcot Parson Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris. Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis. Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912. Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997). Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata : Bila masyarakat mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap di jalan raya. Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur (Lukes, 1972:345). Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar “mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347). Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme sebagai “seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman” (Lukes, 1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu diterapkan. Durkheim berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi. Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1973) karya Talcott Parsons. Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh - ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya - banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya. Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882. Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis. Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik. Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi. Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar – kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”. Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917. [sunting] Teori dan gagasan Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme. Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu. Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern[1]. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif. Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri. Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik. Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim) [sunting] Tentang pendidikan Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini sebagian karena ia secara profesional dipekerjakan untuk melatih guru, dan ia menggunakan kemampuannya untuk menciptakan kurikulum untuk mengembangkan tujuan-tujuannya untuk membuat sosiologi diajarkan seluas mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik pada bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis semacam latar belakang sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai sumber solidaritas bagi orang-orang dewasa. Durkheim berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi: 1) Memperkuat solidaritas sosial • Sejarah: belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang membuat seorang individu merasa tidak berarti. • Menyatakan kesetiaan: membuat individu merasa bagian dari kelompok dan dengan demikian akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan. 2) Mempertahankan peranan sosial • Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan, tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang muda untuk memenuhi berbagai peranan. 3) Mempertahankan pembagian kerja. • Membagi-bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka. EMILE DURKHEIM: potret Pemikiran Posted by on 07/04/2011 in sosiologi | 0 Comment 1. KONTEKS SOSIAL & LATAR BELAKANG PRIBADI Emile Durkheim bersama dengan Max Weber dan Karl Marx dikenal sebagai pemikir yang paling berpengaruh dalam ilmu Sosiologi. Ketiganya bersama dengan Freud adalah para pemikir klasik dalam arti yang sesungguhnya . Mengutip Alexander Belhartz menyatakan bahwa mereka menciptakan kosa kata yang menjadi kerangka referensi serta memungkinkan kita untuk mempersingkat , memadatkan dan menyederhanakan persoalan yang kompleks dan karenenaya memungkinkan kita untuk berbicara actual satu sama lain. Berbeda dengan Weber dan Marx, maka Durkheim adalah orang yang paling sedikit terlibat secara pribadi dalam kejadian-kejadian politik yang besar dalam masa hidupnya, semua karyanya bersifat akademik, tidak terlalu terpencar-pencar dan sifat propagandanya lebih sedikit dibandingkan dengan karya-karya Marx dan Weber . Menurut Giddens , pengaruh-pengaruh intelektual yang sangat penting di dalam memberikan sumbangan kepada pandangan teoritis Durkheim, lebih homogen dan mudah untuk dirinci daripada pengaruh-pengaruh yang menentukan karya dari Weber dan Marx. Kehidupan Durkheim sendiri dapat kita kata berjalan secara linier. Artinya dari kecil, ia hidup lebih berkecukupan. Kehidupan Durkheim yang relatif datar tersebut ditandai dengan kesuksesan akademis dan perkawinan yang bahagia , dan ini yang menjadikannya kurang menarik sebagai biografi . Ia dilahirkan pada 15 April 1858di Perancis Timur dari keluarga Yahudi Ortodoks. Dalam meniti karis intelektualnya ia lebih cenderung pada bidang intelektual sekuler daripada religius, ini menandakan bahwa ia lebih mengutamakan modernitas daripada tradisi, namun syarat-syarat persetujuan dari ayahnya cukup profetik-serius dan bekerja keras . Setelah merampungkan pendidikannya di Paris pada tahun 1882, untuk beberapa tahun kemudian Durkheim mengajar filsafat . Tahun 1887 ia mengajar bidang sosiologi dan pendidikan di fakultas Sastra Universitas Bordeaux. Pada tahun 1887 inilah dia menikah , dan istrinya bernama Louise Dreyfus gbersama dua anakanya sangat berjasa bagi Durkheim dalam mengarungi dan mengembara dalam dunia intelektual melalui penyalinan manuskrip, mengoreksi naskah, dan terlibat dalam administrasi editorial Anne Sociologique yang dibentuk oleh Durkheim. Selama limabelas tahun ia melahirka tiga karya besar ; The Division of Labour in Society (1893), The Rule of Sociological Methos (1895), dan Suicide (1897). Ia juga dikenal sebagai orang yang mempunyai kepedulian terhadap dunia pendidikan, yang wujudnya dengan kerja kerasnya, tanpa kenal waktu untuk aktif memberi kuliah, terlibat aktif dalam administrasi universitas dan reformasi pendidikan. Reputasi intelektual Durkheim dan meningkatnya legitimasinya dalam bidang ilmu-ilmu social dengan diangkatnya sebagai pimpinan di Universitas Bordeaux tahun 1896, tetapi yang dianggap paling prestisius dan frnomenal sebagai pengakuan intelektual adalah permintaan untuk mengajar di Sorbone pada tahun 1902. Di Sorbone tersebut ia diberi tuga suntuk menangani bidang-bidang pendidikan, baru sebelas tahun kemudian ia dikenal sebagai salah seorang sosiolog. Karena terlalu bekerja keras kesehatannya mulai merosost, dan akhirnya ia meninggal dunia pada bulan Nopember 1917, pada usia 59 tahun. Menjelang abad 19 Durkheim menjadi seorang ahli sosiolog yang paling berpengaruh di Eropa, akan tetapi karya-karyanya tidak langsung memiliki pengaruh besar pada pertumbuhan sosiologi di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat pada waktu itu berorientasi pada tindakan dan pembaharuan (Reform-and action oriented), yang akrab dengan pekerjaan social dan tugas-tugas pemerintah. Di Amerika pada waktu itu mengikuti behaviorisme, yang menggabungkan studi tentang realitas subyektif dan obyektif, gabungan sebuah sosiologi dan psikologi ini bukan merupakan tradisi intelektual Durkheim, yang cenderung menunjukkan kebutuhan sosiologi daripada psikologi. Pada tahun 1930-an pemikiran Durkheim mulai berpengaruh di Amerika, melalui jasa Talcot parson, (Tokoh teori structural fungsional), yang kemudian dikembangkan oleh Robert K Merton (Murid Parson) . Menurut Tom Bottmore, sebagai seorang ilmuwan, Durkheim mempunyai tujuan mulia, sosilogi yang dikembangkan adalah demi tujuan untuk mengembangkan moral baru tentang masyarakat . Walaupun dalam perkembangan keilmuan nantinya Durkheim lebih banyak bicara masalah masyarakat, ia tidak melupakan perhatiannya tentang persoalan kenegaraan. Cita-cita dari sosilogi Durkheim adalah terciptanya negara bangsa yang kuat di masyarakat. Baginya negara adalah sebuah badab khusus yang bertanggungjawab untuk mengerjakan representasi-representasi tertentu yang bgerlaku bagi kolektifitas, negara sebagai kehendak kolektif nasional dan mempunyai keutamaan dapat mendahulukan kepentingan nasional diatas seluruh kepentingan masyarakat . Obsesinya dalam terhadap negara yang kuat tidak bias dilepaskan dari kondisi Prancis pada waktu Durkheim hidup yang serba kacau karena didalam kondisi kekalahan perang melawan Prussia dan pertentangan kelas yang ganas yang diwariskannya dari konflik tak terpecahkan yang berlangsung terus menerus, sampai ke Revolusi Prancis antara golongan Monarchi bersama dengan kanan katholik melawan golonga kiri Republik yang anti rohaniawan katolik. Latar belakang ini yang menjadikannya lebih mementingkan pendekatan consensus darupada konflik. 2) ASUMSI DASAR EMILE DURKHEIM Menurut Gourdlner, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, para ahli sosilogi akan melakukan penelitian mereka dengan melihat asumsi yang telah ada. Karakter sosiologi bergantung pada asumsi tersebut telah mengalami perubahan, oleh sebab itu untuk mengetahui karakter sosiologi, untuk memahami apa sebenarnya sosiologi itu, kita dipaksa untuk mengetahui asumsi-asumsi yang palig dasar tentang manusia dan masyarakat. Oleh karena itu dalam memahami karakter sosiologi bukan melihat pada metode studinya, tetapi pada asumsi-asumsinya tentang manusia dan masyarakat. Penggunaan metode tersebut menunjukkan eksistensi asumsi-asumsi tertentu tentang manusia dan masyarakat . Begitu juga bila kita ingin melihat Durkheim, kita harus mengetahui asumsi dasar yang diambil sebagai kepercayaan intelektualnya. Dalam hal ini Durkheim mengasumsikan bahwa masyarakat adalah sebuah fakta social. Dalam hal ini fakta-fakta social ditentukan oleh masyarakat bukanlah individu. Fakta social menurutnya berada diluar individu. Disaat memenuhi kewajibannya, manusi melakukan tugas-tugasnya sangat dipengaruhi oleh masyarakat walaupun tugas tersebut sesuai dengan kehendaknya pribadi. Konsepsinya yang menekankan pada pengaruh masyarakat tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh Schaffle. Yang meyakini bahwa masyarakat mempunyai sifat-sifat spesifik tersendiri yang terpisah dengan sifat anggota-anggotanya masing-masing. Dengan dipengaruhi pemikiran Schaffle, ia percaya bahwa masyarakat bukanlah sekumpulan individu tetapi merupakan “Benda Hidup” yang jauh telah ada sebelum adanya individu-individu, dimana masyarakat lebih banyak berpengaruh ke individu, daripada individu berpengaruh ke masyarakat . Masyarakat adalah satu kesatuan yang mempunyai cirri khasnya sendiri, karena ia percaya bahwa sebuah keseluruhan tidaklah sama dengan jumlah bagian-bagiannya, sepanjang bagian-bagian itu terorganisasi dengan cara tertentu, maka organisasi dari antara hubungan-hubungan tersebut mempunyai cara-cara tersendiri. Masyarakat sendiri bagi Durkheim diyakini sebagai hal yang menyerupai organisme . Pemikiran ini dipengaruhi oleh teori organisme yang berkembang subur pada waktu itu. Dalam hal ini masyarakat diyakini sebagai satu kesatuan yang terintegrasi, sehingga antar bagian-bagiannya saling tergantung, bila salah satu bagian tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka akan berpengaruh bagi kelangsungan bagian yang lainnya. Karena itu pula Durkheim percaya bahwa masyarakat modern dilihat sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas sendiri. keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan yang harus dipenuhioleh bagian –bagian yang menjadi anggotanya, agar dalam keadaan normal, langgeng. Bila tidak dipenuhi akan terjadi patologi. Dalam masyarakat modern sebagai contoh bila di fungsi ekonomi tidak terpenuhi maka, akan bias merusak yang lain, seperti system social politik. Pukulan terhadap system tersebut adalah suatu keadaan patologis yang akhirnya akan normal kembali. Keadaan normal tersebut disebut Equilibrium. 3. Proposi-Proposisi 1). Proposisi Fakta Sosial Durheim menyakini pendekatan yang tepat dalam memahami fenomena sosial adalah fakta sosial. fakta sosial adalah sebuah konsep yang memiliki realitas empiris diluar imajinasi individu. Bagi Durkheim fakta sosial meliputi antara lain status perkawinan, usia, agama, kondisi ekonomi, tingkat bunuh diri dan kejahatan . Dalam hal ini fakta sosial memiliki karekteristik yang bersifat variabel seperti bunuh dini bisa naik dan turun, status seseorang bisa kawin atau belum, ataupun janda. Fakta sosial dengan sedirinya adalah sesuatu yang dapat diamati, konkrit dapat diukur. Dalam memahami fakta sosial , maka dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, setiap orang dilahirkan di masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau struktur yang mempengaruhi keperibadiannya. fakta sosial merupakan hal yang berada diluar bagi pribadi seseorang dalam arti bahwa setiap individu dimanapun hanyalah merupakan unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk suatu masyarakat. Pola hubungan bukanlah ciptaan seseorang akan tetapi terbentuk melalui interaksi antar individu. Durkheim sangat menyakini bahwa tidak ada teori ataupun analisis yang mulai dari individual. Kedua, fakta sosial adalah bersifat empiris 2) Proposisi Pembagian Kerja Bagi Durkheim masyarakat modern tidak mesti mengarah pada kehancuran , karena adanya pengaruh dari integrasi pembagian kerja yang merupakan kestabilan organik. Fungsi pembagian kerja bukanlah sekedar apa yang dikatakan Adam Smith untuk meningkatkan produktifitas, tetapi untuk memungkinkan sebuah kehidupan sosial yang terintegrasi yang tidak tergantung pada keseragaman melulu dalam bagian-bagian sistem itu. Melalui pembagian kerja ini meniscayakan adanya kontarak – kontrak individual yang merupakan komitmen moral yang umum. Pada satu sisi pembagian kerja bisa menimbulkan individualisasi, tetapi individulisasi dapat dicegah pengaruh jeleknya dengan adanya konsesus sebagai tumpuan moral. Kepercayannya terhadap pembagian kerja membuatnya yakin bahwa keperibadian seseorang dikembangkan sesuai dengan sifat spesifik yang dimilikinya, sehingga tidak setiap orang harus menerima pendidikan yang seragam. Tetapi ironisnya ia juga menerima kepercayaan bahwa kita semua untuk mengikuti ideal yang sama Bagi Durkheim pembagian kerja, tidak saja terjadi di masyarakat moderm tetapi juga sudah terjadi di masyarakat tradisional dengan klasifikasinya berdasarkn jenis kelamin. Pembagian kerja sendiri tidak saja terjadi di lingkungan ekonomi, tetapi juga bisa terjadi dilingkungan yang lain, karena itu sangat keliru bahwa keanekaragaman merupakan hasil dari industrialisasi semata-mata. Meningkatnya keanekaragaman yang merupakn ciri dari peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern bisa dianalogikan dengan prinsip biologi, dimana organisme awal yang muncul mempunyai struktur yang sederhana, dan semakin berkembang memunculkan struktur dan spesialisasi yang lebih tinggi. Menurut Durkheim fungsi dari pembagian kerja adalah untuk solidritas social. Karena ketertiban, keselarasan, dan solidaritas merupakan keperluan-keperluan umum atau syarat-syarat hidup yang merupakan keharusan bagi organisme social. Solidaritas tersebut menurut Durkheim dilihat melalui pengklasifikasian peraturan-peraturan hukum yang didasarkan pada sanksi-sanksi yang diberikan untuk memulihkan keadaan seperti semula. Karena dengan mengklasifikasikan peraturan-peraturan hukum orang dapat melacak jenis-jenis solidaritas. 3) Proposisi Solidaritas sosial Membicarakan masalah pembagian kerja, tentu bisa atau tidak bisa kita akan mengaitkan dengan solidaritas sosial yang terjadi di masyarakat.. Menurut Durkheim solidaritas sosial – sebagaimana halnya gejala moral-tidak akan dapat diukur bila tidak mengaitkannya dengan petunjuk eksternal yang telah melembagakannya. Durkheim sendiri membagi solidaritas menjadi dua hal, pertama, solidaritas mekanik , solidaritas ini tumbuh di masyarakat yang lebih trdisional. Dalam masyarakat seperti ini yang terdiri dari klan, suku , dominasi sentimen dan kepercayaan – kepercayaan masih snagt kuat, individualisme rendah, kepemilikan bersifat komunal, keanekaragaman dan spesialisasi masih rendah. Hukum yang berlaku dalam masyarakat ini adalah hukum refresif yang merupakan ciri khas dari hukum pidana yang memberikan hukum pemaksaan dan penderitaan bagi individu yang melakukan pelanggaran. Kedua, adalah solidaritas oganis. Solidaritas ini tumbuh dimasyarakat yang modern, yang bercirikan adanya spesialisasi dan keanekaragaman yang tinggi, individulisme berkembang, dan hukum yang berlaku adalah hukum restitutif yang berarti melibatkan perbaikan , penegakkan kembali hubungan seperti terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang, hukum seperti ini merupakan ciri hukumperdata. Hukum menurut Durkheim mempunyai fungsi utama untuk menegaskan lagi conscience collective dihadapan tindakan-tindakan yang mempertanyakan kebenarannya. 4) Proposisi Individualisme dan anomie Seiring dengn adanya perluasan kerja, individualisme akan semakin tumbuh, sehingga diperlukan sebuah kesadaran kolektif yang membuka kesempatan untuk bermacam-macam perbedan-perbedaan individual yang makin lama makin bertambah. Durkheim percaya bahwa individualisme yng bisa mengarah pada kultus individu tidak akan bisa merebut pengaruh kepercayaan –kepercayan dalam kehidupan, Konsep individualisme Durkheim dapat juga diartikan bahwa penempatan individu dalam fungsi tertentu tidak dibenarkan karena kekerasan, dan individu tidak boleh dihalang-halangi untuk menempatkan posisi tertentu sesuai dengan bakatnya Agar individualisme tidak meruntuhkan masyarakat modern maka bagi Durheim sangat diperlukan adanya sebuah konsensu moral yang tegas untuk menciptakan kohesi sosial. Istilah anomie kita dapat mengacu adanya sebuah peritiwa dimana terjadi kondisi yang tidak menentu karena hukum yang lam sudah tidak diberlakukan, sedangkan hukum yang baru belum berfungsi. Dalam hal in Durkheim pernah menyebut, bahwa pembagain kerja bisa dikatakan berada dalam situasi anomie bila hubungan antar modal dan buruh upahan tidak diatur oleh kontrak-kontrak yang akhirnya bisa mengakibatkan terjadinya konflik buruh dengan pemilik modal. Bila pun ada kontrak, kontrak terkesan dipaksakan . 5 ) Proposisi Bunuh Diri Durkheim menyatakan bahwa dibalik bergelimangnya sebuah kemakmuran dalam masyarakat modern – sesuatu keadaan yang kurang ada pada masyarakat tradisional-, pada mereka banyak juga bermunculan penderitaan-penderitaan yang tidak ada pada masyarakat tradisional . Karena itu dalam masyarakat modern banyak dijumpai terjadi bunuh diri. Dalam mengkaji persoalan bunuh diri,Durheim melakukan distribusi penggolongan fenomena bunuh diri, sebagai contoh menurutnya bunuh diri di Protestan lebih tinggi daripada di Katholik, karena kebebasan di Protestan lebih dihargai. Durkheim juga menyatakan bahwa orang yang tidak menikah mempunyai tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada yang sudah menikah, jumlah keluarga dengan anak yang banyak akan sedikit bunuh dirinya daripada kelurga yang mempunyai anak sedikit. Dia juga menyatakan bahwa adanya krisis politik dan perang yang bisa menjadikan keterlibatan partisipasi masyarakat akan menyebabkan tingkat integrasi yang tinggi, sehingga tingkat bunuh dirinya pun relatif rendah. . Durkheim membagi bunuh diri menjadi beberapa kelompok, pertama bunuh diri egoistis, yaitu bunuh iri yang disebabkan kelakuan seseorang yang bersifat egois. Bunuh diri egoistis adalah bunuh diri yang terjadi karena indivudualisasi berlebihan yang terjadi bila individu tercerabut dari kesadaran kolektif yang memberi arah dan makna kehidupan. Kedua,bunuh diri altruistik, bunuh diri yang biasanya ada pada masyarakat tradisional, yaitu bunuh diri yang dilakukan karena ingin berkorban untuk kesejahteraan umum (obligatory altruistic suicide) , ketiga bunuh diri anomie, yaitu bunuh diri yang terjadi karena tidak adanya peraturan moral. Bunuh diri semacam ini bisa terjadi bila terjadi perubahan –perubahan keadaan, dimana individu tidak siap dengan perubahn tersebut. Dalam kesimpulannya Durkheim sampai pada perumusan-perumusan yang keras bahwa setiap kelompok social mempunyai kecenderungan kolektif ( egoisme, altruisme dan anomi) yang mengadakan paksaan terhadap perilaku manusia untuk bunuh diri, yang merupakan sumber bukannya hasil dari kecenderungan-kecenderungan individual. 6) Proposisi Normalitas dan patologi Term normalitas menjadi hal yang penting dalam mengkaji pemikiran Durkheim dikaitkan dengan persoalan masyarakat. Durkheim menyatakan bahwa jika fenomena sosial dapat ditemukan di seluruh ataupun di mayoritas masyarakat dari jenis masyarakat dengan sistem kemasyarakatan yang sama ,maka hal itu dikatakan sebagai normal. Selain kondisi normal bisa dikatakan terjadi bila masyarakat dalam keadaan proses evolusi , tanpa belum menjadi stabil dalam bentuknya yang baru, unsur-unsur dari apa yang normal bagi tipe yang sedang dalam proses masih berganti masih ada, maka bisa dikatakan normal. Sedangkn patologi adalah sebuah kondisi dimana masyarakat modern dalam kondisi transisi , sedangkan secara bersamaan kepercayaan-kepercayaan berkurang maka hal ini bisa disebut sebagai fenomena patologis. 4. Unit Analisis dan Metodologi Sebagian besar karya-karya Durkheim berusaha untuk menempatkan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang tidak tergantung terhadap ilmu Biologi dan Psikologi. Dalam karyanya “ Les Regles de la methode sociologique” menempatkan fakta-fakta social sebagai obyek kajian. Fakta social disini didifinisikan oleh Durkheim sebagai cara bertindak, berpikir dan merasakan yang ada diluar individu dan yang mempunyai daya paksa atas dirinya. Fakta social yang menjadi obyek kajian tidak sama dengan fakta organis. Menurut Durkheim fakta social merupakan penggambaran-penggambaran dan perbuatan-perbuatan yang ada diluar individu secara terpisah. Fakta-fakta social merupakan realitas yang merupakan jenis tersendiri. Fakta social juga berbeda dengan fakta psikis yang mempunyai bagian material sel-sel otak dan proses psikologis. Fakta social sendiri mempunyai bagian yaitu individu-individu dalam hubungannya satu dengan yang lain. Yang dimaksud individu-individu disini adalah Masyarakat atau suatu kelompok atau suatu organisasi. Karena tanpa substansi itu fakta social tidak bisa ada. Fakta social meliputi; cara bertindak, cara berpikir dan cara berada sebagai bentuk fakta social marfologis yang dapat dilihat secara fisik seperti; bentuk pemikinman, pola jalan, pembagian tanah dan sebagainya, yang ada diluar individu dan mampu melakukan paksaan terhadap mereka. Fakta social menururt Durkheim harus diberlakukan seperti benda. Fakta social harus dipandang dari kualitasnya seperti yang diberikan dalam pengamatan bukan sebagai sesuatu yang dapat dikejar dengan introspeksi. Fakta social dipandang dapat memberikan perlawanan seperti yang dilakukan oleh benda-benda, sehingga meminta orang-orang mengambil jarak emosional. fakta social juga dapat dihitung dan dinyatakan dengan statistik. Fakta social dapat dijelaskan dengan dua cara ; Pertama: fakta social hanya dapat dijelaskan dengan fakta social lain. Maksudnya bahwa suatu fakta social harus dijelaskan berdasarkan fakta-fakta social yang mendahuluinya yang telah menimbulkanya. Kedua; Fakta social dapat dijelaskan dengan fungsi yang dimilikinya. Untuk menjelaskan sebuah fakta social tersebut tetap ada maka perlu penjelasan fungsional dimana fungsi dari fakta social harus selalu ditemukan di dalam hubungannya dengan tujuan social lainnya. Penjelasan fungsional sesuai dengan model organisme, dimana didalam setiap organisme mempunyai organ yang mempunyai fungsi terhadap keseluruhannya. Dari studi-studi yang dilakukan oleh Durkheim yang tercermin di dalam karyanya baik studi mengenai bunuh diri, pembagian kerja , agama , teori pengetahuan dan moral mempunyai kajian inti yaitu hubungan antara individu dan masyarakat yang dijelaskan dalam pengertian tentang manusia rangkap. Menurut Durkheim manusia selalu sadar akan dualitas yang diberikan bersamaan dengan jasmaninya . Dualitas ini terdiri atas jiwa dan raga yang satu sama lain baik secara esensial bertentangan. Dualitas juga di tunjukkan antara individu dan masyarakat . Individu-individu mempunyai kecenderungan jasmaniah yang ditujukan untuk kepentingan pribadi disamping individu harus tunduk kepada ketentuan untuk mengabdi kepada tujuan yang ada diatas individu. Menurut Durkheim manusia itu tidak lain adalah masyarakat. Dualitas timbul karena kehidupan rangkap, yang satu bersifat murni individu yang berakar dari organisme dan yang lain bersifat social yang merupakan kepanjangan dari masyarakat. Dualitas ini memunculkan konflik kepentingan antara individu dan masyarakat. 5. Kritik Menurut Campbell, kajian Durkheim tentang bunuh yang diklaim berdasarkan studi statistik , diragukan keakuratan data yang diperoleh. Selain itu ,Durkheim dikritik karena Durkheim dianggap tidak konsisten dengan pendapatnya bahwa ada motif tertentu dari individu untuk mengorbankan dirinya dalm bunuh diri yaitu sebuah motif untuk menciptakan kesejahteraan bersama, tetapi pada kenyataannya Durkheim pernah mengungkapkan bahwa bunuh diri terjadi karena respon dari kondisi sosial, yang artinya bukan karena kemauan pribadi individu yan menggerakkan .tetapi keadaan sosial yang membuat individu bunuh diri. Campbell juga mengkritik pendapat Durkheim yang menyatakan bahwa norma sosial merupakan faktor pemaksa bagi individu dalam berbuat baik, artinya individu berbuat baik karena terpaksa karena adanya norma, padahal Durkheim juga mempercayai bahwa norma telah dinternalisasikan ke individu, yang berarti individu menjalankan kewajiban karena kesadaran. Artinya telah terjadi kekaburan pendapat dari Durkheim. Campbell juga mengkritik karena Durkheim terlalu percaya terhadap adanya konsesus, seolah-olah ia mengabaikan adanya konflik ataupun kekuasaan dalam masyarakat. Durkheim juga dianggap terlalu berlebihan menyakini bahwa konsesus adalah pengikat masyarakat, padahal kenyataannya ia melihat hukum (refresif) sebagai faktor penting bagi kestabilan. masyarakat. Selain itu, Durkheim dianggap telalu utopia karena mengandaikan masyarakat pasti dalam keadaan konsensus, padahal dalam kenyataan pasti ada konflik di masyarakat karena adanya pilihan terhadap bermacam-macam norma (yang saling tidak bersesuaian). Sedangkn Beryl Langer menilai Durkheim tidak konsisten dalam menerangkan fenomena bunuh diri, terutama tentang konsepasi yang tumpang tindih antara bunuh diri karena respon terhadap kekuatan luar dengan bunuh diri karena kesadaran (altrusitik). Langer juga menganggap solidaritas sosial yang dikatakan Durkheim dapat terjadi akibat pembagian kerja, kenyataannya hal tidak terjadi dimana-mana. Durkheim juga dinggap terlalu evolusioner, sehingga tidak berjiwa revosioner dalam melakukan perbaikan sosial. Dan ia juga dianggap tidak melihat kepentingan kerja dan modal membatasi reformasi sosial kapitalisme. 6. Kesimpulan Terlalu mempercayai pandangan Durkheim, kita akhirnya akan bias terhadap sesuatu yang bersifat “ilmiah”. Seolah olah hanya yang bersifat “ilmiah” saja yng dapat berfunssi bagi kemajuan sistem sosial. Padahal pendekatan lain yang dianggap tidak “ ilmiah” bisa dijadikan solusi bagi sebuah persoalan. Disamping itu bila kita terlalu berorientasi pada hal-hal yang dinggap “ilmiah” (versi Durkheim) , maka kita akan mengabaikn apa yang dinamakan dengan kearifan lokal. Disampng itu kecintaan yang fanatik terhadap pemikiran Durkheim, akan menjadikan kita terpaku pada sesuatu yang bersifat senyatanya, sehingga kita akan melupakan “apa yang seharusnya” untuk dilakukan dan dimunculkan. Dalam arti kepercayaan yang tinggi terhadap segala apa yang dikatakan Durkheim, akan mengakibatkan kita hanya mengkaji persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat, tanpa memikirkan kondisi ideal yang bagimana yang seharusnya dimunculkan. Hal lain yng perlu menjadi pertimbangn kita adalah kolektifitas ataupun masyarakat oriented yang dimunculkan Durkheim, dikuatirkan dapat dijadikn individu untuk tidak mengakui kesalahan yang dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Belharz, Peter, Teori-teori Sosial Modern, Pustaka Pelajar,Jakarta, 2002 Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial, Kanisius, Yogyakarta 1994 Giddens, Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI Press, Jakarta 1986 Lioyd, Christoper, Sosiologi dalam praktek-praktek politik,Aksara Persada Indonesia, 1987 L.Layendecker, Tata, Perubahan dan ketimpangan, PT Gramedia , Jakarta 1991 M. Poloma, Margaret, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press, Yogyakarta, 1984 by imam sofyan Posts Related to EMILE DURKHEIM: potret Pemikiran • Kumpulan Kata – kata Kunci dalam ilmu sosial TEORI – TEORI SOSIAL ( Kata – kata Kunci ) A. Teori Sosial Klasik 1. Herbert Spencer (1820-1903) Evolusi : Proses perubahan secara bertahap yang ... • STRUKTURALISME GENETIF Konteks Sosial dan Latar Belakang Pribadi Pierre Felix Bourdieu adalah salah seorang pemikir Prancis paling terkemuka yang dikenal sebagai sosiolog, antropolog dan pada masa akhir ... • weber dalam lintas sosiologi konteks sosial dan latar belakang pribadi weber Maximilian Weber lahir di Erfurt, Thuringia tahun 1864 sebagai yang tertua dari delapan anak, tetapi dibesarkan di Berlin ... • August comte: Bapak Sosiologi I. Riwayat Hidup Auguste Comte Lahir di Mountpelier, Perancis, 19 Januari 1798 dalam keluarga kelas menengah dan ayahnya menjadi pejabat lokal kantor pajak. Meski tergolong ... • TEORI UTAMA PEMBANGUNAN • Pembangunan bukan sekedar fenomena ekonomi semata bukan pula pertumbuhan ekonomi saja melainkan berdimensi sosial. Pertumbuhan ekonomi tidak ada artinya bagi kesejahteraan jika mengabaikan pembangunan ... Karl Marx lahir di Trier, Prusia, 5 Mei 1818. ayahnya, seorang pengacara, menafkai keluarganya dengan relatif baik, khas kehidupan kelas menengah. Orang tuanya adalah dari pendeta yahudi (rabbi). Tetapi, karena alasan isnis ayahnya menjadi penganut ajaran Luther ketika Karl Marx masih sangat muda. Tahun 1841 Marx menerima gelar doktor filsafat dari Universitas Berlin, Universitas yang sangat di pengaruhi oleh Hegel dan guru - guru muda penganut filsafat Hegel, tetapi berpikir Kritis. Gelar doktor Marx di dapat dari kajian filsafat yang membosankan, tetapi kajian itu mendahului berbagai gagasannya yang muncul kemudian. Setelah tamat ia menjadi penulis untuk sebuah koran liberal radikal dan dalam tempo 10 bulan ia menjadi editor kepala koran itu. Tetapi karena pendirian politiknya, koran itu kemudian di tutup pemerintah. Esai – esai awal yang di terbitkan dalam periode mulai mencerminkan sebuah pendirian yang membiumbing Marx sepanjang hidupnya. Esai-esai tulisan Marx itu secara bebas di taburi prinsip-prinsip demokrasi , ia menolak keabstrakat filsafat hegelian, mimpi naif komunis utopiadan gagasan aktivis yang mendesak apa yang ia anggap sebagai tindakan politik prematur. Dalam menolak gagasn aktivis ini Marx meletakkan landasan bagi gagasan hidup sendiri. Upaya praktis, bahkan dalam mengarahkan massa sekalipun, akan di jawab dengan meriam saat upaya itu di anggap berbah. tetapi, gagasan yang dapat mengarahkan intelektual kitadan yang menaklukkan keyakinan kita, gagasan yang dapat membekukan kita, merupakan belenggu – belenggu di mana seorang hanya bisa lepas darinya dengan mengorbankan nyawanya; gagasan-gagasan itu seperti setan sehingga orang hanya dapat mengatasinya dengna menyerah kepada Marx (Marx, 1842/1977;20) Marx menikah pada 1843 dan tak lama kemudian ia terpaksa meninggalkan jerman untuk dapt suasana yang lebih libaral di Paris. Di Paris ia bergualat dengan gagasan Hegel dan pendukungnya, tetapi ia juga menghadapi dua kumpulan gagasan baru – sosialisme Prancis dan politik Ekonomi Inggris. Dengan cara yang unik dia menggabungkan hegelian, sosialisme dan ekonomi politik yang kemudian menentuka orientasi intelektualnya. Hal yang sangat penting pula adalah pertemuannya dengan orang yang kemudian menjadi teman seumur hidupnya, donatur dan kolabolatornyayakni Fredrich Engels (Carver, 1983) Engels anak penguasa pabrik tekstil menjadi seorang sosialis yang mengkritik kondisis kehidupan yang di hadapi kelas buruh. Banyak di antara rasa kasihan Marx kesengsaraan kelas buruh berasal dari paparannya kepada Engels dan gagasannya sendiri. Tahun 1844 Marx dan Engels mengadakan diskusi panjang di sebuah Café terkenal di Paris dan meletakkan landasan kerja untuk bersahabat seumur hidup. Mengenai diskusi itu Engels berkata ”kesepakatan lengkap kami dalam dalam semua budang teori menjadi nyata….dan perjanjian kerja sama kami mulai sejak itu”(McLellan, 1993:131) di tahun berikutnya Engels menerbitkan karya the condition Of The Working Class in England. Selama periode itu Marx menerbitkan sejumlah karya yang sangat sukar di pahami (kebenyakan belum di terbitkan semasa hidupnya) termasuk the Holy Family dan The German ideology (di tulis bersama Engels)dan ia pun menulis the economic and philosophic manuscripts 1844 yang menandakan perhatiannya terhadap bidang ekonomi main meningkat. Meski Marx dan Engels mempunya orientasi teoritis yang sama, namun ada juga beberapa perbedaan di antara mereka. Marx cenderung menjadi seorang intelektual teoritis yang kurang teratur dan sangat berorientasi kepada keluarga. Engels adalah pemikir praktis, rapi dan pengusaha teratur dan orang yang tak percaya pada lembaga keluarga. Meski mereka berbeda, Marx dan Engels menempa kerja sama yang akrab sehingga mereka berkolabirasi menulis buku dan artikel dan bekerja sama dalam organisasi radikal, dan bahka Engels membantu membiayai Marx selama sisa hidupnya sehingga memungkinkan marx mencurahklan perhatiannya pada kegiatan intelektual dan politiknya. Meski ada asosiasi erat antara nama Marx dan Engels, namun Engels menjelaskan bahwa ia teman junior; Marx mampu berkarya sangat baik tanpa aku. Aku tidak pernah mencapai prestasi seperti yang di capai Marx. Pemahaman Marx lebih tinggi, pengalamannya lebih jauh dan pandangannya lebih luas serta cepat ketimbang aku. Marx adlah jenius(Engels, di kutip dalam McLellan,1973;131-132) Banyak yang percaya bahwa Engels gagal memahami berbagai seluk beluk Marx. Setelah Marx meninggal, Engels menjadi juru bicara utama bagi teori marxian dan dalam berbagai cara menyimpangkan dan terlalu menyerderhanakannya, meski ia tetap setia terhadap perspektif politik yang ia tempa bersama Marx. Karena beberapa tulisannya telah menggangu pemerintahan prusia, pemerintah perancis(atas permohonan prusia)mengusir Marx tahun 1845 dan karenanya Marx pindah ke Brussel. Radikelismenya meninggkat dan ia menjadi anggota aktif di bidang gerakan revolusioner internasional. Ia pun bergabung dengan liga komunis dan bersama Engels diminta menulis anggaran dasar liga itu, hasilnya adalah manifestor komunis 1848, sebuah karya besar yang di tandai oleh slogan-slogan politik yang termasyur (misalnya ‘kaum burh seluruh dunia bersatulah’!!). Tahun 1849 ia pindah ke london dan, mengingat kegagalan revolusi politik tahun 1848, ia menarik diri dari aktivitas revolusioner dan beralis ke kegiatan rsiset yang lebih rinci tentang peran sistem ka[pitalis. Study ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku das kapital.jilid pertama di terbitkan tahun 1867; kedua jilid yang lainya di terbitkan sesudah ia meninggal. Selama riset dan menulis itu ia hidup dalam kemiskinan, membiayai hidupnya secara sederhana dari honorarium tulisannya dan bantuan dana dari Engels. Tahun 1864 Marx terlibat kembali dalam kegiatan politik, bergabung dengan ‘The Internasional’, sebuah gerakan buruh internasio nal. Ia segera menonjol dalam gerakan itu dan mencurahkan perhatian selama beberapa tahun untuk gerakan itu. Ia mulai mendapat popularitas, baik sebagai pimpinan internasional maupun sebagai penulis des kapital. Perpecahan gerakan internasional tahun 1876, kegagalan dari berbagai gerakan revolusioner dan penyakit – penyakit, akhirnya membuat Marx ambruk. Istrinya wafat tahun 1881 dan anak perempuannya tahun 1882 dan Marx sendiri wafat di tahun 1883. Karl Marx Karl Marx lahir di Trier, sebuah kota di Jerman, dekat perbatasan dengan Prancis di tahun 1818. lahir setelah perang Napoleon, dan setahun setelah David Ricardo meluncurkan bukunya “The Principles of Political Economy”. Dia merupakan pendiri Idiologi komunis yang sekaligus merupakan seorang teoritikus besar kapitalisme. Bukan hanya sekedar ekonom, namun juga seorang philosopis, sosiologis, dan seorang revolusionir. Merupakan seorang profesor dalam berbagai ide yang Revolusioner, yang menginspirasi pemikir-pemikir lainnya. Setelah menyelesaikan gelar Ph. D dalam filsafat pada tahun 1841 di Bonn, Berlin, dan Jena. Maka dari sinilah karier Marx dimulai. Pemikiran Karl Marx merupakan adopsi antara filsafat Hegel, French, dan tentunya pemikiran dari David Ricardo (pemikir teori ekonom klasik). Analisa Karl Marx tentang kapitalisme merupakan aplikasi dari teori yang dikembangkan oleh G.W.F Hegel, dimana teorinya berpendapat juka,”sejarah berproses melalui serangkaian situasi dimana sebuah ide yang diterima akan eksis, tesis. Namun segea akan berkontradiksi dengan oposisinya, antitesis. Yang kemudian melahirkanlah antitesis, kejadian ini akan terus berulang, sehingga konflik-konflik tersebut akan meniadakan segala hal yang berproses menjdai lebih baik.” Karl Marx beserta teman dekatnya, yakni Friedrich Engles (1820-1895) menuliskan sebuah buku “Das Kapital”, yang isinya kurang lebih tentang bagaimana ekonomi sosial atau komunis diorganisasikan. Yang kemudian disusul buku The Communist Manifesto (1848) yang berisikan daftar singkat karakter alamiah komunis. Dimana suprastruktur yang berfungsi untuk menjaga relasi produksi yang dipengaruhi oleh historis (seni, literatur, musik, filsafat, hukum, agama, dan bentuk budaya lai yang diterima oleh masyarakat). Prinsip-prinsip komunis modern dalam bukunya tersebut antara lan : 1. pengahapusan kekayaan tanah dan menerapkan sewa tanah bagi tujuan-tujuan publik. 2. pengenaan pajak pendapat (tax income) yang bertingkat. 3. pengapusan seluruh hak-hak warisan. 4. penarikan kekayaan seluruh emigran dan para penjahat atau pemberontak. 5. sentralisasi kredit pada negara melalui bank nasional dengan modal negara dan monopoli yang bersifat eksklusif. 6. sentralisasi alat-alat komunikasi, dan transportasi di tangan negara. 7. perluasan pabrik dan alat-alat produksi yang dimilki oleh negara, menggarap tanah yang tanah, dan meningkatkan guna tanah yang sesuai dengan perencanaan umum. Karl Marx percaya dalam kapitalisme, terjadi keterasinagan (alienasi) manusia dari dirinya sendiri. Kekayaan pribadi dan pasar menurutnya tidak memberikan nilai dan arti pada semua yang mereka rasakan sehingga mengasingkan manusia, manusia dari diri mereka sendiri. Hasil keberadaan pasar, khususnya pasar tenaga kerja menjauhkan kemampuan manusia untuk memperoleh kebahagiaan sejati, karena dia menjauhkan cinta dan persahabatan. Dia berpendepat bahwa dalam ekonomi klasik, menerima pasar tanpa memperhatikan kekayaan pribadi, dan pengaruh kebradaan pasar pada manusia. Sehingga sangat penting untuk mengetahui hubungan antra kekayaan pribadi, ketamakan, pemisahan buruh, modal dan kekayaan tanah, antara pertukaran dengan kompetisi, nilai dan devaluasi manusia, monopoli dan kompetisi dan lain-lain. Fokus kritiknya terhadap ekonomi klasik adalah, is tidak memeperimbangkan kekuatan produksi akan meruntuhkan hubungan produksi. Hasil dari teori historis Karl Marx pada masyarakat antara lain : a. masyarakat feudalisme, dimana faktor-faktor produksi berupa tanah pertanian dikuasai oleh tuan-tuan tanah. b. Pada masa kapitalisme hubunganantara kekuatan dan relasi prodksi akan berlangsung, namunkarena terjadi peningkatan output dan kegiatanekonomi, sebagaimana feudalisme juga mengandung benih kehancurannya, maka kapitalismepun akan hancur dan digantikan dengan masyarakat sosialise. c. Masa sosialisme dimana relasi produksi mengikuti kapitalisme masih mengandung sisa-sisa kapitlisme. d. Pada masa komunisme, manusia tidak didorong untuk bekerja dengan intensif uang atau materi. Menurut Karl Marx dalam komoditas dan kelas dapat dibagi menjadi dua kelas, yaitu: a. kaum kapitalis (borjuis) yang memiliki alat-alat produksi. b. Kaum buruh (proletar) yang tidak memiliki alat-alat produksi, ruang kerja, maupun bahan-bahan produksi. Teori historis dari Karl Marx mencoba menerapkan nya ke dalam masyarakat, dengan meneliti antara kekuatan dan relasi produksi. Dimana nantinya akan terjadi sebuah kontradiksi, yang berakibat perubahan kekuatan produksi dari penggilingan tangan pada sistem feodal menjadi penggilingan uap pada sistem kapitalisme. Menurutnya satu-satunya biaya sosial untuk memproduksi barang adalah buruh. Analisa karl marx tentang Kapitalisme karl marx adalah salah satu penentang ekonomi kapitalis memunculkan akibat social yang tidak diinginkan dan sebagai pertentangan pada kapitalisme menjadi lebih nyata dari waktu ke waktu. Kritik karl marx ini tertuang pada hukum Karl Marx tentang kapitalisme, yang berisi tentang : 1. Surplus pengangguran Pada konsep tentang surplus pengangguran ini, Karl Marx berpendapat bahwa selalu terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja yang erdampak pada penekanan tingkat upah sehingga menjadi surplus value dan keuntungan tetap bernilai positif. Karl Marx melihat ada 2 faktor penyebab terjadinya surplus tenaga kerja ini. Pertama, yaitu Direct Recruitment yang terjadi akibat penggantian tenaga kerja manusia oleh mesin-mesin produksi. Kedua, Indirect Recruitment yang terjadi akibat adanya anggota baru tenaga kerja yang memasuki pasar tenaga kerja. 2. Penurunan tingkat keuntungan Dalam model Karl Marx dirumuskan bahwa tingkat keuntungan (P) mempunyai hubungan positif dengan tingkat surplus Value (S’) dan mempunyai hubungan negative dengan organic komposition of capita (Q). P=S’(1-Q) Dengan asumsi bahwa surpus value dipertahankan untuk tidak berubah. Setiap kenaikan dalam organic composition of capital akan menghasilkan penurunan pada tingkat keuntungan, melalui mekanisme sebagai berikut. Menurut Karl Marx ada pengaruh yang kuat para kapitalis untuk menghimpun modal. Penghimpunan modal ini berarti bahwa aka nada lebih banya fariabel modal yang digunakan untuk menambah tenaga kerja, sehingga akan menaikkan upah dan akan mengurangi tingkat pengangguran. Tingkat surplus value akan mengalami penurunan sebagai akibat dari naiknya upah, begitu juga tingkat laba juga akan turun. Para kapitalis akan bereaksi dengan mengganti tenaga kerja manusia dengan mesin dengan menambah organic composition of capital. Jika tingkat surplus value dipertahankan untuk tidak berubah maka kenaikan pada organic composition of capital akan mendorong tingkat keuntungan pada level yang lebih rendah. 3. Krisis Bisnis Pada konteks krisis bisnis (depresi), Karl Marx berpendapat bahwa adanya perubahan orientasi atau tujuan dari proses produksi dari tujuan nilai guna pada zaman ekonomi barter berubah menjadi tujuan nilai tukar dan keuntungan saat dibawah kapitalisme, menyebabkan terjadinya fluktuasi ekonomi. Pada ekonomi barter, produse hanya menghasilkan barang untuk dikonsumsi sendiri atau ditukar dengan komoditi yang lain, sehingga pada saat ekonomi barter ini tidak pernah terjadi over produksi. Sedangkan ketika tujuan produksi berubah menjadi nilai tukar dan keuntungan maka terjadinya over produksi pada suatu perekonomian akan mungkin terjadi. Over produksi itu sendiri akan berdampak pada menurunnya tingkat keuntungan. Perubahan tingkat keuntungan tersebut akan berdampak pada pengeluaran untuk infestasi. Volatility dari pengeluaran infestasi inilah yang menurut pendapat Karl Mark merupakan penyebab umum dari fluktuasi pada keseluruhan aktifitas ekonomi. menghasilkan siklus bisnis, hal ini Karl Marx bercermin pada pertumbuhan dramatic pada industry tekstil di Inggris dengan mekanisme sebagai berikut. Adanya ledakan pada teknologi akan menyebabkan peningkatan akumulasi dari modal dan permintaan pada tenaga kerja. Jumlah pengangguran akan berkurang, tingkat upah akan naik, surplus value akan berkurang, dan tingkat surplus value akan berkurangdan akhirnya akan mengurangi tingkat keuntungan. Penurunan tingkat keuntungan akan menyebabkan penurunan akumulasi modal dan akan menyebabkan depresi. Namun menurut Karl Marx depresi ini mempunyai elemen yang akhirnya, cepat atau lambat akan menyebabkan ekspansi yang baru pada kegiatan ekonomi. Teori klasikmelihat bahwaadanya pasar di harapkan dapat memecahkan masalah alokasi sumber daya yang ada, hal ini akan menciptakan suatu kondisi keseimbangan dalam jangka panjang. 4. Jatuhnya nilai profit dan krisis bisnis Dalam model Karl Marxian sebuah ekonomi klasik dengan jelas bergantung pada kapitalis itu sendiri yang berupaya untuk mengubah jumlah atau nilai profit dan mengubah ekspetasi profit dalam kaitannya dengan krisis bisnis. Karl Marx memakai hukumnya itu untuk menjelaskan fluktusi dalam jangka pendek dalam aktifitas ekonomi. Untuk memperoleh profit yang besar, aliran kapitalis menambah komposisi modal an ternyata hal itu justru menurunkan profit. Kaum kapitalis secara periodic akan berusaha menanggulangi jatuhnya nilai profit dengan mengurangi infestasi secara berlebih yang dapat menyebabkan aktifitas ekonomi mengalami fluktuasi yang nantinya bias menyebabkan krisis. Karl Marx mengatakan bahwa fakor yang menyebabkan fluktuasi dalam aktifitas bisnis, yaitu: jatuhnya nilai profit, factor teknologi baru yang tidak sama, dan tidak proporsionalnya pengembangan dalam suatu sector ekonomi yang nantinya dapat menyebabkan penurunan dalam level kegiatan ekonomi. Fluktuasi menurutnya terjadi dalam suatu system karena pada dasarnya kebanyakan dari aktifitas kapitalis cenderung ingin mencari jumlah profit sebanyak mungkin. Adapun teori karl marx tentang krisis bisnis mungkin banyak terdapat kekurangan secara internal, tidak diragukan lagi bahwa pandangannya tentang kapitalis secara mendasar belum stabil. Meskipun begitu, visi dari karl marx tentang teori kapitalis ini secara lebih lanjut tidak mendapat smabutan oleh teori orthodox sapai tahun 1930. 5. Konsentrasi modal Meskipun model karl marx memberi asumsi mengenai adanya pasar persaingan sempurna dengan jumlah yang besar untuk perusahan-perusahan kecil dalam tiap –tiap industry, namun karena ketatnya persaingan maka akan mengarah pada jatuhnya industry-industri kecil sehingga akan mengurangi persaingan. Untuk mengurangi adanya persaingan salah satunya dengan peusatan modal. Pemusatan modal ini terjadi melalui sebuah redistribusi pada modal. Karl Marx menujukan bahwa perusahaan yang besar lebih bias mencapai skala ekonomi yang lebih baik ketimbang perusahaan yang kecil, hal ini disebabkan karena perusahaan yang besar itu dapat memproduksi dengan biaya yang rendah. Persaingan diantara perusahaan yang besar dan yang kecil menghasilkan pertumbuhan monopoli. Penambahan modal secara lebih jauh dengan mengembangkan sistem kredit dan kerja sama dalam bentuk organisasi bisnis. 6. Bertambahnya kesengsaraan kaum proletar kontradiksi kapitalisme menurut marx menyebabkan bertambahnya tingkat kesengsaraan pada kaum proletar. Bertambahnya kesengsaraan secara absolut menunjukkan pendapatan dari masyarakat secara global menurun dalam sistem kapitalis dan juga menunjukan bahwa bagian pendapatan nasional mereka menjadi turun di kemudian hari. Hingga pada akhirnya marx berasumsika secara konsisten bahwa hal yang harus dilakukan untuk menghilangkan kesengsaraan, yakni dengan lebih memperhatikan pada kualitas hidup mereka. Karl Heinrich Marx lahir di Trier, Trier,Prussia, 5 Mei 1818. ayahnya, seorang pengacara, menafkai keluarganya dengan relatif baik, khas kehidupan kelas menengah. Orang tuanya adalah dari pendeta yahudi (rabbi). Tetapi, karena alasan isnis ayahnya menjadi penganut ajaran Luther ketika Karl Marx masih sangat muda. Tahun 1841 Marx menerima gelar doktor filsafat dari Universitas Berlin, Universitas yang sangat di pengaruhi oleh Hegel dan guru – guru muda penganut filsafat Hegel, tetapi berpikir Kritis. Gelar doktor Marx di dapat dari kajian filsafat yang membosankan, tetapi kajian itu mendahului berbagai gagasannya yang muncul kemudian. . Setelah tamat ia menjadi penulis untuk sebuah koran liberal radikal dan dalam tempo 10 bulan ia menjadi editor kepala koran itu. Tetapi karena pendirian politiknya, koran itu kemudian di tutup pemerintah. Esai – esai awal yang di terbitkan dalam periode mulai mencerminkan sebuah pendirian yang membiumbing Marx sepanjang hidupnya. Esai-esai tulisan Marx itu secara bebas di taburi prinsip-prinsip demokrasi , ia menolak keabstrakat filsafat hegelian, mimpi naif komunis utopiadan gagasan aktivis yang mendesak apa yang ia anggap sebagai tindakan politik prematur. Dalam menolak gagasn aktivis ini Marx meletakkan landasan bagi gagasan hidup sendiri. . Upaya praktis, bahkan dalam mengarahkan massa sekalipun, akan di jawab dengan meriam saat upaya itu di anggap berbah. tetapi, gagasan yang dapat mengarahkan intelektual kitadan yang menaklukkan keyakinan kita, gagasan yang dapat membekukan kita, merupakan belenggu – belenggu di mana seorang hanya bisa lepas darinya dengan mengorbankan nyawanya; gagasan-gagasan itu seperti setan sehingga orang hanya dapat mengatasinya dengna menyerah kepada Marx (Marx, 1842/1977;20) Marx menikah pada 1843 dan tak lama kemudian ia terpaksa meninggalkan jerman untuk dapt suasana yang lebih libaral di Paris. Di Paris ia bergualat dengan gagasan Hegel dan pendukungnya, tetapi ia juga menghadapi dua kumpulan gagasan baru – sosialisme Prancis dan politik Ekonomi Inggris. Dengan cara yang unik dia menggabungkan hegelian, sosialisme dan ekonomi politik yang kemudian menentuka orientasi intelektualnya. Hal yang sangat penting pula adalah pertemuannya dengan orang yang kemudian menjadi teman seumur hidupnya, donatur dan kolabolatornyayakni Fredrich Engels (Carver, 1983) Engels anak penguasa pabrik tekstil menjadi seorang sosialis yang mengkritik kondisis kehidupan yang di hadapi kelas buruh. Banyak di antara rasa kasihan Marx kesengsaraan kelas buruh berasal dari paparannya kepada Engels dan gagasannya sendiri. Tahun 1844 Marx dan Engels mengadakan diskusi panjang di sebuah Café terkenal di Paris dan meletakkan landasan kerja untuk bersahabat seumur hidup. Mengenai diskusi itu Engels berkata ”kesepakatan lengkap kami dalam dalam semua budang teori menjadi nyata….dan perjanjian kerja sama kami mulai sejak itu”(McLellan, 1993:131) di tahun berikutnya Engels menerbitkan karya the condition Of The Working Class in England. Selama periode itu Marx menerbitkan sejumlah karya yang sangat sukar di pahami (kebenyakan belum di terbitkan semasa hidupnya) termasuk the Holy Family dan The German ideology (di tulis bersama Engels)dan ia pun menulis the economic and philosophic manuscripts 1844 yang menandakan perhatiannya terhadap bidang ekonomi main meningkat. Meski Marx dan Engels mempunya orientasi teoritis yang sama, namun ada juga beberapa perbedaan di antara mereka. Marx cenderung menjadi seorang intelektual teoritis yang kurang teratur dan sangat berorientasi kepada keluarga. Engels adalah pemikir praktis, rapi dan pengusaha teratur dan orang yang tak percaya pada lembaga keluarga. Meski mereka berbeda, Marx dan Engels menempa kerja sama yang akrab sehingga mereka berkolabirasi menulis buku dan artikel dan bekerja sama dalam organisasi radikal, dan bahka Engels membantu membiayai Marx selama sisa hidupnya sehingga memungkinkan marx mencurahklan perhatiannya pada kegiatan intelektual dan politiknya. Meski ada asosiasi erat antara nama Marx dan Engels, namun Engels menjelaskan bahwa ia teman junior; Marx mampu berkarya sangat baik tanpa aku. Aku tidak pernah mencapai prestasi seperti yang di capai Marx. Pemahaman Marx lebih tinggi, pengalamannya lebih jauh dan pandangannya lebih luas serta cepat ketimbang aku. Marx adlah jenius(Engels, di kutip dalam McLellan,1973;131-132) Banyak yang percaya bahwa Engels gagal memahami berbagai seluk beluk Marx. Setelah Marx meninggal, Engels menjadi juru bicara utama bagi teori marxian dan dalam berbagai cara menyimpangkan dan terlalu menyerderhanakannya, meski ia tetap setia terhadap perspektif politik yang ia tempa bersama Marx. Karena beberapa tulisannya telah menggangu pemerintahan prusia, pemerintah perancis(atas permohonan prusia)mengusir Marx tahun 1845 dan karenanya Marx pindah ke Brussel. Radikelismenya meninggkat dan ia menjadi anggota aktif di bidang gerakan revolusioner internasional. Ia pun bergabung dengan liga komunis dan bersama Engels diminta menulis anggaran dasar liga itu, hasilnya adalah manifestor komunis 1848, sebuah karya besar yang di tandai oleh slogan-slogan politik yang termasyur (misalnya ‘kaum burh seluruh dunia bersatulah’!!). Tahun 1849 ia pindah ke london dan, mengingat kegagalan revolusi politik tahun 1848, ia menarik diri dari aktivitas revolusioner dan beralis ke kegiatan rsiset yang lebih rinci tentang peran sistem ka[pitalis. Study ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku das kapital.jilid pertama di terbitkan tahun 1867; kedua jilid yang lainya di terbitkan sesudah ia meninggal. Selama riset dan menulis itu ia hidup dalam kemiskinan, membiayai hidupnya secara sederhana dari honorarium tulisannya dan bantuan dana dari Engels. Tahun 1864 Marx terlibat kembali dalam kegiatan politik, bergabung dengan ‘The Internasional’, sebuah gerakan buruh internasio nal. Ia segera menonjol dalam gerakan itu dan mencurahkan perhatian selama beberapa tahun untuk gerakan itu. Ia mulai mendapat popularitas, baik sebagai pimpinan internasional maupun sebagai penulis des kapital. Perpecahan gerakan internasional tahun 1876, kegagalan dari berbagai gerakan revolusioner dan penyakit – penyakit, akhirnya membuat Marx ambruk. Istrinya wafat tahun 1881 dan anak perempuannya tahun 1882 dan Marx sendiri wafat di tahun 1883. Sumber: http://nataebiografiteacher.blogspot.com/2007/09/karl-marx.html Dikutip Dari: http://www.2lisan.com/biografi/politikus/biografi-karl-marx/ Kritik Ideologi ala Marxisme By ichwann Abstraksi Teori Kritis sebagai salah satu aliran Filsafat Abad XX, pada awalnya belum berhasil menarik perhatian di kalangan Filsafat Umum. Teori Kritis ini baru betul-betul menjadi bahan diskusi di kalangan Filsafat dan Sosiologi pada tahun 1961 dan tentu Jurgen Habermas memainkan peranan yang besar di dalamnya bahkan tokoh inilah yang membuat Teori Kritis itu membetot perhatian di kalangan filsuf-filsuf konteporer. Kalau kita ingin menentukan kedudukan Teori Kritis dalam rangka Sejarah Filsafat khususnya dan Filsafat pada umumnya, maka terutama tiga factor harus dikemukakan, yakni Teori Kritis yang secara khusus dipengaruhi oleh Hegel, Marx, dan Freud. Yang dikenal agak umum adalah peranan Filsafat Karl Marx dalam pemikiran para anggota Mazhab Frankfurt termasuk Habermas sampa-sampai ajaran mereka tidak jarang ditunjukkan dengan nama “neomarxisme”. Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif. ISI Di kalangan ahli-ahli sains sosial, perdebatan utama yang sering berlaku ialah menyentuh mengenai falsafah kaedah sains sosial. Perbagai sudut dipertengahkan bagi mencari jalan mewujudkan satu kaedah sains sosial yang benar-benar dapat menghasilkan pengetahuan sebenarnya. Atas kejayaan kaedah sains semula jadi, ahli-ahli sains sosial coba mengamalkan konsep kaedah tersebut ke dalam penyelidikan sosial. Kesannya sungguh hebat, ahli-ahli sains sosial mendapati aplikasi konsep kaedah sains semula jadi mampu menyingkap fenomena manusia. Seterusnya, bidang sains sosial berkembang dengan pesat sehingga menjadi sebagai unsur penjelasan segala fenomena manusia. Manusia di dalam masyarakat sekarang telah mengalami kemajuan yang begitu pesat. Modernisasi manusia tidak dapat dielakkan. Manusia dalam titik kemajuan modernisasi telah dihantar pada sebuah situasi yang begitu krusial. Modernisasi telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang begitu pesat. Teknologi moden sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia semakin mudah oleh sarana-sarana teknologi yang sedia ada. Modernisasi, komunikasi dan teknologi moden telah melahirkan kisah kebebasan beragama, kemajuan pengangkutan, perkembangan teknologi informasi, komuniti melting pot, dan banyak lagi. Teknologi, komunikasi dan modernisasi telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan manusia yang lebih baik dan membuat manusia semakin bijak, lebih bahagia dan sebagainya. Perkataan kritikal mempunyai makna yang agak konotatif. Kita akan membayangkan orang yang bersifat kritikal itu adalah orang yang selalu menentang atau mencabar suatu tindakan atau keputusan yang dianggap sebagai tidak adil. Pendekatan ini muncul sebagai respons kepada isu-isu kuasa yang terkandung dalam sistem kapitalis. Penyalahgunaan kuasa oleh pemilik perniagaan seperti bayaran gaji atau upah yang rendah, keadaan tempat kerja yang tidak memuaskan, buruh kanak-kanak, kebajikan pekerja yang diabaikan, diskriminasi terhadap pekerja asing dan wanita dan berbagai-bagai lagi telah berleluasa di Eropah semasa zaman Victorian (Mead, 1991). Situasi eksploitasi kapitalisme yang semakin teruk ini telah menyebabkan kemunculan teori kritikal (Ishak Abd Hamid, 2000). Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan falsafah pada khususnya telah membuat catatan bahawa teori kritikal yang berpaksikan para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman telah memberikan sumbangan yang cukup memadai dalam meninjau dan memahami konsep modernisasi manusia. Setelah melalui perkembangan yang memberangsangkan dengan pengikut-pengikutnya tersendiri, kini sudah wujud tiga teori penyelidikan sains sosial yaitu teori positivisme, interpretivisme dan kritikal (Bredo dan Feinberg, 1982). Ketiga-tiga teori ini bergerak atas premis yang berbeda-beda. Apa yang menarik, ketiga-tiga teori ini mempunyai pengikut-pengikut kuatnya dalam ilmu sains sosial. Masing-masing mempunyai hujah-hujah yang tersendiri. Meskipun terdapat beberapa jenis ilmu sosial kritikal, semuanya memiliki tiga kesimpulan dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif, yaitu para ilmuwan kritikal menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khususnya pendekatan kritikal bertujuan untuk menginterprestasikan dan karenanya memahami bagaimana pelbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini mengkaji keadaan sosial dalam usahanya untuk mengungkap struktur-struktur yang tersembunyi. Kebanyakan teori kritikal mengajar bahawa pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan untuk merubah kekuatan penindas. Ketiga, pendekatan kritikal secara sadar berupaya untuk menggabungkan antara teori dan tindakan. Teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai keadaan yang mempengaruhi kita.(S. Djuarsa Senjaja, PHD 2005) Dengan hadirnya Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan kawan-kawannya telah memberikan nafas baru dengan kebijakan yang kritikal atas seluruh fenomena modernisasi yang menjanjikan tapi jika tidak berhati-hati akan menyebabkan terjerumus. Falsafah dan ilmu sosial abad XX diwarnai oleh empat pemikiran besar yaitu fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Falsafah Analitis dan aliran Neo Marxis (yang sering membuat akuan dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan zaman). Teori kritikal, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada kumpulan yang terakhir. Meski pun dalam perdebatan filosofis, ada yang menganggap bahawa teori kritikal adalah teori yang bukan marxis lagi. Menurut Katherine Miller (2005), di dalam tradisi teori kritikal merasakan suatu tanggungjawab tetapi tidak mudah menggambarkan di dalam dunia masyarakat (meskipun mereka mahu melihat gambaran itu merupakan satu langkah pertama yang penting di dalam proses teoritikal) tetapi untuk bekerja sebagai agen yang aktif di dalam perubahan yang radikal di dalam masyarakat. Teori Marxist Teori ini dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis. Walaupun teori kritikal telah berkembang setelah kemunculan Marx, kebanyakan daripada asasnya adalah tetap berdasarkan Marxist. Malahan, salah satu dari intelektual yang terpenting dalam kurun ke 20 adalah teori sosial yang berasaskan Marxist. Ide ini berasal dari Karl Marx dan Friedrich Engels, pergerakan ini mengandungi beberapa teori yang saling berhubungan untuk mengatasi arahan masyarakat yang dominan. Secara amnya, kesemua cabang sains sosial termasuk komunikasi telah dipengaruhi oleh aliran pemikiran ini. Marx berpendapat bahawa makna sesuatu produk dalam masyarakat menunjukkan sifat semulajadi masyarakat tersebut. Ini merupakan asas ide Marxism, asas megastruktur perhubungan. Ekonomi merupakan asas bagi semua struktur sosial. Dalam sistem kapitalis, keuntungan dapat memacu pengeluaran dan akhirnya mendominasikan para pekerja. (Stephen W. Littlejohn 2002). Pendekatan kritikal dalam komunikasi keorganisasian juga berakar umbi daripada falsafah Marxist yang mengkaji hubungan antara pemilik perniagaan dan pekerja-pekerjanya dalam masyarakat kapitalis. Marx mendapati ketidakseimbangan yang wujud didalam hubungan tersebut akan menyebabkan pekerja-pekerja bangkit untuk menentang sistem kapitalis. Marx percaya kritikan akan mencetus revolusi karena ia akan mendedahkan kebenaran mengenai keadaan sosial manusia. Pengaruh Marx adalah lebih meluas dalam bidang politik. Pendapatnya telah disokong oleh ramai ahli akademik seperti Max orkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas yang telah mengkaji sifat masyarakat kapitalis. Pengkaji-pengkaji teori kritikal telah bersetuju dengan isu-isu berikut : • Struktur dan proses tertentu dalam masyarakat akan menjurus kepada kuasa yang tidak seimbang • Kuasa yang tidak seimbang akan menyebabkan tekanan dan pengasingan kumpulan dan kelas tertentu dalam masyarakat. • Peranan pengkaji-pengkaji teori kritikal ialah meneroka dan mendedakan ketidakseimbangan ini dan membawanya kepada pengetahuan kumpulan-kumpulan yang teraniaya. Ini akan membolehkan emansipasi atau pembebasan atau pembelaan kumpulan yang teraniaya itu melalui tindakan politik atau melalui kesedaran individu-individu itu sendiri. (Ishak Abd Hamid 2000) Neomarxist Menurut Baran & Davis (2000) Neo-Marxism adalah sebuah aliran yang berkembang di abad ke 20 yang mengingatkan kepada awal tulisan Marx sebelum dipengaruhi oleh Engels. Aliran ini memusat pada idealisme dialektika dibanding fahaman materialisme dialektika yang menolak determinisme ekonomi awal Marx. Fahaman Neomarxist tidak mengamalkan perubahan secara evolusi. Menurut teori ini, transformasi boleh berlaku secara perlahan. Fahaman neomarxist memusatkan pada suatu revolusi psikologis bukan fizik, yang bermakna bahawa perubahan idea yang datang dari jiwa seseorang lebih penting daripada perubahan secara fisik. Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan oleh Engels ini adalah bentuk interpretasi yang kemudiannya dikenali sebagai “Marxisme” rasmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang digunakan oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tersebut adalah interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya sebagai salah satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff. Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme). Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif. Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi. Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern. Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Teori Kritis tidak mau membebek Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan. Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik. Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci Filsafat Karl Marx dalam pemikiran para anggota Mazhab Frankfurt termasuk Habermas sampa-sampai ajaran mereka tidak jarang ditunjukkan dengan nama “neomarxisme” merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya. Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu. Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant. Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme). Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan pendasaran asumtif di atas dengan pemikiran Teori Kritis ? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud. Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia. Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant. Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah : 1. Berpikir dalam totalitas (dialektis) 2. Berpikir empiris-historis 3. Berpikir dalam kesatuan teori dan 4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality). Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal, problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia. Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis. Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia atas praksis kapitalistis. Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi modern. Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks. Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusia. Namun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang hilang” pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual – dalam tataran mikro – dan masyarakat – dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien über Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983). Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas. Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika, masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE). Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya. Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik. Kesimpulan Ideologi modernitas lebih melihat bahwa kemajuan tidak terelakkan. Manusia bergerak maju tanpa pernah ada kata mundur. Linearitas perkembangan ini menandakan dinamika linear kebudayaan manusia. Manusia adalah penguasa alam. Manusia adalah pencipta teknologi. Segala daya upaya dilakukan untuk mendapatkan situasi macam itu. Pandangan manusia satu dimensi ini lebih banyak direfleksikan oleh Herbert Marcuse. Menurutnya, masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Masyarakat satu dimensi bersifat represif dan totaliter. Artinya manusia modern tidak bisa lepas dari penguasaan kapitalisme dan peraturan logika kapitalistik. Keterasingan manusia dalam kemajuan teknologi sudah dimulai ketika manusia berorientasi pada teknologi itu sendiri. Keterasingan manusia dikaitkan dengan proses industrialisasi yang semakin menempatkan kerja manusia tidak dihargai. Kerja bukan dilihat sebagai ekspresi kemanusiaan tapi justru diubah menjadi komoditas kapitalistik belaka. Menurut Marx, ideologi itu adalah ilusi atau kesadaran yang palsu. Ideologi tidak menggambarkan situasi nyata mnusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan kenyataan yang terdistorsi. Bukan artinya bahwa ideologi keliru menggambarkan kenyataan, tapi bahwa ideologi menggambarkan kenyataan dan interpretasi yang dibalik. Apa yang tidak baik dan tidak wajar dikatakan dan diusahakan sedemikian rupa sehingga tampak baik dan wajar. Teori kritikal melihat bahawa media tidak lepas kepentingan terutama sarat kepentingan kaum pemilikan modal, negara atau kumpulan yang menindas lainnya. Dalam erti lain, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Teori kritikal ini merupakan teori pembaikan daripada teori terdahulu dan masih digunakan sehingga kini. Teori ini menggunakan pelbagai pendekatan yaitu melalui pengalaman, sejarah lalu dan persekitaran sosial. Namun teori ini masih tidak mengenepikan kajian empirikal untuk mengatasi kelemahan yang tersirat dalam penyelidikan ini. Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan. Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal tersebut disebabkan oleh: Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi. Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi. Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970). Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970). Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan. Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada. Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat. Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia. Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya. Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan. Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari. Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat. Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya. Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting. Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok. Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik. Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup. Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial, antara lain: 1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI. 2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur sosial. 3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi. 4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner. Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut. Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik, namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme symbol. Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan yang signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan dengan alasan dan peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program atau satuan pendidikan nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih semua sasaran yang diharapkan karena perbedaan system yang berlaku. Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-teori sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan maupun dalam konteks penggunaan praktis! Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat. Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya. Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki. Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri. Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber. Tindakan, Kelas, dan Status Sosial Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut. Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain. Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status keluarganya. Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih tinggi Simmel dan Konsep Sosiologinya Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri. Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok. Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’ wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia. Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi. Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak dalam dua hal. Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino (1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri. Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan ke dalam kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru beberapa kali menyebutkan ‘pentingnya bersikap netral’ dalam menanggapi teori (lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori Antropologi’ sebagaimanakita temukan dalam buku-buku lain. Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks jelas tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara lain: [‘Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu. Bertentangan dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang bersifat random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain. Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war)’, hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki lingkungan personal berbeda dalam melihat gejala social Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung—sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi antropologi sosial. Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau pengaruh Marx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan perkembangan penuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi dengan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting. Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam konteksnya—bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemikiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi pada pemikiranpemikiran evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran pemikiran tersebut Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia berpendapat bahwa pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam teori dan metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi, polemik dan etik dalam kajian antropologi. Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan sebagai konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut paradigma baru antropologi sosial. Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori Interaksionis, Antropologi Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan dalam buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubungan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsionalisme, analisis struktural, maupun poststrukturalisme. Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya ada. Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar dari konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting bagi para pengkaji antropologi. Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen. Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat. Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi. Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin. “Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94) Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu. Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat. Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S. Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”. Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing. Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal. REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi. Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat. Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru. Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial. Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961 Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa. Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa. Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun. Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain. Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19. Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks. Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat. Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya? Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju. Persetujuan yang benar-benar tulus dengan apa yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat. Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996) Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’” ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan “bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa”. Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik. Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999). Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya. Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990). Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya. Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan. Kata pengantar pada penerbitan tahun 1948 Manifesto Partai Komunis adalah hasil pekerjaan bersama antara Karl Marx dan Frederick Engels, dua guru besar dalam ilmu Sosialisme dan pemimpin pergerakan kaum buruh modern. Manuskrip Manifesto ini dikirimkan ke percetakan di London bulan Januari 1848, beberapa minggu sebelum meletus Revolusi Perancis tanggal 24 Februari 1848. Manuskripnya ditulis dalam bahasa Jerman yang kemudian segera terjemahannya diterbitkan dalam bahasa Perancis, Inggeris, Denmark, Polandia dan bahasa- bahasa lainnya. Tahun 1948 ini tepat seratus tahun usia Manifesto Partai Komunis. Selama seratus tahun ini umat manusia telah mengalami perubahan-perubahan yang amat besar. Selama seratus tahun ini manusia telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Ratusan juta manusia sudah mulai menginjak alam penghidupan baru yang bersendi pada Sosialisme. Pergerakan buruh sedunia makin erat persatuannya dan bersama-sama maju menuju dunia baru. Seratus tahun sudah umur Manifesto Partai Komunis, tetapi hingga saat ini isinya masih tetap hangat. Malahan, justru sekarang makin terbukti, betapa benar dan tepat isi Manifesto ini. Uraian Marx dan Engels bahwa kaum buruh akan mencapai tingkatan yang lebih tinggi sehingga dapat meruntuhkan sistem kapitalisme yang sudah lapuk itu sudah mulai diwujudkan. Pergerakan buruh modern sekarang sudah lebih meluas dan mendalam sehingga seluruh kekuasaan imperialis makin terancam olehnya. Isi Manifesto ini sudah mulai diwujudkan di Negara Soviet Uni, di mana sistem Sosialisme sudah menjadi kenyataan. Di beberapa negeri di Eropa, maupun di Asia, Rakyat pekerja sudah mulai berkuasa di bawah pimpinan-kaum buruh. Memang sudah sepatutnya Manifesto Partai Komunis diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sudah pernah terbit terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yaitu pada tahun 1924. Mula-mula diterjemahkan oleh Saudara Partondo dan kemudian oleh seorang yang memakai nama A. Zain. Penerbitan ini mendapat sambutan yang luar biasa dari Rakyat Indonesia pada umumnya. Di zaman penjajahan fasis Jepang, Manifesto Partai Komunis telah diterjemahkan oleh beberapa pemuda yang bekerja di bawah tanah dan terjemahannya disiarkan secara gelap. Walaupun demikian terjemahan-terjemahan itu belum dapat dipandang memadai. Kemudian dalam zaman Republik terbit lagi beberapa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Pun terjemahan-terjemahan ini belum dapat kami pandang memenuhi syarat-syaratnya. Sekarang tepat ulang tahun Manifesto Partai Komunis yang keseratus kali, Departemen A. Prop. C.C. Partai Komunis Indonesia telah berusaha dan berhasil membuat terjemahan baru. Usaha penerjemahan ini diserahkan pada sebuah Komisi Penerjemah yang dibentuk pada awal Januari 1948, terdiri dari saudara-saudara D. N. Aidit, M. H. Lukman, A. Havil [i], P. Pardede dan Nyoto. Terjemahan ini adalah dari Manifesto of the Communist Party, dalam bahasa Inggeris, yang telah disahkan oleh Marx-Engels-Lenin Institute di Moskow keluaran International Bookshop Pty. Ltd., Melbourne, edisi kedua. Untuk menyempurnakan terjemahan ini, digunakan juga terjemahan-terjemahan dalam bahasa Belanda dan Indonesia. Terjemahan yang sekarang disajikan kepada pembaca telah diperiksa dengan seteliti-telitinya. Kami harapkan dapatlah terjemahan kali ini memenuhi syarat-syaratnya. Untuk penerbitan selanjutnya tiap-tiap kritik sangat kami hargakan dari siapa pun juga. Inilah sumbangan kami pada hari 1 Mei 1948, ialah hari besar Rakyat pekerja yang dirayakan pada ulang tahun yang keseratus kali daripada Manifesto Partai Komunis. Yogyakarta, 1 Mei 1948. [i] A. Havil kemudian ternyata tidak setia pada PKI, dan akhirnya dipecat. Pendahuluan pada edisi Jerman tahun 1872 Liga Komunis, [2] suatu perhimpunan internasional kaum buruh yang sudah tentu hanya dapat merupakan suatu perhimpunan rahasia dalam keadaan yang berlaku pada waktu itu, dalam Kongres yang diadakan di London pada bulan November 1847, telah menugaskan yang bertanda tangan di bawah ini supaya menyusun suatu program Partai, yang secara teori dan praktek terperinci, untuk diterbitkan. Begitulah asalnya Manifesto yang berikut ini, yang manuskripnya dibawa ke London untuk dicetak beberapa minggu sebelum Revolusi Februari. [ii] Mula-mula Manifesto ini diterbitkan dalam bahasa Jerman, kemudian diterbitkan lagi dalam bahasa itu sekurang-kurangnya dalam dua belas macam edisi di Jerman, Inggeris dan Amerika. Dalam bahasa Inggeris untuk pertama kalinya Manifesto ini diterbitkan pada tahun 1850 dalam majalah Red Republican, London, diterjemahkan oleh Nona Helen Macfarlane, dan dalam tahun 1871 sekurang-kurangnya dalam tiga macam terjemahan diterbitkan di Amerika. Terjemahannya dalam bahasa Perancis terbit untuk pertama kalinya di Paris tidak lama sebelum pemberontakan bulan Juni 1848, dan baru-baru ini di dalam majalah Le Socialiste di New York. Terjemahan baru sedang dipersiapkan. Terjemahan dalam bahasa Polandia terbit di London tak lama sesudah penerbitan pertama dalam bahasa Jerman. Terjemahan dalam bahasa Rusia diterbitkan di Jenewa dalam tahu enam puluhan. Diterjemahkan juga ke dalam bahasa Denmark tak lama sesudah Manifesto ini diterbitkan untuk pertama kalinya. Bagaimanapun juga banyak keadaan mungkin telah berubah selama dua puluh lima tahun belakangan ini, prinsip-prinsip umum yang ditetapkan dalam Manifesto ini, dalam keseluruhannya, sekarang masih tetap tepat sebagai sediakala. Di sana-sini mungkin beberapa detailnya dapat diperbaiki. Pengenaan prinsip-prinsip itu dalam praktek akan bergantung sebagai yang dinyatakan oleh Manifesto ini sendiri, di mana saja dan bilamana saja, kepada syarat-syarat sejarah yang berlaku untuk sementara waktu itu, dan oleh karena itu tidak diberikan tekanan istimewa pada tindakan-tindakan revolusioner yang diusulkan pada akhir Bab II. Bagian itu sekarang, dalam banyak hal, tentu akan dinyatakan dengan kata-kata yang sangat berlainan. Mengingat akan langkah raksasa Industri Modern selama dua puluh lima tahun belakangan ini dan perbaikan serta perluasan organisasi partai kelas buruh yang menyertainya, mengingat akan pengalaman praktek yang telah didapat, mula-mula dalam Revolusi Februari, dan kemudian lebih-lebih lagi dalam Komune Paris, kaum proletariat untuk pertama kalinya memegang kekuasaan politik selama dua bulan penuh, program ini dalam beberapa detailnya telah menjadi usang. Satu hal yang terutama telah dibuktikan oleh Komune, yaitu bahwa kelas buruh tidak dapat hanya merebut alat-alat negara yang telah ada dan mempergunakannya untuk maksud-maksudnya sendiri. (Lihat Perang Dalam Negeri di Perancis; Pidato Dewan Umum Perhimpunan Buruh Internasional, London, Truelove, 1871, hlm. 15, dimana hal ini lebih dikembangkan). [iii] Selanjutnya sudah dengan sendirinya, bahwa kritik mengenai literatur sosialis tidak mencukupi untuk sekarang, karena ia hanya sampai pada tahun 1847; juga bahwa pendapat-pendapat mengenai hubungan kaum Komunis dengan berbagai partai oposisi (Bab IV), biarpun pada prinsipnya masih tepat, tetapi dalam prakteknya sudah usang, sebab situasi politik telah berubah sama sekali dan kemajuan sejarah telah menyapu bersih dari bumi ini sebagian tebesar dari partai-partai politik yang disebutkan di dalamnya. Namun, Manifesto ini telah menjadi dokumen yang bersejarah, yang untuk mengubahnya kami tidak mempunyai hak apa pun lagi. Edisi yang berikutnya mungkin terbit dengan pengantar yang akan menjembatani jurang dari tahun 1847 sampai sekarang; cetakan-ulangan ini tidak disangka-sangka sama sekali, sehingga tidak ada waktu bagi kami untuk mengerjakan itu. Karl Marx, Friedrich Engels London, 24 Juni 1872 [ii] Revolusi Februari di Perancis, thn. 1848 [iii] K. Marx dan F. Engels, Pilihan Karya, edisi Inggris dua jilid. Jilid 1, Moskow, hlm. 473 dst. Pendahuluan pada edisi Rusia tahun 1882 Edisi Rusia yang pertama dari Manifesto Partai Komunis, terjemahan Bakunin, diterbitkan pada permulaan tahun-tahun enam puluhan [iv] oleh percetakan Kolokol. [3] Ketika itu dunia Barat hanya dapat memandangnya (edisi Rusia Manifesto) sebagai suatu keanehan dalam literatur. Pandangan yang semacam itu sekarang tidak akan mungkin. Bagaimana masih terbatasnya lapangan gerakan proletar pada waktu itu (Desember 1847) dengan sejelas-jelasnya ditunjukkan oleh bab terakhir dalam Manifesto: pendirian kaum Komunis dalam hubungan dengan berbagai partai oposisi di berbagai negeri. Justru Rusia dan Amerika Serikatlah yang tidak disebutkan di sini. Waktu itu ialah ketika Rusia merupakan cadangan besar terakhir dari semua reaksi Eropa, ketika Amerika Serikat menyerap kelebihan tenaga proletar Eropa dengan jalan imigrasi. Kedua negeri itu menyediakan bahan-bahan mentah untuk Eropa dan juga menjadi pasar untuk penjualan hasil-hasil produksinya. Oleh karena itu, pada waktu itu, bagaimanapun juga, kedua-duanya adalah tiang penyangga sistem yang berlaku di Eropa. Alangkah bedanya sekarang ini! Justru imigrasi orang-orang Eropa telah menjadikan Amerika Utara cocok untuk produksi pertanian raksasa yang persaingannya menggoncangkan dasar-dasar milik tanah di Eropa besar dan kecil. Di samping itu ia memungkinkan Amerika Serikat untuk mengeksploitasi sumber-sumber industrinya yang maha besar dengan kegiatan serta ukuran yang dalam tempo singkat mesti mematahkan monopoli industri Eropa Barat, dan terutama Inggeris, yang berlaku sampai sekarang. Kedua-dua keadaan ini bereaksi secara revolusioner terhadap Amerika sendiri. Selangkah demi selangkah hak milik tanah kecil dan sedang dari kaum tani yang menjadi dasar seluruh susunan politik Amerika, kalah karena persaingan pertanian-pertanian raksasa; bersamaan dengan itu massa proletariat dan konsentrasi kapital yang menakjubkan berkembang untuk pertama kalinya di daerah-daerah industri. Dan sekarang Rusia! Selama revolusi tahun 1848-1849 bukan saja raja-raja di Eropa, tetapi juga borjuis Eropa menemukan pada intervensi Rusia jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri dari proletariat yang pada waktu itu baru saja mulai bangun. Tsar diumumkan sebagai pemimpin reaksi Eropa. Sekarang dia menjadi tawanan perang revolusi di Gatchina, dan Rusia merupakan pelopor aksi revolusioner di Eropa. Tujuan Manifesto Komunis ialah memproklamsikan bahwa milik borjuis modern tidak boleh tidak bakal lenyap. Tetapi di Rusia, berhadap-hadapan dengan penipuan kapitalis yang berkembang cepat dan milik tanah borjuis yang baru mulai berkembang, kita dapati lebih dari separuh luas tanah dimiliki bersama oleh kaum tani. Sekarang soalnya ialah: dapatkah obshchina [v] Rusia, sekalipun sudah sangat digerogoti tetapi adalah bentuk hak milik bersama yang primitif atas tanah, langsung beralih ke bentuk yang lebih tinggi dari hak milik bersama secara Komunis? Atau sebaliknya, haruskah menjalani dahulu proses kehancuran yang sama seperti yang terwujud sebagai evolusi sejarah di Barat? Satu-satunya jawaban yang mungkin sekarang ini ialah: Jika Revolusi Rusia menjadi isyarat untuk revolusi proletar di Barat, sehingga kedua-duanya saling melengkapi, maka hak milik bersama atas tanah di Rusia yang sekarang, dapat dijadikan titik tolak untuk perkembangan secara Komunis. Karl Marx, F. Engels London, 21 Januari 1882 [iv]. Edisi yang dimaksudkan itu terbit dalam tahun 1869. Dalam Pendahuluan Engels pada Edisi Inggeris tahun 1888, tanggal terbitnya terjemahan Manifesto dalam bahasa Rusia tsb. salah (lihat hlm. 27). [v]. Obshchina: persekutuan-hidup desa. Pendahuluan pada edisi Jerman tahun 1883 Pendahuluan pada edisi yang sekarang ini, sungguh sayang, harus saya tanda tangani sendiri. Marx, yang kepadanya seluruh kelas buruh Eropa dan Amerika berhutang budi lebih daripada kepada siapa pun juga -- telah beristirahat untuk selama-lamanya di Pekuburan Highgate, dan di atas makamnya telah mulai tumbuh rumput yang pertama. [4] Sejak wafatnya, maka makin sedikit lagi pikiran yang bisa ada untuk memeriksa kembali atau menambah isi Manifesto ini. Terlebih-lebih saya anggap perlu menyatakan sekali lagi di sini yang berikut ini dengan tegas: Pikiran pokok yang meresapi seluruh Manifesto--bahwa produksi ekonomi dan susunan masyarakat setiap zaman sejarah yang tidak boleh tidak mesti timbul darinya, merupakan dasar sejarah politik dan intelek zaman itu; bahwa oleh karena itu (sejak hancurnya hak milik bersama primitif atas tanah) seluruh sejarah adalah sejarah perjuangan kelas, sejarah perjuangan antara kelas yang dihisap dengan yang menghisap, antara kelas yang dikuasai dengan yang menguasai dalam berbagai tingkat perkembangan masyarakat; tetapi bahwa perjuangan ini sekarang telah mencapai suatu tingkat di mana kelas yang dihisap dan ditindas (proletariat) tak dapat lagi membebaskan dirinya dari kelas yang menghisap dan menindasnya (borjuasi), tanpa bersamaan dengan itu membebaskan untuk selama-lamanya seluruh masyarakat dari penghisapan, penindasan dan perjuangan antara kelas--pikiran pokok ini semata-mata hanyalah dari Marx sendiri. [vi] Saya telah berulang-ulang menyatakan ini; tetapi justru sekaranglah perlu menaruhkannya juga di muka Manifesto ini sendiri. F. Engels London, 28 Juni 1883 [vi]. “Dalil ini,” saya tulis dalam kata pendahuluan pada terjemahan Inggris, “yang menurut pendapat saya tentu akan berbuat untuk sejarah, apa yang oleh teori Darwin telah diperbuat untuk biologi, kami berdua berangsur-angsur mendekatinya selama beberapa tahun sebelum tahun 1845. Sampai ke mana saya bersendiri telah maju ke arah itu, ini ditunjukkan, sebaik-baiknya oleh karangan saya 'Keadaan Kelas Buruh di Inggris.' Tetapi ketika saya bertemu lagi dengan Marx di Brussel dalam musim semi tahun 1845, ternyata ia telah selesai menyusunnya dan mengemukakannya kepada saya, dengan kata-kata yang hampir sama jelasnya dengan yang saya nyatakan di sini.” (Keterangan oleh Engels pada edisi Jerman tahun 1890). Pendahuluan pada edisi Inggeris tahun 1888 Manifesto ini telah diterbitkan sebagai program “Liga Komunis,” suatu perhimpunan kaum buruh, yang mula-mula semata-mata suatu perhimpunan Jerman, kemudian menjadi perhimpunan internasional dan dalam keadaan politik di Eropa sebelum tahun 1848 tak dapat tidak merupakan perhimpunan rahasia. Dalam suatu Kongres Liga itu yang diadakan di London pada bulan November 1847, Marx dan Engels ditugaskan mempersiapkan suatu program partai yang secara teori dan praktek lengkap, untuk diterbitkan. Manuskripnya yang disusun dalam bahasa Jerman, pada bulan Januari 1848 dikirimkan ke percetakan di London beberapa minggu sebelum revolusi Perancis tanggal 24 Februari. Terjemahan dalam bahasa Perancis diterbitkan di Paris tak lama sebelum pemberontakan bulan Juni 1848. Terjemahan dalam bahasa Inggris yang pertama oleh Nona Helen Macfarlane dimuat dalam majalah Red Republican kepunyaan George Julian Harney di London pada tahun 1850. Edisi dalam bahasa Denmark dan Polandia pun telah diterbitkan. Kekalahan pemberontakan Paris bulan Juni 1848--pertempuran besar yang perama-tama antara proletariat dengan borjuasi--mendesak lagi ke belakang untuk sementara waktu cita sosial dan politik dari kelas buruh Eropa. Sejak itu perjuangan merebut kekuasaan tertinggi, sebagaimana halnya sebelum Revolusi Februari, kembali lagi hanyalah di antara berbagai golongan dari kelas yang berpunya saja; kelas buruh terpaksa mundur ke perjuangan untuk mendapatkan kelonggaran politik dan ke kedudukan sayap ekstrem dari kaum Radikal kelas tengah. Dimana saja gerakan-gerakan proletar yang merdeka terus menunjukkan tanda hidupnya, gerakan-gerakan itu dengan kejam diburu-buru. Begitulah polisi Prusia mengejar-ngejar Dewan Pusat Liga Komunis yang ketika itu bertempat di Cologne. Anggota-anggotanya ditangkap, dan sesudah dipenjarakan 18 bulan, mereka diadili dalam bulan Oktober 1852. “Pemeriksaan-pengadilan Komunis Cologne” yang termasyhur ini berlangsung dari tanggal 4 Oktober hingga tanggal 12 November; tujuh orang dari mereka dihukum penjara di dalam sebuah benteng, masing-masing antara tiga sampai enam tahun. Segera sesudah dijatuhkan hukuman itu, maka Liga dengan resmi dibubarkan oleh anggota-anggotanya yang masih tinggal. Adapun Manifesto ini, sejak itu seakan-akan dilupakan orang sama sekali. Ketika kelas buruh Eropa telah memperoleh kembali kekuatan yang cukup untuk melakukan serangan lagi terhadap kelas-kelas yang berkuasa, lahirlah Perhimpunan Buruh Internasional. [5] Tetapi perhimpunan ini yang dibentuk dengan maksud khusus untuk memadukan seluruh proletariat yang militan dari Eropa dan Amerika ke dalam satu badan, tak dapat dengan segera memproklamasikan prinsip-prinsip yang ditetapkan di dalam Manifesto. Internasionale itu harus mempunyai program yang cukup luas supaya dapat diterima oleh Serikat-serikat buruh Inggeris, oleh pengikut-pengikut Proudhon [6] di Perancis, Belgia dan Spanyol, dan oleh pengikut-pengikut Lassalle [vii] di Jerman. Marx yang telah menyusun program ini sehingga memuaskan semua pihak, percaya sepenuhnya kepada perkembangan intelek kelas buruh yang tentu timbul dari aksi bersama dan saling berdiskusi. Kejadian-kejadian perjuangan dan berganti-ganti kalah-menangnya perjuangan itu sendiri melawan Kapital, kemenangan dan lebih-lebih lagi kekalahan-kekalahan, tidak boleh tidak menginsyafkan manusia akan tidak cukupnya berbagai obat dukun yang mereka sukai dan mempersiapkan jalan untuk memperoleh pandangan yang lebih sempurna tentang syarat-syarat yang sesungguhnya dari pembebasan kelas buruh. Dan Marx benar. Internasionale, pada saat bubarnya dalam tahun 1874, meninggalkan kaum buruh. sangat berlainan dengan yang didapatinya dalam tahun 1864. Proudhonisme di Perancis, Lassalleanisme di Jerman, menuju kematiannya, dan bahkan Serikat-serikat buruh Konservatif Inggris, walaupun sebagian besar dari mereka telah sejak lama memutuskan hubungannya dengan Internasionale, berangsur-angsur maju ke arah titik di mana Ketua mereka pada tahun yang lalu di Swansea dapat mengatakan atas nama mereka “Sosialisme Daratan Eropa sudah tidak menakutkan lagi bagi kita.” Sesungguhnya prinsip-prinsip Manifesto ini telah mendapat kemajuan yang besar di kalangan kaum buruh di semua negeri. Dengan demikian Manifesto ini sendiri tampil ke muka lagi. Sejak tahun 1850 teks dalam bahasa Jerman telah beberapa kali dicetak di Swiss, Inggeris dan Amerika. Pada tahun 1872 teks itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris di New York, dan di sana terjemahan itu dimuat dalam Mingguan Woodhull and Claflin. Dari terjemahan bahasa Inggeris ini dibuat lagi salinannya dalam bahasa Perancis dalam majalah Le Socialiste di New York. Sejak itu sekurangnya dua terjemahan lagi dalam bahasa Inggeris, yang banyak sedikitnya bercacat, telah diterbitkan di Amerika dan satu di antaranya telah dicetak lagi di Inggeris. Terjemahan dalam bahasa Rusia yang pertama, dikerjakan oleh Bakunin [7] diterbitkan oleh kantor “Kolokol” kepunyaan Herzen [8] di Jenewa kira-kira pada tahun 1863; yang kedua oleh Vera Zasulich [viii] yang perwira itu, juga di Jenewa dalam tahun 1882. Suatu edisi Denmark yang baru terdapat pada Social-demokratisk Bibliothek, Kopenhagen, 1885; terjemahan yang baru dalam bahasa Perancis dimuat dalam Le Socialiste di Paris pada tahun 1885. Dari yang kemudian itu suatu terjemahan dalam bahasa Spanyol telah disiapkan dan diterbitkan di Madrid pada tahun 1886. Cetakan-ulangan dalam bahasa Jerman tak dapat dihitung banyaknya, sekurang-kurangnya semuanya telah ada dua belas. Terjemahan dalam bahasa Armenia yang semestinya akan diterbitkan di Istambul beberapa bulan yang lalu: tidak jadi diterbitkan, menurut yang disampaikan kepada saya, karena penerbitnya takut menerbitkan buku. yang memakai nama Marx, sedang penerjemahnya tidak mau menyebutnya sebagai hasil pekerjaannya sendiri. Tentang terjemahan-terjemahan selanjutnya ke dalam bahasa-bahasa lainnya ada saya mendengar, tetapi belum saya melihatnya. Jadi sejarah Manifesto mencerminkan sebagian besar dari sejarah gerakan kelas buruh modern; sekarang ini tak dapat disangkal lagi ia adalah suatu penemuan yang paling luas-tersebar, yang paling internasional di antara segala literatur Sosialis, program bersama yang diakui oleh berjuta-juta kaum buruh dari Siberia sampai ke Kalifornia. Sekalipun demikian, ketika ia ditulis, kita tidak akan dapat menamakannya Manifesto Sosialis. Dengan kaum Sosialis, dalam tahun 1847, dimaksudkan, pada satu-pihak, pengikut-pengikut berbagai sistem Utopia: kaum Owenis [9] di Inggeris, kaum Fourieris [10] di Perancis, yang kedua-duanya telah merosot menjadi hanya sekte saja, dan berangsur-angsur menuju kematiannya; dan di pihak lain tukang-tukang jual koyok kemasyarakatan yang sangat banyak corak ragamnya itu, yang dengan segala cara kerja tambal sulam mengaku hendak menyembuhkan segala macam penderitaan sosial tanpa sedikitpun membahayakan kapital dan laba, dalam kedua hal itu mereka adalah orang-orang di luar gerakan kelas-buruh dan lebih suka mengharapkan bantuan dari kelas “terpelajar.” Golongan manapun dari kelas buruh yang telah menjadi yakin akan tidak cukupnya revolusi-revolusi politik saja, dan telah menyatakan perlunya perubahan sosial seluruhnya, golongan itu pada waktu itu menamakan dirinya Komunis. Ini adalah macam Komunisme yang mentah, kasar, dan semata-mata naluriah; namun, ia mengenai hal pokoknya dan cukup kuat di kalangan kelas buruh untuk menimbulkan Komunisme Utopia dari Cabet di Perancis dan dari Weitling di Jerman. [11] Jadi pada tahun 1847, Sosialisme adalah gerakan kelas tengah, Komunisme adalah gerakan kelas buruh. Di Daratan Eropa setidak-tidaknya, Sosialisme “terhormat,” Komunisme justru sebaliknya. Dan karena menurut paham kami sejak dari semula ialah bahwa “pembebasan kelas buruh haruslah tindakan kelas buruh sendiri,” maka tidak akan ada keraguan lagi nama mana di antara dua nama itu yang harus kita pilih. Tambahan pula sejak itu kita jauh daripada menolak nama itu. Karena Manifesto ini adalah hasil pekerjaan kami bersama, saya merasa wajib untuk menerangkan bahwa dalil yang menjadi intinya berasal dari Marx. Dalil itu ialah: bahwa dalam setiap zaman sejarah, cara produksi ekonomi dan pertukaran yang sedang berlaku dan organisasi kemasyarakatan yang mesti timbul darinya merupakan dasar yang di atasnya terbangun, dan yang hanya dari situ dapat diterangkan, sejarah politik dan intelek zaman itu; bahwa oleh karena itu seluruh sejarah umat manusia (sejak lenyapnya masyarakat kesukuan primitif, yang memiliki tanah dengan hak milik bersama) adalah sejarah perjuangan kelas, pertandingan antara kelas yang menghisap dengan yang dihisap, antara kelas yang memerintah dengan kelas yang ditindas; bahwa sejarah perjuangan kelas ini merupakan serangkaian evolusi yang di dalamnya, pada masa ini, telah tercapai suatu tingkat di mana kelas yang dihisap dan ditindas--proletariat--tidak dapat mencapai kebebasannya dari kekuasaan kelas yang menghisap dan memerintah--borjuasi--tanpa bersamaan dengan itu dan untuk selama-lamanya membebaskan masyarakat seluruhnya dari segala penghisapan, penindasan, perbedaan kelas dan perjuangan kelas. Dalil ini, yang menurut pendapat saya tentu akan berbuat untuk sejarah apa yang oleh teori Darwin telah diperbuat untuk biologi kami berdua berangsur-angsur mendekatinya selama beberapa tahun sebelum tahun 1845. Sampai ke mana saya bersendiri telah maju ke arah itu, ini ditunjukkan sebaik-baiknya oleh karangan saya Keadaan Kelas Buruh Di Inggeris. [ix] Tetapi ketika saya bertemu lagi dengan Marx di Brussel dalam musim semi tahun 1845, ternyata ia telah selesai menyusunnya dan mengemukakannya kepada saya, dengan kata-kata yang hampir sama jelasnya dengan yang saya nyatakan di sini. Dari kata pendahuluan kami bersama pada edisi Jerman tahun 1872 saya kutipkan yang berikut: “Bagaimanapun juga banyak keadaan mungkin telah berubah selama dua puluh lima tahun belakangan ini, prinsip-prinsip umum yang ditetapkan dalam Manifesto ini, dalam keseluruhannya, sekarang masih tetap tepat sebagai sediakala. Di sana-sini mungkin beberapa detailnya dapat diperbaiki. Pengenaan prinsip-prinsip itu dalam praktek akan bergantung, sebagai yang dinyatakan oleh Manifesto ini sendiri, di mana saja dan bilamana saja, kepada syarat-syarat sejarah yang berlaku untuk sementara waktu itu, dan oleh karena itu tidak diberikan tekanan istimewa pada tindakan-tindakan revolusioner yang diusulkan pada akhir Bab II. Bagian itu sekarang, dalam banyak hal, tentu akan dinyatakan dengan kata-kata yang sangat berlainan. Mengingat akan langkah raksasa Industri Modern sejak tahun 1848 dan perbaikan serta peluasan, organisasi kelas buruh yang menyertainya, [x] mengingat akan pengalaman praktek yang telah didapat, mula-mula dalam Revolusi Februari, dan kemudian lebih-lebih lagi dalam Komune Paris, di mana proletariat untuk pertama kalinya memegang kekuasaan politik selama dua bulan penuh, program ini dalam beberapa detailnya telah menjadi usang. Satu hal yang terutama telah dibuktikan oleh Komune, yaitu bahwa "kelas buruh tidak dapat hanya merebut alat-alat negara yang telah ada dan mempergunakannya untuk maksud-maksudnya sendiri," (Lihat Perang Dalam Negeri di Perancis; Pidato Dewan Umum Perhimpunan Buruh Internasional, London, Truelove, 1871, hlm. 15, [xi] di mana hal ini lebih dikembangkan). Selanjutnya sudah dengan sendirinya, bahwa kritik mengenai literatur sosialis tidak mencukupi untuk sekarang, karena ia hanya sampai pada tahun 1847; juga bahwa pendapat-pendapat mengenai hubungan dengan kaum Komunis dengan berbagai partai oposisi (Bab IV), biarpun pada prinsipnya masih tepat, tetapi dalam prakteknya sudah usang, sebab situasi politik telah berubah sama sekali dan kemajuan sejarah telah menyapu bersih dari bumi ini sebagian terbesar dari partai-partai politik yang disebutkan di dalamnya. “Namun, Manifesto ini telah menjadi dokumen yang bersejarah, yang untuk mengubahnya kami tidak mempunyai hak apa pun lagi.” Terjemahan yang sekarang ini ialah oleh Tuan Samuel Moore, penerjemah sebagian terbesar dari Kapital Marx. Kami telah bersama-sama memeriksanya kembali dan saya telah menambah beberapa keterangan yang menjelaskan kiasan sejarah. Friedrich Engels London, 30 Januari 1888 [vii]. Lassalle pribadi, kepada kami, selalu mengaku dirinya sebagai murid Marx, dan oleh karena itu berdiri di atas dasar Manifesto. Tetapi dalam agitasinya--di muka umum, tahun 1862-1864, ia menuntut tidak lebih jauh daripada bengkel koperasi yang disokong oleh kredit Negara. (Keterangan oleh Engels). [viii]. Vera Zasulich (1849-1919), menembak gubernur Petersburg yang kejam dalam tahun 1878. Belakangan menjadi anggota organisasi Marxis Rusia yang pertama, yaitu Grup untuk Pembebasan Buruh (1883). Sebenarnya penerjemahnya adalah Plekhanov. Dalam keterangan tambahan pada artikel Hubungan-Hubungan Sosial di Rusia, yang dimuat dalam Internationales aus dem Volkstaat (1871-1875), Berlin 1894, Engels sendiri mengatakan bahwa terjemahan ini adalah terjemahan Plekhanov. – Red. [ix]. Keadaan Kelas Buruh Di Inggeris Dalam Tahun 1844. Oleh Friedrich Engels. Diterjemahkan oleh Florence K. Wishnewetzky, New York, Lovell. W. Reeven. 1888. (Keterangan oleh Engels). [x]. Dalam aslinya yang berbahasa Jerman tahun 1872 kata-kata ini disusun sedikit berbeda. Bandingkan dengan hlm. 13 dalam edisi sekarang ini. – Red. [xi]. K. Marx dan F. Engels, Pilihan Karya, edisi Inggris Dua-Jilid, Jilid I, Moskow 1958, hlm. 473. – Red. Pendahuluan pada edisi Jerman tahun 1890 Sejak, yang tersebut di atas ditulis, [xii] suatu edisi Jerman yang baru dari Manifesto ini diperlukan lagi, dan banyak juga yang telah terjadi berkenaan dengan Manifesto yang harus dicantumkan di sini. Terjemahan kedua dalam bahasa Rusia--oleh Vera Zasulich--terbit di Jenewa dalam tahun 1882: pendahuluan pada edisi itu ditulis oleh Marx dan saya sendiri. Celakanya, manuskrip aslinya yang berbahasa Jerman telah hilang; oleh karena itu, saya harus menerjemahkannya kembali dari bahasa Rusia, yang tentu tidak akan membawa perbaikan pada teks itu. [xiii] Bunyinya: “Edisi Rusia yang pertama dari Manifesto Partai Komunis, terjemahan Bakunin, diterbitkan pada permulaan tahun-tahun enam puluhan oleh percetakan Kolokol. Ketika itu dunia Barat hanya dapat memandangnya (edisi Rusia Manifesto) sebagai suatu keanehan dalam literatur. Pandangan yang semacam itu sekarang tidak akan mungkin.” “Bagaimana masih terbatasnya lapangan gerakan proletar pada waktu itu (Desember 1847) dengan sejelas-jelasnya ditunjukkan oleh bab terakhir dalam Manifesto: pendirian kaum Komunis dalam hubungan dengan berbagai partai oposisi di berbagai negeri. Justru Rusia dan Amerika Serikatlah yang tidak disebutkan di sini. Waktu itu ialah ketika Rusia merupakan cadangan besar terakhir dari semua reaksi Eropa, ketika Amerika Serikat menyerap kelebihan tenaga proletar Eropa dengan jalan imigrasi. Kedua negeri itu menyediakan bahan-bahan mentah untuk Eropa dan juga menjadi pasar untuk penjualan hasil-hasil produksinya. Oleh karena itu, pada waktu itu, bagaimanapun juga, kedua-duanya adalah tiang penyangga sistem yang berlaku di Eropa.” “Alangkah bedanya sekarang ini! Justru imigrasi orang-orang Eropa telah menjadikan Amerika Utara cocok untuk produksi pertanian raksasa, yang persaingannya menggoncangkan dasar-dasar milik tanah di Eropa besar dan kecil. Di samping itu ia memungkinkan Amerika Serikat untuk rnengeksploitasi sumber-sumber industrinya yang maha besar dengan kegiatan serta ukuran yang dalam tempo singkat mesti mematahkan monopoli industri Eropa Barat, dan terutama Inggris, yang berlaku sampai sekarang. Kedua-dua keadaan ini bereaksi secara revolusioner terhadap Amerika sendiri. Selangkah demi selangkah hak milik tanah kecil dan sedang dari kaum tani yang menjadi dasar seluruh susunan politik Amerika, kalah karena persaingan pertanian-pertanian raksasa; bersamaan dengan itu massa proletariat dan konsentrasi kapital yang menakjubkan berkembang untuk pertama kalinya di daerah-daerah industri.” “Dan sekarang Rusia! Selama Revolusi tahun 1848-1849 bukan saja raja-raja di Eropa, tetapi juga borjuis Eropa menemukan pada intervensi Rusia jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri dari proletariat, yang pada waktu itu baru saja mulai bangun. Tsar diumumkan sebagai pemimpin reaksi Eropa. Sekarang dia menjadi tawanan perang revolusi di Gatchina, dan Rusia merupakan pelopor aksi revolusioner di Eropa.” “Tujuan Manifesto Komunis ialah memproklamasikan bahwa milik borjuis modern tidak boleh tidak bakal lenyap. Tetapi di Rusia, berhadap-hadapan dengan penipuan kapitalis yang berkembang cepat dan milik tanah borjuis yang baru mulai berkembang, kita dapati lebih dari separuh luas tanah dimiliki bersama oleh kaum tani. Sekarang soalnya ialah : dapatkah obshchina Rusia, sekalipun sudah sangat digerogoti tetapi adalah bentuk hak milik bersama yang primitif atas tanah, langsung beralih ke bentuk yang lebih tinggi dari hak milik bersama secara Komunis? Atau sebaliknya, haruskah menjalani dahulu proses kehancuran yang sama seperti yang terwujud sebagai evolusi sejarah di Barat?” “Satu-satunya jawaban yang mungkin sekarang ini ialah : Jika Revolusi Rusia menjadi isyarat untuk revolusi proletar di Barat, sehingga kedua-duanya saling melengkapi, maka hak milik bersama atas tanah di Rusia yang sekarang dapat dijadikan titik tolak untuk perkembangan secara Komunis.” “Karl Marx & Friedrich Engels London, 21 Djanuari 1882” Kira-kira pada saat itu juga, terjemahan baru dalam bahasa Polandia terbit di Jenewa: Manifes Komunistyczny. Selanjutnya, terjemahan baru dalam bahasa Denmark dimuat dalam Socialdemokratisk Bibliothek,Kopenhagen, 1885. Sayang, terjemahan itu kurang lengkap; beberapa bagian yang penting, yang rupanya telah menimbulkan kesulitan kepada si penerjemah, telah dilewati, dan selain daripada itu di sana-sini tampak tanda-tanda kecerobohan yang lebih-lebih lagi tidak menyenangkan menyoloknya, karena terjemahan itu menunjukkan bahwa, sekiranya si penerjemah itu mau bersusah payah sedikit lagi, maka ia dapat melaksanakan suatu pekerjaan yang sangat baik. Terjemahan baru dalam bahasa Perancis dimuat dalam majalah Le Socialiste di Paris pada tahun 1885; ini adalah penerbitan yang terbaik sampai sekarang. Dari yang belakangan ini suatu terjemahan dalam bahasa Spanyol telah diterbitkan pada tahun itu juga, mula-mula dimuat dalam majalah El Socialista di Madrid, dan kemudian diterbitkan lagi dalam bentuk brosur: Manifesto del Partido Comunista por Carlos Marx y F. Engels, Madrid, Administracion de El Socialista, Hernan Cortes 8. Sebagai kejadian yang aneh dapat saya sebutkan di sini bahwa pada tahun 1887 manuskrip suatu terjemahan dalam bahasa Armenia telah diberikan kepada seorang penerbit di lstambul. Tetapi orang yang baik itu tidak berani menerbitkan sesuatu yang memakai nama Marx dan menyarankan supaya si penerjemah menuliskan namanya sendiri sebagai pengarangnya, tetapi si penerjemah menolak. Sesudah terjemahan Amerika yang satu, dan kemudian yang lain, yang kesemuanya sedikit banyaknya kurang tepat, berulang-ulang dicetak kembali di Inggeris, akhirnya terbitlah suatu terjemahan yang otentik pada tahun 1888. Terjemahan ini adalah oleh teman saya, Samuel Moore, dan kami berdua memeriksanya sekali lagi sebelum dikirimkan ke percetakan. Titelnya ialah: Manifesto of the Communist Party, by Karl Marx and Frederick Engels, Authorized English Translation, edited and annotated by Frederick Engels, 1888, London, William Reeves, 185 Fleet Street, E.C. Beberapa keterangan dari edisi itu telah saya tambahkan ke dalam edisi ini. Manifesto ini, telah mempunyai sejarahnya sendiri. Setelah disambut dengan kegairahan pada waktu terbitnya oleh pelopor-pelopor Sosialisme ilmiah yang pada waktu itu sama sekali belum banyak jumlahnya (sebagai telah dibuktikan oleh terjemahan-terjemahan yang disebutkan dalam pendahuluan yang pertama), ia segera terdesak ke latar belakang oleh reaksi yang dimulai dengan kalahnya kaum buruh Paris dalam bulan Juni 1848, dan akhirnya dilarang menurut “undang-undang” dengan dihukumnya orang-orang Komunis Cologne pada bulan November 1852. Dengan menghilangnya gerakan kaum buruh dari gelanggang umum yang dimulai dengan Revolusi Februari, maka Manifesto inipun, mundur menghilang ke latar belakang. Setelah kelas buruh mengumpulkan lagi cukup tenaga untuk serangan baru terhadap kekuasaan kelas-kelas yang berkuasa, maka lahirlah Perhimpunan Buruh Internasional. Tujuannya ialah memadukan seluruh kelas buruh yang militan dari Eropa dan Amerika menjadi satu tentara yang besar sekali. Oleh karena itu ia tidak dapat mulai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan di dalam Manifesto ini. Ia harus mempunyai program yang tidak akan menutup pintu bagi serikat-serikat buruh Inggeris, pengikut-pengikut Proudhon di Perancis, Belgia, Italia dan Spanyol dan pengikut-pengikut Lassalle [xiv] di Jerman. Program ini mukadimah Peraturan Dasar Internasionale [xv] --disusun oleh Marx dengan keahlian yang tinggi yang juga diakui oleh Bakunin dan kaum Anarkis. Untuk kemenangan akhir dari pikiran-pikiran yang dikemukakan di dalam Manifesto Marx semata-mata mempercayakannya kepada perkembangan intelek kelas buruh, yang tidak boleh tidak tentu akan ditimbulkan oleh aksi bersama dan diskusi. Kejadian-kejadian dan berganti-gantinya kalah dan menang dalam perjuangan melawan kapital, kekalahan-kekalahan lebih-lebih lagi dari kemenangan-kemenangan, tidak boleh tidak tentu menunjukkan kepada pejuang-pejuang itu akan tidak tepatnya obat-obat ajaib yang mereka pakai selama itu dan menjadikan pikiran mereka lebih dapat menerima pengertian yang mendalam tentang syarat-syarat yang sesungguhnya dari pembebasan kaum buruh. Dan Marx benar. Kelas buruh dalam tahun 1874, pada saat Internasionale dibubarkan, adalah sama sekali berlainan keadaannya dengan tahun 1864, ketika Internasionale didirikan. Proudhonisme di negeri-negeri Latin dan Lassalleanisme yang spesifik di Jerman pada waktu itu sedang menuju kematiannya, dan bahkan serikat-serikat buruh yang sangat konservatif di Inggris berangsur-angsur mendekati titik di mana dalam tahun 1887 ketua mereka dalam Kongres Swansea dapat mengatakan atas nama mereka Sosialisme Daratan Eropa sudah tidak menakutkan lagi bagi kita. Sekalipun demikian pada tahun 1887 Sosialisme Daratan Eropa adalah hampir semata-mata hanya teori yang diumumkan di dalam Manifesto. Jadi, sampai derajat tertentu, sejarah Manifesto mencerminkan sejarah gerakan kelas buruh modern sejak tahun 1848. Sekarang ini tak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah suatu penerbitan yang paling luas-tersebar, paling internasional dari segala literatur Sosialis, program bersama dari berjuta-juta kaum buruh semua negeri, dari Siberia sampai ke Kalifornia. Sekalipun demikian, ketika ia terbit kita tidak dapat menamakannya Manifesto Sosialis. Pada tahun 1847 ada dua macam golongan yang dianggap sebagai orang-orang Sosialis. Pada satu pihak adalah pengikut-pengikut berbagai sistem utopia, teristimewa kaum Owenis di Inggris dan kaum Fourieris di Perancis, yang kedua-duanya pada saat itu telah merosot menjadi hanya sekte saja dan berangsur-angsur menuju kematiannya. Di pihak lain tukang-tukang jual koyok kemasyarakatan yang sangat banyak corak ragamnya itu yang dengan berbagai macam obat ajaib serta segala cara kerja tambal sulam hendak melenyapkan keburukan-keburukan sosial, tanpa sedikitpun merugikan kapital dan laba. Dalam kedua hal itu, orang-orang yang berdiri di luar gerakan buruh dan yang lebih suka minta bantuan pada kelas-kelas “terpelajar.” Tetapi bagian dari kelas buruh yang menuntut penyusunan-kembali masyarakat secara radikal, yakin bahwa revolusi-revolusi politik saja adalah tidak cukup, pada waktu itu menamakan dirinya Komunis. Ini adalah Komunisme yang masih mentah, hanya naluriah, dan sering kali agak kasar. Namun, ia cukup kuat untuk menimbulkan dua sistim Komunisme Utopia - di Perancis Komunisme Icaria dari Cabet, dan di Jerman dari Weitling. Dalam tahun 1847 Sosialisme berarti gerakan borjuis, Komunisme berarti gerakan kelas buruh. Sosialisme, di Daratan Eropa, setidak-tidaknya adalah cukup terhormat, sedang Komunisme justru sebaliknya. Dan karena kami telah mempunyai pendirian yang pasti sejak masa itu bahwa “pembebasan kelas buruh haruslah tindakan kelas buruh sendiri,” maka kami tidak sangsi lagi tentang nama mana di antara dua nama itu yang harus kita pilih. Sejak itupun.tak pernah juga ada pikiran pada kita untuk menolak nama itu. “Kaum buruh sedunia, bersatulah!” Tetapi hanya sedikit saja suara yang menyambut ketika kita maklumkan kata-kata ini kepada dunia empat puluh dua tahun yang lampau, pada saat menjelang Revolusi Paris yang pertama di mana proletariat keluar dengan tuntutan-tuntutannya sendiri. Tetapi pada tanggal 28 September 1864 kaum proletar dari hampir semua negeri Eropa Barat mempersatukan diri dalam Perhimpunan Buruh Internasional, suatu kenang-kenangan yang indah sekali. Benar, Internasionale itu sendiri hanya hidup selama sembilan tahun. Tetapi bahwa persatuan yang kekal dari kaum proletar sedunia yang diciptakan oleh Internasionale itu masih hidup dan hidup lebih kuat dari sedia kala, tidak ada saksi yang lebih baik daripada hari ini. Sebab pada saat ini, selagi saya menulis baris-baris kalimat ini, proletariat Eropa dan Amerika sedang memeriksa barisan kekuatan-kekuatan perjuangannya, yang dimobilisasi untuk pertama kalinya, dimobilisasi sebagai satu tentara, di bawah satu bendera, untuk satu tujuan yang terdekat: hari kerja delapan jam sebagai patokan umum, supaya ditetapkan secara sah menurut undang-undang, seperti yang telah diumumkan oleh Kongres Internasionale, di Jenewa dalam tahun 1866, dan diulangi oleh Kongres Buruh Paris dalam tahun 1889. [xvi] Dan pemandangan hari ini akan membukakan mata kaum kapitalis dan tuan-tuan tanah di semua negeri akan kenyataan bahwa pada saat ini kaum buruh sedunia benar-benar telah bersatu. Betapa sayangnya bahwa Marx tidak ada lagi di samping saya untuk melihat ini dengan mata sendiri! F. Engels London, 1 Mei 1890 [xii]. Yang dimaksud oleh Engels ialah kata pendahuluannya pada edisi Jerman tahun 1883. - Red. [xiii]. Manuskrip asli yang berbahasa Jerman, kata pendahuluan Marx dan Engels pada edisi Rusia Manifesto yang hilang itu telah diketemukan dan sekarang disimpan dalam arsip Institut Marx-Engels-Lenin di Moskow. Terjemahan Inggeris dari kata pendahuluan yang sekarang ini dibuat dari aslinya yang berbahasa Jerman. - Red. [xiv]. Lassalle pribadi, kepada kami, selalu mengaku dirinya, sebagai seorang “murid” Marx dan oleh karena itu tentu saja berdiri di atas dasar Manifesto. Sangat berbeda dengan mereka yang menjadi pengikut-pengikutnya yang tidak melampaui tuntutan Lassalle untuk koperasi produksi yang disokong oleh kredit negara dan yang membagi seluruh kelas buruh menjadi penyokong bantuan negara dan pendukung-pendukung usaha menolong diri sendiri. (Keterangan Engels). [xv]. Lihat K. Marx, The General Rules of the International Working Men's Association, K. Marx dan F. Engels; Pilihan Karya, edisi Inggeris Dua-jlilid; Jilid I, Moskow 1958, hlm. 286-387. – Red. [xvi]. Piagam Kongres Internasionale Kedua. – Red. Pendahuluan pada edisi Polandia tahun 1892 [xvii] Kenyataan tentang diperlukannya lagi edisi baru Manifesto Komunis dalam bahasa Polandia menimbulkan berbagai pikiran. Pertama-tama, adalah perlu dicatat bahwa belakangan ini Manifesto seolah-olah telah menjadi pedoman tentang perkembangan industri besar di daratan Eropa. Sebanding dengan meluasnya industri besar di sesuatu negeri, maka bertambahlah tuntutan di kalangan kaum buruh negeri termaksud untuk penjelasan tentang kedudukan mereka sebagai kelas buruh dalam hubungannya dengan kelas yang berpunya, gerakan sosialis meluas di kalangan mereka dan permintaan akan Manifesto bertambah banyak. Jadi, tidak hanya keadaan gerakan buruh tetapi juga derajat perkembangan industri besar dapat diukur dengan cukup ketelitian di tiap-tiap negeri dengan jumlah buku Manifesto yang diedarkan dalam bahasa negeri itu. Maka itu, edisi baru dalam bahasa Polandia ini menunjukkan suatu kemajuan yang nyata dari industri Polandia. Dan sedikitpun tak dapat diragukan lagi bahwa kemajuan ini sungguh-sungguh telah terjadi semenjak diterbitkannya edisi yang terdahulu, sepuluh tahun yang lampau. Polandia Rusia, Polandia Kongres, telah menjadi daerah industri besar dari Kerajaan Rusia. Sedang industri besar Rusia terpencar-pencar di sana-sini -- sebagian di sekeliling Teluk Finlandia, yang lain di tengah-tengah (Moskow dan Wladimir), lainnya lagi di sepanjang pantai Laut Hitam dan Laut Azov, dan masih ada lainnya lagi di berbagai tempat -- industri Polandia telah terkumpul di dalam suatu daerah yang relatif kecil dan memperoleh keuntungan maupun kerugian akibat konsentrasi semacam itu. Pengusaha-pengusaha pabrik Rusia yang bersaing mengakui adanya keuntungan-keuntungan itu pada waktu mereka menuntut tarif-tarif yang melindungi terhadap Polandia, walaupun mereka sangat keras keinginannya untuk mengubah bangsa Polandia menjadi bangsa Rusia. Kerugiannya -- bagi kaum pengusaha pabrik Polandia dan pemerintah Rusia -- dinyatakan oleh cepat meluasnya cita-cita sosialis di kalangan kaum buruh Polandia dan oleh permintaan yang bertambah banyak akan Manifesto. Tetapi perkembangan industri Polandia yang cepat itu, yang melampaui perkembangan industri Rusia, pada gilirannya merupakan bukti baru tentang daya hidup yang tiada habis-habisnya dari Rakyat Polandia dan suatu jaminan baru bagi pembaruan nasional yang akan datang. Dan pembaruan suatu Polandia yang merdeka dan kuat adalah suatu soal yang tidak hanya mengenai bangsa Polandia tetapi kita semua. Kerjasama internasional yang tulus dari nasion-nasion Eropa hanyalah mungkin apabila bangsa-bangsa itu masing-masingnya berotonomi sepenuhnya di negerinya sendiri. Revolusi tahun 1848, yang di bawah panji proletariat, pada akhirnya hanyalah menyuruh pejuang-pejuang proletar melakukan pekerjaan borjuasi, menjamin pula kemerdekaan Italia, Jerman dan Hongaria melalui pelaksana-pelaksana testamennya, Louis Bonaparte dan Bismarck; tetapi Polandia, yang sejak tahun 1792 telah berbuat untuk Revolusi lebih banyak daripada ketiganya ini semua, ditinggalkan bertahan sendiri ketika ia ditundukkan pada tahun 1863 oleh kekuatan Rusia yang sepuluh kali lebih besar. Kaum bangsawan tidak dapat mempertahankan ataupun merebut kembali kemerdekaan Polandia; sekarang ini, bagi borjuasi, kemerdekaan ini adalah, diungkapkan dengan selunaknya, tidak penting. Sekalipun demikian, ia merupakan suatu keharusan untuk kerjasama yang harmonis di kalangan nasion-nasion Eropa. la hanya dapat dicapai oleh proletariat Polandia yang muda itu ,dan di dalam tangannya ia terjamin. Karena kaum buruh dari semua bagian Eropa lainnya memerlukan kemerdekaan Polandia seperti halnya dengan kaum buruh Polandia sendiri. F. Engels London, 10 Februari 1892 [xvii]. Terjemahan ke dalam bahasa Inggeris dari Pendahuluan pada Edisi Polandia ini dikerjakan dari aslinya yang berbahasa Jerman. – Red. Pendahuluan pada edisi Italia tahun 1893 kepada pembaca Italia Diterbitkannya Manifesto Partai Komunis, dapat dikatakan, bersamaan dengan tanggal 18 Maret 1848, hari revolusi-revolusi di Milan dan Berlin, yang berupa pemberontakan bersenjata dari nasion yang berada di tengah-tengah, yang satu, di tengah-tengah daratan Eropa, yang lainnya, di tengah-tengah Laut Tengah; dua nasion yang sampai pada ketika itu menjadi lemah karena dibagi-bagi dan karena pertengkaran intern, dan dengan demikian jatuh ke dalam kekuasaan asing. Apabila Italia ditundukkan oleh Kaisar Austria, Jerman menderita penindasan, tidak kurang beratnya biarpun tidak langsung, dari Tsar seluruh Rusia. Akibat-akibat dari 18 Maret 1848 melepaskan Italia dan Jerman dari penghinaan itu; jika dari tahun 1848 hingga tahun 1871 kedua bangsa besar ini tersusun kembali dan karena sesuatu hal telah dibiarkan mengurus dirinya sendiri, ini adalah, seperti yang biasa dikatakan oleh Marx, karena orang-orang yang menindas Revolusi tahun 1848 adalah, biar bagaimanapun juga, pelaksana-pelaksana testamen revolusi itu sekalipun tidak sekehendak mereka sendiri. Di manapun juga revolusi itu adalah pekerjaan kelas buruh; kaum buruhlah yang mendirikan barikade-barikade dan. membayar dengan darah hidupnya. Hanyalah kaum buruh Paris, dalam menggulingkan pemerintah, mempunyai tujuan yang pasti, yaitu menggulingkan rezim borjuis. Tetapi walaupun mereka sadar akan adanya antagonisme yang fatal antara kelas mereka sendiri dengan borjuasi, tetapi kemajuan ekonomi negeri itu, begitu juga perkembangan intelek massa kaum buruh Perancis sampai pada ketika itu belum mencapai tingkat yang memungkinkan perombakan sosial. Maka dari itu, pada akhirnya buah revolusi telah dipungut oleh kelas kapitalis. Di negeri-negeri lainnya, di Italia, di Jerman, di Austria, kaum buruh sejak semula tidak berbuat lain kecuali menaikkan borjuasi ke singgasana kekuasaan. Tetapi di negeri manapun kekuasaan borjuasi adalah tidak mungkin tanpa kemerdekaan nasional. Oleh karena itu, Revolusi tahun 1848 harus membawa bersama dengannya persatuan dan otonomi nasion-nasion yang sampai pada ketika itu belum memilikinya: Italia, Jerman, Hongaria. Polandia akan menyusul pada gilirannya. Jadi, jika Revolusi tahun 1848 bukanlah suatu revolusi sosialis, ia melapangkan jalan, menyiapkan dasar untuk revolusi sosialis. Melalui dorongan yang kuat terhadap industri besar di semua negeri, rezim borjuis di mana-mana selama empat puluh lima tahun belakangan ini telah menciptakan proletariat yang besar jumlahnya, terkonsentrasi dan perkasa. Dengan demikian, menurut bahasa Manifesto, ia telah melahirkan penggali liang kuburnya sendiri. Tanpa memulihkan otonomi dan persatuan pada tiap-tiap nasion, akan tidak mungkin untuk mencapai persatuan internasional proletariat, atau kerjasama secara damai dan bijaksana antara nasion-nasion ini menuju cita-cita bersama. Cobalah bayangkan aksi internasional bersama oleh kaum buruh Italia, Polandia, Hongaria, Jerman dan Rusia dalam keadaan politik pada masa menjelang tahun 1848! Jadi pertempuran-pertempuran yang dilakukan dalam tahun 1848 tidaklah sia-sia. Tidak pula percuma berlalunya empat puluh lima tahun yang memisahkan kita dari masa revolusioner itu. Buahnya sedang menjadi masak, dan satu-satunya harapan saya adalah supaya penerbitan terjemahan bahasa Italia ini dapat juga meramalkan kemenangan proletariat Italia seperti halnya dengan penerbitan aslinya yang meramalkan kemenangan revolusi internasional. Manifesto ini menghargai sepenuhnya peranan revolusioner yang telah dilakukan oleh kapitalisme di waktu yang lampau. Nasion kapitalis yang pertama adalah Italia. Berakhirnya Zaman Tengah Feodal, dan mulainya Kapitalis Modern ditandai oleh seorang tokoh raksasa: seorang Italia, Dante, penyair terakhir dari Zaman Tengah dan juga penyair pertama dari Zaman Modern. Sekarang ini, seperti dalam tahun 1300, suatu zaman sejarah yang baru sedang mendatang. Apakah Italia akan memberikan kepada kita seorang Dante baru, yang akan menandai detik kelahiran zaman baru proletar ini? Friedrich Engels London, 1 Februari 1893 Menampilkan satu-satunya kiriman. • Achmad Arfa Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada. Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia. Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia “bisa tidur nyenyak” dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security. Modernitas, komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi. Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan sebagainya[i]. Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan manusia[ii]. Dalam akumulasi kemajuan teknologi yang ada, tetap dilihat sebuah proses di mana manusia dibuat mabuk kepayang oleh modernitas, komunikasi dan teknologi modern. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia. Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia. Maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa mengkritisi dan melihat secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah manusia peroleh. Manusia boleh memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan yang ada. Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya – mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia. Kehadiran Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan kawan-kawan telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena modernitas yang menjanjikan tapi juga kalau tidak hati-hati –menjerumuskan. Meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan metodologis. Untuk memahami secara lebih luas Teori Kritis, penulis mencoba untuk membuat wacana kecil yang didasarkan dari buku Seyla Benhabib yang berjudul “Critique, Norm, And Utopia: A Study of The Foundations of Critical Theory” (selanjutnya akan disebut CNU). Buku Seyla Benhabib ini dipilih karena dalam buku ini termuat beberapa argumen inti pemahaman Seyla Benhabib terhadap Teori Kritis. Argumentasi Seyla Benhabib begitu solid dan komprehensif mengkritisi beberapa kata kunci dalam aliran Teori Kritis. Penulis akan membagi tulisan dalam makalah ini dalam tiga bagian inti. Bagian pertama penulis akan lebih banyak menulis tentang Teori Kritis dari tinjauan historis dan beberapa istilah dan pemahaman kunci dalam Teori Kritis. Bagian kedua, penulis mencoba untuk melihat secara ringkas pandangan Seyla Benhabib beberapa aspek teknis dan metodologis penulisan buku. Bagian ketiga, meski dalam bentuk yang sangat sederhana, penulis mencoba merekonstruksi bangun argumentasi Seyla Benhabib mengenai dasar-dasar Teori Kritis dalam buku tersebut. Pada bagian ini juga, penulis memberikan beberapa konsiderasi kritis atas bangun argumentasi yang dibangun oleh Seyla Benhabib[iii]. ALIRAN FRANKFURT, TEORI KRITIS (CRITICAL THEORY): Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya[iv]. Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu. Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant. Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme). Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan pendasaran asumtif di atas dengan pemikiran Teori Kritis ? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud. Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia. Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant. Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX . Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal, problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia. Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis. Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia atas praksis kapitalistis. Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi modern. Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks. Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusia[vi]. Namun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang hilang” pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai “kesadaran palsu”. Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual – dalam tataran mikro – dan masyarakat – dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien über Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983). Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas. Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika. Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE). Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi[vii] (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya. Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik. Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan. Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal tersebut disebabkan oleh: Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi. Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi. Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970). Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970). Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan. Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada. Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat. Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia. Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya. Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan. Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari. Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat. Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya. Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting. Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok. Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik. Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup. Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial, antara lain: 1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI. 2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur sosial. 3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi. 4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner. Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut. Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik, namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme symbol. Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan yang signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan dengan alasan dan peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program atau satuan pendidikan nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih semua sasaran yang diharapkan karena perbedaan system yang berlaku. Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-teori sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan maupun dalam konteks penggunaan praktis! Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat. Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya. Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki. Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri. Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber. Tindakan, Kelas, dan Status Sosial Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut. Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain. Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status keluarganya. Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih tinggi Simmel dan Konsep Sosiologinya Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri. Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok. Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’ wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia. Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi. Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak dalam dua hal. Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino (1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri. Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan ke dalam kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru beberapa kali menyebutkan ‘pentingnya bersikap netral’ dalam menanggapi teori (lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori Antropologi’ sebagaimanakita temukan dalam buku-buku lain. Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks jelas tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara lain: [‘Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu. Bertentangan dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang bersifat random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain. Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war)’, hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki lingkungan personal berbeda dalam melihat gejala social Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung—sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi antropologi sosial. Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau pengaruh Marx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan perkembangan penuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi dengan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting. Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam konteksnya—bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemikiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi pada pemikiranpemikiran evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran pemikiran tersebut Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia berpendapat bahwa pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam teori dan metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi, polemik dan etik dalam kajian antropologi. Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan sebagai konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut paradigma baru antropologi sosial. Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori Interaksionis, Antropologi Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan dalam buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubungan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsionalisme, analisis struktural, maupun poststrukturalisme. Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya ada. Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar dari konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting bagi para pengkaji antropologi. Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen. Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat. Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi. Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin. “Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94) Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu. Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat. Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S. Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”. Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing. Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal. REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi. Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat. Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru. Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial. Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961 Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa. Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa. Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun. Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain. Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19. Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks. Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat. Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya? Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju. Persetujuan yang benar-benar tulus dengan apa yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat. Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996) Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’” ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan “bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa”. Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik. Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999). Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya. Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990). Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya. Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan. MARXISME DAN SOSIALISME Oleh : Abdul Hadi W. M. Judul Marxisme dalam catatan ini diambil dari salah satu karangan Mohamad Hatta. Sosialisme yang akan dibahas pula bukan hanya sosialisme Marxis, tetapi juga faham ekonomi lain yang lebih relevan bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya menganut suatu agama, khususnya Islam. Khususnya seperti dikemukakan Bung Hatta di Indonesia dan Muhammad Husein Heikal di Mesir. Pemikiran sosialisme seperti inilah yang mendasari gagasan Ekonomi Terpimpin Bung Hatta dan Mubyarto. Mereka berpendapat bahwa tatanan ekonomi terbaik yang mesti dijalankan di Indonesia haruslah berdasarkan keadilan sosial dan kian jauh dari praktek kapitalisme liberal. Sebagai faham ekonomi, sosialisme mulai berkembang pada akhir abad ke-18 dan 19 M di Eropa. Ketika itu tatanan masyarakat feodal mulai runtuh sebagai akibat revolusi industri, yang memunculkan kelas penguasa baru di bidang ekonomi, yaitu kaum kapitalis. Sosialisme muncul sebagai reaksi terhadap kapitalisme. Faham ini mulai muncul di Inggris dan Perancis menjelang Revolusi Perancis, dan mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19 dengan munculnya tokoh-tokoh besar seperti Proudhon, Karl Marx, Engels, Bakunin, Karl Kautsky, Plekhaniv, Lenin dan lain sebagainya. Walaupun faham sosialisme atheis seperti yang diajarkan oleh Marx dan Lenin ditolak oleh para cendikiawan dan ulama sebagai faham kemasyarakatan dan ekonomi yang bertentangan Islam, sejumlah cendekiawan Muslim sendiri memandang bahwa dalam Islam sebenarnya terkandung ajaran ‘semacam sosialisme’. Ajaran ini tidak hanya terpendam sebagai cita-cita, tetapi malah telah dipraktekkan pada masa hidup Nabi dan khalifah al-rasyidin. Di antara cendikiawan Muslim abad ke-20 yang mengemukakan hal ini ialah Mohamad Hatta dan Muhammad Husein Heikal. Persoalannya: relevankah sosialisme sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan bagi kita di Indonesia sekarang? Ajaran sosialisme seperti apa yang diajarkan Islam? Mengapa para pemuka Islam itu menolak faham sosialisme komunis atau Marxisme Leninisme? Latar Belakang dan Penganjur Sosialisme Sosialisme muncul sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 M di Eropa. Revolusi industri yang terjadi di Inggris telah memunculkan kelas baru dalam masyarakat, yaitu kaum borjuis yang menguasai sarana produksi karena penguasaan modal bertimbun di tangan mereka. Di sebelahnya sebagian besar masyarakat kota hidup sebagai buruh yang tenaga kerjanya diperas dan semakin miskin. Kekayaan yang dihasilkan karena kerja keras kaum pekerja ini hanya bisa dinikmati oleh kaum borjuis kapitalis yang jumlahnya tidak besar. Dari waktu ke waktu kesenjangan sosial dan ekonomi semakin kentara. Ketika itulah individualisme tumbuh. Gereja sebagai lembaga sosial keagamaan yang masih berpengaruh ketika itu bersekutu pula dengan kaum kapitalis dalam mengeruk kekayaan yang sebenarnya merupakan hak rakyat banyak, karena merekalah sebenarnya yang bekerja keras. Sebagai akibat dari pesatnya perkembangan invidualisme dan kapitalisme ini hukum yang berlaku hanyalah hukum rimba. Undang-undang dibuat semata-mata demi kepentingan golongan borjuis (bandingkan dengan undang-undang yang dbuat VOC dan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, dan juga dengan keadaan sekarang). Secara ringkas, sosialisme merupakan reaksi terhadap keadaan ini. Sosialisme, seperrti telah dikemukakan, mula-mula muncul sebagai sebagai reaksi terhadap kondisi buruk yang dialami rakyat di bawah sistem kapitalisme liberal yang tamak dan murtad. Kondisi buruk terutama dialami kaum pekerja atau buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dan pusat-pusat sarana produksi dan transportasi. Sejumlah kaum cendekiawan muncul untuk membela hak-hak kaum buruh dan menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Mereka menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi Di antara tokoh-tokoh awal penganjur sosialisme dapat disebut antara lain: St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-1837) , Robert Owen (1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Setelah itu baru muncul tokoh-tokoh seperti Proudhon, Marx, Engels, Bakunin dan lain sebagainya. St. Simon dipandang sebagai bapak sosialisme karena dialah orang pertama yang menyerukan perlunya sarana-sarana produksi dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah/negara. Gagasannya merupakan benih awal lahirnya sistem Kapitalisme Negara (state capitalism). Fourie, tokoh sosialis berikutnya, adalah orang pertama di Eropa yang merasa prihatin melihat pertarungan tersembunyi antara kaum kapitalis dan buruh. Dia mengusulkan pada pemerintah Perancis agar membangun kompleks perumahan yang memisahkan kelompok-kelompok politik dan ekonomi, yang dapat menampung empat hingga lima ratus kepala keluarga. Ia menganjurkan hal ini untuk menghentikan pertarungan dan pertentangan ekonomi antara kaum kapitalis dan buruh. Pandangan ini tidak mendapat tanggapan positif, sedangkan ajaran St Simon banyak mendapat pengikut serta mendorong lahirnya Marxisme di kemudian hari. Robert Owen, seorang ahli ekonomi yang berpandangan sama dengan Fouriee. Tetapi pandangan kurang bulat dibanding pandangan para pendahulunya. Ia mengajarkan pentingnya perbaikan ekonomi seluruh lapisan masyarakat dan penyelesaian masalah yang timbul antara kaum kapitalis dan buruh. Caranya melalui berbagai kebijakan yang dapat mengendalikan timbulnya kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial. Ia sendiri pernah menjadi manager sebuah pabrik. Pengalamannya sebagai manager sangat mempengaruhi pemikiran ekonominya. Sekalipun demikian ide-idenya dianut banyak orang di Inggris. Louis Blanc, adalah tokoh yang revolusioner dan ikut membidani meletusnya Revolusi Perancis. Menurutnya salah satu kewajiban negara ialah mendirikan pabrik-pabrik yang dilengkapi dengan segala sarana dan bahan produksi, termasuk peraturan-peraturan yang mengikat. Selanjutnya jika pabrik itu telah berjalan dengan baik diserahkan pengurusannya kepada para buruh dan pegawainya untuk mengatur dan mengembangkannya secara bebas. Organisasi dan managemen pabrik seluruhnya dibebankan kepada buruh, begitu pula kewenangan memajukan produksi, mencari pasar dan pembagian keuntungan. Sosialisme yang dianjurkan Louis Blanc disebut sosialisme kooperatif. Menurutnya kapitalisme akan hilang dengan sendirinya apabila gagasan-gagasannya itu diwujudkan. Sayang, apa yang diserukannya itu kurang mendapat tanggapan khalayak. Bahkan ia ditentang keras oleh para politisi dan ekonom. Pada tahun 1882 di Inggeris berdiri kelompok Fabian Society yang menganjurkan sosialisme berdasarkan gilde. Tetapi pada akhir abad ke-19 sosialisme dan berbagai alirannya yang berbeda-beda, mulai mendapat penerimaan luas di Eropa. Ini disebabkan karena mereka tidak hanya melontarkan ide-ide dan mengembangkan wacana di kalangan intelektual dan kelas menengah, tetapi juga terutama karena mengorganisir gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal dan bahkan revolusioner. Pierre Joshep Proudhon (1809-1865) adalah penganjur sosialisme generasi kedua di Perancis setelah generasi St. Simon dan Louis Blanc. Tetapi berbeda dengan para penganjur sosialisme lain yang cenderung menghapuskan hak-hak individual atas sarana-sarana produksi, termasuk hak petani untuk memiliki tanah garapan, Proudhon justru bersikeras memperjuangkan dipertahankan hak-hak individual secara terbatas, termasuk hak petani untuk memiliki dan menggarap tanahnya, sebagai juga hak pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya. Jadi ia menolak ide kolektivisme penuh dari kaum sosialis radikal seperti Marx. Bagi Marx hak individual harus dihapus, termasuk hak pemilikan tanah. Di samping itu kaum tani bukan golongan yang penting dalam masyarakat yang bergerak menuju masyarakat sosialis sejati. Marx berpendapat demikian karena faham dialektika materialismenya, yang menganggap bahwa sejarah bisa berubah hanya disebabkan oleh faktor-faktor produksi dan penguasaan sarana produksi oleh kaum proletar yang selama ini diperas oleh kaum kapitalis. Perbedaan pandangan antara Prodhoun dan Marx inilah yang membuat gerakan sosialis internasional mengalami perpecahan pada akhir abad ke-19, dan sosialisme pun pecah ke dalam berbagai aliran seperti sosialisme demokrat, komunisme ala Marx, sosialisme anarkis ala Bakunin, Marxisme-Leninisme, sosialisme ala Kautsky, sosialisme Kristen, dan lain-lain. Kecuali itu ketidak berhasilan sosialisme memperoleh pengikut yang signifikan pada masa awal, tidak pula berhasil melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat terutama disebabkan karena para penganjurnya berkampanye di kalangan kaum elite dan intelektual. Khususnya dengan cara menggugah sentimen moral mereka, padahal mereka – khususnya kaum borjuis kapitalis – dengan semangat individualismenya yang tinggi tidak mengacuhkan masalah-masalah moral dan implikasi moral bagi tindakan-tindakan merejka. Rasa keadilan jauh dari pandangan hidup mereka. Yang penting menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya dengan “menghalalkan segala cara”. Karl Marx berbeda dengan penganjur sosialisme lain sebelumnya. Ia tidak membangun gerakan. Ia tidak memberi ampun sama sekali terhadap hak-hak individual dalam pemilikan sarana produksi. Ia berpendapat bahwa kekayaan individual bukan sesuatu yang terhormat dan dapat mengangkat martabat atau harkat seseorang. Karena dalam kenyataan ia diperoleh dengan cara memeras habis tenaga dan menindas hak-hak kolektif rakyat, terutama kaum yang merupakan lapisan terbesar dalam masyarakat industrial. Kakayaan individual itu justru membuat jatuhnya martabat dan kehormatan seseorang. Karena ia diperoleh dengan jalan yang tidak bermoral, tanpa rasa malu dan rasa bersalah. Melalui korupsi, penipuan dan berbagai penyelewengan terhadap hukum. Dehumanisasi yang dilakukan oleh kaum borjuis dan kapitalisme mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19. Marx lantas menulis bukunya Manifesto Komunis, Das Kapital dan lain-lain. Dia menyerukan agar kaum buruh sedunia bersatu di bawah panji-panji perjuangan ‘menghapus kelas’. Ia yakin bahwa kedudukan seorang buruh sebenarnya jauh lebih mulia dibanding seorang kapitalis. Alasannya karena buruhlah yang secara langsung memproduksi kekayaan bagi semua orang. Melalui seruannya Karl Marx berhasil membangkitkan semangat kaum buruh untuk berjuang. Kini mereka sadar bahwa upah yang mereka terima sebagai imbalan jerih payahnya itu lebih mulia dibanding penghasilkan kaum kapitalis yang diperoleh dengan cara-cara yang jahat dan tidak berperikemanusiaan. Di tangan Marx, sosialisme menjadi semacam ‘kepastian sejarah’ dan pisau kritik yang tajam terhadap perkembangan masyarakat industrial dan kapitalisme liberal yang menghalalkan segala cara. Kemunculan gagasannya sangat tepat waktu, yaitu ketika wabah kapitalisme sedang merajalela di Eropa dan imperialisme Eropa menguasai negeri-negeri Asia dan Afrika. Wabah ini menimbulkan penyakit di mana-mana berupa kerusakan tatanan sosial, kehidupan moral dan keagamaan, kezaliman dan kedurjanaan. Dengan demikian sosialisme revolusioner dan komunisme yang lahir dari ajaran Karl Marx adalah buah simalakama dari perkembangan kapitalisme sendiri. Tetapi ada pula bentuk sosialisme lain yang sangat radikal. Seandainya saja tidak muncul ajaran sosialisme yang dikemukakan oleh Karl Marx dan para pengikutnya, tentulah sosialisme yang lain inilah yang merajelala. Sosialisme yang disebut terakhir ini berasal dari ajaran Bakunin, tokoh sosialis yang pernah bersahabat dengan Marx dan sama-sama berguru kepada Proudhon. Bakunin (1814-1876) mengajarkan faham sosialisme yang tidak kalah radikal dengan berasaskan pengacauan dan anarkisme. Dia menyerukan agar rakyat yang tertindas melakukan tindakan apa saja untuk membuat perubahan. Baginya setiap orang memiliki kebebasan untuk berbuat seperti itu. Manusia tidak perlu tunduk pada norma-norma sosial, dan undang-undang serta hukum positif yang berlaku dalam masyarakat. Gerakan anarkis terutama berkembang di Rusia pada abad ke-19, tanah kelahiran pencetusnya. Dari faham ini tumbuh berbagai gerakan radikal dan atheis revolusioner yang menghalalkan segala cara. Novel-novel Dostoyevski seperti Notes from the Undergrpund, Devil atau The Possessed, Karamasov Brothers, dll. Banyak memberikan gambaran tentang gerakan dan kejiwaan kaum anarkis dan sosialis revolusioner Rusia abad ke-19. Sosialisme Marx Sosialisme Marx pada mulanya merupakan sebuah aliran pemikiran ekonomi, namun kemudian disebabkan oleh tuntutan sejarah lantas berkembang menjadi aliran pemikiran kemasyarakatan dan ideologi politik yang revolusioner. Pada mulanya pula, dibanding dengan ajaran yang dikemukakan oleh Robert Owen dan Bakunin, ia dipandang sayap moderat dari sosialisme. Namun ia segera menjadi revolusioner setelah daripadanya timbul gerakan-gerakan buruh dan sosialisme internasional. Sebagai aliran pemikiran ekonomi Marxisme menggariskan tatanan kehidupan ekonomi tanpa kelas, yang di dalamnya kepemilikan sarana produksi bersifat kolektif. Tujuan itu bisa dicapai dengan menghapuskan pemilikan pribadi dan mendistribusikan kekayaan beserta sumber-sumbernya kepada rakyat banyak secara merata. Pandangan ini kemudian diperluas menjadi sistem nilai yang mencakup semua aspek kehidupan. Apabila tidak demikian maka perubahan sosial dan ekonomi tidak bisa digerakkan. Ajaran Marx berubah secara dramatik menjadi ideologi politik dan kenegaraan yang revolusioner pada akhir abad ke-19, dan mencetuskan timbulnya gerakan-gerakan revolusioner, khususnya di Rusia. Apalagi setelah diolah oleh Lenin yang mengharuskan adanya sebuah partai yang memperjuangkan ide-ide komunisme Marx. Karena pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan revolusi itulah Karl Marx menyusun suatu falsafah kehidupan untuk menopang faham sosialismenya di bidang ekonomi dan politik. Sebagaimana telah diketahui, sosialisme Marx menumpukan perhatian pada masalah kebendaan dan perut. Dengan demikian ajarannya termasuk kedalam faham materialisme dengan memasukkan masalah sosial ekonomi, yaitu masalah pertarungan kelas dan suprlus nilai, ke dalamnya. Masalah yang bersifat kerohanian tersingkir jauh dari ajarannya. Pandangannya itu kemudian dikenal sebagai faham materialisme historis atau materialisme dialektik (dialectical materialism). Ia mengecam sosialisme Fourier dan Robert Owen sebagai utopia karena tidak menunjukkan jalan bagaimana mencapainya. Marx sendiri sebenarnya juga tidak menunjukkan jalan, kecuali memberikan dasar-dasar ilmiah dan menjelaskan syarat-syarat dalam mencapai masyarakat sosialis. Arah kebendaan dan kecenderungan sosialis pemikiran tokoh ini sangat dipengaruhi oleh perjalanan dan pengalaman hidupnya yang pahit, khususnya semenjak ia menyelesaikan kuliah di Universitas Berlin. Ia mendalami pemikiran-pemikiran falsafah yang sedang naik daun pada masanya, khususnya falsafah Hegel. Ia mendalami teori-teori ekonomi David Ricardo dan Adam Smith, serta pemikiran politik Voltaire dan Rousseau. Ia tertarik dengan pemikiran sosialisme yang berkembang di Perancis. Semua itu mempengaruhi jalan pikirannya yang radikal. Jika hendak dirumuskan ada unsur pokok dalam kehidupan ekonomi yang begitu menarik perhatian Marx untuk dipecahkan: (1) Materialisme dialektik yang menggerakkan perubahan sosial dalam sejarah umat manusia; (2) Pertarungan kelas antara kaum kapitalis dan kaum buruh atau proletar; (3) Surplus nilai dalam ekonomi. Ia pernah tinggal di Paris dan berguru pada Proudhon. Dia pernah menjalin persahabatan dengan Bakunin di kota ini, walaupun kemudian bertikai disebabkan perbedaan pandangan dalam menyusun strategi perjuangan. Tetapi ia juga bertemu dengan pemuda bernama Engels, seorang anak pengusaha besar, yang mengagumi ide-idenya dan sekaligus menjadi sahabat seperjuangan dalam mengembangkan sosialisme. Ia menyusun buku bersama Engels, yang membantu membiayai hidupnya selama tinggal di Inggeris dan menyusun buku-bukunya yang monumental seperti Manifesto Komunis. Karya monumentalnya Das Kapital ditulis dalam bahasa Jerman. Materialisme dialektik (dialectical materialism) adalah faham yang menyakini bahwa asas kehidupan sepenuhnya bersifat kebendaan. Karena itu sejarah juga berkembang dan berubah disebabkan faktor-faktor dialektik dari hal-hal yang bersifat kebendaan. Karenanya itu teori Marx juga disebut historical materialism atau teori kebendaan sejarah. Kata-kata dialectics atau dialectical berasal dari kata Yunani dialeces, yang artinya ialah mematahkan argumentasi lawan dengan menggunakan pendapat yang bertentangan. Ini dianggap sebagai cara terbaik dalam mencapai kebenaran atau hakekat dari suatu kebenaran. Kaum sosialis menggunakan istilah ini untuk memahami rahasia alam dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalamnya serta saling bertentangan. Di masa modern, untuk pertama kalinya istilah dialektik digunakan kembali oleh Hegel untuk menguraikan faham “idealisme dialektik’nya (Hegel). Dalam pandangan Hegel, wujud alam ini merupakan akibat dari adanya gerakan evolusi dari ide-ide yang saling bertentangan (thesa dan antithesa), tetapi dalam perkembangan puncaknya kedua hal yang saling bertentangan itu berpadu menjadi satu (sinthesa). Dalam pemikiran benda-benda atau segala sesuatu yang tampak di atas dunia ini tidak mempunyai eksistensi yang sebenarnya sebab semua itu hanyalah bayangan atau gambaran dari ide-ide yang tersembunyi. Semua itu maujud disebabkan proses dialektik dari ide-ide yang bekerja di belakang realitas. Walaupun Marx mendasarkan falsafahnya pada idealisme Hagel, tetapi ia membalikkannya menjadi materialisme dialektik (Marx). Menurut Marx yang hakiki bersifat kebendaan, bukan yang bersifat kerohanian seperti ide. Pertarungan dua unsur kekuatan dalam diri benda ditafsir oleh Marx sebagai gambaran pertarungan benda untuk mempertahankan kekekalannya dalam alam. Marx mengingari kewujudan roh atau kehidupan yang tidak dapat ditangkap oleh indera, karena baginya benda adalah dasar dari segala kehidupan. Di sini ia mengikuti pandangan Lametrie d Feurbach, dua filosof materialis yang hidup pada masa Hegel. Berdasarkan faham materialisme dialektiknya itu dia menganalisa kejadian-kejadian sejarah . Dia menganggap benda sebagai asal-usul terjadinya sesuatu. Dari sinilah lahir thesisnya tentang “pertarungan kelas’ (class struggle) dalam masyarakat industrial di Eropa pada abad ke-19 M. Menurut Marx, dalam setiap tatanan ekonomi, apabila perkembangan dan kemajuannya telah sampai pada fase tertentu, maka akan muncul kekuatan produksi. Kekuatan baru ini akan bertarung melawan kekuatan produksi yang lain, yang muncul bersamaan dengannya. Perkembangan tersebut pada saatnya akan melahirkan suatu kelas baru dalam masyarakat, yaitu setelah tatanan ekonomi yang sedang berjalan itu lenyap. Setelah itu akan terjadi perubahan yang bersifat integral, yaitu munculnya peraturan baru tetang kepemilikan yang menghambat kemajuan yang dicapai sebelumnya. Sudah dapat dipastikan bahwa perubahan ini akan menamatkan riwayat golongan yang sebelumnya menguasai sarana produksi dan kekayaan yang ditimbulkan bekerjanya sarana-sarana produksi. Golongan ini, yaitu golongan borjuis dan kapitalis, telah ditakdirkan oleh sejarah dialektik kebendaan untuk menguasai dan menikmati kekayaan yang dihasilkan oleh kelas pekerja yang teraniaya, tertipu dan tertindas. Dibayangi oleh rasa takut akan lahirnya revolusi atau perubahan radikal yang membalikkan nasib mereka, maka mereka membuat tipu muslihat dengan segala macam cara agar tidak muncul perlawanan dari kaum yang selama ini mereka jadikan sapi perahan untuk menimbun harta. Kaum penindas diwakili oleh pemilik modal atau kapitalis borjuis (thesa), sedang lawannya (antithesa) ialah kaum buruh yang disebut sebagai proletar (rakyat jembel, atau rakyat jelata). Pertempuran atau pertarungan tersebut akan meletus jika kaum proletar mulai menyadari hak-haknya yang terampas, dan menyadari pula bahwa sejarah dapat bergerak ke arah yang berlawanan melalui gerakan revolusioner. Ia akan terus berkembang apabila mampu mendorong masyarakat memilih kepada kekuatan yang mana mereka akan memihak. Kemenangan yang akan diraih oleh pemenangnya tidak lain merupakan akibat dari tatanan ekonomi yang berlaku pada masa itu. Jadi munculnya suatu masyarakat baru yang bercorak sosialis merupakan sinthesa dari pertarungan kelas kaum kapitalis borujis vs kaum proletar. Demikianlah secara ringkas dapat dikatakan bahwa sosialisme bagi Marx adalah buah yang tumbuh dari perkembangan masyarakat dalam sejarah di bawah pengaruh hukum dialektik. Ia tidak dicipta, tetapi merupakan kejadian yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari pertentangan dua kelas yang dilahirkan sejarah, yaitu kaum borjuis dan proletar. Dalam beberapa risalahnya dia menjelaskan bahwa sosialisme yang dikemukakan tidaklah bertujuan membuat suatu konstruksi masyarakat dalam suatu sistem yang bentuknya sudah selesai, melainkan menyelidiki suatu perkembangan sejarah yang menimbulkan kelas yang saling bertentangan dan kemudian mempelajari faktor-faktor yang membuat pertentangan itu lenyap. Engels mengatakan bahwa komunisme yang diajarkan Marx berisi uraian tentang syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk mencapai kemerdekaan kaum buruh. Marx sebenarnya lebih merupakan peletak dasar komunisme dan ajarannya diberikan tafsir yang beragam oleh para pengikutnya. Setidak-tidaknya ada tiga macam aliran sosialisme yang berkembang setelah Marx meninggal: (1) Aliran yang mau memperbaharui teori dan pandangan politiknya, dengan menyesuaikan prinsip-prinsip ajaran itu dengan kenyataan. Aliran ini disebut revisionisme dan reformisme. Penganjurnya ialah Bernstein. Ia berusaha memperbaharui teori Marx dan menganjurkan agar dalam menempuh jalan ke sosialisme dilakukan reformasi, bukan revolusi. Reformasi yang dimaksud ialah perubahan berangsur-angsur dengan mengutamakan perjuangan dalam parlemen. Mereka percaya bahwa pelaksanaan demokrasi kaum buruh lambat laun akan mencapai suara terbesar dalam parlemen; (2) Aliran yang berpegang teguh pada ajaran Marx, disebut aliran dogmatik, yang pada mulanya dipimpin oleh Karl Kautsky.; (3) Aliran yang tetap berpegang pada teori Marx, tetapi dalam politik menempuh jalan yang revolusioner. Aliran ini dipimpinoleh Lenin. Karena itu kemudian aliran ini disebut Marxisme Leninisme atau Leninisme saja. Menurut Lenin, untuk melaksanakan peralihan dari kapitalisme ke sosialisme, orang tidak perlu menunggu sampai kapitalisme matang, tetapi setiap ada kesempatan bagi kaum buruh untuk merebut kekuasaan, kesempatan itu dipergunakan sepenuh-penuhnya. Aliran yang pertama dan kedua tetap berada di dalam gerakan partai sosial demokrat. Sebagai sayap kanan dan sayap kiri dari sosialisme, sedangkan Lenin memisahkan diri, mendirikan organisasi sendiri yang kemudian menjelma Partai Komunis. Bagi Lenin, untuk mencapai tujuan tidak perlu ada partai massa. Aksinya didasarkan kepada anggota inti yang sedikit jumlahnya, tetapi bertekad keras dan berdisplin baja. Stalin mendefinisikan Marxisme Leninisme sebagai “Marxisme pada masa imperialisme dan revolusi proletar”. Leninisme adalah teori dan taktik dari sebuah revolusi besar, teori dan taktik menuju tercapai kediktatoran proletar. Kritik Marxis Kritik dan pertanyaan terhadap Marxisme dan komunisme, telah banyak dikemukakan orang semenjak awal lagi. Setidak-tidaknya ada empat pokok persoalan dari ajaran Marx dan para pengikutnya yang mendapat sorotan tajam. Pertama, Marx mengemukakan bahwa perubahan masyarakat dari tahap yang satu ke tahap berikutnya mengikuti hukum dialektik kebendaan yang berlangsung tanpa henti dalam sejarah. Demikianlah di Eropa kaum feodal yang berkuasa dalam masyarakat pra-industri, dengan tumbuhnya masyarakat industri digantikan kedudukannya oleh kaum kapitalis sebagai penguasa ekonomi. Ketika kapitalisme matang, maka muncul kelas baru yang tertindas, yaitu kaum proletar. Apabila kaum proletar menang, masyarakat sosialis yang tanpa kelas muncul. Pertanyaannya, setelah itu kelas apa lagi yang dilahirkan dalam masyarakat sosialis? Marx tidak memberi jawaban jelas. Kedua, Marx berpendapat bahwa kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masyarakat disebabkan adanya perbedaan kepentingan hidup. Ini akan mengakibatkan terjadinya pertarungan yang sengit antara kelas yang menindas (kapitalis) dan kelas yang ditindas (proletar) di seluruh dunia. Jadi di masa depan (abad ke-20 dan abad ke-21) menurut Marx, konflik yang terjadi di dunia ini akan lebih banyak ditimbulkan oelah pertarungan kelas. Ramalan ini ternyata meleset. Perang yang berkesinambungan sejak awal abad ke-20 hingga kini, khususnya Perang Dunia I dan II, banyak didorong masalah kepentingan nasional dan ideologi dibandingkan karena motivasi pertarungan kelas. Cina dan Vietnam, sesama negara komunis, pernah terjun ke kancah peperangan pada akhir 1970-an bukan disebabkan masalah pertarungan kelas, melainkan disebabkan oleh dorongan nasionalisme yang sempit. Ketiga, Marx meramalkan bahwa apabila tidak berjuang dengan gigih nasib kaum buruh akan menjadi sangat buruk. Kenyataannya tidak selalu demikian. Di negara-negara maju kaum buruh mengalami perbaikan nasib yang sangat mencengangkan sebagai akibat adanya revisi terhadap kapitalisme liberal itu sendiri. Di Inggris dan bekas negara penjajah lain malah kaum buruh bersekutu dengan kapitalis dalam melakukan praktek penindasan di negeri jajahan mereka atas nama imperialisme dan perluasan kapitalisme. Keempat, berhasilnya revolusi Bolsyewik (komunis Rusia yang berfahaman Marxisme-Leninisme) di Rusia pada tahun 1917 tidak mampu memperbaiki nasib kaum proletar seperti yang dijanjikan. Diktator proleariat dijalankan oleh penguasa partai komunis menindas rakyat jelata. Hal yang sama terjadi di Cina dan bekas negara komunis yang lain. Kecuali itu di negara-negara kapitalis sendiri terdapat kecenderungan untuk mempraktekkan sosialisme yang lebih manusiawi, dibanding di negara yang dahulunya berjuang untuk menciptakan masyarakat sosialisme ala Marx, Lenin, Stalin dan Mao. Nurcholis Madjid (1987:189) misalnya menulis sebagai berikut: “Komunisme adalah bentuk lain dan lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah sekularisme yang paling murni dan konsekwen. Dalam komunismelah seseorang menjadi atheis sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhannya pada prinsip persamaan di antara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme itu pun mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan (kebebasan) dalam kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip persamaan itu sebegitu rupa, sehingga tinggal semboyan semata-mata. Malahan yang terjadi ialah adanya supremasi mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya. Diktator proletar, pada hakikatnya, ialah diktator pemimpin-pemimpin dan penguasa-penguasa.” Kecuali itu, kita menyaksikan bahwa banyak perubahan dalam masyarakat, bahkan revolusi, tidak semata-mata dilatar belakangi oleh faktor-faktor materi. Banyak peperangan pula dilatarbelakangi oleh dorongan nasionalisme, ideologi dan kebudayaan. Ini membuktikan bahwa asumsi-asumsi Marxis hanya sebagian saja mengandung kebenaran. Mas’ud an-Nadwi dalam bukunya Al-Isytiraqiyah wa al-Islam (Sosialisme dan Islam, 1981) mengatakan, “Tetapi Marx dan para pengikutnya tidak mempedulikan faktor-faktor lain di luar kebendaan, oleh sebab mereka itu menganggap individu bagaikan barang mainan di bawah dominasi sistem ekonomi yang sedang berkuasa pada zamannya, walaupun kenyataan yang ada jauh dari teori-teori mereka.” Demikianlah dapat disimpulkan bahwa sosialisme merupakan paham sosial kemasyarakatan yang timbul sebagai wujud dari ketidakpuasan terhadap kesenjangan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan masalah pendapatan dan pemerataan kemakmuran negara. Sosialisme muncul dan dirumuskan sebagai penangkal terhadap kian kian buruknya akibat disebabkan kesenjangan yang kian menjadi-jadi. Dalam sejarah akibat buruk yang ditimbulkan oleh kesenjangan tersebut tidak hanya menyulut kecemburuan dan kebencian sosial, tetapi juga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan dan kekacauan yang justru merusak tatanan sosial yang ada. Bahkan ia menimbulkan gelombang revolusi besar yang berhasil menjebol tatanan pemerintahan dan masyarakat yang telah mapan. Contoh terbaik barangkali ialah apa yang dialami Rusia pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kesenjangan sosial dan ekonomi yang diciptakan Tsar sejak permulaan abad ke-19 M telah menimbulkan berbagai gejolak sosial. Kesenjangan sosial yang terjadi tidak ditangani secara bijak. Dipengaruhi oleh berkembangnya gerakan-gerakan sosialis revolusioner di Eropa Daratan, di Rusia pun muncul kelompok-kelompok sosialis yang cenderung radikal. Kelompok-kelompok radikal ini sering melakukan aksi-aksi teror yang memusingkan kepala Tsar. Tetapi semakin gerakan ini ditindak dengan tegas, dan semakin banyak dari para pemimpinnya yang dijebloskan ke dalam penjara, semakin banyak pula ia mendapat simpati masyarakat, terutama kaum muda yang sadar. Pada akhir abad ke-19 gerakan revolusioner ini mendapat bentuknya yang definitif setelah munculnya Lenin. Pada tahun 1917, Lenin dan partai komunisnya berhasil menggulingkan pemerintahan absolut Tsar melalui jalan revolusi berdarah. Sejarah mencatatnya sebagai Revolusi Bolshewik, karena digerakkan oleh kaum Bolshewik – sebutan bagi kelompok komunis Rusia yang dipimpin oleh Lenin dan Stalin. sumber : icas-indonesia.org Karl Marx pelopor utama gagasan "sosialisme ilmiah" dilahirkan tahun 1818 di kota Trier, Jerman, Ayahnya ahli hukum dan diumur tujuh belas tahun Karl masuk Universitas Bonn juga belajar hukum. Belakangan dia pindah ke Universitas Berlin dan kemudian dapat gelar Doktor dalam ilmu Filsafat dari Universitas Jena. Marx menolak pendasaran sosialisme pada pertimbangan_pertimbangan moral. Sosialisme tidak akan datang karena dinilai baik atau karena kapitalisme dinilai jahat, melainkan karena syarat-syarat obyektif penghapusan hak milik pribadi atau alat-alat produksi terpenuhi. Dan kapitalisme itu sendiri adalah sistem dimana alat-alat produksi dikuasai oleh minoritas, kaum buruh dieksploitir, dan proses akumulasi kapital didorong oleh persaingan antara perusahaan-perusahaan. Ada juga kapitalisme negara (seperti halnya di negara Uni Soviet) dimana negara sendiri kapitalisme negara bertindak seperti perusahaan besar, dan persaingan bisa mengambil bentuk non-pasar seperti persaingan militer (seperti dalam Perang Dingin). Bokot - No Pasaran Sosialisme adalah sebuah masyarakat dimana kaum pekerja sendiri yang menguasai alat-alat produksi dan merencanakan ekonomi secara demokratik dan semua ini secara internasional. Bilamana menilik di dalam sejarahnya, sosialisme muncul ketika feodalisme tersingkir, dan masyarakat merdeka kapitalis muncul di dunia, maka muncullah suatu sistem untuk penindasan dan eksploitasi terhadap golongan pekerja. Disinilah berbagai doktrin sosialis muncul sebagai refleksi dari protes terhadap penindasan ini. Dan sosialisme pada awalnya, bagaimanapun merupakan sosialisme utopis. Ia mengkritik masyarakat kapitalis, mengutuknya, memimpikan keruntuhan kapitalisme. Ia mempunyai gagasan akan adanya pemerintahan yang lebih baik. Ia berusaha membuktikan kepada orang-orang bahwa eksploitasi itu tak bermoral. (red, akan tetapi disini perspektif sosialisme Marx menolak pada pertimbangan-pertimbangan moral). Namun sosialisme utopis tidak memberikan solusi nyata. Ia tak dapat menjelaskan sifat sebenarnya dari perbudakan di bawah sisitem kapitalisme. Ia tak mampu mengungkapkan hukum-hukum perkembangan kapitalis atau memperlihatkan kekuatan sosial apa yang mampu membentuk suatu masyarakat yang baru. Berbagai revolusi terjadi di eropa, khusunya di Perancis, mengingiringi kejatuhan feodalisme, penghambahan, yang semakin lama semakin jelas mengungkapkan perjuangan kelas-kelas sebagai basis dan kekuatan pendorong dari semua perkembangan. Setiap kemenangan politis atas feodalisme merupakan hasil dari perlawanan serentak dan tiba-tiba. Setiap negeri kapitalis berkembang di atas basis yang kurang lebih demokratis, diakibatkan adanya perjuangan hidup-mati di antara kelas-kelas yang ada dalam masyarakat kapitalistik. Inilah kemudian oleh Marx dibuat menjadi doktrin dari Perjuangan Kelas. Dan filosofi materialisme yang dipaparkan Marx menunjukkan jalan bagi proletariat untuk bebas dari perbudakan spiritual yang membelenggu setiap kelas yang tertindas hingga kini. Apa yang dipaparkan Marx bahwasanya materialisme adalah teori yang timbul secara wajar didalam sebuah kelas buruh yang harus memperjuangkan pembebasan. Tetapi jelas kita tidak boleh mengidentifikasikan materialisme historis hanya dengan materialisme saja. Materialisme sudah muncul 2000 tahun sebelum lahirnya Marx, dan di abad ke-18 materialisme malah menjadi pendirian kelas borjuis. Apa yang membedakan materialisme Marxis dari materialisme borjuis? Menurut Marx (dalam Tesis Tentang Feuerbach) Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampai sekarang -- termasuk materialisme Feuerbach -- ialah bahwa hal ihwal, kenyataan, kepancainderaan, digambarkan hanya dalam bentuk benda atau renungan, tetapi tidak sebagai aktivitas pancaindra manusia, praktek, tidak secara subyektif. Artinya, materialisme borjuis melihat manusia sebagai makhluk pasif, sebagai hasil atau efek dari kondisi materiil " sebagai obyek. Ini memang mencerminkan keadaan sehari-hari manusia dalam masyarakat kapitalis: si buruh yang dikuasai oleh mesin di pabrik, kerja sebagai "faktor produksi" yang tidak dibedakan dari faktor lain seperti tanah atau mesin, dsb. Namun materialisme mekanis ini tidak mampu menjadi 100% konsisten; orang tidak bisa hidup menurut filsafat yang 100% fatalistis. Maka materialisme itu selalu menyembunyikan pasal kekecualian yang memperbolehkan idealisme masuk melalui pintu belakang, sebagai "pengetahuan", "ilmu" atau terkadang "kehendak" para elit. Ajaran materialis bahwa manusia itu adalah hasil dari keadaan dan didikan, dan bahwa, oleh karenanya, manusia yang berubah adalah hasil keadaan-keadaan lain, dan didikan yang berubah, melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan bahwa pendidik itu sendiri memerlukan pendidikan. Karena itu, ajaran ini menurut keharusan sampai membagi masyarakat menjadi dua bagian, yang satu diantaranya lebih unggul daripada masyarakat. Marx mengatasi kontradiksi ini melalui konsep praktek. "Terjadinya secara bersamaan perubahan keadaan dengan perubahan aktivitas manusia bisa dibayangkan dan dimengerti secara rasional hanya sebagai praktek yang merevolusionerkan." Model untuk konsep ini adalah kerja manusia; kerja yang mengubah lingkungan alam dan juga menciptakan manusia sendiri. Menurut Marx, pengertian Hegel atas aspek ini merupakan keberhasilannya yang utama. Namun Hegel hanya mengerti kerja tersebut sebagai "kerja mental yang abstrak". Marx dapat berpikir lebih lanjut, sampai berhasil menjungkirbalikkan gagasan Hegel ini; dia berhasil mengidentifikasi kerja manusia yang konkrit dan praktis sebagai dasar perkembangan sejarah. Ini dimungkinkan, karena Marx sempat menyaksikan kerjaan dan perjuangan kelas buruh " suatu golongan sosial yang mampu untuk mentransformasikan dan menguasai sistem sosial. Konsep tentang peranan kerja, produksi dan kelas buruh ini yang menjadi titik tolak teori historis Marxisme. Mulai dari titik tolak itu Marx mengembangkan konsep-konsep seperti "kekuatan produksi", "hubungan produksi" dan "mode produksi" yang bermuara dalam teori revolusi sosial. Di dalam masyarakat, manusia memasuki hubungan-hubungan produksi yang mencerminkan tahap-tahap tertentu dalam perkambangan kekuataan produksi. Hubungan-hubugan tersebut merupakan struktur ekonomi masyarakat, dan di atas dasar itu timbul sebuah superstruktur legal dan politik, dan kesadaran sosial tertentu. "Pada tahap-tahap tertentu, kekuataan produksi materiil masyarakat bentrok dengan hubungan produksi yang ada. Hubungan itu berubah dari bentuk perkembangan kekuataan produksi menjadi belenggu-belenggu untuk perkembangannya. Kemudian mulailah era revolusi sosial." Di sini kita harus menerangkan satu masalah. Materialisme historis sering mengalami distorsi mekanis, dimana dialektika antara kekuatan dengan hubungan produksi ditafsirkan sebagai antagonisme antara alat-alat teknis dan sistem kepemilikan swasta. Kedua unsur itu dimengerti seperti sesuatu yang independen dari manusia " sebuah determinisme teknologis. Maka kedua konsep Marxis tadi direduksi artiannya. Namun buat Marx sendiri kekuataan produksi bukan hanya alat-alat seperti palu atau mesin,melainkan semua kapasitas produktif kelas buruh: "¦kekuatan produktif yang terbesar ialah kelas revolusioner sendiri." Di lain pihak, kepemilikan swasta hanya merupakan "ucapan legal dari hubungan produksi". Maka kontradiksi antara kekuataan dengan hubungan produksi bukan sesuatu yang terpisah dariperjuangan kelas, melainkan perjuangan tersebut muncul dari, dan berlangsung atas dasar kekuataan dan hubungan tersebut. Dengan menelusuri perkembangan materialisme secara teoretis kita telah membuktikan bahwa materialisme historis tidak lain adalah sejarah yang dilihat dari sudut pandang proletariat. Analisis asul-usul historis menuju ke kesimpulan yang sama. Pernyataan pertama tentang materialisme historis terdapat dalam buku Ideologi Jerman yang terbit pada tahun 1845. Sebelum itu terbit dua buku lain yang penting, yakni naskah-naskah Ekonomi dan Filosofis dan Pengantar Kritik Terhadap Filsafat Hukum Hegel yang terbit pada tahun 1844. Naskah-Naskah tidak mulai dengan rumusan tentang "filsafat" atau "alienasi" melainkan dengan perjuangan kelas. Kalimat pertama menyatakan bahwa "Tingkat upah ditentukan oleh perjuangan pahit antara sikap kapitalis dan si buruh." Analisis ekonomi yang dimuat dalam buku tersebut masih kurang matang; tetapi analisis itu secara terang-terangan dijelaskan dari sudut pandang kaum buruh yang menjadi "barang dagangan" dalam masyarakat kapitalis. Kesengsaraan kaum buruh semakin meningkat dengan naiknya produktivitas kerja, sedangkan masyarakat semakin terbagi dua -- antara kelas pemilik modal dan kelas buruh yang tidak memiliki apa-apa. Untuk menjelaskan keadaan itu Marx menganalisis kerja kaum buruh. Kaum buruh menghasilkan kekayaan buat kaum pemilik modal sekaligus memproduksi kesengsaraan diri sendiri karena kerja mereka teralienasi (terasing). Maka Marx melihat peranan kerja yang mendua: kerja produktif sebagai cara untuk menciptakan masyarakat, dan kerja teralienasi sebagai cara kaum buruh menciptakan sistem serta kelas dominan yang menindas dan menghisap mereka sendiri. Dalam kontradiksi ini Marx juga melihat harapan akan masa depan: dengan menghapuskan kerja teralienasi itu, pembebasan manusia dapat tercapai. Jadi dalam Naskah-Naskah tahun 1884 Marx sudah mengantisipasi titik tolak dan juga kesimpulan-kesimpulan pokok materialisme historis. Namun jika kita mundur satu langkah dan menyimak Pengantar ke Kritik Terhadap Filsafat Hukum Hegel (awal 1844) kita sudah mendapati apa yang akan timbul lagi kelak sebagai hasil materialisme historis, yaitu peranan revolusioner proletariat. "Tatkala proletariat menyatakan pembubaran tatanan masyarakat yang ada, mereka hanya membuka rahasia eksistensi mereka sendiri, karena proletariat ialah pembubaran tatanan tersebut." Seperti sudah dicatat di atas, pengakuan Marx atas peranan itu justru berasal dari pengamalannya diantara kalangan buruh revolusioner di Paris. Maka baik secara teoretis maupun historis, rumusan-rumusan Marx tentang sejarah dan masyarakat bisa dilacak kembali ke asal materiilnya, yaitu perjuangan proletarian. Analisis Marxis tentang kapitalisme (yang biasanya disebut "ekonomi Marxis" walau sebenarnya merupakan "kritik terhadap ekonomi politik") dimaksudkan untuk menyediakan dasar ilmiah yang kuat untuk gerakan buruh dengan menjelaskan hukum pergerakan mode produksi kapitalis. Sudah jelas, bahwa semua analisis ini dijalankan dari sudut pandang kelas buruh revolusioner, dengan t esis pokok sebagai berikut: analisis eksploitasi, bukti bahwa seluruh tatanan sosial berdasarkan eksploitasi itu, serta ramalan bahwa sistem kapitalisme harus ambruk persisnya karena dasar eksploitatifnya tersebut. Meskipun begitu, aspek Marxisme ini begitu sering diajukan sebagai sesuatu yang "obyektif" sehingga beberapa catatan diperlukan tentang asal-usal dan logika kritik Marx terhadap ekonomi politik itu. Kritik Marx tentu saja merupakan penerapan materialisme historis pada mode produksi kapitalis, dan seperti materialisme historis sendiri, kritik tersebut berakar dalam analisis kerja " lebih tepatnya kerja teralienasi. Nota bene, ini bukan teori tentang perasaan subyektif kaum buruh terhadap kerja, atau tentang kesadaran umat manusia pada umumnya ¸ melainkan sebuah teori yang persisnya membahas kerja yang teralienasi " dengan kata lain, kerja yang harus dijual pada orang lain. (Kata "alienate" juga berarti menjual sesuatu pada orang lain yang "asing".) Kerja teralienasi ialah kerja yang diupah (wage labour) " dia bukan hanya kondisi dalam otak orang tetapi juga merupakan fakta ekonomi yang konkrit. Namun fakta ini hanya dapat dilihat atau dirasakan dari sudut pandang kelas buruh. Marx adalah seorang "filsuf" dan" ekonom" yang pertama dalam sejarah yang meneliti proses kerja dari sudut. pandang kaum buruh. Betapa pentingnya teori alienasi bagi analisis Marxis terhadap kapitalisme dapat dilihat dari dua aksioma Marx. Yang pertama, bahwa: "walau kepemilikan swasta tampaknya dasar dan sebab dari kerja terasing, sebenarnya ialah akibatnya". Yang kedua: kapitalisme mempunyai sifat dasar, bahwa tenaga kerja menjadi barang dagangan. Sepanjang jalan ini, kritik generis yang dikembangkan Marx semasa masih muda tentang kapitalisme secara umum, telah ditransformasikan dengan upaya yang telaten sehingga menjadi alat analistis tajam yang sangat efektif untuk menelusuri semua seluk-beluk perekonomian kapitalis. Namun konsep awal tentang kerja teralienasi itu tidak dilupakan apalagi dipungkiri, melainkan tetap menjadi jantung dari analisis Marx. Dalam Das Kapital Marx berkali-kali mengungkit masalah Secara Umum Pengertian Sosialisme Dalam kehidupan sehari-hari sosialisme digunakan dalam banyak arti. Istilah sosialisme selain digunakan untuk menunjukkan system ekonomi, juga digunakan untuk menunjukkan aliran filsafat ideologi, cita-cita, ajaran-ajaran atau gerakan. Sosialisme sebagai gerakan ekonomi muncul sebagai perlawanan terhadap ketidak adilan yang timbul dari sistem kapitalisme. John Stuart Mill (1806-1873), menyebutkan sebutan sosialisme menunjukkan kegiatan untuk menolong orang-orang yang tidak beruntung dan tertindas dengan sedikit tergantung dari bantuan pemerintah. Sosialisme juga diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam bentuk yang paling lengkap sosialisme Negara, dan menghilangkan milik swasta (Blinton : 1981). Dalam masyarakat sosialis hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kebersamaan. Untuk mewujudkan rasa kebersamaan ini, alokasi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara. Secara Umum Pengertian Kapitalisme Faham Kapitalisme berasal dari Inggris abab 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran Gereja, tumbuh aliran pemikiran Liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah kesegala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquri into the Nature and Cause of the wealth of Nation yang ditulis pada tahun 1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada kahirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life). Mith berpendapat manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar "Bukan berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat Bir atau tukang pembuat Roti kita dapat makan siang". Kata Smith "akan tetapi karena memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa kemanusian mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-sekali berbicara tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka". (Robert L Heibroner, 1986. UI Press). Motif kepentingan individu didorong oleh filsafat liberlisme kemudian melainkan system ekonomi pasar bebas, pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Milton H. Spencer (1977), menulis dalam bukunya Contemporary Ecomics: "Kapitalisme merupakan sebuah system oraganisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif." Para individu memperoleh peransang agar aktiva mereka diamnfaatkan seproduktif mungkin. Hal tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal. Ia memungkinkan laju pertukaran yang tinggi oleh karena orang memiliki hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia seakanj-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the imvisible hand) untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat. Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang ditanya oleh Menteri Keuangan Perancis pada masa pemerintahan Louis XII/ pada akhir abab 17, yakni Jean bapiste Colbert. Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha, Legendre menjawab : "Laisse nouis faire" (jangan menggangu kita, (leave us alone), kata ini dikenal kemudian sebagai laissez faire. Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai tiadanya intervensi ekonomi dan kebebasan ekonomi. Dengan kata lain dalam system kapitali berlaku, " Free Fight Liberalism" (system persaingan bebas). Siapa yang memilijki dan mampu menggunakan kekuatan modal (capital) secara efektif dan efesien akan dapat memenangkan pertarungan bisnis. Faham yang menggunakan kekuatan modal sebagai syarat memenangkan pertarungan ekonomi disebut Kapitalisme. b. Komunisme Menurut Marx : Bahwasanya menurut Marx ciri_ciri inti dari masyarakat komunis tersebut adalah : - Penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi - Penghapusan adanya kelas-kelas social - Penghapusan pembagian kerja Menurut Marx komunisme menitik beratkan ada empat Pertama, Sekelumit kecil orang kaya hidup dalam kemewahan yang berlimpah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya hidup bergelimang papa sengsara. Kedua, cara untuk merombak ketidakadilan ini dengan jalan melaksanakan sisitem sosialis yaitu system dimana alat produksi dikuasai Negara dan bukannya oleh pribadi swasta. Ketiga, pada umumnya salah satunya jalan paling praktis untuk melaksanakan sistem sosialis ini adalah lewat revolusi kekerasan.Keempat, untuk menjaga kelanggengan sisitem sosialis harus diatur oleh kediktatoran partai Komunis dalam jangka waktu yang memadai. Tiga dari ide pertama sudah dicetuskan dengan jelas sebelum Marx, sedangkan ide keempat berasal dari gagasan Marx mengenai "diktatur proletariat". Sementara itu, masa kediktatoran Soviet sekarang lebih merupakan hasil dari langkah-langkah Lenin dan Stalin dari pada gagasan Marx. Hal ini tampaknya menimbulkan anggapan bahwa pengaruh Marx dalam komunisme lebih kecil dari kenyataan sebenarnya, dan penghargaan orang terhadap tulisan-tulisannya lebih menyerupai sekedar etalasi untuk membenarkan sifat "keilmihan" daripada ide dan politik yang sudah terlaksana dan diterima. Sementara boleh jadi ada benarnya juga anggapan itu, namun tampaknya kelewat berlebihan. Lenin misalnya, tidak sekedar menggap dirinya mengikuti ajaran-ajaran Marx, tapi dia betul-betul membacanya, menghayatinya, dan menerimanya. Dia yakin betul yang dilimpahkannya persis diatas rel yang dibentangkan Marx. Begitu juga terjadi pada diri Mao Tse Tung dan pemuka-pemuka Komunis lain. Memang benar, ide-ide Marx mungkin sudah disalah artikan dan ditafsirkan lain. Mungkin bisa diperdebatkan bahwa Lenin, politikus praktis yang sesungguhnya mendirikan Negara Komunis, memegang saham besar dalam hal membangun Komunisme sebagai suatu ideologi yang begitu besar pengaruhnya di dunia. Pendapat ini masuk akal Lenin benar-benar seorang tokoh penting. Tapi tulisan-tulisan Marx begitu hebat pengaruhnya terhadap jalan pikiran bukan saja Lenin tapi juga pemuka-pemuka Komunis lain. Akhirnya sering dituding orang bahwa teori Marxis di bidang ekonomi sangatlah buruk dan banyak keliru. Terlepas benar atau tidak, kita perlu meng-amininya tentu saja, tak bisa juga dipungkiri banyak hipotesa "proyeksi kedepan" tertentu Marx terbukti atau tidaknya, misalkan saja, bahwasanya Marx meramalkan bahwa dalam negeri-negeri kapitalis kaum buruh akan semakin melarat dalam perjalanan sang waktu. Marx juga memperhitungkan bahwa kaum menengah akan disapu dan sebagian besar orang-orangnya akan masuk kedalam golongan proletariat dan hanya sedikit yang bisa bangkit dan masuk kedalam kelas kapitalis. Tapi terlepas apakah teori ekonominya benar atau salah, semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh Marx. Bahwasanya arti penting seorang filosof terletak bukan pada kebenaran pendapatnya tapi terletak pada masalah apakah buah pikirannya telah menggerakkan orang bertindak atau tidak. Diukur dari sudut ini, tak perlu diragukan lagi Karl Marx punya arti penting yang luar biasa hebatnya. Secara Umum Pengertian Komunisme Komunisme muncul sebagai aliran ekonomi, ibarat anak haram yang tidak disukai oleh kaum kapitalis. Aliran ekstrim yang muncul dengan tujuan yang sama dengan sosialisme, sering lebih bersifat gerakan ideologis dan mencoba hendak mendobrak sistem kapitalisme dan system lainnya yang telah mapan. Kampiun Komunis adalah Karl Marx. Sosok amat membenci Kapitalisme ini merupakan korban saksi sejarah, betapa ia melihat para anak-abak dan wanita-wanita termasuk keluarganya yang dieksploitir para kapitalis sehingga sebagian besar dari mereka terserang penyakit TBC dan tewas, karena beratnya penderitaan yang mereka alami. Sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh para pemilik sumber daya (modal) yang disebutnya kaum Borjuis. Kata Komunisme secara historis sering digunakan untuk menggambarkan sistem-sistem sosial di mana barang-barang dimiliki secara bersama-sama dan distribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota masyarakat. Produksi dan konsumsi berdasarkan motto mereka : from each according to his abilities to each according to his needs. (dari setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhan). Walaupun tujuan sosialisme dan komunisme sama, dalam mencapai tujuan tersebut sangat berbeda. Komunisme adalah bentuk paling ektrim dari sosialisme.Bentuk sistem perekonomian didasarkan atas system, dimana segala sesuatu serba dikomando. Begitu juga karena dalam sistem komunisme Negara merupakan pengusa mutlak, perekonomian komunis sering juga disebut sebagai "sistem ekonomi totaliter", menunjuk pada suatu kondisi social dimana pemerintah main paksa dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, meskipun dipercayakan pada asosiasi-asosiasi dalam system social kemasyarakatan yang ada. Sistem ekonomi totaliter dalam praktiknya berubah menjadi otoriter, dimana sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir elite yang disebut sebagai polit biro yang terdiri dari elite-elite partai komunis. (Berapa tahun lalu artikel tersebut sudah pernah dipresentasikan oleh penulis di Fakultas Hukum Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Indonesia (UI) Dan hal tersebut merupakan sebuah makalah dalam mata kuliah Filsafat Hukum) Dialah Karl Heinrich Marx seorang Yahudi yang lahir di Trawer, Jerman pada tanggal 5 Mei 1818. Seseorang yang kelak di masa dewasanya akan memainkan peran penting dalam teater ideologi yang mendunia hingga Anda (pembaca) saat ini tengah membaca artikel ini. Sedikit mengulik kembali apa yang melatarbelakangi Marx dalam bersikap opisisi terhadap kaum kapitalis. Pada permulaan abad ke-19 keadaan kaum buruh di Eropa Barat amat menyedihkan. Kemajuan produk industri yang tumbuh pesat telah banyak menimbulkan keresahan bagi kaum buruh. Pada saat itu kaum buruh hanya mendapat upah yang sangat rendah, jam kerja panjang, tenaga perempuan dan anak disalahgunakan sebagai tenaga kerja murah dan keadaan di dalam pabrik-pabrik yang membahayakan dan mengganggu kesehatan. Situasi buruk inilah yang menggugah sejumlah tokoh cendikiawan seperti Robert Owen (1771-1858), Saint Simon (1760-1825) dan Fourier (1772-1837) untuk mencoba memperbaikinya. Namun usaha mereka ini bukanlah sesuatu yang timbul tanpa ada hambatan. Mereka seringkali disebut sebagai kaum Sosialis Utopi, alias Sosialis Pengkhayal. Kemudian datanglah sosok Marx dari Jerman yang sejak dia menjadi seorang mahasiswa, terus berusaha mengecam keadaan ekonomi dan sosial di sekelilingnya. Marx berpikir bahwa perubahan status masyarakat tidak bisa dilakukan dengan cara yang hanya menambal pola-pola yang cacat melainkan dia mengusulkan transisi tersebut harus dilakukan secara radikal melalui pendobrakan di setiap sendinya. Dia pernah diusir dari negara kelahirannya, Jerman dan menetap di London. Namun awal pemikirannya yang fantastis ketika Marx berada di Prancis setelah pengusirannya dari London. Bersama Friedrich Engels, Marx banyak menulis dan menerbitkan beragam karangan, di antaranya yang paling terkenal ialah Manifesto Komunis dan Das Capital (Sebuah tulisan yang berisi pemikiran Marx dalam melawan Kapitalisme). Inti dari pola pikirnya mengenai hukum sosial, Marx menyatakan bahwa kaum proletar akan memainkan peranan penting, mereka merebut kekuasaan dari tangan kapitalis (Borjouis), mengambil alih segala alat produksi dan melalui tahap transisi yang dinamakan diktator proletariat akhirnya akan tercapai masyarakat komunis. Menurut Marx kelas sosial adalah suatu hal yang perlu dimusnahkan dari tataran kehidupan kemasyarakatan. Maka dia menilai pertarungan antara kaum proletar dan kaum borjouis akan menjadi akhir dari agenda dialektis. Ada dua teori Marx yang amat terkenal mengenai pemahaman ideologinya, yaitu Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis. 1. Materialisme Dialektis. Marx banyak mengambil referensi filsafat dari George Hegel (1170-1831). Dalam menjelaskan proses dialektika, Hegel menyatakan bahwa terdapat dua gagasan yang melandasi proses dialektika ini; pertama, gagasan bahwa semua berkembang dan terus-menerus berubah; kedua, gagasan bahwa semua mempunyai hubungan satu sama lain. Misalnya saja, yang saya kutip dari Miriam Budiarjo, dikatakan bahwa jika suatu konsep A yang dianggap sebagai kebenaran pada hakikatnya mengandung unsur-unsur yang tak benar. Agar supaya pikiran manusia dapat menangkap konsep yang lebih dekat kepada konsep yang sempurna, maka konsep A harus dihadapkan dengan konsep B. Konsep B merupakan kebalikan dari konsep A sekalipun terlahir dari konsep A sendiri. Dari hasil konfrontasi antara konsep A dan konsep B timbullah konsep C yang dinamakan sintesis dan merupakan hasil dari pergumulan antara tesis (konsep A) dan antitesis (konsep B). Proses tesis, antitesis dan sintesis dinamakan gerak yang berdasarkan hukum dialektika. Ketika banyak orang pada saat itu menilai bahwa praktik dialektika hanya berlaku di dunia abstrak, Marx hadir dengan penolakan akan pendapat tersebut. Dia menekankan dengan tegas bahwa hukum dialektik terjadi dalam dunia kebendaan (dunia materi) dan sesuai dengan pandangan itu, ia menamakan ajarannya sebagai Materialisme. Selanjutnya Marx menandaskan setiap kebendaan dan keadaaan pada dasarnya memiliki negasinya sendiri, dan inilah yang disebut dengan kontradiksi. Dari pergumulan ini akhirnya timbul semacam keseimbangan. Dengan tercapainya negasi yang tertinggi, maka selesailah perkembangan dialektis 2. Materialisme Historis. Marx menggunakan hukum ini untuk meruntunkan kronologi sistem masyarakat yang finalnya di saat masa hidupnya, berupa Kapitalisme. Adapun materi yang dimaksud oleh Marx adalah keadaan ekonomi, maka teori Marx sering disebut “analisa ekonomis terhadap sejarah” (economic interpretation of history). Yang terpenting dari hukum yang kedua ini adalah setiap manusia atau individu memiliki sejarahnya masing-masing, maka pada tahap yang paling komplekspun yakni sebuah situasi perekonomian adalah hasil dialektika historis dari interaksi manusia. 1. a. Pendahuluan Secara etimologi kata masyarakat dalam bahasa indonesia berasal dalam bahasa arab; syarikah, musyarakah, yang artinya saling besekutu, kelompok berhimpun dan bersama. Kata syarikah tersimpul unsur pengertian yang berhubungan dengan pembentukan suatu kelompok, golongan atau perkumpulan. (Sidi Gazalba, 1976; 1). Masyarakat merupakan suatu perkumpulan manusia yang berkesadaran dalam mempertahankan eksistensinya di dalam lingkungan. Dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia dengan kemampuannya mengelola dan mengembangkan alam. Manusia sebagai mahluk sosial, karena ia memerlukan orang lain dalam berhubungan ataupun menjalankan aktivitasnya. Manusia sebagai mahluk sosial tersebut maka memerlukan sebuah organisasi kemasyarakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup bersama. Oleh karena itu, masyarakat bukan hanya sekumpulan individu saling bersatu dan berkelompok tetapi mendiami tempat atau wilayah tertentu dengan sistem nilai dan pandangan hidup, dan kebudayaan yang dimilikinya. (Sudibyo Markus, 2009; 11) Masyarakat dalam melakukan kerjasama dengan yang lain maka memerlukan sebuah struktur dalam menjalankan kegiatannya, struktur tersebut adalah organisasi kemasyarakatan. Organisasi kemasyarakatan tersebut merupakan suatu kesatuan kolektif individu yang berfungsi mempertahankan eksistensi, bekerjasama dan menjaga solideritas antar anggotanya. Solideritas tersebut terbentuk dikarenakan adanya rasa dan keinginan yang sama untuk tetap hidup dalam suatu lingkungan. Organisasi yang berjalan maka memiliki pemipimpin dalam rangka menjalankan kebijakan organisasi tersebut. Pemimpin biasanya dipilih berdasarkan dari salah satu anggota mereka yang menjol, dari segi tindakan maupun bentuk tubuhnya. (Ibn Khaldun, 2001; 74). Kepemimpinan ini akan dapat menentukan bagaimana masyarakat ketika berinteraksi dengan kelompok yang lain. Sikap kepemimpinan ini dapat juga menjadi tolak ukur penilaian masyarakat atas suatu kelompok sosial yang lain. Ilmu social dinamakan demikian, karena ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehiduapan bersama sebagai objek yang dipelajari. Ilmu ilmu social belum memiliki kaidah dan dalil yang tetap dimana oleh bagian yang terbesar masyarakat, oleh karena itu ilmu social belum lama berkembang, sadangkan yang menjadi objeknya masyarakat terus berubah. Sifat masyarakat terus berubah-ubah, hingga belum dapat diselidiki dianalisis secara tuntas hubungan antara unsure-unsur dalam kehidupan masyarakat yang lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama berkembang, sehingga telah memiliki kaidah dan dalil yang teratur dan diterima oleh masyarakat, dikarenakan objeknya bukan manusia. Ilmu social yang masih muda usianya, baru sampai pada tahap analisis dinamika artinya baru dalam datara tentang analisis dataran masyarakat manusia yang bergerak. (Soejono Soekanto, 1997; 45) Ilmu sosial yang mempelajari tentang masyarakat dan bagaimana interaksi tersebut yang kita kenal dengan ilmu sosiologi. Dalam ilmu sosiologi di era awal abad ke 19 sangat bersentuhan dengan ilmu alam seperti dalam pembacaan terhadap masyarakat seperti objektif, empiris, bebas nilai dan yang lain. Pada era ini dikarenakan di eropa sedang mengalami zaman industrialisasi sehingga berdampak bagi yang lain. Oleh karena itu para ilmuan sosial pun berbeda dalam memahami masyarakat seperti Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber. Mereaka memiliki asumsi tersendiri terhadap masyarakat misalkan Karl Marx dengan struktulisme konflik, Max Weber dengan tindakan sosial dan Emile Durkheim dengan strukturalism fungsional. Ketiga tokoh tersebut yang menjadi dasar dalam perkembangan ilmu sosial berikutnya pada abad ke 20, dan tokoh tersebut di kenal dengan kajian pada era klasik dalam disiplin ilmu sosiologi. 1. b. Pandangan Karl Marx terhadap Masyarakat Pandangan kaum marxis aktivitas ekonomi adalah arsitek merancang aspek lain kehidupan manusia. Marx menyebutkan suatu masyarakat mengorganisir infra struktur/ basis ekonomi, dari semua aspek lain masyarakat. Sedangkan selain aspek ekonomi sosial budaya, gagasan, keyakinan, falsafah merupakan supra struktur. Dimana menurutnya supra struktur suatu masyarakat diciptakan oleh basisnya, yakni seperangkat aktivitas yang dibangun atas dasar basisnya. (Pip Jones, 2009; 84). Kesadaran yakni falsafah dalam masyarakat (kesadaran supra struktur) ditentukan oleh infra struktur/aktivitas ekonomi (basis material). Kesadaran yang diungkapkan oleh Marx, dinamakan kesadaran material. Pengungkapan kesadaran material berangkat dari filsafat materialism dimana keyataan berada diluar persepsi manusia dan kenyataan objektif penentu dari ide. (Andi Muawiyah Ramly, 2000; 65). Kesadaran tersebut yang menjadi landasan analisisnya terhadap masyarakat, masyarakat bergerak berdasarkan material dalam menentukan supra struktur seperti falsafah dan ideologi yang menentukan pandangan manusia. Pendekatan supra struktur ini menggambarkan bahwa Marx kehidupan non ekonomi secara langsung dipengaruhi oleh aktivitas produksi, bahwasanya perubahan-perubahan dalam konsteks ekonomi yang memberikan kemampuan terhadap manusia untuk memandang dunia sebagai mana adanya. Oleh karena itu, perubahan sosial merupakan satu-satunya kemungkianansebagai akibat perkembangan ekonomi. Dengan demikian gagasan tergantung pada kondisi ekonomi, perubahan gagasan meliputi pergerseran dari kesadaran semu ke kelas dan keinginan ingin merubah masyarakat dan terjadi karena perubahan ekonomi. Sebagaimana dikatakan Marx bahwa manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi bukan dalam kondisi pilihannya sendiri. (Pip Jones, 2009; 97). Maka usaha-usaha yang dilakukan dengan melakukan perjuangan kelas yang menggerakan perubahan dikelasnya tersebut. Perjuangan tersebut dengan menyatukan seluruh kelas ploletar untuk menggulingkan kelas borjuis. Menurut Marx bahwa perkembangan sejarah manusia dalam masyarakat adalah sejarah berbagai macam sistem produksi yang berbasis eksploitasi kelas. Hal tersebut dikarenakan dalam setiap masa sistem produksi dikuasi oleh kelas-kelas soial tertentu. Pada masa ini yang terjadi adalah dominasi dan eksploitasi terhadap kelas tertentu. Dinama kelas tertentu menjadi dominan dan subordinat terhadap kelas yang lain. Oleh karena, itu struktur sosial dalam analisis Mark tidak tercipta secara acak, tetapi adanya pola yang cukup pasti dalam masyarakat mengenai mengorganisasi r benda-benda yang berkaitan dengan produksi. Teori ini mengganggap bahwa kegiatan manusia yang paling penting adalah kegiatan ekonomi, produksi unsur materi. Mengenai pendapat Marx bahwa dalam sejarah yang memiliki peran besar dalam menentukan jalannya sejarah adalah unsur produksi maka Marx dikenal dengan Materialism historis.(Pip Jones, 2009; 78) Sejarah kesemua masyarakat yang tersedia ada dalam masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. (Karl Marx dan Frederick Engels, 1888; 5). Masyarakat dalam analisis ini terbagi menjadi dua kelas besar yakni kaum borjuis dan kaum ploretar. Kaum borjuis adalah kaum pemodal yang memiliki segalanya yakni sumber-sumber produksi seperti tanah, prabik, investasi modal, saham yang mengontrol secara aktual produksi industri. Sedangan kaum ploretar adalah mereka tidak memiliki alat produksi dan bekerja dipabrik dengan upah yang rendah serta dibayar dengan nilai lebih rendah dari barang. (Pip Joes, 2009; 83). Pembayaran yang dilakukan oleh kaum kapitalis lebih rendah dengan biaya diproduksi dengan alasan agar mendapatkan surplus, tidak membebani kapitalis dan nilai investasi dapat meningkat. Dari alasan tersebut, apa yang dilakukan oleh majikan terhadap pekerja merupakan suatu bentuk eksploitasi untuk meningkatkan kesejahteraan kaum pemoda, sehingga pekerja tetap dalam keadaan miskin. Itu merupakan deskripsi yang dilakukan oleh kaum kapitalis terhadap buruhnya. Makanya Marx menggambarkan dalam sejarah manusia memang yang terjadi perjuangan kelas, yakni benturanya kepentingan antara pemodal dengan pekerja, tetapi hasilnya berupa bentuk penindasan antara yang kaya dengan miskin, dimana kaum kaya akan makin kaya dan miskin makin miskin. 1. c. Pandangan Emile Durkheim terhadap Masyarakat Masyarakat merupakan kumpulan individu yang menjalankan kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial dalam masyarakat. Keteraturan tersebut dinamakan solideritas sosial yang dimantapkan lewat sosialisasi melalui proses manusia secara kolektif belajar standar aturan-aturan prilaku. Aturan standar prilaku tersebut merupakan suatu fakta sosial, hanya dapat dilihat melalui konformitas individu kepadanya. Fakta sosial berada diluar individu bersifat eksternal dan mengendalikan individu.(Pip Jones, 2009; 45). Fakta social juga suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus yakni mengandung tata cara bertindak berfikir dan merasakan yang berada diluar individu yang ditamankan dengan kekuatan koersif. Fakta social merupakan cara bertindak, yang memiliki cirri-ciri gejala empiric, yang terukur eksternal, menyebar dan menekan. Kekuatan koersif merupakan kekuatan untuk menekan individu. (Zainuddin Maliki, 2002; 43). Solideritas dalam masyarakat sesuai dengan tipe sosial masyarakat itu sendiri, hal ini dikarenakan masyarakat mengalami perkembangan dari yang sederhana sampai kompleks. Solideritas sosial terjadi kurang lebih secara otomatis. (Pip Jones, 2009; 46). Masyarakat dalam pandangannya bersifat evolusi mirip dengan organisme hidup bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Sebagaimana kumpulan teori terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas ‘organik’. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang ‘organik’, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif. Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. (David Émile Durkheim , dalam wikipedia.com) Konsepsi Durkheim tetang struktur sosial dalam masyarakat menjelaskan kehidupan sosial masyarakat dengan metode positivisme. Struktur sosial sama objektifnya dengan alam dikarenakan dalam warga masyarakat sejak mereka lahir, yang hidup atapun yang tidak, semuanya sudah terjadi dengan sendirinya dan tidak memiliki pilihan. Masyarakat terdiri dari realitas fakta sosial yang bersifat eksternal dan menghambat, dikarenakan suatu kebudayaan yang sudah ada menentukan gagagsan dan prilaku melalui sosialisasi. Hal tersebut, karakteristinya sama dengan gejala alam adalah produk alam. Oleh karena itu sosiologi berlaku objektif, dikarenakan berhubungan dengan realitas yang pasti. Metode pengamatan yang empiris mngumpulkan bukti sebab akibat yang digunakan juga dalam sosiologi untuk memproduksi pengetahuan yang menawarka kemungkinan kepastian. Teori sosial dibangun atas dasar masyarakat diorganisasir mengenai hukum mengatur prilaku sosial dalam konteks yang teratur ketaraturan tersebut besal dari konsensus eksistensi norma dan nilai yang dimiliki bersama. (Pip Jones, 2009; 49-50). Keteraturan dalam masyarakat merupakan suatu hal yang penting dikarenakan masyarakat terdiri dari struktur-struktur yang menjalankan fungsinya masing-masing saling berkaitan anatar yang satu dengan yang lain. Sistem sosial bekerja bagai sistem organik seperti susunan institusi dalam masyarakat, pendidikan, tatanan politik, tatanan keagamaan. Masyarakat merupakan bagian yang terinterasi saling bergantung dan menjalankan fungsinya memelihara masyarakat dalam keadaan teratur dan stabil. Oleh karena itu peran institusi menjalankan perannya dalam melayani kebutuhan sistem sosial. Dengan institusi menjalankan perannya dengan baik warga masyarakat mengetahui dan menyepakati bagaimana seharusnya berprilaku. (Pip Jones, 2009; 53-54). Teori ini, dikenal dengan strukturalism fungsional oleh sosiolog. 1. d. Pandangan Max Weber terhadap Masyarakat Weber dalam memandang masyarakat dari bentuk mikro yakni dengan mengamati individu, yang membedakan dengan kajian antara Marx dan Durkheim yang mengkaji struktur sosial dalam masyarakat. Menurut Weber manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukan itu untuk mencapai apa yang mereka kehendaki. Sedangkan struktur sosial adalah hasil dari tindakan yang dilakukan bersama. (Pip Jones, 2009; 114). Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias social. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Oleh Karena itu juga ilmu social dalam hal ini mengamati cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadap realitas. Makna berupa partisipan agen melakukan konstruk melalui proses partisipasi dalam kehidupan dimana ia hidup. Dalam tradisi konstruktivis mereka ingin keluar motif dan alasan tindakan individual guna memasuki ranah structural. (Zainuddin Maliki, 2002; 87). Tindakan sosial yang dikemukakan oleh Weber dengan metode verstehen, dikarenakan sosiolog adalah manusia dimana menginterpretasi lingkungan sosial dimana mereka berada, memperhatikan tujuan masyarakat yang bersangkutan dan berusaha memahami tindakan mereka. Weber melakukan rekontruksi makna dibalik kejadian-kejadian sejarahyang menghasilkan struktur dan bentukan-bentukan sosial dan saat bersamaan memandang semua konfigurasi merupakan suatu yang unik. (Pip Jones, 2009; 115). Verstehen merupakan motode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengintari peristiwa social histories. (Hotman M. Siahaan, 1995; 65). Pengungkapan makna terjadi memahami sosial historis dari tindakan yang dilakukan dan masing-masing aktor memiliki motif yang berbeda dalam merespon realitas yang terjadi dilingkungan. Weber membedakan empat macam tindakan dalam konteks motif dan pelakuknya; pertama adalah tindakan tradisonal dikarenakan melakukan ini karena selalu melakukan itu. Kedua tindakan afektif dikarenakan melakukan perbuatan dikarenakan harus melakukan itu. Ketiga tindakan berorientasi pada nilai atau rasionalitas nilai dikarenakan bertindak hanya yang diketahui. Keempat berorientasi tujuan dikarenakan tindakan ini paling efisien dalam mencapai tujuan. Weber mengungkapkan bahwa dominasi merupkan unsur penting dalam tindakan sosial dikarenakan struktur dominasi sesuai dengan kelas sosialnya dalam masyarakat. (Pip Jones, 2009; 116). Weber menggambarkan tipe kekuasaan yang memperoleh legitimasi oleh yang berkuasa yakni; pertama tradisional mematuhi dikarenakan masyarakat mematuhi. Kedua kharismatik dikarenakan mematuhi karena mentransformasi kepada yang lain. Ketiga legal rasional dikarenakan mematuhi karena berdasarkan hukum yang berlaku. Menurutnya kebenaran sesungguhnya bahwa tidak ada manusia yang sanggup menanggapi seluruh realitas yang ia hadapi. Manusia hanya bisa menjadikan masuk akal suatu aspek realias dengan seleksi kejadian yang tak terbatas. Tetapi yang terpenting dalam interpretasi kebermaknaan. (Pip Jones, 2009; 117). Interaksi antara individu dengan lain ini, merupakan proses kontruksi makna dan saling tukar-menukar makna sehingga dapat menghasilakan sebuah sistem sosial dalam masyarakat. Sistem sosial ini menjadi kontruksi individu secara dan disepakati oleh individu yang lain sebagaimana dalam etika protestan yang menetukan perkembangan kapitalism. Weber memperlihatkan bahwa tipe Protestanisme Calvinism tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan — logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi. Menggunakan uang ini untuk kemewehan pribadi atau untuk membeliikon-ikon keagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandanga negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya. Maka pemeluknya menginvetasikan uang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme. (Maximilian Weber, dalam wikipedia.com). Kapitalism yang dingkapkan oleh Marx dan Weber memiliki perbedaan dalam kondisi sosial yang berbeda, kapitalisme yang diungkapkan Marx lebih pada eksploitasi dalam mengumpulkan kekayaan sedangkan dari Weber merupakan eksternalisasi ajaran agama dalam memperoleh keselamatan dari Tuhan. 1. e. Analisis pandangan Marx, Durkheim dan Weber terhadap Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan merupakan suatu uji keberadaban (civility). (Babang Shergi Laksmono, 2009; 10). Tata kehidupan dan sejarah merupakan uji keberlangsungan hidup manusia agar mencapai kesejahteraan. Begitu pula dengan pandangan ketiga tokoh tersebut tentang kesejahteraan memiliki karkteristik yang berbeda dikarenakan kondisi sosial historis yang berbeda dalam memandang masyarakat. Misalkan dalam pandangan Marx bahwa kesejahteraan itu dimiliki oleh kelas borjuis dimana memiliki modal produksi yang menggerakan sistem ekonomi. Sedangkan untuk kaum ploletar mereka kurang sejahtera dikarenakan adanya eksploitasi kaum buruh dengan alasan efiensi dan menambah modal investasi. Kesejateraan dapat dilakukan oleh kaum ploletar dengan mengadakan revolusi terhadap kaum pemodal atau merebut aset-aset produksi ekonomi agar bermanfaat bagi buruh. Konsep kesejahteraan selanjutnya dalam pandangan Durkheim sesuai dengan paradigma yakni strukturalism fungsional. Dalam paradigma ini berjalannya kesejahteraan dalam masyarakat dengan terjadinya keteraturan dan berjalannya masing-masing sistem sosial yang ada serta menjalankan fungsi dan tugasnya tanpa adanya hambatan. Hal tersebut, dikarenakan bekerjanya sistem sosial tersebut ketika kondisi sosial masyarakat stabil tidak terganggu dengan sistem yang lain. Kesejahteraan juga tercapai dengan makin kompleksitas kerja dan masyarakat mengalami perkembangan dari solideritas mekanik pada solideritas organik sebagaimana masyarakat kota dengan spesialisasi kerja. Hal yang berbeda konsep kesejahteraan yang diungkapkan oleh Weber dimana kesejahteraan diperoleh bukan karena struktur sosial yang deterministik, tetapi kerja keras individu dalam memaknai tindakanya dalam merespon lingkungan. Hal tersebut dapat kita lihat dari penelitian yang ia lakukukan pada agama Protestan Calvinisme yang memaknai agama dalam untuk meningkatakan kesejahteraan pemeluknya. Pemeluknya diajarkan bagaimana mendapakan keselamatan di dunia dan akherat dengan taat beribadah, bekerja keras, hidup sederhana, rajin menabung dan berdo’a. Meraka juga diajarkan untuk membantu sesasma dengan memberikan bantuan modal usaha. Sehingga apa yang mereka lakukan agar mendapatkan keselamatan dari Tuhan dengan melakukan seperti itu. Pengeksternalsisian doktrin agama tersebut yang membawa pada kesejahteraan yakni dengan lahirnya kapitalism yang berbeda dengan Marx. 1. f. Pembangunan Dunia Saat ini Pembangunan adalah plant to change (direncanakan). Pembangunan muncul setelah terjadinya perang dunia dan bangsa-bangsa di dunia menyadari tentang rusaknya dunia maka merencanakan pembangunan untuk memperbaiki tatanan dunia agar memberikan kemanfaatan pada manusia sebagai penduduk dunia. Deelopment yang dilakukan oleh teknokrat dengan menggunakan prinsif efektifitas (orientasi pembanguan dengan menerapkan pada hasil) dan efisiensi (oreintasi pembangunan pencapaian hasil secepat mungkin dan menggunakan anggran dana yang minimal). Akibat yang terjadi pada pembangunan yang berparadigma tersebut partisipasi masyarakat berkurang dengan orientasi growth dengan menggunakan kuantitatif yakni dengan menggunakan angka sebagai data sehingga data kualitatif terabaikan yakni yang ditekankan groush pole (pusat-pusat pertumbuhan), seperti yang dibangun mengutamakan konglongmerat, daerah-daerah pertumbuhan misalkan pembangunan ekonomi dengan mengandalkan supermarket dan mall, potensi pertambangan dan kelalutan. Pembangunan dengan paradigma maka yang diharapkan adalah; Trickling down (menetes) memberikan tetesan kemakmuran kebawah dengan harapan dengan membangun pusat pertumbuhan sehingga dapat merubah sekitar dan menjadi makmur. Pembangunan ini menekankan pusat pertumbuhan di perbesar dan diperbanyak seperti di jawa, makasar dan medan. Back wash (mencuci daerah pinggiran) dengan menarik sumber daya manusia pada daerah pusat-pusat pertumbuhan, seperti pembanguanan yang dilakukan di jakarta yakni menghilangkan daerah pinggiran sekitar jakarta seperti bekasi, bogor dan tanggerang. Pembangunan ini memiliki dampak yakni menimbulkan kemiskinan masyarakat sedangkan yang diuntungkan adalah orang beruang dan pemilik modal seperti konglongmerat. Pembangunan dengan menggunakan standar ekonmi koboi bukanya ekonomi ruang angkasa. Pembangunan dengan ekonomi koboi ini dengan menekankan pembangunan pada pusat-pusat pertumbuhan dengan sistem kapitalism. Pembangunan tersebut , yang terpatri kesadaran umat manusia mengalami krisis global yakni persolan kemiskinan, kegagalan dalam lingkungan hidup dan masalah kekerasan sosial. (David C. Korten, 2002; 19) Kemiskinan terbagi menjadi; Kemiskinan individual dikarenakan individu yang miskin karena ketidak berfungsiannya individu dalam sosial seperti kebodohan, kemalasan. Kemiskinan alamiah dikarekan lingkungan alam sekitar yang miskin sehinga menyebabkan miskin Kemiskinan struktural dikarenakan kebijakan yang dilakukan oleh pemrintah yang tidak adil seperti dengan pembangunan dengan orientasi pada pusat-pusat pertumbuhan. Kemiskinan kultural dikarenakan alam yang miskin ditambah dengan kebijakan struktural sehingga orang yang miskin meyesuaikan dirinya untuk miskin dalam menjalankan kehidupan. Dari itu semua menyebabkan kemiskinan budaya dikarenakan masyarakat yang tidak kreatif dan kebijakan penguasa yang memelihara kemiskinan. Pembangunan dengan paradigama tersebut juga disadari oleh PBB dan mengevaluasinya sehingga mendapatkan hasil sebagai berikut; Jobless growth (pertumbuhan pengangguran) dimana jumlah pengangguran meningkat, makin tingginya jurang anatara yang kaya dengan miskin, hal tersebut dikarenakan tidak memiliki pekerjaan. Pekerjaan bukannyanya sebagai sarana untuk bekerja tetapi wahana dalam mengembangkan kreatifitas, harkat manusia serta status manusia di hadapan yang lain. Ruthless growth (kekejaman pemabangunan) hal ini dikarenakan kelompok tertentu yang diuntungkan dalam pembanguanan seperti banyaknya kemiskinan, tingginya jurang antara kaya dan miskin, pemanasan global. Root less (tercerabutnya manusia dari akar kebudayaan), pembangunan ini seperti terjadi pada back wash dengan memaksimalkan pusat-pusat pertumbuhan sehingga tersinggkirnya orang lokal dikaranekan kalah bersaing dengan pendatang dengan sumber daya manusia yang lebih baik, hal ini dapat kita lihat tersingkirnya orang betawi dan kebudayaan lokal yang makin hilang. Misalkan pembanguan di jakarta dan free port di Irian jaya Voice less (tidak mendengarkan aspirasi rakyat dan tidak demokratis), komunitas yang tidak terdengar orang miskin, kaum perempuan tetapi untuk pembuat kebijakan dan orang-orang kaya. Misalkan penerapan BLT untuk orang miskin dengan penyamarataan bantuan dikarenakan dengan menggunakan paradigama data kuantitatif dengan melihat angka bukan melihat kemiskinan yang terjadi pada masyarakat sehingga tepatkah bantuan tersebut. Pemerintah melakukan generasilasi kemiskinan yang ada pada masyarakat dan bukannya mengenali kemiskinan tersebut, sehingga penuntasannya berbeda. Future less (pertumbuhan tiada masa depan), pembanguan tersebut menghabiskan sumber daya dan merusak dan menghilangkan sumber daya alam sehingga generasi berikutnya tidak dapat menikmati tetapi hanya menkmati rusaknya alam. Hal tersebut dikarenakan pembangunan yang mengarah pada satu demensi yakni pertumbuhan dalam pembangunan. Pembagunan dengan satu demensi bersifat tidak hakiki dikarenakan; Satu dimensi dimana penekanan dalam pembangunan hanya pertumbuhan dan pertumbuhannya hanya ekonomi sebagai landasan yang penting. Birocrated (birokrastis) dalam melaksanakan pembangunan mebentuk birokrasi-birokrasi tersendiri dan bersifat mandiri. Spesialisasi dan controled pembangunan ini berisifat terpusat dan control dari pemerintah pusat tidak sesuai dengan lokalitas masyarkat. Pembangunan ini juga tidak mengakar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat tetepi kebutuhan pemodal. Pembanguan tersebut menimbulkan krisis sebagai berikut; Kemiskinan yang meningkat bahkan semakin tingginya jurang pemisahnya. Kekerasan dikarenakan terjadinya penghisapan sumber daya manusia ke pusat-pusat pembangunan dan hilangnya sumber daya manusia pada daerah pinggiran maka terjadinya urbanisasi yang besar. Urbanisasi tersebut meningkatnya jumlah kemiskinan di kota dan timbulnya kekerasan kehidapan sehingga tingginya kriminalitas dalam perkotaan serta kemiskinan struktural karena kebijakan pembangunan yang tidak adil. Kerusakan alam, pembangunan yang terjadi dengan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangannya tidak memperhatikan alam sekitar dengan mengekploitasi alam untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang diutamakan dan pertumbuhan ekomoni sehingga menafikan sosial dan budaya masyarakat setempat. Kesejateraan dapat ukur dengan menggunakan; GNP (pendapatan) yang diperoleh dari negara atau wilayah Keadilan dan pemerataan dalam pembangunan dari masing-masing daerah Sosial kapital (modal sosial) dengan memberikan kepercayaan pada orang sehingga dapat maju dan berkembang bersama sehingga menimulkan konglomeratisasi Tingkat pedidikan yang ada dalam masyarakat seperti Sosial, ekonomi dan status. Live expentacy (harapan hidup), makin tinggi harapan hidup manusia dan rendahnya tingkat kematian masyarakat makan kemakmuran tercapai. Gizi dan makanan masyarakat dengan memakan makanan yang bergizi dan sehat menjadikan masyarakat sejahtera akan mudah tercapai. Dengan melihat pembangunan tersebut maka yang dilakukan mengganti paradigma pembangunan yang lebih manusiawi yakni paradigma pembangunan kemunusiaan (development people) dan pembengunan berdasarkan nilai (development veleu). Pembangunan tersebut bukan hanya satu dimensi kesejahteraan ekonomi, tetapi mengutamakan dimensi kemanusiaan, serta sosial budaya, masyarakat serta lingkungan alam. Tetapi pembangunan yang terpenting bukan dari pemerintah tetapi dari masyarakat yang memerlukan pembangunan dan sesuai dengan kebutuhannya. Masyarakat terlibat aktif dan merumuskan pembangunan apakah yang diperlukan dalam rangka meningkatkan kesejarteraannya. Daftar Bacaan Andi Muawiyah Ramly, 2000, Peta Pemikiran Karl Marx, Yogyakarta: LKiS Bambang Shergi Laksmono, 2009, Agenda Kesejahteraan di Persimpangan Jalan, Jakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia David C. Korten, 2002, Menuju Abad ke – 21; Tindakan Sukarela dan Agenda Global, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, David Émile Durkheim , dalam wikipedia.com Hotman M. Siahaan, 1995, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi, Jakarta Erlangga Ibn Khaldun, 2001, Muqadimmah, Jakarta; Pustaka Firdaus Karl Marx dan Frederick Engels, 1888, Manifesto Komunis, dalam wikipedia.com Maximilian Weber, dalam wikipedia.com Pip Jones, 2009, Pengantar Teori-Teori Sosial; dari Teori Fungsionalism hingga Post-modernism, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sidi Gazalba, 1976, Masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Bandung: Bulan Bintang Soejono Soekanto, 1997, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada Sudibyo Markus dkk, 2009, Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya; Sembangan Pemikiran, Jakarta; Civil Islamic Insitute Zainuddin Maliki, 2002, Narasi Agung; Tiga Teori Sosial Hegemonik, Surabaya: Lembaga Kajian Agama dan Masyarakat