MONTE CRISTO ALEXANDRE DUMAS Di scan oleh BBSC Convert to word , LIT, PRC & PDF by ben99 BAB I PADA tanggal 24 Februari 1815 menara Pelabuhan Marseilles memberi isyarat masuknya kapal bertiang tiga Le Pharaon yang datang dari Smyrna, Triest dan Napoli. Pelabuhan segera penuh sesak oleh orang-orang yang biasa ingin menonton, oleh karena setiap kedatangan kapal selain saja dianggap mereka sebagai suatu kejadian yang luar biasa. Apalagi kalau kapal itu seperti Le Pharaon, dibuat, diperlengkapi, dimuati dan dimiliki oleh seorang penduduk Marseilles sendiri. Kapal mendekat dengan perlahan-lahan sekali. Suasananya sedemikian rupa sehingga orang orang dengan segera dapat mencium bahwa ada sesuatu yang kurang menyenangkan. Mereka mulai mengira-ngira kecelakaan apa gerangan yang telah terjadi dalam kapal itu. Tetapi pelaut-pelaut yang berpengalaman yang berada di antara mereka segera pula mengetahui bahwa apabila benar terjadi sesuatu kecelakaan, maka kecelakaan itu bukan menimpa kapalnya, karena kapal itu tampak jelas masih utuh dan berjalan dengan baik. Di sebelah jurumudi yang sedang bersiap-siap mengemudikan Le Pharaon masuk pelabuhan melalui jalan masuk yang sempit, berdiri seorang anak muda. Dengan mata yang waspada disertai gerakan tangan yang lincah ia mengikuti setiap gerakan kapal dan meneriakkan Kembali semua petunjuk jurumudi. Kebimbangan dan kecemasan yang meliputi orang-orang yang sedang menonton itu, telah mempengaruhi seorang laki-laki sedemikian rupa sehingga ia tidak sabar lagi menunggu sampai kapal merapat. Ia melompat ke dalam sebuah sekoci dan memerintahkan pendayungnya menuju Le Pharaon Ketika melihat sekoci mendekat, anak muda yang berdiri di sebelah jurumudi tadi meninggalkan tempatnya dan berjalan ke tepi kapal dengan topi di tangannya. Badannya tinggi semampai, matanya gelap dan rambutnya hitam sehitam arang. Usianya tidak akan lebih, dari dua puluh tahun. Semua gerak-lakunya menunjukkan ketenangan dan keteguhan hati yang khas dimiliki seseorang yang telah terbiasa menghadapi bahaya sejak masa kecil. "Dantes!** teriak orang dalam sekoci itu. "Ada apa? Mengapa semua tampak begitu muram?" MAda musibah, Tuan Morrel!" jawab anak muda itu. "Kami kehilangan Kapten Leclere yang perkasa selepas Civitavecchia." "Bagaimana dengan muatan?" tanya si pemilik kapal ingin segera tahu. "Muatan selamat, Tuan. Bahkan saya kira Tuan akan sangat puas. Tetapi Kapten Leclere yang malang itu . . .** "Mengapa sebenarnya Kapten itu?" Dari suaranya jelas bahwa hatinya lega mendengar muatannya selamat. "Beliau meninggal karena serangan penyakit pada otaknya. Jenazahnya kami kuburkan di laut Pulau II Giglio Badannya kami bungkus dengan ranjang ayunnya dan diberati dengan dua buah peluru meriam. Satu pada kepalanya dan sebuah pada kakinya." Anak muda itu tersenyum sedih kemudian menambahkan, "Aneh sekali, beliau turut berperang melawan Inggris selama sepuluh tahun, tetapi mengakhiri hayatnya di atas ranjang." "Ya, kita semua tidak ada yang abadi," kata pemilik kapal. "Lagipula yang tua mesti memberi jalan bagi yang muda-muda. Bila tidak demikian tak mungkin ada kemajuan bagi yang muda-muda." Ketika kapal melarut Menara Putar pelaut muda itu berteriak kepada para kelasi, "Siap menurunkan layar!" Perintahnya segera dilaksanakan bagaikan perintah dalam sebuah kapal perang. "Turunkan!" Dengan perintah terakhir ini semua layar turun dan laju kapal menjadi lambat hampir tidak terasa. "Kalau Tuan sudi naik ke kapal, Tuan Morrel," kata Dantes yang melihat ketidaksabaran pemilik kapal, 'Tuan dapat berbicara dengan Kepala Tata Usaha, Tuan Danglars, yang baru saja keluar dari kamarnya. Beliau dapat memberikan segala keterangan yang Tuan inginkan. Dan saya, mohon izin karena harus mengawasi penurunan jangkar dan mendandani "kapal untuk berkabung." Morrel tidak menanti dianjurkan untuk kedua kalinya. Dia menangkap tangga tali yang dilemparkan Dantes kepadanya dan dengan kesigapan seorang pelaut menaiki tangga tali itu. Dantes kembali pada tugasnya dan Danglars datang menghampiri Morrel. Kepala Tata Usaha itu berumur dua puluh lima atau dua puluh enam tahun. Pembawaannya agak murung. Ke pada atasan ia pandai menjilat sedangkan kepada bawahan nya bersifat angkuh. Semua awak kapal membencinya sehebat mereka mencintai Edmond Dantes. "Saya kiiaTuan telah mendengar kabar tentang musibah yang menimpa kita,' kata Dangiars memulai pembicaraan. "Ya, sudah. Sayang sekali. Ia seorang pemberani dan terhormat." "Dan seorang pelaut yang hebat. Sebagian besar dari usianya dihabiskannya antara langit dan laut, sebagaimana wajibnya seseorang yang mendapat kepercayaan dari sebuah perusahaan sepenting Morrel & Son." "Tetapi," kata pemilik kapal sambil memperhatikan Dan tes yang sedang mempersiapkan pelemparan sauh, "bagiku, seseorang itu tidak perlu berusia tua untuk dapat bekerja dengan baik, Dangiars. Kawan kita yang itu, Edmond Dan tes, untuk melakukan tugasnya jelas tidak memerlukan nasihat dari siapa pun." "Benar," jawab Dangiars sambil melemparkan pandangan penuh benci kepada Dantes, "ia muda dan tidak pernah ragu-ragu dalam segala hal. Segera setelah Kapten meninggal, dia mengambil alih pimpinan tanpa bermusyawarah dahulu dengan siapa pun. Dan dia telah merugikan kita satu setengah hari karena menyinggahi dahulu Pulau Elba. Bukannya langsung pulang ke Marseilles." "Tentang pengambilalihan pimpinan " kata pemilik kapal, "adalah kewajibannya sebagai jummudi pertama, tetapi dia keliru kalau membuang waktu satu setengah hari di Pulau Elba, kecuali kalau kapal memerlukan sesuatu perbaikan." "Kapal itu sehat sesehat saya, Tuan Morrel, juga saya harap sesehat Tuan sendiri Pembuangan waktu yang satu setengah hari itu, tidak lain h^a tingkahnya saja. Dia ingin pergi ke darat saja, hanya itu." "Dantes!" seru Tuan Morrel sambil membalikkan badan ke arah Dantes. "Ke mari sebentar!" "Maaf Tuan, sebentar," jawab Dantes, kemudian menghadap kepada anak buahnya, berteriak, "Lempar!** Sauh jatuh ke dalam air disertai gemerincingnya rantai. Dantes berjalan menghampiri Tuan Morrel "Aku ingin bertanya mengapa engkau singgah di Pulau Elba." "Oh! Untuk memenuhi perintah Kapten Leclere. Sesaat sebelum meninggal beliau memberikan sebuah bungkusan kepada saya untuk disampaikan kepada Marsekal Bertrand di Pulau Elba." "Apakah engkau bertemu dengan beliau, Edmond?" "Bertemu, Tuan.? Tuan Morrel melihat ke sekelilingnya kemudian menarik Dantes ke tempat yang agak terpisah. "Bagaimana keadaan Kaisar?" dia bertanya ingin benar-benar mengetahui. "Sepanjang yang saya ketahui, beliau sehat-sehat saja. Beliau masuk ke kamar Marsekal ketika saya berada disana. "Apa engkau berbicara kepada beliau?" "Tidak, beliau yang berbicara kepada saya," jawab Dantes tersenyum. "Apa kata beliau?" "Beliau bertanya tentang Le Pharaon, bila meninggalkan Marseilles, bagaimana rute perjalanannya dan apa muatannya. Saya kira, seandainya kapal itu kosong dan saya pemiliknya, mungkin sekali beliau akan mencoba membelinya dari saya. Tetapi saya ceritakan kepada beliau bahwa saya hanyalah junimudi pertama dan pemiliknya adalah Perusahaan Morrel & Son. 'Aku kenal perusahaan itu,' kata beliau. 'Keluarga Morrel itu sudah beberapa generasi menjadi pemilik kapal, dan dalam resimenku ada seorang Morrel ketika aku ditempatkan di Valence'." "Itu benar!" Tuan Morrel mengiyakan dengan hati senarig. "Dia adalah Policar Morrel, pamanku, kemudian dia jadi kapten/ Sambil menepuk pundak Dantes dengan ramah ia berkata lagi, "Engkau telah bertindak benar dengan menuruti perintah Kapten Leclere untuk singgah di Pulau Elba. Sekalipun mungkin sekali engkau akan terlibat dalam kesulitan apabila diketahui orang bahwa engkau telah menyerahkan sebuah bungkusan kepada Marsekal dan berbicara dengan Kaisar." "Kesulitan bagaimana, Tuan?" Dantes bertanya heran. "Saya tidak mengetahui sama sekali apa isi bungkusan itu, sedangkan Kaisar hanya bertanya sesuatu yang pasti akan beliau tanyakan juga kepada setiap pendatang ke Pulau Elba. Tetapi maafkanlah saya sebentar, Tuan. Saya lihat Pejabat Kesehatan dan Bea Cukai telah naik ke kapal." Danglars menghampiri lagi Morrel setelah Dantes pergi. "Rupanya ia memberikan alasan yang bagus untuk persinggahannya itu, bukan?" "Ia telah memberikan alasan yang bagus sekali, Tuan Danglars." "Syukurlah. Tidak enak kalau melihat seorang kawan gagal melakukan kewajibannya." "Dantes telah melakukan kewajibannya dengan baik sekali, Tuan," jawab pemilik kapal. "Kapten Lederelah yang memerintahkan dia mampir di Pulau Elba." "Berbicara tentang Kapten Leclere, apakah Dantes tidak menyerahkan surat untuk Tuan?" "Tidak. Apa, memang ada surat untuk saya?" "Saya kira Kapten Leclere menyerahkan sebuah surat bersama bungkusan itu." "Bungkusan apa, Danglars?" "Yang diserahkan Dantes di Pulau Elba." "Bagaimana engkau mengetahui bahwa Dantes menyerahkan bungkusan di sana?" Wajah Danglars agak merah karena malu. "Pintu kamar Kapten terbuka sedikit ketika saya lalu di sana," katanya, "dan saya melihat Kapten menyerahkan sebuah bungkusan dan sebuah surat." "Dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Tetapi kalau memang ada, pasti ia akan menyerahkannya." Danglars diam sejenak, kemudian berkatat 'Tuan Morrel, saya harap Tuan tidak mengatakan hal ini kepada Dantes, sebab mungkin saya salah." Pada saat itulah Dantes datang kembali, dan Danglars pergi. "Nah Dantes, selesai sekarang?" "Selesai, Tuan." "Kalau begitu, maukah engkau makan malam di rumah kami?" "Maaf Tuan Morrel, tetapi saya rasa saya mesti men* dahulukan mengunjungi ayah saya. Walaupun demikian, saya sangat berterima kasih atas kehormatan mendapat undangan itu." "Engkau benar, Dantes. Engkau seorang anak yang baik. Kami mengharapkan kedatanganmu setelah engkau menemui ayahmu." "Sekali lagi saya minta maaf Tuan, sebab setelah mengunjungi ayah ada lagi seorang yang sama pentingnya." "O ya, ya. Aku lupa bahwa ada seseorang yang sama tidak sabarnya seperti ayahmu sedang menunggu kedatanganmu, Mercedes yang cantik. Engkau sungguh beruntung, Edmond, mempunyai kekasih yang cantik.'* "Dia bukan kekasih, Tuan," kata pelaut muda itu dengan tenang. "Dia tunangan saya." "Ya, kadang-kadang kekasih dan tunangan itu sama saja," kata Morrel tertawa. "Bagi kami tidak, Tuan." "Baiklah, aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi. Engkau telah mengurus kepentinganku dengan baik, dan aku ingin memberimu waktu sebanyak mungkin untuk mengurusi kepentinganmu sendiri. Apa masih ada yang hendak engkau katakan?" "Tidak, Tuan." "Apakah Kapten Leclere tidak menitipkan sesuatu surat untukku sebelum dia meninggal?" "Beliau sudah tidak kuasa lagi menulis, Tuan. Tetapi pertanyaan Tuan itu mengingatkan saya untuk meminta kebaikanTuan agar memberi saya cuti selama dua minggu." "Untuk kawin?" "Itu yang terutama, kemudian untuk pergi ke Paris." "Baik, ambilah cuti selama engkau suka, Dantes. Untuk menurunkan muatan saja akan mengambil waktu sekurang-kurangnya enam minggu, dan kita bcium akan siap untuk berlayar lagi sebelum tiga bulan kurang-lebih. Tetapi dalam tempo tiga bulan engkau harus sudah berada lagi di sini. Le Pharaon," kata pemilik kapal selanjutnya sambil memegang bahu pelaut muda itu, "tak dapat berlayar tanpa kaptennya." "Tanpa kaptennya?" Dantes setengah berteriak, matanya bersinar kegirangan. "Apakah Tuan bermaksud mengangkat saya menjadi kapten Le Pharaon?*' ' "Seandainya aku tidak berkongsi, Dantes, saya akan menjabat tanganmu dan * erkata. 'Engkau kuangkat jadi kapten.' Tetapi aku mempunyai teman usaha, dan engkau tahu peribahasa Italia, bukan? Yang mengatakan: Barangsiapa mempunyai kongsi berarti mempunyai majikan.' Tetapi, setidak-tidaknya urusan ini sudah boleh dikatakan setengah jadi, karena engkau telah mendapat satu dari dua suara yang diperlukan. Serahkan saja kepadaku untuk mendapatkan suara yang satu lagi itu. Aku akan berusaha sebaik-baiknya." "Oh, Tuan Morrel!" kata Dantes sambil memegang tangan pemilik kapal erat-erat. Matanya berlinang linang "Saya menyampaikan terima kasih atas nama ayah dan Mercedes." "Sudah, sudah, Edmond. Temuilah ayahmu, temuilah Mercedes, kemudian kembali dan temui aku." "Apakah Tuan tidak perlu saya antar ke darat?" "Tidak, terima kasih. Aku akan tinggal di kapal untuk melihat pembukuan bersama Dangiars. Apakah engkau merasa puas terhadapnya selama perjalanan ini?" "Itu tergantung kepada maksud pertanyaannya, Tuan Morrel. Apabila Tuan bertanya apakah saya merasa puas terhadapnya sebagai kawan, jawabnya: tidak. Saya kita dia membenci saya sejak pada hari kami sedikit bertengkar, dan saya telah berbuat keliru dengan menyarankan agar berhenti barang sepuluh menit di Pulau Monte Cristo untuk menyelesaikan pertengkaran itu. Saran yang keliru untuk dikemukakan dan dia cukup bijak untuk menolaknya. Tetapi kalau Tuan berbicara tentang dia sebagai Kepala Tata Usaha, saya kira tidak ada sesuatu yang patut dikatakan dapat merugikan dia. Dan saya kira Tuan akan merasa puas bagaimana ia melakukan kewajibannya." "Kalau engkau menjadi kapten Le Pharaon, apakah engkau akan senang mempunyai dia sebagai Kepala Tata Usaha?" "Baik sebagai kapten maupun sebagai jurumudi per tama, Tuan Morrel, saya akan selalu menghargai mereka yang mendapatkan kepercayaan dari pemilik kapal." "Bagus, bagus, Dantes. Kulihat engkau baik dalam segala hal. Tetapi jangan raguragu, kalau mau pergi pergilah. Aku melihat engkau sudah ingin segera pergi." "Bolehkah saya menggunakan sekoci Tuan?" "Tentu." "Selamat tinggal, Tuan Morrel, dan sekali lagi terima kasih yang setulus-tulusnya." Pelaut muda itu melompat ke dalam sekoci kemudian duduk di buritan dan memberikan perintah untuk didayung ke arah Canebiere. Sambil tersenyum pemilik kapal mengikuti dengan pandangan sampai dia melompat ke darat, kemudian hilang ditelan kerumunan orang. Ketika membalikkan badannya Morrel melihat Danglars berdiri di belakangnya. Seperti dia juga, Danglars mengikuti gerak-gerik pelaut muda itu dengan pandangan mata. Tetapi gambaran" hati yang tercermin pada wajah masing-masing berbeda menyolok sekali. BAB II SETELAH berjalan sepanjang Canebiere Dantes berbelok ke Rue de Noilles, kemudian memasuki sebuah rumah kecil di sebelah kiri jalan Alles de Meilhan. Ia menaiki tangga gelap kemudian berhenti di depan sebuah pintu kamar yang setengah terbuka. Itulah kamar tempat ayah Edmond Dantes tinggal. "Ayah! Ayah!" Orang tua yang sedang berdiri membelakangi pintu terkejut kemudian membalikkan badan dan kemudian jatuh dalam rangkulan tangan anaknya. Badannya gemetar (Jan mukanya pucat. "Mengapa Ayah? Sakitkah Ayah?" "Tidak, tidak Edmond. Aku tidak mengira bahwa engkau akan datang hari ini. Kegembiraan yang mendadak inilah yang . . ." "Kata orang, kegembiraan tidak pernah membahayakan. Itulah sebabnya saya langsung menemui Ayah. Saya telah kembali dengan selamat dan kita akan berbahagia lagi bersama-sama." "Sedap sekali, anakku! Tetapi bagaimana kita akan berbahagia? Apakah maksudmu tidak akan meninggalkan lagi aku seorang diri seterusnya? Coba ceriterakan apa yang membuat kau segembira ini." "Semoga Tuhan memaafkan, karena saya bergembira mendapatkan keuntungan yang disebabkan ke matian seseorang. Tetapi saya tidak mempunyai kekuatan untuk menahannya. Kapten Leclere meninggal dan tampaknya saya akan diangkat untuk menggantikannya. Dapatkah Ayah membayangkan? Seorang kapten dalam usia dua puluh tahun? Dengan gajih sebanyak seratus louis ditambah hak mendapat bagian dari keuntungan? Dapatkah seorang pelaut miskin seperti saya ini mengharapkan yang lebih dari itu?" "Benar anakku, engkau sangat beruntung." "Dari gaji yang pertama saya bermaksud membelikan Ayah sebuah rumah dengan kebunnya . . . Mengapa Ayah? Tampaknya Ayah sakit." "Tidak apa-apa. Sebentar juga berlalu," kata orang tua itu mencoba menghilangkan kerisauan anaknya, tetapi badannya telah sangat lemah dan ia jatuh terkulai. "Sebaiknya Ayah minum anggur,1' kata Edmond. "Di mana Ayah meny imp anny a? " "Aku tidak memerlukannya, Nak," kata orang tua itu mencoba mencegah anaknya mencari anggur. "Mesti, Ayah, biar hangat. Katakan saja di mana!** Edmond membuka dua tiga lemari yang ada dalam kamar itu, namun semua kosong. "Tak usah dicari, Edmond, karena aku tidak mempunyai anggur.'1 "Tidak ada anggur???" Edmond terkejut. Dengan mata terbelalak ia berpindah-pindah memandang pipi ayahnya yang kempot dan lemari yang kosong. "ApakahAyali kehabisan uang?" "Aku tidak memerlukan apa-apa lagi sekarang karena engkau telah kembali" "Tetapi, tetapi tiga bulan yang lahi ketika saya akan pergi bukankah saya memberi Ayah dua ratus frank," kata Edmond sedikit terbata-bata. "Benar, Edmond. Tetapi ketika itu engkau lupa akan hutangmu kepada tetangga kita Caderousse. Dia menagih kepadaku dan mengatakan akan melaporkannya kepada Tuan Morrel apabila aku tidak membayarnya. Aku khawatir, laporannya dapat merugikan engkau. Itulah sebabnya aku bayar dia." 'Tetapi hutangku berjumlah seratus empat puluh frank. Apakah Ayah melunasinya dari uang yang dua ratus itu?" Orang tua. itu mengangguk. "Dan Ayah hidup selama tiga bulan hanya dengan empat puluh frank saja? Ya, Tuhan ampunilah saya!!!" "Sudahlah, Edmond Yang penting engkau telah kembali dengan selamat." , "Ya, saya telah kembali dengan membawa sedikit uang dan harapan akan masa depan yang cerah. Nih Ayah, ambillah semua dan belilah segala sesuatu yang diperlukan." Dantes mengeluarkan semua isi dompetnya di atas meja: selusin emas batangan, dua puluh lima atau tiga puluh frank dan beberapa uang kecil lainnya. Wajah orang tua itu menjadi cerah. "Milik siapa itu?*' "Milik saya, milik Ayah, milik kita berdua! Ambillah dan belilah persediaan makanan. Dan jangan khawatir, esok saya akan membawa lebih banyak lagi. Selain uang saya masih punya kopi dan tembakau yang baik untuk Ayah. Tetapi masih di kapal. Besok akan saya bawa . , .. Saya mendengar ada orang datang." "Mungkin sekali Caderousse untuk mengucapkan selamat datang kepadamu." "Orang yang lidahnya tidak seia dengan hatinya," Edmond menggerutu. "Tetapi biarlah, dia adalah tetangga dan pernah berbuat jasa kepada kita" Sesaat kemudian Caderousse memasuki kamar. Usianya kuranglebih dua puluh lima tahun. Rambut dan janggutnya hitam. Di tangannya ada selembar kain — karena ia seorang penjahit — yang sedang dikerjakannya untuk membuat sebuah jas. "Engkau telah kembali, Edmond!" katanya dengan logat Marseilles yang masih jelas. Senyumnya yang lebar memperlihatkan giginya yang putih. "Ya, saya telah kembali. Dan siap untuk melakukan apa saja untukmu sepanjang kemampuan saya." "Terima kasih. Tetapi untung, saya tidak memerlukan apa-apa Biasanya, orang lain yang kadang-kadang memerlukan pertolongan saya/' Edmond sudah akan menjawab pernyataan tetangga ini tetapi Caderousse cepat meneruskan, "Bukan engkau yang saya maksud. Benar saya meminjamimu uang tetapi engkau telah mengembalikannya, jadi antara kita telah selesai." "Kami tidak pernah merasa selesai dengan orang-orang yang telah berbuat baik kepada kami. Sekalipun kami sudah tidak berhutang uang lagi tetapi kami tetap berhutang kebaikan kepadanya.*' "Mengapa engkau berbicara tentang itu? Yang sudah lewat biarlah. lalu. Lebih baik kita berbicara tentang kepulanganmu saja, kawan. Saya kebetulan berjumpa dengan kawan kita Dangiars di pelabuhan. Dialah yang me-ngabariku bahwa engkau telah pulang. Dia juga mengatakan bahwa engkau telah mendapat tempat yang baik di hati Tuan Morrel. Sebaiknya engkau tidak menolak undangannya untuk makan malam di rumahnya. Apabila seseorang ingin menjadi kapten, dia harus pandai mengambil hati pemilik kapal." **Saya harap dapat menjadi kapten tanpa berbuat begitu," "Kalau dapat tentu saja lebih baik. Kawan-kawan lamamu tentu turut bergembira melihat engkau berhasil maju. Dan aku tahu ada seorang lagi yang akan lebih bergembira mendengar berita baik itu." "Kau maksud Mercedes?" tanya ayah Dantes. "Benar, Ayah." kata Edmond. "Karena kita telah bertemu dan saya lihat Ayah baikbaik saja dan segala keperluan sudah dapat disediakan, saya mohon Izin, Ayah, untuk menemui Mercedes," Dantes memeluk ayahnya, mengangguk kepada Caderousse, kemudian pergL Caderousse masih tinggal beberapa saat, kemudian pamitan kepada ayah Edmond,pergi ke bawah dan bertemu dengan Dangiars yang sengaja menunggu dia. "Nah," kata Dangiars, "apakah ada dia katakan kepadamu tentang harapannya untuk menjadi kapten?" "Dia berbicara seperti sudah menjadi kapten, dan hal itu sudah membuatnya angkuh. Dia menawarkan jasa baiknya kepadaku seakan-akan ia seorang besar." "Apakah ia masih mencintai Mercedes?" "Tergila-gila! Dia sedang pergi ke sana sekarang. Kecuali kalau aku keliru, aku kira dia akan menemui hal-hal yang tidak menyenangkan baginya/' "Apa maksudmu?" "Aku tidak begitu yakin. Tetapi yang aku ketahui, setiap kali Mercedes datang ke kota selalu ditemani seorang pemuda Catalan yang tegap yang wajahnya selalu me-m anc arkan gelora cinta kep ad a M erced e s." "Menurutmu, Dantes sekarang sedang menuju rumahnya?" tanya Dangiars. "Ya, ia berangkat sesaat sebelum saya pamitan." "Kalau begitu mari kita pergi ke arah yang sama. Kita berhenti di kedai kopi La Reseve dan menunggu berita sambil minum anggur." "Siapa yang akan memberi kita berita?" "Kita akan duduk-duduk di sebelah jalan menunggu Dantes lewat kembali. Dari wajahnya kita akan dapat mengetahui apa yang telah terjadi." "Baiklah," kata Caderousse. 'Tetapi engkau yang membayar anggur itu, bukan?" "Tentu saja," jawab Dangiars. Kedua sahabat itu bergegas-gegas pergi. BAB III KURANG lebih seratus langkah dari tempat Dangiars dan Caderousse duduk minum anggur terdapat perkampungan orang-orang Catalan. Pada suatu hari dahulu kala, serombongan orang tak dikenal datang dari Spanyol mendarat pada sepotong tanah sempit yang merupakan sebuah tanjung. Pemimpin mereka yang dapat berbicara sedikit bahasa Provencal, meminta kepada masyarakat Marseilles agar suka memberikan kepada mereka tanjung yang kering itu. Permintaan itu dikabulkan dan tiga bulan kemudian orang-orang pengelana tautan itu mendirikan sebuah perkampungan kecil. Sekarang, tiga atau empat abad sejak itu, keturunannya tetap setia kepada perkampungannya dan mereka tidak mau bercampur dengan penduduk Marseilles. Perkawinan mereka terbatas dalam lingkungannya sendiri saja dan mereka tetap mempertahankan kebiasaan dan bahasa tanah asalnya. Dalam salah sebuah rumah pada satu-satunya jalan dalam perkampungan itu, seorang gadis cantik berdiri bersandar pada dinding. Rambutnya hitam legam sedangkan sinar matanya redup seredup sinar mata rusa betina. Di hadapannya duduk seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Duduknya agak gugup dan matanya memandang gadis itu dengan pandangan yang penuh kecemasan bercampur kemarahan. Tetapi sorot mata gadis itu yang teguh dan tetap lebih menguasai keadaan. 'Dengar, Mercedes," kata pemuda itu. "Sekarang sudah hampir Paskah lagi, saat yang baik sekali untuk perkawinan. Beri aku jawaban!" "Aku telah menjawabmu beratus kali, Fernand Dengan terus-menerus bertanya seperti itu engkau hanya akan membenci dirimu sendiri. Aku tidak pernah memberimu harapan. Aku selalu mengatakan: Aku mencintaimu, sebagai saudara, tetapi j anganlah mengharapkan yang lain lagi karena hatiku telah menjadi milik orang lain. Bukankah itu yang selalu kukatakan kepadamu, Fernand?" "Benar, memang engkau cukup kejam untuk selalu berterus terang seperti itu." "Terlepas dari itu, mengapa sebenarnya engkau menghendaki aku, seorang yatimpiatu yang miskin. Satu-satunya milikku hanyalah pondok lapuk yang hampir hancur ini." "Aku tak peduli betapa miskin engkau, Mercedes. Aku lebih senang memilikimu daripada memiliki anak gadis seorang pemilik kapal yang paling dapat dibanggakan atau anak gadis seorang pemilik bank yang paling kaya di Marseilles ini. Yang dibutuhkan seorang laki-laki hanyalah isteri yang dapat menjaga kehormatan dan pandai mengatur rumah tangga. Di mana aku akan dapat menemukan gadis lain yang lebih daripada engkau dalam kedua hal itu?" "Fernand," jawab Mercedes sambil menggelengkan kepala. "Seorang wanita dapat menjadi pengatur rumah-tangga yang buruk dan bahkan dapat disangsikan kehormatannya apabila dia mencintai laki-laki lain selain suaminya. Kuharap engkau dapat puas dengan kesediaanku untuk bersahabat. Hanya itulah yang dapat aku janjikan dan aku tidak pernah menjanjikan sesuatu yang aku sendiri tidak yakin akan dapat memenuhinya" Fernand berdiri, dia berjalan bolak-balik beberapa saat, kemudian berdiri di hadapan Mercedes. Kedua tangannya mengepal dan matanya penuh amarah. "Katakanlah sekali lagi, Mercedes, katanya "Itukah keputusanmu?" "Aku mencintai Edmond Dantes," jawab gadis itu dengan tenang. "Dan tak akan ada laki-laki lain yang bakal menjadi suamiku." "Dan apakah engkau akan selalu mencintai dia?" "Selama hayat dikandung badan." Fernand menundukkan kepala karena harapannya putus, sambil menghembuskan napas panjang-panjang ia mengeluh. Tiba-tiba dia memandang lagi kepada Mercedes dan berkata di antara gigi-giginya, "Dan bila dia mati?" "Bila dia mati, aku pun mati." "Bagaimana kalau dia melupakanmu?" "Mercedes!!!" terdengar suara penuh kegembiraan dari luar rumah. "Oh!" teriak Mercedes. Pipinya menjadi merah karena bahagia. "Lihat, dia tidak melupakan aku! Itulah dia!" Mercedes berlari ke pintu, membukakannya dan berkata, "Aku di sini, Edmond!" Femand mundur selangkah seperti orang ketakutan melihat ular berbisa, kemudian menjatuhkan diri ke kursi Edmond dan Mercedes saling rangkul. Matahari Marseilles yang cerah menembus masuk melalui pintu dan menyelimuti mereka sepenuh-penuhnya dengan cahaya. Mulamula mereka tidak menghiraukan apa-apa di sekelilingnya. Kebahagiaan telah memisahkan mereka dari dunia lainnya. Tiba-tiba Edmond melihat wajah yang masam yang mengawasinya dari kegelapan kamar. Tanpa sadar Femand memegang hulu pisaunya yang tergantung pada ikat pinggangnya. "Maaf" kata Dantes. "Saya tidak tahu bahwa ada orang ketiga di sini" Sambil memandang Mercedes ia bertanya, "Siapakah Tuan ini?" "Dia akan menjadi kawanmu, karena dia kawanku. Dia keponakanku, Fernand, orang yang paling kucintai sesudah engkau. Apakah engkau tidak mengenalnya lagi?" "Oh, benar juga!" jawab Edmond. Dengan memegang tangan Mercedes dengan tangan kiri ia mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Fernand. Tetapi Fetnand tetap diam bagaikan sebuah patung. Edmond melirik penuh tandatanya kepada Mercedes yang gemetar dan kebingungan. Kemudian ia melihat lagi kepada Fernand yang matanya penuh sinar ancaman. Semuanya dia tangkap dalam sekejap. Wajahnya menjadi merah karena marah. "Ketika aku bergegas-gegas ke mari untuk menemuimu, aku tidak mengira akan menemui musuh dalam rumahmu ini," kata Edmond Dantes. "Musuh!!!" kata Mercedes dengan mata marah memandang keponakannya. "Tidak ada musuh di sini! Untuk' ku, Fernand seperti seorang saudara. Dia akan menjabat tanganmu tanda persahabatan." Mercedes menatap Fernand dengan pandangan yang berwibawa, dan seperti orang yang d i sihir Femand mengulurkan tangan perlahan-lahan kepada Edmond. Bagaikan sebuah gelombang yang tak berkekuatan, kebencian Fernand mencair karena sorot mata Mercedes. Begitu tangannya menjabat tangan Edmond, Fernand sadar hanya itulah yang dapat ia lakukan. Dia membalikkan badan dengan mendadak sekali kemudian berlari ke luar rumah, "Oh!!!" keluhnya kepada dirinya sendui. Dia berlari seperti orang gila sambil memegang kepala dengan kedua belah tangan. "Bagaimana aku dapat menyingkirkan dia? Apa yang dapat kulakukan? Apa yang dapat kulakukan?" "Mau ke mana engkau bergegas-gegas, Fernand?" seseorang bertanya. Dia berhenti, m&lihat sekeliling kemudian melihat Danglars sedang duduk dengan Caderousse di tempat yang teduh di bawah pohon kedai minum. "Mampirlah sebentar,” kata Caderousse. "Ataukah engkau begitu terburu-buru sehingga tidak mempunyai waktu untuk berbincang-bincang dengan kawan?" ^Terutama, dengan kawan yang mempunyai anggur sebotol penuh di hadapannya?" tambah Danglars. Fernand melihat kedua orang itu penuh kebingungan tanpa berkata sepatah pun. "Tampaknya dia sedang kehilangan semangat" ujar Danglars menyentuh Caderousse dengan lututnya. "Mungkinkah kita salah? Apakah ini berarti bahwa Dantes memenangkan perebutan itu?" Mungkin begitu," jawab Caderousse. "Kita lihat saja." Kemudian dia berkata lagi kepada Femand, "Ayo! Bagai mana?" Fernand menghapus keringatnya yang mengucur di dahi kemudian berjalan perlahanlahan ke tempat yang teduh itu. "Hallo," katanya. "Kalian memanggil aku?" Dia duduk, merebahkan badan ke atas meja sambil mengeluarkan keluhan seperti orang menangis. "Kau tahu, Fernand," kata Caderousse. "Rupamu seperti laki-laki yang ditampik perempuan!" Dia menyertai senda-guraunya ini dengan tertawa kasar. "Apa katamu?" kata Danglars. "Pemuda setampan Fernand tak pernah gagal dalam asmara. Tentu engkau hanya berolok-olok, Caderousse," 'Tidak. Coba dengarkan bagaimana ia berkeluh-kesah. Ayo Fernand, bangkit dan berceriteralah. Tidak sopan membisu kepada kawan yang bertanya tentang kesehatanmu?* "Kesehatanku baik," jawab Fernand sambil mengepalkan kedua tangan tetapi tanpa menegakkan kepala. "Nah, Danglars," kata Caderousse sambil berkedip kepada kawannya. "Beginilah soalnya: Fernand ini, seorang Catalan yang berani dan salah seorang nelayan yang terbaik di Marseilles, jatuh cinta kepada seorang gadis cantik yang bernama Mercedes. Tetapi sayangnya, Mercedes jatuh cinta kepada Jurumudi Kelas I kapal Le Pharaon. Karena sekarang Le Pharaon telah berlabuh hari ini . . . nah, kau tentu mengerti." "Tidak, aku tidak mengerti," jawab Danglars. "Fernand yang malang ini telah dipersilakan pergi," Caderousse meneruskan. "Bagaimana kalau benar begitu!" kata Fernand sambil mengangkat kepala dan memandang Caderousse seakan-akan mendapatkan tempat untuk melampiaskan amarahnya. "Mercedes bebas untuk jatuh cinta kepada siapa pun yang ia kehendaki, bukan?" "Kalau begitu caramu berfikir," kata Caderousse, "soalnya menjadi lain! Kukira engkau seorang Catalan. Aku mendengar bahwa seorang Catalan, terutama sekali Fernand Mondego sangat mengerikan pembalasannya." "Kasihan!" kata Danglars, berpura-pura turut bersedih dari lubuk hatinya. "Dia tentu tidak mengira bahwa Dantes akan kembali. Dia berfikir mungkin Dantes mati dalam perjalanan atau sudah tidak setia lagi. Memang, kejadian seperti ini selalu menyakitkan apabila datangnya sangat mendadak." 'Yang pasti," kata Caderousse yang telah mulai dipengaruhi anggur, "Fernand bukanlah satu-satunya orang yang dirugikan dengan kembalinya Dantes yang penuh bahagia itu, bukan begitu Danglars?" "Benar, dan saya cenderung mengatakan bahwa itu akan membawa keburukan bagi dirinya." "Tak jadi soal. Sementara itu, paling tidak dia akan mengawini Mercedes yang cantik." Danglars memperhatikan wajah Fernand yang seperti kena timah cair oleh perkataan Caderousse yang bernada sindiran itu. "Kapan perkawinan itu dilaksanakan?" dia bertanya. "Mereka belum kawin!" kata Fernand bergumam. "Tetapi mereka akan kawin!" kata Caderousse. "Sama pastinya dengan akan diangkatnya Dantes menjadi Kapten Le Pharaon. Betul bukan, Danglars?" Danglars terkejut mendengar ucapan Caderousse yang tak disangka ini, yang baginya merupakan sebuah tikaman tajam. Dia memperhatikan wajah Caderousse ingin memastikan apakah ucapannya itu direncanakan atau tidak. Tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan pada wajah orang mabuk itu. "Baiklah," katanya sambil mengisi gelas-gelas, "mari kita minum untuk Kapten Edmond Dantes, suami Mercedes yang cantik." Caderousse mengangkat gelasnya dan menghabiskan isi nya dengan sekali teguk. Fernand mengambil gelasnya, dan membantingnya ke tanah. "Hei, hei!" seru Caderousse. "Apa itu? Coba lihat Fer-nantt. Penglihatanmu lebih baik. Kukira mataku sudah mulai kabur. Engkau tahu bukan, bagaimana anggur merusak pandangan orang. Kukira, aku melihat dua orang sejoli sedang berjalan bergandengan tangan . . . Ya Tuhan! Mereka tidak tahu bahwa kita melihatnya. Mereka berciuman." Setiap garis kepedihan yang terpancar dari wajah Fernand tidak ada yang luput dari perhatian Dangiars. "Siapa mereka, Fernand? Kau kenal?" "Ya," jawab Fernand, masa bodoh. "Dantes dan Mercedes." "Ah!" teriak Caderousse. "Benar tidak? Aku sendiri tidak dapat mengenali mereka Hei Dantes! Hei,Nona! Mari ke mari sebentar dan beritahu kami kapan perkawinan akan dilangsungkan. Fernand ini keras kepala, tidak mau mengatakannya kepada kami." "Diam!" kata Dangiars berpura-pura menahan mulut Caderousse yang karena mabuknya telah berkisar dari tempat duduknya. "Ayo berdiri dan jangan mengganggu merpati yang sedang berkasih-kasihan. Lihat Fernand, akalnya lebih sehat." Dangiars memandang kedua teman duduknya. Dalam hati ia berkata. "Kedua orang tolol ini tiada gunanya bagi ku, yang seorang pemabuk yang seorang lagi pengecut. Aku khawatir nasib baik Dantes akan terjadi. Dia akan menikahi gadis itu, menjadi Kapten Le Pharaon dan akan mentertawakan kami, kecuali . . .** sebuah senyuman tersungging di bibirnya. . . "kecuali kalau aku turun tangan." "Hei!" Caderousse berteriak lagi. Badannya setengah tegak, bertelekan pada meja. "Edmond! Apa kau tidak melihat kawan-kawanmu, atau engkau terlalu angkuh untuk berbicara dengan kami?" "Sama sekali tidak, Caderousse," jawab Dantes. "Aku tidak angkuh, tetapi aku berbahagia, dan kukira kebahagiaan dapat membuat seseorang menjadi lebih buta daripada angkuh." "Baik sekali" dalihmu itu," kata Caderousse. "Apa kabar Nyonya Dantes?" "Itu belum menjadi namaku," jawab Mercedes tenang, "Orang bilang, kalau seorang gadis dipanggil dengan nama tunangannya, dia bisa celaka. Sebab itu panggillah saya Mercedes." "Saya kira perkawinan akan segera berlangsung, bukan?" kata Dangiars sambil membungkuk kepada pasangan remaja itu. "Secepat mungkin, Tuan Dangiars. Hari ini segala persiapan akan diatur di rumah ayah saya, dan besok, atau paling lambat lusa, kami akan merayakan pertunangan kami di kedai ini. Semua kawan kami akan hadir, ini berarti bahwa tuan kami undang, Tuan Dangiars, dan engkau juga, Caderousse." "Bagaimana dengan Fernand?" tanya Caderousse sambil tertawa bodoh. "Apakah dia juga diundang?" "Kawan istriku adalah kawanku juga," jawab Dantes, "dan kami akan benar-benar kecewa apabila dia tidak hadir." Fernand membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi suaranya tertahan di Penggorokan "Persiapannya hari ini dan pesta pertunangannya besok atau paling lambat lusa!" seru Dangiars. "Tampaknya Tuan sangat terburu-buru, Kapten!** "Tuan Dangiars," kata Dantes tersenyum, "saya ingin mengatakan apa yang dikatakan Mercedes kepada Caderousse: jangan memberi saya pangkat yang belum menjadi milik saya. Itu bisa membawa celaka kepada saya/' "Maafkan saya," jawab Dangiars. "saya hanya ingin mengatakan bahwa tampaknya Tuan sangat buru-buru. Padahal waktu sangat banyak Masih ada waktu tiga bulan sebelum Le Pharaon mengarungi lautan lagi." "Seseorang selalu akan terburu-buru untuk kebahagiaan. Teiapi mengenai diri saya, tidak semata-mata karena^ngin mementingkan diri sendiri. Saya harus pergi ke Paris." "Oh! Apakah Tuan mempunyai urusan di sana?" "Bukan urusan saya pribadi. Almarhum Kapten LecUre meminta saya melakukan sesuatu baginya. Seperti Tuan pahami, ini merupakan tugas yang suci. Tetapi jangan khawatir. Saya akan segera kembali." "Ya, saya mengerti," kata Danglars. Kemudian d,ia ber-fikir, "mungkin dia pergi ke Paris untuk menyerahkan surat Marsekal yang dititipkan kepadanya . . . Ya Tuhan! Surat itu memberi aku ilham, suatu ilham yang bagus sekali! Ah, Dantes, kawanku, namamu belum lagi tercatat sebagai orang yang nomor satu dalam buku harian kapal Le Pharaon!" Ketika Dantes akan pergi meninggalkan mereka, Danglars berkata, "Selamat jalan!" "Terima kasih," jawab Dantes sambil membungkuk dengan ramah. Kedua remaja itu meneruskan perjalanan penuh bahagia bagaikan dua jiwa menuju surga. BAB IV KEESOKAN harinya cuaca sangat menyenangkan. Matahari yang cerah mewarnai buih ombak dengan warna ungu kemerah-merahan. Pesta pertunangan telah dipersiapkan di dalam sebuah ruangan besar di tingkat kedua kedai La Reserve. Pesta direncanakan akan dimulai jam dua belas siang. Tetapi pada jam sebelas kedai itu telah penuh para undangan yang tampak tidak sabar lagi menanti. Mereka adalah kelasi-kelasi Le Pharaon dan beberapa prajurit, kawan-kawan Dantes. Tersiar juga berita bahwa Morrel pun akan turut menghadiri pesta. Kalau benar, ini betul-betul merupakan kehormatan yang besar bagi Dantes. Ketika pemilik kapal datang, dia disambut dengan hangat oleh para kelasi. Kehadirannya sekaligus merupakan petunjuk yang nyata bahwa Edmond benar akan diangkat menjadi kapten mereka. Dan oleh sebab Edmond dicintai mereka, mereka merasa berterima kasih karena sekali ini pilihan pemilik kapal cocok dengan keinginan mereka sendiri. Danglars dan Caderousse diutus memberitahu Dantes akan kahadiran Morrel, dan meminta Dantes segera datang. Tetapi sebelum mereka jauh berjalan, rombongan Dantes sudah tampak. Edmond dan Mercedes didampingi oleh empat orang gadis pengiring dan ayah Edmond. Fernand berjalan di belakang mereka dengan senyum kecut. Tetapi Edmond dan Mercedes tidak melihatnya. Keduanya sangat berbahagia sehingga mereka tidak melihat orang lain kecuali dirinya sendiri dan langit biru yang seakan-akan merestui pertunangannya. Segera setelah mereka hendak memasuki La Reserve, Morrel turun menjemput mereka. Tamu-tamu lainnya mengikuti dari belakang. Tangga kayu berderak-derak selama kurang-lebih lima menit karena tekanan langkah-langkah yang berat. Hidangan segera diedarkan setelah mereka menempati tempat duduk masing-masing. "Sunyi benar pesta ini," seru ayah Edmond ketika dia menghirup bau anggur kuning yang dihidangkan di hadapan Mercedes, "Padahal di sini berkumpul tiga puluh orang yang sedang bersukacita." "Suami-suami memang selalu tidak pernah bersukacita," kata Caderousse. 'Tang jelas," kata Dantes, "bahwa sekarang ini saya terlalu berbahagia untuk dapat bergembira ria. Bila itu yang kaumaksudkan, engkau benar, Caderousse. Sukaria itu kadang- kadang mempunyai pengaruh yang aneh: dia dapat menekan kita sama beratnya dengan dukacita." *Tuan tidak mengkhawatirkan sesuatu, bukan?" tanya Danglars. "Menurut penglihatanku segala sesuatu berjalan lancar bagi Tuan." "Itulah yang agak mencemaskan hati saya," jawab Dantes. "Saya tidak pernah berpendapat bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan mudah. Kebahagiaan, menurut pendapat saya, sama seperti istana dalam dongeng yang pintu gerbangnya dikawal oleh ular-ular naga. Kita harus berjuang untuk dapat merebutnya. Saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah saya lakukan sampai berhasil menjadi suami Mercedes." "Suami!" seru Caderousse. "Belum lagi, Kapten. Silakan mencoba berlaku seperti seorang suami, dan mari kita lihat bagaimana sambutan Mercedes." Pipi Mercedes memerah. Fernand memalingkan pandangan dan menyapu keringat yang membasahi dahi. Pada saat itu terdengar ribut-ribut di tangga. Suara langkah-langkah orang berjalan di tangga kayu bercampur dengan suara orang banyak berbicara, dan suara gemerin-cing pedang mengatasi suara orang berpesta di lantai kedua. Setiap orang terdiam. Terdengar tiga kali ketukan pada daun pintu. "Atas nama hukum, bukakan pintu!" terdengar suara bergema. Tak seorang pun menjawab. Pintu terbuka dan seorang komisaris polisi memasuki ruangan diikuti oleh empat orang bersenjata yang dipimpin oleh seorang kopral. "Ada apa?" tanya Morrel, melangkah mendekati Komisaris yang sudah dikenalnya. "Ini mesti ada kekeliruan." "Apabila ada kekeliruan, Tuan Morrel," jawab Komisaris itu, "akan segera diperbaiki. Sementara ini saya membawa surat perintah menangkap, dan saya mesti melakukan kewajiban saya. Siapa di antara Tuan-tuan yang bernama Edmond Dantes?" Setiap mata menuju kepada anak muda ini yang merasa sangat tersinggung tetapi tetap menahan diri menjaga kehormatannya.. Dantes maju selangkah dan berkata. "Saya Edmond Dantes, Tuan. Apa yang Tuan kehendaki dari saya?" ''Edmond Dantes,Tuan saya tangkap." "Ditangkap!" seru Edmond terkejut, wajahnya memucat. "Dengan alasan apa?" "Saya ttdak tahu, tetapi Tuan akan diberitahu alasan* nya pada pemeriksaan yang pertama." Morrel menyadari bahwa perdebatan tidak akan ada gunanya. Seorang komisaris polisi dengan surat perintah menangkap di tangan sudah bukan manusia lagi, melainkan sebuah patung hukum yang kaku, tuli dan bisu. Tetapi ayah Dantes.yang tidak mengetahui hal ini, segera menghampiri komisaris. Senantiasa ada saja masalah yang tidak pernah dapat dipahami oleh batin seorang ayah atau ibu. Dia me* minta dan memohon dengan sangat kepada komisaris agar mengurungkan niatnya, tetapi permohonan itu tidak membuahkan apa-apa. Tetapi kesedihannya demikian hebat sehingga hati komisaris tersentuh juga. "Tenang-tenang saja, Tuan," katanya. '*Mungkin putra Tuan hanya alpa mematuhi beberapa ketentuan pelabuhan, dan mungkin sekali ia akan segera dibebaskan kembali setelah memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan," Sementara itu Dantes menjabat tangan kawan-kawannya dan berkata, "Jangan khawatir, kekeliruan ini akan segera dapat dijelaskan, bahkan mungkin sekali sebelum saya sampai ke penjara." Dia berjalan menuruni tangga mengikuti .komisaris dan dikawal sekelilingnya oleh serdadu-serdadu bersenjata. Sebuah kereta telah menunggu di muka pintu. Dia menaikinya, diikuti oleh komisaris dan dua orang serdadu. Pintu ditutup dan kereta bergerak menUju Marseilles. BAB V PADA hari yang sama dan jam yang sama sebuah pesta pertunangan yang-lain sedang berlangsung di salah satu rumah yang bergaya feodal di Rue du Grand-Cours. Bedanya, undangan di sini bukan pekerja-pekerja sederhana, kelasi dan serdadu, melainkan orangorang dan kalangan atas di Marseilles, Mereka pejabat-pejabat pengadilan yang mengundurkan diri ketika kekuasaan direbut oleh Napoleon Bonaparte, opsir-opsir tua yang meninggalkan posnya untuk bergabung dengan tentara Conde, dan anak-anak muda yang dibesarkan keluarganya dengan didikan membenci Kaisar Napoleon yang sekarang menjadi raja di Pulau Elba dengan rakyat yang hanya lima sampai enam ribu orang, yang pernah disanjung dengan teriakan "Hidup Napoleon" oleh seratus dua puluh juta rakyat dengan berbagai bahasa, dianggap oleh mereka sekarang sebagai telah tamat riwayatnya. Kaum yang setia kepada kerajaan merasa unggul dan gembira. Mereka merasa seakanakan terbangun dari mimpi buruk dan kehidupan terasa baru kembali Pangeran Saint-Meran, bangsawan tua yang memiliki bintang kehormatan Saint Louis, berdiri dan mengajak hadirin minum bagi kejayaan Raja Louis XVIII. Ajakannya disambut dengan meriah. Gelas-gelas segera diangkat dan para wanita melepaskan bunga-bunga hiasan dari pakaian nya dan menaburkannya di atas meja. "Ah," kata Nyonya Saint-Meran, seorang wanita yang keras pandangan matanya, tipis bibirnya dan anggun sekalipun usianya telah limapuluhan. "Bila kaum revolusioner yang memburu-buru kita pada zaman pemerintahan Teror sekarang turut hadir di sini, mau tak mau mereka harus mengakui bahwa kesetiaan kita adalah kesetiaan yang sejati, karena kita tetap setia kepada kerajaan sekalipun hampir runtuh, sedangkan mereka mengaitkan diri kepada kekuasaan baru yang akan tumbuh dan mencari keuntungan, padahal kita kehilangan segala yang kita miliki. Mereka harus mengakui bahwa raja kita tetap Louis tercinta, sedangkan pemimpin mereka hanyalah perampas kekuasaan, Napoleon terkutuk. Bukankah begitu, Tuan de Villefort?" "Maaf, Nyonya, saya tidak mengikuti pembicaraan Nyonya." "Jangan diganggu anak-anak muda ini," kata suaminya. "Sebentar lagi mereka akan menikah dan dapat dipahami kalau mempunyai bahan pembicaraan yang lebih menarik daripada politik." "Maafkan saya, Ibu," kata seorang gadis cantik berambut pirang dan bermata sayu, "karena saya memonopoli perhatian Tuan Villefort** 'Tentu saja aku maafkan, Renee " kata Nyonya Saint-Meran tersenyum ramah. Senyuman yang sebenarnya agak aneh ditemukan pada wajah yang keras itu. "Saya berkata, Tuan de Villefort, bahwa kaum Bonaparte tidak mempunyai keyakinan, semangat dan kepatuhan seperti yang kita miliki.** "Benar, Nyonya, tetapi mereka mempunyai seaiatu yang lain sebagai imbangannya, yaitu: fanatisme. Oleh mereka yang berwatak kasar dan berambisi besar itu, Napoleon dianggap sebagai Nabi. Bagi mereka, Napoleon bukan hanya seorang pembuat undangundang dan kaisar semata-mata, tetapi juga sebuah perlambang, dia adalah perwujudan dari persamaan hak. Kalau kobespjere dianggap mewakili persamaan hak dengan merendahkan yang tinggi, menyeret raja-raja ke pisau gilotin, maka Napoleon mewakili persamaan hak dengan "mengangkat yang rendah" karena dia mengangkat derajat rakyat sejajar dengan mahkota." "Saya kira Tuan pasti sadar, Tuan de Vilefort," kata Nyonya Saint-Meran, "bahwa yang Tuan katakan itu berbau revolusi. Tetapi saya maklum, karena kita toh tidak dapat mengharapkan anak seorang kaum Girondi dapat membebaskan diri sama sekali dari sifat-sifat leluhurnya." Muka Villefort merah padam. "Saya akui bahwa ayah saya seorang kaum Girondi, Nyonya," katanya, "tetapi saya telah memisahkan diri tidak hanya dari alam Ukirannya saja, tetapi juga dengan menanggalkan namanya. Dahulu dan mungkin masih juga sekarang, ayah saya penganut Bonaparte dan namanya Noirtier. Saya seorang penganut kerajaan dan nama saya Villefort. Biarkanlah getah-getah revolusi itu mengering dan mati bersama batang pohonnya yang telah menua, Nyonya, dan lebih baik kita memperhatikan tunas-tunas muda yang tumbuh terpisah tetapi tidak mempunyai daya, bahkan keinginan untuk melepaskan diri sepenuhnya dari induknya." "Bagus sekali Villefort!" kata Pangeran Saint-Meran. 'Tepat sekali! Saya selalu mencoba menyarankan istri saya untuk melupakan masa lalu, tetapi tak pernah berhasil. Mungkin engkau akan lebih beruntung daripada saya." "Baik," kata Nyonya Sain-Meran, "kita lupakan yang lalu, saya tidak berkeberatan. Saya hanya ingin meminta agar Tuan tetap bersikap teguh di masa yang akan datang, Tuan de Villefort Apabila ada seorang pengkhianat jatuh ke tangan Tuan, camkanlah bahwa Tuan akan diperhatikan orang dengan ketat oleh karena Tuan berasal dari keluarga yang bisa jadi bergabung dengan para pengkhianat." "Pekerjaan saya, Nyonya, terutama sekali pada zaman yang kita alami sekarang ini, menuntut saya untuk selalu bersikap keras. Telah berkali-kali saya harus menangani perkara kejahatan politik dan perkara-perkara itu membuka kesempatan bagi saya untuk membuktikan kekerasan saya. Dan sayangnya, perkara-perkara semacam ini belum akan habis." "Apa benar demikian?" tanya Nyonya Saint-Meran. "Saya pikir demikian. Napoleon berada di Pulau Elba, di sebuah pulau yang masih tampak dari pantai kita. Kehadirannya di sana menghidupkan harapan pejuang-pejuangnya." "Benar," kata Nyonya Saint-Me"ran, "soalnya, apakah raja berkuasa atau tidak. Kalau beliau berkuasa, pemerintahannya harus kuat dan para pejabatnya tidak phn-plan Itulah satu-satunya jalan untuk mencegah kejahatan." "Sayang, Nyonya," kata Villefort tersenyum, "sebagai Wakil Penuntut Umum saya datang ke pengadilan selalu setelah kejahatan itu terjadi." "Adalah kewajiban Tuan untuk memperbaikinya." "Izinkan saya mengatakan sekali lagi, Nyonya, bahwa kewajiban kami bukan memperbaiki kejahatan melainkan menghukumnya." Pada saat itulah seorang pelayan masuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Villefort. Villefort meminta izin meninggalkan ruangan, dan tak lama kemudian kembali lagi. "Saya tidak pernah mempunyai waktu untuk diri sendiri" katanya kepada tunangannya. "Mereka datang mengganggu sekalipun saya sedang merayakan hari pertunangan sendiri." "Ada apa?" tanya Renee ingin tahu. "Baru saja saya diberitahu tentang sesuatu yang sangat penting. Rupanya ada komplotan kedi kaum Bonaparte ditemukan." "Apa benar?" tanya Nyonya Saint-Meran terheran-heran. "Inilah surat pengaduannya." Ia membacanya keras-keras: "Jaksa Penuntut Umum diberitahukan dengan jalan ini oleh seorang kawan sependirian dan seagama, bahwa Edmond Dantes, jurumudi pertama kapal Le Pharaon yang baru berlabuh tadi pagi dari Smirna setelah singgah di Napoli dan Pulau Elba, telah mendapat kepercayaan dari Mu rat untuk menyerahkan sebuah surat kepada Napoleon, dan mendapat kepercayaan dari Napoleon untuk menyerahkan surat kepada kaum Bonaparte di Paris. Kebenaran akan diperoleh dengan jalan menangkap dia, oleh karena surat untuk ke Paris itu dapat ditemukan atau pada dirinya, atau di rumah ayahnya, atau di kamarnya di kapal Le Pharaon." "Tetapi," kata Renee. "itu surat kaleng, dan alamatnya pun kepada Jaksa Penuntut Umum,bukan kepadamu." "Benar, tetapi beliau sedang ke luar kota. Sekertarisnya mendapat perintah untuk membuka semua surat masuk. Dia menemukan surat ini kemudian menyuruh mencari saya sebagai Wakil Jaksa, tetapi karena dia tidak berhasil menemukan saya, diambilnya kebijaksanaan .sendiri menangkap orang itu," "Di mana dia sekarang?" tanya Renee. "Di rumahku." "Kalau begitu, berangkatlah, anak muda," kata Markis Saint-Mlrant. 'Tugas lebih penting daripada kami. Penuhi ke mana saja tugas dari raja memanggilmu." Belum sampai ia keluar dari ruangan wajahnya yang gembira telah berubah menjadi keras sekeras wajah orang yang harus menentukan hidup-matinya orang lain. Terlepas dari pandangan politik ayahnya yang dapat menghancurkan masa depannya apabila ia tidak melepaskan diri sepenuhnya, sebenarnya pada saat itu Gerald de Villefort sedang diliputi rasa bahagia yang bukan alang-kcpalang. Meskipun baru berusia dua puluh enam tahun, namun dia sudah kaya dan berhasil memegang jabatan yang tinggi di pengadilan; ia akan segera kawin dengan seorang gadis cantik pilihannya. Bukan hanya karena cinta semata, tetapi juga berdasarkan perhitungan. Selain cantik, Nona Renee de Saint-Meran berasal dari keluarga yang mempunyai pengaruh di pengadilan. Nona Renee menyediakan mas kawin sebesar seratus lima puluh ribu franc, bahkan pada suatu saat nanti dapat mengharapkan menerima warisan sebesar setengah juta. Semua ini bagi Villefort merupakan bayangan kebahagiaan yang sungguh-sungguh menyilaukan. Dia menjumpai komisaris polisi yang menantinya di pintu. Melihat orang ini Villefort tersentak dari lamunannya. Dengan wajah yang dibuat lebih sungguh-sungguh ia berkata, "Saya telah membaca surat itu. Tuan telah bertindak benar dengan menangkap orang itu. Sekarang cerite-rakan semua ihwal mengenai persekongkolan itu." "Kami sama sekali belum mengetahui tentang komplotan itu. Tuan. Semua suratmenyurat yang kami temukan pada orang itu telah kami letakkan di atas meja Tuan dengan disegel. Seperti tertera dalam surat itu, namanya Edmond Dantes, Jurumudi Pertama kapal Le Pharaon kepunyaan Perusahaan Morrel & Son yang berniaga katun dengan Aleksandria dan Smirna." Pada saat itu Villefort d ih amp m seseorang yang rupanya sudah lama menunggu. Orang itu adalah Tuan Morrel. *Tuan de Villefort'." katanya. "Saya gembira sekali dapat menemukan Tuan. Telah terjadi sesuatu kekeliruan yang besar sekali, Jurumudi Pertama kapal saya, Edmond Dantes, telah ditangkap." "Saya tahu, Tuan," jawab Villefort "Saya akan memeriksanya." "Oh!" seru Morrel, terpesona oleh persabahatannya dengan anak muda itu. "Tuan tidak mengenalnya! Dia orang yang paling sopan dan paling dapat dipercaya di muka bumi ini." Villefort berasal dari golongan ningrat sedangkan Morrel dari rakyat jelata. Yang pertama seorang penganut kaum kerajaan yang bersemangat sedang yang lain diduga mempunyai kecenderungan tersembunyi kepada kaum Bonaparte. Villefort memandang Morrel dengan angkuh dan menjawab dingin, "Tuan boleh yakin, bahwa permohonan Tuan tidak akan sia-sia apabila tertuduh ternyata tidak bersalah. Tetapi kita hidup dalam zaman yang sulit, Tuan, dan apabila ia ternyata bersalah saya terpaksa menjalankan kewajiban saya." Dengan terucapkannya kalimat itu ia telah sampai di depan rumahnya. Dengan gaya bangsawan ia memasuki rumahnya setelah meminta diri dari pemilik kapal dengan kesopanan sedingin air batu. Ruang tamunya penuh dengan serdadu dan polisi yang menjaga tahanan. Villefort melemparkan sekilas pandangan kepada Dantes, menerima setumpuk surat yang diserahkan kepadanya oleh seorang polisi, kemudian meninggalkan ruang tamu itu. Ketan pertamanya tentang Dantes, baik. Tetapi dia sering mendengar peribahasa terkenal dalam dunia politik bahwa orang tidak boleh mempercayai kesan pertama. Dan dia menterapkan peribahasa Itu dan mematikan kesan baik yang baru diperolehnya. Kembali ia memasang wajah keras yang diperlukan pada saat-saat penting-genting, kemudian duduk di kursi di belakang mejanya. Tak lama kemudian Dantes masuk. Mukanya masih pucat, namun tenang dan tersungging senyuman. Dia membungkuk memberi hormat dengan sopan, kemudian melihat ke sekeliling mencari tempat duduk. "Siapa namamu dan apa pekerjaanmu?" Villefort bertanya. "Edmond Dantes, Jurumudi Pertama kapal Le Pharaon milik Morrel &Son," "Berapa umurmu?" "Sembilan belas." "Apa yang sedang kaulakukan ketika ditangkap?" "Sedang merayakan pesta pertunangan saya,'* jawab Dantes, suaranya agak bergetar. "Saya sedang berada di ambang pernikahan dengan seorang gadis yang telah saya cintai selama tiga tahun." Villefort terkejut. Persamaan kejadian itu telah meng-goncangkan hatinya yang biasa membatu. Dalam lubuk hatinya ia memberikan rasa simpati. Dia sendiri berada di ambang pernikahan, dan sekarang ia dipanggil tugas untuk menghancurkan kebahagiaan seseorang yang seperti dirinya yang sedang berada di pintu puncak kebahagiaan "Perbandingan ini pasti akan memberikan kesan yang menarik nanti dalam perbincangan di rumah Tuan Saint-Meran," pikirnya. Ia merancang-rancang dalam hatinya bagaimana ia akan mempidatokannya nanti. Setelah rancangan pidato ini agak jelas tergambar dalam fikiran, ia mengembalikan perhatiannya kepada Dantes, dan bertanya, "Pernahkah mengabdi kepada Napoleon?*' "Saya hampir dipanggil wajib masuk Angkatan Laut ketika beliau jatuh dari kekuasaannya." "Saya mendapat keterangan bahwa engkau mempunyai pandangan politik yang radikal," kata Villefort. Sebenarnya ia tidak pernah menerima keterangan seperti itu, namun demikian tidak segan mengajukan pertanyaan dalam bentuk tuduhan. "Pandangan politik saya, Tuan? Sebenarnya saya malu mengatakannya, tetapi kenyataannya memang saya tidak pernah mempunyai sesuatu yang dapat dikatakan sebagai pandangan politik. Umur saya baru sembilan belas tahun, seperti yang saya katakan tadi, dan pengetahuan saya sangat picik. Rupanya saya tidak ditakdirkan untuk memegang peranan penting dalam hidup ini Apa yang saya peroleh sampai sekarang dan apa pun yang akan saya peroleh di kemudian hari seandainya saya dapat menerima pangkat yang saya impikan itu semuanya berkat kebaikan Tuan Morrel. Pandangan hidup saya hanya terbatas sampai kepada perasaan-perasaan ini: Saya mencintai ayah, saya menghargai Tuan Morrel dan saya mencintai Mercedes. Itulah yang dapat saya terangkan, Tuan. Seperti Tuan lihat, pandangan hidup say a tidak menarik dan tidak penting." Villefort mengawasi Dantes dengan seksama. Pemuda ini sangat tulus dan terbuka, penuh dengan perasaan cinta kasih kepada sesamanya, termasuk kepada jaksa garang yang sekarang sedang memeriksanya. "Apakah engkau mempunyai musuh?" tanya Villefort, "Musuh? Tidak, saya bukanlah orang yang cukup penting untuk punya musuh. Saya akui bahwa saya sedikit cepat marah, namun terhadap anak buah saya selalu mencoba mengekangnya. Saya mempunyai dua belas kelasi sebagai bawahan. Silakan Tuan bertanya kepada mereka, saya yakin mereka akan mengatakan bahwa mereka menyukai dan menghormati saya*1 "Kalau engkau tidak mempunyai musuh, paling sedikit, padamu ada sesuatu yang dapat menimbulkan iri hati orang. Umpamanya, engkau hampir menjadi kapten dalam usia sembilan belas tahun dan engkau mempersunting gadis yang cantik. Kedua hal itu .merupakan nasib baik yang jarang terjadi dalam dunia ini. Salah satu daripadanya, mungkin menyebabkan seseorang irihati kepadamu.*' "Apa yang Tuan katakan itu benar. Saya yakin Tuan mengenal watak manusia lebih baik dari saya. Tetapi, apabila orang yang dengki itu berada dalam lingkungan kawan-kawan saya, lebih baik saya tidak mengetahuinya, sebab saya akan terpaksa membencinya" Keliru kalau engkau berfiki rseperti itu,kitaharus selalu mencoba melihat segala persoalan sekeliling kita sejelas mungkin. Dalam pandanganku engkau seorang pemuda yang cukup berharga sehingga aku bersedia menolongmu memberikan sedikit penjelasan tentang keadaanmu sekarang,dengan jalan memperlihatkan surat pengaduan yang menyebabkan engkau harus berhadapan dengan aku.Ini-lah apakah kau kenal tulisan ini?" Dantes membaca surat itu. Seketika wajahnya berubah menjadi merah. Dia berkata, "Tidak, Tuan, saya tidak mengenalnya Tulisan ini palsu, tetapi cukup jelas. Saya merasa beruntung," tambahnya sambil memandang Villefort dengan penuh rasa terima kasih, "berurusan dengan orang seperti Tuan, sebab fitnah yang keji1 ini jelas perbuatan seorang musuh jahat." Dari sorot mata Dantes ketika ia mengucapkan kalimat tadi, Villefort menangkap suatu kekuatan yang dahsyat tersembunyi di balik kehalusan dan kesopanannya. "Sekarang," kata Villefort, "jawablah sejujur-jujurnya, tidak sebagai seorang tahanan kepada jaksa melainkan sebagai seorang yang difitnah kepada orang lain yang menaruh perhatian dari lubuk hatinya. Adakah kebenaran pengaduan gelap itu?" Dia melemparkan surat itu ke atas mejanya dengan perasaan jijik. "Saya akan menceriterakan seluruh kebenaran, Tuan, dan untuk itu saya bersumpah demi kehormatan saya sebagai seorang pelaut, demi cinta saya kepada Mercedes, dan demi hidup ayah saya. Setelah kami meninggalkan Napoli, Kapten Leclere tiba-tiba mendapat serangan penyakit pada otaknya. Merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir, beliau memanggil saya, kemudian beliau berkata, 'Dantes yang baik, bersumpahlah bahwa engkau akan sudi melakukan apa yang akan saya minta. Ini adalah persoalan yang sangat penting.' *Saya bersumpah, Kapten,' kata saya. 'Kalau saya mati.* katanya, 'engkau ambil alih pimpinan oleh karena engkau Jurumudi Pertama. Singgahlah di Pulau fclba, pergi ke darat di Porto Ferralo, minta bertemu dengan Marsekal, dan berikan surat ini kepadanya. Mungkin sekali, engkau akan dititipi surat atau dipercaya untuk melakukan sesuatu tugas. Tugas itu seharusnya untukku, tetapi hendaknya engkau melaksanakan itu untukku, dan segala kehormatannya untukmu.' 'Saya akan melaksanakannya, Kapten,' kata saya. Tetapi mungkin menemui Marsekal itu tidak semudah yang Tuan sangka, Kapten.* Tni ada sebuah cincin yang akan menghilangkan semua rintangan katanya sambil memberikan sebuah cincin» Dua jam kemudian beliau sudah tidak sadarkan diri dan terus- menerus mengigau. Keesokan harinya meninggal." "Lalu, apa yang kaulakukan?" "Apa yang juga akan dilakukan setiap orang yang berada dalam keadaan seperti saya, Tuan. Permintaan seseorang yang berada di ambang kematian selalu bersifat suci, tetapi bagi seorang pelaut permintaan atasannya merupakan perintah yang harus dilaksanakan. Saya tiba di Pulau Elba keesokan harinya kemudian turun ke darat seorang diri. Seperti yang saya perkirakan pada mulanya menemukan beberapa kesukaran untuk dapat bertemu dengan Marsekal itu. Saya mengirimkan cincin itu kepadanya dan setelah itu semua pintu terbuka untuk saya. Marsekal memberikan sebuah surat yang dialamatkan kc Paris dan meminta saya menyerahkannya secara pribadi. Saya berjanji akan m elak sanakannya, oleh karena itu sesuai dengan permintaan terakhir Kapten saya. Saya berlabuh di Marseilles, segera menyelesaikan segala urusan kapal, kemudian menemui tunangan yang saya jumpai dalam keadaan lebih cantik daripada biasanya. Akhirnya, Tuan, saya merayakan pesta pertunangan kami dan bermaksud kawin pada hari itu juga untuk kemddian pergi ke Paris keesokan harinya. Pada saat itulah saya ditangkap berdasarkan surat pengaduan yang ternyata menjijikkan bagi Tuan - sama seperti bagi saya." "Tampaknya engkau telah mengatakan apa yang sebenarnya," kata Villefort, "kalaupun engkau melakukan kesalahan, itu hanya disebabkan kecerobohan, bahkan kecerobohan itu masih dapat dipertanggungjawabkan karena perintah Kapten. Berikan surat yang kauterima di Pulau Elba itu kepadaku, berikan janji kepadaku bahwa engkau akan datang pabila saja engkau diminta datang, dan kem batilah ke kawan-kawanmu." "Apakah maksudnya saya bebas, Tuan?" Dantes berteriak penuh kegembiraan. "Ya, tetapi berikan dahulu surat itu." "Saya kira sudah ada pada Tuan; mereka telah merampasnya bersama surat-surat saya lainnya." "Sebentar," kata Villefort lagi kepada Dantes yang sudah mengambil sarung tangan dan topinya. "Kepada siapa surat itu dialamatkan?" "Kepada Tuan Noirtier, Rue Coq-Heron di Paris." Sebuah halilintar tak akan mengejutkan Villefort seperti jawaban Dantes itu. Dia terhenyak kembali ke kursinya, padahal ia sudah berdiri hendak mengambil tumpukan surat-surat yang diambil dari Dantes. Dia mengambil surat celaka itu dan memandangnya dengan kekacauan pikiran yang tidak tergambarkan. "Tuan Noirtier, Rue Coq-Heron 13," katanya perlahan-lahan. Wajahnya makin lama makin pucat "Benar, Tuan," kata Dantes yang juga terheran heran "Apakah Tuan mengenalnya?" "Tidak!" jawab Villefort dengan tegas. "Seorang abdi Raja yang setia tidak pernah mengenal pengkhianat," "Apakah surat itu tentang pengkhianatan?" tanya Dantes yang merasa dirinya sudah bebas, tetapi juga merasakan kegawatan keadaan lebih daripada semula. "Walau bagaimana. Tuan, seperti tadi sudah saya katakan, saya sama sekali tidak mengetahui akan isi surat itu." "Betul," kata Villefort, "tetapi engkau mengetahui nama si alamat" "Saya wajib mengetahuinya agar dapat menyampaikannya, Tuan." "Apakah engkau pernah memperlihatkan surat ini kepada orang lain?" tanya Villefort kemudian membacanya. 'Tidak kepada siapa pun, Tuan. Saya bersumpah." "Dan tak seorang pun tahu bahwa engkau harus menyampaikan sebuah surat dari Pulau Elba kepada Tuan Noirtier?" 'Tidak seorang pun, kecuali orang yang menitipkannya." "Ini sangat berbahaya! Sangat berbahaya!" Villefort menggerutu setelah ia tamat membacanya. Bibirnya yang rapat ketat, tangannya yang gemetar dan matanya yang liar berapi-api menimbulkan kecemasan pada Dantes. "Kalau saja dia mengetahui isi surat ini," kata Villefort dalam hati, "dan seandainya dia mengetahui bahwa Noirtier ayah Villefort, hancurlah aku untuk selamanya!" Dia berusaha sekuat tenaga menguasai dirinya, kemudian berkata kepada Dantes setenang mungkin, "Sekarang saya baru melihat bahwa dakwaan kepadamu sangat berat. Saya tidak mempunyai wewenang untuk membebaskanmu sekarang juga seperti yang saya sangka semula. Engkau telah melihat bagaimana aku mencoba ingin menolongmu, tetapi ternyata sekarang aku harus tetap menahanmu untuk sementara, mudah-mudahan untuk waktu yang sependek mungkin. Bukti utama yang dapat mencelakakanmu adalah surat ini, dan, lihatlah . . ." Dia menghampiri tungku api pemanas ruangan, melemparkan surat itu ke dalamnya dan memperhatikannya sampai habis menjadi abu. "Seperti kausaksikan sendiri," ia meneruskan, "bukti itu telah kubakar." "Oh!" teriak Dantes gembira, "Tuan lebih dari baik, Tuan adalah wujud kebaikan itu sendiri." "Aku kira sekarang engkau dapat mempercayai aku. Karena itu, dengarkan baik-baik nasihatku ini. Aku akan menahanmu di sini sampai malam nanti. Mungkin akan ada orang lain memeriksamu. Katakan semua yang pernah kau* ceriterakan kepadaku, kecuali" tentang surat itu. Jangan disinggung-singgung sepatah pun." "Saya berjanji, Tuan," kata Dantes. "Kalau ada orang bertanya tentang itu, sangkal saja. Sangkal dengan keras dan engkau pasti selamat." "Saya akan menyangkalnya, Tuan, jangan khawatir." "Baik!" kata Villefort. Dia menekan tombol dan tak lama kemudian komisaris polisi masuk. "Ututi Tuan ini," katanya kepada Dantes. Dantes membungkuk hormat kemudian melemparkan pandangan terima kasih dan berjalan ke luar kamar. Segera setelah pintu tertutup kembali badan Villefort terasa sangat lemah. Ia terkulai di kursinya setengah pingsan. "Ya Tuhanku!" katanya bergumam. "Kalau saja Jaksa Penuntut Umum ada di Marseilles, dia akan melihat surat itu dan hancurlah aku! Oh, Ayah, apakah Ayah akan selalu menjadi perintang kebahagiaanku? Apakah saya harus terus-menerus menentang Ayah? " Tiba-tiba, sebuah pikiran terlintas dalam benaknya. Sebuah senyuman terukir di bibirnya dan matanya yang cekung memusat seakan-akan sedang memandang suat u bayangan. '*Ya!" katanya. "Surat yang dapat menghancurkan diriku itu, mungkin juga dapat memberikan keuntungan. Ayo, Villefort: berjuanglah!" Setelah dia yakin bahwa tahanan itu sudah keluar dari ruang tamu, Wakil Jaksa Penuntut Umum itu bergegas-gegas pergi ke rumah tunangannya. BAB VI KETIKA melalui ruang tamu, Komisaris polisi memberi isyarat kepada dua orang serdadu untuk mengawal Dantes di sebelah kiri dan kanannya. Pintu yang menuju ke Kantor Pengadilan terbuka kemudian mereka berjalan melalui salah satu gang panjang yang gelap dan menyeramkan. Seperti rumah Villefort dihubungkan dengan Kantor Pengadilan, demikian juga Kantor Pengadilan dihubungkan dengan penjara. Setelah berkali-kali berbelok-belok di beberapa gang Dantes dan pengawalnya sampai di sebuah pintu besi. Pintu itu terbuka dan kemudian tertutup lagi setelah Dantes melaluinya. Udara yang dihirupnya sekarang berlainan, kotor dan lembab. Dia sekarang berada dalam penjara. Dia dimasukkan ke dalam sebuah sel yang agak bersih dan tidak terlampau menakutkan; terutama karena kata-kata Villefort yang membesarkan hati masih mengiang ngiang di telinganya. Malam telah tiba dan sel menjadi gelap. Dengan hilangnya penglihatan, pendengarannya menjadi lebih tajam. Karena suara yang paling lemah pun dia berdiri mendekati pintu dengan keyakinan bahwa ia akan segera dibebaskan, tetapi begitu suara itu menghilang lagi ia menjatuhkan diri kembali ke tempat duduknya. Akhirnya, menjelang jam sepuluh, tepat ketika ia sudah hampir kehilangan harapan, dia mendengar langkah-langkah orang berjalan. Suara itu berhenti di muka pintu selny:i: terdengar kunci diputar dan pintu yang tebal itu terbuka dan terlihatlah dua buah obor yang menyilaukan. Dantes . melihat ada empat orang serdadu. "Apa kaitan hendak menemui saya?" dia bertanya. "Ya." "Atas perintah Tuan Wakil Jaksa?" Tentu." - Karena mengetahui bahwa mereka diperintah oleh Villefort hilanglah kecemasan dan kebimbangan pada anak muda yang malang itu. Dengan tenang dia menempatkan dirinya di tengah-tengah pengawalnya. Sebuah kereta polisi telah menantinya di jalan. Pintunya terbuka dan sebelum ia sempat berkata apa-apa dia telah didorong masuk ke dalamnya, padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membangkang. Tak lama kemudian dia sudah duduk di antara dua orang serdadu, sedang serdadu yang dua lagi duduk di hadapannya. Kereta yang besar itu segera bergerak ke tempat tujuan yang tidak diketahuinya Ketika pada akhirnya kereta itu berhenti, Dantes baru sadar bahwa ia berada di pelabuhan. Dua serdadu keluar lebih dahulu, kemudian Dantes diikuti oleh serdadu lainnya. Keempat pengawal itu membawa Dantes ke sebuah perahu yang dipegang oleh seorang pejabat pabean di dermaga dengan rantai. Dantes didudukkan di buritan, dikelilingi oleh keempat serdadu itu, sedang seorang polisi mengambil tempat di haluan. Perahu di dorong ke tengah, empat orang pendayung mengayuh kuat-kuat dan selang beberapa lama mereka sudah berada di hiar pelabuhan. "Akan dibawa ke mana aku ini?" Dantes bertanya kepada salah seorang serdadu. "Engkau akan segera mengetahuinya." 'Tetapi..." "Kami dilarang memberikan keterangan apapun juga." Dantes terdiam. Dia menunggu dengan tenang sambil berfikir, dan mencoba menguakkan kegelapan malam dengan mata terlatih seorang pelaut yang sudah biasa dengan ruang yang luas dan kegelapan. Sementara itu para pengayuh berhenti mendayung sebab layar dinaikkan. Akhirnya, meskipun dengan perasaan enggan untuk kedua kalinya Dantes bertanya, "Hai kawan, demi nurani Saudara sendiri, kasih anilah saya dan tolonglah jawab pertanyaan saya. Saya ini difttnah melakukan sesuatu pengkhianatan padahal sebenarnya saya seorang Perancis yang setia. Mau dibawa ke mana saya ini"? Tolong, katakanlah, dan saya berjanji demi kehormatan sebagai seorang pelaut saya tidak akan berbuat apa-apa kecuali menyerahkan diri kepada nasib." "Kalau engkau belum pernah keluar dari pelabuhan Marseilles atau kalau matamu tertutup, engkau tidak akan dapat menerka ke mana kita akan menuju sekarang. Coba lihat ke sekelilingmu." Dantes berdiri dan memandang ke arah laju perahu. Beberapa ratus yard di hadapannya tampak menjulang bukit karang yang tinggi. Dan di atas bukit itu berdirilah Puri If yang menyeramkan. Secara tak terduga melihat penjara yang tersohor mempunyai tradisi kekejaman yang sudah berabad-abad lamanya, bagi Dantes sama dengan melihat tiang gantungan. "Ya Tuhanku!" dia berteriak. "Penjara If. Mau apa kita ke sana?" Serdadu yang ditanya itu tersenyum, "Tak mungkin kalian membawa saya ke sana untuk dipenjarakan !" kata Dantes lagi. "Puri If adalah penjara negara yang hanya digunakan untuk menyekap tahanan-tahanan politik. Saya tidak melakukan kejahatan apa pun. Apa saya akan disekap disana?" "Mungkin." 'Tetapi Tuan de Villefort telah berjanji. . . " "Aku tidak mengetahui apa yang dijanjikan Tuan de Villefort," kata serdadu itu. "Yang aku ketahui hanyalah bahwa kita menuju ke Puri If-------------Tunggu? Cepat, bantu aku!" Dantes mencoba menceburkan diri ke laut, tetapi dua pasang tangan yang kuat-kuat menariknya kembali, tepat ketika kedua kakinya melayang meninggalkan dasar perahu. Dia terjatuh dan berteriak-teriak dengan geramnya. "Awas, Kawan," kata salah seorang serdadu sambil menekan dia dengan lututnya, "kalau sekali lagi engkau bertingkah, sekali saja, akan kutempatkan sebuah peluru di kepalamu!" Dantes merasakan tekanan moncong sebuah senapan pada pelipisnya. Tak lama kemudian ia merasakan perahu melanggar sesuatu yang keras. Ternyata mereka sudah sampai ke pesisir. Pengawal pengawal menarik Dantes supaya berdiri, menyuruhnya keluar dari perahu kemudian menggusurnya kc anak tangga yang menuju ke benteng. Dantes tidak melakukan perlawanan. Kclambanannya bergerak disebabkan oleh tidak berdaya, bukan karena membangkang. Ia merasa lumpuh, jalannya tersaruk-saruk seperti orang mabuk. Dia tahu akan adanya anak tangga yang memaksa ia mengangkat kakinya, ia juga ingat berjalan melalui sebuah pintu yang segera menutup kembali setelah ia masuk, tetapi semuanya itu ia lakukan seperti sebuah mesin, sedangkan penglihatannya kabur seperti terhalang kabut tebal. Akhirnya dia berhenti. Karena yakin tak akan mungkin melarikan diri, serdadu-serdadu itu melepaskan genggamannya. Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, sebuah suara terdengar, "Suruh pesakitan itu mengikutiku. Akan saya antarkan dia ke selnya." "Ayo!" kata salah seorang serdadu sambil mendorong Dantes. Dantes mengikuti pengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang hampir seluruhnya berada di bawah tanah. Udaranya demikian lembab sehingga dindingdindingnya yang kotor penuh dengan butir-butir air. Sebuah lampu minyak yang diletakkan pada sebuah bangku kecil, yang sumbunya berenang dalam minyak yang busuk baunya, menerangi penginapan yang menyeramkan ini. Cahayanya memungkinkan Dantes melihat pengantarnya, seorang jurukunci rendahan dengan baju yang kumal dan wajah yang dungu. "Inilah kamarmu untuk malam ini," katanya. "Malam telah larut dan Gubernur penjara telah tidur. Besok, setelah beliau membaca petunjuk-petunjuk mengenai dirimu, mungkin saja beliau menempatkanmu di sel yang lain. Sementara itu, ini roti, air di sana tempatnya, dan di sudut sana ada jerami untuk tidur. Segala yang dapat diharapkan seorang tahanan, sudah tersedia. Selamat malam." Sebelum Dantes sempat menjawab apa-apa, jurukunci itu mengambil lampu, mengunci pintu dari luar dan meninggalkan sel dalam gelap gulita. Ketika sinar-sinar pertama fajar mulai menerangi kembali sel itu, jurukunci datang kembali dan memberitahu Dantes bahwa menurut atasannya Dantes tidak akan dipindahkan ke sel lain. Dantes tidak bergerak. Seakan-akan dia terpaku di tempat ia berhenti ketika tadi malam masuk. Dia tetap berdiri sepanjang malam tanpa tertidur barang sekejap pun. Jurukunci menghampirinya, tetapi Dantes seperti tidak melihatnya. Bahunya ditepuk, Dantes terkejut dan menggelengkan kepala. "Apa engkau tidak tidur?" tanya Sipir. 'Tidak tahu." 'Tidak lapar?" "Tidak tahu." "Ada sesuatu yang kauinginkan?" "Aku mau bertemu dengan Gubernur." "Tak mungkin." "Mengapa?" "Oleh karena peraturan di sini melarang tahanan memintanya." "Apa yang boleh diminta?" "Makanan yang lebih baik, kalau engkau mau membayarnya, berjalan-jalan di luar, dan kadang-kadang buku bacaan." "Aku tidak memerlukan buku, aku tidak ada minat untuk berjalan-jalan dan makanan sudah cukup baik. Aku hanya menginginkan satu perkara saja: bertemu dengan Gubernur." "Dengar," kata Sipu "jangan suka memikirkan yang bukan-bukan, dalam tempo dua minggu engkau bisa gila." Kaukira begitu?" "Ya. Oleh karena itulah awal kegilaan. Contohnya, ada seorang pendeta yang asalnya ditahan di kamar ini juga. Dia terus-menerus menawarkan uang sejuta franc kepada Gubernur asal saja beliau mau membebaskannya. Akhirnya dia gila." "Lalu, bagaimana selanjutnya?" "Dia dipindahkan ke sel bawahtanah." "Sekarang kau yang mendengarkan," kata Dantes. "Aku bukan pendeta dan aku tidak gila. Aku tidak mampu menawarkan uang sejuta franc, tetapi aku dapat memberimu tiga ratus franc kalau engkau bersedia mengirimkan surat kepada seorang gadis yang bernama Mercedes, bila engkau kebetulan ke Marseilles nanti. . . bahkan sebenarnya bukan surat, hanya dua atau tiga kalimat saja." "Seandainya aku mau menerima surat yang dua tiga kalimat itu dan tertangkap, pasti aku dipecat. Penghasilan ku di sini seribu franc setahun, belum terhitung makanan. Bodoh aku kalau aku mau mencari tambahan tiga ratus dengan mempertaruhkan seribu franc." "Kalau begitu, kalau engkau menolak menyampaikan surat itu, atau menolak memberitahu Mercedes bahwa aku di sini, pada suatu hari nanti aku akan bersembunyi di balik pintu itu dan akan kupecahkan kepalamu dengan bangku itu tepat ketika engkau masuk." "Kau mengancam rupanya?** Sipir itu mundur selangkah dan berjaga-jaga untuk mempertahankan diri. "Pendeta itu pun mulai dengan gejala-gejala begini. Dalam tiga hari engkau sudah akan mengigau, sama seperti dia. Untung ada sel bawah tanah di penjara If ini" Dantes menjangkau dan mengangkat bangku itu ke atas kepalanya. "Baik! Baik!" kata Sipir. "Aku akan menghadap Gubernur." "Itu lebih baik!" kata Dantes dan meletakkan kembali bangku itu kemudian mendudukinya dengan kepala terkulai dan mata cekung, seperti benar-benar ia sudah gila. Sipir pergi dan tak berapa lama kemudian kembali lagi di antar empat orang serdadu. "Atas perintah Gubernur katanya, "pindahkan pesakitan ini ke ruang di bawah kamar ini." "Sel bawahtanah?" tanya kopralnya. Ya, kita harus menempatkan yang gila bersama yang gila lagi." Keempat serdadu itu memegang Dantes yang sudah kehilangan semangat. Dantes mengikuti mereka tanpa perlawanan. Setelah menuruni lima belas buah anak tangga, sebuah pintu sel terbuka dan Dantes masuk ke dalamnya. Ia bergumam kepada dirinya sendiri, "Ia benar, mereka hams menyatukan yang gila dengan yang gila." BAB VII DI ruang kerjanya yang kecil di Istana Tuilcries di Paris Raja Louis XVIII duduk di belakang meja kesayangannya yang terbuat dari kayu kenari yang dibawanya kembali dari tempat pengasingannya di Hart well, mendengarkan dengan acuh tak acuh laporan seorang bangsawan beruban, berumur kira-kira lima puluh tahun. Sambil mendengarkan itu Sri Baginda tiada hentinya membuat catatan di pinggir halaman majalah Horace. "Apa yang Tuan katakan?" tanya Raja "Bahwa saya sangat risau. Baginda. Saya mempunyai alasan yang kuat untuk percaya bahwa ada badai sedang bergolak di Selatan." "Aku khawatir Tuan mendapat laporan yang salah. Aku yakin bahwa cuaca sangat baik di sana." Sebagai seorang yang cerdas Raja Louise XVIII mempunyai kesanggupan membuat humor dengan cepat "Baginda mungkin benar dalam memperhitungkan perasaan dan- pengertian yang baik rakyat Perancis, tetapi rasanya saya pun tidaklah salah apabila saya mengkhawatirkan kemungkinan percobaan pemberontakan yang nekad." "Oleh siapa?" "Oleh Bonaparte, atau setidak-tidaknya oleh para pengikutnya." "Duke Blacas yang baik," kata Raja, "kekhawatiran Tuan mengganggu pekerjaanku." "Dan perasaan aman yang ada pada Baginda mengganggu tidur saya, Baginda. Kekhawatiran saya tidak bersumber dari desas-desus yang kabur tidak berdasar, melainkan dari seorang yang cerdas dan dapat dipercaya, yang baru saja tiba dari Marseilles sengaja unttuk mengabari saya bahwa: bahaya besar sedang mengamcam Raja. Itulah sebabnya saya segera menghadap. Saya kira penting sekali apabila Baginda sudi berbicara langsung dengan Tuan de Villefort,** "Tuan de Villefort!** seru Raja- "Diakah yang dari Marseilles itu. Mengapa tidak Tuan sebutkan dari tadi?" "Saya mengira nama itu tidak mempunyai arti apa-apa bagi Baginda.*' "Memang tidak. Dia seorang anak muda yang sungguh-sungguh terhormat, cerdas dan di atas segala-galanya sangat besar ambisinya. Selanjutnya, Tuan sendiri tahu siapa ayahnya, bukan?" "Ayahnya?" "Ya, namanya No ir tie r." "Noirtier kaum Girondi?" *Tepat sekali" "Dan Baginda mengangkat anak seorang semacam itu sebagai Wakil Jaksa?" "Blacas sahabatku, rupanya Tuan tidak mengerti. Tadi saya katakan Villefort besar sekali ambisinya. Dia bersedia mengorbankan apa saja demi tujuannya, bahkan ayahnya sendiri kalau perlu akan dikorbankannya juga." "Apakah perlu saya hadapkan dia sekarang, Baginda?" "Ya, segera." Duke Blacas segera meninggalkan ruangan dengan kegembiraan seorang anak muda dan tak lama kemudian kembali lagi bersama Villefort. Ketika pintu terbuka, Villefort sangat terkejut karena tidak mengira akan berhadapan muka dengan Raja pribadi, [a berhenti seketika. "Silakan masuk, Tuan de Villefort/ kata Raja. Villefort membungkuk dalam-dalam dan maju selangkah, menunggu disapa. "Tuan de Villefort," kata Raja Louise XVIII, "Duke Blacas memberitahu bahwa Tuan mempunyai laporan yang sangat penting." "Apa yang dikatakan Duke Blacas itu benar, Baginda. Saya datang ke Paris secepat mungkin untuk mengabari Baginda bahwa dalam menjalankan kewajiban sehari-hari saya telah berhasil mengungkapkan sebuah komplotan yang amat sangat membahayakan, katakanlah, sebuah badai dahsyat yang secara langsung mengancam Mahkota. Baginda Yang Mulia, Napoleon si perampas telah meninggalkan Pulau Elba membawa pasukan sebanyak tiga buah kapal. Tujuannya tidak diketahui, tetapi pasti dia akan melakukan percobaan mendarat di Napoli atau di Tuscany, bahkan mungkin sekali di Perancis. Saya rasa Baginda maklum bahwa Napoleon mempunyai banyak pejuang gerilya baik di Itali maupun di Perancis." "Ya, aku tahu," kata Raja sangat tersinggung. "Coba teruskan, bagaimana Tuan mengetahui semua ini?" "Saya mengetahuinya dari seseorang di Marseilles yang telah lama saya amat-amati dan telah saya tangkap pada hari saya berangkat ke Paris. Orang ini, seorang pelaut yang bersemangat, yang telah lama saya curigai sebagai pengikut kaum Bonaparte, pada suatu hari melakukan kunjungan rahasia ke Pulau Elba. Dari Marsekal Bertrand ia mendapat kepercayaan untuk menyampaikan sebuah pesan tertulis kepada seorang anggota kaum Bonaparte di Paris yang namanya tidak berhasil saya ungkapkan. Tetapi saya berhasil mengetahui bahwa orang itu mendapat tugas mempersiapkan kembalinya Napoleon dalam waktu yang dekat." "Di mana orang itu sekarang?" "Dalam penjara. Baginda." "Ah, kebetulan Tuan Dandre datang!" seru Duke Blacas. Menteri Kepolisian baru saja tiba di ambang pintu. Mukanya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya liar karena gugup. Dengan kasar sekali Raja mendorong meja di hadapannya dan berteriak keras, "Ada apa, Baion? Tuan tampak gugup sekali. Apakah bahaya yang merisaukan Tuan ada hubungannya dengan apa yang baru saja dilaporkan oleh Tuan de Villefort?" "Baginda, Baginda," kata Baron Dandre terbata-bata. "Berkatalah!" Menteri Keepolisian menjatuhkan dirinya di kaki Raja dengan putus asa, kemudian berkata, "Malapetaka besar, Baginda! Si Perampas telah meninggalkan Pulau Elba pada tanggal 28 Pebruari dan pada tanggal 1 Maret telah mendarat di Perancis, di sebuah pelabuhan kecil dekat Antibes," "Si Perampas mendarat di Perancis dekat Antibes, hanya seratus dua puluh lima kilometer dari Paris, pada tanggal 1 Maret, dan Tuan baru mengetahuinya pada hari ini, tanggal 3 Maret. Bagaimana mungkin! Ada dua kemungkinan, Tuan menerima laporan salah, atau Tuan telah gila!" "Maaf, Baginda, tetapi ini adalah kebenaran yang nyata!" Raja Louis XVIII membuat gerakan yang menunjukkan kemarahan dan kecemasan yang tidak terkatakan, kemudian berdiri tegak. "Di Perancisi" dia berteriak. "Si Perampas di Perancis! Apa dia tidak dijaga? Tetapi, siapa tahu, mungkin ada orang yang berkomplot dengan dia!" "Wahai, Baginda!" kata Duke Blacas. "Orang yang setia seperti Tuan Dandre tidak mungkin dituduh berkhianat. Kita semua buta dan beliau pun terkena kebutaan seperti kita." "Tetapi . . .," Villefort menyela Setelah berhenti sejenak, dia berkata lagi, "Maafkan saya, Baginda. Saya terpengaruh oleh dorongan hati saya." "Jangan ragu-ragu!" jawab Raja. 'Tuanlah orangnya yang memberi kami kabar tentang bencana ini. Sekarang tolong kami mengatasinya." "Baginda Yang Mulia," kata Villefort, "Napoleon sangat dibenci di Selatan. Tidak akan sukar menggerakkan rakyat Provence dan languedoc mengangkat senjata." 'Tak dapat disangkal," kata Menteri. 'Tetapi, sayang sekali dia sudah maju melalui Gap dan Sisteron." "Sudah sejauh itu!" sahut Raja makin gugup. "Maksud Tuan dia sudah menuju ke Paris?" Menteri Kepolisian tidak menjawab, sama artinya dengan mengiyakan. "Kalau begitu," kata Raja selanjutnya. "Saya sudah tidak memerlukan Tuan-tuan lagi dan kalian boleh pergi. Yang harus dilakukan sekarang, menjadi kewajiban Menteri Peperangan . . . Tuan de Villefort, Tuan pasti masih merasa lelah setelah perjalanan yang jauh itu. Silakan beristirahat. Tuan akan tinggal di rumah ayah Tuan bukan?" Villefort merasa seolah-olah akan pingsan. 'Tidak, Baginda," katanya "Saya akan tinggal di hotel Madrid, di Rue de Toumon." "O, ya ya," kata Raja sambil tersenyum. "Saya sama sekali lupa bahwa Tuan tidak sepaham dengan Tuan Noirtier. Ini merupakan pengorbanan tuan yang lain lagi untuk kerajaan yang patut saya hargai." "Kebaikan hati Baginda bagi saya sudah merupakan penghargaan yang tidak terhingga sehingga saya tidak berani mengharapkan yang lain lagi." "Walaupun demikian, kami tidak akan melupakan Tuan Sementara itu, terimalah ini" Raja menanggalkan bintang Pasukan Kehormatan yang selalu beliau pakai di samping bintang Saint Louis, kemudian menyerahkannya kepada Villefort. Mata Villefort basah karena air mata gembira dan bangga. Dia menerima bintang itu dan menciumnya. "Sekarang silakan," kata Raja. "Apabila aku hipa kepada Tuan, maklum ingatan seorang Raja pendek, jangan ragu-ragu mengingatkan aku." Ketika Villefort meninggalkan Istana Tuileries, Menteri Kepolisian berkata kepada Villefort, "Masa depan Tuan yang cerah sudah terjamin sekarang." "Soalnya, berapa lama saya mesti menunggu," jawab Villefort dalam hati. BAB VIII KEJADIAN yang satu menyusul yang lain dengan cepat. Kisah kembalinya Napoleon dari Pulau Elba yang aneh, penuh rahasia, telah menjadi pengetahuan umum. Suatu kejadian yang tidak ada bandingannya di masa lampau dan mungkin juga tidak akan dapat ditiru di masa yang akan datang. Raja Louis XVIII tidak berusaha keras untuk menahan serangan Napoleon itu. Kerajaan yang masih jauh daripada selesai ia bangun kembali tergoncang pada landasannya yang tidak kokoh. Satu pukulan dari Napoleon sudah cukup untuk meruntuhkan seluruh bangunan ke raja an itu yang tidak lain terdiri dari hanya campuran tidak menentu dari pemikiran-pemikiran kuno dan pendapat-pendapat baru Oleh sebab itu Villefort tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari raja kecuali penghargaan yang bukan saja tidak berguna, tetapi bahkan dapat membahayakan bagi dirinya. Tak dapat diragukan lagi Napoleon pasti akan memecat dia kalau saja tidak ada perlindungan dari ayahnya, Tuan Noirtier, yang mempunyai pengaruh yang sangat besar di lingkungan Kehakiman selama Masa Pemerintahan Seratus Hari. Villefort tetap dapat mempertahankan kedudukannya, tetapi perkawinannya ditangguhkan sampai saat yang lebih baik. Apabila Napoleon tetap berkuasa, Villefort akan membutuhkan calon isteri yang lain, dan ayahnya tentu akan mencarikan seorang wanita baginya. Apabila sebaliknya, Raja Louis XVIII kembali ke singgasana untuk kedua kalinya, pengaruh Markis de Saint-Meran akan dua kali lipat lebih besar dari dahulu, dan perkawinan dengan puterinya akan lebih menguntungkan bagi Villefort. Adapun Dantes, tetap dalam sekapan. Karena terbenam dalam kedalaman sel bawahtanah, ia sama sekali tidak mengetahui kejadian-kejadian di luar penjara, baik tentang kejatuhan Raja Louis XVIII maupun tentang keruntuhan Kaisar Napoleon. Dalam masa kembalinya Kaisar yang dikenal dengan Masa Pemerintahan Seratus Hari, Morrel telah tiga kali menemui Villefort untuk meminta dengan sangat agar Dantes dibebaskan Setiap kali Villefort menenangkannya dengan janji dan harapan. Kemudian terjadilah peristiwa Waterloo, awal kehancuran Napoleon. Morrel tidak datang-datang lagi kepada Villefort. Dia telah melakukan segala sesuatu dalam batas kemampuannya untuk sahabat mudanya. Mengusahakan lagi kebebasan Dantes dalam masa kekuasaan Raja Louis X V 111 tidak akan ada gunanya. Ketika Raja Louis XVIII kembali ke tampuk pemerintahan, Villefort meminta dan memperoleh jabatan sebagai Jaksa Penuntut Umum di Toulouse yang ketika itu masih lowong. Dua minggu kemudian ia menikah dengan Renee, putri Markis de Saint-Meran. Dalam masa kekuasaan Napoleon yang pendek, Danglars dihinggapi rasa takut. Dia memperhitungkan Dantes dapat muncul kembali setiap saat dengan ancaman pembalasan dendam. Oleh sebab itu dia mengajukan permohonan berhenti kepada Morrel, kemudian bekerja pada sebuah perusahaan bangsa Spanyol di Madrid. Setelah itu tak terdengar lagi kabar beritanya. Lain dengan Fernand, dia tidak terlalu memusingkan pergantian kekuasaan itu. Yang penting bagi dia, Dantes tidak ada, dan dia tidak merasa perlu menyusahkan diri dengan mencari keterangan apa yang terjadi selanjutnya dengan Dantes. Ketika Kaisar Napoleon berseru kepada rakyatnya, agar setiap lelaki yang dapat memanggul senjata berduyunduyun mematuhi suara Kaisar, Femand menggabungkan diri bersama kawan-kawannya. Kesetiaannya kepada Mercedes, kesediaannya turut merasakan semua kesedihan Mercedes, dan perhatiannya kepada keinginan-keinginan Mercedes betapa kecil sekalipun telah meninggalkan kesan yang baik pada hati Mercedes yang tulus. Dari dahulu Mercedes menyukai Fernand sebagai kawan. Perasaannya itu sekarang diperdalam dengan perasaan baru: berterima kasih. Sekarang Fernand telah berangkat menggabungkan diri kepada tentara Napoleon berbekalkan harapan, kalau Dantes tidak kembali, ia akan memiliki Mercedes pada suatu saat nanti. Mercedes ditinggalkan seorang diri. Seringkah ia ditemukan berjalan-jalan tanpa tujuan sekitar perkampungan orang Catalan dengan bercucuran air mata. Kadang-kadang ia berdiri bagai patung dalam panas matahari Selatan, kadang-kadang duduk di pantai mendengarkan gemuruh ombak yang abadi sambil bertanya-tanya kepada dirinya apakah tidak lebih baik menenggelamkan diri ke kedalaman laut daripada menderita kekejaman menanti tanpa harapan. Dia sudah melakukannya kalau saja keyakinan agamanya tidak melarang membunuh diri. Ayah Dantes kehilangan semua harapan ketika Napoleo-on runtuh kembali. Lima bulan sejak ditinggalkan putranya, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuan Mercedes. Morrel membiayai semua keperluan penguburan dan membayar semua hutang yang terpaksa terjadi selama sakitnya. Untuk melakukan hal itu diperlukan lebih banyak keberanian daripada kemurahan hati semata-mata, karena menolong ayah seorang Bonapartis yang berbahaya seperti Dantes sekalipun di ranjang kematian, ketika itu dapat dianggap sebagai suatu kejahatan. BAB IX SEPERTI layaknya seorang tahanan, Dantes pun mengalami semua tingkat kesengsaraan yang mau tidak mau harus diderita oleh pesakitan yang dilupakan dalam sel bawahta nah. Pada mulanya, kebanggaan dirinya masih tegak sebagai akibat dari harapan dan kesadaran tidak berdosa. Kemudian mulai bimbang sekalipun keyakinan tidak berdosa masih ada; akhirnya kebanggaannya hancur dan mulailah ia memohon, belum kepada Tuhan, tetapi baru kepada manusia saja. Dia memohon supaya dipindahkan ke sel yang lain, tak jadi soal ke sel lebih gelap pun. Suatu perubahan, sekalipun tidak menguntungkan, akan dapat mengendorkan ketegangan untuk beberapa hari. Dia memohon diberi buku bacaan dan diizinkan berjalan-jalan di luar sel. Tak sebuah pun yang dikabulkan. Namun dia tidak berhenti meminta. Akhirnya, setelah menguras habis semua daya kemanusiaannya, barulah dia berpaling kepada Tuhan. Dia ingat kepada do'a-do'a yang diajarkan ibunya. Sekarang dia dapat meresapkan arti setiap kata, padahal dahulu tak diacuhkan ny a. Untuk orang yang berada dalam kesenangan, doa hanyalah merupakan rangkaian kata tanpa makna, sampai pada suatu saat kesedihan dan kepedihan datang menerangkan makna kata-kata agung yang ditujukan kepada Tuhan itu. Sekalipun dia telah berdo'a dengan sungguh-sungguh, namun Tuhan mempunyai rencana yang lain. Dia tetap tersekap. Jiwanya mulai gelap, dan kabut hitam membayang di hadapan mata. Pikirannya hanya dipenuhi deh suatu perkara, bahwa kebahagiaannya telah hancur oleh alasan-alasan yang tidak jelas. Kemurungannya menimbulkan amarah yang mendalam. Dia berteriak-teriak mengumpat Tuhan sehingga Sipir meloncat mundur ketakutan. Setelah itu menghantamkan dirinya ke dinding. Surat pengaduan yang diperlihatkan Villefort kepadanya, yang pernah dijamahnya pula, kembali terbayang dalam Ukirannya. Seakanakan dia melihat kembali baris demi baris yang terdiri dari huruf-huruf yang membara. Dalam keadaan demikian, untung masih ada sisa-sisa kesadaran yang meyakinkan dirinya bahwa yang menyebabkan dia sekarang terjerumus ke jurang yang dalam, adalah perbuatan keji manusia, bukan hukuman dari Tuhan. Dia mengutuk orang yang tak diketahuinya ini agar mendapat siksaan yang sepedih pedihnya lebih pedih dari siksaan yang dapat dibayangkannya dalam keadaan amarah yang menyala-nyala. Tetapi dia belum puas juga dengan kutukan ini, karena bahkan siksaan yang paling kejam pun masih terlalu lunak, sebab penyiksaan yang kejam itu akan berakhir dengan mati, dan kematian menyebabkan si ter kutuk, kalaupun bukan mati dengan tenang, sekurang-kurangnya terlepas dari rasa sakit Pikiran bahwa kematian melepaskan orang dari penderitaan, membawa Dantes kepada gagasan untuk membunuh diri. Makin mantap dia memikirkannya, makin terhibur hatinya. Segala kepedihan dan kesedihannya seakan-akan terbuang menghilang ke luar selnya karena menghampiri malakalmaut. Hatinya terasa ringan ketika membayangkan bahwa hidupnya dapat dibuang begitu saja, kapan saja, seperti sepotong pakaian yang sudah lusuh. Ada dua cara untuk mati: pertama, dengan jalan menggantung diri dengan menggunakan saputangannya. Kedua, dengan mogok makan sampai mati. Dia tidak menyukai cara yang pertama. Dia dididik untuk mempunyai rasa jijik kepada kaum perompak, yaitu mereka yang karena dosanya digantung di ujung andang-andang sebuah kapal. Oleh sebab itu mati menggantung diri dianggapnya sebagai tidak terhormat dan dia tidak bersedia mati dengan cara itu. Dia memilih cara yang kedua dan bersumpah akan melaksanakannya sampai selesai. "Akan kulemparkan makananku melalui jendela," katanya dalam hati, "dengan demikian akan tampak seperti aku habis memakannya." Sejak hari itu, dua kali sehari, dia melemparkan semua makanannya melalui jendela kecil berjeruji. Melalui jendela itu tidak dapat terlihat apa-apa kecuali langit. Mula-mula ia melakukannya dengan perasaan gembira, kemudian dengan ragu-ragu dan akhirnya dengan perasaan menyesal. Dahulu ia menganggap makanannya menjijikkan, tetapi sekarang, rasa lapar merubahnya menjadi menggiurkan dan menghidupkan selera. Kadang-kadang ia memandang ber-jam jam kepada sepotong daging atau roti hitam keras sebelum ia membuangnya. Tetapi ia selalu ingat kepada sumpah yang telah dibuatnya, dan keengganan untuk merendahkan martabatnya, selalu mencegah ia melanggar sumpah itu. Akhirnya ia kehabisan tenaga juga sehingga tidak kuat lagi berdiri untuk membuang m akanannya. Keesokan harinya, penglihatannya sudah kabur, telinganya sudah hampir tidak mendengar. Sipir menyangka bahwa Dantes sakit payah, dan Dantes mengharapkan mal akal mau t akan datang menjemputnya setiap saat. Kekakuan dan kelumpuhan sudah menguasai dirinya Rasa perih di perutnya sudah hilang. Kalau ia memejamkan mata, cahaya-cahaya terang beterbangan di hadapannya. Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang jam setengah sepuluh ia mendengar suara samar-samar datang dari arah dinding yang dekat dengan tempat ia berbaring. Sebenarnya banyak sekali serangga-serangga yang menjijikkan berkeliaran dalam selnya, tetapi Dantes sudah cukup terbiasa sehingga ia tidak pernah merasa terganggu oleh suara binatang itu. Tetapi sekali ini, entah karena sarafnya telah menjadi lebih peka sebab berpuasa, entah memang suara itu lebih keras dari suara-suara serangga atau entah karena pada saat itu segala sesuatu menjadi lebih penting, Dantes mengangkat kepala untuk mendengar suara itu dengan lebih jelas. Ia mendengar suara garukan yang teratur, yang mungkin berasal dari kuku atau gigi binatang yang kuat atau mungkin juga dari sesuatu perkakas. Suara itu terus-menerus terdengar untuk selama tiga jam, sebelum terdengar suara gemerisik seperti jatuhnya barang-barang yang rapuh. Setelah itu keadaan menjadi sunyi senyap kembali Keesokan harinya, suara itu terdengar kembali dan sangat jelas. "Tak syak lagi sekarang," katanya kepada dirinya sendiri "Karena suara itu tetap ada sekalipun di siang hari, ini pasti suara seorang pesakitan yang-sedang berusaha melarikan diri. Alangkah senangnya bila aku berada bersama dia, aku akan menolongnya dengan senang hati." Tetapi, tiba-tiba bayangan hitam menghapus lagi harapannya. Bagaimana kalau suara itu berasal dari pekerja-pekerja yang sedang memperbaiki sesuatu dekat selnya? Tentu saja kepastian itu dapat dengan mudah diperoleh dengan menanyakannya kepada Sipir, tetapi pertanyaan itu dapat membahayakan. Sayang sekali keadaan badan Dantes begitu lemah dan kepalanya pening sehingga ia tidak mampu berftkir secara teratur. Tak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk mengembalikan lagi kejernihan be liku nya, kecuali menjangkau sayur kaldu yang ditinggalkan Sipir dan meminumnya. Seketika juga ia merasakan merasuknya kesegaran secara berangsur-angsur. Setelah beberapa saat ia berkata kepada dirinya sendiri, "Hanya ada satu jalan untuk dapat meyakinkan itu, tanpa akibat apa pun. Aku akan mengetuk dinding. Kalau yang bekerja itu seorang pekerja biasa, ia akan berhenti sejenak mendengar ketukan itu dan mungkin menerka-nerka dari mana datangnya suara. Tetapi apabila yang bekerja itu seorang pesakitan yang sedang berusaha melarikan diri, ketukan itu akan membuatnya takut, dia akan berhenti bekerja dan tak akan berani memulainya lagi sebelum malam, setelah ia yakin bahwa semua orang telah tidur." Dantes berdiri. Sekarang kakinya sudah agak kuat dan penglihatannya sudah mulai terang kembali. Dia berjalan ke salah satu sudut selnya dan menyomot sebuah batu yang sudah hampir terlepas dari dinding karena kelembaban. Dengan batu ia mengetuk dinding tiga kali berturut-turut di tempat suara tadi terdengar paling jelas. Suara dari seberang sana lenyap seketika, Dantes memasang kupingnya baik-baik. Sehari suntuk ia tidak mendengar lagi suara itu. "Seorang pesakitan," kata Dantes yakin penuh kegembiraan. Daya hidupnya seakan-akan menghembus lagi ke seluruh tubuh. Semalaman ia tidak tidur tetapi suara di dinding tak kunjung terdengar juga. Keesokan harinya, ia melahap habis sarapannya. Semua perhatiannya ditujukan kepada dinding. Hatinya merasa jengkel karena kehati hatian pesakitan itu yang tidak mengira bahwa dia terganggu hanya oleh pesakitan lain yang berkeinginan bebas juga. Tiga hari berlalu tanpa suara, berarti tujuh puluh dua jam. Pada suatu malam, setelah Sipir melakukan pemeriksaan terakhir untuk hari itu, Dantes menekankan telinganya ke dinding untuk kesekian kalinya, dan ia dapat merasakan adanya suatu getaran yang sangat halus. Dia berjalan hilir-mudik untuk mengendurkan urat syarafnya yang menjadi tegang, kemudian sekali lagi menempelkan telinganya ke dinding. Dia tidak ragu lagi ada sesuatu yang sedang berlaku di seberang dinding itu. Orang di seberang telah mencium bahaya dalam usahanya yang pertama dan sekarang sedang mencobanya lagi. Agar supaya lebih aman rupanya ia telah mengganti pahat dengan pengumpil. Itulah sebabnya suara yang terdengar tidak begitu jelas. Tergugah oleh ketekunannya hati Dantes sudah tetap untuk membantu orang yang tak kenal lelah ini Menurut perkiraannya, orang itu bekerja tepat di bawah tempat tidurnya. Oleh sebab itu dia menggeserkan tempat tidurnya dan menengok ke sekeliling mencari sesuatu yang kiranya dapat digunakan sebagai perkakas. Tetapi dia tidak menemukan apa-apa. Tak ada pisau atau barang logam lainnya. Dari penyelidikannya yang telah berkali-kali dilakukan dia yakin betul bahwa jeruji besi di jendelanya dipasang sedemikian rupa sehingga ihtiar membongkarnya akan merupakan pekerjaan yang sia-sia belaka. Hanya tinggal satu kemungkinan lagi: memecahkan kendi tempat airnya, dan menggunakan pecahannya yang tajam sebagai pengorek tembok. Kendi dijumputnya kemudian dijatuhkannya ke atas lantai. Dia memilih dua atau tiga pecahan yang tajam, menyembunyikannya di bawah tikar dan membiarkan sisanya berserakan. Kendi yang pecah merupakan kecelakaan yang biasa sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan apa-apa pada Sipir. Dantes mempunyai waktu semalam suntuk, tetapi tidak mudah baginya bekerja dalam kegelapan. Lagi pula ia segera sadar bahwa perkakasnya yang hanya berupa tembikar itu cepat menjadi tumpul tertumbuk batu yang keras pada dinding Oleh sebab itu dia mengembalikan lagi tempat tidurnya ke tempat asalnya dan menanti sampai hari menjelang siang. Sepanjang malam ia mendengarkan pesakitan yang tak dikenal itu melaksanakan pekerjaannya di bawah tanah. Ketika Sipir datang esok paginya Dantes menceritakan bahwa kendinya pecah karena terlepas dari tangan. Sipir itu menggerutu dan pergi lagi untuk mengambil kendi yang baru tanpa mau bersusah-payah membersihkan pecahan-pecahan yang berserakan di lantai Dia kembali tak lama kemudian dan meminta Dantes agar lebih berhati-hati. Lalu dia pergi lagi. Segera setelah Sipir pergi Dantes menggeserkan lagi tempat tidurnya. Barulah tampak kepadanya bahwa pekerjaannya tadi malam tidak menghasilkan apa-apa, karena ia mengorek-ngoreknya tepat pada batu, bukan pada adukan tembok di sekelilingnya. Hatinya melonjak gembira ketika ia berhasil mengikis adukan itu, sekalipun hanya sedikit saja Dan benar-benar hanya sedikit Tetapi dalam tempo setengah jam ia dapat mengikisnya se genggam. Tiga hari kemudian ia sudah berhasil mengikis habis semua adukan di sekeliling batu itu. Tinggal sekarang mencungkilnya. Dia mencoba dengan jari-jarinya, tetapi kekuatannya tidak memadai. Tembikar patah ketika ia mencoba menggunakannya sebagai pengungkit. Setelah satu jam berusaha tanpa hasil, ia bangkit dengan hati geram. Apakah ia harus menghentikan usahanya, tepat pada permulaan?Ataukah ia harus menunggu lam tanpa daya dan guna sedangkan pesakitan yang lain bekerja terus? Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di kepalanya, dan dia tersenyum. Setiap hari Sipir mengantarkan sayur dalam sebuah panci bergagang logam. Rasanya Dantes mau mengurbankan sepuluh tahun dari hidupnya untuk memperoleh tangkai logam itu. Hari itu pun, seperti biasanya Sipir mengisi mangkuk dari panci itu. Setelah Sipir pergi Dantes meletakkan mangkuknya di lantai antara pintu dan meja. Ketika kali lain Sipir masuk lagi ke dalam sel, mangkuk itu tersepak hingga pecah. Sekali ini Dantes tak dapat disalahkan. Memang dia salah meletakkan mangkuk itu di lantai, tetapi Sipir pun harus tidak boleh lengah. Oleh sebab itulah Sipir hanya dapat menggerutu. Sipir mehhat lihat ke sekelilingnya mencari barang lain yang kiranya dapat digunakan sebagai tempat sayur, tetapi tak ada apa-apa. "Tinggalkan saja panci itu," kata Dantes. "Besok dapat kau ambil kembali.*' Usul Dantes sangat menyenangkan bagi Sipir yang malas itu, dengan demikian dia tidak perlu kembali ke atas, turun lagi dan kemudian naik lagi. Dengan senang ia meninggalkan panci itu. Seluruh badan Dantes gemetar karena gembira. Setelah menunggu satu jam untuk meyakinkan bahwa Sipir tidak akan kembali lagi, Dantes menggeserkan tempat tidurnya dan mulai mengungkit batu yang sudah hampir lepas itu dengan menggunakan tangkai panci. Baru setelah satu jam ia berhasil melepaskannya dari dinding. Dengan terlepasnya batu itu terjadilah sebuah lubang dengan garis tengah sebesar satu setengah kaki. Karena keinginannya yang kuat untuk memanfaatkan malam itu, karena secara kebetulan atau lebih tepat lagi berkat kecerdikannya, sehingga memperoleh perkakas yang sangat berharga, ia pun meneruskan pekerjaannya dengan penuh gairah. Esok paginya Sipir meletakkan sepotong roti di atas mejanya. "Apakah aku tidak diberi mangkuk baru?" tanya Dantes. "Tidak. Engkau memecahkan semua barang: mula-mula kendi, kemudian mangkuk. Aku akan meninggalkan panci itu dan itulah mangkukmu." Dantes memejamkan mata tanda bersyukur. Logam yang sepotong itu menimbulkan rasa syukur, yang jauh lebih mendalam dibandingkan dengan keuntungan terbesar yang pernah diperoleh dalam hidupnya. Tetapi, ia tidak mendengar sesuatu lagi dari seberang dinding. Pekerjaan Dantes telah menyebabkan pesakitan lain menghentikan usahanya. Namun, ini bukan alasan bagi Dantes untuk berhenti juga. Kalau tetangganya tidak mau datang kepadanya, dia yang akan mendatanginya. Dia bekerja sehari penuh tanpa istirahat. Menjelang malam, berkat perkakasnya yang baru, dia berhasil lagi mengikis sekurang-kurangnya sepuluh genggam adukan tembok dan menanggalkan sebuah batu kecil dari dinding. Dia menghentikan pekerjaannya pada saat Sipir harus melakukan pemeriksaan malam. Dantes meluruskan kembali gagang panci yang menjadi bengkok. Dia bekerja lagi setelah Sipir pergi. Setelah dua atau tiga jam didapatinya sebuah rintangan. Dia meraba-raba dan ternyata ada sebuah balok kayu melintang lubang yang digalinya. "Ya, Tuhan!" dia berteriak kecewa. "Telah lama sava berdo'a dan saya mengira Engkau sudah akan mengabulkan do'a saya. Ya Tuhan, kasihanilah saya. Janganlah saya dibiarkan mati dalam putus asa." "Siapakah yang berbicara tentang Tuhan dan putus asa dalam satu tarikan napas?" terdengar suara bertanya yang agak ditahan-tahan, seakan-akan muncul dari dalam tanah. Bulu roma Dantes berdiri mendengar suara'yang tiba-tiba itu, tetapi dia memaksakan diri berkata, "Atas nama Tuhan, berkatalah sekali lagL" "Siapa engkau?" tanya suara itu. "Seorang tahanan yang teraniaya." "Sudah berapa lama di sini?" "Sejak Pebruari tanggal 28 tahun 1815." "Apa dosamu?" "Saya tidak berdosa." "Kalau begitu, apa tuduhannya?" "Berkomplot untuk mengembalikan Napoleon." "Apa! Maksudmu Napoleon sudah tidak berkuasa lagi?" "Beliau diturunkan dari tahta di Fontainebleau tahun 1814 kemudian dibuang ke Pulau Elba. Tetapi engkau sendiri sudah berapa lama di sini hingga tidak mengetahui semua itu?" "Sejak 1811." Badan Dantes bergidik. Orang itu telah disekap empat tahun lebih lama daripada dirinya. "Baiklah, jangan diteruskan lagi menggali," kata suara itu lagi. Di mana lubang yang kaugali itu?" "Sejajar dengan lantai." 'Terlindung oleh apa?" "Di belakang tempat tidur." "Apakah pernah ada orang yang memindahkan tempat tidurmu sejak ditahan?" 'Tidak pernah." "Apa yang di luar selmu?" "Sebuah gang." "Menuju ke mana?" "Ke pekarangan." "Ampun!" "Mengapa?" tanya Dantes. "Saya keliru. Denah yang saya buat sendiri keliru. Satu garis yang tidak cermat dalam gambar ternyata berarti penyimpangan sejauh lima belas kaki. Dan saya menganggap dinding yang saya gali sebagai dinding benteng." "Dengan demikian engkau hanya akan sampai ke laut." "Memang itu yang saya kehendaki. Sedianya saya bermaksud meloncat ke dalam laut kemudian berenang ke Pulau Daume atau Pulau Tiboulen, atau mungkin juga ke daratan Eropah." "Apakah engkau akan mampu berenang sejauh itu?" "Semoga Tuhan akan memberikan tenaga yang diperlukan. Tetapi sekarang semua menjadi sia-sia. Sebaiknya tutup lagi lubang yang kaugali itu dengan baik, jangan bekerja lagi dan tunggu sampai ada berita lagi dari saya." "Setidak-tidaknya katakan dahulu namamu." "Saya. . . saya pesakitan nomor dua puluh tujuh." "Rupanya engkau tidak percaya kepada saya?" tanya Dantes. Dari seberang sana terdengar tawa yang pahit. "Berapa umurmu? Menilik suaramu, engkau masih muda." "Tidak tahu, karena saya telah kehilangan hitungan waktu. Yang masih saya ingat ketika ditangkap dalam tahun 1815 itu, saya berumur sembilan belas tahun." "Belum dua puluh enam," kata suara tadi. "Dalam usia itu biasanya orang belum suka berkhianat." "Oh, tidak!" teriak Dantes. "Saya lebih suka dicincang daripada mengkhianatimu!" "Usiamu meyakinkan saya. Saya akan datang berkunjung. Tunggulah." "Kapan akan datang?" "Saya perhitungkan dahulu akibatnya. Saya akan memberi tanda, nanti." "Tetapi engkau tidak akan meninggalkan saya, bukan? Kita akan melarikan diri bersama-sama, atau kalau kita tidak dapat melarikan diri, kita akan berbincang-bincang. Bila engkau seorang muda, saya akan menjadi sahabatmu. Bila engkau seorang tua, saya akan menjadi anakmu." "Baiklah. Sampai besok." Dantes bangkit berdiri, menempatkan kembali batu pada dinding dan menggeserkan tempat tidurnya. Sejak detik itu ia menggantungkan harapannya kepada kebahagiaan yang baru. Dia tidak akan kesepian lagi, bahkan mungkin dia dapat bebas. Edmond mengira bahwa kawannya akan memanfaatkan kesunyian dan kegelapan malam untuk bercakap-cakap lagi. Ternyata dia salah kira. Dia tidak mendengar apa-apa sepanjang malam itu. Baru esok paginya, ia mendengar ketukan tiga kali pada dinding. "Engkau itu? Saya di sini!" "Sipir sudah pergi?" suara itu bertanya. "Sudah. Dia tidak akan kembali lagi sampai malam nanti. Kita bisa bebas selama dua belas jam." Tak lama kemudian Dantes mendengar suara batu-batu dan tanah berjatuhan lalu terjadilah sebuah lubang. Dari lubang itu mula-mula muncul kepala, kemudian badan, dan akhirnya berdirilah seseorang di dalam sel Edmond Dantes. BAB X DANTES memeluk kawan barunya, seorang kawan yang sudah lama sekali ia harapharapkan dengan tidak sabar. Dia menarik orang baru itu ke dekat jendela agar dapat melihat wajahnya dengan jelas dalam cahaya remang-remang. Perawakannya agak pendek. Rambutnya telah memutih, lebih banyak disebabkan karena penderitaan daripada sebab ketuaan. Matanya yang tajam hampir tersembunyi di bawah alis tebal yang juga sudah putih. Janggutnya yang masih hitam bergantung sampai ke dada. Pada wajahnya yang Ion* jong tampak garis-garis keras, sebagaimana lazimnya ditemukan pada wajah orang yang biasa melatih kekuatan batiniah daripada kekuatan badaniah. Pakaiannya sudah sukar dibayangkan lagi bagaimana corak dan potongan asalnya karena sudah merupakan cabikan kain yang melekat di badannya. Menilik keadaannya orang akan mengira umurnya tidak akan kurang dari enam puluh lima tahun, namun kesigapan geraknya menunjukkan bahwa ketuaan yang tampak pada wajahnya itu mungkin lebih banyak disebabkan karena terlampau lama dalam sekapan. Dia menyambut kegembiraan Dantes dengan kegembiraan yang sama. Untuk seketika hatinya yang sudah lama membeku seakan-akan mencair karena sukacita anak muda ini. la menyambut Dantes dengan kehangatan, walaupun diliputi semacam kekecewaan karena setelah bersusah-payah sekian tahun lamanya, hanya berhasil masuk ke sel orang lain, bukannya ke alam bebas seperti yang dicita-citakannya. "Terlebih dahulu " katanya, "sebaiknya kita menyembunyikan dahulu terowongan kita. "Dia menutup kembali lubang dengan batu. "Engkau kurang hati-hati tampaknya," katanya lagi memperhatikan batu itu. "Apakah tidak ada perkakas?*' "Apa Bapak mempunyainya?" tanya Dantes heran. "Saya membuatnya sendiri, kecuali kikir. Saya mempunyai semua yang diperlukan: pahat, kakatua dan pe-nyungkil." Dan ia memperlihatkan sebuah pisau yang tajam dengan gagang kayu. "Bagaimana Bapak membuatnya?" "Dari salah satu jepitan besi tempat tidurku. Dengan alat-alat itulah aku menggali terowongan dari selku sampai ke selmu, jaraknya kurang lebih lima puluh kaki." ' Lima puluh kaki!" Dantes semakin terheran-heran. "Betul, tetapi semua susah payahku sia-sia sekarang. Gang di luar kamarmu itu menuju ke pekarangan yang penuh dengan penjaga. Sedangkan dari sini tidak ada jalan lari. Tetapi kehendak Tuhan pasti terlaksana." Wajah orang tua itu menunjukkan kesabaran yang mendalam. Dengan rasa heran bercampur kagum Dantes memandang orang tua ini yang dengan bijak sekali mampu melepaskan harapannya yang selama ini telah menopang daya juangnya. "Bersediakah Bapak menceriterakan diri Bapak?" tanya Dantes. 'Ya kalau itu masih juga penting bagimu, setelah ternyata sekarang bahwa aku tiada gunanya bagimu. Aku ini Padri Faria Aku berada di Penjara If sejak tahun 1811, tetapi sebelum itu aku dipenjarakan di Benteng Fenestrella selama tiga tahun. Tahun 1811 dipindahkan dari Piedmont ke Perancis." "Apa sebab ditahan?" "Karena dalam tahun 180? aku melontarkan suatu gagasan yang ternyata dicoba dilaksanakan oleh Napoleon dalam tahun 1811. Karena seperti Machiavelli, aku cenderung untuk melihat sebuah kekaisaran yang agung dan berwibawa daripada kekuasaan yang terpecah yang membuat Italia menjadi sebuah kerajaan yang kecil, lemah, rapuh dan dholim; oleh karena saya menganggap kaisarku, Kaisar Borgia sebagai kaisar yang pandir yang berpura-pura saja mengerti pandanganku." Dantes tidak habis pikir bagaimana seseorang dapat mempertaruhkan hidupnya untuk soal-soal seperti itu. "Bukankah Bapak," dia bertanya setelah secara remang-remang dapat memahami pendapat Sipir, "Padri yang dianggap . . . sakit?" "Maksudmu, gila, bukan?" "Saya tak berani mengatakannya," kata Dantes tersenyum. "Benar, benar," jawab Faria dengan tawa yang pahit. "Akulah yang dianggap gila itu." Dantes berdiam sejenak, kemudian bertanya lagi, "Apa: kah Bapak sekarang sudah melepaskan niat melarikan diri?" "Sekarang aku tahu bahwa melarikan diri sangat mustahil. Itu akan berarti pemberontakan terhadap kehendak Tuhan." "Mengapa putus asa? Bukankah usaha yang telah dilakukan itu pun menuntut lebih banyak daripada takdir Tuhan? Mengapa tidak menggali lagi terowongan baru dengan arah yang lain?" 'Terowongan lain! Tahukah apa yang telah kukerjakan? Tahukah bahwa untuk membuat perkakasnya saja aku memerlukan waktu empat tahun? Tahukah bahwa selama dua tahun aku mengorek dan menggaruk tanah yang keras seperti granit? Tahukah engkau bahwa aku harus mengungkit dan mengangkat batu-batu besar yang aku sendiri tidak percaya dapat melakukannya? Tahukah bahwa untuk menyembunyikan semua batu dan tumpukan* tanah itu aku harus menembus dinding tangga dan bahwa tempat itu sekarang sudah sedemikian penuhnya sehingga sudah tidak dapat memuat lagi debu sejemput pun? Dan di atas segala-galanya, tahukah engkau bahwa aku mengira sudah hampir sampai di akhir kerjaku dan merasa hanya mempunyai sisa tenaga cukup untuk menyelesaikannya saja ketika tiba-tiba aku tahu bahwa semua jerih payahku selama bertahun-tahun itu sia-sia belaka? Oh, tidak, aku tidak akan melakukan apa-apa lagi untuk memperjuangkan kembali kebebasanku, oleh karena kehendak Tuhanlah aku kehilangan kemerdekaan untuk selama-lamanya." Dantes menundukkan kepala agar Padri itu tidak melihat bahwa kegembiraannya mendapatkan kawan telah menghalanginya untuk turut merasakan kesedihan Padri sepenuhnya, "Selama dua belas tahun di penjara," Padri Faria meneruskan, "aku telah mempelajari dengan seksama semua usaha pelarian yang termashur dalam sejarah. Yang berhasil sangat jarang sekali, dan kebanyakan dari yang sedikit itu benar-benar merupakan hasil pemikiran yang cermat dan persiapan-persiapan yang dilakukan dengan penuh kesabaran. Walaupun demikian, beberapa di antaranya ada yang berhasil berkat kesempatan yang kebetulan saja tiba, dan bila dia tiba, kita harus memanfaatkannya." "Bapak dapat menunggu,** kata Dantes mengeluh. "Saya tidak. Pekerjaan yang besar itu memberi Bapak kesibukan. Apabila kita tidak mempunyai kesibukan,' hanya harapan sajalah yang dapat menopang hidup kita." "Menggali terowongan itu bukan satu-satunya kesibukanku," jawab Padri. "Apa lagi yang lainnya?" \'Aku menulis dan belajar." "Apakah mereka memberi Bapak kertas, pena dan tinta?" "Tidak, aku membuatnya sendiri." "Bapak membuat sendiri kertas, pena dan tinta?" "Ya." Dantes memandangnya dengan penuh kekaguman, tetapi sulit sekali untuk mempercayai apa yang dikatakannya. Padri Faria merasakan keraguan Dantes, karena itu dia berkata, "Kalau engkau nanti datang ke selku akan kuperlihat-kan sebuah buku, sebagai hasil dari semua pemikiran penyelidikan dan penelitianku selama hidup. Buku itu berjudul: Uraian Tentang Kemungkinan Sebuah Kerajaan Tunggal di Italia." "Dan Bapak menulisnya di sini?*' "Ya, pada dua buah kemeja. Aku telah menemukan ramuan yang dapat membikin kain menjadi halus dan kuat seperti kertas perkamen. Aku berhasil membuat pena yang bagus sekali dari tulang rawan kepala ikan yang sekali-kali mereka berikan untuk makan kita." "Bagaimana dengan tintanya?" tanya Dantes. "Bagaimana Bapak membuatnya?" "Dahulu ada tungku api dalam selku. Tetapi mereka tidak mempergunakannya lagi sejak beberapa saat sebelum aku masuk. Rupanya tungku itu pernah dipakai selama bertahun-tahun, ternyata dari lapisan jelaga yang tebal di dalamnya. Aku melarutkan sebagian dari jelaga itu ke 1 dalam anggur yang diberikan kepadaku setiap hari Minggu, dan hasilnya: tinta yang baik. Apabila aku hendak memberikan tekanan pada bagian-bagian tertentu dalam buku itu, aku menusuk salah satu jari dan menuliskannya dengan darahku sendiri." "Bilamana saya dapat melihat itu semua?" "Bilamana saja engkau suka.*' "Sekarang sajalah!" "Ikuti aku,*' kata Padri. Dia membalikkan badan dan menghilang ke dalam terowongan- Dantes mengikutinya. Setelah merangkak-rangkak dengan menundukkan kepala tetapi tanpa kesukaran, mereka sampai ke ujung terowongan yang berakhir di kamar Padri. Dengan jalan mengangkat salah satu ubin di sudut kamar itu yang tergelap Padri itu tadi memulai pekerjaannya yang luar biasa. Segera setelah Dantes berada di dalam kamar, ia memperhatikan keadaan sekelilingnya, tetapi tidak melihat sesuatu yang luar biasa. "Saya ingin sekali segera melihat kekayaan Bapak." Padri Faria berjalan dekat ke tungku api dan menggeserkan sebuah batu. Setelah tergeser tampaklah seperti sebuah gua yang agak dalam- Di sinilah disembunyikannya semua barang yang diceriterakan kepada Dantes. "Apa yang ingin kaulihat lebih dahulu?" tanyanya kepada Dantes. "Buku tentang kerajaan di Italia itu." Padri Faria mengeluarkan tiga atau empat gulungan kain terdiri dari beberapa lembar yang mempunyai lebar kira-kira empat inci dan panjang delapan belas inci. Setiap lembar diberi bernomor dan penuh dengan tulisan. Bahasa yang digunakan bahasa Italia yang difahami oleh Dantes dengan baik sekali oleh karena ia orang Provencal. "Semuanya di sini," kata Padri. "Baru seminggu yang lalu aku membubuhkan kata tamat di bawah lembaran yang ke tujuh puluh delapan. Dua dari kemejaku dan semua saputanganku kukorbankan untuk itu. Apabila aku bebas kembali dan apabila ada penerbit di Italia yang berani menerbitkannya, namaku akan terpancang baik-baik." Dia memperlihatkan pena yang dibuatnya sendiri, Dantes melihat-lihat mencari alat yang sekiranya dapat digunakan membuat pena sehalus itu. "Engkau mencari pisau yang kugunakan untuk membuat itu, bukan?" kata Padri. "Inilah dia. Ini merupakan puncak karyaku, terbuat dari besi tempat lilin tua. "Pisau itu setajam pisau cukur. Dan aku berhasil pula membuat lampu sehingga aku dapat bekerja di malam hari," kata Padri Faria meneruskan lagi. "Bagaimana lagi membuatnya?" "Aku memisahkan lemak dari daging yang diberikan kepadaku. Lalu memanaskannya sehingga menjadi cair, sama dengan minyak yang kental." "Dari mana apinya?" "Aku berpura-pura mempunyai penyakit kulit dan meminta diberi belerang. Mereka memberikannya." Dantes meletakkan barang-barang itu di atas meja dan kepalanya tertunduk terpengaruh oleh ketabahan hati Padri. "Itu belum semua," kata Padri Faria. "Tidak bijaksana menyimpan semua kekayaan di satu tempat. Kita tutup lagi ini." Mereka mengembalikan lagi batu penutup pada tempatnya. Padri menaburkan debu di atasnya dan meratakan dengan kakinya Kemudian dia menghampiri tempat tidurnya dan menariknya Di belakang tempat tidur itu, ada sebuah lubang yang tertutup dengan rapi oleh sebuah batu yang cocok sekali ukurannya. Di dalamnya terdapat sebuah tangga tali sepanjang dua puluh lima sampai tiga puluh kaki. Dantes memeriksanya dan ternyata tangga itu mengherankan sekali kuatnya "Bagaimana Bapak mendapatkan tali untuk membuat tangga sekuat ini?" "Dari benang yang kuuraikan dari beberapa kemejaku dan seperai selama tiga tahun di penjara Fenestrella. Aku berhasil membawanya ke mari ketika dipindahkan, kemudian meneruskan menjalin tangga itu di sini." "Apakah Sipir di sana tidak melihat bahwa seperai Bapak hilang kelirunya?" "Aku menjahitnya lagi dengan jarum ini." Dia memperlihatkan tulang ikan, panjang, tajam dan masih ada benangnya "Semula aku berniat membongkar jeruji dan melarikan diri lewat jendela. Seperti kaulihat, jendela ini sedikit lebih lebar dari jendela di selmu, dan aku dapat melebarkannya lagi sedikit bila aku sudah siap untuk lari. Tetapi dari jendela ini aku akan muncul di pekarangan sebelah dalam. Oleh sebab itu, aku melepaskan rencana itu karena terlalu berbahaya. Tetapi tangga ini tetap kusimpan, mungkin diperlukan, siapa tahu nanti ada kesempatan baik datang." Sambil seakan-akan meneliti tangga, Dantes sebenarnya memikirkan soal lain. Sebuah pikiran terlintas di kepalanya. Orang ini begitu cerdas, begitu terampil, begitu mendalam, bahkan sanggup menembus kegelapan rahasia nasib buruknya sendiri, Dantes sendiri tidak pernah dapat memahaminya. "Apa yang kaupikirkan?" tanya Padri tersenyum. "Bahwa Bapak telah menceriterakan sesuatu tentang diri Bapak, tanpa mengetahui sedikit pun tentang diri saya." 'Hidupmu, anak muda masih terlalu pendek untuk dapat mengandung sesuatu yang sangat berarti." "Paling tidak, mengandung nasib buruk yang tak terkata-kan," sahut Dantes. "Nasib buruk yang tidak seharusnya saya pikul, dan saya berharap dapat mempersalahkan manusia, bukan mengutuk Tuhan seperti yang kadang-kadang saya lakukan." "Ceriterakanlah kepadaku, kalau begitu " kata Padri sambil menutup kembali tempat rahasianya, kemudian menggeserkan tempat tidurnya. Dantes menceriterakan apa yang dia sebut sebagai riwayat hidupnya, yang hanya terbatas kepada pelayaran ke India dan dua atau tiga pelayaran lagi ke Timur Dekat Akhirnya ia sampai kepada pelayarannya yang terakhir dan menceriterakan tentang kematian Kapten Leclere, bungkusan yang diamanatkan kepadanya untuk disampaikan ke Pulau Elba, surat dari Marsekal kepada Tuan Noirtier di Paris, kemudian kedatangannya kembali di Marseilles, kunjungan kepada ayahnya, cintanya kepada Mercedes, pesta pertunangan, penangkapannya, pemeriksaan kepada dirinya, penahanan sementara di Kantor Kejaksaan, dan akhirnya pemindahannya ke penjara If. Sejak itu Dantes sudah tidak mengetahui apa-apa lagi, bahkan tidak mengetahui berapa lama sudah ia di dalam penjara. Ketika ia selesai berceritera, Padri Faria tetap bungkam, hanyut dalam pikirannya. Setelah beberapa lama barulah dia berkata, "Ada sebuah ungkapan dalam dunia pengadilan yang berbunyi: 'Kalau ingin mengetahui siapa pelakunya, temukanlah dahulu siapa yang beruntung dari kejahatan itu/ Siapakah yang beruntung dengan hilangmu dari masyarakat?" "Tidak seorang pun," kata Dantes. "Saya tidak sepenting itu" "Jangan berkata begitu, segala sesuatu itu nisbi. Engkau hampir diangkat menjadi Kapten, bukan?" "Ya." "Dan engkau hampir menikah dengan gadis yang cantik?" "Ya." "Nah, pertama sekali, apakah ada orang yang tidak menghendaki engkau menjadi Kapten kapal Le Pharaon?" "Tidak, semua awak kapal menyukai saya. Tepatnya, seandainya mereka berhak memilih kaptennya sendiri, saya yakin mereka akan memilih saya. Hanya seorang dalam kapal yang mempunyai alasan untuk tidak metiyukai saya, karena pernah saya bertengkar dengan dia dan menantang dia duel, yang ditolaknya" "Aha! Siapa namanya?" "Danglars. Kepala Penata Usaha Kapal." Kalau engkau menjadi kapten, apakah engkau akan memecatnya?" "Ya, kalau saya mempunyai wewenang melakukannya. Saya kira, saya menemukan sesuatu yang tidak beres dalam pembukuannya." "Baik. Apakah ada orang lain hadir ketika engkau berbicara untuk terakhir kalinya dengan Kapten Leclere?" "Tidak, kami hanya berdua saja" "Mungkinkah ada orang yang dapat mendengarkan pembicaraan itu?" "Saya kira mungkin. Pintu kamar Kapten terbuka ketika itu. Tepatnya . . . Nanti, nanti . . . Ya. Danglars lalu tepat ketika Kapten Leclere menyerahkan bungkusan." "Baik," kata Padri. "Sudah mulai terang sekarang. Apakah engkau membawa kawan ketika turun di Pulau Elba?" "Tidak." "Apa yang kaulakukan dengan surat yang diterima di sana?" "Menyimpannya dalam tas surat." "Apakah tas surat itu kaubawa ketika itu?" "Tidak. Ada di kapal. Saya memasukkannya setelah kembali di kapal." "Di mana disimpannya, antara waktu meninggalkan pulau dan memasukkannya ke dalam tas*?" "Saya pegang selalu." "Berarti, ketika engkau kembali ke kapal semua orang dapat melihat bahwa engkau membawa sebuah surat. Betul?" "Ya." "Sekarang," kata Padri Faria, "dengarkan baik-baik, dan coba ingat-ingat sebaik mungkin. Dapatkah engkau mengatakan bagaimana bunyi surat pengaduan itu?" "Tentu saja! Saya membacanya tiga kali berturut turut sehingga setiap kata terpateri dalam ingatan saya." Dantes mengulangi isi surat pengaduan itu kata demi kata. Padri Faria mengangkat bahunya "Terang bagaikan siang harikatanya. "Rupanya hatimu terlalu bersih untuk dapat dengan segera memecahkan persoalannya. Bagaimana bentuk tulisan Dangiars?" "Bulat dan bagus." "Bagaimana huruf-huruf surat pengaduan itu?" "Agak miring ke kiri." Padri Faria tersenyum dan berkata, 'Tulisan itu palsu, bukan?" "Sungguh kurang ajar kalau begitu," kata Dantes gemas. "Tunggu," kata Padri Faria. Dia mengambil sebuah pena kemudian menulis beberapa huruf dengan tangan kirinya pada secarik kain. Dantes sangat terkejut sehingga tanpa disadarinya ia terloncat selangkah ke belakang dan matanya terbelalak melihat Padri. "Sungguh mengherankan," katanya, "betapa samanya tulisan itu dengan ini." "Berarti bahwa surat pengaduan itu ditulis dengan tangan kiri. Aku telah meneliti bahwa hampir semuaitulisan yang dilakukan dengan tangan kiri, sama Sekarang mari kita teruskan dengan pertanyaan kedua' apakah ada yang senang kalau engkau tidak jadi kawin dengan Mercedes?" "Ya, ada. Ada seorang pemuda yang juga mencintai Mercedes, orang Catalan bernama Fernand." "Bagaimana menurut pendapatmu, apakah ia sanggup memfitnah seperti itu?" "Saya kira tidak, saya lebih percaya bahwa ia akan sanggup menikam saya. Selain dari itu, ia sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang yang disebutkan dalam surat itu. Saya tidak pernah menceriterakan kepada siapa pun, bahkan juga tidak kepada Mercedes." "Apakah Femand kenal dengan Dangiars?" "Tidak . . . Ya! Saya ingat sekarang. Saya melihat mereka duduk bersama di sebuah kedai dua hari sebelum hari pernikahan yang tidak jadi berlangsung. Dangiars kelihatan ramah, Fernand tampak pucat dan marah. Masih ada seorang lagi, yaitu Caderouse tukang jahit yang saya kenal baik, tetapi ketika itu dia mabuk sekali "Menganalisa kedua kawanmu itu pekerjaan anak kecil," kata Padri, "tetapi sekarang saya ingin mendapat keterangan yang setepat-tepatnya," "Silahkan saja tanyakan, Bapak dapat melihat masalah Saya lebih jelas daripada saya sendiri.'' "Siapa yang memeriksamu setelah ditangkap?" "Wakil Jaksa Penuntut Umum." "Bagaimana dia mempcrlakukanmu?" "Baik sekali" "Kau menceriterakan segala-galanya kepadanya?" "Ya." "Apakah pernah ada perubahan sikap padanya selama pemeriksaan itu?" "Ada, ketika beliau membaca surat yang saya terima di Pulau Elba itu. Tampaknya beliau sangat cemas, membayangkan nasib buruk yang mungkin menimpa saya" "Yakinkah engkau bahwa nasib burukmu yang membuatnya cemas?" "Saya kira begitu, karena beliau memberi bukti. Beliau membakar surat itu di hadapan saya sambil berkata: 'Itulah satu-satunya bukti yang dapat mencelakakanmu dan seperti engkau lihat sendiri, aku telah memusnahkannya'." "Tindakan itu terlalu halus untuk sewajarnya. Artinya, mencurigakan." "Begitukah menurut pendapat Bapak?" "Aku yakin. Kepada siapa surat itu dialamatkan?" "Kepada Tuan Noirtier, Rue Coq-Heron 13 Paris." "Menurut pendapatmu, mungkinkah Wakil Jaksa itu mempunyai alasan lain apa sebab membakar surat itu?" "Barangkali. Beliau meminta saya dua sampai tiga kali membuat janji agar tidak akan menceriterakan surat itu kepada siapa pun, bahkan membuat saya bersumpah untuk tidak pernah akan menyebutkan nama si alamat surat tadi.** "Noirtier Noirtier . . . ," kata Padri berulang-ulang sambil berfikir. "Pernah aku mengenal seorang bernama Noirtier di Istana Ratu Etruna Noirtier yang bergabung dengan kaum Girondi waktu zaman revolusi. . . Siapa nama Wakil Jaksa itu?" "Villefort." Padri Faria tertawa terbahak-bahak. "Kasihan!" katanya kepada Dantes. '*Wakil Jaksa itu bersikap baik kepadamu, bukan?" "Ya." "Dia membakar surat itu di hadapanmu dan meminta engkau bersumpah untuk tidak pernah akan menyebut nama Noirtier?" "Benar" "Tahukah engkau siapa Noirtier itu? Dia adalah ayahnya sendiri." "Ayahnya!! Ayahnya!!" Dantes berteriak terkejut. Dia bangkit dan memegang kepalanya dengan kedua belah tangannya seakan-akan hendak mencegah jangan sampai meledak. "Benar, ayahnya, namanya Noirtier de Villefort." Sekilas cahaya yang terang-benderang menerangi kepala Dantes sehingga semua persoalan yang selama itu gelap gelita tiba-tiba menjadi jelas sejelas-jelasnya. Perubahan sikap Villefort ketika memeriksa, surat yang dibakarnya, sumpah yang dia minta, nada suaranya yang lebih banyak memohon daripada mengancam, semua itu kembali lagi ke dalam ingatan Dantes seketika dan serentak. Dia bersungut-sungut sambil berjalan berputar-putar seperti orang mabuk, kemudian lari ke lubang galian yang menuju ke kamarnya sambil menangis. "Oh! Aku harus menyendiri untuk memikirkan ini semua!" Setibanya di selnya, dia merebahkan diri ke tempat tidur. Ketika Sipir masuk pada malam hari itu ia menemukan Dantes masih terientang di sana, matanya menatap kosong, wajahnya pun polos sedang badannya tak bergerak seperti patung terbaring. Selama berdiam diri seperti bersemedi yang seakan-akan hanya berlangsung beberapa detik itu, dia telah membuat putusan yang mengerikan dan sumpah yang menakutkan. Akhirnya, sebuah suara membangunkan dia kembali dari lamunannya. Padri mengajaknya makan malam bersama. Dantes mengikutinya Tarikan wajahnya yang keras dan sungguh-sungguh menunjukkan bahwa ia telah membuat putusan. Padri Faria memperhatikannya dan berkata, "Aku menyesal sekali telah membantumu memecahkan persoalanmu dan m enceri terak an apa yang telah aku perbuat." "Mengapa?" "Karena dengan itu aku telah menanamkan dalam hatimu sebuah perasaan yang tidak pernah ada sebelumnya: pembalasan." Dantes tersenyum. "Lebih baik kita berbicara tentang soal lain," katanya. Padri memandangnya sebentar kemudian menggelengkan kepala dengan wajah yang sedih, kemudi* an seperti yang diminta oleh Dantes ia mulai berbicara tentang soal-soal lain. Pesakitan tua ini merupakan salah seorang dari manusia-manusia yang pembicaraannya mengandung banyak Amu dan hikmah yang senantiasa dapat memikat pendengarnya. Tetapi bukan pula pembicaraan yang berpusat kepada dirinya sendiri. Dantes mendengarkan setiap kata dengan penuh rasa kagum. "Ajarkanlah sebahagian dari ilmu pengetahuan Bapak itu kepada saya," katanya setelah beberapa saat, "meskipun hanya sekedar untuk mencegah kebosanan Bapak kepada saya Tampaknya, Bapak lebih suka ber-sunypsunyi daripada berkawan dengan orang yang tidak terpelajar dan terbatas seperti saya ini." "Wahai anakku," kata Padri tersenyum, "pengetahuan manusia itu sangat terbalfc. Kalau engkau sudah mempelajari matematika, ilmu alam, sejarah dan tiga atau empat bahasa yang hidup seperti yang aku kuasai, engkau pun akan mengetahui semua yang aku ketahui. Untuk mempelajari itu tidak akan mengambil waktu lebih dari dua tahun." "Dua tahun!" seru Dantes tidak percaya. "Maksud Bapak saya dapat menguasai semua itu hanya dalam dua tahun?" "Maksudku, tidak mempelajarinya untuk dipraktekkan keseluruhannya dalam waktu itu, tetapi mempelajari p okok-p okokny a." Pada malam itu juga kedua pesakitan itu membuat rencana pendidikan bagi Dantes, untuk dimulai keesokan harinya, Dantes memiliki kecerdasan dan daya ingatan yang kuat. Bakat matematikanya memberikan kemudahan baginya untuk melakukan segala macam perhitungan. Dia sudah pandai berbicara Italia dan sedikit berbahasa Yunani modern yang dipelajarinya dalam pelayarannya ke Timur. Dengan bantuan kedua bahasa ini mudah bagi dia untuk memahami bangunan bahasa lainnya Dalam tempo enam bulan dia sudah mulai bisa berbicara bahasa Spanyol, Inggris dan Jerman. Hari-hari berlalu dengan cepatnya, tetapi setiap hari dimanfaatkannya sebaik-baiknya sehingga dalam masa satu tahun Dantes sudah berubah sama sekali. Sedang Padri Faria, sekalipun kehadiran Dantes merupakan perintang waktu yang menyenangkan, namun dari sehari ke sehari ia bertambah muram, seperti bingung. Hal ini terlihat juga oleh Dantes. Pikirannya seperti terpusat hanya kepada satu masalah tertentu saja. Seringkah" ia berdiam diri seperti bersemedi untuk beberapa saat, lalu mengeluh, tanpa sadar kemudian berjalan mondar-mandir dalam selnya. Pada suatu hari dengan tiba-tiba saja ia berhenti berjalan-jalan, lalu berteriak, "Oh, kalau sajfl tak ada penjaga!" "Apakah Bapak menemukan jalan melarikan diri?" Dantes bertanya dengan keinginan yang kuat untuk segera mendengar jawabannya "Ya, seandainya penjaga itu buta dan tuli." "Dia akan buta dan tuli," kata Dantes dengan nada -suara yang pasti sehingga menakutkan Padri Faria "Tidak!" sahut Padri dengan keras. "Aku tidak menghendaki darah tertumpah!" Dantes berkeinginan sekali membicarakan masalah ini lebih lanjut, tetapi Padri Faria menggelengkan kepala dan menolak berbicara lagi. Tiga bulan lagi telah berlalu. "Bagaimana kekuatanmu?" tanya Padri Faria pada suatu hari. Tanpa menjawab Dantes mengambil pahat, melipatnya kemudian meluruskannya kembali "Bersediakah engkau untuk tidak membunuh penjaga, kecuali kalau itu merupakan jalan keluar yang terakhir? " "Ya, bahkan saya bersedia bersumpah." "Kalau begitu, kita dapat melaksanakan rencana kita" "Berapa lama waktu yang diperlukan?"» "Paling kurang setahun. Inilah rencanaku." Padri memperlihatkan gambar yang dibuatnya: denah sel masing-masing dan terowongan yang menghubungkannya. Dari tengah-tengah terowongan itu mereka akan menggali terowongan lain yang menuju ke bawah serambi tempat penjaga berjalan mondar-mandir. Di sana mereka akan melonggarkan salah sebuah ubin lantai serambi. Ubin itu akan terlepas kalau terinjak oleh penjaga dan ia akan terperosok ke dalam terowongan. Dantes harus meringkusnya dan mengikat mulutnya. Kemudian kedua tahanan itu akan keluar dari salah satu jendela di serambi itu dan menuruni tembok dengan menggunakan tangga tali dan . . . berlari. Dantes ntenepukkan tangannya dan matanya bersinar karena gembira. Rencana itu sangat sederhana sehingga pasti terlaksana Dantes dan Faria memulai bekerja pada hari itu juga. Lebih dari setahun mereka bekerja, dan selama itu Faria tetap memberikan pendidikan kepada Dantes. Setelah lima belas bulan terowongan itu selesai dan mereka dapat mendengar suara sepatu penjaga berjalan mondar-mandir di atas mereka. Mereka sekarang hanya tinggal menunggu datangnya suatu malam gelap tidak berbulan. Untuk mencegah agar ubin jangan jatuh terlampau cepat, mereka penahannya dengan sebuah palang kayu kecil yang kebetulan mereka temukan. Baru saja Dantes selesai mengerjakan penahanan itu tiba-tiba i& mendengar suara Faria berteriak kesakitan di selnya Dia segera kembali masuk danamenemukan J^aria tergeletak di tengah-tengah ruangan. Wajahnya pucat, kedua tangannya mengepal kaku dan dahinya basah karena keringat "Ya Tuhan!" Dantes berteriak kebingungan. "Mengapa Bapak?" "Tamat sudah riwayatku," kata Faria. "Dengarkan baik-baik: satu penyakit yang mengerikan, mungkin juga mematikan akan segera menyerangku. Aku sudah merasakannya Aku pernah diserangnya sekali, setahun sebelum dyenjara-kan. Hanya ada satu obat untuk tai. Cepat lari ke selku angkat kaki ranjang. Di dalam kaki ranjang yang kosong akan kautemukan sebuah botol setengah berisi dengan cairan yang merah. Bawa itu ke mari . . . tih, tidak, tidak, Sipir akan menemukanku di sini. Tolong saja aku kembali ke selku mumpung masih ada tenaga," Segera Dantes membantu Faria dengan hati-hati kembali ke selnya. Dantes membaringkan Faria di ranjangnya. "Terima kasih" kata Padri, badannya menggigil seperti baru keluar dari air sedingin es" Sekarang sudah dekat. Sebentar lagi* mungkin aku tidak dapat bergerak atau mengeluarkan suara, tetapi dapat juga mulutku berbusa, badanku kejang dan berteriakteriak. Kalau itu terjadi, usahakan agar teriakanku tidak terdengar ke luar, sebab kalau terdengar mereka akan memindahkan aku ke tempat lain dan kita akan terpisah untuk selama-lamanya. Kalau engkau sudah melihat aku lemas, dingin dan tampak seperti mati, lalu pada saat itu, dan hanya pada saat itu, renggangkan gigiku dengan pisau itu kemudian teteskan cajran itu delapan sampai sepuluh tetes ke dalam mulutku. Barangkali itu akan menolong." "Barangkali?" kada Dantes sedikit kesaj. % "Tolong! Tolong!" Faria memekik. "Aku . . ,,Aku ma " Serangan itu mendadak dan begitu hebat sehingga Faria tidak sempat menyelesaikan perkataannya. Matanya berputar-putar, pipinya berubah menjadi merah padam, badannya meliuk-liuk dan mulutnya kaku berbusa dan memekik-meltik. Seperti yang diminta sendiri oleh Faria, Dantes merungkup muka Faria dengan selimut agar suaranya tidak terdengar keluar. Tahapan serangan seperti ini ber* langsung selama dua jam, setelah itu seluruh badannya mengejang, dingin, puoK seperti marmer. Dantes mengambil pisau, dengan hati-hati merenggangkan* gigi Faria yang rapat ketat; kemudian meneteskan cairan obat ke dalam mulutnya sebanyak sepuluh tetes. Setelah itu dia hanya dapat menunggu. Satu jam telah berlalu, dan Faria belum juga bergerak sedikit pun Mata Dantes tidak pernah beralih dari Faria, sedangkan kedua belah tangannya memegang kepalanya. Akhirnya, tampak pipi Faria memerah lagi sedikit, demikian juga matanya yang tetap terbuka selama itu mulai menunjukkan adanya hidup, dan kemudian terdengar suara yang lemah sekali keluar dari mulutnya. "Selamat! Selamat!" teriak Dantes gembira. Faria belum dapat berkata-kata, tetapi ia sudah dapat menggerakkan .tangan kirinya menunjuk ke arah pintu disertai kecemasan yang jelas tampak pada wajahnya. Dantes menajamkan telinga dan ia mendengar suara langkah Sipir mendekat. Dengan segera ia lari dan masuk ke dalam terowongan, menutupi kembali lubangnya dari bawah dengan batu dan kembali ke selnya. Pintu kamarnya terbuka, dan sipir mendapatkan Dantes duduk di ranjangnya seperti biasa. Segera setelah Sipir meninggalkan kamar dan suara sepatunya miang dari pendengaran, tanpa memikirkan makan, Dantes segera kembali ke sel Faria. Padri sudah sadar kembali, tetapi ia masih terlentang di ranjangnya, lemas tak berdaya. "Aku kira tidak akan melihatmu lagi," katanya, "Mengapa tidak?" tanya Dantes. "Apakah Bapak sudah putus harapan?" "Bukan itu, tetapi segala sesuatu sudah siap untuk melarikan diri dan aku kira engkau telah melakukannya." Pipi Dantes memerah karena marah. "Dengan meninggalkan Bapak?" katanya. "Apakah Bapak mengira saya akan sanggup melakukan hal seperti itu?" "Aku sadar sekarang bahwa aku salah sangka. Oh, aku sangat lemah dan tak berdaya." 'Tenaga Bapak akan pulih kembali," kata Dantes, duduk di tepi ranjang Faria kemudian memegang kedua tangan Faria. Faria menggelengkan kepala. "Serangan yang dulu berlangsung selama setengah jam. Setelah itu berlalu aku merasa lapar dan dapat berdiri tanpa pertolongan. Sekali ini, aku sama sekali tidak dapat menggerakkan kaki dan tangan kananku ini. Serangan yang ketiga kalinya, akan menamatkan riwayatku atau melumpuhkan seluruh badanku." 'Tidak, tidak, jangan khawatir, Bapak tidak akan meninggal. Bila serangan yang ketiga itu datang, saat itu Bapak sudah menjadi orang merdeka, dan kita akan menyelamatkan Bapak seperti yang kita lakukan sekarang, bahkan lebih baik dari sekarang, sebab Bapak akan mendapatkan perawatan kedokteran yang terbaik yang mungkin diperoleh." "Sahabatku," kata orangtua itu, "jangan memperdayakan dirimu sendiri. Serangan yang baru saja kuderita telah memastikan aku untuk tetap menjadi tahanan seumur hidup. Aku tidak akan dapat berenang lagi untuk selama-lamanya. Tangan ini telah lumpuh, bukan untuk sementara, melainkan untuk selama-lamanya. Percayalah kepadaku, aku telah dihantui penyakit ini sejak mendapat serangan yang pertama. Dan aku tidak dapat menghindarinya karena penyakit ini turun-temurun. Ayahku meninggal setelah mendapat serangan yang ketiga kalinya, demikian juga kakekku. Tabib yang memberikan obat ini kepadaku meramalkan yang sama bagiku." "Dia pasti salahi" seru Dantes. "Adapun kelumpuhan Bapak sama sekali tidak menjadi soal bagi saya. Saya akan berenang sambil memunggu Bapak." "AnakKu," sahut Faria» "engkau seorang pelaut dan perenang yang baik. Sebab itu aku yakin engkau tahu, seseorang yang diberati beban seberat aku tidak mungkin dapat berenang lebih jauh daripada lima puluh depa. Tidak, aku akan tinggal di sini sampai detik pembebasanku, yang sekarang berarti tidak lain daripada detik kematianku. Adapun engkau, pergilah' Larilah! Engkau masih muda dan kuat Jangan pikirkan aku." "Baiklah," jawab Dantes. "Saya pun akan tinggal." Dia berdiri, dengan khidmat ia mengangkat tangannya di atds badan orang tua itu, kemudian berkata, "Saya bersumpah demi darah Kristus bahwa saya tidak akan meninggalkan Bapak selama Bapak masih hidup." Faria menatap dalam-dalam anak muda yang tulus dan berbudi luhur ini, dan dapat membaca kesungguhan sumpah itu pada wajahnya, yang dihidupkan oleh kesetiaan yang murni. Kalau itu keputusanmu" kata orang tua itu terharu, "aku menerima dan terima kasih." Kemudian sambil memegang tangan Dantes ia berkata lagi, "Barangkali untuk kesetiaan yang tanpa pambrih itu, pada suatu hari nanti engkau harus mendapat penghargaan, tetapi sekarang, karena aku tidak bisa dan engkau tidak mau melarikan diri, kita harus menutup kembali terowongan ke serambi itu. Mungkin sekali penjaga itu akan menemukan suara yang mencurigakan kalau dia berjalan di atas ubin yang longgar itu, yang dapat berakibat terbongkarnya rahasia kita dan kita akan terpisah satu sama lain. Kerjakanlah sekarang juga, anakku. Bekerjalah semalam suntuk kalau perlu, dan jangan kembali Jce sini sampai besok pagi, setelah kunjungan Sipir. Ada sesuatu yang penting yang akan kucerite-rakan." Dantes memegang tangan Faria, kemudian meninggal kannya dengan patuh dan hormat. BAB XI KETIKA Dantes memasuki sel Faria keesokan harinya, dia mendapatkan Faria sedang duduk dengan tenang sambil memegang secarik kertas di tangan kiri, satu-satunya tangan yang dapat dipergunakan. Dia memperlihatkan kertas itu kepada Dantes tanpa berkata sepatah pun. "Apa ini?" "Perhatikan saja baik-baik," sahut Padri tersenyum. "Saya memperhatikannya sebaik mungkin, dan yang saya lihat hanyalah secarik kertas yang terbakar separoh dengan huruf huruf yang ditulis dengan tinta yang aneh." "Kertas yang secarik ini, sahabatku," kata Faria dengan tenang, "adalah kekayaanku, yang sejak hari ini «tengahnya menjadi milikmu." Keringat dingin membasahi badan Dantes. Selama berkenalan dengan Faria ia selalu menghindari berbicara tentang kekayaan yang menyebabkan Faria selalu dianggap gila. Faria tersenyum dan berkata, "Dari keterkejutanmu aku tahu apa yang kaupikirkan. Jangan khawatir, aku tidak gila. Kekayaan ini benar-benar ada, dan apabila takdir menghendaki aku memilikinya, engkau pun akan memilikinya juga. Tak seorang pun pernah mau mendengar kepadaku, karena mereka menyangka aku gila. Tetapi engkau tahu aku tidak gila. Sebab itu dengarkanlah baik-baik, kemudian barulah engkau mengambil kesimpulan percaya atau tidak kepada ceriteraku." "Bapak yang baik," kata Dantes. "Serangan penyakit yang kemarin sangat melelahkan Bapak. Tidakkah Bapak perlu istirahat? Saya bersedia mendengarkan ceritera Bapak esok hari, tetapi sekarang saya ingin sekali merawat Bapak. Lagipula," tambah Dantes sambil tersenyum, "pada saat ini kekayaan itu tidak begitu penting buat kita, bukan?" 'Tenting sekali!" jawab Faria agak keras. "Bagaimana kita tahu bahwa besok aku tidak akan terserang lagi? Aku melihat, engkau tidak percaya kepadaku. Untuk membuktikan kebenaran kata-kataku bacalah tulisan itu, yang belum pernah aku perlihatkan kepada orang lain." "Besok, Bapak/' kata Dantes, jelas berusaha keras menghindari pembicaraan itu. "Pembicaraan boleh kita tangguhkan sampai besok, tetapi bacalah dahulu sekarang." 'Ssst' Ada orang datang! Saya harus pergi. Selamat tinggal." Dengan perasaan bahagia ia bisa terlepas dari keharusan mendengarkan ceritera yang mungkin bisa menambah keyakinannya akan ketidakwarasan sahabatnya. Dantes masuk ke dalam galian dengan kelincahan dan kecepatan seekor ular. Sehari itu dia tetap tinggal di kamarnya. Dengan cara ini ia berusaha menangguhkan datangnya saat yang sangat mengerikan, saat dia mau tidak mau harus mengakui bahwa Faria benar-benar gila seperti yang disangka orang. Tetapi setelah Sipir melakukan kunjungan malamnya, Faria yang menyadari bahwa Dantes tidak juga kembali menemuinya, berusaha mendatangi Dantes. Seluruh badan Dantes menggigil ketika ia mendengar Fana merangkak-rangkak penuh kesakitan -dengan tangan dan kaki yang lumpuh. Dia harus menolongnya, oleh karena Faria tidak akan mampu naik ke kamar Dantes dengan kekuatannya sendiri. "Inilah, aku dengan berkeras hati dan tanpa ampun mengejarmu," katanya dibarengi senyum yang menunjukkan kemurahan hati. Apa kau mengira dapat melepaskan diri dari kebaikanku? Tidak. Dengarkan baik-baik!" Dantes tidak mempunyai pilihan lain. Dia mempersilakan Faria duduk di ranjangnya, sedang dia sendiri mengambil tempat di hadapannya, di atas bangku. "Seperti pernah kukatakan," Faria memulai ceriteranya, "aku pernah menjadi sekertaris dan sahabat dekat Kardinal Spada, bangsawan terakhir dengan nama itu. Kepada beliaulah aku berhutang budi untuk segala kebahagiaan yang pernah kunikmati di dunia ini. Beliau tidak kaya, walaupun kekayaan keluarganya sangat terkenal. Aku sering mendengar ungkapan 'kaya seperti Spada'. Istananya adalah sorgaku. Aku mendidik kemenakannya, yang sayang sekali pendek umurnya. Oleh karena beliau menjadi sebatang kara, aku mencoba membalas kebaikan budinya dengan Jalan memenuhi segala keinginannya. Rumah Kardinal dalam, waktu yang singkat sudah tidak asing lagi bagiku dan aku mengetahui segala rahasia yang berada di dalamnya. Seringkali aku melihat beliau menekuni buku-buku tua dan dengan sangat bergairah membongkar dan meneliti catatancatatan keluarga. Pada suatu hari aku memperingatkan beliau karena terlalu sering selama semalam suntuk menekuni pekerjaan yang hanya memeras tenaga dan menghasilkan kemurungan saja. Terhadap peringatanku itu beliau tersenyum pahit kemudian membuka sebuah buku mengenai sejarah Roma dan memperlihatkannya kepadaku. Di sana, dalam bagian kedua puluh mengenai kehidupan Paus Alexander VI, aku membaca kalimat-kalimat yang sampai sekarang pun masih kuingat betul: Terang Romagna yang besar telah berakhir. Setelah mencapai kemenangan, Kaisar Borgia memerlukan uang yang cukup banyak untuk membeli Italia. Demikian juga Paus memerlukan uang untuk membebaskan diri dari Louis XII yang meskipun belum lama menderita kekalahan masih kuat pengaruhnya. Oleh sebab itu dianggap perlu sekali melakukan suatu usaha yang menguntungkan, yang sebenarnya makin lama makin sukar melaksanakannya di Italia yang telah menjadi lemah dan miskin pada waktu itu." 'Sri Paus mempunyai gagasan: beliau memutuskan untuk mengangkat dua orang Kardinal baru. Dengan jalan memilih dua orang yang paling terkemuka dan paling kaya di Roma untuk jabatan Kardinal itu beliau dapat mengharapkan keuntungan yang besar sekali. Pertama, beliau dapat menjual jabatan dan gelar yang sudah dimiliki sebelumnya oleh Kedua Kardinal baru; kedua, beliau akan me-minta kedua Kardinal baru itu membayar sebagai imbalan untuk kehormatan yang dianugerahkan. Masih ada satu segi lain dari tindakan ini yang akan muncul kemudian. Taus dan Kaisar Borgia memilih Giovanini Rospigliosi dan Kaisar Spada sebagai calon-calon Kardinal yang tepat. Govanini sendiri telah memegang empat dari jabatan tertinggi dalam Wilayah Kekuasan Sri. Paus, sedangkan Kaisar Spada merupakan salah seorang yang paling kaya dan paling terhormat di Roma. Dalam waktu yang singkat Kaisar Borgia sudah mendapatkan peminat-peminat yang mau membeli jabatan yang akan dikosongkan oleh kedua orang itu. Kesimpulannya, Rospigliosi dan Spada membayar untuk mendapatkan jabatan Kardinal dan delapan orang lainnya membayar untuk mendapatkan kedudukan yang ditinggalkan oleh mereka. Delapan ratus ribu crown mengalir masuk ke dalam dompet para pencari untung. "Sekarang mari kita lihat segi ketiga dari gagasan Sri Paus ini. Setelah Sri Paus mengangkat Rospigliosi dan Spada menjadi Kardinal dan mereka sudah menyerahkan kekayaannya untuk membayar hutang budinya karena mendapatkan kedudukan itu, Sri Paus dan Kaisar Borgia mengundang kedua Kardinal baru itu makan malam bersama. Tindakan ini menimbulkan sedikit perbedaan f ah am antara Sri Paus dan puteranya. Kaisar berpendapat lebih baik menggunakan salah satu alat yang biasa dipergunakan untuk menyingkirkan kawan-kawan dekatnya. Pertama, dengan menggunakan sebuah kunci. Dengan kunci itu orang yang dikehendaki diminta membuka sebuah lemari tertentu. Pada kepala kunci itu ada bagian yang tajam menonjol yang diakibatkan oleh kurang cermatnya pembuatannya. Pintu lemari itu tidak mudah dibuka, dan memaksa si pembuka sedikit menekan kuncinya. Pada waktu menekan ini tangannya akan tertusuk oleh bagian yang tajam menonjol itu, dan ia akan mati .keesokan harinya. Selain kunci ada cincin kepala singa, yang dipakai oleh Kaisar apabila ia ingin berjabatan dengan seseorang tertentu. Kepala singa itu akan menggores tangan yang dijabat, dan goresan ini sangat berbahaya sehingga menewaskan yang tergores dalam waktu dua puluh empat jam. 'Kaisar mengusulkan kepada ayahnya, agar beliau meminta kedua Kardinal itu membuka lemari kematian, atau memberikan kepada keduanya jabatan tangan maut, tetapi Alexander VI menjawab, 'Jangan kita menyayangkan biaya makan malam untuk menghormati kedua Kardinal yang berharga ini, karena aku merasa bahwa kita akan menerima kembali uang kita. Selain dari itu, rupanya engkau hipa bahwa pencernaan makan yang kurang baik akan segera terasa, sedangkan tusukan kunci atau gigitan singa baru akan tampak akibatnya sehari atau dua hari kemudian.* TCaisar akhirnya menyetujui pendapat ayahnya dan di-undangjah kedua lUrdiaal itu «ntuk makan malam. Meja makan dipasang di kebun anggur milik Sri Paus dekat San Pietro di Vincoli, sebuah tempat peristirahatan yang indah nyaman. 'Rospigliosi yang masih mabuk kepayang karena jabatannya yang baru, tanpa kecurigaan sedikit pun mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menikmati makan malam itu. Lain dengan Spada, seorang yang bijak dan waspada, yang tidak mencintai orang lain kecuali kemenakannya sendiri, seorang Kapten dengan masa depan yang cerah, sebelum berangkat ke undangan menulis dahulu sebuah surat wasiat. Setelah itu ia mengirimkan pesan kepada kemenakannya itu agar, dia menunggunya di kebun anggur, tetapi sayang sekali pesuruhnya tidak berhasil menemukan kemenakan itu. Spada sudah sangat mengenal makna undangan-undangan dari Sri Paus. Sejak agama Kristen menanamkan pengaruh peradabannya di Roma, tidak pernah lagi ada seorang komandan tentera datang kepada kita atas perintah seorang raja dholim dan berkata, 'Kaisar menghendaki kematian Tuan.1 Sebagai penggantinya seorang utusan Sri Paus akan datang dan berkata dengan sopan sekali, 'Sri Paus mengharapkan sekali kedatangan Tuan untuk makan malam bersama beliau." Ketika Spada datang di kebun anggur, Sri Paus telah menantinya dan menyambut. Orang pertama yang tertangkap oleh pandangannya, adalah kemenakannya sendiri yang sedang dihadapi oleh Kaisar dengan ramah sekali. Wajah Spada menjadi pucat seketika itu juga. Kaisar melepaskan pandangan penuh ejekan kepadanya, ingin menunjukkan bahwa ia cukup waspada untuk mempersiapkan perangkap ini secermat-cermatnya.. Mulailah santap malam itu. Spada hanya berkesempatan bertanya kepada kemenakannya apakah ia menerima pesannya. Kemenakannya menjawab tidak, tetapi dapat memahami apa maksud pertanyaan pamannya. Tetapi itu sudah terlambat karena ia baru saja menghabiskan segelas anggur yang enak sekali yang dihidangkan oleh pelayan Sri Paus. Untuk Spada dihidangkan anggur dari botol yang lain. Sejam kemudian, seorang tabib memastikan bahwa keduanya telah meninggal akibat keracunan jamur. Spada meninggal di ambang pintu kebun anggur itu, sedang kemenakannya menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan pintu rumahnya sendiri ketika hendak memberi sesuatu isyarat kepada isterinya. Sayang, isterinya tidak mengerti isyarat itu. Kaisar dan Paus s geia berusaha menemukan wasiat Spada dengan dalih memeriksa surat-menyurat beliau. Wasiat yang diketemukan hanya berupa secarik kertas yang bertuliskan kalimat, 'Aku mewariskan peti tempat menyimpan barang-barang berharga dan semua buku, termasuk buku pegangan Padri yang beipinggirkan emas kepada kemenakanku yang tercinta dengan harapan agar dia selalu mengenangkan pamannya yang Selalu mencintainya. 'Para ahli warisnya mencari wasiat lainnya di mana-mana, mengagumi buku Misal mengambil perabot rumah tangga, tetapi mereka tetap sangat heran mengapa orang sekaya Spada ternyata tidak memiliki apa apa. Tidak pernah diketemukan adanya harta kekayaan. Kaisar dan ayahnya pun tak henti-hentinya mencari dan menyelidiki, tetapi mereka pun tidak menemukan apa-apa. Spada hanya meninggalkan dua buah rumah dan sebuah kebun anggur. Oleh karena barang-barang ini dianggap kurang berharga untuk memenuhi nafsu serakah Paus dan puteranya ahli waris Spada boleh tetap memilikinya. Waktu berlalu terus. Setelah Pope dan puteranya meninggal, keluarga Spada disangka orang akan meneruskan lagi cara hidup seperti yang telah mereka nikmati dahulu. Kenyataannya tidak demikian. Mereka tetap hidup dalam kesederhanaan dan rahasia yang menyedihkan itu tetap tidak pernah terbongkar. Masyarakat beranggapan bahwa karena Kaisar lebih cerdik daripada ayahnya, beliau berhasil merebut semua kekayaan yang diperoleh dari Rospigliosi dan Spada. Terutama kekayaan Rospigliosi yang terkuras habis karena ketidakwarasannya. 'Sampai di sini," kata Faria sambil tersenyum, "ceritera belum menarik, bukan?" "Menarik sekali!** kata Dantes. "Silakan meneruskan." "Baik, saya lanjutkan: Lambat-laun keluarga Spada melupakan rahasia yang tetap gelap itu. Sebagian dari mereka ada yang menjadi perajurit, sebagian lagi menjadi diplomat, tokoh-tokoh gereja dan bankir; sebagian lagi ada yang berhasil menjadi kaya, yang lainnya bahkan kehilangan kekayaan yang tidak seberapa yang masih ada pada mereka. Nah," kata Faria, "aku sampai kepada keluarga Spada yang terakhir, yaitu Count Spada, majikanku. Aku menjadi sekertaris beliau. Buku Misal yang termashui tetap berada pada keluarga, dan Count Spada yang terakhir memilikinya. Buku itu diberikan turun-temurun dari ayah kepada anak. Surat wasiat fang aneh itu- telah membuat buku Misal itu menjadi barang pusaka yang sangat dihormati dan dipuja oleh keluarga. Aku sendiri hampir yakin bahwa baik keturunan Borgia maupun keturunan Spada tidak ada yang berhasil menikmati harta kekayaan itu. Harta itu tetap merupakan harta rahasia tanpa pemilik, seperti harta karun dalamceri-tera-ceritera Arab yang tetap tersembunyi di dalam bumi dengan dikawal oleh makhluk-makhluk halus. Aku menyelidikinya di mana-mana. Berkali-kali aku memperbandingkan penghasilan dan pengeluaran keluarga selama tiga ratus tahun, tetapi semuanya sia-sia. Aku tetap tidak mengetahui apa-apa dan Count Spada tetap melarat Ketika majikanku wafat beliau mewariskan perpustakaannya yang terdiri dari lima ribu jilid buku kepadaku, termasuk buku Misal ditambah uang seribu crown dengan Syarat bahwa aku bersedia mempersembahkan misa setiap tahun bagi arwah beliau dan menulis sejarah keluarga Spada. Keduanya aku lakukan." "Pada suatu hari dalam lanun 1807, sebulan sebelum aku ditangkap, atau dua minggu setelah beliau wafat, aku membaca untuk keseribu kalinya surat-menyurat yang harus aku bereskan karena istana telah dijual kepada orang lain, dan aku sudah akan berangkat meninggalkan Roma untuk menetap di Florence. Letih karena terlalu asyik bekerja dan mengantuk karena terlampau banyak makan, aku merebahkan diri dengan berbantalkan kedua belah tangan, kemudian jatuh tertidur. Ketika itu jam tiga siang." "Aku terbangun ketika lonceng berbunyi enam kali. Ternyata ruangan sudah gelap. Aku memanggil pelayan untuk membawa lampu, namun tak ada yang datang. Dengan meraba-raba aku mengambil lilin, kemudian mencari secarik kertas untuk mengambil api dari bara yang masih menyala di tungku. Sebenarnya aku merasa ragu karena khawatir dalam kegelapan keliru mengambil kertas yang berharga. Tiba-tiba aku teringat bahwa dalam buku Misal yang terletak di atas meja di sebelahku, aku pernah melihat secarik kertas yang sudah menguning karena ketuaan. Rupanya kertas itu berada dalam buku sebagai penunjuk halaman, dan tetap berada di sana selama berabad-abad penghormatan keluarga Spada terhadap buku itu. Tak ada yang berani membuangnya. Aku mengambil kertas tua itu, meremasnya dan menyalakan salah satu sudutnya. Tetapi, begitu terkena api, aku melihat huruf-huruf kuning terbaca pada kertas itu. Aku terperanjat dan cepat-cepat memadamkan api yang membakar kertas itu. Kemudian aku menyalakan Ulin langsung mengambil api dari perapian. Dengan perasaan yang tidak terlukiskan aku menghaluskan lagi kertas yang telah kerisut. Segera aku mengerti bahwa kertas itu ditulisi dengan tinta rahasia yang tulisannya akan timbul apabila kertas dipanaskan. Kurang lebih sepertiga bagian daripadanya telah termakan api. Yang aku perlihatkan kepadamu tadi pagi itulah kertas yang kumaksud. Bacalah sekarang, setelah engkau selesai aku akan memperlihatkan bagian yang terbakar.'* Faria menyerahkan kertas itu kepada Dantes, yang sekali ini, membacanya dengan gairah: Tanggal 25 April 1498, diundang makan ma Paus Alexander VI, dan oleh karena kh tidak puas dengan pembayaranku untuk jab sehingga bermaksud juga menguasai h untuk itu mengakali aku mengikuti nasib kar dinal Crapara dan BentivogUo yang mati dira ini aku menyatakan kepada kemenakanku Guido Sp tu-satunya ahliwarisku, bahwa di sua lah pernah dia kunjungi bersamaku, di d di pulau kecil bernama Pulau Monte Cris bu r semua harta milikku yang terdiri dari bat mas perhiasan dan uang; bahwa ha mengetahui akan adanya harta keka dia dapat menemukan harta i batu cadas kedua puluh yang terletak se sebuah sungai yang mengalir ke Ti gua itu ada dua buah lubang; ke ka sudut yang terdalam dari lubang yang ke d riskan seluruh harta kekayaan itu kepada ke sebagai satu-satunya ahliwarisku. 25 April 1498 KAI "Sekarang," kata Faria, "bacalah ini." Dia memberikan kepada Dantes kertas yang lain juga berisi potongan-potongan kalimat. Dantes menerimanya dan membaca: lain oleh Sri awatir bahwa dia atan kardinal arta warisanku dan dinaMcar-cun, dengan ada satu tempat yang teal am sebuah gua to aku mengu-angane-nya aku sendiri yang yaan itu, dan bahwa tu dengan jala) mengangkat jajar dengan mur. Di dalam yaan itu terdapat di ua. Aku mewa-menakanku SAR + SPADA Hubungkanlah kedua bagian itu dan tariklah kesimpulan sendiri," kata Faria ketika Dantes selesai membaca. Dantes menurut, kedua bagian yang telah dihubungkan itu membentuk tulisan ini: Tanggal 25 April 1498, diundang makan malam oleh Sri Paus Alexander VI dan oleh karena khawatir bahwa dia tidak puas dengan pembayaranku untuk jabatan kardinal sehingga bermaksud juga menguasai harta warisanku dan untuk itu mengakali aku mengikuti nasib kardinal-kardinal iCrapara dan Bentivoglio yang mati diracun, dengan ini aku menyatakan kepada kemenakanku, Guido Spada satu-satunya ahliwarisku, bahwa di suatu tempat yang telah dia kunjungi bersamaku, di dalam sebuah gua di pulau kecil bernama Pulau Monte Cristo aku mengubur semua harta milikku yang terdiri dari batangan emas, perhiasan dan uang; bahwa hanya aku sendiri yang mengetahui akan adanya harta kekayaan itu, dan bahwa dia dapat menemukan harta itu dengan jalan mengangkat batu cadas yang kedua puluh yang terletak sejajar dengan sebuah sungai kecil yang mengalir ke Timur. Di-dalam gua itu ada dua buah lubang; kekayaan itu terdapat di sudut yang terdalam dari lubang yang kedua. Aku mewariskan seluruh harta kekayaan itu kepada kemenakan ku, sebagai satu-satunya ahli warisku. 2 5 April 1498 KAISAR + SPADA "Nah, mengertikah engkau sekarang?" tanya Faria. "Apakah ini pernyataan kardinal dan merupakan wasiat beliau yang sebenarnya?" kata Dantes, masih tetap tak percaya. . "Ya, ya!" "Siapakah yang menyusunnya kembali menjadi begini?" "Aku. Dengan bantuan bagian yang tidak terbakar, aku menyusun sisanya dengan cara mengukur dahulu garis kalimat dengan memperbandingkannya dengan lebar kertas, kemudian mengisi kalimat-kalimat yang hilang dengan menghubungkannya dengan kalimat-kalimat yang ada padaku." "Dan apa yang Bapak kerjakan setelah Bapak berhasil memecahkan teka-teki itu?" "Aku segera meninggalkan Roma, dengan membawa serta permulaan karya besarku tentang Persatuan Kerajaan Italia. Tetapi polisi Kaisar, yang pada waktu itu sangat menentang penyatuan Italia, telah lama sekali mengawasi gerak-gerikku. Kepergianku yang mendadak membangkitkan kecurigaan mereka dan ditangkaplah aku ketika aku akan naik kapal di Piombino." "Sekarang," lanjut Faria dengan tatapan seorang ayah, "engkau telah mengetahui rahasia ini sebanyak pengetahuanku sendiri. Kalau kita berhasil melarikan diri, setengah dari kekayaan itu adalah milikmu; apabila aku mati di sini dan engkau berhasil lari, semuanya menjadi milikmu." "Tetapi," tanya Dantes ragu-ragu, "apakah tidak ada yang lebih berhak memiliki harta itu daripada Bapak? 'Tidak, tentang itu engkau boleh merasa tentram. Dengan meninggalnya Count Spada habislah seluruh keluarga itu. Lagi pula Count Spada yang terakhir telah mengangkat aku sebagai ahli warisnya. Dengan mewariskan buku Misal yang simbolik itu berarti beliau mewariskan seluruh hak miliknya kepadaku. Seandainya kita berhasil menguasainya, kita dapat memanfaatkannya tanpa perlu ada rasa khawatir." Dantes merasa dirinya berada dalam alam mimpi, antara tak percaya dan gembira. "Sekian lamanya aku merahasiakan soal ini kepadamu," kata Faria selanjutnya, "pertama, karena aku ingin yakin dahulu tentang dirimu dan keduanya aku ingin memberikan sesuatu hadiah tak terduga." "Harta karun itu milik Bapak," kata Dantes, "dan saya tidak mempunyai hak apa-apa atasnya, bahkan saya sama sekali tidak terikat hubungan keluarga dengan Bapak." "Engkau adalah anakku!" kata Faria dengan keras. "Engkaulah anakku yang lahir dari pengasinganku. Jabat-anku mengharuskan aku hidup membujang seumur hidup, tetapi Tuhan telah mengirimkan engkau kepadaku untuk menghibur aku yang tidak pernah akan menjadi seorang ayah, dan seorang tahanan yang tidak mungkin mendapatkan kembali kebebasannya." Faria mengulurkan tangannya kepada Dantes yang merangkulnya sambil menangis. BAB XII SETELAH ternyata bahwa harta karun yang sekian lama menjadi buah renungannya sekarang dapat menjamin kebahagiaan masa depan anak muda yang dicintainya seperti anak sendiri, nilainya di mata Faria menjadi berlipat ganda. Yang menjadi bahan pembicaraannya setiap hari hanyalah tentang kebaikan harta kekayaan. Dia menerangkan kepada Dantes betapa banyak kebaikan yang dapat diperbuat seseorang kepada kawankawannya dalam jaman modern ini dengan kekayaan sebanyak itu. Pada saat mendengar keterangan itu wajah Dantes sering menjadi gelap karena ia teringat kepada sumpah pembalasannya, bahkan pikirannya sering berkata sebaliknya: betapa banyak kejahatan yang dapat diperbuat, seseorang kepada musuh-musuhnya dalam jaman modern ini dengan kekayaan sebanyak itu. Faria tidak mengetahui letak pulau Monte Cristo tetapi Dantes mengetahuinya. Seringkah ia berlayar melalui pulau yang terletak dua puluh lima mil dan Pianosa, antara Corsica- dan Pulau Elba. Bahkan pernah sekali ia mendarati nya. Ketika itu, dan sekarang pun masih, pulau itu sunyi tidak berpenghuni. Bentuknya mengerucut seperti sebuah batu karang yang tersembul ke atas permukaan laut oleh gempa laut. Seperti yang diramalkannya sendiri, tangan dan kaki kanan Faria tetap lumpuh dan dia hampir kehilangan semua harapannya untuk menguasai harta karun itu. Namun demikian ia tidak berhenti memikirkan dan membicarakan pelarian untuk sahabat mudanya. Dia meminta dengan sangat agar Dantes menghafalkan isi surat wasiat itu kata demi kata, untuk mencegah kesukaran seandainya karena sesuatu hal aurat itu hilang. Lalu, pada suatu malam Dantes terjaga dari tidurnya karena mendengar ada orang yang memanggilnya. Dia membuka matanya lebar-lebar mencoba menembus kegelapan. Terdengar suara yang sangat lemah menyebut-nyebut namanya. Dantes meloncat dari ranjangnya dan menajamkan kupingnya. Tak syak lagi, suara itu datang dari sel Padri Faria. "Ya Tuhan!" kata Dantes. "Mungkinkah. . ?" |a menggeser ranjangnya, cepat-cepat masuk ke dalam galian dan dalam waktu yang pendek sudah berada di ujung terowongan, ubin penutupnya telah terangkat. Berkat cahaya lampu yang remang-remang dia dapat melihat orang tua itu dengan wajahnya yang pucat dan tegang seperti yang pernah dikenalnya ketika mendapat serangan pertama dari penyakit yang mengerikan itu. 'Nah,' kata Faria dengan kesabaran seorang yang telah pasrah kepada nasib, "kau faham, bukan? Tidak perlu lagi aku menjelaskan. Sejak sekarang lebih baik kaupikirkan tentang dirimu sendiri, tentang ketabahan menanggung derita dan tentang kemungkinan melarikan diri. Tak lama lagi engkau akan bebas dari ikatan seorang yang setengah mati, yang membuat lumpuh gerakan-gerakanmu. Pada akhirnya Tuhan memberikan juga peluang-peluang kepadamu, dan bagiku saat telah tiba untuk meninggalkan dunia ITU. Dantes tak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis, "Oh Bapak, Bapak!" Lalu, setelah memperoleh kembali sedikit keberanian, ia berkata lagi, "Saya pernah menyelamatkan jiwa Bapak, dan saya akan melakukannya lagi!" Dia mengangkat kaki ranjang dan mengeluarkan botol obat yang masih berisi sepertiga bagian lagi. 'Tak ada harapan lagi," jawab Faria sambil menggelengkan kepala, "tetapi engkau boleh mencobanya kalau mau. Seluruh tubuhku sudah terasa dingin. Darah sudah mengalir semua ke kepala, dan getaran-getaran yang mengerikan sudah mulai terasa pula. Dalam tempo lima menit serangan akan tiba dengan hebat, dan dalam seperempat jam lagi aku sudah menjadi mayat." "Oh!" teriak Dantes, hatinya seakan-akan pecah. "Lakukanlah seperti yang dahulu kaulakukan, hanya saja, sekarang jangan menanti terlalu lama. Setelah diminumi duabelas tetes aku tetap tidak sadarkan diri, tuangkan saja semua isi botol ke dalam kerongkonganku. Baringkan aku sekarang di ranjang, aku sudah tidak tahan lagi." Dantes memangku orang tua itu dan membaringkannya di atas ranjang. "Meskipun agak lambat" kata Padri Faria, "ternyata Tuhan telah mengirimkan engkau kepadaku sebagai satu-satunya penghibur dalam menjalani kehidupan yang hancur ini. Dan sekarang," ia berhenti sejenak seperti hendak mengumpulkan seluruh kekuatan, "pada saat kita akan ber» pisah untuk selama-lamanya, aku mendo'akan dengan sebesarbesarnya harapan semoga engkau, anakku, segera me* nemukan kebahagiaan dan kemakmuran yang menjadi hak milikmu." Dantes bertekuk lutut dan merebahkan kepalanya ke ranjang. Setelah mengalami kejutan yang keras, orang tua itu berbisik lagi sambil memegang tangan. Dantes erat-erat, "Selamat tinggal, selamat tinggal, anakku." Serangan penyakit itu sangat hebat sehingga sekaligus mengejangkan kaki dan tangan, membengkakkan pelupuk mata, menyemburkan busa dari mulut dan akhirnya membuat kaku seluruh tubuh. Itulah sekarang yang tinggal dari seorang yang cerdas dan dalam ilmunya, yang beberapa detik yang lalu masih dapat berkata-kata. Pada saat yang dianggap tepat, Dantes merekahkan gigi Faria yang telah rapat ketat dengan pisau, lalu memasukkan dua belas tetes obat ke dalam mulutnya. Dia menanti sepuluh menit, seperempat jam, setengah jam. Tidak tampak tanda-tanda kehidupan. Dengan badan gemetar dan dahi basah karena keringat dingin, Dantes menganggap sudah tiba saatnya untuk melakukan usahanya yang terakhir. Dia mengucurkan semua isi botol ke dalam mulut Faria. Obat itu memperlihatkan juga pengaruhnya. Tangan dan kaki Faria tersentak seketika, matanya terbuka, tetapi sangat mengerikan untuk dipandang, dan mulutnya mengeluarkan suara yang mirip kepada teriakan,' Kemudian, badannya yang bergetar mulai tegar kembali. -Akhirnya, jantungnya berhenti berdenyut, wajahnya menjadi kebiru-biruan dan seluruh cahaya kehidupan memudar dari matanya yang tetap terbuka. Saat itu, jam enam pagi. Sinar-sinar pertama dari fajar telah menyelusup masuk ke dalam sel dan sekali-sekali tumpah pada wajah jenazah sehingga menimbulkan kesan yang aneh seakan-akan wajah itu hidup kembali. Selama malam berebut tempat dengan siang Dantes masih dapat bimbang, namun setelah siang hari jelas berkuasa, sadarlah Dantes sepenuhnya bahwa dia hanya berdua dengan mayat. Kecemasan yang sangat mencekam dirinya. Dia sudah tidak berani lagi memegang tangan Faria yang terkulai dari ranjang, juga tidak berani melihat mata yang kosong yang telah berkali-kali ia coba menutupkannya namun tidak berhasil. Dantes meniup lampu, menyembunyikannya dengan baik, kemudian keluar dari sel itu dan menutup lagi lubang dengan batu dari bawah sebaik mungkin. Dantes berada kembali di selnya sendiri tepat pada waktunya, karena Sipir sudah terdengar datang. Sekali ini ia mulai memasuki sel Dantes. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Sipir tahu tentang apa yang telah terjadi. Dia keluar lagi. Terdorong oleh ketidaksabaran yang membara ingin mengetahui apa yang akan terjadi di kamar kawan karibnya yang malang, Dantes merangkak kembali melalui galian. Dia datang tepat sekali pada saat Sipir berteriak meminta tolong. Sipir-sipir lainnya segera bermunculan, kemudian terdengar langkah-langkah serdadu yang berat. Di belakangnya menyusul Gubernur Penjara. Dantes mendengar ranjang berderak ketika mereka mencoba mengangkat mayat Gubernur memerintahkan menyembur muka Padri Faria dengan air. Uetelah melihat bahwa semburan itu tidak menyadarkan Padri, ia menyuruh memanggil dokter. Gubernur meninggalkan sel dan Dantes mendengar kata-kata belas kasihan bercampur dengan ejekan dan tawa yang kasar. "Akhirnya," kata salah seorang, "si tua ini pergi juga untuk menjemput harta karunnya. Selamat jalan!'* Dengan uangnya yang berjuta-juta ia masih tidak mampu membayar kain kafannya sendiri," kata yang lain. "Oh, kafan di gedung If tidak mahal harganya." "Oleh karena ia seorang padri mungkin sekali yang berwewenang mengeluarkan biaya tambahan baginya." "Itu benar, ia akan mendapat kehormatan dikafani dengan karung." Setiap kata terdengar oleh Dantes, tetapi ia tidak dapat memahami seluruhnya apa yang dimaksud. Segera suara-suara orang bicara itu menghilang, rupanya semua telah keluar meninggalkan sel. Tetapi dia tidak berani memasuki sel itu karena khawatir mungkin ada seorang sipir ditinggalkan untuk menjaga mayat. Setelah berlalu kurang lebih satu jam, kesunyian terpecahkan oleh suara samar-samar yang makin lama makin jelas terdengar. Gubernur kembali disertai oleh dokter dan beberapa orang pegawai lainnya. Untuk sejenak tidak mendengar orang berbicara, rupanya dokter sedang memeriksa mayat padri Akhirnya dokter menyatakan bahwa tahanan itu telah mati dan menjelaskan sebab kematiannya. "Bukan karena aku meragukan wewenang Tuan, Dokter," kata Gubernur, "tetapi dalam hal seperti ini kami tidak dapat merasa puas dengan pemeriksaan. Saya meminta Tuan memeriksa semata-mata hanya untuk menjalankan apa yang telah ditentukan oleh hukum." "Baiklah kalau begitu " kata dokter, "tolong panaskan sebatang besi." Permintaan ini membuat diri Dantes bergidik. Dia men dengar orang berlari dan pintu terbuka. Beberapa lama kemudian seorang sipir kembali lagi ke dalam sel. Lalu, bau daging terbakar yang menusuk menyelusup masuk ke tempat Dantes mendengarkan dengan penuh ketakutan. Keringat bercucuran di dahinya dan untuk sejenak ia mengira akan jatuh pingsan. "Tuan lihat sekarang, dia benar-benar telah mati," kata dokter lagi. "Pembakaran di tumitnya itu sangat memastikan. Orang gila yang matang ini telah sembuh dari penyakitnya dan bebas dari penyekapannya,** Dantes mendengar suara gemerisik kain. Ranjang berderak. Kemudian terdengar suara langkah orang berjalan sambil membawa beban yang berat dan ranjang berderak sekali lagi karena tekanan barang berat yang diletakkan kembali di atasnya. "Apakah akan ada misa rekwim?" tanya salah seorang. "Tak mungkin" sahut gubernur, 'Tadri kita sedang pergi cuti selama seminggu. Apabila Faria yang malang ini tidak terburu-buru mati, mungkin ia dapat disembahyangkan,»* "Biarlah," kata dokter dengan nada kurang hormat seperti yang biasa dimiliki oleh para dokter, "Tuhan toh tidak akan menggembirakan setan dengan mengirim roh seorang padri kepadanya." Terdengar suara tertawa terbahak bahak-"Malam nanti," kata Gubernur. "Jam berapa?" tanya salah seorang sipir. "Sekitar jam sepuluh atau sebelas, seperti biasa." "Apakah kami perlu menjaga mayatnya?" "Buat apa? Kunci saja pintunya seperti ia masih hidup." Mereka semua meninggalkan sel Padri Faria dan suara langkah langkahnya makin lama makin menghilang. Keadaan menjadi sunyi kembali. Namun ada kesunyian yang lebih mencekam daripada sunyi sepi, yaitu sunyi kematian yang merasuk dan menggetarkan lubuk hati Dantes. Dengan hati-hati ia mengangkat batu penutup lubang dengan kepalanya dan melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kosong. Dia masuk. Dengan diterangi oleh sinar siang yang remang-remang Dantes melihat jenazah Padri Faria terbujur di ranjangnya, dibungkus dengan kain yang kasar. Itulah kain kafan yang menurut sipir-sipir tidak mahal harganya. Segala sesuatu telah berlalu. Kini. Dantes benar-benar telah dipisahkan untuk selama-lamanya dari sahabat karibnya. Faria, seorang kawan yang banyak memberikan bantuan, kawan berbincang yang menyenangkan, sekarang hanya tinggal dalam kenangan. Dantes duduk di tepi ranjang yang mengerikan itu, hanyut dalam kesedihan yang pahit dan memilukan. Sendiri! Dia menyendiri lagi! Pikiran membunuh diri yang pernah dienyahkan oleh hadirnya Padri Faria kini muncul kembali bagaikan hantu. "Seandainya aku dapat mati," katanya, "aku akan pergi ke tempat arah Padri dan aku bersama-sama lagi dengan beliau. Tetapi bagaimana aku dapat mati?" Dia berpikir sejenak, lalu tersenyum, "Mudah sekali. Aku akan tinggal di sini dan menyerang orang pertama yang masuk ke dalam sel ini. Akan kucekik lehernya, dan mereka tentu akan menebas leherku." Tetapi segera ia memalingkan diri dari gagasan mati konyol seperti itu, dan segera pula hatinya beralih dari putus asa kepada gairah hidup dan semangat membebaskan diri. "Mati? Tidak, tidak " katanya kepada diri sendiri. "Apa guna penderitaanku kalau aku mati sekarang? Tidak, aku ingin hidup dan berjuang sampai akhir. Aku ingin memperoleh kembali kemerdekaan yang hilang dirampas orang. Aku mesti menghukum dahulu musuh-musuhku sebelum aku mati, dan aku pun perlu membalas budi sahabat-sahabatku. Selama aku di sini aku akan terlupakan. Tetapi satu-satunya jalan meninggalkan sel bawah tanah ini hanya dalam keadaan mati." Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia duduk bagaikan terpaku. Matanya memandang ke alam kosong seperti orang yang tiba-tiba tersentak oleh suatu pikiran yang mengerikan. Kemudian dia berdiri, dan meletakkan tangan kanan pada dahi seperti orang yang merasa pusing. "Siapakah yang memasukkan pikiran, ini? Engkaukah ya Tuhanku? Oleh karena hanya mayat saja yang dapat meninggalkan tempat ini, aku akan mengambil alih tempat Faria!" Tanpa memberikan kesempatan kepada dirinya untuk memikirkan kembali keputusannya yang nekad itu, dia menghampiri mayat dan membuka karungnya dengan pisau yang dibuat dahulu oleh Faria. Jenazah Faria dikeluarkannya dan membawanya ke dalam* selnya sendiri, membaringkannya di atas ranjang, membungkus kepalanya dengan kain-kain rombengan seperti biasa dia lakukan sendiri, menyelimutinya, dan mencium dahinya untuk terakhir kalinya, sekali lagi mencoba menutup mata jenazah tetapi tetap tak berhasil, kemudian menghadapkan wajah padri itu ke dinding sehingga bila sipir datang mengantarkan makan malam ia akan mengiranya sudah tidur, seperti yang telah sering ia lakukan. Kemudian ia kembali ke kamar Faria. Ia mengambil jarum dan benang, menanggalkan dan menyembunyikan pakaiannya sehingga sipir dapat merasakan badan telanjang dalam karung, masuk ke dalam karung itu dan membaringkan diri seperti mayat, dan akhirnya menjahit kembali karung itu dari dalam. Seandainya saja Sipir datang ketika itu, dia akan mendengar detak jantung Dantes. Rencananya telah disusun seperti berikut: apabila para penggali liang lahat mengetahui bahwa mereka mengangkat mayat hidup, ia akan secepatnya menyobek karung itu dengan pisau dan akan memanfaatkan keterkejutan mereka dengan cepat-cepat melarikan diri; apabila mereka berusaha mencegahnya dia akan menggunakan pisau untuk menyerang mereka. Apabila mereka membawanya sampai ke pe ku bu ran dan memasukkannya ke dalam liang lahat, ia akan membiarkan dirinya dikubur, dan oleh karena hari malam, segera setelah para pengubur pulang ia akan berusaha keluar dari kubur menembus tanah yang masih empuk dan . . . berlari. Dia mengharapkan mudahmudahan tanah kuburannya tidak terlampau berat untuk ditembus. Kalau tidak, ia akan mati terkubur. Namun demikian, kemungkinan mati pun tidak mengecilkan hatinya, sebab paling tidak, kematian itu*berarti berakhirnya penderitaan. Menjelang jam tujuh malam kecemasannya sudah meningkat. Seluruh anggota tubuhnya gemetar dan hatinya seakan-akan membeku. Waktu berlalu tanpa sesuatu kejadian istimewa. Sampai sejauh itu muslihatnya tidak terbongkar. Akhirnya ia mendengar langkah-langkah orang berjalan di tangga. Saatnya telah tiba. Dia mengumpulkan semua keberaniannya, menahan napas dan mencoba menekan detak jantungnya. Pintu kamar terbuka dan «secercah cahaya mengenai matanya. Melalui kain yang membungkus dirinya Dantes dapat melihat dua bayangan menghampiri ranjangnya. Orang yang ketiga berdiri di ambang pintu sambil memegang lentera. Kedua orang itu mengangkat karung pada kedua ujungnya. Dantes membuat dirinya sekaku mungkin. "Berat sekali untuk oraqf sekecil padri tua itu," kata salah seorang. "Kata orang, setiap tahun tulang manusia bertambah berat dengan seperempat kilo," jawab yang lain. Mereka membawa Dantes dengan sebuah usungan dan iringan penguburan ini dipimpin oleh orang yang membawa lentera. Tiba-tiba Dantes merasakan sejuk dan segarnya udara malam dan tajamnya angin yang menghembus dari laut. Perasaan ini menimbulkan kegembiraan bercampur kecemasan. Mereka masih mengusungnya kira-kira duapuluh yard lagi, lalu berhenti, dan meletakkan usungan di tanah. Dantes mendengar salah seorang pergi menjauh. "Di mana aku?" dia bertanya dalam hati Pikiran yang pertama terlintas di kepalanya ialah mencoba melarikan diri, tetapi untung m dapat menguasai diri. Beberapa saat kemudian dia mendengar lagi salah seorang datang'mendekat dan menjatuhkan sesuatu yang berat di i an ah Pada saat yang sama ia merasakan seuntai tali diikatkan pada pergelangan kakinya, demikian erat sehingga sangat menyakitkan. "Sudah disimpulkan talinya?" tanya orang yang sejak tadi tidak turut bekerja. "Sudah, dan saya bertanggung jawab." "Baik. Ayo terusr Usungan itu diangkat kembali dan iringan berjalan lagi. Gemuruh ombak yang menampar karang tempat berdiri gedung If terdengar makin jelas oleh Dantes. "Buruk sekali cuaca malam ini," kata salah seorang "Aku tidak" mau berada di laut malam ini** "Aku juga," jawab yang lain, "ada kemungkinan padri ini akan membasuh kakinya!" Keduanya tertawa terbahak-bahak. Dantes tidak mengerti akan olok-olok itu, namun demikian bulu tengkuknya tak urung berdiri. "Sudah sampai," kata orang pertama setelah beberapa saat. "Tidak, terus lagi, terus lagi! Kau tentu masih ingat, yang terakhir kita lemparkan terdampar pada batu karang, dan keesokan harinya Gubernur menyebut kita bajingan bajingan malas." Mereka berjalan lagi beberapa langkah, kemudian Dantes merasa terangkatnya pada kepala dan kalanya dan terayunkan ke muka dan ke belakang. "Satu! Dua! Tiga!" Berbarengan dengan kata 'tiga* Dantes merasakan dirinya melayang di udara. Rasa takut mencekam hatinya ketika ia merasa dirinya menurun lagi ke bawah bagaikan seekor burung yang lerluka. Akhirnya, setelah seakan-akan seabad lamanya, terdengarkah suara sesuatu barang jatuh ke dalam air, dan Dantes melesat bagaikan anak panah tenggelam ke dalam laut yang dingin. Dia berteriak keras tetapi pekiknya segera menghilang ditelan air. Dengan cepat sekali ia tenggelam karena badannya diberati oleh dua buah peluru meriam yang diikatkan kepada kakinya. Laut itulah kiranya yang menjadi tempat penguburan para pesakitan penjara If. BAB XUI SEKALIPUN sudah hampir pingsan dan lemas, Dantes masih mempunyai cukup kesadaran untuk menahan nafas doa menyobek karung pembungkusnya dengan pisau yang tetap dia pegang di tangan kanan. Namun, dia masih juga meluncur cepat ke bawah karena diberati oleh dua buah peluru meriam yang diikatkan kepada kakinya. Dantes membungkukkan badannya dan memotong tali pengikatnya. JSa menekankan kakinya sekuat sisa-sisa tenaganya dan berhasil muncul di atas permukaan air. Dia beristirahat sebentar sekedar untuk dapat menarik nafas dalam-dalam, kemudian menyelam lagi karena khawatir terlihat orang. Ketika muncul untuk kedua kalinya ia sudah berada lima puluh kaki dari tempat ia dilemparkan. Di atas kepalanya hanya langit berselubung awan gelap saja yang tampak, sedangkan di hadapannya terbentang lautan yang hitam kelam dengan gelombang-gelombang yang sudah menggele gar pertanda badai akan datang. Dan di belakangnya, lebih hitam dan gelap dari laut dan langit, tampak membayang gedung If, menyeramkan bagaikan jin yang hendak menerkam. Dia memutuskan menuju Pulau Tiboulen, pulau tak berpenghuni yang paling dekat, jauhnya kira-kira lima ribu meter. Tetapi bagaimana ia dapat menemukannya dalam kegelapan ini? Tuhan memberikan petunjuknya. Tiba-tiba ia melihat sinar berkelip bagaikan bintang. Cahaya itu berasal dari mercusuar Harder. Apabila ia menuju lurus ke arah mercusuar itu, ia tahu ia akan melalui Pulau Tiboulen di sebelah kiri. Jadi, kalau dia mengubah arah sedikit ke kiri, pasti akan sampai di pulau itu. Dia sangat gembira ketika menyadari bahwa penyekapan yang bertahun-tahun itu tidak sampai menggerogoti tenaga dan kesigapannya, dan ia masih tetap dapat menguasai lautan tempat ta bermain-main ketika masih kecil. Satu jam telah berlalu, dan selama itu Dantes tetap berenang ke arah yang telah dipilihnya. "Kecuali bila aku keliru," pikirnya, "aku sudah dekat ke Pulau Tiboulen. Bagaimana bila aku salah?" Darahnya tersirap berbarengan dengan timbulnya pikiran itu. Ia mencoba mengambangkan dirinya untuk dapat beristirahat, tetapi tidak mungkin sebab laut sudah mulai bertingkah. "Baik," katanya dengan tekad yang bulat, "aku akan terus berenang sampai tanganku lemas, sampai otot-ototku kejang dan sampai tenggelam ke dasar lautan." Langit yang kelam makin bertambah gelap dan awan yang tebal seakan-akan datang mendekati seperti hendak menghadang. Tiba-tiba ia merasakan sakit yang menyengat pada lututnya. Persangkaannya mengatakan ia terkena peluru dan mengira sebentar lagi akan terdengar suara tembakan. Namun, tak ada suara senapan. Dia memasukkan tangannya ke dalam air dan terpegang pada sesuatu yang keras. Ketika kakinya ditegakkan ia merasa berpijak di atas tanah. Tahulah ia sekarang awan gelap yang disangkanya datang menghadang itu, ternyata pulau karang yang berbentuk nyala api. Itulah Pulau Tiboulen. Dantes berdiri, kemudian maju beberapa langkah. Tanpa disadarinya keluar dari mulutnya, "Terima kasih, ya Tuhan!" Dia membaringkan tubuh di atas sebuah karang yang tajam-tajam, namun olehnya terasa lebih empuk daripada semua tempat tidur yang pernah ditidurinya. Sekalipun angin sangat kencang dan hujan turun dengan derasnya, ia dapat terdidur dengan lelap. Sejam kemudian ia terbangunkan oleh menggelegarnya suara geledek. Dantes berteduh di bawah karang yang menjulur, sesaat sebelum badai mengamuk dengan hebatnya. Cahaya kilat yang bagaikan membelah langit menerangi tempat sekelilingnya, dan beberapa ratus meter di hadapannya tampak sebuah kapal nelayan yang kecil, terombangambing oleh angin dan ombak. Sebentar-bentar kapal iju menghilang di antara dua gelombang kemudian muncul kembali di puncak ombak. Kapal itu mendekat kepadanya dengan kecepatan yang cukup tinggi Dantes berteriak sekeras-kerasnya dan mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk menarik perhatian penumpang kapal dan memperingatkan bahwa mereka bisa kandas pada karang yang berbahaya. Dengan cahaya kilat yang berikut Dantes dapat melihat ada empat orang dalam kapal itu yang berpegang erat-erat pada tiang layar dan tali-temali, sedang orang yang kelima berpegang teguh pada tangkai kemudi yang telah patah. Dantes mendengar suara beradunya dua benda yang keras, disusul dengan teriakan-teriakan yang mengerikan. Kilatan cahaya yang ketiga memperlihatkan hancurnya kapal kecil itu, dan di antara pecahan-pecahan kapal dia melihat wajah-wajah manusia yang penuh ketakutan dan tangan-tangan yang menjulang menggapai-gapai mencari pegangan. Lalu, keadaan menjadi gelap gulita kembali. Dantes keluar dari tempat persembunyian dengan kemungkinan dia sendiri terjatuh. Dia menajamkan mata dan telinganya, namun tak ada yang tampak atau terdengar. Tak ada lagi teriakan yang mengerikan, tak ada lagi manusia-manusia yang berusaha menyelamatkan jiwanya. Yang tinggal, hanyalah badai yang menderu dan gelombanggelombang dahsyat yang berbuih putih. Sedikit demi sedikit angin mereda. Awan kelabu yanŁ tebal mulai bergeser ke arah barat dan tak lama kemudian tampak segaris cahaya kemerah-merahan di ufuk timur. Sinar surya menyentuh permukaan taut mengubah pucuk-pucuk gelombang yang berbuih menjadi jambul-jambul yang berkilau keemas-emasan. Hari telah berganti siang. "Dalam dua *tau tiga jam lagi," pikir Dantes, "sipir akan masuk ke dalam selku, menemukan mayat sahabatku dan akan berteriak memanggil kawan-kawannya. Mereka pasti akan menanyai orang-orang yang melemparkan aku ke laut yang mestinya mendengar teriakanku. Beberapa perahu penuh dengan serdadu akan berkeliaran mencariku dan meriam-meriam pasti akan berjaga-jaga mengawasi sepanjang pantai untuk menghadang seorang pelarian yang telanjang dan kelaparan. Aku pasti akan diserahkan oleh petani pertama yang menemukan aku karena ingin memperoleh hadiah. Ya Tuhan, ya Tuhan, Engkau mengetahui betapa aku telah menderita. Tolonglah aku, karena aku sudah tidak berdaya lagi!" Begitu selesai dia mengucapkan do'a yang sungguh-sungguh, di kaki langit dia melihat layar bersegitiga dari sebuah kapal kecil. Matanya yang terlatih segera mengenalinyasebagai kapal kecil buatan orang Genoa, datang dari arah Marseilles. "Ah!, Sekarang aku dapat mencapainya dengan berenang dalam setengah jam, kalau saja aku tidak takut diketahui sebagai seorang pelarian kemudian dibawa kembali ke Marseilles! Mereka adalah penyehindup-penyelundup, kadangkadang juga merompak. Mereka tentu akan lebih senang menyerahkan aku kepada yang berwajib daripada menolongku tanpa mendapatkan keuntungan apa-apa. Ceritera apa yang dapat kukarang untuk menipu mereka? Oh, begini: Akan kukatakan bahwa aku salah seorang awak kapal yang menabrak karang tadi malam! Tak akan ada orang yang dapat menyangkal pengakuanku oleh karena semua awak telah mati tenggelam. "Lantas, ia melihat-lihat di tempat kapal tenggelam tadi malam. Beberapa bilah papan masih terapung-apung di dekat sana dan ia terperanjat senang melihat topi di ujung sebuah batu karang. Dantes menyelam, berenang mengambil topi, mengenakannya lalu berpegang pada salah satu papan, kemudian mendayung dengan kakinya ke arah yang dia perkirakan akan dilalui oleh kapal Genoa itu. Ketika dirasanya sudah cukup dekat, ia mempercepat renangnya, melambai-lambai dengan topinya dan berteriak sekeras-kerasnya. Kapal berbalik ke arah Dantes dan dia melihat awak kapal bersiap-siap untuk mengurangi kecepatan. Karena ia berpikir tidak akan memerlukan papan lagi, dilepaskannya papan itu dan berenang ke arah kapal. Tetapi sebenarnya ia rianya bergantung kepada sisa tenaganya yang sudah hampir habis. Kaki dan tangannya sudah mulai kejang, gerakannya sudah berat dan tidak teratur lagi, sedangkan dadanya sudah terasa sesak. Kedua pendayung dalam kapal itu meningkatkan usaha memperlambat laju kapal, dan seorang di antara berteriak dalam bahasa Italia 'Tahan!" Dantes masih menggapai-gapai sejenak,kemudian hilang dari permukaan air. Dia masih dapat merasakan rambutnya dijambak dan diangkat ke atas, setelah itu ia tak sadarkan diri lagi. Ketika ia membukakan matanya, tubuhnya tergeletak di geladak kapal kecil itu. Seorang kelasi menggosok-gosok tubuhnya dengan selimut wol, yang lain, yang berteriak "lahan!" menegukkan anggur ke dalam mulut Dantes, sedangkan orang yang ketiga, yaitu Kapten kapal, menatapnya dengan pandangan penuh keharuan seorang yang pernah terhindar dari malapetaka yang sama, atau kecemasan seseorang yang khawatir tertimpa nasib yang sama di masa mendatang. "Siapakah engkau?" tanya Kapten dalam bahasa Peran-cis yang buruk. "Saya pelaut dari Malta," jawab Dantes dalam bahasa Italia yang sama buruknya. "Kami datang dari Siracus. Badai tadi malam :menghanyutkan kami dari teluk Morgiou dan menghancurkan kapal kami pada batu karang sana. Saya satu-satunya yang selamat. Ketika saya melihat Tuan datang saya berpegang kepada sebilah papan dan berenang menghampiri kapal Tuan. Saya pasti mati lemas seandainya tidak ditolong salah seorang anak buah Tuan." "Akulah yang menarik dia pada rambutnya" kata seorang kelasi yang berwajah jujui. *Tepat pada saat engkau akan tenggelam." "Ya," jawab Dantes sambil mengulurkan tangan kepadanya, *Terima kasih banyak, kawan." "Sebenarnya aku ragu melakukannya ketika melihat janggutmu yang panjang enam inci dan rambut sepanjang satu kaki. Kau lebih mirip seorang bandit." Dengan hati tersentak Dantes baru menyadari bahwa selama dalam penjara ia tidak pernah memotong rambut dan janggutnya. "Suatu hari, ketika berada dalam bahaya," katanya, "saya bersumpah tidak akan memotong rambut dan janggut selama sepuluh tahun. Hari inilah habisnya masa yang sepuluh tahun itu dan lucu, saya merayakannya dengan hampir tenggelam." "Sekarang, apa yang harus kami lakukan denganmu?** tanya Kapten. "Terserah kepada Tuan. Saya pelaut yang baik. Tuan dapat menurunkan saya di pelabuhan pertama yang Tuan singgahi, saya pasti dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan di salah satu kapal dagang." "Apakah kau mengenal Kepulauan Mediterania?" "Saya sudah melayarinya sejak masa kanak-kanak. Saya mengenal hampir semua pelabuhannya sehingga saya dapat dengan mudah memasukkan dan mengeluarkan kapal dengan mata tertutup." "Kapten," kata Jacopo, pelaut yang menyelamatkan jiwa Dantes, "tidakkah sebaiknya dia turut kita?" "Baik," sahut Kapten, "aku mau membawamu kalau engkau tidak meminta bayaran yang terlalu tinggi." "Cukup sebanyak yang lain." "Baik," kata Kapten lagi. "Jacopo, dapatkah kau meminjaminya pakaian?" "Saya masih mempunyai dua celana dan sebuah keme-Ja." Jacopo turun ke ruang bawah dan muncul kembali beberapa saat kemudian dengan membawa pakaian. "Apalagi yang kauperlukan?" tanya Kapten. "Bila boleh, sepotong roti dan segelas anggur lagi yang sedap seperti tadi" Jacopo menyodorkan anggur dan pelaut yang lain membawakan sepotong roti. Dantes bertanya apakah dia boleh memegang kemudi. Jurumudi yang sangat gembira melihat kemungkinan istirahat, menoleh kepada Kapten yang memberi isyarat untuk menyerahkan kemudi kepada kawannya yang baru. Dantes mengambil alih kemudi dan mengarahkan pandangannya ke pantai Marseilles. "Tanggal berapa dan bulan apa sekarang?" Dantes bertanya kepada Jacopo yang duduk di sebelahnya. "Dua puluh delapan Pebruari." 'Tahun?" "Apa? Apakah kau tidak mengetahui tahun berapa sekarang?" 'Tadi malam aku sangat ketakutan," jawab Dantes sambil tertawa, "sehingga hampir gila, dan sekarang pun ingatanku belum segar betul. Tahun berapa sekarang?" "1829," jawab Jacopo. Empas belas tahun sudah sejak Dantes ditangkap. Dia baru berusia sembilan belas tahun ketika itu; sekarang tiga puluh tiga tahun umurnya. Senyum pahit melintas di bibirnya ketika hatinya bertanya apa yang telah terjadi dengan Mercedes selama masa itu, selama ia mengira pasti Dantes telah tiada. Matanya menyinarkan amarah tatkala ingatannya sampai kepada ketiga orang yang menyebabkannya menanggung derita yang lama dan kejam. Pada detik itu juga ia memperbaharui lagi sumpah pembalasannya kepada Danglars, Fernand dan Villefort. Sekarang sumpah ini bukan lagi merupakan ancaman hampa, karena ia sudah bebas dan tidak mungkin tertangkap lagi. Pada saat ini kapal tercepat pun tidak akan dapat menyusul kapalnya yang sedang meluncur cepat dengan layar penuh menuju Livarno. Belum lagi sehari berada dalam kapal yang bernama Jeune-Amclie itu Dantes sudah mengetahui bahwa ia berada dalam lingkungan kaum penyelundup. Dalam hal ini Dantes mempunyai keuntungan. Ia mengetahui siapa dan apa kapten itu sedang Kapten tidak mengetahui apa dan siapa Dantes. Dantes berpegang teguh kepada ceriteranya dan di mana peltu menambahnya dengan ceritera-ceritera lain yang menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang Napoli dan Malta. Kapten kapal yang paling berpengetahuan pun akan mempercayai centera Dantes tanpa keraguan. Ketika mereka sampai di Livarno, Dantes hampir tidak dapat menahan diri untuk dapat melihat bagaimana rupa wajahnya sekarang, Segera setelah mereka mendarat, ia pergi ke tukang cukur. Setelah tukang cukur selesai mencukur, Dantes meminta cermin kemudian menatapi wajahnya sendiri beberapa saat. Umurnya sudah tiga puluh tiga tahun. Penyekapan selama empat belas tahun telah me rub ah wajahnya banyak sekali. Dia memasuki Gedung If dengan wajah yang lonjong berseri-seri penuh kebahagiaan seorang muda yang telah berhasil menjejakkan langkah pertama ke arah masa depan yang gemilang. Semua itu sekarang telah berubah. Raut mukanya yang lonjong tampak lebih memanjang, bibir yang selalu tersenyum berubah menjadi sebuah garis yang tegas penuh kepastian; alisnya jadi agak melengkung di bawah jidat yang telah berkerut segaris; matanya memancarkan sinar kesedihan yang mendalam, yang kadang-kadang diselingi kilat kebencian, kulitnya menjadi sangat pucat karena lama tidak tersentuh sinar matahari; ilmu pengetahuan yang diperolclinya di penjara tercermin pada air mukanya yang cerdas dan percaya diri Selanjutnya, sekalipun pada dasarnya ia berbadan tinggi, namun tampak kesan gemuk pendek berkat ketegapan dan kekekarannya. Dan matanya yang telah lama terbiasa dalam kegelapan mempunyai kemampuan untuk segera dapat mengenali benda-benda dalam gelap bagaikan mata seekor anjing pemakan bangkai atau anjing hutan. Dantes tersenyum melihat wajahnya di cermin. Sahabatnya yang pating dekat pun tidak akan mungkin mengenalinya lagi, bahkan dia sendiri merasa pangling. Sekembalinya di kapal Jeune-Ametie kapten kapal memperbaharui tawarannya kepada Dantes untuk terus turut sebagai awak kapal yang tetap. Dantes telah mempunyai rencana sendiri hanya bersedia turut untuk selama tiga bulan saja Dalam tempo seminggu sejak kedatangannya di Livarno, Jeune-Ametie telah penuh dimuati kain muslin, yaitu kain yang tipis halus, katun, peluru senapan Inggris dan tembakau. Petugas-petugas bea cukai mengabaikan cap pemeriksaan terhadap barangbarang itu. Sekarang hanya tinggal mengeluarkan barang-barang itu dari Livarno, kemudian bertabuh di pantai Corsica, di mana sekelompok penyelundup lain akan melanjutkan pemasukannya ke Perancis. Mereka meneruskan lagi pelayarannya, dan sekali lagi Dantes berada di samudera biru yang sering terimpikan selama dalam penjara. Ketika Kapten muncul di geladak keesokan paginya, dia menemukan Dantes sedang bersandar sambil memandang dengan air muka yang aneh ke arah pulau karang yang kemerah-merahan karena sinar matahari: Pulau Monte Cris-to. Jeune-Amelie melaluinya dalam jarak kurang lebih seribu lima ratus meter di sebelah kanan. Dantes sudah terbiasa menunggu. Dia sudah pernah menanti selama empat belas tahun untuk kemerdekaannya; pasti ia akan mampu menunggu setengah sampai satu tahun untuk mengambil kekayaannya. Sambil memandang pulau itu ia mengulang-ulang isi surat Kardinal kata demi kata dalam hatinya. Dua >ulan setengah telah bed alu. Dan selama itu Dantes telah memiliki keahlian seorang penyelundup, sama dengan keahliannya sebagai seorang pelaut. Dia sudah bukan orang asing lagi bagi semua penyelundup sepanjang pantai, dan ia sudah menguasai semua isyarat rahasia untuk mengenali satu sama lain. Selama itu dia telah melewati Pulau Monte Cristo sekurang-kurangnya dua puluh kali, namun tanpa kesempatan sekali pun untuk mendaratiny a. Dia telah mengambil keputusan, apabila kontrak kerjanya dengan Jeune-Amelie berakhir, ia akan menyewa sebuah kapal layar kecil untuk pergi ke Monte Cristo. Ia akan dapat mencari harta karunnya dengan leluasa, tetapi dengan kemungkinan diintai oleh mereka yang membawanya ke sana. Ini adalah risiko yang harus dia pikul, karena betapapun ia memutar otaknya ia tidak menemukan jalan laun pergi ke pulau itu tanpa diantar orang lain. Dia masih bergulat dengan persoalan itu ketika pada suatu malam Kapten yang sudah mempunyai kepercayaan penuh kepadanya dan berkeinginan untuk tetap mempekerjakannya, mengajak dia ke sebuah kedai minum di Via del Oglio, kedai yang menjadi tempat pertemuan para penyelundup. Pada malam itu ada perundingan rahasia yang sangat penting, mengenai sebuah kapal bermuatan permadani Turki, kain wol halus dan pakaian dari Lebanon. Untuk melakukan pertukaran barang-barang diperlukan suatu tempat yang netral dan aman dan selanjutnya menyelundupkannya ke pantai Perancis. Keuntungan dari usaha ini akan sangat besar apabila berhasil. Setiap orang akan mendapat bagian lima puluh sampai enam puluh piaster. Kapten Jeune-Amelie mengusulkan Monte Cristo yang tak berpenghuni dan bebas dari pengawasan serdadu dan pejabat bea cukai. Tempat itu dianggapnya sangat cocok untuk menurunkan muatan. Ketika Dantes mendengar nama Monte Cristo hatinya melonjak gembira. Dia berdiri untuk menyembunyikan perasaannya dan berjalan-jalan dalam ruangan kedai yang penuh dengan asap tembakau. Ketika dia kembali ke tempat duduknya, putusan telah diambil, yaitu bahwa mereka akan mendarat di Monte Cristo dan akan mulai berangkat esok malam. BAB XIV JAM tujuh malam keesokan harinya, segala sesuatu telah siap. Mereka memutari mercusuar pada jam tujuh lewat sepuluh, tepat pada saat lampu dinyalakan. Laut tenang dan angin segar berhembus dari arah tenggara. Pada jam lima sore hari berikutnya Pulau Monte Cristo sudah tampak jelas. Mereka mendarat pada jam sepuluh. Jeune-Amelie yang datang paling dahulu di tempat pertemuan itu. Walaupun sudah terbiasa menguasai diri, sekali ini Dantes tidak berhasil menahan dirinya. Dia berlari ke darat mendahului yang lain. Mau rasanya dia mencium tanah Monte Cristo itu seandainya tidak khawatir dicurigai orang. Tetapi, sia-sia apabila ia mencoba memulai mencari hartanya pada malam hari. Oleh sebab itu mau tak mau ia terpaksa menangguhkannya sampai esok harinya. Selain dari itu, dari arah laut sudah terlihat isyarat yang dijawab dengan isyarat yang sama oleh Jeune-Amelie. Isyarat itu berarti harus mulai bekerja. Kapal-kapal lain, setelah diyakinkan oleh isyarat itu segera bermunculan bagaikan hantu. Mereka membuang sauh tak berapa jauh dari pantai. Kemudian bekerja, Dantes berpikir betapa ia akan dapat membuat orang berteriak kegirangan seandainya ia men-ce rite rak an apa yang selama ini memenuhi pikirannya. Tak seorang pun menaruh curiga kepada Dantes ketika pagi berikutnya ia mengambil senapan dan memberitahukan bahwa ia akan berburu biri-biri liar yang memang kelihatan meloncat-loncat dari satu karang ke karang yang lain. Kepergiannya dianggap sebagai pemenuhan kesenangan berburu atau keinginan menyendiri. Hanya Jacopo yang memaksa ikut dan Dantes tidak herani menolaknya karena khawatir akan membangkitkan kecurigaan. Untung ia sudah berhasil menembak seekor biri-biri sebelum mereka berjalan jauh. Dimintanya Jacopo mengantarkan hasil buruannya kepada teman-temannya dan mengajak mereka memasaknya, kemudian memberi isyarat dengan tembakan ke udara apabila sudah selesai. Dantes meneruskan perjalanannya sambil berkali-kali menoleh ke belakang sampai ke tempat yang diperkirakannya sebagai tempat letak gua rahasia itu. Setelah memeriksa segala sesuatu di sekitarnya dengan ketelitian yang luar biasa, ia melihat bahwa pada beberapa batu ada goresan-goresan yang jelas merupakan perbuatan tangan manusia. Tampaknya dibuat secara teratur, mungkin sekali dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu tujuan tertentu. Tanda-tanda itu menghidupkan harapan Dantes. Mungkinkah goresan-goresan itu dibuat oleh Kardinal untuk memberikan petunjuk kepada kemenakannya? Dantes mengikutinya sampai habis, tetapi tanda-tanda itu tidak membawanya ke gua apa pun. Tanda-tanda itu hanya mengantarkannya ke sebuah baru karang yang besar bundar menjulang di atas tanah yang keras. Rupanya ia bukan sampai pada akhir jalan- melainkan justru pada awalnya. Dia kembali lagi menelusuri tandatanda itu. Dalam pada itu kawan-kawannya telah selesai memasak. Ketika mereka mengangkat biribiri itu dari pemanggangnya, mereka melihat Dantes meloncat dari sebuah batu karang ke batu karang yang lain. Mereka menembakkan isyarat, Dantes mengubah arahnya dan menuju kepada teman-temannya. Tiba-tiba kakinya tergelincir dan mereka melihat Dantes kehilangan keseimbangan pada ujung sebuah karang, kemudian jatuh menghilang Segera mereka berlari menuju tempat Dantes terjatuh, oleh karena mereka semua mencintai Dantes sekalipun mempunyai lebih banyak kelebihan daripada mereka sendiri. Mereka menemukan Dantes bercucuran darah dan hampir pingsan. Dia terjatuh dari ketinggian dua belas sampai lima belas kaki. Mereka menuangkan sedikit anggur ke dalam mulut Dantes dan seketika itu juga Dantes membukakan matanya, ia mengeluh kesakitan pada lututnya, rasa berat pada kepalanya dan rasa nyeri yang tak tertahankan pada punggungnya. Ketika kawan-kawannya mencoba mengangkatnya ke pantai, Dantes berteriak kesakitan dan mengatakan tidak cukup kuat mengikutinya. Kapten, yang harus berangkat pada pagi itu juga, memaksa mereka supaya mengangkat Dantes ke kapal, tetapi Dantes tetap bersikeras lebih baik mati daripada harus menanggung rasa sakit yang tak terkirakan. "Tinggalkan saja biskuit secukupnya, sebuah senapan untuk berburu, sebuah belincong untuk membuat tempat berteduh kalau-kalau kalian terlambat menjemputku," katanya. "Tetapi engkau akan mati kelaparan!" kata Kapten. "Paling sedikit kami akan pergi seminggu lamanya." "Begini, Kapten," kata Jacopo, "inilah jawaban untuk masalah ini: Saya akan tinggal di sini untuk merawatnya." "Engkau mau melepaskan bagian keuntunganmu karena tinggal bersamaku di sini?" tanya Dantes. "Ya," jawab Jacopo, "dan tanpa sesal." "Engkau sahabat yang baik sekali, Jacopo," kata Dantes, "pasti Tuhan akan membalas kebaikanmu, tetapi aku tidak memerlukan perawatan. Dengan istirahat dua hari, aku akan pulih kembali." Dia menjabat tangan Jacopo dengan penuh kehangatan. Ketetapan hatinya untuk tinggal seorang diri, tak dapat digoyahkan lagi. Akhirnya para penyelundup itu memberikan semua yang diminta Dantes, lalu meninggalkannya. Sejam kemudian kapal kecil itu sudah hampir hilang dari pemandangan. Dantes berdiri, tegap sigap dan lincah seperti biri-biri liar di pulau itu, memegang senapan di tangan kiri dan belincong di tangan kanan, kemudian berlari ke batu besar tempat berakhirnya tanda-tanda goresan. "Nah," katanya gembira, teringat kepada dongeng Arab yang diceriterakan Faria, "buka pintu!" Setelah mengikuti goresan-goresan pada karang dengan mengambil arah yang sebaliknya, dimulai dari batu besar, Dantes menemukan bahwa tanda-tanda itu membawanya ke sebuah sungai kecil namun cukup lebar muaranya dan cukup dalam di tengah untuk dapat dilayari sebuah perahu. Menurut perhitungannya Kardinal yang bekerja tanpa mau diketahui orang itu telah mendarat di sungai itu dan menyembunyikan perahunya di sana, kemudian berjalan sambil membuat tanda dengan goresan-goresan pada batu, dan di ujung jalan itu mengubur hartanya. Perkiraan inilah yang menyebabkan Dantes kembali lagi ke batu karang yang besar tadi. Tetapi ada suatu hal yang meragukan perhitungannya. Batu karang itu demikian berat, bagaimana Kardinal dapat mengangkatnya? Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas: mungkin bukan diangkat melainkan diturunkan. Dia naik ke atasnya untuk mencari tempat letak asalnya. Segera ia menemu kan tanah rniring. Batu itu didorong jatuh dari tempat asalnya sehingga berada dalam kedudukannya sekarang. Sebuah karang lain di bawahnya menjadi pengganjal. Dantes memotong dahan pohon zaitun dan dengan dahan itu mencoba mencungkil batu besar itu. Tetapi karang itu demikian berat dan tertanam begitu teguh sehingga tak mungkin tenaga manusia dapat menggeser karinya Dantes berpikir sejenak dan menyimpulkan bahwa ganjalnyalah yang harus dihilangkan dahulu. Dia melihat ke sekelilingnya dan matanya tertumbuk pada mesiu yang ditinggalkan Jacopo. Dengan menggunakan belincong ia membuat lubang antara batu karang dan batu pengganjal, kemudian mengisinya dengan mesiu. Setelah itu dia menyobek saputangannya, dan sobekan itu digunakan untuk membungkus mesiu sehingga menyerupai sebuah gulungan. Dengan itulah dia membuat sumbu dinamitnya. Dantes menyulut sumbu itu dan berlari menjauh. Ledakan yang dahsyat terjadi dalam waktu yang singkat. Batu karang yang besar itu bergeser dan batu pengganjalnya hancur lumat. Batu yang besar itu sekarang sudah tidak kokoh lagi letaknya. Dia mengelilinginya mencari bagian yang paling longgar. Dantes menancapkan ujung dahan pada sebuah celah, kemudian dengan sekuat tenaganya mencungkil batu yang telah lemah kedudukannya itu. Batu itu bergerak, akhirnya bergulir jatuh menggelinding ke dalam laut. Dengan bergulirnya batu besar itu tampak sekarang sebuah batu persegi buatan manusia yang tadinya tersembunyi. Untuk mengangkatnya, batu persegi itu telah diperlengkapi dengan sebuah gelang besi di tengah-tengahnya. Dantes berteriak kegirangan. Lututnya gemetar dan hatinya berdebar demikian kuatnya, selungga ia terpaksa menghentikan pekerjaannya untuk sementara. Kemudian dia memasukkan dahan kayu itu ke dalam gelang besi dan mengangkatnya dengan sekuat tenaga. Dengan terangkatnya penutup ini, tampaklah sekarang sebuah tangga curam yang menuju ke kedalaman sebuah gua yang gelap. Orang lain, karena sangat gembiranya pasti akan segera menuruni tangga itu tanpa berpikir panjang. Tetapi Dantes tidak. Dantes berdiri sejenak penuh ragu, dan mukanya yang sudah pucat bertambah pucat lagi. "Aku tidak boleh membiarkan diiiku dihancurkan oleh kekecewaan," katanya kepada dirinya sendiri, "sebab, kalau demikian, semua penderitaanku akan sia-sia belaka." Dengan senyum kebimbangan ia menuruni tangga diantar oleh satu-satunya kata yang menggambarkan kebijaksanaan terakhir manusia, "Mudah-mudahan." Setelah berada dalam gua untuk beberapa saat lamanya, matanya yang memang telah terbiasa dalam kegelapan, sudah dapat menembus ke setiap penjuru. Dinding gua itu terdiri dari batu granit yang keras seperti besi. Dia teringat kepada salah satu kalimat dalam surat wasiat Kardinal itu: "Di ujung yang terdalam pada gua kedua." Dia baru menemukan gua yang pertama. Tugasnya sekarang menemukan gua yang kedua. Dengan belincongnya ia memukul-mukul dinding. Akhirnya dia menemukan tempat pada dinding yang tidak padat. Hal ini diketahuinya dari suara ketukan pada dinding. Tempat itu dipukulnya lagi dengan agak keras. Sekali ini, terjadi suatu hal yang aneh. Pukulan belincongnya menyebabkan adukan tembok berguguran. Ternyata di sebelah dalam ada batu lain yang berwarna keabu-abuan dan bukan granit. Rupanya lubang pada dinding itu ditambal dengan batu-batu lain, kemudian ditutupi dengan adukan tembok, dan permukaan tembok itu dibuat menyerupai granit. Dantes menghantam batu itu dengan ujung belincongnya yang runcing. Perkakas ini menembus batu sedalam satu inci. Dantes melanjutkan kerjanya. Setelah beberapa saat, jelas bahwa batu-batu itu tidak disemen, melainkan hanya ditumpuk, kemudian ditutupi dengan adukan itu. Dia menekankan ujung belincong yang runcing di antara celah-celah batu, kemudian menekan gagangnya ke bawah. Dan betapa gembiranya ketika salah sebuah batu itu terjatuh, dekat kakinya. Setelah itu, tugasnya hanya mencungkil batu-batu itu satu per satu. Akhirnya setelah mengalami lagi keraguan untuk beberapa detik lamanya, Dantes memasuki gua yang kedua. Gua ini kosong seperti yang pertama. Harta karun itu, kalau memang ada, terkubur di sudut sebelah dalam. Saat-saat yang mendebarkan tiba. Jarak antara Dantes dengan puncak kegembiraan atau puncak kekecewaan hanya tinggal dua kaki lagi. Dia melangkah menuju sudut gua dan seperti didorong oleh suatu kekuatan gaib ia menghantamkan belincongnya dengan sekuat tenaga. Pada ayunan kelima atau keenam, belincongnya mengenai sesuatu barang dari logam. Sekali lagi ia mengayunkan belincongnya agak ke pinggir. Masih juga tertumbuk pada sesuatu, tetapi suaranya berbeda dengan yang tadi. "Ini mesti sebuah peti kayu yang diperkuat dengan ikatan besi," katanya sendiri. Tiba-tiba sebuah bayangan lalu, menghalangi cahaya matahari yang masuk melalui lubang di atas tanah. Dantes meletakkan belincongnya, mengambil senapannya dan cepat- cepat keluar dari dalam gua. Seekor bin b m liar rupanya meloncat melangkahi lubang gua dan sekarang sedang merumput beberapa langkah dari situ. Dantes berpikir sebentar, kemudian menebang sebuah pohon cemara yang masih kecil, dan menyalakannya dari sisa api yang dipergunakan kawan-kawannya untuk memanggang biri-biri. Dantes kembali lagi masuk ke dalam gua membawa obor. Dia ingin melihat semua yang berada dalam gua dengan jelas sampai kepada hal-hal yang sekecil-kecilnya. Dia menerangi lubang yang telah dibuatnya dengan obor. Benar, belincongnya mengenai kayu dan besi Dantes menancapkan obor di tanah dan melanjutkan lagi kerjanya. Dalam waktu yang tidak lama ia sudah berhasil menggali lubang sebesar dua kali dua kaki dan dapat melihat dengan jelas sebuah peti kayu diikat dengan besi. Di tengah-tengah tutup peti terdapat lambang keluarga Spada, terbuat dari perak, yang dengan mudah dapat dikenali Dantes karena Padri Faria telah berulang kali menggambarkannya. Tak ada keraguan lagi sekarang: harta karun itu ada. Tak mungkin ada orang yang mau bekerja begitu hati-hati dan teliti hanya untuk meninggalkan sebuah peti yang telah diambil seluruh isinya yang berharga. Dantes membersihkan tanah di sekeliling peti itu. Mula-mula tampak kuncinya, sesudah itu pegangannya pada kedua pinggirnya. Dantes menarik peti itu dari pegangannya, namun peti itu tidak bergeser sedikit pun. Dia mencoba membukanya, juga tidak dapat karena terkunci rapat. Kemudian dia menempatkan ujung belincong di antara peti dan penutupnya, sesudah itu menekan gagangnya ke bawah. Terdengar suara berderak, dan terbukalah peti itu. Mendadak kepala Dantes menjadi pusing. Dia memejamkan mata seperti kanakkanak, kemudian membukanya lagi dan berdiri dengan takjub. Peti itu terbagi menjadi tiga bagian. Dalam petak perta ma terdapat uang mas yang berkilauan. Petak kedua penuh dengan emas batangan yang tersusun rap ih. Dari petak ketiga yang hanya berisi setengahnya, ia menjumput segeng-gam berlian, mutiara dan batu merah delima. Ketika dilepaskan lagi permata-mata itu mengalir melalui jari-jarinya bagaikan sebuah air terjun kecil yang berkilauan, mengeluarkan suara seperti hujan es menimpa kaca-kaca jendela. Setelah menyentuhnya, menggenggamnya dan menguburkan tangannya yang gemetar ke dalam tumpukan emas dan batu-batu berharga itu, Dantes berlari ke biar gua dengan gejolak hati seseorang yang sudah berada di ambang kegilaan. Dia naik ke sebuah batu karang tinggi sehingga ia dapat memandang laut di sekelilingnya. Dia hanya sendirian, sendiri dengan kekayaan yang tidak ternilai, yang hanya ada dalam dongeng, yang sekarang menjadi miliknya pribadi. Apakah dia ada dalam alam mimpi atau alam nyata? Dia ingin melihat kekayaannya sekali lagi, namun ia merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Dia menekan kepalanya dengan kedua belah tangan, seakan-akan ingin mencegah jangan sampai pikiran warasnya menghilang dari kepalanya. Dia berlarilari sambil berjingkrak-jingkrak dan berteriak-teriak seperti kanak-kanak seputar pulau itu sehingga menimbulkan ketakutan kepada biri-biri dan burung-burung laut Akhirnya dia kembali, tetapi masih tetap diliputi keraguan. Dia masuk lagi ke dalam gua. Emas dan permata itu tetap berada di hadapannya. Sekali ini, dia berlutut dan menekankan kedua belah tangan pada dadanya yang masih berdebar keras, kemudian mengucapkan do'a syukur yang hanya akan difahami oleh Tuhan sendiri. BAB XV KEESOKAN harinya Dantes mengisi penuh saku-sakunya dengan batu permata. Peti harta karunnya dia kubur kembali, lubang ke dalam gua disembunyikan dengan cermat. Sekarang timbullah ketidaksabaran menanti kedatangan kawan-kawannya yang berjanji akan menjemput. Dia sama sekali tidak berniat tetap berdiam di. pulau itu untuk merabaraba dan memandangi hartanya seperti seekor ular naga menunggui kekayaan yang tidak bermanfaat. Sudah tiba saatnya bagi dia kembali ke masyarakat untuk meraih kedudukan, pengaruh dan kekuasaan yang dapat diberikan oleh harta kekayaan dalam dunia ini. Kawan-kawannya datang pada hari keenam. Dari kejauhan pun Dantes sudah dapat mengenali Jeune-Amelie. Dia bertari ke pantai. Ketika kawan-kawannya mendarat ia menceritakan bahwa sekalipun rasa sakitnya belum hilang sama sekali, namun ia sudah merasa kuat. Setelah itu, Dantes mendengarkan kisah petualangan kawan-kawannya. Perjalanan mereka telah berhasil dengan baik. Semua, terutama, Jacopo, menyesalkan sekali gangguan yang menimpa Dantes sehingga ia tidak dapat turut serta dan menikmati keuntungan sebesar lima puluh piaster buat masing-masing. Dantes berusaha keras menahan diri agar tidak tersenyum mendengar jumlah keuntungan itu. Karena kedatangan Jeune-Amelie ke Monte Cristo hanya untuk menjemput Dantes, pada malam itu juga kapal melanjutkan pelayarannya ke Livorno. Di Livorno Dantes menjual empat butir intan yang terkecil dengan harga lima ribu frank sebutirnya. Keesokan harinya ia membeli sebuah kapal kecil untuk Jacopo, menambahnya lagi dengan seratus piaster agar Jacopo dapat menyewa awak kapal, dengan syarat Jacopo mau pergi ke Marseilles mencari keterangan tentang seorang tua bernama Louis Dantes dan seorang wanita muda bernama Mercedes, Mula-mula Jacopo serasa mimpi menerima hadiah ini. Dantes mengatakan bahwa ia menjadi pelaut hanya sekadar memenuhi dorongan darah muda saja. Ketika kembali di Livorno ia menerima warisan dari pamannya. Pendidikan Dantes yang jauh lebih tinggi, membuat ceritera Dantes masuk di akal Jacopo sehingga ia tidak meragukannya sedikit pun. Hari berikutnya Jacopo berlayar ke Marseilles. Dia harus menemui Dantes nanti di Pulau Monte Cristo. Pada hari yang sama Dantes meminta diri dari semua awak kapal Jeune-Amelie dan memberi mereka masing-masing hadiah yang berharga dan berjanji akan mengabari Kapten lagi pada suatu waktu. Dantes pergi ke Genoa. Pada hari kedatangannya ia membeli sebuah kapal pesiar yang sebenarnya dipesan oleh seorang Inggris, yang mendengar berita bahwa orang-orang Genoa termashur sebagai pembuat kapal yang terbaik di seluruh Kepulauan Mediterania. Orang Inggris itu telah sepakat dengan harga empat puluh ribu frank. Dantes menawar empat puluh ribu frank asal kapal itu diserahkan kepadanya segera. Si pembuat kapal menawarkan untuk mencarikan awak kapal, tetapi Dantes menjawab bahwa ia mempunyai kebiasaan berlayar sendiri. Yang diinginkannya hanyalah supaya dibuatkan sebuah ruang rahasia dalam kapal itu. Ruang itu selesai keesokan harinya dan dua jam kemudian Dantes berlayar meninggalkan pelabuhan Genoa menuju Monte Cristo. Pada hari kedua Dantes sudah sampai di tempat tujuan. Kapal pesiarnya itu baik sekali, dapat menempuh jarak itu dalam tiga puluh lima jam. Dia pergi ke gua kekayaannya dan menemukan peti masih dalam keadaan seperti waktu ditinggalkannya. Hari berikutnya, seluruh kekayaannya telah dipindahkan ke dalam mang rahasia dalam kapalnya. Dantes menunggu Jacopo selama delapan hari. Selama itu ia mencoba kapalnya sekitar pulau, menelitinya seperti seorang Joki memeriksa kudanya. Dalam waktu itu juga ia sudah mengetahui apa kelebihannya dan apa pula kekurangannya. Dia berjanji kepada dirinya untuk meningkatkan kelebihan-kelebihannya dan memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Pada hari kedelapan Jacopo tiba. Dia menambatkan kapal layarnya di sebelah kapal Dantes. Dia membawa berita tak sedap mengenai kedua orang yang ditanyakan Dantes. Louis Dantes telah meninggal dan Mercedes menghilang. Mendengar berita itu air muka Dantes tidak berubah sedikit pun, ia tetap dapat menguasai dirinya. Tetapi segera ia pergi ke pantai dan menolak siapa saja yang hendak menyertainya. Dia kembali dua jam kemudian. Dua orang anak buah Jacopo diperbantukan kepada Dantes. Dia memerintahkan berlayar menuju Marseilles. Berita kematian ayahnya tidak terlampau mengejutkannya, tetapi bagaimana keadaan Mercedes? Masih banyak hal lain yang ingin ia ketahui dan harus ia selidiki sendiri. Setelah bercermin di Livorno, ia yakin bahwa ia tidak perlu khawatir dikenal orang. Selain dari itu ia mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk menyamar. Pada suatu pagi, kapal pesiarnya diikuti oleh kapal Jacopo, langsung memasuki pelabuhan Marseilles dan berlabuh tepat di seberang tempat Dantes menaiki perahu menuju ke gedung If empat belas tahun yang lalu. Di dalam kapal karantina, hatinya tak urung merasa cemas ketika melihat seorang serdadu menghampirinya. Namun, dengan penguasaan diri yang sempurna dan telah menjadi salahsatu kemampuannya, ia menyodorkan paspor Inggris yang dibelinya di Livorno. Tanpa kesukaran sedikit pun ia mendarat. BAB XVI BARANGS1APA yang pernah berkeliling di Perancis Selatan dengan berjalan kaki, pasti akan menemukan sebuah kedai kecil yang terletak antara Bellegarde dan Beaucair Di depannya terpampang sebuah papan nama dari besi yang aneh bertuhskan Pont du Garde. Untuk selama tujuh sampai delapan tahun kedai ini diusahakan oleh sepasang suami s teri yang hanya dibantu oleh seorang pelayan dan seorang anak pengurus kandang kuda. Dua orang pembantu ini sekarang sudah terlalu banyak, mengingat kedainya yang selalu lengang karena terletak di jalan yang telah menjadi sepi. Pemilik kedai yang kurang beruntung ini tiada lain adalah Gaspard Caderousse, kawan lama Dantes. I terinya yang pucat dan kurus karena dirundung sakit, terpaksa selalu berada dalam kamarnya di lantai kedua tanpa sanggup membantu suaminya mengerjakan kewajiban sehari-hari. Untuk menjawab keluh-kesah isterinya yang tidak berkesudahan tentang nasibnya yang buruk, Caderousse selalu menjawab, "Sabarlah, ini sudah menjadi kehendak Tuhan." Pada suatu pagi, ketika Caderousse sedang berdiri di ambang pintu kedainya sambil mengawasi jalan yang lengang dengan air muka sedih, tampak di kejauhan seorang berkuda datang dari arah Bellegarde. Penunggang kuda itu seorang padri berjubah hitam dan mengenakan topi bersegi tiga, meskipun udara sedang panas sekali. Padri itu turun dari kudanya di depan kedai, menghapus keringat di dahinya dengan saputangan merah. Dengan gembira Caderousse keluar menjemputnya. Padri menatap wajah Caderousse dengan tajam untuk beberapa saat lamanya, kemudian berkata dengan logat Italia, 'Tuan Caderousse, bukan?" "Benar, Tuan," jawab pemilik kedai keheranan. "Saya Gaspard Caderousse. Apa yang dapat saya lakukan?" "Bukankah Tuan dahulu penjahit?" "Benar, usaha itu tidak menguntungkan lagi. Udara di Marseilles demikian panasnya sehingga saya tidak heran kalau orang di sana sudah tidak berkeinginan lagi memakai baju . . . Berbicara tentang udara panas, tidakkah Tuan ingin minum sesuatu?" "Ya, coba minta anggur terbaik yang ada dan kita akan lanjutkan percakapan kita." Ketika Caderousse kembali beberapa menit kemudian, ia mendapatkan padri itu sedang duduk dengan kedua sikunya di atas meja. "Apakah Tuan sendiri di sini?" tanya padri itu ketika pemilik kedai meletakkan gelas dan botol anggur di hadapannya. "Sama dengan sendiri. Isteri saya sudah sakit-sakitan sehingga tidak dapat membantu." "Oh, Tuan sudah beristeri?" kata padri itu dengan suatu perhatian tertentu. Dia melayangkan pandangannya ke sekeliling ruangan seakan-akan menaksir nilai semua perabotan yang berada dalam kedai itu. "Tuan lihat, saya tidaklah kaya," kata Caderousse dengan nada mengeluh. "Tetapi apa yang dapat Tuan harapkan? Menjadi orang jujur bukan jaminan untuk menjadi kaya di dun a ini." Padri memandangnya dengan tajam. "Ya, orang jujur," Caderousse mengulang. "Itulah satu-satunya yang dapat saya banggakan, dan pada jaman sekarang ini tidaklah banyak orang yang dapat mengatakan begitu." 'Tuan beruntung sekali apabila yang Tuan banggakan itu benar," kata padri, "karena saya yakin betul bahwa lambat afau cepat, yang baik akan mendapat imbalan kebaikan dan yang buruk akan dihukum." "Sebagai padri Tuan harus berkata begitu," kata Caderousse dengan pahit, "tetapi setiap orang mempunyai kebebasan untuk tidak mempercayai ucapan itu." . "Itu keliru, karena mungkin saya dapat membuktikan kebenaran ucapan saya." "Apa maksud Tuan?" tanya Caderousse heran. 'Terlebih dahulu saya harus yakin bahwa Tuan benar-benar orang yang saya cari . , . Dalam tahun 1814 atau 1815, apakah Tuan mengenal seorang pelaut bernama Dantes?" "Dantes? Ya, saya mengenalnya, Edmond Dantes yang malangi Dia salah seorang dari sahabat baik saya. Apa Tuan mengenalnya juga? Apakah ia masih hidup? Apakah sudah bebas? Apakah dia berbahagia?" "Ia sudah meninggal dalam penjara, hancur dan putus asa." Wajah Caderousse berubah pucat. Dia memalingkan mukanya dan padri itu melihat dia menghapus air mata dengan sudut saputangan merah yang membelit kepalanya. "Kasihan!" katanya perlahan-lahan. "Itu satu bukti lagi untuk kebenaran seperti apa yang saya katakan tadi, bahwa Tuhan hanya baik kepada yang jahat saja. Ah, dunia ini makin lama makin buruk saja." 'Tampaknya Tuan sangat menyukainya," kata padri Itu. "Ya, saya sangat mencintainya, sekalipun saya harus mengakui bahwa pernah saya iri sebentar karena ke bahagiannya. Tetapi sejak itu. Tuan boleh yakin, saya sangat bersedih karena nasib buruk yang menimpanya/' Kedua-duanya- diam. Dalam kediaman padri itu menatap wajah Caderousse tajamtajam seakan-akan mencari sesuatu pada air mukanya. "Apakah Tuan mengenalnya?" tanya Caderousse lagi. "Saya diminta datang ke ranjang kematiannya untuk memberikan hiburan keagamaan yang terakhir. Dan di sana, dalam ranjang kematiannya dia bersumpah dengan nama Yesus Kristus bahwa ia tidak mengetahui sebab penangkapan atas dirinya.1' "Itu benar, dia tidak akan mengetahuinya. Tidak, ia tidak berdusta." "Oleh sebab itu dia meminta kepada saya untuk menyelidiki sebab kecelakaannya yang tidak pernah diketahuinya sendiri, dan untuk menghilangkan noda-noda yang mengotori kebersihan hatinya. Seorang Inggris kaya yang tinggal di penjara itu juga, tetapi kemudian dibebaskan pada masa pemerintahan Raja yang kedua, mempunyai sebuah intan yang besar sekali nilainya. Ketika dia meninggalkan penjara, ia memberikannya kepada Dun tes sebagai balas jasanya karena telah merawatnya ketika sakit. Dantes tidak mau menggunakannya untuk menyuap sipir, karena dia khawatir, setelah menerima intan itu si sipir akan mengkhianatinya. Dia menyimpan intan itu baikbaik dengan harapan pada suatu saat dapat bebas kembali." "Tentu nilainya tinggi sekali, seperti kata Tuan tadi," kata Caderousse, matanya berkilat-kilat. "Segala sesuatu itu relatip sekali,'* jawab padri. "Untuk Dantes berharga sekali. Intan itu ditaksir berharga lima puluh ribu frank." "Lima puluh ribu frank!" kata Caderousse terbelalak. "Sekarang ada pada saya. Dantes telah mengangkat saya untuk melaksanakan wasiatnya. 'Saya mempunyai tiga orang sahabat dan seorang kekasih,* katanya kepada saya, 'dan saya yakin mereka masih merasa kehilangan saya. Salah seorang bernama Caderousse.'" Badan Caderousse gemetar, "Yang satu lagi bernama Danglars," lanjut padri, sambil pura-pura tidak melihat air muka Caderousse, "dan yang ketiga, saingan saya tetapi juga menyukai saya, namanya Fernand. Sedangkan kekasih saya bernama Mercedes. Pergilah ke Marseilles, jual Intan itu dan uangnya bagilah jadi lima, kemudian berikan kepada mereka masing-masing, sebab hanya merekalah yang mencintai saya di dunia ini." "Mengapa Tuan katakan lima bagian?" tanya Caderousse. "Tadi Tuan hanya menyebut empat nama." **Yang kelima telah meninggal, ia adalah ayah Dantes. Saya mendengar berita kematiannya di Marseilles," kata padri selanjutnya, sambil berusaha menunjukkan air muka tak peduli, "tetapi kejadian itu telah lama sekali sehingga saya- tidak berhasil mendapatkan keterangan-keterangan lainnya. Barangkali Tuan mengetahuinya?1' "Tak ada yang lebih mengetahui dari saya. Saya tinggal satu atap dengannya . . . Oh, ya, dia meninggal kurang dari satu tahun sejak anaknya menghilang. Kasihan orang tua itu!" "Apa sebab kematiannya?" "Saya kira dokter menyebut penyakitnya radang usus, yang lain mengatakan ia mati karena kesedihan. Tetapi saya yang melihatnya sehari-hari sampai saat terakhirnya, cenderung mengatakan ia mati karena . . . " tiba-tiba saja Caderousse berhenti. "Karena apa?" tanya padri tak sabar. "Karena kelaparan!" "Karena kelaparan!" padri berteriak heran, kemudian terloncat dari tempat duduknya. "Bagaimana mungkin, bahkan binatang yang paling hina pun tidak ada yang mati kelaparan. Seekor anjing yang berkeliaran sepanjang jalan akan selalu menemukan seseorang yang sudi melemparkan sepotong roti kepadanya! Dan Tuan mengatakan ada yang mati kelaparan di tengah orang-orang yang mengaku dirinya Kristen! Terlalu! Betul-betul terlalu!" "Saya mengatakan apa yang sebenarnya," kata Caderousse. "Dan engkau keliru mengatakan itu!" terdengar suara dari tangga. Kedua orang itu memalingkan kepala dan mereka melihat isteri Caderousse yang pucat, yang memaksakan diri keluar dari kamar duduk di ujung tangga dan mendengarkan percakapan suaminya dengan tamu. Kepalanya diletakkan pada kedua lututnya. "Ini bukan urusanmu," kata Caderousse. 'Tuan ini meminta beberapa keterangan. Sangat tidak sopan kalau aku menolaknya." "Ya, tetapi juga tidak bijaksana menceriterakan itu. Bagaimana kau mengetahui maksudnya meminta kau berbicara, bodoh?" "Tak ada yang perlu ditakutkan, Nyonya," kata padri, "sepanjang ia berbicara jujur. Saya dapat memastikan bahwa tak akan ada kesukaran yang menimpa Nyonya karena saya." Isteri Caderousse menggumamkan kata-katanya yang tidak jelas terdengar meletakkan kembali kepalanya pada kedua lututnya dan badannya menggigil lagi karena demam, membiarkan suaminya meneruskan percakapannya, tetapi memasang telinganya demikian rupa hingga tak ada satu kata pun dari percakapan mereka yang terlepas dari pendengarannya. "Kalau orang tua itu meninggal dalam keadaan begitu, mesti berarti bahwa selama itu dia telah diabaikan oleh setiap orang," kata padri. "Tidak, Mercedes dan Tuan Morrel tidak mengabaikannya. Orang tua jtu sangat membenci Fernand, Fernand itu," kata Caderousse dengan senyum menyindir, "yang oleh Dantes disebut sebagai salah seorang sahabatnya." "Apakah memang dia bukan sahabatnya?" tanya padri. "Gaspard!" kata suara di pucuk tangga. "Hati-hati!" Jawab Caderousse atas gangguan isterinya itu hanya berupa sikap marah saja. "Mungkinkah lata menjadi sahabat dari orang yang menginginkan sekali isteri kita?" katanya. "Dantes berhati emas, dia menganggap semua orang kawan nya . . . Edmond yang malang! Saya kira, sebaiknya dia tidak mengetahui semua ini. Akan terlalu sulit bagi dia memanfaatkan mereka. Dan apa pun kata orang, saya lebih takut kepada kutukan orang yang menjelang mati daripada kebencian seorang yang masih hidup." "Tahukah Tuan bagaimana Fernand mencelakakan Dantes?" 'Tentu." "Ceriterakanlah." ^Gaspaid. Terserahlah!" teriak isterinya dari atas. 'Tetapi kalau kau mau mendengarku, jangan bicara!" "Sekali ini, kukira engkau benar," kata Caderousse. "Berarti Tuan tidak bermaksud menceriterakannya kepada saya?" "Apa gunanya. Seandainya Edmond masih hidup dan datang bertanya kepada saya siapa kawan dan musuhnya yang sebenarnya, saya akan memberitahukannya. Tetapi menurut ceritera Tuan, dia sekarang telah mati, sehingga tidak mungkin lagi dia membenci dan melakukan pembalasan. Biarkanlah yang sudah lalu, lewat." "Setujukah Tuan kalau saya memberikan hadiah ini kepada mereka, yang menurut anggapan Tuan kawan-kawan palsu, sebagai imbalan kepada rasa persahabatannya?" "Tidak, tentu tidak," kata Caderousse. "Lagipula apa arti hadiah Edmond ini bagi mereka? Setitik air dalam samudera!" "Benar, tetapi jangan lupa bahwa mereka dapat meng-hancurkanmu dengan kelingkingnya, kalau mereka mau," sela isterinya. "Maksud Tuan bahwa mereka telah menjadi kaya dan berpengaruh?" tanya padri. "Apa Tuan tidak mengetahuinya?" "Tidak. Coba ceritakan." Caderousse termenung sejenak. 'Tidak," katanya, "terlalu panjang." "Tentu saja Tuan bebas untuk menolak, kawan," kata padri dengan suara acuh tak acuh. "Dan saya menghargai sekali keengganan Tuan berbicara. Kita tidak akan membicarakan lagi soat ini dan saya akan menjual intan ini." Dia mengambil intan dari dalam kantongnya dan membiarkannya berkilat-kilat di hadapan mata Caderousse yang terbelalak. "Lihat ke mari!" Caderousse memanggil isterinya. "Intan!" kata Nyonya Caderousse, berdiri kemudian menuruni tangga. "Dari mana ini?" "Kau tidak mendengarnya? Ini intan yang ditinggalkan Dantes untuk ayahnya, kekasihnya dan ketiga kawannya, Fernand, Danglars dan aku." "Orang yang berkhianat bukan sahabat," kata Nyonya Caderousse. "Ya, itu yang kukatakan tadi," kata Caderousse. "Memberi hadiah kepada pengkhianat hampir sama dengan mencemarkan kesucian, bahkan barangkali sama dengan kejahatan." "Dan itu tanggung jawab Tuan," kata padri dengan tenang sambil memasukkan kembali intan itu ke dalam saku jubahnya. 'Tolong katakan di mana saya dapat menemui kawan-kawan Dantes itu agar saya dapat me-laksanakan keinginannya yang terakhir." Butir-butir keringat yang besar bercucuran di dahi Caderousse. Dia melihat padri berdiri, berjalan ke arah pintu hendak melihat kudanya, kemudian kembali lagi. Caderousse dan isterinya saling berpandangan dengan air muka yang tak terlukiskan. "Intan itu bisa menjadi milik kita," kata Caderousse. "Kaupikir begitu?" "Seorang padri tak akan berbohong." "Lakukan apa saja yang kauanggap baik," kata isterinya. "Aku serahkan kepadamu." Dia menaiki lagi tangga dengan terhuyung-huyung. Di ujung tangga ia membalikkan badannya sebentar dan berkata lagi, "Pikirkan baik-baik, Gaspard!" "Aku sudah membuat keputusan" kata Caderousse. "Apa yang telah Tuan putuskan?" tanya padri, "Mengatakan segala sesuatu kepada Tuan." "Saya tara itulah yang terbaik. Bukan karena saya ingin mengetahui apa yang ingin Tuan rahasiakan, tetapi agar saya dapat membagikan warisan Dantes sesuai dengan kehendaknya." "Mudah-mudahan" kata Caderousse, pipinya merah penuh harapan dan ketamakan. "Baik, saya sudah siap untuk mendengarkan." ^'Pertama-tama," Caderousse memulai, "saya harus minta Tuan berjanji dahulu." "Apa?" "Saya harap Tuan berjanji bahwa seandainya pada suatu saat Tuan hendak memanfaatkan keterangan yang akan saya ceriterakan nanti, Tuan tidak akan mengatakan kepada siapa pun juga bahwa Tuan mendengar dari saya, sebab orang-orang yang akan saya ceriterakan itu dapat dengan mudah menghancurkan saya semudah mereka menghancurkan sebuah gelas." "Jangan khawatir, kawan. Saya seorang padri dan saya tidak pernah men ceriterakan kembali pengakuan seseorang yang telah disampaikan kepada saya- Harap diingat pula, bahwa satu-satunya tujuan kita hanyalah melaksanakan keinginan terakhir sahabat kita. Sebab itu berbicaralah terus terang tanpa dicampuri rasa benci. Mungkin saya tidak akan pernah mengenal orang-orang yang akan Tuan sebut. Lagi pula saya seorang Italia, bukan Perancis, dan saya akan segera kembali ke biara yang saya tinggalkan hanya untuk memenuhi pesan orang yang berada di ambang kematian." Caderousse merasa yakin sudah. "Kalau begitu," katanya, "saya akan men ceriterakan kebenaran yang sebenar-benarnya tentang orang-orang yang di sangkaEdmond malang itu sebagai sahabat-sahabat yang baik dan setia. Ceritera ini menyedihkan. Tuan telah mengetahui permulaannya, bukan?" "Ya, Edmond telah menceritakan semuanya sampat dia ditangkap pada hari pesta pertunangannya/' "Nah, setelah Edmond ditangkap, Tuan Morrel pergi mencari keterangan. Berita yang diterima sangat menyedihkan. Ayah Edmond pulang sendirian dan mengurung diri di kamarnya seharian penuh. Semalaman dia tidak tidur. Saya tinggal satu lantai di bawah dia, oleh sebab itu saya dapat mendengar ia berjalan hilir-mudik dalam kamarnya semalam suntuk. Saya pun tidak dapat tidur. Saya merasa sangat terganggu karena kesedihan orang tua itu. Setiap langkahnya serasa menyayat hati, seakan-akan dia berjalan di atas dada saya. Esok harinya Mercedes datang di Marseilles hendak meminta pertolongan Tuan de Villefort, namun tidak berhasil. Kemudian ia mengunjungi ayah Dantes. Ketika dia melihat betapa parahnya kesedihan orang tua itu dan mengetahui pula bahwa ia tidak tidur dan tidak makan sejak hari kemarin, Mercedes mengajak orang tua itu tinggal di rumahnya untuk dirawat baik-baik. Tetapi orang tua itu menolak! Tidak,' katanya, *aku tidak akan meninggalkan tempat ini. Anakku mencintaiku lebih dari apapun juga di dunia ini, dan kalau dia keluar dari penjara tempat inilah yang paling dahulu akan dikunjunginya. Apa kata dia nanti kalau aku tidak ada di sini?' Mulailah dia mengasingkan diri. Tuan Morrel dan Mercedes seringkah mengunjunginya, tetapi pintu kamarnya selaki terkunci. Meskipun saya tahu betul bahwa ia ada di dalam, dia menolak setiap tamu. Pada suatu hari, ketika dia mau menerima Mercedes, dia berkata, Percayalah, anakku Dantes telah meninggal. Bukan kita yang menunggu dia, tetapi dia sedang menunggu kita. Saya beruntung karena lebih tua. Sayalah yang paling dahulu akan bertemu kembali dengan dia!' Betapapun baik kita, akhirnya kita tidak akan menemui orang, yang dapat membuat kita sedih. Lama-lama ayah Dantes benar-benar hidup menyendiri. Orang-orang yang sering saya lihat menemuinya hanyalah orang-orang yang tidak saya kenal, yang kalau keluar lagi dari kamar orang tua itu selalu membawa sesuatu dalam bungkusan. Baru kemudian saya ketahui apa yang terbungkus itu. Orang tua itu menjual barang-barang miliknya yang tidak banyak itu demi hidupnya, sampai akhirnya segalanya terjual habis. Sewa kamarnya telah tertunggak tiga bulan. Pemilik rumah mengancam akan mengusirnya, kemudian bersedia memberi tempo selama satu minggu. Saya mengetahuinya karena pemilik rumah itu singgah sebentar di tempat saya. Sejak hari itu saya masih mendengar dia hilir-mudik di kamarnya selama tiga hari, tetapi pada hari keempat saya tidak mendengar sesuatu pun. Segera saya naik ke atas. Pintu kamarnya terkunci, saya mengintai dari lubang kunci. Dia kelihatan sangat pucat dan lesu sekali. Saya mengira dia sakit payah. Saya mengabari Tuan Morrel dan Mercedes. Mereka segera datang, Tuan Morrel membawa seorang dokter yang setelah memeriksanya mengatakan ayah Dantes terkena radang usus, dan menyuruhnya berpuasa. Ketika itu saya ada di sana, dan saya tidak akan dapat melupakan senyum yang tersungging di wajah orang tua itu ketika ia mendengar nasihat dokter untuk berpuasa. "Setelah kejadian itu dia tidak lagi mengunci kamarnya; dia mempunyai alasan yang kuat untuk tidak makan. Kali lain ketika Mercedes menjenguknya, keadaannya sudah demikian parah sehingga Mercedes sekali lagi mengajaknya pindah agar dapat menjaga dan merawatnya sehari-hari. Namun, orang tua itu menolak lagi. Tuan Morrel meninggalkan dompet berisi uang di dekat perapian, namun orang tua itu tetap menolak makan. Akhirnya setelah sembilan hari dalam keadaan demikian, dia meninggal Sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir ia sempat mengutuk mereka yang telah mencelakakan dirinya dan berkata kepada Mercedes, 'Kalau engkau bertemu dengan Edmond, katakan bahwa aku meninggal sambil berdo'a untuk dia*.'* Padri berdiri dan berjalan-jalan sebentar dalam ruangan. Setelah beberapa saat ia berkata dengan nada agak marah, "Sungguh nasib yang sangat buruk!" "Dan yang lebih buruk lagi karena manusia yang menyebabkannya, bukan Tuhan." "Sekarang bagaimana tentang kawan-kawan Dantes itu," kata padri. Tetapi ingat," katanya lagi sedikit mengancam. "Tuan berjanji akan menceriterakan semuanya. Siapakah mereka itu yang menyebabkan anaknya mati karena keputusasaan dan ayahnya mati karena kelaparan?" "Dua orang yang iri kepadanya. Yang satu karena cinta, yang lain karena benci; Fernand dan Danglars." "Bagaimana diwujudkannya iri hari itu?" "Mereka mengadukan Dantes sebagai anggota kaum Bonaparte." "Yang mana yang mengadukannya. Siapa yang sebenarnya bersalah?" "Keduanya. Seorang menulis suratnya dan yang seorang lagi mengeposkannya." "Di mana surat itu ditulis?" "Dalam kedai minum, sehari sebelum pesta pertunangan." "Tuan pun ada di sana!" kata padri tiba-tiba. "Siapa yang mengatakan bahwa saya di sana?" tanya Caderousse heran. Padri sadar, dia keseleo lidah. Segera ia memperbaikinya, "Tak seorang pun. Karena Tuan mengetahui sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya maka kesimpulan saya Tuan mesti turut hadir." '*Memang benar," kata Caderousse dengan suara agak tertekan. "Saya ada di sana." "Dan tuan tidak berusaha mencegah mereka," kata padri. "Berarti tuan pun turut terlibat." "Mereka membuat saya mabuk sehingga hampir tak sadarkan diri. Saya memprotes maksud mereka sekuat kemampuan saya dalam keadaan demikian, namun mereka menjawab bahwa mereka hanya berolok-olok saja." "Ternyata keesokan harinya Tuan melihat bahwa itu bukan olok-olok. Tuan pun ada di sana ketika Dantes ditangkap." "Benar, dan saya sudah berniat mengatakan kepada Komisaris Polisi apa yang saya ketahui, tetapi Danglars menghalangi saya dengan mengatakan 'Seandainya Dantes benar-benar berdosa, setiap orang yang membelanya akan dianggap sebagai kakitangannya.' Saya selalu takut terlibat dalam urusan polisi, oleh karena itu saya menutup mulut. Saya akui bahwa sikap itu sikap pengecut, tetapi saya kira bukan suatu kejahatan." "Saya mengerti. Tuan hanya tidak berdaya mencegahnya." "Ya, itulah yang tepat," kata Caderousse, "dan saya masih dan tetap menyesalkan kejadian itu. Sering saya meminta ampun kepada Tuhan. Itulah satu-satunya perbuatan yang sangat menodai seluruh hidup saya sampat sekarang, dan saya yakin itu pulalah yang menyebabkan nasib saya seburuk ini. Sampai sekarang saya masih harus menebus dosa karena terlalu mementingkan diri sendiri ketika itu. Bila isteri saya mengeluh saya selalu menjawab: sabarlah, ini kehendak Tuhan!** Caderousse menundukkan kepala menunjukkan penyesalan yang sedalam-dalamnya. "Tuan telah berbicara terus terang," kata padri. "Orang yang menyesali dosanya seperti yang Tuan lakukan, patut menerima pengampunan." "Sayangnya," jawab Caderousse, "Edmond telah meninggal dan dia tidak pernah memaafkan saya." "Dia tidak mengetahui persoalannya." "Mungkin ia mengetahuinya sekarang. Kata orang, orang yang meninggal mengetahui segala-gala." Keduanya diam. Padri berdiri kemudian berjalan bolak-balik sambil berpikir beberapa saat. Lalu dia duduk kembali. "Tadi Tuan menyebut nama Morrel beberapa kali. Siapakah dia?" "Pemilik kapal Le Pharaon." "Apa peranan dia dalam ceritera sedih ini?" 'Teranan seorang yang jujur, berani dan setia-kawan. Dia pernah mengusahakan pembebasan Dantes paling kurang dua puluh kali. Ketika Kaisar Napoleon berkuasa kembali, ia menulis surat, memohon, balikan mengancam yang berwewenang sehingga ketika Napoleon jatuh dan Raja berkuasa kembali ia diburu-buru sebagai seorang Bonapartis. Seringkah ia menengok ayah Dantes seperti telah saya katakan tadi, dan menawarkan kepada ayah Dantes untuk tinggal bersama dia di rumahnya. Sehari sebelum ayah Dantes meninggal, dia meninggalkan dompetnya. Dengan uang itu biaya penguburan dan hutang-hutang ayah Dantes terbayar seluruhnya. Dengan demikian orang tua itu sekurang-kurangnya dapat meninggal dalam keadaan seperti semasa hidupnya: tidak pernah merugikan orang lain. Dompet itu masih ada pada saya.'* "Apakah Tuan Morrel masih hidup?" "Masih." "Mestinya ia diberkahi Tuhan, mestinya ia menjadi lebih kaya dan lebih berbahagia sekarang-*' Caderousse tersenyum pahit dan berkata. "Ya, sama berbahagianya seperti saya." 'Maksud Tuan, Tuan Morrel dalam kesukaran?" "Sekarang ia sedang berada dalam jurang kemiskinan, dan lebih buruk dari itu, dalam jurang kehilangan kehormatan. Setelah bekerja dengan keras selama dua puluh lima tahun, setelah menduduki tempat yang paling terhormat dalam dunia perdagangan di Marseilles, nasib membawa Tuan Morrel kepada kehancuran. Lima buah kapalnya tenggelam dalam tempo dua tahun dan tiga perusahaan lainnya telah bangkrut. Harapannya sekarang bergantung kepada Le Pkaraon, satu-satunya kapal yang masih tinggal, kapal tempat Dantes bekerja dahulu. Le Pharaon diharapkan datang dari India membawa bahan celup merah dan ungu. Kalau Le Pharaon tenggelam juga, habislah sudah dia." "Apakah Tuan Morrel mempunyai anak isteri?" "Ya, isterinya seorang yang berhati bersih- Ia pun mempunyai seorang anak gadis yang hampir menikah dengan pemuda pilihannya, tetapi pihak keluarga pemuda tidak menyetujui perkawinan dengan anak seorang yang hampir bangkrut. Juga ia mempunyai seorang anak laki-laki berpangkat letnan di Angkatan Darat. Tetapi keluarga itu justru lebih menambah kesedihannya. Apabila dia hidup seorang diri, mungkin dia sudah mengakhiri segala-galanya dengan menembak kepalanya sendiri." "Menyedihkan sekali," kata padri. "Dan bagaimana dengan Danglars? Dia yang paling bersalah, bukan? Si penghasut?" "Dia meninggalkan Marseilles dan bekerja pada seorang Spanyol pemilik bank. Ketika pecah perang Perancis-Spanyol ia dikontrak untuk mengisi kebutuhan tentara Perancis, dan beruntung besar. Uangnya diputarkan lagi dan menjadi berlipatganda. Setelah isteri pertamanya meninggal — anak pemilik bank bekas majikannya itu — ia menikah lagi dengan seorang Janda bernama Nyonya de Nargonne, puteri seorang berkedudukan tinggi di Istana yang disukai oleh Raja. Dia telah berhasil menjadi jutawan, dan sekarang diangkat menjadi bangsawan dengan gelar Baron. Namanya sekarang: Baron Danglars, rumahnya yang megah terletak di Rue du Mont-Blanc, dengan sepuluh ekor kuda di kandang, enam pelayan di ruang tamu, dan saya tidak tahu berapa juta frank dalam pundi-pundinya.** "Bagaimana dengan Fernand?" tanya padri. "Bagaimana seorang nelayan Catalan miskin tanpa pendidikan dapat menjadi kaya raya? Terus terang, saya tidak dapat mengerti.'* "Tak seorang pun dapat mengerti. Mesti ada suatu rahasia dalam kehidupannya yang tidak diketahui orang," "Tetapi usaha apa saja kiranya yang menyebabkan ia menjadi kaya dan berpengaruh?" "Ya, Fernand masuk tentara Napoleon beberapa saat sebelum kekuasaannya direbut kembali. Dia ditempatkan dalam resimen yang segera akan diberangkatkan ke medan perang. Dia turut dalam pertempuran Ligny. Pada malam pecahnya pertempuran itu dia sedang bertugas mengawal pintu seorang jendral yang mempunyai hubungan rahasia dengan musuh. Pada malam itu juga jendral itu melarikan diri ke pihak Inggris. Dia mengajak Fernand dan Fernand meninggalkan posnya lari bersama jendral itu. "Ini akan berarti ancaman pengadilan militer apabila Napoleon tetap berkuasa, tetapi sebaliknya, akan dihargai oleh dinasti Bourbon apabila mereka dapat kembali merebut kekuasaan. Itulah sebabnya pangkatnya menjadi letnan ketika kembali ke Perancis, kemudian kapten ketika pecah perang dengan Spanyol, pada saat Danglars berhasil mengumpulkan kekayaan. Oleh karena Fernand orang Spanyol, dia dikirim ke Madrid sebagai mata-mata. Di sana ia berjumpa dengan Danglars, mempererat lagi persahabatannya, memberikan jaminan dukungan kepada jendral kaum kerajaan di seluruh negeri Spanyol, mengantar resimennya melalui jalan-jalan yang hanya diketahui sendiri olehnya, menunjukkan pengabdian yang sedemikian rupa selama tugas yang pendek itu sehingga akhirnya ia dinaikkan lagi pangkatnya menjadi kolonel, menerima bintang kehormatan dan yang terakhir mendapat gelar bangsawan: Count." "Nasib! Nasib!" kata padri- kepada dirinya sendiri. "Ya, nasib, dan itu belum semua. Ketika perang dengan Spanyol berakhir, jabatan Fernand terancam oleh karena tiada perang. Tampaknya perdamaian akan lama sekali meliputi Eropa, Pada suatu saat Yunani berontak terhadap Turki dan memulai kemerdekaannya. Semua mata memandang ke Atena. Banyak negara yang bersimpati dan membantu Yunani. Fernand meminta dan mendapatkan izin untuk berdinas di Yunani tanpa kehilangan pangkatnya d Perancis Beberapa lama kemudian terbetik berita bahwa Count Morcef — nama Fernand sekarang — memasuki dinas pada Ali Pasha dengan pangkat brigadir jendral. Seperti Tuan ketahui, Ali Pasha tewas, tetapi sebelum meninggal, ia menghibahkan sejumlah uang untuk Fernand. Fernand kembali ke Perancis, dinaikkan pangkatnya menjadi letnan jendral. Sekarang dia tinggal di rumahnya yang sangat megah di Paris, di Rue du Hefder No. 27." Padri membuka mulutnya, ragu-ragu sebentar, kemudian berkata dengan agak sukar, "Lalu, bagaimana beritanya tentang Mercedes? Saya dengar dia menghilang." "Menghilang? Ya, dia menghilang, seperti menghilangnya matahari di malam hari untuk kembali bersinar lebih cerah keesokan harinya." "Apakah dia pun berhasil menumpuk kekayaan?" tanya padri dengan senyum menyindir. "Sekarang Mercedes menjadi salah seorang nyonya terkemuka di Paris," kata Caderousse. "Pada mulanya ia sangat terpukul karena kehilangan Dantes. Tetapi saya katakan tadi, ia pernah meminta bantuan Tuan de Vitlefort dan bagaimana setianya terhadap ayah Dantes. Di tengah-tengah keputusasaannya, ia dipukul lagi dengan kesusahan yang lain: Fernand meninggalkannya masuk tentara. Mercedes sama sekali tidak mengetahui apa yang diperbuat Fernand kepada Dantes, dan ia mencintainya seperti seorang saudara. Sepeninggalnya, Mercedes merasa kesepian. Tiga bulan berlalu tanpa berita, baik dari Edmond maupun dari Fernand. Yang dihadapinya waktu itu hanyalah seorang tua yang secara perlahan-lahan menuju kematiannya karena putus harapan. Pada suatu malam Fernand datang dengan mengenakan seragam letnan. Kepergian Fernand bukan menjadi sebab utama kesedihan Mercedes. Namun setidak-tidaknya ia merupakan sebagian dari kehidupannya, oleh sebab itu, Mercedes menerimanya dengan senang hati, ketika Fernand pulang. Fernand keliru, ia mengira kegembiraan Mercedes itu berarti mencintainya, padahal hanya merupakan kegembiraan orang yang terlepas sementara dari rasa kesepian. Ayah Dantes meninggal, seperti telah saya katakan tadi. Bila dia tetap hidup, Mercedes tak akan kawin dengan yang lain. Fernand mengetahui hal ini. Ketika mendengar bahwa ayah Dantes telah meninggal, dia pulang. Ia mengingatkannya lagi bahwa ia masih mencintai Mercedes. Mercedes meminta tempo selama enam bulan untuk berkabung dan menunggu Dantes." "Itu berarti delapan belas bulan lamanya sejak Dantes ditangkap " kata padri dengan senyum pahit. Kemudian ia menggumamkan satu bait dari sajak seorang Inggris: "Lemah, itulah wanitai" "Enam bulan setelah itu," kata Caderousse selanjutnya, "perkawinan dilangsungkan di Englise des Accoules " "Gereja yang juga direncanakan menjadi tempat perkawinan dengan Edmond," kata padri. "Perbedaannya hanya laki-lakinya." "Sekalipun Mercedes tampak tenang setelah perkawinan itu namun banyak orang tahu, bahwa ia pernah jatuh pingsan ketika berjalan lewat kedai tempat ia merayakan pesta pertunangannya delapan belas bulan yang lalu dengan laki-laki yang dicintainya dan tetap dicintainya. Saya melihat Fernand ketika itu tampak lebih berbahagia, namun jelas juga tampak masih mempunyai kekhawatiran kalau-kalau Edmond kembali setiap*saat. Tak lama setelah menikah, mereka pindah. Perkampungan Catalan dirasakannya terlalu banyak bahaya dan kenang-kenangan." "Pernah Tuan menjumpai lagi Mercedes sejak itu?" "Pernah, pada waktu perang dengan Spanyol saya melihatnya di Perpignan, tempat ia ditinggalkan Fernand ke Spanyol. Kesibukannya, mendidik puteranya." Tanpa disadari padri berteriak heran, "Puteranya!" "Ya, Albert." "Tetapi bagaimana ia dapat mendidiknya? Menurut ceritera Edmond, Mercedes hanyalah seorang anak nelayan yang sederhana, cantik tapi tidak berpendidikan." "Oh!" kata Caderousse. "Rupanya ia tidak .mengenal betul kekasihnya. Kalau mahkota hanya diperuntukkan bagi wajah yang tercantik dan kepala yang paling cerdas, Mercedes sudah menjadi ratu sekarang. Bersamaan dengan berkembangnya kekayaannya, dia sendiri pun turut berkembang. Dia belajar melukis, dia mempelajari musik, dia mempelajari segala. Tetapi antara kita saja — saya kira dia mempelajari itu semua semata-mata hanya untuk mencari kesibukan mengikis masa lampau. Dia telah kaya, dia telah menjadi nyonya bangsawan, tetapi, . . . " 'Tetapi apa?" "Tetapi saya yakin dia tidak berbahagia." "Apa yang menyebabkan Tuan berpikir begitu?" "Ya, ketika kemelaratan saya hampir tak tertahankan lagi, saya berfikir mungkin sekali kawan-kawan lama saya mau menolong. Saya pergi kepada Danglars, tetapi menerima pun dia tidak mau. Sedangkan Fernand hanya menyuruh pelayannya memberikan uang seratus frank." "Berarti Tuan tidak menjumpai kedua-duanya?" "Tidak, tetapi Nyonya de Morcef melihat saya. Ketika saya akan pulang sebuah dompet jatuh di muka kaki saya, isinya dua puluh lima louis. Saya melihat ke atas dan masih sempat melihat Mercedes menutup kain jendela." "Dan bagaimana dengan Tuan de Villefort?" tanya padri. "Dia bukan kawan saya, bahkan saya tidak mengenalnya. Sebab itu saya tidak meminta apa-apa kepadanya." 'Tetapi tahukah Tuan bagaimana beritanya tentang dia dan peranan apa yang dimainkannya dalam kecelakaan Edmond?" "Tidak. Saya hanya tahu, beberapa waktu setelah ia menangkap Edmond, dia kawin dengan Nona de Saint-Meran, kemudian meninggalkan Marseilles. Tak perlu di* ragukan lagi, kepadanya pun keberuntungan tersenyum ramah seperti kepada yang lain. Pasti dia telah kaya seperti Danglars dan mendapatkan kehormatan seperti Fernand. Hanya saya sendiri yang tetap miskin, hina dan dilupakan oleh Tuhan." "Keliru, kawan," kata padri. "Kadang-kadang Tuhan seperti melupakan, ketika hukumNya belum berlaku, tetapi pada suatu saat, lambat atau cepat Beliau akan menunjukkan keadilanNya. Dan inilah salah satu buktinya." Sambil berkata begitu padri mengeluarkan lagi intan dari dalam kantongnya, memberikannya kepada Caderousse. "Ambillah," katanya. "Itu milik Tuan." "Apa! Buat saya sendiri?" teriak Caderousse. 'Tuan berolok-olok barangkali?" "Intan ini harus dibagi antara kawan-kawan Dantes, tetapi ternyata ia hanya mempunyai seorang kawan. Ambillah dan jual. Itu berharga lima puluh ribu frank, seperti tadi saya katakan. Saya harap mudah-mudahan jumlah itu cukup besar untuk menghentikan kemelaratan Tuan. Ambillah, tetapi harap ditukar . . ." Caderousse yang sudah menyentuh intan itu menarik lagi tangannya. Padri tersenyum. "Dengan dompet sutera merah yang ditinggalkan Tuan Morrel di tempat, perapian ayah Dantes. Bukankah Tuan masih menyimpannya?" Caderousse, lebih terheran-he ran lagi, pergi ke sebuah lemari besar, membukanya lalu mengeluarkan sebuah dompet yang sudah buram. Padri menerimanya Ban memberikan intan kepada Caderousse. Kemudian, selagi Caderousse masih terbata-bata mengucapkan terima kasihnya, ia meninggalkan ruangan, menaiki kudanya, melambaikan tangan kepada Cade rousse, kemudian melarikan kudanya ke arah datangnya tadi. Ketika Caderousse membalikkan badan, ternyata isterinya sudah ada di belakangnya. Mukanya lebih pucat dari biasa. "Apakah aku tidak salah dengar?" 'Tentang apa? Bahwa dia memberikan intan itu untuk kita sendiri?" kata Caderousse hampir gila karena gembira. "Ya." Tak ada yang lebih benar dari itu! Inilah dia!" Isterinya memperhatikan intan itu sebentar, kemudian berkata dengan polos, "Bagaimana kalau palsu?" Caderousse tiba-tiba merasa pening kepalanya. "Palsu? Apa maksud dia memberikan intan palsuf" "Untuk mendapatkan rahasiamu tanpa membayar, bodoh!" Caderousse makin pusing lagi. "Oh!" katanya setelah beberapa saat terdiam, lalu mengambil topinya. "Kita akan segera tahu." "Bagaimana?" "Di Beaucair ada pasar dan ada jauhari-jauhari dari Perancis di sana. Aku akan memperlihatkan intan ini kepada mereka. Jagalah kedai, aku akan kembali dalam dua jam." Dia melompat ke luar pintu dan terus berlari menuju pasar. "Lima puluh ribu frank!" kata Nyonya Caderousse kepada dirinya sendiri. "Banyak . . . tetapi bukan berlimpah." BAB XVII SEHARI setelah kejadian di kedai Caderousse, seorang laki-laki sekitar tiga puluh tahunan dengan gaya dan logat seorang Inggris datang menghadap walikota Marseilles. "Tuan Walikota," katanya. "Saya Kepala Kantor Perusahaan Thomson and French di Roma. Telah sepuluh tahun lamanya kami ada hubungan dagang dengan perasa sahaan Morrel and Son di Marseilles. Usaha kami dengan perusahaan itu sekarang telah meliputi jumlah seratus ribu frank, dan kami agak merasa cemas karena kami mendengar beritaberita bahwa perusahaan itu sedang terancam kehancuran. Saya sengaja datang dari Roma untuk meminta keterangan dari Tuan tentang hal ini." "Tuan," jawab Walikota. "Saya mengetahui bahwa Tuan Morrel sedang ditimpa nasib buruk secara bertubi-tubi selama empat atau lima tahun ini. Tetapi, sekalipun saya sendiri mempunyai pihutang kepadanya sekitar sepuluh ribu frank, saya tidak mampu memberikan keterangan tentang keadaan keuangannya. Bila Tuan menanyakan pendapat pribadi saya tentang Tuan Morrel, dapat saya katakan bahwa Tuan Morrel adalah seorang pengusaha yang sangat jujur, yang selama ini selalu memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan seksama dan tepat. Hanya itu yang dapat saya ketakan. Apabila Tuan menghendaki keterangan yang lebih banyak, saya sarankan Tuan menemui Tuan de BoviUe, Inspektur Penjara. Saya kira* uangnya yang tertanam dalam perusahaan itu ada sebanyak dua ratus ribu frank. Oleh karena sahamnya lebih besar dari saham saya dan kalau benar ada hal-hal yang perlu dikhawatirkan, saya pasti dia akan jauh lebih mengetahui persoalannya daripada saya." Orang Inggris itu meminta diri dan dengan gaya yang khas seorang putra Inggris Raya dia pergi menemui Inspektur Penjara. Tuan de Boville kebetulan ada di kantornya. Orang Inggris itu mengajukan pertanyaan seperti yang diajukan kepada Walikota. "Oh!" kata Tuan de Boville. "Kecemasan Tuan memang berdasar. Saya sendiri pun sudah putus harapan. Saya mempunyai saham seharga dua ratus ribu frank dalam perusahaan Morrel. Uang itu tadinya saya sediakan untuk bekal perkawinan anak gadis saya, dan kami merencanakan perkawinannya dua minggu lagi yang akan datang. Mestinya saya menerima seratus ribu frank tanggal lima belas bulan ini dan seratus ribu lagi tanggal lima belas bulan depan. Baru setengah jam yang lalu, Tuan Morrel datang ke mari mengatakan, kalau kapalnya Le Pharaon tidak kembali pada tanggal lima belas, maka tidak mungkin baginya membayar kewajibannya kepada saya. Saya khawatir ia bangkrut." "Saya kira Tuan sangat mencemaskan keselamatan saham Tuan, kalau begitu." "Saya telah menganggapnya sebagai hilang." "Baiklah, bagaimana kalau saham itu saya beli?" "Maksud Tuan dengan harga yang rendah sekali, tentu?" "Tidak, tetap dengan harga dua ratus ribu frank. Perusahaan kami tidak mencari keuntungan dengan cara demikian." ""Bagaimana dengan cara pembayarannya?" "Tunai." Orang Inggris itu mengeluarkan setumpuk uang kertas yang jumlahnya paling sedikit empat ratus ribu frank. Cahaya gembira bersinar di wajah BoviUe, tetapi dia berusaha menguasai diri dan berkata, "Saya berkewajiban memperingatkan bahwa mungkin Tuan hanya akan menerima kembali paling banyak sebesar enam persen dari jumlah itu." "Itu bukan soal saya," jawab orang Inggris itu. "Itu persoalan Thomson and French Mungkin saja mereka bermaksud mempercepat kehancuran perusahaan yang menjadi saingannya. Kewajiban saya hanya membayar, apabila Tuan bersedia menandatangani surat penyerahan saham itu. Tetapi saya perlu meminta komisi." "Tentu saja, saya pikir cukup wajar!" kata de BoviUe. "Biasanya komisi itu satu setengah persen berapa Tuan kehendaki? Dua — tiga — lima atau lebih dari itu?" **Tuan de BoviUe ,*' kata orang Inggris itu sambil tertawa. "Saya pun sama dengan perusahaan yang saya wakili. Saya tidak mencari keuntungan dengan cara demikian. Komisi yang saya harapkan, lain sekali sifatnya." "Katakan saja." "Tuan adalah Inspektur Penjara, bukan?" "Ya." **Dan menyimpan daftar tahanan yang dilengkapi dengan catatan-catatan mengenai setiap tahanan?" **Ya, setiap tahanan ada catatannya." "Baiklah. Saya dibesarkan oleh seorang padri yang miskin di Roma. Pada suatu hari padri itu tiba-tiba menghilang. Baru kemudian saya mendapat berita bahwa beliau ditahan di Penjara If. Saya ingin sekali mengetahui sebab-sebab kematiannya." "Siapa namanya?" "Padri Faria." "Oh ya, saya ingat betul!" kata Bovflle. "Dia menjadi gila. Ia mengaku mengetahui tempat suatu harta karun dalam jumlah yang tak terbayangkan dan menawarkan kepada pemerintah untuk ditukar dengan kemerdekaannya. Dia telah meninggal lima bulan yang lalu. Saya ingat betul tanggalnya karena kematian padri yang malang itu diikuti kejadiankejadian yang aneh." "Bolehkah saya mengetahui apa yang tuan maksud dengan kejadian yang aneh itu?" "Sel Faria letaknya kira-kira lima puluh kaki terpisah dari sel seorang agen Bonaparte, salah seorang yang turut membantu kembalinya Napoleon, dalam tahun 1815, agen yang sangat berbahaya. Saya telah pernah mengunjungi nya pada tahun 1816 atau 1817. Orang itu sangat mengesankan sehingga saya tidak mungkin melupakan wajahnya." Ada senyuman yang hampir-hampir tak tampak tersungging pada wajah orang Inggris itu. "Rupanya Dantes itu........." "Nama agen Bonaparte yang berbahaya itu?" "Ya, Edmond Dantes. Rupanya Dantes tanpa diketahui membawa beberapa perkakas atau mungkin juga ia berhasil membuatnya di dalam penjara, oleh karena ditemukan ada terowongan yang menghubungkan kedua sel itu." '*Saya kira terowongan itu dibuat untuk melarikan diri, bukan?" "Tepat sekali. Tetapi sial bagi mereka, Faria mengidap penyakit kataleptik, dan mati. Kematian padri itu mau dimanfaatkan oleh Dantes. Mungkin dia mengira bahwa tahanan yang mati dalam penjara akan dikubur dalam kuburan biasa, sebab itu dia memindahkan mayat Faria ke dalam kamarnya dan dia sendiri mengambil tempat Faria dalam karung. Tetapi dia keliru, Penjara If tidak mempunyai pekuburan. Mayat-mayat pesakitan dikubur dalam laut dengan diberati peluru meriam pada kakinya. Tentu Tuan dapat membayangkan betapa terkejutnya Dantes ketika menyadari bahwa ia dilemparkan ke dalam laut. Saya ingin sekali melihat bagaimana air mukanya pada waktu itu." "Suatu hal yang tidak mungkin," kata orang Inggris itu. "Memang!" kata Boville yang telah kembali gembira karena yakin akan mendapatkan lagi uangnya yang sudah dianggap hilang. "Tetapi saya dapat membayangkannya," Dia tertawa terbahak-bahak. "Saya pun dapat," kata orang Inggris yang juga turut tertawa, tetapi dengan lebih terkendalikan, khas seperti kebiasaan orang Inggris. Kemudian katanya lagi, "Artinya, pelarian itu mati tenggelam bukan?" *Pasti." "Baiklah. Bolehkah sekarang saya melihat daftar itu?" "Oh, ya, ya, maafkan saya, cerita tadi membelokkan saya dari persoalan pokok." Keduanya masuk ke dalam kantor Boville. Segala-galanya tersusun rapi. Orang Inggris itu duduk pada tangan-tangan sebuah kursi, Inspektur menyerahkan buku daftar pesakitan dan sebuah keterangan tentang Gedung If. Ia mempersilakan tamunya mempelajarinya sesuka hatinya, sedangkan ia sendiri mengambil tempat di sudut dan membaca surat kabar. Tanpa kesukaran orang Inggris itu dapat menemukan catatan-catatan mengenai padri Faria, tetapi ceritera Boville telah menggugah perhatiannya. Setelah membaca catatan itu dengan teliti, ia terus memeriksa buku itu lembar demi lembar sampai akhirnya ia menemukan catatan mengenai Edmond Dantes. Semuanya terdapat di sana: surat pengaduan, catatan pemeriksaan, permohonan Morrel dan juga pendapat dan catatan Viliefort Dengan hati-hati ia melipat surat pengaduan itu, kemudian memasukkannya ke dalam sakunya. Lalu dia membaca catatan pemeriksaannya. Dia tidak menemukan nama Noirtier. Setelah itu membaca, surat permohonan Morrel yang bertanggal 10 April 1815. Surat itu dibuat semasa Napoleon berkuasa. Itulah sebabnya dalam surat itu demi kebebasan Dantes, Morrel melebih-lebihkan jasa Dantes dalam rangka kembalinya Kaisar ke tampuk kekuasaan. Sekarang ia dapat mengerti dengan jelas sekali: setelah Kaisar Napoleon jatuh lagi dan Raja berkuasa kembali, surat permohonan itu menjadi senjata yang sangat berbahaya di tangan Viliefort Itu pula sebabnya ia tidak terlalu terkejut ketika membaca kata-kata berikut di sebelah nama Dantes: EDMOND DANTES. Agen Bonaparte yang gigih. Mengambil peranan aktif dalam pelarian Napoleon dari Elba. Harus disekap terpisah dan dijaga dengan ketat. Ia membandingkan catatan itu dengan keterangan yang dilampirkan kepada surat Morrel, dan ternyata tulisan tangannya sama. Keduanya ditulis oleh Viliefort. "Terima kasih," kata orang Inggris itu sambil menutup buku daftar. "Saya telah mendapatkan semua yang saya perlukan. Sekarang giliran saya untuk memenuhi janji. Silakan Tuan membuat surat penyerahan saham itu,** Tuan BoviUe cepat-cepat mempersiapkan surat-menyurat sedangkan orang Inggris itu menghitung uangnya. BAB XVIII KEADAAN perusahaan Morrel & Son sekarang sudah sangat berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Kalau dahulu terasa suasana gembira dan kemakmuran yang terpancar dari gedungnya yang mewah, selalu tampak kesibukan para pegawai, pekarangannya selalu penuh dengan barang ber koh koh dan para penjaganya riang gembira, sekarang yang sangat terasa suasana murung dan kelumpuhan. Dari sekian banyak pegawainya yang dahulu memenuhi ruangan kantor sekarang hanya tinggal dua orang lagi. Yang satu, seorang anak muda berumur dua puluh tiga tahun bernama Emmanuel Herbaut, yang tetap saja bertahan sekalipun keluarga Morrel sudah beberapa kali menasihatinya untuk pindah kerja. Mungkin sebabnya yang utama untuk tetap tinggal karena ia sudah saling jatuh cinta dengan putrinya Tuan Morrel. Yang seorang lagi kasir tua bermata satu bernama Codes, seorang pegawai yang baik, sabar dan setia, tetapi yang kokoh bagaikan batu karang apabila sudah berbicara tentang angka-angka, kalau sudah berbicara tentang ini ia bersedia mempertahankannya terhadap seluruh dunia, bahkan juga terhadap Morrel, kalau perlu. Dia telah bekerja dengan Morrel selama dua puluh tahun. Oleh sebab itu dia tidak melihat suatu aJasan pun untuk merubah kesetiaannya. Kewajiban-kewajiban perusahaan yang harus dilunasi bulan lalu telah dipenuhi seluruhnya dan tepat pada waktunya. Tetapi untuk itu ia harus menyerahkan milik keluarganya. Karena takut kesusahannya diketahui umum di Marseilles, secara diamdiam ia pergi ke Beaucaire untuk menjual beberapa perhiasan istrinya dan sebagian dari barang-barang peraknya. Berkat pengorbanannya inilah ia masih dapat menyelamatkan nama baik perusahaannya. Tetapi dengan terpenuhi kewajibannya yang terus memberat itu, Morrel belum terlepas dari kesukarannya, bahkan setiap jam yang dilalui, ia rasakan sebagai suatu siksaan yang kejam. Sekarang, kekayaannya mulai surut. Hanya tinggal Le Pharaon yang merupakan andalan untuk dapat membayar hutangnya sebesar seratus ribu frank kepada de Boville yang harus dipenuhi pada tanggal lima'belas bulan ini, dan hutang-hutang lainnya yang keseluruhannya berjumlah tiga ratus ribu frank, yang harus dibayar tanggal lima belas bulan berikutnya. Kapal milik orang lain yang meninggalkan Calcuta pada hari bersamaan dengan Le Pharaon telah tiba dua rmnggu yang lalu di Marseilles, sedangkan Le Pharaon belum terdengar kabar beritanya. Begitulah keadaan Morrel dengan perusahaannya ketika seorang utusan dari perusahaan Thomson and French mengunjunginya. Dia diterima oleh Emmanuel yang seterusnya meminta Cocles membawa tamu itu ke kamar Morrel. Di tangga menuju ruang kerja Morrel mereka berpapasan dengan seorang gadis cantik berumur kira-kira enam belas tahun yang memandang tamu itu dengan kekhawatiran. "Tuan Morrel ada di kamarnya, Nona Julie?" kasir bertanya. "Saya kira ada," jawabnya ragu-ragu. "Sebaiknya lihat saja dahulu, Cocles." Tak ada gunanya memberitahukan dahulu, karena Tuan Morrel tidak mengenal nama saya, Nona," kata orang Inggris itu. "Saya adalah Kepala Kantor Thomson & French perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan perusahaan ayah Nona." Muka gadis itu mendadak pucat dan segera ia menuruni tangga, sedangkan Cocles dan tamu itu terus naik. Gadis itu memasuki ruang kerja Emmanuel. Cocles dengan menggunakan kuncinya sendiri membuka sebuah pintu di lantai ketiga. Dia membawa tamunya ke ruang tunggu, kemudian masuk melalui pintu kedua, menutupnya, lalu kembali lagi setelah beberapa saat, dan mempersilakan tamu itu masuk. Morrel berdiri dan mempersilakan tamunya duduk. Pemilik kapal yang pernah kaya itu telah banyak sekali berubah dalam empat belas tahun ini. Sekarang umurnya lima puluh tahun. Rambutnya telah memutih, matanya yang dahulu bersinar tegas dan penuh kepastian, sekarang telah layu dan menyorotkan kebimbangan. Orang Inggris itu memandangnya dengan penuh perhatian dan rasa heran. "Saya kira Tuan mengetahui siapa yang saya wakili, bukan?" tanyanya. "Kasir saya memberitahukan bahwa Tuan Kepala Kantor Thomson & French," "Benar. Perusahaan saya mempunyai banyak kewajiban yang harus dilunasi di Perancis dalam bulan ini dan bulan depan. Oleh karena kami mengetahui akan ketepatan dan keseksamaan Tuan yang sangat kesohor, mereka membeli sebanyak mungkin suratsurat hutang yang Tuan tanda-tangani dan saya ditugaskan menagihnya kepada Tuan nanti apabila temponya telah jatuh." Morrel terdengar mengeluh sambil mengusap dahinya. "Jadi Tuan memegang suratsurat hutang yang saya tanda tangani?" "Ya," kata orang Inggris itu, lalu mengeluarkan setumpuk surat "Pertama sekali, ini ada sebuah surat penyerahan seharga dua ratus ribu frank yang diberikan kepada kami oleh Tuan de BoviUe?" "Ya, itu adalah saham yang dia tempatkan pada saya dengan bunga empat setengah persen sejak lima tahun yang lalu. Setengahnya harus sudah saya kembalikan tanggal lima belas bulan ini dan setengahnya lagi tanggal lima belas bulan depan." "Tepat sekali. Kemudian ada beberapa lagi surat hutang yang harus dibayar akhir bulan ini, semuanya berjumlah tiga puluh dua ribu lima ratus frank." "Itu pun saya akui," kata Morrel. Wajahnya agak kemerah-merahan karena malu ketika terbayang bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya ia tidak akan dapat memenuhi janjinya. "Masih ada lagi?" "Tidak, kecuali surat-surat ini yang temponya jatuh pada akhir bulan depan. Jumlahnya lima puluh lima ribu frank. Jadi keseluruhannya tagihan kami berjumlah dua ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus frank." Sangat sulit menggambarkan bagaimana menderitanya hati Morrel ketika mendengar angka-angka itu. - "Dua ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus frank," dia mengulanginya perlahanlahan. "Tepat," kata tamunya. "Sekarang," katanya lagi setelah berdiam sebentar, "saya ingin berterusterang, Tuan Morrel. Sekalipun Tuan termashur jujur, namun sekarang terdengar desas-desus yang santer bahwa Tuan berada dalam keadaan tidak mampu membayar kewajiban-kewajiban Tuan."' Wajah Morrel mendadak menjadi pucat mendengar keterusterangan yang mendekati ketidaksopanan ini. **Saya menerima perusahaan ini dari ayah saya " katanya, "setelah beliau sendiri memimpinnya selama tiga puluh lima tahun. Setelah waktu itu tidak pernah ada satu pun surat hutang yang ditandatangani oleh Morrel & Son yang tidak dibayar." "Ya, ya, saya tahu," jawab tamu itu. "Tetapi, sebagai seorang yang biasa menjaga nama baik terhadap orang lain dan juga menjaga kehormatan dirinya, sudikah Tuan berterusterang, apakah Tuan akan sanggup membayar surat-surat ini dengan ketepatan dan keseksamaan yang sama seperti dahulu?" "Pertanyaan yang terus terang wajib mendapat jawaban yang terus-terang pula," jawab Morrel. "Ya, saya akan membayarnya kalau kapal saya datang dengan selamat seperti yang saya harapkan, karena hanya kapal itulah yang akan dapat mengembalikan hutang dan nama baik saya yang rusak akibat kernalangan-kemalangan yang timpa-menimpa. Tetapi, seandainya Le Fharaon, rnuik saya yang terakhir itu tidak datang, saya khawatir akan terpaksa menangguhkan pembayaran itu. "Ketika saya datang ke mari," kata orang Inggris itu, "saya melihat ada sebuah kapal masuk pelabuhan." "Saya tahu. Kapal itu pun datang dari India, tetapi bukan milik saya," kata Morrel. Kemudian menambahkan perlahan-lahan, "Keterlambatan ini tidak biasa. Le Pharaon meninggalkan Calcuta tanggal lima Februari, seharusnya sudah sampai sebulan yang lalu." "Apa itu?" tanya tamu tiba-tiba. "Apa arti kegaduhan itu?" "Ya Tuhan!" Morrel pun berteriak terkejut. "Apapula yang terjadi sekarang?" Terdengar suara orang-orang berjalan di tangga. Terdengar pula teriakan-teriakan sedih. Morrel berdiri hendak membuka pintu, tetapi tenaganya seakan-akan hilang dan ia terjatuh kembali duduk di kursinya. Kemudian suara-suara itu lenyap, namun Morrel masih memperkirakan akan segera muncul sesuatu yang lain. Sekarang terdengar bunyi kunci di pintu sebelah luar. "Hanya ada dua orang yang mempunyai kunci pintu itu, Cocles dan Julie," katanya pelan-pelan. Setelah itu pintu ruang kerjanya terbuka dan anak perempuannya berlari masuk, pipinya basah karena air mata. Dia merebahkan diri di pangkuan ayahnya, lalu berkata, "Oh, Ayah, Ayah! Kuatkan hati Ayah!" *'Le Pharaon tenggelam, bukan?" tanya Morrel dengan suara tertahan. Gadis itu tidak menjawab, kepalanya saja yang mengangguk. Lalu ia menekankan kepalanya pada dada ayahnya. "Bagaimana dengan awaknya?" "Mereka selamat ditolong kapal yang baru saja masuk pelabuhan." Morrel menengadahkan kepalanya, air mukanya penuh rasa syukur. "Terima kasih, ya Tuhan," katanya. "Setidak-tidaknya Engkau tidak memukul yang lain selain aku." Pada saat itu Nyonya Morrel masuk sambil terisak-isak, diikuti deh Emmanuel. Di belakang mereka, di ruang tunggu ada delapan orang pelaut yang setengah telanjang. Orang Inggris itu terkejut ketika melihat awak-awak kapal itu. Ia melangkah menghampiri mereka, tetapi segera menahan dirinya lagi kemudian mengundurkan diri ke sudut ruangan. "Bagaimana terjadinya?" tanya Morrel. "Masuk, Penelon!" kata Emmanuel "Coba ceriterakan " Seorang pelaut dengan muka kemerah-merahan karena sinar matahari maju ke depan sambil memegang topi. "Selamat siang. Tuan Morrel," katanya dengan nada seperti ia meninggalkan Marseilles baru hari kemarin. "Selamat datang, kawan," jawab pemilik kapal yang tidak dapat menahan senyumnya sekalipun matanya basah karena air mata. "Mana Kapten?" "Ia sakit, Tuan Morrel. Dia tertinggal di Palma. Tetapi bila Tuhan menghendakinya ia akan datang segera dalam keadaan sehat seperti saya," "Syukur .......... Sekarang, Penelon, coba ceriterakan." Penelon memindahkan susurnya dari kanan ke kiri, menghapus bibirnya, berbalik sebentar lalu meludahkan ludahnya yang kehitam-hitaman. Setelah itu dia maju lagi selangkah dan mulai berkata. "Begini Tuan. Ketika kami berada antara Tanjung Blance dan Tanjung Boyador dengan mendapat angin yang baik, Kapten Gaumard datang menghampiri saya — saya lupa mengatakan bahwa saya memegang kemudi — dan berkata, 'Penelon, apa pendapatmu tentang awan yang muncul di kaki langit itu?' Kebetulan saya sendiri pun sedang memperhatikannya. 'Akan saya katakan apa pendapat saya, Kapten,' jawab saya. 'Saya kira awan itu bergerak terlampau cepat dari kebiasaannya, dan saya kira warnanya terlalu gelap sehingga sangat mencurigakan!* 'Saya kira engkau benar/ kata "Kapten. 'Kita menghadapi taufan.' Setelah kami diumbang-ambing selama dua belas jam, terjadi kebocoran pada kapal. Yenelon/ kata Kapten. Kukira kita akan tenggelam. Aku pegang kemudi dan engkau periksa mang bawah.'- Ketika saya tiba di bawah ternyata air sudah setinggi tiga kaki di tempat muatan. Saya cepat berlari kembali ke atas berteriak-teriak : Pompa! Pompa! Kami semua berusaha keras, tetapi sudah terlambat. Makin banyak air kami pompa keluar, lebih banyak pula yang masuk. Setelah bekerja kurang lebih satu jam saya berkata: Oleh karena tak ada harapan lagi, biarlah dia tenggelam. Hanya sekali kita mati! Itukah teladan yang akan kauberikan, Penelon?' kata Kapten. Tunggu sebentar/ Dia pergi ke kamarnya dan kembali lagi membawa dua buah pistol di tangannya. 'Aku akan menghancurkan setiap kepala orang yang meninggalkan pompa!' katanya. Yah, rasanya tak akan ada sesuatu yang dapat membangkitkan lagi keberanian kami kecuali ancaman seperti itu. Akhirnya, angin pun mereda tetapi air masih tetap masuk. Tidak banyak, hanya sekitar dua inci dalam setiap jam. Tampaknya memang sedikit — dua inci sejam — tetapi dalam dua belas jam menjadi dua puluh empat inci, berarti dua kaki. Kalau kapal sudah mempunyai air lima kaki dalam perutnya, itu sudah membahayakan. 'Cukup/ kata Kapten. 'Kita sudah berusaha menyelamatkan kapal, sekarang kita harus menyelamatkan diri kita sendiri. Naik sekoci! Cepat!n Kami mencintai Le Pharaon, Tuan Morrel. Tetapi betapapun seorang pelaut mencintai kapalnya, ia akan lebih mencintai jiwanya sendiri. Kami tidak membantah ketika Kapten memerintahkan kami naik sekoci, terutama setelah Le Pharaon seakan-akan mengerangngerang dan berteriak kepada kami: Cepat! Pergi! Pergi! Dan Le Pharaon yang malang itu memang tidak berbohong, karena kami pun merasakan tenggelamnya. Tepat ketika saya meloncat ke dalam sekoci terdengar kapal pecah bagaikan ledakan-ledakan meriam sebuah kapal perang yang dipasang sekaligus berbarengan. Sepuluh menit kemudian, haluannya sudah di bawah air, lalu buritannya, kemudian berputar seperti anjing mau menjilat buntutnya, dan akhirnya. . . . lenyaplah Le Pharaon. Kami terapung-apung tiga hari lamanya tanpa makan tanpa minum. Kami sudah mulai berbicara tentang undian siapa yang lebih dahulu harus menyediakan diri untukmen-jadi makanan kami. Saat itulah kami ditolong kapal Gironde yang kebetulan lewat, lalu membawa kami kembali ke Marseilles. Demi kehormatanku sebagai pelaut, itulah ceriteranya, Tuan Morrel. Benar, kawan-kawan?" Kawan-kawan Penelon bergumam membenarkan. "Kalian telah bertindak sebaik-baiknya," kata Morrel. "Kalian semua adalah pelaut yang baik. Sejak dari permulaan aku sudah tahu tidak dapat menyalahkan orang lain, selain nasib burukku sendiri. Semua ini kehendak Tuhan, bukan kesalahan manusia. Sekarang berapa gaji kalian yang belum dibayar?" "Ah, tidak perlu kita membicarakan persoalan itu, Tuan Morrel." "Aku mau membicarakannya," kata pemilik kapal dengan senyum sedih. "Kalau itu yang Tuan kehendaki tiga bulan," kata Penelon. "Cocles, beri pelaut-pelaut berani itu dua ratus frank masing-masing. Kalau keadaannya tidak seperti sekarang, pasti aku akan menambahkan: 'Dan beri masingmasing dua ratus frank lagi sebagai ekstra.' Tetapi sayang keadaanku sekarang tidak mengizinkan, kawan. Sisa-sisa uang yang tinggal sedikit, dalam waktu yang singkat sudah baukan milikku lagi. Oleh sebab itu maafkan aku dan harap hal ini tidak akan.menyebabkan kalian memandang rendah kepadaku. Terimalah uang itu dan silakan mencari kapal Lain. Kalian bebas sekarang." Kalimat yang terakhir ini memberikan pengaruh yang cukup besar pada kelasi-kelasi itu. Mereka saling berpandangan dalam kebingungan. Susur Penelon hampir saja tertelan kalau saja ia tidak cepat-cepat memegang tenggorokannya. "Apa!" ia berteriak tertahan. "Apakah Tuan memecat kami, Tuan Morrel? Apakah Tuan tidak puas dengan kami?" "Bukan, bukan begitu," jawab Morrel. "Aku bukan tidak puas, balikan sebaliknya sekali. Tetapi apa lagi yang dapat aku perbuat? Aku tidak mempunyai lagi kapal sekarang dan tidak lagi mempunyai uang untuk membuat kapal baru." "Bila Tuan tidak mempunyai lagi uang, tak usah kami dibayar. Kami bisa bekerja tanpa uang." "Cukup, cukup," kata Morrel lagi. Suaranya tersendat karena terharu. "Kita akan berjumpa lagi nanti pada suatu saat, dalam keadaan yang lebih menyenangkan. Emmanuel, antar mereka dan jaga agar keinginanku terlaksana." Dia memberi isyarat kepada Cocles yang segera meninggalkan ruangan. Para pelaut mengikutinya, kemudian disusul oleh Emmanuel. "Nah," Morrel berpaling kepada isteri dan anak gadisnya. "Tinggalkan aku sebentar dengan tamu kita ini." Dia melirik kepada utusan Thomson & French yang sedari tadi mengikuti peristiwa itu dari sudut ruangan tanpa berkata sepatah pun. Isteri dan puteri Morrel keluar meninggalkan mereka berdua. "Tuan telah melihat dan mendengar semua," kata Morrel sambil merebahkan diri ke kursi. "Saya rasa tidak ada yang perlu saya katakan lagi." "Saya menyaksikan," jawab orang Inggris itu, "bahwa Tuan telah ditimpa lagi kemalangan baru yang saya kira selayaknya tidak perlu Tuan derita. Hal ini memperbesar keinginan saya untuk menolong Tuan. Bukankah kami pemegang surat hutang Tuan yang terbesar?" "Setidak-tidaknya Tuan memegang surat-surat hutang yang harus dibayar paling cepat." "Berkeberatankah Tuan apabila saya mengundurkan hari pembayaran?" "Pengunduran waktu itu akan berarti penyelamatan kehormatan saya, sekaligus juga berarti penyelamatan jiwa saya." '* "Berapa lama Tuan kehendaki?" Morrel ragu-ragu. "Dua bulan," katanya. "Baik. Saya berikan tiga bulan." 'Tetapi, apakah perusahaan yang Tuan wakili akan ..." "Jangan khawatir. Saya bertanggungjawab sepenuhnya. Hari ini tanggal lima Juni. Silaukan Tuan menukar surat ini dengan yang baru yang jatuh tempo tanggal lima September nanti. Saya akan berada lagi di sini pada jam yang sama, jam sebelas siang, tanggal lima September." Surat hutang yang baru segera dibuat, yang lama disobek, pemilik kapal yang malang itu mempunyai waktu tiga bulan lagi untuk mengerahkan sisa-sisa kekayaannya yang terakhir. Orang Inggris itu menerima ucapan terima kasih dari Morrel dengan sikap yang terkendalikan, kemudian memin-ta diri. Di tangga ia bertemu dengan Julie. Julie berpurapura akan turun ke bawah, padahal sebenarnya sengaja ia menanti tamu itu di sana. „ "Oh, Tuan__ " "Nona," kata orang asing itu. "Nona akan menerima sepucuk surat yang ditandatangani oleh 'Sinbad Pelaut'. Lakukan dengan setepatnya apa yang tertulis dalam surat itu, betapapun anehnya pernuntaannya." "Baik." "Maukah Nona berjanji akan melaksanakan semua yang tertulis?" "Saya bersumpah." "Terima kasih. Selamat tinggal, Nona. Tetaplah menjadi gadis yang baik seperti sekarang dan saya yakin pada suatu saat nanti Tuhan akan membalas kebaikan itu dengan menyerahkan Emmanuel sebagai suami." Pipi Julie berubah menjadi merah, dari mulutnya keluar suara perlahan, entah karena terkejut entah karena gembira. Di pekarangan orang Inggris itu bertemu dengan Penelon sedang memegang uang dS kedua belah tangannya. Ia masih bingung, apakah ia akan menerima uang itu atau tidak. "Ikut saya, kawan," kata tamu itu. "Saya ingin bicara sebentar." BAB XTX PENGUNDURAN waktu yang diberikan secara tiba-tiba itu diartikan oleh Morrel sebagai permulaan kembalinya kemujuran dan dianggapnya sebagai pemberitahuan bahwa nasib buruk sudah mulai bosan menyerangnya. Satu-satunya jalan pikiran Thomson & French yang masuk di akal Morrel adalah: "Lebih baik memberi kesempatan dan menerima lagi piutang sekitar tiga ratus ribu frank itu tiga bulan kemudian daripada mempercepat kebangkrutan Mocrel tetapi hanya menerima kembali sebanyak enam persen dari jumlah tagihannya." Sayang sekali penagih-penagih lainnya tidak berpikir seperti itu. Bahkan beberapa orang berpikir sebaliknya-Mereka menuntut dengan keras disertai ancaman agar tagihannya dibayar pada waktunya. Hanya berkat keleluasaan orang Inggris itu Morrel dapat membayar mereka. Sejak itu tidak pernah lagi utusan Thomson & French itu tampak. Dia menghilang dua hari setelah kunjungannya kepada Morrel. Adapun awak kapal Le Pharaon, rupanya mereka telah mendapatkan lagi pekerjaan di kapal lain, karena mereka pun semua menghilang. Dua bulan lamanya Morrel berusaha keras memperbaiki keadaannya namun tidak berhasil. Pada tanggal dua puhih Agustus ia kelihatan meninggalkan Marseilles. Kejadian ini menimbulkan sangkaan orang bahwa kebangkrutannya akan diumumkan pada akhir bulan dan kepergiannya itu dianggap sebagai usaha menjauhi hari kejatuhannya. Tetapi ketika tanggal tiga puluh satu Agustus tiba, Cocles membayar semua tagihannya yang disodorkan kepadanya. Hal ini sangat mengejutkan mereka yang meramalkan kehancuran Morrel. Tetapi dengan kekerasan hati seorang peramal kehancuran, mereka mengundurkan tanggal kejatuhan Morrel sampai akhir bulan September. Morrel kembali ke Marseilles pada tanggal satu September. Keluarganya telah menantinya dengan hati berdebar-debar, karena kepergiannya ke Marseilles itu merupakan usaha penyelamatan yang terakhir. Morrel teringat kepada Danglars yang sekarang telah menjadi jutawan dan yang seharusnya masih berhutang budi kepadanya karena berkat pertolongannya, Danglars dapat memperoleh jabatan baik pada bankir orang Spanyol dan mulai berhasil menumpuk kekayaannya. Danglars mempunyai tagihan pada berbagai orang dalam jumlah yang tak terbatas, sehingga kalau mau menolong ia tidak perlu mengambil satu frank pun dari' kantongnya. Cukup dengan menjamin Morrel mendapatkan pinjaman-pinjaman baru. Dengan itu Morrel akan selamat. Sebenarnya telah lama sekali Morrel teringat kepada Danglars, tetapi selalu saja ada rasa enggan untuk mengunjunginya, dan menundanya sampai keadaan sangat mendesak. Ternyata perasaannya tidak keliru, ia kembali ke Marseilles dengan perasaan pedih karena penolakan Danglars. Walau demikian, tidak sepatah pun keluhan atau sebang-sanya keluar dari mulutnya ketika ia tiba di rumah. Dia mencium isteri dan anaknya, menjabat tangan Emmanuel dengan hangat, lalu masuk ke kantornya dan memanggil Cocles! "Sekali ini kita betul-betul hancur,** kata isteri dan anak Morrel kepada Emmanuel. Setelah mereka berunding sebentar, diputuskan agar Julie menyurati kakaknya yang tinggal di sebuah garnisun di Nimes dan meminta supaya segera pulang. Sekalipun baru berumur dua puluh tiga tahun, Maxmilien Morrel mempunyai pengaruh yang besar terhadap ayahnya. Ia seorang yang keras hati tetapi tulus. Ketika tiba saatnya, ia memutuskan memilih kemiliteran sebagai lapangan hidupnya, la menamatkan pendidikannya di Ecole Polytechnique dengan angka-angka yang cemerlang. Sekarang sudah berpangkat letnan dan mempunyai kemungkinan besar untuk mendapatkan kenaikan pangkat yang dipercepat” Juhe dan ibunya tidak salah meraba keadaan. Setelah beberapa saat bersama Morrel di kantornya, Cocles keluar dengan wajah yang sangat pucat dan badan lemas. Air mukanya penuh kecemasan. Julie mencoba menanyainya, tetapi Cocles tidak mau berhenti. Dia hanya berkata, "Sangat menyedihkan. Saya tidak pernah membayangkannya!** Emmanuel Imencoba menenteramkan kedua wanita itu, namun tidak banyak hasilnya. Ia mengetahui benar keadaan keuangan perusahaan itu sehingga tidak dapat mengelakkan bayangan kehancuran yang mengancam keluarga Morrel. Esok paginya Morrel tampak tenang dan memasuki kantornya seperti biasa. Tetapi pada malam hari setelah makan, la tidak dapat menahan diri untuk merangkul puterinya dan mendekapkannya ke dada untuk beberapa saat. Juhe bercerita kepada ibunya, bahwa sekalipun ayahnya tampak tenang, namun ia dapat mendengar dengan jelas detak jantungnya keras dan cepat. Dua hari berikutnya berlalu seperti hari-hari yang lewat Pada tanggal empat September malam *iari Morrel meminta agar Julie mengembalikan kunci pintu kantornya, Julie terkejut. Mengapa ayahnya meminta kembali kunci yang telah sekian lama dipegangnya? Hanya pernah sekali dahulu ayahnya meminta kunci itu sebagai hukuman ketika ia masih kanak-kanak. "Apa kesalahan saya, Ayah?*1 Pertanyaan yang sederhana itu menyebabkan mata Morrel nerlinang. "Tidak ada, anakku " jawabnya. "Aku memerlukannya, hanya itu." "Saya ambil dahulu di kamar " katanya pura-pura. Dia keluar, bukan ke kamarnya melainkan menemui Emmanuel untuk meminta pendapatnya. "Jangan diberikan, kata Emmanuel. "Dan kalau dapat, besok, jangan beliau ditinggalkan sedetik pun." Julie mendesak meminta penjelasan, tetapi Emmanuel tidak mau berbicara lagi. Esok harinya Morrel sangat ramah terhadap isterinya dan menunjukkan kasih sayangnya kepada Julie lebih daripada biasanya. Tak henti-hentinya ia memandang wajah Julie, dan berkali-kali ia rnenciumnya. Julie teringat kepada nasihat Emmanuel. Ia mencoba mengikuti ayahnya ke kantornya, tetapi dengan halus sekali Morrel menahannya dan berkata, "Temani ibumu." Caranya Morrel melarang demikian rupa sehingga Julie tidak berani membantahnya Setelah ayahnya pergi, Julie bingung, tegak berdiri bagaikan patung. Tiba-tiba pintu terbuka. Ia berteriak kegirangan, "Maximihen!" Mendengar teriakan Julie, Nyonya Morrel datang berlari lalu melemparkan diri ke dalam pelukan puteranya. "Ada apa? " tanya anak muda itu, mula-mula melihat kepada ibunya kemudian kepada adiknya. "Suratmu sangat mencemaskan. Sebab itu aku datang secepat mungkin." "Julie," kata ibunya. ' Bentan u Ayah, Maximihen telah datang." Julie berlari keluar tetapi di ujung tangga ia dicegat seorang laki-laki yang memegang surat. "Nona Julie?" tanyanya dengan aksen Itali. "Betul," Julie menjawab heran. "Apa yang Tuan kehendaki, saya tidak mengenal Tuan." "Bacalah ini," kata orang itu menyerahkan surat. Julie ragu-ragu. "Keselamatan ayah Nona tergantung kepada surat itu," Julie merebut surat itu, menyobek sampulnya, kemudian membaca: Segera pergi ke Allees de Meilhan No. 1 5 . Minta kepada penjaga kunci kamar di lantai enam, masuk ke dalam kamar itu ambil dompet sutera merah yang akan Nona temukan di dekat perapian lalu serahkan kepada ayah Nona. Usahakan supaya beliau menerimanya sebelum jam sebelas. Sekali lagi sebelum jam sebelas. Nona telah berjanji akan mengikuti petunjuk saya sepenuhnya. Saya ingatkan Nona kepada sumpah itu. SlNBAD PELAUT Julie mengangkat kepalanya, hatinya gembira. Ia mencari pengantar surat itu, namun ia telah hilang. Dalam pada itu, Nyonya Morrel telah menceriterakan segala sesuatu kepada puteranya. Anak muda itu telah mengetahui kemalangan-kemalangan yang menimpa ayahnya, namun tidak pernah mengetahui dengan tepat bagaimana gawatnya. Untuk sementara ia berdiri termenung, setelah itu cepat-cepat berlari menuju kamar kerja ayahnya. Lama dia. mengetuk pintu tanpa jawaban. Tiba-tiba ia melihat ayahnya keluar dari kamar tidurnya, sambil menekan perutnya dengan maksud menyembunyikan sesuatu di balik jasnya. Dia terkejut melihat Maxlmilien, oleh karena tidak tahu bahwa anaknya akan datang. Maxmilien berlari menghampiri ayahnya kemudian memeluknya. Tetapi tiba-tiba ia melepaskan pelukannya lalu mundur lagi selangkah. Wajahnya pucat bagaikan mayat. "Ayah, mengapa ayah membawa pistol?" "Maxmilien," jawab Morrel sambil menatap anaknya. "Engkau telah dewasa sekarang, dan seorang laki-laki terhormat. Mari ikut aku." Keduanya masuk ke dalam ruang kerja. Morrel meletakkan kedua pistol'di sudut meja, kemudian menunjuk kepada sebuah buku besar yang terbuka. Dalam buku itu tercatat segala sesuatu tentang keadaannya. "Bacalah," katanya. Maxmilien membaca dan tetap bungkam untuk semen tara, terpengaruh oleh gejolak hatinya. Akhirnya ia berkata, "Apakah semua kekayaan Ayah telah habis?" "Semua." "Dalam tempo setengah jam lagi, kalau begitu, nama baik keluarga kita akan tercemar." "Ya, tetapi darah dapat membersihkannya kembali * "Ayah benar. Saya dapat memahami pendirian Ayah," kata Maxmilien. Dia memeluk lagi ayahnya, dan untuk beberapa saat dada kedua orang yang mulia itu saling merasakan detak jantung masing-masing. "Sekarang, temanilah ibumu dan adikmu," kata Morrel. "Berkahilah saya dahulu, Ayah," kata anak muda itu lalu bertekuk lutut di hadapan ayahnya. Morrel memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangannya lalu berkata, "Ya. Aku memberkahimu dengan nama keturunan kita yang tidak pernah tercela. Dengarkan apa yang mereka katakan melalui mulutku: Sikap hemat dapat membangun kembali bangunan yang hancur oleh kemalangan. Dengan keyakinan itulah aku'menjalani kematianku. Kebanyakan orang yang lemah hatinya akan menaruh iba kepada kita. Tunjukkan bahwa engkau bukan orang yang perlu dikasihani. Bekerjalah, anakku, berjuanglah dengan gigih dan berani. Belanjakan penghasilanmu dengan sekedar cukup untuk menghidupi dirimu sendiri, ibumu dan adikmu, agar engkau dapat membayar hutanghutangku agar pada suatu hari nanti, di dalam ruangan yang ini juga, engkau dapat mengatakan: 'Ayahku mati karena beliau tidak dapat mengerjakan apa yang aku kerjakan sekarang, namun beliau meninggal dengan tenang karena beliau yakin aku akan dapat melakukannya.' " "Oh, Ayah» Ayah! Jangan!" Hati yang sudah teguh tadi, luluh lagi. "Bila aku tetap hidup, keadaan akan lain. Aku hanya akan menjadi orang yang tidak dapat menghormati kata-katanya sendiri, yang gagal memenuhi kewajiban-kewajiban nya. Tetapi bila aku mati, hanya jasadku saja yang hancur, sedang kehormatan ku tetap terpelihara. Bila aku hidup, engkau akan malu memakai namaku. Bila aku mati, engkau akan tetap dapat berdiri tegak dan dapat berkata dengan bangga, 'aku anak seorang yang mati membunuh diri karena untuk pertama kali dalam hidupnya tidak mampu memenuhi janjinya.'" Maxirnilien terdengar menangis. Untuk kedua kalinya la yakin akan benarnya tindakan ayahnya. Sekali ini bukan meresap ke dalam kepalanya, melainkan langsung ke dalam hatinya. Dia pasrah. "Dan sekarang selamat tinggal, anakku " kata Morrel. Tinggalkan aku sendiri. Surat wasiatku ada di kamar tidur." Maximilien berdiri ragu-ragu untuk beberapa saat, kemudian memeluk ayahnya eraterat, lalu berlari ke luar. Setelah anaknya pergi, Morrel memijit bel. Codes muncul. "Codes yang baik," katanya dengan nada suara yang sukar dilukiskan, "tunggu di ruang tunggu. Bila utusan Thomson & French datang, beritahu aku." Codes tidak menjawab, ia hanya mengangguk, lalu keluar, duduk di ruang tunggu menanti Morrel menyandarkan dirinya di kursi, melihat jam. Hanya tinggal tujuh menit lagi. Pistolnya, kedua-duanya telah terisi. Salah satu diambilnya sambil menyebut nama anak gadisnya perlahan-lahan.Pistol diletakkannya kembali, dia mengambil pena dan kertas, menulis beberapa kalimat perpisahan untuk Julie. Dia melihat lagi jam ketika selesai menulis. Sekarang bukan menit lagi yang dihitung melainkan detik. Diambilnya lagi sebuah pistol dengan mata memandang tajam ke jarum jam. Dia terkejut oleh suara yang dibuatnya ketika ia mengokang pistolnya. Tepat pada saat itu ia mendengar pintu kantornya dibuka orang Dia tidak menoleh ketika Codes berkata, "Utusan Thomson 4 French." Morrel mengarahkan laras pistolnya ke mulutnya. Tiba-tiba ia mendengar orang berteriak. Suara Julie. Ia berbalik dan melihat Julie masuk. Pistol terjatuh dari tangannya. "Ayah! AyahV* Napasnya terengah-engah, matanya liat karena gembira. "Selamat! Ayah selamat!" Julie rnenyc* rahkan dompet merah. "Lihat! Lihat!" Morrel menerima dompet merah itu, hatinya bimbang karena secara samar-samar merasa telah pernah melihatnya. Di salah satu bagian dalam dompet itu terdapat surat hutang bernilai dua ratus delapan puluh tujuh ribu frank. Sudah dicap lunas. Di bagian lain ada sebuah intan sebesar kenari disertai tulisan pada secarik kertas perkamen: "Hadiah perkawinan Julie." Morrel memukulkan tangannya ke dahi. Serasa dia dalam mimpi. Jam berbunyi tepat sebelas kali. "Katakan» anakku," tanya Morrel. "Dari mana engkau mendapatkan dompet ini?" "Di sebuah rumah di Allees de Meilhan." "Tetapi ini bukan milikmu!" Julie memperlihatkan surat yang diterimanya tadi pagi. "Tuan Morrel!" teriak seseorang di tangga. Emmanuel masuk, wajahnya merah cerah. "Le Pharaonf" katanya, "Le Phamon!" "Ada apa dengan Le Pharaonf Engkau gila barangkali, Emmanuel. Engkau tahu Le Pharaon sudah tenggelam." "Le Pharaon masuk pelabuhan!" Tenaga Morrel tiba-tiba hilang sehingga ia terhenyak di kursinya. Pikirannya tidak mampu mengikuti semua kejadian yang datang beruntun secara mendadak. Kejadian-kejadian yang sukar dipercaya, tak masuk akal. Maximilien masuk lagi. "Ayah!" katanya. "Mengapa Ayah mengatakan Le Pharaon telah tenggelam? Dia sedang memasuki pelabuhan sekarang." **Kawan-kawan," kata Morrel. "Bila ini benar, kita harus percaya kepada mukjizat. Mari kita ke pelabuhan, dan mudah-mudahan Tuhan memaafkan kita bila berita itu salah." Mereka menjumpai Nyonya Morrel di tangga. Nyonya yang malang itu tidak berani masuk ke kantor suaminya. Orang telah banyak berkerumun di pelabuhan. Mereka memberi jalan kepada Morrel dan setiap orang berteriak! "le Pharaon! Le Pharaon!" Benar, di hadapan Menara Saint-Jcan ada sebuah kapal yang bertuliskan "Pharaon, Morrel & Son, Marseilles" di buritannya. Huruf-hurufnya putih jelas. Kapal ini merupa pakan tiruan yang paling sempurna dari Le Pharaon yang telah tenggelam. Muatannya pun sama, bahan celup. Ketika sudah siap membuang sauh, kaptennya, Kapten Ga-umard, berdiri di geladak memberikan perintah-perintahnya dan Penelon melambai-lambaikan tangannya kepada Morrel. Selagi Morrel dan keluarganya saling berpelukan di tengah-tengah orang lain yang juga turut bergembira, seorang laki-laki yang wajahnya - setengah tertutup oleh jenggot dan cambangnya, mengawasi mereka dari sebuah pos penjagaan yang kosong. "Berbahagialah, wahai hati yang mulia. Semoga Tuhan selalu memberkahi apa yang telah Tuan lakukan dan apa yang akan Tuan lakukan." Dengan senyum puas dan bahagia orang itu meninggalkan tempat persembunyiannya, berjalan tanpa diperhatikan orang ke pinggir pelabuhan, lalu berteriak, "Jacopo! Jacopo!* Sebuah perahu mendekat datang. Dengan perahu itu orang aneh tersebut dibawa ke sebuah kapal pesiar yang sangat mewah. Dia naik ke dalam dengan kesigapan seorang pelaut. Dari kapal ia melemparkan lagi pandangan terakhir kepada Morrel, yang saking gembiranya, menjabat tangan semua orang yang dekat kepadanya sambil menangis. Morrel mencari-cari penolongnya yang tidak dikenal itu, namun tidak berhasil seperti ia mencarinya di langit. "Sekarang," kata orang dalam kapal pesiar itu, "selamat tinggal, wahai kebajikan, kemanusiaan dan rasa syukur. Selamat tinggal, wahai pancaran hati yang menyejukkan dan menyenangkan. Aku telah diberi kesempatan menjadi perantara menyampaikan balasan Tuhan bagi mereka yang baik, semoga selanjutnya Tuhan mengijinkan aku menjadi pelaksana beliau menghukum yang jahat!" Dengan kata-kata itu ia memberi isyarat, dan kapal meluncur mengarungi samudera luas. BAB XX BARON Franz d*Epinay dan Viscount Albert de Morcerf, dua orang bangsawan muda Perancis, pergi ke Roma untuk menyaksikan karnaval. Sejak jauh-jauh hari mereka telah memesan kamar di Hotel de Londres. Ketika mereka datang, ternyata kamar itu mempunyai dua buah ranjang kecil dan sebuah ruang tamu. Kedua ranjang terletak dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan. Dengan tandas Pastrini — pemilik hotel itu -mengatakan bahwa letak kamar mereka sangat strategis walaupun ukurannya kecil. Semua kamar di lantai bawah telah disewa oleh orang-orang kaya, yang menurut Pastrini, dari Sisilia atau Malta. "Kamarnya cukup memuaskan, Tuan Pastrini." kata Franz. "Yangkami perlukan sekarang, makan malam. Juga kami membutuhkan sebuah kereta untuk besok dan untuk hari-hari berikutnya." "Makanan dapat segera dihidangkan, tetapi kereta soal lain Z' kata pemilik hotel. "Apa maksudnya soal lain?" Albert bertanya heran. "Harap jangan bergurau, Tuan Pastrini Kami membutuh* kan kereta," "Kami akan mengusahakan sedapatdapatnya, Tuan. Hanya itu yang dapat kami janjikan." "Bila kami akan dapat berita?" "Besok pagi." "Begini," kata Albert, "kami bersedia membayar lebih. Saya tahu kebiasaan di Paris. Dua puluh lima frank untuk hari-hari biasa, tiga puluh atau tiga puluh lima untuk Minggu dan hari-hari libur." "Saya khawatir, dengan dua kali lipat dari itu, Tuan tidak akan mendapat kereta di Roma," "Kalau begitu, kami menyewa kuda saja. Sebenarnya kereta kami agak penyokpenyok karena perjalanan jauh, tetapi tak mengapa." "Kuda pun tak ada." Albert melihat kepada Franz dengan wajah tak percaya. "Kau dengar, Franz? Tidak ada kudat Kuda kereta pos pun jadilah. Bisa itu?" "Semuanya telah disewa orang dua minggu yang lalu. Yang tinggal hanya seekor, agar kereta pos dapat berjalan seperti biasa." "Bagaimana pendapatmu," tanya Franz kepada Albert. Pendapatku, bila sesuatu perkara sudah tidak masuk akalku, aku tidak mau memikirkannya lagi dan mengalihkan perhatian kepada soal lain. Apakah makanan sudah siap, Tuan Pastrini?" "Sudah, Tuan." "Baik, mari lata makan dulu." "Bagaimana dengan kereta dan kudanya?" tanya Franz. "Jangan khawatir, kawan. Akan datang pada waktunya. Soalnya hanya harga saja." Albeit de Morcerf dengan filsafatnya yang mengagumkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi orang yang dompetnya tebal, menikmati makan malamnya, tidur dengan nyenyak dan bermimpi hilir-mudik dalam karnaval dengan menggunakan kereta berkuda enam. Begitu pagi-pagi terbangun Franz segera memijit bel. Pastrini datang sendiri memenuhi panggilan Franz. "Untung Saya tidak menjanjikan apa-apa kemarin," kata Pastrini tanpa menunggu pertanyaan Franz. "Tuan agak terlambat, tidak ada lagi sebuah kereta pun di seluruh Roma untuk tiga hari terakhir karnaval ini." "Dan sesudah hari itu, kereta tidak diperlukan lagi" jawab Franz. "Mulanya bayangan saya tentang Kota Abadi ini lain," kata Albert menyindir. "Saya maksud, tidak ada kereta mulai hari Minggu pagi sampai Selasa malam, Tuan. Tetapi sejak hari ini sampai Minggu, Tuan dapat menyewa lima puluh buah kalau Tuan mau," jawab Pastrini, sedikit bernafsu membanggakan'kota dunia Kristen di mata tamu-tamunya. "Aha, setidak-tidaknya masih ada kemungkinan," kata Albert. Sekarang hari Kamis, siapa tahu apa yang akan terjadi antara hari ini dan Minggu yang akan datang." "Apakah Tuan masih berminat menyewa kereta sampai hari Minggu nanti?" "Tentu saja!" jawab Albert. "Apakah Tuan mengira kami mau mengelilingi Roma dengan berjalan kaki seperti t, pegawai-pegawai ahli hukum?" "Bila Tuan memerlukannya?" "Satu jam lagi." "Kereta itu akan siap di depan pintu pada waktunya." Hari itu, Franz harus menulis beberapa surat ke Peran cis. Dia membiarkan Albert menggunakan kereta itu sepanjang hari. Jam lima sore Albert baru kembali. Dia telah menyampaikan semua surat perkenalan yang dibawanya dari Paris kepada orang-orang terkemuka di Roma, berhasil memperoleh undangan undangan untuk malam hari, kemudian berkeliling melihat-lihat kota Roma. Sehari sudah cukup baginya untuk melakukan semua itu. "Aku mempunyai suatu gagasan," katanya kepada Franz. "Apa itu?" "Kita tidak akan mendapat kereta dan kuda sewaan untuk karnaval, bukan?" "Ya." "Tetapi pedati dapat." "Dan sepasang sapi jantan." "Juga mungkin." "Nah, aku akan menyewa sebuah pedati dan menyuruh menghiasnya. Kita sendiri akan berpakaian seperti pemotong padi dari Neapolit." "Bagus sekali!" kata Franz. "Sekali ini gagasanmu benar-benar baik! Siapa yang sudah kauberitahu tentang ini?" "Pemilik hotel. Dia meyakinkan aku bahwa tak ada yang lebih mudah dari itu. Aku minta supaya tanduk-tanduk sapi dipulas warna emas tetapi menurut dia akan memerlukan waktu tiga hari. Karena itu, biarlah tanpa kemewahan itu." Pintu kamar terbuka dan Pastrini menjengukkan kepalanya. "Bagaimana?" Albert bertanya. "Sudah dapat pedati dan sapi itu?" "Saya menemukan yang lebih baik lagi," jawab Pastrini dengan wajah puas. "Apa lagi?" tanya Franz. ''Saya kira Tuan-tuan mengetahui bahwa Count of Monte Cristo tinggal selantai dengan Tuan-tuan. Beliau mendengar tentang kesulitan tuan-tuan mendapatkan kereta dan kuda. Sebab itu beliau berkenan menawarkan dua tempat duduk dalam keretanya dan dua tempat duduk di depan jendela di Paiazzo RospoiL" Franz dan Albert saling berpandangan, "Apakah baik kita menerima tawaran dari orang yang tidak kita kenal?" tanya Albert. "Siapa Count of Monte Cristo ini?" sekarang Franz yang bertanya. "Seorang bangsawan besar, kalau bukan dari Sisilia tentu dari Malta. Saya sendiri tidak yakin dari mana. Walau bagaimana hatinya mulia seperti keturunan Borgia dan kaya seperti tambang emas." "Aku pikir," kata Franz kepada Albert, "apabila benar orang ini bangsawan seperti yang dikatakan oleh Tuan Pastrini, selayaknya ia menyampaikan undangannya dengan cara yang lain, apakah dengan surat atau . .." Sebelum kalimat Franz habis diucapkan terdengar suara ketukan pada pintu. "Masuk," kata Franz. Seorang pelayan berpakaian dinas yang sangat bagus, masuk. "Dari Count of Monte Cristo untuk Tuan Franz d Epynay dan Tuan Albert de Morccrf," katanya sambil menyerahkan dua buah kartu kepada pemilik hotel, yang selanjutnya meneruskannya kepada kedua bangsawan muda. "Count of Monte Cristo," katanya lagi, "meminta kehormatan untuk dapat berkunjung ke mari besok pagi dan mengharap diberi tahu waktu yang paling baik bagi kedua beliau ini." "Katakan kepada Count," kata Franz, "kamilah yang ingin mendapat kehormatan mengunjungi beliau besok pai » g»- Pelayan itu pergi. "Ini yang namanya menabur dengan kesopanan yang berlimpah-limpah," kata Albert "Tuan benar, Tuan Pastrini, Count of Monte Cristo memang seorang berhati mulia." "Bolehkah saya mengartikan bahwa Tuan berkenan menerima undangan beliau?" tanya Pastrini. "Tentu, tentu," jawab Albert. ''Meskipun harus diakui aku agak menyesal kehilangan pedati dan pakaian pemotong padi itu. Kalau tidak karena jendela di Palazzo Rospo-li, saya akan tetap pada gagasan semula. Bagaimana dengan engkau, Franz?" "Aku kira, jendela di Palazzo Rospoli itu juga yang menentukan bagiku." Esok paginya, Franz memanggil Pastrini Seperti biasa ia datang dengan sikap mengabdi. Ketika itu jam sembilan. "Apakah kami sudah dapat berkunjung kepada Count of Monte Cristo pada waktu sepagi ini?" 'Tentu saja!" jawab Pastrini. "Beliau biasa bangun pagi sekali. Saya yakin beliau telah bangun dua jam yang lalu." "Kalau begitu) Albert, kalau engkau sudah siap, kita kunjungi tetangga kita untuk mengucapkan terima kasih untuk keramahannya." "Mari!" Franz dan Albert tidak perlu berjalan jauh. Pastrini mengantar mereka dan memijitkan bel bagi mereka. Seorang pelayan membuka pintu. "Tuan-tuan dari Perancis," kata Pastrini. Pelayan itu membungkukkan badan dan mempersilakan masuk. Mereka masuk ke dalam ruangan yang dilengkapi dengan perabotan yang indah mewah dan tak terbayangkan ada dalam hotel seperti milik Pastrini. Lalu mereka sampai di ruang lukisan yang juga serba rapi dan mewah. Permadani dari Timur menutupi seluruh lantai. Dinding-dindingnya terhias lukisan-lukisan yang indah diselingi senjatasenjata yang juga sangat bagus dan tengkorak-tengkorak binatang bunian. Tirai-tirai dari bahan permadani tergantung di setiap pintu. "Silahkan Tuan-tuan duduk," kata pelayan. "Saya akan mengabarkan kehadiran Tuantuan." Dia. menghilang melalui salah satu pintu. Franz dan Albert saling berpandangan. Lalu mereka memperhatikan lagi perabotan perabotan lukisan lukisan dan senjata-senjata. Semua kelihatan lebih indah dibanding ketika terlihat pertama kalinya. "Apa katamu tentang ini semua?" tanya Franz. "Saya kira, tetangga kita ini, mesti seorang pengusaha saham yang sangat berhasil, atau seorang putera mahkota yang sedang bepergian incognito." "Sst! Kita akan segera tahu. Dia datang." Sebuah pintu terbuka dan tirai tersingkap, memberi jalan kepada pemilik semua kemewahan itu. ''Tuan-tuan," kata Count of Monte Cristo ketika masuk ruangan, "maafkan saya telah membuat Tuan-tuan berkunjung kepada saya, tetapi saya khawatir akan mengganggu apabila saya berkunjung kepada Tuan-tuan sepagi ini. Di samping itu Tuan-tuan telah memberi tahu berniat akan datang dan saya menghormati keinginan itu." "Franz dan saya sangat berterima kasih kepada Tuan,'1 kata Albert. "Tuan telah menolong memecahkan persoalan kami. Kami sedang memikirkan segala macam kendaraan yang mungkin ketika undangan tiba." "Salah si bodoh Pastrini sehingga saya agak terlambat menawarkan bantuan." Sambil mempersilakan kedua tamunya duduk di kursi panjang yang empuk, dia melanjutkan lagi, "Dia sama sekali tidak menceriterakan apa-apa tentang kesukaran Tuan-tuan. Segera setelah saya mengetahui bahwa saya dapat berbuat sesuatu untuk Tuan-tuan, saya merasa sangat gembira." Kedua bangsawan muda itu membungkukkan badan. "Pula," kata Count of Monte Cristo selanjutnya, "hari ini ada acara pelaksanaan hukuman mati di Piazza del Popolo. Saya menyuruh pengurus rumah tangga saya kemarin mencari tempat yang baik untuk menonton itu, sehingga dalam hal ini pun saya dapat menawarkan jasa." Dia merentangkan tangannya menarik kabel bel. Tak lama kemudian seorang berumur antara empat puluh lima dan lima puluh datang memasuki ruangan. "Tuan Bertuccio " katanya, "sudahkah Tuan berhasil mendapatkan jendela untuk menonton acara di Piazza del Polopo seperti yang saya mina kemarin?" "Sudah, Yang Mulia," jawab pengurus rumah tangga itu. "Tetapi agak terlambat." "Apa?" Dahinya mengerut. "Bukankah saya perintahkan harus berhasil?*' "Benar, dan saya pun tidak gagal. Jendela itu sebenarnya telah disewakan kepada Pangeran Lobanieff sehingga saya terpaksa membayar seratus —" "Cukup, Tuan Bertuccio, jangan kita mengganggu tamu-tamu kita ini dengan hal-hal yang kecil. Tuan telah berhasil mendapatkan sebuah jendela, itu yang perlu kami ketahui. Berikan alamat rumahnya kepada sais," Pengurus rumah tangga itu membungkuk dan siap untuk mengundurkan diri. "Sebentar" kata Count, "tanyakan kepada Pastrini apakah ia sudah menerima acara pelaksanaan hukuman itu." 'Tidak perlu, saya kira," kata Franz sambil mengeluarkan buku catatannya dari sakunya, "saya telah melihat acara itu dan menyalinnya di sini.** "Baik. Tuan boleh pergi, Tuan Bertuccio. Beritahu kami apabila makan siang sudah siap Sudikah Tuan-tuan memberikan kehormatan dengan makan siang bersama saya?" "Kami tidak ingin menyalahgunakan kebaikan hati Tuan," jawab Albert. "Sama sekali tidak! Justru membahagiakan sekali bagi saya. Tuan-tuan dapat membalasnya suatu waktu nanti di Paris. Tuan Bertuccio telati mempersiapkan meja untuk tiga orang." Count of Monte Cristo mengambil buku catatan Franz kemudian membacanya dengan keras, "Orang-orang tersebut ini akan dihukum mati hari ini, Februari tanggal 22: Andrea Rondolo, bersalah membunuh Don Cesare Terlini; Peppino alias Rocca Priori, dinyatakan bersalah terlibat dalam kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Luigi Vampa, bandit yang sangat menjijikkan. Yang pertama akan di-mazzolator yang kedua dipenggal." "Ini adalah acara semula. Tadi malam ketika saya berada di rumah Kardinal Rospigliosi saya mendapat kabar bahwa salah seorang ditangguhkan.'* "Yang mana?" tanya Franz. "Yang kedua," jawab Count of Monte Cristo. "Berarti kita akan kehilangan acara pemenggalan. Tetapi tak mengapa, masih ada mazzolato, suatu cara pelaksanaan hukuman mati yang aneh kalau kita baru melihatnya untuk pertama kali, bahkan mungkin juga pada kali yang kedua. Pemenggalan kepala terlalu sederhana, tak pernah terjadi suatu yang diluar dugaan. Orang-orang Eropa tidak mengetahui apa-apa kalau sudah sampai kepada urusan pelaksanaan hukuman mati dan penganiayaan. Dalam hal ini mereka masih louiak kanak atau kuno." "Rupanya tuan telah membuat perbandingan-perbandingan tentang pelaksanaan hukuman mati di seluruh dunia," kata Franz. "Hanya sedikit yang belum saya lihat," jawabnya dingin. "Dan adakah kesenangannya dalam menyaksikan hal yang mengerikan itu?" "Pada pertama kalinya ada perasaan menolak, selanjutnya tak acuh, lalu ingin tahu.** "Ingin tahu! Ungkapan yang cukup mengerikan." "Mengapa? Kematian adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidup kita ini yang patut menjadi bahan renungan. Bukankah baik kalau kita mengetahui bermacam-macam cara jiwa meninggalkan raganya, dan mempelajari bagaimana seseorang berpindah dari ada ke tiada yang bergantung kepada adat dan wataknya, bahkan juga kepada kebiasaan bangsanya? Bagi saya sendiri dapat saya katakan: makin sering kita melihat orang mati, akan makin mudah bagi kita menghadapi kematian sendiri. Jadi menurut pendapat saya, kematian mungkin sekali merupakan cobaan Tuhan, tetapi jelas bukan penebusan dosa." "Maaf, saya tidak dapat mengikuti," kata Franz. "Tolong dijelaskan. Tuan tidak mengetahui betapa Tuan membangkitkan ke ingin tahuan saya." "Begini," kata Count of Monte Cristo. Wajahnya memperlihatkan kebencian, "apabila ada seorang yang menyiksa dan membunuh bapak kita, ibu kita, kekasih kita, pendeknya salah seorang dari mereka, apabila direnggut dari hati kita akan meninggalkan luka berdarah yang abadi, apakah tuan mengira dosanya telah tertebus dan luka telah terobati hanya karena masyarakat telah menyuruh algojo memisahkan kepala si pelaku dari badannya, hanya karena orang yang telah membuat kita menderita batin bertahun-tahun lamanya, juga menderita siksaan yang-hanya sekejap saja?" "Ya, saya tahu," kata Franz, "bahwa keadilan manusia sayang sekali tidak sempurna. Ia hanya dapat menumpahkan darah untuk membalas darah yang telah tertumpah. Tetapi tidak dapat mengharapkan lebih dari itu." "Saya baru menyebutkan contoh yang sangat sederhana." Count of Monte Cristo melanjutkan, "suatu contoh di mana masyarakat membalas kematian seseorang dengan kematian orang lain. Bukankah masih banyak lagi macam-macam penderitaan yang dijalani seseorang tanpa masyarakat .membalasnya dalam bentuk apapun juga? Bukankah banyak lagi kejahatan yang begitu kejam sehingga hukuman cara Turki, Persia atau Irak masih terlalu lunak untuknya, tidak dihukum oleh masyarakat kita yang tidak acuh? Silakan jawab, adakah kejahatan-kejahatan seperti itu?" "Ya, banyak sekali," jawab Franz. "Dan untuk menghukum kejahatan semacam itulah, duel diizinkan." "Duel! Suatu cara yang bagus untuk menghukum. Kalau ada seseorang yang merebut kekasih kita, memperkosa isten kita atau merusak kehormatan anak gadis kita, atau merenggut harta kita yang diharapkan bisa membawa kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan kepada setiap insan, pendeknya, orang itu telah membuat kepedihan yang abadi, kesengsaraan dan kehinaan, apakah Tuan percaya bahwa dosa orang itu telah terhukum hanya karena Tuan telah berhasil menembuskan pedang Tuan di dadanya, atau menempatkan peluru di kepalanya dalam duel? Dan jangan lupa, bahwa ia bisa muncul sebagai pemenang dalam duel itu, yang berarti bahwa dalam pandangan masyarakat dosadosanya telah terhapus, Seandafnya saya ingin membalas dendam kepada seseorang seperti itu, saya tidak akan melakukannya dengan cara berduel." "Kalau begitu Tuan tidak setuju dengan duel?" tanya Albert yang heran mendengar pendapat yang bertentangan dengan pendapat umum. "Oh tidak, bukan begitu," jawab Count of Monte Cristo. "jelasnya begini. Saya bersedia berduel untuk suatu penghinaan, pemukulan atau suatu kebohongan, dan saya akan melakukannya tanpa banyak berpikir, sebab, berkat keahlian membela diri yang saya miliki karena latihan yang teratur dan kebiasaan menghadapi bahaya yang secara berangsur-angsur telah mendarah daging, saya hampir yakin akan selalu dapat membunuh lawan. Betul, saya bersedia berduel untuk hal-hal seperti itu. Tetapi untuk suatu penderitaan yang perlahan-lahan, yang mendalam, yang lama dan menimbulkan luka abadi, saya akan mencoba membalasnya dengan memberikan penderitaan yang sama Mata untuk mata, gigi untuk gigi." "Tetapi," kata Franz, "dengan teori seperti itu yang membuat Tuan bertindak sebagai hakim sendiri, Tuan sendiri tidak akan terlepas dari kekuasaan hukum. Kebencian adalah buta, amarah membuat kita dungu, dan barang siapa melampiaskan nafsu balas dendamnya menghadapi bahaya menelan pil yang lebih pahit." "Apabila dia miskin dan bodoh, benar, tetapi tidak bila ia kaya dan cerdik. Selain itu, paling rugi ia harus menjalani hukuman mati di muka umum. Tetapi apa artinya itu selama dia telah berhasil membayar hutangnya. Saya hampir merasa menyesal karena Peppino yang telah rusak itu tidak jadi dipancung seperti ditentukan semula. Bila tidak, Tuan dapat menyaksikan sendiri betapa cepat deritanya berlalu dan apakah cukup berharga untuk menjadi bahan pembicaraan..... Tetapi, pembicaraan kita agak aneh untuk suasana pesta karnaval. Bagaimana kita sampai kepada persoalan ini? Oh ya, saya ingat, saya mengatakan bahwa saya dapat menawarkan tempat untuk menonton hukuman mati. Dan Tuan akan menerima tawaran saya itu. Sekarang, mari kita ke meja makan. Saya dengar ada orang datang untuk memberi tahu bahwa hidangan sudah siap." Ketiga bangsawan muda itu berdiri dan berjalan ke ruang makan. Selama makan, yang benar-benar sedap dan dihidangkan dengan cara yang sangat mengagumkan, Franz berkali-kali memperhatikan wajah Albert untuk mencoba mengetahui bagaimana pengaruh percakapan tuan rumah kepadanya, tetapi Albert tampak tidak mempunyai perhatian kepada hal lain kecuali makanan di hadapannya. Sedangkan Count of Monte Cristo sendiri hampir-hampir tidak menyentuh hidangan. Seakan-akan dia turut makan hanya untuk kesopanan belaka. Setelah acara makan selesai, Franz mengambil erloji sakunya, "Maaf, Tuan, tetapi masih banyak yang harus kami lakukan." "Bolehkah saya mengetahui?" "Kami masih harus mencari pakaian untuk karnaval nanti" 'Tak usah dipikirkan. Kita akah mempunyai kamar pribadi di Piazza del Popolo. Saya akan menyuruh orang mengantarkan pakaian-pakaian karnaval ke sana dan kita dapat berganti pakaian di sana pula, setelah pelaksanaan hukuman. Sekarang telah jam setengah satu, Tuan-tuan. Waktu kita tinggal sedikit" Ketika Franz, Albert dan Count of Monte Cristo sudah dekat Piazza del Popolo, lapisan manusia makin menebal. Menjulang di atas kepala-kepala manusia mereka dapat melihat dua buah barang. Sebuah tugu yang pada puncaknya ada sebuah salib dan dua pasang tiang kayu untuk pisau giiyotin. Tugu itu merupakan ciri titik tengah lapangan itu. Jendela yang disewakan dengan harga yang sangat tinggi itu, berada di lantai ketiga dari sebuah rumah yang terletak antara Via del Babuino dan Monte Pincio. Kamarnya merupakan semacam kamar hias. Dari kamar ini orang dapat melihat ke lapangan dengan leluasa. Seluruh lapangan seakan-akan disulap menjadi sebuah teater yang sangat luas. Setiap jendela dan balkon dari gedung gedung yang berada di sekeliling lapangan telah penuh oleh penonton. Count of Monte Cristo benar: pemandangan yang paling menarik perhatian dalam hidup ini adalah kematian. Tiba-tiba suara gemuruh manusia lenyap seketika, seakan-akan dihentikan oleh sesuatu kekuatan gaib. Pintu gereja terbuka. Yang pertama keluar» serombongan pejabat gereja, masing-masing membawa sebatang lilin yang sudah dinyalakan. Kepalanya tertutup kantung berwarna abu-abu yang berlubang dua di tentang mata. Di belakang rombongan menyusul seorang tinggi kekar dengan dada telanjang. Di pinggang kirinya tergantung sebilah pisau besar dalam sarungnya. Di bahunya terpanggul sebuah gada besi besar. Dialah algojo. Di belakang algojo menyusul si terhukum berturut-turut menurut urutan gilirannya. Mula-mula Pep-pino kemudian Andrea, masing-masing didampingi oleh dua orang padri. Andrea dipegang pada tangannya oleh kedua padri pendampingnya. Sewaktu-waktu mereka menciumi salib yang disodorkan ke mukanya Karena pemandangan ini pun Franz sudah merasakan lututnya gemetar dan melemah. Dia melihat kepada Albert. Wajah Albert pucat seperti warna kemejanya. Count of Monte Cristo tampak tidak terpengaruh. Sementara itu kedua orang terhukum itu sudah cukup dekat untuk dapat dilihat dengan jelas. Peppino adalah seorang muda tampan dengan kulit kecoklat-coklatan karena sinar matahari. Matanya liar dan angkuh. Sedangkan Andrea, pendek dan gemuk berwajah kejam. "Kalau tak salah, Tuan tadi mengatakan bahwa hanya seorang yang akan dihukum," kata Franz kepada Count of Monte Cristo. "Saya tidak bohong," jawabnya dingin. "Tetapi itu ada dua orang." "Benar, seorang sudah hampir mati dan yang seorang lagi masih akan hidup bertahuntahun lagi." "Menurut pendapat saya, kalau memang mau ditangguhkan, mengapa membuangbuang waktu?" "Tidak, lihat saja." Tepat ketika Peppino sudah sampai di kaki tiang gilyo-tin, seorang pejabat gereja berlari menerobos barisan serdadu menuju pimpinan rombongan. Kepadanya ia menyerahkan secarik kertas. Pimpinan rombongan membacanya, laki mengangkat tangan dan berteriak keras, "Puji bagi Tuhan dan Paus yang suci! Peppino alias Rocca Priori diampuni!" Teriakan gemuruh terdengar dari lautan manusia. "Peppino diampuni!" Andrea yang sudah kehilangan seluruh tenaganya bangkit kembali. "Mengapa dia, bukan aku? Kami harus mati bersama. Mereka telah berjanji akan memancungnya lebih dahulu! Aku tak mau mati sendiri!" la berontak, meliuk-liuk dan berteriak-teriak seperti binatang buas berusaha melepaskan diri dari ikatannya. Algojo memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, yang segera meloncat turun dari panggung hukuman menyergap Andrea. "Ada apa?" tanya Franz yang tidak f ah am betul akan dialek Roma. "Ada apa?" jawab Count of Monte Cristo. "Apakah tuan tidak mengerti? Orang yang telah mendekati ajalnya itu ngamuk karena kawannya tidak jadi mati bersama dia. Kalau ada kesempatan pasti dia akan mengoyak-ngoyak kawannya dengan gigi dan kukunya, daripada membiarkan menikmati hidup sedang dia sendiri harus kehilangan hidup. Begitulah manusia dan kemanusiaannya. Buaya! Begitu jelas sifat itu tampak di bawah sana dan betapa jelas orang mementingkan dirinya sendiri" Sambil tetap berontak melawan kedua pembantu algojo tadi, Andrea tak hentihentinya berteriak, "Dia harus mati! Aku mau dia mati! Kalian tidak mempunyai hak untuk membunuh aku sendui!" Pergulatan itu sangat mengerikan dan mendebarkan. Akhirnya mereka berhasil menggusur Andrea ke panggung hukuman. Seluruh penonton tidak ada yang memihak kepadanya. Semuanya berteriak bersama-sama, "Bunuh dia! Bunuh dia!" Franz mau mundur tetapi Count of Monte Cristo menahannya pada tangannya. "Ada apa?" katanya. "Kalau Tuan merasa kesihan, itu tidak pada tempatnya. Apabila Tuan melihat anjing gila di jalanan, Tuan pasti akan menembaknya tanpa rasa kasihan, padahal dosa binatang malang itu hanya karena menjadi korban gigitan anjing gila lainnya. Tetapi di sini Tuan merasa kasihan kepada orang yang bukan korban gigitan orang lain, melainkan seorang pembunuh besar. Orang yang sekarang ini tidak mampu lagi membunuh karena tangannya diikat, masih mau menyeret kawan sepenjaranya mati bersama dia. Tidak, tidak. Kuatkan hati Tuan dan lihat." Kata-kata Count of Monte Cristo sudah tidak perlu lagi, karena perhatian Franz sudah tertarik oleh pemandangan di lapangan. Kedua pembantu algojo tadi telah berhasil memaksa Andrea berlutut walaupun ia terus meronta-ronta dan berteriak-teriak. Algojo mengayunkan gadanya, kedua r*embantunya mundur. Andrea berusaha berdiri tetapi gada algojo lebih dahulu menimpa pelipis kirinya. Dia jatuh tersungkur seperti seekor sapi lalu berguling sehingga terlentang. Algojo melemparkan gadanya, menghunus pisaunya lalu menyobek leher Andrea Selanjutnya dia menekan dan meremas perut Andrea dengan jari-jari kakinya. Setiap kali dia menekankan kakinya, darah memancar keluar dari tenggorokan Andrea, Franz terhenyak ke belakang dan jatuh setengah pingsan ke atas sebuah kursi. Albert masih tetap berdiri, tetapi kedua matanya menutup rapat dan tangannya memegang tirai jendela erat-erat. Count of Monte Cristo tetap tegak seperti dewa pembalas selesai bertugas. BAB XXI KETIKA Franz siuman kembali, ia melihat Albert sedang minum segelas air. Menilik wajahnya yang pucat, jelas sekali ia sangat memerlukannya. Sedangkan Count of Monte Cristo sudah berganti pakaian dengan pakaian pelawak istana. Franz melepaskan pandangannya ke arah lapangan. Semuanya telah tiada: gjlyotin, algojo dan korban. Yang ada tinggal serombongan manusia dengan teriakannya. "Ada apa?" tanya Franz. "Tak ada apa-apa," jawab Count of Monte Cristo. "Sama sekali tak ada apa-apa. Gemuruh manusia itu berarti bahwa karnaval sudah dimulai. Silakan cepat berganti pakaian. Lihat, Tuan de Morcerf sudah memberi contoh.'* Dengan pikiran entah di mana Albert mengenakan celana kain tafeta di luar celana hitamnya, lalu mengenakan sepatu bot yang tinggi. Akan sangat tidak lucu kalau Franz tidak mau segera mengikuti contoh kawannya. Oleh sebab itu ia pun mengenakan pakaian karnavalnya, juga topengnya yang warnanya tidak sepucat wajahnya. Kereta telah menunggu di bawah, penuh dengan bunga-bunga dan kertas konfeti. Tak mudah membayangkan per ubahan yang begitu sempurna seperti yang terjadi sekarang di Piazza del Popolo. Kalau tadi dicekam oleh suasana murung dan kedinginan kematian, sekarang diliputi kegaduhan pesta-pura yang liar. Bergerombol-gerombol orang bertopeng datang dari semua penjuru. Ada yang keluar melalui pintu-pintu gedung sekeliling lapangan, banyak pula yang bergelantungan menuruni jendela-jendela. Kereta-kereta pun berdatangan dari semua jalan. Penumpangnya bermacam-macam: badut, bangsawan, satria, petani dan lain-lain yang pakaiannya menggelikan, semuanya berteriak-teriak gembira, melambai-lambai atau menaburkan konfeti dan bunga-bunga baik kepada yang dikenal maupun kepada yang tidak dikenal. Yang dilempari bukannya marah, justru malah senang. Balkon dan jendelajendela gedung bertingkat empat atau lima yang berjejer sepanjang Via dd Corso semuanya berhias indah mewah Semuanya penuh dengan manusia berbagai bangsa yang berdatangan dari empat penjuru dunia. Di jalanan orang-orang bergembira hampir lupa diri, liar dan tak mengenal lelah, berseliweran dengan pakaian karnaval yang beraneka ragam. Yang seorang ingin lebih aneh atau lebih lucu dari yang tain. Ada kubis raksasa menggelinding, manusia berkepala banteng, atau anjing besar seperti berjalan di atas kedua kaki belakangnya. Di tengah tengah kepadatan dan keramaian itu banyak yang berusaha melepaskan topeng orang lain mencari wajah tampan atau cantik. Kalaupun ditemukan toh tak mungkin diikuti oleh karena antara mereka seakan-akan terhalang oleh wajah-wajah setan seperti dalam mimpi. Setelah mereka mengelilingi lapangan sebanyak dua kali. Count of Monte Cristo menghentikan keretanya di depan Palazzo Rospoli lalu meminta diri meninggalkan mereka. Tuan-Tuan," katanya, "apabila Tuan-tuan telah merasa lelah dan ingin menjadi penonton kembali, Tuan-tuan mengetahui bahwa Tuan-tuan mempunyai tempat menonton di jendela kamar saya. Sementara itu kereta dan saisnya saya serahkan untuk dipergunakan sesuka hati." Franz mengucapkan terima kasih untuk tawaran yang demikian baiknya. Setelah kereta berjalan lagi Albert berpaling kepada kawannya dan bertanya, "Kau lihaUtu?" "Apa?" "Lihat di sana, sebuah kereta penuh dengan gadis-gadis berpakaian petani Roma Aku yakin mereka cantik-cantik." "Buat apa kita bertopeng, pikirmu? Nanti akan ada kesempatan mengejar kekurangan petualangan cintamu di Italia ini." "Oh," kata Albert setengah bergurau setengah sungguh-sungguh, "aku pikir tak lucu kalau karnaval ini berlalu begitu saja tanpa sesuatu imbalan." Meskipun Albert tetap berharap, namun hari itu berlalu tanpa memberikan kejadiankejadian yang mengesankan selain bertemu dengan kereta penuh gadis itu dua tiga kali lagi. Pada salah satu kesempatan, entah disengaja entah tidak, topeng Albert terlepas ketika ia melemparkan bunga-bunga ke dalam kereta mereka. Rupanya salah seorang dari gadis-gadis itu terkesan oleh sikap Albert. Ketika mereka bertemu sekali lagi, dialah yang sekarang melemparkan bunga ungu ke dalam kereta Albert Albert segera mengambilnya dan Franz membiarkannya, karena Franz tidak mempunyai alasan untuk mengira bunga itu dilemparkan untuknya. Albert menyelipkannya di lubang kancing bajunya dan kereta berjalan terus, "Tampaknya," kata Franz, "ini merupakan awal suatu petualangan." "Engkau boleh tertawa Franz, kalau mau, tetapi aku yakin, begitulah adanya." Keyakinan Albert bertambah kuat ketika mereka bertemu sekali lagi. Melihat bunga yang dilemparkannya telah mendapat tempat terhormat pada jas Albeit, gadis itu bertepuk gembira. Esok paginya, Count of Monte Cristo mengunjungi mereka di kamarnya. "Tuan-tuan, saya datang untuk mengatakan bahwa Tuan-tuan dapat menggunakan kereta sesuka hati sampai karnaval berakhir. Saya masih mempunyai dua buah lagi. Bila ada sesuatu yang perlu dibicarakan, kita dapat bertemu di Palazzo RospolL" Kedua bangsawan itu mencoba menolak, tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk menolak tawaran itu, terutama karena tawaran itu sangat menyenangkan. Count of Monte Cristo masih tetap tinggal untuk kira-kira seperempat jam lamanya, berceritera tentang bermacam-macam perkara dengan penuh gairah. Dia sangat menguasai bacaan berbagai negara Bila melihat dinding ruangannya Franz dan Albert yakin bahwa dia pun seorang kolektor lukisan yang baik. Dari pembicaraannya jelas juga bahwa ilmu pengetahuannya pun luas sekali terutama dalam bidang ilmu kimia. Setelah tamunya berangkat, Franz dan Albert turun menuju kereta yang sudah menunggu. Albert masih memasang bunga ungunya yang sudah layu di bajunya. Hanya beberapa saat setelah mereka sampai di Via del Corso, bunga-bunga harum yang masih segar dilemparkan orang ke dalam keretanya, Albert mengganti yang layu dengan yang segar, dan memegang sisanya di tangan dan menciumnya ketika bertemu kembali dengan kereta pembawa gadis-gadis. Suatu tindakan yang bukan saja menyenangkan gadis pelemparnya, tetapi juga kawan-kawannya. Sehari penuh mereka bercumbu dari kereta masing-masing. Ketika kembali ke hotelnya pada malam hari, Franz menemukan sebuah surat dari Kedutaan Perancis memberitahukan bahwa dia mendapat kehormatan diterima berkunjung oleh Paus, esok hari. la menghabiskan waktunya sehari penuh di Vatikan. Setelah itu langsung pulang ke hotelnya Jam lima lebih lima menit Albert masuk. Jelas kelihatan ia sangat gembira karena gadis pelempar bunga ungu telah melepaskan topengnya ketika bertemu, dan ternyata ia sangat cantik. Franz mengucapkan selamat dengan tulus, dan Albert menerimanya dengan bangga. Dia bermaksud menyurati gadis itu esok hari. Franz tidak punya niat menghalangi petualangan sahabatnya yang penuh harapan ini, bahkan bersedia memberinya kesempatan. Ia menyilakan Albert menggunakan kereta sesukanya sedangkan ia akan memuaskan diri dengan menonton dari jendela Palazzo Rospoli. Esok paginya Franz melihat Albert dengan keretanya hilir-mudik di sepanjang Via del Corso. Ia mempunyai persediaan bunga banyak sekali yang jelas tujuannya untuk pengantar tintanya. Malam itu Albert tidak gembira Ia sudah tergila-gila dirundung rindu. Dia yakin gadisnya akan membalas suratnya, tetapi menunggunya, itulah yang menyiksa. Franz memahami keadaan Albert, sebab itu dia berdalih bahwa kegaduhan karnaval sangat melelahkan dan ia bermaksud esok tinggal seharian di kamar membaca dan menulis. Harapan Albert tidak dikecewakan. Malam berikutnya Framt melihat dia berlari masuk kamar sambil mengacung-acungkan sehelai kertas di tangannya. "Surat balasan?" tanya Franz. "Baca saja," kata-kata itu diucapkannya dengan air muka yang sukar dilukiskan. Franz mengambd surat dari tangan Albert dan membacanya: Selasa malam jam tujuh, tinggalkan kereta Tuan di muka Via del Ponrefeci Jangan lupa memakai pita merah sebagai tanda pengenal. Apabila sudah sampai d* kaki tangga Geraja San Ciacomo, seorang gadis akan merenggut moccoletti dari tangan Tuan. Ikuti dia. Tapi Tuan tidak akan melihat saya. Harap jangan mengecewakan dan hati-hati. "Nah, apa katamu, Franz?" "Kupikir, engkau berada diambang petualangan yang menggairahkan." "Begitu juga perasaanku. Karena itu aku khawatir engkau harus memenuhi undangan Duke Bracciano seorang diri." Franz dan Albert telah menerima undangan dari seorang bankir Roma ternama tadi pagi. Akhirnya, hari terakhir dan hari yang menjadi puncak kegembiraan karnaval, tiba. Semua teater dibuka sejak jam sepuluh pagi karena masa berpuasa akan dimulai jam delapan malam nanti. Mereka yang selama karnaval tidak turut serta karena kekurangan waktu, uang atau semangat, pada hari terakhir itu semua turun ke jalanan turut meramaikan puncak acara. Menjelang petang para penjual moccoletti telah mulai kelihatan di mana-mana. Moccoletti atau moccoli berarti lilin dalam berbagai ukuran. Tujuannya dalam pesta ini ada dua. Pertama, bagaimana menjaga agar moccoletti sendiri tetap menyala, dan kedua bagaimana memadamkan milik orang lain. Franz dan Albert bergegas membeli moccoletti seperti orang lain. Ketika bintangbintang pertama mulai bersinar di langit yang seakan-akan dianggap sebagai isyarat, ribuan cahaya lilin berkelap-kelip dan menari sepanjang jalan, dibarengi dengan teriakan dan nyanyian gembira yang memekakkan telinga. Setiap lima menit sekali Albert melihat erlojinya. Jam tujuh tepat, kedua sahabat itu sudah sampai di sudut Via del Pontefeci. Albert meloncat ke luar dari keretanya dengan sebuah moccoletti di tangan. Dua tiga orang mencoba memadamkannya atau merenggut lilin dari tangannya, tetapi Albert yang memang seorang petinju yang terlatih berhasil menggagalkan usaha mereka Dia berjalan ke Gereja San Giacomo. Franz mengikuti Albert dengan pandangannya dan melihat dia sudah sampai di kaki tangga gereja Seorang wanita bertopeng, berpakaian seperti petani Roma merebut lilin Albert Sekali ini Albert tidak mengadakan perlawanan. Jaraknya terlampau jauh bagi Franz untuk menangkap pembicaraan mereka, tetapi jelas mereka tidak bertengkar sebab selanjutnya Franz melihat mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Tiba-tiba bunyi lonceng' tanda berakhirnya karnaval bergema. Serempak moccoletti padam semua bagaikan dihembus angin ajaib. Keadaan menjadi gelap gulita. Segala kegaduhan dan kebisingan berhenti bersamaan dengan padamnya lilin-lilin. Yang terdengar tinggal suara kereta-kereta berlari membawa peserta-peserta pesta pulang ke rumahnya masing-masing. Yang masih tampak jelas dalam kegelapan itu hanya cahaya teram-temaram dari beberapa jendela. Karnaval telah berakhir. Franz belum pernah mengalami perubahan yang begitu mendadak dan tajam seperti sekarang. Dari kegembiraan kepada kesepian. Perubahan ini pun seakan-akan disebabk an angin ajaib tadi yang menghembuskan setan-setan untuk menabah Roma yang gembira menjadi suatu kuburan luas yang sepi mengerikan. Dia kembari ke hotel dan mendapatkan makanan sudah disiapkan. Oleh karena Albert sudah memberitahu bahwa mungkin sekali ia akan pulang lambat, Franz makan sendirian. Jam sebelas, Albert masih juga belum pulang. Franz memesan keretanya dan berangkat ke rumah Duke Brace* an o. Ketika Duke melihat Franz datang sendiri, yang paling dahulu ditanyakan kemana Albert. Franz menjawab bahwa ia kehilangan Albert ketika moccoletti padam semua "Dan apakah ia belum pulang?" "Saya menunggu sampai jam sebelas." 'Tahukah Tuan ke mana dia pergi?" "Tidak, tetapi saya rasa dia mempunyai janji dengan wanita." "Sekarang ini sebenarnya kurang aman untuk berada di luar pada larut malam," kata Duke. 'Tuan yang telah mengenal Roma lebih baik, selayaknya menghalangi dia pergi." "Mencegah Albert pada waktu ini sama halnya dengan menahan kuda kabur. Tetapi saya meninggalkan pesan di hotel bahwa saya berada di sini dan meminta pemilik hotel agar segera memberitahu apabila dia sudah datang." "Nah, itu pelayan. Saya kira, dia mencari Tuan." Duke tidak keliru. Ketika pelayan itu melihat Franz segera ia menghampirinya dan berkata, "Yang Mulia, Sign or Pastrini memberitahukan bahwa ada seseorang menunggu Tuan di hotel dengan membawa surat dan Tuan de MorCerf." "Mengapa dia tidak mengantarkannya ke mari?" 'Tidak ada penjelasan, Yang Mulia." "Mana sekarang suruhan Sign or Pastrini itu?" "Dia pergi lagi setelah menyampaikan pesannya kepada saya." Franz mengambil topinya dan segera meninggalkan pesta. Ketika sudah dekat hotelnya ia melihat seorang laki-laki berdiri di tengah jalan. Franz yakin, dia tnesti orang yang membawa surat dari Albert Franz menghampirinya, tetapi mengejutkan sekali, orang itu yang lebih dahulu bertanya: "Ada apa?" "Apakah Tuan yang membawa surat untuk saya dari Tuan de Morcerf?" "Siapa nama Tuan?" "Baron Franz d'Epinay." "Benar, surat itu dialamatkan kepada Tuan." "Apa perlu jawaban?" tanya Franz sambil menerima surat. "Ya, setidak-tidaknya demikianlah harapan teman Tuan." "Mari masuk, nanti saya berikan jawabannya." "Saya lebih senang menanti di sini," jawabnya tertawa. "Mengapa?" 'Tuan akan memahami setelah membaca surat itu." Franz masuk ke dalam, menyalakan sebatang lilin dan membaca: Franz yang baik, Setelah engkau membaca surat ini, tolong ambilkan uangku dalam dompet yang kusimpan dalam laci lemariku. Tambah dengan uangmu sendiri apabila tidak mencukupi. Berikan empat ribu piaster kepada pembawa surat ini. Sangat penting, aku memerlukannya sekarang juga. Aku percaya padamu seperti engkau dapat mempercayaiku. Sahabatmu ALBERT DE MORCKRF PS. Sekarang aku percaya akan ceritera tentang bandit Italia. Di bawah itu, dengan tulisan tangan yang berbeda, terbaca lagi beberapa kalimat dalam bahasa Italia: Apabila uang yang empat ribu piaster itu belum saya terima pada jam enam pagi, jam tujuh Count Albert de Morcerf hanya tinggal nama saja. LUIGI V AMP A Tanda tangan yang kedua ini menjelaskan semua persoalan, dan dia mengerti mengapa pengantar surat itu tidak mau dibawa masuk. Albert telah jatuh ke tangan kepala bandit yang tersohor, yang semula dianggapnya ada dalam dongeng belaka. Ia tidak boleh kehilangan waktu. Franz lari ke laci lemari Albert dan mengambil dompetnya. Uang yang ada hanya tiga ribu piaster. Franz sendiri, karena ia tinggal di Florence dan bermaksud tinggal di Roma hanya untuk tujuh hari, hanya membawa uang secukupnya saja dan sekarang tinggal kurang lebih dua ratus piaster lagi. Kekurangan delapan ratus piaster. Tiba-tiba ia teringat kepada Count of Monte Cristo. Dia akan memanggil Pastrini ketika yang bersangkutan muncul. "Signor Pastrini," tanya Franz, "apakah Count of Monte Cristo ada di kamarnya?" "Ada, Tuan. Beliau baru saja kembali" "Tolong tanyakan apakah beliau dapat menerima saya sekarang?" Pastrini pergi membawa pesan itu, dan kembali tak lama kemudian. "Count menunggu Tuan," katanya. Franz menemukan Count dalam sebuah kamar kecil yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Sekeliling dindingnya dipasangi dipan. "Angin baik apakah kiranya yang membawa Tuan pada malam selarut ini?" tanya Count of Monte Cristo. "Barangkali Tuan hendak mengundang saya makan malam?1' "Tidak, saya datang untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting. Apakah kita hanya berdua saja?" Count of Monte Cristo pergi ke pintu dan melihat ke luar kamar. "Tak ada orang lain." Franz memberikan surat dari Albert. "Silahkan Tuan baca." Setelah ia selesai membacanya, Franz bertanya lagi, "Bagaimana pendapat Tuan?" Untuk sesaat Count mengerutkan dahinya. "Di mana orang yang mengantarkan surat ini?" "Dijalan." "Saya akan memanggilnya." "Saya kira tak akan ada gunanya. Dia menolak masuk ke kamar saya." "Mungkin ia tidak mau masuk ke kamar Tuan, tetapi lain lagi kalau ke kamar saya." Dia pergi ke jendela yang menghadap ke jalan, lalu bersiul dengan lagu yang khusus. Orang suruhan itu meninggalkan dinding tempat ia bersandar, pergi berdiri di tengah jalan. "Ke mari!" Count of Monte Cristo berteriak dengan nada memerintah dalam bahasa Itali. Orang itu menurut tanpa ragu ragu Beberapa saat kemudian dia sudah berada dalam kamar. "Ah, engkau kiranya, Pcppino!" Laki-laki itu bukan menjawab, melainkan berlutut kemudian mengambil tangan Count of Monte Cristo dan menciuminya beberapa kali. "Aku lihat engkau tidak lupa bahwa aku telah menyelamatkan jiwamu," kata Count. "Aneh, padahal kejadian itu terjadi seminggu yang lewat." 'Tidak, Yang Mulia, saya tidak akan pernah melupakannya," jawab Peppino dengan nada penuh terima kasih. Tak pernah? Waktu yang sangat lama! Setidak-tidaknya aku terkesan karena engkau percaya tidak akan dapat melupakan itu. Berdiri, dan jawab pertanyaanku." Peppino melemparkan pandangan ragu kepada Franz. "Engkau dapat berbicara bebas di depan Tuan ini," kata Count yang faham akan maksud Peppino. "Beliau kawanku." "Baik," jawab Peppino, "silahkan Tuan bertanya." "Bagaimana Viscount Albert bisa jatuh ke tangan Luigi?" "Begini, Yang Mulia, beberapa kali kereta Bangsawan Perancis itu berpapasan dengan kereta yang ditumpangi Teresa." "Piaraan Luigi?" "Benar. Bangsawan Perancis itu menaruh hati kepadanya, dan hanya sekedar untuk bermain-main, Teresa membalasnya. Mereka saling melempar bunga. Semua ini dengan seizin Luigi tentu. Dia pun berada dalam kereta itu." "Apa!" Franz terkejut. "Luigi Vampa ada dalam kereta itu?" "Benar, dia yang menjadi saisnya. Tuan Albert membuka topengnya dan Teresa juga dengan izin pemimpin, mamperlibatkan wajahnya. Orang Perancis meminta suatu pertemuan, Teresa menyetujuinya Hanya saja, yang datang pada waktunya bukan Teresa melainkan Beppo," "Apa!" Sekali lagi Franz tak dapat menahan dirinya. "Wanita yang berpakaian petani yang merebut moccoletti daii tangan Albert..." "Adalah seorang laki-laki berumur lima belas tahun," kata Peppino mengisi. 'Tetapi kawan Tuan tidak perlu malu jatuh ke dalam perangkapnya karena telah banyak yang terpedaya oleh Bcppo." "Lalu Beppo membawanya ke luar kota?" tanya Count of Monte Cristo. "Benar, Yang Mulia. Sebuah kereta telah menanti mereka di ujung Via Macello. Tuan Albert dengan sopan sekali membantu Beppo naik kereta itu. Beppo mengatakan akan membawanya ke sebuah vila beberapa kilometer di luar Roma. Dalam perjalanan Tuan Albert telah berlaku terlampau bebas sehingga Beppo terpaksa menodongkan pistolnya Sais pun menghentikan keretanya dan membantu Beppo, Pada saat yang bersamaan empat orang kami yang bersembunyi di pinggir jalan bermunculan mendekati kereta. Tuan Albert berusaha sekuat tenaga mempertahankan diri. Saya dengar beliau hampir berhasil mencekik Beppo tetapi apa daya beliau menghadapi lima orang bersenjata. Beliau terpaksa menyerah dan mereka membawanya kepada Luigi dan Teresa yang sudah menanti di pekuburan bawah tanah Saint Sebastian." Centera yang menarik sekali," kata Count of Monte Cristo melirik kepada Franz. "Saya akan menganggapnya menarik juga," kata Franz, "kalau kejadian itu menimpa orang lain, bukan Albert." "Seandainya Tuan tidak datangkepada saya. petualangan cinta kawan kita itu harus dia bayar mahal sekali Sekarang, paling tinggi ia hanya mengalami ketakutan yang sangat. Lagi pula, ia berada di tempat yang sangat menyeramkan. Pernahkah Tuan ke pekuburan Saint Sebastian?" "Belum." "Kebetulan, sekarang ada kesempatan yang baik untuk melihatnya." Count of Monte Cristo memijit bel dan seorang pelayan muncul. "Suruh siapkan kereta. Sais tak perlu dibangunkan, biar Ali saja yang membawanya." Beberapa saat kemudian terdengar kereta berjalan dan berhenti di muka pintu. Count of Monte Cristo melihat jamnya dan berkata, "Setengah dua belas. Sebenarnya kita dapat berangkat nanti jam lima pagi dan masih dapat mengejar waktu, tetapi kelambatan kita akan menyebabkan kawan kita gelisah sepanjang malam. Sebab itu lebih baik kita berangkat sekarang." Franz dan Count keluar, diikuti oleh Peppino. Kereta itu melalui jalan kuno Appian yang berbatasan dengan pekuburan. Sekalisekali Franz melihat pengawal muncul dari balik persembunyian tetapi terus menghilang lagi setelah diberi isyarat oleh Peppino. Tak seberapa jauh sebelum sampai ke dataran Caracalla kereta berhenti Peppino membuka pintu, I;ranz dan Count keluar. "Kita akan sampai dalam sepuluh menit," kata Count kepada Franz. Count of Monte Cristo menarik Peppino kc samping dan memberikan suatu perintah dengan berbisik. Peppino mengambil obor dari dalam kereta laki pergi. Selang lima menit kemudian, Franz dan Count menempuh jalan menurun yang dilalui Peppino, sampai mereka tiba di kaki sebuah lembah kecil. Di sana mereka melihat dua orang sedang bercakap-cakap di tempat yang gelap. "Apakah kita berjalan terus atau menunggu di sini?" tanya Franz. "Kita terus," jawab Count. "Peppino pasti telah memberitahukan kedatangan kita kepada penjaga." Salah seorang dari kedua laki-laki itu, memang Peppino. Yang seorang lagi, bandit yang sedang bertugas menjaga. "Silakan mengikuti saya, Yang Mulia," kata Peppino kepada Count, "pintu pekuburan itu hanya beberapa yard lagi" "Baik," jawab Count. "Engkau di depan." Di belakang semak belukar, di tengah-tengah sejumlah batu karang, mereka melihat sebuah lubang yang hanya cukup besar untuk dilalui satu orang. Peppino menyelusup lebih dahulu. Setelah ditempuh beberapa langkah, terowongan itu agak melebar. Dia berhenti, menyalakan obornya dan membalikkan badan untuk melihat apakah kedua tamunya telah mengikutinya. Franz dan Count of Monte Cristo terpaksa berjalan dengan membungkuk bungkuk dan beriringan. Jalan itu tidak cukup lebar untuk berdampingan. Setelah berjalan kira-kira lima puluh langkah, mereka dihentikan oleh teriakan, "Siapa itu?" pada saat yang bersamaan, cahaya obor dapat menangkap laras sebuah karaben. "Kawan!" kata Peppino. Dia maju beberapa langkah dan berkata dengan suara ditahan kepada penjaga kedua ini, yang seperti penjaga pertama, membungkukkan badan memberi hormat dan mempersilakan tamu melanjutkan perjalanannya. Di belakang penjaga ada sebuah tangga dengan kira-kira dua puluh anak tangga. Franz dan Count menuruni tangga itu, dan mereka sekarang berada pada semacam sebuah persimpangan jalan. Ada lima buah jalan menuju ke lima arah seperti sudut-sudut sebuah bintang. Dinding-dinding di sekitar yang berlubang-lubang dalam bentuk peti mayat, menunjukkan bahwa mereka telah berada dalam pekuburan. Dari salah satu rongga yang besarnya sukar dipastikan mereka melihat berkas-berkas cahaya. Count of Monte Cristo meletakkan tangannya di pundak Franz. "Maukah Tuan melihat gua penjahat dalam keadaan tenteram?" *Tentu," jawab Franz. "Baik, mari ikut saya. Peppino, matikan obor." Peppino menurut. Keadaan menjadi gelap gulita. Kurang lebih lima puluh yard di hadapannya mereka dapat melihat cahaya kemerah-merahan yang lebih jelas lagi kelihatannya dalam gelap itu. Mereka berjalan terus tanpa berkata Count yang mempunyai mata terlatih dalam gelap berjalan di depan. Mereka tiba di tiga buah kubat. Satu di antaranya berlaku sebagai pintu. Di belakang kubat itu terdapat sebuah lapangan yang cukup luas yang dinding-dinding sekelilingnya dipenuhi oleh relung-relung seperti dinding di luar tadi. Di tengah-tengah ruangan terdapat empat buah batu yang dahulunya dipergunakan sebagai altar, ternyata dari salib yang masih terdapat di atasnya. Satusatunya lampu yang terletak di kaki sebuah tiang mempertunjukkan suasana dalam ruangan itu secara remang-remang kepada kedua pendatang yang tersembunyi dalam gelap. Seorang laki-laki duduk dekat lampu sambil membaca membelakangi pintu masuk. Dialah pemimpin gerombolan bandit itu, Luigi Vampa. Sekeliling dia, berkelompok-kelompok dengan kawan masing-masing, ada kira-kira dua puluh orang lagi, masingmasing dengan sebuah senapan karaben yang terletak di tanah dalam jangkauannya. Di ujung paling jauh dari ruangan itu seorang penjaga berjalan bolak-balik. Ketika Count of Monte Cristo mengira bahwa Franz sudah cukup lama memperhatikan ruangan itu, dia meletakkan telunjuknya di bibirnya sebagai isyarat untuk tidak bersuara, lalu menaiki tiga buah anak tangga yang menuju ke dalam ruangan dan berjalan mendekati Vampa yang lagi asyik membaca sehingga ia tidak mendengar langkah-langkah orang menghampirinya "Stop! Siapa itu?" teriak penjaga tadi yang melihat sesosok tubuh mendekati pemimpinnya dari belakang. Karena teriakan ini Vampa bangkit dan menarik pistol dari ikat pinggangnya. Dalam saat yang bersamaan pula semua penjahat sudah berdiri, dan dua puluh laras senapan diarahkan kepada Count of Monte Cristo. "Selamat malam, Vampa yang baik," kala Count of Monte Cristo dengan ketenangan suara yang sempurna, "rupanya beginilah penyambutan bagi seorang kawan!" "Letakkan senjata!" perintah Vampa. Dengan gaya seorang bangsawan ia menggerakkan sebuah tangannya dan mengangkat topinya dengan tangan yang satu lagi. Kemudian berpaling kepada orang yang telah menguasai suasana dalam ruangan itu, dan dia berkata, "Maafkan saya, Count, saya sama sekali tidak mengira akan mendapat kehormatan dengan kunjungan ini sehingga saya tidak mengenal Tuan." "Rupanya ingatanmu sangat pendek, Vampa," jawab Count, "dan bukan saja engkau cepat lupa kepada wajah seseorang, tetapi juga cepat lupa kepada perjanjian-perjanjian yang engkau buat dengan orang itu." "Perjanjian manakah yang saya lupakan, Count?" tanya Vampa dengan suara seperti orang yang telah berbuat suatu kesalahan besar, atau setidak-tidaknya dengan nada suara orang yang ingin memperbaiki kesalahannya. "Bukankah telah kita sepakati, bahwa engkau bukan saja akan menghormati aku, tetapi juga kawan-kawanku." "Dan bagaimana pula saya telah melanggar perjanjian itu?" "Engkau telah menangkap Viscount Albert de Morcerf dan menahannya di sini. Pemuda itu kawanku. Dia tinggal dalam satu hotel yang sama dengan aku, seminggu lamanya mempergunakan keretaku, tetapi saya ulangi, engkau menangkapnya dan menahannya di sini dan meminta uang tebusan." "Mengapa aku tidak diberi tahu?" tanya Vampa kepada anak buahnya yang pada mundur melihat pandangan marahnya. "Mengapa kalian membuat aku mengingkari janji kepada Count of Monte Cristo? Kalau nanti kuketahui ada yang merahasiakan ini kepadaku, akan kuhancurkan kepalanya." "Seperti telah saya katakan tadi, ada kekeliruan," kata Count of Monte Cristo kepada Franz. "Tuan tidak sendiri?" tanya Vampa agak heran. "Aku datang dengan Tuan yang menerima surat permintaan uang tebusan. Aku ingin membuktikan kepadanya bahwa Luigi Vampa bukan orang yang suka melanggar janji." Franz memasuki ruangan. Luigi Vampa maju selangkah menyambutnya. "Selamat datang, Yang Mulia. Tuan telah mendengar apa yang dikatakan oleh Count of Monte Cristo dan apa jawaban saya. Saya hanya ingin menambahkan bahwa saya tidak menghendaki itu terjadi sekalipun untuk empat ribu piaster." 'Tetapi di mana Tuan Albert sekarang?" tanya Franz sambil melihat ke sekelilingnya. "Saya tidak melihatnya." "Saya percaya tidak terjadi apa-apa dengan dia," kata Count of Monte Cristo mengerinyit. "Beliau ada di dalam " kata Vampa menunjuk ke lubang yang dikawat oleh penjaga. "Saya sendiri yang akan mengatakan bahwa beliau bebas." Dia pergi ke tempat Albert ditahan, Franz dan Count mengikutinya. Vampa menarik sebuah palang lalu membukakan pintunya. Dalam ruangan yang diterangi lampu yang sama seperti lampu di ruangan Vampa mereka melihat Albert terbungkus dengan pakaian yang dipinjamkan oleh seorang bandit. Dia tidur dengan lelapnya di sudut ruangan. "Wah, wah!" kata Count tersenyum. "Bagus sekali bagi orang yang akan ditembak mati jam tujuh pagi nanti." Vampa memandang Albert dengan pandangan kagum untuk keberaniannya *Tuan benar, Count,** katanya, "Tuan ini pasti salah seorang kawan Tuan." Kemudian dia mendekati Albert dan menepuk bahunya. "Bangun, Yang Mulia." Albert menggeliat dan menggosok matanya. "Ah, rupanya Tuan, Kapten!" katanya. "Sebaiknya saya dibiarkan terus tidur karena sedang mimpi berdansa dengan seorang wanita cantik dalam pesta di rumah Duke Bracciano." Dia melihat erlojinya "Apa sebab Tuan membangunkan saya pada waktu seperti ini?" "Untuk mengatakan bahwa Tuan telah bebas, Yang Mulia." . "Apakah uang tebusan sudah dibayar?" "Tidak, Yang Mulia. Tetapi seseorang yang permintaannya tidak mungkin saya tolak telah datang meminta Tuan." "Baik sekali orang itw!" Albert melihat ke sekelilingnya dan matanya berhenti pada Franz. "Apa!" katanya terperanjat, "engkaukah yang..." "Bukan, bukan aku,'* jawab Franz, "tetapi tetangga kita, Count of Monte Cristo." "Lagi-lagi Count of Monte Cristo," kata Albert gembira sambil memperbaiki letak dasinya. "Harap Tuan suka menerima pernyataan saya bahwa saya berhutang budi untuk seumur hidup kepada Tuan. Mula-mula untuk kereta, dan sekarang untuk ini!" Dia mengulurkan tangannya kepada Count of Monte Cristo. Yang diajak berjabat tangan menerimanya dengan agak gemetar. Vamps melihat adegan ini dengan keheranan. Dia sudah terbiasa melihat tawanannya gemetar berpeluh dingin di hadapannya Sekarang dia menghadapi seorang tawanan yang tidak pernah kehilangan semangat. Franz sendui, sangat bangga melihat sikap Albert yang sekaligus berarti menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negaranya "Kalau engkau mau bergegas," kata Franz kepada Albert, "kita masih sempat pergi ke rumah Duke Bracciano, dan engkau dapat melanjutkan dansamu yang terganggu tadi. Dengan demikian engkau tidak akan menyalahkan Signor Vampa yang benar-benar telah bersikap dan bertindak sebagai seorang terhormat dalam urusanmu ini" "Engkau benar, kita bisa sampai di sana jam dua. Signor Vampa, apakah masih ada hal-hal yang harus kami lakukan sebelum minta diri?" "Tidak ada, Yang Mulia," jawab kepala bandit itu. 'Tuan bebas, sebebas udara." "Kalau begitu, saya mengucapkan selamat tinggal dan semoga Tuan panjang usia dan hidup berbahagia. Mari, Tuan-tuan." Albert diikuti oleh Franz dan Count of Monte Cristo menuruni tangga pintu lalu berjalan melalui ruangan yang luas. Semua bandit berdiri dengan topi di tangan masing-masing. "Peppino!" kata Luigi Vampa, "berikan obor itu." "Apa yang hendak kaulakukan?" tanya Count. "Saya sendiri yang akan menunjukkan jalan, Yang Mulia. Inilah kehormatan terkecil yang dapat saya lakukan." Setelah mengambil obor dari tangan Peppino, Vampa berjalan mendahului tamu-tamunya, tidak sebagai pelayan menunjuk jalan, melainkan sebagai seorang raja memimpin rombongan duta besar. Pada pintu pekuburan dia membungkukkan badan sambil berkata, "Count of Monte Cristo, ijinkanlah saya mengulangi permintaan maaf saya, dan saya harap Tuan tidak menyimpan rasa dendam kepada saya karena kejadian yang tidak sengaja ini." "Sama sekali tidak, Vampa yang baik," kata Count. "Lagipula, engkau telah memperbaiki kesalahan itu demikian baiknya sehingga orang hampir-hampir cenderung untuk berterima kasih karena kejadian itu." "Tuan-tuan," katanya menghadap kepada kedua bangsawan muda, "tawaran saya ini mungkin sekali tidak menarik bagi Tuan-tuan, tetapi seandainya pada suatu waktu Tuantuan ada keinginan berkun ung lagi, pintu kami selalu terbuka, di mana pun saya berada" Franz dan Albert membungkukkan badan tanda berterima kasih. "Adakah masih sesuatu yang ingin Tuan-tuan tanyakan atau minta?" tanya Vampa tersenyum. "Ya," jawab Franz, "saya mengakui tidak dapat menahan rasa ingin tahu buku apa yahg sedang Tuan baca dengan penuh minat ketika kami datang." "Ulasan dan kritik tentang Julius Ceasar. Buku kesenangan saya." "Bagaimana Franz, kita pergi sekarang?" tanya Albert. "Ya, ya," kata Franz sambil melangkah ke luar dari pekubu ran bawah tanah masuk ke udara terbuka. "Dan sekarang, Count," kata Albert, "dapatkah kita pergi secepat mungkin? Saya bernafsu sekali untuk menghabiskan sisa malam ini dalam pesta di rumah Duke Bracciano!" Ketika terbangun pagi-pagi, pikiran pertama yang timbul pada Albert, mengajak Franz berkunjung kepada Count of Monte Crista Dia telah mengucapkan terima kasih tadi malam kepadanya, namun untuk pertolongan yang tidak ternilai itu ia merasa wajib mengucapkannya lebih dari satu kali Franz, yang memang terkesan sekali oleh Count of Monte Cristo, tetapi juga dibarengi semacam perasaan takut, tidak ingin membiarkan kawannya pergi sendirian. Mereka diantarkan pelayan ke ruang lukisan. Lima menit kemudian Count of Monte Cristo datang menemui mereka. "Count," kata Albert, "ijinkanlah pada pagi ini saya mengulangi lagi apa yang tadi malam saya ungkapkan dengan tidak begitu baik. Bahwa saya tidak akan pernah melupakan pertolongan Tuan, dan selalu akan saya camkan dalam hati bahwa saya berhutang nyawa kepada Tuan." "Ah, tetanggaku yang baik," jawab Count tertawa, "Tuan terlalu melebih-lebihkan. Sebenarnya apa yang telah saya lakukan hanyalah menolong Tuan menghemat dua puluh ribu frank atau empat ribu piaster. Lain tidak. Suatu jumlah yang tidak berharga untuk dipersoalkan." "Tidak, Count, rasa hutang budi saya sangat besar" kata Albert, "dan saya datang sekarang untuk menanyakan ka-lau-kalau saya, atau sahabat-sahabat saya atau kenalankenalan saya, dapat melakukan sesuatu bagi Tuan." "Tuan de Morcerf" jawab Count of Monte Cristo, "saya akui bahwa memang saya agak mengharap tawaran itu, dan saya ingin menerimanya dengan segala senang hati. Saya telah mempunyai rencana meminta bantuan Tuan yang berharga sekali." "Apakah itu?" "Saya belum pernah mengenal Paris dan..." "Apa!" Albert terkejut "Dengan keadaan seperti Tuan, Tuan belum pernah ke Paris? Sungguh mustahil!" "Mustahil tetapi benar. Memang, sewaktu-waktu timbul juga pikiran pada saya, seperti pada Tuan, bahwa tidak mungkin saya terus dalam keadaan tidak mengenal kota yang termashur akan kemajuannya. Perjalanan yang tidak mungkin saya hindari ini sebenarnya dapat saya lakukan dahulu, seandainya saya mempunyai seseorang yang dapat memperkenalkan saya kepada masyarakat Paris. Tawaran Tuan sekarang, sangat menentukan. Oleh sebab itu, sudikah Tuan de Morcerf yang baik,*1 Count of Monte Cristo menyertai ucapannya itu dengan Senyum yang ganjil, "memperkenalkan saya kepada dunia yang masih asing bagi saya?" "Dengan segala senang hati, Tuan. Semua kawan dan sahabat saya akan membantu Tuan." "Saya terima tawaran Tuan, kalau begitu," kata Count. "Saya telah lama merencanakan perjalanan ini, dan inilah kesempatan baik untuk melaksanakannya." "Bila Tuan bermaksud datang di Paris?" "Bila Tuan sendiri akan kembali?" "Dalam dua atau tiga minggu mendatang." "Dalam hal demikian," kata Count, "saya akan datang tiga bulan lagi. Seperti Tuan lihat, saya memberi waktu yang longgar sekali." 'Tiga bulan sejak sekarang Tuan akan mengetuk pintu saya?" tanya Albert gembira seperti anak kecil "Apakah Tuan menghendaki kita menentukan hari dan jamnya sekali? Baik saya bcntahukan, bahwa saya seorang yang biasa tepat memegang waktu sampai kepada detiknya" "Hari dan jamnya" kata Albert "Tak ada yang lebih saya senangi daripada itu." "Baiklah. Hari ini, tanggal dua puluh satu Pebruari jam setengah sebelas siang. Bersediakah Tuan menantikan kedatangan saya pada tanggal 21 Mei jam setengah sebelas siang?" Tentu, dan makan siang sudah akan' siap pada waktu itu." "Di mana alamat Tuan?" "Rue du Helder No. 27." Count of Monte Cristo menuliskan alamat itu dalam buku catatannya "Apakah kita masih akan bertemu lagi sebelum saya pulang?" tanya Albert "Tergantung . . . kapan Tuan akan berangkat?" "Besok jam lima sore." "Kalau begitu, saya mengucapkan selamat jalan sekarang. Saya mempunyai sesuatu urusan di Napoli dan belum akan kembali ke sini sampai hari Sabtu malam atau Minggu pagi yang akan datang. Bagaimana dengan Tuan, Baron Franz d'Epinay? Apakah Tuan pun akan segera pulang?" "Ya." "Ke Perancis?" "Tidak. Ke Venesia. Saya akan tinggal di Italia untuk satu dua tahun lagi." "Baiklah, Tuan-tuan, saya mengucapkan selamat jalan," kata Count lalu menjabat tangan tamunya seorang-seorang. Baru untuk pertama kali itu Franz merasakan tangan Count of Monte Cristo. Dia terkejut, oleh karena tangan itu terasa sangat dingin seperti tangan mayat. "Sekali lagi," kata Albert, "tanggal dua puluh satu Mei jam setengah sebelas siang, bukan?" 'Tanggal dua puluh satu Mei jam setengah sebelas siang," kata Count mengulang. Kedua bangsawan muda itu membungkukkan badan meminta diri, lalu keluar. "Mengapa?" tanya Albert kepada Franz ketika mereka berjalan menuju kamarnya. "Seperti ada yang mengganggu pikiranmu." "Ya, aku akui," jawab Franz. "Orang itu sangat aneh, dan aku merasa agak khawatir tentang perjanjian yang kalian buat untuk di Paris itu." "Engkau gila, Franz." "Gila atau tidak, aku tetap merasa khawatir." BAB VII PADA tanggal dua puluh satu Mei dalam rumah di Rue du Helder No. 27 di Paris, segala sesuatu telah dipersiapkan Albert untuk menyambut tamunya. Albert de Morcerf tinggal dalam sebuah bangunan kecil yang terletak di salah satu sudut pekarangan luas, terpisah dari rumah induknya Hanya dua jendelanya yang menghadap ke jalan. Tiga buah lainnya menghadap ke pekarangan, dan yang dua buah lagi menghadap ke punggung kebun. Di antara pelataran dan kebun itu terdapat gedung besar dan megah, tempat tinggal Tuan dan nyonya de Morcerf. Menilik kepada pemilihan rumah untuk Albert, kita dapat membaca kebijaksanaan seorang ibu yang tidak mau terpisah jauh dari anaknya, tetapi juga menyadari bahwa pemuda seusia Albert memerlukan semacam kebebasan. Pada hari itu, Albert duduk di ruang tamu yang kecil di lantai pertama Seperempat jam sebelum jam sepuluh seorang pelayan datang meletakkan beberapa surat kabar di atas meja dan menyerahkan setumpuk surat kepada Albert. "Jam berapa Tuan hendak makan siang, Tuan?" tanya pelayan itu. "Tepat jam setengah sebelas. Sebenarnya aku kurang percaya kepada janji Count of Monte Cristo itu, tetapi setidak-tidaknya aku ingin supaya yang menjadi kewajibanku semua terpenuhi." Pelayan mengundurkan diri. Albert merebahkan dirinya di dipan, mengambil surat kabar melihat-lihat acara teater. Ia agak kecewa karena malam nanti bukan balet yang akan dipertunjukkan melainkan sebuah opera. Dia melihat lagi surat-surat kabar lainnya satu demi satu. Tiga buah surat kabar yang paling banyak dibaca orang di Paris. "Surat kabar-surat kabar ini makin lama makin membosankan saja," katanya sendiri di antara berkali-kali menguap panjang. Sebuah kereta berhenti di muka pintu. Dan beberapa saat kemudian pelayan datang memberitahukan kedatangan tuan Lucien Debray, seorang berbadan tinggi, pucat, berambut pirang, berbibir tipis dan bersorot mata penuh percaya diri. Dia masuk ruangan tanpa berkata atau tersenyum. "Selamat pagi, Lucien!" sambut Albert "Ketepatanmu agak menakutkan. Aku memperhitungkan engkau akan datang paling akhir, ternyata paling dahulu bahkan mendahului waktu. Aneh sekali! Apakah kementerianmu telah runtuh, barangkali?" "Tidak, jangan khawatir. Memang jalan kami tertatih-tatih, namun tak akan jatuh.** "Tuan Beauchamp!" kata pelayan memberitahukan kedatangan tamu lain. "Silakan, silakan masuk, Pena Tajam!" kata Albert, berdiri dan melangkah menyambut kedatangan tamu baru. "Lihat, ini Debray yang membenci tulisanmu tanpa membacanya dahulu, setidak-tidaknya begitulah katanya.** Ta tidak salah," kata Beauchamp. "Dia sama seperti aku. Aku merigritiknya tanpa mengetahui apa yang ia perbuat Selamat pagi" Sekertaris Menteri dan wartawan berjabatan tangan sambil tersenyum. "Kita hanya menunggu dua orang lagi,*' kata Albert, "setelah itu kita akan pindah ke meja makan." "Siapa mereka itu?" tanya Beauchamp. "Seorang jentelmen dan seorang diplomat." "Berarti kita harus menunggu dua jam lagi untuk jentelmen itu, di tambah beberapa lama lagi untuk diplomat." "Tidak," kata Albert mencoba meyakinkan. "Kita akan makan tepat jam setengah sebelas, apa pun yang terjadi." 'Tuan de Chateau-Renaud dan Tuan Maximilen Morrel!" seru pelayan. "Ah, sekarang lengkap sudah," kata Beauchamp. "Bukankah mereka yang engkau nantikan, Albert?" "Morrel . . ." Albert mengulang-ulang nama itu agak heran. Morrel? Siapa dia?" Tetapi sebelum dia habis berpikir, Tuan de Chateau-Renaud, seorang muda yang tampan, berumur kira-kira tiga puluhan, yang perlente sampai ke ujung jari-jarinya, memegang Albert di tangannya dan berkata, "Ijinkan saya memperkenalkan Kapten Maximilien Monel, sahabat dan lebih dari itu, penyelamat jiwa saya. Terimalah pahlawanku, Viscount." Dia melangkah ke samping memberi kesempatan kepada Albert untuk memandang seorang tinggi kekar, berdahi lebar dan bermata tajam dengan kumis melintang di bawah hidungnya. Seragam yang indah menonjolkan dadanyayang bidang dihias dengan bintang kehormatan. Perwira muda itu membungkukkan badan memberi hormat. Gerakannya sangat mengesankan karena ia seorang yang gagah. 'Tuan de Chateau-Renaud telah mengetahui terlebih dahulu betapa akan gembira saya dapat berkenalan dengan Tuan," kata Albert ramah. 'Tuan telah menjadi sahabatnya, terimalah saya menjadi kawan Tuan." "Bagus sekali," kata de Chateau-Renaud, "saya harap, Viscount, bila ada kesempatan ia akan berbuat untuk Tuan sebagaimana ia telah melakukan untuk saya." "Apa yang telah dilakukannya?" tanya Albert "Ah " kata Maximilien, "suatu hal yang tidak penting. Baron de Chateau-Renaud terlalu membesar-besarkannya." "Apa!" kata Baron Chateau-Renaud. "Tidak penting? Itu berarti bahwa nyawa tidak penting!" "Jelas bagi saya, Baron, bahwa Kapten Morrel pernah menyelamatkan jiwa Tuan." ''Begitulah." "Bagaimana kisahnya?" tanya Beauchamp. "Seperti kalian tahu, pada suatu waktu timbul pikiran pada saya untuk pergi ke Afrika di mana sedang berlangsung pertempuran antara pasukan kita dengan orang-orang Arab," kata Chateau-Renaud memulai "Dan oleh karena saya pikir akan memalukan sekali apabila saya menyia-nyiakan bakat saya, saya mengambil keputusan untuk mencoba dua buah pistol saya yang baru terhadap orang Arab. Sebab itu, mula-mula saya menuju ke Or an. Dari sana melanjutkan ke Istambul dan datang di sana tepat pada saat pengepungan terhadap orang Arab dikendurkan. Saya turut mengundurkan diri bersama yang lain. Selama empat puluh delapan jam saya harus menahan hujan di siang hari dan salju di malam hari. Tiba-tiba saya melihat enam orang Arab datang berkuda mendekat. Dua orang dari padanya saya tembak dengan senapan, dan dua orang lainnya dengan pistol. Mas di ada^dua orang lagi dan senjata saya sudah kosong semua. Salah seorang dari mereka menjambak rambut saya, itulah sebabnya saya cukur pendek sekarang, siapa tahu kejadian seperti itu bisa berulang lagi, dan yang seorang lagi men arahkan pedangnya ke leher. Saya sudah merasakan dinginnya pedang itu di tenggorokan ketika Tuan ini datang menyerang mereka. Dia menembak orang yang memegang rambut saya dan membelah kepala yang lainnya dengan pedangnya Kapten Morrel telah mewajibkan dirinya untuk menyelamatkan jiwa orang lain pada hari itu yang baginya mempunyai arti yang istimewa. Dan ternyata takdir menentukan, sayalah orangnya yang diselamatkan itu." "Benar," kata Maximilien, "hari itu tanggal lima September, hari diselamatkannya ayah saya dari suatu kematian dengan cara yang menakjubkan sekali. Sepanjang dalam batas kemampuan, saya mencoba untuk memperingati hari itu setiap tahun dengan perbuatan yang..." "Perbuatan yang bersifat kepahlawanan, begitu bukan?" Chateau-Renaud menyela. "Ceritera yang tadi disinggung sedikit deh Tuan Morrel, merupakan kisah tersendiri yang cukup menarik. Pada suatu hari nanti, apabila kalian telah mengenalnya dengan baik, saya harap dia rnau menceritera-kannya selengkapnya Tetapi sekarang, lebih baik kita mengisi perut daripada mengisi pikiran. Jam berapa kita akan makan, Albert?" "Setengah sebelas." "Tepat?" tanya Debray sambil mengambil erlojinya. Tjinkan saya menunggu lima menit lagi," kata Albert, "karena saya pun menunggu seorang penyelamat." "Penyelamat siapa?** "Aku, tentu! Apa kalian mengira aku tidak dapat diselamatkan seperti orang lain, dan bahwa orang Arab saja yang suka memotong leher? Tahun ini saya k§ Roma untuk melihat karnaval..." "Kami tahu itu," kata Beauchamp. "Ya, tetapi ada yang tidak engkau ketahui, aku ditangkap bandit." "Di sana tidak ada bandit," kata Debray. "Mengapa tidak kauakui saja bahwa tukang masakmu terlambat dan bahwa engkau bermaksud menyuguhkan sebuah ceritera sebagai pengganti makanan? Kami cukup baik untuk memaafkan dan mendengarkan kisahmu yang kedengarannya sangat fantastis." "Aku akan mengisahkannya, tetapi, betapapun mengherankannya, aku bersumpah bahwa ceriteraku benar sejak awal sampai akhir. Bandit-bandit menangkap dan membawaku ke sebuah tempat yang mengerikan, terkenal dengan nama pekuburan Saint Sebastian. Aku ditangkap untuk mendapatkan uang tebusan sejumlah empat ribu piaster. Celakanya, di kantongku pada waktu itu hanya ada seribu lima ratus. Waktu kunjungan di Italia sudah hampir berakhir dan uangku sudah hampir habis. Aku menulis surat kepada Franz. Oh, ya! Aku pergi bersama Franz, jadi, kalau perlu, kalian boleh menyuratinya bertanya apakah aku bohong atau tidak. Aku menulis surat kepada Franz, kalau uang yang empat ribu piaster itu belum diterima pada jam enam pagi berikutnya aku akan segera bergabung dengan penghuni-penghuni kuburan itu. Dan aku dapat meyakinkan kalian bahwa Signor Luigi Vampa - itulah nama kepala bandit — akan memegang teguh kata-katanya" "Dan Franz datang dengan uang yang empat ribu piaster itu, bukan?" kata Chateau- Renaud. "Tidak. Sederhana sekait Dia datang dikawani seorang jentelmen yang kedatangannya aku nantikan sekarang dan yang aku harapkan dapat memperkenalkannya kepada kalian. Orang itu mengatakan beberapa kalimat kepada kepala bandit, dan aku bebas." "Dan aku kira, bahkan mereka meminta maaf karena telah menahanmu," kata Beauchamp menyindir. "Ya, benar. Mereka meminta maaf," kata Albert "Orang itu mesti atasannya kepala bandit!" "Bukan, orang itu adalah Count of Monte Cristo." 'Tidak ada orang yang bernama Count of Monte Cisrto," kata Debray. "Aku kira juga tidak ada," tambah Chateau-Renaud dengan keyakinan seseorang yang mengpnal semua bangsawan Eropah di telapak tangannya, "Adakah di sini yang pernah mendengar nama Count of Monte Cristo, di mana saja?" "Barangkali ia datang dari Kota Suci," kata Beauchamp. "Salah seorang leluhurnya mungkin pernah memiliki Calva-ri, sebagaimana halnya kaum Mortemart dahulu memiliki Laut Mati." "Maafkan saya," kata Maximilien, "barangkali saya dapat menjelaskan. Monte Cristo adalah nama sebuah pulau kecil yang sering saya dengar dalam percakapan-percakapan awak kapal ayah saya. Sebuah pulau pasir di tengah-tengah kepulauan Mediterania." "Benar," kata Albert 'Dan orang yang aku maksud ini adalah pemilik dan raja pulau pasir itu. Mungkin saja dia membeli gelar Countnya di sesuatu tempat di Tuscani. Tetapi itu tidak merubah kenyataan bahwa Count of Monte Cristo memang ada." "Setiap orang ada, tak ada yang aneh dalam hal ini." "Setiap orang ada, memang benar, tetapi tidak seperti Count of Monte Cristo. Orang itu sering sekali membuatku gemetar. Pada suatu hari, umpamanya, kami menonton pelaksanaan hukuman mati. Aku kira aku hampir jatuh pingsan, tetapi lebih banyak disebabkan melihat dan mendengarkan dia berceritera tentang kekejaman-kekejam-an di dunia ini daripada disebabkan melihat algojo melaksanakan tugasnya dan mendengar jeritan maut orang yang dihukum." "Setelah dia menolong jiwamu, apakah dia menyodorkan sebuah kontrak untuk engkau tandatangani, dalam mana engkau harus menyerahkan hidupmu kepadanya?" "Silakan tertawa!" kata Albert sedikit tersinggung. "Tertawalah sebanyak dan selama kalian suka. Kalau aku melihat kalian sebagai orang-orang Paris yang rapih, yang terbiasa dengan kemewahan dan kemegahan, kemudian membandingkannya dengan dia, aku cenderung mengatakan bahwa kita berasal dari jenis yang lain daripada dia!" "Terima kasih, saya merasa dipuji dengan kata-katamu itu!" kata Beauchamp. "Bagaimana juga, Count of Monte Cristo itu tidak dapat disangsikan lagi seorang yang sopan dan terhormat, kecuali mengenai hubungannya dengan bandit-bandit Italia itu," kata Chateau-Renaud. "Bandit-bandit Itali itu tidak ada!" kata Debray. "Juga tidak ada Count of Monte Cristo," tambah lagi Beauchamp. "Dengar, lonceng telah berbunyi setengah sebelas. Anggap saja ceritera itu sebagai suatu impian dan mari kita makan." Belum lagi gema lonceng menghilang, pintu terbuka dan pelayan berteriak, 'Tang Mulia Count of Monte Cristo!" Tak seorang pun dari mereka mendengar suara kereta datang atau suara orang berjalan di ruang tunggu, bahkan tidak juga ada yang mendengar pintu dibuka pelayan. Count of Monte Cristo muncul di ambang pintu, berpakaian dengan amat sederhana, namun, seorang ahli busana pun tidak akan dapat menemukan kesalahan atau kecanggungan dalam pakaiannya itu. Dia tersenyum dan melangkah menghampiri Albert, yang sudah maju menyambutnya dan dengan gembira menjabat tangannya "Count," kata Albert, "saya baru saja memberitahukan kunjungan Tuan kepada sebagian dari kawan-kawan saya yang sengaja saya undang untuk kesempatan ini dan yang dengan senang hati ingin saya perkenalkan sekarang. Ini, Count Chateau-Renaud yang kebangsawanannya telah berumur tua sekali dan leluhur-leluhurnya semua termasuk golongan Ksatria. Tuan Lucien Debray, Sekertaris Menteri Dalam Negeri; Tuan Beauchamp wartawan yang tajam penanya, yang menjadi duri bagi Pemerintahan Perancis; dan akhirnya Tuan Maximilien Morrel, kapten dari Spahis." Mendengar nama terakhir ini, Count of Monte Cristo yang selama ini membungkukkan badan dengan dingin dan acuh tak acuh setiap kali diperkenalkan, tanpa disadarinya maju selangkah dan pipinya yang pucat berubah menjadi sedikit merah. "Tuan mengenakan seragam Perancis yang baru." 'Betul," sahut Albert, "dan di balik seragam itu berdenyut jantung salah seorang yang paling berani dalam ketentaraan Perancis." "Ah, Tuan de Morcerf!" Maximilien menyela. "Biarkan saya berkata terus, Kapten. Kami baru saja mendengar," lanjut Albert, "bahwa Tuan Morrel telah melakukan suatu tindakan ksatria. Sekalipun saya baru hari Ini untuk pertama kalinya bertemu, saya harap beliau tidak berkeberatan saya perkenalkan sebagai salah seorang sahabat saya" "Kapten Morrel berhati mulia!" sambut Count of Monte Cristo. "Senang sekali saya rasanya!" Pernyataan spontan dari Count of Monte Cristo ini mengejutkan semua, terutama Maximilien sendiri yang memandang kepada Count of Monte Cristo dengan rasa heran. "Tuan-tuan," kata Albert, "pelayan telah memberitahukan bahwa makanan telah siap. Ijinkanlah saya menunjukkan jalan, Count." Mereka semua masuk ke dalam ruang makan dan masing-masing mengambil tempat. Albert memperhatikan bahwa Count makannya sedikit. "Saya khawatir bahwa makanan Perancis tidak sesuai dengan selera Tuan. Seharusnya sejak jauh-jauh hari saya sudah bertanya apa yang menjadi kesukaan Tuan." "Kalau Tuan mengenal saya cukup baik," jawab Count tersenyum, "Tuan tidak perlu bersusah-payah memikirkan hal-hal yang tidak begitu penting bagi seorang yang suka bepergian seperti saya. Saya dapat hidup dengan makaroni di Napoli, dengan polenta di Milan, olla podrida di Valensia, sayur kari di India, pilau di Istambul atau sarang burung di Negeri Cina. Saya makan segala makanan di segala tempat, tetapi sedikit. Dan hari ini, kebetulan sekali nafsu makan saya lagi baik karena saya belum makan sejak kemarin pagi." "Sejak kemarin pagi?" tamu-tamu lain berkata hampir berbarengan. "Tuan tidak makan selama dua puluh empat jam?" "Benar," jawab Count of Monte Cristo. "Saya agak terlambat dalam perjalanan kemarin, sehingga saya tidak mau berhenti untuk makan.*' "Apakah Tuan tidak makan dalam kereta?" tanya Albert. 'Tidak, saya tidur, seperti biasa kalau saya merasa jemu dan tidak bernafsu menghibur diri, atau kalau saya lapar dan tidak mau makan.""Rupanya Tuan dapat mengatur tidur?" tanya Albert lagi. "Begitulah kurang lebih." "Apakah ada resepnya?" "Ada, dan manjur sekali" "Bolehkah kami mengetahuinya?" tanya Debfay. "Mengapa tidak," kata Count of Monte Cristo. "Saya tidak pernah merahasiakannya. Campuran dari madat yang baik dengan ganja yang tumbuh di negri Timur. Untuk mendapatkan madat yang baik dan mumi, sengaja saya pergi ke Canton. Campurkan kedua bahan itu dalam perbandingan yang seimbang lalu dibuat pil. Kalau Tuan memerlukannya, tinggal menelan saja. Akibatnya akan segera terasa dalam tempo sepuluh menit" "Tetapi," kata Beauchamp, yang sebagai seorang wartawan sangat tidak mudah percaya, "apakah Tuan membawanya obat itu setiap waktu?" "Setiap waktu," jawab Count of Monte Cristo. "Tidak berlebih-lebihankah apabila saya meminta melihatnya?" tanya Beauchamp lagi, mencoba menjebak. "Sama sekali tidak,? kata Count. Dia mengeluarkan sebuah kotak indah terbuat dari batu jamrud dari saku bajunya. Dalam kotak itu terdapat lima atau enam buah pil bundar sebesar-besar kacang. Warnanya kehijau-hijauan, baunya menusuk. Kotak itu dikelilingkan, tetapi para tamu lebih tertarik oleh jamrudnya daripada oleh pil yang berada di dalamnya. "Jamrud yang sangat menakjubkan," kata Chateau-Renaud, "dan yang paling besar yang pernah saya lihat" "Saya mempunyai tiga buah semacam itu," kata Count of Monte Cristo. ''satu saya berikan kepada Grand Seigneur yang memasangnya pada pedangnya, dan sebuah lagi kepada Paus yang memasangnya pada mahkotanya berhadapan dengan jamrud lainnya yang sama jenisnya tetapi tidak begitu cantik. Jamrud yang ada pada beliau itu diterima dari Kaisar Napoleon oleh pendahulunya, Pius VII. -Yang sebuah ini tetap saya pegang. Saya menyuruh mengoreknya menjadi sebuah kotak. Setengah dari nilainya hilang terkorek, namun kehilangan itu seimbang dengan kegunaan yang saya maksudkan." Setiap orang melihat kepada Count of Monte Cristo dengan penuh keheranan. Dia berbicara begitu polos sehingga menimbulkan kesan ia gila atau berkata sebenarnya. Tetapi jamrud yang pernah dipegang masing-masing menjadi bukti nyata bahwa apa yang dikatakannya benar belaka. "Dan apa yang Tuan terima dari kedua pembesar itu sebagai penukarnya?" tanya Debray. "Grand Seigneur memberikan kebebasan kepada seorang wanita," jawab Count, "dan Bapa Suci memberikan nyawa seseorang kepada saya." "Tentu Peppino yang jiwanya Tuan selamatkan itu, bukan?" tanya Albert. "Mungkin," jawab Count of Monte Cristo tersenyum. 'Tuan tentu tak akan dapat membayangkan betapa senang hati saya mendengar Tuan berbicara seperti itu!" kata Albert. "Saya tadi menggambarkan Tuan kepada teman-teman sebagai orang yang aneh, seperti seorang bijaksana dari ceritera Seribu Satu Malam, seperti seorang ahli sihir dari abad pertengahan. Tetapi orang-orang Paris ini suka menganggap suatu kebenaran yang tidak terbantahkan sebagai suatu permainan daya khayal belaka, apabila kebenaran itu tidak cocok dengan cara hidup mereka sehari-hari. Tolong Tuan ceriterakan bahwa saya ditangkap oleh bandit-bandit Italia dan bahwa jika tidak karena campur tangan Tuan mungkin sekarang saya sedang menantikan Pengadilan Terakhir di pekuburan Saint Sebastian, dan bukannya menjamu mereka sekarang di rumah saya yang sederhana ini. Selain dari itu, saya pun ingin mengetahui bagaimana Tuan telah menanamkan pengaruh yang begitu besar pada Luigj Vampa yang kita ketahui tidak banyak yang dia segani. Franz dan saya betul-betul merasa terkesan.** "Saya telah mengenal Luigi Vampa kurang lebih sepuluh tahun lamanya," kata Count of Monte Cristo. "Pada suatu hari, ketika ia masih kanak-kanak dan masih menjadi gembala yang sederhana, pernah saya memberinya sebuah mata uang emas sebagai hadiah karena telah menunjukkan jalan kepada saya. Supaya tidak merasa berhutang budi, dia memberikan sebilah belati yang dibuatnya sendiri sebagai penukarnya. Saya kira Tuan pernah mebhatnya dalam koleksi senjata-senjata saya. Beberapa tahun kemudian, mungkin karena dia telah lupa kepada pertukaran hadiah yang sebenarnya dapat membuat kami bersahabat, atau mungkin juga karena dia tidak mengenali saya, dia mencoba menangkap saya. Tetapi kejadiannya, bukan saya yang dia tangkap, melainkan dia yang saya tangkap, termasuk selusin anak buahnya. Sebenarnya, pada waktu itu saya dapat menyerahkannya kepada pengadilan Roma yang tentu saja akan me-mashurkan nama saya dan pengadilan pun akan dengan senang hati segera mengadilinya. Tetapi saya tidak melakukannya. Saya membebaskan dia, juga anak buahnya** "Dengan sarat bahwa mereka tidak berbuat jahat lagi" kata si wartawan tertawa "Saya senang sekali mengetahui bahwa mereka memegang teguh janjinya.*' 'Tidak," jawab Count of Monte Cristo, "hanya dengan sarat bahwa ia selalu akan menghormati saya dan kawan-kawan saya. Itulah sebabnya saya dapat melepaskan Tuan rumah kita dari tangannya. Saya mempunyai maksud tertentu dengan menyelamatkan Tuan. Saya ingin mengunjungi Tuan dan meminta pertolongan Tuan untuk memperkenalkan saya kepada masyarakat Paris apabila saya -ber kunjungan ke Perancis. Ketika itu Tuan dapat menganggapnya sebagai suatu angan-angan selintas, tetapi sekarang telah benar-benar menjadi suatu kenyataan yang akan membuat Tuan menderita bila Tuan tidak memenuhi janji." "Saya akan memegang janji itu," kata Albert, "tetapi saya khawatir Tuan akan kecewa Tuan telah biasa dengan pemandangan-pemandangan yang indah, kejadian-kejadian yang menakjubkan dan pengetahuan yang luas, padahal Perancis hanyalah sebuah negara yang menjemukan dan Paris hanya sebuah kota yang terkenal peradabannya saja. Sebab itu hanya ada satu hal saja yang dapat saya lakukan dan untuk itu saya menyerahkan segalagalanya yang ada pada saya, yaitu memperkenalkan Tuan ke mana-mana atau meminta sahabat-sahabat saya melakukannya. Saya tidak berani menawarkan Tuan tinggal bersama saya seperti yang telah Tuan lakukan kepada saya di Roma, karena tempat saya ini demikian kecilnya sehingga tak ada lagi tempat untuk Sebuah bayangan pun, kecuali sebuah bayangan seorang wanita." "Aha, saya ingat" kata Count, "di Roma Tuan pernah mengatakan tentang kemungkinan menikah apabila Tuan -kembali ke Paris. Apakah ucapan selamat sudah pada tempatnya sekarang?" "Belum ada sesuatu kepastian, tetapi saya harap tak lama lagi saya sudah dapat memperkenalkannya, kalaupun tidak sebagai isteri, sebagai tunangan. Nona Eugenie Danglars." "Eugenie Danglars!" kata Count of Monte Crista "Putri Baron Danglars?" "Benar. Tuan mengenalnya?" "Tidak, saya tidak mengenalnya," kata Count polos, "tetapi mungkin sekali dalam waktu yang dekat ini saya akan menjadi kenalannya, oleh karena saya mempunyai suatu perhitungan keuangan dengan beliau melalui perusahaan Richard and Blount di London, Arstein and Eskeles di Wina, dan Thomson and French di Roma." Ketika menyebut nama yang terakhir ini Monte Cristo melirik kepada Maximilien Morrel dengan sudut matanya. Anak muda itu terkejut seakan-akan ia menerima sentakan aliran listrik. "Thomson and French,*' katanya. "Tuan mengenal perusahaan itu?" "Mereka adalah bankir saya di Roma," kata Count of Monte Cristo dengan tenang. "Apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan bagi Tuan sehubungan dengan perusahaan itu?" "Barangkali Tuan dapat menolong kami mengetahui sesuatu perkara yang selama ini gelap bagi keluarga kami. Perusahaan itu pernah membuat sesuatu jasa yang besar sekali artinya bagi kami, tetapi, entah apa sebabnya, mereka selalu menyangkal telah melakukannya." "Saya akan merasa senang sekali membantu Tuan sepanjang dalam batas kemampuan saya, Kapten." "Maaf sebentar," kata Albert, "kita telah menyimpang terlalu jauh dari pokok pembicaraan. Tadi kita sedang membicarakan rumah yang patut bagi tempat tinggal Count of Monte Cristo. Mari, kawan-kawan, kita pecahkan bersama-sama: di mana kita akan menempatkan tamu baru saya di kota Paris ini?" "Di Faubourg Saint-Germain," kata Chateau-Renaud. "Beliau akan mendapatkan rumah kecil mungil dengan pelataran dan kebun di sana." "Engkau tidak mengetahui lebih dari daerah yang suram itu," kata Debray. "Jangan dengarkan dia, Count. Ambillah sebuah rumah di Chaussee d'Antin pusat kota Paris." "Jangan, lebih baik di Boulevard de 1'Opera," kata Beauchamp. "Tuan akan dapat melihat seluruh kota Paris dari sana." "Bagaimana pendapatmu, Morrel?" tanya Chateau-Renaud. "Ada usul?" "Ada," jawab perwira muda tersenyum. "Tadinya saya mengira Count of Monte Cristo akan tertarik kepada salah satu usul yang dike mukakan tadi. Karena beliau tetap diam, saya kira saya juga dapat menawarkan sebuah kamar dalam sebuah rumah kecil yang disewa adik perempuan saya beberapa tahun terakhir ini. Letaknya di Rue Meslay." "Apakah Tuan mempunyai saudara perempuan?" tanya Count of Monte Cristo. "Betul, dan seorang adik yang baik." "Sudah menikah?" 'Telah sembilan bulan." "Bagaimana, berbahagia?" "Sebahagia yang diijinkan Tuhan bagi manusia. Dia menikah dengan laki-laki yang dicintainya, arang yang tetap setia kepada keluarga kami ketika kami ditimpa nasib buruk. Emmanuel Herbaut namanya. Saya tinggal bersama mereka selama cuti ini. Ipar dan saya sendiri siap melakukan apa saja yang Tuan perlukan." 'Terima kasih, Kapten. Saya akan merasa cukup puas dengan diperkenalkan kepada adik Tuan dan suaminya, seandainya Tuan sudi melakukannya. Sebabnya saya tidak menerima saran-saran, yang dikemukakan, hanya karena saya telah mempunyai sebuah rumah. Saya mengirimkan pembantu saya lebih dahulu ke Paris untuk membeli sebuah rumah, bahkan mungkin ia sudah selesai memperlengkapi-nya sekarang" "Saya mengartikan bahwa pembantu Tuan telah mengenal Paris," kata Beauchamp. "Ini merupakan kunjungannya yang pertama kali ke Paris, dan ia seorang bisu." "Ali?" tanya Albert di tengah-tengah keheranan tamu-tamu lain. "Benar. Ali orang bisu dari Nubia. Tuan telah melihatnya di Roma saya kira." "Ya. Saya ingat benar. Tetapi bagaimana Tuan dapat mengutus seorang Afrika Nubia lagi pula bisu untuk membelikan sebuah rumah di Paris dan memperlengkapinya? Saya yakin semuanya akan salah. Kasihan dia." Balikan sebaliknya. Saya yakin ia telah memilih segala-galanya sesuai dengan selera saya. Seperti Tuan ketahui, selera saya jauh berlainan dari selera orang lain. Dia sampai di sini seminggu yang lalu dan saya yakin telah menjelajahi seluruh kota Paris dengan ketajaman hidung seekor anjing pemburu. Dia mengetahui semua kebiasaan, kesenangan dan keperluan saya dan saya yakin juga ia telah mengatur segala-galanya sesuai dengan kemauan saya. Dia tali u bahwa saya akan datang hari ini pada jam sepuluh. Dia menunggu di Barriere de Fontainebeau untuk memberikan secarik kertas ini, alamat saya di sini. Silakan baca." Count of Monte Cristo menyerahkan kertas itu kepada Albert. "Champs Elysee No. 30." "Sungguh, suatu penemuan yang orisinil!" seru Beauchamp. "Dan megah bagaikan rumah seorang putera raja," tambah Chateau-Renaud. "Apakah ini berarti bahwa Tuan belum pernah melihat rumah Tuan sendiri?" tanya Debray. "Benar, saya belum melihatnya. Saya tidak ingin datang terlambat di sini. Sebab itu saya berganti pakaian dalam kereta dan langsung menuju pintu rumah Tuan de Morcerf." Anak-anak muda itu berpandangan satu sama lain. Mereka tidak yakin apakah Count of Monte Cristo ini bergurau atau bukan. Tetapi cara berbicaranya begitu sederhana dan tegas sehingga sukar untuk menyangkalnya sebagai suatu kebohongan. Lagi pula apa gunanya dia berbohong. "Saya kira* kita harus puas dengan jasa-jasa kecil yang masih dapat kita lakukan dalam batas-batas kemampuan kita," kata Beauchamp. "Sebagai seorang wartawan saya dapat membukakan semua pintu gedung-gedung teater di Paris." "Terima kasih," jawab Monte Cristo tersenyum. "Tetapi saya telah memerintahkan pengurus rumah tangga memesan tempat di setiap gedung." "Apakah orang itu juga seorang seperti si Nubia bisu?" tanya Debray. "Bukan. Saya kira Tuan telah mengenalnya, Tuan Morcerf." "Signor Bertuccio, ahli menyewa jendela itu?" "Tepat. Dia orang baik yang pernah menjadi prajurit, juga pernah menjadi penyelundup. Tegasnya, dia adalah orang yang serba bisa. Bahkan saya tidak berani bersumpah bahwa ia belum pernah terlibat dengan polisi karena perkara penikaman." "Rupanya," kata Chateau-Renaud, "Tuan telah mempunyai rum ah tangga yang lengkap. Tuan mempunyai sebuah rumah di Champs Elysee, seorang pembantu dan seorang pengurus rumah tangga. Yang masih Tuan perlukan sekarang, seorang gundik." "Saya mempunyai yang lebih baik," jawab Monte Cristo. "Saya mempunyai seorang hamba sahaya. Tuan-tuan menyewa gundik di gedung opera atau gedung sandiwara, saya membelinya di Istambul. Memang saya membayar lebih banyak, tetapi tak ada yang patut disesalkan." "Tetapi Tuan lupa suatu hal," kata Debray tertawa, "bahwa begitu hamba sahaya Tuan menginjakkan kakinya di Perancis dia menjadi orang merdeka." "Siapa yang akan mengatakan itu kepadanya?" tanya Monte Cristo. "Orang pertama yang berbicara dengan dia!" "Dia tidak mengerti bahasa lain kecuali Yunani modern." "Ah, kalau begitu lain soalnya," "Apakah kami boleh melihatnya nanti, paling sedikit?" tanya Beauchamp. "Karena Tuan telah mempunyai seorang bisu, apakah Tuan juga mempunyai seorang kasim?" "Tidak. Saya tidak menganut kebiasaan Timur sampai mengebiri orang. Tidak sampai sejauh itu! Setiap orang di sekeliling saya merdeka untuk meninggalkan saya setiap saat. Dengan meninggalkan saya berarti dia sudah tidak memerlukan saya lagi atau orang lain. Barangkali itulah sebabnya tak seorang pun bermaksud pergi," Telah lama mereka selesai makan. "Sudah setengah tiga," kata Debray tiba-tiba berdiri. "Tamumu sangat menyenangkan, Albert. Tetapi cepat atau lambat kita tidak boleh tidak harus meninggalkan pertemuan betapapun menyenangkannya pertemuan itu. Sudah waktunya aku kembali ke Kementrian." Ketika Beauchamp akan pulang dia berkata kepada Albert, "Aku tidak akan pergi ke Parlemen hari ini. Aku mempunyai sesuatu yang lebih baik bagi para pembaca daripada pidato Tuan Danglars." "Jangan, Beauchamp " kata Albert, "jangan diberitakan. Aku mohon! Jangan menghilangkan kehormatan ku untuk memperkenalkan beliau. Bukankah beliau seorang yang aneh?" "Lebih dari aneh," kata Chateau-Renaud, "beliau adalah salah seorang yang paling luar biasa yang pernah kutemukan. Kau pulang juga, Morrel?" "Setelah saya memberikan kartu namaku kepada Count. Beliau berjanji akan berkunjung ke rumahku." "Dan Tuan boleh yakin akan itu," kata Monte Cristo. Maximilien Morrel keluar bersama Chateau-Renaud, meninggalkan Monte Cristo berdua dengan Albert de Morcerf. BAB XXIII KETIKA tamu-tamu lain sudah pergi, Albert berkata kepada Monte Cristo, 'Ijinkan sekarang saya melakukan kewajiban saya sebagai pramugara dengan memperlihatkan rumah yang khas seorang bujangan Paris." Albert membawa tamunya ke ruang kerjanya yang menjadi ruang kesayangannya. Count of Monte Cristo seorang pengagum yang patut disegani terhadap barang-barang yang dikumpulkan Albert di situ: buah catur antik porselen Jepang, kain negeri Timur, barang pecah belah dari Venesia dan senjata-senjata dari seluruh penjuru dunia. Semua barang ini tidak asing bagi Monte Cristo. Dengan selayang pandang ia sudah dapat menyebutkan abad dan negeri asal dari setiap barang. Albert berharap dapat menerangkan sesuatu kepada tamunya, tetapi kenyataannya tamunya yang sedikit memberikan kuliah kepadanya tentang ilmu purbakala dan sejarah. Albert membawa tamunya ke ruang duduk yang dindingnya dihiasi karya-karya pelukis modern. Dia berharap dapat menunjukkan sesuatu yang baru kepada orang yang aneh ini Sekarang pun dia terheran-heran lagi sebab, tanpa melihat tanda tangannya Monte Cristo dapat menyebutkan pelukis setiap lukisan, dengan cara demikian rupa sehingga mudah diketahui bahwa bukan saja nama pelukisnya yang dia kenali* tetapi juga bahwa ia telah dengan cermat mempelajari dan menilai bakat pelukis-pelukis itu. Dari ruang duduk mereka meneruskan ke kamar tidur. Di sini diketemukan perpaduan antara keindahan dan selera yang tinggi. Satu-satunya lukisan yang menghias dinding adalah sebuah potret karya Leopold Robert. Lukisan ini dengan segera menarik perhatian Monte Cristo. Potret seorang wanita muda sekitar dua puluh enam tahun dengan warna wajah agak gelap, sinar mata yang menyala-nyala tetapi dengan pelupuk yang merana. Wanita itu berpakaian seorang wanita nelayan dari Catalan, berwarna hitam merah dan sebuah rusuk konde di kepalanya. Pandangnya ditujukan ke lautan luas. Profilnya tampak menonjol dengan latar belakang ombak dan langit. Cukup lama Monte Cristo memandang gambar ini. Akhirnya dia berkata dengan tenang sekali, "Gundik Tuan cantik sekali, Viscount, dan pakaiannya, yang tentu pakaian samaran, sangat cocok." "Ini merupakan kesalahan yang tidak akan dapat saya maafkan seandainya ada gambar wanita lain di sebelahnya," kata Albert "Itu potret ibu, dilukis enam atau delapan tahun yang lalu. Sepanjang pengetahuan saya pakaian itu merupakan hasil pemikiran beliau sendiri, dan persamaan wajahnya itu begitu bagus sehingga seakan-akan saya melihat beliau pada tahun 1830. Gambar itu dibuat ketika ayah sedang bepergian, tentu dengan harapan akan merupakan suatu yang menyenangkan bagi ayah. Tetapi anehnya, justru ayah tidak menyukainya sama sekali Oleh karena tidak hendak berpisah jauh dengan karya seni yang seindah itu, ibu memberikannya kepada saya. Maafkan saya karena telah membicarakan soal keluarga. Tetapi, karena saya akan segera memperkenalkan Tuan kepada ayah, saya pikir ada baiknya Tuan mengetahui, dan supaya Tuan tidak memuji lukisan itu di hadapannya. Saya mengirim surat kepada ayah dari Roma mengabaikan jasa yang telah Tuan lakukan di sana. Ayah dan ibu sangat mengharapkan sekali mempunyai kesempatan untuk menyampaikan rasa terima kasih-nya kepada Tuan secara pribadi," Albert memanggil pelayannya dan memerintahkan memberi tahu Count dan Countess de Morcerf bahwa Count of Monte Cristo akan segera menemuinya. Albert dan Monte Cristo menyusul pelayan itu setelah dia pergi. Di ruang duduk rumah keluarga Morcerf mereka bertemu dengan Count Morcerf. Seorang laki-laki berumur empat puluhan, tetapi yang tampaknya paling sedikit lima puluh tahun. Misal dan alisnya yang hitam lebat bertentangan sekali dengan rambutnya yang hampir memutih semua, yang dipotong pendek model militer. "Ayah," kata Albert, "ijinkan saya memperkenalkan Count of Monte Cristo, kawan baik yang secara beruntung sekali mulai berkenalan selagi saya berada dalam keadaan yang sulit seperti yang pernah saya ccriterakan." "Kami sangat bergembira karena kunjungan ini, Tuan," kata Count Morcerf tersenyum sambil membungkukkan badan. "Dengan menyelamatkan jiwa anak kami, Tuan telah membuat suatu jasa yang membuat kami tidak boleh melupakannya seumur hidup. Istri saya sedang di kamarnya ketika kedatangan Tuan diberitahukan. kepada kami. Dia akan segera turun, saya kira." "Adalah suatu kehormatan yang besar bagi saya," kata Count of Monte Cristo, "untuk pada hari pertama datang di Paris dapat berkenalan' dengan Tuan yang martabatnya seimbang dengan jasa-jasanya dan yang secara adil pula dianugerahi kekayaan yang melimpah-limpah. Bukankah ke kayaan yang melimpah itu masih dapat mempersembahkan tongkat marsekal kepada Tuan?" "Oh, tidak, saya telah meninggalkan dinas militer," kata Morcerf, wajahnya merah kemahi-maluan. "Rupanya Revolusi Juli itu begitu berjaya sehingga tidak memerlukan lagi jasa-jasa orang yang tidak pernah berdinas kepada Napoleon. Sebab itu saya mengajukan permohonan pensiun. Saya memasuki bidang politik sekarang dan mendalami masalah-masalah industri dan mempelajari seni yang berguna, suatu hal yang telah lama ingin saya kerjakan, tetapi yang dahulu tidak dapat saya lakukan karena tidak mempunyai waktu." "Itu adalah bidang-bidang yang membuat negri Tuan menonjol dari negri-negri lain," kata Monte Cristo. "Tuan adalah keturunan bangsawan dan memiliki kekayaan yang melimpah-ruah, tetapi aneh, Tuan mengejar kemajuan dengan menjadi prajurit yang tidak dikenal.Lalu, setelah Tuan mencapai pangkat jendral menjadi bangsawan Perancis dan komandan Legiun Kehormatan, sekarang ingin memulai sesuatu yang baru lagi, tentu tanpa mengharapkan imbalan apa-apa kecuali dapat berguna bagi sesama manusia. Itu, Tuan de Morcerf, adalah suatu sikap hidup yang sangat muliar Albert melihat kepada Count of Monte Cristo penuh heran. Dia tidak biasa mendengar Monte Cristo berbicara dengan semangat seperti itu. "Seandainya saya tidak khawatir melelahkan Tuan," kata Jenderal, yang jelas merasa senang mendengar kata-kata Monte Cristo, "saya ingin mengajak Tuan ke Parlemen. Perdebatan hari ini akan sangat menarik bagi mereka yang belum mengenal senatorsenator kami yang modem." "Saya akan sangat berterima kasih apabila Tuan sudi mengundang lagi pada waktu yang lain," jawab Monte Cristo, "tetapi hari ini saya telah mengharapkan untuk dapat bertemu dengan Nyonya dan saya tidak berkeberatan menunggu." "Itu ibu!" kata Albert. Monte Cristo membalikkan badan dengan cepat dan melihat Nyonya de Morcerf berdiri di ambang pintu. Mukanya sangat pucat, dan ketika Monte Cristo melihatnya, ia segera melepaskan tangannya yang dipergunakan untuk — entah sebab apa - menopang dirinya pada pintu. Telah beberapa saat ia berada di situ, cukup lama untuk dapat mendengar kalimat-kalimat tamu yang terakhir. Monte Cristo berdiri dan membungkukkan badan dalam-dalam. Countess membalasnya tanpa berkata dengan anggukan kepala yang lugas. "Mengspa?" tanya Morcerf. "Apakah ruangan ini terlalu panas bagimu?" "Sakitkah ibu?" Albert berlari menghampirinya. Nyonya de Morcerf mengucapkan terima kasih kepada keduanya dan tersenyum. "Tidak," katanya, "saya hanya terharu akan bertemu untuk pertama kalinya dengan orang yang telah menyelamatkan rumah kita dari keadaan berkabung Count," katanya selanjutnya sambil berjalan menuju Monte Cristo dengan keanggunan seorang ratu, "saya berhutang budi untuk keselamatan jiwa anak saya, untuk itu saya mendoakan semoga Tuan selalu diberkahi Tuhan. Sekarang saya berterima kasih lagi kepada Tuan karena telah memberikan kesempatan untuk mengucapkan terima kasih - seperti doa saya — dari lubuk hati." Sekali lagi Monte Cristo membungkukkan badan, lebih dalam daripada yang permulaan. Balikan wajahnya lebih pucat dari Mercedes. "Saya telah meminta diri kepada Count karena terpaksa harus pergi," kata Morcerf. "Sidang sudah dimulai sejam yang lalu dan saya harus berpidato." "Berangkatlah," kata Countess. "Saya akan mencoba merundingkan sesuatu dengan tamu kita selama engkau pergi." Kemudian menghadap kepada Monte Cristo ia ber tanya, "Sudikah Tuan memberikan kehormatan kepada kami untuk tinggal sehari ini bersama kami?" "Saya benar-benar berterima kasih untuk undangan itu, Nyonya, tetapi sayang sekali, saya tiba di Paris ini dan langsung menuju ke mari. Bahkan saya belum pernah melihat rumah saya di sini." "Kalau begitu bolehkah kami mengharapkan kedatangan Tuan pada waktu yang lain?" tanya Mercedes. Monte Cristo membungkuk tanpa menjawab. Tetapi gerakan ini dapat diartikan sebagai setuju. Setelah Albert mengantar Monte Cristo sampai ke pintu, dia kembali lagi menemui ibunya yang telah pergi ke kamarnya "Betulkah ibu tidak sakit?" tanyanya sambil masuk. "Ketika ibu masuk ke ruang duduk tampak pucat sekali." Ibunya tidak segera menjawab. "Nama apa Monte Cristo itu? Nama keluarga, nama sebuah perkebunan atau hanya sebuah nama saja?" "Saya kira hanya sebuah nama. Monte Cristo adalah nama sebuah pulau kecil yang dibeli oleh Count. Suatu hal pasti, beliau tidak menuntut kebangsawanan sekalipun pendapat umum di Roma mengatakan bahwa beliau seorang bangsawan besar." "Berapa usianya menurut perkiraanmu?" tanya Mercedes, dengan tekanan yang menunjukkan perhatian besar. "Tiga puluh lima atau tiga puluh enam." "Semuda itu? Tak mungkin!""Tetapi itu benar. Beberapa kali beliau mengatakannya dalam beberapa kesempatan di mana tidak ada alasan untuk bohong." Kepala Mercedes tertunduk seakan-akan diberati oleh pikiran-pikiran yang pahit "Apakah dia menyukaimu, Albert?" suaranya bergetar. "Saya kira demikian." "Dan engkau sendiri . . . juga menyukainya?" "Ya, tanpa memperhatikan apa yang dikatakan Franz tentang beliau bahwa Count of Monte Cristo orang yang kembali dari alam kubur/' Countess kelihatan gugup. "Albert," katanya dengan suara aneh, "aku selaki menasihatimu agar berhati-hati terhadap kenalan-kenalan baru. Sekarang engkau telah dewasa, mampu untuk memberi dan menerima nasihat. Aku ingin menasihatimu sekali lagi: Hati-hatilah, Albert" "Seandainya saya akan memanfaatkan nasihat Ibu, saya ingin sekali mengetahui terhadap apa atau siapa saya harus berhati-hati. Count of Monte Cristo bukan penjudi, tidak minum kecuali air dicampur sedikit anggur Spanyol» dan dia begitu kaya sehingga tak mungkin akan meminjam uang dari saya. Apa yang harus saya takutkan?** "Engkau benar," jawab Mercedes, "ketakutanku sangat bodoh, terutama sekali terhadap orang yang telah menyelamatkan jiwamu . . . Bagaimana Ayah menerimanya? Beliau sangat sibuk dan kadang-kadang pikirannya telah penuh sehingga mungkin sekali tanpa disengajanya . . ." "Ayah baik sekah\" sela Albert "dan lagi beliau kelihatannya senang sekali mendengar pujian-pujian'Count of Monte Cristo yang diselipkannya dalam percakapannya, seakanakan beliau telah mengenal sejak bertahun-tahun. Mereka berpisah seperti sahabat, bahkan Ayah mengajaknya ke Gedung Parlemen." Mercedes tidak menjawab. Dia begitu terserap oleh pikirannya sehingga lambat-laun matanya menutup. Albert menatapnya dengan perasaan kasih sayang seorang .anak kedi yang ibunya masih muda dan cantik. Karena mengira ibunya tertidur, dengan berjingkat Albert keluar lalu menutup pintu dengan hati-hati. BAB XXIV SEMENTARA itu Count of Monte Cristo telah sampai ke rumahnya yang baru di Champs Ely see. Dua orang menyambutnya ketika keretanya berhenti di muka pintu. Seorang di antaranya AU, yang hatinya merasa senang bukan kepalang melihat majikannya memandang ramah kepadanya. Yang seorang lagi membungkuk hormat lalu mengulurkan tangan membantu majikannya turun dari kereta. "Terima kasih, Tuan Bertuccio," kata Count "Apakah Notaris sudah datang?" "Dia menunggu di ruang tamu, Yang Mulia," Count of Monte Cristo menuju ruang tamu diantar oleh Bertuccio. 'Tuankah notaris yang dikuasakan menjual rumah yang ingin saya beli?" "Benar, Tuan." "Ada Tuan bawa surat-surat jual-belinya?" "Ini, Tuan." "Nah, di mana letaknya rumah yang saya be i itu?" tanya Monte Cristo seenaknya. Notaris memandangnya heran. "Maksud Tuan, belum pernah melihatnya?" "Bagaimana mungkin saya dapat melihatnya? Baru per* tama kali ini saya datang di Paris, tadi pagi. Tegasnya, ini adalah kunjungan saya yang pertama ke Perancis." "Saya mengerti, Tuan. Rumah yang Tuan beli itu terletak di daerah Auteuil Mendengar nama ini wajah Bertuccio menjadi pucat. "Dan di mana Auteuil itu?" 'Tidak berapa jauh dari sini, Tuan. Sedikit lewat Passy, di daerah yang nyaman di tengah-tengah Bois de Boulogne." "Begitu dekat? Kalau begitu bukan di luar kota! Mengapa Tuan memilihkan rumah yang bukan di luar kota, Tuan Bertuccio?" "Yang Mulia," kata Bertuccio terkejut takut, "saya tidak memilihnya! Sudikah Tuan mengingat-ingat kembali , "Ah, ya, sekarang saya ingat," kata Monte Cristo, "saya membaca iklan dalam sebuah koran dan terpedaya oleh kata-kata, Rumah Luar Kota." "Masih ada waktu, Yang Mulia," kata Bertuccio, "seandainya Tuan menghendaki saya mencari rumah lain di daerah yang lebih baik." "Ah, tidak, biar saja," jawab Monte Cristo acuh tak acuh. "Karena sudah jadi, saya akan memanfaatkannya." 'Tuan tidak akan menyesal," kata Notaris dengan sungguh-sungguh. "Rumah itu bagus sekali" Dia menandatanganinya dengan cepat, lalu berkata kepada Bertuccio, "Bayarkan kepada Tuan irfi lima puluh ribu frank." Bertuccio meninggalkan ruangan dan kembali lagi dengan membawa setumpuk uang kertas. Notaris menghitungnya dengan cermat "Masih ada lagi yang lain?" "Tidak ada, Tuan." Count of Monte Cristo mengangguk, Notaris membungkukkan badan lalu pergi. "Bertuccio,** kata Count, "bukankah engkau pernah mengatakan pernah berkeliling di Perancis?" "Hanya di daerah-daerah tertentu saja, Yang Mulia." "Kalau begitu pasti engkau mengenal pula kota-kota pinggiran Paris?" ''Tidak, Yang Mulia, tidak," jawab Bertuccio sedikit gemetar, yang oleh Monte Cristo, seorang yang ahli menilai perasaan manusia diartikan sebagai ketakutan. "Sayang sekali," katanya, "karena aku ingin sekali melihat rumah itu malam ini juga dan berharap engkau dapat memberikan beberapa keterangan yang penting dalam perjalanan ke Auteuil." **Ke Auteuil?" Bertuccio terkejut. Warna kulit mukanya yang kecoklat-eoklatan berubah menjadi kebiru-biruan. "Tuan menghendaki saya pergi ke Auteuil?'* "Apa yang aneh dalam hal ini? Bukankah engkau anggota rumah tanggaku?" Bertuccio menundukkan kepala karena pandangan majikannya yang berwibawa. Ia berdiri tanpa menjawab. "Mengapa engkau, Bertuccio? Apakah engkau bermaksud supaya aku membunyikan bel dua kali untuk memanggil keretaku?" Bertuccio berlari ke ruang tunggu lalu berteriak dengan suara serak, "Kereta Yang Mulia, siapkan!" Monte Cristo duduk lalu menulis beberapa pucuk surat. Ketika ia sedang merekat sampul surat terakhir, Bertuccio kembali. "Kereta telah menunggu di muka pintu, Yang Mulia" "Baik. Ambil topi dan sarung tanganmu." "Apakah saya harus turut?" 'Tentu. Aku berniat tinggal di sana dan supaya aku dapat memberikan beberapa petunjuk." Bertuccio mengikuti majikannya tanpa membantah lebih lanjut, tetapi Monte Cristo melihat bahwa langkah-langkahnya goyah ketika berjalan dan bibirnya membisikkan doa-doa ketika menduduki tempatnya dalam kereta. Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai di daerah Auteuil. "Kita berhenti di Rue de la Fontaine No. 28," kata Monte Cristo sambil menatap Bertuccio. Keringat bercucuran dari dahi Bertuccio, tetapi ia tidak dapat menolak perintah. Ia mengeluarkan kepalanya lewat jendela dan berteriak kepada sais. "Berhenti di Rue de la Fontaine No. 28." Selagi dalam perjalanan, malam telah tiba. Atau lebih tepat, awan-awan hitam yang bergelantungan di awang-awang sarat dengan bahan-bahan halilintar, memberikan suasana yang khidmat menyeramkan kepada kegelapan yang datang terlampau cepat itu. Kereta berhenti, dan pembantu sais meloncat turun untuk membukakan pintu. Monte Cristo dan Bertuccio turun. "Ketuk pintu dan beritahukan kedatanganku," kata Monte Cristo. Bertuccio mengetuk, pintu terbuka dan penjaga muncul* "Majikanmu yang baru," kata pembantu sais memberikan surat dari notaris kepada penjaga pintu. "Jadi rumah ini sudah terjual?" tanya penjaga pintu. "Betul," jawab Monte Cristo, "dan aku akan berusaha agar engkau tidak mempunyai alasan untuk menyesali kehilangan majikanmu yang lama." "Oh, saya tidak akan begitu kehilangan, Tuan, karena boleh dikatakan kami tidak pernah melihatnya. Sudah lima tahun beliau tidak datang ke mari." "Siapa nama majikanmu dahulu?" "Marquis of Saint-Meran." "Marquis of Saint-Meran . . . Rasanya aku pernah mendengar nama itu." "Seorang bangsawan tua," kata penjaga pintu, "pendukung setia dinasti Bourbon. Beliau mempunyai seorang puteri yang menikah dengan Tuan Villefort, Jaksa Penuntut Umum di Nimes kemudian di Versailles." Monte Cristo melirik kepada Bertuccio. Dia melihat wajah Bertuccio sudah pucat seputih dinding tempat ia bersandar untuk menjaga jangan sampai jatuh. "Bukankah puterinya itu telah meninggal?" tanya Count "Kalau tidak salah, begitulah kabar yang pernah kudengar." "Benar, Tuan, beliau meninggal dua puluh tahun yang lalu, dan sejak itu Marquis of Saint-Meran datang ke mari tidak lebih dari tiga kali" "Terima kasih " kata Monte Cristo, menyertai ucapannya dengan memberikan dua buah uang emas yang menimbulkan ledakan kegembiraan dan serangkaian doa pada si penjaga pintu. "Ambil salah satu lentera dari kereta, Bertuccio, dan antar aku melihat-lihat rumah ini." Bertuccio menurut tanpa membantah, tetapi tangannya yang terus-menerus gemetar menunjukkan betapa berat tugas itu baginya. Setelah memeriksa lantai pertama, mereka naik ke lantai kedua. Dalam sebuah ruangan tidur Monte Cristo melihat pintu yang berhubungan langsung dengan sebuah tangga spiral. "Ini pintu pribadi," katanya. "Coba terangi, Bertuccio, kita akan melihat ke mana arah tangga ini." "Ke kebun, Tuan." "Bagaimana engkau mengetahuinya, kalau boleh aku bertanya?" "Saya maksud, barangkali, Tuan." "Mari kita buktikan." Bertuccio mengeluh keras, lalu berjalan di muka. Tangga itu benar menuju ke kebun. Ketika ia sampai di pintu keluar Bertuccio berhenti, pikirannya kacau-balau, bahkan hampir pingsan. "Mengapa?" tanya Count "Tidak, Tuan, maaf,** setengah menangis. "Saya tidak sanggup terus!" "Apa maksudmu?" tanya Monte Cristo dingin. "Aneh sekali, Tuan. Dari sekian banyak kota pinggiran di Paris, Tuan memilih Auteuil, dan dari sekian banyak rumah di Auteuil, Tuan membeli rumah di Rue de la Fontaine No. 28. Seperti tidak ada lagi rumah lain kecuali yang ini, di mana pernah terjadi pembunuhan!" "Engkau ini benar-benar orang Corsica tulen, Bertuccio. Selalu penuh rahasia dan takhayul! Ayoh terus, ambil lentera itu dan mari kita periksa kebun itu." Bertuccio memungut lentera dan menurut. Monte Cristo berhenti di dekat serumpun pepohonan. Bertuccio sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. "Jangan berdiri di sana, Tuan. Saya mohon dengan sangat. Tuan berdiri tepat di tempat yang sama." "Tempat apa?" "Tempat di mana ia terjatuh." "Aku khawatir engkau menjadi gila, Bertuccio. Coba tenangkan dirimu dan terangkan apa sebenarnya yang engkau maksud." "Seumur hidup baru sekali saya menceriterakannya," jawab Bertuccio, "dan itu kepada Padri Busoni. Hal demikian hanya dapat diungkapkan dalam pengakuan dosa saja, Tuan." "Kalau demikian, Bertuccio, aku terpaksa mengembalikanmu kepada penerima pengakuan dosamu. Aku tidak menyukai anggota rumah tanggaku yang takut masuk ke kebun rumahku di malam hari. Juga, harus kukatakan bahwa aku tidak akan merasa senang harus menerima kedatangan polisi yang akan menangkapmu. Aku tahu bahwa engkau pernah menjadi penyelundup, tetapi tidak pernah tahu bahwa masih ada kejahatan lain yang menghantuimu. Engkau, terpaksa kuberhentikan, Bertuccio." "Oh, Yang Mulia!" Bertuccio menangis. "Bila imbalannya saya boleh tetap bekerja pada Tuan, saya bersedia berbicara. Saya akan menceriterakan segalanya." "Soalnya menjadi lain, kalau begitu," kata Monte Cristo. "Tetapi harap diingat, kalau engkau bermaksud bohong, lebih baik tidak berbicara sama sekali." "Tidak, Tuan, saya bersumpah demi keselamatan roh saya bahwa saya akan mengatakan seluruhnya menurut apa yang sebenarnya. Dari manakah saya harus mulai?" "Sekehendakmu, karena aku tidak mengetahui apa-apa tentang apa yang akan kaukatakan itu." "Saya kira Padri Busoni telah menceriterakannya kepada Tuan i . ." "Benar, tetapi hanya sedikit sekali, lagi pula itu terjadi tujuh atau delapan tahun yang lalu sehingga aku sudah hampir lupa semuanya. Semua ini mulai terjadi dalam tahun 1815. Seluruhnya masih jelas dalam ingatan saya seakan-akan baru terjadi kemarin. Saya mempunyai seorang kakak laki-laki yang menjadi anggota tentara Napoleon. Pangkatnya letnan dalam resimen yang semuanya terdiri dari orang-orang Corsica Kakak itu merupakan satu-satunya orang yang terdekat kepada saya, katakanlah satu-satunya sahabat. Kami telah menjadi yatim-piatu ketika saya berumur lima tahun. Dialah yang membesarkan saya sebagai anaknya sendiri. Dia kawin dalam tahun 1814 waktu Perancis masih dikuasai keluarga Bourbon. Ketika Napoleon kembali dari Pulau Eiba dia kembali menggabungkan diri. Pada suatu hari saya menerima surat darinya. Saya lupa mengatakan bahwa kami tinggal di sebuah desa kedi di Corsica. Surat itu mengabarkan bahwa pasukan Napoleon telah dibubarkan dan ia sedang dalam perjalanan kembali melalui Chateauroux, Clermont-Ferrand, Le Puy dan Ni-mes. Dia meminta agar saya mengirimkan sejumlah uang ke Nimes kepada seorang pemilik hotel yang telah ada hubungan usaha dengan saya, dan dia akan menjemputnya di sana." "Apakah dalam usahamu itu termasuk penyelundupan?" Monte Cristo menyela "Kami harus makan, Tuan." "Ya, ya, tentu saja. Teruskan," "Saya sangat mencintai kakak saya, seperti saya katakan tadi. Sebab itu saya memutuskan untuk mengantarkan uang itu sendiri. Waktu itu saya mempunyai seribu frank. Setengahnya saya tinggalkan untuk ipar saya, Assunta, lalu berangkat ke Nimes dengan membawa yang setengahnya lagi-*' "Waktu itu bertepatan sekali dengan terjadinya pembunuhan besar-besaran yang tersohor di Perancis Selatan. Gerombolan pembunuh yang diatur rapi membunuh setiap orang yang dicurigai pernah menjadi pengikut Napoleon Bonaparte. Seakan-akan saya harus mengarungi lautan darah ketika saya memasuki Nimes. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Para pembunuh merampok dan membakar rumah-rumah. Melihat itu hati saya cemas, tidak untuk diri sendiri karena saya hanyalah seorang nelayan Corsica sederhana, tetapi untuk kakak saya dan masih mengenakan seragam Napoleon. Saya berlari menemui pemilik hotel. Ketakutan saya memang terbukti. Kakak saya datang ke Nimes malam sebelumnya dan dibunuh tepat di muka pintu hotel. Saya lakukan apa yang mungkin dilakukan untuk menemukan pembunuhnya, tetapi orangorang di sana begitu takut sehingga tak seorang pun berani mengatakan nama-nama pembunuh. Lalu saya menghadap Jaksa Penuntut Umum, namanya Villefort Dia berasal dari Marseilles dan belum lama diangkat menjadi jaksa di sana. Orang-orang Nimes mengatakan bahwa jaksa itulah yang paling dahulu memberi, kabar kepada raja tentang penyerangan kembali Napoleon dari Elba. 'Kakak saya dibunuh kemarin,' saya laporkan kepadanya. 'Saya tidak tahu siapa pelakunya, dan itu adalah kewajiban Tuan untuk menemukannya.' 'Siapa kakakmu itu?' Villefort bertanya. 'Letnan dalam resimen Corsica.* Tentara Napoleon, kalau begitu.' Tentara Perancis.* 'Setiap revolusi membawa bencana,*' kata Villefort, 'dan kakakmu merupakan seorang korban dari bencana itu, yang tentu saja kita sesalkan. Seandainya Napoleon tetap berkuasa, lalu pejuang-pejuangnya membunuh peju-ang-pejuang kerajaan, dan setiap pembunuh harus dihukum, maka kakakmu juga harus dihukum mati. Apa yang terjadi sekarang adalah hal yang wajar. Begitulah hukum balas dendam.' Saya terperanjat. 'Bagaimana, sebagai seorang petugas hukum, Tuan dapat berkata begitu?* 'Kalian orang Corsica gila semua,* kata Villefort. 'Kau bermimpi teman senegrimu itu masih jadi kaisar. Seharusnya engkau datang dua bulan yang lalu. Sekarang sudah terlambat. Tinggalkan tempat ini, kalau tidak, aku akan perintahkan melemparmu ke luar.* 'Baik,' kata saya kepadanya, 'karena ternyata Tuan mengenal orang Corsica dengan baik, Tuan tentu mengetahui pula bagaimana mereka memegang teguh ucapannya. Tuan berpikir bahwa kakak saya patut dibunuh karena dia seorang Bunapartis dan Tuan seorang kaum kerajaan. Saya pun seorang Bonapartis, dan saya hanya akan mengatakan vendetta terhadap Tuan. Dalam pertemuan kita yang berikut, berarti bahwa detik-detik terakhir untuk Tuan telah tiba'." Lalu melanjutkan, "Sebelum dia pulih dari keterkejutannya saya membuka pintu dan berlari ke luar." "Apa?" kata Monte Cristo. "Dengan wajah jujurmu seperti ini, kau berani mengatakan kata-kata itu kepada seorang jaksa? Dan mengertikah ia apa arti kata vendettaV "Dia mengerti betul sehingga sejak saat itu dia tidak pernah lagi berjalan tanpa pengawal dan dia meminta polisi mencari saya di mana-mana. Untung sekali saya mempunyai tempat persembunyian yang baik sehingga tidak pernah diketemukan. Akhirnya ia merasa takut tinggal di Nimes febih lama lagi. Dia mengajukan permohonan pindah dan karena ia orang yang berpengaruh dia diangkat menjadi jaksa di Versailles. Tetapi, seperti Tuan ketahui, tidak ada jarak yang terlalu jauh bagi seorang Corsica yang telah mengikrarkan vendetta yang berarti sumpah membalas dendam. Dalam perjalanan ke Versailles saya selalu berada dalam jarak setengah jam perjalanan di belakang keretanya Yang terpenting dalam urusan ini bukan membunuhnya — saya telah mempunyai kesempatan lebih dari selusin kali — tetapi membunuhnya tanpa diketahui atau ditangkap. Hidup saya bukan milik saya sendiri lagi karena saya mempunyai seorang kakak ipar yang harus diurus dan dilindungi. Saya mengawasi Villefort terus-menerus selama tiga bulan. Akhirnya saya mengetahui bahwa ia sering mengadakan perjalanan rahasia ke Auteuil ke rumah yang ini. Dia tidak pernah masuk melalui pintu depan. Selalu dia meninggalkan kuda atau keretanya di kedai dan masuk rumah ini melalui pintu kecil yang Tuan lihat itu. Saya meninggalkan Versailles pindah ke Auteuil, karena berpendapat akan mempunyai kesempatan yang lebih baik di sini Saya temukan juga bahwa rumah ini milik Marquis Saint-Meran, dan bahwa Marquis itu mertua Villefort. Karena Marquis itu tinggal di Marseilles, rumah ini disewakan kepada seorang janda baion yang.hanya dikenal dengan sebutan ^bareness' saja. Pada suatu malam ketika saya mengintip lewat benteng, saya melihat seorang wanita cantik berjalan-jalan dalam kebun. Seketika itu juga saya lihat bahwa dia sedang hamil tua. Tak lama kemudian pintu kecil itu terbuka dan seorang laki-laki masuk. Wanita itu berlari menjemputnya. Mereka berpelukan dengan mesranya lalu bergandengan masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu Tuan de Villefort. Segera terpikir oleh saya bahwa kalau nanti ia pulang, mungkin' sekali ia akan melalui kebun lagi sendirian." "Berhasilkah engkau mengetahui nama wanita itu?" "Tidak, Tuan. M anti Tuan akan dapat memahami bahwa saya tidak sempat menyelidikinya." "Teruskan.""Sebenarnya saya dapat membunuhnya pada malam itu, tetapi saya belum mengenal betul keadaan kebun itu sehingga takut tidak akan dapat melarikan diri seandainya dia sempat berteriak meminta tolong. Tiga hari kemudian, kira-kira jam tujuh malam, saya melihat seorang pelayan meninggalkan rumah itu cepat-cepat dengan naik kuda. Dia kembali tiga jam kemudian, badannya penuh debu. Sepuluh menit setelah itu, seorang laki-laki lain membuka pintu kebun lalu masuk ke dalam. Saya tidak melihat wajahnya, tetapi saya yakin orang itu Villefort karena jantung saya berdetak keras seakan-akan memberitahukannya. Saya mencabut pisau dan masuk kebun dengan menaiki benteng. Lalu saya bersembunyi di balik semak-semak yang saya perhitungkan akan dilalui Villefort pada waktu dia pulang. Sesudah menunggu dua jam^baru Villefort keluar. Saya melihat dia membawa sesuatu yang pada mulanya saya sangka sebuah senjata atau semacamnya. Nyatanya hanya sebuah singkup; dia berhenti dekat semak-semak tempat saya bersembunyi dan mulai membuat lubang di tanah. Ia melepaskan jasnya dan sesuatu yang dibawa di balik jas itu untuk memberikan keleluasaan bergerak. Kebencian saya bercampur dengan keinginan tahu. Sebab itu Saya menunggu dan melihat apa yang hendak dilakukannya. Beberapa saat kemudian dia mengambil sebuah peti berukuran sedang dari bawah jasnya tadi, lalu menguburnya. Sehabis itu saya menyergapnya, menikamkan pisau pada dadanya sambil berteriak, 'Giovani Bertuccio, Kematianmu buat kakakku dan hartamu buat istrinya! Pembalasanku ternyata lebih sempurna daripada yang aku perkirakan.1 Saya tidak tahu, apakah ia mendengar kata-kata saya itu atau tidak. Saya kira tidak, karena ia langsung rebah tanpa berkutik. Saya menggali kembali lubang itu kemudian lari membawa peti melalui pintu kebun." "Banyakkah isi peti itu?" tanya Monte Cristo. "Ternyata isinya bukan uang, Yang Mulia. Saya berlari sampai di sebuah sungai. Di tepinya saya membuka peti. Yang saya dapatkan seorang bayi yang baru dilahirkan. Mukanya yang kebiru-biruan menunjukkan ia hampir mati seperti tercekik, tetapi saya masih dapat merasakan denyut jantungnya yang sudah lemah sekali. Saya menghembuskan udara ke dalam paru-parunya lewat mulutnya dan seperempat jam kemudian dia menangis. Saya sendiri pun menangis, tetapi karena gembira 'Tuhan tidak mengutuk/ saya katakan kepada diri sendiri, "buktinya Dia memperkenankan saya memberikan hidup kepada seorang manusia sebagai pengganti hidup yang saya renggut dari manusia lain.' Dari kain halus yang membungkus badannya, jelas bahwa orangtuanya termasuk golongan kaya. Pada kain itu tersulam dua buah huruf. Saya menyobeknya menjadi dua bagian demikian, rupa sehingga pada tiap bagian terdapat satu huruf. Satu bagian saya ambil. Kemudian saya meletakkan bayi itu di muka pintu sebuah rumah yatim-piatu, membunyikan lonceng pintunya lalu lari secepat dapat. Dua minggu kemudian saya sudah kembali di Rogliano, desa kami di Corsica. Kalimat pertama yang saya katakan kepada Assunta adalah, 'Semoga terhiburlah engkau, Israel telah mati, tetapi saya telah membalas kematiannya.' Lalu saya ceritakan segala yang telah terjadi. 'Glovani,' kata Assunta, 'sebaiknya kauambil kembali bayi itttv Kita harus menjadi orangtuanya dan kita akan menamakan dia Benedetto sebagai peringatan terhadap karunia yang diberikan Tuhan kepada kita.' Satu-satunya jawaban saya kepada permintaannya ini, menyerahkan potongan kain pembalut kepadanya yang sengaja saya bawa dengan maksud sebagai bukti untuk meminta kembali bayi itu nanti apabila kami sudah cukup kaya," "Huruf-huruf apa yang tersulam pada kain itu?" tanya Monte Cristo. "HurufH"dan N yang masing-masing di atasnya dibubuhi mahkota kebangsawanan." , "Aku ingin sekali mengetahui tentang dua soal." "Yaitu?" "Bagaimana kejadiannya dengan anak laki-laki itu - tadi kaukatakan Jjayi itu laki-laki, bukan?" "Tidak, Yang Mulia, saya rasa tidak mengatakan demikian. Tetapi memang, anak itu laki-laki. Dan soal yang lain?" "Aku ingin mengetahui kejahatan apa yang dituduhkan kepadamu ketika engkau meminta seorang padri untuk menerima pengakuan dosamu di penjara di Nimes. Yang datang Padri Busoni, bukan?" "Kisahnya agak panjang, Yang Mulia.'. "Tidak apa. Sekarang baru jam sepuluh. Seperti kau tahu, aku tidur sedikit sekali dan aku kira sekarang ini engkau pun belum mau tidur." Bertuccio mengangguk lalu meneruskan ceriteranya. "Sebagian karena ingin mengenyahkan bayangan balas dendam yang terus saja menghantui dan sebagian lagi dengan maksud mencukupi kebutuhan janda Israel, saya kembali kepada kegiatan penyelundupan dengan semangat yang lebih besar daripada yang sudah-sudah. Karena kakak saya terbunuh di Nimes saya tidak pernah mau kembali ke kota itu. Akibatnya, hubungan kami dengan pemilik penginapan di Nimes terputus. Akhirnya dia yang menghubungi kami dan membuka sebuah penginapan baru dengan nama Pont du Garde, terletak di jalan antara Bellegarde dan Beaucaire. Kami mempunyai kurang lebih selusin tempat semacam itu, tempat kami menyimpan barang-barang dan menyembunyikan dari pemeriksaan bea cukai dan polisi, kalau perlu. Suatu hari saya harus berangkat lagi. Assunta berkata kepada saya, 'kalau kau kembali nanti saya mempunyai sesuatu bagimu.' Saya tanya apa itu, tetapi dia tidak mau mengatakannya. Ketika saya pulang enam minggu kemudian, barang pertama yang saya lihat di rumah adalah sebuah ranjang bayi dengan bayi di dalamnya. Rupanya selama saya bepergian itu Assunta telah pergi ke Paris dan meminta bayi itu Saya mengakui, Yang Mulia, bahwa ketika saya melihat mahluk kecil tak berdaya itu tidur dengan lelap di ranjangnya, seakan-akan dada saya mengembang dan air mata berlinang. Saya katakan kepada Assunta, 'Baik sekali engkau, Assunta. Semoga Tuhan memberkahimu.' Tetapi,, rupanya dengan memilih anak itu Tuhan bermaksud menghukum saya. Belum pernah saya menemukan watak yang lebih buruk pada anak semuda dia. Walaupun demikian, tak seorang pun dapat mengatakan bahwa itu disebabkan karena pendidikannya, sebab Assunta telah memperlakukannya^ aeperti anak seorang pangeran. Ketika ia berumur sebelas tahun kawan-kawan bergaulnya adalah orang-orang yang berumur antara delapan belas dan dua puluh tahun yang telah sering melakukan perbuatan yang tidak senonoh dan telah sering pula diperingatkan oleh polisi Suatu saat, saya harus pergi lagi untuk suatu perjalanan yang penting. Setiap kali kami memperbincangkan Benedetto, Assunta selalu melindunginya, sekalipun dia mengakui bahwa ia sering kehilangan uang dalam jumlah yang cukup besar. Saya menunjukkan suatu tempat di mana ia dapat menyembunyikan harta kami yang tak seberapa banyak itu. Lalu saya berangkat ke Perancis. * Kami bermaksud menurunkan muatan di Teluk Lyon. Pada waktu itu tahun 1829. Usaha penyelundupan sudah semakin sukar. Ketertiban sudah mulai kokoh dan patrolipatroli dilakukan dengan lebih cermat dan ketat dibandingkan dengan sebelumnya. Pada permulaannya operasi kami berjalan dengan lancar. Kami menambatkan kapal kami yang berdasar dua lapis di antara kapal-kapal lain yang berjejer sepanjang kedua tepi Sungai Rhone. Di sana kami menurunkan muatan lalu meneruskannya ke kota oleh sekutu-sekutu kami. Mungkin karena keberhasilan, kami kurang waspada atau mungkin juga karena ada yang berkhianat, pada suatu saat ketika kami hendak makan, pelayan kabin kapal kami datang berlari memberitahukan bahwa sepasukan petugas bea cukai dan polisi sedang bergerak menuju ke tempat kami Kami semua serentak berdiri, tetapi terlambat, kapal sudah dikepung. Saya berlari ke ruang bawah, menyelinap ke luar melalui jendela bundar lalu berenang di bawah permukaan air sampai ke sebuah terusan kecil yang menghubungkan Sungai Rhone dengan terusan lain yang mengalir dari Beaucaire ke Aigues-Mortes. Bukan kebetulan saya memilih jalan ini. Saya rasa. Yang Mulia, saya sudah menceriterakaa tentang orang dari Nimes yang membuka penginapan di jalan antara Beaucaire dan Bellegarde." "Siapa nama orang itu?" tanya Monte Cristo yang kelihatannya mulai menaruh perhatian kepada kisah Bertuccio. "Caspard Caderousse. Ia seorang yang berbadan tegap sekitar empat puluhan yang telah beberapa kali membuktikan keberanian dan ketabahannya dalam keadaan-keadaan yang gawat" * "Kaukatakan tadi tahun 1829," kata Count. "Masih ingat bulannya?" "Juni. Tanggal tiga Juni." "Juni tanggal tiga tahun 1829. Ya. Teruskan lagi." "Saya bermaksud bersembunyi di penginapan Caderou-se. Dalam leadaan biasa pun kami tidak pernah masuk penginapan itu melalui pintu depan. Apalagi waktu itu karena saya khawatir mungkin saja ada tamu-tamu yang menginap. Saya rrienyelinap masuk melalui pagar kebun dan segera sampai di sebuah kamar kecil. Telah sering saya tidur di tempat itu apabila saya tidak mendapatkan ranjang yang lebih baik. Kamar itu terpisah dari ^bangunan induknya dengan dihalangi sebuah dinding kayu. Pada dinding itu dibuat beberapa lubang pengintip untuk melihat kesempatan yang baik untuk memberitahukan kehadiran kami kepada Caderousse. Dari lubang itu saya melihat Caderousse masuk bersama seorang jang tidak saya kenal. Saya diam dan menunggu. Rupanya tamu Caderouse itu seorang jauhari yang hendak menjual perhiasan di pasar malam Beaucaire. "Padri itu tidak menipu,' kata Caderousse kepada isterinya. 'Intan ini asli, dan Tuan ini, salah seorang jauhari terrnashur dari Paris, bersedia membayar lima puluh ribu frank. Tetapi untuk meyakinkan bahwa intan ini benar milik kita, beliau ingin sekali mendengar dari engkau bagaimana kisahnya sampai jatuh ke tangan kira. Sementara itu, Tuan, silakan duduk dan saya akan mengambil minuman untuk pelepas dahaga.' 'Silahkan ceriterakan, Nyonya,' kata Jauhari itu. Jelas sekali ia ingin memanfaatkan ketidakhadiran Caderousse untuk memperbandingkan ceriteranya dengan ceritera istem >a 'Yah,' kata Nyonya Caderousse, 'ini benar-benar merupakan rejeki dari langit yang sama sekali di luar dugaan. Empat belas tahua yang lalu suami saya mengenal seorang pelaut bernama Edmond Dantes yang karena sesuatu sebab dipenjarakan. Dalam penjara itu ia bertemu dengan seorang Inggris kaya yang memberinya sebuah intan ketika orang Inggris itu dibebaskan. Dantes tidak beruntung, karena ia mati dalam penjara. Sebelum ia meninggal dia mewariskan intan ini kepada kami dan meminta padri yang tadi pagi datang ke mari menyampaikannya kepada kami " 'Ceritera Nyonya sama dengan apa yang dikatakan suami Nyonya,' kata Jauhari Itu, ^dan saya kira ceritera itu benar, meskipun selintas terdengar tidak masuk %kaL Sekarang yang harus kita bicarakan soal harganya.' 'Apa!' kata Caderousse. 'Saya kira kita sudah setuju dengan harga yarig saya minta!' 'Saya menawar empat puluh ribu.* 'Empat puluh ribu'.* kata Nyonya Caderousse. 'Kami takkan melepaskannya untuk harga itu. Padri itu mengatakan harganya lima puluh ribu.*' 'Saya hanya berani sampai empat puluh lima ribu, tidak lebih.' Tak apa,* kata Caderousse, 'kami akap menjualnya kepada orang lain.' "Silakan. Seperti Tuan lihat, saya sudah membawa uangnya.' Dia mengeluarkan segalung uang kertas dan se-genggam emas murni yang berkilauan di hadapan mata Caderousse. Caderousse bimbang» Dia menoleh kepada isterinya dan berbisik, 'Bagaimana pendapatmu?*" 'Berikan saja,* jawabnya. 'Kalau tidak, mungkin ia mengadukan kita dan kita tidak akan dapat menemui kembali padri itu untuk membenarkan keterangan kita.' 'Begitulah,' kata Caderousse kepada Jauhari, 'silakan ambil intan ini untuk empat puluh lima ribu frank.' Jauhari itu membayar lima belas ribu^rank dengan emas dan tiga puluh tibu lagi dengan uang kertas. * 'Tunggu sebentar, saya akan rnengambil lampu/ kata Nyonya Caderousse. "Sudah agak gelap dan jangan sampai kita mefh&uat kesalahan.*' Sementara mereka berunding hari makin malam, dan bersamaan dengan itu awan men-du yan telah mengancam semenjak setengah jam yang lalu, meledak menjadi hujan angin yang lebat. Tetapi ketiga orang ifb seakan-akan tidak memperdujikannya, 'Sudikah Tuan makan malam di sini?1 tanya Caderousse. Terima kasih, saya harus segera kembali ke Beaucaire. Istri saya mungkin sudah gelisah.' Tuan mau pulang dalam cuaca sebu/mc ini?' tanya Caderousse, 'Saya tidak takut halilintar/ 'Bagaimana terhadap penyamun? Kalau ada pasar malam biasanya jalan kurang aman.' 'Untuk para penyamun,' jawab Jauhari, 'saya sediakan ini.' Dia memperlihatkan dua pucuk pistol.  'Kalau begitu,' kata Caderousse, 'selamat,jalan.5 Terima kasih.* Jauhari itu mengambil tongkatnya lalu membuka pintu. Berbarengan dengan pintu terbuka angin yang keras sekali bertiup ke dalam hampir memadamkan lampu. 'Wali, dan saya harus menempuh jarak satu kilometer dalam cuaca beginiV Jauhari itu menjadi ragu-ragu. 'Menginap saja di sini,* kata Caderousse. 'Betul Tuan, menginap saja,' sambung istrinya. 'Jangan khawatir, kami akan menyediakan semua keperluan Tuan.' Tidak, saya mesti kembali malam ini juga ke Beaucaire. Selamat malam.* 'Mengapa engkau menahan?' tanya istrinya ketika tamunya telah pergi. 'Mengapa, supaya dia tidak kembali ke Beaucaire malam ini,' jawab Caderousse terkejut mendengar pertanyaan itu. Oh, aku kira ada maksud lain,* 'Apa sebab engkau berpikir begitu?' tanya Caderousse keras. 'Kalau engkau punya maksud lain, tak nsah aku diberi tahu. Tahukah engkau, pikiranmu itu menentang Tuhan.* Guntur menggelegar dan kilat bqtcahaya. Suara guruh melemah lalu hilang seakanakan menyesal harus meninggalkan rumah terkutuk itu. Nyonya Caderousse membuat tanda salib di dadanya. Di tengah-tengah kesunyian yang biasa menyusul sebuah guruh, terdengar orang mengetuk pintu. Mereka te; kejut, lalu berpandangan satu sama lain. 'Siapa!' Caderousse berteriak, sambil menyembunyikan uang yang terletak di meja dengan tangannya. 'Joanes, Jauhari.' 'Kaukatakan aku menentang Tuhan,' kata istrinya, 'sekarang ternyata Tuhan mengembalikan dia kepada kita!* Caderousse menjadi pucat dan merebahkan dirinya ke kursi. Dengan langkah-langkah yang pasti istrinya berjalan ke pintu dan membukanya. 'Silakan mjpuk, Tuan.' 'Rupanya setan tidak menghendaki aku pulang ke Beaucaire malam ini,' kata Jauhari yang sudah basah kuyup. 'Saya terima tawaran untuk menginap di sini, Tuan Caderousse.* Caderousse menggumamkan kata-kata yang tidak jelas dan mengusap keringat yang mengucur di dahinya. Istrinya menutup kembali pintu, "Apakah ada tamu-tamu lain?' Tidak ada.* 'Mudah-mudahan saya tidak menyusahkan kalian.' "Menyusahkan? Sama sekali tidak, Tuan/ kata istri Caderousse seperti gembira; Caderousse memandang istrinya dengan perasaan heran. Sementara Joanes memanaskan badannya di muka perapian, istri Caderousse menyediakan sisa-sisa makanan malam itu di meja, menambahnya dengan dua tiga butir telur segar. 'Nah/' katanya sambil menaruh botol anggur di meja, 'Silakan makan kalau Tuan sudah siap/ Jauhari duduk untuk makan dan Nyonya Caderousse melayaninya dengan penuh perhatian. Setelah dia,selesai makan, istri Caderousse berkata, Tuan mesti rnerasa lelah, kamar telah saya siapkan. Silakan naik dan selamatiiduT.' Jauhari Joanes masih dudukduduk selama seperempat jam menunggu kalau kalau hujan mereda. Hujan bahkan bertambah deras. Akhirnya dia naik ke kamarnya. Nyonya Caderousse mengikutinya dengan pandangan penuh perhatian, sedangkan Caderousse sendiri memunggunginya. Hal-hal kecil ini saya ingat kembali kemudian, padahal pada saat-saat terjadinya tidak mempunyai arti apa-apa bagi saya. Kecuali soal intan, yang lainnya saya anggap sebagai wajar saja. Karena saya merasa lelah saya bermaksud tidur untuk beberapa ja« untuk kemudian berangkat lagi nanti tengah malam Saya sedang tidur lelap ketika terbangunkan oleh suara pistol yang disusul dengan teriakan yang mengerikan. Lalu terdengar suara orang mengerang dibarengi suara gedebag-gedebug seperti orang sedang berkelahi. Teriakan melengking yang sangat mengerikan menyebabkn saya terjaga betul-betul. Keadaan sunyi kembali. Kemudian saya mendengar langkah orang menuruni tangga, masuk ke lantai bawah'berjalan mendekati perapian dan menyalakan lilin, Caderousse. Mukanya pucat dan bajunya berlumuran darah. Dia naik lagi ke afes,membawa lilin itu dan tak lama kemudian turun lagi denganNUUan di tangannya. Dia membungkusnya dengan saputangan merah yang melilit di lehernya. Sesudah itu dia membuka lemari, mengambil uang San emas, lalu lari ke luar dan menghilang dalam kegelapan. Saya mengerti mim apa yang telart"-t*qadi. Saya menyesali diri seakan-akan sayalah yang berdosa^DaJam kesunyian itu saya mendengar orang mengerang. Mungkin Jauhari itu masih hidup. Saya mendorong dinding pemisah ruangan dengan balm dan dinding itu bergeser cukup lebar untuk saya lalui. Saya mengambil lilin yang masih menyala yang ditinggalkan Caderousse lalu menaiki tangga ke ruang atas, tetapi tangga itu terhalang oleh sesosok tubuh. Ternyata mayat Nyonya Caderousse. Pistol itu diarahkan kepadanya Saya melangkahi tubuhnya dan masuk ke dalam kamar. Keadaan kamar acak-acakan. Jauhari yang malang itu tergeletak di lantai dalam gelimangan darah yang memancar dari luka-lukanya di dada. Sebuah pisau dapur masih menancap di dadanya. Yang kelihatan hanya gagangnya saja. Saya mengambil pistolnya yang sebuah lagi. Ternyata*mesiunya basah. Dia belum mati. Mendengar langkah saya dia membuka matanya, menggerakkan bibirnya seakan-akan hendak mengatakan sesuatu, lalu mati. Keadaan yang mengerikan itu mengacaukan pikiran saya. Karena sudah tak ada lagi yang dapat saya lakukan, hanya tinggal sebuah lagi keinginan saya: lari. Saya berlari menuruni tangga, sambil memegang kepala dengan kedua belah tangan. Ternyata di bawah telah ada enam orang pejabat bea cukai dan dua orang serdadu. Mereka menangkap saya. Saya sangat terkejut hingga tak berdaya melawan. Saya mencoba berbicara tetapi tak sepatah pwf keluar dari mulut saya, kecuali suara-suara tak^rrienentu. Akhirnya saya mencoba melepaskan diri daa pegangan mereka sambil berteriak. 'Aku tidak melakukannya! Aku tidak melakukannya!' Kedua serdadu itu mengarahkan bedilnya kepada saya sambil berkata, 'Kalau bergerak kau-mati Kau dapat menceriterakan soalmu kepada hakim di Nimes nanti.' Mereka jnemborgol saya dan mengikatkan saya kepada bun tut-kuda mereka dan membawa saya ke Nimes. Rupanya saya diikuti oleh seorang pejabat pabean yang seterusnya kehilangan jejak saya di penginapan itu. Karena memperhitungkan saya akan menginap di sana dia kembali dahulu meminta bantuan. Mereka datang tepat ketika pistol Caderousse meletus, dan menangkap saya di tengah-tengah bukti yang seketika itu juga saya pahami betapa akan memberatkannya nanti di pengadilan. Satu-satunya harapan saya, meminta kepada hakim agar mencari Padri Busoni yang namanya saya dengar tadi dari suami istri Caderousse. Bila ceritera Caderousse itu hanya karangan belaka, kalau padri itu merupakan tokoh khayal belaka, saya betul-betul akan celaka, kecuali kalau Caderousse sendiri tertangkap dan mengakui semua perbuatannya. Dua bulan berlalu, dan selama itu berkat kesediaan hakim, semua usaha dijalankan untuk menemukan Padri Busoni. Dan pada tanggal delapan September, lima hari sebelum hari pengadilan Padri Busoni datang ke sel saya. Tuan dapat memahami betapa gembira hati saya ketika itu. Saya ceriterakan semua yang saya lihat dan dengar dalam penginapan itu, dan bertentangan sekati dengan sangkaan saya Padri Busoni membenarkan semua ceritera Caderousse. Pada saat itulah, setelah saya mendapat keyakinan akan perhatian dan pengertian beliau, didorong pula oleh harapan beJiau dapat memaafkan satu-satunya kejahatan yang telah saya perbuat, saya men ceriterakan di bawah sumpah pengakuan dosa, dan semua kejadian di Auteuil. Pengakuan dosa yang secara spontan itu, rupanya meyakinkan beliau bahwa saya tidak bersalah dalam tuduhan yang sekarang. Beliau berjanji akan berusaha sedapat dapatnya untuk meyakinkan hakim bahwa'saya tidak berdosa. Saya melihat bukti usaha padri itu ketika sidang pengadilan diundurkan. Dan sementara Caderousse berhasil ditangkap di sebuah negri asing dan dikembalikan ke Perancis. Dia mengakui semua perbuatannya tetapi bersikeras bahwa gagasan pembunuhan itu berasal dari istrinya. Dia dihukum kerja paksa seumur hidup dan saya dibebaskan." "Lalu engkau mengunjungiku dengan surat dari Padri Busoni itu?" tanya Monte Cristo. "Betul, Yang Mulia. Rupanya beliau sangat memperhatikan keadaan saya. 'Penyelundupan akan menghancurkan engkau,' kata beliau kepada saya. 'Jangan dilakukan lagi kalau engkau nanti bebas.' 'Tetapi bagaimana saya dapat menghidupi ipar saya?' saya bertanya ' 'Salah seorang yang periah bertobat kepadaku dan sangat menghargaiku, meminta tolong mencarikan seorang yang dapat dipercaya untuk menjadi pengurus rumahtang-ga. Kalau engkau berhasrat aku mau memberikan surat perkenalan, asal saja engkau bersumpah tidak akan mengecewakan aku.* Saya mengangkat tangan untuk bersumpah, tetapi beliau mencegah, 'tidak perlu, aku cukup mengenal watak orang Corsica dan aku menyukai mereka/ Beliau menulis surat yang saya serahkan kepada Tuan dahulu. Yang Mulia. Bolehkah sekarang saya bertanya, Yang Mulia, apakah Tuan mempunyai alasan untuk merasa kecewa terhadap saya?Z "Tidak," jawab Count of Monte Cristo, "dengan senang hati dapat kukatakan bahwa engkau seorang yang setia, Bertuccio, meskipun engkau masih kekurangan kepercayaan kepadaku." "Saya?" * "Ya, engkau. Mengapa engkau tidak pernah mengatakan mempunyai seorang kakak ipar dan seorang anak angkat?" "Ah, Yang Mulia, saya masih belum menceriterakan bagian yang paling pahit. Saya kembali ke Corsica, tetapi ketika tiba, rumah berada dalam suasana berkabung. Ada kejadian yang sangat getir yang tidak akan pernah dapat dilupakan oleh tetangga-tetangga saya Assunta menuruti nasihat saya, menolak permintaan Benedetto agar ia menyerahkan semua uang yang ada di rumah. Pada suatu hari dia mengancam Assunta, lalu menghilang sehari itu. Assunta menangis, karena walaupun bagaimana ia mempunyai hati seorang ibu sejati. Pada jam sebelas malam Benedetto kembali dengan dua orang kawannya Mereka menangkap Assunta. Salah seorang di antara mereka — saya selalu bergidik kalau terpikir bahwa mungkin Benedetto sendiri yang melakukannya — berkata, 'Kita siksa dia supaya menunjukkan tempat menyembunyikan uang itu!* Wasilop, tetangga saya, sedang berada di Bastia ketika Itu, tetapi istrinya di rumah sendirian. Dialah satu-satunya orang yang melihat dan mendengar apa yang terjadi di rumah kakak ipar saya itu. Dua orang anak muda itu memegangi Assunta dan yang seorang lagi mengunci pintu dan jendela. Dengan tidak menghiraukan jeritan ketakutan Assunta mereka mengangkat kaki Assunta ka atas api. Dalam usaha melepaskan diri, baju Assunta terbakar, dan mereka melepaskannya karena takut turut terbakar. Assunta diketemukan esok paginya, setengah terbakar tetapi masih bernafas. Lemari telah dibongkar dan uangnya telah tiada. Sejak itu Benedetto meninggalkan Rogliano dan tidak pernah kembali lagi. Saya sendiri pun tidak*pernah lagi melihat atau mendengar kabar tentang dia. Setelah mendengar kejadian yang sangat menyedihkan inilah saya datang kepada Tuan, Yang Mulia. Saya tidak pernah menceriterakan tentang kedua orang ini kepada Tuan karena Benedetto telah hilang dan Assunta telah meninggal." "Padri Busoni itu telah bertindak bijaksana dengan mengirimkan engkau kepadaku," kata Monte Cristo, "dan engkau pun bijaksana dengan menceriterakan seluruh kisahmu. Dengan demikian aku tidak akan bersangka : uruk lagi terhadapmu. Sekarang, camkanlah kata-kata ini yang sering sekali aku dengar dari mulut Padri Busoni: Untuk setiap kejahatan ada dua macam obat, waktu dan diam." Setelah berkeliling sebentar melihat-lihat kebun, Count of Monte Cristo kembali ke keretanya. Bertuccio yang melihat majikannya tiba-tiba menjadi murung, tanpa berkata sepat all pun naik dan duduk di sebelah sais. Kereta bergerak menuju Paris. BAB XXV KEESOKAN harinya menjelang jam dua siang, sebuah kereta yang ditarik sepasang kuda Inggris yang gagah indah, berhenti di muka pintu rumah Count of Monte Cristo. Di dalamnya duduk seorang laki-laki berjas biru, kancing kancingnya terbungkus kain sutra dengan warna yang sama, bercelana coklat dan rompi putih. Sebuah rantai emas yang besar melintang di dadanya. Tetapi jelas sekali rambut yang hitam legam Itu tidak serasi dengan keriput di dahinya. Pendeknya, ia seorang setengah baya yang ingin tampak muda. Ia mengeluarkan kepala dari jendela kereta lalu memerintahkan pelayannya menanyakan apakah Count of Monte Cristo ada di rumah. Pelayan itu bertanya kepada penjaga pintu. "Yang Mulia Count of Monte Cristo memang tinggal di sini, tetapi beliau sekarang sedang sibuk," jawab penjaga pintu. "Kalau begitu, tolong sampaikan kartu nama majikan saya, Baron Danglars. Tolong katakan pula bahwa dalam perjalanannya ke Parlemen beliau mampir sebentar ingin bertemu." "Saya tidak berhak menghadap beliau, tetapi pesan ini akan disampaikan oleh pelayannya." Pelayan itu kembali ke kereta dan melaporkan jawaban penjaga pintu. "Rupanya dia putera seorang raja, karena dipanggil Yang Muha dan hanya pelayannya saja yang berhak menghadap!" kata Danglars. "Tetapi biarlah, itu urusan dia. Suatu waktu dia mesti menemuiku kalau sudah membutuhkan uang/' Dia bersandar lagi dan berteriak nyaring sekali sehingga dapat didengar ke seberang jalan. "Ke Parlemen!" Monte Cristo yang diberitahu tentang kedatangan baron itu masih sempat melihatnya dari balik tirai jendela dengan menggunakan teropong yang kuat. "Ali!" ia berteriak, lalu memukul gong perunggu. AU datang. "Panggil Bertuccio." Dalam sekejap Bertuccio muncul. "Yang MuUa memanggil saya?" "Ya. Apakah kau lihat tadi sepasang kuda yang berhenti di muka pintu?" "Tentu saja, Yang Mulia Kuda yang bagus sekali." "Mengapa," kata Monte Cristo mengerutkan dahi, "masih ada kuda lain di luar kandangku yang sama bagusnya dengan kudaku sendiri, padahal aku telah memerintahkan untuk membeli sepasang kuda yang paling bagus di Paris?" Melihat majikannya mengerutkan dahi dan mendengar nada suaranya yang keras, AU menundukkan kepala. "Bukan salahmu, AU," kata Count dalam bahasa Arab dengan nada yang ramah sekali. "Engkau tidak banyak mengetahui tentang kuda Inggris." Wajah AU kembari cerah. "Yang Muha kuda yang Tuan maksudkan itu tidak dijual," kata Bertuccio. Monte Cristo mengangkat bahu, lalu berkata, "Tidakkah kau tahu bahwa segala sesuatu akan dijual kepada orang yang berani membayar harganya?" "Tuan Danglars membayar enam belas ribu frank untuk sepasang kuda itu, Yang Mulia." "Tawarkan kepadanya tiga puluh dua ribu frank. Dia seorang pengusaha, dan seprang pengusaha tak akan melewatkan kesempatan mendapat untung." "Apakah Tuan berbicara sungguh-sungguh, Yang Mulia?" tanya Bertuccio ragu-ragu. Monte Cristo memandang Bertuccio dengan heran seakan-akan ia tidak percaya Bertuccio bertanya seperti itu. "Aku harus mengunjungi seseorang nanti jam lima sore," katanya. "Aku minta supaya kuda itu telah dipasang di keretaku dan menunggu di muka pintu." "Bolehkah saya mengingatkan bahwa sekarang telah jam dua siang?" "Aku tahu." Hanya itu jawab Monte Cristo. Pada jam lima sore Count of Monte Cristo memukul gong tiga kali. Setiap pukulan mempunyai makna. Sekali untuk Ali, dua kali untuk Baptistin, pelayan, dan tiga kali untuk Bertuccio. Bertuccio masuk menghadap. "Bagaimana dengan kuda itu?" dia bertanya. "Sudah dipasang, Tuan." Count of Monte Cristo pergi ke luar dan melihat sepasang kuda yang tadi pagi terpasang pada kereta Danglars, sekarang sudah terpasang di keretanya. "Benar-benar kuda indah gagah," katanya lagi. 'Bagus engkau telah berhasil membelinya, sekalipun agak terlambat." "Saya mendapat banyak kesukaran memperolehnya, Tuan," kata Bertuccio, "dan saya terpaksa membayar dengan harga yang tinggi sekali." "Apakah karena itu keindahannya menjadi berkurang?" Bertuccio berbalik akan mengundurkan diri. "Tunggu!" Monte Cristo mencegahnya. "Aku memerlukan sebidang tanah di tepi pantai — di Normandia umpamanya - antara Le Havre dan Boulogne. Harus ada pelabuhan kecil yang dapat dimasuki korvet. Kapal itu harus siap setiap saat untuk berlayar kapan saja aku memerintahkannya. Coba cari keterangan tentang tempat seperti itu, dan bila engkau mendengarnya, lihat. Kalau engkau sendiri merasa puas, beli tanah itu atas namamu. Korvet itu sekarang sedang dalam perjalanan ke Fecamp, bukan?" "Saya melihatnya meluncur ke lautan pada hari yang sama kita meninggalkan Marseilles." "Dan kapal pesiar, di mana sekarang?" "Di Martigues," "Baik. Hubungi kapten masing-masing setiap saat agar mereka tidak tertidur.** Count of Monte Cristo menaiki keretanya dan memerintahkan sais membawanya ke rumah Baron Danglars. Ruang tamu berwarna putih dan emas di rumah Baron Danglars sudah sangat terkenal di Rue de la Chaussee-d' Antin Di ruang itulah dia menerima tamunya, dengan maksud memukaunya sejak pertemuan pertama. "Benarkah saya mendapatkan kehormatan berhadapan dengan Tuan de Monte Cristo?" katanya ketika dia masuk ruangan. "Dan benarkah saya mendapatkan kehormatan berhadapan dengan Baron Danglars, Ksatria dari Legiun Kehormatan dan Anggota Dewan Perwakilan?" Count of Monte Cristo menyebut semua gelar yang tertulis dalam kartu nama Danglars. Danglars merasakan sindiran itu dan menggigit bibirnya. "Saya menerima sebuah surat dari perusahaan Thomson and French," kata Danglars, "tetapi maksudnya tidak begitu jelas bagi saya. Itulah sebabnya saya mampir kerumah Tuan meminta penjelasan." "Saya siap untuk mendengarkan dan saya senang sekali kalau dapat menolong." Danglars mengambil surat dari dalam saku bajunya. "Surat ini meminta saya memberikan kredit tanpa batas kepada Tuan." "Apa yang aneh dalam hal ini?" 'Tidak ada. Tetapi kata tanpa batas itu . . ." "Apakah Tuan mengira bahwa Thomson and French tidak dapat dipercaya?" Monte Cristo bertanya dengan nada sepolos mungkin. "Oh, bukan begitu. Perusahaan itu sangat dapat dipercaya!" jawab Danglars dengan senyum menyindir. 'Tetapi dalam dunia keuangan kata 'tanpa batas' itu sangat samarsamar. Kesamar-samaran sama dengan keragu-raguan, dan seorang yang bijaksana akan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang meragukan. Maksud saya, ingin sekali mendengar dari Tuan berapa jumlah yang hendak Tuan pinjam dari saya." "Alasan saya mengapa membuka kredit tanpa batas, karena saya tidak tahu dengan pasti terlebih dahulu berapa jumlah yang akan saya perlukan." Danglars menyandarkan dirinya ke tempat duduknya. Dengan senyum angkuh dia berkata, "Tuan tidak perlu khawatir. Tuan boleh yakin bahwa sekalipun uang saya terbatas jumlahnya, namun akan cukup untuk memenuhi pinjaman yang tertinggi sekalipun, bahkan bila Tuan bermaksud meminta sejuta . . .** "Maaf, berapa?" "Saya katakan sejuta," kata Danglars tidak menangkap maksud yang tersirat. "Tetapi apa arti sejuta bagi saya?" kata Monte Cristo. "Kalau saya hanya memerlukan sejuta, saya tidak perlu bersusah-susah membuka kredit untuk jumlah itu! Di kantong saya selalu ada uang sekurang-kurangnya sejumlah itu." Monte Cristo mengeluarkan dari tempat kartu namanya, dua buah surat berharga masingmasing seharga lima ratus ribu frank. Orang seperti Danglars harus dipukul dengan gada, bukan hanya ditusuk. Dia menatap Monte Cristo dengan pandangan bingung, kagum dan tidak mengerti. "Barangkali, sebaiknya Tuan berterus-terang saja bahwa tuan tidak mempercayai Thomson and French" kata Monte Cristo selanjutnya. "Saya tidak menghilangkan kemungkinan itu, dan sekalipun saya bukan ahK usaha, saya cukup waspada menjaga segala kemungkinan. Ini ada dua buah lagi surat yang sama seperti yang Tuan terima. Yang sebuah dari Firma Arstein and Fskeks diWina, ditujukan kepada Baron de Rothschild, membuka kredit tanpa batas bagi saya. Yang satu lagi dengan maksud yang sama dari Firma Baring di London kepada Tuan Lafitte." Danglars sekarang sudah betul-betul terpukul rubuh. Dia membuka kedua surat itu dengan tangan gemetar dan memeriksa tanda tangannya dengan ketelitian yang dapat menyinggung perasaan seandainya Monte Cristo tidak mengetahui bahwa dia benarbenar sedang dalam kebingungan. "Ini, tiga buah tanda tangan yang berharga jutaan frank!" kata Danglars. Dia berdiri seakan-akan hendak memberikan penghormatan kepada kekuasaan emas yang diwujudkan dalam bentuk orang duduk yang di hadapannya. 'Tiga buah kredit tanpa batas! Maafkan saya, Count, saya sudah tidak curiga lagi, namun masih heran bahwa hal serupa ini ada." "Nah," kata Count of Monte Cristo, "Setelah sekarang ada saling pengertian antara kita, setelah tidak ada lagi kecurigaan, tidakkah sebaiknya sekarang kita menentukan jumlah sementara untuk tahun pertama ini? Katakanlah enam juta, umpamanya.** "Baik, enam juta," jawab Danglars dengan suara parau. Monte Cristo berdiri. "Saya harus mengakui suatu hal kepada Tuan, Count," kata Danglars. "Saya rasa, saya mengenal semua kekayaan yang berada di Eropa, tetapi kekayaan Tuan belum pernah saya dengar. Mungkinkah ini kekayaan yang belum lama tergali?" "Bahkan sebaliknya, kekayaan yang sudah sangat tua. Semacam kekayaan keluarga yang oleh pewarisnya dilarang disentuh sampai suatu saat tertentu. Jumlahnya sekarang sudah menjadi tiga kali lipat karena bunganya. Masa larangan itu telah berakhir beberapa tahun yang lalu, sehingga ketidaktahuan Tuan tentang ini dapat dipahami. Saya pikir dalam waktu yang dekat Tuan mendengar lebih banyak lagi tentang ini.*' Monte Cristo menyertai ucapannya dengan senyuman yang membuat Franz 'Epinay bergidik tempo hari. "Ya, mungkin nanti kalau kita sudah saling mengenal dengan lebih baik," jawab Danglars. HJntuk hari ini, saya akan merasa senang sekali bila dapat memperkenalkan Tuan kepada istri saya — maafkan keinginan saya ini — karena langganan seperti Tuan boleh dikatakan merupakan keluarga sendiri." Monte Cristo mengangguk tanda ia menyetujui maksud tuan rumahnya. Danglars membunyikan bel, seorang pelayan muncul. "Apa Barones ada di rumah?** tanya Danglars. "Ada, Tuan." "Ada tamu?" "Ada, Tuan.*' "Siapa? Tuan Debray?" tanya Danglars dengan kegirangan yang dibuat-buat yang membuat Monte Cristo tersenyum dalam batin karena ia telah mengetahui rahasia keluarga Danglars yang sebenarnya sudah bukan rahasia lagi. "Benar, Tuan," jawab pelayan. Danglars mengangguk. Kembali menghadap kepada Monte Cristo ia berkata, **Tuan Debray adalah kawan lama kami. Ia sekertaris Menteri Dalam Negeri. Adapun istri saya, Nyonya de Sevieres, berasal dari keluarga bangsawan yang telah tua sekali. Dia kawin dengan saya setelah menjanda dari Marquis of Nargonne." "Saya belum mendapat kehormatan bertemu dengan Nyonya Danglars, tetapi dengan Tuan Lucien Debray, sudah.'* "Di mana Tuan berkenalan dengan dia?" "Di rumah Tuan Albert de Morcerf ** "Ah, rupanya tuan telah mengenal Viscount muda itu?*' "Kami bertemu di Roma dan bersama-sama selama karnaval." "Oh, ya. Saya ada mendengar kabar tentang pengalamannya dengan bandit-bandit Roma dan pembebasannya yang penuh rahasia. Saya rasa dia menceriterakannya kepada istri dan anak saya ketika baru kembali dari Italia." "Barones sudah menunggu, Tuan,** kata pelayan yang sudah masuk kembali ke ruangan. ljinkan saya menunjukkan jalan," kata Danglars kepada Count of Monte Cristo. Nyonya Danglars yang masih kelihatan cantik sekalipun usianya sudah tiga puluh enam tahun, duduk di depan piano. Lucien Debray duduk melihat-lihat album. Debray telah sempat menceriterakan sedikit tentang Count of Monte Cristo ini. Tergugah oleh &ritera Albert ditambah dengan keterangan-dari Debray, keinginan Nyonya Danglars untuk bertemu dengan Count of Monte Cristo lebih meningkat lagi. Oleh sebab itu ia menerima kedatangan suaminya dengan sebuah senyuman, suatu hal yang jarang sekali terjadi, la menyebut Count of Monte Cristo dengan membungkukkan badan yang anggun sekali. Debray saling hormat dengan Count of Monte Cristo Seperlunya, sedangkan kepada Danglars ia memberikan salam yang akrab. "Saya perkenalkan Count of Monte Cristo," kata Danglars. 'Tentang beliau ini saya hanya akan mengatakan sesuatu yang pasti akan membuat beliau menjadi favorit di kalangan wanita kita. Beliau datang di Paris dengan maksud tinggal selama setahun dan menghamburkan uang sebanyak enam juta frank selama itu. Ini berarti bahwa kita dapat mengharapkan serangkaian pesta dansa, pesta makan." "Sayang sekali Tuan memilih waktu yang kurang tepat," kata Nyonya Danglars. "Paris sangat tidak menyenangkan dalam musim panas. Tak ada pesta dansa, resepsi atau banket. Opera Italia sedang di London dan opera Perancis sedang di mana-mana kecuali di Paris. Satu-satunya hiburan hanya tinggal pacuan kuda di Champ de Mars dan Satory. Tuan menyukai kuda, Count?" "Saya lama sekali tinggal di Timur, Nyonya, dan seperti Nyonya ketahui orang-orang Timur hanya menghargai dua perkara dalam dunia ini, keindahan kuda dan kecantikan wanita." Pada saat itu pelayan wanita kepercayaan Nyonya Danglars masuk ruangan dan membisikkan sesuatu ke telinga majikannya. W ajali Barones mendadak pucat. Dia berteriak, "Tak mungkin!" Lalu berbalik kepada suaminya, "Benarkah yang dikatakan pelayan itu?" "Apa yang dikatakannya?" jawab Danglars, jelas merasa tersinggung. "Dia mengatakan bahwa ketika sais hendak memasang kuda pada kereta, dia menemukan kedua kuda itu tidak berada di kandangnya. Bolehkah saya bertanya apa artinya semua ini?" "Dengar dulu baik-baik . . ." kata Danglars. "Aku akan mendengarkan, karena aku mau tahu apa yang hendak kaukatakan. Saya meminta Tuan-tuan ini menjadi hakim dan saya akan memulai dengan memberikan datadata ini. Tuan-tuan, Baron Danglars mempunyai sepuluh ekor kuda Dua di antaranya milik saya, sepasang kuda terindah di Paris. Tuan telah mengetaluiinya, Tuan Debray, kuda abu-abu berbintik-bintik hitam. Nah, justru pada saat saya hendak meminjamkannya kepada Nyonya de Villefort untuk pergi ke Boulogne esok hari, kedua kuda itu tak ada di kandangnya. Tak usah diragukan lagi, Tuan Danglars telah menjualnya karena ada keuntungan beberapa ribu frank. Sungguh menyebalkan orang-orang dagang mata duitan itu!" "Kuda itu terlalu beringas, sayang," kata Danglars, "Umurnya baru empat tahun, dan aku selalu khawatir akan keselamatanmu. Aku akan mencari gantinya yang seperti itu, tetapi yang lebih tenang, lebih jinak, yang tidak akan menegangkan urat sarafku." Barones mengangkat bahunya dengan air muka menghina. "Ya Tuhan!" teriak Debray. "Saya lihat kuda itu terpasang pada kereta Count of Monte Cristo!" "Benar?" Nyonya Danglars berlari ke jendela. "Betul, itu kudaku!" Danglars kebingungan. "Bagaimana mungkin?" kata Count of Monte Cristo. menunjukkan keheranan. Danglars tak berkata sepatah pun. Dia membayangkan suatu bencana besar dalam waktu yang dekat. Debray yang juga mencium akan segera timbul badai, meninggalkan mereka. Monte Cristo yang tidak ingin merusak lagi keuntungan yang timbul dari suasana itu dengan tinggal terlalu lama, mengangguk kepada Nyonya Danglars meminta diri, lalu pergi meninggalkan Danglars dalam cengkeraman amarah istrinya. "Bagus sekali'" pikir Count dalam hatinya. "Aku telah berhasil. Kedamaian rumahi angga Danglars sekarang sudah berada dalam telapak tanganku, dan aku akan segera pula berhasil menanamkan hutang budi pada keduanya dengan sekali pukul. Aku ingin diperkenalkan kepada Eugenie Danglars, tetapi itu masih dapat menunggu." Dengan pikiran itu dia naik ke dalam keretanya dan kembali ke1 rumahnya. Dua jam kemudian Nyonya Danglars menerima sepucuk surat dari Monte Cristo. Dalam surat itu Monte Cristo mengatakan bahwa ia tidak ingin memasuki Paris dengan mulai menyakiti seorang wanita cantik. Dia akan berterima kasih sekali apabila Nyonya Danglars mau menerima kembali kedua kudanya, yang dia kirimkan bersama surat itu-, lengkap dengan pakaiannya yang sudah dilihatnya tadi, ditambah dengan sebuah intan yang dipasangkan pada perhiasan telinga setiap kuda. Danglars pun menerima sepucuk surat, dalam surat itu Count of Monte Cristo meminta ijin memuaskan keinginannya sebagai seorang jutawan dan meminta maaf, mengembalikan sepasang kuda itu dengan cara Timur. Sore itu Monte Cristo pergi ke rumahnya di Auteuil, dikawani oleh Ali. Esok siangnya, Ali dipanggil. Dia menemui majikannya di ruang kerja. "Ali," kata Monte Cristo, "aku dengar engkau ahli dalam melempar laso. Betul itu?" Ali mengangguk, lalu tegak kembali dengan bangga. "Baik. Dapatkah engkau menghentikan seekor sapi jantan dengan laso?*r Ali mengangguk. "Harimau?" Mengangguk lagi. "Singa?" AU menirukan cara melempar laso dengan gerakan tangan dan meniru binatang tercekik. "Yah, aku mengerti. Pernahkah engkau berburu singa?" Ali tersenyum. "Baik. Sekarang dengarkan. Sebentar lagi akan lewat sebuah kereta dibawa kabur sepasang kuda abu-abu berbintik-bintik hitam, kuda yang kemarin kugunakan. Sekalipun dengan kemungkinan engkau mati terinjak engkau harus menghentikannya tepat di muka rumah." Ali berlari ke luar, lalu menarik sebuah garis dari pintu depan ke jalan. Dia kembali lagi dan menunjukkan garis itu kepada majikannya. Monte Cristo menepuk bahunya. Itulah caranya dia mengucapkan terima kasih kepada Ali. Orang Nubla itu keluar lagi, lalu duduk di muka rumah sambil merokok. Tak lama kemudian terdengar suara kereta mendekat dengan cejat. Sesaat kemudian kereta itu sudah tampak. Saisnya berusaha dengan sekuat-kuatnya menghentikan kuda yang bertari seperti dikejar setan itu, namun sia-sia. Di dalam kereta, seorang wanita dan seorang anak laki-laki berumur delapan tahun saling berpegangan dengan erat Mereka begitu takut sehingga tidak kuasa lagi bersuara. Alt meletakkan pipanya, mengeluarkan seuntai laso, lalu melemparkannya ke arah kuda. Kuda yang di sebelah kiri terjerat kedua kaki depannya. Dia terbawa lari beberapa langkah sebelum kuda itu jatuh tersungkur. Kuda yang seekor lagi terpaksa pula berhenti. Saisnya jatuh terjungkir dari kursinya. Ali sudah berhasil menangkap kuda yang seekor lagi pada hidungnya dengan pegangan sekuat kakatua. Karena kesakitan dan tertarik oleh kawannya kuda itu pun rebah di sebelah pasangannya. Semua ini terjadi dalam sekejap, tetapi cukup lama untuk seorang laki-laJd berlari ke luar dari rumah di depan tempat kejadian, diikuti oleh beberapa pelayannya. Segera setelah sais membuka pintu kereta, laki-laki ini mengangkat ke luar wanita yang memegang bantal di sebelah tangannya dan menekankan anaknya yang telah pingsan ke dadanya dengan tangan yang lain. Monte Cristo mengangkat keduanya ke dalam rumah lalu merebahkan mereka pada sebuah dipan. "Nyonya telah selamat sekarang," katanya. Wanita itu menunjuk kepada anaknya dengan air muka yang lebih berarti daripada dengan permohonan. Anak itu masih belum sadarkan diri. "Ya, Nyonya, saya mengerti," kata Monte Cnsto memeriksa anak itu, "tidak ada alasan untuk khawatir. Dia tidak terluka, hanya pingsan karena ketakutan." '"Ah, jangan berkata begitu hanya untuk menenangkan hati saja! Lihat betapa pucatnya dia! Oh, anaklO, Edouard! Bicaralah, anakku! Tuan, tolong panggilkan dokter! Saya maa memberikan semua kekayaan saya kepada siapa pun yang bisa mengembalikan anak ini kepada saya!** Monte Cristo membuka sebuah laci kecil, lalu mengeluarkan sebuah botol berisi cairan berwarna merah darah. Dikeluarkannya cairan itu beberapa tetes di antara kedua bibir anak itu. Sekalipun masih pucat, Edouard membuka matanya hampir seketika. Melihat ini ibunya hampir lupa daratan karena gembira. "Di mana saya? Kepada siapa saya harus berterima kasih setelah selamat melampaui cobaan Tuhan yang berat ini?** "Nyonya," kata Monte Cristo, "Nyonya berada di rumah seorang yang merasa sangat berbahagia memperoleh kesempatan untuk menghindarkan Nyonya dari bencana." **Ini semua disebabkan keinginan saya yang tidak baik!. Setiap orang di Paris berbicara tentang kuda yang indah gagah kepunyaan Nyonya Danglars, dan saya cukup gUa untuk ingin mencobanya.** "Apa kata Nyonya?" dengan kepura-puraan yang mengagumkan. "Apakah kedua kuda itu milik Nyonya Danglars?" "Ya. Tuan mengenalnya?" "Saya beruntung sekali telah berkenalan dengan beliau. Kegembiraan saya dapat menolong Nyonya menjadi berlipat ganda, kecelakaan yang diakibatkan kuda itu mungkin dapat Nyonya persalahkan kepada saya. Soalnya begini, saya membeli kuda itu dari Baron Danglars kemarin. Tetapi, rupanya barones sangat sedih kehilangan kesayangannya itu. Oleh sebab itu saya kembalikan lagi keduanya pada hari itu juga." "Kalau begitu, tuan mesti Count of Monte Cristo yang diceriterakan Herrmne kemarin." "Benar, Nyonya." "Saya, Nyonya Heloise de Villefort." Monte Cristo membungkuk menerima perkenalan itu, seakan-akan baru sekati itu mendengar nama itu. "Oh, betapa besar rasa terima kasih suami saya nanti! Tuan telah menyelamatkan putra dan istrinya sekaligus. Bila tidak karena pelayan Tuan yang gagah berani itu, kami pasti sudah mati. Saya harap Tuan memperkenankan saya memberikan penghargaan kepadanya." ''Saya harap Nyonya tidak merusak kesetiaan Ali kepada saya. Ali adalah hamba saya. Dengan menyelamatkan jiwa Nyonya ia hanya mengabdi kepada saya, dan itu adalah kewajibannya.'* "Tetapi ia telah mempertaruhkan jiwanya sendiri." "Saya pernah menyelamatkan jiwanya, Nyonya. Sebab itu boleh dikatakan jiwanya telah menjadi milik saya." Nyonya de Villefort terdiam. Mungkin ia berpikir tentang orang aneh ini yang mempesonakan setiap ojang yang pernah melihatnya. Dalam kediaman ini Monte Cristo memperhatikan Edouard yang terus-menerus diciumi ibunya. Perawakannya pendek dan kurus, wajahnya agak pucat seperti biasa terdapat pada anak-anak yang berambut merah. Namun, rambutnya yang hitam lebat dan terurai sampai ke bahunya dan kadang-kadang menutupi sebagian wajahnya, lebih menonjolkan lagi keliaran matanya yang penuh dengan kelicikan dan kebinalan. Anak itu melepaskan dirinya dari dekapan ibunya, lalu membuka laci tempat Monte Cristo menyimpan botol obat tadi. Dengan air muka seorang anak yang biasa melaksanakan keinginannya dan yang tidak suka dicegau, ia membuka tutup botol-botol yang berjejer di dalam laci tanpa meminta izin kepada siapa pun. "Jangan menyentuh itu!" kata Monte Cristo tajam. "Ada beberapa yang sangat berbahaya. Jangankan tertelan, terhisap pun sudah mematikan" Nyonya de Villefort terkejut* la menarik anaknya. Setelah agak reda, ia memperhatikan keadaan ruangan. "Di sinikah Tuan biasa tinggal?" tanyanya, lalu berdiri. "Tidak, Nyonya, rumah ini hanyalah semacam tempat menyepi. Saya tinggal di Champs Elysee No. 30 . . . Saya lihat Nyonya telah pulih betul dan rupanya sudah ingin pulang. Saya akan menyuruh memasang kuda pada kereta saya dan Ali akan mengantarkan Nyonya sampai ke rumah. Sementara itu sais Nyonya biar memperbaiki dahulu kereta Nyonya di sini dan kalau dia sudah selesai saya akan meminjamkan sepasang kuda saya untuk menariknya langsung ke rumah Nyonya Danglars." "Tetapi saya takut menggunakan kuda itu lagi." "Nyonya akan melihat nanti," kata Monte Cristo, "di tangan Ali mereka akan jinak seperti biri-biri." Benar, Ali baru saja menghampiri kuda itu dengan membawa sebuah kain yang telah dicelupkan ke dalam cairan berbau asam. Dia menyapu hidung kuda dengan lap itu dan menyeka buih dan keringatnya. Lalu dia memasangkannya pada kereta Monte Cristo. Setelah itu dia naik dan duduk di tempat sais. Begitu jinaknya pasangan kuda itu sekarang sehingga Ali terpaksa menggunakan cambuknya untuk membuatnya mulai bergerak. Hal ini sangat mengherankan sekali bagi orang-orang di sekitar itu. Sekalipun hanya dicambuk sekali-sekali, kuda itu tetap berjalan lambat sehingga memerlukan waktu dua jam untuk sampai ke rumah Nyonya de Villefort di Faubourg Saint-Hoftore. BAB XXVI MALAM harinya, Tuan de Villefort mengenakan jas gelap dan sarung tangan putih, naik ke dalam keretanya dag turun di Champs Elysee No. 30. Seandainya Count of Monte Cristo telah lama tinggaldi Paris, dia akan menghargai kunjungan ini. Tuan deVillefort bukan saja seorang jaksa, tetapi juga boleh di-katakan seorang diplomat. Dia jarang sekali mau berkun-jung ke rumah orang. Sekali setahun keluarganya mengadakan pesta di rumahnya, tetapi dia sendiri tidak pernah hadir lebih dari seperempat jam. Tidak pernah ia pergi ke teater, gedung konser atau tempat-tempat umum lainnya. Sekali-sekali, tetapi jarang sekali, ia suka bermain bridge tetapi dengan kawan-kawan yang dipilihnya dengan teliti sekali, umpamanya seorang duta besar, atau seorang pangeran atau seorang uskup. Seorang pelayan memberitahukan kedatangan Tuan de Villefort kepada Cojint of Monte Cristo ketika dia sedang menghadapi sebuah peta lebar mempelajari jalur dari Saint Petersburg ke Cina. Jaksa Penuntut Umum itu memasuki ruangan dengan langkahlangkah tegap dan ttratur seakan-akan ia memasuki ruang sidang pengadilan. JTount," katanya memulai, "jati yang Tuan berikan kepada istri dan anak say» tadi siang mewajibkan saya mengucapkan terima kasih kepada Tuan. Kedatangan saya sekarang^ untuk menjalankan kewajiban itu dan menyatakan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya." Ketika mengucapkan kata-kata ini air mukanya tidak berubah sama sekali, tetap angkuh sebagaimana biasa, bahu dan lehernya tetap kaku. Orang sering menjulukinya sebagai patung bernyawa. "Saya sangat berbahagia dapat menolong seorang anak tersayang untuk ibunya," jawab Monte Cristo dingin, "karena kata orang, kasih sayang seorang ibu merupakan perasaan yang paling suci. Sebab itu, kebahagiaan yang ada pada saya dapat membebaskan Tuan dari kewajiban itu, terlebih lagi karena saya mengetahui bahwa Tuan de Villefort adalah orang yang tidak pernah menghambur-hamburkan kehormatan seperti yang diberikannya sekarang kepada saya. Betapa berharganya pun kehormatan yang Tuan berikan itu, bagi saya kutang nilainya dibandingkan dengan kepuasan yang ada dalam hati saya." Mendengar jawaban yang tidak tersangka-sangka, Villefort terperanjat bagaikan seorang serdadu tertusuk di balik baju besinya. Suatu gerak lembut pada bibirnya yang biasa menghina orang, jelas menunjukkan bahwa ia tidak menganggap Count of Monte Cristo sebagai orang yang tahu adat. Dia meEhat ke «ekeliling ruangan mencari sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai dalih mengalihkan pembicaraan. Melihat peia yang dihadapi Mcjnte Cristo ia berkata, "Apakah Tuan menaruh perhatian kepada ilmu bumi? Suatu ilmu yang bermanfaat sekali, terutama bagi seorang seperti Tuan yang menurut pendengaran saya, ptdah berkunjung ke semua negeri yang tercantum dalam peta." "Ya,"*jawab Count, ''saya suka sekali mempelajari watak watak setiap manusia dan berpendapat bahwa akan lebih mudah mempelajarinya dahulu watak manusia secara u mum lalu menjurus kepada watak perorangan dibanding dengan sebaliknya." "Aha, rupanya Tuan seorang filosof?* kata VQlefbrt setelah diam sejenak. Selama diam itu dia mengumpulkan lagi tenaganya sebagai seorang olahragawan yang menghadapi lawan yang berat. "Seandainya saya seperti Tuan dan menganggur, saya dapat meyakinkah Tuan bahwa saya akan mencari pekerjaan yang lebih cerah." "Benar, manusia itu mahluk yang huruk sekali apabila kita mempelajarinya lebih teliti. Baru saja Tuan menyindir bahwa saya tidak mempunyai pekerjaan. Apakah Tuan berpendapat bahwa Tuan sendiri mempunyai pekerjaan, Tuan de Villefort? Atau tegasnya, apakah yang Tuan kerjakan sekarang itu cukup berharga?" Keterkejutan Villefort meningkat lagi menerima tusukan kedua yang dilontarkan oleh lawannya yang aneh ini. "Perhatian Tuan hanya ditujukan kepada organisasi masyarakat belaka " kata Monte Cristo selanjutnya. "Yang Tuan lihat hanya mesin-mesin saja, bukan orang-orangnya yang bekerja di belakang mesin itu. Tuan hanya mengenal mereka yang berpangkat, yang menerima pangkatnya dari seorang menteri atau seorang raja. Tuan tidak dapat melihat mereka yang oleh Tuhan ditempatkan di atas menteri atau raja. Mereka yang bukan diberi pangkat untuk dijabat, melainkan mereka uang diberi sesuatu tuj** untuk dilaksanakan." "Dan Tuan menganggap diri Tuan sebagai salah seorang dari yam istimewa itu?" tanya Vilfefprt yang sudah lebih terhefan-heran lagi dan tidak dapat memastikan apakah orang yang dihadapinya ini benar-benar orang yang istimewa atau orang gila. "Ya, saya salah seorang dari mereka," jawab Monte Cristo dingin, "dan saya tidak percaya bahwa pernah ada orang lain yang berada dalam keadaan seperti dalam keadaan saya sekarang ini. Wilayah kekuasaan seorang raja terbatas oleh batas-batas yang alamiah atau oleh perbedaan adat kebiasaan dan perbedaan bahasa. Kerajaan saya seluas dunia, oleh karena saya bukan orang Italia, bukan orang Perancis, bukan orang Hindu, bukan orang Amerika atau orang Spanyol. Saya seorang warga dunia. Saya menterapkan semua adat kebiasaan dan berbicara dengan semua bahasa. Tuan akan mengira saya orang Perancis karena saya berbicara bahasa Perancis selancar dan sebaik Tuan. Tetapi Ali, hamba sahaya orang Nubia, menganggap saya orang Arab. Bertuccio, pengurus rumahtangga saya, menganggap saya orang Romawi. Hay dee, juga hamba saya, menganggap saya orang Yunani. Oleh sebab itu, karena saya bukan warga negara mana pun juga, karena saya tidak meminta perlindungan negara mana pun juga, dan karena saya tidak memandang seorang pun sebagai saudara, saya tidak pernah merasa terganggu oleh rintangan atau keseganan yang biasa melumpuhkan mereka yang lemah. Saya hanya mempunyai t|ga macam lawan. Yang pertama dan yang kedua adalah jarak dan waktu. Tetapi dengan kegigihan dan ketekunan saya dapat mengatasi keduanya. Yang ketiga, adalah yang paling mengerikan, yaitu bahwa saya tidak kekal. Hanya itu yang dapat menghentikan saya sebelum mencapai tujuan. Kecuali kalau maut telah merenggut, saya akan tetap seperti saya sekarang. Itulah sebabnya sekarang saya mengatakan sesuatu yang belum Tuan dengar sebelumnya, juga tidak dari mulut seorang raja, oleh karena raja memerlukan Tuan dan orang lain takut kepada Tuan. Siapakah orangnya dalam masyarakat yang menggelikan seperti masyarakat kita ini, yang tidak pernah berkata ke-pada dirinya sendiri, 'Suatu saat mungkin saya harus berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum*?" "Sekalipun Tuan dapat berkata demikian namun selama Tuan berada di Perancis, Tuan harus tunduk kepada hukum yang berlaku di Perancis." "Saya menyadari itu, Tuan de Villefort Karenanya, saya setiap memasuki suatu negara, terlebih dahulu saya mempelajari orang-orang yang mungkin menguntungkan atau merugikan sampai saya mengenal mereka seperti mereka mengenal dirinya sendiri, bahkan mungkin lebih. Akibatnya, setiap jaksa yang mungkin harus saya hadapi akan berada dalam keadaan yang lebih gawat daripada saya sendiri." "Dengan kata lain," kata Villefort ragu-ragu, "manusia bersifat lemah dan setiap orang menurut pendapat Tuan melakukan kesalahan." "Benar, kesalahan dan kejahatan." "Dan hanya Tuan sendiri yang sempurna?" "Tiuak, tidak sempurna," kata Monte Cristo, "hanya kebal. Saya menjaga dan mempertahankan kehormatan saya terhadap manusia mana pun juga, tetapi melepaskannya di hadapan Tuhan yang telah menjadikan saya dari tiada menjadi seperti sekarang." "Saya sangat kagum," kata Villefort, "dan kalau benar-benar Tuan kuat, benar-benar unggul dan benar-benar sempurna atau kebal terhadap hukum, seperti yang Tuan katakan tadi, saya hanya dapat berkata: berbanggalah dan pandai-pandailah memanfaatkannya. Itulah hukum kekuasaan. Tetapi, tentu setidak-tidaknya tuan mempunyai sesuatu cita-cita atau semacamnya." "Benar, saya mempunyai ambisi itu." "Bolehkah saya mengetahuinya?" "Seperti biasa terjadi pada setiap manusia sekurang-kurangnya sekali selama hidupnya, saya pun pernah diangkat setan sampai ke puncak gunung tertinggi di dunia ini Dari atas sana ia menunjukkan seluruh jagat dan berkata kepada saya, seperti dia berkata kepada Kristus: *Wahai anak manusia, apa yang engkau inginkan sebagai upah menuhankan aku?" Saya berpikir beberapa lama karena suatu keinginan yang dahsyat memenuhi hati saya. Lalu saya menjawab: 'Saya selalu mendengar tentang Tuhan, tetapi saya belum pernah melihatNya atau sesuatu yang menyamainya, sehingga saya berpikir Tuhan itu tidak ada. Saya ingin menjadi yang maha kuasa oleh karena yang paling penting dan paling indah yang saya ketahui dalam dunia ini adalah, mengganjar dan menghukum.' Tetapi setan itu menundukkan kepala dan mengeluh: 'Engkau keliru,' katanya, 'Yang Maha Kuasa itu ada tetapi tak dapat dilihat. Engkau tidak akan melihat sesuatu yang menyerupainya karena Ia bekerja melalui relung-relung rahasia dan bergerak di jalur-jalur tersembunyi. Yang dapat aku lakukan hanya membuatmu menjadi salah seorang petugas Yang Maha Kuasa.* Lalu saya membuat perjanjian dengan dia. Mungkin saya kehilangan jiwa karena itu, tetapi kalau saya mendapatkan lagi kesempatan yang sama saya akan mengulanginya lagi." Keheranan Villefort sudah tidak dapat dikendalikan lagi, jelas sekali dari suaranya ketika ia bertanya, 'Tidak adakah yang Tuan takuti kecuali mati?" "Saya tidak mengatakan takut mati. Saya hanya mengatakan bahwa hanya matilah yang dapat mencegah saya." "Bagaimana tentang ketuaan?" "Tugas saya akan selesai sebelum saya menjadi tua.**"Dan kegilaan?** "Saya pernah akan menjadi, gila, dan Tuan tentu mengenal dalil, Non bis in idem, suatu dalil dalam ilmu hukum yang berarti sebuah perkara tidak boleh diadili dua kali! Dalam hal saya berarti saya tidak akan menjadi gila untuk kedua kalinya." "Masih ada lagi yang patut ditakuti di samping ketuaan dan kegilaan," kata Villefort. "Umpamanya, penyakit ayan yang menyerang tanpa menghancurkan, tetapi setelah itu segala-galanya habis. Datanglah ke rumah saya pada suatu waktu, Tuan, dan saya akan memperkenalkan Tuan kepada ayah saya, Tuan Noirtier de Villefort, seorang pengikut Jacobin yang gigih dalam Revolusi Perancis, seorang yang barangkali tidak seperti Tuan pernah melihat kerajaan dunia, tetapi orang yang pernah turut membantu menggulingkan salah seorang raja yang paling berkuasa. Namun, pembuluh darah otaknya yang pecah, telah merubahnya sama sekali, bukan dalam sehari, bukan pula dalam sejam, melainkan dalam sedetik. Tuan Noirtier, bekas anggota Jacobin, bekas senator, orang yang menteriawakan ancaman pisau gflyotm meriam maupun belati, orang yang menganggap Perancis hanya sebuah papan catur lebar belaka. Tuan Noirtier yang hebat, sekarang telah menjadi Tuan Noirtier yang malang, orang tua yang lumpuh, bisu, mayat hidup yang hanya tinggal menunggu saat-saat membusuknya." "Apa kesimpulan tuan dari semua itu, Tuan de Villefort?" "Saya menarik kesimpulan bahwa ayah saya hanyut terbawa nafsunya melakukan kesalahan-kesalahan dan terhindar dari hukum manusia namun tidak dari Tuhan. Tuhan telah menghukumnya karena perbuatannya itu." Dengan sebuah senyum di bibir, Monte Cristo mengaum bagai harimau dalam lubuk hatinya, yang dapat membuat Villefort lari tunggang langgang seandainya dia dapat mendengarnya. "Saya harus minta diri, Count,** kata Villefort yang sudah berdiri sejak lama, "tetapi saya pergi dengan perasaan penuh penghargaan yang saya harap dapat menyenangkan Tuan, seandainya Tuan mengenal saya lebih baik, sebab saya bukan seperti orang biasa. Sama sekali tidak. Dan Tuan telah berhasil membuat Nyonya de Villefort sebagai kawan yang kekal." Setelah Jaksa Penuntut Umum itu pergi, Monte Cristo berkata kepada dirinya sendiri, "Karena hatiku penuh dengan racun kebencian sekarang aku memerlukan penawarnya."" Dia memukul gong sekali. "Aku pergi menemui Haydce," katanya kepada Ali. "Siapkan kereta setengah jam lagi.** BAB XXVII TENGAH hari Monte Cristo menyisihkan waktu beberapa lama untuk dilewatkan bersama Haydee. Gadis Yunani ini menempati apartemen yang sama sekali terpisah dari tempat Monte Cristo. Ruangannya diperlengkapi dan diatur secara Timur. Lantainya seluruhnya tertutup oleh permadani Turki yang tebal. Dindingnya dihias kain-kain sutera bersulam emas dan di setiap kamar ada dipan yang lebar dengan bantal-bantal yang dapat diatur menurut keinginan pemakainya. Haydee sedang berbaring di lantai di atas bantal bersarung satin biru, sedang kedua belah tangannya diletakkan di bawah kepala. Sikapnya yang khas Timur ini mungkin akan terasa canggung oleh wanita-wanita Perancis. Matanya yang hitam sayu, hidungnya yang mancung halus, bibirnya yang merah alamiah dan giginya yang seperti mutiara, semuanya mewakili kecantikan seorang gadis Yunani Usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun. Monte Cristo memanggil pelayan bangsa Yunani dan menyuruh menanyakan kepada Haydee apakah dia bisa menerimanya. Haydee bangkit dan bertopang pada sebuah siku tangannya ketika Monte Cristo masuk. Lalu mengulurkan tangannya yang sebuah lagi dengan senyum yang manis sekalL "Mengapa Tuan harus meminta izin dahulu?" suaranya merdu khas seperti yang dimiliki gadis-gadis Atena dan Sparta. "Apakah saya sudah bukan lagi hamba Tuan dan Tuan bukan lagi tuan saya?" "Haydee " jawab Count of Monte Cristo, "kita sekarang berada di tanah Perancis, sebab itu engkau bebas." "Bebas untuk apa?" "Untuk meninggalkan aku." "Mengapa saya harus meninggalkan Tuan?" "Kita akan bertemu dengan banyak orang, dan bila, di antara pemuda-pemuda tampan yang akan kita jumpai nanti ada yang menarik hatimu, tidak adil rasanya kalau aku "Saya tidak akan lagi menemukan laki-laki yang lebih menarik daripada Tuan, kecuali ayah." "Masih ingatkah engkau akan wajah ayahmu?" Haydee tersenyum. "Beliau berada di sini dan di sini." katanya sambil menempatkan tangannya di matanya kemudian di dadanya. "Dan aku berada di mana?" tanya Monte Cristo tersenyum pula. "Tuan berada di mana-mana." Monte Cristo menarik tangan Haydee untuk dicium, tetapi Haydee menariknya. Sebagai gantinya ia menyodorkan dahi. "Nah, Haydee," katanya, "engkau tahu bahwa engkau merdeka, bahwa engkau yang menjadi tuan di sini, bahkan ratu. Engkau boleh menentukan sendiri apakah akan memakai pakaian kebangsaanmu atau mengesampingkannya. Terserah kepadamu. Engkau boleh tinggal di sini bua engkau mau dan engkau boleh meninggalkan rumah ini kapan saja engkau suka. Akan selalu tersedia sebuah kereta lengkap dengan kudanya. Ali dan Myrto akan menyertaimu dan keduanya siap melaksanakan perintahmu. Hanya sebuah saja permintaanku." "Katakanlah» Tuan." "Tetap rahasiakan kelahiranmu dan jangan bicarakan tentang masa lalumu, jangan sekali-sekali menyebut nama ayahmu yang cemerlang itu atau nama ibumu yang malang." "Sudah saya katakan, Tuan, bahwa saya tidak akan menemui siapa pun." . "Tidak mungkin engkau akan dapat mengasingkan diri di Perancis ini, seperti di negeri-negeri Timur, Haydee. Sebaiknya engkau terus mempelajari cara hidup orang di sini seperti yang telah engkau lakukan di Roma, Florence, Milan dan Madrid. Pengetahuan itu akan selalu berguna, tak perduli apakah engkau akan kembali ke Timur atau tetap tinggal di sini." Haydee mengangkat matanya yang bundar tetapi telah membasah, lalu bertanya, "Maksud Tuan apakah kita kembali ke Timur, bukan begitu?" "Ya. Engkau mengetahui bahwa aku tidak akan meninggalkanmu. Bukan pohon yang suka meninggalkan bunga, tetapi bunga yang suka meninggalkan pohon." "Saya tidak akan meninggalkan Tuan," kata Haydee, "karena saya tahu tidak akan bisa hidup tanpa Tuan." "Manis, sepuluh tahun lagi aku sudah menjadi kakek-kakek sedangkan engkau masih tetap muda. Engkau mencintaiku seperti engkau mencintai ayahmu sendiri" "Tuan keliru. Saya tidak mencintai ayah seperti saya mencintai Tuan. Cinta saya kepada Tuan sangat berbeda. Bila ayah meninggal, saya tetap dapat hidup. Tetapi bila Tuan meninggal, saya pun mati." Monte Cristo mengulurkan tangannya kepada Haydee dengan senyum yang mesra sekali. Haydee menciumnya seperti biasa. Monte Cristo meninggalkan Haydee sambil mengucapkan sebaris sajak Pindar: "Remaja adalah bunga berubah menjadi buah, cinta. Bahagia dia yang memelihara dan memetiknya ketika masanya tiba." BAB XXVIII MONTE Cristo tiba di Rue Meslay 27. Dia mengenali orang yang membukakan pintu sebagai Codes, tetapi Codes tidak mengenal Monte Cristo. Baptist in meloncat dari tempat duduknya untuk menanyakan apakah Tuan dan Nyonya Hcrbault dan Tuan Maximilien berada di rumah dan dapat menerima Count of Monte Cristo. "Count of Monte Cristo!" teriak Maxirnilien gembira setelah mendengar pesan itu. Dia meletakkan cerutunya dan berlari menyambut tamunya. "Terima kasih banyak, Count, untuk tidak melupakan janji Tuan kepada kami!" Perwira muda itu menjabat tangan Monte Cristo dengan hangat sekali sehingga tidak mungkin ada keraguan lagi tentang ketulusan hatinya. "Silakan ikuti $aya," kata Maximilien, "saya ingin mem-perkenalan Tuan secara pribadi. Adik saya sedang di kebun mengurusi taman mawarnya sedang suaminya sedang membaca surat kabar, juga di sana. Di mana saja Nyonya Herbault berada, Tuan boleh yakin bahwa suaminya pasti berada di sekitar itu, dan sebaliknya.1' Mendengar suara langkah mereka seorang wanita muda berumur dua puluh limaan, berbaju gaun pagi dari sutera mengangkat kepala. Dia agak terkejut melihat tamu yang tidak dikenalnya. Maximilien tertawa. "Kakak saya ini agak keterlaluan dengan membawa Tuan ke mari," katanya kepada Monte Cristo. "Dia tidak pernah mempertimbangkan perasaan adiknya. . . Penelon! Penelon!" Seorang laki-laki tua yang sedang bekerja mengurus mawar Bengali meletakkan singkupnya di tanah, lalu menghampiri dengan topi di tangan dan berusaha sebaikbaiknya menyembunyikan susur di mulut. Wajahnya yang mengkilat dan matanya yang menyinarkan keberanian dan ketajaman jelas menunjukkan ia seorang pelaut kawakan, yang kulitnya coklat karena bakaran matahari tropis dan badannya tangguh karena tempaan badai dan taufan yang berbilang-bilang. "Nona memanggil saya, Nona Julie?" katanya. Dia tetap memanggil putri majikannya dengan 'Nona Julie', dan tidak pernah berhasil membiasakan dari memanggilnya Nyonya Herbault. **Penelon! Katakan kepada Tuan Herbault, ada tamu." Berbalik kepada Monte Cristo, ia menambahkan, "Maafkan saya sebentar, Tuan?" Tanpa menunggu jawaban ia menghilang di antara semak-semak masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. Tak beberapa lama kemudian Herbault datang menyambut tamunya dengan ramah sekali. Setelah mengantar Count of Monte Cristo melihat-lihat kebun sebentar, dia membawa tamunya ke dalam rumah, Udara dalam ruangan yang mereka masuki harum semerbak dari bunga-bunga yang memenuhi sebuah jambangan besar buatan Jepang. Julie yang sekarang sudah berpakaian rapih, menunggu mereka di sana. Burung-burung dalam sangkar besar yang terletak tidak jauh berkacauan riang. Daun-daun pepohonan yang hijau segar dan tumbuh dekat jendela berdesir mengusap-usap tirai jendela beludru biru. Segala sesuatu dalam rumah mungil terpencil ini menghembuskan kedamaian, mulai dari kicau burung sampai kepada senyum pemiliknya. Sejak menginjakkan kakinya dalam ruangan ini Monte Cristo sudah dapat merasakan kebahagiaan yang meliputi seisi rumah. Dia terdiam, lupa bahwa setelah berbasa-basi, tuan rumah mengharapkan benar melanjutkan percakapan. Baru kemudian dia sadar akan kesunyian yang hampir mengganggu ini, lalu cepat-cepat berusaha melepaskan diri dari renungannya. "Nyonya," katanya, "maafkan perasaan saya yang mungkin sekali mengherankan bagi Nyonya yang sudah terbiasa dengan kedamaian dan kebahagiaan Tetapi buat saya merupakan suatu pengalaman yang aneh sekali dapat menemukan orang yang berbahagia sehingga sulit bagi saya mempercayainya," "Tidak kami pungkiri bahwa kami sangat berbahagia," jawab Julie, "namun betapa kami menderita sebelumnya. Dan hanya sedikit orang yang membayar kebahagiaan dengan harga yang tinggi sekali seperti yang kami lakukan." Air muka Monte Cristo menunjukkan rasa ingin tahu. "Apakah Tuhan memberikan hiburan dalam penderitaan itu seperti Dia berikan kepada yang lain?" "Betul" kata Juhe, "secara jujur kami beranrmengata-kan Dia telah memberikan sesuatu bagi kami yang hanya Dia berikan kepada orang-orang yang dikehendakiNya. Dia telah mengutus salah seorang malaikatNya kepada kami." Pipi Monte Cristo memerah dan ia pura-pura batuk. Untuk menyembunyikan perasaannya ia menutup batuknya dengan saputangan sehingga wajahnya agak tersembunyi Lalu dia berjalan bolak-balik. "Mungkin Tuan mentertawakan perasaan yang ada pada kami," kata Maximilien. "Oh tidak, sama sekali tidak," jawab Monte Cristo cepat. Ia menunjuk kepada sebuah bola dunia dari kristal yang di dalamnya terdapat sebuah dompet sutera terletak di atas sebuah bantal kecil terbuat dari beludru hitam. "Saya sedang bertanya-tanya dalam hati apa arti dompet yang disimpan dengan kehormatan seperti itu." "Barang itu adalah kekayaan keluarga kami yang paling berharga," jawab Maximilien dengan tekanan suara. "Isinya, sepucuk surat dan sebuah intan," sambung Julie, "peninggalan malaikat yang tadi saya katakan." "Count," kata Maximilien, mengeluarkan dompet itu dan menciumnya, "dompet ini pernah berada pada tangan orang yang menyelamatkan ayah kami dari kematiau, menyelamatkan kami dari kehinaan dan kemiskinan dan menyelamatkan kehormatan nama keluarga kami. Surat ini ditulis oleh orang itu pada hari ketika ayah kami sudah sampai ke puncak keputusasaan, dan penolong yang tidak dikenal itu memberikan intan ini kepada Julie sebagai hadiah perkawinan." Monte Cristo membaca surat itu dengan perasaan baha gia yang tidak terlukiskan. Surat itu dialamatkan kepada Julie dan ditandatangani oleh Sinbad Pelaut. 'Tadi Tuan mengatakan 'tidak kenal1," kata Monte Cristo. "Apakah orang yang telah berbuat itu berarti masih tetap merupakan rahasia bagi Tuan?" "Benar, kami belum pernah mendapat kesempatan menjabat tangannya padahal kami senantiasa meminta kepada Tuhan agar kami dipertemukan dengan orang Itu. Dia seorang Inggris yang mewakili Firma Thomson and French di Roma. Itulah sebabnya saya sangat terkejut ketika mendengar Tuan mengatakan firma itu sebagai bankir Tuan. Katakanlah demi Tuhan, kenalkah Tuan dengan orang itu?" "Sebentar," kata Monte Cristo, "apakah orangnya kira-kira sebesar saya, lebih tinggi dan lebih kurus sedikit,, selalu memakai jas berkerah tinggi dan selalu memegang pensil di tangannya?" "Tuan mengenalnya kalau begitu!" Julie berteriak, matanya berkilat gembira. 'Tidak, saya hanya menerka-nerka. Saya mengenal seorang bernama Lord Wilmore yang biasa melakukan amal-amal seperti itu tanpa mau diketahui orang. Dia seorang aneh yang tidak mempercayai adanya rasa terima kasih yang semurni-muminya pada manusia. Tetapi sejak ia berbuat banyak kebaikan dengan cara itu, ia mendapatkan bukti-bukti bahwa ia keliru." "Kalau Tuan mengenalnya, tolong kami perkenalkan!" Julie meminta dengan sangat. "Seandainya kami dapat bertemu, dia pasti percaya betapa kami berterima kasih kepadanya!" "Sayang sekali," kata Monte Cristo. Dia mencoba menekan perasaan dalam suaranya. "Seandainya benar yang dicari itu Lord Wilmore, saya khawatir Nyonya tidak akan dapat menemuinya. Ketika saya berpisah dengan dia dua atau tiga tahun yang lalu di Palermo, ia sedang bersiap-siap untuk bepergian ke negeri-negeri yang jauh sekali, bahkan saya meragukan bahwa ia akan kembali lagi. Di samping itu, jangan terlalu bersandar kepada terkaan saya tadi. Lord Wilmore belum tentu orang yang dicari. Dia dan saya bersahabat karib, tetapi dia tidak pernah mengatakan perkara ini kepada saya." "Walaupun demikian, Tuan segera teringat kepadanya," kata Julie. "Saya hanya menerka saja." "Di samping itu, Julie," kata Maximilien memihak kepada Monte Cristo, "jangan lupa apa yang sering ayah katakan kepada kita: Bukan orang Inggris itu yang memberikan kebahagiaan kepada kita." Monte Cristo terkejut. "Ayah Tuan mengatakan . . . . " "Benar, Count. Ayah kami melihat sesuatu keajaiban dalam kejadian ini. Beliau yakin bahwa penolongnya itu seorang yang bangkit kembali dari kuburnya. Ini tidak masuk akal. Sekalipun saya sendiri tidak mempercayainya namun saya tidak berkeinginan merusak keyakinan ayah. Dan ketika beliau hendak meninggal, kata-katanya yang terakhir adalah: Maximilien, yang menolong kita itu, Ed-mond Dantes!" Wajah Monte Cristo menjadi pucat sekali Seakan-akan peredaran darahnya terhenti sesaat, dan dia tidak berkata apa-apa. Dia melihat erlojinya, mengucapkan beberapa kata pujian bagi Nyonya Herbault dengan kaku sekali, lalu berjabat tangan dengan Emmanuel dan Maximilien. "Nyonya, bolehkah saya kembali lagi pada suatu hari nanti? Saya menyukai rumah Nyonya, dan saya sangat berterima kasih untuk penerimaan Nyonya. Hari ini setelah beberapa tahun adalah untuk pertama kalinya saya dapat melupakan lagi diri sendiri." Lalu dia cepat-cepat keluar. "Orang yang aneh," kata Emmanuel. **Ya,*' jawab Maximilien, "tetapi hatinya baik dan saya yakin dia menyukai kita." "Bagi saya " kata Julie, "suaranya langsung menembus jantung. Kadang-kadang saya mempunyai perasaan pernah mendengar suara itu." BAB XXIX KEDATANGAN Count of Monte Cristo di rumah Villefort dengan maksud mengadakan kunjungan balasan telah menimbulkan semacam kegemparan dalam rumah itu. Nyonya de Villefort sedang berada di kamarnya ketika kedatangan tamu diberitahukan kepadanya. Ia segera menyuruh memanggil put eranya supaya dapat sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Count of Monte Cristo. Setelah berbasa-basi Monte Cristo menanyakan Tuan de Villefort. "Suami saya mendapat undangan makan malam dari Perdana Menteri," jawab wanita itu. "Dia baru saja beberapa menit yang lalu berangkat, dan saya yakin ia akan menyesal tidak dapat berjumpa dengan Tuan . . Edouard, di mana Valentine? Panggil dia supaya dapat aku perkenalkan." "Apakah Nyonya mempunyai puteri?" "Puteri Tuan de Villefort dari pernikahannya yang pertama." Selang beberapa lama Valentine memasuki ruangan. Ia, gadis tinggi langsing berumur kira-kira sembilan belas tahun. Matanya biru kelam, tangannya putih ramping. Ketika melihat ibu arinya berhadapan dengan tamu yang sering dia dengar tentangnya, dia memberi hormat dengan menekukkan lututnya dan sedikit kemalu-maluan namun dengan keanggunan yang menarik perhatian Monte Cristo. Trfaaf, Nyonya,** kata Monte Cristo melihat berpindah-pindah dari Nyonya de Villefort ke Valentine, "benarkah saya pernah mendapat kehormatan bertemu dengan Nyonya dan Nona ini di suatu waktu di suatu tempat? Sejak lama saya mengingat-ingat ini, dan ketika Nona de Villefort tadi masuk, seakan-akan timbul lagi secercah cahaya kepada daya ingatan saya yang telah melemah ini." "Saya kira tidak mungkin, Tuan. Kami jarang sekali bepergian," kata Nyonya de Villefort. "Bukan, bukan di Paris. . . . Maaf, saya mencoba mengin at ingatnya lagi . . . rasanya seperti di suatu hari yang cerah dan dalam semacam pesta keagamaan. . . . "Mungkin sekali Count of Monte Cristo melihat kita di Italia," kata Valentine. "Betul, Nona!" teriak Monte Cristo. "Di Perugia ketika ada pesta Corpus Christi di kebun hotel." "Memang saya ingat pernah ke Perugia," kata Nyonya de Villefort, "namun saya tidak ingat kita pernah berkenalan." "Biarkan saya membantu menyegarkan kembali ingatan Nyonya. Ketika itu hari sangat panas. Nyonya sedang menunggu kereta yang terlambat datang karena terhalang pesta itu. Nona de Villefort berjalan-jalan di sekitar kebun sedangkan putra nyonya mengejar-ngejar burung. Ingatkah Nyonya pada waktu itu duduk di atas sebuah bangku batu dan berbicara dengan seseorang?" "Oh, ya," kata Nyonya de Villefort, pipinya sedikit kemerah-merahan, "saya bercakap-cakap dengan seorang yang bermantel panjang . . . seorang dokter saya kira." "Sayalah orang itu, Nyonya. Ketika itu saya telah tinggal di hotel itu selama dua minggu. Dan waktu itu saya baru menyembuhkan pelayan saya dari penyakit demam panas dan pemilik hotel dari penyakit kuning, sehingga saya dianggap orang sebagai dokter yang hebat di sana." "Karena Tuan menyembuhkan orang sakit, dengan sendirinya Tuan seorang dokter, bukan?" "Bukan, Nyonya, saya bukan dokter sekalipun saya telah mempelajari ilmu kimia dan ilmu alam dengan agak mendalam-" Jam berbunyi enam kait. "Sudah jam enam, Valentine," kata Nyonya de Villefort agak terperanjat. "Coba lihat apakah kakekmu sudah siap untuk makan malam?" Valentine berdiri, memberi hormat kepada Monte Cristo, lalu pergi tanpa berkata sepatah pun. "Apakah karena saya, Nyonya menyuruh Nona de Villefort pergi?" tanya Monte Cristo setelah Valentine meninggalkan ruangan. *Tidak, sama sekali tidak!" jawab Nyonya de Villefort. "Jam enam adalah waktu kami biasa menyediakan makan malam bagi Tuan Noirtier. Saya kira Tuan telah mengetahui tentang keadaan mertua saya." "Sudah. Tuan de Villefort mencenterakannya kepada saya." "Maafkan saya telah menyinggung kemalangan dalam rumahtangga kami. Tadi Tuan sedang menceriterakan bahwa Tuan seorang ahli ilmu kimia." "Oh, bukan itu maksud saya," jawab Monte Cristo tersenyum. "Saya mempelajari ilmu kimia semata-mata karena saya bermaksud tinggal di negeri Timur dan ingin mencontoh Raja Mifhridates." "Mithridafes, rex Ponticus," tiba-tiba Edouard memasuki pembicaraan sambil mengguntingi potret-potret dari sebuah album besar.- "Dia adalah raja yang biasa mencampur susunya dengan racun untuk sarapan setiap pagi." "Edouard, terlalu engkau!" kata ibunya merebut album dari tangan anaknya. "Engkau benar-benar menjengkelkan! Keluar dan temani kakakmu!" "Saya tidak mau pergi kalau album itu tidak diberikan," kata anak itu dengan seenaknya lalu merebahkan diri di kursi besar. "Baik, tetapi pergi dari sini." Nyonya de Villefort memberikan album itu kepada anaknya lalu menuntun dia keluar kamar. "Apakah dia akan mengunci pintu?** tanya Monte Cristo dalam hatinya. Nyonya de Villefort mengunci pintu dengan hati-hati. Count of Monte Cristo purapura tidak melihatnya. "Apa yang dikatakan putra nyonya tadi tersebut dalam buku karangan Cornebus Nepos," kata Monte Cristo. "Ini menunjukkan bahwa pengetahuannya sudah banyak sekali bagi anak seumur dia." "Memang ia mudah sekali belajar," jawab ibunya yang merasa terpuji. "Sayangnya, keras kepalanya itu bukan main. . . . Sehubungan dengan apa yang dikatakan tadi, apakah Tuan percaya bahwa Raja Mithridates benar-benar mengebalkan dirinya terhadap racun dengan cara demikian?'* "Percaya, Nyonya. Saya sendiri menjaga diri dengan cara yang sama untuk mencegah jangan sampai diracun orang di Napoli, Palermo dan Srmrna Dan di ketiga tempat itu saya terhindar dari maut." "Saya ingat Tuan telah menceriterakan itu kepada saya di Perugia." "Apakah benar," tanya Monte Cristo seakan-akan terkejut. "Saya tidak ingat sama sekali." "Bagaimana caranya Tuan membiasakan diri terhadap racun itu?" "Sederhana sekali. Katakanlah Nyonya mengetahui terlebih dahulu racun macam apa yang akan dikenakan orang terhadap diri Nyonya. Umpamanya saja racun brucine." "Bmcine itu berasal dari brucea ferruginea, bukan?" 'Tepat sekali. Saya kira, tidak banyak yang harus saya ajarkan lagi kepada Nyonya. Jarang sekali ada wanita yang mempunyai pengetahuan seperti yang Nyonya miliki . . . Baik, umpamanya racun itu brucine. Hari pertama nyonya menelannya sebanyak satu miligram, hari kedua dua miligram dan seterusnya sampai Nyonya memakannya sepuluh miligram pada hari yang kesepuluh. Setelah itu tambah menjadi dua miligram sehari, sehingga pada hari yang kedua puluh nyonya telah menelan sebanyak tiga puluh miligram, suatu jumlah yang tidak akan berbahaya bagi Nyonya tetapi sangat mematikan bagi mereka yang tidak biasa." "Saya sering sekali membaca kisah tentang Raja Mithri-dates itu," kata Nyonya de Villefort sambil memikirkan sesuatu, "tetapi saya selalu menganggapnya sebagai suatu dongeng belaka." "Tidak, Nyonya. Kisah itu benar-benar nyata. Selain dari itu, orang-orang Timur menggunakan racun tidak hanya sebagai perisai, tetapi juga sebagai senjata. Mereka menggunakannya dengan keahlian yang sangat tinggi sehingga hukum manusia tidak akan dapat menangkapnya. Cobalah Nyonya pergi ke luar Perancis, ke Kairo, Napoli atau Roma, Nyonya akan bertemu dengan banyak orang yang tampaknya segar-bugar, namun setan yang mengetahuinya akan berbisik ke telinga Nyonya, T)rang itu telah diracun selama tiga minggii, bulan depan dia akan mati kejang.1 Racun itu menyerang salah suatu bagian tubuh tertentu, lalu menimbulkan semacam penyakit yang tidak asing bagi dunia kedokteran tetapi mematikan. Dan terjadilah pembunuhan sempurna yang tidak akan terbongkar untuk se larn a-lama n y a " "Sungguh menakutkan, namun juga mengagumkan!" kata Nyonya de Villefort yang mendengarkan keterangan Monte Cristo dengan penuh perhatian. "Untung sekali racun demikian hanya dapat dibuat oleh ahli-ahli kimia saja, kalau tidak, setengah penduduk dunia ini akan meracun penduduk yang setengahnya lagi." "Oleh ahli kimia atau seseorang yang telah mempelajari umu kimia," Jawab Monte Cristo. "Tuan sendui tentu Seorang ahli yang besar, karena telah dapat membuat obat mujarab yang dapat menyembuhkan anak saya tempo hari. . . ." "Jangan Nyonya keliru sangka. Setetes dari obat itu akan segera menyadarkan orang pingsan. Tiga tetes akan mempengaruhi peredaran darah sehingga membuat jantung berdebar keras dan sepuluh tetes akan mematikan. Tentu Nyonya masih ingat betapa cepatnya saya mencegah putra Nyonya mcmpcnriainkah botol itu ketika di rumah saya." "Artinya obat itu racun yang keras." "Bukan begitu. Lagi pula harus kita camkan kata 'racun1 itu tidak bermakna apa-apa, karena dalam dunia kedokteran racun yang sangat keras dapat menyembuhkan penyakit apabila digunakan dengan aturan dan ukuran yang tepat." "Kalau bukan racun, apa namanya?" "Itu adalah suatu persenyawaan kimia yang sengaja dibuat untuk saya oleh seorang kawan yang sangat terpelajar dan yang mengajarkan kepada saya bagaimana menggunakannya." "Saya mengerti, rupanya suatu obat penyembuh kekejangan." "Dan yang sangat mujarab, Nyonya, seperti telah Nyonya saksikan sendiri. Saya sendiri sering sekali meminumnya . . . dengan sangat hati-hati tentu," tambah Monte Cristo sambil tersenyum. "Saya percaya Tuan melakukannya," jawab Nyonya de Villefort dengan nada yang sama seperti nada Monte Cristo. "Saya sendiri, yang selalu gelisah dan gampang pingsan, karena tidak mempunyai kawan yang terpelajar seperti Tuan, terpaksa memakai obat anti kejang ramuan Tuan Planche." "Saya lebih suka memakai ramuan sendiri." "Tentu saja. Saya pun akan berlaku begitu kalau saya mempunyainya, terutama sekali setelah melihat sendiri bagaimana khasiatnya. Tetapi saya kira ramuan itu sangat rahasia dan saya sendiri pun tidak cukup berani menanyakan. bagaimana membuatnya." 'Tetapi saya cukup sopan untuk menawarkannya kepada Nyonya," jawab Monte Cristo sambil bangkit dari kursinya. "Oh!" "Hanya saja harap diingat baik-baik, dalam ukuran yang kecil, dapat merupakan obat, tetapi akan menjadi racun berbahaya dalam jumlah yang besar. Lima sampai enam tetes sudah dapat mematikan. Dan ramuan ini menjadi lebih berbahaya lagi karena apabila yang lima atau enam tetes ini dicampurkan dengan segelas anggur dia tidak akan mempengaruhi rasa dan bau anggur itu." Jam menunjukkan setengah tujuh. Pada saat itu seorang pelayan datang memberitahukan kedatangan tamu yang diundang makan malam oleh Nyonya de Villefort. "Seandainya pertemuan kita ini merupakan pertemuan yang ketiga atau keempat kalinya," kata Nyonya de Villefort, "dan apabila seandainya saya diberi kehormatan menjadi kawan Tuan, bukan hanya sebagai orang yang berhutang budi kepada Tuan, saya akan meminta dengan sangat agar Tuan sudi turut makan bersama kami, dan saya tidak akan membiarkan diri saya putus asa karena penolakan yang pertama." "Terima kasih banyak, Nyonya," jawab Monte Cristo, "tetapi saya pun mempunyai janji lain yang harus saya tepati." "Baiklah, dan harap Tuan tidak melupakan obat yang dijanjikan tadi." "Tidak, Nyonya, pasti tidak. Melupakan itu berarti saya lupa kepada,percakapan kita hari ini, suatu hal yang tidak mungkin." Count of Monte Cristo membungkukkan badan memberi hormat, lalu meninggalkan ruangan. Hasil pembicaraannya melebihi apa yang diharapkannya. "Aku yakin, benih yang aku taburkan tidak jatuh di tanah yang gersang," katanya kepada dirinya sendiri. Keesokan harinya, sesuai dengan janjinya ia mengirimi Nyonya de Villefort obat yang dimintanya. BAB XXX BEBERAPA hari kemudian Albert de Morcerf mengunjungi Count of Monte Cristo di Champs Elysee Rumah tersebut, sekalipun hanya merupakan tempat kediaman sementara, namun berkat kekayaan Monte Cristo yang seakan-akan tak terbatas, telah diatur seperti sebuah istana. Albert ditemani oleh Lucien Debray. Count of Monte Cristo memikirkan bahwa kunjungan Debray didorong oleh kepentingan berganda. Salah satu di antaranya, karena Nyonya Danglars yang tidak dapat melihat sendiri rumah orang yang dengan gampang memberikan begitu saja sepasang kuda yang berharga puluhan ribu frank dan menonton opera dengan seorang gadis hamba sahaya yang mengenakan perhiasan berharga jutaan frank, telah mengutus Debray untuk melihat-lihat bagi dia dan melaporkannya nanti. Namun Monte Cristo tidak memperlihatkan perkiraannya itu. ''Masih seringkah Tuan bertemu dengan Baron Danglars? " tanya Monte Cristo kepada Albert. "Tentu saja. Bukankah telah saya ceriterakan hubungan saya dengan keluarga mereka." "Berarti hubungan itu niasih baik." "Ya. Segala-galanya telah ditetapkan " "Apakah dia cantik?** "Bahkan cantik sekali. Tetapi, dia bukan selera saya. Dan saya tidak berharga dibandingkan dengan dia!** "Tuan berbicara seakan-akan telah menjadi suaminya!" kata Monte Cristo. "Kelihatannya Tuan tidak begitu gem bira dengan rencana perkawinan ini." "Nona Danglars terlalu kaya bagi saya," jawab Albert. "Dan ini menakutkan saya." "Bagi saya," kata Monte Cristo, "sukar sekali memahami keengganan Tuah menikah dengan seorang gadis yang cantik lagi kaya." "Saya bukanlah satu-satunya orang yang berkeberatan dengan pernikahan itu. Ibu pun tidak menyetujuinya. Saya kira ada sesuatu yang tidak beliau sukai dalam keluarga Danglars itu . . . Tuan sangat berbahagia menjadi orang yang bebas!" "Kalau begitu, bebaskanlah diri Tuan sendiri. Siapa yang akan menghalangi?" "Ayah akan sangat kecewa apabila saya tidak menikahi Nona Danglars." "Kawinlah dengan dia," kata Monte Cristo sambil mengangkat bahu. "Sebaliknya " kata Albert, "ibu akan lebih dari kecewa apabila saya jadi kawin Hati beliau akan sakit sekali." "Kalau begitu jangan kawin." "Saya akan mencoba mengambil keputusan. Sudikah Tuan memberi saya nasihat? Barangkali Tuan dapat membantu saya keluar dari kemelut ini. . . . Tetapi, apabila saya terpaksa harus memilih Salah satu dari dua keburukan, saya bersedia berbantahan dengan ayah demi menghindarkan ibu dari kepedihan." Monte Cristo membalikkan badan. Rupanya perasaannya agak terganggu. "Hai," katanya kepada Debray yang sedang duduk di sudut ruangan dengan sebuah pensil di tangan dan sebuah buku catatan di tangan yang lain. "Apa yang sedang Tuan kerjakan? Menggambar?" "Tidak. Saya sedang menghitung berapa keuntungan yang telah diperoleh Danglars dari kenaikan harga saham di Haiti. Harga saham telah naik dari dua ratus enam menjadi empat ratus sembilan dalam tiga hari. Bankir yang cekatan itu telah memborongnya ketika harga masih dua ratus enam, lalu menjualnya lagi dengan harga tinggi. Dia tentu beruntung tiga ratus ribu frank. Sekarang, harganya telah turun lagi menjadi dua ratus lima." "Kalau Tuan Danglars berani berspekulasi untung atau rugi tiga ratus ribu frank dalam sehari, tentu ia seorang yang sangat kaya," kata Monte Cristo. "Bukan dia yang suka berspekulasi itu!" kata Debray. "Nyonya Danglars. Dia sangat berani." "Kalau aku menjadi engkau," kata Albert, "aku akan menyembuhkannya dari penyakitnya, dan ini akan merupakan jasa yang baik bagi calon menantunya." -Maksudmu?" "Aku akan membuatnya jera. Kedudukanmu sebagai sekertaris menteri menyebabkan berita-berita yang datang darimu diperhatikan dan diperhitungkan orang. Setiap kali engkau membuka mulut, semua pedagang saham di Paris mencatat kata demi kata.. Buatlah dia rugi seratus ribu frank beberapa kali, dia segera akan menjadi lebih hati-hati." "Aku belum dapat mengerti maksudmu " kata Debray sedikit terbata-bata. "Sangat sederhana," lanjut Albert. Centerakan pada suatu hari kepadanya sebuah berita yang sensasionil atau sebuah berita telegram yang hanya engkau sendiri yang dapat mengetahuinya. Umpamanya saja, bahwa Raja Henry IV kemarin kelihatan di Gabrielle. Berita ini akan menyebabkan kenaikan harga saham. Nyonya Danglars pasti akan segera membeli saham-saham itu. Dan dia pasti akan merugi kalau keesokan harinya Beauchamp membantah dalam korannya dengan menyatakan bahwa menurut keterangan dari sumber yang dapat dipercaya berita yang mengatakan bahwa Raja Henry IV berada di Gabrielle, adalah tidak benar." Debray memaksakan diri tertawa. Monte Cristo juga, sekalipun tampaknya acuh tak acuh, mengikuti kata demi kata pembicaraan Albert. Bahkan ia dapat mencium semacam rahasia yang tersembunyi di balik kebingungan Debray. Kebingungan ini, yang tidak kelihatan oleh Albert, menyebabkan Debray segera meminta diri. Jelas sekali bahwa pikirannya kacau. "Benarkah," kata Monte Cristo kepada Albert setelah dia mengantarkan Debray sampai ke pintu, "ibu Tuan sangat tidak menyetujui perkawinan itu seperti yang Tuan katakan tadi?" "Demikian tidak menyetujuinya sehingga Nyonya Danglars tidak pernah mau berkunjung ke rumah kami. Dan saya kira ibu pun baru sekali berkunjung ke rumahnya sampai sekarang." "Kalau begitu," kata Monte Cristo lagi, "saya merasa akan lebih bebas berbicara. Tuan Danglars adalah bankir saya dan Tuan de Villefort menghormat saya secara berlebihlebihan sebagai tanda terima kasihnya untuk sebuah jasa yang kebetulan sekait dapat saya perbuat untuk keluarganya- Berdasarkan ini saya merencanakan sebuah jamuan makan. Agar tidak timbul wasangka yang bukan-bukan di kemudian hari, saya bermaksud mengundang keduanya bersama istri makan malam di rumah saya di Auteuil. Kalau saya mengundang juga Tuan dan orang tua Tuan, saya khawatir akan tampak sebagai suatu pertemuan untuk merencanakan perkawinan. Setidak-tidaknya ibu Tuan akan berpikir demikian, apalagi kalau Tuan Danglars membawa serta pulennya Dengan demikian saya akan membangkitkan ketidaksenangan ibu Tuan, padahal saya ingin menghindarkannya." "Terima kasih untuk keterbukaan Tuan," kata Albert. "Saya senang sekali mendahului undangan Tuanmenceri-terakannya kepada ibu. Juga akan saya ceriterakan betapa kehati hati an pertimbangan Tuan, dan saya yakin beliau akan sangat berterima kasih, sekalipun ayah pasti akan marah kalau mengetahuinya." Monte Cristo tertawa. "Ayah Tuan bukan satu-satunya yang akan marah. Tuan dan Nyonya Danglars pun akan bertanya-tanya mengapa saya tidak mengundang Tuan dan pasti mereka akan menganggap saya sebagai orang yang tidak mengetahui tata kesopanan. Usahakanlah supaya Tuan mempunyai janji yang sangat penting pada hari yang bersamaan, dan kirimlah surat kepada saya tentang itu. Seperti Tuan ketahui, seorang bankir tidak mempercayai sesuatu kalau tidak tertulis." "Saya mempunyai gagasan yang lebih baik dari itu. Sejak lama sekali ibu menginginkan berlibur ke pantai. Kapan tuan bermaksud mengadakan jamuan itu?" "Sabtu." "Sekarang hari Selasa. Baik, kami akan berangkat esok sore dan lusa kami sudah berada di Treport. Saya akan segera menemui Tuan Danglars hari ini juga untuk mengatakan bahwa ibu dan saya akan meninggalkan Paris esok. Saya akan berpura-pura tidak bertemu dengan Tuan dan tidak mengetahui apa-apa tentang jamuan makan yang akan Tuan selenggarakan." "Bagaimana dengan Tuan Debray yang mengetahui Tuan di sini?" "Benar juga." "Begini sebaiknya. Saya mengundang Tuan secara tidak resmi sekarang dan Tuan menjawab bahwa Tuan tidak dapat hadir karena akan bepergian ke Treport." "Setuju. Dan sekarang izinkan saya mengundang Tuan ke rumah pada jam berapa saja Tuan kehendaki asal sebelum hari esok.** 'Terima kasih. Tetapi sayang sekali, saya khawatir tidak dapat memenuhinya. Saya mempunyai janji yang sangat penting dengan Mayor Bartolomeo Cavalcanti — seorang dari salah satu keluarga bangsawan yang tertua di Italia — dan putranya Andrea, seorang anak muda sebaya Tuan yang bermaksud memasuki masyarakat Paris dengan bantuan jutaan frank milik ayahnya. Saya berjanji akan menjamunya hari ini dan ia akan mempercayakan putranya kepada saya." "Seandainya Mayor Cavalcanti bermaksud mencarikan istri bagi putranya," kata Albert, "saya akan senang sekali membantunya berkenalan dengan seorang gadis yang cantik, keturunan bangsawan dari pihak ibunya dan dapat mewarisi gelar barones dari pihak ayahnya.** "Sampai sejauh itukah Tuan berpikir?** "Oh, Tuan tidak akan dapat membayangkan betapa besar rasa terima kasih saya kepada Tuan apabila Tuan membantu saya tetap membujang!" "Segala sesuatu mungkin saja terjadi," jawab Monte Cristo dengan nada tenang. BAB XXXI COUNT of Monte Cristo tidak berbohong ketika ia menolak undangan Albert dengan dalih akan menerima kunjungan seorang mayor Italia. Jam berbunyi tujuh kali. Sesuai dengan perintah yang diterimanya Bertuccio berangkat dua jam yang lalu ke Au-teuil. Sebuah kereta kuda berhenti di muka rumah Monte Cristo di Paris. Dari dalamnya keluar seorang laki-laki berumur kira-kira lima puluh tahun. Kepalanya yang kecil dan hampir berbentuk segi tiga, rambutnya yang putih dan misalnya yang tebal abu-abu, cepat dikenali oleh BapUstin yang sudah menunggunya dan sudah menerima gambaran tamu ini dari majikannya lebih dahulu. Tamu segera dibawa ke ruangan yang sangat sederhana. Count of Monte Cristo sudah menunggu di sana dan segera bangkit menjemputnya. "Selamat datang,.Tuan. Saya menunggu kedatangan Tuan." "Benarkah? Pastikah Tuan bahwa saya yang Tuan tunggu?" "Tentu saja. Tetapi kita dapat saling meyakinkan kalau Tuan menganggap peilu," "Selama Tuan yakin bahwa sayalah orangnya yang Tuan tunggu, sudah cukup bagi saya." Tamu kelihatan agak kurang tenang. "Lebih baik kita yakinkan saja dahulu, Tuan adalah Markls Bartolomeo Cavalcanti, bukan?" "Bartolomeo Cavalcanti," jawab tamu dengan gembira. "Benar." "Bekas mayor tentara Austria?" "Apakah betul saya mayor?" jawab tentara tua ini agak malu-malu. "Ya, mayor. Itulah nama yang kami berikan di Perancis untuk pangkat yang Tuan jabat di Italia." "Untuk saya baik saja. Tuan ketahui. . " "Selain itu Tuan disuruh orang menemui saya." "Benar." "Oleh Padri Busoni yang istimewa?" "Benar!" jawab Bartolomeo gembira. "Dan Tuan membawa sepucuk surat?" "Inilah dia." Monte Cristo menerima surat itu lalu membacanya. **Surat itu berbunyi:. . .Mayor Cavalcanti seorang bangsawan terhormat dari Lucca, keturunan dari keluarga Cavalcanti dari Florence, mempunyai penghasilan sebesar setengah juta...." "Betulkah setengah juta?" tanya mayor itu. "Betul, tertulis hitam di atas putih. Dan ini mesti benar, karena tidak ada orang lain yang lebih mengetahui tentang orang-orang kaya di Eropa daripada Padri Busoni." "Setengah juta. Saya tidak menyangka sebesar itu." Monte Cristo meneruskan membaca, "Dia hanya kekurangan suatu hal untuk melengkapi kebahagiaannya: menemukan kembali putranya tersayang yang telah diculik ketika masih kecil oleh musuh keluarganya atau oleh orang-orang kelana. Saya memberinya harapan bahwa Tuan akan dapat menolongnya. Dia sendiri telah lebih dari lima belas tahun mencarinya, namun sia-sia." Mayor itu memandang kepada Monte Cristo dengan air muka yang sukar digambarkan. "Saya dapat menolong menemukannya kembali," kata Monte Cristo. "Jadi surat itu benar?" "Apakah Tuan meragukannya, Mayor?" "Oh tidak, sedikit pun tidak! Seorang seperti Padri Busoni tidak akan berkelakar . . . Tuan belum selesai membacanya, Yang Mulia." "Ah, ya. Di bawahnya masih ada catatan: Untuk memudahkan dia menerima uang yang diperlukannya di sini, saya telah memberinya dua ribu frank dan saya harap Tuan suka membelinya lagi empat puluh delapan ribu frank dari uang saya yang ada pada Tuan." Mayor Bartolomeo mengikuti pembacaan catatan ini dengan penuh perhatian. "Baik," hanya itu komentar Monte Cristo. "Catatan itu juga . . "Mengapa?" 'Tuan mempercayai juga catatan itu seperti bagian-bagian lainnya?" "Tentu saja. Antara Padri Busoni dengan saya ada hubungan keuangan. Saya tidak tahu apakah benar hutang saya kepadanya sekarang persis sebesar empat puluh delapan ribu frank. Tetapi kami tidak pernah merisaukan jumlah beberapa ribu." "Jadi Tuan bersedia membayar saya empat puluh delapan ribu frank?" "Kapan saja Tuan memerlukannya." Mata mayor terbelalak. "Silahkan duduk, Mayor. Entah mengapa saya ini, membiarkan Tuan berdiri selama seperempat jam." Mayor Bartolomeo mengambil sebuah kursi kemudian mendudukinya. "Jadi," kata Monte Cristo, 'Tuan tinggal di Lucca dan kaya, seorang bangsawan terhormat, menikmati penghormatan dan penghargaan dari masyarakat, dan hanya kekurangan suatu perkara saja untuk membuat kebahagiaan Tuan sempurna." "Hanya satu perkara, Yang Mulia." "Dan perkara yang satu itu, menemukan kembali anak yang telah hilang." "Ya, dan itu sangat penting bagi saya," kata Mayor terhormat itu, mengangkat matanya dan mencoba mengeluarkan sebuah keluhan. "Sudikah Tuan, Mayor Cavalcanti, menceriterakan kepada saya tentang putra Tuan itu? Saya mendengar bahwa Tuan tetap membujang." "Orang-orang memang berpendapat demikian, dan sa-y a . . . " "Dan Tuan mendukung pendapat orang-orang itu. Ada suatu dosa dalam masa muda Tuan yang ingin Tuan sembunyikan — tidak untuk kepentingan Tuan sendiri ~ karena laki-laki memang tidak berkepentingan, namun demi kehormatan seorang wanita." "Ya, demi kepentingan ibu anak saya!" "Ibunya berasal dari keluarga terhormat di Italia, bukan?" "Keturunan ningrat dari Ftesole, Yang Muliai Keturunan ningrat dari Fiesole!" "Siapa namanya?" "Apakah itu perlu?" "Ah, tak ada gunanya Tuan mengatakannya, karena saya sudah mengetahuinya." "Tuan mengetahui segala-galanya," kata Mayor sambil membungkuk. "Namanya, Otrva Corsinari. Betul?" "Betul. Oliva Corsinari." "Dan akhirnya Tuan menikahinya juga sekalipun ada tentangan dari pihak keluarga, betul?" "Benar." "Apakah Tuan membawa surat-suratnya?" "Surat-surat apa?" tanya Mayor heran. "Surat perkawinan Tuan dengan Oliva Corsinari dan surat kelahiran putra Tuan. Namanya Andrea, bukan?" "Mungkin." "Mengapa mungkin?" "Saya tidak berani memastikannya . . . karena sudah lama sekali saya tidak melihatnya lagi." "Benar juga/' kata Monte Cristo. "Tetapi surat-surat itu Tuan bawa?" "Maaf, tak seorang pun memberitahu saya bahwa akan diperlukan, sehingga saya menganggap tidak periu membawanya. Apakah itu penting betul? *' "Sangat penting. Tanpa dokumen itu perkawinan tidak diakui. Di Perancis ini, lain seperti di Italia, perkawinan tidak cukup hanya dengan menghadap pastur dan mengatakan: *Kami saling mencintai; kawinkan kami/ Di Perancis perkawinan itu masih perlu dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan di sana setiap orang harus dapat membuktikan siapa dirinya. Untung sekali, surat-surat Tuan sudah ada pada saya," 'Tuan sudah memegangnya?" "Ya." "Luar biasai** kata Mayor yang sudah ketakutan mendapat kesukaran menerima uang yang empat puluh delapan ribu frank itu. "Saya tidak mengira Tuan mempunyai suratsurat itu." "Orang tidak mungkin memikirkan semua soal. Untung sekali Padri Busoni menolong memikirkannya untuk Tuan." "Orang yang mengagumkan sekali Padri Busoni itu! Beliau tentu mengirimkannya kepada Tuan." "Inilah dia. Berikan ini kepada putra Tuan dan katakan supaya ia menyimpannya dengan baik, jangan sampai hilang. Saya percaya Tuan dapat memahami betapa pentingnya surat-surat ini." "Saya menganggapnya sebagai tak bernilai selama ini" "Sekarang, tentang ibu anak muda itu . . . " "Ya, Tuhan!" teriak Mayor terkejut. "Apakah perlu-kita membicarakannya juga?" "Tidak, Mayor "jawab Monte Cristo. "Lagi pula, bukankah dia ...t' "Benar, dia . . . " 'Telah memenuhi kewajibannya terhadap hukum alam?" "Benar." "Begitulah yang saya dengar. Dia telah meninggal sepuluh tahun yang lalu." "Dan saya masih bersedih karena kehilangan dia," kata Mayor, mengeluarkan saputangannya lalu menyeka matanya. "Jangan terlampau bersedih, Mayor. Semua kita tidak langgeng. Sekarang, karena ingatan Tuan telah segar kembali, tentu Tuan sudah dapat mengira bahwa saya telah mempersiapkan suatu hadlah bagi Tuan." "Hadiah yang menyenangkan tentu.** "Memang tidak mudah kita menipu mata dan hati se^ orang ayah. Tuan telah merasakan bahwa dia sudah berada di sini." "Siapa yang sudah berada di sini?" "Putra Tuan. Andrea." "Bagus, bagus sekali!" "Saya dapat memahami perasaan Tuan," kata Monte Cristo, "dan saya sadar bahwa saya harus memberi Tuan sedikit waktu untuk menenangkan diri. Juga saya ingin mempersiapkan putra Tuan untuk pertemuan yang membahagiakan Ini, sebab saya kira dia pun sama tidak sabarnya seperti Tuan." ''Saya kira juga begitu." "Baiklah, sebelum seperempat jam dia akan memasuki ruangan ini melalui pintu itu." "Soal lain sedikit, Count," kata Mayor, "seperti Tuan ketahui saya hanya membawa dua ribu frank, dan..," "Dan Tuan memerlukan wang, bukan? Tentu saja Tuan akan memerlukannya, Ini delapan ribu frank. Tinggal empat puluh ribu frank lagi." Mata mayor berkilat-kilat "Apakah Tuan memerlukan tanda terima?" tanyanya. "Tuan dapat memberikan tanda terima untuk seluruh jumlah nanti Antara orangorang yang jujur surat-menyurat demikian sebenarnya tidak perlu." "Ya, tentu saja, antara orang-orang yang jujur." "Bolehkah saya memberikan sebuah saran sekarang?" "Saya akan senang sekali menerimanya." "Saya kira Tuan tidak keberatan bila Tuan melepaskan jas itu." "Mengapa?" kata Mayor, melihat kepada pakaiannya dengan semacam perasaan sayang. "Memang masih mode di Italia, namun di Perancis sudah jauh ketinggalan jaman." "Wah, memalukan sekali," kata Mayor. 'Tetapi apa yang harus saya pakai?" "Tuan akan menemukan pakaian baru dalam koper Tuan." "Dalam kopor? Saya hanya membawa sebuah tas," "itu yang Tuan bawa sendiri. Tuan mengirimkan kopor Tuan terlebih dahulu. Kopor itu sekarang sudah berada di Hotel des Princes, di Jalan Richelieu, tempat Tuan menetap selama di sini Saya kira Tuan telah memerintahkan pelayan Tuan untuk mengisi kopor itu dengan segala macam yang akan Tuan perlukan. Tuan akan mengenakan seragam dalam kesempatan-kesempatan yang penting saja. Ini akan mengesankan sekali. Dan jangan lupa bintang-bintang kehormatannya." "Baik sekali, baik sekali!" kata Mayor berpindah dari suatu kebingungan ke kebingungan yang lain. "Sekarang, Mayor Cavalcanti," kata Monte Cristo, "bersiap-siaplah untuk bertemu kembali dengan putra Tuan, Andrea." Setelah membungkuk dengan hormat kepada mayor yang lagi kebingungan itu, Monte Cristo meninggalkan ruangan. Di kamar lain yang bersebelahan, seorang anak muda yang perlente telah menunggu. Ia datang kurang lebih setengah jam yang lalu, Baptistin yang telah menerima gambarannya dari Monte Cristo tidak mendapat kesukaran mengenalinya sebagai orang yang berambut pirang, berjenggot merah dan bermata hitam. Ketika Monte Cristo memasuki ruangan, anak muda itu sedang berbaring di kursi panjang sambil tanpa sadar memukul-mukul sepatunya dengan tongkatnya yang berkepala emas. Tatkala melihat Count of Monte Cristo ia cepat bangkit dan bertanya, "Apakah Tuan Count of Monte Cristo?" "Benar. Dan apakah benar pula saya berhadapan dengan Viscount Andrea Cavalcanti?" 'Viscount Andrea Cavalcanti," anak muda itu mengulang dengan nada dan sikap seenaknya. "Saya kira Tuan membawa surat perkenalan untuk saya." "Saya tidak mau menyinggungnya karena tanda tangannya agak aneh bagi saya." "Sinbad Pelaut, bukan?" "Ya." "Dia kawan karib saya. Seorang inggris, kaya sekali, eksentrik hampir-hampir mendekati gila Namanya yang sebenarnya adalah Lord Wilmore." "Oh, kalau begitu dia orang Inggris yang . . . Tetapi baiklah, apa yang harus saya lakukan sekarang, Count?" "Saya minta Tuan berkata dengan terus terang," kata Monte Cristo. "Saya harap Tuan suka menceriterakan sedikit tentang Tuan sendiri dan keluarga Tuan." "Dengan senang sekali, Count," kata anak muda itu dengan kefasihan yang menunjukkan kecerdasannya. "Saya adalah seperti Tuan katakan tadi, Viscount Andrea Cavalcanti, putra Mayor Bartolomeo Cavalcanti, keturunan keluarga Cavalcanti yang namanya tercatat dalam Buku Emas di Florence. Ketika berumur lima tahun saya diculik guru yang berkhianat, dan sampai sekarang sudah lima belas tahun lamanya saya tidak berjumpa lagi dengan ayah saya. Setelah saya akil balig saya selalu berusaha mencarinya, namun sia-sia belaka. Akhirnya, surat dari kawan Tuan itu memberi tahu bahwa ayah berada di Paris dan menyarankan saya untuk menemui Tuan guna mendapatkan keterangan-keterangan yang lebih lanjut." "Sangat menarik," kata Monte Cristo, "dan Tuan tidak salah datang kepada saya, karena pada saat ini, pada saat ini juga, ayah Tuan berada di sini." Sejak ia memasuki ruangan itu Monte Cristo tidak pernah melepaskan pandangannya yang tajam pada Andrea. Dia mengagumi kemampuan menguasai diri dan ketenangan suaranya. Tetapi ketika mendengar bahwa ayah berada di sini, Andrea terkejut dan terlontar kata-kata dari mulutnya, "Ayah! Ayah di sini?" "Benar," jawab Monte Cristo. "Ayah Tuan, Mayor Bartolomeo Cavalcanti * Keterkejutan anak muda itu cepat sekali menghilang. "Ya, tentu saja Mayor Bartolomeo Cavalcanti. Tuan katakan beliau berada di sini sekarang?" "Ya, Tuan dapat segera menjumpainya. Beliau sedikit kaku dan suka membesarkan diri. Mungkin karena dia terlalu lama menjadi militer. Selain dari itu, kekayaan yang melimpah-limpah dapat dengan gampang menyebabkan orang mengabaikan banyak hal." "Maksud Tuan ayah saya seorang yang kaya-raya?" "Seorang jutawan dengan penghasilan setengah juta frank setahun." "Apakah ini berarti," tanya anak muda itu ingin segera mendapat kepastian, "bahwa saya akan berada dalam keadaan yang menyenangkan?" "Keadaan yang sangat menyenangkan. Dia bermaksud memberi Tuan lima puluh ribu frank setahun selama Tuan tinggal di Paris." "Apakah beliau bermaksud akan tinggal lama di Paris?" "Kewajibannya tidak mengijinkan beliau tinggal lebih lama dari beberapa hari saja." "Oh, Ayah!" kata Andrea. Jelas sekali bahwa ia sangat gembira mendengar itu. Monte Cristo pura-f ira tidak menangkap nada gembira dalam suara anak muda itu. "Saya tidak bermaksud menahan Tuan lebih lama lagi, silakan Tuan masuk ruangan sebelah ini. Ayah Tuan berada di sana." Andrea membungkuk dalam-dalam lalu memasuk) ruangan yang ditunjukkan Monte Cristo. Setelah dia pergi, Monte Cristo memijit sebuah tombol yang tersembunyi dan sebuah lukisan di dinding bergeser ke samping memperlihatkan sebuah lubang cukup besar pada dinding, untuk mengintip ke ruangan sebelah. Andrea menutup pintu lalu berjalan menghampiri Mayor yang segera berdiri ketika melihat kedatangannya. "Ayah!" kata Andrea, cukup keras untuk didengar Monte Cristo dari balik pintu. "Benarkah ini ayah?" "Benar, anakku," kata Mayor dengan nada tenang. "Alangkah menyenangkannya bertemu kembali setelah sekian lama terpisah!" kata Andrea lagi sambil tetap mengawasi pintu. "Benar, anakku. Sangat lama kita berpisah." "Dan kita tidak akan berpisah lagi, bukan?" "Aku khawatir, harus. Bukankah engkau telah menganggap Perancis sebagai tanah airmu yang kedua?" "Terus terang, Ayah," kata anak muda itu, "hati saya akan hancur bila harus meninggalkan Paris lagi * "Dan aku sendiri tidak dapat hidup di mana pun juga, kecuali di Lucca. Aku harus segera kembali ke Italia secepat mungkin." "Tetapi sebelum Ayah kembali, haraplah Ayah memberikan dahulu surat-surat yang dapat membuktikan leluhur saya. "Tehtu. Kedatanganku ke mari justru sengaja untuk memberikan itu. Inilah dia." Andrea setengah merebut surat-surat itu dari tangan Mayor, lalu menelitinya dengan mata yang terlatih. Setelah itu dia memandang wajah Mayor dengan senyuman yang aneh, lalu berkata dalam bahasa Italia yang sempurna, "Apakah di Italia tidak ada penjara, Ayah?" "Apa maksudmu?" "Di Perancis, pemalsuan surat seperti ini bisa dihukum sekurang-kurangnnya lima tahun." "Maaf, aku tidak mengerti," kata Mayor, berusaha keras untuk menunjukkan air muka bangsawan. "BerapaTuan dibayar untuk menjadi ayah saya?" tanya Andrea sambil menekan lengan Mayor. Karena sangat terkejut Mayor membuka mulutnya. "Sst!" kata Andrea merendahkan suaranya. "Saya akan membuka rahasia saya. Saya mendapat lima puluh ribu frank setahun untuk menjadi anak Tuan." Mayor melihat ke sekelilingnya penuh kekhawatiran. "Jangan takut . . . kita hanya berdua saja," kata Andrea. "Lagi pula kita berbicara dalam bahasa Italia." '"Baiklah. Saya mendapat lima puluh ribu frank, tetapi hanya sekali." "Tuan Cavalcanti, percayakah Tuan kepada dongeng-dongeng"?" "Sebelumnya tidak, tetapi sekarang terpaksa percaya." "Tuan berpendapat saya dapat mempercayai janji-janji Count of Monte Cristo?" "Ya, tetapi kita harus memainkan peranan kita masing-masing dengan baik oleh karena mereka mendesak saya menjadi ayah Tuan." "Siapa mereka itu?" "Tidak tahu . . . siapa pun orangnya yang menyurati kita." "Tuan menerima surat?" "Ya." "Dari siapa?" "Dari orang yang menamakan dirinya Padri Busoni." 'Tuan kenal kepadanya?" "Belum pernah bertemu sekalipun." "Apa isinya?" "Apakah Tuan tidak akan menceriterakannya kepada orang lain?" "Tentu saja tidak. Bukankah ini kepentingan kita bersama?" "Bacalah, kalau begitu." Mayor menyerahkan sepucuk surat yang berbunyi: Tuan miskin, dan usia tua yang merepotkan sedang menghadang Tuan. Maukah Tuan, kalaupun bukan kaya, sekurang-kurangnya mempunyai kecukupan sehingga tidak tergantung kepada orang lain? Bila demikian, pergilah segera ke Paris dan temui Count of Monte Cristo di Champs Elysees No. 30, dan minta kepada beliau diperkenalkan kepada anak Tuan dari Oliva Corsinari yang direnggut dari tangan Tuan ketika ia berumur lima tahun. Anak Tuan bernama Andrea Cavalcanti. Seandainya Tuan merasa ragu-ragu akan maksud baik saya, bersama ini saya-kirimkan sehelai cek seharga empat puluh delapan ribu frank yang dapat Tuan uangkan di Paris. Hendaklah sudah berada di rumah Count of Monte Cristo bulan Mei tanggal 26 pukul tujuh malam. PADRI BUSONI "Saya pun menerima surat yang hampir serupa ini," kata Andrea. "Juga dari Padri Busoni?" "Bukan. Dari Lord Wilmore, seorang inggris yang biasa menggunakan nama Sinbad Pelaut Ini suratnya." Mayor membaca: Tuan miskin, dan Tuan hanya mempunyai masa depan yang buruk. Maukah Tuan menjadi orang yang merdeka, kaya dan menyandang nama yang terhormat? Bila demikian, temuilah Count of Monte Cristo di Champs Elysee No. 30 di Paris, pada bulan Mei tanggal 26 jam tujuh malam, lalu tanyakan kepada beliau tentang ayah Tuan. Tuan adalah putra Mayor Bartolomeo Cavalcanti dan Markise Oliva Corsinari. Buktinya akan Tuan lihat nanti dari surat-surat yang akan diberikan oleh Mayor kepada Tuan. Dengan dokumen itu Tuan dapat memperkenalkan diri dengan nama itu kepada kalangan atas di Paris.. Untuk memelihara"gelar dan kehormatan Tuan, kepada Tuan akan diberikan tunjangan yang memadai sebesar lima puluh ribu frank setahun. Bersama ini dikirimkan sehelai cek seharga lima puluh ribu frank dan sepucuk surat perkenalan untuk Count of Monte Cristo, yang telah saya minta untuk memenuhi semua keperluan Tuan. SINBAD PELAUT "Luar biasa!" kata Mayor. 'Tuan sudah bertemu dengan Count of Monte Cristo?" 'Saya bani saja meninggalkan beliau di kamar sebelah." "Apakah beliau menyetujui semua ini?" "Semua." "Mengerti Tuan persoalannya?" "Sedikit pun tidak. Tetapi biarlah, mari kita selesaikan permainan ini sampai habis." "Baik. Tuan akan lihat nanti bahwa saya cukup berharga untuk menjadi pasangan Tuan." "Saya tidak meragukannya sedikit pun, ayah tercinta." "Tuan membuat saya bangga, anakku sayang." Monte Cristo memilih saat itu untuk memasuki ruangan tersebut. Ketika mereka mendengar suara langkah Monte Cristo segera mereka saling berpelukan bagaikan ayah dan anak yang benar-benar sedang melepaskan rasa rindu. "Rupanya tuan puas dengan putra Tuan, Mayor," kata Monte Cristo. "Saya benar benar diliputi rasa bahagia." "Bagaimana dengan Tuan, anak muda?" "Oh, kebahagiaan saya hampir meledak." "Bagus sekali!" kata Count of Monte Cristo. "Sekarang Tuan-tuan sudah boleh pulang." "Bilamana kami akan mendapat kehormatan menemui Tuan lagi?" tanya Mayor. "Oh, ya. Bilamana?" sambung Andrea. "Sabtu yang akan datang, bila Tuan-tuan menghendakinya. Saya mengundang beberapa orang untuk makan malam di rumah saya yang diAuteuil, Jalan de Fontaine No, 28." "Jam berapa kami hams hadir?" tanya Andrea. "Setengah tujuh." "Kami akan ,hadir," kata Mayor sambil memegang topinya seperti layaknya seorang militer. Kedua orang itu membungkuk memberi hormat kepada Monte Cristo lalu pergi Monte Cristo berjalan ke jendela untuk melihat mereka berjalan bergandengan tangan di pekarangan. "Sepasang buaya!" katanya sendiri. "Memalukan sekali bahwa sebenarnya mereka bukan ayah dan anak!" BAB xxxn SEKELILING pekarangan rumah Tuan de Villefort yang sangat tuas dibatasi dengan tembok yang tinggi. Maximilien yang lebih dahulu datang ke pintu besi yang berterali, bersembunyi di keteduhan pepohonan yang banyak tumbuh di sana, menanti terdengarnya suara langkah-langkah halus di jalan yang berpasir. Akhirnya suara yang dinantikan itu datang, tetapi dia melihat bayangan dua orang, bukan satu. Kedatangan Valentine memenuhi janji bertemu di tempat itu rupanya terhalang oleh kunjungan Nyonya Danglars dan putrinya, Eugenie, yang datang bertamu lebih lama daripada yang disangkanya. Ia mengajak Eugenie berjalan-jalan di kebun agar Maximilien dapat melihat mereka dan memahami mengapa keterlambatannya tidak terhindarkan. Anak muda itu segera mengerti, berkat ketajaman naluri orang yang sedang dirundung cinta. Hatinya merasa lega. Setelah kurang lebih berjalan-jalan setengah jam kedua gadis itu masuk kembali ke dalam rumah. Ini memberikan petunjuk kepada Maximilien bahwa kunjungan keluarga Danglars sudah hampir berakhir. Beberapa saat kemudian Valentine muncul kembali sendirian. Namun karena khawatir dilihat orang, dia berjalan dengan tenang sekali. Dia tidak langsung menemui Maximilian, melainkan duduk dahulu di sebuah bangku mengawasi dengan teliti semua semak dan pohon dalam kebun itu dan memperhatikan semua arah. Setelah dirasanya keadaan aman, segera dia berlari menuju pintu besi. "Hai, Valentine." "Hai, Maximilien. Maafkan aku membuatmu menunggu. Tetapi engkau mengerti apa sebabnya, bukan?" "Ya, aku melihat Nona Danglars. Aku tidak tahu bahwa kalian bersahabat." "Siapa mengatakan kami bersahabat?" "Tak seorang pun, tetapi caranya kalian berjalan dan bercakap-cakap menyebabkan aku mengira begitu. Kalian bercakap-cakap seperti dua orang gadis yang sedang membukakan rahasia masing-masing." "Memang benar kami bertukar rahasia," kata Valentine. "Dia menceriterakan bagaimana bencinya dia akan gagasan kawin dengan Albert de Morcerf dan aku pun menceriterakan kepadanya betapa tidak bahagianya aku harus kawin dengan Franz d'Epinay. Selama aku menceriterakan laki-laki yang tak kucintai, hatiku tetap melekat kepada laki-laki yang selalu kucintai" "Apakah Nona Danglars mencintai orang lain?" "Katanya tidak. Dia mengatakan tidak berminat kawin. Katanya, dia bersedia mengorbankan apa saja asal dapat menjalankan hidup bebas dan bahkan hampir-hampir mengharapkan ayahnya menjadi miskin supaya dia diizinkan menjadi seniwati seperti kawannya Louise d'Armilly. Tetapi tak usah kita menghabiskan waktu dengan mempergunjingkan orang lain. Waktu kita hanya tinggal sepuluh menit lagi" "Ada apa, Valentine? Mengapa harus tergesa-gesa?" "Ibu meminta saya menemuinya. Katanya, ada sesuatu yang akan dibicarakannya dan ada hubungannya dengan sebagian dari kekayaanku. Bagiku, silakan ambil semua kekayaanku. Aku terlalu kaya. Mungkin dengan demikian mereka tidak akan mengganggu aku lagi. Bukankah engkau akan tetap mencintaiku sekalipun aku miskin, Maximilien?" "Engkau tahu, aku selalu mencintaimu. Aku tidak peduli dengan kekayaan atau kemiskinan selama Valentineku berada di sampingku. Dan aku yakin tak seorang pun yang akan dapat merenggutmu dariku! Tetapi tidakkah engkau merasa takut bahwa pembicaraan ibu tirimu itu mungkin mengenai perkawinanmu?" "Aku kira tidak." "Walau bagaimana, jangan takut, Valentine. Aku tidak akan memilih wanita lain selama hidupku." **Engkau tentu mengira aku akan bahagia mendengar itu." "Maaf, memang aku kurang panjang pikir. Sebenarnya yang ingin kukatakan, aku bertemu dengan Albert de Mor-cerf kemarin dan ia mengatakan menerima surat dari Franz yang mengabarkan bahwa ia akan segera kembali ke Paris." Wajah Valentine menjadi pucat dan ia mencari sandaran pada pintu besi. "Mungkinkah itu yang akan dikatakan ibu?" katanya. 'Tetapi tidak, bukan dia orangnya yang akan mengatakan itu." "Mengapa tidak?" "Karena . . . aku tidak yakin . . . sekalipun dia tidak terang-terangan menentang perkawinan itu, aku tetap percaya bahwa dia tidak menyetujuinya," "Benar? Dalam hal ini, aku sangat menyukai Nyonya de Villefort! Kalau dia tidak menyetujui perkawinan dengan Franz, mungkin engkau dapat memutuskannya dan dia akan bersedia mempertimbangkan usul-usul yang lain." "Jangan menggantungkan harapanmu kepada itu, Maximilien Bukan calon suami yang dia tentang, tetapi perkawinannya itu sendiri." "Bagaimana maksudmu? Kalau dia tidak menyetujui perkawinan, mengapa dia sendiri kawin?" "Engkau tidak mengerti, Maximilien. Seperti telah kukatakan, aku terlalu kaya. Aku mempunyai penghasilan hampir sebesar lima puluh ribu frank dari mendiang ibuku. Kakek dan nenekku, Markis dan Markise Saint-Me ran, akan mewariskan sejumlah yang sama, dan kakekku yang seorang lagi, Tuan Noirtier, sudah menjelaskan bahwa beliau bermaksud mewariskan semua harta kekayaannya kepadaku. Akibat dari ini, adikku Edouard, yang tidak dapat mengharapkan apa-apa dari ibunya, akan tetap miskin. Ibu titiku terlalu mencintai anaknya. Jadi, kalau aku tetap tidak kawin, seluruh kekayaanku akan berpindah kepada ayahku, kalau aku mati, yang akan meneruskannya nanti kepada Edouard." "Aneh sekali mendengar keserakahan seperti itu pada seorang wanita muda dan cantik!" "Jangan lupa bahwa itu bukan untuk dia sendiri, melainkan untuk anaknya. Keserakahan yang engkau tidak sukai itu, dilihat dari sudut kecintaan seorang ibu, hampir-hampir merupakan suatu kebajikan." "Mengapa engkau tidak memberikan saja sebagian kekayaanmu kepada Edouard?" "Bagaimana aku dapat menyarankan hal demikian kepada seorang perempuan yang terus-menerus berbicara tentang ketukis-ikhlasannya . . ? Dengar, ada yang memanggilku." "Ah, Valentine," kata Maximilien, "julurkan kelingkingmu agar aku dapat menciumnya!" "Apakah itu akan menyebabkan engkau bahagia?" "Tentu." Valentine berdiri di atas bangku, lalu menjulurkan, bukan kelingkingnya melainkan seluruh tangannya melalui terali. Maximilien memegangnya erat-erat lalu menekannya pada bibirnya. Tetapi hanya sejenak. Valentine segera menariknya kembali Maximilien mendengar Valentine berlari cepat-cepat ke dalam rumah. BAB XXXIII SETELAH Nyonya Danglars dan anaknya pulang, dan ketika Valentine berada di kebun menemui Maximilien, Villefort dan istrinya pergi ke kamar Noirtier. Mereka duduk di kanan-kiri ayahnya setelah menyuruh Bar rois pergi, pelayan tua yang telah bekerja pada Noirtier selama lebih dari dua puluh lima tahun. Noirtier didudukkan di kursi rodanya. Pagi hari dia didudukkan di sana, malam hari ia diangkat dari sana. Dari seorang pejuang gigih yang kuat kekar, sekarang hanya tinggal pendengaran dan penglihatannya yang masih utuh. Seperti biasa yang terjadi pada orangorang yang cacad, pada matanya yang masih utuhlah sekarang bersatunya segala kekuatan dan kecerdasannya yang dahulu menyebar ke seluruh tubuhnya. Dia memerintah dengan matanya, mengucapkan terima kasih dengan matanya. Sangat menyeramkan sekali bila kita melihat matanya menyala-nyala karena marah atau berkilat karena gembira. Hanya tiga orang yang dapat memahami bahasa matanya. Villefort, Valentine dan pelayan tua Bar rois. Tetapi karena Villefort hanya menemui ayahnya kalau perlu saja, seluruh kebahagiaan orang tua itu bertumpu pada cucunya. Berkat kecintaan, kesetiaan dan kesabaran itulah Valentine dapat membaca semua yang menjadi pikiran kakeknya melalui matanya. "Ayah," kata Villefort, "alasan mengapa kami menyuruh Barrois meninggalkan kamar dan tidak membawa Valentine ke mari t karena kami ingin membicarakan sesuatu yang tidak baik didengar oleh seorang gadis dan seorang pelayan. Kami yakin bahwa apa yang akan kami katakan akan menyenangkan hati Ayah." Mata orang tua itu tidak menunjukkan apa-apa. "Valentine akan dikawinkan tiga bulan lagi." "Kami kira berita ini akan menarik perhatian Ayah," kata Nyonya de Villefort, "oleh karena Valentine rupanya mempunyai suatu tempat yang khusus dalam hati Ayah. Anak muda yang kami pilihkan baginya, mempunyai kekayaan yang cukup besar dan nama yang baik dan tabiat kebiasaannya pasti akan membahagiakan Valentine. Selain dari itu namanya tidaklah asing bagi Ayah. Dia adalah Tuan Franz de Quesnal, Baron dari Epinay." Ketika Nyonya Villefort mengucapkan nama itu, pelupuk mata orang tua itu bergerak seperti bibir yang hendak mengucapkan sesuatu, lalu menyorotkan nyala kemarahan. Villefort yang mengetahui akan permusuhan politik yang pernah terjadi antara ayahnya dan ayah Franz dapat memahami kemarahan ini, namun dia pura-pura tidak melihatnya. "Kami sama sekali tidak lupa memikirkan Ayah. Oleh karena Valentine juga sangat mencintai ayah, kami telah mengatur sedemikian rupa sehingga bakal suami Valentine setuju Ayah tinggal bersama mereka. Dengan demikian Ayah akan mempunyai dua orang cucu yang akan melayani Ayah." Suatu gejolak perasaan berkecamuk dalam hati orang tua itu. Jerit kesakitan dan kemarahan bergelora mendesak kerongkongannya, tetapi karena tidak dapat berbicara wajahnya saja berubah menjadi merah padam. "Tuan d'Epinay dan keluarganya menyetujui perkawinan ini," sambung Nyonya de Villefort. "Keluarganya hanya terdiri dari paman dan bibinya. Ibunya telah meninggal ketika melahirkan dia sedangkan ayahnya mati terbunuh pada tahun 1815." "Pembunuhan yang rahasia," tambah Villefort. "Pelakunya tidak pernah terungkapkan, sekalipun kecurigaan diletakkan kepada beberapa orang. Penjahat yang sebenarnya tentu akan merasa gembira kalau dia menjadi kita, dapat memberikan putrinya kepada Tuan d'Epinay dengan maksud menutupi sisa-sisa kecurigaan yang mungkin masih diletakkan kepadanya." Noirtier dapat menguasai perasaannya dengan kekuatan yang tidak mungkin terbayangkan masih terdapat pada tubuh yang rapuh seperti itu. "Ya, aku mengerti," katanya dengan matanya kepada Villefort Air mukanya menunjukkan penghinaan dan kemarahan yang mendalam. Villefort memahami sekali air muka ini dan menjawabnya dengan mengangkat bahu. lalu dia mengajak istrinya pergi. "Kami harus pergi sekarang," kata Nyonya de Villefort. "Apakah saya akan menyuruh Edouard ke mari mengunjungi ayah?" Telah disepakati bahwa kalau Noirtier akan menyatakan persetujuannya terhadap sesuatu perkara ia akan memejamkan matanya, mengedipkannya beberapa kali kalau tidak setuju. Dan apabila ia menghendaki sesuatu, ia akan menatap ke langit-langit. Apabila ia menghendaki Valentine, ia akan memejamkan mata kanannya saja, sedangkan memejamkan mata kirinya ia meminta Barrois. Untuk menjawab pertanyaan Nyonya de Villefort ia mengedipkan matanya beberapa kali dengan kuat sekali. Nyonya de Villefort menggigit bibirnya karena penolakan ini, lalu bertanya, "Apakah saya akan memanggil Valentine?" "Ya" jawab orang tua itu dengan memejamkan mata kanannya seketika. Villefort dan istrinya membungkuk memberi hormat lalu meninggalkan kamar. Valentine masuk tidak berapa lama kemudian. Pada pandangannya yang pertama Valentine sudah dapat meraba betapa berat penderitaan kakeknya dan betapa banyak yang ingin dikatakannya, "Oh, Kakek! Ada apa? Kakek marah?" "Ya," katanya dengan jalan memejamkan mata. "Kepada siapa? Kepada ayah? Tidak. Kepada ibu? Tidak. Kepada saya barangkali?" Noirtier memejamkan lagi matanya. "Kakek marah kepada saya?" tanya Valentine heran. "Sehari ini baru sekarang saya menemui Kakek. Apakah ada yang membicarakah tentang saya kepada Kakek?** "Ya." "Sebentar . . . sebentar . . . Ayah dan ibu baru saja meninggalkan kamar ini. Tentu mereka yang membuat Kakek marah. Apakah saya hams menanyakan kepada mereka apa kesalahan saya supaya saya dapat meminta maaf kepada Kakek?" "Tidak." "Apa yang mereka katakan . . . ? Ah, saya mengerti!" katanya dengan merendahkan suaranya dan bergeser lebih mendekat. "Mereka berbicara tentang perkawinan saya?" "Ya," jawab mata Noirtier dengan marah. "Apakah Kakek takut saya akan meninggalkan Kakek? Bahwa perkawinan itu akan membuat saya melupakan Kakek?" "Bukan." "Kalau begitu berarti mereka telah pula mengatakan bahwa Tuan d'Epinay tidak berkeberatan Kakek tinggal bersama kami?" "Ya." "Lalu mengapa Kakek marah?" Cahaya mata orang tua itu tiba-tiba memancarkan sinar kecintaan. "Saya paham,", kata Valentine, "oleh karena Kakek sangat mencintai saya. Kakek khawatir saya tidak akan berbahagia. Begitu bukan?" "Benar." "Kakek tidak menyukai Tuan d'Epinay?" "ridak!ridak!Tidak!" jawab Noirtier berkali-kali. "Dengar Kakek," kata Valentine berlutut di hadapannya dan memeluk Noirtier di lehernya, "saya pun tidak menyukai Tuan d'Epinay." Suatu kilat kegembiraan bersinar di matanya. "Oh, kalau saja Kakek dapat menolong membatalkan perkawinan itu! Kakek pasti akan dapat menjadi pelindung seandainya keadaan Kakek tidak seperti ini. Tetapi sekarang Kakek tak mungkin berbuat apa-apa kecuali turut merasakan kebahagiaan dan kesedihan saya." Ketika dia mengucapkan kalimat ini, Valentine melihat suatu cahaya kecerdikan pada mata kakeknya yang ia artikan sebagai, "Kau keliru. Aku masih dapat berbuat banyak untukmu." Noirtier melihat ke langit-langit sebagai tanda ia menghendaki sesuatu. "Apa yang Kakek kehendaki?" Valentine mulai menyebutkan huruf-huruf menurut urutan abjad. Pada setiap huruf ia berhenti sebentar melihat tanda pada mata kakeknya. Pada huruf N kakeknya memberi isyarat 'ya'. "Ah, dimulai dengan huruf N " kata Valentine. "Baik, apakah Na? Ne? Ni? No?" "Ya." "No. Baik," kata Valentine. Dia pergi mengambil sebuah kamus, lalu membukanya di hadapan Noirtier. Telunjuknya menunjuk setiap kata yang dimulai dengan no dan setiap kali melihat isarat mata kakeknya, Pada kata notaris, kakeknya menyuruhnya berhenti. "Kakek mau memanggil notaris?" "Betul." "Hanya itu?" "Ya." Valentine membunyikan bel memanggil pelayan dan menyuruhnya meminta Tuan dan Nyonya de Villefort datang ke kamar kakeknya. Tuan de Villefort masuk diantar oleh Bar rois. "Kakek ingin memanggil notaris," kata Valentine. "Buat apa Ayah memanggil notaris?" "Kalau Tuan Noirtier meminta notaris, ini pasti karena beliau memerlukannya," kata Barrois yang hanya menganggap Noirtier sebagai satu-satunya majikan. "Sebab itu saya akan pergi memanggilnya dan membawanya sekali." "Ayah dapat memanggil notaris kalau memang itu yang dikehendakinya," kata Villefort kepada Noirtier, "tetapi saya akan meminta maaf kepadanya untuk Ayah dan untuk saya sendiri, karena notaris itu nanti mungkin akan merasa dipermainkan." "Sama saja," kata Barrois, "saya tetap akan memanggilnya." Pelayan itu pergi dengan bersemangat. Villefort duduk dan menunggu. Noirtier tidak mengacuhkannya, tetapi dengan sudut matanya ia memberi isarat kepada Valentine untuk tidak meninggalkan kamar. Tiga perempat jam kemudian Barrois kembali bersama seorang notaris. 'Tuan diminta datang oleh Tuan Noirtier de Villefort ini," kata Villefort kepada notaris setelah saling menyalami "Kelumpuhannya menyebabkan beliau tidak dapat berkata-kata, dan sukar sekali bagi kita mengetahui apa yang dipikirkannya." Noirtier memanggil Valentine dengan matanya dan memintanya dengan sangat agar dia segera berkata kepada notaris. "Saya dapat mengerti apa yang hendak dikatakan kakek saya," kata Valentine. "Itu benar, Tuan," Barrois menguatkan, "semuanya, seperti yang saya tadi ceriterakan di perjalanan." "Tuan Noirtier memejamkan matanya apabila beliau bermaksud mengatakan 'ya' dan mengedipkannya beberapa kali apabila hendak mengatakan 'tidak'," kata Valentine. "Dan bagaimanapun sulitnya tampaknya bagi Tuan mengikuti jalan pikiran Kakek, saya akan memperlihatkan kepada Tuan demikian rupa sehingga Tuan tidak mempunyai keraguraguan lagi." "Baik," jawab notaris, "mari kita coba saja. Apakah Tuan menerima nona ini sebagai penterjemah, Tuan Noirtier?" "Ya," jawab mata Noirtier. "Baik. Sekarang, mengapa Tuan memerlukan saya?" Valentine segera menyebutkan huruf-huruf menurut u-rutan abjad sampai dia disuruh berhenti pada huruf W. Lalu dia bertanya, "Wa . . . ?" "Ya." Valentine membuka kamus dan menunjuk kata-kata yang dimulai dengan sukukata 'wa*. "Wasiat," katanya setelah dia melihat isarat mata Noirtier. "Wasiat!" kata notaris dengan kagum. "Tuan Noirtier bermaksud membuat surat wasiat! Jelas sekali." "Benar," kata mata Noirtier beberapa kait "Luar biasa!" kata notaris kepada Villefort yang penuh keheranan. "Ya, tetapi saya rasa wasiatnya akan lebih luar biasa lagi," jawab Villefort. "Kata-kata beliau tidak akan mungkin keluar sendiri tanpa dipengaruhi pikiran anak saya, dan saya khawatir dia terlibat terlalu dalam dalam urusan warisan Tuan Noirtier sehingga tidak akan dapat menjadi penter-jemah yang jujur." 'Tidak! Tidak!" mata Noirtier memberi isarat dengan kuatnya. "Maksud Ayah " tanya Villefort terkejut, "Valentine tidak mempunyai kepentingan dalam wasiat ayah?" Tidak." "Tuan de Villefort," kata notaris, "beberapa menit yang lalu memang saya menganggap sebagai tidak mungkin membuat surat wasiat menurut keinginan ayah Tuan, tetapi sekarang saya rasa tidak ada yang lebih mudah dari itu. Menurut hukum, surat wasiat ini akan sah bila dibaca di hadapan tujuh orang saksi, disetujui isinya oleh pemberi wasiat, lalu disegel deh notaris di hadapan semua. Selanjutnya untuk memperkuatnya lagi agar jangan sampai digugat orang di kemudian hari, saya akan meminta bantuan seorang rekan, dan bertentangan dengan kebiasaan dia akan turut hadir ketika pendiktean wasiat. Apakah Tuan puas, Tuan Noirtier?" "Ya," kata Noirtier gembira sekali karena keinginannya dapat dimengerti. Barrois yang mendengarkan seluruh pembicaraan dan dapat merasakan lebih dahulu keinginan-keinginan majikannya, pergi tanpa menunggu perintah memanggil notaris seorang lagi. Villefort menyuruh memanggil istrinya. Seperempat jam kemudian setiap orang telah berkumpul di kamar Noirtier dan notaris kedua pun telah hadir. Notaris yang pertama berkata kepada Noirtier, "Apakah Tuan mengetahui berapa besar kekayaan Tuan?" "Ya." "Saya akan menyebutkan beberapa jumlah berturut-turut Hendaknya Tuan menghentikan saya apabila saya telah sampai kepada suatu jumlah yang menurutTuan telah mendekati kekayaan yang Tuan miliki. Apakah itu lebih dari tiga ratus ribu frank?" "Ya." "Empat ratus ribu frank?" Noirtier tidak memberi tanda apa-apa. "Lima ratus ribu? Enam?Tujuh?Deiapan? Sembilan?" Noirtier memejamkan matanya. 'Tuan memiliki sembilan ratus ribu frank?" "Ya." "Kepada siap akali Tuan ingin mewariskannya? Kepada Nona Valentine de Villefort?" Noirtier mengedipkan matanya berkali-kali dengan tegas agar tidak timbul salah penafsiran. "Apakah Tuan tidak keliru?" 'Tidak!" jawab Noirtier. "Tidak!" Hati Valentine risau, bukan karena tidak disebut sebagai pewaris tetapi oleh karena ia mencurigai perasaan hati kakeknya yang mendorongnya bertindak begitu. Tetapi Noirtier memandangnya dengan penuh perasaan cinta kasih sehingga Valentine berteriak gembira. "Oh, saya mengerti. Kakek hanya tidak memberi harta kekayaan saja, tetapi masih selalu melimpahkan cintanya." "Ya. Ya," kata Noirtier dengan isarat mata yang tidak meragukan Valentine. Penyisihan nama Valentine sebagai pewaris telah menimbulkan harapan yang tidak terduga pada Nyonya de Villefort. Dia menghampiri orang tua itu lalu bertanya, "Barangkali kepada Edouard, Ayah hendak mewariskannya?" Mata Noirtier berkedip dengan kuat sekali, hendak menyatakan tidak setuju. Bahkan matanya bersinar-sinar menunjukkan kebencian. - "Kepada putra Tuan, barangkali? Tuan de Villefort?" tanya notaris. "Tidak." Kedua notaris itu saling berpandangan dalam keheranan. Pipi Villefort dan istrinya menjadi merah. Yang seorang ka-re na malu, yang lain karena marah. "Tetapi apa yang telah kami perbuat kepada Kakek?" tanya Valentine yang juga merasa heran. Noirtier melihat kepada tangan Valentine. "Tangan saya?" "Ya." "Nah, Tuan-tuan lihat sekarang, tidak ada gunanya," kata Villefort. "Ayah saya yang malang ini gila." "Saya mengerti, saya mengerti!" kata Valentine tiba-tiba. "Perkawinan saya, bukan begitu, Kakek?" "Ya!Ya!Ya«" "Kakek marah karena perkawinan itu?" "Ya." "Kakek tidak menyetujui perkawinan saya kepada Tuan Franz d'Epinay?" "Ya." "Tuan mencabut hak waris cucu Tuan karena ia akan kawin bertentangan dengan keinginan Tuan?" tanya notaris. "Ya." "Dan apa yang hendak Tuan lakukan dengan kekayaan Tuan apabila Nona de Villefort kawin dengan Tuan d'Epi-nay? Apakah Tuan akan mewariskannya kepada salah seorang lain dari keluarga Tuan?" "Tidak." "Tuan akan mewariskannya kepada fakir miskin?" "Ya." "Apa pendapat Tuan tentang hal ini, Tuan de Villefort?" tanya notaris. » "Tidak ada. Saya tahu ayah saya tidak akan pernah me-rubah keputusannya. Oleh sebab itu, saya lebih baik mengundurkan diri. Kekayaannya yang sembilan ratus ribu frank itu boleh meninggalkan keluarga, tetapi saya tidak akan menyerah begitu saja kepada tingkah-polah orang tua itu dan saya akan tetap bertindak menurut keyakinan saya," Villefort keluar bersama istrinya, meninggalkan ayahnya membuat wasiat seperti yang dikehendakinya. BAB XXXIV KETIKA Tuan de Villefort dan Nyonya keluar dari kamar ayahnya, mereka diberitahu bahwa Count of Monte Cristo datang berkunjung dan sekarang sedang menanti di ruang tamu. Setelah saling menyalami Monte Cristo berkata, "Saya datang untuk mengingatkan Tuan kepada janji Tuan untuk hari Sabtu itu;* "Bagaimana mungkin kami melupakannya," kata Nyonya de Villefort. "Apakah Tuan akan menjamu kami di rumah Tuan di Champs Elysees?" tanya ViHefort. "Bukan. Dt rumah yang di pinggir kota, di Auteuil." "AuteulH" kata Villefort sedikit terkejut. "Oh ya, saya ingat sekarang. Istri saya mengatakan bahwa Tuan mempunyai rumah di sana karena ke rumah itulah dia dibawa setelah mendapat kecelakaan itu. Di jalan apa?" "Rue de la Fontaine." "Rue de la Fontaine!" Villefort mengulanginya dengan suara tertahan. "Nomor?" "Dua puluh delapan." "Jadi, Tuanlah yang membeli rumah Tuan de Saint-Me ran itu rupanya!" 'Tuan de Saint-Meran," tanya Monte Cristo. "Apakah rumah itu milik beliau?" "Benar," kata Nyonya de Villefort, "dan saya dapat menceriterakan sesuatu yang aneh tentang rumah itu Tentu Tuan menganggapnya sebagai rumah yang menyenangkan, bukan?" "Saya menganggapnya indah sekali" "Nah, suami saya tidak pernah mau menempatinya." "Saya tidak menyukai Auteuil," kata Villefort berusaha menguasai dirinya. "Saya harap hal itu tidak akan menyebabkan saya kehilangan kebahagiaan menjamu Tuan pada Sabtu malam nanti" kata Monte Crista 'Tidak . . . saya harap . . . percayalah, saya akan berusaha supaya dapat datang . . . " jawab Villefort terbata-bata. "Saya harap jangan ada dalih apapun juga!" kata Monte Cristo dengan tekanan suara. "Saya mengharapkan kedatangan Tuan pada hari Sabtu jam enam sore. Apabila Tuan tidak datang, saya terpaksa menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu kisah suram dalam rumah itu yang tidak berpenghuni selama dua puluh tahun terakhir ini" * "Saya akan hadir. Count, saya akan hadir!" kata Villefort cepat-cepat. "Terima kasih" jawab Monte Cristo. "Izinkan saya sekarang mohon diri. Saya bermaksud melihat sesuatu yang telah sering kali membuat saya memikirkannya berjamjam." "Apakah itu?" Telegram. Saya malu mengatakannya, tetapi begitulah," "Telegram?" Nyonya de Villefort mengulanginya "Benar, telegram. Sering sekali saya melihat tiang-tiang hitam menjulang di atas sebuah bukit atau di tepi-tepi jalan. Dan setiap kali saya melihatnya pikiran saya selalu teringat kepada tanda-tanda aneh yang berjalan di udara membawa pesan, dari seorang yang duduk di suatu ujung kepada oiang lain yang duduk di ujung yang lain. Dia selalu mengingatkan saya kepada jin dan bidadari atau mahlukmahluk halus lainnya Pendeknya kepada ilmu gaib, dan ini sangat menyenangkan. Kemudian saya mendengar bahwa operator-operatornya hanyalah seorang biasa dengan gaji seribu dua ratus frank setahun. Saya ingin sekali melihat dari dekat bagaimana dia mempermainkan peralatannya mengirimkan pesan-pesan kepada kawannya di seberang lain." "Kantor telegram mana yang akan Tuan kunjungi?" tanya Villefort. "Yang mana yang Tuan sarankan?" "Tentu yang tersibuk, saya kira" "Jalur dari Spanyol, bukan?" "Ya. Tetapi sebaiknya Tuan bergegas. Sebentar lagi hari akan gelap dan Tuan tidak akan dapat melihat apa-apa." "Terima masih," jawab Monte Cristo. "Saya akan men-ceriterakan kesan-kesan saya pada hari Sabtu nanti." Keesokan harinya Debray meninggalkan kantornya pergi ke rumah Danglars. "Apakah suamimu mempunyai saham-saham Spanyol?" tanyanya kepada Nyonya Danglars. 'Tasti. Seharga enam juta frank." "Dia harus segera menjualnya dengan harga apa pun." "Mengapa?" "Karena Don Carlos melarikan diri dari Bourges dan kembali ke Spanyol." "Bagaimana kau mengetahuinya?" "Dengan cara biasa aku mengetahuinya," kata Debray sambil mengangkat bahu. Barones tidak menunggu diberi tahu untuk kedua kalinya. Dia segera berlari kepada suaminya, yang pada gilirannya cepat-cepat pergi menemui penjual saham-sahamnya dan memerintahkan dia segera menjual saham Spanyol dengan harga apa saja yang dapat diperolehnya. Ketika masyarakat mengetahui bahwa Baron Danglars menjual sahamsahamnya, harga saham-saham Spanyol segera menurun dengan dahsyat. Danglars rugi lima ratus ribu frank, tetapi dia beruntung dapat menjual seluruhnya. Kalau tidak kerugiannya akan berlipat-lipat. Sore harinya dalam koran Le Messager terpampang sebuah berita yang berbunyi; Berita kawat yang resmL King Don Carlos berhasil melarikan diri dari tempat pengasingannya di Bourges dan telah kembali ke Spanyol melalui perbatasan Catalonia. Barcelona berontak mendukung kedatangannya. Semalam itu tiada lagi yang dibicarakan orang kecuali ketajaman hidung Danglars sehingga ia hanya merugi lima ratus ribu frank dalam bencana seperti itu. Mereka yang tidak mau menjual saham-saham Spanyolnya dan membelinya dari Danglars, menganggap dirinya sudah hancur dan tidak dapat tidur semalaman. ,Keesokan harinya dalam koran Le Moniteur terbaca lagi bent lain: Berita yang dimuat kemarin dalam harian Le Messager yang mengatakan bahwa Don Carlos melarikan diri dan pemberontakan di Barcelona, adalah tidak benar. King Don Carlos tidak meninggalkan Bourges dan peluruh Spanyol tetap tenang dan aman. Kekeliruan ini disebab kan oleh cuaca buruk yang mengangga kelancaran kan-toi kawat sehingga timbul salah pengertian. Harga saham-saham Spanyol naik lagi dua kali lipat. Danglars yang sudah rugi lima ratus ribu frank menggigit jari lagi, karena tidak dapat ikut beruntung dalam kenaikan BAB XXXV DILIHAT dari luar rumah Count of Monte Cristo di Auteuil tidak memberi kesan menyenangkan. Tidak ada sesuatu yang dapat menunjukkan rumah itu milik Count of Monte Cristo yang kaya raya. Kesederhanaan ini sesuai dengan keingiri&nnya. Dengan tandas ia memerintahkan pegawainya agar tidak mengadakan perubahan apa-apa di bagian luar. Baru#telah orang memasuki run^ah itu, akan kelihatan dan terasa keindahan dan kemewahannya. Bertuccio telah menunjukkan seleranya yang baik dan keterampilan yang luar biasa dalam merombak, mengisi dan mengatur rumah tersebut. Kalau tergantung kepada dia sendiri ia mau merombak juga kebunnya Hanya satu ruangan dalam rumah itu yang udaJrdijamah sedikit pun. Keadaannya tetap seperti sediakala. Yaitu, ruang tidur di lantai kedua yang mempunyai pintu tersendiri menuju ke kebun. Para pelayan yang lalu di muka kamar itu selalu diganggu perasaan ingin tahu. Lain dengan Bertuccio, ia selalu diganggu rasa takut, bahkan sekalisekali berdiri bulu tengkuknya. Tepat pada jam enam Kapten Maximilien Morrel datang menunggang kudanya bernama Medeah. Monte Cristo menyambutnya di ambang pintu muka dengan senyum yang ramah. "Mudah-mudahan saya datang paling dahulu/' kata Maximilien. "Saya ingin sekali berbicara berdua sebelum tamu-tamu lain datang." Tetapi tepat pada saat itu dua orang tamu berkuda dan sebuah kereta yang ditarik sepasang kuda yang berlepotan keringat datang. Lucien Debray segera turun dari kudanya, berjalan ke pintu kereta, membukanya lalu mengulurkan tangannya membantu Nyonya Danglars turun dari dalamnya. Ketika turun sambil berpegang kepada tangan Debray ia memberikan sebuah isarat yang halus sekali sehingga tidak mungkin tampak oleh orang lain, kecuali oleh Monte Cristo. Tak ada suatu gerakan mereka sekecil apa pun yang luput dari penglihatan Monte Cristo yang tajam. Ia pelihat sebuah kertas kecil berpindah tangan dari nyonya Danglars ke tangan Debray dengan kelancaran yang sempurna dan menunjukkan bahwa*perbuatan seperti ini telah riasa mereka lakukan. Baron Danglars turun sesudah istrinya. Wajahnya pucat seakan-akan baru keluar dari dalam kubur. Tanpa sadar Ja memetik-metik bunga sebuah pofeon jeruk. Duri-durinya menusuft jari-jari tangan Danglars. Ia terkejut, mengusap matanya seperti orang yang baru sadar dari mimpi. "Mayor Bartolomeo Cavalcanti dan Viscount Andrea Cavalcanti!" kata Baptistin memberitahukan kedatangan mereka Mayor Cavalcanti muncul dengan kemeja yang baru saja keluar dari pabrik, janggut yang baru dipangkas, kumis abu-abu dan sorot mata penuh keyakinan diri, berpakaian seragam mayor dengan dihiasi lima buah bintang kehormatan Di sebelahnya, putranya tercinta berpakaian serba baru dengan senyum lebar. Viscount Andrea Cavalcanti. Sambil berdiri bercakap-cakap. Mata Maximilien, Debray dan Chateau-Renaud berpindahpindah^ ari ayah ke anak. Tentu saja perhatiannya lebih tertarik kepada anaknya. "Cavakanti!" kata Debray. "Nama yang bagus" jawab Maximilien. "Benar,'' sambung Chateau-Renaud, "orang-orang Italia rata-rata mempunyai nama yang bagus, tetapi mereka tidak mempunyai selera berbusana." "Engkau memang orang yang sukar merasa puas," jawab Debray. "Lihat, bajunya bani sekali dan dibuat penjahit yang termashur." ^ "Itulah yang aku tidak sukai," kata Chateau Re naud Anak muda itu seperti baru sekali ini berpakaian baik seumur hidupnya." "Siapa mereka itu?" tanya Danglars kepada Monte Crista "Mayor Cavalcanti dengan putranya.' "Belum pernah saya dengar nama itu sebelumnya." "Tuan memang masih asing dengan bangsawan bangsawan Italia. Cavalcanti» adalah keturunan pangeran-pangeran." "Bagaimana dengan kekayaannya?" "Sangat banyak." "Apa yang mereka lakukan di sini?" "Mereka telah berusaha tanpa hasil membelanjakan seluruh kekayaannya. Mereka mau -mengambil kredit dari Tuan. Begitulah katanya ketika mereka datang kepada saya dua hari yang lalu. Saya mengundang mereka sekarang demi kepentingan Tuan terutama Saya akan perkenalkan Tuan kepada mereka." "Rupanya mereka dapat berbicara Perancis fasih sekali.^ "Putranya mendapat pendidikan di Perancis. Akan Tuan lihat nanti bahwa ia sangat tertarik kepada wanita-wanita Perancis. Hatinya telah tetap ingin mendapatkan seorang gadis Paris untuk istri." "Gagasan yang baik sekali !" kata Danglars menyindir. Nyonya Danglars memandang suaminya dengan sorot' mata yang biasanya diikuti dengan badai kemarahan. Tetapi sekali ini ia dapat menahan diri. "Tuan dan Nyonya de Villefort!" teriak Baptistin. Sekalipun telah berusaha ke" ras menguasai dirinya, namun Villefort masih jelas tampak gugup. Monte Cristo merasakan tangannya gemetar ketika mereka berjabatan. "Hanya wanita yang dapat menyembunyikan perasaannya," kata Monte Cristo dalam hatinya ketika dia melihat Nyonya Danglars tersenyum kepada Villefort dan memeluk istrinya. Monte Cristo melihat Bertuccio berdiri di ruang sebelah yang lebih kecil. Dia menghampirinya dan bertanya, "Ada yang kau perlukan, Bertuccio?" "Tuan belum mengatakan berapa kursi yang harus saya sediakan." vAh, benar juga. Tetapi kau dapat menghitungnya sendiri sekarang" . "Apakah semua tamu telah hadir, Tuan?" "Sudah." Bertuccio melihat tamu-tamu melalui pintu yang setengah terbuka. Mata Monte Cristo mengawasinya dengan cermat "Ya, Tuhan!" Bertuccio berteriak terkejut "Mengapa?" "Nyonya itu, Tuan." "Yang mana?" "Yang memakai baju putih dan perluasan yang banyak yang rambutnya pirang." "Nyonya Danglars?" \ "Saya tidak mengetahui namanya, tetapi dialah orangnya, Tuan. Dialah wanita yang di kebun, wanita yang hamil itu! Wanita yang menantikan kedatangan. . . " "Kedatangan siapa?" Tanpa berkata Bertuccio mengarahkan telunjuknya kepada Villefort. "Oh!Oh!" akhirnya dia dapat berkata lagi. "Apakah Tuan melihatnya?" "Apa? Siapa?" "Dia!" "Tuan de Villefort, Jaksa Penuntut Umum? Tentu saja aku lihat!" "Bukankah saya telah membunuhnya? Dia tidak mati?" "Tentu saja dia tidak. Engkau melihatnya sendiri. Engkau tidak berhasil menikamnya di antara rusuk keenam dan ketujuh di dada sebelah kiri sebagaimana lazimnya dilakukan orang-orang Corsica, tetapi mungkin sedikit di atasnya atau di bawahnya Sekarang tenangkan dirimu; Tuan dan Nyonya de Vilefort* dua; Tuan dan Nyonya Danglars, empat; tuan Chateau-Renaud, Tuan Debray, dan Tuan Morrel, tujuh,Mayor Cavalcanti, delapan." "Delapan," kata Bertuccio mengulang. "Nanti dulu, Berturicco, jangan cepat-cejpat pergi. Engkau mengabaikan seorang tamu lagi Lihat sedikit ke sebelah kiri sana, Tuan Andrea Cavalcanti, anak muda yang sedang menghadap ke sini." Sekali ini Bertuccio hampir saja berteriak, tetapi pandangan Monte Cristo yang tajam mencegahnya. "Benedetto!" katanya pelan-pelan. "Sudah setengah tujuh, Bertuccio," kata Count of Monte Cristo. "Aku telah meminta supaya hidangan disiapkan pada waktu ini. Engkau tahu aku tidak suka menunggu." Monte Cristo kembali ke ruangan tamu, dan Bertuccio kembali ke tempatnya dengan tersaruk-aamk. Sesekali ia berhenti dulu bersandar ke dinding mengumpulkan tenaga. Lima menit kemudian, pintu ruang itu terbuka lebar-lebar dan Bertuccio muncul lalu berteriak dengan menguatkan diri "Hidangan sudah siap!" Monte Cristo membimbing Nyonya de Villefort, "Tuan de Villefort," katanya, "sudikah Tuan menemani Nyonya Danglars?" Villefort menurut dan tamu-tamu lainnya masuk ke dalam ruang makan. - Hidangannya luar biasa. Tetapi Monte Cristo bermaksud iebih menggugah keheranan tamu-tamunya daripada selera makannya. Dia menjamu tamunya dengan cara Timur seperti dalam dongeng-dongeng Arab. Segala macam buah-buahan yang dapat didatangkan dari empat penjuru dunia memenuhi jambangan-jambangan Cina dan baki-baki buatan Jepang. Burung-burung yang langka dan jenis-jenis ikan tersusun rapi di atas-piringpiring perak. Sedangkan berbagai anggur dari berbagai negeri ditempatkan dalam wadahwadah yang indah yang dapat menambah selera. Kesemuanya ini dihidangkan di hadapan mata tamu-tamunya yang keheran-heranan. ''Sangat mengagumkan," kata Chateati-Renaud, "tetapi yang paling mengagumkan, Count, adalah kecepatan dilaksanakannya perintah-perintah Tuan. Tuan membeli rumah ini barangkali baru lima atau enam hari yang lalu, tetapi dalam waktu yang singkat sekali segala-galanya telah disulap. Rumah ini pernah tidak berpenghuni sekurang-kurangnya selama sepuluh tahun. Keadaannya menyedihkan sekali, pintu-pintu dan jendelajendelanya selalu tertutup' rumput di halaman tumbuh tinggi tidak terpelihara. Pendeknya, seandainya saja rumah ini bukan milik mertua seorang Jaksa Penuntut Umum, orang pasti akan menganggapnya sebagai rumah yang terkutuk karena di dalamnya pernah terjadi kejahatan yang terkutuk pula," Villefort yang selama ini tidak mau menjamah empat gelas anggur yang di hadapannya, ketika mendengar ini cepat-cepat mengambil sebuah dart meminumnya habis sekali teguk. Monte Cristo menunggu sebentar. Lalu, di tengah-tengah kediaman dia berkata, "Aneh'sekali, tetapi kesan ituiah yang ada pada saya ketika untuk pertama kalinya saya memasuki rumah ini. Ada sebuah kamar, sebuah kamar tidur biasa, yang dindingnya dilapisi kain dam as merah, yang entah apa sebabnya menimbulkan sesuatu perasaan yang menyeramkan. Karena kita telah selesai makan, barangkali Tuan-tuan dan Nyonyanyonya ingin melihatnya. Kita dapat menikmati kopi kita nanti di kebun." Dia memandang tamu-tamunya satu persatu seakan-akan bertanya. Nyonya de Villefort berdiri, dan yang lain-lainnya mengikutnya. Villefort dan Nyonya Danglars tetap duduk untuk sementara sambil saling berpandangan. "Kita harus ikut mereka," kata Villefort, sambil berdiri dan menawarkan bimbingannya. Tak ada yang aneh dalam kamar itu, kecuali bahwa sekalipun sudah malam kamar itu tidak diterangi dan berbeda dengan ruangan-ruangan yang lain, kamar ini tidak mengalami perubahan sedikit pun. Segala-galanya masih tetap seperti keadaan semula. Kotor dan tidak terpelihara. Tamu-tamu hampir semua sependapat dengan Monte Cristo bahwa kamar ini memang menyeramkan. "Lihat," kata Monte Cristo, "bagaimana anehnya letak tempat tidur itu dan betapa suramnya pelapis dinding yang berwarna darah itu. Perhatikan juga kedua potret yang telah menguning itu, bibirnya yang kebiru-biruan dan matanya yang seperti ketakutan, seakan-akan hendak berkata: Aku menyaksikan segalanya!* Dan ini b/mm semua." Monte Cristo berjalan Jtblh ke dalam lalu membuka sebuah pintu yajujragak tersembunyi. "Perhatikanlah tangga kecil ini, dan bagaimana pendapat Tuan-tuan. Dapatkah Tuan membayangkan seseorang turun dengan hati-hati dalam kegelapan malam, sambil membawa sesuatu yang ingin dia sembunyikan dari pandangan orang lain, kala tidak dari pandangan Tuhan?" Nyonya Danglars bergantung setengah pingsan di tangan de Villefort dan Villefort sendiri terpaksa bersandar kepada dinding. "Mengtpa, Nyonya?" tanya Debray terkejut. "Wajah Nyonya pucat sekali!" "Sederhana sekali," jawab Nyonya de Villefort, "Count of Monte Cristo sengaja menceriterakan sesuatu yang sangat menyeramkan agar kita semua mati ketakutan." ' "Apakah benar Nyonya ketakutan?" tanya Monte Cristo. 'Tidak," jawab Nyonya Danglars, "tetapi khayalan Tuan itu seakan-akan nyata." "Saya akui bahwa itu hanya permainan daya khayal saja," jawab Monte Cristo tersenyum. "Sebenarnya kita dapat dengan mudah mengkhayalkannya sebagai sebuah kamar tidur yang terhormat dari seorang ibu, ranjang ini sebagai saksi lahirnya seorang bayi, dan pintu dan tangga ini semata-mata dibuat agar dokter, perawat atau mungkin juga ayahnya sendiri dapat- mengambil bayi itu tanpa mengganggu tidur sang ibu." Sekarang, Nyonya Danglars benar-benar jatuh pingsan setelah dia memekik sebentar. "Nyonya Danglars sakit," kata Villefort. "sebaiknya beliau dibawa ke dalam keretanya." Dia tidak di bawa ke dalam keretanya, tetapi ke dalam kamar lain yang bersebelahan dengan kamar tidur,itu. Monte Cristo meneteskan cairan merah ke dalam mulutnya, dan Nyonya Danglars segera sadar kembali. Monte Cristo mencari Danglars, tetapi bankir ini yang tidak mempunyai minat mendengarkan khayalan-khayalan sudah berada di dalam kebun berbincang-bincang dengan Mayor Cavalcanti tentang proyek pembuatan jalan kereta api antara Livorno dan Florence. Monte Cristo membimbing Nyonya Danglars ke dalam kebun di mana mereka menemukan Danglars duduk minum kopi di antara Mayor Cavalcanti dan anaknya. "Benarkah saya telah menakutkan Nyonya?" tanya Monte Cristo. 'Tidak, Count. Seperti Tuan ketahui, segala sesuatu akan memberikan kesan kepada kita sesuai dengan rangka pikiran kita pada waktu itu." "Dan selanjutnya," kataViilefort dengan tawa terpaksa, "sebuah kecurigaan yang kecil saja sudah cukup untuk. . . " "Tuan boleh percaya atau tidak," kata Monte Cristo, "tetapi saya yakin bahwa dalam rumah ini sudah terjadi suatu kejahatan." "Harap Tuan hati-hati" kata Nyonya de Villefort. "Ada Jaksa Penuntut Umum di antara kita." "Benar," kata Monte Cristo, "dan saya akan memanfaatkan kehadirannya dengan membuat pernyataan ini di hadapan saksi-saksi." "Semua ini menarik sekali," kata Debray. "Kalau benar pernah terjadi suatu kejahatan dalam rumah ini, hal Ini akan merusak pencernaan makanan kita malam ini." "Di sini pernah terjadi suatu kejahatan," kat^ Monte Cristo dengan tegas, "Mari ikut saya, Tuan-^ terutama sekali Tuan, Tuan de Villefort. Agar pernyataan saya itu sah, harus saya lakukan di b^uapan yang berwenang." f Monte Cristo memegan.g Villefort dan Nyonya Danglars di tangannya masing-masing dan menarik mereka ke sebuah sudut yang gelap dalam kebun itu. Tamu-tamu yang lain mengikuti dari belakang. *TJi sini, tepat di tempat ini," kata Monte Cristo, meng* injak-nginjak tanah dengan ujung sepatunya, "dengan maksud menyuburkan kembali pepohonan yang telah tua-tua ini, saya menyuruh orang memasukkan kompos ke dalam tanah. Ketika mereka sedang menggali di sini, mereka menemukan sebuah peti kayu dan di dalamnya ada kerangka bayi yang baru dilahirkan. Saya harap Tuan-tuan tidak menganggap ceritera ini sebagai khayalan." Monte Cristo merasakan tangan Nyonya Danglars mer jadi kaku dan perulangan Villefort gemetar. "Bayi yang baru dilahirkan!" ulang Debray. "Kej*"' ^.dtan yang keji sekali!" "Apa hukuman untuk pembunuh ariak di s' Mayor Cavalcantt polos. "Dipenggal kepalanya," kata Danglars. "Benarkah begitu, Tuan de Villefo" i(1, i . Cristo. "Benar" jawab Villefort dengp hampir tidak menyerupai suara m' . Monte Cristo telah meluV ZT . Dia membawa tamu-tamunya menuju ke sebuah meja yang telah ditempatkan di tengah-tengah pekarangan. Villefort mendekati Nyonya Danglars dan berbisik kepadanya, "Kita harus bertemu besok." "Di mana?" "Di kantorku, tempat yang paling aman." "Aku akan datang." BAB XXXVI KETIKA malam telah larut Nyonya de Villefort menyatakan keinginannya untuk kembali ke Paris. Nyonya Danglars tidak berani mendahului pamit sekalipun hatinya sangat resah. Atas permintaan istrinya de Villefort memulai meminta diri kepada tuan rumah, dan yang lain segera menyusul. Ketika Andrea Cavalcanti hendak menaiki keretanya, sebuah tangan menepuk bahunya. Dia menoleh dengan sangkaan bahwa Danglars atau Monte Cristo hendak menyampaikan sesuatu. Tetapi bukan salah satu dari mereka yang d'.a Lihat di hadapannya sekarang Seraut wajah coklat karena bakaran sinar matahari dan berjanggut dengan sepasang mata yang berkilat-kilat dibarengi senyum menyindir. Senyuman yang memperlihatkan sebaris gigi putih, tajam-tajam bagaikan gigi anjing hutan. Mungkin karena ia segera mengenali wajah ini atau mungkin juga karena pemunculannya yang mendadak, Andrea terkejut mundur. "Mau apa engkau?" tanyanya. "Aku mau agar engkau tidak membiarkan aku terpaksa jalan kaki ke Paris. Aku sangat letih dan lapar, dan karena aku tidak makan sebaik yang engkau makan tadi di perjamuan, aku hampir-hampir tidak dapat berdiri. Aku mau agar engkau membawa aku ke kota dalam keretamu yang bagus ini" Wajah Andrea memucat tetapi ia tidak berkata "Itulah keinginanku," lanjut orang itu sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku bajunya seraya menatap Andrea penuh ancaman. ''Engkau dapat memahaminya, Benedetto?" Mendengar nama, ini disebut, Andrea mendekati saisnya lalu berkata, "Orang ini baru kembali dari tugas yang aku berikan kepadanya dan akan memberikan laporan. Engkau pergi sendiri dan sewalah sebuah kereta." Sais memandang keheranan tetapi tidak membantah. "Baik, masuk!" kata Andrea kepada orang yang mendesak itu. Sampai melampaui rumah yang terakhir dalam lingkungan itu ia berdiam tanpa berkata sedangkan kawannya duduk di sebelahnya sambil tersenyum simpul tetapi juga tidak berkata-kata. Setelah keluar dari daerah Auteuil, Andrea melihat ke sekeliling untuk meyakinkan bahwa tak ada orang yang akan dapat melihat atau mendengar mereka. Ia menghentikan kudanya laki berpaling kepada orang di-sebelahnya. "Mengapa engkau datang mengganggu?" "Dan engkau, anak muda, mengapa engkau tidak mempercayai aku?" "Apa sebab engkau berpikir aku tidak mempercayaimu?" "Karena ketika kita akan berpisah di Pont du Var engkau mengatakan akan pergi ke Piedmont dan Tuscany. Kenyataannya engkau pergi ke Paris." "Apa salahnya?" "Tak ada salahnya. Bahkan aku berpikir mungkin baik buatku.""Aha! Engkau bermaksud memeras?" "Ucapanmu itu kasar sekali!" "Engkau keliru, Tuan Caderousse. Awas, aku peringatkan' "Jangan suka marah kepada kawan lamamu ini, anak muda. Engkau bertanggung jawab untuk tuntutanku sekarang kepadamu." Jawaban Caderouse membuat amarah Andrea menurun. Dia menjalankan lagi keretanya. "Apakah salahku kalau aku beruntung sedangkan engkau tidak?" "Artinya nasibmu telah baik sekarang. Kereta ini bukan sewaan, dan bajumu pun bukan baju sewaan? Bukan main! Aku tahu hatimu baik. Kalau engkau mempunyai dua buah mantel aku yakin engkau akan memberikan satu kepadaku. Dahulu biasa aku memberimu sebagian dari makananku bila engkau lapar." "Benar," jawab Andrea. "Nafsu makanmu dahulu baik sekali,"' kata Caderousse. "Apakah sekarang masih sebaik dahulu?" "Tentu " jawab Andrea tertawa. "Pasti hidangan di rumah pangeran itu lezat sekali." "Dia bukan pangeran, hanya seorang count." "Kaya?" "Kaya sekali, tetapi jangan engkau berpikir yang bukan-bukan tentang dia. Dia bukan orang yang gampang dipermainkan." "Jangan khawatir, aku tidak mempunyai niat apa-apa terhadapnya. Engkau boleh menanganinya sendiri. Tetapi," tambah Caderousse dengan senyum yang tidak menyenangkan, "tidak berarti bahwa engkau boleh melakukannya dengan cuma-cuma. Engkau mengerti bukan?" "Berapa yang engkau butuhkan?" "Aku rasa, seratus frank sebulan sudah cukup, tetapi "Tetapi apa?" "Tetapi itu hanya pas-pasan saja. Dengan seratus lima puluh sebulan aku akan merasa bahagia." "Ini dua ratus frank," kata Andrea sambil menyerahkan uang. "Terima kasih " jawab Caderousse. "Datanglah tanggal satu setiap bulan. Selama aku menerima tunjanganku, engkau pun akan menerima tunjangan dariku." "Aku tidak keliru," kata Caderousse lagi. "Memang engkau anak yang baik dan alangkah bagusnya apabila nasib baik selalu menimpa orang-orang seperti engkau. Sekarang, ceriterakanlah tentang keberuntunganmu itu." "Buat apa mengetahuinya?" "Rupanya engkau masih tidak percaya." "Bukan begitu . . . Aku bertemu dengan ayahku." "Ayah kandungmu?" "Tak jadi soal apakah dia ayah kandung atau bukan selama dia mau memberiku uang." "Siapa nama ayahmu itu?" "Mayor Cavalcanti." "Apakah dia -merasa puas dengan pertemuan antara ayah dan anak ini?" "Sampai sejauh ini tampaknya dia merasa puas." "Siapa yang mempertemukan kalian?" "Count of Monte Crist o." "Yang menjamumu malam ini?" "Ya." "Dengar, mengapa engkau tidak berusaha agar dia mau menyewaku sebagai kakekmu, karena tampaknya dia bcr usaha dalam bidang menghubung-hubungkan kekeluargaan?" "Saya akan membicarakannya nanti dengan dia. Sementara ini, apa rencanamu?" *Terima kasih untuk perhatianmu itu," jawab Caderousse. "Karena engkau pun menaruh banyak perhatian terhadap diriku," kata Andrea, "rasanya aku pun mempunyai hak untuk memperoleh beberapa keterangan tentang dm mu." "Benar juga katamu. Baik. Aku akan menyewa sebuah kamar di rumah yang terhormat, membeli beberapa helai pakaian yang pantas, mencukur kumis dan janggut setiap liari, lalu membaca koran di salah satu kedai minuman. Malam hari menonton teater. Aku akan hidup seperti seorang pensiunan pembuat roti sesuai dengan idamanku sejak dahulu." "Baik sekali. Bila engkau dapat menjalankan rencanamu itu dan berkelakuan baik, segala-galanya akan berjalan dengan lancar. Sekarang karena engkau telah mendapatkan apa yang engkau inginkan silakan turun dan menghilanglah!" 'Tidak, kawan." "Mengapa tidak?" "Karena pakaianku compang-camping. Aku sama sekali tidak mempunyai surat keterangan dan aku mempunyai dua ratus frank dalam saku baju. Aku pasti ditangkap di batas kota. Untuk membebaskanku dari segala tuduhan aku akan terpaksa mengatakan bahwa uang itu aku terima sebagai pemberian damn u dan ini akan mengakibatkan penyelidikan lebih lanjut Akhirnya tentu mereka akan mengetahui bahwa aku meninggalkan penjara Toulon tanpa pamit. Lalu mereka pasti akan mengembalikan aku ke sana dan . . . berakhirlah impianku untuk hidup sebagai pensiun an pembuat roti. Tidak, kawan, aku lebih senang untuk menetap dengan terhormat di Paris." Andrea mengerenyitkan dahinya lalu menghentikan kudanya. Sambil melihat ke sekelilingnya tangannya bergerak menelusur saku jasnya, sampai menyentuh pelatuk sebuah pistol kecil di dalamnya. Dalam pada itu, Caderousse yang tidak pernah melepaskan kewaspadaannya, menggerakkan pula tangan kanannya ke pinggangnya, dengan hati-hati mengambil sebilah pisau Spanyol yang selalu dia bawa untuk menjaga segala kemungkinan. Kedua orang itu saling memahami gerakan masing-masing. Andrea segera memindahkan tangannya ke kumisnya yang merah, lalu mengelus-elusnya untuk beberapa saat. "Baik," akhirnya dia berkata, "kita akan pergi ke Paris bersama-sama. Tetapi bagaimana engkau dapat melampaui perbatasan tanpa mencurigakan. Dengan pakaianmu seperti itu, aku pikir engkau akan lebih aman berjalan kaki daripada berada dalam keretaku." "Tunggu," kata Caderousse, "begini." Dia mengambil topi Andrea dan memakainya lalu mengenakan mantel sais yang tertinggal. "Bagaimana dengan kepalaku?" tanya Andrea. "Angin sangat kencang malam ini sehingga dengan mudah dapat menerbangkan topimu." Mereka dapat melalui perbatasan tanpa kesulitan. Andrea menghentikan keretanya di pinggir jalan tidak jauh dari perbatasan, lalu Caderousse meloncat turun. "Kembalikan topiku dan mantel saisku itu." "Apakah engkau mengharapkan aku sakit kedinginan7" Sampai bertemu lagi, Benedetto...jawab Caderousse "Lalu dia menghilang dalam kegelapan malam. Andrea mengeluh, Rupanya tidak mungkin orang mendapat kesenangan yang sempurna dalam dunia ini." BAB XXXVH DALAM perjalanan pulang dari rumah Montc Cristo di Auteuil, Debray tiba di muka pintu rumah keluarga Dang-iars beberapa saat setelah Nyonya, Danglars datang. Seperti layaknya seorang yang sudah mengenal betul keadaan rumah itu ia segera memasuki pekarangan lalu menyerahkan kudanya kepada seorang pelayan dan dia menyodorkan tangan untuk membantu Nyonya Danglars turun dari keretanya. Di muka pintu kamar tidurnya mereka bertemu dengan Cornelie, pelayan kepercayaan Nyonya Danglars. "Apa kerja anakku selama kutinggalkan?" tanya Nyonya Danglars. "Belajar dan sekarang telah tidur." Tetapi aku mendengar suara piano?" "Nona d'Armilly. Dia bermain untuk nona Eugenie." "Oh," kata Nyonya Danglars. "Tolong bantu aku mengganti pakaian." Mereka memasuki kamar tidur. Debray merebahkan diri di atas kursi panjang. "Tuan Lucien," teriak Nyonya Danglars dari kamarnya, "benarkah Eugenie selama ini tidak mau berbicara dengan Tuan?" "Aku bukan satu-satunya orang yang mengeluh tentang itu," jawab Debray sambil bermain-main dengan anjing kecil yang tampaknya sudah mengenal betul tamu keluarga ini. Ya, aku tahu. Tetapi aku kira ia akan segera berubah dalam beberapa hari ini dan aku yakin dia akan datang ke kantormu." "Mengapa?" "Untuk meminta diantar menonton opera! Aku tidak pernah melihat orang yang begitu tergila-gila kepada musik. Rasanya agak aneh bagi gadis muda sebaya dia!" Debray tersenyum dan menjawab, "Suruhlah dia datang dengan seijin orang tuanya dan kami akan mengusahakan karcis baginya sekalipun sebenarnya kami tidak mempunyai uang berkelebihan untuk membelikan karcis bagi gadis berbakat seperti dia!" "Kurasa aku tidak memerlukanmu lagi, Cornelie " kata Nyonya Danglats. Cornelie keluar. Beberapa saat kemudian Nyonya Danglars pun keluar dari kamarnya dalam pakaian tidur yang bagus sekali, kemudian duduk di sebelan Debray. Dia mengusap-ngusap anjing kecilnya, sedangkan pikirannya entah di mana. Debray memperhatikannya tanpa mengucapkan kata sepatah pun untuk beberapa saat. Akhirnya dia berkata, "Jawablah terus terang, Hermine. Kukira ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Benar?** "Tidak. Tak ada apa-apa." Nyonya Danglars berdiri» menarik napas panjang-panjang kemudian memperhatikan dirinya dalam cermin di tembok. "Rupaku kusut sekali malam ini," katanya. Debray sudah akan berdiri juga ketika tiba-tiba pintu terbuka dan Baron Danglars masuk ruangan. Nyonya Danglars membalikkan badannya lalu melihat kepada suaminya tanpa usaha menyembunyikan kekagetannya. "Selamat malam, Nyonya," kata Danglars. 'Selamat malam Tuan Debray." Nyonya Danglars mengira bahwa kedatangan suaminya yang tiba-tiba ini untuk menyesali kata-kata dan sikapnya yang kusut sehari itu. Dengan tidak mengacuhkan suaminya, Nyonya Danglars berkata kepada Debray, Tolong bacakan sesuatu bagiku, Tuan Debray." Debray yang merasa kikuk karena kedatangan yang tiba-tiba itu, kini menjadi tenang kembali setelah dia melihat Nyonya Danglars pun tetap tenang. Dia bergerak hendak mengambil sebuah buku. "Maaf, Nyonya," kata Danglars, "engkau akan letih sekali kalau tetap jaga sampai larut sekali dan harap diingat bahwa Tuan Debray tinggal jauh sekali dari sini." Debray bagaikan mendengar geledek. Tidak karena nada suara baron yang tenang sekali atau karena kata-katanya yang sopan berlebihan, tetapi di balik ketenangan dan kesopanannya itu ia dapat merasakan sesuatu yang tidak biasa ada pada Danglars. Yaitu keteguhan hatinya untuk sekali ini tidak menurut kepada keinginan istrinya. Nyonya Danglars pun terkejut. Keterkejutannya itu tergambarkan pada sorot matanya. Kalau saja Danglars melihat sorot mata ini pasti ia akan merubah sikapnya lagi. Tetapi kebetulan sekali ketika itu perhatiannya sudah ditujukan kepada berita-berita keuangan dalam surat kabar. Pandangan Nyonya Danglars yang keras itu tidak berpengaruh apaapa. 'Tuan Debray," kata Nyonya Danglars, "saya ingin meyakinkan Tuan bahwa saya sama sekali tidak mengantuk dan saya ingin membicarakan banyak hal dengan Tuan pada malam ini. Saya harap Tuan mau mendengarkannya sekali pun Tuan terpaksa tertidur sambil berdiri." "Saya siap, Nyonya," jawab Debray dengan tenang dan dingin, "Tuan Debray yang baik," kata Danglars menyela, "saya harap Tuan jangan memaksakan diri mendengarkan kedunguan istri saya malam ini. Tuan dapat menangguhkannya sampai esok hari. Malam ini biarlah saya yang menga-waninya karena saya mempunyai banyak hal yang penting yang ingin saya bicarakan dengan dia." Sekali ini pukulan Danglars langsung sekali sehingga keduanya, baik Nyonya Danglars maupun Debray sangat terkejut tanpa berkata sepatah pun. Mereka saling berpandangan seakan-akan masing:masing mengharapkan bantuan dari yang lainnya untuk menangkis serangan Danglars ini. Namun kepala keluarga ini tetap unggul. "Jangan Tuan berpikir saya mengusir Tuan," kata Danglars selanjutnya. "Soalnya, kebetulan sekali beberapa hal yang tidak diduga menyebabkan saya perlu sekali berbicara dengan istri saya malam ini Keinginan saya ini jarang sekali terjadi, sehingga saya yakin Tuan tidak akan berkeberatan/* Debray mengucapkan beberapa kata dengan terbata-bata, membungkuk lalu pergi meninggalkan mereka. "Tak masuk akal," katanya sendiri, 'bagaimana suami yang tampaknya sangat dungu itu masih dapat menunjukkan kekuasaannya dengan mudahi" Setelah Debray pergi, Danglars mengambil tempat di atas kursi panjang. Ia menutup buku yang ditinggalkan terbuka lalu dengan sikap acuh tak acuh bermain-main dahulu dengan anjing. Tetapi anjing itu tidak seramah seperti kepada Debray, bahkan ia mencoba menggigitnya. Danglars mengangkatnya pada tengkuknya lalu melemparkannya ke kursi yang lain. Anjing yang terperanjat dan ketakutan itu menciutkan badannya bersembunyi di balik bantal. "Ada kemajuan sekarang," kata Nyonya Danglars menyindir. Biasanya engkau hanya kasar, malam ini sudah meningkat tidak sopan." "Sebabnya karena perasaan hatiku sedang tidak enak." Nyonya Danglars menatap suaminya dengan pandangan menghinakan. Biasanya Danglars yang angkuh itu menjadi lunak apabila ia menerima sorot mata seperti itu, tetapi sekali ini ia seakan-akan tidak memperhatikannya. "Apa urusanku dengan perasaanmu itu?" tanya Nyonya Danglars tersinggung oleh sikap suaminya yang acuh tak acuh. "Bawalah perasaanmu itu ke kamar tidurmu atau ke kantormu, dan karena engkau mempunyai pegawai-pegawai, muntahkanlah kepada mereka." "Nasihat buruk yang tidak akan kuturuti," jawab Danglars. "Pegawai-pegawaiku semuanya orang jujur yang bekerja demi keuntunganku dan yang telah aku bayar di bawah semestinya dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan yang mereka hasilkan bagiku. Tidak, aku tidak akan melampiaskan amarahku kepada mereka. Aku akan memuntahkannya kepada mereka yang memakan makananku, menggunakan kudakudaku dan menghancurkan keuntungan-keuntunganku." "Dan siapakah orang-orang ini? Katakan dengan jelas." "Engkau telah cukup mengetahuinya, tetapi bila engkau bersikeras menyangkalnya baiklah aku jelaskan bahwa aku baru saja merugi sebanyak tujuh ratus ribu frank dalam saham-saham Spanyol." "Salahkukah kalau engkau merugi tujuh ratus ribu frank?" "Yang jelas bukan salahku." "Sekali lagi dan untuk terakhir kalinya," kata Nyonya Danglars dengan keras dan tajam, "aku minta jangan engkau membicarakan lagi soal keuangan dengan aku, karena itu adalah bahasa yang tidak pernah dipelajarkan baik oleh orang tuaku maupun oleh suamiku yang pertama." "Aku yakin mereka tidak mempelajarkannya, karena mereka orang-orang miskin. Sekalipun demikian aku kira engkau mempunyai perhatian terhadap kegiatan keuanganku." "Apa yang membuat engkau berpikir begitu?" "Oh, tidak sukar menjelaskannya. Contohnya, bulan Februari yang lalu engkau membicarakan tentang saham-saham Haiti. Engkau mengatakan bahwa engkau bermimpi, ada sebuah kapal yang berlayar menuju Le Harve membawa berita bahwa pembayaran-pembayaran untuk saham itu yang diperkirakan orang akan ditangguhkan, akan dibayar segera sepenuhnya. Aku percaya kepada mimpimu itu. Karena itu secara diam-diam aku membeli semua saham Haiti yang dapat kuperoleh dan aku beruntung sebanyak empat ratus ribu frank. Dari keuntungan itu engkau menerima seratus ribu frank. Apa yang kaulakukan dengan uang itu, bukan urusan ku. "Dalam bulan Maret, pemerintah akan menentukan pilihan siapa yang berhak mengelola sebuah jaringan kereta api. Ada tiga buah perusahaan yang dicalonkan, ketiganya memberikan jaminan yang sama kepada pemerintah. Engkau mengatakan kepadaku bahwa nalurimu memberitahukan hak itu akan diberikan kepada perusahaan yang bernama Societe du Midi, dan sekalipun engkau mengatakan tidak mempunyai perhatian kepada dunia usaha, aku mempercayai nalurimu yang memang sudah kuketahui sangat tajam dalam hal-hal lain. Karena itu aku membeli dua pertiga dari seluruh saham perusahaan itu. Hak itu diberikan pemerintah sesuai dengan bisikan nalurimu sehingga nilai sahamnya meningkat menjadi lipat tiga. Aku beruntung sebanyak satu juta, dan engkau kuberi sebanyak dua ratus ribu lima ratus sebagai komisi. Bagaimana engkau menggunakan uang itu?" 'Apa pokok soalnya?" kata Nyonya Danglars. Suaranya bergetar karena marah dan tidak sabar. "Sabar sebentar. Aku hampir selesai. Bulan April engkau makan malam di rumah kediaman menteri. Di sana diam-diam engkau dapat mendengar pembicaraan rahasia tentang pengusiran Don Carlos, raja Spanyol. Aku membeli semua saham Spanyol, dan pengusiran itu terjadi. Aku beruntung lagi enam ratus ribu frank. Engkau menerima dariku seratus lima puluh ribu yang engkau belanjakan menurut seleramu. Aku tidak akan meminta pertanggunganjawab tentang penggunaan uang itu, tetapi yang hendak kukatakan adalah fakta bahwa engkau telah menerima setengah juta frank dalam tahun ini "Tetapi sekarang, keadaan sudah tidak selancar yang lalu. Tiga hari yang lewat engkau berbicara soal politik dengan Tuan Debray dan engkau menarik kesimpulan dari pembicaraan itu bahwa Don Carlos akan kembali ke Spanyol. Aku menjual semua saham Spanyol. Berita kembalinya Don Carlos tersebar dan terjadilah kepanikan. Aku sudah bukan menjualnya lagi, melainkan membagikannya dengan cuma-cuma. Keesokan harinya ternyata bahwa berita itu palsu, dan itu menyebabkan aku merugi tujuh ratus ribu frank.? "Oleh karena aku selalu memberimu seperempat bagian dari keuntungan yang kudapat, sepatutnya engkau pun turut menanggung seperempat dan kerugianku. Seperempat dari tujuh ratus ribu frank adalah seratus tujuh puluh lima ribu frank." "Engkau mengigau. Dan aku tidak melihat apa hubungannya Tuan Debray dengan kejadian ini" "Kalau kebetulan engkau tidak mempunyai lagi uang yang seratus tujuhpuluh lima ribu itu, engkau dapat meminjamnya kepada kawan-kawanmu, dan Tuan Debray adalah salah seorang dari kawan-kawanmu." "Ini sudah keterlaluan!" teriak Nyonya Danglars marah. "Jangan kalap, nanti aku terpaksa mengatakan bahwa Tuan Debray berpesta p ora di atas tumpukan setengah juta frank yang engkau berikan kepadanya sambil berpikir bahwa ia telah berhasil menemukan sesuatu yang tidak akan mungkin ditemukan oleh seorang penjudi kawakan sekalipun, yaitu sebuah permainan tanpa modal yang tidak mengenal kalah." "Apa kau berani mengatakan bahwa engkau sendiri tidak mengenal permainan semacam itu?" "Aku tidak akan mengatakan ya dan juga tidak akan mengatakan tidak. Aku hanya akan mengatakan: perhatikanlah sikapku selama empat tahun terakhir ini setelah kita bersikap tidak lagi sebagai suami isteri, dan engkau akan menemukan bahwa sikapku tidak pernah berubah. Beberapa saat setelah perpecahan engkau memutuskan belajar musik pada penyanyi bariton tersohor itu yang telah membuat debutnya di gedung Teater Italia. Dan aku sendiri, memutuskan belajar dansa pada penari yang telah berhasil mentenarkan dirinya di London. Untuk itu aku harus membayar seratus ribu frank untuk kita berdua, tetapi aku tidak berkata apa-apa karena aku berpendapat keserasian sangat penting dalam suatu rumah tangga, dan seratus ribu itu bukan jumlah yang terlampau banyak untuk seorang suami dan isterinya untuk belajar dansa dan bernyanyi dengan baik. Segera engkau merasa jemu dengan menyanyi lalu memutuskan belajar diplomasi kepada Sekertaris Menteri itu. Aku membiarkan kehendakmu, lagi pula apa peduliku selama engkau membiayai pelajaranmu dengan uangmu sendiri. Tetapi sekarang aku sadari bahwa engkau sudah mulai menggerogoti keuanganku dan aku harus membayar kesukaanmu itu tujuh ratus ribu frank sebulan. Sudah saatnya sekarang aku menghentikannya kecuali kalau diplomat itu mau memberimu pelajaran secara cuma-cuma. Kalau tidak» tidak akan aku biakan dia menginjakkan kakinya lagi di lumah ini. Kau mengerti?" "Ifti sudah keterlaluan!" Nyonya Danglars berteriak sekali lagi. Napasnya tersendatsendat karena marah. "Engkau telah melampaui batas kesopanan!" Danglars mengangkat bahunya. "Orang-orang aneh," katanya, "itu perempuanperempuan yang menganggap, dirinya pintar karena dapat melangsungkan petualanganpetualangan cintanya tanpa menjadi buah bibir masyarakat Paris. Tetapi» sekalipun engkau berhasil menyembunyikan dosa-dosa kecil itu terhadapku - yang sebenarnya bukan sesuatu yang sukar karena pada umumnya aku tidak mau melihat hal-hal seperti itu - namun sebenarnya engkau tidak sepandai seperti kawan-kawanmu sendiri. Tidak satu pun kelakuanmu terlepas dari pengetahuanku selama enam belas tahun ini padahal selama itu engkau merasa bangga karena mengira berhasil mengelabui aku.. Sebagai akibat dari sikapku yang pura-pura tidak tahu itu, tidak seorang pun dari kekasih kekasihmu itu, mulai dari Tuan Debray sampai kepada Tuan de Villefort, yang tidak gemetar bila berhadapan dengan aku. Aku membiarkan engkau berkelakuan yang menjijikkan, tetapi aku tidak akan membiarkan engkau membuat aku menjadi cemoohan orang. Dan di atas segala-galanya aku tidak akan membiarkan engkau menghancurkan kekayaanku." Sebelum suaminya menyebut nama de Villefort, Nyonya Danglars masih kuat mempertahankan kepercayaan kepada dirinya sendin tetapi setelah itu, mukanya menjadi pucat lalu meloncat sambil berteriak, "Tuan de Villefort? Apa maksudmu?" Dengan pertanyaan itu seakan-akan ia ingin mengorek semua pengetahuan suaminya tentang rahasianya. "Maksudku, bahwa suamimu yang pertama yang mungkin sekali merasa tidak akan mampu melawan Jaksa Penuntut Umum, meninggal karena sedih dan marah ketikamendapatkanmu hamil enam bulan, padahal ia baru kembali dari bepergian selama sembilan bulan. Mengapa dia mati dan bukannya membunuh kekasih isterinya? Karena dia tidak mempunyai kekayaan untuk diselamatkannya. Lain dengan aku. Aku mempunyai kekayaan yang harus kupikirkan. Dan Tuan Debray, kawan kita itu, telah membuat aku merugi sebanyak tujuh ratus ribu frank. Suruh dia mendengar pernyataanku ini dan membayar bahagian kerugiannya. Dengan demikian kita akan tetap berkawan. Kalau tidak, enyahlah dia dari sini. Ia seorang muda yang baik, selama berita-berita rahasianya mengandung kebenaran. Bila tidak, sekurang-kurangnya masih ada lima puluh orang lagi di dunia ini yang lebih berharga daripada dia." Nyonya Danglars terpukul, dia tidak, dapat berkata apa-apa lagi. Dia terhenyak ke atas sebuah kursi. Pikirannya melayang kepada Villefort dan kejadian-kejadian di rumah Monte Cristo dan kepada rangkaian musibah yang datang bertubi-tubi dalam beberapa hari ini. Damdars tidak mengacuhkannya sekalipun ia melihat.Tanpa sepatah kata pun, sedangkan istnnya^ Sadar dari keadaan setengah meyakin-yakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya itu hanya mimpi buruk belaka. BAB xxxvm KEESOKAN harinya, pada saat Debray biasanya singgah sebentar di rumah Nyonya Danglars dalam perjalanannya ke kantor, keretanya tidak muncul. Karena itu Nyonya Danglars memesan keretanya sendiri, lalu berangkat Danglars yang bersembunyi di balik tirai jendela, mengawasi kepergian istrinya suatu hal yang memang sudah diperkirakannya. Dia memerintahkan pelayan-pelayannya untuk segera diberitahu apabila istrinya kembali. Tetapi sampai jam dua siang istrinya masih belum pulang. Pada jam dua Baron Danglars pergi ke gedung Parlemen. Sepulangnya dari Parlemen ia terus ke Champs Elysee no. 30. "Ada apa, Baron?" tanya Monte Cristo ketika ia menemuinya. 'Tampaknya Tuan dalam kesukaran, dan ini merisaukan saya. Seorang kapitalis yang risau sama dengan sebuah bintang berekor. Ia memberikan pertanda akan datangnya suatu malapetaka." "Saya memang sedang dirundung malang dalam hari-hari ini Tidak ada berita-berita yang saya dengar kecuali berita buruk. Yang terakhir adalah kebangkrutan di Trieste.** "Apa tuan berbicara tentang Jacopo Manfredi?" "Tepat sekali! Coba Tuan bayangkan: seorang yang telah bekerja sama dengan saya untuk entah sudah berapa lama, yang tidak pernah salah, tidak pernah menunggak, yang membayar kewajibannya sebagai seorang pangeran. Sekarang saya mempunyai tagihan kepadanya sebanyak satu juta frank. Dan tiba-tiba saja Jacopo Manfredi menangguhkan pembayarannya! Digabungkan dengan kejadian di Spanyol, bulan ini merupakan bulan malapetaka bagi saya." "Apakah Tuan merugi pula di Spanyol?" "Ya. Tujuh ratus ribu frank . . . Berbicara tentang usaha," tambah Danglars yang merasa senang mendapat jalan untuk mengalihkan persoalan, "barangkah Tuan sudi memberi saran apa yang harus saya lakukan untuk Tuan C aval cantl" "Berilah dia kredit apabila Tuan mempercayainya.** "Saya kira dia dapat dipercaya. Dia telah menemui saya tadi pagi dan saya memberinya kredit lima ribu frank setiap bulan untuk putranya." "Enam puluh ribu frank setahun!" kata Monte Cristo. "Apa yang dia kehendaki dari anak muda dengan uang belanja sebanyak itu?" 'Kalau anak itu memerlukan lagi beberapa ribu sebagai tambahan..." "Jangan Tuan berikan. Ayahnya tidak akan menyetujuinya. Mungkin Tuan belum mengetahui bagaimana sifat jutawan-jutawan Italia. Mereka semua pelit." "Maksudnya,Tuan tidakmempercayai Tuan Cavalcanti?" "Tentu saja saya mempercayainya! Dengan senang hati saya akan bersedia meminjamkan sepuluh juta kepadanya. Kekayaannya tidak perlu diragukan." "Betulkah orang-orang Italia yang kaya itu selalu menikah dengan kalangannya sendiri saja?" Danglars bertanya tanpa ragu. "Saya kira dengan maksud menggabungkan kekayaannya." "Memang benar demikian. Tetapi Cavalcanti seorang yang eksentrik. Ia tidak mau melakukan apa yang dilakukan orang lain. Saya yakin ia membawa putranya ke sini supaya dapat memperistri seorang wanita Paris." "Begitu?" "Saya yakin." "Apakah Tuan mengetahui tentang kekayaannya?" "Boleh dikatakan saya tidak mengenalnya. Vang saya ketahui hanyalah apa yang dia katakan sendiri dan apa yang dikatakan Padri Busoni kepada saya. Baru tadi pagi Padri Busoni memberitahukan bahwa Cavalcanti sudah merasa jemu melihat kekayaannya mati tertanam di Italia, dan dia ingin mendapatkan suatu jalan untuk menanamnya di Perancis atau Inggris. Apabila putranya memkah, mungkin sekali ia akan memberinya dua sampai tiga juta frank. Seandainya putranya itu menikah dengan putri seorang bankir, umpamanya, ia berharap boleh menanam modalnya dalam perusahaan besannya." "Mungkin saja, tetapi tentu dia ingin mendapatkan seorang putri ningrat sebagai menantu." "Tidak perlu. Bangsawan bangsawan Italia sering sekali menikah dengan keturunan orang biasa. Tetapi apa sebab Tuan mempunyai perhatian kepada soal ini? Apakah Tuan mempunyai calon untuk Andrea?" "Terus terang," kata Danglars, "saya ini seorang spekulator, dan saya rasa menawarkan calon istri bagi Andrea bukanlah suatu spekulasi yang buruk." "Tuan tentu tidak berpikir menawarkan putri Tuan sendiri, bukan? Lagipula bukankah dia sudah dipertunangkan dengan Albert de Morcerf?" '*Bahwa saya dengan Tuan de Morcerf telah berkali kali memperbincangkan perkawinan mereka, itu benar, tetapi Nyonya de Morcerf dan Albert. . "Apakah Tuan bermaksud mengatakan bahwa mereka tidak sebanding? Mungkin sekali Albert tidak sekaya putri Tuan, tetapi Tuan tidak akan dapat menyangkal bahwa ia mempunyai nama yang terhormat." "Itu tidak saya sangsikan, tetapi saya lebih menyukai nama sendiri," jawab Danglars. "Saya tidak dilahirkan sebagai seorang baron, namun setidak-tidaknya Danglars adalah nama saya yang asli" "Rupanya Tuan mau mengatakan bahwa nama asli Count de Morcerf bukan Morcerf?" "Begitulah. Saya diangkat menjadi baron, dengan demikian saya benar-benar seorang baron. Tetapi dia mengangkat dirinya sendiri menjadi count, dengan demikian dia bukan count yang sebenarnya." **Tak mungkin t** "Begini, Count," sambung Danglars. "Saya mengenal Tuan Morcerf sejak tiga puluh tahun yang lalu. Seperti tuan ketahui, saya tidak merahasiakan asal-usul saya. Ketika saya masih seorang pegawai yang sederhana, Morcerf pun seorang nelayan yang sederhana." "Siapa namanya ketika itu?" "Fernand Mondego." "Yakinkah Tuan?" "Dia sering menjual ikan tangkapannya kepada saya sehingga saya mengenalnya dengan betul." "Kalau begitu mengapa Tuan hendak mengawinkan putri Tuan dengan anaknya?" "Oleh karena Fernand dan Danglars keduanya berasal dari keluarga sederhana, keduanya berhasil meraih gelar bangsawan dan keduanya telah menjadi kaya. Oleh sebab itu yang satu sama baiknya dengan yang lain, kecuali tentang cerita orang mengenai dia, yang tidak dapat diterapkan kepada saya." "Apa maksud Tuan?" "Tidak apa-apa." "Sebentar, saya faham sekarang. Apa yang baru saja Tuan katakan menyegarkan kembali ingatan saya. Saya mendengar nama Fernand Mondego di Yunani." "Dalam hubungan dengan peristiwa Ali Pasha?" "Tepat sekali," "Itulah rahasianya yang terbesar," kata Danglars, "dan saya akui bahwa saya bersedia mengeluarkan berapa pun biaya untuk mengetahui rahasia itu." "Sebenarnya tidak akan sukar Tuan bila Tuan benar-benar ingin mengetahuinya. Bukankah Tuan mempunyai relasi di Yunani?" 'Tentu saja." "DiYanina?" "Saya mempunyai relasi di mana-mana." "Baiklah. Mengapa tidak menyurati relasi Tuan di Yani-na, menanyakan peranan apa yang dimainkan seorang Pe-rancis yang bernama Fernand Mondego dalam peristiwa Ali Pasha itu?" "Tuan benar sekali!" kata Danglars gembira. Lalu dia berdiri. "Saya akan menyuratinya hari ini juga!" "Dan apabila Tuan mendengar bagian berita yang bersifat skandal. . . " "Saya akan menceriterakannya kepada Tuan." Danglars bergegas keluar dari rumah Monte Cristo menuju keretanya. BAB XXXIX RUANG tamu kantor de Villefort penuh. Tetapi Nyonya Danglars tidak perlu memperkenalkan diri oleh karena begitu dia masuk seorang pegawai datang menjemputnya dan menanyakan apakah benar dia nyonya yang sudah membuat janji dengan Tuan de Villefort Pegawai itu mengantarkan Nyonya Danglars masuk melalui pintu pribadi. Villefort sedang menulis dengan membelakangi pintu. Dia tidak menoleh ketika Nyonya Danglars masuk. Tetapi setelah didengarnya pegawai itu menjauh, dia segera berdiri, lalu mengunci pintu dan menutup tirai jendela. Setelah dia yakin tidak mungkin dilihat atau didengar orang, dia menghadap kepada Nyonya Danglars dan berkata, 'Telah lama sekali kita tidak pernah berbicara lagi berdua dan aku merasa menyesal sekali bahwa kita sekarang harus bertemu untuk membicarakan sesuatu yang tidak menyenangkan." "Saya harap engkau dapat memahami perasaanku," kata Nyonya Danglars. "Dalam ruangan ini telah banyak sekali penjahat yang gemetar seluruh tubuhnya karena takut atau malu. Dan karena sekarang seluruh tubuhku gemetar dan merasa malu, aku tidak dapat menahan perasaan bahwa aku pun seorang penjahat dan engkau jaksa yang akan mengancam dengan hukuman. Tetapi, aku rasa engkau pun akan setuju bahwa bila benarbenar aku berdosa, maka sebenarnya aku telah dihukum setimpal tadi malam." "Hampir lebih dari setimpal dibanding dengan daya tahanmu," kata Villefort sambil memegang tangannya. "Walau demikian, aku harus mengatakan bahwa kita belum sampai kepada akhir persoalan. Bagaimana mungkin kejadian masa lalu yang mengerikan itu tiba-tiba hidup kembali? Bagaimana dia muncul kembali bagaikan hantu yang keluar dari dalam kubur, dari dalam persembunyiannya dalam hati kita?" "Karena kebetulan, aku kira."" "Kebetulan? Tidak, tidak. Bukan kebetulan." "Bukankah suatu hal yang kebetulan kalau Count Monte Cristo membeli rumah itu? Bukankah kebetulan kalau p kerja pekerjanya menemukan bayi tak berdosa itu terkubur di bawah semak-semak?" "Para pekerja itu tidak menemukan apa-apa," kata Villefort dengan suram. "Apa maksudmu?" "Maksudku, bahwa Count of Monte Cristo tidak menemukan kerangka bayi dalam kebunnya karena tidak ada bayi yang dikuburkan di sana." "Kalau begitu di mana engkau menguburnya? Dan apa sebabnya aku tidak diberitahu?" "Dengarkan dahulu " kata Villefort, "engkau pasti akan merasa iba kepadaku karena aku telah menanggung beban dukacita selama dua puluh tahun tanpa membaginya sedikit pun kepadamu. Engkau tentu masih ingat bagaimana bayi itu diserahkan kepadaku segera setelah dilahirkan dan bagaimana kita menyangka dia telah mati." Nyonya Danglars meloncat seakan-akan hendak berdiri. Tetapi Villefort menahannya dengan isyarat agar dia mau memperhatikan apa yang hendak dikatakan selanjutnya. "Kita mengira dia telah mati," katanya mengulangi. "Aku memasukkan ke dalam sebuah peti, lalu menggali sebuah lubang di dalam kebun dan mengubur peti itu di dalamnya. Belum lagi aku selesai menimbuninya, orang Corsica itu tiba-tiba menyerangku. Aku merasakan sebuah tikaman, aku mencoba berteriak tetapi tak berdaya, lalu jatuh tersungkur, menyangka ajalku telah dekat. Aku tidak akan dapat melupakan keberanianmu ketika aku dengan terseok-seok berjalan sampai ke kaki tangga dan engkau - sekalipun dengan penderitaanmu sendiri karena habis melahirkan — masih kuat turun ke bawah lalu menolongku. Aku bergulat melawan maut selama tiga bulan, lalu dokter menasihati agar aku pergi ke Selatan untuk penyembuhan, yang berlangsung selama enam bulan. Ketika kembali ke Paris aku mendengar engkau telah menikah dengan Tuan Danglars. Dan aku pun mendengar bahwa rumah di Auteuil tidak dihuni lagi sejak kita meninggalkannya. Pada suatu hari aku pergi ke sana pada jam lima sore, masuk ke kamar tidur menunggu malam tiba. "Semua pikiran yang menghantuiku selama tetirah ketika itu terasa lebih mengancam lagi. Rupanya orang Corsica yang menikam aku itu melihat aku mengubur sesuatu. Seandainya dia mengetahui siapa engkau, mungkin dia akan memerasmu. Mungkin juga ia akan membunuhmu kalau mengetahui bahwa dia tidak berhasil membunuhku? Oleh sebab itu aku harus menghilangkan semua jejak. Aku menunggu sampai gelap. Aku menganggap diriku cukup pemberani, tetapi ketika aku membuka pintu dan melihat cahaya bulan menyinari tangga, rasanya aku melihat hantu. Aku hampir saja berteriak ketakutan dan merasa akan menjadi gila. Akhirnya aku berhasil juga menguasai diri, lalu menuruni anak tangga. Satu-satunya yang tidak berhasil aku kuasai adalah gemetarnya lutut. Pada setiap langkah aku memegang sandaran tangga erat-erat. Seandainya tidak, pasti aku terjatuh. "Di kebun itu aku mengambil sekop dan lentera yang aku tinggalkan dahulu di sana. Aku mulai menggali. Sekalipun telah menggali dua kali lebih besar dan dua kali lebih dalam daripada lubang yang aku gali dahulu, namun aku tidak dapat menemukan apaapa. Mungkin aku menggali di tempat yang salah. Aku mengingat-ingat kembali semua tanda. Aku yakin tidak keliru. Lalu aku menggali lagi lebih dalam dan lebar. Tidak ada apa-apa. Peti kayu itu tidak ada di sana!" "Tidak ada?" tanya Nyonya Danglars dengan suara tertahan. "Jangan mengira aku berhenti sampai di sana," kata Villefort melanjutkan. "Aku membayangkan orang Corsica itu mengambil peti itu karena mengira berisi harta, dan lalu setelah melihat isinya, dia menggali lubang lain dan menguburkannya kembali Seluruh kebun aku teliti, tetapi tidak menemukan apa-apa. Aku mencoba berpikir, apa sebab orang itu mengambil mayat itu?" "Sudah engkau katakan tadi," sela Nyonya Danglars, "supaya dia mempunyai bukti tentang rahasia kita." "Tidak, bukan itu. Tidak mungkin dia menyimpan mayat itu selama setahun. Dia harus segera menunjukkan mayat itu kepada pengadilan dan membuat pernyataan. Tetapi itu. tidak dilakukannya. Berarti ada kemungkinan lain yang lebih mengerikan: anak itu masih hidup dan orang Corsica itulah yang merawatnya." Nyonya Danglars terpekik sambil memegang tangan de Villefort. "Anakku masih hidup! Engkau mengubur anakku hidup-hidup! Engkau tidak yakin ketika itu bahwa dia telah mati, tetapi engkau menguburkannya juga!" Nyonya Danglars berdiri di hadapan de Villefort dengan mata mengancam Villefort berniat hendak mencegah meledaknya badai perasaan seorang ibu, ia harus mengganjalnya dengan perasaan takut. Dan ketakutannya sendirilah yang hendak dipindahkannya kepada Nyonya Danglars. "Bila anak itu benar masih hidup dan orang mengetahuinya, kita celaka," katanya dengan suara perlahan-lahan. "Dan karena Count of Monte Cristo menceriterakan telah menemukan kerangka bayi di tempat yang sebenarnya tidak ada bayi terkubur, berarti dia mengetahui rahasia kita! Itulah sebabnya aku meminta engkau datang ke mari. Aku ingin memperingatkan engkau. Katakanlah," katanya lagi sambil memandang tamunya dengan pandangan yang lebih mantap dibandingkan dengan tadL "engkau tidak pernah menceriterakan hubungan kita kepada siapa pun juga, bukan?" 'Tidak pernah!" "Apakah engkau mempunyai buku harian?" "Tidak." "Barangkali engkau suka mengigau dalam tidur1.*** "Tidak, aku selalu tidur bagaikan seorang anak. Masa engkau lupa?** Nyonya Danglars merah mukanya, Villefort pun tersipu-sipu. "Aku ingat," katanya, "tampir-hampir aku tidak mendengar engkau bernapas.'* "Sekarang apa yang hams kita lakukan?** tanya Nyonya Danglars. "Aku tahu apa yang harus kulakukan," jawab Villefort. "Dalam tempo satu minggu aku akan sudah mengetahui siapa sebenarnya Tuan- Monte Cristo itu, dari mana dia berasal, dan mengapa dia berceritera tentang bayi-bayi yang dikubur dalam kebun,** Villefort menjabat tangan nyonya Danglars yang diulurkan dengan sedikit enggan, lalu mengantarkannya dengan hormat sampai ke pintu. BAB XL PADA hari itu juga Albert de Morcerf mengunjungi Count of Monte Cristo. Monte Cristo menerimanya dengan senyuman yang khas. "Saya bani kembali dari Treport kurang dari sejam yang lalu." kata Albert, "dan orang yang pertama kali saya kunjungi adalah Tuan," "Menyenangkan sekali mendengar itu." "Ada berita buat saya?" "Ya, Tuan Danglars hadir dalam undangan makan malam tempo hari itu." "Saya telah memperkirakannya. Bukankah kepergian ibu dan saya ke Treport justru untuk menghindari kehadirannya?** "Ia juga bertemu dengan Tuan Andrea Cavalcanti." "Pangeran dari Italia itu?'* "Jangan dilebih-lebihkan, la sendiri mengaku dirinya hanya seorang viscount. Dia datang bersama ayahnya, yang lainnya adalah Tuan dan Nyonya Danglars, Tuan dan Nyonya de Villefort, Tuan Debray, Maximilien Morrel dan oh ya, Tuan de Chateau- Renaud." "Apakah mereka memperbincangkan saya?" **Tak sepatah pun." "Sayang sekali** "Mengapa? Saya mengira Tuan justru ingin agar mereka melupakan Tuan." "Benar, tetapi bila mereka tidak memperbincangkan saya, mungkin mereka masih memikirkan tentang saya selama itu. Dan itulah yang tidak menyenangkan." "Apa kerugian Tuan selama Nona Eugenie Danglars tidak berada bersama mereka memikirkan Tuan? Meskipun mungkin ia mermkirkanny a di rumah-" "Saya yakin ia tidak melakukannya, atau setidak-tidaknya, seandainya ia memikirkan saya, sama pula dengan pikiran saya terhadapnya." "Cinta kasih yang mengharukan sekali! Sampai demikian itu kah kalian saling membenci?" "Begini, Tuan." kata Albert, "Nona Danglars mungkin sekali dapat menjadi gundik yang baik, tetapi sebagai istri * * * "Begitulah rupanya Tuan berpikir tentang calon istri Tuan," kata Monte Cristo sambil tertawa lebar. "Memang barangkali terlalu kasar ungkapan saya itu, namun itulah pendapat saya. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana harus hidup bersamanya, mendengarkan dia menyanyi, menggubah lagu dan puisi seumur hidup. Seorang gundik dapat saja kita tinggalkan kapan kita mau, tetapi seorang istri lain lap soalnya! Kita harus hidup seumur hidup bersamanya. Dan kalau saya membayangkan harus hidup seumur hidup dengan dia, selalu saja saya mengalami mimpi buruk." "Jangan terlalu khawatir harus menikah dengan Nona Danglars," kata Monte Cristo. "Biarkan saja persoalan itu berlalu dengan sendirinya. Kalau Tuan mundur, Tuan bukanlah orang pertama yang menarik kembali ucapannya. Sungguhkah Tuan mau membatalkan pertunangan itu?" "Saya berani membayar seratus ribu frank untuk membatalkannya." "Dalam hal ini, Tuan harus bergembira karena Tuan Danglars bersedia membayar dua kali lipat untuk maksud itu." "Kalau itu benar, ini merupakan kebahagiaan yang tak ternilai!" kata Albert gembira. Namun demikian ia tidak dapat menahan diri bertanya, "Tetapi apakah alasan Tuan Danglars?" "Ah, hanya tabiat kemanusiaan belaka! Ada seorang yang sudah siap menghantam kehormatan orang lain dengan sebuah kapak, tetapi dia berteriak kesakitan apabila kehormatannya sendiri tertusuk sebuah jarum." "Sekalipun demikian, menurut pendapat saya Tuan Danglars. . "Harus merasa puas bermenantukan Tuan, bukan? Tetapi ia seorang yang mempunyai selera buruk sehingga dapat puas dengan yang lain." "Siapa calon dia?" "Tidak tahu, tetapi sebaiknya Tuan membuka mata dan telinga lebar-lebar, mungkin Tuan akan mengetahuinya sendiri." BAB Mi NYONYA de Villefort dan Valentine pergi ke sebuah pesta dansa berdua setelah gagal meminta suaminya menemaninya. Setelah mereka berangkat Jaksa Penuntut Umum itu mengunci diri di kamar kerjanya sesuai dengan kebiasaannya pada malam hari. Dia duduk menghadapi setumpuk pekerjaan yang mungkin akan mengejutkan orang lain, tetapi yang dalam keadaan normal masih kurang cukup banyak untuk memuaskan gairah kerjanya. Sekali ini tumpukan kertas itu hanya merupakan dalih saja karena dia tidak bermaksud bekerja, melainkan untuk merenungi masalah yang dihadapinya. Setelah dia mengunci pintu dan berpesan untuk tidak diganggu kecuali oleh hal hal yang sangat penting, ia duduk di kursinya dan mulai merenungi kembali semua kejadian yang menimpanya dalam hari-hari terakhir ini, yang membawanya kepada masa lalu yang suram dan pahit Ketika ia sedang mengumpulkan kembali kepercayaan pada dirinya sendiri, ia mendengar suara kereta berjalan di pekarangan. Lalu dia mendengar suara langkah orang di tangga dibarengi dengan isak dan ratap tangis. Dia membuka pintu dan sesaat kemudian seorang wanita tua masuk tanpa memberitahukan lebih dahulu. Matanya bengkak karena menangis. "Mengerikan sekali!" katanya. "Aku pun akan mati! Ya, aku akan mati." Wanita itu terduduk di atas sebuah kursi yang terdekat pintu lalu menangis sejadi-jadi-nya. Villefort menghampiri bekas mertuanya, sebab wanita itu tiada lain dari Nyonya de Saint-Meran, ibu dari istrinya yang pertama. "Ada apa, Nyonya?" tanyanya. "Di mana Tuan de Sairit-Meran?" "Tuan de Saint-Meran telah meninggal." "Meninggal? Begitu . . . mendadak?" Villefort keheranan. "Ya . . . terserang penyakit ayan yang sangat mendadak. Saya sudah tidak dapat mengeluarkan air mata lagi. Rupanya dalam usia setua ini, sudah tidak ada lagi air mata tersisa, padahal apabila orang sedang tertimpa kesedihan ia perlu menangis. . . Di mana Valentine? Aku ingin bicara." Villefort berpikir tidak baik kalau dia katakan bahwa Valentine sedang pergi ke pesta dansa. Dengan sederhana ia katakan bahwa Valentine sedang bepergian dengan ibu cirinya dan akan segera menyuruh orang untuk menjemputnya. "Cepat. Secepat mungkin!" kata wanita tua itu. Villefort membimbing nyonya tua itu ke ruang duduk. Ny nya harus beristirahat" katanya. Laki, ketika bekas mertuanya bertekuk lutut dan berdo'a dari lubuk hatinya, ia pergi menyuruh pelayannya menjemput istri dan anaknya. Valentine menjumpai neneknya sudah di kamar tidur. Belaian tangan, hati yang pedih, suara yang tertahan di tenggorokan dan air mata yang hangat sajalah yang dapat mengiringi kedatangan Valentine itu. Neneknya, karena kesedihan yang sangat mendalam sudah tak sadarkan diri. Sebuah gelas dan tempat air jeruk yang menjadi kesukaannya diletakkan di atas sebuah meja kecil di samping ranjangnya. Dia masih terbaring ketika Valentine mengunjunginya keesokan harinya. Demamnya masih belum mereda. Bahkan ia dicekam oleh kegelisahan yang sangat. "Nenek, tampaknya keadaan nenek semakin buruk." "Tidak, aku hanya tidak sabar menunggu kedatanganmu sebelum aku memanggil ayahmu. Aku ingin berbicara dengan dia," Valentine tidak berani membantah keinginan neneknya. Villefort masuk selang tidak berapa lama. "Tuan merencanakan menikahkan Valentine kepada Tuan Franz d'Epinay, bukan?" tanya Nyonya de Saint-Meran kepadanya tanpa pendahuluan, seakan-akan ia tahu akan kehabisan waktu. "Benar, Nyonya," jawab Villefort. "Dia adalah putra Jendral d'Epinay yang mati terbunuh beberapa hari sebelum Napoleon masuk kembali dari Elba." "Benar." "Apakah dia tidak berkeberatan menikah dengan cucu seorang penganut Napoleon?" "Untung sekali perselisihan antara kita sekarang telah padam. Tuan Franz d'Epinay masih kecil ketika ayahnya meninggal. Dia tidak mengenal Tuan Noirtier dan ia akan berkenalan dengan beliau, kalaupun tidak dengan perasaan gembira, sekurang-kurangnya dengan sikap masa bodoh." "Apakah mereka cocok satu sama lain?" "Dalam segala hal. Tuan d'Epinay seorang anak muda yang terpandang." Valentine tidak mencampuri percakapan mereka. "Baiklah," kata Nyonya de Samt Meran setelah merenung beberapa saat. "Sebaiknya dilaksanakan secepat-cepatnya karena saya merasa tidak akan hidup lama lagi." "Oh, Nenek!" Valentine tiba-tiba berteriak. "Aku tahu apa yang aku katakan," kata wanita tua itu dengan tenang. "Tuan harus segera melaksanakannya karena Valentine sudah tidak mempunyai ibu lagi. Sekarang sekurang-kurangnya ia masih mempunyai nenek untuk merestui pernikahannya." "Akan segera dilaksanakan sesuai dengan keinginan Nyonya," kata Villefort, "terutama sekali karena keinginan Nyonya itu sejalan benar dengan niat saya. Segera setelah Tuan d'Epinay kembali ke Paris..,.?" "Tetapi," Valentine menyela, !,bukankah kita masih dalam berkabung! Apakah nenek menghendaki perkawinan dalam keadaan seperti sekarang?" "Janganlah kita terlalu memperturutkan kebiasaan yang selalu menghambat si lemah membangun masa depannya yang kokoh!" jawab perempuan tua itu dengan penuh semangat. "Aku sendiri kawin segera setelah kematan ibuku, dan aku tidak pernah merasa tidak berbahagia karena itu." "Nyonya masih saja dipengaruhi oleh bayangan kemati-an," kata Villefort "Sudah saya katakan, saya akan segera mati. Sekalipun Tuan tidak akan percaya, tetapi tadi malam, tepat di tempat Tuan sekarang berdiri benar-benar saya melihat sesosok tubuh putih datang menghampiri dari pintu yang menghubungkan kamar ini dengan kamar hias istri Tuan." Valentine tidak dapat menahan jeritnya. "Mungkin Nyonya hanya terganggu demam saja," kata Villefort. "Silakan meragukannya, kalau mau," kata nyonya itu, "tetapi saya yakin. Saya melihat sosok putih itu mendekat. Bukan hanya melihat tetapi juga mendengar dia memindahkan gelas. Gelas itu, yang di atas meja itu. Itulah arwah suamiku datang menjemput" "Janganlah Nyonya terlalu memikirkan hal-hal yang buruk," kata Villefort "Nyonya masih akan hidup lama, bahagia, dicintai dan dihormati dan kami akan berusaha membantu Nyonya melupakan segala kesedihan." "Tidak! Tidak! Tidak! Sekarang sebaiknya tolong panggilkan notaris untuk mengukuhkan agar semua kekayaanku jatuh ke tangan Valentine, setelah aku mati." "Nenek!" teriak Valentine lagi, lalu menekankan kedua bibirnya ke dahi neneknya. "Rupanya Nenek menghendaki saya pun mati karena kesedihan. Nenek hanya demam. Bukan notaris yang kita perlukan sekarang, melainkan seorang dokter." "Dokter?" jawab wanita itu sambil menggerakkan kedua bahunya. "Aku tidak sakit, hanya haus. Hanya itu." "Mau minum apa?" "Air jeruk, engkau tahu itu. Gelasnya di atas meja itu, tolong." Valentine mengambil gelas itu dengan sedikit ragu, karena gelas itulah menurut ceritera neneknya yang dipindahkan oleh hantu malam tadi. Nyonya de Saint-Meran meneguknya sekali habis. Lalu, setelah merebahkan lagi kepalanya di atas bantal, ia mengulang lagi, "Notaris! Notaris!" Villefort meninggalkan ruangan dan Valentine duduk di sebelah ranjang neneknya. Dua jam telah berlalu, selama itu nyonya tua itu jatuh tertidur dengan pulas. Seorang pelayan datang memberitahukan bahwa dokter telah menunggu di luar. Valentine segera berlari ke luar. Dokter d'Avrigny adalah sahabat keluarga dan salah seorang dokter terpandai di Paris. Dia sangat menyukai Valentine yang ia bantu lahir ke dunia. "Dokter!" kata Valentine, "kami sudah tidak sabar menunggu. Nenek. . . Tuan telah mendengar musibah itu?" "Tidak.»* "Ah," kata Valentine sambil menahan desakan tangisnya, "kakek meninggal" "Tuan de Saint-Meran?" "Ya. Beliau meninggal karena serangan kelumpuhan yang mendadak. Nenek sangat terpengaruh oleh khayalan bahwa kakek telah datang untuk menjemputnya." "Bagaimana gejala-gejalanya?" "Beliau selalu gelisah dan tidurnya pun resah. Katanya tadi malam beliau melihat hantu datang ke kamarnya, bahkan beliau dapat mendengarnya ketika hantu itu mengangkat gelas." "Nenekmu bukan orang yang biasa melihat bayangan," kata Dokter d'Avrigny. "Sangat mengherankan." **Tolong segera, Dokter." "Kau turut?" "Saya takut, karena beliau melarang saya memanggil Dokter. Dan saya pun bingung. Saya rasa lebih baik saya berjalan-jalan di kebun untuk menenangkan diri." Tak sukar mengira bagian mana dari kebun itu yang dia tuju. Setelah memetik sebuah bunga mawar dan menye-matkannya di rambut ia berjalan sepanjang jalan yang teduh menuju pintu gerbang yang berkisi-kisL Selagi berjalan dia mendengar namanya dipanggil orang. Dia berhenti, terkejut. Suara Maximilien Seakan-akan didorong naluri seorang kekasih dan seorang ibu, Maximilien mencium ada sesuatu yang tidak beres di rumah Villefort Saat itu bukan waktunya ia datang ke tempat itu, jadi hanya kebetulan belaka kalau Valentine datang ke sana. "Engkau di sini, pada jam begini?" tanya Valentine terperanjat. "Ya, Aku datang untuk menyampaikan sebuah berita buruk dan ingin bertanya kalaukalau engkau mempunyai berita bagiku." "Katakanlah, Maximilien. Hatiku sudah sangat parah untuk dapat disentuh lagi oleh kesedihan yang lain." "Valentineku yang manis," kata Maximilien, mencoba menguasai perasaannya agar dapat berbicara dengan terang dan jelas, "dengarkan baik-baik karena apa yang hendak kukatakan sangat penting. Apakah orang tuamu telah menentukan tanggal perkawinanmu?" "Aku tidak akan menyembunyikan apa pun kepadamu, Maximilien. Tadi pagi, nenek yang aku perhitungkan akan memihak padaku, menghendaki agar pernikahan segera dilaksanakan begitu Tuan d'Epinay kembali ke Paris." Sebuah keluhan Sedih terlontar dari dada anak muda itu. "Berarti besok" katanya, "karena Tuan d'Epinay telah datang tadi pagi. Sekarang telah datang saatnya engkau memberikan sebuah jawaban yang akan menentukan hidup atau matiku! Apa rencanamu?" Valentine menundukkan kepalanya, dadanya penuh dengan segala macam perasaan, "Sekarang bukan saatnya kita membiarkan diri dihanyutkan oleh kekecewaan yang tidak berguna," lanjut Maximilien. "Banyak orang yang bersedia menderita dan menelan air matanya dengan ringan hati dan mengharapkan Tuhan menghiburnya di surga nanti. Tetapi mereka yang berkemauan keras berjuang membalas pukulan takdir itu. Apakah engkau mempunyai rencana untuk menolak takdir itu, Valentine? Itulah yang hendak kutanyakan." Valentine tampak bingung. Ia memandang kekasihnya dengan mata penuh ketakutan. Tak pernah timbul dalam benaknya niat untuk menolak keinginan ayah dan neneknya. "Apa yang kaukatakan tadi, Maximilien?" tanyanya kemudian. "Apakah betul engkau meminta aku melawan ayahku, melawan kehendak nenekku yang sedang berada di ambang kematian? Tak mungkin! Hatimu terlalu agung untuk tidak memahami pendirianku. Tidak, aku tidak akan melawan. Aku akan menguatkan diriku untuk berjuang melawan diriku sendiri, untuk menelan setiap tetes air mataku seperti yang engkau katakan tadi." "Engkau benar," kata Maximilien dengan ketenangan yang dingin. "Aku mengerti. Engkau tidak mau mengecewakan ayahmu atau membangkang terhadap nenekmu, dan esok engkau akan menandatangani surat pernikahanmu." "Tetapi apalagi yang dapat kuperbuat?" "Sungguh-sungguhkah engkau meminta saranku?" "Tentu! Engkau tahu, betapa perasaan hatiku kepadamu." "Inilah usulku. Pertama, turutlah aku ke rumah adikku, setelah itu kita pergi ke Aljazair, Inggris atau Amerika, kecuali kalau engkau lebih menyukai tempat lain yang lebih tersembunyi, menunggu sampai hati keluargamu menjadi lunak lalu kita kembali lagi ke Paris." Valentine menggelengkan kepala. "Itu saran yang gila, Maximilien, dan aku lebih gila lagi apabila aku tidak segera menghentikan jalan pikiranmu dengan: tidak mungkin!" "Benar lagi, Valentine. Dengan senang aku mengatakannya sekali lagi. Memang aku gila, seperti yang engkau katakan, dan engkau telah membuktikan kepadaku bahwa cinta benar-benar dapat membutakan seseorang yang biasa ber-fikir tenang. Terima kasih untuk cara berpikirmu yang jernih tanpa terpengaruh oleh rasa cinta. Yang dapat kulakukan sekarang hanyalah mendo'akan semoga engkau mendapat hidup yang tenang tentram dan bahagia, jauh dari kesepian sehingga tidak ada tempat lagi dalam sudut-sudut hatimu bagiku. Selamat tinggal, Valentine." "Mau ke mana, Maximilien?" Valentine terperanjat. Ia melompat menjulurkan tangannya ke luar pintu menangkap tangan kemeja Maximilien. Valentine merasa bahwa di balik ketenangan Maximilien tersembunyi sesuatu yang mengkhawatirkan. "Sebelum pergi, katakan dahulu apa yang hendak kaulakukan!" Maximilien tersenyum sedih, tetapi tidak menjawab. "Katakan, katakan Max. Aku meminta!" "Jangan khawatir. Aku tidak berniat membuat Tuan d'Epinay bertanggung jawab untuk nasib burukku. Seandainya aku orang lain, mungkin sekali akan mengajaknya berduel, tetapi bagiku tak ada gunanya. Ketika ia menyetujui perkawinannya denganmu, dia tidak tahu bahwa aku ada. Aku tidak mempunyai perselisihan dengan dia dan aku bersumpah kepadamu bahwa aku tidak akan mengganggunya. Aku tidak pernah mau bersikap seperti pahlawan cengeng dalam buku-buku ceritera, namun, tanpa pidato yang panjang-panjang atau sumpah-sumpah apa pun jua, aku telah menyerahkan hidupku ke dalam tanganmu. Engkau akan meninggalkanku dan seperti telah kukatakan tadi, sikapmu adalah benar. Bila engkau pergi, kehidupanku akan habis. Inilah yang akan kulakukan. Aku akan menanti sampai detik terakhir engkau akan menikah, oleh karena aku tidak mau menghilangkan setiap kemungkinan yang tak terduga betapapun kecilnya, kemungkinan yang dapat merubah nasibku. Bahkan untuk seorang yang dihukum mati pun keajaiban mungkin saja terjadi. Aku akan menunggu sampai aku yakin tak ada lagi obat bagi kesedihanku dan pada saat itulah aku akan membunuh diri seperti layaknya seorang anak manusia yang paling terhormat yang pernah hidup di Perancis." Valentine dicekam rasa takut yang sangat. Tangannya jatuh terkulai dan dua buah butir air mata menggulir di pipinya. "Oh! Kasihanilah aku Maximilien! Engkau tidak akan melakukan itu, bukan?" "Demi kehormatanku, tak ada jalan lain. Lagi pula apa pentingnya bagimu? Engkau telah dan akan melakukan kewajibanmu, dan tidak perlu engkau mempunyai perasaan bersalah." Valentine duduk berlutut. Kedua belah tangannya di dada. "Selamat tinggal, Valentine." Maximilien mengulangi lagi. "Ya Tuhan," kata Valentine sambil menengadahkan wajah ke langit. "Engkau mengetahui bahwa saya telah melakukan dengan segala kemampuan untuk menjadi anak yang patuh, tetapi aku lebih suka mati karena malu daripada karena penyesalan. Engkau harus hidup, Maximilien, dan aku tidak akan menyerahkan diriku selain kepadamu. Seandainya, Max, aku berhasil menangguhkan perkawinan itu, bersediakah engkau menungguku?" "Aku bersumpah bersedia. Dan hendaknya engkau pun bersumpah kepadaku bahwa engkau akan mencegah terlaksananya perkawinan itu, bahwa sekalipun mereka memaksa, engkau akan tetap mengatakan tidak." "Aku bersumpah." "Aku percaya, Valentine. Tetapi seandainya keluargamu tidak mau mendengarmu, seandainya Tuan d'Epinay esok dipanggil untuk menandatangani perjanjian perkawinan itu, lalu. . "Lalu aku akan datang kepadamu dan kabur bersamamu. Aku akan memberimu kabar tentang setiap perkembangan." "Terima kasih, Valentine yang manis. Segera setelah aku mengetahui saatnya, aku akan segera datang ke mari. Aku akan membawa sebuah kereta untuk membawamu ke tempat adikku." "Pulanglah sekarang," kata Valentine," sampai bertemu lagi." Maximilien menanti sampai suara langkah Valentine hilang dari pendengarannya. Dia menengadah ke langit, mengucapkan syukur kepada Tuhan karena telah diberi kebahagiaan merasakan nikmatnya dicintai. Lalu dia segera pulang. Seharian itu dan hari berikutnya dia menanti dan menanti, namun tak ada kabar dari Valentine. Baru pada hari ketiga ia menerima pesan: Air mata, permohonan dan do*a tidak menghasilkan apa-apa. Perjanjian perkawinan akan ditandatangani jam sembilan nanti malam. Aku telah memberikan janjiku kepadamu, Maximilien, dan hatiku adalah milikmu. Aku akan berada di pintu gerbang nanti malam jam sembilan kurang seperempat. VALENTINE Maximilien membaca surat itu berulang-ulang sambil selalu membayangkan bagaimana perasaannya nanti pada saat Valentine datang dan berkata, "Ini aku Maximilien, bawalah aku ke mana pun juga." Dia mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin diperlukan untuk pelarian itu. Dua buah tangga disembunyikannya di luar tembok gerbang dan sebuah kereta telah pula disiapkan. Jam delapan malam, Maximilien sudah berada di pintu gerbang. Kereta dan kudanya disembunyikan di balik sebuah gedung tua yang hampir runtuh. Dia berjalan hilir-mudik sambil sekali-sekali melemparkan pandangannya ke dalam kebun yang gelap mencari sesosok tubuh bergaun putih atau suara langkah orang berjalan. Lonceng gereja Saint- Philippe berdentang menandakan jam setengah sembilan. Saat-saat itu sangat menggelisahkan. Setiap geme-risik dedaunan di dalam kebun atau desir angin menyebabkan dahi Maximilien basah berkeringat dan tanpa sadar menempatkan sebelah kakinya di anak tangga siap untuk naik. Di tengah-tengah ketegangan karena takut dan khawatir ia mendengar lonceng berbunyi sepuluh kali. Terbayang di hadapannya Valentine kehilangan kekuatannya selagi dia berlari dan sekarang sedang terbaring tak sadarkan diri di dalam kebun. Setan yang membisikkan pikiran ini tak henti-hentinya bekerja sehingga akhirnya dia yakin sekali. Ketika jam menunjukkan setengah sebelas, ia sudah tak dapat lagi menunggu. Dia menaiki tembok dan melompat ke dalam kebun. Beberapa saat kemudian dia dapat melihat bangunan rumah dengan jelas. Keadaannya hampir gelap, tidak terang-benderang seperti selayaknya di rumah yang sedang diselenggarakan suatu upacara penting seperti penandatanganan perkawinan. Karena kegelapan dan kesunyian itu Maximilien merasa takut, khawatir telah terjadi sesuatu dengan Valentine. Dengan nekad dan cemas ia memutuskan akan mencari Valentine apapun yang harus terjadia. Dia maju sampai Ujung kebun dan bersiap hendak berlari melintasi halaman terbuka antara dia dan rumah itu. Pada saat itulah dia mendengar orang bercakap-cakap. Segera ia mengundurkan diri lagi bersembunyi di balik semak-semak. Bulan muncul dari balik awan, dan karena cahayanya itu ia dapat melihat de Villefort berjalan menuju ke arah dia bersembunyi dibarengi orang yang berbaju gelap yang dia kenal sebagai Dokter d'Avrigny. Langkah kedua orang itu berhenti tidak jauh dari tempatnya. Maximilien mendegar Villefort berkata, "Ah, Dokter, rupanya Tuhan sedang memurkai kami Tak usah Tuan mencoba menghibur saya. Luka saya terlampau dalam. Dia meninggal! Meninggal!" Keringat dingin segera membasahi dahi Maximilien dan giginya gemeretak. Siapakah yang mati? "Saya membawa Tuan ke mari bukan untuk menghibur, Tuan de Villefort," kata dokter, "justru sebaliknya." "Apa maksud Tuan?" "Maksud saya, di balik musibah yang baru saja menimpa Tuan, mungkin sekali akan ada musibah lain yang lebih besar. Saya harus menceriterakan sesuatu yang mengerikan." Dengan lemah sekali Villefort merebahkan diri di atas bangku yang tidak jauh dari situ. Dokter d'Avrigny tetap berdiri. Maximilien memasang kuping dengan penuh rasa khawatir. "Katakan saja, Dokter," kata Villefort. "Saya sudah siap untuk segala macam." "Nyonya de Saint-Meran seorang tua. Ini benar," kata dokter, "namun kesehatannya sangat baik." Maximilien menarik napas lega. "Beliau meninggal karena sedih, Dokter," jawab Villefort, "setelah hidup bersama selama empat puluh tahun. . " "Bukan karena sedih," kata dokter lagi. "Memang benar kesedihan dapat menyebabkan seorang meninggal dalam keadaan tertentu, tetapi tidak mungkin dalam satu hari , dalam satu jam, apalagi dalam sepuluh menit! Oleh karena sekarang kita hanya berdua saja, ada sesuatu yang perlu saya katakan." "Ya Tuhan, apakah itu?" "Bahwa gejala yang timbul karena tetanus dan karena keracunan pada makanan, sama benar." Villefort melompat berdiri, kemudian, setelah berdiri selama beberapa saat ia duduk kembali. "Demi Tuhan, Dokter," katanya, "yakinkah Tuan kepada apa yang Tuan katakan?" "Saya yakin betul akan kesungguhan kata-kata saya dan juga kepada orang yang saya ajak bicara." "Apakah Tuan mengatakan hal itu kepada saya sebagai seorang sahabat atau seorang jaksa?" "Sebagai kawan, setidak-tidaknya sementara ini. Kedua gejala itu serupa benar sehingga saya masih ragu membuat pernyataan tertulis. Saya telah memeriksa mayat Nyonya de Saint-Meran selama tiga perempat jam dan dengan yakin dapat saya katakan bukan saja beliau meninggal karena diracun tetapi juga dapat mengatakan racun apa yang digunakan. Nyonya de Saint-Meran meninggal karena brucine atau strychnine dalam dosis yang sangat banyak.1* Tanpa disadarinya Villefort memegang tangan dokter erat-erat, lalu berkata seakanakan berteriak, "Tidak mungkin! Agaknya aku mimpi! Sungguh menggetirkan men dengar ini dari seorang seperti Tuan. Demi Tuhan, Dokter, katakan bahwa Tuan keliru!" "Mungkin saya keliru, tetapi..." 'Tetapi apa?" "Tetapi saya kira tidak. Adakah orang yang berkepentingan dengan matinya Nyonya de Saint M ran "Tidak, tentu saja tidak! Anak saya satu-satunya menjadi ahli warisnya. Hanya Valentine . . . Ya Tuhan! Seandainya sangka buruk timbul dalam pikiranku, aku akan menikam jantungku sendiri sebagai hukuman karena mengandung pikiran seperti itu!" "Saya tidak bermaksud menuduh seseorang," kata Dokter d Avngny "jangan Tuan salah sangka. Sebab mungkin saja saya salah, namun bagaimana, hati nurani saya mewajibkan mengatakannya kepada Tuan. Sebaiknya Tuan menyelidikinya." "Tentang siapa? Bagaimana?" "Umpamanya saja, selidiki kalau kalau pelayan ayah Tuan karena kekeliruan yang tidak disengaja telah memberikan minuman kepada Nyonya de Saint-Meran yang sebenarnya untuk Tuan Noirtier." "Tetapi bagaimana mungkin minuman untuk ayah dapat menjadi racun bagi Nyonya de Saint-Meran?" 'ISangat sederhana. Seperti Tuan ketahui, racun itu dapat menjadi obat untuk penyakit-penyakit tertentu. Kelumpuhan adalah salah satu dari penyakit itu. Setelah mencoba semua cara untuk mengembalikan kemampuan gerak dan bicara Tuan Noirtier tanpa hasil, saya memutuskan untuk mengobatinya dengan brucine. Ini terjadi tiga tahun yang lalu. Dosis terakhir yang saya berikan sebanyak enam senti gram, suatu jumlah yang tidak akan berpengaruh kepadanya oleh karena tubuhnya telah terbiasa berkat pemberian dosis yang secara bertahap meningkat. Tetapi dosis itu dapat mematikan bagi yang lain." "Tetapi kamar Tuan Nortier sama sekali tidak berhubungan dengan kamar Nyonya de Saint-Meran. Barrois tidak pernah masuk ke kamar Nyonya de Saint-Meran." "Tuan de Villefort," kata dokter, "saya akan berusaha menyelamatkan Nyonya de Saint- Meran seandainya mungkin, tetapi beliau sekarang sudah meninggal dan kewajiban saya yang pertama-tama adalah mengurusi yang masih hidup. Mari kita sembunyikan rahasia ini dalam dasar hati kita masing-masing. Seandainya ada orang lain yang menemukan rahasia ini, saya bersedia untuk menutup mulut dan berpura-pura tidak tahu. Dalam pada itu, hendaknya Tuan jangan berhenti menyelidik, karena persoalan ini tidak akan berhenti sampai di sini. Seandainya Tuan berhasil menemukan yang berdosa, sayalah orang pertama yang akan mengatakan kepada Tuan: Tuan adalah jaksa, bertindaklah sesuai dengan kebijaksanaan Tuan.' " "Terima kasih, Dokter, terima kasih!" Dari suaranya ternyata betul kegembiraan de Villefort. "Saya tidak pernah mempunyai kawan sebaik Tuan." Lalu, seperti khawatir Dokter d'Avngny akan berubah pikiran, ia segera berdiri dan membimbing dokter itu kembali masuk ke dalam rumah. Maximilien keluar dari dalam semak-semak dengan menarik napas dalam. Wajahnya sangat pucat. Orang dapat saja mengira dia hantu dalam cahaya bulan. Ketika meneliti keadaan rumah yang suram itu ia melihat sebuah jendela terbuka. Karena cahaya lilin yang ditempatkan di atas perapian, ia melihat sesosok tubuh keluar ke beranda. Valentine. Karena takut dilihat orang, karena khawatir akan menakutkan Valentine sehingga berteriak meminta tolong, dia berlari melintasi pekarangan menuju ke tangga rumah dan membukakan pintu yang tak terkunci. Setelah melalui ruang tamu ia menaiki tangga ke tingkat atas. Dia sudah nekad benar sehingga kalau pada waktu itu bertemu dengan Tuan de Villefort, ia tidak akan merasa takut lagi. Untung sekali, tak seorang pun yang melihatnya. Ketika sampai di puncak tangga isak tangis seseorang yang dikenalnya betul menariknya ke sebuah pintu setengah terbuka. Melalui pintu itu tampak cahaya remangremang. Ia masuk. Di bawah kain putih terbaring mayat Nyonya de Saint-Meran. Di sampingnya, Valentine yang telah kembali dari beranda duduk berlutut sambil mengucapkan do'a secara cepat dan hampir tidak berujung pangkal. Melihat Valentine menangis sedih, Maximilien tidak dapat menahan diri. Dia menghela napas dan memanggil nama Valentine. Valentine menengadah dan menatap Maximilien tanpa terkejut. Hati yang telah membengkak karena kesedihan rupanya tidak lagi mampu untuk menyatakan perasaan lain. 'Valentine kata Maximilien dengan suara bergetar, "Aku telah menunggu dua jam lamanya, dan ketika engkau tidak juga muncul, aku merasa khawatir. Aku menaiki tembok lalu masuk ke dalam kebun. Di sanalah aku mendengar orang berbicara tentang kecelakaan ini... "Suara siapa?" Maximilien bergidik, teringat kepada semua pembicaraan antara dokter dan Tuan de Villefort. "Suara pelayan pelayanmu," katanya. "Kalau engkau ditemukan di sini, celaka," kata Valentine tanpa takut atau marah. "Sssst," bisik Maximilien. Mereka mendengar suara pintu terbuka dan suara langkah orang di tangga. "Ayah keluar dari kamar kerjanya," kata Valentine. "Mengantarkan dokter ke luar " tambah Maximilien. "Bagaimana engkau tahu ada dokter?" "Aku hanya menduga." Sementara itu mereka mendengar pintu depan terbuka, lalu menutup kembali dan dikunci. Lalu kedengaran Tuan de Villefort melangkah ke pintu yang menuju kebun, menguncinya dan kembali lagi ke tingkat atas. "Sekarang," kata Valentine, "engkau tidak mungkin lagi ke luar melalui pintu depan atau pintu ke kebun. Hanya tinggal satu pintu keluar dan itu melalui kamar kakek. Mari." "Ke mana?" Ke kamar kakek." Hati hah Valentine," kata Maximilien ragu. "Sekarang baru aku sadar bahwa kelakuanku sangat gila. Apakah engkau yakin tidak kehilangan akal sehatmu?" "Yakin. Aku hanya menyesal harus meninggalkan nenek di sini." "Kematian itu suci, Valentine." "Ya, tetapi aku tidak akan lama. Mari." Valentine berjalan melalui sebuah tangga kecil menuju kamar Tuan Noirtier. Maximilien mengikutinya dengan berjingkat. Noirtier yang telah diberi tahu oleh pelayannya tentang segala kejadian, masih duduk di kursi rodanya. Matanya bersinar ketika melihat Valentine. "Kakek," katanya, "Kakek tentu telah mendengar bahwa Nyonya de Saint-Meran meninggal sejam yang lalu. Karena itu, selain Kakek, tak ada lagi orang yang akan mengasihi saya." Mata orang tua itu menyorotkan sinar kemesraan. Karena itu pula saya harus mempercayakan semua kesedihan dan harapan saya hanya kepada Kakek. Benar begitu?" "Benar," jawab Noirtier dengan isarat matanya. "Kalau begitu, perhatikanlah baik-baik Tuan ini. Kakek," kata Valentine lagi sambil menarik Maximilien pada tangannya. "Dia adalah Tuan Maximilien Morrel, putra pemilik kapal yang ternama dan terhormat di Marseilles. Tentu Kakek pernah mendengarnya, bukan?" "Ya," jawab mata orang tua itu. "Namanya tidak bercacat. Yang menyebabkan lebih terhormat lagi karena dalam usia tiga puluh tahun dia sudah mencapai pangkat kapten dan menjadi perwira Legiun Kehormatan." Noirtier memberi isarat bahwa ia sudah mengetahui semua itu. "Kakek," kata Valentine selanjutnya, "saya sangat mencintainya dan saya tidak bersedia kawin dengan siapa pun kecuali dengan dia! Kalau mereka memaksa saya kawin dengan yang lain, saya lebih suka mati atau bunuh diri" Sinar mata Noirtier menunjukkan kekacauan hatinya. "Kakek menyukai Maximilien?" "Ya." "Dan kakek bersedia melindungi kami dari kemauan ayah?" Noirtier mengarahkan matanya yang cerdas itu kepada Maximilien seakan-akan hendak berkata, "tergantung kepada keadaan." Maximilien memahaminya. "Valentine," katanya, "engkau mempunyai kewajiban untuk segera pergi ke kamar nenekmu. Sementara itu ijinkan aku berbicara berdua dengan kakekmu sebentar." 'Ya ya, benar!" kata mata Noirtier. Kemudian dia menatap Valentine dengan pandangan penuh tanda tanya. "Tentu Kakek berpikir bagaimana dia akan dapat memahami Kakek, bukan?" "Ya." "Jangan khawatir. Kami sering sekali berbicara tentang Kakek. Maximilien sudah mengetahui bagaimana saya bercakap-cakap dengan Kakek.** Valentine -berdiri, mencium dahi kakeknya dengan mesra, mengucapkan kata-kata pamitan kepada Maximilien, lalu keluar kamar. Untuk membuktikan bahwa kata-kata Valentine benar, Maximilien segera mengambil kamus, pena dan secarik kertas lalu meletakkan semuanya di atas meja yang ada lampu di atasnya. "Pertama-tama, Tuan," katanya, "ijinkan dahulu saya memperkenalkan diri, menceriterakan bagaimana saya jatuh cinta kepada Valentine dan apa rencana saya." ''Saya mendengarkan." jawab Noirtier dengan matanya. Mengesankan sekali melihat orang tua yang pada lahirnya tampak sebagai beban untuk orang lain, tetapi sekarang menjadi satu-satunya pelindung dan pendukung sepasang muda belia yang kuat, sehat dan sedang berada di ambang kehidupan. Maximilien menceriterakan bagaimana mulanya dia dapat berkenalan dengan Valentine, lalu jatuh cinta kepadanya dan bagaimana pula Valentine menyambutnya. Lalu dia menceriterakan tentang keluarganya, kedudukannya dan keadaan keuangannya. "Setelah saya menceriterakan tentang cinta dan harapan saya," katanya selanjutnya, "bolehkah sekarang saya menceriterakan rencana kami?** "Silakan.** Maximilien mengatakan bahwa sebuah kereta telah menunggu di luar pagar dan bahwa dia bermaksud membawa Valentine ke rumah saudara perempuannya, lalu menikahinya dan selanjutnya menanti dan mengharapkan restunya dari Tuan de Villefort. "Tidak!" Noirtier memberi isarat dengan matanya. "Apakah tuan tidak setuju dengan rencana kami?" "Tidak." "Lalu apa yang harus kami lakukan? Keinginan terakhir dari Nyonya de Saint-Meran supaya Valentine dan Tuan d'Epinay segera dinikahkan. Apakah saya harus membiarkan itu terjadi?" Mata Noirtier tidak memberikan isarat apa-apa. "Saya mengerti, saya harus menunggu." "Benar." 'Tetapi kalau kami menunggu terlalu lama, segala-galanya akan gagal. Valentine tidak akan berdaya tanpa bantuan. Mereka akan memaksanya seperti kepada anak kecil." Sebuah senyuman penuh rahasia tercermin dalam sorot mata orang tua itu. "Apakah Tuan bermaksud mengatakan bahwa perkawinan itu tidak akan terlaksana?" "Ya." 'Tidak akan terlaksana?" teriak Maximilien heran dan penuh harap. "Maaf, Tuan, tetapi saya kurang percaya mendengar berita gembira itu. Apakah Tuan yakin tidak akan terjadi?" "Ya." Dengan penegasan ini pun Maximilien masih tetap ragu. Keyakinan yang datang dari seorang tua yang tidak berdaya mungkin saja tidak bersumber dari kekuatan kemauan melainkan bersumber dari pikirannya yang makin lemah. Mungkin karena dia mengerti keraguan anak muda itu, atau mungkin juga karena dia merasa belum mempercayai sepenuhnya kepada kepatuhannya, Noirtier menatap wajah Maximilien dengan tajam. "Apakah Tuan menghendaki saya mengulangi janji saya untuk menunggu?" tanya Maximilien. "Ya." "Rupanya Tuan menghendaki saya bersumpah?" "Ya." Maximilien mengangkat tangannya lalu berkata, "Saya bersumpah demi kehormatan saya untuk tidak mengambil langkah-langkah sebelum mendapat keputusan dari Tuan." "Bagus," kata Noirtier dengan matanya. "Apakah Tuan menghendaki saya pergi sekarang?" "Ya." "Tanpa menemui dahulu Nona Valentine?" "Ya." Maximilien menunjukkan sikap patuhnya, mengangguk lalu meninggalkan ruangan. BAB ??? DUA hari kemudian, menjelang jam sepuluh pagi jenazah Tuan dan Nyonya de Saint- Meran dimakamkan di pekubur-an Pere Lachaise, di tempat yang sudah sejak lama disediakan oleh Villefort untuk kuburan keluarganya. Di sana sudah terbaring jenazah istrinya yang pertama, Renee, ibu Valentine. Oleh karena upacara keagamaan sudah dilakukan di rumah Villefort, di makam tidak banyak lagi yang perlu dilakukan. Oleh sebab itu setelah kedua mayat selesai ditanam, para pengantar segera pula bubar. Ketika Franz d'Epinay hendak berpamitan kepada Villefort, VUlefort bertanya, "Bila kita dapat bertemu lagi?" "Terserah kepada Tuan," jawab Franz. "Kalau begitu, secepat mungkin." "Apakah Tuan menghendaki saya turut bersama Tuan sekarang?" "Benar, seandainya tidak mengganggu Tuan." "Sama sekali tidak " Kedua orang itu kembali ke rumah Villefort. Tanpa menemui dahuhi istri dan anaknya, Villefort mengajak tamunya langsung ke ruang kerjanya. "Seperti Tuan ketahui,, Tuan d'Epinay," dia memulai. "keinginan terakhir Nyonya de Saint-Meran adalah, supaya perkawinan Valentine dilakukan tanpa diundur-undur lagi. Perjanjian perkawinan itu sedianya akan dilakukan tiga hari yang lalu, oleh sebab itu naskahnya sekarang pun telah siap. Kita dapat menandatanganinya sekarang." "Tetapi bukankah Tuan sedang berkabung?" jawab Franz ragu-ragu. "Jangan khawatir. Kami tidak pernah menyepelekan so pan-santun. Valentine akan tinggal selama tiga bulan di sebuah perkebunan yang diwariskan deh Tuan dan Nyonya de Saint-Meran Seminggu sejak hari ini, dengan persetujuan Tuan, upacara perkawinan akan diselenggarakan di sana tanpa perayaan. Setelah perkawinan dilakukan, Tuan dapat kembali ke Paris sedangkan istri Tuan akan menghabiskan masa berkabungnya di sana bersama ibu tirinya." "Bila itu kehendak Tuan, terserahlah, Tuan de Villefort," kata Franz, "hanya saja saya ingin mengusulkan agar Alber de Morcerf dan Raoul de Chateau-Renaud turut hadir sebagai saksi." "Apakah saya perlu mengirim utusan kepada mereka atau Tuan lebih suka menjemputnya sendiri?" "Lebih baik saya sendiri." "Baik. Saya mengharap Tuan kembali lagi ke mari setelah setengah jam. Valentine sudah akan siap menanti." Franz membungkuk lalu pergi. Villefort menyuruh pelayannya rnemberitahu Valentine bahwa notaris dan saksi-saksi dari Tuan d'Epinay akan datang setengah jam lagi Mendengar berita itu Valentine seakan-akan disambar petir. Dia segera menemui kakeknya. Tetapi di tangga dia bertemu dengan ayahnya, dan Villefort membawanya ke ruang duduk. Di ruang tamu Valentine berpapasan dengan Barrois.Ia memberikan isarat kecemasan dengan pandangan matanya. Selang beberapa saat datang pula dua buah kereta. Sebuah kereta membawa notaris dan sebuah lagi membawa Franz dan kedua kawannya. Tak lama kemudian semua telah berkumpul di ruang duduk. Notaris mempersiapkan segala surat yang diperlukan di atas meja, mengenakan kacamatanya, berpaling kepada Franz lalu berkata, "Tuan d'Epinay, Tuan de Villefort meminta saya member i tahu Tuan bahwa perkawinan Tuan dengan Nona de Villefort telah mengubah rencana Tuan Noirtier yang berkaitan dengan cucunya. Beliau mencabut Nona Valentine sebagai akhli waris beliau." "Saya sangat menyesal bahwa hal ini dikemukakan di-hadapan Nona de Villefort," jawab Franz. "Saya tidak pernah menyelidiki berapa besar kekayaan Nona de Villefort, tetapi betapapun akan berkurangnya karena pencabutan hak itu, tetap akan jauh lebih besar dari milik saya sendiri. Apa yang dicari keluarga saya dari perkawinan ini adalah kehormatan. Yang saya cari adalah kebahagiaan." Dalam hati Valentine menyetujui apa yang dikatakan oleh Franz. Berbarengan pula dengan itu dua titik air mata berlinang di pipinya. "Boleh saya tambahkan," kata de Villefort kepada bakal menantunya, "bahwa Tuan tidak perlu berkecil hati karena tindakan Tuan Noirtier ini, oleh karena tindakannya itu disebabkan semata-mata oleh kelemahan daya pikirnya. Beliau akan berbuat begitu juga seandainya cucunya ini kawin dengan yang lain, dan saya yakin pada saat ini beliau ingat bahwa cucunya akan melakukan perkawinan tetapi sudah tidak akan ingat lagi siapa nama bakal suaminya itu." Tepat pada saat Villefort akan menghabisi pembicaraannya, pintu tiba-tiba terbuka dan Barrois muncul di ambang pintu. "Tuan-tuan," katanya dengan suara yang tidak layak dari seorang pelayan kepada majikannya dalam suasana sekhidmat itu, "Tuan Noirtier minta berbicara dengan Baron Franz d'Epinay sekarang juga." Villefort terkejut, Valentine berdiri, mukanya pucat dan terdiam bagaikan patung. Albert dan Chateau-Renaud saling berpandangan penuh keheranan, sedangkan notaris memalingkan pandangannya kepada Villefort. "Tidak mungkin," jawab Villefort. "Pada saat ini Tuan d'Epinay tidak dapat meninggalkan ruangan ini." "Dalam hal demikian," kata Barrois, "Tuan Noirtier memerintahkan saya memberitahukan bahwa beliau sendiri yang akan datang ke ruangan ini." "Valentine," kata Villefort, "coba lihat, apa pula keinginan kakekmu itu." Valentine sudah berjalan beberapa langkah ketika Villefort mengubah pikirannya. 'Tunggu, aku ikut" "Maaf, Tuan de Villefort," kata Franz, "oleh karena Tuan Noirtier dengan tegas meminta berbicara dengan saya, saya rasa adalah kewajiban saya untuk memenuhi permintaannya. Di samping itu saya sendiri akan merasa senang dapat sekaligus melakukan kunjungan kehormatan yang belum pernah sempat saya lakukan dahulu." "Oh, tak perhi Tuan bersusah-susah," kata Villetort. Jelas sekali keresahannya. "Maaf," jawab Franz dengan nada pasti, "tetapi saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk membuktikan kepada beliau bahwa saya bermaksud menghapus prasangka beliau kepada saya dengan kesetiaan saya." Sebelum Villefort sempat menahannya Franz sudah berdiri dan mengikuti Valentine yang sudah sampai di tangga. Hati Valentine gembira seperti gembiranya seseorang yang karam kapalnya, lalu berhasil selamat sampai ke darat, Villefort mengikuti mereka. Ketiganya menemui Noirtier menunggu di kursi rodanya. "Ini, tuan Franz d'Epinay yang datang memenuhi permintaan Ayah," kata Villefort kepada ayahnya. "Sebenar-nya sejak dahulu saya mengehndaki Ayah bertemu dengannya, supaya Ayah yakin betapa tidak beralasan keberatan Ayah terhadap perkawinan Valentine ini." Noirtier menjawab dengan sorot matanya yang membuat Villefort gemetar. Lalu dia membeli isarat supaya Valen tine mendekat. Dalam beberapa saat, degan cara yang biasa Valentine menemukan kata "kunci" dan setelah itu Noirtier mengarahkan pandangannya kepada laci sebuah meja tulis yang berada di antara dua buah jendela. Valentine membuka laci itu dan menemukan sebuah kunci. Setelah meyakinkan bahwa kunci itu yang dimaksud, Noirtier melihat kepada sebuah meja tulis tua yang pantasnya berisi kertaskertas yang tidak berharga. "Apakah saya harus membuka laci meja ini?" tanya Valentine. "Ya." "Salah satu laci yang di pmggir?" "Bukan." "Yang di tengah?" "Benar." Valentine membuka laci itu dan mengeluarkan seberkas kertas, "Apakah ini yang Kakek minta?" "Bukan," jawab orang tua itu dengan matanya. Kemudian dia mengarahkan matanya kepada kamus. Valentine menyebut huruf demi huruf menurut abjad sampai dia dihentikan pada huruf "R". Dia membuka kamus, menunjuki kata demi kata dengan jari telunjuknya sampai kepada kata "rahasia". "Apakah ada rahasia?" tanya Valentine. "Ya," "Dan siapa yang mengetahui rahasia itu?" Noirtier memandang pintu tempat Barrois tadi keluar kamar. "Barrois?" "Ya." Valentine berlari ke pintu dan memanggil Barrois. "Barrois!" Katanya ketika pelayan tua itu memasuki ruangan. "Kakek menyuruh saya membuka laci meja tulis itu. Katanya ada rahasia dalam laci itu dan kata beliau engkau mengetahuinya Tolong huka." Barrois melihat kepada Noirtier. "Lakukan," kata mata Noirtier yang cerdas itu. Barrois membuka laci yang berdasar ganda lalu mengeluarkan seberkas kertas yang diikat dengan pita hitam. "Apakah ini yang Tuan maksud?" tanyanya. "Ya." "Kepada siapa saya harus berikan berkas ini? Kepada Tuan de Villefort?" "Bukan." "Kepada Nona Valentine?" "Bukan." "Kepada Tuan d'Epinay?" "Ya." Franz terkejut. Dia melangkah ke depan dan menyambut berkas itu dari tangan Barrois. "Apa yang hams saya lakukan dengan berkas ini?" "Apakah Kakek menghendaki agar Tuan d'Epinay membacanya?" Valentine turut bertanya. "Ya," isarat kakek tua itu. "Kalau begitu kita dapat duduk," kata Villefort tidak sabar. "Akan mengambil waktu yang cukup lama membaca seluruh berkas itu." Dia duduk, tetapi Valentine tetap berdiri di samping kursi kakeknya, sedangkan Franz berdiri di hadapannya. Franz membuka berkas itu lalu mulai membacanya: "Kutipan dari risalah pertemuan Perkumpulan Bonaparte di Rue Saint-Jacques yang diselenggarakan pada tanggal S Februari 1815." Franz berhenti. "5 Pebruari 1815!" serunya, "Hari ayah saya terbunuh! Dan setelah beliau meninggalkan perkumpulan itu beliau hilang!" Mata Noirtier memberi isarat agar dia meneruskan membacanya. "Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, Louis-Jacques Beaurepaire, Letnan Kolonel Altileri, Etienne Duchampy, Brigadir Jendral dan Claude Lecharpal Direktur Pengairan dan Kehutanan, dengan ini memberikan pernyataan bahwa pada tanggal 4 Pebruari 1815 telah datang sebuah surat dari Pulau Elba yang memperkenalkan kepada para anggota perkumpulan, Jendral Flavin de Ouesnal yang pernah berdinas di bawah Kaisar Napoleon sejak 1804 sampai 1815, sebagai orang yang dipercaya masih setia kepada Napoleon sekalipun telah diberi gelar Baron oleh Raja Louis "Oleh sebab itu, sebuah surat undangan telah dikirimkan kepada Jendral de Ouesnal untuk menghadiri pertemuan yang akan diadakan keesokan harinya tanggal 5 Pebruari 1815. Surat undangan tersebut tidak mencantumkan alamat, tetapi menjanjikan akan ada orang yang menjemputnya pada jam sembilan malam hari, seandainya Jendral bersedia menghadiri pertemuan tersebut. "Pada jam sembilan malam itu, Presiden Perkumpulan menjemput sendiri Jendral de Quesnal. Jendral telah siap. Presiden mengabarkan bahwa salah satu sarat untuk menghadiri rapat tersebut, Jendral harus tetap tidak mengetahui alamat tempat rapat itu, dan bahwa ia harus bersedia ditutup matanya dan bahwa dia harus bersumpah tidak akan mencoba mengangkat penutup matanya selama itu. Jendral menyetujui persaratan ini lalu bersumpah demi kehormatan tidak akan mencoba mengetahui ke mana dia dibawa. Dalam perjalanan Presiden melihat bahwa Jendral mencoba melihat dari bawah penutup matanya lalu mengingatkannya kepada sumpahnya. *Qh, ya," jawab Jendral. Kereta berhenti di sebuah lorong yang menuju ke Rue Saint-Jacques. Dengan berpegang kepada tangan Presiden, Jendral turun dari kereta, lalu berjalan sepanjang lorong itu, menaiki tangga dan seterusnya memasuki sebuah ruangan yang dipergunakan untuk tempat pertemuan. Di sana jendral diberitahu bahwa dia boleh membuka penutup matanya. Ketika matanya terbuka, dia sangat terperanjat melihat banyak kenalannya menjadi anggota suatu perkumpulan yang sangat rahasia, yang belum pernah dicurigai Dia ditanya tentang pandangan politiknya, tetapi dia hanya menjawab bahwa surat dari Elba itu sudah cukup jelas. Franz berhenti dahulu membaca, lalu berkata, "Ayah saya seorang kaum Kerajaan. Tidak perlu menanyainya tentang pandangan politiknya, semua orang mengetahuinya." "Itulah sebabnya saya bersahabat dengan ayah Tuan.kata Villefort. "Memang mudah sekali berkawan dengan orang yang sepaham." Franz melanjutkan lagi membacanya: "Presiden mendesak Jendral agar menyatakan pandangannya lebih terperinci lagi, tetapi Jendral menjawab bahwa ia lebih dahulu ingin mengetahui apa yang mereka harapkan dari dia. Lalu kepadanya ditunjukkan surat dari Elba yang memperkenalkan Jendral sebagai orang yang dapat diharapkan bantuannya. Sebuah bagian penuh dari surat itu menceriterakan tentang akan kembalinya Kaisar dari Pulau Elba dan menjelaskan pula bahwa keterangan yang lebih terperinci akan diuraikan dalam surat lain yang akan disampaikan setelah tibanya kapal Pharaon, kapal yang dimiliki oleh perusahaan Morrel and Son dari Marseilles dan yang kaptennya seorang yang sangat setia kepada Kaisar. "Ketika dia membaca surat itu, Jendral yang diperca-, ya oleh semua anggota perkumpulan sebagai salah seorang dari mereka itu, membuat tanda-tanda yang jelas bahwa ia tidak menyetujui rencana itu. Setelah selesai membacanya ia tetap diam sambil mengerutkan dahi "Bagaimana pendapat tuan tentang surat itu, Jendral?" tanya Presiden. "Saya akan mengatakan bahwa sumpah kesetiaan kepada Raja Louis XVIII masih terlalu baru untuk diingkari lagi hanya untuk kepentingan bekas kaisar," jawab Jendral. "Jawaban ini sudah cukup jelas untuk menghapuskan keraguan kita tentang pandangan politiknya," "Jendral," kata Presiden, "bagi kami tidak ada Raja Louis XVIII dan tidak ada bekas kaisar. Vang ada, hanyalah Vang Mulia Kaisar, yang dibuang dari Pe-rancis, tanah airnya, selama sepuluh bulan terakhir ini dengan kekerasan dan pengkhianatan." "Maafkan saya, Tuan-tuan," kata Jendral, "kalau bagi Tuan-ttian tidak ada Raja Louis XVIII, bagi saya ada. Beliau mengangkat saya menjadi baron dan jendral, dan saya tidak akan melupakan bahwa kedua kehormatan itu saya peroleh berkat berhasilnya beliau kembali ke Perancis." "Harap Tuan hati-hati, Jendral," jawab Presiden. "Tuan telah membukakan mata kami bahwa kami keliru tentang Tuan. Sebuah gelar dan pangkat ternyata telah cukup untuk membuat Tuan mendukung penguasa baru yang akan kami gulingkan. Kami tidak akan memaksa Tuan untuk membantu kami atau bergabung dengan kami, namun kami akan memaksa Tuan untuk bertindak sebagai seorang jantan terhormat sekalipun Tuan tidak akan melakukannya "Apakah Tuan akan mengatakan sebagai suatu tindakan terhormat kalau saya mengetahui tempat persembunyian Tuan dan saya tidak membocorkannya? Hal demikian saya katakan sebagai bersekutu!" "Tuan dibawa ke dalam pertemuan ini tidak dengan paksa," kata Presiden, "dan ketika kami meminta Tuan ditutup mata dalam perjalanan, Tuan menyetujuinya. Ketika Tuan menuju ke mari Tuan telah mengetahui bahwa kami bukan sedang asyik memperkokoh kedudukan Louis XVIII. Kalau demi kian buat apa kami bersusah-payah bersembunyi dari polisi. Terlalu gampang bagi Tuan bersedia ditutup mata untuk mengetahui suatu rahasia, lalu menanggalkannya dan seterusnya mengkhianati orang yang mempercayai Tuan. Pertama-tama hendaknya Tuan katakan dengan tegas apakah Tuan berpihak kepada Raja yang kebetulan sekarang sedang berkuasa atau berpihak kepada Yang Mulia Kaisar." "Saya berpihak kepada Raja," jawab Jendral. "Saya telah bersumpah setia kepada Raja Louis XVIII dan saya akan memegang teguh sumpah itu." "Jawaban Jendral ini disambut dengan gerutu hadirin. Jelas sekali banyak anggota perkumpulan mempertimbangkan untuk membuat Jendral menyesali kata-katanya yang terburu nafsu itu." Presiden meminta hadirin untuk tenang. "Jendral," katanya, "Tuan cukup berakal sehat untuk menyadari akibat dari keadaan ini, dan keterbukaan Tuan itulah yang menentukan sarat-sarat yang harus kami kenakan kepada Tuan. Tuan harus bersumpah demi kehormatan Tuan untuk tidak membocorkan apa-apa yang Tuan ketahui di sini." Jendral berteriak sambil memegang hulu pedangnya, "Kalau Tuan berbicara tentang kehormatan, sebaiknya Tuan mengetahui dahulu hukumnya dan jangan memaksa saya!" "Dan Tuan sendiri," kata Presiden dengan ketenangan yang lebih mengesankan daripada kemarahan Jendral, "jangan menyentuh pedang itu. Saya menase-hatkan sekali untuk tidak melakukannya." Jendral memandang ke sekelilingnya sebagai awal kegelisahannya. Sekalipun demikian ia masih berkata dengan tegas, "saya tidak akan bersumpah.""Bila demikian, tuan mesti mati," kata Presiden tenang. "Wajah Jendral berubah pucat dan sekali lagi ia melihat ke sekelilingnya. Beberapa anggota berbisik-bisik satu sama lain dan masing-masing memegang senjatanya di balik mantel. Tetapi Jendral tetap diam. "Tutup pintu," kata Presiden kepada para penjaga. Lalu Jendral maju selangkah dan dengan ihtiar sekuat tenaga untuk menguasai diri, ia berkata, "Saya mempunyai seorang anak laki-laki; karena saya sekarang berada di tengah-tengah pembunuh saya harus memikirkan nasibnya." "Setiap orang mempunyai hak untuk menghina lima puluh orang!" kata Presiden, "itu adalah haknya orang yang lemah. Tetapi Tuan keliru kalau menggunakan hak itu. Be r su m paid ah, Jendral, dan jangan menghina kami" Sekali lagi Jendral terkalahkan oleh kelebihan wibawa Presiden. Dia ragu-ragu sebentar, lalu bertanya, "Sumpah apa yang Tuan kehendaki?" "Begini: Saya bersumpah demi kehormatan saya bahwa saya tidak akan membocorkan kepada siapa pun juga apa yang saya dengar antara jam sembilan dan sepuluh malam pada tanggal 5 Pebruari 1815, dan saya mengatakan bahwa saya bersedia mati seandainya saya mengingkari sumpah saya ini." "Kelihatan bahwa Jendral mengalami sedikit kebingungan yang menyebabkan dia tidak dapat menjawab untuk sementara waktu. Akhirnya dengan keengganan yang tidak tersembunyikan dia mengucapkan sumpah yang diminta itu, tetapi dengan suara yang sangat lemah sehingga sukar untuk didengar. Beberapa anggota menuntut agar ia mengulanginya dengan keras. Jendral melakukannya sekali lagi. Lalu dia bertanya, "Apakah saya bebas untuk pergi?" Presiden bangkit dari duduknya, menunjuk tiga orang anggota untuk mengawaninya, lalu naik ke dalam kereta bersama Jendral yang telah ditutup lagi matanya. "Ke mana Tuan ingin kami antarkan?" tanyanya kepada jendral. "Ke mana saja asal saya dapat terlepas dari kehadiran Tuan," jawab Jendral Quesnal. "Hati-hati" kata Presiden, "sekarang Tuan tidak lagi berada dalam suatu pertemuan, melainkan berhadapan dengan perorangan. Jangan menghina, kecuali kalau Tuan menghendaki diminta pertanggungan jawab untuk penghinaan itu." Tetapi Jendral tidak memahami bahasa itu. Dia menjawab. "Dalam kereta ini Tuan sama beraninya dengan ketika dalam pertemuan, hanya karena alasan yang sederhana sekali, yaitu bahwa empat orang selalu lebih kuat dari seorang." "Presiden memerintahkan kereta berhenti. Mereka baru saja sampai di Quai des Ormes di mana ada tangga yang menuju ke sungai. "Mengapa berhenti di sini?" Jendral bertanya. "Karena Tuan telah menghina seseorang. Dan karena orang itu tidak mau melanjutkan selangkah pun sebelum menuntut penyelesaian yang terhormat." "Ini hanya merupakan bentuk lain dari pembunuh-an!" kata Jendral. "Jangan mencoba berteriak meminta tolong" kata Presiden, "kecuali kalau Tuan menghendaki saya menganggap Tuan sebagai salah searang yang saya maksudkan tadi dalam pertemuan sebagai seorang pengecut yang menggunakan kelemahannya sebagai perisai. Sekarang, Tuan seorang diri dan hanya seorang pula yang akan melayani Tuan. Tuan mempunyai sebilah pedang di pingang, saya pun mempunyai sebuah dalam tongkat ini. Salah seorang dari tuan-tuan ini akan menjadi saksi Tuan. Sekarang Tuan boleh membuka tutup mata.9 Jendral segera melepaskan penutup matanya. Keempat orang itu turun dari kereta." Franz berhenti lagi membaca untuk menyeka keringat dingin dari dahinya. Ada sesuatu yang mengerikan tampak dalam wajah anak muda itu selama dia membaca keras-keras keterangan-keterangan yang tidak pernah diketahuinya tentang kematian ayahnya. Noirtier melihat kepada Villefort dengan air muka bangga dan memandang rendah. Franz membaca lagi: "Seperti dikatakan tadi, hari itu adalah tanggal S Pe-bruari 1815. Salju telah turun tiga hari berturut-turut dan tangga yang menuju sungai itu tertutup salju. Salah seorang dari saksi meminjam sebuah lentera dari perahu nelayan yang terdekat. Pedang Presiden yang bersarung tongkat lebih pendek dari pedang Jendral. Jendral mengusulkan diadakan undian untuk pemilihan pedang, tetapi Presiden mengatakan bahwa dialah yang menantang, dan ketika menantang itu dia telah berpendapat bahwa masing-masing menggunakan senjatanya sendiri. Para pembantu mencoba memperkuat saran Jendral, tetapi Presiden meminta agar mereka tidak turut campur. "Lentera diletakkan di atas tanah. Kedua lawan ber diri di kin kanannya Dan mulailah pertarungan itu. Jendral de Quesnal dikenal sebagai salah seorang pemain pedang yang mahir dalam ketentaraan, tetapi karena diserang secara keras ia kehilangan keseimbangan sampai terjatuh. Para saksi mengira ia terbunuh, tetapi lawannya, yang mengetahui bahwa ia tidak mengenainya, mengulurkan tangan membantunya untuk berdiri. Kejadian ini bukannya membuat Jendral itu menjadi lebih tenang, bahkan sebaliknya memanaskan darahnya dan ia mulai menyerang dengan hebatnya. Presiden tidak beranjak sedikit pun dari tempat berdirinya. Tiga kali Jendral mundur karena merasa jarak terlampau dekat untuk kemudian kembali lagi menyerang. Tetapi pada serangan ketiga kalinya ia jatuh tersungkur lagi. Saksi-saksi mengira ia kehilangan keseimbangannya lagi seperti tadi, tetapi ketika salah seorang dari mereka mencoba membantunya berdiri, ia merasakan sesuatu yang hangat dan basah pada tangannya. Darah. "Jendral yang hampir kehilangan kesadarannya itu masih sempat berkata, "Oh, mereka menyewa pembunuh atau gum anggar ketentaraan untuk melawanku!' Tanpa menjawab, Presiden menghampiri saksi yang memegang lentera, menyingsingkan lengan bajunya lalu memperlihatkan bahwa lengannya pun term k a pada dua tempat. Selanjutnya ia membuka jasnya dan melepaskan kancing kemejanya. Ia memperlihatkan luka ketiga pada pinggangnya. Walaupun demikian ia tidak terdengar mengeluarkan erang kesakitan sedikit pun juga. "Jendral meninggal lima menit kemudian." Franz membaca bagian ini dengan suara yang tertahan t sehingga hampir-hampir tidak dapat dipahami. Dia berhenti, mengusap mata dengan tangannya. Setelah berdiam sejenak ia melanjutkan lagi: "Presiden menuruni tangga yang menuju sungai itu . dengan darah bercucuran di atas salju. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara badan Jendral diceburkan ke dalam sungai oleh para saksi, setelah mereka yakin betul akan kematiannya. "Dengan demikian Jendral itu meninggal dalam sebuah duel yang terhormat, bukan karena penyergapan seperti disangka orang. Sebagai kesaksian atas perkara tersebut kami menandatangani pernyataan ini demi tegaknya kebenaran, kalau-kalau pada suatu saat dikemudian hari salah seorang dari pelaku kejadian ini didakwa orang sebagai pembunuh atau pelanggar hukum. 'Tertanda: B AUREPAIRE DUCHAMPY LECHARPAL." "Tuan Noirtier," kata Franz setelah selesai membaca dokumen yang menggetarkan jiwanya itu, "oleh karena tampaknya Tuan mengetahui seluk-beluk kejadian ini sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya, haraplah Tuan tidak mengecewakan saya untuk dapat mengetahui nama Presiden perkumpulan itu, sehingga akhirnya saya dapat mengetahui siapa nama pembunuh ayah saya." Bagaikan seorang yang kehilangan akal Villefort meloncat menuju pintu, sedang Valentine yang tahu apa yang bakal menjadi jawaban kakek tua itu, dan yang sering sekali melihat dua bekas luka di lengan kakeknya, mundur beberapa langkah karena kekhawatiran. "Satu-satunya kekuatan yang menyebabkan saya dapat membaca dokumen itu sampai pada akhirnya adalah harapan untuk mengetahui siapa yang membunuh ayah saya," kata Franz selanjutnya. "Demi Tuhan, Tuan Noirtier, katakanlah dengan cara apapun juga sehingga saya dapat mengerti. . ." "Baik," kata Noirtier dengan matanya. Lalu dia mengarahkan matanya kepada kamus. Franz mengambil kamus itu dengan tangan gemetar, lalu menyebut abjad satu demi satu sampai orang tua itu menghentikannya pada huruf S. Franz meluncurkan jarinya sepanjang kata-kata dalam kamus. Sementara itu Valentine menyembunyikan mukanya di balik kedua belah tangannya. Akhirnya Franz sampai kepada kata "saya". "Betul," kata Noirtier. 'Tuan!" seru Franz. 'Tuankah yang membunuh ayah saya?" "Betul," jawab Noirtier sambil menatap wajah anak muda itu dengan pandangan seorang raja. Dengan lunglai Franz jatuh ke sebuah kursi. Villefort membuka pintu dan berlari ke hiar oleh karena tiba-tiba saja disergap keinginan untuk merenggut kehidupan yang masih bersarang dalam tubuh orang tua yang tak pernah dapat diajak berdamai itu. BAB XLIII FRANZ meninggalkan kamar Noirtier dalam keadaan begitu terpukul sehingga Valentine sendiri pun merasa iba kepadanya. Setelah menggumamkan kata-kata yang tidak dipahami, Villefort bergegas mengunci dirinya di ruang kerjanya. Dua jam kemudian dia menerima surat berikut: "Dengan dibongkarnya fakta-fakta pagi ini jelas sekali Tuan Noirtier de Villefort beranggapan bahwa persatuan antara keluarganya dengan keluarga Tuan Franz d'Epinay tidak mungkin terjadi. Tuan d'Epinay sangat terkejut memahami kenyataan bahwa Tuan de Villefort yang mengetahui rahasia ini tidak pernah berupaya untuk memberitahukan sebelumnya ini" Surat yang tajam dari seorang anak muda yang selama ini menaruh hormat kepadanya merupakan suatu pukulan maut bagi kehormatan orang seperti de Villefort. Sementara itu Valentine yang merasakan kebahagiaan dan ketakutan sekaligus pada saat yang bersamaan, mencium dan menyatakan terima kasih kepada kakeknya yang hanya dengan sebuah gerakan saja telah mampu memutuskan rantai yang dianggapnya tak mungkin terputuskan. Dia meminta diri pergi ke kamarnya sendiri untuk menenangkan diri. Izin itu diberikan dengan isarat matanya. Tetapi, bukan kamarnya yang ia tuju, melainkan kebun. Maximilien telah menantinya di pintu gerbang. Tadi, Maximilien telah melihat Franz dan de Villefort meninggalkan pekuburan bersama-sama seusainya upacara penguburan Tuan dan Nyonya de Saint- Meran dan dia menyangka mesti akan terjadi sesuatu. Oleh sebab itu ia berjaga jaga di luar tembok, siap untuk bertindak dengan penuh kepercayaan bahwa Valentine akan berlari kepadanya pada kesempatan yang pertama. Ketika melihat kedatangan Valentine, hatinya merasa yakin. Ketika mendengar katakata Valentine yang pertama hatinya melonjak karena gembira. "Kita selamat!" kata Valentine. "Selamat?" Maximilien mengulangi, tidak percaya kepada nasib yang sangat baik itu. "Siapa yang menyelamatkan kita?" "Kakek. Oh, engkau harus mencintainya, Maximilien!" Maximilien bersumpah akan mencintai orang tua itu sepenuh hati. Sumpah itu tidak sukar keluar dari lubuk hatinya, karena pada saat itu ia tidak merasa puas dengan hanya mencintainya sebagai sahabat saja atau sebagai seorang ayah, melainkan mau memujanya seperti kepada malaikat. 'Tetapi bagaimana beliau melakukannya?" tanya Maximilien. Valentine sudah akan membuka mulutnya untuk menceriterakan segala-galanya, tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa ceriteranya itu akan menyangkut sebuah rahasia besar yang juga melibatkan orang lain selain kakeknya. "Akan aku ceriterakan nanti," katanya. "BUa?" "Kalau aku sudah menjadi istrimu." Jawaban ini cukup membuat Maximilien menyetujui saja. Sebab itu dia sudah merasa puas dengan apa yang sudah dikatakan Valentine, yang cukup untuk sehari itu. Namun demikian dia meminta agar Valentine menemuinya lagi esok hari. Valentine memberikan janji itu dengan senang hati. Pandangan Valentine kini berubah sama sekali. Sekarang ia merasa lebih percaya bahwa ia akan kawin dengan Maximilien daripada tidak akan kawin dengan Franz. Esok harinya Noirtier meminta notaris datang lagi. Surat wasiatnya yang terdahulu disobek dan menyuruh membuat lagi yang baru, di dalamnya ditetapkan bahwa ia akan mewariskan seluruh kekayaannya kepada Valentine, asal saja dia tidak dipisahkan daripadanya. Banyak orang segera memperhitungkan bahwa Nona Valentine de Villefort, satusatunya ahli waris Tuan dan Nyonya de Saint-Meran dan diangkat kembali menjadi ahli waris Tuan Noirtier, pada suatu saat nanti akan mempunyai penghasilan hampir tiga ratus ribu frank setahun. Sementara perkawinan Valentine dibatalkan, Count of JMorcerf mengenakan seragam letnan jendralnya, menghiasinya dengan semua tanda kehormatan yang dimuakinya, lalu meminta disiapkan kuda-kudanya yang terbaik untuk berkunjung kepada Baron Danglars. Bankir itu sedang sibuk mempelajari neraca bulanannya, dan dalam waktu-waktu terakhir ini sukar sekali menjumpai dia dalam keadaan yang cerah gembira. Ketika sahabat lamanya masuk, ia mencoba memperlihatkan air muka ke-bangsawanannya dan duduk tegak di kursinya. Sebaliknya, Morcerf yang biasa kaku dan resmi pada kesempatan ini berusaha meninggalkan kekakuannya dengan tersenyum ramah. 'Inilah aku, Baron," katanya. "Selama ini kita tidak pernah berbuat sesuatu untuk melaksanakan rencana kita "Rencana apa, Count?" tanya Danglars, seakan-akan tidak dapat memahami apa yang dimaksud oleh Morcerf. "Ah, akU tahu sekarang bahwa engkau seorang yang suka resmi dan menghendaki upacara sesuai dengan kebiasaan. Baik." Dengan senyum yang dipaksakan Morcerf berdiri, membungkuk dalam-dalam kepada Danglars lahi berkata, "Baron Danglars, bolehkah saya mempunyai kehormatan untuk meminang puteriTuan, Nona Eugenie Danglars untuk anak saya, Viscount Albert de Morcerf." Tetapi Danglars bukannya memberi jawaban yang menyenangkan seperti yang diharapkan oleh Morcerf, melainkan mengerutkan dahi sambil berkata, "Sebelum memberi jawaban, Count, saya memerlukan sedikit waktu untuk memikirkannya lebih dahulu." "Untuk memikirkannya dahulu!" seru Morcerf terheran-heran. "Bukankah engkau telah mempunyai waktu delapan tahun untuk memikirkannya sejak kita merundingkannya?" "Count, setiap hari timbul kejadian-kejadian yang mengharuskan kita meninjau kembali segala persoalan yang pernah kita anggap sebagai telah selesai diputuskan." "Maaf, Baron, tetapi saya tidak dapat memahami apa y an Tuan maksudkan." "Yang saya maksudkan, bahwa belum lama ini timbul keadaan-keadaan baru dan bahwa .,." "Ungkapan yang samar-samar, bahkan kosong, Baron. Ungkapan itu mungkin saja dapat memuaskan orang biasa, tetapi Count of Morcerf bukanlah orang biasa. Apabila ada orang menarik kembali janji yang telah diberikan kepadanya, dia berhak menuntut alasan-alasan yang masuk akal." Sekalipun sebenarnya Danglars seorang pengecut, namun tidak mau tampak sebagai pengecut. Selain dari itu, ia merasa tersinggung mendengaf nada suara Morcerf. "Saya mempunyai alasan yang kuat," jawabnya, "tetapi akan sukar sekali mengatakannya kepada Tuan." "Suatu hal dapat dipastikan, Tuan menolak menikahkan * puteri Tuan kepada anak saya." "Bukan begitu, saya hanya menangguhkan keputusan saya." 'Tetapi pasti Tuan tidak akan menikmati keangkuhan Tuan dengan mengira bahwa saya akan sedia menuruti kehendak Tuan dan menunggu dengan patuh datangnya kemurahan hati Tuan!" "Apabila Tuan tidak dapat menunggu, baiklah kita anggap rencana kita sebagai batal saja." Morcerf menggigit bibirnya untuk menahan ledakan amarahnya yang sudah menjadi darah dagingnya, oleh karena ia masih sadar bahwa dalam keadaan seperti itu dialah yang akan menjadi bahan tertawaan apabila dia tidak dapat menahan diri. Dia sudah sampai di ambang pintu keluar ketika tiba-tiba saja ia merubah lagi pendiriannya. Dia ber-balik dan kembali lagi. Air mukanya yang marah karena tersinggung telah berubah. "Kita sudah berkenalan selama bertahun-tahun, Baron " katanya, "sebab itu pantas kita saling menghargai. Setidak-tidaknya Tuan dapat mengatakan kejadian buruk apakah yang menyebabkan anak saya kehilangan nilai di mata Tuan." "Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan anak Tuan secara pribadi. Hanya itulah yang dapat saya katakan," jawab Danglars yang menjadi sombong lagi setelah melihat kelunakan Morcerf. "Kalau begitu, dengari siapa?" tanya Morcerf kurang enak. Danglars menatap Morcerf dengan keyakinan diri yang lebih dari semula laki berkata. "Berterimakasihlah karena saya tidak memberikan penjelasan yang terperinci" BAB XLTV MAXIMILIEN sangat berbahagia. Tuan Noirtier baru saja menyuruh Barrois memanggilnya. Dia ingin segera mengetahui apa maksud panggilan itu sehingga ia lebih percaya kepada kakinya sendiri daripada kepada kaki-kaki kuda kereta. Itulah sebabnya dia berlari-lari menuju rumah Tuan Noirtier dengan Barrois di belakangnya mencoba mengikutinya. Maximilien berumur tiga puluh, Barrois enam puluh. Maximilien dibakar semangatnya oleh api cinta sedangkan Barrois kepayahan karena kepanasan. Ketika sampai, Maximilien seperti tidak merasa cape, karena cinta memang bersayap, tetapi Barrois yang sudah bertahun-tahun tidak pernah jatuh cinta lagi, basah kuyup bermandikan keringat. Pelayan tua itu mempersilakan Maximilien masuk melalui pintu khusus. Tak lama kemudian suara gemerisik gaun wanita memberi tahukan kedatangan Valentine. Dia tampak cantik sekali dengan pakaian paginya. Maximilien sangat terpesona sehingga ia akan merasa gembira sekati, pun seandainya tidak jadi bertemu dengan Tuan Noirtier yang memanggilnya. Tetapi kakek tua itu telah datang, didorong di atas kursi rodanya. Maximilien segera mengucapkan terima kasih untuk jasa-jasa Noirtier yang telah menyelamatkan Valentine dan dia sendiri dari kedukaan. Noirtiei menjawabnya dengan pandangan mata yang penuh kemurahan hati. Lalu dia mengarahkan matanya kepada Valentine yang sedang duduk agak kemalu-maluan di sudut "Apakah perlu saya menceriterakan semua yang Kakek katakan kepada saya?" Valentine bertanya. "Ya," isarat Noirtier. "Maximilien, Kakek telah banyak sekali berceritera dalam tiga hari terakhir ini," kata Valentine. "Beliau memanggilmu sekarang supaya aku menceriterakannya kembali kepadamu. Oleh karena aku hanya sebagai penterjemah semata-mata, aku akan mengatakan semuanya sama seperti yang dikehendaki beliau." "Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya," jawab Maximilien Valentine merendahkan pandangan matanya, suatu hal yang membuat Maximilien penuh harap, karena Valentine selalu merasa lemah apabila dia sedang berbahagia. "Kakek ingin meninggalkan rumah ini," katanya. "Barrois akan mencari sebuah apartemen yang memadai. Seandainya ayah mengizinkan, aku akan tinggal bersama Kakek dan akan meninggalkan rumah ini segera pula. Seandainya tidak, aku akan menunggu sampai cukup usia, berarti delapan belas bulan lagi dari sekarang. Pada waktu itu aku bebas, dan aku akan mempunyai penghasilan dan kekayaan sendiri dan . . "Dan?" tanya Maximilien. "Dan, dengan restu Kakek aku akan menepati janjiku kepadamu." Kata-kata terakhir diucapkannya dengan perlahan sekali sehingga Maximilien tidak akan dapat mendengarnya kalau saja ia tidak sedang mengikuti pembicaraan Valentine dengan seksama. "Apakah saya tidak keliru, Kakek?" tanya Valentine kepada kakeknya. 'Tidak." "Oh!" Maximilien tak dapat menahan serunya. Segera dia bersimpuh di muka kakek tua itu seakan-akan berlutut di hadapan Tuhan, dan bersimpuh di muka Valentine seperti dia bersimpuh di hadapan malaikat. "Apakah jasa saya sehingga patut menerima kebahagiaan seperti ini?" Noirtier memandang kepada kedua anak muda yang sedang dilanda cinta itu dengan penuh perasaan kasih. Barrois yang berdiri agak jauh dari mereka tersenyum sambil menghapus butir-butir keringat yang masih membasahi dahinya. "Oh, Banois sangat kepanasan. Kasihan," kata Valentine. "Karena saya habis berlari dengan cepat, Nona," jawab Barrois. "Namun demikian saya akui bahwa Tuan Morrel berlari lebih cepat dari saya." Noirtier mengarahkan matanya kepada sebuah baki yang di atasnya ada sebuah tempat air jeruk dan sebuah gelas. Noirtier telah meminumnya sebagian setengah jam yang lalu. Minumlah air jeruk ini, Barrois," kata Valentine. "Kulihat engkau sangat mengmginkannya." "Kalau saya boleh berterus-terang, Nona, saya hampir mati kehausan," jawab Barrois, "dan saya akan sangat bergembira sekali apabila dapat minum demi kesehatan Nona dengan air jeruk ini." "Minumlah, dan kembali lagi nanti ke mari" Barrois mengambil baki itu dan segera setelah ia berada di luar kamar dengan sekali teguk ia menghabiskan gelas yang telah diisi air jeruk oleh Valentine. Valentine dan Maximilien sedang saling mengucapkan kata berpisah ketika mereka mendengar suara bel berbunyi di tangga. Berarti ada tamu. Valentine melihat jam. "Hari telah siang," katanya, "dan hari ini, hari Sabtu. Mesti dia dokter. Apakah Maximilien hams pergi, Kakek?" **Ya," "Barrois!" Valentine berteriak. "Ke mari!" Suara pelayan tua itu menjawab, "Saya datang, Nona." "Barrois akan menunjukkan jalan" kata Valentine kepada Maximilien. Barrois masuk. "Siapa yang membunyikan bel?" "Dokter d'Avrigny," jawab Barrois terhuyung huyung "Mengapa engkau, Barrois?" tanya Valentine heran. Barrois tidak menjawab. Dia melihat kepada majikannya dengan penuh ketakutan. Tangannya mencoba meraih sesuatu untuk menahan dirinya. "Dia hampir jatuh!" Maximilien berseru. Barrois makin sempoyongan. Wajahnya menunjukkan adanya serangan penyakit yang gawat dan mendadak. Dia maju beberapa langkah lagi menuju Noirtier. "Ya, Tuhan!" katanya dengan susah payah. "Mengapa saya ini? Sakitnya . . . mata saya kabur . . . kepala seperti dibakar. Oh, jangan sentuh saya!" Matanya berputar Uar, kepalanya terkulai ke belakang, sedangkan anggota badan lainnya kaku. "Dokter d'Avrigny! Dokter d'Avrigny!" Valentine berteriak-teriak- "Ke mari cepat! Tolong!" Barrois membalikkan badan, mundur lalu terjatuh di depan kaki Noirtier. Villefort yang mendengar teriakan Valentine muncul di ambang pintu. Maximilien segera menyembunyikan diri di belakang tirai. Mata Noirtier berkilat-kilat karena tidak sabar dan cemas. Seakan-akan seluruh perasaan harinya tertumpah kepada orang tua yang malang itu, yang lebih merupakan sahabat daripada pelayan. Urat-urat wajah Barrois bergerak menegang, matanya merah seakan-akan berdarah, lehernya terkulai lemah, tangannya menggapai-gapai. Kakinya begitu kaku, sehingga seakan-akan mungkin patah kalau ditekukkan. Bintik-bintik buih keluar dari sela-sela bibirnya ketika dia mengerang kesakitan. Villefort memandang Barrois dengan mata melotot dan mulutnya ternganga. Dia tidak melihat Maximilien. Segera dia membalikkan badan dan berlari sambit berteriak. "Dokter! Dokter!Dokter!Tolong!" Nyonya de Villefort masuk dengan diam-diam_ Pandangannya yang pertama diarahkan kepada Noirtier yang dalam keadaan serupa ini layak terpengaruh oleh berbagai perasaan, namun tetap segar bugar. Lalu dia melihat kepada Barrois yang seperti sedang di ambang kematian. "Demi Tuhan, Ibu, di mana Dokter?" tanya Valentine. "Di kamar Edouard, sedang memeriksanya. Dia agak sakit hari ini," jawab Nyonya de Villefort. Lalu dia meninggalkan ruangan itu. Maximilien keluar dari persembunyiannya. Tak seorang pun memperhatikannya dalam kebingungan seperti itu. "Segera pergi, Maximilien," kata Valentine, "dan tunggu sampai aku menyuruh orang." Maximilien menekankan tangan Valentine ke dadanya lalu pergi melalui pintu khusus. Beberapa detik kemudian Villefort masuk bersama dokter dari pintu yang lain. Barrois kelihatan sudah mulai akan sadar kembali Serangan pertama telah berlalu. Terdengar keluhannya perlahan-lahan, dan dia mencoba duduk pada sebuah lututnya. Villefort dan Dokter d'Avrigny menggotongnya ke kursi panjang. "Obat apa yang diperlukan, Dokter?" tanya Villefort. "Tolong ambilkan air bening dan eter. Apa Tuan mempunyainya?" "Ada." *TJan tolong suruh orang mencari minyak terpenten dan sedikit obat muntah." "Kau, ambil!" perintah Villefort kepada salah seorang pelayannya. "Sekarang saya harap semua meninggalkan kamar ini." "Apakah saya pun harus pergi-" tanya Valentine agak malu-malu "Ya, terutama sekali Nona," jawab dokter itu pendek. Valentine menatap wajah dokter itu dengan agak heran, mencium dahi Noirtier lahi pergi. Dokter menutup pintu dengan air muka muram setelah Valentine keluar. "Bagaimana perasaanmu sekarang, Barrois?" tanyanya. "Sedikit baik, Dokter " "Bisa kau meminum air dengan eter ini?" "Akan saya coba, tetapi harap jangan sentuh saya" "Mengapa?" "Karena rasanya, kalau saya tersentuh, sekalipun dengan ujung jari, serangan akan datang lagi "Minumlah." Barrois menerima gelas, mendekatkan bibirnya yang keungu-unguan ke bibir gelas lalu meminum setengah dari isinya. "Rupanya serangan itu mendadak sekali," kata Dokter. "Seperti kilat" "Bagaimana perasaanmu kemarin atau kemarin dahulu?" "Tidak merasakan apa-apa." "Apa yang kau makan hari ini?" "Belum makan apa-apa. Saya hanya minum sedikit saja air jeruk Tuan Noirtier. Hanya itu." Barrois mengangguk kepada Noirtier yang tanpa bergerak sedikit pun mengawasi dan mendengarkan seksama dari kursi rodanya. "Di mana air jeruk itu sekarang?" tanya Dokter dengan cepat. "Di dapur." "Apa saya ambilkan, Dokter?" tanya Villefort. "Biar, tinggal saja di sini Saya akan mengambilnya sendiri" Dia berlari keluar dan turun ke dapur melalui tangga khusus untuk paia pelayan. Hampir saja dia menubruk Nyonya de Villefort yang juga sedang menuju dapur. Nyonya de Villefort berteriak terkejut, namun dokter tidak mengacuhkannya. Didorong oleh prasangkanya yang kuat dia melompati tiga empat anak tangga terakhir, lalu berlari cepat ke dapur. Di sana dia melihat tempat air jeruk di atas baki. Isinya hanya tinggal seperempat. Dia menyambarnya seperti burung elang menyambar mangsanya, kemudian berlari kembali ke kamar Noirtier. Napasnya hampir habis. Nyonya de Villefort menaiki kembali tangga dengan perlahan-lahan ke kamarnya sendiri. "Betul ini?" tanya Dokter d'Avrigny. "Benar, Tuan." "Ini pula yang kauminum?" "Saya kira begitu." "Bagaimana rasanya?" "Sedikit pahit" Dokter menuangkan air jeruk itu sedikit ke telapak tangannya, lalu mencicipinya. Segera pula ia meludahkan-aya kembali ke dalam tungku api "Sama," katanya. "Apakah Tuan juga meminum air jeruk ini, Tuan Noirtier?" "Ya," jawab Noirtier dengan matanya. "Terasa pahit juga?" "Ya." "Oh, Dokter!" Barrois berteriak. "Saya terserang kembali! Ya, Tuhan kasihanilah saya!" "Tolong lihat apa sudah dapat obat muntah itu," kata dokter kepada de Villefort. Villefort berlari keluar sambil berteriak, "Obat muntah! Obat muntah mana?" Tak seorang pun menjawab. Suasana ketakutan dan kekhawatiran mencekam seluruh rumah. Barrois terserang lebih hebat dari pertama kali. Karena tidak dapat menolong meringankan penderitaannya, dokter meninggalkannya dan menghampiri Noirtier. "Bagaimana dengan Tuan?" katanya dengan suara di-tahan. "Baik-baik saja?" "Ya." "Barroiskah yang membuatkan air jeruk itu?" "Ya." "Tuankah yang menyuruh dia meminumnya?" "Bukan." "Tuan de Villefort?" "Bukan." "Nyonya de Villefort?" "Bukan." "Valentine?" "Ya." Dokter d Avrigny kembali kepada Barrois dan bertanya, "Siapa yang membuat air jeruk itu?" "Saya." "Lalu engkau langsung mengantarkannya kepada Tuan Noirtier?" "Tidak, karena saya disuruh dahulu melakukan sesuatu yang lain. Karena itu saya tinggalkan air jeruk itu di lemari makanan." "Jadi siapa yang mengantarkannya ke mari?" "Nona Valentine." Dokter memukul dahinya sendiri sambil berkata, "Ya Tuhan! Ya Tuhan!" "DokterJDokter!" Barrois menjerit-jerit Dia merasakan datangnya serangan yang ketiga kalinya. Napas saya! Jantung! Kepala! Apa saya harus lama menderita, Dokter?" "Saya mengerti," jawab Barrois yang sudah tak berdaya itu. "Ya Tuhan, ampunilah saya!" Dia jatuh terkulai dibarengi jeritan yang mengerikan seakan-akan disambar petir. Dokter meraba detak jantung Barrois lalu berkata kepada Villefort, "Tolong ambilkan sirup bunga." Villefort pergi dan kembali sesaat kemudian. "Masih pingsan?" tanyanya. "Dia sudah mau.' Villefort terlompat selangkah ke belakang, memegang kepalanya dengan kedua belah tangannya, lalu berkata dengan suara sedih, "Begitu cepat?" "Ya, cepat sekali, bukan?" kata Dokter. "Tetapi itu tak perlu mengagetkan Tuan. Tuan dan Nyonya de Saint-Meran juga meninggal secara mendadak. Banyak orang yang mati mendadak dalam rumah ini, Tuan de Villefort ' "Apa!"seru Villefort dengan nada ketakutan dan terkejut. "Masihkan Tuan dipengaruhi prasangka itu?" "Tak pernah hilang dari ingatan saya sesaat pun," jawab dokter itu tenang. "Dan saya akan membuktikan bahwa saya tidak keliru. Dengarkanlah baik-baik, Tuan de Villefort." Villefort gemetar bagaikan orang yang kena sawan. "Ada sejenis racun yang sangat mematikan tanpa meninggalkan bekas," kata dokter. "Saya telah menyelidiki jenis racun itu dan saya kenal benar kepada akibat-akibatnya. Saya baru saja melihat akibat-akibat itu pada Barrois yang malang, dan saya juga melihatnya pada Nyonya de Saint-Meran. Ada cara untuk membuktikan adanya racun tersebut dalam suatu cairan. Cairan beracun itu akan mengubah kertas lakmus menjadi biru dan mengubah sirup bunga yang ungu menjadi hijau. Kita tidak mempunyai kertas lakmus di sini, tetapi ada sirup bunga. Perhatikanlah." Dokter menuangkan air jeruk dengan hati-hati ke dalam cangkir berisi sirup bunga. Mula-mula warna sirup itu berubah menjadi kebiru-biruan, lalu sedikit demi sedikit berubah lagi menjadi hijau. Percobaan itu menghilangkan semua keragu-raguan. "Barrois yang malang diracun dengan brucine," kata Dokter d'Avrigny. "Sekarang saya telah siap untuk menjawab kebenaran Uli baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia." Villefort terhenyak ke atas kursi tanpa berkata sepatah pun, tak berdaya seperti mayat Barrois. Segera dokter menyadarkannya kembali. "Oh, kematian berada dalam rumahku!" katanya gemetar. "Pembunuhan berada dalam rumah Tuan," kata Dokter membetulkan. "Apakah Tuan mengira racun itu ditujukan kepada pelayan malang itu? Tuan Noirtier telah meminumnya sebagian bagaikan minum air biasa. Barrois meminumnya karena kecelakaan. Dan sekalipun Barrois yang menjadi korban, sebenarnya Noirtier yang diincar." "Tetapi mengapa ayah saya masih tetap hidup?" "Seperti telah saya katakan di kebun setelah meninggalnya Nyonya de Saint-Meran, dia sudah kebal terhadap racun itu, sehingga racun dalam jumlah tertentu yang tidak akan berakibat apa-apa kepadanya, telah mematikan Barrois. Tak seorang pun, bahkan juga si pembunuh, mengetahui bahwa saya selama ini mengobati kelumpuhan Tuan Noirtier dengan racun brucine. Mari sekarang kita ikuti jejak-jejak pembunuh itu. Mula-mula dia membunuh Tuan de Saint-Meran, lalu Nyonya de Saint-Meran . . . warisan berganda dapat diharapkan dari kematiannya. Tuan Noirtier telah mencabut hak waris keluarganya, dan bermaksud mewariskan kekayaannya kepada orang-orang miskin. Dia selamat. Tetapi segera setelah ia merubah lagi surat wasiatnya, segera itu pula ia menjadi calon korban berikutnya. Surat wasiat yang baru itu baru dibuat kemarin dulu. Nah, Tuan lihat, tak ada waktu yang dibuang-buang." "Oh, maafkan anak saya, Tuan d'Avrigny!" gumam Villefort. "Ah, Tuan menyebut sendiri nama itu. Tuan ayahnya." "Kasihanilah Valentine! Dengarkan saya, Dokter, tidak mungkin! Saya lebih suka menyalahkan diri sendiri daripada menyalahkan dia!" 'Tiada maaf! Kejahatan itu telah jelas sekali dan amat keji Putri Tuan yang membungkus obat yang dikirimkan kepada Tuan de Saint-Meran, dan dia mati Dia pula yang menyediakan makanan Nyonya de Saint-Meran, dan dia mati mendadak. Dia yang mengantarkan tempat air jeruk kepada Tuan Noirtier, dan Tuan Noirtier selamat karena suatu keajaiban." "Dengarkan!" Villefort berteriak. "Kasihanilah saya, tolong saya! Tidak, anak saya tidak bersalah. Saya tidak mau menggusur anak saya ke tiang gantungan dengan tangan saya sendiri. Pikiran itu saja sudah menyebabkan saya mau merobek-robek jantung saya sendiri rasanya Bagaimana bila di kemudian hari ternyata Tuan keliru Bagaimana kalau orang lain yang melakukannya, bukan Valentine? Bagaimana kalau pada suatu hari nanti saya datang kepada Tuan dan berkata, "Kau membunuh anakku!" "Baik," kata dokter itu setelah diam sejenak. "Saya akan menunggu." Villefort menatap wajah dokter itu seakan-akan dia tidak percaya kepada apa yang didengarnya. "Tetapi," lanjut Dokter dengan suara rendah dan khidmat, "bila ada orang lain dalam rumah ini jatuh sakit, atau Tuan sendiri yang terkena, jangan memanggil saya oleh karena saya tidak mau lagi kembali ke rumah ini. Saya bersedia memegang rahasia Tuan yang mengerikan ini, tetapi saya tidak bersedia membiarkan rasa malu dan sesal tumbuh dalam jiwa saya seperti tumbuhnya kejahatan dan kedukaan dalam rumah Tuan ini. Selamat tinggal, Tuan de Villefort." BAB XLV MALAM telah larut ketika Andrea Cavalcanti kembali ke penginapannya di Hotel des Princes. Tetapi baru saja ia menginjakkan kaki di halaman hotel itu dia melihat penjaga hotel berdiri menunggunya dengan topi di tangan. "Tuan, orang itu tadi ke mari." "Orang apa?" jawab Andrea acuh tak acuh, seakan-akan ia tidak ingat lagi kepada orang yang sebenarnya dia kenal betul. "Orang yang biasa Tuan beri tunjangan." "Oh, ya," kata Andrea. "Pelayan tua ayahku. Apakah sudah kau beri uang dua ratus frank yang kutitipkan kepadamu?" "Dia menolak menerimanya, Tuan." "Apa?" "Katanya ia ingin berbicara dengan Tuan. Mula-mula ia tidak mau percaya ketika saya katakan Tuan sedang keluar. Tetapi akhirnya saya dapat meyakinkan dan ia meninggal kan surat ini untuk Tuan ' "Coba lihat," kata Andrea. Dia menerima surat itu dan membaca kalimat ini: "Engkau tahu di mana aku tinggal. Aku mengharapkan kedatanganmu besok jam sembilan pagi." "Nanti ke kamarku kalau engkau telah selesai mengurus kuda," kata Andrea kepada saisnya. Dia baru selesai membakar surat dai i Caderousse ketika sais itu masuk. "Badanmu hampir seukuran dengan badanku, Pierre?" "Ya, saya mendapat kehormatan itu" jawab sais. "Aku mempunyai janji dengan seorang wanita malam ini, tetapi aku tidak mau dia mengetahui siapa aku. Coba aku pinjam pakaian mu dan surat-suratmu." Sais menurut saja. Lima menit kemudian, dengan menyamar sepenuhnya, Andrea meninggalkan Hotel des Princes tanpa dikenal orang. Dia menyewa sebuah kereta dan meminta diantarkan ke penginapan Aurberge du Cheval Rouge di Picpus. Keesokan paginya dia meninggalkan penginapan itu menuju Rue Menilmontant dan berhenti di miika pintu rumah ketiga di sebelah kiri jalan. "Mencari siapa?" tanya seorang penjual buah-buahan di seberang jalan. "Tuan Pailletin." "Pensiuan pembuat roti itu?" "Benar." "Naiklah ke tangga di sebelah kiri, di ujung halaman itu. Dia tinggal di lantai empat." Andrea mengikuti petunjuk itu lalu membunyikan bel pada pintu di lantai empat. Beberapa saat kemudian wajah Caderousse muncul dari balik pintu. "Engkau datang tepat sekali," katanya, lalu dia menutup pintu kembali. Pada waktu memasuki ruangan itu dengan kesal Andrea melemparkan topinya ke atas sebuah kursi. Lemparannya tidak tepat, topi itu menggelinding di lantai. "Jangan marah, anak muda," kata Caderousse. "Coba lihat makanan yang akan kita sarap bersama. Semua kesukaanmu." Andrea mencium bau bawang putih dan lemak segar. Di ruang berikutnya dia melihat meja yang sudah ditata untuk dua orang, di atasnya ada dua buah botol anggur, sewadah besar brendi dan buah-buahan di atas selembar daun kol yang disusun rapi di atas sebuah piring dari tanah. "Kalau engkau meminta aku datang untuk sarapan bersama, persetan!" kata Andrea marah. "Anak muda " kata Caderousse ramah, "baik sekali kita berbicara sambil makan. Tidakkah engkau senang bertemu dengan kawan lama? Aku sendiri sangat berbahagia." "Munafik." "Seandainya aku tidak menyukaimu, apa kau kira aku akan tetap mau menjalani kehidupan buruk yang disebabkan engkau ini? Aku lihat engkau mengenakan pakaian pelayan-mu. Sebenarnya, aku pun dapat mempunyai seorang pelayan. Aku pun dapat memiliki kereta seperti milikmu, dan aku pun dapat makan di rumah makan terhormat seperti yang engkau lakukan. Dan mengapa aku tidak melakukannya? Karena aku tidak mau menyusahkan kawanku Benedetto. Tetapi engkau harus mengakui bahwa aku pun dapat memiliki itu semua apabila aku menghendakinya. Betul?" Sinar mata Caderousse menekankan makna kata-katanya tadi. "Sementara itu," katanya selanjutnya, "silakan duduk dan mari kita makan." , Andrea membuka botol anggur dan selanjutnya malahap hidangan dengan bergairah. Muda dan sehat seperti dia, nafsu makannya masih mengatasi segala-galanya. "Enak bukan?" tanya Caderousse. "Begitu enaknya sehingga aku tidak mengerti mengapa orang yang dapat memasak dan makan make n an selezat ini masih bisa merasa tidak berbahagia." "Karena kebahagianku dirusakkan hanya oleh sebuah pikiran saja," jawab Caderousse. "Maksudmu?" "Pikiran bahwa aku hidup karena pemberian seorang kawan. Aku, yang dahulu selalu dapat menghidupi diriku sendiri" "Jangan kaupikirkan tentang itu. Aku mempunyai cukup uang untuk kita berdua." "Sama saja. Hatiku penuh dengan penyesalan. Tetapi aku mempunyai satu gagasan." Hati Andrea bergetar. Gagasan Caderousse selalu saja menggetarkan hatinya. "Sangat memalukan kalau engkau selalu harus menunggu sampai akhir bulan untuk menerima tunjanganmu," lanjut Caderousse. "Kalau aku jadi engkau, aku akan minta tunjangan di muka untuk enam bulan dengan dalih akan membeli sebuah tanah pertanian. Setelah menerima uang itu lalu kabur." "Mengapa engkau tidak menuruti nasihatmu sendiri? Mengapa engkau tidak meminta tunjanganmu untuk enam bulan atau bahkan untuk setahun di muka, lalu lari ke Brussel?" "Bagaimana kau dapat mengharapkan aku dapat hidup dengan seribu dua ratus frank? Aku mempunyai rencana yang lebih baik. Dapatkah engkau tanpa mengeluarkan sesen pun dari uangmu sendiri, memberi aku lima belas ribu frank? Oh, nanti dulu, tidak cukup . . . aku tak akan dapat menjadi orang jujur kalau kurang dari tiga puluh ribu." "Tidak, aku tidak dapat," jawab Andrea pendek. "Kukira engkau tidak mengerti. Aku katakan: tanpa mengeluarkan sesen pun dari uangmu sendiri." "Engkau meminta aku mencuri sehingga aku merusak segala-galanya dan kita berdua dikembalikan lagi ke dalam penjara?" "Oh, aku tak peduli apakah kita akan tertangkap atau tidak," jawab Caderousse. "Memang aku merasa kangen kepada kawan-kawan kita di penjara sana. Hatiku tidak sekeras hatimu. Engkau tidak pernah mau bertemu kembali dengan mereka!" Sekali ini, hati Andrea bukan saja bergetar, tetapi wajahnya pun menjadi pucat. Jangan bertindak bodoh, Caderousse!" katanya berteriak. "Jangan takut, kawanku Benedetto. Yang hatus engkau lakukan hanyalah, mencarikan jalan untuk aku mendapatkan uang yang tiga puluh ribu itu tanpa melibatkan engkau dalam bentuk apapun juga." "Baik, aku akan mencoba. Aku akan membuka mata dan telingaku." "Sementara itu aku harap engkau menaikkan tunjanganku menjadi lima ratus. Aku mau menggaji seorang pelayan." "Baik, engkau akan menerima lima ratus frank sekalipun itu sebenarnya berat untuk aku." "Aku tidak melihat mengapa," kata Caderousse, "padalial uangmu mengalir dari sumber yang tanpa batas." Seakan-akan Andrea menantikan pernyataan ini. Seberkas cahaya kebanggaan bersinar di matanya, lalu menghilang lagi dengan cepat. "Benar," katanya, 'ICount of Monte Cristo memperlakukan aku dengan baik." "Dia sangat kaya, bukan?" "Pasti. Aku sering datang ke rumahnya. Dengan demikian aku dapat melihat dengan mata kepala sendiri. Beberapa hari yang lalu seorang pegawai bank mengirimkan uang sejumlah lima puluh ribu frank. Kemarin seorang pejabat bank lainnya mengirimkan seratus ribu frank dalam emas * Dan engkau masuk ke dalam rumahnya?" tanya Caderousse ingin tahu. "Kapan saja aku suka." Caderousse terdiam sebentar. Jelas sekali bahwa pikiran-nya sedang berputar-putar, bekerja. Tiba-tiba dia berkata, "Aku ingin sekali melihatnya! Pasti menakjubkan!" "Sangat menakjubkan." Bukankah dia tinggal di Avenue des Champs Etysee?" "Ya, nomor tiga puluh." "Engkau harus membawa aku ke sana suatu waktu." "Kau tahu, itu tidak mungkin." "Ya, kukira engkau benar. Tetapi, coba ceriterakan kepadaku tentang rumah itu. Besarkah rumah itu?" "Tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil." "Bagaimana pembagiannya?" "Harus kugambarkan agar jelas." "Ini!" kata Caderousse sambil pergi ke sebuah meja mengambil tinta, pena dan kertas. Andrea menerima pena itu dengan senyum yang hampir tidak tampak, lalu mulai mendenah. "Rumah itu berada antara halaman dan sebuah kebun, begini," katanya. "Bagaimana temboknya? Tinggi?" "Tidak. Paling tinggi delapan sampai sepuluh kaki." "Bagaimana keadaan lantai pertamanya?" "Di lantai pertama ada dua buah ruang duduk, sebuah ruang makan dan sebuah ruang bilyar." "Bagaimana bentuk jendelanya?" "Mengesankan sekali . . . sangat besar sehingga orang seperti aku dapat masuk melalui kotak-kotak kacanya." "Bagaimana tentang kunci-kuncinya?" "Jendela itu tidak pernah dikunci. Count of Monte Cristo itu orang yang aneh. Dia senang sekali melihat langit di malam hari." "Di mana para pelayan tidur?" "Mereka tidur di bangunan yang terpisah, di sebelah kananmu kalau engkau memasuki halaman. Baru kemarin aku mengatakan kepada Count: Tuan kurang hati-hati. Kalau Tuan pergi ke Auteuil dan membawa semua pelayan, rumah ini kosong sama^ekali. Pada suatu hari pasti rumah ini dirampok." "Dan bagaimana jawabannya?" "Katanya, 'apa peduli saya kalau saya dirampok?*" "Dia tentu mempunyai sebuah meja bermesin." "Apa maksudmu?" "Meja yang dapat menjebak pencuri dan secara otomatis memberikan tanda bahaya. Aku pernah melihat contohnya dalam sebuah pameran terakhir ini." "Tidak, dia hanya memiliki sebuah meja biasa." "Dan belum pernah ada orang mencuri sesuatu dari dalam rumahnya?" 'Tidak, semua pelayannya sangat setia." "Tentu laci meja itu banyak sekali isinya?" "Mungkin sekali. Tak seorang pun tahu apa isinya." "Di mana letaknya meja itu?" "Di lantai kedua." "Coba gambarkan keadaan lantai dua itu." "Baik." Andrea mengambil lagi penanya. "Ini ruang tunggu dan ruang duduk," katanya. "Di sebelah kiri ruang duduk ada ruang perpustakaan. Di sebelah kanan ruang duduk ada kamar tidur dan kamar hias. Meja itu berada di kamar hias." "Apakah kamar hias ini berjendela?" "Ada dua . . . di sini dan di sini. Andrea menggambarkan letak jendela itu pada denahnya. Caderousse berpikir. "Apakah ia sering pergi ke rumahnya di Auteull?" "Dua atau tiga kali seminggu. Besok, umpamanya, dia bermaksud menghabiskan hari siangnya di sana dan terus bermalam di sana juga." "Yakin?" "Dia mengundangku makan malam di sana." "Engkau akan memenuhinya?" '*Mungkin." "Dan kalau engkau datang untuk makan malam, apakah engkau juga akan menginap di sana?" "Aku mau." Caderousse manatap wajah anak muda itu dengan tajam seakan-akan ia hendak mengorek kebenaran kata-katanya dari lubuk hatinya. Tetapi Andrea mengambil kotak cerutu dari kantong bajunya dengan tenang, menyulut sebuah lalu mengisapnya dengan gaya yang wajar sekali. "Kapan engkau menghendaki uangmu yang lima ratus frank itu?" "Sekarang juga, kalau engkau membawanya." "Aku tak pernah membawa uang lima ratus frank dalam saku" "Titipkan saja kepada penjaga hotel itu, nanti aku menjemputnya." "Hari ini?" "Tidak, besok." "Dan engkau tidak akan mengganggu aku lagi, bukan?" "Tidak akan. Tetapi dengarlah nasihat yang bersahabat "Apa?" "Aku nasihatkan agar engkau meninggalkan cincin intan itu padaku. Bagaimana mungkin engkau melakukan kesalahan sebodoh ini? Apakah engkau bermaksud supaya kita tertangkap lagi?" "Apa maksudmu?" "Kau berpakaian seperti seorang pelayan, tetapi engkau masih juga memakai cincin intan berharga empat atau lima ribu frank!" "Penaksiran yang cermat sekali. Seharusnya engkau menjadi seorang juru lelang." "Aku tahu sedikit-sedikit tentang intan. Pernah aku memilikinya sebuah." Tanpa menjadi marah karena pemerasan yang baru ini, Andrea dengan patuh menyerahkan cincin itu. Sebenarnya Caderousse khawatir dia akan marah sekali. "Ada lagi yang kauinginkan?" tanyanya. "Perlu jaket ini? Bagaimana dengan topiku? Jangan malu-malu memintanya." "Baik, aku tak akan menahanmu lebih lama lagi dan aku akan mencoba mengobati sendiri kerakusanku. Tunggu sebentar, aku antarkan sampai di pintu." "Tak perlu ." "Harus." "Mengapa?" "Karena ada suatu rahasia kecil pada pintu itu, suatu kewaspadaan yang kurasa perlu dijalankan. Kunci buatan Huret and Fichet itu dirombak dan diperbaiki oleh Gaspard Caderousse. Aku akan membuatkan mu sebuah kalau engkau nanti sudah menjadi seorang kapitalis." "Terima kasih," kata Andrea. "Aku akan memberitahu seminggu sebelumnya." Mereka berpisah. Caderousse tetap berdiri sampai dia melihat Andrea menuruni ketiga buah tangga dan berjalan melintasi pekarangan. Segera dia kembali ke kamarnya. Dengan hati-hati ia mengunci pintunya dan mulailah dia mempelajari denah yang ditinggalkan Andrea dengan seksama. BAB XLVI SEHARI setelah pembicaraan Andrea dan Caderousse, Count of Monte Cristo pergi ke rumahnya di Auteuil membawa Ali dan beberapa orang pelayannya. Ketika berada di sana Bertuccio datang dari Normandia membawa berita tentang rumah yang hendak dibeli Monte Cristo di sana. Rumah itu telah beres, dan kapal kecil dengan diawaki enam orang sudah berlabuh di sebuah teluk kecil dekat rumah itu, siap untuk mengarungi lautan setiap saat. Monte Cristo memuji ketrampilan Bertuccio dan memberitahukan agar siap untuk berangkat setiap waktu karena keperluannya di Pcrancts sudah akan berakhir dalam sebulan lagi. Pada saat itulah Baptis tin membuka pintu. Dia membawa sebuah baki, di atasnya sepucuk surat. "Mengapa engkau ke mari?" tanya Monte Cristo kepada Baptistin yang pakaiannya penuh berdebu. "Apakah aku memanggilmu?" Tanpa menjawab Baptistin menghampirinya dan menyerahkan surat itu. 'Tenting dan sangat mendesak," xaianya. Monte Cristo membuka surat itu: "Count of Monte Cristo dengan ini diberitahu bahwa ada orang yang akan membongkar rumahnya di Paris dengan maksud mencuri berbagai surat berharga yan disangkanya berada dalam laci meja di kamar ruasnya Count of Monte Cristo cukup mampu untuk tidak meminta perlindungan polisi. Laporan kepada polisi dapat menimbulkan terdapatnya petunjuk siapa penulis surat ini. Terlalu banyaknya orang di rumah itu atau penjagaan yang terlalu menyolok dapat menyebabkan si pencuri menangguhkan niatnya, dan pada gilirannya akan menyebabkan Count of Monte Cristo kehilangan kesempatan menemukan orang yang menjadi musuhnya, sebuah kesempatan baik yang kebetulan diketahui oleh penulis ini dan peringatan yang tidak mungkin diulangi lagi penulis apabila si pencuri gagal dalam usaha pertamanya kemudian mencoba lagi pada kesempatan lain." Yang pertama timbul pada MonteCristo setelah membaca surat ini, adalah sangkaan bahwa surat itu hanya merupakan suatu muslihat dari seorang pencuri belaka untuk memindahkan perhatiannya kepada suatu bahaya kecil dari bahaya lain yang jauh lebih besar. Oleh sebab itu, hampir saja dia menyuruh menyerahkan surat itu kepada polisi, sekalipun disarankan untuk tidak melakukannya oleh si penulis surat itu. Tetapi tiba-tiba timbul pikiran lain. Mungkin sekali pencuri itu betul-betul seorang musuh pribadinya, seorang musuh yang hanya dia sendiri yang dapat mengenalinya dan hanya dia sendiri yang dapat memanfaatkannya, kalau perlu. "Dia bukan hendak mencuri surat-surat berharga," katanya kepada dirinya sendiri, "dia mau membunuh aku. Aku tidak ingin polisi sibuk terlibat dalam urusan pribadiku. Aku cukup kaya untuk membebaskan mereka dari biayabiaya yang harus dikeluarkan untuk urusan ini." Dia memanggil Baptistin yang telah keluar lagi setelah menyerahkan surat tadi. "Cepat kembali ke Paris dan bawa semua pelayan ke mari " katanya "Aku memerlukan semuanya di sini." , Baptistin membungkuk. "Apakah perintahku jelas? Engkau harus membawa semua pelayan ke mari, tetapi aku menghendaki supaya rumah itu ditinggalkan dalam keadaan seperti sekarang. Kunci jendela-jendela di lantai satu, hanya itu." "Bagaimana dengan jendela-jendela di lantai dua, Tuan?" "Engkau tahu aku tidak pernah menguncinya. Pergi sekarang." Pada sore harinya dia makan dengan kesederhanaan dan ketenangan seperti biasa. Setelah memberi isarat kepada Ali untuk mengikutinya dia menyelinap ke luar melalui pintu samping. Menjelang malam ia sudah berada di rumahnya di Paris. Dia berdiri di bawah sebuah pohon meneliti sepanjang jalan dengan seksama, mencari kalau-kalau ada orang yang bersembunyi di sekitar itu. Setelah yakin bahwa tidak ada orang yang akan menyergapnya, dia berlari ke pintu Samping diikuti AH. membuka kuncinya lalu naik masuk ke kamar tidurnya tanpa menyingkap kan tirai-tirai jendela atau. berbuat sesuatu yang bisa menjadi petunjuk kembalinya dia ke rumah itu. Ketika sampai di kamar tidurnya, Monte Cristo memberi tanda kepada Ali untuk berhenti. Dia masuk ke kamar pakaiannya, lalu memeriksanya dengan seksama. Segala sesuatu masih tetap pada tempatnya. Dia melepaskan pegangan palang pintu, lalu kembali ke kamar tidurnya. Selagi Monte Cristo melakukan pekerjaan itu Ali telah menyiapkan senjata-senjata yang diminta majikannya. Sebuah karaben pendek dan sepasang pistol berlaras ganda. Dengan senjata-senjata itu Monte Cristo dapat mempertahankan jiwa lima orang. Ketika itu selengah sepuluh maiam. Dengan cepat Monte Cristo dan Ali memakan sepotong roti disusul dengan segelas anggur Spanyol. Monte Cristo menggeserkan sebuah papan pada dinding. Dengan bergesernya papan itu tampak sebuah lubang yang membuatnya dapat melihat ke ruangan lain. Pistol dan karabennya berada di dekat jangkauannya. Ali berdiri di sebelahnya dengan memegang sebuah kapak Arab. Monte Cristo dapat melihat ke jalan melalui salah satu jendela kamar tidurnya. Dua jam telah berlalu. Malam gelap gelita. Tetapi AU berkat pembawaannya, dan Monte Cristo berkat latihannya yang sempurna dapat menembus kegelapan itu bahkan dapat melihat gerakan sekecil apa pun di pekarangan. Monte Cristo yakin bahwa pencuri itu akan mengincar nyawanya, bukan uangnya. Oleh sebab itu pencuri itu akan masuk ke dalam kamar tidurnya, mungkin melalui tangga atau mungkin juga melalui salah sebuah jendela di kamar hiasnya. Dia memerintahkan Ali menjaga tangga dan ia sendiri mengawasi kamar pakaiannya. Lonceng di Les Invalides berbunyi. Jam dua belas kurang seperempat. Ketika dentang terakhir hampir menghilang Monte Cristo mendengar suara goresan berasal dari kamar pakaiannya. Suara ini menghilang sementara, lalu diikuti oleh suara kedua dan ketiga. Pada keempat kalinya Monte Cristo tahu suara apa itu. Sebuah tangan yang terlatih sedang berusaha memecahkan kaca jendela dengan sebutir intan. Monte Cristo mendengar suara jantungnya sendiri berdetak semakin cepat. Betapapun terbiasanya seseorang dengan sesuatu bahaya, namun dari denyut jantungnya dan bergetarnya daging dia selalu menyadari betapa besarnya perbedaan antara khayalan dan kenyataan, antara bencana dan pelaksanaannya. Monte Cristo memberi isarat kepada Ali, yang juga mengetahui bahwa bahaya datang dari arah kamar majikannya. Ia datang menghampiri- Monte Cristo ingin sekali segera mengetahui siapa sebenarnya musuhnya dan berapa orang banyaknya. Jendela yang kacanya sedang dipecahkan terletak tepat sekati di hadapan lubang dinding tempat ia melihat ke kamar pakaiannya. Dia mengarahkan matanya ke jendela itu dan dia melihat sesosok bayangan di luar kaca. Kaca itu tiba-tiba menjadi gelap, seakan-akan sehelai kertas gelap direkatkan kepadanya. Tak berapa lama kemudian, kaca itu pecah tanpa jatuh ke lantai. Sebuah tangan masuk dari lubang itu melepaskan selot jendela. Sesosok tubuh itu masuk- la hanya seorang diri. Pada saat itu Monte Cristo merasakan Ali menyentuh bahunya. Dia melihat kepada Ali. Ali menunjuk ke jendela kamar tidur yang menghadap ke jalan. Monte Cristo sadar akan ketajaman firasat pelayannya. Dia berjalan menuju jendela itu dan melihat seorang laki-laki di luar seperti sedang mengawasi apa yang sedang dan akan terjadi di rumah itu. "Seorang bertindak dan seorang lagi menjaga," pikir Monte Cristo. Dia memberi isarat kepaaa Ali untuk mengawasi orang yang di jalan, sedang dia sendiri kembali mengawasi pencuri yang sudah berada di kamar pakaiannya. Orang itu berdiri di kamar itu, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Dia melihat bahwa ada dua pintu dalam ruangan itu. la tidak mengetahui bahwa pegangan palang pintu yang menuju ke kamar tidur sudah dilepaskan oleh Monte Cristo. Ia merasa aman, tidak akan terganggu. Monte Cristo mendengar suara gemerincing serangkaian kunci seperti yang biasa dimiliki oleh tukang-tukang kunci untuk menolong membukakan pintu-pintu yang hilang kuncinya- Para pencuri memberi julukan "burung bulbul" kepada rangkaian kunci semacam itu, pasti karena kepuasannya mendengar suara yang terdengar sedap di telinga ketika terbukanya pintu karena kunci itu. "Ah!" pikir Monte Cristo dengan senyum kecewa. "Hanya seorang pencuri." Oleh karena tidak dapat menemukan kunci yang pas dalam kegelapan, pencuri itu mengambil sebuah benda yang diletakkan di atas meja ketika dia tadi masuk. lalu salah satu menekan pernya dan tiba-tiba secercah cahaya menerangi tangan dan wajahnya. "Hah!" Monte Cristo terperanjat dan mundur selangkah. "Dia adalah..." Ali mengangkat kapaknya. "Jangan bergerak!" perintah Monte Cristo berbisik. "Dan letakkan kapak itu, kita tidak akan memerlukan senjata." Lalu Monte Cristo menambahkan perintah-perintah lainnya dengan suara yang lebih ditekan karena keterkejutannya tadi, yang barangkali juga telah mengejutkan pula orang di dalam kamar pakaian itu. Dengan berjingkat-jingkat Ali pergi sebentar dan kembali lagi sambil membawa pakaian hitam Man topi bersegi tiga- Sementara itu Monte Cristo telah menanggalkan jas, rompi dan kemejanya. Di bawah kemejanya ia memakai sebuah baju besi. Yang terakhir dari jenis baju ini dipakai di Perancis oleh Raja Louis XVI yang takut terhadap ancaman pedang, tetapi wafat karena kapak. Segera pula baju besi ini hilang tertutup oleh sebuah jubah panjang bersamaan dengan hilangnya rambut Monte Cristo di bawah sebuah wig. Topi bersegi tiga itu menutupi rambut palsunya, melengkapi penyamaran Monte Cristo menjadi seorang padri. Pencuri yang sudah tidak mendengar lagi suara-suara yang mencurigakan melanjutkan pekerjaannya. "Baik," kata Monte Cristo yang rupanya mempunyai juga pengetahuan tentang beberapa rahasia perk ncian yang tidak diketahui oleh pencuri terpandai pun, "engkau akan sibuk sementara ini." Dia berjalan ke arah jendela. Orang yang di jalan sekarang sedang berjalan hilir mudik. Anehnya, orang itu bukannya mengawasi kalau-kalau ada orang yang datang, melainkan memusatkan perhatiannya kepada apa yang sedang terjadi di rumah Monte Cristo. Maksud dia berjalan-jalan hanya untuk melihat ke dalam kamar pakaian. Tiba-tiba Monte Cristo memukul dahinya lalu tertawa agak ditahan. Dia kembali kepada Ali dan berkata,. "Engkau tinggal di sini dan bersembunyi dalam gelap. Apapun yang engkau dengar atau apapun yang terjadi, engkau jangan keluar kecuali kalau aku memanggil namamu." Ali memberi isarat bahwa ia mengerti dan akan mematuhi perintah itu. Monte Cristo mengambil sebuah lilin dari lemari dan menyalakannya. Selagi si pencuri sibuk dengan ikhtiarnya membuka laci, dengan hati-hati sekali Monte Cristo membuka pintu dan mengusahakan sedemikian rupa sehingga wajahnya jelas diterangi cahaya lilin. Pintu terbuka dengan perlahan sekali. Pencuri itu tidak mendengar apa-apa, hanya saja dia terkejut sekali menyadari bahwa ruangan tiba-tiba menjadi terang. Dia berbalik. "Selamat malam, Tuan Caderousse," kata Monte Cristo. "Apa yang sedang Tuan kerjakan di sim pada malam selarut ini?" 'Tadri Busoni!" Caderousse berteriak semakin terkejut. Dia tidak mengerti bagaimana "hantu" ini dapat masuk padahal ia merasa telah dengan cermat sekali menutup pintu- Rangkaian kunci terjatuh dari tangannya dan ia berdiri terbengong-bengong. Monte Cristo berjalan beberapa langkah lagi lalu berhenti antara Caderousse dan jendela. Dengan demikian dia menghalangi satu-satunya jalan lari si pencuri. "Padri Busoni!" katanya mengulang, masih dengan nada dan pandangan heran. "Betul, saya Padri Busoni. Dan saya merasa gembira karena Tuan masih mengenal saya. Tuan Caderousse. Ini membuktikan bahwa ingatan Tuan kuat sekali, karena, kecuali kalau saya keliru, sudah sepuluh tahun lewat sejak kita berjumpa . . . Dan sekarang Tuan sedang merampok rumah Count of Monte Cristo." "Padri Busoni," katanya lagi dengan suara dikulum. Dia mencoba mendekati jendela yang dikawal Monte Cristo. "Saya tidak . . . harap Bapak sudi mempercayai saya . . . saya bersumpah . . ." "Jendela kaca yang pecah, lentera, serangkai "burung bulbul," sebuah laci meja yang hampir terbongkar . . . . semua itu telah jelas." Caderousse melihat ke sekeliling mencari tempat bersembunyi atau lubang untuk meloloskan diri. "Saya lihat Tuan tidak berubah: Tuan Caderousse si Pembunuh," lanjut Monte Cristo. "Oleh karena rupanya Bapak mengetahui segala-galanya, tentu Bapak mengetahui juga bahwa itu kesalahan istri saya, bukan salah saya. Pengadilan mengakui kebenaran ini, ternyata dari hukuman yang dijatuhkan hanya berupa kerja paksa." "Apakah Tuan sudah selesai menjalani hukuman itu?" "Tidak, Bapak, saya dibebaskan oleh seorang yang tidak saya kenal." "Orang itu telah berbuat amal yang baik sekali bagi masyarakat." "Begini Bapak, saya berjanji . . ." "Kalau begitu Tuan adalah pelarian narapidana!" Monte Cristo menyela. "Saya kira begitu," jawab Caderousse bimbang. "Dalam hal demikian, kejahatan kecil ini mungkin sekali akan membawa Tuan ke tiang gantungan." "Bapak, saya terpaksa . . .** ''Semua penjahat mengatakan demikian." "Kemiskinan . . ." "Sudah!" kata Busoni tajam. "Kemiskinan dapat menyebabkan seseorang memintaminta atau mencuri sepotong roti, tetapi tidak menyebabkan dia membongkar sebuah laci meja tulis dalam sebuah rumah yang dia sangka tidak berpenghuni. Dan ketika engkau membunuh jauhari yang datang untuk membayar harga intan yang aku berikan kepadamu, apakah itu juga karena kemiskinan?" "Maafkan saya, Bapak," kata Caderousse meminta. "Bapak pernah sekali menyelamatkan jiwa saya, tolonglah untuk kedua kalinya." "Kejadian yang dahulu tidak akan mempengaruhi saya sekarang." "Apakah Bapak seorang diri, atau ada polisi bersama Bapak untuk menangkap saya?" "Sendiri," kata padri, "dan aku mau memaafkanmu, sekalipun kelemahanku ini dapat menimbulkan keburukan lainnya, kalau engkau bersedia mengatakan segala sesuatu dengan sebenarnya." "Oh, Bapak Busoni!" teriak Caderousse gembira sekali sambil maju selangkah. "Bapak memang penyelamat saya!" "Engkau mengatakan bahwa ada seseorang yang membebaskan engkau dari penjara?" "Benar, saya berani bersumpah!" "Siapa?" "Seorang Inggris." "Namanya?" "Lord Wilmore." "Aku kenal kepadanya, jadi aku akan dapat membuktikan kebenaran kata katamu ini." "Saya tidak berbohong, Bapak Busoni!" "Jadi orang Inggris itu pelindungmu, betul?" "Bukan, beliau pelindung orang Corsica, kawan seperan-taian." "Siapa nama orang Corsica itu?" "Benedetto." "Nama keluarganya?" "Dia tidak pernah mempunyai nama keluarga . . . Ia seorang anak pungut." "Dan dia pun kabur bersamamu?" "Betul. Kami bekerja di Saint-Mandrier dekat Toulon. Pada suatu hari kami mengikir rantai kami dengan kikir yang diberikan oleh orang Inggris itu, dan kami kabur." "Bagaimana kejadiannya dengan Benedetto?" "Saya tidak tahu, kami berpisah di Hyeres." "Engkau bohong!" kata padri dengan nada suara yang sukai dibantah. "Orang itu masih menjadi kawanmu dan engkau mungkin akan menggunakannya sebagai kaki tanganmu." "Oh, Bapak Busoni!" "Apa penghasilanmu setelah meninggalkan Toulon? Jawab!" "Dari melakukan pekerjaan lama." "Bohong!" kata padri sekali lagi dengan nada yang lebih keras. Caderousse memandangnya dengan takut. "Engkau hidup dari uang yang diberikan oleh Benedetto." "Betul begitu." jawab Caderousse. "Benedetto telah menjadi anak seorang bangsawan kaya." "Bagaimana mungkin dia menjadi anak seorang bangsawan, kaya?" "Bukan anak yang sah." "Siapa nama bangsawan yang kaya itu?" "Count of Monte Cristo yang tinggal di rumah ini." "Benedetto menjadi anak Count of Monte Cristo?" tanya Monte Cristo terheran heran "Begitulah kira-kira, karena Count of Monte Cristo telah menemukan seorang ayah palsu baginya, yang memberinya lima ribu frank setiap bulan dan bermaksud mewariskan setengah juta frank." "Ah, aku paham sekarang," kata padri palsu itu yang sudah mulai mengerti jalan pikiran Caderousse. "Nama apa yang dipergunakan anak muda itu sekarang?" "Andrea Cavalcanti." "Kalau begitu, dialah orangnya yang diterima kawanku Monte Cristo di rumahnya dan yang akan mengawini Nona Danglars?" "Tepat sekali." "Dan engkau membiarkannya, kau penjahat busuk! Engkau yang mengetahui riwayat hidupnya dan kebusukan- "Mengapa saya harus menghalangi kebahagian kawan sendiri?** "Betul juga. Engkau bukanlah orangnya yang akan memberitahu Tuan Danglars. Aku," "Jangan, Bapak Busoni!" "Mengapa?" "Karena Bapak akan menghilangkan sumber hidup karat." "Apakah engkau mengira, karena hendak menolong sepasang penjahat mencari kehidupannya aku akan mau menjadi sekutunya? Tidak, aku akan mengatakan semuanya kepada Tuan Danglars." "Engkau tidak akan bisa mengatakannya kepada siapa pun juga, Padri!" Caderousse berteriak sambil menghunus pisaunya lalu menghujamkannya ke tengah-tengah dada Monte Cristo. Dia sangat heran karena pisau itu bukan tertancap pada dada padri melainkan mental kembali dan patah ujungnya. Pada saat yang bersamaan Monte Cristo menangkap tangan penyerangnya lalu memilinnya dengan kuat sekali sehingga pisau itu terjatuh. Caderousse menjerit kesakitan. Monte Cristo tidak melemahkan pilinannya karena jeritan ini. Bahkan ia memperkerasnya sehingga Caderousse terduduk pada lututnya dan akhirnya tertelungkup dengan wajahnya di lantai. Monte Cristo menginjakkan kakinya pada kepala Caderousse, lalu berkata, "Aku tidak tahu, apa yang mencegahku menghancurkan tengkorakmu, pembunuh!" "Kasihanilah saya! Kasihanilah saya!" Count of Monte Cristo mengangkat lagi kakinya. "Berdiri!" katanya. Caderousse berdiri. "Ya Tuhan, kuat benar Bapak ini!'* kata Caderousse sambil memegang-megang tangannya yang masih sakit. "Oh Tuhan kuat sekail!*' '*Diam! Tuhan memberikan kekuatan kepadaku untuk menindas binatang-binatang jalang seperti engkau. Aku bertindak atas nama Tuhan, ingatkan itu, kau bedebah. Dan atas kehendak Tuhan juga aku melepaskanmu sekarang. Pegang pena iiu" dan tuliskan apa yang aku katakan." "Saya tidak pandai menulis.*' kata Caderousse. "Bohong! Pegang pena itu dan tulis!'4 Caderousse tidak dapat membantah. Dia duduk lalu menulis: "Tuan Danglars, laki-laki yang Tuan terima di rumah Tuan dan yang Tuan rencanakan untuk diambil sebagai menantu adalah seorang penjahat yang lari dari penjara Toulon bersama saya. Dia mengaku bernama Benedetto, tetapi dia sendiri sebetulnya tidak mengetahui siapa namanya yang sebenarnya, dan tidak pernah mengenal siapa orang tuanya." "Tandatangani!" perintah Monte Cristo. Caderousse menandatanganinya. "Sekarang beri alamat: Kepada Baron Danglars, Rue de la Chaussee-d' Antin." Caderousse menulis alamat itu. Monte Cristo mengambil kertas itu dari tangan Caderousse, lalu berkata, "Sekarang kau boleh pergi." "Apakah Bapak merencanakan sesuatu terhadap saya?" "Gila engkau! Rencana apa?" "Tolong tegaskan, Bapak tidak menghendaki kematian saya." "Aku menginginkan apa yang dikehendaki Tuhan," jawab Monte Cristo. "Kalau engkau dapat selamat sampai ke rumah, segera tinggalkan Paris, tinggalkan Perancis dan di mana pun engkau berada, selama engkau berkelakuan baik aku akan mengatur supaya engkau dapat menerima pensiun sekadarnya setiap bulan, karena kalau engkau selamat sampai di rumah berarti . . "Berarti apa?" tanya Caderousse bergidik. "Berarti aku akan percaya bahwa Tuhan mengampunimu dan aku pun akan memaafkanmu." "Bapak memperingatkan saya akan kematian!" kata Caderousse takut. "Ayo pergi!" kata Monte Cristo menunjuk jendela. Caderousse yang tidak dapat diyakinkan sepenuhnya oleh janji Count of Monte Cristo menaiki jendela lalu menuruni tangga. Monte Cristo mendekatinya sambil membawa lain. Siapa pun juga yang mengawasinya di jalan akan dapat melihat dengan jelas Caderousse sedang menuruni tangga dan diantar orang lain dengan membawa lilin "Apa maksud Bapak?" tanya Caderousse cemas. "Bagaimana kalau ada patroli lewat?" Monte Cristo memup lilin. Caderousse tidak dapat bernapas lega sebelum kakinya menginjak tanah. Monte Cristo kembali ke kamar tidurnya. Dari sana ia melihat Caderousse melintasi pekarangan lalu memasang tangga di tembok. Dia lihat orang yang di jalan itu bersembunyi di sudut dinding dekat dengan tempat Caderousse akan menaikinya. Tepat ketika kakinya menginjak tanah di seberang dinding Caderousse melihat sebuah tangan memegang pisau. Sebelum dia sempat mempertahankan diri tangan itu telah menikam punggungnya, kemudian pinggangnya. Ketika dia terjatuh, penyerangnya menjambak rambutnya dan menikamnya lagi untuk ketiga kalinya. Sekarang di dadanya. Setelah melihat korbannya tidak berkutik lagi dan matanya menutup, si penikam meninggalkannya dengan perkiraan korbannya sudah mari. Dengan susah payah Caderousse bangkit bertelakan kepada sikutnya. Dia berteriak lemah sekali, "Tolong! Padri Busoni! Saya mati!*' Teriakan yang mengharukan ini menembus kesunyian. Pintu pekarangan rumah terbuka dan Ali bersama majikannya muncul sambil memegang lentera. "Ada apa?" tanya Monte Cristo "Tolong! Saya ditikam." "Tabalikan liatimu!" "Ah, terlambat! Bapak datang hanya tepat untuk menyaksikan kematian saya!" Ali dan Monte Cristo mengangkat orang terluka itu ke dalam rumah Monte Cristo memeriksa ketiga luka tikam dengan cermat. Ali memandang kepada majikannya seakanakan hendak bertanya apa yang harus dilakukan. "Pergi ke rumah Tuan Jaksa de Villefort dan bawa beliau ke mari. Dan katakan kepada penjaga supaya dia memanggil dokter." **Dokter tak akan dapat menyelamatkan jiwa saya, tetapi barangkali dia dapat memberi saya sedikit kekuatan sehingga saya mempunyai waktu untuk membuat sebuah pernyataan." "Tentang apa?" "Tentang orang yang menikam saya" "Kau tahu siapa dia?" "Saya tahu! Benedetto." "Kawanmu orang Corsica itu?" "Benar. Dialah yang memberikan denah rumah ini. Mungkin sekali dia mengharapkan saya dapat membunuh Count of Monte Cristo. Dengan demikian dia dapat menerima warisannya dengan cepat- Mungkin juga dia mengharapkan Count of Monte Cristo dapat membunuh saya, sehingga dia terbebas dari saya. Ketika dia melihat bahwa tidak satu pun dari harapannya terjadi, dia menikam saya." "Tuan Jaksa akan segera datang." "Beliau akan terlambat. Saya terlalu banyak kehilangan darah." 'Tunggu " kata Monte Cristo. Dia pergi sebentar, lalu kembali lagi membawa sebuah botol. Dikucurkannya tiga empat tetes dari isinya ke antara bibir Caderousse. Caderousse menarik napas lega. "Beri lagi saya air kehidupan itu! Tambah lagi!" "Dua tetes lagi engkau mati." "Oh, mengapa jaksa itu belum juga tiba?" "Mau engkau kalau aku menuliskan pernyataanmu?" "Ya! Ya!" Matanya bersinar gembira karena membayangkan pembalasan dendam dari alam baka. Monte Cristo menulis : "Orang yang menikam saya, seorang Corsica bernama Benedetto, kawan sepelarian saya dari penjara Toulon." "Cepat," kata Caderousse, "nanti saya tak sempat menandatanganinya." Monte Cristo menyerahkan pena kepadanya. Caderousse menyerahkan segenap tenaganya untuk menandatangani pernyataan itu. Setelah itu ia jatuh terkulai lagi. "Bapak akan menceriterakan selebihnya, bukan? Ceriterakan bahwa dia menyebut dirinya sekarang Andrea Cavalcanti, bahwa dia tinggal di Hotel des Princes, bahwa . . . O h , Tuhan! Tuhan! Saya mati!" Caderousse tak sadarkan diri. Monte Cristo menyodorkan botol obat ke bawah hidungnya supaya dia dapat menghirup baunya. Caderousse membuka matanya lagi. Nafsu membalas dendamnya tidak hilang selama dia pingsan. "Bapak akan menceriterakannya lagi, bukan?" tanyanya lagi. "Ya, semuanya dan yang lain-lainnya lagi." "Apa yang lainiainnya?" "Aku akan ceriterakan bahwa dia memberikan denah rumah ini dengan harapan bahwa Count of Monte Cristo akan membunuhmu. Akan aku katakan juga bahwa dia mengirim surat kepada. Count of Monte Cristo memberitahukan tentang maksudmu, dan bahwa, karena Count of Monte Cristo sedang tidak ada di tempat, akulah yang menerima surat itu dan menunggumu di sini." "Dia akan dihukum pancung, bukan? Tolong yakinkan saya bahwa dia akan dipancung. Keyakinan itu akan memudahkan saya mati." "Aku akan ceriterakan bahwa dia mengikutimu ke mari," lanjut Monte Cristo tanpa menghiraukan perkataan Caderousse, "bahwa dia mengawasimu selama engkau berada dalam rumah ini, dan menyembunyikan dirinya di sana." "Maksud Bapak, Bapak melihat semuanya itu?" "Ingat kata-kataku? Kalau engkau selamat sampai di rumah, aku yakin bahwa Tuhan mengampunimu dan aku pun akan mengampunimu." "Bapak tidak memberitahu saya!" Caderousse berteriak mencoba bangkit. "Bapak tahu saya akan dibunuh dan Bapak tidak memperingatkan saya!" "Tidak, karena aku melihat keadilan Tuhan ada pada tangan Benedetto dan aku berpendapat salah kalau aku menentang kehendak Tuhan." "Jangan berkata tentang keadilan Tuhan kepadaku, Padri Busoni! Bapak tahu lebih dari orang lain bahwa kalau benar ada keadilan Tuhan, banyak orang harus dihukum. Nyatanya tidak." "Sabar!" kata padri dengan nada suara yang mambuat rang sekarat itu gemetar. "Dengarkan, baik-baik. Tuhan yang engkau ingkari sampai detik terakhirmu di bumi ini, adalah yang memberikan kesehatan, kekuatan, kerja yang menguntungkan dan sahabatsahabat. Pendeknya segala yang diperlukan manusia untuk dapat hidup dengan hati yang bersih dan dapat menikmati keinginannya yang wajar. Tetapi, bukannya mensyukuri pemberian Tuhan yang engkau lakukan, melainkan menenggelamkan dirimu sendiri ke dalam kemalasan dan mabuk, dan dalam kemabukan itu engkau mengkhianati salah seorang dari sahabat baikmu." "Tolong! Aku perlu dokter, bukan padri! Mungkin lukaku tidak parah, mungkin jiwaku masih dapat ditolong!" "Luka-lukamu sangat parah sehingga seharusnya engkau sudah mati kalau aku tidak memberimu obat tadi." "Padri aneh!" Caderousse menggerutu. "Bapak menggiring orang sekarat ke dalam penyesalan, bukannya menghibur!" "Dengarkan, baik-baik," lanjut Monte Cristo. "Ketika engkau mengkhianati sahabatmu, Tuhan tidak menghukummu, tetapi cukup dengan m em peringat karimu. Engkau jatuh miskin. Segera engkau berpikir jahat dan membuat kemiskinanmu sebagai dalih. Ketika Tuhan menciptakan suatu keajaiban untukmu dengan memberimu suatu rijki yang besar, suatu kekayaan yang sangat besar bagimu yang sedang tidak mempunyai apa-apa, ternyata rijki yang tidak diduga itu masih belum cukup juga bagimu. Segera setelah engkau menggenggamnya engkau bernafsu melipatgandakannya. Dan dengan jalan apa? Dengan pembunuhan. Engkau berhasil melipatgandakannya, tetapi Tuhan merenggutnya kembali dari tanganmu dan menyerahkan engkau kepada keadilan manusia. Namun demikian, Dia masih juga mengasihimu dengan membuat hakim-hakim tidak menghukummu mati." "Bapak anggap sebagai suatu kemurahan karena mereka menghukum saya dengan kerja paksa seumur hidup?" "Engkau pun berpikir begitu ketika hukuman itu dijatuhkan, bedebah. Jiwamu yang pengecut, gemetar ketakutan menghadapi kematian, tetapi melonjak kegirangan ketika mendengar dengan telingamu sendiri engkau dihukum harus menjalani kehidupan yang memalukan seumur hidup. Engkau sendiri mengatakan, seperti juga pesakitan-pesakitan lainnya: 'Penjara mempunyai pintu, tetapi kuburan tidak.' Dan engkau benar, ternyata pintu penjara itu terbuka untukmu dengan cara yang sama sekali tidak terduga: Seorang Inggris berkunjung ke Toulon dan karena ia telah membuat janji kepada dirinya sendiri untuk membebaskan dua orang dari kehinaannya, kebetulan memilih engkau dan kawanmu. Tuhan memberimu lagi kesempatan untuk kedua kalinya: Kalian berdua mempunyai uang dan kebebasan dan engkau sebenarnya dapat memulai hidup haru Tetapi ternyata engkau menentang lagi Tuhan untuk ketiga kalinya. 'Aku merasa tidak cukup,' katamu kepada dirimu sendiri padahal keadaanmu belum pernah sebaik itu. Dan engkau membuat kejahatan ketiga, tanpa alasan. Akirnya Tuhan murka dan menghukummu." "Dan engkau pun akan dihukum," kata Caderousse. "Karena tidak melakukan kewajibanmu sebagai padri. Seharusnya engkau mencegah Benedetto menikam aku." "Aku!" kata Monte Cristo dengan senyum yang membCat darah Caderousse menjadi dingin. "Aku harus mencegah Benedetto membuiiuhinu setelah engkau menikam dadaku yang untung berperisai?Seandainya tadi engkau bersikap merendah dan menyesal mungkin sekali aku akan mau menyelamatkan jiwamu, tetapi ternyata engkau malah sombong dan haus darah." "Aku tidak percaya kepada Tuan, dan engkau pun tidak!" teriak Caderousse. "Engkau bohong! Engkau bohong!" "Diam, darahmu bisa habis terkuras dari pembuluhnya. Engkau tidak percaya kepada Tuhan, padahal sekarang ini engkau sedang dihancurkan oleh Tuhan. Engkau tidak percaya kepada Tuhan, padahal yang Tuhan harapkan darimu hanyalah sebuah do a sepatah kata atau setitik air mata penyesalan agar engkau dapat diampuni. Sebenarnya Tuhan dapat saja mengarahkan pisau Benedetto sedemikian rupa sehingga engkau mati seketika. Tetapi tidak. Tuhan masih memberimu kesempatan seperampat jam kepadamu untuk merasakan dan membuat penyesalan. Tanyalah hati nuranimu sendiri, keparat, dan menyesallah!" "Tidak, tidak, aku tidak mau bertobat! Tidak ada Tuhan, tidak ada Yang Maha Kuasa. Yang ada hanyalah kebetulan!" "Ada Yang Maha Adil, yaitu Tuhan/* jawab Monte Cristo tandas. "Buktinya, engkau sekarang terbaring tanpa daya menghadapi mati sambil mengingkari Tuhan, dan aku, kaya, bahagia, sehat dan sejahtera, berdiri di hadapanmu sambil merapatkan kedua belah tanganku di dada sebagai tanda hormat kepada Tuhan, Tuhan yang hendak engkau coba mengingkarinya, tetapi yang dalam lubuk hatimu mau tidak mau engkau percaya juga.** "Siapa sebenarnya engkau ini?" tanya Caderousse memusatkan matanya yang telah kabur ke wajah Monte Cristo. "Coba perhatikan aku baik-baik," jawab Monte Cristo sambil melangkah labih mendekat dan mengangkat lilin. "Engkau . . . Padri Busoni." Monte Cristo melepaskan rambut palsunya dan membiarkan rambutnya yang hitam terurai hampir menutup mukanya yang pucat. "Oh!" Caderousse kacau. "Kalau rambutmu tidak hitam, aku akan mengatakan engkau adalah orang Inggris itu, Lord WUmore!" "Aku bukan Padri Busoni dan bukan pula Lord wilmore," jawab Monte Cristo, "Perhatikan lebih baik, lihat, kerahkan semua daya ingatmu." "Rasanya aku telah pernah melihatmu, rasanya aku telah pernah mengenalmu dahulu.'* "Betul, Caderousse, engkau pernah melihatku, engkau pernah mengenalku." "Tetapi siapa? Dan kalau memang engkau telah mengenalku mengapa engkau membiarkan aku mati?" "Oleh karena tidak seorang pun akan dapat menyelamatkanmu sekarang, Caderousse, sebab luka-lukamu sangat parah. Seandainya masih ada harapan aku akan menganggapnya sebagai pengampunan terakhir dari Tuhan dan aku bersumpah di hadapan kuburan ayahku bahwa aku mau mencoba menolongmu kembali ke dalam kehidupan dan penyesalan." "Katakan siapa engkau sebenarnya!" Monte Cristo senantiasa mengawasi wajah Caderousse dan ia tahu sekarang ajalnya sudah dekat sekali. Dia membungkuk dan mendekatkan bibirnya ke telinga orang yang sekarat itu, "Aku adalah. . ." Bibirnya membisikkan suatu nama demikian lemahnya seakan-akan dia sendiri takut untuk mendengarnya, Caderousse merentangkan lengannya, lalu merapatkan kedua belah telapak tangannya dengan sangat susah payah. "Ya Tuhanku!*' katanya. "Maafkan aku karena telah mengingkanMu 1 Aku yakin sekarang bahwa Engkau ada, bahwa Engkau adalah Bapak semua manusia di surga dan Hakim di dunia. Sekian lamanya aku menolak kehadiranMU. Ya Tuhan! Ampunilah aku! Ampunilah! Ya Tuhan, ampunilah! ** Dengan menutup mata dibarengi pekik lemah dan hembusan nafas terakhir Caderousse rebah terkulai. Dia mati. "Satu!" kata Monte Cristo penuh rahasia, seraya memandang tajam kepada mayat. Sepuluh menit kemudian dokter dan Jaksa datang. Mereka mendapatkan Padri Busoni sedang berdo'a untuk yang baru meninggal. Selama dua minggu masyarakat Paris hanya membicarakan percobaan perampokan di rumah Monte Cristo. Pencuri yang mati tertusuk sempat menandatangani sebuah pernyataan bahwa orang bernama Benedetto yang menikamnya dan polisi sedang mengerahkan segala kemampuannya untuk menangkapnya. Pisau Caderousse, lentera, rangkaian kunci dan pakaiannya, kecuali rompinya yang tidak dapat ditemukan kembari, semuanya disimpan di kantor polisi. Mayatnya di bawa ke rumah mayat Kepada setiap yang bertanya, Count of Monte Cristo selalu mengatakan bahwa malam itu dia berada di rumahnya di Auteuil dan sebab itu ia hanya mengetahui dari apa yang diceriterakan oleh Padri Busoni yang kebetulan pada malam itu meminta izin menginap di sana karena perlu mempelajari beberapa buku tertentu di perpustakaannya. Wajah Bertuccio selalu menjadi pucat setiap kali ia mendengar nama Benedetto disebut di hadapannya, tetapi tak seorang pun mempunyai alasan untuk memperhatikan kepucatan wajah Bertuccio. BAB XLVn MONTE Cristo berseru gembira ketika pada suatu pagi dia menerima kunjungan Albert de Morcerf dan kawannya, Beauchamp "Kami mengganggu rupanya. Tampaknya Tuan sedang sibuk membereskan berkas surat-surat," kata Albert. "Sama sekati tidak. Itu berkas Tuan Cavalcanti.** "Tuan Cavalcanti?" tanya Beauchamp. "Ya!" kata Albert. "Apakah engkau tidak tahu dialah anak muda yang diperkenalkan Count of Monte Cristo ke dalam masyarakat Paris?" "Nanti dulu," kata Monte Cristo, "saya tidak memperkenalkan siapa pun juga, apalagi Tuan Cavalcanti." "Dan dialah yang akan menggantikan saya mengawini putri Tuan Danglars," lanjut Albert. **Dapat kaubayangkan bagaimana perasaanku." "Apa?" Beauchamp heran. "Cavalcanti akan mengawini Nona Danglars?" "Bagaimana mungkin sebagai seorang wartawan, Tuan tidak mengetahuinya?" kata Monte Cristo. "Setiap orang sibuk mempergunjingkannya." "Tuankah yang mengatur perkawinan itu?** "Saya yang mengaturnya? Ya Tuhan! Rupanya Tuan tidak mengenal saya. Bahkan sebaliknya sekali, saya menentangnya." "Oh saya mengerti. Tentu karena Albert.** "Karena aku?" seru Albert. "Sama sekali tidak. Count of Monte Cristo dapat mengatakan bahwa aku meminta pertolongan beliau untuk memutuskan pertunangan kami. Dan sekarang telah putus, sekalipun beliau mengatakan bukanlah kepada beliau tempat aku berterima kasih untuk kebahagiaan ini." "Walau demikian, tampaknya engkau tidak berbahagia,** kata Monte Cristo. "Mungkinkah, meskipun tidak kausadari sebenarnya engkau mencintai Nona Danglars?" "Tidak tahulah," kata Albert tersenyum. "Tetapi engkau agak aneh hari ini. Ada apa?** "Sakit kepala.** "Kalau begitu, saya mempunyai obat yang manjur sekati.* **Apa?w "Bepergian. Kebetulan sekali saya pun sedang menghadapi banyak hal yang menjengkelkan, sebab itu saya merencanakan untuk bepergian. Mau ikut?" "Dengan senang hati. Ke mana?" "Ke tempat-tempat di mana udara jernih, di mana setiap suara menenangkan sarafsaraf, di mana orang akan mcra sakan dirinya rendah dan kecil betapapun angkuh sebenarnya . . . pendeknya, kita akan berlayar. Saya mencintai lautan seperti orang lain mencintai wanita piaraannya dan saya selalu rindu kepadanya bila telah lama tidak melihatnya.** "Baik, Count, mari kita berangkat!" kata Albert. "Ke laut?" **Ya.** "Berarti kau menerima undanganku?" "Ya." "Terima kasih. Nanti sore di pekarangan rumahku akan ada sebuah kereta di mana kita dapat melonjorkan kaki dengan leluasa seperti di atas ranjang sendiri. Tuan Beau champ, kereta itu cukup luas untuk empat orang. Apa Tuan ada minat?" "Terima kasih, tetapi saya baru saja kembali dari lautan. Dari Kepulauan Borromei." "Tak apa, ikutlah!" kata Albert. "Tidak. Aku yakin kau tahu, kalau aku menolak betul-betul karena tidak dapat meninggalkan Paris waktu ini." "Bukan karena sangat penting untuk saya, tetapi bolehkah saya tahu ke mana tujuan kita?" tanya Albert. "Ke Normandia. Setuju?" "Setuju sekali. Betulkah kita akan berada di dalam desa terpencil tanpa masyarakat tanpa tetangga?" "Kawan kita hanyalah kuda-kuda untuk ditunggangi, anjing-anjing untuk berburu dan sebuah kapal kecil untuk mancing di lautan." "Itulah yang saya perlukan sekarang. Saya akan memberi tahu ibu dan setelah Itu saya siap berangkat kapan saja Tuan suka." "Baik. Kita akan berangkat jam lima sore. Dapat?" "Dapat. Saya tidak mempunyai kesibukan apa-apa sampai sore nanti kecuali mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan ini." Albert meminta diri. Setelah mengangguk sambil tersenyum, Monte Cristo berdiri bagai patung untuk beberapa saat seperti orang yang fana dalam semedi. Dia mengusap k an tangan kanannya ke dahi seakan-akan hendak menghapus khayalannya, lalu menghampiri gong dan memukulnya tiga kali. Bertuccio masuk. "Bertuccio, saya berangkat ke Normandia sore nanti. Bukan besok atau lusa seperti direncanakan semula. Suruh orang memberitahukan tempat penggantian kuda yang pertama akan dilalui. Tuan Albert de Morcerf akan menyertaiku.** Bertuccio menurut. Seorang kurir bergegas pergi ke Pontoise untuk memberitahukan bahwa kereta Count of Monte Cristo akan lalu sore itu. Dari Pontoise kurir yang lain diperintahkan pergi ke tempat penggantian kuda berikutnya, dan seterusnya, sampai enam jam kemudian semua kandang yang berada dalam jalur perjalanan itu sudah diberi tahu. Sebelum berangkat Monte Cristo pergi menemui Haydee memberitahukan bahwa la akan berangkat dan tempat tujuannya, lalu meminta agar Haydee menguruskan seluruh urusan rumah tangganya. Albert datang tepat pada waktunya. Perjalanan yang semula menjemukan segera berubah karena kecepatannya. Albert belum pernah mengalami hal seperti ini. "Inilah suatu kenikmatan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya: kenikmatan kecepatan," katanya. "Tetapi dari mana Tuan mendapatkan kuda-kuda seperti ini? Apakah Tuan menyuruh membuatnya?" "Tepat sekali," jawab Monte Cristo. "Enam tahun yang lalu di Hongaria saya menemukan seekor kuda jantan yang termashur kecepatan larinya. Saya membelinya, entah dengan harga berapa karena Bertuccio yang mengurusnya. Pada tahun itu juga kuda itu sudah menjadi bapak dari tiga puluh dua ekor anak kuda Ketiga puluh dua kuda yang akan kita gunakan malam ini semuanya berasal dari kuda yang satu itu. Semuanya hampii sama, hitam legam dengan titik putih seperti bintang pada dahinya, karena indukinduknya dipilih dengan cermat sekali seperti seorang sultan memilih harem kesayangannya." "Luar biasa! Apa yang Tuan lakukan dengan semua kuda itu?" "Untuk bepergian seperti sekarang ini." "Ya,ya. Tetapi kan tidak selalu bepergian?" "Pada suatu saat, kalau saya sudah tidak memerlukannya lagi, Bertuccio akan menjualnya. Menurut dia, dia bisa menjualnya dengan harga antara tiga puluh dan empat puluh ribu frank." "Bolehkah saya mengutarakan sesuatu yang tiba-tiba terpikirkan?" "Silakan." "Rupanya Tuan Bertuccio itu orang yang terkaya di Eropa setelah Tuan." "Keliru sekali, Viscount. Saya yakin, kalau Tuan membalikkan saku bajunya, Tuan tidak akan menemukan uang lebih dari sepuluh sen." "Mengapa begitu?" kata Albert. "Kalau begitu, dia mesti merupakan keajaiban yang kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia yang tersohor itu. Saya ingatkan Tuan.Count, kalau Tuan menceriterakan lagi macam-macam keanehan saya tidak dapat mempercayai lagi Tuan." "Tidak ada yang aneh dalam kelakuan saya ini, Albert. Ini hanya mas*alah angkaangka dan logika. Coba, pikirkan pertanyaan ini: Mengapa seorang pengurus rumah tangga mencuri?" "Ya, karena bakatnya sudah begitu. Dia mencuri untuk mencuri." "Bukan. Dia mencuri karena dia mempunyai istri dan anak-anak, karena dia ingin memenuhi keinginannya sendiri dan keluarganya, dan di atas segala-galanya, karena dia tidak yakin akan dapat terus bekerja pada majikannya sehingga perlu memastikan masa depannya. Tetapi Bertuccio seorang yang sebatang kara. Dia mengeluarkan uang saya tanpa harus mempertanggungjawabkannya dan dia yakin tidak akan meninggalkan saya." "Mengapa dia seyakin itu?" "Karena saya tidak mungkin mendapatkan pengurus rumah tangga yang lebih baik." "Tuan bermain dengan kemungkinan-kemungkinan." "Sama sekali tidak. Justru saya selalu bersandar kepada kepastian. Buat saya, seorang pelayan yang baik adalah pelayan yang merasa mati-hidupnya berada di tangan majikannya." "Dan Tuan merasa mempunyai hak itu terhadap Bertuccio?" "Ya,** kata Monte Cristo. Ada beberapa kata yang dapat menutup sebuah percakapan seperti sebuah pintu besi. Dan perkataan "ya" dari Monte Cristo itu adalah salah satu di antaranya. Sisa dari perjalanan dilakukan dengan kecepatan yang sama. Ketiga puluh dua ekor kuda yang terbagi pada delapan buah tempat penggantian menempuh tujuh puluh dua kilometer dalam waktu delapan jam. Di tengah malam buta mereka sampai di pintu gerbang sebuah perkebunan yang indah. Seorang penjaga pintu membukakannya untuk mereka. Rupanya ia sudah diberitahu oleh kurir dari tempat penggantian kuda yang terakhir. Albert diantarkan ke tempat menginapnya, di mana ia menemukan bak mandi dan makanan sudah disediakan. Setelah mandi dan makan ia tidur. Sepanjang malam ia dibuai oleh senandung ombak yang memecah pantai. Ketika pagi harinya terbangun segera ia pergi ke jendela, membukanya, dan terhamparlah di hadapannya samudera yang luas. Di teluk berlabuh sebuah kapal kecil, tiang layarnya tinggi sedang badannya ramping. Sekelilingnya terdapat beberapa buah perahu milik nelayan-nelayan dari kampungkampung sekitarnya. Perahu -perahu itu nampak seperti pelayan-pelayan sederhana yang patuh menantikan perintah dari catunya, kapal milik Count of Monte Cristo itu. Hari itu dihabiskan dengan berbagai macam olahraga. Dalam semua bidang Count of Monte Cristo mengungguli tamunya. Mereka berhasil menembak selusin ekor burung kuau, menangkap sejumlah ikan dan akhirnya minum teh di ruang perpustakaan. Menjelang senja pada hari ketiga. Albert merasa kepayahan karena kebanyakan olahraga yang banyak memeras tenaganya. Untuk Monte Cristo olahraga itu tak ubahnya seperti permainan anak kecil. Albert tertidur dekat jendela. Suara kuda berlari di pekarangan membuatnya bangun dan melihat ke luar melalui jendela, ta terkejut karena yang datang itu pelayannya sendiri. "Mengapa Florentin ada di sini?" katanya keras sambil bangkit melompat. "Apakah ibu sakit mungkin?" Dia berlari menemui orang yang baru tiba dan nampak masih terengah- engah. Florentin menyerahkan sebuah bungkusan yang bersegel yang ternyata berisi selembar surat kabar dan sehelai surat. "Dari siapa surat ini?" "Dari Tuan Beauchamp.* "Tuan Beauchamp yang menyuruhmu ke mari?" "Betul, Tuan. Beliau memberi saya uang untuk perong kosan di jalan, menyewakan seekor kuda dan beliau meminta saya berjanji untuk tidak berhenti sebelum saya menemui Tuan. Saya tempuh perjalanan ini dalam lima belas jam." Albert membuka surat. Setelah membaca beberapa alinea dia mengeluarkan suara terkejut, lalu menyambar surat kabar dengan tangan gemetar. Tiba-tiba penglihatannya menjadi kabur, kakinya melemah tidak kuat menahan berat tubuhnya. Dia bersandar kepada Florentin yang mencoba menahannya dengan kedua belah tangannya. "Anak muda yang malang," gumam Monte Cristo yang mengawasinya sejak tadi. "Tidak dapat dipungkiri bahwa dosa seorang ayah akan membebani anak-anaknya dan keturunannya sampai ke tingkat keempat." Sementara itu Albert sudah dapat menguatkan dirinya kembali dan melanjutkan membaca setelah meremas-remas surat kabar dan surat dari temannya itu. "Florentin, apakah kudamu masih kuat untuk kembali ke Paris sekarang?** "Hanya seekor kuda tua. Tuan " "Ya Tuhan! Bagaimana di rumah ketika engkau pergi?** "Tenang-tenang saja tampaknya, Tuan. Tetapi ketika saya kembali dari rumah Tuan Beauchamp saya mendapatkan Nyonya de Morcerf berada di teras berlinang air mata. Beliau memerintahkan saya mencari keterangan di mana Tuan berada, dan bila Tuan akan kembali. Saya katakan kepada beliau bahwa Tuan Beauchamp meminta saya berangkat untuk membawa Tuan kembali. Mula-mula beliau hendak mencegah saya pergi, tetapi rupanya setelah berpikir kembali beliau berkata, "Ya, Florentin, pergilah dan katakan cepat pulang." Albert membalikkan badan lalu masuk ke dalam ruangan di mana Count of Monte Cristo mengawasinya. "Count," katanya. "Saya berterima kasih sekali untuk penerimaan Tuan di sini dan sebenarnya saya masih mau menikmati lebih lama lagi, tetapi sayang saya harus segera kembali ke Paris." "Ada apa, begitu tiba-tiba?" "Suatu malapetaka* Ijinkan saya berangkat segera . . . . sesuatu yang lebih berharga dari nyawa saya sendiri sedang dalam pertaruhan. Saya harap Tuan tidak bertanya, tetapi berilah saya seekor kuda!" "Silakan pilih mana yang Tuan sukai. Tetapi tuan akan mati kepayahan kalau kembali dengan berkuda. Lebih baik ambillah kereta." "Tidak, saya kira itu akan mengambil waktu terlalu lama. Selain itu saya memang memerlukan sekali kepayahan yang Tuan khawatirkan itu. Untuk saya bahkan akan baik sekali." Albert terhuyung-huyung seperti orang kena tembak lalu terjatuh ke atas kursi dekat pintu. Monte Cristo tidak melihatnya karena dia sudah berjalan ke jendela untuk berteriak, "Ali, sediakan kuda untuk Tuan de Morcerf! Cepat . . . beliau akan berangkat sekarang juga!" Teriakan ini membangunkan Albert kembali kepada kenyataan. Dia berlari ke luar ruangan dan Monte Cristo mengikutinya. "Terima kasih," kata anak muda itu ketika ia sudah duduk di pelana. "Apakah ada kata sandi yang perlu saya ucapkan di tempat penggantian kuda?" "Tidak ada. Berikan saja kuda ini kepada mereka dan mereka akan menggantinya dengan yang baru." "Mungkin sekali Tuan menganggap keberangkatan saya ini aneh dan kurang bijaksana " kata Albert. "Tuan mungkin tidak akan mengerti mengapa beberapa kalimat dalam sebuah surat kabar dapat mengantarkan seseorang kepada keputusasaan. Bacalah ini, Tuan. Tetapi harap setelah saya pergi. Dengan demikian Tuan tidak akan melihat bagaimana saya merasa malu." Albert lalu melemparkan koran yang dipegangnya selama Itu. Ketika Monte Cristo memungut koran Albert menekankan tumitnya ke perut kuda dengan keras sekali dan kuda itu lalu melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Monte Cristo mengawasinya dengan pandangan iba. Dia menunggu sampai Albert hilang dari pandangan. Baru setelah itu dia membaca berita ini: "Terdapat banyak petunjuk bahwa seorang opsir Pe-rancis yang diberi tugas oleh Ali Pasha, penguasa Yanina, untuk mempertahankan benteng pertahanan kota Yanina, telah menyerahkan benteng itu secara khianat kepada musuh Ali Pasha, yaitu bangsa Turki. Opsir itu dikenal dengan nama Fernand Mondego. Setelah peristiwa itu namanya berubah karena mendapat gelar bangsawan. Sekarang dia dikenal dengan nama Count of Morcerf dan menjadi anggota parlemen Perancis." BAB XLVffl ALBERT memasuki rumah Beauchamp dengan berlari-lari pada jam delapan pagi keesokan harinya. Pelayan Beauchamp sudah diberitahu untuk menunggu kedatangan Albert sehingga ketika Albert datang langsung dibawa dia masuk ke kamar tidur majikannya. "Aku menunggumu, kawan " kata Beauchamp sebagai penyambutan. "Dan aku telah datang," jawab Albert. "Suratmu menunjukkan kesetiakawanan dan simpatimu. Terima kasih. Sebab itu, ceriterakan saja sampai hal yang sekecil-kecilnya, tak usah dibungkus bungkus * Albert tercekam rasa malu dan sedih ketika dia mendengarkan center a Beauchamp ini. Berita itu muncul dua hari lebih cepat di koran lain daripada dalam koran Beauchamp. Beauchamp sedang sarapan ketika ia membacanya. Tanpa menyelesaikan sarapannya ia bergegas pergi ke kantor koran itu. Sekalipun politik koran mereka bertentangan sama sekali namun ia bersahabat baik dengan editornya. "Aku ingin bertanya tentang berita mengenai Morcerf itu," kata Beauchamp langsung ketika bertemu. "Oh, ya ---mengherankan sekali, bukan?" jawabnya. "Begitu mengherankan sehingga engkau mungkin menghadapi risiko dituntut karena memfitnah." "Tidak mungkin. Orang yang memberi keterangan itu didukung dengan bukti-bukti yang sangat kuat sehingga kami yakin sekali Tuan de Morcerf tak akan berani berbuat apa-apa. Dan adalah merupakan suatu jasa kepada negara kalau kita membongkar rahasia pengkhianat yang tidak pantas menikmati kehormatan kehormatan yang diberikan negara dan masyarakat kepadanya." "Siapa yang memberikan keterangan itu?" "Kemarin, seorang yang baru kembali dari Yanina datang kepada kami'dengan membawa setumpuk dokumen. Mula-mula kami ragu untuk memuatnya, tetapi dia mengancam akan memberikannya kepada koran lain. Engkau seorang wartawan, Beauchamp, jadi engkau dapat memahami apa artinya mempunyai bahan berita yang sangat penting. Kami tidak dapat membiarkannya lepas dari tangan kami. Sekarang, setelah tembakan dilepaskan, gemanya akan menggaung di seluruh Eropa." Beauchamp menyadari sudah tidak ada lagi yang dapat diperbuat. Dia meninggalkan kantor itu untuk memberi kabar kepada Albert. Tetapi apa yang tidak dapat ditulisnya kepada Albert karena terjadi setelah pesuruhnya berangkat ke tempat Albert, adalah pada hari itu juga telah terjadi pembicaraan yang sengit di Parlemen. Hampir setiap anggota datang jauh sebelum waktu sidang untuk membicarakan perkembangan yang memalukan ini mengenai salah seorang rekan mereka yang ternama. Beberapa anggauta masih membaca berita itu, yang lainlainnya saling bertukar pengetahuan tentang latar belakang de Morcerf sehingga makin memberatkan tuduhan. Count of Morcerf tidak disukai oleh rekanrekannya. Seperti setiap orang kaya baru ia bersikap angkuh sekali. Count of Morcerf sendiri, adalah satu-satunya orang yang tidak membaca berita itu. Pada hari itu dia tidak menerima koran yang memuat berita tentang dirinya dan lagi pula pagi itu dia sibuk menulis beberapa surat dan selanjutnya mencoba kudanya yang baru. Oleh sebab itu dia datang ke Parlemen pada waktu seperti biasa dengan keangkuhan yang biasa pula, tanpa menyadari keragu-raguan petugas penerima dan pengantar tamu dan tanpa merasakan salam yang tidak sehangat biasa dari para rekannya. Sidang sudah berlangsung setengah jam ketika ia masuk. Sikap Tuan de Morcerf yang tidak berubah karena tidak mengetahui perkembangan terakhir, dirasakan oleh rekan-rekannya sekarang sebagai keangkuhan yang melebihi dari biasanya. Kehadirannya terasa sebagal suat u sikap menantang sehingga banyak yang menganggapnya sebagai sikap yang gila, sebagian menganggapnya sebagal kurang-ajar dan yang lainnya merasakannya sebagai sikap menghina. Jelas sekali bahwa sidang ingin segera membuka perde batan tentang mas'alah itu. Surat kabar yang memberitakan itu berada di setiap tangan, tetapi sebagaimana biasa, setiap orang ragu-ragu untuk memulai serangan. Akhirnya, salah seorang bangsawan terhormat yang menjadi musuh bebuyutan Morcerf naik mimbar dan dengan khidmat memberitahukan bahwa saat yang dinantikan telah tiba. Keheningan dalam sidang sangat mencekam. Hanya Morcerf yang tidak mengerti apa sebab perhatian yang begitu besar diberikan kepada pembicara yang biasanya tidak pernah diperhatikan. Tetapi ketika untuk pertama kalinya pembicara itu menyebut Yanina dan nama Kolonel Femand Mondego, Morcerf menjadi sangat pucat dan getar badannya seakan-akan menggetarkan seluruh ruangan sehingga setiap mata dipusatkan kepadanya. Pembicara mengakhiri pidatonya dengan permintaan supaya segera diadakan penyelidikan secepat mungkin, untuk menghancurkan fitnah itu sebelum menyebar luas dan untuk mengembalikan kehormatan Tuan d e Morcerf dalam pandangan masyarakat. Morcerf sangat tercekam karena bencana oesar yang sangat mendadak ini sehingga ia tidak dapat mengeluarkan kata sepatah pun. Matanya terbelalak hampa memandang kawan-kawannya. Rasa malu yang terpancar pada wajah Morcerf biasa timbul baik pada orang yang tidak bersalah maupun pada orang yang bersalah. Oleh sebab itu keadaannya membangkitkan rasa kasihan juga pada sebagian anggota. Orang-orang yang memang berwatak baik senantiasa siap untuk memberikan rasa simpatinya kalau kecelakaan yang menimpa musuhnya itu sudah melampaui batas kebenciannya. Ketua sidang menawarkan pemungutan suara untuk menetapkan perlu tidaknya penyelidikan. Sidang akhirnya memutuskan untuk melaksanakannya segera mungkin. Morcerf ditanya berapa waktu yang dia perlukan untuk persiapan membela dirinya. Keberaniannya pulih kembali ketika dia merasakan bahwa dirinya masih .hidup setelah menerima pukulan pertama. "Tuan-tuan,** katanya, "bukan dengan waktu seseorang harus menangkis serangan seperti yang baru saja dilontarkan terhadap diri saya oleh musuh-musuh tersembunyi. Saya akan menjawab pukulan yang bagaikan halilintar yang baru saja memusingkan saya sejenak itu, sekarang juga di tempat ini juga. Saya hanya bisa mengharap bahwa, daripada menanggulikannya saya lebih suka darah saya tumpah untuk membuktikan kepada Tuan-tuan bahwa saya cukup berharga untuk menganggap din saya setaraf dengan Tuan-tuan dalam segala hal." Kata-kata ini menimbulkan kesan yang menguntungkan bagi Morcerf. "Karena itu saya meminta supaya penyelidikan dilaksanakan secepat mungkin dan saya akan membantu Sidang dengan menyerahkan semua dokumen yang diperlukan." "Apakah sidang berpendapat bahwa penyelidikan perlu dilakukan hari ini juga?" Ketua bertanya, "Perlu!** jawab hadirin berbarengan. Sebuah komisi beranggotakan dua belas orang dibentuk untuk meneliti bukti-bukti yang akan diserahkan oleh Morcerf. Rapat komisi pertama direncanakan jam delapan nanti malam dengan mengambil tempat di kantor Parlemen. Apabila diperlukan lagi rapat-rapat lanjutan akan diadakan di tempat yang sama pada waktu yang sama pula. Setelah ke putusan itu dibuat Morcerf meminta izin meninggalkan sidang. Dia akan mengumpulkan semua dokumen yang telah dia timbun untuk sekian lamanya untuk menangkis kemungkinan serangan seperti sekarang. Morcerf yang bersifat cerdik licik dan pantang mengalah memang telah meramalkan datangnya serangan semacam ini. Pada jam delapan malam ia kembali dengan membawa setumpuk dokumen. Wajahnya tampak tenang dan berlainan sekali dengan kebiasaannya, sikapnya malam ini tidak angkuh bahkan pakaiannya pun sederhana sekali. Kehadirannya memberikan kesan yang baik. Komisi tidak bersikap keras bahkan beberapa anggota datang menghampirinya untuk menjabat tangannya. Tiba-tiba seorang petugas penerima tamu masuk mengantarkan sepucuk surat untuk Ketua. "Saya per silaukan Tuan mengemukakan pembelaan Tuan, Tuan Morcerf," kata Ketua sambil membuka segel surat yang baru diterimanya. Morcerf memulai pembelaannya dengan fasih dan tangkas sekali. Dia membeberkan suatu bukti bahwa Ali Pasha sampai pada hari terakhirnya masih mempercayainya, ternyata dari tugas maha penting yang masih dipercayakan kepadanya. Morcerf memperlihatkan sebentuk cincin yang biasa dipergunakan Ali Pasha untuk menyetempel surat-suratnya. Cincin itu diberikan kepada Morcerf agar sekembalinya dari pelaksanaan tugas dengan memperlihatkan cincin itu kepada para pengawal ia dapat langsung menemuinya, sekalipun Ali Pasha sedang berada di antara harem-haremnya, tak peduli siang atau malam. Sayang sekali, kata. Morcerf misinya itu tidak berhasil dan ketika ia kembali kedapatan Ali Pasha sudah hampir meninggal. Tetapi, kata Morcerf, kepercayaan Ali Pasha kepadanya demikian besarnya sehingga di ranjang kematiannya pun dia masih mempercayakan piaraan tercintanya dan anak perempuannya kepadanya. Sementara itu Ketua sudah mulai membaca surat yang baru diterimanya. Kalimatkalimat pertamanya sudah sangat menarik perhatiannya. Dia menamatkan pembacaannya, lalu mengulanginya. Dengan menatap wajah Tuan de Morcerf dia berkata, "Count, kalau tidak salah, saya dengar Tuan mengatakan bahwa Ali Pasha mempercayakan piaraan dan putrinya kepada Tuan. Betulkah begitu?" "Benar," jawab Morcerf. "Tetapi rupanya ketika itu saya selalu dirundung kemalangan. Ketika itu ternyata Va-siliki dan anaknya I lay dee, telah hilang." "Apakah Tuan mengenal mereka?" "Keakraban saya dengan Pasha dan kepercayaannya yang besar telah memungkinkan saya bertemu dengan mereka lebih dari dua puluh kali.** "Apa Tuan mengetahui apa yang terjadi dengan mereka?" "Ya. Saya mendengar bahwa mereka telah mati karena kesedihan dan mungkin juga karena kemiskinan. Saya sendiri tidak kaya ketika itu, sehingga saya merasa sangat menyesal tidak dapat mencari mereka." Hampir tidak kelihatan bahwa Ketua mengerutkan dahinya. "Tuan-tuan," katanya, "Tuan-tuan telah mendengar penjelasan Tuan de Morcerf. Tuan de Morcerf, dapatkah Tuan mengajukan saksi untuk memperkuat apa yang Tuan terangkan ini?" "Sayang sekali," jawab Morcerf, "semua orang yang mengenal saya di Istana Pasha telah meninggal atau sudah tidak diketahui lagi di mana mereka berada. Saya kira, sayalah satu-satunya orang dari rekan-rekan seperjuangan yang selamat keluar dari peperangan yang mengerikan itu. Saya hanya memiliki surat-surat dari Ali Pasha yang sudah saya pediliatkan kepada sidang tadi, dan cincin sebagai bukti kepercayaannya kepada saya. Namun, bukti terkuat yang dapat saya kemukakan sebagai bantahan terhadap serangan terhadap saya yang entah dari siapa, adalah tidak adanya suatu bukti bahkan petunjuk pun yang membuktikan cacadnya kehormatan saya atau karir saya dalam kemiliteran," Suara mufakat banyak terdengar dari anggota-anggota sidang. Para anggota sudah siap untuk mengambil suara ketika Ketua tiba-tiba berdiri lalu berbicara, ''Tuan-tuan, saya kira Tuan-tuan tidak akan berkeberatan untuk mendengarkan keterangan seorang saksi yang mengaku mempunyai bukti yang penting sekali dan yang datang ke mari atas kehendaknya sendiri. Setelah kita mendengarkan keterangan Tuan de Morcerf kita dapat mengharapkan bahwa saksi ini datang untuk membuktikan kebersihan rekan kita. Di tangan saya ada sebuah surat yang baru saja saya terima. Apakah Tuan-tuan menghendaki saya membacakannya ataukah menghendaki kita meneruskan sidang kita dengan tidak menghiraukan surat ini?" Wajah Morcerf mendadak pucat dan tanpa sadar meremas-remas kertas yang berada di tangannya. Komisi menentukan agar surat itu dibacakan. Morcerf sendiri tetap bungkam tidak memberikan pendapatnya. Ketua sidang membacakan surat yang berbunyi; "Saya dapat memberikan keterangan yang sangat berharga kepada Komisi yang dibentuk untuk menyelidiki tingkah-laku Letnan Jendral de Morcerf di Epirus dan Macedonia. Saya menyaksikan kematian Ali Pasha dan saya mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi dengan Vasiliki dan Hay dee. Saya menyediakan diri untuk membantu Komisi, bahkan lebih dari itu saya mengharapkan mendapat kehormatan untuk di dengar di muka sidang." "Siapa saksi ini, atau lebih tepat musuh ini?" tanya Morcerf gugup. "Kita akan segera mengetahuinya," jawab Ketua. "Saudara penerima tamu, apakah ada yang menunggu di ruang tamu?" "Ada tuan." "Siapa?" "Seorang wanita ditemani pelayannya." Para anggota komisi berpandangan satu sama lain dengan heran"Persilakan dia masuk " perintah Ketua. Petugas itu keluar sebentar lalu masuk kembali. Di belakangnya berjalan seorang wanita bercadar yang menutupi seluruh wajahnya. Namun demikian dari bentuk tubuhnya orang dengan pasti dapat mengatakan bahwa ia seorang yang masih muda dan seorang yang anggun. Ketua meminta agar dia membuka cadarnya. Anggota Komisi melihat di hadapannya seorang wanita yang cantik sekali. Morcerf memandanginya dengan heran bercampur takut. Baginya, kehadiran wanita ini berarti hidup-matinya. Bagi yang lain, merupakan pandangan dan pengalaman yang menarik, sehingga nasib Morcerf menjadi pemikiran yang nomor dua. "Nyonya," kata Ketua memulai, "dalam surat Nyonya mengatakan bahwa Nyonya dapat memberikan keterangan tentang kejadian di Yanina dan mengatakan pula bahwa Nyonya menjadi saksi mata dalam peristiwa itu T "Benar, Tuan. Saya berada di sana ketika kejadian itu." jawab wanita itu dengan nada suara yang haru namun menarik, rendah dan merdu khas suara wanita Timur. "Izinkan saya menyatakan bahwa Nyonya tentu masih sangat muda ketika itu " kata Ketua. "Saya berumur empat tahun ketika itu. Tetapi, karena kejadian itu merupakan peristiwa yang sangat penting bagi saya, saya tidak dapat dan tidak akan dapat melupakannya." "Bagaimana hubungan kejadian itu dengan diri Nyonya? Siapakah sebenarnya Nyonya sehingga kejadian itu membelikan kesan yang mendalam pada diri Nyonya?" "Saya adalah Haydee, anak Ali Tebelin, Pasha dari Yanina. Dan ibu saya, VasHiki, istri Ali Pasha yang sangat dicintainya." Keterangan yang diucapkannya dengan penuh kebangga an dan rasa bangga itu mewarnai pipinya menjadi merah. Nyala cahaya matanya dan keanggunannya ketika dia menyatakan itu, memberikan kesan yang mendalam kepada para anggota komisi. Sedangkan bagi Morcerf, keterangan itu lebih mengejutkan daripada halilintar yang menyambar kakinya. ' "Nyonya," kata Ketua lagi setelah membungkuk menerima perkenalan diri dari Haydee. "Izinkan saya mengaju kan sebuah pertanyaan sederhana yang bukan didasarkan keraguraguan: Dapatkah Nyonya membuktikan pengakuan Nyonya?" "Dapat" jawab Haydee sambil membuka sebuah tas satin yang harum. "Ini surat keterangan kelahiran saya, dibuat oleh ayah saya dan ditandatangani oleh pejabat-pejabat yang terpenting. Dan ini, surat pembaptisan saya, karena ayah saya menyetujui saya dibesarkan dalam agama ibu saya. Surat keterangan itu disahkan oleh Uskup Agung Macedonia dan Epirus. Dan yang terpenting dari semuanya itu, barangkali, inilah surat yang menerangkan penjualan ibu dan saya sendiri, oleh seorang opsir bangsa Perancis kepada saudagar budak belian dari Armenia. Sebagai upah dari pengkhianatannya yang sangat keji, opsir Perancis Ini telah menerima dari orang Turki istri dan anak Ali Pasha sebagai barang rampasan. Dia menjual kami dengan harga empat ratus ribu frank." Mendengar tuduhan yang dahsyat ini wajah Morcerf menjadi pucat pasi dan matanya merah seakan-akan berlumuran darah. Sidang mendengarkan keterangan Haydee dengan penuh perhatian. Haydee sendiri, tetap tenang, bahkan ketenangannya Ini lebih berbahaya daripada kemarahan wanita lain. Dia menyerahkan surat jual bed itu kepada Ketua. Surat tersebut ditulis dalam bahasa Arab. Tetapi karena Komisi telah memperkirakan bahwa beberapa dokumen mungkin ditulis dalam bahasa Arab, Yunani modern atau Turki, seorang penterjemah sudah dipersiapkan. Salah seorang anggota, seorang bangsawan terhormat yang menguasai bahasa Arab dengan baik, menterjemahkan surat jual-beli itu lalu membacakannya untuk sidang: "Saya Ł1 Kobbir, saudagar budak dan pengisi harem Sri Baginda, dengan ini mengaku telah menerima dari Count of Monte Cristo - sebuah permata zamrud bernilai delapan ratus ribu frank yang harus saya teruskan kepada Baginda. Yang Mulia, sebagai harga pembayaran seorang budak bernama Hay dee, Kristen, berumur sebelas tahun, anak yang sah dari Ali Pasha almarhum dari Yanina dan istrinya Vasiliki. Budak bernama Hay dee ini dijual kepada saya bersama ibunya yang sekarang sudah meninggal di Istambul, tujuh tahun yang lalu oleh Kolonel Fernand Monde go, seorang opsir Perancis yang pernah berdinas untuk Ali Pasha almarhum. Saya melakukan jual-beli ini untuk Sri Baginda, surat perintahnya ada pada saya, dengan harga empat ratus ribu frank. Keterangan ini dibuat dengan seizin Sri Baginda di Istambul pada tahun 1247 Hijriah. Tertanda EL KOBBIR Di samping tanda tangan saudagar itu terdapat pula cap kerajaan. Keheningan yang mencekam menguasai seluruh ruangan sidang. Morcerf memandang Hay dee dengan pandangan yang kacau. "Nyonya,** kata Ketua, "mungkinkah kami meminta keterangan kepada Count of Monte Cristo yang kami kira sekarang sedang berada di Paris bersama Nyonya?" "Count of Monte Cristo telah berangkat ke Notmandia tiga hari yang lalu," jawab Hay dee.  "Jika demikian," kata Ketua lagi, "siapa kiranya yang memberikan nasihat kepada Nyonya untuk melakukan tindakan ini, tindakan yang sangat kami hargakan dan dapat kami pahami mengingat asal-usul Nyonya dan malapetaka yang pernah menimpa Nyonya?" "Tindakan saya ini didorong oleh rasa kehormatan dan kepedihan saya. Saya seorang Kristen, tetapi, semoga Tuhan, mengampuni saya, saya senantiasa memimpikan untuk membalaskan dendam ayah saya yang.tercinta^Ketika saya datang di Peran cis dan mendengar bahwa pengkhianat itu tinggal di Paris, saya senantiasa membuka mata dan telinga menanti kesempatan yang baik. Saya tinggal terasing dari masyarakat di rumah pelindung saya yang mulia. Saya hidup secara demikian karena saya menyenangi keheningan dan kesunyian yang dapat memberikan saya kesempatan berpikir dan mengenangkan masa lampau. Meskipun demikian, Count of Monte Cristo memperlakukan saya sebagai anaknya sendiri dan memberikan kepada saya segala sesuatu yang diperlukan sehingga saya selalu dapat mengikuti semua kejadian di luar dunia saya. Saya membaca semua surat kabar dan majalah. Saya mengikuti pula lagulagu ciptaan baru. Dengan cara demikian saya mengikuti kehidupan orang lain tanpa turut serta di dalamnya. Dengan cara itu pula saya mengetahui apa yang sedang terjadi dalam Parlemen pagi taSi dan apa yang akan terjadi malam ini. Itulah sebabnya saya menulis surat kepada Tuan." "Maksud Nyonya, Count of Monte Cristo tidak mempunyai hubungan sedikit pun dengan tindakan Nyonya sekarang?" "Beliau tidak mengetahuinya sama sekali. Tegasnya, satu-satunya kekhawatiran saya, beliau tidak menyetujui tindakan saya ini kalau beliau mendengarnya. Namun demikian, hari ini adalah hari yang paling membawa kebahagiaan bagi saya," kata Haydee dengan mata bernyala-nyala, "karena akhirnya ,saya mendapatkan kesempatan untuk membalaskan dendam ayah saya." "Tuan de Morcerf" kata Ketua, "apakah Tuan mengenai Nyonya ini sebagai putri Ali Tebelin, Pasha dari Yanina?" "Tidak," jawab Morcerf sambil mencoba untuk berdiri. "Ini hanya merupakan salah satu siasat dari musuh-musuh saya" . Haydee yang sedang melihat ke pintu keluar seakan-akan menantikan kedatangan seseorang, tiba-tiba mengarahkan pandangannya kepada Morcerf lalu berteriak, "Tuan tidak mengenal saya! Baik, tetapi saya mengenal Tuan. Tuan adalah Femand Mondego, opsir Perancis yang memimpin tentara ayah saya! Tuanlah yang menyerahkan istana Yanina kepada Turki! Tuanlah yang dikirimkan ayah ke Istambul untuk merundingkan hidup-mati beliau, tetapi kembali membawa berita palsu seakan-akan ayah mendapatkan pengampunan sepenuhnya! Tuanlah, yang dengan berita palsu itu berhasil mendapatkan cincin kerajaan ayah! Tuanlah yang menjual ibu dan saya kepada perbudakan! Pembunuh! Pembunuh! Pada dahi Tuan masih mengalir darah ayah saya. Lihatlah dia, Tuan-tuan!" Kata-kata ini diucapkan dengan semangat kebenaran yang sukar dibantah sehingga mau tidak mau semua mata memandang kepada Morcerf yang tanpa disadarinya menempatkan tangan kanannya pada dahi seakan-akan benar merasa ada darah mengalir di sana. "Yakinkah Nyonya bahwa Tuan de Morcerf ini sama dengan opsir Perancis bernama Fernand Mondego?" tanya Ketua. "Apakah saya yakin?" jawab Haydee keras-keras. "Oh, Ibu! Ibu pernah berkata, 'Engkau orang merdeka, engkau mempunyai ayah yang mencintaimu dan sebenarnya engkau sudah hampir menjadi ratu! Perhatikan baik-baik laki-laki itu, oleh karena dialah yang membuatmu menjadi seorang budak, dialah orangnya yang membenturkan kepala ayahmu ke ujung tombak, dialah yang menjual kita, dialah yang mengkhianati kita! Perhatikan bekas hika pada lengan kanannya. Kalau engkau lupa akan wajahnya, engkau tidak mungkin lupa kepada tangan yang pernah menerima uang emas dari El Kobbir saudagar budak.1 Ya, saya kenal dia! Sekarang suruh dia berkata apakah dia mengenali saya atau tidak!" Morcerf menyembunyikan tangannya yang memang ada bekas luka. Dia terhenyak ke atas kursinya terpukul oleh bayangan kegelapan di hadapannya. Ruang sidang gaduh dengan suara anggota-anggota yang berbicara sesama mereka. 'Tuan de Morcerf" kata Ketua Komisi, "keadilan dalam sidang ini sama bagi setiap orang. Kami tidak akan membiarkan Tuan dipukul oleh lawan-lawan Tuan tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri. Apakah Tuan menghendaki dilakukan lagi penyelidikan yang baru? Atau apakah Tuan menghendaki saya mengirimkan dua orang utusan ke Yanina? Harap dijawab." Morcerf tetap bungkam. Para anggota komisi berpandangan satu sama lam dengan penuh tanda tanya. Mereka tahu ambisi dan watak Morcerf yang keras. Mereka tahu untuk menumbangkan Morcerf diperlukan pukulan yang dahsyat. "Bagaimana, Tuan de Morcerf?" tanya Ketua. "Tak ada yang hendak saya katakan," jawan Morcerf seperti orang dungu. "Apakah Tuan bermaksud mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh putri Ali Pasha benar? Apakah Tuan mengaku bersalah untuk tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Tuan?" Morcerf. melihat ke sekelilingnya dengan pandangan putus harapan. Pandangannya itu sangat menimbulkan iba sehingga mungkin dapat melunakkan hati seekor harimau, tetapi tak akan mungkin menggoyahkan mereka yang sedang mengadilinya. Dia mengarahkan matanya ke langit-langit lalu secara cepat menurunkannya kembali, seakan-akan dia merasa takut langit langit akan terbelah lalu pandangannya akan beradu dengan Hakim Yang Maha Adil. Dia membuka kancing leher bajunya karena terasa baju itu mencekik lehernya, lalu berjalan ke luar seperti orang gila yang lagi bersedih. Suara sepatunya menggema di seluruh ruangan. Tak berapa lama kemudian terdengar suara kereta yang ditarik kuda yang berlari kencang. "Tuan-tuan," kata Ketua Komisi ketika para anggota sudah tenang kembali, "apakah Tuan-tuan berpendapat bahwa Tuan de Morcerf terbukti bersalah melakukan kejahatan besar, pengkhianatan dan perbuatan tercela?" "Bersalah!1' sahut semua anggota bersama-sama. Haydee mendengarkan keputusan ini tanpa menunjukkan rasa gembira ataupun menyesal. Setelah menutup kembali wajahnya dengan cadar dia membungkuk memberi hormat kepada sidang lalu berbalik dan berjalan ke luar ruang sidang dengan langkahlangkah seanggun langkah seorang ratu. BAB XLIX "LALU," kata Beauchamp melanjutkan ceriteranya tentang kejadian di parlemen itu kepada Albert, "aku menyelinap ke luar Gedung Parlemen tanpa dilihat orang. Petugas yang membolehkan aku masuk sudah menunggu di pintu. Dia mengantarkan aku melalui gang ke sebuah pintu kecil yang berhubungan dengan jalan de Vaugirard. Hatiku penuh dengan rasa sedih dan kagum. Kesedihan buat dirimu dan kekaguman untuk wanita muda itu." Albert memegang kepalanya. Dia menengadah, pipinya * merah karena malu dan matanya basah berlinang. Lalu dia "memegang tangan Beauchamp. "Kawan," katanya, "riwayatku tamat. Yang masih tinggal sekarang hanyalah menemukan siapa orangnya yang membangkitkan nafsu balas dendamku. Bila aku menemukannya, salah seorang akan mati, dia atau aku. Aku percaya, sebagai sahabat engkau akan membantuku. Beauchamp, seandainya rasa hina bersahabat dengan -aku tidak membunuh rasa persahabatan itu dalam hatimu." "Rasa hina? Betapa malapetaka ini kau terima? Tidak, kita tidak lagi hidup dalam jaman di mana seorang anak harus bertanggungjawab untuk perbuatan orang tuanya. Engkau masih muda dan kaya, Albert. Tinggalkan Perancis. Segalanya akan segera dilupakan orang dalam jaman modern yang serba cepat berubah ini. Kalau engkau kembali tiga atau empat tahun lagi, orang sudah tidak akan memikirkan lagi kejadian kemarin itu." 'Terima kasih untuk maksud baikmu itu," jawab Albert, "tetapi aku tidak dapat nenjalankan saranmu itu. Tentu engkau dapat memahami mengapa aku tidak mungkin melihat persoalan ini dari sudut pandanganmu. Seandainya engkau masih merasa bersahabat, seperti yang engkau katakan, tolonglah aku menemukan tangan yang menghantamkan pukulan ini." "Kalau itu kehendakmu, baik," kata Beauchamp. "Kalau engkau sudah berketetapan hati untuk mencari musuhmu itu, aku akan besertamu."» "Terima kasih Mari kita mulai saja. Setiap menit penangguhan berarti seabad bagiku. Si pelaku belum terbalas, dan bila dia mengira akan bebas dari pembalasan, aku bersumpah bahwa dia keliru!" "Baik. Sekarang dengarkan........ " "Ali, rupanya engkau mengetahui sesuatu. Ini menyebabkan gairah hidupku bangkit kembali." "Aku tidak mau mengatakan bahwa inilah yang sebenarnya, namun paling tidak merupakan secercah cahaya dalam gelap. Aku mendapat tahu bahwa baru-baru ini Tuan Danglars menyurati rekannya di Yanina bertanya tentang pengkhianatan terhadap Ali Paslia." "Danglars!" Albert berteriak. "Betul, sejak lama4ia iri liati kepada ayahku. Dia bangga karena berasal dari orang kebanyakan, tetapi dia tidak dapat memaafkan Count of Morcerf yang juga berasal dari orang kebanyakan menjadi seorang bangsawan Perancis. Dan cara dia memutuskan pertunanganku dengan anaknya tanpa memberikan sesuatu alasan ya, dialah orangnya!" "Jangan membiarkan dirimu terhanyut oleh kesimpulan-. kesimpulan sementara, Albert. Sebaiknya, engkau menyelidiki dahulu, dan, kalau benar . . . . " "Kalau benar, dia harus membayar untuk segala penderitaanku ini!" "Albert, aku tidak bermaksud menyalahkan keputusan-mu. Aku hanya ingin engkau bertindak hati-hati." "Jangan khawatir. Di samping itu, bukankah engkau akan menyertaiku? Untuk persoalan yang maha penting ini selalu diperlukan seorang saksi. Kalau Tuan Danglars bersalah, dia atau aku akan mati di akhir hari ini." "Sekali keputusan seperti ini dibuat, harus segera dilaksanakan. Mari kita ke rumah Danglars." Ketika mereka sampai di rumah bankir itu, mereka melihat kereta Tuan Andrea Cavalcanti di muka pintu. "Kebetulan," kata Albert. "Kalau Tuan Danglars tidak bersedia berduel, aku akan membunuh menantunya. Cavalcanti mungkin tidak mau menolak tantanganku." Tatkala kedatangan Albert diberitahukan Danglars yang sudah mendengar kejadian kemarin di Parlemen memerintahkan untuk menolak anak muda itu. Tetapi terlambat, karena Albert mengikuti pelayan itu ke dalam. Ketika dia mendengar perintah Danglars dia memaksa membuka pintu diikuti oleh Beauchamp, memasuki ruang kerja Danglars. "Apa artinya ini?" kata Danglars berteriak marah. "Apakah orang sudah tidak mempunyai hak lagi untuk menentukan siapa yang mau dia terima di rumahnya?" , "Tidak, Tuan Danglars," jawab Albert dingin, "banyak keadaan tertentu, dan ini adalah salah satu di antaranya, di mana orang harus menerima tamu tertentu, kecuali kalau dia seorang pengecut." "Apa yang Tuan kehendaki?" Albert maju beberapa langkah tanpa menghiraukan Ca-valcanti yang berdiri di samping tungku api. ''Saya mau membuat perjanjian dengan Tuan," katanya, "di suatu tempat terpencil di mana orang tak akan mengganggu kita untuk sekitar sepuluh menit, di mana salah seorang dari kita akan tinggal tergeletak di atas tanah." Wajah Danglars cepat berubah menjadi pucat. Cavalcanti bergerak. Albert berbalik kepadanya lalu berkata,. "Oh, Tuan pun boleh hadir kalau mau, Tuan Cavalcanti. Tuan hampir menjadi anggota keluarga di sini. Dengan demi kian Tuan mempunyai hak untuk berada di sana, dan perjanjian serupa ini saya sampaikan kepada sebanyak orang yang mau menerimanya." Cavalcanti menatap wajah Danglars dengan sedikit bingung. Danglars bangkit lalu berdiri di antara kedua anak muda itu. Serangan Albert kepada Andrea menimbulkan pikiran baru kepada Danglars. Dia berharap, kedatangan Albert ke rumahnya disebabkan alasan yang lain daripada yang disangkanya semula. "Saya peringatkan, Tuan Albert de Morcerf, kalau Tuan ke mari untuk datang mencari gara-gara dengan Tuan Cavalcanti karena dia lebih saya sukai sebagai calon menantu, saya akan membawa persoalan ini ke hadapan pengadilan." "Tuan keliru, Tuan Danglars," jawab Albert tersenyum sinis. "Mas'alah perkawinan tidak ada dalam benak saya, dan saya berkata demikian kepada Tuan Cavalcanti hanya karena saya melihat dia seperti mau mencampuri urusan kita. Dalam satu hal Tuan benar, hari ini saya sedang siap untuk berkelahi dengan siapa pun. Tetapi Tuan jangan khawatir, Tuan akan mendapat kesempatan pertama." ^ "Tuan Morcerf," kata Danglars pucat karena marah dan takut, "kalau saya melihat seekor anjing gila menghadang, saya akan membunuhnya tanpa rasa nerdosa, bahkan saya akan merasa berjasa kepada masyarakat. Bila Tuan bertindak gila dan mencoba hendak menggigit saya, saya peringatkan saya akan membunuh Tuan tanpa rasa iba. Apa salah saya kalau nama ayah Tuan tercemar?" "Ya!" jawab Albert keras. "Memang salah Tuan." Danglars mundur selangkah. "Salah saya?" Dia heran. "Mengapa? Tuan sudah gila rupanya! Apa yang saya ketahui tentang sejarah Yunani? Apakah pernah saya kesana? Apakah saya menasihati ayah Tuan untuk menyerahkan istana Yanina, untuk mengkhianati......................................................... " "Diam!" kata Albert. "Memang Tuan tidak secara langsung bertanggung jawab untuk malapetaka yang terjadi kemarin itu, tetapi Tuanlah penyebabnya. Siapa yang menjadi sumbernya, kalau bukan Tuan?" "Bukankah surat kabar mengatakannya dari Yanina?" "Ya, tetapi siapa yang menulis surat ke Yanina mencari keterangan tentang ayah saya?" "Setiap orang dapat melakukannya, bukan?" "Tetapi hanya seorang yang menulis. Dan orang itu adalah Tuan!" "Saya akui. Apabila seseorang bermaksud menikahkan anak perempuannya, saya rasa dia mempunyai hak untuk menyelidiki latar belakang keluarga calon menantunya. Bahkan bukan hanya merupakan hak, melainkan kewajiban." "Ketika Tuan menulis ke Yanina, Tuan telah mengetahui dengan pasti jawaban apa yang akan Tuan terima." "Saya tidak akan menulis surat itu kalau saya sudah mengetahuinya. Bagaimana mungkin saya mengetahui malape-taka^ang menimpa AH Pasha?" "Tentu ada orang lain yang menganjurkan Tuan melaakukannya?" "Benar." "Siapa?" "Saya berbicara dengan seseorang tentang latar belakang ayah Tuan dan saya mengatakan bahwa asal kekayaan ayah Tuan tetap merupakan rahasia bagi saya. Orang itu bertanya di mana ayah Tuan memperoleh kekayaan dan saya jawab di Yunani. Lalu dia menganjurkan saya mencari keterangan di Yanina." "Siapa orang itu?" "Sahabat Tuan, Count of Monte Cristo." Albert dan Beauchamp sating berpandangan. "Tuan Danglars/'' kata Beauchamp yang selama ini tidak ikut bicara. "Tuan menuduh Count of Monte Cristo, padahal beliau sekarang sedang tidak berada di Paris sehingga tidak mungkin membela dirinya." "Saya tidak menyalahkan seseorang " jawab Danglars. "Saya hanya menceriterakan apa yang terjadi dan saya akan senang sekali mengulanginya lagi di hadapan Count of Monte Cristo apabila dia sudah kembali." "Apakah Count of Monte Cristo mengetahui jawaban yang Tuan terima?" tanya Albert. "Saya memperlihatkannya." «''Tahukah beliau bahwa nama asli ayah saya Fernand Mondego?" "Tahu, saya telah menceriterakannya beberapa waktu yang lalu. Dalam peristiwa ini saya hanya melakukan apa yang akan dilakukan orang lain di tempat saya. Bahkan mungkin apa yang saya lakukan sekarang ini tidak memadai. Sehari setelah saya menerima jawaban dari Yanina, ayah Tuan datang berkunjung, atas anjuran Monte Cristo untuk meneguhkan rencana perkawinan Tuan dengan anak saya. Saya menolak, ini saya akui, tetapi saya menolak tanpa memberikan alasan apa pun dan tanpa membuat ributribut. Dan mengapa pula saya harus membuat ribut-ribut? Apa arti nama baik atau nama buruk Count of Morcerf bagi saya? Tidak ada. Namanya tidak akan menambah atau mengurangi penghasilan saya" Pipi Albert merah karena tersinggung.*Dia merasakan sekali Danglars membela dirinya dengan cara yang keji, dengan keyakinan seorang yang berkata, walaupun tidak seluruhnya, paling tidak sebagian mengandung kebenaran. Dalam pada itu Albert tidak mau menghiraukan sampai berapa jauh tanggung jawab Danglars atau Monte Cristo dalam perkara ini. Yang dia cari dan perlukan sekarang adalah seorang yang mau menerima tantangannya, orang yang mau berduel dengan dia. Jelas sekali bahwa Danglars tidak mau berkelahi. Beberapa kejadian yang telah dilupakan atau yang semula kurang diperhatikan, kini bermunculan kembali dalam*pikirannya. Monte Cristo mengetahui segala-galanya, dia menganjurkan Danglars menulis surat ke Yanina. Dia membawa Albert berlibur tepat pada saat akan terjadinya malapetaka menimpa ayahnya. Jelas sekarang bagi Albert bahwa Monte Cristo merencanakan semuanya dan yakin pula dia bahwa Monte Cristo berjalan seiring dengan musuh-musuh ayahnya. Albert menarik Beauchamp menjauhi Danglars lalu berbisik-bisik menyampaikan pikirannya. "Engkau benar" kata Beauchamp. "Tuan Danglars hanya merupakan alat belaka. Engkau harus meminta pertanggungan jawab dari Count of Monte Cristo." Albert berbalik kepada Danglars. "Saya harap Tuan me mahami bahwa saya belum selesai dengan Tuan. Saya harus yakin dahulu apakah tuduhan Tuan benar atau tidak. Sckarang saya akan langsung menemui Count of Monte Cristo untuk mengetahuinya." Setelah memberi hormat dia keluar bersama Beauchamp tanpa menghiraukan Cavalcanti. Danglars mengantar mereka sampai di pintu dan sekali lagi meyakinkan Albert bahwa secara pribadi dia tidak membenci ayahnya. BAB L KETIKA meninggalkan rumah Danglars, Beauchamp menahan Albert sebentar. "Sebelum kita menemui Count of Monte Cristo sebaiknya engkau berpikir dahulu." "tentang apa?" "Tentang akibat dari perbuatanmu ini." "Aku hanya takut pada satu hal: bertemu dengan orang yang menolakberkelahi." "Count of Monte Cristo pasti mau berduel. Yang aku khawatirkan, dia akan terlalu tangkas bagimu. Hati-hati lah!" "Kawan," jawab Albert tersenyum, "keberuntungan yang paling membahagiakan bagiku pada waktu ini adalah mati untuk ayali. Kemauanku akan menyelamatkan seluruh keluarga." "Tetapi ibumu pun akan mati merana!" Sambil mengusapkan telapak tangannya ke mata dia berkata perlahan-lahan. "Aku tahu. Tetapi lebih baik ba ibu meninggal karena sedih daripada karena malu." * "Sudah bulat ruatmu itu?" /Ya." "Kalau begitu tak ada alasan lagi menunggu. Di mana kaukira kita dapat meryumpainya?" "Dia akan berangkat beberapa jam setelah aku pergi. Pasti sudah kembali sekarang.*' Mereka bergerak menuju rumah Count of Monte Cristo di Champs Ely sees. Baptis tin menerima mereka di pintu. Benar, Monte Cristo baru saja datang. Sekarang sedang mandi dan memerintahkan untuk tidak menerima tamu. "Apa rencana beliau setelah mandi?" tanya Albert. "Makan." "Setelah makan?" "Beliau akan tidur satu jam." "Lahi?" "Menonton opera." "Kau y Skin itu?" "Yakin sekali. Count telah memesan keretanya disiapkan pada jam delapan malam nanti." "Baik," kata Albert. "Hanya itu yang ingin kuketahui." Lalu menghadap kepada Beauchamp dan berkata, "Kalau ada yang harus engkau Kerjakan, kerjakanlah sekarang, dan kalau ada janji untuk malam nanti, undurkanlah sampai besok. Engkau tentu mengerti kalau aku meminta engkau menonton opera bersamaku malam nanti. Bila mungkin, ajak serta Chateau-Renaud." Beauchamp berpisah dengan Albert setelah dia berjanji akan menjemputnya malam nanti jam delapan kurang seperempat. Setel all Albert sampai di rumahnya dia menulis surat kepada Franz, Debray dan Maximjlien bahwa dia ingin bertemu dengan mereka malam nanti di Gedung Opera. Setelah itu dia menemui ibunya, yang setelah mende n gar kejadian kemarin tidak mau bertemu dengan siapa pun dan tetap mengunci diri di kamarnya. Albert menemuinya di sana dalam keadaan masih terpengaruh oleh penghinaan masyarakat kepada suaminya. Ketika melihat anaknya dia memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Air mata yang membanjir seperti memberikan ketenangan kepadanya. Albert diam sambil menatap wajah ibunya. Air mukanya menunjukkan bahwa nafsu membalas dendam agak melemah dalam hatinya. "Ibu," katanya, "apakah ------mempunyai musuh?" Mercedes terkejut. Albert tidak mengatakan "ayah". "Orang dengan kedudukan seperti ayahmu mungkin saja mempunyai banyak musuh, bahkan mungkin musuh yang tidak diketahuinya sama sekali." "Ya, saya tahu itu. Tetapi pasti ibu memperhatikan juga bahwa Count of Monte Cristo selalu menolak minum atau makan dalam rumah kita." "Count of Monte Cristol" Mercedes lebih terkejut lagi. "Apa hubungannya dia dengan pertanyaanmu?" "Seperti ibu ketahui, Count of Monte Cristo hampir sudah seperti orang Timur, dan orang Timur tidak pernah mau minum atau makan di rumah musuh-musuhnya." "Maksudmu, Count of Monte Cristo musuh kita, Albert? Siapa yang mengatakan itu? Mengapa berkata begitu? Engkau gila, Albert! Count of Monte Cristo selalu bersahabat kepada kita, bahkan dia pernah menyelamatkan jiwamu, dan engkau sendiri pula yang memperkenalkan dia kepada kami. Buanglah pikiran itu. Dengarkan nasihat ibu ini. . . aku minta. . . tegasnya ,. . jangan bertengkar dengan dia." "Ibu^ jawab Albert dengan tenang, "tentu ibu mempunyai alasan pribadi untuk meminta saya tidak bertengkar dengan orang itu," "Alasan pribadi?" jawab Mercedes, pipinya tiba-tiba me merah, kemudian dengan cepat berubah lagi menjadi pucat. "Ya" jawab Albert lagi. "Dan alasan ibu tentu bahwa dia tidak berbahaya bagi kita. Begitu bukan?" Mercedes gemetar. Ditatapnya mata anaknya seperti hendak mengatakan rahasia yang tersembunyi dalam hatinya. "Sikapmu aneh sekali hari ini," katanya. "Apa yang dia lakukan terhadapmu? Baru tiga hari yang lalu engkau berlibur ke Normandia bersamanya. Baru tiga hari yang lalu aku menganggap dia seperti engkau menganggapnya: sebagai sahabat karibmu." Senyum sinis tersimpul di bibir Albert. Mercedes melihatnya, dan berkat naluri seorang wanita dan seorang ibu dia dapat menerka segala-galanya. Tetapi dia mencoba menyembunyikan perasaan takutnya. Albert menghentikan percakapan ini. Beberapa saat kemudian Mercedes berkata lagi, "Aku harap engkau mau tinggal di sini bersamaku, Albert. Aku takut menyendiri." "Ibu tahu, betapa senangnya saya berada dekat ibu, namun malam ini ada suatu hal yang sangat penting yang mengharuskan saya meninggalkan Ibu." "Baik " jawab Mercedes dengan nada mengeluh. "Aku tidak bermaksud mengharapkan ketaatanmu secara berlebih-lebihan." Albeit pura-pura tidak mendengarnya. Dia pamit dan keluar. Setelah pintu tertutup kembali, segera Mercedes memang gil pelayan kepercayaannya dan memerintahkannya untuk mengikuti gerak-gerik Albert semalam itu. Lalu dia memanggil pelayan wanitanya, dan sekalipun badannya terasa lemah, dia berganti pakaian siap untuk segala kemung kinan. Albert kembali ke rumahnya, berdandan serapih-rapih-nya. Sepuluh menit sebelum jam delapan Beauchamp datang. Dia telah menemui Chateau-Renaud yang berjanji akan menggabungkan diri di Gedung Opera sebelum layar diangkat. Chateau-Renaud telah menunggu jcetika mereka datang. Beauchamp telah menceriterakan semuanya, sehingga Albert sudah tidak perlu lagi memberikan keterangan. Debray tidak datang, padahal Albert tahu dia tidak pernah melewatkan kesempatan menonton opera. Albeit memusatkan pandangannya ke tempat ruang duduk Monte Cristo. Tampaknya masih kosong. Akhirnya, pada permulaan babak kedua, setelah dia melihat arlojinya untuk kesekian ratus kalinya, pintu ruang duduk Monte Cristo terbuka dan Monte Cristo kelihatan masuk dalam pakaian serba hitam. Sebelum duduk bersandar dahulu pada sandaran di hadapannya untuk melihat para pemain orkes. Dia dikawani oleh Maximilien Morrel. Ketika itu dia merasa ada sepasang mata yang terus-menerus menatapnya. Terlihat olehnya Albert, matanya bersinar-sinar. Melihat air muka Albert seperti itu dia merasa bijaksana untuk pura-pura tidak melihatnya. Lalu dia duduk, mengambil teropongnya dan dengan teropong itu mengarahkan pandangannya ke arah lain. Namun, sebenarnya Albert tidak pernah lepas dari perhatiannya. Ketika layar ditutup pada akhir babak kedua matanya yang tajam dapat melihat Albert meninggalkan tempat duduknya diikuti oleh kedua kawannya. Monte Cristo merasa badai akan segera mengamuk. Ketika dia mendengar langkah-langkah orang mendekatinya sekalipun dia sedang asyik berbicara dengan Maximilien, dia tahu apa yang akan terjadi dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Pintu ruang duduknya terbuka. Monte Cristo membalikkan badannya dan melihat Albert, wajahnya kebiru-biruan dan badannya gemetar. Di belakangnya berdiri Beauchamp dan Chateau Renaud. "Saya kira, akhirnya tercapai juga maksud Tuan menemui saya," kata Monte Cristo dengan nada dan kalimat sopan, yang berbeda dari cara menghormat orang lain. "Selamat malam. Tuan de Morcerf." Maximilten tiba-tiba teringat kapada surat yang diterimanya dari Albert yang meminta dia taftpa memberi penjelasan untuk melihat opera. Sekarang dia merasakan sesuatu yang gawat akan segera terjadi "Saya datang ke mari tidak untuk saling memberi salam secara munafik atau memperlihatkan persahabatan yang palsu," jawab Albert. "Saya datang untuk menuntut sesuatu " "Menuntut sesuatu dalam gedung ini?" kata Monte Cristo dengan sangat tenang dan sorot mata yang memancarkan keyakinan diri. "Saya kurang faham akan kebiasaan Perancis, tetapi saya kira Gedung Opera bukanlah tempat yang layak untuk itu." "Apabila seseorang menyembunyikan dirinya" jawab Albert, "bila dia tidak mengizinkan orang lain memasuki rumahnya dengan alasan bahwa dia sedang mandi, sedang makan atau sedang tidur, maka dia hams ditemui di mana saja dia dapat ditemui" "Saya tidak sukar ditemui. Kalau saya tidak salah baru tadi siang Tuan datang ke rumah saya." **Ya," jawab Albert yang sudah mulai kalap, "saya ke rumah Tuan karena saya belum mengetahui apa dan siapasebenarnya Tuan!" Albert mengucapkan kata kata ini demikian kerasnya sehingga terdengar oleh penonton-penonton lain di sekelilingnya. "Apa sebenarnya maksud Tuan, Tuan de Morcerf?" Monte Cristo bertanya tanpa menunjukkan perasaannya. "Rupanya pikiran Tuan sedang kacau." "Sepanjang saya sadar akan pengkhianatan Tuan dan sanggup membuat Tuan mengerti bahwa saya menuntut pembalasan, pikiran saya cukup jernih." "Saya tidak mengerti, Tuan de Morcerf. Dan sekalipun saya dapat mengerti, tetapi Tuan tetap berbicara terlalu keras. Ini ruang duduk saya dan hanya saya sendiri yang berhak berteriak di sini. Silakan keluar, Tuan de Morcerf!" Monte Cristo menunjuk pintu dengan sikap memerintah "Saya akan memancing Tuan keluar dari ruang ini!" jawab Albert masih dengan nada keras, sambil meremas-remas sarung tangannya dengan kaku. Sikapnya ini tidak lepas dari pandangan Monte Cristo. "Baik," jawab Monte Cristo tenang, "Tuan menghasut saya untuk berduel. Ini jelas sekali. Tetapi izinkan saya memberi nasihat: Kurang baik menghasut saya dengan suara hingar-bingar itu. Tidak perlu menarik perhatian o-rang lain, Tuan de Morcerf." Albert merasakan sindiran ini. Dia bergerak untuk melempar an sarung tangannya ke wajah Monte Cristo, tetapi Maximilien sempat menangkap pergelangan tangannya, sedang Beauchamp dan Chateau-Renaud memeganginya dari belakang karena khawatir kelakuan Albert melampaui batas. Monte Cristo, tanpa berdiri, membungkuk mengambil sarung tangan dari tangan Albert. "Tuan de Morcerf," katanya dengan nada acuh tak acuh, "saya menganggap sarung tangan Tuan telah dilemparkan dan saya akan mengembalikannya disertai sebutir peluru. Dan sekarang harap keluar dari sini, atau saya akan memanggil pelayan saya untuk melemparkan Tuan." Dalam keadaan marah, matanya liar dan merah Albert keluar. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Maximilien un tuk segera menutup pintu. Monte Cristo kembali menggunakan teropongnya seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Maximilien bersandar mendekatinya lalu berbisik, "Apa yang telah Tuan lakukan terhadapnya?" "Tidak apa-apa . . . paling tidak secara pribadi" jawab Monte Cristo. "Malapetaka ayahnya yang membuat dia kehilangan akal." "Ada hubungannya Tuan dengan kejadian itu?" "Haydee menceriterakan kepada Parlemen tentang pengkhianatan ayahnya." "Ya, saya mendengarnya juga, tetapi saya tidak dapat percaya bahwa gadis Yunani itu, yang pernah saya lihat bersama Tuan dalam ruang duduk ini. anak Ah Pasha." "Tetapi itulah kebenarannya." "Sekarang saya mengerti semuanya! Albert menyurati saya untuk datang menonton opera ini. Mesti dia menghendaki saya menyaksikan penghinaan-yang akan dilancar kannya kepada Tuan." » "Mungkin saja," jawab Monte Cristo dingin. "Apa rencana Tuan terhadapnya?" "Sepasti Tuan duduk di sini sekarang, saya akan membunuhnya besok sebelum jam sepuluh pagi. Itulah rencana saya." Maximilien memegang tangan Count Of Monte Cristo, dan darahnya seakan-akan merasakan betapa dinginnya tangan itu. "Ayahnya sangat mencintainya!" "Jangan berkata begitu, sebab kalau saya mengasihani -nya juga berarti saya membuatnya menderita!" jawab Monte Cristo dengan nada marah yang baru pertama kalinya kelihatan. Terdengar pintu diketuk orang. "Silakan masuk," kata Monte Cristo. Beauchamp masuk. "Selamat malam, Tuan Beauchamp," sambut Count of Monte Cristo seakan akan baru kali itu dia melihatnya malam itu. "Silakan duduk." Beaucharrlp memberi hormat lalu duduk. "Seperti tuan ketahui, Count," katanya memulai, "saya bersama Albert ketika itu. Saya akui dia salah dengan bertindak bodoh seperti tadi, dan saya datang untuk memintakan maaf baginya atas kehendak saya sendiri. Karena permintaan maaf telah diajukan . . . dan saya ulang atas kehendak saya sendiri. Saya yakin Tuan cukup bermurah hati untuk sudi memberikan penjelasan kepada saya tentang hubungan Tuan dengan peristiwa Yanina dan gadis Yunani itu." Monte Cristo memberi isarat untuk diam. "Tuan menghapuskan semua harapan saya," katanya sambil tertawa. "Apa maksud Tuan?" "Tuan selalu bersikeras menjuluki saya sebagai seorang yang eksentrik menyamakan saya dengan orang-orang yang terkenal eksentrik seperti Manfred atau Lord Ruthwen. Tetapi sekarang, Tuan mau membuat saya menjadi orang kebanyakan. Bahkan Tuan meminta saya menceri terakan tentang diri saya sendiri, suatu hal yang tidak pernah akan dilakukan oleh seorang eksentrik! Tuan bercanda, Tuan Beauchamp." "Ada beberapa keadaan," kata Beauchamp mempertahankan diri, "di mana kehormatan memerintahkan. . . " "Tuan Beauchamp," kata Monte Cristo menyela, "Count of- Monte Cristo hanya diperintah oleh Count of Monte Cristo. Saya berbuat seperti yang saya sukai, dan, percayalah, saya selalu melakukannya dengan baik." "Tuan tidak dapat memperlakukan orang terhormat dengan cara demikian " kata Beauchamp. "Tuan harus memberikan jaminan untuk kehormatannya." "Saya merupakan jaminan yang hidup," kata Count Monte Cristo, matanya berkilat mengancam. "Setiap kita mempunyai darah mengalir dalam pembuluhnya, dan orang lain ingin sekali menumpahkannya. Itulah jaminan masing-masing. Sampaikan itu sebagai jawaban saya kepada Tuan Albert de Morcerf dan katakan kepadanya bahwa besok jam sepuluh pagi saya sudah akan melihat warna darahnya." "Bila demikian', maka satu-satunya yang masih harus dilakukan adalah perjanjian untuk duel itu." "Hal itu sama sekali tidak penting bagi saya. Di Perancis ini duel dilakukan dengan pedang atau pistol. Di daerah jajahan dengan karabin. Di Arabia dengan belati. Katakan kepada Tuan Albert de Morcerf, sekalipun saya yang dihina, maka agar menjadi orang eksentrik sampai ke akar-akarnya, saya serahkan pemilihan senjata kepadanya dan saya akan menerimanya tanpa bertanya. Bahkan saya bersedia berkelahi dengan menarik undian, suatu hal yang sebenarnya bodoh. Saya lain, sebab saya yakin akan menang." "Yakin akan menang?** "Tentu. Kalau tidak masa saya mau melayaninya. Saya harus membunuhnya, dan saya akan melakukannya? Beri-tahu saya malam ini tentang tempat dan pernnun senjata." "Pistol, jam delapan pagi di Bois de Vincennes," kata Beauchamp dengan bimbang karena dia tidak pasti dengan orang macam apa dia berhadapan, apakah dengan seorang pembual kawakan atau dengan seorang manusia luar biasa. "Baik, Tuan Beauchamp. Karena sekarang segala sesuatu telah ditetapkan, izinkan saya menikamati sisa pertunjukan ini, dan katakan kepada sahabat Tuan agar jangan kembali lagi ke gedung ini malam ini. Itu hanya akan merugikan dirinya sendiri Lebih baik dia pulang dan tidur dengan nyenyak." Beauchamp meninggalkan ruangan dengan rasa heran bercampur kagum. Monte Cristo berbisik kepada Maximilien, "Saya dapat meminta Tuan menjadi saksi, bukan?" "Tentu saja. Tetapi __ " "Tetapi apa?" "Saya ingin sekali mengetahui sebab yang sebenarnya!" "Apakah ini berarti Tuan menolak untuk menjadi pembantu saya?** "Bukan itu.** "Sebab sebenarnya?*' kata Count of Monte Cristo, "Albert sendiri tidak mengetahuinya. Hanya saya sendiri dan Tuhan yang mengetahuinya. Tetapi percayalah, bahwa Tuhan Yang Maha Mengetahui akan berpihak kepada Mta." "Cukup bagi saya, Count," jawab Maximilien. "Siapa yang akan menjadi pembantu yang kedua?" "Hanya Tuan dan ipar Tuan di Perancis ini yang dapat saya percayakan menerima kehormatan itu. Menurut perkiraan Tuan apakah Lmmanuel bersedia?" "Saya dapat berbicara untuk dia seperti saya berbicara untuk diri sendiri." "Baik, dan terima kasih. Datanglah besok ke rumah saya jam tujuh pagi." "Kami akan datang." BAB LI SETELAH pertunjukan usai Monte Cristo dan Maximilien berpisah dan masing-masing pulang ke rumahnya. Monte Cristo tetap bersikap tenang dan tersenyum. Hanya orang yang sama sekali tidak mengenalnya akan terpedaya oleh nada suaranya ketika dia berkata kepada Ali, "Ali, bawa pistol-pistolku yang bergagang gading ke mari.'* Ali mengantarkan pistol-pistol yang diminta kepada majikannya, yang lalu memeriksanya dengan ketelitian seorang yang hendak mempercayakan mati-hidupnya kepada barang tersebut. Dia sedang memegang salah satu pistol di tangan ketika pintu tiba-tiba terbuka dan Baptistin masuk. Sebelum dia sempat membuka mulut, Monte Cristo melihat seorang wanita bercadar berdiri di belakang Bap tistin di ambang pintu. Monte Cristo meminta Baptistin meninggalkan mangan. Baptistin menurut dan menutup pintu. "Bolehkah saya tahu siapa Nyonya?"tanya Monte Cristo kepada wanita bercadar itu. Sebelum menjawab, tamu itu melihat dahulu ke sekelilingnya, meyakinkan bahwa tiada orang lain kecuali mereka berdua. Dengan suara bernada putus asa tiba-tiba ia berkata, "Jangan bunuh anak saya, Edmond." Monte Cristo mundur terkejut dan tanpa disadarinya mengeluarkan suara yang lemah sekait. Pistol di tangannya terlepas dan jatuh di lantai. "Nama siapa yang baru Nyonya sebut, Nyonya de Morcerf?" "Namamu!" jawabnya yakin sambil melepaskan cadarnya. "Namamu yang asli, yang hanya aku sendiri yang mengingatnya! Edmond, bukan Nyonya de Morcerf yang sekarang datang kepadamu, melainkan Mercedes." "Mercedes telah meninggal, Nyonya, dan saya tidak mengenal lagi orang yang bernama demikian." "Mercedes masih hidup, dan dialah satu-satunya orang yang mengenalimu. Sejak itu dia mengikuti segala gerak-gerikmu dan merasa takut kepadanya dan dia tidak perlu bersusah- payah mencari siapa yang memberikan pukulan maut kepada Morcerf." "Nyonya maksud Fern and, bukan?" tanya Monte Cristo dengan sindiran yang pahit. "Karena kita tokh sudah saling mengenal nama kita masing-masing sebaiknya kita ingat juga kepada nama asli orang lain." Dia mengucapkan nama Femand dengan nada kebencian sehingga getar ketakutan mengalir di tubuh Mercedes. "Aku tahu, aku tidak keliru," katanya, "kalau aku meminta kepadamu : selamatkan jiwa anakku!" "Siapa yang mengatakan bahwa saya mempunyai urusan dengan anak Nyonya?" "Tak seorang pun, tetapi seorang ibu dianugerahi daya lihat ganda. Aku dapat merasakan semuanya. Aku mengikuti ke Gedung Opera dan bersembunyi di ruang duduk. Dari sanalah aku mengetahui apa yang telah terjadi." "Kalau begitu, tentu Nyonya mengetahui bahwa anak Fernand menghina saya di depan umum." "Anakku mempersalahkan malapetaka yang menimpa bapaknya kepadamu." "Yang menimpa bapaknya bukan malapetaka, melainkan hukum. Saya tidak memukulnya. Tuhan Yang Adil yang menghukumnya." 'Tetapi mengapa engkau bertindak sebagai Tuhan?" tanya Mercedes menangis. "Apa urusanmu dengan Yanina? Apa kerugianmu karena pengkhianatan Fernand Mondego kepada Ali Pasha?" "Nyonya benar, itu bukan urusan saya. Saya tidak bersumpah untuk membalas dendam kepada opsir Perancis atau Count of Morcerf, melainkan terhadap Fernand Mondego suami Mercedes." "Akulah yang salah, Edmond, dan kalau engkau bermaksud membalas dendam, kepadakulah semestinya, karena aku bersalah tidak mempunyai kekuatan menahan ketidak-hadiranmu dan kesunyian diriku." 'Tetapi mengapa saya harus menghilang?" teriak Monte Cristo. "Karena engkau ditangkap, karena engkau dipenjara." "Dan mengapa saya ditangkap? Mengapa saya dipenjara?" "Aku tidak tahu," jawab Mercedes. "Benar, Nyonya tidak tahu. Sekurang-kurangnya saya mengharapkan Nyonya tidak tahu. Baik, akan saya terangkan. Saya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, sehari sebelum saya mengawinimu, karena seorang laki-laki bernama Danglars menulis surat kepada jaksa yang dikirimkan oleh Fernand sendiri." Monte Cristo berjalan ke meja tulisnya lalu membuka salah satu lacinya. Dari dalamnya dia mengeluarkan secarik kertas kuning. Kertas itu surat Danglars kepada laksa. Mercedes mengambil surat itu dan membacanya dengan rasa gentar. "Oli, Tuhanku!" Dia memukulkan kedua tangannya ke kepala. "Dan surat ini . . . " "Saya membelinya dengan harga dua ratus ribu frank. Saya menganggapnya murah karena ternyata sekarang dengan itu saya dapat membuktikan kebersihan saya di hadapan Nyonya." "Apa akibat dari surat ini?" "Nyonya sudah mengetahui akibatnya. Surat itu membawa saya ke penjara. Tetapi yang tidak Nyonya ketahui, berapa lama saya tersekap dalam penjara itu. Nyonya tidak tahu bahwa untuk empat belas tahun lamanya saya berada dalam jarak hanya beberapa ratus meter d ari Nyonya dalam sebuah sel di bawah tanah di Penjara Chateau dTf. Nyonya tidak tahu bahwa dalam empat belas tahun itu setiap hari saya memperbaharui sumpah membalas dendam yang saya tekadkan pada hari pertama masuk penjara. Namun demikian saya tidak mengetahui bahwa Nyonya menikah dengan Fernand, orang yang mengkhianati saya. Juga tidak mengetahui bahwa ayah saya meninggal dan bahwa dia meninggal karena kelap aran!" "Ya Tuhan!" sekali lagi Mercedes berteriak. Dengan berlutut dan tersedu-sedu ia berkata, "Maafkan aku, Edmond, maafkan demi Mercedes yang masih mencintaimu!" Monte Cristo mengangkatnya kembali berdiri. "Nyonya meminta saya untuk tidak membunuh anak terkutuk itu. Nyonya meminta saya untuk tidak mentaati Tuhan yang telah mengembalikan saya dari kematian untuk menghukum mereka. Tidak mungkin Nyona, tidak mungkin!" "Aku memanggilmu dengan nama Edmond," kata ibu yang malang itu terisak-isak dan nada putus harapan, "mengapa engkau tidak memanggilku Mercedes?" "Mercedes," Monte Cristo mengulangnya. "Mercedes . . Sebuah nama yang masih sedap untuk diucapkan dan yang sudah lama sekali tidak pernah keluar dengan jelas melalui bibirku. Oh, Mercedes, aku selalu menyebut namamu dengan keluh kesedihan, dengan jerit kepedihan dan dengan kesah keputusasaan. Aku menyebut-nyebutnya sambil terbungkuk-bungkuk di atas jerami dalam selku, Mercedes. Aku menderita selama empat belas tahun, aku menangis dan mengutuk selama empat belas tahun. Dan sekarang akan saya katakan, Mercedes, aku harus membalas dendam!" Supaya hatinya tidak terbawa hanyut oleh permohonan wanita yang pernah dicintainya, dengan seluruh tubuhnya gemetar dia menghimpun kembali semua kepedihan yang pernah dideritanya untuk memperkuat kebenciannya. "Balaskanlah dendammu, Edmond," teriak ibu yang malang itu, "tetapi balaskanlah terhadap yang berdosa! Terhadap Fernand, terhadapku, tetapi jangan terhadap anakku!" Monte Cristo mengeluarkan nafas panjang yang hampir serupa dengan raungan, lalu menjepit kepalanya dengan kedua belah tangannya. "Edmond," lanjut Mercedes, "sejak aku mengenalmu aku selalu memuja namamu dan menghargai daya ingatmu. Edmond, sahabatku, janganlah memaksa aku memadamkan gambaran yang murni dan mulia yang senantiasa bercahaya dalam hatiku itu. Oh, Edmond, kalau saja engkau tahu betapa sering aku berdo'a untukmu selama aku mengharap engkau masih hidup dan setelah aku mengira engkau telah meninggal! Apa lagi yang dapat kulakukan bagimu kecuali menangis dan berdo'a? Percayalah kepadaku, Edmond, aku merasa berdosa dan aku pun menderita!" "Apakah engkau dapat merasakan ayah kandungmu meninggal ketika engkau jauh daripadanya? Apakah engkau dapat merasakan ketika melihat wanita yang kaucintai menyerahkan dirinya kepada musuhmu sedangkan engkau sendiri menjerit-jerit menangis dalam kegelapan sel di bawah tanah?" 'Tidak," jawab Mercedes, "tetapi aku melihat laki-laki yang kucintai telah siap untuk menjadi pembunuh anakku." Mercedes mengucapkan kata-kata ini dengan kepedihan yang mendalam dan keputusasaan yang pasti sehingga menyebabkan Monte Cristo yang keras itu tidak dapat menahan sedu tangisnya yang bergejolak di tenggorokan. Singa garang telah terjinakkan. Si Pembalas Dendam sudah tertaklukkan. "Engkau datang untuk nyawa anakmu," katanya perlahan-lahan. "Baik, dia akan hidup." "Oh!" Mercedes berteriak girang. Dia menangkap tangan Monte Cristo dan membawanya ke bibirnya. "Terima kasih, E dm on d, terima kasih! Engkau masih tetap laki-laki yang - kudambakan, laki-laki yang tetap kucintai." "Engkau tak akan dapat lebih lama mencintainya lagi," jawab Monte Cristo. "Orang yang telah mati itu akan segera kembali ke dalam kuburnya. Bayangannya akan segera menghilang dalam kegelapan malam/' "Apa maksudmu?" "Maksudku, karena engkau memintanya, Mercedes, aku harus mati." "Matt? Siapa yang berbicara tentang mati?" "Engkau tentu tak akan dapat percaya bahwa setelah dihina di muka umum oleh seorang anak muda yang mungkin nanti menggembar-gemborkan telah mendapat maaf dariku, atau menggembar-gemborkan mendapat kemenangan dalam duel melawanku, aku masih tahan untuk hidup. Yang paling kucintai setelah dirimu Mercedes, adalah diriku sendiri. Tegasnya kemuliaan martabatku dan kekuatan yang membuatku mempunyai kekuasaan atas orang-orang lain. Kekuatan itu adalah hidupku, dan engkau telah mematahkannya dengan kata-kata. Karena itu aku harus mati. Duel akan tetap berlangsung, hanya saja, bukan darah anakmu yang akan mengalir, melainkan darahku." Sekali lagi Mercedes berteriak dan melompat menghampiri Monte Cristo, tetapi tibatiba dia berhenti. "Edmond," katanya, "kenyataan bahwa engkau masih hidup dan kenyataan bahwa aku masih dapat melihatmu lagi, membuktikan adanya Tuhan di atas kita. Aku mempercayai Dia dari kedalaman lubuk hatiku. Dengan mengharapkan pertolongan-Nya aku mempercayai kata-katamu. Fngkau telah mengatakan anakku akan hidup. Dia akan hidup bukan?" "Betul, dia akan hidup," kata Monte Cristo, terkejut merasakan penerimaan Mercedes untuk pengorbanannya. Mercedes mengulurkan kedua tangannya kepada Monte Cristo. "Edmond," katanya, matanya basah karena air matanya, "engkau baru saja melakukan tindakan yang mulia dan luhur. Engkau telah mengasihani seorang perempuan yang malang dan datang kepadamu dengan mempunyai banyak alasan untuk percaya bahwa permintaannya tidak akan dikabulkan. Aku menua febih banyak karena kesedihan daripada dimakan usia, dan balikan aku sudah tidak lagi dapat mengingatkan Edmondku kepada Mercedes yang biasa dia pandang berjam-jam. Oh, percayalah ketika aku mengatakan aku pun menderita. Sungguh sangat mengerikan melihat jiwa seseorang akan menghilang, tanpa harapan secercah pun. Aku katakan sekali lagi, Edmond, sungguh mulia dan luhur tindakan memberi maaf seperti yang kaulakukan ini." "Engkau mengatakan itu tanpa mengetahui betapa besar pengorbanan yang kuberikan untukmu/ Mercedes. Coba bayangkan, seandainya Tuhan Yang Maha Kuasa setelah selesai menciptakan sepertiga dari dunia ini menghentikan ciptaan-Nya untuk menghemat air mata malaikat yang akan menangisi dosa-dosa kita kalau dunia ini diselesaikan, seandainya setelah Tuhan mempersiapkan segala-galanya dan menyebarkan benih-benih kehidupan di dunia ini dalam kegelapan abadi . . , kalau saja engkau dapat membayangkan ini, engkau tetap tidak akan dapat membayang kan apa artinya kehilangan hidupku pada saat ini" Mercedes menatap wajah Monte Cristo dengan air muka yang mencerminkan keheranan, kekaguman dan rasa terima kasih. "Edmond," katanya, "hanya tinggal ini yang masih dapat kukatakan. Kecantikanku telah pudar, tetapi engkau akan melihat bahwa sekalipun jasmaniahnya telah berubah, hatinya tetap tidak berubah. Selamat tinggal, Edmond. Aku tidak menghendaki apa-apa lagi, aku telah melihatmu lagi tetap mulia dan berjiwa besar seperti sediakala. Selamat tinggal dan terima kasih, Edmond," Monte Cristo tidak menjawab. Mercedes telah pergi sebelum dia sadar kembali dari lamunannya yang dalam dan pedih, yang terjadi karena hilangnya nafsu balas dendam. "Betapa bodoh aku!" katanya kepada dirinya sendiri, "karena tidak mengoyak hatiku sendiri pada pertama kalinya aku mengucapkan sumpah balas dendam!" BAB LU ESOK paginya Maximilien dan Emmanuel datang duapuluh menit lebih cepat. "Maafkan kami, karena datang terlalu pagi. Terus terang saya akui bahwa semalam saya tidak dapat tidur sekejap pun, demikian juga saudara-saudara saya. Saya perlu melihat Tuan yang senantiasa tabah dan yakin agar saya pun dapat mengembalikan kepercayaan saya kepada diri sendi-n. Count of Monte Cristo tersentuh hatinya. Tidak seperti biasanya mengulurkan tangan untuk berjabatan sekali ini dia merangkul Maximilien sambil berkata, "Maximilien, aku selalu menganggap sebagai suatu hari yang sangat mulia apabila aku dapat merasakan cinta orang* seperti engkau . Selamat pagi, Emmanuel. Jadi engkau bersedia menjadi pembantuku, Maximilien?" "ApakahTuan meragukannya?" "Tetapi seandainya . .." "Saya memperhatikan Tuan sejak awal sampai akhir kejadian tadi malam. Semalam suntuk saya merenungkan keyakinan Tuan dan akhirnya hati saya membisikkan bahwa keadilan akan berada di pihak Tuan. Kalau tidak, berarti kita tidak boleh bisa menarik sesuatu kesimpulan dari air muka seseorang." "Terima kasih, Maximilien," jawab Monte Cristo. Latai dia memukul gong sekali dan Ali muncul. "Antarkan ini kepada notaris. Ini adalah surat wasiatku, Maximilien, dan ada hubungannya dengan engkau setelah aku mati " ^Apa!" "KHa harus bersiap untuk segala kemungkinan, bukan? Sekarang, ceriterakan apa yang engkau lakukan semalam setelah berpisah dengan aku." "Saya pergi ke Tortoni di mana, seperti yang saya harapkan, bertemu dengan Beauchamp dan Chateau-Renaud. Saya sengaja mencari mereka." "Buat apa? Bukankah perjanjian sudah dibuat?" "Saya mengharapkan mereka mau menyetujui perubahan senjata. Pistol itu buta." "Berhasil?" tanya Monte Cristo dengan harapan yang hampir-hampir tidak tampak. 'Tidak . . . keakhlian Tuan bermain anggar terlalu diketahui orang." "Bagaimana mungkin?" "Dari seorang guru anggar yang Tuan kalahkan." "Artinya engkau tidak berhasil?" "Mereka menolak dengan tegas." "Pernahkan engkau melihat aku menembak dengan pistol?" "Belum pernah." Monte Cristo menempelkan sehelai kartu as ret pada sebuah papan, lalu mengambil pistol dan menembak dengan tepat keempat sudut gambar belah ketupat yang berada di tengah-tengah kartu. Maximilien memeriksa peluru yang digunakan Monte Cristo mendemonstrasikan kemahirannya, dan ternyata peluru itu tidak lebih besar dari peluru biasa. "lihat Emmanuel!" katanya. "Luar biasa!" lalu menghadap keparja Monte Cristo, "Demi Tuhan, janganlah membunuh Albert Kasihan, dia mempunyai ibu " "Betul," jawab Monte Cristo, "dan aku tidak mempunyainya." Dia mengucapkan kalimat itu dengan nada yang membuat Maximilien bergidik. Tuan adalah pihak yang ditantang." "Apa artinya itu?" "Artinya, Tuan mempunyai hak untuk menembak lebih dahulu. Saya menuntut hak itu dan mereka menyetujui * karena kita telah banyak sekali memberikan peluang kepada mereka." "Jaraknya berapa langkah?" "Dua puluh." Senyum yang menyeramkan tersimpul di bibir Monte Crista "Maximilien," katanya, "jangan melupakan apa yang baru saja kaulihat." Tidak. Itulah sebabnya saya mengharapkan kemurahan hati Tuan untuk menyelamatkan jiwa Albert. Tuan yakin betul akan "dapat membunuhnya, sehingga saya ingin me- ngatakah sesuatu kepada Tuan yang bagi orang lain tentu menggelikan: lukai saja dia, jangan sampai dibunuh." "Dengarkan, Maximilien. Tidak perhi engkau menganjurkan aku berbuat baik kepada Tuan Albert de Morcerf. Memang aku sudah berniat akan berbuat baik sekali sehingga dia dapat kembali ke rumahnya tanpa cedera bersama kedua orang pembantunya, sedang aku ..." "Sedang Tuan.,..?" "Akan lain. AKU akan pulang digotong orang." 'TidaklTidak Tuan bergurau tentu." "Akan terjadi seperti yang kukatakan, Maximilien. Tuan Morcerf akan membunuhku." Dengan mata terbelalak Maximilien menatap wajah Monte Cristo. "Apa yang terjadi dengan tuan malam tadi, Count?" Sama seperti yang terjadi dengan Brutus semalam sebelum Peperangan Phillipi. Aku melihat hantu. Dan hantu itu mengatakan bahwa aku telah hidup terlalu lama." Maximilien dan Emmanuel sating berpandangan. Monte Cristo mengeluarkan arloji kantongnya. "Mari kita berangkat," katanya. "Sudah jam tujuh lewat lima menit dan perjanjian kita jam delapan." Kereta telah menunggu mereka di muka pintu. Monte Cristo dan kedua kawannya menaikinya. Mereka tiba di tempat perjanjian tepat pada jam delapan. "Kita datang lebih dahulu," kata Maximilien sambil menjulurkan kepalanya melalui jendela kereta. "Maaf, Tuan." kata Baptistin yang mengikuti majikannya dengan perasaan yang sangat gentar. "Saya melihat sebuah kereta di bawah pohon sana." "Oh, benar juga," kata Emmanuel. "Dan saya lihat dua orang muda yang seperti menunggu kita." Monte Cristo meloncat keluar kereta lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Maximilien dan Emmanuel turun. Setelah itu dia menarik Maximilien menjauh. "Maximilien, apakah hatimu masih bebas?" Maximilien menatap wajahnya dengan heran. "Aku tidak memintamu menceriterakan rahasia hatimu. Aku hanya meminta jawaban ya atau tidak." "Ada seorang gadis yang saya cintai, Count." "Sepenuh hatimu?" "Lebih dari nyawa sendiri." "Sebuah harapan lagi hancur!" kata Monte Cristo. Kemudian dia bergumam. Haydee yang malang!" "Apabila saya tidak cukup mengenal Tuan, saya akan berpendapat bahwa Tuan kehilangan sebagian dari keberanian Tuan." "Karena saya mengeluh sebab ingat kepada yang ditinggalkan? Tidak, Maximilien, sebagai seorang prajurit tentu engkau mengenal arti keberanian. Di samping itu, kelemahan ini, kalau memang benar ini merupakan suatu kelemahan, hanya engkau sendiri yang tahu. Aku tahu bahwa dunia Uji tak ubahnya seperti sebuah kasino yang harus kita tinggalkan dengan sopan, artinya, setelah memberi hormat dan membayar semua hutang kita." "Bagus sekali ungkapan itu! Sebelum lupa, apakah Tuan tidak lupa membawa senjata?" "Aku harap Tuan-tuan di sana akan membawanya." "Baik saya tanyakan." Maximilien berjalan menuju Beauchamp dan Chateau-Renaud. Ketiga orang muda itu saling memberi hormat, sekalipun tanpa keramahan, tetapi bukan pula hormat yang dibuat-buat. "Maafkan saya, Tuan-tuan," kata Maximilien, "saya tidak melihat Tuan de Morcerf." "Beliau memberitahu kami tadi pagi untuk bertemu di medan kehormatan ini," jawab Chateau-Renaud. "Baru jam delapan lewat lima," kata Beauchamp menambah sambil melihat arlojinya. "Belum banyak waktu yang terbuang, Tuan Morrel." "Oh, bukan maksud saya untuk..." "Lagi pula," Chateau-Renaud memotong, "lihat keretanya sudah datang." Mereka melihat ke arah datangnya sebuah kereta yang mendekat dengan cepat. "Oh, bukan Moreerfi" kata Chateau RenaudTagi terkejut. "Franz dan Debray rupanya." Kedua orang muda itu turun dari kereta lalu berjalan menghampiri, "Apa yang membawa Tuan-tuan ke mari?" tanya Cha-teau-Renaud menjabat tangan masing-masing. "Albert menyurati kami tadi pagi meminta bertemu di sini," jawab Debray. Beauchamp dan Chateau-Renaud saling bertanya dengan matanya. Tiba-tiba Beauchamp berteriak, "Nah, itu Albert datang berkuda." "Bodoh benar dia datang berkuda untuk berduel dengan pistol," kata Chateau Renaud "Padahal telah saya nasihati dengan teliti." Albert menarik kendali untuk menghentikan kudanya, meloncat turun lalu menghampiri sahabat-sahabatnya. Wajahnya pucat, matanya bengkak dan merah. Jelas sekali bahwa dia tidak tidur semalaman. 'Terima kasih untuk memenuhi permintaan saya, Tuan-tuan," katanya "Saya benarbenar berterima kasih untuk bukti persahabatan kita ini" Maximilien mundur menjauh. "Ucapan terima kasih saya berlaku juga untuk Tuan, Tuan Morrel. Dekatlah ke mari Kami tidak berkeberatan Tuan hadir." "Barangkali Tuan lupa bahwa saya sekarang bertindak sebagai salah seorang pembantu Count of Monte Cristo," jawab Maximilien. "Bahkan lebih baik. Saya menghendaki kehadiran sebanyak mungkin orang-orang terhormat." 'Tuan Morrel," kata Chateau-Renaud, 'Tuan dapat memberitahukan Count of Monte Cristo bahwa Tuan de Morcerf sudah datang dan bahwa kami sudah siap." Maximilien bergerak untuk menyampaikan pesan itu sedang Beauchamp mengeluarkan kotak yang berisi beberapa pucuk pistol "Tunggu sebentar," kata Albert, "saya ingin mengatakan sesuatu lebih dahulu kepada Count of Monte Cristo.** "Berdua?" tanya Maximilien. 'Tidak, di hadapan semua** v Para pembantu Albert saling berpandangan lagi dengan keheranan yang meningkat. Franz dan Debray berbisik-bisik bertukar pendapat, dan Maximilien gembira karena pembahan keadaan yang di luar dugaannya. Dia segera berlari menuju Monte Cristo yang sedang berjalan-jalan bersama Emmanuel. "Apa yang dikehendakinya?" tanya Monte Cristo. "Saya tidak tahu, tetapi dia meminta berbicara dengan Tuan." "Ah! Aku harap saja dia tidak bermaksud menghina Tuhan lagi dengan meledakkan amarahnya." "Saya kira bukan itu maksudnya," kata Maximilien. Monte Cristo berjalan didampingi oleh Maximilien dan Emmanuel. Albert dan kawan-kawannya pun berjalan menjemput Ketika jarak antara mereka tinggal tiga langkah lagi, Monte Cristo dan Albert berhenti "Silahkan lebih dekat lagi. Tuan-tuan," kata Albert kepada yang lainnya "Saya ingin sekali Tuan-tuan pun dapat mendengar setiap kata yang akan saya ucapkan kepada Count of Monte Cristo, oleh karena saya menghendaki Tuan-tuan suka mengulang ulangnya kepada siapa pun yang mau mendengar, betapapun janggalnya mungkin bagi Tuan-tuan." "Saya siap mendengarkan. Tuan de Morcerf," kata Monte Cristo. "Count," Albert memulai dengan terbata-bata pada mulanya tetapi makin lama kian pasti dan yakin. "Saya telah mempersalahkan Tuan membukakan rahasia perbuatan ayah saya di Yunani, oleh karena saya berpendapat, betapapun besarnya kesalahan ayah saya, Tuan tidak mempunyai hak untuk menghukumnya. Tetapi hari ini saya mengetahui bahwa Tuan mempunyai hak itu. Bukan pengkhianatan Fernand Mondego terhadap Ali Pasha yang membuat saya cepat memahami perbuatan Tuan, melainkan pengkhianatan Fernand Mondego Si Nelayan terhadap Tuan yang menyebabkan penderitaan yang tak terkatakan bagi Tuan. Oleh sebab itu saya berani mengatakan, bahwa Tuan mempunyai hak untuk membelas dendam terhadap ayah saya, dan saya, anaknya, mengucapkan terima kasih karena Tuan tidak berbuat lebih daripada yang sudah dilakukan." Seandainya ada halilintar menggelegar mendadak ketika itu, rupanya tidak akan lebih mengejutkan daripada kata-kata Albert yang sama sekali tidak terduga ini. Monte Cristo sendiri, dengan lambat menengadah ke langit dengan penuh perasaan syukur. Dia mengagumi keberartian Albert ketika Albert berada dalam cengkeraman bandit-bandit Roma. Kekagumannya makin bertambah karena sekarang dia melihat keberanian itu telah sanggup mengalahkan watak Albert yang keras dan menyerahkannya kepada kejujuran dan kerendahan hati. Dia merasakan adanya pengaruh Mercedes dan baru sekarang pula dia memahami mengapa Mercedes tidak menolak pengorbanan jiwanya sebagai pengganti nyawa anaknya. "Dan sekarang," lanjut Albert, "seandainya Tuan menganggap permintaan maaf saya ini sudah memadai, izinkan lah saya menjabat tangan Tuan." Dengan mata basah dan dada berkembang Monte Cristo mengulurkan tangannya kepada Albert yang menyambutnya dengan hangat disertai perasaan takut bercampur kagum. "Tuan-tuan, Count of Monte Cristo telah memaafkan saya. Saya harap masyarakat tidak akan menganggap saya sebagai pengecut karena saya melakukan apa yang dibisikkan oleh hati nurani saya. Tetapi," sambung anak muda itu sambil mengangkat kepalanya dengan bangga seakan-akan hendak mengucapkan tantangan, "seandainya ada orang yang berpikir keliru terrtang alasan saya ini, saya akan mencoba merobah pendiriannya." BAB LDJ YANG pertama-tama dilakukan Albert ketika dia kembali ke rumahnya, menanggalkan potret ibunya dari piguranya. Setelah itu ia mengumpulkan semua koleksi senjata-senjatanya dari Turki dan Inggris, porselen Jepang, piala-piala dan patung-patung perunggu Uang yang ada di sakunya dilemparkan ke dalam laci meja yang terbuka. Disatukannya juga kepada uang itu semua permata miliknya, lalu mencatat semua kekayaannya itu dengan cermat. Setelah selesai, catatan itu diletakkan di atas meja. Suara kuda di pekarangan menarik perhatiannya. Dia berjalan ke jendela dan melihat ayahnya menaiki keretanya dan berangkat. Albert pergi ke kamar ibunya. Dia terhenti di ambang pintu, terpaku oleh apa yang dilihatnya. Bagaikan dua raga dikuasai satu jiwa, Mercedes pun sedang melakukan apa yang baru saja selesai dikerjakan oleh anaknya. Albert memahami maksud ibunya, sebab itu dia merasa terkejut. "Ibu!" katanya sambil memeluk ibunya. "Apa yang Ibu lakukan?" "Dan apa pula yang engkau lakukan?" "Ibu," Albert terharu hampir-hampir tidak dapat berkata. "Bagi Ibu lain." * Aku mau pergi," kata Mercedes pasti. "Dan aku memperkirakan anakku akan berangkat bersamaku. Atau aku salah?" 'Ibu saya tidak tega Ibu menjalani hidup seperti yang akan saya jalani. Mulai hari ini saya harus hidup tanpa kekayaan. Untuk bekal belajar hidup secara itu, saya hams meminjam dahulu roti kawan untuk makan sampai saya dapat menghasilkannya sendiri. Saya bermaksud menemui Franz hari ini juga untuk meminta dia meminjami' saya sejumlah uang yang saya pikir akan mencukupi" "Anakku yang malang!" Mercedes menangis. "Apakah engkau bermaksud hidup dalam kemiskinan dan kelaparan? Jangan begitu, aku takut terpaksa menabah lagi keputusan-ku!" 'Tetapi keputusan saya sendiri tak akan berubah," jawab Albert. "Saya masih muda, masih kuat dan saya kira bukan pula pengecut. Sejak kemarin saya mengetahui apa yang dapat dihasilkan oleh kekuatan dan kemauan yang keras. Banyak orang yang pernah mengalami penderitaan. Bukan saja mereka tetap dapat hidup, tetapi lebih dari itu mereka berhasil mengumpulkan kekayaan di atas puing-puing kebahagiaan lamanya yang hancur. Dari kedalaman tempat dia dibenamkan oleh musuh-musuhnya dia berhasil bangkit kembali dengan gagah dan penuh kejayaan sehingga dia dapat menguasai musuhmusuhnya dan akhirnya berhasil menghancurkannya. Mulai hari ini saya hendak memutuskan pertalian saya dengan masa lalu saya. Saya tidak mau menerima apa pun dari masa lalu, bahkan nama pun tidak, karena, Ibu tentu f ah am, putra Ibu tak mungkin menyandang nama ayahnya yang sudah cemar." "Seandainya hatiku cukup kuat Albert, itulah nasihat yang akan kuberikan. Hati nuranimu sendiri telah membisikkan apa yang tidak mampu aku katakan. Menjauhlah dari kawan-kawanmu untuk sementara ini, tetapi jangan berputus asa, aku minta. Hidup dan kehidupan masih cerah bagimu. Usiamu belum lagi dua puluh dua. Dan karena hati yang bersih seperti hatimu membutuhkan sebuah nama yang tidak ternoda, pakailah nama ayahku, Herrera. Aku cukup mengenalmu, Albert, bidang apa pun yang hendak kaumasuki, aku yakin engkau akan dapat mewangikan nama itu." "Saya akan mentaati apa yang Ibu minta," jawab anak muda itu. "Dan karena putusan telah bulat, baiklah kita melaksanakannya sekarang juga. Ayah baru saja meninggalkan rumah, berarti kita mempunyai kesempatan yang cukup banyak untuk menghindarkan kegaduhan." "Aku menunggu," kata Mercedes. Albert berlari ke jalan mencari kereta sewaan. Ketika kembali ke rumahnya seorang laki-laki menghampirinya dan menyerahkan sepucuh surat. Albert mengenalinya sebagai pengurus rumah tangga Count of Monte Cristo, Bertuccio. Dia membuka surat itu dan membacanya. Setelah selesai dia melihat kepada Bertuccio, tetapi dia sudah tidak ada. Albert segera kembali kepada ibunya dan dengan emosi yang meluap-luap dia menyerahkan surat itu kepada ibunya, tanpa mampu berkata sepatah pun. Mercedes menerimanya dan membacanya: Albert, engkau akan segera meninggalkan rumah ayahmu dengan membawa serta ibumu. Pikirlah baik-baik sebelum engkau berangkat: Engkau berhutang budi kepada ibumu tanpa engkau mungkin membalasnya. Hadapilah perjuangan itu seorang diri dan tahankan penderitaan itu seorang diri pula dan cegahlah jangan sampai ibumu mengalami kemiskinan pada hari-hari pertama engkau memasuki perjuangan itu oleh karena beliau sebenarnya tidak sepatutnya turut menanggung akibat musibah yang menimpanya hari ini Aku tahu bahwa kalian akan berangkat meninggalkan rumah ayahmu tanpa membawa apa-apa. Tidak perlu engkau menyelidiki bagaimana aku mengetahuinya. Aku tahu dan itu sudah cukup. Dengarkanlah baik-baik, Albert. Dua puluh empat tahun yang lalu aku kembali ke negriku dengan rasa bangga dan bahagia. Aku punya tunangan; seorang gadis berhati suci yang sangat aku puja dan aku memiliki tiga ribu frank yang aku kumpulkan dengan susah pay alu Uang itu untuk kekasihku, dan karena aku mengenal sekali sifat-sifat lautan aku mengubur kekayaan itu di sebuah kebun kecil di rumah yang pernah ditinggali ayahku di Marseilles. Ibumu mengetahui letak rumah itu. Baru-baru ini, dalam perjalanan ke Paris aku lewat di Marseilles. Aku singgah ke rumah itu dengan penuh kenangan pedih dan pahit. Aku menggali tanah tempat aku menguburkan uang kami. Peti besi itu masih ada. Tak seorang pun pernah menyentuhnya. Tempatnya di sudut kebun di bawah pohon ara yang ditanam ayahku pada hari lahirku. Uang itu dimaksudkan untuk membahagiakan wanita yang sangat aku cintai. Engkau tentu dapat memahami mengapa aku lebih suka mengembalikan uang itu kepadanya daripada menawarkan jutaan frank yang sekarang aku mampu memberikannya. Aku hanya ingin mengembalikan jumlah yang sangat kecil itu yang telah lama terlupakan sejak aku dipisahkan daripadanya. Engkau berhati mulia, Albert, tetapi mungkin saja engkau dibutakan oleh kebanggaan diri atau rasa sakit hati. Kalau engkau menolak tawaran ku ini, kalau engkau meminta bantuan kepada orang lain untuk sesuatu yang sebenarnya aku mempunyai hak untuk memberikan itu kepadamu, aku akan mengatakan bahwa hatimu tidak mulia, karena berarti tidak memberikan kesempatan kepada ibumu untuk memasuki kehidupan yang baru yang ditawarkan oleh seorang laki-laki yang ayahnya mati karena kelaparan dan kepedihan yang disebabkan oleh ayahmu.** Ketika Mercedes tamat membacanya, Albert berdiri tanpa bergerak, menunggu keputusan ibunya. "Aku menerimanya, Albert. Dia berhak membayar mas kawin yang sepatutnya kubawa ke biara." Dengan menekankan surat itu ke dadanya, dia memegang tangan anaknya lalu dengan langkah-langkah yang pasti berjalan menuju tangga. MONTE Cristo kembali ke kota bersama Emmanuel dan Maximilien. Mereka pulang dengan rasa gembira. Emmanuel tidak menyembunyikan kegembiraannya melihat pertarungan berubah menjadi perdamaian. Maximilien yang duduk di sudut membiarkan iparnya menyatakan perasaan hatinya dengan serangkaian kata-kata sedangkan dia sendiri yang tidak kurang pula senangnya menunjukkan kelegaan hatinya itu hanya pada sinar matanya saja. Di Barriere du Trone mereka bertemu dengan Bertuccio yang sedang tegak berdiri menunggu mereka seperti seorang perjurit. Monte Cristo mengeluarkan kepalanya melalui jendela dan bercakap-cakap sebentar dengan dia dalam nada rendah. Setelah itu Bertuccio pergi. "Kalau Tuan tidak berkeberatan, dapatlah saya diantarkan pulang," kata Emmanuel, "agar istri saya tidak harus mengalami kekhawatiran tentang kita terlalu lama." "Ingin sekali sebenarnya kami meminta Tuan mampir sebentar," kata Maximilien, "tetapi saya tahu ada orang yang ingin segera Tuan tenteramkan juga hatinya. Kita sudah sampai, Emmanuel, dan baiklah kita tidak terlalu lama mengganggu Count of Monte Cristo.*' "Tunggu sebentar," kata Monte Cristo, "jangan aku ditinggalkan kalian berdua sekaligus. Tenteramkan istrimu yang baik itu, Emmanuel, dan sampaikan salamku. Dan engkau, Maximilien, ikutlah ke Champs Elysees." "Dengan senang hati, terutama sekali karena saya mempunyai urusan pribadi di dekat rumah Tuan." "Engkau makan malam di rumah nanti?" tanya Emmanuel. "Tidak," jawab Maximilien. Kereta bergerak lagi. "Tuan lihat, betapa saya membawa keberuntungan bagi Tuan," kata Maximilien ketika mereka hanya tinggal berdua. "Tuan tentu tidak mengira akan terjadi begitu, bukan?" "Itulah sebabnya aku memintamu menjadi pembantu." **Apa yang terjadi tadi itu benar-benar suatu keajaiban. Albert memang berani. Tak perlu diragukan lagi." "Sangat berani," kata Monte Cristo. 'Ycrnah aku melihat dia tidur lelap padahal dia tahu ada sebilah pedang terhunus di atas lehernya hampir dalam arti kata sebenarnya." "Saya tahu dia berjuang melawan dua lawan sekaligus, dan dta menang. Dengan tindakannya itu dia berhasil mendamaikan keduanya." "Berkat pengaruhmu " kata Monte Cristo tersenyum. "Untung Albert bukan seorang perjurit." "Mengapa?" "Meminta maaf di medan kehormatan!" kata kapten muda itu menggelengkan kepala. "Nah," kata Monte Cristo ramah, "jangan engkau tergelincir berpikir seperti orangorang biasa. Bukankah karena Albert pemberani, dia tidak mungkin sekaligus menjadi pengecut? Dia mesti mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk bersikap seperti tadi itu. Bukankah tindakannya itu merupakan tindakan seorang jantan?" "Benar, benar," jawab Maximilien. "Engkau makan siang di rumahku, bukan?" tanya Monte Cristo tiba-tiba memutuskan pembicaraan. "Terima kasih. Saya ada janji jam sepuluh." "Urusan pribadimu itu janji makan siang rupanya?" Maximilien menggelengkan kepala. "Tetapi engkau harus makan, kan?" "Bagaimana kalau saya tidak lapar?" "Ah! Aku hanya mengenal dua perasaan saja yang mampu menghilangkan nafsu makan seorang laki-laki. Kesedihan ___ tetapi, karena kulihat engkau begitu gembira, aku tahu bukan itu sebabnya . . . dan cinta. Setelah aku mendengar pengakuanmu tadi pagi, aku kira..." ''Saya tidak akan menyangkalnya," jawab Maximilien bertambah gembira. "Engkau tidak pernah menceriterakannya," kata Monte Cristo dengan nada suara yang jelas menunjukkan betapa besar keinginannya mengetahui rahasia itu. "Saya telah mengatakan tadi bahwa saya mempunyai hati, bukan?" Monte Cristo menjawab ucapan itu dengan mengulurkan tangannya kepada anak muda itu. "Karena hati saya sudah berada di sana, saya ingin meminta diri sekarang saja." "Silakan, sahabat," jawab Monte Cristo perlahan-lahan. "Tetapi berjanjilah, seandainya engkau menemukan suatu halangan, ingatlah bahwa aku mempunyai pengaruh tertentu dalam dunia ini yang dengan senang hati mau aku memanfaatkannya untuk menolong orang-orang yang aku sukai, dan bahwa aku sangat menyukaimu, Maximilien." "Terima kasih," jawab anak muda itu, "saya akan mengingatnya seperti seorang anak ingat kepada orang tuanya ketika dia memerlukannya. Seandainya saya membutuhkan pertolongan Tuan, dan mungkin sekali saya akan memerlukannya, saya akan menemui Tuan.** "Aku anggap itu sebagai janji. Selamat jalan." Mereka telah tiba di depan rumah Count of Monte Cristo di Chmaps Elysees. Monte Cristo membuka pintu kereta dan Maximilien melanjutkan perjalannya dengan jalan kaki sedang Monte Cristo menghampiri Bertuccio. "Bagaimana?" tanyanya. "Dia akan meninggalkan rumah," jawab Bertuccio. "Dan anaknya?*' "Florentin, pelayannya, mengira akan melakukan hal yang sama." "Ikut aku.*' Monte Cristo membawa Bertuccio ke kamar kerjanya, menulis surat, menyerahkannya kepada Bertuccio dan berkata,. "Sampaikan ini sekarang juga. Sebelum pergi, beritahu Haydee bahwa aku sudah kembali," "Saya di sini,*' kata Haydee dan ketika mendengar suara kereta Monte Cristo, turun dari lantai atas. Wajahnya bersinar gembira melihat pelindungnya kembali dengan selamat Bertuccio pergi. Kegembiraan Monte Cristo, sekalipun tidak tampak sejelas kegembiraan Haydee, sama mendalamnya. Akhir-akhir ini dia merasakan sesuatu yang sebelumnya dia tidak berani mempercayainya: bahwa ada Mercedes lain dalam dunia ini, bahwa dia dapat merasa bahagia untuk kedua kalinya. Monte Cristo menatap mata Haydee yang basah dengan penuh kasih. Tiba-tiba pintu «terbuka. Monte Cristo mengerutkan dahinya. "Count of Morceff," kata Baptistin memberi tahu. "Oh!** teriak Haydee cemas. "Masih belum selesai juga?" "Aku tidak tahu," jawab Monte Cristo sambil memegang kedua tangan Haydee. "Aku hanya tahu, tak ada yang perlu dicemaskan. Orang itu tak akan dapat berbuat apa-apa terhadapku. Ketika berurusan dengan anaknya itulah yang perlu ditakutkan.*' Tuan tidak akan dapat merasakan bagaimana penderitaan saya!** kata Haydee. Monte Cristo tersenyum. "Aku bersumpah, apabila ada yang disebut nasib buruk, itu tak akan mengenai diriku." "Saya percaya, seperti saya mempercayai Tuhan sendiri yang memberitahukan." Monte Cristo mencium dahi Haydee yang menyebabkan jantung masing-masing berdenyut cepat. "Ya Tuhan!" pikir Monte Cristo, "mungkinkah Engkau mengizinkan aku mencintai lagi seorang wanita?" Lalu dia berbalik kepada Baptistin. 'Teralahkan tamu itu ke mang duduk.** Jendral Morcerf sudah berjalan bolak-balik untuk ketiga kalinya ketika Monte Cristo menemuinya. "Ah, Tuan Morcerf," kata Monte Cristo dengan tenang. "Saya kira tadi saya salah dengar." * "Betul, saya,'* jawab Jendral. Kata-katanya kurang jelas karena terhalang oleh bibirnya yang gemetar kaku. "Kehormatan apa kiranya yang menyebabkan saya dapat menerima Tuan sepagi ini?" 'Tuan telah bertemu dengan anak saya tadi pagi.*' "Tuan mengetahuinya?" "Ya, dan saya pun tahu bahwa dia mempunyai alasan yang baik untuk menantang Tuan dan berusaha membunuh Tuan/' "Benar. Tetapi seperti yang Tuan lihat sendiri» sekalipun dia mempunyai alasan yang baik, dia tidak membunuh saya. Tegasnya, bahkan dia membatalkan perkelahian itu." "Walau demikian, dia beranggapan Tuanlah biangkeladi tercemarnya nama saya dan musibah yang menimpa rumah tangga saya." "Itu pun benar," jawab Monte Cristo dengan ketenangan yang menakjubkan. 'Sayalah penyebabnya sekalipun bukan penyebab yang utama." "Karena itu masuk akal kalau Tuan meminta maaf kepadanya atau memberikan penjelasan kepadanya" "Saya tidak memberikan penjelasan apa pun dan dialah yang meminta maaf kepada saya." "Apa alasannya, pikir Tuan?" "Kesadarannya mungkin, bahwa ada orang lain yang lebih bersalah daripada saya." "Siapa orang itu?" "Ayahnya sendiri." "Mungkin," kata Morcerf. Wajahnya pucat. fTetapi tentu Tuan juga tahu bahwa orang yang bersalah pun tidak menyukai kesalahannya dicampakkan ke mukanya." "Ya, saya tahu, dan akibatnya sudah saya perkirakan." "Tuan mengira anak saya seorang pengecut?" Morcerf marah. "Tuan Albert de Morcerf bukan seorang pengecut." "Seorang laki-laki yang berdiri dengan pedang terhunus di depan musuhnya, dan tidak mau melawannya, adalah seorang pengecut. Saya mau dia ada di sini sekarang, supaya dapat mengatakannya kepadanya" "Saya kira Tuan datang ke sini tidak untuk membicarakan urusan keluarga Tuan," kata Monte Cristo dingin. "Katakanlah kepada putra Tuan, barangkali dia dapat menjawabnya." "Tidak» memang bukan itu maksud kedatangan saya," jawab Morcerf dengan senyum yang segera pula menghilang dari bibirnya. "Saya datang untuk mengatakan bahwa saya menganggap Tuan sebagai musuh. Saya datang untuk mengatakan bahwa saya membenci Tuan karena naluri saya membisikkan begitu, bahwa rasanya saya selalu mengenal siapa Tuan dan selalu membenci Tuan, dan akhirnya, untuk mengatakan bahwa karena anak muda dari generasi sekarang tidak lagi mau berduel, kita harus melakukannya sendiri. Setuju?" "Tentu. Ketika saya mengatakan memperkirakan akibat, saya maksudkan maksud kedatangan Tuan." "Baik. Tuan telah siap?" "Saya selalu siap." "Tuan tahu bahwa kita akan berkelahi sampai salah seorang dari kita mati," kata Jendral itu dengan merapatkan giginya karena marah. "Sampai salah seorang mati," kata Monte Cristo perlahan-lahan sambil menganggukkan kepala. "Baik kita mulai saja. Tidak perlu ada saksi dan pembantu." "Ya, tak ada gunanya. Kita cukup mengenal masing-masing dengan baik." "Justru karena kita tidak saling mengenal." "Begitu?" tanya Monte Cristo dengan dingin menjengkelkan seperti tadi. "Bukankah Tuan, Femand» perjurit yang melarikan diri ketika pertempuran di Waterloo? Bukankah Tuan^ Letnan Femand yang menjadi penunjuk jalan dan mata-mata Tentara Perancis di Spanyol? Bukankah Tuan, Kolonel Femand yang mengkhianati, menjual dan mem bunuh Ali Pasha? Dan bukankah ketiga Femand itu kalau digabungkan menjadi Letnan Jendral Femand, Count of Morcerf dan bangsawan Perancis?" "Jahanam!" teriak Jendral seakan-akan disulut besi membara. "Engkau menghinaku pada saat engkau mungkin membunuhku! Aku tidak mengatakan bahwa aku orang asing bagimu. Aku tahu, bangsat, bahwa engkau selalu menyelinap dalam kegelapan masa laluku, membaca setiap lembaran hidupku diterangi obor yang entah dari mana. Namun, barangkali masih lebih banyak kehormatan dalam diriku sekalipun dalam keaibanku sekarang dibandingkan dengan apa yang ada dalam dirimu di bawah kemuliaan yang tampak. Tidak, aku bukan orang asing bagimu, aku tahu, sebaliknya aku tidak tahu sedikit pun tentangmu, engkau petualang yang bergelimang emas dan permata! Di Paris engkau menyebut dirimu Count of Monte Cristo, di Italia, Sinbad Pelaut, di Malta . . . hanya Tuhan yang tahu! Aku mau tahu siapa namamu sebenarnya supaya aku dapat menyebutnya di medan kehormatan nanti ketika aku menembuskan pedangku ke jantungmu!" Mata monte Cristo berkilat marah. Dia berlari ke kamar sebelah lalu membuka jas dan kemejanya. Tak lama kemudian dia kembali dengan mengenakan kaos dan topi pelaut, lalu berdiri tegak di depan Morcerf dengan kedua tangannya menyilang di dadanya Di wajahnya tercermin kebencian yang sangat. Gigi Morcerf gemeretak, dia merasa lututnya melemah dan mundur beberapa langkah sampai dia menemukan sebuah meja untuk menopang dirinya. "Femand!" teriak Monte Cristo. "Salah satu namaku sudah akan cukup untuk membuat hatimu terkoyak, tetapi aku tidak akan menyebutnya. Atau perlu? Ya, engkau telah menduganya, karena sekalipun aku telah melampaui tahun tahun kepedihan dan siksaan, kegairahan membalas dendam membuat wajahku muda kembali, wajah yang pasti sering engkau lihat dalam mimpimu sejak engkau menikahi Mercedes, tunanganku!" Jendral Morcerf terbelalak matanya dan mulutnya ternganga. Dia mundur lagi beberapa langkah sampai punggungnya bersandar kepada dinding. Dia bergeser selangkah demi selangkah dengan punggung pada dinding sampai mencapai pintu, lalu lari cepat keluar ruangan dengan hanya sanggup mengeluarkan suara seorang yang dalam ketakutan yang sangat, mengucapkan "Edmond Dantes!" Dengan sikap yang sudah tidak lagi seperti manusia, dia sampai di depan rumah, berjalan terhuyung-huyung di pekarangan seperti orang mabuk dan akhirnya jatuh di pelukan pelayannya. tTPulang! Pulangi" perintahnya, hampir-hampir tidak jelas. Udara yang segar dan rasa malu terhadap pelayannya membuat dia cepat dapat menguasai dirinya kembali. Tetapi perjalanan itu tidak jauh, makin mendekat ke rumah makin cepat lagi ketakutannya kembali menguasai dirinya. Dia memberhentikan keretanya di muka pintu depan dan turun. Pintu rumah terbuka lebar dan ada sebuah kereta sewaan, yang saisnya merasa heran dapat panggilan ke rumah semegah itu, berdiri di tengah-tengah pekarangan. Jendral Morcerf mengawasinya sebentar dengan rasa cemas, lalu masuk dan berlari menuju ke kamar kerjanya, tanpa berani be rt any akan sesuatu kepada pelayan pelayan nya. Dua Orang berjalan menuruni tangga dari mang atas. Cepat-cepat dia bersembunyi di balik tirai. Dia melihat Mercedes dipapah Albert. Mereka akan meninggalkan rumah. 'Tabahkan hati, Ibu," dia mendengar anaknya berkata. "Ini sudah bukan rumah kita lagi." Kata-kata anaknya dan langkah-langkah mereka menghilang di kejauhan. Morcerf memegang tirai erat-erat, bergelut menahan isak tangis yang bergejolak mendesak keluar dari dada seorang laki-laki yang ditinggalkan oleh istri dan anaknya pada saat yang bersamaan. Segera dia mendengar pintu kereta tertutup dan sais berteriak melarikan kudanya. Derap kuda dan kereta menggetarkan kaca-kaca jendela. Cepat dia berlari ke kamar tidurnya untuk dapat melayangkan pandangan terakhirnya kepada istri dan anaknya yang sangat dia cintai. Tetapi kereta itu berlalu, tanpa seorang pun penumpangnya mengeluarkan kepala untuk mengucapkan selamat tinggal kepada rumah yang sunyi itu dan kepada suami dan ayah yang ditinggalkan. Tepat ketika kereta melalui lengkung pintu gerbang, terdengar suara tembakan dan asap hitam mengepul keluar melalui salah satu jendela kamar tidur yang pecah kacanya karena getaran ledakan. MAXIMILIEN berjalan menuju rumah Villefort. Noirtier dan Valentine mengizinkan dia berkunjung sekali seminggu dan sekarang ini ia sedang akan memanfaatkan haknya. Valentine telah menunggunya ketika dia sampai. Dengan perasaan cemas, bahkan mendekati takut ia memegang tangan Maximilien dan segera menuntunnya ke kamar kakeknya. Dia .cemas ketika mendengar tantangan Albert kepada Count of Monte Cristo di opera. Dia menduga bahwa Maxi-milienlah yang akan diminta menjadi pembantu Monte Cristo, didasarkan kepada keberanian anak muda yang cukup terkenal dan rasa persahabatannya yang mendalam dengan Monte Cristo. Dia khawatir Maximilien tidak akan dapat membatasi dirinya sampai hanya menjadi pembantu yang pasif saja. Dapat dipahami kalau Valentine membanjiri Maximilien dengan pertanyaan-pertanyaan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Maximilien melihat kegembiraan yang tak terkirakan pada wajah Valentine ketika dia menceriterakan bahwa pertarungan berakhir dengan perdamaian yang di luar dugaan. Sekarang bicaralah tentang dirimu sendiri," kata Valentine sambil mempersilakan Maximilien duduk di samping Noirtier. Dia duduk di tangan kursi kakeknya. Seperti kauketahui, pernah kakek bermaksud untuk pindah dari rumah ini dan menyewa sebuah apartemen untuk kami berdua. Sekarang niat itu kembali lagi." "Bagus!" Maximilien berteriak gembira. "Tahukah engkau, alasan apa yang telah beliau kemukakan untuk meninggalkan rumah ini?" Noirtier memberi isarat agar Valentine menutup mulut, tetapi Valentine tidak melihat isarat itu. -Perhatian dan senyumnya hanya ditujukan kepada Maxirriilien. "Apa pun alasannya aku yakin pasti baik!" jawab Maximilien. "Beliau mengatakan bahwa udara di sini tidak baik bagiku." "Mungkin sekali beliau benar, karena menurut penglihatanku pun kesehatanmu tidak begitu baik dalam duaminggu terakhir ini." "Memang. Kakek teiah bertindak sebagai dokterku selama ini, dan karena beliau luas pengetahuannya aku mempercayainya." "Tetapi betulkah engkau sakit?" tanya Maximilien cemas. "Tak dapat aku katakan sakit. Aku hanya merasa kurang enak badan. Nafsu makanku hilang dan rasanya perut ini sedang berusaha keras membiasakan diri kepada sesuatu yang asing." "Bagaimana perawatan untuk penyakit yang tidak diketahui ini?" "Aku minum sebagian obat yang biasa diberikan kepada kakek. Mula-mula hanya sesendok kecil, sekarang sudah meningkat menjadi empat sendok. Kata kakek, obat itu panacea, obat untuk segala penyakit" Valentine tersenyum, tetapi jelas senyum yang sedih. "Aku kira obat itu dibuat khusus untuk kakekmu." . "Aku hanya tahu rasanya pahit. Begitu pahit sehingga apa pun yang kuminum setelah makan obat itu, semuanya terasa pahit." Noirtier memandang Valentine. Matanya penuh kecemasan. Rupanya seluruh darah Valentine mengalir ke kepala, karena pipinya mulai kelihatan merah sekali. "Aneh!" kata Valentine lagi tanpa kehilangan kegembiraannya. "Apakah karena sinar matahari aku merasa pusing?" Dia bersandar di jendela. "Mana ada sinar matahari!" kata Maximilien sambil berlari menghampiri Valentine. Valentine tersenyum. "Jangan khawatir, aku sudah baik lagi. Dengar, betulkah itu suara kereta?" Dia membuka pintu dan berian ke jendela dari mana dia dapat melihat pekarangan, dan segera kembali lagi. "Betul!" katanya. "Nyonya Danglars dan putrinya- datang berkunjung. Saya akan menemuinya supaya mereka jangan datang ke mari. Tinggal di sini dengan kakek, Maximilien. Aku akan berusaha kembali secepat mungkin." Maximilien melihat dia menutup pintu dan mendengar dia berjalan di tangga yang menuju ke kamarnya dan kamar Nyonya de Villefort. Nyonya Danglars dan anaknya dibawa ke kamar Nyonya de Villefort Valentine memberi hormat ketika mereka masuk. "Saya datang dengan Eugme karena ingin menjadi orang pertama yang memberi tahukan perkawinan Eugenie dengan Pangeran Cavalcanti" kata Nyonya Danglars. Suaminya bersikeras untuk memberi gelar pangeran kepada Cavalcanti karena ditelinganya gelar itu lebih sedap terdengar. "Saya mengucapkan selamat," jawab Nyonya de Ville fort. Pangeran Cavalcanti seorang anak muda dengan macam-macam kebaikan." "Benar" kata Nyonya Danglars tersenyum. "Hatinya baik dan otaknya cerdas. Dan kata suami saya, dia kaya se kaya seorang raja." "Ibu dapat tambahkan juga," seia Eugenie, "bahwa ibu pun menyukainya." "Saya rasa, biasa kalau seorang anak muda disenangi oleh calon istri dan calon mertuanya, bukan?" kata Nyonya de Villefort. "Saya sendiri tidak menyukainya," jawab Eugenie dingin seperti kebiasaannya. "Saya tidak mempunyai bakat untuk mengikatkan diri kepada urusan rumah tangga atau kepada keinginan seorang laki-laki, siapa pun dia. Saya dilahirkan untuk menjadi seorang seniwati dan seorang yang merdeka. Tetapi karena saya terpaksa harus menikah, saya bersyukur tidak jadi menikah dengan Albert de Morcerf. Kalau dengan dia mungkin sekarang saya sudah menjadi istri seorang yang kehilangan kehormatannya." "Tetapi," kata Valentine agak ragu-ragu, "apakah dia harus dipersalahkan karena kecemaran bapaknya?" "Dia harus turut menanggung kecemaran itu,** jawab Eugenie yang keras itu. "Setelah menantang Count of Monte Cristo di gedung opera di muka umum, dia meminta maaf tadi pagi di medan kehormatan." "Mana mungkin!" Nyonya de Villefort yang tidak mengetahui persoalannya merasa heran. *'I tu benar,*' kata Nyonya Danglars, "saya mendengarnya dari Tuan Debray yang hadir di tempat kejadian itu." Valentine pun tahu, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Pikirannya sedang melayang ke kamar Noirtier, tempat Maxim ilien sedang menunggunya. Sentuhan tangan nyonya Danglars di tangannya membuat dia sadar kembali dari lamunannya. "Engkau sakit, Valentine?" tanyanya. "Dalam beberapa menit saja wajahmu berubah dari merah ke pucat dan kem-beii merah beberapa kali." "Mukamu pucat sekati sekarang,** kata Eugenie. "Oh, tidak ada apa-apa. Sudah beberapa hari memang begini/ Dia sadar bahwa sekarang dia mempunyai alasan untuk meminta maaf meninggalkan mereka. Nyonya de Villefort melicinkan jalan dengan berkata. "Rupanya engkau kurang sehat, Valentine. Saya rasa tamu kita tidak akan berkeberatan kalau engkau beristirahat saja.** Valentine merangkul Eugenie, memberi hormat kepada Nyonya Danglars dan keluar. Dia sudah hampir habis menuruni tangga, bahkan sudah dapat mendengar suara Maxmiili en yang sedang bercakap-cakap dengan kakeknya, ketika tiba-tiba seakan-akan segumpal awan gelap menghalangi penglihatannya sehingga ia jatuh terguling di tangga. Maximilien berlari keluar pintu dan melihat Valentine tergeletak di bawah tangga. Segera Valentine dipangku di bawa ke dalam dan didudukkan di sebuah kursi. Valentine-membuka-matanya.’"Oh,mengapa-aku-ini!" katanya dengan gagap."Begitu lemahkah aku sehingga tidak mampu berdiri lagi?*' "Apa yang sakit, Valentine? Oh Tuhan! Oh Tuhan!" Valentine melihat mata Noirtier berkilat-kilat penuh kecemasan. "Jangan khawatir, Kakek," katanya mencoba tersenyum. 'Tidak apa-apa. Saya hanya merasa pusing sebentar, hanya itu." "Hati-hati, Valentine. Aku minta!" kata Maximilien. "Tidak apa-apa. Aku sudah merasa baik. Ada berita: Eugenie Danglars akan menikah dalam seminggu ini.'* "Dan kapan giliran kita? Engkau mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kakekmu. Cobalah pengaruhi beliau untuk menjawab, segera." "Engkau mengharapkan aku mempengaruhi kakek? ** "Betul, dan bertindaklah Cepat-cepat! Sebelum engkau menjadi milikku, aku selalu merasa akan kehilanganmu." "Maximilien," jawab Valentine dengan gerakan yang agak kaku, "sebagai seorang perjurit yang kata orang tidak pernah merasa takut engkau terlalu banyak kecemasan!" Valentine tertawa dengan suara melengking mengerikan, kedua tangannya kaku, kepala terkulai dan akhirnya tak sadarkan diri. Mata Noirtier selalu mengawasinya dan berputar-putar liar, seakan-akan semua rasa takut dan suara hatinya tumpah ke dalam matanya. Maximilien sadar bahwa ia harus cepat-cepat mencari pertolongan. Dia memijit bel. Pelayan Valentine dan pelayan yang menggantikan Barrens segera masuk berbarengan. Karena melihat Valentine yang begitu pucat, begitu dingin dan begitu lemas, tanpa mendengarkan penjelasan yang diberikan, keduanya sudah dicekam rasa takut yang senantiasa menguasai rumah itu. Tanpa menunggu perintah mereka berlari keluar berteriak-teriak meminta tolong. "Ada apa?" tanya Tuan de" Villefort dari kamar kerjanya. Maximilien bertanya kepada Noirtier yang sudah dapat menguasai diri kembali. Dia memberi isarat kepada Maximilien untuk bersembunyi di balik lemari. Dia masih sempat mengambil topinya ketika dia mendengar langkah de Vfllefort mendekat. Villefort masuk. Begitu melihat Valentine dia berlari menghampirinya dan memeluknya. "Panggil dokter?** teriaknya. "Panggil Dokter d'Avngny . . . tidak biar aku sendiri yang pergi!" dan dia berlari ke luar. Maximilien keluar melalui pintu yang lain. Otaknya penuh dengan pikiran yang menakutkan. Ia teringat kepada pembicaraan antara Villefort dan Dokter d*Avrigny di kebun pada malam meninggalnya Nyonya de Saint-Meran. Dan tanda-tanda yang nampak pada Valentine, sama dengan yang terjadi pada Barrens, sekalipun tidak sehebat itu. Pada saat yang bersamaan, seakan-akan dia mendengar suara Count of Monte Cristo yang baru dua jam yang lalu berkata kepadanya: "Seandainya engkau memerlukan sesuatu, datanglah kepadaku, Maximilien. Aku dapat berbuat banyak." Setelah pikirannya tenang kembali, dia berlari ke rumah Monte Cristo di Champs Elysees. Monte Cristo sedang berada di ruang kerjanya ketika Maximilien datang. 'Ada apa, Maximilien? Wajahmu pucat sekali dan dahimu basah.** Sebelum menjawab, Maximilien menjatuhkan diri di atas kursi. * Saya berlari secepat mungkin. Ada yang ingin saya bicarakan.** 'Yang di rumah baik-baik semua?" tanya Monte Cristo dengan keramahan yang jelas sekali. "Ya, terima kasih. Semua baik-baik." "Jadi apa yang hendak engkau bicarakan. Apakah saya dapat menolong?" "Ya, Tuan dapat menolong. Saya datang ke mari seperti orang gila dengan pikiran hanya Tuanlah yang dapat menolong saya." '*Ceriterakanlah persoalannya." "Saya tidak tahu, apakah saya boleh membukakan rahasia ini atau tidak, tetapi sekarang saya hampir terpaksa membukakannya.'* Maximilien berhenti ragu. "Ada sesuatu yang membisikkan kepada saya bahwa saya tidak boleh menyimpan rahasia bagi Tuan.** "Benar, Maximilien. Tuhan telah berbisik ke dalam hatimu, dan hatimu berbisik pula kepadamu sendiri.** Bolehkah saya meminta Baptistin pergi dengan dalih mencari keterangan mengenai seseorang yang Tuan kenal?** 'Tentu saja. Saya panggilkan dia?" Tidak usah, biar saya yang mengatakannya." Maxim ilien pergi ke luar, memanggil Baptistin lalu berkata kepadanya dalam suara ditekan. Baptistin segera pergi meninggalkan rumah. "Sudah pergi?" Tanya Monte Cristo ketika Maximilien kembali. "Sudah. Sekarang hati saya agak tenteram'" "Aku masih menunggu ceritera yang menggelisahkan dirimu itu," kata Monte Cristo tersenyum. "Dan saya pun telah siap untuk mengatakannya. Pada sualu malam saya berada dalam sebuah kebun. Saya bersembunyi di balik semak-semak dan tak seorang pun tahu saya berada di sana. Dua orang datang berjalan mendekat izinkan saya tidak menyebut namanama mereka sementara ini - dan saya mendengar mereka bercakap-cakap. Salah seorang dari mereka adalah pemilik rumah. Yang seorang lagi, seorang dokter. Ada seorang yang baru meninggal dalam rumah itu. Pemilik rumah berbicara tentang kesedihan dan kekhawatirannya oleh karena kejadian malam itu merupakan kejadian yang kedua kalinya dalam satu bulan: ada orang mati mendadak dalam rumahnya." Apa kata dokter?" tanya Monte Cristo."Dia berkata . . . bahwa kematian itu tidak wajar dan bahwa kematian itu disebabkan oleh . . . " "Oleh apa?" "Racun." "Betul?" tanya Monte Cristo lagi dibarengi batuk yang disengaja untuk menyembunyikan perasaan hatinya. "Betul Count. Dan dokter itu menambahkan bahwa apabila kejadian semacam itu terulang lagi, dia akan menganggapnya sebagai kewajiban untuk memberitahu polisi. Namun, tak beberapa waktu kemudian kematian mendadak itu menimpa orang ketiga dan tak seorang pun dari mereka membuka mulut. Sekarang, korban keempat mungkin akan jatuh lagi. Tuan apa yang harus saya lakukan sekarang?" "Kawan," kata Monte Cristo. "Saya rasa engkau men-ceriterakan sesuatu yang sudah menjadi rahasia umum. Aku tahu rumah mana yang kau maksud, atau sekurang-kurangnya aku mengenal sebuah rumah yang tepat seperti yang kaumaksud, di mana pernah terjadi tiga orang mati mendadak dan mengherankan. Sekalipun aku mengetahuinya, apakah hatiku risau? Tidak. Karena itu bukan urusan ku. Mungkin sekali keadilan Tuhan sedang berlangsung dalam rumah itu. Kalau itu benar, jangan ambil pusing, biarkanlah keadilan itu berlangsung." Monte Cristo mengucapkan kata-kata ini dengan nada suara yang khidmat dan hormat, sehingga membuat Maxi-mihen bergidik. "Dalam pada itu," katanya selanjutnya, "apa yang membuat engkau mengira akan jatuh korban keempat?" "Kematian sudah datang mengancam. Tuan. Itulah sebabnya saya datang ke mari." "Apa yang harus kulakukan? Apakah saya harus memanggil jaksa, umpamanya?** 'Tuan! Tuan telah mengetahui rumah siapa yang saya maksud, bukan?" "Tahu. Tahu betul. Engkau mendengar rahasia itu di kebun rumah Tuan de Villefort. Menilik ceriteramu, aku kira itu terjadi pada malam meninggalnya Nyonya de Saint- Meran. Tiga bulan yang lalu Tuan de Saint Meran mati, dua bulan yang lalu Nyonya de Saint-Meran, dan beberapa hari yang lalu Bairois. Sekarang, kalau bukan Noirtier tentu .Valentine." "Tuan mengetahuinya, tetapi Tuan tidak berbuat apa-apa?" Maximilien agak marah. "Apa urusanku?" jawab Monte Cristo dengan mengangkat bahu. "Apakah mereka sahabat-sahabatku? Apa perlunya aku mengorbankan seorang dari mereka untuk menolong jiwa yang lainnya? Saya tidak mempunyai pilihan antara si pembunuh dan korban." "Tetapj saya mencintai dia!" teriak Maximilien putus asa. "Saya mencintainya!" "Apa!" Monte Cristo terlompat dari kursinya. "Saya sangat mencintainya! Saya bersedia mengorbankan semua darah saya untuk mencegah dia menitikkan setetes air mata kesedihan! Saya mencintai Valentine de Villefort yang akan terbunuh malam ini. Tuan dengar? Saya meminta nasihat Tuan bagaimana saya harus menyelamatkannya!" Melalui tenggorokan Monte Cristo keluar suara seperti suara singa lerluka, "Engkau mencintai Valentine? Engkau mencintai anak seorang yang terkutuk!" Maximilien belum pernah melihat air muka orang seperti yang tampak pada wajah Monte Cristo sekarang. Dia mundur selangkah karena getir. Monte Cristo menutup kedua matanya, seperti orang yang merasa pusing karena ada se macam kilat mnyambar dalam hatinya, dan kini bergelut menenangkan ba*dai yang mengamuk dalam dadanya. Sesaat kemudian, dia membuka kembali matanya dan berkata dengan nada yang hampir tenang fagi. "Tuhan menghukum orang yang bersikap acuh tak acuh dan angkuh terhadap kejadian yang mengerikan yang Beliau perlihatkan di hadapannya. Aku tertawa melihat seorang jahat membinasakan yang lainnya, tetapi aku sendiri sekarang terpagut ular jahat yang kutonton itu." Maximilien mengeluh. "Kuatkan hatimu dan jangan putus asa,"kata MonteCristo. "Aku akan menjagamu." Maximilien menggelengkan kepala dengan wajah sedih. "Aku katakan,, jangan putus asa," lanjut Monte Cristo» "dengarkan baik-baik. Kalau Valentine belum mari sekarang, dia tidak akan mati. Pulanglah dan tunggu sampai ada berita dariku." "Ketenangan Tuan menakutkan sekali!'* kata Maximilien tak tertahan. "Apakah Tuan menguasai juga kematian? Apakah Tuan lebih dari manusia biasa?" Monte Cristo menatap wajah anak muda itu dengan senyum ramah dan kasih. "Aku dapat berbuat banyak. Pulanglah sekarang karena aku perlu menyendiri dahulu." Maximilien terkalahkan oleh wibawa Monte Cristo yang sering disaksikannya mempengaruhi orang-orang sekitarnya, tidak dapat membantah. Dia menjabat tangannya lalu pergi. Di pintu dia berdiri menunggu Baptistin yang sudah kelihatan kembali bergegasgegas. Sementara itu Villefort sudah kembali ke rumah bersama Dokter d'Avrigny. Valentine masih belum sadarkan diri. Dokter memeriksanya dengan cermat sek,ali. Villefort dan Noirtier memperhatikannya dengan harap-harap cemas. Akhirnya dokter berkata perlahan-lahan: "Masih hidup." "Masih hidup!" Villefort terperanjat. "Dokter, mengerikan sekali apa yang Tuan katakan itu!" "Ya, dan saya ulangi: dia masih hidup. Dan ini sangat mengherankan saya." "Dapat Tuan menyelamatkannya? " "Dapat, karena dia belum meninggal." Ketika mengucapkan ini Dokter d'Avrigny melihat mata Noirtier bersinar gembira dan dia dapat membaca bahwa pikirannya sedang penuh. "Tuan Villefort, sudikah Tuan memanggilkan pelayan Valentine?" Villefort pergi. Setelah dia menutup pintu, Dokter d'Avrigny mendekati Noirtier. "Ada yang hendak Tuan katakan?" Noirtier mengjakan dengan i sarat mata. "Hanya untuk saya sendiri?" "Ya," jawab mata orang tua itu. "Baik, saya akan tinggal di sini." Villefort masuk kembali diikuti oleh pelayan dan di bela-kang mereka Nyonya de Villefort. "Mengapa Valentine ini?" tanya Nyonya de Villefort. "Dia mengeluh tidak enak badan, tetapi saya kira tidak separah itu." "Dia akan baik kembali setelah beristirahat," kata Villefort. "Mari kita pindahkan ke sana." Dokter d'Avrigny melihat ada kesempatan untuk dapat berdua dengan Noirtier. Ia segera membenarkan usul Villefort, tetapi dia meminta dengan sangat agar Valentine jangan diberi obat apa-apa kecuali yang ditentukan oleh dia sendiri. Lalu dia meminta Villefort untuk pergi sendiri ke rumah obat dan menekankan agar dia menyaksikan peramuannya. Setelah melihat tidak ada orang lagi, dokter itu menutup pintu dengan hati-hati. "Apakah Tuan mengetahui sesuatu tentang penyakit cucu Tuan?" "Ya." Dokter d'Avrigny berpikir sebentar, lalu berkata lagi. "Maafkan, apa yang hendak saya katakan ini, tetapi saya kira kita tidak boleh mengabaikan apa pun dalam keadaan seperti sekarang ini. Tuan telah melihat Barrois meninggal. Menurut pendapat Tuan, wajarkah kematian itu?** Suatu gerakan halus semacam senyum tampak di bibit Noirtier. Jadi Tuan tahu bahwa Barrois mati sebab racun?" "Ya." "Apakah racun itu dimaksudkan untuk dia?" "Bukan." "Apa Valentine diracun oleh orang yang sama?" "Ya." "Dia pun akan mati, tentu." "Tidak!" mata Noirtier menyorotkan kebanggaan. "Artinya Tuan berpendapat dia akan tetap hidup?" Dokter d'Avrigny heran. "Ya." "Menurut perkiraan Tuan apakah pembunuh itu akan membatalkan niatnya?" Tidak." "Jadi Tuan berpendapat bahwa racun itu tidak akan mematikan Valentine?" "Ya." "Mengapa?" Noirtier mengarahkan matanya ke suatu tempat. Dokter d'Avrigny mengikutinya dan tahulah dia bahwa mata No tier dipusatkan kepada botol-botol yang berisi obat yang biasa diberikan kepadanya setiap pagi. "Ah!" kata dokter terdorong deh suatu pikiran. "Tuan sudah mengira bahwa Valentine akan diracun karena itu Tuan membiasakannya lebih dahulu?" "Ya." "Tuan memberikannya secara berangsur-angsur dan setiap kali bertambah?" "Ya? Ya!" Noirtier kelihatan gembira sekali karena jalan pikirannya dapat dimengerti. "Dan Tuan telah berhasil! Tanpa kewaspadaan itu Valentine sudah mati sekarang. Serangannya hebat sekali, tetapi dia akan sembuh . . . untuk kali ini sekurang-kurangnya." Villefort tiba-tiba masuk. "Ini obatnya, Dokter." "Diramu di hadapan Tuan sendiri?" "Ya." * Tidak terlepas dari tangan Tuan sejak itu?" "Tidak." Dokter d'Avrigny mengambil botol obat itu, mengeluarkannya beberapa tetes di telapak tangannya, lalu mencicipinya. "Bagus. Mari kita lihat Valentine. Saya akan memberikan perintah kepada semua, Tuan de Villefort, dan saya mengharapkan agar Tuan menjaga jangan sampai ada yang tidak mentaatinya." Ketika Dokter d'Avrigny dan Villefort memasuki kamar Valentine, seorang padri bangsa Italia yang tenang tindak-tanduknya dan tegas bicaranya, menyewa rumah yang bersebelahan dengan rumah Villefort. Tidak diketahui mengapa ketiga penghuni terdahulunya mendadak pindah dari sana tiga jam yang lalu. Hanya orang-orang di sekitarnya berbicara tentang fondasi rumah yang sudah tidak kuat lagi sehingga dapat roboh sewaktu-waktu. Namun demikian, hal ini tidak mencegah penyewa yang baru itu untuk menghuninya, mulai pada hari itu juga, bahkan dengan membawa serta perabot rumahnya yang cukup banyak. Penyewa baru itu masuk sekitar jam lima sore setelah membayar lebih dahulu uang sewanya untuk enam bulan. Namanya adalah Padri Giacomo Busoni. Pada malam itu juga orang-orang lewat diherankan oleh beberapa tukang kayu, tukang tembok yang sibuk bekerja memperbaiki rumah itu. BAB LV1 TIGA hari kemudian, menjelang jam setengah sembilan pada malam upacara penandatanganan perjanjian perkawinan antara Andrea CavalcantJ dan Eugenie Danglars, rumah Danglars penuh tamu yang berpakaian serba bagus. Sebenarnya mereka tidak begitu menyukai keluarga Danglars, namun mereka hadir demi sopan santun Ribuan lilin bertaburan menerangi seluruh ruangan yang penuh dengan perabotan yang mahal-mahal. Walau demikian kesan selera buruk pemiliknya tidak terhindarkan. Nona Eugenie Danglars berbaju putih yang bagus potongannya, tetapi sederhana, tanpa mengenakan intan permata. Satursatunya hiasan hanyalah sekuntum bunga putih yang hampir terlepas dari rambutnya yang hitam pekat Nyonya Danglars bercakap-cakap dengan Debray, Beauchamp dan Chateau Re n aud Danglars, dikeliling oleh raja-raja uang, menerangkan teori baru tentang perpajakan yang akan dia terapkan dalam praktek apabila Pemerintah meminta nasihatnya. Andrea Cavalcanti sedang memegang tangan seorang anak muda yang gagah sambil menggambarkan kehidupan mewah dengan penghasilan 175.000 frank setahun yang akan segera ditempuhnya. Tamu-tamu hilir mudik dalam ruangan besar bagaikan rangkaian mirah delima, jam rut dan intan yag bergerak. Seperti biasa wanita-wanita yang beranjak tualah yang paling banyak menghias diri, dan yang paling berwajah buruklah yang paling bersemangat menonjolkan diri. Dari waktu ke waktu, penjaga pintu berteriak memberitahukan orang yang ternama di kalangan dunia keuangan, atau yang disegani dalam kemiliteran atau seorang yang dipuja di dunia kesusasteraan. Banyak di antara nama-nama tamu yang diumumkan kedatangannya memang nama-nama orang yang disegani, namun sebanyak itu pula nama yang diterima dengan acuh tak acuh bahkan dengan sindir cemooh. Ketika lonceng berbunyi tepat sembilan kali, nama Count of Monte Cristo diumumkan. Setiap mata beralih ke pintu masuk. Seperti biasa Monte Cristo berdandan sederhana. Rantai erioji mas yang melintang di dadanya adalah satu-satunya perhiasan pada dirinya. Dengan pandangan sekilas saja Monte Cristo dapat melihat Nyonya Danglars berada di ujung ruangan,Tuan Danglars di ujung yang lain dan Eugenie di hadapannya. Mulamula dia menemui Nyonya Danglars, setelah itu mengucapkan selamat kepada Eugenie. Di samping Eugenie berdiri Nona Louise d'Armily. Nona ini mengucapkan terima kasih kepada Monte Cristo untuk surat perkenalan yang diberikan Monte Cristo kepadanya untuk keperluan di Italia, yang katanya akan segera dia manfaatkan. Ketika Monte Cristo membalikkan badan untuk meninggalkan kedua wanita itu, ternyata dia telah berhadapan dengan Tuan Danglars yang sengaja datang menghampiri untuk menyambutnya. Andrea yang berada di ruang sebelah dapat merasakan pengaruh kehadiran Count of Monte Cristo. Dia pun menghampirinya untuk menjabat tangannya. Monte Cristo dikelilingi banyak tamu yang masing-masing berkeinginan untuk berbicara dengannya, seperti biasa terjadi pada orang yang tidak banyak berbicara tetapi kalau berbicara selalu bernilai. Notaris-notaris sudah datang. Mereka meletakkan dokumen perjanjian di atas meja yang beralaskan kain beludru bersulamkan benang emas. Salah seorang notaris duduk di kursi yang sudah disediakan, sedang yang seorang lagi tetap berdiri. Pembacaan surat perjanjian segera dimulai. Suasana hening sekali ketika surat itu dibacakan, tetapi begitu selesai gemuruh suara tamu lebih keras dari sebelumnya. Jumlah uang yang disebut dalam perjanjian itu memperlengkap kekaguman para tamu yang ditimbulkan oleh gaun pengantin dan permata selengkapnya yang sudah dipajangkan di kamar sebelah. Nilai kecantikan Eugenie meningkat lagi dalam pandangan anak-anak muda yang hadir. Sedangkan para wanita seperti biasa, bersamaan dengan timbulnya rasa iri, hati kewanitaannya mengatakan bahwa dia tidak memerlukan semua itu untuk menambah kecantikannya. Andrea yang dibanjiri pujian dari kawan-kawannya akhirnya mulai percaya bahwa mimpinya akan segera menjadi kenyataan. Dengan khidmat sekali notaris mengambil pena, mengangkatnya di atas kepalanya lalu mengumumkan, "Tuan-tuan, kita sekarang akan menandatangani kontrak ini." Vang pertama-tama akan menandatanganinya adalah Baron Danglars, lalu wakil Mayor Cavalcanti, kemudian Nyonya Danglars dan akhirnya kedua calon mempelai. Danglars menerima pena dari tangan notaris lalu membubuhkan tandatangannya, setelah itu menyerahkan pena kepada wakil Mayor Cavalcanti. Nyonya Danglars mendekat, didampingi oleh Nyonya de Villefort. "Sayang sekali," kata Nyonya Danglars kepada suaminya, "Tuan de Villefort tidak hadir karena ada perkembangan yang mendadak mengenai perampokan dan pembunuhan di rumah Count of Monte Cristo tempo hari.'* "Sayang sekali," jawab Danglars dengan nada yang sama seandainya dia berkata - "Apa peduliku?" Monte Cristo maju selangkah lalu berkata,."Saya khawatir sayalah yang menjadi sebab ketidakhadiran Tuan de Villefort." "Tuan?" kata Nyonya Danglars sambil membubuhkan tandatagannya pada kontrak perkawinan. "Kalau itu betul, saya tidak akan dapat memaafkan." Telinga Andrea meruncing. "Bukan salah saya," jawab Monte Cristo, "bila boleh saya ingin menjelaskannya." Semua diam dan memasang kuping. "Tentu Nyonya masih ingat," katanya memulai, "orang yang bermaksud merampok saya mati terbunuh, mungkin sekali oleh kawannya sendiri. Dalam usaha menyelamatkan jiwanya, mereka telah melepaskan pakaian dan melemparkannya ke sebuah sudut dekat sana. Polisi menemukannya dan memungutnya. Yang dibawa hanya jas dan celananya saja, kemejanya tertinggal." Dengan diam-diam Andrea menyelinap mendekati pintu. "Kemeja itu baru diketemukan hari ini berlumuran darah dan berlubang di tentang hati. Kemeja itu diserahkan orang kepada saya. Tak seorang pun tahu dari mana datangnya barang itu. Hanya saya sendiri yang menduga bahwa kemeja itu milik penjahat yang terbunuh. Pelayan saya yang memeriksanya dengan perasaan jijik, menemukan secarik kertas dari dalam salah satu sakunya. Ternyata surat yang ditujukan kepada Tuan, Baron Danglars." "Kepada saya!" Danglars terkejut. "Betul kepada Tuan. Saya berhasil membaca n am a Tuan di bawah percikan darah pada kertas itu," tambah Monte Cristo di tengah-tengah keheranan para tamu. "Tetapi bagaimana hubungannya dengan ketidakhadiran Tuan de Villefort?" tanya Nyonya Danglars, lalu memandang cemas kepada suaminya. "Sederhana sekali, Nyonya," jawab Monte Cristo. "Kemeja dan surat itu merupakan barang bukti dalam kejadian ini, sebab itu saya menyerahkannya kepada Tuan de Villefort. Menuruti hukum adalah tindakan yang paling aman dalam perkara kejahatan, kalau tidak mungkin sekali kita sendiri mendapat kesulitan." Tanpa melepaskan pandangannya kepada Monte Cristo, Andrea memasuki ruang lain. "Mungkin sekali" kata Danglars. "Orang terbunuh itu, pelarian dari penjara, bukan?1' "Betul, seorang pelarian bernama Caderousse." Wajah Danglars mendadak pucat, sedangkan Andrea meninggalkan ruang di sebelah masuk ke ruang tunggu di depan. "Sebaiknya penandatanganan kontrak ini diselesaikan!" kata Monte Cristo. "Saya lihat ceritera saya ini telah meng ganggu. Maaf." Nyonya Danglars yang baru saja menuliskan tandata-ngannya mengembalikan pena kepada notaris. "Sekarang, silakan Pangeran Cavalcanti," kata notaris. "Mana Pangeran Cavalcanti?" "Cari Pangeran Cavalcanti dan katakan beliau harus mcnandatangani," perintah Danglars kepada salah seorang pelayannya. Hampir setiap orang bergerak menuju ke ruang utama, seperti ketakutan. Dan benar ada alasan bagi mereka untuk ketakutan, sebab seorang perwira polisi memerintahkan dua anak buahnya menjaga setiap pintu dan dia sendiri menghampiri Danglars. Nyonya Danglars berteriak, lalu pingsan. Danglars yang merasa dirinya terancam - karena hati nurani manusia berdosa tidak pernah merasa tenang — memperlihatkan wajah yang tidak karuan karena ketakutan. "Siapa di antara Tuan-tuan yang bernama Andrea Cavalcanti?" tanya perwira polisi itu. Suara terheran-heran terdengar di seluruh ruangan. "Dia adalah seorang pelarian dari penjara Toulon, dan sekarang dituduh membunuh kawan sepelariannya bernama Caderousse." Monte Cristo melayangkan pandangannya ke sekelilingnya tetapi Andrea telah menghilang. BAB LVH TAK berapa lama setelah kejadian yang menghebohkan itu, rumah Danglars cepat menjadi sunyi kembali, secepat ditinggalkan orang yang ketakutan kena wabah kolera yang dibawa salah seorang di antara tamu. Setiap orang bergegas meninggalkan rumah itu, atau lebih tepat lagi berlari, oleh karena dalam keadaan seperti itu semua beranggapan bijaksana untuk tidak terlibat, bahkan kewajiban menghibur kawan yang sedang ditimpa musibah pun boleh menunggu sampai lain waktu. Yang berada dalam rumah itu hanyalah Danglars yang harus memberikan penjelasan kepada perwira polisi di ruang kerjanya, Nyonya Danglars yang gemetar ketakutan di kamarnya sendiri, dan Eugenie yang berlari cepat-cepat ke kamarnya dikawani oleh sahabatnya yang tidak terpisahkan, Nona Louise d Anndy Setelah berada di dalam, Eugenie mengunci kamarnya, sedang Luoise menjatuhkan dirinya ke atas sebuah kursi. "Mengerikan sekali!" kata guru musik yang masih muda belia itu. "Tuan Andrea Cavalcanti seorang pelarian narapidana — seorang pembunuh!" "Lucu sekali suratan takdirku ini," kata Eugenie dengan senyum sinis, "terlepas dari Morcerf untuk jatuh ke dalam cengkeraman Cavalcanti" "Jangan dipersamakan kedua orang itu, Eugenie." "Semua laki-laki sama! Aku akan bahagia kalau dapat lebih membenci mereka. Sekarang hanya dapat sampai memandang rendah saja." "Apa yang akan kita lakukan sekarang?1* 'Tresis seperti yang kita rencanakan. Pergi," "Masih tetap kau berniat begitu sekalipun pertunanganmu telah putus sekarang?" "Mengapa tidak? Supaya mereka bisa mencoba lagi mengawinkan aku dengan lakilaki lain dalam bulan mendatang ini? Tidak, Louise, kejadian malam ini akan merupakan alasan yang kuat sekali bagiku untuk kabur. Aku tidak mencarinya, tetapi Tuhan telah memberikan alasan dan kesempatan ini dan aku sangat bersyukur." Tabah sekali hatimu," kata gadis yang berambut pirang itu kepada kawannya yang berambut hitam. "Seperti engkau tidak mengenal aku. Lebih baik kita membicarakan urusan kita. Apa kereta sudah diatur?" "Sudah." ''Bagaimana dengan paspor?" "Ini." Dengan ketenangan yang sudah menjadi pembawaannya, Eugenie membuka paspor dan membaca kalimat yang tercantum di dalamnya: Tuan Leon d Arm fly berumur dua puluh tahun, pekerjaan seniman, rambut hitam, mata hitam, bepergian bersama adik perempuannya/ "Bagus! Bagaimana engkau memperoleh paspor ini?" "Ketika aku meminta surat perkenalan kepada Count of Monte Cristo untuk direkturdirektur gedung pertunjukan di Roma dan Napoli, aku terangkan ketakutanku bepergian seorang diri sebagai seorang wanita. Beliau memahami kekhawatiranku dan menawarkan untuk menggunakan paspor laki laki. Aku menerima paspor ini dua hari kemudian. Aku yang menambahkan kalimat 'bepergian bersama adik perempuannya'!" "Sekarang, tinggal mengepak kopor-kopor! Kita berangkat sekarang, bukan pada hari perkawinanku." "Barangkali, ada baiknya kalau engkau memikirkan kembali, Eugenie." "Aku sudah berulang-ulang memikirkannya! Kita mempunyai empat puluh lima ribu frank. Cukup untuk hidup sebagai putri selama dua tahun. Tetapi dalam enam bulan mendatang ini kita harus sudah dapat melrpat-gandakan-nya. Engkau dengan musik dan aku dengan suaraku." 'Tunggu dulu," kata Louise, berjalan ke pintu. "Pintu itu terkunci" "Bagaimana kalau ada orang menyuruh kita membuka pintu?" "Biar mereka berteriak-teriak meminta, kita tidak akan membukanya." "Engkau memang benar-benar seorang perempuan jantan, Eugenie!" Kedua gadis itu mulai memasukkan semua barang yang dianggapnya perlu ke dalam kopor. Setelah selesai, Eugenie mengambil seperangkat pakaian laki-laki, lengkap dari jas sampai kepada sepatu botnya. Dengan kecepatan yang menunjukkan bahwa ini bukan untuk yang pertama kalinya, dia mengenakan pakaian itu. "Bukan main!" kata Louise yang betul-betul terheran heran. "Tetapi apakah rambutmu cocok dengan topi laki-laki itu?" "Lihat saja," jawab Eugenie. Dia pegang rambutnya yang tebal dengan tangan kirinya, lalu mengambil sebuah gunting dengan tangan kanannya dan dalam sekejap mata hampir seluruh rambutnya yang indah itu telah berjatuhan di lantai. Tak ada kesan menyesal dengan wajahnya bahkan sebaliknya sekali matanya memancarkan cahaya kegembiraan yang jauh lebih terang daripada yang sudah-sudah. "Wahai, rambut yang indah!" kata Louise sedih. "Bukankah ini jauh lebih baik?" kata Eugenie. "Bukankah dengan begini aku tampak lebih cantik?" "Benar, engkau masih tetap cantik! Tetapi ke mana sebenarnya tujuan kita?" "Ke Belgia, kalau engkau suka. Itulah perbatasan yang terdekat Kita akan menuju ke Brussel, JLiege, Aix-la-Chapelle dan Strasbourg, lalu melintasi Swiss untuk terus ke Italia. Setuju?" "Tentu aku setuju." "Apa yang kauperhatikan?" "Engkau. Engkau benar-benar tampan sekarang. Orang mungkin mengira engkau menculik aku." "Dan mereka tidak keliru, demi Tuhan." "Apa! Betulkah aku mendengar engkau bersumpah?" Kedua gadis itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang dari mereka meniup lilin dan dengan hati-hati sekali membuka pintu kamar. Eugenie keluar lebih dahulu dengan menjinjing ujung kopornya dengan sebelah tangan sedang Louise mengikutinya dengan susah-payah sambil mengangkat kopornya dengan kedua belah tangan. Pekarangan rumah sudah kosong. Jam berdentang dua belas kali. Di jalan mereka bertemu dengan penjaga pintu lalu menyerahkan kopornya untuk dibawa ke Rue de la Victoire. Mereka mengikutinya dari belakang. Seperempat jam kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan. Sebuah kereta telah siap memhawamereka meneruskan perjalanan. "Jalan mana yang harus saya ambil, Tuan Muda?" tanya sais. "Jalan ke Funtainebleau," jawab Eugenie dengan meniru suara laki-laki. "Mengapa ke sana?" tanya Louise. "Untuk mengacaukan jejak," jawab Eugenie berbisik. "Kita akan segera me rob ah arah kalau sudah sampai di jalan besar." "Engkau selalu benar, Eugenie." Seperempat jam kemudian kereta telah melampaui Baniere Saint-Martin dan mereka sudah berada di luar Paris.Tuan Danglars kehilangan putri tunggalnya. BAB LVIII SEKALIPUN masih muda, Andrea Cavalcanti seorang yang cerdas dan panjang akalnya. Ketika bahaya pertama sudah mulai tercium di rumah Danglars, dia sudah bergeser setepak demi setapak mendekati pintu, berjalan cepat melalui dua buah ruangan lain dan akhirnya menghilang dari rumah itu. Salah satu ruangan yang dia lalui adalah ruangan tempat memajangkan pakaian calon pengantin perempuan lengkap dengan segala perhiasannya. Sambil lewat Andrea tidak lupa mengambil perhiasan-perhiasan yang paling berharga. Dengan mengantongi itu perasaannya terasa lebih tenang ketika dia melompati jendela dan menyelinap agar tidak ketahuan oleh para penjaga. Sekait dia berada di luar, ia bertari tanpa berhenti, tanpa mengetahui ke mana tujuannya. Yang mendorongnya hanyalah keinginan untuk segera berada di tempat yang sejauh mungkin dari rumah Danglars. Dia berhenti kehabisan napas di ujung jalan Lafayette. Jalanan sangat sepi. Tak lama kemudian dia melihat sebuah kereta mendekat Dihentikannya kereta itu dan bertanya kepada saisnya, "Apakah kudamu masih kuat?" "Masih," jawab kusir. "Dia belum bekerja sama sekali hari ini. Saya baru menarik empat orang saja dalam jarak dekat sehingga penghasilan masih belum cukup untuk setoran kepada pemilik." "Mau kau menerima dua puluh frank?" Mau sekali. Apa yang harus saya lakukan?" "Aku ingin mengejar kawan yang berjanji akan berburu bersama besok pagi. Sebenarnya dia harus menungguku di sini dengan kereta kabnoletnya sampai jam setengah delapan. Sekarang telah tengah malam, jadi mungkin sekali karena jemu menunggu dia sudah berangkat lebih dahulu. Mau kau mencoba mengejarnya?" "Tak ada yang lebih saya sukai, Tuan." Andrea naik dan kereta segera berjalan dengan kecepatan tinggi. Mereka tentu saja tak akan pernah berhasil mengejar kawan yang diciptakan Andrea itu, namun demikian sewaktu- waktu Andrea menyuruh sais berhenti menanyakan kepada orang lewat kalaukalau mereka ada melihat sebuah kereta hijau ditarik dengan kuda abu-abu. Hampir setiap yang ditanya menjawab bahwa mereka baru saja melihat sebuah kereta hijau lewat, sebab hampir sembilan puluh persen dari kereta jenis kabriolet memang berwarna hijau. "Cepat! Cepat!" kata Andrea. "Sudah hampir tersusul!" Dan kuda malang itu makin diperas tenaganya sampai mereka meninggalkan Paris masuk ke kota Louvres. "Rupanya kita tidak akan berhasil, dan kalau diteruskan kudamu bisa mati kepayahan," kata Andrea. "Lebih baik aku berhenti saja di sini Ini uangmu. Aku akan menginap di hotel du Cheval Rouge dan meneruskan besok pagi saja. Selamat malam." Setelah menyerahkan uang, Andrea turun. Kereta kembali ke arah Paris dan Andrea berpura-pura seperti menuju ke hotel. Setelah agak lama berdiri di muka gerbangnya dan melihat kereta sudah hilang dari pandangannya, dia segera berjalan lagi cepat-cepat. Kemudian dia berhenti, bukan karena letih, tetapi karena hendak berpikir merancang suaru rencana. Turut dengan kereta pos, tidak mungkin, karena akan diminta paspor. Juga tidak mungkin untuk tinggal dekatdekat di sekitar Paris karena daerah itu merupakan daerah yang paling ketat dijaga di seluruh Perancis. Dia duduk di pinggir jalan memutar otaknya. Sepuluh menit kemudian dia sudah dapat membuat keputusan. Andrea merapikan dan membersihkan jas yang sempat dia gaet dari ruang tunggu rumah Danglars dan mengancing-kannya sampai menutupi seluruh pakaian malamnya. Lalu berjalan lagi sampai tiba di Chapelle-en-Serval, sebuah penginapan kecil. Diketuknya pintu. Pemilik penginapan keluar membuka pintu. "Saya terlempar dari kuda dalam perjalanan dari Montre-fontaine ke Senlis," katanya. "Saya harus kembali ke Com-piegne malam ini juga supaya keluarga saya tidak khawatir. Apakah Tuan mempunyai kuda untuk disewa?" Pemilik penginapan itu memanggil tukang istalnya dan memerintahkan mempelanai seekor kuda. Setelah itu dia membangunkan anaknya yang masih berumur tujuh tahun dan menyuruhnya mengendarai kuda lain berjalan di belakang Andrea untuk menerima kembali kuda yang disewa. Andrea memberi pemilik penginapan itu dua puluh frank. Ketika mengeluarkan uang, sebuah kartu nama terjatuh, kartu nama seorang kawan barunya di Paris. Setelah Andrea berangkat lagi, pemilik penginapan itu memungutnya dan percayalah dia bahwa penyewa kudanya bernama de Mau leon, bertempat tinggal di Rue Saint-Dominique No. 25. Jam empat pagi Andrea sampai di Compiegnes. Kuda diserahkannya kembali kepada anak pemilik hotel. Setelah itu dia mengetuk pintu penginapan de la Cloche. Sebelum melanjutkan perjalannya dia bermaksud makan dahuhi dan beristirahat. Securang pelayan menemuinya. "Saya datang dari Saint-Jean-au-Bois," kata Andrea. "Saya bermaksud menumpang kereta pos yang lewat tengah malam tetapi saya tersasar berputar-putar di hutan. Saya minta satu kamar dan ayam goreng dan sebotol anggur." Ayam gorengnya sedap, anggurnya sudah tua, api di tungku terang dan menghangatkan. Andrea sendiri merasa heran dapat makan dengan lahap seakan-akan tidak menghadapi persoalan gawat. Selesai makan dia pergi tidur dan segera pula pulas, seperti layaknya pada anak-anak muda sekalipun hatinya lagi risau. Tetapi, memang Andrea tidak mempunyai alasan untuk risau karena dia telah mempunyai rencana yang matang. Dia akan bangun pagi, membayar sewa hotel dan lain-lainnya, kemudian akan pergi ke hutan dan bermaksud membayar tidur di rumah petani dengan mengaku dirinya sebagai pelukis. Selanjutnya akan menyamar sebagai tukang kayu dan berjalan dari hutan ke hutan sampai mencapai perbatasan yang terdekat. Berjalan di malam hari dan tidur di siang hari dan memasuki desa sekali-sekali saja pada waktu perlu membeli makanan. Setelah melintasi perbatasan ia akan menjual permatanya yang diperkirakan akan menghasilkan Unta puluh ribu frank, cukup untuk membawanya ke suatu tempat yang aman. Selebihnya ia mengandalkan kepada keinginan Danglars untuk menutup-nutup peristiwa yang memalukan keluarganya itu. Inilah sebabnya dia dapat tidur dengan nyenyak, di samping karena keletihannya. Untuk menjaga jangan sampai kesiangan sengaja dia membiarkan tirai jendela terbuka. Sedang untuk menjaga segala kemungkinan dia memalang pintu kamarnya dan meletakkan sebilah pisau tajam yang tak pernah ditinggalkannya di atas meja di sebelah tempat tidur. Sekira jam tujuh pagi dia terbangunkan oleh cahaya matahari yang jatuh pada mukanya. Segera ia sadar bahwa ia tidur terlalu lama. Ia meloncat dan berlari ke jendela. Seorang tentara sedang berjalan-jalan di pekarangan hotel, yang lain berdiri menjaga di bawah tangga, dan yang ketiga duduk di atas kudanya sambil memegang sebuah senapan kuno menjaga pintu keluar, satu-satunya pintu keluar pekarangan hotel. "Mereka mencariku," pikir Andrea. Rasa takutnya bangkit. Jendela kamarnya menghadap ke pekarangan. "Mati aku!" pikirnya lagi. Memang bagi orang yang berada dalam keadaan seperti Andrea, tertangkap berarti hukuman mati. Untuk sejenak dia memegang kepala dengan kedua belah tangannya, dan dalam keadaan yang sejenak itu dia hampir gila karena takut. Tiba-tiba sebuah harapan muncul kembali di benaknya. Secercah senyum tersungging di bibirnya. Pandangannya berputar ke sekeliling kamar. Barang-barang yang dicarinya lengkap tersedia di atas sebuah meja tulis. Pena, dawat dan beberapa lembar kertas. Dengan menahan tangannya untuk tidak gemetar dia menulis: Saya tidak mempunyai uang untuk membayar sewa kamar, tetapi saya bukan orang yang curang. Saya tinggalkan peniti dasi Ini sebagai jaminan. Harganya paling sedikit sepuluh kali hutang saya. Maafkan saya berangkat pagi-pagi sekali tanpa pamit karena saya merasa malu. Dia melepaskan peniti itu dan meletakkannya di atas surat. Setelah itu dia membuka pintu dan membiarkannya terbuka sedikit. Kemudian naik ke atas cerobong asap setangkas orang yang sudah biasa dengan pekerjaan itu. Pada saat yang bersamaan tentara yang tadi berjalan di pekarangan menaiki tangga disertai seorang perwira polisi. Pada dinihari sekali kantor kawat telah menyebarkan berita tentang Andrea ke seluruh pelosok. Setelah menerima berita itu semua penguasa setempat mengerahkan tentara dan polisi mencari pembunuh Cade rouse. Hotel de la Cloche adalah hotel terbesar di Compiegne dan itulah sebabnya mengapa hotel itu yang diperiksa paling dahulu. Ketika tentara dan perwira polisi itu sampai di kamar Andrea mereka menemukan pintunya terbuka. Tentara itu berkata keras, "Aha! Pintu yang terbuka berarti tidak baik. Saya lebih suka menemukannya terkunci dan berpalang sekali." Surat dan peniti dasi membuktikan kebenaran prasangka mereka. Andrea sudah terbang. Namun tentara itu bukan orang yang biasa begitu saja menyerah kepada hanya satu petunjuk. Dia memeriksa kolong ranjang, balik tirai, lemari dan akhirnya berhenti dekat tungku pemanas. Berkat kecermatan Andrea, di sana tidak tertinggal bekas-hckas bahwa ia lari melalu i cerobong asap. Walau demikian, tentara itu mengambil sejemput jerami dan kayu bakar lalu membakarnya di tungku pemanas. Asap hitam tebal mengepul melalui cerobong, tetapi tentara dan polisi itu tidak mendapatkan orang terjatuh dari dalam cerobong seperti yang diharapkannya. Andrea yang sejak masa kecilnya bertentangan dengan masyarakat, mempunyai akal yang sama panjangnya dengan tentara yang berpangkat brigadir itu. Karena ia memperhitungkan akan dinyalakannya api, dia tidak mau tetap bersembunyi dalam cerobong, melainkan keluar lalu bertiarap di atas atap. Untuk sejenak timbul rasa aman pada dirinya karena dia mendengar brigadir itu berteriak kepada rekanrekannya di bawah, "Dia tidak ada di sini! "Tetapi ketika dia mengangkat kepalanya dengan hati-hati, dia melihat kedua orang tentara yang di bawah itu bukannya pergi meninggalkan pekarangan, melainkan malah meningkatkan kewaspadaannya. Andrea melihat ke sekitarnya. Tampak di sebelah kanannya Hotel de Ville yang bertingkat enam belas menjulang. Setiap celah atap tempat dia berada kelihatan jelas dari setiap jendela hotel itu. Andrea memperkirakan wajah brigadir itu akan segera kelihatan di salah satu jendela. Dia memutuskan untuk masuk kembali ke dalam hotel melalui cerobong asap yang lain. Dia memilih cerobong yang tidak mengeluarkan asap. Dengan merangkak-rangkak dia mendekati cerobong itu lalu masuk ke dalamnya. Beberapa saat kemudian sebuah jendela kecil dari hotel de Ville terbuka dan muncullah wajah brigadir. Hanya beberapa menit saja, lalu menghilang lagi dan pasti dengan rasa kecewa. Brigadir yang tenang dan anggun seanggun hukum yang diwakilinya berjalan menerobos kerumunan orang yang menonton tanpa mau menjawab pertanyaan mereka yang bertubi-tubi. Dia masuk kembali ke dalam hotel. "Bagaimana?" tanya kawan-kawannya. "Rupanya dia sudah kabur sejak pagi tadi," jawabnya. "Tetapi jalan ke Villers- Cotterets sudah kita awasi dan kita akan menjelajahi hutan-hutan. Kita pasti akan dapat menangkapnya di sana." Belum lagi brigadir itu selesai berbicara terdengar teriakan ketakutan disertai bunyi bel berdering-dering. "Ada apa?" tanya brigadir terkejut. "Rupanya ada tamu yang ingin bergegas," jawab pemilik hotel. "Dari kamar berapa?" "Kamar tiga," jawab seorang pelayan. "Siapa yang menginap di sana?" tanya brigadir. "Seorang anak muda dengan adik perempuannya yang datang tadi malam dan meminta kamar dengan ranjang dobeL" Sekali lagi bunyi bel terdengar. Sekararig lebih keras dan kerap. "Ikuti aku," kata brigadir kepada perwira polisi. "Dan kalian di luar. Tembak kalau dia lari! Menurut berita kawat ia penjahat yang nekad." Brigadir dan perwira polisi berlari menaiki tangga. Dengan cekatan Andrea telah berhasil menuruni dua-pertiga dari cerobong. Pada saat itulah kakinya tergelincir, dan sekalipun dia berusaha keras dia tidak dapat menahan dirinya meluncur ke bawah dengan kecepatan dan kegaduhan yang tidak diinginkannya. Kejadian ini tidak akan menjadi soal apabila kamar yang dimasukinya kosong. Namun malang baginya kamar itu berisi. Suara jatuhnya Andrea telah membangunkan dua orang wanita yang sedang tidur seranjang. Mereka melihat ke arah tungku pemanas dan tiba tiba melihat seorang laki-laki muncul dari dalamnya. Wanita yang berambut piranglah yang berteriak ketakutan yang suaranya terdengar sampai ke luar. Sedang kawannya, yang berambut gelap, menarik tali lonceng dengan sekuat tenaganya. "Maaf," kata Andrea dengan cemas tanpa memperhatikan kepada «apa dia berbicara. "Jangan minta tolong! Selamatkanlah saya! Saya tidak akan menganggu." "Andrea!" teriak salah seorang terkejut. "Eugenie! Nona Danglars!" Andreapun lebih terkejut. "TolonglTolong!" Nona d'Armily berteriak-teriak, lalu merebut tali lonceng dari tangan Eugenie dan rnenarik-nariknya lebih kuat daripada yang dilakukan kawannya. "Tolong saya! Mereka mengejar saya!" Andrea meminta-minta. "Jangan serahkan saya!" 'Terlambat," jawab Eugenie yang sudah mulai tenang. "Mereka sudah ke mari." "Sembunyikan saya, di mana saja. Katakan bahwa kalian ketakutan tanpa alasan. Mereka akan percaya, dengan begitu engkau telah menyelamatkan jiwa saya." "Baik," jawab Eugenie, "Masuklah kembali ke dalam cerobong, dan kami akan menutup mulut." "Itu dia!" teriak seseorang di luar pintu. "Itu dia!" Brigadir mengintip dari lubang kunci dan melihat Andrea sedang membujuk kedua wanita itu; Sebuah ledakan keras yang keluar dari senapan kuno menghancurkan kunci dan terbukalah pintu itu. Andrea berlari ke pintu lainnya yang berhubungan dengan serambi yang mengitari pekarangan. Tiba-tiba ia terhenti karena dua moncong senapan diarahkan ke dadanya. Tangannya memegang pisau yang sudah tidak berguna lagi. Brigadir menghampirinya dengan pedang terhunus. "Masukkan kembali pedang itu," kata Andrea. "Saya menyerah" Dia menyerahkan kedua belah tangannya rapat-rapat untuk menerima borgol. Sambil melirik kepada kedua wanita itu dia tersenyum tanpa malu dan berkata, "Apakah ada pesan yang harus saya sampaikan kepada ayah, Nona Eugenie? Saya yakin akan kembali ke Paris sekarang." Eugenie menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Ah, mengapa harus malu? Saya sama sekali tidak berkeberatan Nona mengejar saya. Lagi pula, bukankah saya ini suami Nona?" Andrea keluar kamar meninggalkah kedua wanita yang merasa dipermalukan karena ejekannya itu ditambah dengan ocehan ocehan orangoranglainyangmendengar.Sejam kemudian Eugenie dan d'Armih/ menaiki keretanya melanjutkan perjalanan. Sekarang keduanya berpakaian perempuan. Andrea dibawa kembali ke Paris dan dipenjarakan. BAB LIX VALENTINE belum lagi sembuh. Dari Nyonya de Villefort dia mendengar tentang kejadian di rumah Danglars, tentang kaburnya Eugenie dan tentang tertangkapnya Andrea. Tetapi dia masih begitu lemah sehingga tidak dapat memberikan tanggapan apa apa. Ceritera itu hanya menimbulkan pikiran dan pandangan yang kabur dan senantiasa berubah-ubah, yang pada suatu saat bercampur-aduk dengan pikiran aneh dan bayanganbayangan yang sering melintas dengan cepat di hadapan otak dan matanya yang masih lemah. Siang hari Valentine berada dalam kesadaran yang penuh, berkat kehadiran kakeknya yang setiap hari datang ke kamar Valentine menjaga dengan tatapan kasih sayang. Bila Villefort pulang dari kantornya pada sore hari, dia selalu datang menjenguk dan mereka selama satu jam atau kadang-kadang sampai dua jam berkumpul bertiga. Jam enam Villefort masuk ke kamar kerjanya. Jam delapan malam, Dokter d'Avrigny datang memeriksa dan memberi Valentine obat untuk malam itu, dan Noirtier kembali ke kamarnya sendiri. Selanjutnya Valentine diserahkan kepada seorang perawat yang dipilih oleh dokter sampai dia jatuh tertidur, biasanya menjelang jam sepuluh malam. Maximilien Morrel datang mengunjungi Noirtier setiap pagi untuk menanyakan tentang keadaan kekasihnya. Semakin hari kerisauannya semakin berkurang. Pertama, karena sekalipun Valentine masih lemah namun kesehatannya sedang berangsur pulih. Dan keduanya, Monte Cristo pernah mengatakan, kalau dalam dua jam sejak serangan tidak terjadi apa-apa, nyawa Valentine akan selamat. Sekarang sudah empat hari berlalu dan Valentine masih tetap hidup. Jiwa Valentine yang tergoncang itu terbawa ke dalam tidurnya, atau lebih tepat lagi ke dalam keadaan antara tidur dan jaga. Pada saat-saat itulah dalam keheningan malam dan dalam cahaya remang-remang yang berasal dari lampu yang ditempatkan dekat tungku pemanas, sering Valentine melihat sosok tubuh berdatangan silih berganti. Kadangkadang dia seperti melihat ibu tirinya datang mengancam, kadang-kadang Maximilien yang kelihatan datang mengulurkan kedua belah tangannya untuk merangkul, kadangkadang orang-orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti Itu bahkan semua perabotan yang ada dalam kamarnya itu kelihatan seperti berpindah-pindah. Biasanya hal ini berlangsung sampai jam tiga atau empat dinihari, sebelum dia betul-betul jatuh tertidur sampai pagi. Malam hari setelah pagi harinya mendengar berita tentang Eugenie dan Andrea, suatu kejadian yang tidak terduga berlangsung di kamar Valentine. Perawat baru sepuluh menit yang lalu meninggalkan kamar, dan Valentine sedang diserang demam. Dalam cahaya remang-remang dia melihat pintu yang menuju ke ruang perpustakaannya terbuka tanpa bersuara. Dalam keadaan sehat, pasti Valentine akan segera membunyikan bel atau berlari meminta tolong. Tetapi dalam keadaannya seperti sekarang, hal itu sama sekali tidak mengejutkannya. Dia mengira itu hanyalah akibat dari demamnya saja. Sesosok tubuh muncul dari balik pintu. Karena sudah terbiasa, Valentine sama sekali tidak merasa takut, bahkan dia membuka matanya lebih lebar dengan harapan mudahmudahan Maxfrnilienlah yang datang itu. Sosok tubuh itu mendekatinya, lalu berhenti seperti yang sedang mendengarkan sesuatu dengan penuh perhatian. Secercah cahaya lampu menerangi wajahnya. "Bukan Maximilien," keluh Valentine. Valentine menunggu dan mengharap supaya bayangan Itu segera menghilang dan berganti dengan bayangan orang lain lagi. Dia masih sempat ingat bahwa jalan terbaik untuk menghilangkan bayangan-bayangan yang tidak disenanginya adalah minum obat penenang yang disediakan oleh dokter. Tangannya bergerak untuk mengambil gelas yang berada di atas meja di sebelahnya. Bersamaan dengan itu bayangan tersebut maju lagi dan begitu dekat rasanya seperti Valentine dapat mendengar tarikan napasnya dan merasakan raba-annya pada tangannya sendiri. Dengan perlahan-lahan sekali Valentine menarik tangannyai Sosok tubuh itu, yang kelihatannya bersikap melindungi, mengambil gelas dari atas meja dan memeriksanya dengan teliti. Pemeriksaan dengan mata rupanya dirasa masih kurang sempurna. Diambilnya cairan dalam gelas itu sesendok penuh lalu ditelannya. Valentine mengira bayangan itu akan segera berganti dengan bayangan lain. Tetapi tidak. Bahkan dia kembali lagi mendekat, menyerahkan gelas kepadanya dan berkata dengan lembut, "Silakan minum sekarang." Barulah Valentine merasa terkejut. Baru sekali ini salah satu dari sekian banyak bayangan yang sering datang ber-. bicara begitu nyata kepadanya. Valentine membuka mulutnya untuk berteriak. Tetapi orang itu lebih cepat meletakkan telunjuknya ke bibirnya. "Count of Monte Cristo f'. Valentine berbisik. "Jangan berteriak dan jangan takut" kata Monte Cristo. "Yang di hadapanmu sekarang bukanlah bayangan, Valentine, melainkan seorang sahabat yang tulus." Valentine tidak menjawab, tetapi matanya yang masih ketakutan seakan-akan hendak berkata, "Bila maksud Tuan baik, mengapa berada di sini?" Dengan pandangannya yang tajam, Monte Cristo dapat menebak apa yang berada dalam hati Valentine. "Dengarkan baik-baik," katanya, "atau lebih tepat, pandanglah saya baik-baik. Lihat mata saya yang sudah merah ini dan muka saya yang telah menjadi lebih pucat dari biasa. Saya tidak tidur selama empat malam. Empat malam lamanya saya menjaga dan melindungimu untuk sahabat kita Maximitien." Arus darah mengalir ke wajah Valentine karena gembira. Nama yang baru didengarnya telah menghapuskan semua kecurigaan. "Maximflien!" katanya mengulang. "Diamen-ceriterakan semua kepada Tuan?" "Semua. Dia mengatakan bahwa hidupmu adalah miliknya dan saya telah berjanji mengusahakan agar engkau tetap hidup." 'Apakah Tuan seorang dokter?" "Ya, dan yang terbaik dan mungkin ada pada saat ini. Percayalah." "Tuan mengatakan telah menjaga saya selama ini, tetapi baru sekarang saya lihat Tuan di sini." Monte Cristo menunjuk ke arah mang perpustakaan. "Saya bersembunyi di balik pintu itu. Pintu itu berhubungan dengan rumah di sebelah yang saya sewa." Valentine mengalihkan matanya dari Monte Cristo dan berkata dengan angkuh, 'Tang Tuan lakukan adalah perbuatan gila. Perlindungan yangTuan berikan hampir-hampir menyerupai penghinaan!" "Valentine," kata Monte Cristo, "inilah hasil dari penjagaan dan perlindungan saya yang melelahkan itu. Saya tahu siapa yang masuk ke kamar ini, makanan dan minuman apa yang disediakan untukmu. Kalau minuman itu saya anggap berbahaya, saya masuk seperti sekarang ini, membersihkan gelasmu dari racun yang mematikan dan menggantinya dengan cairan yang justru menyembuhkan." "Racun dan mati!" Valentine terkejut. Dia berharap betul bahwa dia sedang dipengaruhi demam. "Apa yang Tuan katakan?" Monte Cristo memberi isarat lagi dengan telunjuknya untuk diam. "Ya, saya katakan racun. Tetapi minumlah ini dahulu." Dia mengambil sebuah botol yang berisi cairan berwarna merah dari saku bajunya, meneteskan isinya beberapa tetes ke dalam gelas. "Setelah minum ini, jangan minum apa-apa lagi sampai besok." Valentine mengulurkan tangannya tetapi segera menariknya kembali setelah tangannya menyentuh gelas. Monte Cristo mengambil gelas itu, meneguknya sampai setengahnya lalu memberikan gelas itu kepada Valentine yang menerimanya dengan tersenyum dan lalu meminumnya sampai habis. "Saya ingat sekarang," kata Valentine. "Inilah rasa obat yang selalu menurunkan demam dan menenangkan pikiran. Terima kasih, Tuan." "Sekarang engkau tahu, mengapa engkau tetap hidup, Valentine. Tetapi engkau tak akan mungkin membayangkan betapa perasaan takut berkecamuk dalam dada saya ketika melihat racun dikucurkan ke dalam gelas dan bagaimana pula perasaan saya sebelum sempat membuangnya lagi ke tungku pemanas!" "Kalau Tuan melihat racun dikucurkan, tentu Tuan melihat juga siapa yang mengucurkannya," tanya Valentine. Matanya gelisah cemas. "Siapa pembunuh itu!" "Pernahkah engkau melihat orang masuk ke mari pada malam hari?'* "Saya sering melihat sosok tubuh datang dan menghilang. Tetapi saya selalu menganggapnya sebagai bayangan karena demam. Bahkan ketika Tuan tadi masuk pun, lama sekali saya mengira begitu." "Artinya, engkau tidak tahu siapa orang yang berniat mengambil jiwamu itu?" "Tidak. Mengapa ada orang menghendaki kematian saya?" "Engkau akan segera mengetahuinya," Monte Cristo memasang kupingnya tajamtajam seperti mendengar sesuatu. "Sekarang engkau tidak demam atau bermimpi. Saya minta, kerahkan semua kekuatanmu. Pura-pura tidur dan engkau akan melihat nanti." Valentine memegang tangan Monte Cristo. "Saya kira saya mendengar suara. Cepat keluar!" Dengan senyuman yang menenteramkan hati Valentine, Monte Cristo berangkat menuju pintu perpustakaan. Sebelum dia keluar dan menutupnya kembali, ia membalikkan badan dan berkata lagi perlahan-lahan, "Ingat, jangan bergerak dan bersuara. Kalau diketahuinya engkau tidak tidur, engkau mungkin sudah dibunuhnya sebelum saya sempat menolong." Setelah meninggalkan peringatan yang menyeramkan ini Monte Cristo menghilang di balik pintu. Valentine tinggal seorang diri. Terdengar jam berbunyi dua belas kali. Kecuali suara kereta yang bergerak di kejauhan semuanya sunyi-sepi. Pikiran Valentine hanya berpusat kepada satu soal saja: ada orang yang pernah mencoba membunuhnya dan yang akan mencobanya sekali lagi. Ketukan yang hampir-hampir tidak kedengaran datang dari pintu perpustakaan. Valentine lega hatinya karena dengan itu dia yakin bahwa Monte Cristo berada di dekatnya. Dari arah lain, artinya dari arah kamar Edouard rasanya Valentine mendengar suara. Dia menahan napas. Pintu mulai terbuka, (lampir saja Valentine tidak sempat menyembunyikan matanya di bawah lengannya. Dengan hati yang dicekam takut, dia menunggu. Seorang datang ke dekat tempat tidurnya. "Valentine!" orang itu memanggil perlahan-lahan. Valentine gemetar sampai ke dasar jantungnya, tetapi dia menahan diri tidak menjawab. ''Valentine." Valentine tetap diam. Lalu dia mendengar suara barang cair dikucurkan. Pada saat itulah dia berniat membuka matanya yang tersembunyi di bawah lengannya. Valentine melihat seorang wanita bergaun tidur putih sedang mengucurkan sesuatu dari sebuah botol ke dalam gelasnya. Rupanya Valentine bergerak atau mengeluarkan suara sedikit, sebab tiba-tiba saja perempuan itu berhenti, lalu mendekat ke. ranjang untuk meyakinkan apakah Valentine tidur atau tidak. Perempuan itu, Nyonya de Villefort. Ketika mengenali ibu tirinya, Valentine tidak dapat menahan kejutan hatinya yang bergetar ke selu nih tubuhnya, dan getaran tubuhnya itu menggetarkan lagi ranjangnya. Nyonya de Villefort berdiri merapat ke dinding di dekatnya dan mengawasi setiap gerakan Valentine dengan cermat. Valentine ingat kepada kata-kata Monte Cristo yang menyeramkan tadi. Rasanya dia melihat sebilah pisau panjang di tangan nyonya de Villefort. Dia memaksakan diri menutup matanya kembali. Pekerjaan yang sangat sederhana itu pada saat-saat seperti demikian merupakan pekerjaan yang hampir tidak mungkin dilakukan. Sementara itu, setelah diyakinkan oleh tarikan napas Valentine yang sudah teratur kembali, Nyonya de Villefort meneruskan memindahkan isi botol ke dalam gelas Valentine. Setelah itu dia keluar. Bukan suara yang meyakinkan Valentine bahwa dia sudah pergi. Valentine hanya melihat menghilangnya tangan segar dan gempal dari seorang wanita berumur dua puluh lima tahun, yang baru saja mengucurkan racun kematian. Suara dari pintu perpustakaan membuat Valentine tenang kembali. Dia mengangkat kepalanya dengan susah payah. Pintu terbuka dan Monte Cristo muncul. "Masih sangsi?" tanya Monte Cristo. "Oh, Tuhan!" "Kenal dia?" "Ya, tetapi saya tetap tidak bisa percaya." "Rupanya engkau lebih suka mati yang dapat menyebabkan kematian Maximilien juga, daripada mempercayai apa yang kaulihat sendiri." "Ya Tuhan! Tuhan!" Monte Cristo mengambil gelas dan mencicipi isinya. "Sekarang brucine lagi, tetapi yang lebih kuat. Kalau engkau minum ini, Valentine, habislah sudah riwayatmu." "Mengapa dia mau membunuh saya?" "Masih juga belum mengerti? Apakah engkau begitu baik, begitu halus, begitu sukar mempercayai kejahatan orang lain sehingga tidak dapat menduga alasan-alasannya?" "Tidak. Saya tidak pernah menyakitinya," "Kesalahanmu hanyalah, karena engkau kaya. Engkau berpenghasilan dua ratus ribu frank setahun yang bisa men jadi milik anaknya sendiri. Tuan dan Nyonya de Saint-Meran meninggal, engkau mewarisi semua hartanya. Tuan Noirtier harus mati ketika dia mengangkatmu sebagai ahli waris tunggalnya, dan itulah sebabnya mengapa engkau harus mati, Valentine, supaya ayahmu dapat mewarisi semua harta kekayaanmu dan dengan demikian terbukalah jalan bagi Edouard untuk memilikinya, karena dialah yang akan menjadi ahli waris tunggal ayahmu." "Edouard! Untuk diakah semua kejahatan mi" dilakukan?" "Ah, akhirnya engkau paham juga." "Mudah-mudahan saja dia tidak menderita karena ini!" "Engkau memang seorang bidadari, Valentine." "Apakah dia masih merencanakan membunuh Kakek?" "Rupanya sudah terpikirkan, kalau engkau mati kekayaan kakekmu akan jatuh juga kepada Edouard lewat ayahnya. Sebab itu membunuhnya, hanyalah merupakan tindakan yang tidak berguna dan berbahaya." "Sukar dimengerti bahwa seorang wanita dapat merancang su at u rencana setan seperti ini." "Ingatkah engkau ketika Ibu tirimu berbicara dengan seorang laki-laki tentang racun di Perguia? Pada waktu itu engkau sedang menanti kereta. Ketika itulah rencana ini timbul di benaknya." "Oh!" teriak gadis itu, air matanya seakan-akan muncrat. "Saya mengerti sekarang. Saya mengerti mengapa saya harus mati!" "Tidak, Valentine, musuh kita sudah tidak berdaya lagi karena kita telah mengetahui siapa dia. Engkau akan hidup untuk mencintai dan dicintai, untuk membuat seorang laki laki berhati mulia berbahagia. Tetapi, untuk bisa selamat, hendaknya engkau mempercayaiku sepenuhnya." "Saya percaya, Tuan. Saya mau menjalankan apa saja untuk tetap dapat hidup, oleh karena dalam dunia ini ada dua orang yang sangat mencintai saya dan akan mati kalau saya mati. Kakek dan Maximilien Morrel." "Apa pun yang kan terjadi, Valentine, janganlah takut. Kalau engkau kehilangan penglihatanmu, pendengaranmu atau daya rasamu, janganlah takut. Kalau engkau terbangun tanpa mengetahui di mana engkau berada jangan takut, bahkan sekalipun engkau terbangun di dalam kubur atau dalam peti mati, tegakkan kepalamu dan katakanlah kepada dirimu sendiri dengan penuh keyakinan, 'Pada saat ini, seorang lakilaki yang sangat mendambakan kebahagiaanku dan kebahagiaan Maximilien sedang melindungiku'" "Mengerikan sekali." "Apakah engkau lebih suka mengadukan ibu tirimu?" "Lebih baik mati daripada melakukan itu!" "Engkau tidak akan mati, Valentine. Tetapi saya minta engkau berjanji bahwa engkau tidak akan berputus asa, apa pun yang akan terjadi. Percayalah kepada maksud baikku, seperti engkau percaya kepada kebaikan Tuhan dan kecintaan Maximilien kepadamu." Valentine menatap wajah Monte Cristo dengan penuh rasa terima kasih. Monte Cristo mengeluarkan kotak jamrudnya, membukanya dan memberikan kepada Valentine sebuah pil bundar sebesar kacang. Valentine memandang bertanya. "Betul" kata Monte Cristo. Valentine memasukkan pil itu ke dalam mulutnya lalu menelannya. "Sekarang, selamat tinggal, Valentine," kata Mgnte Cristo, "saya akan mencoba tidur, karena engkau telah selamat." Monte Cristo mengawasi Valentine yang segera jatuh tertidur, terpengaruh oleh obat bius yang baru saja ditelannya. Lalu dia mengambil gelas, membuang sebagian besar isinya ke dalam tungku api supaya tampak seperti telah di minum, meletakkannya kembali di tempatnya di sebelah ranjang, kemudian pergi melalui pintu rahasianya. Sebelum pergi, sekali lagi dia menatap Valentine yang pulas dan tenang, setenang bidadari yang bersimpuh di hadapan Tuhannya. BAB LX LAMPU di kamar Valentine masih menyala, cahaya yang kemerah-merahan menimpa tirai-tirai putih. Segala suara di jalan sudah menghilang dan kesunyian dalam rumah sungguh mencekam. Pintu kamar Edouard terbuka. Sesosok tubuh tampak pada cermin di hadapan pintu, Nyonya de Villefort kembali untuk meyakinkan akibat racun yang dituangkannya ke dalam gelas Valentine, Dia berhenti dahulu di ambang pintu, memasang telinganya, namun tiada suara terdengar kecuali suara api lampu yang sedang menyedot sisa-sisa minyak. Setelah itu baru dia berani mendekati meja di sebelah ranjang Valentine, untuk melihat gelas apakah sudah diminum isinya atau belum. Hampir setengahnya habis. Nyonya de Villefort membuang sisanya ke tungku api. Dengan hati-hati dia mencuci gelas itu, mengeringkannya dengan saputangannya lalu menaruhnya kembali di atas meja. Tampak dia ragu ketika dia mengamati Valentine. Si pembunuh merasa takut melihat akibat perbuatannya sendiri. Dengan menguatkan hati, dia maju selangkah lagi. Valentine sudah tidak bernapas, bibirnya yang kebiru-biruan sudah berhenti bergetar. Nyonya de Villefort meletakkan tangannya di atas dada Valentine. Tidak terasa apaapa. Dengan cepat dia menarik kembali tangannya, bahkan disertai gemetar tubuhnya. Tangan kanan Valentine bergantung di tepi ranjang, pergelangannya sudah mulai kaku, dan sekeliling kuku-kuku jarinya tampak kebiru-biruan. Nyonya de Villefort sudah tidak sangsi lagi. Semuanya telah selesai, pikirnya. Tugasnya yang terakhir telah terlaksana. Dia mundur beberapa langkah, lalu berhenti lagi dan berdiri tanpa bergerak. Beberapa menit berlalu. Lampu berkelap-kelip untuk akhirnya mati sama sekali. Seluruh kamar menjadi gelap gelita. Dalam kegelapan itu terdengar lonceng berbunyi menunjukkan jam setengah lima pagi. Dengan meraba-raba Nyonya de Villefort kembali ke kamarnya sendiri. Dahinya basah berkeringat. Secercah demi secercah cahaya masuk ke dalam kamar Valentine. Akhirnya menjadi cukup terang untuk dapat membedakan warna. Perawat memasuki kamar dengan membawa sebuah gelas. Seorang ayah atau kekasih, segera melihat bahwa Valentine sudah matt Tetapi perawat ini tidak. Dia mengira Valentine masih lelap tidur. Yang pertama-tama dikerjakannya, menghidupkan tungku pemanas. Setelah itu duduk di kursi dan sekalipun baru saja bangun, dia memanfaatkan tidur Valentine untuk diri sendiri: tidur lagi beberapa saat lamanya. Jam delapan baru dia terbangunkan lagi oleh bunyi lonceng. Melihat Valentine masih kelihatan lelap dan tangannya tetap bergantung, dia merasa heran. Dia mendekatinya, barulah dia melihat dengan jelas bahwa bibir Valentine sudah biru kaku dan dadanya tidak turun naik. Dia mencoba membenarkan letak tangan Valentine, namun tangan itu sudah demikian kakunya sehingga hanya dengan keras dia berhasil. Sebagai seorang perawat dia segera tahu apa arti kekakuan itu. Dia berteriak dan berlari ke luar: "Tolong! Tolong!" "Ada apa?" jawab Dokter d'Avrigny di bawah tangga. Waktu itu adalah saat menjenguk Valentine yang setiap hari dilakukannya. "Tuan mendengar ada yang meminta tolong?" tanya Villefort keluar dari kamar kerjanya. "Ya. Rupanya dari kamar Valentine. Mari kita lihat." Sebelum Villefort dan dokter tiba, para pelayan sudah terlebih dahulu berada di kamar Valentine. Begitu mereka melihat keadaan putri majikannya, mereka menutup wajah masing-masing dengan kedua tangannya. Mereka merasa pusing bagaikan kena benturan yang keras mendadak "Panggil Nyonya! Bangunkan Nyonya!" teriak Villefort tanpa berani memasuki kamar. Tetapi para pelayan itu bukannya menuruti perintah, melainkan memperhatikan Dokter d'Avrigny yang segera mendekati Valentine. Dokter memeriksanya sebentar. "Satu lagi!" katanya mengeluh. "Ya Tuhan, bilamanakah Engkau akan menghentikan ini?" "Apa kata Tuan?" tanya Villefort terkejut. "Maksud saya, Valentine telah mati," jawab dokter dengan suara yang mengharukan. Villefort menjatuhkan diri ke lantai dan meletakkan kepala di pinggir ranjang Valentine. Semua pelayan berlarian ke luar. Terdengar mereka menuruni tangga, lalu tak berapa lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk di pe karangan. Para pelayan kabur meninggalkan rumah yang menurut mereka sedang dikutuk Tuhan. Nyonya de Villefort muncul di ambang pintu. Dia berhenti sejenak di sana, berusaha mengeluarkan air mata. Tiba-tiba saja dia bergerak ke arah meja karena melihat Dokter d'Avrigny memeriksa meja dengan teliti, dan mengambil gelas yang dia yakin telah dikosongkannya dinihari tadi. Ternyata gelas itu berisi lagi, presis sebanyak yang dia buang ke dalam tungku api. Seandainya ruh Valentine tiba-tiba saja berada di hadapannya, dia tidak akan terkejut seperti sekarang melihat isi gelas yang telah dibuangnya sendiri dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Warna isi gelas sama betul dengan warna cairan yang dia buang. Dokter memeriksanya dengan teliti sekali. Dia yakin bahwa cairan itu racun. Ditemukannya racun itu merupakan suatu keajaiban dari Tuhan untuk menggampangkan cara menghancurkan si pembunuh. Selagi Nyonya de Villefort yang sudah tidak sempat berbuat apa-apa lagi berdiri tegak bagaikan patung orang yang sedang terkejut, dan selagi Villefort sendiri membenamkan kepalanya di ranjang Valentine, Dokter d'Avrigny berjalan ke dekat jendela untuk memeriksa gelas dengan lebih jelas. Dia menjilat ujung telunjuknya yang sudah dicelupkan ke dalam gelas itu. "Ah!" katanya, "sudah bukan brucine lagi. Kita lihat, apa." Dia berjalan ke lemari yang sudah disulap menjadi apotik kecil. Dokter mengambil botol yang berisi asam sendawa lalu meneteskan isinya beberapa tetes ke dalam gelas. Cairan dalam gelas segera berubah warnanya menjadi merah darah. "Aha!" dia bersorak seperti seorang hakim yang berhasil mengorek kebenaran dari pesakitan, bercampur dengan kegembiraan seorang ilmiawan yang berhasil memecahkan sebuah persoalan. Sekilas cahaya kemarahan dan ketakutan memancar dari mata Nyonya de Villefort, lalu meredup kembali. Dia membalikkan badan, berjalan dengan terhuyung-huyung ke luar kamar. Beberapa saat kemudian terdengar suar* orang terjatuh. Dokter d'Avrigny yang melihat Nyonya de Villefort meninggalkan kamar segera berlari ke pintu, dan melihat Nyonya de Villefort tergeletak di lantai. "Tolong Nyonya de Vulefort" perintalmya kepada perawat. "Beliau pingsan" "Bagaimana dengan Nona Valentine?" tanya perawat ragu-ragu. "Nona Valentine sudah tidak membutuhkan pertolongan lagi, karena dia sudah meninggal." "Meninggal! Meninggal!" Villefort mengulang-ulang kata-kata itu dengan nada yang sangat mengharukan karena keluar dari seorang yang terkenal berhati baja. "Meninggal!" terdengar suara lain. "Siapa yang mengatakan Valentine telah meninggal?" Kedua laki-laki itu memalingkan wajah ke arah suara itu dan mereka melihat Maxim ilien Morrel berdiri di ambang pintu dengan mata liar dan kebiru-biruan di seputarnya. Pada jam seperti biasa dia mengunjungi Noirtier setiap pagi, Maximilien tiba di pintu kecil yang berhubungan dengan kamar Noirtier. Karena lain dari kebiasaan dia melihat pintu tidak terkunci, dia masuk tanpa membunyikan bel. Maximilien memanggil pelayan untuk minta diberitahukan kedatangannya kepada Noirtier, namun tak seorang pun datang. Maximilien tidak mempunyai alasan untuk merasa risau karena mendapat keyakinan dari Monte Cristo bahwa Valentine akan tetap hidup, dan selama ini janji Monte Cristo itu terbukti. Setiap malam Monte Cristo menv berinya kabar baik, yang dibenarkan esok paginya oleh Noirtier. Walaupun demikian kesunyian rumah itu mengherankannya juga. Dia memanggil dan memanggil lagi, tetapi keadaan tetap sunyi. Dia mengambil keputusan untuk naik ketingkat atas. Pintu kamar Noirtier terbuka. Mata kakek tua itu menunjukkan ketegangan dalam jiwanya, dan hal ini dikuatkan oleh wajahnya yang tampak sangat pucat. "Tuan seperti merisaukan sesuatu," kata Maximilien. "Apa perlu saya memanggil pelayan?" "Ya," jawab Noirtier seperti biasa dengan isarat matanya. Maximilien menarik tali lonceng, tetapi tak seorang pun datang. Kerisauan Noirtier semakin jelas tampak pada matanya "Mengapa tak ada yang datang?" tanya Maximilien heran. "Apakah ada yang sakit?" Mata Noirtier seakan-akan hendak terloncat ke luar dari kelopaknya. "Ada apa, Tuan? Apakah Valentine . . .T' "Ya!Ya!Ya!" Maximilien berlari ke luar dan menuruni tangga. Kurang dari satu menit dia sudah berada di pintu kamar Valentine. Pintunya terbuka. Yang pertama-tama dia dengar suara orang terisak-isak. Lalu melihat sesosok tubuh berlutut dekat ranjang. Dia berdiri di ambang pintu dicekam rasa takut. Ketika itulah dia mendengar orang berkata, "Dia sudah meninggal," disusul orang lain yang mengulangulangnya bagaikan gema suara, "Meninggal! Meninggal!" Villefort berdiri. Dia merasa sedikit malu kedapatan menangis kesedihan. Jabatan yang sudah dijalaninya selama dua puluh lima tahun terus-menerus, sedikit banyak telah merubah dia menjadi kurang manusiawi. Dia memandang Maximilien. "Siapa Tuan? Dan mengapa Tuan lupa bahwa seseorang tidak boleh masuk rumah di mana orang sedang berkabung? Harap segera meninggalkan rumah ini!" Maximilian tetap tidak bergerak, tanpa sanggup mengalihkan pandangannya dari ranjang dan wajah pucat yang tergeletak di atasnya. "Harap pergi! Apa Tuan tidak mendengar?" Dokter d'Avrigny maju selangkah menjaga kemungkinan kalau-kalau Villefort memerlukan bantuannya. Maximilien tampak ragu. Dia membuka mulutnya, tetapi tidak kuasa mengeluarkan kata barang sepatah pun untuk menjawab, sekalipun bermacam pikiran, bermunculan di benaknya. Dia berbalik berlari sambil memegang kepala dengan kedua belah tangannya. Villefort dan Dokter d'Avrigny saling berpandangan seakan-akan masing-masing hendak mengatakan, "Orang gila!" Beberapa menit kemudian mereka mendengar tangga berderak karena menahan beban yang berat. Mereka melihat Maximilien menuruni tangga sambil mengangkat Noirtier dengan kursi rodanya sekali. Setelah sampai di lantai bawah Maximilien meletakkan kursi roda dan mendorongnya ke kamar Valentine dengan cepat. Wajah Noirtier dengan cahaya matanya yang berkilat-kilat merupakan hantu yang sangat mengerikan bagi Villefort. Setiap kali dia bertemu dengan ayahnya sendiri, selalu saja ada perasaan takut. "Lihat apa yang mereka lakukan terhadap Valentine' Kata Maximilien dengan sebelah tangannya di kursi roda dan tangan lainnya menunjuk kepada Valentine. "Lihat Kakek, lihat!" Villefort terkejut mendengar anak muda yang tidak dikenalnya ini memanggil "Kakek" kepada Noirtier. - Pada saat itu seakan-akan seluruh isi hati orang tua itu memancar lewat matanya. Pembuluh darah di tengkuknya membengkak, pipi dan pelipisnya merah padam. Kalau saja dia dapat berteriak lengkaplah ledakan jiwanya itu. Jeritan yang tidak dapat keluar melalui mulut seakan-akan keluar melalui setiap pori-pori kulit sehingga diamnya kakek tua itu sangat mengerikan. "Mereka bertanya siapa saya dan berdasarkan hak apa saya berada di sini," kata Maximilien sambil memegang tangan Noirtier. "Tuan mengetahuinya. Katakanlah kepada mereka! Katakanlah!" Suaranya tertahan-tahan. Dada Noirtier mengembang dan matanya berlinang. "Katakan bahwa saya kekasih Valentine! Katakan bahwa Valentine satu-satunya kecintaan saya di dunia ini. Katakan bahwa jenazahnya milik saya!" Tenaga anak muda yang gagah itu luluh sama sekali. Dia jatuh terlutut di sisi ranjang. Kesedihan Maximilien menyentuh sekali sehingga Dokter d'Avrigny terpaksa memalingkan muka untuk menyembunyikan perasaannya, sedangkan Villefort tanpa meminta penjelasan lebih lanjut — tergerak oleh keharuan yang membangkitkan kasih sayang kepada orang yang diratapi -mengukirkan tangannya. Tetapi Maximilien tidak melihatnya. Dia memegang tangan Valentine yang sudah sedingin es, tanpa dapat menangis. Dia hanya menggigit alas ranjang. Untuk sementara waktu tak terdengar suara lain dalam kamar itu kecuali suara isak tangis, kutukan dan do'a. Akhirnya Villefort yang paling mampu menguasai dirinya berkata kepada Maximilien: "Tuan katakan baru saja bahwa Tuan mencintai Valentine dan bahwa Tuan kekasih Valentine. Saya sama sekali tidak mengetahuinya, namun demikian, sebagai ayah Valentine saya dapat memaafkan karena kesedihan Tuan benar-benar mumi dan tulus. Di samping itu hati saya sendiri sudah sesak dengan kesedihan sehingga tidak ada tempat lagi buat marah. Tetapi, seperti Tuan lihat sendiri, bidadari yang Tuan cintai itu telah pergi meninggalkan bumi ini. Ucapkan selamat jalan kepadanya dan kuatkan hati untuk berpisah buat selama-lamanya. Valentine tidak memerlukan siapa pun lagi, kecuali seorang padri yang akan member kah my a " 'Tuan keliru!" jawab Maximilein sambil merubah sikapnya menjadi berlutut dengan sebelah lutut saja. "Valentine bukan hanya memerlukan seorang padri, tetapi juga seorang penuntut balas! Silakan panggil padri, Tuan de Villefort, dan sayalah yang akan menjadi penuntut balas." "Apa maksud Tuan?" tanya Villefort sedikit gemetar. "Saya maksud, Tuan de Villefort, sebagai seorang ayah tuan telah cukup mencurahkan kesedihan Tuan. Sekarang saatnya bagi Tuan untuk melakukan kewajiban sebagai seorang jaksa." Mata Noirtier berkilat-kilat. Dokter d'Avrigny melangkah mendekat. "Saya tahu apa yang saya katakan," lanjut Maximilien. Setelah dia mengamati wajah semua yang hadir. "DanTuan pun tahu apa yang selanjutnya akan saya katakan Valentine dibunuh orang!" Villefort menundukkan kepala, Dokter d'Avrigny melangkah lebih mendekat lagi, dan mata Noirtier memberi isarat "ya". 'Tuan salah," jawab Villefort. "Tidak ada kejahatan dalam rumah saya. Nasib buruk sedang bertubi-tubi menimpa saya. Rupanya Tuhan sedang mencoba saya. Memang tidak sedap mengingat-ingat hal itu, tetapi jelas tidak ada kejahatan.Mata Noirtier berkilat-kilat lebih terang. Dokter d'Avrigny membuka mulut, tetapi Maximilien memberi isarat dengan tangannya agar tidak berkata. "Saya katakan bahwa ada pembunuhan dalam rumah ini!" katanya keras-keras. "Saya tegaskan bahwa Valentine merupakan korban yang keempat! Saya tahu, bahwa Tuan telah mengetahuinya, karena dokter ini telah memperingatkan Tuan baik sebagai dokter maupun sebagai sahabat." "Mengigau!" kata Villefort, mencoba melepaskan diri dari jaring yang sudah terasa menangkupnya. "Kalau Tuan mengira saya mengigau, saya persilakan Tuan bertanya kepada Dokter d* Avngny Tanyakan apa yang dikatakannya kepada Tuan di dalam kebun pada malam meninggalnya Nyonya de Saint-Meran!" Villefort dan Dokter d'Avrigny saling berpandangan. "Saya kebetulan mendengarkan pembicaraan Tuan-tuan. Seharusnya saya menceriterakannya kepada yang berwewenang. Seandainya sudah saya lakukan dahulu pasti saya tidak akan merasa turut bersalah dalam pembunuhan terhadap Valentine tercinta. Saya yang sudah terlibat ini akan menjadi penuntut balas untuk Valentine! Pembunuhan yang keempat ini sudah tidak akan dapat dirahasiakan lagi. Kalau ayah Valentine sendiri tidak bertindak, saya bersumpah: sayalah yang akan membalaskan kematian Valentine!" 'Dan saya sependapat dengan tuntutan Tuan Maximilien Morrel agar hukum ditegakkan," kata Dokter d'Avrigny tegas. "Hati nurani saya menjadi sakit karena kepengecutan saya telah membantu memudahkan si pembunuh." "Oh Tuhan! Tuhan!" Vfflefort bingung. Maximilien melihat sorot mata Noirtier berkilat-kilat karena kemarahan yang sudah hampir melampaui batas. 'Tuan Noirtier ingin berbicara," katanya."Betul/* kata Noirtier dengan isarat. "Tuan tahu siapa pembunuhnya?" tanya Maximilien. 'Tahu.** "Mau Tuan menunjukkannya?" Noirtier memberi tatapan yang ramah tetapi sedih, lalu memandang ke arah pintu. 'Tuan menghendaki saya pergi?" tanya Maximilien putus asa. "Ya." "Saya harus kembali lagi nanti?" "Ya." "Hanya saya yang harus pergi?" 'Tidak." "Siapa lagi? Tuan de Villefort?" "Bukan." "Dokter d'Avrigny?" "Ya." Dokter d'Avrigny memegang tangan Maximilien dan menuntunnya ke kamar sebelah. Seperempat jam kemudian Villefort muncul di pintu. "Mari masuk," katanya. Ketiganya masuk dan berdiri dekat Noirtier. Wajah Villefort agak kebiru-biruan. "Tuan-tuan," katanya memulai dengan suara tertahantah an. "Saya meminta dengan sangat agar Tuan-tuan tidak membocorkan rahasia yang sangat memalukan ini" Maximilien dan dokter itu terkejut. "Bagaimana dengan pembunuh itu?" tanya Maximilien. "Jangan takut. Hukum akan ditegakkan," jawab Villefort. "Ayah saya telah memberitahukan siapa pembunuhnya. Beliau pun ingin membalas, sama seperti Tuantuan. Walau demikian beliau meminta seperti yang saya minta agar Tuan-tuan suka memegang rahasia ini Betulkah demikian, Ayah?" "Betul," jawab Noirtier dengan isarat matanya tanpa ragu. Maximilien terkejut dan tak percaya. Villefort memegang tangannya. "Tuan mengetahui, betapa teguhnya pendirian ayah saya. Tuan boleh yakin kalau beliau mengajukan permintaan itu beliau tahu betul bahwa kematian Valentine tidak akan dibiarkan tanpa pembalasan." Mata orang tua itu membenarkan ucapan Villefort. Villefort melanjutkan: "Ayah saya cukup mengenal saya, dan saya telah memberikan janji saya. Saya meminta tiga hari. Dalam tempo tiga hari itu pembalasan yang akan saya lakukan terhadap pembunuh anak saya akan membuat orang yang paling kejam pun bergetar terharu sampai ke lubuk hatinya!" "Apakah janji itu akan ditepati, Tuan Noirtier?" tanya Maximilien. "Ya!" jawab Noirtier dengan pancaran mata gembira. "Jadi, mau Tuan-tuan menyerahkan pembalasan itu kepada saya?" tanya Villefort. Dokter d'Avrigny memalingkan muka sambil berkata lemah, "Baik." Maximilien tidak menjawab, melainkan berlari kepada Valentine, lalu mencium bibirnya yang dingin dan setelah itu berlari ke luar. "Ada Padri tertentu yang ingin Tuan panggil?" tanya dokter. Tidak/* jawab Villefort "Yang terdekat saja." "Yang terdekat adalah padri bangsa Italia yang baru saja piildah menghuni rumah sebelah. Boleh saya memintanya datang sambil pulang?" '*Ya, ya. Tolong mintakan beliau datang." "Tuan ingin berbicara dahulu dengannya?" "Tidak. Saya ingin menyendiri. Tolong sekalian mintakan maaf. Seorang padri pasti dapat memahami apa artinya kesedihannya." Villefort meminta diri dari Dokter d'Avrigny lalu masuk ke ruang kerjanya. Untuk beberapa orang tertentu, bekerja merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kesedihan. Ketika pulang. Dokter d'Avrigny melihat orang berjubah berdiri di muka rumah sebelah. Dia menghampirinya lalu bertanya "Sudikah Bapak memberi jasa baik kepada seorang ayah yang baru saja kehilangan putrinya? Saya maksud tetangga Bapak, Tuan de Villefort." "Ya, saya tahu bahwa ada kematian di sana," jawab padri itu dengan aksen Italia yang jelas. "Saya justru hendak ke sana menawarkan jasa. Adalah tugas seorang padri untuk menyadari kewajibannya." "Yang meninggal itu seorang gadis." "Ya, saya tahu juga. Saya mendengar dari pelayan-pelayan yang berlarian meninggalkan rumah. Saya dengar namanya Valentine dan saya sudah berdo'a untuknya." 'Terima kasih, Bapak. Karena tokh Bapak sudah mulai melaksanakan kewajiban suci itu, haraplah dilanjutkan. Harap Bapak suka melayat jenazah itu, seluruh keluarganya tentu akan berterima kasih." "Saya sedang menuju ke sana. Saya akan berdo'a dengan sungguh-sungguh sekali." Dokter d'Avrigny menuntun padri dan tanpa mempertemukannya dahulu dengan Villefort yang mengunci diri di kamar kerjanya, langsung membawanya ke kamar Valentine. Ketika mereka masuk, mata Noirtier bertemu dengan mata padri. Rupanya Noirtier menangkap sesuatu dari sorot mata padri itu, karena selanjutnya orang tua itu tidak mau melepaskan lagi pandangannya dari padri. Agar tidak terganggu dalam berdo'a dan juga agar Noirtier tidak terganggu dalam melepaskan kesedihannya, padri itu bukan hanya mengunci pintu tempat keluar Dokter d'Avrigny saja, tetapi juga pintu yang berhubungan dengan kamar Nyonya de Villefort. BAB LX1 KEESOKAN harinya Baron Danglars melihat kereta Count of Monte Cristo memasuki pekarangan rumahnya. Dia sengaja keluar untuk menjemputnya. Wajahnya ramah namun kesedihannya tak dapat disembunyikan. "Tuan tentu datang untuk menyatakan simpati kepada keluarga kami," katanya menyambut. ''Sebaiknya Tuan sendiri pun berhati-hati, karena, tampaknya orang-orang yang sebaya kita sedang mengalami nasib sial tahun ini! Coba lihat, jaksa kita yang fanatik. Tuan de Villefort kehilangan keluarganya dengan cara yang menyeramkan sekali. Lalu Tuan de Morcerf, tercemar nama baiknya dan mati, dan terakhir saya sendiri dipermalukan oleh Benedetto keparat dan . . ." "Dan apa?" "Apa Tuan belum mendengar?"' "Musibah lain?" "Eugenie pergi." "Tak mungkin." "Tetapi itulah kenyataannya. Anak malang itu sangat terpukul oleh kejadian itu, lalu meminta izin untuk berkelana. Dia pergi dua malam yang lalu." "Bersama ibunya?" "Bukan, dengan salah seorang saudara. Saya takut dia tak akan kembali. Saya kenal betul wataknya, bahkan saya sangsi dia akan berani menginjak Paris lagi." "Kejadian serupa ini tentu akan merupakan cobaan yang berat sekali bagi seorang ayah yang tidak kaya," kata Monte Cristo, "tetapi lain sekali untuk mereka yang jutawan. Apa pun kata orang-orang bijaksana, namun uang selalu merupakan hiburan yang utama. Dan Tuan sendiri, raja dalam dunia keuangan, pasti mempunyai hiburan yang lebih utama dari orang lain." Danglars mengamati Monte Cristo untuk mengetahui apakah tamunya itu bergurau atau sungguh-sungguh. "Benar," jawabnya, "apabila kekayaan merupakan hiburan, saya seharusnya terhibur. Saya kaya." "Begitu kaya, Baron, seteguh piramid. Apabila ada orang yang mau menghancurkannya, ia tak akan berani mencobanya, kalau ada yang berani, ia tak berhasil." Danglars tersenyum. "Saya jadi teringat Ketika Tuan datang, saya masih harus menandatangani beberapa lembar cek. Maaf, izinkan saya menyelesaikannya sebentar." "Silakan, Tuan." Beberapa detik lamanya yang terdengar hanya bunyi pena menggores kertas. Setelah selesai Danglars berkata lagi, Pernah kali Tuan melihat tumpukan kertas seperti ini, setiap lembar bernilai sejuta frank?" Monte Cristo mengambil lima lembar yang diperlihatkan Danglars dengan bangga. "Satu, dua, tiga, empat, lima juta frank." "Begitulah cara saya berusaha," kata Danglars. "Hebat sekali. Terutama kalau setiap lembar dapat segera ditukarkan menjadi uang tunai, dan saya yakin dapat."ya.Tentu saja dapat." "Menyenangkan sekali kalau orang mempunyai lembaran-lembaran seperti ini. Hanya di Perancis saja orang dapat melihat ini. Lima lembar kertas berharga lima juta frank. Kalau tak melihatnya sendiri, orang tak akan mungkin percaya." "Apakah Tuan masih sangsi?" "Sama sekali tidak." "Nada suara Tuan tidak begitu yakin. Mengapa Tuan tidak membuktikannya sendiri? Silakan Tuan pergi dengan pegawai saya ke bank dan Tuan akan melihat mereka segera menukarnya dengan uang tunai sebanyak yang tercantum di dalamnya." "Tidak," kata Monte Cristo sambil melipat kelima lembar cek tadi. "Ceritera Tuan begitu menakjubkan dan menggairahkan sehingga saya mau mengalaminya sendiri. Kredit saya pada Tuan berjumlah enam juta frank dan saya baru memanfaatkannya sembilan ratus ribu saja. Dengan demikian saya masih berhak menerima pinjaman dari Tuan sebanyak lima juta seratus ribu lagi. Saya ambil cek yang lima ini yang saya percaya akan segera dibayar bank begitu mereka melihat tan datangan Tuan. Ini, saya serahkan kwitansi sebanyak enam juta frank yang sudah saya buat di rumah tadi. Sebenarnya saya datang sebab sangat memerlukan uang hari ini." Monte Cristo memasukkan kelima lembar cek itu ke dalam sakunya sedang tangan yang sebelah lagi menyerahkan kwitansi kepada Danglars. "Apa! Tuan mau mengambil cek itu?" tanyanya gugup. "Maaf uang itu saham rumah sakit yang harus saya bayar hari ini.""Ah, kalau begitu 1 i lagi soalnya," kata Monte Cristo "Saya tidak mutlak memerlukan cek yang ini. Tuan dapat memberi saya yang tain. Saya mengambil ini hanya agar dapat mengatakan: sebelum lima menit Tuan Danglars dapat membayar saya lima juta frank di tempat saya memintanya. Orang akan sangat kagum kepada Tuan mendengar pernyataan saya itu. Ini saya kembalikan, dan harap diberi yang baru." Danglars mengulurkan tangannya untuk menerima kembali cek itu, tetapi tiba-tiba berubah pendiriannya dan berusaha keras untuk menguasai diri. Lalu dia tersenyum dan berkata, "Saya pikir, kwitansi Tuan sama nilainya dengan uang tunai." "Tentu saja- Apabila Tuan di Roma, firma Thomson and French akan membayar Tuan secepat Tuan membayar saya . . . Apakah ini berarti saya boleh mengambil cek ini?" "Ya, silakan," jawab Danglars sambil mengusap peluh di wajahnya yang seakan-akan memancar dari akar-akar rambut kepalanya. Monte Cristo memasukkan kembali kelima lembar cek itu ke dalam saku bajunya dengan air muka yang tidak bisa berarti lain kecuali, "Pikirlah kembali - . . masih banyak waktu untuk merubah pikiran." "Tidak, tidak, silakan ambil saja," kata Danglars yang memahaminya. "Tuan tentu mengerti, bagaimana kebiasaan seorang bankir. Saya bermaksud membayarkan cek itu kepada rumah sakit. Untuk sejenak saya merasa bahwa saya merampok mereka kalau tidak memberikan cek yang sudah disediakan untuk mereka itu, rasanya seakan-akan setiap frank berbeda dengan frank yang lain. Maafkan perasaan saya itu." Lalu dia tertawa terbahak-bahak, namun jelas dipaksakan. "Saya mengerti dan dapat memaafkan.'* kata Monte Cristo berlagak berlapang dada. "Saya masih hams membayar seratus ribu frank lagi, bukan?" "Ah, tidak mengapa. Jumlahnya tidak berarti. Tuan boleh menahannya, dan kita anggap perhitungan kita sudah beres." "Sungguh-sungguhkah, Tuan?" "Saya tidak pernah bergurau dengan seorang bankir," jawab Monte Cristo dengan air muka sungguh-sungguh, hampir-hampir seperti orang yang kurang sopan. Ketika Monte Cristo hendak ke luar, seorang pelayan masuk memberitahukan kedatangan Tuan de Boville, pengurus rumah sakit. Wajah Danglars pucat dan cepat dia meminta maaf kepada Monte Cristo. Monte Cristo saling menghormat dengan Tuan de Boville ketika mereka berpapasan di ruang tunggu. Ia langsung pergi ke bank. Dengan menahan perasaannya Danglars menyambut tamunya. Di bibirnya tersimpul senyum yang dipaksakan. "Bagaimana kabarnya, Tuan? Benarkah perkiraan saya Tuan datang untuk mengambil kembali uang tunai?1" "Tepat sekali. Rupanya Tuan telah menerima surat saya kemarin." "Benar" "Sukur. Ini tanda terima." "Tuan de Boville," kata Danglars, "saya terpaksa meminta kesediaan Tuan untuk menunggu sampai besok, oleh karena Count of Monte Cristo, orang yang tentu Tuan lihat tadi, telah mengambil cek yang sebenarnya saya sediakan untuk Tuan." "Apa maksudnya?" "Count of Monte Cristo membuka kredit pada saya tanpa batas, kredit yang dijamin oleh firma Tttomson and French di Roma. Hari ini tiba-tiba saja ia datang untuk meminta lima juta frank sekaligus. Saya harus memenuhinya. Tuan tentu dapat memahami, saya khawatir bank akan bertanya-tanya kalau saya mengeluarkan sepuluh juta dalam sehari." "Maksud Tuan," kata Tuan de Boville sama sekali tidak percaya. "Tuan memberikan lima juta frank kepada orang yang baru saja meninggalkan rumah ini dan mengangguk kepada saya seakan-akan dia mengenal saya?" "Ini tanda terimanya. Boleh Tuan lihat." Tuan de Boville menerima kwitansi dan membacanya dengan rasa kagum. "Saya mesti menemuinya untuk meminta sumbangan untuk rumah sakit. Saya akan mencontohkan perbuatan Nyonya de Morcerf dan putranya." "Mengapa dengan mereka?" "Mereka menyerahkan seluruh kekayaannya kepada rumah sakit." "Kekayaan apa?" "Kekayaan mendiang Jendral de Morcerf." "Mengapa mereka lakukan itu?" "Mereka mengatakan tidak mau memiliki kekayaan yang diperoleh dengan jalan yang tidak terhormat." "Bagaimana mereka akan hidup selanjutnya?" "Ibunya bermaksud tinggal di daerah, sedangkan putranya mendaftarkan diri masuk tentara . . . Tetapi, baik kita kembali kepada persoalan kita." "Baik," jawab Danglars dengan nada yang wajar sekali. "Apakah Tuan memerlukannya segera?" "Tentu saja . . . pembukuan kami akan diperiksa besok.""Besok . . . masih cukup waktu. Jam berapa?" "Jam dua siang." "Tuan dapat menyuruh orang mengambilnya jam dua belas." Tuan de Boville mau tak mau menyetujuinya sambil meraba-raba dompetnya. "Sebentar," kata Danglars tiba-tiba, "ada jalan yang lebih baik. Tanda terima dari Count of Monte Cristo sama saja nilainya dengan uang tunai. Tuan bawa ini kepada Rothschild atau Lafitte, mereka akan. mau menerimanya dan menukarnya dengan uang tunai;" "Bukankah tanda terima ini hanya dapat diuangkan di Roma?" "Mereka akan mau. Tetapi tentu saja ada biayanya. Mereka akan memotong lima sampai enam ribu frank." "Lebih baik saya menunggu sampai besok. Aneh juga pikiran Tuan itu." "Terserah. Saya akan bayar besok." "Tidak akan gagal?" "Rupanya Tuan berolok-olok. Suruh saja orang datang besok ke mari dan saya akan memberitahu bank saya." "Saya akan datang sendiri." "Lebih baik lagi. Artinya saya akan mendapat kehormatan bertemu lagi dengan Tuan." Mereka berjabatan tangan. "Oh" kata de Boville tiba-tiba, "apakah Tuan tidak turut menghadiri penguburan Nona de Villefort? Saya tadi berpapasan dengan iringan jenazahnya ketika sedang ke mari." "Tidak, saya masih merasa malu karena peritiwa Benedetto itu. Saya mau menghindari masyarakat sebanyak mungkin untuk sementara ini.." "Tuan boleh yakin, setiap orang menaruh simpati kepada Tuan» terutama kepada putri Tuan." "Eugenie yang malang!" kata Danglars dengan keluhan yang dalam. "Apakah Tuan tidak mendengar bahwa dia bermaksud masuk biara?" "Tidak." "Begitulah keadaannya. Sehari setelah peristiwa itu dia memutuskan pergi dengan seorang kawan karibnya yang sudah menjadi biarawati. Dia bermaksud mencari biara yang terbaik di Italia atau di Spanyol." "Oh, mengharukan sekali." Tuan de Boville meminta diri, dengan mengucapkan kata-kata simpati yang tulus ikhlas. Begitu tamunya pergi Danglars berkata dengan berapi-api, "Tolol! Aku sudah jauh dari sini kalau engkau datang besok!" Dia mengunci pintu, mengeruk uang tunai dari laci - mejanya yang berjumlah sekitar lima puluh ribu frank, membakar beberapa lembar kertas tertentu, membereskan yang lain-lainnya, lalu menulis surat dengan alamat: "Kepada Nyonya Danglars." Setelah itu dia mengambil paspornya dan memeriksanya. "Bagus, masih berlaku untuk dua bulan lagi." BAB LXH SEBAGAI orang Paris asli. Tuan de Villefort menganggap bahwa hanya pekuburan Per e Lachaise sajalah yang patut menerima jenazah orang-orang terhormat di Paris. Hanya di situlah menurut anggapannya arwah orang-orang berpendidikan tinggi akan merasa betah. Sebab itu sejak dahulu dia sudah membeli tempat yang sudah ditulisi dengan "Saint-Meran dan Villefort." Ini adalah permintaan terakhir dari Renee, ibu Valentine. Iringan jenazah Valentine terutama sekali diikuti oleh anak-anak muda yang merasa terharu dan terkejut oleh kematian Valentine yang mendadak, gadis cantik, sopan dan menarik, gugur dalam masa remaja yang menyegarkan. Ketika iringan sampai di perbatasan kota, sebuah kereta berkuda empat, menyusulnya. Monte Cristo keluar dari kereta itu lalu menggabungkan diri. Chateau-Renaud dan Beauchamp segera melihatnya. Mereka menghampiri dan berjalan di sampingnya. "Apakah Tuan-tuan melihat Maximilien Morrel?" "Tidak," jawab Chateau-Renaud. "Kami pun bertanya-tanya mengapa dia tidak kelihatan sejak iringan ini akan berangkat." Monte Cristo diam, tetapi matanya berkeliling. Dia tidak menemukan yang dicarinya sampai iringan itu tiba di pekuburan. Di sana dia melihat Maximilien berdiri di bawah sebuah pohon tidak jauh dari pekuburan keluarga Villefort. Monte Cristo tidak pernah lepas mengawasinya selama upacara penguburan. "Itu dia Maximilien!" kata Beuachamp yang baru melihatnya kepada Debray. "Sedang apa dia di sana?" "Lihat betapa pucat mukanya," kata Chateau-Renaud. "Kedinginan barangkali" jawab Debray. "Bukan karena itu, saya kira," kata Chateau-Renaud lagi. "Dia sangat perasa." "Bukankah dia tidak mengenal Nona de VDlefort?" "Benar, tetapi saya ingat pernah melihatnya berdansa dengan Nona de Villefort sebanyak tiga kali pada suatu pesta." 'Upacara telah selesai," kata Monte Cristo tiba-tiba. "Selamat tinggal, Tuan tuan." Dia sudah pergi selagi yang lain baru bersiap-siap untuk pulang. Monte Cristo menyembunyikan diri di balik sebuah kuburan, mengawasi gerak-gerik Maximilien. Anak muda itu dengan perlahan-lahan mendekati kuburan Valentine yang sudah sepi ditinggalkan para pengantarnya, lalu bersimpuh di dekatnya. Dahinya bersandar pada batu nisan. "Oh, Valentine!" Hati Monte Cristo terasa pecah mendengar suara yang sangat mengharukan ini. Dia mendekat, menyentuh bahu Maximilien dan berkata, "Saya mencarimu, sahabat." Dia memperkirakan akan mendapat dampratan dan tuduhan dari Maxinulien karena janjinya menjaga Valentine akan tetap hidup ternyata meleset. Ternyata dia keliru. Maximilien berbalik dan berkata dengan tenang sekali, "Saya sedang berdo'a." Monte Cristo mengamat-amati wajah Maximilien dengan cermat untuk beberapa saat. Setelah itu baru dia yakin. "Mau kau kuantarkan pulang?" "Tidak, terima kasih." "Barangkali ada sesuatu yang dapat aku lakukan?'* "Biarkan saya berdo'a," Monte Cristo pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Dia mengambil tempat lain untuk mengawasi Maximilien. Akhirnya anak muda itu berdiri dan pulang ke kota berjalan kaki. Monte Cristo menyuruh keretanya pergi, sedang dia sendiri berjalan mengikuti Maximilien beberapa ratus langkah di belakangnya. Lima menit setelah pintu pekarangan rumah di Rue Maslay tertutup di belakang Maximilien, terbuka lagi untuk Count of Monte Cristo. Julie sedang berada di kebun mengawasi Penelon yang secara sungguh-sungguh mau menjadi tukang kebun yang baik. "Ah, Count of Monte Cristo!" teriaknya gembira seperti biasa dilakukan seisi rumah kalau mereka menyambut kedatangan Monte Cristo. "Maximilien baru saja pulang, bukan?" tanya Monte Cristo. "Ya, saya kira saya melihatnya lewat." "Maaf, saya harus menemuinya segera. Ada hal penting yang perlu saya katakan kepadanya." "Silakan masuk saja," kata Julie. Dia mengikuti tamunya dengan senyuman yang manis sekali sampai Monte Cristo tidak kelihatan lagi. Ketika Monte Cristo datang dekat kamar Maximilien di lantai tiga dia berhenti dan memasang kuping. Tak ada suara apa-apa. Pintu kamar itu berkaca sebagian, tetapi Lak mungkin melihat ke dalam karena tertutup oleh tirai merah dari dalam. Monte Cristo berpikir sebentar. "Membunyikan bel?" pikirnya. "Tidak, bunyi bel sering kali mempercepat datangnya keputusan pada orang yang sedang berada dalam keadaan seperti Maximilien sekarang." Seluruh badannya bergetar ketika mengingat kemungkinan itu. Seperti biasa dia berpikir cepat dan mengambil keputusan cepat juga. Dia memecahkan kaca pintu dengan sikutnya. Dengan cepat dia menarik tirai ke samping. Tampak Maximilien sedang duduk menghadapi meja tulis dengan pena di tangannya. Maximilien terperanjat bangkit. "Maaf," kata Monte Cristo, "saya tergelincir dan sikut saya mengenai kaca. Karena tokh sudah pecah, saya akan manfaatkan untuk membuka kuncinya. Biar biar saya lakukan sendiri." Monte Cristo memasukkan tangannya melalui lobang kaca, lalu memutar kunci. Maximilien yang jelas sekali merasa terganggu maju beberapa langkah, lebih banyak bermaksud menghalangi tamunya masuk daripada untuk menyambutnya. "Salah pelayan-pelayanmu," kata Monte Cristo sambil mengusap-usap sikutnya. "Lantai ini begitu licin seperti cermin." "Terhika?" tanya Maximilien dingin. "Entahlah. Kelihatannya engkau sedang menulis." "Ya, sorang perjurit pun sekali-kali suka menulis." Monte Cristo maju lagi ke dalam. Maximilien terpaksa membiarkannya, tetapi dia mengikutinya dari belakang. Monte Cristo melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan itu dengan cepat. "Buat apa pistol-pistol ini?" tanya dia sambil menunjuk dua pucuk pistol yang terletak di meja. "Saya mau berpergian," jawab Maximilien. "Maximilien,'' kata Monte Cristo, "mari kita tanggalkan topeng masing-masing. Engkau jangan menipu aku lagi dengan ketenanganmu itu, dan aku tidak akan menipumu lagi dengan kekhawatiran yang membuang-buang waktu. Engkau tentu mengerti, kalau aku terpaksa mendobrak kamar seorang kawan tentu aku didorong oleh ketakutan yang bukan main-main. Maximilien, engkau mau membunuh diri!" Maximilien terperanjat. "Dari mana dapat pikiran itu, Count?" "Saya ulangi, engkau mau membunuh diri. Inilah buktinya!" Monte Cristo berjalan ke meja, mengambil surat yang sedang ditulis» yang disembunyikan di bawah kertas lain. Maximilien bergerak untuk merebutnya, tetapi Monte Cristo mendahului memegang pergelangan tangannya dengan kuat sekali. "Apa salahnya saya membunuh diri?" tanya Maximilien yang sudah mulai kehilangan ketenangannya. "Siapa yang berani menghalangi? Kalau saya mengatakan, 'Semua harapan saya telah musnah, hati telah hancur, ludup sudah berakhir dan tak ada apa-apa lagi sekelilingku kecuali kesedihan dan kepedihan,* siapa yang akan menjawab, 'Engkau keliru?' Beranikah Tuan mengatakan itu, Count?" "Ya, aku berani" jawab Monte Cristo dengan ketenangan yang bertentangan sekali dengan kemarahan Maxi-rnilien- " "Tuan!" jawab Maximilien keras karena kemarahannya meningkat. "Tuan telah membujuk saya dengan janji-janji palsu ketika saya masih mungkin menolong Valentine atau sekurang-kurangnya melihat dia melepaskan nyawanya dalam pelukan saya! Tuan berlagak berlaku seperti Tuhan, padahal Tuan sama sekali tidak mampu memberi penawar kepada gadis yang kena racun!" "Maximilien . . "Tuan meminta saya membuka topeng, saya telah melakukannya! Ketika Tuan mengikuti saya ke pekuburan saya berbicara kepada Tuan dengan sopan karena saya berhati baik. Tetapi, karena Tuan telah datang ke mari untuk mencampuri urusan saya dalam kamar ini yang akan menjadi tempat kuburan saya, dan karena Tuan datang membawa penderitaan baru pada saat saya mengira dapat menghabisi semua penderitaan, maka mau tak mau Tuan harus menyaksikan matinya seorang sahabat!" Maximilien berusaha melepaskan diri hendak mengambil pistolnya dibarengi tawa seorang gila, tetapi Monte Cristo, dengan mata berkilat-kilat mencegahnya sekali lagi dengan berkata, "Maximilien, jangan bunuh diri!" "Silakan cegah saya, kalau dapat!" jawab Maximilien, masih tetap berusaha mengambil pistol, namun tak berdaya dalam pegangan Monte Cristo yang kuat sekali. "Aku akan mencegahmu!" "Siapakah Tuan sebenarnya, sehingga berani berlaku kasar kepada orang yang merdeka untuk membuat keputus-san sendiri7" "Siapa aku? Dengarkan, akan kukatakan. Aku adalah satu-satunya orang dalam dunia ini yang berhak berkata kepadamu: "Maximilien, aku tidak akan memperkenankan anak ayahmu mati hari ini,** "Apa hubungannya dengan ayah saya? Apa sebab Tuan mencampuradukkan urusan beliau dengan apa yang terjadi atas diri saya hari ini?" "Oleh karena aku adalah orang yang menyelamatkan jiwa ayahmu pada hari beliau berniat membunuh diri, sama seperti engkau mau bunuh diri pada hari ini. Karena akulah orangnya yang mengirimkan dompet sutra kepada adikmu dan mengirimkan kapal Pkaraon kepada ayahmu Karena aku adalah Edmond Dantes, yang dahulu biasa memmang-riimangmu ketika engkau masih kecil!" Maximilien mundur karena terperanjat. Seluruh tenaganya seakan-akan menghilang sehingga dia terjatuh ke lantai. Tiba-tiba berdiri kembali dan berlari ke luar kamar sambil berteriak-teriak, "Julie! Julie! Emmanuel! Emmanuel!" Monte Cristo mencoba mengejarnya, tetapi Maximilien telah mengunci pintunya dan menahannya dari luar dengan sekuat tenaga seakan-akan lebih baik mati daripada membiarkan Monte Cristo membukanya. Julie dan Emmanuel berlari ke atas mendengar teriakan MaximOien. Maximilien membuka pintu dan membimbing mereka masuk; lalu dia berkata dengan suara tertahan oleh perasaan hati, "Berlutut! Inilah pelindung keluarga kita, orang yang menyelamatkan jiwa ayah. Tuan ini adalah ..." Maximilien bermaksud mengatakan 'Edmond Dantes*, tetapi Monte Cristo mencegahnya dengan menekan lengannya. Julie merangkul tangan Monte Cristo, sedang Emmanuel merangkul tubuhnya, dan Maximilien berlutut di hadapan Monte Cristo sekali lagi. Pad-1 saat itu, orang yang berhati baja itu merasa hatinya meleleh dalam dadanya dan seakan-akan segaris sinar meluncur dari tenggorokannya ke dalam matanya. Dia menundukkan kepala dan menangis. Ketika Julie sudah agak tenang kembali dari lonjakan kegembiraan, dia berlari ke bawah untuk mengambil dompet yang disimpan dalam bola dunia dari kristal. Sementara itu Emmanuel berkata, "Tuan, Tuan pernah mendengar kami membicarakan pelindung yang tidak kami kenal, dan Tuan melihat pula betapa rasa hutang budi kami kepadanya . . . mengapa Tuan menunggu begitu lama untuk membukakan rahasia ini?" "Kawan," jawab Monte Cristo, "mengapa sampai raliasia ini terbuka sekarang, biarlah tetap menjadi rahasia. Tuhan adalah saksinya bahwa aku sebenarnya menghendaki rahasia itu terkubur dalam lubuk liati sampai akhir hidup, tetapi Maximilien telah mencungkilnya dengan kekerasan yang saya kira dia pun menyesalkannya sekarang.'* Melihat Maximilien duduk di kursi termenung tanpa tenaga, Monte Cristo menambah lagi dengan perlahan-lahan, "Perhatikan dia." "Mengapa?" tanya Emmanuel heran. "Saya tidak dapat mengatakan mengapa, tetapi perhatikan saja" Emmanuel melihat ke seluruh ruangan dan akhirnya dia menemukan pistol-pistol Maximilien. Dia menatap benda-benda itu dengan cemas dan perlahan-lahan telunjuknya menunjuk pistol-pistol itu. Monte Cristo mengangguk. Emmanuel bergerak ke arah pistol, tetapi Monte Cristo mencegahnya dengan berkata, "Biarkan saja." Monte Cristo menghampiri Maximilien lalu memegang tangannya. Gejolak perasaan yang menggoncangkan batin anak muda itu kini telah lenyap dan berganti menjadi bingung. Julie masuk kembali dengan membawa dompet sutera di tangannya. Butir-butir air mata kegembiraan mengalir di pipinya. "Inilah jimat itu," katanya. "Jangan Tuan mengira bahwa nilainya menjadi berkurang setelah penyelamat yang sebenarnya telah diketahui." "Kembalikanlah kepada saya," kata Monte Cristo, pipinya merah. "Oleh karena engkau tokh sudah mengenal wajahku, say ingin dikenang hanya dengan rasa kasih sayang secara langsung, kalau boleh saya memintanya." "Oh, jangan!" jawab Julie sambil menekankan dompet itu ke dadanya. "Jangan Tuan minta kembali . . . saya takut Tuan akan meninggalkan kami!" "Dugaanmu benar sekali," jawab Monte Cristo tersenyum. 'Dalam minggu ini juga saya bermaksud meninggalkan negri ini, negri di mana banyak orang yang patut mendapat .hukuman Tuhan hidup berbahagia, padahal ayahku sendiri meninggal karena kelaparan dan kesedihan." Ketika mengucapkan ini, Monte Cristo melirik kepada Maximilien, dan dia melihat bahwa kalimatnya 'Saya bermaksud meninggalkan negri ini* sama sekali tidak berpengaruh kepada Maximilien yang sedang berada dalam keadaan bingung tak menentu. Sambil memegang tangan Julie dan Emmanuel dia berkata dengan kata-kata seramah seorang ayah kepada anaknya, "Tinggalkan aku sebentar dengan Maximilien." Julie melihat kesempatan untuk membawa kembali jimat yang tidak disebut-sebut lagi oleh Monte Cristo. Dia cepat menarik suaminya ke luar kamar. ''Maximilien," kata Monte Cristo, menyentuhnya dengan jari tangannya. "Apakah engkau sudah siap untuk menjadi laki-laki lagi?" "Ya, saya sudah siap menderita lagi." Monte Cristo mengerutkan dahinya. "Maximilien, engkau hanyut terbawa pikiranpikiran yang tidak terpuji oleh agama." "Oh, jangan khawatir," jawab Maximilien, menengadah dan tersenyum sedih. "Saya tidak akan lagi mencari kematian. Tidak, saya mempunyai yang lebih baik dari pistol untuk menyembuhkan kepedihan ini - . . kepedihan itu sendiri akan mematikan," "Sahabat," kata Monte Cristo dengan nada suara yang sama mengharukannya, "dengarkan baik-baik: Pada suatu hari, pada saat hilangnya semua harapan, aku pun pernah mau bunuh diri. Bila pada waktu seperti itu, pada waktu ayahmu mengarahkan pistol ke pelipisnya, atau ketika aku menolak semua makanan selama tiga hari, ada orang yang berkata kepada kami: Tabahkan hati dan berusaha tetap hidup, karena akan datang suatu hari di mana engkau akan merasa berbahagia dan menghargai hidup,1 kami pasti akan tersenyum pahit tidak percaya atau menampiknya dengan marah. Tetapi kemudian, betapa seringnya ayahmu menyatakan penghargaannya terhadap hidup dan kehidupan, dan betapa sering pula aku sendiri . . ." 'Tuan hanya kehilangan kemerdekaan," sela Maximilien, "dan ayah hanya kehilangan kekayaan, tetapi saya kehilangan Valentine!" "Perhatikan aku,Maximilien," kata Monte Cristo dengan air muka yang begitu mengesankan yang dalam banyak kejadian begitu berwibawa sehingga orang yang melihatnya tidak mampu menentangnya. "Tak ada air mata dalam mataku, tak ada rasa sakit dalam hatiku dan tak ada kegelisahan dalam perangaiku, padahal sekarang aku sedang menyaksikanmu, engkau yang sangat kucintai seperti anakku sendiri, menderita. Bukankah itu berarti penderitaan itu sendiri berarti hidup. Bukankah itu berarti bahwa masih ada sesuatu rahasia di balik itu? Aku minta engkau percaya, Maximilien, kalau aku memintamu untuk tetap hidup, berarti aku sendiri yakin bahwa pada suatu hari kelak engkau akan berterima kasih karena aku telah menolong hidupmu." "Oh. Tuhan! Apa yang Tuan katakan? Rupanya Tuan tidak pernah jatuh cinta." "Anakku!'* "Saya berbicara tentang cinta sejati," lanjut Maximilien. "Saya telah menjadi perjurit sejak menginjak dewasa. Saya telah hidup sampai berumur dua puluh sembilan tahun tanpa pernah jatuh cinta karena Selama itu cinta tidak berarti apa-apa bagi saya. Semenjak bertemu dengan Valentine, kebahagiaan saya sempurna, tak ada bandingannya. Suatu kebahagiaan yang terlampau agung, terlampau sempurna untuk dapat ditemukan dalam dunia ini. Sekarang setelah dia pergi, tak ada lagi yang tersisa bagi saya kecuali hati yang luluh dan harapan yang punah." "Sudah aku katakan agar engkau tetap berpengharapan, Maximilien." "Harap hati-hati, Count Tuan bermaksud membujuk saya lagi, dan kalau Tuan lakukan itu, saya akan kehilangan akal sehat saya karena mungkin Tuan akan membuat saya percaya bahwa saya akan bertemu lagi dengan Valentine." Monte Cristo tersenyum. "Sekali lagi saya harap Tuan berhati-hati!" kata Maximilien, meluncur dari ketinggian semangat ke kedalaman putus asa. "Tuan tidak lebih dari seorang ibu yang baik, atau barangkali seorang ibu yang mementingkan diri sendiri, yang membujuk-bujuk anaknya yang sedang menangis dengan kata-kata manis oleh karena tangisnya sudah menjengkelkan. Tidak saya keliru dengan meminta Tyan berhati-hati. Jangan khawatir. Saya akan mengubur kepedihan itu dalam lubuk hati, dan saya akan merahasiakannya demikian sempurna sehingga Tuan tidak akan menyangka saya bersedih hati. Selamat tinggal, kawan." "Tidak, Maximilien, tidak ada selamat tinggal. Mulai sekarang engkau tinggal bersamaku dan dalam tempo seminggu kita akali meninggalkan Perancis bersama-sama." "Dan Tuan akan tetap meminta saya untuk tidak berputus asa?" "Ya, karena aku tahu bagaimana menyembuhkanmu." "Count, Tuan membuat saya lebih sakit kalau hal itu mungkin. Tuan melihat kesedihan saya sebagai kesedihan biasa dan Tuan mengira dapat menyembuhkan saya dengan obat yang biasa pula: bepergian." Maximilien menggelengkan kepala tak percaya. "Aku percaya kepada janji-janjiku sendiri," kata Monte Cristo. "Beri aku kesempatan mencobanya." "Tuan hanya memperpanjang dukacita saya." "Apakah hatimu begitu lemah sehingga tidak kuat memberi kesempatan beberapa hari kepada sahabatmu membuktikan janjinya? Tahukah engkau apa yang dapat diperbuat oleh Count of Monte Cristo? Tahukah engkau bahwa dia menguasai sebagian besar dari kekuatan-kekuatan duniawi ini? Tahukah engkau bahwa dia mempunyai kepercayaan yang teguh kepada Tuhan untuk meminta keajaiban-keajaiban dari Dia yang pernah berkata bahwa dengan kepercayaan orang dapat menggeserkan sebuah gunung? Aku minta engkau menunggu keajaiban ini, kalau tidak . . ." "Kalau tidak?" "Aku akan menyebutmu orang yang tak tahu terima kasih." "Maafkan saya, Count!" "Dengarkan, Maximilien. Aku begitu mengasihammti sehingga apabila aku tidak berhasil menyembuhkanmU dalam tempo sebulan, aku-sendiri yang akan menghadap* kanmu kepada pistol ini dan sebotol racun yang paling mematikan di Italia, racun yang lebih cepat dan lebih mematikan daripada racun yang digunakan untuk membunuh Valentine." "Tuan mau berjanji begitu?" "Bukan hanya berjanji, melainkan bersumpah!" jawab Monte Cristo sambil memegang tangan Maximilien. "Dalam tempo sebidai., demi kehormatan Tuan, apabila saya tetap tidak tersembuhkan, Tuan akan membiarkan saya menentukan hidup saya sendiri4 seperti yang saya sukai, dan apa pun yang saya iakukan Tuan tidak akan mengatakan saya tidak tahu terima kasih." "Tepat sebulan sejak hari ini, dan hari ini adalah hari keramat. Aku tidak tahu apakah engkau menyadari bahwa liari ini tanggal lima September. Sepuluh tahun yang lalu, tepat pada tanggal ini aku menyelamatkan jiwa ayahmu ketika beliau mau mengakhiri hidupnya." Maximilien mengambil tangan Monte Cristo lalu menciumnya. Monte Cristo membiarkannya, seakan-akan dia menganggap penghormatan itu wajar saja. "Sebulan sejak hari ini, pada tanggal dan jam yang sama," lanjut Monte Cristo, "kita akan duduk berhadapan dengan senjata yang baik dan racun yang nyaman di atas meja antara kita. Sebagai imbalan, maukah engkau berjanji akan tetap tabah sampai waktu itu?" "Saya bersumpah." Monte Cristo mendekapkan anak muda itu ke dadanya untuk beberapa lama. "Sekarang," katanya, "engkau tinggal di rumahku. Engkau boleh memakai kamar Haydee." "Haydee? Ke mana dia?" "Dia sudah berangkat tadi malam. Dia menunggu aku menyusulnya. Bersiap-siaplah untuk pindah ke Champs Elysees, tetapi sebelum itu, |pk>ng saya, keluarkan dahulu dari rumah ini tanpa dilihat orang," Maximften mengangguk, lalu menurut seperti anak kecil . . . atau seperti seorang murid. BAB LXIII ALBERT dan ibunya menyewa sebuah kamar di lantai tiga di sebuah hotel di Rue SainPGermain-des-Pres. Kamar lain di lantai kedua disewa oleh seorang laki-laki yang sangat aneh. Penyewa ini tidak pernah kelihatan wajahnya baik ketika memasuki maupun ketika keluar dari kamarnya, bahkan juga tidak oleh penjaga pintu. Ini disebabkan, kalau musim salju dia selalu membungkus wajahnya dengan selendang merah, sedang di musim panas ia selalu memalingkan wajah kalau melalui penjaga. Kedatangannya selalu teratur. Dia datang menjelang jam empat sore, tetapi tidak pernah menginap di kamarnya. Dua puluh menit setelah dia masuk kamar, selalu saja datang sebuah kereta yang membawa seorang wanita yang berpakaian hitam atau warna gelap dan selalu memakai cadar. Setelah melalui penjaga wanita itu biasanya terus langsung naik tangga dengan langkah-langkahnya yang ringan tidak bersuara. Tidak ada. orang yang iseng menanyakan siapa yang hendak dikunjunginya. Oleh sebab itu pula wajahnya tidak pernah diketahui oleh penjaga yang dua orang itu Barangkali hanya kedua orang itulah dari seluruh penjaga hotel di Paris yang mampu menahan diri tidak mencampuri urusan orang lain. Wanita itu tidak pernah naik ke tingkat lebih atas dari lantai dua. Di sana dia mengetuk pintu kamar dengan cara tertentu, lalu pintu akan terbuka, dan dia segera masuk kemudian pintu cepat-cepat ditutup rapat-rapat lagi. Demikian pula caranya mereka meninggalkan hotel. Dengan tetap bercadar wanita itu selalu keluar lebih dahulu, naik ke dalam keretanya lalu berangkat, sekali menuju ke arah sana, lain kali mengambil arah" yang lain. Dua puluh menit kemudian baru yang laki-laki keluar, wajahnya tertutup selendang atau saputangan, lalu menghilang. Pada hari Monte Cristo mengunjungi rumah Danglars, atau pada hari penguburan Valentine, penghuni kamar yang penuh rahasia ini datang pada jam sepuluh pagi, bukan jam empat sore. Beberapa saat kemudian, sebuah kereta datang, dan wanita ben:andar itu berlari menaiki tangga ke lantai dua. Pintu kamar terbuka dan menutup lagi setelah wanita itu masuk. Tetapi sebelum pintu itu rapat betul wanita itu sudah berteriak, "Oh, Lucien!" Mau tak mau penjaga di bawah mendengar teriakan ini. Baru kali inilah dia mendengar bahwa penyewa kamar itu bernama Lucien. Namun, sebagai seorang penjaga hotel teladan ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak memberitahukan kepada istrinya. "Ada apa?" tanya laki-laki itu. "Bisa aku mengharapkan bantuanmu?" "Tentu saja, engkau tahu itu. Tetapi katakan dahulu ada apa? Suratmu tadi pagi sangat mencemaskan." "Lucien, suamiku telah pergi tadi malam." "Pergi? Tuan Danglars pergi? Ke mana?" 'Tidak tahu." "Maksudmu, dia pergi untuk selama-lamanya?" "Aku kira begitu. Dia meninggalkan surat. Ini, baca saja." Nyonya Danglars mengeluarkan sepucuk surat dan menyerahkannya kepada Debray. Debray menerimanya dan membaca kalimat: "Kepada istriku yang setia." Tanpa sadar dia berhenti dan melihat kepada Nyonya Danglars, yang pipinya menjadi merah padam. "Baca," katanya. # Debray melanjutkan membaca: Kalau engkau membaca surat ini, engkau sudah tidak mempunyai suami lagi. Oh, jangan terlampau terkejut dahulu: engkau tidak mempunyai suami dalam arti kata sama dengan engkau tidak mempunyai anak lagi. Dengan kata-kata lain, aku sudah berada di salah satu dari empat puluh jalan yang menuju ke luar Perancis. Aku wajib memberi penjelasan, dan engkau adalah wanita yang dapat memahaminya dengan baik. Tadi pagi aku harus melakukan pembayaran sebanyak lima juta frank, dan aku memenuhinya. Tetapi hampir pada saat yang bersamaan, permintaan lain untuk jumlah yang sama diajukan kepadaku. Aku menangguhkannya sampai besok. Aku pergi hari ini untuk menghindari hari esok itu yang akan sangat tidak menyenangkan bagiku. Engkau tentu mengerti, bukan? Engkau akan dapat memahaminya karena engkau mengetahui semua persoalanku seperti aku sendiri. Bahkan sebenarnya, engkau lebih mengetahui daripada aku sendiri, karena bila ada orang bertanya apa yang terjadi dengan setengah dari kekayaanku yang pernah menakjubkan orang, aku tidak akan dapat menjawabnya, sedangkan engkau aku yakin dapat memberikan jawaban yang masuk akal. Pernahkah engkau kagum akan kecepatan kejatuhanku, Nyonya? Pernahkah engkau merasa heran melihat betapa mendadaknya emasku mencair dan menguap? Aku mengakui, aku pun bingung. Aku hanya mengharap mudah-mudahan engkau masih dapat menemukan beberapa keping dari puing-puing kehancuranku. Dengan harapan itulah aku pergi, wahai istriku yang baik dan bijaksana, tanpa sedikit pun merasa1 mentelantarkanmu. Engkau masih mempunyai kawan-kawan, puing-puing yang kumaksud tadi, dan terutama sekali engkau mempunyai kemerdekaan yang kuberikan lebih cepat. Sekarang baiklah kutambahkan beberapa penjelasan pribadi. Sepanjang engkau berusaha untuk kepentingan keluarga kita atau demi masa depan kita, aku bersedia menutup mata. Tetapi karena ternyata engkau justru menghancurkan keluarga kita, aku berkeberatan untuk menjadi sumber kekayaan orang lain. Engkau memang kaya, tetapi kurang dihormati orang ketika aku mengawinimu (maafkan karena berbicara terus-terang). Tetapi karena aku percaya bahwa hanya engkau sendiri yang akan membaca surat ini aku tak melihat alasan mengapa aku harus memilih kata-kata ini. Aku berhasil melipatgandakan kekayaan kita, yang terus meningkat selama lima belas tahun sampai terjadinya serangkaian musibah yang sampai sekarang tetap tidak dapat aku pahami. Yang pasti bukan karena kesalahanku. Sebaliknya engkau berusaha hanya untuk menambah kekayaanmu sendiri, dan aku percaya engkau berhasil. Aku tinggalkan engkau sekarang dalam keadaan seperti ketika aku menemukarimu dahulu, dengan kekayaan yang lumayan dan nama yang tidak begitu baik. Mulai hari ini aku pun akan bekerja untuk diriku sendiri. Tenma kasih untuk teladan yang kauberikan kepadaku.Suamimu yang tercinta BARON DANGLARS Nyonya Danglars tidak melepaskan pandangannya kepada Debray selama dia mambaca surat yang panjang dan pedih itu. Dua kali dia melihat pipi Debray memerah, padahal laki-laki itu terkenal kuat menguasai diri. Dengan tenang Debray melipat kembali*surat itu dan diam untuk beberapa lamanya. "Bagaimana?" tanya Nyonya Danglars. "Bagaimana?" tanya Debray kembali seperti tak acuh- "Apa pendapatmu sesudah membaca surat itu?" "Sederhana sekali. Pendapatku, suamimu itu menaruh sesuatu kecurigaan.** "Jelas, tetapi hanya itukah pendapatmu?" "Aku tidak mengerti;" jawab Debray dingin. "Dia sudah pergi . . . pergi untuk selama-lamanya! Dia tidak akan kembali!** "Aku kira tidak." "Tidak, dia tidak akan kembali. Aku cukup mengenalnya. Dia teguh sekali kalau sudah mengenai kepentingannya sendui. Kalau dia-berpendapat aku dapat berguna baginya, tentu aku sudah dibawanya. Ternyata dia meninggalkan aku di Paris, berarti perceraian adalah rencananya selanjutnya. Ini tidak perlu disangsikan lagi, dan aku merdeka untuk selama-lamanya," kata Nyonya Danglars dengan air muka mengharap. Tetapi Debray tidak mengacuhkannya. "Apa tak ada yang akan kaukatakan?" akhirnya dia bertanya. "Aku hanya mempunyai sebuah pertanyaan: apa rencanamu?** "Justru aku yang mau menanyakan itu kepadamu," kata Nyonya Danglars, hatinya harap-harap cemas. "Maksudmu engkau meminta nasihatku?" "Betul . . . aku minta nasihatmu»** jawab Nyonya Danglars harapannya mulai menipis. "Karena engkau meminta," jawab Debray masih tetap dingin, "aku sarankan untuk bepergian.** "Bepergian!" "Ya, bepergian. Seperti kata suamimu, engkau kaya dan merdeka, dan aku pikir menyingkir dari Paris perlu sekali bagimu setelah mengalami musibah ganda, yaitu putusnya pertunangan putrimu dan menghilangnya suamimu. Engkau harus berusaha sedemikian rupa sehingga orang percaya bahwa engkau ditelantarkan oleh suamimu dan mengira engkau miskin. Tetaplah di Paris untuk beberapa minggu dan ceriterakan kepada kawan-kawanmu bagaimana engkau ditinggalkan oleh suamimu. Mereka akan menceriterakan-nya kembali kepada yang lain-lain Setelah itu barulah pergi, dan tinggalkan semua perhiasanmu. Percayalah, semua orang akan berpihak kepadamu. Selanjutnya masyarakat akan beranggapan bahwa engkau benar-benar ditinggalkan kabur dan miskin, karena hanya akulah yang tahu tentang keadaan keuanganmu. Dan sekarang aku sudah siap untuk membagi keuntungan kita sebagai rekan yang jujur.'* Nyonya Danglars mendengar kata-kata ini dengan kecemasan dan keputusasaan yang setara dengan ketenangan dan ketidakacuhan Debray. "Ditinggal kabur!" kata Nyonya Danglars mengulang. "Ya, aku ditinggal kabur. Orang tak akan menyangsikan nya." Hanya itulah jawaban yang dapat diberikan Nyonya Bar on yang sudah hilang harapannya untuk menjadi istri Debray. "Jangan lupa, engkau ini kaya, kaya sekali" lanjut Debray sambil mengeluarkan seberkas kertas dari tasnya, lalu membeberkannya di atas meja. Nyonya Danglars sedang sibuk menahan debar jantung dan air mata yang terasa sudah mendesak. Rasa harga dirinya menang, sekalipun hatinya masih tetap berdebar-debar, namun ia berhasil menahan air mata. "Kita sudah bekerjasama selama enam bulan," kata Debray. "Engkau mulai menurunkan model seratus ribu frank. Kita membangun kerjasama ini dalam bulan April dan mulai bergerak sejak Mei. Dalam bulan Mei kita mendapat untung empat ratus lima puluh ribu frank. Bulan Juni keuntungan kita bertambah dengan sembilan ribu. Bulan Juli kita memperoleh satu juta tujuh ratus frank — ini dari saham-saham Spanyol itu. Permulaan bulan Agustus kita merugi tiga ratus ribu,' tetapi pada tanggal lima belas bulan itu juga kita berhasil meraihnya kembali. Keuntungan kita sejak permulaan sampai hari kemarin menunjukkan jumlah dua juta empat ratus ribu frank, atau satu juta dua ratus ribu untuk masing-masing. Uangmu ada di sini sekarang. Aku menganggap lebih aman membawanya selalu daripada menyimpannya di rumah atau menitipkannya kepada notaris." Setelah mula-mula membuka lemari, lalu koper, Debray berkata lagi, "Ini, delapan ratus lembar uang kertas seribuan, dan ini surat berharga yang dapat ditukarkan setiap saat. Karena bankirku bukan Tuan Danglars, engkau boleh yakin bahwa surat ini dapat segera ditukarkan dengan uang tunai." Kekayaan yang begitu banyak yang terletak di atas meja, sama sekali tidak memberikan kesan apa-apa kepada Nyonya Danglars. Dengan mata kering tetapi hati bengkak karena sedih, dia mengambil uang itu, lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Setelah itu dia menanti dengan penuh harap akan kata-kata manis Debray. Namun harapannya sia-sia. "Dengan kekayaan itu," kata Debray, "engkau akan mempunyai penghasilan sebanyak sekitar empat puluh ribu frank setahun, suatu jumlah yang cukup besar untuk seorang wanita yang tidak akan berumah tangga sekurang-kurangnya setahun lagi. Jumlah itu akan dapat memenuhi semua keinginan apa saja yang timbul dalam hatimu." Tanpa menunjukkan tanda-tanda marah, tetapi juga tanpa ragu-ragu Nyonya Danglars mengangkat kepala, membuka pintu lalu berlari ke luar, bahkan juga tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada laki-laki yang memperlakukannya begitu rupa. Dengan tenang Debray mengambil buku catatannya, lalu menuliskan jumlah yang baru dibayarkannya. Di atas kamar Debray, ada kamar lain yang dihuni oleh dua orang lain. Mercedes dan Albert. Mercedes berubah banyak sekali dalam beberapa hari ini Matanya sudah tidak bercahaya lagi, bibirnya sudah tidak berhiaskan senyuman lagi, dan kebingungannya menghilangkan kefasihan bicaranya. Bukan kemiskinan itu yang mematahkan semangatnya, bukan pula karena keberanian untuk menanggung kemiskinan, sekalipun tak dapat disangkal bahwa apa yang berada di sekelilingnya menunjukkan tanda-tanda kemiskinan. Dinding kamar dilapisi dengan kertas dinding berwarna abu-abu yang sengaja dipipih oleh pemilik hotel agar tidak lekas kotor. Perabotan kamarnya seakanakan berteriak-teriak meminta perbaikan. Pendeknya segala apa yang berada dalam kamar itu sangat tidak menyenangkan bagi orang yang sudah terbiasa dengan kemewahan dan selera yang tinggi. Albert berusaha menyesuaikan diri dengan keadaannya sekarang, tetapi hatinya masih terganggu juga karena masih ada sisa-sisa kemewahan yang melekat pada dirinya. Dia menganggap tangannya terlalu putih bersih untuk tidak mengenal sarung tangan, dan berpendapat sepatunya masih terlalu mengkilap untuk berjalan kaki sepanjang jalan. "Ihu," katanya, pada saat Nyonya Danglars meninggalkan kamar Debray, "mari kita hitung kekayaan kita. Saya perlu tahu untuk dapat menentukan rencana saya." "Jumlahnya, nol," kata Mercedes dengan senyum sedih. "Tidak? Jumlahnya tiga ribu frank, dan saya kira kita dapat hidup lumayan dengan jumlah itu." "Anakku!" Mercedes mengeluh- "Mengapa? Tiga ribu jumlah yang cukup besar. Saya sudah merencanakan masa depan yang meyakinkan dengan jumlah itu." 'Terlebih dahulu harus kita tetapkan, apakah kita akan menerima jumlah yang tiga ribu itu?" tanya Mercedes, pipinya memerah. "Saya kira kita sudah sepakat untuk menerimanya, terutama sekali karena uang itu masih tetap terkubur dalam kebun rumah di Marseilles. Kita mempunyai bekal yang memadai untuk bepergian sampai Marseilles. Saya telah menjual arloji saya seharga seratus frank, dan itu belum semua . . . apa pendapat Ibu tentang ini?" Albert mengeluarkan uang kertas seribu frank. "Dari mana kaudapat itu?" "Begini, tetapi harap Ibu jangan terkejut. Saya telah mendaftarkan diri masuk resimen Spahis kemarin- Saya sadar, sekurang-kurangnya badan saya adalah milik sendiri, oleh karena itulah kemarin saya menjual diri menjadi perjurit. Ternyata saya menerima lebih besar daripada yang saya harapkan," Albert mencoba tersenyum, "Saya akan dibayar dua ribu frank." "Jadi, yang seribu ini . . .** "Baru setengahnya Yang setengahnya lagi akan saya terima tahun depan." Dua butir air mata bergulir di pipi Mercedes. "Harga darahnya?" katanya perlahanlahan. "Kalau saya mati terbunuh, benar," jawab Albert tertawa. "Tetapi saya ingin meyakinkan Ibu bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak terbunuh dalam pertempuran. Saya- tidak pernah mempunyai gairah hidup sekuat sekarang. Selain dari itu, coba bayangkan betapa Ibu akan merasa bangga melihat saya dalam seragam yang bagus itu! Saya akui, saya memilih resimen Spahis itu semata-mata karena seragamnya yang gagah." Mercedes pun mencoba tersenyum. "Jadi," lanjut Albert, "Ibu mempunyai empat ribu frank. Dengan uang itu Ibu akan dapat bertahan untuk selama dua tahun." "Kaukira begitu?" kata-kata ini meluncur dalam nada sedih yang benar-benar murni sehingga Albert menangkap maksud yang sebenarnya. Darahnya tersirap. Dia memegang tangan ibunya dan menekannya dengan lembut, lalu berkata, "Ya, Ibu akan tetap hidup." "Aku akan hidup!" kata Mercedes, semangatnya menaik lagi. 'Tetapi hendaknya engkau jangan meninggalkanku." "Ibu," jawab Albert teguh, "Ibu begitu mencintai saya sehingga Ibu tentu tidak akan mengijinkan saya tetap menganggur dan tak berguna. Lagi pula saya sudah menandatangani kontraknya." "Bertindaklah menurut kemauanmu, anakku, dan aku akan menyerahkan diri kepada keinginan Tuhan." . "Saya tidak bertindak menurut kemauan sendiri, Ibu, melainkan menurut pemikiran dan keperluan. Kita berada dalam keadaan terdesak. Apa arti hidup buat kita sekarang? Tak ada. Dan apa arti hidup bagi saya tanpa Ibu. Saya ingin menegaskan kalau tidak untuk kepentingan Ibu, saya sudah bunuh diri pada hari saya menolak memakai nama ayah. Tetapi saya akan tetap mempertahankan hidup kalau Ibu berjanji untuk tidak putus harapan. Kalau Ibu mempercayakan kebahagiaan Ibu di masa depan ke dalam tangan saya, ini akan melipatgandakan kekuatan saya. Setelah nanti berada di Afrika, saya akan mencoba menghadap Gubernur Aljajair. Saya akan menceriterakan latar belakang kita, dan saya akan memohon agar beliau sudi memperhatikan saya sewaktu-waktu. Kalau behau mau memperhatikan saya berjuang, dalam enam bulan saja, mungkin saya sudah menjadi perwira atau menjadi mayat. Kalau saya menjadi perwira, hidup kita akan terjamin, karena saya mempunyai cukup uang dan nama baru yang dapat kita banggakan. Dan seandainya saya gugur . . . terserah kepada Ibu jalan mana yang akan Ibu tempuh untuk mengakhiri penderitaan." "Baik, anakku," jawab Mercedes dengan sorot mata bergairah. "Engkau benar, mari kita buktikan bahwa kita cukup berharga untuk disayangi orang." "Ibu dapat berangkat hari ini juga ke Marseilles. Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk perjalanan itu." "Dan engkau sendiri?" "Saya masih harus tinggal di Paris untuk dua atau tiga hari lagi Saya memerlukan surat-surat perkenalan untuk urusan di Afrika dan keterangan tertentu mengenai negn itu. Saya akan menyusul kemudian." "Baik. Kita berangkat saja," kata Mercedes, sambil melilitkan satu-satunya selendang yang ia bawa. Albert cepat-cepat membereskan surat-menyuratnya. Setelah itu dia memanggil pemilik hotel untuk membayar rekeningnya. Sambil menuntun ibunya dia menuruni tangga. Seorang laki-laki yang berjalan di mukanya, menoleh ke atas karena mendengar gemerisiknya suara pakaian wanita. "Debray!" Albert berteriak heran. "Engkau di sini, Morcerf?" jawab Debray tidak kalah heran. Dia berhenti. Keinginan tahunya lebih kuat dari pada keinginan tidak dikenal. Lagi pula dia tokh sudah diketahui Dalam cahaya remang-remang dia melihat wanita bercandar hitam di samping Albert. Dia lalu tersenyum. "Oh, maaf, aku tidak akan mengganggumu." Albert mengerti maksud Debray. "Ibu!" katanya agak keras sambil menoleh kepada Mercedes, "ini Tuan Debray, Sekertans Kementerian Dalam Negri dan bekas kawan saya." "Apa maksudmu dengan bekas kawan?" Debray heran. "Karena sekarang saya sudah tidak mempunyai kawan lagi, dan tidak boleh mempunyainya lagi. Aku berterima kasih sekali karena engkau sudi menyapa.** Debray memegang tangan Albert erat-erat. "Percayalah Albert, betapa sedihnya aku mendengar kejadian yang menimpamu dan betapa aku gembiranya kalau dapat membantumu.'* 'Terima kasih.** jawab Albert tersenyum. "Di tengah-tengah musibah itu kami masih cukup kaya untuk tidak meminta bantuan siapa pun juga. Kami akan meninggalkan Paris dengan lima ribu frank di tangan, sisa dari segala ongkos-ongkos perjalanan dan lainlain." Walaupun Debray bukan orang yang mampu menilai perbandingan-perbandingan yang puitis, namun tak urung terlintas dalam pikirannya bahwa dalam hotel yang itu, pernah ada dua orang wanita, yang satu sering dihinakan orang dan merasa tetap miskin walau mempunyai satu setengah juta frank di tangannya, sedang yang seorang lagi ditimpa musibah bukan karena kesalahannya, namun tetap tabah dan merasa kaya dengan hanya beberapa ribu frank. Perbedaan ini sangat mempengaruhinya, sehingga dia terlupa kepada sopan santun. Dia berkata perlahan4ahan kepada dirinya sendiri, lalu pergi cepatcepat tanpa pamit. Pada hari itu, anak buahnya di kantor banyak menderita karena Debray sering marah-marah tak menentu. Tetapi pada malam harinya, dia sudah berbahagia lagi karena berhasil memiliki sebuah rumah indah dan mempunyai penghasilan lima puluh ribu frank setahun. Setelah mencium dan dicium anaknya dengan mesra, Mercedes naik ke atas sebuah kereta pos sekira jam lima sore. Seorang laki-laki mengawasi kepergiannya dari sebuah tempat tersembunyi Sambil mengusap dahinya, laki-laki itu berkata kepada dirinya sendiri: ''Bagaimana saya harus mengembalikan kebahagjan yang telah kurenggut dari kedua orang yang tidak berdosa itu? Semoga BAB LX TIuVhan menolongku." SALAH satu sudut dalam penjara La Force yang digunakan untuk menyekap penjahatpenjahat yang paling berbahaya di sebut Istana Saint Bernard. Tetapi penghuninya sendiri menyebutnya *Sarang Singa*. Mungkin karena para penghuninya mempunyai gigi tajam untuk menggigit jeruji-jeruji besi atau kadang-kadang menggigit para penjaga Tempat itu merupakan penjara dalam penjara. Dindingnya dua kali lebih tebal dari bagian-bagian lain. Setiap hari sipirnya memeriksa jeruji-jeruji jendelanya. Para penjaganya yang bertubuh kekar dan bermata cerdik semuanya orang pilihan untuk menguasai segala kehebohan yang mungkin terjadi. Pekarangannya dikelilingi lagi oleh dinding tinggi tebal. Di situlah berkeliaran dari pagi sampai malam orang-orang yang oleh hukum diancam dengan pisau gilyotin. Seorang anak muda berjalan-jalan dengan tangan di kantong jasnya. Hampir semua penghuni Sarang Singa memperhatikannya dengan seksama. Dari pakaiannya, anak muda ini tampak sebagai orang baik-baik dan terhormat, seandainya1 berada di luar penjara. Pakaiannya belum lusuh atau cabik-cabik, dibuat dari bahan yang mahal. Sepatunya tetap mengkilap berkat kerajinannya menggosok dengan sudut-sudut saputangannya. Dari sebuah pintu kecil terdengar orang Berteriak, "Benedetto!** "Engkau memanggilku? " jawab narapidana itu. "Ke ruang tamu!" Andrea terkejut, karena tidak seperti narapidana lain, ia tidak pernah merasa memanfaatkan kesempatan menulis surat ke luar untuk meminta dikunjungi. "Aku rupanya berada di bawah lindungan suatu kekuasaan tertentu " katanya kepada dirinya sendiri. Segala galanya membuktikan itu. Kekayaan yang mendadak, kemudahan mengatasi semua rintangan, keluarga yang tiba-tiba muncul, gelar baru dan kesempatan mengawini seorang putri hartawan. Pelindungku meninggalkanku sekarang, namun aku kira tak akan lama. "Mengapa aku harus terburu-buru? Ini bisa mempengaruhi niat baik pelindungku. Ada dua jalan buat dia menolongku: pertama, mengatur pelarian rahasia dengan penyuapan, atau dengan cara apa pun menekan hakim untuk memutuskan aku tidak bersalah. Aku tidak akan berbuat apa pun sebelum aku yakin benar bahwa aku betul-betul ditinggalkan oleh pelindungku, tetapi..." Andrea telah merancang suatu rencana yang cerdik seka li. Anak muda ini berani dalam menyerang dan ulet dalam mempertahankan diri. Daya tahannya pernah kuat sekali berkat kekerasan dan kekejaman hidup dalam penjara. Namun demikian, sedikit demi sedikit alam atau mungkin juga kebiasaan telah me ubah daya tahannya itu. Dia sudah mulai merasa tersiksa oleh keburukan pakaian, kekotoran dan kelaparan. Menunggu dan berharap sudah dirasakannya berat sekali. Dalam keadaan demikian ia dipanggil. Hatinya me* lonjak gembira. Dia diantar penjaga ke sebuah ruangan yang dibagi menjadi dua bagian dengan jeruji besi sebagai penyekat. Di bagian yang sebelah lagi dia melihat Bertu ceio. "Hallo, Benedetto," katanya dengan nada suara yang dalam. "Engkau!" Andrea terkejut, matanya liar ketakutan. "Engkau tidak mengenalku lagi, Benedetto? " "Jangan keras-keras!" jawab Benedetto yang tahu bahwa dinding-dinding berkuping. "Engkau mau kita berbicara dengan aman?" "Ya!" Bertuccio mengambil sesuatu dari dalam sakunya, lalu berkata kepada seorang penjaga yang kelihatan melalui sebuah jendela berterali. "Baca ini." "Apa itu?" tanya Andrea. "Surat perintah untuk memberimu kamar tersendiri dan yang membolehkan aku berbicara denganmu di sana.*' "Oh!** Dan segera pula dia berkata kepada dirinya sendiri. 'Telindung yang tidak dikenal itu! Dia tidak melupa-kanku. Bertuccio diutus olehnya.** Penjaga berunding dengan atasannya. Setelah itu membawa Andrea ke sebuah kamar di lantai dua yang menghadap ke pekarangan. Dinding kamar itu putih dikapur, seperti biasanya dalam sebuah penjara. Untuk Andrea merupakan suatu kemewahan yang mempesonakan. Di dalamnya terdapat: tungku api, sebuah ranjang, sebuah kursi dan meja. Bertuccio duduk di kursi, Andrea melonjor di ranjang, dan penjaga itu pergi. "Nah, apa yang hendak kaukatakan sekarang?" tanya Bertuccio. "Dan engkau sendiri?" "Engkau dahulu." "Tidak. . . . engkaulah yang menemuiku." "Baik. Engkau tidak merubah tingkah lakumu Engkau telah mencuri dan membunuh." "Kalau itu yang hendak kaukatakan, sebenarnya engkau tak perlu bersusah-payah memberiku kamar tersendui ini. Aku tahu aku tidak berubah. Tetapi masih banyak yang tidak kauketahui. Sebab itu lebih baik kita bicara tentang yang belum kauketahui itu, kalau engkau tidak berkeberatan. Pertama-tama, siapa yang mengutusmu ke mari?" "Rupanya engkau kurang sabar, Benedetto!" "Betul,jangan-kita-membuang-buang-waktu.Siapa-yang mengutusmu?" "Tidak ada." "Bagaimana engkau tahu aku di sini?" "Aku mengenalimu sebagai laki-laki pesolek yang sombong ketika engkau sering berkereta sepanjang Champs Elysees." "Champs Elysees! Nah kita sudah makin dekat kepada titik persoalan. Coba ceriterakan tentang ayahku." "Siapa kaukira aku ini?" "Ayah tiri, wahai kawan yang baik. Tetapi aku tidak percaya bahwa engkaulah yang memberiku seratus ribu frank yang sudah aku habiskan dalam lima bulan. Bukanlah engkau pula yang tiba-tiba memberiku seorang ayah bangsawan Italia. Bukan engkau yang memperkenalkan aku ke dalam masyarakat Perancis dan sebuah pesta makan di Auteuil. Dan aku kira bukan engkau pula yang mendukung aku dengan dua juta frank, ketika aku akan kawin dengan anak hartawan. Sayang sekali batal karena kecelakaan." "Apa yang mau engkau dengar7" tanya Bertuccio. "Karena engkau mengatakan Champs Elysees, mulailah dari sana," "Maksudnya?" "Ada seorang hartawan tinggal di jalan Champs Elysees itu." "Di mana engkau membunuh dan merampok?" "Ya, aku kira begitu." "Eru^cau berbicara tentang Count of Monte Cristo. Betul?" "Tepat sekait. Sekarang tolong katakan, apakah aku harus merangkul dan mendekapnya sambil berkata: 'Ayah! Ayah!»?" "Jangan bergurau," jawab Bertuccio tenang, "danjangan lagi berani berkata begitu." "Mengapa?" tanya Andrea, sedikit terkejut melihat dan mendengar ketenangan Bertuccio. "Oleh karena Count of Monte Cristo orang yang terlalu diberkahi untuk menjadi ayah seorang penjahat sepertimu " "Kata-kata yang sedap, tetapi. . . . " "Akan kubuktikan dengan lebih daripada kata-kata, kalau engkau tidak hati-hati." "Mengancam rupanya! Aku tidak takut! Aku katakan..." "Engkau mengira berhadapan dengan orang kerdil seperti dirimu sendiri." Bertuccio berbicara dengan ketenangan dan air muka yang meyakinkan sehingga menyebabkan Andrea bingung dan takut. "Engkau berada dalam genggaman tangan yang mengerikan, Andrea. Tangan itu bersedia melepaskanmu. Manfaatkanlah itu. Tetapi jangan mempermainkan tangan yang sekarang dengan sengaja melemahkan pegangannya, yang segera akan menyergapmu lagi kalau engkau mengganggu kebebasan bergeraknya." "Aku ingin tahu siapa ayahku!" tanya anak muda yang keras kepala itu. "Danaku akan mencarinya sampai ketemu, apa pun yang harus terjadi. Siapa ayahku?** "Untuk itulah aku datang ke mari." ''Ah!" matanya berkilat gembira. Tepat saat itu pintu terbuka dan seorang penjaga masuk. "Maaf, Tuan," katanya kepada Bertuccio. "Jaksa pemeriksa sudah menunggu anak muda ini." "Aku akan kembali besok," kata Bertuccio. Andrea mengulurkan tangannya untuk salaman, tetapi Bertuccio tetap menyimpan tangannya di sakunya. Andrea memaksa diri untuk tersenyum, tetapi dia sangat terpengaruh oleh ketenangan Bertuccio yang mengherankan itu. "Mungkinkah aku keliru?" pikirnya. "Kita lihat saja" Lalu dia berkata keras kepada Bertuccio, "Sampai besok." "Sampai besok** kata Bertuccio. BAB LXV VILLEFORT belum bertemu lagi dengan ayahnya sejak meninggalnya Valentine. Selama ini dia mengunci diri mempersiapkan segala sesuatu untuk mengadili perkara pembunuhan Caderousse. Peristiwa ini, seperti juga peristiwa-peristiwa lainnya di mana nama Count of Monte Cristo terlibat, selalu menarik perhatian masyarakat Paris. Sebenarnya, bukti yang ditemukan itu tidak terlampau meyakinkan, oleh karena hanya berupa secarik kertas dengan beberapa kalimat yang ditulis oleh pelarian narapidana yang lagi sekarat, menuduh kawan sepelariannya. Mungkin saja tuduhan itu hanya didasarkan kepada keinginan membalas dendam belaka. Hanya Villefort sendiri yang percaya bahwa Benedetto benar bersalah. Pengadilan akan mulai bersidang tiga hari lagi, berkat ketekunan kerja Villefort. Valentine belum lama dikuburkan, sehingga orang tidak merasa heran melihat Villefort terserap oleh pekerjaannya, oleh karena hanya pekerjaan itulah yang dapat mengalihkan kesedihannya. Karena merasa letih dan pikirannya pun sudah terasa berat, ia keluar berjalan-jalan ke kebun. Dari kebun itu dia melihat salah satu jendela kamar Noirtier masih terbuka. Rupanya Noirtier sedang menikmati sinar terakhir matahari musim panas. Pandangan Noirtier diarahkan kepada sesuatu, air mukanya menunjukkan kebencian dan ketidak sabaran. Villefort mengikuti arah pandangannya, ingin mengetahui siapa yang menjadi sasaran mata ayannya itu. Di bawah serumpun pepohonan dia melihat istrinya sedang duduk membaca di bangku. Sewaktu-waktu dia berhenti membaca untuk tersenyum kepada Edouard atau melemparkan kembali bola yang terus-menerus dilemparkan anaknya dan dalam rumah ke kebun. Wajah Villefort menjadi pucat, sebab dia mengerti pikiran Noirtier. Tiba-tiba pandangan Noirtier berpindah dari istrinya kepada dirinya. Sekarang Villefortlah yang harus menerima pancaran mata kebencian itu. Perlahan-lahan dia berjalan menuju rumah. Dia dapat merasakan pandangan ayahnya yang senantiasa mengikutinya. Wajah Noirtier menengadah seakan-akan dia hendak mengingatkan Villefort kepada janjinya. "Sabarlah, Ayah," kata Villefort yang sudah berdiri di bawah jendela kamar Noirtier. "Sabarlah untuk sehari lagi saya akan tepati janji saya." Tampaknya Noirtier menjadi sedikit tenang mendengar ini. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, sedang Villefort dengan paksa melepaskan kancing lehernya karena terasa sangat mencekik. Setelah itu mengusap dahi, lalu kembali ke kamar kerjanya. Pada malam itu, sesuai dengan kebiasaannya, Villefort lambat pergi tidur. Dia bekerja sampai jam lima pagi, menelaah kembali laporan-laporan tentang pemeriksaan kejaksaan terhadap Benedetto dan mempelajari lagi dengan seksama pernyataan para saksi. Setelah itu, menyempurnakan dakwaan yang akan dibacanya. Dakwaan ini merupakan yang paling baik yang pernah dibuatnya. Dia tertidur sebentar, tetapi segera terbangun kembali karena kelap-kelip lampu yang hampir habis minyaknya. Dia berjalan ke jendela dan membukanya. Cahaya kemerah-merahan telah terbit di kaki langit. Udara yang lembab merasuk kedalam dirinya, dan pikirannya menjadi segar kembali. "Hari ini," katanya memaksakan diri, "orang yang memegang pedang hukum harus menebas siapa saja yang bersalah." * Tanpa disadarinya pandangannya berpindah ke arah jendela kamar Noirtier. Tirainya masih tertutup namun bayangan wajah ayahnya masih tetap segar sehingga tanpa disadarinya juga dia berkata seakan-akan melihat pancaran mata ayahnya yang penuh ancaman. "Jangan khawatir," katanya. Dia berjalan hilir-mudik dalam ruang kerjanya beberapa kali, untuk akhirnya merebahkan diri di kursi panjang tanpa mengganti pakaian dahulu. Bukan semata-mata untuk tidur, melainkan hanya untuk melemaskan otot-otot yang sudah tegang. Lambat-laun terdengar kehidupan dalam rumah itu. Dari kamar kerjanya Villefort mendengar pintu tertutup dan terbuka, bunyi bel dari kamar istrinya memanggil pelayan dan teriakan pertama anaknya, Edouard, yang bangun dengan riang seperti layaknya anak-anak seusia dia. Villefort membunyikan bel. Pelayannya yang baru masuk, mengantarkan koran pagi dan secangkir coklat panas. "Apa itu?" tanyanya. "Coklat panas, Tuan." "Aku tidak memintanya. Siapa yang menyuruh?" "Nyonya, Tuan. Beliau mengatakan sidang pengadilan yang akan datang mungkin sekali melelahkan Tuan, padahal Tuan memerlukan sekali kekuatan." Pelayan itu meletakkan cangkir di atas meja, lalu keluar lagi. Villefort memandang cangkir itu dengan air muka kecut, tetapi tiba-tiba mengambilnya dan menghabiskannya sekali reguk. Seakan-akan dia mengharapkan coklat itu berisi racun, seakan-akan dia hendak menjemput kematian untuk menghindarkan diri dari kewajiban yang lebih berat dari mati. Dia berdiri, lalu berjalan lagi bolak-balik. Pada wajahnya tersimpul senyuman yang sangat mengerikan. Coklat itu tidak beracun, dan Villefort tidak merasakan apa-apa. Waktu makan siang tiba, tetapi dia tidak hadir di meja makan. Pelayannya masuk dan berkata, "Nyonya menyuruh saya memberitahu bahwa sudah jam sebelas dan sidang akan dimulai pada jam dua belas." "Lalu?" "Nyonya sudah siap dan menanyakan apakah beliau boleh turut?" "Ke mana?" "Ke pengadilan." "Mengapa?" "Nyonya mengatakan beliau ingin sekali menghadiri-nya. "Ah!" jawab Villefort dengan nada yang keras. "Nyonya mau ikut?" Pelayan itu mundur lalu berkata, "Bila Tuan hendak pergi sendiri, saya akan sampaikan kepada Nyonya." Untuk sejenak Villefort tidak menjawab, menggaruk-garuk pipinya yang pucat. "Katakan. kepada Nyonya," akhirnya dia berkata, "bahwa aku ingin bicara dan supaya beliau menunggu di kamarnya." "Baik*,Tuan." "Setelah itu kau kembali lagi untuk mencukur dan membantu aku berpakaian." "Baik, Tuan." Pelayan pergi, kembali lagi tidak lama kemudian, mencukur Villefort dan membantu mengenakan pakaian berwarna gelap. Setelah selesai, baru dia berkata, "Nyonya mengatakan beliau menunggu bila Tuan telah selesai berpakaian." "Aku pergi sekarang." Villefort berhenti di muka pintu kamar istrinya menghapus dahulu keringat yang mengucur di dahi. Pintu dibukanya. Nyonya de Villefort sedang duduk di atas sebuah bangku rendah berbantal, melihat-lihat dengan kesal koran yang telah disobek-sobek anaknya sebelum dia sempat membacanya. Dia sudah siap untuk bepergian. Topinya terletak di kursi sebelahnya dan sarung tangan sudah dikenakannya."Ah! Wajahmu pucat sekali." Nada suaranya wajar dan tenang. "Rupanya engkau bekerja semalam suntuk lagi Boleh aku ikut bersamamu, atau aku berangkat dengan Edouard?" "Edouard!" kata Villefort kepada anaknya dengan nada memerintah. "Pergi bermain di luar. Aku mau bicara dengan ibumu." Edouard menengadah dan memandang kepada ibunya. Karena ibunya tidak memberi isarat apa-apa, dia meneruskan lagi perbuatannya mematah-matahkan kepala serdadu ti mahnya. "Edouard!" teriak Villefort, begitu keras sehingga anak itu bangkit terkejut. "Kau dengar? Keluar!" Anak yang tidak biasa menerima perlakuan seperti itu menjadi pucat. Sukar dikatakan apakah karena marah atau karena takut. Ayahnya mendekatinya, memegang tangannya lalu mencium dahinya, "Bermain sebentar di luar, anakku!" Edouard meninggalkan kamar. Villefort mengunci pintunya. "Apa artinya semua ini?" tanya wanita muda itu. Matanya menatap tepat ke wajah suaminya sambil mencoba tersenyum. "Di mana engkau menyimpan racun itu?" Villefort bertanya langsung. Dia berdiri di antara istrinya dan pintu. Menerima pertanyaan yang tiba-tiba dan menakutkan itu, perasaan Nyonya de Villefort tak ubahnya seperti perasaan seekor burung kecil melihat rajawali yang menyudutkannya untuk menerkam. Suara yang bukan teriakan dan bukan pula keluhan terlontar dari dalam dadanya: "Aku . . ___ Aku tidak mengerti." "Aku bertanya," kata Villefort dengan ketenangan yang mengherankan, "di mana engkau menyembunyikan racun yang kaugunakan untuk membunuh kedua bekas mertuaku, Barrois dan anakku Valentine." "Oh! Apa yang kaukatakan?" "Engkau harus menjawab, bukan bertanya." "Apakah saya berhadapan dengan suami sendiri atau dengan seorang jaksa?" tanya Nyonya de Villefort terbata-bata. "Dengan jaksa, Nyonya, dengan jaksa!" "Oh! Oh!" Hanya itu yang dapat keluar. "Engkau belum menjawab, Nyonya!" teriak penanya yang menakutkan itu. Lalu dia berkata lagi dengan senyuman yang lebih menakutkan daripada amarahnya. "Tentu saja engkau tidak dapat menjawab, tetapi juga tidak menyangkal. Dan engkau tidak akan dapat menyangkalnya." Villefort mengarahkan tangannya ke tubuh istrinya seakan-akan hendak menerkamnya atas nama keadilan. "Engkau melaksanakan kejahatanmu dengan ketrampilan yang mengagumkan. Orang tidak akan pernah menyangkamu berbuat demikian. Sejak kematian Nyonya de Saint-Meran aku sudah tahu ada pembunuhan dalam rumah ini. Dokter d'Avrigny memberitahu. Setelah pembunuhan Barrois, kecurigaanku . . . semoga Tuhan memaafkanku . . . . jatuh kepada seorang bidadari. Tetapi sesudah Valentine sendiri mati aku sudah tidak ragu-ragu lagi demikian pula yang lain sama yakinnya seperti aku. Sudah saatnya sekarang kejahatanmu dibongkar di muka umum. Seperti aku katakan tadi aku bicara tidak sebagai suamimu, melainkan sebagai jaksa." Wanita muda itu menyembunyikan mukanya di balik kedua telapak tangannya. "Oh, aku . . . aku mohon, jangan percaya " "Rupanya engkau seorang pengecut juga!" kata Villefort dengan nada menghina. "Memang aku sudah lama tahu, bahwa peracun selalu seorang pengecut. Walau demikian engkau masih mempunyai keberanian untuk membunuh tiga orang dan menyaksikan mereka mati di depan matamu." "Tidak! Tidak!" "Dengan darah dingin engkau telah menghitung detik-detik terakhir empat orang yang mati tersiksa oleh tanganmu," lanjut Villefort dengan perasaan benci yang sudah meningkat "Engkau telah merancang rencana jahatmu dengan ketepatan yang mengagumkan. Tetapi aku sangsi apakah engkau telah siap juga menghadapi akibat dari perbuatanmu itu. Aku harap saja masih. Engkau mesti masih mempunyai persediaan racun lain, yang lebih sedap tetapi lebih keras daripada yang telah kaugunakan, untuk memungkinkan engkau menghindari hukuman yang patut dijatuhkan kepadamu. Aku harap engkau masih punya persediaan itu," Nyonya de Villefort menjatuhkan diri berlutut di muka suaminya. "Aku tahu, aku tahu, engkau mengaku. Tetapi pengakuan kepada jaksa pada detikdetik terakhir di mana sudah tidak mungkin menyangkal lagi, tidak akan dapat menghapuskan hukuman.** "Hukuman!" teriak Nyonya de Villefort. "Sudah dua kali engkau menyebut kata itu " "Apakah engkau mengira akan terlepas dari hukuman karena engkau istri seorang laki-laki yang berkewajiban menuntut hukuman itu atas nama hukum? Tidak! Hukuman mati telah menanti setiap peracun, siapa pun dia orangnya.*' Nyonya de Villefort berteriak mengerikan, wajah dan sinar matanya menunjukkan ketakutan yang sangat. "Jangan takut" kata Villefort menenangkan. "Aku tidak akan menghinamu di muka umum, sebab itu berarti aku menghinakan diriku sendiri. Tidak. Kalau engkau tadi memperhatikan kata-kataku, engkau tentu mengerti bahwa engkau tidak dapat mati di tiang gantungan." "Aku tidak mengerti maksudmu," tanya wanita yang sudah hancur itu. "Maksudku, bahwa istri seorang jaksa yang terkemuka di Paris tidak boleh menodai suami dan anaknya dengan kejahatannya." "Tidak! Tidak!" "Baik kalau begitu, itu berarti tindakan yang tepat sekali dari pihakmu. Aku berterima kasih untuk itu.** 'Terima kasih? Untuk apa?" "Untuk yang kaukatakan baru saja." "Apa kataku? Aku pusing . . . Aku sudah tidak mengerti apa-apa lagi. Oh Tuhan, Tuhan!" "Engkau tidak menjawab pertanyaanku: *Di mana racun itu'?" Nyonya de Villefort mengangkat kedua tangannya. "Tidak! Tidak!" teriaknya. "Engkau tentu bukan menghendaki aku meminumnya." "Yang tidak aku kehendaki engkau mati di tiang gantungan. Mengerti?" "Kasihanilah aku!" "Yang aku kehendaki hukum ditegakkan," kata Villefort tegas. "Aku dilahirkan untuk menghukum orang bersalah," katanya lagi dengan air muka yang keras. "Aku akan menggiring setiap wanita berdosa, sekalipun dia seorang ratu, langsung kepada algojo. Tetapi terhadapmu, aku akan berlaku lunak. Kepadamu aku hanya berkata, 'engkau masih mempunyai persediaan racun itu, bukan?*" "Maafkan aku! Biarkan aku tetap hidup!" **Pengecut!" "Ingatlah bahwa aku istrimu." "Engkau pembunuh." "Atas nama Tuhan ..,.*' "Tidak!" "Atas nama cinta yang telah kauberikan padaku . . "Tidak! Tidak!" "Atas nama anak kita! Oh, biarkan aku hidup demi anak kita!" "Tidak! Kalau aku biarkan engkau hidup, pada suatu hari engkau akan membunuhnya juga seperti engkau membunuh yang lain-lain." "Aku? Membunuh anakku?*' kata ibu yang sudah kacau pikirannya itu, melemparkan dirinya kepada Villefort. "Membunuh Edouard?" Sebuah tawa orang gila mengakhiri kalimatnya tadi. Dia jatuh di depan kaki suaminya. "Ingat" kata Villefort, "kalau belum kaulakukan sampai aku pulang nanti, aku akan mengadukan™u dengan bibirku sendiri dan menangkapmu dengan tanganku sendiri." Nyonya Villefort mendengar kata demi kata suaminya, napasnya terputus-putus, jiwanya terpukul. Hanya matanya saja yang masih menunjukkan kehidupan pada dirinya, berkilat-kilat liar ketakutan. "Engkau mengerti, bukan?** kata Villefort. "Sekarang aku harus pergi ke pengadilan untuk menuntut hukuman mati bagi seorang pembunuh. Kalau aku menemukanmu masih hidup ketika aku pulang nanti, malam ini juga engkau sudah akan berada di penjara." Nyonya d e Villefort menarik napas panjang, seluruh tenaganya menghilang dan dia terjatuh lagi ke lantai. Rupanya hati Villefort tergores juga. Air mukanya sudah tidak kejam lagi. Dia berkata dengan lunak, "Selamat jalan,Nyonya ............. selamat jalan." Kata*kata lunak itu oleh Nyonya de Villefort terasa seperti irisan pisau tajam. Dia pingsan. Jaksa Penuntut Umum itu keluar, lalu mengunci pintu dari luar.BAB LXVI PERKARA Benedetto menarik perhatian yang besar sekali. Selama beberapa bulan masa jayanya, Cavalcanti palsu ini telah berulang kali mengunjungi toko-toko pakaian terkemuka di Paris dan selalu membayar lunas rekening-rekeningnya Surat-surat kabar membeberkan kembali riwayatnya dengan panjang lebar, baik yang dalam penjara maupun selama hidup dalam masyarakat Paris. Pembeberan Cerite-ra ini lebih menarik perhatian orang, terutama mereka yang pernah mengenalnya secara pribadi. Banyak dari mereka yang mengenalnya sebagai anak muda yang tampan sopan dan murah hati, sehingga mereka lebih mempercayai dia menjadi korban dari sekawanan musuh yang jahat. Oleh karena itu, hampir setiap orang pergi ke gedung pengadilan. Sebagian untuk menyaksikan dan sebagian lagi untuk bergunjing. Jam tujuh pagi orang sudah berkerumun di luar gedung dan sejam sebelum sidang dimulai mang sidang sudah penuh sesak. Beauchamp yang dikenal sebagai raja koran berada di antara para penonton. Dia melihat Chateau*Renaud dan Debray yang baru saja menerima kebaikan seorang polisi yang memberikkan tempat baik bagi mereka. Bahkan polisi itu bersedia pula menjaga tempat mereka ketika meninggal kannya sebentar untuk berbicara dengan Beauchamp. "Wah," kata Beauchamp, "rupanya kita semua datang untuk menyaksikan kawan kita." "Betul," jawab Debray. "Saya pikir dia akan dinyatakan bersalah. Bagaimana pendapatmu?" "Aku kira engkaulah satu-satunya yang dapat menjawab pertanyaan itu, oleh karena engkau tentu sudah berbicara dengan Ketua Sidang dalam resepsi yang baru lalu di rumah Menteri." "Benar, tetapi kalau aku berbicara dengan Ketua Sidang, tentunya engkau sudah berbicara dengan Jaksa Penuntut Umum." "Tak mungkin . . . Tuan de Villefort tidak menerima siapa pun juga dalam minggu terakhir ini. Dan ini mudah dimengerti mengingat rangkaian musibah yang menimpanya . . "Lihat!" "Siapa?" "Aku kira dia sudah tidak ada di sini." "Eugenie Danglars?" tanya Chateau-Renaud. "Apa dia kembali?" "Bukan, ibunya." "Apa!" Chateau-Renaud terkejut. "Hanya sepuluh hari sejak anaknya kabur dan tiga hari sejak suaminya bangkrut dia sudah berani keluar rumah?" Tanpa diketahui yang lain wajah Debray memerah. Dia mengikuti arah pandangan Beauchamp. "Wanita itu bercadar," katanya. "Mungkin orang lain, mungkin juga seorang putri dari negeri lain . . . bahkan mungkin juga ibu Pangeran Cavalcanti." "Hakim sudah tiba," kata Chateau-Renaud. "mari kita kembali." Para hakim dan juri mengambil tempat masing-masing di teilgah-tengah ketenangan ruang sidang yang mengesankan. Tuan de Villefort yang menjadi pusat perhatian - boleh juga dikatakan menjadi pusat kekaguman umum — menempati kursinya, lalu melayangkan pandangan ke seluruh mangan. "Pengawal!" kata Ketua Sidang. "Bawa masuk terdakwa!" Dengan perintah itu perhatian publik meningkat dan semua mata mengarah ke pintu yang akan dilalui Benedetto. Benedetto masuk, wajahnya tenang tanpa mencerminkan perasaan hatinya. Setelah tuduhan dibacakan, Ketua Sidang bertanya, "Siapa namamu?" Andrea berdiri. ''Maafkan, Paduka," katanya, "rupanya Paduka akan mengajukan serangkaian pertanyaan dengan urutan yang tidak dapat saya ikuti. Nanti akan saya jelaskan alasannya, tetapi sementara ini saya memohon agar urutan pertanyaan di rub ah, dan saya akan menjawabnya semua.*' Ketua Sidang sangat terperanjat, memandang kepada anggota juri,' yang semuanya sedang memandang kepada Jaksa. Para penonton pun merasa heran, tapi semua itu seperti tidak berpengaruh sama sekali kepada Andrea. "Berapa umurmu?" tanya Ketua Sidang. "Dalam beberapa hari lagi akan menjadi dua puluh satu tahun. Saya dilahirkan tanggal 27 September ISIS." Tuan de Villefort yang sedang mencatat sesuatu mengangkat kepala ketika mendengar tanggal ini. "Tempat lahir?" "Auteuil dekat Paris." Villefort mengangkat kepala untuk kedua kalinya, menatap Andrea seakan-akan melihat sesuatu yang menyeramkan. Wajahnya pucat kebiru-biruan. "Pekerjaan?" "Saya mulai dengan pemalsuan," jawab Andrea dengan ketenangan yang mengherankan. "Setelah itu menjadi pencuri, dan terakhir sekali pembunuh." Ruang sidang menjadi gaduh. Bahkan para hakim saling pandang-memandang, masing-masing dengan pancaran mata keheranan. Para anggota juri menunjukkan kesebelannya mendengar keterangan tertuduh yang seakan-akan hendak mengejek pengadilan, sekaligus terperanjat karena tidak mengira keluar dari seorang anak muda yang perlente. "Sekarang, maukah engkau menyebutkan namamu kepada sidang?" tanya Ketua Sidang. "Mungkin sekali kebanggaanmu menyebut satu persatu kejahatan yang kausebut sebagai pekerjaan itulah yang menyebabkan engkau ingin menangguhkan menyebutkan namamu. Barangkali engkau ingin menonjolkan namamu dengan menyebut lebih dahulu gelar-gelar pekerjaanmu." "Sungguh tak masuk pada akal saya betapa benar Paduka membaca pikiran saya," jawab Andrea dengan sopan. "Itulah sebabnya saya memohon untuk meru bah urutan pertanyaan tadi" Keheranan dalam ruang sidang sudah memuncak. Sudah tidak ada lagi kelancangan atau ejekan tampak pada nada bicara atau tingkah-laku Andrea. Pengunjung sidang semua mempunyai perasaan yang sama bahwa akan segera timbul kejutan yang menghebohkan. "Jadi, siapa namamu?" "Saya tidak dapat mengatakan karena saya tidak mengetahuinya. Saya hanya mengetahui nama ayali saya." "Katakan siapa nama ayahmu!" "Ayah saya seorang Jaksa Penuntut Umum " jawab Andrea tenang. "Jaksa Penuntut Umum!" ulang Ketua Sidang itu terperanjat, tanpa melihat kegelisahan yang muncul pada wajah Villefort. "Benar. Paduka. Dan oleh karena Paduka menanyakan namanya, dengan senang hati akan saya katakan. Namanya Villefort." Bagaikan guruh terdengar suara meledak di seluruh ruangan sidang. Baru sesudah lima menit Ketua Sidang berhasil menenangkannya kembali. Di tengah-tengah kegaduhan itu kurang-lebih sepuluh orang mengerumuni Villefort yang terhenyak setengah pingsan di kursinya. Mereka menolong, menghibur dan menabahkan hatinya. Ruang sidang sudah tenang kembali, kecuali di suatu sudut di mana seorang wanita jatuh pingsan. Beberapa orang segera menolongnya. "Paduka," kata Andrea, "bukan maksud saya untuk menghina persidangan ini atau sengaja mau membuat heboh. Saya diminta menyebutkan nama saya, tetapi saya tidak mampu karena orang tua saya mentelantarkan saya sejak saya dilahirkan. Kebetulan akhirnya saya dapat mengetahui nama ayah saya. Dan saya ulangi, namanya adalah Villefort dan saya siap untuk membuktikannya." "Tetapi," kata Ketua Sidang marah, "dalam pemeriksaan pendahuluan engkau mengaku bernama Benedetto, yatim-piatu dan dilahirkan di Corsica." "Saya mengatakan itu karena saya takut: kalau saya mengatakan yang sebenarnya maka pernyataan saya itu tidak akan diumumkan. Sekarang saya mengatakan yang sebenarnya. Saya dilahirkan di Auteuil tanggal 27 September 1815, anak Jaksa Penuntut Umum, Tuan de Villefort. Perlukah saya memberikan keterangan lebih terperinci? Saya akan senang sekali mengatakannya. Saya dilahirkan di rumah nomor 28 di Rue de la Fontaine, Auteuil, dalam sebuah kamar yang dindingnya berlapis d am as merah. Ayah saya mengatakan kepada ibu saya bahwa saya mati setelah lahir, lalu membungkus saya dengan anduk yang bertanda huruf H dan N, membawa saya ke dalam kebun dan mengubur saya hiduphidup." Semua yang hadir melihat meningkatnya kegelisahan Villefort sejalan dengan meningkatnya keyakinan diri Andrea. "Bagaimana engkau mengetahui semua itu?" "Saya bermaksud akan mengatakannya, Paduka. Seorang Corsica telah bersumpah membalas dendam terhadap ayah saya. Dia selalu mengikuti ke mana ayali saya pergi dan menunggu kesempatan yang baik untuk melaksanakan niatnya. Itulah sebabnya dia melihat ayah saya mengubur sesuatu dalam kebun. Dia menikamnya dari belakang dan mengira bahwa yang dikubur ayah saya itu harta kekayaan. Dia menggali kembali kuburan dan menemukan saya masih bernyawa. Dia membawa saya ke rumah yatimpiatu Tiga bulan kemudian saudara perempuannya datang ke Paris, lalu ke rumah perawatan itu dan menuntut saya sebagai anaknya. Dia berhasil membawa saya kembali ke Corsica. Itulah sebabnya, sekalipun saya dilahirkan di Auteuil, saya dibesarkan di Corsica!" Sejenak ruang sidang menjadi hening "Teruskan!" perintah Ketua Sidang. "Saya merasa berbahagia sekali dengan orang-orang baik yang merawat saya, namun ternyata watak buruk saya telah mengalahkan pendidikan yang hendak ditanamkan ibu tiri saya ke dalam diri saya. Saya menjadi anak liar dan segera meningkat menjadi jahat. Pada suatu hari, ketika saya menyumpahi "Tuhan karena membuat saya begitu jahat dan memberi nasib yang buruk, ibu tiri saya berkata, 'Jangan menyalahkan Tuhan! DIA menciptakanmu tanpa amarah. Kejahatan yang melekat padamu berasal dari ayahmu, yang akan menjerumuskan engkau ke dalam neraka kalau engkau mati atau ke dalam kepapaan dan kehinaan selama engkau hidup!' Sejak hari itu saya berhenti mengumpat Tuhan, tetapi mulai dengan mengutuk ayah sendiri. Itulah pula sebarnya saya di sini mengungkapkan segala sesuatu untuk menangkis tuduhan yang ditimpakan kepada saya. Itulah sebabnya mengapa saya sampai menggoncangkan ruang sidang ini. Kalau perbuatan saya ini merupakan kejahatan baru, silakan hukum saya. Tetapi, apabila Paduka beranggapan bahwa nasib saya sudah tragis dan pahit sejak dilahirkan, kasihanilah saya!" "Bagaimana dengan ibumu?" "Ibu saya percaya bahwa saya mati setelah lahir. Dia tidak bersalah. Saya tidak berkeinginan mengetahui siapa namanya, dan sampai detik ini pun saya tidak mengenal siapa dia." Sebuah jeritan terdengar dari tengah-tengah kerumunan orang yang sedang menolong wanita yang pingsan tadi, dan berakhir dengan tangis yang memilukan. Setelah sadar dari pingsannya wanita itu menjadi histeris. Ketika dia diangkat ke luar ruangan, cadarnya terlepas. Beberapa orang mengenalinya sebagai Nyonya Danglars. Sekalipun dalam keadaan gelisah, kacau, tegang dan takut, Villefort masih sempat mengenalinya. "Apa bukti-bukti yang kausebutkan tadi?" "Bukti?" Benedetto balik bertanya sambil tertawa. "Betulkah Paduka memerlukannya?" "Betul/* "Silakan Paduka memperhatikan Tuan de Villefort dan tanyakan bukti-bukti itu kepada beliau." Semua mata mengarah kepada Villefort. Karena beratnya beban pandangan orangorang, Villefort terhuyung-huyung ke tengah-tengah ruang sidang. Rambutnya acakacakan, mukanya penuh dengan bekas cakaran kukunya sendiri. Hampir seluruh hadirin bergumam menyaksikan keadaan Villefort. "Paduka Tuan Hakim menanyakan bukti-bukti, Ayah," kata Benedetto. "Apakah perlu saya berikan?" 'Tidak. . . tidak," jawab Vfllefort gagap. Tak ada gunanya lagi." "Apa maksud Tuan?" tanya Ketua Sidang keras. "Maksud saya," jawab Villefort, "saya menyadari tak ada gunanya lagi melawan hukum Tuhan yang baru saja menimpa saya. Apa yang dikatakan anak muda itu benar semua, tak perlu lagi pembuktian." "Apa! Sadarkah Tuan, Tuan de Villefort? Sudah hilangkah kesadaran Tuan? Tuduhan yang aneh, tak terduga dan mengerikan itu mungkin sekali telah mengganggu pikiran Tuan. Kami semua dapat memahaminya." Villefort menggelengkan kepala. Giginya gemeretak, seperti orang dicekam demam. "Pikiran saya jernih, Paduka," katanya. "Saya mengaku bersalah untuk semua tuduhan yang dilontarkan anak muda itu kepada saya. Saya sekarang menyerahkan diri kepada Jaksa Penuntut Umum yang akan menggantikan saya." Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan suara tertahan hampir tidak terdengar, Tuan de Villefort meninggalkan ruang sidang dengan terhuyung-huyung. "Sekarang aku ingin mendengar adakah orang yang masih berani berkata bahwa tidak ada drama dalam kehidupan nyata ini?" tanya Beauchamp. "Ya Tuhan!" jawab Chateau-Renaud. "Kalau terjadi pada diriku, aku lebih suka memilih jalan yang ditempuh Morcerf. Sebutir peluru akan lebih nyaman dibanding dengan pencemaran nama seperti ini." "Darahku tersirap kalau aku ingat bahwa pernah ada saat aku berniat mengawini anaknya!" kata Debray. "Untung Valentine, tidak mengetahui peristiwa sekarang ini." "Sidang ditunda dan akan dilanjutkan dalam waktu yang akan datang." Ketua Sidang mengumumkan. Dalam keadaan tetap tenang Andrea meninggalkan ruang sidang didampingi para pengawal. Tanpa disadarinya para pengawal ini sekarang menaruh suatu penghargaan tertentu terhadap Andrea. "Bagaimana pendapat Tuan?" tanya Debray kepada polisi yang memberinya tempat sambil menyelipkan dua puluh frank ke tangannya. "Akan ada banyak hal yang meringankan terdakwa," jawab polisi itu. BAB LXVH HAMPIR tidak mungkin melukiskan betapa bingungnya Villefort ketika meninggalkan ruang pengadilan, betapa perasaan hatinya yang membuat setiap urat nadinya berdenyut keras dan kencang, menegangkan setiap sarafnya, membengkakkan pembuluh-pembuluh darahnya sehingga menimbulkan rasa sakit pada setiap titik di seluruh tubuhnya. Hanya karena kebiasaannya saja ia berhasil keluar dari kantor itu. Hanya saja sekali ini bukan dengan sikap gagah dan angkuh melainkan dengan terseok-seok. EH luar dia melihat keretanya. Saisnya yang sedang tidur terjaga mendengar pintu kereta dibuka sendiri oleh majikannya. Villefort menjatuhkan diri di sudut tempat duduk, lalu dengan telunjuknya memerintahkan pulang. Beban kehancuran hidupnya telah menimpa kepalanya, namun ia belum menyadari benar seluruh akibatnya Terasa sudah, namun belum terkirakan. Dalam lubuk hatinya dia merasakan adanya Tuhan. *'Tuhan!Tuhan!" katanya berulang-ulang tanpa mengetahui benar apa yang dikatakannya. Di balik puncak segala kekuasaan yang pernah ia rasakan, di situlah dia memperkirakan adanya Tuhan. Kereta berjalan dengan cepat. Ketika bersandar pada bantal, Villefort merasakan sesuatu mengganggunya. Ternyata kipas istrinya yang tertinggal dalam kereta. Secepat kilat yang menyambar dalam kegelapan malam, benda itu membawa pikirannya kembali kepada kejadian tadi pagi di rumahnya Dia ingat kepada istrinya. "Oh!" Hatinya tersentak seperti tersentuh besi panas. Selama ini dia baru melihat satu segi saja sebagai akibat kehancurannya. Segi lain yang tidak kurang mengerikan baru sekarang disadarinya. Dia telah bertindak sebagai hakim yang mahakuasa terhadap istrinya sendiri. Dia telah menghukumnya mati. Mungkin sekali pada detik ini istrinya sedang mempersiapkan diri untuk mati memenuhi hukuman suaminya, sambil dicekam rasa takut, malu dan penuh sesal. Satu jam yang lalu hukuman dari suaminya telah dijatuhkan. Mungkin sekali dia sekarang sedang memikirkan kejahatan-kejahatan yang pernah diperbuatnya, yang akan dia bayar sekarang dengan nyawanya sendiri, memohon ampunan Tuhan dan menulis sepucuk surat permintaan maaf kepada suaminya yang mulia. Villefort berteriak pedih untuk kedua kalinya ketika membayangkan semua ini. Tangannya meremas-remas sarung bantal sutra yang sedang dipegangnya. "Dia menjadi jahat karena dekat dengan aku!. Akulah sebenarnya sumber kejahatan. Dia hanya ketularan saja seperti ketularan penyakit. Dan aku telah menghukumnya. Aku telah berani berkata kepadanya: 'Sesali dan matilah!' Aku telah mengatakan begitu! Tidak, tidak, dia tidak boleh mati! Dia harus hidup! Dia harus dan akan ikut aku . . . meninggalkan Pe rancis. Kami akan pergi sejauh bumi kuasa memberi tempat bagi kami . . . Aku telah berbicara kepadanya tentang hukuman mati . . . Oh, Tuhanku, betapa mungkin aku berani begitu? Hukuman itu kini menanti aku juga! Kami akan lari . . . Aku akan mengakui semua dosa-dosaku kepadanya? Setiap hari aku akan menghinakan diri dengan mengatakan bahwa aku pun telah menjalankan kejahatan . . . Suatu perkawinan antara harimau dan ular berbisa! Seorang istri yang sepadan bagi laki-laki seperti aku! Dia harus hidup, sehingga semua keburukannya akan menjadi kurang berarti dibandingkan dengan kejahatanku sendiri!" Villefort menurunkan kaca yang memisahkan dia dengan saisnya. "Cepat! Cepat!" katanya dengan suara yang membuat sais tersentak. "Ya, ya," kata Villefort berulang-ulang ketika dia mendekati rumahnya, "dia harus hidup, supaya dia dapat menyesali perbuatannya dan memperbaiki hidupnya dan membesarkan Edouard dengan baik pula. Dia mencintai Edouard. Untuk Edouard dia melakukan semua ini. Hati seorang ibu yang mencintai anaknya tidak mungkin jahat Kejahatan-kejahatan yang telah berlangsung di rumahku dan kini telah membangkitkan kecurigaan orang, akan segera terlupakan ditelan waktu. Tetapi, apabila ada di antara musuh-musuhku yang akan mengingatnya kembali, aku akan menanggung semua dosanya. Istriku akan bebas bersama uang yang cukup banyak, dan terutama sekali bersama anakku. Dia akan tetap hidup dan akan berbahagia lagi, oleh karena seluruh cinta kasihnya tertumpah pada anaknya dan anaknya itu tak akan pernah meninggalkannya. Dengan demikian aku telah bertindak mulia yang pasti akan meringankan beban hatiku." Dengan pikiran itu Villefort dapat bernapas lebih lega. Kereta berhenti di muka pintu rumah. Dia meloncat lalu berlari menaiki tangga. Para pelayan heran melihat majikannya pulang dini, tetapi Villefort tidak melihat sesuatu yang mencurigakan dalam pancaran mata mereka. Ketika dia melewati kamar Noirtier yang kebetulan pintunya agak terbuka, dia melihat dua orang di dalamnya. Tetapi dia tidak menghiraukan orang yang sedang berhadapan dengan ayahnya. Pikirannya sedang berada di tempat lain. 'Tak ada yang berubah," katanya kepada dirinya sendiri. Ketika sudah mendekati ruang tinggal istrinya, dia memegang gagang pintu. Pintu terbuka. "Tidak dikunci!" pikirnya. "Bagus! Bagus sekali!" Villefort berada dalam mang tamu yang tidak begitu besar, tempat Edouard tidur pada malam hari. Matanya berputar ke sekeliling kamar. 'Tak ada orang," katanya lagi sendiri. 1 leloise mesti di kamar tidurnya." Dia berlari ke sana. Pintunya terkunci. Dia berhenti, badannya gemetar, lalu berteriak, "Heloise!" Terdengar sesuatu bergeser dalam kamar. "Heloise!" "Siapa?" Suara istrinya terdengar. "Buka pintu! Buka! Aku!" Sekalipun dengan perintah keras pintu itu tetap tertutup. Villefort menendangnya sekuat tenaga sampai hancur. Nyonya de Villefort sedang berdiri di ambang pintu antara kamar tidurnya dengan kamar duduk. Mukanya pucat, badannya kaku dan matanya menatap suaminya penuh ketakutan. "Heloise! Heloise! Mengapa? Katakan!" "Sudah saya lakukan," katanya dengan suara yang seperti menyobek tenggorokannya. "Apa lagi yang kaukehenda-ki?" Dia jatuh tersungkur. Villefort memburunya lahi memegang tangannya. Dia sudah mati. Karena takut dan terkejut Villefort mundur beberapa langkah. Matanya tidak mau lepas dari mayat yang tergeletak di lantai. "Anakku teriaknya tiba-tiba. "Di mana anakku? EdouardlEdouard!" Dia berlari ke luar sambil terus memanggil-manggil. "Edou ar d ? Ed ou ard!" Teriakannya begitu keras sehingga semua pelayan berdatangan. "Anakku! Di mana anakku?" tanya Villefort. "Bawa dia dan jauhkan dari sini supaya jangan ..." "Dia tidak ada di bawah, Tuan?" kata salah seorang pelayannya. "Mungkin sedang bermain di kebun?" 'Tidak, Tuan. Nyonya telah memanggilnya setengah jam yang lalu, dan sampai sekarang belum keluar lagi." Keringat dingin memancar dari dahi Villefort, lututnya gemetar dan berbagai pikiran berputar-putar di otaknya. "Di kamar ibunya?" Perlahan-lahan dia kembali ke kamar istrinya sambil menghapus dahi dengan satu tangan dan tangan lainnya berpegang pada dinding menjaga agar jangan sampai jatuh. Ketika kembali masuk, terpaksa harus melihat lagi mayat istrinya. Untuk memanggil Edouard suaranya pasti akan bergema dalam rumah yang sudah sunyi seperti pekuburan itu. Berbicara berarti menyobek-nyobek kesunyian kubur. Dia merasakan lidahnya kaku. "Edouard! Edouard . . .!" katanya perlahan dengan susah. Tak ada jawaban. Villefort maju lagi selangkah. Mayat istrinya melintang di ambang pintu antara kamar tidur dan kamar duduk. Mungkin Edouard berada di ruang duduk. Mayat istrinya seakan-akan mengawal pintu masuk. Matanya melotot, pada wajahnya tersimpul senyum mengejek penuh rahasia. Villefort maju lagi, melongok ke ruang duduk dan terlihatlah anaknya terbaring di kursi panjang. Anak itu seperti sedang tidur. Laki-laki yang sedang menuju ke titik terdalam kehancurannya itu menghela napas gembira yang tak terlukiskan. Yang harus dikerjakannya sekarang melangkahi mayat istrinya, masuk ke mang duduk, mengambil anaknya dan kabur jauh, jauh sekali. Villefort sudah bukan lagi warga teladan masyarakat Dia sudah tidak lagi takut kepada prasangka orang. Dia sekarang takut kepada hantu. Dikerahkannya seluruh keberaniannya laki meloncat melangkahi mayat istrinya seperti meloncati arang membara. Dipangkunya anaknya, didekapnya, lalu digerak gerak kannya sambil memanggilmanggil namanya. Edouard tidak menjawab. Villefort mencium pipinya yang biru dan dingin. Dia merasakan kekakuan anggota badan anaknya. Lalu dia meletakkan tangannya di dada anaknya. Jantung itu sudah berhenti berdenyut. Secarik kertas terjatuh dari badan Edouard. Villefort terkejut seakan-akan disambar petir, lalu terjatuh. Edouard terlepas dari pelukannya dan terguling ke dekat mayat ibunya. Villefort memungut kertas yang terjatuh. Tulisan itu dia kenal sebagai tulisan istrinya. Tertera di sana: "Engkau tahu, aku seorang ibu yang baik, karena demi kepentingan anaklah aku berbuat jahat. Seorang ibu yang baik tidak akan pergi tanpa membawa anaknya." Villefort tidak dapat mempercayai matanya sendiri, juga tidak dapat mempercayai kejernihan pikirannya sendiri. Dia mendekati lagi tubuh Edouard dan memeriksanya kembali dengan teliti. Lalu jerit tangis seakan-akan muncrat dari rongga dadanya. "Tuhan!" katanya. "Selalu Tuhan!" Lambat-laun dia merasa ketakutan tinggal bersama dua mayat Beberapa saat yang lalu ia masih sanggup menahan marah dan putus asa. Sekarang hatinya sudah luluh sama sekali. Dia, yang tidak pernah merasa kasihan terhadap orang lain, sekarang berjalan ke kamar ayahnya untuk mencurahkan semua kesedihannya. Dia memerlukan seseorang tempat dia menangis. Villefort masuk ke kamar Noirtier. Orang tua itu sedang asyik mendengarkan pembicaraan Padri Busoni yang selalu tenang. Tanpa disadari tangan Villefort pindah ke dahinya, ketika dia melihat padri itu. Dia ingat kunjungan padri itu ketika Valentine meninggal. "Tuan lagi!" katanya. "Apakah Tuan datang hanya untuk mengantarkan kematian?" Busoni menatap Villefort. Melihat wajah Villefort yang kusut dan matanya yang liar, padri mengira bahwa kejadian di ruang sidang itulah penyebabnya. Dia tidak mengetahui kejadian berikutnya. "Saya datang untuk berdo'a bagi putri Tuan," jawab Busoni. "Dan mengapa Tuan datang hari ini?" "Untuk mengatakan bahwa Tuan telah membayar hutang Tuan kepada saya dan mulai sekarang saya akan berdo'a Semoga Tuhan tidak lagi menghukum Tuan," "Ya Tuhanku!" Villefort terkejut sehingga teriangkan mundur. "Ini bukan suara Padri Busoni!" "Memang bukan." Padri melepaskan penutup kepalanya, maka terurailah rambutnya yang panjang dan hitam menghias wajahnya yang penuh kejantanan. "Count of Monte Cristo?" "Juga bukan, Tuan de Villefort . . . coba ingat-ingat lagi." "Suara itu! Di mana saya pernah mendengarnya?" 'Tuan mendengarnya di Marseilles dua puluh tiga tahun yang lalu, pada hari pertunangan Tuan dengan Nona de Saint Meran." "Tuan bukan Busoni? Bukan pula Monte Cristo? Ya Tuhan! Tuanlah kiranya musuh yang tersembunyi itu. Mungkinkah saya telah mencelakakan Tuan di Marseilles?" "Betul," jawab Monte Cristo menyilangkan kedua belah tangannya di dadanya yang bidang. "Coba Tuan ingat-ingat lagi." "Apa yang pernah saya lakukan terhadap Tuan?" pikiran Villefort sudah berada di antara kesadaran dan kegilaan. "Apa yang pernah saya lakukan terhadap Tuan? Katakan, coba katakan!" "Tuan telah menghukum saya mati dengan cara perlahan-lahan dan tersembunyi. Tuan telah membunuh ayah saya, dan Tuan telah merenggut cinta, kemerdekaan dan kekayaan dari diri saya!" "Siapa Tuan sebenarnya? Demi Tuhan, siapa Tuan?" "Saya adalah hantu seorang laki-laki yang telah Tuan kuburkan di dalam sel bawah tanah di penjara Chateau d If Ketika hantu itu berhasil keluar dari kuburnya, Tuhan menyamarkannya dalam tubuh Count of Monte Cristo dan membekalinya dengan emas dan intan berlian sehingga Tuan tidak akan mungkin mengenalnya lagi. Sampai hari ini." "Ah! Saya ingat sekarang! Saya ingat! Tuan adalah . . "Edmond Dantes!" "Ya, Edmond Dantes!" kata Villefort keras. Sambil memegang pergelangan tangan Monte Cristo dia berkata lagi. "Mari ikut saya!" Villefort keluar lebih dahulu, Monte Cristo mengikutinya dengan heran, karena tidak mengetahui ke mana maksud Villefort. Dia hanya mampu merasakan ada sesuatu yang mengerikan. "Lihat, Edmond Dantes!" katanya sambil menunjuk mayat istrinya dan anaknya. "Apakah pembalasanmu sudah sempurna sekarang?" Wajah Monte Cristo menjadi pucat melihat keadaan yang mengerikan itu. Dia sadar bahwa dia telah melampaui batas, sehingga sekarang dia tidak dapat lagi berkata: 'Tuhan selalu bersamaku!" Dia cepat berlari mendekati tubuh Edouard dibarengi dengan perasaan marah kepada dirinya sendiri Monte Cristo membuka mata Edouard, merasakan denyut nadinya, lalu memangku dan membawanya ke kamar Valentine. Pintu segera dikuncinya. "Anakku!" Villefort berteriak. "Dia mencuri anakku!" Dia mencoba mengejar Monte Cristo, tetapi anehnya bagaikan dalam mimpi, kakinya seakan-akan tertanam dalam lantai. Matanya liar dan terbuka lebar-lebar seperti hendak terloncat dari kelopaknya. Jari-jari tangannya mencakar-cakar dadanya yang terbuka sampai kukunya merah karena berdarah. Pembuluh-pembuluh darah pada dahinya membengkak seperti sedang memompakan darah panas dengan deras ke dalam otaknya. Dia berdiri terpaku untuk beberapa saat lamanya sampai proses menghilangnya kesadaran terlaksana dengan sempurna. Setelah itu baru dia berteriak, diikuti tawa keras dan panjang. Dia berlari menuruni anak tangga. Seperempat jam kemudian pintu kamar Valentine terbuka, dan Monte Cristo keluar. Tingkah lakunya yang tenang dan agung terganggu oleh kesedihan yang sangat. Edouard yang sudah tidak dapat ditolongnya lagi berada dalam pangkuannya. Dengan bertekuk pada sebuah lututnya dia meletakkan mayat anak itu dengan kepalanya pada dada ibunya. Setelah itu dia berdiri kembali dan berjalan keluar. Di tangga dia berpapasan dengan seorang pelayan. "Di mana Tuan de Villefort?" tanyanya. Tanpa menjawab pelayan itu menunjuk ke kebun. Monte Cristo berjalan menuju kebun. Di sana dia melihat Villefort sedang menggali tanah dengan sebuah singkup. Para pelayannya mengelilinginya menyaksikan. 'Tidak di sini!" kata Villefort. "Bukan di sini!" lalu dia pindah menggali di tempat lain. Monte Cristo menghampirinya dan berkata dengan perlahan-lahan, 'Tuan de Villefort, Tuan telah kehilangan seorang anak, tetapi. .." 'Tidak, saya akan menemukannya kembali!" Villefort cepat memotong. 'Tak ada gunanya Tuan mengatakan dia tidak di sini . . . saya akan menemukannya, sekalipun saya harus terus mencarinya sampai Pengadilan Terakhir!" Monte Cristo terkejut. "Oh! Dia sudah gila!" Seperti takut mm ah terkutuk itu akan runtuh menimpa kepalanya Monte Cristo berlari ke jalan. Untuk pertama kalinya dia merasa sangsi apakah dia berhak melakukan apa yang telah dilakukannya. BAB LXVIII PERISTIWA yang baru saja berlangsung di ruang pengadilan telah menjadi buah bibir seluruh masyarakat Paris. Emmanuel dan Julie membicarakannya dengan ketakjuban yang mudah dimengerti Mereka membanding-bandingkan malapetaka yang mendadak menimpa Danglars, Morcerf dan Villefort. Maximilien yang datang berkunjung mendengarkan tanpa ikut berbicara. Pikirannya terbenam dalam kesedihannya. "Mengerikan sekali," kata Emmanuel, ingat kepada Danglars dan Morcerf. 'Dan betapa berat pula penderitaannya" jawab Julie, ingat kepada Valentine. Naluri kewanitaannya membuat dia enggan menyebut nama itu di depan kakaknya. "Bila benar ini hukuman Tuhan," lanjut Emmanuel, "tentu karena Tuhan mengetahui tidak ada jasa sedikit pun dalam masa lalu mereka yang dapat meringankan dosanya." Berbarengan dengan habisnya kalimat Emmanuel, pintu ruang duduk terbuka dan Monte Cristo muncul. Julie dan Emmanuel berseru gembira menyambutnya. Maximilien menengadah sebentar, lalu merunduk kembali. "Maximilien " kata Monte Cristo tanpa menghiraukan perbedaan kesan yang ditimbulkannya pada ketiga orang itu. "Saya datang untuk menjemputmu." "Menjemput?" tanya Maximilien seperti orang yang baru sadar dari mimpi. "Ya, bukankah sudah kukatakan agar bersiap-siap?" "Saya sudah siap," jawab Maximilien. "Saya justru datang ke mari untuk pamitan." "Hendak ke mana, Count?" tanya Julie. "Pertama-tama, ke Marseilles." "Ke Marseilles?" Sepasang suami-istri itu menjawab hampir berbarengan. "Ya, dan saya bermaksud membawa saudaramu." "Oh, tolong kembalikan dia dalam keadaan sembuh!" kata Julie. Maximilien memalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya. "Ini, berarti kalian mengetahui bahwa dia sangat menderita?** "Tentu saja. Saya takut dia sudah merasa bosan dengan kami." "Saya akan mencoba mengalihkan perhatiannya." "Saya sudah siap, Count," kata Maximilien. "Selamat tinggal, Emmanuel, selamat tinggal Julie!" ' A p a artinya ini?** tanya Julie. "Bagaimana engkau akan berangkat mendadak seperti ini, tanpa persiapan dan tanpa paspor?*' "Kalau ditangguhkan lagi, perpisahan akan terasa makin berat," kata Monte Cristo, "dan saya yakin Maximilien sudah mengatur segala-galanya. Artinya, saya sudah meminta menyelesaikannya." "Paspor sudah ada dan kopor pun sudah selesai," kata Maximilien acuh-tak acuh. "Dan engkau mau berangkat hari ini juga, tanpa me m berita.hu kami sebelumnya?" tanya Julie. "Kereta sudah siap di depan. Lima hari yang akan datang saya sudah harus berada di Roma." "Apakah Maximilien juga turut ke Roma?" tanya Emmanuel. "Saya akan pergi ke mana saja dibawa Count of Monte Cristo," jawab Maximilien dengan senyum sedih. "Saya menjadi miliknya untuk sebulan ini." "Aneh sekali kata-katanya itu, Count!" "Saudaramu akan selalu bersama saya, jadi tak usah khawatir." "Selamat tinggal, Julie! Selamat tinggal, Emmanuel!" "Saya bingung karena keanehannya," kata Julie. "Oh, Maximilien, engkau menyembunyikan sesuatu!" "Kalian akan melihat dia kembali dengan sehat dan gembira," kata Monte Cristo. Maximilien melemparkan pandangan mata marah kepada Monte Cristo. "Mari kita berangkat," kata Monte Cristo lagi. "Sebelum berangkat," kata Julie, "saya ingin mengatakan dahulu bahwa kemarin .............................................................." "Apa pun yang akan engkau katakan tak akan lebih berharga daripada apa yang saya lihat pada sorot matamu, apa yang terkandung dalam hatimu dan apa yang aku rasakan dalam hatiku sendiri," kata Monte Cristo sambil memegang tangan Julie. "Sebenarnya saya harus pergi tanpa menemuimu dahulu, seperti pahlawan-pahlawan dalam buku, tetapi ternyata saya ini tidak sekuat mereka, saya ini lemah dan senang sekali melihat orang berterima kasih, gembira dan penuh cinta kasih. Saya pergi sekarang, dan egoismeku mendesak untuk mengatakan: Jangan lupakan aku karena mungkin sekali kita tak akan bertemu lagi." "Tak akan bertemu lagi?" tanya Emmanuel heran, sedangkan di pipi Julie bergulir dua butir air mata. "Apakah Tuan ini malaikat yang hams kembali lagi ke langit setelah muncul di bumi berbuat kebaikan?" "Jangan berkata begitu," kata Monte Cristo. "Para malaikat tidak pernah berbuat keburukan. Tidak, saya seorang manusia biasa, Emmanuel, dan kekagumanmu itu tidak layak dan kata-katamu merendahkan segala sesuatu yang suci" Monte Cristo memegang tangan Emmanuel erat-erat, sedang tangan Julie diciumnya. Setelah itu segera meninggalkan rumah yang penuh kebahagiaan itu, lalu melirik kepada Maximilien yang masih murung seperti pada hari kematian Valentine. "Tolong gembirakan lagi saudara kami!" Julie berbisik ke telinga Monte Cristo. Monte Cristo memegang lagi tangan Julie dengan erat seperti yang pernah dilakukannya sebelas tahun yang lalu di tangga yang menuju kamar kerja ayahnya. "Apakah engkau masih mempunyai kepercayaan kepada Sinbad Pelaut?" tanyanya tersenyum. "Tentu, tentu saja." "Kalau begitu, jangan khawatir." Seperti dikatakan Monte Cristo tadi, keretanya sudah lama menunggu di muka pintu. Empat kudanya yang gagah-gagah menggerak-gerakkan kepalanya dan menginjak-injak tanah seperti sudah tidak sabar menunggu. Ali menunggu di bawah anak tangga, wajahnya berkilat-kilat karena keringat. Rupanya dia baru kembali dari perjalanan jauh, "Bertemu dengan orang tua itu?" tanya Monte Cristo dalam bahasa Arab. Ali mengangguk. "Dan kaubuka surat itu di hadapannya seperti yang kuperintahkan?" Ali mengangguk sekali lagi. "Apa katanya, atau apa yang dia perbuat?" Ali menutup matanya seperti yang biasa dilakukan Noirtier kalau dia bermaksud mengatakan "ya". "Bagus, artinya dia setuju. Mari kita berangkat." Kereta bergerak, makin lama makin cepat. Dari telapak kaki kuda yang beradu keras dengan jalan keluar percik-percik api. Maximilien duduk di sudut tanpa mau berbicara. Setengah jam telah berlalu. Kereta berhenti, Monte Cristo menarik tali sutra yang ujungnya terikat pada jari tangan Alt. Ali turun dan membuka pintu. Malam cerah, bintang pun bertebaran. Mereka sudah sampai di puncak bukit Villejuif Dari sini Paris kelihatan seperti lautan terhampar, jutaan cahayanya bagaikan ombak yang berkilat-kilat, ombak yang lebih dahsyat, lebih bergelegak, lebih membahayakan dari ombak lautan yang sedang marah, ombak yang tidak pernah mengenal tenang, ombak yang selalu membelah-belah, selalu berbuih, selalu menelan . . . Monte Cristo berdiri sendiri. Atas isaratnya kereta bergerak ke depan beberapa depa. Dia berdiri untuk beberapa saat dengan tangan sedekap, merenungkan kota Babilonia modern ini yang telah membuat penyair-penyair keagamaan maupun para pengejek agama, terharu melihatnya. "Kota yang besar!" katanya perlahan-lahan, lalu menundukkan kepala seperti orang yang sedang berdo'a. "Kurang dari enam bulan yang lalu aku memasuki gerbangmu. Aku percaya bahwa kehendak Tuhanlah yang membawa aku ke sana, dan sekarang Tuhan membawa aku keluar lagi de ngan kemenangan. Hanya Dia sendiri yang mengetahui bahwa kini aku berangkat tanpa rasa benci ataupun bangga, tetapi juga tanpa sesal. Hanya Dia sendiri yang mengetahui bahwa aku tidak menyalahgunakan kekuasaan yang di percayakanNya kepadaku, baik untuk kepentingan diriku sendiri maupun untuk kepentingan-kepentingan yang tidak berguna. Wahai Kota Yang Besar, dalam rongga dadamulah aku menemukan apa yang kucari! Seperti seorang penggali tambang yang sabar, aku telah menggali dalam sekali untuk mencabut akar-akar kejahatan. Sekarang tugasku sudah selesai. Engkau tidak akan dapat lagi memberiku kesenangan ataupun kesusahan. Selamat tinggal Paris! Selamat tinggal!" Untuk terakhir kalinya dia melayangkan pandangannya kepada hamparan yang luas. Setelah itu dia naik kembali ke dalam keretanya yang segera menghilang ditelan kegelapan dan kepulan debu. Mereka berjalan untuk beberapa lama tanpa berbicara. "Maximilien," akhirnya Monte Cristo menyobek kesunyian, "menyesalkah engkau pergi bersamaku?" "Tidak, Tuan, tetapi meninggalkan Paris itu. . . . " "Kalau aku yakin bahwa engkau akan menemukan kebahagiaan di sana, aku tidak akan mengajakmu pergi." "Tetapi di sanalah Valentine dibaringkan. Meninggalkan Paris bagi saya berarti kehilangan Valentine untuk kedua kalinya." ''Maximilien, kekasih-kekasih yang telah meninggal kita kuburkan dalam hati kita, bukan dalam tanah. Saya mempunyai dua orang sahabat yang selalu saya bawa dalam hati. Yang satu adalah orang yang menyebabkan saya lahir ke dunia ini, yang satu lagi, yang memberikan saya kepandaian dan kebijaksanaan. Aku selalu meminta nasihat mereka kalau aku dalam kebimbangan, dan kalau pernah aku berbuat baik dalam dunia ini, itu berkat nasihat-nasihat mereka. Mintalah nasihat kepada hati nuranimu sendiri, Maxiimlien, dan tanyakan kepadanya apakah patut engkau terus-menerus bermuram durja seperti ini.** "Sahabat," jawab Maximilien, "suara hati nurani saya sangat memilukan, tak ada yang dijanjikannya kecuali kesedihan." "Seorang yang lemah selalu melihat persoalan dari segi gelapnya saja. Jiwamu sedang gelap, sebab itu apa saja yang kaulihat tampak gelap semua." "Mungkin sekali," jawab Maximilien. Dia bersandar kenv. bali pada sudutnya untuk bermimpi lagi. Perjalanan mereka berlaku cepat sekali, berkat kekuasaan dan pengaruh uang dari Monte Cristo. Kota demi kota dilampaui. Keesokan harinya mereka sampai di Chalons, di mana kapal api Monte Cristo telah menanti. Kereta langsung dimuatkan ke dalam kapal dan mereka meneruskan perjalanan elalui lautan. Kapal ini sengaja dibuat untuk berlayar cepat. Bahkan Maximilien pun mabuk karena kecepatannya. Angin yang sewaktu-waktu meniup rambutnya seakan akan untuk sejenak menghapus awan gelap di wajahnya. Sedangkan Monte Cristo, makin jauh la merringgalkan Paris, makin bergairah kelihatannya. Seakan-akan suatu kekuatan gaib menopangnya. Dia seperti seorang buangan yang kembali ke kampung halamannya. Segera Marseilles kelihatan putih hangat dan penuh de ngan kehidupan. Sejumlah kenangan indah membayang pada kelopak mata kedua orang itu, ketika mereka melihat menara bundar, benteng Saint-Nicolas, Hotel de Vflle dan pelabuhan berbata merah tempat mereka bermain-main waktu kecil. Seperti merupakan persetujuan sebelumnya, keduanya berhenti di Cannebiere. Ada sebuah kapal yang sudah siap untuk berlayar ke Aljazair. Para penumpang berkerumun sepanjang geladak dan sanak saudara serta kawan-kawan mereka berteriak dari bawah sambil melambai-lambaikan tangan mengucapkan selamat jalan. Pemandangan serupa ini selalu mengharukan, sekalipun bagi mereka yang melihatnya setiap hari. Namun terhadap Maximilien sama sekali tidak berpengaruh. Ha) itu tidak mampu mengalihkan pikirannya yang timbul begitu dia menginjakkan kakinya di pelabuhan. "Lihat," katanya sambil memegang lengan Monte Cristo, "di sanalah ayah saya berdiri ketika Le Pharaon masuk untuk berlabuh. Di sinilah laki-laki perkasa yang Tuan selamatkan dari kematian dan kecemaran merangkul saya. Saya masih dapat merasakan kehangatan air matanya pada pipi saya. Dan dia tidak menangis sendirian; banyak orang sekeliling kami turut menangis." Monte Cristo tersenyum. "Saya di sana ketika itu,'* katanya, sambil menunjuk ke sebuah tempat di sudut jalan. Ketika mengucapkan ini, dari arah yang dia tunjuk terdengar suara memilukan, dan tampak seorang wanita melambaikan tangan kepada seorang penumpang muda di atas geladak kapal yang hendak berangkat. Mukanya bercadar. Monte Cristo mengawasinya dengan perasaan yang dengan mudah dapat terbaca Maximilien, seandainya saja dia sedang tidak melihat ke arah kapal. "Lihat I" seru Maximilien. "Anak muda berseragam itu, yang melambaikan topinya . . . . Albert de Morcerf!" "Betul/* jawab Monte Cristo. "Saya pun melihatnya." "Bagaimana mungkin Tuan mengenalinya padahal Tuan melihat ke arah lain?" Monte Cristo tersenyum kalau dia tidak mau menjawab, lalu memalingkan lagi pandangannya kepada wanita bercadar yang sudah menghilang di ujung jalan. Monte Cristo berkata, "Sahabat, tidakkah engkau mempunyai sesuatu urusan pribadi di sini?*' "Saya ingin menangis di kuburan ayah," jawab Maximilien bodoh. "Baik, pergilah ke pekuburan dan tunggu saya di sana." "Tuan sendiri mau ke mana?" "Saya pun mempunyai urusan pribadi sedikit" Monte Cristo mengikuti Maximilien dengan matanya sampai dia menghilang. Setelah itu dia sendiri berjalan ke arah rumah kecil di Allees de Meilhan. Rumah itu masih dalam keadaan cantik, sekalipun telah menua dan tidak terurus. Keadaannya tetap sama seperti ketika ayah Edmond Dantes masih tinggal di sana. Rumah itu seluruhnya sekarang diberikan kepada Mercedes. Mercedes sedang duduk di tempat yang teduh, menangis. Cadarnya telah diangkat. Dengan menyembunyikan wajah di balik kedua telapak tangannya dia melepaskan tangisnya. Monte Cristo mendekatinya. Mercedes menengadah, terkejut melihat seorang laki-laki yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. "Saya sudah tidak mampu lagi membuatmu bahagia/* kata Monte Cristo, "tetapi saya dapat menawarkan sesuatu yang mudah-mudahan menjadi penghibur. Bersediakah engkau menerimanya seperti pemberian dari seorang sahabat?" "Tidak dapat disangkal bahwa aku sangat tidak bahagia ," jawab Mercedes, "aku betul-betul sebatang kara. Satu-satunya yang kumiliki adalah anakku, dan dia telah pergi." "Apa yang dilakukannya benar sekali. Dia mempunyai hati yang mulia. Seandainya dia tetap bersamamu, hidupnya akan menjadi tidak bermanfaat dan dia tidak akan pernah berhasil membiasakan dirinya kepada kesedihanmu itu. Ketidakmampuannya akan membuat dia sakit. Sekarang ia akan menjadi orang yang kuat berkat perjuangannya melawan kemalangannya, dan dia akan berhasil me rubahnya menjadi keberuntungan. Berilah dia kesempatan membangun kembali kebahagiaanmu. Masa depanmu berada di tangan yang aman." "Oh," kata wanita malang itu sambil menggelengkan kepala dengan sedih, "aku tidak akan sempat menikmati kebahagiaan yang kaumaksud itu, yang aku do'akan supaya diberikan Tuhan kepada anakku. Terlalu banyak kejadian yang menyayat-nyayat hatiku sehingga aku merasa sudah dekat ke alam kubur. Bijaksana sekali engkau mengembalikan aku ke mari, Edmond, ke tempat aku pernah merasa berbahagia. Sebaiknya orang mati di tempat di mana ia pernah merasa berbahagia." "Kata-katamu membakar hatiku, Mercedes. Terutama sekali karena engkau mempunyai cukup alasan untuk membenciku, setelah aku menyebabkan kemalanganmu ini." "Membencimu, Edmond? Membenci orang yang pernah menyelamatkan jiwa anakku . . . bukankah pernah menjadi niatmu membunuh anak yang menjadi kebanggaan Morcerf? Pandanglah mataku, engkau tidak akan menemukan tanda-tanda penyesalan atau menyalahkanmu pada diriku!" Monte Cristo mengambd tangan Mercedes lalu menciumnya dengan penuh penghargaan. Namun Mercedes merasakan ciuman itu dingin seperti ciuman pada sebuah patung pualam seorang suci "Banyak orang-orang yang rusak masa depannya karena kesalahannya di masa lalu," kata Mercedes. "Ketika aku menyangka engkau telah mati, selayaknya aku pun harus mati Apa artinya bagiku berkabung terus-menerus dalam hati? Tak ada hasilnya, kecuali membuat seorang wanita berumur tiga puluh sembilan seperti berumur lima puluh tahun. Aku memang lemah dan pengecut! Aku mengkhianati cintaku sendiri, dan seperti seorang murtad aku menimbulkan kemalangan di sekelilingku." "Tidak, Mercedes," kata Monte Cristo, "engkau menghukum diri sendiri terlalu keras. Engkau seorang wanita terhormat dan mulia dan kesedihanmu membuatku lengah sejenak. Di belakangku, tidak tampak dan tidak diketahui ada Tuhan. Aku hanya menjadi alatNya. Renungkanlah masa lalu dan sekarang cobalah menduga apa yang terkandung masa depan, lalu ambil kesimpulan benarkah atau tidak aku hanya alat Tuhan semata. Malapetaka yang paling mengerikan, penderitaan yang paling pedih, terjauhnya aku dari mereka yang mencintaiku, dan hukuman, yang ditimpakan oleh orang yang sama sekali tidak mengenalku . . itulah bagian pertama dari hidupku. Lalu, setelah penangkapan, pengasingan dan penderitaan, datanglah kebebasan disertai dengan kekayaan yang luar biasa sehingga akan dungu dan butalah kalau aku tidak melihatnya dan mengertinya bahwa Tuhan sengaja memberikannya kepadaku sebagai suatu bagian dari sebuah rencana besar. Sejak itulah aku menganggap kekayaan merupakan amanat suci dari Tuhan, sejak itu aku tidak pernah berpikir untuk hidup biasa dengan segala kesenangan duniawinya, sejak saat itu aku tidak pernah mengenal detik-detik kedamaian. Aku merasa iliriku sebagai awan panas dihalau dari langit untuk menghancurkan dan membakar kota. Seperti seorang kapten yang hendak berkelana, aku mempersiapkan semua keperluan sehari-hari, mengisi semua senjata dan mempelajari semua cara menyerang dan bertahan. Aku membiasakan tubuhku dengan latihan-latihan yang berat dan melatih jiwaku untuk menghadapi kejutan yang paling dahsyat. Aku melatih tanganku untuk membunuh, melatih mataku melihat penderitaan seorang dan melatih bibirku tersenyum pada pemandangan yang paling mengerikan. Dari seorang yang lunak, percaya dan pemaaf, aku merubah diriku menjadi seorang pembalas dendam, terampil dan kejam, atau barangkali lebih tepat .dikatakan tak berperasaan, tuli dan buta seperti nasib itu sendiri. Lalu aku menjalani jalan yang terbentang di hadapanku dan tercapailah tujuanku. Celakalah mereka yang menghalangi perjalananku!" "Cukup, Edmond. Percayalah, bahwa satu-satunya wanita yang mengenali penyamaranmu, adalah juga satu-satunya wanita yang dapat memahaminya. Sekalipun engkau menghancurkanku dalam perjalananmu, Edmond, aku tetap akan mengagumimu! Seperti ada jurang luas antara aku dan masa laluku, begitu juga ada jurang yang sangat luas antara dirimu dan orang-orang lain. Dan aku akui, bahwa kepedihan yang paling menyiksa bagiku adalah mencari bandingan bagimu. Aku tidak berhasil, karena di dunia ini tidak seorang pun setaraf denganmu atau sama denganmu. Sekarang sebaiknya kita ucapkan selamat berpisah, Edmond. Mari kita berpisah." "Sebelum aku pergi, Mercedes, katakanlah dahulu apa yang kau kehendaki." "Aku hanya menginginkan satu hal: kebahagiaan anakku." wBerdo'alah kepada Tuhan agar dia terhindar dari ke-matian, dan aku akan melakukan sisanya." "Terima kasih, Edmond " "Bagaimana dengan engkau sendiri?" "Aku tidak memerlukan apa-apa. Aku hidup di antara dua kuburan. Satu, kuburan Edmond Dantes, laki-laki yang sangat kucintai dan yang sudah lama sekali meninggal. Aku tidak mau menghilangkan kenangan itu dari pikiranku, apa pun ditawarkan orang sebagai penggantinya. Kuburan yang satu lagi, kuburan laki-laki yang dibunuh oleh Edmond Dantes. Aku dapat membenarkan tindakannya itu, tetapi aku wajib tetap mendo'akan bagi kebaikan arwah korban." "Tetapi apa yang hendak kaulakukan?" "Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali berdo'a, dan aku tidak perlu bekerja mencari nafkah, karena aku telah menemukan harta karun yang kaukubur dua puluh empat tahun yang lalu." "Mercedes, aku tidak bisa menyalahkan sikapmu itu, tetapi aku kira pengorbananmu itu terlalu berlebihan ketika engkau meninggalkan semua harta kekayaan suamimu, yang sebenarnya setengahnya menjadi hakmu berkat kehematan dan pemeliharaanmu." "Aku tahu apa yang hendak kautawarkan, Edmond, tetapi aku tidak dapat menerimanya. Anakku akan melarangnya." ''Kalau begitu, aku tidak akan berbuat apa pun yang tidak akan disetujui olehnya. Aku ingin mengetahui apa yang menjadi keinginannya dan akan berpegang teguh kepadanya. Seandainya dia menyetujui apa yang hendak aku lakukan, apakah engkau pun akan setuju?" "Aku bukan orang yang berpikir lagi, Edmond, Tuhan telah menggoncangkan jiwaku sehingga aku sudah tidak mempunyai kemauan lagi. Karena aku tetap hidup, berarti DIA tidak menghendaki aku mati. Kalau Tuhan mengantarkan pertolongan, berarti Tuhan menghendaki aku menerimanya." "Bukan begitu caranya kita memuja Tuhan," kata Monte Cristo. "Tuhan menghendaki kita mengertiNYA dan memikirkan tujuanNYA: Itulah sebabnya kita diberi kebebasan kemauan/* "Jangan berkata begitu!" seru Mercedes cepat. "Kalau aku mempercayai bahwa Tuhan memberiku kebebasan kemauan, kemauanku adalah mati, dan ini berarti pula bahwa aku sudah tidak percaya lagi bahwa masih ada sesuatu yang dapat menyelamatkan aku dari puncak keputusasaan." Monte Cristo mengalah kepada kemurungan yang sudah memuncak pada wanita itu. "Maukah engkau mengatakan 'sampai berjumpa lagi*?** tanyanya sambil mengulurkan tangan kepada Mercedes. "Ya, 'sampai berjumpa lagi," jawab Mercedes khidmat sambil melihat ke langit. "Aku mengatakannya karena aku hendak membuktikan kepadamu bahwa aku masih mengharapkan bertemu kembali." Setelah memegang tangan Monte Cristo yang gemetar Mercedes berbalik, lalu berlari menaiki tangga. Monte Cristo berjalan perlahan-lahan kembali ke pelabuhan. Sekalipun Mercedes berada di muka jendela kamar yang pernah ditinggali ayah Dantes, dia tidak melihat kepergi-an Monte Cristo. Matanya mencari-cari kapal yang membawa anaknya di lautan. Matanya mencari bayangan anaknya, tetapi bibirnya mengucapkan, "Edmond! Edmond!" BAB LXIX HATINYA terasa berat ketika ia irierunggalkan Mercedes, Ia mengira kemungkinan untuk dapat bertemu kembali sangat kecil. Sejak kemattan Edouard banyak perubahan terjadi pada diri Monte Cristo. Setelah dengan segala susah-payah sampai kepada akhir pembalasannya, dia terpaksa menoleh lagi ke belakang dan ternyata menemukan banyak hal yang menimbulkan keraguan. Tambahan lagi pembicaraan dengan Mercedes membangkitkan beberapa pikiran dan perasaan yang harus ditekannya. Untuk seorang seperti Monte Cristo tidak boleh terlalu lama berada dalam keadaan seperti itu. Kepada dirinya sendiri terus-menerus dia katakan, kalau sampai menyalahkan diri sendiri, berarti ada beberapa kesalahan di luar perhitungannya. "Mungkin aku kurang tepat menuai masa laluku," pikirnya. "Bagaimana mungkin aku membuat kesalahan seperti ini? Apakah usahaku ini sia-sia? Mungkinkah selama sepuluh tahun ini aku menuruti jalan yang kurang benar? Tidak, aku tak dapat menerima pikiran itu . . . Menerima itu berarti hatiku gelisah terus. Alasan mengapa aku sekarang menjadi ragu, karena aku menilai masa lalu tidak seperti dahulu lagi ketika aku mulai berangkat melaksanakan sumpah. Masa lampau itu hilang bersama waktu, seperti hilangnya sebuah benda ditelan jarak. Apa yang terjadi pada diriku sekarang sama dengan yang terjadi pada orang yang bermimpi melihat dan merasakan sesuatu luka tetapi tidak ingat bila mendapatkannya." Monte Cristo berjalan sepanjang Rue Saint-Laurent menuju pelabuhan. Sebuah perahu sewaan kebetulan lewat. Monte Cristo memanggil pemiliknya yang datang segera dengan harapan mendapatkan upah yang baik. Hari sangat baik. Tetapi langit yang cerah, perahu-perahu pesiar yang berlayar kian ke mari dengan lemah gemulai, dan cahaya matahari yang menyirami alam sekeliling, semua itu sama sekali tidak menarik perhatian Monte Cristo. Pikirannya sedang kembali ke beberapa tahun yang lalu, ketika dia menjalani perjalanan yang tidak menyenangkan melalui jalur ini. Masih jelas terbayang dalam ingatannya semua kejadian waktu itu. Gedung d*If yang memberitahu ke mana dia akan dibawa, pergulatannya dengan para pengawal ketika dia mencoba menceburkan diri ke laut, keputus-asaannya ketika merasakan dirinya tidak berdaya dan rasa dingin yang menggigil ketika dia merasakan laras senapan ditekankan pada dahinya. Sedikit demi sedikit Monte Cristo merasakan kembali kepahitan yang pernah merendam hati Edmond Dantes. Bersamaan dengan itu tulanglah baginya langit dan cahaya matahari yang cerah. Langit seakan-akan berubah menjadi gelap, hitam bagaikan berkabung. Gedung d'If yang mulai membayang di kejauhan membuat dia terperanjat seperti melihat hantu musuh yang sangat berbahaya. Ketika mendekati pantai, secara naluriah Monte Cristo kembali ke buritan kapal. "Kita hampir sampai, Tuan," kata pemilik perahu. Monte Cristo ingat betul m' tempat itu jugalah dia dahulu didaratkan dengan paksa oleh para pengawal dan dipaksa pula menaiki lereng dengan ujung bayonet di punggungnya. Sejak Revolusi Juli gedung itu sudah tidak dipergunakan lagi sebagai penjara. Sekarang diisi oleh sebuah detasemen tentara yang bertugas menjaga jangan sampai gedung itu dipergunakan oleh para penyelundup. Ada seorang penunjuk jalan menunggu di gerbang untuk membantu para pengunjung yang ingin melihat-lihat gedung yang pernah menyeramkan itu dan sekarang sudah berubah menjadi obyek pariwisata. Sekalipun Monte Cristo sudah mengenalnya dengan baik, namun ketika dia menuruni tangga gelap yang menuju ke sel bawah tanah, tak urung keringat dinginnya keluar dari dahi. Hatinya serasa hendak membeku. Monte Cristo bertanya kalau-kalau ada bekas pegawai penjara yang masih tinggal di sana. Dia mendapat jawaban bahwa semua telah pensiun atau pindah bekerja di tempat lain. Penunjuk jalan yang mengantarnya sekarang mulai bekerja di sana sejak tahun 1830. Monte Cristo diantar memasuki selnya dahulu. Dia melihat secercah cahaya remangremang masuk melalui jendela yang sempit. Terlihatlah bekas ranjangnya. Sekalipun sudah diperbaiki namun lubang yang dibuat oleh Padri Faria masih jelas tampak. Monte Cristo merasakan lututnya melemah. Dia terduduk di atas sebuah bangku kayu. "Apa ada ceritera yang berhubungan dengan penjara ini, kecuali ceritera tentang penahanan Mirabeau?" tanya Monte Cristo. "Ada, Tuan" jawab penunjuk jalan. "Salah seorang sipir pernah berceritera kepada saya tentang sel ini. Maukah Tuan mendengarnya?" "Ya. Coba ceriterakan," Monte Cristo menekankan tangan kanannya di tentang jantungnya untuk menahan debarnya, karena ada semacam rasa takut untuk mendengar ceritera itu. "Sel ini," kata pengantar memulai, "pernah diisi seorang tahanan yang sangat berbahaya. Begitu kata orang, sekurang-kurangnya. Dan di dalam sel yang berdekatan ada lagi seorang pesakitan yang lain, yang sama sekali tidak berbahaya. Ia seorang padri miskin yang menjadi gila di sini." "Oh," kata Monte Cristo. "Gila bagaimana?" "Dia selalu menawarkan jutaan frank untuk ditukar dengan kemerdekaannya." "Bisakah kedua orang pesakitan itu bertemu?" 'Tidak, Tuan. Dilarang sama sekali. Tetapi, mereka berhasil membuat lubang di bawah lantai yang dapat menghubungkan kamar masing-masing." "Yang mana yang membuat lubang itu?" 'Tentu saja yang muda. Dia seorang yang kuat dan bersemangat, sedangkan padri miskin itu telah tua dan lemah. Lagipula, otak padri itu sudah tidak waras lagi untuk dapat membuat jalan semacam itu." "Bodoh!" pikir Monte Cristo. "Tak seorang pun tahu bagaimana caranya pesakitan muda itu bekerja," lanjut pengantar, "tetapi tak dapat disangkal dialah yang membuatnya. Lihat, Tuan, masih melihat bekas bekasnya." Dia menerangi dinding dengan obornya. "Ya, ya " kata Monte Cristo sambil memendam berbagai perasaan. "Dengan adanya jalan ini kedua pesakitan itu dapat berhubungan satu sama lain. Tidak pernah diketahui berapa lama mereka berbuat begitu. Pada suatu hari pesakitan tua itu sakit, lalu mati. Dapatkah Tuan mengira-ngira apa yang diperbuat pesakitan muda itu?" "Tidak." "Dia memindahkan mayat kawannya yang sudah dika-rungi ke ranjangnya sendiri. Lalu, dia sendiri kembali ke sel padri tua dan masuk ke dalam karung mayat bekas kawannya, setelah menutup lubang rahasia." Monte Cristo menutup matanya, seperti sedang merasakan sekali lagi dinginnya karung mayat itu menyentuh wajahnya. "Begini rupanya rencana anak muda itu: Dia mengira bahwa mayat pesakitan dikubur di bukit ini, oleh karena dia yakin Pemerintah tidak bakal mau menyediakan peti mati. Dia bermaksud membongkar kuburnya sendiri dari dalam. Tetapi sial sekali baginya, kebiasaan di penjara ini menghancurkan semua rencananya. Mereka tidak pernah mengubur mayat. Mereka hanya memberati kaki mayat dengan peluru meriam lalu melemparkannya ke dalam laut. Itulah nasib anak muda itu. Keesokan harinya, para pengawal penjara menemukan mayat padri tua di ranjang pesakitan muda. Selanjutnya dengan mudah mereka dapat menduga segala-galanya, terutama sekali ketika petugas yang melemparkan mayat ke laut menceriterakan sesuatu yang tidak pernah berani dia katakan sebelumnya. Katanya, ketika melemparkan karung itu mereka mendengar jeritan yang sangat mengerikan yang segera menghilang begitu karung itu menyentuh air." Monte Cristo menarik napas berat sekali, amarahnya bangkit di hatinya. "Tidak!" katanya dalam hati. "Aku ragu akan kebenaran tindakanku karena aku sudah mulai lupa kepada masa laluku. Kini, luka dalam hatiku merekah lagi dan dahaga balas dendam kembali bangkit." Lalu dia berkata kepada pengantarnya, "Apakah setelah itu ada terdengar lagi berita mengenai pesakitan itu?" "Tidak, Tuan. Dia dilemparkan dari ketinggian lima puluh kaki, dan kakinya dahulu yang mengenai permukaan air. Jadi peluru meriam yang berat itu pasti meluncurkannya langsung ke dasar lautan. Kasihan dia." "Apa engkau merasa kasihan?" "Tentu saja, Tuan, sekalipun dia mati dalam dunianya sendiri." "Apa maksudmu?" "Menurut ceritera orang, dia seorang pelaut yang dipenjarakan karena terlibat dalam gerakan Bonaparte." "Siapa namanya?" "Dia hanya dikenal dengan Nomer 34." "Villefort, Villefort!" katanya lagi dalam hati. 'Itulah tentu yang berteriak-teriak dalam hati nuranimu setiap kali hantu diriku mengganggu tidurmu!" "Apakah Tuan mau melihat yang lain-lainnya, Tuan?" **Ya, terutama sel padri tua itu." "Mari ikuti saya, Tuan." "Sebentar," kata Monte Cristo. "Aku ingin melihat kamar ini sekati lagi." "Baik, Tuan, dan kebetulan saya harus mengambil dahulu kunci sel padri itu. Silakan Tuan melihat-lihat selama saya pergi." "Ambillah!" "Saya tinggalkan obor ini." "Biar, tidak usah." "Tetapi di dalam gelap sekali." "Saya dapat melihat dalam gelap." "Seperti Nomer 34 saja. Kata orang, dia dapat menemu kau peniti dalam sudut yang tergelap dalam sel ini." ''Diperlukan sepuluh tahun latihan untuk itu," jawab Monte Cristo dalam hatinya. Pengantar itu pergi dengan membawa obor. Hanya dalam beberapa detik, Monte Cristo sudah dapat melihat segala sesuatu dalam sel dengan jelas sekali. "Ya," katanya sendiri, "inilah batu yang biasa kududuki, dan itu bekas darah dari dahiku ketika aku mencoba memecahkan kepala pada tembok! Angkaangka ini . . . ya, aku ingat. Aku membuatnya ketika aku menghitung usia ayahku untuk mengira-ngira apakah mungkin aku menjumpainya lagi, dan umur Mercedes untuk mengira-ngira apakah mungkin aku menemuinya masih belum kawin. Aku mempunyai harapan ketika selesai menghitung itu. Aku tidak pernah memperhitungkan kelaparan dan ketidaksetiaan ketika itu!" Tawa pahit tersembur dari bibirnya. Seperti dalam mimpi dia melihat ayahnya diusung ke kuburan-dan Mercedes diiringi berjalan ke altar. Perhatiannya tertarik kepada sebuah tulisan di tembok lain: "OH TUHAN, LINDUNGILAH INGATANKU!" "Itulah satu-satunya db'aku menjelang akhir penyekapan," pikirnya. "Aku sudah tidak lagi meminta kemerdekaan, aku hanya minta dipelihara ingatanku karena aku takut gila dan lupa akan segala. Engkau telah mengabulkan do a ku, Ya Tuhan! Terima kasih, terima kasih, Tuhanku!" Cahaya obor membayang ditembok. Pengantar itu telah kembali dan Monte Cristo keluar. "Silakan ikuti saya, Tuan." Monte Cristo melihat sisa-sisa ranjang kematian Padri Faria. Melihat ini, bukan amarah yang timbul dalam hatinya seperti ketika dia melihat bekas selnya sendiri, melainkan perasaan haru dan terima kasih sehingga matanya berlinang-linang. "Inilah kamar padri gila itu." Sambil menunjuk sebuah lubang yang masih terbuka dia melanjutkan, "Dari situlah datangnya pesakitan muda kalau berkunjung. Menilik kepada keadaan batunya, orang arif memperkirakan bahwa kedua orang itu telah berhubungan sekitar sepuluh tahun, Waktu yang lama sekali tentu bagi mereka itu! Kasihan!" Dantes mengambil beberapa buah uang logam dua puluh frank dari saku bajunya dan memberikannya kepada orang yang telah dua kali menyebut kasihan tanpa mengenal siapa yang dikasihaninya. Pengantar itu menerimanya dengan mengira bahwa dia hanya menerima beberapa uang receh saja. Tetapi setelah melihatnya dalam sinar obor dia baru menyadari nilai sebenarnya. "Mungkin Tuan keliru." "Apa maksudmu?" "Ini uang emas." "Aku tahu." "Benarkah Tuan bermaksud memberikannya kepada saya?" "Ya." Pengantar itu menatap wajah Monte Cristo penuh keheranan, 'Tuan," katanya. "Saya tidak dapat memahami kemurahan hati Tuan." 'Tidak sukar sebenarnya. Aku pun bekas pelaut, jadi aku sangat terpengaruh oleh ceriteramu tadi." "Oh! Karena Tuan telah bermurah hati, saya wajib menawarkan sesuatu." "Apa yang dapat kautawarkan?" "Sesuatu yang ada hubungannya dengan ceritera tadi." "Betul?" kata Monte Cristo ingin segera tahu. "Apa itu?" "Begini. Pada suatu hari saya berkata kepada diri saya sendiri: 'Kita akan dapat menemukan sesuatu di dalam sel yang pernah dihuni seorang pesakitan selama lima belas tahun.' Saya mulai mencari-cari dan akhirnya, di dalam lubang perapian yang tertutup sebuah batu, saya menemukan 'Tangga tali dan beberapa perkakas?" tanya Monte Cristo cepat. "Bagaimana Tuan mengetahuinya?" tanya pengantar itu bertambah heran. "Aku tidak tahu, aku hanya menduga saja. Itu *kan barang-barang yang biasa disembunyikan seorang pesakitan dalam selnya . . . Masih kausimpan barang-barang itu?" 'Tidak, Tuan, saya telah menjualnya kepada seorang pengunjung. Tetapi saya masih mempunyai sesuatu yang lain." "Apa?" Monte Cristo sudah tidak sabar. "Semacam buku yang ditulis pada beberapa lembar kain." "Masih ada buku itu?" "Saya tidak tahu bahwa itu sebuah buku, tetapi masih ada pada saya." "Ambil dan berikan kepadaku!" Pengantar itu meninggalkan sel. Monte Cristo berlutut di depan ranjang yang untuk Monte Cristo sekarang sudah berubah menjadi sebuah altar. "Oh, Bapakku yang kedua," katanya, "yang arif bijaksana, engkau telah memberikan kepadaku kemerdekaan, ilmu dan kekayaan . . . seandainya setelah wafat, Bapak masih dapat memberikan sesuatu yang dapat menggembirakan atau membangkitkan semangat, wahai hati yang mulia, yang arif bijaksana, wahai jiwa yang tenang, berikanlah isaratnya kepadaku. Hapuskanlah rasa ragu dalam hatiku ini yang bisa berubah menjadi rasa dosa dan akhirnya menjadi penyesalan!" Monte Cristo menundukkan kepala dan merapatkan kedua belah tangannya. "Inilah, Tuan," kata suara di belakangnya. Monte Cristo terperanjat dan membalik. Pengantar menyerahkan sobek-an-sobekan kain tempat Padri Faria mencurahkan semua kekayaan ilmunya. Ini merupakan karya besarnya mengenai kerajaan di Italia. Monte Cristo menerima dengan gairah. Yang pertama-tama terbaca ialah motto yang berbunyi: "Engkau wajib mencabut taring-taring ular naga dan menginjak-injak kaki singa, begitulah sabda Tuhan." "Ah!" kata Monte Cristo memekik gembira. "Inilah jawaban untukku! Terima kasih, Bapak, terima kasih!" Monte Cristo mengeluarkan dompet kecil yang berisi sepuluh lembar uang kertas seribuan. "Ini," katanya kepada pengantar, "ambillah dompet ini." "Untuk saya?" "Ya, tetapi dengan syarat, jangan dahulu dilihat isinya sampai aku pergi." Sambil menekankan benda berharga itu ke dadanya Monte Cristo berlari meninggalkan sel, kembali ke perahu yang menunggunya. "Kembali ke Marseilles," perintahnya. Selama dalam perahu matanya tidak pernah lepas dari penjara yang menyeramkan itu, yang makin lama makin menjauh. "Terkutuklah mereka yang menjebloskanku ke dalam lubang penderitaan itu dan mereka yang lupa bahwa aku pernah berada di dalamnya!" Kemenangannya telah lengkap. Monte Cristo telah ber* hasil mengalahkan keraguannya untuk kedua kalinya. Setelah mendarat dia pergi ke pekuburan di mana ia menemukan Maximilien. Sepuluh tahun yang lalu dia pun pernah berkunjung ke pekuburan ini, namun, kendati dengan jutaan frank di tangannya dia tidak berhasil menemukan kuburan ayahnya yang mati karena kelaparan. Keadaan ayah Maximilien lebih baik. Dia meninggal dalam pelukan putra-putrinya, dia dibaringkan di sisi istrinya yang meninggal dua tahun lebih dahulu. Nama-nama mereka terukir pada batu pualam, diletakkan berdampingan, berpagar besi dan diteduhi oleh empat batang pohon sip res. Maximilien bersandar kepada salah satu pohon itu dan menatap kedua kuburan dengan wajah dungu. ''Maximilien,*' kata Monte Cristo, "dalam perjalanan ke mari pernah engkau mengatakan mau tinggal di Marseilles untuk beberapa hari. Apakah masih ada keinginan itu?" "Saya sudah tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi. Tetapi, rasanya menunggu di sini akan lebih ringan dibandingkan dengan di tempat lain." "Baik, kalau begitu. Aku akan meninggalkanmu untuk beberapa lama, tapi kuharap engkau teguh memegang janji!" Anak muda itu membiarkan kepalanya terkulai ke dada. "Saya ingat janji itu," katanya setelah diam beberapa - saat. 'Tetapi, ingat . . .** "Aku menunggumu di Pulau Monte Cristo pada tanggal 5 Oktober. Tanggal empat, sebuah kapal pesiar akan menunggumu di pelabuhan Bastia. Nama kapal pesiar itu Eurus. Sebutkan namamu kepada kaptennya, dia akan membawamu kepadaku.*' "Saya akan bertindak seperti yang sayajanjikan, tetapi ingatlah bahwa pada tanggal 5 Oktober . - . " "Sudah kukatakan lebih dari dua puluh kali bahwa apabila engkau masih bersikeras mau mati pada hari itu, aku sendiri yang akan membantumu. Sekarang, selamat tinggal." 'Tuan mau berangkat sekarang?" "Ya. Ada sesuatu yang hams kukerjakan di Italia. Aku harus berangkat sekarang juga. Mau engkau mengantarku sampai ke pelabuhan?" "Siap, Tuan." Maximilien mengawani Monte Cristo ke pelabuhan. Asap hitam sudah mengepul dari cerobong kapal ketika mereka tiba. Satu jam kemudian kapal itu sudah menghilang di kaki langit timur. BAB LXX TEPAT pada waktu yang bersamaan dengan menghilangnya kapal Monte Cristo di Teluk Morgio, seorang laki-laki lain baru saja melewati sebuah kota kecil antara Florence dan Roma. Aksen bicaranya menunjukkan orang Peran cis Kata-kata Italia yang dikenalnya adalah istilah musik. Dia katakan 'Allegro' kepada saisnya kalau dia menghendaki percepatan dan 'Moderate' kalau meminta berjalan sedang. Ketika sampai di La Storta dari mana Roma dapat terlihat dari kejauhan, laki-laki ini sama sekali tidak merasakan tertarik oleh pemandangan indah itu, berbeda dengan orang asing lainnya yang selalu berhenti sejenak untuk menikmati keindahan Gereja Saint Peter yang menjulang mengatasi bangunan-bangunan lain. Dia, justru mengeluarkan dompet membuka kertas itu dan menatapnya dengan penuh penghargaan lalu melipatnya kembali, dan akhirnya berkata: "Untung aku masih punya ini." Kereta berjalan menyusuri Porta del Popolo, membelok ke kiri lalu berhenti di muka sebuah hotel. Pemilik hotel Itu, Signor Pastrint, menyambut tamunya di ambang pintu dengan topi di tangan. Laki-laki itu turun dari kereta, memesan kamar dan makanan dan menanyakan alamat firma Thomson and French. Ketika tamu ini meninggalkan hotel diantar seorang penunjuk jalan, seorang laki-laki lain diam-diam mengikutinya. Rupanya orang Perancis itu sangat bergegas-gegas, sampai dia tidak mau membuang waktu menunggu kuda kereta didandani dahulu. Dia berjalan saja setelah memesan agar kereta itu menyusuinya dan menunggu di kantor firma Thomson and French. Orang Perancis itu masuk, meninggalkan pengantarnya di ruang tamu. "Firma Thomson and French!" tanya orang asing Itu kepada seorang karyawan. Seorang pelayan berdiri atas isarat dari karyawan yang memperhatikan tamunya dengan teliti. "Bolehkah saya mengetahui nama Tuan?" tanya pelayan. "Baron Danglars," Pelayan dan baron itu memasuki ruangan lain. laki-laki yang mengikuti Danglars sejak dari hotel duduk menunggu. Karyawan menulis lagi, sedang laki-laki yang menunggu itu tetap diam. Pena karyawan berhenti bergerak. Dia menengadah dan secara hati-hati melihat ke sekelilingnya. "Ah!" katanya, "sudah di sini rupanya engkau, Peppino?" "Ya," jawab laki-laki yang menunggu itu. "Apakah sudah menemukan keterangan-keterangan mengenai orang gemuk itu?" "Kami sudah diberi tahu sebelumnya." "Artinya kau sudah tahu apa maksudnya datang ke mari?" "Tentu saja. Dia datang untuk mengambil uang. Yang kami perlukan sekarang berapa banyak jumlahnya." "Akan saya beri tahukan sebentar lagi, kawan." "Baik, tetapi jangan berikan keterangan yang salah, seperti yang kau berikan mengenai Pangeran Rusia beberapa waktu yang lalu. Kaukatakan tiga puluh ribu frank padahal kami hanya menemukan dua puluh lima ribu.** "Barangkali kalian kurang cermat menggeladahnya." "Tak mungkin. Luigi Vampa sendiri yang melakukannya.** "Kalau begitu, pasti sudah dia gunakan untuk membayar hutangnya atau membelanjakannya sebagian sebelum kalian berhasil menangkapnya." "Memang, mungkin begitu." "Bukan mungkin, pasti. Maaf, aku tinggal dahulu, aku mau melihat berapa tepatnya uang yang ditarik orang Perancisitu." Peppino mengangguk. Ketika karyawan itu masuk ke mangan yang dimasuki Danglars tadi, Peppino mengeluarkan tasbih dari kantong bajunya lalu mulai berdo'a seperti orang alim. Sepuluh menit kemudian karyawan itu kembali. "Bagaimana?" tanya Peppino. "Hampir tak masuk akal. Siap-siap untuk mendengarnya!" "Lima juta, bukan?" "Tepat. Bagaimana kau tahu?" "Dari kwitansi yang ditandatangani Count of Monte Cristo." "Betul!" jawab karyawan itu semakin heran. "Dari mana kau mendapatkan keterangan yang secermat itu?** "Sudah kukatakan tadi, kami sudah diberitahu lebih dahulu." "Jadi, apa gunanya lagi meminta keterangan dari aku?" "Hanya untuk meyakinkan bahwa dialah orangnya.*' "Memang dialah orangnya . . . Sst. Dia keluar!" Karyawan mengambil penanya dan Peppino tasbihnya. Yang satu menulis yang lain berdo'a ketika pintu terbuka dan Danglars keluar dengan wajah yang cerah, diantar oleh kepala bank sampai ke pintu. Peppino pun keluar mengikuti Danglars. Sebuah kereta menunggu Danglars di depan kantor. Pengantar yang dibawanya dari hotel membukakan pintu dan Danglars naik. Setelah itu pengantar menutup pintu kereta dan dia sendiri duduk di sebelah kusir. Peppino naik ke tempat duduk di belakang. "Apakah ada minat untuk pergi ke Gereja Saint Peter, Yang Mulia," tanya pengantar. "Buat apa?" "Ya, untuk melihat-lihat!'* "Saya datang ke Roma tidak untuk pesiar." "Ke mana jadi hams saya antarkan Tuan?" "Kembali ke hotel!" "Casa Pastrinl," kata pengantar kepada kusir. Sepuluh menit kemudian Baron Danglars sudah kembali di kamarnya, Peppino duduk di sebuah bangku di muka hotel. Danglars merasa letih, mengantuk dan bahagia. Dia menyimpan dompetnya di bawah bantal, lalu tidur. Sekalipun dia tidur dini sekali, namun keesokan harinya ia bangun terlambat sekati. Mungkin disebabkan kurang tidur selama enam hari belakangan ini. Sarapannya hebat sekali. Tanpa tertarik sedikit pun untuk melihat-lihat kota Abadi itu, dia memesan kereta untuk tengah hari. Tetapi dia tidak memperhitungkan kebiasaan kepolisian dan kelambatan kantor pos setempat. Kereta pesanannya tidak datang sebelum jam dua, sedangkan paspornya bani selesai diurus oleh petugas hotel jam tiga. "Mengambil jalan mana, Tuan?"' tanya kusir dalam bahasa Italia. "Jalan Ancona." Signor Pastrini bertindak sebagai penterjemah. Kereta segera berangkat. Melalui Venetia Danglars bermaksud menuju Wina<, sebuah kota yang terkenal sebagai kota hiburan. Di sanalah dia bermaksud menetap. Ketika malam tiba, kereta sudah cukup jauh dari Roma. Dia bertanya kepada kusir berapa jauhnya lagi sampai ke kota berikutnya. "Non capisco," jawab kusir. Danglars mengangguk. Kereta berjalan terus. "Aku akan menginap semalam di perhentian berikut" katanya dalam hari. Selama sepuluh menit dia memikirkan istrinya yang dia tinggalkan di Paris, sepuluh menit berikutnya diberikan kepada anaknya yang sedang berkelana entah di mana bersama Nona d*Armfly. Berikutnya ia memikirkan bagaimana akan memanfaatkan uangnya. Setelah tidak ada lagi yang dapat dipikirkannya, ia menutup mata lalu tidur. Kereta berhenti. Danglars membuka mata, melihat ke luar melalui jendela, mengira sudah sampai di sesuatu kota atau sekurang-kurangnya kampung. Tetapi dia tidak melihat apa-apa, kecuali reruntuhan beberapa bangunan. Empat orang berjalan bolak-balik seperti bayangan. Danglars menunggu kusir yang baru saja selesai mengganti kuda datang meminta bayaran. Aneh, kuda diganti tanpa ada orang meminta bayaran. Dia merasa heran, lalu membuka pintu kereta. Sebuah tangan yang kasar menutupnya kembali dengan keras, dan kereta berangkat lagi Baron yang tidak dapat memahami kejadian ini, hilang kantuknya. "Hei, mio carof*J dia memanggil kusir dengan kata kata Italia yang dia ambil dari sebuah lagu yang dinyanyikan berduet oleh anaknya dan Pangeran Cavalcanti. Tetapi mio caro tidak menjawab. Danglars membuka jendela, menjulurkan kepala dan berteriak, "Ke mana kita?" trDentro ia testa*" sebuah'suara berat dengan nada mengancam menjawabnya Danglars mengerti bahwa dentro la testa berarti 'masukkan kepalamu*. Cepat juga dia belajar bahasa Italia itu. Danglars menurut, tapi bukan tanpa risau. Kerisauan ini makin lama makin meningkat, sehingga akhirnya kepalanya penuh dengan segala macam pikiran yang menakutkan, terutama bagi orang dalam keadaan seperti dirinya. Dia melihat orang berkuda di sebelah kanan keretanya. "Polisi,** pikirnya "Barangkali pemerintah Perancis telah mengirim kabar kepada pemerintah Roma tentang diriku.*' Dia ingin segera mendapat kepastian. "Ke mana aku akan kalian bawa?" "Dentro ia testa!" jawab suara yang tadi dalam nada yang sama. Danglars melihat ke sebelah kiri Di sini pun ada orang berkuda mendampingi kereta. "Tak syak lagi," katanya sendiri. "Aku tertangkap.'* Dia bersandar, bukan untuk tidur melainkan untuk berpikir. Tak lama kemudian bulan muncul. Dia menengok lagi ke luar dan terlihat lagi aliran air yang sudah dilihatnya tadi pada ketika permulaan perjalanan. Hanya saja kalau tadi aliran itu berada di sebelah kanan, sekarang di sebelah kirinya. Dia menyangka bahwa kereta telah berputar haluan membawanya kembali ke Roma. Akhirnya dia melihat bayangan hitam d; hadapannya seakan-akan hendak diterjang kereta, tetapi pada detik terakhir kereta menyimpang dan berjalan di sebelah bayangan hitam itu. Ternyata bayangan hitam itu salah satu benteng pertahanan sekeliling Roma. "Rupanya tidak kembali ke kota. Artinya mereka bukan polisi yang mau menangkapku," pikir Danglars. "Ya Tuhanku! Mungkinkah mereka . . ." Ingatannya kembali kepada ceritera-ceritera menarik tentang bandit-bandit Roma yang tidak banyak dipercaya di Perancis. Teringat juga ia kepada pengalaman Albert de Morcerf. Kereta berhenti dan pintu sebelah lari terbuka. **Scertdir perintah satu suara. Danglars segera turun. Dia belum dapat berbicara bahasa Italia tetapi dapat mengerti. Dalam keadaan lebih dekat kepada mati daripada hidup, Danglars melihat ke sekelilingnya. Dia dikepung oleh empat orang, tidak termasuk sais. "Di qua" kata salah seorang sambil berjalan memasuki jalan setapak. Danglars mengikutinya tanpa membantah. Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit tanpa berbicara dengan yang membawanya, Danglars mendapatkan dirinya di antara dua bukit kecil. Tanahnya penuh ditumbuhi rumput-rumput tinggi. Tiga orang berdiri tegak merupakan segrtiga. Danglars berada di tengah-tengah mereka. "Avanti!" Terdengar lagi suara yang bengis tadi memerintah. Sekali ini Danglars memahami perintah itu tidak dari kata-katanya, melainkan dari gerakan tubuh orang. Orang yang di belakangnya mendorongnya dengan kuat sekali sehingga dia menubruk orang di hadapannya. Orang ini tiada lain dari Peppino, yang sudah hafal betul liku-liku jalan ini. Peppino berdiri di muka sebuah batu karang besar yang setengah terbuka seperti pelupuk mata, lalu masuk ke dalamnya. Suara dan gerakan orang di belakang Danglars memerintah agar mengikuti Peppino. Danglars tidak ragu-ragu lagi bahwa dia sudah jatuh ke tangan bandit-bandit Roma, Dua orang berjalan di belakangnya, dan selalu mendorongnya apabila Danglars berhenti. Mereka membawa Danglars melalui sebuah gang yang agak miring ke sebuah tempat yang menyeramkan. "Siapa itu?" tanya seorang penjaga. "Kawan!" jawab Peppino. "Di mana pemimpin?" "Di dalam." Peppino memegang Danglars pada leher bajunya dan menarik dia melalui sebuah lubang, membawanya ke ruangan tempat tinggal kepala bandit. 'Inikah orangnya?" tanya kepala bandit yang sedang asyik membaca buku Kehidupan Alexander di Plutarch. ''Betul." "Terangi mukanya." Atas perintah ini Peppino mendekatkan obor begitu dekat ke wajah Danglars sehingga baron itu mundur karena kepanasan. Air mukanya menunjukkan sangat ketakutan. "Dia cape," kata kepala bandit. "Bawa dia ke tempat tidurnya." Darahnya tersirap karena apa yang disebut tempat tidur terbayang olehnya sebagai kuburan. Dia mengikuti Peppino,tanpa mencoba berteriak atau meminta dikasihani karena dia sudah tidak mempunyai kekuatan, keinginan ataupun perasaan lagi. Dia dibawa ke semacam kamar tahanan. Keadaannya bersih dan kering sekalipun berada di bawah tanah. Di salah satu sudutnya terdapat tempat tidur dari tumpukan rumput kering dilapisi kulit biri-biri. Ketika Danglars melihatnya dia menghela napas lega karena apa yang dilihatnya itu merupakan suatu isarat keselamatan. "Terima kasih, Tuhan!" bisiknya. "Tempat tidur benar rupanya!" *'Eccot n kata pengantarnya. Dia mendorong Danglars ke dalam lalu mengunci pintu dari luar. Danglars menjadi tahanan. Sekalipun pintu itu tidak dip alang umpamanya, hanya seorang suci yang didampingi malaikat dari sorgalah yang akan dapat lolos dari banditbandit di bawah pimpinan Luigi Vampa yang tersohor dan bermarkas di pekuburan Saint Sebastian itu. Danglars mengenali kepala bandit ini dari ceritera Albert sehingga sekarang mau tak mau dia percaya kepada apa yang dahulu disangsikannya. Bukan saja dia < mengenali pribadi Luigi Vampa, tetapi juga mengenali kamar tahanannya sebagai kamar tahanan Morcerf dahulu. Mungkin sekali tempat ini sengaja disediakan untuk keperluan itu. PemUdrannya yang berikut ini memberikan sedikit ketenangan pada jiwanya: karena tidak segera dibunuh, rupanya bandit-bandit itu memang tidak bermaksud membunuhnya. Mereka menangkap pasti untuk merampok, tetapi karena di sakunya hanya ada beberapa ribu frank saja mereka menahannya untuk meminta uang tebusan. Dia ingat bahwa Albert dahulu dilepaskan dengan uang tebusan sekitar dua puluh empat ribu frank. Oleh karena dia menganggap dirinya lebih penting dari Albert maka dia memperkirakan uang tebusannya akan dua kali lipat. Masih akan mempunyai sisa sebanyak lima juta frank lagi. Dengan jumlah itu, dapat hidup berkecukupan di mana saja dalam dunia ini Dengan keyakinan yang hampir penuh akan dapat terbebas dari keadaannya sekarang karena tidak pernah mendengar ada uang tebusan sebanyak lima juta frank, Danglars merebahkan diri di tempat tidur dan tak lama kemudian lelap setenang pahlawan yang cert teranya sedang dibaca Luigi Vampa, BAB LXXI YANG pertama-tama dilakukannya setelah terjaga, menarik napas panjang untuk meyakinkan dirinya bahwa tiada luka di badannya. Cara ini diketahuinya dari Don Quisot, satu-satunya buku yang pernah dia baca sehingga hafal. "Tidak," katanya, "mereka tidak membunuh, juga tidak melukaiku. Tetapi mungkin aku sudah dirampok?" Dengan cepat dia merogoh kantongnya. Uang dua ribu frank yang dia sisihkan untuk bekal perjalanan masih berada di tempatnya. Juga dompet yang berisi kertas berharga lima juta masih ada. "Perampok aneh!" pikirnya. "Sangkaanku betul, mereka akan meminta uang tebusan." Perlukah dia meminta penjelasan dari bandit-bandit itu atau menunggu saja dengan sabar sampai mereka mulai bertindak? Pilihan yang kedua rupanya yang dianggapnya paling baik. Dia menunggu. Sementara itu seorang penjaga ditempatkan di muka pintunya. Jam delapan penjaga diganti. Danglars ingin sekali mengetahui $Upa yang menjaganya. Dia melihat berkasberkas cahaya . , . bukan cahaya matahari melainkan cahaya lampu . . . masuk melalui celah-celah pintu. Melalui celah itulah dia mengintip ke luar dan melihat penjaga sedang minum brendi Tempat minumnya diperbuat dari kulit. Itulah sebabnya baunya menjadi tidak sedap. Danglars mundur lagi. Tengah hari penjaga diganti lagi. Keinginannya hendak mengetahui timbul lagi. Sekali lagi dia mengintip. Penjaga yang baru ini seorang yang tinggi dan kekar dengan mata besar, bibir tebal, hidung pesek, rambut merah sepanjang bahu diuntun beberapa buah sehingga kelihatan seperti ular-ular bergantungan. Orang ini lebih menyerupai raksasa daripada manusia, pikir Danglars. "Tapi aku ini sudah terlalu tua dan liat untuk menjadi santapan yang sedap." Danglars masih mempunyai sisa kepercayaan diri untuk bergurau. Pada saat yang bersamaan, seperti hendak membuktikan bahwa dirinya bukan raksasa pemakan manusia, penjaga itu duduk di depan pintu, lalu mengeluarkan dari kantongnya sepotong roti hitam, beberapa buah bawang dan sekerat keju. "Semoga setan menyergapku kalau aku dapat mengerti bagaimana orang dapat makan bebusukan serupa itu!" pikir Danglars ketika dia mengintip lagi. Dia duduk kembali di atas kulit biri-biri yang mengingatkannya kepada bau brendi penjaga yang lalu. Betapapun busuknya sesuatu, ia mempunyai daya tarik yang kuat sekali untuk perut yang kosong. Tiba-tiba Danglars merasa lapar. Tiba-tiba pula pandangannya berubah, si penjaga sudah tidak buruk lagi, rotinya tidak hitam lagi dan kejunya pun sudah kurang baunya. Dia berjalan ke pintu dan mengetuknya. "Che cosa?" tanya penjaga. "Sudah waktunya aku diberi makan," kata Danglars sambil menggedor-gedor daun pintu. Mungkin karena dia tidak mengerti atau mungkin juga dia tidak mendapat perintah untuk mengurus makan tahanannya, penjaga itu kembali meneruskan makan siangnya. Danglars merasa tersinggung, dan karena tidak mau berurusan lagi dengan orang kasar semacam itu. Dia pun kembali merebahkan dirinya. Empat jam berlalu. Raksasa sudah diganti lagi dengan yang lain. Perut Danglars sudah mefdHt-lilit pedih. Dengan perlahan-lahan dia berdiri, lalu mendekati pintu dan mengintip lagi. Terlihatlah wajah cerdik Peppino. Danglars mengetuk pintu perlahanlahan. "Ya," jawab Peppino yang fasih berbahasa Perancis berkat seringnya berkunjung ke hotel Signor Pastrini. Ketika dia membuka pintu, Danglars mengenalnya sebagai orang yang berteriak 'Destro la testa f ' tadi malam. Tetapi sekarang bukan waktunya untuk bertengkar. Danglars berkata dengan senyum seramah mungkin, "Maaf Tuan, bolehkah saya mendapat makanan?" "Makanan?" Peppino seperti terkejut. "Apakah Tuan merasa lapar?" "Ya. Saya lapar. Lapar sekali." "Kapan Tuan hendak makan, Yang Mulia?" "Sekarang juga kalau mungkin." "Tak ada yang lebih sederhana dari itu. Tuan dapat memesan apa saja . . . dengan membayar tentu, seperti layaknya di antara orang-orang Kristen yang jujur." "Tentu," kata Danglars, "sekalipun kalau boleh saya berterus-terang, menurut pendapat saya orang yang menahan wajib memberi makan tahanannya." "Itu bukan kebiasaan di sini, Yang Mulia." "Sebenarnya bukan alasan yang baik, tetapi saya bersedia menerimanya," kata Danglars yang berharap dapat mempengaruhi penjaganya dengan keramahannya. "Apa yang hendak Tuan pesan? Tuan cukup memberi perintah saja.** "Ada dapur di sini?" "Tentu saja, Tuan." "Tukang masak juga?" "Yang terbaik." "Minta goreng ayam, daging . . . apa saja asal dapat makan!" 'Terserah Tuan. Bagaimana kalau ayam goreng?" "Baik.'* Peppino berteriak keras sekali, "Ayam goreng untuk Yang Mulia!" Tak lama berselang seorang anak muda datang mengantarkan pesanan di atas talam perak. "Silakan, Yang Mulia," kata Peppino setelah mengambil baki dari tangan anak muda tadi dan meletakkan di atas meja, yang bersama sebuah kursi dan tempat tidur merupakan satu-satunya perabotan dalam kamar itu. Danglars meminta pisau dan garpu. "Baik, Yang Mulia," kata Peppino sambil menyerahkan garpu kayu dan pisau yang tumpul ujungnya. Danglars memegang garpu di satu tangan dan pisau di tangan lainnya siap untuk mengiris-iris goreng ayam. "Maaf dulu, Yang Mulia" kata Peppino, meletakkan tangannya di bahu Danglars. "Kebiasaan di sini membayar sebelum makan." Danglars berpikir. "Mereka akan memerasku, sebaiknya aku berlagak royal. Aku dengar bahwa harga-harga di Italia murah sekali. Seekor ayam mungkin hanya sekitar dua belas sou saja.** Dengan bergaya dia memberikan mata uang dua puluh frank kepada Peppino. Peppino menerimanya dan Danglars menggerakkan pisaunya untuk mulai makan. "Maaf sebentar, Yang Mulia " kata Peppino lagi, "masih kurang." "Tidak salah dugaanku,** pikir Danglars. Dia mengambil keputusan untuk mengalah. "Berapa lagi yang harus saya bayar untuk ayam kurus kering ini?" "Hanya sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh frank, Yang Mulia." Mata Danglars terbelalak. "Lucu sekali," katanya sambil menghadapi lagi ayam gorengnya. Tetapi Peppino mencegahnya. "Engkau mau bergurau rupanya?'* "Kami tidak pernah bergurau, Yang Mulia," jawab Peppino sungguh-sungguh. "Seratus ribu untuk ayam semacam ini?** "Tuan tidak akan dapat membayangkan betapa sukarnya beternak ayam dalam gua seperti ini, Yang Mulia." "Sudah, sudah!" kata Danglars. "Lucu memang kelakarmu itu, tetapi aku lapar. Biarkan aku makan. Ini dua puluh frank lagi untukmu sendiri, kawan.** "Masih sisa sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus enampuluh frank. Dengan sedikit sabar kita akan segera selesai." 'Tidak!" Danglars mulai marah. Dia masih tetap menyangka Peppino berkelakar. Persetan1 Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!" Peppino memberi isarat dan anak muda tadi mengambil kembali ayam itu dan membawanya ke luar. Danglars melemparkan dirinya ke atas tempat tidur setelah Peppino keluar dan mengunci pintu lagi. Perutnya terasa lapar sekali sehingga dia mengira tak akan pernah dapat dikenyangkan. Tetapi dia bertahan sejam lagi. Setelah itu kembali ke pintu dan berkata, "Jangan menyiksa lebih lama lagi. Katakan apa yang sebenarnya kaukehendaki?" "Tergantung pada Tuan, Yang Mulia, apa yang Tuan kehendaki dari kami," jawab Peppino. "Berikan perintah Tuan dan kami akan melaksanakannya." "Buka dulu pintu." Peppino membukanya. "Aku mau makan!" "Apakah Tuan merasa lapar. Yang Muba?" "Engkau tahu betul aku lapar sekali!" "Apa yang ingin Tuan pesan?" "Sepotong roti saja karena ayam terlalu mahal." "Roti!" Peppino berteriak. Anak muda datang membawa sepotong kecil roti. "Berapa harganya?" "Sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh frank, karena Tuan telah membayar empat puluh frank tadi." "Seratus ribu untuk roti sepotong ini?" "Benar, Yang Mulia." "Masa sama dengan ayam!" "Apa pun yang Tuan pesan harganya sama." Masih juga engkau bersikeras untuk berkelakar! Mengapa tidak kau katakan saja hendak membiarkan aku mati kelaparan?" "Sama sekali tidak, Yang Mulia. Tuan sendiri yang bermaksud bunuh diri. Tuan dapat makan kalau bersedia membayar." "Tetapi dengan apa harus kubayar, bedebah? Kaupikir aku membawa uang sebanyak itu?" "Tuan mempunyai lima juta frank dalam kantong, Yang Mulia. Cukup untuk lima puluh ekor ayam." Tubuh Danglars gemetar. Baru dia mengerti bahwa ini benar-benar kelakar, tetapi bukan kelakar yang main-main. "Baiklah," katanya, "aku membayar seratus ribu frank, boleh aku makan apa yang aku sukai?" 'Tentu saja, Yang Mulia." "Bagaimana caranya aku membayar?" Danglars sudah merasa agak bebas bernafas. "Sederhana sekali. Tuan mempunyai kridit di Firma Thomson and French. Berikan saja surat perintah membayar dan kami akan menukarkannya di sana." Danglars menerima pena dan kertas yang disodorkan Peppino, menulis surat itu dan menandatanganinya. "Inif" "Dan ini ayam Tuan." Danglars menghela napas ketika dia memotong-motong ayam itu. Kecil sekali rasanya untuk seharga itu. Peppino meneliti dahulu surat itu baik-baik sebelum memasukkannya ke dalam kantong. BAB LXXII HARI berikutnya Danojars merasa lapar lagi. Tetapi dia tidak mau membayar semahal kemarin. Hemat seperti dia, Danglars menyisakan sebagian goreng ayam kemarin. Setelah menghabiskannya, dahaga terasa. Minum tidak pernah dipikirkannya. Dia bergulat melawan haus sampai lidahnya terasa melekat kepada langit langit mulutnya. Setelah tidak kuat menahannya lagi dia berteriak memanggil Penjaga membuka pintu. Penjaga yang baru lagi. Karena berpendapat lebih baik berurusan dengan yang sudah dikenal, Danglars meminta Peppino. "Ada apa, Yang Mulia,** kata Peppino menghampiri dengan wajah cerah yang dianggap Danglars sebagai tanda baik. 'Apa yang dapat saya lakukan?** "Aku ingin minum." "Seperti Yang Mulia ketahui, anggur sangat mahal di kampung sekitar Roma.** "Bawakan saja air biasa," jawab Danglars mencoba menghindari serangan yang akan datang. "Air pun sama sukarnya dengan anggur, Yang Mulia. Tahun ini kering sekali," ''Rupanya engkau mau mulai lagi dengan permainan seperti kemarin," kata Danglars. Orang yang malang ini memaksakan dirinya tersenyum, tetapi dia merasakan, mengucurnya keringat di dahi. "Aku minta segelas anggur, kawan" lanjutnya setelah melihat Peppino diam saja. "Engkau menolak?" "Kami tidak menjual per gelas, Yang Mulia" jawab Peppino datar. "Berikan saja satu botol." "Anggur apa?" "Yang paling murah." "Harganya sama semua." "Berapa?" "Dua puluh lima ribu sebotol." "Mengapa- tidak kaukatakan saja kalian bermaksud menguras semua milikku?" tanya Danglars pahit. "Itu akan lebih cepat berakhir daripada membinasakanku sedikit demi sedikit seperti ini!" "Barangkali itulah maksud pemimpin kami" jawab Peppino. "Siapa pemimpinmu itu?" "Yang tadi malam kita temui** "Di mana dia sekarang?" "Ada di sini.** "Aku mau bicara dengan dia." "Silakan, Yang Mulia." Tak lama kemudian Luigi Vampa sudah berdiri di hadapan Danglars. "Tuan meminta saya datang?" "Tuankah pemimpin di sini?" "Benar, Yang Mulia." "Berapa uang tebusan yang Tuan minta? Katakan saja.' "Kami menghendaki uang yang lima juta itu." Danglars merasakan hatinya menciut "Itu adalah seluruh milikku," katanya, "dan itu merupakan sisa dari kekayaanku. Kalau Tuan mau mengambilnya, ambil sekaligus nyawa saya." "Kami dilarang menumpahkan darah Tuan, Yang Mulia." "Oleh siapa?" "Oleh orang yang kami patuhi." "Artinya masih ada yang lebih tinggi dari Tuan?" "Benar." "Apa masih ada lagi di atas dia?" "Ada, Yang Mulia"' "Siapa?" "Tuhan.** Danglars berfikir sejenak. "Saya tidak mengerti." "Mungkin sekali." "Mengapa Tuan diperintahkan memperlakukan saya seperti ini?" "Kurang tahu." "Begini" kata Danglars, "maukah Tuan menerima satu juta?" 'Tidak." "Dua juta?" "Tidak." "Tiga juta . . . empat juta? Saya akan berikan empat juta kalauTuan mau melepaskan saya." "Mengapa Tuan menawar empat juta untuk sesuatu yang berharga lima juta?" tanya Vampa. "Ambil semua dan bunuh saya!" Danglars berteriak. "Tenang, Yang Mulia. Kalau tidak, Tuan terpaksa harus makan makanan yang berharga satu juta frank sehari. Harap lebih ekonomis!" "Apa yang akan terjadi kalau uangku sudah habis?** tanya Danglars masih marah. "Tuan akan kelaparan.** "Kelaparan?" Wajahnya memucat. "Mungkin," jawab Vampa menyindir. 'Tadi Tuan mengatakan tidak akan membunuh saya?" "Betul" "Tetapi Tuan hendak membiarkan saya mati kelaparan?*' "Itu lain lagi." "Baiklah, bangsat," kata Danglars keras, "Aku akan hancurkan rencana busukmu itu. Oleh karena aku tokh akan mati, lebih cepat lebih baik untukku. Silakan siksa aku, laparkan, tetapi engkau tak akan mendapatkan tanda-tanganku lagi!" "Terserah kepada Tuan, Yang Mulia." Vampa keluar dari kamar itu. Danglars melemparkan dirinya ke atas tempat tidur. Siapa mereka itu? Siapa pemimpin sebenarnya? Apa maksud mereka? Mengapa tahanan-tahanan lain dilepaskan dengan uang tebusan, sedang dia sendiri tidak? Barangkali untuk pertama kalinya Danglars ingat akan kematian dan dia memikirkannya dengan takut bercampur harap. Keputusannya tidak menandatangani surat perintah pembayaran hanya berlangsung dua hari. Setelah itu dia me- . minta lagi makanan dan terpaksa membayarnya satu juta frank. Penculiknya memberi dia makanan yang baik dan banyak setelah menerima pembayarannya. Sejak itu, karena sudah sangat menderita dan tidak mau menderita lebih hebat lagi Danglars memenuhi semua permintaan mereka. Dua belas hari kemudian setelah selesai menghabiskan makanan sebaik ketika masa jayanya, dia menjumlahkan semua pengeluarannya dan ternyata uangnya hanya tinggal lima puluh ribu frank lagi. Timbul sikap yang aneh bagi orang yang baru saja mengeluarkan uang sebanyak lima juta frank. Dia bermaksud mempertahankan uang yang lima puluh ribu itu apa pun yang harus terjadi dan mulailah dia membayang-bayangkan harapan yang berbatasan dengan kegilaan. Dia, yang telah melupakan Tuhan sekian lamanya mulai menghibur dan menabahkan diri dengan mengatakan bahwa sewaktu-waktu Tuhan sukamenciptakan keajaiban seperti: tempat pekuburan ini hancur, atau posisi menyergap persembunyian ini lalu membebaskannya. Kalau itu terjadi ia masih mempunyai lima puluh ribu frank dan itu cukup untuk mencegah mati kelaparan. Dia memohon kepada Tuhan dengan menangis agar mengizinkan memiliki uang yang lima puluh ribu itu. Tiga hari berturut-turut nama Tuhan tidak pernah lepas dari bibir Danglars, kalau bukan di hatinya. Hari berikutnya dia sudah tidak menyerupai manusia lagi, sudah seperti mayat hidup. Untuk menekan lapar dia mulai memunguti sisa-sisa makanan, selanjutnya menyobek-nyobek tikar yang menutupi lantai. Karena tidak tahan, akhirnya dia meminta kepada Peppino diberi sedikit makanan dan menawarkannya seribu frank. Tetapi Peppino tidak menjawab. Hari berikutnya lagi dia meminta Vamp a datang. ''Ambillah sisa uangku ini semua dan biarkan saya hidup di sini, saya tidak minta dibebaskan, saya hanya minta hidup." "Benarkah Tuan menderita, Yang Mulia?" "Ya, saya menderita. Saya menderita sekali!" "Padahal banyak orang yang lebih menderita daripada Tuan." "Saya pikir tidak ada." "Ada, mereka yang mati kelaparan." Danglars mengeluh lalu berkata lagi, "Mungkin ada yang pernah menderita lebih dari saya, tetapi mereka itu setidak-tidaknya berkorban untuk orang lain." "Akhirnya Tuan merasa menyesal juga?" terdengar orang bertanya dengan suara yang dalam dan khidmat sehingga membuat berdiri bulu kuduk Danglars. Matanya yang sudah lemah melihat laki-laki berdiri di belakang Vampa, bermantel dan sedikit tersembunyi di bawah bayangan tiang. "Menyesal karena apa?" tanya Danglars gagap. "Karena perbuatan jahat yang pernah Tuan lakukan." "Oh ya, ya, saya menyesal! Saya menyesal!" Danglars menangis sambil memukulmukul dadanya dengan kepalannya yang sudah mengecil. 'Kalau betul begitu, saya maafkan Tuan," kata orang itu sambil melemparkan mantelnya dan maju ke tempat yang terang. "Count of Monte Cristo!" -Danglars berteriak heran bercampur takut "Tuan keliru. Saya bukan Count of Monte Cristo." "Siapa kalau begitu?" "Saya adalah yang tuan khianati dan hinakan, orang yang tunangannya Tuan paksa kawin dengan orang lain, orang yang Tuan injak-injak dalam meraih kekayaan, orang yang ayahnya mati kelaparan tetapi yang sekarang memaafkan Tuan karena dia sendiri pun memerlukan pengampunan. Saya adalah Edmond Dantes!" Danglars memekik lagi lalu jatuh. "Berdiri," kata Monte Cristo. "Nyawa Tuan akan selamat. Kawan Tuan yang dua orang kurang beruntung. Yang satu gila, yang lain mati! Peganglah sisa uang yang lima puluh ribu frank itu sebagai hadiah dari saya. Adapun yang lima juta, yang Tuan curi dari rumah sakit, sudah Timbul sikap yang aneh bagi orang yang baru saja mengeluarkan uang sebanyak lima juta frank. Dia bermaksud mempertahankan uang yang lima puluh ribu itu apa pun yang harus terjadi dan mulailah dia membayang-bayangkan harapan yang berbatasan dengan kegilaan. Dia. yang telah melupakan Tuhan sekian lamanya mulai menghibur dan menabahkan diri dengan mengatakan bahwa sewaktu-waktu Tuhan suka menciptakan keajaiban seperti: tempat pekuburan ini hancur, atau posisi menyergap persembunyian ini lalu membebaskannya. Kalau itu terjadi ia masih mempunyai lima puluh ribu frank dan itu cukup untuk mencegah mati kelaparan. Dia memohon kepada Tuhan dengan menangis agar mengizinkan memiliki uang yang lima puluh ribu itu. Tiga hari berturut-turut nama Tuhan tidak pernah lepas dari bibir Danglars, kalau bukan di hatinya. Hari berikutnya dia sudah tidak menyerupai manusia lagi, sudah seperti mayat hidup. Untuk menekan lapar dia mulai memunguti sisa-sisa makanan, selanjutnya menyobek-nyobek tikar yang menutupi lantai Karena tidak tahan, akhirnya dia meminta kepada Peppino diberi sedikit makanan dan menawarkannya seribu frank. Tetapi Peppino tidak menjawab. Hari berikut-. nya lagi dia meminta Vampa datang. "Ambillah sisa uangku ini semua dan biarkan saya hidup di sini, saya tidak minta dibebaskan, saya hanya minta hidup." "Benarkah Tuan menderita, Yang Mulia?" "Ya, saya menderita. Saya menderita sekali!" "Padahal banyak orang yang lebih menderita daripada Tuan." "Saya pikir tidak ada." "Ada, mereka yang mati kelaparan." Danglars mengeluh lalu berkata lagi, "Mungkin ada yang pernah menderita lebih dari saya, tetapi mereka itu setidak-tidaknya berkorban untuk orang lain." "Akhirnya Tuan merasa menyesal juga?" terdengar orang bertanya dengan suara yang dalam dan khidmat sehingga membuat berdiri bulu kuduk Danglars. Matanya yang sudah lemah melihat laki-laki berdiri di belakang Vampa, bermantel dan sedikit tersembunyi di bawah bayangan tiang. "Menyesal karena apa?" tanya Danglars gagap. "Karena perbuatan jahat yang pernah Tuan lakukan." "Oh ya, ya, saya menyesal! Saya menyesal!" Danglars menangis sambil memukulmukul dadanya dengan kepalannya yang sudah mengecil. "Kalau betul begitu, saya maafkan Tuan," kata orang itu sambil melemparkan mantelnya dan maju ke tempat yang terang. "Count of Monte Cristo!" «Danglars berteriak heran bercampur takut **Tuan keliru. Saya bukan Count of Monte Cristo." "Siapa kalau begitu?" "Saya adalah yang Tuan khianati dan hinakan, orang yang tunangannya Tuan paksa kawin dengan orang lain, orang yang Tuan injak-injak dalam meraih kekayaan, orang yang ayahnya mati kelaparan tetapi yang sekarang memaafkan Tuan karena dia sendiri pun memerlukan pengampunan. Saya adalah Edmond Dantes!" Danglars memekik lagi lalu jatuh. "Berdiri," kata Monte Cristo. "Nyawa Tuan akan selamat. Kawan Tuan yang dua orang kurang beruntung. Yang satu gila, yang lain mati! Peganglah sisa uang yang lima puluh ribu frank itu sebagai hadiah dari saya. Adapun yang lima juta, yang Tuan curi dari rumahsakit, sudah saya kembalikan tanpa menyebut nama saya. Sekarang, silakan makan dan minum. Tuan tamu saya malam ini. Vampa. kalau tuan ini sudah kuat kembali, lepaskan dia." Danglars masih tetap lemah tidak berdaya ketika Monte Cristo pergi. Waktu dia mengangkat kepala, dia sudah tidak menemukan apa-apa lagi kecuali bayangan yang menghilang. Seperti diperintahkan oleh Count of Monte Cristo, Vampa memberi Danglars anggur yang terbaik dan buah-buahan yang terbaik di Italia. Setelah itu dia membawanya dengan keretanya sendiri dan melepaskannya di tengah jalan. Danglars diam di sana sampai keesokan paginya tanpa mengetahui di mana dia berada. Ketika hari telah siang bara dia sadar bahwa dia berada dekat sebuah sungai kecil. Karena haus, dengan terseok-seok dia mendekatinya. Ketika dia bertiarap untuk meneguk air sungai, tahulah dia bahwa rambutnya telah memutih semuanya. BAB LXXIII JAM enam sore sebuah kapal pesiar kecil mungil meluncur cepat sekalipun pada saat itu tidak ada angin yang cukup, bahkan untuk membelai rambut seorang gadis pun. Di haluannya berdiri seorang pemuda tinggi dengan air muka murung, menatap daratan yang makin lama makin jelas seakan-akan muncul dari bawah permukaan laut. Itukah Pulau Monte Cristo?" tanyanya dengan nada sedih. "Benar, Tuan," jawab kapten kapal Beberapa menit kemudian mereka melihat kilat di atas pulau disusul suara tembakan. "Itu isarat buat kita, Tuan. Apakah Tuan mau membalasnya sendiri?" "Ya." Kapten menyerahkan kaiaben yang telah berisi kepada anak muda itu yang dengan perlahan-lahan mengarahkannya ke udara, lalu menarik picunya. Tak lama kemudian kapal itu sudah membuang jangkar dan sebuah sekoci dengan empat orang pendayung dikeluarkan. Anak muda itu naik ke sekoci, berdiri di buritan dengan bersidekap. Kedelapan bilah kayu pendayung bergerak bersama-sama, boleh dikatakan tanpa memercikkan air setitik pun. Sekoci melaju nya kepedihan." Maximilien duduk, Monte Cristo mengambil tempat di hadapannya. Mereka berada di ruang makan yang mewah. Beberapa patung pualam berdiri di sudut-sudut yang tepat, pada masing-masing kepalanya terdapat keranjang penuh bermacam-macam bunga dan buah-buahan. Maximilien memperhatikan seluruh isi ruangan. "Sekarang saya mengerti mengapa Tuan meminta saya datang ke istana bawah tanah di pulau terpencil ini, yang a-kan merupakan kuburan, yang bagi seorang raja pun akan merasa iri melihatnya, karena Tuan mencintai saya. Bukankah begitu? Rupanya Tuan bermaksud memberi saya kematian yang nyaman, kematian tanpa penderitaan, kematian yang memungkinkan saya pergi dengan nama Valentine di bibir dan tangan Tuan di tangan saya." "Terkaanmu tepat sekali, Maximilien," kata Monte Cristo. "Itulah maksudku." "Terima kasih. Mengingat bahwa penderitaan saya akan segera berakhir membuat saya tenteram sekarang." "Apakah tak ada yang akan kausesalkan sama sekali?" "Tidak." "Juga tidak untuk meninggalkan saya?" tanya Monte Cristo dengan perasaan yang mendalam. Maximilien terdiam. Sebutir air mata tergulir. "Air matamu itu menunjukkan bahwa di dunia ini ada yang terasa berat kautinggalkan tetapi engkatt tetap berniat mati" "Harap jangan berkata lagi. Tuan. Jangan memperpanjang penderitaan saya." Monte Cristo yakin Maximilien sudah mulai ragu. Ia ingat kepada -keraguannya sendiri yang berhasil ia tundukkan di penjara d'lf. "Aku bermaksud memberi dia kebahagiaan," pikirnya. "Dan aku anggap maksudku ini sebagai imbalan kepada keburukan yang pernah aku perbuat. Bagaimana kalau aku keliru? Bagaimana kalau orang Ini merasa tidak berbahagia untuk mengecap kebahagiaannya? Apa yang akan terjadi dengan aku sendiri yang hanya dapat melupakan keburukan dengan mengingatingat kebaikan? Setelah itu dia berkata keras: "Aku tahu kesedihanmu sangat mendalam, Maximilien, tetapi engkau tetap masih mempunyai kepercayaan kepada Tuhan, tetapi pula tidak mau mengambil kesempatan agar menolong jiwamu." Maximilien tersenyum sedih. "Tuan telah cukup mengenal saya; saya bukanlah pemain sandiwara. Saya bersumpah bahwa jiwa saya sudah bukan milik saya lagi." "Coba dengarkan baik-baik, Maximilien," kata Monte Cristo. "Seperti kau tahu, aku ini sebatang kara. Aku menganggapmu sebagai anak sendiri. Aku bersedia mengorbankan diri untuk keselamatan jiwa anakku, berarti juga aku bersedia mengorbankan seluruh kekayaanku." "Apa maksud Tuan?" "Maksudku, engkau mau mati karena tidak mengetahui kebahagiaan yang mungkin diberikan oleh harta kekayaan. Aku memiliki hampir seratus juta frank. Aku akan berikan itu semua kepadamu. Dengan kekayaan sebanyak itu kau dapat memenuhi semua yang kauinginkan. Kalau engkau cukup mempunyai ambisi, semua kedudukan terbuka bagimu. Kemudian dunia Ini dan rubahlah wajahnya. Jangan biarkan dirimu hanyut dibawa gagasan-gagasan gila. Kalau perlu biarlah jadi penjahat, asal jangan bumri\diri" "Tuan telah berjanji," jawab Maximilien dingin. "Dan sekarang sudah setengah dua belas." "Maximilien! Tegakah engkau melakukannya di hadapan mataku, di dalam rumahku?" "Kalau begitu, izinkan saya pergi," Maximilien berdiri. Mendengar ini wajah Monte Cristo bersinar. "Baik kalau begitu " katanya. "Engkau mau mati dan kemauanmu itu sudah tidak dapat dirubah lagi. Memang,engkau sangat tidak berbahagia, seperti katamu sendiri, hanya suatu keajaiban saja yang akan dapat menyembuhkarimu. Duduklah Maximilien, dan tunggu." Maximilien menurut, Monte Cristo berjalan ke sebuah lemari. Dari dalamnya ia mengeluarkan sebuah kotak perak, lalu menaruhnya di atas meja. Kotak itu dibukanya dan dikeluarkannya lagi sebuah kotak lain yang lebih kecil yang diperbuat dari emas. Dengan menekan tombol yang kecil dan tersembunyi penutup kotak emas itu membuka. Di dalamnya terdapat zat berminyak yang setengah padat dan warnanya serasi sekali dengan warna emas, mirah delima dan jamrut yang menghias kotak itu. Monte Cristo mengambil sebagian kecil dari zat itu dengan sebuah sendok kecil dan memberikannya kepada Maximilien sambil menatap wajahnya dengan tetap. Pada waktu itu warna zat tadi berubah menjadi hijau. "Inilah yang kauminta dan inilah pula yang kujanjikan." "Saya mengucapkan terima kasih dari lubuk hati, Tuan," kata anak muda itu ketika menerima sendok. Monte Cristo mengambil lagi sedikit dengan sendok lain. "Apa maksud Tuan?" tanya Maximilien dengan menahan tangan Monte Cristo. "Semoga Tuhan mengampuiuku," jawab Monte Cristo tersenyum. "Tetapi aku rasa aku pun sudah bosan hidup sama seperti engkau. Dan karena sekarang ada kesempatan yang baik____ "Jangan!" pekik Maximilien "Tuhan masih mempunyai apa yang Tuan cintai, dan dicintai. Tuan masih mempunyai kepercayaan dan harapan . . . janganlah berbuat seperti yang hendak saya perbuat! Bagi Tuan akan berarti kejahatan. Selamat tinggal, wahai sahabat yang mulia dan sejati. Akan saya ceriterakan kepada Valentine di seberang sana semua jasa Tuan kepada saya." Dengan perlahan-lahan namun tanpa keraguan Maximilien menelan zat yang aneh itu. Sedikit demi sedikit lampu-lampu yang berada di tangan patung-patung pualam tampak berkurang cahayanya, demikian juga wangi-wangian menjadi kurang semerbak. Di hadapannya duduk Monte Cristo menatapnya. Tetapi Maximilien sudah tidak dapat melihatnya dengan jelas, kecuali cahaya matanya yang berkilat-kilat. Maximilien merasa badannya berat. Semua benda di sekelilingnya sudah kehilangan bentuk dan warna. Matanya yang sudah buram seperti melihat banyak pintu dan tirai terbuka. "Saya sudah hampir habis, kawan," katanya. "Terima kasih." Dia mencoba mengulurkan tangannya kepada Monte Cristo tetapi terjatuh lagi di sisinya. Badannya terkulai di kursi dan merasakan dirinya melayang terbang ke alam rrumpi. Sekali lagi dia mencoba mengangkat tangan. Sekarang bahkan sama sekali tidak berdaya lagi. Dia mau mengucapkan selamat tinggal, tetapi lidahnya sudah kaku. Monte Cristo membuka sebuah pintu. Samar-samar Maximilien melihat seorang wanita yang sangat cantik masuk. Dengan wajah yang sedikit pucat dan senyum yang sangat menawan seakan-akan dia seorang bidadari dari kayangan. "Apakah pintu surga sudah terbuka?" pikir orang yang sudah tidak berdaya itu. "Tampaknya bidadari itu serupa benar dengan Valentine!" Wanita itu datang mendekatinya. 'Valentine! Valentine!" pekik Maximilien dari dalam hatinya. Tetapi tak sedikit pun suara keluar dari bibirnya. Dan seperti semua tenaganya terhimpun dalam perasaannya, dia menarik napas panjang. Tertutuplah kedua matanya. Valentine memburunya. Bibir Maximilien bergerak lagi sedikit. "Dia memanggilmu dalam tidurnya," kata Monte Cristo. "Kematian hampir saja memisahkan kalian. Untung sekali aku berhasil menghindarkannya. Valentine, jangan hendaknya kalian berpisah lagi di dunia ini. Kalau itu terjadi dia bersedia membenamkan dirinya ke dalam kubur dan itu tidak baik. Tanpa pertolonganku, mungkin sekali kalian sudah tiada. Aku kembalikan masing-masing kepada hak masing-masing. Mudahmudahan Tuhan sudi memperhitungkan kebaikanku ini dengan keburukan-keburukan yang telah aku perbuat!" Valentine memegang tangan Monte Cristo dan dengan kegembiraan yang tidak terbendung dia menciumnya. "Berterima kasihlah kepadaku, Valentine!" kata Monte Cristo. "Katakanlah berulangulang bahwa aku telah membahagiakanmu . . . Engkau tak akan dapat merasakan beta pa perlunya keyakinan itu bagiku." " Ya, Tuan, terima kasih banyak. Saya mengucapkannya dari kedalaman lubuk hati saya!" jawab Valentine. "Kalau tuan masih meragukan perasaan saya, silakan bertanya kepada Haydee, saudara saya yang tulus dan telah membuat saya sabar menantikan saat bahagia ini dengan jalan banyak sekali berceritera tentang hal Tuan sejak kami meninggalkan Perancis bersama-sama." "Oh, engkau mencintai Haydee, Valentine," tanya Monte Cnsto dengan perasaan yang tidak berhasil dia sembunyikan. "Dengan sepenuh hati." "Kalau begitu, rasanya aku mempunyai hak untuk meminta sesuatu darimu "Kepada saya? Cukup berhargakah saya untuk itu?" "Engkau menyebut Haydee sebagai saudara yang tulus. Saya minta anggaplah dia sebagai saudara kandung sejati. Valentine. Bayarkanlah kepadanya segala apa yang kauanggap sebagai hutang budi kepadaku. Lindungilah dia oleh kalian, engkau dan Maximilien, karena . . . " suara Monte Cristo hampir tidak terdengar, "sejak sekarang dia akan menjadi sebatang kara." "Sebatang kara?" tanya suara di belakang Monte Cristo. "Mengapa?" Monte Cristo membalikkan badan. Haydee berdiri di belakangnya menatap wajahnya dengan air muka heran dan cemas. "Karena besok engkau akan menjadi orang merdeka, Haydee," jawab Monte Cristo. "Karena mulai besok engkau harus menempati tempatmu yang terhormat dalam dunia ini. Karena aku tidak menghendaki hidupku membuat gelap jalan hidupmu. Engkau putri seorang pangeran. Aku kembalikan kepadamu nama dan kekayaan ayahmu." Haydee menjadi pucat, dan berkatalah dia dengan suara tertahan tahan "Kalau begitu Tuan bermaksud meninggalkan saya?" "Haydee! Haydee! Engkau masih muda dan cantik, lupakan aku dan carilah kebahagiaan." "Baik, Tuan. Perintah Tuan akan saya laksanakan dengan baik dan patuh. Saya akan melupakan Tuan dan mencari kebahagiaan." Dia mundur untuk pergi. "Oh Tuhanku!" Valentine memekik cemas. "Tidakkah Tuan lihat betapa pucat wajahnya. Tidakkah Tuan lihat betapa menderitanya?" "Mengapa engkau mengharapkan beliau mengerti, Valentine?" tanya Haydee dengan air muka menunjukkan putus asa. "Beliau adalah tuanku dan aku budaknya. Beliau berhak untuk tidak mau melihat apa yang ada padaku dan terasa olehku." Monte Cristo bergetar mendengar suara Haydee yang telah menyentuh tali-tah' terhalus hatinya. '^Mungkinkah idamanku menjadi kenyataan? Haydee, apakah engkau merasa berbahagia bersamaku?" "Saya masih muda, Tuan," jawab Haydee perlahan-lahan. "Saya mencintai kehidupan manis yang telah Tuan berikan kepada saya, dan saya akan merasa menyesal bila harus mati" "Maksudmu, bila aku meninggalkanmu engkau akan . . . " "Saya akan mati. Benar, Tuan." "Berarti engkau mencintaiku." "Oh, Valentine. Beliau menanyakan apakah aku mencintainya! Tolong menjawabnya, Valentine. Tolong!" Hati Monte Cristo mengembang karena bahagia. Dia membuka kedua lengannya dan Haydee melemparkan dirinya ke dalam pelukannya sambil menangis bahagia. "Saya mencintaimu!" katanya. "Saya mencintaimu seperti mencintai jiwa saya sendiri, oleh karena bagi saya, Tuan adalah laki-laki yang terbaik, yang termulia dan teragung dalam dunia ini!" 'Terima kasih, bidadariku," jawab Monte Cristo. "Rupanya, Tuhan yang telah membesarkan aku untuk menghadapi musuh-musuhku dan memberikan kemenangan kepadaku, tidak menghendaki aku menebus dosa pada akhir kemenanganku. Aku bermaksud menghukum diri sendiri, namun rupanya Tuhan mengampuniku. Mungkin cintamu itu akan membuat aku melupakan segala sesuatu yang harus aku lupakan. Sepatah katamu itu, Haydee, telah membukakan hatiku lebih lebar daripada kearifan selama dua puluh tahun. Hanya engkaulah sekarang yang masih kumiliki dalam dunia ini. Bersamamu aku akan mengarungi hidup baru. Bersamamu aku akan tahan menderita dan bersamamu pula aku akan merasa berbahagia. Betulkah saya telah dapat menangkap kebenaran ini, ya Tuhan? Namun, apakah ini hukuman atau ganjaran, saya ikhlas menerimanya. Mari Haydee, mari ." Sambil menggandeng Haydee, Monte Cristo menekan tangan Valentine lalu berjalan ke luar meninggalkan ruangan itu. Satu jam lamanya Valentine menunggui Maximilien dengan penuh ketegangan. Akhirnya dia melihat dada Maximilien naik-turuti, yang menunjukkan kehidupan telah kembali ke dalam tubuh anak muda itu. Lambat laun mata Maximilien terbuka. Mereka saling berpandangan pada mulanya. Penglihatan Maximilien makin lama makin terang. Bersamaan dengan pulihnya penglihatannya, perasaannya pun kembali. Namun pedih pun mulai datang. "Oh!" katanya putus asa. "Aku masih hidup! Count of Monte Cristo menipu!" Dia bangkit untuk mengambil pisau di atas meja. "Sadarlah, kekasih, dan pandanglah aku," kata Valentine dengan senyum yang menawan. Maximilien berteriak lagi. Maximilien meragukan panca-inderanya. Kepalanya terasa pening melihat apa yang disangkanya tadi sebagai bayangan. Akhirnya dia jatuh berlutut. Esok paginya ketika matahari baru terbit Maximilien dan Valentine berjalan-jalan bergandengan sepanjang pantai. Bintang-bintang terakhir masih berkilat-kilat di langit pagi. Tiba-tiba Maximilien melihat seorang laki-laki berdiri di balik sebuah batu karang, menunggu Maximilien memanggilnya. Maximilien berkata kepada Valentine sambil menunjuk, "Jacopo, kapten kapal pesiar.** Valentine memanggil Jacopo. "Ada apa, Kapten Jacopo?''tanya Maximilien. "Count of Monte Cristo menyuruh saya menyerahkan surat ini'' Maximilien membuka dan membacanya: Maximilien yang baik, Sebuah kapal telah menantimu di pelabuhan. Jacopo akan membawamu ke Livorno, di mana Tuan Noirtier menunggu kedatangan cucunya yang ingin beliau berkahi sebelum kaubawa dia ke jenjang perkawinan. Segala sesuatu yang berada dalam gua di pulau ini, rumahku di Champs Elysees dan sebuah rumah peristirahatan kecil di Treport adalah hadiah perkawinan dari Edmond Dantes untuk putra majikannya, Tuan MorreL Ajaklah bidadari yang mulai hari ini akan mendampingi hidupmu berdo'a bagi seorang laki-laki yang untuk sesaat seperti Setan pernah merasa dirinya sama dengan Tuhan, tetapi pada akhirnya dengan segala kerendahan hatinya menyadari bahwa kekuasaan dan kebijaksanaan yang mutlak hanya berada di tangan Tuhan. Camkanlah ini, Maximilien, rahasia yang kutemukan dan mudah-mudahan dapat menjadi pegangan bagimu: sebenarnya dalam dunia ini tidak ada kebahagiaan atau ketidakbahagiaan itu. Yang ada hanyalah perbandingan antara sesuatu keadaan dengan keadaan yang lain. Hanya orang yang pernah merasakan puncak kepedihan akan dapat merasakan puncak kebahagiaan. Ada perlunya suatu saat kita mengharapkan kematian, Maximilien, untuk mengetahui dengan tepat, betapa baiknya sebenarnya hidup ini Hiduplah, Maximilien, dan berbahagialah, wahai belahan hatiku, dan janganlah lupa bahwa, sampai saat Tuhan berkenan membuka tabir masa depan seseorang, seluruh kebijaksanaan kemanusiaan bersimpul hanya kepada dua kata ini: Menunggu dan mengharap. Sahabatmu EDMOND DANTES COUNT OF MONTE CRISTO Maximilien melihat ke sekelilingnya seperti mencari sesuatu, "Kebaikan Count of Monte Cristo ini sudah sangat di luar jangkauan perkiraan," katanya. "Di mana beliau sekarang? Antarkan saya kepadanya." Jacopo menunjuk ke kaki langit. "Apa artinya?" tanya Valentine. "Di mana beliau? Di mana Haydee?" "Lihatlah," kata Jacopo. Kedua muda belia itu melihat ke arah yang ditunjukkan Jacopo. Pada garis hitam yang memisahkan langit dan samu-dera mereka melihat layar putih. "Sudah pergi!" kata Maximilien. "Selamat jalan, sahabatku, ayahku!" "Sudah pergi,** ulang Valentine. "Selamat jalan, sahabatku! Selamat jalan, saudaraku!" "Mungkinkah kita akan bertemu kembali?" "Kekasih,** jawab Valentine, "Count of Monte Cristo baru saja menasihati kita bahwa seluruh kebijaksanaan manusia bertumpu hanya kepada dua patah kata: Menunggu dan mengharap." T A M A T D I S C A N O L E H B B S C C O N V E R T T O W O R D B Y b e n 9 9 Scanned book (shook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan Filename: Publication3.rtf Directory: D: Template: C:\Documents and Settings\Astinaa\Application Data\Microsoft\Templates\Normal.dot Title: Subject: Author: astina Keywords: Comments: Creation Date: 6/4/2008 3:05:00 PM Change Number: 5 Last Saved On: 6/4/2008 3:15:00 PM Last Saved By: astina Total Editing Time: 10 Minutes Last Printed On: 6/4/2008 3:18:00 PM As of Last Complete Printing Number of Pages: 372 Number of Words: 154,278 (approx.) Number of Characters: 951,899 (approx.)