dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 PUSTAKA MWB FILSAFAT MAWAS Kuliah Filsafat Umum untuk Pemula Edisi Keempat Stephen Palmquist Judul Asli: The Tree of Philosophy: A course of introductory lectures for beginning students of philosophy (Enlarged fourth edition, with Glossary and eight new lectures) Click here to purchase the English translation. Penulis: Dr. Stephen Palmquist D.Phil. Oxford University Penerjemah: Muhammad Shodiq, S.Ag. < muhshodiq@yahoo.com > Original Copyright © 2000 by Philopsychy Press, Hong Kong Hak Cipta Terjemahan © 2001 pada Muhammad Shodiq, S.Ag. Dedicated to four insightful students of philosophy: CWLE and MSOM, CLF and WWKP --and to all the other students in my Introduction to Philosophy classes at Hong Kong Baptist University who have contributed with their insights to making these lectures what they are today. “... I could never posses a flower ...” --Elaine Chen Wan Lung (1967-1990) DAFTAR KULIAH Daftar Gambar Prawacana: Mitos Pohon Filsafat Kata Pengantar BAGIAN SATU: AKAR METAFISIKA DAN PENGAKUAN KEBEBALAN Pekan I. Wawasan: Membenahi Kehidupan Kuliah 1. Apakah Filsafat Itu? Kuliah 2. Beberapa Pedoman Penulisan Lembar Mawas Kuliah 3. Filsafat Laksana Mitos Pekan II. Asal-Mula Filsafat Kuliah 4. Filsafat Melalui Demitologisasi Metafisis Kuliah 5. Filsafat Sebagai Dialog Rasional Kuliah 6. Filsafat Sebagai Ilmu Teleologis Pekan III. Khazanah Modern Kuliah 7. Filsafat Sebagai Kesangsian Meditatif Kuliah 8. Filsafat Sebagai Kritik Transendental Kuliah 9. Filsafat Selepas Kritik BAGIAN DUA: BATANG LOGIKA DAN PEMAHAMAN KATA-KATA Pekan IV. Dari Metafisika ke Logika Kuliah 10. Apakah Logika Itu? Kuliah 11. Dua Macam Logika Kuliah 12. Logika Sintetik Pekan V. Geometri Logika Kuliah 13. Pemetaan Hubungan Analitik Kuliah 14. Pemetaan Hubungan Sintetik Kuliah 15. Pemetaan Wawasan pada Perspektif Baru Pekan VI. Filsafat Bahasa Kuliah 16. Filsafat Analitik: Positivisme dan Bahasa Sehari-Hari Kuliah 17. Filsafat Sintetik: Eksistensialisme dan Bahasa Tuhan Kuliah 18. Filsafat Hermeneutik: Wawasan dan Kembali ke Mitos BAGIAN TIGA: CABANG ILMU DAN CINTA KEALIMAN Pekan VII. Filsafat Ilmu Kuliah 19. Apakah Kealiman Itu? Kuliah 20. Ilmu dan Anatomi Kealiman Kuliah 21. Kausalitas dan Tapal Batas Ilmu Pekan VIII. Filsafat Moral Kuliah 22. Kebebasan dan Tapal Batas Moral Kuliah 23. Transvaluasi: Penerobosan Moral? Kuliah 24. Perspektivisme: Pemugaran Tapal Batas Pekan IX. Filsafat Politik Kuliah 25. Kekuasaan dan Tapal Batas Politik Kuliah 26. Teokrasi: Penerobosan Terdalam Kuliah 27. Kealiman di Tapal Batas: Ide lawan Ideologi BAGIAN EMPAT: DAUN ONTOLOGI DAN TAKJUB BERKEHENINGAN Pekan X. Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan Kuliah 28. Apakah Keheningan Itu? Kuliah 29. Finalitas dan Paradoks Keindahan Kuliah 30. Persatuan-Kembali dan Misteri Cinta Pekan XI. Takjub Simbolik: Beragama Kuliah 31. Numinus dan Simbol-Simbolnya Kuliah 32. Kenistaan dan Paradoks Kemuliaan Kuliah 33. Paguyuban dan Misteri Penyembahan Pekan XII. Makna: Menyambut Kematian Kuliah 34. Kegentaran dan Paradoks Keberanian Kuliah 35. Kematian dan Misteri Kehidupan Kuliah 36. Apakah Filsafat Itu? Daftar Pustaka: Kunci Singkatan Daftar Definisi Istilah Indeks Nama Daftar Gambar I.1 Empat Unsur Filsafat I.2 Tiga Tipe Filsafat I.3 Empat Tujuan Berfilsafat I.4 Nilai Kebenaran Mitos I.5 Alur Sejarah di Yunani Kuno I.6 Empat Bentuk Pemikiran di Yunani Kuno I.7 Peta Empat Bentuk Pemikiran Manusia II.1 Perkembangan Individu II.2 Empat Daya Benak II.3 Empat Arah Pemikiran Manusia II.4 Empat Anasir di Yunani Kuno II.5 Tiga Filsuf Besar Yunani II.6 Metode Dialog II.7 Gua Plato II.8 Tiga Daya Jiwa II.9 Empat Forma Kehidupan (Jiwa) Ala Aristoteles II.10 Penggerak Pertama selaku Penyebab Terakhir III.1 Pohon Filsafat Ala Descartes III.2 Solusi Descartes atas Masalah Benak-Badan III.3 Empat Metode Filosofis Pokok III.4 Kritik Kant dan Sudut Pandangnya III.5 Tapal Batas Transendental Ala Kant III.6 Empat Pertanyaan Filosofis Ala Kant III.7 Descartes lawan Kant tentang Plato dan Aristoteles III.8 Revolusi Copernican Kant III.9 Pembagian Kategori Lipat-Duabelas Ala Kant III.10 Masalah ?Idea-Idea? Kantian IV.1 Dua Tabel Kebenaran IV.2 Dua Metode Argumentasi IV.3 Proposisi Analitik dan Sintetik IV.4 Empat Perspektif Pengetahuan IV.5 Empat Hukum Dasar Logika IV.6 Ranah Analitik dan Sintetik IV.7 Metode Dialektis Hegel IV.8 Tiga Tipe Pembedaan Analitik-Sintetik V.1 Titik sebagai Peta Hubungan Identik V.2 Dua Cara Pemetaan 1LAR V.3 Dua Cara Pemetaan 2LAR V.4 Dua Contoh Peta Salib 2LAR V.5 Peta 6LAR dalam I Ching V.6 2LAR Yang Tersirat dalam Tai Chi V.7 Segitiga sebagai Peta 1LSR V.8 Bintang Daud sebagai 6CR V.9 Lingkaran sebagai Peta 12CR V.10 Empat Bagian Organisasi Esai VI.1 ?Tangga? Wittgenstein VI.2 Pembedaan Eksistensial Utama VI.3 Hermes selaku Utusan Dewa-Dewa VI.4 Spiral Hermeneutik VI.5 Analisis dan Sintesis sebagai Fungsi-Fungsi Komplementer VII.1 Tiga Tahap Kehidupan Jonathan VII.2 Kealiman sebagai Pengembalian ke Tapal Batas VII.3 Pohon Filsafat VII.4 Empat Keadaan Kognitif VII.5 Ketidakpastian Pengetahuan Induktif VIII.1 Dua Perspektif Perseptual—Sebuah Cawan ataukah Dua Wajah? VIII.2 Sudut Pandang Teoretis dan Praktis VIII.3 Perbedaan antara Tujuan Subyektif dan Obyektif VIII.4 Transvaluasi Nilai Ala Nietzsche VIII.5 Tali-Akrobat Nietzsche IX.1 Empat Bentuk Sistem Politik Republik IX.2 Enam Bentuk Sistem Politik Ala Aristoteles IX.3 Kerangka Kerja Aristoteles sebagai 6CR IX.4 Transvaluasi Nilai Ilahi IX.5 Empat Bentuk Sistem Politik Monarki IX.6 Delapan Tipe Pokok Sistem Politik X.1 Dua Jenis Penerobosan X.2 Perasaaan sebagai Jembatan Kant antara Pengetahuan dan Kehendak X.3 Empat Bentuk Penimbangan Estetik Ala Kant X.4 Empat Momen dalam Penimbangan Keindahan X.5 Ontologi Cinta Ala Tillich X.6 Empat Tipe Dasar Cinta X.7 Misteri dan Paradoks Cinta dan Keindahan XI.1 Penerobosan Numinus dan Ide tentang Yang Suci XI.2 Logika tentang Tanda dan Simbol XI.3 Empat Tahap Sistem Keagamaan Ala Kant XI.4 Karakteristik Tipe-Dasar Gereja Gaib XI.5 Duabelas Langkah Sistem Keagamaan Ala Kant XII.1 Tanggapan Yang Tak Tepat terhadap Dua Jenis Kekhawatiran XII.2 Tiga Tahap Kehidupan dan Dua Lompatan Ala Kierkegaard XII.3 Asal-Usul Ontologis Kegentaran dan Dosa XII.4 Keberanian dalam Menghadapi Yang-Tidak-Berada XII.5 Empat Tipe-Dasar Bayangan Kehidupan Pascakematian XII.6 Dua Pandangan tentang Kehidupan dan Kematian Send comments (in English) to: StevePq@hkbu.edu.hk Back to the English version of The Tree of Philosophy. Back to the listing of Steve Palmquist's published books. Back to the main map of Steve Palmquist's web site. This page was first placed on the web on 27 April 2003. Prawacana MITOS POHON FILSAFAT Mitos-Mitos Seputar Filsafat Konon, filsafat itu amat sulit. Sedikit sekali orang yang mampu mempelajarinya. Bahkan, kata orang, jangan terlalu serius belajar filsafat! Bila otak tidak kuat, jangan-jangan kita menjadi gila karenanya! Buat apa mengambil risiko ini, padahal konon filsafat itu sesuatu yang abstrak, jauh dari kehidupan kita sehari-hari? Hmm, memang ada banyak mitos mengenai filsafat seperti itu. Malahan mitos-mitos itu beredar tidak hanya di kalangan awam. Sebagian agamawan berpandangan, memegang erat-erat kitab suci sebagai pegangan hidup sudah lebih dari cukup, sehingga filsafat yang tidak menjanjikan kebenaran-mutlak tidak diperlukan. Sebagian ilmuwan mengira, mereka berkewajiban untuk melepaskan diri secara total dari filsafat untuk mempertahankan keilmiahan mereka. Sebagian seniman merasa, filsafat tidak akan membantu kita dalam menikmati keindahan. Sebagian usahawan bilang, filsafat hanya membuang waktu karena tidak akan menghasilkan laba. Dalam buku ini, Stephen Palmquist berusaha mempertanyakan mitos-mitos yang seperti itu. Secara tersirat ia mengatakan, semua orang yang berakal sehat bisa mempelajari filsafat dan bahkan mampu berfilsafat! Dalam beragama ada filsafatnya, dalam bersantap fried chicken pun ada filsafatnya. Begitu pula dalam berilmu, berpolitik, berbahasa, berbisnis, dan lain-lain. Secara demikian, apakah Palmquist menyarankan agar kita membabat habis segala mitos? Sama sekali tidak. Ia justru menyatakan, ada beberapa mitos yang tidak bisa dilenyapkan. Bahkan, filsafat pun membutuhkan mitos tertentu. Ada banyak mitos yang memiliki potensi yang dahsyat. Apabila dibudidayakan dengan cara sebaik-baiknya, mitos itu bisa memberi hasil positif yang luar biasa. Umpamanya, mitos bahwa ?filsafat itu laksana pohon?. The Tree of Philosophy sebagai Mitos Menyajikan filsafat dalam bentuk mitos adalah sesuatu yang unik. Dengan cara ini, filsafat yang terkesan rumit dan tidak beraturan dapat disampaikan dengan gambaran yang sangat sistematis dan sekaligus seutuhnya. Hubungan antarunsur filsafat pun bisa ditata dengan rapi. Hal itu penting karena uraian yang tidak utuh, sepenggal-sepenggal, dan tidak teratur, meloncat-loncat, cenderung menyesatkan pembacanya, terutama kalangan pemula. Dalam penggunaan itu, The Tree bisa dibilang sukses dalam menjalankan fungsinya sebagai mitos, setidak-tidaknya pada diri saya dan barangkali pada hampir semua mahasiswa yang memanfaatkan buku ini. Akan tetapi, sesungguhnya saya pada pandang pertama kurang tertarik akan buku ini ketika melihat judulnya, The Tree of Philosophy (Pohon Filsafat). Kata ?pohon?, bagi saya, menyiratkan sesuatu yang cenderung statis--sesuatu yang kurang saya sukai waktu itu tatkala saya berada dalam suasana euforia reformasi. Namun setelah mulai membaca isinya, saya agak tercengang. Ternyata filsafat yang digambarkan di sini merupakan suatu disiplin yang statis (kokoh) dan sekaligus dinamis (berkembang)! Saya berasumsi, sebagian besar dari pembaca edisi Indonesia ini pun memiliki mitos tertentu tentang pohon. Bila saya menerjemahkan judul The Tree of Philosophy secara harfiah, yakni ?Pohon Filsafat?, saya khawatir bahwa anda pada pandang pertama akan berprasangka negatif dan karenanya enggan membuka-buka buku ini lebih lanjut. Oleh sebab itu, saya mengubah judul itu, sepersetujuan penulis asli, menjadi Filsafat Mawas (The Perspectival Philosophy). Filsafat Mawas di Antara Pengantar Filsafat Lainnya Secara garis besar, kelihatannya ada lima jenis pendekatan utama yang dipakai dalam pembelajaran Pengantar Filsafat (Filsafat Umum atau Filsafat Barat). Yang kesatu adalah pendekatan historis dengan berbagai variasinya. Metode ini sering dipandang baik bagi pemula. Dalam pendekatan ini, pemikiran para filsuf terpenting dan latar belakang mereka dipelajari secara kronologis. Contoh pemanfaat pendekatan historis yang baik ialah Jostein Gaarder, Sophie’s World. Yang kedua adalah pendekatan metodologis. Cara ini dipandang penting mengingat bahwa cara terpenting untuk memahami filsafat adalah berfilsafat. Dalam pendekatan ini, berbagai metode berfilsafat ditimbang-timbang, kemudian metode yang dipandang terbaik diuraikan lebih lanjut untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman berfilsafat. Contoh pemakai pendekatan metodologis yang baik ialah Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy. Yang ketiga adalah pendekatan analitis dengan berbagai variasinya. Metode ini memandang bahwa tugas utama pengantar filsafat adalah menjelaskan unsur-unsur filsafat. Dalam pendekatan ini, isi filsafat diuraikan secara sistematis dan diterangkan segamblang-gamblangnya. Contoh pengguna pendekatan analitis yang baik ialah Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy. Yang keempat adalah pendekatan eksistensial. Metode ini memandang bahwa tugas utama pengantar filsafat adalah memperkenalkan jalan-hidup filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya. Dalam pendekatan ini, tema-tema pokok filsafat didalami dengan harapan bahwa pembacanya akan dengan sendirinya memperoleh gambaran tentang filsafat yang seutuhnya. Contoh penerap pendekatan eksistensial yang baik ialah A.C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy. Masing-masing dari pendekatan-pendekatan tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri. Untuk memaksimalkan keunggulan-keunggulannya dan meminimalkan kelemahan-kelemahannya, agaknya yang terbaik adalah yang kelima, pendekatan terpadu. Metode ini mensintesis berbagai pendekatan sekaligus dalam satu buku saja. Contoh pelaku pendekatan terpadu yang baik ialah Stephen Palmquist, The Tree of Philosophy! Di Bawah Naungan Pohon Filsafat Palmquist sendiri bermitos bahwa filsafat terbaik adalah Filsafat Kritis Immanuel Kant. (Interpretasinya terhadap Filsafat Kritis inilah yang membuahkan Filsafat Mawas.) Mitos ini berawal ketika ia sedang menyusun disertasi di Oxford University--yang kemudian memberinya gelar Doktor Filsafat (Ph.D.) pada tahun 1987. Disertasinyanya itu lalu dibukukan sebagai Kant’s System of Perspectives (1993). Selanjutnya, buku pertama dari tiga sekuel KSP diterbitkan sebagai Kant’s Critical Religion (2000). Buku-buku lain yang ia terbitkan juga banyak diwarnai dengan Filsafat Mawas, yaitu Dreams of Wholeness (1997), Four Neglected Essays by Immanuel Kant (1994), dan Biblical Theocracy (1993). (Kecuali KCR, buku-buku tersebut diterbitkan oleh Philopsychy Press, Hong Kong, sebuah organisasi non-profit yang ia dirikan demi ?cinta-rohani? melalui penerbitan karya-karya yang penuh-mawas. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Philopsychy Press, silakan menelusuri situsnya di www.hkbu.edu.hk/~ppp/ppp/intro.html.) Pada mulanya, ketika saya mulai membaca The Tree, saya heran mengapa Palmquist--seorang filosofis kelahiran Amerika Serikat (1957) yang kini menjabat Profesor Madya di Department of Religion and Philosophy, Hong Kong Baptist University--masih ?terlalu? bersandar pada Kant untuk penulisan sebuah buku pengantar filsafat. Namun beberapa saat kemudian, saya teringat akan kata-kata GWF Hegel bahwa untuk menjadi filsuf, kita mula-mula harus menjadi pengikut Kant. Bahkan Arthur Schopenhauer berpandangan, setiap orang akan tetap kanak-kanak sampai ia dapat memahami filsafat Kant. Dengan demikian, maklumlah saya bahwa pengantar filsafat yang terbaik bolehjadi berisi terutama filsafat Kant dengan metode penulisan yang bersumberkan filsafat Kant itu sendiri! Kesadaran tersebut menumbuhkan kegairahan pada diri saya dalam menerjemahkan The Tree. Kegairahan itu semakin bertambah manakala saya dapati bahwa Palmquist bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan saya (melalui e-mail) mengenai penerjemahan ini. Hal ini mempermudah penyelesaian tugas saya. Akan tetapi, diskusi tersebut begitu mengasyikkan, sehingga proses penerjemahan itu menjadi molor dari rencana tiga bulan menjadi duabelas bulan dalam kenyataannya. Bagaimanapun, dari situ saya memperoleh beberapa bahan tambahan yang saya masukkan ke dalam teks utama (yakni kata-kata yang diletakkan antara lambang ?[? dan ?]?) dan ke dalam ?Catatan Penerjemah? di akhir setiap bab. (Dengan asumsi bahwa banyak pembaca edisi Indonesia ini beragama Islam, saya pun menambahkan beberapa perspektif Al-Qur‘an di beberapa pasal. Di samping itu, saya pun mencantumkan beberapa sumber alternatif, yang saya pandang lebih mudah diakses oleh khalayak Indonesia, terhadap beberapa Bacaan Anjuran.) Akhirul kalam, demi memaksimalkan dayamawas anda, saya menganjurkan anda agar, seraya dan/atau seusai membaca buku ini, menyempatkan diri untuk mencoba berdiskusi melalui e-mail dengan Palmquist dan menengok situsnya di www.hkbu.edu.hk/~ppp/. Ini menyediakan banyak informasi yang penuh-mawas. Lantaran itu, tidaklah mengejutkan bahwa situs ini pada bulan Juni 1999 dianugerahi StudyWeb Excellence Award, sebuah penghargaan yang prestisius, dan pada bulan Mei 1998 dimasukkan ke dalam daftar situs yang direkomendasikan oleh ?the Britannica Internet Guide?, sebuah organisasi yang tersohor. 2 Mei 2002 Muhammad Shodiq Kata Pengantar Catatan untuk Mahasiswa—tentang Edisi Keempat The Tree of Philosophy (1992, 1993, 1995, 2000) ini disusun berdasarkan kuliah-kuliah yang saya sampaikan untuk matakuliah Pengantar Filsafat yang saya ajarkan 31 kali di Hong Kong Baptist University sejak 1987 hingga 2000. Buku ini merupakan seri pertama dari tiga serangkai buku-ajar filo-psiki. (Istilah yang bermakna "cinta-rohani" ini mengacu pada segala penerapan pembelajaran akademis yang kreatif dan berdisiplin--terutama dalam filsafat dan psikologi--yang mendorong keinsafan-diri.) Buku kedua dalam serial ini, yang berisi kuliah-kuliah tentang takwil mimpi demi pengembangan kepribadian, berjudul Dreams of Wholeness (1997). Adapun volume ketiga direncanakan berjudul Elements of Love. Buku-buku tersebut masing-masing mandiri, namun bila digunakan secara serangkai akan merupakan suatu serial kuliah filo-psiki yang terdiri atas tiga bagian. Edisi Keempat ini adalah hasil revisi yang jauh lebih mendalam daripada Edisi Ketiga. Saya menambahkan delapan kuliah baru dan menyempurnakan 28 kuliah lama, di samping membubuhkan delapan diagram baru dan memperbarui gambar 76 diagram lama. Topik-topik (dan nomor-nomor) kuliah baru itu meliputi: penyusunan lembar mawas (2), metafisika pasca-Kantian (9), bagaimana peta geometris bisa membangkitkan wawasan (15), filsafat hermeneutik (18), keunggulan perspektivisme atas relativisme dan dekonstruksionisme (24), bagaimana ide menyimpang menjadi ideologi (27), dan pandangan Kant tentang apa yang dimaksud dengan beragama (32 dan 33). Saya juga merombak formatnya (lihat Daftar Kuliah), dengan menyesuaikannya dengan tatanan yang lebih sistematis seperti yang dipakai pada Dreams of Wholeness. Pada edisi terdahulu, masing-masing dari empat Bagian mengandung tujuh Kuliah singkat. Adapun pada edisi sekarang, setiap Bagian terbagi menjadi tiga ?Pekan?, masing-masing dengan tiga Kuliah. Dengan diterbitkannya Edisi Keempat ini pada awal abad (dan juga awal milenium), maka pemutakhiran rujukan waktu di keseluruhan teksnya dan keadaan umum filsafat terkini pun memang sangat dibutuhkan. The Tree of Philosophy ditulis terutama sebagai buku-ajar, seperti halnya buku rangkaiannya (Dreams of Wholeness). Dengan mengasumsikan bahwa para mahasiswa bermotivasi kuat, saya mencantumkan sejumlah pustaka sebanyak delapan "Bacaan Anjuran" per pekan, dan juga sehimpunan persoalan sebanyak delapan "Pertanyaan Perambah" untuk dipikirkan atau didialogkan. Bacaan-bacaan itu biasanya mencakup teks-teks yang dikutip dan/atau dibahas di bab yang bersangkutan, dilengkapi dengan karya-karya relevan lainnya yang dapat menawarkan informasi yang berharga bagi mahasiswa yang memiliki minat tertentu terhadap topik kuliah pada pekan masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan itu dikelompokkan ke dalam soal "A" dan soal "B", masing-masing empat pertanyaan. Ini memungkinkan dosen, bila dipandang perlu, menugaskan soal pertama (yaitu semua pertanyaan "A") untuk refleksi individu dan soal kedua (yakni semua pertanyaan "B") untuk pembahasan atau perdebatan kelompok kecil (umpamanya, "dialog"). Tantangan terpenting matakuliah ini adalah belajar mengingat, mengungkap, dan mengkritik "wawasan" anda sendiri, sebagaimana yang didapati di akhir pekan pertama oleh mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti kelas filsafat saya. Mahasiswa harus merekam wawasannya dalam bentuk catatan dan menyusun "lembar mawas" sepanjang semester. Dengan mempelajari teori-teori yang berwawasan luas dari para filsuf terdahulu, seperti yang dipaparkan dalam buku ini, akan terpampang contoh yang banyak sekali tentang bagaimana wawasan diperoleh. Di Edisi Keempat ini, ke dalam teks utama saya memasukkan beberapa saran mengenai bagaimana mendapatkan dan menuliskan wawasan. Mahasiswa diharap memperhatikan baik-baik Kuliah 2 dan daftar di dalamnya yang menunjukkan subbab-subbab (Kuliah) relevan lainnya yang membahas hakikat wawasan dengan lebih mendalam. Sampel lembar mawas akan sering dibacakan selama tatap-muka kuliah untuk menggambarkan berbagai pikiran pokok yang sedang dibicarakan. Idealnya, lembar ini tidak diberi nilai, kecuali penilaian "sah-batal", sehingga membuka peluang kebebasan ekspresi mahasiswa secara maksimal. Semua mahasiswa, terutama yang memanfaatkan buku ini untuk kuliah formal dengan pengajar selain saya, harus selalu memperhatikan bahwa tidak boleh ada buku-ajar lain yang anda gunakan demi (1) pengembangan perspektif anda sendiri tentang persoalan-persoalan filosofis atau (2) demi penilaian kritis terhadap filsuf-filsuf lampau--kombinasi keduanya merupakan langkah terbaik untuk menjadi filsuf yang baik. "Mitos pohon filsafat" yang akan anda pelajari dalam kuliah ini diniatkan untuk membantu anda di kedua kawasan tersebut (terutama yang pertama), tetapi hanya di tahap awal proses filosofis anda. Pemeriksaan anda terhadap filsuf-filsuf terdahulu khususnya harus dilengkapi dengan merujuk pada Bacaan Anjuran sesering mungkin dan dengan membaca antologi yang baik, umpamanya karya Wolff, Ten Great Works of Philosophy. Saran Bagi Pembaca Non-Mahasiswa Barangsiapa membaca Filsafat Mawas tanpa bimbingan pengajar hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa buku ini dimaksudkan untuk dibaca perlahan-lahan, "ditimbang-timbang", satu bab saja (yakni tiga kuliah) per minggu. Anda yang membaca buku ini seolah-olah mengikuti matakuliah 12-pekan, yang membutuhkan waktu tertentu yang tercurah untuk refleksi individu dan penulisan kritis setiap minggunya, jauh lebih berpeluang untuk meraih manfaat dari penekanan terhadap wawasan daripada mereka yang begitu saja membaca buku ini secepat-cepatnya. Hal ini bukan berarti bahwa buku ini tidak bisa dibaca dengan cepat, melainkan bahwa efeknya tidak maksimal kecuali jika ide-ide dan teori-teori yang dipaparkannya dipraktekkan melalui pemikiran dan penulisan falsafah pembaca sendiri secara bertahap. Di samping membaca tiga kuliah saja per minggu, anda yang memilih ancangan yang lebih menantang itu juga harus membaca beberapa dari Bacaan Anjuran setiap pekannya. Untuk mengimbangi ketiadaan pengajar, salah satu cara yang baik adalah membaca buku ini secara serempak dengan seorang teman atau anggota keluarga, atau selaku bagian dari sekelompok kecil orang yang bisa saling berbagi kemajuan dalam suasana kejujuran. Manfaatkanlah satu atau dua jam per minggu untuk memikirkan dan/atau membahas pertanyaan/topik yang tersedia untuk maksud itu. Saran ini mungkin tampak konyol, namun mengikutinya merupakan langkah terbaik untuk menanamkan bacaan dari buku ini dengan daya untuk mendorong pengembangan filosofis yang signifikan. Dengan berlambat-lambat ini, ancangan 12-pekan akan memberi kesempatan bagi pembaca untuk mempermatang dan memperluas wawasan melalui interaksi dengan topik-topik yang dikaji dalam teks tersebut. Membaca dengan melompat-lompat atau tergesa-gesa pasti membatasi kemampuan pembaca dalam mempelajari keterampilan pemerolehan dan pengkritikan wawasan. Catatan tentang Acuan Daftar Pustaka menyediakan rincian-lengkap karya-karya yang dikutip di kuliah-kuliah ini, yang menguraikan singkatan masing-masing. Rujukan-rujukan itu biasanya hanya berupa singkatan, yang diikuti dengan nomor halaman (kecuali jika ditentukan lain di dalam masukan Daftar Pustaka). Acuan-acuan yang berturut-turut pada karya yang sama hanya menyebut nomor halaman, tanpa singkatan. Sebagian besar kutipan merujuk pada salah satu dari delapan karya yang terdaftar di bagian "Bacaan Anjuran" pada akhir teks setiap pekan. Pengakuan Saya hendak menghaturkan terima kasih yang istimewa kepada kakek dan nenek saya, Herman dan Margaret, atas andil wawasan mereka semasa kanak-kanak saya, dan kepada Tom Soule, atas keteladanannya yang memperkenalkan saya dengan suatu cara berfilsafat dengan benak-terbuka. Saya juga berterima kasih kepada para mahasiswa yang tak terhitung jumlahnya yang telah membaca dan mengulas teks ini dalam sepuluh tahun terakhir; mengenai ini, kontribusi yang paling mendasar berasal dari Man Sui On dan Christopher Firestone. Rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada istri saya, Dorothy, yang--meskipun kehilangan minat terhadap filsafat segera sesudah menarik saya dengan pemikirannya yang berwawasan luas--dengan teliti memeriksa versi-awal naskah buku ini dan dengan suka-hati melukis sketsa kovernya menurut spesifikasi saya yang seksama. 3 Juli 2000 Stephen Palmquist Send comments (in English) to: StevePq@hkbu.edu.hk Back to the Index of Pohon Filsafat. Back to the English version of The Tree of Philosophy. Back to the listing of Steve Palmquist's published books. Back to the main map of Steve Palmquist's web site. This page was first placed on the web on 27 April 2003. BAGIAN SATU: AKAR METAFISIKA DAN PENGAKUAN KEBEBALAN Pekan I Wawasan: Membenahi Kehidupan 1. Apakah Filsafat Itu? Saudara-saudara, apakah filsafat itu? Saya awali kuliah ini dengan meminta anda menjawabnya. "Bodoh," mungkin anda pikir, "kami menempuh matakuliah ini karena tidak tahu apakah filsafat itu, jadi mengapa anda mengharap kami menjawab pertanyaan yang mendasar seperti itu pada menit-menit pertama kita?" Percayalah! Sepuluh atau limabelas menit pertama yang kita sita untuk menjawab pertanyaan tersebut akan menjadi awal yang baik demi pemahaman kita tentang apakah filsafat itu. Sekarang, jika benak anda kosong, cobalah berpikir mengenai apa yang sedang kita lakukan saat ini. Apa yang sedang kita kerjakan pada detik ini yang berbeda dengan yang kita perbuat di matakuliah lain? Mahasiswa. "Hmm." Ayo, siapa yang ingin menjadi orang pertama? Jangan malu! … Tahukah kalian, ketika pertama kali saya ajarkan kuliah ini, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya memperoleh nilai "A"! Kini, siapa yang suka menjadi orang pertama? Mahasiswa A. "Berpikir. Kita sedang berpikir. Apakah filsafat itu tentang berpikir?" Ya. Memang itulah tugas pokok filsuf. Omong-omong, ketika saya mengajar kuliah ini untuk kedua kalinya, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya mendapatkan nilai "D". Jadi, jangan harap nilai "A" itu mudah! Sesungguhnya, kita sering berpikir dengan cara yang tidak "filosofis". Jadi, apa perbedaan antara berpikir secara filosofis dan berpikir secara lain? Mahasiswa B. "Filsafat itu abstrak. Tidak ada jawaban yang pasti. Setiap orang punya ide sendiri-sendiri tentang persoalan filosofis, dan tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran yang mutlak." Itu pandangan yang sangat umum. Banyak argumen filosofis yang memang abstrak, namun bukankah benar pula bahwa filsafat kadang-kadang sangat konkret dan juga praktis? Bahkan, saya lebih cenderung mengatakan: jawaban yang terang terhadap sebagian besar pertanyaan filosofis terlalu banyak. Namun biarlah kami nyatakan sendiri, anda telah mendapatkan suatu ciri khas persoalan filosofis yang membedakannya dari kebanyakan perburuan intelektual lainnya. Tidak peduli berapa kali pertanyaan terjawab, kelihatannya selalu ada sesuatu yang masih misterius. Karenanya, pada pandang pertama, filsafat menjadi sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan. Namun demikian, mari kita amati terus apa yang kita lakukan saat ini, dan kita mencoba menangkap pertanda yang lebih jitu tentang alam filsafat. Beberapa filsuf mengutarakan bahwa dalam filsafat, sebagaimana dalam kehidupan kita sendiri, "kita membangun perahu di tempat kita mengapungkannya." Lantas, apa yang — ya? Mahasiswa C. "Pertanyaan dan jawaban. Apakah filsafat ada hubungannya dengan pertanyaan dan jawaban?" Tentu saja. Pada kenyataannya, unsur-unsur filsafat dan bahkan aliran-aliran filsafat yang berlainan bisa dibedakan dengan memperhatikan perbedaan tipe pertanyaan yang diajukan. Akan tetapi, semua disiplin akademis pun menghajatkan pertanyaan dan jawaban. Jadi, apa yang membedakan pertanyaan filosofis dari tipe-tipe lainnya? Apa yang saya upayakan saat ini dengan meminta anda memikirkan pertanyaan ?Apakah filsafat itu??, dan mengapa saya tidak puas dengan jawaban yang sederhana, seperti "filsafat adalah berpikir"? Mahasiswa D. "Karena anda berusaha membujuk kami untuk melihat hal-hal yang terdapat di bawah permukaan. Kita semua tahu bahwa para filsuf banyak berpikir, tetapi anda berupaya mendorong kami untuk menatap makna yang lebih dalam." Tepat. Alasan mengapa pertanyaan yang diajukan dalam kebanyakan disiplin akademis lain dapat dijawab dengan lebih pasti ialah karena jawaban non-filosofis biasanya hanya mempedulikan permukaan. Para filsuf, sekurang-kurangnya filsuf yang baik, tidak puas sampai mereka menggali sedalam-dalamnya persoalan yang mereka ajukan sendiri. Kadang-kadang, gagasan filosofis sulit dipahami bukan karena terlalu abstrak, terlampau melayang jauh dari kehidupan kita sehari-hari, melainkan justru karena teramat konkret! Filsafat ada kalanya menyentuh sedemikian-dalam hal-hal yang tak terpahami oleh kita karena obyek pembahasan itu terlalu dekat dengan kehidupan kita. Pernahkah anda mencoba melihat mata kanan anda dengan mata kiri anda? Mahasiswa E. "Bisakah anda memberi kami satu contoh pertanyaan yang filosofis?" Bisa, bahkan lebih dari satu. Saya akan mengemukakan empat contoh pertanyaan yang diajukan oleh filsuf-filsuf yang baik. Secara demikian, saya mengantarkan anda ke sesuatu yang saya yakini sebagai empat unsur utama dalam bidang filsafat. Dua unsur awal bersifat teoretis. Unsur pertama ialah metafisika; pertanyaan yang menetapkan tugas metafisika adalah "Apa yang pada hakikatnya nyata?". Memeriksa jawaban atas pertanyaan ini merupakan kewajiban kita dalam Bagian Satu matakuliah ini. Bagian Dua berkenaan dengan unsur kedua, logika; penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai "Bagaimana kita memahami makna kata-kata?" Dua unsur akhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat disebut "filsafat terapan". Nah, penerapan kata-kata bermakna itu mestinya menimbulkan pengetahuan; kata Inggris "science" berasal dari kata Latin sciens yang berarti "mengetahui", sehingga kita bisa menamakan unsur ketiga ini science (ilmu), asalkan kita ingat bahwa kita menggunakan kata ini bukan seperti yang biasanya dimengerti dalam bahasa sehari-hari. Pertanyaan filosofis mengenai ilmu adalah "Di manakah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan kebebalan?". Unsur keempat ialah ontologi, yang mengajukan pertanyaan "Apa maksud keberadaannya?" Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan pahaman kita tentang sifat dasar berbagai benda (umpamanya, Tuhan, manusia, hewan), atau tipe pengalaman yang berlainan (contohnya, keindahan, cinta, kematian). Pada matakuliah ini kita berkesempatan untuk mencari jawaban atas keempat pertanyaan tersebut, sehingga memperhatikan hubungan masing-masing sebagai satu keseluruhan bisa bermanfaat. Untuk mengungkap pandangan-pandangan dalam bentuk yang sederhana, namun sistematis, salah satu alat-bantu pengajaran kegemaran saya, seperti yang akan segera anda jumpai, adalah diagram-diagram—terutama salib, segitiga, dan lingkaran. Pada Pekan V, kita akan melihat bahwa semua diagram [di buku ini] dibangun menurut pola logis tertentu. Akan tetapi, untuk saat ini, kita hanya memperlakukannya sebagai seperangkat cara yang mudah untuk melihat pertalian antara rangkaian istilah-istilah tersebut. Mari kita manfaatkan sepotong salib sebagai sejenis "peta" untuk matakuliah kita dengan menempatkan keempat unsur filsafat pada keempat ujungnya, sebagaimana tergambar di bawah ini: IV. ontologi: Apa maksud keberadaannya? filsafat praktis III. ilmu: I. metafisika Di mana garis Apa yang pada batas pengetahuan? hakikatnya nyata? filsafat teoretis II. logika: Bagaimana kita memahami makna kata-kata? Gambar I.1: Empat Unsur Filsafat Tentu saja, kita akan mengajukan banyak pertanyaan filosofis lain pada kuliah-kuliah [di buku] ini, tetapi sifat fundamental keempat persoalan tersebut perlu diakui. Mahasiswa F. "Hari ini anda beberapa kali mengacu pada 'filsuf yang baik'. Kedengarannya agak gegabah. Apakah anda menyiratkan bahwa ada 'filsuf yang buruk'? Apakah anda berhak menghakimi pendapat orang lain sebagai baik atau buruk? Betapapun juga, setiap orang memiliki hak atas pendapat mereka sendiri!" Ya, memang benar. Akan tetapi, perbedaan antara filsuf yang baik dan yang buruk tidak berkaitan dengan "opini". Ini mengenai penalaran. Nalar memungkinkan kita untuk membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi tanpa perlu menghujat. Maka, saya berujar: memang ada filsuf yang buruk. Pada kenyataannya, tampaknya sayangnya seakan-akan filsuf yang buruk lebih banyak daripada yang baik. Jadi, jangan terkejut bila anda menyimak saya mengucapkan kata-kata sedemikian itu pada kuliah-kuliah kita ini. Namun demikian, saya harap anda tidak merasa terhina. Kata "baik" dan "buruk" di sini tidak dimaksudkan sebagai penilaian moral. Bahkan, bagi saya istilah-istilah ini mengacu pada filsuf-filsuf yang menyandang tugas filsafat dengan cara yang seimbang, yang berlawanan dengan mereka yang percaya bahwa bidang perhatian filsafat yang sebenarnya itu sangat sempit atau sangat luas. Biar saya perjelas lagi, apa yang saya maksud dengan pembedaan ini. Ada tiga arah pemahaman tugas filsafat. Yang pertama memandang tugas filsafat sebagai penggunaan pemikiran logis untuk memecahkan masalah-masalah yang sukar, melalui penjernihan konsep-konsep kita. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "filsafat analitik", yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa Inggris. Para filsuf analitik cenderung menganggap filsuf sebagai sejenis profesi ilmiah yang istimewa; mereka setiap-waktu menolak terang-terangan gagasan bahwa filsafat itu berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari. Arah filsafat yang kedua menempati ancangan yang berlawanan, dengan memandang filsafat sebagai jalan hidup, sehingga tugas filsafat berkisar pada pemahaman hakikat dan tujuan keberadaan manusia beserta segala kerumitannya. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "eksistensialisme", yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa non-Inggris. Para filsuf eksistensialis cenderung menganggap filsafat sebagai disiplin-studi biasa yang meliputi hampir segala hal yang dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih benar atau lebih "otentik"; namun dalam prosesnya, tulisan-tulisan yang mereka susun tentang kehidupan semacam itu acapkali gelap sekali, sehingga pembaca awam amat kesulitan dalam memahaminya. Arah filsafat yang ketiga mengakui bahwa kedua pendapat tadi diperlukan untuk menggagas tugas filosofik dengan tepat. Filsuf yang baik mengikuti arah yang ketiga ini, dengan meyakini bahwa tujuan penjernihan konsep-konsep mengarah ke jalan hidup tertentu, dan bahwa penjelasan jalan hidup ini harus diungkap dengan gamblang dan jangan sampai terjerembab ke jurang kegelapan. Filsafat yang tidak ditatap sebagai jalan hidup kelihatannya lebih menyerupai ilmu yang bersifat teknis, sedangkan filsafat yang tidak menghajatkan upaya keras untuk menjernihkan konsep-konsep tampaknya lebih menyerupai agama yang bersifat mistis. Padahal, filsafat, sekurang-kurangnya filsafat yang baik, bukanlah ilmu dan juga bukan agama, melainkan disiplin unik yang tegak di atas tapal batas antara keduanya. Karenanya, kita dapat menggambarkan hubungan antara tiga tipe filsafat tersebut dengan memetakannya pada sepotong segitiga sederhana sebagai berikut: filsafat analitik: penjernihan konsep filsafat ?yang baik? sintesis keduanya eksistensialisme: jalan hidup Gambar I.2: Tiga Tipe Filsafat Omong-omong, barangkali filsuf analitik "yang baik" sama banyaknya (atau sama sedikitnya!) dengan filsuf eksistensial "yang baik". Filsuf analitik yang baik ialah yang bisa berbahasa dengan gamblang tanpa kehilangan wawasan terhadap bidikan-puncak pembelajaran, yakni untuk hidup dengan lebih baik. Sebaliknya, filsuf eksistensialis yang baik ialah yang dapat mengarahkan perhatian kita ke bidikan-puncak itu tanpa penggunaan bahasa yang ruwet atau menyesatkan, yang hanya mengaburkan kebenaran. Maksud saya, bolehjadi pendekatan terbaik untuk memandang filsafat adalah tidak sekedar berakar pada salah satu dari kedua tipe tersebut, tetapi justru berdiri di atas keduanya secara seimbang. Nah, jam pertama ini hampir habis, namun masih ada waktu untuk satu saran lagi tentang bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan utama kita tadi. Saya penasaran, kalau-kalau ada di antara kalian yang mempunyai sepenggal jawaban yang berbeda dengan jawaban-jawaban yang telah diutarakan sejauh ini. Kita pada dasarnya baru membahas secuil kemungkinan jawaban, padahal filsafat itu mengenai banyak hal. Mahasiswa G. "Saya pikir selalu, filsafat itu berkenaan dengan sikap takjub (wonder)." Ketakjuban macam apa? Apakah maksud anda hanya bengong dan melamun? Ataukah terbersit dalam benak anda sesuatu seperti Alice di Negeri Ajaib? Mahasiswa G. "Saya rasa tidak. Saya pikir, sikap takjub itu semacam semangat belajar untuk menuju kebenaran. Bukankah para filsuf tertarik pada upaya untuk menyelidiki mengapa benda-benda berada sedemikian rupa?" Memang begitulah! Sebenarnya, kata "filsafat" itu sendiri berasal dari dua kata Yunani "philos" (mencintai) dan "sophos" (kealiman). Jadi, secara harfiah, filsafat itu merujuk pada pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada kehidupan kita. Pencarian ini pasti berkobar dengan semangat "ketakjuban". Oh ya, saya tidak bergurau kala mengacu pada Alice in Wonderland. Ceriteranya penuh dengan gagasan filosofis yang menarik! Oh ya, tentu saja kita belum selesai menjawab pertanyaan kita. Pertanyaan "Apakah filsafat itu?" memang akan selalu ada di benak kita di sepanjang matakuliah ini. Jika kita mampu menjawab tuntas hari ini, maka sampai di sini saja kuliah kita, dan tigapuluh-lima kuliah sisanya tidak kita perlukan. Akan tetapi, ternyata kita masih jauh dari hal itu. Alih-alih, saya ingin sekali menimbulkan kesan kepada anda bahwa hingga perkuliahan Pengantar Filsafat ini berakhir (mudah-mudahan) anda kurang tahu akan filsafat daripada sebelum anda memasuki kelas hari ini! Saya mengatakannya karena, seperti yang akan kita ulas, pada aktualnya filsafat berawal dengan pengakuan kebebalan. Alasan mengawali kuliah pengantar [filsafat] dengan menelaah metafisika tepatnya adalah bahwa metafisika dapat mengajarkan kita perbedaan antara hal-hal yang bisa kita ketahui dan yang tidak bisa kita ketahui. Hanya bila kita telah mempelajarinya, maka kita siap belajar dari logika tentang bagaimana memperoleh pemahaman kata-kata. Logika terutama mengajarkan kita perbedaan antara makna kata kala mengacu pada sesuatu yang dapat kita ketahui dan makna kata kala mengacu pada sesuatu yang tidak kita ketahui sama sekali. Segera seusai kita miliki pondasi teoretis ini, kita bisa menerapkan pahaman baru kita dengan cara-cara yang praktis. Kita melakukannya dengan menggapai kebenaran dan pengetahuan yang relevan dengan kehidupan manusia; mencari "ilmu" sejati inilah yang disebut cinta kealiman. Dengan mencintai kealiman, kita dapat memasuki tahap-keempat tugas filsafat tanpa menjadi "tersesat di kawasan yang menakjubkan kita", begitulah perumpamaannya. Hal itu karena tugas terakhirnya adalah sungguh-sungguh menghargai sikap takjub berkeheningan. Dalam pengertian tertentu, semua filsafat berpangkal pada sikap takjub berkeheningan. Sekalipun begitu, filsafat berujung pada sikap takjub berkeheningan juga, sebagaimana yang akan kita saksikan pada Bagian Empat matakuliah ini. Hal itu akan banyak mendorong kita untuk memikirkan pelajaran pertama kita. Jadi, saya simpulkan saja dengan menambahkan bahwa keempat tugas filsafat yang baru saja saya paparkan tadi bersesuaian secara pas dengan empat "unsur" filsafat yang terlukis pada Gambar 1.1, dan dapat dipetakan pada salib yang sama sebagai berikut: takjub berkeheningan cinta kealiman pengakuan kebebalan pemahaman kata-kata Gambar I.3: Empat Tujuan Berfilsafat Masing-masing itu sebaiknya dipandang sebagai tugas yang tiada henti, bukan persyaratan yang harus dipenuhi dengan lengkap sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Karena alasan ini, kita bisa memandangnya sebagai sasaran-sasaran yang kita tetapkan untuk kita sendiri pada setiap tahap berfilsafat. 2. Beberapa Pedoman Penulisan Lembar Mawas Wawasan adalah batu pondasi semua pandangan filosofis. Tanpa wawasan, kita akan tiada kreativitas, sedikit-banyak selalu tetap sama, di suatu alam yang relatif tidak berakal, tidak berbeda dengan binatang. Bila hewan mempunyai [dorongan hati atau] naluri (instinct), manusia memiliki potensi [dorongan akal atau] wawasan (insight). Oleh sebab itu, salah satu pelajaran terpenting yang harus dipelajari di segala studi filsafat adalah apakah wawasan itu dan bagaimana cara mengembangkan kemampuan diri untuk berwawasan. Beberapa sifat wawasan akan kita bahas dalam matakuliah ini. Bahasan terpentingnya disinggung di Kuliah 12 [tentang Gambar IV.6], 15, 18 [tentang Gambar VI.5], 20 [paragraf kedua], 24 [satu paragraf sebelum dua paragraf terakhir], dan 28 [tentang Gambar X.1]. Itu semua sebaiknya sudah dibaca sebelum anda memulai penulisan lembar pertama anda. Namun keterampilan berwawasan hanya dapat muncul melalui praktek. Karena alasan ini, tanggung jawab anda selaku mahasiswa pada matakuliah ini terutama berpusat pada tugas penulisan serangkaian ?lembar mawas? (insight papers). Entah anda membaca buku ini sebagai buku-ajar matakuliah yang sedang anda tempuh entah hanya karena minat anda, saya harap anda sungguh-sungguh mementingkan tindak lanjut dari hal-hal yang anda baca di sini dengan jalan menulis sesuatu untuk anda sendiri. Hal ini akan memberi anda peluang untuk berfilsafat melalui pencatatan hasil renungan anda sendiri terhadap persoalan filosofis tertentu. Pedoman yang hendak saya sarankan pada jam kuliah ini dimaksudkan untuk membantu anda dalam memilih topik yang tepat dan menulis lembar mawas yang baik. Pada akhir setiap bab atau ?pekan? (yakni setiap tiga serangkai kuliah yang direkam di buku ini), saya menyediakan empat pasang ?Pertanyaan Perambah?, dengan beberapa baris kosong di bawah masing-masing, tempat anda mencatat sepatah dua patah kata percikan pemikiran anda mengenai pertanyaan yang bersangkutan. Anda bisa memanfaatkan itu sebagai topik lembar mawas anda, kendati topik apa saja bisa diterima, asalkan anda memperlakukannya dengan cara filosofis. Anda pun jangan mencari ?serangkaian? solusi di buku ini terhadap masalah pilihan anda yang akan anda renungkan dan anda tuliskan. Lembar mawas adalah arsip wawasan-anda-sendiri, bukan wawasan saya—walau tentu saja, akan anda dapati faedah penggunaan isi kuliah-kuliah saya sebagai batu loncatan untuk mengembangkan cara pikir khas anda sendiri. Sejauh ini, lembar mawas merupakan aspek terpenting matakuliah ini karena lembar mawas menggenapi tatapmuka perkuliahan dan bacaan-bacaannya dengan pengalaman pribadi berfilsafat yang nyata. Karena itu, lembar mawas yang relevan bisa digunakan sebagai basis diskusi kelas. Tugas pembahasan implikasi persoalan yang diangkat di berbagai lembar mawas acapkali cukup menarik untuk mengisi jam kuliah yang tersedia. Waktu sisanya dicurahkan untuk pembahasan pertanyaan yang muncul dari buku-ajar dan bacaan anjuran yang relevan. Ini berarti bahwa sejak jam kuliah kedua ini setiap mahasiswa diharap untuk membaca [bahan] kuliah yang relevan di buku ini sebelum memasuki kelas. Akan ada banyak gunanya pula bila anda membaca sekurang-kurangnya sebagian dari pustaka yang didaftar di seksi ?Bacaan Anjuran? per pekan. Bacaan-bacaan itu biasanya disusun urut, yang berawal dengan bacaan-bacaan yang lebih singkat atau spesifik yang dikutip di dalam teks kuliah, dan berakhir dengan pustaka-pustaka yang lebih panjang dan/atau umum yang akan membantu anda dalam merambah secara lebih mendalam implikasi-implikasi dari topik-topik yang dibahas di kuliah-kuliah pekan yang bersangkutan. Bacaan-bacaan ini juga dapat digunakan untuk merangsang wawasan dan memberi topik yang baik untuk lembar mawas. Dengan mengingat-ingat kiat-kiat berikut ini, anda akan terbantu dalam membaca secara lebih mawas: 1. Jangan khawatir kalau-kalau tidak setiap kata dan tidak setiap kalimat anda pahami! 2. Alih-alih, fokuskan pada [pencarian] lokasi gagasan-gagasan utama dan upaya pemahamannya! 3. Garis bawahilah kata-kata kuncinya, dan cobalah untuk menangkap alur umum argumentasinya! 4. Garis bawah yang berlebihan akan mematahkan niat tersebut dan terlalu menyulitkan pengulasan. 5. Untuk definisi singkat istilah-istilah kunci, mengaculah pada Daftar Definisi Istilah yang tercatat di halaman belakang buku-ajar ini! 6. Berinteraksilah dengan buku ini! Jika anda menolak [suatu gagasan di dalamnya], tulislah alasan anda di tepi halaman; kalau anda menerima, tulislah sesuatu seperti ?ya!?. Jika itu mengingatkan sesuatu yang lain, buatlah catatan tentang hal itu; bila anda bingung, tulislah ???, lalu tanyakan penjelasannya di kelas! 7. Apabila anda mendapati pasal yang menarik di buku-ajar ini, luangkanlah lebih banyak waktu pada pasal tersebut, kemudian burulah Bacaan Anjuran atau mintalah acuan lebih lanjut kepada dosen anda! 8. Jika suatu pasal membosankan anda, cobalah untuk membaca dengan lebih cepat atau sepintas-lalu sampai anda mencapai bagian yang lebih menarik! Anda dapat memandang isinya dengan cepat melalui membaca beberapa paragraf awal dan akhir dan kalimat pertama setiap paragraf sisanya. (Gunakan kiat ini terhadap Bacaan Anjuran, bukan terhadap buku ini!) 9. Yang terpenting, percayalah kepada daya-paham anda sendiri! Ambillah semboyan Pencerahan untuk anda sendiri: Beranilah menggunakan akal anda sendiri! Filsafat harus dipelajari dengan bebas dan dengan desakan luar yang sesedikit mungkin, sehingga matakuliah ini praktis tidak menuntut anda membaca sebanyak-banyaknya karya-karya klasik. Akan tetapi, kuliah-kuliah kita nanti akan sering mengacu pada banyak teks klasik, sehingga diasumsikan bahwa siapa saja yang, atau mulai, termotivasi dari dalam untuk berfilsafat akan berupaya untuk mengakrabi bacaan-bacaan tambahan itu sebanyak mungkin. Nah, berikut ini jawaban singkat atas pertanyaan-pertanyaan paling dasar yang biasanya ditanyakan oleh mahasiswa-mahasiswa ketika mereka berusaha memahami hakikat dan maksud penulisan wawasan mereka: Apa? Lembar mawas adalah karya tulis singkat tentang pemikiran, pandangan, dan penalaran anda sendiri tentang topik apa saja, dengan ketentuan bahwa anda memperlakukannya secara filosofis. Penyiapan dan penulisan makalah semacam itu merupakan salah satu aspek terpenting kelas ini. Karena itu, anda seyogyanya menulis lembar mawas setelah beberapa saat seusai memikirkan dengan penuh konsentrasi atau merenungkan sesuatu yang filosofis, sekurang-kurangnya selama limabelas menit. Di samping pertanyaan-pertanyaan di akhir setiap pekan, inilah beberapa contoh jenis pokok bahasan yang bisa anda pilih untuk anda renungkan: segala pertanyaan atau persoalan yang diangkat di kuliah-kuliah di buku ini atau dibahas di kelas; pertanyaan tentang makna atau hakikat sesuatu; teori atau argumen yang diajukan oleh beberapa filsuf yang telah anda baca; obyek atau pandangan yang anda pikir indah atau aneh; pengalaman yang menurut anda sangat filosofis; dan sebagainya. Bagaimana? Padatkan! Jangan mengira bahwa makalah yang panjang akan selalu mencapai hasil yang baik. Itu tidak benar. Kadang-kadang beberapa kalimat sudah cukup untuk menunjukkan bahwa anda memiliki wawasan filosofis yang signifikan. Segala hal yang tidak langsung berkaitan dengan wawasan itu sendiri sebaiknya diringkas atau disingkirkan. Makalah anda mesti menyediakan tempat yang sesempit mungkin bagi pemerian informasi latar belakang, semisal ide-ide orang lain. Sebagian besar dari tempat itu harus dicurahkan untuk pemikiran, kritikan, analisis, dan ide-ide anda sendiri mengenai jawaban dan hal-hal lain yang masuk akal. Sebagai aturan umum, mestinya satu halaman kertas standar sudah cukup panjang. Kalau anda perlu menggunakan dua halaman, tolong lestarikan pepohonan dengan menulis kedua sisi (bolak-balik) satu lembar kertas. Berapa banyak? Tulislah lembar mawas sebanyak-banyaknya! Jika anda memakai buku ini sebagai buku-ajar perkuliahan, periksalah rincian jumlah lembar mawas yang disyaratkan, tanggal penyerahan, dan pedoman khusus lainnya. Mengapa? Maksud lembar mawas adalah melatih keterampilan berfilsafat anda, dengan membolehkan anda merambah ide-ide filosofis sedalam-dalamnya. Jadi, ingat-ingatlah hal ini ketika anda menulis lembar mawas. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang menggerakkan pemikiran anda yang melampaui kulitnya, seperti ?mengapa??, ?apa maksudnya??, ?bagaimana saya tahu??, ?apakah ini??, dan lain-lain. Jangan cuma mengulang pandangan orang lain. Anda dapat menyebut gagasan orang lain (umpamanya teori-teori dari beberapa filsuf yang telah anda kaji), namun cobalah melakukannya dengan sesingkat mungkin. Sebagian besar isi makalah harus dicurahkan untuk penjelasan dan analisis terhadap gagasan anda sendiri. Baik kreativitas maupun argumentasi yang berhati-hati akan sangat bernilai, di samping kejelasan dan keteraturan. Pernyataan opini anda sendiri belaka, tanpa alasan pendukungnya, tidak memadai. Opini dapat dicantumkan sebagai titik pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut, tetapi wawasan asli lebih bernilai daripada opini yang tanpa dasar. Apa berikutnya? (Pembaca yang bukan mahasiswa [saya] silakan melompati jawaban atas pertanyaan ini dan dua paragraf di bawahnya.) Lembar mawas mesti dipakai sebagai basis diskusi, baik di dalam maupun di luar kelas. Untuk diskusi di dalam kelas, beberapa makalah akan dibacakan (secara anonim) di depan kelas. (Jika anda tidak ingin tulisan anda dibacakan di depan kelas, anda harus menulis di lembar anda sesuatu seperti ?Harap lembar ini tidak dibacakan di kelas karena ...? dan jelaskan alasannya.) Normalnya, makalah-makalah itu akan dikembalikan pada akhir tatap-muka berikutnya; kata-kata pentingnya akan digarisbawahi dan beberapa pertanyaan atau komentar yang relevan akan dituliskan di lembar makalah anda. Catatan itu tidak selalu mencerminkan sudut pandang dosen-anda sendiri, namun dimaksudkan untuk membantu anda dalam memikirkan dengan lebih mendalam persoalan yang diangkat di dalamnya. Pertanyaan yang barangkali sekarang ada di benak kebanyakan pembaca dari kalangan mahasiswa adalah: bagaimana lembar mawas akan dinilai? Tentu saja, dosen-dosen tak pelak lagi akan mempunyai kriteria yang berlainan untuk menilai kelayakan-relatif tugas semacam itu. Tindakan saya sendiri adalah mencari keseimbangan antara kreativitas, kejelasan, dan ketegasan kritis (yakni mempertimbangkan seluk-beluk berbagai kemungkinan sudut pandang). Berikut ini skala penilaian kasar yang didasarkan langsung pada tiga kriteria itu. Lembar ?A? adalah yang kuat di ketiga bidang. Lembar ?B? harus kuat di dua bidang, walau agak lemah di bidang lainnya, atau kuat di satu bidang dan sedang-sedang saja di dua bidang lainnya. Berikutnya, lembar ?C? bisa kuat di salah satu area dan lemah di dua area lainnya, atau sedang-sedang saja di ketiga area. Lembar ?D? adalah yang tidak kuat di ketiga bidang dan benar-benar lemah di satu atau dua bidang. Adapun lembar mawas yang gagal ialah yang lemah di ketiga area; hal ini biasanya lantaran kebanyakan atau seluruh isinya cuma menyalin dari sumber lain, atau kandungannya tidak lain kecuali paparan cerita, peristiwa, dan sebagainya, tanpa upaya sama sekali untuk memikirkan implikasinya. Sewaktu mengajar Pengantar Filsafat, saya beberapa kali menggunakan metode ?lulus-gagal? untuk menilai lembar mawas: lembar-lembar dibubuhi tanda v jika mengandung isi filosofis yang cukup untuk mendapatkan sekurang-kurangnya nilai ?C? dan diberi tanda minus jika di bawah level itu. (Dalam kasus itu, saya juga memberi tanda plus untuk menghargai makalah istimewa yang berstandar tinggi.) Kelebihan metode penilaian itu adalah bahwa, dengan melunakkan tekanan sebagian mahasiswa yang mungkin merasa menulis sesuatu hanya untuk mengesankan dosen, metode itu cenderung memberi rasa kebebasan yang lebih banyak untuk memilih topik-topik yang sesuai dengan minat mereka. Kelemahannya, tentu saja, adalah bahwa sebagian mahasiswa mungkin tidak berupaya keras untuk berlatih sebagai akibat dari mengetahui bahwa makalah yang sedang-sedang saja akan menerima nilai yang sama dengan makalah yang hebat. Berlandaskan asumsi bahwa kebanyakan mahasiswa akan tertarik untuk belajar menulis lembar mawas dengan lebih baik, tak peduli apakah (atau bagaimanakah) lembar itu dinilai, saya hendak menghabiskan jam kuliah ini dengan serangkaian saran untuk meningkatkan keterampilan anda di bidang ini. Pertama, anda jangan memilih topik sebelum anda memiliki wawasan dengan merenungkan topik yang tersedia. Kalau anda belum memilikinya, curahkanlah lebih banyak waktu untuk perenungan anda: pengembangan dayatangkap wawasan adalah disiplin yang memakan waktu! Pokoknya, anda harus melawan godaan untuk memperlakukan lembar mawas sebagai esai belaka, dengan memilih topik secara serampangan dan kemudian mencoba mereka-reka ?wawasan? hanya untuk menjadikan makalah anda terlihat bagus. Apabila benak anda senantiasa terbuka dan merenungkan persoalan-persoalan yang anda cermati, maka akhirnya wawasan akan muncul; menyeleksi salah satu dari persoalan-persoalan itu untuk topik makalah anda akan memastikan bahwa anda mempunyai topik yang lebih menarik anda daripada kalau anda cuma memilih pertanyaan atau persoalan filosofis secara serampangan yang anda peroleh secara kebetulan. Segera seusai anda mempunyai wawasan dan memilih topik berdasarkan wawasan ini, anda harus melakukan lebih daripada sekadar menyatakan wawasan anda. Dengan kata lain, anda jangan cuma mengajukan pertanyaan dan kemudian memberi jawaban yang ?benar?. Alih-alih, anda harus menganalisis kesahihan wawasan anda dengan mempertimbangkan kemungkinan penolakan orang lain dan menyediakan alasan untuk menopang pandangan anda. Pendekatan semacam ini akan menghindarkan wawasan anda dari penampilan yang hanya menyerupai ungkapan opini anda. Karena alasan yang sama, anda harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan pandangan—bahkan barangkali semua kemungkinan pandangan, kalau bisa. Artinya, anda harus memikirkan persoalan dari berbagai perspektif sebanyak mungkin. Istilah ?perspektif? itu akan menjadi salah satu istilah teknis terpenting pada keseluruhan matakuliah ini. Perspektif adalah cara pandang terhadap sesuatu, atau konteks umum untuk menafsirkan persoalan, dan sangat menentukan jenis jawaban yang akan diberikan. Salah satu pelajaran penting yang harus dipelajari seawal mungkin dalam pendidikan filsafat anda adalah bahwa pertanyaan yang sama dapat memiliki jawaban-jawaban benar yang berlainan, jika diambil perspektif yang berbeda. Hal ini akan banyak dibicarakan pada waktu kita menjalani matakuliah ini. Komentar-komentar yang saya tuliskan di lembar mawas mahasiswa biasanya dimaksudkan untuk membantu dalam proses tersebut, proses melihat persoalan dari berbagai perspektif. Akibatnya, yang saya tulis di lembar mawas mahasiswa tidak selalu mencerminkan pandangan saya sendiri; saya lebih sering mengajukan pertanyaan yang saya rasa terlupakan dan karenanya sebaiknya dipertimbangkan jika dilakukan perenungan lebih lanjut terhadap topik itu. Jika anda membaca buku ini bukan sebagai buku-ajar kuliah, maka saya sarankan anda mencari teman yang berpikiran-filosofis yang bisa anda ajak bertukar lembar mawas. Bacalah dan berilah komentar makalah teman anda itu secara teratur, dengan tujuan saling membantu memperdalam pemikiran persoalan yang dibicarakan. Saya banyak memusatkan perhatian pada pemerolehan keinsafan akan perspektif yang berlainan, karena inilah yang saya yakini paling signifikan, di antara segala keterampilan filosofis, dalam menyiapkan kita untuk mengarungi kehidupan dengan baik. Pernyataan Sokrates bahwa ?kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga? (lihat Kuliah 5) itu benar hanya jika kita memiliki cara yang efektif untuk memeriksa kehidupan kita. Pemeriksaan-diri semacam itu memiliki dua segi yang berbeda, yang berhubungan dengan aspek kesadaran dan ketidaksadaran alam. Matakuliah ini hanya berkenaan dengan wawasan dan perspektif yang berhubungan dengan aspek pertama. Saya mengajar matakuliah lain tentang penakwilan mimpi dan pengembangan kepribadian yang terutama berkenaan dengan aspek kedua (lihat DW). Di matakuliah ini sebagaimana rangkaiannya, kesadaran akan perspektif merupakan kunci metode pemeriksaan-diri yang efektif. Tanpa itu, bagi kita wawasan kita tak akan lebih dari serangkaian prakonsepsi berat sebelah yang kita percayai tanpa tahu mengapa nyatanya kita mempercayainya, atau tanpa tahu apa pilihan-pilihannya. Namun dengan kesadaran semacam itu, kita pun dapat belajar menerima sahnya prakonsepsi tertentu, bila perspektif yang didukung oleh prakonsepsi itu terlihat lebih unggul daripada pilihan-pilihan lain. Pada faktanya, persoalan prakonsepsi itu amat mendasar untuk memahami hakikat dan fungsi filsafat. Oleh sebab itu, saya akan mencurahkan semua kuliah mendatang untuk memeriksa topik tersebut dengan lebih rinci. 3. Filsafat Laksana Mitos Pernah ada pohon; namanya "Filsafat". ... Di keseluruhan matakuliah ini, saya ingin kita semua memperlakukan cerita pendek tersebut seolah-olah sebagai kunci pintu alam filsafat. Gagasan serupa bisa kita ungkap dalam bentuk analogi yang lebih filosofis dengan mengatakan, "filsafat itu laksana pohon". Dengan kata lain, kita asumsikan saja--sebagai titik tolak yang mapan untuk segala pemeriksaan kita--bahwa hakikat dan unsur-unsur pohon menunjukkan gelagat mengenai hakikat dan unsur-unsur filsafat. Akan tetapi, seperti halnya prakiraan tulus apa pun, kita tidak akan mati-matian mempertahankan titik tolak itu dengan bukti-bukti yang tak terbantah; yang bisa kita lakukan hanyalah meyakini nilai dan kebenarannya, dan kemudian merambah berbagai implikasinya. Andaikan hasil akhirnya kurang memuaskan, kita buang saja prakiraan itu, lalu kita bertolak lagi dengan hipotesis-hipotesis baru. Namun sementara ini, saya akan mengacu pada analogi tersebut berulang kali pada matakuliah ini dengan harapan memperoleh wawasan yang lebih luas dan lebih jelas dalam disiplin yang kita sebut "filsafat". Maksudnya, asumsi bahwa pernah ada pohon yang bernama "filsafat" itu akan berlaku sebagai mitos yang memandu dan menjaga kesatuan berbagai ide yang kita bahas di sini. Makna kata "mitos", bila digunakan dengan cara itu, bukan "cerita khayalan atau takhayul" yang lazim terpakai dalam bahasa sehari-hari. Di sini, saya justru memanfaatkan arti spesialnya, yang digunakan oleh antropolog-antropolog dalam paparan mereka tentang primitifnya asal-usul agama. Sekarang saya hendak merambah pengertian baru kata "mitos", bukan hanya supaya kita bisa memahami lebih jelas maksud ungkapan bahwa "pohon filsafat" itu akan berlaku sebagai mitos kita [sekurang-kurangnya pada matakuliah ini], melainkan juga karena, seperti yang akan kita bahas, filsafat itu sendiri banyak berasal dari pola pikir mitologis spesial tersebut. Tentang bagaimana mitos berfungsi dalam masyarakat primitif, seperangkat penjelasan yang elok disodorkan pada Bab Pertama dalam Myth and Reality, karya Mircea Eliade, salah seorang cendekiawan abad keduapuluh yang paling berpengaruh dalam studi agama secara ilmiah. Karena makna yang ia rujuk pada kata "mitos" sangat mirip dengan asumsi yang saya maksud pada alinea di atas, saya hendak menyoroti beberapa hal penting yang ia catat. Yang paling berharga, ia mendefinisikan mitos sebagai suatu cerita lama tentang asal-usul dunia atau benda-benda di dunia, yang dengan berbagai jalan menjelaskan mengapa keberadaan manusia begitu adanya, atau mengapa norma-norma budaya masyarakat berkembang sedemikian rupa. Mitos Prometheus, misalnya, memberi tahu kita tentang asal-usul api di samping hal-hal lainnya. Subyek-subyek mitos yang paling umum di antaranya adalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan seksualitas, hubungan keluarga, dan kematian. Pelaku dalam mitos-mitos itu biasanya dewa, sesuatu yang adikodrati, atau pahlawan dengan kekuatan yang adikodrati. Sayangnya, para penyimak modern cenderung kurang menyadari fakta bahwa cerita-cerita itu terutama berfungsi sebagai model perilaku manusia. Namun bagaimanapun, dalam seabad ini sudah ada upaya untuk memperlihatkan bahwa mitos-mitos kuno itu mengisahkan riwayat, berbicara tentang manusia. Psikolog Sigmund Freud, misalnya, berpendapat bahwa mitos Oedipus, orang yang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, mengemukakan riwayat tentang pengalaman kanak-kanak semua lelaki, bukan hanya anak yang hidup pada masa Yunani Kuno. (Untuk rincian lebih lanjut, lihat DW, Kuliah 8.) Secara demikian, alangkah baiknya bila dalam menyimak suatu mitos kuno, kita menganggap semua tokoh itu dalam hal tertentu menuturkan cerita tentang siapakah kita. Ketika saya membaca mitos sebagai riwayat hidup saya sendiri, maka sesuatu yang dulu tampak aneh dan tidak relevan tiba-tiba mengilhami makna baru. Menurut Eliade, anggota-anggota suku menilai mitos mereka sebagai kisah yang paling sejati di antara semua kisah nyata. Kesejatiannya ditonjolkan berkali-kali oleh fakta bahwa mengaktifkan mitos dalam bentuk ritual memungkinkan mereka untuk berkuasa terhadap alam. Di samping itu, repetisi ritual kisah itu senantiasa menghidupkan mitos dalam jiwa dan benak orang-orang tersebut. Bahkan, tampaknya mereka memiliki dua jenis kisah yang berbeda. Pertama, cerita yang berhubungan dengan peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan mereka sehari-hari; kedua, cerita yang berkaitan dengan kejadian yang berlangsung pada "masa mitologis" istimewa (yang terkadang diacu sebagai "masa impian"). Dalam bahasa Jerman, ada perbedaan di antara dua macam kisah ini. Untuk memaparkan cerita-cerita biasa, dipakai kata historie, sedangkan untuk memaparkan cerita-cerita dengan makna spesial yang lebih mendalam, digunakan kata geschichte. Jadi, kata heilsgeschichte mengacu pada "sejarah suci" istimewa yang eksis, sebagaimana adanya, pada tingkat yang beda dari sejarah biasa. Walaupun laporan Eliade itu sangat cermat sebagai paparan tentang mitos yang terdapat pada kebudayaan primitif, saya ingin menanamkan kesan bahwa, dengan sedikit revisi, kita bisa mendapati unsur mitologis dalam setiap kebudayaan, yang mana pun, termasuk kebudayaan kita sendiri. Mula-mula, alih-alih, saya sarankan agar pengertian mitos tidak kita batasi pada "cerita lama", tetapi kita perluas sehingga mencakup segala keyakinan, riwayat, dan rancangan yang diperlakukan sebagaimana fungsi legenda bagi orang-orang primitif. Dengan kata lain, segala hal yang kita manfaatkan untuk menjelaskan mengapa hal-hal sedemikian adanya, atau segala sesuatu yang kita gunakan sebagai model untuk perilaku kita, bisa kita anggap sebagai mitos. Dengan cara ini, kita sisihkan tuntutan bahwa tokoh-tokoh di dalam mitos sangat jauh dari diri kita dan bahwa unsur-unsur ceritanya terlalu aneh bagi indera modern. Tentu saja, tidak semua penjelasan tentang realitas bersifat mitologis, sehingga kriteria Eliade mengenai nilai kebenaran mitos perlu kita ingat. Akan tetapi, saya pikir kita harus menolak kesaksiannya bahwa mitos melambangkan kebenaran yang paling sejati di antara yang benar. Alih-alih, saya percaya corak penentu keyakinan mitologis, selama mengenai nilai kebenarannya, adalah bahwa maknanya menjadikan mitos melampaui pertanyaan. Dengan kata lain, bagi orang yang ?hidup dengan bermitos?, pertanyaan tentang tepat atau sesatnya cerita atau keyakinan atau pandangan itu tidak relevan. Begitulah mitos. Dengan kata lain, pada tingkat sedalam itu bisa dimengerti bahwa mempertanyakannya pun tak terpikir sama sekali. (Revisi pandangan tentang nilai kebenaran mitos digambarkan oleh diagram yang terlihat di Gambar I.4.) Itu bukan berarti bahwa orang-orang yang hidup dengan bermitos tidak mampu mengajukan pertanyaan tentang makna mitos mereka, melainkan justru sebaliknya. Pembahasan pertanyaan-pertanyaan semacam itu acapkali memainkan peranan penting dalam masyarakat-masyarakat yang diatur dengan mitos tertentu. Satu-satunya pertanyaan yang tidak pernah timbul adalah pertanyaan dasar tentang apakah mitos itu sendiri benar ataukah tidak. sejarah: riwayat, keyakinan, dan lain-lain yang nyata mitos: riwayat, keyakinan, dan hal-hal mempertanyakan maknawi lain yang tak dipersoalkan dongeng: riwayat, keyakinan, dan lain-lain yang khayal Gambar I.4: Nilai Kebenaran Mitos Bilamana keyakinan akan mitos mereka dipersoalkan oleh orang lain, maka mereka sangat enggan untuk menanggapinya. Pernyataan Eliade bahwa mitos diyakini sebagai "yang paling sejati" di antara kisah-kisah nyata itu bersandar pada kesalahpahaman akan tanggapan itu. Orang-orang primitif itu secara naluriah mengetahui bahwa gagasan "kebenaran" tidak cocok sama sekali jika diterapkan pada mitos. Mempersoalkan "kebenaran" mitos berarti menyalahpahami makna mitos. Klaim Eliade tersebut lebih merupakan ide-ide prakiraan yang bersumberkan data dari bacaan antropolog-antropolog daripada niat aktual orang-orang primitif tersebut. Karena itu, demi tujuan kita, istilah ?mitos? mengacu pada segala keyakinan yang maknanya sangat dekat dengan jalan hidup orang yang tak pernah mempertimbangkan pengajuan pertanyaan "Benar atau salahkah ini?" Kini saya harap anda mengerti dengan lebih jelas apa yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa cerita tentang suatu pohon yang berjuluk "Filsafat" akan menjadi mitos kita yang memandu matakuliah ini. Maksudnya, saya ingin anda mengakui kebenaran analogi "filsafat itu seperti pohon" begitu saja tanpa mempertanyakannya. Selanjutnya, saya menghendaki, gambar pohon filsafat berlaku sebagai model untuk segala perenungan anda mengenai apakah filsafat itu. Dengan melakukannya, akan anda dapati bahwa anda mempunyai semacam daya untuk memahami wawasan-wawasan filosofis yang biasanya di luar jangkauan para pemula. Namun sebelum kita mulai merambah beberapa wawasan filosofis itu, saya berniat mengulas asal-usul mitologis filsafat itu sendiri. Sebagian besar sejarah kebudayaan biasanya menoleh ke "zaman keemasan" yang kehidupan manusianya sangat berbeda dengan kehidupan masa sekarang. Kerinduan untuk kembali ke zaman keemasan ini (yang pada umumnya berkaitan erat dengan "masa impian" atau "masa mitologis" yang disebut di atas) merupakan penggerak perubahan-perubahan kebudayaan. Bagi orang-orang Yahudi terdahulu, zaman keemasannya adalah Taman Surga, yang di dalamnya Adam dan Hawa ?berjalan-jalan dengan Allah di suatu sore hari yang sejuk?. Bagi orang Cina pada era Konfusius (551-479 S.M.), zaman keemasannya ialah periode "kaisar-kaisar bijaksana", tatkala Cina diperintah dengan alim dan murah hati. Karena filsafat Barat, yang merupakan fokus utama kuliah ini, bermula di Yunani Kuno, perlu dicatat bahwa orang-orang Yunani itu juga mempercayai zaman keemasan. Oleh sebab itu, mari kita tengok secara ringkas sejarah Yunani Kuno supaya kita beroleh beberapa pahaman tentang bagaimana filsafat lahir dari mitos. Beberapa cendekiawan yakin, impian zaman keemasan di Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena, yang pudar pada masa Perang Troya (kira-kira 1200 S.M.). Zaman itu merupakan inspirasi untuk perekaan mitos-mitos Yunani (lihat MM 87-89 dan BM 213-215, 278). Perkembangan yang paling signifikan berikutnya dalam sejarah Yunani adalah "penciptaan epos-epos Homer [kira-kira 900 S.M.], yang bahan-bahannya meluncur dari kompleks mitos ini" (MM 88, BM 464). Epos-epos ini mengalihkan pelbagai mitos yang tak teratur menjadi bentuk yang puitis, sehingga makna mitos menjadi lebih gamblang (BM 256 dst.). Akan tetapi, budi (consciousness) manusia belum mencapai wujud modern seperti yang kita kenal saat ini. Menurut Jaynes, baru "pada abad keenam S.M." pola pikir primitif tergusur oleh "akal budi subyektif" modern kita (BM 259-260, 285-286)--pada sekitar waktu itulah tampil filsuf pertama di Yunani Kuno, yang bernama Thales (kira-kira 624-546 S.M.). Ini lalu diikuti dengan kegiatan filosofis yang mendalam selama tiga abad, yang memuncak dengan karya seorang filsuf yang bernama Aristoteles (384-322 S.M.). Karya Aristoteles itu signifikan karena, sebagaimana yang akan kita amati pada Kuliah 6, dialah filsuf utama Yunani yang mula pertama membangun suatu sudut pandang "ilmiah", dalam pengertian yang modern. Jika kita tempatkan perkembangan-perkembangan besar tersebut pada suatu jalur waktu; sketsa kasar sejarah Yunani Kuno itu terlihat seperti ini: 1200 900 600 300 0 zaman mitos sastra filsafat ilmu keemasan Perang Epos Thales Aristoteles Yesus Troya Homerik Gambar I.5: Alur Sejarah di Yunani Kuno Selang tigaratus tahun antara perubahan-perubahan utama yang dilambangkan dalam diagram itu tentu saja hanya perkiraan waktu kejadian perubahan yang sebenarnya. Namun bagaimanapun, adalah signifikan bahwa sejarah sendiri menyiratkan pola perkembangan yang teratur tersebut. Pola itu pada faktanya mengingatkan kita kepada rupa arloji, yang terdiri atas duabelas bagian (jam/abad) yang dikelompokkan dalam empat perempatan. (Di Pekan V kita akan memeriksa struktur logis pola ini, yang juga menyediakan basis untuk pengorganisasian bab-bab di buku ini.) Yang menarik, keseluruhan periode peradaban Yunani Kuno itu diakui oleh beberapa orang sebagai "zaman keemasan"--suatu fakta yang menyiratkan bahwa pola tersebut adalah sesuatu yang berulang sendiri secara terus-menerus. Jika demikian, maka cara baik lainnya untuk menggambarkan pertalian antara empat perkembangan itu adalah memetakannya ke dalam gambar rupa arloji (yakni sebuah lingkaran yang terbagi atas empat kuadran). Jika sekarang kita ingat kembali fakta bahwa kalender modern (Masehi) kita berawal pada titik hentian Gambar I.5 (yaitu tahun kelahiran Yesus, sekalipun bukan di Yunani), maka kita bisa menyaksikan bahwa cara terbaik untuk memetakan jalur-waktu itu pada lingkaran ialah membalikkannya (dengan cara menukar posisi antara angka 9:00 dan angka 3:00), sebagaimana penghitungan tahun S.M. (Sebelum Masehi) kita yang berkebalikan dengan penghitungan tahun Masehi kita. Hal ini menghasilkan peta bentuk-bentuk pemikiran manusia yang saling berhubungan yang terlihat di Gambar I.6. Perang Troya ilmu mitos Aristoteles Homer filsafat sastra Thales Gambar I.6: Empat Bentuk Pemikiran di Yunani Kuno Saya ingin mengakhiri jam kuliah ini dengan menanamkan sebuah cara lebih lanjut untuk bisa memahami bagaimana empat ide tersebut--mitos, sastra, filsafat, dan ilmu--saling berhubungan. Kelirulah perkiraan bahwa tiada hubungan historis selain kebetulan belaka antara keempat ide itu. Pada aktualnya, ada landasan logis bagi pertalian tersebut, seperti yang tergambar dalam diagram yang terdapat pada Gambar I.7. Hidup dengan bermitos adalah seperti tinggal di suatu lingkaran tanpa mengetahui hal-hal tentang keberadaan lingkaran itu sendiri. Ini karena pemikiran mitologis itu bebal perihal tapal batasnya. Para pujangga menarik diri dari lingkaran mitos secukupnya sehingga mengakui eksistensi tapal batas itu. Sastra merupakan upaya untuk melisankan makna mitos dengan cara sedemikian rupa sehingga maknanya bisa dipahami oleh orang-orang yang sepenuhnya tinggal di luar tapal batas. Karenanya pujangga tinggal di tapal batas itu. Sebaliknya, para filsuf melangkah sepenuhnya di balik tapal batas. Akan tetapi, mereka masih cukup dekat dengan "lingkaran" mitos sehingga mereka mengakui realitas dan signifikansi "makna tersembunyi" yang terkandung di dalam ekspesi puitis mitos. Filsuf berupaya menjelaskan makna itu dengan cara yang lebih harfiah atau lebih obyektif: sementara pujangga bisa menulis karya sastra tanpa secara eksplisit mempertanyakan mitos, filsuf harus mempertanyakan mitos. Memang itulah salah satu dari tugas-tugas utama filsafat. Berbeda dengan para filsuf, para ilmuwan menarik diri mereka sendiri sejauh-jauhnya dari alam mitos sehingga mereka tidak bisa lagi mengamati adanya makna tersembunyinya sama sekali. Filsuf mempertanyakan nilai kebenaran mitos (yakni masih membuka kemungkinan untuk mencari kebenaran yang terungkap di dalamnya), sedangkan ilmuwan menolak mitos karena hanya merupakan "cerita bohong" (lihat Gambar I.4). Para ilmuwan tinggal sebegitu jauh dari mitos sehingga, jika mereka memandang lingkaran mitos sepenuhnya, mitos itu hanya tampak sebagai satu titik di kejauhan tanpa isi yang maknawi. ilmu sastra filsafat mitos Gambar I.7: Peta Empat Bentuk Pemikiran Manusia Jelas bahwa penggunaan sehari-hari istilah "mitos" itu kita dapatkan maknanya dari kecenderungan budaya modern kita yang menaruh kepercayaan mutlak kepada sains. Namun ironisnya, cara kita dalam memakai istilah kunci ini menyingkapkan bahwa ilmu itu sendiri mempunyai beberapa ciri seperti mitos, umpamanya kebebalan akan garis-garis tapal batasnya. Nah, ini menimbulkan pertanyaan apakah empat bentuk pemikiran dasar tersebut bisa berfungsi sebagai lingkaran, yang dengannya ilmu itu sendiri pada bentuknya yang paling ekstrim merupakan semacam mitos juga. Karenanya, salah satu tugas utama kita dalam matakuliah ini, bila kita hendak menjadi filsuf yang baik dalam suasana sekarang ini, adalah mempersoalkan hak eksklusif pandangan dunia ilmiah atas benak kita. Oleh sebab itu, pada pekan depan, kita akan bertolak dari pemeriksaan sifat melingkarnya empat bentuk pemikiran manusia itu dengan lebih rinci. Lalu kita akan menaruh perhatian khusus pada perkembangannya di Yunani kuno, yang di dalamnya dihasilkan dua sistem filsafat yang paling berpengaruh, yaitu sistem-sistem yang melambangkan dua cara utama berfilsafat (bandingkan dengan Gambar I.2) sedemikian efektif sehingga sistem-sistem itu terus mengandung buah wawasan hingga hari ini. Pertanyaan Perambah 1. A. Apakah filsafat itu? B. Bagaimana filsafat menyerupai pohon? .............................. .............................. 2. A. Apakah pertanyaan itu, dan mengapa itu penting dalam filsafat? B. Bagaimana pemeriksaan-diri yang filosofis berbeda dengan yang lainnya? .............................. .............................. 3. A. Apakah memiliki ide-ide filosofis cukup untuk menjadikan anda filsuf? B. Apakah wawasan (insight) itu? .............................. .............................. 4. A. Mungkinkah sebelum ada filsafat, manusia telah berbudi (conscious), [yakni memiliki alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan sehingga mampu menimbang baik-buruk]? B. Adakah mitos-mitos modern kita? .............................. .............................. Bacaan Anjuran 1. Shel Silverstein, The Giving Tree (New York: Harper & Row, 1964). 2. Gary E. Kessler, Voices of Wisdom 3rd Edition (Belmont, Ca.: Wadsworth Publishing Company, 1998[1992]), Bab 1, ?What Is Philosophy??, pp. 1-11. 3. Richard Osborne, Philosophy for Beginners (New York: Writers and Readers Publishing, Inc., 1992). 4. Robert Paul Wolff, About Philosophy 5th Edition (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1992[1976]), Bab 1, ?What Is Philosophy??, dan Lampiran ?How to Write a Philosophy Paper?, pp. 1-37, 452-472. 5. Roger L. Dominowski dan Pamela Dallob, ?Insight and Problem Solving?, Bab 2 dalam R.J. Sternberg dan J.E. Davidson (ed.), The Nature of Insight (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1995), pp. 33-62. 6. Mircea Eliade, Myth and Reality (London: George Allen & Unwin, 1964), Bab Satu, "The Structure of Myths", pp. 1-20. 7. Richard A. Underwood, ?Living by Myth: Joseph Campbell, C.G. Jung, and the Religious Life-Journey?, Bab 2 dalam D.C. Noel (ed.), Paths to the Power of Myth (New York: Crossroad, 1990), pp. 13-28. 8. Julian Jaynes, The Origins of Consciousness in the Breakdown of the Bicameral Mind, Bab I.3 dan II.3, "The Mind of Iliad" dan "The Causes of Consciousness", (BM 67-83, 205-222). Catatan Penerjemah Kata Indonesia "ilmu" berasal dari kata Arab 'ilm yang berarti "pengetahuan". Pada teks aslinya, Palmquist menulis ?phileo? dan ?sophia?, tetapi ia menyetujui perubahan yang saya buat. Sangat bolehjadi, istilah-istilah khas (baik Inggrisnya maupun Indonesianya) di dalam buku ini memiliki definisi yang berbeda dengan makna yang selama ini anda pahami. Mengingat akan besarnya kebolehjadian ini, Daftar Definisi Istilah akan sangat membantu anda dalam menghindari kesalahpahaman. Apa maksudnya? Palmquist menjelaskannya sebagai berikut. Kebermaknaan (subyektif) mitos bagi orang yang mempercayainya menyebabkan orang itu secara total tidak tertarik dan/atau tidak berkehendak untuk menyerahkan kepercayaan itu kepada penyidikan rasional yang disarankan oleh orang yang mengajukan pertanyaan tentang keabsahannya. (Orang yang memiliki suatu keyakinan mitologis mungkin cukup terbuka lebar-lebar untuk mengajukan sejenis pertanyaan tertentu, semisal ?apa yang saya maksudkan dengan keyakinan ini??; jenis pertanyaan yang tidak dibolehkan ialah ?apakah pada kenyataannya kepercayaan ini benar??) Edisi Indonesianya, Filsafat untuk Pemula, diterbitkan oleh Kanisius, Yogyakarta. Send comments (in English) to: StevePq@hkbu.edu.hk Back to the Index of Pohon Filsafat. Back to the English version of The Tree of Philosophy. Back to the listing of Steve Palmquist's published books. Back to the main map of Steve Palmquist's web site. This page was first placed on the web on 27 April 2003. Pekan II Asal-Mula Filsafat 4. Filsafat Melalui Demitologisasi Metafisis Setelah kita amati pada Pekan I bahwa filsafat lahir dari mitos, kita sekarang harus mengakui bahwa mitos begitu saja bukanlah filsafat. Jalan yang mengarah dari mitos menuju ilmu, melalui sastra dan filsafat, justru bisa disebut "demitologisasi". Istilah ini mengacu pada proses pengambilan "mitos" (dalam pengertian modern sebagai "keyakinan yang keliru") keluar dari mitos--yaitu mempertanyakan keyakinan-keyakinan kita yang tak tertanyakan dengan harapan mengubahnya menjadi ungkapan kebenaran yang lebih andal. Jadi, sebagai misal, ketika saya menyarankan dalam kuliah yang lalu bahwa kita semua harus mengakui "pohon filsafat" sebagai mitos untuk kuliah-kuliah ini, kita sebenarnya tidak berfilsafat. Alih-alih, kita menyiapkan landasan untuk menanam pohon itu sendiri. Sesudah anda menyudahi matakuliah ini, saya harap anda masing- masing akan menyediakan waktu secara serius untuk bukan hanya mempertanyakan mitos, melainkan juga mempertanyakan analogi (puitis) bahwa "filsafat itu laksana pohon". Namun jika anda buru-buru mempertanyakan prakiraan ini di sini, akan anda dapati bahwa landasan benak anda terlalu payah untuk menerima wawasan yang bisa diilhamkan oleh mitos ini kepada kita. Salah satu wawasan tersebut adalah bahwa, sebagaimana pohon merupakan organik lengkap yang terdiri atas empat bagian utama (akar, batang, cabang, daun), banyak juga, kalau bukan sebagian besar, ide filosofis yang diorganisasikan menurut pola seperti itu. Kita telah melihat beberapa pola tersebut di Pekan Pertama. Namun sebelum kita mengamati beberapa contoh bagaimana demitologisasi berjalan di Yunani kuno, saya akan menunjukkan beberapa pola lipat-empat menarik lainnya. Jika pola "mitos, sastra, filsafat, ilmu" diakui sebagai paparan perkembangan cara pikir manusia pada skala makrokosmik (yakni budaya manusia), maka kita jangan terkejut mendapati pola serupa yang berjalan pada skala mikrokosmik (yakni individu manusia). Salah satu cara umum terpenting pemaparan tahap-tahap perkembangan individu adalah mengacu pada "lahir, muda, dewasa, dan tua". Dengan mengkorelasikan masing-masing itu dengan tingkat kesadaran yang secara progresif lebih tinggi, muncullah pola yang tampak pada Gambar II.1. Sebagaimana perkembangan dari lahir sampai muda bertepatan dengan pembangkitan benak bawah-sadar (unconscious) anak-anak, maka perkembangan dari muda sampai dewasa pun memerlukan penajaman kesadaran (consciousness) secara bertahap, sampai timbul keinsafan khas akan diri sendiri. Adapun orang yang sadar-diri (self-conscious) yang perkembangannya tidak terselangi akhirnya masuk ke suatu tahap baru yang, karena ingin istilah yang lebih baik, bisa kita sebut super-sadar (super-conscious). Kealiman para orang tua diakui pada semua masyarakat tradisional terutama bukan karena banyaknya tahun-tahun yang mereka alami, melainkan karena cara pikir baru yang terbuka bagi mereka; bila mereka mengambil keuntungan darinya, mereka bisa memandang implikasi yang lebih luas dari hal-hal di luar mereka sendiri. lahir super-sadar bawah-sadar tua muda sadar-diri sadar dewasa Gambar II.1: Perkembangan Individu Kealiman mereka yang dihasilkan pada "tahun-tahun keemasan" mereka itu mengandung banyak kemiripan dengan jalan hidup orang-orang yang dalam imajinasi kita hidup di suatu "masa keemasan" yang padanya banyak budaya menengok ke belakang (Lihat Kuliah 3). Sekalipun demikian, yang terakhir ini tidak bersesuaian dengan masa tua, tetapi dengan pengalaman bayi pralahir di rahim ibunya. Pemetaan kaitan-kaitan ini pada suatu lingkaran menyiratkan dengan tepat sifat melingkar perkembangan yang kita pertimbangkan di sini: kesupersadaran bisa juga meliputi penangkapan kembali sesuatu yang hilang pada saat kelahiran seseorang--suatu gagasan yang dipertahankan oleh Plato sebagaimana yang akan kita amati di Kuliah 5. Setiap tahap ini bisa juga berkorelasi dengan daya atau "fakultas" benak insani tertentu, seperti terlihat dalam Gambar II.2. Imajinasi merupakan daya yang mengatur tahun-tahun pertama kehidupan kita, laksana mitos yang mengatur pemikiran orang-orang yang hidup di budaya primitif. Sebagaimana semua orang tahu, perbedaan antara fantasi dan realitas tidak berbeda dalam benak anak-anak sejati. Namun pada remaja, daya ini diambil alih oleh gelora jiwa (passion): dengan berubahnya raga pada masa pubertas, benak pun mengubah cara mengadaptasi alam. Pujangga digerakkan oleh gelora jiwa untuk dengan kata-kata mengungkap sesuatu yang pada masa kanak-kanak hanya merupakan impian. Sebaliknya, para filsuf biasanya dikenal bukan karena gelora jiwa mereka. Ini karena daya yang cocok dengan budi-diri dewasa adalah daya pemahaman. Daya ini, bila berkembang sepenuhnya, beralih menjadi daya penimbangan. Tugas para ilmuwan adalah melampaui sudut pandang mereka sendiri dengan tujuan menimbang-nimbang bagaimana alam pada kenyataannya. Demikian juga, orang-orang yang betul-betul pantas disebut "tua" ialah mereka yang benaknya diatur terutama oleh daya penimbangan ini. lahir (mitos) penimbangan imajinasi tua muda (ilmu) (sastra) pemahaman gelora jiwa dewasa (filsafat) Gambar II.2 Empat Daya Benak Dengan menentukan arah pengungkapan daya-daya ini, pemahaman kita menjadi lebih lengkap mengenai kesalingterkaitan antara ide-ide itu. Mitos menggunakan imajinasi untuk mengungkap keyakinan. Sastra memakai gelora jiwa untuk mengungkap keindahan. Filsafat memanfaatkan pemahaman untuk mengungkap kebenaran, sedangkan ilmu (science) menerapkan penimbangan untuk mengungkap pengetahuan. Kita bisa melambangkan tujuan-tujuan terdalam itu dengan memetakannya pada suatu bujur-sangkar yang mencakup lingkaran yang tersaji di Gambar II.2, sebagaimana terlihat pada Gambar di bawah ini: pengetahuan keyakinan lahir (mitos) penimbangan imajinasi tua muda (ilmu) (sastra) pemahaman gelora jiwa dewasa (filsafat) kebenaran keindahan Gambar II.3: Empat Arah Pemikiran Manusia Saya telah memanfaatkan waktu untuk menunjukkan pola-pola itu kepada anda bukan hanya karena saya pikir pola-pola tersebut secara intrinsik menarik, melainkan juga karena pola-pola itu akan membantu kita dalam menempatkan filsafat pada konteksnya yang tepat. Semakin baik pemahaman anda tentang konteksnya, semakin kokoh akar-akar "pohon" filosofis pribadi anda sendiri. Diagram-diagram pada Gambar II.1-3 ini menggambarkan pola-pola logis, sehingga implikasi-implikasinya tidak akan menjadi jelas sebelum kita mengkaji logika pada bagian-kedua matakuliah ini (terutama Pekan V). Bagaimanapun, dalam hal ini melihat secara singkat asal-usul logika itu sendiri ada gunanya, karena penerapan logika secara tepat diperlukan supaya demitologisasi berlangsung. Kata "logika" berasal dari kata Yunani logos, yang bermakna "kata"--yang meliputi kata yang terucap ("pidato"), kata yang tertulis ("buku"), dan kata yang terpikir ("akal"). Namun di Yunani Kuno, logos kadang-kadang juga dipakai untuk menunjuk sesuatu yang bisa kita sebut makna yang tersembunyi di dalam mitos. Dalam pengertian ini, logos suatu benda merupakan tujuan akhir atau sifat hakikinya. Inilah kata yang digunakan dalam Bibel ketika, sebagai misal, Injil Yohanes bermula dengan pernyataan: "In the beginning was the logos, and the logos was with God, and the logos was God." Orang yang hidup dengan bermitos mengalami logos ini langsung dari sumbernya, dan dengan demikian tidak perlu menjelaskannya. Pujangga ialah yang mula-mula mengakui perlunya penggunaan kata-kata untuk mengungkap gelora jiwa; dengan kata-kata, pengalaman logos mengisi jiwa seseorang. Para filsuf berupaya memahami logos dengan cara sedemikian rupa untuk memisahkan kebenaran dari khayalan. Adapun ilmuwan melalaikan logos sepenuhnya dalam penelusuran fakta-fakta konkret yang bisa dikelola. "Pelalaian" ini merupakan sumber masalah kenirmaknawian atau "keterasingan" modern dan sedikit-banyak akan kita perhatikan nanti (lihat sebagai misal, Kuliah 18). Proses pergeseran dari pengalaman logos yang mendalam ke suatu keadaan yang melupakan kehadirannya merupakan proses demitologisasi. Dalam pengertian tertentu, pelalaian logos merupakan malapetaka bagi umat manusia. Namun dalam pengertian lain, sebagaimana yang hendak kita amati pada Kuliah 9, pelalaian seperti itu (atau paling tidak, pengabaian) merupakan syarat-perlu supaya timbul pengetahuan. Sains mensyaratkan bahwa kita melupakan logos yang tersembunyi karena pengetahuan faktual hanya mengakui hal-hal yang terungkap secara terbuka. Sesungguhnya, kesulitan yang kita hadapi dalam berpikir sehubungan dengan logos itu muncul sebagai akibat langsung dari fakta bahwa kita hidup di suatu zaman yang didominasi oleh pandangan dunia ilmiah, yang tidak memberi tempat sama sekali bagi logos. Sekalipun begitu, selalu ada kemungkinan untuk kembali lagi ke tahap mitos, termasuk sesudah pelalaiannya dalam proses pemerolehan pengetahuan. Salah satu cara terbaik untuk membangkitkan kembali memori mengenai kenyataan yang terlupakan itu adalah memelihara pohon filsafat di dalam diri kita sendiri. Para pelaku demitologisasi yang terawal di Yunani Kuno ialah para filsuf yang hidup pada jangka waktu antara Thales dan Aristoteles (lihat Gambar I.5). Dengan dua pengecualian penting (yang akan dibahas pada kuliah mendatang), para filsuf itu diacu sebagai filsuf-filsuf "prasokrates" karena mereka hidup sebelum masa seorang filsuf yang sangat berpengaruh yang bernama Sokrates. Salah satu kepedulian utama filsuf "prasokrates" adalah memerikan hakikat "realitas terdalam" (ultimate reality). Inilah, sebagaimana yang saya sebut pada Kuliah 1, tugas utama bagian filsafat yang kini kita sebut "metafisika". Di antara para pelaku demitologisasi terawal ini terdapat empat orang yang pandangannya pantas mendapat sebutan istimewa. Masing-masing berkenaan dengan salah satu dari empat "anasir" tradisional (atau sesuatu yang menyerupainya) karena betul-betul merupakan realitas terdalam. Thales sendiri berpendapat bahwa segala sesuatu pada akhirnya bisa dijadikan air. Anaximenes (kira-kira 585-528 S.M.) membantah dengan mengklaim bahwa anasir yang paling dasar itu sebenarnya udara. Tak lama sesudah itu, Heraklitus (karyanya kira-kira muncul pada 500-480 S.M.), yang memiliki gagasan yang menarik mengenai logika lawanan (lihat Kuliah 12), menyarankan agar api merupakan anasir yang paling tepat untuk memaparkan kompleks-bangunan metafisis dasar. Akhirnya, Demokritus (kira-kira 460-371 S.M.), yang namanya sangat mirip dengan suatu ideologi politik modern populer, membela kondisi "atomisme" terawal, yang memandang anasir dasar sebagai "yang-berada" (being atau what is) saja. Dengan kata ini ia memaksudkannya sebagai sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang kita maksudkan sebagai "zat atau bahan" (matter), yang pada garis besarnya sekurang-kurangnya menyiratkan kecocokan dengan anasir bumi, karena bumi itu mengacu bukan pada tanah belaka, melainkan pada semua zat padat. Karenanya, empat pandangan metafisis tadi bisa dipetakan pada salib sederhana, sebagai berikut: api (Heraklitus) bumi air (Demokritus) (Thales) udara (Anaximenes) Gambar II.4: Empat Anasir di Yunani Kuno Sebagaimana siratan diagram ini, yang terbaik dari jawaban-jawaban awal terhadap pertanyaan tentang kenyataan hakiki dikemukakan oleh Anaximander (kira-kira 610-546 S.M.), yang berpendapat bahwa di antara empat anasir tersebut tidak ada yang bisa diakui dengan tepat sebagai unsur dasar, karena anasir tersebut saling berlawanan (seperti basah dan kering, panas dan dingin). Jika satu unsur itu "tanpa tapal batas", maka ini akan merontokkan semua anasir lainnya. Ia berpendapat, sebagaimana yang ditunjukkan di sini, bahwa di pusat salib tersebut, pengakuan kebutuhan atas keempat anasir itu harus dianut bersamaan dengan keseimbangan yang kreatif. Pandangan ini dikembangkan lebih lanjut oleh Empedokles (kira-kira 495-435 S.M.), yang mengakui keempat anasir tersebut sebagai realitas-realitas dasar, yang menjelaskan keseimbangannya karena dianut bersama-sama dengan daya yang berlawanan antara "cinta" (philia) dan "cekcok" (neikos). Mana pun jawaban yang kita kira terbaik terhadap pertanyaan tadi, kita harus berhati-hati bila mengakui suatu unsur yang mana saja sebagai sesuatu yang memberi penjelasan tentang hakikat dunia fisik, karena kata "metafisika" berarti "sesudah" atau "melampaui" fisika (yakni "alam"). Jadi, kita harus berhati-hati supaya tidak mengira bahwa para filsuf tadi berpendapat bahwa segala sesuatu di bumi memang benar-benar terbuat dari (sebagai misal) api. Tentu saja itu tidak benar, kecuali jika kita dahulu kala telah membakar semua benda! Lagipula, penjelasan semacam itu merupakan tugas ilmu, bukan tugas filsafat. Alih-alih, kita harus menganggap teori-teori para filsuf tadi sebagai upaya terawal untuk mengungkap kebenaran tunggal yang tidak dapat diperkecil lagi yang terletak di balik berbagai wujud pengalaman kita sehari-hari. Dengan kata lain, mereka berusaha untuk memahami makna-tersembunyi khazanah mitologis mereka sendiri dari suatu posisi di luar mitos itu sendiri. Hasilnya adalah penjelasan yang sekarang ini kita sebut sebagai penjelasan "simbolik" mengenai bagaimana kita bisa memecahkan masalah metafisika. (Alam simbolisme akan dibahas pada Kuliah 31.) Akan tetapi, sebagaimana yang akan kita lihat pada jam kuliah mendatang, semua solusi tersebut menuju kegagalan. 5. Filsafat Sebagai Dialog Rasional Garis pembagi tebal dalam filsafat Yunani kuno--garis yang menempatkan para filsuf yang memiliki pandangan yang terlihat jauh dan asing di satu sisi dan para filsuf yang mempunyai pandangan yang dengan jelas tampak lebih relevan dengan urusan filosofis kontemporer di sisi lain--terdapat dalam bentuk seorang filsuf saja yang, sepengetahuan kita, tidak pernah menulis buku. Filsuf tersebut, Sokrates (470-399 S.M.), memberi penafsiran yang benar-benar baru mengenai tugas filosofis, yang implikasi penuhnya merentang sampai duaribu tahun. Kita mengetahui ide dan kehidupan Sokrates terutama melalui tulisan-tulisan seorang pengikut dekatnya, Plato (427-347 S.M.). Bersama-sama dengan murid cemerlang Plato, Aristoteles (384-322 S.M.), orang-orang ini merupakan inti tradisi filsafat Yunani kuno. Meskipun mengingat-ingat kepastian tahun kehidupan mereka tidak penting, urutan masa kehidupan mereka perlu diketahui. Ini mengingatkan kita bahwa Sokrates sudah agak tua manakala ia mempengaruhi Plato muda, dan bahwa ia meninggal sebelum Aristoteles lahir: 470 Sokrates 399 384 Aristoteles 322 427 Plato 347 Gambar II.5: Tiga Filsuf Besar Yunani Kehidupan Sokrates tidak banyak diketahui. Beberapa ilmuwan bahkan mempertanyakan apakah sesungguhnya orang tersebut pernah hidup. Namun demi tujuan kita, kita dapat mengabaikan perdebatan itu karena, walaupun barangkali tokoh itu hanya rekaan Plato dan orang-orang sezamannya, tokoh tersebut telah berfungsi sebagai "mitos" yang menuntun perkembangan filsafat Barat selama lebih dari dua milenium. Sokrates ialah seorang pemikir sejati yang mempraktekkan ucapannya. Sekalipun ia orang Athena yang berstatus tinggi, ia kadangkala sudi menanggalkan kedudukannya di tengah kehidupannya untuk menjalani hidup dengan "sangat miskin" sebagai seorang filsuf (PA 23b). Selama masa itu ia memanfaatkan waktunya untuk menjelajahi kota Athena dengan mengajak orang-orang untuk bercakap-cakap tentang berbagai persoalan. Ia sering bentrok dengan kaum Sofis, para filsuf profesional populer yang melahirkan "kealiman" mereka (dengan ciri khas, penelitian secermat-cermatnya tanpa penerapan semestawi sama sekali) demi uang. Kendatipun ia bersikeras bahwa ia bukan guru (33a), terdapat sekelompok pemuda (salah satunya ialah Plato) yang suka berkerumun mengelilinginya, yang tertarik untuk belajar seni berfilsafat dengan cara baru itu. Jalan karir Sokrates yang paling signifikan, sebagaimana yang dicatat oleh Plato dalam Apology-nya, bermula ketika kawan lamanya, Chaerefon, bertanya kepada peramal Delfi apakah ada orang yang lebih alim daripada Sokrates. Tatkala Sokrates mendengar bahwa dukun tersebut menjawab "tidak", ia merasa dihadapkan dengan suatu teka-teki yang harus dipecahkan, karena ia yakin [dirinya] tidak pantas disebut alim. Oleh sebab itu, ia bepergian mewawancarai semua orang yang memiliki reputasi alim, seperti politisi, pujangga, dan cendekiawan, dengan harapan belajar dari mereka tentang makna kealiman sejati. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjelaskan "kealiman" mereka sendiri senantiasa patah oleh pertanyaan Sokrates yang bertubi-tubi. Mereka tak hanya tak mampu memaparkan dalam hal apa mereka "alim". Sokrates pun di depan umum berupaya "membuktikan" bahwa sesungguhnya mereka tidak alim. Secara alamiah, dengan mempertanyakan semua mitos tradisional yang dianut oleh hartawan dan tokoh di kalangan masyarakatnya, ia mengail musuh banyak sekali! Namun bagi Sokrates, itu tidak penting karena dengan melakukannya ia bisa menemukan "bahwa orang-orang yang berreputasi tertinggi [perihal kealiman mereka] hampir seluruhnya kurang alim, sedangkan kualifikasi kecerdasan-praktis orang-orang lain yang disangka lebih rendah [justru] jauh lebih baik" (PA 22a). Akhirnya Sokrates menyimpulkan (PA 23a-b) bahwa peramal itu memang mengetengahkan suatu teka-teki, tetapi solusinya merupakan sebutir pil pahit bagi orang-orang yang perlu membela kemuliaan-kemuliaan kealiman manusia demi peran mereka di masyarakat: [Some people have described] me as a professor of wisdom.... But the truth of the matter ... is pretty certainly this, that real wisdom is the property of God, and this oracle is his way of telling us that human wisdom has little or no value. It seems to me that he is not referring literally to Socrates, but has merely taken my name as an example, as if he would say to us, The wisest of you men is he who has realized, like Socrates, that in respect of wisdom he is really worthless. ([Beberapa orang menggambarkan bahwa] saya ialah guru-besar kealiman.... Namun yang benar ... tentu saja bahwa kealiman sejati merupakan sifat Tuhan dan bahwa peramal itu bermaksud memberitahu kita bahwa kealiman manusia tidak atau kurang bernilai. Tampak oleh saya bahwa ia tidak mengacu pada Sokrates secara harfiah, tetapi hanya mencomot nama saya sebagai contoh, seakan-akan ia berujar kepada kita, "Yang paling alim di antara kalian ialah orang yang, seperti Sokrates, mengakui bahwa dalam hal kealiman ia sebenarnya kurang berharga.") Memahami implikasi wawasan ini sangat penting jika kita hendak memahami perkembangan filsafat, dan terutama metafisika, dalam duaribu tahun sepeninggalnya. Ini karena dalam pernyataan itu Sokrates dengan jelas menyatakan kriteria pertama untuk menjadi filsuf yang baik: kita harus mengakui kebebalan kita! Harga yang harus dibayar oleh Sokrates demi wawasan tersebut adalah nyawanya. Para warganegara yang berpengaruh di Athena mengajukannya ke sidang pengadilan, menuduh dia "merusak pikiran pemuda dan memyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang diakui oleh negara" (PA 24b). Selama pengadilannya, ia membela diri bukan dengan bermohon belas kasih atau berjanji untuk berperilaku secara lebih beradab, melainkan dengan berpidato secara terbuka dan tajam di depan para penuduhnya. Ia menjelaskan bagaimana kehidupan filosofis merupakan kehidupan yang menghargai kematian. Filsuf ialah orang yang mentaati perintah prasasti pada kuil di Delfi, "Kenalilah dirimu sendiri". Orang yang tidak menerima tantangan ini berada dalam situasi yang menyedihkan, mengingat "kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga" (38a). Memang, Sokrates jelas-jelas menghargai kehidupan yang berperiksa-diri sebagai kehidupan yang mengabdi kepada Tuhan: meskipun ia sengaja menumbuhkan keragu-raguan terhadap perkembangan dewa-dewa dalam tradisi Yunani, Sokrates sendiri menghargai filsafat sebagai kejuruan yang berilham ilahi. Hanya dengan menghidupkan kehidupan semacam itu manusia bisa berbudi luhur dan juga turut mengantar masyarakat yang laik: For I spend all my time going about trying to persuade you, young and old, to make your first and chief concern not for your bodies nor for your possessions, but for the highest welfare of your souls ... Wealth does not bring goodness [i.e., virtue], but goodness brings wealth and every other blessing, both to the individual and to the state. (30a-b) (Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga kalian atau pun harta kalian, melainkan demi kesejahteraan tertinggi jiwa kalian ... Kekayaan tidak membawa kebaikan [yakni keluhuran], tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara.) (30a-b) Pernyataan-pernyataan sedemikian itu tentu saja bagaikan tamparan di wajah mereka yang ia ceramahi, yaitu orang-orang yang sebagian besarnya memandang Sokrates selaku (mantan) teman karena ia sendiri pernah menjadi anggota mahkamah tersebut. Jadi, tidaklah begitu mengejutkan setelah suara juri dihitung Sokrates divonis mati (sekalipun dengan selisih yang cukup kecil, 281 lawan 220). Namun menghadapi kekejaman putusan itu, Sokrates menerimanya dengan ketenangan yang tulus, dengan memprediksi bahwa jumlah orang yang mau mempersoalkan status quo--yakni jumlah filsuf--akan meningkat, bukan menyusut, sebagai akibat dari kematiannya (PA 39c)! Alih-alih menyembunyikan ketakutannya akan kematian, ia dengan tegas memaparkan bagaimana tugasnya sebagai filsuf telah menjadi tugas pelajaran tentang cara mati. Demikianlah Apology Plato berakhir (42a) dengan seruan Sokrates: "Kini saatnya kita pergi, saya menuju kematian dan kalian menuju kehidupan, tetapi siapa yang akan lebih berbahagia tiada yang tahu selain Tuhan." Prediksi Sokrates mengenai pertumbuhan filsafat ternyata akurat. Segera sesudah kematian Sokrates, tulisan-tulisan Plato menyajikan gagasan-gagasan inti Sokrates. Sayangnya, filsuf-filsuf "pascasokrates" terlalu sering enggan untuk mempersoalkan orang-orang yang memegang kekuasaan di masyarakat. Ini sebagian karena pertalian antara filsuf dan "negara-kota" tersebut telah banyak berubah sejak masa Sokrates. Pada masa itu filsafat cenderung diterima sebagai bagian dari status quo, salah satu pokok-persoalan yang harus dikaji dalam perburuan pendidikan "pribadi utuh" (whole person); yang agak mengejutkan, perubahan ini bermula dengan Plato sendiri. Plato menyajikan pandangan filosofisnya dalam bentuk Dialog-Dialog. Buku-buku ini mengubah kebiasaan Sokrates yang berupa pengajuan pertanyaan yang bertubi-tubi menjadi metode filosofis tertentu. Pada satu tingkat, sebuah Dialog hanya merupakan sebuah buku yang merekam percakapan antara pembicara utama--dalam Dialogues, karya tulis Plato, biasanya Sokrates--dan satu atau lebih tokoh penyerta. Di dalam percakapan itu tokoh utamanya bertindak selaku "bidan" bagi calon wawasan yang menunggu untuk "dilahirkan" di benak tokoh-tokoh lain. (Ibu Sokrates kebetulan berprofesi sebagai bidan.) Dengan kata lain, sebagaimana bidan yang baik melatih ibu yang hamil supaya si ibu bisa melahirkan bayinya (alih-alih sang bidan mengeluarkan bayi dari rahim secara paksa), tokoh utamanya pun mengajukan pertanyaan dan mengemukakan saran yang, sebagaimana adanya, "melatih" tokoh-tokoh penyerta sedemikian rupa sehingga mereka menemukan simpulan yang dikehendaki tanpa harus diberitahu. Namun pada tingkat yang lebih mendalam, kebermaknaan metode baru tersebut terletak pada dorongannya yang kuat menuju wewenang yang lebih tinggi, yakni akal, sebagai juri yang tepat untuk segala perdebatan. Sebagaimana terlukis dalam Gambar II.6, dialog itu dilaksanakan dengan asumsi bahwa wewenang yang lebih tinggi ini, yang sama-sama dimiliki oleh semua orang, mampu menanamkan pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas terdalam, atau kebenaran. tokoh utama akal kebenaran tokoh penyerta Gambar II.6: Metode Dialog Plato menggunakan metode dialog, berlandaskan pemahamannya atas ide-ide Sokrates (walaupun dalam hal-hal tertentu tak pelak lagi melampaui gagasan-gagasan tersebut), dalam membangun sistem metafisika pertama yang lengkap dengan nada modern. Filsafatnya, yang menyediakan pola dasar sistem-sistem metafisika "idealis", terlalu rumit untuk dikaji secara agak mendalam pada matakuliah pengantar ini. Akan tetapi, dengan meninjau secara singkat teori-teorinya tentang pengetahuan dan hakikat manusia, kita akan dapat memperoleh contoh yang baik perihal bagaimana idealismenya berjalan. Bagian filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan di sekitar hakikat dan asal-usul pengetahuan manusia disebut "Epistemologi" (dari kata Yunani epistemos, yang berarti "pengetahuan", dan logos, yang di sini sebaiknya bermakna "studi"). Metafisika dan epistemologi selalu bergandengan lekat-lekat. Ini karena pemahaman filsuf tentang apa yang pada hakikatnya nyata itu tak pelak lagi akan mempengaruhi pandangannya tentang bagaimana kita mengetahui hal-hal yang nyata itu, dan sebaliknya. Oleh sebab itu, hingga akhir kajian kita tentang metafisika, di setiap pembahasan filsuf baru saya akan mencantumkan paparan epistemologinya. Epistemologi Plato didasarkan pada asumsinya bahwa "universa", atau kadang-kadang ia sebut "forma" atau "idea", merupakan satu-satunya realitas sejati, sedangkan "partikula", yaitu "zat atau bahan" atau "benda", hanya merupakan penampakan dari realitas ini. Karena itu, dalam banyak pengalaman kita sehari-hari kita membiarkan ilusi bahwa benda-benda dan obyek-obyek di sekeliling kita di dunia fisik merupakan realitas terdalam. Sebenarnya bagi manusia situasinya adalah bahwa idea-idea kita bukan hanya menguak keadaan terdalam subyektif, melainkan juga sifat sejati realitas itu sendiri. Oleh sebab itu, tugas hakiki filsuf adalah memperhatikan benda-benda di balik penampakannya belaka supaya dapat mengetahui idea-idea ini. Dalam dialog terhebatnya, Republic, Buku VII, Plato menggambarkan Sokrates yang membandingkan situasi manusia dengan sekelompok orang yang terpenjara di dalam gua sejak masa kanak-kanak mereka. Leher dan kaki mereka dibelenggu sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu memandang pintu gua. Terdapat tabir di belakang mereka, dan di balik tabir itu orang-orang mengangkat patung dan pola berbagai benda yang menempel di tabir tersebut. Di belakang mereka semua ada cahaya dari api besar (yang kemudian dikenal sebagai matahari). Dengan demikian, orang-orang itu hanya bisa melihat bayangan obyek-obyek itu yang semu di dalam gua. Karena orang-orang tersebut tidak pernah mengetahui apa pun selain bayangan-bayangan itu, kelirulah perkiraan mereka bahwa itu obyek yang nyata. yang baik Dunia Forma akal dan kebenaran idea jiwa selera dan ilusi raga bayangan Dunia Penampakan Gambar II.7: Gua Plato Analogi tersebut, sekurang-kurangnya dalam bentuk yang disederhanakan itu, amat gamblang. Gua itu melambangkan dunia tempat kita hidup, dan orang-orang yang dibelenggu itu melambangkan orang-orang yang belum pernah berfilsafat. Bayangan-bayangan itu merupakan obyek-obyek material (?penampakan") yang biasanya kita perlakukan sebagai obyek-obyek nyata. Adapun obyek-obyek penghasil bayangan-bayangan itu merupakan "forma" sejati penampakan-penampakan ini. Hakikat ini bisa terkuak melalui perenungan filosofis. Oleh karena itu, tugas filsuf adalah menyadari forma-forma sejati itu dengan mematahkan belenggu-belenggu yang mengikat kita pada realitas dunia material khayalan; ini dilakukan dengan merenungkan idea-idea kita, dan berupaya memperlakukan idea-idea ini sebagai realitas terdalam. Itulah versi Plato mengenai pengakuan kebebalan: kebebalan kita masih ada selama kita terus membuat kekeliruan dengan memperlakukan dunia material sebagai realitas terdalam. Kekeliruan ini terjadi manakala kita memunggungi matahari, yang melambangkan idea tertinggi, idea "yang-baik", di antara semua idea dalam sistem Plato. Kebaikan merupakan realitas; dari kebaikanlah cahaya akal dan kebenaran memancar keluar, sehingga memungkinkan kita untuk memandang semua forma kekal lainnya. Plato membangun sistem hierarkis idea-idea, yang membentang dari idea yang lebih dekat pautannya dengan dunia material (umpamanya idea-idea yang berkaitan dengan hasrat manusia) sampai idea yang sedikit-banyak bisa membawa kita jauh ke luar "gua". Perihal idea yang terakhir ini, kebenaran dan keindahan bersama-sama dengan kebaikan merupakan tiga idea tertinggi. Meskipun ada kalanya kita dapati tiruan-tiruannya di dunia material, idea-idea itu tidak akan dapat terwujud secara sempurna dengan sendirinya di dunia penampakan. Kita tak akan bisa menunjuk sesuatu di dunia ini dan mengatakan "inilah yang kita sebut kebenaran". Ini karena kebenaran merupakan forma yang keadaannya abadi, tidak pernah berubah atau pun lenyap. Plato menyarankan para filsuf muda agar bermula dari pengetahuan tentang forma yang lebih rendah, yang melempangkan jalan mereka menuju pandangan universal tentang realitas terdalam, yang (seperti keadaan "super-sadar" yang dibahas pada Kuliah 4) pencapaiannya dalam kehidupan mungkin hanya agak terlambat. Bentuk pengetahuan yang berfungsi sebagai pedoman yang paling andal di sepanjang jalan ini, menurut dia, adalah matematika; adapun bentuk pengetahuan yang terandal di dalam matematika adalah geometri. Barangkali ini merupakan satu alasan yang baik mengapa penggunaan diagram bisa bermanfaat untuk memahami pandangan-pandangan filosofis yang musykil. Plato yakin, orang-orang yang berhasil mencapai sasaran itu, yakni visi universal, merupakan orang-orang yang paling mampu untuk memerintah negara ideal ("republik"). Pikiran politik Plato perihal kemestian penyelenggaraan "filsuf-raja" tersebut acapkali dikecam dengan tajam lantaran berbagai alasan. Kita akan melihat lebih dekat filsafat politik pada Pekan IX. Namun dalam hal ini cukup ditunjukkan bahwa teori filsuf-raja dari Plato layak untuk dipertimbangkan secara serius: siapa yang lebih mampu memerintah dengan cara yang adil dan luhur, orang yang haus kekuasaan dan jabatan ataukah orang yang memiliki idea yang benar mengenai kekuasaan dan jabatan? Dalam menyusun teorinya tentang forma, Plato, seperti kebanyakan filsuf-filsuf terbesar, memperhatikan persoalan realitas terdalam manusia sebagai salah satu dari aspek teori metafisisnya yang paling signifikan. Oleh sebab itu, mari kita simpulkan bahasan tentang idealisme Plato dengan secara singkat mengamati implikasinya bagi hakikat manusia. Jika dunia material merupakan khayalan, maka raga manusia tentu saja bukan realitas penentu hakikat manusia. Menurut Plato, justru raga itulah yang membelenggu kita di dalam "gua", membatasi penglihatan kita pada bayangan-bayangan realitas [saja]. Realitas sejati kita terletak dalam forma atau idea "kemanusiaan" dan sebaiknya disebut idea "jiwa" (psyche atau soul). Jiwa merupakan realitas abadi yang, sebagaimana adanya, terpenjara dalam raga manakala seorang manusia lahir ke dunia ini. Seperti terlihat pada Gambar II.8, jiwa itu terdiri atas tiga bagian (atau daya) utama: "selera" merupakan bagian terendah (yang bersesuaian dengan perut raga), "akal" merupakan bagian tertinggi (yang bersesuaian dengan kepala), dan "rohani" merupakan bagian penengah (yang bersesuaian dengan hati). Menurut Plato, jiwa itu tak pernah tidak eksis, karena kekal. Sebelum kelahiran kita, jiwa kita dalam forma kekalnya berada di alam idea, dan ke alam inilah jiwa kita kembali sesudah kita meninggal dunia. Karena forma kekalnya tidak terhambat oleh kegelapan dan keterbatasan "gua", di alam pikiran ini jiwa itu mudah mengakses semua pengetahuan. Pengalaman kelahiran menyebabkan kita lupa akan apa-apa yang dahulu kita ketahui. Karenanya, metafisika Plato menyediakan landasan bagi solusinya terhadap salah satu pertanyaan tersulit dalam epistemologi: "Bagaimana kita sampai mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kita ketahui?" Jawaban yang ditawarkan oleh idealisme Plato, dengan sangat sederhana, adalah bahwa semua pembelajaran di bumi ini sebenarnya merupakan pengingatan kembali apa-apa yang sebelum kita lahir kita ketahui. akal: kepala rohani: hati selera: perut Gambar II.8: Tiga Daya Jiwa Pada jam kuliah ini saya telah mencurahkan waktu hanya untuk memperkenalkan ide-ide yang dikemukakan oleh Plato (dan Sokrates). Selanjutnya jam-jam kuliah mendatang kita manfaatkan untuk mengkaji seluk-beluk idealismenya, dan bahkan kita baru saja mulai memahami kedalaman pemikirannya. Sesungguhnya, Plato sendiri yakin bahwa sistem forma kekalnya mampu menjelmakan filsafat menjadi ilmu, suatu wujud pengetahuan yang berkedudukan-kuat--suatu tujuan yang banyak dianut oleh para filsuf sejak itu. Sekalipun demikian, bagaimana tujuan ini dicapai merupakan persoalan yang senantiasa diperdebatkan. Pada jam kuliah berikut, kita akan memeriksa pandangan seorang murid Plato yang yakin bahwa filsafat ilmiah hanya bisa ditegakkan dengan mengikuti suatu jalur yang jauh berbeda. 6. Filsafat Sebagai Ilmu Teleologis Pada jam kuliah tadi kita memperhatikan gagasan-gagasan Sokrates dan pengikutnya, Plato. Pemanfaatan akal universal oleh Sokrates dan penggunaan dialog oleh Plato untuk membangun sistem idealisme, yang didasarkan pada ajaran-ajaran Sokrates, mengubah dengan cepat perkembangan filsafat di Yunani kuno. Dengan menyebut gagasan Plato, saya telah menyimpulkan bahwa idealisme bisa menghasilkan bangunan ilmu universal. Fakta bahwa sebetulnya saat ini tiada ilmuwan yang menengok ide-ide Plato sebagai sumber sains modern menyiratkan bahwa Plato gagal dalam tugas tersebut (sekurang-kurangnya, pandangan modern tentang apakah sains itu). Akan tetapi, seperti yang akan kita perhatikan pada jam kuliah ini, sistem lain yang diajukan oleh Aristoteles, murid Plato yang paling berpengaruh berhasil dalam tugas tersebut melalui suatu jalan yang tidak pernah ditempuh oleh gurunya. Seusai menempuh studi di sekolah terkenal yang didirikan oleh Plato, yang disebut ?Akademi?, Aristoteles mengajar di sekolah ini sampai sesudah kematian Plato. Selama duapuluh tahun itu, ia tentu saja pasti telah mengenal ide-ide Plato dengan baik. Namun demikian, kemudian ia meninggalkan Akademi itu dan bekerja selaku guru privat Iskandar Agung selama sekitar tiga tahun. Sekembalinya ke Athena, ia mendirikan sekolah sendiri. Di situ ia mengembangkan dan mengajarkan sistem filsafat yang konon bertolak belakang dengan sistem Plato. Sayangnya, semua tulisan Aristoteles yang sampai kepada kita adalah catatan kuliah dan buku-ajar yang dimaksudkan untuk dipakai oleh murid-muridnya. Akibatnya, tulisan-tulisan itu kering dan jauh kurang menarik daripada Dialogues Plato yang lincah. Gaya tulisan Plato yang terlalu longgar ladang-kadang mangaburkan maknanya, sedangkan makna tulisan Aristoteles seringkali kabur karena keketatannya. Tak pelak, untuk menyajikan wawasan filosofis, gaya penulisan yang lebih patut adalah gaya yang di antara keduanya. Aristoteles mendasarkan sistemnya pada suatu metafisika yang sedikit-banyak menempatkan idealisme Plato di benaknya dengan berpendapat bahwa yang pada hakikatnya nyata itu partikula, bukan universa. Ia menyangkutpautkan partikula dengan suatu istilah khusus, ?ousia?, yang bermakna ?realitas?, walau biasanya istilah ini diterjemahkan menjadi ?substansi?. Karena itu, pertanyaan dasar dalam ?filsafat pertama? (maksudnya metafisika)-nya adalah ?Apakah substansi itu??. Ia menjawab pertanyaan ini dengan mendefinisikan substansi sebagai benda yang eksis secara individual (lihat AC 1b-4b). ?Benda? semacam itu bukan sekadar forma atau pun sebongkah bahan. Benda ini pasti justru selalu menggabungkan bahan dan forma dengan sendirinya. Substansi itu menggabungkan forma dan bahan sedemian rupa sehingga bahan ini memenuhi fungsi niscaya, alih-alih sekadar atribut atau ilusi. Karena bahan substansi itu memberi ?tanda pembeda?, yang ?secara kalkulatif tinggal satu dan [masih] sama, [substansi] itu mampu menerima karakter yang bertentangan? melalui perubahan bahan. Umpamanya, kapur tulis yang saya pegang sekarang ini masih akan merupakan contoh substansi ?kapur tulis? walaupun berubah karakter dari kapur tulis putih menjadi kapur tulis merah. Inilah cara pandang khas terhadap hakikat realitas, yang disebut ?realisme?. Aristoteles mengembangkan lebih lanjut realismenya dengan memperbedakan antara substansi ?primer? dan substansi ?sekunder?. ?Substansi primer ... adalah entitas yang mendasari segala benda lainnya?, sedangkan substansi sekunder adalah karakterisrik yang dapat ?dipredikatkan? terhadap benda individual itu, khususnya jika karakteristik ini merupakan bagian dari definisi [yang menjawab] ?what is it?? (AC 2a-b). Sesungguhnya substansi sekunder mestinya terbatas pada ?genus? dan ?spesies? benda individual. Sebagai misal, saya selaku manusia individu ialah substansi primer. Karena itu, fakta bahwa saya ialah manusia (spesies) dan hewan (genus) merupakan substansi sekunder, yang memerikan jenis substansi saya. Namun dalam pengertian yang lebih luas, segala benda yang ?dipredikatkan [dari substansi primer] atau terdapat di dalamnya? bisa dianggap sebagai substansi sekunder. Jadi, substansi primer biasanya tampil di subyek kalimat, sedangkan substansi sekunder biasanya tampil di predikat-nya. Artistoteles mengembangkan teorinya tentang substansi pada permulaan bukunya, Categories, yang mendefinisikan ?kategori? sebagai ?jenis benda yang paling umum?. Kata ?forma? itu sendiri dapat dianggap sebagai makna ?jenis seumum itu?, sehingga kategori merupakan forma yang sangat disamaratakan. Dalam Categories, Aristoteles menyusun daftar sepuluh jenis forma yang paling umum, yang pertama adalah substansi itu sendiri (yaitu jenis forma yang dijadikan nyata dengan ikut serta di dalam bahan). Sembilan lainnya merupakan karakteristik yang membantu kita memahami: seperti apakah substansi partikula itu. Di sini kita tidak perlu sampai merinci hakikat dan fungsi kategori-kategori tersebut. Cukup didaftar saja sembilan forma lain itu menurut urutan yang disajikan oleh Aristoteles: kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, dan atribut (affection)(AC 1b). Pembahasan Aristoteles tentang kategori-kategori ini banyak berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah tersebut dalam bahasa kita (sehingga mengisyaratkan penekanan pada analisis linguistik dewasa ini, yang akan dibahas lebih lanjut di Kuliah 16). Namun demikian, ia pun jelas-jelas mengakui bahwa kategori-kategori tersebut menyediakan suatu cara pemahaman realitas itu sendiri (yaitu substansi) secara teratur dan sistematik. Dalam menerapkan realismenya pada hal-hal partikula, Aristoteles menggunakan metode teleologis. Artinya, ia berpendapat bahwa forma benda sebaiknya terketahui melalui penyelidikan tentang maksud forma tersebut. Kata Yunani telos (?maksud?) juga mengacu pada akhir atau tujuan benda atau peristiwa. Mengapa ini ada? Untuk apa ini digunakan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bisa membantu kita menjelaskan mengapa sepotong bahan spesifik berforma tertentu (particular). Aristoteles memanfaatkan metode teleologisnya sebagai bagian terpadu dari tugas pengelompokan obyek-obyek alamiah dan obyek-obyek hasil pemikiran. Ini karena metode filosofisnya menaruh perhatian ganda pada klasifikasi logis (linguistik) dan observasi teleologis (empiris). Penekanan ganda ini berpengaruh besar terhadap orang-orang yang sejak itu mengikuti tradisi yang sering disebut tradisi ?empirisis?. Tentu saja, sains modern merupakan salah satu dari buah-buah tradisi empirisis. Jadi, tidaklah sampai mengejutkan bahwa ternyata banyak nama yang kita berikan kepada cabang-cabang sains yang berlainan, sebagaimana disiplin akademik lain, mula-mula ditetapkan dengan klasifikasi teleologis Aristoteles tersebut. Buku-bukunya banyak dicurahkan pada penamaan dan penyediaan landasan dasar bagi disiplin-disiplin seperti ?psikologi?, ?zoologi?, dan bahkan ?metafisika? itu sendiri. Jadi, sebagai misal, ia mengatakan bahwa matematika itu mengenai penyebab formal, fisika mengenai penyebab material, dan teologi mengenai penyebab keilahian, sehingga ketiganya bisa dibedakan (AM 1026a). Selain itu, ia menancapkan banyak pembedaan yang kini kita terima begitu saja, bukan hanya dalam filsafat (seperti esensi-eksistensi dan sebab-akibat), melainkan juga dalam ilmu empiris (seperti genus-spesies dan tanaman-hewan-manusia). Hal ini tentu saja membenarkan pandangan bahwa Aristoteles ialah ?datuk? ilmu modern, walaupun metode teleologisnya sendiri kini dihujat oleh sebagian besar ilmuwan. (Sebagian besar, tidak semuanya. The Anthropic Cosmological Principle adalah salah satu contoh buku mutakhir yang signifikan yang ditulis oleh ilmuwan yang sungguh-sungguh menghargai metode teleologis.) Biarlah saya perjelas perbedaan epistemologis antara realisme Aristoteles dan idealisme Plato dengan menggunakan sepotong kapur tulis ini sebagai contoh. Bagaimana kita tahu bahwa sepotong kapur tulis ini adalah kapur tulis? Apa yang membuatnya demikian? Plato akan mengatakan bahwa idea kapur tulis, ?kekapurtulisan?-nya, merupakan realitas obyek ini. Itu karena seandainya kita hendak melakukan suatu pemberantasan di segenap penjuru dunia dengan menghancurkan semua partikula kapur tulis yang sekarang ada, kita tidak akan melakukan perubahan terhadap realitas ?kekapurtulisan? sama sekali. Bahkan sekiranya kita secara sistematis menghapus semua referensi tertulis tentang kapur tulis di seluruh literatur dunia, dan menunggu kematian semua orang yang pernah melihat atau memakai kapur tulis, idea-nya masih akan senyata saat ini; ideanya masih akan merupakan forma yang keberadaannya abadi, menunggu untuk diingat kembali oleh beberapa generasi mendatang. Potongan zat yang kita sebut kapur tulis ini nyata hanya karena turut serta dalam idea nyata, idea kekapurtulisan. Sebaliknya, Aristoteles akan mengatakan bahwa realitas substansi partikula ini yang saya pegang di tangan saya, yang dinamakan ?kapur tulis?, bergantung bukan hanya pada keturutsertaannya dalam forma ?kekapurtulisan?, melainkan juga pada kemampuan himpunan bahan untuk mengkonkretkan (yakni berfungsi sebagai contoh nyata) forma itu di dunia yang kita alami. Ini berarti bahan itu harus memenuhi maksud kapur tulis. Apa maksud kekapurtulisan dilimpahkan kepada sebongkah bahan? Untuk apa kapur tulis dipakai? Tentu saja, bila tampil di ruang kelas, sekurang-kurangnya, kapur tulis dipakai untuk menulis hal-hal di papan tulis. Jadi, jika saya jatuhkan sepotong kapur tulis ke lantai dan kemudian meremukkannya—seperti ini (jangan bilang-bilang saya melakukannya)—maka Aristoteles akan mengatakan bahwa saya telah menghancurkan substansinya, realitas kapur tulis. Dalam kasus ini bahan-nya masih ada, tetapi formanya tidak lagi eksis sebagai kapur tulis. Jadi, baik bagi Plato maupun Aristoteles, forma benda merupakan faktor penting dalam penentuan realitasnya. Namun bagi Plato, forma saja sudah mencukupi; sedangkan bagi Artistoteles, kaitan-pasti dengan bahan juga diperlukan. Pandangan mereka bisa diringkas secara cukup sederhana sebagai berikut: Idealisme Plato Realisme Aristoteles ---------------- -------------------- forma = realitas forma + bahan = bahan = ilusi substansi (realitas) Ringkasan ini hanya mencungkil permukaan catatan Aristoteles tentang hakikat substansi, tetapi cukup memadai untuk maksud [kuliah] pengantar kita. Bagaimana pandangan Aristoteles tentang hakikat manusia? Bagaimana sudut pandang metafisis barunya, realismenya, mempengaruhi cara pemahamannya terhadap realitas manusia? Ia sependapat dengan Plato bahwa jiwa (psyche) adalah forma raga. Secara demikian, fungsi utamanya diperikan dengan peristilahan ?daya penyerap gizi (nutritive), daya penyelera (appetitive), daya pengindera (sensory), daya penggerak (locomotive), dan daya pemikir (rational)? (DA 414a). Raga itu sendiri kini diakui tidak hanya sebagai atribut atau ilusi, tetapi juga sebagai unsur penting substansi manusia; melalui raga, daya-daya ini diwujudkan. Bagi anda, pandangan ini mungkin terasa jauh lebih alamiah daripada pandangan idealis Plato; sekalipun demikian, beberapa konsekuensinya mungkin kurang dikehendaki. Ini karena jika raga merupakan unsur-niscaya dalam manusia, maka bila raga mati, mati pula realitas keberadaaan individu manusia. Jiwa tanpa raga tidak akan lebih nyata daripada idea kekapurtulisan belaka dan tidak akan lebih berguna daripada serpihan debu kapur tulis di lantai ini untuk menulis di papan tulis. Implikasi negatif realisme Aristoteles tersebut, bagi siapa saja yang memyakini kehidupan sesudah kematian, akhirnya mulai menyebabkan idealisme Plato tidak begitu buruk! (Suatu jalan lain di seputar masalah itu akan sampai pada keyakinan bahwa raga itu sendiri dihidupkan kembali entah bagaimana, walau dalam keadaan yang sedikit-banyak berubah, sesudah kita meninggal. Kita akan membahas kemungkinan ini lebih lanjut di Kuliah 35.) Aristoteles sendiri mungkin telah berupaya menambal-sulam konsekuensi realismenya yang pada potensinya tidak mengenakkan tatkala ia berpendapat bahwa jiwa manusia mempunyai maksud lain yang membuatnya berbeda dengan segala substansi duniawi lainnya. Jiwa tanaman disifati oleh daya penyerap gizi dan daya penyelera. Jiwa hewan memiliki sifat-sifat itu, tetapi ditembah dengan daya pengindera dan daya penggerak (yakni daya untuk bergerak). Jiwa manusia mempunyai semua tujuan atau maksud itu, yang menentukan jiwa tanaman dan hewan, tetapi melampaui itu semua melalui daya pemikir (nous). Dengan memandang bahwa Tuhan ialah yang rasional murni, Aristoteles berpikiran bahwa aspek sifat manusiawi ini menandakan ?percikan ilahi? pada diri kita masing-masing. Secara demikian, ia memaparkan bahwa jiwa manusia merupakan [bagian] dari ?hewan rasional?—suatu gagasan yang telah menjadi salah satu cara penentuan hakikat manusia yang paling luas penerimaannya. Dengan memperlakukan rasionalitas itu sendiri sebagai karakteristik jiwa ilahi, kita bisa memetakan pembedaan Aristoteles pada sebuah salib, seperti yang terlihat pada Gambar II.9. kehidupan insani (spiritual, bergerak) kehidupan fauna kehidupan flora (non-spiritual, (non-spiritual, bergerak) tidak bergerak) kehidupan ilahi (spiritual, tidak bergerak) Gambar II.9: Empat Forma Kehidupan (Jiwa) Ala Aristoteles Pandangan tentang jiwa tersebut memberi jalan bagi Aristoteles yang membolehkan tipe kehidupan sesudah kematian. Dalam DA 430a ia mengatakan, bila jiwa ?terpasang bebas dari kondisinya sekarang ini? (yakni manakala raga manusia itu mati), inti rasionalitas yang tersisa itu ?bersifat kekal dan tidak mati?. Itu menyiratkan bahwa ?percikan? rasionalitas pada jiwa individu akhirnya akan kembali ke ?api? Tuhan yang merupakan asalnya. Meskipun masih tidak membolehkan kehidupan sesudah kematian, setidak-tidaknya hal itu memberi tujuan universal untuk menciptakan dan melangsungkan kehidupan yang berharga. Jika maksud kehidupan adalah meluaskan dan mengembangkan rasionalitas hingga titik maksimalnya, maka tentu saja filsafat merupakan kejuruan paling bermakna yang bisa diburu oleh manusia. Dalam pandangan Aristoteles, bagian universal dan filosofis dari anda, dan bagian itu sendirian, akan menghidupkan kematian anda. Terdapat banyak segi-lain filsafat Aristoteles yang akan menarik bagi kita untuk dibahas di sini seandainya kita mempunyai waktu yang lebih banyak. Saya akan menyimpulkan dengan menyebutkan idenya saja bahwa semua pergerakan di dunia berasal dari ?penggerak pertama? yang dengan sendirinya ?tidak bergerak?. Yang-Berada ini juga merupakan ?penyebab terakhir? (yakni tujuan puncak) semua pergerakan. Dengan kata lain, semua perubahan di dunia sekeliling kita bergerak menuju titik sandaran terakhir. Di titik ini semua perubahan itu kembali ke sumber mereka di penggerak yang tidak bergerak, seperti yang terlukis pada Gambar II.10. Titik Omega (Tuhan) penyebab penggerak terakhir pertama alam semesta Gambar II.10: Penggerak Pertama selaku Penyebab Terakhir Ide serupa juga dikembangkan secara cukup rinci oleh seorang paleontolog abad keduapuluh, pendeta Jesuit, dan filsuf mistis, Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), yang berpendapat bahwa keseluruhan kosmos bergerak menuju sasaran kesatuan-dalam-keragaman hakiki (ultimate unity-in-diversity), bernama ?titik omega?—?omega? merupakan huruf terakhir abjad Yunai dan lambang tujuan abadi. Ini hanyalah salah satu contoh bagaimana para filsuf sepeninggalnya, khususnya sesudah munculnya agama Kristean, mengembangkan ide-ide Aristotelian menjadi catatan yang menarik tentang bagaimana alam semesta bisa terkait dengan Yang-Berada yang biasanya kita sebut Tuhan. Pertanyaan Perambah 1. A. Yang mana dari empat anasir yang anda pikir paling dasar, dan mengapa? B. Mengapa hanya ada empat anasir dasar? .............................. .............................. 2. A. Bisakah demitologisasi terhadap suatu mitos dilakukan sampai tuntas? B. Bisakah “forma abadi” berubah? .............................. .............................. 3. A. Apakah zat atau bahan itu ilusi? B. Mengapa filsafat sukar membuktikan diri sebagai ilmu? .............................. .............................. 4. A. Apakah maksud itu? B. Apakah irrasionalitas mempunyai maksud? .............................. .............................. Bacaan Anjuran 1. Hans Peter Duerr, Dreamtime: Concerning the boundary between wilderness and civilization, terj. Felicitas Goodman (Oxford: Basil Blackwell, 1985). 2. Frank N. Magill (ed.), Masterpieces of World Philosophy (New York: Harper Collins, 1990), “Anaximander” dan “Heraclitus”, pp. 1-5, 12-16. 3. Reginald E. Allen (ed.), Greek Philosophy: Thales to Aristotle (New York: The Free Press, 1966), “Presocratic Philosophy”, pp. 25-54. 4. Plato, Apology (PA) dan Buku VII Republic (PR) (CDP 3-26, 747-772). 5. Aristotle, Categoriae (AC), Buku III De Anima (DA), dan Buku V Metaphysica (AM) (BWA 3-37, 581-603, 752-777). 6. Allan Bloom, The Closing of the American Mind (New York: Simon and Schuster, 1987), “From Socrates’ Apology to Heidegger’s Rektoratsrede”, pp. 243-312. 7. John D. Barrow dan Frank J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Clarendon Press, 1986), Bab Dua, “Design Arguments”, pp. 27-122. 8. Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, terj. Bernard Wall (London: Collins, 1959[1955]), Buku Empat, Bab Dua, “Beyond the Collective: The Hyper-Personal”, pp. 254-272. Catatan Penerjemah Untuk menempatkan filsafat pada konteksnya yang tepat (bandingkan antara Gambar II.3 dan I.3), mestinya keindahan (sastra ontologis) bersesuaian dengan masa lahir dan keyakinan (mitos metafisis) bersesuaian dengan masa muda. Untungnya, Palmquist menerima kritikan ini dan karenanya ia merasa berkewajiban untuk mengkaji masalah tersebut dengan lebih mendalam sebelum menulis revisinya yang akan dimasukkan ke dalam ?Edisi Kelima?. Bagaimanapun, bila perubahan semacam itu bisa diterima, maka ia berharap agar pembaca Edisi Keempat ini dapat melihat bahwa: filsafat berawal di tahap ?muda?, tempat berkembangnya metafisika; dari situ filsafat berjalan melalui logika (dan ditemukannya kebenaran independen) dan ilmu (atau pengetahuan); baru sesudah itu, filsafat kembali ke ?rahim?-nya dengan menggunakan ontologi. Namun untuk menerapkannya sepenuhnya di dalam teks utama, dibutuhkan revisi yang agak substansial di berbagai pasal tertentu yang menyinggung mitos. Palmquist mengakui bahwa hubungan antara idealisme Plato dan realisme Aristoteles barangkali bisa digambarkan dengan memanfaatkan geometri logika. Salah satunya adalah segitiga samasisi (seperti Gambar I.2 dan gambar-gambar lain yang serupa), dengan ?forma (realitas)? di satu titik sisi kiri dan ?bahan (ilusi)? di titik sisi kiri lainnya, serta ?substansi? di titik kanan. Lalu garis vertikal di sisi kiri dapat disebut ?idealisme Plato? dan titik sintesis di sebelah kanan bisa dinamai ?realisme Aristoteles?. Akan tetapi, Palmquist merasa lebih aman menggunakan bentuk seperti yang ada di dalam teks utama. Untuk alternatif lain, saya mengusulkan sebuah model penggambaran yang akan saya jelaskan sewaktu kita membahas Gambar III.8. Yang akan tetap bertahan hidup hanya bagian universal dan filosofis dari anda, bukan badan, bukan benak, bukan ingatan, atau pun bagian lain yang individual dari anda. Hingga Kuliah 6 ini berakhir, begitu pula di sembarang kuliah lainnya, Palmquist belum secara tersurat menerangkan versi Aristoteles perihal pengakuan kebebalan (yang merupakan tema Bagian Satu). Penjelasannya adalah sebagai berikut. Sehubungan dengan interpretasi yang terdapat pada buku ini, Aristoteles mengambil posisi arsitektonik ?ilmu? dalam perkembangan metafisika yang dilukiskan secara ringkas di Gambar I.5. Sebagaimana yang terlukis di Gambar I.7, pencapaian ?ilmu? mensyaratkan ?pelupaan? atau ?pengabaian? mitos. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa filsuf yang berada di tahap ini biasanya akan meremehkan pentingnya pengakuan kebebalan. Sebagaimana ilmuwan khas, yang memandang bahwa luas pengetahuan yang nirmustahil itu tak terbatas, Aristoteles tampaknya memandang bahwa pada prinsipnya perluasan filsafat tidak mensyaratkan pembatasan-niscaya. Untuk alternatif, lihat http://classics.mit.edu/Plato/apology.html http://www.utm.edu/research/iep/text/plato/rep/rep-7.htm Untuk alternatif, lihat http://classics.mit.edu/Aristotle/categories.html http://classics.mit.edu/Aristotle/soul.3.iii.html http://classics.mit.edu/Aristotle/metaphysics.5.v.html Send comments (in English) to: StevePq@hkbu.edu.hk Back to the Index of Pohon Filsafat. Back to the English version of The Tree of Philosophy. Back to the listing of Steve Palmquist's published books. Back to the main map of Steve Palmquist's web site. This page was first placed on the web on 27 April 2003. Pekan III Khazanah Modern 7. Filsafat Sebagai Kesangsian Meditatif Bayangkan suatu pohon. Mungkin lukisan yang saya buat di sini (lihat Gambar III.1) akan mempermudah anda (walau ini juga menunjukkan bahwa anda tidak harus menjadi seniman untuk menjadi filsuf!). Nah, bagaimana filsafat itu menyerupai pohon? Sesungguhnya, ada banyak contoh kemungkinan penerapan analogi ini. Salah satu cara yang menarik dikemukakan oleh seorang filsuf yang ide–idenya akan kita bahas pada jam kuliah ini. Ia menyusun versinya sendiri mengenai mitos yang memandu kuliah ini, dengan mengklaim bahwa filsafat itu seperti pohon yang mempunyai metafisika sebagai akar–akarnya, fisika sebagai batangnya, dan ilmu-ilmu lain sebagai cabang–cabangnya. Dalam hal ini, yang semestinya merupakan pemikiran yang akurat tentang bagaimana filsafat berfungsi pada abad ke tujuhbelas, daun–daun pohonnya kemungkinan besar berkorelasi dengan pengetahuan, kendati filsuf yang kita bicarakan tidak menyangkut-pautkan analoginya sejauh itu. Demi maksud kita di Bagian Satu matakuliah ini, kita sekurang–kurangnya bisa setuju bahwa metafisika tentu saja mempunyai fungsi yang serupa dengan akar-akar pohon. Setelah kita tuntaskan sembilan kuliah pertama kita, saya harap alasan–alasan untuk itu cukup jelas. Namun pada saatnya nanti, saya akan menyarankan revisi terhadap beberapa aspek lain pada versi mitos ini, supaya tidak ketinggalan zaman (lihat Gambar III.1). Ilmu Fisika Metafisika Gambar III.1: Pohon Filsafat Ala Descartes Nama filsuf tersebut yang akan segera anda akrabi lantaran sumbangan yang ia berikan di bidang matematika ialah René Descartes (1596–1650). Ia tidak hanya turut mengembangkan aljabar lebih lanjut, tetapi juga menemukan sistem koordinat geometri yang kita pelajari di sekolah. Ketika ia beralih perhatian ke filsafat, ia mengakui adanya masalah yang melekat dalam tradisi filsafat. Selama duaribu tahun, sistem Plato dan Aristoteles sedikit-banyak telah mendominasi semua pemikiran filosofis di Barat. Tatkala agama Nasrani muncul di kancah [filsafat untuk pertama kalinya], sebagian besar pater gereja mengambil beberapa versi idealisme Platonik sebagai basis bagi teologi mereka. Kecenderungan itu memuncak pada sistem filosofis dan teologis yang dibangun oleh St. Agustinus (354–430), yang pengaruhnya sepeninggalnya sedemikian dominan selama masa yang disebut Zaman Kegelapan sehingga Aristoteles benar–benar terlupakan di Eropa. Untungnya, cendekiawan–cendekiawan Muslim melestarikan tulisan–tulisan Aristoteles selama periode itu, terutama dengan bahasa Arab, yang menggunakannya sebagai landasan untuk penyusunan berbagai bentuk filsafat dan teologi Islam. Akhirnya, realisme Aristoteles kembali ke Eropa, terutama melalui karya St. Thomas Aquinas (1225–1274), yang sistem teologis berskala besarnya terus menjadi sumber teologi Katolik hingga hari ini. Sampai waktu Descartes terjun ke kancah [filsafat], tidak ada alternatif signifikan yang ditawarkan selain aliran idealis (Platonik–Agustinian) dan realis (Aristotelian–Thomis). Adakah sesuatu yang salah pada dua sistem ini yang menghalangi timbulnya kemajuan filsafat dari para filsuf lain? Descartes yakin, kedua tradisi tersebut menderita cacat yang sama. Kebuntuan itu tercipta oleh kurangnya kebenaran mutlak total yang bisa berfungsi sebagai titik tolak yang tak terbantahkan untuk penyusunan sistem pengetahuan tulen (yaitu ilmu). Wawasan ini menimbulkan pertanyaan baru di benak Descartes: bagaimana bisa kepastian mutlak semacam itu dibuktikan? Metode dialog Plato ataupun metode teleologis Aristoteles tidak mampu menghasilkan pondasi yang kokoh bagi suatu ilmu yang benar–benar ketat. Lantas, bagaimana bisa pondasi semacam itu didapatkan? Dalam perenungan terhadap pertanyaan ini, Descartes menemukan ide baru yang akan memungkinkan kita untuk menetapkan kepastian untuk sekali ini dan selamanya. Dengan mengganti dialog dengan meditasi menyendiri, metode barunya adalah kesangsian (doubt). Dengan secara sistematis menyangsikan segala sesuatu mengenai dunia dan mengenai kita sendiri yang, menurut perkirakan kita, kita ketahui, kita berharap memperoleh sesuatu yang akan mustahil untuk diragukan. Ini kemudian bisa berfungsi sebagai titik pijak pasti secara mutlak bagi pembangunan sistem filosofis positif. Lantas, apa yang bisa kita ragukan? Bagaimana mengenai indera kita? Dapatkah anda mempercayai indera anda? Pada suatu hari, tidak lama setelah saya berpindah ke Hong Kong, saya berbelanja dengan keluarga saya di mal setempat. Setelah beberapa saat, kami mulai mencari tempat untuk makan. Seraya berjalan menuju suatu toserba yang memiliki kedai–kedai makan yang berderetan di depan, saya perhatikan sebuah etalase makanan Jepang yang amat menggiurkan. Saya sangat lapar, sampai-sampai mulut saya mulai basah oleh air liur. Kami sepakat untuk makan di sini saja, walau agak ramai. Ketika kami mendekat, saya betul–betul terkesan oleh makanan yang tampak bermutu tinggi yang mereka pajang di etalase. Hanya saja, tatkala kami sampai di kasir, baru saya sadari bahwa makanan di etalase itu bukan makanan sama sekali, melainkan plastik! Indera saya telah dibodohi sepenuhnya oleh kecerdikan agen pemasaran. Dan dengan ketawa kalian, saya bisa mengatakan bahwa banyak di antara kalian yang pernah membuat kekeliruan serupa. Di ?meditasi? pertama dari enam meditasi yang dipaparkan dalam Meditations on First Philosophy, Descartes mulai mencari kepastian dengan memanfaatkan pengalaman terkelabui yang sedikit-banyak universal tersebut untuk menaruh kesangsian akan keandalan indera kita. Jika kita terkelabuhi pada satu contoh itu, bagaimana kita tahu bahwa kita tidak terkelabui dengan lebih sering? Memang, jika segala kesan yang tertanam melalui indera kita mungkin merupakan kesan yang salah, maka tampaknya tidak ada peluang untuk mendapatkan kepastian apa saja di indera kita. Itu menodai realisme Aristotelian, karena realisme ini didasarkan pada asumsi bahwa substansi, sebagaimana yang dicerap terutama melalui indera kita, pada hakikatnya nyata. Bagaimana mengenai idea kita? Barangkali Plato benar sepenuhnya, dan idea kita merupakan pondasi yang tepat bagi semua pengetahuan. Namun Descartes mendapati bahwa menaruh keraguan pada bidang ini mudah juga. Bahkan ide–ide yang bagi kita tampaknya pasti, ide-ide yang kesangsiannya tak pernah terbayangkan, bisa diragukan bila kita upayakan. Sebagai misal, ada banyak cara menaruh kesangsian pada pengalaman kita sehari-hari yang berhubungan dengan ruang dan waktu. Kebanyakan dari kita pernah bermimpi yang melanggar hukum–hukum keruangan semisal gravitasi (umpamanya, ketika dalam mimpi kita terbang) atau bermimpi yang waktu di dalamnya kelihatan lebih lambat atau lebih cepat daripada ketika kita tidak tidur. Bagaimana kita tahu bahwa pengalaman kita sehari–hari bukan mimpi belaka, bahwa sewaktu–waktu kita akan bangun dari mimpi ini? Barangkali ada jin jahat yang memperdaya kita semua sehingga kita salah menduga bahwa mimpi panjang ini merupakan dunia nyata kita. Walaupun tidak ada jin jahat itu, kita semua pernah mengalami keinsafan secara mendadak bahwa suatu ide yang karena kita kira benar kita pegang teguh ternyata salah. Ide apa pun bisa berbalik menjadi ilusi semacam itu, sehingga tidak ada ide yang tercegah dari kemungkinan ilusi. Karenanya, idealisme Plato tidak lebih berguna daripada realisme Aristoteles dalam pencarian kita akan sesuatu yang pasti mutlak. Bagaimana mengenai matematika? Descartes sendiri ialah seorang matematikawan dan tentu saja mempercayai kebenaran matematika. Bahkan, ada banyak filsuf yang semasa hidupnya memanfaatkan metode matematis dalam berfilsafat. Adakah kemungkinan untuk meragukan bahwa, sebagai misal, 2+2=4? Saya imbau anda memikirkannya sendiri agar anda tergerak untuk membaca buku Descartes demi anda sendiri. Di sini cukup saya katakan, Descartes percaya bahwa matematika pun tidak bisa menyediakan pondasi yang pasti mutlak bagi pengetahuan. Adakah sesuatu yang mustahil untuk diragukan? Kala Descartes berbaring di ranjangnya di ruang yang gelap dengan melakukan eksperimen pemikiran yang mendalam, tiba–tiba ia menemukan jawaban yang ia cari–cari. Ia dapati, ia tidak bisa menyangsikan bahwa pada saat itu ia sedang sangsi. Ini karena kesangsian itu mustahil eksis tanpa ada yang melakukan penyangsian! Kesangsian merupakan bentuk pemikiran, menurut Descartes dalam meditasinya yang kedua, sehingga pemikiran pasti menjadi dasar pembuktian kepastian akan eksistensinya sendiri. Karenanya, ia mengajukan pepatah yang kini terkenal, ?saya berpikir; karena itu, saya ada? (dalam bahasa latin, Cogito ergo sum). Eksistensi ?yang-berada yang berpikir? (thinking being) ini merupakan pondasi yang pasti mutlak bagi semua pengetahuan. ?Saya? atau ?ego? bertempat di luar sejarah dan kebudayaan sebagai asumsi metafisis dasar, tidak bergantung pada jenis iman apa pun, karena ketidakberadaannya itu mustahil selama saya tahu bahwa saya berpikir. Begitu mencapai simpulan tersebut, Descartes menyadari bahwa itu mengundang masalah baru yang perlu dipecahkan. Descartes sendiri menolak berpihak kepada Plato yang memperlakukan badan sebagai ilusi, karena sebagai ilmuwan ia percaya bahwa badan itu sama nyatanya dengan benak. Ia justru mengambil sudut pandang metafisis yang dikenal sebagai ?dualisme?, yang berarti bahwa baik benak maupun badan itu sama–sama dipandang nyata. Yang pertama merupakan ?substansi pikir? (res cogitans), sedangkan yang kedua merupakan ?substansi ekstensi? (res extensa). Sekalipun demikian, sekarang ia menunjukkan bahwa pengetahuan kita tentang badan kita, beserta keseluruhan alam ekstensi, tak pernah bisa sepasti pengetahuan kita tentang alam pikir kita. Kalau begitu, realitas badan itu kita percaya berdasarkan apa? Bagaimana badan dan benak itu berkaitan? Pertanyaan pertama dijawab oleh Descartes di meditasinya yang ketiga dengan memanfaatkan Tuhan. Ia memulainya dengan menyusun suatu argumentasi yang kini disebut ?argumen ontologis? tentang eksistensi Tuhan (yakni argumen yang hanya memanfaatkan pemahaman yang tepat mengenai konsep ?Tuhan?). Bukti yang ia ajukan itu semacam ini: kita semua di dalam diri kita mempunyai idea ?kesempurnaan?; setiap orang tahu bahwa ?ego? yang ia yakini keberadaannya (yaitu benaknya sendiri) bukanlah Yang-Berada sempurna; sekalipun begitu, Yang-Berada sempurna ini pasti eksis pada aktualnya, karena kalau tidak, ia akan kurang sempurna. Artinya, jika konsep kita tentang Yang-Berada yang paling sempurna itu mengacu pada suatu Yang-Berada yang pada kenyataannya tidak eksis, maka Yang-Berada ini tidak akan sesempurna Yang-Berada sempurna yang benar–benar eksis. Lalu Descartes menyatakan bahwa, karena dengan jalan itu kita bisa yakin bahwa suatu Yang-Berada sempurna (?Tuhan?) itu eksis, dan karena Yang-Berada semacam ini pasti baik supaya sempurna, kita pun bisa yakin bahwa Yang-Berada semacam ini tidak akan menipu kita. Dalam menanggapi kritik-kritik yang mengira bahwa argumen semacam itu tak berujung-pangkal (yaitu bahwa argumen itu telah mengasumsikan hal yang hendak ia buktikan), Descartes memanfaatkan gagasan tentang ?idea bawaan? (idea-idea yang hadir di benak kita pada waktu kita lahir, dan karenanya otentik sendiri), yang menegaskan bahwa ?Tuhan? merupakan idea bawaan seperti halnya idea ?ego? saya sendiri. Kendati kita bisa menerima penjelasan teologis Descartes tentang alasan agar kita dapat mempercayai realitas dunia eksternal, masih ada persoalan tentang bagaimana pada aktualnya benak kita berkaitan dengan badan kita, jika memang keduanya pada hakikatnya merupakan dua substansi yang berbeda. Solusi Descartes atas masalah ini tidak begitu disetujui oleh rekan–rekannya sesama filsuf. Ia menduga bahwa suatu kelenjar kecil di dasar otak, yang disebut ?kelenjar kerucut? bertanggung jawab untuk memastikan hubungan sebab-akibat antara benak dan badan. Pada zaman Descartes, ide yang dominan tentang badan manusia adalah bahwa badan itu mesin yang hidup, sehingga kapan saja suatu bagian bergerak, pergerakannya pasti disebabkan oleh suatu proses mekanis sedemikian rupa, sehingga beberapa bagian lain ?tergeser? ke dalamnya sebagaimana adanya. Jadi, Descartes mengklaim bahwa bila benak ingin badan melakukan sesuatu, ini mempengaruhi kelenjar kerucutnya, entah bagaimana, sehingga memulai suatu reaksi berantai yang berakhir pada berlangsungnya tindakan yang dikehendaki. Jadi, jika benak saya menyuruh saya untuk melempar sepotong kapur tulis ini ke udara, gagasan ini berputar–putar di benak saya sampai mencapai cukup kekuatan untuk menimbulkan dampak yang signifikan, lalu gagasan ini memintas menuju kelenjar kerucut saya, yang menyampaikan serangkaian pergerakan melalui leher saya dan turun ke lengan saya, sampai akhirnya lengan saya mematuhi perintah itu, seperti ini! Setelah menjelaskan dua cara utama Descartes dalam mempertahankan dualisme metafisisnya, sekarang kita bisa meringkas teorinya sebagai berikut: benak res cogitans (argumen ontologis) masalah Tuhan benak-badan kelenjar kerucut (penjelasan biologis) badan res extensa Gambar III.2: Solusi Descartes atas Masalah Benak-Badan Dualisme Descartes mengandung beberapa konsekuensi penting. Untuk satu hal, paham ini mengganti definisi Aristoteles tentang manusia sebagai ?hewan rasional? dengan gagasan tentang benak yang tertanam di mesin jasmani. Di bidang ilmu alam, gagasan ini berpengaruh besar dengan menyediakan pandangan kealaman bagi para ilmuwan yang memungkinkan mereka untuk mencapai (atau sekurang–kurangnya percaya bahwa mereka bisa mencapai) perspektif yang pada keseluruhannya obyektif tentang dunia eksternal, yang secara keseluruhan meredam segala pengaruh yang mungkin terdapat pada benak pengamat sendiri tentang pengetahuan yang kita capai. Dalam pengertian ini, dualisme Descartes bisa dianggap sebagai pembuka jalan bagi ilmu Newtonian. Pandangan bahwa ego manusia mengendalikan dunia material, walau kini dipersoalkan oleh banyak pemikir modern (lihat Kuliah 18, misalnya), merupakan pandangan yang memungkinkan teknologi berkembang dengan sangat pesat pada tigaratus tahun terakhir. Selama menyangkut metafisika, konsekuensi dualisme Descartes yang paling signifikan adalah bahwa dualisme ini memicu kontroversi baru, yang biasanya dikenal sebagai ?masalah benak-badan?. Pandangan Descartes sendiri tampaknya sangat tidak masuk akal; namun adakah cara yang lebih baik untuk menjelaskan kesalingaruhan yang tampak antara benak dan badan? Perdebatan perihal jawaban yang tepat atas pertanyaan ini mulai berlangsung tidak lama kemudian dan sesungguhnya masih terjadi di beberapa lingkungan filosofis saat ini. Sebagai contoh, salah satu buku yang paling berpengaruh yang ditulis oleh seorang filsuf analitik abad keduapuluh, Gilbert Ryle, The Concept of Mind, bermula dengan argumen bahwa dualisme Descartes didasarkan pada ?kekeliruan kategori? dan bahwa pemahaman yang tepat tentang cara pemakaian kata–kata seperti ?benak? dan ?badan? bisa memecahkan seluruh masalah benak–badan seketika dan selamanya. Kontroversi benak–badan mencapai puncaknya segera sesudah penerbitan karya Descartes, Meditations. Kita tidak punya waktu untuk analisis yang mendalam terhadap argumen–argumen yang mengemuka tadi. Namun demikian, memberi tinjauan singkat perihal lima alternatif yang paling menonjol terhadap posisi Descartes, yang masing–masing disajikan beserta penganjurnya yang paling berpengaruh, itu mungkin sangat berguna. Mereka ialah: (1) Materialisme: Thomas Hobbes (1588–1679) menyatakan bahwa yang sebenarnya eksis itu hanya materi. Benak itu hanya konfigurasi bahan (atau materi) otak secara khusus. Karena itu, tidak ada masalah interaksi, karena pada keseluruhannya sistem itu bersifat fisis. Pandangan ini serupa, walau tidak persis sama, dengan realisme Aristoteles. (2) Immaterialisme: George Berkeley (1685–1753) menyatakan bahwa sebenarnya yang eksis itu hanya persepsi. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa eksistensi materi itu mandiri di luar benak pencerap. Karena itu, tidak ada masalah interaksi, karena pada keseluruhannya sistem itu bersifat spiritual. Pandangan ini serupa, walau tidak persis sama, dengan idealisme Plato. (3) Paralelisme: Nicolas Malebranche (1638–1715) menyatakan bahwa sesungguhnya benak dan badan itu merupakan substansi yang terpisah, tetapi pada aktualnya tidak berinteraksi. Benak dan badan kelihatannya berinteraksi manakala pikiran, benak dan tindakan badan itu berjalan sejajar satu sama lain; namun dalam kejadian seperti ini, persesuaiannya diatur langsung oleh Tuhan. (4) Teori Aspek Ganda: Benedictus de Spinoza (1632-1677) menyatakan bahwa benak dan badan (seperti semua materi dan spirit) adalah dua aspek dari satu realitas dasar, yang bisa disebut ?Tuhan? atau ?Alam?, tergantung pada bagaimana subyek memandangnya. Realitas adalah seperti sekeping uang logam dengan dua muka yang cukup berlainan, tetapi keduanya sama–sama benar sebagai deskripsi tentang koin ini. (5) Epifenomenalisme: David Hume (1711-1776) menyatakan bahwa benak itu bukan apa–apa kecuali sebundel persepsi yang muncul dari badan. Di kemudian hari, para filsuf mempertajam pandangan ini dengan menyatakan bahwa badan (terutama otak) merupakan realitas utama, tetapi badan ini menciptakan benak. Sebagian filsuf menyatakan bahwa begitu benak muncul, benak itu mempunyai realitas sendiri. Saya hendak menyimpulkan kuliah ini dengan mengemukakan satu perbedaan yang sangat signifikan antara metafisika Descartes dan metafisika Plato-Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles, dan bagi hampir semua filsuf selama duaribu tahun sepeninggal mereka, jawaban atas pertanyaan dasar epistemologi (?Apa yang bisa saya ketahui?”) tergantung pada jawaban terdahulu atas pertanyaan dasar metafisika (?Apa yang pada hakikatnya nyata??) Bagi Descartes, justru sebaliknyalah yang benar. Sebagaimana yang telah kita amati, ia memulai penyelidikannya dengan menanyakan apa yang bisa kita ketahui dengan pasti, dan hanya atas dasar jawaban atas pertanyaan inilah ia menyusun dualisme metafisisnya. Seperti yang akan kita lihat di Kuliah 8, metafisikawan berikutnya yang gagasannya akan kita ulas juga memberi prioritas pada epistemologi. Karena itu dengan menjajagi kuliah tersebut sepintas lalu, kita dapat memanfaatkan salib sebagai peta pertalian antara metode–metode yang diterapkan oleh empat metafisikawan yang kita pelajari di Bagian Satu ini: Dialog Plato prioritas pada metafisika Ilmu Aristoteles Kritik Kant prioritas pada epistemologi Kesangsian Descartes Gambar III.3: Empat Metode Filosofis Pokok Salah satu bahaya besar bagi mahasiswa pemula dalam studi fisafat adalah bahwa mereka mungkin dijejali dengan anekaragam sudut pandang dan pendapat yang terungkap pada bidang studi yang ia kaji, semisal metafisika. Meskipun peta–peta seperti di atas itu tak pelak lagi terlampau menyederhanakan pertalian yang rumit di antara empat filsuf tersebut, peta-peta itu bisa membantu kita untuk mendapatkan pegangan tentang persamaan dan perbedaan mereka, di samping menyiratkan wawasan yang lebih luas tentang berbagai hal. Umpamanya, diagram tersebut menyiratkan bahwa perkembangan filsafat Barat dapat dianggap sebagai proses yang berjalan pelan–pelan, sebagaimana adanya, dari wawasan yang tertinggi dan paling jauh ke landasan penalaran insani yang terdalam. Di dua kuliah mendatang, kita akan membahas lebih lanjut siratan ini yang akan memberi kita paparan yang akurat mengenai kontribusi Kant terhadap akar–akar pohon filosofis kita. 8. Filsafat Sebagai Kritik Transendental Filsuf terakhir yang ide-idenya tentang metafisika akan kita bahas secara rinci di Bagian Satu matakuliah ini ialah orang yang pengaruhnya terhadap filsafat pada duaratus tahun terakhir ini, baik di Barat maupun di Timur, tak bisa diremehkan. Ia hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles: seorang pemikir yang ide-idenya harus diterima atau ditolak, tetapi tidak bisa diabaikan. Bahkan, ada yang menyatakan, dengan sah, bahwa filsafat di duaratus tahun ini bagaikan serangkaian catatan kaki terhadap tulisan-tulisannya! Ada pula yang memandang bahwa sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik: suatu sistem acuan intelektual yang berlaku. (Skolastikawan ialah para teolog abad pertengahan yang menggunakan filsafat untuk menafsirkan agama Kristen, yang juga berspekulasi pada persoalan–persoalan seperti berapa banyak malaikat yang dapat melewati sebuah lubang jarum. Skolastikisme mencapai puncaknya pada karya Thomas Aquinas, namun menjadi kurang berpengaruh setelah Descartes tampil.) Seperti Aristoteles, pemikir besar ini menulis tentang hampir semua tema pokok filsafat dan mempunyai pengaruh yang segera dan bertahan lama terhadap cara pikir orang–orang—filsuf dan non-filsuf. Kita akan sering menilik pemikir ini pada kuliah–kuliah mendatang, namun hari ini kita hanya akan memperhatikan segi filsafatnya yang paling dekat hubungannya dengan metafisika. Dialah Immanuel Kant (1724–1804) yang lahir dari keluarga kelas pekerja di Königsberg (kini Kaliningrad), kota pelabuhan Prusia. Ia hidup dengan tenang, teratur, tak pernah kawin, tak pernah bepergian lebih dari limapuluh kilometer dari tempat kelahirannya sepanjang hayatnya. Kant sering menjadi subyek karikatur secara agak tak wajar, semisal bahwa rutinitas hariannya amat kaku sampai–sampai para tetangganya menyetel arloji mereka menurut kedatangan dan kepergiannya setiap hari! Akan tetapi, saya lebih menganggap bahwa cerita semacam itu mencerminkan integritas kehidupannya yang bersesuaian dengan ide-idenya sendiri. Ini karena, seperti yang akan kita amati, barangkali pandangan filosofis Kant bersifat sitematis sepenuhnya, yang diatur dengan suatu pola ide teratur yang saling berkaitan. Sesudah ia meninggal, epitaf di batu nisannya hanya bertuliskan ?Sang Filsuf?—sebuah sebutan yang tepat, dengan mempertimbangkan bahwa periode filsafat yang bermula dengan tampilnya Sokrates menjadi lengkap dalam banyak hal dengan hadirnya Kant. Kant terdorong untuk menggagas metode filosofis baru itu karena alasan yang sama dengan alasan Descartes: ia bertanya dalam hati mengapa ilmu–ilmu lain maju pesat, tetapi metafisika tidak demikian. Sekalipun begitu, jawabannya atas pertanyaan ini bukan hanya mengabaikan masalah benak-badan seluruhnya, melainkan juga kontribusi utama Descartes lainnya: yakni keyakinannya akan obyektivitas mutlak dunia eksternal. Kant mengajukan pertanyaan baru: benarkah anggapan Descartes (dan kebanyakan filsuf lainnya) bahwa obyek yang kita alami dan menjadi kita ketahui merupakan benda di dalam lubuknya (thing in itself)? Istilah ?benda di dalam lubuknya? merupakan istilah teknis yang ia pakai untuk membahas hakikat realitas terdalam; ini berarti ?benda di alam, yang dipandang lepas dari kondisi-kondisi yang memungkinkan diketahuinya segala sesuatu tentang benda ini.? Dengan adanya definisi ini, tegas Kant, benda di dalam lubuknya pasti tak terketahui. Dengan berlawanan sama sekali dengan Descartes, yang mensyaratkan bahwa titik awalnya adalah unit pengetahuan yang kepastiannya mutlak, titik tolak sisten pemikiran filosofis Kant adalah yakin akan realitas benda-benda yang di dalam lubuknya masing-masing tak terketahui. (Ini hanya salah satu perbedaan metode filosofis antara Descartes dan Kant yang saling bertentangan.) Kant menamai sendiri cara berfilsafatnya: metode ?Kritis?. Judul tiga buku utamanya, yang di dalamnya ia kembangkan Sistemnya, masing-masing dimulai dengan kata ?Kritik?. Setiap buku itu menggunakan ?sudut pandang? yang berlainan; masing-masing menghadapi semua pertanyaan masing-masing dengan ujung pandang khusus. Kritik pertamanya, (CPR), pusat perhatian kita pada kuliah ini, mengambil sudut pandang teoretis. Ini berarti jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan ini berkenaan dengan pengetahuan kita. Dua Kritik lainnya, seperti yang akan kita amati pada waktunya nanti, kadang-kadang menjawab pertanyaan yang sama itu dengan cara yang berbeda, karena mengambil sudut pandang yang berbeda. Oleh sebab itu, mengakui perbedaan antara sudut-sudut pandang itu penting sekali demi ketepatan pemahaman tentang filsafat Kant. Kita dapat menggambarkan kesalingterkaitan antara tiga bagian dari Sistem Kant dengan cara sebagai berikut: I. Kritik Akal Murni (Critique of Pure Reason) sudut pandang teoretis III. Kritik Penimbangan (Critique of Judgment) sudut pandang yudisial II. Kritik Akal Praktis (Critique of Practical Reason) sudut pandang praktis Gambar III.4: Kritik Kant dan Sudut Pandangnya Pembandingan Gambar III.4 dengan Gambar II.6 menyiratkan bahwa metode Kritis merupakan bentuk baru metode Sokratik. Perhatian utama Sokrates adalah mencermati diri-sendiri dan orang lain dalam pencarian kealiman, sedangkan metode Kritis Kant menghajatkan pemeriksaan terhadap akal itu sendiri. Dengan kata lain, ?kritik? yang benar, bagi Kant, adalah suatu proses yang dengannya akal bertanya kepada akal itu sendiri mengenai jangkauan dan batas-batas kekuatannya sendiri. Tujuan pemeriksaan diri tersebut adalah menemukan, untuk sekali dan selamanya, semua tapal batas antara apa yang bisa dan yang tak bisa dicapai oleh akal manusia. Di setiap ?pengetahuan?, kita mencapai ?kondisi-transendental?—begitulah Kant menyebutnya—pengetahuan empiris. Jadi, metode kritisnya mensyaratkan ?refleksi transendental?, yang arti sederhananya adalah memikirkan kondisi-niscaya (atau syarat-perlu) posibilitas pengalaman. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti benar; kalau tidak, pengalaman itu sendiri akan mustahil. Kant menyebut bahwa segala yang di luar tapal batas itu ?transenden?; karena manusia tak pernah mengalami hal-hal sedemikian itu, yang disebut ?nomena?, hal-hal tersebut tak bisa diketahui sama sekali oleh akal manusia. Akan tetapi, segala yang di dalam tapal batas itu menegaskan hal-hal yang terbuka untuk dipelajari melalui ?refleksi empiris? umum. Obyek yang bisa diketahui secara empiris ini ia sebut ?fenomena?. Pembedaan antara obyek empiris, ?benda? transenden, dan perspektif transendental itu, seperti yang tampak di Gambar III.5, merupakan salah satu pembedaan terpenting di keseluruhan sistem teoretis Kant. kondisi transendental ?benda? transendental yang tak terketahui (nomena) obyek empiris yang bisa diketahui (fenomena) Gambar III.5: Tapal Batas Transendental Ala Kant Pada ketiga Kritik masing-masing, Kant menampilkan tipe pemeriksaan-diri-akal yang berbeda-beda; ia menyelidiki tapal batas antara apa yang bisa dan yang tak bisa kita ketahui (teoretis) di Kritik pertama, antara apa yang harus dan yang jangan sampai kita lakukan (praktis) di Kritik kedua, dan antara apa yang bisa dan yang tak bisa kita harapkan (yudisial) di Kritik ketiga. Katanya, tiga perkara ini bisa dirangkum sebagai upaya untuk memahami identitas ?manusia?; jadi, empat pertanyaan yang terlihat di Gambar III.6 memaparkan hubungan yang sistematis antara unit-unit karya filosofisnya sendiri. Pertalian antara empat pertanyaan tersebut perlu diperhatikan manakala kita membahas Kant (terutama pada Kuliah 22, 29, 32, 33), karena ia sendiri mengingatkan bahwa demi memahami ide-idenya dengan tepat, pembacanya harus menangkap ?ide keseluruhannya? (CPR 37). Apakah manusia itu? Apa yang bisa Apa yang bisa saya harapkan? saya ketahui? Apa yang harus saya lakukan? Gambar III.6: Empat Pertanyaan Filosofis Ala Kant Metode baru Immanuel Kant mensyaratkan bahwa kita melihat kebenaran di kedua sisi yang bertolak belakang, mengakui bahwa itu saling membatasi, dan, akibatnya, mengambil sudut pandang yang mengiyakan hal-hal yang sah di kedua sisi itu. Dengan mengharap bahwa anda ingat akan Kuliah 7, [perhatikanlah bahwa] metode baru ini berlawanan tajam dengan metode Descartes; metode Descartes memandang salah Plato atau pun Aristoteles, sedangkan metode Kant memandang benar keduanya, seperti yang terlihat di bawah ini: Dialog Plato perspektif transendental Kesangsian Descartes Kritik Kant (keduanya salah) (keduanya benar) perspektif empiris Teleologi Aristoteles Gambar III.7: Descartes Lawan Kant tentang Plato Dan Aristoteles Menurut Kant, baik Plato maupun Aristoteles membuat kekeliruan, sebagaimana sebagian besar filsuf Barat lainnya, yang berupa pengabaian sudut pandang yang berkebalikan dan pengambilan posisi ekstrim yang akhirnya hanya mengungkap setengah kebenaran. Jika pandangan Kant tentang ?benda di dalam lubuknya? benar, maka kata-kata Plato benar bahwa obyek-obyek pengalaman hanya merupakan penampakan dari benda di dalam lubuknya; karena kala mengatakannya, ia mengambil perspektif ?transendental? Kant. Begitu pula, kata-kata Aristoteles pun benar bahwa penampakan merupakan obyek sejati ilmu (yakni pengetahuan); karena kala mengatakannya, ia mengambil perspektif ?empiris? Kant. Pada keduanya, kekeliruan mereka disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka belum mengakui kebebalan mereka perihal benda di dalam lubuknya. Kelalaian inilah yang menyebabkan Plato berkeyakinan keliru bahwa kita bisa mencapai pengetahuan mutlak dari idea belaka dan inilah yang menyebabkan Aristoteles berkeyakinan keliru bahwa substansi merupakan realitas terdalam. Jadi, metode Kritis mendorong kita untuk tidak hanya mensintesis idealisme Plato dan realisme Aristoteles, tetapi juga menjelaskan kebenaran keduanya, yang melestarikan paham-paham ini sedemikian lama, dan juga kekeliruan yang menyebabkan paham-paham itu berpembawaan tidak memuaskan. Nah, mari kitas selidiki bagaimana Kant menyelesaikan tugas itu. Pada Pengantar Kritik pertama edisi kedua, Kant beralih ke ilmu-ilmu yang mapan dengan harapan mendapatkan gelagat kesuksesan ilmu-ilmu itu. Ia dapati, logika bisa menjadi ilmu yang eksak hanya bila bidang penyelidikannya dibatasi dengan jelas (CPR 18). Matematika berkembang hanya kala orang-orang mulai mencari karakteristik yang niscaya dan semestawi yang terkandung dalam obyek-obyek yang kita pertalikan, bukan hanya karakteristik aksidentalnya (19). Ilmu-ilmu alamiah berhasil hanya tatkala berjalan menurut rencana yang ditentukan lebih dahulu (20). Dengan dilengkapi dengan isyarat-isyarat ini, Kant memperoleh satu gelagat akhir dengan beralih ke seorang ilmuwan istimewa, yang wawasan hebatnya banyak mengubah cara pandang kita terhadap alam semesta. Dialah Nicolaus Copernicas (1473-1543), seorang astronom Polandia yang berani mempersoalkan asumsi yang telah lama dianut bahwa bumi adalah piringan datar yang terletak di tengah-tengah alam semesta. Ia yakin, anggapan itu menjauhkan kita dari penjelasan mengapa sebagian planet bergerak memutar tatkala berjalan melewati langit dari malam ke malam, dan kemudian memutar lagi untuk melanjutkan perjalanan searah dengan bintang-bintang. Maka ia memutuskan untuk mencoba asumsi bahwa matahari pada aktualnya berada di tengah-tengah alam semesta, sedangkan bumi dan planet-planet lain semuanya adalah bola bundar yang berputar mengelilingi matahari. Dengan menggunakan asumsi baru ini, bersama-sama dengan klaim bahwa bumi pun berputar mengelilingi porosnya sendiri, ia merasa dapat menjelaskan secara matematis bagaimana semua planet pada kenyataannya selalu bergerak di suatu orbit yang menyerupai lingkaran, walaupun kelihatannya arahnya berbeda bila diamati oleh pengamat di bumi. Kant menyarankan, kita sebaiknya mencoba eksperimen serupa terhadap metafisika (lihat Gambar III.8). Para filsuf di masa lalu bukan hanya selalu menganggap benda di dalam lubuknya bisa diketahui, melainkan juga selalu menganggap pengetahuan kita pasti dengan sendirinya cocok dengan obyek, bukan sebaliknya. Mengapa tidak mencoba asumsi yang sebaliknya? Mungkin di metafisika, seperti di astronomi, peri yang benar tentang apa yang kelihatannya benar itu berbeda dengan peri yang benar tentang apa yang pada kenyataannya benar. Dengan kata lain, Kant mengusulkan agar perihal metafisika, yang lebih tepat mungkin mengatakan bahwa obyek-obyek dengan sendirinya cocok dengan pengetahuan subyek (yakni cocok dengan benak manusia)! Matahari Bumi Bumi Matahari (a) Penampakan (b) Realitas Kunci: Matahari = obyek Bumi = subyek pergerakan = sumber pengetahuan diam = cocok dengan sumber tersebut Gambar III.8: Revolusi Copernican Kant ?Perspektif transendental? baru ini mungkin kedengarannya cukup ganjil. Bagaimana bisa dimengerti, sebagai misal, bahwa pengetahuan saya tentang kapur tulis ini bukan bergantung pada kapur tulis itu sendiri, melainkan pada benak saya? Menurut cara pikir (empiris) kita sehari-hari, pengetahuan saya bahwa kapur tulis ini putih tentu saja sama sekali tidak berasal dari penemuan oleh benak; namun pada faktanya, bisa diamati dengan gamblang bahwa kapur tulis ini tampak putih. Kant tidak pernah menyangkal kebenarannya. Yang ia sangkal adalah bahwa penampakan semacam itu merupakan realitas metafisisnya; penampakan itu justru berada dalam ranah fisika dan ilmu [alamiah] lainnya. Intinya adalah bahwa terdapat realitas transendental lain yang sama-sama sah sebagai cara pikir tentang obyek-obyek yang terungkap dengan lebih mendalam, dan bahwa bila kita berpikir dengan cara ini, ketika kita berpikir tentang kebenaran apa yang niscaya perihal pengalaman kita tentang sepotong kapur tulis ini, maka ternyata bahwa unsur-unsur pengetahuan kita ini berasal dari benak kita, bukan dari obyek itu sendiri. Oleh sebab itu, yang empiris dan yang transendental harus diakui sebagai dua sisi suatu koin, dua perspektif, yang keduanya memberi kita cara pandang yang benar terhadap dunia nyata, namun terbatas. Lantas, apa saja syarat-transendental posibilitas pengalaman? Dengan kata lain, unsur-unsur apa sajakah yang keniscayaannya mutlak yang, menurut Kant, ?pergerakannya? merupakan tapal batas antara pengetahuan kita yang nirmustahil dan kebebalan kita yang niscaya? Setengah bagian pertama dari Critique of Pure Reason berupaya menemukan dan membuktikan kesahihah-niscaya serangkaian syarat-syarat itu. Dalam proses pemenuhan tugas ini, Kant mengemukakan bahwa semua pengetauan empiris tersusun dari dua unsur: intuisi dan konsep. Intuisi adalah segala hal yang ?diberikan? kepada indera kita, dan merupakan material di luar benak (yang menghasilkan pengetahuan kita). Demi maksud kita di sini, kita bisa memandang ?intuisi? sebagai ?cara kerja indera kita?. Konsep adalah kata atau pikiran yang kita pakai untuk mengelola intuisi kita secara aktif menurut berbagai aturan berpikir. Kant berupaya membuktikan bahwa ruang dan waktu merupakan ?bentuk intuisi? transendental, sedangkan sejumlah duabelas kategori tertentu merupakan ?bentuk konsepsi? transendental. Kategori-kategori itu tertata dalam empat kelompok yang disebut ?kuantitas?, ?kualitas?, ?relasi?, dan ?modalitas?, yang masing-masing terdiri dari tiga kategori, seperti yang tampak pada Gambar III.9. Pada jam kuliah ini kita bebas mengabaikan rincian bagian-bagian dari teori Kant ini tanpa risiko, karena Kuliah 21 akan mencakup tinjauan yang lebih mendalam terhadap kategori terpenting, kausalitas. Lagipula, sebagaimana yang akan kita kaji di Pekan V, memahami bentuk logis serangkaian kategori tersebut lebih penting daripada memahami alasan Kant mengapa ia memilih duabelas kategori ini. Yang pokok dalam hal ini adalah memahami fungsi kategori-kategori tersebut, di samping ruang dan waktu, bentuk intuisinya yang berposisi berimbang. nasib aktualitas kesatuan posibilitas Modalitas Kuantitas pluralitas timbal-balik totalitas kausalitas Relasi Kualitas realitas substansi negasi batasan Gambar III.9: Pembagian Kategori Lipat-Duabelas Ala Kant Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap teori Kant tentang forma intuisi dan forma konsepsi, kita harus cermat dalam menanggapi pertanyaan seperti ?Bagaimana mungkin saya tahu segalanya tentang sepotong kapur tulis ini?? dengan mempertimbangkan apakah ini pertanyaan empiris ataukah transendental. Jika transendental, maka jawabannya, menurut Kant, adalah bahwa benak kita sendiri memaksakan suatu kerangka ruang dan waktu atas obyek itu, sehingga melalui kerangka ini kita mampu mencerap keberadaannya, dan suatu kerangka kategori, sehingga melalui kerangka ini kita mampu memikirkan hakikatnya. Saya pikir kita semua akan setuju bahwa jika sepotong kapur tulis ini tidak terlihat oleh kita di ruang dan waktu kita, maka kita takkan bisa mencerapnya, dan bahwa kita memerlukan suatu konsep (?kapur tulis?), di samping memerlukan aturan-aturan umum perihal berpikir, dengan maksud mendapatkan pengetahuan apa saja tentang cerapan ini (atau lainnya). Pemeriksaan atas tatapikir semacam itu akan menjadi salah satu dari tugas utama kita di Bagian Dua. Klaim Kant yang paling kontroversial adalah bahwa kedua kondisi-niscaya pengetahuan tersebut tidak bisa dijelaskan kecuali bila kita mengakui bahwa keduanya berakar pada benak manusia itu sendiri. Karena para filsuf saja selama duaratus tahun telah bersilang pendapat tentang apakah klaim yang disebut ?Revolusi Copernican? dalam dunia filsafat ini pada kenyataannya masuk akal ataukah tidak, saya yakin kita tidak akan menyudahi persoalan ini sekarang; akan tetapi, saya harap anda sendiri memikirkan persoalan ini dengan lebih cermat. Di Kuliah 9 mendatang, saya akan membahas beberapa implikasi metafisis dari Kritik pertama dan mengulas secara singkat bagaimana Kant mempengaruhi metafisika selama duaratus tahun terakhir ini. Klaim saya nanti adalah bahwa pandangan Kant menggambarkan wawasan Sokrates, yang tersaji dalam bentuk benih, dalam versi yang dewasa sepenuhnya. 9. Filsafat Selepas Kritik Khazanah epistemologis Kant segera berdampak kuat terhadap semua bidang penyelidikan filosofis, yang mendatangkan suatu zaman [baru] yang disebut ?era modern? filsafat Barat dan membangkitkan serangkaian panjang filsafat ?pascamodern? atau ?pasca-Kritis?. Sebelum menyinggung bagaimana Kant mempengaruhi perkembangan metafisika sepeninggalnya, saya akan secara singkat memeriksa implikasi metafisis, yang diyakini oleh Kant sendiri, dari epistemologinya. Kant mengemukakan bahwa kondisi transendental pengetahuan (yakni ruang dan waktu dan kategori-kategori) memancangkan tapal batas mutlak yang memungkinkan kita untuk menimbang realitas yang bisa dan yang tidak bisa kita ketahui. Segala konsep yang tidak disertai dengan intuisi yang bersesuaian dengan ini, atau segala intuisi yang tidak bisa dikonsepkan, tidak akan bisa digunakan untuk membangun pengetahuan. Namun demikian, manakala seseorang memperoleh suatu pengetehuan empiris, akalnya tak pelak lagi membangun ?idea-idea? tertentu tentang hal-hal yang berada di luar tapal batas pengetahuan kita. Menurut Kant, yang terpenting dalam hal ini adalah idea-idea metafisis tentang ?Tuhan, kebebasan, dan keabadian?: akal memaksa kita untuk mengasumsikan keberadaan tiga idea tersebut, namun kita tak dapat membuktikan bahwa ketiganya merupakan obyek yang realitasnya kita ketahui. Kenyataan bahwa kita bebal perihal tiga aspek terpenting kehidupan manusia itu merupakan masalah, sebagaimana yang terlukis dalam Gambar III.10, yang solusinya merupakan tugas utama filsafat. ruang dan waktu Tuhan, kebebasan, dan keabadian idea-idea pengetahuan empiris kebebalan-niscaya (?iman?) 12 kategori Gambar III.10: Masalah ?Idea-Idea? Kantian Kant sendiri memecahkan masalah tersebut dengan menuntut bahwa kita harus mengubah sudut pandang pemikiran kita bila kita berhasrat untuk mengiyakan keyakinan kita akan idea-idea tersebut. Pada Kuliah 22 dan 29 kita akan menelaah dua contoh tindakan yang ia sarankan. Untuk kali ini, cukup dikatakan bahwa Kant sendiri yakin bahwa pengakuan batas-batas pengetahuan sangat baik demi metafisika. Dalam CPR 29, ia mengakui, ?Saya telah … mendapati bahwa kita perlu menolak pengetahuan, supaya ada ruang bagi keyakinan.? Suatu pengakuan keterbatasan akal secara jujur dan berani mungkin membuat tugas filsafat lebih sulit dan rawan, tetapi sebagaimana yang akan kita pelajari di Kuliah 32 dan 33, inilah cara terbaik (kalau bukan satu-satunya cara) untuk melanggengkan kebermaknaan hidup manusia. Sekarang kita bisa merangkum corak utama metafisika Kant yang berkenaan dengan empat ajaran fundamental berikut ini: 1. Realitas hakiki (?transenden?)—yakni realitas yang lepas dari kondisi-kondisi yang membatasi kita dalam mempelajarinya—merupakan benda di dalam lubuknya yang tak bisa diketahui. 2. Realitas empiris—yakni aspek-khusus pengetahuan kita—ditentukan oleh ?penampakan? yang kita alami (bandingkan Aristoteles). 3. Realitas transendental-yakni aspek-umum pengetahuan kita (terutama ruang dan waktu sebagai ?forma intuisi?, dan duabelas kategori sebagai ?forma pikiran?)—ditentukan oleh subyek yang mengetahuinya (bandingkan Plato). 4. Pengetahuan itu tentu menimbulkan ide-ide mengenai realitas hakiki yang bolehjadi, sekiranya kita bisa mengetahuinya; namun upaya untuk membuktikan ide-ide ini menyebabkan akal menjadi berkontradiksi-diri, sehingga ide-ide ini tidak akan menjadi unit-unit pengetahuan ilmiah. Implikasi dari Sistem filsafat Kant yang mencuat dari ajaran-ajaran tersebut berlipat-lipat. Dalam hal ini, mari kita amati empat implikasinya yang paling signifikan bagi metafisika. Pertama, bila kita pikir Sokrates menanam ?benih? di sejarah filsafat Barat dengan gagasannya bahwa para filsuf harus bertolak dari pengakuan hal-hal yang tidak mereka ketahui, maka pohon yang tumbuh dari benih ini berbuah untuk pertama kalinya bersama-sama dengan Kant. Kant setuju bahwa filsafat bermula dengan pengakuan kebebalan; sesungguhnya, ia pun menegaskan bahwa ?manfaat yang tak terhitung nilainya? dari Kritik Pertama adalah ?bahwa semua keberatan atas moralitas dan agama akan terbungkam selamanya, dan [kebungkaman] ini dalam nuansa Sokratik, yakni [terbungkam] oleh bukti terjelas yang berupa kebebalan pengamat obyek? (CPR 30). Namun ia melangkah lebih jauh daripada Sokrates dengan menetapkan garis pemisah yang tajam, tapal batas yang berada tepat di antara kawasan ?kebebalan-niscaya? dan ?pengetahuan-nirmustahil?: kita mungkin dapat memikirkan suatu konsep yang tidak bisa diintuisikan, atau merasakan suatu intuisi yang tidak bisa dikoneptualkan; namun kita hanya bisa mengetahui hal-hal yang tampak dalam bentuk yang terbuka terhadap intuisi dan konsepsi. Selanjutnya, Kant memperbedakan antara dua tipe kebebalan (605-606): kebebalan-aksidental dalam hal persoalan empiris mesti mendorong kita untuk memperluas pengetahuan kita, sedangkan kebebalan-niscaya dalam hal persoalan metafisis mesti mendorong kita untuk melampaui pengetahuan menuju tujuan praktis berfilsafat—yakni untuk hidup dengan lebih baik. Oleh sebab itu, berkat Kant, metafisika akhirnya mencapai kedewasaan. Setelah selama duaribu tahun para filsuf berupaya memberantas kebebalan-niscaya dengan pengetahuan metafisis, Kant menuntaskan daur historis filsafat Barat dan, dengan demikian, menguak sejumlah masalah yang benar-benar baru. Ini karena implikasi berikutnya dari Sistem Kant adalah bahwa kini kita harus mendapatkan jalan untuk menanggulangi kebebalan-niscaya kita. Bagaimana kita bisa berfilsafat tanpa berpengetahuan tentang realitas terdalam? Duaratus tahun terakhir ini filsafat merupakan serentetan berbagai usulan tentang bagaimana hal itu bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Solusi Kant sendiri, teori ?Copernican?-nya bahwa si subyek membaca kondisi transendental pengetahuan pada obyek, ditolak oleh kebanyakan filsuf sepeninggalnya. Akan tetapi, saya pikir sebaiknya kita tidak buru-buru menolak teori yang kedengarannya agak ganjil itu. Seperti halnya ?cogito? Descartes melapangkan jalan bagi fisika Newtonian, saya yakin revolusi Copernican Kant melapangkan jalan bagi relativitas dan mekanika kuantum yang sama-sama berpandangan bahwa si pengamat turut-serta dalam pembentukan pengetahuan. Lantaran Kant telah menetapkan batas-batas pengetahuan manusia secara sedemikian tajam, kita bisa mengatakan bahwa filsafat menjadi lebih lengkap dengan kehadiran Kant daripada sebelumnya. Kant sendiri sangat menyadari aspek Sistemnya itu (CPR 10): I have made completeness my chief aim, and I venture to assert that there is not a single metaphysical problem which has not been solved, or for the solution of which the key at least has not been supplied. (Saya telah menuntaskan sasaran utama saya, dan saya terjun untuk menegaskan bahwa tidak ada satu masalah metafisis yang belum terpecahkan, atau sekurang-kurangnya solusi yang kuncinya belum tersedia.) Menariknya, bila anda menoleh ke bahasan kita tentang mitos di Kuliah 3, anda mungkin ingat bahwa mitos apa pun merupakan sesuatu yang terkurung dalam batas-batas [lihat Gambar I.7]. Jadi, saya pikir, benarlah pernyataan bahwa dengan kehadiran Kant, filsafat Barat mengalami suatu ?pergeseran paradigma? sehingga kita bisa mengatakan, Kant memberi filsafat suatu ?mitos? baru—mitos tentang benda di dalam lubuknya. Tentu saja, selama kita memperlakukan ini sebagai mitos yang ?tercerahkan?—yakni selama kita selalu mengingat kemitosannya, sehingga tidak memperlakukannya sebagai kebenaran mutlak, tetapi sebagai asumsi dasar yang dipungut secara longgar berdasarkan keyakinan—kita bisa menghindari banyak kesukaran yang ?hidup di dalam mitos?, kecuali kalau tak terelakkan. Implikasi keempat dari filsafat Kant adalah bahwa tuntutannya akan kawasan kebebalan-niscaya manusia itu menjadikan filsufnya rendah hati. Ini tampaknya mungkin mengejutkan, terutama bagi anda yang telah membaca beberapa tulisan Kant sendiri, karena jelas-jelas Kant tidak bebal perihal kehebatan prestasinya sendiri. Pada beberapa kesempatan, ia dengan bangga mengklaim bahwa Sistemnya lebih unggul daripada sistem-sistem para filsuf terdahulu semuanya. Yang saya tunjukkan di sini adalah bahwa, sementara kebanyakan filsuf memanfaatkan ide-ide spekulatif tertentu, yang memerlukan akses ke beberapa jenis pengetahuan transenden yang istimewa yang tidak bisa diakses oleh orang awam, filsafat Kant mengganti itu semua dengan hipotesis-hipotesis. Ia menempatkan para filsuf pada umumnya secara sejajar, bahkan juga sejajar dengan para non-filsuf, bila mengenai kemampuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai persoalan-persoalan metafisis yang paling dasar. Implikasi dari filsafatnya ini acapkali terlewatkan, juga oleh mereka yang bertahun-tahun mengkaji tulisan-tulisannya, karena Kant mengungkap ide-idenya dengan peristilahan yang serumit itu. Sekalipun demikian, Kant menyatakan aspek ?rendah hati? dari Sistem Kritisnya dengan cukup jelas beberapa kali. Salah satu contoh terbaiknya, menjelang halaman terakhir Kritik pertama (651-652), dikutip dengan seutuhnya: But, it will be said, is this all that pure reason achieves in opening up prospects beyond the limits of experience? … Surely the common understanding could have achieved as much, without appealing to philosophers for counsel in the matter. I shall not dwell here upon the service which philosophy has done to human reason through the laborious efforts of its criticism, granting even that in the end it should turn out to be merely negative … But I may at once reply: Do you really require that a mode of knowledge which concerns all men should transcend the common understanding, and should only be revealed to you by philosophers? Precisely what you find fault with is the best confirmation of the correctness of the [Critical philosophy]. For we have thereby revealed to us, what could not at the start have been foreseen, namely, that in matters which concern all men without distinction nature is not guilty of any partial distribution of her gifts, and that in regard to the essential ends of human nature the highest philosophy cannot advance further than is possible under the guidance which nature has bestowed even upon the most ordinary understanding. (Namun akan dikatakan, sungguhkah akal murni itu berhasil menyingkap tabir melantas batas-batas pengalaman? … Pikiran awam tentu bisa juga sampai di situ tanpa memohon wejangan kepada para filsuf dalam hal itu. Di sini saya tidak akan berpanjang-tutur tentang jasa filsafat yang telah dihibahkan kepada akal manusia melalui jerih payah kritikannya, yang juga memberi sesuatu yang pada akhirnya menjadi negatif belaka … Akan tetapi, saya bisa menukas seketika: Sesungguhnyakah anda menghajatkan bahwa ragam pengetahuan yang menyangkut semua orang harus melampaui pikiran awam, dan hanya bisa tersingkap kepada anda oleh para filsuf? Kesalahan yang anda dapati dengan cermat itu merupakan pengukuhan terbaik perihal kebenaran [filsafat Kritis]. Lantaran dengan demikian, kita mengungkap sendiri hal-hal yang pada awalnya tak terduga, yakni bahwa dalam hal-hal yang menyangkut semua manusia tanpa pandang bulu, alam tidak bersalah atas segala distribusi parsialnya, dan bahwa berkenaan dengan tujuan esensial bawaan manusia, filsafat tertinggi tidak mampu melangkah lebih jauh daripada yang mungkin [dicapai], di bawah panduan yang dilimpahkan oleh alam, oleh pikiran yang paling awam sekalipun.) Dengan kata lain, filsafat itu istimewa bukan karena membolehkan kita untuk berbangga mengklaim tingkat pengetahuan yang lebih tinggi daripada orang awam, melainkan karena merendahkan hati kita dengan memperlihatkan terbatasnya semua pengetahuan kita. Sayangnya, terdapat banyak filsuf sepeninggal Kant yang menolak untuk menerima implikasi penting dari sistemnya itu. Sejarah metafisika selama duaratus tahun terakhir ini justru banyak berisi aneka upaya untuk menghindari implikasi yang menggemaskan itu, bahwa para filsuf berkewajiban untuk rendah hati agar menjadi filsuf yang baik. Filsuf-filsuf telah mencoba lari dari konsekuensi itu dengan menyangkal, memberangus, atau menyalahartikan satu atau beberapa sudut pandang yang berusaha dipertahankan oleh Kant dengan keseimbangan yang rawan. Tokoh-tokoh kunci dalam empat pergerakan pasca-Kantian, yaitu idealisme Jerman, eksistensialisme (baik versi pesimistik/ateistik maupun optimistik/teistik), analisis linguistik, dan filsafat hermeneutik, akan diulas secara singkat pada sisa waktu jam kuliah ini. Para idealis Jerman (yang paling terkemuka ialah Fichte, Schelling, Hegel, dan Marx) merupakan contoh pasca-Kantian pertama dan paling terkenal yang berusaha memperoleh kembali kemampuan manusia untuk mengetahui realitas terdalam. Johann Fichte (1762-1814) pada mulanya oleh banyak orang dikira berkarakter sebagai pengganti pilihan Kant; akan tetapi, ia segera jelas-jelas putus dari Kant, dengan mengemukakan bahwa ?ego transendental? pada aktualnya menghasilkan dunia ilmiah seluruhnya di luar dunia itu sendiri. Jadi, ?benda di dalam lubuknya? yang bermasalah bisa dibuang karena segala yang keberadaannya lepas dari benak kita tidak diperlukan lagi. Friedrich Schelling (1775-1854) tergolong dalam Pergerakan Romantik dan sekaligus sebagai idealis; buktinya adalah penekanannya pada seni, perasaan, dan keragaman individu. Bukunya, System of Transcendental Idealism (1800), menguraikan posisi yang mirip dengan pandangan Fichte, dengan berpikiran bahwa ego itu ?bertempat sendiri? (yakni membuat diri memasuki obyek), sehingga mencipatakan dunia eksternal dan menetapkan sendiri tugas untuk mengetahuinya. Kedua pandangan itu menolak mentah-mentah keberadaan realisme empiris Kant. Idealisme Jerman mencapai puncaknya pada Georg Friedrich Hegel (1770-1831), yang kontribusi utamanya adalah membawa sejarah ke dalam pusat perhatian metafisika. Ia mengemukakan bahwa proses tiga-tahap yang digunakan oleh Fichte dan Schelling (itu sendiri yang berakar kuat di Sistem Kant [lihat, umpamanya, Gambar III.1]) merupakan pola pasti dan logis yang memberi tahu kita bagaimana sesungguhnya sejarah berkembang. Itu memungkinkan kita untuk memperoleh akses apriori ke realitas hakiki dalam suatu forma yang oleh Hegel disebut ?Spirit Mutlak?. (Kita akan melihat lebih dekat logika Hegelian pada Kuliah 12.) Tokoh yang bisa dianggap penyimpul tradisi ini ialah Karl Marx (1818-1883), bukan lantaran ia idealis, melainkan karena ia menyusun keseluruhan filsafatnya sebagai reaksi melawan sistem Hegelian. Ironisnya, hal itu mengharuskan dia untuk menerima asumsi-asumsi utama Hegel, termasuk mitos dasarnya bahwa kenyataan terdalam bisa diketahui melalui perkembangan historis. Namun lantaran fokusnya bukan metafisika, melainkan filsafat politik, kita menunda pembahasan lebih lanjut ide-ide Marx hingga Pekan IX. Dua filsuf Amerika, C.S. Peirce (1839-1914) dan John Dewey (1850-1952), walau bukan bagian dari idealisme Jerman, juga dipengaruhi oleh Hegel dalam mengembangkan pragmatisme, suatu pendekatan filsafat yang lebih menekankan pengertian awam daripada teori-teori metafisis seperti itu. Realitas tidak banyak ditentukan melalui penalaran filosofis, tetapi melalui penyelidikan hal-hal yang berjalan di dunia empiris. Persoalan realitas terdalam sedikit-banyak diabaikan. Secara demikian, pragmatisme tidak selalu anti-Kantian, tetapi juga tidak sepenuhnya mengambil posisi Kant (bandingkan dengan Kuliah 22 dan 29). Reaksi lain terhadap penyangkalan mutlak Hegel atas batas-batas Kantian menghasilkan eksistensialisme—kendati dalam hal ini mitos Hegel tentang sentralitas sejarah itu sendiri dipersoalkan dengan lebih mendasar. Dua tokoh utama paham ini ialah Arthur Schopenhauer (1788-1860) dan Søren Kierkegaard (1813-1855), yang mengembangkan alternatif terhadap Hegel; yang pertama bercorak pesimistik, yang kedua bercorak optimistik. Daripada Hegel, Schopenhauer lebih percaya kepada Kant; namun Schopenhauer memodifikasi Sistem Kant dengan menghubungkan alam benda di dalam lubuknya dengan suatu ?kehendak? bawah-sadar yang mencakup segala hal yang tidak hanya berhubungan dengan persoalan moral, sebagaimana argumen Kant (lihat Kuliah 22). Ia yakin bahwa konflik antara kehendak ini dan alam eksternal menyebabkan penderitaan yang tak terelakkan, dan bahwa penderitaan ini merupakan makna sejati kehidupan. Kierkegaard juga menyerang Hegel dengan kembali kepada Kant, tetapi dengan jalan yang lebih optimistik, dengan mengakui penderitaan hidup sebagai kekuatan yang mengarahkan kita kepada Tuhan dan karenanya mesti dilalui. Posisinya akan menjadi fokus perhatian kita di Kuliah 34. Para pelopor tersebut selanjutnya mempengaruhi dua filsuf yang mengembangkan eksistensialisme dengan lebih eksplisit: Friedrich Nietzsche (1844-1900) dan Paul Tillich (1886-1971). Nietzsche, yang amat dipengaruhi oleh pesimisme suram Schopenhauer, menyusun suatu filsafat moral yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Kant, yang menjadi persemaian bagi hampir semua versi ateistik eksistensialisme yang selama seabad ini subur. Tillich, yang amat dipengaruhi oleh Kierkegaard, ialah filsuf-teolog yang mengembangkan kerangka eksistensialis dengan arah ?optimistik? (yakni dibuktikan kebenarannya secara teologis) yang paling lengkap. Nietzsche akan menjadi fokus perhatian kita pada Kuliah 23, sedangkan Tillich pada Kuliah 17, 30, 31, dan 34. Yang banyak berlawanan dengan eksistensialisme selama seabad ini adalah filsafat analitik. Seperti yang akan kita amati di Kuliah 16, dua penggerak utamanya ialah Bertrand Russel (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam tradisi ini mereka sering dipandang sebagai penerus langsung langkah-langkah Kant; akan tetapi, klaim ini didasarkan pada interpretasi yang amat anti-metafisis bahwa Kant mengenyahkan metafisika tanpa menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Untungnya, semakin banyak filsuf Anglo-Amerika [dan beberapa tipe filsuf lainnya] yang mengakui bahwa dikotomi lama antara pendekatan filsafat yang eksistensial dan analitik itu tidak sah—suatu perkembangan yang saya pikir sebaiknya disebut dengan satu kata saja, ?baik? (bandingkan Gambar I.2)! Salah seorang filsuf yang sering dianggap eksistensialis walaupun ia berupaya tidak mengaitkan diri dengan pergerakan itu ialah Martin Heidegger (1889-1976). Pendekatannya terhadap filsafat, yang akan disinggung secara singkat di Kuliah 17 dan 34, melahirkan salah satu dari perkembangan yang paling berpengaruh di paruh-kedua abad keduapuluh: filsafat hermeneutik. Kuliah 18 akan memeriksa lebih rinci bagaimana Hans Georg Gadamer (1900- ) menyusun suatu teori interpretasi yang masih sangat berpengaruh hingga hari ini. Salah satu dari alasan utama berpengaruhnya teori ini, menurut saya, adalah bahwa teori ini tidak berfokus pada persoalan tradisional metafisika. Bahkan, pada titik yang paling ekstrim, filsafat hermeneutik membangkitkan suatu pergerakan yang disebut ?dekonstruksionisme?, yang dipelopori oleh filsuf-filsuf seperti Jacques Derrida (1930- ), yang percaya bahwa bukan hanya metafisika, melainkan filsafat itu sendiri pun telah tamat. Karena kita akan membahas ide-ide ini dengan lebih lengkap di Kuliah 18 dan 24, ide-ide ini tidak perlu dirangkum di sini. Bila anda menempuh matakuliah metafisika, dosen anda mungkin akan berfokus pada masalah-masalah dasar tertentu yang cenderung menarik minat para metafisikawan kontemporer. Masalah-masalah itu pada khususnya berkaitan dengan salah satu dari empat ?realitas? berikut ini: (1) hakikat benda-benda fisik dan persepsi kita perihal benda-benda ini (warna, misalnya); (2) hakikat benak dan identifikasi yang tepat perihal obyek-obyek mental; (3) hakikat ruang dan waktu, dan hubungan-hubungan di dalam ruang dan waktu (umpamanya: kausalitas, nasib, dan kebebasan); dan (4) hakikat entitas-entitas abstrak (contohnya: bilangan, dunia nirmustahil, dan Tuhan). Masalah sedemikian itu tidak baru; kita telah menyinggung sebagian besar dari masalah-masalah itu dalam pembahasan kita tentang metafisika klasik dan modern pada dua pekan terakhir ini, walau kadang-kadang dengan istilah lain: sifat metafisika (debat idealisme-realisme, misalnya), kodrat manusia (debat benak-badan, misalnya), dan sebagainya. Nama-namanya bisa berubah, dan metode yang dipakai oleh para filsuf kontemporer untuk menghadapi masalah-masalah tersebut cenderung semakin rumit, namun tema-tema pokoknya masih belum berubah. Lantas, bagaimana masa depan ?akar-akar? filsafat itu kala kita masuki milenium baru ini? Terdapat banyak hal yang dijalani demi metafisika selama seabad ini yang sayangnya [hanya] sedikit lebih baik daripada kemunduran pada filsafat Skolastik yang secara khas dipraktekkan di Abad Pertengahan. Di zaman ini agaknya sungguh-sungguh tiada filsafat yang diperuntukkan bagi setiap orang yang berada di luar dunia akademis. Saya yakin, satu-satunya cara untuk mencegah akhir yang tragis itu adalah belajar dari ajaran Kant yang dicoba disampaikan di Kritik pertamanya. Tujuan penyusunan epistemologinya, yang oleh banyak filsuf masih diakui sebagai yang paling lengkap dan beralasan kuat, adalah meletakkan metafisika ?pada jalan ilmu yang meyakinkan? (CPR 21). Maksudnya adalah bahwa kita menelaah metafisika itu semata-mata untuk mengakui kebebalan kita akan realitas terdalam. Segera sesudah ini diselesaikan, kita jangan sampai tergoda untuk terus mencari jawaban di tempat yang salah, agar tidak mencabut akar pohon kita (yang berarti menumbangkannya) atau pun menanam kepala kita sendiri di tanah (yang berarti mematikan potensinya akan wawasan yang lebih lanjut). Sebagai tukarannya, untuk mendapatkan sesuatu yang menyerupai ?pengetahuan? tentang bagaimana pertanyaan-pertanyaan tentang kebermaknaan-hidup harus dijawab, satu-satunya jalan adalah menerima bahwa jawaban-jawaban itu tidak mungkin terdapat di metafisika, tetapi di bagian lain dari pohon filsafat. Memahami bagaimana itu menjadi nirmustahil merupakan perhatian utama kita di Bagian Dua dan di keseluruhan matakuliah ini. PERTANYAAN PERAMBAH 1. A. Apakah anda merasa pasti atas apa saja? B. Mungkinkah bahwa 2+2=4 bisa diragukan? .............................. .............................. 2. A. Mungkinkah realitas terdalam bisa diketahui? B. Tepatkah filsuf memanfaatkan keimanan? .............................. .............................. 3. A. Mitos lama apakah yang digantikan oleh filsafat Kant? B. Apakah benak itu pada aktualnya memaksakan sesuatu pada obyek yang kita alami? .............................. .............................. 4. A. Metode filsafat yang ideal itu yang bagaimanakah? B. Apakah rendah hati itu? Bisakah rendah hati itu dijalani dengan lengkap? .............................. .............................. BACAAN ANJURAN 1. Renè Descartes, Meditations on First Philosophy 2nd Edition, terj. Laurence J. Lafleur (New York: Bobbs-Merrill, 1960[1951]). 2. Gilbert Ryle, The Concept of Mind (New York: Barnes & Noble, 1949), Bab I, “Descartes’ Myth”, pp. 13-25. 3. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, “Preface” (kedua edisi) (CPR 7-37). 4. Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. Lewis White Beck (New York: The Bobbs-Merrill Company, 1950). 5. Stephen Palmquist, Kant’s System of Perspectives: An architectonic interpretation of the Critical philosophy (Lanham: University Press of America, 1993), Bab IV-VI, pp. 107-193. 6. Will Durant, The Story of Philosophy: The lives and opinions of the greater philosophers 3rd Edition (New York: Simon and Schuster, 1982[1928]). 7. John Passmore, A Hundred Years of Philosophy 2nd Edition (Harmondsworth: Penguin, 1966[1957]). 8. Michael Jubien, Contemporary Metaphysics: An introduction (Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1997). Catatan Penerjemah Anak-kalimat ini merupakan saduran, sepersetujuan Palmquist, dari teks ?no human being is perfect, so the perfect Being is not the “I” of whose existence I am certain;? Palmquist belum menjelaskan arti garis putus-putus yang terdapat di dalam gambar. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Garis putus-putus itu untuk menunjukkan penekanan perbedaan dua metode ?pemecahan? masalah benak-badan. Argumen yang berbasis ?Tuhan? adalah yang rasional, yang karenanya berfokus pada apa yang disediakan oleh benak kepada kita. Argumen berbasis ?kelenjar kerucut? adalah yang biologis, yang berfokus pada apa yang disediakan oleh badan kepada kita. Garis putus-putus itu juga menunjukkan bahwa kedua argumen tersebut merupakan upaya untuk menjembatani celah di situ, namun gagal lantaran masing-masing hanya berfokus pada satu sisi persamaan. Menurut Palmquist, ?obyektivitas mutlak? bisa dibaca sebagai ?eksistensi yang independen secara mutlak?. Intinya, dengan mendalilkan bahwa dunia mental kita terpisah total dari dunia fisis, namun bersikeras bahwa kedua jenis dunia ini sama nyatanya (walau substansinya berlainan), pada dasarnya Descartes menetapkan sesuatu yang di kemudian hari dikenal sebagai ?pandangan dunia ilmiah?. Tentu saja ada kemungkinan bahwa satu sisi benar total, sedangkan sisi lainnya salah total, atau bahwa kedua sisi salah total. Jika itu terjadi, maka ?metode Kritis? tidak dibutuhkan. Akan tetapi, dalam pandangan Palmquist, kasus semacam itu relatif jarang. Yang ia maksud (dan yang sekarang ia terangkan di kelasnya, tahun 2001) adalah bahwa dalam pembahasan filosofis yang serius, ketika dua pihak, atau lebih, yakin bahwa klaim mereka (yang berlawanan) masing-masing benar, pemicu perdebatan itu hampir selalu berupa perbedaan perspektif. Ia mengharap bahwa pembaca mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang berdebat itu sama-sama memiliki ?fakta yang benar? namun masih tidak sepakat. Singkatnya, metode Kritis adalah alat filosofis (untuk menilai perspektif), bukan alat ilmiah (untuk menilai fakta). Perihal Gambar III.8a, saya mempunyai wawasan sebagai berikut. Gambar ini, bila Matahari merupakan forma obyek, yang dikombinasikan dengan satu gambar bumi yang dikelilingi oleh bulan (= bahan obyek), melambangkan idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Plato mungkin mengklaim bahwa kita biasanya hidup di ?malam hari? dengan sinar bulan yang hanya merupakan pantulan (ilusi) dari sumber sinar sejati. Padahal, menurut Plato, realitas universal (tunggal) itu terdapat di ?siang hari? dengan cahaya matahari yang merupakan sumber sinar sejati. Akan tetapi, Aristoteles mungkin melihat bahwa matahari merupakan salah satu bintang, dan bahwa bintang-bintang dan bulan lebih terlihat di malam hari. Maka Aristoteles memandang bahwa realitas-realitas partikular (jamak) itu justru terdapat di ?malam hari?. Wawasan tersebut disetujui oleh Palmquist. Bahkan ia menilai bahwa upaya pengaitan ?gua Plato? dengan Gambar III.8 adalah ?hebat?, sedangkan pembandingan gambar tersebut dengan realisme Aristoteles bisa dinilai ?bagus?). Untuk alternatif, lihat http://www.utm.edu/research/iep/text/descart/des-med.htm Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/cpr/prefs.html Untuk alternatif, lihat http://www.utm.edu/research/iep/text/kant/prolegom/prolegom.htm Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP4.html http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP5.html http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP6.html Send comments (in English) to: StevePq@hkbu.edu.hk Back to the Index of Pohon Filsafat. Back to the English version of The Tree of Philosophy. Back to the listing of Steve Palmquist's published books. Back to the main map of Steve Palmquist's web site. This page was first placed on the web on 27 April 2003. BAGIAN DUA: BATANG LOGIKA DAN PEMAHAMAN KATA-KATA Pekan IV Dari Metafisika ke Logika 28. Apakah Logika Itu? Hari ini kita memulai bagian kedua dari empat bagian utama matakuliah kita. Di Bagian Satu, akar-akar pohon filsafat memberi kita wawasan penting mengenai metafisika, yang pada awalnya ditemukan oleh Sokrates, lalu diungkap dengan jauh lebih lengkap oleh Kant. Seperti akar pohon yang hampir seluruhnya terpendam di tanah sehingga kita tidak bisa melihatnya, sebagaimana adanya (sekurang-kurangnya tidak tanpa menumbangkan pohon), landasan metafisis pengetahuan kita pun terdiri atas sesuatu yang pada dasarnya tak dapat diketahui oleh benak manusia. Dengan dilengkapi dengan wawasan ini, sekarang kita bisa menarik diri dari kedalaman metafisika yang kelam dan naik ke bagian pohon filsafat yang membiarkan diri untuk diamati dengan lebih mudah. Seperti yang kita perhatikan di Kuliah 1, ?logika? filosofis itu bagaikan batang pohon. Namun, apakah logika itu? Saya ingin kalian turut menjawab pertanyaan ini untuk beberapa saat. Saya menduga, sebelum kalian mengikuti matakuliah ini kebanyakan dari kalian lebih memiliki pandangan mengenai hakikat logika daripada mengenai hakikat filsafat pada umumnya. Jadi, saya harap pertanyaan diskusi ini akan agak lebih mudah daripada yang kita hadapi di Kuliah 1. Siapa yang mau mengajukan jawaban pertama? Apakah logika itu? Mahasiswa H. ?Saya pikir logika itu seperti sains: sama-sama diharapkan untuk mengajarkan kita fakta-fakta di dunia ini, sehingga kita tidak harus bersandar pada pendapat kita belaka.? Logika memang berkaitan dengan sesuatu yang mempermudah kita dalam melihat hal-hal di balik opini kita sendiri. Akan tetapi, saya rasa saya tak mungkin sepakat dengan anda bila anda hubungkan logika sedemikian dekat dengan fakta-fakta ilmiah. Namun demikian, saya senang anda mengatakannya, karena pandangan yang keliru mengenai logika ini banyak dianut oleh mahasiswa yang baru belajar filsafat. Logika sebetulnya sama sekali tidak mengajarkan kita fakta-fakta baru! Sesungguhnya, logika lebih menyerupai metafisika daripada fisika bila sampai pada persoalan pengajaran fakta-fakta baru. Metafisika, sekurang-kurangnya bagi Kant, tidak menambah pengetahuan sama sekali, tetapi mencegah kekeliruan, seperti halnya akar-akar pohon tidak mengandung buah, namun perlu dipelihara untuk memastikan agar buahnya sehat. Begitu pula batangnya, logika. Alasan mengkaji metafisika dan logika bukanlah agar kita bisa lebih mengetahui, melainkan supaya kita dapat belajar mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh dari sumber-sumber lain. Kalau tidak, kita bisa mendapati diri membudidayakan wawasan yang terlihat manis di luar, tetapi busuk ketika kita ?gigit?. Jadi, apakah logika itu? Mahasiswa I. ?Logika adalah proses berpikir selangkah demi selangkah, seperti yang selalu dipakai oleh ilmuwan yang baik.? Saya rasa pandangan anda benar bahwa berpikir ilmiah harus logis; berpikir ?selangkah demi selangkah?, yang mensyaratkan langkah-langkah yang harus diikuti menurut suatu tatanan tertentu, tentu saja merupakan salah satu ciri utama segala hal yang logis. Kata ?tatanan? (order) menyiratkan pertalian tertentu yang ada antara langkah-langkah berlainan yang kita ikuti dalam proses berpikir kita. Saya menganggap itulah maksud anda kala mengatakan ?selangkah demi selangkah?. Namun jawaban anda memperlihatkan bahwa anda salah paham terhadap pertanyaan saya. Apakah kalian menyadarinya? Jika dalam Pengantar Sejarah seorang mahasiswa menanyai saya ?Apakah sejarah itu??, maka memadaikah jawaban saya kepadanya bila mengatakan ?Sejarah adalah sesuatu mengenai masa lalu yang penting?? Adakah di antara kalian yang sedang mempelajari sejarah saat ini yang bisa memberi tahu saya apakah pemerian saya tentang apa yang sedang anda pelajati itu akurat ataukah tidak? Mahasiswa J. ?Kami belajar banyak mengenai peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi di masa lalu.? Itukah tepatnya yang anda pelajari? Di semua matakuliah, para mahasiswa pasti mempelajari hal-hal penting mengenai masa lalu tanpa benar-benar mengkaji sejarah. Contohnya, di kuliah-kuliah terdahulu kita sudah mempelajari metafisika dengan menelaah ide-ide filsuf masa lalu, tetapi pengambilan pendekatan historis tidak berarti kita mengkaji sejarah begitu saja. Hal lain apa yang kalian pelajari di matakuliah sejarah? Mahasiswa J. ?Sebagian pengajar menyajikan berbagai teori tentang bagaimana perubahan historis pada aktualnya berlangsung, umpamanya perdebatan apakah sejarah itu seperti garis ataukah lingkaran. Juga, kita diharapkan untuk tidak sekadar mempelajari fakta-fakta masa lalu, tetapi mengapa fakta-fakta itu signifikan, dan bagaimana kita bisa menafsirkannya dengan cara sebaik-baiknya.? Bagus sekali! Nah, seperti halnya semua disiplin akademik mengajarkan sesuatu mengenai masa lalu tanpa perlu mengajarkan sejarah, semua disiplin akademik—atau paling tidak, mestinya—pun bersifat logis, namun tidak mengajarkan logika. Tidak hanya matakuliah sains; sejarah, ekonomi, politik, agama, musik, dan seni pun biasanya juga diajarkan dengan cara logis, tertata (namun tentu saja terdapat berbagai tipe tatanan). Jadi, permintaan saya sekarang, katakan apa yang menjadikan logika itu sendiri khas sebagai disiplin akademik! Bila kita alihkan perhatian kita ke logika, apa yang akan kita telaah? Mahasiswa K. ?Prinsip pemikiran yang tertata?? Ya! Bahkan itu bisa dipakai sebagai landasan definisi umum logika. Logika sebagai disiplin akademik berbeda dengan disiplin lain dengan kenyataan bahwa logikawan tidak sekadar menggunakan pemikiran yang tertata; mereka berpikir dengan cara yang tertata mengenai berpikir secara tertata. Barangkali definisi yang dipandang paling umum adalah ?ilmu tentang hukum pikir?. Definisi tersebut mengingatkan saya pada istilah khas yang dimanfaatkan oleh Kant dalam memaparkan pola-pola yang terpasang tetap pada benak manusia. Ia menyamakan filsuf yang baik dengan arsitek yang membangun sistem-sistem (bangunan-bangunan konseptual) menurut rencana yang ditetapkan sebelumnya. Struktur ?arsitektonik? akal itu sendiri menyediakan seperangkat pola yang telah tersusun yang menurut Kant harus dipakai oleh para filsuf sebagai alat untuk menyajikan ide-ide filsosofis mereka dengan cara yang lebih tertata. Kant sendiri tidak pernah mencurahkan banyak waktu untuk menjelaskan hakikat pola-pola tersebut; namun di Bagian Dua ini, cukup banyak perhatian kita yang akan tercurah pada tugas itu. Seperti yang akan kita saksikan, melalui logikalah kita dengan sebaik-baiknya mengakui suatu ide dan penataan bagian-bagiannya, yang Kant anggap sebagai prasyarat untuk memahami suatu sistem filsafat. Tentu saja, pemberian definisi sederhana logika itu bukanlah satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan kita. Adakah yang mempunyai ide lain tentang apakah logika itu? Mahasiswa L. ?Saya ingat, pada salah satu kuliah awal kita anda membicarakan kata Yunani logos. Apakah kata tersebut berkaitan dengan apa yang kita nyana akan kita pelajari selama beberapa pekan mendatang ini? Barangkali anda juga ingat bahwa, ketika saya menyebut logos pada Kuliah 3, saya berusaha menyoroti beberapa kebermaknaan mitos bagi filsafat. Istilah logos kadang-kadang dapat mengacu pada mitos itu sendiri, makna yang tersembunyi, sesuatu yang tidak diketahui. Akan tetapi, saya pikir yang terbaik adalah menafsirkan bahwa istilah itu mengacu pada upaya pertama untuk mengungkap makna ini dalam kata-kata. Karena ?logos? berarti ?kata?, kita bisa menyatakan bahwa dalam pengertian ini istilah ?logis? mengacu pada penggunaan kata-kata sedemikian sehingga kata-kata membawa beberapa makna. Seperti yang akan kita lihat di kuliah-kuliah pekan ini, ada dua tipe logika: tipe pertama benar-benar mengabaikan segala makna yang tersembunyi (yakni mitologis), sedangkan tipe kedua hampir seluruhnya berfokus pada penyingkapan makna-makna semacam itu seterang-terangnya. Kata-kata biasanya membawa makna bilamana berkombinasi dengan kata-kata lain. Istilah khas yang dipakai dalam logika untuk menunjukkan kalimat yang mengemukakan hubungan maknawi antara dua kata atau lebih adalah ?proposisi?. Untuk contoh, pelajaran kita di Kuliah 5 bahwa bagi Aristoteles ?substansi adalah forma plus bahan? bisa dipandang sebagai proposisi sederhana, yang menunjukkan pertalian tertentu antara tiga konsep: ?substansi?, ?forma?, dan ?bahan?. Dalam kuliah mendatang saya akan memperkenalkan beberapa istilah khas yang akan memungkinkan kita untuk mengacu pada nama-nama tipe hubungan proporsional terpenting. Mengapa perlu dipelajari bagaimana kata-kata mendapatkan maknanya? Bila kita mengetahui arti suatu kata, mengapa kita perlu mempelajari dan mendalami hukum-hukum yang menentukan bagaimana makna-makna itu muncul? Pertanyaan ini mestinya mudah untuk kalian jawab, karena saya telah menyebutkan alasannya pada awal kuliah ini. Mahasiswa M. ?Jika kita tidak mengetahui hukum-hukumnya, maka bisa-bisa kita melakukan kekeliruan tanpa menyadarinya. Mempelajari hukum-hukum tersebut akan menolong kita untuk berpikir dan berkata dengan sebenar-benarnya. Orang yang logis tidak akan mengatakan hal-hal yang salah.? Ya, menghindari kekeliruan merupakan jawaban yang saya setujui. Namun sekali lagi, kita jangan mengira sesuatu niscaya benar hanya lantaran logis. Barangkali anda akan terkejut mendapati bahwa sesungguhnya logika itu tidak mempedulikan kebenaran kata-kata yang kita pakai, tetapi hanya mengenai nilai kebenarannya. Seperti yang akan kita lihat, sesuatu ternyata bisa salah total, sekalipun diungkapkan dengan cara yang logis (atau sahih); bisa pula sesuatu ternyata benar sepenuhnya, walau kebenaran itu dinyatakan dengan cara yang tidak logis. Jenis kekeliruan yang kita elakkan dengan bantuan logika itu tidak disebut ?kesalahan? (falsehood), tetapi ?kesesatan? (fallacy). Kesesatan adalah kekeliruan susunan argumen yang kita gunakan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti. Kesesatan terpenting yang perlu anda pelajari adalah yang bertalian erat dengan sesuatu yang disebut masalah mengacu-diri. Karena saya sangat sering menjumpai kesesatan ini yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di lembar mawas mereka, di sini saya mengingatkan anda akan bahaya-bahayanya di permulaan kuliah logika kita. Istilah ?mengacu-diri? merujuk pada proposisi apa pun yang mengacu pada proposisi itu sendiri. Kebanyakan proposisi tersebut tidak mengandung masalah logika. Umpamanya, jika kata ?ini? dalam kalimat ?Kalimat ini benar? mengacu pada kalimat itu sendiri (yakni kalimat di dalam tanda kutip), kita tidak kesulitan untuk memahami bagaimana ini bisa benar. Namun bila kita mengubah kalimat itu sedikit saja, hingga terbaca ?Kalimat ini salah?, maka timbul masalah besar selekas kita anggap kata ?ini? mengacu pada kalimat tersebut. Masalahnya adalah bahwa bila proposisi tersebut memiliki nilai kebenaran positif (yaitu jika kita hendak mengklaim bahwa proposisi tersebut benar), maka ini mengisyaratkan bahwa kita mempercayai bahwa kalimat tersebut salah, karena itulah yang dikatakan oleh kalimat itu mengenai kalimat itu sendiri. Padahal, jika kita menerima bahwa proposisi itu salah, maka (menurut tuntutan kalimat itu) pastilah salah pernyataan bahwa kalimat tersebut salah. Dengan kata lain, bila itu benar, maka itu salah, dan jika itu salah, maka itu benar! Ini mengakibatkan sesuatu yang kadang-kadang disebut ?lingkaran syetan?—yakni daur implikasi tak berujung-pangkal yang memustahilkan penentuan makna proposisi tersebut. Masalah tersebut sering muncul samar-samar di lembar mawas mahasiswa. Yang paling lazim adalah yang terdapat di lembar-lembar mengenai topik-topik seperti ?Apakah Kebenaran Itu?? atau ?Bagaimana Saya Mengetahui Benar-Salah Perbuatan?? atau ?Apa Standar Keindahan??. Mahasiswa-mahasiswa secara khas biasanya memperhatikan fakta bahwa budaya-budaya yang berlainan (dan terkadang bahkan orang-orang yang berbeda di kebudayaan yang sama) mempunyai pandangan yang beragam tentang persoalan-persoalan tersebut. Lantas, mereka menyimpulkan: ?tidak ada jawaban yang pasti?. Namun penarikan kesimpulan sedemikian itu menyesatkan, karena gagal dalam tes mengacu-diri. Hal ini menjadi jelas segera seusai kita akui bahwa proposisi tersebut memberikan suatu jawaban pasti terhadap pertanyaan yang ada—yakni jawaban yang akan mengakhiri pembahasan (sebagaimana yang dilakukan oleh semua jawaban yang sungguh-sungguh pasti) dengan bersikeras bahwa pencarian jawaban-pasti itu berada di jalan buntu. Karena [kalimat] ?tidak ada jawaban yang pasti? itu sendiri merupakan jawaban yang pasti, kalimat tersebut itu sendiri memberikan contoh-balik kebenaran yang diklaim: jika proposisi ?tidak ada jawaban yang pasti? ditetapkan benar, maka proposisi tersebut pasti salah, karena menggambarkan bahwa sekurang-kurangnya pasti ada satu jawaban yang pasti! Kesesatan itu bisa dikoreksi dengan dua cara. Pertama, kita dapat mengakui bahwa proposisi yang dibicarakan merupakan pengecualian terhadap aturan tersebut. Dalam hal ini, pada dasarnya kita menerima kehadiran mitos. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan: ?Satu-satunya jawaban yang pasti terhadap pertanyaan ini adalah bahwa tidak ada jawaban yang pasti (kecuali yang ini).? Melakukannya berarti membenarkan mitos; namun masalah mengacu-diri menggambarkan bahwa tidak semua mitos bisa kita singkirkan. Kadang-kadang, daripada menganggap diri tidak memiliki mitos sama sekali, lebih baik kita sadar akan mitos-mitos kita (praduga-praduga kita yang tak bisa dibela) saja. Untuk menyatakan simpulan dengan cara yang lebih akurat dan maknawi, pilihan kedua adalah semacam: ?terdapat terlalu banyak jawaban yang pasti?. Hal ini bersesuaian dengan jenis bukti yang secara khas terdapat pada lembar-lembar mawas mahasiswa, yang mempertimbangkan argumen pendahulu yang telah memperbandingkan beberapa jawaban pasti, yang bersaingan, atas pertanyaan apa pun. Bahkan, sebagian besar (kalau tidak semua) pertanyaan filosofis mempunyai karakteristik penting tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu bukan tidak memiliki jawaban; kalau tidak punya, pembahasannya sia-sia belaka. Pertanyaan-pertanyaan itu justru berpotensi besar untuk mempunyai jawaban-jawaban yang baik sampai-sampai tidak memungkinkan kita untuk memastikan jawaban mana yang terbaik. Tentu saja, pilihan kedua ini tidak lepas dari yang pertama, karena sebetulnya kita menyatakan: ?Jawaban terbaik adalah bahwa ada banyak jawaban yang baik, tetapi tidak ada jawaban yang terbaik (kecuali yang ini).? Mengenali kesesatan tersebut dan tipe-tipe kesesatan lainnya bisa menjadi keterampilan yang sangat bermanfaat, walau anda tidak perlu bersusah-payah menghafal nama-nama Latin asing yang sering dikemukakan. Beberapa kesesatan umum yang harus anda perhatikan tatkala menulis lembar mawas adalah: berargumen ad hoc (dari contoh tunggal), ad antiquitatem (dari tradisi), ad novutatem (dari kebaruan), ad baculum (dengan memanfaatkan kekuatan), atau ad hominem (dengan memanfaatkan kelemahan pribadi pihak lawan atau pihak lain yang menerima simpulan yang sama); dengan mengalihkan ?tanggung jawab pembuktian? (yakni mengklaim pandangan diri sendiri benar selama tidak ada yang membuktikannya salah); dengan mengecoh (yaitu menggunakan satu kata dengan dua cara yang berbeda tanpa menunjukkan perbedaannya); menyerang ?versi pandangan lawan yang lemah, yang mudah dibuktikan kesalahannya); ?mengundang pertanyaan? dengan menganggap benar hal yang ingin anda buktikan—dan masih banyak lagi, nyaris tak terbatas. Akan tetapi, sebagian filsuf terlalu gemar menjuluki sesat segala jenis kekeliruan berlogika, sehingga pencarian mereka terhadap kesesatan menjadi kesesatan sendiri. Ini terjadi manakala mereka menganggap bahwa penemuan suatu kesesatan merupakan alasan yang mencukupi untuk menyalahkan atau meremehkan simpulan argumennya, dan karenanya mereka menolak untuk mempertimbangkannya lebih lanjut. Memperlakukan kesasatan dengan cara itu sama dengan melakukan sesuatu yang saya sebut (dengan sengaja bereksperimen dengan sedikit mengacu-diri) ?kesesatan perihal kesesatan? (the fallacy fallacy)! dengan kata lain, sesatlah penyimpulan dari fakta bahwa bila suatu argumen mengandung kesesatan, maka simpulannya pasti tidak benar. Hal itu bisa saya gambarkan dengan sebuah contoh sederhana. Jika saya katakan ?Sejarah dan filsafat tidak mempunyai kesamaan sama sekali; anda sejarahwan dan saya filsuf; karena itu, kita tidak mempunyai minat yang sama?, maka argumen saya menyesatkan. Walaupun dua pernyataan (yang disebut ?premis?) pertama keduanya benar, keduanya tidak mesti menyiratkan pernyataan ketiga, karena anda dan saya barangkali memiliki suatu kesamaan yang tidak berkaitan dengan sejarah atau filsafat. Di sisi lain, meskipun satu atau dua premis tersebut salah, simpulannya mungkin benar: sejarah dan filsafat mungkin bertalian erat dalam hal-hal tertentu, atau anda mungkin mengkaji kimia, bukan sejarah; namun kita barangkali tidak memiliki minat yang sama. Logika pada hakikatnya tidak mampu memberi tahu kita apakah salah satu atau kedua skenario itu pada kenyataannya benar; yang bisa dilakukan hanyalah memberi tahu kita kondisi tertentu [sedemikian rupa sehingga] kebenaran klaim tertentu bisa diperagakan. Oleh sebab itu, sesatlah asumsi bahwa simpulan argumen saya niscaya tidak benar karena argumen saya mengandung kesesatan. Para logikawan terkadang memahami hal itu dengan mengatakan logika lebih terkait dengan ?kebenaran formal? daripada ?kebenaran material?. Kebenaran material proposisi adalah fakta eksternal khas yang menyebabkan proposisi itu benar atau salah. Jadi, jika kita ingin memperagakan kebenaran material pernyataan ?Kapur tulis ini putih?, maka jalan terbaiknya bagi saya hanyalah memegangnya seperti ini, sehingga kalian semua bisa melihat bahwa ini putih. Proposisi itu benar bila ternyata kapur tulis di tangan saya ini pada kenyataannya memang putih. Sebaliknya, kebenaran formal proposisi adalah ungkapan internal umum. Dengan ?internal? saya bermaksud bahwa, tanpa keluar dari proposisi itu sendiri, kita dapat menentukan nilai kebenaran formalnya. Sebagai contoh, mari kita ambil proposisi kompleks ?Jika kapur tulis ini sepenuhnya putih, maka ini bukan biru?. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa, tanpa melihat kapur tulis sama sekali, kita mengetahui bahwa jika proposisi pertama benar, maka benar pula proposisi kedua. Kebenaran formal proposisi tidak bergantung sama sekali pada makna khas kata-kata yang dipakai dalam proposisi itu. Namun bagaimanapun, kita mengetahui nilai kebenaran setiap bagiannya. Karena alasan ini, logikawan acapkali mendapatkan manfaat dari penggantian kata-kata dalam suatu proposisi dengan simbol-simbol. Karena simbol itu hanya melambangkan sifat umum atau formal setiap kata, simbol itu mempermudah kita dalam melihat lebih jauh isi khasnya dan melihat struktur logis yang melandasi proposisi. Jadi, tujuan ideal sebagian logikawan adalah mengembangkan logika simbolik lengkap yang bisa berfungsi, secara agak ironis, sebagai bahasa tanpa kata (yakni logika tanpa logoi). Contohnya, proposisi ?Jika ... maka ...? tersebut di atas bisa diungkapkan dengan menggantikan ?kapur tulis ini? dengan ?a?, ?sepenuhnya putih? dengan ?w?, ?tidak? dengan ?-?, dan ?biru? dengan ?-w? (yakni ?tidak putih?), sehingga struktur formal proposisi itu menjadi jelas: proposisi ?Jika a adalah w, maka a adalah –(-w)? selalu merupakan proposisi yang benar, apa pun kata-kata yang kita pakai untuk menggantikan simbol-simbol itu. Begitu banyaknya simbol-simbol dalam buku-buku-ajar logika, mungkin lebih daripada yang lain, menakutkan bagi mahasiswa-mahasiswa pemula sampai-sampai mereka lari dari logika. Namun seperti bahasa baru yang mana saja, selekas kita pelajari cara pakai simbol-simbol itu, berlalulah kecanggungan dan kebingungan awal. Dalam matakuliah ini, saya akan memperkenalkan kepada kalian simbol-simbol logika beberapa gelintir saja. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan pandangan-pandangan anda yang berwawasan luas mengenai hakikat logika, saya banyak berharap agar sebagian dari kalian akan cukup tertarik untuk benar-benar membaca sendiri lebih lanjut bacaan-bacaan di bidang logika simbolik. Kepentingan saya di delapan kuliah mendatang adalah membantu anda dalam memperdalam wawasan anda ke dalam logika itu sendiri pada aktualnya. 11. Dua Jenis Logika Saya mau memulai kuliah ini dengan melihat contoh khas tentang bagaimana logika bisa membantu kita dalam melihat hubungan formal antara kata-kata dan dalam melihat nilai kebenaran proposisi yang tersusun oleh kata-kata [yang saling berhubungan secara formal] itu. Nilai kebenaran proposisi, sebagaimana paparan saya di kuliah yang lalu, sangat berbeda dengan kebenaran material aktualnya. Ini mengacu pada kebenaran atau kesesatan proposisi yang akan dimiliki dalam segala perangkat kondisi yang ada. Jadi, kita bisa menemukan nilai kebenaran tanpa mengetahui sama sekali isi aktualnya, asalkan kita tahu jenis proposisinya. Salah satu cara melakukannya adalah menyusun sesuatu yang disebut ?tabel kebenaran? proposisi. Mari kita ambil contoh proposisi: ?Jika anda membaca Bacaan Anjuran, maka anda akan berhasil di pengujian akhir.? (Pada aktualnya, saya lebih suka tidak memberi uji tulis—atau nilai apa pun mengenai materinya—karena hampir mustahil menilai seberapa banyak filsafat hakiki yang anda serap hanya dengan memberlakukan tes konvensional. Matakuliah ini tidak bermaksud mengajari anda mengenai filsafat—yang bisa diuji dengan mudah—tetapi mengajari anda berfilsafat. Namun demikian, universitas menghajatkan dosen untuk ?menilai? mahasiswa mereka; jadi, mari kita manfaatkan logika untuk mengingatkan kita sendiri tentang salah satu cara yang baik untuk mengupayakan nilai yang tinggi, bila anda membaca Bacaan Anjuran sebagai bagian dari matakuliah yang dinilai.) Langkah pertama dalam menyusun tabel kebenaran adalah mereduksi proposisi yang dibicarakan ke bentuk logisnya yang tersederhana. Dalam hal ini, kita dapat menggantikan ?anda membaca Bacaan Anjuran? dengan p dan ?anda akan berhasil di pengujian akhir? dengan q, yang memberi kita proposisi ?Jika p, maka q?. Ini bisa diungkapkan seluruhnya dengan simbol-simbol sebagai ?p ? q?, yang di sini tanda anak panah berarti ?menyiratkan? (yang secara logis sama dengan ?Jika..., maka...?). Langkah kedua adalah menggantikan setiap variabel dengan semua kemungkinan kombinasi, yakni ?B? (?benar?) dan ?S? (?salah?), dan, terhadap setiap kombinasi, menentukan apakah proposisi hasilnya benar ataukah salah. Lalu huruf yang tepat (B atau S) dituliskan di kolom terkanan, seperti di Gambar IV.1a. Jika benar bahwa ?anda membaca Bacaan Anjuran?, maka, sebagaimana suratan tabel kebenarannya, proposisinya secara logis akan benar hanya jika anda lulus uji. Sebaliknya, jika pernyataan p salah, maka proposisinya secara logis akan benar, tidak peduli apakah q benar ataukah salah. Alasan hasil yang agak mengejutkan ini bisa dilihat dengan lebih terang jika kita mengubah proposisi tersebut menjadi proposisi ekuivalennya, ?... atau ...?. Jika p betul-betul menyiratkan q, maka q benar atau p salah. Karena kebenaran p menyiratkan kebenaran q, kesalahan q menyiratkan kesalahan p. Itu berarti ?p ? q? sama dengan ?-p v q? (yakni –p atau q). Dengan menyusun satu tabel kebenaran baru, seperti dalam Gambar IV.1b, kini kita dapati bahwa baris kedua adalah satu-satunya yang kedua pilihannya salah; tiga proposisi lainnya masing-masing mempunyai sekurang-kurangnya satu opsi yang benar, sehingga keseluruhan proposisi ini bisa dinilai benar. (Perhatikan bahwa kolom pertama di Gambar IV.1a mengandung nilai yang berlawanan dengan yang terdapat pada Gambar IV.1b, karena yang pertama merupakan fungsi p, sedangkan yang kedua merupakan fungsi –p.) p ? q nilai -p v q nilai kebenaran kebenaran B B B S B B B S S S S S S B B B B B S S B B S B (a) “Jika ..., maka ...” (b) “... atau ...” Gambar IV.1: Dua Tabel Kebenaran Kesadaran akan nilai kebenaran berbagai tipe proposisi bisa menjauhkan kita dari ketololan penggunaan argumen yang berupaya membuktikan sesuatu dengan memprasyaratkan p yang salah. Karena keseluruhan proposisi tersebut pada formalnya benar tanpa mempedulikan kebenaran atau kesalahan q, kita dapat memakai argumen semacam ini untuk ?membuktikan? kebenaran sesuatu yang sebetulnya salah. Contohnya, bila saya ingin membuat saya sendiri terlihat sebagai dosen favorit kalian, maka saya dapat berargumen: ?Jika anda Gubernur Hong Kong, maka saya dosen favorit anda!?. Karena premisnya salah (karena tak satu pun dari kalian Gubernur), proposisi tersebut benar entah saya sebetulnya dosen favorit kalian entah bukan! Itu sama saja dengan mengatakan: ?Anda bukan Gubernur Hongkong atau saya dosen favorit anda?. Jadi, bila menghadapi proposisi yang p-nya salah, pastikan selalu ingat bahwa sesatlah penyimpulan dari nilai kebenaran proposisi keseluruhannya bahwa q sebetulnya benar. Nah, mari kita bayangkan bahwa anda betul-betul membaca Bacaan Anjuran untuk kelas ini, tetapi anda gagal total dalam pengujian. Jika proposisi tersebut yang bentuknya terurai di Gambar IV.1a sebetulnya benar, maka anda bisa sampai pada argumen dari logika saja bahwa anda akan lulus matakuliah ini. Sebagai misal, anda dapat mengingatkan saya bahwa proposisi yang saya nyatakan di awal kuliah ini setara dengan proposisi lain: ?Anda tidak membaca Bacaan Anjuran atau lulus ujian anda?. Nilai kebenaran proposisi ini, seperti yang tampak di Gambar IV.1b, mensyaratkan bahwa supaya ini benar, sekurang-kurangnya satu dari dua bagian harus benar. Karenanya, jika -p (?anda tidak membaca Bacaan Anjuran?) salah, dan jika proposisi orisinal saya benar, maka seperti yang ditunjukkan pada tabel kebenaran, q (?lulus ujian anda?) pasti benar. Jadi, jangan sekali-kali mengatakan logika terlalu abstrak untuk memiliki nilai praktis! Pada prinsipnya, tabel-tabel semacam itu bisa disusun untuk proposisi apa pun, walau akan menjadi sangat tidak praktis untuk proposisi yang mengandung banyak unsur diskrit. Demi maksud kita, contoh-contoh sederhana itu cukup memadai. Di beberapa kuliah mendatang kita akan menjumpai beberapa pola yang agak mirip dengan yang terpakai di tabel-tabel kebenaran semacam itu. Namun sekarang sampai jam kuliah ini berakhir, saya ingin berfokus pada satu perbedaan yang menurut saya terpenting dalam logika: yakni perbedaan antara ?analisis? dan ?sintesis?. Saya tidak akan mengemukakan definisinya yang universal, tetapi akan menjelaskan bagaimana keduanya bisa diterapkan pada tiga pembedaan inti: yaitu pembedaan antara metode-metode argumentasi, tipe-tipe proposisi, dan jenis-jenis logika. Pembedaan metode argumentasi antara yang analitik dan yang sintetik biasanya lebih dikenal sebagai pembedaan antara ?deduksi? dan ?induksi?. Deduksi adalah argumentasi yang berawal dengan penempatan dua proposisi atau lebih, yang disebut ?premis?, yang memprasyaratkan kebenaran [premis] yang bersangkutan. Lalu suatu simpulan ditarik yang disyaratkan menuruti premis-premis itu dengan niscaya. Itulah pola dasar deduksi dengan tiga langkah, yang disebut ?silogisme?. Yang paling umum di antara semua itu adalah silogisme ?kategoris?. Contoh-baku tipe silogisme itu adalah yang dipakai oleh Sokrates untuk meyakinkan kawan-kawannya agar tidak mengkhawatirkan kematiannya yang menjelang, karena kematian tak terelakkan. Silogisme tersebut kelihatannya seperti berikut ini: Semua manusia adalah fana. Sokrates adalah manusia. ? Sokrates adalah fana. (Simbol ??? berarti ?karena itu?.) Dalam hal ini, proposisi pertama (atau ?premis mayor?) mengajukan asumsi universal; proposisi kedua (atau ?premis minor?) mengajukan batu ujian tertentu; dan proposisi ketiga, tentu saja, menarik kesimpulan (?kategoris?) yang niscaya, yang disebut juga ?inferensi?. Satu-satunya jalan pembuktian kesalahan simpulan adalah [pembuktian] bahwa salah satu premisnya salah, kecuali tentu saja bila hubungan formal antara sebutan-sebutan (terms) di dalam proposisi-proposisi itu berada di jalan yang menyesatkan. Salah satu cara yang baik untuk menguji apakah sebutan-sebutan dalam suatu deduksi mengandung kesesatan ataukah tidak adalah mengubah proposisi-proposisi itu menjadi serangkaian simbol-simbol logis yang bersesuaian. Dalam contoh di atas, yang biasanya dikenal sebagai ?implikasi universal? (lantaran pemakaian kata ?semua?), kata-kata itu secara khas diubah menjadi simbol-simbol seperti berikut ini: Semua m adalah f. S adalah m. ? S adalah f. Selama mengenai logika formal, kesahihan silogisme itu masih sama persis, entah ?m? menunjuk pada manusia entah pada monyet, entah ?f? menunjuk pada fana entah pada fasih, dan entah ?S? menunjuk pada ?Sokrates? entah pada Sinterklas! Namun ingat: pembuktian kesahihan argumen masih bermasalah perihal apakah premis-premis itu pada aktualnya benar ataukah tidak. (Kata-kata lain, yaitu ?semua?, ?adalah?, dan sebagainya pun bisa diubah menjadi simbol-simbol—tetapi saya tidak ingin membuat anda takut terhadap logika pada tahap dini ini!) Salah satu bantuan penting lain bagi siapa saja yang hendak merambah struktur formal segala argumen deduktif telah tersedia lebih dari duaribu tahun yang lalu oleh Aristoteles, pendiri logika formal. Ia menyusun suatu sistem yang sedikit-banyak lengkap perihal semua kemungkinan bentuk argumen deduktif. Sampai awal abad keduapuluh, kurang-lebih semua filsuf menghargai bahwa sistem tersebut memberi catatan yang tak tertandingi tentang semua proposisi-dasar logika-formal. Tiada keraguan, hal itu membuat Aristoteles memperoleh penghargaan atas pengajuan sebuah kontribusi yang diakui paling universal dan bertahan paling lama yang pernah dibuat untuk filsafat. Akan tetapi, demi maksud kita, tidak perlu dipelajari [di sini] semua rincian sistem Aristoteles, terutama karena ide-idenya tergantikan dalam banyak hal selama seabad ini. Yang lebih signifikan di sini adalah bahwa deduksi bukan satu-satunya bentuk argumen filosofis yang tenar. Metode analitik ini didampingi oleh metode sintetik yang sama-sama signifikan. Metode yang belakangan ini, yang disebut induksi, menghajatkan kita untuk berawal dengan memanfaatkan berbagai fakta material yang, dengan diambil bersamaan, menunjuk pada simpulan yang diinginkan. Dengan kata lain, berlawanan dengan kebutuhan pengaturan deduksi yang sahih, induksi selalu melibatkan dugaan. Artinya, dengan meminjam peristilahan Kant (lihat Kuliah 7), kita dapat menyatakan bahwa deduksi masih sepenuhnya berada di dalam dunia konsep, sedangkan induksi perlu juga memanfaatkan intuisi. Barangkali sebuah contoh akan turut menerangi perbedaan itu. Mari kita misalkan bahwa kita ingin membuktikan bahwa proposisi ?Matahari selalu terbit di timur? adalah benar. Untuk mereduksi kebenaran pernyataan itu, kita perlu mendapatkan sekurang-kurangnya dua asumsi yang benar yang, dengan diambil bersamaan, mengharuskan penyimpulan semacam itu. Untuk contoh, kita bisa memilih yang berikut ini: Semua planet berputar mengelilingi suatu bintang dengan cara sedemikian rupa sehingga bintang itu pada penampakannya selalu terbit di cakrawala timur planet yang bersangkutan. Bumi adalah planet dan matahari adalah bintang. ? Matahari selalu terbit di timur. Di sisi lain, agar sampai pada simpulan yang sama dengan itu dengan induksi, kita perlu berargumen dengan cara seperti berikut ini: Ayahku berkata bahwa di hari pertama ia lihat matahari terbit, terbitnya di timur. Ibuku berkata bahwa matahari terbit di timur pada hari kelahiranku. Pada hari pertama aku lihat matahari terbit seingatku, terbitnya di timur. Pekan lalu, aku bangun awal dan melihat matahari terbit di timur. Kemarin aku mengalami hal yang sama. Aku belum pernah mendengar orang berkata bahwa ia pernah melihat matahari terbit di utara, selatan, atau pun barat. ? Matahari selalu terbit di timur. Di Kuliah 21 kita akan sampai pada persoalan apakah dengan induksi kita mampu mencapai kebenaran yang niscaya ataukah tidak mampu. Namun saat ini saya hanya mencoba melukiskan perbedaan antara induksi dan deduksi. Istilah ?analisis? dan ?sintesis?, sebagai label pembedaan metode argumentasi antara yang deduktif dan induktif, setidak-tidaknya sama tuanya dengan Euklides. Dalam Elements-nya, Euklides menerangkan sejelas-jelasnya bahwa dua metode ini sebaiknya tidak dipahami sebagai saling terpisah, tetapi saling melengkapi. Metodenya memperlihatkan ketepatan teorema-teorema geometrisnya dengan mula-mula menggunakan metode argumentasi analitik (deduktif), dan kemudian mendukung simpulannya dengan penalaran sintetik (induktif). Dengan mengikuti arahannya, kita dapat menggambarkan ?arah-arah? berkebalikan yang diikuti oleh dua metode ini sebagaimana anak panah yang menunjukkan jalan-jalan yang berseberangan. Kunci: C = simpulan A = asumsi E = bukti empiris (a) Deduksi (b) Induksi Gambar IV.2: Dua Metode Argumentasi Proses praktis penyusunan deduksi (berlawanan dengan bentuk tertulisnya) berawal dengan perumusan suatu simpulan, lalu pembuktiannya dengan pencarian dua, atau lebih, asumsi yang benar yang bisa berfungsi sebagai landasannya, sedangkan proses induksi berawal dengan pengumpulan potongan-potongan bukti empiris, lalu ini digunakan sebagai landasan untuk menarik kesimpulan. Seperti yang saya sebut tadi, istilah ?analitik? dan ?sintetik? telah dipakai oleh filsuf-filsuf dengan berbagai cara yang cukup berlainan. Dalam waktu yang lama, cara yang pada umumnya diterima pemakaiannya untuk menunjukkan dua metode argumentasi adalah cara penggunaan istilah-istilah ala Euklides. Namun Kant mengembangkan cara-baru penggunaan istilah-istilah tersebut, yang dengan demikian menunjukkan dua tipe proposisi yang berlainan. Menurut Kant, proposisi adalah analitik jika subyeknya ?terkandung di dalam? predikatnya, sedangkan yang sintetik adalah yang subyeknya berada ?di luar? predikatnya. Jadi, sebagai misal, [proposisi] ?Merah adalah warna? adalah analitik, karena konsep ?merah? telah termasuk sebagai salah satu unsur konsep ?warna?. Secara demikian, [proposisi] ?Kapur tulis ini putih? adalah sintetik, karena anda tidak akan tahu bahwa benda yang saya pegang di tangan saya ini kapur tulis jika saya hanya memberitahu anda bahwa kapur tulis ini putih. Dengan memakai dua contoh itu, kita dapat menggambarkan deskripsi-awal Kant tentang perbedaan tersebut dengan alat yang berupa dua peta yang tampak di Gambar IV.3. warna benda putih kapur tulis putih merah kapur tulis (a) ?Merah adalah warna.? (b) ?Kapur tulis ini putih.? Gambar IV.3: Proposisi Analitik dan Sintetik Kant juga memberi beberapa pedoman lain yang lebih ketat untuk menentukan apakah suatu proposisi adalah analitik ataukah sintetik. Kebenaran proposisi analitik selalu bisa diketahui melalui logika saja; jadi, jika makna kata-kata sudah kita ketahui, proposisi ini tidak informatif. Proposisi analitik menjelaskan-sendiri. Yang harus saya lakukan hanyalah mengatakan ?merah? dan kalian semua yang memahami makna kata ini akan segera tahu bahwa saya membicarakan warna. Jadi, seperti penyimpulan deduktif yang baik, kebenaran proposisi analitik bersifat konseptual murni dan, karenanya, niscaya. Sebaliknya, kebenaran proposisi sintetik mensyaratkan pemanfaatan sesuatu yang lebih dari sekadar konsep. Seperti argumen induktif, pada proposisi sintetik terdapat pemanfaatan intuisi—yaitu keadaan faktual obyek. Akibatnya, proposisi sintetik selalu informatif, dan kebenaran simpulannya tergantung pada keadaan obyek yang terus-menerus eksis. Bila saya beritahu anda bahwa sepotong kapur tulis yang tersembunyi di genggaman tangan saya ini putih, kebenaran pernyataan saya tergantung pada apakah saya agak mengelabui anda dengan menyulapnya ke saku saya, atau menggantinya dengan sepotong kapur tulis biru dan sebagainya, ataukah tidak. Saya harap anda akan menguji-coba beberapa proposisi sederhana anda sendiri untuk mengetes penangkapan anda terhadap perbedaan antara proposisi analitik dan sintetik itu. Dewasa ini sebagian filsuf mengira bahwa terdapat begitu banyak proposisi yang sulit untuk dinyatakan sebagai analitik atau sebagai sintetik sehingga keseluruhan pembedaannya sia-sia. Akan tetapi, saya yakin ?kawasan abu-abu? sedemikian itu hanya menimbulkan masalah bila kita lalai untuk melihat konteks proposisi, atau bila kita lalai untuk menerapkan setiap pedoman Kant dengan kehati-hatian yang memadai. Namun bagaimanapun, itu bukan persoalan yang bisa kita pecahkan di kuliah pengantar semacam ini. Alih-alih, saya hanya menyebut di sini bahwa Kant mengkombinasikan pembedaan antara proposisi (atau ?penimbangan?, seperti yang juga ia sebut) analitik dan sintetik dengan suatu pembedaan lain, antara jenis pengetahuan ?apriori? dan ?aposteriori?. ?Apriori? mengacu pada sesuatu yang bisa diketahui kebenarannya tanpa memanfaatkan pengalaman; sebaliknya, sesuatu adalah ?aposteriori? jika peragaan kebenarannya mensyaratkan pemanfaatan pengalaman. Itu menghasilkan empat kemungkinan jenis pengetahuan, dua di antaranya non-kontroversial: pengetahuan analitik apriori yang secara sederhana adalah pengetahuan logis, dan pengetahuan sintetik aposteriori yang secara sederhana adalah pengetahuan empiris. Kant yakin, tidak ada pengetahuan analitik aposteriori; namun bagaimanapun, saya kemukakan bahwa istilah ini pada aktualnya memerikan suatu kategori epistemologis yang amat penting, walau sering disepelekan. Saya telah mempertahankan pandangan ini secara panjang-lebar di tempat lain (lihat APK dan KSP 129-140), sehingga di sini saya hanya akan menegaskan bahwa mengklasifikasikan keyakinan hipotetis mengenai alam dengan cara ini bisa menjadi pekerjaan yang penting sekali untuk menyelamatkan penampakan, baik supaya tidak dipahami dengan bangga sebagai realitas hakiki atau pun supaya tidak dibuang lantaran diakui sebagai penampakan belaka. Kelompok pengetahuan sintetik apriori banyak menarik perhatian Kant; ia menyatakan bahwa semua pengetahuan transendental bertipe ini. Karenanya, ia mengatakan bahwa pertanyaan ?Bagaimana penimbangan sintetik itu apriori?? merupakan pertanyaan sentral semua filsafat Kritis. Walaupun kita tak punya waktu untuk membahas seluk-beluk klasifikasi logika yang berlainan itu, anda sebaiknya berusaha memahami kesalingterkaitannya, seperti yang tampak di peta berikut ini: keyakinan hipotesis (analitik aposteriori) pengetahuan empiris pengetahuan transendental (sintetik aposteriori) (sintetik apriori) pengetahuan logis (analitik apriori) Gambar IV.4: Empat Perspektif Pengetahuan Saya hendak mengakhiri jam kuliah ini dengan memperkenalkan cara ketiga perihal penggunaan istilah ?analitik? dan ?sintetik?. Sepengetahuan saya, kalian tidak akan menemukan penggunaan istilah-istilah itu secara ini di buku-ajar logika mana pun. Padahal ini merupakan tambahan yang berfaedah terhadap cara pakainya di masa lalu. Saya rasa pemakaian istilah-istilah itu sangat bermanfaat untuk memperbedakan antara dua jenis logika. ?Logika analitik? adalah seluruh tubuh logika yang didasarkan pada prinsip-prinsip penalaran yang disusun oleh Aristoteles. Prinsipnya yang paling mendasar adalah hukum yang [biasanya] disebut ?hukum kontradiksi?. Akan tetapi, karena alasan yang akan menjadi jelas nanti, saya sarankan kita menyebutnya ?hukum non-kontradiksi?, terutama karena prinsip ini memberi tahu kita bagaimana kita bisa menghindari kontradiksi-diri. Aristoteles menyatakan hukum ini di Categories dengan mengatakan bahwa suatu benda tidak mungkin ?sesuatu? dan sekaligus ?bukan sesuatu itu? dalam hal yang sama pada waktu yang sama. Dengan kata lain, mustahil bagi suatu benda untuk menjadi hitam dan sekaligus putih, ?A? dan sekaligus ?-A?, dan sebagainya. Ungkapan simbolik tersederhana hukum ini adalah: ?A bukan –A? atau ?A ? -A? Pengaruh besar hukum ini terhadap filsafat selama duaribu tigaratus tahun ini sangat menonjol. Padanya didasarkan hampir semua argumen yang telah diajukan oleh filsuf-filsuf Barat. Lagipula, kita takkan mampu berkomunikasi satu sama lain tanpa mengasumsikan bahwa bila kita menggunakan suatu kata, kita ingin penyimak kita memikirkan benda yang diacu oleh kata itu, dan bukan lawannya! Deduksi dan proposisi analitik adalah dua aspek dari logika analitik. Di kedua kasus itu, seperti yang telah kita perhatikan, keduanya dipasangkan dengan fungsi sintetik komplementernya: induksi dan proposisi sintetik. Hal ini mencuatkan pertanyaan yang amat penting: Ada jugakah bentuk komplementer logika itu sendiri, yang setara dan berlawanan dengan logika analitik, yang darinya fungsi logis non-analitis ini dan lain-lain timbul? Jika ya, adakah hukum yang mengatur logika alternatif ini? Melalui dua pertanyaan itu, saya harap kalian semua memikirkannya sendiri antara sekarang dan saat jam kuliah mendatang. Lalu saya hendak memulai kuliah mendatang dengan menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. 12. Logika Sintetik Pada akhir kuliah yang lalu, saya meminta anda memikirkan dua pertanyaan: Mesti kita sebut apakah lawan dari logika ?analitik? tradisional? Pada hukum apakah logika semacam itu akan didasarkan? Barangsiapa di antara kalian yang telah membaca kerangka kuliah untuk matakuliah ini (lihat ?Daftar Kuliah?) akan mudah menduga bahwa istilah yang saya pikir terbaik untuk memerikan jenis logika yang mengatur fungsi-fungsi seperti induksi dan proposisi sintetik adalah ?logika sintetik?. Namun anda mungkin telah mengalami sedikit-banyak kesulitan untuk memikirkan hukum yang terletak berdampingan dengan ?hukum non-kontradiksi? Aristoteles. Jadi, mari kita mulai kuliah ini dengan menetapkan hukum semacam itu. Menemukan hukum dasar logika sintetik tidak harus menjadi tugas sulit; logika analitik dan sintetik selalu berfungsi dengan cara yang berlawanan, sehingga yang harus kita lakukan hanyalah menentukan lawan dari hukum ?A?-A? yang terkenal dari Aristoteles. Ada dua cara untuk melakukan ini. Kita bisa mengubah ??? menjadi ?=? atau mengubah ?-A? menjadi ?A?. Dengan cara ini, kita melahirkan dua hukum berikut ini: ?A = –A? atau ?A ? A? Saya sarankan, kita sebut hukum baru yang pertama itu ?hukum kontradiksi?, karena memperlihatkan bentuk bawaan kontradiktif yang diikuti dengan apa saja yang berfungsi dengan cara ?sintetik?. Adapun hukum baru yang kedua pada aktualnya merupakan lawan dari suatu hukum analitik yang agak membosankan, yang biasanya disebut ?hukum identitas?. Ini memberi kita empat serangkai hukum dasar logika: kontradiksi (A=-A) logika sintetik non-identitas identitas (A?A) (A=A) logika analitik non-kontradiksi (A?-A) Gambar IV.5: Empat Hukum Dasar Logika Tentu saja, hukum-hukum logika sintetik memerlukan beberapa penjelasan. Bagaimana mungkin kontradiksi atau pun non-identitas menjadi landasan penyusunan proposisi yang maknawi? Komputer, misalnya, takkan berfungsi jika diprogram dengan menggunakan logika sintetik dan bukan logika analitik. Mengusahakannya adalah laksana mencoba menghidupkan komputer tatkala direndam di dalam air: [sistem] keseluruhannya akan korsleting! Lantas, logika sintetik membicarakan apa, sih? Apa artinya sesekali membuat pernyataan ?Hitam adalah bukan hitam?, misalnya? Untungnya, kendati begitu banyak kemajuan yang kita saksikan di bidang teknologi komputer selama 1990-an, pemikiran manusia masih mengungguli pemikiran dari komputer terbaik. Walau dengan operasi analitik komputer kecil pun [yakni kalkulator] bisa berpikir lebih cepat dan cermat daripada otak manusia yang paling maju, komputer tidak mampu melaksanakan operasi yang pada dasarnya sintetik. Untuk mengetahui bagaimana logika sintetik dapat memiliki aplikasi yang maknawi, mari kita lihat beberapa contoh. Di samping Confucius, salah seorang filsuf Cina kuno yang paling berpengaruh ialah Chuang Tzu (± 369-286 S.M.). Sepengetahuan kita, ia tidak banyak menulis; namun yang ia tulis tersaji dengan baik di koleksi 33 esai singkatnya. Esai yang paling menarik adalah yang memanfaatkan logika sintetik hampir di semua halaman. Bahkan judulnya, ?Pembahasan tentang Penyetaraan Segala Hal?, menyiratkan bahwa salah satu tujuan utama Chuang Tzu adalah mendorong kita untuk secepatnya lari dari cara pikir ?hitam-putih? kita sehari-hari, dengan memberi kita isyarat tentang seperti apakah dunia ini terlihat jika kita mulai mensintesis (?menyetarakan?) segala macam hal yang berlawanan. Salah satu alineanya secara khas merupakan kutipan yang berharga sepenuhnya: Everything has its "that", everything has its "this". From the point of view of "that" you cannot see it, but through understanding you can know it. So I say, "that" comes out of "this" and "this" depends on "that"--which is to say that "this" and "that" give birth to each other. But where there is birth there must be death; where there is death there must be birth. Where there is acceptability there must be unacceptability. Where there is recognition of right there must be recognition of wrong; where there is recognition of wrong there must be recognition of right. (CTBW 34-35) (Segala sesuatu mempunyai ?itu?-nya, segala sesuatu mempunyai ?ini?-nya. Dari sudut pandang ?itu? anda tidak dapat melihatnya, tetapi melalui pemahaman anda bisa mengetahuinya. Jadi, saya katakan, ?itu? berasal dari ?ini? dan ?ini? bergantung pada ?itu?—dengan kata lain, ?ini? dan ?itu? satu sama lain saling melahirkan. Namun setiap kelahiran pasti ada kematian; setiap ada kematian pasti ada kelahiran. Setiap ada keberterimaan pasti ada ketidakberterimaan. Setiap ada pengakuan kebenaran pasti ada pengakuan kesalahan; setiap ada pengakuan kesalahan pasti ada pengakuan kebenaran.) (CTBW 34-35) Sejauh ini, Chuang Tzu hanya menunjukkan kebutuhan universal manusia untuk berpikir secara analitis. Ia memperhatikan, dengan cukup tepat, bahwa dalam hal-hal sedemikian itu, lawanan-lawanan itu pada aktualnya bergantung satu sama lain demi keberadaan masing-masing. Namun, ia lalu melanjutkan: Therefore the sage does not proceed in such a way, but illuminates all in the light of heaven. He too recognizes a "this", but a "this" which is also a "that", a "that" which is also a "this". His "that" has both a right and a wrong in it; his "this" too has both a right and a wrong in it. So, in fact, does he still have a "this" and a "that"? Or does he in fact no longer have a "this" and a "that"? A state in which "this" and "that" no longer find their opposites is called the hinge of the Way [i.e., of Tao]. When the hinge is fitted into the socket, it can respond endlessly. Its right then is a single endlessness and its wrong too is a single endlessness. So I say, the best thing to use is clarity. (CTBW 35) (Karenanya, sang alim tidak berproses secara demikian itu, tetapi menjernihkan semuanya dalam cerahnya langit. Ia pun mengakui ?ini?, tetapi ?ini? yang juga ?itu?, ?itu? yang ?ini? pula. ?Itu?-nya benar dan sekaligus salah di dalamnya; ?ini?-nya juga benar dan sekaligus salah di dalamnya. Jadi, pada kenyataannya, masihkah ia ?ini? dan ?itu?? Ataukah pada kenyataannya ia tidak lagi ?ini? dan ?itu?? Keadaan yang di dalamnya ?ini? dan ?itu? tidak lagi berlawanan disebut engsel Jalan [yakni Tao]. Bila engsel ini dipasangkan ke soketnya, responnya bisa tanpa-ujung. Maka kebenarannya adalah sebuah ketanpaujungan dan kesalahannya adalah juga sebuah ketanpaujungan. Jadi, saya nyatakan, yang sebaiknya digunakan adalah kejernihan.) (CTBW 35) Di sini Chuang Tzu menjelaskan bahwa jalan sang alim itu adalah mengikuti Tao (?Jalan? langit), dan bahwa Jalan ini bisa diungkapkan dengan kata-kata hanya dengan menggunakan bahasa-kontradiksi lawanan-lawanan yang disintesiskan: ?ini? dan ?itu? (padan kata Chuang Tzu untuk ?A? dan ?-A?) harus diidentifikasi dengan saling menyertai; lagipula, masing-masing harus dengan sendirinya mengandung sesuatu yang biasanya kita anggap kontradiktif: umpamanya, baik benar maupun salah, baik lahir maupun mati, dan sebagainya. Apakah kalian kira Chuang Tzu serius tatkala menulis itu, ataukah ia memaksudkannya untuk berkelakar belaka? Mengapa ia mengakhiri paragraf yang agak membingungkan itu dengan menekankan perlunya kejernihan? Maka (CTBW 37-38) ia mengatakan: ?Obor kekacauan dan kesangsian ... adalah kemudi sang alim... Inilah maksud penggunaan kejernihan.? Kemudian ia menyatakan akan ?membuat pernyataan? yang ?pas ke dalam beberapa kategori?, walau ia tidak yakin yang mana. Terusannya adalah serangkaian kontradiksi yang mencolok, semacam: ?Tidak ada di dunia ini yang lebih besar daripada sehelai rontokan rambut, dan gunung T‘ai adalah kecil. Tiada orang yang hidup lebih lama daripada bayi-mati, dan P‘eng-tsu mati muda.? Mungkinkah ia benar-benar memaksudkan kejernihan tatkala ia membuat pernyataan-pernyataan seganjil itu? Saya rasa Chuang Tzu tidak berkelakar—kendati kebenaran itu acapkali lucu. Ia juga mengungkapkan maksudnya dengan lebih lengkap ketika ia mengatakan: The Great Way is not named; Great Discriminations are not spoken; Great Benevolence is not benevolent; Great Modesty is not humble; Great Daring does not attack. If the Way is made clear, it is not the Way. If discriminations are put into words, they do not suffice.... (CTBW 39-40) (Jalan Agung itu tak bernama; Yang Mahakhas tak terucapkan; Yang Maha Pemurah tidak pemurah; Yang Maha Bersahaja tidak bersahaja; Yang Maha Berani tidak menyerang. Jika Jalan itu dibuat terang, itu bukan Jalan. Bila yang khas diletakkan dalam kata-kata, itu tidak memadai....) (CTBW 39-40) Tersirat bahwa pembicaraan dengan cara yang tidak jelas (atau paradoksis) dengan disengaja itu bertujuan mengarahkan hati dan benak kita melampaui alam pembedaan awam, yang cukup dengan logika analitik, ke suatu alam yang lebih dalam dan jauh lebih penting—suatu realitas yang tidak bisa dibicarakan dengan jelas dan benar dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, Chuang Tzu mengajarkan bahwa kekaburan logika sintetik adalah cara ungkap tergamblang kita sendiri jika kita harus memakai kata-kata untuk memaparkan sesuatu yang tak bisa terpapar. Kehidupan, yakni yang hakiki, pada aktualnya tidak terjadi di kotak kecil rapi yang dibuat oleh benak kita. Karenanya, kehidupan yang otentik adalah yang memandang melampaui tapal-tapal batas buatan ini: Right is not right; so is not so. If right were really right, it would differ so clearly from not right that there would be no need for argument. If so were really so, it would differ so clearly from not so that there would be no need for argument. Forget the years; forget distinctions. Leap into the boundless and make it your home! (CTBW 44) (Benar bukanlah benar; begitu bukanlah begitu. Jika benar betul-betul benar, itu jelas amat berbeda dengan yang tidak benar hingga takkan membutuhkan argumen. Lupakanlah waktu; lupakanlah kekhasan. Melompatlah ke dalam ketiadabatasan dan jadikanlah ini rumahmu!) (CTBW 44) Bila kita hanya berusaha membelenggu Chuang Tzu erat-erat dengan logika analitik, tiada pilihan lain bagi kita kecuali menyatakan dia gila. Akan tetapi, begitu kita akui bahwa tujuannya adalah memberi kita suatu pandangan sekilas tentang sesuatu yang melantas tapal batas logika analitik, kata-katanya mulai membawa sejenis makna baru. ?Kejernihan? yang ia sarankan bukanlah kejelasan pikiran (yakni pemikiran tentang apa yang kita ketahui), melainkan kejelasan pandangan (yakni pemandangan tentang apa yang masih misterius). Ironisnya, ia menggunakan kata-kata untuk menunjukkan pandangan ini kepada kita. Dalam melakukannya, ia akui bahwa ia dalam pengertian tertentu memalsukan Jalan yang benar—sekurang-kurangnya bagi siapa saja yang berfokus pada kata-katanya sebagai paparan maknanya secara harfiah tanpa berfokus pada sesuatu yang dituju oleh kata-katanya. Lalu yang kita temukan kala kita periksa kata-katanya adalah bahwa alat yang paling sering ia manfaatkan untuk melakukan penujuan adalah kontradiksi bersengaja. ?Benar bukanlah benar.? Adakah contoh yang bisa berfungsi dengan lebih baik pada hukum non-identitas (A?A)? ?=Ini‘ adalah =itu‘.? Adakah contoh yang bisa berfungsi dengan lebih baik pada hukum kontradiksi (A=-A)? Sementara logika analitik menawari kita kejelasan penglihatan (yakni keluasan pengetahuan), logika sintetik menawari kita kejelasan wawasan (yakni kedalaman pemahaman). Bila dimanfaatkan dengan tepat, kedua jenis logika itu tidak perlu dianggap bersaingan, tetapi seharusnya dipandang saling melengkapi, sebagaimana deduksi dan induksi yang bisa digunakan secara efektif sebagai metode-metode argumentasi yang saling melengkapi (atau bersifat komplementer). Salah satu cara terbaik untuk menggambarkan pertalian komplementer ini adalah mengaitkannya dengan pembedaan yang kita pelajari dari Kant, antara kawasan pengetahuan-nirmustahil dan kebebalan-niscaya, seperti dalam Gambar IV.6. Logika analitik bisa dipakai untuk menghasilkan pengetahuan kapan saja bilamana kita paparkan sesuatu yang terpikir di dalam tapal batas transendental (umpamanya, sesuatu yang dapat kita lihat). Akan tetapi, begitu kita pakai kata-kata untuk memerikan hal-hal yang terletak di luar tapal batas ini, logika analitik bukan hanya kehilangan dayapenjelasnya, melainkan sesungguhnya juga dapat menjerumuskan kita ke dalam penyimpulan yang menyesatkan. Alih-alih, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Chuang Tzu kepada kita dalam memaparkan Tao, bila berhadapan dengan persoalan yang tidak begitu kita ketahui dengan niscaya, kita bisa menemukan hal-hal yang kita yakini dengan memanfaatkan logika sintetik untuk memperoleh wawasan yang dibutuhkan untuk mendukung keyakinan-keyakinan itu. pengetahuan logika (bandingkan sintetik ?penglihatan?) tapal batas transendental logika keyakinan analitik (bandingkan ?wawasan?) Gambar IV.6: Ranah Analitik dan Sintetik Bukanlah kebetulan bahwa Chuang Tzu memandang ?melompat ke dalam ketiadabatasan? sebagai cara terbaik untuk memahami kebenaran logika sintetik. Lompatan ini, yang kadang-kadang disebut ?lompatan iman?, pada dasarnya merupakan lompatan dari sekadar memikirkan realitas terdalam (seperti dalam metafisika akademik) ke mengalaminya secara aktual. Namun ?pengalaman? di sini tidak mengacu pada pengetahuan empiris, tetapi pada sesuatu yang oleh Kant disebut ?intuisi?. Bagi Kant, daya intuisi kita adalah reseptivitas [yakni kemauan untuk menerima], yang berlawanan dengan ?konsepsi? yang merupakan spontanitas (lihat CPR 92). Secara demikian, lompatan Chuang Tzu pada aktualnya merupakan lompatan ke dalam Tao, ke dalam kepasifan berkeheningan yang disengaja. Aspek ?ketiadabatasan? itu akan menjadi fokus perhatian kita di Bagian Empat matakuliah ini. Untuk sekarang, cukup ditunjukkan bahwa logika analitik dn sintetik memberi kita dua perspektif komplementer: dengan menggunakan yang pertama, secara aktif kita memaksakan pembagian konseptual yang ketat pada alam; dengan menggunakan yang kedua, kita secara pasif menerima daya kesatuan intuitif dari alam. Karena kesatuan tersebut tidak bisa diungkap secara harfiah dengan kata-kata, logika sintetik hanya dapat dibicarakan dengan memandangnya sebagai parasit pada logika analitik, yang didasarkan pada penyangkalan hukum-hukum analitik. Adakah cara lain untuk mengungkap sesuatu yang tak bisa terungkap selain menyangkal hukum-hukum pengungkapan yang benar? Dengan tiadanya alternatif lain, logika sintetik tidk sepenuhnya bisa membunuh logika analitik tanpa membunuh diri sendiri! Karena itulah filsuf-filsuf yang baik mengakui bahwa kedua jenis logika itu merupakan perspektif filosofis yang sah dan, berupaya mengembangkan keduanya sebagai aspek-aspek integral fisafat mereka. Tradisi Barat mempunyai contoh baik yang relatif sedikit tentang bagaimana logika sintetik bisa diterapkan untuk membantu kita dalam menghadapi kebebalan kita akan realitas terdalam. Salah seorang filsuf Yunani kuno, yaitu Heraklitus, menyinggung logika sintetik dengan prinsipnya yang berwawasan luas bahwa ?Kebalikan adalah sama? (yakni ?A=-A?). Akan tetapi, beberapa tulisannya yang sampai kepada kita tidak banyak menolong perihal bagaimana menerapkan prinsip ini. Filsuf-filsuf lain mengembangkan bentuk-bentuk logika sintetik menjadi sistem-sistem yang jauh lebih rinci. Contoh terbaiknya, tentu saja, ialah Hegel (1770-1831), yang menyusun keseluruhan filsafat ?dialektis?-nya atas dasar prinsip bahwa perkembangan sejarah berlangsung menurut pola sintetik ?tesis?, ?antitesis?, dan ?sintetis? (lihat Gambar IV.7). Versi logika sintetik ini mencapai pengaruh terbesarnya pada zamannya dalam bentuk ?materialisme dialektis?—ideologi politik Karl Marx (1818-1883) yang, sebagaimana yang akan kita saksikan di Pekan IX, membalik pola sintetik Hegel. tesis sejarah sintesis antitesis Gambar IV.7: Metode Dialektis Hegel Salah satu contoh menarik lainnya datang dari The Mystical Theology karya seorang pendeta abad keempat yang memakai nama samaran ?Dionysius the Areopagite?. Dengan menunjukkan kesia-siaan upaya apa pun yang hendak memerikan realitas terdalam (yang disebut ?Ini? atau ?Nya?), ia menyimpulkan: Once more, ascending yet higher, we maintain that It is not soul or mind, or endowed with the faculty of imagination, conjecture, reason, or understanding; nor is It any act of reason or understanding; nor can It be described by the reason or perceived by the understanding, since It is not number or order or greatness or littleness or equality or inequality, and since It is not immovable nor in motion or at rest and has no power and is not power or light and does not live and is not life; nor is It personal essence or eternity or time; nor can It be grasped by the understanding, since It is not knowledge or truth; nor is It kingship or wisdom; nor is It one, nor is It unity, nor is It Godhead or Goodness ...; nor is It any other thing such as we or any other being can have knowledge of; nor does It belong to the category of nonexistence or to that of existence; nor do existent beings know It as it actually is, nor does It know them as they actually are; nor can the reason attain to It to name It or to know It; nor is It darkness, nor is It light or error or truth; nor can any affirmation or negation apply to It ..., inasmuch as It transcends all affirmation by being the perfect and unique Cause of all things, and transcends all negation by the preeminence of Its simple and absolute nature--free from every limitation and beyond them all. (MT V) (Sekali lagi, kendati dengan mendaki lebih tinggi, kami tetap yakin bahwa Ini bukan jiwa atau pun benak, atau dianugerahi bakat imajinasi, dugaan, akal, atau pun pemahaman; Ini bukan bilangan atau urutan, atau pun kehebatan atau kesepelean, atau pun kesetaraan atau ketimpangan, dan karena Ini bukan tak bisa digerakkan dan tidak bergerak dan tidak diam, dan tidak berdaya dan bukan kekuasaan atau keterangan, dan tidak hidup dan bukan kehidupan; Ini bukan esensi esensi personal atau pun keabadian atau waktu; Ini pun tidak bisa dimengerti oleh pikiran, karena ini bukan pengetahuan atau pun kebenaran; Ini bukan kerajaan atau pun kealiman; Ini bukan satu, Ini bukan kesatuan, Ini bukan Dewa Perdana atau pun Kebaikan...; Ini bukan hal apa pun yang bisa diketahui oleh kita atau oleh segala makhluk lain; Ini bukan kategori non-eksistensi atau pun kategori eksistensi; para yang-berada pun tidak mengetahui-Nya pada aktualnya, Ia pun tidak mengetahui mereka pada aktualnya; akal tidak bisa menjangkau-Nya untuk menamai-Nya atau mengetahui-Nya; Ini bukan kegelapan, Ini bukan cahaya atau pun salah atau benar; tidak satu pun penegasan atau penyangkalan bisa diterapkan pada-Nya..., karena Ini melampaui semua penegasan dengan menjadi Penyebab yang sempurna dan unik atas segala hal, dan melampaui semua penyangkalan dengan keunggulan sifat-Nya yang sederhana dan mutlak—bebas dari segala pembatasan dan melampaui segala pembatasan.) (MT V) Kutipan ini mengungkap keinsafan penuh, jauh sebelum Kant, akan fakta bahwa sedikit-banyak kita tidak bisa mengetahui realitas terdalam sama sekali. Namun jika kita bersikeras untuk menafsirkan kata-kata tersebut menurut hukum-hukum logika analitik, maka sebagian besar dari itu merupakan omong kosong! Bagaimana bisa, misalnya, sesuatu ?bukan tak bisa digerakkan dan tidak bergerak dan tidak diam?? Pernyataan-pernyataan semacam ini pasti tertolak lantaran jelas-jelas kontradiktif, sampai kita menyadari bahwa klaim-klaim tersebut harus ditafsirkan dengan logika sintetik; hal ini mengingat bahwa kontradiksi tersebut bisa mengarahkan kita ke wawasan-wawasan yang lebih mendalam mengenai Yang-Berada yang biasanya kita sebut ?Tuhan?. Walaupun jarang terdapat isyarat, sedikit sekalipun, tentang keberadaan logika sintetik di kebanyakan buku-ajar logika, ada beberapa gelintir cendekiawan di abad ini yang mengakui kebermaknaannya dan berupaya memaparkan cara kerjanya. Setahu saya belum ada yang secara menyeluruh mengkaji sesuatu yang sedikit-banyak merupakan jenis logika yang betul-betul khas; namun beberapa cendekiawan telah secara terbuka mengakui kemungkinan penggunaan hukum-hukum alternatif sebagai landasan bagi cara pakai kata-kata kita. Umpamanya, sebagian antropolog, dalam penelitian mereka tentang bagaimana orang-orang di masyarakat primitif berpikir, menyimpulkan bahwa otak mereka berjalan menurut suatu hukum yang terkadang mereka sebut ?hukum partisipasi? (yang berarti bahwa mereka memandang bahwa suatu konsep itu turut serta di dalam lawanannya). Beberapa cendekiawan lain pun menyarankan nama-nama lain untuk hukum yang saya sebut ?hukum kontradiksi?, semisal ?hukum paradoks?. Nama ini memiliki keunggulan yang menerangkan bahwa maksud sejati logika sintetik itu bukan menuturkan kontradiksi yang sia-sia, melainkan menerbangkan imajinasi kita ke titik penemuan perspektif-perspektif baru, yang dari sini kontradiksi-kontradiksi tajam itu bisa dicairkan. Jenis logika yang kita sebut alternatif itu dan hukum-hukum dasarnya hampir tidak sepenting pengetahuan tentang bagaimana kita menggunakannya. Dengan pikiran ini, saya akan membahas di Pekan V beberapa cara pakai logika sintetik yang sangat praktis untuk memperoleh wawasan. Untuk hari ini, mari kita berkesimpulan dengan meninjau kembali pelajaran kita sejauh ini mengenai logika, dengan menggunakan tabel yang terdapat pada Gambar IV.8. Analitik Sintetik Metode argumentasi deduksi induksi Tipe proposisi ?Merah adalah warna.? warna merah ?Kapurtulis ini putih.? benda putih kapurtulis putih kapurtulis Jenis logika Hukum Dasar Identitas: A=A Non-kontradiksi: A?-A Hukum Dasar Non-identitas: A?A Kontradiksi: A=-A IV.8 : Tiga Tipe Pembedaan Analitik-Sintetik Pada dasarnya ada dua tipe logika yang berlainan: [1] logika analitik muncul dari hukum identitas dan hukum non-kontradiksi; [2] logika sintetik muncul dari hukum-hukum kebalikannya, yaitu hukum non-identitas dan hukum kontradiksi. Logika analitik tepat untuk menerangkan segala sesuatu yang nirmustahil untuk kita ketahui, sedangkan logika sintetik tepat untuk menerangkan segala sesuatu yang mustahil untuk kita ketahui. Proposisi analitik adalah ungkapan logika analitik lantaran menyamakan dua konsep yang dalam pengertian tertentu keidentikannya telah diketahui; proposisi sintetik adalah ungkapan logika sintetik lantaran menyamakan dua hal yang pada dasarnya tidak identik—yakni konsep dan intuisi. Akhirnya, wujud logika analitik yang paling tepat adalah argumen deduktif, yang simpulannya mengikuti premis-premis sebagai persoalan kepastian matematis (yakni non-kontradiktif); wujud logika sintetik yang paling tepat adalah argumen induktif, yang simpulannya selalu bergantung pada beberapa proposisi dugaan (yaitu pada penegasan paradoksis tentang hal-hal yang tidak kita ketahui). Nah, dengan telah memperkenalkan kepada anda tiga pembedaan terdasar dalam logika, saya hendak mencurahkan kuliah-kuliah pekan depan untuk tugas penjelasan basis logis berbagai diagram yang saya manfaatkan di sepanjang buku-ajar ini. Lalu kita akan menyimpulkan Bagian Dua dengan melihat satu contoh aliran filosofis abad keduapuluh yang cenderung terlalu menekankan analisis dan satu contoh aliran lainnya yang terlalu menekankan sintesis, yang diikuti dengan aliran ketiga yang dapat dianggap sebagai upaya untuk mensintesis aspek-aspek pokok dua aliran pertama. Pertanyaan Perambah 1. A. Apakah kebenaran selalu benar? B. Apakah logika selalu logis? .............................. .............................. 2. A. Mungkinkah ada argumen yang analitik dan sekaligus sintetik? B. Mungkinkah ada proposisi yang tidak analitik dan sekaligus tidak sintetik? .............................. .............................. 3. A. Apa makna pernyataan bahwa benda yang eksis “tidak eksis”? B. Bagaimana mungkin suatu benda “hitam seluruhnya” dan sekaligus “putih seluruhnya”? .............................. .............................. 4. A. Bisakah sesorang pada aktualnya menjadikan “ketiadabatasan” sebagai rumahnya? B. Jenis logika apakah yang dipakai oleh Tuhan untuk berpikir? .............................. .............................. Bacaan Anjuran 1. Morris Cohen, A Preface to Logic (New York: Dover Publications, 1977[1944]), Bab 1, “The Subject Matter of Formal Logic”, pp. 1-22. 2. Susan K. Langer, An Introduction to Symbolic Logic 3rd Edition (New York: Dover Publications, 1967[1953]). 3. T.L. Heath, Pengantar pada The Thirteen Books of Euclid’s Elements (Cambridge: Cambridge University Press, 1956), §8, “Analysis and Synthesis”, pp. 137-140. 4. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason “Introduction” (CPR 41-62). 5. Stephen Palmquist, “A Priori Knowledge in Perspectives” (APK). 6. Chuang Tzu, Basic Writings, Bab 2, “Discussion on Making All Things Equal” (CTBW 31-44). 7. Dionysius the Areopagite, The Mystical Theology (MT). 8. G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, terj. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), Prakata, “On Scientific Cognition”, pp. 1-45. Catatan Penerjemah Pekan V Geometri Logika 13. Pemetaan Hubungan Analitik Di kuliah pertama tentang logika, kita pelajari bahwa logika—yaitu logika analitik—menyarikan kebenaran konkret suatu proposisi, dan memusatkan perhatian mula-mula dan terutama pada forma telanjangnya (yang pada dasarnya matematis), yaitu nilai kebenarannya. Pada pekan ini saya hendak merambah beberapa cara pengalihan bentuk telanjang ini menjadi bentuk bergambar, yang lebih kaya. Para filsuf sejak Aristoteles, dan bahkan sebelum itu, hampir seluruhnya mengakui bahwa logika dan matematika merupakan disiplin yang bertalian erat. Hingga pertengahan abad kesembilanbelas, kebanyakan filsuf akan mengatakan pertalian tersebut terbatas pada aritmetika pada khususnya, yang di dalamnya fungsi-fungsi seperti penambahan, pengurangan, pengalian, dan pembagian mempunyai analogi yang jelas dengan operator-operator logika seperti ?dan?, ?tidak?, dan sebagainya. Namun kemudian seorang cendekiawan yang bernama George Boole (1815-1864) menulis buku yang mempertahankan sesuatu yang ia sebut ?Aljabar Logika?. Ia memperagakan bahwa hubungan aljabarik pun bertalian erat dengan hubungan logis dalam banyak hal. Walaupun ide-ide Boole terlalu rumit untuk dicermati di sebuah matakuliah pengantar, saya menyebut penemuannya karena saya yakin bahwa penemuan serupa menanti kita di kawasan geometri. Karena alasan ini, saya telah menggunakan beberapa diagram sederhana, di keseluruhan matakuliah ini, dengan cara yang sesuai dengan sesuatu yang saya sebut ?Geometri Logika?. Pada pekan ini saya akan menjelaskan secara rinci bagaimana diagram-diagram itu dan diagram-diagram lain pada aktualnya berfungsi sebagai ?peta-peta? hubungan logis secara tepat. Kuliah pertama akan memeriksa cara penyusunan peta yang bersesuaian dengan hubungan analitik, sedangkan kuliah kedua dengan hubungan sintetik. Lalu Kuliah 15 akan menyediakan banyak contoh tentang bagaimana kita bisa memanfaatkan peta-peta tersebut untuk mendorong dan memperluas wawasan kita. Suatu analogi yang sempurna bisa dibangun antara struktur gambar-gambar geometris sederhana dan jenis-jenis pembedaan logis yang paling mendasar, meskipun ini jarang, kalau pernah, diakui sepenuhnya di masa lalu. Butir-awal analogi ini adalah hukum analitik identitas (A = A); ini mengasumsikan bahwa sesuatu ?ialah sebagaimana adanya? (a thing is “what it is”). Untuk memilih diagram akurat yang dapat melambangkan hukum logika yang paling sederhana ini, yang kita butuhkan hanyalah memikirkan gambar geometris yang paling sederhana: sebuah titik. Secara teknis, titik itu berada sebagai posisi tunggal, tanpa pelebaran nyata ke arah mana pun, walau tentu saja bintik hitam yang melambangkan titik di Gambar V.1 pasti sedikit-banyak memiliki pelebaran supaya kita dapat melihat posisinya. .A Gambar V.1: Titik sebagai Peta Hubungan Identik Fungsi hukum non-kontradiksi adalah memperlawankan ?A? yang sendirian dalam hukum identitas dengan lawanan (opposite)-nya, ?-A?. Gambar geometris yang memperlebar suatu titik dengan arah tunggal disebut garis. Tentu saja, ada dua jenis garis: lurus dan lengkung. Begitu pula, ada dua cara yang baik perihal penggambaran oposisi logis antara ?A? dan ?-A? dalam bentuk gambar geometris: dengan menggunakan dua ujung segmen garis, atau dengan memakai sisi dalam dan sisi luar lingkaran, seperti terlihat di Gambar V.2: + + - - (a) Lingkaran (b) Garis Gambar V.2: Dua Cara Pemetaan 1LAR Perhatikanlah bahwa saya melabeli gambar-gambar itu dengan ?+? dan ?-? saja. Simbol-simbol ini diturunkan langsung dari hukum non-kontradiksi, hanya dengan menjatuhkan ?A? dari kedua sisi per[tidak]samaan ?A ? -A?. ?A? adalah lambang formal ?isi?, sehingga menjatuhkan simbol ini menyiratkan, dengan cukup baik, bahwa dalam Geometri Logika, kita hanya memperhatikan bentuk perangkat-perangkat konsep yang kita pakai yang pada logikanya telanjang. Karena ciri sederhana ini muncul dari hukum logika analitik, saya menyebutnya ?hubungan analitik tingkat-satu? (atau ?1LAR?). Seperti yang akan kita saksikan, pelambangan hukum ini dengan persamaan yang lebih sederhana, ?+ ? -? (yakni positif tidak sama dengan negatif), jauh mempermudah penanganan lawanan-lawanan logis yang tingkatnya lebih tinggi dan lebih rumit. Segmen garis dan lingkaran bisa dimanfaatkan sebagai peta segala pembedaan yang pada dasarnya antara dua sebutan (term) yang berlawanan. Pembedaan sedemikian itu, seperti yang kita pelajari dari Chuang Tzu pekan lalu, sudah lazim dalam cara pikir kita sehari-hari di dunia ini. Kita biasanya membagi benda-benda ke dalam pasangan-pasangan lawanan: pria-wanita, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya. Dalam kebanyakan hal, saya yakin segmen garis menyodorkan cara tertepat untuk melambangkan pembedaan-pembedaan semacam itu. Karena lingkaran menetapkan tapal batas antara ?sisi luar? dan ?sisi dalam?, kita seyogyanya menggunakan gambar ini hanya bila ada ketidakseimbangan antara dua sebutan yang dibicarakan—seperti, misalnya, bila satu sebutan bertindak sebagai pembatas sebutan lain, tetapi tidak sebaliknya. Sekarang jika kita hendak berhenti di sini, Geometri Logika akan menjadi pokok pembicaraan yang tidak begitu menarik. Tak seorang pun berkesulitan untuk melihat pertalian logis antara sepasang sebutan yang berlawanan, belum lagi sebutan tunggal yang bertalian dengan diri sendiri. Penggunaan titik, segmen garis, atau juga lingkaran dengan cara sedemikian itu berfaedah hanya bila sebutan-sebutan yang dibicarakan tidak menetapkan lawanan yang tajam. Begitulah yang berlaku, terutama terhadap lingkaran. Umpamanya, pemanfaatan lingkaran untuk mewakili pembedaan Kant antara kebebalan-nisaya manusia dan pengetahuan-nirmustahil manusia, seperti yang kita terapkan di Kuliah 7 (lihat Gambar III.5 dan III.10), mempermudah kita untuk menanamkan di benak kita pertalian yang tepat antara keduanya, dengan yang terdahulu membatasi daerah yang terkemudian. Dalam hal apa pun, salah satu alat yang paling memikat dan bermanfaat dalam Geometri Logika muncul dari penerapan hukum non-kontradiksi itu sendiri secara sederhana. Dengan demikian, saya mengacu pada hal-hal yang mencakup masing-masing dari sepasang konsep yang berlawanan. Sebagai contoh, mari kita bayangkan konsep umum ?satu hari?. Kita semua tahu bagaimana mengerjakan proses analitiknya yang sederhana, sehingga kita membagi ?satu hari? menjadi dua jenis tengahan yang kurang-lebih setara dan berlawanan, yang disebut ?siang hari? dan ?malam hari? (yakni bukan ?siang hari?). Ini merupakan contoh bagus tentang 1LAR yang khas. Akan tetapi, sebagaimana pada kebanyakan 1LAR, jika kita berusaha menerapkan pembagian ketat ini pada segala waktu di suatu hari, kita dapati ada waktu-waktu tertentu selama hari itu yang kita bimbangi apakah tergolong ?siang hari? ataukah ?malam hari?; dan hasilnya, kita membuat pembedan analitik lebih lanjut, antara ?maghrib? dan ?fajar?. Untuk menerjemahkan ini ke dalam bentuk peralatan logika kita, dengan memakai kombinasi ?+? dan ?-?, untuk menggantikan isi aktual pembedaan kita, yang kita perlukan hanyalah menambahkan sebutan ?+? dan ?-? lainnya, masing-masing, pada setiap sebutan-asli dari 1LAR sederhana itu. Hal ini menghadirkan empat ?unsur? (Yaitu kombinasi satu sebutan +/- atau lebih) ?hubungan analitik tingkat-dua? (atau ?2LAR?) sebagai berikut: -- +- -+ ++ Saya menyebut unsur pertama dan terakhir (yakni ?--? dan ?++?) murni, karena kedua sebutannya sama, sedangkan kesua unsur tengahnya (yakni ?+-? dan ?-+?) saya sebut campuran, karena mengkombinasikan satu ?+? dan satu ?-?. Jika satu pasang lawanan terwakili oleh satu segmen garis, maka dua pasang oposisi bisa terwakili sebaik-baiknya oleh kombinasi dari dua segmen garis. Seperti yang telah kita saksikan pada banyak kesempatan, empat titik akhir pada suatu salib dapat berfungsi sebagai cara pelambangan hubungan lipat-empat semacam ini secara sederhana dan seimbang. Namun 2LAR ini pun bisa dilambangkan juga dengan empat sudut bujursangkar (bandingkan dengan Gambar II.3). Saya memetakan empat unsur tersebut pada salib dan bujursangkar dengan cara berikut ini: ++ ++ -+ -+ +- -- +- -- (a) salib (b) bujur sangkar Gambar V.3: Dua Cara Pemetaan 2LAR Posisi empat unsur dan arah anak panah pada setiap peta tersebut bersifat manasuka dalam hal tertentu. Dengan kata lain, unsur-unsur yang sama bisa ditata dengan sejumlah cara yang berbeda-beda dan masih melambangkan 2LAR secara akurat. Akan tetapi, setelah bereksperimen dengan semua kemungkinan cara penyusunan peta sedemikian ini, saya telah sampai pada simpulan bahwa dua contoh ini melambangkan pola yang paling umum dan tepat. Lagipula, kedua peta tersebut mengikuti serangkaian aturan tertentu yang bisa membantu kita menghindari kerancuan dan ketidakkonsistenan dalam penyusunan peta-peta kita—kendati keduanya mungkin tidak lebih baik daripada beberapa perangkat aturan alternatif. Aturan yang saya pilih cukup sederhana: (1) unsur ?+? ditempatkan di atas dan/atau kiri unsur ?--? bilamana mungkin, dengan memberi prioritas pada sebutan yang muncul lebih dahulu di setiap unsur; (2) suatu anak panah antara dua unsur dengan sebutan yang sama di posisi pertama itu menunjukkan arah menjauhi unsur murni; (3) suatu anak panah antara dua unsur dengan sebutan yang berbeda di posisi pertama itu menunjukkan arah mendekati unsur murni; dan (4) suatu anak panah antara dua unsur yang masing-masing mengandung satu sebutan saja (yaitu oposisi sederhana antara ?+? dan ?-?) harus digandakan ujung panahnya untuk menggambarkan keregangan atau keseimbangannya. Unsur-unsur itu dipetakan pada salib di Gambar V.3a menurut lawanan komplementer masing-masing. Itu berarti, dua unsur yang terletak pada ujung-ujung yang berlawanan di setiap segmen garis akan sama-sama memiliki satu unsur-bersama. Umpamanya, sebutan pertama di kedua unsur mungkin ?+?, sementara sebutan kedua adalah ?+? di satu pihak dan ?-? di pihak lain. Sebaliknya, unsur-unsur yang dipetakan pada bujursangkar di Gambar V.3b diatur menurut lawanan kontradikter masing-masing. Itu berarti, unsur pada sudut mana pun di bujursangkar itu tidak saling meliputi sama sekali dengan unsur pada sudut yang berlawanan. Umpamanya, jika unsur di satu sudut mempunyai ?+? di posisi pertama, maka unsur di sudut yang berlawanan pasti mempunyai ?-? di posisi tersebut; dan begitu pula untuk posisi kedua. Pada faktanya, bujursangkat merupakan satu gambar geometris yang hampir selalu bisa ditemukan di sebagian besar buku-ajar logika. Inilah basis formal gambar yang biasanya disebut ?bujursangkar oposisi?. Bujursangkar ini ternyata sangat berguna bagi para logikawan dalam mnejelaskan hubungan formal antara proposisi-proposisi yang saling berlawanan dengan cara lain (yakni sebagai ?kontradiksi? atau sebagai ?lawan?). Akan tetapi, saya tidak hendak memikirkan penerapan yang terkenal itu di sini. Alih-alih, karena saya telah menggunakan salib sebagai peta pada banyak kesempatan di kuliah-kuliah ini, mari kita perhatikan lebih dekat bagaimana salib dapat melambangkan pertalian antara lawanan-lawanan komplementer. Salib itu memungkinkan kita untuk melukiskan empat tipe pertalian logis ?tingkat pertama? yang berlainan (yaitu oposisi-oposisi +/- yang sederhana) antarrangkaian empta konsep yang berlawanan semacam itu. Yang pertama dan yang kedua bisa disebut tipe-tipe ?primer?. Tipe pertama ditunjukkan dengan sebutan pertama di setiap unsur; seperti yang kita lihat di Gambar V.3a, sebutan pertama pada kedua ujung setiap sumbu salib itu sama. Jadi, pada aktualnya sebutan pertama di setiap unsur melabeli sumbu itu sendiri: karena itu, sumbu vertikal bisa disebut sumbu ?+?, dan sumbu horisontal bisa disebut sumbu ?-?. Tipe kedua ditunjukkan dengan sebutan kedua di setiap unsur, dan menandakan perlawanan antara dua ujung sumbu mana pun. Jadi, sebutan kedua di setiap unsur yang dipetakan pada salib 2LAR itu melambangkan oposisi ?kutub? (yaitu komplementer)—suatu oposisi antara dua konsep yang juga sama-sama memiliki unsur-bersama. Faktor-bersama ini ditunjukkan dengan sebutan-pertama kedua unsur pada sumbu salib yang ada: + untuk vertikal dan – untuk horisontal. Tipe pertalian tingkat-satu yang ketiga dan keempat yang terlihat pada salib itu bisa disebut tipe-tipe ?sub-ordinat? karena tidak sejelas dua tipe ?primer?. Oleh sebab itu, bila kita ingin menonjolkan tipe ketiga dan keempat, ada gunanya menggambar garis diagonal melalui pusat salib, dari atas-kanan ke bawah-kiri atau pun dari atas-kiri ke bawah-kanan. Garis diagonal terdahulu, seperti yang tampak di Gambar I.1, III.3, dan IV.5, menonjolkan pertalian komplementer sekunder yang ada antara unsur-unsur dengan sebutan pertama yang berbeda, tetapi dengan sebutan kedua yang sama (yakni antara ?--" dan ?+-?, dan antara ?-+? dan ?++?). Garis diagonal terklemudian menyoroti tipe pertalian tingkat-satu yang keempat, antara pasangan oposisi-oposisi kontradikter (yaitu antara dua unsur murni, ?++? dan ?--", dan antara dua unsur campuran, ?+-? dan ?-+?). Saya belum memanfaatkan tipe garis diagonal ini di pola-pola yang saya pakai sejauh ini, namun ini sesungguhnya bisa ditambahkan pada salib kapan saja kita ingin secara khusus menonjolkan dua pasang konsep yang bertolak belakang di 2LAR yang ada. Pemahaman jaring pertalian logis yang rumit yang ada di dalam segala rangkaian konsep-konsep penyusun 2LAR itu mempermudah pengamatan kita bahwa salib itu tidak bisa digunakan dengan tepat untuk memetakan segala pertalian antarrangkaian empat konsep yang dipilih secara acak. Sekurang-kurangnya, jika kita menggunakannya dengan cara ini, kita tidak mungkin menggunakan salib untuk melambangkan bentuk logis suatu 2LAR. Dalam hal itu, salib sehebat-hebatnya hanya akan menjadi gambar yang cantik, dan seburuk-buruknya akan menjadi penyederhanaan berlebihan yang menyesatkan. Ini karena yang mesti dipetakan pada salib itu hanyalah rangkaian konsep yang bisa memperlihatkan rangkaian pertalian yang terdefinisikan di atas, dan bisa diwakili oleh empat unsur +/- 2LAR. Dengan adanya peringatan ini, sekarang saya dapat menambahkan bahwa pada aktualnya ada metode pengujian yang cukup sederhana terhadap segala rangkaian empat konsep yang kita kira mungkin terkait menurut bentuk 2LAR. Yang harus kita lakukan hanyalah menemukan dua pertanyaan ya-atau-tidak yang jawaban-jawabannya, bila diletakkan bersama-sama, menyiratkan deskripsi-deskripsi yang sederhana tentang empat konsep yang berada di depan kita. Jadi, misalnya, uintuk membuktikan bahwa empat konsep yang disebut di atas, ?siang hari?, ?malam hari?, ?maghrib?, dan ?fajar?, merupakan 2LAR, yang perlu kita lakukan hanyalah menempatkan dua pertanyaan: (1) Apakah jelas-jelas siang hari atau jelas-jelas malam hari (sebagai lawan terhadap jangka-waktu transisi)? dan (2) Apakah lebih terang daripada titik-waktu lawannya? Ini menimbulkan empat situasi yang bolehjadi, yang bersesuaian dengan empat unsur suatu 2LAR sebagai berikut: ++ Ya, jelas-jelas, dan ya, lebih terang (= ?siang hari?) +- Ya, jelas-jelas, tetapi tidak lebih terang (= ?malam hari?) -+ Tidak jelas-jelas, tetapi ya, lebih terang (= ?fajar?) -- Tidak jelas-jelas, dan tidak lebih terang (= ?maghrib?) Ini menunjukkan bahwa empat sebutan yang dibicarakan ini bisa dipetakan dengan tepat pada salib 2LAR, seperti yang terlihat di Gambar V.4a. Siang Hari jelas-jelas, lebih terang Fajar Maghrib tidak jelas-jelas tidak jelas-jelas lebih terang lebih gelap Malam Hari jelas-jelas, lebih gelap (a) Empat Bagian Hari Pelangi hujan, ada matahari Matahari Bersinar Berawan tidak hujan, tidak hujan ada matahari tiada matahari Hujan hujan, tiada matahari (b) Empat Keadaan Cuaca Gambar V.4: Dua Contoh Peta Salib 2LAR Barangkali saya mesti menyebut juga bahwa kita tidak bisa menghasilkan suatu 2 LAR yang tepat dengan mengkombinasikan segala pasang pertanyaan yang dipilih secara acak. Setidak-tidaknya, kita harus siap akan kemungkinan bahwa dalam rangka menyusun suatu 2LAR, satu atau lebih kemungkinan jawaban itu ujung-ujungnya memaparkan suatu konsep kontradiktif-diri, atau situasi mustahil. Karena alasan ini, saya menggunakan istilah ?sempurna? untuk menyebut suatu 2LAR (atau hubungan logis apa pun) yang semua kemungkinan logis unsurnya juga melambangkan kemungkinan nyata. Umpamanya, pikirkanlah dua pertanyaan: (1) Apakah keadaanya hujan? dan (2) Apakah matahari sedang bersinar? Pada mulanya, hanya tiga dari empat kombinasi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini yang tampaknya melukiskan kemungkinan nyata. Jika kita jawab ?Ya? terhadap kedua pertanyaan, maka mungkin kelihatannya kita mendapati suatu kombinasi yang mustahil, karena ketika hujan (sekurang-kurangnya di bumi ini), keadaannya berawan, tidak bermentari. Jika ini yang terjadi, maka dua pertanyaan tersebut akan mewujudkan 2 LAR yang tidak sempurna. Akan tetapi, bila opsi keempat ini kita pikirkan dengan lebih mendalam, akan kita sadari bahwa ini pun melambangkan kemungkinan yang realistis. (Seperti yang hendak kita saksikan di sepanjang pekan ini, sering muncul kejutan-kejutan manakalka kita manfaatkan Geometri Logika sebagai alat bantu untuk perenungan kita.) Matahari kadangkala tetap bersinar kendati hujan mengguyur: inilah yang terjadi tatkala kita melihat pelangi! Karenanya, contoh ini pun, sebagaimana yang terlihat di Gambar V.4b, menandakan 2 LAR yang sempurna, seraya pada saat itu juga melukiskan bagaimana peta-peta sedemikian itu bisa membantu kita memperoleh wawasan-wawasan baru. (Kebetulan, jika pertanyaan kedua adalah ?Apakah keadaannya berawan??, maka ini akan menjadi 2LAR yang tidak sempurna karena jawaban ?Tidak?-nya tidak bisa dikombinasikan dengan jawaban ?Ya? atas pertanyaan pertama.) Ingat peta tentang empat unsur yang saya sajikan di Kuliah 4 (lihat Gambar II.4)? sekarang karena kita telah menganalisis struktur formal pembedaan yang dipetakan pada salib, sebetulnya kita dapat mengetes perangkat konsep tradisional itu untuk mengetahui apakah ini menandakan 2LAR yang sempurna ataukah tidak. Jika api adalah ?++? dan air adalah ?--", maka kita akan menduga unsur-unsur ini adalah lawanan-lawanan kontradikter. Ternyata memang demikian. Air memadamkan api, dan api mengubah air menjadi uap. Begitu pula, jika bumi adalah ?-+? dan udara adalah ?+-?, kita akan menduga bumi dan udara saling berlawanan. Ternyata memang demikian. Bumi dan udara tidak pernah bercampur! Bagaimana dengan lawanan-lawanan komplementer? Di sini kita dapatkan hasil-hasil yang sama-sama tepat: api membutuhkan udara dan bumi (yaitu bahan bakar) untuk terus membara; air dapat bercampur dengan udara (seperti di soda) dan dengan bumi (seperti di lumpur). Jadi, walaupun orang-orang Yunani kuno belum mengembangkan Geometri Logika, mereka secara naluriah mampu memilih bahan-bahan, sebagai empat unsur dasar mereka, yang dalam kehidupan nyata bersesuaian dengan bentuk suatu 2LAR yang sempurna. Tentu saja, pada aktualnya ada lebih dari empat ?unsur? fisik di alam semesta; begitu pula, hari bisa dibagi menjadi lebih dari empat bagian saja, dan cuaca pun memiliki jauh lebih dari empat variasi saja! Dengan jalan yang sama, proses pembagian analitik dapat dan memang berlangsung terus-menerus, yang membentuk pola hubungan yang semakin rumit antara kelompok-kelompok konsep. Di kuliah ini kita tidak mempunyai waktu untuk memeriksa hubungan-hubungan kompleks yang tercipta dengan ?tingkat-tingkat? pembagian analitik ?yang lebih tinggi?. Akan tetapi, saya hendak menyebut satu contoh akhir. Namun pertama-tama saya mesti menunjukkan bahwa, entah seberapa jauh kita melangkah dalam proses pembagian analitik, pola-polanya akan senantiasa mengikuti rumus yang amat sederhana ini: C = 2t Di sini, ?C? mengacu pada jumlah total unsur berlainan yang bolehjadi, sedangkan ?t? mengacu pada jumlah sebutan +/- di setiap unsur. Kebetulan, ?t? ini selalu identik dengan bilangan tingkat. Jadi, seperti yang telah kita saksikan, jumlah divisi yang diperlukan untuk membangun suatu 2LAR adalah dua, jumlah sebutan di setiap unsur yang dihasilkan adalah dua juga, jumlah total unsur-unsurnya adalah empat (22 = 4). Secara demikian, jumlah divisi yang diperlukan untuk membangun suatu 3LAR adalah tiga, jumlah sebutan di setiap unsur yang dihasilkan adalah tiga, dan jumlah total unsur-unsurnya adalah delapan (23 = 8). Semakin tinggi tingkat hubungan analitik, semakin rumit peta yang harus disusun untuk menggambarkan secara akurat semua hubungan logis yang terlibat. Sebuah contoh yang baik tentang sistem yang serumit ini bisa didapatkan di I Ching, buku Cina kuno tentang kebijaksanaan. Buku ini memaparkan serangkaian 64 ?heksagram? (yaitu gambar-gambar enam bagian), yang masing-masing melambangkan beberapa jenis situasi kehidupan. Buku ini pada asalnya digunakan terutama untuk meramalkan kejadian-kejadian masa depan: dengan secara manasuka, melempar dadu misalnya, orang-orang memilih dua dari 64 heksagram; transformasi dari satu heksagram ke heksagram lainnya itu kemudian dipakai sebagai dasar untuk menjawab pertanyaan, biasanya mengenai bagaimana beberapa situasi sekarang akan berubah di masa depan. (Karenanya, ini juga disebut Kitab Perubahan.) Untuk tujuan kita, tentu saja, dayaramal I Ching itu bukan atraksi utamanya; bentuk logikanyalah yang memikat kita. Ini karena 64 heksagram tersebut pada aktualnya berfungsi sebagai anasir 6LAR dengan enam sebutan. Cara tradisional untuk melambangkan sistem kemungkinan logis ini adalah menggunakan rangkaian enam garis utuh atau putus-putus yang memerikan setiap heksagram. Kita dapat menerjemahkan sistem ini langsugn menjadi susunan yang tadi kita saksikan, cukup dengan menggantikan garis-garis utuh dengan ?+? dan garis patah-patah dengan ?-?. Jika kita menata unsur-unsur tersebut menurut lawanan kontradikter masing-masing (sebagaimana yang biasanya dilakukan dalam penggunaan I Ching), maka pertalian yang rumit antarheksagram ini bisa dipetakan pada suatu bulatan yang, bila dicuatkan pada permukaan datar sehingga kutub-kutub yang berlawanan di bulatan itu digambarkan sebagai pusat dan keliling lingkaran, terlihat seperti ini: Gambar V.5: Peta 6LAR dalam I Ching Jangan khawatir bila peta ini membingungkan anda. Peta ini dimaksudkan untuk menyajikan secara sepintas bentuk logika sistem konsep-konsep yang amat rumit. Jika anda kurang mengenal sistem tersebut, peta ini mungkin tidak begitu bermakna. Namun demikian, saya hendak mengakhiri kuliah pada jam ini dengan cukup menunjukkan bahwa peta ini mengandung kesamaan yang mencolok dengan gambnar-gambar simetris yang digunakan di beberapa agama Timur (yang disebut ?mandala?). Mandala semacam ini dibentuk bukan untuk menerangkan struktur logis sekumpulan konsep, melainkan justru untuk merangsang wawasan-wawasan baru (dan akhirnya, ?pencerahan?) pada diri orang yang memanfaatkannya sebagai alat meditasi (lihat DW 157-159). Seperti yang hendak kita saksikan di Kuliah mendatang, Geometri Logika itu sendiri juga tidak terbatas pada penerapan analitik, tetapi pada aktualnya bersinggungan dengan jalan hidup kita. 14. Pemetaan Hubungan Sintetik Di kuliah terdahulu, kita saksikan pola-pola logis terbentuk secara teratur ketika kita menggunakan logika analitik dalam perpikiran kita. Jenis pola ini, kita dapati, bisa dikaitkan langsung dengan pola-pola yang dilambangkan dengan beberapa gambar geometris sederhana. Jangan terkejut dengan fakta ini. Pada kedua hal itu, pola-pola tersebut muncul di benak kita. Dengan mengakui pola-pola teratur ini, Kant menyiratkan bahwa akal itu sendiri berisi struktur arsitektonik yang tetap. Usulannya yang ia sebut ?kesatuan arsitektonik? akal ini merupakan aspek yang tak terpisahkan dari pendekatan apriorinya. Ia menegaskan bahwa ada syarat-perlu tertentu untuk kemungkinan bahwa segala pengalaman manusia (lihat Kuliah 8) mengasumsikan bahwa akan manusia berjalan menurut suatu aturan yang tetap. Karena akal menetapkan aturan—arsitektonik—ini bagi kita, filsuf-filsuf seyogyanya sungguh-sungguh memahami dan menurutinya dengan sebaik-baiknya manakala mereka mengambil perspektif apriori untuk berfilsafaat (yaitu manakala mereka lebih mengundang hal-hal yang ditanamkan oleh benak pada pengalaman daripada hal-hal yang ditarik oleh akal dari pengalaman). Kant yakin, filsuf-flsuf seharusnya mengakui bahwa pola-pola ini berfungsi sebagai ?rencana? apriori untuk menyusun sistem filosofis, seperti halnya rancangan arsitek yang digunakan oleh kontraktor bangunan sebagai rencana untuk mendirikan bangunan. Karenanya, tidaklah aneh bahwa Kant menganggap Pithagoras (kira-kira 569-475 S.M.), bukan Thales, selaku filsuf sejati pertama (lihat OST 392); karena Pitagoras tidak berfokus pada persoalan-persoalan metafisis, tetapi pada matematika dan mistisisme bilangan. Logika adalah sejenis perspektif apriori (lihat Gambar IV.4); jadi, kita jangan terkejut bila mendapati pola-pola numerik seperti itu memainkan peran penting di bagian filsafat ini. Akan tetapi, pola-pola logis tidak hanya berkaitan dengan cara pikir apriori kita. Pithagoras pun mengkaui, pola-pola itu juga bertalian erat dengan cara hidup kita. Itulah salah satu alasan mengapa kuliah terdahulu saya tutup dengan sebuah contoh dari filsafat Cina. Di Cina purba, I Ching tidak pernah dianggap hanya sebagai tabel logika [yang melambangkan] bentuk-bentuk pikiran apriori. Kebanyakan—barangkali bahkan semua—orang yang menggunakannya pun tidak menyadari struktur logisnya yang teratur, seperti 6LAR yang sempurna. Lebih tepatnya, mereka memanfaatkannya secara intuitif, sebagai refleksi terhadap perubahan situasi kehidupan mereka sehari-hari yang pernah ada. Di dunia nyata, benda-benda tidak selamanya saling berlawanan, seperti halnya konsep-konsep yang mungkin anda yakini. Begitu kita akui fakta ini, bisa saja kita pandang bahwa garis di Gambar V.2b tidak lagi melukiskan pemisahan mutlak, yang memerlukan pilihan antara dua jenis yang diskrit, tetapi melambangkan rangkaian kontinuitas, yang mengandung tingkatan-tingkatan yang tak terhingga. Pada faktanya, ada simbol lain dari tradisi Cina yang menampilkan fungsi sintetik yang serupa, walaupun ini bisa juga berfungsi sebagai peta hubungan analitik. Di sini saya berpikir tentang simbol ?Tai Chi? yang masyhur, yang menggambarkan oposisi antara kekuatan yin (gelap) dan yang (terang). Seperti yang terlihat di Gambar V.6, simbol ini dapat dianggap sebagai cara lain yang sederhana untuk memetakan 2LAR. Akan tetapi, dalam tradisi Cina, nilai simbolik utamanya amat berbeda, karena ini dipandang sebagai gambaran fakta bahwa dalam kehidupan nyata, konsep-konsep, pengalaman-pengalaman, kekuatan-kekuatan, dan lain-lain yang berlawanan itu tidak hanya saling bergantung demi eksistensi mereka sendiri, tetapi pada aktualnya saling bergabung seiring dengan berjalannya waktu. Karena inilah dua tengahannya tersusun dalam bentuk air mata, yang mengkonotasikan pergerakan. Lebih-lebih, tepat di tengah-tengah bagian besar dari setiap ?air mata?, kita dapati kekuatan yang berlawanan. Ini, seperti anak panah di setiap sumbu salib 2LAR, menggambarkan jalan menyatunya hal-hal yang berlawanan. Gambar V.6: 2LAR Yang Tersirat dalam Tai Chi Di Kuliah 12 kita perhatikan bahwa kecenderungan hal-hal yang berlawanan untuk menjadi ?sama? ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Heraklitus, pada aktualnya merupakan pokok pembicaraan logika sintetik, bukan analitik, yang tepat. Jadi, sekarang saya hendak merambah cara pakai Geometri Logika untuk menyusun gambar hubungan-hubungan sintetik yang logis secara akurat. Seperti logika analitik, logika sintetik juga berawal dari titik, tetapi titik ini sekarang dianggap telah mengandung sepasang hal yang berlawanan dengan sendirinya. Mengapa? Karena logika sintetik tidak didasarkan pada hukum identitas dan non-kontradiksi, tetapi pada hukum non-identitas (A ? A) dan kontradiksi (A = -A). Karenanya, untuk menggambarkan ekstensinya, kita harus menarik garis yang tidak satu arah (dari A ke –A), tetapi dua arah (dari x ke A dan –A secara serempak). Jadi, gambar geometris terbaik yang melambangkan hubungan sintetik ?tingkat pertama? (disingkat ?1LSR?) atau ?sederhana? ini adalah segitiga. Proses lipat-tiga ini bisa mengacu pada pembagian sintetik-asal dari titik yang non-identik menuju dua titik yang berlawanan atau pada pemaduan sintetik dari dua titik yang berlawanan menuju satu keutuhan baru (bandingkan Gambar I.4 dan I.2), seperti yang tampak pada Gambar V.7. pada umumnya, bilaman kita menyusun satu segitiga saja, sebaiknya digunakan tanda ?x? untuk melambangkan sebutan ketiga dalam hubungan sintetik. Ini karena sbutan ketiga ini dalam hal tertentu merupakan sesuatu yang ?tak dikenal? yang muncul dari dua sebutan yang ?dikenal?, ?+? dan ?-?, yang membawa sifat dasar masing-masing, namun melampaui keduanya. Akan tetapi, bila dua tipe segitiga sintetik ini digambar secara bersamaan (bandingkan Gambar III.2 dan V.7), cara terbaik untuk melukiskan bentuk logis keseluruhannya adalah melabeli sebutan sintetik-asal dengan ?0?, untuk melambangkan fungsinya sebagai sumber bersama bagi dua hal yang berlawanan, seraya melabeli sebutan sintetik-penyimpul dengan ?1?, untuk melambangkan fungsinya sebagai penyatuan kembali akhir dari dua hal yang berlawanan dengan renggang itu. (a) Sintesis Asal (b) Sintesis Akhir Gambar V.7: Segitiga sebagai Peta 1LSR Cara lain untuk memetakan 1LSR adalah menggunakan lingkaran yang terdapat pada Gambar V.2a, dengan melabeli keliling lingkaran dengan ?x?. Ini wajar karena tapal batas tersebut ikut serta pada baik sisi luar maupun sisi dalam lingkaran, tepat seperti ?x? yang ikut serta pada ?+? dan ?-? sekaligus. Oleh sebab itu, bilaman kita pakai lingkaran sebagai peta logis, konsep yang melabeli keliling lingkaran mesti memenuhi fungsi sintetik sehubungan sengan dua konsep berlawanan yang dipisahkan olehnya. Akan tetapi, logika sintetik, seperti logika analitik, juga mempunyai tingkat hubungan yang lebih tinggi; dan segitiga memiliki penerapan yang lebih alamiah daripada lingkaran untuk hubungan-hubungan yang lebih tinggi, sehingga saya akan ememperlakukan segitiga sebagai peta baku 1LSR. Hubungan sintetik tingkat-dua (2LSR) bisa disusun dengan menganggap bahwa masing-masing dari ketiga sebutan itu, ?+?, ?-?, dan ?x?, menghasilkan hubungan sintetiknya sendiri. Ini menelurkan sembilan unsur 2LSR: ++ -+ x+ +- -- x- +x -x xx Peta yang baik untuk 2LSR adalah bintang berujung-sembilan, yang tersusun dengan serangkaian tiga segitiga yang saling berpotongan, walau ada juga kemungkinan lain. Demi maksud kita sekarang, kita tidak perlu sampai pada rincian hubungan-hubungan sintetik tingkat-tinggi ini. Alih-alih, cukup ditunjukkan bahwa rumus yang mengatur pola-pola yang akan tampak pada setiap tingkat itu adalah C = 3t Di sini, ?C? lagi-lagi mengacu pada jumlah total unsur berlainan yang boleh-jadi, sedangkan ?t? mengacu pada tidak saja jumlah sebutan, tetapi juga pada bilangan tingkat. Saya harap anda bereksperimen sendiri dengan beberapa [hubungan sintetik] yang tingkatnya lebih tinggi. Pemetaan keteraturan hubungan logis tingkat-tinggi, seperti yang terlukis dalam Gambar V.5, lebih cocok untuk hubungan analitik daripada untuk hubungan sintetik. Ini karena hubungan analitik dihasilkan dengan pembagian satu keutuhan menjadi bagian-bagian diskrit, sedangkan hubungan sintetik dihasilkan dengan pemaduan bagian-bagian untuk menghasilkan satu keutuhan yang lebih besar. Karena keutuhan-keutuhan yang baru ini menggabungkan lawanan-lawanan bersama-sama dengan cara yang secara khas misterius, tingkat-tingkat-tinggi itu cenderung menghasilkan jaringan hubungan rumit yang tampaknya semrawut. Oleh sebab itu, alih-alih memetakan contoh hubungan sintetik tingkat-tinggi di sini, saya hendak membahas bagaimana logika sintetik bisa menerangkan salah satu perkembangan sains yang paling menarik selama seperempat abad terakhir abad keduapuluh. ?Teori Kekacauan?, yang juga disebut ?dinamika non-linier?, agak mengagetkan bidang fisika matematis yang baru yang berpotensi besar sekali untuk menjelaskan beberapa aspek kehidupan manusia yang paling misterius. Singkatnya, teori ini mengklaim bahwa tatanan muncul dari kekacauan: bila kita mengamati sistem-sistem seutuhnya, bagian-bagiannya tampaknya saling berhubungan secara untung-untungan; meskipun pada tingkat yang lebih rendah, sistem yang sama bisa menampilkan tingkat tatanan yang tinggi. Ilustrasi khas tentang pengaruh jangka-panjang yang dapat dimiliki oleh kekacauan terhadap dunia adalah pernyataan bahwa ?kepakan sayap kupu-kupu di New York bisa menyebabkan perubahan iklim di Hong Kong?. Bagaimana ini dapat benar, bila tiada hubungan sebab-akibat yang teramati antara keduanya? Saya yakin jawabannya terletak pada anggapan bahwa kekacauan merupakan hubungan sintetik tingkat-tinggi. Dalam kasus ini, ?penyebab? yang diacu di sini jangan ditafsirkan sebagai jenis penyebab yang biasanya dapat dipahami melalui logika analitik. Tepatnya, ini seperti interaksi yang saling menguntungkan antara sehimpunan besar segitiga 1LSR yang berjalin-berkelindan, yang kombinasi sintesisnya tidak tunduk kepada analisis yang ketat. Salah satu alasan yang baik tentang mengapa kita tidak mencurahkan waktu yang lebih banyak untuk memeriksa hubungan sintetik yang tingkatnya lebih tinggi adalah bahwa 1LSR mempunyai aplikasi lain yang lebih mudah untuk dipetakan dan juga berfaedah bagi filsafat. Tepat seperti yang kita lihat di Kuliah 11 bahwa analisis dan sintesis sebaiknya dianggap sebagai fungsi komplementer, begitu pula logika analitik dan logika sintetik memiliki penerapan yang paling mendalam pada Geometri Logika bila keduanya digabungkan menjadi sebuah peta tunggal. Cara untuk melakukan hal ini yang paling sederhana adalah menggabungkan 1LAR dengan 1LSR, dengan bersama-sama meletakkan dua segitiga yang saling berpotongan sehingga membentuk ?bintang Daud?. Enam (2x3 = 6) unsur ?hubungan majemuk lipat-enam? (atau ?6CR?) yang dihasilkan bisa ditempatkan pada peta semacam itu dengan cara seperti yang terlihat pada Gambar V.8, dengan sebutan pertama di setiap unsur yang melambangkan oposisi analitik antara dua segitiga tersebut. Gambar ini bisa dibentuk dengan memasang kedua segitiga di Gambar V.7 itu, lalu memutar gambar keseluruhannya sebesar 30° berlawanan dengan arah jarum jam. Pucuk 0 menjadi –x, sedangkan pucuk 1 menjadi +x. Gambar V.8: Bintang Daud sebagai 6CR Peta ini bisa dipakai untuk merambah pertalian logis antara dua rangkaian tiga konsep apa pun yang, kita percayai, mungkin berkaitan dengan cara ini. Umpamanya, salah seorang mahasiswa saya pernah mengajukan gagasan pembandingan tritunggal filosofis terkenal, ?kebenaran, kebaikan, dan keindahan? dengan tritunggal religius terkenal, ?iman, asa, dan kasih?. Cara untuk menguji apakah enam konsep ini membentuk 6CR yang sah, ataukah tidak, adalah mencari jalan untuk memetakannya pada diagram di Gambar V.8, sedemikian rupa sehingga konsep yang ditempatkan berhadap-hadapan sungguh-sungguh mempunyai karakteristik yang menjadikan konsep-konsep itu komplementer. Kita bisa memulai tugas ini dengan menyangkutkan segitiga ?-? dengan konsep filosofis dan segitiga ?+? dengan konsep religius, yang berarti menetapkan 1LAR dasar. Namun, lagi-lagi, saya lebih suka anda bereksperimen sendiri dengan potongan-potongan lain, atau dengan contoh lain yang anda buat sendiri. Salah satu cara pemaduan hubungan analitik dan sintetik lainnya adalah mengkombinasikan 1LSR sederhana dengan sebuah 2LAR. Tentu saja, duabelas unsur dari ?hubungan majemuk lipat-duabelas? dapat dipetakan pada sebuah bintang berujung-duabelas; tetapi saya pikir cara yang lebih baik adalah memetakannya saja pada sebuah lingkaran, terutama karena petanya kemudian mirip dengan gambar yang tidak asing berupa arloji. Di samping itu, dengan memakai lingkaran, kita dapat membiarkan pusatnya terbuka, untuk diisi dengan gambar apa pun yang melambangkan rangkaian hubungan logis tertentu yang hendak kita soroti di antara banyak [hubungan] antarunsur yang ada. Contohnya, di Gambar V.9 saya menempatkan sebuah salib di dalam lingkaran, sehingga membaginya menjadi empat kuadran (2LAR) utama. Akan tetapi, kita bisa juga menggunakan garis, segitiga, bujursangkar, atau kombinasinya, untuk menyoroti hubungan-hubungan logis lain yang tersirat di dalam peta ini. Gambar V.9: Lingkaran sebagai Peta 12CR Apa guna peta serumit itu? Satu hal yang jelas bahwa Gambar V.9 bersesuaian secara tepat dengan lambang-lambang zodiak tradisional, yang terbagi ke dalam empat kelompok yang masing-masing berisi tiga [bintang] dengan cara yang sama persis. Akan tetapi, lepas dari penerangannya terhadap asal-usul ?kealiman? purba semacam itu, yang biasanya dicela oleh filsuf-filsuf masa kini, kita bisa mendapati 12CR yang berlaku pada beragam bidang kehidupan dan pikiran manusia. Mengapa, umpamanya, kita membagi tahun menjadi duabelas bulan (empat musim, masing-masing selama tiga bulan)? Atau satu hari menjadi duabelas jam? Fakta-fakta semacam ini cenderung dilewatkan sebagai konvensi yang manasuka belaka. Namun barangkali fakta-fakta itu berasal dari pola pikir akal itu sendiri! Inilah keyakinan Kant; seperti yang kita lihat di Kuliah 8, daftar duabelas kategorinya cocok dengan pola empat kali tiga semacam itu (lihat Gambar III.9). Lebih lanjut, seperti yang saya kemukakan di Kant’s System of Perspectives, Kant juga memanfaatkan pola lipat-duabelas tersebut dalam menyusun argumen yang membentuk sistem Kritisnya—bahkan, pola ini merupakan bentuk dasar ?rancangan arsitektonik?-nya. Disiplin akademik lain tidak kekurangan pembedaan lipat-duabelas dengan struktur yang sama persis. Seorang ilmuwan terkenal yang bernama Maxwell, misalnya, pada abad kesembilanbelas menemukan bahwa ada duabelas bentuk gaya elektromagnetik yang khas, dan bahwa bentuk-bentuk ini bisa dikelompokkan ke dalam empat himpunan yang masing-masing berisi tiga tipe. Yang lebih mutakhir, para fisikawan kuantum telah dengan teliti menemukan duabelas tipe ?quark? yang berlainan, yang merupakan balok dasar pembangun materi. Banyak sekali contoh seperti ini yang bisa dikutip. Namun penjelasan rincinya, tentang bagaimana penerapan 12CR semacam itu berjalan pada aktualnya, bukan cakupan kuliah pengantar ini. Di kuliah mendatang, kita justru hendak mengalihkan perhatian kembali ke logika sintetik itu sendiri, agar mendapatkan pahaman yang lebih baik tentang bagaimana ini berjalan dan tentang bagaimana Geometri Logika mempermudah proses pemerolehan wawasan-wawasan baru dengan secara visual menyediakan representasi perspektif-perspektif baru yang diadakan oleh logika sintetik. 15. Pemetaan Wawasan pada Perspektif Baru Fungsi utama logika sintetik adalah menggetarkan kita sehingga kita melihat perspektif-perspektif baru. Begitu kita sadari hal ini, kita lebih mudah memahami betapa berpeluang proposisi untuk bermakna walaupun ini melanggar hukum non-kontradiksi. Penjelasannya adalah bahwa proposisi-proposisi semacam itu pada aktualnya tidak melanggar hukum Aristoteles dalam pengertian terketatnya. Aristoteles sendiri mengakui bahwa ?A? bisa identik dengan ?-A? jika ?A? yang dibicarakan ini dipandang dari dua perspektif yang berbeda. Itulah mengapa dalam menetapkan hukum ini ia menambahkan bahwa ?pada waktu yang sama, dalam hal yang sama? pada kata-kata ?Tidak mungkin suatu benda adalah sesuatu dan sekaligus bukan sesuatu tersebut?. Benda-benda berubah sejalan dengan waktu, dan bisa dipaparkan secara berbeda bila dipandang dengan cara lain, sehingga dalam hal ini hukum ?A ? –A? tidak berlaku. Namun sebagian besar dari kita cukup kesulitan untuk memandang dengan cara baru subyek yang tidak asing. Yang dilakukan oleh logika sintetik adalah membawa kita berhadapan muka dengan cara pikir luar biasa mengenai atau memandang subyek yang tidak asing; dan dalam melakukannya, ini memacu imajinasi kita dengan wawasan. Dalam hal itulah fungsi Geometri Logika sama dengan fungsi logika sintetik. Keduanya merupakan instrumen yang menyediakan kita alat-alat untuk mengembangkan kemampuan kita untuk melihat persoalan-persoalan lama dengan cara-cara baru, dan dalam melakukannya, untuk memperluas wawasan kita dalam segala hal yang membingungkan kita. Sesungguhnya, bila sama-sama digunakan, dua alat logika ini barangkali merupakan penerapan praktis filsafat yang paling bermanfaat. Sebagaimana yang hendak kita perhatikan, sebuah pemahaman yang jernih tentang alat-alat ini sebetulnya dapat membantu anda dalam berpikir dan menulis dengan lebih gamblang dan lebih berwawasan di segala bidang, bukan hanya ketika menghadapi persoalan-persoalan filosofis. Oleh sebab itu, mula-mula mari kita perhatikan logika sintetik itu sendiri, dan kemudian bergerak dari sana menuju pembahasan tentang bagaimana peta-peta geometris bisa dipakai dengan cara serupa untuk meningkatkan kegamblangan dan wawasan. Pada faktanya, logika sintetik telah dimanfaatkan oleh beberapa filsuf untuk memperlihatkan bagaimana munculnya wawasan-wawasan baru. Umpamanya, kontradiksi yang membingungkan dari Chuang Tzu dan untaian negasi yang diajukan oleh Pseudo-Dionysius (lihat Kuliah 12) bisa dianggap sebagai cara yang menyodok pembaca untuk menemukan wawasan-wawasan baru mengenai ?Jalan? [yang disodokkan oleh Chuang Tzu] atau mengenai ?Tuhan? [yang disodokkan oleh Pseudo-Dionysius]. Begitu pula, itu merupakan cara yang paling berfaedah untuk menafsirkan logika ?dialektis? Hegel yang terkenal (lihat Gambar IV.7): gagasannya bahwa terjadi perubahan sejarah manusia bilamana dua kekuatan yang berlawanan berbenturan dan memunculkan realitas baru, yang disebut ?sintesis?, sebaiknya diakui sebagai pemerian proses perubahan perspektif manusia. Bilamana perspektif kita berubah, suatu wawasan baru biasanya menyertai perubahan itu. Namun sayangnya, bahasa Hegel terlampau rumit, dan argumennya terlalu musykil untuk diikuti, sehingga akhirnya banyak orang yang justru kebingungan, bukannya memperoleh wawasan seusai membaca salah satu dari buku-bukunya. Jadi, pendekatan yang lebih baik demi maksud kita adalah mengamati seorang cendekiawan masa kini yang telah mengembangkan beberapa cara penerapan logika sintetik pada tingkat yang sangat membumi. Dialah Edward de Bono (1933- ) yang lebih dikenal hebat sebagai pendidik daripada selaku filsuf profesional. Namun demikian, beberapa prinsip yang ia bahas di banyak bukunya berkaitan erat dengan berbagai masalah filosofis, khususnya di bidang logika. Ini karena minat utamanya ialah mengajar orang-orang berpikir secara kreatif. Dalam proses ini, ia memperagakan bahwa hukum logika sintetik bukan sekadar prinsip-prinsip abstrak yang sukar atau mustahil diterapkan, melainkan merupakan alat efektif yang bisa digunakan untuk membantu kita memecahkan berbagai jenis masalah kehidupan-nyata. Dalam bukunya, The Use of Lateral Thinking, misalnya, de Bono memanfaatkan istilah-istilah geometris untuk membuat perbedan antara cara pikir ?horisontal? kita sehari-hari dan cara pikir ?lateral? yang senantiasa berupaya memandang situasi-situasi lama dari perspektif-perspektif baru. (Ternyata yang horisontal cocok dengan logika analitik dan yang lateral sesuai dengan logika sintetik, walaupun de Bono tidak menggunakan istilah-istilah ini.) Ia menyatakan bahwa bilamana kita mempunyai perasaan ?hancur-lebur? lantaran masalah yang tidak dapat kita pecahkan, penalarannya bukan bahwa tidak ada solusi yang terlihat, melainkan bahwa perspektif kita terlalu sempit. Karena itulah dalam situasi semacam itu, mengambil rehat singkat di sela-sela upaya kita seringkali berfaedah: tatkala kita kembali, kita lebih berkemungkinan untuk merasa bebas mengubah cara pandang terhadap masalah yang kita hadapi; dan acapkali kita dapati bahwa solusinya ada di depan mata kepala kita sendiri sejak semula! Biarlah saya gambarkan cara pikir lateral dengan sekelumit kisah pribadi. Sewaktu saya kanak-kanak, saya biasanya sangat kesulitan menyantap ayam dengan garpu dan pisau. Saya selalu lebih suka memakai jari-jari tangan saya. Pada suatu hari saya memperhatikan betapa mudahnya kakek saya melahap ayam dengan garpu dan pisau; saya tanyai dia bagaimana ia mengerjakan hal sesulit ini dengan semudah itu. Jawabannya sederhana: ?Kamu mencoba menanggalkan daging ayam dari tulangnya; yang kau perlukan hanyalah menyingkirkan tulang dari dagingnya.? Ini berpikir lateral! Dan ini berhasil: sejak semula tulang-tulang itu mengusik kenikmatan salah satu makanan favorit saya; namun manakala saya ubah cara memikirkannya, usikan itu benar-benar lenyap! Itu juga merupakan contoh penggunaan logika sintetik, karena pernyataan kakek saya itu memungkinkan saya untuk melampaui hal-hal yang sebelumnya tampaknya seperti pertentangan yang mutlak antara ?Daging ayam mudah ditanggalkan dari tulangnya bila saya pakai jari-jari tangan saya? dan ?Daging ayam sulit ditanggalkan dari tulangnya bila saya pakai garpu dan pisau?. Perspektif barunya, ?menyingkirkan tulang dari dagingnya? memungkinkan saya untuk mensintesis ?mudah? dari proposisi pertama dengan ?pakai garpu dan pisau? dari proposisi kedua. Berpikir lateral senantiasa membelah cara pikir terdahulu hanya dengan cara ini, sebagaimana sumbu vertikal suatu salib membelah sumbu horisontalnya. Di buku lainnya, yang berjudul Po: Beyond Yes and No, de Bono menyarankan alat lain untuk membuat penemuan-penemuan baru. Di buku inilah terungkap alat baru yang berakar pada logika sintetik yang bahkan jauh lebih jelas daripada berpikir lateral. Di buku ini de Bono menciptakan sebuah kata baru, ?po?, sebagai cara untuk menanggapi pertanyaan yang jawaban tepatnya bukan ?ya? atau pun ?tidak? (atau baik ?ya? maupun ?tidak?). Ia menunjukkan (POints out), huruf-huruf ?P-O? terdapat bersama-sama pada banyak kata yang memainkan peran penting (imPOrtant) dalam berpikir kreatif, seperti ?hiPOtesis?, ?puisi? (POetry), ?kemungkinan? (POssiblities), ?POtensial?, ?berpikir POsitif?, dan ?memperkirakan? (supPOse). ?PO? dapat dianggap juga sebagai akronim, singkatan frase ?Memprasyaratkan Lawanan? (Presuppose the Opposite). Untuk memperlihatkan bagaimana kata baru ini pada aktualnya bisa membantu kita dalam pengembangan kemampuan kita untuk memperoleh wawasan baru—yakni melihat kemungkinan-kemungkinan (POssibilities) baru, peluang-peluang (opPOrtunities) baru, tepat di atas cakrawala perspektif kita saat ini—de Bono menyarankan kita bereksperimen dengan berbagai ?situasi po?. Untuk menjalankan eksperimen semacam itu, kita harus memakai ?po? sebagai kata sifat, secara kreatif memodifikasi kata yang kita pikirkan; namun kemudian pemerian kita tentang karakteristik kata itu pasti memerlukan lawanan terhadap obyek, aktivitas, situasi, atau apa saja yang biasanya kita pikirkan, yang ada hubungannya dengan kata itu. Jika kita berpikir tentang bagaimana hal-hal akan berbeda jika situasi po ini benar-benar terjadi, de Bono meyakinkan kita bahwa pemerolehan wawasan baru akan menjadi jauh lebih mudah. Mari kita coba jenis eksperimen ini. Bayangkanlah bahwa saya kecewa akan metode pengajaran saya, dan saya ingin memikirkan beberapa cara pengajaran dengan tatapmuka yang baru, yang kreatif. Agar situasi po berlaku, saya harus berkata dalam hati, ?Guru yang po ialah ...?, dan melengkapi kalimat ini dengan sesuatu yang tidak benar perihal pengajar pada kenyataannya. Apa yang mesti saya katakan? Barangkali ?Guru yang po ialah yang kurang tahu daripada murid-muridnya.? Ini sekadar salah satu pilihan acak di antara karakteristik-karakteristik pertalian guru-murid. Namun kita biasanya sungguh-sungguh mengasumsikan bahwa guru lebih tahu daripada murid-muridnya, sehingga pernyataan di atas, yang sengaja bertentangan dengan asumsi umum ini, bisa berlaku dengan baik sebagai contoh situasi po. Apa yang akan terjadi jika pada kenyataannya memang guru lebih tahu daripada murid-muridnya? Wah, andaikan demikian, jika saya ditugasi untuk mengajar dalam situasi semacam ini, saya akan menghampiri tugas ini dengan kerendahan hati (kalau tidak dengan kecemasan dan gemetar!), dengan mengetahui bahwa saya mungkin harus belajar lebih banyak daripada para mahasiswa saya. Akibatnya, tentu saja saya perlu menghargai mahasiswa saya, dan saya tidak begitu saja mengharapkan secara umum bahwa para mahasiswa wajib menghormati saya sebagai dosen mereka. Lagipula, saya mendorong mahasiswa-mahasiswa itu sendiri agar mereka lebih banyak berbicara, dengan mengajukan pertanyaan kepada mereka, dengan meminta mereka mengajukan pertanyaan kepada saya, atau dengan membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok dan menyuruh mereka berbicara satu sama lain. Karena mahasiswa-mahasiswa yang po itu lebih mengetahui pokok pembicaraannya, dosen yang po akan sangat tolol bila tidak memberi mereka kesempatan yang lebih dari cukup untuk berbagi pengetahuan mereka. Jika sekarang saya melangkah ke belakang dari situasi po ini, dan memasuki kembali ?dunia nyata?, saya dapati saya tanpa dinyana-nyana menemukan beberapa ide baru mengenai bagaimana saya dapat mengembangkan pengajaran saya: saya harus cukup rendah hati untuk belajar dari mahasiswa-mahasiswa saya, menganggap mereka setara [dengan saya] dalam hal pembelajaran, tidak kalut jika mereka kurang menghargai saya, mendorong mereka mengajukan dan menjawab pertanyaan, dan memberi mereka peluang untuk membahas persoalan-persoalan di antara mereka sendiri. Ketika saya memberi kuliah ini pertama kalinya, saya belum menyiapkan wawasan ini: mereka mendatangi saya hanya karena saya bereksperimen dengan metode de Bono di depan kelas. Sekalipun begitu, saya rasa ini pun wawasan yang sangat baik, bukan? Kalau ya, perlu diingat bahwa mereka mendatangi saya khususnya bukan karena saya cerdas; mereka datang karena saya menggunakan po untuk berpikir secara lateral, sehingga menyebabkan saya mengambil perspektif baru yang mengejutkan pada pokok bahasan yang tidak asing. Hal ini dapat anda buktikan sendiri, cukup dengan memakai metode yang sama untuk memikirkan bidang apa saja yang hendak anda kembangkan atau topik apa pun yang perlu anda pandang dengan wawasan yang segar. Ingat saja: berpikir po mengaktifkan wawasan karena ini menyebabkan kita sengaja mengambil perspektif yang setahu kita bertolak belakang dengan situasi nyata—suatu penerapan praktis logika sintetik sekiranya ada! Saya harap contoh-contoh tadi membantu anda dalam melihat banyak manfaat—bahkan, kebutuhan—penggunaan logika sintetik. Saya percaya hal itu, karena selama bertahun-tahun saya perhatikan bahwa mahasiswa pengantar filsafat ternyata seringkali lebih mudah memahami logika sintetik daripada filsuf profesional! Tak pelak, ini sebagian karena filsuf-filsuf Barat acapkali diajar untuk berprasangka dengan dukungan kesahihan logika analitik yang eksklusif. Pada sebagian tradisi, logika didefinisikan sebagai ?analisis?; jadi, tentu saja, siapa pun yang mencoba mengusulkan logika non-analitik dianggap berbicara omong kosong. Namun bagaimanapun, seperti yang telah kita lihat, logika sintetik memperlihatkan pola-pola sebanyak logika analitik; jadi, jika kita definisikan logika sebagai ?pola kata-kata?, maka logika sintetik dan logika analitik jelas-jelas mesti mempunyai hak yang setara untuk disebut ?logika?. (Kebetulan, filsuf-filsuf yang terlatih dalam cara pikir Timur kadang-kadang menyusun prasangka dengan dukungan logika sintetik; ujung-ujungnya, ini tidak lebih baik daripada prasangka Barat. Filfuf yang ?baik? akan mampu menghargai faedah penggunaan keduanya.) Barangkali alasan lain mengapa para pemula dapat menerima logika sintetik dengan begitu mudah adalah bahwa pada aktualnya penggunaan logika sintetik ini kurang memerlukan pelatihan formal daripada logika analitik: logika analitik adalah logika pengetahuan (khususnya dengan berpikir), sedangkan logika sintetik adalah logika pengalaman (khususnya dengan intuisi). Dengan pengertian ini, kita dapat menyebut logika sintetik logika kehidupan. Jika anda membaca ini selaku mahasiswa, kehidupan anda mungkin banyak terfokus pada belajar, menulis makalah, dan menempuh tes. Dengan ingat akan hal ini, saya akan mencurahkan waktu yang tersisa pada kuliah ini untuk menyarankan bagaimana kesadaran terhadap perspektif bisa membantu meningkatkan keterampilan tulis anda—suatu topik yang mestinya menarik semua pembaca, terutama mereka yang menulis lembar mawas. Kita telah memperhatikan bahwa wawasan-wawasan cenderung muncul bila kita belajar mengalihkan perspektif kita (seperti dalam berpikir lateral dan po) dan bahwa logika sintetik adalah logika yang mengatur perubahan-perubahan semacam itu; sekarang kita akan terus memeriksa bagaimana kemampuan untuk memetakan perspektif kita menurut prinsip-prinsip Geometri Logika bisa lebih meningkatkan daya tangkap kita terhadap wawasan. Pertama, izinkan saya mengingatkan anda bahwa sebelum anda menggunakan peta logis secara aktual pada makalah atau esai, anda harus berhati-hati memperkirakan apakah pembacanya akan bisa menerima pemikiran dalam gambar-gambar. Beberapa orang mempunyai preferensi alamiah terhadap tipe berpikir ini, sedangkan orang-orang lain tampaknya benar-benar tidak mampu memahaminya. Disertasi saya sendiri di Oxford pada mulanya ditolak karena salah seorang penguji saya bereaksi alergik terhadap penggunaan diagram-diagram saya. Ia menyatakan tesis saya mengandung ?bahan yang layak terbit?, namun asalkan tidak berisi diagram yang berdasarkan Geometri Logika. Ironisnya, bab yang membela penggunaan diagram saya (Bab III dari KSP) pada saat itu telah diterima untuk diterbitkan di sebuah jurnal profesional yang sangat terpandang. Namun demikian, saya harus merevisi disertasi saya, membuang diagram-diagramnya, sebelum dianggap bisa diterima oleh penguji tersebut. Ini menggambarkan bahwa tanggapan orang terhadap diagram mungkin lebih berkaitan dengan biasnya (umpamanya, mitos yang tak dipertanyakan mengenai seperti apakah tesis akademik seharusnya) daripada dengan keberatan yang bisa disahkan secara rasional terhadap pemikiran yang bergambar. Jika anda kira pembaca anda mungkin memiliki bias semacam itu, anda masih dapat memanfaatkan diagram-diagram untuk turut mengelola pemikiran anda dan merangsang wawasan; namun yang bijaksana adalah anda tidak memasukkan digram di versi terakhir esai anda. Akan tetapi, jika pembaca anda menyukai penggunaan diagram atau sekurang-kurang berpikiran terbuka terhadap hal-hal semacam itu, memasukkan diagram aktual bisa menjadi cara yang mengesankan dalam pembuatan esai yang baik, bahkan lebih baik. Penggunaan peta logis yang paling dasar adalah pembuatan kerangka alur esai anda keseluruhannya, tepat seperti yang saya lakukan untuk buku ini pada Gambar I.1. Yang mungkin belum anda perhatikan adalah bahwa peta 2LAR menyediakan pola yang bisa berfungsi sebagai pedoman universal untuk menyusun argumen yang gamblang dan lengkap. Pada aplikasinya yang paling sederhana, seperti yang tampak pada Gambar V.10, unsur-unsur murni (-- dan ++)-nya mewakili bagian Pendahuluan dan Simpulan esai anda. Di esai yang diorganisasikan dengan baik, bagian-bagian ini bukan sekadar ikhtisar tentang apa yang terkandung dalam bagian-bagian ?sebelum dan sesudahnya?. Tepatnya, pendahuluan yang baik itu membuat sketsa tentang kondisi-kondisi dasar yang membatasi topik, sebagaimana ?pengakuan kebebalan? melakukannya pada matakuliah ini. Begitu pula, simpulan yang baik itu memberi pembaca penerapan praktis yang gamblang dan menarik dan/atau ide-ide untuk penelitian masa mendatang. Seperti yang akan kita lihat di Bagian Empat, ?takjub berkeheningan? melakukan hal seperti itu pada kajian kita tentang filsafat. Sebaliknya, unsur-unsur campuran (+- dan -+) akan menghadirkan dua perspektif yang berlawanan pada topik dalam genggaman. Dalam kasus kita, berpikir (logika) dan berbuat (kealiman) merupakan dua lawanan yang menyita perhatian kita pada Bagian Dua dan Tiga. Dengan memandang lawanan-lawanan ini sebagai dua perspektif, kita pada khususnya bisa menghasilkan esai yang berwawasan luas dalam hal-hal yang di dalamnya pandangan-pandangan yang diperiksa di dua bagian ini cenderung diakui sebagai teori-teori atau pendekatan-pendekatan yang bersaingan. Jika anda dapat secara efektif menunjukkan bagaimana keduanya pada aktualnya kompatibel dan/atau memberi penjelasan yang gamblang tentang mengapa inkompatibilitas tertentu tak terhindarkan, cara anda dalam menulis potongan yang mengesankan akan baik-baik saja. IV. Simpulan (aplikasi dan implikasi) III. Perspektif B I. Pendahuluan (reinterpretasi sudut lama) (kondisi pembatas) II. Perspektif A (sudut baru pada topik) Gambar V.10: Empat Bagian Organisasi Esai Penyusunan rencana format yang ditentukan lebih dahulu tentang apa yang hendak anda tulis tampaknya mula-mula seperti prosedur yang batil: karena dunia nyata tidak terbagi dengan begitu rapi, bagaimana kita bisa tahu lebih dahulu apakah topiknya pada aktualnya akan cocok dengan pola logis serapi itu? Kant akan menjawab bahwa pertanyaan semacam itu mengabaikan fakta bahwa akal itu sendiri mempunyai hakikat yang pada dasarnya arsitektonik. Maksudnya, pemikiran kita adalah (atau seharusnya adalah!) tertata dan terpola, sehingga dalam esai apa pun yang menggunakan pikiran rasional, tatanan itu mestinya tidak untung-untungan. Tentu saja, isi esai apa saja tidak mungkin ditentukan lebih dahulu dengan cara ini. Namun jika esainya adalah yang bisa berakibat baik bila ditulis secara gamblang dan tertata, maka memilih pola seumum 2LAR benar-benar akan menjamin peningkatan level kejernihan dan kemampuan persuasif. Sebagian esai mungkin begitu rinci sehingga memerlukan pola yang lebih rumit, seperti 12CR yang dipakai dalam mengorganisasi kuliah ini (dan rangkaiannya, DW, di samping KSP dan KCR). Pendekatan lainnya, yang diambil oleh kebanyakan penulis esai-esai filosofis yang sangat abstrak pun, adalah membagi esai begitu saja menjadi sejumlah seksi secara serampangan tanpa mengikuti aturan apa pun. Namun ini membiarkan pembaca tanpa petunjuk semisal mengapa esainya dibagi dengan cara sedemikan ini, dan bukan dengan cara lain. Sejauh ini, manfaat terbesar yang datang dari penggunaan Geometri Logika untuk merencanakan lebih dahulu unsur-unsur tulisan adalah bahwa melakukannya itu mengundang perhatian pada perbedaan yang tajam dan mempertimbangkan hubungan yang sebelumnya tak terdeteksi antara berbagai anasir pembicaraan. Di dua kuliah pertama pekan ini, saya memberi beberapa contoh tentang bagaimana peta geometris dapat dipakai untuk membantu mengembangkan wawasan. (Ingat pelangi?) Contoh semacam itu teramat banyak, sehingga bisa saja saya penuhi buku ini dengan contoh-contoh semacam itu dengan mudah! Namun demi maksud kita, cukup disediakan satu contoh lagi yang menggambarkan bagaimana sebuah peta dapat membantu kita dalam memperluas wawasan kita dengan menemukan perspektif baru pada topik lama yang tidak asing. Ketika saya menyiapkan edisi-keempat buku ini, saya telah mengajar Pengantar Filsafat lebih dari tigapuluh kali, selalu dengan menggunakan sesuatu seperti Gambar I.1 dan I.3 pada hari pertama sebagai tinjauan awal tentang apa yang bisa diharapkan oleh mahasiswa. Lalu pada suatu hari selepas pertemuan Philosophy Cafe di Hong Kong ini, saya membahas hakikat keheningan dengan salah seorang peserta. Tiba-tiba sewaktu berbicara saya sadar bahwa Bagian Dua dan Empat matakuliah ini bisa diperikan sebagai dua jalan manusia yang mengalami makna. Karena itu, kata ?makna? bisa melabeli kutub vertikal pada Gambar I.3. Sepulang saya malam itu, label kutub vertikal yang terbayang ini menyebabkan saya penasaran: Lantas, bagaimana seharusnya kutub horisontal dilabeli? Kalau saya tidak mengorganisasikan matakuliah ini dengan menggunakan Geometri Logika, pertanyaan ini pasti takkan pernah muncul. Namun kini amat jelas bahwa saya terkejut, selama 13 tahun saya belum pernah memikirkan hal ini! Selama beberapa minggu saya merenungkan masalah ini tanpa sampai kepada sebuah jawaban. Kemudian, dalam sebuah percakapan dengan seorang mantan mahasiswa, akhirnya saya duduk dan menggambar diagram. Dengan mengamati kutub horisontal dengan ?kebebalan? pada satu ujung dan ?pengetahuan? pada ujung lain, tiba-tiba terbersit dalam pikiran saya dua jawaban yang baik: Bagian Satu dan Tiga keduanya berkenaan dengan realitas, namun dari dua perspektif yang berlainan (hakiki dan non-hakiki); namun cara yang lebih alamiah untuk mengkontraskannya dengan ?makna? adalah mengacu padanya sebagai ?keberadaan?. Wawasan baru saya menjadi lengkap: keseluruhan tujuan matakuliah ini adalah berbagi visi tentang apa makna keberadaannya. Pertanyaan Perambah 1. A. Bagaimana cara anda memetakan hubungan majemuk yang lebih tinggi daripada 12CR? B. Mungkinkah ada pembagian analitik dengan tingkat-setengah (umpamanya, 1½LAR)? .............................. .............................. 2. A. Bisakah salib dipakai untuk memetakan hubungan sintetik? B. Bisakah segitiga digunakan untuk memetakan hubungan analitik? .............................. .............................. 3. A. Bisakah ?x? dan ?+? (atau ?x? dan ?-?) disintesis? B. Apakah bilangan ajaib nyata-nyata ada? .............................. .............................. 4. A. Seperti apakah berpikir po lateral? B. Mungkinkah kita bisa memiliki wawasan yang takkan bisa dipetakan? .............................. .............................. Bacaan Anjuran 1. George Boole, An Investigation of the Laws of Thought on Which are Founded the Mathematical Theories of Logic and Probabilities (London: Dover Publications, 1854). 2. Stephen Palmquist, Kant’s System of Perspectives, Bab III, ?The Architectonic Form of Kant‘s Copernican System? (KSP 67-103). 3. Stephen Palmquist, The Geometry of Logic (belum terbit; naskah sementara tersedia di http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/gl/toc.html). 4. Underwood Dudley, Numerology: Or, what Phytagoras wrought (Washington D.C.: The Mathematical Association of America, 1997), Bab 2, ?Phytagoras?, pp. 5-16. 5. Robert Lawor, Sacred Geometry: Philosophy and practise (London: Thames and Hudson, 1982). 6. Edward de Bono, The Use of Lateral Thinking (Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1967). 7. Edward de Bono, Po: Beyond yes and no (Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1972). 8. Jonathan W. Schooler, Marte Fallshore, dan Stephen M. Fiore, ?Putting Insight into Perspective?, Epilog dalam R.J. Sternberg dan J.E. Davidson (ed.), The Nature of Insight (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1995), pp. 559-567. Catatan Penerjemah Pekan VI Filsafat Bahasa 16. Filsafat Analitik: Positivisme dan Bahasa sehari-hari Dengan telah memeriksa tiga cara penerapan pembedaan logis antara ?analisis? dan ?sintesis?, dan dengan agak rinci telah merambah penerapannya pada Geometri Logika, tugas kita yang tersisa di Bagian Dua ini adalah mempertimbangkan bagaimana penekanan yang berlebihan pada analisis atau pun pada sintesis menjadi cara pengembangan ide-ide oleh sebagian filsuf. Pada Kuliah 1 yang lalu saya memperlihatkan perbedaan dua gerakan yang berlawanan yang mendominasi filsafat Barat selama sebagian besar dari abad keduapuluh: analisis linguistik dan eksistensialisme (lihat Gambar I.2). Kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Sekalipun begitu, seperti yang telah kita duga, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung demi melanjutkan keberadaan masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh sebab itu, mestinya tidaklah sampai mengejutkan [tatkala] kita dapati bahwa, menjelang akhir abad itu, kedua kecenderungan tersebut mulai sama-sama gugur, dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni, yang terpenting, filsafat hermeneutik. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Jadi, pada pekan ini kita akan mencurahkan sebuah kuliah bagi masing-masing. Pada jam kuliah ini kita hendak membahas anasir utama gerakan filosofis yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad yang lalu, yang dikenal sebagai ?analisis linguistik?. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti ?filsafat analitik?, ?filsafat linguistik?, atau ?filsafat bahasa?, bergantung pada preferensi filsuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat memerikan pendekatan ini sebagai sesuatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filsuf. Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang pas tentang apa yang terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Namun di tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang yang akar-akarnya pada bahasa manusia. Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan pengetahuan [yang dicanangkan] oleh Kant—sampai pada pengertian bahwa gagasan ?peralihan transendental? dalam berfilsafat dikira, oleh banyak filsuf saat ini, identik dengan ?peralihan linguistik?. Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama Gottlob Frege (1848-1925). Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Yang lebih penting, ia percaya logika mampu mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan para logikawan bisa mengembangkan cara pengungkapan makna linguistik seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara ?arti? (sense) proposisi dan ?acuan? (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan sekaligus acuan. (Ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan, dengan peryataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi.) Frege juga menyusun notasi baru yang memungkinkan terekspresikannya ?penentu kuantitas? (kata-kata seperti ?semua?, ?beberapa?, dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filsuf bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat. Salah seorang filsuf pertama yang mengakui teramat pentingnya temuan baru Frege dalam logika ialah Bertrand Russel (1872-1970)—barangkali dialah filsuf Inggris yang paling terkenal di abad keduapuluh. Russel, bersama-sama dengan A.N. Whitehead, menerapkan banyak wawasan Frege dalam menulis buku yang tentu merupakan tulisan terpenting filsafat abad keduapuluh, yang sekurang-kurangnya masih dibaca, Principia Mathematica. Russel mengembangkan banyak ide yang menarik dan berpengaruh pada aneka-macam pokok bahasan selama karir panjangnya. Sayangnya, pada sejumlah kesempatan ia mengubah pandangannya, dengan mengajukan teks yang melawan pandangannya sendiri yang ia bela di tulisan-tulisan terdahulu. Lantaran ia tidak pernah menyusun sebuah sistem filsafat yang taat-asas, aneka-macam idenya itu terlalu sulit untuk diperiksa di sini. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan seorang rekan Russel yang lebih muda, yang memulai karir filsafatnya sebagai murid Russel. Filsuf yang berbahasa-tutur Jerman ini, setelah menempuh studi teknik selama beberapa tahun di Manchester, mengirim esai kepada Russel di Cambridge, memberitahu dia bahwa ia ingin mengkaji filsafat di bawah bimbingan Russel—kalau tidak, ia akan menuntut ilmu lebih lanjut di bidang ilmu penerbangan. Untungnya, bagi dunia filsafat, Russel mengundang pemuda ini untuk menjadi mahasiswanya di Cambridge. Jika Frege dapat dipandang selaku ?bapak? analisis linguistik, maka ?putra? terbesarnya, tak pelak lagi, ialah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Tak lama sesudah datang ke Cambridge, Wittgenstein terjun sendiri, menjadi salah seorang dari dua atau tiga orang filsuf abad keduapuluh yang paling berpengaruh. Sebagian besar dari pengaruhnya menyebar melalui kuliah-kuliah dan les-lesnya, dan melalui murid-muridnya dan melalui filsuf-filsuf lain yang ikut dalam diskusi-diskusi ini dengannya. Wittgenstein sendiri hanya menerbitkan sebuah buku selama hayatnya, yang ia tulis semasa ia masih muda. Akan tetapi, ketika ia meninggal, ia meninggalkan naskah bukunya yang kedua, yang akhirnya diterbitkan pada dua tahun selepas kematiannya. Tiap buku itu meletakkan pondasi bagi versi utama analisis linguistik yang baru. Untuk waktu yang masih tersedia pada jam kuliah ini, mari kita perhatikan dua arah umum ini berturut-turut. Buku Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (1921), sampai diperlakukan sebagai manifesto bagi salah satu versi analisis linguistik yang terawal: ?positivisme logis?. Buku ini berawal dengan penetapan batas-batas dunia linguistik dengan menggunakan serangkaian proposisi yang mendasar berikut ini: 1 Alam adalah semua yang nyata. 1.1 Alam adalah totalitas fakta, bukan benda. 1.11 Alam ditentukan oleh fakta-fakta, dan oleh keberadaan semua fakta. 1.12 Karena totalitas fakta menentukan apa yang nyata, dan juga apa saja yang tidak nyata. 1.13 Fakta-fakta di bidang logika adalah alam. 1.2 Alam ini terbagi menjadi fakta-fakta. 1.21 Setiap benda dapat nyata atau tidak nyata sedangkan segala sesuatu lainnya tetap sama. Di keseluruhan buku ini, Wittgenstein mengikuti bentuk matematis yang seketat pasal pendahuluan ini, dengan menomori setiap paragraf berikutnya dengan urutan yang hierarkis. Bentuk logis ini mencerminkan tujuan lengkap buku tersebut: menyusun serangkaian proposisi analitik yang bisa dimanfaatkan sebagai kerangka pemahaman semua ?fakta? (yakni proposisi maknawi) mengenai alam. Fokus analitik perhatian Wittgenstein adalah bukti nyata tatkala, untuk contoh, ia menyatakan bahwa masing-masing dari fakta-fakta ini ?dapat nyata? (can be the case) (+) ?atau tidak nyata? (or not the case) (-). Setelah menetapkan garis tapal batas yang tajam antara apa yang terhitung sebagai ?alam? (the world) dan apa yang tidak—yakni antara ?fakta? dan ?benda?—Wittgenstein menuturkan jaring rumit proposisi-proposisi logis di bukunya, seksi 2-6. Proposisi-proposisi ini diharapkan mengokohkan kerangka filosofis demi pemahaman segala fakta yang sah bahwa ?alam? (yaitu himpunan semua proposisi maknawi) memperkenalkan diri kepada kita. Ia kemudian menyimpulkan dengan pasal yang laik untuk dikutip dengan panjang: 6.522 Sungguh, ada hal-hal yang tidak bisa dituangkan dalam kata-kata. Hal-hal tersebut maujud dengan sendirinya. Hal-hal tersebut adalah yang mistis. 6.53 Metode filsafat yang benar pada hakikatnya sebagai berikut: tidak berkata apa-apa kecuali apa yang bisa dikatakan, yaitu proposisi-proposisi ilmu alamiah—yakni sesuatu yang tidak berkaitan dengan filsafat—dan lantas, memperlihatkan kepada siapa saja yang mengatakan sesuatu yang metafisis bahwa ia gagal memberi makna pada isyarat-isyarat yang pasti dalam proposisi-proposisinya. Walaupun ini tidak memuaskan orang lain tersebut—ia tidak merasa bahwa kita mengajari dia filsafat—metode ini satu-satunya metode yang benar semata-mata. 6.54 Proposisi-proposisi saya berfungsi sebagai penjelasan dengan cara berikut ini: siapa saja yang memahami saya akhirnya mengakui proposisi-proposisi saya non-akliah (nonsensical), bila ia menggunakannya—sebagai langkah-langkah—untuk memanjat melampauinya. (Jadi, untuk membicarakannya, ia harus melempar jauh-jauh tangganya sesudah ia memanjatinya.) Ia harus melampaui proposisi-proposisi ini, dan kemudian ia akan melihat alam dengan benar. 7 Hal-hal yang tidak bisa kita bicarakan itu harus kita lewati dengan keheningan. Para filsuf analitik telah berdebat dengan lama dan keras mengenai interpretasi yang tepat atas teka-teki di bagian akhir yang mengejutkan pada Tractatus Wittgenstein. Namun jika kita cermati perbedaan antara logika analitik dan logika sintetik, maka makna klaim-klaim tadi cukup jelas. Dengan menghubungkan pembedaan antara ?fakta? dan ?benda? dengan pembedaan antara logika analitik dan logika sintetik, khususnya seperti yang tergambar pada Gambar IV.6, tersirat cara penggambaran struktur utama argumen Wittgenstein di pasal di atas sebagai berikut: ?hal-hal? mistis alam ?fakta? ### = proposisi-proposisi bermakna Gambar VI.1: ?Tangga? Wittgenstein Pandangan Wittgenstein bahwa filsafat apa pun berdasar pada pondasi logika analitik yang ketat belaka pasti membatasi ruang lingkup penyelidikannya pada pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam ?alam fakta? yang dihasilkan, meskipun ini mensyaratkan kita untuk memperlakukan banyak pertanyaan filosofis tradisional sebagai seakan-akan tidak ada. Ia mengakui dengan cukup tepat bahwa alam metafisis ini (yaitu alam ?hal-hal? di luar logika analitik) adalah alam mistis; logika sintetik selalu menjadi alat mistis favorit. Akan tetapi, lantaran keyakinan kukuhnya akan kesahihan logika analitik yang universal dan eksklusif, Wittgenstein terpaksa menyimpulkan bahwa tanggapan yang tepat terhadap alam mistis itu tetap hening. Jika kata-katanya benar bahwa ?hal-hal? semacam itu bukan bagian yang tepat dari tugas filsuf, maka banyak filsafat yang saya ajarkan kepada anda di matakuliah ini pada aktualnya bukan filsafat sama sekali, melainkan tong kosong belaka. Keheningan, sebagaimana yang hendak kita jelajahi di Bagian Empat, pada aktualnya merupakan cara tanggap yang amat tepat terhadap pengalaman mistis. Namun demikian, sebagai binatang yang menggunakan kata-kata, kita manusia tentu mencoba memaparkan pengalaman semacam itu dengan kata-kata. Wittgenstein memerikan upaya ini tatkala ia mengacu pada orang-orang yang memanfaatkan proposisi analitik sebagai ?tangga? (ladder) dengan harapan memanjat melampaui fakta-fakta menuju pemahaman hal-hal secara langsung. Ia memang benar kalau ia bermaksud untuk mengatakan bahwa dalam kasus-kasus semacam itu logika analitik berputar haluan menjadi ?non-akliah?; secara demikian, nasihatnya, cukup tepatlah bahwa seorang manusia harus ?melempar jauh-jauh tangganya sesudah ia memanjatinya?. Ia juga benar sepenuhnya dengan bersikeras bahwa kita harus ?melampaui proposisi-proposisi ini? supaya ?melihat alam dengan benar?; para mistikus jauh lebih tertarik pada pengubahan cara pandang kita terhadap alam daripada cara papar kita terhadapnya. Akan tetapi, yang alpa untuk dipertimbangkan oleh Wittgenstein adalah bahwa alam visi itu mungkin memiliki jenis logikanya sendiri, sehingga kata-kata lain yang tidak masuk akal (nonsense) akhirnya bisa masuk akal (make sense): proposisi-proposisi yang menggunakan logika sintetik itu masuk akal karena membuka mata kita lebar-lebar dalam memandang alam dengan cara baru! Sayangnya, filsuf-filsuf terawal yang mengikuti petunjuk Wittgenstein tidak tertarik pada perambahan implikasi dari acuan-acuan misterius pada ?hal-hal? yang agak ?maujud dengan sendirinya?. Acuan-acuan itu tenggelam oleh pandangannya tentang pembangunan pondasi analitik yang akan memungkinkan filsafat untuk menjadi bentul-betul ilmiah untuk pertama kalinya. Pengikutnya yang paling berpengaruh ialah A.J. Ayer (1910-1989), yang pada usia 26 menulis buku, Language, Truth, and Logic, yang mempopulerkan interpretasi positivis terhadap ide-ide Wittgenstein. Jauh dari membiarkan terbukanya ruang untuk apresiasi yang hening terhadap ?hal-hal yang mistis?, Ayer mengemukakan bahwa karakter non-akliah pengalaman mistis, bersama-sama dengan semua ide metafisis, seharusnya menyebabkan kita membuang itu semua lantaran tidak berguna sama sekali. Jadi, di dekat awal bab pertamanya, yakni ?The Elimination of Metaphysics?, ia menulis: For we shall maintain that no statement which refers to a "reality" transcending the limits of all possible sense-perception can possibly have any literal significance; from which it must follow that the labours of those who have striven to describe such a reality have all been devoted to the production of nonsense. (LTL 34) ([Ini] karena kita hendak mempertahankan bahwa tidak ada pertanyaan yang mengacu pada ?realitas? yang melampaui batas-batas semua kemungkinan pencerapan-inderawi yang barangkali bisa memiliki kebermaknaan harfiah apa saja; dari situ harus dituruti bahwa para pelaku yang telah berjuang untuk memaparkan realitas semacam itu telah tercurah semuanya pada pembuatan hal-hal yang non-akliah.) (LTL 34) Pisau Ayer yang dipakai untuk memangkas semua ilusi semacam itu muncul dalam bentuk sesuatu yang ia sebut prinsip ?verifikasi?. Ia memaparkan prinsip ini dalam bentuk pertanyaan yang menurut dia seharusnya kita kemukakan tentang proposisi apa saja yang diajukan sebagai kemungkinan ?fakta? alam: ?Apakah observasi apa pun relevan dengan penentuan benar-salahnya?? (LTL 38). Jika jawabannya ?Tidak?, maka, dalam pikiran Ayer, tidak ada jalan untuk memverifikasi kebenaran atau kesalahan proposisi yang dibicarakan; dan dalam segala situasi semacam itu, proposisi tersebut sungguh kurang bermakna. Jadi, jika saya mencoba membela kebenaran proposisi semacam ?Tuhan berada?, Ayer mensyaratkan saya untuk memerikan situasi empiris potensial tertentu yang menyebabkan saya membuang keyakinan kepada Tuhan. Contohnya, jika saya katakan saya akan membuang keyakinan kepada Tuhan jika ibu saya wafat secara tragis, maka Ayer mengakui bahwa keyakinan saya sebagian mengandung isi yang maknawi; namun ini pun terutama merupakan keyakinan tentang ibu saya, bukan keyakinan tentang Tuhan. Orang yang mengklaim mempunyai keimanan yang tak tergoyahkan hanya akan dianggap meyakini omong kosong melompong. Ayer menyatakan hal ini dalam bagian berikutnya di bukunya, dengan menerapkan pisau verifikasi untuk memangkas sebagian besar dari hal-hal yang secara tradisional dianggap sebagai bidang penyelidikan filosofis terpenting. Bukan hanya proposisi-proposisi semacam itu, melainkan juga kebanyakan proposisi nilai-nilai moral, religius, dan estetik yang paling dekat dan paling berharga pun dijelaskan secara demikian, paling-paling sebagai sekadar ungkapan keadaan perasaan orang (dan karenanya, dianggap tidak rasional). Akan tetapi, ada masalah yang serius mengenai program Ayer, umpamanya upaya untuk menegakkan seperangkat batas-batas yang disebut ?positif? terhadap penyelidikan filosofis di atas landasan logis tersebut. Masalahnya adalah bahwa prinsip yang melandasi aliran keseluruhan pemikiran itu sendiri tidak dapat lulus uji verifikasi. Dengan kata lain, jika Ayer ada di sini pada hari ini dan kita meminta dia untuk menunjukkan suatu observasi—pengamatan apa pun—yang akan dianggap sebagai bukti prinsip verifikasi, ia tidak akan mampu melakukannya! Mengapa? Karena prinsip ini bukan sekadar ?alat logika?, seperti yang dikira oleh Ayer; prinsip itu sendiri merupakan keyakinan metafisis yang terlalu sering hendak ia buang karena dianggap tidak masuk akal. Artinya, prinsip itu benar kalau saja prinsip itu sendiri kurang bermakna, atau, kalau tidak, prinsip itu salah kalau saja pondasi inti positivisme logis hancur berkeping-keping. Kita dapat mengungkap karakter prinsip verifikasi yang kontradiktif-diri dalam bentuk yang lebih tegas sebagai berikut (dengan mengasumsikan ?PV? mewakili ?prinsip verifikasi? dan ?-v? melambangkan ?proposisi yang tidak bisa diverifikasi oleh observasi sama sekali?): Semua –v kurang bermakna. (= PV) PV adalah sebuah –v. ? PV (jika benar) kurang bermakna. Bentuk argumen ini pasti tidak terlihat asing bagi anda; ini adalah masalah ?mengacuan-diri?, yang diungkap di Kuliah 10 sebagai kesesatan. Walaupun positivisme logis memang mengalami masa kejayaan dengan dukungan banyak filsuf, terutama selama 1930-an dan 1940-an, tidak lama kemudian sifat klaim-klaim dasarnya yang kontradiktif-diri menjadi bukti yang tak tersangkal. Bahkan, bukti itu tak tersangkal sama sekali sehingga Ayer sendiri akhirnya berhenti mencoba membela pandangan positivis yang seekstrim tersebut. Pelajaran yang dapat kita petik dari eksperimen filosofis yang masanya relatif singkat itu adalah bahwa beberapa macam praduga bersifat esensial bagi upaya filosofis apa pun, dan bahwa praduga-praduga semacam itu, sebagaimana mitos-mitos yang kita hadapi di Bagian Satu, selalu melampaui alam pengetahuan yang dibatasi oleh praduga-praduga. Prinsip transenden seperti itu biasanya harus diterima berdasarkan keyakinan, karena tidak bisa dibuktikan dari dalam sistem yang disokong oleh prinsip tersebut; namun tanpa hal itu, tidak ada garis batas di sistemnya, dan karenanya tidak ada pengetahuan sama sekali. Dengan kata lain, positivisme logis mungkin telah berhasil, dalam pengertian tertentu, dalam membuat filsafat menjadi ilmu; namun harga yang harus dibayar adalah mengukuhkan ketidakruntutan dasar yang sangat menodai ilmu modern: keyakinan bahwa pengetahuan bisa dicapai tanpa berakar pada suatu mitos yang mendasarinya. Segera sesudah kita akui sia-sianya keyakinan semacam itu, kita dapat melihat bahwa ?benda-benda? [yang ada dalam pikiran] Wittgenstein itu sama pentingnya dengan ?fakta-fakta? [yang ada dalam pikiran]-nya: tanpa ?benda? kita pun tidak dapat membicarakan ?fakta?! Salah satu perbedaan tajam yang paling menarik dalam sejarah filsafat abad keduapuluh adalah antara adikarya Wittgenstein yang pertama dan adikaryanya yang kedua. Tidak lama sesudah ia menyusun kerangka filsafat positivis, ia melangkah menuju jalan pencerapan tugas filosofis secara amat berbeda. Ia mengawali pandangan barunya dalam Philosophical Investigations (1953), sebuah buku yang diterbitkan setelah ia meninggal, yang sampai diperlakukan sebagai manifesto bagi sebuah versi analisis linguistik lainnya, yang disebut ?filsafat bahasa sehari-hari?. Berbedanya karakter antara dua bukunya sangat jelas, bahkan juga terlihat dari judulnya: Tractatus bersifat logis ketat dan analitik sepenuhnya, sedangkan Investigations ditulis dengan gaya yang jauh lebih longgar, lebih sintetik—tidak berbeda dengan cerita detektif. Batu pondasi filsafat bahasa sehari-hari (yang mengambil alih posisi prinsip verifikasi positivisme logis) adalah prinsip bahwa makna kata atau proposisi ditentukan oleh penggunaannya. Dengan dilengkapi dengan prinsip ini, para filsuf analitik mengalihkan perhatian mereka pada tugas penyelidikan tentang bagaimana kata-kata digunakan dalam bahasa sehari-hari, dengan keyakinan bahwa semua masalah metafisis pada dasarnya bisa ditelusuri jejaknya pada kekeliruan pemakaian beberapa kata kunci yang digunakan. Di samping prinsip penggunaan yang menentukan makna, Wittgenstein menyarankan sejumlah pedoman lain tentang bagaimana mestinya bahasa sehari-hari diselidiki oleh filsuf. Dua di antaranya mesti disebut di sini sebelum kita simpulkan bahasan kita tentang analisis linguistik. Yang pertama adalah bahwa kata-kata mendapatkan makna dengan turut serta dalam ?permainan-bahasa? tertentu. Tepat seperti permainan yang berlainan memiliki aturan yang berlainan, namun semuanya dapat disebut ?permainan?, cara penggunaan bahasa yang berlainan pun mempunyai aturan yang berlainan, namun makna dapat muncul di dalam semua cara tersebut. Ini berarti bahwa ilmu, satu-satunya alam pengetahuan yang bisa diterima oleh positivis logis, lantas dianggap sebagai salah satu dari banyak kemungkinan permainan-bahasa. Kata-kata yang kita pakai dalam konteks non-ilmiah, sebagaimana dalam penalaran moral, dalam penyusunan penilaian estetik, dan bahkan dalam pembangunan sistem keyakinan religius, bagaimanapun, bisa dianggap mempunyai makna yang sah. Walau di setiap kasus itu kita tidak dapat memahami makna-makna sedemikian itu dari luar, kita harus turut serta dalam permainan supaya [dapat] mengerti apa yang terjadi. Karena alasan ini, memahami konsep ?permainan? itu penting sekali bagi para filsuf bahasa sehari-hari. Sebetulnya, ketika saya menempuh studi di Oxford, saya pernah mengikuti serangkaian kuliah oleh seorang filsuf yang merupakan salah seorang murid Wittgenstein. Percaya atau tidak, ia menghabiskan seluruh waktu [yang tersedia] dengan membahas pertanyaan ?Apakah permainan itu?? dengan kami—namun kami tidak pernah sampai pada seperangkat prinsip penentu yang bisa diterapkan pada semua permainan! Sebuah pedoman lain yang diperkenalkan oleh Wittgenstein didasarkan lagi-lagi pada analogi—yaitu bahwa kelompok-kelompok kata kadang-kadang mengandung ?pertalian keluarga? satu sama lain, baik antarkata maupun antarkelompok. Dengan melacak pertalian-pertalian ini dan menyadari pola-pola ruwet yang terlihat pada bahasa sehari-hari, ia percaya para filsuf bisa terhindar dari pengulangan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh filsuf-filsuf masa lampau. Upaya menggunakan suatu kata seolah-olah kata itu anggota keluarga yang tidak terkait dengan bahasa sehari-hari berarti melanggar aturan permainan-bahasa; jadi, tidaklah aneh muncul masalah-masalah yang tampaknya tak terpecahkan sebagai akibatnya. Dengan menggunakan pedoman ini dan pedoman-pedoman lainnya, Wittgenstein mendeteksi sering kelirunya kecenderungan para filsuf dalam memperlakukan kata-kata. Kendati karya deteksi semacam itu kadang-kadang berakhir dengan simpulan yang tidak berbeda dengan pemikiran logis Tractatus (umpamanya, bahwa masalah filosofis itu lantaran kesalahan penggunaan bahasa), nada terbuka dan lenturnya amat berbeda dengan kekakuan karya belianya. Jika positivisme logis mencoba membuat filsafat menjadi ilmu, filsafat bahasa sehari-hari mencoba membuatnya menjadi seni. Dengan cara ini analisis linguistik dalam bentuk tertentunya pada aktualnya menjadi lebih sepenuhnya menghargai pentingnya sintesis—walau tentu saja masih menempatkan analisis sebagai prioritas. Tekanan pada analisis mempunyai faedah lantaran mengundang perhatian para filsuf akan pentingnya penjernihan bahasa. Akan tetapi, salah satu masalah seluruh gerakan ini yang paling serius adalah bahwa dalam banyak kasus para filsuf analitik yang menyatakan klaim mereka, ?kami hanya mencoba membantu menjernihkan hal-hal yang telah anda lakukan tatkala ada menggunakan bahasa?, pada aktualnya juga menyiratkan klaim lain yang amat berbeda. Sebagian dari filsuf-filsuf analitik berfilsafat dengan sikap bahwa pada faktanya, ?kami mengetahui kesalahan tradisi seluruhnya, dan kami tidak membutuhkannya lagi!? Hal ini, tentu saja, merupakan perkataan yang berbahaya, karena tradisi filsafat merupakan tanah di bawah permukaan, tempat pengambilan gizi bagi akar-akar metafisis pohon filsafat kita. 17. Filsafat Sintetik: Eksistensialisme dan Bahasa Tuhan Tekanan yang berlebihan pada logika analitik dalam filsafat, seperti yang telah kita amati, sering menimbulkan pandangan yang mengabaikan semua mitos dalam pencarian sistem ilmiah. Sejauh mana filsuf-filsuf membolehkan cara pikir mitologis untuk memainkan peran dalam berfilsafat barangkali langsung sebanding dengan sejauh mana mereka mengakui beberapa bentuk logika sintetik sebagai komplemen logika analitik yang sah. Seperti yang saya sebutkan di Kuliah 16, fokus kuliah kita saat ini adalah eksistensialisme, sebuah aliran filsafat yang pendukung-pendukungnya cenderung lebih menekankan logika sintetik daripada logika analitik. Gerakan ini berpengaruh dominan di dunia filsafat yang disebut ?Daratan? (yaitu Eropa non-Inggris), khususnya selama paruh pertama abad keduapuluh. Pada aktualnya, banyak hal dalam bagian keempat matakuliah ini yang mengenai persoalan-persoalan yang diangkat terutama oleh para filsuf eksistensialis dalam upaya mereka untuk menerapkan pemikiran filosofis untuk meningkatkan pemahaman kita tentang pengalaman manusia yang konkret. Jadi, pada jam kuliah ini kita dapat membatasi perhatian kita pada persoalan yang lebih terkait langsung dengan logika—yakni masalah tentang bagaimana bahasa keagamaan (religious language), dan ?bahasa Tuhan? (God talk) pada khususnya, mendapatkan maknanya. (Tentu saja, filsuf-filsuf analitik pun juga mencurahkan banyak perhaitian pada persoalan ini; namun di sini kita berfokus pada kecenderungan penanganannya yang dijalani oleh para eksistensialis.) Topik ini berfungsi sebagai sesuatu yang kontras dengan analisis linguistik karena bahasa mengenai Tuhan, yang jauh dari penyingkiran mitos, diakui oleh sebagian filsuf sebagai ?bahasa mitos?. Bahasa keagamaan pada keadaan terbaiknya sering, seperti mitos, menggunakan logika sintetik untuk membantu kita menangani kebebalan kita perihal kenyataan hakiki. Dengan kata lain, ini pada dasarnya merupakan upaya membicarakan hal yang tak terkatakan. Pada kebanyakan agama, ?kenyataan yang tak terkatakan? ini mengacu pada ?Tuhan?—dan, karenanya, pada frase ?bahasa Tuhan?. Namun banyak filsuf yang lebih suka menggunakan istilah yang lebih bersahaja; salah satu contoh penggunaannya yang baik adalah ?Yang-Berada? (Being). Jauh sebelum eksistensialisme muncul sebagai gerakan sendiri yang khas, banyak filsuf dan teolog yang menganut konvensi pembedaan antara manusia (dan semua hal lain yang ada di dunia awam kita), sebagai ?yang-berada?, dan realitas hakiki yang melandasi semua eksistensi, sebagai ?Yang-Berada?. John Macquarrie, seorang teolog eksistensialis kontemporer yang sangat terpengaruh oleh filsafat eksistensialis Heidegger, memaparkan pembedaan ini dalam bukunya, Principles of Christian Theology (PCT 138): .. there could be no beings without the Being that lets them be; but Being is present and manifest in the beings, and apart from the beings, Being would become indistinguishable from nothing. Hence Being and the beings, though neither can be assimilated to the other, cannot be separated from each other either. (... tidak mungkin ada para yang-berada tanpa Yang-Berada yang menyebabkan mereka ada; namun Yang-Berada itu hadir dan maujud dalam yang-berada, dan lepas dari yang-berada, Yang-Berada itu menjadi tak bisa terbedakan dari yang-tiada. Oleh sebab itu, Yang-Berada dan yang-berada, walau tak bisa saling terbaur, tak dapat terpisahkan juga satu sama lain.) Pembedaan antara Yang-Berada dan yang-berada ini berfungsi sebagai titik-pijak utama bagi banyak eksistensialis, kendati filsuf-filsuf yang tak begitu berpikiran-teologis seringkali lebih suka berpijak dari pembedaan yang bahkan lebih dasar antara Yang-Berada (dan/atau yang-berada) dan yang-tiada. Pembedaan eksistensialis utama tersebut (yang versinya kita ambil di sini) pada bentuk dasarnya bersesuaian dengan pembedaan Kant antara alam pengetahuan-nirmustahi dan kebebalan-niscaya. Meskipun kedua pembedaan itu tidak identik, dan sangat sering diterapkan dengan beragam cara yang berbeda-beda, kita dapat melukiskan pembedaan eksistensial ini dengan menggunakan peta lingkaran yang sama, dengan cara yang sekarang tidak asing (bandingkan Gambar III.5 dan VI.2). Salah satu keuntungan penggunaan kata yang berakar sama untuk menunjukkan kedua tingkat realitas adalah bahwa ini menyiratkan bahwa—sebagaimana kesaksian siapa saja yang pernah mengalami pengalaman keagamaan—Yang-Berada menampakkan sendiri dalam yang-berada. Namun ini memunculkan masalah: dengan adanya perbedaan yang tajam antara yang-berada dan Yang-Berada, bagaimana mungkin kita bisa secara bermakna membicarakan Yang-Berada yang maujud sendiri dalam berbagai yang-berada namun melampaui mereka semua? Inilah masalah pokok bahasa keagamaan; dan secara tradisional ada dua cara untuk menanggulanginya. yang-ada (atau yang-tiada) yang-berada yang eksis (existing beings) Gambar VI.2: Pembedaan Eksistensial Utama Jenis solusi pertama dapat disebut ?cara negasi?. Mereka yang mengambil pendekatan ini bersikeras bahwa kata apa saja yang dipakai untuk memerikan Yang-Berada pasti benar secara harfiah—yakni benar dengan secara serupa dengan penerapan kata yang sama pada yang-berada. Hasilnya adalah bahwa cara pendekatan terhadap bahasa mengenai Tuhan ini menghadirkan deskripsi yang sangat bersahaja tentang kenyataan hakiki atau, kalau tidak, tiada deskripsi sama sekali. Kita telah bersua dengan beberapa wakil khas pendekatan ini. Salah satu contohnya yang terawal dan terbaik adalah kutipan panjang di Kuliah 12 dari Pseudo-Dionysius. Proposisinya, seperti yang kita lihat, membatasi keberadaan yang dibicarakan yang pada praktisnya hambar jika kita menafsirkannya hanya dengan menggunakan logika analitik, padahal itu bisa menunjukkan makna-makna yang lebih dalam jika kita menafsirkannya dengan memanfaatkan logika sintetik. Teori Kant tentang pengetahuan, yang garis-besarnya terdapat di Kuliah 8, juga sering ditafsirkan bahwa teori ini menyiratkan keterbatasan bahasa secara ketat pada alam keberadaan. Adapun Tractatus Wittgenstein, tentu saja, berujung pada saran yang jelas bahwa kita tetap membisu bila sampai pada ?hal-hal mistis? yang ?maujud sendiri? kepada kita, melampaui ?alam fakta?. Pendekatan kedua yang menjelaskan bagaimana kata-kata bisa dipakai untuk menyusun ekspresi maknawi mengenai suatu ?Yang-Berada? hakiki disebut ?cara afirmasi?. Menariknya, ketiga filsuf tersebut di atas, dalam beberapa hal, tidak hanya mengusulkan ?cara? yang negatif, tetapi juga ?cara? afirmatif komplementer—bukti yang mengisyaratkan bahwa mereka semua layak disebut filsuf ?yang baik?. Investigations Wittgenstein bisa dianggap sebagai upayanya untuk menempa cara afirmatif. Filsafat moral Kant, yang akan diulas di Kuliah 22, sengaja disusun sebagai komplemen afirmatif bagi pembatasan negatif yang dipancangkan oleh epistemologinya. Adapun Pseudo-Dionysius sendiri pada aktualnya ialah filsuf yang menamai dua cara ini; yang mengejutkan, uraiannya tentang cara afirmatif pada kenyataannya panjang-lebar, padahal teologi negatifnya sangat sederhana. Para filsuf dan teolog yang menggunakan cara afirmatif acapkali mengembangkan pendekatan tersebut dengan memanfaatkan sesuatu yang disebut ?analogi tentang yang-berada?. Analogi ini menyatakan, dengan cukup sederhana, bahwa dalam hal tertentu ?Yang-Berada? terhadap ?yang-berada? itu seperti ?yang-berada x? terhadap ?yang-berada y?. Kita dapat mengungkapkan ide tersebut dalam bentuk persamaan matematis sebagai berikut: Yang-Berada yang-berada x -------- = ---------- yang-berada yang-berada y Analogi ini tidak menyiratkan bahwa setiap pertalian antara dua yang-berada agak serupa dengan pertalian antara Yang-Berada dan semua yang-berada, tetapi hanya bahwa dalam hal tertentu keserupaan semacam itu sampai ke benak kita sebagai cara penggunaan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan pengalaman kita tentang Yang-Berada. Contohnya, Yesus mengalami hubungan antara bapak dan putra, sehingga ia mengajari pengikut-pengikutnya agar berdoa kepada ?bapa mereka di surga?. Inilah analoginya: Tuhan bapa ------- = ----- manusia putra yang di situ, ?bapa? tentu saja mengacu pada ayah ideal yang sempurna. Analogi tentang ?yang-berada? itu memungkinkan kita untuk memecahkan paradoks menarik yang muncul dari pembedaan eksistensial utama antara Yang-Berada dan yang-berada. Paul Tillich (1886-1971), seorang eksistensialis Jerman yang sebagian besar dari hidupnya dijalani di AS, mengemukakan bahwa jika kita mengakui Tuhan sebagai ?yang-ada? atau ?latar bagi yang-berada?—yakni jika Tuhan lebih kita anggap sebagai Yang-Berada daripada sebagai salah satu dari ?yang-berada? yang eksis di sekitar kita—maka pada hakikatnya mengatakan Tuhan itu ?eksis? tidak tepat sama sekali! Salah seorang guru saya pernah mengatakan pernyataan semacam itu yang menunjukkan bahwa Tillich pada hakikatnya ateis. Akan tetapi, penafsiran semacam itu gagal menangkap maksud pandangan Tillich. Interpretasi yang lebih baik adalah yang mengemukakan sendiri yang pernah kita akui bahwa para eksistensialis dari semua tipe gemar menunjukkan bahwa kata “exist” (berada) berasal dari kata Latin ex (“out”) dan sistere (“stand”); jadi, sebagaimana tukasan para eksistensialis yang berpikiran-teologis, ini berarti bahwa untuk menjadi eksis, yang-berada itu harus lebih menonjol daripada Yang-Berada yang merupakan akarnya. Kita akan melihat lebih dekat beberapa ide Tillich di Bagian Empat matakuliah ini; namun untuk sekarang cukup ditunjukkan saja bahwa ia memakai ?cara negatif? ketika Tillich menegaskan bahwa kita jangan, mengikuti peraturan, mengatakan ?Tuhan itu eksis?, karena Tuhan ialah hanya Yang-Berada yang merupakan asal menonjolnya yang-berada yang eksis. Jika kita melihat masalah tersebut dari sudut pandang yang lebih ?afirmatif? dari analogi tentang yang-berada, maka kita bisa mengatakan bahwa mode eksistensi Tuhan (atau barangkali kita dapat menyatakan realitas Tuhan) terhadap mode eksistensi (atau realitas) manusia adalah seperti puncak gunung terhadap lembah di bawahnya, atau seperti matahari terhadap bulan, atau seperti apa saja kekuatan utama atau lebih tinggi lainnya yang kita ketahui terhadap kekuatan jadian atau lebih rendah lainnya yang relevan. Pembandingan semacam itu tidak memberi kita pengetahuan tentang Tuhan, tetapi benar-benar memberi kita cara penggunaan kata-kata untuk mengungkapkan keyakinan kita mengenai bagaimana pengalaman kita tentang Tuhan bisa dipaparkan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, pembedaan antara Yang- Berada dan yang-berada tidak menyiratkan bahwa Tuhan tidak nyata, tetapi bahwa realitas Tuhan pada dasarnya merupakan jenis kenyataan yang berbeda dengan realitas segala yang-berada yang kita ketahui. Sementara Tillich mengatakan bahwa, mengikuti peraturan, tidaklah benar mengatakan salah satu dari ?Tuhan itu eksis? atau ?Tuhan itu tidak eksis?, saya menambahkan bahwa dari sudut pandang logika sintetik yang lebih lentur, kita lebih baik mengatakan bahwa kedua proposisi ini benar dan maknawi, masing-masing dengan caranya sendiri. Ini lantaran Tuhan bukan sekadar yang terbesar dari semua yang-berada yang eksis: kita yang-berada mempunyai eksistensi; Tuhan ialah eksistensi—atau, sebagaimana yang tersurat oleh Macquarrie, Tuhan ?membiarkan-berada? (lets-be) (PCT 141). Ini tentunya merupakan inti utama klaim Tillich bahwa Tuhan tidak secara harfiah ?eksis?. Analogi tentang yang-berada, seperti praktis segala penggunaan bahasa secara metaforis, mendapat maknanya dari logika sintetik. Bilamana kita memakai pertalian-yang-diketahui untuk memerikan pertalian yang tak diketahui, kita mengambil persamaan antara dua lawanan dengan cara yang tak pernah disahkan oleh logika analitik. Jika kita mencoba memahami proposisi ?Tuhan adalah bapa saya? hanya dengan menggunakan logika analitik, kita terpaksa menyimpulkan bahwa proposisi tersebut non-akliah. Ini karena ?bapa? ialah seorang pria yang turut menghasilkan bayi melalui hubungan seksual dengan seorang wanita. Jika Tuhan ialah ?yang-berada yang besar?, maka mungkin ini bisa jadi; sebagian pemeluk agama yang memandang Tuhan dengan cara ini tidak kesulitan untuk memikirkan bahwa Tuhan (umpamanya) ialah seorang tua alim yang (dengan jalan yang sedikit-banyak supernatural) berhubungan seksual dengan Perawan Maria yang menghasilkan Yesus bayi. Namun kalau Tuhan melampaui tapal-batas alam yang-berada, maka konsepsi Tuhan sebagai bapa semacam itu, yang ditafsirkan dengan kekakuan analitik, tidak masuk akal. Walau demikian, jika kita terima logika sintetik sebagai alat yang sah untuk menyusun proposisi maknawi, maka kita bisa mengakui bahwa gagasan kebapakan Tuhan tidak dimaksudkan sebagai deskripsi harfiah tentang Tuhan, tetapi sebagai jalan yang mengejuti kita menuju pemerolehan wawasan yang lebih luas mengenai pengalaman kita tentang Tuhan. Dewasa ini orang-orang Kristen cenderung lupa akan apa yang pasti mengejutkan orang-orang Yahudi yang pertama kali mendengar Yesus berseru ?Allah merupakan bapa kita!? Sekarang ini beberapa orang mencoba mengejuti orang-orang Kristen tradisional dengan cara serupa dengan berseru ?Allah merupakan ibu kita!? Seruan semacam ini mungkin mengusik mereka yang hanya menerima logika analitik: bagaimana mungkin Allah merupakan tidak saja bapa kita tetapi juga ibu kita? Namun demikian, logika sintetik memperlihatkan bagaimana kedua klaim itu bisa benar dengan caranya sendiri-sendiri, masing-masing mendorong perkembangan wawasan yang sah menuju hakikat Yang-Berada. Macquarrie (omong-omong, dialah pembimbing saya di Oxford) telah menyediakan bahasan yang berfaedah tentang kebermaknaan bahasa keagamaan pada umumnya, dan bahasa Tuhan pada khususnya, di bukunya, Principles of Christian Theology. Ia berpendapat bahwa bahasa Tuhan tidak hanya mengungkapkan suatu analogi abstrak, tetapi timbul dari tanggapan eksistensial terhadap suatu jenis pengalaman konkret pada yang-ada (PCT 139). Contohnya, jika seorang manusia mengalami rasa kecil dan hempasan oleh pesona keagungan, seolah-olah [berada] dalam kehadiran kekuatan yang lebih besar atau lebih tinggi yang secara tak terhingga melampaui segala kekuatan yang pernah dialaminya, maka orang itu mengungkapkan proposisi maknawi bilamana ia mengacu pada sumber misterius pengalaman ini (yakni Tuhan) sebagai ?Yang Tertinggi? atau ?Yang-Berada Yang Tertinggi?; begitulah Macquarrie meyakinkan kita. Bahkan bagi orang yang tidak lagi percaya bahwa Tuhan tinggal di suatu tempat yang secara harfiah ?jauh tinggi di angkasa?, metafora ?ketinggian? ini bisa dengan tepat mengungkap tanggapan mereka (yakni rasa rendah) sewaktu [berada] dalam kehadiran Tuhan. Sering dianggap bahwa bahasa Tuhan semacam itu tidak mengacu pada sekadar pengalaman pribadi individu tentang Yang-Berada, tetapi sebagai doktrin yang mesti disetujui oleh setiap orang. Penggunaan dogmatik bahasa keagamaan ini juga bisa memiliki makna yang sah, asalkan bahasa tersebut mencerminkan tanggapan eksistensial terhadap pengalaman bersama (shared) tentang penyingkapan Yang-Berada di umat beragama yang bersangkutan. Di pasal yang membenarkan filsafat Wittgenstein yang terakhir, Macquarrie mengingatkan kita bahwa makna doktrin atau dogma pada hakikatnya ditentukan oleh penggunaannya pada umat beragama (PCT 124-125). Jika kata-kata yang dipakai untuk mengungkap dogma tidak relevan lagi dengan jenis tanggapan eksistensial terhadap Yang-Berada yang dialami oleh umat beragama yang bersangkutan, maka dogma itu kehilangan maknanya, dan harus dibuang atau diungkap dalam bentuk baru. Dengan kata lain, kaum yang beriman harus memandang keimanan mereka tidak sebagai mengandung makna analitik yang tetap, yang selalu bermakna di semua waktu dan semua tempat, tetapi sebagai ekspresi dari makna sintetik yang lentur, yang terkait langsung dengan kenyataan-hidup yang senantiasa-baru dan senantiasa-berubah. Macquarrie juga mencatat bahwa bahasa Tuhan memiliki akar historisnya di dalam bahasa mitos (PCT 130-134). Ia memaparkan pandangan beberapa eksistensialis, bahwa mitos adalah bentuk cerita yang berupaya menjawab pertanyaan yang pada dasarnya subyektif, ?Siapa saya??, dalam bentuk yang diobyektifikasikan. Namun ia mengingatkan bahwa mitos juga mempunyai aspek yang benar-benar obyektif (134): ?Bahasa mitos sesungguhnya mengenai keberadaan manusia, tetapi bahasa tersebut membicarakan keberadaan ini dalam hubungannya dengan Yang-Berada, dalam batas-batas bahwa Yang-Berada menyingkap sendiri.? Dengan kata lain, pengalaman tersebut adalah pengalaman tentang sesuatu yang obyektif, meskipun pengetahuan yang diungkapkannya terutama mengenai keadaan orang yang mengalami pengalaman tersebut. Kendatipun pada hari ini kita ?hidup di zaman pasca-mitologis? (132), alam bahasa mitologis perlu dipahami karena hubungannya dekat dengan bahasa keagamaan: kedua tipe bahasa tersebut banyak bergantung pada penggunaan simbol. Di Bagian Empat matakuliah ini, kita akan mengulas dengan agak rinci bagaimana simbol-simbol tertentu berfungsi dengan cara sedemikian itu supaya memungkinkan kita untuk menangani kebebalan kita akan kenyataan hakiki. Jadi, akan ada gunanya memberi catatan pendahuluan yang singkat tentang bagaimana simbol-simbol berfungsi dalam bahasa keagamaan. Menurut Macquarrie, simbol adalah segala hal di alam yang-berada yang tersingkap dan karenanya mengarahkan perhatian kita menuju alam Yang-Berada. Ia meminta perhatian pada karakter sintetik simbol-simbol tatkala ia mencatat bahwa simbol-simbol itu pasti mengandung ?paradoks? (PCT 145): ?Karena simbol adalah simbol itulah, maksudnya keduanya mewakili hal-hal yang disimbolkannya dan belum mencukupi, maka keduanya harus sekaligus diterima dan ditolak.? Macquarrie juga beberapa kali (contohnya 135-136) menyinggung definisi simbol yang disarankan oleh Tillich. Sebagaimana yang akan kita saksikan di Kuliah 31, Tillich mendefinisikan simbol sebagai lambang yang turut serta dalam realitas yang ditunjukkannya. Dengan kata lain, dalam pengertian tertentu simbol adalah realitas itu sendiri (A), biarpun dalam ertian lain, sebagai obyek empiris belaka, simbol itu bukan realitas (-A). Secara demikian, sebagian penulis menyebut hukum kontradiksi sebagai hukum ?partisipasi?, yang mengatur situasi-situasi ketika ?A berpartisipasi dalam –A?. Perbedaan antara bahasa mitologis dan bahasa keagamaan adalah bahwa pemahaman mitologis itu tetap tak sadar akan alam simbolik kata-kata [di dalam]-nya, sedangkan pemahaman keagamaan yang murni itu mengakui simbol sebagai simbol. Macquarrie mengiaskan bahasa mitologis dengan aktivitas pengimpian dan bahasa keagamaan dengan aktivitas penafsiran impian (PCT 134). Seterusnya ia membahas sejumlah ciri khas penting simbol-simbol. Ia mengamati, umpamanya, bahwa simbol-simbol biasanya hanya berlaku ?di dalam sekelompok orang yang sedikit-banyak terbatas? (136). Akibatnya, barangkali ?tiada simbol pribadi?, di samping tiada ?simbol universal?, karena obyek yang sama seringkali mempunyai makna simbolik yang berbeda di budaya-budaya yang berlainan. Bahkan, Macquarrie mengklaim bahwa ?walaupun Yang-Berada itu ada dan karenanya berpotensi maujud di setiap yang-berada tertentu, sebagian lebih maujud daripada yang lain? (143). Maksudnya, terdapat ?jangkauan partisipasi dalam Yang-Berada?, dari obyek impersonal yang cenderung kurang berpartisipasi sampai yang-berada personal yang lebih berpartisipasi. Maka, alasan bahwa simbol personal sangat lazim dalam bahasa keagamaan adalah bahwa simbol personal memiliki ?jangkauan partisipasi terlebar dalam Yang-Berada dan sehingga pelambangannya terbaik.? Kita tahu ini benar karena yang-berada personal ?tidak sekadar berada, tetapi membiarkan berada? (144). Manusia-manusia yang-berada pada khususnya tidak eksis belaka, seperti batu; mereka juga menciptakan. Inilah salah satu ciri khas utama konsepsi keagamaan tentang peran yang-ada. Sebelum menyimpulkan kuliah ini saya hendak mengingatkan anda bahwa filsafat-filsafat sintetik, seperti eksistensialisme, kadang-kadang disajikan dalam bentuk yang seeksklusif dan seberat-sebelah filsafat analitik pada khususnya. Pada kenyataannya, kedua aliran pemikiran itu sekaligus menggunakan logika analitik dan sintetik: tepat seperti analisis linguistik yang mempunyai filsuf-filsuf positivis logis dan bahasa sehari-hari, eksistensialisme pun mempunyai penganjur ?cara-cara? negasi dan afirmasi. Namun bagaimanapun, filsuf-filsuf analitik cenderung terlampau menekankan logika analitik, sementara para eksistensialis cenderung terlampau menekankan logika sintetik. Yang terakhir ini kadang-kadang menghasilkan pendekatan yang mengatakan peryataan seperti ?Hanya pengalaman subyektif yang benar-benar penting; tradisi filsafat, sejauh mengabaikan pengalaman ini, bisa dibuang.? Namun seperti yang saya sebutkan di akhir Kuliah 16, tradisi itu adalah lahan yang memberi makanan kepada pengalaman itu sendiri; bila tradisi itu dibuang, maka pengalaman itu sendiri tak dapat dijelaskan. 18. Filsafat Hermeneutik: Wawasan dan Kembali ke Mitos Dalam mitologi Yunani kuno, tampaknya ada ?seorang? tokoh yang tampaknya sering menonjol di tengah-tengah yang lain lantaran jauh lebih simbolis daripada yang lain dalam membantu kita memahami hakikat dan makna logika. Dialah Hermes, putra ?haram? dari Zeus dan Maya, putri tertua dari ?Pleiades? (tujuh bersaudara, putri Atlas dan Pleione). Maya melahirkan dia sewaktu bersembunyi di gua; namun setelah tumbuh hampir mendekati ukuran anak kecil, ia menyelinap pada suatu malam, mencuri limapuluh lembu Apollo, dan menyembunyikannya di gua lain. Untuk mengecoh para pengejar, ia menutupi jejak kuku kaki lembu-lembu itu [dan membuat jejak lain] dengan sepatu pahatan sehingga jejak-jejak itu terlihat menuju arah yang berlawanan. Di gua itu ia menemukan api, lalu menyembelih dua ekor lembu menjadi duabelas potong, mempersembahkannya kepada dewa-dewa, masing-masing sepotong. Dengan menggunakan kulit kura-kura dan kulit dua lembu tersebut, ia membuat lyre pertama. Tatkala akhirnya Apollo menemukan tempat persembunyian itu, ia sangat terpesona oleh suara kecapi Hermes sehingga ia menyerahkan seluruh ternak tersebut sebagai tukaran alat musik itu, dan keduanya menjadi teman baik. Untuk menenangkan diri dengan musik seraya menggembala lembu, Hermes membuat seruling gembala dan mulai mempelajari seni nujum yang terlarang. Akhirnya Zeus menjadi sangat terkesan akan keterampilan nujum Hermes sehingga ia mengangkat dia menjadi utusan dari dewa-dewa abadi—salah satu tugas utamanya adalah memberi mimpi kepada yang fana. Tidak seperti kebanyakan dewa Yunani, yang dianggap hanya mengatur satu atau dua aspek kehidupan, Hermes dipandang selaku aneka ragam lambang. Lantaran perbuatan awalnya, ia menjadi dewa bagi pencuri dan penipu, dengan kelicikan sebagai salah satu ciri utamanya. Namun ia juga dipuja selaku dewa bagi musisi, penggembala, pedagang, dan pengrajin, di samping dewa bagi pemain cinta dan penyihir (khususnya dipakai untuk memanterai orang yang dicintai). Di antara semua ciri khasnya, ciri penentu perannya yang lebih menonjol daripada dewa-dewa lainnya adalah tugasnya selaku utusan. (Menariknya, kata Yunani untuk ?malaikat? juga secara harfiah berarti ?utusan Dewa?.) Sebagai salah satu dari beberapa gelintir dewa yang dibolehkan melakukan perjalanan secara bebas antara alam insani dan alam ilahi, Hermes dapat dianggap sebagai dewa tapal batas—gelar yang kelayakannya terbukti di Gambar VI.3. dewa-dewa Hermes (bandingkan Malaikat) penafsiran manusia Gambar VI.3: Hermes selaku Utusan Dewa-Dewa Aliran utama filsafat ketiga pada abad keduapuluh meminjam namanya, dengan alasan yang baik, mengingat sifat mitologis ini. Sebagaimana tugas Hermes ialah mengungkap makna tersembunyi dari dewa-dewa ke manusia-manusia, filsafat hermeneutik pun berusaha memahami persoalan paling dasar dalam kajian umum tentang logika atau filsafat bahasa: bagaimana pemahaman itu sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan pesan-pesan ucapan atau tulisan. Oleh sebab itu, kita dapat mengakui bahwa Hermes ialah representasi simbolik filsuf, yang tugas utamanya (begitu kita akui bahwa sebagai manusia kita bebal perihal kenyataan hakiki) adalah menafsirkan makna kata-kata. Filsafat hermeneutik memiliki akar yang dalam di kebudayaan Barat. Bahkan, Aristoteles sendiri menulis buku berjudul Peri Hermeneias (Tentang Interpretasi), walau ini lebih berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita kaitkan dengan hermeneutika. Bagi Agustinus, Aquinas, dan para Skolastik, hermeneutika adalah persoalan yang signifikan terutama (kalau bukan satu-satunya) karena ada hubungannya dengan bagaimana Bibel mestinya ditafsirkan. Karya pertama yang berusaha secara praktis obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah Introduction to the Correct Interpretation of Reasonable Discourses and Books (1742), karya Johann Chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan hermeneutika sebagai seni pemerolehan pemahaman pembicaraan secara lengkap (entah ucapan entah tulisan), ia mengusulkan tiga prinsip dasar yang harus selalu diikuti: (1) pembaca harus menangkap gaya atau ?genre? pembicara/penulis; (2) aturan logika yang tak bisa berubah dari Aristotelian harus digunakan untuk menangkap makna setiap kalimat; (3) ?perspektif? atau ?sudut pandang? pembicara/penulis harus ditanamkan di dalam benak, terutama ketika membandingkan laporan yang berbeda tentang peristiwa atau pandangan yang sama. Selama abad kedelapanbelas dan terutama abad kesembilanbelas, secara bertahap hermeneutika berkembang menjadi bidang baku telaah akademik, terutama bagi para teolog, lantaran kebermaknaannya dalam membantu penafsiran biblikal. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) mengajar hermeneutika sebagai matakuliah khusus, dengan memperkenalkan banyak wawasan dan ciri baru yang dewasa ini masih dinilai penting. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah bahwa kemampuan kita untuk memahami teks dibatasi oleh ?lingkaran hermeneutika?. Ini mengacu pada pertalian timbal-balik yang terdapat antara bagian-bagian teks (umpamanya, makna setiap kata, frase, dan sebagainya, yang dipertimbangkan dalam sorotan bahasa asal dan tatabahasanya) dan teks keseluruhan yang dipertimbangkan sebagai satu keutuhan yang maknawi (yang acapkali membutuhkan umpamanya pemahaman latarbelakang kultural dan psikologis penulis). Paradoksnya adalah bahwa kita harus memahami bagian-bagian dengan maksud menangkap keutuhannya. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa tugas penafsir tak pernah selesai: semakin paham kita terhadap bagian-bagiannya, semakin akurat pandangan kita terhadap keutuhannya, dan sebaliknya. Saya pikir ?lingkaran? tanpa akhir ini bahkan lebih tepat untuk dianggap sebagai spiral, dengan pemahaman kita terhadap teks itu yang tumbuh semakin lebar, dengan revolusi bagian-keutuhan masing-masing. Seperti yang tersirat di Gambar VI.4, ini mengisyaratkan sebuah cara pemahaman bagaimana hermeneutika menggabungkan sintesis dan analisis: sintesis adalah proses penggabungan bagian-bagiannya menjadi satu keutuhan; analisis ialah proses timbal-balik pembagian satu keutuhan menjadi bagian-bagiannya. satu keutuhan sintesis teks analisis bagian-bagian Gambar VI.4: Spiral Hermeneutik Ada banyak cendekiawan dengan berbagai tingkat minat terhadap filsafat, seperti William Dilthey (1833-1911), yang turut memberi wawasan lebih lanjut untuk pemahaman kita tentang hermeneutika; tetapi fokus utama pekan ini adalah pada abad keduapuluh. Fokus semacam ini pada aktualnya cukup tepat, karena hanya melalui karya salah seorang filsuf paling istimewa abad itu filsafat hermeneutik sungguh-sungguh menjadi cara berfilsafat (sebagai lawan terhadap seperangkat prinsip penafsiran biblikal). Oleh sebab itu, mari kita bahas ide-idenya dengan lebih rinci, dengan suatu pandangan yang menuju pemerolehan pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana filsafat hermeneutik merupakan sintesis filsafat analitik dan eksistensialisme, yang karenanya mewakili sesuatu yang paling dekat dengan filsafat yang ?baik? di abad keduapuluh. Dialah Hans Georg Gadamer (1900- ) yang perkembangannya dipengaruhi oleh filsafat Edmund Husserl (1859-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Husserl menyusun metode filosofis yang bernama ?fenomenologi?, yang mencakup proses yang disebut ?periode transendental? (transcendental epoche), yang dengannya filsuf berupaya mereduksi fenomena ke sifat khasnya yang paling esensial dengan menempatkan segala yang non-esensial ?di luar interval?. Dengan berfokus pada percakapan, Husserl mencoba menjelaskan bagaimana kata-kata menunjukkan realitas obyektif yang melampaui kata-kata itu sendiri. Heidegger, seorang murid Husserl, menggunakan ide-ide gurunya sebagai papan loncat bagi suatu filsafat baru yang menghargai hermeneutika sebagai tugas filosofis inti. Dalam bukunya yang amat berpengaruh, Being and Time (1927), Heidegger mengemukakan bahwa ?Dasein? (sebuah istilah yang bermakna ?yang-berada-di-sana?, tetapi dipakai sebagai nama untuk inti hakikat manusia yang esensial) mempunyai ?prioritas ontologis? di atas semua yang-berada lainnya, karena seluruh manusia memiliki ?keterbukaan? dengan sendirinya (in-built) menuju (atau ?pra-pemahaman? tentang) Yang-Berada. Heidegger menunjukkan, masalahnya adalah bahwa melalui proses ?penutupan?, kita ?melupakan? hubungan initim kita dengan Yang-Berada. Adapun selama Yang-Berada tetap bersembunyi dari pemandangan kita, kita ?terasing? dari akar-akar terdalam kita. Penutupan semacam ini terjadi karena kebanyakan ujaran kita (yakni penggunaan kata) timbul dari hubungan yang ?tidak otentik? dengan Yang-Berada. Jadi, tugas filsuf adalah mengatasi masalah ini melalui proses ?realisasi-diri? dengan syarat bahwa kita, mula-mula dan terutama, mengakui betapa kita dibatasi oleh sifat temporal kita. Sayangnya, Heidegger tak pernah menulis volume kedua [lanjutan dari] buku ini, yang di dalamnya ia menyatakan akan menafsirkan Yang-Berada secara demikian. Gadamer, murid Heidegger, ialah seorang pendatang lambat. Seperti Kant, ia hampir berusia senja tatkala ia menulis adikaryanya, Truth and Method (1960). Buku ini, yang kadang-kadang dijuluki ?Kitab Suci? filsafat hermeneutik Jerman, memperkirakan perbedaan tajam historis antara periode filsafat Pencerahan dan Romantik. Filsafat Pencerahan berpegang pada pandangan yang naif bahwa akal dapat memecahkan semua masalah manusia, asalkan kita mau membuang semua praduga dan memandang alam dari sudut pandang kebenaran universal yang obyektif. Filsafat Romantik menolak ?prasangka terhadap parasangka? ini (TM 240), menggantinya dengan prasangka demi tradisi dan, bersama dengan ini, suatu penghormatan baru terhadap mitos. Jadi, para Romantik memandang alam dari sudut pandang kebenaran individual yang subyektif. Gadamer mengemukakan bahwa dengan sekadar mengatakan ?tidak? terhadap sudut pandang lawan, gerakan ini melakukan kesalahan dasar yang sama dengan kesalahan Pencerahan: para filsuf di kedua tradisi tersebut cenderung tetap tak sadar akan prasangka mereka. Filsafat hermeneutik melampaui kedua gerakan itu dengan mengklaim bahwa memiliki suatu prasangka tidak terelakkan. Gadamer menyatakan, prasangka adalah buruk hanya bila merupakan hasil dari melihat bukti secara terlalu tergesa-gesa. Prasangka yang didasarkan pada rasa percaya kepada otoritas yang sah bukan hanya tidak buruk, melainkan juga merupakan langkah-niscaya dalam pemerolehan segala pengetahuan murni. Kuncinya adalah mengakui bahwa ?otoritas? itu muncul bukan dari posisi orang, melainkan dari pengetahuan orang. Seseorang mematuhi orang lain dengan sukarela bukan melalui paksaan politis, melainkan melalui pengakuan bebas bahwa orang lain tersebut mengetahui apa yang ia bicarakan. Gadamer setuju bahwa tradisi merupakan sumber otoritas semacam itu yang seringkali paling andal; namun bila ini mengemukakan pengetahuan murni, kita harus dapat menyokongnya dengan akal juga. Seperti Kant pula, ia mengingatkan bahwa akal (yakni logika) belaka tidak selalu dapat dipercaya untuk mengarahkan kita menuju kebenaran. Paradoks periode Romantik adalah bahwa, walau ini membangkitkan kesadaran historis manusia, periode ini lalai untuk mengakui bahwa keterbatasan kita, sebagai yang-berada dalam waktu, membatasi kemampuan kita untuk memahami sejarah kita sendiri dengan akurat. Pada jantung ?masalah hermeneutik? (TM 245): ?sejarah bukan milik kita, tetapi kita dimiliki olehnya.? Lantaran penafsir adalah dalam sejarah, proses penafsiran makna teks apa saja adalah tugas yang tanpa akhir. Pemahaman mensyaratkan kita untuk mula-mula mengatasi ?rasa asing? terhadap teks atau obyek yang dipikirkan, dan kita melakukan hal ini dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih dikenal, sesuatu yang telah kita pahami. Inilah alasan mengapa prasangka merupakan bagian yang tak terelakkan dari proses pemahaman, dan mengapa menyadari prasangka kita sangat penting untuk penafsiran teks—atau sebetulnya segala segi pengalaman kita. Kesadaran bahwa penafsir berada di dalam rangkaian kesatuan historis yang sama tatkala menafsirkan apa saja adalah prinsip yang oleh Gadamer disebut ?prinsip sejarah-efektif? (267). Salah satu argumen pokok Gadamer dalam Truth and Method adalah bahwa ?keyakinan naif akan metode ilmiah? (268) ?menyebabkan penyangkalan seseorang akan kesejarahannya sendiri.? Pada aktualnya, upaya apa pun untuk mendapatkan kebenaran harus didasarkan pada suatu metode; dan metode apa saja yang kita pilih itu secara paradoksis pasti membatasi pandangan kita tentang apa yang benar. Ini karena, seperti yang saya tekankan pada berbagai gagasan di sepanjang matakuliah ini, kita bisa mengakui kebenaran sesuatu hanya bila kita memandangnya dari suatu perspektif. (Saya akan mengulas tema ini dengan lebih rinci di Kuliah 24.) Akan tetapi, metode ilmiah itu berbahaya khususnya dalam hal ini, para penganjur lantangnya cenderung memperlakukannya sebagai satu dan satu-satunya metode pencapaian kebenaran; namun dengan tetap bebal akan prasangka (atau ?mitos?, seperti yang kita sebut di Bagian Satu) mereka sendiri, klaim-klaim semacam itu akhirnya bersembunyi sebanyak kebenaran yang mereka ungkap—kalau tidak lebih banyak. Sebaliknya, apresiasi filosofis terhadap prinsip sejarah-efektif memberi kita ?kesadaran akan situasi hermeneutiknya? (268). ?Situasi?, menurut Gadamer (TM 269), adalah ?sudut pandang yang membatasi kemungkinan pandangan.? Batas-batas situasi kita dinamai ?horison?—istilah yang dipinjam oleh Gadamer dari Heidegger—kita. Yang penting dari penyadaran akan cakrawala pribadi kita sendiri ini adalah bahwa ini memberi kita rasa mawas (perspective) mengenai segala yang dapat kita lihat dari sudut pandang tertentu kita. Tanpa kesadaran semacam ini, orang cenderung peduli hanya terhadap kejadian yang terdekat dengan waktu sekarang. Filsafat hermeneutik memecahkan masalah ini dengan menyediakan rasa kesadaran historis—?horison masa lalu? (271)—yang memungkinkan kita untuk memperluas cakrawala kita sehingga ini memasukkan situasi orang lain (orang yang kata-katanya kita tafsirkan). Peleburan cakrawala-cakrawala ini terjadi bilamana kita tafsirkan kata-kata orang lain. Dalam pengertian apakah kita dapat mengatakan bahwa filsafat hermeneutik, seperti yang tersaji oleh Gadamer dalam bentuknya yang paling lengkap dan sistematis, pada aktualnya mensintesis gerakan yang lebih awal, yakni analisis linguistik dan eksistensialisme? Salah satu dari banyak cara pembelaan klaim semacam ini akan mempertimbangkan bagaimana masing-masing cenderung memandang tugas berfilsafat. Para filsuf linguistik memandang sendiri bahwa mereka (idealnya) ialah analis ilmiah terhadap bentuk-bentuk bahasa yang obyektif, sedangkan para eksistensialis memandang sendiri bahwa mereka peramal yang menyeru manusia menuju penghargaan baru terhadap makna (atau kesia-siaan) pengalaman insani. Dengan menganggap bahwa filsafat pada dasarnya adalah percakapan untuk ditafsirkan, Gadamer menggabungkan bias analitik Wittgenstein dan bias sintetik Heidegger (seperti yang ditafsirkan oleh filsuf yang mengaku eksistensialis): filsafat adalah dan harus merupakan upaya, baik untuk menganalisis dan memahami bentuk-bentuk linguistik ekspresi maupun untuk mensintesis dan mengalami dorongan dan tarikan maknawi dari bentuk-bentuk tersebut ketika berkembang dalam komunitas-komunitas yang ditengahi-secara-historis. Sungguh, pelajaran inti yang diajarkan oleh filsafat hermeneutik kepada kita ketika kita memasuki abad keduapuluhsatu adalah sama esensialnya dengan pelajaran yang kita pelajari di Kuliah 10 tatkala kita bahas masalah mengacu-diri: bahwa kebenaran dapat ?ditangkap? hanya selama kita mau mengakui mitos kita. Salah satu cara penekanan pentingnya penyediaan ruang bagi prasangka kita adalah pembedaan antara ?eksegesis? (membaca makna keluar dari teks) dan ?eisegesis? (membaca makna anda sendiri ke dalam teks). Dewasa ini kebanyakan cendekiawan masih menganggap bahwa eksegesis merupakan satu-satunya pendekatan yang sahih terhadap penafsiran. Namun filsafat Gadamer memperlihatkan bahwa membongkar makna teks secara analitis (eksegesis) dan menambahkan wawasan kita sendiri terhadap kemungkinan makna teks secara sintetis (eisegesis) keduanya merupakan aspek penting proses hermeneutik. Salah seorang contoh cendekiawan yang tidak menanggung bias terhadap eisegesis ialah Kant, yang mengemukakan bahwa semua penafsiran biblikal yang berlangsung dalam konteks agama mestinya diberi interpretasi moral, meskipun itu bukan bagian dari makna harfiah teks—asalkan tidak bertentangan dengan makna tersebut. Pada Pekan XI kita akan berbicara lebih banyak tentang pandangan Kant tentang agama. Yang penting di sini adalah bahwa tanpa suatu ukuran eisegesis, pemahaman kita akan jauh dari wawasan dan juga jauh dari makna yang mendalam. Karena itu, sebelum menyimpulkan kuliah ini, mari kita merambah alam wawasan dengan lebih rinci sehubungan dengan pembedaan antara logika analitik dan sintetik. Lantaran kita menyimpulkan tahap kedua dalam eksplorasi pohon filsafat kita, saya ingin memastikan bahwa batangnya, yakni logika, telah memberi anda beberapa wawasan baru mengenai bagaimana kita memahami kata-kata. Pada khususnya, saya harap anda sekarang memperhatikan betapa penting mengakui pertalian yang komplementer antara analisis dan sintesis dalam segala bentuknya. Ingatlah perbandingan yang dibuat di Kuliah 12 antara pembedaan ini dan pembedaan pandangan-wawasan (sight-insight): logika analitik sering menyediakan cara terbaik untuk memaparkan permukaan hal-hal yang kita lihat dan kita alami, sedangkan logika sintetik membawa kita menerobos permukaan, memasuki pendalaman ide-ide baru. Namun ide-ide baru tidak bisa berdiri sendiri. Jika kita memiliki wawasan dan kemudian membiarkannya begitu saja, ini tidak akan menghasilkan buah. Oleh sebab itu, penemuan sintetik wawasan baru harus selalu diikuti dengan kritisisme analitik; dan kritisisme ini hanya dapat dilakukan dengan tepat oleh orang yang terbenam sepenuhnya dalam tradisi itu. Dengan sedikit perubahan terhadap Gambar IV.6, kita dapat melukiskan cara pemerian pertalian komplementer ini antara analisis dan sintesis, pandangan dan wawasan, kritisisme dan penemuan, seperti yang terlihat di Gambar VI.5. Wawasan penemuan (sintesis) kritisisme (analisis) pandangan Gambar VI.5: Analisis dan Sintesis sebagai Fungsi-Fungsi Komplementer Mengingat-ingat peta ini selama kita menelaah Bagian Tiga dari matakuliah ini ternyata bisa cukup berfaedah dalam menuntun perenungan kita mengenai hakikat kealiman. Dalam rangka persiapan kuliah pekan mendatang yang akan mendiskusikan pertanyaan ?Apakah kealiman itu??, saya harap anda masing-masing membaca cerita pendek, Jonathan Livingston Seagull karya Richard Bach. Meskipun kata ?kealiman? tak pernah muncul di cerita itu, saya ingin anda, sewaktu membacanya, mencari isyarat apa saja yang bisa dipegang sebagai hakikat kealiman. Bach bukan filsuf, sehingga bukunya bukan bacaan lazim yang diperlukan untuk tugas kelas filsafat; namun ia orang yang menulis dengan wawasan, dan yang tulisannya sering menyulut api wawasan yang membara di dalam pembaca-pembacanya. Karena itu, harapan saya adalah bahwa diskusi tentang kisah populer seekor burung yang mencari kealiman itu akan memberi kita wawasan yang bisa berlaku sebagai pengantar yang tepat terhadap Bagian Tiga. Pertanyaan Perambah 1. A. Mengapa kebenaran matematis dan alamiah sering cocok? B. Apakah makna kata atau proposisi berbeda dengan penggunaannya? .............................. .............................. 2. A. Apa fungsi sintesis, kalau ada, dalam analisis linguistik? B. Mungkinkah ada bahasa yang analitik seluruhnya? .............................. .............................. 3. A. Mengapa ada sesuatu, bukan yang-tiada sama sekali? B. Adakah jalan tengah antara cara negasi dan afirmasi? .............................. .............................. 4. A. Bisakah kita mengatakan sesuatu yang benar secara harfiah mengenai Tuhan? B. Apakah eksegesis ataukah eisegesis yang lebih penting untuk pemahaman yang baik? .............................. .............................. Bacaan Anjuran 1. Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus 2nd Edition, terj. D.F. Pears dan B.F. McGuinnes (London: Routledge & Kegan Paul, 1974[1961]), §§ 1, 6.1-3, dan 7. 2. Alfred Jules Ayer, Language, Truth and Logic 2nd Edition, Bab Satu, ?The Elimination of Metaphysics? (LTL 33-45). 3. Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations 2nd Edition, terj. G.E.M. Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1968[1953]), §§ 1-25. 4. Bertrand Russel, The Problems of Philosophy (New York: Oxford University Press, 1997[1912]}, Bab 15, ?The Value of Philosophy?, pp. 153-161. 5. John Macquarrie, Principles of Christian Theology, Bab 6, ?The Languange of Theology?, (PCT 123-148). 6. Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: The University of Chicago Press, 1951), terutama Bagian II, ?Being and God?, pp. 163-289. 7. ?Hermes? (http://web.uvic.ca/grs/bowman/myth/gods/hermes_t.html), yang dikelola oleh Laurel Bowman. 8. Hans Georg Gadamer, Truth and Method 2nd Edition, Bagian Kedua, §§ II.1, ?The Elevation of the Historicality of Understanding to the Status of Hermeneutical Principle? (TM 253-274). Catatan Penerjemah BAGIAN TIGA: CABANG ILMU DAN CINTA KEALIMAN Pekan VII Filsafat Ilmu 19. Apakah Kealiman Itu? Saya akan mengawali kuliah ini dengan memberi anda ikhtisar singkat isi buku yang saya sebut di akhir kuliah yang lalu, Jonathan Livingston Seagull, untuk kepentingan sebagian dari anda yang belum berkesempatan membacanya. Setelah itu, saya ingin mendengar jawaban dari anda yang sudah membaca cerita tersebut terhadap tiga pertanyaan berikut ini: 1) Dalam cerita ini, kata terbang melambangkan apa? 2) Mengenai perburuan kealiman, cerita ini mengatakan apa? 3) Ke mana Jonathan pergi di Bagian Dua? Akhirnya, saya akan mengakhiri kuliah pada jam ini dengan menjelaskan bagaimana beberapa pelajaran yang terkandung dalam cerita ini berhubungan dengan berbagai persoalan yang akan kita periksa pada bagian ketiga dari matakuliah ini. Buku kecil tersebut, Jonathan Livingston Seagull, mengisahkan seekor burung yang aneh—burung camar, seperti yang ditunjukkan oleh judulnya. Pada mulanya, burung yang bernama Jonathan ini melakukan eksperimen berbagai cara terbang. Sementara semua kawannya menggunakan keterampilan terbang mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hidup mereka, Jonathan memandang bahwa terbang merupakan keterampilan yang harus dituntut demi cara terbang itu sendiri. Akan tetapi, ketika ia menguji-coba metode barunya untuk terbang dengan kecepatan tinggi, pemimpin-pemimpin kawanannya terusik, yang menanggapinya dengan mengasingkan dia ke ?tebing-tebing yang jauh?. Setelah ia tinggal lama sendirian, dua ekor burung misterius datang dan membawanya ke tempat lain. Di Bagian Dua, Jonathan belajar tentang cara terbang baru yang tidak berfokus pada sayap dan bulu, tetapi pada pikiran dan imajinasi. Ia jauh lebih cepat daripada semua burung lain di dunia baru ini, ketika tiba-tiba ia memutuskan bahwa ia harus kembali ke dunia lamanya. Jadi, ia pulang ke tebing-tebing yang jauh tersebut. Kemudian bagian ketiga dan terakhir dari kisah ini menceritakan bagaimana ia mengumpulkan beberapa burung buangan [seperti dirinya] dan mulai mengajari mereka cara terbang dan cara memahami penerbangan. Tidak lama setelah mereka mempelajari beberapa keterampilan dasar, murid-muridnya bersama-sama dengan Jonathan pulang ke kawanan lamanya, yang dulu membuang mereka. Di situlah mereka menyelenggarakan kursus di pantai, dan akhirnya sebagian dari burung-burung dari kawanan lamanya menunjukkan minat untuk mempelajari cara terbang. Ketika mereka mulai belajar demi mereka sendiri, Jonathan membiarkan mereka tetap mandiri. Nah, mari kita awali dengan pertanyaan pertama. Untuk melambangkan apa penerbangan dalam cerita itu? Siapa yang punya pandangan tentang hal ini? Omong-omong, jangan mengatakan ?pencarian kealiman?, karena itu terlalu gamblang. Telah saya katakan, saya ingin kita memandang keseluruhan cerita itu lantaran memberi kita wawasan menuju pencarian kealiman; jadi, sekarang saya ingin [jawaban] kalian lebih spesifik. Kemudian, dalam pembahasan atas pertanyaan kedua, kita dapat mencoba menerapkan hal-hal yang kita pelajari dari simbolisme penerbangan pada persoalan hakikat mencintai kealiman. Nah, siapa mau menjawab lebih dahulu? Mahasiswa N. ?Kebebasan.? Ya, saya kira itu tempat yang baik untuk bertolak. Bahkan tanpa membaca kisah itu, kita bisa menduga bahwa ini merupakan bagian dari simbolisme yang dimaksudkan, karena mengasosiasikan penerbangan burung dengan kebebasan itu cukup lazim. Barangkali ini merupakan bagian dari alasan pengarangnya yang lebih memilih menulis dongeng tentang burung daripada ikan atau anjing, misalnya. Cerita itu sendiri menguatkan hal ini dengan menuturkan betapa Jonathan memandang bahwa dirinya bebas dari hal-hal yang menjebak camar-camar lain menuju kehidupan yang sia-sia dan menyedihkan, seperti nafsu makan, keberterimaan, dan kekuasaan politik. Ketika ia belajar terbang, ia juga belajar untuk semakin membebaskan diri dari jebakan semacam itu; dan dalam melakukannya, ia belajar mengarungi hidup yang benar-benar maknawi. Di Bagian Dua ia bahkan belajar membebaskan diri dari kecenderungannya yang sudah berlangsung lama yang memandang bahwa terbang harfiah (yakni terbang dengan tubuh fisiknya) merupakan tujuan hidupnya yang terdalam. Akan tetapi, kata ?kebebasan? hampir menyerupai kata ?kealiman? yang sulit dipahami. Jadi, adakah di antara kalian yang menemukan gelagat lain di cerita ini yang dapat membantu kita dalam memahami apakah kebebasan itu? Apa yang harus dilakukan oleh Jonathan supaya memperoleh wawasan tentang hakikat kebebasan? Mahasiswa O. ?Bagi saya, Jonathan tampaknya mencari hal-hal yang tidak diketahui. Dan ini selalu menuntut dia untuk menerobos batas-batas yang sebelumnya telah dipasang olehnya atau oleh burung-burung lainnya.? Bagus sekali. Saya setuju bahwa unsur dari sesuatu yang tak diketahui itu memainkan peran penting di keseluruhan cerita tersebut. Jonathan berniat memburu tujuannya walaupun tampaknya ia tak pernah tahu apa kira-kira pelosok berikutnya—setidak-tidaknya sebelum ia kembali ke kawanannya di Bagian Tiga. Seperti kata anda, pencarian ?kecepatan sempurna?-nya pada kenyataannya merupakan pencarian yang tak bisa tercapai. Akibatnya, secara paradoksis, ia mampu mencapai tujuannya hanya jika ia mau mengakhiri pandangan konvensionalnya mengenai bagaimana hal itu bisa dicapai, terutama asumsinya bahwa hal itu akan bisa dicapai dengan menggunakan ?sayap dan bulu?. Begitu pula, saya pikir anda telah memilih kata-kata yang baik dengan tepat ketika anda mengatakan ia selalu ?menerobos batas-batas …?. Pada faktanya, salah satu alasan mengapa penerbangan burung melambangkan kebebasan adalah bahwa burung-burung tampaknya telah menemukan rahasia pendobrakan rantai-rantai hukum gravitasi, yang membelenggu kita manusia di bumi dengan kencang. Lagipula, cerita itu sendiri menanamkan kesan bahwa penerobosan tapal batas lama merupakan salah satu kunci yang mendasar untuk menyelidiki diri sendiri. Apakah kalian memperhatikan bahwa, di Bagian Satu, Jonathan pada aktualnya mengacu pada salah satu penyelidikan utamanya mengenai penerbangan sebagai ?penerobosan?? Lalu, di Bagian Dua, penemuannya bahwa ?penerbangan? merupakan imajinasi itu bukan saja merupakan penerobosan tingkat keterampilannya, melainkan juga penerobosan pemahamannya. Adapun kepulangannya ke kawanannya di Bagian Tiga pun melambangkan sejenis penerobosan lain, yang juga berkaitan dengan simbolisme penerbangan sebagaimana yang dihadirkan di kisah tersebut. Adakah yang memperhatikan bagaimana penerobosan Jonathan yang terakhir memberi kita cara lain untuk menjelaskan simbolisme penerbangan? Mahasiswa P. ?Kembalinya ia ke kawanannya pada akhir cerita tampaknya seperti tindakan pengorbanan nyata. Padahal, ia bisa terus belajar jauh lebih banyak jika ia tetap tinggal! Bisakah penerbangan melambangkan jenis pengorbanan diri?? Memang bisa. Ingat, Jonathan banyak berkorban di awal cerita hanya untuk memulai pencarian kecepatan sempurna. Pada faktanya, ide ini diungkapkan dengan tepat di salah satu dari pasal favorit saya di keseluruhan buku ini, namun dengan kata-kata yang berbeda dengan yang anda pakai. Tepat seusai Jonathan melakukan penerobosan awalnya di Bagian Dua, gurunya, Chiang, berkata bahwa ia akan segera siap untuk mulai mengerjakan hal yang ?paling sulit, paling bertenaga, dan paling kuat di antara semuanya. Engkau akan siap untuk mulai terbang melayang dan mengetahui makna kebaikan hati dan cinta? (JLS 83). Begitu pula, kata-kata terakhir Chiang kepada Jonathan adalah ?timbulkan cinta selalu? (84). Jonathan memperlihatkan bahwa ia mulai mempelajari pelajaran ini ketika ia sendiri menjadi guru, pada mulanya selaku pengganti Chiang, dan kemudian, Di Bagian Tiga, bagi camar-camar yang memunggungi tebing-tebing yang jauh. Namun ia baru sepenuhnya menunjukkan betapa baik pelajaran ?terbang melayang?-nya ketika pada aktualnya ia pulang ke kawanan lamanya yang pernah mengusirnya. Pelajaran penting lain apa yang bisa kita pelajari dari simbol penerbangan? Di suatu kelas filsafat, salah satu jawaban gamblang, yang diusulkan oleh beberapa mahasiswa saya terdahulu, adalah bahwa penerbangan bagi burung bersesuaian dengan pemikiran, atau mungkin pemahaman-diri, bagi filsuf. Salah satu kemungkinan lain adalah bahwa keseluruhan cerita itu mengenai proses belajar pada umumnya, bagian dari kebebalan akan pengetahuan, yang tentu saja juga merupakan salah satu dari tema-tema utama yang kita kembangkan [sedikit demi sedikit] di matakuliah ini. Sebelum kita berlanjut ke pertanyaan kedua, apakah di antara kalian ada yang punya pandangan lain? Mahasiswa Q. ?Saya pikir, penerbangan melambangkan kesempurnaan karena cerita tersebut beberapa kali menyebut =kecepatan sempurna‘. Kendati kita tak dapat terbang, kita bisa berupaya untuk menjadi sempurna dalam hal-hal yang dapat kita usahakan.? Mungkin begitu, tetapi saya rasa kita harus waspada agar tidak salah paham akan jenis ?kesempurnaan? yang dibicarakan. Saya tidak memandang bahwa kata tersebut hanya mengacu pada yang benar atau yang baik sepanjang masa, kecuali, biarpun kadang-kadang bertentangan dengan ?hukum sejati?, yakni ?kebebasan?, kalau Jonathan berkewajiban mengikuti ?Hukum Kawanan? (JLS 114). Betapapun, kesempurnaan itu amat sangat ideal untuk ditetapkan bagi diri sendiri. Apakah anda pikir pencarian kesempurnaan oleh Jonathan itu membuat dia baik? Apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman-pengalamannya? Mahasiswa Q. ?Ya, tanpa tujuan itu, saya tidak menganggap bahwa kehidupan Jonathan amat maknawi. Saya rasa penerbanganlah yang menjadikan kehidupan Jonathan bermakna.? Jadi, penerbangan bukan sekadar melambangkan pencarian kesempurnaan, melainkan pencarian jenis kesempurnaan yang bisa menganugerahkan makna nyata pada kehidupan duniawi kita secara lain. Ya, saya rasa itulah salah satu inti keseluruhan isi buku ini. Tidak setiap hal bisa berfungsi dengan jalan itu, dan ini berarti kita harus sangat berhati-hati dalam memilih obyek yang kita jadikan pencarian kehidupan kita. Jonathan sendiri, seperti yang telah saya katakan, mengubah cara pandangnya terhadap penerbangan beberapa kali di sepanjang cerita tersebut; setiap datang perubahan tersebut, keikutsertaan [Jonathan] dalam realitas maknawi semakin mendekati pencapaian tujuan terdalamnya. Kita pada aktualnya telah mulai menjawab pertanyaan kedua, yaitu mengenai pelajaran-pelajaran khas cerita ini yang bisa mengajarkan perburuan kealiman kepada kita. Segala ihwal yang disebut sejauh ini berimplikasi bagi pertanyaan kedua; ihwal-ihwal tersebut mestinya cukup jelas tanpa perlu disinggung lagi. Jadi, sebagai ganti terhadap pengulangan hal-hal yang telah kita sebut, mari kita perhatikan apakah dari cerita itu kita bisa menarik wawasan lebih lanjut tentang hakikat kealiman. Jika kita mengasumsikan bahwa keseluruhan cerita itu mengenai sebuah perburuan kealiman individual, maka pelajaran apa yang bisa kita petik? Mahasiswa R. ?Mereka yang benar-benar serius dalam memburu kealiman mungkin menjalani kehidupan dengan sulit dan sendirian.? Mengingat pengalaman Jonathan, kata-kata anda itu tentu terlihat benar. Malahan, mereka mungkin juga disalahpahami oleh yang lain. Jonathan disalahpahami tidak hanya di Bagian Pertama, oleh anggota-anggota kawanannya, tetapi juga di Bagian Dua oleh Sullivan temannya, dan di Bagian Tiga oleh sebagian muridnya. Namun harus kita ingat bahwa kesulitan yang disebabkan oleh kesukaran semacam itu, dalam ertian tertentu, ?mudah? ditangani bagi mereka yang memandang tinggi tujuan perburuan kealiman. (Omong-omong, ini mirip dengan klaim Yesus—kendati banyak ?kata keras? yang ia pakai untuk memerikan mereka yang menyaksikan ?kerajaan Allah?—bahwa barangsiapa yang mengikuti kerajaan surgawi ini akan mendapati bahwa ?Pikulanku nyaman, dan bebanku ringan? [Matt. 11:30]!) Jonathan ialah pelajar yang semacam ini karena ia tidak membiarkan beban yang sejelas itu membebani dia sepanjang waktu. Secara demikian pula, walaupun kehidupan orang yang memburu kealiman tampaknya terpencil menurut standar umum kita, cerita itu sendiri mengatakan bahwa Jonathan ?menjalani kehidupan cerah yang lama? di tebing-tebing yang jauh; dan tak pelak, alasannya adalah bahwa kesulitan-kesulitannya [justru] mencucinya dari ?kebosanan dan kekhawatiran dan kemarahan?, inilah ?alasan-alasan bahwa kehidupan camar amat singkat? (JLS 41). Jika cerita itu berlaku untuk kehidupan nyata, maka segala kesulitan, kegagalan, dan penderitaan yang jelas-terlihat itu merupakan harga yang bernilai tinggi: tanpa itu semua, mustahil ada penerobosan. Mahasiswa S. ?Pencarian Jonathan tampaknya sinambung, kalau bukan tanpa akhir; ia memerlukan kekuatan kehendak untuk setia kepada tugas ini. Saya duga begitu pula untuk perburuan kealiman.? Ya, memang. Namun apa yang memberi kita kekuatan untuk setia kepada tugas yang tanpa akhir semacam itu? Apa yang mencegah kita dari kehilangan harapan dan dari menyerah dalam keputusasaan? Apakah cerita itu memberi kita suatu isyarat [dalam hal ini]? Mahasiswa S. ?Saya percaya Jonathan mampu melanjutkan perburuan tujuannya semata-mata lantaran ia mampu melihat matra yang melampaui ruang dan waktu.? Ini ihwal yang sangat penting. Namun pada aktualnya, jawaban itu membawa kita langsung ke pertanyaan ketiga; jadi, sebelum saya mengomentari jawaban anda, adakah pandangan-pandangan lain mengenai di manakah tempat asing yang dituju oleh Jonathan di Bagian Dua? Mahasiswa T. ?Tidakkah cerita itu mengatakan ia pergi ke surga? Saya mendapat kesan bahwa Jonathan dikira mati di akhir Bagian Satu, dan kedua camar [yang membawanya itu] seperti malaikat yang membawanya ke surga.? Saya tidak terkejut cerita itu memberi anda kesan ini. Memang, tentu saja ini merupakan salah satu interpretasi yang bolehjadi, khususnya karena Jonathan sendiri pada aktualnya menafsirkan tempat barunya dengan cara ini pada awal-mula Bagian Dua, ketika ia berkata dalam hati ?Jadi, inilah surga …? (JLS 57). Namun demikian, tidak lama kemudian (64), setelah menyadari bahwa ia belum mencapai tujuan akhirnya, Jonathan menanyai Chiang ?dunia ini bukan surga sama sekali, bukan?? dan Chiang menjawab ?tiada tempat semacam itu. Surga bukan tempat dan bukan waktu. Surga adalah kesempurnaan.? Sayangnya, ketika Chiang baru saja menjelaskan dengan lebih rinci apa sebenarnya surga itu, Jonathan menyela dia (79)—namun bukan sebelum Chiang berkesempatan untuk memberi tahu Jonathan bahwa kesempurnaan itu sangat berkaitan dengan cinta. Jika tempat yang dituju oleh Jonathan di Bagian Dua bukan surga, karena cerita itu menggambarkan surga lebih sebagai keadaan, maka di manakah tempat itu? Atau, dengan kata lain, tempat itu melambangkan apa bagi kita? Mahasiswa U. ?Bagaimana mengenai =diri‘ atau =benak‘?? Ini merupakan salah satu cara pandang yang baik, namun saya lebih suka mengatakan ia pergi menuju imajinasinya. Ini karena ia mampu melakukan hal-hal di tempat itu yang hanya bisa kita lakukan dalam imajinasi kita. Pada faktanya, salah satu gagasan utama Bagian Dua tampaknya adalah bahwa imajinasi itu sama nyatanya dengan bagian-bagian dari benak kita yang memberi kita pengetahuan tentang alam eksternal. Akan tetapi, betapapun kita hendak menafsirkan tempat itu, ini pastilah tempat yang dimensinya melampaui ruang dan waktu, dan tempat ini pasti lebih mudah kita jangkau daripada sebagian besar dimensi waktu. Jadi, jika kita mengatakan bahwa dalam Bagian Satu, Jonathan mendapati peti harta karun di dalam dirinya sendiri, tetapi peti ini masih terkunci, maka Bagian Dua merupakan tempat yang di dalamnya ia mendapati kuncinya, dalam imajinasi, atau jika anda lebih suka, dalam ide-ide yang terdapat di benaknya sendiri. Adapun di Bagian Tiga, ia membuka peti tersebut untuk membantu mereka yang pernah mengusirnya. Dengan menggunakan eisegesis, kita juga dapat membandingkan tempat yang dituju oleh Jonathan dengan kelas Filsafat. Bagian Satu menyerupai kehidupan kalian masing-masing yang hingga sekarang hidup di alam nyata, tempat belajar kalian mengenai berbagai cara hidup. Namun di Bagian Dua, Jonathan belajar mengenai pembelajaran; aktivitas ?urutan kedua? ini merupakan salah satu cara pemerian tugas filsafat. Interpretasi ini menyiratkan bahwa mempelajari filsafat bukanlah untuk menjadi filsuf profesional yang menulis makalah teknis yang membosankan yang tak terpahami oleh siapa pun, dengan niat menerbitkannya di jurnal-jurnal yang tidak dibaca oleh siapa pun; alih-alih, maksudnya adalah menyiapkan anda untuk kembali ke tempat anda sebelumnya (atau sekurang-kurangnya ke cakrawalanya), namun dengan pengertian yang baru ditemukan dari hubungan anda dengan realitas yang lebih tinggi, suatu realitas yang mampu memberdayakan anda sehingga dapat menuntut ilmu kealiman hingga embusan napas terakhir anda, apa pun profesi anda. Di sepanjang garis-garis yang sama, jika kita pikir bahwa tiga bagian dari cerita tersebut bersesuaian dengan tiga tipe keterampilan, yang timbul dari aspek fisik, mental, dan spiritual manusia (bandingkan Gambar II.8), maka kita dapat menggunakan Gambar VII.1 sebagai peta proses perkembangan yang terlukis dalam kisah kehidupan Jonathan tersebut. II. keterampilan mental (bandingkan “langit”) III. keterampilan spiritual (bandingkan cakrawala) I. keterampilan fisik (bandingkan bumi) Gambar VII.1: Tiga Tahap Kehidupan Jonathan Dengan menengok kembali hal-hal yang telah kita bahas hari ini, kita bisa menyadari tiga pelajaran penting mengenai kealiman ini yang harus kita ingat-ingat di sepanjang bagian ketiga dari matakuliah ini. Pertama, kealiman mensyaratkan pengakuan kita bahwa ada tapal batas antara pengetahuan kita dan kebebalan kita. Hal ini telah banyak kita pelajari dari telaah kita tentang metafisika di Bagian Satu. Kedua, kealiman menghajatkan kepercayaan kita bahwa, kendati ada kebebalan-niscaya kita, bisa saja didapatkan jalan untuk menerobos garis tapal batas ini. Kajian kita tentang logika sintetik di Bagian Dua telah mengajarkan juga pelajaran ini kepada kita. Akhirnya, pelajaran barunya adalah bahwa kita baru benar-benar mulai memahami apakah kealiman itu manakala kita mengakui bahwa, juga sesudah kita berhasil dalam penerobosan batas-batas kita terdahulu, kita harus kembali ke rumah asli kita. Akan tetapi, ada perbedaan krusial antara keadaan-asal kita dan keadaan kita sewaktu kita kembali: sekarang kita memiliki sedikit-banyak kesadaran (walaupun kita tidak dapat menyebutnya ?pengetahuan?) akan kedua sisi tapal batas itu. Salah satu cara yang baik untuk menggambarkan hal ini adalah bahwa ketika kita pulang, kita masih tinggal, sebagaimana adanya, pada tapal batas (atau ?cakrawala?), seperti yang terlukis di Gambar VII.2. II. Penerobosan III. Pengembalian I. Pengakuan kebebalan Gambar VII.2: Kealiman sebagai Pengembalian ke Tapal Batas Mari kita perhatikan secara singkat dua kisah lain yang dengan sangat kuat menggambarkan pentingnya pengembalian ke tapal batas alam terdahulu kita untuk berbagi wawasan yang kita peroleh dengan menerobos tapal batas tersebut. [Cerita] pertama adalah satu bagian dari cerita Plato tentang gua (lihat Gambar II.7) yang belum saya sebut di Kuliah 5. Orang-orang yang bisa menemukan jalan keluar menuju cahaya mentari dan mampu melihat alam sebagaimana adanya, dengan mempelajari keahlian filosofis yang memperhatikan benda-benda menurut formanya, begitu terkesan dengan kekuatan matahari sehingga mereka terpaksa kembali ke gua dengan harapan membebaskan orang-orang yang masih terbelenggu di alam bayangan. Jadi, cerita Plato pada aktualnya mengikuti bentuk yang sama dengan yang terlihat di Gambar VII.2. [Cerita] kedua, yang disadur dari cerita karya G.K. Chesterton (lihat CO), cukup berbeda dengan cerita Plato dan Jonathan, tetapi memiliki pesan yang serupa. Ada seorang anak yang dibesarkan di suatu desa kecil, terpencil di lembah antah-berantah. Pada masa kanak-kanaknya, ia sering mendengar cerita dari tetua desanya mengenai Gunung Besar yang berupa patung wajah orang. Pikirannya begitu terpenuhi dengan ketakjuban akan dongeng-dongeng yang ia dengar sehingga ia meninggalkan rumah, kendati masih belia, untuk mencari gunung masyhur tersebut. Namun demikian, sesudah bertahun-tahun melakukan pengembaraan yang menjemukan ke seluruh pelosok negeri, ia tak pernah menangkap isyarat akan patung yang ia cari. Dengan kekecewaan terhadap hal-hal yang kini ia anggap sebagai tipu muslihat yang muncul semasa remajanya, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Akan tetapi, tatkala mendekati desanya, ia terkejut mendapati bahwa gunung yang terlihat di belakang [desa] itu berwujud khas wajah orang! Semasa remaja, ia tak pernah bepergian cukup jauh dari rumah untuk melihat ?gambaran seutuhnya?, dan begitu ia pergi, ia belum pernah menengok ke belakang. Kini, tentu saja, perjalanannya banyak mengubahnya sehingga ia tak akan menjalani kehidupan di desanya seperti sedia kala: kita bisa mengatakan, ia akan selalu tetap ?di tapal batas?. Nah, dengan memperhatikan wawasan baru ini, mari kita ingat bahwa Bagian Satu dan Dua dari matakuliah ini terutama berhadapan dengan dua bidang filsafat teoretis yang paling penting. Di Bagian Tiga dan Empat kita akan mengalihkan perhatian kita kepada dua bidang terpenting filsafat praktis. Yang pertama bisa disebut ?filsafat terapan?, karena ini mensyaratkan bahwa kita menerapkan logika yang telah kita pelajari pada berbagai jenis ikhtiar manusia. Namun [bidang] ini bisa juga disebut ilmu, karena dalam hal masing-masing, tujuannya adalah menelurkan sejenis pengetahuan. Pada Bagian Tiga ini kita akan mengamati tiga cabang utama pohon filsafat: filsafat ilmu alamiah, ilmu moral, dan ilmu politis. Dalam hal masing-masing, tujuan kita adalah menemukan kondisi tapal batas yang bisa dilampaui (umpamanya dengan logika sintetik), namun masih merupakan rumah yang tepat bagi filsafat mana pun yang hendak memikirkan disiplin-disiplin ini. Dalam melakukannya, kita tidak banyak berbicara tentang kealiman begitu saja. Bagaimanapun, asumsi dasar di sepanjang pengamatan kita terhadap topik-topik ini adalah bahwa dalam pencarian posisi yang tepat bagi garis tapal batas, pada aktualnya kita melaksanakan salah satu dari tugas-tugas terpenting dalam pencarian kealiman. 20. Ilmu dan Anatomi Kealiman Salah satu pelajaran terpenting yang kita pelajari dari bahasan kita di kuliah yang lalu adalah bahwa filsafat, sebagaimana belajar terbang, terutama merupakan keterampilan. Saya ingin memulai kuliah ini dengan menekankan gagasan tersebut, khususnya lantaran delapanbelas kuliah pertama kita terutama berhadapan dengan aspek teoretis pohon filsafat. Jika kajian anda tentang filsafat sejauh ini memberi anda kesan bahwa filsafat itu lebih berupa seperangkat teori atau doktrin daripada aktivitas, maka silakan melupakan kesan itu sekarang juga! Filsafat itu mula-mula dan terutama mengenai sesuatu yang dilakukan. Adapun belajar berfilsafat, dalam banyak hal, serupa dengan belajar bermain sepakbola atau bertutur bahasa. Ada teori-teori dan metode-metode tertentu yang harus dipelajari di sepanjang jalan ini; namun akhirnya anda tak akan menjadi pemain sepakbola yang baik tanpa melatih keterampilan anda di lapangan, dan anda tak akan mahir dalam suatu bahasa tanpa menjumpai beberapa orang yang berbicara dengan bahasa itu dan bercakap-cakap dengan mereka. Contoh-contoh tentang permainan dan bahasa tersebut menyiratkan bahwa dua tahap penting untuk mempelajari keterampilan adalah praktek dan peniruan; hal ini berlaku pula pada keterampilan berfilsafat. Inilah alasan mengapa saya mendorong siapa saja yang mengambil matakuliah ini untuk menyisihkan waktu secara teratur untuk merenungkan masalah-masalah filosofis yang diangkat di kuliah-kuliah ini atau terdaftar di subbab ?Pertanyaan Perambah? pada setiap akhir pekan, dan kemudian menulis lembar mawas sebagai respon. Lembar mawas merupakan peluang anda untuk berlatih berfilsafat. Namun, kecuali jika anda telah punya bakat berfisafat, praktek belaka tidak cukup untuk menuju kesuksesan. Anda juga perlu seseorang untuk ditiru. Dengan mengingat hal ini, saya harap bahwa karena anda mengikuti (atau membaca) kuliah-kuliah ini, anda lebih menaruh perhatian pada cara berfilsafat saya daripada menghafal ?fakta-fakta? mengenai beragam filsuf. Akan tetapi, tepat seperti bahwa ada banyak strategi yang berlainan untuk bermain sepakbola yang baik dan banyak ide yang berlainan mengenai cara terbaik untuk belajar bahasa, ada banyak konsepsi juga yang berbeda-beda tentang cara terbaik untuk berfilsafat, sebagaimana yang telah kita lihat. Inilah alasan mengapa anda juga perlu membaca tulisan-tulisan asli filsuf-filsuf lain (seperti yang disarankan di subbab ?Bacaan Anjuran? di akhir setiap pekan). Ketika membaca teks-teks ini, anda jangan hanya belajar tentang isi gagasan filosofisnya, tetapi juga belajar meniru bagaimana filsuf itu berfilsafat. Akhirnya, anda harus mampu berfilsafat ketika anda membaca, dengan secara aktif menerapkan metode yang tepat melalui dialog dengan teks yang sedang anda baca. Filsafat merupakan keterampilan, namun tidak sama dengan keterampilan lain apa pun. Sesungguhnya, mudah diambil perbandingan yang terlalu jauh antara filsafat dan keterampilan-keterampilan lain. Ini lantaran filsafat pada aktualnya dapat dianggap sebagai keterampilan terdalam atau keterampilan tentang keterampilan. Dengan kata lain, filsafat yang terbaik, sebagai keterampilan pemerolehan gagasan dan penemuan kebenaran di dalamnya, menyediakan pondasi bagi semua keterampilan lain. Inilah alasan sebenarnya mengapa setiap disiplin akademik memiliki ?filsafat ...? yang melekat padanya. Di samping cabang-cabang pohon filsafat yang diperhatikan di Bagian Tiga ini—filsafat ilmu, filsafat moral, dan filsafat politik—kita dapat mengkaji filsafat agama, filsafat fisika (dan filsafat ilmu spesifik lainnya), filsafat seni (dan filsafat seni spesifik lainnya), filsafat pendidikan—dan seterusnya. Bahwa keterampilan berfilsafat merupakan pondasi semua keterampilan itu tercermin pada penegakan pendidikan kita oleh fakta bahwa orang yang menguasai disiplin akademik tertentu biasanya diberi gelar [Ph.D., yakni] ?doktor filsafat?. Walaupun sebagian besar gelar doktoral pada aktualnya tidak mensyaratkan kandidat untuk mengkaji filsafat sebagaimana adanya, nama gelar tersebut benar-benar menyiratkan bahwa si wisudawan telah menguasai pondasi disiplinnya—dan sehingga semestinya, setidak-tidaknya pada prinsipnya, mampu berfilsafat mengenai disiplinnya. Akan tetapi, keterampilan pun yang biasanya tidak ada hubungannya dengan pendidikan perguruan tinggi bisa memiliki ?filsafat ...?, seperti filsafat bermain-catur, filsafat memasak, filsafat berburu, dan lain-lain, sehingga tentu saja ada filsafat kehidupan, belum lagi filsafat kematian. Kedua topik ini, yang akan dibahas di Pekan XII, mengacu pada terutama keterampilan: yaitu mempelajari cara hidup, atau mempelajari cara mati. Bagaimana padangan tentang filsafat sebagai keterampilan ideal itu berkaitan dengan mitos dasar matakuliah ini? Dengan kata lain, jika filsafat itu seperti pohon, maka keterampilan berfilsafat akan kita sebut apa? Kita menggambarkan filsuf dengan cara bagaimana? Filsuf-filsuf menggarap filsafat dengan cara yang banyak menyerupai tukang kebun yang menggarap tanaman di taman: tepat seperti tukang kebun yang tidak menciptakan atau bahkan membangun tanaman, tetapi merawat sesuatu yang telah ada (umpamanya dalam bentuk benih), filsuf pun tidak (atau sekurang-kurangnya jangan) memandang tugasnya sebagai menemukan argumen yang dimulai dari nol atau sebagai membangun sistem dengan corak yang sedikit-banyak mekanis, tetapi sebagai merawat kenyataan yang telah ada (umpamanya dalam bentuk gagasan). Dengan mengingat hal ini, mari kita lihat lebih dekat mitos dasar matakuliah ini. Pohon filsafat yang saya sajikan di matakuliah ini cukup berbeda dengan yang dipaparkan oleh Descartes (lihat Gambar III.1). Pada faktanya, satu-satunya kesamaan dua analogi ini adalah bahwa keduanya mengasosiasikan metafisika dengan akar pohon (lihat Gambar VII.3). Tepat seperti akar pohon yang hampir seluruhnya terbenam di dalam tanah, pokok persoalan metafisika pun hampir seluruhnya tersembunyi dari tatapan keingintahuan benak kognitif kita. Karenanya, pelajaran asasi yang kita petik dari belajar metafisika adalah bahwa, sebagaimana tukang kebun yang akan mudah mematikan pohonnya bila senantiasa mencabut akar pohon itu untuk melihat bagaimana akar-akar tersebut tumbuh, filsuf-filsuf yang menolak untuk mengakui pentingnya kebebalan kita tentang kenyataan hakiki, dan yang justru mengklaim telah menjangkau pengetahuan yang pasti tentang kenyataan hakiki (atau tentang non-eksistensinya), pun akan mudah dengan ceroboh mematikan organisme yang mestinya mereka rawat. akal ontologi ilmu wawasan logika filsuf ilmu baru? metafisika tradisi Gambar VII.3: Pohon Filsafat Batang dan cabangnya, sebagaimana yang telah kita lihat, bagi kita bukan fisika dan ilmu-ilmu lain, melainkan logika dan ilmu (yang di sini [istilah] ?ilmu? diambil dari makna aslinya yang mengacu pada segala ?pengetahuan? yang bisa dibuktikan kebenarannya, bukan hanya pada tipe pengetahuan yang terpola pada metode-metode ilmu fisis). Tepat seperti semua cabang pohon yang tumbuh dari batang, semua pengetahuan (yakni sciens) kita bisa diungkapkan dalam kata-kata (yakni logoi). Kita bisa menambahkan bahwa kulit batang pohon itu seperti logika analitik, yang menunjukkan permukaan pelindung cara pikir kita, sedangkan inti pohon itu seperti logika sintetik, yang membawa kita kepada jantung dan kehidupan pikiran itu sendiri. Walaupun Descartes tidak membawa analogi pohonnya melampaui cabang-cabang, kita akan melihat di Bagian Empat bahwa daun-daun pohon bisa disamakan dengan bidang penyelidikan filsafat yang biasanya dikenal sebagai ontologi (?telaah tentang yang-berada?). Tepat seperti kebanyakan daun-daun pohon yang gugur setiap tahun dan tumbuhlah daun baru di musim semi dalam suatu daur kelahiran, pertumbuhan, kematian, dan kelahiran kembali yang sinambung, fenomena yang akan kita telaah di Bagian Empat pun sering sekejap dan sementara. Sekalipun begitu, sebagaimana daun pohon yang memberinya ciri khas, ciri khas manusia pun ditentukan oleh pengalaman-pengalaman seperti pengalaman keindahan, cinta, keagamaan, dan kematian. Malahan, tepat seperti daun-daun mati yang jatuh ke tanah dan kemudian terurai, dengan tujuan membentuk tanah yang memberi gizi akar-akar pohon, akumulasi generasi pengalaman manusia pun membentuk tradisi yang tidak bisa diabaikan tanpa bahaya, karena inilah yang menjadi landasan pertumbuhan pohon filsafat. Mari kita ambil mitos pohon filsafat ini selangkah lebih maju, dengan asumsi bahwa kita merawat pohon yang mengandung buah. Jika demikian, apa sifat buah ini? Saya menyarankan kita memandangnya sebagai titik-awal berbagai ilmu. Sejarah memberi tahu kita bahwa sebagian besar disiplin yang kini kita akui sebagai ilmu pernah dianggap sebagai cabang filsafat. Matematika, misalnya, bisa dilacak jejaknya pada filsuf Yunani kuno yang bernama Pitagoras (yang ?teorema Pitagoras?-nya barangkali anda pelajari di sekolah). Beraneka-macam ilmu seperti fisika, biologi, psikologi, dan ilmu politik semuanya memiliki asal-usul dalam empirisisme filosofis Aristoteles. Kimia (chemistry) pun berkembang dari disiplin kuasi-filosofis, yakni kimia kuno (alchemy), yang di dalamnya orang-orang yang menyebut diri-sendiri ?filsuf? mencoba mencari cara pengubahan berbagai bahan biasa menjadi emas. (Para kimiawan-kuno pun menganggap ?arbor philosophicus? sebagai simbol proses transformasi ini, walaupun versi pohon filsafat ini, sebagaimana yang diperikan oleh Carl Jung (dalam PSA 420; lihat juga Gambar 122, 131, 135, 188, 221, 231), sangat berbeda dengan yang diberlakukan di matakuliah ini.) Sosiologi dan Ilmu Ekonomi juga berawal dengan segi-segi sistem filosofis. Begitu pula ilmu-ilmu lainnya. Mengapa ilmu-ilmu itu sering muncul dengan cara ini? Pohon filsafat menyediakan jawaban yang masuk akal: cabang pohon ini melambangkan ilmu dalam arti khusus, yaitu cinta akan kealiman; di atasnya tumbuh berbagai jenis buah; bila satu buah semacam ini luruh ke tanah, membusuk, dan kemudian berakar, lahirlah ilmu yang spesifik. Kebetulan, inilah yang menjelaskan mengapa usaha untuk membuat filsafat itu sendiri menjadi ilmu lain adalah sangat sia-sia: pohon filsafat tak akan menjadi suatu ilmu karena ia induk semua ilmu! Tragedinya adalah bahwa pohon-pohon yang lebih muda ini, kendati terlindung sebagai pucuk muda yang lemah di bawah bayangan pohon filsafat, sering mengancam untuk mencekik induk mereka ketika mereka mencapai kedewasaan. Jika pohon-pohon baru yang tumbuh dari buah pohon filsafat adalah ilmu-ilmu spesifik, maka biji yang kita dapati di tengah-tengah setiap buah itu apa? Mungkin biji ini melambangkan gagasan atau wawasan kita. Saya yakin sebagian besar dari kita, kalau tidak kita semua, mempunyai banyak wawasan yang berharga sepanjang hayat kita. Masalahnya adalah bahwa kita biasanya lalai untuk mengakui nilainya ketika biji itu mendatangi kita, sehingga kita menyantap buah manis yang berupa opini, untuk memuaskan nafsu kita, tetapi mencampakkan biji pahitnya, walaupun pada akhirnya biji-biji itu bisa melahirkan pengetahuan. Wawasan harus ditanam, diairi, dan dirawat dengan perhatian kita terus-menerus jika hendak ditumbuhkan menjadi ide yang patut dipertimbangkan oleh orang lain, tidak cuma kita anut sendiri sebagai opini pribadi. Pembedaan antara pengetahuan dan opini ini perlu dipahami sebelum kita melakukan diskusi tentang ilmu dan cinta akan kealiman. Kant, pada halaman-halaman akhir Critique of Pure Reason, menyarankan cara pembedaan yang menarik perihal pembedaan antara pengetahuan, keyakinan, dan opini. Katanya, untuk mengklaim bahwa kita ?mengetahui? sesuatu, kita harus memiliki kepastian obyektif (eksternal) dan sekaligus kepastian subyektif (internal). ?Keyakinan? bisa mempunyai tingkat kepastian yang sekuat pengetahuan, namun kepastiannya hanya subyektif; jika saya merasa pasti akan sesuatu, meskipun fakta-fakta eksternal tidak memadai untuk mengemukakan bukti obyektif (yakni bukti yang memaksa orang lain setuju), maka dan hanya maka saya harus mengatakan ?Saya yakin ...?. Sebaliknya, pada situasi yang di dalamnya saya tidak yakin baik secara obyektif maupun secara subyektif, saya harus mengakui bahwa saya sendiri berpegang pada suatu opini. Pembedaan Kant tersebut pada aktualnya didasarkan pada dua pertanyaan yang membentuk suatu 2LAR: (1) Apakah secara subyektif kebenaran p pasti? dan (2) Apakah secara obyektif kebenaran p pasti? Kant menjelaskan tiga situasi-bolehjadi yang timbul dari dua pertanyaan itu, tetapi ia tidak menunjukkan kemungkinan keempat. Barangkali ia menganggap sia-sia memikirkan proposisi yang secara obyektif pasti, namun secara subyektif tidak pasti. akan tetapi, saya pikir sebaiknya kita tidak terburu-buru menganggap hal ini sebagai 2LAR yang tidak sempurna. Bagaimana dengan mengabaikan? Tidakkah mengabaikan merupakan keadaan sesuatu yang secara subyektif tidak pasti yang pada lubuknya memiliki suatu jenis kepastian obyektif? Jika demikian, maka kita dapat memetakan empat keadaan kognitif itu pada salib 2LAR, seperti pada Gambar VII.4. mengetahui (kepastian subyektif, kepastian obyektif) mengabaikan menyatakan (ketidakpastian subyektif, (ketidakpastian subyektif, kepastian obyektif) ketidakpastian obyektif) meyakini (kepastian subyektif, ketidakpastian obyektif) Gambar VII.4: Empat Keadaan Kognitif Wawasan tak pernah merupakan opini belaka; wawasan lebih menyerupai tercetusnya sesuatu yang baru secara mendadak, suatu kesadaran akan pengetahuan potensial tentang sesuatu yang sebelumnya kita abaikan sepenuhnya. Dengan demikian, segera seusai kita akui kebebalan kita, filsafat menyeru kita agar memfokuskan perhatian kita menuju pengetahuan dan keyakinan dan menjauhi opini. Sebaliknya, ilmu selalu menuju pengetahuan saja, dalam arti kepastian yang bisa dibuktikan secara obyektif. Ilmuwan menelaah hubungan antara fenomena alamiah tertentu dengan mengamati struktur umumnya, dan upaya untuk menemukan pola-pola yang akhirnya mengarahkan kita ke pemahaman beberapa hukum alam yang dipatuhi oleh fenomena yang dibicarakan. Jika suatu fenomena selalu terlaksana dengan cara tertentu, maka aktivitasnya bisa diprediksi; dan tentu saja, salah satu daya tarik terbesar ilmu adalah bahwa, manakala ilmu benar-benar mencapai tujuan puncaknya yang berupa mapannya pengetahuan yang secara obyektif bisa dibuktikan kebenarannya, ilmu itu memungkinkan kita untuk mengetahui masa depan! Sebaliknya, filsafat ilmu tidak dimaksudkan untuk membangun pasal-pasal pengetahuan empiris yang tertentu, tetapi menelaah sifat dasar keseluruhan asumsi dan metode ilmu. Jadi, filsuf ilmu itu bukan mengetengahkan pertanyaan tentang fenomena tertentu, melainkan mengajukan pertanyaan semacam: Apakah ilmu itu? Metode ilmiah apa yang tepat? Yang menghasilkan keandalan ilmu itu apa? dan Apakah ilmu itu memberi kita pengetahuan tentang kenyataan yang bebas seluruhnya dari benak kita? Pada matakuliah ini kita tidak akan mampu menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini dengan sangat cermat. Contohnya, kita takkan bisa lebih mendalami pertanyaan terakhir daripada yang kita lakukan di Kuliah 8, yang di situ kita lihat bahwa Kant, sekurang-kurangnya, yakin bahwa semua pengetahuan ilmiah itu bergantung pada ?kondisi apriori sintetik? yang ditimpakan oleh benak itu sendiri pada obyek-obyek dengan tujuan agar obyek-obyek itu bisa diketahui. Karena itu, aspek kritisisme metafisika ini berkaitan erat dengan filsafat ilmu. Pada kuliah mendatang kita akan melihat lebih dekat salah satu argumen Kant, mengenai pondasi filosofis keandalan ilmu, yang juga mempunyai implikasi bagi hakikat metode ilmiah yang tepat. Namun untuk sekarang saya hendak menambah sedikit komentar tentang hakikat ilmu itu sendiri. Terdapat suatu pandangan umum, yang populer terutama di kalangan ilmuwan dan mahasiswa sains, bahwa kebenaran segala hal harus bisa dibuktikan secara ilmiah. Pandangan ini sering disebut ?saintisme?. Suatu pandangan serupa, yang disebut ?naturalisme?, bahkan memandang lebih jauh lagi, dengan menyatakan bahwa segala hal yang ada itu [bersifat] material, tetap, dan mekanis. Dua pandangan ini sering berjalan seiring, karena penghuni bumi yang ?alamiah? sepenuhnya (dalam ertian khusus ini) takkan bisa menemukan kebenaran dengan metode non-ilmiah apa pun. Sebagaimana yang akan kita saksikan di Kuliah 21, para ilmuwan harus Pekan VIII Filsafat Moral 22. Kebebasan dan Tapal Batas Moral Menjelang akhir kuliah pekan lalu saya membiarkan anda dalam posisi yang kurang nyaman. Ingatkah anda? Anda tersendat di terowongan Lion Rock Tunnel, di dalam bus yang dikemudikan oleh seorang [sopir] yang menyatakan bahwa hal-hal ?terjadi? begitu saja, tanpa disebabkan oleh sesuatu. Apa yang sebaiknya anda lakukan pada situasi semacam itu? Alih-alih menjawab pertanyaan ini secara langsung, saya ingin anda mengubah sedikit cerita itu. Mari kita bayangkan bahwa ketika anda menanyai sopir bus itu mengapa ia menghentikan bus, ia tidak mengatakan ?Saya tidak …?, tetapi ia mengacungkan pistol dan meminta anda memberi dia semua uang anda dan turun dari bus, atau [kalau anda menolak permintaannya] ia akan menembak. Anda mungkin akan mematuhi permintaannya. Namun sesudah bus itu berlalu, kala anda berjalan kaki menyusuri terowongan, anda mungkin menjadi cukup kalut terhadap hal yang dilakukan oleh orang itu kepada anda. Pada faktanya, sebagian besar dari kita barangkali akan melaporkan tindakannya ke polisi sesegera mungkin, dengan menuduh dia melakukan sesuatu yang salah. Apa landasan rasional bagi klaim kita dalam kasus semacam itu? Mengapa kita menilai tindakan orang itu salah secara moral? Dalam filsafat, jenis pertanyaan ini disebut ?etis?. Pertanyaan-pertanyaan etis berkisar pada bagaimana seharusnya kita bertindak. Ada banyak sekali pertanyaan etis—begitu banyak sehingga pada awal kuliah ini pun beragam jenis pertanyaan etis, belum lagi pertanyaan spesifik mengenai kebenaran atau kesalahan tindakan tertentu, belum bisa kita rambah. Pertanyaan etis bagaikan ranting-ranting di ujung suatu cabang pohon: ranting-ranting itu sangat penting, karena di sinilah tumbuh daun dan buah pohon; namun jumlahnya begitu banyak sehingga salah satunya bisa disingkirkan tanpa secara signifikan mengubah penampilan atau kesehatan pohon. Akan tetapi, ada jenis pertanyaan filosofis serupa yang lebih berbobot daripada pertanyaan etis. Semua pertanyaan etis didasarkan pada prinsip-prinsip moral fundamental tertentu, sebagaimana semua ranting yang berdaun disangga oleh salah satu cabang pohon yang besar. Kesadaran akan pertanyaan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ini adalah fundamental jika kita ingin memahami pohon filsafat. Pada suatu masa, ?filsafat moral? dipakai untuk mengacu pada cabang ini sepenuhnya (termasuk ranting-rantingnya). Namun dewasa ini istilah itu jarang dipakai. Segenap cabang filsafat ini yang berkenaan dengan pembangunan pondasi rasional bagi tindakan-tindakan moral itu kini lebih sering diacu sebagai ?etika? saja, dengan ?etika terapan? yang mengacu pada ranting-rantingnya dan ?meta-etika? yang mengacu pada bagian utama cabang tersebut. Namun untuk menghindari kekacauan, saya pikir lebih baik menggunakan istilah ?etika? untuk mengacu pada keseluruhan ?ilmu? (dalam arti luasnya) tentang pembuatan putusan-putusan moral, dan mencadangkan istilah ?filsafat moral? untuk prinsip-prinsip dasar yang melandasi. Secara demikian, ?filsafat moral? adalah cabang pohon filsafat yang berawal dengan pengajuan pertanyaan dasar mengenai moralitas, seperti: Apakah manusia bebas? Bagaimana kita bisa menetapkan perbedaan antara baik dan buruk? dan Bagaimana etika bisa nirmustahil? Tentu saja, istilah ?filsafat moral? tidak mengacu pada ?cara berfilsafat yang baik?, seperti yang diperlawankan dengan filsafat ?immoral? yang buruk. ?Filsuf moral? bisa saja sama immoralnya dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari! Namun bagaimanapun, tujuan hakiki filsafat moral bukan sekadar memahami apakah kebaikan itu, melainkan memanfaatkannya untuk membantu kita menjadi orang yang lebih baik. Begitu pula, sebagaimana Jonathan Si Camar mulai terbang dengan jauh lebih cepat segera seusai ia pahami penerbangan, pemahaman pondasi moral bagi putusan-putusan etis mesti membantu kita menentukan pilihan yang lebih bijaksana dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu filsafat moral yang paling berpengaruh diajukan oleh Immanuel Kant. Kritik pertama Kant membantu kita dalam meraih beberapa wawasan fundamental mengenai hakikat metafisika pada Bagian Satu, sehingga kita akan mencurahkan sebagian besar waktu kita pada jam ini untuk memeriksa Kritik kedua Kant, yang di dalamnya ia menyarankan cara yang menarik dalam menghadapi kebebalan kita akan kenyataan hakiki. Critique of Pure Reason mengambil sudut pandang ?teoretis? untuk menunjukkan bagaimana ruang, waktu, dan kategori-kategori membentuk garis tapal batas yang diperlukan secara mutlak (yakni apriori sintetik) demi pengalaman insani (dan karenanya memungkinkan pengetahuan empiris kita tentang obyek-obyek fenomenal), sedangkan Critique of Practical Reason, sebagaimana yang akan kita saksikan (bandingkan Gambar III.4, III.6, dan IV.4), mengambil sudut pandang ?praktis? untuk memperagakan bagaimana kebebasan dan hukum moral membentuk garis tapal batas yang diperlukan secara mutlak demi tindakan moral (dan karenanya memungkinkan penilaian moral kita tentang obyek-obyek nomenal). Kita dapat memaparkan pembedaan itu dengan peristilahan yang lebih sederhana, dengan mengatakan bahwa Kant dalam buku-buku tersebut mengembangkan dua cara (yaitu dua ?sudut pandang?) yang berbeda dalam memandang alam: ia mengambil sudut pandang kepala di Kritik pertama dan sudut pandang perut di Kritik kedua (bandingkan Gambar II.8 dan III.4). Memandang dua perangkat ide yang berlawanan sebagai wakil-wakil dari dua sudut pandang itu sering dapat membantu kita dalam melihat bagaimana keduanya bisa benar, walaupun mulanya tampak bertentangan. Sebuah contoh yang sederhana akan menolong kita dalam menjernihkan hal ini. Kebanyakan dari anda sekalian barangkali sedikit-banyak pernah melihat salah satu dari banyak gambar yang dipakai oleh psikolog untuk mengetes bagaimana benak kita mencerap obyek-obyek. Ada gambar yang dapat melambangkan dua obyek yang sepenuhnya berlainan, yang bergantung pada bagaimana ini dicerap. Untuk contoh, lukisan yang terdapat pada Gambar VIII.1 terlihat seperti sebuah cawan jika kita berfokus pada bidang gelap di tengah. Namun bila kita melihat sisi-sisinya, tiba-tiba kita melihat dua wajah yang saling berhadapan. Jawaban mana yang benar? Tentu saja, keduanya benar, masing-masing dengan jalannya sendiri-sendiri. Hal yang sama sering berlaku dalam filsafat, bilamana ada dua jawaban yang terlihat bertolak belakang terhadap pertanyaan yang sama, jika ternayata bahwa masing-masing jawaban mendekati pertanyaan dengan cara yang berbeda, atau dengan sudut pandang yang berbeda. Gambar VIII.1: Dua Perspektif Perseptual—Sebuah Cawan ataukah Dua Wajah? Di Kuliah 9 kita melihat bagaimana Kant menyatakan bahwa, dalam proses pemerolehan pengetahuan teoretis, berbagai ?ide? biasanya timbul dalam benak siapa pun yang berpikir secara rasional mengenai pengalaman mereka sendiri: yang terpenting di antaranya adalah ide tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian (lihat CPR 29). Namun ia mengemukakan sebuah masalah mengenai ide-ide itu; jika Kant benar, kita niscaya bebal akan realitas yang ditunjukkan oleh ide-ide tersebut. Ia mengklaim, realitas ?nomenal? tersebut berada di luar tapal batas kemungkinan pengetahuan kita. Namun demikian, kita jangan ceroboh, seperti halnya beberapa penafsir, menganggap bahwa Kant berpandangan skeptis tentang ide-ide tersebut. Padahal, salah satu alasan penolakannya terhadap kemungkinan bahwa kita mempunyai pengetahuan tentang ide-ide tersebut adalah keyakinan bahwa siapa saja justru mustahil membuktikan tiadanya realitas-realitas tersebut. Tak seorang pun bisa membuktikan bahwa pandangan kita tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian itu khayalan belaka, karena untuk melakukannya, orang itu perlu memiliki pengetahuan tentang kenyataan hakiki; dan ini, menurut Kant, mustahil. Karenanya, dengan menyangkal ?pengetahuan? [tentang realitas terdalam] itu, Kant membiarkan terbukanya suatu ruang untuk ?keimanan? kepada ide-ide tersebut (29)—kendati kita masih perlu mencari alasan yang baik untuk pengadopsian keimanan semacam itu, dalam menghadapi kebebalan teoretis kita. Melalui pemeriksaan syarat-perlu, dalam Kritik kedua, bagi dihasilkannya alam moral ketika kita bergelut dengan nafsu (?perut?) kita, Kant berupaya menyediakan penalaran sedemikian itu, atas dasar bahwa ide-ide itu sendiri pada aktualnya mengarahkan kita ke luar dari bidang teori, menuju bidang praktek. Syarat-perlu pertama bagi kebolehjadian tindakan moral ialah kebebasan. Kant menyatakan, kebebasan adalah sebuah dan satu-satunya ?fakta pemberian? akal praktis. Dengan mengambil sudut pandang praktis, kita pada aktualnya menerobos tapal batas ruang dan waktu (batasan ?kemampuan inderawi? kita dan menggantikannya dengan kebebasan. Akan tetapi, kebebasan itu tidak membiarkan kita tersesat dalam alam kebingungan sebebas-bebasnya yang tanpa batas; alih-alih, kebebasan itu sendiri berfungsi sebagai jenis batasan baru. Ruang dan waktu merupakan batas-niscaya kita yang di dalamnya segala hal yang dapat kita ketahui pasti tampak, sedangkan kebebasan ialah batas-niscaya yang dengannya segala tindakan moral harus bersesuaian. Yang terdahulu adalah pembatasan-alam yang ditimpakan pada kepala kita sehingga kita dapat mengetahui kebenaran; yang terkemudian ialah pembatasan-diri yang ditimpakan pada perut kita sehingga kita dapat menjalankan kebaikan. Walaupun dua sudut pandang itu membawa kita ke arah yang berlawanan, kita tidak perlu memandangnya sebagai kontradiksi yang tak bisa dipertemukan, asalkan kita akui bahwa keduanya mengacu pada aspek kehidupan insani yang berbeda secara mendasar. Kant tak pernah mengklaim bahwa ia bisa membuktikan bahwa manusia itu bebas; Kritik pertama justru memperagakan mengapa bukti semacam itu mustahil. Alih-alih, argumennya ialah bahwa kita harus memprakirakan [adanya] kebebasan agar bisa memasuki bidang moralitas, sebagaimana kita harus memprakirakan [adanya] ruang dan waktu agar bisa memasuki bidang pengetahuan. Di kedua kasus itu kita berhadapan dengan fakta kasar yang bahkan tak dapat dipertanyakan tanpa secara radikal mengubah (atau barangkali bahkan mengikis) pengalaman insani kita. Karena itu, kendati Kant belum meletakkannya dengan cara ini, kita bisa mengatakan bahwa fakta-fakta tersebut berfungsi seperti mitos komplementer bagi siapa saja di dunia modern yang ingin menafsirkan pengalamannya dengan menyebut pengetahuan atau tindakan moral. Jika kebebasan pada Kritik kedua bersesuaian dengan ruang dan waktu pada [Kritik] pertama, apa yang bersesuian dengan kategori-kategori? Aspek logis tapal batas moral yang oleh Kant disebut ?hukum moral? atau ?imperatif kategoris?. Semua kaidah (yaitu aturan subyektif tentanga tindakan) harus sesuai dengan hukum penilai moral ini. Kant bermaksud bahwa imperatif ?kategoris? itu menciptakan suatu tuntutan yang tak bersyarat. Sebaliknya, imperatif ?hipotetis? adalah yang dengannya dilekatkan ?jika?. Bila saya berkata kepada kalian ?Harap tenang jika saya berada di ruang ini!?, maka perintah saya hipotetis, karena kalian tidak perlu diam jika saya tidak berada di ruang ini. Sebaliknya, perintah seperti ?Jangan berkata dusta!? biasanya dianggap tak bersyarat. Saya meragukan kalau ibu anda pernah berkata kepada anda ?Jangan berkata dusta, kecuali jika itu membuat kamu merasa baik!? Itu karena perintah yang menyebut kebenaran semacam ini biasanya dianggap kewajiban. Menurut Kant, ?kewajiban? adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan hukum moral—yakni lebih dalam rangka ketaatan terhadap nurani manusia daripada hanya dalam mengikuti nafsu atau ?keinginan? perut manusia. Kant yakin ia bisa menetapkan rumus yang berlaku pada semua tindakan moral. Pada ujung-ujungnya ia secara aktual mengusulkan tiga kriteria (atau rumus) khas bagi imperatif kategoris. Rumus pertama menyatakan bahwa suatu tindakan adalah moral hanya jika kaidahnya bisa disemestakan: ?Bertindaklah menurut kaidah yang, pada saat yang sama, hendak anda jadikan hukum universal itu saja? (FMM 421). [Dengan kesemestaan] itu, tidak berarti bahwa setiap orang akan secara aktual sepakat dengan kaidah anda, tetapi hanya bahwa setiap orang seharusnya setuju. Rumus kedua mensyaratkan bahwa kita menghargai pribadi orang: ?Bertindaklah sedemikian rupa sehingga anda memperlakukan manusia selalu sebagai tujuan dan tak pernah sebagai alat belaka, entah perihal pribadi anda sendiri entah perihal pribadi orang lain? (429). Rumus ketiga mensyaratkan bahwa kaidah kita harus otonom (yaitu mengatur-sendiri): karena ?setiap makhluk yang rasional [menciptakan] hukum universal?, kaidah moral harus ?selaras dengan penentuan-hukum kehendak yang universal? (431). Mari kita uji [tiga] kriteria-niscaya ini, terutama rumus pertama, dengan menerapkannya pada sebuah contoh. Jika saya menyontek pada suatu pengujian dan seseorang menanyai saya ?Apakah anda menyontek pada pengujian itu??, maka saya berhadapan dengan suatu pilihan moral. Saya bisa berbohong, dan berharap tak seorang pun menemukan kebenarannya, atau mengatakan kebenarannya dan menghadapi akibatnya. Walaupun berbohong dalam kasus semacam itu bisa membuat saya lebih senang, Kant memandang pilihan ini salah secara moral, karena didasarkan pada kaidah yang tak pernah menjadi hukum universal. Dalam kasus terdahulu kaidah saya mungkin ?Berkata bohong bisa diterima jika dapat mengeluarkan saya dari situasi yang menyulitkan?, sedangkan dalam [kasus] yang terkemudian kaidah saya mungkin ?Jangan sekali-kali berkata bohong!?. Kant dengan sukarela menerima bahwa menghendaki (yaitu ingin mengatakan) kebohongan khusus [tentu saja] nirmustahil, tetapi ia menyatakan bahwa menghendaki ?kebohongan sebagai hukum universal? adalah tidak rasional: dalam kasus semacam itu ?kaidah saya niscaya akan hancur sendiri segera seusai dijadikan hukum universal? (FMM 403). Dengan kata lain, bayangkan jika ada dunia yang menerima kebohongan yang akan membahagiakan orang, maka fungsi utama bahasa (yakni kemampuannya untuk membawa kebenaran) akan terkikis. Lagipula, kebohongan juga melanggar kriteria kedua dan ketiga: itu mengeksploitasi orang-orang lain, mengabaikan kemampuan rasional mereka, sebagai satu-satunya cara untuk membahagiakan diri. Berbohong mensyaratkan bahwa kita melanggar hukum yang bisa disemestakan (dan karenanya juga melecehkan rasionalitas manusia), sehingga berkata bohong selalu salah secara moral, tak peduli betapa bahagia perasaan kita yang ditimbulkan oleh kebohongan. Ada banyak contoh lain yang diberikan oleh Kant, yang berhubungan dengan tindakan bunuh-diri, kemalasan, dan sikap apatis (lihat FMM 421-424); namun untuk tujuan kita [di sini] cukup ditunjukkan fungsi kriteria penilaian Kant yang diduga terpenuhi oleh tindakan moral. Menurut Kant, kita tidak harus secara sadar memikirkan tiga rumus imperatif kategoris setiap kali menghadapi dilema moral; alih-alih, fungsinya adalah memungkinkan filsuf untuk benar-benar menunjukkan posisi persoalan moral dan kemudian menentukan garis tapal batas yang secara obyektif sahih antara tindakan yang secara moral baik dan yang secara moral buruk. Garis tapal batas itu obyektif lantaran benar bagi siapa saja (yaitu bersifat universal) dan karena memanfaatkan kenyataan yang secara obyektif eksis (yakni manusia) sebagai landasan penilaian. Bilamana hukum moral menyuruh kita untuk melakukan sesuatu, maka mengerjakan tindakan itu membuat kita terpuji hanya jika pilihan kita juga tidak dimaksudkan untuk memuaskan salah satu keinginan kita—yakni hanya jika alasan untuk melakukannya tidak terkait dengan pemuasan nafsu kita. Jadi, filsafat moral Kant bisa dinyatakan kembali sebagai berikut: suatu tindakan bisa secara moral baik atau buruk hanya jika dilakukan secara bebas dan [berasal] dari penghargaan terhadap hukum moral, bukan [berasal] dari keinginan untuk memenuhi hasrat kita akan kebahagiaan. Kant menaruh banyak perhatian pada perbedaan tajam antara keinginan dan kewajiban berikutnya. Tentu saja, ada kalanya suatu tindakan bisa memenuhi hukum moral dan sekaligus mencapai kebahagiaan yang kita inginkan. Namun bilamana hal itu mustahil, kita harus memilih untu mengatakan ?Tidak!? kepada kebahagiaan kita sendiri. Dengan demikian, kita dapat mengungkapkan perintah imperatif kategoris sebagai: ?Hormatilah hukum moral!? atau ?Ikutilah hati nurani anda sebagai prinsip obyektif!? atau yang sederhana, ?Tunaikanlah kewajiban anda!? Jenis teori moral tersebut kadang-kadang disebut ?deontologi? dan secara tradisional diperlawankan dengan ?utilitarianisme?. Pandangan yang terakhir ini dipertahankan oleh J.S. Mill (1806-1873), seorang filsuf Inggris yang berargumen bahwa suatu tindakan adalah baik hanya jika memaksimalkan kebahagiaan manusia. Kant menganggap hasil tindakan kurang penting daripada motivasi batiniah pelakuknya. Inilah alasan mengapa pada satu persoalan ia mengatakan bahwa tiada yang bisa ?disebut baik tanpa kualifikasi kecuali niat baik? (FMM 392); artinya, tidak ada hal-hal yang merupakan tindakan yang mutlak-baik, namun ada sesuatu yang merupakan niat yang mutlak-baik—yakni niat yang mendasarkan kaidah-kaidahnya pada hukum moral. Bagi Kant, urutan yang tepat untuk memandang kenyataan adalah dari sisi dalam ke sisi luar. Sebaliknya, bagi Mill, hasil luar dari suatu tindakan itu jauh lebih penting daripada motivasi di belakangnya: tindakan terbaik adalah yang paling membahagiakan orang. Artinya, tentu saja, bahwa Mill memaafkan kebohongan bilamana memiliki ?faedah? (yakni kegunaan) yang memadai untuk lebih membantu orang daripada mencelakakannya. Secara demikian, pencurian oleh sopir bus [tersebut di atas] bisa berbalik menjadi bisa diterima secara moral jika, misalnya, ia membutuhkan uang anda untuk memberi makan anak-anak yang kelaparan, sedangkan anda hanya akan menggunakannya untuk membeli beberapa buku filsafat untuk kesenangan anda sendiri. Akan tetapi, jika kita mempercayai Kant, dunia semacam itu merupakan dunia yang tidak rasional—suatu dunia yang tanpa tapal batas sama sekali—dan akhirnya akan hancur sendiri. Sebagai ganti terhadap pemeriksaan yang lebih dekat tentang perdebatan yang berlangsung lama antara deontologi dan utilitarianisme itu, mari kita teruskan bahasan kita tentang versi deontologi Kant dengan melihat beberapa implikasi kelanjutannya. Supaya moralitas benar-benar rasional, Kant memandang bahwa tindakan moral harus mampu memenuhi tujuannya: membawa kita menuju kebaikan yang mungkin tertinggi. Bagaimana seharusnya ?summum bonum? ini didefinisikan merupakan persoalan yang diperdebatkan di kalangan filsuf sejak zaman kuno. Kaum Stoik yakin kebaikan tertinggi adalah keluhuran budi (virtue), dan bahwa kehidupan yang berbudi-luhur mesti diburu tanpa mempedulikan kebahagiaan. Sebaliknya, kaum Epicurean berpandangan bahwa kebaikan tertinggi adalah memuaskan kesenangan, dan karenanya memburu kebahagiaan. Perbedaan ini bisa dilacak jejaknya pada perbedaan antara Plato, dengan fokusnya pada ide kebaikan, dan Aristoteles, dengan kepeduliaannya terhadap pengalaman kebahagiaan nyata. Sekilas, tampaknya perbandingan itu bersesuaian dengan perbedaan antara deontologi Kant dan utilitarianisme Mill. Akan tetapi, Kant menolak interpretasi terhadap implikasi filsafat moralnya sendiri tersebut. Kant mengemukakan bahwa konsepsi terbaik tentang kebaikan tertinggi pasti mencakup keluhuran budi dan sekaligus kebahagiaan. Kebahagiaan tanpa keluhuran budi adalah kezaliman; keluhuran budi tanpa kebahagiaan adalah upaya yang sia-sia. Oleh sebab itu, Kant menjelaskan bahwa kebaikan tertinggi ialah gambaran alam-ideal yang memberi setiap orang ganjaran atas keluhuran budi mereka dengan tingkat kebahagiaan yang proporsional. Dengan kata lain, jika tingkat keluhuran budi anda mencapai delapan pada skala sepuluh dan tingkat saya hanya mencapai tujuh, maka anda akan memperoleh ganjaran 80% kebahagiaan, sedangkan saya diganjari dengan 70% kebahagiaan. Konsepsi lain apa pun tentang tujuan-hakiki tindakan moral akan menyebabkan moralitas tidak rasional, lantaran karenanya moralitas akan berujung pada sesuatu yang kurang dari kebaikan dan keadilan yang sempurna. Kant sering dikritik karena memasukkan kebahagiaan ke dalam teorinya pada tahap akhir ini: bagaimana ia memasukkan kebahagiaan dalam kebaikan tertinggi bila ia telah mendefinisikan keluhuran budi dengan peristilahan pemenuhan kewajiban sebagai ganti terhadap kebahagiaan? Namun kritikan itu didasarkan pada kesalahpahaman. Dengan memasukkan kebahagiaan dalam kebaikan tertinggi, tidak serta-merta Kant mengubah pikirannya dan mengatakan bahwa kebahagiaan bisa menjadi motivasi tindakan kita sepenuhnya. Alih-alih, kita harus memperbedakan antara kebahagiaan sebagai motif asal dan kebahagiaan sebagai harapan rasional. Realitas kehidupan manusia, menurut Kant, adalah bahwa tindakan yang baik acapkali mensyaratkan bahwa kita melakukan sesuatu yang sepengetahuan kita akan kurang menyenangkan kita (semisal melawan godaan untuk mencuri uang orang lain, berbohong untuk melindungi reputasi kita, dan sebagainya); namun pada saat yang sama, akal kita memberi tahu kita bahwa pada akhirnya orang yang memilih patuh kepada hukum moral lebih berbahagia daripada orang yang memilih berburu kebahagiaan sebagai tujuan tunggal. Hal itu menghadirkan satu masalah yang harus dipecahkan jika moralitas mesti rasional: sepengetahuan kita, para budiman sering tidak diganjari dengan kebahagiaan duniawi. Lantas, bagaimana kita bisa membayangkan bahwa kebaikan tertinggi itu masuk akal? Kant berargumen bahwa akal praktis mensyaratkan bahwa kita ?mendalilkan? kenyataan hidup selepas kematian dan keberadaan Tuhan. Tidak seperti kebebasan, dua dalil tersebut tidak memainkan peran dalam memoralkan tindakan; alih-alih, dalil-dalil itu membantu kita dalam memahami tujuan rasional moralitas itu sendiri. Tanpa iman kepada kehidupan lain dan kepada Tuhan suci yang mengatur kehidupan itu, kita bisa juga bertindak secara moral, tetapi kita tidak akan mampu menjelaskan bagaimana kebaikan tertinggi bisa diwujudkan. Itulah ?argumen moral? Kant yang populer perihal keberadaan Tuhan. Ia tidak pernah mengklaim bahwa [argumen] tersebut bisa memberi kita pengetahuan hakiki tentang keberadaan Tuhan; namun ia memang mengemukakan bahwa hal itu menyediakan alasan praktis terbaik untuk beriman kepada Tuhan. Pada dasarnya, argumennya adalah bahwa setiap orang yang bertindak secara moral dan beriman kepada rasionalitas tindakan semacam itu [pasti] bertindak seolah-olah ada Tuhan, entah mereka pada aktualnya beriman kepada Tuhan entah tidak. Dengan kata lain, Kant menyatakan, kita harus beriman kepada Tuhan atau, kalau tidak, kita pasti menolak salah satu proposisi berikut ini: (1) tindakan moral adalah baik; (2) moralitas adalah rasional; (3) kebaikan tertinggi itu menggabungkan keluhuran budi dengan kebahagiaan proporsional. Di samping menyediakan ?bukti praktis? keberadaan Tuhan, filsafat moral Kant memberi beberapa kontribusi penting lain. Umpamanya, seperti yang telah kita lihat, ia menarik garis tapal batas yang tegas antara tindakan moral dan non-moral. Suatu tindakan [bersifat] moral hanya jika dilakukan secara bebas (yakni tanpa bergantung pada kebahagiaan kita sendiri) dan sesuai dengan hukum moral (yaitu didasarkan pada kaidah yang bisa disemestakan). Ini semua merupakan syarat-perlu yang pasti benar bagi siapa saja yang hendak bertindak secara moral, sehingga [kondisi-kondisi] itu menentukan perangkat pedoman yang mutlak bagi motivasi batiniah kita, sebagaimana ruang, waktu dan kategori-kategori yang menentukan perangkat pedoman yang mutlak untuk memahami dunia luar. Kita dapat melukiskan keadaan berlawanan antara dua sudut pandang Kant yang mendasar sebagai berikut: Tuhan, kebebasan Tuhan & & keabadian keabadian ruang & kebebasan waktu ide- dalil- ide dalil pengetahuan tindakan empiris moral 12 hukum kategori moral (a) Batas Pengetahuan (b) Batas Tindakan Gambar VIII.2: Sudut Pandang Teoretis dan Praktis Bila [filsafat praktis] itu dipandang bersama-sama dengan filsafat teoretisnya (seperti dalam Gambar VIII.2), timbullah sebuah masalah potensial dari filsafat moral Kant, yaitu ketegangan yang tampaknya tak bisa dikendurkan antara kebebasan dan alam. Bagaimana kita bisa bebas di satu sisi (tatkala memperhitungkan pondasi tindakan moral), namun dibatasi oleh hukum-hukum semacam hukum kausalitas di sisi lain (tatkala memperhitungkan pondasi pengetahuan empiris)? Kant mencoba menjawab pertanyaan semacam itu dengan menunjukkan, dalam beberapa aspek pengalaman manusia, bagaimana perseteruan antara kebebasan dan alam, antara akal teoretis dan praktis, tak berdaya pada aktualnya. Di Bagian Empat kita akan memeriksa dua cara utama penjawabannya: Kuliah 29 akan mengenai teori keindahan yang ia pertahankan di Kritik ketiga; lalu Kuliah 32 dan 33 akan membahas cara melampaui perseteruan itu— dan juga jawaban terbaiknya terhadap pertanyaan ?Apa yang bisa saya harapkan?? (lihat Gambar III.6)—teorinya tentang agama. Ini lantaran agama memberi kita satu-satunya cara penjelasan bagaimana kebaikan tertinggi bisa diwujudkan; karenanya, inilah bidang pengalaman manusia yang oleh Kant diyakini sebagai contoh terbaik tentang bagaimana alam dan kebebasan dapat bekerja bersama-sama demi kebaikan ras manusia. Walaupun Kant memang menulis beberapa buku dalam upayanya untuk memperlihatkan bahwa ada bidang pengalaman manusia yang mensintesis kebebasan dan alam; perseteruan keras antara dua bidang itu tidak merepotkan dia sebanyak kerepotan pengritik-pengritiknya. Ini karena kecenderungannya sendiri tidak untuk mengakui bahwa dua bidang tersebut mengemukakan suatu kontradiksi mutlak yang perlu dijauhi, tetapi untuk mengiyakan perseteruan sebagai sifat dasar manusia. Ia mengakuinya sebagai perseteruan antara dua perspektif manusia, dua cara pandang terhadap dua hal yang sama (lihat Gambar VIII.1), yang niscaya timbul bersamaan dan sampai batas tertentu—seperti perseteruan antara ?panas? dan ?dingin?, atau ?besar? dan ?kecil?—keberadaan masing-masing saling bergantung. Hanya dengan mengingat-ingat hal ini kita dapat sepenuhnya menghargai cara pembahasannya yang penuh simpati, mengenai perseteruan, dalam Simpulan-nya yang terkenal pada Kritik kedua: Two things fill the mind with ever new and increasing admiration and awe, the oftener and more steadily we reflect upon them: the starry heavens above me [i.e., nature] and the moral law within me [i.e., freedom]. I do not merely conjecture them and seek them as though obscured in darkness or in the transcendent region beyond my horizon: I see them before me, and I associate them directly with the consciousness of my own existence. (CPrR 161-162) (Dua hal memenuhi benak dengan kekaguman dan keheranan yang senantiasa segar dan semakin menjadi-jadi, ketika kian kerap dan kian seimbang kita merenungkan keduanya: langit berbintang di atas saya [yaitu alam] dan hukum moral di dalam diri saya [yaitu kebebasan]. Saya tidak sekadar menebak dan mencari keduanya seakan-akan [dua hal itu] tersembunyi di kegelapan atau di kawasan transenden di luar cakrawala saya: saya melihat keduanya di depan saya, dan saya langsung mengasosiasikan keduanya dengan kesadaran akan eksistensi saya sendiri.) (CPrR 161-162) 23. Transvaluasi: Penerobosan Moral? Pada jam terdahulu kita lihat bagaimana Kant mencoba mendalami signifikansi rasional tindakan moral dengan berargumen bahwa moralitas itu didasarkan pada pengertian internal tentang kebebasan dan kewajiban moral. Keyakinannya kepada ?suara? yang berlaku universal di dalam diri kita, yang memberi tahu setiap orang perbedaan antara benar dan salah, mungkin tampaknya ganjil bagi orang yang terbenam sepenuhnya dalam relativisme yang cenderung mendominasi budaya Barat modern, yang di dalamnya tidak ditarik pembedaan yang jelas antara benar dan salah. Sebagai ulasan kilat tentang filsafat moral Kant, dan dalam rangka menunjukkan beberapa perbedaan antara pandangannya bahwa tujuan-tujuan moral adalah ?obyektif? dan pandangan umum bahwa itu semua ?subyektif?, saya meringkas sebagian dari perbedaan-perbedaan utamanya pada Gambar VIII.3. Tujuan Subyektif Tujuan Obyektif dayaterap berbeda bagi setiap orang (nisbi) berlaku bagi semua orang (mutlak) faktor penentu keinginan seseorang (nafsu orang itu sendiri) akal orang itu sendiri (melalui hukum moral) acuan sesuatu yang berpotensi nyata (penghargaan yang sesuai ?jika ...?) sesuatu yang sudah nyata (penghargaan langsung) kriteria nilai jika memenuhi nafsu (hipotetis) bebas dari semua nafsu (kategoris) sasaran pendorong menghasilkan kebahagiaan menghasilkan keluhuran budi Gambar VIII.3: Perbedaan antara Tujuan Subyektif dan Obyektif Sejak Kant mengusulkan pembedaan yang radikal antara sudut pandang tindakan moral dan pengetahuan empiris, filsuf-filsuf mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi pembatasan yang ia ajukan. (Sayangnya, upaya Kant sendiri yang mencoba mempertemukan dua bidang tersebut lebih sering terabaikan sama sekali.) Pada kuliah ini kita hendak memeriksa gagasan-gagasan utama dari seorang filsuf sedemikian itu, seorang manusia yang meramalkan banyak perubahan dengan cara berpikir dan bertindak yang terjadi pada abad keduapuluh dan yang, sekurang-kurangnya dalam beberapa hal, merupakan sumber penyebabnya; karena ia, sebagaimana adanya, memulai alur baru dalam sejarah filsafat Barat (bandingkan Gambar III.3). Friedrich Nietzsche (1844-1900) ialah seorang filsuf Jerman yang yakin bahwa nilai-nilai tradisional masyarakat pada masanya telah mencabut akar-akar sejati agama dan filsafat—dan bahkan perikemanusiaan itu sendiri. Sebagai tanggapan terhadap bencana mendatang yang ia lihat kentara pada cakrawala, ia menuntut ?transvaluasi nilai? secara menyeluruh—yakni suatu pemikiran ulang yang lengkap terhadap keseluruhan tradisi filosofis dan religius yang menghasilkan nilai-nilai tradisional itu. Teori-teori yang ia kembangkan dalam melaksanakan tugas ini membangun sesuatu yang menyerupai mitos baru, yang menggantikan mitos rasonalitas yang tak berpihak, yang didirikan oleh Sokrates dan dipopulerkan oleh Plato, dengan mitos irrasionalitas yang berat sebelah, yang baru sekarang implikasinya mulai dimengerti. (Kebetulan, Nietzsche mengklaim bahwa filsafatnya tidak akan sepenuhnya dipahami sampai duaratus tahun sesudah penulisannya.) Masalah pemahaman gagasan-gagasannya adalah bahwa ia sengaja menulis dengan cara yang tidak sistematis; ia memandang bahwa penyusunan sistem merupakan perangkat nilai-nilai lama. Yang saling bertolak belakang bukan hanya sebagian dari gagasan-gagasannya; ada banyak bukunya yang juga tidak berkehendak untuk menyusun himpunan tunggal gagasan-gagasan yang diuraikan dengan baik. Alih-alih, buku-buku itu mengandung koleksi beragam ide, yang seringkali terungkap dalam bentuk penggalan ?pepatah?. Seolah-olah Nietzsche hanya menulis serangkai lembar mawas, lalu menerbitkannya manakala ia mempunyai [naskah] yang cukup untuk membuat buku! Ia lebih memandang bahwa dirinya sendiri ialah sastrawan, psikolog, atau bahkan nabi daripada filsuf dalam segala pengertian konvensional. Namun bagaimanapun, ada banyak wawasannya yang langsung ditujukan kepada persoalan filosofis; jadi, suatu ikhtisar tentang ide-ide utamanya akan memungkinkan kita untuk menghargai signifikansinya bagi tradisi filsafat. Nietzsche sendiri (yang namanya, omong-omong, diucapkan seakan-akan dengan ejaan ?Niyce?) ialah putra seorang pastur Lutheran. Ia begitu cerdas sehingga ia menamatkan pendidikan formalnya pada usia muda dan menjadi profesor seni-klasik di Universitas Basel tatkala ia baru berumur 24 tahun. Pada periode ini ia mengembangkan banyak ide melalui suatu persahabatan yang singkat tetapi mendalam dengan seorang musisi, Richard Wagner. Akan tetapi, sesudah mengajar sepuluh tahun, ia menjadi kecewa dengan permainan akademis dan pensiun demi sebuah gubuk di pegunungan. Di situ ia mengisi sepuluh tahun kehidupan yang berikutnya sebagai seorang pertapa, dengan menulis beberapa buku yang paling menggairahkan dan paling menantang dalam sejarah filsafat Barat. Transvaluasi nilai ala Nietzsche, suatu titik fokus yang menyatukan semua gagasannya, terutama merupakan upaya untuk menerobos pemahaman tradisional tentang tapal batas yang membatasi kehidupan moral dan intelektual kita, dengan menegakkan di tempatnya suatu perangkat nilai-nilai baru yang lebih tinggi. Ia mengemukakan bahwa nilai-nilai lama, sebagaimana yang khususnya terwakili oleh agama Kristen dan tradisi filsafat yang memuncak pada Kant, adalah ?menyangkal-kehidupan?; oleh sebab itu, [nilai-nilai] tersebut harus digantikan dengan nilai-nilai yang ?menegaskan-kehidupan?, yang contoh-contoh terbaiknya terdapat pada agama-agama penyembah berhala dan filsafat Yunani kuno. Sains, dengan bidang visinya yang sempit, yang menafsirkan bahwa alam pada dasarnya mati, bukan satu-satunya sumber penghasil visi kealaman ini. Moral Kristen tradisional, yang diterima oleh sebagian besar dunia Barat dan yang dipertahankan dalam filsafat Kant, juga menyokong gagasan-gagasan seperti cinta, kerendahan hati, dan pengorbanan-diri; namun nilai-nilai semacam itu, menurut Nietzsche, membinasakan ruh manusia itu sendiri, dan menyebabkan kita lupa akan cara menari. Dengan menengok kembali mitologi Yunani, Nietzsche memilih [dua] nama untuk dua tipe pandangan hidup: pandangan penyangkalan-kehidupan tradisional yang ia sebut ?Apolonia? (menurut nama Dewa matahari, ?Apollo?), sedangkan pandangan yang oleh Nietzsche diharapkan berposisi sebagai penegasan-kehidupan ia sebut ?Dionisia? (menurut nama Dewa anggur, ?Dionisius?). Pandangan Apolonia adalah berbudi, rasional, dan kalem, sedangkan pandangan Dionisia adalah tak berbudi, tak rasional, dan bernafsu. [Pandangan] terdahulu menimbulkan ?moralitas budak? yang menyebabkan orang-orang mengadopsi ?mentalitas ternak? dan menganggap bahwa diri mereka sendiri dibatasi oleh tapal batas tetap yang menentukan hal-hal yang baik dan yang buruk; dalam politik, sikap ini memunculkan demokrasi (yang diatur oleh massa), sehingga mendorong setiap orang untuk serupa dengan tingkat sedang. Sebaliknya, [pandangan] terkemudian menerbitkan ?moralitas tuan? yang mengakibatkan orang-orang mengambil ?mentalitas pahlawan? dan memandang bahwa diri mereka sendiri bebas untuk lari dari jalan penafsiran konvensional perihal benar dan salah; dalam politik, sikap ini mendatangkan aristokrasi (yang diatur oleh segelintir orang), sehingga mendorong pengungkapan kehebatan spirit manusia. Dengan cara ini dan lain-lainnya, pandangan Dionisia memungkinkan kita untuk pergi ?melampaui yang baik dan yang buruk? dan hidup di pesawat yang lebih tinggi, dengan ciri yang oleh Nietzsche disebut ?kehendak untuk berkuasa?. Kehendak untuk berkuasa adalah bentuk kebebasan radikal yang memecahkan masalah yang diajukan oleh pembedaan Kant antara alam dan kebebasan melalui penjungkalan dua posisi garis tapal batasnya: ?kita harus ... secara hipotetis mendalilkan kausalitas kehendak sebagai satu-satunya kausalitas.? Menurut Nietzsche, kita bisa benar-benar menguasai diri kita sendiri hanya dengan berani menganut kebebasan yang menolak ketertutupan yang bertapal batas apa saja, lantaran hanya dengan melakukannya kita dapat menegaskan kehidupan sebagaimana aktualnya. Dengan mengikuti pedoman ini, kita bisa melukiskan transvaluasi nilai ala Nietzsche dengan peta yang terlihat pada Gambar VIII.4. melampaui yang baik dan yang buruk pandangan Dionisia yang baik dan yang buruk pandangan Apolonia Gambar VIII.4: Transvaluasi Nilai Ala Nietzsche Masalah yang dijumpai oleh Nietzsche adalah bahwa masyarakat pada zamannya berkubu sepenuhnya dalam cara pikir Apolonia. Karenanya, upayanya sendiri untuk menyeimbangkan [cara pikir] itu dengan pesan Dionisia tentu saja dihadapi sebagai kegilaan. Inilah sekurang-kurangnya salah satu inti cerita populer Nietzsche tentang orang gila di pasar: Have you not heard as yet of that mad-man who on one bright forenoon lit a lantern, ran out into the market-place and cried out again and again, "I seek God! I seek God!--Because there were standing about just at that time many who did not believe in God, the mad-man was the occasion of great merriment. Has God been lost? said one of them. Or is He hiding himself? Is He afraid of us? Has He boarded a ship? Has He emigrated? Thus they cried and laughed. But the mad-man pierced them with his glance: "Whither has God gone?" he cried; "I am going to tell you. We have killed Him--you and I! We all are His murderers. But how have we accomplished this? How have we been able to empty the sea? Who gave us the sponge to wipe off the entire horizon? What were we doing when we unchained this earth from its sun? Whither does the earth now move? Whither do we ourselves move? "Are we not groping our way in an infinite nothingness? Do we not feel the breath of the empty spaces. Has it not become colder? Is there not night and ever more night? How do we manage to console ourselves, we master-assassins? Who is going to wipe the blood off our hands? Must not we ourselves become gods to make ourselves worthy of such a deed? (JW 125) (Belum kau dengar sampai kini, orang-gila yang pada suatu pagi nan cerah menyalakan lentera, lalu memasuki pasar dan menjerit berulang-ulang, ?Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!--Lantaran yang berdiri di sekitarnya pada saat itu orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan, orang-gila itu hiburan segar. Apakah Tuhan hilang? kata salah satunya. Ataukah Ia menyembunyikan diri? Takutkah Ia kepada kita? Naik kapalkah Ia? Pindah ke negeri lainkah Ia? Demikianlah mereka bersorak tertawa-tawa. Namun orang-gila itu menusuk mereka dengan lirikannya: ?Ke mana gerangan Tuhan pergi?? ia berseru; ?Akan kuberi tahu kalian. Kita telah membunuh Dia—kalian dan aku! Kita semua pembunuh Dia. Tapi bagaimana kita menuntaskannnya? Bagaimana kita bisa mengosongkan laut? Siapa yang memberi kita spons untuk menyapu semesta-cakrawala? Apa yang kita lakukan bila kita lepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke mana bumi kini berjalan? Ke mana kita sendiri menuju?? ?Tidakkah kita raba-raba jalan kita di kehampaan yang tiada tepi? Tidakkah kita rasakan embusan ruang hampa? Kian dinginkah? Tiadakah malam dan larut-malam? Bagaimana kita bisa menghibur diri kita sendiri, kita pembunuh-pembunuh ulung? Siapa yang akan menyeka darah di tangan kita? Tidakkah kita harus menjadi tuhan sendiri supaya kita laik melakukannya??) (JW §125) Pasal tersebut tidak hanya menyatakan masalah bahwa kepribadian Apolonia kita yang nirhayat telah membunuh Tuhan, tetapi juga memberi isyarat tentang solusi Nietzsche. Satu-satunya yang-berada yang mampu membunuh Tuhan adalah yang mampu menjadi tuhan sendiri. Dari sini muncullah teori Nietzsche tentang Manusia Super. Ketika Nietzsche membicarakan orang-orang yang melampaui diri mereka sendiri dan menjadi übermensch (kata Jerman yang biasanya diterjemahkan [ke bahasa Inggris] sebagai ?Superman?, tetapi kadang-kadang juga sebagai ?overman?), ia tidak membayangkan orang asing berbusana merah yang ke sana kemari terbang ?lebih cepat daripada kecepatan peluru? dengan bertarung melawan kekuatan jahat dan membela Kepentingan Amerika! Pahlawan khayalan dari Krypton ini baru muncul sesaat sesudah Nietzsche meninggal dan mengandung sedikit keserupaan dengan ide Nietzsche. Manusia Super yang kehadirannya diproklamasikan oleh Nietzsche itu jauh lebih penting, lantaran dialah tujuan-inti bumi ini. Dengan demikian, ?harapan masa depan manusia? terletak seluruhnya pada kebangkitan orang kuat dari kondisi masyarakat modern yang tersesat tanpa harapan: sementara orang-orang awam semuanya bagaikan ?selokan busuk?, ?kita perlu menjadi samudera?. Untuk menghasilkan pandangan Manusia Super yang Dionisi, kita harus, umpamanya, mencintai nasib kita (yang oleh Nietzsche disebut ?amor fati?) sedemikian cermat sehingga pada setiap saat dalam kehidupan kita, kita bisa menghendaki terulangnya suatu daur ?pengulangan abadi? yang sinambung terus-menerus. Deskripsi terbaik Nietzsche tentang Manusia Super ideal tersebut, dan tentang bagaimana tokoh itu muncul, terdapat pada bukunya, Thus Spake Zarathustra (1883-1884). Prolog buku ini menceritakan seorang manusia yang bernama Zarathustra (yang pada aktualnya merupakan nama pendiri agama Persia Kuno yang disebut Zoroastrianisme), yang hidup sendirian di pegunungan selama sepuluh tahun. Suatu hari ia menemui seorang ?santo tua di hutan? dan terkejut mendapati bahwa orang ini ?belum mendengar bahwa Tuhan telah mati!? Kemudian Zarathustra pergi ke pasar di kota terdekat. Di sana banyak orang berkerumun menyaksikan peniti tali-akrobat yang penampilannya baru dimulai, dan ia mulai mengkhotbahi mereka, dengan mengatakan: I teach you the Superman. Man is something that is to be surpassed. What have ye done to surpass man? ... What is the ape to man? A laughing-stock, a thing of shame. And just the same shall man be to the Superman: a laughing-stock, a thing of shame. Ye have made your way from the worm to man, and much within you is still worm.... Lo, I teach you the Superman! The Superman is the meaning of the earth. Let your will say: The Superman shall be the meaning of the earth! I conjure you, my brethren, remain true to the earth, and believe not those who speak unto you of superearthly hopes! Poisoners are they, whether they know it or not. Despisers of life are they, decaying ones and poisoned ones themselves, of whom the earth is weary: so away with them! Once blasphemy against God was the greatest blasphemy; but God died, and therewith also those blasphemers. To blaspheme the earth is now the dreadfulest sin, and to rate the heart of the unknowable higher than the meaning of the earth! ... Verily, a polluted stream is man. One must be a sea, to receive a polluted stream without becoming impure. Lo, I teach you the Superman: he is that sea; in him can your greatest contempt be submerged. (TSZ Prologue §3) (Kuajarkan Manusia Super kepada kalian. Manusia ialah sesuatu yang harus dilebihi. Apa yang telah kalian lakukan untuk melebihi manusia? ... Bagi manusia, kera itu apa? Hewan yang menggelikan, sesuatu yang memalukan. Dan begitu pulalah manusia bagi Manusia Super: hewan yang menggelikan, sesuatu yang memalukan. Telah kalian lewati jalan dari rahim menuju manusia, dan kebanyakan kalian masih di dalam rahim. ... Simaklah! Kuajarkan Manusia Super kepada kalian! Manusia Super ialah makna bumi. Biarkanlah kehendak kalian berujar: Manusia Super akan menjadi makna bumi! Kugugah kalian, saudara-saudaraku, tetap setialah kepada bumi, dan jangan kalian percayai orang-orang yang berbicara kepada kalian tentang harapan-harapan yang melebihi bumi! Peracunlah mereka, entah mereka tahu entah tidak. Pembenci kehidupanlah mereka, yang membusuk dan meracuni diri sendiri; dengan merekalah bumi jemu: maka enyahkanlah mereka! Konon fitnah terhadap Tuhan adalah fitnah ternista; namun Tuhan telah mati, dan beserta ini pula pemfitnah-pemfitnah itu. Kini dosa terkeji adalah memfitnah bumi dan menilai bahwa hati yang dimiliki oleh yang tak bisa diketahui itu lebih tinggi daripada makna bumi! ... Bahwasanya, selokan busuk ialah manusia. Orang harus menjadi laut, menerima selokan busuk tanpa menjadi najis. Simaklah, kuajarkan Manusia Super kepada kalian: dialah laut itu; di dalamnya bisa terbenam kenistaan terbesar kalian. (TSZ Prolog §3) Kemudian seseorang di kerumunan, yang tak sabar akan kata-kata aneh Zarathustra, minta diperlihatkan ?penari-tali? (makna Manusia Super) tersebut. Zarathustra menanggapinya dengan mengatakan: ?Manusia ialah tali yang direntangkan antara binatang dan Manusia Super--tali di atas neraka.? Lalu setelah dengan metafora ini Nietzsche menyiratkan gambaran manusia yang terlihat di Gambar VIII.5, ia mengatakan, seusai percakapan Zarathustra lainnya, bagaimana peniti tali-akrobat itu mulai beraksi, tetapi terganggu oleh orang lain pada tali itu, yang, ?seperti badut?, menyebabkan peniti tali-akrobat itu jatuh ke tanah. Cerita tersebut berakhir dengan penuturan tentang bagaimana Zarathustra membantu orang itu, yang terluka dan sekarat. Manusia Super binatang manusia (neraka) Gambar VIII.5: Tali-Akrobat Nietzsche Walaupun kita tidak mempunyai waktu untuk membahas penafsiran cerita tersebut dengan rinci, setidak-tidaknya saya akan menambahkan bahwa dalam seksi pertama buku itu sendiri, Nietzsche mengisahkan cerita tentang ?tiga metamorfosis?: ruh berubah menjadi unta, unta menjadi singa, dan singa menjadi anak. Jika kita memperlakukan ini sebagai penyimbolan tiga tahap perkembangan manusia, bisa dipakai argumen bahwa bagi Nietzsche, pandangan Dionisia (?singa?) bukan bagian dari manusia ideal, melainkan hanya kompensasi yang diperlukan untuk bias pandangan Apolonia (?unta?) kontemporer yang terlampau rasional. Manusia ideal Nietzsche bolehjadi orang yang melampaui pembedaan antara Apolonia dan Dionisia, dengan tidak mengambil pandangan unta yang berbasis budak atau pun pandangan singa yang berbasis penguasa, tetapi pandangan anak yang berbasis naluri. Namun demikian, aspek-akhir filsafat Nietzsche yang akan saya sajikan pada jam ini adalah teorinya tentang perspektivisme. Nietzsche ialah filsuf pertama yang menggunakan kata ?perspektif? sebagai istilah teknis dalam berfilsafat. Saya yakin bahwa [aspek] tersebut, sebagaimana mungkin telah anda perhatikan, merupakan praktek yang amat bernilai bagi sang filsuf. Akan tetapi, bagi Nietzsche, implikasi perkataan bahwa segala yang kita ?ketahui? terbatas pada suatu perspektif adalah bahwa pada aktualnya tiada fakta, selain interpretasi. Memang, ia terlalu jauh menyarankan [proposisi] bahwa segala sesuatu adalah palsu [kecuali proposisi ini sendiri]; dengan kata lain, bahasa memalsukan kenyataan [kecuali proposisi ini sendiri]. Dalam beberapa hal, pandangan ini serupa dengan Kant maupun Wittgenstein, di samping dengan ide-ide dari banyak filsuf lain yang ingin membuat perbedan antara yang-berada dan yang bisa dikatakan tentang yang-berada. Tidak seperti Kant, tetapi seperti Wittgenstein, ia sangat kritis terhadap semua teori metafisis (terutama dualisme). Ini karena ia yakin, gagasan inti tentang ?dunia sejati? yang melampauinya adalah akar segala pandangan penyangkal-kehidupan. Penolakan secara radikal terhadap semua kebenaran, metafisika dan sebagainya, merupakan suatu segi dari sesuatu yang ia sebut ?nihilisme?. Bagi nihilis sejati, tiada pembatasan moral nyata sama sekali: semua nilai dapat ditolak lantaran sia-sia [kecuali proposisi ini sendiri]. Dengan dipahami dengan cara ini, ada suatu perdebatan mengenai apakah Nietzsche, yang tujuan hakikinya adalah menjangkau Nilai Tertinggi (yakni Manusia Super), mesti disebut ?nihilis?, dalam arti sempit, atukah tidak. Lantas apa yang akan kita simpulkan perihal filsafat Nietzsche? Bagaimana tanggapan kita terhadap dalih penerobosan moral yang bernafsu sedemikian itu? Bagaimana bisa kita hadapi kritikan pedasnya tentang agama dan visi kealaman ilmiah modern? Sudahkah manusia secara ironis ?membunuh Tuhan? dengan akalnya sendiri yang kurang-lebih oleh semua filsuf dari Sokrates hingga Kant diyakini bisa mengarah kepada Tuhan melampaui kita sendiri? Bisakah kita benar-benar menjadi Tuhan melalui kekuatan kehendak kita sendiri? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang diangkat oleh filsafat Nietzsche tidak bisa dijawab dengan cara yang memuaskan dalam kuliah pengantar ini. Akan tetapi, saya ingin menunjukkan bahwa, yang terpenting, tulisan Nietzsche diperkirakan merangsang suatu tanggapan. Jika ide-idenya mengejutkan kita sehingga kita memikirkan kembali seluruh sistem nilai dan keyakinan kita, Nietzsche akan mengakui tugasnya sukses. Akhirnya, ia ingin mendirikan ?aliran? pemikiran baru, yang disebut ?Filsafat Nietzschean?! Dengan mempertimbangkan hal itu, saya mempunyai beberapa komentar tentang ide-ide Nietzsche. Pertama, sifat mitologis filsafatnya mestinya gamblang mengingat fakta bahwa ia menolak untuk memperhatikan atau menerima segala tapal batas. Dunia Nietzsche adalah dunia tanpa batas—atau sekurang-kurangnya batas-batas itu bersifat manasuka dan tak bisa dipakai untuk menetapkan kebenaran. (Ini sebagian karena fakta bahwa ia tidak mempunyai pengakuan yang jelas terhadap perbedaan antara logika analitik dan sintetik.) Karena itulah saya sarankan kita mengakui bahwa filsafatnya memulai suatu revolusi baru dalam alur filsafat Barat (bandingkan Gambar III.3), dengan mengambil alih posisi Sokratesnya Plato sebagai pondasi bagi suatu zaman filsafat baru, yang sering disebut ?pascamodernisme?. Kita akan memeriksa gerakan terakhir ini dengan lebih rinci pada Kuliah 24. Hal menarik lainnya adalah bahwa pertalian antara Kant dan Nietzsche bisa dibandingkan dalam beberapa hal dengan pertalian pada filsafat Cina kuno antara Konfusius dan Chuang Tzu. Yang terdahulu itu [yakni Kant dan Konfusius] dalam setiap hal menyusun suatu sistem filsafat besar-besaran yang berkembang di seputar prinsip tindakan moral yang secara diam-diam diatur, sedangkan yang terkemudiannya [yakni Nietzsche dan Chuang Tzu] dalam setiap hal mencoba menerobos cara ketat khas penafsiran sistem itu, dengan hidup mengembara dan mendesak kita semua agar berpedoman kepada ?Jalan? nafsu yang sedikit-banyak merupakan esensi kehidupan itu sendiri. Sayangnya, kita tidak mempunyai cukup waktu untuk memburu pertalian sejajar tersebut dalam konteks matakuliah ini. Jadi, cukup diperhatikan saja bahwa, sebagaimana Nietzsche, destruksi radikal Chuang Tzu terhadap nilai-nilai tradisional sering membuatnya terlihat seperti seorang nihilis; namun kita bisa terhindar dari kekeliruan ini dengan mengigat-ingat bahwa Jalan tersebut berfungsi sebagai batasan yang tak terlukiskan, walaupun nyata, bagi tindakan manusia. Dalam hal ini kita mungkin ingin bertanya: manakah yang sebenarnya merupakan penyangkalan-kehidupan, penafsiran Nietzsche tentang manusia selaku salah satu dari Apolonia murni atau Dionisia murni, ataukah pengakuan terhadap ketegangan yang tak terelakkan antara dua aspek dari hakikat manusia (sebagaimana dalam [pandangan] Kant)? Orang yang menyeberangi tali-akrobat dan dengan sukses berubah menjadi Manusia Super (yakni menjadi pahlawan Dionisia) akan sama-sama satu sisi dengan orang yang diam saja dan masih puas dengan menjadi binatang belaka (yakni bagian dari ternak Apolonia). Pada setiap situasi, jika kita mencoba untuk memandang kehidupan dengan menggunakan salah satu dari pandangan-pandangan ini sendirian, tentu saja kita akan berujung pada penyangkalan kehidupan: ini bisa digambarkan secara visual dengan mencatat bahwa tali-akrobat [yang melambangkan] manusia pada Gambar VIII.5 akan jatuh ke tanah jika salah satu dari bangunan pendukungnya disingkirkan. Ini tentu saja menyiratkan bahwa satu-satunya pandangan penegas-kehidupan sejati adalah yang mengakui bahwa manusia itu Apolonia dan sekaligus Dionisia. Entah ketegangan antara cinta dan nafsu, kesadaran dan kebawahsadaran, pengetahuan dan kebebalan, atau pasangan lawanan Nietzschean lain apa pun, ketegangan itu sendirilah yang pada segala situasi membuat kita tetap hidup. Memang, itu merupakan kehebatan dan sekaligus tragedi kehidupan manusia: bahwa kita mampu mengambil risiko besar dalam perburuan keidealan yang tinggi; dan namun demikian, bahwa kita tidak mampu mencapai yang ideal itu tanpa lenyapnya kehidupan kita itu sendiri. Adapun kehidupan yang baik, sebagaimana peniti tali-akrobat yang baik, ialah yang menampilkan keseimbangan terbaik (umpamanya, dengan menggabungkan [dua sisi] yang berlawanan). Akhirnya, saya harus menyebutkan bahwa Nietzsche menjadi gila selama sebelas tahun terakhir kehidupannya. Usaha untuk menjelaskan penyebab kegilaannya mungkin hanya masalah dugaan. Sebagian orang yakin bahwa itu merupakan akibat dari penyakit fisik. Sebagian lainnya menafsirkan bahwa penderitaannya itu lantaran dia nabi sejati, seolah-olah ia secara simbolis menerima hukuman semacam itu atas nama orang-orang yang tidak bisa melihat kecenderungan manusia yang menuju penghancuran diri sedemikian jelas. Ada pula yang menganggap bahwa nasib akhirnya itu merupakan buah alamiah dari pandangan filosofisnya. Dalam hal terakhir ini, ?keteladanannya? tentu bisa berfungsi sebagai peringatan bagi siapa saja yang hendak mencoba bereksperimen dengan suatu filsafat yang terpangkas dari akar-akar alamiahnya, yakni [yang membuang] metafisika. Bagaimanapun, karena ia gila, akhirnya penerbitan tulisan-tulisannya dan penyebaran gagasan-gagasannya diambil alih oleh saudara Nietzsche. Sayangnya, ia menyelewengkan ide-idenya sedemikian rupa sehingga Hitler mampu menggunakan gagasan-gagasan yang kelihatannya seperti ide-ide Nietzsche sebagai dukungan filosofis bagi rezim politik rasisnya sendiri. Filsafat politik, sebetulnya, akan menjadi fokus kuliah kita pada pekan mendatang. Namun kita bisa mengakhiri jam kuliah ini dengan mencatat bahwa gagasan yang dipakai oleh Hitler (dan lain-lain) itu kini biasanya dipandang sebagai misrepresentasi bruto. Hal ini mengingat bahwa Nietzsche bukan fasis anti-Semitik, melainkan benar-benar filsuf untuk dirinya sendiri—seorang Sokrates baru (atau anti-Sokrates) kalau toh ada. 24. Perspektivisme: Pemugaran Tapal Batas Barangkali mitos yang dianggap (dan kadang-kadang dibela dengan argumen) paling lazim dalam lembar mawas yang ditulis oleh mahasiswa saya terdahulu adalah pandangan yang dikenal sebagai relativisme. Mahasiswa-mahasiswa sering mengklaim tiada yang mutlak, walau segelintir berpikir dengan amat mendalam mengenai implikasi pandangan semacam itu. Alasan-alasan yang pada khususnya dikutip adalah bahwa tindakan-tindakan bisa benar di suatu situasi namun salah di situasi lain, atau bahwa proposisi bisa benar di suatu konteks tetapi salah di konteks lain, atau bahwa corak fisik yang dinilai indah di suatu budaya bisa buruk Pekan IX Filsafat Politik 25. Kekuasaan dan Tapal Batas Politik Di Bagian Tiga ini kita telah belajar bahwa filsafat tidak hanya berkenaan dengan persoalan teoretis abstrak yang berkaitan dengan metafisika, epistemologi, logika, dan penggunaan bahasa, tetapi juga dengan persoalan praktis yang lebih konkret, semisal yang berhubungan dengan ilmu dan moralitas. Baik filsafat ilmu maupun filsafat moral merupakan cabang utama filsafat: keduanya menyediakan landasan bagi penerapan filsafat untuk persoalan yang lebih praktis yang mengenai ilmu tertentu atau situasi etis tertentu. Di pekan ini saya ingin kita membahas sebuah cabang kecil pohon filsafat, filsafat politik. Pada aktualnya ada sejumlah bidang penyelidikan filosofis lain yang bisa dimasukkan ke Bagian Tiga, kalau saja kita punya waktu. Namun demi maksud kita, suatu pembahasan filsafat politik bisa berfungsi sebagai cara yang memadai untuk melengkapi kajian kita tentang bagaimana menerapkan pemikiran filosofis dalam pencarian kealiman kita. Banyak di antara filsuf yang telah kita telaah yang banyak membicarakan filsafat politik. Contohnya, gagasan utama buku Plato yang paling panjang dan paling sistematis, yang berjudul Republic, mengemukakan rencana rasional demi sistem politik ideal. Akan tetapi, ada banyak segi dari usulannya yang tampaknya bagi pembaca modern kurang realistis dan/atau ketinggalan zaman untuk dipertimbangkan dengan sangat serius. Saran bahwa filsuf mesti dilatih untuk menjadi raja, misalnya, merupakan ide yang jarang, kalau pernah, dipraktekkan. Salah satu pertimbangan filsafat politik Plato tampaknya sedemikian jauh dari cara pikir kita sendiri mengenai politik sehingga pemikiran politik modern banyak berakar pada ide-ide yang sangat berbeda yang diajukan oleh murid cemerlangnya. Buku Aristoteles, Politics, juga mengandung beberapa contoh yang relevansinya terbatas pada negara-kota Yunani kuno, yang merupakan sistem politik perintis demokrasi modern; namun persoalan utama yang diangkat adalah kepentingan abadi, yang dayaterapnya melampaui konteks historis aslinya. Karenanya, pada kuliah ini kita akan melongok teks klasik filsafat politik ini. Aristoteles memandang politik bukan sekadar sebagai bidang opsional penyelidikan filosofis, melainkan sebagai tugas esensial bagi filsuf mana pun, karena ?manusia pada hakikatnya ialah hewan politis? (AP 1253a(37)). Dalam Politics, Aristoteles menetapkan sesuatu yang merupakan kota ?terbaik?. (Kebetulan, kata Yunani untuk ?kota? adalah polis, yang melahirkan kata ?politik?.) Hal ini menghajatkan dia untuk bukan hanya membahas ciri-ciri khasnya, melainkan juga menganalisis sifat umum kota dan sistem-sistem politik (?politeiai?) yang berlainan yang bisa dipakai untuk memerintah kota. Namun politeiai tidak hanya meliputi struktur pemerintahan spesifik, tetapi juga ?jalan-hidup kota? pada umumnya (1295a(133)). Walaupun analisisnya sama sekali bukan kata akhir pada pokok bahasan tersebut, pemeriksaan terhadap gagasan-gagasan Aristoteles bisa menyediakan suatu contoh yang baik tentang berbagai cara penetapan tapal batas yang menentukan sistem politik yang bisa diterima. Arsitoteles memulai kajian politiknya dengan mengklaim bahwa ?setiap kota adalah bentuk persekutuan ... untuk kepentingan kebaikan?, dan bahwa tugas filsuf politis adalah ?menyelidiki susunan kota? (AP 1252a(35)). Kemudian ia menunjukkan bahwa beberapa keluarga menimbulkan desa, dan persekutuan antardesa menimbulkan kota. Oleh sebab itu, persekutuan yang menyusun kota memerlukan kesepakatan tertentu antara ?orang-orang yang serupa, untuk kepentingan kehidupan yang merupakan kemungkinan terbaik? (1328a(209)). Aristoteles tak pernah berpandangan bahwa sekutu-sekutu semacam itu harus sama dalam segala hal, tetapi bahwa baik kesatuan maupun keragaman harus eksis di antara sekutu-sekutu dalam berbagai hal: ?kota cenderung menjadi ada pada suatu titik ketika persekutuan yang terbentuk oleh orang banyak itu swasembada? (1261a-b(55-57)). Oleh karena itu, tujuan kota adalah not [to be] a partnership in a location and for the sake of not committing injustice against each other and of transacting business. These things must necessarily be present if there is to be a city, but not even when all of them are present is it yet a city, but [the city is] the partnership in living well both of households and families for the sake of a complete and self-sufficient life. (1280b(99)) (bukan persekutuan lokasi dan untuk kepentingan yang tidak melakukan kelaliman satu sama lain dan [untuk kepentingan] transaksi bisnis. Hal-hal ini niscaya harus ada jika ada yang akan menjadi kota, tetapi bila semuanya ini ada itu belum juga menjadi kota, kecuali persekutuan hidup yang baik di antara baik rumahtangga maupun keluarga untuk kepentingan kehidupan yang swasembada dan lengkap.) (1280b(99)) Siapa saja yang dapat secara aktif berpartisipasi dalam persekutuan politik yang membentuk kota itu tergolong ?warganegara?. Dengan demikian, Aristoteles mendefinisikan warganegara sebagai siapa saja yang bisa memegang jabatan pemerintahan: ?Siapa saja yang berhak turut serta di jabatan yang mencakup perundingan dan keputusan ialah ... warganegara kota ini; dan kota adalah besarnya jumlah orang-orang semacam itu yang cukup dengan pandangan akan kehidupan yang swasembada? (AP 1275 a-b(87)). Berkongsi dalam persekutuan politik kota mensyaratkan warganegara untuk bukan hanya menjadi pengambil keputusan yang cakap, melainkan juga menjadi orang yang mau mematuhi putusan-putusan yang dibuat oleh orang-orang lain. Arsitoteles menekankan (1277b(92)) bahwa ?warganegara yang baik harus mengetahui dan mempunyai kemampuan untuk baik diatur maupun mengatur, dan hal inilah yang merupakan keluhuran budi warganegara—pengetahuan tentang aturan pada orang-orang merdeka dari kedua [sudut pandang].? Dalam pengertian ini, monarki, yang di dalamnya hanya ada satu orang yang mengatur, tidak mempunyai warganegara; pada faktanya, secara teknis monarki itu tidak memiliki kota dan politik juga, lantaran tiada persekutuan antara yang setara untuk tujuan mengatur dan diatur. Karena inilah Aristoteles kadang-kadang membandingkan monarki dengan sistem yang ia sebut sistem politik ?republikan? (yakni non-monarkis): hanya yang terakhir inilah yang merupakan politeiai dalam arti sempit kata (walaupun kadang-kadang ia menggunakan istilah ini secara longgar untuk mangacu pada monarki juga), sehingga sistem republikan merupakan perhatian utamanya dalam Politics. Salah satu segi terpenting filsafat politik Aristoteles adalah bahwa, dalam pembahasannya, ia menyusun kerangka yang mengandung enam tipe kemungkinan sistem politik. Tipe-tipe itu dibedakan oleh perbedaan sumber wewenang dan kekuasaan yang memerikannya. Sesudah menegaskan bahwa ?unsur yang berwewenang? dalam sistem politik pasti ?seorang atau lebih?, ia menjelaskan perbedaan antara sistem politik yang ?benar? dan yang merupakan ?penyimpangan? (AP 1279a(96)): ?bila seorang atau beberapa atau banyak orang mengatur dengan pandangan untuk kepentingan umum, sistem politik ini niscaya benar, sedangkan yang dengan pandangan untuk kepentingan pribadi seseorang atau beberapa atau banyak orang merupakan penyimpangan.? Nama-nama yang dipakai oleh Aristoteles untuk menandai masing-masing dari enam sistem tersebut adalah sebagai berikut. Bentuk monarki yang benar disebut ?kerajaan?. (Di Yunani kuno, monos berarti ?sendirian? atau ?tunggal?; archos berarti ?pengatur?. Akhiran ?-krasi? berasal dari kratos, yang bermakna ?kekuasaan?.) Bentuk ?pengaturan oleh beberapa orang? yang benar adalah ?aristokrasi?, yang bermakna bahwa pemerintahan dipegang oleh orang-orang terbaik (aristos). Adapun ?politi? (polity) merupakan bentuk pengaturan oleh mayoritas yang benar, walaupun Aristoteles juga memakai istilah ini untuk mengacu dengan cara umum pada semua sistem politik. Karena kadang-kadang ia membandingkan perbedaan politeiai dengan monarki, Aristoteles dalam konteks ini mungkin memaksudkan politeiai untuk ditafsirkan dalam pengertian sempit ini; secara demikian, klaimnya adalah bahwa semua sistem non-monarkis (yakni semua republik) bisa disebut politi. Dalam Nicomachean Ethics (NE 1160a), ia menghindari penggunaan [istilah] ?politi? yang samar-samar dengan mengacu pada sistem politik ketiga yang benar ini sebagai ?timokrasi?, yang bermakna kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang yang memiliki properti (timema) sendiri. Malahan, ia terang-terangan menyatakan bahwa istilah ini akan lebih disukai daripada istilah ?politi?, walaupun yang terkemudian ini lebih lazim di antara keduanya. Akan tetapi, catatan singkat tentang timokrasi ini sulit dibedakan dari oligarki (lihat bawah); jadi, saya akan mengadopsi istilah-istilah yang dipakai dalam Politics kendati mungkin bermakna ganda. Aristoteles juga memaparkan penyimpangan dari tiga bentuk sistem politik yang pada dasarnya positif: Deviations from those mentioned are tyranny from kingship, oligarchy from aristocracy, democracy from polity. Tyranny is monarchy with a view to the advantage of the monarch, oligarchy [rule] with a view to the advantage of the well off, democracy [rule] with a view to the advantage of those who are poor; none of them is with a view to the common gain. (AP 1279b(96)) (Penyimpangan dari yang disebut tadi adalah tirani dari kerajaan, oligarki dari aristokrasi, demokrasi dari politi. Tirani adalah monarki dengan pandangan untuk kepentingan kepala negara, oligarki dengan pandangan untuk kepentingan orang-orang kaya, demokrasi dengan pandangan untuk kepentingan mereka yang miskin; tak satu pun dari ketiganya yang berpandangan untuk perolehan umum.) (AP 1279b(96)) Mari sekarang kita periksa masing-masing dari enam sistem politik ini dengan agak lebih rinci. Dalam pembahasannya tentang kerajaan, Aristoteles berhati-hati dengan menunjukkan bahwa ada beberapa jenis raja. Pembedaan utama adalah antara yang wewenangnya melampaui hukum dan yang harus mematuhi hukum. Sistem politik yang ?raja?-nya memerintah ?menurut hukum? bukan kerajaan sejati; raja semacam ini lebih menyerupai ?jenderal permanen? (AP 1287a(113)). Kerajaan dalam pengertiannya yang sejati adalah ?kerajaan absolut?, yang rajanya ialah ?orang yang memiliki wewenang atas segala masalah ..., dengan suatu penataan yang mirip manajemen rumahtangga? (1285b(110-111)). Pada kerajaan, ?sistem politik terbaik bukan yang didasarkan pada hukum dan [aturan] tertulis?, karena raja yang baik akan mampu menilai secara adil menurut keadaan situasi tertentu masing-masing, dengan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum hukum, meskipun penilaiannya tidak perlu ditetapkan oleh prinsip-prinsip itu (1286a(111)). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam AP 1284a(106-107): ?Jika ada satu orang yang amat menonjol dengan keluhuran budi yang berlimpah—atau sejumlah orang ...--... orang-orang semacam itu tak bisa dianggap lagi sebagai bagian dari kota ... [Ini karena] mereka sendiri merupakan hukum.? Lalu ia menunjukkan bahwa ?penolakan? merupakan nasib yang tak terhindarkan bagi orang-orang semacam itu ?dalam sistem politik yang menyimpang? (1284b(108)), biarpun dalam ?sistem politik terbaik ... orang-orang semacam ini akan menjadi raja yang permanen di kota-kota mereka.? Walaupun secara teknis kerajaan merupakan sistem politik terbaik, Aristoteles lebih menyukai aristokrasi karena beberapa alasan. Selalu ada bahaya bahwa orang yang memegang semua kekuasaan akan berubah menjadi buruk, sehingga sistem terbaik akan turun menjadi yang terburuk (yaitu tirani). Satu-satunya perlindungan terhadap orang semacam itu yang dikuasai oleh hasratnya sendiri bagi dia adalah menerima aturan hukum; jadi, ?hukum—yang diberlakukan secara benar—inilah yang seharusnya berwewenang?, bukan orangnya (AP 1282a-b(103)). Hakikat hukum adalah sedemikian sehingga melindungi orang-orang terhadap bahaya perusakan yang bisa disebabkan oleh nafsu mereka sendiri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Aristoteles (1287a(114)): ?Orang yang meminta untuk diatur oleh hukum ... bersikap meminta diatur oleh yang baik dan [akal] intelek saja, sedangkan orang yang meminta manusia [akan] menambah keburukan. Hasrat merupakan sesuatu yang tergolong jenis ini; dan semangat itu menyelewengkan penguasa dan orang-orang terbaik. Oleh sebab itu, hukum adalah [akal] intelek tanpa nafsu.? Masalah lain mengenai kerajaan dalam benak Aristoteles adalah bahwa bolehjadi ada lebih dari satu orang manusia yang baik di kebanyakan kota, sehingga orang-orang baik yang tidak dibolehkan untuk memerintah mungkin tidak puas dengan ketimpangan antara mereka sendiri dan raja. Situasi yang tidak adil semacam ini hampir tak terpecahkan oleh penggantian raja dengan aristokrasi, yang pemerintahnya ialah pria-pria yang baik (AP 1286b(112)). (Mereka tak mungkin wanita-wanita yang baik karena, menurut Aristoteles, wanita bahkan tak boleh menjadi warganegara!) Karenanya, Aristoteles menyiratkan bahwa, ironisnya, semakin kurang berkuasa seorang raja (yakni semakin tidak menyerupai raja sejati), semakin lama ia mampu melanggengkan pemerintahannya (1313a(173)). ?Aristokrasi ... dalam beberapa hal merupakan oligarki? (oligos bermakna ?beberapa?), karena pada kedua tipe sistem politik itu ?pengaturnya beberapa orang? (AP 1306b(159)). Perbedaannya adalah bahwa, tidak seperti oligarki tipikal (yakni menyimpang) yang pemerintahnya dipilih dengan hanya ?atas dasar kekayaan?, pemerintah aristokrasi dipilih ?sesuai dengan keluhuran budi? (1273a(82)). (Bila kepemilikan properti adalah tipe kekayaan yang dipakai sebagai salah satu kualifikasi utama untuk memilih orang yang diberi kekuasaan dan wewenang untuk memerintah dalam suatu oligarki (lihat umpamanya 1279b(96)), sistem itu bisa juga disebut timokrasi. Salah satu cara melaporkan potensi ambiguitas antara istilah ?oligarki? dan ?timokrasi? adalah mencatat bahwa timokrasi akan menjadi politi jika nilai properti yang diperlukan untuk menjadi warganegara sangat rendah, dan akan menjadi oligarki jika nilainya tinggi, karena hanya akan ada segelintir orang yang cukup kaya untuk menjadi warganegara.) Oligarki biasanya buruk bagi suatu kota, karena tidak ada jaminan bahwa pengatur-pengatur itu berbudi luhur (umpamanya dengan menjaga kesejahteraan orang-orang miskin) hanya lantaran mereka kaya. Sebaliknya, aristokrasi, menurut definisi Aristolteles, merupakan sistem politik yang memberi kekuasaan dan wewenang pemerintahan kepada beberapa orang yang akan, dengan berbudi luhur, menjaga kepentingan orang-orang yang bukan anggota kelompok yang memerintah. Pembedaan yang paling diperhatikan oleh Aristoteles dalam Politics adalah antara dua bentuk ekstrim pemerintahan non-monarkis, yaitu oligarki dan demokrasi. Ini barangkali karena dua sistem itu yang paling sering terdapat pada kota-kota historis nyata, baik di Yunani kuno maupun di zaman modern. Contohnya, ia berkata, ?hukum bisa oligarkik atau demokratik? (AP 1281a(100)), dalam ertian bahwa ?dalam sistem politik demokratik, rakyat memiliki wewenang, sedangkan sebaliknya dalam oligarki, [wewenang] itu milik segelintir orang? (1278b(94)). Dalam AP 1279b-1280a(96-97), ia menjelaskan: oligarchy is when those with property have authority in the political system; and democracy is the opposite, when those have authority who do not possess a [significant] amount of property but are poor ... What makes democracy and oligarchy differ is poverty and wealth: wherever some rule on account of wealth, whether a minority or a majority, this is necessarily an oligarchy, and wherever those who are poor, a democracy. But it turns out ... that the former are few and the latter many ... (oligarki adalah bila yang dengan properti memiliki wewenang dalam sistem politik; dan demokrasi adalah lawannya, bila yang mempunyai wewenang ialah yang tidak memiliki sejumlah properti [yang signifikan], kecuali sedikit sekali ... yang membuat demokrasi dan oligarki berbeda adalah kemiskinan dan kekayaan: bilamana suatu pemerintah berdasarkan kekayaan, entah minoritas entah mayoritas, ini niscaya oligarki, dan bilamana itu yang miskin, [maka ini] demokrasi. Namun terbukti ... bahwa yang kaya itu sedikit dan yang miskin itu banyak ...) ?Prinsip penentu aristokrasi adalah keluhuran budi? dan ?yang oligarki adalah kekayaan?, sedangkan prinsip penentu demokrasi adalah ?mayoritas [orang miskin] yang memiliki wewenang? (1310a(167)). Demokrasi adalah sistem politik yang di dalamnya persekutuan antara ?rakyat awam? (démos) menetapkan bagaimana kekuasaan dan wewenang didistribusikan di kotanya. Oleh sebab itu, ini dicirikan oleh tipe ?kemerdekaan? yang melibatkan [orang-orang] ?yang diatur dan yang mengatur menurut gilirannya? (AP 1317a-b(183)). Penataan pengaturan timbal-balik di antara yang setara semacam itu ?merupakan hukum? (1287a(113)). Sebagaimana dengan kebanyakan sistem politik lain, Aristoteles membahas beberapa variasi demokrasi, yang meliputi tipe yang di dalamnya ?rakyat menjadi penguasa monarki?, dalam pengertian bahwa ?yang banyak itu mempunyai wewenang [hukum] bukan selaku individu, melainkan selaku semuanya bersama-sama? (1292a(125-126)). Dalam arti sempit sistem politik (yaitu yang tidak memasukkan monarki), ?jenis demokrasi ini bukan sistem politik. Ini karena bilamana hukum tidak mengatur maka tidak ada sistem politik.? Aristoteles mengingatkan bahwa sistem politik terbaik bagi kota-kota tidak bisa ditetapkan lebih dahulu: salah satu dari sistem-sistem itu (kecuali tirani) mungkin akhirnya adalah yang paling tepat, segera sesudah situasi spesifik dipertimbangkan. Jadi, umpamanya, ia menerima bahwa kadang-kadang kerajaan merupakan sistem terbaik bagi suatu kota, walaupun pada umumnya ?memiliki aturan hukum yang dipilih menurut kesukaan oleh salah seorang warganegara? (AP 1288a(115-116)). Politi, sistem politik yang sering lebih disukai oleh Aristoteles, merupakan jalan tengah antara aristokrasi dan demokrasi. Namun dalam kasus politi pun, ia mengakui bahwa ?tidak ada yang bisa mencegah sistem politik lain untuk lebih menguntungkan bagi [kota-kota] tertentu? (1296b(136)). Politi adalah sistem politik yang didasarkan pada ?jalan tengah? (lihat umpamanya NE 1106a-1109b(65-75)), prinsip terkenal dari Aristoteles mengajarkan agar kita selalu menghindari keekstriman; dalam hal ini kita diberitahu bahwa ?jenis kehidupan pertengahan adalah yang terbaik? bagi kota dan sekaligus bagi individu (AP 1295a(133)). Dengan kata lain, politi adalah sistem politik yang ?kelas menengah?-nya, sebagaimana yang kini kita sebut, merupakan mayoritas rakyat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk memerintah dengan cara yang mencampur unsur-unsur tiga sistem republikan lainnya. Campuran yang dipikirkan oleh Aristoteles ini mencakup kombinasi antara demokrasi dan oligarki (dua keekstriman) sedemikian rupa sehingga unsur-unsur ekstrimnya akan saling membatalkan: suatu politi mensyaratkan ?percampuran antara ... yang kaya dan yang miskin? (1293b-1294b(129-132)). Namun ini mungkin juga mencampur unsur-unsur aristokrasi dan oligarki, sebagaimana politi mensyaratkan ?hukum yang mendistribusikan pejabat atas dasar keunggulan [seperti dalam aristokrasi] sampai yang kaya [sebagaimana dalam oligarki]? (1288a(116)). Bila kita baca perkataan Aristoteles bahwa jenis oligarki terbaik ?sangat dekat dengan yang disebut politi? (1320b(190)), kita harus mengasumsikan bahwa oligarki yang baik ini pada aktualnya merupakan aristokrasi. Ini karena aristokrasi dan politi adalah ?pertengahan? yang baik antara dua hal ?ekstrim? yang buruk, yaitu oligarki dan demokrasi. Dengan mempertimbangkan hal itu, sekarang kita dapat memetakan hubungan antara empat sistem politik republikan (non-monarkis), dengan menggunakan bagan alur sederhana (seperti pada Gambar IX.1a) atau salib 2LAR (seperti pada Gambar IX.1b) yang dilandaskan pada dua pertanyaan dasar berikut ini: (1) Apakah ada beberapa pengatur? dan (2) Apakah sistem itu baik (yakni ?benar?)? oligarki aristokrasi (kekayaan) (beberapa, baik) aristokrasi pertengahan (bijak) politi demokrasi (banyak, baik) (banyak, buruk) politi hal ekstrim (kelas menengah) oligarki demokrasi (beberapa, buruk) (miskin) (a) sebagai Bagan Alur (b) dipetakan pada Salib Gambar IX.1: Empat Bentuk Sistem Politik Republikan Peta-peta ini membantu kita dalam melihat mengapa kadang-kadang praktis Aristoteles menyamakan politi dengan aristokrasi (umpamanya AP 1286b(112)): sistem-sistem ini, sebagai ?pertengahan?, adalah baik bagi kebanyakan kota, sedangkan demokrasi dan oligarki, sebagai hal ?ekstrim? yang buruk. Sistem politik lainnya dalam kerangka Aristoteles adalah ?tirani?. Secara teknis, ini merupakan lawan (yaitu penyimpangan dari) kerajaan. Namun Aristoteles juga menyebutnya ?bentuk ekstrim demokrasi?, dan menambahkan bahwa sebagian dari bentuk-bentuk oligarki dan demokrasi adalah ?tirani?, yang terbagi di kalangan orang banyak (AP 1312b(172)). Ia menjelaskan hubungan antara tirani dan dua sistem politik lain yang menyimpang sebagai berikut: Kingship accords with aristocracy, while tyranny is composed of the ultimate sort of oligarchy and of democracy--hence it is composed of the two bad political systems and involves the deviations and errors of both of them.... .... Having wealth as its end comes from oligarchy ..., as does its distrust of the multitude.... From democracy comes their war on the notables .. (1310b-1311a(168-169)) (Kerajaan sesuai dengan aristokrasi, sedangkan tirani tersusun dari jenis terdalam oligarki dan demokrasi—karenanya ini tersusun dari dua sistem politik yang buruk dan mencakup penyimpangan dan kekeliruan keduanya ... ... Kekayaan sebagai tujuan berasal dari oligarki ..., sebagaimana kecurigaan khalayak umum ... Dari demokrasi berasal perang besar ...) (1310b-1311a(168-169)) Ia lalu menjelaskan mengapa kerajaan mengandung risiko tirani yang tidak berharga: Kingships no longer arise today; if monarchies do arise, they tend to be tyrannies. This is because kingship is a voluntary sort of rule ..., but [nowadays] there are many persons who are similar, with none of them so outstanding as to match the extent and the claim to merit of the office. (1313a(173)) (Kerajaan tidak muncul lagi saat ini; jika monarki benar-benar muncul, monarki ini cenderung menjadi tirani. Ini karena kerajaan adalah jenis aturan sukarela ..., tetapi [dewasa ini] ada banyak orang yang serupa, tanpa ada yang sedemikian menonjol untuk sesuai dengan tingkat itu dan klaim untuk kebaikan jabatan itu.) (1313a(173)) Jika sekarang kita tambahkan dua bentuk monarki pada empat bentuk sistem politik republikan, kita dapat meletakkan keenam sistem itu bersamaan dalam bentuk bagan alur melingkar, yang memungkinkan kita untuk melihat keseluruhan kerangka pada satu kesempatan saja. kerajaan terbaik aristokrasi politi lebih baik sistem politik yang baik jalan tengah sistem politik yang buruk lebih buruk oligarki demokrasi tirani terburuk Gambar IX.2: Enam Bentuk Sistem Politik Aristoteles Dalam bahasannya tentang revolusi politik, Aristoteles mengemukakan bahwa, walau praktis setiap sistem dapat berubah menjadi suatu sistem lain, sistem-sistem itu cenderung ?lebih sering mengalami revolusi menuju lawanannya daripada menuju sistem politik terdekatnya? (AP 1316a-b(179-180)). Dengan kata lain, revolusi lebih mungkin dipengaruhi oleh logika internal pada hubungan antara sistem-sistem politik yang berlainan daripada oleh faktor empiris pada tipe sistem yang berlaku di kota tetangga. Dalam AP 1286b(112)), Aristoteles memerikan dengan lebih lengkap bagaimana gerak maju sistem politik, sebagaimana yang dilambangkan oleh tanda panah di Gambar IX.2, berjalan sendiri secara khas dalam situasi-situasi historis nyata: sistem politik biasanya berawal dengan kerajaan, berlalu menjadi aristokrasi atau politi, turun menjadi oligarki, jatuh menjadi genggaman tirani, dan dibebaskan dari penindasan oleh demokrasi. Walaupun gerak dari aristokrasi ke demokrasi ?membahayakan sistem politik? (1270b(76)), ia mengakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang hampir tak terelakkan, lantaran berfungsi sebagai perlindungan terbaik melawan tirani. Namun Aristoteles mengharap fakta historis ini bisa diatasi oleh akal, sehingga hal yang kurang ekstrim dari sistem yang benar-benar baik, politi, bisa menjadi kenyataan, walaupun jarang terdapat di masa lalu. Peningkatan ini bisa juga dipetakan pada segitiga 6CR (dengan beberapa anak panah yang ditambahkan) dengan menempatkan tiga sistem ?yang baik? pada segitiga yang menunjuk ke atas dan tiga sistem ?yang buruk? pada segitiga yang menunjuk ke bawah, seperti dalam Gambar IX.3 (bandingkan Gambar V.8). Garis ke atas menuju politi adalah putus-putus dengan maksud melambangkan sulitnya penerapan transisi pada sistem ideal ini. politi oligarki tirani kerajaan aristokrasi demokrasi Gambar IX.3: Kerangka Kerja Aristoteles sebagai 6CR Ikhtisar kerangka kerja Aristoteles yang berharga untuk sistem politik dalam Buku VIII, Bab 10 dari Nicomachean Ethics menambahkan beberapa hal tambahan yang perlu disebut dalam simpulan. Di sini kerajaan diperlakukan sebagai opsi terbaik, karena siapa saja raja yang benar-benar baik akan selalu mempunyai minat masalah terbaik dalam benaknya. Karena ia memiliki kekuasaan dan wewenang mutlak atas semua rakyatnya, tak seorang pun yang mampu mencegah raja dari pengejawantahan kehendak baiknya. Kendati aristokrasi terdiri dari orang-orang ?terbaik?, ini tidak sebaik kerajaan, karena beberapa orang yang buruk lebih berkemungkinan untuk menyusupi aristokrasi dan merusak pengatur lainnya yang baik. Adapun bila semua pemilik properti dibiarkan untuk mempengaruhi cara pembentukan hukum dan penyebaran hak di kalangan warganegara, kerusakan semacam itu bahkan lebih mungkin terjadi. Aristoteles membandingkan pertalian antara warganegara dan kota dalam tiga sistem politik yang baik ini dengan tiga tipe pertalian keluarga. Dalam kerajaan, raja bagaikan ayah dan warganegara bagaikan putra. Dalam aristokrasi, kelompok pengatur laksana suami dan warganegara lainnya laksana istri. Adapun dalam timokrasi (atau politi), pertalian antarpemilik properti itu seperti pertalian antarsaudara kandung. Namun sebagaimana pertalian keluarga tidak selalu serasi, masing-masing sistem politik ini bisa diselewengkan, sehingga kerajaan memunculkan tirani, aristokrasi memunculkan oligarki, dan politi memunculkan demokrasi. Sebagaimana yang telah kita saksikan, kerajaan adalah pilihan yang risikonya terbesar, karena ?yang terburuk adalah kebalikan dari yang terbaik.? Oleh sebab itu, ketika memilih suatu sistem politik, kita haru BAGIAN EMPAT: DAUN ONTOLOGI DAN TAKJUB BERKEHENINGAN Pekan X Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan 28. Apakah Keheningan Itu? Pada tiga bagian pertama matakuliah ini kita telah menghadapi berbagai teori filsafat, yang diusulkan oleh filsuf-filsuf yang berupaya memecahkan beragam masalah. Keanekaragaman itu, yang tercampur-aduk oleh berbagai pendekatan yang tersedia untuk kita gunakan, merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap kesehatan pohon filsafat. Jika tidak ada yang dapat mempersatukan keragaman yang biasanya muncul dari pengalaman insani kita dan dari pemikiran kita terhadapnya, maka kita berada dalam bahaya akan bernasib seperti Nietzsche. Sebagaimana yang kita lihat di Kuliah 23, Nietzsche mencabut akar pohon filsafat dalam rangka membangunkan manusia modern dari keterlelapan tidur di bawah naungan pohon filsafat Sokrates. Namun sebagaimana tanda pertama kesekaratan dalam tanaman yang akarnya tercabut adalah bahwa daun-daunnya layu, begitu pula Nietzsche yang berupaya berfilsafat tanpa mendasarkan penalarannya pada suatu realitas hakiki berakhir tatkala pengalamannya sendiri runtuh dalam kegilaan menggemparkan yang tiada-henti. Orang yang pencarian kealimannya berakhir dalam kegilaan itu tidak bersentuhan lagi dengan realitas yang membuat pencarian itu berguna. Untungnya, nasib tragis ini bukan tak terelakkan, asalkan kita belajar untuk menanggapi keragaman pikiran dan kehidupan dengan mengganti kegaduhan yang ditimbulkan oleh pilihan-pilihan yang kurang-lebih berlarut-larut yang tersedia di depan kita dengan suatu keheningan (silence) yang bisa menunjang kesatuan dan tujuan bagi eksistensi kita yang terpenggal. Karena alasan itu, saya akan mengawali bagian terakhir dari kuliah kita ini dengan meminta anda untuk menyarankan beberapa jawaban terhadap pertanyaan, ?Apakah keheningan itu?? Kala anda pikirkan pertanyaan itu, biarlah saya ingatkan anda bahwa bagian dari pohon filsafat yang paling melambangkan kebutuhan kita akan prinsip pemersatuan dalam pemikiran kita dan daya pemersatu dalam kehidupan kita adalah daun-daun. Itu lantaran bila kita pandang pohon yang tak berdaun, perbedaan antara cabang-cabangnya tampak jelas; namun jika pohon tersebut mempunyai daun yang rimbun, maka cabang-cabangnya pada aktualnya kelihatan terhubung, seolah-olah daun-daun itu mencairkan ketegangan antarcabang dengan merangkul cabang-cabang itu dalam kesatuan yang lebih tinggi. Daun-daun suatu pohon, lebih dari bagian-bagian lainnya, memberi kita kesan bahwa pohon itu satu unit: khususnya bila kita memandang pohon itu dari jauh, daun-daun tersebut kehilangan ciri khas mereka dan saling mengaburkan. Bahkan, suatu pohon sering lebih sulit dibedakan dari yang lain bila tidak mempunyai daun. Untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi pohon, para ahli botani biasanya memanfaatkan daunnya. Analogi tersebut menyiratkan salah satu prinsip terpenting yang akan kita bahas di Bagian IV ini; sebagaimana daun menentukan ciri khas pohon dan kesatuannya, bagian dari pohon filsafat yang sekarang mulai kita periksa pun hidup menurut prinsip ?kesatuan dalam keragaman?. Karena ?kesatuan? dan ?keragaman? berlawanan, prinsip itu jelas mensyaratkan bahwa kita berpikir dengan memakai logika sintetik jika kita hendak memahaminya. Namun sebelum kita mulai memperhatikan beberapa contoh tentang bagaimana prinsip-prinsip itu berlaku, adakah yang yang punya ide tentang bagaimana kita dapat mendefinisikan keheningan? Mahasiswa V. ?Keheningan mengacu pada suatu lingkungan yang tanpa suara—atau setidak-tidaknya sangat lirih.? Saya memang berharap ada yang menyatakan jawaban semacam itu, karena pernyataan tersebut memberi kita peluang untuk menjernihkan pertanyaan yang sebenarnya saya ajukan. Jawaban anda benar sekali; namun itu mendefinisikan keheningan dengan cara sepintas lalu. Pada permukaannya, keheningan memang hanya tiadanya suara. Jadi, umpamanya, jika beberapa di antara kalian mulai mengobrol ketika saya sedang berusaha menyampaikan kuliah ini, maka saya mungkin berseru ?Silence please!?; [seruan] ini berarti sesuatu seperti ?Harap tidak mengeluarkan suara!? Padahal, biasanya kata ?keheningan? jauh lebih bermakna daripada itu. Bukankah ada beberapa jenis suara yang tidak mengusik keheningan kita? Bagaimana dengan lagu populer yang berjudul ?Suara Keheningan?? Kalau keheningan ialah tiadanya suara, maka bagaimana keheningan itu sendiri mempunyai suara? Adakah yang mempunyai saran lain mengenai bagaimana kita bisa agak lebih mendalami makna keheningan? Apakah keheningan itu? Mahasiswa W. ?Tiada kegaduhan.? Nah, ini definisi yang lebih berfaedah, khususnya jika kita mendefinisikan ?kegaduhan? sebagai ?suara yang mengganggu?. Lalu kita bisa melihat mengapa sebagian jenis suara pada aktualnya justru turut menciptakan keheningan dan tidak mengganggu. Contohnya, burung-burung yang berkicau di luar kelas ini barangkali lebih membuat suara daripada yang dibuat oleh dua atau tiga orang mahasiswa yang mengobrol sewaktu saya sedang mengajar. Namun saya tidak berpikiran bahwa kita semua akan mengatakan bahwa burung-burung itu menggaduhkan, selama burung-burung itu tidak menyaingi saya dalam menarik perhatian anda. Dengan cara yang sama, musik latar di suatu film membuat banyak suara; namun pada aktualnya musik ini turut menciptakan rasa hening di film tersebut jika digunakan dengan cara yang benar. Tetapi jika musik itu mengurangi perhatian kita terhadap adegan yang terjadi di layar, maka fungsinya mulai lebih menyerupai kegaduhan. Begitu pula, musik dapat merangsang percakapan antarteman; namun bila musik tersebut dimainkan ketika salah satunya sedang menyetel nada gitar, fungsinya barangkali lebih menyerupai kegaduhan. Perihal keheningan, contoh-contoh itu menyiratkan apa? Mahasiswa X. ?Itu sangat subyektif. Yang hening bagi saya mungkin gaduh bagi anda.? Itu tergantung pada apa yang anda maksud dengan ?subyektif?. Jadi, mari kita pertajam ide anda. Bilamana anda mengatakan bahwa keheningan itu ?subyektif?, apakah itu hanya berarti bahwa orang-orang yang mengalami keheningan dengan cara-cara yang berlainan (sesuatu yang agak jelas), ataukah itu juga menyiratkan sesuatu tentang di mana keheningan itu berada pada aktualnya? Dengan kata lain, apa yang membuat perbedaan antara orang yang bisa mengalami keheningan dalam situasi tertentu sedangkan orang lain tidak bisa? Mahasiswa X. ?Itu pasti sesuatu di dalam orang itu. Ya, saya pikir itulah yang saya maksud dengan =subyektif‘! Keheningan nyata adalah keheningan batiniah.? Bagus! Itulah tepatnya pertanyaan asli saya: Apakah keheningan batiniah itu? Apa yang bisa kita lakukan di dalam diri kita sendiri untuk membudidayakan kepribadian yang memungkinkan kita untuk mengalami keheningan tatkala orang-orang lain terusik oleh suara-suara di sekitar kita? Bagaimana bisa yang menggaduhkan bagi orang lain menjadi seperti musik bagi telinga kita? Ini sajakah perbedaan dasar antara kepribadian-kepribadian manusia, ataukah ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan kita untuk mendengar suara keheningan? Mahasiswa Y. ?Saya dapati bahwa menjauhkan diri dari semua orang dan menyepi selama beberapa saat sering memberi saya kedamaian batin yang membantu saya menghadapi gangguan yang datang dari sangkut-paut saya dengan orang lain.? Jenis pengalaman yang anda acu tersebut adalah sesuatu yang kadang-kadang disebut ?kesendirian?. Kadang-kadang saya juga menyepi sendiri dengan nikmat; dan saya sepakat bahwa itu bisa mendorong perkembangan rasa keheningan batiniah. Namun anehnya, sebagian orang tidak suka menyendiri; mereka terlalu khawatir akan menjadi kesepian. Maka, apa perbedaan antara ?menyepi? dan ?kesepian?? Mahasiswa Z. ?Sebagian orang mampu menyepi dalam waktu yang lama tanpa merasa kesepian sama sekali; orang-orang lainnya merasa kesepian kendati bersama sekelompok teman.? Jadi, apa yang menyebabkan dua jenis manusia tersebut berbeda sekali? Mahasiswa Z. ?Orang yang kesepian tampaknya kehilangan sesuatu di dalamnya. Bisakah kita menyebut [yang hilang] itu keheningan?? Itu siratan yang baik, walaupun kita harus sadar bahwa kini kita bernalar dalam suatu lingkaran: kesendirian membantu kita dalam mengembangkan keheningan batiniah; keheningan batiniah membantu kita dalam kesendirian tanpa merasa kesepian. Jadi, itu masih belum banyak membantu kita jika kita menjadi kesepian dan/atau kekurangan hening batiniah saat ini. Namun demikian, itu pandangan yang baik karena menekankan hubungan yang erat antara kesendirian dan keheningan. Kesendirian dan keheningan biasanya berjalan seiring: kita memiliki keduanya atau kita tidak memiliki keduanya. Pada faktanya, mengalami yang satu tanpa mengalami yang lain itu biasanya merupakan tanda disintegrasi mental dan/atau spiritual: keheningan tanpa kesendirian menangkarkan kengerian; kesendirian tanpa keheningan menangkarkan kegilaan. Pada Kuliah 34 kita akan melihat lebih dekat wawasan-wawasan paradoksis yang bisa kita peroleh dari pengalaman insani yang juga umum itu. Orang yang banyak mengisi waktunya dengan kesendirian dan keheningan kadang-kadang disebut ?perenung?. Praktis perenung-perenung di semua tradisi agama besar telah bekerja keras untuk menjelaskan makna kesendirian dan keheningan dan bagaimana kita bisa merawat potensi pengalaman semacam itu. Di Cina kuno, Lao Tzu merupakan contoh yang baik tentang perenung semacam itu. Catatan puitisnya tentang bagaimana mengikuti ?Tao? yang ?tak-terungkap? penuh dengan nasihat praktis—walau sering dinyatakan dengan menggunakan logika sintetik—mengenai bagaimana kita dapat hidup dengan rendah hati, kesendirian, dan keheningan, termasuk di tengah-tengah kesibukan hidup sehari-hari yang jelas kelihatan. Buddha, tentu saja, merupakan contoh lain yang baik. Dan banyak yang lain bisa diambil dari Hindu, Islam, dan berbagai agama lain. Tradisi agama Yahudi dan Nasrani juga mempunyai sederet panjang perenung-perenung semacam itu. Salah seorang perenung Krist Pekan XI Takjub Simbolik: Beragama 31. Numinus dan Simbol-Simbolnya Filsafat berawal dengan ketakjuban. Inilah pandangan Plato yang terungkap dalam Theaetetus (CDP 155d) dan digemakan oleh banyak filsuf lain selama berabad-abad. Takjub dalam pengertian ini bukan sekadar bengong tertegun, melainkan penasaran terhadap sesuatu yang tak dikenal, yang menggiring kita untuk mencari makna yang mendasar di balik keragaman hayati kita, yang mendorong kita ke lubuk wawasan dan puncak pengetahuan yang selalu baru. Saya memilih mengantarkan anda kepada filsafat di matakuliah ini dengan tidak mengawalinya dengan ketakjuban, tetapi dengan lawanannya, kebebalan. Itu karena penahapan logis bagian-bagian dari pohon filsafat berlawanan dengan penahapan kronologis normal pada pengalaman kita dalam berfilsafat. Di kuliah-kuliah ini saya berupaya menjelaskan filsafat sedemikian rupa sehingga, dengan menuntaskan matakuliah ini, anda akan mampu menempuh pengembaraan filosofis anda sendiri. Itu berarti bahwa, walaupun mungkin cara terbaik untuk belajar filsafat adalah bergerak dari metafisika melalui logika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk berfilsafat mungkin bergerak dari ketakjuban melalui kealiman dan pemahaman ke pengakuan sepenuhnya akan kebebalan anda sendiri. Ketakjuban berkaitan terutama dengan kekaguman kita terhadap pengalaman insani yang amat beragam, khususnya pengalaman yang menelurkan pertanyaan yang tidak terjawab dengan penalaran logis belaka, tetapi dengan mengalami pengalaman itu sendiri. Jenis ketakjuban filosofis yang paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma dengan menyusun teori metafisis, mempertajam keterampilan pemikiran logis kita, atau memperdalam kedalaman dan jangkauan pengetahuan kita. Alih-alih, makna kehidupan muncul secara bertahap dari kemauan kita untuk terbuka terhadap jenis-jenis pengalaman ?ajaib? yang kita bahas di Bagian Empat ini. Kendati pembahasan kita tentang pengalaman-pengalaman itu bergantung pada kata-kata sebagaimana dalam kuliah-kuliah terdahulu, kita harus mengingat-ingat bahwa kita mengalami ketakjuban yang paling berbobot dalam keheningan. Semua jawaban yang kita periksa sebagai ?jawaban? yang bolehjadi terhadap berbagai masalah yang diangkat di Bagian Empat ini memudar dalam kesepelean bila kita bandingkan dengan jawaban hakiki yang kita terima manakala kita mengalami ketakjuban lantaran keheningan. Itu karena ketakjuban berkeheningan, lebih dari kata-kata sebanyak berapa pun, bisa menanamkan timbangan sejati tentang realitas kita sendiri, dan dapat mendorong kita ke tingkat keutuhan yang oleh kata-kata belaka tak terungkap, yang memberi makna terdalam bagi keragaman kata-kata kita. Karena anda telah belajar berfilsafat, saya harap anda telah mengalami jenis ketakjuban filosofis ini. Sesungguhnya, salah satu alasan lain untuk mengawali matakuliah ini dengan kuliah-kuliah tentang kebebalan adalah bahwa saya rasa, itu merupakan salah satu cara terbaik untuk membangkitkan ketakjuban pada diri orang-orang yang pandangan kealaman ilmiah modernnya cenderung memisahkan mereka dari banyak pengalaman yang pada dahulu kala merupakan bagian alamiah dari kehidupan setiap orang, sebelum teknologi mendominasi masyarakat. Saya telah mempertimbangkan untuk mengajar matakuliah ini dengan urutan terbalik, yang berawal dengan kuliah tentang kematian dan berakhir dengan kuliah tentang mitos. Meskipun barangkali ini akan membuat matakuliah kita lebih menarik pada permulaan, dan sehingga lebih cepat menarik anda ke suatu kajian filsafat yang serius, akan ada bahaya yang berupa menafsiran jenis pengalaman yang dibahas di sini secara terlalu ilmiah, tanpa mengakui misteri menakjubkan yang ditunjukkannya. Hari-hari ini, ketika keindahan amat sering terkunci di dalam kurungan dinding museum, ketika pengalaman keagamaan amat sering diidentifikasi dengan perbuatan yang ?gerejawi?, ketika kematian amat sering terjadi di bangsal rumahsakit secara anonim, maka kita semua terlalu gampang untuk mengira bahwa kita benar-benar telah mengalami misteri kehidupan, walau, pada faktanya, yang kita lakukan hanyalah memisahkan diri dari hal yang hakiki melalui perangkap teknologi. Saya harap, pengakuan kebebalan kita perihal realitas hakiki itu menggoncang anda dari kepuasan kepada diri sendiri yang membunuh naluri ketakjuban kita. Blaise Pascal (1623-1662) ialah salah satu contoh filsuf terbaik yang menghargai nilai kejut yang terdapat pada pengakuan kebebalan manusia, di samping hubungan antara pengakuan semacam itu dan ketakjuban filosofis. Kumpulan wawasannya, yang disebut Pensées, dipenuhi dengan pasal-pasal yang mengungkapkan ketegangan eksistensi manusia, sebagaimana berikut ini: What a chimera then is man! What a novelty! What a monster, what a chaos, what a contradiction, what a prodigy! Judge of all things, imbecile worm of the earth; depositary of truth, a sink of uncertainty and error; the pride and refuse of the universe! ... Know then, proud man, what a paradox you are to yourself. Humble yourself, weak reason; be silent, foolish nature; learn that man infinitely transcends man, and learn from your Master your true condition, of which you are ignorant. Hear God.... Whence it seems that God, willing to render the difficulty of our existence unintelligible to ourselves, has concealed the knot so high, or better speaking, so low, that we are quite incapable of reaching it; so that it is not by the proud exertions of our reason, but by the simple submissions of reason, that we can truly know ourselves. (PP 434) (Maka betapa terbelah manusia! Betapa ganjil! Betapa mengerikan, betapa kacau, betapa berlawanan, betapa aneh! Penimbang segala hal, cacing-tanah dungu; penjaga kebenaran, benaman ketidakpastian dan kekeliruan; harga diri dan sampah alam semesta! ... Maka kenalilah, orang nan congkak, alangkah paradoksnya engkau dengan dirimu sendiri. Rendahkanlah dirimu, akal nan lembik; heninglah, alam nan tolol; ketahuilah bahwa manusia melampaui manusia secara tak terbatas, dan ketahuilah dari Tuanmu kondisi sejatimu, yang takkan kauketahui. Simaklah Tuhan. ... Lantaran itu rupanya Tuhan, yang kepada kita sendiri hendak menganugerahkan kendala eksistensi kita yang tak terpahami, menyembunyikan benang-kusut begitu tinggi atau, dengan kata lain yang lebih baik, begitu rendah, sehingga kita sungguh tak mampu untuk mencapainya; sehingga bukan dengan memutar otak kita yang besar kepala, melainkan dengan menyerahkan akal begitu saja, bahwa kita bisa betul-betul mengenal diri kita sendiri.) (PP 434) Paradoks-paradoks Pascal membawa kita melampaui cara pandang kealaman kita sehari-hari, dan memperhadapkan kita dengan kenyataan transenden yang misterinya mengobarkan ketakjuban yang berkeheningan di lubuk hati kita. Hari ini saya akan memperkenalkan salah satu cara untuk mengalami ketakjuban berkeheningan yang paling umum dan namun berbobot: yakni disiplin yang obyeknya adalah realitas hakiki yang oleh kebanyakan orang disebut ?Tuhan?. Sebagaimana yang kita lihat pekan lalu, salah satu nama tradisional yang dilekatkan pada tugas filosofis tentang pemahaman hal itu dan cara-cara untuk mengalami ?kesatuan dalam keragaman? lainnya tentang hal-hal yang eksis ialah ?ontologi?—yakni ?studi tentang yang-berada?. Ontologi, studi tentang yang-merupakan, adalah salah satu metode yang digunakan oleh para filsuf untuk mengendurkan berbagai ketegangan yang tercipta oleh penalaran filosofis kita. Contohnya, Kant tidak hanya mengakui ketegangan antara kebebasan dan takdir, sebagaimana yang kita saksikan di Kuliah 22, tetapi juga mengemukakan bahwa manusia mempunyai ?kebutuhan praktis? untuk mencairkannya dalam rangka menghargai ?totalitas? pengalaman dan pengetahuan insani. Kita mengamati di Kuliah 29 bagaimana ia pada mulanya berupaya mencairkan ketegangan ini dengan mengambil sesuatu yang menyerupai sudut pandang ontologis dalam catatannya tentang peran keindahan dan tujuan alam. Di Kuliah 32 dan 33 pekan ini kita akan memeriksa contoh dari Kant yang paling signifikan tentang bagaimana ketegangan antara teori dan praktek dicairkan dalam pengalaman. Studi ontologis mengenai pengalaman insani tentang yang-transenden (yaitu Tuhan) acapkali diakui sebagai salah satu tugas cabang filsafat (terapan) yang dikenal sebagai ?filsafat agama?. Akan tetapi, ruang lingkup disiplin ini mestinya terbatas pada persoalan-persoalan yang lebih berkaitan langsung dengan pengetahuan kita, antara lain: argumen tentang keberadaan Tuhan, hakikat dan keandalan keyakinan dan bahasa religius, dan masalah evil (kenistaan atau kejahatan). Yang bertugas memahami sesuatu yang secara khas disebut ?pengalaman religius? adalah cabang-cabang pohon filsafat selama kita mengajukan pertanyaan bisakah atau tidak bisakah pengalaman semacam itu memberi kita pengetahuan tentang Tuhan. Pengalaman-pengalaman yang apa adanya lebih tepat untuk diperiksa pada daun-daun pohon tersebut. Namun istilah umum ?pengalaman religius? bisa menyesatkan karena bisa diambil untuk menyiratkan bahwa pengalaman semcam itu hanya bisa terjadi pada orang-orang yang menganut agama yang mapan. Padahal pada faktanya, sebagian orang yang tidak religius dalam pengertian tradisional benar-benar mengalami tipe tersebut pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Ini menyiratkan bahwa kita membutuhkan nama baru untuk mengacu pada pengalaman semacam itu tatkala menelaah sifat ontologisnya. Rudolf Otto (1869-1937) ialah seorang teolog Jerman yang mengambil kerangka Kantian dalam berupaya menyusun interpretasi yang seksama tentang agama dan pengalaman keagamaan. Penekanannya pada penyelidikan tentang esensi manifestasi empiris pengalaman religius itu amat berbeda dengan penekanan Kant pada pondasi rasionalnya. Sekalipun begitu, Otto yakin bahwa idenya bisa berfungsi sebagai komplemen yang berguna bagi ide Kant. Sesudah menyelidiki kemiripan antara pengalaman-pengalaman religius orang di banyak tradisi yang berlainan, khususnya yang biasanya dianggap ?mistis?, Otto menulis sebuah buku, yang berjudul The Idea of the Holy (1917), yang mengajukan suatu deskripsi yang kini terkenal tentang sifat fundamental pengalaman semacam itu. Karena tidak di semua tradisi keagamaan kata ?Tuhan? digunakan, dan karena tradisi yang mengacu pada Tuhan pun pasti memberlakukan nama dan/atau deskripsi yang berlainan tentang Tuhan, Otto memutuskan untuk menghindari pemakaian kata ?Tuhan? sebisa mungkin. Di samping itu, dalam pemeriksaan fenomena polos pengalaman kita (yaitu ketika kita hanya berfokus pada yang kita amati), pada aktualnya kita tidak mendapati Tuhan semacam itu. Yang kita jumpai ialah berbagai tipe pengalaman. Oleh sebab itu, Otto menciptakan kata ?numen? dan ?numinus? (numinous) untuk mengacu pada ?kehadiran? Tuhan. (Ingatlah, Kant membuat perbedaan antara ?fenomena? dan ?nomena? dengan cara serupa (lihat Gambar III.5).) Tentu saja, kebanyakan orang menyebut obyek tersebut ?Tuhan?. Namun tujuan Otto bukan mengusulkan teori mengenai obyek yang menyebabkan pengalaman semacam itu (yakni apakah itu benar-benar Tuhan, ataukah alam, ataukah hanya sesuatu yang kita santap dalam perjamuan); alih-alih, ia hanya ingin menyediakan deskripsi fenomenologis tentang apa yang terjadi. Omong-omong, itulah metode khas yang diterapkan dalam berontologi. Karena itu, ontologi dan ?fenomenologi?—yaitu pemaparan ciri esensial fenomena yang kita alami—selalu menjadi disiplin yang cenderung saling berkaitan erat. Menurut Otto, perasaan yang-berada dalam kehadiran numen, suatu realitas transenden yang ?sepenuhnya tidak lain? kecuali diri saya sendiri, merupakan pengalaman insani dasar, dan karenanya harus berfungsi sebagai titik tolak segala ontologi pengalaman religius. Hasil dari mengalami kehadiran numinus ini adalah merasa terkesan secara mendalam dengan kebergantungan saya sendiri kepadanya. Ini menimbulkan suatu hal yang oleh Otto disebut ?rasa-kemakhlukan?. Ia mengingatkan, jangan tergoda untuk menganggap ?rasa kebergantungan? (sebagaimana Schleiermacher menyebutnya) ini sebagai realitas primer, dan [jangan tergoda untuk] mengira bahwa dari situ kita menyimpulkan keimanan kepada suatu obyek dasar. Otto justru menyatakan, mula-mula obyek itu muncul sendiri kepada kita secara misterius, dan perasaan mistisnya hanya mengikutinya sebagai akibat. Tak peduli apa yang kita yakini perihal Tuhan, kehadiran numinus ini akan muncul kepada kita sebagai sesuatu yang bisa diperikan dengan menilik ide tentang yang ?suci?. Otto mengerahkan banyak usaha demi tugas untuk menjelaskan hakikat pengalaman kita tentang numinus. Ia mengemukakan, obyek ?suci? itu ?nonrasional? dan sekaligus ?nonmoral?. Ini tidak berarti bahwa [obyek] tersebut irrasional dan immoral, tetapi hanya bahwa pertanyaan tentang rasionalitas dan moralitasnya tidak relevan bila itu mendatangi perasaan yang ditimbulkan oleh pengalaman yang semendalam itu. Selanjutnya Otto menamai perasaan ini ?mysterium tremendum? dan mengemukakan bahwa ini mencakup lima ?unsur? yang berbeda: keseganan, kemegahan, urgensi, misteri, dan pesona. Perasaan segan (awe) mengacu pada sejenis ketakutan atau kengerian (suatu debaran) dalam kehadiran sesuatu yang misterius. (Kita akan melihat lebih dekat perasaan ini pada Kuliah 34.) Pengakuan kemegahan (majesty) obyek numinus membangkitkan rasa rendah-hati (atau ?rasa-kemakhlukan?) di dalam diri kita. Fakta bahwa itu merupakan pengalaman nyata yang dialami oleh obyek yang hidup, dan bukan sekadar teori filosofis abstrak, terungkap dalam ?energi? atau urgensi yang kita rasakan manakala kita mempunyai pengalaman semacam itu. Urgensi ini kadang-kadang bisa menambah rasa ngeri kita, sebagaimana ketika itu datang dalam bentuk ?murka Tuhan?, tetapi itu juga menimbulkan pengakuan bahwa obbyek ini ?sepenuhnya lain? (yakni misterius). Perasaan-perasaan itu agak negatif sejauh ini, dan mungkin dengan sendirinya menyebabkan kita lari dari obyek numinus itu; namun perasaan-perasaan tersebut diseimbangkan oleh rasa pesona yang mempertahankan ketertarikan kita secara mendalam terhadap pengalaman itu dan terhadap obyek yang tak dikenal itu. Dengan selesainya paparan singkat tentang teori Otto itu, kita dapat meringkasnya dengan mengkombinasikan dua peta pada Gambar X.1, sebagaimana dalam Gambar XI.1. numinus pengalaman religius ?numen? ide tentang yang suci pesona, segan, dsb. Gambar XI.1: Penerobosan Numinus dan Ide tentang Yang Suci Layak disebut bahwa Kant sendiri memiliki kesadaran yang berbobot tentang jenis pengalaman numinus itu. Umpamanya, pasal yang menyimpulkan Critique kedua (yang dikutip di atas, pada akhir Kuliah 22) mengacu pada ?langit berbintang di atas saya? dan ?hukum moral di dalam diri saya? sebagai pengalaman dasar (?Saya melihat keduanya di depan saya?), yang menimbulkan perasaan ?kekaguman dan keseganan?, sebagaimana pada rasa urgensi misterius dan kebergantungan (?Saya langsung mengasosiasikan keduanya dengan kesadaran akan eksistensi saya sendiri?): kita hampir tak bisa mengutip contoh deskripsi ontologis Otto yang lebih baik tentang pengalaman religius! Di samping itu, Kant di tempat lain memaparkan pengalaman yang sama dengan itu melalui peristilahan ?tangan Tuhan? di alam dan ?suara Tuhan? di hati kita. Bagi Kant, dua jalan yang dimiliki oleh akal dalam memperlihatkan diri kepada manusia ini mensahihkan sendiri, karena ?tangan Tuhan? melambangkan sumber pengetahuan ilmiah kita dan ?suara Tuhan? melambangkan kebaikan moral kita. Secara demikian, keduanya mempersatukan keragaman tanpa-ujung yang selalu memerikan pengalaman kebenaran dan kebaikan kita yang aktual. sesungguhnya, inilah alasan mengapa sumber penalaran logis itu sendiri tidak mungkin logis; begitu pula sumber hukum moral itu sendiri bukan moral. Kant mengakui (walau sayangnya ia tidak menekankan kenyataan) bahwa ?langit berbintang? (alam) dan ?hukum moral? (kebebasan) itu seperti tapal batas yang kita benturkan dengan kepala jika kita mencoba melewatinya. Ini karena, sebagaimana yang dinyatakan oleh Otto, sumber tapal batas itu sendiri pasti nonrasional dan nonmoral supaya mampu mempersatukan keragaman pengalaman rasional dan pengalaman moral kita. Barangsiapa memiliki pengalaman numinus semacam itu akan segera mempunyai tanggapan terhadap Nietzsche, atau terhadap siapa saja yang mengemukakan bahwa Tuhan telah mati. Kematian Tuhan sebagimana yang diumumkan oleh Nietzsche cukup nyata; namun itu kematian Tuhan palsu, Tuhan yang diada-adakan oleh akal manusia, bukan oleh wahyu ilahi. Orang-orang yang telah mengalami Tuhan akan tahu bahwa kita tak dapat memaksa Tuhan untuk tinggal di dalam tapal batas sistem insani apa pun. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nierzsche dengan benar, upaya melakukannya berarti membunuh Tuhan; dan satu-satunya jawaban yang tepat adalah menerobos pola itu dalam rangka memperoleh kembali kemungkinan untuk mengalami realitas pemberi-kehidupan itu sendiri. Namun hal ini mengangkat sebuah pertanyaan yang genting: segera sesudah kita mengalami numinus, bagaimana kita bisa memaparkannya atau memahaminya tanpa memaksanya ke dalam suatu pola yang tidak alamiah? Ada banyak cendekiawan di abad keduapuluh yang menangani pertanyaan ini dengan mengacu pada daya simbol. Pada waktu yang tersisa di jam kuliah ini saya akan membahas pandangan seorang pemikir eksistensialis yang telah kita jumpai di Pekan VI dan X dan akan kita temui lagi pekan depan. Perihal banyaknya wawasan Paul Tillich yang menarik, catatannya tentang hakikat iman dan hubungannya dengan simbol merupakan salah satu yang paling penting. Menurut Tillich, setiap orang memiliki keimanan, karena setiap orang memiliki suatu ?urusan terdalam? (ultimate concern), walaupun mereka tidak menyadarinya. Urusan terdalam kita adalah benda atau orang atau tujuan yang dituju oleh semua energi kehidupan kita; inilah faktor penentu dalam semua keputusan kita. Bagi banyak mahasiswa, ?menempuh studi sebaik-baiknya di universitas? merupakan urusan terdalam mereka—persoalan yang menentukan apa yang mereka lakukan dan kapan mereka melakukannya pada sebagian besar dari waktu mereka. Akan tetapi, Tillich mengklaim bahwa beberapa hal tidak layak untuk dimuliakan, karena ?penyerahan kepada suatu urusan yang pada hakikatnya tidak terdalam? adalah ?pemberhalaan? dan karenanya ?destruktif? (DF 16,35): ?Urusan terdalam kita bisa menghancurkan kita di samping mampu menyehatkan kita. Namun kita tak pernah tanpa itu.? Obyek urusan terdalam yang tidak tepat itu berbahaya karena keimanan lebih dari sekadar kepercayaan atau keyakinan rasional. Sebagaimana tulisan Tillich dalam The Courage to Be (CB 168): Faith is not a theoretical affirmation of something uncertain, it is the existential acceptance of something transcending ordinary experience. Faith is not an opinion but a state. It is the state of being grasped by the power of being which transcends everything that is and in which everything that is participates. He who is grasped by this power is able to affirm himself because he knows that he is affirmed by the power of being-itself. In this point mystical experience and personal encounter are identical. In both of them faith is the basis of the courage to be. (Keimanan bukanlah pembenaran teoretis terhadap sesuatu yang tidak pasti, [melainkan] penerimaan eksistensial terhadap sesuatu yang melampaui pengalaman biasa. Keimanan itu bukan opini, melainkan keadaan, yaitu ketertangkapan oleh daya yang-berada yang melampaui segala hal yang ada dan yang diikutsertai oleh segala hal. Ia yang ditangkap oleh daya tersebut mampu membenarkan dirinya sendiri karena ia tahu bahwa ia dibenarkan oleh daya yang-ada. Dalam hal ini pengalaman mistis dan perpapasan pribadi identik. Pada keduanya keimanan merupakan pangkalan ketabahan-dalam-berada.) Kita akan melihat lebih dekat konsep Tillich tentang ?ketabahan? pada Kuliah 34. Masalahnya dalam hal ini adalah bahwa obyek iman yang tepat adalah sesuatu yang oleh Otto disebut ?numinus?—dengan kata lain, ini merupakan obyek misterius pengalaman mendalam yang tentu namun tak dapat dijelaskan yang kita miliki. Jadi, bagaimana iman bisa eksis jika obyeknya misterius? Jawaban Tillich adalah bahwa obyek-obyek yang tidak misterius dapat membawa kita ke obyek yang misterius. Obyek yang tidak misterius itu disebut ?simbol?. Dengan demikian, Tillich mendefinisikan bentuk keimanan religius yang spesial sebagai ?penerimaan simbol-simbol yang mengungkapkan urusan terdalam kita dengan menggunakan tindakan-tindakan ilahi? (DF 48). Tillich dengan berhati-hati membuat perbedaan antara ?simbol? dan ?tanda? (sign). Tanda adalah obyek yang bisa diketahui yang dengan melampaui diri hanya menunjuk kepada suatu obyek yang bisa diketahui lainnya, sedangkan simbol adalah obyek yang bisa diketahui yang dengan melampaui diri menunjuk kepada suatu realitas tersembunyi, walau, pada saat yang sama, ikut serta dalam misteri yang diarah olehnya tersebut. Tanda penunjuk jalan mengarahkan kita ke tempat yang kita tuju, namun ketika kita mencapai tujuan kita, kita melihat bahwa itu tidak berkaitan dengan tanda penunjuk jalan yang kita ikuti. Seperti ?tangga? Witt Pekan XII Makna: Menyambut Kematian 34. Kegentaran dan Paradoks Keberanian Pertanyaan ontologis yang paling mendasar adalah: Mengapa ada sesuatu (atau yang-berada) menggantikan ketiadaan (atau yang-tidak-berada)? Pertanyaan ini merupakan landasan terdalam semua ketakjuban eksistensial, karena pertanyaan ?Mengapa dunia ada di sini?? langsung menimbulkan pertanyaan ?Mengapa saya ada di sini?? dan dari situ [muncul] sejumlah besar pertanyaan tentang makna kehidupan. Yang terakhir ini merupakan salah satu topik yang paling sering dibahas di lembar mawas mahasiswa. Itu terutama karena kita akui bahwa kebanyakan pertanyaan tentang kematian pun, sekurang-kurangnya secara tak langsung, merupakan pertanyaan tentang makna kehidupan. Itu lantaran pertanyaan tentang yang-tidak-berada mula-mula mengangkat pertanyaan tentang yang-berada; dan secara demikian pula kesadaran akan kematian mula-mula mengangkat pertanyaan tentang makna kehidupan. Di Kuliah 35 kita akan memeriksa bagaimana pasti-terjadinya kematian mempengaruhi misteri yang timbul ketika kita mencari makna kehidupan. Namun pertama-tama, mari kita berfokus pada sebuah paradoks yang muncul di dalam diri kita sewaktu kita memilih kehidupan dengan menghadapi kematian. Menurut kebanyakan eksistensialis, kapan saja kita berhadapan dengan tidak-mustahilnya ketiadaan kita sendiri (umpamanya tatkala kita merenungkan ajal yang akhirnya akan mendatangi kita), kita mempunyai ?tanggapan eksistensial? alamiah yang mencakup sejenis kekhawatiran tertentu. Martin Heidegger (1889-1976), filsuf eksistensialis Jerman yang, dengan Wittgenstein, pada umumnya dianggap selaku salah seorang dari dua filsuf abad keduapuluh yang paling berpengaruh (lihat Pekan VI), memperbedakan antara kekhawatiran eksistensial tertentu itu dan jenis kekhawatiran umum dengan cara berikut ini. Kekhawatiran umum adalah tanggapan empiris seorang manusia terhadap obyek yang mengancam [dia] di dalam dunia: itu biasanya mensyaratkan bahwa kita memerangi obyek itu dengan harapan menaklukkan ancamannya, atau, alternatif lainnya, melarikan diri dari obyek itu dengan harapan terlepas dari ancamannya. Di kedua kasus ini kita dapat mengatakan bahwa orang yang takut akan sesuatu di dalam dunia menanggapinya dengan mencoba mendorong sesuatu keluar dari dari dunia—salah satu dari obyek yang ditakuti dan orang itu sendiri (lihat Gambar XII.1a). Sebaliknya, kekhawatiran eksistensial adalah tanggapan di dalam lubuk seorang manusia terhadap situasi manusiawi umum, khususnya bila situasi itu mengungkap dalam beberapa hal di dalam diri kita akan adanya ?ketiadaan? atau yang-tidak-berada. Tanggapan manusiawi alamiah adalah melarikan diri dari ancaman itu, karena memerangi ?ketiadaan? tampaknya mustahil! Namun dalam hal ini kita melarikan diri bukan dengan berusaha lari dari dunia, melainkan dengan membenamkan diri sedalam-dalamnya ke dalam obyek-obyek empiris yang terdapat pada pengalaman kita sehari-hari (lihat Gambar XII.1b). Ini bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti menekuni hobi, menonton televisi, menjadi penggemar fanatik olahraga, atau pun menjadi cendekiawan dan membenamkan diri dalam buku-buku. Maksud Heidegger adalah bahwa cara lazim (tak sehat) yang berupa lari dari ancaman ketiadaan itu hanya berpura-pura bahwa itu tidak ada, dengan membenamkan diri dalam yang-berada. ?aman? dari ketiadaan ?ancaman? dari ketiadaan melarikan diri membenamkan diri dari dunia di dunia ancaman ?aman? dari yang-berada dari yang-berada kekhawatiran kekhawatiran biasa eksistensial (kegentaran) (a) Kekhawatiran Empiris Biasa (b) Kekhawatiran Eksistensial Gambar XII.1: Tanggapan Yang Tak Tepat terhadap Dua Jenis Kekhawatiran Seusai menggunakan pembedaan Heidegger sebagai pendahuluan, sekarang mari kita menengok lagi ide-ide seorang filsuf pendahulu, yang juga banyak berbicara tentang hakikat dan fungsi kekhawatiran eksistensial. Dialah Søren Kierkegaard (1813-1855) yang pada umumnya diakui sebagai bapak eksistensialisme teistik (sebagai lawan dari eksistensialisme ateistik yang dibapaki oleh Nietzsche). Kierkegaard (yang diucap ?Kiirkegaar?, yang bermakna ?halaman gereja?—yaitu makam) ialah seorang filsuf Denmark yang menulis sendirian duapuluh-satu buku (di samping 8000 halaman makalah yang tak diterbitkan) selama duabelas tahun saja, dan yang ide-idenya tak pernah diterima dengan baik semasa hayatnya. Ia menjelaskan ide-ide utama filosofisnya di serangkaian buku yang ditulis dengan beberapa nama samaran yang berlainan (dengan sebagiannya saling bertentangan!). Namun pada beberapa tahun terakhirnya, ia menulis sejumlah buku dengan memakai namanya sendiri, yang terutama menyerang kerusakan agama Kristen sepenglihatannya pada masanya. Di antara ide-idenya yang menarik, hanya satu yang akan kita selidiki di sini mengingat keterbatasan waktu kita, yaitu penggunaan kata ?kegentaran? (kata Denmarknya ?angst?) yang mengacu pada sesuatu yang saya sebut ?kekhawatiran eksistensial?. Walaupun ?angst? (kegentaran) kadang-kadang diterjemahkan sebagai ?dread? (kegamangan) atau ?anxiety? (kecemasan), tidak satu pun dari kata-kata ini yang menangkap kedalaman makna kekhawatiran eksistensial terhadap yang-berada sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kierkegaard dengan kata tersebut. Kegamangan terlalu sering diasosiasikan dengan ketidaknyamanan atau kewas-wasan sewaktu menghadapi suatu ancaman empiris, seperti bila saya mengatakan ?Saya gamang berobat ke dokter gigi?. Begitu pula, kecemasan terlalu sering diasosiasikan dengan ?stres? umum, seperti bila mahasiswa mengatakan ?Kami cemas akan kemampuan kami untuk menempuh pengujian?. Dengan tujuan menangkal godaan untuk mengaitkan kegentaran secara terlalu dekat dengan tipe-tipe kekhawatiran empiris biasa, sebagian cendekiawan mengambil kebiasaan yang berupa menggunakan kata asli Denmark saja—suatu praktek yang saya ikuti di hari ini. bila [nanti] saya beberapa kali menyebut kegamangan atau kecemasan, tentu saja kita harus mengenalinya sebagai kegentaran, bukan kekhawatiran empiris. Buku pertama Kierkegaard, Either-Or (1843), memperbedakan antara dua jalan hidup dasar, tahap estetik dan tahap etis. Yang pertama itu didasarkan pada perasaan dan berfokus pada pemuasan kenikmatan hidup; yang kedua itu didasarkan pada kewajiban dan berfokus pada perbuatan kebaikan. Secara demikian, pembedaan ini bersesuaian dengan pembedaan yang kita bahas di Kuliah 22, antara utilitarianisme dan deontologi. Para pembaca-awal buku tersebut berdebat tentang sudut pandang mana yang didukung oleh penulisnya dari dua sudut pandang yang berlawanan itu. Namun niat Kierkegaard yang sesungguhnya ialah menunjukkan bahwa pilihan salah satu (either) dan pilihan atau (or) itu dengan sendirinya sama-sama ganjil dan tidak lengkap. Maka kemudian ia menerbitkan buku lain, Stages on Life’s Way (1845), yang mengemukakan bahwa tahap estetik dan tahap etis keduanya menuju, dengan melampaui kedua tahap itu sendiri, ke tahap ketiga, tahap religius, yang mensintesis dan melebihi dua tahap terdahulu (lihat Gambar XII.2). Ia mendefinisikan jalan hidup religius dengan peristilahan sikap ?kedidalaman? (inwardness) yang melampaui ?kediluaran? (outwardness) yang dibutuhkan untuk penalaran teoretis dan ilmiah. I. Estetik (kenikmatan di luar) nasib kesiapan III. Religius lompatan lompatan (keimanan di dalam) dosa iman penderitaan penebusan kesalahan II. Etis (kebaikan di luar) Gambar XII.2: Tiga Tahap Kehidupan dan Dua Lompatan Kierkegaard Dalam The Concept of Anxiety (1844) Kierkegaard mengembangkan ide kegentaran dengan menganalisis ide dosa Kristiani. Ia menyatakan, kegentaran adalah keadaan psikologis yang timbul secara alamiah dari kodrat ontologis esensial manusia: kebebasan kita memberi kita potensi yang tak terbatas untuk masa depan; namun kehadiran kita di dalam [dimensi] waktu membuat kita terbatas dan bebal. Dengan kata lain, kegentaran muncul dari ketegangan antara keinderawian raga kita (yang berakar sebagaimana adanya di dalam waktu) dan kebebasan jiwa kita (yang berakar sebagaimana adanya di dalam kekekalan). Kebebalan kita memastikan bahwa pilihan yang kita tentukan untuk masa depan kita sendiri akhirnya akan menjatuhkan kita ke dalam dosa, sehingga kegentaran bisa dialami sebagai ?kebebasan dalam jeratan? (entangled freedom) (CA 320)—yaitu terjerat-tanpa-batas dalam batas. Kemudian, dosa sebagai keadaan normal spirit manusia (lihat Gambar XII.3), adalah yang pertama dari dua ?lompatan kualitatif? yang harus kita lalui dalam rangka maju melalui tahap-tahap kehidupan seperti yang tampak dalam Gambar XII.2. Sesudah lompatan dari ketakberdosaan ke dosa (seperti dalam kisah Adam dan Hawa), lompatan kedua adalah dari dosa ke iman (sebagaimana dalam kisah Ibrahim). Lompatan pertama bersesuaian dengan perubahan dari yang estetik ke yang etis (atau sebaliknya), sedangkan lompatan kedua bersesuaian dengan perubahan dari pilihan estetik/etis ke yang religius. Paganisme berakar di tahap estetik, tempat dialaminya lompatan dosa sebagai nasib (fate) dan lompatan iman sebagai kesiapan (providence); sebaliknya, agama Yahudi berakar di tahap etis, tempat dialaminya lompatan dosa sebagai kesalahan (guilt) dan lompatan iman sebagai penebusan (atonement). Agama Kristen melampaui keduanya dengan secara aktual berakar di tahap religius dengan tepat yang berupa keimanan mutlak kepada Allah. raga sementara: keinderawian + spirit kegentaran keberanian x spontan: dosa - jiwa kekal: kebebasan Gambar XII.3: Asal-Usul Ontologis Kegentaran dan Dosa Analisis Kierkegaard tentang kegentaran dan dosa menyiratkan bahwa tiadanya rasa gentar merupakan keadaan psikologis terburuk, karena tanpa kegentaran kita tak pernah bisa maju ke tahap spirit. Dalam keadaan asal yang tanpa dosa, kegentaran muncul sebagai tanggapan terhadap ?ketiadaan? (yakni kebebalan seseorang) akan masa depan: ?kecemasan adalah aktualitas kebebasan sebagai kemungkinan berkemungkinan? (CA 313). Pengabaian kebebasan ini pada aktualnya merupakan pemberhalaan bila menyebabkan orang yang dalam tahap kehidupan estetik itu memahami bahwa ketakberdosaan, kedamaian, kebahagiaan, keindahan, dan sebagainya, itu baik dengan sendirinya. Memahami seperti ini berarti memisahkan diri sendiri dari kedalaman spiritual kodrat manusia itu sendiri: ?alat yang paling efektif untuk lari dari kecemasan spiritual adalah menjadi nirspirit? (385). Namun selekas kebebasan ini dimanfaatkan, suatu kesadaran akan dosa timbul, yang menghasilkan jenis kegentaran baru, dalam bentuk ?kecemasan mengenai kenistaan? (381-386). [Jenis] ini muncul dalam tiga bentuk: (1) hasrat untuk kembali ke keadaan tak berdosa; (2) peringatan akan jatuh lebih dalam ke dalam dosa; dan (3) keinginan bahwa penyesalan belaka sudah cukup untuk menebus dosa. Sayangnya, upaya sebagian pemeluk agama untuk mengatasi kecemasan semacam itu dengan menggunakan kebaikan-luar hanya menimbulkan kecemasan yang lebih parah, dalam bentuk ?kecemasan mengenai kebaikan? (386-420). Orang religius sejati beralih dari tujuan estetik dan etis supaya menjadi di dalam. ?Kedidalaman? mengacu pada pemahaman-diri yang aktif (CA 408), yang mensyaratkan keterbukaan diri terhadap yang abadi. Karenanya, beralih menuju diri sendiri dengan cara ini identik dengan beralih menuju Tuhan. Hasilnya, itu selalu diawali dengan peningkatan kesadaran orang tersebut akan kesalahan: In turning toward himself, [the religious "genius"] eo ipso turns toward God, and ... when the finite spirit would see God, it must begin as guilty. As he turns toward himself, he discovers guilt. The greater the genius, the more profoundly he discovers guilt.... In turning inward he discovers freedom.... To the degree he discovers freedom, to that same degree the anxiety of sin is upon him in the state of possibility.... (376-377) (Dalam beralih menuju dirinya sendiri, [si ?jenius? religius] itu sendiri beralih menuju Tuhan, dan ... bila spirit terbatas itu melihat Tuhan, itu pasti bermula sebagai bersalah. Ketika ia beralih menuju dirinya sendiri, ia menemukan kesalahan. Semakin hebat si jenius itu, semakin berbobot kesalahan yang ia temukan. ... Dalam beralih ke dalam, ia menemukan kebebasan. ... Pada tingkat kebebasan yang ia temukan, pada tingkat itulah kecemasan akan dosa ada pada dia dalam keadaan berkemungkinan....) (376-377) Maka orang semacam itu akan mengakui bahwa kecemasan itu menuju keimanan di luar kecemasan itu sendiri: The only thing that is truly able to disarm the sophistry of sin is faith, courage to believe that the state [of sin] itself is a new sin, courage to renounce anxiety without anxiety, which only faith can do; faith does not thereby annihilate anxiety, but ... extricates itself from anxiety's moment of death. (385) (Satu-satunya hal yang benar-benar mampu melucuti kelicinan dosa adalah keimanan, keberanian untuk yakin bahwa keadaan [dosa] itu sendiri merupakan dosa baru, keberanian untuk melepaskan kecemasan tanpa kecemasan, yang hanya dapat dilakukan oleh iman; dengan demikian, iman tidak membinasakan kecemasan, tetapi ... melepaskan [kecemasan] itu sendiri dari unsur maut kecemasan.) (385) Dengan kata lain, tanggapan yang tepat terhadap kecemasan adalah menghentikan kecemasan terhadap kecemasan, dengan menerimanya dalam keyakinan bahwa itu eksis demi tujuan yang lebih tinggi. Karenanya, sementara kecemasan pagan mengungkap sebagian besar [kecemasan] itu sendiri sebagai nasib, dan kecemasan Yahudi sebagai kesalahan, kecemasan Kristiani sejati (yang menurut Kierkegaard merupakan pelaksanaan bentuk agama yang paling maju) diungkap dalam bentuk penderitaan (lihat Gambar XII.2). Kierkegaard mengemukakan bahwa kunci untuk memecahkan masalah kegentaran adalah belajar menghadapinya dengan berani, dengan perasaan paradoksis antara ?antipati simpatik? dan ?simpati antipatik? (CA 313). Barangsiapa yang ?belajar cemas dengan cara yang benar [berarti] mempelajari yang-hakiki? (421). ?Kecemasan melalui iman itu edukatif secara mutlak, lantaran itu menuntaskan semua tujuan-berbatas? (422). Oleh sebab itu, kendati karakternya tampaknya negatif, penderitaan yang disebabkan oleh kegentaran itu sangat mendasar bagi pertumbuhan spiritual kita: ?semakin cemas dia, semakin hebat orang itu? (421). Kierkegaard memiliki banyak wawasan filosofis lain, bukan saja mengenai pengalaman kecemasan manusia, melainkan juga tentang beragam topik lain, seperti hubungan paradoksis antara sejarah (yang-terbatas) dan subyektivitas (yang-tak-terbatas), dan hakikat iman Kristiani yang mensyaratkan kemauan subyektif untuk meninggal dunia. Akan tetapi, di sini kita tidak bisa mengulas topik-topik semenarik itu. Alih-alih, saya ingin menunjukkan bahwa, dengan adanya analisis Kierkegaard tentang kegentaran, hubungan antara kegamangan dan kematian itu sejalan dengan hubungan antara cinta dan kehidupan: sebagaimana cinta merupakan daya penggerak kehidupan, kegamangan pun merupakan daya penggerak kematian. Sementara cinta adalah daya keberadaan, yang menggerakkan kita menuju kesatuan lawanan-lawanan, kegamangan ialah daya ketiadaan, yang menggiring kita menuju keragaman lawanan-lawanan. Dengan kata lain, kegamangan merupakan daya pendorong ?kerenggangan? yang oleh Tillich dipandang sebagai prasyarat-perlu untuk cinta (lihat Gambar X.5). Pergulatan antara dua daya itulah yang sesungguhnya membuat kita tetap hidup, walau selain itu memberi kita penglihatan sekilas tentang kekekalan kita di tengah-tengah keterbatasan kita. Dengan kata lain, kegamangan, walau merupakan pengalaman negatif, mengingatkan kita akan kemampuan kita untuk melampaui-diri. Di sisi lain, daya cinta dan kegamangan Secara bersama-sama mengingatkan kita bahwa rumah kita tidak di dunia ini, dan sekalipun demikian, di sisi lain, kita juga bukan orang-luar sama sekali. Pengakuan terhadap paradoks ini bisa membantu kita dalam menanggapi pengalaman kegentaran yang nyata sedemikian rupa sehingga itu tepat bagi dimensi kekal kehidupan kita. Kegagalan untuk menyeimbangkan daya kekekalan (cinta) dan kefanaan (kematian) dalam kehidupan kita biasanya menghasikan beberapa tipe gangguan psikologis, dan akhirnya bahkan bisa menuju kegilaan. Kegilaan tidak berasal dari perhatian yang terlalu banyak terhadap paradoks-paradoks pengalaman manusia; alih-alih, itu dihasilkan dari upaya untuk lari dari paradoks-paradoks menuju jaminan salah satu dari yang-terbatas dan yang-terbatas sendirian. Selama dua daya itu bertempur di dalam diri kita, kesehatan mental kita akan awet. Namun kehilangan salah satu dari kekekalan dan kefanaan bisa mendorong kegilaan orang: kekekalan membatasi kita pada penerapkan logika analitik, yang menyebabkan kita melihat dunia sebagai keragaman tak tertanggungkan yang terpencar-pencar, sedangkan kefanaan membatasi kita pada penerapan logika sintetik, yang menyebabkan kita melihat dunia sebagai kesatuan yang meluap, tanpa diskrit dan bagian-bagian yang mudah dipahami. Yang pertama itu memaparkan bentuk kegilaan yang berasal dari penekanan yang berlebihan terhadap akal di atas imajinasi, seperti ketika penderita skizofrenik paranoid menafsirkan pengalaman mereka dengan sebidang sempit batas-batas (umpamanya, ?semua orang melawan saya?); yang kedua itu memaparkan bentuk kegilaan yang merupakan akibat dari terlampau menekankan imajinasi di atas akal, seperti ketika manula kehilangan diri mereka sendiri dalam terbatasnya keuzuran. Tillich mengemukakan bahwa kita semua bersalah lantaran kehilangan keabadian sampai batas tertentu. Ia menyatakan, penjelasan terbaik terhadap kegentaran yang kita rasakan ketika kita berpikiran jujur mengenai kematian kita sendiri adalah bahwa kita semua tahu secara mendalam bahwa kita berhak untuk meninggal, lantaran ketidakotentikan jalan hidup kita. Terlalu sering, tanggapan orang-orang terhadap kesalahan itu adalah hanya melarikan diri dari itu ke dalam keamanan argumen filosofis akan keabadian atau harapan religius akan kehidupan abadi. Namun [argumen] tersebut hanya menambah kebergantungan yang berlebihan kepada penalaran logis, sedangkan [harapan] tersebut hanya menambah kebergantungan yang berlebihan kepada imajinasi religius. dengan kata lain, ?solusi-solusi? umum itu, walau di dalam lubuk masing-masing tidak salah, kadang-kadang bisa menjadi bumerang dengan menguatnya kehilangan keabadian yang berasal dari penyangkalan salah satu sisi paradoks tersebut. Menurut Tillich, satu-satunya tanggapan yang tepat terhadap hilangnya keabadian yang terungkap dalam pengalaman kegentaran eksistensial kita itu adalah menghadapi ancaman ketiadaan dengan keberanian untuk berada secara eksistensial. Dalam bukunya, The Courage to Be (1952), ia memerikan tanggapan ini dengan cara sebagai berikut: Courage is the self-affirmation of being in spite of the fact of non-being. It is the act of the individual self in taking the anxiety of non-being upon itself by affirming itself ... Courage always includes a risk, it is always threatened by non-being ... Courage needs the power of being, a power transcending the non-being which is experienced in the anxiety of fate and death, ... in the anxiety of emptiness and meaninglessness, ... [and] in the anxiety of guilt and condemnation. The courage which takes this threefold anxiety into itself must be rooted in a power of being that is greater than the power of oneself and the power of one's world.... There are no exceptions to this rule; and this means that every courage to be has openly or covertly a religious root. For religion is the state of being grasped by the power of being itself. (CB 152-153) (Keberanian adalah pengiyaan keberadaan diri kendati ternyata tidak berada. Inilah perbuatan diri individu dalam menerima kecemasan-akan-ketiadaan lantaran itu sendiri dengan mengiyakan itu sendiri ... Keberanian selalu berisiko, selalu terancam oleh ketiadaan ... Keberanian membutuhkan daya keberadaan, daya yang melampaui ketiadaan yang dialami dalam kecemasan akan nasib dan kematian, ... dalam kecemasan akan kehampaan dan ketidakbermaknaan, ... [dan] dalam kecemasan akan kesalahan dan hukuman. Keberanian yang membawa kecemasan berlipat-tiga ini ke dalam itu sendiri pasti berakar dalam suatu daya keberadaan yang lebih besar daripada daya orang itu sendiri dan daya dunia orang itu. ... Tiada pengecualian terhadap aturan ini; dan ini berarti bahwa setiap keberanian-untuk-berada mempunyai akar religius secara terbuka atau pun tersembunyi. [Hal ini] karena agama merupakan keadaan keberadaan yang digenggam oleh daya keberadaan itu sendiri.) (CB 152-153) Oleh sebab itu, seperti halnya Kierkegaard, Tillich memandang ancaman ketiadaan sebagai masalah eksistensial yang solusi mujarabnya hanya yang pada dasarnya religius. Kata ?religius? ini jangan disalahpahami sebagai mengacu pada peribadatan, seperti pergi ke gereja. Menyanyikan nyanyian pujian, dan sebagainya. Sebagaimana yang telah kita lihat di Kuliah 33, hal-hal semacam itu bisa disalahgunakan untuk menjauhkan kita dari keberanian religius sejati. Alih-alih, intinya di sini adalah bahwa beragama berarti terbuka untuk mengalami Yang-Berada yang, dengan melampaui pembedaan antara yang-berada dan yang-tidak-berada, sendirian bisa memasok keberanian-untuk-berada untuk kita. Pengalaman dasar dalam menerima berkah dari keberanian-untuk-berada itu, menurut Tillich, berkaitan erat dengan pengalaman berpartisipasi di dalam Tuhan secara mistis dan juga dengan pengalaman yang lebih umum yang berupa pertemuan pribadi antara manusia dan Tuhan. Pengalaman semacam itu berakar di dalam pengakuan bahwa adanya ketiadaan di dalam diri kita mengasingkan kita dari kodrat sejati kita, dan bahwa masalah ini hanya dapat dipecahkan jika kita berkehendak untuk ?digenggam oleh daya keberadaan itu sendiri? (CB 153). Hanya bila kita ?turut serta dalam sesuatu yang melampaui diri? (161), kita akan siap untuk mengalami manifestasi keberanian-untuk-berada yang paling berbobot, dalam bentuk ?keberanian untuk menerima penerimaan? (159-166). Pengiyaan keberanian diri itu bukan sekadar ?keberanian-untuk-berada secara eksistensialis sebagai diri itu sendiri. Itu adalah perbuatan paradoksis yang di dalamnya seseorang diterima oleh yang secara tak terbatas melampaui diri individu orang itu.? Penerimaan terdalam itu pun tidak mensyaratkan penyangkalan kita terhadap kesalahan kita, karena ?bukan yang baik atau yang alim atau yang saleh yang berhak atas keberanian untuk menerima penerimaan, melainkan orang yang kekurangan semua kualitas itu dan sadar [bahwa dirinya] tak bisa diterima? (160-161). Pada awal proses menerima penerimaan, kita mengalami keberanian-untuk-berada sebagai ?keberanian untuk berputus asa [kegentaran]? (CB 170): the acceptance of despair is in itself faith on the boundary line of the courage to be. In this situation the meaning of life is reduced to despair about the meaning of life. But as long as this despair is an act of life it is positive in its negativity. (penerimaan keputusasaan di dalam lubuknya merupakan iman kepada garis tapal batas keberanian-untuk-berada. Dalam situasi ini, makna kehidupan dilengser menjadi keputusasaan akan makna kehidupan. Namun selama keputusasaan ini merupakan tindak kehidupan, itu positif dalam kenegatifannya.) Dengan menjalani kehidupan kita dengan daya keberanian-untuk-berada yang paradoksis, akhirnya kita akan siap untuk menyambut kematian itu sendiri bukan sebagai konfirmasi tragis perihal kegentaran, melainkan sebagai langkah akhir dalam proses kehidupan-panjang ini. Bersama-sama dengan baris-baris itu, Tillich menyatakan bahwa argumen Plato mengenai keabadian jiwa merupakan ?upaya untuk menafsirkan keberanian Sokrates?, yang jelas mengakui bahwa ?keberanian untuk mati merupakan tes keberanian-untuk-berada? (164). Kita akan menyaksikan pengalaman kematian itu sendiri dengan lebih lengkap di kuliah mendatang. Namun untuk sekarang, meringkas teori keberanian Tillich dengan peta berikut ini sudah memadai: yang-berada kegentaran yang-tiada kesalahan keberanian yang-ada (0) untuk-berada (1) yang-tidak-berada Gambar XII.4: Keberanian dalam Menghadapi Yang-Tidak-Berada Landasan religius penerimaan kehidupan secara berani dalam menghadapi kematian, penerimaan keberadaan kendati ada prospek ketidakberadaan, tersurat dalam gagasan biblikal ?takut akan Allah?. Penyebutan takut akan Allah di dalam Perjanjian Lama terlalu sering disiramkan ke tempat yang di situ maknanya tidak lebih dari kehati-hatian untuk mematuhi Hukum kalau-kalau kita dihukum. Namun hal itu jauh labih mengacu pada fakta bahwa Tuhan Perjanjian Lama, selaku Yang-Berada yang memeluk semua yang-berada dengan tangan-Nya, merupakan sumber hakiki kehidupan dan kematian; secara demikian, barangsiapa cukup berani untuk mendekati Yang-Berada ini harus melakukannya dengan takzim dan takjub. Sebagaimana kata Mitchell: ?Takut akan Allah ialah yang-berada dalam ketakjuban, kesadaran akan kehadiran Tuhan yang hening dan menggetarkan? (IPW 75)—suatu komentar yang mengingatkan kita kepada gagasan Otto tentang keterpesonaan dalam kehadiran numinus (lihat Kuliah 31). Di keseluruhan Bibel, kekhawatiran nirduniawi yang mendasar ini digambarkan sebagai tanggapan eksistensial terhadap situasi manusia yang, bila kita menerimanya, akan memberi kita kekuatan yang bukan tak bisa diperoleh untuk menghadapi situasi menakutkan yang timbul di dunia sehari-hari. Ini bahkan bisa dianggap sebagai pesan dasar Mazmur dan Amsal; ?Takut akan Allah adalah awal hikmat? (umpamanya Mazmur 111:10; Amsal 1:7) berarti bahwa kita akan belajar dengan sebaik-baiknya tentang bagaimana menanggapi ancaman-ancaman yang terdapat di dalam dunia hanya ketika kita menanggapi ancaman dari luar dunia secara berani. Dengan kata lain, kegentaran dan kealiman sebaiknya dianggap, secara paradoksis, sebagai dua sisi sekeping koin. Jika kita tidak begitu saja melalaikan pertanyaan dasar yang diangkat di awal kuliah ini, maka tampaknya kita memiliki satu pilihan saja antara dua kemungkinan jawaban: [1] eksistensi dunia ini tidak maknawi dan keberanian-untuk-berada tidak berdasar, atau [2] ada Tuhan yang secara paradoksis melampaui pembedaan antara sesuatu dan bukan-sesuatu, sehingga merupakan landasan hakiki keimanan, dan begitu pula perihal keberanian-untuk-berada. Namun sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kant, Kierkegaard, Tillich, dan banyak filsuf religius lainnya, Tuhan ini tidak mungkin meminjamkan makna hanya dengan beradanya doktrin yang dipaksakan kepada kita oleh tekanan sosial paguyuban religius; alih-alih, kita harus mengalami Tuhan sebagai realitas yang memberi kita daya untuk menghadapi paradoks kehidupan, yang menyediakan iman dalam menghadapi keraguan, kedamaian dalam menghadapi kekalutan, penerimaan dalam menghadapi kesalahan, dan keberanian dalam menghadapi kegamangan. 35. Kematian dan Misteri Kehidupan Salah seorang mahasiswa saya pernah mendefinisikan keheningan sebagai keadaan yang tidak lagi membutuhkan pengajuan pertanyaan sama sekali. Ini menyiratkan suatu paradoks yang menarik dalam klaim bahwa tujuan final filsafat adalah mengalami keheningan batiniah, karena salah satu tugas utama filsafat adalah mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang jawaban-jawabannya biasanya tidak segera terlihat. Sekalipun begitu, saya yakin bahwa [definisi] itu mengungkap wawasan yang mendalam menuju hakikat dan tujuan berfilsafat. Jika keheningan pada aktualnya merupakan keadaan yang tanpa pertanyaan, maka apakah kita telah menghambur-hamburkan waktu begitu saja dengan mengangkat begitu banyak pertanyaan filosofis yang musykil di Bagian Empat ini dan di semua bagian lainnya? Sama sekali tidak! Pertanyaan semacam itu harus diangkat; kalau tidak, tingkat keheningan yang lebih dalam takkan bisa dinikmati: pertanyaan-pertanyaan seperti itu di dalam diri kita mengendalikan ketakjuban yang menarik kita keluar melampaui kegaduhan dunia untuk menemui makna dunia. Wittgenstein mengungkap paradoks ini dengan mengatakan bahwa makna kehidupan terdapat di luar kehidupan, yang karenanya, sekeyakinannya, kita tak bisa membicarakan makna itu. Akan tetapi, ketidakmampuan kita untuk memberi jawaban yang bisa diverifikasi secara ilmiah terhadap kebanyakan pertanyaan filosofis tidak berarti bahwa pertanyaan-pertanyaan (atau jawaban yang kita upayakan) itu sia-sia. Ini karena tujuan akhirnya bukan untuk dijawab dengan kata-kata—entah bisa entah tak bisa—melainkan untuk membantu agar kita menemukan makna kehidupan dan makna dunia dalam keheningan yang cenderung dipancing oleh pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Di kuliah yang lalu kita belajar mengenai paradoks keberanian dalam menghadapi kegamangan akan yang-tidak-berada. Ini membawa kita langsung ke pertanyaan filosofis terdalam, lantaran tak terelakkannya ketidakberadaan kita sendiri—yakni kematian kita sendiri—mengangkat pertanyaan tentang makna kehidupan; adapun pertanyaan ini sendiri mengarahkan perhatian kita menuju keheningan hakiki di luar kehidupan. Selama kita dapat menilai dengan hal-hal yang bisa kita amati ketika seseorang meninggal, kematian menandai tamatnya kemampuan kita untuk menggunakan kata-kata, dan karenanya para pelayat yang berada dalam suatu keheningan yang berbeda dengan apa saja yang biasanya kita alami semasa hidup. Misteri tentang apa yang terjadi sesudah kita mati, kalau ada, merupakan salah satu sumber utama ?kegentaran? yang kita alami dari waktu ke waktu (Ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan salah satu urusan utama filsuf eksistensialis). Oleh sebab itu, kegentaran ini menggerakkan orang-orang awam—termasuk orang-orang yang tidak tahu tentang filsafat—untuk mengusulkan berbagai ide mengenai apa yang terjadi selepas kematian. Adakah kehidupan selepas kematian? Kalau ada, seperti apakah? Ada empat cara dasar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, walau tentu saja, masing-masing memiliki banyak variasi. Kita dapat menganalisis empat cara untuk membayangkan pengalaman ?sesudah kematian? itu dengan mengajukan dua pertanyaan: (1) Apakah kesadaran kita akan identitas diri kita berlanjut setelah kita meninggal? dan (2) Apakah kita akan memperoleh tubuh baru setelah tubuh kita saat ini mati? Dengan mempertimbangkan kedua pertanyaan ini, kita dapat memetakan empat jawaban tradisional terhadap pertanyaan tentang kehidupan selepas kematian pada salib 2LAR, seperti yang terlihat di Gambar XII.5. Ini barangkali bukan sebuah 2LAR yang ?sempurna?, karena sangat mustahil bahwa keempat kemungkinan jawaban itu memaparkan apa yang pada aktualnya terjadi seusai kematian. Walau dua atau tiga di antaranya bisa benar secara serempak dengan cara yang berlainan, kebanyakan orang merasa harus memilih satu saja sebagai hipotesis terbaik. Jadi, mari kita bandingkan keempat kemungkinan itu dengan agak lebih rinci. kebangkitan kembali (kesadaran, tubuh baru) penjelmaan kembali kepunahan (tiada kesadaran, (tiada kesadaran, tubuh baru) tiada tubuh baru) keabadian (kesadaran, tiada tubuh baru) Gambar XII.5: Empat Tipe-Dasar Bayangan Kehidupan Pascakematian Teori-teori tentang kepunahan (extinction) dan penjelmaan-kembali (reincarnation) keduanya sepakat bahwa bagian dari saya yang memungkinkan saya untuk mengingat siapa saya (yang sering disebut ?benak? atau ?jiwa?) tidak akan ada lagi bila saya mati; namun keduanya tidak sepakat mengenai apakah saya akan memperoleh tubuh baru ataukah tidak. Jika tidak, maka saya akan tidak eksis lagi begitu saja (--); individualitas saya pun terputus juga—meskipun dalam beberapa versi teori kepunahan, seperti aplikasi mistis ?percikan ilahi? Aristoteles (lihat Kuliah 6, terutama Gambar II.9), sesuatu yang bukan badan atau pun benak [akan] terus eksis. Sebaliknya, jika saya memperoleh tubuh baru, maka saya akan tampil kembali sebagai orang lain (-+), yang memorinya tidak meneruskan memori saya saat ini. Orang-orang yang percaya kepada penjelmaan-kembali sering mengklaim bahwa kita belajar menyadari memori-memori dari ?kehdupan terdahulu? kita. Kita harus belajar bagaimana cara mendapatkan kembali memori-memori semacam itu secara sama persis karena pada normalnya tidak ada kesinambungan kesadaran antarjelmaan, kendati mungkin ada suatu ?inti? spiritual yang lebih dalam yang menghubungkan kehidupan-kehidupan orang yang tampak berbeda itu. Orang-orang yang, seperti Plato, percaya kepada keabadian jiwa lebih dekat pada aktualnya dengan orang-orang yang percaya kepada kepunahan daripada dengan orang-orang yang percaya kepada penjelmaan-kembali. Hal ini karena meskipun teori keabadian tidak sepakat dengan kedua teori itu dengan mengklaim bahwa kita memiliki jiwa (yaitu kapasitas memori kesadaran yang sinambung) yang tetap hidup ketika raga kita mati (+-), ini pada aktualnya sepakat dengan klaim teori kepunahan bahwa tubuh kita yang mati tidak akan digantikan oleh yang baru, seperti yang diyakini oleh teori penjelmaan-kembali. Ini mungkin tampak agak mengejutkan, khususnya bagi orang yang memandang bahwa keyakinan Plato kepada keabadian itu merupakan paham Yunani kuno yang sepadan dengan keyakinan Nasrani kepada kehidupan selepas kematian. Akan tetapi, yang terakhir ini tidak didasarkan pada argumen logis apa pun perihal niscayanya keabadian (immortality) jiwa, tetapi pada harapan religius bahwa orang-orang akan diselamatkan dari kepunahan melalui intervensi ilahi dalam bentuk kebangkitan-kembali (resurrection). Teori kebangkitan-kembali harus diperbedakan dengan jelas dari tiga teori lainnya. Kepunahan, sebagai lawanan langsung terhadap kebangkitan-kembali, dipandang dengan tepat sebagai nasib alamiah kita oleh orang-orang yang percaya kepada kebangkitan-kembali, jika kebangkitan-kembali tidak terjadi. Sebaliknya, dua teori lainnya mempunyai faktor yang sama dengan teori kebangkitan-kembali, yaitu bahwa ada sesuatu yang mengungguli perbedaan mereka. Sebagaimana teori keabadian, teori kebangkitan menganggap bahwa daya kesadaran seorang manusia akan bersinambung, sedikit-banyak tak tersela, hingga sesudah kematian; dan sebagaimana teori penjelmaan-kembali, teori kebangkitan-kembali menganggap bahwa seorang manusia akan memiliki tubuh baru setelah tubuh yang ada [dunia ini] mati. Namun berlawanan dengan Plato, teori kebangkitan-kembali terutama berfokus pada badan, dengan berasumsi seperti Aristoteles bahwa tanpa raga yang dibangkitkan kembali, jiwa itu sendiri pun akan mati; dan berlawanan dengan teori penjelmaan-kembali, teori kebangkitan-kembali memandang badan baru sebagai jenis baru, bukan hanya badan lain dengan jenis yang sama. Gambar-gambar yang kadang-kadang terlihat di literatur keagamaan, tentang badan-badan yang mengambang keluar dari makam mereka naik ke langit, salah dalam menggambarkan makna sejati kebangkitan kembali. Dalam Perjanjian Baru, raga duniawi seorang manusia dipaparkan sebagai ?biji? belaka bila dibandingkan dengan ?raga spiritual? matang yang akan diberikan selepas kematian (lihat 1 Korintus 15:35-44). Artinya, kehidupan berkesadaran kita dalam raga yang sekarang ini akan disatukan, entah bagaimana, dengan cara yang sinambung dengan raga spiritual baru ini (++), sehingga semua potensi yang terwujud dalam kehidupan ini akan mekar dan berbuah di kehidupan mendatang itu. Walaupun pada aktualnya kita tidak mengalami kematian kita sendiri di dalam kehidupan kita saat ini, kita benar-benar mengalami kematian orang-orang lain sebagai titik akhir kehidupan mereka sepengetahuan kita. Akibatnya, tak seorang pun dari kita yang bisa mengetahui dengan pasti, apa yang terletak di ?sisi lain? yang dideksripsikan dengan sebaik-baiknya oleh keempat pandangan itu, sampai sesudah kita meninggal. Barangkali lantaran itulah para filsuf sering kurang berminat terhadap pertanyaan yang diangkat mengenai kemungkinan alam baka daripada pertanyaan yang diangkat mengenai kehidupan itu sendiri. Plato, misalnya, bersikeras bahwa kekhawatiran akan kematian hanya tepat bagi orang-orang yang masih terbelenggu di dalam ?gua? (bandingkan Gambar II.7). Melampaui kekhawatiran ini dengan dengan ?belajar cara mati? merupakan salah satu tugas dasar yang harus ditunaikan oleh filsuf yang baik. Saya yakin, di sini Plato mengacu pada tugas belajar seumur hidup tentang bagaimana kita hidup dengan yang-tak-diketahui yang gelap, bahkan sebelum kita mati; karena bila kita melakukannya, kita dapati bahwa misteri yang mutlak-nyata ini secara paradoksis memancarkan sinar tentang bagaimana seharusnya kita hidup. Dengan kata lain, kematian pun, dengan mengangkat pertanyaan tentang makna kehidupan, mengarahkan kita secara langsung menuju kebutuhan untuk menjalani kehidupan yang oleh kalangan eksistensialis disebut otentik. Psikolog Abraham Maslow menyebut bahwa kehidupan sejati atau otentik manusia merupakan kehidupan yang mencapai ?aktualisasi-diri?. Istilah yang kini umum ini sering dikecam dan disalahpahami sebagai penyubur sikap mementingkan diri-sendiri, gaya hidup ?kerjakan urusanmu sendiri? yang membiarkan pengabaian kebutuhan orang lain. Akan tetapi, itu merupakan kesalahpahaman total. Maslow dan lain-lain telah berhati-hati dalam menunjukkan bahwa aktualisasi-diri orang-orang yang berfokus di dalam itu tidak berarti bahwa mereka hanya mempedulikan kepentingan egoistik mereka sendiri, tetapi bahwa mereka ialah orang-orang yang melampaui-diri, bahwa pemahaman mereka tentang mereka sendiri membuat mereka mencapai yang di luar menuju orang-orang lain dengan cinta dan belas kasih. Menariknya, salah satu sumber kesalahpahaman terhadap istilah semacam itu adalah bahwa kehidupan yang mengaktualisasi-diri itu sendiri pada dasarnya paradoksis. Semakin [dalam] Maslow mempelajari orang-orang yang mengaktualisasi-diri, semakin yakin ia bahwa mereka ialah orang-orang yang dapat memecahkan paradoks di dalam diri mereka sendiri: mereka bukan mementingkan diri sendiri atau mementingkan orang lain, melainkan mementingkan keduanya (lihat umpamanya TPB 139). Ungkapan terkenal Plato, ?kenalilah dirimu sendiri?, pada dasarnya membawa pesan yang sama: kita mengenal diri sendiri bukan untuk menjadi solipsis yang menutup-diri, melainkan untuk menjadi orang saleh yang membaktikan-diri. Semakin kenal kita kepada diri kita sendiri (yaitu semakin terlihat kita mementingkan diri sendiri), semakin mampu kita mengenal orang-orang lain (yaitu semakin bisa kita mementingkan orang lain). Belajar untuk melampaui diri kita sendiri dengan cara itu akan menyiapkan kita untuk menerima kematian dengan tangan terbuka sebagai suatu berkah. Kita dapat memandang kematian sebagai hadiah tertinggi hanya jika kita telah belajar untuk hidup dengan kematian—yakni hidup dengan ketidakberadaan kita sendiri melalui perbuatan-perbuatan semacam pelampauan-diri itu—walau kita masih hidup. Seperti yang kita lihat di kuliah yang lalu, pentingnya pengakuan ketidakberadaan dalam semua yang-berada itu merupakan salah satu wawasan eksistensialis pokok. Lao Tzu, seorang filsuf Cina, mengungkap wawasan serupa tatkala ia menyatakan bahwa yang-tidak-berada pada aktualnya lebih berfaedah daripada yang-berada (TTC 11). Contohnya, jendela takkan bisa digunakan sebagai media pandang jika tidak ada ruang kosong antara ujung-ujung kerangkanya. Gelas pun takkan bisa dipakai untuk menampung air bila tidak ada cekungan di dalamnya. Contoh-contoh semacam itu menunjukkan bahwa yang berada itu sering tak mampu untuk memenuhi fungsinya dengan tepat jika tidak memanfaatkan yang tidak berada. Secara demikian, orang-orang harus memandang kematian mereka sendiri sebagai bagian alamiah dari proses kehidupan. Kedua cara pemaparan realitas transenden itu, sebagai ?yang-ada? atau sebagai ?yang-tiada? (lihat Gambar VI.2), menyiratkan dua cara yang bersesuaian dalam memandang hubungan ?alamiah? antara kehidupan dan kematian. Saya menebak bahwa hampir semua dari kita lebih cenderung menganut salah satu dari dua pandangan ini. Menurut Lao Tzu, orang yang memperlakukan kematian sebagai bagian alamiah dari kehidupan tidak perlu lagi mencari ?kehidupan yang abadi?, atau ?yang tak terbatas?. Dengan memandang kematian sebagai akhir hakiki semua kehidupan, ia yakin bahwa pencarian semacam itu menuju kegagalan, yang hanya akan menghasilkan kecemasan (lihat Gambar XII.6a). Namun kecemasan yang kita rasakan terhadap prospek kematian kita sendiri tidak perlu menghentikan pencarian ketakterbatasan kita, asalkan kita memandang kematian sebagai tapal batas, dengan obyek atau tujuan pencarian yang terletak pada sisi lain (lihat Gambar XII.6b). Hanya dalam pengertian terakhir ini masuk-akallah anggapan bahwa kematian merupakan berkah yang benar-benar bisa disahkan sebagai bagian alamiah dari kehidupan. Jika tidak ada apa-apa setelah kehidupan selain kematian dan kepunahan, maka menganggap kematian sebagai bagian alamiah dari kehidupan tidak lebih masuk-akal daripada menganggap dinding sebagai bagian dari jendela, atau ruang di luar gelas sebagai bagian dari gelas. Tapal batas adalah bagian dari sesuatu yang dibatasinya; namun ruang di luar tapal batas itu lain sama sekali. kematian alam baka (yang-tidak-berada) (yang-ada) pencarian pencarian ketakterbatasan ketakterbatasan kehidupan kehidupan kecemasan kematian (a) Kecemasan sebagai Tapal Batas (b) Kematian sebagai Tapal Batas Gambar XII.6: Dua Pandangan tentang Kehidupan dan Kematian Apa pun pandangan tentang kematian yang benar, persoalan yang diangkat oleh Lao Tzu menyoroti paradoks sentral kehidupan itu sendiri: bagian esensial dari tugas manusia adalah mengejar yang-tak-terbatas, namun pencarian ini menuju kegagalan karena kematian menyebabkan terbatasnya kehidupan itu sendiri. Namun pencarian itu ?gagal? hanya jika keberhasilan diukur dengan menggunakan logika analitik. Jika kita membenarkan paradoks itu, jika kita membenarkan (dengan Lao Tzu) adanya yang-tidak-berada di dalam semua yang-berada, jika kita membenarkan (dengan para eksistensialis) keterbatasan kita dalam proses pencarian sesuatu yang-tak-terbatas, maka kita mempunyai landasan untuk berharap bahwa makna [kehidupan] akan menerobos di tengah-tengah perjuangan kita. Bahkan jika penerobosan ini hanya terjadi setelah kita mati, itu pun melegitimasi pencariannya di dalam kehidupan ini. Sesungguhnya, gagasan inti Lao Tzu bukan bahwa pencarian itu sendiri salah, melainkan bahwa kita jangan berharap menemukan sesuatu yang-tak-terbatas dalam bentuk yang dapat kita pahami di dalam dunia ini. Oleh sebab itu, kita harus selalu berhati-hati untuk tidak mengira bahwa kita dapat memecahkan paradoks kehidupan dengan menetapkan sesuatu yang bukan tak-terbatas sebagai sumber makna kehidupan kita. Contohnya, saya tidak bisa menghitung jumlah mahasiswa penulis lembar mawas yang mengklaim bahwa ?kebahagiaan?, atau barangkali ?kepuasan?, merupakan tujuan yang mestinya dituju dalam kehidupan orang-orang. Sekalipun begitu, masalahnya adalah bahwa, seperti yang kita pelajari dari Tillich di Kuliah 30, sekali kebahagiaan tercapai, selesailah [sudah perjuangannya]. Mereka yang menjalani kehidupan demi memenuhi hasrat-hasrat mereka sendiri tentu berakhir dengan kehampaan dan kesia-siaan, walaupun mereka cukup beruntung lantaran terpenuhinya hasrat-hasrat itu. Kepuasan pada hakikatnya tidak memuaskan. Jadi, paradoks itu terutama mengenai persoalan absurditas jika kita mengarahkan kehidupan kita menuju tujuan yang terbatas. Nasihat Lao Tzu, yang berasal dari orang yang pesan dasarnya adalah bahwa kita harus berada dalam kehadiran ?Tao? yang misterius (yakni tak terbatas), jangan disiratkan bahwa tidak ada yang-tak-terbatas yang layak dicari; alih-alih, itu menyiratkan bahwa tujuan hakiki pencarian sesuatu yang tak-terbatas itu adalah mengajarkan kita bahwa itu hadir sekarang di tengah-tengah keterbatasan kita, sehingga kita dapat menghentikan pencarian dalam rangka beristirahat dalam kehadiran itu. Dengan kata lain, pelajaran yang kita pelajari dari menghadapi paradoks kematian adalah bahwa pencarian sesuatu yang-tak-terbatas harus dilakukan dalam konteks pengakuan terbatasnya kehidupan sebagaimana kita mengetahuinya. Kebutuhan akan pengakuan keterbatasan manusia dan juga konteks abadi di luar kehidupan manusia merupakan wawasan yang diakui oleh kebanyakan agama. Contohnya, salah satu dari sekian banyak ungkapan Bibel tentang paradoks ini muncul dalam Yesaya 40:6-8: ... All flesh is grass, and all its loveliness is like the flower of the field. The grass withers, the flower fades, When the breath of the Lord blows upon it; Surely the people are grass. The grass withers, the flower fades, But the word of the Lord stands forever. (... Seluruh umat manusia adalah seperti rumput, dan semua semaraknya seperti bunga di padang. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, Bila Tuhan menghembusnya dengan nafas-Nya; Sesungguhnyalah bangsa itu seperti rumput. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, Tetapi firman Tuhan itu tetap untuk selamanya. ?Firman? ini di sini adalah kata yang sama dengan yang dibicarakan oleh Yohanes pada permulaan Injilnya; dan itu, secara paradoksis, merupakan kata yang hanya bisa didengar di dalam keheningan: ?‘Pada mulanya adalah Firman....‘ Kata itu tidak muncul menjadi berada, tetapi itu ada lebih dahulu. Itu tidak memecah keheningan, tetapi itu lebih dahulu daripada keheningan dan keheningan terbuat dari itu? (HMD 90-91). Kutipan terakhir ini menyiratkan bahwa kehidupan terhadap kematian itu seperti kata-kata terhadap keheningan. Begitu pula, sebagaimana kehidupan berakhir dengan kematian namun menarik maknanya dari misteri yang tertutupi oleh kematian, pertanyaan-pertanyaan filsafat pun, sebagaimana yang saya sebut di awal kuliah ini, berakhir dalam keheningan bahwa tidak ada lagi yang perlu ditanyakan. Sesungguhnya, kehidupan ini penuh dengan misteri dan paradoks semacam itu. Kalau saja waktu kita lebih banyak, kita bisa melihat dengan lebih rinci beberapa aspek kehidupan kita yang gelap dan menarik lainnya. Akan tetapi, saya mencurahkan sebuah matakuliah tersendiri untuk bidang interpretasi mimpi dan aspek bawah-sadar pengenalan-diri (lihat DW). Jadi, sebagai ganti atas pengembangan topik itu lebih lanjut di sini, di kuliah terakhir kita akan kembali ke pertanyaan yang memulai matakuliah ini, dengan tujuan memeriksa bagaimana hal itu juga menyingkap misteri paradoksis di inti pengalaman manusia. 36. Apakah Filsafat Itu? Matakuliah ini berawal dengan diskusi tentang ?Apakah filsafat itu?? Sebagian dari kalian menawarkan beberapa jawaban yang menarik, yang menunjukkan bahwa sebelum mengambil matakuliah ini pun kalian telah memiliki beberapa ide yang baik mengenai apakah filsafat itu. Barangkali itu karena semua manusia yang berpikir mempunyai filsafat tentang sesuatu, meskipun banyak yang tak mau repot-repot melakukannya dengan secermat-cermatnya. Masalahnya adalah bahwa kebanyakan orang tak pernah melampaui tahap ?filsafat saya?. Dengan kata lain, walaupun banyak, kalau bukan kebanyakan, orang telah membangun sudut pandang filosofis khas bagi mereka sendiri, sangat sedikit orang yang sungguh-sungguh berusaha memperluas sudut pandang pribadi sedemikian rupa sehingga bisa diakui telah memiliki jangkauan penerapan yang sah yang melampaui opini pribadi mereka. Namun tahap ini amat penting jika kita pernah memahami hakikat filsafat. Filsafat saya harus melampaui tahap ?filsafat saya? dan harus menjadi filsafat sebelum saya bisa dengan benar berkata ?Saya seorang filsuf?. Tahap krusial itu merupakan tahap yang saya harap telah mulai anda tempuh seraya mengikuti matakuliah ini. Di Kuliah 1 saya berkata bahwa saya berharap hingga akhir matakuliah ini anda akan mengetahui lebih sedikit mengenai filsafat daripada sewaktu di awal matakuliah. Sebagian dari kalian tertawa terhadap harapan ini. Beberapa dari kalian tampaknya bingung. Sebagian lainnya mengira saya bingung. Sebagian besar dari kalian mungkin mengira itu hanya kelakar. Namun sesungguhnya, saya amat serius. Dalam beberapa kesempatan sepanjang matakuliah ini saya telah menentang versi naif relativisme, atas dasar bahwa tapal batas tertentu adalah mutlak. Versi relativisme yang lebih memadai selalu mengakui bahwa ketidakmustahilan ?relativitas? bergantung pada sesuatu yang, menurut perbandingan, ?mutlak?. Di Fisika, misalnya, teori relativitas bisa mengakui sifat nisbi peristiwa-peristiwa di dunia berwaktu-ruang kita hanya setelah para fisikawan sepakat untuk memperlakukan kecepatan cahaya sebagai ?konstan? (yakni sebagai mutlak). Sekarang saya ingin menambahkan bahwa tujuan hakiki semua penyelidikan filosofis adalah menjadi semakin sadar akan kemutlakan semacam itu; karena semakin kita sadar, semakin bisa kita mengapresiai keindahan ?misteri? yang telah banyak kita bahas di Bagian Empat ini. Bahkan, paradoks ontologis terakhirnya adalah bahwa misteri itu mengenalkan diri mula-mula sebagai filsafat saya, tetapi secara bertahap mengungkap sendiri bahwa itu merupakan sumber filsafat itu sendiri. Dengan kata lain, itu mutlak dan, namun demikian, sekaligus sumber segala relativitas. Untuk menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi, saya akan membandingkan filsafat dengan permata besar dengan banyak sisi yang terpahat di dalamnya. Mulanya, yang saya sadari hanyalah bahwa perspektif saya sendiri, sisi yang bisa saya lihat dengan paling jelas, itu benar. Ketika saya selangkah mundur, saya akui bahwa sisi-sisi lain di permata itu—perspektif-perspektif sah lainnya—sama-sama benar. Hal itu tampaknya mengesahkan keyakinan kepada relativisme: sisi anda benar bagi anda dan sisi saya benar bagi saya. Akan tetapi, tatkala saya mundur cukup jauh untuk melihat permata itu keseluruhannya, tiba-tiba saya mengakui bahwa ada suatu pola: setiap sisi terkait sedemikian rupa sehingga yang-menyeluruh itu sesungguhnya menampilkan suatu desain mutlak (tetap), walaupun ada banyak keragaman sisi masing-masing. Orang-orang yang terus memandang filsafat sebagai bahan opini subyektif seluruhnya, dan lalai untuk melihat potensinya untuk membawa kita ke suatu kebenaran obyektif, hanya membelenggu diri mereka sendiri dengan sisi khas mereka pada permata itu, sebagaimana para narapidana di gua Plato yang tidak melihat apa-apa kecuali bayangan di bagian khas dinding mereka. Namun bila anda mulai melangkah dari filsafat yang menyesuaikan anda dengan filsafat yang bisa benar bagi setiap orang, maka saya pikir anda telah mempelajari sekurang-kurangnya sesuatu tentang pentingnya prinsip pengakuan kebebalan anda: kita takkan bisa melihat semua sisi permata seketika, tak peduli sejauh mana anda mundur! Bila anda telah mulai memperbedakan antara ?filsafat saya? dan ?filsafat?, dan ketika anda mulai mengubah ?filsafat saya? menjadi ?filsafat?, maka anda akan siap untuk mulai menyusun jawaban yang benar-benar filosofis terhadap pertanyaan ?Apakah filsafat itu?? Anda mungkin telah memperhatikan bahwa keseluruhan matakuliah ini, sampai batas tertentu, merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan dasar tersebut. Dengan demikian, biarlah saya sarankan sebuah jawaban terakhir. Bilamana kita mempertimbangkan bagaimana filsafat berbeda dengan disiplin akademik lain, muncullah urusannya yang sedikit-banyak tiada henti dengan pendefinisian-diri, yang menyiratkan bahwa filsafat bisa didefinisikan sebagai ?disiplin yang tujuannya mendefinisikan [filsafat] itu sendiri?—atau yang lebih sederhana, ?filsafat ialah disiplin yang mendefinisikan sendiri.? Bila disiplin lain mengajukan pertanyaan tentang hakikatnya sendiri, itu terpeleset ke dalam bidang filsafat. Bila dosen sejarah meminta mahasiswanya untuk memikirkan hakikat sejarah, maka ia berfilsafat, bukan ber-sejarah. Namun di keseluruhan matakuliah ini kita telah mendapati bahwa titik fokus sebagian besar dari (kalau bukan semua) filsuf yang baik adalah tepatnya pertanyaan ini: apa yang saya lakukan ketika saya berfilsafat? Tentu saja, definisi filsafat sebagai disiplin yang mendefinisikan sendiri hanya berkaitan dengan bentuknya; isinya (yaitu rincian tentang bagaimana filsafat pada aktualnya mengusahakan pendefinisian [filsafat] itu sendiri) merupakan topik keseluruhan matakuliah ini. Setelah sekarang menuntaskan upaya saya untuk memperkenalkan filsafat kepada anda sedemikian rupa sehingga anda dapat mulai berpartisipasi dalam pendefinisiannya sendiri, saya akan mengambil kesempatan ini untuk merangkum keseluruhan matakuliah ini dengan mengaitkan mitos pohon filsafat dengan catatan misteri yang diberikan di Bagian Empat ini. Kita memulai matakuliah ini dengan memperlakukan metafisika sebagai akar pohon filsafat; dalam melakukannya kita dapati di Bagian Satu bahwa untuk menelaah akar-akar ini tanpa mematikan pohon, kita harus mengakui kebebalan kita. Tanpa penetapan bidang kebebalan-niscaya, tidak ada yang misterius, karena segala sesuatu akan harus dianggap sebagai ?obyek yang bisa diketahui?. Takkan ada yang tersembunyi. Tiada akar. Dalam keadaan semacam itu kita mungkin mengira bahwa kita memahami kata-kata yang kita pakai, tetapi kita tentu melakukan salah satu dari dua kesalahan: kita menyimpulkan bahwa semua misteri tak masuk akal (sebagaimana kalangan skeptis), atau menyimpulkan bahwa pada aktualnya kita bisa (atau telah) mencapai pengetahuan tentang misteri itu (sebagaimana kalangan dogmatis). Baik skeptisisme maupun dogmatisisme dihasilkan dari kegagalan untuk memperoleh pemahaman yang tepat tentang batang logis dan cabang ilmiah pohon filsafat. Padahal seperti yang kita pelajari di Bagian Dua, logika mengajarkan kita bahwa, alih-alih memperlakukan misteri sebagai tidak bermakna atau sebagai bisa diketahui, misteri itu sendiri mempunyai jenis logikanya sendiri. Setelah memperbedakan antara pengetahuan dan kebebalan, kita belajar tentang bagaimana menggunakan logika analitik untuk memahami kata-kata yang memerikan pengetahuan dan logika sintetik untuk memahami kata-kata yang memerikan kebebalan. Dengan cara ini kita menentukan tapal batas secara jelas antara pengetahuan dan kebebalan. Sebagaimana cabang pohon menunjukkan kepada kita, sebagaimana adanya, tujuan alamiah atau implikasi dari batang, logika pun tetap abstrak dan nirmaknawi kecuali jika kita menggunakannya untuk mendapatkan pengetahuan (?ilmu?); dalam melakukannya, seperti yang kita dapati di Bagian Tiga, kita dapat menemukan beberapa implikasi dari misteri menuju apa-apa yang tidak misterius. Yang terakhir ini merupakan tugas kealiman, dan hanya bisa dipenuhi jika kita mengetahui di mana menempatkan garis-garis tapal batas di sekitar jenis-jenis pengetahuan yang beragam, dan kapan tepatnya menerobos garis-garis tapal batas itu. Dengan kata lain, hanya dengan belajar untuk mencintai kealiman kita bisa menghargai misteri tentang untuk apakah ini, walau pada saat yang sama membiarkannya menerangi apa-apa yang tidak perlu misterius. Akhirnya, dengan memperlakukan pengalaman-pengalaman kita yang berisi-makna sebagai daun-daun pohon filsafat, kita belajar di Bagian Empat tentang bagaimana pada aktualnya kita dapat sampai berkenalan secara pribadi dengan misteri ini, melalui pembukaan diri kita untuk mengalami ketakjuban berkeheningan. Dengan membiarkan misteri itu menduduki kita dan bukan mencoba merebutnya secara menggemparkan, dengan membiarkan misteri itu menggengam dan memiliki kita dan bukan mencoba menggenggam dan memilikinya, keragaman pengetahuan kita bisa dipersatukan dengan kekuatan misteri itu. Maka paradoks kehidupan tidak lagi merepotkan. Itu masih tetap paradoks, karena realitas kebebalan kita tidak dikurangi tetapi ditambah melalui pengalaman misteri itu. Perbedaannya adalah bahwa sekarang di dalam diri kita, kita memiliki urusan hakiki yang memungkinkan kita untuk menghadapi fakta bahwa ada beberapa hal yang takkan bisa kita ketahui. Kant dengan tepat mengungkap kemampuan untuk menghadapi kebebalan ini ketika ia menulis (CPrR 148): ?kealiman gaib yang merupakan sarana eksistensi kita itu lebih layak dihormati mengenai apa yang disangkal daripada [mengenai] apa yang diberikan olehnya kepada kita.? Kendati ada, atau bahkan lantaran, kebebalan kita, kapasitas untuk takjub itu pada aktualnya merupakan salah satu karakteristik utama yang memperbedakan antara filsuf yang baik dan yang buruk. Bahwa takjub itu kekanak-kanakan mungkin merupakan alasan mengapa sebagian filsuf, yang ingin terlihat ?dewasa?, menghindari godaan ketakjuban. Lantaran itu pula anak-anak amat sering membuat pernyataan filosofis yang sangat berbobot. Perbedaan antara anak-anak dan filsuf dewasa yang seperti kanak-kanak adalah bahwa filsuf itu telah menambahkan kesadaran-diri pada naluri-dasar ketakjuban: kesadaran-diri itu betah dengan kebebalan dalam pencariannya terhadap kesatuan ?saya?, sedangkan ketakjuban ingin mencapai pengetahuan dalam menanggapi penangkapannya terhadap keragaman alam. Para filsuf yang buruk, sebagaimana telah kita saksikan, membatasi tugas filsafat hanya pada salah satu dari dua tujuan yang berlawanan ini. Sebaliknya, filsuf-filsuf yang baik akan terus mencari cara terbaik untuk mencairkan (atau sekurang-kurangnya menghadapi) ketegangan antara dua kekuatan itu. Saya yakin, salah satu cara terbaik dalam melakukannya adalah mengarahkan kesadaran-diri kita ke tujuan yang lebih tinggi, yakni pemahaman-diri. Ini karena tugas yang tiada henti untuk ?mengenali diri sendiri?, yang diakui dengan benar oleh Sokrates sebagai tujuan hakiki berfilsafat, mensyaratkan bahwa kita mencapai tingkat kesadaran-diri dan sekaligus ketakjuban yang senantiasa meningkat. Dengan mengingat akan hal itu, saya ingin kita membahas sebuah pasal dari buku yang mendorong kita untuk mendengar ketakjuban berkeheningan di sepanjang kesibukan hidup kita sehari-hari. Buku kecil Anne Morrow Lindbergh, Gift from the Sea, merupakan serangkaian meditasi pada hari-hari liburnya di pantai suatu pulau, yang terutama berfokus pada simbolisme aktivitas pengumpulan kerang laut. Dalam mempertimbangkan ikhtisar berikut ini dari renungannya terhadap prospek pulang ke rumah (GS 113-116, 119-120), mari kita menafsirkan ?pulau? sebagai metafora untuk berstudi filsafat, dan ?kerang? sebagai metafora untuk berwawasan. Ketika ia mengemasi barang-barangnya untuk meninggalkan pulau itu, Lindbergh bertanya kepada diri sendiri, apa yang ia peroleh dari semua upaya meditatifnya: ?Jawaban atau solusi apakah yang telah saya temukan untuk kehidupan saya? Saya mendapat beberapa gelintir kerang dalam kantong, sedikit petunjuk, sedikit sekali.? Ia mengingat-ingat hari pertamanya di pulau itu, dan menyadari betapa rakusnya ia mengumpulkan kerang pada mulanya: ?Kantong-kantong saya menggembung dengan kerang-kerang basah ... Di pantai ini terhampar kerang-kerang indah dan saya tidak membiarkan satu pun lolos dari perhatian saya. Saya bahkan tak bisa berjalan dengan kepala tegak seraya memandang lepas ke laut, karena khawatir akan melewatkan sesuatu yang amat berharga di kaki saya.? Masalahnya dengan cara pengumpulan kerang (atau berwawasan) ini adalah bahwa ?naluri keserakahan itu tidak selaras dengan apresiasi sejati terhadap keindahan.? Namun setelah kantong-kantongnya mulur sampai batas peregangannya dengan kerang-kerang basah, ia mendapati perlunya kekurangserakahan: ?Saya mulai membongkar barang-barang saya, untuk diseleksi.? Kemudian ia sadar bahwa mustahil menghimpun semua kerang indah yang ia lihat: ?Kita bisa mengoleksi sedikit saja, dan yang sedikit tersebut lebih indah.? Bisakah kita mengasosiasikannya dengan wawasan filosofis? Barangkali bisa, karena Lindbergh sendiri menggeneralisasikan pelajaran yang ia peroleh dengan mengatakan ?hanya dengan terbingkai dalam ruanglah keindahan itu mekar. Hanya dalam ruanglah peristiwa, obyek, dan manusia itu unik dan signifikan—dan karenanya indah.? Wawasan ini, bahwa keindahan membutuhkan ruang dan selektivitas, mendorong Lindbergh untuk mempertimbangkan kembali alasan-alasan mengapa kehidupannya di rumah cenderung kekurangan kualitas signifikansi dan keindahan, begitu pula yang ia alami di pulau itu. Barangkali kehidupan tampaknya tidak bermakna bukan karena kosong, melainkan karena terlalu penuh: ?sedikit sekali ruang yang kosong. ... Terlalu banyak aktivitas yang berharga, hal yang bernilai, dan orang yang menarik. ... Kita bisa mempunyai ... kantong-kantong yang penuh sesak, yang di dalamnya terdapat satu atau dua hal yang akan signifikan.? Akan tetapi, berada di pulau itu memberi dia ruang dan waktu untuk melihat kehidupan dengan cara baru—sebagaimana saya berharap bahwa kelas filsafat ini melakukan hal yang sama untuk kalian. ?Secara paradoksis, ... ruang dipaksakan pada saya. ... Di sini ada waktu; waktu untuk tenang; waktu untuk bekerja tanpa tekanan; waktu untuk berpikir ... waktu untuk melihat bintang ... bahkan, waktu untuk tidak berbicara.? Masalahnya sepulang ke rumahnya adalah bahwa bagaimanapun, pulau itu telah menyeleksi apa yang signifikan bagi dia (sebagaimana matakuliah ini bagi anda) dengan ?lebih baik daripada bila saya kerjakan sendiri di rumah.? Oleh sebab itu, ia bertanya kepada diri sendiri: ?Bila saya pulang, akankah saya tenggelam lagi ...? ... Nilai-nilai berbobot dalam kuantitas, bukan kualitas; dalam kecepatan, bukan ketenangan; dalam kegaduhan, bukan keheningan; dalam kata-kata, bukan pikiran; dalam keserakahan, bukan keindahan. Bagaimana saya akan bertahan di pembantaian itu?? Ia menjawab dengan menyarankan bahwa, untuk menggantikan selektivitas alamiah pulau itu, kita perlu mengambil ?selektivitas kesadaran yang didasarkan pada serangkaian nilai-nilai lain—pengertian tentang nilai yang semakin saya sadari di sini. ... Kesederhanaan hidup ... Ruang untuk kebermaknaan dan keindahan. Waktu untuk menyendiri dan berbagi ... . Beberapa gelintir kerang.? Akhirnya, Lindbergh membuang sebagian besar dari kerang yang telah ia kumpulkan semasa berlibur di pulau itu, dan hanya mengambil beberapa gelintir yang paling istimewa. Ia menjelaskan, pengalamannya di pulau itu kini berfungsi sebagai ?lensa? yang bisa ia bawa pulang untuk dijadikan alat untuk memeriksa kehidupannya sendiri dengan lebih efektif: ?Saya harus ingat untuk melihat dengan mata pulau. Kerang-kerang itu akan mengingatkan saya; kerang-kerang itu harus menjadi mata pulau.? Dengan jalan yang sama, saya harap matakuliah ini memberi anda suatu cara baru dalam memandang diri anda sendiri dan dalam memandang alam. Alasan hakiki mengapa universitas mensyaratkan bahwa anda menempuh matakuliah filsafat bukanlah melatih anda untuk turut serta dalam perdebatan akademik tentang persoalan-persoalan teknis, namun memperluas kapasitas anda untuk mengalami keindahan hidup yang menyatu—yakni untuk memungkinkan anda untuk ?melihat dengan mata pulau?, juga ketika ujian telah beralu dan anda kembali ke rumah, ke alam urusan pribadi sehari-hari yang keragamannya tak terbatas. Dalam cerita Shel Silverstein, The Giving Tree, si bocah kecil tidak memperoleh pelajaran tersebut sampai di pengujung kehidupannya. Selama hayatnya ia melupakan semua hal tentang masa riang kanak-kanaknya, ketika sang pohon hampir menyerupai bagian dari dirinya sendiri. Alih-alih, ia berlalu sendirian, dalam mencari kebahagiaan dan keberuntungan. Bocah itu mengabaikan begitu saja jeritan hening pohon itu ketika pohon itu membiarkan diri terkoyak menjadi serpihan-serpihan oleh hasrat si bocah yang mementingkan diri sendiri. Baru sewaktu bocah itu mejadi tua, ia kembali mampu duduk dan bersandar ke pohon itu, dengan menikmati ketakjuban berkeheningan bersamanya. Sampai batas tertentu, proses meninggalkan pohon, berkelana sendirian, dan kembali ke pohon itu pada akhirnya, itu menggambarkan langkah-langkah paradoksis yang pasti dilalui oleh kita masing-masing dalam pencarian filsafat kehidupan yang semestinya. Tragedi cerita itu adalah, tidak seperti kisah tentang Jonathan Livingston si burung camar, bahwa tokoh utamanya praktis meluluhlantakkan sumber kealimannya dalam proses pencarian makna kehidupannya, dengan hanya menyisakan tunggul pohon di akhir cerita. Harapan saya adalah bahwa matakuliah ini memasok ?beberapa gelintir kerang? kepada anda sekalian untuk membantu anda dalam menghindari nasib semacam itu. Dengan berbekal ini, saya harap masing-masing dari kalian, bahkan juga anda yang takkan mengkaji filsafat lagi dengan jalan formal, akan mampu hidup dengan kesadaran tersembunyi yang sinambung akan pohon filsafat yang misterius dan akan senantiasa menunggu dengan hormat untuk menerima berkah dari pasokan tiada henti yang ditawarkan oleh pohon filsafat itu. Pertanyaan Perambah 1. A. Tidak mustahilkah memilih jalan hidup yang estetik dan sekaligus etis? B. Apakah manusia niscaya berdosa? .............................. .............................. 2. A. Apakah kegentaran itu pada aktualnya membantu kita dalam menghadapi kekhawatiran empiris sehari-hari? B. Mungkinkah kebangkitan-kembali dan penjelmaan-kembali keduanya benar? .............................. .............................. 3. A. Seperti apakah “raga spiritual” itu? B. Bisakah orang yang tak berbahagia menjalani kehidupan yang maknawi? .............................. .............................. 4. A. Bagaimana filsafat menyerupai pohon? B. Apakah filsafat itu? .............................. .............................. Bacaan Anjuran Daftar Pustaka: Kunci Singkatan Buku-buku berikut ini dikutip di teks utama kuliah-kuliah Filsafat Mawas, dengan menggunakan singkatan yang ditunjukkan pada sebelah kiri setiap aran. Kutipan-kutipan di teks utama mengacu pada nomor halaman, kecuali jika disebutkan lain, buku yang bersangkutan di bawah ini. Beberapa karya yang hanya dikutip sekali di dalam teks atau Bacaan Anjuran tidak memerlukan singkatan, dan tidak dimasukkan di sini. BWA The Basic Works of Aristotle. Terj. dan ed. R. McKeon. New York: Random House, 1941. Dipakai paginasi (Yunani) marjinal. AC Aristotle. Categoriae (Categories). Terj. E.M. Edghill dalam BWA 3-37. DA Aristotle. De Anima (On the Soul). Terj. J.A. Smith dalam BWA 533-603. AM Arsitotle. Metaphysica (Metaphysics). Terj. W.D. Ross dalam BWA 681-926. AP Aristotle. The Politics. Terj. Carnes Lord. Chicago: Chicago University Press, 1984. Dipakai paginasi (Yunani) marjinal. NE Aristotle. Nicomachean Ethics. Terj. J.A.K. Thomson dalam The Ethics of Aristotle. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1953. Dipakai paginasi (Yunani) marjinal. LTL Alfred Jules Ayer. Language, Truth and Logic². New York: Dover Publications, 1952(1938). JLS Richard Bach. Jonathan Livingston Seagull. New York: Avon Books, 1970. SF Walter Holden Capps dan Wendy M. Wright. Silent Fire: An invitation to western mysticism. New York: Harper & Row, 1978. CO G.K. Chesterton. Orthodoxy. London: Hodder and Stoughton, 1996(1908). CTBW Chuang Tzu. Basic Wrintings. Terj. Burton Watson. New York: Columbia University Press, 1964. LT Edward de Bono. The Use of Lateral Thinking. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1967. PO Edward de Bono. Po: Beyond Yes and No². Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1973(1972). MT Dionysius the Areopagite (Pseudo-Dionysius). The Divine Names and the Mystical Theology. Terj. C.E. Rolt. London: S.P.C.K., 1920. Acuan pada nomor bab. CD Richard Foster. Celebration of Discipline. New York: Harper & Row, 1978. MM Sigmund Freud. Moses and Monotheism. Terj. K. Jones. New York: Vintage Books, 1967(1939). TM Hans Georg Gadamer Truth and Method². Terj. G. Barden dan J. Cumming. London: Sheed & Ward, 1975(1965). EHU David Hume. An Enquiry Concerning Human Understanding. Chicago: Henry Regnery Company, 1956[1748]). Acuan pada Seksi dan nomor Bagian. BM Julian Jaynes. The Origins of Consciousness in the Breakdowm of the Bicameral Mind. Boston: Houghton Mifflin, 1990. PSA Carl. G. Jung. Psychology and Alchemy². Terj. R.F.C. Hull. London: Routledge, 1968(1953). CPR Immanuel Kant. Critique of Pure Reason. Terj. Norman Kemp Smith. London: Macmillan, 1929. CPrR Immanuel Kant. Critique of Practical Reason. Terj. Lewis White Beck. Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1956. Dipakai paginasi (Jerman) marjinal. FMM Immanuel Kant. Foundation of the Metaphysics of Morals. Terj. Lewis White Beck. Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1959. Dipakai paginasi (Jerman) marjinal. CJ Immanuel Kant. Critique of Judgement. Terj. James Creed Meredith. Oxford: Clarendon Press, 1952. Dipakai paginasi (Jerman) marjinal. OST Immanuel Kant. On a Newly Arisen Superior Tone in Philosophy. Terj. Peter Fenves dalam Raising the Tone of Philosophy: Late essays by Immanuel Kant, transformative critique by Jacques Derrida. Baltimore: John Hopkins University Press, 1993. SR Immanuel Kant. Metaphysics of Morals, Bagian Dua. Terj. W. Hastie sebagai The Metaphysical Principles of the Science of Right dalam The Philosophy of Law. Edinburgh: T. & T. Clark, 1974(1887). RBBR Immanuel Kant. Religion within the Limits of Reasin Alone². Terj. T.M. Green dan H.H. Hudson. New York: Harper & Row, 1960(1934). CUP Søren Kierkegaard. Concluding Unscientific Postscript. Terj. D.F. Swenson dan W. Lowrie. Princeton: Princeton University Press, 1941. CA Søren Kierkegaard. The Concept of Anxiety: A simple psychologically orienting deliberation on the dogmatic issue of hereditary sin. Terj. Reidar Thomte dan Albert B. Anderson. Princeton: Princeton University Press, 1980. Dipakai paginasi (Denmark) marjinal. TTC Lao Tzu. Tao Te Ching. Acuan pada nomor seksi. GS Ann Morrow Lindbergh. Gift from the Sea². New York: Pantheon Books, 1975(1955). PCT John Macquarrie. Principles of Christian Theology². New York: Charles Scribner‘s Sons, 1977(1966). TPB Abraham H. Maslow. Toward a Psychology of Being². New York: D. Van Nostrand, 1968(1962). TS Thomas Merton. Thoughts in Solitude. New York: Dell Publishing, 1956. IPW Joan Mitchell. In Pursuit of Wonder. Minneapolis: Winston Press, 1977. HMD N. Scott Momaday. House Made of Dawn. New York: Harper & Row, 1966. JW Friedrich Nietzsche. The Joyful of Wisdom. Terj. Thomas Common. London: George Allen and Unwin, 1910. Acuan pada nomor seksi. TSZ Friedrich Nietzsche. Thus Spake Zarathustra. Terj. Thomas Common. London: George Allen and Unwin, 1909. Acuan pada nomor seksi. APK Stephen Palmquist. ?A Priori Knowledge in Perspective: (II) Naming, Necessity, and the Analytic A Posteriori?. The Review of Metaphysics 41.2 (December 1987), pp. 255-282. KSP Stephen Palmquist. Kant’s System of Perspectives: An architectonic interpretation of Kant’s Critical philosophy. Lanham: University Press of America, 1993. DW Stephen Palmquist. Dreams of Wholeness: A course of introductory lectures on religion, psychology, and personal growth. Hong Kong: Philopsychy Press, 1997. KCR Stephen Palmquist. Kant’s Critical Religion: Volume two of Kant‘s System of Perspectives. London: Ashgate, 2000. PP Blaise Pascal. Pensées: Thoughts on religion and other subjects. Terj. William Finlayson Trotter. New York: Washington Square Press, 1965. Acuan pada nomor seksi. CDP The Collected Dialogues of Plato. Terj. E. Hamilton dan H. Cairns. Princeton: Princeton University Press, 1980. Dipakai paginasi (Yunani) marjinal. PA Plato. Apology. CDP 3-26. PR Plato. Republic. CDP 747-772. TJ John Rawls. A Theory of Justice. Oxford: Oxford University Press, 1971. LPJ Paul Tillich. Love, Power, and Justice: Ontological analyses and ethical applications. New York: Oxford University Press, 1971. DF Paul Tillich. Dynamics of Faith. New York: Harper & Row, 1957. CF Paul Tillich. The Courage to Be. London: Collins, 1952. Daftar Definisi Istilah Daftar Definisi Istilah ini mendefinisikan secara singkat istilah-istilah teknis terpenting yang digunakan di Filsafat Mawas. Istilah-istilah yang berlawanan diberikan dalam tanda kurung di akhir definisi yang relevan. Kata-kata yang didefinisikan di sini (termasuk variasi kecilnya) tampak dimiringkan huruf-hurufnya pada saat pertama kali digunakan di definisi suatu kata lain di seksi yang sama dalam Daftar ini. Tanda ?*? dibubuhkan pada kata berhuruf miring yang didefinisikan di seksi lain. Seksi Pertama mendefinisikan istilah-istilah yang terutama dipakai oleh Kant. Seksi Kedua mendefinisikan istilah-istilah teknis lain yang digunakan di buku-ajar ini, yang biasanya dengan menyebut nama filsuf yang memakai istilah-istilah dengan cara(-cara) khusus. [Bila istilah Indonesianya diawali dengan imbuhan, maka kata dasarnya disebutkan lebih dahulu.] I. Istilah Teknis Kant agama/religius (religion/religious): cara bertindak, atau perspektif, yang dengannya kita menafsirkan semua kewajiban kita sebagai perintah ilahi. akal (reason): dalam Kritik pertama, fakultas tertinggi subyek insani, sehingga semua fakultas lainnya sub-ordinat. Akal mengabstrakkan sepenuhnya kondisi sensibilitas dan mempunyai forma arsitektonik yang siap-pakai. Kritik kedua (yang mengambil sudut pandang praktis) memeriksa forma hasrat kita dalam rangka menyusun suatu sistem yang didasarkan pada fakultas akal. Fungsi utama akal adalah praktis; walau penafsir-penafsir sering memandang bahwa yang primer adalah fungsi teoretis, Kant memandang yang terakhir ini sub-ordinat. alam => pengalaman (experience): kombinasi antara intuisi dan konsep dalam forma penimbangan. ?Pengalaman? dalam pengertian (perantara) ini merupakan sinonim bagi ?pengetahuan empiris?. Frase ?pengalaman nirmustahil? mengacu pada representasi yang tersaji untuk pemahaman kita melalui konsep-konsep. ?Pengalaman? dalam pengertian (seketika) ini bertolak belakang dengan ?pengetahuan?. analisis (analysis): pembagian suatu representasi menjadi dua representasi yang berlawanan, dengan pandangan menuju penjernihan representasi asal. Filsafat* sebagai metafisika lebih menerapkan analisis daripada sintesis. (bandingkan sintesis) analitik (analytic): pernyataan atau berita pengetahuan yang kebenarannya semata-mata lantaran kesesuaiannya dengan beberapa hukum logis. ?Semua sarjana tidak menikah? merupakan proposisi* yang khas analitik. (bandingkan sintetik) anarki (anarchy): sistem politik yang ?tanpa kekuasaan pengatur? (?an? dan ?arche? dalam bahasa Yunani) dan menjadi landasan bagi banyak versi pandangan utopia. aposteriori (a posteriori): cara memperoleh pengetahuan dengan memanfaatkan suatu (atau beberapa) pengalaman khusus. Kant menggunakan metode ini untuk membuktikan kebenaran* empiris dan hipotetis. (bandingkan apriori) apriori (a priori): cara memperoleh pengetahuan tanpa memanfaatkan suatu (atau beberapa) pengalaman khusus. Kant menggunakan metode ini untuk membuktikan kebenaran* transsendental dan logis. (bandingkan aposteriori) argumen transendental (trascendental argument): metode istimewa Kant dalam pembuktian dengan mengacu pada posibilitas pengalaman; ini menyatakan bahwa sesuatu (contohnya, kategori) pasti benar karena jika itu tidak benar, maka pengalaman itu sendiri menjadi mustahil. arsitektonik (architectonic): struktur logis yang diberikan oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang harus digunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun. benda di dalam lubuknya (thing in itself): [1] obyek yang dipandang secara transendental lepas dari semua kondisi yang memungkinkan subyek bisa memperoleh pengetahuan tentangnya. Menurut definisi ini, benda di dalam lubuknya tidak bisa diketahui. [2] Kadang-kadang dipakai dalam arti luas sebagai sinonim bagi nomena. (bandingkan penampakan) empiris (empirical): salah satu dari empat perspektif utama Kant, yang bertujuan memantapkan jenis pengetahuan yang sintetik dan sekaligus aposteriori. Kebanyakan pengetahuan yang kita peroleh melalui pengalaman sehari-hari, atau melalui ilmu*, adalah empiris. ?Meja itu coklat? merupakan pernyataan yang khas empiris. (bandingkan transendental) estetik (aesthetic): berkenaan dengan persepsi-indera. Dalam Kritik pertama Kant, kata ini mengacu pada ruang dan waktu sebagai syarat-perlu persepsi-indera. Setengah bagian pertama dari Kritiknya yang ketiga memeriksa kebermaksudan subyektif persepsi kita tentang obyek yang indah atau agung dalam rangka menyusun sistem penimbangan estetik. Contohnya, ia mendefinisikan keindahan* dengan menggunakan empat prinsip dasar: universalitas subyektif, kegirangan nirkepentingan, kebermaksudan nirmaksud, dan kegirangan niscaya. (bandingkan teleologis) fakultas (faculty): daya fundamental subyek insani untuk melakukan sesuatu atau mengerjakan suatu fungsi rasional. fenomena/fenomenal (phenomena/phenomenal): [1] obyek pengetahuan, dipandang secara empiris, dalam keadaan bisa diketahui sepenuhnya—yaitu terkondisi oleh ruang dan waktu dan kategori. [2] Alam yang berisi obyek semacam itu. Lihat juga penampakan. (bandingkan nomena/nomenal) fitrah (predisposition): kecenderungan alamiah yang dimiliki oleh seseorang, lepas dari (atau sebelum memiliki) pengalaman, untuk bermoral baik* atau bermoral buruk. (bandingkan tabiat) forma/formal (form/formal): aspek aktif atau subyektif sesuatu—yakni aspek yang didasarkan pada aktivitas rasional subyek. (bandingkan material) heteronomi (heteronomy): prinsip pembiaran sesuatu selain hukum moral untuk menentukan apa yang mesti dilakukan. Ini mengganti kebebasan dengan sesuatu di luar akal praktis, semisal kesukaan. Tindakan ini sendiri nonmoral—yaitu bukan bermoral atau pun immoral—namun bisa immoral jika itu membuat orang tidak melakukan kewajibannya. (bandingkan otonomi) hipotetis (hypothetical): salah satu dari empat perspektif utama Kant, yang dimaksudkan untuk memantapkan pengetahuan yang analitik dan sekaligus aposteriori—walau Kant sendiri secara salah mengenalinya sebagai sintetik dan apriori. Kebanyakan ide metafisis dipandang dengan tepat dari perspektif ini, menggantikan perspektif spekulatif metafisika tradisional. (bandingkan logis) hukum moral (moral law): sebuah ?fakta? akal praktis yang terdapat di setiap orang yang rasional, walau sebagian orang lebih menyadarinya daripada orang lain. Pada esensinya, hukum moral adalah pengetahuan kita tentang perbedaan antara yang baik* dan yang nista, dan kepercayaan batiniah kita bahwa kita mesti melakukan apa-apa yang baik. Lihat juga imperatif kategoris. ide (ideas): spesies representasi yang menimbulkan keyakinan metafisis. Ide merupakan konsep khusus yang timbul dari pengetahuan kita tentang dunia empiris, namun agaknya menandakan alam transenden di luar alam ini. Tiga ide terpenting metafisis ialah Tuhan, kebebasan, dan keabadian. ideologi (ideology): ide atau sistem* ide yang diperlakukan sebagai mitos kehidupan dan acapkali sering dipaksakan pada orang lain yang mungkin tidak menerima kebenarannya. imajinasi (imagination): fakultas yang, bila dikendalikan oleh pemahaman, membuat konsep dari intuisi dan mensintesis intuisi dengan konsep untuk menghasilkan obyek yang siap ditimbang. Sebaliknya, dalam penimbangan estetik, imajinasi mengendalikan dayapikir. Lihat juga imajinasi*. iman (faith): di Kritik pertama, sinonim keyakinan. Kant menganjurkan pendekatan terhadap filsafat* yang lebih rendah hati dengan menyatakan menyangkal pengetahuan dengan tujuan membuka ruang bagi iman—yaitu dengan memperbedakan antara apa yang bisa kita ketahui secara empiris dan apa yang transenden, yang hanya bisa kita dekati dengan iman. ?Iman praktis? mengacu pada keyakinan bahwa Tuhan akan mengganjar orang-orang yang bertabiat baik*. ?Iman rasional? adalah istilah Kant untuk agama (yang bermoral) murni, yang berlawanan dengan ?iman historis?, yang mengacu pada tradisi ekstrarasional yang berupaya menjelaskan apa-apa yang dengan akal belaka tidak bisa kita pahami. imperatif kategoris (categorical imperative): perintah yang mengungkap perrsyaratan hukum moral umum yang tak terhindarkan. Tiga rumusannya membawa persyaratan universalisabilitas, penghormatan, dan otonomi. Ketiganya secara-bersama-sama membuktikan bahwa suatu tindakan disebut ?baik* secara moral? dengan tepat hanya jika (1) kita bisa memiliki kehendak bahwa semua orang harus melakukannya, (2) memungkinkan kita untuk memperlakukan orang lain sebagai tujuan dan bukan sekadar sebagai alat untuk tujuan kita sendiri, dan (3) membiarkan kita untuk melihat orang lain sebagai pencipta-hukum yang saling-memberi dalam suatu ?kerajaan tujuan-tujuan? yang ideal. inderawi (sensible): tersaji pada subyek dengan menggunakan sensibilitas. Berlawanan dengan yang ?terpahami?, suatu istilah yang kira-kira sepadan dengan superinderawi dan transenden. intuisi (intuition): spesies pasif representasi, yang memungkinkan sensibilitas kita untuk berpenginderaan. Dengan mensyaratkan adanya penampakan di ruang dan waktu, intuisi membolehkan kita untuk mencerap relasi tertentu antarrepresentasi, yang dengannya membatasi pengetahuan empiris pada alam inderawi. (bandingkan konsep) kaidah (maxim): aturan atau prinsip material yang dipakai untuk menuntun orang dalam situasi khusus mengenai apa yang harus dilakukan (umpamanya, ?Saya tidak boleh berkata dusta?). Dengan demikian, ini menyediakan sejenis jembatan antara tabiat batiniah dan tindakan lahiriah. kategori (categories): konsep-konsep yang paling umum, yang kita gunakan dalam memandang setiap obyek supaya obyek itu menjadi obyek pengetahuan empiris. Empat kategori utama (kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas) masing-masing memiliki tiga sub-kategori, yang merupakan contoh khas suatu pola arsitektonik berlipat-duabelas. (bandingkan ruang dan waktu) kehendak (will): wujud akal ketika dipandang dari sudut pandang praktis, yang mencakup namun tak terbatas pada fakultas pilihan. konsep (concept): spesies aktif representasi, sedemikian rupa sehingga pemahaman kita tentang konsep memungkinkan kita untuk berpikir. Dengan mensyaratkan kesesuaian persepsi dengan kategori, konsep-konsep berfungsi sebagai ?aturan? yang membiarkan kita untuk mencerap relasi umum antarrepresentasi. (bandingkan intuisi) Kritik (Critique): [1] pemanfaatan pendekatan Kritis untuk berfilsafat*. [2] Judul tiga buku utama dalam filsafat Kritis Kant, yang mengambil sudut pandang teoretis, praktis, dan yudisial, secara berturut-turut. Kritis (Critical): metode filosofis* Kant, yang memperbedakan antara perspektif-perspektif dan kemudian menggunakan pembedaan semacam ini untuk menengahi ketegangan yang tak tercairkan. Pendekatan Kritis terutama tidak negatif, tetapi upaya untuk melerai perselisihan dengan menunjukkan bagaimana kedua pihak mempunyai ukuran kesahihan [masing-masing], segera sesudah dipahaminya perspektif mereka dengan tepat. Sistem filsafat Kritis Kant memeriksa struktur dan keterbatasan akal itu sendiri, dengan tujuan menyiapkan pondasi yang aman bagi metafisika. logis (logical): salah satu dari empat perspektif utama Kant, yang bertujuan memantapkan jenis pengetahuan yang analitik dan sekaligus apriori. Ini hanya berkenaan dengan hubungan antarkonsep. Hukum nonkontradiksi (A?-A) adalah hukum dasar logika analitik* atau logika Aristoteles tradisional. Logika sintetik* didasarkan pada kebalikannya, hukum kontradiksi (A=-A). (bandingkan hipotetis) material (material): aspek pasif atau obyektif sesuatu—yakni aspek yang didasarkan pada pengalaman yang dimiliki oleh subyek, atau pada obyek yang terdapat pada pengalaman semacam ini. (bandingkan formal) metafisika (metaphysics): aspek tertinggi filsafat*, yang berusaha memperoleh pengetahuan tentang ide. Karena perspektif spekulatif tradisional gagal dalam tugas ini, Kant menyarankan perspektif baru yang hipotetis untuk metafisika. Metafisika bisa berhasil hanya bila didahului dengan Kritik. Lihat juga metafisika*. murni (pure): tidak bercampur dengan apa saja yang inderawi. Walaupun lawan katanya yang tepat adalah ?campuran?, Kant biasanya memperlawankan ?murni? dengan ?empiris?. nomena/nomenal (noumena/noumenal): [1] obyek yang dipandang sebagai memiliki realitas transenden. [2] Alam yang mengandung obyek semacam itu. (bandingkan fenomena/fenomenal) nurani (conscience): fakultas subyek insani yang memaksakan hukum moral dengan cara tertentu pada setiap individu dengan menyediakan suatu kesadaran akan apa yang benar dan apa yang salah dalam setiap situasi. nyata (real): lihat realitas. obyek (object): istilah umum untuk segala ?benda? yang dikondisikan oleh representasi subyek, dan juga bisa diketahui. Benda di dalam lubuknya adalah benda yang tidak bisa menjadi obyek pengetahuan manusia. (bandingkan subyek) obyektif (objective): lebih terkait dengan obyek atau representasi, tempat pengetahuan disusun, daripada dengan subyek yang memiliki pengetahuan. Bila dipertimbangkan secara transendental, pengetahuan obyektif kurang pasti daripada pengetahuan subyektif; bila dipertimbangkan secara empiris, pengetahuan obyektif lebih pasti. (bandingkan subyektif) opini (opinion): sesuatu yang dipandang benar walaupun tanpa kepastian obyektif atau pun subyektif. (bandingkan kebebalan*) otonomi (autonomy): prinsip legislasi-sendiri, yang dengannya subyek bebas memilih tujuannya dengan menimpakan hukum moral pada kehendak. Tindakan harus otonom supaya bermoral. (bandingkan heteronomi) paham => pemahaman (understanding): dalam Kritik pertama, fakultas yang menghasilkan pengetahuan secara aktif dengan menggunakan konsep-konsep. Ini sangat mirip dengan sesuatu yang biasanya disebut benak. Ini menimbulkan perspektif logis, yang memungkinkan kita untuk membandingkan satu konsep dengan konsep lain, dan menimbulkan perspektif empiris (yang juga disebut penimbangan), yang memungkinkan kita untuk mengkombinasikan konsep dengan intuisi dalam rangka menghasilkan pengetahuan empiris. Kritik pertama (yang mengambil sudut pandang teoretis) memeriksa forma kognisi kita dengan tujuan menyusun suatu sistem yang didasarkan pada fakultas pemahaman. (bandingkan sensibilitas) perspektif (perspective): Kant sendiri tidak menggunakan kata ini, tetapi ia memakai ungkapan lain yang sepadan, seperti sudut pandang, cara pikir, penerapan pemahaman, dan sebagainya. Perspektif Kritis utama adalah transendental, empiris, logis, dan hipotetis. Lihat juga perspektif*. praktis (practical): salah satu dari tiga sudut pandang utama Kant, yang terutama berkaitan dengan tindakan—yaitu dengan apa-apa yang ingin kita lakukan sebagai lawan dari apa-apa yang kita ketahui atau rasakan. Mencari sumber tindakan semacam itu merupakan tugas Kritik kedua. Akal praktis adalah sinonim bagi kehendak; kedua istilah ini berhubungan dengan persoalan-persoalan mengenai moralitas. (bandingkan teoretis dan yudisial) rasional (rational): berdasarkan fakultas akal, tidak berdasarkan sensibilitas. realitas/nyata (reality/real): jika dipandang dari perspektif empiris, ini mengacu pada alam biasa, atau pada obyek di dalamnya; jika dipandang dari perspektif transendental, ini mengacu pada alam transenden yang berisi nomena. religius (religious): lihat agama. representasi (representation): kata yang paling umum untuk obyek pada tahap apa pun dalam penetapannya oleh subyek, atau untuk tindakan subyektif dalam menetapkan obyek pada tingkat itu. Tipe utama representasi adalah intuisi, konsep, dan ide. revolusi Copernican (Copernican revolution): [1] dalam astronomi, teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari; [2] dalam filsafat*, teori (yang sejalan dengan itu) bahwa subyek pengetahuan tidak diam di tempat, tetapi berputar mengelilingi (yakni secara aktif menentukan aspek-aspek tertentu dari) obyek. Dengan demikian, karakteristik formal dunia empiris (yaitu ruang dan waktu dan kategori) itu ada hanya karena benak subyek meletakkannya di situ, secara transendental. ruang dan waktu (space and time): bila dipertimbangkan dari perspektif empiris, keduanya merupakan konteks tempat interaksi antarobyek di luar diri kita; bila dipertimbangkan dari perspektif transendental, keduanya murni, sehingga eksis di dalam diri kita sebagai kondisi pengetahuan. (bandingkan kategori) sensibilitas (sensibility): fakultas yang menerima obyek-obyek secara pasif melalui penginderaan fisik (?indera lahiriah?) dan penginderaan mental (?indera batiniah?). Akan tetapi, penginderaan semacam itu hanya bisa terjadi jika obyek-obyek itu diintuisi, dan intuisi memprasyaratkan ruang dan waktu untuk eksis sebagai syarat formal murni. (bandingkan pemahaman) sintesis (synthesis): perpaduan dua representasi yang berlawanan menjadi satu representasi baru, dengan pandangan menuju penyusunan tingkat realitas obyek yang baru. Filsafat* sebagai Kritik lebih banyak menerapkan sintesis daripada analisis. Tentang cara kerja sintesis di Kritik pertama, lihat imajinasi. (bandingkan analisis) sintetik (synthetic): pernyataan atau berita pengetahuan yang kebenarannya diketahui dalam hubungannya dengan beberapa intuisi. ?Kucing itu berada di atas tikar? merupakan proposisi* yang khas sintetik. (bandingkan analitik) sistem (system): serangkaian argumen atau fakta dasar, yang disebut ?anasir?, yang tertata menurut urutan pertalian logisnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh pola arsitektonik akal. Filsafat* Kritis Kant merupakan suatu Sistem yang terdiri dari tiga sistem sub-ordinat, yang masing-masing ditetapkan dengan sudut pandang yang berbeda, dan masing-masing terdiri dari empat perspektif yang sama. Keseluruhan Perspektif Sistem itu ditetapkan dengan revolusi Copernican Kant. spekulatif (speculative): [1] perspektif khayalan yang diambil dalam metafisika tradisional dengan secara salah menggunakan akal dalam upaya yang sia-sia untuk mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu yang transenden. [2] Kadang-kadang dipakai dengan arti luas sebagai sinonim bagi teoretis. subyek (subject): istilah umum untuk segala orang rasional yang mampu untuk memiliki pengetahuan. Lihat juga representasi. (bandingkan obyek) subyektif (subjective): lebih terkait dengan subyek daripada dengan obyek atau representasi, tempat pengetahuan disusun. Bila dipertimbangkan secara transendental, pengetahuan subyektif lebih pasti daripada pengetahuan obyektif; bila dipertimbangkan secara empiris, pengetahuan subyektif kurang pasti. (bandingkan obyektif) sudut pandang (standpoint): tipe khas perspektif yang menetapkan titik pandang terhadap suatu sistem perspektif secara menyeluruh. Sudut pandang Kritis utama adalah teoretis, praktis, dan yudisial. suka => kesukaan (inclination): fakultas atau obyek yang mendorong seseorang untuk bertindak dengan cara yang heteronom. Menuruti kesukaan bukan berarti bermoral baik* atau pun bermoral buruk, kecuali bila langsung mencegah orang itu dari berbuat menurut kewajiban—yakni hanya bila memilih mengikuti kesukaan menghasilkan kedurhakaan terhadap hukum moral. summum bonum: itilah Latin untuk kebaikan* tertinggi. Ini merupakan tujuan hakiki sistem moral yang tersaji dalam Kritik kedua; ini meliputi distribusi ideal kebahagiaan dengan proporsi tepat terhadap keluhuran budi setiap orang. Supaya yakin akan posibilitasnya, kita harus mendalilkan eksistensi* Tuhan dan keabadian manusia, sehingga memberi realitas praktis kepada ide-ide ini. superinderawi (supersensible): lihat transenden. tabiat (disposition): kecenderungan yang dimiliki oleh seorang manusia untuk bertindak baik* atau bertindak buruk (yakni untuk mematuhi hukum moral atau untuk melanggarnya). (bandingkan fitrah) tahu => pengetahuan (knowledge): tujuan akhir dari pemahaman dengan memadukan intuisi dan konsep. Jika itu murni, pengetahuan itu transendental; jika itu tidak murni, pengetahuan itu empiris. Kepastian yang dihasilkan pasti subyektif dan sekaligus obyektif. Dalam pengertian yang lebih luas, ?pengetahuan? juga mengacu pada apa yang timbul dari pengambilan perspektif apa pun yang sah. (bandingkan keyakinan) tampak => penampakan (appearance): obyek pengalaman, bila dipandang dari perspektif transendental. Ini secara teknis mengacu pada obyek yang, menurut pertimbangan, dikondisikan oleh ruang dan waktu, bukan oleh kategori, walaupun sering dipakai sebagai sinonim bagi fenomena. Lihat juga tampilan*. (bandingkan benda di dalam lubuknya) teleologis (teleological): berkenaan dengan maksud atau tujuan. Setengah bagian kedua dari Kritik ketiga memeriksa kebermaksudan obyektif dalam persepsi kita tentang organisme alam dalam rangka menyusun sistem penimbangan teleologis. (bandingkan estetik) teoretis (theoretical): salah satu dari tiga sudut pandang utama Kant, yang terutama berkaitan dengan kognisi—yaitu apa yang kita ketahui, yang berlawanan dengan apa yang kita rasakan atau kita inginkan. Akal teoretis berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai pengetahuan kita tentang dunia (dunia yang hendak dipahami oleh ilmu*). Mencari sumber pengetahuan semacam itu merupakan tugas Kritik pertama, yang sebaiknya berjudul Critique of Pure Theoretical Reason. (bandingkan praktis dan yudisial) timbang => penimbangan (judgment): [1] di Kritik pertama, penggunaan pemahaman untuk menetapkan bahwa suatu obyek adalah nyata secara empiris, melalui sintesis antara intuisi dan konsep. [2] Kritik ketiga (yang mengambil sudut pandang yudisial) yang memeriksa forma perasaan kita tentang kenikmatan dan kekesalan dalam rangka menyusun suatu sistem yang didasarkan pada fakultas penimbangan dalam wujud estetik dan teleologisnya. transenden (trascendent): alam pikiran yang terletak di luar tapal batas pengetahuan nirmustahil, karena berisi obyek yang tidak bisa tersaji kepada kita dalam intuisi—yaitu obyek yang tidak bisa kita alami dengan indera kita (kadang-kadang disebut nomena). Hal maksimal yang bisa kita lakukan untuk mendekati pengetahuan tentang alam transenden adalah memikirkannya dengan menggunakan ide-ide. Lawan kata dari ?transenden? adalah ?immanen?. transendental (trascendental): salah satu dari empat perspektif utama Kant, yang bertujuan memantapkan jenis pengetahuan yang sintetik dan sekaligus apriori. Ini merupakan tipe istimewa pengetahuan filsosofis, yang berkenaan dengan syarat-perlu bagi posibilitas pengalaman. Akan tetapi, Kant yakin bahwa semua subyek yang mengetahui [sudah] mengasumsikan kebenaran* transendental tertentu, entah menyadarinya entah tidak. Pengetahuan transendental menetapkan tapal batas antara pengetahuan empiris dan spekulasi tentang alam transenden. ?Setiap peristiwa mempunyai sebab? merupakan proposisi* khas transendental. (bandingkan empiris) wajib => kewajiban (duty): tindakan yang harus kita kerjakan lantaran menghormati hukum moral. waktu (time): lihat ruang dan waktu. yakin => keyakinan (belief): pegangan bahwa sesuatu itu benar atas dasar kepastian subyektif, meskipun tanpa kepastian obyektif. Lihat juga iman. (bandingkan pengetahuan) yudisial (judicial): salah satu dari tiga sudut pandang utama Kant, yang terutama berkaitan dengan pengalaman—yaitu apa yang kita rasa, yang berlawanan dengan apa yang kita ketahui atau kita inginkan. Akal yudisial kira-kira sinonim dengan ?Kritik? itu sendiri, dan berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang cara mengalami dunia kita yang terdalam. Mencari sumber kedua contoh pengalaman semacam itu merupakan tugas Kritik ketiga. (bandingkan teoretis dan praktis) I. Istilah Teknis Lain Yang Digunakan dalam The Tree of Philosophy 2LAR: lihat hubungan analitik tingkat-dua. alim/kealiman (wise/wisdom): obyek* cinta yang ideal bagi filsuf (dalam bahasa Yunani, ?sophos? berarti kealiman), yang memberi tahu kita bagaimana menggunakan atau menerapkan pengetahuan kita dengan paling tepat. Menurut Sokrates, hanya Tuhan yang benar-benar alim; bagi manusia, kealiman mengandung pengakuan kebebalan kita akan kealiman tulen. analisis linguistik (linguistic analysis): aliran utama filsafat Barat abad keduapuluh yang banyak diilhami oleh Wittgenstein dan didasarkan pada kepercayaan bahwa penjernihan konsep* merupakan peran utama filsafat. Ini secara khas diselesaikan dengan menggunakan analisis* logis* terhadap proposisi inti, atau dengan menunjukkan bagaimana masalah-masalah yang paling filosofis timbul dari kesalahan pemakaian kata-kata yang digunakan dalam bahasa sehari-hari. (bandingkan ekesistensialisme dan hermeneutika) Apolonia (Apollonian): istilah Nietzsche untuk tipe orang-orang yang mau mengorbankan kebesaran diri dalam rangka mengikuti norma-norma politik dan moral tradisional (penyangkal-kehidupan). Dengan menuruti moralitas ?budak? dan mentalitas ?ternak?, tindakan mereka cenderung berbudi, rasional, dan kalem, dan politik mereka cenderung demokratis. (bandingkan Dionisia) aristokrasi (aristocracy): istilah Aristoteles untuk sistem* politik yang di dalamnya beberapa gelintir orang ?terbaik? (?aristos? dalam bahasa Yunani) memiliki kekuasaan dan wewenang untuk memerintah. (bandingkan oligarki) baik/kebaikan (good/goodness): menurut Plato dan sebagian filsuf sepeninggalnya, salah satu dari tiga tujuan utama pencarian filosofis. Ini bersesuaian dengan perut dan dikendalikan oleh selera. bebal => kebebalan (ignorance): tujuan metafisika, yang berfungsi sebagai pintu masuk semua pemikiran filosofis yang baik. Kant memperbedakan antara kebebalan niscaya (yakni tak terhindarkan) dan kebebalan empiris* yang bisa diubah menjadi pengetahuan* segera sesudah kita akui bahwa itu eksis. (bandingkan opini*) benar/kebenaran (true/truth): menurut Plato dan sebagian filsuf sepeninggalnya, salah satu dari tiga tujuan utama pencarian filosofis. Ini bersesuaian dengan kepala dan dikendalikan oleh akal*. deduksi (deduction): metode analitik argumentasi Euklides yang mempertahankan simpulan yang ditetapkan lebih dahulu, dengan menunjukkan bagaimana itu niscaya mengikuti dua, atau lebih, ?premis? (yakni proposisi yang diasumsikan benar). Aristoteles menunjukkan bahwa jika premis-premis itu diterima dan jika deduksinya tersusun dengan tepat, tanpa kesesatan sama sekali, maka simpulannya pasti. (bandingkan induksi) dekonstruksionisme (deconstructionism): gerakan sastra dan filosofis di akhir abad keduapuluh yang banyak diilhami oleh Derrida dan didasarkan pada kepercayaan bahwa pondasi pengetahuan* atau kebenaran yang dikira mutlak sebetulnya merupakan alat penindasan yang perlu digantikan dengan pendekatan yang lebih menggembirakan terhadap penafsiran makna bahasa lisan dan bahasa tulisan. demitologisasi (demythologizing): proses mempertanyakan mitos dengan tujuan memperbedakan antara aspek yang layak untuk dijadikan keyakinan dan aspek yang yang akan terbuang lantaran nirmaknawi. demokrasi (democracy): istilah Aristoteles untuk sistem* politik yang di dalamnya orang-orang ?umum? (?demos? dalam bahasa Yunani) memiliki kekuasaan dan wewenang untuk memerintah. Ia menyebutnya sebagai ?yang paling sedikit keburukannya? di antara tiga sistem politik yang buruk. (bandingkan politi) dialog (dialogue): metode filosofis Plato, yang dengannya dua, atau lebih, orang membahas berbagai pertanyaan filosofis, dengan harapan bahwa akal akan membawa mereka ke kebenaran. Dionisia (Dionysian): istilah Nietzsche untuk tipe orang-orang yang lebih mempedulikan kebesaran diri dan penegasan-kehidupan lainnya daripada mengikuti norma-norma politik dan moral tradisional. Dengan menuruti moralitas ?tuan? dan mentalitas ?pahlawan?, tindakan mereka cenderung tidak berbudi, tidak rasional, dan bernafsu, dan politik mereka cenderung aristokratik. (bandingkan Apolonia) eklesiokrasi (ecclesiocracy): istilah Palmquist untuk jenis sistem* politik terburuk, yang di dalamnya para pemimpinnya yakin bahwa Tuhan mengatur orang-orang melalui perantaraan dan/atau struktur gereja mereka semata-mata yang dipaksakan pada alam politik sekuler. Mengikuti sistem ini mensyaratkan orang-orang untuk menanggalkan kebebasan yang diberikan oleh Tuhan untuk ditukar dengan hak lancang yang mengklaim keselamatan. (bandingkan teokrasi) eksistensi (existence): [1] istilah Tillich untuk kualitas yang ?berdiri di luar? (?ex-sistere? dalam bahasa Latin) dari yang-ada. [2] Istilah Palmquist untuk faktor umum yang menyatukan metafisika melalui penerapan kebebalan dan menyatukan ilmu melalui penerapan pengetahuan*. (bandingkan makna) eksistensialisme (existentialism): aliran utama filsafat Barat abad keduapuluh yang banyak diilhami oleh Heidegger dan didasarkan pada kepercayaan bahwa penemuan makna eksistensi manusia merupakan peran utama filsafat. Ini secara khas diselesaikan dengan menggunakan penalaran analogis, yang didasarkan pada pembedaan fundamental antara benda-benda yang eksis dan yang-ada dan/atau yang-tiada. (bandingkan hermeneutika dan analisis linguistik) empirisisme (empiricism): pendekatan terhadap filsafat yang memandang pengalaman* dan pengamatan inderawi* sebagai alat pokok untuk mendapatkan kebenaran filosofis. Para empirisis biasanya cenderung tidak mempercayai bukti yang didasarkan pada argumentasi logis belaka. Hume merupakan contoh khas empirisis. (bandingkan rasionalisme) epistemologi (epistemology): unsur filsafat yang berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul dan hakikat pengetahuan*. Salah satu pertanyaannya yang paling mendasar adalah: ?Bagaimana kita sampai mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui?? Sejak zaman Descartes, kebanyakan filsuf memandang bahwa epistemologi seseorang menentukan metafisika orang tersebut, bukan sebaliknya. filsafat/filosofis (philosophy/philosophical): istilah Yunani untuk cinta kealiman. Ini merupakan hasil dari pemahaman* manusia yang mengandung empat aspek utama: metafisika, logika, ilmu, dan ontologi. Salah satu ciri khas filsafat adalah mendefinisikan sendiri: inilah satu-satunya disiplin yang di dalamnya pertanyaan ?Apakah disiplin ini?? merupakan bagian dari disiplin ini sendiri. gentar => kegentaran (angst): ?Angst? merupakan istilah Denmark untuk kecemasan atau kegamangan. Kierkegaard menggunakan istilah ini untuk mengacu pada sejenis kekhawatiran eksistensial, yang mencakup kekhawatiran akan yang-tidak-berada. Oleh sebab itu, kata ini tidak hanya meliputi ketakutan akan kematian, tetapi juga ketakutan akan kesia-siaan hidup. geometri logika (geometry of logic): metode Palmquist yang berupa pemetaan hubungan logis pada gambar-gambar geometris sederhana. Hubungan analitik* yang paling sederhana adalah yang lipat-dua yang sebaiknya dipetakan pada ujung-ujung suatu garis, sedangkan hubungan sintetik* yang paling sederhana adalah yang lipat-tiga yang sebaiknya dipetakan pada segitiga. Lihat juga hubungan campuran dan hubungan analitik tingkat-dua. hermeneutika (hermeneutics): aliran utama filsafat Barat abad keduapuluh yang banyak diilhami oleh Gadamer dan didasarkan pada kepercayaan bahwa pemahaman seni interpretasi maknawi merupakan peran utama filsafat. Ini secara khas diselesaikan dengan merenungkan alam teks—umpamanya, dengan berfokus pada interaksi fundamental antara maksud pengarang dan prasangka pembaca. (bandingkan ekesistensialisme dan analisis linguistik) hubungan analitik tingkat-dua (second-level analytic relation [2LAR]): istilah yang paling sering digunakan dalam geometri logika, yang mengacu pada seperangkat empat konsep* yang bisa didapat dengan menghubungkan dua pasang lawanan. 2LAR paling sering dipetakan pada empat kutub (atau empat kuadran) salib, walau sudut bujursangkar bisa dipakai juga. hubungan campuran (compound relations): istilah yang dipakai oleh Palmquist dalam geometri logika untuk mengacu pada segala hubungan logis yang menggabungkan hubungan analitik* (lipat-dua) dan sintetik* (lipat-tiga). Tipe yang paling signifikan ialah yang lipat-duabelas (12CR), yang menggabungkan hubungan analitik tingkat-dua dengan hubungan sintetik sederhana. Tabel kategori Kant adalah contoh khas 12CR. idealisme (idealism): pandangan metafisis yang banyak diilhami oleh Plato dan didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek* yang kita cerap di alam eksternal pada hakikatnya tidak nyata, tetapi merupakan ?bayangan? atau penampakan dari realitas* yang lebih tinggi atau lebih dalam. [bandingkan realisme] ilmu/ilmiah (science/scientific)): [1] hasil penimbangan manusia; berasal dari ?sciens?, istilah Latin untuk ?mengetahui?. Bila dipandang dalam pengertian luas ini, ilmu merupakan salah sati dari empat aspek utama filsafat, yang bertujuan menetapkan tapal batas transendental* antara pengetahuan* dan kebebalan di berbagai bidang. [2] Bila dipandang dalam pengertian sempit, sebagai ilmu alamiah atau empiris*, ilmu merupakan disiplin yang berupaya melampaui filsafat dengan mengabaikan semua mitos, tetapi secara paradoksis berakhir dengan menciptakan salah satu dari mitos-mitos modern terbesar. imajinasi (imagination): daya benak yang pada khususnya paling aktif di masa kanak-kanak dan mencapai ekspresi tertingginya dalam mitos. Lihat juga imajinasi*. indah/keindahan (beautiful/beauty): tiga tujuan utama pencarian filosofis, sebagaimana yang dipercayai oleh Plato dan banyak filsuf sepeninggalnya. Ini bersesuaian dengan hati dan dikuasai oleh spirit. Lihat juga estetik*. induksi (induction): metode sintetik argumentasi Euklides yang menarik kesimpulan yang didasarkan pada bukti yang terhimpun dari pengalaman*. Hume menyatakan bahwa induksi selalu melibatkan suatu dugaan, sehingga takkan pernah bisa disediakan kepastian mutlak bahwa simpulannya benar. (bandingkan deduksi) logika (logic): telaah sistematis* terhadap struktur yang memungkinkan kata-kata untuk dipahami. Pertanyaan utama logika adalah: ?Apa yang memberi makna kepada kata dan proposisi?? Lihat juga logis*. logika analitik (analytic logic): tipe logika yang didasarkan pada hukum identitas (A=A) dan nonkontradiksi (A?-A). (bandingkan logika sintetik) logika sintetik (synthetic logic): tipe logika yang didasarkan pada hukum non-identitas (A?A) dan kontradiksi (A=-A). (bandingkan logika analitik) main => permainan-bahasa (language-game): istilah Wittgenstein untuk berbagai konteks konstruksi sosial yang memberi makna kepada cara penggunaan kata-kata dalam situasi tertentu. Contohnya, kata seperti ?spirit? akan mempunyai satu makna dan mengikuti seperangkat aturan ketika muncul dalam konteks religius, namun bisa mengandung makna yang sepenuhnya baru, dengan aturan berbeda, ketika muncul dalam percakapan antara dua penggemar ajang olahraga. makna (meaning): istilah Palmquist untuk faktor umum yang menyatukan logika melalui proses pemahaman kata-kata dan menyatukan ontologi melalui proses takjub berkeheningan. Frege menyatakan bahwa proposisi mempunyai makna hanya jika memiliki ?pengertian? dan ?pengacuan?. (bandingkan eksistensi) masalah mengacu-diri (the problem of self-reference): paradoks yang muncul pada penerapan tipe proposisi tertentu terhadap proposisi itu sendiri. Contohnya, ?Kalimat ini palsu? masuk akal jika mengacu pada suatu proposisi lain; namun jika mengacu pada kalimat itu sendiri, proposisi itu menghasilkan situasi yang mustahil menurut logika. metafisika (metaphysics): istilah Aristoteles untuk bidang filsafat yang ?sesudah? atau ?melampaui? fisika. Pertanyaan utamanya adalah: ?Apakah realitas* terdalam itu?? Sokrates dan Kant keduanya menduga dengan tepat bahwa hasil penelaahan metafisika adalah negatif: memungkinkan kita untuk mengakui kebebalan kita. Lihat juga metafisika*. metode analitik (analytic method): lihat deduksi. metode sintetik (synthetic method): lihat induksi. mitos/mitologis (myth/mythological): [1] istilah Eliade untuk keyakinan* yang kebenarannya dianut secara mutlak. [2] Istilah Palmquist untuk segala keyakinan yang tidak dipertanyakan yang dianut dengan kepercayaan yang mendalam. (bandingkan ilmu) numen/numinus (numen/numinous): istilah Otto untuk obyek* misterius yang menyebabkan terjadinya pengalaman* religius*. Ia menyatakan bahwa pengalaman numinus secara khas mencakup perangkat yang sama sejumlah lima unsur, apa pun tradisi agama seseorang: keseganan, kemegahan, urgensi, misteri, dan pesona. oligarki (oligarchy): istilah Aristoteles untuk sistem* politik yang di dalamnya hanya ?beberapa gelintir? (?oligos? dalam bahasa Yunani) orang kaya yang memegang semua kekuasaan dan wewenang. (bandingkan aristokrasi) ontologi (ontology): studi tentang yang-berada, yang bertujuan mengembangkan ketakjuban berkeheningan akan misteri eksistensi manusia. Salah satu dari empat aspek utama filsafat, yang menyelidiki hakikat berbagai jenis pengalaman* manusia. paradoks (paradox): kontradiksi maknawi, yang digunakan dengan sengaja oleh filsuf-filsuf seperti Chuang Tzu dan Hegel dengan tujuan merangsang wawasan dalam berbagai aspek realitas* transenden*. Logika sintetik bisa juga disebut ?logika paradoks?. perspektif (perspective): istilah Palmquist untuk cara pikir mengenai suatu persoalan atau masalah, atau sejumlah asumsi yang diambil ketika memandang obyek*. Mengetahui perspektif mana yang diasumsikan itu penting karena pertanyaan yang sama bisa memiliki jawaban yang berbeda jika perspektif yang berbeda diasumsikan. Lihat juga perspektif*. pikir => berpikir lateral (lateral thinking): istilah de Bono untuk cara pikir yang berlawanan dengan cara pikir sehari-hari atau lazim (?horisontal?) mengenai masalah atau situasi yang ada. Dengan melihat situasi yang tak asing dari perspektif baru, kita dapat memperoleh wawasan baru yang menarik mengenai bagaimana itu sebaiknya. politi (polity): istilah Aristoteles untuk sistem* politik yang di dalamnya kelas menengah memegang semua kekuasaan dan wewenang pemerintahan. Dalam versi yang disebut ?timokrasi?, hanya pemilik tanah yang dapat memberikan suara. (bandingkan demokrasi) proposisi (proposition): kalimat sejumlah kata yang mengungkap isi yang maknawi. raja => kerajaan (kingship): istilah Aristoteles untuk sistem* politik yang di dalamnya satu orang yang baik memegang semua kekuasaan dan wewenang. (bandingkan tirani) rasionalisme (rationalism): pendekatan terhadap filsafat yang memandang logika dan argumen rasional* sebagai alat pokok untuk mendapatkan kebenaran filosofis. Para rasionalis biasanya cenderung tidak mempercayai bukti yang didasarkan pada indera* belaka. Descartes merupakan contoh khas rasionalis. (bandingkan empirisisme) realisme (realism): pandangan metafisis yang banyak diilhami oleh Aristoteles dan didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek* yang kita cerap di alam eksternal pada hakikatnya nyata. [bandingkan idealisme] republik (republic): istilah Plato untuk sistem* politik yang di dalamnya seorang filsuf berfungsi selaku raja, yang dengan alim mendistribusikan kekuasaan dan wewenangnya kepada badan penasihat dan perwakilan yang dipercaya. sastra (poetry): hasil dari kreativitas manusia yang bergairah yang merupakan penghubung antara cara pikir mitologis dan filosofis. sesat => kesesatan (fallacy): kekeliruan dalam struktur formal* argumen yang digunakan untuk menarik kesimpulan yang didasarkan pada suatu bukti. Argumen yang sesat kelihatannya bisa membuktikan sesuatu yang pada aktualnya tidak benar. Aristoteles ialah orang yang mula-mula menyediakan catatan yang sistematis* tentang berbagai tipe kesesatan logis*. simbol (symbol): istilah Tillich untuk obyek* empiris* yang dengan melampaui diri menandakan obyek transenden dan, entah bagaimana, turut serta dalam realitas* obyek yang lebih nyata. skeptisisme (skepticisme): pandangan metafisis yang meragukan kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan*, yang dalam bentuknya yang paling berpengaruh diungkapkan oleh Hume. spirit (spirit): bersama-sama dengan benak dan badan, salah-satu dari tiga aspek tradisional hakikat manusia. Kierkegaard menganggap bahwa spirit manusia merupakan kunci paradoksis menuju keberdosaan manusia dan sekaligus iman* religius asli. tabel kebenaran (truth table): salah satu dari begitu banyak cara penyajian nilai kebenaran proposisi logis* bertipe tertentu. Salah satu fungsi tabel kebenaran adalah turut menghindari terjadinya kesesatan. tampak => penampakan (appearance): istilah Plato untuk obyek* atau kejadian di alam material, yang menunjukkan bahwa ini merupakan pantulan maya dari realitas* terdalam di alam forma. Lihat juga penampakan*. teokrasi (theocracy): istilah Palmquist untuk sistem* politik non-politis, yang di dalamnya orang-orang mengakui Tuhan sebagai pengatur mutlak hati, apa pun sistem politik manusia yang berjalan pada saat terkini. (bandingkan eklesiokrasi) timokrasi (timocracy): lihat politi. tirani (tyranny): istilah Aristoteles untuk sistem* politik yang di dalamnya satu orang yang buruk memegang semua kekuasaan dan wewenang. (bandingkan kerajaan) transvaluasi (transvaluation): istilah Nietzsche untuk reinterpretasi radikal terhadap moral tradisional, yang dengannya konsepsi lazim kita tentang yang baik dan yang buruk dinilai negatif sebagai alat untuk membuat manusia sedang-sedang saja; nilai-nilai asli pasti melampaui yang baik dan yang buruk. verifikasi (verification): prinsip yang dimanfaatkan oleh Ayer dan para positivis logis* lain dengan harapan menyusun filsafat yang ilmiah tulen. Dinyatakan bahwa proposisi harus diterima sebagai benar hanya jika kebenarannya bisa ditunjukkan melalui pengacuan pada suatu keadaan atau situasi empiris*. wawasan (insight): ?buah? pohon filsafat; suatu pikiran kreasi baru yang datang pada seseorang secara mendadak dan sering tak terduga, yang memberi pemahaman* yang lebih mendalam tentang suatu persoalan atau jalan untuk menjawab pertanyaan yang sebelumnya tak terjawab. Wawasan sering menyediakan perspektif baru yang memungkinkan kita untuk menerobos cara pikir tradisional lama. Untuk memastikan bahwa wawasan itu lebih dari sekadar opini*, wawasan itu harus menjalani analisis* yang seksama. yang-ada (being-itself): [1] istilah yang digunakan oleh Tillich dan para eksistensialis lain untuk mengacu pada realitas* terdalam tempat bertahannya benda-benda yang eksis; [2] mengacu pada ?Latar Yang-Ada? atau ?Tuhan?. Send comments (in English) to: StevePq@hkbu.edu.hk Back to the Index of Pohon Filsafat. Back to the English version of The Tree of Philosophy. Back to the listing of Steve Palmquist's published books. Back to the main map of Steve Palmquist's web site. This page was first placed on the web on 27 April 2003.