dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 PUSTAKA MWB Arus Balik Karya : Pramoedya Ananta Toer Ebook pdf oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kang-zusi.info/ http://cerita_silat.cc/ Di Bawah Bulan Malam Ini Tiada setitik pun awan di langit. Dan bulan telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya matari. Dengan cepat ia naik dari kaki langit, menguningi segala dan semua yang tersentuh cahayanya. Juga hutan, juga laut, juga hewan dan manusia. Langit jernih, bersih dan terang. Di atas bumi Jawa lain lagi keadaannya: gelisah, resah, seakan-akan manusia tak membutuhkan ketenteraman lagi. 0o-dw-o0 1. Abad ke enambelas Masehi Bahkan juga laut Jawa di bawah bulan purnama sidhi itu gelisah. Ombak-ombak besar bergulung-gulung memanjang terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya yang bertebaran seperti serakan mutiara – semua – dikuningi oleh cahaya bulan. Angin meniup tenang. Ombak-ombak makin menggila. Sebuah kapal peronda pantai meluncur dengan kecepatan tinggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan meruncing, timbul-tenggelam di antara ombak-ombak purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan menggelembung membikin lunas menerjang serong gununggunung air itu – serong ke baratlaut. Barisan dayung pada dinding kapal berkayuh berirama seperti kaki-kaki pada ular naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan. Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar bendera panjang merah dan putih – bendera kadipaten Tuban. Di bawahnya lagi, duduk di atas tali-temali, seperti titik kelam, adalah jurutinjau. Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di sampingnya berdiri Patragading, bertolak pinggang. “Tetap tak ada yang mengejar, Tuanku!” seru juru tinjau. “Kita akan selamat sampai di tempat,” bisik nakhoda pada Patragading sambil menyembah dada. “Tak ada yang mengejar kita.” Patragading mengangkat kain dan diikatkannya pada pinggang sehingga seluarnya dari sutera itu mengerjapngerjap terkena cahaya bulan. Kerisnya tertutup oleh kainnya – suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran. “Silakan mengaso. Sebentar lagi Tuban akan nampak.” “Lihat yang baik, barangkali ada iring-iringan perompak.” “Tak pernah ada perompak berani mendekati kapal sahaya.” “Lihat yang baik,” gertak Patragading. Tangannya membetulkan kain penutup dadanya. “Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping?” “Tiada sesuatu. Tuanku,” nakhoda itu meneruskan laporan jurutinjau sambil menyembah dada. “Sebaiknya Tuanku mengaso sebelum mendarat tengah malam ini.” Patragading melepas kain lagi sehingga seluar sutranya tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan mondar-mandir di geladak, kemudian pergi ke haluan, memeriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia menjenguk ke bawah, memandangi lunas yang menerjang ombak. Juga tak lama. Dengan tinju ia memukul-mukul dinding kapal, kemudian berjalan lagi mondar-mandir tanpa tujuan. Akhirnya ia menuruni tangga geladak dan hilang dari pemandangan. “Ahoi! Turun!” perintah nakhoda pada jurutinjau. Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu menghembuskan nafas besar. “Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur begini,” sambut nakhoda. “Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal.” “Pada putra Gusti Adipati tak ada nakhoda berani membantah, biarpun putra ke dua ratus empat puluh satu!” “Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku.” “Lebih gampang menumpas perompak.” ‘Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai.” “Boleh jadi ada perintah kembali.” “Dewa Batara!” sebut nakhoda. “Itu berarti akan terkapar ditelan hiu.” “Ts-te-ts.” “Coba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat.” “Tapi sahaya jurutinjau, Tuanku.” “Apa lagi yang hendak kau tinjau? Angin?” Jurutinjau pergi. Nakhoda itu naik ke atas tiang utama, hanya agar tidak berada di dekat Patragading, putra ke dua ratus empat puluh satu. Juga di bawah bulan purnama sidhi itu pula, di sebuah botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit. Lehernya memanjang, kemudian menunduk pelan sambil mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan. Kaki depannya berdiri, kaki belakangnya bersimpuh. Kepala itu diangkat lagi. Matanya semakin sayu. Dari mulutnya keluar suara keras, membaung, melolong. Kepalanya terangkat-angkat, kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke kiri dan kanan. Ia memanggil bulan dan yang dipanggilnya tak mau datang. Yang datang justru berpuluh-puluh yang lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu memandang ke atas, memanggil-manggil sang bulan, meraung, melolong, membaung. Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai desa perbatasan kadipaten Tuban: Awis Krambil. Menusuk lebih dalam ke tengah-tengah desa, memasuki balai-desa. “Dengar anjing-anjing membaung!” orang tua itu menuding ke arah atap. Alisnya yang putih terangkat. Badannya tetap tenang duduk di atas tikar menghadapi para pendengarnya. “Tak pernah anjing hutan membaung seperti itu.” Sunyi-senyap di ruangan balai-desa. Semua memanjangkan leher mendengarkan baung ratusan anjing di tengah hutan. Ratusan sumbu damarsewu yang menyala di sepanjang dan seputar rumah umum itu bergoyanggoyang terkena angin silir. “Apakah gerangan yang akan terjadi, Rama?” kepala desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya. “Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjinganjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi mereka. Sejak dahulu pun tidak. Tapi bulan penuh, menua dan hilang. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam.” “Kita belum pernah tenggelam, Rama,” protes seorang gadis di tengah-tengah hadirin. “Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit. Kita – kita pernah terbit, dan sekarang sedang tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis. Dulu desa ini dinamai Sumber Raja…” Tiba-tiba suaranya terangkat naik, melengking. “Kalian biarkan desa ini di hina oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama Awis Krambil.” Ia tertawa sengit. “Bukan begitu Rama Guru,” bantah kepala desa gopohgapah dan menebarkan pandang minta sokongan hadirin. “Nama itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap sulitnya kelapa di sini. Lama-lama jadi sebutan resmi di Tuban. Kami hanya mengikuti, Rama.” “Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahun ini maka sebuah desa bisa kekurangan kelapa?” orang tua itu tak menoleh pada kepala desa. “Apakah di mandala kalian sudah tak pernah diajarkan tentang kelapa dan tentang desa, bahwa kesejahteraan desa nampak dari puncakpuncak pohon kelapanya?” Para hadirin berhenti mengunyah sirih mendengar perselisihan sudah dimulai itu. “Dengarkan kata-kata Rama Cluring ini,” orang tua itu meneruskan dengan tubuh tetap tidak bergerak dalam silanya. “Desa yang kekurangan kelapa…. adalah karena ada apa-apa kecuali kelapa di dalam kepala-kepala desanya. Ingat-ingat itu! Ada apa-apa kecuali kelapa.” “Apakah apa-apa dalam kepalaku. Rama Guru?” tanya kepala desa tersiksa. “Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini dahulu mencukupi buat semua? Memang lain. Dahulu penduduk desa masih punya harga diri. Namanya tetap Sumber Raja sebagaimana diberikan oleh leluhur para pendiri. Sekarang, bukan karena kelapa itu tidak tumbuh, cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka kelapa pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan nenek-moyang.” Tak ada yang menyanggah. Dengan lunak ia mulai bercerita tentang kelapa di desa-desa lain yang lebih tandus. Para hadirin, tua dan muda, laki dan perempuan, gadis dan perjaka memperhatikan tubuh pembicara yang pendekkecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala Anoman dalam Ramayana. Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil mengunyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan keputihannya. Mereka menghormati orang tua yang terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi, berlidah pedang dan berludah api itu. “Dengar, barangkali anjing-anjing itu akan membaung sepanjang malam.” Kembali orang mendengarkan baung yang sayup-sayup dari tengah hutan. “Nenek-moyang kalian tidak sebebal kalian sekarang,” tiba-tiba orang tua itu menetak kejam. “Aku dan kami mungkin memang bebal,” seseorang di tengah-tengah hadirin membantah. ‘Tapi para dewa, Rama Guru, pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik untuk kelapa.” “Puah!” seru Rama Cluring. “Sewaktu kecilku takkan ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan semacam itu. Mandala masih berwibawa dan guru-guru dihormati, maka bocah yang belum terpanggil oleh Sang Buddha pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada seorang pun menghinakan keadaannya, karena manusia diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada ajaran, hewan takkan mengubah apalagi alamnya? Tetapi manusia tanpa cipta merosot, terus merosot sampai ke telapaknya sendiri, merangkak, melata, sampai jadi hewan yang tak mengubah sesuatu pun. Untuk mempunyai ekor pun manusia demikian tidak berdaya.” Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. Dagunya tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang ditunggu tiada kunjung datang. Dan ia meneruskan, mengulangi ajaran Buddha dan Syiwa tentang manusia dan kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan kemungkinan-kemungkinannya. Kemudian menutup dengan nada tinggi meledak: “Guru-gurumu takkan lupa menyampaikan: yang buruk datang pada manusia yang salah menggunakan nalar, sehingga nalar yang buruk memanggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian melewatkan masa kanak-kanak dan remaja di bawah petunjuk dan ajaran Sang Guru. Padaku ada wewenang menamai kalian bebal.” “Kata-kata itu menyakitkan hati, Rama,” seseorang nenek memprotes. “Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. Tapi macam cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada kebebalan adalah juga kebebalan. Nah, sekarang coba ikuti kata-kataku: telah kalian ubah nama ini dari Sumber Raja jadi Awis Krambil, hanya karena desa ini tak mampu membayar upeti kelapa untuk pasukan gajah Tuban. Upeti demi upeti. Apa sudah kalian terima dari Sang Adipati? Siapa di antara anak-anak desa ini mendapat kesempatan merajai lautan seperti di jaman Majapahit dulu? Menyaksikan dunia besar? Dihormati dan disegani di manamana? Di Tumasik, di Benggal, Ngabesi, Malagasi, sampai di Tanjung Selatan Wulungga sana? Tak pernahkah orangtua kalian bercerita semacam itu maka hatimu jadi sakit karena kebebalan sendiri?” Rama Cluring berhenti bicara. Kembali baung beraturan anjing mengisi suasana. “Tak ada seorang pun di antara pemuda desa ini pernah menginjakkan kaki di bumi Atas Angin. Di sana pun dahulu kalian akan dengar gamelan kalian sendiri. Orang sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji Semirang, juga seperti kalian di desa ini. Sang Adipati tidak memberikan kesempatan pada kalian. Tapi kalian terus juga membayar upeti, barang jadi dan barang gubal. Tak seorang di antara kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha didengarkan orang.” Orangtua itu mulai bercerita tentang negeri-negeri jauh yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang kebesarankebesaran Majapahit. Para pendengarnya mulai terbuai. Dan ia menyentakkan mereka dengan lidah parangnya: “Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa-la lu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan pohon kelapa pun kalian tak mampu!” Malam itu dingin. Semua mengenakan kain menutup dada, laki dan perempuan. Namun ada juga perawanperawan yang membiarkan buah dadanya terbuka, dipermain-mainkan sinar damar sewu dan angin silir yang mengentalkan darah. “Dulu, waktu Sang Adipati masih muda, jadi pembesar berkuasa di Wilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga telah dipersembahkannya pada Majapahit. Di tangannya juga Majapahit padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuanya, apakah yang bisa diperbuatnya? Untuk desa pinggiran ini pun tidak sesuatu! Kalian ini kawula Sang Adipati ataukah budaknya yang ditangkap di medan perang?” “Kawula!” seseorang memberikan jawaban. “Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian?” “Rama!” seorang lagi berseru tegang, “Rama telah….” “Rama!” tegur kepala desa di belakangnya. Matanya berbeliak menyemburkan api kemarahan. “Itu pemberontakan!” ia menuduh. “Paling tidak menghasut pembangkangan. Tidak lain dari Rama sendiri yang lebih mengerti aturan darmaraja.” Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa. “Benar, pemberontakan, hasutan,” dua-tiga orang mulai berseru-seru. Para hadirin mulai gelisah, berselisih satu dengan yang lain. Suasana tak terkendali. Orang tua itu sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya. “Katakan itu di Tuban!” seseorang meraung. Orang tua itu mengangkat telunjuknya, dan semua terdiam. “Kalau aku tidak bicara di Tuban, semua tahu sebabnya kecuali binatang dan tumbuh-tumbuhan, semua, juga Hyang Widhi, juga para dewa: sekali diucapkan, kebenaran meluncur turun dari ketinggian, menjalar ke mana-mana, berkembang biak dalam hati manusia waras, karena kebenaran selalu datang dari Hyang Widhi sendiri. Juga kata-kataku akan sampai ke Tuban, ke bandar-bandar seberang….” Juga di bawah bulan purnama itu beratus-ratus sampan membawa penduduk dewasa pesisir sedang menyisiri seluruh pantai Jepara, menyisiri Teluk Awur, pulau Kelor dan pulau Panjang. Empat ratus sampan telah mendarat di pulau Panjang, membawa pedang dan tombak meneliti setiap sudut dan lapangan. Seorang prajurit bertombak meraung: “Semua penduduk nelayan pulau Panjang supaya menghadap!” Di tempat-tempat lain suara itu diteruskan, sambung menyambut berkait-kaitan. Dan tak ada seorang nelayan pun datang menghadap. Tak ada yang tahu ke mana mereka melarikan diri. Dalam sebuah rumpun bakau yang lebat orang menemukan sebuah arca Ganesya yang belum lagi selesai. Empat buah besi pahat dan dua penohok tergeletak pada alas kaki arca. Rombongan penduduk pesiar Jepara itu terkesima oleh pemandangan itu. Seorang prajurit berpedang menghardik: “Mengapa raguragu menangkap?” ia lari menghampiri. Ia sendiri terkejut melihat arca belum jadi itu. Seorang prajurit lain datang, memekik: “Mengaku sudah Islam. Mengapa pada batu takut? Ayoh, gulingkan. Ceburkan ke laut.” Tapi penduduk pesisir Jepara dan prajurit pertama itu ragu-ragu. Prajurit ke dua itu mendekati arca itu dan meludahinya. “Lihat, dia diam saja aku ludahi,” kemudian ia menggoyang-goyang kepala gajah yang belum jadi itu, “lihatlah, dia sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan. Ayoh, gulingkan!” perintahnya kemudian. Prajurit pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan. Dengan langkah goyah ia mendekati Ganesya belum selesai itu dan dengan takut-takut menyentuh belalainya dengan tulunjuknya. Dan belalai Ganesya itu tidak hangat, juga tidak membuktikan diri punya sakti. “Ludahi dia!” perintah prajurit kedua. Prajurit pertama melengos. Ia tak berani. “Barangsiapa masih mengaku Islam, ayoh bantu aku gulingkan batu ini!” pekik prajurit kedua. Hanya sepuluh orang maju. Mereka mendorong kepala arca itu sampai terguling ke tanah. Prajurit kedua bersorak, pengikutnya juga bersorak. “Guling-gulingkan sampai ke teluk!” Makin lama makin banyak orang yang ikut serta. Tak lama kemudian terdengar batu itu tercebur ke laut dan hilang dari pandangan bulan dan manusia. Di Tegalsambi, di pesisir selatan Jepara, penduduk kota yang dikerahkan hanya menemukan sebuah gubuk. Di depannya berdiri tunggul kayu setinggi sepuluh depa. Pada puncaknya terpahat sebuah arca yang telah rusak, pecahpecah kepalanya terkena panas dan hujan. Tak dapat dikenali lagi arca apa. Di dalam gubuk itu sendiri hanya dapat ditemukan sebuah tempayan kecil berisi abu jenazah, terletak di atas para-para. Pada sebuah dinding tergantung papan kayu nangka dengan lukisan seorang wanita cantik dengan dua jari tangan membelai dagunya sendiri dan dengan tangan kiri memegangi pergelangan tangan kanan. Seorang prajurit menghancurkan tempayan itu dengan punggung pedangnya sehingga abu itu buyar berhamburan. Dengan mata pedangnya ia hancurkan lukisan itu berkeping-keping, kemudian menyepaknya berantakan. Sebuah kotak kayu tempat alat-lukis yang didapatkan di atas para-para dilemparkan keluar gubuk. Alat-alat yang telah berjamur itu bergelatakan dalam cahaya bulan, diam, tidak bergerak lagi. Di Jepara sendiri, di muara kali Wiso serombongan pembesar sedang turun dari sebuah kapal Tuban yang kena sergap. Begitu turun ke darat seorang di antaranya menengok ke belakang pada tiang utama kapal. Seorang pembawa payung berlari-lari mendekati dan memayunginya. Payung kuning dari sutera itu mengkilat bermain-main dengan cahaya bulan. Tapi orang itu tidak mengindahkan. Ia bergumam: “Lebih bagus dengan bendera kita.” “Semua ikut memandangi bendera putih yang berkibar malas dalam angin silir lemah itu. Gambar kupu-tarung di tengah-tengahnya kelihatan hanya sebagai setumpukan garis sambung-putus. Juga bendera itu dari sutera. “Kupu-tarung lebih bagus daripada merah-putih,” seseorang memberikan tanggapan. “Seluruh merah-putih majapahitan itu akan tumpas dari muka bumi.” ‘Tentu.” Dengan sendirinya rombongan itu mengalihkan pandang pada sang bulan. Nampak semakin besar dan semakin kuning…. Juga di bawah bulan purnama itu beberapa puluh anakanak, laki dan perempuan, sedang bernyanyi bersama di tanah lapang Wilwatikta, bekas ibukota Majapahit. Mereka sedang menyampaikan puji-pujian kepada sang bulan sebelum memulai dengan permainan malam. Mereka bergandengan satu dengan yang lain, merupakan lingkaran. Di tengah-tengahnya berdiri seorang anak yang memimpin permainan. Malam purnama ini jumlah mereka semakin sedikit. Setiap minggu ada saja yang meninggalkan Wilwatikta untuk selama-lamanya, pindah ke Gresik atau kota-kota bandar lainnya. Juga di bawah bulan purnama itu di tanah lapang di ibukota kerajaan Blambangan ribuan bocah sedang bernyanyi bersama seperti di Wilwatikta. Hanya bukan seorang nenek memimpin mereka, tapi seorang pedanda pria setengah baya. Perawan dan perjaka, beratus-ratus melingkari bocah-bocah yang sedang menyampaikan pujibulan. Antara sebentar semua bertepuk-tepuk dan bersoraksorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan damai, seakan tak ada lagi setetes darah memerahi medan perang. Juga seluruh Dahanapura, ibukota kerajaan Blambangan, mengelu-elukan bulan yang memerangi langit tanpa noda itu, karena cuaca seindah itu menjanjikan kemakmuran dan perdamaian. Pasuruan, kedudukan Dahanapura, semakin lama semakin besar setelah Sri Baginda Ranawijaya Girindrawardhana, raja Blambangan membariskan pasukannya memasuki Majapahit yang telah runtuh, untuk membuktikan pada dunia, bahwa tak ada kekuatan lain berhak menjamah bekas kerajaan Majapahit dan ibukotanya selama darah Sri Baginda Kretarajasa, yang sekarang masih berdiri di Blambangan. Tiga tahun setelah menduduki Wilwatikta, 1489 M., pasukannya ditarik kembali ke Blambangan. untuk mengalihkan perhatian orang dari Majapahit ke Blambangan. Ia berhasil dan Pasuruan menjadi bandar besar. Kalau ada yang masih dirusuhkan oleh Sri Baginda Ranawijaya Girindra wardhana dan Patih Udara, hanya karena bandar Majapahit, Gresik, tak dapat dipindahkannya ke Pasuruan. Namun orang tak meneteskan darah di wilayah Blambangan karena perang. Aman, damai dan kemakmuran melimpah. Di balai-desa Awis Krambil antara Rama Cluring dan para hadirin ketegangan semakin menjadi-jadi. Hal itu tidak pernah terjadi dengan guru pembicara lain yang pernah datang ke desa ini. “Betul!” orang memekik di tengah-tengah hadirin, “tidak lain dari Rama Guru sendiri yang lebih tahu tentang darmaraja. Dari Tuban datang pengayoman. Pengayoman itu yang membuat Rama tidak tahu, setiap jengkal tanah yang kita pacul adalah milik Gusti Adipati, dirampas dengan parang dan tombak dari tangan musuh-musuhnya dan dibenarkan oleh para dewa. Keringat kita, kita teteskan di atasnya dan panen pun jadi. Itulah harga dari semua upeti kita. Pengayoman, Rama, sehingga tak ada musuh datang menyerbu kami. Anak-anak dapat bermain-main damai setiap hari. Hujan jatuh membawa kesuburan. Dan keringat jatuh membawa kesejahteraan.” Rama Cluring tak pernah memotong kata-kata orang. Ia mendengarkan tanpa menggerakkan badan. Kemudian: “Indah sekali kata-kata itu. Aku dapat lihat, kau tidak pernah ikut meneteskan keringat, tidak pernah ikut mencangkul. Petani tidak seperti itu kata-katanya. Putra ke berapa ratus kau dari Sang Adipati? Coba sini, perlihatkan mukamu.” Pembicara itu tidak menampakkan mukanya. “Sayang kau tak berani muncul. Kau, orangmuda, sama halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di bandar-bandar daripada mendampingi seorang suami di sawah dan ladang. Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia. Rama Cluring berkomat-kamit dan mengocok mata. Kemudian ia tegakkan dada, nampak menarik nafas panjang, menghimpun kekuatan dari seluruh alam ke dalam paru-paru untuk disalurkan ke dalam sikapnya. “Dari mana datangnya pengayoman kalau bukan dari upeti?” seseorang bertanya ragu-ragu. “Dari mana?” Rama Cluring menjawab. “Kalau upeti tak muncul, bukan pengayoman yang datang, tapi balatentara Tuban akan menumpas dan menghancurkan kalian dan desa kalian. Kalau perang datang, tak seorang pun di antara kalian mendapat pengayoman. Balatentara Tuban tidak. Sebaliknya kalianlah yang diwajibkan mengayomi dia!” ia tertawa menunggu tantangan. Di sebelah pinggir di antara para hadirin, gadis Idayu menyikut pacarnya, Galeng, berbisik: “Jadi, apa maunya?” “Dengarkan saja,” kata Galeng. Pacarnya mencubit sengit, tapi pemuda itu tak peduli. “Dengarkan kalian semua punggawa desa yang hidup dari keringat orang lain, yang hidup dari penyisihan upeti. Kalian, apalagi kalian, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa kalau perang datang. Mangayomi diri sendiri pun tak bisa, apalagi mengayomi rakyatmu. Di waktu damai kalian bersorak-sorai tentang pengayoman demi sang sisa upeti. Kalau kalian sudah seperti itu, bagaimana pula macam rajamu?” Ketegangan sekaligus berubah jadi ketakutan. “Apa kalian takuti? Akan datang masanya kalian akan lebih, lebih ketakutan. Bukan karena kata-kataku. Mari aku ceritai: jaman ini adalah jaman kemerosotan. Raja-raja kecil bermunculan pada berdiri sendiri, karena rajadiraja tiada. Kekacauan dan perang akan memburu kalian silih-berganti. Lelaki akan pada mati di medan perang. Perempuan akan dijarah-rayah dan kanak-kanak akan terlantar. Kalian takkan ditumpas karena kata-kataku. Kemerosotan jaman dan kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas kalian selama kalian tak mampu menahan kemerosotan besar ini.” Ia diam. Para pendengar terdiam. Mereka telah terbiasa terpengaruh oleh ramalan orang tua-tua pengembara yang telah jauh langkah. Kakek-kakek mereka telah lama meramalkan akan datangnya perang yang tiada kan habishabisnya bila dewa-dewa telah berganti dan bila berbagai bangsa dengan berbagai warna kulit telah mulai berdatangan menjamah bumi Jawa. “Rama Guru,” seorang wanita dengan suara mendayudayu memohon, “bila kekacauan dan perang akan memburu-buru kami silih berganti, bukankah akan sia-sia semua yang sudah kami kerjakan dan usahakan?” “Jelas. Apalagi upeti-upeti ke Tuban itu. Sama sekali tanpa guna. Sekarang dengarkan: di jaman Majapahit tak ada perang yang tidak selesai, tak ada kekacauan tak diatasi,” ia mulai mengubah nada suaranya menjadi lunak dan ramah. “Di masa itu semua orang boleh membikin bata. Setiap orang boleh mendirikan candi keluarga, tempat menyimpan abu para mendiang. Setiap orang boleh belajar mengecor besi dan mencetaknya. Tidak seperti sekarang. Menempa besi dan baja pun tidak diperkenankan, kecuali atas perintah. Dahulu perawan-perawan pada menenun sutra. Di mana-mana nampak pakaian gemerlapan bermain dengan sinar matari. Sekarang ulat sutra pun tumpas. Orang hanya menenun kapas. Ulat sutra yang tinggal hanya ditenun untuk layar perahu dan kapal besar dan untuk pengantin. Saluran yang dulu dibikin di mana-mana sekarang sudah pada mendangkal. Kapal besar tak lagi dapat masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungaisungai dipelihara. Di jaman Majapahit para punggawa disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk memata-matai kawula. Mereka bicara dengan bocah-bocah. Bila anak-anak itu tak dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kepala desa mau pun bapa-bapa mandala kena teguran. Dengan demikian setiap bocah dapat membaca dan menulis, tahu akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar.” “Berapa umurmu. Rama Guru, maka tahu banyak tentang jaman kejayaan Majapahit?” seorang gadis bertanya. “Dua ratus?” Rama Cluring mendeham dan membersihkan kerongkongan. “Tak ada orang hidup sampai dua ratus. Lebih beberapa puluh tahun dari seratus. Menurut perhitungan surya.” “Mengapa menurut perhitungan surya?” seorang lain bertanya. “Di bandar-bandar ada orang yang mulai menggunakan perhitungan rembulan – orang-orang gila itu. Mereka mempunyai dewa lain dari kita. Mereka hidup hanya dari berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun ladang. Mereka hanya hidup dari pantai dan dari laut. Mereka tak memerlukan gunung. Mereka tak memerlukan surya. Mereka hanya memerlukan harta dan kekayaan.” “Mereka penyembah rembulan. Rama Guru?” “Aku belum lagi tahu. Barangkali. Mereka itu yang membikin para bupati dan adipati pesisir hanya mengingat pada harta-kekayaan, lupa pada Baginda Kaisar di Majapahit. Mereka pengaruhi bupati dan adipati pesisir supaya tak membikin kapal-kapal lagi. Mereka menyuap dengan mas, tembikar, sutra, kain khasa, permadani…. Mereka petualang-petualang dari Atas Angin. Di pesisir Atas Angin sana mereka sama saja tingkahnya. Perhitungan rembulan menjalar seperti wabah. Kemerosotan jaman, jaman gila. Orang mulai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya, orangtua tak tahu sesuatu kecuali kesenangan sendiri…. Yang paling tidak hormat pada para dewa juga yang paling mula jadi korban wabah dari Atas Angin ini. Bahkan tulisan kita, tulisan kita yang sempurna sandang dan sukunya…. boleh jadi…. sudah mulai muncul tulisan yang sama sekali tidak berbunyi…” “Adakah Rama Cluring pernah lihat tulisan itu?” Orang tua pendek kecil itu tiba-tiba mengangkat telunjuk. “Dengar!” perintahnya. Semua terdiam. Baung dan salak dan lolong anjing, ratusan di tengah hutan, kembali menggelombang. ‘Tak pernah binatang itu membaung selama itu, seramai itu. Boleh jadi akan datang banjir – banjir air, banjir bencana, malapetaka yang membikin semua lebih merosot tersedot lumpur.” Ia menoleh kepada kepala desa. Bertanya: “Darmaraja? Pengayoman? Apakah yang sudah diperbuat oleh Sang Adipati Tuban Tumenggung Wilwatikta waktu para bupati pesisir mulai membangkang mempersembahkan upeti? Bukankah Sang Adipati itu rajamu sekarang? Bukankah sebagai Tumenggung Wilwatikta, penguasa tertinggi atas keamanan dan kesejahteraan ibukota Majapahit, Wilwatikta, justru ia bergabung dengan yang lain-lain, membangkang mempersembahkan upeti, malah tetap mengukuhi wilayah kekuasaan yang didapatnya dari darmaraja, membentang dari Tuban sampai Jepara – sebuah kadipaten dengan tidak kurang dari lima buah bandar?” ‘Tak pernah ada yang menggugat seorang raja!” bantah kepala desa, “karena hanya dengan karunia Hyang Widhi saja seseorang bisa bertahta! Bukankah Rama Guru dengan demikian menghujat Hyang Widhi?” “Uah! Seperti kau tidak mengenal anak tani bernama Ken Arok. Ditumbangkannya akuwu dan raja, dan sendiri marak jadi raja, memerintahkan menjawakan kitab-kitab suci, memerintahkan dilaksanakannya gaya baru dalam bangunan-bangunan suci.” “Maka juga Ken Arok Rajasanagara ditumbangkan.” “Ditumbangkan. Tapi darahnya telah bangunkan kekaisaran Majapahit yang tiada tara.” “Dan Majapahit pun tumbang.” “Tumbangnya gajah yang meninggalkan gading. Hyang Widhi tidak pernah salah memilih wakilnya di atas bumi. Hanya kaki yang kuat, bahu yang kukuh, mampu memikul pilihan Hyang Widhi.” “Negarakertagama dan Pararaton tak bilang begitu.” “Dan apa katanya tentang Adipati pembangkang yang bersekutu dengan pedagang-pedagang Atas Angin yang berdewa lain?” “Waktu itu belum ada Sang Adipati.” “Maka akulah yang mengatakan, demi Hyang Widhi, karena tugasku hanya mengatakan tentang kebenaran. Tulikah kau? Tiada kau dengar baung, lolong dan gonggong anjing-anjing hutan itu? Tak tahukah kau itu pesta untuk haridepanku yang bakal cepat tiba, lebih cepat daripada yang kau sangka?” Untuk menghindari pertengkaran kepala desa terdiam. Matanya berpendar-pendar dari wajah ke wajah di antara hadirin. Ia meminta pengertian, bantuan dan simpati. Hadirin sendiri sedang tercengkam. Mereka tahu Rama CIuring sedang menggugat Sang Adipati, manusia pertama yang berani lakukan itu. Dan ketegangan menarik otot-otot muka mereka sehingga seperti terbuat daripada kayu jati. Dan keseraman mewarnai wajah-wajah itu oleh berpuluh mata sumbu damar-sewu yang selalu berayun tak pernah tenang dan menggeletarkan semua bayang-bayang. Di luar, di langit, bulan purnama bertahta tanpa tandingan dalam kebeningan. Ia hanya tersenyum melihat ratusan anjing yapg menggonggonginya dalam kebotakan hutan. ‘Tak lain dari Hyang Widhi juga yang menggulingkan raja-rajanya sendiri yang kaki dan bahunya lemah, tak mampu memikul kebesaran-Nya, tak mampu menyumambrahkan dengan jari-jarinya yang kaku – karena jari-jari itu hanya pandai mengambil untuk dirinya sendiri dan tidak bisa memberikan sesuatu untuk kawulanya.” “Kata-kata itu tidak terdapat dalam lontar, Rama Guru,” seorang di antara hadirin angkat bicara. “Apa kau akan bilang kalau aku membubuhkannya pada lontar? Ambilkan lontar, besi penggurit dan jelaga, biar yang terpandai di antara kalian menuliskannya.” “Belum perlu, Rama Guru,” kepala desa itu menegah. “Memang belum perlu,” pembicara itu meneruskan. “Rama, kami nampak memang kurang harga diri, kurang kehormatan, mungkin juga memang bebal. Tapi kami hidup dalam kesejahteraan, keamanan dan perdamaian. Sebaliknya, Rama Guru, kata-kata Rama sendiri yang menempatkan kami semua dalam bahaya kemusnahan. Rama, tidak lain dari Rama!” Rama CIuring mendengus meremehkan. Suaranya enteng mengambang di udara malam yang hangat itu. “Untuk mencapai desa ini, balatentara Tuban paling tidak membutuhkan satu-dua hari. Kalian tidak akan ditumpas. Setiap saat setiap orang di antara kalian yang tidak dungu bisa tinggalkan desa ini, menyeberang perbatasan, memohon perlindungan Sang Bupati Bojonegara. Aku tidak menjerumuskan kalian. Lembah kebinasaan itu kalian galang sendiri di atas kedunguan. Masih juga kau tidak mengerti, kepala desa? Penduduk desa ini terusmenerus membayar upeti dan memikulnya sendiri ke Tuban Kota. Masih belum mengerti? Tak ada keadilan mengikat antara sang Adipati dengan kawulanya di sini. Kalau ikatan keadilan tidak ada, yang ada hanya ikatannya saja, ikatan perbudakan. Kalian semua ini bukan kawula, tapi budak! Budak Tuban, budak Sang Adipati sama dengan musuhmusuhnya yang telah ditaklukkannya. Ditaklukkan tanpa perang!” “Baiklah kami ini budak tanpa dikalahkan dengan perang. Katakan pada kami. Rama Guru, bagaimana agar kami tidak jadi budak?” “Rama Cluring yang bijaksana,” seorang lain lagi menyerondol, “bukankah Rama Guru lebih dari tahu, setiap saat datang pengawal perbatasan berkuda?” “Dia juga perlu mendengarkan kata-kataku ini.” “Tidakkah Rama Guru akan dibawanya ke Tuban dan diadili?” “Bukan pertama terjadi kebenaran diadili. Bukankah mandala kalian pernah mengajarkan: kebenaran tak dapat diadili, karena dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang Widhi. Kalian tahu kelanjutannya: Barangsiapa mengadili kebenaran, dia memanggil Sang Hyang Kala, dia akan dilupakan orang kecuali kedunguannya.” Ia tersenyum dan mengangguk-angguk. “Juga Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta tidak bebas dari ketentuan Maha Dewa. Sang Hyang Widhi merestui barangsiapa punya kebenaran dalam hatinya. Jangan kuatir. Kepala desa! Kurang tepat jawabanku, kiranya? Ketakutan selalu jadi bagian mereka yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi bagian mereka yang mengingkari kebenaran maka melanggar keadilan. Dua-duanya busuk, dua-duanya sumber keonaran di atas bumi ini…,” dan ia teruskan wejangannya tentang kebenaran dan keadilan dan kedudukannya di tengah-tengah kehidupan manusia dan para dewa. Kapal peronda pantai dengan layarnya yang berkilat-kilat itu menyeberangi malam dan menyeberangi Laut Jawa dengan cepat. Dari kejauhan nampak seperti naga laut yang tak kelihatan buntutnya. Puluhan pendayung yang seirama membelah permukaan memercikkan air dan semburannya menari dengan cahaya bulan. Layar kemudi yang menggembung di atas haluan, bahkan lebih depan dari haluan itu sendiri, melengkung seperti busur yang sedang ditarik. Waktu lampu menara bandar Tuban mulai hilangmuncul di atas kepala ombak terdengar pekikan aba-aba. Tak lama kemudian menyusul ledakan di belakang layar kemudi. Peluru cetbang meluncur ke udara dengan buntut api yang kuning merah meninggalkan asap yang segera lenyap. Beberapa bagian dari detik, dan peluru itu meledak di langit. Api menyemburat melontarkan bunga api yang membuat lonjakan ke atas, kemudian ke bawah, ke tiadaan. Ledakan itu menyebabkan permukaan laut gemerlapan beberapa detik, kemudian kembali jadi manis bermain-main dengan cahaya bulan kembali. Ledakan di langit yang sebentar tadi menandingi bulan kini lenyap tanpa bekas. Kapal itu terus melaju. Layar-layar mulai diturunkan. Dengan cepat membelok ke kanan, bergerak hanya dengan kekuatan dayung. Juga layar kemudi tidak nampak lagi. Lunas itu menerjang alun dan ombak pada sudut lebih besar daripada semula. Dan semua alun dan ombak terus juga berkejar-kejaran, berebut dulu untuk menghantam pesisir utara pulau Jawa. 0o-dw-o0 Rama Cluring segera mengambil cawan tanah yang diletakkan oleh anak gadis Kepala desa. Ia angkat tinggi, memperlihatkan pada semua hadirin, ia hendak meminumnya. Ia baru habis menceritakan tentang kebesaran Majapahit dengan angkatan lautnya, dengan ilmu dan ketrampilan membikin kapal-kapal samudra, dengan wilayah kekuasaannya. “Sekarang aku hendak teguk lagi tuak desa ini. Sebelumnya, dengarkan: jangan bandingkan Majapahit dengan Tuban ini. Kalian sendiri yang mengatakan: hanya sembilan hari dibutuhkan untuk mengedari seluruh wilayah Tuban – itu pun hasil pengkhianatannya terhadap Majapahit. Pahami pergantian jaman, biar kalian tidak didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. Dengarkan kebijaksanaan. Kalau perang sudah pecah, tak selembar daun dapat kalian jadikan pengayoman. Ingat kata-kataku: Kalau kemerosotan ini tak dapat dicegah, takkan lama lagi, dan perang akan pecah di mana-mana. Dari desa dan kota petani-petani akan digiring, mati untuk raja-raja kecil yang tak pernah berbuat apa-apa untuk kalian.” Ia rendahkan cawan, menaruhnya pada bibir dan meneguknya sekali habis. “Dewa Batara!” sebutnya keras, berpaling cepat pada kepala desa, kemudian menudingnya: “Lihatlah ini tampang kepala desamu, takut pada kebenaran, pada keadilan, agar dia tetap jadi kepala desa, dia telah racun aku!” Cepat ia tarik mukanya dan berseru pada para hadirin: “Dia telah racun aku! Dan kalian kenal siapa aku, hanya seorang pembicara yang menggaungkan kebenaran milik Maha Dewa.” Cawan itu dibantingnya pecah di hadapannya. Dengan kedua bolah tangan ia menekan perutnya. Bibirnya ia gigit. Mukanya pucat. “Rama!” seseorang berteriak dan lari ke depan hendak menolongnya. Rama Cluring bangkit berdiri dengan susah-payah. Kepala desa menolongnya dari belakang, berseru lantang: “Tak ada seorang pun meracun Rama. Kami semua menghormati Rama.” “Dengar si mulut palsu ini! Dengarkan, kalian, semua penduduk Awis Krambil!” Ia lepaskan diri dari pegangan kepala desa, melompat keluar dari balai desa. Setiap guru-pembicara punya gaya dan cara sendiri dalam usaha mempengaruhi dan mengetahui sampai di mana pengaruhnya bekerja. Setengah hadirin menganggap tingkahnya juga bagian dari gaya dan cara. Mereka masih terpaku pada tempatnya bersila. Yang menganggap benar-benar Rama Cluring terkena racun cepat-cepat bangkit dan lari memburu. Tak pernah terjadi seorang guru-pembicara mengalami penganiayaan di desa mana pun. Orang tua itu terus juga berjalan sambil menekan perutnya dengan kedua belah tangan. Ia tak menoleh. Ia menolak tuntunan orang. Galeng dan Idayu ikut lari memburu. Tanpa mengindahkan protes Rama Cluring mereka berdua menunjangnya pada bahu dan pinggangnya. Diam-diam mereka bertiga berjalan cepat. Di belakang mereka serombongan orang berseru-seru memohon ampunnya sambil berlari-lari kecil. Galeng dan Idayu merasai gigilan pada tubuh tua itu. Idayu melepas kain dada dari bahu dan menyelimutkan pada dada Rama setelah menyembah meminta ampun. Dan Rama tidak menolak. Tiba-tiba guru berhenti, membungkuk dan muntah. “Rama! Rama!” bisik Galeng. “Beri aku minyak kelapa!” pinta Rama Cluring. Ia muntah lagi. “Cepat!” “Memang terkena racun!” di belakang orang memberi komentar. Galeng menyembahnya, cepatnya mengangkatnya dan membawanya ke rumah Idayu, membaringkannya di atas ambin bambu. Idayu lari ke dapur, kembali lagi dan menuangkan minyak kelapa ke mulut orang tua itu. Guru-pembicara itu meliuk-liuk gelisah pada pinggangnya. Ruangan sempit rumah Idayu segera jadi penuh. Orang duduk berdesak-desak di lantai untuk menyatakan prihatin. Dan setiap orang menyembah sambil mengucapkan permohonan ampun. “Diam! Diam semua. Rama sedang sakit,” Galeng memperingatkan. Ia tekan-tekan perut orang tua itu agar muntah. “Air kelapa muda, kelapa hijau,” seru seseorang. Tak ada pohon kelapa hijau di seluruh Awis Krambil. Idayu pergi keluar rumah dan datang lagi membawa cawan tanah besar, menguaki punggung orang banyak. Dalam cawan itu bukan air kelapa hijau, tapi air kelapa biasa. Dituangkan seluruhnya ke mulut sang guru. Mengetahui bukan kelapa hijau, Rama bergumam: “Semua air adalah air kehidupan. Mati aku, Dewa Batara.” Matanya terbuka dan disapukan pandangnya pada mereka yang duduk berdesak di atas lantai. “Pulang, pulang kalian semua.” “Mereka mencintai dan menghormati Rama. Ampuni mereka yang jahil,” bisik Idayu. “Terlambat, gadis.” “Mereka masih haus akan kata-katamu.” “Tak ada guna cinta dan hormat,” Rama meliuk-liuk dan meringis kesakitan. “Kalau kata-kataku bisa hidup dalam hati mereka, cukup sudah.” Ia muntah. Air kelapa campur minyak keluar dari mulut berjalurkan dengan benang darah hidup. Idayu menyeka mulut, leher dan bahunya yang basah dengan selembar kain. “Batara!” sahut Idayu. “Mengapa jadi begini, Rama?” Galeng menghampiri orang banyak, bergumam mengancam: “Kalau tidak suka pada kata-katanya, mengapa tak mengusirnya saja? Atau memberinya kecubung? Mengapa mesti diracun?” “Rama Guru juga salah,” seseorang membantah. “Diam kau!” bentaknya. “Bagaimana bisa diam? Dia telah membahayakan kita semua: balatentara Tuban itu….” “Siapa kiramu yang meracun?” seseorang bertanya. “Siapa lagi?” “Meracun seorang guru…. hanya orang keparat melakukannya. Gandarwa pun lebih baik.” Rama muntah lagi. Warnanya merah seluruhnya. Minyak dan air kelapa tidak mempan. Orang berlarian mencari lagi di rumah-rumah. Waktu telah didapatkan Rama Cluring telah tergolek pingsan. “Terlalu, terlalu,” orang menyesali. Dan pelita di tengah-tengah ruangan itu, berdiri di atas jagang bambu berkaki, berayun-ayun cepat. Baung anjing dari botakan hutan telah berkurang, kemudian padam sama sekali. “Rama, Rama,” panggil Idayu, “jangan kutuki kami, jangan sumpahi kami, jangan tulah kami, demi Hyang Widhi, demi desa Rama sendiri, demi kesejahteraan kami semua, ya Rama, Rama…” 0o-dw-o0 Begitu kapal peronda pantai itu merapat pada dermaga bandar Tuban kota, bulan sudah mulai menggeser ke titik tertinggi dan kini mulai agak condong. Seorang dengan menuntun kuda menghampiri kapal. Patragading melompat turun. Penuntun kuda itu bersimpuh kemudian menyembah. “Dirgahayu,” katanya sambil menurunkan sembahnya. Patragading melompat ke punggung kuda, berpacu, menempuh jalanan yang diterangi bulan purnama. Beberapa bentar hanya dan sampai ia di hadapan prajuritprajurit pengawal yang menahannya. Ia tak jadi memasuki halaman rumah itu, turun, berseru: “Butakah kalian tak melihat siapa aku?” “Tuanku Patragading Jepara. Ampuni kami.” Patragading melompat lagi ke atas kudanya, memasuki halaman luas tertutup rumput pendek dengan pinggiran ditanami bunga-bungaan. Sampai di pendopo seseorang berlarian datang padanya dan menyembah, kemudian mengambil-alih kuda tunggangannya. Seorang prajurit lain datang, bersimpuh dan menyembah: “Menunggu titah, Tuanku.” “Bangunkan Sang Patih, sekarang juga.” Patragading berdiri bertolak pinggang tanpa mempedulikan prajurit yang diperintahnya lari menjauh darinya, melalui samping gedung besar itu dan hilang dari pemandangan. Pendopo yang gelap itu kini diterangi dengan damarsewu pada tengah-tengahnya. Mata-mata sumbu itu menyala berkibar-kibar dalam barisan seperti prajurit baris. Patragading segera menghadap ke pendopo, bersimpuh di atas lantai tanah. Kumisnya yang tebal berkilat-kilat, juga cambang dan jenggot. Jelas benar telah diminyaki dengan minyak katel! Kain batiknya terbeber di selingkaran kaki. Kalung dan gelang masnya berkilat-kilat. Ia menunduk dalam. “Anakanda Patragading!” Sang Patih memasuki pendopo. Ia berpakaian kain batik, berdestar batik dan berkerudung kain batik pula pada dadanya. Patragading mengangkat sembah. Kemudian membetulkan letak kerisnya. Sang Patih berhenti di tengah-tengah pendopo, dekat pada damarsewu, menegur “Dingin-dingin begini anakanda datang. Pasti ada sesuatu keluarbiasaan. Mendekat sini, anakanda.” Dan Patragading berjalan mendekat dengan lututnya sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki Sang Patih. “Ampuni patik, membangunkan Paduka pada malam buta begini Kabar duka, Paduka. Balatentara Demak di bawah Adipati Kudu^ memasuki Jepara tanpa diduga-duga, menyalahi aturan perang.” “Allah Dewa Batara!” sahut Sang Patih. “Itu bukan aturan raja-raja! Itu aturan brandal!” “Balatentara Tuban tak sempat dikerahkan, Paduka.” “Bagaimana Bupati Jepara?” “Tewas enggan menyerah Paduka,” Patragading mengangkat sembah. “Sisa balatentara Tuban mundur ke timur kota. Jepara penuh dengan balatentara Demak. Lebih dari tiga ribu orang.” “Dari mana Demak dapat mengumpulkan brandal sebanyak itu?” “Patik tidak tahu, Paduka.” “Apa saja kau kerjakan sampai tidak tahu? Bukankah Demak dukuh tidak berarti selama ini?”1 “Inilah patik menyerahkan hidup dan mati patik.” Sang Patih bertepuk tangan tigakali. Satu regu prajurit berlarian datang, bersenjata tombak dan perisai. [1] Minyak kelapa direbus dengan laba-laba tanah jenis besar berwarna dan berbulu hitam untuk penghitam rambut. 2. Setelah itu biasa disebut adipati Unus; setelah meninggal disebut Pangeran Sabrang Lor. 0o-dw-o0 2. Tuban “Tahan dia ini, Patragading, putra Sang Adipati. Ayahandanya sendiri yang akan menentukan hidup dan matinya.” Patragading digiring keluar pendopo. Begitu turun ke tanah ia memandangi bulan, memukul dadanya, bergumam: “Apakah masih patut aku membawa mukaku sendiri?” “Jalan ke kiri, Paduka!” perintah kepala regu, dan berbarislah mereka meninggalkan halaman kepatihan. Sang Patih masih tegak berdiri di tempatnya. Ia menggalang pelahan, kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah. Paling tidak telah seribu tahun perahu dan kapal-kapal berlabuh di bandar Tuban Kota. Dari barat, timur dan utara. Dari timur orang membongkar rempah-rempah dari kepulauan yang belakangan ini mulai disebut bernama Mameluk (Nama yang diberikan oleh pedagang-pedagang Arab, kemudian berobah jadi Maluku.) dan cendana dari Nusa Tenggara. Dari Tuban sendiri orang memunggah beras, minyak kelapa, gula garam, minyak tanah dan minyak-minyak nabati lainnya, kulit binatang hutan. Dari laut bandar Tuban Kota nampak seperti sepotong balok, pepohonan dan taman-taman. Bila lumut hijau hilang dan muncul coklat baru, itulah kampung-kampung nelayan. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar Pasukan Laut dan galangan kapal. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar alam lainnya yang dimiliki negeri Tuban. Di atas balok coklat bermulut berdiri barisan perbukitan tebal, kuning, di sana-sini agak hijau. Itulah perbukitan kapur bernama Kendeng. Dan di atas perbukitan adalah langit para dewa. Bandar Tuban adalah bikinan alam yang pemurah, disempurnakan oleh tangan manusia selama paling tidak seribu tahun. Lautnya dalam dan dermaganya kokoh, indah, juga bikinan alam, sepotong jalur karang yang menjorok ke laut. Pedagang-pedagang Atas Angin menamai bandar ini Permata Bumi Selatan. Dan bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa puluh langkah dari dermaga. Ia akan mengangkat sembah – di hadapannya berdiri Sela Baginda, sebuah tugu batu berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang dilaluinya, jalanan ekonomi sekaligus militer. Ia akan selalu berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa gegas, sekalipun di bawah matari terik. Kalau orang datang untuk pertama kali, segera ia akan terpikat melihat lalu lalang. Orang tak henti-hentinya mengangkuti barang dari dan ke bandar, dengan pikulan atau grobak beroda bulat dari potongan batang kayu. Kereta sangat sedikit, apalagi yang beruji kayu. Lebih banyak lagi grobak beruji. Grobak beroda kayu utuh berasal dari pedalaman, yang beruji dari kota sendiri. Penariknya adalah sapi atau kerbau. Seorang pendatang boleh jadi akan bertanya, mengapa tak ditarik oleh kuda? Dan dengan senang hati orang akan menerangkan: tak diperkenankan menggunakan kuda atau diri sendiri untuk penarik grobak Kalau pendatang itu bertanya: mengapa terlalu sedikit kereta di sini? Ia akan mendapat jawaban: memang, tuan jumlahnya taklah lebih dari dua puluh – semua milik para pembesar negeri dan praja, dan milik para panglima Pasukan Pengawal, Pasukan Kaki, Pasukan Gajah dan Pasukan Laut. Bila kereta berkuda empat semacam itu lewat, lalu lintas berhenti, menyibakkan diri untuk memberi penghormatan. Dari jauh telah terdengar gerincing giring-giringnya dari kuningan berkilat-kilat dan nampak umbul-umbul beraneka warna, bendera jabatan dan kesatuan. Kuda-kuda penarik itu pun dihias dengan gombak dan limbai aneka warna. Abah-abahnya berkilat-kilat dengan hiasan dari tembaga, kuningan, perunggu dan perak, kadang juga dari mas. Juga orang-orang asing diwajibkan berhenti bila kereta lewat, penduduk berlutut menyembah. Dan bila kereta Sang Adipati sendiri yang lewat, juga penduduk asing harus menyembah dengan caranya masing-masing. Lalu lalang di bandar beraneka ragam. Orang-orang asing, Arab, Benggala, Parsi, bangsa-bangsa Nusantara, Tionghoa, bergaya dengan pakaian negeri masing-masing. Pribumi sendiri juga beraneka. Pria berambut pendek, bahkan gundul tak berdestar atau berkopiah, adalah mereka yang telah menanggalkan agama leluhur. Mereka tidak berkain batik, tetapi berkain tenun genggang atau polos tanpa belahan, tak mengenakan wiron atau dodot. Pria berambut panjang berdestar batik pertanda masih mengukuhi Buddha atau Shiwa atau Wisynu, dan hampir selalu berkain batik atau wulung. Dan bila rambut panjang mereka tergulung dalam destar, itulah pertanda mereka pedagang pedalaman yang berurusan dengan pedagangpedagang beragama Islam. Orang takkan melihat adanya suami-istri berjalan-jalan bersama di siang hari. Namun wanita nampak di manamana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan bandar sendiri. Mereka melakukan segala macam pekerjaan yang juga dikerjakan oleh pria. Dan mereka bekerja sambil berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum pria. Lima tahun yang lalu sidang para pedagang Islam telah menghadap Tuanku Penghulu Negeri, memohon agar para wanita menutup buahdadanya. Sejak itu semua wanita yang keluar dari rumah diharuskan mengenakan kemban. Maka sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya dengan kaum pria Pribumi. Anak-anak kecil bermain-main dalam rombongan besar di setiap lapangan terbuka, mengisi udara pagi dan sore dengan cericau, tawa dan sorak-sorainya. Lima tahun yang lalu jarang terjadi yang demikian. Setelah sidang para pedagang Islam, pribumi dan asing menghadap Tuanku Penghulu Negeri agar membatasi penghajaran kafir pada kanak-kanak, asrama-asrama mulai ditinggalkan oleh mereka, dan mulai mereka bergentayangan tanpa penggembala. Ke mana pun mata ditebarkan, keadaan aman, damai, sejahtera. Tetapi semua itu semu belaka. Sejak jaman-jaman yang tidak dapat diingat lagi Tuban terlalu sering dihembalang bencana perang dan kerusuhan. Namun buminya tak juga jenuh tersiram darah putra dan putrinya, juga darah musuh-musuhnya yang datang menyerbu. Dua kali negeri ini dilanda perang besar. Pertama oleh balatentara Kublai Khan, cicit Jengis Khan yang bertahta di Khan Baliqr Seperti air bah prajurit-prajurit Tartar mendarat dari laut, menyapu Tuban yang sama sekali tak mampu bertahan terhadap senjata api. Negeri ini terinjakinjak balatentara yang bersepatu itu, dan meninggalkannya lagi untuk meneruskan penyerbuannya ke Singasari. Orang bilang ini terjadi pada 1292 Masehi. Perang besar kedua dan ternyata kelak bukan yang terakhir terjadi pada awal abad ke XIY Masehi. Bupati yang memerintahTuban waktu itu adalah Adipati Ranggalawe, salah seorang pendiri Majapahit. Pertentangannya tentang kebijaksanaan praja dengan Sri Baginda Kartarajasa, raja pertama Majapahit, menyebabkan balatentara Majapahit datang menyerbu. Seluruh kota dihancurkan. Tak sebuah rumah tinggal berdiri, rata dengan tanah, termasuk bangunan-bangunan suci dan galangan kapal. Adipati Ranggalawe sendiri gugur. Dan kota, yang dibangun pada awal abad ketujuh Masehi itu binasa. Setelah perang besar kedua selesai, yang tertinggal setengah utuh hanya Sela Baginda, didirikan pada awal abad ke XI Masehi. Baginda Sri Kartarajasa mengangkat seorang bupati baru. Dua puluh tahun lamanya pembangunan kembali kota Tuban dilaksanakan. Dan Sri Baginda membebani gubernur baru itu dengan tanggungan pasukan Gajah, yang menjadi inti kekuatan darat balatentara Majapahit. Penataran dan galangan kapal dipulihkan, diperbesar, sampai menjadi penghasil kapalperang dan niaga terbesar di seluruh Jawa, seluruh Nusantara, seluruh dunia peradaban. Sekarang tidak demikian lagi. Pada awal abad ke XYI sekarang kekuatan pemersatu kekaisaran Majapahit telah patah. Para gubernur pesisir telah memunggungi Majapahit sehingga runtuh dan berdiri sendiri-sendiri, jadi raja-raja kedi, tanpa ada yang berani mengangkat diri jadi Kaisar. Juga bupati Tuban Sang Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Orang tua-tua hanya dengan berbisik-bisik berani membicarakan dengan sesama tua, tak lain dari Sang Adipati juga yang memprakarsai dan memimpin persekutuan rahasia ini. Majapahit jatuh. Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa belayar kentara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban. Gubernur Tuban, Sang Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, bertekad mempertahankan kedamaian itu, keamanan, ketenteraman dan kesejahteraan sekarang dengan mengembangkan perdagangan antarpulau. Ia menyokong diperbesamya armada dagang ke Maluku. Dagang! Dagang saja. Ia tak berminat meluaskan kekuatan ke laut. Ia tak menghendaki Tuban jadi kekaisaran benua seperti Majapahit dengan terlalu banyak urusan. Dalam usia tua ia hanya ingin bertenang-tenang. Angkatan Laut tidak diperlukannya, sekedar cukup jadi penghalau bajak dan perompak, serta melindungi pantai dari gangguan mereka. Di bawah pemerintahan dan kebijaksanaannya bandar Tuban berkembang mendesak bandar Gresik, menjadi pusat penumpukan rempah-rempah dari Mameluk dan Nusa Tenggara. Hampir setiap bulan Sang Adipati datang berkuda ke pelabuhan. Di depannya berderap pasukan pengawal berkuda, bertombak, berperisai, dengan pedang tergantung pada pinggang. Jumbai dan pitamerah menghiasi tombak mereka. Di belakangnya berderap pasukan pengawal lagi. Gemerincing “giring-giring mereka serta kepulan debu menyebabkan orang dari jauh-jauh telah bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah kepala. Bandar Tuban Kota adalah buahhati Sang Adipati. Ia merasa puas dengan pekerjaan Syahbandar Tuban: Ishak Indrajit. Karena semakin tua ia semakin mengutamakan perniagaan oleh para bupati tetangga, ia dianggap telah kehilangan keksatriaannya. Padahal, kata salah seorang di antara mereka, kalau dia mau, dengan pasukan gajahnya yang berabad jadi perisai Majapahit, dengan kekayaannya yang datang dari laut, sebenarnya ia mampu menaklukkan tetangga-tetangganya dan sendiri marak jadi kaisar. Dirasani begitu ia hanya tertawa. Sekali waktu Sang Adipati mempersembahkan ada seorang bupati lain yang mengejeknya dengan nama Rangga Demang, Rangga dikerat dari nama Ranggalawe yang perkasa dan Demang adalah pangkat rendah dalam kepunggawaan praja, ia menjawab tak peduli: Orang juga boleh menyebut seperti itu. Maka para bupati tetangga semakin yakin, Sang Adipati memang bukan lagi seorang ksatria, telah merosot jadi sudra. Ia sendiri tak pernah merasa terhina dengan segala julukan dan ejekan. Pendirian dan sikapnya tetap: perniagaan antarpulau harus terus dan makin berkembang. Bandar harus makin banyak disinggahi kapal-kapal Atas Angin, Nusantara dan Tiongkok. Pertahanan negeri Tuban sendiri dianggapnya mudah. Dengan Pasukan Gajah Tuban yang masyhur ia percaya akan dapat memukul mundur setiap dan semua penyerbu. Ia telah letakkan dasar jaringan pengawasan daerah-daerah perbatasan, dilaksanakan oleh satuan-satuan berkuda yang terus-menerus bergerak. Apalah arti Pasukan Gajah, bupati-bupati yang mengiri akan kesejahteraan dan kekayaan Tuban suka merasani, hanya jadi beban kawula. Sekali ada yang menyerbu, jatuhlah negeri ini jadi jarahan. Tak juga ada yang berani menyerbu. Mereka tetap segan terhadap Pasukan Gajah. Dan semua orang tahu, seekor gajah sama ampuhnya dengan dua ratus prajurit kaki yang tangguh. Sedang binatang itu tak kenal kecut apalagi khianat. Ia telah berhasil menciptakan cara untuk mengikat kesetiaan desa-desa perbatasan dengan jalan mengambil hati penduduk: bunga-bunga tercantik diselir dengan gelar Nyi Ayu, dan mengirimkan keturunannya kembali ke desa sebagai punggawa dengan gelar Raden Bambang dan menjadi pujaan desa. Dengan demikian Sang Adipati telah menyebarkan ratusan dari anaknya di seluruh negeri. Untuk pembiayaan praja, desa-desa dikenakan upeti sepersepuluh dari setiap dan semua macam penghasilan dengan tambahan khusus: jatah untuk umpah gajah serta pembuatan dan pemeliharaan jalanan umum. Segala yang berhubungan dengan bandar dan wilayahnya dibiayai dengan penghasilan bandar. Dan Ishak Indrajit yang mengurus semua itu. Patih Tuban bertindak sebagai pengawas tertinggi dan pengatur tertinggi semua pekerjaan. Sang Adipati sudah puas dengan semua itu. Ia tak ingin terjadi suatu perubahan. Semua kawula mempunyai penghidupan yang layak. Semua lelaki dapat menghias dirinya dengan keris dengan pamor dan rangka sebagusbagusnya. Dan nampaknya semua akan abadi seperti itu sampai ia mati dan juga setelah ia mati, untuk selamalamanya. Walau ia membiarkan runtuhnya Majapahit, malah ikut mengambil prakarsa terjadinya persekutuan untuk itu, tak urung ia juga yang suka menebah dada sebagai pewaris kekaisaran benua yang sudah runtuh itu. Ia pergunakan bendera Majapahit untuk negeri dan kapal-kapalnya, merah-putih, hanya lebih panjang daripada yang lama. Tuban tidak hanya panglima tetap. Menurut tradisi Majapahit pula hanya di waktu perang seorang adipati atau menteri ditunjuk memegang jabatan itu. Setelah Majapahit jatuh dan Tuban jadi negeri bebas, kebiasaan tak berpanglima diteruskan. Keamanan Tuban Kota dilakukan oleh Pasukan Pengawal yang tidak banyak jumlahnya. Keselamatan praja dijaga oleh Pasukan Kuda, Gajah dan Kaki. Keamanan pantai dipegang oleh Pasukan Laut, yang juga tidak banyak, sedang keamanan desa-desa dilakukan oleh pagardesa yang terdiri atas pemuda-pemuda pilihan. Untuk mengambil hati rakyat di pesisir yang makin banyak yang memeluk Islam, ia telah perintahkan berdirinya sebuah mesjid di wilayah pelabuhan. Dalam waktu pendek bangunan itu telah menjadi suatu perkampungan Islam dari orang-orang Melayu, Aceh, Bugis, Gujarat, Parsi dan Arab. Sang Adipati tak pernah punya kekuatiran akan timbulnya pertentangan karena agama. Sejak purbakala penduduk Tuban tak punya prasangka keagamaan. Orang berpindah agama karena kesulitan dalam penghidupan, merasa dewa sembahannya tidak menggubrisnya maka dicarinya dewa sembahan lain. Sang Adipati juga mengijinkan berdirinya sebuah klenting batu yang jadi pusat perkampungan penduduk Tionghoa, Pecinan. Klenting yang lama telah dianggap terlalu kecil. Yang baru didirikan di sebelah barat pelabuhan. Keamanan, kedamaian, ketenteraman dan kesejahteraan yang didambakan dan dipertahankan dengan segala macam kebijaksanaan kini mulai terancam dari sebelah barat: Demak mulai bergerak dan merampas Jepara, daerah kekuasaan Tuban…. Tenang dan damai keadaan Tuban Kota. Gelisah hati Sang Adipati yang telah lanjut usia itu. Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang pengawal yang menungging. Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, kemudian segera berjongkok dan menyembah. Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala. “Mereka bukan saja telah menduduki Jepara… Bagaimana, Kakang Patih?” “Ampun, Gusti,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.” “Brandal-brandal itu mengimpi hendak menguasai laut.” “Ampun, Gusti, setelah Adipati Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat Gusti, sekarang dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati Unus. Konon kabarnya Unus adalah nama dewa baru penguasa lautan.” “Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” “Patik, Gusti. Gusti tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke timur.” “Dewa lama dan Allah baru tidak bakal membenarkan.” “Allah Dewa Batara, sekali Gusti titahkan, tidak hanya Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari Gusti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita.” : “Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di Jepara.” “Patik, Gusti. Tuban pun harus segera mengimbangi.” “Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimbangi.” “Patik, Gusti.” Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat pulang. Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah. Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas Angin singgah.” Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati, mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana sudah berubah, Gusti,” kemudian dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapalkapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga – tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, Gusti.” Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih membikin wajah tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat. Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman benang sutra kurung. “Ampun, Gusti sesembahan patik. Mereka, Gusti, menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapalkapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, tetapi layarnya jauh lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut, dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung menepis permukaan laut seperti camar.” “Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang Adipati memberanikan. “Layar-layarnya, Gusti, digambari dengan salib raksasa.” “Salib?” “Ampun, Gusti, hanya dua buah garis bersilang. Orang bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia, garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan karunia dewa di atas pada kerajaannya.” “Apa bedanya dengan swastika Buddha?” “Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, Gusti.” Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar, besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.” “Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan Wulungga yang keramat itu, Kakang Patih?” ‘Itulah kapal-kapal Peninggi, Gusti sesembahan patik,” jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat gambar kirakira dari kapal-kapal baru itu. “Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati memancing-mancing pendapat. Tenang dan damai keadaan Tuban Kota. Gelisah hati Sang Adipati yang telah lanjut usia itu. Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang pengawal yang menungging. Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, kemudian segera berjongkok dan menyembah. Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala. “Mereka bukan saja telah menduduki Jepara… Bagaimana, Kakang Patih?” “Ampun, Gusti,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.” “Brandal-brandal itu mengimpi hendak menguasai laut.” “Ampun, Gusti, setelah Adipati Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat Gusti, sekarang dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati Unus. Konon kabarnya Unus adalah nama dewa baru penguasa lautan.” “Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” “Patik, Gusti. Gusti tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke timur.” “Dewa lama dan Allah baru tidak bakal membenarkan.” “Allah Dewa Batara, sekali Gusti titahkan, tidak hanya Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari Gusti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita.” : “Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di Jepara.” “Patik, Gusti. Tuban pun harus segera mengimbangi.” “Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimbangi.” “Patik, Gusti.” Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat pulang. Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah. Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas Angin singgah.” Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati, mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana sudah berubah, Gusti,” kemudian dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapalkapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga – tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, Gusti.” Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih membikin wajah tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat. Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman benang sutra kuning. “Ampun, Gusti sesembahan patik. Mereka, Gusti, menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapalkapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, tetapi layarnya jauh lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut, dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung menepis permukaan laut seperti camar.” “Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang Adipati memberanikan. “Layar-layarnya, Gusti, digambari dengan salib raksasa.” “Salib?” “Ampun, Gusti, hanya dua buah garis bersilang. Orang bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia, garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan karunia dewa di atas pada kerajaannya.” “Apa bedanya dengan swastika Buddha?” “Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, Gusti.” Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar, besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.” “Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan Wulungga yang keramat itu, Kakang Patih?” ‘Itulah kapal-kapal Peninggi, Gusti sesembahan patik,”jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat gambar kira-kira dari kapal-kapal baru itu. “Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati memancing-mancing pendapat. “Kalau hanya sekedar bajak, Gusti, mereka bisa dihindari bahkan bisa dilawan. Mereka tak bisa dihindari. Bukan saja karena kelajuannya, karena layarnya yang berlapis-lapis, dapat mekar menggelembung seperti melati, sebesar tiga kali gajah, dapat mengempis seperti kantong kosong, dapat cepat digulung…, ya Gusti….” “Maksudmu meriamnya?” “Benar, Gusti, meriamnya, senjatanya itu, dapat memuntahkan api dan….” “Adakah Patih sedang mengulangi dongeng kanak-kanak itu.” “Ampun, Gusti. Dongengan kanak-kanak itu sekarang sudah jadi kenyataan.” “Kenyataan!” Sang Adipati terpekik. “Memuntahkan api! Apakah Kakang Patih bermaksud mengatakan ada bangsa lain di atas bumi ini punya cetbang Majapahit? Ada di negeri Atas Angin sana? Kakang Patih tidak hendak mendongeng lagi?” “Ampun, Gusti sesembahan patik. Ada bangsa jauh di Atas Angin sana punya semacam cetbang Majapahit. Lebih dahsyat, Gusti.” “Lebih dahsyat!” Sang Adipati berseru menyepelekan, tertawa kosong. Bergumam: “Ada yang lebih dahsyat dari cetbang Majapahit,” ia menuding pada langit tanpa mengangkat kepala. “Dari mana pula dongengan menarik itu berasal, kiranya?” Deburan ombak terdengar nyata. Tak ada manusia bergerak dalam sepengelihatan penguasa Tuban itu. Jauhjauh di darat nampak orang bersimpuh di atas tanah dengan kepala menunduk ke bumi. Dan di laut kapal dan perahu yang tertambat berayun-ayun dengan layar tergulung dan tiang-tiangnya menuding langit. ”Teruskan, Kakang Patih.” “Ampun, beribu ampun, Gusti. Dongengan patik yang indah ini datang menghadap Gusti untuk jadi bahan periksa, Gusti. Kapal-kapal Atas Angin pada gentar. Orang bilang banyak di antaranya telah mereka kirimkan ke dasar lautan. Semua pedagang mengimpikan dan memburu keuntungan, Gusti, maka benua dan lautan ditempuh. Mengetahui, dengan munculnya kapal-kapal Peranggi, bukan keuntungan yang teraih, tapi maut belaka, maka mereka lebih suka tinggal tidur di tengah-tengah mewahan di rumah masing-masing di bandar sendiri.” “Maka makin berkurang kapal-kapal Atas Angin datang?” “Demikian adanya, Gusti sesembahan patik.” Sang Adipati tercenung sebentar. Ia menunduk dan berpikir. Lambat-lambat kedua belah tangannya tertarik ke atas dan bertolak pinggang Sebentar dia berpaling dan menebarkan pandang pada laut, kemudian pada langit. Bertanya pelan: “Bagaimana bisa ada senjata lebih dahsyat dari cetbang?” “Beribu ampun, Gusti, cetbang mereka bukan sekedar dapat menyemburkan api dan meledak, juga memuntahkan bola-bola besi sebesar, sebesar, kata orang, sebesar buah kelapa” “Sebesar buah kelapa! Terkupas atau tidak?” “Gusti Adipati berolok-olok. Apakah bedanya buah kelapa itu terkupas atau tidak? Besi sebesar tinju pun akan dapat remukkan setiap kapal, Gusti.” Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terdiam. Juga destarnya yang panjang-panjang itu sebentar menggelepar tertiup angin. Intan, baiduri dan jamrud yang menghiasi bagian depan destar gemerlapan bermain-main dengan sinar surya. Bertanya seakan tak acuh: “Bangsa apa kata kakang tadi?” “Peranggi, Gusti. Orang bilang, ada bangsa lain, juga sama hebatnya, Ispanya namanya, Gusti. Kapal-kapal Atas Angin pada ketakutan, Gusti, biarpun hanya melihat dari kejauhan. Mereka sudah berlarian cari selamat, berlingsatan tunggang-langgang cari hidup. Sedang kapal Peranggi itu, Gusti, tak pernah belayar sendirian, selalu dalam rombongan, paling tidak dua atau tiga buah. Kapal-kapal Atas Angin itu, milik pedagang-pedagang itu, tak pernah dalam rombongan. Karena persaingan satu dengan yang lain, baik di laut mau pun di darat.” “Dalam rombongan seperti armada Majapahit?” “Benar, Gusti.” “Apa lagi ceritamu, Kakang Patih?” “Mereka lain dari orang-orang Arab, Parsi atau Benggala, lain dari semua bangsa yang pernah datang di Tuban. Mereka itu putih seperti kapas, seperti awan, seperti kapur, seperti bawang putih….” “Barangkali sebangsa hantu laut?” “Gusti berolok-olok. Mohon apalah kiranya tidak berolok-olok, Gusti. Keadaan dunia sungguh-sungguh sudah berubah. Gusti. Mereka punya negeri dan rajanya sendiri.” Sang Patih menurunkan nada suaranya dan meneruskan pelahan bercampur dengan tiupan angin… “Aku tak dengar, Kakang Patih, lebih keras.” “Ampun, Gusti. Dari dulu orang tua-tua sudah mendongeng tentang bangsa kulit putih, seperti dongeng tentang peri dan gandarwa, seperti dongengan orang Islam tentang jin, iblis dan setan, seperti dongengan tentang dedemit para leluhur. Sekarang ternyata bangsa manusia berkulit putih sesungguhnya ada.” Ia turunkan lagi nada suaranya sehingga hampir bergumam. “Siapa tahu, Gusti….” “Lebih keras!” “Ampun, Gusti, siapa tahu, barangkali pada suatu kali jin dan iblis dan setan orang-orang Islam juga punya negeri sendiri kapal dan cetbang.” Sang Adipati memperbaiki letak keris, kemudian dilambainya Syahbandar agar mendekat. Yang dilambainya bergerak, tetap berdiri dan mengangkat sembah kepala. “Apa pengetahuanmu tentang bangsa berkulit putih?” “Bangsa kafir itu, Gusti, bangsa berkulit putih, tapi hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, Gusti, hitam seperti jelaga periuk. Mereka tidak mengagungkan Allah Yang Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan orang Jawa pun bukan penyembah patung, kecuali pemeluk Buddha. Mereka penyembah patung, Gusti.” “Kafir atau tidak apa salahnya? Penyembah patung atau tidak apa buruknya? Roh, nyawa atau hatinya hitam atau putih atau kelabu ataupun ungu seperti bunga kecubung, apa peduli? Allah Maha Besar telah memberikan pada manusia berbagai macam warna. Selama mereka datang membawa kesejahteraan untuk bandar Tuban… siapa saja baik.” “Auzubillah min zalik!” seru Syahbandar. “Apa persembahanmu, Tuan Syahbandar?” “Diampuni oleh Allah apalah kiranya… Baik Peranggi, Gusti, maupun lspanya, memusuhi semua bangsa, memusuhi semua orang Islam, dan Yahudi, dan Buddha, dan Hindu, semua bangsa manusia. Mereka mau merajai segala-galanya. Tuhan akan mengenyahkan mereka dari muka bumi.” “Kapan Tuhan mengenyahkan mereka?” “Semua bangsa, Gusti,” sembah Ishak Indrajit terus dalam Melayu, “dengan bimbingan Allah. Kalau semua bangsa tidak mau, merekalah yang bakal menghalau kita semua….” “Di mana negerinya? Jauh atau dekat? Maka akan dapat mengenyahkan semua bangsa dari muka bumi?” “Jauh, Gusti, lebih jauh dari Parsi, Arabia ataupun Turki. Negerinya ada di atas Atas Angin.” “Kalau dongengan itu benar, pasti kapalnya banyak, kuat dan hebat, tentu mereka bangsa yang pandai dan gagahberani. Mereka telah lewati Ujung Selatan Wulungga yang tak pernah dilalui oleh nenek-moyang,” puji Sang Adipati pada bangsa yang belum dikenal itu. “Mereka diberanikan oleh iblis, dipimpin oleh setan, Gusti Adipati Tuban,” susul Syahbandar pada Sang Adipati tak senang. Sang Adipati tak memperhatikan. Pandangnya ditebarkan ke laut yang masih juga disebari perahu-perahu nelayan. Angin yang meniupi dadanya membikin bulu dada yang putih itu berombak. Tak dirasainya seekor lalat hinggap pada dagunya. Ia sedang bekerja keras memanggil kapal-kapal Peranggi dan lspanya dalam angan-angan. “Bangsa-bangsa Atas Angin takut pada mereka,” tibatiba ia berpaling pada Syahbandar. “Tuan Syahbandar, bagaimana bisa orang-orang Islam takut pada kafir?” “Senjata dari iblis!” Sang Adipati mengulangi. “Sihir namanya, Gusti.” “Sihir!” Sang Adipati mengulangi, melecehkan. “Kalau begitu orang Islam pasti punya mantra-mantra penangkal.” Syahbandar terdiam, menunduk lebih dalam, tak menemukan kata-kata jawaban. Tubuhnya yang tinggi jangkung nampak meriut kecil. “Ampun, Gusti sesembahan patik,” sela Sang Patih sambil menyembah, “adapun senjata itu sama sekali bukan sihir, justru cetbang yang lebih ampuh. Kapal-kapal tak bisa lari dari tudingannya. Senjata itu dapat menenggelamkan kapal yang sebesar-besarnya dari jarak sepemandangan.” “Jadi sungguh-sungguh mereka memusuhi semua kapal?” “Benar, Gusti, dan terutama kapal-kapal berbendera bulan dan bintang, semua kapal Islam, juga kapal-kapal bukan Islam dari Benggala, semua.” “Apa yang mereka cari, orang-orang… apa pula namanya tadi?” “Peranggi, Gusti,” sembah Sang Patih. “Semua, Gusti, semua yang mereka cari, terutama rempah-rempah.” Tiba-tiba Sang Adipati tertawa senang dan bergumam pada angin mendesau: “Ha! Rempah-rempah! Seperti kapalkapal lain, seperti yang selebihnya. Rempah-rempah. Hai!” “Beribu ampun, Gusti,” Sang Patih meneruskan, “para nakhoda bilang mereka mulai kelihatan di Malagasi, memasuki Teluk Parsi dan mengamuk tiada terlawan. Kapal-kapal armada gabungan dari beberapa negeri dibabat lenyap ditelan laut… Sekarang mereka bukan hanya sudah mulai kelihatan di Benggala dan Langka, juga sudah menduduki Goa. Ya, Gusti, bila senjata mereka berdentum, langit seperti belah dan hati yang mendengarnya jadi ciut. Burung-burung lumpuh sayap dan berjatuhan mati. Bolabola besi sebesar kelapa bersemburan, mendesis di udara. Tumpaslah kapal yang terkena.” Sang Adipati tersenyum. Berseru pelahan: “Ya-ya-ya, pastilah mereka memang bangsa-bangsa unggul. Tuan Syahbandar, meriam bukan nama senjata itu?” “Ampun, Gusti, dikutuk oleh Allah apalah kiranya mereka itu. Gusti, Mereka namai senjata itu dengan nama Dewi Ibunda Nabi Isa, Mariam, Gusti. Bukan mereka sendiri yang menamainya, memang. Kata orang sebelum mereka mendentumkan senjatanya, beramai-ramai mereka memekikkan nama Ibunda Nabi Isa alaihissalaam. Api pun menyemburat dari moncong senjatanya dan bola besi itu melesit ke udara seperti peluru cetbang, hampir-hampir tak dapat ditangkap oleh mata. Kemudian senjata itu dinamai Meriam.” Sang Adipati mulai bosan mendengar keterangan bertele. Ia bergerak dari tempatnya, melangkah menuju pada kudanya. Semua prajurit pengawal menyembah dan beringsut menjauhkan diri. Prajurit pengawal pemegang kuda itu pun mengangkat sembah, menyerahkan kendali padanya, menyembah lagi. bersujud ke tanah, kemudian menungging untuk jadi anak tangga. Tanpa memperhatikan yang lain-lain Sang Adipati naik ke atas punggung orang dengan sebelah kaki, dan dengan kaki lain melompat ke atas punggung kuda. Sang Patih juga naik ke atas kudanya, bergerak mengiringkan Sang Adipati. Syahbandar tertinggal di tempatnya…. 0o-dw-o0 Kapal unggul senjata unggul bangsa unggul kulit putih, rempah-rempah, salib… semua menjadi masalah ganda yang berjubal dalam kepala Sang Adipati. Ia membutuhkan waktu untuk memikirkan semua itu. Bangsa-bangsa menjadi kaya karena berdagang rempahrempah. Mungkin satu bangsa bisa menjadi unggul karena mencari rempah-rempah? Uh, pertanyaan lucu. Orang takkan mati tanpa dia. Bangsa-bangsa mencarinya karena memang sudah unggul Mungkinkah suatu bangsa bisa jadi unggul hanya karena punya senjata unggul? Hhhh, pertanyaan bodoh. Bangsa unggul saja bisa membikin dan menggunakan senjata unggul. Ada suatu lembaga yang membikin mereka jadi unggul, maka segala yang ditanganinya juga jadi unggul: kapal dan senjata. Mereka pergi ke mana-mana untuk mengalahkan dan menaklukkan. Hanya yang dapat menahan dan mengalahkan mereka lebih unggul. Salib itukah mungkin lambang lembaganya? Sekarang ini siapa yang tahu? Barang siapa bisa menjawab, dialah si pembohong itu. Orang harus mengenal lebih dulu bangsa-bangsa dari negeri terjauh ini, bangsa-bangsa dari atas Atas Angin, bangsa-bangsa yang telah menaklukkan Ujung Selatan Wulungga yang belum pernah ditembus kapal-kapal Majapahit. Tapi mereka membutuhkan rempah-rempah! Mereka bangsa manusia biasa. Mereka juga bisa dikendalikan melalui kebutuhannya. Tuban punya rempah-rempah! Mereka akan datang kemari. Dan melalui kebutuhannya mereka akan aku kendalikan! 0o-dw-o0 Tanpa mereka semua ketahui, sesuatu telah berubah di dunia yang tak dikenal di utara, jauh di baratlaut sana. Senjata baru, meriam itu, sesungguhnya sama nenekmoyangnya dengan cetbang Majapahit. Tahun tolaknya dari Tiongkok pun sama: 1292 Masehi. Bersama dengan balatentara Kublai Khan yang melakukan expedisi penghukuman di Singasari, nenek-moyang cetbang Majapahit dibawa serta di samping kuda perang dari Mongolia dan Korea3. Majapahit semasa Mahapatih Gajah Mada telah mengembangkan senjata api ini jadi cetbang. Lawan-lawan Majapahit pada mulanya menamai senjata ini “sihir api petir”, karena dari bawah ia memancarkan api dan di udara atau pada sasaran dia meledak. Dengan cetbang, dalam hanya dua puluh tahun Majapahit Gajah Mada berhasil dapat mempersatukan Nusantara menjadi kekaisaran Malasya, kekaisaran Asia Tenggara. Setelah itu cetbang tidak berkembang lagi. Pada tahun 1292 itu juga prinsip.senjata-api bertolak dari Tiongkok, dibawa oleh Marco Polo dan diperkenalkan di Eropa. Orang mengetawakan dan mengejeknya, juga setelah matinya. Makin banyaknya orang Eropa berkunjung ke Tiongkok menyebabkan orang lebih mengerti dan mulai mencoba-coba membikin sendiri. Perkembangan selanjutnya melahirkan musket. Dengannya Portugis dan Spanyol mengusir penjajahan Arab di negeri mereka, semenanjung Iberia. Musket dibikin dalam bentuk raksasa menjadi meriam. Dengannya mereka mempersenjatai kapal-kapal, mengarungi samudra tanpa gangguan. Seperti halnya dengan Majapahit, dengan kapal dan senjatanya mereka mulai menguasai jalan laut dan musuh-musuhnya, menaklukkan dan menjajah negeri. Cetbang dan kapal unggul Majapahit pada suatu kali telah menghancurkan dirinya sendiri dalam Perang Paregreg. Juga Spanyol dan Portugis akan musnah karenanya sekiranya Tahta Sua tidak segera turun tangan meleraikan dua negeri ini dengan Jus Patronatus atau Padroado, yang membelah dunia non-Kristen jadi dua bagian, sebagian untuk Portugis dan yang lain untuk Spanyol. Dan mulailah kapal-kapal mereka tanpa ragu-ragu menjelajahi dunia dengan salib sebagai panji-panjinya, menaklukkan dan menguasai bangsa dan negeri-negeri yang dianggapnya dalam belah dunia bagiannya…. Dalam perjalanan Sang Adipati memerlukan menengok ke belakang. Diberinya Sang Patih isyarat agar mendekat Suaranya sayup-sayup di antara gemerincing giring-giring dan derap kuda, terdengar ragu-ragu: “Kakang Patih, bukankah telah Kakang ketahui sendiri bagaimana telah kami petaruhkan hari depan pada kejayaan Islam? Bukankah banyak di antara putra-putra kami telah menggunakan nama Islam yang diberikan oleh gurugurunya? Kami biarkan putra kami Raden Said mendalami agama Atas Angin ini, dan sekarang jadi pemuka Islam yang dihormati, hidup sebagai pandita dan pertapa, berpakaian seperti orang tidak ber bangsa. Berapa sudah di antara putra-putra kami, kami sengajakan mengabdi pada raja Islam Demak, karena percaya Islamlah yang jaya kelak. Apa sekarang? Kapal-kapal Islam takut pada kafir-kafir Peranggi dan Ispanya….” “Patik, Gusti,” Sang Patih menunduk dan mengangkat sembah. “Bagaimana kira-kira jadinya semua ini nanti?” “Allah Dewa Batara!” sebut Sang Patih tak bisa menjawab. “Kakang Patih, bagaimana warta putra mahkota Demak setelah merampas Jepara, wilayah kami?” “Belum banyak yang dapat dipersembahkan. Gusti.” “Kerajaan pedalaman. Tanahnya lebih tandus dari Tuban. Tak punya laut. Selmrang membutuhkan bandar sendiri. Adakah kota Semarang sudah menolak memunggah barang-barangnya maka ia memberandali wilayah kami? Apakah Demak sudah bercekeok dengan Semarang?” “Rupa-rupanya perlu dikirimkan telik, Gusti.” Sang Adipati tidak menanggapi, meneruskan dengan suara lebih keras: “Apakah ada dugaanmu putra mahkota Demak merampas wilayah kami, Jepara, untuk membangun sebuah Angkatan Laut?” “Demikian konon wartanya, ya Gusti. Sudah sejak lama, sejak kecil Adipati Unus, putra mahkota Demak, ditimangtimang oleh Ibundanya jadi Laksamana, merajai kepulauan dan lautan. Gusti.” Sang Adipati tak meneruskan pertanyaannya. Sang Patih melambatkan kudanya sehingga kembali tercecer di belakang. Sesampainya di alun-alun tiba-tiba Sang Adipati menengok lagi ke belakang, bertanya waktu menghentikan kudanya: “Apakah putra mahkota Demak, Adipati Unus, sudah memerintahkan pembikinan kapal perang?” “Baru pendirian galangan-galangan, Gusti,” sembah Sang Patih. “Boleh jadi sudah terjadi perpecahan antara Semarang dan Demak, sekiranya tak ada lagi tenaga Cina membantu di Jepara. Kakang Patih, keterangan itu harus didapatkan.” “Patik, Gusti.” “Dan lebih berhati-hati terhadap Lao Sam. Setiap ada sesuatu yang mencurigakan, hancurkan saja bandar itu.” “Patik Gusti. Lao Sam nampaknya tetap tenang, tidak membentuk kekuatan seperti Semarang. Jaraknya pun sangat dekat dengan Tuban. Dalam tiga hari pasukan Gusti Adipati sudah dapat mencapainya melewati pesisir. Hancurlah dia! Yang agak mencurigakan justru Jepara, Gusti. Konon putra mahkota Demak, Adipati Unus, mulai mendatangkan pandai cor dari Pasuruan.” “Pandai-pandai itu tentunya Hindu.” “Tidak bisa lain, Gusti.” “Jadi Islam bisa kerjasama dengan Hindu?” “Nampaknya demikian. Nampaknya pula sedang ada persiapan membikin cetbang di sana.” “Kalau itu benar, raja Islam itu sedang punya persiapan membikin yang berbahaya. Segera kirimkan telik.” “Patik, Gusti sesembahan.” “Apakah menurut dugaanmu Unus berani mengeluari Peranggi dan Ispanya?” “Kuda-kuda itu berhenti. Juga para pengawal di depan dan belakang. “Konon kabarnya, Gusti, putra mahkota itu telah bersumpah akan membentengi Islam di belah bumi sini, bumi selatan.” Sang Adipati mengangguk-angguk. Kudanya digerakkan lagi dan berjalan melewati gapura. “Brandal-brandal itu hendak beramin jadi satria.” Para pengawal gerbang pada bersimpuh dan mengangkat sembah. Tombak dan perisai mereka bergeletakan damai di atas bumi. Sang Adipati tak memperhatikan, langsung berkendara menuju ke pendopo. Seorang pengawal menerima kuda dan seorang lain menyediakan punggung untuk jadi anak tangga. Ia turun tapi tak langsung masuk ke dalam. Sang Patih mengerti masih diperlukan. Setelah turun dari kuda ia datang menghadap dan langsung mendapat teguran: “Banyak nian yang tak Kakang persembahkan selama ini.” “Ampun, Gusti. Patik telah persembahkan semua, ya Gusti. Nampaknya Gusti kurang mengkaruniakan perhatian. Ampun, Gusti, tentulah karena banyak hal lain sedang jadi pikiran Gusti.” “Tentu Kakang Patih benar. Apakah menurut dugaan Kakang, Unus dapat mengalahkan mereka? Tanpa meriam dan hanya dengan cetbang bikinan pandai cor Blambangan?” “Ya, Gusti, bagaimana patik harus persembahkan? Waktu patik masih kecil, nenek patik pernah bercerita tentang kapal-kapal Majapahit, dan menurut katanya pula Mahapatih Gajah Mada pernah bersembah pada Sri Baginda Kaisar Hayam Wuruk: hanya kapal-kapal yang bisa melalui Ujung Selatan Wulungga tertitahkan untuk menguasai buana, Peranggi dan Ispanya bukan hanya melalui, mereka telah datang dari balik Ujung Selatan.” “Nyata Majapahit tak pernah berhasil melaluinya.” “Tidak pernah, Gusti. Ujung Selatan selama ini selalu dianggap jadi batas dunia. Tak ada daratan dan lautan lagi di sebaliknya, jatuh curam langsung ke neraka.” “Dan kapal-kapal mereka telah melewatinya. Datang langsung dari neraka itu! Kapal-kapal Unus barangkali masih dalam angan-angan, jauh dari ujian Ujung Selatan Wulungga.” Sang Adipati berbalik meninggalkan Sang Patih dan masuk ke dalam kadipaten. Sang Patih, juga semua yang tertinggal, mengangkat sembah. Ia mengambil kudanya dari tangan seorang prajurit pengawal dan keluar meninggalkan kadipaten. Belum lagi sampai ke kepatihan, seorang penunggang kuda telah menyusulnya. Sang Adipati sedang menunggunya di dalam kadipaten. Ia berbalik menuju ke kadipaten. Ia dapati Sang Adipati sedang duduk berfikir dengan wajah menekuri lantai. Dan duduklah ia di bawah mengangkat sembah. “Mereka sudah lewati Ujung Selatan Wulungga, Kakang Patih. Tentu mereka telah kalahkan kapal-kapal Parsi, Mesir, Turki, Arabia, Benggali dan Langka. Mereka akan kalahkan juga kapal-kapal Aceh, dan Melayu, Jawa dan Tuban sendiri.” “Gusti.” “Mengapa musti mengalahkan, Kakang Patih? Bukankah kapal-kapal asing datang kemari bukan untuk mengalahkan kita? Tak pernah yang demikian terjadi sejak nenekmoyang, kecuali orang-orang Tartar yang dibinasakan itu.” “Nampaknya Peranggi dan Ispanya lain daripada yang lain, Gusti. Mereka bukan sekedar mencari dagangan dan rempah-rempah. Mereka datang ke mana-mana untuk mencari negeri asal rempah-rempah. Mereka hendak merampas semua untuk dirinya sendiri.” “Kerakusan tiada tara. Mengapa tidak mau berbagi?” “Konon wartanya, Gusti, mereka tadinya bangsa miskin. Sekarang baru keluar dari kemiskinan, baru melihat dunia, mulai merabai dan merampasi semua barang apa yang baru dilihatnya, apa saja yang indah, yang mahal, seperti si lapar melihat sajian, ya Gusti.” Sang Adipati tersenyum. “Si lapar melihat sajian. Perbandingan yang indah. Ya barangkali benar begitu. Dan mereka akan datang ke sini juga akhir-akhir kelaknya. Semoga mereka telah kenyang dalam perjalanan.” “Kerakusan tidak mengenal kenyang, Gusti.” “Kakang Patih benar. Kadang-kadang memang memusingkan untuk memahami hal-hal baru. Kapal unggul, kelaparan unggul. Sebaliknya, Kakang Patih, mereka yang justru memiliki negeri yang menghasilkan rempah-rempah, sepanjang sejarahnya selalu hidup dalam kemiskinan dan perbudakan. Mereka yang datang mencari rempah-rempah yang jaya dan kaya. Bagaimana harus memahami ini, Kakang?” ”Itulah suratan tangan bangsa-bangsa. Gusti, hanya para pendita bijaksana dapat menerangkan.” “Sekarang rempah-rempah juga yang memanggil kerakusan yang tak mau berbagi. Kerakusan yang mau berkuasa dan memiliki untuk diri sendiri semata, membunuh dan menenggelamkan. Mereka makin mendekati Tuban. Rasa-rasanya telah dapat kami dengar bunyi meriamnya, memekakkan dan melumpuhkan burungburung di cakrawala.” Suaranya menjadi pelahan mendekati bisikan: “Tapi Adipati Tuban tidak gentar, Kakang. Hanya awas-awas pada yang di barat sana: Semarang, Demak, Jepara, Lao Sam.” Sebentar ia berhenti bicara, tersenyum menimbangnimbang, matanya berkilau, wajahnya berseri: “Ya, padasuatu kali mereka, manusia berkulit putih lucu itu, seperti bawang, anak bangsa unggul itu, akan datang kemari. Kapal-kapal mereka akan terikat pada patok dermaga Tuban.” Sekarang ia tertawa, semakin riang, “untuk Tuban, Kakang Patih, mereka tidak akan mendatangkan kebinasaan atau kehancuran….” “Allah Dewa Batara membimbing Gusti Adipati Sesembahan.” “… mereka akan datang membawa kekayaan, kemakmuran melimpah, mas, perak, tembaga, sutra, intan, permata, akan berjatuhan, berhamburan di Tuban, dari kapal-kapal mereka. Sudah kudengar mereka bersorak-sorai. Bukan sorak kemenangan, bukan sorak-sorai minta beli lebih banyak! Rempah-rempah! Rempah-rempah! Kerahkan semua armada niaga, Kakang Patih. Semua. Ke Mamuluk. Angkut semua yang ada. Ke Tuban. Itu perintah kami.” 1 Sang Adipati masuk ke peraduan dan memusatkan seluruh pikirannya untuk mendapatkan keuntungan dari perubahan baru tanpa harus mengurangi keuntungan yang bisa didapatkan dari kapal-kapal Islam, Nusantara dan Tiongkok. 0o-dw-o0 Pada waktu ia tenggelam dalam pikirannya, jauh, jauh dari Tuban, kejadian-kejadian besar telah datang silihberganti, baik di negeri Portugis maupun Ispanya. Pada 1492 Kristoforus Colombo telah menyeberangi samudra Atlantik, menemukan benua baru Amerika. Tak lama kemudian Ispanya dan Portugis merajai benua baru itu. Enam tahun kemudian, pada 1498 pelaut Portugis Yasco da Gama mulai menjelajah dunia Timur, dengan panjipanji Jus Patronatus yang dikeluarkan oleh Tahta Suci pada 4 Mei 1493. Kapalnya memasuki Malabar dan Goa dan ikut serta pula kekuasaannya. Jalan laut kapal-kapal Islam mulai terdekat. Pangkalanpangkalan diambil-alih dengan meriam…. 0o-dw-o0 Turunan kuda Korea di Jawa kemudian disebut kuda Kore. Senjata ini didasarkan atas prinsip roket, yang dilemparkan dan diarahkan dengan laras dengan tolakan ledakan. 0o-dw-o0 3. Menjelang Pesta Lomba Seni dan Olahraga Dulu di Wilwatikta, ibukota Majapahit, terdapat dua istana. Sebuah istana Kaisar, yang lain istana Sang Dharmadhyaksa, penghulu agung ummat Buddha. Sekarang di Tuban Kota terdapat dua gedung utama. Sebuah adalah kadipaten, yang lain gedung penghulu negeri ummat Islam Tuban. Sekarang gedung kayu besar megah itu tidak lagi ditinggali oleh Sang Penghulu, kosong. Tetapi beberapa hari belakangan seluruh pelatarannya dikelilingi pagar papan kayu tinggi. Dari jalanan hanya nampak atapnya yang dari sirap jati, kelabu kehitaman. Melalui pagar setinggi tiga depa itu orang tak dapat meninjau ke dalam. Penghuninya, Penghulu Negeri berasal dari seberang, telah dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang Adipati. Dahulu ia diangkat untuk mengurusi soal-soal agama penduduk dan mengajarkan Islam pada anak-anak pembesar. Ia juga diangkat untuk jadi guru putra-putra Sang Adipati. Tetapi ia menyia-nyiakan agama-agama lain yang masih dipeluk oleh penduduk negeri Tuban. Sekarang gedung utama kedua itu tertinggal kosong. Setelah pelataran dipagari tinggi orang justru pada datang dalam bondongan dan menggerombol, mencoba dapat mengintip ke balik dinding pagar. Berita telah pecah ke seluruh kota: Bidadari Awis Krambil, I dayu, juara tari dua kali berturut, telah datang ke Tuban Kota untuk menggondol kejuaraan ketiga kalinya. Desas-desus meniup sejadi-jadinya: dia datang untuk takkan balik ke desanya lagi – sebagai bunga perbatasan pasti dia akan diselir oleh Sang Adipati. Sebelum bidadari itu jadi milik pribadi Sang Adipati orang memerlukan datang untuk membelainya dengan pandangnya. Beberapa pemuda telah bermimpi akan melarikannya. Sebagai selir dia takkan dapat dipuja atau dikagumi lagi. Tapi rombongan seni dan olahraga dari Awis Krambil belum lagi tiba. Desas-desus telah datang mendahului, memercik ke seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. Dan tak lain dari kepala desa Awis Krambil sendiri yang merencanakan dan menitipkannya. Rombongan yang belum datang itu tak tahu-menahu. Hanya mereka yang melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaranya: Wejangan terakhir Rama Cluring telah membawa desa Awis Krambil ke tepi kebinasaan. Dengan keputusan sendiri ia telah meracuni guru-pembicara itu. Dan pada upacara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa, terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia mengakui di depan umum, ia sendiri yang telah meracunnya untuk menghindari murka Sang Adipati. Setelah itu ia datang pada Idayu dan Galeng, membatalkan rencana perkawinan mereka, menangguhkan sampai sehabis Lomba Seni dan Olahraga. Mereka berdua telah merawat Rama Cluring sampai matinya. Mereka harus digiring ke Tuban Kota, biar Sang Adipati segera dapat menjatuhkan hukumannya. Ia tahu pasti segala sesuatu tentang Awis Krambil telah sampai pada Sang Patih dan Sang Adipati. Dan desas-desus itu perlu untuk mengingatkan mereka pada Awis Krambil, pada Rama Cluring, Galeng dan Idayu, dan: tindakannya yang bijaksana. Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan. Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbulumbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua untuk senang menerima kedatangannya. Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan bersorak-sorai gegap-gempita. “Dirgahayu, Awis Krambil! Dirgahayu Idayu!” Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun. Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun. Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek, nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri, kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang pada Idayu, mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan buahdadanya. Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyibunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten, dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya dengan pandang rakus. Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Soraksorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara: “Dirgahayu Awis Krambil!” “Dirgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton, meledak serentak. “Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang. “Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya. Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan tajam-tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.” Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, Gusti Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!” Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin gemuruh. “Nah, wanita-wanita Awis Krambil. Kalian sudah dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian dari upacara, setelah keluarnya larangan. Semua wanita pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh. Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa mudanya. “Jangan biarkan Sang Surya malu melihat kalian. Cepat, karena seluruh Kota sudah menunggu.” Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian yang sesungguhnya. Gamelan semakin riuh dan tarian semakin indah. Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan. Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbulumbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua untuk senang menerima kedatangannya. Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan bersorak-sorai gegap-gempita. “Dirgahayu, Awis Krambil! Dirgahayu Idayu!” Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun. Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun. Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek, nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri, kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang pada Idayu, mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan buahdadanya. Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyibunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten, dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya dengan pandang rakus. Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Soraksorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara: “Dirgahayu Awis Krambil!” “Dirgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton, meledak serentak. ‘Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang. “Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya. Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan tajam-tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.” Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, Gusti Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!” Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin gemuruh. “Nah, wanita-wanita Awis Krambil. Kalian sudah dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian dari upacara, setelah keluarnya larangan. Semua wanita pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh. Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa mudanya. “Jangan biarkan Sang Surya malu melihat kalian. Cepat, karena seluruh Kota sudah menunggu.” Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian yang sesungguhnya. Gamelan semakin riuh dan tarian semakin indah. Rombongan Awis Krambil semakin tebal dan panjang. Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah tanpa menuntut simpuh dan sembah. Gerobak pada melarikan diri sebelum terseret dalam kepadatan manusia. Sepanjang jalan seruan dirgahayu berderai bersambutsambutan. Sampai di depan bekas gedung Penghulu Negeri yang terpagari papan kayu tinggi, iring-iringan berhenti. Pintu pagar terbuka lebar. Seorang penyambut berdiri di tengah-tengah pintu. Ia berkain. Karena tubuhnya tinggi, kain itu tak mencapai matakaki. Dadanya telanjang. Ia tak mengenakan selendang sutra yang menyelimpangi dada. Di tangannya ia membawa pedang terhunus. Di kiri dan kanannya berdiri pengawal bertombak dan berperisai. “Dari mana semua ini, maka membikin onar di Kota?” “Kami,” jawab kepala desa yang melompat ke depan, “dari desa perbatasan Awis Krambil.” “Apa keperluanmu, pelancang?” gertak penyambut sambil mengamangkan pedangnya. Dua orang pengawalnya maju, memasang kuda-kuda dengan tombaknya. “Datang ke kota untuk merebut kejuaraan. Berikanlah pintu pada rombongan terbaik seluruh negeri ini,” jawab kepala desa. “Ahai! Datang untuk merebut kejuaraan. Tidak semudah itu orang desa!” “Berilah kami kesempatan!” “Baik, masukkan semua rombonganmu, dan pergi nyah kau dari sini.” Dan dengan demikian rombongan Awis Krambil masuk, kecuali bukan peserta. Penonton bersorak-sorai, bergalau memanggil-manggil Idayu. Dan pintu pagar tertutup rapat. 0o-dw-o0 Dua hari rombongan peserta Awis Krambil telah diasramakan. Pria menempati bangunan sebelah kanan, wanita sebelah kiri. Semua wakil desa-desa telah datang. Latihan pun sudah dimulai Di bandar saudagar-saudagar, asing dan Pribumi mengadakan taruhan satu sepuluh: datang-tidaknya Sang Adipati ke asrama untuk mengunjungi Idayu. Datang berarti bidadari Awis Krambil akan terambil jadi selir. Taruhan itu sampai mencapai seluruh muatan kapal, malahan kapalnya sendiri. Suasana hangat membubung di atas bumi dan kepala manusia Tuban Kota. Punggawa-punggawa desa Awis Krambil semakin giat meniup-niupkan desas-desus. Dan hanya tiga orang saja sekarang tak tahu tentang itu: Idayu sendiri, Galeng dan Sang Adipati Penguasa Tuban itu masih juga sibuk menata pikiran menghadapi kemungkinan datangnya Portugis dan Spanyol. Juga Idayu tak kurang sibuknya: berlatih dan melakukan pekerjaan untuk kepentingan bersama: memasak dan membersihkan asrama. Galeng pun sibuk melatih otot-ototnya. Mereka turun ke kota dan memasuki asrama dengan hati berat. Persiapan perkawinan mereka kembali harus disimpan di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari punggawa desa itu mendatangi mereka, memaksa dengan segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka hendak melangsungkan perkawinan. Kemudian tak lain dari kepala desa sendiri yang datang. ‘Desa kita telah dicemarkan oleh mendiang Rama Cluring’, katanya. ‘Kehormatannya harus dipulihkan, dan’, kepala desa itu menuding Galeng, ‘kau bertanggungjawab juga dalam pencemaran itu!’ Galeng membantah dan punggawa itu tetap menudingnya, mengancam akan menyerahkannya pada pengawal perbatasan. Tahulah ia: otot-otot yang perkasa sama sekali tanpa daya menghadapi kekuasaan kepala desa. Ia menyerah tanpa rela hatinya. Sebelum pergi kepala desa masih mengancam: ‘Kau harus menggondol kemenangan itu di Tuban Kota nanti. Kembalikan kehormatan Awis Krambil! Ia hanya bisa mendeham menerima paksaan kepala desa, dan ia harus menggondol kemenangan. 0o-dw-o0 Galeng sedang menimba sumur asrama waktu didengarnya teguran seseorang: Ia menengok. Orang itu ternyata penantangnya dari desa lain, dikenal bernama Boris. Nama lengkapnya Borisrawa, seorang pengejek yang tajam menyayat kata-katanya. Galeng meletakkan timba dan menghampirinya. Dalam segala ukuran Boris kalah daripadanya, namun semangatnya untuk menang memancar kemilau pada matanya. “Kang Galeng,” katanya lagi. “Kau datang lagi ke Tuban Kota tahun ini.” “Kau juga, Boris.” Boris milirik tajam, bibirnya tertarik kejang mengejek: “Kau datang untuk menang? Atau untuk kehilangan Idayu?” Darah Galeng tersirap. Sekarang jelas padanya arti sindiran-sindiran selama dalam perjalanan dan memuncak dalam asrama ini. Dua masalahnya belum lagi terpecahkan: menang dan lepas dari hukuman Sang Adipati. Sekarang gelombang sindiran tentang kehilangan Idayu. Siapa bakal mampu merampas kekasih daripadanya kalau bukan punggawa? Ia masih dapat mengingat kebencian Rama Cluring terhadap para punggawa – kebencian yang bukan tanpa alasan. Dan pesan kepala desa dan anggota-anggota majelisnya untuk turun lagi ke gelanggang perlombaan. Ia masih dapat mengingat waktu Idayu menolak, dan rapat desa diadakan dengan terburu-buru. Ia pun masih dapat mengingat penutupan perlombaan tahun lalu: semua gadis perbatasan diperintahkan menari di pendopo kadipaten. Tak ada penduduk desa diperkenankan hadir. Dan kemudian desasdesus ini mata Sang Adipati tak lepas-lepas dari gadisnya, Idayu. “Idayu, Kang – rupanya kau sudah relakan dia,” tetaknya. Galeng mencoba tersenyum. Sumbang. Satu dugaan telah mendorongnya ke pojok: bukan salah seorang dari para punggawa itu, tapi Sang Adipati sendiri bakal merampas kekasihnya. “Betapa indahnya kehidupan di desa sendiri, ya Kang?” Boris masih juga mencoba membakar dan menganiaya hatinya. “Ya,” jawabnya hambar. Sebelum kepergian terakhir ke Tuban ia selalu merasa bangga melihat pandang pria yang memberahikan kekasihnya, pandang wanita yang mengagumi dan mencemburui. Seorang pun takkan bakal mampu merampas kekasihnya selama otot-otot dan kecekatannya masih dapat diandalkannya. Sekarang ia tersedar. kaum punggawa, terutama Sang Adipati sendiri bukan sekedar gumpalan otot perkasa dan kecekatan menggunakannya. Jauh lebih dari itu: kekuasaan atas hidup dan mati. “Mengapa kau diam saja, kang? Marah barangkali?” Begitu dilihatnya Galeng menjatuhkan pandang ke tanah basah berbatuan segera ia meneruskan: “Tak ada guna marah Kang, percuma. Barangkali hanya aku yang berani menyatakan ini terang-terangan padamu. Sekiranya kau marah, itu pun beralasan. Aku memang penantangmu. Hadapi aku nanti di gelanggang. Jangan di sumur sini.” Di luar dugaan Boris, Galeng tersenyum. Giginya kemudian muncul, nampak dan gemerlapan putih. “Gigimu masih putih, Kang. Apa akan tetap kau biarkan putih seperti itu?” “Gigimu pun masih putih, Boris. Kapan kau hitamkan?” “Bagiku tidak soal.” Tiba-tiba ia menetak lagi: “Aku tidak mengharapkan perawan atau jandanya Idayu, Kang. Kalau dia lepas dari tanganmu, apa gigimu akan tetap putih juga?” Galeng meninggalkan sumur dengan kesakitan dalam hatinya. Sekali ini kemarahan memang membuncah. Dan ia tak ingin terjadi perkelahian. Apa lagi ia tahu Boris sengaja hendak mengganggunya. Ia tak jadi menimba, masuk ke dalam asrama, hendak berdamai dengan hati sendiri. Tapi kembali ancaman kepala desa memasuki ingatannya. Kalau dia libatkan diriku pada Rama CIuring, tentu juga Idayu. Dia dan majelisnya telah giring kami ke Tuban Kota, ke hadapan Sang Adipati sendiri. Setiap orang tahu akibat gugatan terhadap punggawa, terhadap Sang Adipati, terhadap seorang raja. Hukuman. Mati. Tak ada tawaran lain. Tapi Rama CIuring tidak keliru, dia .benar, mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk kawula; segala tingkah laku mereka tak boleh disalahkan, sekalipun hanya dengan kata-kata. Aku dan Idayu akan ditindak. Tidak sekarang, pastilah nanti sehabis perlombaan. Ia pun tahu betul: ada aturan yang membebaskan setiap peserta perlombaan yang diasramakan dari segala tuntutan. Maka aku dan Idayu harus menang. Harus! Kemenangan saja yang barangkali dapat melepaskan kami berdua dari hukuman. Bebas! Bebas! Mungkin aku bisa bebas, tapi Idayu? Mungkinkah dia bisa balik ke Awis Krambil bersama denganku? Betapa bakal sunyi hidup ini tanpa Idayu, tanpa dia, tanpa tawa tanpa candanya. Dan apa pula arti duka-cita seorang anak desa seperti kami bagi seorang Adipati yang berkuasa atas hidup dan mati….? 0o-dw-o0 Idayu sedang masak waktu mendengar berita itu: “Galeng bingung! Galeng bimbang! Dia akan kalah di gelanggang nanti. Dia akan kehilangan dua: kejuaraan dan Idayu. Kalau dia menang, dia akan kehilangan satu: Idayu saja, kau saja. Dia tetap akan kehilangan.” ‘Teka-teki yang buruk,” Idayu menanggapi dan belum begitu menyedari duduk-perkara. “Bukan teka-teki. Kau sendiri lebih tahu dari aku.” “Apa maksudmu sesungguhnya?” ia tinggalkan periuk dan mendekati teman masaknya. “Maksudku, Idayu. Di desamu sana, semua orang melihat betapa indah dan bersinar kulitmu, agung kalau sudah menari, memikat, tinggi semampai seperti puncak gunung kapur. Di sini orang melihat kau hanya pada wajahmu. Tidak kurang tertarik.” Teman masak itu mendekatkan bibir pada kuping Idayu: “Kau akan tinggal di keputrian, Idayu.” Idayu membeliak. Centong pada tangannya luruh ke tanah. Wajah temannya tak nampak olehnya. Sebagai gantinya muncul kepala desa yang berkumis jarang dan kata-katanya yang lembut, manis dan membujuk: ‘Kecakapan dan kecantikanmu, Idayu, akan membantu kau mencapai segala yang jadi impianmu. Dan semua orang menilainya sebagai cantik dan tanpa tandingan dalam menari. Juga semua orang tahu harga kecantikan dalam percaturan kekuasaan, di desa ataupun kota. “Ya, Idayu, pemenang tunggal akhir-akhirnya Gusti Adipati juga. Tidak lain dari kau sendiri yang lebih mengerti. Sampai sekarang kabarnya Awis Krambil belum juga mendapat tambahan Raden Bambang, belum ada lagi Nyi Ayu….” Idayu menarik ke dua-dua lengannya jadi siku-siku, mengejang jari-jarinya pada pipi, mencengkeram udara kosong. Matanya berpendaran pada langit-langit dapur, hitam diselaputi jelaga tipis. Temannya memungut centong dan mencucinya dalam jambang air, kemudian membetulkan letak kayu bakar. “Tak ada pilihan lain bagimu, Idayu,” katanya lagi sambil melewatinya. Dalam mata batin Idayu kini terpampang dirinya sendiri, la mengerti betul kata-kata temannya itu. Dan ia diam. Satu doa kesejahteraan membubung dari dalam hatinya, mencari para dewa yang masih punya persediaan kemurahan…. Asrama itu sendiri terletak di tentang alun-alun, tak seberapa jauh dari gedung kadipaten. Di luar asrama orang-orang terus juga menggerombol dengan harapan pintu pagar sekali-sekali dibuka dan dapatlah pandang dilemparkan ke dalam. Hari semakin gelap. Beduk mesjid Kota dan mesjid pelabuhan telah bertalu-talu. Di sela desau dan deru ombak yang mendesak daratan terdengar azan bilal. Di depan asrama orang semakin banyak datang. Hampir pada setiap kepala mereka hidup satu gambaran: Idayu yang sedang menari pada perlombaan tahun yang lalu. Lebih dari itu: sedang tersenyum pada si pemilik hati masing-masing, senyum seorang bidadari pujaan. Idayu! Idayu! Hati mereka berseru-seru, berbisik-bisik, menggonggong dan melolong seperti anjing di musim kawin. Dan setiap orang di antaranya punya harapan: seorang dewa pemurah akan mengkaruniakan gadis perbatasan itu pada dirinya. Dan malam itu setelah mengikuti pelajaran tatakrama kerajaan bagaimana harus berlaku di hadapan para punggawa, terutama Sang Adipati sendiri, semua calon petanding menuju ke bangsal ketiduran masing-masing. Kelelahan berlatih dan bekerja membikin mereka terlalu rindu pada bantal. Idayu masuk ke bangsal wanita. Damarsewu pendek menerangi semua pojokan. Tanpa bicara ia rebahkan tubuhnya di antara kawan-kawannya wanita. Dan ia masih dapat menangkap sindiran dari sana-sini. “Siapa seminggu kemudian akan memasuki keputrian?” dan tawa terkikik-kikik menyusul berpantulan dari bibir ke bibir. Idayu diam saja dan hanya dapat berdoa. Ia rasakan duka-cita yang sedang menerjang kekasihnya. Dan kekasih yang dempal kuat itu muncul dalam perasaannya seperti seorang bayi seminggu yang membutuhkan perawatannya. Dan ia tak dapat memberikannya. Tanpa disadarinya matanya telah melepas mutiaramutiara, berkilauan tertimpa sinar damarsewu. Segala keindahan masa kemarin serasa akan bubar-buyar dari angan-angan kekasihnya. Yang tertinggal akan hanya sampahnya yang berhamburan tak menentu. Seorang demi seorang telah mulai tertidur. Akhirnya tenang. Deburan laut terdengar semakin nyata dan semakin nyata. Kadang berlomba dengan desah angin yang merobosi sirap. Sampai dengan kemarin ia masih terbiasa membayangkan sebuah pondok bambu beratap ilalang, berdiri sederhana di pinggir hutan. Galeng sendiri yang mengusulkan pendirian pondok itu. Dan mereka berdua akan membuka hutan di pinggiran desa itu, dan membuka huma seluas-luasnya untuk gogo dan palawija. ‘Ayam tak perlu banyak/ kekasihnya menyarani, ‘kecuali kalau hutan itu sudah terbuka luas. Tiga ekor induk dan seekor jago sudah cukup untuk permulaan. Dan sepasang anjing yang cerdas. Kelak atap ilalang akan kuganti dengan injuk. Sudah aku ketahui ada daerah enau. Aku sudah temukan daerah enau, Dayu! Kita akan bikin gula dan tuak sebanyak-banyaknya! Ia simpan gambaran itu sebagai suatu yang terlalu mahal sekarang ini. Kemudian Sang Adipati muncul dalam mata batinnya, bertolak pinggang, semua rambutnya telah putih, tegap, gagah, dan Galeng dihalau dari hadapannya. Kekasihnya itu merangkak pergi bersama dengan impian dan kesakitan sendiri. Dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Sudah terlalu banyak cerita tentang raja yang menghendaki perawan cantik dan menikam kekasih perawan dengan tangan dan keris sendiri. Ah, Galeng, Kang Galeng! Bahkan kekasihnya itu tak berani menengok untuk memandangi buat terakhir kali. Tiba-tiba ia tersedan pelan, sangat pelan. Apa pula arti air mata bagi Sang Adipati? Sedang nyawa orang pun miliknya? Ia tahu, di tangan Sang Adipati tak ada orang boleh menyentuh dirinya, Galeng tidak, orangtuanya sendiri pun tidak. Ia menggeragap bangun. Seorang bocah lelaki, berumur empat belasan, mendadak telah berdiri di hadapannya dan menyentuh dirinya. Telunjuknya, yang bercincin mas, terpasang pada bibir – ia memberi isyarat agar tak ada sesuatu bunyi. Ia pandangi anak itu dari balik selaputan air mata. Masih dilihatnya bocah itu berpakaian ningrat. Gelang mas menghiasi lengan. Destarnya saja menyangkal keningratannya, karena ujung-ujung pengikatnya terkanji kaku. Ikat pinggangnya dari kulit, lebar, berkilauan dengan hiasan perak. Dengan sikap rahasia si bocah menyerahkan secarik lontar. Dan sebelum Idayu sempat bertanya ia telah keluar dari bangsal wanita. Gadis Awis Krambil itu melangkah ke sebuah damarsewu dan membacanya: “Idayu, kekasih si Kakang. Jangan kaget karena datangnya lontar ini. Di luar sana malam, Idayu, tetapi dalam hatiku kekuatiran yang merajalela. Kalau nanti, Idayu, kekasih si Kakang, menang atau kalah dalam pertandingan, tahu-tahu Gusti Adipati menghendaki dirimu…. Idayu, pujaan si Kakang, bagaimana akan jadinya?” Perawan perbatasan itu menghela nafas panjang. Lontar itu diciumnya, kemudian ia gulung kecil, ia tekuk. Ia lepaskan subang kiri dari kuping dan membuka cepuknya. Gulungan kecil lontar itu dimasukkan ke dalamnya subang itu dikenakannya kembali. Ia merangkak ke ambin dan turun lagi mengambil kantong tipis dari anyaman bambu. Dari dalamnya ia keluarkan selembar lontar dan sepotong besi menggurit. Dengan penggurit itu ia mulai menulis. Setelah selesai disekanya dengan jelaga pelita dan muncul tulisannya. Si bocah menongolkan kepala di pintu. Idayu menyerahkan lontar balasan. Damarsewu tetap menyala. Menurut aturan asrama, lampu harus tetap menyala dari surya tenggelam sampai terbit…. Gerombolan orang di luar asrama sudah lama bubar dengan menyemaikan harapan untuk hari esok. Dalam bangsal pria, si bocah Pada menyerahkan lontar balasan pada Galeng. Juara gulat tahun lalu itu tanpa sabarnya segera membacanya. “Kakang Galeng, kakang si adik. Memang semua orang sudah bicara. Semua orang sudah tahu, Kang. Apa kau dan aku bisa perbuat, Kang? Gusti Adipati tak dapat kita hadapi. Semoga yang ini tidak akan terjadi. Kelak kau akan terpilih jadi kepala desa, Kang, kepala desa Awis Krambil. Aku akan jadi si embok lurah, ya Kang? Jangan pikirkan yang lain-lain kecuali pertandingan. Jangan malukan aku dengan kekalahan. Hyang Widhi mengabulkan, Kang.” Galeng menyorong lontar itu pada api damarsewu, terbakar, jadi abu. Ia pandangi Pada yang masih berdiri di sampingnya. Juara gulat itu mengangguk, dan bocah itu pergi menghindar, meneruskan kewajibannya meronda ke sekeliling asrama. Bocah itu lebih suka berada di bangsal wanita. Ke sana pula ia pergi. Baru dua tiga langkah ia masuk terdengar canang bertalu tiada hentinya. Ia berhenti dan mendengarkan. Kemudian terjadi yang diduganya: keributan terbit di dalam bangsal itu. Cepat-cepat ia masuk ke ruangan tidur. Para penghuni telah terbangun semua, bertanya satu pada yang lain: bunyi canang tak pernah masuk dalam acara. Pada berdiri tegak. Mata terarah pada Idayu yang juga berdiri bertanya-tanya. Ia angkat lengan, memberi isyarat agar semua tenang kembali. Lengannya yang bergelang mas diangkatnya semakin tinggi untuk memamerkan perhiasannya. “Para mbokayu calon juara!” katanya lantang tanpa ragu-ragu, seperti pembesar berpengalaman, “jangan kaget jangan terkejut, jangan gaduh, jangan ribut. Canang itu memang belum ada pada tahun yang lalu. Apalagi di malam hari seperti ini. Aturan baru, para mbokayu calon juara! Artinya, para mbokayu calon juara, pada malam ini kelihatan datangnya kapal asing akan memasuki pelabuhan.” “Mengapa dipukul terus seperti panggilan perang?” seseorang bertanya. ‘Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertama-tama sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan supaya siap-siap dengan barang dagangannya. Kedua untuk membangunkan para pekerja pelabuhan. Dan yang terpenting, para mbokayu calon juara: warta itu tertuju pada kadipaten, bukan pada asrama ini!” ‘Taluan canang itu lebih mirip dengan panggilan perang.” seseorang membantah. ”Kalau betul ada kapal asing datang, tentulah kapal Demak.” “Demak?” “Demak menyerbu dari laut?” “Tidak. Percayalah pada Pada ini. Tidurlah lagi semua mbokayu calon juara.” Gadis-gadis itu terlampau mudah diyakinkan dengan gerak gelang dan cincin Pada. Mereka kembali merangkak ke ambinnya masing-masing dan meneruskan tidurnya. Idayu justru mendekati Pada. “Tidur, mbokayu. Kau begitu pucat. Beberapa hari lagi pertandingan dimulai,” tegur Pada sebagai pejabat. “Jangan katakan pada siapa pun tentang lontar tadi,” bisik gadis perbatasan itu tanpa mengindahkan teguran. “Apakah ada nampak olehmu Pada ini tak dapat dipercaya?” si bocah berbisik kembali. “Percintaan memang dilarang di sini mbokayu.” “Bukannya aku tidak percaya. Kalau sampai terdengar ke sana….” Idayu menuding ke arah kadipaten, “apa bakal?” “Apa bakal jadinya?” ia mencibir, “Mbokayu celaka, Kang Galeng celaka. Aku lebih celaka lagi. Tentang yang sama itu bukankah Mbokayu sendiri yang tinggal pilih? Kang Galeng sendiri bisa apa? Memilih seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang sudah tahu soal Mbokayu dan Kang Galeng, dan soal Mbokayu dengan yang sana?” “Kalau bicara semaumu sendiri, Pada. Tak ada terniat dalam hatimu untuk membantu aku dan Kakang?” Untuk pertama kali dalam asrama gadis itu melihat mata si bocah, yang beberapa tahun lebih muda daripadanya itu, menyala-nyala memberahikannya. ‘Tak ada orang bisa membantu,” bisiknya berwibawa. “Hanya Mbokayu sendiri yang bisa menentukan, dan semua akan selesai. Bukankah Mbokayu seorang wanita di negeri sendiri?” “Kau benar, Pada,” ia mengalah setelah mengherani kebijaksanaannya. “Akhir-akhirnya aku bukan satu-satunya yang pernah menghadapi soal seperti ini. Si Mira dulu lebih suka menyobek perutnya. Si Dama lari ke negeri Atas Angin dengan Parta. Tapi memang tidak semudah itu, Pada. Kau harus membantu.” “Kalau kau sudah memutuskan, tentu mudah untuk membantu.” ”Sudah, tidurlah, Mbokayu calon juara. Makin banyak melanggar aturan makin tidak baik,” dan ia pergi. Si lancang mulut itu ke luar dari ruang tidur. 0o-dw-o0 Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada duduk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah panjang yang belum lagi berisi sarapan. Mereka sedang memikirkan sesuatu. Tubuh mereka yang dipenuhi oleh gumpalan otot kuat sejak leher sampai betis seakan bongkahan batu-batuan gunung yang terhempas di pinggir jalan. “Kongso Dalbi!” seseorang menyebut nama dengan dihembuskan. “Kongso – seperti nama orang sebelah barat sana. Barangkali dia punya darah Jawa dari sebelah sana.” Galeng diam-diam mendengarkan untuk mengetahui duduk perkara. “Dia bukan Jawa. Juga bukan turunan Jawa. Keling pun tidak. Kata orang kulitnya putih, rambutnya sama hitamnya dengan kita. Badannya tidak lebih dempal, tidak lebih tinggi, juga tidak lebih besar daripada kita.” “Jadi siapa Kongso Dalbi?” akhirnya Galeng bertanya juga. “Dasar tolol perbatasan, kau, juara tahun lalu. Apa guna ototmu kalau tak pernah dengar nama Kongso Dalbi? Dasar tolol perbatasan! Hanya Idayu saja tahu, itu pun bakal tak kau ketahui juga. Untuk selama-lamanya.” “Husy!” pengawas mendiamkan. “Kau, Galeng wajib tahunama itu. Memang tidak patut tidak mengetahuinya. Kongso Dalbi… orang Peranggi. Peranggi pun kau tidak tahu barangkali?” Galeng menggeleng dan Boris mentertawakannya. “Peranggi,” pengawas mengulangi. “Ayoh, kalian, siapa tahu tentang negeri Peranggi? Ayoh katakan siapa yang tahu.” Tak ada yang menjawab. Boris pun tidak “Di mana negeri Peranggi, Pengawas?” “Aku tak segagah tidak sedempal kalian. Rasanya sudah sepatutnya kalau aku pun tidak tahu.” “Jadi apa sedang kita bicarakan ini? Petai hampa? Ya, Boris? Petai hampa?” Galeng bertanya. “Tidak,” jawab Boris gagah, “ketahuilah, calon bekas juara, bahwasanya ada negeri di Atas Angin yang telah jatuh di tangan Peranggi. Sebuah negeri bandar. Goa namanya. Bandar itu sekarang dipergunakan jadi pangkalan kapal-kapalnya. Tak ada yang bisa mengalahkan kapaikapai mereka. Bagaimana bisa kalau mereka sudah bubar sebelum mencoba? Tapi kau jangan coba-coba, Kang Galeng. Di darat mungkin orang-orang Peranggi akan jadi pisang goreng di tanganmu, kau kemah-kemah, kau banting. Di laut. Kang, kau hanya agar-agar belaka di tangan mereka.” “Betul, Galeng,” pengawas membenarkan. “Hanya agaragar. Kau tak bakal bisa mendekat. Hanya mendekat! Tangan mereka terlalu panjang. Mereka bisa lemparkan bola-bola besi berapi padamu, sebesar sukun! Coba, sebesar sukun! Dan kau, Boris, perhatikan mulutmu. Anak perbatasan juga punya kehormatan dan harga diri. Jangan suka mengejek tidak sepatutnya.” “Biar, pengawas, daripada kalah untuk kedua kalinya di gelanggang ada baiknya dia diberi kemenangan di luar gelanggang,” Galeng melepaskan anak panahnya. “Biar dia bebas menggetarkan bibirnya sebelum lehernya patah.” “Husy,” cegah pengawas. “Kau pun sama saja, Galeng, uh. Kalian datang kemari untuk jadi petanding atau pembunuh? PUH! Kalian pulang ke desa masing-masing untuk membawa keharuman, bukan berita kengerian. Jangan kalian lupa.” “Betul, pengawas, betul sekali. Dan Kang Galeng,” kata Boris, “akan pulang, mungkin juga dengan membawa keharuman, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang lenggang-kangkung tak lagi bergandengan dengan seperti datangnya. Percaya sajalah. Sebagaimana surya terbit pada hari ini….” Tiba-tiba percakapan mereka terputus oleh bunyi canang bertalu. Tak lama kemudian canang kadipaten menyahuti bertalu pula. Dan apa pun yang sedang terjadi, menurut peraturan, yang berlatih tak diperkenankan berhenti sebelum sarapan pagi datang. Pengawas, yang mengetahui pemuda-pemuda tani dan pekerja tak punya kekuatan sebelum sarapan, mengambil kebijaksanaan untuk mengobrol sambil menunggu. Dan justru karena canang yang ramai bersahut-sahutan pengawas tak jadi meneruskan ceritanya, bahwa kapalkapal Peranggi sudah mulai kelihatan berkeliaran melewati Singhala Dwipa. Dari luar ruangan terdengar suara Pada berseru-seru seperti seorang pembesar “Para Mbokayu dan Kakang calon juara – sesuai dengan aturan, tahun ini – dengarkan baik-baik. Canang dari pelabuhan berarti: nakhoda dengan atau tanpa saudagar dari kapal semalam sudah berlabuh. Sekarang sudah siap menghadap Gusti Adipati Tuban. Canang kadipaten yang menyahuti menandakan: Gusti Adipati siap dihadap. Jangan gaduh, jangan gelisah. Tidak ada apa-apa. Hanya barang siapa ingin mengintip untuk melihat iring-iringan penghadap – kalau bisa mengintip – tapi jangan rusakkan pagar – jangan lewatkan kesempatan!” “Barangkali Kongso Dalbi!” Pengawas menyarani. Mereka berlompatan berebut dulu meninggalkan ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran depan dan bingung mencari lobang pada pagar. Mereka tak mendapatkannya. Mereka lari ke sana kemari mencari tumpukan batu atau kayu. Yang mendapatkan tangga berseri-seri dengan keunggulannya dan menebah dada dengan kemenangannya. Melewati pagar kayu tinggi itu orang melihat alun-alun yang lengang seperti biasa pada siang atau pagi hari. Jalanjalan raya pun senyap. Sebuah iring-iringan kecil menuju ke kadipaten. Beberapa orang yang sedang lewat tidak bersimpuh menghormati iring-iringan, tetapi berhenti menonton. Paling depan dalam iring-iringan itu berjalan Syahbandar Tuban Ishak Indrajit, yang lebih biasa disebut Rangga Ishak. Tubuhnya yang jangkung itu berjubah dan bersorban putih. Sedikit di belakangnya berjalan seorang nakhoda berbangsa Arab, berjubah dan bersorban coklat muda. Pada pergelangannya melingkar akar bahar besar. Ia berterompah seperti halnya dengan Syahbandar. Langkahnya tenang sambil membelai-belai jenggot yang sangat tebal lebat dan kepalanya selalu menunduk seakan sedang menghitung setiap batu yang dilewatinya. Di belakangnya menyusul para pemikul. Barang-barang yang dipikul selalu jadi pergunjingan. Orang mendapat kesempatan menaksir-naksir berapa dan apa macam yang bakal dipersembahkan. Dan orang bertaruh. Canang kadipaten bertalu satu-satu, pertanda iringiringan melewati gapura kadipaten. Dan para pengintip meninggalkan tempat masing-masing dan berlarian kembali ke dalam asrama untuk mendapatkan sarapan. 0o-dw-o0 Pada siang hari berita tentang kedatangan tamu itu meniup cepat. Benar ia seorang saudagar Arab, bukan nakhoda dan hanya bisa berbahasa Arab, Syahbandar yang jadi penterjemah. Persembahannya berupa permadani terindah dari Bagdad dan Ashkhabad untuk peraduan Gusti Adipati Tuban dan untuk keputrian. Kemudian: batu-batu permata dari Arabia, Birma dan Singhala Dwipa, kain khasaa dari Benggala, sutra Tiongkok, madu Arabia yang tiada tandingan, tembikar, kertas, kasut sulaman putri-putri Mesir dan Alqur’an. Lebih dari itu orang tak tahu. Tamu itu agak aneh, kata warta yang datang meniup. Ia telah memohon diperkenankan mempersembahkan sesuatu tanpa dihadiri atau didengar oleh siapa pun. Juga tidak diperlukan penterjemah. “Jadi dia bisa Melayu!” seseorang memberi komentar. “Mungkin juga pintar Jawa,” yang lain menambahi. Persoalan baru itu tidak menarik orang. Di dalam ruangan latihan Galeng berdiri di dekat sebuah meja rendah panjang yang kini telah ditaruhi cobek-cobek tanah berisi telur dan buah-buahan, penganan serta cawan minuman dan madu lebah. Para calon petanding pada memperhatikan gelang dan cincin mas Pada: Bocah yang punya gaya pembesar itu cekatan dalam mengatur letak makanan dan minuman: Hanya Galeng memperhatikan airmukanya. “Madu dan telor memang cukup, Pada,” tegur juara gulat dari Awis Krambil itu. ‘Tuak tidak. Tuak, Pada. Barangkali kau sendiri yang menghabiskannya.” “Ya, tuak! Tuak!” yang lain-lain membenarkan. “Tuak dilarang di sini!” Pada memekik sengit dan keras, berdiri tegak menantang mata setiap orang: Ia tahu tak ada di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada seorang pejabat: Dan ia seorang pejabat terpercaya dari Sang Adipati. “Semestinya Kakang semua ini sudah senang dengan pelayananku. Bukankah ada juga tuak kumasukkan untuk para Kakang? Apa tak juga mencukupi layananku? Tuak dilarang, kataku.” “Dulu tak begitu banyak larangan,” Galeng memprotes. “Memang. Kang Galeng tidak keliru: Dulu, dulu – sekarang, sekarang. Daging babi pun sekarang sudah tak boleh dihidangkan di sini. Di asrama sini, juga daging anjing.” “Nampaknya di Kota ini hanya larangan saja yang ada,” Galeng mengancam. “Belum lagi semua aku katakan. Nanti sore akan diresmikan larangan baru: orang tak boleh lagi memahat batu. Nanti sore.” Dan suaranya meningkat keras. “Kalau tidak percaya, dengarkan sendiri nanti di alun-alun. Juga itu belum semua. Semua batu berukir di dalam kota harus dikumpulkan di alun-alun – besok sampai lusa, sebelum perlombaan dimulai. Akan dibuang ke laut!” “Apa salahnya batu-batu itu? “Salahnya, karena mereka berukir!” jawab Pada ketus. “Kata orang, Gusti Adipati Tuban merasa segan terhadap putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar Islam, jadi guru pembicara di mana-mana, jadi Ulama, kata orang. Dan batu berukir dalam peraturan Islam, katanya, barangbarang jahat.” Mereka tak menyedari, Boris dengan diam-diam mendengarkan dan mendekati mereka: Matanya menyalanyala berang. Tiba-tiba ditariknya meja rendah panjang itu dan ditekuk-lipatnya dengan kedua belah tangan sampai gemertak patah. Cawan-cawan dan cobek beserta isinya jatuh pecah berhamburan di lantai. Dengan mata membelalak ia lemparan meja remuk itu pada dinding. Orang terkesimak. Boris jadi pusat perhatian. Pegulat penantang itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Seluruh ototnya di dada, perut, pinggul dan punggung bermunculan tegang seakan bersiap hendak bertarung. Kedua belah tangannya kini terangkat sampai bahu, juga penuh bergumpalan otot. Lututnya ditariknya jadi siku-siku, siap hendak menerkam siapa saja yang datang. Tak ada orang datang menyerang. Yang ada justru sesuatu yang tak nampak: kekuasaan Sang Adipati. Kekuasaan mutlak seorang raja yang tak dapat ditawar tak dapat diketeng, utuh bulat tiada retak tiada rekah. “Mengapa marah, Boris?” Pada mencoba meredakan. Ketegangan pada wajah dan otot Boris lambat-lambat jadi kendur. Suatu kemurungan menggantikannya. Ia menunduk dalam. Tanpa memandang pada siapa pun keluar kata-kata sendu: “Memahat batu dilarang. Lantas harus kerja apa aku?” “Itu baru warta, Boris,” kata Pada lunak. “Sejak kecil,” Boris mengadu dengan suara tetap sendu, “bapakku mengajari aku memahat. Keluarga kami hidup dari pahatan, turun-temurun. Mengapa orang tak boleh memahat lagi? Mengapa? Apa jahatnya batu-batu berukir itu?” Galeng tak memperhatikan kata-kata itu. Ia terheranheran melihat kekuatan penantangnya. Tahun yang lalu ia belum sekuat itu. Sungguh lawan bertanding yang bisa mematahkan lehernya. Boris berjalan mondar-mandir dalam berangnya. “Teduh! Teduh!” kata Galeng menghibur. “Pada belum lagi selesai dengan wartanya. Teruskan, Pada.” “Bagaimana wajah dunia tanpa gapura?” Boris mengaum. “Dewa-dewa pun akan enggan turun ke bumi. Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan pindah ke tempat lain” Ia tutup mukanya dengan kedua belah tangan seperti sedang memanggil-manggil kekuatan dari luar dirinya. Suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi, tanpa daya: “Pindah entah ke mana para dewa itu. Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi. Apakah Gusti Adipati sudah bertekad melawan para dewa?” Lambat-laun Galeng mengerti, pernahat penantangnya sama halnya dengan dirinya: sedang menghadapi kekuasaan yang tak dapat dilawan. Dirinya dan Boris tak ubahnya seperti bayi tanpa daya. Ia jadi iba terhadapnya, juga terhadap diri sendiri. Ia rasai kesamaan nasib. Ia dekati Boris, dan: ‘Teduh, Boris. Teruskan, Pada, yang jelas.” “Begitulah kata warta,” Pada meneruskan dengan hatihati matanya tertuju pada Boris. “Semua bangunan batu di atas wilayah Kota, gapura, arca, pagoda, kuil, candi, akan dibongkar. Setiap batu berukir telah dijatuhi hukum buang ke laut! Tinggal hanya pengumumannya.” “Biadab! Disambar petirlah dia!” Boris meraung, seakan batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik semua pernahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk dia oleh Batara Kala!” Tiba-tiba suaranya turun menghibahiba: “Apa lagi artinya pengabdian? Biadab! Aku pergi! Jangan dicari. Tak perlu dicari!” Meraung: “Biadaaaaab!” Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran depan. Diangkatnya tangga dan dengannya melangkahi pagar papan kayu. Dari balik pagar orang berseru-seru: “Lari dari asrama! Lari!” “Siapa? Siapa? Pegulat, ya, pegulat?” “Boriiiiiis! Mau ke mana kau? Kembali!” Sebentar kemudian seruan-seruan terdengar menggelombang dan bergumul jadi satu, tak dapat ditangkap maksudnya. Suatu pertanda orang sudah mulai menggerombol lagi di depan asrama. Mereka yang tertinggal masih juga termangu-mangu. Gadis-gadis mulai menyerbu ke dalam ruangan latihan gulat. “Gila mendadak!” jawab Pengawas. “Biar saja dia pergi.” Seperti telah ada persetujuan bathin. “Pergi. Itu lebih baik.” Galeng melemparkan pandang pada tangga. Ia juga ingin bebas, lari seperti Boris. Dan itu tidak mungkin. Hatinya terpaut pada Idayu…. Keadaan tenang sampai malam turun pelahan-lahan langit dan menyelebungi bumi. Melalui pintu pagar samping, dengan iringan beberapa orang pengawal bertombak tanpa perisai, Sang Adipati memasuki asrama. Ia berjalan langsung menuju ke bangsal wanita. Damarsewu yang memancar di setiap pojokan tidak mengacuhkan kedatangannya. Para calon petanding pada bergolek-golek di atas ambin sambil mengobrol. Melihat Sang Adipati masuk semua melompat turun, bersimpuh di lantai dan mengangkat sembah. ‘Idayu! Mana Idayu!” panggil Sang Adipati. “Mana Idayu Awis Krambil?” Alis, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih menyala tertimpa sinar damarsewu. “Idayu, kekasih Tuban! Mendekat sini, kau, Gadis!” Sesosok tubuh merangkak beringsut-ingsut menghampiri kaki Sang Adipati. Tubuhnya menggigil seperti kucing habis tercebur dalam comberan. Dengan tangan menggigil ia mengangkat sembah untuk ke sekian kali, kemudian bersujud mencium kaki Sang Adipati sebagaimana diajarkan oleh tatakrama. “Bawalah keharuman dari Tuban, semua kalian! Kau juga, Idayu, kekasih Tuban. Jangan mengecewakan. Tidurlah kalian pada waktu yang sudah ditentukan. Beberapa hari lagi kau dan kalian akan bertanding. Dan kau, Idayu, kau bertekad jadi juara lagi tahun ini? Juara tiga kali berturut?” “Inilah patik, Gusti Adipati Tuban,” jawabnya gemetar. “Rupanya sudah cukup dewasa kau sekarang. Belum lagi cukupkah jadi juara dua kali berturut?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban. Patik sekedar menjalankan putusan rapat desa,” suaranya masih juga gemetar. “Kalau sudah jadi putusan rapat desa, tak dapatlah orang menolaknya?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik. Patik takkan sanggup hidup di luar desa patik, Gusti. Iagi pula apalah buruknya menjalankan keputusan rapat desa, Gusti?” Sang Adipati tertawa senang. “Kata-katamu sudah seperti orang kota. Gadis. Bagus. Bukankah Tuban Kota lebih baik daripada desamu? Pasti lambat-laun kau akan lebih suka tinggal di sini.” Menurut tatakrama yang diajarkan, apa pun yang telah dititahkan oleh Sang Adipati, orang tak boleh membantah. Orang hanya mengiyakan sambil mengangkat sembah. Mendapat teguran saja dari seorang raja sama halnya dengan menerima karunia dari para dewa. Idayu bergulat dengan kata hatinya sendiri. Bumi yang ditundukinya menjadi pengap. Tak diketahuinya kaki penguasa sudah tak ada di hadapannya. Sang Adipati telah meninggalkan asrama dan memasuki kegelapan malam. 0o-dw-o0 Melalui jalan belakang Sang Adipati menuju ke sebuah taman di belakang kadipaten yang terletak di tentang kandang gajah pribadi Duduk ia di sana seorang diri dalam kerumunan nyamuk. Para pengawal bertugur di kejauhan Dan inilah waktu untuk menyendiri baginya. Waktu seperti ini dipergunakannya untuk mengingatingat Juga untuk merancang-rancang. Juga sekarang ini. Nama saudagar Arab yang memohon menghadap sendiri itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba. Tanpa hasil. Nama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di antara deretan nama itu ia pun tak tahu, mana gelar mana tidak. Bahasa Melayunya lancar, indah dan paut. Alqur’anul Karim yang patik persembahkan, ya Gusti, adalah dari Mufti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi apalah kiranya Gusti Adipati Tuban daiam berpegangan pada kitab suci ini serta memikirkan ummat Islam di Atas Angin sana. Tuban dimasyhurkan di Atas Angin sebagai kerajaan terkuat di Jawa setelah Majapahit. Raja-raja Islam mempunyai harapan besar Gusti Adipati Tuban melimpahkan kesudian yang tiada keringnya. Ya, Gusti, armada Peranggi tak henti-hentinya berusaha menguasai dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekepercayaan sepanjang pantai. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersamasama, ya Allah, pastilah Allah jua yang akan menghukum semua kita, karena tak berbuat sesuatu terhadap angkara si kafir. Bila mereka tidak dibendung, ya Gusti Adipati Tuban, entah kapan, jalan-jalan pelayaran akan dikuasai semua olehnya. Mereka takkan berhenti sekalipun sudah menguasai semua bandar. Bila mereka sampai ke Jawa, matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan, matilah bandar-bandar. Yang tinggal hanya Peranggi dengan angkaranya. Seluruh ummat Islam bisa kehilangan perlindungan, kekafiran akan menang. Mereka akan menumpas ajaran Rasulullah s.a.w. Sang Adipati masih ingat setiap kata dari persembahan itu. Juga barang-barang persembahan yang berasal dari empat orang raja Atas Angin, semuanya Islam. Dari persembahan itu ia menarik dua hal, pertama Tuban diakui juga sebagai kerajaan terkuat di Jawa, dan kedua ia dianggap sebagai raja Islam. Ia tersenyum dalam kegelapan dan mengangguk-angguk senang. Mereka tidak tahu, satu wilayah Tuban telah dirampas oleh kerajaan Islam, Demak. Dan aku tidak mengerti, bagaimana banyak aturan aku titahkan untuk membuat penyesuaian dengan Demak. Ia semakin tenggelam dalam pikirannya. Jauh, jauh di sana, mereka sudah mengakui keislamanku. Dan karenanya mereka menuntut, berdasarkan keislamanku, agar aku ikut memikirkan dan bersumbang tangan. Ya-ya, Islam telah banyak menguntungkan kami selama ini. Tapi apakah itu sudah cukup banyak untuk mempertaruhkan Tuban dalam suatu peperangan? Ia mengggeleng lemah. Perang tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan! Demak masih harus diemong untuk tidak jadi binal. Jepara jatuh, tapi dalam hidupku, aku bersumpah, bukan saja Jepara akan kembali di tangan, juga seluruh Demak. Tidak dengan perang. Rempah-rempah dari Tuban takkan memasuki Jepara dan Semarang! Dan apa yang terjadi di Atas Angin sana, bukan urusan Tuban untuk mencampuri. Kemudian ia mulai pikirkan untuk kesekian kalinya keadaan baru yang menggelombang di Atas Angin. Keadaan baru harus dihadapi dengan persiapan baru. Bandar tetap jadi inti persoalan. Peranggi dan Ispanya pasti akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai berbahasa Peranggi dan Ispanya. Dia harus diganti. Bangsa dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga Iskak. Dalam kegelapan itu terdengar ia mendengus tertawa, teringat pada persembahan Sang Patih, ‘Bergabung dengan negeri-negeri lain, Gusti, dengan semua kerajaan Islam, bersama-sama menghancurkan Peranggi dan Ispanya. Menurut patik, ampunilah patik, ya Gusti Adipati sesembahan patik, itulah satu-satunya jalan menyelamatkan Tuban. Dan Sang Adipati bertanya, ‘Juga dengan Demak?’ Sang Patih menjawab, ‘Sementara Demak harus dilupakan, Gusti, Peranggi dan Ispanya lebih berbahaya, lebih mematikan’ Sang Adipati senang mendengarkan setiap pikiran, mengangguk dan tersenyum seakan-akan menyatakan terimakasih. Tapi dengan diam-diam ia lebih suka mencari jalan sendiri. Dengan demikian baginya berdikari menjadi semacam olahraja. Sebaliknya setiap laporan ia dengarkan sungguh-sungguh tanpa senyum tanpa tawa, tanpa terimakasih. Dari semuanya paling banyak ia ambil separoh sebagai kebenaran. Tak ada punggawa yang tulus sepenuhnya, ia berpendirian. Sebagian dari ketulusan mereka hanya bea untuk keselamatan diri dan kepunggawaannya. Malahan laporan dari para punggawa yang berasal dari rakyat kebanyakan hampir tak pernah ia gubris. Menurut pendapatnya, orang menjadi berbangsa karena justru punya kehormatan, dan rakyat kebanyakan itu bukan saja tidak punya, juga tak tahu kebenaran. Syahbandar harus diganti, apa pun biayanya. Dan itulah keputusannya malam ini. 0o-dw-o0 Pada waktu Sang Adipati sedang mengukuhkan kebijaksanaannya dalam kegelapan taman, lain lagi yang terjadi pada diri Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit alias Rangga Iskak Ia sedang gelisah di kesyahbandaran. Hari ini ia telah dijengkelkan oleh tamu yang seorang itu. Saudagar Arab! Kecuali yang berhubungan dengan agama ia seorang pembend Arab. Setiap orang Arab mengingatkannya pada abangnya yang telah jatuh sebagai Syahbandar Malaka, terpaksa merantau dan mati dalam perantauan. Kejatuhannya disebabkan oleh kelicikan seorang Arab. Dan sekarang Abud, saudagar Arab itu, harus ia layani kebutuhannya selama tinggal di Tuban. Baru saja datang, dan ia sudah menimbulkan kecurigaan: mohon menghadap sendiri tanpa penterjemah, tanpa saksi. Ternyata ia bukan tidak bisa berbahasa Melayu! Tadi ia telah panggil Yakub agar datang menghadap padanya. Dan sekarang ia sudah berdiri di pintu, membungkuk dan beruluk salam: “Assalamu alaikum, ya Tuan Syahbandar!” Ia bergumam menjawabi dan melambaikan tangan menyuruh masuk. Ia tak pernah menyilakannya duduk. Kursi adalah benda kebesaran, juga di Tuban Kota, terutama di kesyahbandaran. Ia mengangguk memerintahkan Yakub mendekat. Kemudian: “Apa yang bisa kau katakan, Yakub?” tanyanya tajam dalam Melayu. Yakub berperawakan kecil, berumur sekira dua puluh delapan menurut perhitungan bulan, tak berkumis, tak berjenggot, licin seperti muka belut. Ia tertawa. Dan tawanya selalu mengesani mengentengkan segala perkara, dan: kurangajar. “Tuan Syahbandar sendiri semestinya sudah tahu.” jawabnya dalam Melayu juga. “Sang Adipati sudah memerintahkan penyingkiran peninggalan Hindu. Memang orang bilang, putranya sendiri memesan itu, Tuan, Raden Said, sekarang sudah mengenakan gelar aneh Ki Aji Kalijaga. Orang Jawa memang sulit Tuan Syahbandar, maksud menggunakan gelar berbahasa Arab, tapi lidah Jawanya memang lidah kafir terkutuk: Bukankah kali itu yang dimaksudkannya Kholik?” ‘ Rangga Iskak bertanya tajam: “Bukankah kau tahu bukan itu yang kutanyakan?” “Yang tadi itulah, Tuan. Ada keanehan dalam pesanan itu: Klenteng dan Pecinan tidak boleh diganggu!” Sekarang Syahbandar yang tertawa. Dengan kedua belah tangan ia menepuk-nepuk dadanya sendiri, berputar membalikkan badan dan meneruskan tawanya. Terkena sinar tiga batang lilin yang menyala pada kandil kelihatan Yakub terheran-heran. “Tuan mengetawakan Yakub?” tanyanya menuduh. “Apa yang lucu padamu?” Rangga Iskak tertawa di antara tawanya. “Tak pernah kau nampak setolol sekarang.” “Laporan Yakub salah?” ‘Tidak. Tak pernah aku menyalahkan keteranganmu. Apa lagi yang dapat kau katakan sekarang?” Yakub memperbaiki sikapnya. Ditarik-tariknya ujungujung bajunya yang kombor putih. Ujung hidungnya yang mancung bercahaya bergemuk memantulkan sinar lilin. Nampaknya ia sedang menguasai suasana dan bersikap resmi. “Ada sesuatu yang lebih penting,” bisiknya sambil mendekatkan mulutnya pada kuping Rangga Iskak. Tapi sekalipun ia sudah bersitinjak dengan kaki dan mendongakkan muka, jarak antara mulutnya dan kuping Syahbandar masih terpaut sejengkal. Rangga Iskak menelengkan kepala ke atas, seperti seekor ayam sedang melirik pada elang di langit. “Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan Syahbandar. Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu dinar. Sedinar saja, Tuan Syahbandar,” ia menjauhkan kepala dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan pandang menuntut “Apa kau kira aku nenekmu sendiri, pembikin dinar? Apa kau kira satu dinar sedikit? Empat kali belayar belum tentu kau memperolehnya. Kalau keterangan itu tentang pembicaraan saudagar Abud dengan Sang Adipati, apa boleh buat. Sekarang juga kukeluarkan.” “Sayang tidak, Tuan, tapi ini lebih penting dari segalagalanya.” “Jangan coba-coba bohongi aku, kau, penipu. Abud, saudagar Arab itu, sama sekali tidak membawa atau mengambil barang dagangan. Pasti dia bukan saudagar, dan karenanya lebih penting dari segala-galanya.” “Tidak, Tuan Syahbandar. Yang belum kukatakan ini justru yang terpenting. Satu dinar.” Syahbandar nampak ragu: Pandangnya ditebarkannya ke seluruh ruangan. Selama ini keterangan Yakub selalu benar. Dan biar bagaimanapun sedinar terlalu mahal. Ia tatap mata pewarung tuak dan ciu-arak itu, dan ia muak pada sikapnya yang kurang-ajar dan menantang. Ini sudah pemerasan, pikirnya bukan lagi minta upah. Kalau dibiarkan, dia akan menjadi-jadi. “Satu dinar tidaklah banyak untuk keterangan penting,” Yakub merajuk. “Bukankah aku tak perlu menunggu begini lama?” Pertahanan Rangga Iskak patah. Dengan berat hati ia keluarkan mata uang mas dari pundi-pundinya. Dilemparkannya pada orang muda yang menjijikkan itu sambil menyumpah. Yakub menangkapnya, mengujinya di bawah lampu, tersenyum, dan memasukkannya dalam pundi-pundinya sendiri, mengikatnya dan memasukkannya ke dalam ikat pinggang di balik baju kombornya, memperbaiki letak baju itu dan menebah pinggang. “Kalau Tuan lebih sayang pada dinar yang satu ini, mungkin tahu-tahu Tuan sudah kehilangan jabatan Tuan.” “Husy!” bentak Rangga Iskak tersinggung. “Katakan” “Baik, Tuan, dengarkan sungguh-sungguh,” dengan bisiknya Yakub meminta perhatian sambil mencoba mencari kuping tuanrumah dengan mulutnya. “Pada sore hari ini juga, Tuan, Sang Adipati telah mengirimkan utusan ke Trantang. Aku sudah tahu sesungguhnya isi perintah itu: mulai besok harus sudah dipersiapkan pembikinan delapan belas cetbang baru.” “Itu beritamu yang terpenting?” “Betul, Tuan. Perang akan terjadi. Perwira-perwira telah mendapat perintah untuk bersiap-siap. Pemeriksaan atas anak buah sudah dimulai sejak jatuhnya perintah.” “Dalam berapa lama cetbang harus selesai?” “Tidak jelas.” Syahbandar mengawasi bibir Yakub. Tapi bibir itu sudah tak bergerak lagi, seakan setiap kata yang keluar daripadanya telah diperhitungkan harganya. Mengerti Yakub takkan bicara lagi ia mengalah. Bertanya: “Adakah Sang Adipati sudah berkunjung ke asrama wanita?” “Ada, Tuan, baru sebentar tadi.” Ia sorong Yakub. Orang itu keluar dan hilang ke dalam kegelapan. Rangga Iskak berkecap-kecap menyesali dinarnya yang berpindah tangan. Dengan kecewa ia kunci pintu dari dalam, kemudian duduk termenung di atas bangku bantal kulit onta dan tak henti-hentinya bergumam: “Penipu yang tertipu itu telah jual dagangannya padaku. Tuhan akan kutuki kau, Yakub! Apa yang kau dapatkan dari dinar itu jadilah tuba dalam tubuhmu.” Dengan lemas ia masih juga berkecap-kecap menyesal setelah mengetahui Sang Adipati berkunjung ke rumah asrama wanita. Ia punya pedoman: Apabila Sang Adipati masih mempunyai perhatian pada wanita baru, sesuatu yang bersungguh-sungguh tidak akan mungkin keluar dari pikirannya. Cetbang-cetbang itu pastilah bukan sesuatu yang dirahasiakan, pikirnya. Sengaja dibuat demikian rupa agar semua orang tahu, terutama saudagar Arab si Abud keparat itu diharapkannya terbawa ke Atas Angin…. Pikiran iblis! Laknat! Pikiran licik! Tapi aku tak bisa kau tipu. Rangga Demang! Yakub bisa, tapi aku tidak. Adipati Tuban, Ishak Indrajit ini tak bisa kau tipu! Kau boleh berlagak cerdik, tapi hanya Pribumi kawulamu yang bisa percaya! Ha, dengan cetbang-cetbangmu itu sekaligus kau hendak menggertak Demak. Tapi siapa pun tahu kau lebih suka berdagang daripada berperang. Tua bangka tak tahu diri! Sekarang aku baru mengerti mengapa si Boris itu lari dari asrama. Siapa tak kenal Boris pernahat terkenal itu? Peninggalan Hindu harus disingkirkan. Si pernahat jadilah seperti Syahbandar kehilangan bandar. Ya-ya, dia lari sebagai protes. Tapi kau jangan anggap dapat mudah untuk kelabui aku, Rangga Demang! Pesan Raden Said alias Ki Aji Kalijaga itu pasti juga tidak ada. Kau hanya menghendaki dibenarkan keislamanmu. Kau tetap kafir. Tapi kau memang cerdik seperti selama ini. Runtuhnya Majapahit juga karena kecerdikanmu! Tiba-tiba ia terdiam. Dan mengapa kelenting dan Pecinan tak boleh dirusak? Tulisan cina itu juga sama dengan Hindu, mengapa tak boleh dirusak? Ia berdiri untuk mengambil kitab catatannya. Tak jadi, dan duduk kembali. Ia mengangguk-angguk mengerti. Pecinan Tuban Kota bersetia pada Lao Sam, yang oleh penduduk; disebut Lasem. Lasem bersetia pada Sampo Toalang, yang oleh penduduk disebut Semarang. Dan Semarang yang mendirikan kerajaan Demak untuk menjadi bentengnya terhadap Tuban. Kau benar-benar cerdik, Rangga Demang! Anak-anakmu pada mengabdi pada Demak. Waktu Demak merampas Jepara untuk berkokok pada dunia dia tidak takut pada Tuban, semua anakmu yang di Demak diam. Dan karena semua itu aku kehilangan satu dinar! Keparat si Yakub! Malam itu Rangga Iskak lebih banyak menggiliri istriistrinya di kamar-kamar belakang. Namun setelah itu ia tetap sulit memicingkan mata. Dinar yang satu itu juga yang terbayang-bayang, menggelincir tanpa guna. Setelah sembahyang subuh baru ia mendapat ketenangan sedikit. Ia telah berdoa memohon rezeki yang berlimpahan Ketenangan itu tiada lama umurnya. Beberapa bentar kemudian saudagar Abud muncul untuk minta diri. “Bagaiman sikap Tuan Syahbandar kalau musuh Islam, Peranggi dan Ispanya, menyerang Tuban?” tanyanya dalam Arab. “Mana mungkin, ya Abud?” “Bagaimana tidak mungkin? Goa jatuh. Dan Malabar. Mereka terus mendesak ke timur. Sedang kita bicara begini Singhala pun sudah jatuh,” Abud meneruskan dalam rembang fajar di depan pintu gedung. ‘Tuban terlalu jauh, ya Abud,” jawabnya tak acuh. “Benggala pun jauh dari Peranggi.” “Aku hanya Syahbandar, bukan raja.” “Setiap Syahbandar yang cerdik bisa lebih dari raja,” katanya menyarani. “Demi Allah, Tuan Syahbandar mampu mempengaruhi Sang Adipati untuk sudi bergabung dengan kerajaan-kerajaan lain, kerajaan Islam, melawan mereka. Allah memberkahi Tuan” Pembicaraan pendek itu selesai dengan kepergian Abud ke jurusan pelabuhan. “Arab, jih!” Rangga Iskak meludah ke tanah. “Setiap gerak, setiap omongan, setiap… semua menutupi tangannya yang merogo pundi-pundi orang.” Pandangnya tertebar ke mana-mana, menembusi halimun tipis pagi hari. Matari pun mulai terbit. Samarsamar nampak olehnya kedai tuak dan ciu-arak Yakub yang masih tutup. “Dia sedang menikmati dinarku, iblis keparat itu. Terkutuk bapaknya, terkutuk Pribumi ibunya.” Kemudian ia berjalan menuju ke menara pelabuhan dan naik. Dilihatnya penjaga-penjaga menara dua orang itu sedang tidur nyenyak. Ditebarkan pandangnya pada kapalkapal yang sedang berlabuh. Dan ia lihat Yakub sedang turun dari kapal si Abud. “Si keparat itu tentu sudah mendapat dinar lagi. Awas, kau, bedebah!” Tak dapat ia menahan amarahnya. Dipunggunginya pelabuhan. Diangkatnya kaki kanannya. Terompahnya yang tua itu membikin ia ragu-ragu. Cepat ia alahkan keraguannya. Kaki itu turun cepat menumbuk perut penjaga menara berganti-ganti. “Kafir!” makinya dan turun lagi. 0o-dw-o0 4. Sayid Habibullah Al-Masawa Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh dari dermaga. Matari pagi sedang mengusir halimun yang masih melembayung di seluruh Malaka. Layar kapal-kapal dan… Pribumi masih dalam keadaan tergulung. Tiang-tiangnya menuding langit yang tebal karena halimun. Dan matari sendiri baru beberapa derajad dari permukaan bumi. Sinar-suramnya yang berpantulan pada permukaan laut berpendar-pendar lesu. Jauh di bandar Malaka sana perahu-perahu dan kapalkapal itu masih pada tidur, berayun-ayun malas dibuai ombak. Hanya perahu-perahu nelayan kecil-kecil nampak hidup. Dan kalau pandang diangkat naik ke darat, mata akan menampak atap-atap injuk, ilalang dan sirap dari bedeng-bedeng pelabuhan. Jalanan-jalanan nampak merupakan garis tipis kuning. Hanya beberapa orang kelihatan mondar-mandir. Semua pria. Lubang-lubang bulat pada lambung kapal-kapal Portugis mulai terbuka. Moncong-moncong meriam mulai bermunculan dari sebaliknya, Terdengar kemudian yang banyak diceritakan orang: pekik bersama Mariam. Meriam – meriam bergelegaran. Api bersemburan dari moncongmoncongnya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut udara dengan bola-bola besi sebagai matanya. Semua menuju ke bandar Malaka. Atap injuk, ilalang dan sirap di bandar Malaka sana mulai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang mulai datang bertiup. Asap hitam berkepulan seperti cendawan raksasa, dengan beratnya naik pelahan ke atas, membikin kelam udara yang kelabu. Ketenangan pagi itu lenyap dalam dentuman meriam, api, asap dan kebalauan. Perang Salib dari beberapa abad yang lalu kini tersasarkan pada kesultanan Malaka. Perahu-perahu nelayan yang sedang pulang ke pangkalan berhamburan lari tak jadi menuju ke bandar. Perahu dan kapal lain yang tertidur hangat dalam belaian matari pagi, nyenyak dalam ayunan ombak, mulai menggeragap, menaikkan layar masing-masing, berhamburan mencoba melarikan diri dan keselamatan. Bola-bola besi dari kapal Portugis tak membiarkan mereka lolos. Dalam hanya beberapa bentar perahu dan kapal kayu itu pun pada pecah atau menungging, hilang dari pengelihatan, ditelan laut. Kapal-kapal dari armada kebanggaan Malaka masih juga belum bergerak, seakan masih terbuai dalam mimpi indah. Tak kurang dari sebelas jumlahnya. Konon kabamya sebagian besar dari kesatuan ini dulu biasa dipimpin oleh Laksamana Hang Tuah. Dan tak lebih dari tiga puluh bentar, armada kebanggaan itu pun seluruhnya tenggelam ke dasar laut. Kebakaran sedang menjadi-jadi di darat sana. Dari laut nampak jalanan-jalanan pasir kuning pelabuhan mulai hidup dengan orang-orang yang bcrlarian kebingungan. Di antara mereka nampak juga wanita yang menarik-narik atau menggendong anak. Mereka lari meninggalkan daerah pelabuhan. Sebarisan prajurit bertombak muncul di dermaga, berhenti pada akhir jalanan yang terputus oleh laut, mengacu-ngacu senjatanya ke arah armada Portugis. Sepucuk laras meriam ditujukan pada mereka. Aba-aba, dentuman. Sebuah bola besi membentuk kerucut udara, terbang menyambari barisan prajurit bertombak itu. Mereka bubar berlompatan dan berlarian, hilang dari pemandangan. Yang tersisa hanya bangkai-bangkai dan tombaknya, tulang dan serpihan daging. Tak ada lagi barisan muncul. Bandar telah jadi lautan api. Meriam-meriam berhenti menggonggong. Kapal-kapal Portugis mulai menurunkan sekoci. Serdadu-serdadunya pada turun. Dan seperti iring-iringan semut sekoci-sekoci itu menuju ke bandar. Kini balatentara Malaka mulai mengisi semua jalanan bandar. Tombak dan pedang mereka gemerlapan tertimpa matari yang telah berhasil mengusir halimun. Di antara letusan musket dari sekoci terdengar sorak-sorai mereka. Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati tombak dan pedang dan sorak-sorai. Juga tembakan musket menggebu-gebu, menghalau, membunuh, menumpas. Jalanan kuning di bandar sana makin kelam disirami darah dan disebari serpihan daging dan tulang para prajurit yang tiada dapat beibuat sesuatu. Yang tersisa melarikan diri. Lenyap di balik lidah api dan cendawan asap. Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso Dalbi-menyerbu dan menduduki Malaka. Dengan tergopoh-gopoh Sultan Mahmud Syah, keturunan Paramesywara itu, memerintahkan pengerahan pasukan gajah. Binatang-binatang raksasa itu didapatkan telah bergelimpangan termakan racun. Balatentara Malaka tanpa perlindungan gajah tak terbantu oleh armada, dalam waktu pendek dihalau oleh peluru musket Portugis. Perang darat terjadi seperti tiupan angin lalu. Mereka melawan mati-matian. Tapi senjatanya terlalu pendek. Musket dan meriam tetap lebih unggul. Semua harus mundur, terpaksa mundur, harus, terpaksa. Yang tertinggal hanya daging yang telah terpisah dari tulang. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Johor, Bintan, Kampar. Kerajaan berumur seabad lebih beberapa belas tahun itu jatuh. Dan bandar kunci Asia ini kini berada di tangan Portugis. Dalam keributan dan kekacauan berhidung bengkung merajawali sebuah kapal kecil bercat hitam masih juga nampak aman terayun-ayun di pelabuhan. Tanpa tergesagesa layar-layamya dipasang dan berkembang lesu, kemudian berlayar menuju ke tengah-tengah armada Portugis. Benderanya berkibar-kibar gelisah pita hijau panjang berjela-jela. Kapal kecil hitam itu terus juga mendekat. Semua gerakgeriknya tak terlepas dari teropong d’Albuquerque. Terus mendekat dan nampak sedang mengucapkan selamat datang.Sesampainya di dekat kapal bendera pita hijau diturunkan, tinggal bendera hitam bersirip kuning itu berkibar sendirian. Kapal itu tidak berhenti. Dengan tenang seakan tidak terjadi sesuatu apa ia terus melewati armada Portugis. Di bawah tiang utamanya berdiri seorang lelaki tinggi, agak bongkok, berhidung bengkung merajawali, berjubah genggang, membawa tongkat hitam berhulu gading.Kopiahnya tarbus merah. Kumis, jenggot dan cambang-bauknya mengkilat hitam seperti jelaga tersulam oleh beberapa lembar uban. Portugis tak sedikit pun mengganggunya. Kapal kecil itu pun hanya membawa seorang penumpang saja. Orang itu terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matanya besar bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pandangnya selalu bertebaran ke mana-mana seperti sedang mencari sesuatu di atas permukaan laut. Nakhoda datang menghampirinya, mencium jubahnya. Berkata dalam Melayu:” Alhamdulillah, ya Tuan Sayid Mahmud Al-Badawi. Berkah Tuanlah maka kapal sahaya ini selamat.” “Kafir-kafir itu takkan berani mengganggu aku,” jawab penumpang itu angkuh. “Tuhan takkan membiarkan terlantar ummat-Nya yang beriman.” “Hanya dengan pita hijau!” seru nakhoda. “Ya, hanya dengan pita hijau,” penumpang itu membenarkan. “Bagaimana sahaya harus membalas budi, ya Tuan Syahbandar Malaka?” nakhoda bertanya menghiba. Melihat penumpangnya tak menjawab, ia meneruskan: “Sekiranya Tuan sekarang ini memerintahkan sahaya menuju Tuban, tiadalah sahaya akan menolak, biarpun upah tiada ditambah.” ‘Tak ada padaku niat hendak ke Tuban.” “Bukankah dengan datangnya Peranggi Tuan kehilangan jabatan sebagai Syahbandar dan sebagai penasihat Baginda Sultan?” “Tetap. Antarkan aku ke Pasai.” “Sahaya, Tuan. Tujuan tetap. Ke Pasai.” Nakhoda itu berhenti bicara, menunggu penumpangnya mengatakan sesuatu. Melihat Sayid Mahmud AI-Badaiwi tak juga bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki kedudukan siku, kemudian: “Setelah kejadian mengagetkan ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di Tuban Di sana sedang ada pesta tahunan dari bangsa kafir itu. Biarpun kafir, cukup menyenangkan juga, Tuan Syahbandar.” “Dilaknatlah kiranya kafir-kafir itu,” sumpah penumpang itu bersun gut-sun gut. “Ampun, Tuan, kemudi tetap di arahkan ke Pasai.” “Bukan begitu, Tuan, yang kafir bisa jadi tidak kafir lagi. Yang tidak kafir pun bisa berubah jadi kafir, bukan?” ‘Tak pernah ada orang mencoba menggurui aku,” penumpang itu bersungut-sungut. “Ampun, Tuan, kemudi tetap diarahkan ke Pasai.” Penumpang itu masih juga merabai permukaan laut dengan pandangnya. Nakhoda mencoba mengikuti arah pengelihatannya dan tak menemukan sesuatu yang luarbiasa. Dan kapal kecil hitam itu terus juga berlayar menyeberangi Selat menuju Pasai. “Cat hitam ini takkan sahaya ubah lagi, Tuan. Wama keselamatan,” nakhoda bicara lagi. “Bolehkah kiranya sahaya bercerita, Tuan?” Penumpang tak ramah itu tak mengacuhkannya. Dan nakhoda itu menggosok-gosok kedua belah telapak tangan, tersenyum manis dan memulai: “Bukan cerita, Tuan Syahbandar Malaka, tapi warta. Warta sesungguhnya sungguh-sungguhnya warta. Warta yang mungkin khusus untuk Tuan saja.” Penumpang itu menoleh padanya tetapi tak bertanya sesuatu. “Tentu Tuan melihat juga kapal Jawa yang tenggelam sebentar tadi. Lambungnya pecah-belah seperti kepiting terinjak. Semoga Tuhan melapangkan jalan mereka di alam arwah’ Semalam, Tuan, setelah Tuan meninggalkan kapal sahaya, sahaya sudah bicara dengan nakhodanya, seorang anak muda, uh, anak semuda itu telah dilepas jadi nakhoda. Dia akan belayar ke Singhala Dwipa, katanya. Sahaya tak tanyakan muatannya. Mungkin dupa dan setanggi untuk kafir-kafir Atas Angin sana. Tapi memang ada muatan penting dibawanya. Dan itulah warta khusus untuk Tuan. Lagi pula sahaya tidak melanggar amanatnya, karena kita sudah berada di atas Malaka.” Penumpang itu nampak bosan dan jemu mendengarkan kkauannya. Namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dan matanya tetap menyisiri permukaan laut. ”Bukan suatu kebetulan,” nakhoda meneruskan sebagai balas-jasa. “Kapal itu dari Tuban. Dan warta itu, Tuan, muatan yang lain, itu, adalah wara-wara untuk disebarkan di negeri-negeri di atas Malaka. Katanya: Adipati Tuban Tumenggung Wilwatikta mencari Syahbandar baru yang….” Keangkuhan, kecemberutan dan keseraman penumpang itu mengurang dan mengurang. Ia menoleh lagi pada nakhoda. Melihat nakhoda itu berseri-seri, ia mengangguk. “Begitulah wartanya.” “Matikah Syahbandar Tuban?” “Sayang, itu tak termaktub dalam warta. Pendeknya Adipati Tuban mencari Syahbandar baru. Syaratsyaratnya… apalah artinya itu? Semua sudah ada pada Tuan: bisa menulis, membaca, dan berbahasa Arab dengan baik, dan Tuan sendiri keturunan Sayid-sayid Arab yang mulia….” “Kalau itu saja syarat-syaratnya, ribuan orang bisa jadi Syahbandar.” “Masih ada, Tuan, itu pun sudah ada pada Tuan: pandai berbahasa Melayu. Jangan tertawakan dulu, Tuan. Inilah syarat gila menurut perasaan sahaya yang bodoh ini: Harus juga lancar berbahasa Pcranggi dan Ispanyn dan menulis serta membacanya.” Penumpang tunggal itu menegakkan bongkoknya, mengangkat tongkat, dan dengan tiga batang jari menggaruk rambut di bawah tarbus. Matanya bersinarsinar. Satu pikiran sedang membersit menerangi wajahnya. “Di Jawa sana orang harus bisa berbahasa Jawa,” penumpang itu membongkok seperti semula. “Kata nakhoda Jawa itu, bahasa jawa tidak perlu.” Sayid Mahmud Al-Badaiwi, yang kemarin masih Syahbandar Malaka sesungguhnya bemama Tholib Sungkar Az-Zubaid. Nama barunya itu dipergunakan sejak jadi Syahbandar Malaka. Nakhoda dan semua orang Malaka tak pernah mengetahui. “Jadi ke Tuban tujuan kita, Tuan?” “Tidak. Pasai.” “Jadi tetap ke Pasai,” dengan demikian kapal tetap ke tujuan semula. Sesampainya di Pasai, Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sa yid Mahmud Al-Badaiwi menyewa kapal Aceh yang bertujuan Banten dan ia membayar khusus untuk pelayaran ini. Pada waktu kapal yang ditumpanginya mancal dari Banten menuju ke Tuban pikirannya tidak disesaki lagi oleh ingatan pada api yang menjolak-jolak membakar bekas bandarnya, peluru-peluru yang beterbangan merebahkan barang siapa dan barang apa diterjangnya, orang yang belingsatan menyelamatkan nyawanya, dan balatentara Malaka yang sama sekali tiada berdaya…. Umbul-umbul berkibaran di sekelilirig alun-alun Tuban, tinggi dan berwarna-wami. Pada pesta tahun ini gapuragapura batu tidak dipasang. Orang dapat masuk dan meninggalkan alun-alun tanpa melalui pandangan kala dan makara gapura. Dan orang tidak merasakan kehilangan ini. Penduduk Tuban memang keranjingan seni dan olahraga. Larangan memahat batu dan perlntah membuangi peninggalan Hindu seakan telah mereka lupakan untuk sementara ada pesta. Bahkan para pernahat sendiri menangguhkan kekecewaannya demi sang pesta. Orang pada berpakaian bagus-bagus. Para pedagang Pribumi kaya menghiasi destar dengan permata serta menyelitkan keris berhulu mas berukir pada tentang perut. Beberapa orang tidak mengenakan kain batik, tapi sarong berkotak-kotak seperti pedagang seberang. Para wanita mengenakan penutup dada dan selendang sebagai penutup bahu. Istri-istri pedagang kaya kelihatan dari selendang sutranya. Santri-santri yang kadang bersarong putih, berambut pendek atau gundul dan berkopiah putih, turun berbondong-bondongdari perguruannya masing-masing. Mereka pun takkan melewatkan pesta lomba tahunan kafir yang tradisionil itu. Di pelabuhan kapal-kapal Pribumi dihiasi dengan aneka-warna bendera dan umbai-umbai. Di setiap perempatan jalan yang menuju ke alun-alun bunga-bungaan dikarang jadi lingkaran besar. Buah-buahan dan telor bcrwarna membentuk lingkaran sari bunga di dalamnya. Sedang tepat di tengah-tcngah berdiri sebuah pedupaan tanah dengan asap harum mengepul menyerbaki udara. Anak-anak kecil berlari-larian riang dengan penganan di tangan. Semua mengenakan pakaian dan destar baru. Dan rombongan-rombongan dari desa-desa tak henti-hentinya memasuki kota. Pembukaan pesta telah diawali dengan pawai para peserta lomba. Umbul-umbul mempelopori barisan desa masing-masing. Di belakangnya menyusul perangkatperangkat gamelan untuk baris: gong, gendang, suling dan kenong. Semua gamelan ditabuh melagukan nyanyi pujipujian kepada Hyang Widhi, tanpa suara manusia, tanpa tari. Dahulu pawai selalu mula pada Sela Baginda di pelabuhan. Setelah tugu prasasti Airlangga dirobohkan dan juga diceburkan ke laut, umpaknya saja kini jadi tempat membubarkan diri. Pawai bergerak pelahan-lahan meninggalkan asrama. Di antara dupa-setanggi pada setiap awalan barisan, nama Idayu bergema-gema dalam hati para penonton. Dan nama itu semakin semerbak dengan semakin mendekati pembukaan. Kunjungan Sang Adipati ke bangsal wanita di dalam asrama telah meyakinkan semua orang: gadis perbatasan yang menawan hati Tuban itu pasti keluar sebagai juara lagi. Takkan ada yang berani meniadakan isyarat dari Sang Adipati. Orang harus mengerti tanpa bertanya. Hari-hari mengintip di depan asrama tanpa hasil membikin orang seperti dicurahkan memadati kiri-kanan pawai di mana Idayu berada. Anak-anak kecil yang terdesak orang-orang dewasa, kalah tinggi dan kalah kuat, hanya bisa berlari-larian sambil bersorak-sorak tidak menentu. Pria dewasa membelaikan pandang berahi. Wanita meneliti apa-apa yang dapat dicela atau dipuji pada Idayu. Semua peserta wanita berkalung rangkaian melati. Peserta pria masing-masing membawa setangkai dedaunan beringin. Dan antara sebentar tangkai itu dilambaikanlambaikan ke langit, mengikuti jatuhnya gong. Tidak seperti satu atau dua tahun sebelumnya kini Idayu gugup tak menentu. Ia bingung di mana harus sangkutkan pandangnya. Ke mana pun matanya diarahkan, tertatap juga olehnya pandang yang memberahikan, merajuk, merayu, mengajak, mengagumi, atau hanya sekedar hendak melihatnya. Peluh telah membasahi tubuhnya. Ia rasai pada matari mendidih dalam dirinya, karena di desa sendiri ia tidak biasa berkemban. Antara sebentar ia menghela nafas dalam-dalam untuk mengalahkan kegugupannya sendiri. Pawai terus bergerak pelahan. Setiap gong berbunyi seakan di atas kepala pawai tumbuh semak pohon beringin. Dan beringin itu hilang kembali dengan cepat seperti tertelan rekah bumi. Di depan kadipaten barisan panjang berhenti. Pohon beringin melambai-lambai tinggi di atas kepala mereka. Kemudian sunyi-senyap. Juga para penonton terdiam, tak bergerak di tempatnya masing-masing. Kenong bertalu. Tiba-tiba membubung nyanyian bersama dari semua gadis peserta, disahuti oleh nyanyian bersama semua pria peserta. Bersahut-sahutan seperti seribu pasang burung cocakrawa, dalam tingkahan gamelan baris. Sunyi-senyap. Canang kadipaten bertalu-talu. Semua peserta bersimpuh di tanah. Canang kadipaten bertalu-talu lagi. Sebuah tandu keemasan muncul dari kadipaten. Di atasnya duduk Sang Adipati menghadapi sebuah jambang besar dari kuningan. Semua peserta mengangkat sembah. Tandu berjalan lambatlambat dengan gerak kaki seirama dari para pengusungnya, dan nampak seperti menari. Di belakangnya, para pembesar negeri berbaris, juga melangkah lambat-lambat seirama. Juga seperti menari. Tandu Sang Adipati menghampiri ujung barisan yang satu, bergerak lambat-lambat sampai ke ujung yang lain sambil memercikkan air bunga pada kepala para peserta. Selesai itu canang kadipaten kembali bertalu-talu. Sang Adipati dengan semua pengiringnya berjalan kaki kembali masuk ke kadipaten. Para peserta menurunkan sembahnya, kemudian lambatlambat mengangkat sembah lagi tiga kali berturut mengikuti tabuhan canang. Selesai itu pecah sorak-sorai gegap-gempita dari penonton. Barisan berdiri, bergerak lambat-lambat mengelilingi alun-alun. Setiap sampai di depan kadipaten lagi mereka mengangkat sembah seirama dengan paluan canang kadipaten. Kemudian mereka menuju ke Sela Baginda. Dan inilah saat yang ditakuti oleh Idayu. la jera terhadap orang banyak, terhadap pengagum-pengagumnya. Di dalam barisan ia masih terlindungi oleh aturan. Tanpa barisan, dengan semua mata tertuju padanya? Begitu pawai bubar segera ia lari mendapatkan Galeng, berlindung di balik bahunya yang bidang. Teman-teman sedesa melindunginya rapat-rapat. Lenyap ia dari pemandangan penonton. “Idayu! Idayu!” orang berseru mencari-cari, kecewa, jengkel, membujuk, merayu, “di mana kau, Idayu? Di mana?” Gadis dan perjaka Awis Krambil menjadi gumpalan pelindung bidadari perbatasan itu terhadap gangguan. Rombongan ketat itu menahan semua serbuan, sedang umbul-umbul desa berjalan mendahului. Sampai di alun-alun gumpalan ketat Awis Krambil langsung menuju ke bangsal penari. Dan di sini keadaan telah aman. Aturan tidak membenarkan orang menghampiri bangsal kecuali hanya untuk menonton pertunjukan. Dan perlombaan tari tak pernah diadakan di pagi atau siang hari. Pesta lomba dibuka dengan sodor berkuda dan ujungan dan lomba ben teng dan gulat. Sodor berkuda diikuti hanya oleh para prajurit peijaka. Sorak-sorai gegap-gempita tak putus-putusnya mengiringi sudah sejak pertand ingan belum dimulai. Mula-mula lapangan yang tersedia seakan disapu oleh sebarisan prajurit menabuh gendang dengan berlari dalam barisan. Di belakangnya mengikuti barisan dari Pasukan Kuda. Setiap penunggang menurun-naikkan bendera merah dan kuning dan ungu dan hijau. Petanding berbaris di belakangnya dengan gerakan kuda yang mengedrap, pelan seakan tidak akan beringsut dari tempat. Bila barisan gendang dan Pasukan Kuda telah meninggalkan lapangan, para petanding memacu kuda mengelilingi lapangan. Kemudian dua petanding ditinggalkan untuk mengawali perlombaan. Mereka berhadap-hadapan jauh pada tepi-tepi yang bertentangan. Dua barisan prajurit dari Pasukan Kaki masuk ke dalam lapangan dan mempersembahkan kayu sodor pada mereka. Kemudian mereka lari meninggalkan lapangan. Canang bertalu. Kedua petanding melesit maju ke tengah-tengah lapangan diiringi oleh sorak-sorai. Kayukayu sodor teracukan di atas kepala kuda. Dan bila soraksorai tiba-tiba berhenti keadaan sunyi-senyap, pertanda seseorang telah terjatuh dan dinyatakan kalah. Tak jarang pertandingan harus diulang-ulang karena tak ada yang segera teralahkan. Kata orang tua-tua permainan ini berasal dari Atas Angin, diperkenalkan oleh pendatang-pendatang Benggala sekira seribu tahun yang lalu, menurut perhitungan surya. Permainan ujungan lain lagi coraknya. Penonton sama sekali tidak bersorak. Ya, sekalipun sedang menjagoi desanya sendiri. Mereka mengikuti pertandingan dengan diam-diam. Di atas panggung tampil dua orang petanding. Canang bertalu. Mereka menyembah pada penonton, berputar-putar di panggung memperlihatkan tubuh mereka yang bercawat, memamerkan lengan dan paha dan dada dan punggung dan kepala, dan mengangkat kaki memamerkan tulang-keringnya. Mereka kelihatan pengap seperti habis dipukuli. Kulit mereka seperti terkena lepra, membengkak merah dengan pori-pori kulit melotot keluar. Tak bisa lain, karena berminggu sebelum bertanding kulit mereka digosok dengan lumatan daun tapak liman untuk mematikan perasaan kulit. Sehabis pameran mereka meninggalkan panggung di bawah taluan canang. Tinggal dua orang petanding yang akan berkelahi. Masing-masing bersenjatakan sebilah rotan yang sama ukurannya. Menurut aturan setiap petanding mempunyai kebebasan memukul dan memilih sasaran. Maka bilah-bilah rotan berayun dan menggebu, membabat dan menerjang bagian tubuh mana saja: hidung, dagu, dada, kaki, kepala. Sasaran yang menjatuhkan adalah batok kepala dan tulang kering. Untuk melindungi kedua-duanya melompat ketangkasan melompat dan berkelit menjadi syarat mutlak, sedang keuletan kulit, daging dan tulang dan syaraf jadi petaruh menentukan. Bila temyata tak ada yang kalah atau menang, tak ada yang jatuh terguling, mereka melakukan undian dengan sut di bawah pengawas. Si pemenang sut boleh memukul tulang kering lawannya sampai sepuluh kali. Bila ia tidak roboh, ia boleh memberikan pukulan balasan. Tak ada yang bersorak-sorai, hanya meringis-ringis, mengernyit-ngernyit, mengeluh, mengaduh, mengejapngejapkan mata seperti sekelompok monyet kehilangan akal pada setiap pukulan yang jatuh. Jantung terasa seperti dicekam, diremas-remas menjadi ciut. Bila salah seorang roboh dan terpaksa digotong keluar, orang pun tak juga bersorak. Hanya mengeluh dan mengaduh atau menghembuskan nafas panjang. Kalau pukulan tulang kering tidak merobohkan, sut diadakan lagi. Dan sekali ini batok kepala yang dipukul bergantian. Tiga kali. Biasanya orang tak dapat menahan lebih dari dua kali dan roboh terjengkang di geladak panggung. Lomba banteng lain lagi ceritanya. Pada pertandingan ini kanak-kanak dilarang menonton. Peserta hanya dari kalangan prajurit perjaka. Juga tidak setiap tahun diadakan. Harus ada permohonan dari para prajurit sendiri, yang ingin melompat jadi perwira Pengawal. Lomba khusus ini, bila ada, selalu dipergelarkan pada sore hari tanpa disaingi oleh lomba-lomba lain. Dalam medan yang dipagari balok-balok kayu, seekor banteng lapar dilepaskan. Orang pun bersorak-sorak. Binatang lapar itu jadi marah dan bingung, berjalan mondar-mandir, kadang berlarian kecil mengitari medan. Kadang berhenti sejenak untuk memelotoli penonton. Seratus gendang dipukul orang. Dan seorang prajurit penantang naiklah ke atas pagar balok. Ia melompat ke atas leher binatang lawannya dan berusaha, dengan kedua belah tangan berpegangan pada tanduk, membantingnya. Belum tentu sang penantang berhasii. Tak jarang orang kehabisan nafas dan tenaga dan terlompat ke udara menyemburkan darah dan isi perut. Berkali-kali terjadi seorang penantang lari dan lari membiarkan diri diburu sampai lawannya kehabisan tenaga. Baru kemudian ia mengguguh mata lawannya sampai bolanya terlompat keluar dari rongga. Dengan guguhan pada mata yang lain banteng buta itu kehilangan daya. Ia dinyatakan menang, hanya bukan dengan nilai tertinggi. Menurut aturan, kemenangan yang sempuma adalah bila penantang dapat meremukkan kepala lawannya dengan pukulan tangan. Dan orang pun bersorak-sorai menderu. Mereka menyerbu ke gelanggang, menggotong si pemenang, mengaraknya ke kadipaten. Para penggotong itu adalah gadis-gadis Tuban. Maka juga para penonton kebanyakan gadis. Pada umumnya penantang banteng punya maksud Iain daripada hanya ingin melompat jadi perwira Pengawal. Biasanya ia orang putus-asa karena kegagalan cinta. Dalam gotongan dan arakan para gadis Sang Adipati akan menyambutnya pada anak tangga kadipaten. Di sana ia diturunkan, mendapat pangkat dan nama dan gelar ketentaraan yang menjadi haknya. Tandatanda pangkat pun dikenakan pada badannya: gelang dan keris, dan kalung. Begitu ia mendapat pengangkatannya ia dapat memilih pasangan hidupnya dan menjadi kesukaan pada hari itu. Dan masyarakat Tuban yang mengagungkan kepahlawanan ikut serta merayakan kegembiraan mereka berdua. Lomba gulat adalah umum. Selalu diadakan pada pagi hari. Prajurit tidak diperkenankan serta. Penonton dari desa-desa bersorak-sorai untuk jagonya masing-masing. Dua orang pejabat panggung tak henti-hentinya memercikkan air pada para petanding sehingga lantai panggung jadi basah, kotor dan licin – keadaan yang membikin petanding lebih menarik. Para petanding hanya mengenakan cawat. Tidak boleh berdestar. rambut harus disanggul untuk tidak menghalangi pemandangan. Pada tahun yang lalu Galeng telah memenangkan kejuaraan. Tahun ini dengan atau tanpa Boris, ia bertekad memenangkan kejuaraan berturut. Ia harus hadapi lima belas orang penantang. Tak tahu ia bagaimana harus mengalahkan orang sebariyak itu. Dan sudah menjadi kebiasaan bagi juara gulat mendapat banyak tantangan. Makin banyak penantang makin banyak kemungkinan seorang juara ditelentangkan di atas lantai panggung. Dalam pertandingan awal Galeng berkelahi seperti orang keranjingan. Ia lebih banyak bertempur menaklukkan ketakutan dan kekecilan hati sendiri dan cemburu sendiri. Sang Adipati harus tahu: si Galeng bukan perjaka yang mudah melepaskan Idayu apa pun yang terjadi, Idayu hanya untuk diri dan kebahagiaannya. Dua-tiga orang penantang telah dibantingnya dan nyaris mati. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Para petugas ragu-ragu atas sikap juara dari Awis Krambil. Ia lebih banyak tampil sebagai pembunuh daripada olahragawan. Dan ia akan berkelahi terus seperti itu bila idaman hidup direnggutkan orang daripadanya. Tak peduli orang itu Sang Adipati atau punggawa praja. Dengan titah Sang Adipati pertandingan gulat diteruskan. Ia berkelahi terus, mengamuknya orang yang terpojokkan. Kunjungan penguasa Tuban pada kekasihnya di asrama telah membikinnya kalap. Ia akan tunjukkan pada rajanya, ia juga bisa berkelahi, dan melawan siapa saja: ia akan berikan nyawanya untuk bukti cintanya pada Idayu melawan penantang gulat ataupun penantang tombak-tombak para pengawal. Pada awal perlombaan menari Idayu dipancari semangat tinggi. Dua tahun berturut-turut ia telah memenangkan kejuaraan pertama. Tahun ini ia bertekad untuk memenangkan lagi. Bukan karena kunjungan Sang Adipati yang jadi isyarat pada para penilai. Ia harus menang karena kejuaraan tiga kali berturut memberinya sesuatu rencana kemungkinan: ia punya rencana. Dalam setiap pertandingan Galeng memerlukan hadir. Bukan karena hendak menonton, hanya hendak mematahkan batang leher orang, siapa saja, yang berani bertingkah terhadap Idayu. Tak ada suatu gerak terlepas dari perhatiannya. Perlombaan telah berjalan beberapa hari. Setiap pulang dari menari Idayu langsung pergi ke tempat kekasihnya untuk mengurutnya. Ia tak peduli pada larangan yang berlaku. Para punggawa tak sampai hati melarangnya, mengetahui, itulah hari-hari terakhir dua orang kekasih itu dapat berkumpul untuk kemudianberpisahn buat selamalamanya…. Pagi hari waktu itu. Pertandingan olahraga sedang seruserunya berjalan. Syahbandar Rangga Iskak sedang sibuk di pelabuhan mencatati nama orang dan kapal peiarian yang berbondongan datang dari Malaka dan telah ditolak di bandar-bandar lain di Sumatra dan Jawa. Di Tuban mereka bermaksud memohon perlindungan pada Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Jatuhnya Malaka ke tangan Kongso Dalbi telah jadi pengetahuan umum. Di antara para pendatang terdapat bekas Syahbandar Malaka Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Tholib Sungkar Az-Zubaid. Sekilas Rangga lskak mengetahui, pendatang itu seorang Arab – Arab yang dibencinya. la berbenah dalam hati, menyingkirkan perasaan pribadi dan melayaninya sebaik mungkin. Ia persilakan pendatang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung merajawali itu, untuk menyampaikan halnya. Dan nahkoda kapal yang ditumpanginya tidak ikut mendarat. Ia agak heran, tetapi tidak menanyakan. Kapal itu akan berlayar terus menuju Gresik. “Tuan Syahbandar Tuban,” bekas Syahbandar Malaka memulai dalam Arab. “Berkahlah untuk Tuan buat hah ini. Aku pendatang baru, juragan kapal itu. Kapalku akan terus berangkat dan akan menjemput aku kelak. Uang labuh untuk sehari akulah yang membayamya. Namaku Sayid Habibullah Almasawa dari Malagas!, bermaksud menghadap Sang Adipati Tuban.” “Berkahlah Tuan untuk hari ini. Maksud Tuan akan terpenuhi.” Pada para pekerja ia perintahkan untuk mengangkuti barang-barang persembahan. Ia perintahkan canang menara dipukul untuk pertanda akan adanya penghadapan. Canang kadipaten menjawab. Iring-iringan penghadap berangkat, termasuk bekas Syahbandar Malaka, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi dan sekarang bernama Sayid Habibullah Almasawa dari Malagasi. Di belakang mereka menyusul para pemikul persembahan. Di alun-alun mereka melihat orang beijejal-jejal menonton pertandingan. Umbul-umbul berkibaran tinggi di mana-mana. Dan karangan-karangan bunga di perempatan jalan. Mereka dengar sorak-sorai tak henti-hentinya. Di negeri ini orang bersuka-suka, negeri yang mereka tinggalkan sedang terlanda Portugis. Pendatang yang menamakan diri Sayid Habibullah Almasawa memperhatikan semua dengan kuping dan matanya. “Tuban sedang merayakan pesta tahunan,” Rangga lskak alias Ishak Indrajit menerangkan dalam Melayu. Ia tak meneruskan, membisu, tak memberi kesempatan pada para pendatang untuk bertanya. Orang Arab yang seorang itu merusuhkan hatinya. Mereka berhenti di depan pendopo. Dua orang pejabat datang dan menyampaikan tata-tertib. Mereka melepas semua alas kaki, senjata tajam dan tumpul kecuali keris. Maka alas kaki pun berbaris berjajar, dan tongkat dan bawaan pribadi. Mereka dipersilakan masuk ke pendopo dengan kaki telanjang, duduk berderet-deret di hadapan kursi gading kedudukan Sang Adipati. Kursi itu sendiri berdiri di atas lantai khusus yang ditinggikan. Sebuah bangku rendah berlapis bantal berdiri di bawahnya. Itulah tempat Sang Adipati meletakkan kakinya. Menurut peraturan penghadapan secara Tuban, orangorang asing bukan Nusantara tidak diwajibkan duduk dan menyembah. Bangku atau kursi duduk tidak pernah disediakan. Mereka harus berdiri dan barang siapa tidak duduk harus mengambil tempat di pinggir. Biti-biti perwara keluar menduduki tempatnya di bawah kiri dan kanan tahta Sang Adipati. Pada tangannya mereka membawa nampan kuningan tempat sirih dan jambang kuningan tempat ludah. Menyusul kemudian bentara kiri dan kanan, yang mengambil tempat di kiri dan kanan belakang tahta. Mereka semua bersenjata tombak dan perisai. Baru kemudian datang Sang Adipati dalam iringan Sang Patih dan para pembesar lain. Di belakangnya lagi menyusul para pengawal. Para penghadap yang duduk menyembah bersama-sama. Mereka yang berdiri di pinggir menyampaikan hormat dengan caranya masing-masing. Orang-orang Benggala, termasuk Syahbandar Tuban, berdiri sambil mengangkat sembah dada. Sang Patih dan para pembesar yang duduk bersila jauh di samping kiri dan kanan Sang Adipati, juga mengangkat sembah. Upacara penghadapan selesai. Syahbandar Tuban membacakan daftar para penghadap, nama, asal, pekerjaan dan permohonannya. Kemudian seorang demi seorang maju menghadap lebih dekat dan menghaturkan persembahannya sambil memuji-muji barangnya. Setelah persembahan menyusul permohonan dengan mulut sendiri. Sang Adipati duduk mendengarkan, tanpa bicara, mengangguk dan tersenyum, atau menggeleng dan tersenyum. Semua penghadap tahu belaka, satria Jawa tidak berbaju dalam pekerjaan resmi, dan mereka menghormati kebiasaan ini. Bekas Syahbandar Malaka tercantum dalam daftar terakhir. Waktu sampai pada gilirannya ia bicara dalam Melayu: “Patik datang dari Malagasi, ya Gusti Adipati Tuban yang termasyhur pengasih di sepanjang pantai Atas Angin. Orang memanggil patik Sayid Habibullah Almasawa. Kata silsilah keluarga, patik adalah keturunan ke empat puluh dari Nabi Besar Muhammad s.a.w.” Rangga Iskak mengemyitkan dahi. Giginya berkerut. Ia tak percaya. Prasangka mulai berbisik-bisik dalam hatinya: Itulah dia penipu yang kau tunggu-tunggu! “Patik hanyalah saudagar rempah-rempah yang belayar dari bandar ke bandar. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Tuhan belumlah memberkahi, ya Gusti Adipati Tuban. Sesampai di Malaka, Peranggi sedang menggagahi bandar. Semua isi kapal patik dirampas dan kapal patik dibakar. Alhamdulillah Tuhan masih ingat pada hamba-Nya ini. Segala puji untuk Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Bekas Syahbandar Malaka itu masih juga tak mempersembahkan sesuatu barang. Si penipu itu! pikir Rangga Iskak. Dia sedang memainkan lidahnya. “Larilah patik ke Bengkulu. Dengan kapal patik yang ada di )ambi patik belayar kemari untuk memohon perlindungan Gusti Adipati Tuban. Adapun harta benda patik seluruhnya telah habis untuk membayar kerugian di Malaka. Ampun, Gusti, bila patik tidak mampu mempersembahkan barang sesuatu yang mahal-mahal.” Nampak Sang Adipati mulai kehilangan kesabarannya. Ia menguap, dan ditutupnya mulutnya dengan tinju. Gelang-gelang mas pada tangannya, berukir dan bertatahkan intan permata, berkilauan. Namun ia tidak memberi isyarat mencegah penghadap itu meneruskan katakatanya. “Adapun harta-benda yang tersisa pada patik hanyalah kecakapan berbahasa Arab, karena itulah bahasa nenekmoyang patik, berbahasa Melayu, karena itulah penghidupan patik sebagai saudagar rempah-rempah. Yang tersisa pada sahaya juga bahasa Ispanya, Gusti Adipati Tuban…” Para penghadap mengangkat pandang mendengar Sang Adipati mendeham dan memanjangkan leher mengawasi pembicara fasih itu dengan perhatian. “… karena di negeri Ispanya patik dilahirkan, di sebuah negeri yang indah bernama Andalusia, ya Gusti Adipati,” bekas Syahbandar Malaka meneruskan, “dan juga karena itu patik berdarah Ispanya pula. Kemudian bahasa Peranggi, ya Gusti Adipati Tuban, karena itulah bahasa yang patik pelajari sejak kecil.” Rangga Iskak merasa seakan lantai yang diinjaknya terbang. Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung merajawali itu tak lain dari orang Moro yang hendak menumbangkan kedudukannya sebagai Syahbandar Tuban. Dunia dilihatnya berayun-ayun. Tangannya di balik jubah menggapai-gapai tanpa tujuan. Dan dalam pandangannya yang bergoyang ia tak lihat Sang Adipati menegur Moro keparat itu, padahal pembual itu mulai ramai dengan tangan memberikan tekanan pada katakatanya. Kalau dia Pribumi, pikimya, dia akan mendapat hukuman dera. “Ya, Gusti AdipTuban yang mulia, dilindungi oleh Allah, kiranya Gusti Adipati. Sedang patik hina-dina lagi melarat begini, ya Gusti yang tersohor bijaksana dan pemurah di sepanjang pantai Atas Angin, limpahkan kiranya pada patik suatu perlindungan, karena hanya Allah jua Maha Mengetahui, bahwa perlindungan Gusti Adipati adalah berkah daripada-Nya juga.” Tanpa diduga-duga Sang Adipati melambaikan tangan dan berkata dalam Jawa. Segera Rangga Iskak menterjemahkan dalam Melayu. ”Permohonan Tuan kami terima, tuan Sayid. Tuan Syahbandar Tuban akan mengurusmu sebagai tamu pribadi kami….” Rangga lskak hampir-hampir tak dapat meneruskan terjemahannya. Ia membelalak mengetahui, tamu yang mengaku diri Sayid Habibullah Almasawa telah berkenan di hati Sang Adipati. Celaka, pikirnya, sekali seorang Moro mendapat setitik tempat, orang harus waspada. Semua akan berubah, bumi tempat berpijak akan goyah. “Apalagi yang masih akan dipersembahkan?” tanya Sang Adipati. Penghadap itu mengangkat kedua belah tangan sehingga bongkoknya berayun, meneruskan: “Ampun, Gusti, perkenankanlah kiranya patik mempersembahkan sesuatu yang langsung berupa karunia dari Allah. Memang nampaknya tiada sepertinya, namun tak terkirakan berkahnya.” Ia keluarkan sebuah pundi-pundi dari balik jubahnya yang genggang. Semua orang berusaha untuk melihat apa persembahan si cerewet. Permata! tak bisa lain, orang menduga. “Berat tak seberapa, Gusti,” bekas Syahbandar Malaka itu menjepit pundi-pundi dengan ibujari dan telunjuk. “Enteng tak terkira.” Semua penghadap menjadi tegang. Mereka kuatir Sang Adipati menjadi murka dan membatalkan semua perlindungan yang telah dikaruniakan. Dan memang Sang Adipati nampak tersinggung, tapi masih menahan diri. Rangga lskak gelisah. “Selaksa kali lebih berharga daripada in tan, mutiara, zamrud atau delima, karena memang karunia Allah sendiri!” Dan para penghadap sampailah pada titik tertinggi kekuatirannya melihat Sang Adipati bicara untuk ketiga kali, hanya pada seorang penghadap: “Apakah itu, Tuan Sayid keturunan Nabi?” ‘Tidak lain dari benih baru, ya Gusti, dari seberang dan seberangnya seberang pulau Jawa ini. Benih beras besar ya Gusti. Sepuluh kali lebih besar daripada beras biasa. Bila disantap sewaktu muda, ya Gusti, hanya ditunu di atas bara, gemeratak bunyinya, tapi rasanya takkan kalah dengan emping ketan bercampur kelapa dan gula. Menanamnya tak memerlukan air, malah harus ditanam pada penghabisan musim hujan. Di mana saja dapat tumbuh, di gunung, di pantai, huma, sawah kering, ladang. Dia tak memilih tanah, asal tak tergenangi air.” Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa menaruh sejumput bening kuning dari dalam pundi-pundi dan diletakkan di atas telapak tangan kiri. “Orang-orang dungu di Ispanya dan Peranggi mengenai ini beras Turki, ya Gusti. Orang-orang Turki memang suka menipu, Gusti. Tidak benar ini beras Turki. Yang benar Zhagung namanya, Gusti. Dalam jangka waktu lima kali musim panas, seluruh negeri Tuban akan makan beras besar ini, Gusti, insya Allah.” Ia melangkah maju setelah mengembalikan benih dari telapak tangan ke dalam pundi-pundi dan mempersembahkan kepada penguasa Tuban. Orang terheran-heran melihat Sang Adipati tersenyum berseri menerimanya. “Telah kami terima persembahanmu, Tuan Sayid. Segala yang berasal dari Tuhan adalah berkah/’ kemudian menengok pada Sang Patih yang duduk di bawah. “Kembangkan beras besar ini, Kakang Patih. apalagi sekarang sedang musim kering.” Sang Patih menyembah rajanya, kemudian menerima pundi-pundi itu dan meletakkan di hadapannya. “Dan Tuan Sayid, apa nama negeri asal beras besar ini?” “Negeri itu, Gusti Adipati Tuban yang mulia – orang mulai menamainya Amerika.” “Di mana itu?” “Di balik bumi manusia ini, GustL” “Di balik bumi?” Sang Adipati berseru berolok, “tentu mereka di sana hidup seperti cicak dengan badan tergantung pada kaki?” “Tidak, Gusti, mereka sama dengan kita, demikian cerita pelaut-pelaut yang pernah ke sana. Hanya kulitnya merah.” “Merah?” “Merah, Gusti, seperti batu bata.” Rangga Iskak mengerutkan gigi dan mengemyitkan dahL Kegeramannya menjadi-jadi. Dia mulai menyemburkan bisa, gumamnya dalam Malayalam. Dan kalau tidak kuatkuat ia mengekang sudah akan tersembur tuduhannya sebagai ‘penipu’. Ia menggeragap waktu tiba-tibaSang Adipati berkata: “Tuan Syahbandar, apakah yang Tuan ketahui tentang bangsa kulit merah?” “Tidak pernah disebut dalam kitab apa pun, Gusti Adipati Tuban. Kulit hitam, putih, coklat, kuning, semua ada, Gusti. Merah tak pernah ada, apalagi seperti batu bata. Tak pernah tersebut ada manusia makhluk Allah hidup dengan badan tergantung pada tangan atau kaki.” Pendatang itu menengok ke pinggiran, pada Rangga Iskak, dan tersenyum ramah sambil mengangguk. “Tentang itu panjang ceritanya, ya Gusti. Sembilan tahun yang lalu Sri Baginda dan Ratu Ispanya, Phillipo dan Isabella, telah memberikan pangestu pada pelaut-pelaut Amerigo dan Colombo untuk mencari negeri asal rempahrempah. Mereka belayar lurus ke jurusan barat…” dan bercerita bekas Syahbandar Malaka tentang pelayaran besar dan penemuannya, dan bahwa dunia temyata bukanlah seperti tampah tetapi bulat seperti buah kelapa, bahwa di mana ada daratan di sana ada manusia, semua berdiri pada kakinya, tak ada yang bergantung pada tangan atau kaki. Orang mendengarkan dongengan baru yang tak masuk di akal itu. Mereka tertarik sampai-sampai lupa untuk mengetahui dari mana Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa mendapatkan beras besar yang bukan beras Turki. Dalam pada itu Sang Adipati sendiri sedang mengenangkan kembali cerita Sang Patih, bahwa Mpu Nala pernah menduga dunia ini memang tidak seperti tampah tapi bulat seperti buah maja. Dan sekarang kapal-kapal orang putih telah mampu muncul dari balik Ujung Selatan Wulungga yang selama ini dianggap sebagai batas akhir dari dunia, dan barang siapa melewatinya akan tercebur ke kedalaman tanpa batas. Mereka justru muncul dari situ. Mereka telah belayar sampai ke balik dunia dan mendapatkan beras besar. Ia berpaling pada Syahbandar Tuban. Rangga Iskak sedang merah-padam keunguan. Memahami akan adanya sikap permusuhan terhadap penghadap itu ia perintahkan Sayid Habibullah Almasawa kembali ke tempatnya di pinggir pendopo. “Patireja!” perintahnya pada menteri-dalam, “tempatkan tuan Sayid sebaik-baiknya di gandok belakang kadipaten.” Beberapa jam setelah penghadapan selesai pecahlah berita ke seluruh Tuban Kota: Sang Adipati telah dihadap oleh seorang tamu asing, seorang Arab bemama Sayid Almasawa yang ditempatkan di gandok belakang kadipaten. Berita besar, karena itulah untuk pertama kali seorang asing diterima di dalam kadipaten. Tentang beras besar orang tak memberitakan. Dan sekarang Tuban memiliki dongengan baru tentang bangsa manusia berkulit merah yang hidup di balik bumi, berjalan tergantung pada tangan dan dengan kaki melambai-lambai di udara. Tholib Sungkar Az-Zuibaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa merasa puas dengan semua jerih-payahnya. Ia merasa telah berkenan di hati Sang Adipati. Sebentar lagi bendera Tuban akan dikuasainya. Syahbandar yang sekarang harus menyingkir! Harus! Pulang dari kadipaten Rangga Iskak langsung menuju ke pelabuhan untuk menemui nakhoda kapal Sayid. Temyata kapal itu telah berangkat ke Gresik. Dengan jengkel ia pulang sambil menyumpah-nyumpah dan mengutuk semua orang Arab di atas bumi ini kecuali mereka yang tersebut dalam Alkitab dan Tarikh. Dengan cepatnya terjadi persahabatan antara Sayid dengan Pada. Mereka berdua fasih berbahasa Melayu. Pada pandai melayani orang-orang besar dan Sayid pandai mengambil hati orang. Padalah yang mengantarkan tamu itu menghadap Sang Patih. Ia duduk di belakangnya. Sang Patih duduk di atas kursi kayu dihadap oleh empat orang yang barn datang dari Bonang – murid-murid Ki Aji Bonang – dan dianggap tahu berbahasa Arab. Bekas Syahbandar Malaka itu duduk di antara mereka berempat. Dan ujian diadakan. Tamu Sang Adipati tertay/a geii dalam hati mengetahui sedang menghadapi ujian bahasa Arab. Seratus orang penguji masih takkan dapat mengatasi bahasa Arabkuf sumbarnya dalam hati. Mereka paling-paling tahu bahasa ibunya sendiri, sedikit Melayu dan sedikit Arab! Tulisan latin mereka takkan bisa. Ayoh, ujilah aku, tantangnya. Salah seorang di antara empat penguji menyodorkan padanya setumpukan lontar bertulisan Jawa. “Tuan Sayid bisa membaca ini?” tanyanya. Ia ambil seikat lontar, mengamat-amati, menggeleng melihat huruf-huruf yang menjulur berlingkar-lingkar itu. “Tulisan kafir,” gumamnya. “Jadi Tuan Sayid dapat membacanya?” Ia menggeleng. Seaksara pun tak terbaca olehnya. “Baik, kalau begitu biar kami bacakan, ukara demi ukara. Ini tulisan Jawa, tetapi berbahasa Melayu. Tulis oleh Tuan terjemahannya dalam bahasa Peranggi. Tuan sendiri punya kertas dan kalam.” Dan dengan demikian ujian dimulai. Dari setumpukan lontar Iain Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa menterjemahkan ukara demi ukara yang dibacakan itu ke dalam bahasa Ispanya dan Peranggi. Tulisan-tulisan terjemahan itu disimpan oleh Sang Patih. Pada hari berikutnya dengan diantarkan juga oleh Pada ia menghadapi ujian yang memakan waktu lama. Ia tak pernah menyangka akan menghadapi ujian pengalaman gila itu. Para penguji memberikan kembali terjemahan Peranggi padanya, kemudian menunjuk pada baris-baris tertentu dan bekas Syahbandar Malaka diminta untuk melisankannya dalam Melayu. Peluh mulai membasahi tubuhnya. Ia mengakui terjemahan Peranggi itu ditulisnya dengan gegabah. Kalimat-kalimat dan kalimat itu bermunculan di hadapan matanya seperti barisan mara. Ia menyesal telah melakukannya dengan gegabah dan menganggap sepele. Berkali-kali para penguji melihat tak ada kecocokan antara terjemahan Melayu orang ujian itu dengan teks Melayu dalam tulisan Jawa diatas lontar. Pengalamannya yang sama dialaminya sewaktu memelayukan Ispanya tulisannya sendiri. Banyak selisihnya dengan teks Melayu di atas lontar. “Gusti Patih Tuban,” salah seorang penguji melaporkan. “Memang Arabnya tidak meragukan, Peranggi dan Ispanya-nya nampak agak sembarangan, Gusti.” “Banyakkah kelirunya?” tanya Sang Patih. ‘Tidak Gusti, hanya sembarangan.” Untuk pertama kali dalam hidupnya Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa kehilangan kata-kata dan bermandi keringat sebanyak itu. Hari yang dinanti-nantikan tiba juga: hari penutupan pertandingan. Sejak pagi hari dengan membawa bekal makan orang telah datang berbondong ke alun-alun. Bunyi gamelan tak henti-hentinya berlagu. Orang berdatangan bukan sekedar hendak menyaksikan pertandingan. Pada hari penutupan Sang Adipati akan datang dalam iringan besar para pembesar negeri dan para pengawal.Semua dalam pakaian berwarna-wami. Mereka akan berbaris datang ke alun-alun mengunjungi semua gelanggang. Para penilai akan berbaris di belakang para pengawal dengan kaki dan tangan berhiaskan giring-giring serta kain dan destar berwamn keemasan cemerlang. Dan setiap orang di antara mereka akan membawa umbul-umbul kecil beraneka wama.Di belakangnya lagi akan menyusul barisan pengawas pertandingan, semua menabuh genderang kecil. Dan begitu Sang Adipati dan rombongan datang orang pun bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah. Begitu rombongan lewat orang pun berdiri dan bersorak gegapgempita. Rombongan itu lewat tanpa menengok tanpa menjawab sembah. Orang berdesak-desak mengikuti rombongan, semakin lama semakin tebal dan panjang. Sekali ini bukan sekedar karena kebiasaan: orang ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kerja mata Sang Adipati bila berhadapan dengan Idayu. Di dalam rombongan pembesar terdapat Tholib Sungkar Az-Zubaid, di Tuban Kota mulai dikenal sebagai Sayid Alusawa. Ia tetap bertarbus merah dengan jumbai keemasan jatuh ke belakang, berjubah genggang, agak bongkok, berjenggot, bermisai, bercambang-bauk, jangkung dan membawa tongkat hitam berhulu gading. Hidung bengkungnya menjadi sasaran setiap mata. “Itulah Tuan Ulasawa!” seseorang berbisik pada temannya. Seorang lain tertawa keheranan, memberi komentar: “Betapa panjang dan bengkung hidung itu. Kalau diberi berbuntut panjang, pasti akan lebih mendekati kadal.” “Puh!”, yang lain lagi mendengus, “Gusti kita memang kranjingan orang asing – dan semua saja tidak beres.” Apa pun komentar orang yang pasti sudah dapat diketahui: itulah tamu terhormat yang telah berkenan di hati Sang Adipati. Dan dalam hati mereka, yang memang sudah tidak senang pada orang asing yang mendapat jabatan tinggi, timbul pertanyaan: jabatan tinggi apa yang akan diterimanya? Pada umumnya orang menebak: penghulu negeri. Dan tebakan itu saja sudah cukup menjengkelkan, mengingat penghulu sebelumnya telah banyak mengurangi kesenangan mereka dengan berbagai aturan yang masih juga berlaku sampai sekarang Aturan baru, aturan baru, selalu mengurangi kebebasan. Dan penduduk negeri dan kota Tuban terkenal pencinta kebebasan. Tak jauh dari Tholib Sungkar berjalan Syahbandar Tuban, juga berjubah, hanya berwarna putih, berkopiah, tidak bersorban, berselendang leher putih. Hanya dia yang berjalan menunduk Tak ada nampak sinar kegembiraan pada wajah dan matanya, di tengah-tengah pesta yang membeludag itu. Damarsewu dan cempor menyala di mana-mana, mencoba mengusir semua bayang-bayang benda dan manusia. Namun semua lampu itu tak kuasa mengusir bayang-bayang dalam pikiran Rangga lskak.Ia telah mendapat firasat Sayid Habibullah Almasawa tidak lain dari Syahbandar Malaka yang dahulu menjatuhkan abangnya, dan sekarang datang ke Tuban untuk menjatuhkan pula sebagai Syahbandar. Tidak salah lagi, kata hatinya, dialah iblis laknat itu. Dan pikirannya kini bekeija keras mencari jalan untuk menyingkirkan orang Moro itu dari Tuban sebelum Sang Adipati mengambil sesuatu keputusan yang akan merugikan dirinya.Si pembual, penipu, pendusta, mengaku keturunan Nabi itu harus punah! Begitu rombongan memasuki ruangan tari, ia sudah mempunyai rencana. Gamelan membubungkan lagi sambutan. Idayu muncul di atas panggung menarikan tarian penghormatan. Kepalanya bermahkotakan bunga-bungaan sedang pakaian tarinya yang serba ketat memperagakan resam-tubuhnya semampai berisi. Pada bibimya tersunting senyum kemenangan. Matanya memancar penuh keyakinan dan kebahagiaan. Waktu mengangkat sembah gerak lehernya berayun seakan sedang menyerahkan pipinya untuk dicium oleh penonton di depan, sebelah kiri dan kanan. Dan Rangga Iskak tak melihat semua itu. Orang bersorak-sorai gegap-gempita. Sang Adipati mengangguk-angguk menyetujui. “Itulah Idayu, Tuan Sayid,” Sang Adipati berkata dalam Melayu, “kekasih Tuban, bunga seluruh Tuban. Tiada tandingan dalam tari dan kecantikan dan keluwesan. Juara tiga kali berturut.” “Patik,Gusti.” Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid menyala-nyala, ia angkat tongkatnya turun-naik, mengagumi tarian Idayu. “Dahulu gadis seperti itu akan meneruskan pertandingan ke Wilwatikta, ibukota Majapahit.” Tholib Sungkar Az-Zubaid mencantolkan tongkat pada lengan kanan. menegakkan bongkoknya dan bertepuktepuk: “Haibat!” serunya. Tanpa tandingan. Banyak negeri terah patik lihat, ya Gusti. Yang ini memang tiada tara! Namanya pun indah: I-da-yu. Dan betapa cantik! Aduhai betapa cantik, kau, Idayu!” gumamnya. “Allah telah menciptakan kau sesuai dengan kehendaknya.” Mata Sang Adipati bersinar-sinar hampir tiada berkedip. Orang pun lupa memperhatikan mata yang sepasang itu. Semua tertarik pada Idayu. Tetap hanya Rangga Iskak antara sebentar melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid. “Aduh, Aduh, Aduh, Gusti!” gumam bekas Syahbandar Malaka itu seperti kesakitan. “Apa, Tuan Sayid?” tanya Sang Adipati seperti pada seorang sahabat lama. “Serba indah, Gusti, serba cantik, serba mengikat. Kalau di Ispanya sana, Gusti,” ia bertepuk bersemangat, “tidak salah lagi, pasti akan jadi hiasan istana Ekopal.” “Apa?” “Hiasan istana raja Ispanya, Gusti.” “Hiasan istana raja….” Sang Adipati berbisik mengulangi sambil tersenyum. Kemudian agak keras, “sayang hanya anak desa.” “Tuban menciptakan makhluknya tanpa perbedaan, Gusti, baik desa mau pun kota milik Allah juga.” Rombongan pembesar kembali ke kadipaten sebelum tarian Idayu selesai…. Rangga Iskak tidak kembali ke alunalun. Ia berjalan bergegas menuju ke pelabuhan. Kakinya melangkah cepat-cepat. Antar sebentar ia menengok ke kiri dan ke kanan. Sampai di depan waning tuak dan ciu-arak ia berhenti. Pintunya terkunci dari dalam. Langit gelap. Ia mengetuk dan mengetuk. Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tak ada lampu menyala di dalam. “Kaukah itu, Yakub?” “Tidak salah, Tuan, Yakub ada di sini menunggu Tuan. Tuan tidak masuk?” Syahbandar Tuban itu masuk ke dalam, duduk pada salah sebuah bangku setelah menggerayanginya dengan hati-hati. Dalam kegelapan tak ada nampak wajah dua-duanya. Seakan mereka bicara dalam kekosongan alam sebelum matari dan bulan diciptakan. Hanya bisik-bisik pelahan, seperti guru di kejauhan, tanpa nada: “Sang Adipati ini lain dari putra-putranya, Yakub. Raden Sayid itu sepenuh hati mengabdikan diri pada Islam, Sang Adipati ini, hanya perdagangan dan keuntungan saja yang dia urusi. Dasar Rangga Demang….” “Tapi Sang Adipati jelas berpihak pada Islam, Tuan,” Yakub membantah. “Dari mana pikiranmu itu?” “Uah, tuan Syahbandar Tuban, bukankah sudah aku sampaikan, Sang Adipati sudah bersiap-siap dengan cetbang?” “Benar, bersiap-siap berperang terhadap Demak.” Yakub berdiam. “Lantas di mana Islamnya, Yakub?” “Banyak yang bilang tidak begitu. Sang Adipati tak pernah memperlihatkan kegusaran Jepara diambil oleh Demak, Tuan Syahbandar. Jepara direlakan, karena Demak Islam yang mengambil. Orang bilang Tuban bersiap-siap terhadap Peranggi.” “Bodoh, kau, Yakub. Mari aku bilangi. Tak kau lihat tadi Sayid palsu Habibullah Almasawa sudah mulai mengiringkan Sang Adipati?” “Semua orang sudah melihat, Tuan.” “Tandanya dia akan gantikan aku jadi Syahbandar Tuban.” “Tidak mungkin, Tuan.” “Untuk melayani kapal-kapal Peranggi dan Ispanya. Dia tahu dua-dua bahasa itu. Sang Patih sudah mengujinya, dan dia dianggap lulus. Maka tak mungkin Sang Adipati punya sikap terhadap Peranggi atau Ispanya. Dia sendiri kafir! Dan akan mati sebagai kafir! Dia munafik, kafir yang munafik. Pada saudagar-saudagar Islam ia perlihatkan diri seorang Islam demi mas dan perak, dan sutra dan tembikar, dan persembahan. Berapa perempuannya? Tak ada orang bisa menghitung.” Bisikannya semakin mengandung amarah, “Coba, orang-orang lain diperintahkannya bersembahyang untuknya, yang Buddha, yang Wisynu, yang Syiwa. Juga mandi junub, Yakub, dia tak lakukan sendiri, orang lain harus mewakilinya.” “Kalau begitu Tuan, memang kurang ajar Sang Adipati itu. Tapi bagaimana pun, Tuan, Sayid itu takkan mungkin dapat menggantikan Tuan.” “Mengapa tidak.” “Aku bilang, pendatang itu tak mungkin dapat jadi Syahbandar Tuban, biar pun Sang Adipati menghendaki. Tuan akan tetap di tempat. Jangan lupa, Tuan, Yakub, masih segar-bugar, sekarang terserah saja pada Tuan bagaimana jalan dan caranya.” Dalam kegelapan itu bisikan mereka makin pelan, semakin mesra seakan dua sahabat karib, yang baru bertemu setelah berpisah sepuluh tahun. Dan suatu rencana tertimpalah pada malam itu juga: Sayid Habibullah Almasawa disingkirkan dari Tuban, hidup atau mati. Rencana akan dijalankan secepat-cepatnya dan setelititelitinya. Menjelang subuh rencana sudah selesai sepenuhnya. Dan waktu Syahbandar akan pulang terdengar suara Yakub yang agak keras: “Nanti dulu, Tuan. Belum lagi Tuan perhitungkan biaya untuk si Yakub miskin dan teman-temannya.” “Iblis!” bentak Rangga lskak. “Kau selalu menuntut biaya. Berapa kau kehendaki?” “Lima dinar, Tuan.” “Husy. Dengan lima dinar aku bisa beli kepalamu sampai kepala nenekmu sendiri.” “Uah, uah,” kemudian Yakub tertawa senang, “hanya lima dinar harga jabatan Tuan? Tinggal pilih, Tuan. Yakub sih, sekedar tenaga murah.” Rangga Iskak berhenti berjalan. Ragu-ragu ia bertanya: “Dalam waktu berapa hari semua selesai?” “Dua minggu, Tuan. Begitu dia keluar dari kadipaten, jadilah sebagaimana Tuan kehendaki.” “Baik. Terima ini satu dinar panjar,” dan ia pun pergi tanpa menoleh lagi. Yakub tertawa, masuk kembali ke dalam warung dan mendengus: “Si buaya itu sudah menyediakan dinar dalam pundi-pundinya. Kalau mengenai mas, mas yang harus keluar, dia pikun seperti hampir-hampir mati tua. Kalau emas harus masuk, dia lebih dari seorang periba. Dasar buaya darat!” Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa masih mendengkur di gandok belakang kadipaten…. 0o-dw-o0 5. Idayu dan Galeng Pagihari. Semua orang datang ke alun-alun membawa bekal makan. Pelabuhan sunyi. Jalan-jalan senyap. Semua berkepentingan menyaksikan dan mendengarkan sendiri keputusan Sang Adipati di hadapan para petanding. Alun-alun lebih ramai daripada kemarin atau kemarin dulu. Bangsal-bangsal pertunjukan telah terbongkar. Dan orang duduk berbanjar-banjar di atas tanah, tak peduli rakyat biasa saudagar ataupun orang asing. Penduduk Tuban punya kepercayaan: meriah-tidaknya penutupan pesta akan jadi petunjuk makmur-tidaknya Tuban pada tahun mendatang. Orang berkepentingan hadir. Sakit ringan dilupakan. Yang sakit berat digotong dengan tandu beratap kain batik. Seseorang mencarikan bungabungaan yang telah luruh dari tubuh para penari dan diobatkan padanya sebagai param atau minuman. Tarian adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya. Barisan kuda telah tiga kali mengedari alun-alun. Para peserta pertandingan telah duduk di dalam pendopo kadipaten. Canang bertalu satu-satu. Keadaan menjadi sunyi-senyap. Hanya kadang-kadang, di sana-sini, terdengar tangis bayi. Desau angin dan deburan laut tak digubris orang. Semua yang duduk di atas rumputan memusatkan pendengaran pada suara-suara yang akan datang nanti dari dalam kadipaten. Dan mata mereka antara sebentar mengawasi gerak-gerak para pejabat yang berdiri di manamana, berpakaian serba kuning, juga selendang dan destarnya. Dari kejauhan nampak seperti cuwilan kunyit sedang di jemur. Itulah para peseru yang akan menyerukan percakapan yang terjadi di pendopo nanti. Di dalam pendopo sendiri Sang Adipati telah duduk di atas tahta gandingannya. Semua pembesar pribumi duduk bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari kebiasaan, Tholib Sungkar Az-Zubaid mendapat kursi kayu. Tempatnya ndnlnh di pinggir kanan, hingga lskak tak mendapat kursi. Ia berdiri di tempatnya yang biasa di pinggir kiri, dan dengan demikian mendapat kebebasan menyemburkan pandang kebencian pada orang Moro itu. Tidak salah lagi, pikir Syahbandar Tuban, semangkin had tangannya semakin mendekati bandarku juga. Dengan dia Sang Adipati takkan bakal melakukan perlawanan terhadap Peranggi dan Ispanya. Hanya segeraman dan kejengkelan berkiprah dalam hatinya sejak orang Arab itu mendarat di Tuban. Sekarang dia mendapatkan bangku pula! Alamat Sang Adipati telah jatuh ke dalam genggamannya. Keparat! Laknat! Dan para punggawa pun sudah yakin sekarang: Sayid itu akan segera jadi pejabat tinggi dan penting. Sebentar nanti mungkin akan diumumkan. Seorang punggawa, yang mewakili dewan penilai, dengan lisan telah mempersembahkan nama para juara yang dibacanya dari lontar. Dengan suara lantang para peseru meneruskan bacaan itu ke jurusan alun-alun. Para peseru di alun-alun meneruskan lagi ke tempat-tempat yang lebih jauh. Setiap sesuatu selesai diumumkan sorak-sorai berderaian mengegongi. Galeng tersebut sebagai juara gulat untuk tahun ini, dengan peringntan, ia harus bermain lebih patut. Sorak yang mengikuti terdengar ragu-ragu. Seluruh penonton dari Awis Krambil membisu. Seakan semua itu sebagai ucapan ikut berdukacita pada juara gulat dua kali berturut yang bakal kehilangan kekasihnya. Bahkan peringatan itu pun terdengar sebagai pendahuluan bencana atas dirinya. Nama para juara telah selesai disebutkan. Orang masih juga tak dengar nama Idayu. Seluruh hadirin sunyi membisu dalam kecucukan dan ketegangan. Idayu! mengapa dia? Mengapa tak disebut? Apa sedang terjadi? Tapi akhirnya nama itu disebutkan juga: “Juara tiga kali berturut untuk tari, Idayu, dari desa perbatasan Awis Krambil!” Para peseru meneruskan ke seluruh alun-alun. Sorak sorai gegap-gempita, berderai-derai seperti gelombang semudra, bergulung seperti hendak membenam bumi. “Setelah dua puluh tahun ini, muncul, sekarang juara tiga kali berturut! Dua puluh tahun! Ingat-ingat. Dan namanya: Idayu. Desanya Awis Krambil! Tenang. Sang Adipati Tuban berkenan bertitah….” Sunyi-senyap. Di dalam pendopo, Syahbandar Tuban tak hentihentinya melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid. Orang itu sedang duduk tenang menikmati kegembiraan yang berlangsung di depan matanya sambil mencicipi kehormatan yang semakin meningkat juga: mendapat kursi kayu satu-satunya! Nampaknya ia tak peduli orang senang atau tidak terhadap dirinya, asal Sang Adipati berkenan, dan semua sudah be res. Apa peduli yang lain-lain? ”]uara tiga kali berturut” Sang Adipati memulai dengan suara pelahan, kata demi kata. “I-da-yu!” ia menyebut nama itu dengan perasaan meresap seakan sedang mencicipi madu. Kata-katanya, dengan gaya dan nada sama, berkumandang melalui para peseru ke seluruh alun-alun. “Ketahuilah, juara kesayangan seluruh Tuban. Tak pernah ada kecuali kau: satu perpaduan antara keindahan tubuh, kecantikan wajah, keagungan tari. Hanya kau! Seluruh Tuban berbahagia dapat menyaksikan dalam hidupnya seorang dewi tiada tandingan.” Dan kata-kata penguasa Tuban itu lebih mendekati rayuan danpada amanat. Juga sampai sejauh itu Sang Adipati tak juga menyebut-nyebut kebesaran nama Tuhan, atau Allah, atau Maha Dewa atau Maha Budha atau Sang Hyang Widhi. la sengaja hendak menenggang semua agama rakyatnya. Ia hadapi mereka semua sebagai kawula atau tamu, bukan sebagai pemeluk sesuatu agama. “Sang Adipati Tuban,” ia meneruskan, “dan seluruh negeri Tuban. Idayu, memuja kau. Kami dapat mengerti mengapa mereka semua menghendaki agar kau selalu dapat dikagumi dan dipuja di ibukota ini” Sang Adipati berhenti bicara, memberikan kesempatan pada para peseru untuk melakukan kewajibannya. Orang bersorak ragu, kemudian menggelimbang sejadi-jadinya, kemudian ragu-ragu lagi. Sorak itu panjang panjang sekali, sehingga canang kadipaten dipukul tiga-tiga untuk memberi peringatan. Lambat-lambat sorak itu mereda. Sang Adipati tersenyum puas-puas dan mengerti: ia mendapat sokongan rakyatnya wajahnya berseri-seri. Ia pandangi Idayu di tempat duduknya dan sedang mengangkat sembah. Gadis perbatasan itu selalu tunduk menekuri lantai. “Kau dengar sendiri bagaimana mereka menyetujui,” Sang Adipati meneruskan. “Pastilah kau sendiri juga setuju.” Idayu tetap menekuri lantai. “Orang tua-tua mengerti, Idayu, dan kami, Adipati Tuban juga mengetahui, ada aturan khusus bagi juara tiga kali berturut. Idayu! Mengapa kau menggigil?” Kata-kata Sang Adipati, juga turun-naiknya nada, berpendar-pendar ke alun-alun melalui para peseru. Sebentar sorak-sorai meledak, kemudian mendadak padam. Sunyi-senyap. “Dengarkan baik-baik. Usahakan jangan menggigil. Siapa pun mengerti kebahagiaanmu, Idayu. Kebahagiaan yang terlalu amat sangat, yang bisa kau dapatkan hanya di bumi Tuban ini. Berbahagialah orangtua yang pernah melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi keturunanmu. Dengarkan baik-baik, kau. Idayu, juara tiga kali berturut, kau mendapatkan….” Juga Galeng menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya menggeletar, karena cemburu, karena geram, karena ketiadaan daya menghadapi penguasa mutlak negeri Tuban, karena tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai katakata manis Sang Adipati sebagai rayuan dan sebagai pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah arti kekuasaan Sang Adipati yang diejek dan ditertawakan oleh Rama Cluring? Dengan kekuatan batin luar biasa ia tindas semua perasaannya. Dan setelah semua tertindas, dengan malu-malu muncul ketakutan: ketakutan pada hukuman yang diancamkan oleh kepala desa. Apakah yang harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan? Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukuman takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja ia telah hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang. Yang muncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan Idayu sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang Adipati. Keringat dingin mulai bermanik-manik pada tengkuknya. Sorak-sorai telah padam. Sang Adipati meneruskan: “Pertama, dengarkan baik-baik, Idayu dan semua kawula Tuban. Pertama, hak menerima dan mengenakan cindai penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selama dua puluh tahun ini….” Sorak-sorai. Galeng mengangkat pandang menetak wajah Sang Adipati. “… Dan perhiasan serta pakaian pribadi, perhiasan serta pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan… permata….” Sorak-sorai! “Terimalah sendiri karunia Adipati Tuban ini, kau, pujaan Tuban! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar… Ayoh!” Galeng bukan hanya mengangkat pandang ia mengangkat kepala untuk melihat kekasihnya di depan sana menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa Tuban. Ah, Tuban dan hati pujaan itu! Kembali. Cemburu menyambar hati dan membutakan pandang. Ia angkat kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak mau melihat itu. Idayu! Jangan sentuh tangan berkarunia itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, Idayu. Nafasnya pengap. Cepat tangan kanannya menggerayang pada pinggangnya. Tak ada keris di situ. Dan ia lihat Idayu merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar mengangkat sembah. Di alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala Sang Adipati, mereka sudah berlarian mencari pohon dan naik ke atasnya. “Dengan kejuaraanmu, dengan kecantikan, dengan segala keluwesan dan daya tarik yang ada padamu, kami ada rencana untukmu.” Sunyi-senyap. Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: “Yang terhormat tamu Gusti Adipati Tuban, bernama Sayid Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan bersembah.” “Ya, Gusti jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten!” Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul dengung yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun. “Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh Tuban!” seseorang memekik. Dan suara pekikan itu dapat makian dari para peseru. “Titah Gusti Adipati selanjumya,” peseru meneruskan, “hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, Idayu, hak bagi penari terbaik di seluruh negeri,” sunyi-senyap, “hak kehormatan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak mengajukan permohonan apa saja yang sesuai dengan kepatuhan yang berlaku.” Sorak-sorai bergulung-gulung. Rangga Iskak tak mampu mengikuti seluruh jalannya perishya. Mungkin inilah untuk pertama kali dalam jabatannya selama sekian belas tahun ia tidak dapat menyimak dengan baik. Melihat orang Moro itu masih juga duduk dengan senangnya, bahkan berani-berani mempersembahkan saran yang sangat memalukan sebagai orang yang mengaku keturunan Nabi, saran terhadap seorang penguasa kafir, kukuh dan semakin kukuh pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bumi yang sedang diislamkan ini aku akan mendapat pahala besar. Untukmu, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala yang telah terhina di sini tak boleh susut, tak boleh berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro! Di tempat duduknya, di belakang Idayu. Galeng merasa seperti menduduki bara. Beberapa peserta dari Awis Krambil beringsut mendekatinya. “Aku ikut memohon untuk kebahagiaanmu, Kang Galeng” teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya lengan juara gulat itu. Galeng membalas hiburan dengan meletakkan tangan pada lengan orang itu. Berbisik membalas: “Hidup atau mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.” Dan Idayu masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia masih duduk menunduk di bawah kaki Sang Adipati. Semua mata, kecuali Rangga Iskak, tertuju padanya. Dari atas kursinya Tholib Sungkar Az-Zubaid memandangi gadis itu dengan mata menyala-nyala menelan seluruh kehadirannya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal serta rongga mata yang dalam dan gelap. Dan mata yang menyala-nyala itu memancarkan kepongahan, gila hormat tanpa batas, rakus, bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih daripada itu licik: yang ada hanya aku, semua untuk aku. Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar. Kemudian: “Mengapa kau menangis, Idayu?” para peseru meneruskan. “Betapa besar kebahagiaan yang sedang berbunga dalam hatimu. Adipati Tuban bersabar menunggu permohonanmu. Kami bersabar. Keringkan airmatamu, puaskan tangismu, juara, karena kebahagiaan yang lebih besar lagi sedang menunggumu. Juga semua kawula Tuban ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik matari di alun-alun sana, Idayu!” Galeng memusatkan pandang pada Sang Adipati, penantang tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung Idayu yang tersengal-sengal. Kalau Idayu menyerahkan dirinya, ia akan lompat, mematahkan lehernya, dan merangsang Sang Adipati untuk menerima ujung-ujung tombak yang menunggu. Idayu takkan menyerahkan dirinya, ia yakinkan dirinya, dia juga tahu harga diri dan kehormatan. “Kau berdua akan jadi sepasang merpati,” Rama Cluring merestui sebelum meninggalnya. “Semoga keturunan kalian akan bercipta dan mencipta, mampu mengembalikan kebesaran dan kejayaan yang telah hilang.” Rama Cluring lebih berharga dari pada kekuasaan mutlak yang kini dihadapinya. Para punggawa tersenyum-senyum dalam hati, juga para pembesar, mengetahui betapa ramah dan manis Sang Adipati sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu. ”Sudah siapkah kau, Idayu?” Sang Adipati bertanya lemah-lembut. “Mendekat sini, orang cantik mengapa menjauh lagi? Apakah perlu Adipati Tuban menyekakan airmatamu?!” Peseru-peseru meneruskan. Dan keheningan kembali menyusul. “Ayoh persembahkan permohonan.” “Ampun! Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” akhirnya keluar juga kata-kata Idayu yang menggigil tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbatabata. “Apa yang patik akan persembahkan,… sebagai permohonan….” Galeng mengepalkan tinjunya. Kembali tubuhnya menggigil. Otot-otot yang kukuh ternyata tak kuasa menahan gelombang perasaan yang memukul menggebugebu. Mengapa lama betul Idayu menyelesaikan katakatanya? “Harapan patik… semoga permohonan patik… yang tiada sepertinya takkan menggusarkan Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” Kata-kata Idayu tersekat macat. Rangga lskak sekali lagi melirik pada musuhnya. Ia telah serahkan cepuk tembikar itu pada Yakub. Terserah pada dia bagaimana akan menggunakannya, apakah melalui kulit, mulut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran bisa ular, yang biasa dibawa ke mana-mana oleh petualangpetualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantauperantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba keampuhannya. Sayid Habibullah Almasawa akan hanya sebentar terkejut, kemudian seluruh jaringan syarafnya akan lumpuh, tanpa sakit, dan… tiada lagi masalah Syahbandar lama atau baru, karena ia tetap dan akan tetap jadi Syahbandar Tuban. Tetapi di mana Yakub? Mengapa ia tak juga nampak dan melapor? Bagaimana ia akan menjalankan tugasnya? Hampir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang peseru meneruskan: “Ayoh, Idayu…!” Sekarang Idayu berdatang sembah: “Ampunilah patik, ya Gusti sesembahan patik. Bukan maksud patik hendak menggusarkan Gusti. Permohonan patik yang tidak sepertinya adalah…” “Betapa susah berhadapan dengan Gusti Adipati” seseorang menyeletuk. “Diam!” bentak seorang peseru. “Nah, aku teruskan persembahan Idayu. Dengarkan… adalah… adalah… Gusti Adipati Tuban sendiri.. adalah… Kakang Galeng… Juara gulat!” Sekarang Gusti Adipati Tuban bertanya: “Kami tidak mengerti, Idayu. Apa maksudmu!?” Tetapi para hadirin di seluruh alun-alun mengerti belaka. Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka berlompatan, berjingkrak, kegirangan. Para peseru tak mampu memadamkan keriuhan. Juga yang sakit di atas tandu-tandu memerlukan tersenyum dan bersyukur pada Hyang Widhi. Mereka dapat menangkap maksud Idayu. Ah, perawan mulia itu! Dan rakyat Tuban sejak dahulu juga memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada kan habis-habisnya. Canang peringatan bertalu tanpa hasil. Di dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang Adipati tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: “Apa maksudmu? Katakan yang jelas!” Galeng tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa disadarainya airmata haruan telah meleleh jatuh setelah menyeberangi pipinya, membasahi lengan tern an yang menghiburnya. Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diamdiam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang Kamajaya, untuk mendapatkan kekuatan cinta semacam itu juga. Kemudian ia belai-belai punggung Galeng. “Patik memohon, ya Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,’ mendadak suara Idayu menjadi keras, kuat dan tabah setelah diberanikan oleh sorak-sorai, “semoga Gusti Adipati Tuban berkenan, Gusti Adipati Tuban sendiri, merestui patik dan Kakang Galeng sebagai istri dan suami.” Idayu telah mempersembahkan keinginannya sebagai hak yang telah dikaruniakan padanya. Dan Sang Adipati semakin memahami persembahan itu. Kedua belah kakinya yang tidak bergerak selama ini dilempangkan kejang. Matanya membeliak. Tangan kanannya berayun, kemudian mencengkam hulu keris. Dadanya terengah-engah. Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam. Mati kau, Idayu! Mati kau di ujung keris, pikir orang. Dan para punggawa dan pembesar mengangkat kepala untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu. Tholib Sungkar Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak tangan kiri, meringis. Di alun-alun suasana kembali membuncah riuh-rendah. Tangan Sang Adipati terhenti pada hulu keris itu. Nampak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkaman pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki letak kaki. Gelombang sorak-sorai: masih membeludag memandangi gunung melerus. Canang peringatan yang makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu, I-da-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa, tak ada orang lebih tinggi dari kepala Sang Adipati. Banyak di antara wanita menghapus airmata, tersedansedan terharu, menemukan seseorang yang mewakilinya sebagai makhluk pilihan para dewa. Di tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Memohon: “Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah bagi cinta setia. Kau pilih petani desa daripada adipati berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman seindah ini.” Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing dengan tertib. Pada suatu jarak seseorang berdiri, tak peduli pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli apa agama mereka: Syiwa. Buddha. Wisynu. Islam. Kesyahduan menguasai bumi, langit dan manusia Tuban. Di pendopo Sang Adipati bermandi keringat. Mendengar mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di hadapan Idayu. Dan waktu mazmur selesai ia angkat kedua belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu pada tangan berkuasa itu. Orang telah bayangkan Idayu mati di ujung keris, menjelempah bermandi darah, karena demikian memang adat raja-raja Jawa. Dalam bayangan orang, Galeng akan maju beringsut bersujud pada kaki Sang Adipati untuk juga menerima tikaman keris. Pada pinggangnya. Jantung orang berdebaran kencang. Temyata lain lagi yang terjadi: “Restu untukmu, Idayu, wanita utama Awis Krambil dan Tuban. Seluruh Tuban bangga padamu. Dengarlah orang melagukan nyanyian puja untukku…, Dengarkan orang bersorak-sorai untukmu….” kata-kata Sang Adipati tersekat pada tenggorokan. Orang melihat penguasa itu menelan ludah, sekali, dua kali – suatu pantangan bagi orang yang sedang dihadap. Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati langit Tuban. Dalam keadaan seperti itu Sang Adipati meneruskan, tanpa duduk di atas tahta: “Idayu, kekasih Tuban, hari ini akan kami kawinkan kau dengan Galeng.” Sorak-sorai gila di alun-alun. “Galeng! Maju kau, juara gulat yang berbahagia!” Galeng maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti katak, menyembah beberapa kail Kemudian duduk di samping kekasihnya. “Benarkah ini yang bernama Galeng, Idayu? Pria yang engkau cintai?” “Benar, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” “Lihat dulu baik-baik, jangan keliru.” “Benar, Gusti, tidak keliru.” “Tidakkah kau akan menyesal, Idayu?” “Demi Hyang Widhi, tidak, Gusti Adipati sesembahan patik” “Katakan ‘demi Allah’”, Tholib Sungkar Az-Zubaid berseru dari tempatnya. “Demi Allah, ya Gusti.” “Kau yang bemama Galeng dari Awis Krambil?” “Inilah patik, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” “Jadi kaukah kekasih Idayu?” “Demikian adanya, Gusti.” Kembali Sang Adipati mengangkat lengan: “Dengarkan dan sakakan semua kawula Tuban. Pada hari ini, dengan kekuasaan kami, di kawinkan juara tari Idayu dengan juara gulat Galeng, dua-duanya dari desa Awis Krambil.” Sorak-sorai bersyukur membubung ke angkasa. “Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia akan menjadi keturunan kalian….” “Auzubillah!” terlompat kata dari mulut Rangga Iskak. Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati: ”Dasar kafir turunan kafir. Masa semacam itu mengawinkan orang? Tidak syah! Mengaku Islam pula. Munafik. Kufur.” ‘Tidak syah!” gumam Tholib Sungkar Az-Zubaid dalam bahasa Arab. Sang Adipati hendak bermain-main dengan hak dan hukum. Ya, ya, memang cerdik dia, Idayu dengan begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. Dia akan tetap milik semua penduduk Tuban. Mungkin kau sendiri yang akan merampasnya kelak, Adipati. Dan kau juara gulat yang sebodoh banteng. Hanya badanmu saja yang besar. Otakmu cuma sebesar biji korma kering. “Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami.” Dari bawah kursi, Sang Patih Tuban mengangkat sembah. Kemudian dengan suara pelahan: “Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, ada pun segala yang telah Gusti ganjarkan benar belaka adanya. Kawula Tuban sangat memuja cinta yang murni, ya Gusti. Dan bukan tanpa bahaya Idayu memilih suaminya.” Dari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo, membenarkan Sang Patih. Kemudian hening. “Juga bukan tanpa bahaya bagi Galeng. Ia pun telah menunjukkan kejantanan, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Ia telah maju atas panggilan kekasihnya. Kalau bukan karena pemurah Gusti, bukan kekasih ia dapatkan, tapi ujung keris.” “Kau benar, Kakang Patih.” “Ampun, Gusti, adapun akan gadis ini, tidak lain dari penjelmaan Sang Hyang Dewi Kamaratih, dan perjaka ini penjelmaan Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah pengantin baru yang agung, direstui oleh semua kebajikan. Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan mereka.” Sebagian terbesar pengantar sumbangan, pria dan wanita, tua dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka bermaksud menyumbangkan tenaga juga. Maka jadilah da pur raksasa pada malam itu juga. Menyusul kemudian datang bondongan grobak mengantarkan kayu bakar dan minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh tungku. Di dalam rumah-rumah Tuban Kota orang tua-tua memerlukan menyanyikan kembali mamur Kamaratih- Kamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikut serta menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an mereka sendiri. “Nah, Nak. begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah wanita utama seperti Idayu. Untuk cintanya dia berani hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di bumi Tuban. Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi, karena raga telah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir. Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri. Malam itu Idayu dan Galeng mendapat tempat sendirisendiri, dua-duanya adalah tempat yang jauh lebih patut bagi dua orang anak desa perbatasan. Idayu dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memandikannya, dalam jambang air bunga, memotongi bagian-bagian runcing dari giginya, kemudian memaraminya untuk mendapatkan kulit yang lunak dan berseri pada keesokan harinya. Ia ikuti segala harapan yang ditumpahkan pada dirinya. Ia berbahagia karena dapat membahagian kekasihnya. Selesai berparam, seorang nenek menyanyikan untuknya lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya, kemudian nenek itu menerangkan artinya dan memberikan tafsiran. Ia mendengarkan lebih khidmat dari pada upacaraupacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari suaminya ia akan kembali ke desa membawa keharuman dan kebesaran. Lain halnya dengan Galeng. Sekalipun ia dilingkari priapria tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali, ingatannya tak juga mau lepas dari Rama Cluring dan segala akibat yang mungkin timbul. Ancaman kepala desa itu membuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan. Dan ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang Adipati sekarang ini hanya satu muslihat untuk memusnahkannya dari muka bumi. Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ;tu. Ia tak rasakan tangan yang mengendorkan otot-ototnya. Tiga orang melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. Dan nasihat mereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti burung berkicau. Galeng berusaha keras mengingat-ingat kembali…. Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah serba putih karena tuanya dengan cepat mengutip Negara Kertagama dan Pumntmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan, negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di bawah kekuasaan Majapahit. Bahwa di mana tentara laut Majapahit mendarat, di sana pula orang berkerumun hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga hendak mendengarkan centa-berangkai Panji dan Candrakirana. “Selama kalian tak mampu melihat dunia, selama itu kalian telah diperlakukan oleh Tuban bukan sebagai kawula, tetapi sebagai musuh yang telah dikalahkan dalam perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui Tuban dari kalian. Barang bakal dan barang jadi…!” “Jangan ditahan kaki ini, Galeng biar aku tekuk,” salah seorang pemijit menegur. Dan Galeng mengendorkan otot-otot kakinya. ”Bagian ini sangat tegang, Galeng, terlalu lelah.” Kembali ia mengenangkan mendiang Rama Cluring: Orang setua itu, tak punya sesuatu pun keeuali diri, kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di mana-mana, dan juga di mana-mana menimbulkan kekaguman orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka yang tak membutuhkan kebenaran…. “Telentang, kau, Galeng!” Juara gulat itu telentang. Otot-otot dan dada dan leher sekarang mendapat giliran. “Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. Dasar nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.” “Karunia Hyang Widhi muncul di mana-mana,” ia menjawabi. Semua ototnya telah jadi kendor. Param itu menusuk. Ia merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di alam mimpi… Azan subuh dari menara mesjid Kota dan pelabuhan belum lagi lama padam. Dari mana-mana terdengar gamelan mulai bertalu, mendesak deburan laut, membangunkan mereka yang masih tidur. Orang bergegas mandi dan mengenakan kembali pakaian terbaik. Bereepateepat orang selesaikan sarapan, membersihkan rumah dan membuka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih dan Kamajaya yang sedang turun dari Tuban hendaknya juga memasuki rumah dan hati mereka. Kemudian mereka membersihkan halaman dan menaburkan bunga-bungaan dan beras kuning pada pintu rumah dan gerbang. Matari dengan cepat meninggalkan permukaan laut. Kapal-kapal dan perahu muncul dalam hiasan berbagai wama umbai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh pesta. Sela Baginda tahu-tahu telah dipagari dengan janur kuning dan rangkaian bunga-bungaan, Umpak tugu Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya. Pada pagi itu juga dari mulut ke mulut orang di pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang Adipati memerlukan datang ke kamar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan orang tua-tua. Pada mereka ia berkata: “Hari ini Soma. Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Soma kami ubah jadi Senin.” Kata berita itu pula: Sang Adipati kelihatan pucat, mungkin malam-malam tidak beradu. Dengan tangan sendiri ia telah taburkan daun bunga pada kepala dua orang pengantin desa itu. Bunyi gamelan semakin riuh – dari mana-mana. Dalam rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling depan adalah gamelan mereka, dengan atau tanpa penari, untuk menyambut keluarnya pengantin dan juga untuk mengiringkannya. Dengan kadipaten telah penuh-sesak dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonang telah riang sekali karena terlalu tua dan terlalu bersemangat orang memukulnya. Hidangan melimpah-ruah datang. Mendadak game\an dan sorak-sorai yang mengharap agar pengantin segera turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung kemudian padam. Hidangan pagi yanghangat menguap-uap itu membikin orang lupa bahwa besok masih ada hari lain. Semua yang terhidang tersantap. Dan minum air gulasantan pagi itu tercampur dengan pandan-wangi menyatakan, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang berpesta. Untuk daerah Tuban, pandan-wangi selalu didatangkan dari kabupaten lain, maka merupakan barang mewah. Kolak dengan ha rum kayu-manis. Gulai ayam, kambing dan satai, lemper dan pisang goreng. Dan begitu perut kenyang orang hampir-hampir lupa mereka datang untuk mengiringkan pengantin. Orang tak memperhatikan: tak ada ikan laut dihidangkan. Matari mulai bersinar gemilang. Tandu pengantin nampak meninggalkan kadipaten, memasuki pelataran depan. Sebentar semua tangan melambai-lambai menyambut. Seorang pendeta Buddha membunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah memercik-mercikkan air dari jambang kuningan yang dipikul oleh empat orang dewasa. Air itu menitikan jalanan itu. Akan ditempuh pengantin. Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantramantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti berbunyi, seorang-orang tua, memekik memecah keheningan: “Sambutl” Giring-giring. Berbunyi lagi. Berhenti. “Sambut!” pekik orang tua itu. Giring-giring. Pekikan. Giring-giring. Pekikan Gumam Pendeta Buddha. Pekikan. Susul-menyusul kemudian bergulung jadi nyanyi bersama dalam mazmur cinta, semua membubung sy ahdu di langjt pagi. Juga kanak-kanak pada menekur ikut menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah terdengar. Mendadak semua orang kini teringat lagi. Kemudian semua tangan terangkat ke langit seakan hendak menerima jabatan dari Kamajaya dan Kamaratih yang akan turun ke bumi. Juga pengantin di atas tandunya, Juga para penandu. Dan begitu nyanyi puja berhenti, tandu mulai berjalan pelan menuju ke gapura. Sang Adipati kelihatan berdiri di pendopo. Para pembesar dibelakangnya. Ia memang kelihatan pucat. Dan tandu berjalan pelahan turun ke jalanan alun-alun. Tandu itu sendiri terbuat daripada kayu berukir. Atap dan dindmgnya terbuat daripada sutra kuning tipis terpilih dan berlipat-lipat. Di sana-sini diselang-seling dengan sutra biru laut dan merah dan coklat. Tali-tali dari rangkaian melati berjumlah kenanga merupakan garis-garis busur tergantung dari tiang ke tiang. Dan tandu itu bergerak di antara kepala semua manusia. Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gamelan mulai riuh berbunyi. Orang bersorak bersambut-sambutan. Dua orang penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari lain mereka memainkan riwayat Galeng dan Idayu di sepanjang jalan arak-arakan. Sejoli pengantin itu duduk dalam sikap resmi. Mereka tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu. Sebentar jalan. Idayu mengenakan kembang keemasan berkilat-kilat. Perhiasan dari mas dan permata memancar gemerlapan pada kepala, kuping, leher, tangan, dada dan perut. Galeng bertelanjang dada. Destar-wulungnya dijelujuri rantai mas dan perak. Pada dadanya tergantung kalung mas. Pula dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari mas. Kerisnya bersarung dan berbulu kayu sawo bertatahkan intan baiduri. Memang mereka tak ubahnya dengan pengantin kerajaan. Begitu tandu telah meninggalkan alun-alun dan mulai menghindari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi dipertahankan. Gadis-gadis dan pemuda-pemuda bersesakan untuk dapat menghampiri pengantin. Tandu nampak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan, oleng seperti perahu tanpa kemudi. Dan sepasang pengantin itu tetap agung duduk di tempatnya. Kota telah dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela Baginda di pelabuhan. Gadis-gadis mulai semakin mendesak untuk menghampiri Idayu. Mereka tak dapat menahan godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk mendapatkan berkahnya. Dari samping lain para perjaka berebut dahulu untuk menyentuh Galeng. Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak melarang. Suaranya lenyap dalam gelombang gamelan dan deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli. Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi Tuban mungkin tak bakal terjadi lagi dalam dua ratus tahun mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan berlalu tanpa mendapatkan berkah dan kenangan. Kulit pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus disintuh. Mengerti akan keinginan mereka, Idayu dan Galeng mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak berhasil mendapat sentuhan mulai menyerang bungabungaan penghias. Dalam waktu sekejap bunga-bungaan lenyap dari penglihatan mata. Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang mulai menyerang dinding dan atap tandu. Dalam waktu pendek tandu sudah menjadi gundul dan pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap surya dan angin. Sorak-sorai makin gegap-gempita. Dan gamelan terus juga bertalu. Dan para penari terus juga berlengganglenggok sepasang jalan. Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha mengambilalih tugas memikul tandu. Mereka adalah yang tak dapat menyentuh dan tak mendapat bunga, tak mendapat serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di udara seperti biduk terkena terjang angin beliung. Dari mana-mana terdengar orang memekik melarang. Gemuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara, menenggelam semua makna kata-kata. Dan tandu semakin terguncang-guncang. Idayu lupa pada sikap resminya. Tangannya berpegangan erat-erat pada tiang tandu. Galeng berusaha mempertahankan keselmbangannya dengan kedua belah tangan mencekam tempat duduk. Matanya beipendaran heran bertanya-tanya. Sebuah pekikan tinggi melengking keluar dari mulut seorang nenek pengawal Idayu: “Dewa Batara! Jangan biarkan jatuh tandu itu’.” Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, kemudian hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika. Gamelan bungkam. Tari-tarian mati. Deburan laut pun membeku. Surya seakan hilang dari peredaran, kehilangan teriknya. Nenek pemekik terdengar menangis tersedu-sedu, kemudian meraung: “Ampun, Dewa Batara, ampun!” Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara sedu-sedan dan memohon ampun pada Hyang Widhi mulai menggelombang. Satu lingkaran orang kaget telah berdiri mengelilingi pengantin yang terjatuh dari atas tandu. Ketegangan dan kekejangan. Di hadapan mata batin orang mengawang kutukan para dewa, karena membiarkan pengantin kekasih Kamajaya dan Kamaratih terguling dari kedudukannya. Suasana pesta berubah jadi menakutkan. Dari manamana membubung dengung mantra-mantra. Dalam kerumunan orang Idayu berdiri dari tanah, Galeng melompat bangun. Kedua-duanya diam tidak bicara. Bersama-sama mereka memandang langit dan menyembah. Selingkaran orang ketakutan itu tak menyambut tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru setelah ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mulai tahu apa harus dikerjakan: membetulkan tandu agar pengantin naik lagi. Galeng dan Idayu menolak. Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka meneruskan perjalanan. Keramaian membuncah lagi. Tapi para pengiring tepat di belakang pengantin diam membisu. Pengantin menolak ditunjang. Di Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua membawa mereka mengitari batu itu sampai tiga kali, kemudian menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa ke tepi laut dan mereka berdua taburkan sedikit demi sedikit ke permukaan air. Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang telah memanjang pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut, seperti sedang meneropong hari depan sendiri. Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun bersama ombak, bergerak pelahan, makin lama makin menjauhi pantai. Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya bunga-bungaan. Dan yang mereka awasi tak ada yang bakal kembali ke darat. Makin lama makin menjauh… jauh, melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal… menjauh,… jauh … jauh…. 0o-dw-o0 6. Adipati Tuban Arya Tumenggung Wilwatikta Orang bilang: Sang Adipati Tuban bukan keturunan orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung berasal dari darah wangsa Majapahit. Dan tak ada orang yang meragukan. Sang Adipati sendiri bangga pada darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa aman karena darah itu sendiri telah menyebabkan ia tak punya penantang sebagai penguasa atas negeri Tuban. Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit. Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatnya jadi gubernur yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa Timur. Ia marak jadi raja pertama Majapahit dengan nama Kartarajasa. Sang Adipati tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak memberikan kekuasaan pada sahabat-sahabat seperjuangan yang telah sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaannya. Baginda menganggap orang-orang ningrat telah menjadi lemah karena kemewahan dan penghormatan dan sanjungan yang berlebihan. Tetapi, pejabat-pejabat dari orang kebanyakan ini, demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa Majapahit biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak punya jangkauan pandang yang jauh. Kemana pun mereka tebarkan pandangnya, yang nampak hanya dusunnya semula. Kesetiaan memang bisa diharapkan dari mereka, tetapi kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang bijaksana. Juga Sang Adipati Tuban tahu dari guru praja: sejak masih bernama Raden Wijaya pun Sri Baginda Kartarajasa telah dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartanegara dari Singasari untuk mempersatukan seluruh Nusantara. Ia sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke negara-negara Melayu. Juga pernah ikut memimpin gerakan mempersatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadana, Pahang dan ikut membangunkan persekutuan militer dengan Campa. Setelah menjadi raja Majapahit pertama, Sri Baginda bercita-cita hendak membangunkan kekaisaran dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia. Dari guru praja Adipati Tuban tahu: Sri Baginda Kartarajasa mempunyai dua jalan untuk mempersatukan Nusantara. Pertama jalan kecil karena keciilah kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok – dan kekaisaran Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat untuk dipengaruhi dan ditembus oleh Majapahit. Yang kedua adaiah jalan besar, karena besarlah kemungkinannya, yakni melalui jalan laut melewati Selat Semenanjung ke Atas Angin, ke Benggala dan ke negeri-negeri yang tak terbatas jumlah kerajaan dan kebangsaannya. Untuk dapat menguasai jalan besar, Selat Semenanjung harus dikuasai. Dan untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa mengawini putri Melayu bergelar Dara Petak artinya Gadis Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala Gemit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjamin kesetiaan Melayu pada Majapahit dan dengan demikian menyelamatkan Selat Semenanjung. Para gubernur bekas teman-teman seperjuangan Sri Baginda tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini. Biarpun permaisuri Gayatri tidak melahirkan seorang putra, hanya putri, tidak ada satahnya ia diangkat jadi putri mahkota. Bukankah putri itu, Dewi Tribuwana, cucu Sri Baginda Sri Kertanegara, yang lebih berhak? Bukankah Tribuwana sendiri sudah melambangkan bersatunya tiga benua: Nusantara, Atas Angin dan Wulungga? Mereka tidak rela kalau Majapahit, hasil jerih-payah mereka, harus jatuh ke tangan keturunan Melayu, hanya untuk dapat mempertahankan Selat Semenanjung. Percekeokan dan pertengkaran terjadi. Tidak makin reda, tapi semangat menjadi-jadi. Gubernur-gubernur berasal dari orang kebanyakan itu, kata guru praja pada Sang Adipati semasa masih kanakkanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala Gemit jadi putra mahkota. Memang pandangan mereka hanya seluas desanya sendiri. Gubernur Tuban, Ranggalawe, yang paling keras menentang, ditindak dengan ekspedisi militer oleh Sri Baginda. Ia melawan dengan gagah-berani, tetapi sia-sia. Pengganti Ranggalawe itulah moyang Sang Adipati. Sang Adipati Tuban Arya Teja, karena kebijaksanaan dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda telah diangkat jadi Patih Majapahit, waktu itu Majapahit telah lemah sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Baginda Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih Majapahit Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka untuk membangunkan kembali Majapahit Raya. Ia patah semangat, perhatiannya kemudian ia tumpahkan pada wilayahnya sendiri berdasarkan darmaraja, yakni negeri Tuban. Tetapi Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari selama Majapahit yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai bersekongkol dengan pedagang-pedagang Islam. Ialah yang memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk memberikan perkampungan dan pengajaran Islam di pelabuhan utara Majapahit, Gresik. Ialah yang membentuk persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara Islam sambil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit. Majapahit telah lama runtuh. Tetapi Adipati Tuban tak mampu melepaskan diri dari bentuk tatap raja Majapahit. Ia pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada orang-orang kebanyakan yang telah berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuanya, yang berasal dari darah raja-raja. Semua kepala pasukan Tuban adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara mere ka punya gelar, kecuali gelar ketentaraan. Dan sekarang, bahwa ia mengangkat Idayu dan Galeng pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga karena tradisi Majapahit. Ia merasa bangga dan puas telah dapat lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati. Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernahmenggunakan tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang kemungkinan yang lebih baik. Maka begitu orang bersoraksorai di alun-alun dan membenarkan Idayu, seketika itu juga ia harus dapat mengubah pikirannya: melepaskan impian sendiri tentang tubuh jelita dari gadis perbatasan bernama Idayu dan serta-merta berpihak pada sorak-sorai itu. Dan ia tahu, peristiwa Idayu-Galeng tak boleh berhenti sampai di situ saja. Mereka dapat dipergunakan untuk memelihara kesetiaan kawula Tuban kepadanya. Maka Galeng harus juga mendapat jabatan yang patut. Setelah upacara perkawinan agung selesai sering ia duduk termenung seorang diri di taman kesayangan di tempat gajah pribadi. Dalam kesibukan resmi ia dapat kehebatan berahinya pada tubuh Idayu. Tetapi setelah kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala, menyambar dan membakar dalam dada tuanya. Kekuasaannya yang tanpa batas ternyata tak dapat membantunya. Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak dengan bayangan penari jelita itu. Gerak-gerak yang begitu mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang… betapa… betapa… tidak, ia meyakinkan diri setelah teringat pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia kebaskan berahinya. Selama Idayu, seorang wanita, apakah bedanya dengan wanita lain? Tapi pribadi seperti itu! Di sana bisa didapatkan lagi? Dan dialahkan pikirannya sekarang pada Galeng. Di mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya tahu gulat dan berani itu? Stt, stt, jangan remehkan kemampuan seseorang. Apakah artinya Mpu Nala dan Gajah Mada sebagai seseorang? Namun wajah dunia telah berubah karena mereka berdua, anak-anak desa itu: Semenanjung jatuh ke tangan Majapahit. Selat dikuasai, Jalan besar terbuka, Majapahit jaya. Sekarang Malaka jatuh ke tangan Peranggi. Selat dengan sendirinya, sebentar lagi mungkin Pasai runtuh pula dan Selat akan jadi milik mutlak Peranggi. Dia bukan hanya hendak menguasai dunia, juga Nusantara. Tak ada yang mampu melawan dia. Tuban pun tidak. Tetapi selama Tuban di dalam tanganku, kita akan memiliki harga apa pun juga. 0o-dw-o0 Sang Adipati terbangun dari pemenungannya melihat sesosok tubuh merangkak mendekati sambil menyembah: “Ya, Galeng, pengantin baru yang berbahagia, adakah sesuatu hendak kau persembahkan?” Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah mencoba menyusun kata. “A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa!” “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Adapun patik menghadap tidak sepertinya ini ialah memohon perkenan dari Gusti Adipati Tuban…” Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh pegulat itu. Setelah perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu terhadap Sang Adipati. Sebagian dari kecurigaannya telah hilang. Idayu telah jadi istrinya. Kegelisahannya sekarang adalah kegelisahan seorang kawula yang menunggu datangnya hukuman. Pasti Sang Adipati telah mengetahui segala-galanya tentang dirinya. Sedang larangan baginya untuk melakukan sesuatu kerja menyebabkan kegelisahannya semakin menjadi-jadi. “Kurang cukupkah yang telah lewat dan yang sudah ada…?” “Lebih dari cukup, Gusti, patik hanyalah petani biasa. Patik dan istri sudah rindu pada desa patik, Gusti.” “Bukankah kami Adipati Tuban dan kau kawulanya? Bukankah kau mengabdi pada adipatimu?” Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya. Badannya sudah kuyup. “Kau, Galeng, kembali ke tempatmu. Jangan tinggalkan pengantinmu. Kau tidak kembali ke desamu.” Juara itu telah menggelesot di tanah. Beberapa kali ia mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat badan untuk pergi. Otot-ototnya seperti lumpuh. Dan Sang Adipati memperhatikan bahu bidang di bawahnya itu – bahu pegulat yang kukuh seperti baja. Dunia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati. Dia tak tahu apa sedang menunggunya. Anak desa. Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan gedung bekas asrama telah menyelesaikan tugasnya. Sang Adipati sendiri yang telah memerintah mereka. Dan setelah itu mereka harus memindahkan semua barang pribadi Rangga Iskak ke bekas asrama tersebut. Sang Adipati menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan sepatutnya. “Ya, Galeng, pergi, kau!” perintah Sang Adipati. Anak desa itu menyembah, mengesot jauh dan menyembah lagi, kemudian hilang dari penglihatan Sang Adipati. Ia tahu Syahbandar Tuban sedang mencoba menghadap untuk memprotes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit, berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara binatang itu sedang menggunakan cis untuk memerintah si gajah agar duduk pada kaki belakang. Dan ia lihat pemelihara itu kemudian duduk di samping binatangnya, menyembah pada Sang Adipati. Gajah itu sendiri mengangkat belalai. Sang Adipati tertawa terhibur. 0o-dw-o0 Tidak lebih dari lima hari kemudian, di taman di tentang kandang gajah ini juga datang menghadap seorang utusan rahasia dari Sultan Mahmud Syah yang sedang menyingkir ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa dan bertulisan Jawa. Sultan mengabarkan, Malaka telah jatuh ke tangan Peranggi sebagai akibat pengkhianatan Syahbandar Malaka berkebangsaan Arab bernama Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Diterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok, setengah umur, berkumis, berjenggot dan bercabang-bauk yang telah bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali. Sultan Malaka mengakui, ia telah keliru mengangkat orang tersebut, hanya karena terbujuk oleh kefasihan tersebut dan kepandaiannya mengambil hati orang. Menjelang jatuhnya Malaka ia malah mendapat kepercayaan keluar-masuk istana, dan hampir-hampir diangkat menjadi wazir. Sultan berseru pada Sang Adipati sebagai sedarahsedaging, seasal-keturunan Majapahit, supaya berhati-hati terhadap orang tersebut sekiranya ia berada di Tuban, karena orang itu telah meninggalkan Malaka di bawah perlindungan Peranggi. Sang Adipati mengerti maksud surat itu. Orang yang dimaksudkan tidak lain dari Sayid Habibullah Almasawa. Ia tak terkejut. Berubah pun airmukanya tidak. Penguasa Tuban itu duduk di atas bangku batu yang lebih tinggi daripada duta rahasia Sultan Mahmud Syah. Dan setelah membacanya surat kertas itu dilipatnya baikbaik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta berkata dalam Melayu: “Kami telah baca baik-baik surat ini, Tuan Duta. Terimakasih ke hadapan Sri Sultan Mahmud Syah. Di Tuban tak ada seorang Arab bernama Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan Duta?” “Dia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran Ispanya, negerinya Andalusia, Gusti.” “Kelahiran Ispanya? Tentu dia pandai Ispanya?” “Barangtentu, Gusti.” “Apa dia barangkali juga berbahasa Peranggi?” “Jelas seperti matari, Gusti, karena dia dapat juga melayani kapai Peranggi sebelum mereka menyerbu.” “Mengapa Tuan Duta mengandaikan dia di sini?” “Wara-wara Gusti Adipati Tuban di atas Malaka telah didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan Syahbandar Tuban yang baru sangat cocok untuk Sayid Mahmud Al-Badaiwi, Gusti. Dia akan datang kemari.” “Apakah menurut perkiraan Tuan Duta dia akan mengubah namanya sekiranya memasuki Tuban?” “Apakah Tuan Duta di samping tugas khusus ini juga bertugas menjejak bekas Syahbandar Malaka?” “Barang tentu, Gusti. Patik telah singgah di Pasai, Jambi, Riauw, Banten, Cirebon, Jepara sambil menuju Tuban. Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana pengkhianat itu pergi. Semenanjung telah berubah sangar bagi nyawanya. Dan ternyata, Gusti, benar belaka, Sayid Mahmud Al-Badaiwi sudah ada di Tuban sini, jadi abdi Gusti Adipati Tuban, bahkan telah Gusti angkat jadi Syahbandar Tuban.” “Maksud Tuan Duta, Sayid Mahmud Al-Badaiwi itu tidak lain dari Syahbandar Tuban sekarang? Sayid Habibullah Almasawa?” “Betul, Gusti, Syahbandar Tuban yang baru itulah bekas Syahbandar Malaka.” “Dan setelah Tuan Duta mengetahui dia ada di sini, adakah sesuatu yang Sri Sultan kehendaki dari kami?” “Kalau sekiranya berkenan di hati Gusti Adipati Tuban… ampun, Gusti, bukan buatan terkejut patik melihatnya di bandar Gusti… dia tak mengenal patik tapi patik mengenal dia… dalam hati patik membersitlah satu doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh Allah kiranya Sang Adipati Tuban dan negerinya dari pengkhianat ini. Dan betapa bersyukur patik apabila nyawanya diserahkan kepada patik,” Duta rahasia itu terdiam. Nampak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya harapan. Sang Adipati membuang pandang ke arah kandang gajah. Persoalan Malaka adalah persoalan masa silam walau baru kemarin dulu bencana itu terjadi. Semua yang sudah lewat telah beibaris masuk ke alam lampau. Yang kemarin dulu Sultan, sekarang buangan. Yang sekarang Adipati masih tetap Adipati. Ia pandangi duta itu tajam-tajam. Ada dilihatnya rangsang dendam bergolak dalam dada orang di hadapannya itu. Matari hampir tenggelam. Percakapan rahasia itu terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu mempersembahkan sebilah keris bersarung mas bertulisan Arab dan berbulu mas bertatahkan zamrud. ”Perkenankanlah patik mempersembahkan keris pusaka kerajaan Malaka ini, Gusti, sebagai harapan dapat terjadinya persekutuan antara Tuban dengan Sri Sultan, untuk tidak menyinggahi Malaka selama dikuasai Peranggi.” “Telah kami terima tanda persekutuan ini. Dan jadilah pengetahuan Tuan Duta, bahwa nya wa Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan sungguh sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan Duta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia melakukan pengkhianatan terhadap kami. Sampai di mana persekutuan-persekutuan telah Tuan Duta usahakan?” “Ampun, Gusti, Adipati, tentang itu pastikah bukan patik yang harus mempersembahkan.” Duta itu mengundurkan diri tepat pada waktu matari tenggelam sama sekali. Nyamuk mulai berkeliaran di taman. Namun Sang Adipati masih juga belum bangkit dari bangku batu. Betapa bodoh mengurusi yang telah masuk masa silam, pikirnya. Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan menitahkan agar Galeng datang menghadap. Dan waktu pegulat itu telah duduk bersembah di hadapannya segera ia memulai: “Galeng, apa yang kau ketahui dari kebesaran masa silam?” Ia telah menduga anak desa itu akan sangat terkejut. Dan ia dengar juara gulat itu meraung dengan suara tertekan: “Ampun, gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” Galeng tak dapat meneruskan kata-katanya. Dalam menunduk ia mengherani dirinya sendiri, dan mengapa daya-perlawanannya menjadi layu setelah memperistri Idayu, dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman. “Ayoh, persembahkan. Mukamu terlindungi kegelapan malam, dan kami pun tak perlu tahu,” kata Sang Adipati, sekalipun ia punya dugaan, anak desa itu sedang kacaubalau. Mengetahui Galeng tak juga berdatang sembah, ia mendesak: “Cepat, Galeng. Kami tahu, kau telah banyak mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain dari kau dan Idayu yang telah mengurus Rama Cluring sampai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek gila kebesaran masa silam itu. Persembahkan!” “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” suara juara gulat itu gemetar. “Kau takut, Galeng. Juara gulat yang takut bersembah!” Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapannya. Suaranya menjadi agak lunak. “Dulu guru-guru pembicara seperti Rama Cluring banyak berkeliaran dan membual di kota-kota. Cluring itu mungkin sisa dari gerombolan mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh oleh bupati-bupati pesisir yang bodoh itu. Sekarang secara berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil. Adipati Tuban tidak gentar pada buatan seribu gurupembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut.” “Ampun, Gusti, kata Rama Cluring, hendaknya orang memanggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam pada guagarba hari depan?” “Dari seluruh bualan Cluring hanya itu saja yang teringat olehmu?” Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu seakan bersarang dalam kepalanya. “Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahuilah, bagaimana pun kau memanggil-manggil pada guagarba hari depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi. Kau percaya pada kata-kata Rama Cluring?” Kepala Galeng semakin mendekati tanah. “Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin kau… Sering kau datang ke balai-desa mendengarkan pembicara-pembicara membual?” “Ampun, Gusti, memang demikian halnya.” “Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin kau selalu datang? Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara gulat?” “Patik ada di sini, Gusti!” “Kami menghendaki tenagamu. Kau orang kuat, badanmu dilipuri otot-otot kukuh. Kami menghendaki pikiranmu, karena kau anak terpelajar, ingin banyak mengetahui, karena itu sering mendengarkan guru berbicara. Kami menghendaki kesetiaanmu, karena kau tak dapat berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami menghendaki jiwamu, karena tak ada kebesaran datang tanpa petaruh jiwa. Galeng, kembalikan kejayaan dan kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini untuk Adipati sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga, kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau berdua di gandok kesyahbandaran yang sebelah kiri, gandok Islam. Dengan ototmu yang kuat lindungi jiwa Syahbandar baru. Dengan otakmu yang penuh berisi bualan pembicara-pembicara itu, selidiki segala rahasia Syahbandar dan sampaikan pada Sang Patih. Belajar baik-baik bahasa Melayu. Jadilah pembantu utama Sayid Habibullah Almasawa. Berangkat!” Setelah juara gulat itu pergi Sang Adipati bangkit dan berjaian tenang-tenang masuk ke kadipaten. Seminggu kemudian di taman itu juga Sang Adipati menerima seorang duta dari Jepara. Sore juga waktu itu. Berbeda hainya dengan duta dari Malaka, duta yang sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta berdiri di belakangnya. “Ya, Gusti, patik adalah utusan pribadi Gusti Kanjeng Adipati Unus dari Jepara. Nama patik Aji Usup, Gusti.” ‘Teruskan, Aji Usup yang terhormat.” “Salam bahagia dari Gusti Kanjeng Jepara, dan pesan….” Sang Adipati berbalik. Wajahnya merah padam menahan kemarahan. Matanya membelalak: “Pesan? Pesan untuk Adipati Tuban? Ataukah maksud Tuan ancaman?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban. Peristiwa Jepara itu memang jadi duri dalam daging Tuban. Untuk itu patik datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari tindakan Demak, Gusti.” “Alasan? Apakah masih perlu ada alasan? Memasuki dan merampas tanda pemyataan perang, tanpa membuka gelanggang perkelahian? Hanya karena ingin punya bandar sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah Tuban pernah menjamah Demak dengan kuda atau gajahnya? Atau dengan kakinya? Atau itukah alasannya, memanggil kaki dan kuda dan gajah Tuban?” “Ampun, Gusti, Demak tahu benar akan kekuatan perkasa dari Tuban.” Sang Adipati mulai berjaian agak cepat dan Aji Usup mengikuti dari belakang. “Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh Demak rata dengan tanah.” “Demak sesungguhnya tahu benar akan itu, Gusti Adipati Tuban, ampuni patik.” “Mengapa perbuatan tidak satria, tanpa pernyataan perang, dilakukan seperti bukan seorang raja yang memerintah Demak?” Sang Adipati memilin-milin kumis putihnya. “Bukankah kami bisa perintahkan tumpas tuan Duta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai raja?” “Inilah nyawa patik, Gusti, bila Gusti perlukan untuk ditumpas, patik persembahkan dengan rela.” “Sungguh berani mati, kau, Tuan Duta.” “Karena memang ada yang lebih penting daripada hati mati, Gusti, mengangkut seluruh nasib Jawa Dwipa.” “Apakah karena memikirkan nasib seluruh Jawa, maka Demak merasa dibenarkan memasuki Jepara?” “Sesungguhnya tiada jauh dari sangkaan Gusti Adipati Tuban. Ampun, Gusti.” “Allah Dewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia sendiri tahu tentang nasib Jawa?” “Jauh dari itu, ya Gusti Adipati Tuban yang mulia,” susul Duta Jepara itu dengan cepat-cepat. “Utusan-utusan Demak ke seberang dan Atas Angin, Gusti….” “Siapa utusan-utusan itu? Bukankah utusan juga dari Sampo Toalang?” Sang Adipati memotong. “Adakah Sampo Toa-lang menghendaki agar Loa Sam kami hancurkan dalam sepuluh bentar? Dengarkah, kau Aji Usup, Duta Jepara. Semua orang prajawan tahu, Sampo Toa-lang atau Semarang dibangun oleh orang-orang Tiongkok itu untuk menandingi Jepara. Jepara tidak jatuh karenanya. Bandamya tetap jaya. Kemudian Lao Sam atau Lasem didirikannya untuk menyaingi bandar Tuban. Apakah Adipati Tuban berbuat sesuatu terhadap Lao Sam? Bandar asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami ijinkan. Tuban takkan jadi pudar karenanya. Bukankah kerajaan Demak didirikan untuk membentengi Semarang dari Tuban? Sekarang Demak sebagai kerajaan benteng sudah mulai menyerang. Sang Adipati Tuban masih dapat mengendalikan diri, hai kau, Aji Usup Duta Jepara.” “Patik, Gusti.” “Sekarang utusan Semarang-Demak ke seberang dan Atas Angin kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu kesopanan itu.” “Patik, Gusti.” “Jepara dan Semarang takkan dapat rempah-rempah lagi. Setiap kapal Semarang dan Jepara yang belayar ke sebelah timur pasti kami hancurkan.” “Yang demikian telah terjadi, Gusti.” “Dan akan terjadi seterusnya selama kami masih hidup.” “Patik, Gusti.” “Sampai Semarang-Demak mengembalikan Jepara pada kami dengan hormat dan patut.” “Patik, Gusti.” Sang Adipati berjalan menuju ke taman di tentang kandang kuda dan Aji Usup mengikuti. Ia duduk pada bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding kandang gajah dan menetak tajam: “Sudah kami pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan. Semarang-Demak akan punah tanpa rempah-rempah kami.” “Pasti, Gusti.” Agak lama Sang Adipati tidak bicara. Ia telah semburkan segala kemarahannya dan kini menjadi agak tenang. Kemudian: “Apa Tuan Duta hendak persembahkan?” “Bahwa utusan Demak ke seberang dan Atas Angin telah membawa keterangan-keterangan penting Peranggi akan menguasai Jawa, Gusti Adipati Tuban yang mulia. Itulah yang menyebabkan Demak secara terburu-buru memasuki Jepara. Peranggi tidak boleh memasuki tengahtengah pulau Jawa ini, Gusti. Sekali masuk, seluruh Jawa akan dikuasainya. Itulah sebabnya Demak memasuki Jepara dengan sangat terburu-buru.” “Jauh manakah Tuban daripada negeri Peranggi, maka tak ada utusan datang padaku? Dan kau, Duta Jepara, datang jauh setelah adipatimu memasuki wilayah kami? Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang memohon ampun. Dan sekarang kau datang, bukankah untuk itu?” “Patik datang menghadap memang untuk urusan yang agak lain, Gusti, ampunilah patik.” “Tepat sebagaimana kami duga. Persembahkan!” “Ampun, Gusti, utusan Demak, dari seberang dan Atas Angin yang datang dalam bulan ini, Gusti, mempersembahkan pada Gusti Kanjeng Sultan Demak, sesungguhnya Tuban telah mengadakan persiapan persenjataan untuk menghadapi Peranggi, dan bahwa jatuhnya Malaka ke tangan Peranggi telah menjadi pikiran Gusti Adipati yang mendalam. Setidak-tidaknya karena Tuban sebuah bandar yang paling banyak bersangkutan dengan Malaka.” “Betul, Aji Usup. Duta Jepara yang terhormat.” “Gusti Kanjeng Sultan Demak telah yakin adanya persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada Jepara.” Sang Adipati tersenyum puas. “Juga tidak akan ditujukan pada Jepara.” “Untuk Jepara, Demak dan Semarang akan waktu lain, Aji Usup. Lihatlah betapa pongah Sultanmu. Mengirimkan seorang duta yang berkedudukan hanya sebagai duta putra mahkota, bukan dutanya sendiri! Apakah yang seperti itu pernah dilakukan oleh Adipati Tuban?” “Tidak, Gusti Adipati Tuban.” “Apakah Tuban pernah menghalangi pembangunan Glagah Wangi? Atau pernah mengambil salah sebuah dusun Demak?” “Tidak, Gusti Adipati Tuban.” “Apakah kurang berharga Adipati Tuban dibandingkan dengan Sultan Demak maka hanya duta Adipati Jepara yang dikinmkan pada Kami?” ”Tidak, Gusti. Soalnya hanya karena Gusti Kanjeng Adipati Unus yang mengurusi soal-soal manca-praja, maka patik dikirimkan dari Jepara kemari.” “Pikiran Demak sungguh berbelit-belit biar pun mudah dapat dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit. Coba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toalang untuk menghadapi Tuban, sebuah kerajaan bayangbayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh berbelit.” “Ampun, Gusti, Demak adalah kerajaan Islam, itulah keterangan satu-satunya dan tiada lain, Gusti.” “Ya, keterangan satu-satunya sebagai negara, tapi bukan sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit karena dia mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada Islam. Negeri Syiwa-Buddha juga tidak mengabdi pada Syiwa- Buddha.” “Patik, gusti.” “Dan bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi pada sesuatu agama? Kami tidak pernah tahu. Majapahit yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.” “Ampun, Gusti, patik tidak ada wewenang untuk berselisih. Barang tentu Gusti Adipati benar.” “Ya, dan Demak seluruhnya keliru.” “Ampun, Gusti Adipati benar.” “Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan Duta?” “Masih tetap soal Peranggi, Gusti. Sekiranya Gusti Adipati ada kecenderungan untuk melupakan perselisihanperselisihan kecil dengan Demak… sekiranya Gusti Adipati ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap Peranggi dari Malaka… Itulah Gusti, yang dipikulkan di atas pundak patik dari Sultan Demak melalui Gusti Kanjeng Adipati Jepara.” “Persembahkan, Tuan duta.” “Maka Tuban dan Jepara-Demak bisa bergabung dalam satu armada besar, Gusti.” “Kau tak pernah bicara tentang Semarang. apakah kau memang pura-pura bukan kawula Semarang?” “Ampun, Gusti, patik memikul pada bahu patik untuk jangan sampai menggusarkan hati Gusti Adipati Tuban.” “Tanpa kau pun Demak telah menggusarkan kami.” “Ampun, Gusti, patik hanya memikul perintah soal Peranggi.” “Persembahkan!” “Semua kekuatan laut dari Tuban dan Jepara dan Banten, dan Jamto’ dan Riauw dan Aceh akan sanggup mengusir Peranggi, Gusti, kalau or laksanakan. Sekiranya Gusti Adipati berkenan menyertai.” Sang Adipati terdiam dan sang Duta tidak memulai lagi, menunggu jawaban. Matari semakin condong mendekati tepi bumi waktu penguasa Tuban itu berkata: “Datang kau sebulan lagi, barangkali kami ada jawaban.” “Dilimpahi oleh Allah hendaknya Gusti Adipati Tuban dengan ramah dan kebijaksanaan sedalam-dalamnya dan usia panjang sehat dan sejahtera….” Begitu duta Jepara pergi, Sang Adipati tak dapat mengendalikan kemuakannya atas lawan-lawannya di barat sana. Ia takkan membiarkan siapa pun berjingkrak di atas kepalanya dan melecehkan Tuban. Tetapi perang ia tidak menghendaki. Perang saudara Peregrek itu selalu jadi momok selama hidupnya sejak ia menjadi Tumenggung Wilwatikta di Mahapahit selama lima tahun sampai sekarang ini, nyaris empat puluh tahun yang lalu. Ia tak menyukai perang dengan siapa pun. Juga tidak dengan Peranggi. Dan sekarang dari utara, timur, barat dan selatan, Prajawan-prajawan pada mempergunjingkan jatuhnya Malaka. Memang sejak dahulu pun Selat jadi urat nadi kemakmuran dunia, hanya karena dilewati rempah-rempah Nusantara. Tetapi mengapa orang begitu dungu membatasi kemakmurannya pada rempah-rempah dan Selat semata, seakan tak ada resiko lain di atas dunia ini? Sekarang pula Peranggi datang justru hendak mengangkangi ke duaduanya ogah berbagi dengan yang lain-lain seperti semula? Sekarang. Demak pun ikut dengan pergunjingan, dan dengan pergunjingan celaka itu hendak melupakan kami pada tindakan mereka yang tidak satria. Puh! Demak yang tandus-miskin hendak keluar sebagai penantang Peranggi! Negeri-negeri pada berjatuhan di tangan Peranggi, ini, kerajaan miskin yang baru kemarin akan mencoba-coba, terhadap tetangga sendiri dan terhadap Peranggi sekaligus! Sang Adipati mencoba membayangkan Adipati Jepara yang muda dan bersemangat itu. Angan-angannya, pikirnya, lebih besar dari akalnya. Memang semua nampak indah bagi orang yang masih muda dan menganggap diri kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak naik ke Malaka. Baik, datangilah Malaka, Unus! Hanya dia yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dapat takkan lebih baik dari Peranggi sendiri. Semua boleh gagahi Malaka. Tuban takkan binasa karenanya! Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri. Dalam kegelapan para pengawal pun bergerak mengikutinya dari kejauhan. Ia memasuki daerah perumahan. Tiba-tiba, seperti tidak dimaksudkannya semula, ia berhenti di depan pintu yang diterangi dengan sebuah lampu gantung bersumbu lima. Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam, menggambarkan beberapa orang wanita sedang bercengkerama di bawah sebatang pohon jeruk macam di sebuah taman larangan. Gubernur Tuban itu menarik seutas tali yang menjulur di atas daun pintu dan berujung jumbai berwarna-warni. Segera kemudian pintu berkerait terbuka. Sebidang pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu satu terpampang di hadapannya. Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimpuh di tanah menyambut dengan sembah. Kepalanya menekur. Inilah keputrian atau harem Sang Adipati. “Bagaimana kalian, Nyi Gede Kati?” “Karunia dan kemurahan Gusti Adipati kuminta tanpa henti, Gusti,” sembah wanita itu. Sang Adipati langsung berjaian ke serambi, kemudian masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: Nyi Ayu Sekar Pinjung. Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di pelataran atau serambi masih tetap bersimpuh di tanah pada tempat masing-masing. Setelah penguasa itu hilang dalam bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik masing-masing. Yang tertinggal di luar hanya Nyi Gede Kati. Perempuan itu berdiri berjaga dengan sebilah tongkat panjang karena itulah tugasnya sebagai pengurus harem dan sebagai penjaga sekaligus. Ia berumur lebih-kurang empat puluh dan tampak masih muda, seakan baru kemarin meninggalkan umurnya yang ke tiga puluh. Mukanya bundar dan selalu nampak segar, Matanya agak sipit. Pandang matanya tenang tetapi nampak tajam menembus segala apa yang dilihatnya. Lebih dari itu ia seorang pesilat tangguh. Pada punggungnya selalu terselit senjata tajam dan pada sanggulnya selalu melintang sebilah cundrik kecilpanjang sebagai tusuk kondai. Rambutnya tersanggul, berbeda dari para selir yang diharuskan berurai. Juga berbeda dari para selir Nyi Gede Kati bergigi hitam arang, sedang para selir diharuskan tetap bergigi putih seperti seorang penari. Bila ia tertawa gigi hitamnya berkilau mengkilat, nampak keras seperti baja sepuh. Dan hanya Nyi Gede Kati sendiri barangkali tahu berapa banyak biji jahawe yang telah ia habiskan untuk kepentingan itu. Tenang suasana harem itu. Deburan laut hampir-hampir tak kedengaran dari sini. Dan bunyi gamelan di pendopo pun hanya sayup-sayup. Di dalam bilik Sang Adipati duduk di atas sampai tertiduran sedang pandangannya diarahkan ke bawah pada Nyi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki penguasa itu dengan selembar kain basah. Tangan Sang Adipati melambai, menarik dagu selir kesayangan untuk memandangi wajahnya. Dan wanita itu berkata dengan kenesnya, “Aduh, Gusti sesembahan patik, betapa lama patik menunggu selama ini.” Sang Adipati mengangguk dan tersenyum. Di bagian bumi yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan tawa sebanyak ia kehendaki. Namun di sini juga ia paling waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya ia timbang-timbang sindir dan siratnya. Dari keturunan ke keturunan, dari penguasa yang satu pada penguasa yang lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah peringatan itu: waspadalah kau, raja, begitu kau injak bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir kesayangan. “Awaslah jangan terlena, karena lena adalah binasa.” “Mengapa kau merasa lama menunggu, Nyi Ayu?” ia memancing. “Ah, ya, barang tentu ada tersimpan sesuatu dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan? Atau kalung? Ataukah dinar emas? Atau dirham?” “Ampun, Gusti, bukan mas dan bukan perang, ya Gusti sesembahan, kalau patik diperkenankan bersembah….” Sang Adipati menarik selir kesayangan ke atas dan didudukkan di sampingnya. Dan selir itu mengikuti tarikan sambil meliak-liuk genit. “Persembahan, Nyi Ayu Sekar Pinjung, barang tentu sangat penting.” “Ampun, Gusti, adapun yang hendak patik persembahkan, ya Gusti, Gusti sesembahan, bukanlah sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, Gusti.” Sambil membelai-belai rambut selirnya Sang Adipati bertanya setengah tawa tapi dengan kewaspadaan semakin tinggi: “Apakah kiranya yang kau takutkan dan waswaskan?” “Ampun, Gusti, orang bilang, ya sesembahan patik, ada bangsa berkulit putih bernama Peranggi. Kata orang, tiada tandingan di seantara jagad raya ini.” “Kata orang, Nyi Ayu, teruskan.” “Maka kata orang itu pula, Gusti, seluruh dunia memberinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya Gusti. Negeri didatangi takluk. Benua dipanggilnya datang. Kapal ditudingnya tenggelam, ya Gusti.” Sang Adipati tertawa senang dan didekapnya kepala wanita itu. Bertanya: “Mengapa takut pada dongengan?” “Kami semua takut dan was-was,” selir itu menyembunyikan muka dengan manja pada dada Sang Adipati. Kemudian meneruskan dengan sura yang tidak keluar dari hati-kecilnya: “Kata orang, ya Gusti, sebentar lagi Peranggi itu akan menaklukkan juga Tuban.” Sang Adipati terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia tolak Nyi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentang di atas ambin. Kemudian ia berdiri tegak lurus, bertolak pinggang. Wajahnya merah dan berkilauan terkena sinar lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan. Mengetahui perobahan sikap mendadak itu. Nyi Ayu Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun memerosotkan diri ke lantai. Dengan manjanya ia rangkul kedua belah kaki lelaki itu dan memperdengarkan sedu-sedunya: “Ampunilah patik, ya Gusti.” “Dari siapa cerita itu, Pinjung?” tanya Adipati itu pelahan tapi tajam. Kedua belah tangannya masih juga bertolak pinggang. Hanya sedu-sedan yang menjawab. “Jadi kau tak bermaksud mempersembahkan siapa orangnya?” Hanya sedu-sedan. Dan tubuh wanita itu gemetar. Sang Adipati membongkok, meraba-raba muka selir kesayangan. Tangan itu kemudian berhenti pada kuping. Dalam waktu pendek subang-subang selir itu telah berpindah di atas tangannya. Dan wanita itu seperti dengan sendirinya hendak mempertahankan subangnya. Terlambat. Kemudian ia cegah sendiri usahanya. Nampak Sang Adipati sedang berusaha menindas kemarahannya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah tangan-tangan Peranggi sudah mulai memasuki sudut kadipaten? Ini? pikirnya. Sudah mulai menyebarkan kegentaran pada seluruh isi kadipaten? Dengan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia cabut cepuk-cepuk subang itu. Dugaannya tidak keliru. Dari dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa Jawa. Ia mendekati lampu dan membacanya. Isinya hanya sebaris, menyatakan telah mengirimkan selembar sutra delapan depa, tanpa menyebut nama seseorang. Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. Tetapi kertas? Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di atas kertas. Kembali ia periksa surat itu… dengan tinta, sedang Pribumi dengan jelaga. Ada tangan asing bergerayangan di dalam haremku, ia memutuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak mendapat jawaban. Sekarang bertanya: “Dari siapa surat ini?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” suara Nyi Sekar Pinjung gemetar. “Bukan patik hendak menyembunyikan sesuatu dari kekuasaan Gusti sesembahan, memanglah patik tidak tahu siapa pengirimnya. Ampun, beribu ampun, Gusti.” “Dari mana kau terima surat dan sutra?” “Nyi Gede Kati, Gusti.” Sang Adipati bergegas meninggalkan bilik harem. Beberapa hari setelah itu ia duduk di serambi belakang kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan oleh para kawula. Perhatiannya tak dapat dipusatkannya pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh Galeng dalam penggerayangannya di dalam kamar Syahbandar baru Sayid Habibullah Almasawa, mengabarkan telah menerima dari Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan mutiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan. Menurut Sang Patih. Galeng telah periksa seluruh kamar Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan bendabenda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logamlogam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan gambar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya, setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama dan gunanya. Dasar anak desa! Tetapi itu hanya permulaan, gumam Sang Adipati. Kemudian diambilnya selembar daun sirih dari nampan kuningan, mengolesinya dengan kapur, menaruh sepotong kecil gambir di atasnya. Menggulung dan memamahnya. Kelak akan dia ketahui semuanya, pikirnya lagi. Ia berusaha menghindari kemungkinan Sang Patih mencampuri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak menghendaki berkurangnya kewibawaannya sebagai Adipati. Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten. Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak dititahkannya untuk melakukan pekerjaan itu. Dan surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang wanita kepada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa. Tetapi tiada disebutkan tentangsutra. Mungkinkah barang perhiasan itu diterima oleh Nyi Gede Kati? Dan apa jasa Nyi Gede pada Syahbandar? Siapa pula pengantar dan penghubung surat? Ha, barangkali Nyi Gede bertindak sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan sudah mulai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami sendiri harus dapat temukan penghubung itu. “Panggil Nyi Gede Kati,” ia berseru, kemudian memperhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita pengurus harem itu bersimpuh di bawah serambi dan mengangkat sembah. Dan Sang Adipati sengaja meneruskan perhatiannya pada peragaan binatang-binatang itu. Baru setelah salah seekor mati tertembusi taji baja Pada tengkuknya ia menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras, “Mendekat!” perintahnya keras-keras. Nyi Gede Kati beringsut mendaki anak-anak tangga serambi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai tangan Sang Adipati ia beringsut maju terus lebih mendekat. Sang Adipati melambaikan tangan lagi sehingga ia sudah hampir pada kakinya. “Nyi Gede’ ia berbisik, siapa yang pernah menyurati kau dari luar?” Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu menggigil. “Ampun Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” sebentar suaranya juga menggigil, kemudian merata kembali, “memang benar patik pernah….” “Tidakkah kau dengar kami tiada berkeras-keras bersabar?” “Ampun, Gusti,” Nyi Gede menurunkan suaranya sehingga mendekati bisikan, “memang benar patik pernah menerima surat dari luar, tetapi patik tak tahu dari siapa. Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patik, tanpa patik ketahui siapa pembawanya.” “Kami tahu kau seorang yang jujur, Nyi Gede. Bagaimana mungkin, kau yang bertugas mengurusi keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu sendiri?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Hukumlah, patik, karena itulah kebenaran yang sesungguhnya. Hidup-mati patik adalah milik Gusti Adipati!” “Mana surat itu?” “Ampun, Gusti Adipati, patik takut maka patik bakar.” “Surat apa, Nyi Gede, lontar ataukah kertas?” “Lon… lon… lon… kertas barangkali, Gusti, patik tak tahu namanya. Bukan lontar.” “Bukankah bukan hanya surat saja telah kau terima? Adakah real Peranggi pernah kau terima juga?” “Ada, Gusti real mas, Patik mohon ampun, karena tiada mengetahui adakah itu real Peranggi atau bukan.” “Real Peranggi, dua,” Sang Adipati mendengus menghinakan, “dan gelang, bukan?” “Demikianlah, Gusti, dan gelang.” “Dan kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud dan mutiara. Bukan?” “Ampun, Gusti, semua benar. Perkenankanlah patik mempersembahkan semua itu ke bawah duli Gusti sesembahan.” “Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu dikirimkan untukmu. Kami tahu kau pengurus keputrian yang jujur. Pergi!” Ia perhatikan wanita pengurus harem itu beringsut-ingsut mundur, menyembah dan menyembah, kemudian berjalan menuju ke tempat pekerjaannya semula. Ia percaya perempuan itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak tahu siapa penyampainya. Waktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang berjalan di kejauhan memikul kotak sampah menuju keluar daerah perumahan. Darahnya tersirap. Sesuatu menyambar pada pusat perasaannya: cemburu. Dia! Ya, dia, Pada itu, yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia ruparupanya kutu busuk keputrian. Dia! Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman dengan mereka. Ya. Si bocah itu! Jantungnya berdebaran. Adakah dugaanku benar? Dan bocah itu menjamah hak-hakku yang paling tersembunyi? Mungkin! Dan dia dapat bergaul bebas dengan siapa saja. Tak pernah punya perasaan gentar. Bahkan hampir dapat dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa Melayu dengan lancar dan baik. Dia bertugas melayani Sayid Habibullah Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung Syahbandar dengan keputrian. Dia semestinya kutu busuk harem. Perasaan cemburu telah menariknya dengan kasar dari tempat duduknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan ke belakang memeriksai pagar kayu tinggi, yang melingkari keputrian, untuk mendapatkan bekas-bekas panjatan. Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia menggunakan alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui. Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di serambi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh kawula. Dan ia harus tahu duduk perkara sebenarnya. Pada nampak lagi memikul kotak sampah yang sudah kosong. Sang Adipati memperhatikan si bocah yang gelisah dengan mata berpendaran ke mana-mana itu. Ia lambaikan tangan padanya. Dan bocah itu pura-pura tidak tahu. Manakah ada kucing dengan senang hati menghadap pada si macan? Pikirnya jengkel dan membiarkan Pada menghilang. Cemburu tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan berpikir. Bocah-bocah semuda itu telah gerayangi keputrianku! Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya melambai menyambar nampan kuningan tempat peracikan sirih dan dibantingnya menggelintang di lantai. O0-dw-0O 7. Syahbandar Tuban : Rangga Iskak & Sayid Habibullah Al-Masawa Pada waktu tidak dinas seperti sekarang ini ia selalu bersarong, berbaju dan berkopiah putih dari tenunan Benggala -semua kain kaliko kasar. Tamu itu telah turun ke jalan raya dan ia berjalan kembali hendak memasuki gedung kesyahbandaran. Percakapan dengan tamu sangat menarik: masuknya Islam ke Nusantara bukan suatu kebetulan. Juga bukan suatu kebetulan mengapa penguasapenguasa di Perlak, Pasai dan Malaka yang mula-mula masuk Islam: mereka membutuhkan ajaran, perlindungan, kepercayaan lain dari segala yang serba Majapahit…. Gedung kesyahbandaran yang terpampang di hadapannya nampak masih, terindah di seluruh negeri Tuban. Lebih indah dari kadipaten, istana Sang Adipati. Gedung itu adalah yang kedua yang terbuat daripada batu. Yang pertama adalah klenting Tionghoa. Kedua-duanya berdiri di wilayah pelabuhan. Rumah selebihnya di seluruh negeri Tuban terbuat dari kayu atau bambu, beratap sirap, injuk atau ilalang. Yang termiskin berdinding daun nipah atau kelapa. Selalu bila ia sedang memintasi jalanan halaman depan rumah, ia tak pernah melewatkan nikmat keindahan bungabungaan aneka warna di atas permadani rumput hijau ini. Dua tahun lalu seorang anak kapal dari Malabar, terdampar di Tuban, telah membangunnya meniru taman raja-raja Benggala, dan jadilah yang terindah di seluruh negeri. Di sore hari orang suka berdiri di luar pagar untuk menikmati dan mengagumi. Ia bangga pada tamannya. Sampai di depan pintu para pelayan sewaan telah berbaris menyongsongnya. “Semua sudah dirapikan, Tuan Syahbandar,” kata Yakub, majikan para pelayan itu dalam Melayu. “Kalian boleh pergi,” jawabnya sambil melambaikan tangan dan memberikan sesuatu di tangan Yakub. Tanpa menoleh ia masuk ke dalam. Dan bila ia menikmati kebagusan gedungnya, tak pernah ia habis heran akan kebodohan Pribumi yang menganggap rumah batu sebagai sebuah canai, yang nanya Daik untuk menyimpan abu jenasah. Ruang tamu yang luas itu juga susunan awak kapal dari Malabar. Perabot: kursi-kursi berukir, dua bangku bantal kulit onta. Permadam tergelar di atas lantai batu dihiasi dengan lemari besar dari kayu berukir arabesqus merupakan dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang kerja, diatur menurut gaya ruang kerja saudagar-saudagar Parsi. Percakapan dengan Abdulgafur memang menarik, dan itu terjadi sebelum jatuhnya Malaka. Beberapa hari kemudian setelah Malaka jatuh dan ia mendengamya, buruburu ia buka lemari besar itu dan mengeluarkan sebuah kitab tebal, catatan sambungan dari catatan salinan abangnya dari ayahnya, dan ayahnya meneruskan dari kakeknya yang besar Mirsa Hisyam Syu’bah, Syahbandar Malaka, yang pernah mengislamkan Bhre Paramesywara. Catatan-catatan kakeknya tentang Malaka hampirhampir hafal olehnya di luar kepala. Kakeknya, Mirsa Hisyam Syu’bah, telah mendapatkan pelarian dari Majapahit itu, yang ternyata suami kaisar wanita Majapahit, Suhita. Ia adalah Bhre Paramesywara. Pertemuan itu terjadi di Tumasik, bandar Majapahit yang besar, menghubungkan Nusantara dengan Atas Angin dan Tiongkok. Kakeknya segera bersahabat dengan pelarian agung itu. Dalam catatan itu diterangkan juga, bahwa Bhre Paramesywara terlibat dalam komplotan untuk menggulingkan isterinya sendiri dan berkeinginan untuk jadi kaisar Majapahit. Dari mata-matanya ia mengetahui, bahwa kaisar Suhita telah memerintahkan penangkapan atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. Tetapi komplotan itu diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara Majapahit dengan Blambangan, antara Kaisar wanita Suhita dengan Bhre Wirabumi. Perang laut dan perang darat membeludag. Cetbang yang menurut aturan perang Majapahit hanya dipergunakan di laut dipergunakan juga di darat oleh dua belah pihak. Armada dua belah pihak bertenggelaman di perairan Bali, Lombok dan Nusa Tenggara. Lumajang, ibukota Blambangan, jatuh. Majapahit jatuh miskin, kehilangan kekuatan lautnya. Bahkan anak dari Bapak Angkatan laut Majapahit, Mpu Nala ke 2, tenggelam dalam perang laut di tentang Singaraja. Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hisyam Syu’bah dengan Bhre Paramesywara. Mereka bersepakat mendirikan bandar sendiri di atas Tumasik, dan dengan demikian meruntuhkan bandar besar itu, untuk menjatuhkan Majapahit dari utara. Perang saudara menyebabkan Bhre Paramesywara dan Mirsa berhasil membuka bandar Malaka pada 1402 Masehi, marak jadi raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai bandar antarbenua. Dengan berdirinya Malaka berarti hancumya Majapahit dari sebelah utara. Mirsa Hisyam Syu’bah diangkat sebagai penasihat dan Syahbandar sekaligus. Kakaknya ini yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan pedagang-pedagang Islam, dan untuk itu harus sendiri masuk Islam. Kakeknya ini juga yang mengislamkannya, dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah namanya jadi Maulana Ishak, dan sebagai raja Islam bergelar Megat Iskandarsyah. Rangga Iskak hafal benar bagian itu. Sekarang Malaka jatuh setelah 109 tahun berdiri dari kesultanan. Ia tahu arti kejatuhannya di tangan Peranggi. Semua bandar besar dan kecil di Jawa terancam. Terancam pula penghidupannya. Tetapi kedatangan orang yang mengaku dirinya Sayid Habibullah Almasawa lebih berbahaya lagi daripada jatuhnya Malaka. Dari resam tubuh dan mukanya ia sekaligus menduga, ia tidak lain dari Syahbandar Malaka, yang telah menjatuhkan abangnya. Kelakuannya dalam kadipaten Tuban seperti kelakuannya di kesultanan Malaka sejauh ia dengar dari Zakad, saudagar Gujarat itu: tingkah dan lagaknya seperti raja muda Malaka. Ia sudah berkali-kali memperingatkan Sang Patih akan bahaya yang mungkin timbul karena orang Moro itu. Sang Patih tak dapat berbuat sesuatu. Di waktu belakangan setelah jatuhnya Malaka Sang Adipati suka mengambil tindakan sendiri tanpa sepengetahuannya, dan tak memberitakan sesuatu padanya. Ia sendiri pusing dengan banyaknya perintah yang datang susul-menyusul. Bahkan perintah penggalangan kapal-kapal baru dan pemborongan seluruh rempah-rempah Maluku, kalau perlu dengan kekuatan senjata, telah membikin Sang Patih kehabisan tenaga. Maka segala persembahan Syahbandar Tuban tak mampu menarik perhatiannya. Kemudian datang hari yang menutup segala kegelisahannya. Seseorang mempersilakannya pulang dari pelabuhan. Kesyahbandaran telah penuh dengan prajurit yang mengeluarkan semua perabot rumahtangganya, menaikkannya ke atas grobak-grobak dan membawanya entah ke mana. Ia lari mendapatkan peratus yang memimpin pasukan itu. “Tuan Syahbandar harus pindah pada hari ini juga,” jawabnya pendek. “Atas perintah Sang Adipati.” Peratus itu tak dapat diajaknya bicara lagi. Didapatinya keempat-empat istrinya sedang menggerombol di dapur. Mereka semua tak tahu apa harus diperbuat. “Baik. Benahi barang-barang kalian,” perintahnya pada mereka. “Kita tak tahu apa sedang terjadi.” Ia lari dan menghadap Sang Patih. Juga yang dihadap tidak mengerti. “Titah Sang Adipati tak bisa dihalangi,” jawab Sang Patih. “Tapi gedung itu adalah gedung patik!” “Gedung Tuan?” “Patik yang membangunkannya.” “Semua atas biaya bandar Tuban.” jawab Sang Patih. “Tapi perencanaan….” “Sampai batu terakhir, kawula Tuban yang mengambilkan, Tuan Syahbandar. Genteng terakhir yang didatangkan dari Tiongkok itu pun bandar Tuban yang membiayai. Takkan ada barang Tuan yang bakal terambil percuma.” Syahbandar Tuban masih mencoba memprotes. “Kalau Tuan tidak mematuhi titah Sang Adipati, Tuan boleh tinggalkan Tuban sekarang juga.” Syahbandar mohon diri dan pulang ke kesyahbandaran. Dengan kemarahan luarbiasa ia iringkan gerobak-gerobak itu mengangkuti barangnya menuju ke bedeng asrama peserta pertandingan yang baru lalu. Ia kalah. Istri-istrinya segera membersih-bersihkan gedung. Ia sendiri minta pada peratus agar pagar kayu tinggi yang mengelilingi gedung dapat diambil juga. Dan peratus itu sama sekali tak memberinya jawaban. Ia tahu dengan kosongnya kesyahbandaran, Sayid Habibullah Alamasawa akan memasukinya dan menggantinya jadi Syahbandar Tuban. Ingat akan itu tak bisa lain kemarahannya tertuju pada Yakub si pewarung tuak dan tiu-arak. Dia telah membohonginya uangnya yang satu dinar. Dan ia tak pernah menampakkan diri dalam semmggu terakhir ini. Anak keparat itu. Biarpun gedung besar itu hampir-hampir kosong dari perabotan, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa sudah merasa puas dengan jabatan barunya sebagai Syahbandar baru Tuban. Seluruh kekuasaan atas bandar, bea keluar-masuk. pajak pasar pelabuhan, semua jatuh ke tangannya. Dengan kepergian Rangga Iskak gedung kesyahbandaran itu kini nampak ramah. Pintu depannya kini selalu terbuka dan melelakan kehampaan di dalam gedung. Namun ia tak merasa hina atau miskin karenanya. Taman indah di depan rumah itu saja telah menipakan kekayaan warisan yang tiada tertandingi di seluruh Tuban. Ia isi kekosongan rumah di waktu malam dengan membacai buku-buku cerita dari Portugis dan Spanyol, atau membacai kitab-kitab Arab peninggalan kebudayaan Junani Purba-Arab di Cordoya. Setiap ia tertumbuk pada kaum Sephardi, kaum Jahudi, Spanyol-Portugis, ia tak teruskan bacaannya dan berpindah pada buku lainnya. Hanya saja ia merasa sunyi dalam gedung besar ini di waktu malam, karena semua pembantu harus pulang di malam hari sesuai dengan ketentuan. Keadaan mendadak berobah: pengantin baru Galeng- Idayu datang ke kesyahbandaran untuk tinggal bersama dengannya. Mereka menempati sebuah kamar di gandok kiri kesyahbandaran, pavilyun untuk tamu-tamu Islam. la sambut kedatangan mereka, menunjukkan tempat tinggal mereka. Ia lihat sejoli itu ragu-ragu memasuki kamarnya yang baru. Ia dengar mereka bicara satu-samalain dalam Jawa, dan ia tidak mengerti. Dan ia lihat Idayu jauh lebih cantik di dekat mata daripada dari kejauhan. Kulitnya yang langsat kecoklatan memancarkan seri ramah dan mengundang, halus dan lembut. Dan di balik kulit itu tersembunyi otot-otot padat seorang gadis petani yang biasa kerja. Setelah menunjukkan tempat mereka ia pergi kembali ke gedung utama. Idayu mengetoki dinding, kemudian terpakukan pada tanah, hanya matanya melihat ke mana-mana. “Mengapa, Dayu?” “Batu, Kang, semua batu,” bisiknya, takut terdengar oleh orang lain, “seperti candi. Dingin. Mengerikan.” Galeng menirunya mengetuki semua dinding. “Semua batu, Dayu,” ia jatuh terduduk di ambin, juga matanya mengembara ke seluruh batu yang dingin itu, putih dan bisu. “Kotak batu semacam ini, Kang, hanya baik untuk….” Syahbandar baru masuk tanpa beruluk salam. Bertanya dalam melayu: “Apa katamu, Idayu?” Idayu melompat mendekati suaminya dan berlindung di balik gumpaian otot yang kuat itu. “Apa kata istrimu?” tanyanya pada juara gulat itu. “Pergi kau ke dapur, Dayu” perintah Galeng pada istrinya. Di dapur wanita itu menemukan seorang pembantu. Dilupakannya prasangkanya terhadap tempat tinggalnya yang baru dan segera kemudian mulai bekerja sebagai ibu rumah tangga sebagaimana biasa ia lakukan di Awis Krambil. Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa kecewa melihat wanita pujaan Tuban itu pergi menghindarinya. Ia perlihatkan keramahan dengan membantu Galeng mengatur barang-barangnya – semua sumbangan dari penduduk Tuban Kota. Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung, muka penuh dengan kumis, jenggot, cambang-bauk dan alis itu, tak henti-hentinya bicara dalam Melayu. Galeng tak mengerti, kecuali beberapa patah kata. Dan syahbandar baru itu tertawa-tawa senang melihat Galeng tidak mengerti dan mengawasinya dengan waspada. Ia hampiri jago gulat muda bertubuh perkasa itu dan menepuk-nepuk pada lengannya. Berkata: “Aku undang kalian. Datanglah nanti malam ke tempatku.” Juara gulat itu menggeleng tak mengerti. Syahbandar mengulangi kata-katanya dan membantunya dengan gerakgerak tangan yang ramai. Juara itu mengangguk mengerti. Tholib Sungkar Az-Zubaid mengangguk-angguk senang, kemudian pergi. Kamar tamu gedung utama kesyahbandaran itu kini diisi hanya dengan bangku-bangku kayu dan meja sederhana. Mereka bertiga duduk mengepung meja. Tholib Sungkar Az-Zubaid tak henti-hentinya bicara. Suami-istri, pengantin baru itu, duduk diam-diam, kikuk, dan untuk pertama kali bergaul dengan orang asing. Galeng terus-menerus mengawasi Syahbandar, memperhatikan gerak-gerik dan mendengarkan setiap patah kata yang diucapkannya. Idayu sebaliknya terus-menerus menunduk. “Berkah pengantin baru! Berkah untuk kalian berdua!” tuan rumah membuka percakapan, “maafkan aku terlambat menjamu kalian. Uah…,” alis Syahbandar baru itu terangkat naik, kemudian cepat turun lagi, “… pengantin masyhur. Wanitanya penari ulung, cantik-jelita tiada tandingan di seluruh Tuban Kota dan Tuban negeri. Prianya gagah-perkasa, tiada cecat barang secuwil,” katanya cepat pula. Dengan bahasa Jawa sebagaimana diajarkan di perguruan dan asrama Galeng berkata: “Sahaya tidak mengerti, Tuan Syahbandar.” “Jangan bicara Jawa,” tuan rumah melarang, “ayoh, mulai sekarang pergunakan Melayu,” sekarang ia ucapkan sepatah sepatah. “Melayu! Bukankah kau sekarang pembantu-utamaku?” Juara gulat itu mengangguk mengiakan. “Melayu! Melayu! Mulai bicara Melayu!” Dan bila Idayu mencuri pandang dari bawah keningnya pada Syahbandar, ia tak dapat sembunyikan keheranannya melihat hidung sepanjang itu dan bengkung dan tipis. Seakan muka itu diadakan hanya untuk dapat ditenggeri oleh hidung raksasa. Kalau dia diberi bersayap. pikimya selintas sambil tersenyum, sungguh, orang akan menyangkanya seekor nuri ajaib. Dan matanya yang bulat besar di bawah alis tebal itu seakan mentah-mentah dipindahkan dari muka area lempung yang sering dibuat oleh bocah-bocah penggembala bila menggambarkan dedemit atau gandaran. Galeng, yang juga terpesona oleh hidung bengkung itu, lain lagi pikirannya. Yang terbayang olehnya adalah seorang raksasa. Dan tingkah-laku Syahbandar di depannya itu, suara dan gerak-geriknya, adalah tepat seluruhnya sebagaimana digambarkan oleh nenek-moyangnya dengan raksasa di dalam wayang. Hanya raksasa yang seorang ini kurus, sedikit bongkok, mungkin dikandungkan dan dilahirkan di miisim paceklik. Tanpa mengindahkan adakah tamu-tamunya mengerti atau tidak, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan kata demi kata: ”Aku akan jamu kalian dengan janiuan haibat. Pasti kalian belum pernah merasakan. Ambil air panas mendidih dan cawan-cawan dan pengaduk, kau, Idayu, dan gula,” dan tangannya bergerak-gerak menggambarkan apaapa yang dipintanya. Ia sendiri kemudian masuk ke dalam kamar dan tak lama kemudian keluar lagi membawa sesuatu di tangannya. Begitu Idayu datang membawa barang-barang yang dipintanya, ia meneruskan: “Jamuan haibat,” ia mengulangi sambil memasukkan tepung hitam dan gula di dalam cawan-cawan itu. “Nah!” ia menggosok-gosok tangan kemudian bertepuk, “sekarang tuangi cawan-cawan itu dengan air panas, Idayu! Hati-hati, jangan sampai turnpah.” Ia mulai mengaduknya, cawan demi cawan. Galeng memperhatikan mata Syahbandar yang antara sebentar mengingatkannya pada istrinya. Dan muka Syahbandar itu mendadak mengingatkannya pada muka hewan yang baru keluar dari lobang arang, karena muka itu dihitami oleh rambut. “Inilah minuman raja-raja jauh di atas Atas Angin sana. Ingat-ingat, nama minuman ini: kahwa! jangan lupa. Ayoh, Galeng, Idayu! minum!” Sekejap mata Tholib Sungkar Az-Zubaid menelan wajah Idayu yang sedang melihat padanya. “Kahwa, Idayu!” suaranya merendah lunak dan memikat. “Hanya raja dan ratu Ispanya mampu dua kali meminumnya dalam sehari. Raja dan ratu Peranggi tiga kali. Semua membelinya dari pedagang Arab. Dan pedagang-pedagang itu menjadi kaya-raya karena tepung hitam ini. Raja Peranggi tiga kali sehari. Ingat-ingat itu. Betapa hebat Peranggi itu. Tak ada yang bisa tahu. Dia datang hanya untuk menang, di negeri mana pun. Jangan main-main dengan Peranggi. Ingat-ingat itu, jangan mainmain. Ayoh minum!” Di dalam kamar tinggalnya yang baru Galeng menghampiri pelita satu sumbu dan membersihkannya dari kerak. Nyala itu membesar. Idayu bertiduran di ambin kayu. Karena pengaruh kopi kedua-duanya tak bisa tidur sampai lewat tengah malam. “Minuman setan!” dengus juara gulat itu. Ia rasai jantungnya berdebaran kencang. “Tak perlu kita minum lagi, Kang.” Galeng hendak menyumpah. Tak jadi. Ada terdengar olehnya suara yang mencurigakan. Ia melompat keluar kamar. Dalam kegelapan ia masih dapat melihat bayangan seseorang melarikan diri. la lalu memburunya. Bayangan itu hilang entah ke mana. Ia kehilangan arah. Dikelilinginya seluruh kesyahbandaran. Tiada sesuatu ia tcmukan. Ia periksa gandok kanan, juga kiri. Sunyi-senyap tiada sesuatu. la pulang kembali. Duduk diam-diam di serambi kamar. Juga tiada sesuatu pun terjadi. Waktu masuk ke dalam didapatinya Idayu telah tertidur dalam kedamaian. Dalam beberapa hari menjabat pembantu-utama Syahbandar dengan gelar jabatan Wira, ia segera dikenal penduduk Tuban Kota sebagai Wira Galeng. Tetapi lamakelamaan tumbuh sisipan dengan antara nama jabatan dan nama sendiri dan dipanggillah ia Wiranggaleng, Syahbandarmuda. Baik di pelabuhan atau di jalanan ia mendapat penghormatan dari semua orang. Bukan sekedar karena ia seorang punggawa lebih lagi sebagai seorang yang populer, seorang juara gulat dan suami Idayu: pujaan Tuban. Dan bila orang lewat di depan kesyahbandaran, orang memerlukan menengok untuk dapat melihat tuan Syahbandar-muda atau istrinya. Perobahan dari petani desa perbatasan menjadi punggawa di ibukota negeri memang membingungkan dan membikin ia jadi kikuk. la sendiri belli in tahu setepatnya apa saja harus ia kerjakan. Penghormatan orang yang berlebih-lebihan membikin ia sering ragu-ragu, sedang kekualiran akan jatuhnya hukuman tiba-tiba dari Sang Adipati selalu membikin ia terlalu hati-hati. Sedang bayangan yang melarikan diri di malam pertama itu tak juga pernah hilang dari kewaspadaannya. Idayu tak kurang-kurang gelisah. Rumah batu itu sendin telah merampas kedamaian hatinya. Tak ada orang yang hidup di dalam rumah batu kecuali tuan Syahbandar. Sekarang keharusan mengenakan kemban membikin tubuhnya serasa terupam dalam tungku. Belum lagi angin pantai yang tak henti-hentinya dan deburan ombak yang memeningkan. Ia merindukan kehidupan bebas-merdeka di desa. Di kota ia merasa terjerat-jerat oleh terlalu banyak aturan. Dan ia segan menyampaikan perasaan hatinya pada suaminya, yang toh takkan dapat berbuat sesuatu. Biar belum mendapatkan ketenangan dalam penghidupannya yang baru Galeng dapat mengikuti dengan cermat adanya perobahan penting dalam kehidupan di ibukota. Pergeseran jabatan sedang terjadi di mana-mana. Dan semua itu, menurut penilaiannya, adalah untuk memudahkan tuan Syahbandar baru menjalankan kewajibannya. Juga Galeng tahu, bekas Syahbandar Tuban, Rangga Iskak, telah pindah ke bekas asrama dan tak juga mendapatkan jabatan negeri yang patut. Orang menduga ia akan diangkat jadi penghulu negeri, tetapi Sang Adipati tak juga melantiknya. Dan telah diketahui oleh seluruh Tuban Kota, Rangga Iskak tidak suka pada pekerjaan baru apa pun. Dan pekerjaan yang terbaru adalah mengajar anakanak pembesar membaca Alqur’an bahasa dan tulisan Arab. Dua tiga kali Wiranggaleng pernah berpapasan dengan Rangga Iskak sedang berjalan-jalan dengan tongkat diayunayunkan seakan sedang menunggu datangnya kepala untuk dapat dikemplangnya. Dan orang itu tak pernah menampakkan diri di wilayah pelabuhan. Wiranggaleng membenarkan bisik-desus orang bekas Syahbandar itu tak pernah kelihatan tenang bila sedang berjalan-jalan. Matanya selalu gelisah mencari-cari seseorang yang tak pernah didapatkannya. Dan memang ia selalu mencari-cari Yakub. Tetapi pewarung itu selalu menjauhkan diri tak ingin melihatnya. Di samping pekerjaannya sebagai pembantu-utama Syahbandar juara gulat itu harus pula mengawasi galangangalangan kapal di bandar Glondong, sebuah pelabuhan lain lagi di negeri Tuban. Dan untuk itu ia mendapat seekor kuda jantan, muda berwarna putih kelabu. Setelah barang tiga minggu bekerja ia mendengar berita: Rangga Iskak telah mengajukan permohonan berhenti dari jabatannya yang tidak menentu sebagai pengajar agama. Kemudian terdengar juga berita, ia telah menghadap Sang Adipati dan memohon ganti kerugian untuk jabatannya dan untuk gedung kesyahbandaran yang ditinggalkannya. Sang Adipati, kata orang, tak senang pada kecerewetannya. Berita yang didengamya kemudian: beberapa hari berturut-turut Sang Adipati telah pergi berburu. Pertanda ada soal-soal pelik sedang mengganggu pikirannya. Malah pernah ia dengan tak sengaja telah mendengar seseorang berkata pada temannya: tentulah untuk melupakan Idayu. Kemudian terjadi perobahan suasana di kesyahbandaran: Siang itu Tholib Sungkar Az-Zubaid dipanggil menghadap oleh Sang Adipati. Pada sore harinya ia datang dengan wajah muram. Di belakangnya, sekira sepuluh depa, mengikuti seorang wanita sambil mengunyah sirih. Di belakang wanita itu seorang lelaki memikul beberapa bungkusan mengikuti. Suami istri itu tak mengenal pendatang wanita itu. Oleh Tholib Sungkar Az-Zubaid ia ditempatkan di dalam gedung utama. Setelah itu Syahbandar pergi lagi dengan muka cemberut. Dan pemikul itu pun pergi lagi dengan tangan hampa. Mungkin karena kesepian di dalam gedung utama wanita itu keluar dari kamar, masuk ke dapur. Dan di sana ia bertemu dengan Idayu yang sedang menyiapkan makan malam. “Kaukah itu, Idayu?” tegumya dengan lagu dan bahasa kadipaten. “Inilah saya: Ibu, sedang masak. Siapakah Ibu?” “Aku sudah tahu kau tinggal di sini, Nak. Senangkah kau jadi istri Syahbandar-muda?” ia tersenyum ramah dan nampak kilau giginya yang hitam kelam. Pandangnya membelai Idayu dengan persahabatan. “Apakah senangnya tinggal di sini, Ibu? Saya lebih suka tinggal di desa sendiri. Ada apa di sini? Hanya desau angin dan deburan laut,” ia bicara sambil terus bekerja. “Mari kita masak bersama-sama,” katanya lagi tanpa mengindahkan protes mulai ikut bekerja. “Makan seperti ini jugakah tuan Syahbandar?” “Bukan begitu, Ibu. Sahaya hanya bisa masak begini rupa. Ibu ini siapa….? “Aku, Nak? Aku istri tuan Syahbandar.” “Oh-ah, Di mana Ibu dulu tinggal?” “Di dalam kadipaten, Idayu. Kau tak pernah melihat aku waktu tinggal di sana. Tapi aku sudah pernah melihat kau.” Hari pertama yang dimulai dengan keakraban dan persahabatan itu dilanjutkan dengan saling mempercayai dan jadilah mereka berdua laksana ibu dan anak sendiri. Istri Syahbandar Tuban itu tak lain daripada Nyi Gede Kati, bekas pengurus keputrian Kadipaten. Dari wanita itu Idayu mengetahui, ia pernah dipanggil menghadap oleh Sang Adipati di serambi belakang Yang pertama kali tentang surat, yang kedua… ia duduk bersimpuh, kemudian datang menghadap juga tuan Syahbandar. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di belakang Nyi Gede. “Tuan Sayid Habibullah Almasawa,!” Sang Adipati berkata, “inilah Nyi Gede Kati, pengurus keputrian, wanita Tuban pertama-tama yang Tuan kenal.” Terdengar dari belakang Nyi Gede, Sayid Habib Almasawa menjawab gopoh-gapah: “Ampun, Gusti, patik belum pernah mengenalnya, melihatnya pun belum!” “Kalau begitu,” kata Sang Adipati lagi, “lihatlah baikbaik. Mungkin sudah agak lupa!” Terdengar olehnya Syahbandar baru Tuban itu membantah. “Ampun, Gusti, betul, demi Rasul, tiada pernah patik melihat perempuan ini.” “Baik,” kata Sang Adipati, “dan kau, Nyi Gede, telah kau serahkan hidup dan matimu pada kami. Maka dengarkan, Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa, ambillah perempuan ini dengan baik-baik sebagai istri Tuan yang baik-baik pula, untuk melayani Tuan dalam hidup Tuan di Tuban. Dan kau, Nyi Gede, kemasi semua barangmu dan ikuti suamimu. Tinggallah kau betsama dengannya di gedung kesyahbandaran. Adipati Tuban menitahkan. Laksanakan pada hari ini juga dan berangkatlah kalian sebagai suami istri.” Kedatangan Nyi Gede di gedung kesyahbandaran mengurangi kerinduan Idayu pada orang tua dan Awis Krambil. Apa lagi sikap wanita itu terhadap Galeng adalah juga seperti terhadap anak sendiri, dan juara gulat itu pun segera menyayanginya. Sebaliknya Syahbandar selalu bersungut-sungut dalam bahasa apa orang tak tahu. Dalam berbagai bahasa yang dikenalnya sebenarnya ia hanya mengulang kalimat: Mengapa perempuan bergigi hitam diberikan padaku, bukan yang satu itu? Dan bukan itu saja, Syahbandar itu kini jadi agak pendiam dan sering bermenung. Ada satu masalah pelik sedang mengganjal dalam otaknya seperti batu krikil bergigi: Mengapa Nyi Gede Kati dihadiahkan padanya sebagai istri yang harus dikawininya di mesjid? Apakah benar wanita itu Nyi Gede Kati? Ia tak pernah melihatnya sebelumnya. Apakah Sang Adipati tahu tentang diri dan perbuatannya menghubungi haremnya? Tak ada seorang pun di seluruh Tuban dapat diajaknya bicara. Kalau toh ada, itu justru hanya Nyi Gede sendiri. Setelah Syahbandar menemukan jalan segera ditempuhnya. Dalam bilik waktu itu. Hari telah larut malam. Dua buah lilin menyala menerangi ruangan. Ia bangunkan Nyi Gede. Di luar kamar tidur Galeng sedang mengintip mereka. Pelnn, hati-hati, “adakah kau bcnar Nyi Gede Kati pengurus keputrian?” “Inilah sahaya, Tuan Syahbandar,” jawab Nyi Gede juga dalam Melayu. “Kalau begitu siapakah selir kesayangan Sang Adipati?” ia menguji. “Siapa? Tidak tahulah sahaya sekarang ini. Tadinya sebelum…. tadinya Nyi Ayu Sekar Pinjung.” “Mengapa tadinya?” “Ya, Tuan, apalah guna mengetahui soal keputrian?” “Bukankah aku suamimu? dan engkau harus menjawab!” “Ya, Tuan, Sekar Pinjung terkena salah. Dia telah menerima surat dari luar, dari orang yang sahaya tidak tahu.” “Jadi dikeluarkan dari keputrian?” Syah Syahbandar memberikan ujiannya. “Tidak, Tuan. Dia tetap di dalam keputrian, tetap mendapat apa yang jadi haknya. Hanya untuk seumur hidup dia takkan lagi dikunjungi oleh Sang Adipati. Juga takkan dapat keluar dari keputrian, sebagai hukuman.” “Semoga Allah menurunkan dalam hati dia yang teraniaya tanpa dosa kesabaran yang tak terhingga,” Syahbandar berdoa. Kemudian: “Katakanlah: Amien”. “Amien, Tuan.” “Amien saja, tanpa kau sebut-sebut tuan, karena amien itu untuk Allah, bukan untuk tuan Syahbandar.” “Amien.” Tholib Sungkar Az-Zubaid masih belum dapat diyakinkan. “Nyi Gede Kati, perlihatkanlah sekarang padaku barangbarang berharga yang jadi milikmu. Ingin aku melihat bagaimana dan macam apa perhiasan perempuan Jawa,” katanya dengan suara lebih keras dari semula. Dengan luwesnya Nyi Gede Kati memperagakan tubuhnya yang berisi dan dengan gerak tangan indah menuding pada perhiasan yang dikenakan pada tubuhnya: subang cepuk besar yang menyebabkan lobang pada godoh menjadi besar dan godoh itu sendiri turun panjang ke bawah, gelang, kalung, cincin dan cundrik langsing bersarung mas berukir. Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi, alias Sayid Habibullah Almasawa mengawasi dan memperhatikan benda-benda itu sebuah demi sebuah. “Bagus, bagus sekali,” ia mengangguk memuji, “tak kalah garapannya dari pandai emas di negeri mana pun,” ia berhenti dan mengelus dada. “Tentu bukan hanya ini milikmu;” “Tentu, Tuan, masih ada pada sahaya. Biar sahaya ambilkan.” Tak lama kemudian terjajar barang-barang berharga milik pribadi Nyi Gede Kati. Di antaranya seutas kalung sebentuk cincin dan gelang bertatahkan zamrud dan mutiara. Jelas bukan bikinan dan tidak bermotit Jawa. Dan dua buah real mas Portugis. Mata Syahbandar bersinar-sinar. Ia tegakkan bongkoknya dan bertepuk tangan, kemudian menggeserkan tarbus ke belakang. Didekatinya barang yang berjajar di atas ketiduran. dan: “Gelang, cincin dari kalung ini jelas seperangkat. Semua dibikin oleh pandai yang sama, dipermatai dengan keserasian hijau putih. Hanya putri-putri negeri Tiongkok menggunakan keserasian ini.” “Hadiah para selir dan karunia Sang Adipati sendiri.” Nyi Gede menerangkan dengan nada bangga. “Yang menarik hati, Tuan, itu adalah hadiah dari seorang tuan yang sahaya tidak kenal.” Ia melirik pada suaminya. “Bagaimana duduk perkaranya maka kau tak mengenalnya?” ” Ya, Tuan, tahu-tahu sudah ada di bawah pintu sahaya beserta sepucuk surat. Sahaya tak pernah tahu dari siapa.” “Adakah kau balas surat itu?” “Kami orang Jawa selamanya membalas surat, senang atau tidak pada isinya, karena demikian diajarkan pada kami di perguruan kami.” Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa senang dan lega. Kemudian: “Bagaimana kau membalas surat pada pengirim tak dikenal itu, Nyi Gede?” “Sahaya letakkan di bawah pintu itu juga surat balasan sahaya Tuan, setiap malam, sampai datang masanya surat itu tiada.” Sekali lagi Syahbandar tertawa, lebih keras, mendering menembusi udara malam, keluar rumah. “Kalau begitu kau tahu benar ada orang tak dikenal suka masuk ke dalam keputrian. Siapa dia kiranya, Nyi Gede?” “Dia datang pada waktu sahaya terlena, Tuan. Sahaya tiada berkemampuan berjaga sepanjang hidup.” Sekarang sesuatu membersit di dalam pikiran Tholib Sungkar Az-Zubaid: ia telah temukan kunci harem, la tersenyum puas. Dan perhiasan-perhiasan bertatahkan zamrut dan mutiara yang telah berada di tangannya itu belum juga diletakkannya, ditimangnya sejenak, kemudian: “Kau istriku, bukan, Nyi Gede? Istriku yang syah.” “Sahaya, Tuan.” “Kukawini kau di mesjid.” “Sahaya, Tuan.” “Gusarkah kiranya kau bila barang-barang yang kukagumi ini dan juga dua real Peranggi ini aku simpan sendiri agar selamat dan aman?” “Silakan, Tuan, kalau itu yang jadi kehendak Tuan. Ambil barang sahaya, bahkan badan sahaya sendiri ini, adalah milik Tuan Syahbandar Tuban.” Sekali lagi Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa puas. Sambil memasukkan barang-barang tersebut ke dalam sakudalam jubahnya ia bertanya bermain-main dan mencubit pipi istrinya: “Semua jadi milikku. Tapi milik siapa jiwamu?” “Gusti Adipati, Tuan.” “Husy, jangan sekali lagi bilang begitu. Jiwa hanya milik Allah.” Nyi Gede tak menjawab. Ia tidak menggeleng, tidak pula mengangguk. “Dengar, Nyi Gede, mulai besok buanglah kebiasaan menggimakan jahawe. Aku lebih suka melihat gigimu putih daripada hitam, seperti gigi iblis, seperti gigi perempuan kafir perbegu Benggala.” “Baik, Tuan.” Tholib Sungkar Az-Zubaid meninggalkan kamar untuk menyembunyikan benda-benda yang bisa jadi bukti terhadap perbuatannya. Pergilah ia dan turunlah Wiranggaleng dari tempat pengintaiannya. Syahbandar muda itu duduk dalam kegelapan di bawah sebatang pohon menunggu kalau-kalau Syahbandar Tuban keluar dari rumah. Dugaannya tidak keliru. Sosok tubuh jangkung sedikit bengkok berjubah gelap itu keluar dari rumah dengan mengayun-ayunkan tongkat. Ia mengikutinya dari sesuatu jarak. Yang diikuti ternyata menuju ke warung Yakub, mengetuk pintu dan memasuki ruangan warung yang diterangi dengan sebuah pelita minyak kelapa dari satu sumbu. Ia dengarkan mereka bercakap dalam bahasa asing yang ia tidak mengerti. Dalam sinar taram-temaram ia lihat Tholib Sungkar Az-Zubaid menyerahkan barang-barang perhiasan pada Yakub. Kemudian terdengar mereka bicara dalam Melayu: “Ya Allah, Tuan Syahbandar, Tuan selalu dilindungi Tuhan. Memang tak pernah ada arak baik di sini, tapi demi Allah, ada barang secawan yang agak tepat untuk Tuan.” “Selama bukan tuak Pribumi, insya Allah agak tepat kiranya untukku. Keluarkan, Yakub!” Yakub mengeluarkan sebuah cawan tembikar dan segera Syahbandar meneguknya habis dan mengucap syukur. “Tuan nampak sangat gembira hari ini. Alhamdulillah Tuan mempercayai si Yakub ini untuk menyimpannya, Tuan. Percayalah, di Tuban ini tak ada maling seperti di bandar-bandar lain, tak ada perampok Kalau ada kerusuhan selamanya soal asmara. Darah penduduk Tuban sudah panas, dipanaskan lagi oleh tuak setiap hari. Biar begitu tidak mudah menggelegak selama tidak menyinggung asmara. Memang tidak baik tuak buat orang Atas Angin. Lagi araknya, Tuan?” “Cukup, Yakub.” “Harganya memang bukan harga tuak, Tuan, tepat harga arak Di mana pun yang lebih baik lebih mahal harganya, dan baik atau tidak akhir-akhirnya hanya asal selera. Tak peduli di Tuban atau di tempat lain.” Dari tempatnya Wiranggaleng melihat Syahbandar mengawasi Yakub, barangkali untuk memahami apa yang dikiaskan oleh pewarung itu. la melihat Yakub menunduk sambil meneruskan katanya “Betul, juga di sini, Tuan, bayaran yang baik untuk jasa yang baik tepat seperti di mana pun, di Lisboa atau Madrid.” Syahbandar itu nampak tak begitu bersenang hati. Ia balikkan badan, mungkin untuk menyembunyikan perubahan pada wajahnya. dan berbalik kembali sudah dengan senyum pada bibir. ”Rupa-rupanya kau, Yakub, seperti aku juga, petugas Sang Adipati,” ia berkata mencoba-coba. “Ohoi!” Yakub berseru pelan. “Terkejut benar nampaknya Tuan. Mana bisa Yakub seperti Tuan Syahbandar? Biar pun hanya peranakan Arab dengan Benggala, Tuan, belum perlu rasanya si Yakub ini mengabdi pada seorang raja kecil Pribumi. Kami memang agak lain dari Tuan rupanya. Di mana ada keuntungan di sana Tuan ada. Begitu, bukan, Tuan Syahbandar?” ia tertawa menyelidik. “Allah melindungi aku dari perbuatan menghina. Karena, di mana pun langit terbentang, di mana pun bumi terhampar, di sanalah kebesarannya diciptakan untuk seluruh umatnya.” Yakub tertawa-tawa sambil mengusap-usap janggut dan Tholib Sungkar meneruskan pandang padanya. “Allah memberkahi orang yang tak mudah marah. Bukankah sabar juga bagian iman, Tuan Syahbandar? Tuan Sayid?” “Aku bayar belanjaku, dan tak ada alasan untuk marah,” ia lihat Yakub meneruskan pandang padanya. “Tuan agaknya salah tangkap,” Yakub membetulkan. “Tak ada yang tidak percaya pada semua kata Tuan. Tuan selalu bayar belanja Tuan. Dan, Tuan Sayid, kapan pun Tuan akan bayar belanja Tuan yang jauh lebih mahal untuk jasa Yakub yang lebih baik dan lebih besar. Percayalah, Tuan Syahbandar.” “Manakah di Tuban yang kecil ini ada jasa yang baik apa lagi besar?” “Pada Yakub, tuan Sayid, jasa selalu tersedia, besar dan baik, kecil dan besar, setiap saat, tak peduli siang atau malam, pagi atau sore.” “Tak ada perbuatan tanpa dipikirkan lebih dulu, Yakub. Tuban menciptakan makhluknya bukan untuk jadi gila. Assalamualaikum,” dan dengan kata itu ia pun pergi meninggalkan warung. Wiranggaleng mengikutinya pulang ke kesyahbandaran. Ia lihat Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan langsung menuju ke gandok kiri, menaiki serambi, kemudian mendengar-dengarkan pada pintu kamar, mencoba mengintip dari sana dan sini. Karena tak melihat sesuatu pun di dalam kamar itu ia pergi lagi masuk ke dalam gedung utama dari pintu tengah. Tahu lah Wiranggaleng sekarang, tidak lain dari tuan Syahbandar yang jadi bayangan selama ini. Dan keluarganyalah sasarannya. 0o-dw-o0 8. Wiranggaleng Pergi ke Barat Idayu mengantarkannya ke pelabuhan dan ikut masuk ke dalam kapal dagang berbendera Tuban. Suami-istri itu was-was menghadapi perpisahan mereka. Bahkan juga pada merasa tak senang dengan kepergiannya. Dermaga disesaki oleh orang-orang yang hendak melihat Idayu mengantarkan suaminya. Mereka berdiri diam-diam menunggu penari ulung kekasih Tuban dan para desa itu keluar lagi dari kapal untuk dapat melambaikan pandang padanya. “Kalau diperkenankan, Kang, aku bersedia ikut, ke mana pun, Kang.” “Kapal akan segera berangkat, Dayu.” “Aku kuatir, Kang.” “Kau sendiri harus belajar dapat lindungi keselamatan sendiri. Tentu kau akan selalu ingat pada Rama Cluring” Idayu menggandeng tangan suaminya dan turun kembali ke dermaga. “Apa pun yang terjadi, Idayu, hadapi semua dengan tabah.” “Aku kuatir, Kang,” bisiknya. “Aku pulang ke desa saja.” “Bukankah kau harus menari di pendopo kadipaten? Dan perintah itu sewaktu-waktu bisa datang dari Gusti Adipati sendiri?” “Kang, aku kuatir,” Idayu berbisik dan memandangi suaminya dengan mata sayu. “Aku takut, Kang. Di desa aku tak pernah takut seperti ini.” “Kalau diperkenankan, kami sedia ikut menjaga, Wira,” seseorang di antara para perubung mengusulkan. “Betapa mulia hati kalian, terimakasih. Sayang, kalian sendiri tahu, tak dibenarkan memasuki pelataran kesyahbandaran.” Nahkoda datang mewartakan pada Wiranggaleng layar akan segera dipasang dan kapal akan berangkat. Wiranggaleng mengusap-usap rambut istrinya. “Allah bersama denganmu, Wiranggaleng!” seru Tholib Sungkar Az-Zubaid. “Sejahtera, sejahtera untukmu, Galeng, dan istrimu,” kerumunan orang itu meninggalkan dermaga, makin kecil dan makin…. Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal, makin lama makin jauh meninggalkan dermaga, makin kecil dan makin kecil. Dan kerumunan orang itu mengantarkan Idayu sampai ke kesyahbandaran…. Wiranggaleng dan Pada memandangi semua yang bergerak di dermaga sampai iring-iringan itu hilang dari pemandangan. Akhirnya semua pun lenyap ditelan keleluasaan alam. Terdengar Pada mengeluh. Wiranggaleng sambil berpegangan pada seutas tali layar, bersandaran pada dinding lembung, mengawasinya: “Apa yang kau keluhkan?” “Jangankan manusia seperti aku ini, Kang, kuda pun kadang-kadang mengeluh juga.” “Apa yang dikeluhkan kuda?”. “Kita akan ke mana, Kang?” “Apa yang dikeluhkan kuda? Kau belum lagi menjawab. Kalau kau sendiri, Pada. Aku tahu apa yang kau keluhkan.” “Kita ke Banten, Kang? Betapa jauh dan lama.” “Itukah yang kau keluhkan? Jauh dari kadipaten? Jauh dari keputrian? Dari para selir?” “Kang!” Pada terpekik terkejut. Wiranggaleng pura-pura tak mengerti dan menjatuhkan pandang pada permukaan laut, pada pantai pulau Jawa yang putih berjabatan dengan kegelapan hitam dan perbukitan dan gunung-gemunung. Juga hatinya sendiri penuh was-was, kekuatiran dan kecurigaan. Ia tahu benar Tholib Sungkar Az-Zubaid adalah kucing hitam di waktu malam dan burung merak di siang hari. Dalam hati-kecilnya bayangan Sang Adipati, yang jelas memberanikan istrinya, antara sebentar mengawang dan mengancam hendak merobek-robek hatinya. dan sekarang aku harus pergi dari Tuban. Apakah yang bakal terjadi? Untuk ke sekian kalinya ia hibur dan tenteramkan hatinya dengan menyerahkan segala-galanya pada Idayu sendiri. Ia telah tinggalkan pada istrinya sebilah cundrik dan pesan, “Belalah dirimu kalau ada niatmu untuk membela diri!” Dan pada Nyi Gede Kati ia mengharap agar dia sudi ikut menjaga keselamatan Idayu. Setelah berada di atas kapal ia menyesal telah berpesan pada seorang bekas pengurus harem. Bekas pengurus harem! Tahukah orang seperti itu tentang cinta, kasih dan kesetiaan? Bekas pengurus harem! Harem! “Kang!” Pada mengulangi tegurannya. “Mengapa kau terkejut, Pada?” “Ampun: Kang, janganlah hubung-hubungkan aku dengan keputrian dan para selir. Aku tak tahu apa-apa tentang mereka,” Pada membela diri, menghiba-hiba. ”Takut benar kau nampaknya, Pada.” Dan kapal terus berlayar. “Bagaimana aku tak takut, Kang Nyi Gede Kati telah diusir dari keputrian. Nyi Ayu Sekar Pinjung ke…” “Dari mana kau tahu mereka kena hukuman? Dan siapa mereka itu?” “Semua orang membicarakan, Nyi Gede pengurus. Nyi Ayu selir. Siapa pula dalam kadipaten tidak tahu?” “Jadi sudah berapa kali kau panjat pagar kayu keputrian dan masuk ke dalamnya, Pada?” “Kang!” Pada terpekik lagi untuk kesekian kalinya. “Terkejut lagi kau nampaknya, Pada.” “Ah, Kang Galeng, Kang Galeng,” bisiknya menghibahiba. “Untuk apa aku pergi ke sana? Dan bagaimana bisa aku ke sana?” Wiranggaleng menatap Pada sambil menggeleng. “Paling tidak,” Syahbandar-muda itu menepuk bahunya beberapa kali, “dua kali dalam seminggu kau pasti masuk ke sana ” “Kang Galeng, kakangku sendiri… tega kau berkata begitu.” karanya gugup dan megap-megap. “… Kau lemparkan tali berjangkar ke atas pagar kayu tmggi itu, dan kau memanjat masuk.” “Kang, aduh, Kang. Itu berarti kau membunuh aku, Kang.” “Husy. Kau pura-pura tak mengetahui sesuatu apa tentang dirimu sendiri.” “Kang!” Pada terpekik lagi. “Husy. Goba selir yang mana saja sudah kau hubungi?” “Kau menyiksa aku, Kang menganiaya.” “Ayoh, katakan pada kakang mu ini. Bukankah aku kakangmu?” “Kang tega, kau, Kang” suara Pada telah menghampiri sebuah tangs dari seorang bocah yang tak berdaya. “Ayoh, ceritai aku, Pada. Sekali saja. Dengan selir mana saja kau telah lewatkan malam-malam yang sunyi di dalam keputrian?” Pada telah sampai pada puncak kekecutan, tak mampu bicara. Sewaktu Wiranggaleng melecuti anak itu dengan pertanyaan. terbayang olehnya istrinya, Idayu. Sekiranya Idayu dulu terpaksa jadi penghuni harem, menjadi selir sebagai yang lain-lain, mungkinkah anak ini juga yang akan datang padanya, di malam sepi, dan meletakkan tangan pada tubuh kekasihnya? Darahnya tersirap dan dengan sendirinya tangannya melayang mencekam pergelangan Pada. Anak itu meraung kesakitan. Syahbandar muda terpaksa metepaskan kembali. Dengan pandang bertanya Pada menatap juara gulat Itu, kemudian memeriksa pergelangannya. Dibimya cemberut. “Di asrama dulu kau mengenakan gelang, kalung dan cincin mas, Pada. Seperti pembesar. Mana barang-barang itu sekarang?” “Kau siksa aku begini macarn, Kang.” “Kau tidak menjawab. Dan kau tak mau menjawab. Selir mana yang telah beri kau semua itu?” “Kang, tega kau…” “Di mana barang-barang itu sekarang, Pada?” Pada terdiam. Pandangnya dilemparkannya ke permukaan laut. “Bocah berumur lima belas!” Wiranggaleng meludah ke geladak. “Kata orang, gandarwa berumur dua ratus tahun baru mulai dewasa. Kau, Pada… empat belas, lima belas! Keparat! Empat belas, lima belas sudah jadi buaya.” “Jangan ucapkan itu, Kang.” Pada memohon. Dua orang itu kini terdiam. Lama. Seakan-akan telah terjadi permusuhan bat in antara mereka. Wiranggaleng melepaskan pandang ke sebelah selatan, pada pantai pulau Jawa yang nampak samar-samar di kejauhan. Dan Pada mulai agak mengerti mengapa ia berada di atas kapal dagang ini. Juara gulat itu membanding-bandingkan dirinya dengan Pada. Waktu berumur empat atau lima belas ia masih tak mengerti sesuatu kecuali bekerjn di sawah atau ladang atau mengurus ternak: babi, sapi, ayam dan anjing. “Semua tak ada yang kau jawab, Pada. Sekarang yang lain. Barangkali kau mau menjawab: sudah berapa kali kau menulis surat untuk Sayid Habibullah Almasawa Syahbandar Tuban?” “Menulis surat?” bocah itu berseru terheran-heran. “Buaya! Kau memang pandai berpura-pura. Pada, aku tahu surat-surat itu tulisanmu. Apa kau kira dunia ini bisa kau bodohi begitu gampang?” ia buang pandangnya ke tempat lain dan meneruskan, pelan-pelan. “Orang tak mungkin bisa berbohong terus-menerus. Pada suatu kali orang harus mengakui kebenaran.” Pada terdiam tak membuka mulut. Ia hindari pandang juara gulat yang mengancam itu. “Sekali ini kau harus menjawab, Pada.” Syahbandar muda itu memaksa. “Berapa kali kau tuliskan surat untuk Syahbandar?” “Kang Galeng, bukankah tak lain dari Kakang sendiri yang tahu, semua! Kewajibanku telah kulakukan dengan baik? Apakah yang Pada tak lakukan buat kepentinganmu dan Mbok Ayu Idayu? Sekalipun harus melanggar aturan yang ada?” Wiranggaleng membatalkan niatnya untuk menyakiti bocah itu. Ingat akan jasa Pada menyebabkan ia merasa segan melakukan. “Sang Adipati juga memuji kecakapanmu. Kalau kau anak tertib mungkin bisa kau jadi penggawa di kemudian hari. Aku dan Idayu takkan melupakan jasa-jasamu. Yang aku ingin tahu dari kau sekarang, Pada, apakah yang telah kau lakukan di luar kewajibanmu yang merugikan Sang Adipati?” Ia lihat Pada menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Anak itu mulai mengerti benar mengapa ia dibawa ke kapal ini: untuk menjalani pemeriksaan dan hukuman. Dan Wiranggaleng yang ia hadapi kini bukanlah seorang kakang yang lunak, lemah-lembut dan pelindung. Ia adalah pemeriksa dan penghukumnya sekaligus. Ia menekur tak berani mengangkat muka. “Kau tak menjawab, Pada,” ia lemparkan pandang jauhjauh. “Jawablah. Aku tak perlu melihat mukamu. Aku hanya inginkan jawabanmu. Dijauhkan Kakang hendaknya daripada perbuatan salah terhadapmu, Pada. Jawablah.” Ia menunggu dan menunggu. Jawaban itu tak kunjung datang. “Bukankah masih kau akui aku kakangmu?” “Ya, Kang.” “Jawablah. Terserah bagaimana menjawabnya.” Pada tak juga mau menjawab. Tanpa mengubah kedudukan pandangnya tangan Wiranggaleng mencekam rambut Pada yang jatuh terurai dari bawah destamya. la tahu cengkaman itu lunak tak menyakiti. “Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada,” katanya tanpa melihat kepadanya, “mengapa kau suka memasuki keputrian?” Juga tak berjawab. “Mengapa kau menulis surat di atas kertas untuk Nyi Gede Kati dan Sayid Habibullah Almasawa?” Tak berjawab. “Baiklah kau tak mau menjawab lagi. Tahukah kau, jiwamu ada di tanganku sekarang ini, dan hidup-matimu akulah yang menentukan?” Tak terduga oleh Wiranggaleng si bocah Pada menjawab tertahan: “Sekarang aku tahu mengapa aku mendapat perintah untuk mengikuti kau. Kang. Kang Galeng, ketahuilah, aku takkan jawab semua pertanyaanmu. Aku tak mampu, Kang. Ampunilah, aku. Hanya, Kang, kalau aku kau bunuh juga sekarang ini, sampaikan sembahku pada Mbokayu Idayu, Kang. Tak ada sebuah dapat kusampaikan pada siapa pun, karena tak ada orangtua dan sanak padaku.” “Mengapa pada Idayu?” “Karena seluruh Tuban memujanya, juga aku, Kang. Maukah kau?” “Katakan sesuatu padaku, Pada.” “Tak ada sesuatu yang dapat aku katakan, Kang. Menjawab atau tidak, perintahmu adalah membunuh aku. Semua sudah kukatakan dan jawab.” “Ayoh, katakan, katakan sesuatu.” Anak itu justru membisu. Suatu pergolakan telah terjadi di dalam hati juara gulat itu. Batinnya menuduh kau mencemburui bocah kecil ini, Galeng. Kau sendiri ada keinginan untuk melenyapkannya dari muka bumi karena perintah cemburu hatimu sendiri. Kau punya kepentingan pribadi dalam urusan ini! Tapi di hadapanmu ada Gusti Adipati. Dan kau takkan mampu melawannya. Di samping itu ada juga tuan Syahbandar Tuban, kucing di waktu malam dan merak di siang hari itu. Kau pun boleh jadi tak dapat berbuat apa-apa terhadapnya. Hanya terhadap Pada, si bocah tanpa daya ini, kau berani berbuat, hanya karena cemburu yang tidak terbukti. Bagaimana kau ini, Galeng? Pengikut rama Cluring? Kau bingung! Kau tak tahu di mana tempatmu. Syahbandar muda itu malu punya perasaan cemburu terhadap si bocah itu. Idayu sendiri lebih tidak berdaya! Kini hatinya jadi sendu. Apa yang dia bisa perbuat menghadapi orang-orang berkuasa seperti Sang Adipati dan Syahbandar Tuban? Dia yang tertinggal di daerah larangan, di kesyahbandaran itu, dalam satu sarang dengan Nyi Gede Kati, bekas pengurus harem, yang sudah selayaknya akan membantu suaminya menundukkan Idayu. Mengapa bocah ini harus jadi sasaran kekacauanku? Juara gulat dan Pada berdiam diri dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali orang berjalan mondarmandir melewati mereka. Dan mereka tetap tak bicara sesuatu. Matari makin lama makin condong. Angin laut yang bertiup dari belakang menyebabkan rambut mereka tergerai di bawah destar, sedang puputan pada layar menyebabkan antara sebentar terdengar gelepar. “Kalau kau tega juga membunuh aku, Kang” tiba-tiba Pada berkata seperti pada diri sendiri. “Mengapa kau punya pikiran aku akan membunuhmu?” “Siapakah yang tidak dibunuh oleh Sang Adipati, bila orang dianggap merugikannya?” “Siapakah aku ini maka harus membunuh kau?” “Aku sudah banyak tahu, Kang. Kaulah yang akan membunuh aku atas perintah Gusti Adipati.” “Kalau saja kau mau ceritai aku tentang keputrian dan diri Sayid…” “Kalau aku harus dibunuh karena surat dan keputrian; sama saja, Kang, aku pun harus dibunuh karena yang itu juga, hanya surat itu untuk Kang Galeng dan Mbokayu Idayu.” “Bukankah telah kukatakan kami berdua berterimakasih?” Dan semakin heran ia mengapa si bocah itu begitu tabah menghadapi bahaya maut yang sudah dekat pada lehernya. Pasti ia punya perhitungan: melompat ke laut dan berenang. Pasti! Bertanya ia lembut dan sopan: “Tiadakah kau takut pada hiu, Pada?” Ia lihat Pada tersenyum seakan mengerti maksudnya. “Kata orang,” Pada mulai seperti hendak mendongeng, “barangsiapa takut pada hiu, dia takkan menyintuh laut. Barangsiapa menentang laut, dia takkan dapatkan hiu.” Kembali mereka berdiam diri. Waktu seseorang memberitakan, makan sudah siap, baik Wiranggaleng mau pun Pada mulai juga tidak beranjak dari tempat. Dan matari dengan lambatnya ma km mendekati ufuk barat. Semburat merah mulai membakar kaki langit. “Kau diam saja, Kang. Hari mendekati malam.” Terdengar seseorang menyerukan azan di bawah geladak dan ia memperhatikan. Lagunya begitu asing dan katakatanya ia tak kenal. Setelah seruan selesai ia merangkul Pada dengan mesra. “Jadi segala yang orang ketahui tentang kau temyata benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. Dan kalau kau melompat ke laut. aku takkan menghalangi. Kalau kau melompat dan berenang ke sana, cukupkah kiranya nafasmu, Pada?” “Jangan pikirkan nafasku, Kang Aku mengerti kau harus bunuh aku. Aku akan berenang dan takkan kembali ke Tuban Demi Batara Kala. Percayalah.” “Pada, adikku, maafkan aku. Sembahmu pada mbokayumu nanti aku sampaikan. Kalau kau melompat, aku akan menengok ke sana, ke laut lepas. Melompatlah. Cepat, melompat!” Tetapi Pada tiada bercepat melompat. la bersimpuh di atas geladak itu, menyembah Wiranggaleng mencium kakinya, berdiri lagi dan dengan lambat naik ke atas dinding lambung. “Aku pergi, Kang.” Kemudian menyusul bunyi benda jatuh ke laut. “Mati!” teriak Wiranggaleng sekuat-kuatnya. “Mau kau, Pada! Mati!” Orang berlarian naik ke geladak dan bertanya-tanya. Juara gulat itu bertolak pinggang menghadapi mereka dan dengan nada resmi mengumumkan: “Telah kubunuh atas titah Gusti Adipati Tuban Arya Teja Tumenggimg Wilwatikta, seorang pendurhaka bemama Pada. Kubunuh dan kulemparkan dia ke laut.” Tanpa menggubris tanggapan dan pertanyaan ia berjalan menuruni tangga geladak untuk mendapatkan makannya. Dari mereka yang tak suka pada Demak, sindiran datang tanpa henti. Di antaranya yang tajam menusuk: “Mendirikan kerajaan memang mudah. Carilah tempat yang sepi di pedalaman. Kalau musuh datang dari laut jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut musuh menyerbu dari gunung, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau kuatir musuh datang dari lembah, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau was-was musuh datang dari langit, jangan dirikan di tepi pantai!” Lama kelamaan sindiran mencapai puncaknya dalam bentuk yang semakin jelas: Di pedalaman saja, sahabat, di pedalaman, karena Peranggi bakal datang! Sindiran itu dinyanyikan orang di mana-mana, juga di tengah-tengah Demak sendiri. Putra mahkota Demak, Adipati Kudus Pangeran Sabrang Lor, tak dapat menenggang semua itu. Pada setiap kesempatan ia memerlukan menangkis: “Mereka bilang, Peranggi lelananging jagad, menguasai segala yang dilihatnya. Mereka, Peranggi, belum lagi melihat Demak. Suruh dia melihat Demak, dan dia akan melihat kuburannya sendiri.” Putra mahkota juga yang pada suatu kali menghadap ayahandanya. Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah, memohon satu kesatuan balatentara pilihan. Dengan modal itu ia menyerbu Jepara menduduki dan menguasainya. Kini Demak punya bandar sendiri. Putra mahkota diangkat jadi Adipati Demak dengan gelar Adipati Unus. Dan Unus dimasyhurkan sebagai nama seorang nabi penguasa laut. Ia pun diangkat oleh ayahandanya jadi menteri urusan manca negara. Itulah jawaban Demak terhadap sindiran takut pada Peranggi. Tetapi orang masih tetap tidak percaya pada sesumbar putra mahkota. Sindiran terus juga datang. Portugis menduduki Malaka. Sekarang sindiran lain lagi bunyinya: “Lihat, Peranggi sudah menduduki Malaka. Demak menduduki Jepara. Mereka hanya akan berpandang-pandangan dari bandar masing-masing, sampai kedua-duanya bosan dan tak berpandang-pandangan lagi.” Adipati Unus Jepara pada suatu kesempatan di hadapan para punggawa, yang ditugaskan membangun galangangalangan besar, berkata: “Ketahuilah, bila kelak Peranggi tidak datang ke Jepara untuk menantang Demak, maka dari Jepara akan datang Demak ke Malaka menentang Peranggi.” Sindiran-sindiran padam setelah jelas Adipati Unus Jepara tidak tinggal bersumbar-sumbar. Galangan-galangan kapal diperbanyak dan diperbesar. Kapal perang dan niaga dibangunkan. Didatangkannya pengecor-pengecor dari Blambangan. Dan ia tidak peduli pandai-pandai itu beragama Hindu. Ditempatkan mereka di desa Bareng untuk membikin cetbang yang direncanakannya sendiri, khusus untuk menghadapi Peranggi. Perintah-perintahnya sangat keras. Semua pekerjaan harus selesai pada waktunya.. Permunculannya menerbitkan kegentaran pada para pekerja. Kayu keras didatangkan dari Kalimantan untuk lunasdan Hang kapal. Dan waktu pandai-pandai di Bareng dianggapnya kurang cepat bekerja, mereka dipindahkan bersama bengkelnya ke pinggiran bandar jepara. Dengan demikian Jepara dihadapkannya ke Malaka. Galeng mendarat di bandar Yuana – bandar milik Tuban yang terletak di wilayah paling barat, setelah Jepara jatuh ke tangan Demak Bandar Jepara sedang giat-giatnya bekerja waktu ia datang. Ia berjalan lambat-lambat, melihat-lihat pemandangan di kiri, kanan dan depannya Sengaja ia perlihatkan diri sebagai orang baru yang tidak tahu sesuatu apa. Tak ada seorang pun dikenalnya. Duduklah ia di bawah sebatang pohon kenari. Semua orang nampak sibuk. Tak ada orang berlenggang-kangkung dengan tangan kosong. Di sana orang sedang menggotong atau memikul balok dan papan. Di sini orang sedang menumpuk kayu. Dari mana-mana datang bunyi orang membelah, memohon atau berseru-seru memberi perintah, Dalam bedeng-bedeng tanpa dinding orang sedang melengkungkan papan yang dipatok-patok dengan kayu pada tanah dan memanggang lengkungan dengan api. Dan kapal-kapal besar yang sedang digalang adalah laksana kerangka ikan raksasa yang sedang dirubung semut. Gerobak-gerobak beroda kayu untuk mondar-mandir mengangkuti pasir, batu dan kayu. Di tempat yang paling jauh orang sedang membadari batu karang untuk dibikin kapur. Semua serba berbeda dengan di bandar Tuban, juga dengan di bandar galangan Glendong. Mereka akan segera mengenali aku sebagai pendatang baru, pikir juara gulat itu. Ia bangkit berdiri waktu seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan. Pakaiannya sama juga dengan orang Tuban. “Hai, kau! Tidak bekerja?” Sekaligus ia dapat menangkap, akhir suku kata yang di tempatnya disebutkan jadi a miring, di sini jadi o miring. Belum lagi ia sempat menjawab orang itu sudah meneruskan: “Ha, pendatang baru. Kebetulan. Apa bisa kau kerjakan? Menukang? Besar betul badanmu.” “Hanya memikul,” jawab juara gulat itu menirukan lidah Jepara. “Baik,… Man ikuti aku. Kami kekurangan pemikul” Dengan demikian mulailah Wiranggaleng bekerja sebagai pemikul balok, mondar-mandir dari penumpukan ke galangan. Menjelang matari tenggelam orang membawanya ke bedeng tidur di daerah pelabuhan itu juga. Setelah makan malam orang pun merebahkan diri berjajarjajar seperti di asrama di Tuban dulu, hanya ambin di sini tidak dari kayu, seluruhnya dari bambu dan pelupuh. Dan kepinding menyerang dari segala penjuru. Kelelahan menyebabkan orang segera tertidur. Namun tidak semua menyerahkan diri pada mimpi. Tak kurang orang sengaja menunda kantuk sesuai dengan pesan orang tua-tua untuk belajar sesuatu dari orang Iain, mendengarkan wejangan, berita, untuk meningkatkan pengetahuan. Pada malam pertama juara gulat itu menggolekkan tubuhnya yang besar di samping-menyamping orang-orang yang belum dikenalnya. Ia tahankan bau yang keluar dari pakaian mereka. Dan ia tak mencoba membuka mulut. Ia berusaha mendengarkan segala apa yang dapat didengamya. Dari kegelapan beberapa depa dari tempatnya ia dengar seorang pekerja berkata pada teman-temannya. “Kerajaan itu, Islam atau tidak Islam, dikuasai oleh raja yang menentukan aturan praja. Aturan itu tak banyak bedanya pada semua kerajaan, ada hukuman dan ada karunia. Kalian hanya harus mematuhi dan menjalankan, dan semua akan berjalan beres. Kalian pasti selamat tak kurang suatu apa.” “Apakah kau pernah hidup di dalam istana?” “Tidak.” “Tahukah kau, banyak juga orang yang sudah menjalankan dan mematuhi aturan dengan sepatutnya namun dibunuh juga oleh raja?” “Mesti ada sebabnya, ada kesalahannya. Misalnya karena cemburu kalau-kalau orang itu akan menggulingkannya.” “Betul, itu memang ada,” orang lain membenarkan. “Boleh jadi raja itu menghendaki istri atau anaknya yang cantik.” Jantung Wiranggaleng berdebar-debar. Idayu muncul dalam penglihatan batinnya. Tapi segera kemudian lenyap oleh kata-kata orang tersebut. “Itu namanya raja lalim. Dalam kerajaan Islam tak ada raja lalim, semua adil.” “Baiklah tak ada raja Islam yang lalim. Sekiranya raja Islam itu lalim, siapa yang menghukumnya? Ataukah tidak akan dihukum seperti halnya dengan raja-raja Syiwa atau Buddha atau Wisynu?” Juara gulat itu tak mampu lagi mengikuti perdebatan. Pikirannya sibuk mengurus kekuatirannya sendiri. 0o-dw-o0 Beberapa minggu kemudian tahulah ia, pekerja yang suka memberikan ceramah itu tak lain dari seorang musafir Demak, seorang di antara para pemasyhur Demak dan Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Ia menamakan diri Hayatullah. Orang yang sudah mengenalnya sejak kecil memanggilnya Anggoro, bukan Anggara, karena dilahirkan pada hari Anggara. Pada suatu malam Hayatullah menerangkan pada teman-temannya, ada banyak putra Adipati Tuban yang telah mengikat kesetiannya pada Demak, dan tak lama lagi Tuban pasti menjadi daerah Demak. “Betapa hebatnya kerajaan Islam pertama-tama ini,” ia meneruskan dalam kegelapan bangsal tidur. “Belum seberapa umumya, tapi lebih baik daripada semua kerajaan yang pernah ada. Dahulu seorang raja dapat berselir tanpa batas, dan selir-selir celaka itu tak punya hak sesuatu….” Dari ujung ambin seseorang membentak “Tutup mulutmu. Kalau kau tak tahu tentang istana, jangan membual.” Dalam kegelapan itu Wiranggaleng membayangkan Hayatullah terduduk dari rndan mencari-cari penyangkalnya, karena tak lama kemudian terdengar musafir Demak itu menanya. “Siapa itu? Adakah kau sendiri isi istana? Kalau isi istana mengapa tinggal dalam bangsal gelap ini? Atau kira-kira kau seorang pangeran tersasar?” “Tidur kau!” bentak suara orang tak dikenal itu. “Sudah malam, dan besok pagi masih harus bekerja. Kalau tak tahu tentang istana, sebaiknya kau bertanya padaku. Semua selir raja punya hak, pertama gelar untuk anak-anaknya, hak keprajaan, kedua tanah yang harus digarap oleh orang desa, ketiga pengakuan atas anak-anaknya sebagai anak syah raja. Itu sekedarnya saja tentang selir. Sudah, jangan berisik.” Ternyata Hayatullah tak mau diam. Dengan berapi-api ia ganti menyangkal: “Itu katamu. Siapa yang menjamin hakhak itu dilaksanakan?” “Goblok kau! Menteri-dalam mengurus semua itu.” “Siapa menjamin Menteri-dalam melakukan kewajibannya?” “Yang menjamin Hayatullah alias Anggoro tentu,” penyangkal itu berseru jengkel, kemudian sengaja memperdengarkan kuapnya. “Jangan mempermain-mainkan aturan, kau,” Hayatullah memperingatkan. “Kalau jaminan aturan mesti berlaku tidak ada, tak usah orang bicara tentang aturan. Beda dalam kerajaan Islam. Jangan pura-pura tidur, kau. Dengarkan biar kau tahu sedikit tentang Demak, karena bagaimana pun kalian sekarang ini tak lain dari kawula Demak.” Pertentangan itu menyebabkan orang-orang diam mendengarkan. “Raja Islam hanya boleh beristri empat, dan semua mereka punya hak yang diatur di dalam Alkitab. Dahulu aturan-aturan ditulis dalam seratus lembar lontar yang bemama Nitisastra.” Seseorang terdengar tertawa berbahak mengejek. “Hayatullah! Tahu apa kau tentang Nitisastra? Memasuki mandala pun kau tak pernah. Membaca Jawa pun kau tak tahu….” “Ada ratusan kali seratus lembar lontar aturan yang harus dipatuhi oleh raja Islam dan kawulanya,” Hayatullah meneruskan tanpa menggubris penyangkalnya. “Aturan bukan hanya ada dalam Nitisastra,” seorang lain menyangkal dalam kegelapan yang sama. “Ada banyak aturan dalam lontar yang kau tak tahu. Perlukah aku sebutkan satu-per-satu?” “Biar pun lontar-lontar itu dua puluh kali seratus kali dua ratus… berapa saja kau sebutkan, sama saja,” Hayatullah meneruskan, “tak dapat dibandingkan dengan Alqur’an atau Alkitab atau Alfurkon, karena kitab ini berasal dari Allah melalui rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para raja dan para empu, para pujangga.” Untuk ke sekian kalinya Wiranggaleng telah tertidur sebelum ceramah selesai. 0o-dw-o0 Di siang hari sewaktu bekerja ia mencoba memperhatikan Hayatullah. Tubuhnya kecil rapuh, ototototnya pendak dan tipis, tetapi ia bekerja tanpa henti-henti. Seakan sedang mengerjakan sawah dan ladang sendiri. Matanya tidak tenang, pikirannya seperti selalu melayang ke manamana. Pada waktu istirahat siang selalu ia pergi menyendiri membawa lodong bambu berisi air tawar, membasuh tangan, muka, dahi rambut dan kaki, menggelar tikar di bawah sebatang pohon, kemudian bersembahyang. Di malam hari ia muncul di bangsal tidur bila orang sudah pada bergolek di tikar masing-masing dan ia langsung bercerita atau membuka persoalan seperti dilakukan oleh para guru-pembicara di desa-desa. Bedanya, para gurupembicara di desa-desa bicara pada mereka yang mempunyai perhatian, musafir Demak ini bicara terus tak peduli ada yang dengar atau tidak. “Siapakah putra-putra Tuban di Demak?” Galeng memberanikan diri bertanya. “Lidahmu seperti lidah Tuban,” tegur Hayatullah. ‘Tidak.” “Dari Lao Sam barangkali?” “Dua-duanya tidak,” jawab juara gulat itu. “Memang tidak ada urusanku dengan asalmu. Putraputra Tuban yang terkemuka di Demak ialah Raden Kusnan, Punggawa-dalam. Yang lain Raden Said, anggota Majlis Kerajaan. Orang memanggilnya juga Ki Aji, Kalijaga, dan lebih suka dipanggil demikian. Dibuangnya Raden leluhur sendiri dari Majapahit dulu, digantinya dengan Ki Aji, gelar pemberian orang yang mencintainya.” “Mengapa dibuang gelar dari leluhumya?” “Gelar kafir itu tak mengandung sesuatu arti di dalamnya. Dalam Islam, hanya perbuatan orang yang dinilai oleh sesama dan oleh Allah. Perbuatan atau amal Ki Aji Kalijaga luar biasa agungnya. Dengarkan ceritanya, karena barangkali di Tuban sendiri tak pernah kau dengar.” Di Tuban sendiri memang tak pernah terdengar. “Beliau telah tinggalkan Tuban dan mengembara ke mana-mana untuk memasyhurkan Islam. Beliau keluarmasuk desa-desa. Beliau tidak bicara di balai-balai desa seperti para guru-pembkara yang tak tahu apaapa tentang wahyu Allah itu. Beliau lebih suka memilih tempt di bawahbawah pohon rindang, mengajak anak-anak bermain-main dan berceritalah beliau tentang kisah para nabi dan mukjijatnya. Lama-kelamaan ibu-ibu mereka ikut mendengarkan. Kemudian juga para bapak.” “Apa kisah para nabi itu? Apakah sama dengan kisah para dewa?” “Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, karena nabi memang bukan dewa. Nabi sungguh-sungguh pernah ada, pernah hidup di atas bumi dan di antara manusia, menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari Allah. Dewa-dewa tak pernah hidup di atas bumi dan selalu ngawur.” “Siapa bilang para dewa tidak ada?” “Kalau pernah ada, mana keturunannya? Hadapkan padaku seorang saja di antara.” Mereka yang tidak setuju dan jengkel mulai bersorak-sorak mengejek. Wiranggaleng diam memperhatikan sebagaimana biasa pada waktu ia di balai-desa mendengarkan seorang guru-pembicara. Waktu ejekan telah reda, terdengar lagi suara Hayatullah yang tak mengacuhkan gangguan. “Begitulah pada suatu kali Raden Said sampai ke sebuah desa. Mereka adalah orang-orang kafir penyembah Sang Kali” “Apa kafir itu?” “Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para nabi. Ingat-ingat, kafir namanya. Jadi setiap penyembah berhala, yang nampak atau tidak, termasuk Sang Kali, kafir namanya.” “Ngawur, kau, Hayatullah, tak ada orang menyembah Sang Kali Orang hanya menyembah Sang Maha Buddha” Galeng membantah karena tersinggung. “Kalau kau bilang Sang Maha Buddha tak pernah ada, lebih baik pecahkan saja kepalamu sendiri.” Tetapi Hayatullah tak peduli dan meneruskan. “Anakanak itu pada datang, ibu-ibunya, bapak-bapaknya. Kemudian juga tetua desa. Pertentangan pendapat terjadi, perdebatan, sehari, seminggu, dua bulan. Tak ada di antara tetua desa dapat mengalahkan beliau. Begitulah akhimya mereka dapat ditaubatkan.” “Apa artinya ditaubatkan?” “Diyakinkan akan kebenaran Islam, dan membawa mereka masuk Islam. Mereka meninggalkan Sang Kali. Mereka menyembah Allah dan mendengarkan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.” Ia diam sebentar. “Kau sudah tidur?” dan waktu ia masih mendengar jawaban, ia meneruskan, “sejak itu beliau dipanggil Ki Aji Kalijaga, Ki Aji, yang menjaga agar Sang Kali takkan kembali untuk seiama-lamanya. Dan sekarang Ki Aji duduk dalam majlis kerajaan Demak. Tidak sembarang orang bisa. Raja Majapahit pun takkan bakal mampu lakukan pekerjaan itu, karena pekerjaannya adalah menurunkan ajaran nabi di dalam keprajaan. Memang hanya empat kali dalam sebulan sidangnya, tetapi menentukan. Enam hari dalam seminggu Ki Aji Kalijaga meneruskan pekerjaannya yang dalam, memasyhurkan Islam dan Demak di desa-desa.” Wiranggaleng telah tertidur. Dalam pekerjaan sehari-hari ia mengetahui, pembikinan kapal-kapal perang dan niaga itu berjalan sangat cepat, tidak seperti di Glondong. Sebuah kapal terbesar, yang akan dipergunakan jadi kapal bendera akan dapat mengangkut lima ratus prajurit laut dengan empat belas cetbang besar pada haluan dan lambung. Badan kapal itu akan dilepa dengan tujuh lapis adonan kapur dengan minyak kelapa. Peluru Peranggi diperkirakan takkan dapat menembusinya. Orang tak banyak membicarakan kapal yang mereka sedang bikin sendiri. Di dalam bangsal tidur apalagi. Justru soal-soal lain yang orang percakapkan. Pada malam-malam selanjutnya Hayatullah tak muncul. Beberapa orang, menganggap itu suatu keberuntungan, karena si pengganggu tidur membiarkan mereka melepaskan lelah dengan damai. Sebaliknya beberapa orang yang sudah terbiasa mendengarkan para pembicara di desadesa menyatakan, tak ada buruknya orang mengetahui halhal baru yang terjadi di atas dunia manusia ini. Lama-kelamaan ketahuan juga Hayatullah tak seorang diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata mengikutinya. Di siang hari sekarang ia nampak tidak seorang diri bersembahyang. Ia telah mempunyai pengikut, dari dua jadi enam, dari enam jadi delapan. Terheran-heran orang waktu kemudian mengetahui, tak lain dari Sang Adipati Unus Jepara sendiri yang memerintahkan pembangunan rumah sembahyang di tempat Hayatullah biasa bersembahyang. Dan sejak itu mereka tak lagi bersembahyang di tempat terbuka, terlindung dari hujan dan angin dan panas. Pada suatu tengah malam Hayatullah muncul lagi. Tetapi ia bukan pembicara cerewet yang dulu. Ia sudah jadi orang lain. Tak seorang pun berani mengejek atau menyorakinya walaupun tidak setuju. Kata-katanya mulai didengarkan oleh semua orang dengan sungguh-sungguh – suka atau tidak suka. “Bukankah pembikinan rumah sembahyang itu, tempat orang menyembah Hyang baru itu, mengurangi kelajuan pembikinan kapal?” sekali waktu seseorang bertanya dalam kegelapan. “Mengapa tidak tidur saja di rumah sembahyang?” seorang lain lagi bertanya. “Bagaimana kau dapat mengatakan pembikinan rumah itu menyendatkan pembikinan kapal? Kapal dan Islam akan belayar bersama-sama, tidak tunggu-menunggu. Apakah arti kerajaan Islam kalau Islam tak berkembang di antara kawulanya? Tidak seperti Hindu dan Buddha, orang-orang desa harus bangunkan sendiri asrama, mandala dan perguruan sendiri. Sedang kapal-kapal itu gunanya untuk menumpas Peranggi yang jelas-jelas, memusuhi Islam. Peranggi tak boleh memasuki Nusantara, apalagi Jawa, karena cepat atau lambat semua penduduknya akan masuk Islam.” “Mana mungkin. Apakah semua kami harus masuk Islam?” “Tak ada yang memaksa kalian masuk Islam. Adakah aku memaksa kalian masuk Islam dan bertaubat? Adakah pembicara di desa-desa memaksa kalian mempercayai dan mengikutinya?Tetapi karena aturan Islam adalah yang terbaik, dia akan mengalahkan yang kurang baik dan yang tidak baik. Ada pun aku tidak tinggal di rumah sembahyang, walau sudah berdinding dan berpintu, tunggulah, lain waktu kalian akan tahu lebih baik.” Hayatullah meneruskan kata-katanya tentang agamanya. Wiranggaleng tak mendengarkan lagi walaupun belum tidur. Ia telah temukan yang dicarinya: Adipati Unus Jepara mempersiapkan armada untuk menyerang Malaka, untuk melindungi Islam, bukan untuk memanggil kejayaan dan kebesaran masa silam pada guagarba hari depan. Unus akan membangunkan kejayaan dan kebesaran tersendiri, bukan kebesaran dan kejayaan Majapahit. Ia tak dapat bayangkan kebesaran dan kejayaan macam apa itu, dan ia merasa tak ikut jadi bagian dari padanya. Pada keesokan harinya ia tinggalkan pekerjaannya dan pindah ke bengkel pandai. Cetbang-cetbang buatan pandai Bareng itu temyata lebih besar daripada buatan Tuban. Empat orang takkan kuat memikulnya, sedang bilikledaknya menggelembung sebesar buah kelapa. Ia tak dapat bayangkan seberapa besar peluru yang akan dilemparkan dari bilik ledak sebesar itu. Ia sendiri belum pernah melihat peluru cetbang. Dua bulan kemudian ia tinggalkan juga pekerjaan barunya. 0o-dw-o0 Seorang diri ia berjalan kaki memasuki Demak. Tetapi tak ada sesuatu yang penting didapatkannya. Ia saksikan penyempumaan pembangunan mesjid raya, pembangunan jaian-jalan raya yang melintasi desa-desa dan tanah-tanah perawan menuju ke Semarang. Ia pernah melihat Raden Kusnan dari kejauhan. Ia pernah melihat Ki Aji Kalijaga sedang memasuki mesjid. Orang yang tersohor itu berpakaian seperti bagawan, berkain baik tanpa wiru, berdestar batik dan berkerobong kain batik untuk penutup badan-atasnya. Kakinya tak beralas sedang destar nampak begitu longgar di kepalanya dengan ikatan bergaya khusus. Ujung-ujung destar itu jatuh lunglai panjang-panjang pada bahunya. Dan di bawah destar tak nampak ada rambut. Berbeda dengan di Jepara, di Demak di mana-mana orang bicara tentang armada yang sedang dipersiapkan dan tentang sekutu Demak yang akan bergabung dalam armada kesatuan, semua kerajaan Islam termasuk Tuban. Keterangan itu baginya telah berisi segala-galanya, walaupun ia belum mengerti betul duduk-perkaranya. Kalau Demak satu-satunya kerajaan Islam di Jawa, mengapa Tuban dan Banten juga dianggap sebagai kerajaan Islam? Ia anggap itu bukan masalahnya. Yang jelas: Demak punya sekutu, armada gabungan akan dibentuk, semua akan menyerang Malaka. Setelah lebih enam bulan meninggalkan Tuban ia merasa telah cukup menjalankan tugasnya untuk mengetahui segala sesuatu tentang persiapan Adipati Unus Jepara. Ia bermaksud pulang. Di tinggalkannya Demak dan berangkat kembali ke Jepara. Sesampainya di bandar Jepara ia melihat serombongan orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian aneh. Yang seorang berambut pirang, yang lain berambut hitam. Kedua-duanya lari dengan gesit menyelamatkan diri dari mata pedang dan mata tombak. Orang bersorak-sorak mengejamya. Mereka berdua melompat ke dalam perahu besar, mendayung cepat ke tengah laut. Sebentar kemudian layamya berkembang dan dengan lajunya meluncur ke arah timur laksana burung camar. Para pemburu pun berlompatan ke dalam perahu dan mengejar. Yang dikejar makin lama makin jauh tiada tercapai, lebih unggul dari perahu-perahu para pengejar. Maka pengejaran tak diteruskan. Di bandar orang-orang pada duduk menyembah seseorang yang berdiri bertolak-pinggang dikawal oleh beberapa belas orang prajurit berpedang. Orang itu kemudian menuding-nuding ke arah larinya dua orang kulit putih tersebut dan meraung dalam bahasa Jawa langgam setempat: “Bodoh! Bagaimana bisa mereka dibiarkan berkeliaran disini? Jawab, kau, Syahbandar.” “Ampun, Gusti, adapun pelabuhan Jepara ini tiada aturan menolak orang dari mana pun juga datangnya.” “Apa katamu?” “Selama orang tidak mengajukan permohonan untuk menetap atau untuk tinggal sementara di sini, Syahbandar saja yang berwenang mengijinkan atau menolak,” Syahbandar Jepara menerangkan. “Atau orang tidak melewati daerah bandar. Boleh saja.” “Benar, mengapa kau biarkan mereka? Mengapa kau ijinkan mereka?” “Mengapa, Gusti? Karena Jepara bandar bebas.” “Apa kau kira ini bandar nenek-moyangmu sendiri? Ini pelabuhan Demak, bukan pelabuhan siapa saja.” “Ini pelabuhan bebas, Gusti,” Syahbandar membangkang. “Ketentuan itu belum pernah dirobah oleh Gusti Kanjeng Sultan ataupun oleh Gusti Kanjeng Adipati.” Orang yang berdiri bertolak pinggang itu terdiam sejenak. Tiba-tiba ia meledak lagi: “Baik. Kau berwenang terhadap pelabuhan ini. Tetapi mengapa mereka kau biarkan bergelandangan memasuki galangan-galangan dan bengkel?” “Belum pernah ada larangan.” “Tidakkah kau bisa berpikir. Itu tak boieh untuk mereka, pendatang-pendatang? berkulit putih itu?” “Jepara pelabuhan bebas, Gusti.” “Kau memang sudah tua. Tidakkah kau ada kecurigaan terhadap Peranggi? Mata-mata dari Malaka, atau diturunkan dari kapal Peranggi?” “Memang mereka Peranggi, Gusti, dan Jepara masih tetap pelabuhan bebas.” “Kami akan persembahkan pada Gusti Jepara. Apa kebangsaanmu, Syahbandar?” “Koja, Gusti. Islam agama sahaya.” Wiranggaleng duduk di bawah sebatang pohon kenari dan mengawasi kejadian itu dengan diam-diam. Peranggi temyata sudah memasuki Jepara, pikimya, Jepara belum lagi menjenguk Malaka. Sungguh berani orang-orang kulit putih itu hanya berdua memasuki negeri orang yang memusuhinya. “Selamat untukmu, Syahbandar bukan Pribumi. Apa saja mereka perbuat di sini?” Syahbandar tak dapat menjawab. Orang lain yang menjawabkan: “Hanya melihat-lihat sambil tertawa-tawa, Gusti.” “Mentertawakan siapa?” “Ampun, Gusti,” orang itu meneruskan, “tak ada yang mengerti bahasanya.” Wiranggaleng menangguhkan kepulangannya. Kedatangan dua orang kulit putih itu tentu saja sesuatu kejadian besar. Ia harus mengetahui kelanjutannya. Kelanjutannya adalah: Syahbandar Jepara diturunkan dari jabatannya. Anak-lelakinya yang menggantikan. Mendengar itu juara gulat itu tertawa pada dirinya sendiri. Sama saja, dari Koja yang satu pada Koja yang lain. Mau tak mau ia teringat pada Moro Sayid Habibullah Almasawa. Satu demi satu perbuatannya yang ia pernah ketahui berbaris di hadapan mata ingatannya. Apakah Syahbandar Jepara berbeda dari Syahbandar Tuban? Apakah mereka lebih baik dari Rangga Iskak, peranakan Benggala itu? Di Tuban orang tidak suka pada Rangga Iskak ataupun Sayid Habibullah Alamasawa. Syahbandar Jepara, lama atau baru, barangkali sama saja. Ia pun mengherani mengapa Adipati Tuban dan Jepara masih juga menggunakan orang asing. Sebelum berangkat ke Tuban ia memerlukan minta diri pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Ia pun datang ke galangan dan bengkel. Hayatullah tak dijumpainya. Ia temukan orang itu pada senja hari di rumah sembahyang. Beberapa orang murid memenuhi ruangan dalam. Orang itu nampak sedang mengajar dengan sebuah kitab terbuka di hadapannya. Beberapa orang murid mengikuti segala kata yang diucapkannya, kata-kata aneh yang ia tak tahu artinya. Lama ia duduk di luar mendengarkan. Ia mencoba-coba menirukan, tetapi tak bisa. Ia dengarkan Hayatullah membacakan tafsimya dalam bahasa Melayu, kemudian terjemahannya dalam bahasa Melayu, kemudian terjemahannya dalam bahasa Jawa: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Katakan: Berlindung aku pada…,” kata-kata selanjumya Wiranggaleng tak mengerti, “dari bahasa makhluk yang diciptakan-Nya. Dan dari bahaya kegelapan malam bila telah datang. Dan dari bahaya…. Dan dari bahaya orang dengki, bila ia marasa dengki….” Kalimat-kalimat itu tak punya kesamaan dengan acuan sastra Jawa. Ia tak dapat mengikuti. Ia tetap tak mengerti. Dan Hayatullah alias Anggoro masih juga terus mengajar. Ia tak jadi minta diri. Ditinggalkannya tempat duduknya, berjalan pelan menuju ke laut…. 0o-dw-o0 9. Esteban dan Rodriguez Dua orang sepupu itu sudah bersepakat untuk melarikan diri. Mereka sudah bosan pada dinasnya. Mereka bermaksud hendak mewujudkan impian lama: mengembarai Nusantara sebagai orang bebas, melihat negeri-negeri kafir dan penduduknya yang masih perbegu. Dua orang itu adalah pemuda-pemuda Portugis keturunan Spanyol, Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Dua-duanya kanonir, penembak meriam pada kapal Peranggi. Berita kemenangan-kemenangan Portugis di seluruh permukaan bumi, penemuan negeri-negeri baru jauh-jauh di seberang lautan yang tak terduga, kekayaan yang datang berlimpahan, telah memanggil pemuda-pemuda Portugis, meninggalkan desanya masing-masing untuk menggabungkan diri dengan armada-armada yang akan berangkat belayar meneruskan Perang Salib di seberang lautan. Juga Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Mereka tak mampu menolak godaan kebesaran dan kemenangan dan harta-henda dan kemasyhuran ini. Mereka tinggalkan juga ladang mereka diperiuaran kota Lisboa dan mendaftarkan diri. Dan mereka tak perlu kembali ke ladang seperti yang lain-lain. Mereka diterima setelah menyodorkan uang sogokan. Mulailah keduanya bekerja sebagai awak kapal kemudian meningkat jadi kanonir, menga rungi samudra, menaklukkan negeri-negeri, meneggelamkan kapal saudagar-saudagar asing beserta isinya ke dasar laut. Tak ada di antara kapal-kapal dari berbagai negeri itu mampu melawan. Dengan meriam segala yang nampak di laut dan di pesisir bisa dihembusnya dari permukaan bumi. Mereka pun ikut serta dalam perang laut di Teluk Parsi melawan armada gabungan negeri-negeri Islam yang dipimpin oleh laksamana Mesir itu, dan menang dengan mudah. Sejak itu tak ada perlawanan lagi terhadap Portugis. Portugis penguasa dunia! Dan mereka berdua bangga menjadi putra bangsa yang besar, ditakuti seluruh dunia itu. Ia senang melihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian bila melihat salib raksasa yang tergambar pada layar. Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka sendiri yang menenggelamkan. Mereka dapat rasai setiap peluru yang lepas, kena atau tidak. Setiap peluru yang menemui sasaran memberikan ketukan pada hati mereka, seakan memberitahukan: pelurumu kena. Tetapi kebesaran dan kebanggaan, kepahlawanan dan pengembaraan semacam itu, kehidupan tanpa perubahan, lama kelamaan membosankan mereka juga. Kejemuan setiap hari di tengah laut merindukan mereka pada sesuatu yang Iain. Selingan yang menyenangkan hanya sebentar saja terjadi: sementara kapal mendarat. Mereka dapat melihat-lihat negeri yang ditaklukkan, menampilkan diri sebagai pemenang tanpa lawan, mendapatkan segala yang mereka kehendaki. Selebihnya hanya laut dan laut saja di keliling mereka, dan kapal-kapal musuh yang melarikan diri, dan langit, dan bintang-bintang di malam hari, dan badai di hari-hari sial. Mereka tak dapatkan apa yang mereka rindukan belakangan ini: kebebasan dan kesenangan yang tak terbatas. Akhir-akhir hidup yang sesungguhnya adalah di daratan, mereka memutuskan. Di laut tak ada yang mereka dapat kutip kecuali bila diadakan pencegatan dan perampasan kapal. Tapi di darat! Segala-galanya ada di sana. Dada selalu dapat menggelembung dengan kebanggaan sebagai putra Portugis yang jaya, bangsa pemenang, kawula raja pemenang, awak kapal pemenang, di atas daratan taklukkan! Pribumi pada menyingkir bila pemenang lewat. Orang mengangguk mengiakan dan menyilakan bila pemenang menudingkan telunjuk pada sesuatu dan setiap barang. Dan setiap kali menginjak bumi kafir, bergemalakan nama Jesus dalam hati: daratan ini akan segera diterangi oleh ajaran Isa Almasih. Kebanggaan seperti itu akhirnya tak memuaskan juga. Dada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka menghendaki lebih dari itu: kebebasan, kesenangan tanpa batas. Di darat pun kebebasan seperti itu tak pernah mereka kenyam sebagai awak kapal. Mereka ingin menyaksikan seluruh Nusantara, yang begitu disanjung dalam cerita, kadang juga dalam nyanyian. Mereka tak puas hanya melihat dan menjamah pantai-pantainya yang digermangi nyiur. Mereka ingin juga mendengarkan musiknya, yang kata orang tegap dan menjamah dan meluncuri laut dan gendang dan gongnya yang berbunyi tandas sampai mengaduk dasar hati. Tertarik oleh cerita yang menyebar ke mana-mana sejak orang tua-tua dulu, yang mungkin mendengamya dari orang-orang Moro atau Sephari, mereka berdua membuat persepakatan untuk mengelanai Nusantara. Untuk itu jalannya hanya satu: melarikan diri dan punya perahu sendiri. Imam kapal, Mario Fasetti, orang Italia itu, tak bosanbosan mengulangi pesan dalam khotbah-khotbahnya, ‘Jangan masuki daerah kafir tanpa perintah, karena kalian akan membawakan kabar duka, bukan suka. Tak ada terang Allah di setiap jengkal tanah kafir.’ Pesan itu malah diulangi beberapa kali dalam sekali khotbah, setelah ketahuan ada awak kapal yang melarikan diri, dan tak kembali pada kesatuan, atau kembali sebagai tangkapan. Tetapi awak kapal yang lari itu dan tak tertangkap lagi, mereka tak bakal muncul, bertahun-tahun, dan kembali ke tanahair, berpindah ke kota lain, membawa harta-benda dan cerita-cerita indah, benar dan bohong juga nyanyian baru, yang menyebabkan mereka jadi tersohor. Memang benar sebagian terbesar pelarian itu hilang untuk selama-lamanya dan dilupakan orang. Itu semua orang tahu. Dan itu pun sudah jadi bea kebebasan. Maka Esteban del Mar dan Rogriguez Dez tak ambil peduli. Semua memang ada risikonya. Mereka ingin juga jadi kaya dan tersohor sekaligus. Setelah Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque menguasai Malaka dan tinggal beberapa bulan di sana untuk melakukan penataan kembali kehidupan baru di bawah sang salib, mereka berdua giat mempelajari bahasa Melayu dari penduduk Tanpa bahasa itu mereka takkan mungkin dapat berdiri sendiri. Pada seorang Pribumi mereka memesan agar dibuatkan sebuah perahu layar yang ramping menurut petunjuk mereka sendiri. Setelah jadi, perahu layar kecil itu mereka sembunyikan di sebuah ceruk beberapa belas kilometer di selatan bandar, di bawah penjagaan si pembikinnya. Sedikit demi sedikit ditimbunnya barang keperluannya di dalam perahu itu: terigu, keju, mentega, arak – semua diperolehnya dari gudang perbekalan di bandar Malaka. Menjelang Desember 1512, waktu Portugis menyiapkan armada untuk menuju ke Maluku, mereka berdua melarikan diri. Mereka berhasil menggondol musket dengan mesiu, teropong, peta dan alat tuhs-menulis. Tak sulit mereka mendapatkannya. Dan itu pun secara kebetulan pula. Waktu itu beberapa orang serdadu yang sedang berdinas jaga sedang berpesta-pora menghabiskan arak curian. Mereka berdua menyertainya berdasarkan undangan gelap dengan hanya lambaian tangan. Dan mereka pergunakan kesempatan ini. Melihat yang lain-lain sudah pada menggeloyor tanpa daya dalam kemabokan, Esteban dan Rodriguez masuk ke dalam kantor dan menggodol apa saja yang dapat diambil. Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya, mengembangkan layar dan berangkat. Belum pernah mereka merasa begitu riang seperti kali ini. Matari pagi mulai menyinari pesisir pulau Sumatra yang kelam oleh hijau tua rimba belantara. Perahu-perahu nelayan dan kapal-kapal dagang belayar damai. Dari pengetahuan sejak di negeri sendiri mereka sudah tahu: di dunia ini tak ada bangsa kafir yang memiliki senjata ampuh kecuali Portugis, musket dan meriam dengan gaya ledak tinggi. Musket ada pada mereka. Dan mereka tak perlu merasa kuatir terhadap bajak laut. Pedang dan tombak para pembajak pasti akan temyata melengkung berhadapan dengan musket. Mereka berhati besar. Tak akan ada yang menghalangi pelayaran mereka. Mereka tahu juga: kapal dagang Pribumi tak pernah berubah jadi kapal bajak. Dan kapal-kapal perang Pribumi, yang segera nampak dari kejauhan karena lubang-lubang pendayung pada sepanjang lambung kapal, juga tidak berbahaya selama tidak diganggu terlebih dahulu. Mereka berbahaya karena cetbangnya, tapi tak pernah menembak tanpa alasan. Pendeknya tak bakal ada sesuatu yang menghalangi pelayaran mereka. Mereka bergantian tidur, mengemudi dan masak. Mereka menyinggahi bandar-bandar kecil, sepanjang pantai Sumatra untuk mendapatkan kelapa dan daging dan air minum dan sayur-mayur dan buah-buahan. Di mana pun tak ada yang mengganggu. Walau sekecil-kecilnya bandar kebebasan berniaga terjamin. Setiap orang boleh mendarat dan berjual beli dengan bebas. Dan bandarbandar itu selalu bersaing satu dengan yang lain untuk menjadi persinggahan rempah-rempah. Di setiap bandar segera dua orang petualang itu menjadi kerumunan orang banyak. Kulit mereka, wajah mereka dan bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. Dan mereka senang menjadi tontonan. Dan setiap bandar yang disinggahinya selalu tidak sama dengan yang di Spanyol atau Portugis atau Italia. Tak pernah mereka mengalami penganiayaan. Sebaliknya kekasaran justru akan datang dari sebangsanya sendiri. Teman-teman mereka pada suatu kali bisa berubah jadi pemburu-pemburu yang akan menangkapnya untuk mendapatkan uang tebusan. Atau bisa juga datang dari pihak orang-orang Spanyol yang mungkin akan menjualnya pada bajak-bajak laut Maroko atau Tunisia. Mereka telah menyinggahi bandar Ban ten, Sunda Kelapa, Cimanuk Tegal, Pekalongan, Semarang dan akhimya berlabuh di bandar Jepara. Bandar ini tidak begitu besar, buruk, tapi lain daripada yang lain, pikir mereka. Di sini bukan saja ada keistimewaan dan kekhususan, malah keluarbiasaan. Galangan-galangan besar berdiri megah membikin kapalkapal, sama besarnya dengan kapal negerinya sendiri, Portugis. Bahkan sebuah di antaranya lebih besar. Kapal perang! Jelas nampak dari lubang-lubang lambung tempat mengayuh. Layar-layar kuning dari sutra terbeber di tanah dan sedang dijahit. Agak lama mereka awasi kapal terbesar yang sedang dilepa dengan adonan dengan minyak kelapa itu. Ingin mereka naik ke atas dan melihat-iihat susunannya. Isyarat dari banyak tangan menyebabkan mereka menyingkir menghindar. Dan yang mereka herani, hampir-hampir tak ada perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru lagi. Juga di bandar Jepara tak ada yang mengganggu mereka. Bunyi logam yang di tempat menyebabkan mereka tergoda untuk menyaksikan bagaimana Pribumi membikin perabot. Mereka memasuki bengkel pembuatan cetbang. Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedang mereka buat. Pandai-pandai Biambangan temyata tak mengerti Melayu. Mereka membisu, bahkan melambaikan tangan menyuruh pergi Esteban dan Rodriguez pergi, tetapi datang lagi untuk mengherani benda yang sedang dibuat itu. Rodriguez menebak, itulah meriam Pribumi. Dan Esteban tertawa terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang dan kamar-ledaknya yang segede buah kelapa. “Meriam boneka yang baik hanya untuk melontarkan gombal!” seru Rodriguez. Tertawa mereka tak dapat ditahan. Dan itulah yang menyebabkan beberapa orang Pribumi merasa tersinggung. Tetapi karena bandar Jepara juga bandar bebas, di mana setiap orang dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak ada orang dapat dipeisalahkan hanya karena tertawa. Tetapi orang-orang Pribumi, yang temyata pejabatpqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan Adipati Unus Jepara sedang menghadap ayahandanya. Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di Jepara. Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh Wiranggaleng. Esteban dan Rodriguez Deez melarikan diri dalam kejaran para prajurit. Hanya karena tingginya kewaspadaan menyebabkan mereka bisa selamat mencapai perahunya dan meneruskan pelayaran ke tunur. Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah seorang tidur bersama-sama mereka mengucapkan puji syukur atas keselamatannya. Mereka bersembahyang dan berdoa dan berdoa. Dengan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas kemudian mereka tenggelamkan. Dan awak kapal itu kemudian mereka jual di Mesir. Dan pada suatu pagi bermendung masuklah perahu layar langsung itu ke bandar Lao Sam. Pelabuhan itu kecil dan mungil dilindungi oleh bukit-bukit terselaputi mendung, namun kelihatan ramah dan membentangi bandar dari badai. Dan betapa terkejut mereka mengetahui penduduk bandar itu bukan Pribumi. Semua orang Tionghoa, bermata sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan mondar-mandir tiada bekerja. Aturan di bandar ini lain, keras, dan memang bukan bandar bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum orangnya mendarat. Pengalaman baru ini tak menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri sepanjang Sumatra dan Jawa tak pernah orang memperlakukan demikian. Begitu perahu mereka terpancang pada patok dermaga atau cerocok takkan ada orang datang menjenguk untuk mengintip muatan. Orang membiarkan mereka mendarat, pedagang-pedagang berebutan untuk menjual atau membeli barang. Orang pun takkan menghalanginya bila mereka langsung pergi ke pasar pelabuhan. Di Lao Sam lain yang terjadi. Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih, dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan. Esteban tak mengerti bahasa mereka. Rodriguez juga tidak. Pada mulanya mereka berdua disuruh mendarat. Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga memanggil teman-temannya. Dalam waktu pendek dermaga itu telah penuh dengan orang. Semua memperlihatkan sikap yang mengancam. Untuk menyelamatkan perahu dan muatan agar tidak ditenggelamkan mereka naik ke dermaga, mengikuti tiga orang itu. Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar berlantai batu gunung dan diperintahkan menunggu. Tiga orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang tangkapan. Esteban dan Rodriguez mendapat tempat duduk pada sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri. Dua jam kemudian mereka diperintahkan masuk lebih ke dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak kurang dari tujuh orang telah duduk atau berdiri menunggu mereka dengan sikap seram, lebih seram lagi karena mata mereka berubah, seperti terbuat daripada kayu. Mereka berpakaian wama-warni, dan semua membawa kipas pada tangannya, sekalipun tidak dipergunakan. Mereka mengenakan pakaian seperti jubah, semua dari sutra, dengan lengan tangan lebar. Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggot panjang tipis tergantung, menanyainya dalam Melayu. Esteban tak dapat menangkap bahasanya. Rodriguez juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada perasaan mereka. Rodriguez Dez menatap Esteban dengan pandang bertanya. Esteban menggeleng. Bersama-sama mereka memandangi orang gemuk di hadapan itu, dan orang itu mengangkat alis. Esteban tidak dapat menahan tawanya mendengar orang gemuk itu bicara lagi. Dan orang gemuk itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Para pengapitnya mulai bicara. Dua orang Portugis itu semakin tidak mengerti. Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya. Suara mereka ramai, tetapi badan mereka seakan-akan terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk digerakkan. Esteban merasa seperti sedang menonton suatu pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan. Rodriguez juga merasa diundang untuk tertawa. Percakapan terpaksa dihentikan. Dari dalam rumah muncul seorang Tionghoa lain, wajahnya tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak mengenakan jubah tetapi bercelana dan berbaju longgar, tanpa topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan nampak terawat baik. Ia berjalan langsung mendapatkan yang gemuk dan memberi hormat. Suatu pembicaraan telah terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemuk mengangguk-angguk Orang baru yang langsing itu berpaling pada Esteban dan Rodriguez, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah yang sama sekali mereka tak duga: “Kalian orang Portugis memang pongah!” tuduhnya dalam bahasa Portugis. Esteban dan Rodriguez tak dapat menyembunyikan kejutnya. “Kau bisa Portugis?” Rodriguez Dez bertanya. “Demi keselamatan kalian sendiri, lepaskan kepongahan itu,” katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan. “jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada Portugis di sini.” Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala mereka. Esteban mencoba memperlihatkan keunggulan bangsanya dengan tawa kecil meremehkan. “Baik. Terserah pada kalian bagaimana hendak bersikap. Aku hanya memperingatkan. Itu pun kalau orang Portugis mengerti artinya nasihat.” “Kau penterjemah?” Esteban bertanya. “Pemeriksa kalian.” “Pemeriksa!” Rodriguez tertawa mengejek. “Apa yang hendak kau periksa? Kami bukan tangkapan kalian.” “Aku yang memeriksai kalian, bukannya kau yang memeriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa Portugis yang benar.” “Kaulah yang pongah, bukan kami,” bantah Esteban “Kami orang bebas!” gumam Rodriguez. ‘Tak ada alasan memeriksa kami Kami menolak. Tak ada orang Portugis diperiksa di bandar asing.” “Diam!” bentak pemeriksa itu. “Aku dengar kalian tidak mengerti Melayu.” “Siapa bilang kami tak mengerti Melayu? Orang itu,” Rodriguez menuding pada si gemuk, “yang tak keruan Melayunya.” Seseorang memukul tangannya yang menuding dengan kasar. Rodriguez merah-padam karena merasa terhina. Tak pernah ada orang dari bangsa lain berani berbuat seperti itu terhadap orang Portugis. la berjalan menghampiri meja si gendut hendak memprotes. Pemeriksa itu menangkap tangannya dan menyeretnya ke lempatnya kembali. Rodriguez meronta. Tetapi sikutnya terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin meronta makin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan. Ia meringis tanpa bisa mengerti. “Orang Portugis juga perlu belajar sopan di negeri orang,” kata pemeriksa itu, dan menyorong Rodriguez. “Ingat-ingat, namaku Liem Mo Han.” Esteban mengawasi Liem Mo Han dengan pandang mempelajari cara orang itu dapat mengempit sahabatnya sehingga tak berdaya. Ia tak mencoba membelanya. “Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian bersikap begini terus, aku, Liem Mo Han, akan lakukan segala sesuatu yang telah kalian lakukan terhadap diriku selama tiga tahun.” Esteban diam-diam mendengarkan dan memperhatikan tingkah laku dan bahasa Portugis Liem Mo Han yang cukup baik. Rodriguez sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis kesakitan, kemudian bertanya mencoba ramah: “Bagaimana kau bisa berbahasa Portugis sebaik itu?” “Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Siapa yang Rodriguez?” Kepala Rodriguez yang berambut pirang itu mengangguk. “Baik. Pekerjaanmu? Tentu bukan saudagar bukan nakhoda.” Dua orang Portugis itu berpandang-pandangan. “Baiklah kalian tak perlu mengaku. Di perahu kalian telah didapatkan musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal Portugis. Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan dalam kapal Portugis. Hati-hatilah, kalian, jangan sampai membuat onar di sini. Kepala kami yang terhormat, Tuan Gong Eng Cu, masih berhati luas, masih dapat menenggang kelakuan kalian. Maka dengarkan: musket kalian dan mesiunya kami tahan untuk disimpan.” Liem Mo Han bicara seperti tiada kan habis-habisnya, tidak memberikan kesempatan pada Esteban ataupun Rodriguez untuk menyela. “Jadi kalian berdua tidak mempunyai sesuatu pekerjaan,” kemudian ia memutuskan. “Hanya punya musket, dan dengan senjata itu membajak perahu-perahu kecil di tengah laut.” “Tidak benar!” bantah Esteban. “Tidak ada bukti kami berdua pernah membajak,” banlnh Rodriguez. “Memang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh jadi yang tak kalian butuhkan telah kalian buang ke laut, yang kalian butuhkan telah kalian telan.” “Bukan kebiasaan dan bukan watak Portugis untuk membajak,” susul Esteban dengan nada tersinggung. “Memang dengan satu-dua orang Portugis tidak pernah membajak. Tetapi dengan satu kapal, apalagi satu armada, setiap Portugis adalah bajak.” “Itu soal tafsiran!” bantah Esteban. “Kami tidak membajak, kami berperang.” “Itu soal tafsiran!” tuduh Liem Mo Han. “Setiap kapal dan armada Portugis tidak berperang, tapi membajak. Dan setiap orang Portugis yang jatuh ke tangan kami adalah juga bajak. Bukankah di negeri kalian juga ada hukuman terhadap bajak?” “Berperang dan membajak tidak sama,” bantah Rodriguez. “Ya, tidak sama,” Esteban membenarkan, “berperang punya tujuan lebih jauh, lebih mulia, membajak untuk dirinya sendiri.” ‘Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian bajak belaka. Kalian harus lakukan hukuman sebagai bajak. Lao Sam berada dalam wilayah kekuasaan Tuban. Hukuman atas bajak menurut ketentuan Tuban adalah kerjapaksa, entah sampai berapa tahun sesuai dengan ketentuan, untuk kemudian menjalani hukuman mati. Kami bisa serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban.” Dua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka terdiam. Gong Eng Cu bicara dalam Tionghoa pada Liem Mo Han. Yang belakangan mengangguk-angguk dan nampaknya hanya mengiakan. “Kepala kami,” Liem Mo Han meneruskan, “mengatakan, kelihatannya kalian masih muda dan segar. Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian. Kami bisa juga jual kalian pada Malaka. pada bangsa kalian sendiri. Dan karena kalian kelihatan kuat dan segar, bisa juga kami jual pada orang-orang Arab. Atau bisa kami pakai sendiri untuk membajak sawah.” Liem Mo Han diam. Gong Eng Cu dan pengapit juga diam. Semua mengawasi dua orang Portugis yang nampaknya kehilangan diri itu. “Kalau kami jual kalian pada Malaka, kalian akan segera naik ke tiang gantungan, dan kami mendapat uang tebusan. Kalau kami serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban, kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang gantungan. Tapi kami tak mendapat sesuatu keuntungan. Kalau kami jual kalian pada orang-orang Arab, kami akan mendapatkan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus bekerjapaksa sampai mati tua.” Ia diam lagi untuk dapat melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu. “Nah, pilihlah salah satu di antaranya.” Esteban del Mar dan Rodriguez Dez sejenak berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya. “Tidak ada jalan untuk melarikan diri,” Liem Mo Han memperingatkan. “Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka?” “Kami bukan bajak laut,” Rodriguez membela diri. “Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak.” Esteban berpikir keras. “Kau, Esteban, yang lebih tua, bicara, kau!” melihat orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan, “barangkali Liem Mo Han ini kau anggap kurang berharga. Baik, silakan bicara sendiri pada kepalaku, Tuan Gong Eng Cu. Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak lebih hanya bajak laut.” Esteban melangkah maju mendekati Gong Eng Cu, membungkuk memberi hormat dan membela diri: “Tuan Gong Eng Cu, benar kami bukan bajak laut. Kami memang pelarian dari kapal Portugis di Malaka. Dalam perjalanan sampai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan kejahatan di laut. Kami hanya ingin pesiar melihat negerinegeri Nusantara.” Setelah Liem Mo Han terjemahkan, Gong Eng Cu berkata melalui terjemahan: “Kalian tidak sekedar hanya melihat negeri-negeri. Ada didapatkan senjata, mesiu, peta, kompas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.” “Tak pernah ada larangan membawa barang-barang itu, bahkan semua kapal Portugis dilengkapi dengan semua itu.” “Kalian jangan permain-mainkan kami. Pelarian biasa tidak akan membawa semua itu, kalau tidak karena tidak sempat tentu sulit untuk bisa mendapatkannya. Kalian mempunyai cukup persediaan bahan makanan. Nampaknya kalian ini mata-mata Portugis.” “Mata-mata?” Esteban berseru kaget. Rodriguez terbeliak. “Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-mata Sang Adipati Jepara? Nah, kau, Rodriguez, mengapa tak ikuti jejak temanmu menghadap Tuan Gong Eng Cu dengan baik-baik?” Rodriguez maju dan memberi hormat. Ia berdiri di samping temannya. Berkata: “Sesungguhnya kami memang melarikan diri dari Malaka.” “Aku percaya,” jawab Gong Eng Cu. “Kalau kalian mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak juga menyampaikan kami apa rencana Portugis setelah merebut Malaka? Apakah kalian yang sudah bodoh, ataukah memang mau membodohi?” “Tuan Gong Eng Cu, Portugis sedang menunggu datangnya tambahan kekuatan di Malaka. Mereka akan terus berlayar ke Maluku.” “Ke Maluku? Begitu cepat?” Gong Eng Cu terpekik dengan mata membeliak menatap Liem Mo Han. Kemudian ia bicara dengan penterjemah itu dan Liem Mo Han tidak memportugiskan. Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya. Liem Mo Han menghampiri mereka, menusuk mereka dengan pandangnya, menetak: “Pembohong!” “Semua awak kapal tahu,” sekarang Esteban mengambilalih. ‘Tadinya dimaksudkan akan memberangkatkan empat buah kapal. Tambahan kekuatan yang ditunggu belum juga datang Kalau dalam bulan Desember… Tuan Liem Mo Han mengerti artinya Desember?” Liem Mo Han mengangguk. “Kalau dalam bulan Desember tambahan kekuatan itu tak juga datang, Portugis akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang yang ada saja.” “Pembohong!” bentak Liem Mo Han. “Kami tentu akan jadi pembohong kalau Malaka membatallcan niatnya,” sambung Esteban. “Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang akan ditempuh?” “Menyusuri Sumatra dan Jawa.” “Mengapa?” “Karena hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke Maluku. Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan Maluku. Tak ada yang berani memasuki, bangsa apa pun, juga bangsa Tionghoa tidak.” Gong Eng Cu mengangguk-angguk mendengarkan terjemahan Liem Mo Han. “Jadi Portugis tahu dia akan berhadapan dengan kapalkapal Jawa di Maluku?” “Portugis berangkat untuk berperang,” kembali Esteban mendapatkan kebanggaan nasionalnya. “Dan kami tak pernah kalah.” “Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanmu?” “Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami dikalahkan baik di laut maupun di darat.” “Dengarkan kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dapur kapal kalian. Kalian telah bawa aku ke negeri kalian, mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang menariki kuncirku. Rasa-rasanya mau copot kulit kepalaku. Tiga tahun kalian telah siksa aku. Kalian jual aku pada orang Italia. Mereka menjual aku pada orang Moro. Kapal Moro membawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun! Kalian jangan berlagak pemenang di sini.” “Kami tak pernah tahu tentang itu.” “Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari mereka selebihnya. Kalian memang selamat di bandarbandar Sumatra dan Jawa. Di Lao Sam ini tidak. Kalian tahanan kami.” Mereka berdua tak berani membantah. “Mengapa diam saja?” Gong Eng Cu mendesak. “Kami bermaksud hanya hendak melihat-lihat negeri.” “Kalian mata-mata!” tuduh Gong Eng Cu. “Portugis sudah melakukan kejahatan di mana-mana, dan bersumbar hendak membawa bangsabangsa selebihnya pada peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja. Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai. Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa kalian jadi tebusan. Dan kalau temyata Peranggi datang ke Jawa membikin keonaran seperti di Malaka….” Gong Eng Cu yang gendut itu tak meneruskan katakatanya. Ia mengangguk sambil memejamkan mata. “Biar pun begitu kami punya peraturan, tidak hanya Portugis, dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami lihat kalian punya perahu sendiri. Dari siapa kalian merampasnya?” “Kami pesan dari Pribumi Malaka.” sambar Rodriguez. “Membeli, memesan ataupun merampas sama saja. Kalau Portugis suka merampas atau memesan?” “Juga kami tidak mencurinya,” tambah Roodriguez. “Memang Portugis tidak pernah mencuri, hanya merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara. Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya. Dengarkan, kepala kami, Tuan Gong Eng Cu, ingin melihat apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan membutuhkan waktu untuk dapat kalian yakinkan. Nah, apa keahlian kalian?” Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya. “Membuat arak,” Rodriguez menjawab. “Kalau ada buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.” “Kalau kau pandai membuat arak terbaik, kau takkan gentayangan kemari,” Liem Mo Han melecehkan. “Tidak bohong. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan putih dan kuning, mungkin lebih baik dari bikinan negerinegeri lain,” Esteban memperkuat. ”Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kami,” jawab Liem Mo Han. “Boleh jadi,” sambung Esteban. “Kami juga bisa menukang.” Liem Mo Han tersenyum. Pengapit-pengapit Gong Eng Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem. “Menukang adalah keahlian bagus,” kata Liem Mo Han, “dan aku kira takkan ada tukang lebih baik daripada bangsaku. Coba, perlihatkan tangan kalian padaku?” dan penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan telapak tangan dua orang Portugis itu kemudian menggeleng-geleng melecehkan.” “Memang kami tak pernah menukang dalam beberapa tahun belakangan ini,” Esteban membela diri. “Pernahkah kalian menukang membikin kapal?” “Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju seperti hiu,” Rodriguez menerangkan dengan bersemangat “Betul, orang-orang bilang memang perahu luarbiasa. Pernah kalian membikin kapal?” Sekali lagi Esteban dan Rodriguez berpandang-pandang berunding dengan mata. “Pernah,” Esteban mengangguk mengiakan.. “Tentu saja. Membuat kapal? Uh, sudah selusin!” “Kapal apa? Kapal samudra? Kapal Portugis?” “Tentu kapal samudra, kapal Portugis.” Rodriguez meyakinkan Liem Mo Han. “Aku tak percaya kalian bisa membikin kapal,” Liem Mo Han mencoba mematahkan semangat mereka. “Kalian terlalu muda untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun, terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu tingkahnya. Juga tidak akan bertualang. Dia akan tetap tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya pembual” “Betul, kami berpengalaman,” Rodriguez meyakinkan lagi. “Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri,” Liem Mo Han terbatuk-batuk. “Barangkali kalian pernah hanya menonton orang membikin kapal besar.” “Di sepanjang pantai negeri Portugis orang membikin kapal samudra. Setiap bocah pernah melihat,” kata Esteban. Gong Eng Cu melambaikan tangan menyuruh dua orang itu menjauh daripadanya. Kemudian ia berundingan dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang gendut itu kemudian memberi perintah pada Liem Mo Han. “Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa Portugis. Kepala kami. Tuang Gong Eng Cu. memerintahkan pada kalian untuk tinggal di Lao Sam sampai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal Portugis datang kemari untuk mencari kalian… kalian sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.” “Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lihat Nusantara,” bantah Esteban. Tetapi Liem Mo Han tak peduli dan meneruskan: “Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan pengawalan boleh keluar dan situ.” “Kami belum lagi mendarat di Lao Sam sini. Kalian yang memaksa kami mendarat,” bantah Esteban. “Dan kami hanya hendak belanja,” sambut Rodriguez. “Walau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya dengan orang Portugis selebihnya. kepala kami telah memberikan kemurahan pada kalian untuk bekerja di galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana kapal kami dibikin dan memberikan pendapat dan nasihat sekedamya.” Kembali dua orang itu berunding dengan matanya. “Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala kami mengambil sesuatu keputusan,” Liem Mo Han memberanikan mereka. Di luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin. “Ya, kau bisa lakukan itu,” kata Rodriguez pada temannya, “dan aku bisa membantumu. Terimalah.” Tapi Esteban masih juga menimbang-nimbang. “Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa memperrayai kalian.” “Apa gunanya nasihat orang yang tidak dipercaya?” tanya Esteban. “Kami yang menentukan. Bukan kau,” Liem Mo Han melecehkan dengan bibimya. “Hanya karena sikap pemurah kepalaku. Mestinya kalian cukup dibinasakan saja.” Ia menunggu jawaban. Dan yang ditunggunya belum juga datang. “Tidak percuma aku tiga tahun jadi budak kapal, kapalmu, kapal Portugis. Setiap hari mendengar ajaran yang muluk-muluk dengan perbuatan yang rendah. Itulah kalian orang Portugis. Ayo, jawablah kalau kalian sanggup!” “Ya, kami sanggup,” jawab Esteban. “Betapa cepat keputusan itu,” Gong Eng Cu memberikan komentar. “Makin kelihatan petualangan kalian,” kata Liem Mo Han. ”Tapi awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami telah kalian perbudak selama tiga tahun. Lima di antara kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada kami. Begitu kalian….” ”Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu.” Esteban menanggapi. “Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari Portugis selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira untuk kalian.” Esteban yang merasa tersinggung membalas “Kelak. kalau kapal samudra kalian jadi, kalian bisa membalas dendam, membajak salah sebuah kapal Portugis yang pertama-tama kalian temui, menangkap semua awak kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.” “Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami keturunan awak armada Ceng He yang besar….” Apa yang dikatakan Liem Mo Han tidak keliru. Setelah armada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini kemudian berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri dengan Malaka dan membuka pangkalan-pangkalan di Jawa. Dalam kekuasaan Tuban mereka mendapat perlindungan dan ijin berpangkalan di Lao Sam. Pangkalan pokok mereka dirikan di Sam Toa-lang. Dari dua pangkalan itu juga mereka lakukan perdagangan dengan Atas Angin sampai-sampai memasuki Laut Merah. Untuk membikin awak armada ini tidak lenyap ditelan oleh Pribumi, baik karena perkawinan mau pun karena kecilnya jumlah mereka. mereka mendirikan sebuah organisasi pengawal yang harus mempertahankan lembaga peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama Nan Lung atau Naga Selatan. Liem Mo Han adalah seorang pemuka Nan Lung, yang dihormati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai utara pulau Jawa. Di samping Portugis ia pun menguasai Jawa. Oleh Nan Lung dan masyarakat Tionghoa ia diangkat jadi penghubung antara Lao Sam dengan Toalang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan kerajaan Demak Melihat Liem Mo Han tetap tak menghargai mereka. Esteban dan Rodriguez kembali mengambil sikap berhatihati. “Membajak adalah penghinaan untuk awak armada Ceng He yang besar, juga untuk keturunannya,” Liem Mo Han memperingatkan. “Kalau bukan karena kehendak kepala kami… lain lagi yang akan terjadi dengan kepala kalian. Hati-hati.” Gong Eng Cu tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan tangan dan Liem Mo Han menterjemahkan: “Tempat kalian telah ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian akan dipenuhi.” “Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian,” jawab Esteban, “tapi kembalikan barang-barang kami.” “Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangankan barangbarangmu seratus kali benda-benda berharga akan kalian dapatkan dari kami” kata Gong Eng Cu. “Jangan banyak bicara. Kalian sebagai orang Portugis telah mendapat kemurahan terlalu banyak.” Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang menghampiri mereka. Dengan isyarat mereka memerintahkannya berjalan keluar dari rumah besar itu. Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu kuning, ke jurusan selatan, ditempatkan di sebuah kamar rumah batu dan terus-menerus dikawal. Waktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut mereka. Kemudian dengan serentak mereka berlutut dan membikin salib dengan jarinya. Gong Eng Cu mempunyai rencana khusus terhadap mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada Ceng He sudah banyak yang ditangkap dan dibinasakan oleh armada Portugis. Dan mereka tak pernah dapat membalas. Armada mereka yang pada mulanya armada militer, kini hanya armada dagang belaka. Dengan Esteban del Mar dan Rodriguez Dez boieh jadi ia dapat memberikan sedikit tekanan pada Portugis. Ia hendak pamerkan dua orang tangkapan itu pada umum. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal di Dasun. Berita tentang mereka harus sampai ke Malaka. Gong Eng Cu sendiri bukan keturunan awak armada Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang di Tuban. Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao Sam. Tetapi ia bukan anggota Nan Lung. Ia tidak mempunyai sesuatu urusan dengan kekuasaan raja-raja setempat. Setelah menyelesaikan urusannya di Lao Sam, dengan sebuah perahu layar milik Esteban dan Rodreiguez ia kembali ke Tuban. 0o-dw-o0 10. Idayu, Kamaratih Tuban Kumbang-kumbang itu berputar-putar mengigal dalam tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lampulampu yang menyala dari semua penjuru. Warna-warna yang mengikat pandang dan gerak-gerik yang memukau perasaan. Seakan langsung dari langit melawan serombongan kumbang jantan, dan buyarlah sekelompok betina yang berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka kemudian berkitar-kitar, berkelompok dan pecah. Sekelompok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang berkobar-kobar. Sepasang demi sepasang terbang menghilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup sampai ke dasar cawan. Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal bercumbuan. dan gamelan mulai menderu, memuntahkan gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua menjadi satu, dan satu untuk membanyak dan membiak mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya. Mendadak gamelan jatuh menghiba-hiba dan pasangan kumbang itu kehabisan cumbu, kekeringan rayu. Seekor kumbang jantan lain datang seakan dari alam lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. Diceraiberaikannya pasangan itu. Gamelan mengendap-endap ragu dan kumbang betina itu merana melihat sang kekasih tercampak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan perkasa. Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang menghilang kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meratapi sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping, tersangsang pada selembar daun bunga. Dan kumbang betina yang tertinggal sepi sendiri itu adalah Idayu. Kamaratih Tuban. Di tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana berukir, duduk Sang Adipati. Pandangnya gelap menembusi ruang dan waktu. Pemusatan seluruh birahinya membisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang memancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: Idayu! Idayu! Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang adipati, seorang penguasa di antara para kawula, kendorlah semua ketegangan. la menghela nafas dan menyandarkan punggung pada kursi, diremas-remasnya jari-jarinya sambil menebarkan pandang pada semua orang yang duduk melingkari kalangan di atas lantai di hadapannya sama dan mendesiskan keluh kesakitan. Sebelum Idayu turun menari di kalangan, satu barisan gadis para pembesar telah menari bersama memperagakan keindahan tubuh dan keluwesan gerak dan kecantikan wajah. Tapi Sang Adipati kehilangan gairah untuk memilih salah seorang di antaranya. Idayu! Idayu! Hanya Idayu! Mengapa anak desa perbatasan ini mampu menaklukkan aku? Sekali-dua ia menghembuskan nafas keluh dan ratap yang ditenggelamkan oleh bunyi gamelan. Seakan aku bukan seorang tua, tapi seorang perjaka belasan tahun! Di belakang Sang Adipati, berdiri di pinggiran, adalah Tholib Sungkar Az-Zubaid, berjubah genggang, bertarbus merah. Matanya menyala-nyala penuh nafsu berahi, menjamah dan menelan tubuh yang sedang berlengganglenggok menari itu. Ia tak terbiasa mendengarkan gamelan, tak terbiasa melihat tarian Jawa. Namun semua itu terasa jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang membersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia dapatkan pada tarian Spanyol dan Portugis. Idayu nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan kepala dan mengipas-ngipaskan sampur pada mukanya, seperti kumbang betina sesungguhnya yang sedang kehilangan akal dan berputus asa. Ah, tubuh yang langsing berisi dan gerak-gerik yang memanggil-manggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan geletar jari-jari yang mengundang bercengkerama dan bercinta itu…. Tangan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengepal-ngepal, seakan seluruh tubuh yang indah itu telah berada dalam genggamannya. Bahkan kulit penari di hadapannya itu pun utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya! Dalam meratapi sayap kekasihnya yang compangcamping, mata kumbang itu terayunkan ke atas, pada langit, menunggu datangnya kekasih baru. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa dalam harapannya, kekasih baru itu tidak lain dari dirinya. Di tempat duduknya, di samping Sang Adipati, agak di belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampirhampir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata rantai keindahan yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan dan gerak si penari. Serasi yang padu itu membawanya terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan kepayahannya mengurus pemborongan rempah-rempah dari Maluku dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya. Tiba-tiba kumbang yang tertinggal sepi sendiri itu mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan menggelepar. Gamelan mendadak berhenti. Idayu menata diri, bersimpuh dan menyembah Sang Adipati, hilang mengundurkan diri dari kalangan. Dari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan mendeham. Pertunjukan selesai. Sang Adipati meninggalkan pendopo dan langsung masuk ke peraduan. Dikebaskannya semua gambaran dan bayangan tentang Idayu. Sebuah pintu rahasia telah membawanya ke sebuah ruangan sempit. Dinyalakannya sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang memasuki ruangan rahasia. Hanya seorang dalam satu generasi mengetahui adanya ruangan rahasia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang membangunkannya. Jalan yang bersambung dengan rongga bawah tanah ini memanjang hampir dua ribu depa, dan dikerjakan oleh bajak-bajak yang telah tertangkap. Pengganti Sang Ranggalawe tak sudi mengulangi nasib adipati yang digantikannya – tertumpas punah oleh ekspedisi hukuman Majapahit. Maka dibikinnya terowongan panjang ini untuk melarikan diri dari kepungan. Setelah bajak-bajak ini menyelesaikan pekerjaannya, mereka di-sekap dalam salah sebuah ruangan dan dibunuh dengan asap belerang. Ruangan itu tak pernah dibuka lagi. Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan larangan. Setiap Adipati Tuban digantikan oleh anaknya, ia mendapat petunjuk memasuki rongga ini dan mendapat kewajiban untuk setiap bulan memeriksa dan memperbaiki dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak. Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu melapuk selama lebih dari dua ratus tahun ini. Udara yang basah pengap pun tak kuasa merusakkannya: Sebentar Sang Adipati berpegangan pada salah sebuah balok. Dengan tangan lain ia menanting pelita gantung. Gambar Idayu kembali mengunjungi pikirannya, dan dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil Awis Krambil yang terindah itu. Tetapi Idayu telah jadi milik seseorang, telah disaksikan oleh seluruh penduduk Tuban Kota. Ia tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia harus mati tanpa menjamahnya. Ya, biar pun ia telah kirimkan Wiranggaleng jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh lakukan itu. Dari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalamnya ia keluarkan selembar kulit yang telah bercendawan. Disekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan dan muncul sebuah peta laut peninggalan Majapahit, yang telah lebih seabad tak pernah diperbaiki. Peta itu sudah hampir hancur. Bahkan kulit itu sendiri sudah mulai melumut di sana sini. Tak lama ia mempelajarinya. Dikembalikan barang itu di tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang lembab dan mencekik itu membatalkan niatnya. Memang ia tak pernah berjalan sampai ke ujung sana. Dahulu pernah ia tutup dengan papan di dekat ujung, karena ia takut kalaukalau ular memasuki dan menjadikan sarangnya. Sambil berjalan balik ke bilik peraduan gambar peta dan gambaran Idayu silih-berganti mengisi pikirannya. Setiap kali ia hendak melukiskan tempat-tempat di mana Peranggi berada untuk mendapatkan kesimpulan gerak mana lagi yang akan diambilnya, gambaran Idayu juga yang muncul. Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk. Ia keluar dan menuju ke keputrian. Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih membuat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis nama Wiranggaleng dengan huruf Jawa. Pada papan-papan yang lain tercantum nama petugas laut dan darat yang bertugas di luar negeri. Dan coretan pada papan juara gulat itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu pulang dari Jepara. Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan cepat-cepat pulang. Langkahnya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan. Didapatinya Nyi Gede Kati telah nyenyak dalam tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga, melelakan giginya yang mulai kurang hitam. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Dalam kotak-sirihnya sekarang tak pernah terdapat jahawe. Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke dapur. Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan mengangguk. Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan. Buru-buru lilin ia padamkan. Ia tinggalkan dapur dengan tangan menggerayang. Tak lebih dari setengah jam kemudian muncul Idayu membawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya nampan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap hendak pergi lagi. Ia mulai melangkah balik. Terhenti. Sesuatu telah menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali nampan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di bawah. Ia pungut benda itu, memperhatikannya sebentar dan meletakkannya di atas meja. Kemudian ia meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin dan deburan laut malam ini. Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru karenanya terdengar lebih keras dan menggelisahkan pikirannya. Sekiranya suaminya ada di rumah, sekalipun tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar. Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan nampan di atas meja, juga pelita itu. Kemudian sambil berdiri ia membuat sembah meng-ucapkan syukur pada Hyang Widhi karena tarian telah ia lakukan dengan baik tanpa kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia tidak suka menarikannya. Isinya tak mempunyai sangkutpaut dengan kebesaran alam dan para dewa. Ia merasa rusuh sekarang ini setelah menarikannya. Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah rambutnya terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu itu. Ia telah melangkah hendak keluar untuk menggosok gigmya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan menangguhkan niatnya. Dipilihnya sebuah pisang terbaik. Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya berayun-ayun seperti sedang menegur bagaimana tarianmu semalam ini? Dengan cundriknya Idayu menepak binatang ramah itu sampai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberapa di antara kakinya terpenggal. Dan angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. Idayu melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali langit-langit dari jajaran papan. Dengan diam-diam ia kupas pisang dan memakannya kemudian menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja. Setelah itu ia pun minum dari gendi. Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok gigi. Setelah itu, sebelum tidur, ia akan membacakan mantera untuk keselamatan suaminya. Tiba-tiba dirasainya kepalanya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mulai berayun dan suram. Dengan langkah goyah ia berjalan menuju ke ambin. Ia rasai kepalanya menekan berat pada tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya ambin agar tidak terjatuh. Kakinya dirasainya tak kurang beratnya. Dan lidahnya terasa tebal dan kaku, menolak untuk bergerak atau digerakkan. Dengan tangan satu ia telah berpegangan pada ambin. Ia masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus memasaknya dulu. Ia tahu bagaimana pegangannya pada tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di awang-awang. Ia heran dan gugup, tetapi tak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari badan. Yang tersisa hanya suatu kesuraman. Pada waktu itulah masuk Tholib Sungkar Az-Zubaid ke dalam kamar. Ia telah tidak berjubah lagj, tetapi bersarong dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala dan tongkat tiada di tangan. Ditutupnya pintu dan dipasaknya dari dalam. Diambilnya pelita gantung dari atas meja dan disinarinya wajah Idayu yang terkapar di lantai, tertidur. Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita kemudian dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hatihati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas ambin…. Keesokannya matari telah tinggi di langit setelah dengan susah-payah menerobosi dasar laut Pintu kamar gandok kiri itu masih juga belum terbuka. Di gandok kanan para nakhoda dan saudagar telah meninggalkan tempatnya masing-masing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar. EM dapur kesyahbandaran Nyi Gede Kati sudah sibuk memasak. Idayu belum juga muncul. Waktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke semua mataangin, Idayu baru membukakan mata. Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu impian aneh. Dan ia mulai mengingat-ingat impian itu. Ia menggeleng tak mempercayai. Matanya dikocoknya. Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak duduk. Dilihatnya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di tempatnya. Siapa gerangan telah memindahkan dari tempatnya yang biasa? Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga barangkali ada orang masuk ke kamamya ataukah Galeng sudah pulang? Ia hendak melompat turun. Tapi tubuhnya dirasainya sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari ambin. Kakinya tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong. Dipungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam sarongnya yang juga tergeletak di lantai. Ingatannya dikerahkan untuk meraih waktu semalam sebelum tidur. Ia yakin semalam belum lagi naik ke atas ambin. Matanya terbeliak mendadak. Di tepian langit-langit dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki kecuak. Pelita gantung itu masih menyala tetapi tidak di tempat yang semestinya. Dan ia masih dapat mengingat dalam impian: seseorang mengangkatnya ke atas ambin dan hembusan nafasnya meniup pada mukanya. Sayup-sayup ia dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata cumbu pada kupingnya. Ia memekik, tetapi tak ada suara keluar dari mulutnya. Kekacauan merangsang pikirannya. Ia melompat ke ambin. Selimutnya masih terlipat rapi di atas bantal. Tapi bantal itu sendiri tidak berada di tempat. Ia termangumangu. Apakah benar impin itu? Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa? Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil dalam hati. Pastilah mungkin semalam telah kulepas. Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari impian semalam. Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada tepian ambin dan terhisak-hisak: “Dewa Batara! Impian apakah yang kau berikan padaku ini?” Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya. “Mengapa kau jadi begini, Nak?” Nyi Gede Kati menolongnya berdiri. “Kau sakit?” Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di lantai dan mengenakannya. Dengan langkah lunglai ia pergi ke tempat mandi. Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. Dan sejak hari itu ia nampak murung. Tetapi impian itu memburunya terus. Ia menggigil, menyebut, menangis, memohon, membaca mantera…. Tiga hari kemudian, tengah malam, ia menghadap pada Hyang Widhi, memohon: “Kalau impian itu benar, duh Gusti, apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini? Ambillah dia kembali, Gusti.” Dan Hyang Widhi tidak mencabut hidup yang diberikan kepadanya. Pada hari yang ke sembilan ia ulangi menghadap. Juga Hyang Widhi tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan sekali saja terjadi. Setiap Sang Adipati memanggilnya untuk menari, hampir selalu impian terkutuk itu datang melengkapi. Dan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya bicara tentang itu. Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini barangkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia telah taburkan tepung garam pada pojokan-pojokan dan telah ia pasang sesaji, ia pun telah bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil. Tetap juga Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa datang berkunjung di dalam impiannya, dan membujuk, dan merayu, dan memeluknya, tindakan demi tindakan sampai seluruh percintaan selesai. Ia masih saja dapat rasai sentuhan jenggot, kumis dan cambang-bauknya. Dalam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya. Mengapa dalam alam impian tak dapat? Ia pun ucapkan mantra-mantra penolak gandarwa sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa daya. Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan Tuan Syahbandar yang mempunyai daya sihir unggul. Dan pikiran itu saja sudah membikin ia bergidik, merasa diri tak ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada perlindungan Hyang Widhi. Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan kesyahbandaran dan pulang ke desa. Tetapi sang Adipati tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani mempersembahkan alasan. Rupanya belum lagi cukup tersiksa batinnya selama ini: ia rasai tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia mengandung. Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang Adipati. Dan ini terjadi pada suatu sore di beranda belakang. Ia duduk bersimpuh di lantai. Sang Adipati di ambin kayu berukir. “Kau pucat dan kurus, Idayu, Kamaratih Tuban. Ada apa gerangan, pujaan Tuban?” ”Ampun, Gusti sesembahan patik, justru itulah sebabnya patik datang menghadap. Limpahkan kiranya ampun Gusti Adipati pada patik, karena patik berhalangan untuk menari dalam beberapa bulan ini.” ”Ah-ya, Idayu, agaknya kami mengerti. Barangkali kau mengandung.” “Demikianlah adanya, Gusti sesembahan patik.” “Berbahagialah kau. Kata orang tua-tua, anak-anak berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati. Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih Tuban.” Dalam duduk menekuri lantai ia teringat pada suaminya yang belum juga pulang. Dan ia ingat pada pesannya untuk membela diri. Ia bersedia membela diri dan temyata dalam impian tidak punya kemampuan. “Adakah lagi yang hendak kau persembahkan?” “Ampun, Gusti, bila diperkenankan, patik memohon diperkenankan pulang ke desa Gusti.” Sang Adipati tertawa ramah dan tulus. ‘Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta pulang ke desa?” Ia bangkit mendekati penari kenamaan itu. Waktu tangannya telah sampai pada kepala Idayu dan hendak membelai rambutnya, segera ia menariknya kembali. “Jangan,” larangnya setelah duduk kembali di ambin. “Suamimu belum juga pulang. Kalau kau perlukan seseorang untuk membantu atau menemanimu di rumah….” Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang bersembah, bahwa segala telah dipersiapkan untuk Idayu. “Dengar, Idayu, seluruh Tuban dan kami sendiri sangat menghargai segala yang telah kau pertunjukkan di hadapan kawula Tuban dan kami selama ini. Kau sekarang mengandung. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami tak berkenan membiarkan kau pulang ke desa. Inilah hiburan untukmu, majulah Idayu, dan terimalah.” Idayu mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang Adipati. “Dan sejak hari ini. Idayu, kami berkenan mengangkat kau dengan gelar Nyi Gede,” kemudian pada menteridalam, “hendaknya dimasyhurkan anugerah gelar ini pada sore hari ini juga,” dan kembali pada Idayu, “pulanglah kau, Nyi Gede, sejahtera untukmu!” Seseorang wanita muda mengantarkannya pulang. Dan sejak itu ia menjadi pembantu dan teman sekamamya. Anugerah gelar itu dibenarkan oleh seluruh Tuban. Dan berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih Tuban mulai mengandung. Para wanita tua mulai sibuk menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi semacam itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh negeri di kemudian hari. Orang tua-tua pun pada berbondong-bondong mengerumuni pintu gerbang kesyahbandaran. Dan Paman Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan sumbangan kepada Idayu. Sebaliknya Idayu semakin berkecil hati. Semakin hari ia semakin kurus dan merana. Wajahnya pucat kehijauan sehingga pembuluh darahnya seakan hendak keluar dari balik kulitnya. Ia jarang keluar rumah, lebih banyak menggeletak di ambin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya dari mulutnya. Dan pembantunya dengan sabar memijiti tengkuk dan punggungnya tanpa mengucapkan sesuatu kata. Dan bila malam telah larut dan wanita muda dari kadipaten itu telah terlelap di pojokan, mulai teriakanteriakan itu meraung dalam sanubarinya: Anak siapakah kau yang berada di bawah jantungku ini? Anak Kang Galeng. Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia anak Kang Galeng. Telah beratus, mungkin beribu kali ia mencoba meyakinkan diri sendiri: ”Kau anak Kang Galeng, Nak, anak Kang Galeng, tidak bisa lain.” Sambil membelai perutnya yang semakin besar juga. “Tak ada gandarwa atau drubiksa bisa buntingkan manusia. Nak, kau dengar aku? Kau anak Kang Galeng.” Namun tetap ada suara lain melengking dengan nada tinggi memancar dari pedalaman hati. Dan suara itu mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan Sayid, tuan Syahbandar. Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak Sayid! Sayid yang sakti mantraguna, Idayu! Tetap tak ada seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun membisu tentangnya. Nyi Gede Kati pernah menegumya: “Banyak wanita tak bosan-bosannya memohon untuk dikaruniai anak. Kau, Idayu, mengapa murung seperti tak rela mendapatkan karunia?” Ia semakin kurus juga dan ketenteraman batinnya tak juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut menggerayangi kakinya. Dan dikeraskan hatinya dengan mantra buatan sendiri: Tidak, ya Batara, jangan biarkan aku mati sebelum bertemu dengan suamiku. Hidupi aku, ya Batara, dan berikan pada kami impian dulu dan selalu kami pohonkan dulu kepada-Mu. Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang Widhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sungguhsungguh telah kehilangan keseraman dan kesungguhan. Dan: Ya, Batara, biarlah Kang Galeng tahu lebih dahulu anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia puaskan kerisnya pada dadaku sebagaimana telah jadi haknya, karena hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada gunanya.. 0o-dw-o0 Tengah hari kala itu. Terdengar Paman Marta berseruseru riang: ‘Tuan Syahbandar-muda datang, Nyi Gede!” Idayu merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki seluruh otot dan hatinya. Ia melompat dari ambin, lupa pada kandungannya, berjalan cepat ke belakang, mandi, kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mungkin. Disenyum-senyumkannya bibir yang pasi itu pada cermin perunggu. Disisimya rambutnya cepat-cepat, diminyakinya dan disisirinya lagi. Diambilnya pakaian terbaik tenunan sendiri. Kemudian dengan terburu-buru menggosok gigi dengan tepung arang. Kang Galeng datang, hatinya ia paksa menyanyi keras untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap kesempatan itu. Duduklah ia kini di bangku serambi kamar, menunggu suaminya memasuki pelataran depan. Taman bunga di depan kesyahbandaran itu kehilangan keindahannya. Warna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya. Dan yang ditimggunya belum juga kunjung muncul. “Benar, Nyi Gede,” jawab Paman Marta. “Sahaya sendiri sudah melihatnya. Biar sahaya tengok lagi di bandar.” Lelaki itu bergegas meninggalkan pelataran kesyahbandaran dan turun ke jalan besar. Mukanya berseriseri berbahagia telah mendapat pertanyaan dari Dewi Cinta yang sedang merana itu. Tak lama kemudian ia muncul lagi dan berdiri menekur di hadapan Idayu; “Orang bilang, Nyi Gede, Bandara Syahbandar-muda langsung naik ke kota.” Nyi Gede Kati datang dan menegurnya: “Kau kelihatan berdarah, Idayu. Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu? Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapmu?” “Bolehkah sahaya pergi, Nyi Gede?” Paman Marta minta diri. Idayu mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk meneruskan pekerjaannya. “Sejak kecil kami bergaul tanpa perhiasan, Nyi Gede.” “Sebaiknya kau kenakan, Nak.” “Mengapa dia tak langsung pulang?” Idayu bertanya dengan nada protes. “Dia pergi bukan untuk berpesiar, Nak. Dia harus menghadap dulu. Itu kewajibannya.” Idayu masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk mengenakan perhiasan dan berganti dengan pakaian karunia Sang Adipati, salah satu dari sekian banyak karunia yang telah diterimanya setelah kepergian suaminya. Suatu kekuatan mencegahnya. Dan ia tetap dalam pakaian tenunan sendiri. Sebelum matari tenggelam suami yang dirindukan itu nampak memasuki pelataran depan. Idayu berdiri menyambutnya di beranda. Kedua belah tangannya telah merasa hangat untuk segera dapat meraih seperti dulu sebelum lelaki itu jadi suaminya, dan membisikkan katakata cumbu. Darahnya mendadak mendidih dan semua kerinduannya buyar. Tholib Sungkar Az-Zubaid lari-lari kecil menuruni tangga kesyahbandaran dan memanggil suaminya yang sedang berjalan menuju padanya. Galeng berhenti, balik kanan jalan dan membungkuk pada Syahbandar, majikannya. Syahbandar Tuban mengangguk sambil tertawa. Ia tegakkan bongkok, melambai kemudian bertepuk-tepuk: “Wira, Ah, Wira!” Dan Wiranggaleng mengiringkannya masuk ke gedung utama. “Semua orang memilikinya, kecuali aku,” Idayu memprotes. “Mari ke gedung utama, Idayu,” Nyi Gede Kati mengajak. Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu: “Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau pulang, biarlah tak muncul lagi.” “Cemburu kau, Idayu?” Idayu tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya, tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selama ini. Sia-sia Nyi Gede Kati menghibumya. “Biar aku suruh pulang dia,” katanya, kemudian melangkah cepat-cepat ke gedung utama. Idayu masuk ke dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia menyesal telah mengasari Nyi Gede Kati yang selama itu begitu baik terhadapnya. Tak lama kemudian diketahuinya suaminya masuk. Terdengar olehnya suaranya. “Dewiku! Dewiku! Kakangmu datang.” Semua penderitaannya ia rasai luluh cair. Tetapi ia purapura tak dengar. Maka ia rasai tangan-tangan kuat suaminya mengangkat tubuhnya dari ambin, mendekapkan pada dadanya yang bidang. Ia menangis untuk ke sekian kalinya, tapi yang sekarang bukan tangis derita – tangis bahagia tanpa ukuran. “Kau kurus, Idayu, Kau terlalu banyak menari.” “Ah, kau, Kang Galeng, berapa bulan aku harus tunggu kau. Semestinya kau sudah merasa, bukan hanya aku seorang yang merindukan, juga Kang, juga anak yang sudah mengintip di bawah jantung ini.” “Mengandung! Kau mengandung, Idayu?” ia letakkan kembali istrinya ke atas ambin. Ia buka kain Idayu. Ia ciumi anak yang bersembunyi di balik kulit perut. Dan suaranya mendesis gugup: “Aih, anakku! Anakku! Tiada aku sangka!” ia kagumi istrinya. “Mereka memuji-muji kau belaka, Idayu, mereka semua memohon untuk kesejahteraan dan keselamatanmu. Dan anak ini juga. Mereka bilang, kau sedang mengandung. Dan mereka bilang, kau sudah mendapat karunia gelar….” Dan malam datang dengan cepatnya. Dunia menjadi tenang. Hanya desau dan deburan ombak meningkahi suasana. Sebentar burung tuwuk melintasi malam, menyebarkan seruannya yang keras dan tunggal itu. Idayu tergolek di ambin. Matanya terpejam menikmati kedamaian dan kebahagiaan di samping suaminya yang sedang tergolek juga. Juara gulat itu sedang mengawasi sotoh dengan pandang menembusi masa silam dan masa yang baru saja dilewatinya. Oleh Sang Patih ia dipuji-puji sebagai seorang punggawa berbakat dan pasti akan mendapatkan tugastugas yang lebih berarti. Semua pekerjaannya dianggap berhasil. Ia sendiri tidak tahu di mana dan bagaimana hasil pekerjaannya itu. Sang Patih telah membawanya menghadap Sang Adipati. Penguasa itu menitahkan pada Sang Patih untuk mengundurkan diri, kemudian sendiri berkata padanya: ‘Tidak salah pilihanku, kau, Wiranggaleng, kau, anak desa…. cepat atau lambat kaulah orang yang akan memanggil kembali kejayaan dan kebesaran masa silam untuk Tuban. Mungkin kau sendiri belum mengerti di mana pentingnya hasil pekerjaanmu sekali ini. Kelak kau akan mengerti juga. Kau tahu apa yang seharusnya kau ketahui. Itulah rahasia kekuatanmu. Kau ada kemampuan, hanya barangkali belum pernah terlalu rindu padamu. Dan perlu kau ketahui, selama ini ia sering menari di sini.’ Ia berbesar hati karena semua pujian itu. Pujian dari Sang Patih dan Sang Adipati sendiri! Orang-orang yang begitu berkuasa! Dan ia berjanji pada diri sendiri untuk menyediakan waktu guna memahami di mana hasil pekerjaannya di Jepara dan Demak selama ini. “Kau tak juga bercerita, Kang,” tegur istrinya. “Terlampau lama kutinggalkan kau, Idayu. Tak bisa lain.” “Sekarang kau sudah begini dekat, Kang, dan kau belum juga menceritakan sesuatu.” “Aku rindu, Idayu. Kau rindu juga?” dan Idayu tak menjawab. “Mengapa kau diam saja? Marah?” “Aku selalu ketakutan, Kang.” “Aku tahu apa yang kau takutkan,” Wiranggaleng membayangkan Sang Adipati dan Syahbandar Tuban. “Tetapi aku tahu juga kau akan membela diri dan pandai melakukan itu.” Idayu merangkulnya. Suaranya gemetar: “Di tanganku ada cundrik, Kang,” ia menguatkan rangkulannya. “Tangan ini tiada kuasa, layu-lesu tanpa daya. Karena, Kang, dia datang dalam impian.” “Dan kata orang tua-tua,” Wiranggaleng meneruskan, ”jangan berbuat dosa, sekalipun dalam impian’ Kau masih ingat itu, Idayu?” “Dia justru datang dalam impian, Kang, dan tak ada cundrik di tanganku.” “Kau sedang bercericau, Idayu! Bicaramu begini aneh,” dan digoyang-goyangkannya tubuh istrinya. “Apa maksudmu?” Berceritalah Idayu tentang pengalaman mimpi yang berulang terjadi hampir pada setiap ia pulang dari menari. Dan Wiranggaleng mendengarkan cermat-cermat sebagaimana biasa ia dengarkan setiap kata dari kekasihnya. Penutup cerita adalah pertanyaan: “Bagaimana, Kang, sekiranya impian itu benar?” “Impian tinggallah impian.” “Dan anak di bawah jantung ini. Kang, kan bukan anakmu?” “Husy. Orang bunting memang suka mengada-ada.” “Maka, Kang, maka akan kau hunus keris, kelak. bila si anak lahir, dan akan kau tikam kekasihmu ini. Kau akan tarik sebilah pedang dan kau cincang si bayi yang tertidur di samping bangkai ibunya. Kemudian kau akan lari, lari, lari entah ke mana, membawa dendam dan kesakitan di dalam hati. Tetapi tak ada tempat di mana kau akan pernah sampai. karena ingatanmu selahi akan kembali pada kekasih yang lelah kauhatra dengan keris sendiri….” “Kau semakin aneh, Idayu. Diam, diamlah. Impian tinggal impian, kenyataan tetap kenyataan. Tidurlah. Atau haruskah kunyanyikan lagi kau ini seperti dahulu di ladang?” Idayu terdiam tak bicara lagi. Kembali ia mengukuhkan: rangkulannya pada dada suaminya. Dan dada yang bidang itu melindunginya dari kegelisahan dan ketakutan. Dan Wiranggaleng membiarkannya. Angan Syahbandarmuda itu kini sibuk menggalang gambaran hari depan yang penuh dengan kebesaran, kejayaan dan kemegahan. Semua dimulai dengan cipta, kata Rama during. Semua itu tak bakal ada tanpa cita. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin pertanda ada dayacipta di dalam jiwanya. Apakah cipta? Guru-gurunya dulu belum pernah ada yang mengajarkan. Ia tak tahu. Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya: kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaikbaiknya tanpa mengindahkan soal-soal selebihnya. Dan inilah rupa-rupa jalan untuk memanggil kembali kebesaran dan kejayaan masa silam. Bukankah tidak lain dari Sang Adipati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa restu seorang raja? Benar. Semua benar. Dan terpampang di hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu: Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau…. Semua akan terjadi karena jasa-nya, jasa Wiranggaleng. Demak dan Jepara tidak bakal bisa menandingi Tuban. Mereka di barat sana tak tahu apa makna memanggil kembali kebesaran dan kejayaan Majapahit pada guagarba haridepan. Mereka tak tahu! Dalam suasana hati yang naik semangat itu ia mengucapkan terimakasih pada mendiang Rama Cluring dan semua guru-pembicaraan yang pernah didengamya. Seakan mengerti apa yang sedang menggelegak dalam hati suaminya, Idayu berbisik lembut: “Nampaknya desa kita makin lama makin jauh dari langkahmu, Kang. Rasarasanya kita takkan sampai-sampai juga ke sana.” “Sampai,” bisik juara gulat itu. “Gubuk kita tak juga kan berdiri di pinggir hutan itu, Kang. Ayam jantan yang seekor itu terasa bisu tiada kan berkeruyuk untuk selama-lamanya. Dan anjing-anjing kita takkan bisa jadi cerdik, juga untuk selama-lamanya.” “Bisa.” “Atap ilalang itu tak juga kau ganti dengan injuk. Kau tak juga bermaksud ke hutan menyadap enau dan membawa pulang injuknya yang hi tarn kelam pilihan itu.” Wiranggaleng tertawa dan ditariknya kuping is trinya: “Makin tua kau makin cerewet.” Dan Idayu tetap memeluk suaminya, menekankan kuping pada dadanya agar tak mendengar desau angin dan deburan laut. Melihat istrinya telah tidur dalam kedamaian dan kenyenyakan, ia membiarkan angannya lepas bebas tanpa batas. Apa kata Rama Cluring? ‘Aku bicara tidak tentang kematian, tetapi tentang kehidupan yang bercipta dan mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, karena tanpa dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya’. Mengapa Idayu lebih suka bicara tentang kematian? Tidak betul. Keliru! Yang benar adalah hidup, kehidupan dan geloranya, dipimpin oleh cipta dan dimeriahkan oleh kerya mencipta. Pagi-pagi benar Idayu sudah memulai dengan katakatanya yang aneh. Ia tudingkan dagunya ke arah jendela rumah utama. Suaminya mengikuti arah tudingannya, dan dilihatnya pada jendela itu sebagian dari muka Syahbandar Tuban. “Kau lihat sendiri sekarang bagaimana dia selalu mengintip kesini disiang hari. Kadang-kadang beberapa kali. Dan dia datang kemari dalam impian di waktu malam.” “Diam, Idayu. Kau terganggu karena kandunganmu.” Wiranggaleng dapat menangkap kilat pada mata Thotib Sungkai Az-Zubaid. Ia tercenung. Barangkali keluhan dan cerita istrinya bukan tidak punya dasar. Namun ia tetap tidak menanggapi. 0o-dw-o0 11. Menyerang Malaka Duta Tuban yang menghadap Sultan Demak telah kembali dengan membawa serta Raden Kusnan, salah seorang putra Sang Adipati. Beberapa minggu setelah itu pasukan laut Tuban naik ke atas kapal-kapal perang yang telah berlabuh berjajar pada dermaga, sebuah jalur karang yang menjorok ke laut. Lima ratus prajurit laut akan berangkat meninggalkan Tuban. Dan genderang ramai bertalu ditingkah oleh bunyi kenong. Prajurit-prajurit itu telah menjalani latihan ulangan selama tiga bulan. Dari seluruh negeri orang datang untuk menguntapkan para prajurit yang hendak berangkat berlayar. Juga untuk mengagumi kapal-kapal baru yang habis diturunkan dari galangan. Dan memang tak pernah selama kekuasaan Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terjadi pemberangkatan pasukan laut sebanyak sekarang. Tahun 1513 Masehi. Gugusan pasukan laut Tuban akan dipimpin oleh Raden Kusnan. Wiranggaleng dengan resmi telah diangkat jadi pembantu-utamanya. Sang Adipati sendiri yang melantik beberapa hari yang lalu. Dan tujuan gugusan ini: Jepara. Tujuan yang banyak menimbulkan teka-teki, karena nampaknya Sang Adipati mengirimkan mereka tidak dengan tujuan merebut kembali bandar terbarat milik Tuban itu. Sebelum layar-layar dikembangkan Sang Adipati menjatuhkan titah kepada putranya: “Kau, Raden Kusnan, kami percayakan gugusan pasukan laut Tuban ini. Berangkat kau sampai ke Jepara. Jangan tidak, bergabung kau dengan armada Jepara. Kau sendiri lebih tahu tentang apa yang harus kau perbuat. Setelah bergabung kau berada di bawah perintah Gusti Adipati Unus Jepara, yang akan bertindak sebagai laksamana. Kerjakan kewajibanmu dengan baik. Semoga sejahtera selalu kau, kapal-kapalmu dan anak-buahmu.” Layar-layar pun menggelembung dan lima buah kapalperang itu berangkat. Semua dipersenjatai dengan cetbang bikinan Trantang. Jurusan: barat. Angin cukup baik. Pendayung-pendayung pembantu untuk memperlaju pelayaran tidak dipergunakan. Dari kapal dan dari darat sorak-sorai bcrgema bersambut-sambutan. Makin jauh kapal-kapal dari darat sorak-sorai berganti dengan lambaian umbul-umbul dan selendang dan tangan. Makin jauh lagi, umbul-umbul dan selendang digantikan oleh doa. Makin jauh dan makin jauh. Dan gugusan itu berpisahan dengan alam dan manusia Tuban. Para prajurit dan awak kapal berseri-seri. Sekaranglah baru mereka menempuh jarak jauh. Pendongeng mulai membuka cerita dan membentuk lingkaran pendengar di atas geladak Dalam lingkaran yang lebih kecil orang mulai merentangkan pendapatnya ten tang sesuatu hal tertentu. Pada hari pertama itu Wiranggaleng lebih ban yak berjalan mondar-mandir di geladak untuk menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru. Juga ia sedang menimbang-nimbang diri apakah bakal mabuk laut atau tidak. Sudah dua kali ia naik kapal, dan selalu merasa tidak enak badan. Sebagai pembantu utama kepala gugusan ia akan jatuh harga bila sampai mabuk laut. Dan dengan terus berjalan mondar-mandir begini ia harap akan mendapatkan daya-tahan yang mencukupi Tetapi penghormatan yang berlebihan itu membikin ia menjadi kikuk. Ia merasa risi mendapat perhatian orang. Dan ia tahu ia lebih diperhatikan daripada Raden Kusnan. Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk Tuban lebih memperhatikan pejabat yang berasal dari orang kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang Adipati, bukanlah suatu keluarbiasaan bila menduduki jabatan pen ting. Tetapi anak desa, hanya karena keist ime waan saja bisa meningkat ke atas. Ya, la merasa canggung. Namun ia tahu, ia hams beiusaha meninggalkan kesan, tak ada maksud padanya untuk meniru-niru tingkah pembesar ningrat. Ia jawab pandang mata bawahannya dengan senyum ramah. Ia dekati mereka dan dengarkan kata-kata mereka dengan perhatian. Ia tanyai mereka yang nampak murung. Ia ajak bicara mereka yang nampak termenung-menung mengenangkan yang tertinggal di rumah. Ia berusaha menjadi sahabat untuk semua mereka, seorang sahabat yang memperhatikan. Pandang kagum yang tertuju padanya menyehabkan ia merasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyadari, diri belum layak memikul tugas setinggi itu. Sudah sejak menjabat jadi Syahbandar-muda selalu saja orang menyuguhkan pandang kagum seperti itu. Dan sebagai Syahbandar-muda ia pun masih belum mengerti benar apa ia harus kerjakan. Dan sebagai pengawas galangan kapal di Glondong ia lebih banyak mondar-mandir daripada melakukan pengawasan. Apa pula yang harus ia awasi? Ia tak tahu sesuatu tentang pembikinan kapal! Dan sekarang ia jadi pemimpin-muda gugusan pasukan laut! Berenang pun ia tak bisa. Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi kebesaran untuk Tuban merupakan riwayat pergolakan jiwa yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Duaduanya terns juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam hatinya. Ia selalu berada dalam keadaan was-was dan waspada. Ia mulai mendapat ketenteramannya waktu matari sudah tenggelam dan malam mulai datang memeluk alam. Ufuk barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan permukaan laut mengantarkan pantulannya pada layarlayar dan tiang-tiangnya, pada semua orang yang mondarmandir di geladak. Dan langit di timur dijambuinya. Ia sendiri teringat pada rumah yang ditinggalkannya, pada Idayu, pada Gelar, si anak itu. Ia berjalan lambat-lambat ke haluan. Seorang prajurit yang sedang mencangkung pada lambung kapal terdengar olehnya berkata pada temannya: “Sekiranya Gusti Adipati tidak berputra, pastilah Syahbandarmuda Wiranggaleng yang memimpin gugusan kita ini.” Uh, sanjungan, sanjungan belaka, pikir juara gulat itu. Semua pejabat berasal dari desa rupanya selalu disanjungsanjung. Dan setiap sanjungan I dirasainya melekat-liat menganggap perasaannya dan kebebasannya bergerak. Setiap sanjungan selalu diikuti pertanyaan pada diri sendiri: Tidakkah langkahku selanjutnya takkan menimbulkan kekecewaan dalam hati mereka? Mau-tak-mau ia terpaksa lebih berhati-hati menjaga setiap langkahnya. Karena: pejabat dari desa setiap waktu bisa terbanting ke tanah. Pada malam pertama itu ia mendapat tugas melakukan pengawasan keliling, di geladak atas dan tengah dan bawah, di lambung, haluan dan buritan. Sengaja ia lepas tanda pangkat dan jabatan dan berpakaian sebagai prajurit biasa. Di buritan ia dapatkan beberapa orang sedang duduk merenung dan ia mendekat. Mereka tak mengenalnya. Di antara desauan angin dan gelepar layar didengamya salah seorang di antaranya menyebut-nyebut namanya. Ia menunduk menyembunyikan muka dan mendengarkan dengan diam-diam. “Ingat kalian pada pesta perkawinannya dulu? Orang bilang, aku tidak lihat sendiri, kedua orang mempelai itu terjatuh dari tandu pengantin. Coba, mempelai terjatuh dari tandunya! Mana pernah ada?” “Ya, orang-orang pada terkejut kehilangan semangat, takut pada murka para dewa. Aku juga. Tak ada yang membantu mereka. Wiranggaleng dan Idayu merangkak bangun dari tanah. Mereka berdiri sendiri, berjalan dengan prihatin ke arah Sela Baginda.” “Rupa-rupanya itulah alamat buruk yang sedang menimpa diri mereka berdua. Kasihan. Betapa menderita Wiranggaleng. Siapa pun tahu di balik senyum dan keramahannya: batin yang teraniaya di bawah timbunan batu.” “Betul, siapa pun tahu,” yang lain meneruskan. “Orang bilang tak mungkin Idayu mau dengan sukarela. Bahkan Sang Adipati pun ditolaknya dengan menentang maut. Dia sungguh-sungguh menrintai juara gulat itu. Maka, mana mungkin Idayu bisa menerima burung aneh dari Espanya itu?” “Siapa tahu Guti Adipati sendiri yang memaksanya untuk menerima dia, gandarwa Ulasawa itu?” “Memang Syahbandar keparat itu terlalu dimanjakan oleh Sang Adipati,” seorang lain menggarami. “Manusia terkutuk!” “Kalau Nyi Gede Idayu berani menantang maut menolak Gush Adipati, tak mungkin dia mau menerima Sayid Ulasawa, sekalipun atas paksaan Gusti Adipati. Dia akan tetap memilih maut. Lagi pula apa sesungguhnya kepentingan Gusti Adipati? Ia sendiri memberahikannya.” “Lagi pula mengapa Gusti Adipati tak juga mangkat? Sudah setua itu. Makin lama makin habislah gadis-gadis cantik kita.” Orang-orang itu terdiam. Masing-masing memantulkan perasaannya masing-masing, iba pada Wiranggaleng dan istrinya, tak puas pada rajanya sendiri, dan jengkel terhadap Syahbandar Tuban. “Kabamya Syahbandar-muda itu jarang pulang,” seseorang memulai lagi. “Dapat dipahami. Coba, bagaimana perasaan hatinya – lelah, pulang ke rumah, dan lagi-lagi melihat bayi yang ituitu juga. Jelas-jelas seperti Sayid Ulasawa.” “Mengapa tak dibunuhnya saja Syahbandar keparat itu?” “Tak perlu dia sendiri. Siapa pun beisedia melakukan itu. Celakanya dia dilindungi oleh Sang Adipati. Kalau tidak, sudah lama dia lumat di bawah pedang anak-anak Tuban. Orang semacam itu tidak patut terkena keris. Pedang pun mungkin terlalu mulia. Sebaiknya hanya parang dapur.” “Wiranggaleng sendiri yang sepatutnya melakukannya.” “Justru dia yang melarang anak-anak Tuban melakukannya kalau ia sendiri tidak mungkin. Dia bilang, ‘jangan’. Anak-anak Tuban bertanya, ‘mengapa jangan? itu bertentangan dengan adat Tuban’. Aku sendiri ikut waktu itu, jadi tahu sesungguhnya duduk perkaranya. Ia bilang, ‘Sang Adipati menitahkan, jiwa Syahbandar Tuban harus dijaga, dia dibutuhkan oleh Tuban’”. “Jadi cerita itu bukan omong kosong?” “Tidak, aku sendiri menyaksikan.” “Ah.” “Coba, Kamaratih Tuban diperlakukan seperti itu. Siapa tidak meluap? Orang asing pula. Dengan cara yang kurangajar pula.” “Kata orang begini ceritanya. Cerita itu berasal dari kesyahbandaran. katanya berasal dari Nyi Gede Kati. Idayu tidak dipaksa oleh Gusti Adipati untuk melayani Say id Ulasa wa. Katanya Syahbandar keparat itu menggunakan obat bius setiap Idayu habis menari dari kadipaten.” Wiranggaleng berdiri dari duduknya, pergi menghindar bercepat-cepat. Ia masih sempat dengar orang berseru pelan: “Celaka! Bukankah itu Wiranggaleng sendiri?” Dan sekarang pemimpin-muda gugusan itu berdiri seorang diri di haluan. Berdiam diri ia mencangkung melihat lunas kapal menyibak ombak dan jutaan pasir cahaya menyemburat di sekitar lunas. Sekian ia teringat pada cerita Rama Cluring tentang lunas kapal-kapal Majapahit. Dan kapalnya terus melindas dan menerjang ombak dan kembali jutaan pasir cahaya bersemburan. Ia merasa seolah setiap deburan ombak yang menghantam lambung kanan sebagai degupan jantungnya sendiri. Lama kelamaan perhatiannya pada tingkah sang ombak semakin tumpul. Angannya mengembara melintasi malam mengunjungi masa yang baru silam. Berapa lama sudah silam? Tidak lebih dari setengah tahun yang lampau…. 0o-dw-o0 Ia rasakan betapa lama Idayu pergi tetirah ke Awis Krambil dengan Nyi Gede Kati. Sang Adipati telah meluluskan permohonan agar istrinya melahirkan di desa. Juga Sang Adipati sendiri yang menitahkan serombongan orang untuk menandu pujaan Tuban yang akan melahirkan itu. Tak boleh ada satu cedera pun menimpa diri penari ulung ini titahnya. Tak boleh kulimya lecet barang seujung jari pun. Hukuman berat akan menimpa kepala si pelanggar.’ Dan berangkat iring-iringan itu meninggalkan Tuban. Lama benar rasanya, dan mereka belum juga kembali. Ia sendiri tak mungkin berkunjung ke desa. Kemudian datanglah sore itu. Ia sedang duduk seorang diri di dalam kamar. Ia lihat Idayu berjalan mengendapendap mendekati serambi. Perutnya telah kempes. Jelas ia sudah melahirkan. Tubuhnya ramping kurus, dan dadanya gembung bcrisi. Ia melompat untuk mengelu-elukan. Dan ia terkejut melihat istrinya berkalung melati tiga lingkar: tanda seorang istri yang menyerahkan nyawa pada suami untuk dibunuh. Idayu nampak ragu-ragu memasuki kamar. la pura-pura tak melihat kalung melati itu. “Mengapa kau, Idayu? Kau begitu pucat!” Ia lihat Idayu memandangnya begitu sayu. Waktu ditolongnya wanita itu naik ke rumah, dirasainya gigilan pada badan istrinya. Begitu sampai di ambang pintu ia tarik putus kalung melati itu dan ia lemparkan ke pelataran. “Kau sakit.” “Tidakl” jawab Idayu tegas tetapi menggigil. “Mana anakku?” Idayu menatap mata suaminya, tapi ia tak menjawab. Wiranggaleng merasa mau memekikkan tanya: matikah anakku? Ia digilakan oleh kekuatiran. “Anakmu belum lahir, Kang.” “Kau sudah melahirkan, Idayu.” “Ya, Kang. Yang lahir bukan anakmu, hanya anakku,” jawab Idayu dengan suara ditabah-tabahkan, namun masih juga terdengar gigilan di dalamnya. “Jangan aneh-anah,” dan ditolongnya istrinya masuk ke dalam kamar. “Kau lelah dari perjalanan sejauh itu, pucat Mana anakmu?” “Anakku, Kang, bukan anakmu, masih di belakang digendong Nyi Gede Kati.” “Beristirahatlah kau, tidurlah,” perintahnya dan siap lari untuk menjemput anaknya. Idayu mencegah, memegangi tangan dan berkata terbatabata: “Jangan, jangan jemput anak yang bukan anakmu itu,” tegahnya, “dengarkan dulu kata-kataku.” Ia duduk dan dengan isyarat memaksa istrinya duduk pula. Wajah Idayu yang pucat itu kelihatan memohon amat sangat dan bersungguh-sungguh. “Ingatkah kau dulu, Kang, waktu kuceritakan padamu tentang impianku… dan anganku, dan cundrikku yang tiada berdaya? Dalam impian. Dia datang dalam impian… Tuan Syahbandar Sayid Habibullah At masawa, Kang.” Ia mengangkat pandang menatap suaminya yang masih juga terheran-heran. “Kau diam saja, Kang. Kepala anakku itu sama dengan kepala Tuan Syahbandar, tipis gepeng, hidung juga bengkung. Tak ada kesamaan denganmu, Kang. Ampuni aku, Kang, Kang, Kang—” Ia terdiam dan terengah-engah. Diambilnya cundrik dari balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. Dengan sekali kebas sarongnya terlompat entah ke mana. Cepat ia alihkan tangannya dan kini mata senjata itu yang dipegangnya. Tangkainya ia ulurkan pada suaminya. Kata-katanya kini menjadi lemah, menggigil lebih keras hampir-hampir tak nyata: “Dengan cundrikku sendiri ini, Kang, cundrik pemberianmu, bunuhlah istrimu yang tidak setia ini. Dia telah menerima seorang lelaki lain dalam impiannya.” “Dayu!” pekik Wiranggaleng. “… hanya pesanku, Kang, jangan bunuh bayi itu. Serahknn dia pada bapaknya, Tuan Sayid. Aku sudah bilang begitu juga pada Nyi Gede Kali. Sudah, Kang… ampunilah aku… istrimu yang tidak setia…” “Mengapa kau ini, Dayu?” Tangan Idayu yang gemetar itu masih memegangi mata cundrik dan tangkainya masih juga diulurkan pada suaminya. “Habis sudah kata-kataku, Kang. Ah, Kang Galeng….” Mengerti bahwa istrinya menghendaki agar ia membunuhnya, dengan cepat ia kisarkan ujung cundrik waktu Idayu menubrukkan senjata itu pada dirinya sendiri. Ia lemparkan keris kecil itu dan dirangkulnya istrinya. “Idayu, Idayu, adik si Kakang.” “Apa guna kau tangguhkan, Kang? Kalau kau mengerti betul duduk-perkaranya, yang ini juga yang akan terjadi,” suara Idayu tak lagi menggigil. “Telah kukumpulkan seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk menghadapi saat ini. Kau menangguhkan, Kang, kau, Kang?” suaranya merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tidak jelas. “Tidur. Tidur. Kau lelah, Idayu.” ‘Tidak!” “Betapa menderita kau karena impian itu,” ia angkat istrinya dan ditidurkan di atas ambin. Tariklah nafas panjang-panjang sebagaimana diajarkan dulu di desa kalau hati sedang tidak tenang.” Kelibat bayang-bayang menyebabkan Wiranggaleng menengok ke arah pintu. Dilihatnya di serambi Nyi Gede Kati mengendap-endap mendekati pintu kamar. Pada tangannya tergendong bayi dalam bungkusan. “Itukah anaknya? Bawa masuk sini, Ibu.” “Jangan, Wira, jangan bunuh anak ini.” “Mengapa mesti kubunuh? Masuklah,” ia berjalan keluar. Nyi Gede Kati nampak waspada. “Jangan, Wira, bayi ini sekarang anakku. Aku datang untuk mengantarkannya untuk melihat ibunya.” “Mengapa hanya melihat?” “… melihat ibunya untuk penghabisan kali.” “Mengapa hanya untuk penghabisan kali?” “Barangkali susunya masih sempat diisapnya.” 0o-dw-o0 “Wiral” seseorang berteriak. Wiranggaleng terbangun dari kenangannya. Ia berjalan melintasi geladak ke jurusan datangnya suara. Raden Kusnan telah berdiri di hadapannya dengan bertolakpinggang. “Tahukah orang-orang ini ke mana tujuan kita?” “Malaka, Gusti,” jawabnya sambil menyembah. “Bedebah! Dari mana mereka tahu?” “Seluruh Jawa rasa-rasanya sudah tahu semua, Gusti.” “Seluruh Jawa! Jadi seluruh Jawa sedang menyaksikan bagaimana kita akan berperang. Kau tahu apa artinya itu, Wira?” “Patik, Gusti.” “Pernah kau berperang, Wira?” “Belum, Gusti.” “Apalagi perang laut.” “Apalagi perang laut, Gusti.” “Kita akan sama-sama mengalami, Wira, kami dan kau.” Dari kata-katanya itu Wiranggaleng tahu, Raden Kusnan pun belum pernah berpengalaman perang, apa lagi perang laut. Tetapi ia tak menanggapi. Gugusan Tuban terus berlayar tanpa sesuatu halangan. Pada suatu senja sampailah gugusan itu di bandar Jepara. Semua prajurit berderet di atas geladak kapal masing-masing untuk melihat Jepara yang beberapa tahun belakangan ini tak pernah mereka singgahi lagi. Orang terdiam terlongok-longok. Semestinya mereka datang ke man untuk menyerbu dan mengambil kembali untuk jadi milik Tuban. Tetapi pelabuhan itu kosong. Hanya perahu-perahu nelayan sedang meninggalkan pantai yang dangkal itu dan beberapa kapal dagang berlabuh di muara kali Wiso. Dengan diantarkan oleh pembantu-utamanya Raden Kusnan mendarat dan berjalan tergesa-gesa ke kadipaten Jepara. Di sana tak ada mereka jumpai Adipati Unus Jepara. Yang ada justru abang Raden Kusnan sendiri: Ki Aji Kalijaga. Wiranggaleng melihat bagaimana Ki Aji mengeluarkan tangan kanan dari balik kain batik penutup dada. Dan terdengar suaranya, tenang, terang, kata demi kata: “Buyung! Mengapa Tuban lima hari terlambat datang?” Dalam simpuhnya Raden Kusnan menjawab:”Ampun, Kakanda Aji, pun yang menentukan keberangkatan bukanlah patik Tidak lain dari ayahanda sendiri Gusti Adipati Tuban.” Ki Aji memasukkan kembali tangannya ke balik kainnya. “Itu tidak patut,” katanya pelahan. “Biarpun seorang ayah, seorang adipati, orang tak patut membikin malu anaknya.” “Apakah yang patik harus perbuat sekarang, Kakanda?” “Susul Laksamana Adipati Unus Jepara. Ayahmu telah memalukan kita semua. Kau jangan bikin malu kakandamu.” Ki Aji Kalijaga membalikkan badan dan berjalan tenang masuk ke dalam kadipaten. Raden Kusnan dan Wiranggaleng kembali bergegas ke kapal. Dengan muka pucat ia perintahkan memberi isyarat pada semua kapal untuk mengangkat sauh dan mengembangkan layar. Ia perintahkan mengerahkan semua dayung. “Wira!” teriaknya memanggil pembantu-utamanya dengan nada berang. Dalam kamamya yang sempit juara gulat itu melihat wajah Raden Kusnan telah kehilangan kepucatannya, kini merah-hitam dibakar oleh kemarahan. “Aku percayakan padamu, tak boleh ada orang tahu tentang keterlambatan Tuban yang disengaja ini. Lima hari! Terlambat lima hari!” “Mereka semua sudah tahu, Gusti.” “Bedebah! Bagaimana mereka bisa tahu?” “Mereka tak melihat armada Jepara.” “Mereka harus percaya, armada Jepara ada dekat di depan kita. Mengerti?” “Mereka pelaut-pelaut yang mengerti tentang laut dan kapal, Gusti.” “Aku tak percaya mereka tahu.” “Ya, Gusti, mengapa Gusti berkata demikian? Bukankah semua mereka kawula Gusti sendiri? Bukankah mereka bukan gerombolan kambing bodoh yang tidak tahu apa-apa, Gusti, tapi kawula Gusti sendiri? Raden Kusnan berjalan berputar-putar di dalam ruangan kamamya yang sempit. Berkali-kali tinju kanannya dipukulkannya pada telapak tangan kirinya. “Memalukan,” gumamnya. “Di mana harus kusembunyikan mukaku ini?” “Perang akan menghapuskannya, Gusti.” “Ya-ya, perang,” ia berhenti berputar-putar. Wiranggaleng pergi ke geladak dan mencoba beramahtamah dengan para prajurit dan awak kapal. Mereka semua bertanya mengapa Tuban terlambat. Dan mereka semua tahu belaka akan keterlambatan itu sekalipun tak tahu tepat berapa hari. Ia hanya dapat menjawab: “Hanya ada satu jalan dapat ditempuh. Laju, lebih laju.” Seseorang menyeletuk: “Kita belum lagi membikin perhitungan dengan Jepara, Wira. Belum. Mestinya kita mendarat, dan.,..” “Husy!” Ia buru-buru lari meninggalkan geladak, turun ke bawah dan melihat pelaksanaan pendayungan. Prajurit-prajurit itu mendayung setengah mati bergantian dalam ruangan bawah yang panas dan lembab, berbau keringat dari badan mereka sendiri. Laju, lebih laju adalah perintah. Tetapi pelayaran memantai itu bukan pekerjaan mudah untuk kapal-perang yang berbadan berat dan kaku itu. Apa lagi angin kebetulan reda. Dan dayung dua sap itu berkayuh seperti gila untuk mengejar ketinggalan. Waktu angin bertiup dengan baik, pendayung-pendayung tetap dikerahkan. Permukaan laut terasa berat diluncuri. Angin tetap terasa kurang, sangat kurang. Dalam beberapa hari mengejar armada Jepara tak juga nampak di hadapan mereka. Keleluasaan laut itu sepi, sepi sampai jauh-jauh di ufuk barat sana. Gugusan Tuban terus belayar, tak ada petunjuk, tak tahu di bandar mana harus singgah. Bahan makanan dan air mulai susut, dan mereka tak tahu di bandar mana boleh mendapatkan. Gugusan itu berlayar siang dan malam dan terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpaksa singgah di sebuah bandar kecil temyata tak ada ditinggalkan petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan perjalanan dengan persediaan bahan makanan yang semakin tipis. Dalam keadaan terpaksa gugusan Tuban memasuki bandar Banten. Seluruh prajurit dan awak kapal lelah dan cepat menjadi bengkeng. Perkelahian sering terjadi karena soal-soal kecil. Dan Raden Kusnan berkurung diri terus dalam biliknya. Syahbandar Banten, seorang Koja, membawa Raden Kusnan dan pembantu-utamanya pergi ke kesyahbandaran yang terbuat juga dari batu, tetapi tidak sebesar dan seindah kesyahbandaran Tuban. Mereka dijamu dan mendapat keterangan, Laksamana Adipati Unus Jepara telah meninggalkan pesan untuk gugusan Tuban. Dan pesan itu akan disampaikan sendiri oleh seorang perwira armada yang untuk keperluan itu memang ditinggalkan di Banten. Syahbandar Banten menyilakan mereka beristirahat. Ia sendiri akan menjemput perwira armada Jepara. Dan tengah malam ia datang lagi beserta orang yang dicarinya. “Anak sangat terlambat,” tegur Aji Usup. “Sahaya telah kerahkan pendayung, Pamanda,” jawab Raden Kusnan. “Armada seperti itu tak dapat kau susul dengan pendayung.” “Ampun, Pamanda, memang sahaya yang terlambat sejak semula.” Aji Usup memerintahkan pada Syahbandar Banten untuk memunggah perbekalan ke atas kapal-kapal Tuban. Dan begitu tuan rumah itu pergi pembicaraan diteruskan. Wiranggaleng duduk di suatu jarak mendengarkan dengan diamdiam. Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Pendayungan dari Jepara ke Banten dinilai oleh Aji Usup sebagai keliru, merugikan persiapan perang. Gugusan Tuban berlayar bukan untuk memburu bajak atau meronda pantai. Juga ia menyalahkan kebijaksanaan Raden Kusnan, yang menyebabkan gugusan harus berlabuh di Banten untuk beberapa hari: prajurit dan awak kapal harus memulihkan kekuatannya. “Sahaya memang tidak punya pengalaman laut, Pamanda,” Raden Kusnan meminta maaf. “Barangkali kau pernah dengar pendayungan terusmenerus kapal-kapal Majapahit. Kau keliru. Kapal-kapal Majapahit ringan, biarpun lebih besar. Pendayungnya bukan prajurit atau awak kapal, tapi bajak laut yang menjalani hukuman sampai mati.” “Kami dari gugusan Tuban akan semakin tertinggal tanpa mencoba menyusul. Dengan penangguhan lagi di Banten….” “Kami mendapat titah dari Gusti Kanjeng Laksamana untuk menjadi tetua gugusan Tuban. Jangan hendaknya jadi kekecewaarunu, Raden Kusnan.” Raden Kusnan pucat tak dapat mengatakan sesuatu. Wiranggaleng mendeham, tapi Aji Usup tak menggubrisnya. Sekarang ia baru menyedari dudukperkara: Sang Adipati Tuban telah dengan sengaja memperlambat keberangkatan untuk tidak menyertai perang di Malaka. Sebaliknya Jepara kini telah merampas gugusan Tuban, kapal dan anakbuahnya dan prajuritnya, termasuk dirinya. Ia harus selamatkan gugusan Tuban. 0o-dw-o0 Keesokan harinya pembicaraan diteruskan di kapal. Raden Kusnan dan Wiranggaleng untuk kedua kalinya harus menelan kemarahan Adipati Unus Jepara melalui mulut Aji Usup. “Insya Allah,” kata Aji Usup kemudian, “kita masih akan dapat menyusul Kanjeng Gusti Laksamana di Riau atau Tumasik.” Setelah itu ia menerangkan, armada Jepara telah dipecah jadi dua. Gugusan-I menyusuri pantai barat Sumatra, memutari Aceh untuk ke-mudian bergabung dengan gugusan pasukan laut Aceh, yang akan melakukan pendaratan dan penyerangan langsung dari sebelah utara Malaka. Gugusan-I telah berangkat dan hanya singgah sehari di Banten. Gugusan-II, yang lebih kecil, dipimpin sendiri oleh Laksamana Unus, bertugas menyusuri pantai sebelah timur Sumatra dan bergabung dengan gugusan pasukan laut Jambi-Riau. Di Riau Gugusan-II akan beristirahat sambil menunggu gugusan Tuban dan Banten yang terdiri atas pelarian dari Malaka yang menggunakan kapal-kapal dagang yang telah dirubah untuk keperluan perang, dan akan melakukan pendaratan dan penyerangan dari selatan Malaka. Aji Usup kemudian melakukan pemeriksaan di semua kapal Tuban. Para prajurit dan awak kapal nampak sudah sangat lelah. Banyak di antaranya telah jatuh sakit dan ditunmkan di Banten. Pembicaraan yang kemudian diteruskan membuat Wiranggaleng mengerti, bahwa armada Jepara menunggu Tuban di Banten selama delapan hari. Tetapi semua itu tak menarik perhatiannya lagL Dalam hati kecilnya ia merasa, Demak-Jepara dengan sengaja hendak menyedot kekuatan Tuban dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu kali Demak akan memukul dan menaldukkan Tuban. Tuban sebaliknya, membiarkan dirinya mengulur-ulur waktu untuk memperiihatkan diri untuk dapat memukul Demak dengan jalan lain dan cara lain la pernah mendengar. Sang Adipati tidak menyukai perang Maka boleh jadi ia menggabungkan diri dengan armada Demak- Jepara hanya suatu dalih untuk menjerumuskan musuhnya dalam penghamburan kekuatan di Jepara, dan dengan demikian takkan dapat menyaingi bandar Tuban sebagai bandar rempah-rempah. Bandar Jepara harus tetap pudar. Dan waktu prajurit dan awak kapal bersorak-sorai menyambut pengumuman, bahwa Gugusan Tuban akan meneruskan pelayaran untuk bergabung dengan armada Jepara, ia tidak ikut bersorak. Ia terdiam. Ia menjadi curiga dan semakin waspada. Ia ingin mengikuti gerak-gerik Aji Usup selanjutnya. Sedang kepercayaannya pada Raden Kusnan menjadi hilang. Pemimpin Gugusan Tuban itu tidak semestinya mengjakan saja perintah Aji Usup. la catat semua yang dianggap kelicikan Demak-Jepara dan juga Tuban sendiri dalam hatinya. Ia berjanji akan dapat memecahkan teka-teki yang ruwet ini Gugusan Tuban berangkat ke baratlaut beberapa hari kemudian. Kapal-kapal dagang para pelarian Malaka yang dirubah jadi kapalperang itu berjumlah tiga. Semua dari ukuran kecil. Ia mendapat keterangan, Gu-gusan-II akan menampung juga kapal-kapal kecil semacam ini, milik para pelarian dari Tumasik, yang merasa tak ada keamanan lagi setelah Malaka jatuh. Di Riau ternyata Gugusan-II telah berangkat lebih ke utara. Di sini mereka menerima kemarahan lagi dari Laksamana karena keterlambatannya. Raden Kusnan telah kehilangan semangat harus menelan kemarahan tiga kali berturut. Aji Usup berusaha menghibumya, tetapi temyata semangatnya telah patah. Pimpinan gugusan Tuban diambilnya sama sekali, dan dengan sendirinya Wiranggaleng naik menggantikannya, juga atas perintah Aji Usup. Kenaikannya memberikan suatu kekuasaan untuk melakukan tindakan yang memutuskan, bila Demak-Jepara bermaksud untuk merugikan Tuban. Ia akan lemparkan Aji Usup dan Raden Kusnan ke laut bila ia melihat kecurangan akan dilakukan atas Tuban. Dan ia akan melakukannya tanpa ragu-ragu. Ia tahu bagaimana Patragading telah naik ke tiang gantungan di belakang kadipaten, maka putranya yang seorang lagi mungkin juga akan direlakan oleh ayahnya. Ia perintahkan agar dayung sama sekali tidak dipergunakan. Prajurit dan awak kapalnya harus tetap dalam keadaan segar menghadapi segala kemungkinan. Gugusan Tuban berlayar hanya dengan kekuatan angin. Dan jauh di belakang sana, seperti titik-titik menyusul gugusan pelarian Malaka di Banten. Bukannya empat hari, tetapi lima setengah hari Adipati Unus telah menunggu gugusan Tuban di Riau sambil memberi kesempatan pada Gugusan-I untuk menerima penggabungan gugusan Aceh. Setelah ternyata Tuban tak juga nampak, dianggapnya sekutu itu telah melanggar janji dan ia hapus dari perhitungan perang. Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya telah bergabung dengan Gugusan-I, dipimpin oleh seorang perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat sebagaimana diperhitungkan oleh Unus. Antara prajuritprajurit Jepara-Demak dan Aceh terdapat kelainan pakaian yang menyolok. Jepara-Demak menggunakan celana dan baju putih dan destar putih. Tanda pangkat mereka ada pada kelainan ikat-pinggang. Prajurit-prajurit Aceh bercelana dan berbaju hitam, berdestar hitam. Perwiraperwiranya berikat-pinggang selendang merah. Destarnya yang tertarik naik menuding langit kadang-kadang dihiasi dengan permata. Senjata kedua-duanya tidak berbeda: tombak, pedang, perisai. Karena mereka mengharapkan perang lapangan, mereka tidak menggunakan panah. Pada para perwira terdapat senjata-senjata jabatan. Gugusan-II berlayar lambat-lambat menuju ke sasaran. Layar tak dikembangkan penuh sambil menunggu tandatanda yang diberikan oleh Gugusan-I. Portugis takkan diberi kesempatan untuk meninggalkan Malaka dari laut. Mereka harus dibinasakan di darat sebagai hukuman, atau dipaksa lari ke pedalaman dan mati di hutan-hutan sebelah timur. Laksamana Adipati Unus telah memperhitungkan: waktu penyerangan akan dilakukan tepat pada saat Malaka kosong dari armada Portugis. Maka bila musuh telah ditumpas di daratan, dan laut dijaga dari armada musuh yang mungkin datang, semua akan dapat mendarat di Malaka. Setelah itu musuh boleh melakukan serangan balasan dan mendaratkan pasukan. Perang darat harus memutuskan kemenangan. Bandar Malaka telah nampak sayup-sayup di hadapan Gugusan-II. Tak nampak ada satu kapal Portugis pun. Nampaknya Gugusan-I terlambat memberikan isyarat. Tapi tidak, peluru-peluru cetbang daripadanya mulai beterbangan di udara dan meledak merupakan bungaapi dan gumpalan asap. Wama merah membelah langit: juga di sebelah utara sana tak ada nampak kapal Portugis. Gugusan-D menjawab dengan tembakan ke udara pula: juga di sebelah selatan tak ada nampak kapal Portugis. Sayup-sayup oleh Gugusan-II kelihatan prajurit-prajurit Aceh-DemakJepara, hitam dan putih mulai mendarat, kemudian kapal-kapalnya bergerak menyusuri pantai utara Malaka dan membasminya dengan tembakan-tembakan cetbang. Dentumannya menggelora disambut oleh soraksorai Gugusan-II. Serangan darat sudah dimulai. Prajurit-prajurit dari Gugusan-II ber-lompatan dan berjingkrak di geladak Dan tak lama kemudian mereka melihat api dan asap mulai membubung ke udara. Tetapi Portugis bukanlah penakut. Dari pengalaman perangnya di berbagai benua mereka mengerti benar bagaimana harus menghadapi serangan pasukan Pribumi, sehingga sejumlah kecil orang harus bisa menghalau mereka semua, membendung, membubarkan dan menghancurkan. Mereka menghindari perang lapangan menghadapi lawan yang lebih besar jumlahnya, sebaliknya menggunakan penggertakan-penggertakan dengan peluru dan gelegar menam serta penyergapan, dan melumpuhkan lawannya dengan tembakan-tembakan musket. Dari pengalamannya di Asia Bawah mereka mendapatkan. temyata musuhnya lebih takut pada ledakan dari pada peluru ataupun maut. Dan meriam-meriam mereka mulai terdengar beigelegaran, dengan atau tanpa bola-bola besi. Barang setengah jam kemudian tembakan-tembakan musket mulai terdengar. Tetapi kebakaran di Malaka itu menjalar-jalar juga, terus dan terus ke selatan, menuju ke pusat kota. Gugusan-II makin menghampiri bandar. Gugusan-I telah berhenti menghamburkan peluru cetbang dari kapal dan mulai menurunkan prajurit yang tersisa. Nampaknya tak ada seorang prajurit pun sudi ketinggalan menikmati kemenangan atas Portugis. Kapalkapal mereka tersauh kosong. Laksamana Adipati Unus memerintah memberikan tembakan peringatan terhadap Gugusan-I, tetapi tidak digubris. Kapal-kapal mereka tetap tertinggal kosong tercancang pada jangkar masing-masing. Gugusan-II makin mendekati Malaka. Cetbangcetbangnya mulai diarahkan ke bandar. Peluru-peluru api itu meledak menyambari bangunan-bangunan dan pepohonan dan rumah-rumah. Kebakaran sekarang terjadi di sebelah selatan kota Malaka. Angin dari selatan meniup api itu ke utara dan kebakaran semakin menjadi-jadi. Dari kapal-kapalnya Gugusan-II dapat melihat meriammeriam Portugis mulai ramai diarahkan pada kapalkapalnya. Tetapi cetbang menyapu sarang-sarang mereka. Musuh di darat itu nampak berlarian, berlindung di balikbalik pepohonan yang masih utuh. Sekarang peluru-peluru besi Portugis mulai beterbangan mencari sasaran. Tetapi hujan petir cetbang menghalangi mereka menembak dengan baik. Makin dekat dengan bandar makin nyata terdengar sorak-sorai prajurit gabungan dari Gugusan-I, yang dengan kecepatan luar biasa mendesak ke selatan. Karena kebingungan melayani serangan dari darat dan laut meriam-meriam Portugis mulai berjatuhan sepucuk demi sepucuk. Sebuah peluru Portugis masih sempat melayang dengan garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal Jepara. Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding itu. Sebentar kemudian selembar papan baru telah nampak ditambalkan dari dalam. Dan sorak-riuh mengikuti. Sebutir peluru besi lainnya telah memagas mancung haluan kapal bendera yang ditumpangi oleh Laksamana. Ia sendiri sedang berdiri di haluan di antara dua pucuk cetbang bikinan Bareng. Dua-duanya sedang menembak satu-satu. “Dengarkan!” katanya sambil mengangkat tangan tinggitinggi. “Tembakan mereka semakin tipis. Gencarkan tembakan kalian!” Perintah itu disampaikan melalui isyarat pada kapalkapal lain. “Perhatikan laras, jangan sampai terlambat mengganti!” Baru saja perintah selesai diberikan, dari sebuah kapal di sayap kanan disampaikan laporan, dua pucuk laras telah pecah ambyar. Unus meneruskan perintahnya: “Hari ini si kafir harus angkat kaki dari bumi Malaka. Hari ini! Insya Allah. Kalau Peranggi telah terusir, mulai sekarang seluruh laut bagian selatan, seluruh perairan Nusantara, akan kembali jadi milik kita bersama lagi.” Ia menengok pada perwira pembantu yang berdiri di belakangnya: “Lihat peluru Peranggi itu. Dipaprasnya mancung kapal kita, sehingga layar kemudi kita lumpuh. Tapi insya Allah, mereka akan menerima paprasan seratus kali dari kita. Habiskan pelurumu, Peranggi! Habiskan!” ia tertawa senang. “Tembakannya semakin berkurang juga, Gusti.” “Ya, dan kalau Peranggi tidak terusir pada kesempatan ini, boleh jadi lain lagi yang akan terjadi.” “Tak ada nampak armada Peranggi, Gusti.” “Alhamdulillah.” “Betapa indahnya hari ini, Gusti.” “Syukur kepada Allah s.w.t. Kalau mereka tinggal berkuasa di Malaka, tidak lama lagi, dan pelabuhanpelabuhan kita akan jadi perkampungan nelayan belaka. Laut kita akan jadi rawa. Sawah akan jadi sarang nyamuk dan ladang kita jadi timbunan batu. Mengerti?” “Patik, Gusti.” Seorang perwira yang agak jauh memujimuji: “Perhitungan Kanjeng Gusti Adipati tepat. Malaka jatuh dalam sehari,” ia mengunci kata-katanya dengan sembah. “Ada kalian dengar? Mereka sudah berhenti menembak. Malaka telah jatuh di tangan Gugusan-I. Alhamdulillah. Ya Allah, ya Robbi, apa yang belum Kau ridloi di utara sana telah terjadi di selatan sini: Peranggi kalah. Biar begitu, lepaskan tanda-tanda peringatan kapal-kapal itu tidak tertinggai kosong.” Tembakan-tembakan peringatan segera dilepaskan. Tetapi Gugusan I sudah lupa daratan dengan kemenangan. “Mendaratkah kita, Gusti?” “Tidak mungkin! Keteledoran Gugusan-I menyebabkan kita harus tetap berjaga di sini. Turunkan perahu. Hubungi Kantommana – kapal-kapalnya harus segera diisi, sekarang juga.” Sebuah sampan diturunkan dan orang bercepat-cepat mengayuh ke arah bandar. “Sebelum penjagaan laut di utara sana dapat bertugas, sayap kanan Gugusan-II supaya maju sampai melewati kapal-kapal Gugusan-I. Waspada ke sebelah utara!” Isyarat-isyarat dikeluarkan dari kapal bendera dan sayap kanan Gugusan-II mulai bergerak maju. “Malam ini kita menjaga laut, lebih waspada, di semua kapal seyogianya diadakan sembahyang syukur.” “Patik, Gusti. Sebentar lagi magrib. Besok, insya Allah, akan terbit hari baru tanpa ada halangan atau rintangan.” “Insya Allah, kelambatan dan keteledoran dalam sehari ini semoga tertebus oleh kegemilangan hari esok: pendaratan, perkubuan, pemburuan terhadap Peranggi….” Malam pun jatuh. Langit di atas Malaka merah-hitam oleh api dan asap. Dari atas kapal-kapal Gugusan-II nampak prajuritprajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara mondar-mandir menjalankan perintah. Antara sebentar sorak-sorai dari daratan masih terdengar. Dan dalam malam itu juga tukang-tukang kayu sibuk membetulkan kerusakan pada tubuh kapal. Sampan utusan tiba dan membawa surat dari perwira Kantommana, bahwa tugas sudah selesai, dan sedang menyiapkan untuk pendaratan Sang Laksamana untuk besok hari. Sampan dikirimkan kembali, memerintahkan agar kapal-kapal Gugusan-II tetap diperlengkapi dengan kekuatan. Di atas geladak semua kapal Gugusan-II sembahyang magrib dilanjutkan dengan sembahyang syukur, diimani dan dikhotibi oleh Adipati Unus sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang isya! Sampan utusan datang kembali, membawa berita bahwa prajurit-prajurit yang melakukan pengejaran belum lagi dapat dihimpun. Mereka masih tersebar di hutan-hutan, dan bahwa perintah itu akan segera dilaksanakan. Surya memancar cerah di pagi hari. Langit biru muda dan bening. Kapal-kapal dari Gugusan-II tetap menjaga perairan Malaka. Gugusan-I tetap kosong dari penjagaan. Tembakan Portugis di daratan sudah tak terdengar lagi. Mereka telah terbenam dalam arus prajurit gabungan. Pengejaran dilakukan atas sisa-sisa musuh yang terbesar di mana-mana. Gugusan-II tetap tak dapat mendarat. Dan bila Gugusan-II mendarat, dan puluh ribu prajurit gabungan akan berpesta di atas kekalahan Portugis, tanpa gugusan Tuban dan Banten. Sebuah perahu layar kecil menghampiri kapal bendera dan mempersembahkan pada Laksamana Unus, bahwa Malaka sudah siap untuk didarati. Unus menjadi berang mendengar persembahan itu. Ia mendapat keyakinan, Gugusan-I memang tidak mematuhi rencana semula. Ia perintahkan perahu itu kembali tanpa jawaban. Tepat pada waktu perahu itu sampai ke bandar, dari sebelah utara sayap kanan Gugusan-II melepaskan tembakan peringatan: dari sebelah utara nampak sayupsayup iring-iringan armada Portugis. Layar-layarnya yang tinggi bergambar salib itu kembung sepenuhnya. Kapalkapal itu meluncur cepat ke selatan. “Peranggi!” orang memekik dari atas tiang utama. Seperti dengan sendirinya cetbang-cetbang Gugusan-II bergerak laras-larasnya, semua tertuju ke arah datangnya armada musuh. Pada sayap kanan Gugusan-II yang telah ada di sebelah atas Malaka Unus memerintahkan agar berlawan sambil mengundurkan diri bergabung dengan induk Gugusan. Pada daratan diisyaratkan pada Gugusan-I yang lengah, bahwa Portugis sedang mendatangi, dan mendesak agar kapal-kapalnya diisi kembali. Mengikuti tradisi Majapahit, cetbang hanya dipergunakan di atas laut dan sekali-sekali tidak diperkenankan di darat. Kapalperang dan cetbang merupakan kesatuan. Dengan kapal-kapal dari Gugusan-I yang kosong cetbang-cetbangnya pun menjadi bungkam. Suasana kemenangan yang riang-gembira berubah jadi kewaspadaan dan kesiagaan yang tegang. Orang menduduki tempatnya masing-masing menghadapi perang laut. Armada Portugis ternyata lebih maju daripada yang diperkirakan. Baru saja prajurit-prajurit dari Gugusan-I turun ke biduk-biduk untuk menuju kapalnya masingmasing, guruh meriam Portugis sudah mulai kedengaran. Kemudian disusul oleh tembakan balasan dari cetbangcetbang sayap kanan Gugusan-II yang mengawal Gugusan- I. Armada Portugis itu maju terus sambil menembak – lima buah kapal, yang dari kejauhan seakan terbuat dari baja putih. Peluru-peluru besinya beterbangan nampak dari Gugusan-II. Orang dapat melihat dari setiap kapal Portugis dapat dilepaskan sepuluh peluru sekaligus dari beberapa tempat. Pertempuran laut antara armada Portugis dengan sayap kanan Gugusan-II nampak dari kejauhan seperti perkelahian antara dua rombongan ka tak raksasa dengan lidah-lidah api yang panjang menyambar-nyambar. Dan kapal-kapal Gugusan-I masih tertidur dalam kedamaian diayun-ayunkan oleh ombak pagi, seakan tidak peduli pada kehancuran yang mendatangi. Orang melihat bagaimana kapal-kapal sayap kanan Gugusan-II direjam oleh peluru logam dan hanya dapat membalas dengan ledakan peluru cetbang. Dan kapal-kapal Portugis maju terus, terlalu yakin pada kekuatan meriamnya, pada kekukuhan kulit kapalnya, pada kelajuan dan pada keperkasaan layarnya. Sebuah kapal Portugis nampak terbakar layar-layamya terkena semburat api ledakan cetbang. Orang juga melihat sebuah kapal sayap kanan tumbang tiang layarnya dan dindingnya terbongkar, kemudian dengan ragu-ragu menyelam ke dasar laut. KapaJ-kapal lainnya mengerahkan dayung menghindari derasnya hujan peluru. Tetapi peluru logam itu lebih cepat dari kelajuan angin, apalagi kelajuan kapal. Sukun-sukun besi itu menghunjam buritan, haluan, lambung, dinding kiri dan kanan. Semua yang terkena terjang dadal tak dapat bertahan. Laksamana memerintahkan menghadang musuh dengan tembok tembakan cetbang. Ia telah saksikan kehebatan meriam Portugis dengan mata kepala sendiri, dan mengakui keunggulannya. Ia lihat sendiri juga bagaimana sayap kanannya tumpas di depan sana tanpa bisa membela diri. Dan Portugis maju terus seperti tak terjadi apa-apa atas dirinya. Sayap kanan Gugusan-II tenggelam sebuah demi sebuah, hilang ke dasar laut. Portugis mulai menembaki kapal-kapal Gugusan-I yang kosong dari prajurit, kosong dari pengawalan. Sampansampan prajurit bubar tak berani meneruskan memasuki kapalnya. Gelegar meriam Portugis dan ledakan cetbang Gugusan-II sambar-menyambar tak putus-putusnya. Sebuah demi sebuah dari Gugusan-I menyusul menyelam ke dasar laut dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri. Dan armada Portugis terus saja maju. Sebuah kapalnya yang terbakar layamya tertinggal di belakang. Unus memerintahkan semua dayung dipersiapkan. Keningnya berkerut melihat Gugusan-I tak sempat melepaskan satu tembakan cetbang pun, biasa tanpa pernah melawan. Dan armada Portugis semakin mendekat, semakin jelas dan semakin besar. Kapal-kapalnya anggun dan agung. Walau pun kelajuannya tinggi nampak tidak terburu-buru. Dan kapal-kapal itu ternyata memang tidak lebih besar daripada kapal bendera Demak-Jepara. Tak ada terdengar sorak. Hati orang telah menjadi kecil melihat tumpasnya sayap kanan Gugusan-II. Cetbang Gugusan-II mulai menyemburkan tembok api dan ledakan, tembok penghadang. Tetapi dalam pada itu setiap kapal datang melaporkan, bahwa semakin banyak lagi cetbang yang meledak di tempat, melukai dan membunuh penembak-penembaknya. Sedang kapal-kapal Portugis tetap tak dapat dicapai oleh cetbang. Laksamana Adipati Unus sebentar menunduk, mengerti ia telah terkecoh oleh pandai-pandai Hindu dari Blambangan. Sesal tiada berguna. Meriam-meriam Portugis tak memberikan padanya kesempatan berpikir lebih lama. Peluru-pelurunya tak mengindahkan tembok api dan ledakan cetbang. Gugusan-II kini mulai terkena hajar. Beberapa bagian dalam sebentar saja, dan setiap gem a gelegar di kejauhan sana disusul oleh datangnya bola-bola besi lawan yang menembusi dinding kapal tanpa bisa ditahan. “Ya Allah, bantulah ummat-Mu ini,” Adipati Unus mengangkat tangan ke atas. Ia berdiri di belakang dua pucuk cetbang yang tak hentihentinya menembak. Barangkali ia menyesal juga telah menangguhkan pendaratan yang kemarin. “Perintah Gusti Kanjeng Adipati ditunggu,” seorang perwira menyedarkannya. Ia menengok ke samping kiri dan kanan. Ia melihat beberapa buah kapalnya telah pada mulai miring, hancur pada lambung, menungging karena pecah haluan. Dan cetbang-cetbang tetap tak dapat mencapai mereka…. “Ya Allah, bencana tak dapat dielakkan. Perintahkan pada semua kapal untuk meninggalkan perairan Malaka!” Kapal-kapal mulai bergerak dengan tenaga pendayung. “Cetbang tak mampu, Gusti.” “Kami sudah lihat sendiri. Mereka memang lebih unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menantang mereka, sudah melawan dan mendatangi.” Juga kapal bendera mulai berputar dengan tenaga pendayung. “Bagaimana rahasia cetbang-cetbang kita kalah terhadap meriam? Apa obat dan bagaimana ramuannya kiramu?” “Warta-warta itu ternyata tidak bohong, Gusti. Senjata mereka lebih unggul.” “Ya, persiapan kita kurang sempurna.” Pada waktu kapal-kapal dari Gugusan-II memutar haluan, armada Portugis semakin menggencarkan serangan karena mendapatkan titik tembak lebih besar. Beberapa kapal lagi telah buyar dindingnya dan miring kemudian tenggelam pelahan-lahan. Sebuah kapal meledak pada gudangsendawanya. Api menyemburat ke langit dan kapal itu sendiri ambyar berkeping-keping. Armada Portugis semakin mendekat juga. Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu di antara tiangtiangnya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah. Dua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih seperti lontar. Sebuah peluru lagi menyambar siku haluan, dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang mancung itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan serpihan besi beterbangan. Laksamana Adipati Unus menggeletak di geladak bermandi darah. Serpihan besi telah menghujani tubuhnya. Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-Jambi- Riau-Demak-Jepara dengan kekuatan dua puluh ribu orang itu binasa dengan kekalahan…. 0o-dw-o0 Tumasik telah di depan mata. “Semenanjung!” seseorang berteriak dari tiang utama. Aji Usup keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di belakangnya mengikuti Wiranggaleng. Semenanjung nampak semakin nyata. Dan armada yang dikejar itu belum juga nampak. Tumasik, bekas pangkalan Majapahit di masa-masa yang lalu, sepi. Orang sudah pada mengungsi dari situ. ‘Tidak singgah, langsung ke Malaka.” Gugusan Tuban-Banten berlayar dengan semua layar kembang. Setelah setengah hari berlayar nampak oleh gugusan itu dua buah kapal menuju mereka. Di belakangnya mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak lambat, dan hampir sepenuhnya menggunakan tenaga pendayung. Wiranggaleng naik ke atas tiang utama, menghampiri juru-tinjau. “Barangkali kapal bendera Jepara,” kata juru-tinjau. Wiranggaleng tak menanggapi. Memang kapal bendera Jepara. Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada Aji Usup. “Gustiku! Gustiku!” sebut Aji Usup kesakitan. Ia lari ke haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit, dan kapal bendera yang somplak: “Gustiku, Gustiku! Ya Allah, Gustiku! Hanya kau yang mengerti bagaimana mempersatukan armada, hanya kau tahu cara mengusir Peranggi. Gustiku! Gustiku!” Raden Kusnan berlutut di geladak dan menyembah ke jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba: “Gustiku! hukumlah patik. Patiklah yang bersalah tak dapat memenuhi janji.” Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan adonan kapur dan minyak kelapa tujuh lapis itu dari jauh nampak seperti merpati compang-camping dalam keputihannya. Di beberapa tempat lapisan adonan telah gompal dan buyar dengan dinding tubuh menganga. Bendera Jepara, putih dengan gambar kupu-tarung, tidak nampak – telah terbabat oleh peluru Portugis. Aji Usup memerintahkan agar disiapkan sebuah biduk. Semua prajurit Tuban dan Banten di atas kapal masingmasing berlutut dan menyembah kapal bendera. dan mereka semua menyaksikan Aji Usup, Raden Kusnan dan Wiranggaleng turun ke biduk menuju ke kapal bendera, naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang menghilang ke dalamnya. Mereka memasuki kamar Laksamana. Suasana berkabung itu mempengaruhi setiap orang. Semua kepala menunduk. Juga pendatang yang tiga orang itu. Di dalam kamar Laksamana beberapa orang duduk di atas geladak menghadap pada ambin kayu. Di atas ambin nampak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di sana-sini balut itu ditembusi darah. Hanya mata, lubang hidung dan mulutnya saja yang nampak. “Gusti, Gusti!” ratap Aji Usup. Bibir seonggokan tubuh di atas ambin itu bergerak lambat dan matanya tertuju pada Aji Usup: “Masih juga terlambat kau, Aji Usup?” “Inilah patik, Gusti, hukumlah patik!” “Terlambat, Aji Usup, semua sudah tanpa guna.” “Raden Kusnan dari gugusan Tuban datang menghadap, Gusti,” sembah Raden Kusnan, “hukumlah patik, bunuhlah patik, Gusti. Tak patut lagi patik mengabdi pada Gusti. Gusti! Gusti!” “Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati janji.” “Ampun, Gusti Kanjeng,” Kusnan hendak bicara lagi, tetapi seseorang telah mendorongnya keluar. Wiranggaleng mengantarkan Kusnan kembali ke biduk Aji Usup tinggal di kapal bendera yang somplak. Sepanjang pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak hentihentinya menangis. Dan juara gulat itu telah memutuskan dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugusannya pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan Tuban ini jatuh ke tangan Demak-Jepara. Ia akan pertahankan kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil tindakan terhadap bekas pimpinannya itu. Begitu mereka sampai di kapal sendiri, mereka mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi. Wiranggaleng memerintahkan pada seluruh gugusan untuk mengiringkan Gugusan-II, juga memerintahkan melakukan upacara berkabung. “Sampaikan juga pada kapal-kapal Banten supaya kembali!” penntahnya. ‘Tak ada di antara mereka boleh meneruskan pelayaran.” Di Riau, kapal-kapal Riau-Jambi yang masih selamat memisahkan diri dan mengucapkan selamat jalan pada kapal bendera dengan kibaran bendera-bendera alamat: selamat jalan pada armada yang pulang membawa kekalahan. Dan kapal bendera itu tidak singgah Dengan sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa luka-lukanya. Di belakang mengiringkan semua kapal. Di Banten baru iring-iringan itu singgah untuk memunggah perbekalan, kemudian meneruskan pelayaran ke Jepara. Kapal-kapal Banten yang kecil itu terus mengiringkan. Wiranggaleng sempat melihat bagaimana orang berduyun-duyun di bandar Banten untuk melihat sisa armada yang somplak compang-camping itu. Semua mereka berdiri diam-diam. Barangkali, pikirnya, yang nampak oleh mereka bukan sisa armada, tetapi kegagahan Peranggi. Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan Peranggi, juga tidak terkalahkan oleh Jepara. Ia mencoba mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. Di bandar Banten ia banyak mendengar percakapan dari perwiraperwira Demak-Jepara. Ada yang mengutuk pandai-pandai Blambangan. Ada yang menyalahkan Kantommana yang tak melaksanakan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh punya maksud sendiri hendak menggagahi Malaka buat dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan Tuban yang jelasjelas telah mengkhianati janji. Dalam pelayaran menuju Jepara ia kaji semua alasan yang didengarnya dan membenarkan semua. Tetapi juga membenarkan: Adipati Unus satu-satunya orang yang berani berusaha mempersatukan kekuatan pelawan Portugis, dan berani melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan kekalahan perang, tetapi kegagalan dalam mengatur kekuatan sendiri. Kemudian ia menyimpulkan: armada gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia menganggukangguk mengerti. Bandar Jepara penuh sesak dengan orang-orang yang datang menyambut. Semua pekerja galangan kapal berkerumun untuk melihat kesudahan dari kapal-kapal bikinannya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal bendera somplak dan tiang-tiangnya yang terpangkas mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap peluru Portugis. Panser dari adonan kapur dan minyak kelapa tidak mempunyai makna terhadap sukun besi, bahkan semakin memberati kapal. Juga di sini kehebatan Portugis lebih terbayang daripada kekalahan sendiri. Ibunda Sang Adipati Jepara, Ratu Aisah, permaisuri Sultan Demak, juga datang mengelu-elukan. Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh Wiranggaleng turun ke biduk untuk menyertai Laksamana mendarat. Dari kapal bendera yang somplak compang-camping diturunkan sebuah tandu dengan Sang Adipati Unus terikat di atasnya. Raden Kusnan dan Wiranggaleng mendekati tandu untuk mendapat kesempatan memikulnya sampai ke darat. Tapi mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri. Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah. Semua orang bersimpuh dan menyembah. “Pulang, kau, putraku, Adipati Unus?” tanya Ratu. “Inilah putra Ibunda, datang membawa luka dan kekalahan. Ampuni putra Ibunda ini – menyembah dan mencium kaki Ibunda pun putranda tak mampu.” Wanita tua itu menghampiri putranya dan menembuskan pandang pada mata yang tersembul dari balik balutan. “Kau terluka, putraku, tapi tidak kalah. Kafir-kafir itu sekarang tahu. Putraku kesayangan. Adipati Unus Jepara, telah pernah mendatangi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak.” Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua mata tertuju padanya. Terdengar suara lantangnya yang bereampur dengan desau angin dan deburan laut: “Perhatikan, semua kawula! Jepara sudah pernah mendatangi Peranggi di Malaka. Kapal-kapal Jepara sudah pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain berjatuhan satu demi satu tanpa daya. Perhatikan! Jepara telah mendatangi dan menyerang mereka!” “Perhatikan semua itu, seluruh kawula!” Adipati Unus memperkuat dengan suara lemah. Kemudian keluar katakatanya yang takkan dilupakan oleh sejarah: “Adipati Unus Jepara terluka, pulang tidak membawa kemenangan, tapi tidak membawa kekalahan. Jepara sudah bertempur melawan lelananging jagad. Kapal bendera telah dilukai oleh meriam Peranggi. Pasang kapal ini di laut sana, tambatkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh dunia tahu: dia telah pernah berhadapan dengan Peranggi dalam perang laut di perairan Malaka. Sauhkan di sana sampai umur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali kita akan datangi Malaka lagi. Lain kali!” Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan Wiranggaleng telah tak dapat merebut kesempatan untuk memikul. Mereka berdua berjalan di belakangnya. Iring-iringan bergerak menuju ke kadipaten. Dan di pelatarannya, di atas tanah, orang menunduk menyatakan bela sungkawa. Tiga hari Wiranggaleng tinggal di Jepara sebagai Punggawa Tuban. Bekas teman-temannya sekerja dulu tak habis-habis mengaguminya. Hanya Hayatullah selalu menghindarinya. Pada suatu kesempatan ia dapat menangkap bahunya. Orang itu mencoba mengebaskan diri sambil bersungut-sungut: “Kafir! Pengkhianat dari Tuban! Kafir!” Ia terpaksa melepaskannya dan membiarkan pergi sambil meludah jijik ke tanah. Mengertilah ia, umum di Jepara telah menganggapnya sebagai pengkhianat. Dan ia harus terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung semua pengkhianatan itu sebagai wakil Tuban. Ia mencoba menemui Raden Kusnan untuk minta diri. Hanya dengan susah-payah ia dapat menemukannya, untuk mendapatkan penghinaan baru pula: “Nyahlah semua tentang Tuban dan dari Tuban!” Hatinya terluka. Pada hari ke empat ia berhasil dapat menghadap Ratu Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten: “Kau, Wiranggaleng dari Tuban, kembali kau pada Gusti Adipati Tuban dengan salam kami. Jangan kau patah hati. Kegagalan di Malaka bukan akhir, hanya suatu permulaan yang belum selesai. Pulanglah, Nak, dengan damai. Allah memberkahimu.” Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. Dengan langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera memerintahkan mancal. Jamal Konong, pemimpin gugusan Banten, menghadangnya di dermaga: “Tuanku Wiranggaleng, kepala gugusan Tuban,” katanya sambil menyembah dada, “raja Pajajaran tidak memberikan ijin pada kami untuk mendarat di Banten untuk selama-lamanya. Kami hendak menyatakan bergabung dengan Jepara, tetapi tak ada punggawa yang dapat diajak bicara. Semua sibuk dengan Tuanku Laksamana. Tuanku, perkenankanlah kami menggabung pada Tuanku.” “Dua ratus anak buahmu, apakah masih lengkap?” “Utuh, Tuanku.” “Baik. Mari mancal.” 0o-dw-o0 Gugusan gabungan Tuban-Banten meninggalkan Jepara menuju ke Tuban. Sang Adipati menyambut kedatangan pasukan lautnya di bandar, la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat semua dalam keadan utuh dan selamat. Waktu Wiranggaleng mempersembahkan akan kapalkapal pelarian Malaka di Banten yang menggabung ia tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat. Ia sama sekali tak pernah menanyakan Raden Kusnan. 0o-dw-o0 12. Timbulnya Kerincuhan Wiranggaleng mengangkat bocah yang sedang bermainmain seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat dan kotor seperti bocah-bocah di desa. Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut tertawa. Ia ayunkan Gelar ke atas kepalanya, dan anak itu menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira karenanya. “Mana emakmu?” tanyanya walaupun tahu Idayu sedang di dapur. Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya armada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat itu! Sekiranya Peranggi sampai memburu… pasti ia tidak akan bermain-main dengan Gelar, anak istrinya ini. Peranggi tidak memburu. Mereka membelok ke kiri, menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah lindungan tembakan meriam mereka menghalau dua belas ribu prajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara untuk dapat melakukan pendaratan di bandar Malaka. Dari kenyataan itu ia menjadi mengerti: selamatnya pangkalan bagi Peranggi lebih penting daripada menghancurkan sisa kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! Peranggi membutuhkan pangkalan! Ia turunkan Gelar ke tanah, mengetahui Paman Marta datang padanya, langsung bersimpuh dan menyembah. Dengan masih menggandeng tangan Gelar ia mendengus: “Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku hanya seorang anak desa?” “Sahaya, paduka Wira.” “Husy.” tapi Paman Marta tetap bersimpuh. Bertanya: “Sahaya dengar Jepara kalah, paduka Wira.” “Bangun kau! Jangan aku kau bikin malu.” Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya dibongkokkan, kedua belah tangannya mengapurancang. “Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya, Jepara kalah. Mau apa lagi?” “Hebat benarkah Peranggi, paduka Wira?” “Apa itu paduka?” “Hebat benarkah Peranggi, bendara Wira? “Apa itu bendara? Ya, Peranggi memang hebat.” “Baru saja sahaya dengar, paduka Wira….” “Husy. Apa yang kau dengar?” “Setelah Peranggi mengalahkan Adipati Unus, rnereka tidak memburunya. Benarkah begitu, Wira?” juru gulat itu mengangguk. “Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi setelah itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya Pasai mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian, Wira?” Kening Wiranggaleng mengernyit. Tanpa bicara ia serahkan Gelar pada Paman Marta. Ia langsung memasuki gedung utama untuk mencari Syahbandar Tuban. Yang dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke bandar. Juga di sana Syahbandar tak didapatkannya. Justru pada waktu itu Tholib Sungkar Az-Zubaid baru pulang dan masuk ke dalam gedungnya. Ia datang Iagi ke Syahbandaran dan menemui Paman Marta sedang menggendong Gelar yang sedang menangis. ‘Tuan Syahbandar sudah ada di dalam, Wira,” katanya sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung. Wiranggaleng melompat masuk ke dalam. “Alhamdulillah, akhirnya kau datang juga, Wira,” sambut Syahbandar Tuban. Ia tetap berdiri di tempat, di belakang meja tulis. “Sejahteralah, Tuan. Benarkah Pasai telah jatuh ke tangan Peranggi setelah Jepara kalah?” Tholib Sungkar Az-Zubaid menggeleng-geleng dan berkecap-kecap tanpa menegakkan bongkoknya: “Rangmuda! Rangmuda!” sebutnya. “Berapa kali sudah kukatakan, Peranggi juga akhirnya menaklukkan seluruh dunia. Lupa kau sudah? Pasai jatuh, Wira. Benar. Selat sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita, rangmuda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh Allah kepada kita untuk dipergunakan. Terserah bagaimana manusia menggunakannya dan dapat atau tidak mereka menggunakannya.” Kata-katanya membanjir seakan tak bakal berhenti. “Sekali orang mengenal karunia ini dan dapat menggunakannya dengan baik, dia akan menciptakan hukumnya sendiri. Hanya yang dapat menggunakan dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira.” Wiranggaleng pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari Syahbandar membakar hatinya. Pada suatu ketika kelak, tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar Peranggi akan dapat dipatahkan, dan Wiranggaleng akan ikut serta melakukannya! Syahbandar Tuban mengikutinya dengan pandangnya sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan. Begitu Syahbandar muda turun ke tanah dan didapatinya Paman Marta telah menunggunya membawa Gelar yang meronta-ronta dalam gendongan. Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya sendiri. Gelar terdiam. Anak itu telah lelah menangis dan meronta. Matanya sayu, kemudian jatuh tertidur dengan kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan diletakkan si bocah di atas ambin. Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya Pasai, tentang sambutan melecehkan dan cara Syahbandar Tuban itu menyampaikannya! Ia duduk tepekur. Kemudian ia pandangi Gelar. Makin lama wajah itu makin menyerupai Sayid Habibullah Almasawa: bentuk kepala yang tipis, rambut yang mulai mengeriting, mata yang bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung bengkung! Sayid Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu. Dan kesamaan itu memang tak mungkin ia dapat lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali memasuki kamar ini… 0o-dw-o0 Nyi Gede Kati mengira Idayu telah mati di ujung cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga karena kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu apa lagi, seperti tak sedarkan diri. Bekas pengurus harem itu masuk sambil melindungi si bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan dari Wiranggaleng. “Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali, Wira,” katanya. Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi Gede Kati mendiamkannya dengan mendesiskan bibirnya. “Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu? Idayu sedang tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk membasuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar aku gendong bayi itu.” “Jangan!” Nyi Gede menolak kontak dan dari matanya nampak ia berjaga-jasa. “Jangan bunuh dia, Wira. Idayu berpesan, ‘Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang Galeng’. Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang.” Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap waspada mendekati Idayu, yang tergolek di ambin. Terdengar ratapannya, pelahan dan menghiba-hiba: “Idayu, pujaan seluruh Tuban, Kamaratih Tuban, betapa celaka hidupmu, Nak.” “Dia tidak celaka, dia berbahagia,” juara gulat membetulkan. ‘Telah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk menghadapi hari ini,” ratapan itu diteruskannya, “untuk menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan dicintai.” “Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya,” bantah Galeng. “Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya, seorang wanita utama, dikagumi semua orang. Idayu, ah, Idayu!” “Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur,” tegahnya. “Kau bukan wanita pertama menderita semacam ini, Idayu. Manakah darahmu, biar kucium sebagai penghormatan dari semua yang mencintaimu?” “Tak ada darah keluar dari tubuhnya,” sekali lagi ia membantah, namun tak dapat mencegah Nyi Gede meneruskan ratapannya. Dengan satu tangan Nyi Gede meraba-raba tubuh Idayu, dan ia tak mendapatkan setetes darah pun. Ia membeliak padanya, menuduhnya dengan suara keras: “Keji kau, Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehormatan pada Kamaratih Tuban! Tak kau antarkan dia dengan ujung cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi.” “Dia tidur. Mengapa mesti kucekik dia?” Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan pada leher Idayu. Ia dekatkan matanya pada leher itu dan baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan leher itu pun tidak cedera. “Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira?” “Mengapa aku mesti bunuh dia? Sediakan air hangat buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.” Nyi Gede Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya. Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula cerita Idayu tentang impiannya yang temyata kejadian sesungguhnya. Bayi itu bukan anakku. Orang-orang telah membicarakannya: Idayu terkena bius setiap habis pulang dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka membicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau percaya? Dan lelaki manakah yang bisa membuktikan seorang bayi itu anaknya atau tidak? Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya. Ia pandangi Idayu yang lelap-nyenyak mendekati pingsan. Dia tak bersalah. Dia telah bersedia menerima ujung cundriknya sendiri. Dia telah tubrukkan diri pada senjata itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia telah tewas. Mengapa yang menderita harus menerima hukuman? Mengapa bukan si penyebab penderitaan? Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tombaktombak dan pedang. Ia telah rasai ujung senjata itu menyintuh jantung Syahbandar Tuban. Sampai di pintu terdengar olehnya titah Sang Adipati untuk menjaga keselamatan Syahbandar, untuk melindungi jiwanya. “Terkutuk!” sumpahnya. “Bedebah itu tak boleh aku punahkan.” Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia memprotes Hyang Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang Adipati harus membatalkan pelepasan dendam terhadap musuhpribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat menampung titah para dewa. Dan titah itu tak datang dan tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya telah mematah-matahkan anggota badan Syahbandar Tuban. Tetapi kemudian melengking suara Rama Cluring yang mengharapkan dirinya dapat memanggil kebesaran dan kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang Adipati yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan itu terpanggil tanpa restu seorang raja. Tapi apakah aku bukan anak Tuban mendiamkan saja Sayid Habibullah Almasawa? Siapakah yang bisa salahkan aku kalau aku patahkan batang lehernya? Atau aku keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, telah kuremas hati penghalang jalanan ini! Kedua belah tangannya menggigil dan keringat kebakaran membasahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan tangan telanjang menuju ke gedung utama. Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang kuda dari kepatihan telah memanggilnya. Tugas penting telah memerlukan tenaganya…. Tidak lebih dari sebulan setelah kedatangannya dan Malaka baru diketahuinya: tidak benar Peranggi telah menaklukkan Pasai. Benar ada beberapa buah di antara kapal-kapalnya datang ke sana, tetapi hanya mencari lada dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan telah terjadi diikuti dengan perkelahian kecil di darat. Kemudian kapalkapal itu balik kembali ke Malaka tanpa hasil. Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua minggu Portugis menduduki Sabang, kemudian pergi lagi ke Malaka. Orang memberitahukan juga, kapal-kapal Portugis mulai kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, kemudian juga di perairan Jawa sendiri. Seruan Sultan Mahmud Syah dalam pembuangan untuk memboikot bandar Malaka nampak seakan masuk dalam hati para raja Nusantara. Tetapi pemboikotan sesungguhnya bukan karena seruan itu. Para raja Nusantara memang gentar pada Portugis dan takut berlabuh di Malaka. Sultan Mahmud Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang populer. Selama kejayaan Malaka sikapnya terhadap para raja selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan bersama antar-mereka. la menganggap semua mereka membutuhkan Malaka, dan Malaka tak membutuhkkan mereka. Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya telah membikin Pasai jadi bandar pengganti Malaka. Maka bandar yang telah kehilangan serinya dalam waktu satu abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang pun mulai menduga-duga, jangan-jangan Portugis kelak akan merampas juga bandar ini untuk menyelamatkan Malaka, dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi kemakmuran dunia. Malahan ada yang telah berani meramalkan: Kalau Peranggi belum juga melakukannya adalah karena masih disibuki oleh perkara-perkara lain. Pada waktu itu Portugis memang sedang sibuk memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara, menceraiberaikan armada-armada dagang Tuban dan Blambangan, membunuhi dan membinasakan pedagang-pedagang pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selama ini memegang monopoli atas Maluku. Pelayaran dan perdagangan antara Maluku dan Tuban merosot. Bandar Tuban menjadi lengang. Pasar pelabuhan sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri. Dan di seluruh negeri Tuban, tak lain dari Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya Tuban membantu Jepara dengan sejujur hati, mungkin Malaka telah jatuh dan Maluku tetap dalam monopoli pemborong dan pedagang Tuban dan Gresik atau Blambangan. Maka bandar Tuban takkan selengang sekarang ini. Sesal tiada guna: jatuhnya Malaka melambangkan jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh Nusantara. Nasi telah menjadi bubur. Kapal-kapal Tuban hampir-hampir tak berani lagi berlayar ke Maluku. Seperti digebah oleh badai mereka bertaburan ke jurusan barat mencari lada di Banten, Sumatra Selatan, dan mengangkutnya ke Pasai. Kapal-kapal Atas Angin seperti ditolak oleh taufan hampir-hampir tak berani muncul lagi di Tuban. Dan hanya pedagang-pedagang Tionghoa tetap tenang di pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak perlu menyinggahi Malaka. Tanpa rempah-rempah perdagangannya dengan Tiongkok berjalan terus: kayukayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat…. Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tumasik dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada yang memperhatikan mereka dalam ketenangannya. Keprihatinan Sang Adipati tak habis sampai di situ saja. Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan, penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan merambat dari bandar ke kota, dari kota ke pedalaman. Galangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja galangan tak dapat lagi mengharapkan upah. Golongan pedagang besar yang semua terdiri dari Pribumi Muslim dengan cepat memindahkan kapalkapalnya ke bandar-bandar di sebelah barat. Bila mereka toh menetap di Tuban Kota, mereka berpindah kegiatan dari eksportir menjadi pedagang kebutuhan pedalaman: ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan atas Malaka mereka mulai mengambil sikap membenci, memusuhi, dan menentang Sang Adipati Tuban. Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam menghormati dewa mereka. Tetapi ada juga segolongan kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang membenci kejayaan golongan Islam. Pertentanganpertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antargolongan. Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin, Islam juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemelukpemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di antara putra-putranya dari selir, setelah sekian lama mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu: hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi, sekalipun kalah. Tapi kelak? Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru. Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewadewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, tapi si manusia sendiri yang bertubrukan untuk jadi penyembahnya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan putra-putranya, dan siapa saja yang menyembah dewa baru ini. Tetapi kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya akan marabahaya yang lebih keras: Portugis. Belum lagi raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi Tuban, wajah Tuban sudah berubah, dari ramai menjadi lengang, kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi sepi. Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak lain dari prajurit-prajurit dari gugusan Banten, para pelarian dari Malaka. Mereka ditampung dalam asrama di luar kota. Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah dari Maluku dan tiga-tiganya telah dirampas oleh Portugis di Selat Banda. Mereka tak bisa hidup hanya dengan makan dan minum. Dan pada suatu hari, seluruh asrama itu kosong. isinya hilang-lenyap tanpa bekas. Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa mereka telah terhasut oleh Rangga Iskak, bekas Syahbandar Tuban. Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang Adipati mengetahui dengan pasti, bekas Syahbandar itu telah menggunakan kegelisahan umum untuk mencapai maksudnya sendiri. Orang Melayu keturunan Benggala itu ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia memohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti kerugian. Telah ia perintahkan agar bekas Syahbandar itu meninggalkan Tuban Kota dan ditempatkannya di pedalaman, mendapat kekuasaan atas lima desa. Nampaknya ia belum juga puas. Rangga Iskak masih juga mengajukan banyak permohonan. Telah diijinkannya untuk mendirikan perguruan untuk mengembangkan agama baru itu. Masih juga ia memohon tambahan desa. Dalam dua tahun memegang lima desa itu telah menyebabkan desa-desa tersebut mendapat kemajuan luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah dikenal selama itu, yang menyebabkan penduduk desa bekerja dua kali lipat daripada biasanya. Perumahan didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga memungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa batas. Panen yang berlimpahan menyebabkan desa-desa yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya menjadi patuh padanya. Dengan kepatuhan penduduk padanya bekas Syahbandar itu mulai memperlihatkan sikap yang memusuhi Tuban. Dengan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa itu mengibarkan panji-panji Islam untuk memusuhinya. Ia tidak bisa menerima ini. Ialah yang membenarkan orangorang Islam itu mendapat perlindungan dari Sri Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa. Ialah pula yang mempelopori persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang Islam dari Atas Angin, mengakibatkan pembangkangan bupatibupati pesisir terhadap Majapahit dan mengakibatkan keruntuhan kerajaan Buddha Tantrayana itu. Ialah pula yang membenarkan putra-putranya masuk Islam dan berpihak pada Islam. Sekarang dengan panji-panji Islam pula seorang bekas punggawa, bekas Syahbandamya, telah mengambil sikap memusuhinya. Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru, kekuasaan baru, pengaruh baru, meriam, Peranggi… semua itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju pada dirinya. Persembahan terakhir membenarkan dugaannya: seluruh prajurit pelarian Malaka itu menggabungkan diri dengan Rangga Iskak di desa Rajeg. Sudah berkali-kali ia memanggil putra-putranya di Demak untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru pendamai terhadap pembangkang baru ini. Tak seorang pun di antara mereka datang menghadap. Pembangkang Islam hanya bisa diredakan oleh orang Islam pula, pikirnya. Dan sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putraputranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan Tuban terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul. Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan Wiranggaleng ke Demak karena bagaimana pun putra-putra itu harus diyakinkan. Setiap ia ingat, kepentingan Idayu juga harus diperhatikan, ia selalu membatalkannya. Ia harus memberikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa tandingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah permata Tuban yang harus dimuliakan. Desas-desus kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: Sayid Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk mendapatkan perdamaian dari Peranggi dan Espanya. Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada Wiranggaleng untuk tidak meletakkan tangan pada Syahbandar Tuban itu, biar apa pun kata orang tentang dirinya. Dan satu hal yang selamanya ia menjadi ragu-ragu: perang. Juga terhadap Rangga Iskak tak akan dikirimkan balatentara. Setiap terjadi perang dalam negeri di Tuban akan memanggil Demak untuk menyerang. Boleh jadi Demak tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang. Kalau dia tumbuh menjadi kuat, mungkin Semarang akan dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dulu, bahwa orang-orang Tionghoa yang mendapat perlindungan di Lao Sam, tentu harus ia binasakan bila Semarang tak bisa mengendalikan Demak. Tapi tanda-tanda itu belum memunculkan diri lebih jelas. Memang perampasan Jepara suatu permulaan, tetapi kekalahannya di Malaka juga menyurutkan kepercayaan orang pada Demak. Hukuman itu sudah setimpal dengan kejahatannya. Tapi Sang Adipati tak pernah berani mengakui dirinya sebagai penakut. Ia rumuskan penakutnya sebagai kebencian terhadap perang – dan perang merugikan. Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi Syahbandar Tuban, pada suatu kali teg’adi ini: Bulan sedang menerangi alam. Tengah malam. Syahbandar, yang diikutinya dari kejauhan, berjalan seorang diri di bandar yang sepi itu. Ia berjubah genggang. Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang berjalan seorang diri dalam kesepian. Hanya desau angin dan deburan ombak yang terdengar. Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi ini. Tholib Sungkar Az-Zubaid langsung menuju ke dermaga. Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. Kemudian ia berhenti. Dan Wiranggaleng yang berjalan agak jauh di belakangnya melompat ke tepi jalan, berlindung di balik sebatang pohon asam. Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat. Hilang-timbul di balik puncak ombak, kemudian terayun naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu menuju ke bandar. Dan orang kulit putih mendarat. Dua orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat. Beberapa kali Syahbandar-muda menggosok matanya, takut salah pengelihatan. Tapi pemandangan itu tidak menipu matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang pendarat itu daripada kulitnya, juga membedakannya dari kulit Syahbandar. Dan jauh, jauh di tengah laut sana, sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal Portugis dengan layar-layar tergulung. Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan Sayid Habibullah Almasawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu kemudian turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut lagi, menuju ke kapal. Wiranggaleng mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini Mengapa penjaga menara itu lalai? Dan mengapa pendaratpendarat itu segera balik lagi? Ada apakah semua ini? Apakah hubungan Syahbandar dengan mereka? Dan adakah Sayid nanti mempersembahkan peristiwa ini pada Sang Patih? Sambil menduga-duga ia tunggu Syahbandar melewati tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap gumamnya, tapi tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan, mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut itu terlalu keras. Setelah orang itu lewat dan menuju ke Syahbandaran ia berjalan cepat-cepat menuju ke menara pelabuhan dan naik ke atas. Didapatinya dua orang penunggu menara telah tidur nyenyak. Suatu gelombang kemarahan menyebabkan ia memandangi mereka. Dan mereka tak juga bangun. Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu. Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan. Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja Syahbandar. Orang itu sedang duduk pada meja menulis surat. Di hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah, masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia menginjakkan kaki di bumi Tuban. Biar pun aku ambil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang bisa membacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang. Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali ke pelabuhan dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai mereka terjaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu nelayan nampak tiada berangkat semalam. Bayang-bayang kapal Portugis sudah tiada. Matari makin meninggi juga. Dan kala sinamya mulai jatuh pada kepala mereka, mereka mulai bergerak-gerak, menggeliat, dan membukakan mata dengan malas. Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak dengan mata belum sepenuhnya terbuka. Ia mendeham. Mereka menggeragap dan baru menyedari adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata Wiranggaleng yang tajam mengancam dan wajahnya terbuka. Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan memohon ampun. “Keparat kalian!” sumpah Wiranggaleng berang dan menyorong kepala mereka dengan kakinya. “Apakah kalian kira karena tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai begini siang?” “Ampun, Wira. Tiada sahaya berdua sengaja tertidur sampai begini siang. Wira selamanya dapati salah seorang di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun, ampun.” ‘Tak ada ampun lagi bagi kalian.” Mereka mencoba mencium kaki Wiranggaleng, tetapi Syahbandarmuda itu menendangnya dengan gerakan kaki lemah. “Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur berbareng seperti ini?” “Justru karena keteledoran kalian, tuan Syahbandar telah hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok….” “Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga keselamatan tuan Syahbandar. Hanya di sini…” Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk mendapat pengampunan. Dan Syahbandar-muda tak juga memberikan. “Ya, tugas kalian memang meninjau kapal. Dan kalian lalai. Di mana kalian lihat tuan Syahbandar untuk penghabisan kali?” “Kemarin sore masih ada di atas menara ini, Wira….” “Kemarin sore,” desak Syahbandar-muda. “Betul. Masih ada di sini, Wira.” ”Apa diperbuatnya di sini?” “Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira.” “Bangun kalian! Itu saja ceritanya?” “Betul, Wira. Tentang perawan-perawan Ispanya, Wira. Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira?” “Siapa yang tahu apa pualam itu? Mengapa tak kalian tanyakan padanya sendiri?” “Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya hitam tebal dan matanya tenggali. Giginya putih laksana mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi perempuan Jawa dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam, katanya. Hanya iblis perempuan berhitam-hitam. Buh, hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang senang bergigi-hitam.” “Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan Ispanya.” “Diperintahkannya pada kami untuk membayangbayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan Syahbandar, jangan sampai salah membayangkan. Rambut mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila tertimpa sinar matari. Dan kegenitannya, Wira, katanya, kalau diputamya pinggulnya, dan gaunnya mengembang seperti cendawan, ditadahkan mukanya pada langit bila dipuji kecantikannya… tak dapat orang melupakannya seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira?” “Tidakkah tuan Syahbandar menyuruh kalian melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat.” “Hanya membayang-bayangkan, Wira. Begini katanya, Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke Tuban membawa perawan-perawan tiada tandingan itu, lebih cantik dari bidadari Jawa. Ayoh, lihat ke laut lepas sana!…. Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal nampak. Tuan Syahbandar tertawa di belakang kami.” “Mengapa tertawa?” “Mana kami tahu, Wira. Memang tak ada kapal. Dia perintahkan juga kami membayang-bayangkan kapal-kapal itu. Lebih megah dari kapal Peranggi, katanya, penuh dengan perawan-perawan Ispanya yang cantik. Apakah kalian tak menghendaki barang seorang? tanyanya sambil terus tertawa di belakang kami.” “Apa kemudian?” “Kami kira dia sedang mabok tuak. Setelah itu dia turun dan pergi entah ke mana.” “Kemudian kalian makan,” Wiranggaleng mendakwa. ‘Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya.” “Kemudian kalian minum.” “Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat.” “Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu?” “Tidak, Wira. Hanya minum.” “Terlalu banyak tuak,” Wiranggaleng mendakwa lagi.“Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di sini. Kami hanya minum dari gendi, kemudian, entah bagaimana…” “Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar.” Melihat dua orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, “ayoh, makan dulu sebelum aku bawa kalian menghadap Sang Patih.” “Ampun, Wira,” mereka mencoba lagi untuk mencium kakinya. “Makan, kataku!” perintahnya Dan setelah mereka makan makanan yang setengah basi itu, ia memerintah lagi, “minum segera sebelum kita berangkat, karena Sang Patih sedang di luar kota.” Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat seperti hendak bengkak. “Wira, ampun, Wira, ampun,” mereka bergumam berat, kemudian menggelesot tidur di geladak. Ia mencoba membangunkan mereka. Tak berhasil. Ia tuangkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia. Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia menghela nafas dan mengucap syukur pada Hyang Widhi. Betapa jadinya kalau Idayu dulu kubunuh? Dia telah teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah. Idayu! Idayu! Memang Syahbandar itu patut aku binasakan. Kesempatan itu akan tiba jua, Sayid. Hati-hati, kau! Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana muncul layar salib dari sebuah kapal Portugis. Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya matanya. Benarkah itu Peranggi dan bukan kapal Ispanya, yang Syahbandar menyuruh penjaga menara itu membayang-bayangkan? Layar bersalib itu mengembang pada beberapa bagian dan sedang menuju ke bandar. Pasti kapal semalam. Dan sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam tidurnya. Ia memukul terus sambil melihat-lihat ke bawah. Dan benar sebagaimana ia harapkan: Syahbandar turun dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan menuju ke dermaga. Ia berhenti memukul melihat Syahbandar meninjau ke atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu, tapi kemudian berjalan terus. Bandar yang senyap tiba-tiba menjadi ramai. Wanitawanita berlari-larian membawa barang dagangannya menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk mendapatkan tempat terbaik. Menyusul kemudian pedagang-pedagang pria memikul buah kelapa, ayam atau menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah dan sayur-mayur. Waktu canang kadipaten telah menyambut, ia turun dan segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang pada tengkuk atasannya. Kalau tengkuk itu kucengkeram, dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan meronta untuk kemudian mati terkapar sekarang juga. Dia akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan: hukuman mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa Idayu kemudian pergi? Dia akan tetap jadi anak ibunya. Syahbandar dan aku mendapat maut yang sama, sedang noda itu tetap tiada kan terhapus. Ia belum punya kesanggupan menyelesaikan persoalannya. 0o-dw-o0 Untuk pertama kali Wiranggaleng ikut dalam iringiringan orang asing menghadap Sang Adipati. Untuk pertama kali ini pula ia melihat orang kulit putih dari dekat. Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol, langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana kepala dan mana bawahan. Mereka tak melakukan sembahmenyembah. Seluruh badan dari leher sampai muka dari pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup dan keringat nampak membasahi punggung mereka. Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan sepotong kain, kemudian memasukkannya ke dalam saku baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain nampaknya tak mengindahkan orang selebihnya. Berjalan paling depan adalah Martinique Lamaya. Di belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di belakangnya lagi Syahbandar Tuban. Paling belakang adalah dirinya. Biasanya Syahbandar berjalan di kepala iring-iringan. Mungkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahukan padanya. Biasanya pula Syahbandar bertindak sebagai tuan rumah. Mengapa sekarang sebagai pengiring? Dan apakah yang mereka percakapkan semalam dengan Syahbandar? Apa pula isi surat itu? Dengan ragu-ragu ia mulai menyimpulkan: memang ada hubungan rahasia antara Syahbandar dengan Peranggi. Kalau tidak mengapa kapal berlabuh setelah semalam mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga? Dan siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis hubungan ini? Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala makara gapura telah tiada. Gerbang itu sendiri seluruhnya telah berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir. Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir tersohor itu. Memang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya. Dia harus pergi meninggalkan Tuban Kota. Tak bisa lain. Mungkinkah karena kebenciannya pada Sang Adipati ia menyediakan diri jadi perintis hubungan mereka? Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan. Di penghadapan hanya Wiranggaleng duduk di kejauhan. Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. Syahbandar Tuban melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo. Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa ditempati Rangga Iskak. Ia kelihatan lebih bongkok dan sekali ini nampak kehilangan wibawa. Syahbandar-muda merasa tersinggung oleh sikap tamutamu kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa sesuatu persembahan. Tholib Sungkar Az-Zubaid mempersembahkan pada Sang Adipati dalam Melayu, bahwa ini adalah untuk pertama kali Peranggi mendarat di Tuban, maka mereka belum mengenal adat-kebiasaan bandamya dan adatkebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir menunduk ia memohon ampun dari Sang Adipati untuk pendatang-pendatang baru itu. Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu Wiranggaleng tak dapat melihat perubahan-perubahan pada wajah gustinya. Terdengar olehnya orang-orang Portugis mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid menterjemahkan: “Bukan maksud kami untuk berlabuh di Tuban. Kami sedang menuju ke Pasuruan atau Panarukan, tetapi sesat di jalan. Nampaknya tujuan kami masih jauh. Maka kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih mendapat perlindungan di bandar Gusti Adipati. Berhubung salah jalan ini, Gusti, menyebabkan perhitungan kami juga salah. Tentang ini akan kami persembahkan nanti…” “Gusti Adipati Tuban, kami datang ke mana, ke Pasuruan atau Panarukan, atau bandar-bandar lain di Jawa, bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini telah mengenal Peranggi, karena dunia ada di tangan kami. Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan lain….” “Terjemahkan yang betul!” tegur Sang Adipati gusar. “Memang tidak sedap untuk didengar, Gusti,” tambah Sang Patih “juga berlebih-lebihan panjangnya.” “Patik telah terjemahkan dengan betul, Gusti.” Martinique Lamaya bicara lagi dan Syahbandar meneruskan: “Kami datang dan membutuhkan beras, sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang akan kami bayarkan. Mas Peranggi.” “Tuan Syahbandar,” tegur Sang Patih, “bukankah untuk urusan kapal maka Tuan diangkat jadi Syahbandar? Bagaimana soal begini dipersembahkan pada Gusti Adipati Tuban?” Sekilas Wiranggaleng dapat melihat wajah Sang Adipati dari sela-sela kaki para tamu. Mukanya merah-padam karena tersinggung. Sebentar saja: Syahbandar tak meneruskan terjemahannya. Juga Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap. Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan pada atasannya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka. Dan Sang Adipati berkata dalam Jawa pada Sang Patih: “Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih?” “Biarlah mereka meneruskan bicaranya, Gusti. Memang mereka belum atau memang tidak tahu adat. Rupa-rupanya mereka belum pernah belajar menghormati sesamanya,” sembah Sang Patih. “Ampun, Gusti Adipati Tuban,” Syahbandar meneruskan. “Adapun pekerjaan patik memang mengurusi semua yang berhubungan dengan kapal dan bandar.” “Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi kebutuhannya.” Adipati Tuban meninggalkan tempat. Dan orang-orang Portugis kembali ke pelabuhan. 0o-dw-o0 Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya menginap di gandok kanan kesyahbandaran. Wiranggaleng ditugaskan oleh Syahbandar untuk melayani. Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan orang-orang perempuan berlarian meninggalkan pasar bandar sambil berseru-seru dan memekik-mekik ketakutan. Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari mendapatkan mereka. “Mereka mengamuk, Wira! mereka, orang-orang Peranggi itu!” Ia lari ke bandar. Dilihatnya suatu perkelahian telah terjadi antara serombongan pedagang pelabuhan dengan awak kapal Portugis. Beberapa orang Portugis lagi sedang memandangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas. “Wira! Syahbandar-muda!” dua orang berlarian menghampiri. “Mereka merampas, mengamuk dan melukai.” Dalam Melayu Wiranggaleng berseru-seru: “Peranggi, hentikan!” Begitu selesai berseru-seru ia telah berada dalam kepungan beberapa belas orang Portugis. “Syahbandar-muda bicara di bandarnya’ ia berseru dengan nada memperingatkan. “Hentikan perbuatan kalian. Kembalikan barang-barang yang kalian rampas!” Orang-orang Portugis itu mengejek dan mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka memperlihatkan sikap hendak menyerang. “Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar-muda, Wiranggaleng, sudah bicara. Kembali! Kembali!” Seorang Portugis telah melayangkan tangan pada mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya perbukuan lengannya. Satu pekik kesakitan melengking. Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, meraung seperti macan terkena tombak. Ia melompat sambil memukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orangorang Portugis pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu berjalan hanya beberapa detik. Kemudian ia sempat menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan, kemudian ia angkat tinggi, dibantingkannya di atas temantemannya sendiri. Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu nampak mengembang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya. Beberapa kali kepalanya menggeleng karena terkena tetakan dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan tendangan. Ia hanya hendak meremukkan seorang lagi yang dapat ditangkapnya. Satu sambaran telah mencengkam lengan seseorang dan orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling untuk membubarkan kepungan. Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya, jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar. Kawan-kawannya merubungnya. “Kembali! Kembali ke kapal!” raung Wiranggaleng. Tangannya menuding pada kapal Portugis yang sedang berlabuh. Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu. Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya. Dan keadaan aman kembali. Lebu yang berkepulan lambatlambat mulai lenyap dibawa angin lalu. Malam belum lagi turun dan Tuban telah mendengar segala peristiwa yang telah terjadi di pelabuhan. Bahkan lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan tidak puas terhadap Sang Adipati dan Sang Patih yang telah begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan temantemannya. Mengapa mereka tak diusir saja? Bukankah bumi ini bumi Tuban dan bukan bumi Peranggi? Belum lagi mereka menaklukkan Tuban dan tingkahnya sudah tidak tertahankan. Betapa akan jadinya kalau… kalau…. Kebencian orang pada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa memuncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan orang pun semakin heran mengapa saja? Dan mengapa Sang Adipati tidak juga mengijinkan dia menyarongkan kerisnya pada tubuh orang terbenci itu? Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan: Syahbandar-mudalah orang pertama-tama yang telah mencederai orang-orang Peranggi. Wiranggaleng! Tidak lain dari Wiranggaleng! Dan di Tubanlah mereka dicederai! Di Tuban! Lain lagi yang terjadi di kesyahbandaran. Pembesarpembesar kapal Portugis itu nampaknya tak tahu-menahu atau memang tidak ingin tahu tentang peristiwa di bandar. Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak. Dan pergilah Syahbandar-muda ke warung Yakub, yang sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan hendak mendengarkan berita yang lebih baru. Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka. Pertanyaan jatuh bertubi-tubi. Dan ia menerangkan segala sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan: “Kau benar, Wira, kau benar.” Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan, berdiri dan menghampiri. Berkata: “Kalau orang berpikir semua akan jadi baik lagi seperti dulu karena berbaik dengan Peranggi, kita keliru, Wira, kita keliru. Keterlambatan Tuban ke Malaka tak dapat diampuni. Orang-orang Islam benar: tak dapat diampuni. Mereka mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, ruparupanya semua akan jadi beres.” Seorang nakhoda Pribumi lainnya menambahi: “Bukan adat Peranggi menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia baru manda, bukan Wira?” “Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu warung,” tegur Wiranggaleng. “Kapal kami pada berkandang di Lao Sam, Wira. Tak ada pekerjaan.” “Memang Gusti Kanjeng Adipati Unus Jepara benar. Malaka harus direbut. Tanpa pangkalan di Malaka Peranggi akan sudah lemah sampai kemari,” nakhoda pertama itu meneruskan. Suaranya berkobar-kobar. “Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali bebas seperti dulu, Wira. Sayang Gusti Kanjeng Adipati Unus kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah, Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali Gusti Adipati Tuban, barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu tindakan terhadap kekurangajaran tamu-tamu itu. Berani bertaruh, pembikin kerusuhan di bandar tak bakal ditindak oleh Gusti Adipati.” ‘Tapi hari ini kau yang menang, Wira.” “Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah binasakan mereka, Wira,” nakhoda itu berkata lagi.”Lihat, mereka sudah melanggar adat bandar bebas, sampai sekarang Sang Adipati tetap belum bertindak. Takut, Wira. Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari kezaliman, ibu dari kesewenang-wenangan.” “Belajar dari saudagar-saudagar Islam, Wira, belajar dari orang-orang Islam,” seseorang menambahi dengan gemas. “Kalau tidak, celakalah kita semua.” “Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini, kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan, tenggelam dalam kebosanan,” nakhoda itu meneruskan. “Aku kira orang-orang Islam juga sudah berlaku tidak baik terhadap kita,” seorang nakhoda Pribumi bukan Islam menengahi. “Apakah bukan orang Islam yang merampas Jepara? Apakah bukan orang Islam yang sekarang membikin gaduh di pedalaman?” Wiranggaleng tahu, kalau percakapan ini diteruskan, orang akan bertengkar soal agama. Dan sekarang Peranggi datang membawa agama lain pula dan dengan perangainya sendiri pula. Apakah Adipati Tuban lebih baik dari semua orang dengan agamanya masing-masing? Dia pun tidak lebih baik. Patragading dan Pada telah dijatuhi hukuman mati tanpa jelas perkaranya. “Hancurkan kapal Peranggi itu,” tiba-tiba seseorang membakar-bakar gemas. “Husy,” cegah Syahbandar-muda. “Itu melanggar amanagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri dihancurkan di bandar asing? Dihancurkan tanpa sebab perang seperti tingkah Peranggi? Kalian sendiri tak suka. Dan di Tuban tidak ada perang.” “Pembesar-pembesar kapal di kesyahbandaran itu patut digulung.” “Lebih dari patut.” “Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang.” “Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya purapura tidak tahu.” Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara bandar di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang angkat bicara. “Husy, husy. Mana tuaknya, Yakub?” Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya sendiri ke jurusan kesyahbandaran. Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya hiruk-pikuk di jurusan bandar. Ia berhenti, menyandarkan lodong-lodong pada pintu gerbang kesyahbandaran. Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga para pelaut berlarian meninggalkan warung Yakub menuju ke sana. Di bandar nampak hanya beberapa orang. Tiga orang Portugis sedang memukuli dua orang yang terbelenggu tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan lain adalah dari salah seorang Portugis dalam Melayu: “Ayoh, tambahi dengan lima babi!” Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang dianiaya itu orang-orang Muslimin. Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orangorang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah. Darah Wiranggaleng tersirap. Ia tegah mereka. Dan justru karenanya pentung mereka berpindah sasaran padanya. “Lima babi!” Portugis yang lain ikut berteriak menuntut. Sebentar terdengar pikulan Syahbandar-muda menangkisi pukulan. Kemudian menggeletar pekikannya: “Ini yang kau pinta!” pikulannya berputar menghantam tengkuk salah seorang Portugis yang paling jangkung. Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia melompat dan menyerampang kaki yang ketiga. Mereka tergeletak berkaparan. “Biar kami habisi!” teriak pelaut-pelaut yang pada berdatangan. “Jangan,” cegahnya dan kepada dua orang teraniaya, “mengapa kalian dipukuli?” “Kami telah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor. Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu kurus. Mereka minta tambah babi lima. Bukan sedikit. Lima. Kami orang Islam, tidak berdagang babi.” “Kalian berdua pedagangnya?” “Benar, Wira.” “Dan memang kurus sapi-sapi kalian?” “Bukan kurus, Wira, hanya kurus-kering dan ceking, cacingan hampir mati.” “Dasar rakus!” Syahbandar-muda meludah ke tanah. Tiga orang Portugis itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke dermaga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus dirawat di warung Yakub. Wiranggaleng kembali ke syahbandaran. 0o-dw-o0 Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan tugasnya. Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh upahan: Yakub dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih sendiri untuk dapat memperhatikan Tholib Sungkar Az- Zubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesempatan ini baru ia melihat Syahbandar itu terlalu begitu merendahkan diri, hilang sikap besar yang selama ini selalu dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka mulut. Hampir-hampir Syahbandar-muda menarik kesimpulan: ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka dengan Syahbandar. Tetapi ia belum berani meneruskan. Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula Idayu dari dapur. Dan Gelar telah tertidur di punggungnya. “Betapa rewelnya tamu-tamu yang sekarang ini,” juara gulat itu mengadu pada istrinya. “Orang Peranggi pertamatama, biasa dimanjakan di mana-mana. Di sini pun mereka menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!” Idayu tak menanggapi. Ia pindahkan Gelar dari punggung ke atas ambin. Sambil menguap ia berkata: “Sudah malam, Kang.” “Sudah malam? Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan berkeruyuk,” ia duduk dan mencoba berpikir tanpa bantuan pendapat orang lain tentang kedatangan Portugis yang mencurigakan itu. Idayu telah tertidur di samping Gelar. Tak mungkin kapal ini singgah karena tersasar. Sebelum berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan Sayid Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk menyerang, karena hanya dengan satu kapal. Lagi pula Jawa tidak terletak pada jalan Malaka-Maluku. Benarkah tujuan mereka Pasuruan dan Panarukan? dua-duanya pelabuhan kerajaan Blambangan yang bukan Islam itu? Tetapi dari perbekalan yang dibutuhkannya, jelas bukan jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar mereka akan ke Blambangan. Tapi untuk apa? Dan untuk apa pula singgah di Tuban? Ada apa di Panarukan dan Pasuruan sana? Ia berpikir dan berpikir. Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari gendi dan duduk lagi pada tepian ambin. Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip Jepara dari kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan Adipati Unus dari bandar-bandar terdekat. Dan bila mereka sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu pada suatu kali orang tak memperkirakan. Kalau Jawa kalah, Peranggi akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah Maluku tanpa saingan. Semua jalan ke Maluku dan Malaka telah jadi miliknya. Tapi Tuban akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka yang akan da tang ke Tuban, Tubanlah yang akan datang pada mereka di Malaka. San Adipati harus mengerti. Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. Adipati Unus temyata benar, walaupun gagal. Sang Adipati yang salah. Orang-orang Islam semakin memperlihatkan permusuhan terhadap Sang Adipati. Dan kalau Sang Adipati tak cepatcepat mengubah sikapnya, boleh jadi Tuban akan semakin merana, mungkin sampai mati. Gelar terbangun menangis minta minum. 0o-dw-o0 13. Meningkatnya Kericuhan Kuda itu berjalan pelan-pelan memasuki Pecinan. Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya berirama. Kaki-nya yang pancal hitam berjatuhan seperti menari di atas jalanan batu, dari kejauhan nampak seperti serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang menderamkan genderang. Dan di atasnya duduk Wiranggaleng mengenakan seluar panjang dari kaliko. Bagian atas seluar tertutup dengan kain batik yang dipasang miring dan bersibak pada belahan tengahnya. Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang perak di mana terselit sebilah keris bersarong perak berhulu kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah. Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti baju antakesuma, dan pada dadanya tergantung kalung berbandul perhiasan perak ukiran bergambar pohon kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran Majapahit. Seluruh Tuban mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari Sang Adipati untuk seorang pejabat dari desa. Dan bentuk bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa yang punya hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu berukir timbul, sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi kalimaya kecil-kecil putih keruh mengkilat merupakan mata dari ikan perak itu. Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut kulit di dalamnya sebagai tanda punggawa menengah. Dua orang berkuda mengikuti di belakang, bersenjatakan tombak dan perisai. Pedang tergantung pada pinggang masing-masing. Di sepanjang jalan tak henti-hentinya Syahbandar-muda membalas hormat orang lalulalang dengan sembah dada. “Tuan Syahbandar-muda!” seseorang memanggilnya dalam Melayu. “Berhenti dulu, Wira.” Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi sedang siap hendak menghampirinya sambil menutup pintu gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan berbuah baju kain pula. Wiranggaleng turun dari kudanya. Sudah beberapa kali ia melihat orang ini, tetapi tak pernah tahu nama dan tak tahu rumahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya menunggu orang ilu meneruskan kata-katanya. Dan orang itu memberikan hormat dengan caranya sendiri, tersenyum ramah. Juga matanya yang sipit ikut tersenyum. “Ada pada sahaya sepucuk surat untuk Tuan Syahbandar-muda,” katanya sambil menyerahkan. “Kalau Wira berkenan barang sebentar di warung Yakub….” Wiranggaleng memperhatikan orang yang fasih Melayu itu dan sekaligus menduga, orang itu seorang pedagang yang sudah lama tinggal di Malaka dan sudah berpengalaman di bandar-bandar Nusantara. “Ada sesuatu yang sahaya hendak sampaikan.” Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan matanya. Dengan tangannya ia memberi isyarat mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta perhatian khusus. Syahbandar-muda menyapukan pandang pada kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya. “Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu.” “Dari siapa?” tanya Wiranggaleng. “Dari Mohammad Firman.” “Tak ada aku kenal orang Islam bernama begitu.” “Sahaya hanya sekedar menyampaikan.” “Islam baru atau lama?” “Tak ada Islam lama, Wira, semua baru.” “Di mana tinggalnya?” “Tidak menentu, Tuan Syahbandar-muda. Dia seorang musyafir Demak, mengembara ke mana-mana.” “Apa itu musyafir Demak?” “Semacam pekerjaan, Wira.” Dan teringat olehnya akan Anggoro alias Hayatullah di Jepara dulu. Ia mengangguk. Surat itu belum juga dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya – seorang Islam baru dan musafir Demak. Bertanya: “Di mana kau bertemu dengannya?” “Dulu, Wira, di Lao Sam. Dia pernah tinggal bersama sahaya. Sudah sahaya anggap sebagai anak sendiri. Artinya, sebelum dia masuk Islam,” dan ia tetap tak memperlihatkan tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam. “Apakah balasan diharapkan dengan segera?” “Tidak, Wira, tidak.” Kemudian ia berkata dengan nada lain, “Maafkan, tidak sahaya antarkan surat ini ke kesyahbandaran. Susah bisa masuk ke sana.” “Ya,” dan Wiranggaleng mulai membacanya. Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda, memperhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu masing-masing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada wajah Wiranggaleng dan memajukan binatang mereka beberapa langkah serta menyiapkan tombak. Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu serta pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu – sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang Adipati. Surat itu telah diambil oleh penguasa Tuban itu dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir kesayangan. Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya, melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya, dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan. “Pengirim ini bernama Mohammad Firman?” “Benar, Wira.” “Sebelum masuk Islam apakah namanya? Bukankah Pada?” “Benar, Tuan Syahbandar-muda.” Berdua mereka berjalan ke warung Yakub. Wiranggaleng sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara. Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh perahu-perahu nelayan. Dan bila pandang mata orang telah melewati deretan perahu-perahu kecil itu, laut pun terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit Sambil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan arak juara gulat itu mulai membaca lagi: “Dari Mohammad Firman kepada Syahbandar-muda Tuban, Wiranggaleng. Ketahuilah, Kang Galeng, kakangku sendiri, dalam keadaan sehat telah aku tinggalkan Lao Sam. Ingin hati datang menyembahmu, ingin hati menengok Mbokayu Idayu. Bagaimana mungkin? Tuban telah membunuh aku dan melemparkan aku ke laut. Tuban itu juga yang tetap menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup. Pasti engkau mengerti, Kang Galeng, kakangku sendiri, betapa besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang penari rupawan, impian dan pujaan setiap pria….” Wiranggaleng berhenti membaca. Ia merasa seakan disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya, kemalangan suami-istri? Atau dia tidak tahu? Ia pandangi orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga tersenyum dengan bibir dan matanya. Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan membenarkan bacaannya. Dan perbuatan itu menghilangkan kecurigaan Galeng. Ia meneruskan bacaannya: “Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya, kakangnya sendiri, yang telah berikan hidupnya kembali. Biarpun adik ini senakal setannya Tuhan Allah, Kang, dan biarpun kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap kakangnya yang harus dibalas budinya. Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan. Semua orang pesisir tahu apa yang dibutuhkan Tuban. Bicaralah sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama denganku, dan tiadalah kau bakal menyesali aku lagi.” Sementara itu orang Tionghoa itu telah mengatur cawancawan arak di atas meja di depan mereka. Ia menyodorkan sebuah cawan sambil berbisik: “Sahaya bersedia membantu Tuan Syahbandar-muda,” ia masih juga tersenyum. “Liem Mo Han nama sahaya,” suaranya jelas walaupun warung itu ramai dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum. Yakub memperhatikan keduanya dengan selintas. Menyedari akan pandang mata pewarung itu Liem Mo Han mengajaknya minum, untuk kemudian keluar dengannya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian kalinya memaksa ia menerima ajakannya. Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang mata semua yang tertinggal. Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana. Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga berjalan. “Memang sahaya sedia membantu,” Liem Mo Han mengulangi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam Jawa halus. “Mohammad Firman telah membicarakan kemungkinan ini dengan sahaya, lama dan berkali-kali. Sahaya yakin, tenaga sahaya memang Tuan perlukan, Wira.” Wiranggaleng masih jua belum mengerti maksudnya dan diam mendengarkan. “Mohammad Firman dan sahaya tahu, ada satu kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa Peranggi. Kalau hanya Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang dapat mengawasi pekerjaannya. Sahaya bisa bahasa itu, Tuan. Tiga tahun lamanya sahaya bergaul dengan orangorang Peranggi.” “Babah dan Pada sungguh tidak keliru.” “Kalau ada surat-surat Peranggi, sahaya akan bacakan untuk Wira.” “Sayang, sekiranya Babah datang lebih dulu,” Syahbandar-muda itu berkecap-kecap menyesali. “Sahaya datang setelah dapat mengalahkan keraguraguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus sahaya bacakan?” “Nanti pada waktunya, Babah.” “Di samping itu, Tuan Syahbandar-muda, masih ada satu perkara lagi. Sahaya sedang memburu dua orang Peranggi, Esteban dan Rodriguez namanya. Mereka lari dari Lao Sam melalu jalan darat. Mereka lari ke mari. Entah di mana mereka bersembunyi tadinya sahaya tidak tahu. Baru setelah kapal Peranggi itu berangkat, nampak mereka oleh sahaya ada di gubuk pelacuran di daerah pelabuhan. “Tak ada larangan selama mereka tidak meninggalkan pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.” “Benar, Tuan Syahbandar-muda. Tetapi Peranggi adalah Peranggi, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya.” “Bukankah mereka itu yang dulu dikejar-kejar di Jepara?” ‘Tidak keliru, Wira, itulah mereka.” “Mata-mata.” “Sahaya belum dapat memastikan. Nampaknya memang demikian.” “Aku sudah lihat orang-orang itu di bandar Jepara. Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini?” “Lama sahaya memburu mereka. Tahukah, Tuan, mereka adalah kanonir, penembak meriam Peranggi? Penembak meriam!” “Penembak meriam!” “Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah perlindungan Tuan Sayid sendiri? Hampir-hampir satu atap dengan Wira?” “Ha?” seru Wiranggaleng, ia mencoba menembusi mata Liem Mo Han untuk dapat membaca pedalamannya. “Bukankah Tuan sahabat Mohammad Firman?” Wiranggaleng mengangguk membenarkan. “Mohammad Firman adalah anak-pungut sahaya. Patutkah sahaya mengatakan yang tidak benar pada Tuan?” Wiranggaleng meletakkan kedua belah tangannya yang kukuh itu pada bahu Liem Mo Han. Dan orang meyakinkannya dengan senyum pada bibir dan matanya. “Mereka tidak melanggar ketentuan, Peranggi-peranggi itu. Syahbandar Tuban pun tidak,” kata Sang Patih. “Tak ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan? Ya. Siapa tidak mencurigai Peranggi? Awas-awaslah selalu, tak boleh ada satu kejadian di daerah bandar yang menyalahi ketentuan.” “Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, Gusti.” “Di sini tidak atau belum. Babah boleh membantumu, bukan untuk dapat menangkap orang-orang Peranggi itu, tapi untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama soalnya Semarang, persangkutannya selamanya Demak. Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah Demak sudah memboroskan hampir seluruh tenaganya di Malaka.” “Mereka tinggal di kesyahbandaran, Gusti,” Wiranggaleng memotong. “Lebih baik lagi, dan memang sudah jadi hak orang asing di sini. Selidiki dulu benar-tidaknya.” “Mereka pelarian dari kapal Peranggi, Gusti, penembakpenembak meriam.” “Penembak meriam! Kalau itu benar justru semakin menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi meriam mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak meriam pula, Gusti Adipati tentu akan menaruh perhatian. Meriam, Wira, bukan cetbang. Meriam adalah meriam, dan kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah melihatnya di Malaka atau di kapal Peranggi kemarin. Aku belum. Meriam, Wira! Setelah kekalahan Pati Unus di Malaka, semua tahu: meriam saja kunci kemenangan. Tuban akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu mereka bisa membikin untuk Tuban? Biarkan mereka tinggal di kesyahbandaran. Pergi!” Setelah menerima Sang Patih dan setelah bercengkerama di taman kesayangan, Sang Adipati Tuban masuk ke dalam harem. Pintu-pintu telah tertutup pada malam berangin itu. Pada pengurus baru ia berbisik memperingatkan: “Jangan sampai terulang lagi peristiwa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan kau ulangi perbuatan Nyi Gede Kati. Hukuman yang akan dijatuhkan kemudian akan lebih berat.” Ia diam mendengar-dengarkan. Dan memang ada didengamya suara-suara beberapa orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik yang terkunci dari dalam. “Siapa itu?” bisiknya bertanya. “Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, tiada lain dari kawula Gusti Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami.” “Nyi Gede Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu sebelum waktunya?” “Tidak, Gusti, patik tidak tahu mengapa sekarang begitu.” Sang Adipati meninggalkan Daludarmi bersimpuh di tanah dan pelan-pelan mendekati pintu untuk mendengarkan. “… siapa tidak tahu tidak kuatir? Sapi-sapi kita bisa punah. Panen kita bisa musnah,” penguasa Tuban itu mendengar. “Apa belum juga ada yang mempersembahkan?” suara yang lain. “Kerusuhan sudah meruyak ke mana-mana,” suara yang ketiga. “Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nampaknya Ki Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke Tuban. Bagaimana desamu?” “Belum sampai ke perbatasan desa kami,” jawab yang ke empat. “Tapi siapa tahu? Barangkali mereka sudah sampai juga ke sana sekarang?” “Kalau Gusti Adipati belum menggerakkan balatentara, tentu belum ada yang mempersembahkan,” suara pertama menyimpulkan. Sang Adipati kembali mendekati Nyi Gede Daludarmi yang masih juga bersimpuh di tanah. “Berapa umurmu, Daludarmi?” bisiknya bertanya. “Tiga puluh lima, Gusti, menurut perhitungan surya.” “Apakah kau Islam?” “Patik, Gusti.” “Mengapa menurut perhitungan bulan?” “Patik tak tahu menghitungnya, Gusti.” “Gila, bulan dipergunakan sebagai hitungan. Daludarmi! Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga jadi selir?” “Semua Gusti Adipati sesembahan patik yang menentukan, Gusti.” “Tiga puluh lima tahun masih muda, Daludarmi,” bisik Sang Adipati. “Dan kau belum pernah beranak.” Sang Adipati mulai merabai tubuh pengurus harem itu. “Kau masih lebih kukuh dari si Kati.” Ia sejenak tak bicara. Kemudian, “Coba, mana mukamu?” dan ia pandangi wanita itu dalam kegelapan malam. Ia tak teruskan dengan membikin cinta. “Bagaimana Sekar Pinjung sekarang?” “Ampun, Gusti, sepanjang pengetahuan patik, ia jarang keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat. Patik pohonkan ampun untuknya, Gusti, wanita semuda itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas.” Sang Adipati berdiri termangu-mangu Ditariknya Daludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, kemudian ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih sibuk membicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke dalam. Dua jam kemudian ia keluar lagi dan menuju ke bilik ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, tetapi tiada berjawab. Ia mendehani sekali lagi. Juga tak berjawab. Nyi Gede Daludarmi berjalan menghampiri Sang Adipati, berjongkok di bawah dan menyembah, kemudian memanggil-manggil pelan pada pintu: “Nyi Ayu, Nyi Ayu Sekar Pinjung! Nyi Ayu!” “Nyi Gedekah itu?” terdengar suara sayu menjawab dari dalam. “Nyi?” “Bukalah pintu, rang manis,” kata Daludarmi lemah. Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan Sang Adipati masuk ke dalam. Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya, tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh Daludarmi dari luar. Lelaki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang bergolak di dalam hatinya. Setelah mendengar pembicaraan para selir dari balik pintu, ia mengerti, ada kepala-kepala desa yang tak berani mempersembahkan keadaan di desanya pada atasannya, maka dipergunakan selir-selir. Mereka selalu mendapat kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk diteruskan pada Sang Adipati. Demikian mereka dapat melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus. Memang perbuatan kepala desa semacam itu tak dapat dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selamanya cara itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri. Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala. Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, namun ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman. Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia mempersembahkan sesuatu berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya? Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah. Kepala desanya telah mempersembahkan upeti dua kali lipat. Hampir selama dua tahun ini! Tetapi ia masih juga belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar Pinjung Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang mencium kakinya. Kemudian tangan gading itu memeluk kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak. Hukuman pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat. Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan terhadap Peranggi. Ditambah lagi dengan pengetahuan, Peranggi hanyalah manusia biasa yang juga membutuhkan makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa dan adatnya lain. Hukuman itu telah lebih dari dua tahun dijalani oleh Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang satria tidak mencabut kembali kata-katanya. Wanita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu kulitnya yang tiada tertutup Dingin hati Sang Adipati lebih membekukan. Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil karena sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu hina dan tidak berarti. Hanya seorang satria bisa membikinnya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku telah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan. Betul. Tempat raja-raja tumbang karena gosokan. Betul. Tempat si kerdil memasang perangkap untuk menangkap bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu. Benar perempuan hina ini hanya memperingatkan. Hanya memperingatkan. Dan aku sudah berbuat kurang adil terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu mencabut kata-kata satria yang keliru? Sebelum Sang Adipati dapat memutuskan pergolakan di dalam dirinya telah keluar kata-kata dari mulutnya, pelahan dan berbisik: “Telah dicabut hukuman bagimu, Sekar Pinjung. Berdiri!” Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya luruh ke lantai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau. Kepalanya masih juga terangguk-angguk kecil karena sedusedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun. Sang Adipati meraih dua belah tangannya. Didekapkan dia pada dirinya, kemudian dipangkunya. Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis terampuni. Dan luluhlah sudah amarah Sang Adipati, luluh pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi. “Daludarmi!” panggil Sang Adipati dari dalam bilik. Wanita pengurus harem itu masuk ke dalam, membawa nampan berisi cawan-cawan tembikar. Pandangnya tertuju pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang Adipati. Penguasa Tuban itu mengambil cawan jamu dan meminumnya habis Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar. “Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan itu di meja.” Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan prajurit telah meninggalkan Tuban Kota menuiu ke berbagai jurusan negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi selama ini. Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang selama ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum. Beberapa hari setelah keberangkatan kesatuan-kesatuan kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan kepala-kepala desa, para wedana, demang dan kuwu seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa di bawah kekuasaan Rangga Iskak. Mereka semua duduk bersila di atas lantai. Tanpa sesuatu upacara Sang Patih memulai: “Betapa sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam-diam tiada mempersembahkan sesuatu yang sedang terjadi di desa-desa kalian. Ketahuilah, Gusti Adipati Tuban sangat murka mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan kalian. Gusti Adipati Tuban mendengar, bahwa pagardesa kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab sekarang juga. Benar-tidak?” “Ampun, Gusti Patih,” seorang kuwu mengangkat sembah. “Adanya huru-hara itu memang betul, karena terjadinya di daerah kekuasaan patik. Ada pun patik belum juga mempersembahkan adalah karena patik masih berusaha, belum lagi putus-asa.” “Pernahkah kalian menang terhadap mereka?” “Ampun, Gusti, belum pernah, tapi kalah pun belum.” “Jangan persembahkan teka-teki.” “Begitulah adanya, Gusti, kalau mereka datang, pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, mereka yang lari.” “Apa kalian sedang main petak?” Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap menunduk. “Mengapa membisu? Hilangkah sudah lidah kalian?” “Ampun, Gusti, di tempat patik agak lain keadaannya. Telah patik persembahkan ini ke hadapan Gusti Patih, bahwa pagardesa patik selalu masuk ke dalam jebakan dan satu kali pun tidak pernah menjebak.” “Apa maksudmu dengan jebak-menjebak?” “Maksud patik, Gusti, rajakaya desa hilang kalau tidak dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.” “Bicara yang jelas. Kami tidak mengerti maksudmu.” “Ampun, Gusti. Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya itu mengejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu.” “Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti.” “Ampun, patik pun tidak mengerti, Gusti. Hei, kepala desa, bersembah kau yang benar dan patut.” “Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di dalam desamu sendiri?” “Kira-kira begitu, Gusti, tetapi patik tidak berani mempersembahkan dengan pasti.” “Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri persembahan bawahanmu. Perhatikan warga dari desa-desa kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini! Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya,” Sang Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap. Meneruskan, “Kami beri waktu untuk kalian satu bulan penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian sendiri bagaimana mendatangkan bantuan pagardesa dari desa-desa lain yang aman. Kalau gagal, tahu kalian akibatnya?” “Tahu, Gusti.” “Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau kalian gagal, balatentara Tuban akan bergerak mengambilalih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya?” “Mengerti, Gusti.” “Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau balatentara bergerak, menjadilah tanggungan pada desadesa yang didatangi bala-tentaranya. Cukup sebulan itu?” “Lebih dari cukup, Gusti,” mereka menjawab berbareng. Kemudian Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa Gusti Adipati Tuban menjabat Syahbandar Tuban Kota. Nama sebutannya adalah Rangga Iskak. Nama kelahirannya adalah Iskak Indrajit. Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama raksasa dalam Ramayana itu, nama yang tidak populer bagi negeri Tuban. Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan ketegangan lenyap. Cerita pun diteruskan: Iskak Indrajit adalah cucu dari Syahbandar Malaka, seorang Benggala Malabar. Dari kakeknya Rangga Iskak merasa dirinya orang Benggala, maka menamai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang berumur pendek, beristrikan seorang Malabar pula. Tetapi bekas Syahbandar itu dilahirkan oleh seorang ibu Melayu, dan dari ibunya ia mendapat nama Indrajit. Sekali lagi penghadap gelak tertawa. Ibunya memang bijaksana menamainya demikian. Ruparupanya ia telah mendapat firasat, anak yang dikandungnya nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring. Sesungguhnya, Rangga Iskak mempunyai gigi taring yang agak mencolok. “Tetapi keadaan sudah berubah,” Sang Patih meneruskan. “Jabatannya sebagai Syahbandar tak dapat dipertahankan. la harus diganti. Tetapi ia tidak rela diganti, ia merasa bandar Tuban adalah miliknya pribadi. Segala apa pun yang dikaruniakan Gusti Adipati dung gapnya kurang dan makin kurang. Memang dasar raksasa bergygi tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa jadi seorang bupati Tetapi tidak, dengan desa itu ia semakin bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari berperang, dan sekarang dipergunakannya jadi modal untuk melawan…. Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan ningrat telah menamakan diri Ki Aji dan mendapatkan, banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak. Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa, seakan-akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang. Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di seluruh pulau Jawa.” Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan gemas: “Kalian harus ingat, Indrajit alias Ki Aji Benggala bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah Majapahit, berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu banyak. Hanya dia punya satu kebodohan, satu saja: dia tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan: tumpaslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu. Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih, karena dia sesungguhnya tidak tahu tentang karunia para dewa. Nah, pergi kalian.” Dengan menghadapnya para punggawa orang mendapat gambaran sebenamya tentang gentingnya keadaan pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: balatentara Tuban akan bergerak dalam sebulan mendatang. Di Tuban Kota sendiri telah dirasai adanya perubahan itu. Pertukaran barang dengan pedalaman merosot sejadijadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Orang-orang kota banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antarpulau, beku. Dan di bandar sendiri, kecuali pemeliharaan dan pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi…. 0o-dw-o0 Wiranggaleng tak pernah lagi kelihatan seorang diri dalam menjalankan tugasnya. Ia pun mendapat tugas baru: menjaga keamanan bandar Kota dan Glondong. Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi. Hubungannya dengan Liem Mo Han membawanya pada suatu pengetahuan, bahwa benar Portugis dan kapalnya telah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blambangan, Girindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya, bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput Martinique Lamaya di pelabuhan dengan segala kebesaran. Dan setelah kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada barang sepuluh orang Portugis mengantarkan kapal itu berangkat. Mereka tinggal di Blambangan. Liem Mo Han pula yang memberitakan padanya: di antara sepuluh orang Portugis itu ada yang masuk lebih ke dalam daratan Blambangan dan membangunkan sebuah rumah. Boleh jadi, kata Liem Mo Han selanjutnya, dengan bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang Peranggi akan berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri Tuban dan dengan persekutuan itu akan mengancam Tuban dari laut dan darat. “Wira, hanya kekuatan Islam yang menentang Peranggi. Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa terus-menerus terdesak oleh Islam, mengambil sikap bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu Peranggi datang mereka segera mengulurkan tangan penyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan dari musuh seluruh dunia itu.” Lama ia renungkan kebenaran kata-kata Liem Mo Han. Perbandingan ia tak punya. dari renungannya ia mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, Islam dan Portugis. Baik Hindu mau pun Islam, dua-duanya menari karena adanya Portugis. “Ya, Peranggi tetap pokok,” ia memutuskan. Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui: Tuban berada di antara Hindu dan Islam, tidak punya sikap yang pasti terhadap Peranggi. “Tuban harus menentang Peranggi, tanpa menjadi Islam, juga tidak karena Hindu.” Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih. Namun kata-kata Liem Mo Han tentang tiga kekuatan itu menjadilah dasar pandangan resmi praja Tuban dalam memahami dunia yang sedang berubah. Tetapi sahabatnya itu tak pernah bicara tentang Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang perdagangannya, tidak tentang musuh-musuhnya, bahkan tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah membuka mulut. Dan Wiranggaleng merasa tak ada kebutuhan untuk mengetahui. Telah beberapa kali ia mengundangnya untuk menghadap Sang Patih. Liem Mo Han selalu menolak. Dan dalihnya terakhir adalah: “Hanya kerajaan yang sudah sepenuhnya Islam mau melawan Peranggi. Maka yang setengah Islam cuma akan setengah melawan. Biarlah sahaya membantu dari jauh saja, Wira.” Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda. Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewadewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap melawan. Ia merasa tersinggung karena Liem Mo Han menganggap Tuban setengah Islam. Seperempat pun belum! Tapi aku akan melawan Peranggi. Hanya kesempatan saja belum aku peroleh. Liem Mo Han tetap tidak mau bicara tentang pribadinya. Ia selalu bicara tentang praja. Setiap ia mendapat kesempatan dan bertemu dengan sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tambahan pengetahuannya. Dan datangnya pengetahuan itu tidak binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari Rama during, tapi tenang-tenang, seakan tidak terjadi sesuatu, dan masuklah dalam hatinya. Suatu peristiwa telah menyebabkan mereka berdua berpisah. Dan kejadian itu datang begitu mendadak. Pagi waktu itu. Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari memeriksa seluruh bandar. Baru saja ia turun dari kuda telah terdengar: “Wira! Wira!” Tholib Sungkar Az-Zubaid memanggilnya. Sudah lama rasanya ia telah hindari Syahbandar yang dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nampaknya merasa juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi permainan hindar-menghindar ini. Ia naik ke gedung utama dan didapatinya Syahbandar sedang minum kopi di kamar-kerjanya. “Selamat untukmu, Wira,” ia berdiri. Wajahnya berseriseri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama sekali. “Tuan Syahbandar, inilah sahaya,” jawab Wiranggaleng. Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari punggung orang Moro itu – telah sering ia perhatikan – pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya. “Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman?” tanyanya dan menyilakan duduk. “Nah, semestinya kau tahu di mana desa Rajeg” Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, Rajeg adalah sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji Benggala. “Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu?” “Apa yang mereka percakapkan?” mata Tholib kelapkelip menyelidik. Dan waktu nampak olehnya Wiranggaleng tersenyum mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan katakatanya. Dengan mengambil nada lain ia bergumam: “Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga Iskak memberontak? Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima semua titah Gusti Adipati.” Nada suaranya meningkat lagi, “Begini, Wira, kau juga tahu Rangga Iskak ada di Rajeg. Aku mengetahui dari Gusti Patih. Wira, baru saja ketahuan ada barang kesyahbandaran, barang penting, yang terbawa olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingatnya lagi. Dan itu bisa membikin bahaya terhadap bandar. Barang itu harus di kembalikan pada Syahbandar.” “Rupanya penting benar barang itu, Tuan Syahbandar,” Wiranggaleng menyembunyikan keheranannya. “Bagaimana bisa dikatakan tidak penting? Cap tera untuk mas, perak dan tembaga! Syahbandar harus mendapatkan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya memang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang, hanya tak ada tulisan Arab tambahan di dalamnya.” Wiranggaleng sibuk menerka maksud orang Moro ini, tetapi belum dapat. “Kau tak perhatikan aku, Wira.” “Teruskan Tuan Syahbandar.” “Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti sampaikan padanya dengan lisan: Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa dalam keadaan selamat. Cukup itu saja. Aku senang punya pembantu seperti kau. Berani, pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu selesaikan pekerjaan ini.” Terbayang oleh Syahbandar-muda itu akan adanya hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan Syahbandar ini, dan antara Syahbandar dengan Peranggi. Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyampaikan ini pada Sang Patih: orang satu ini memang pengkhianat yang tak patut mendapatkan perlindungan dari Sang Adipati, tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepatutnya dienyahkan dari bumi Tuban. Sebelum berangkat ke Rajeg ia telah temui sahabatnya Liem Mo Han dan berpesan agar membuang waktu untuk terus mengawasi dua orang Peranggi yang mendapat perlindungan resmi dari Syahbandar dan perlindungan tidak resmi dari praja itu. Dari Sang Patih ia mendapat empat orang prajurit dari pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan, dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenarbenamya tentang desa Rajeg, kekuasaan dan pengaruh Ki Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak sesungguhnya desa yang mulai dan sudah berada dalam pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga Iskak dengan Sayid Habibullah Almasawa yang bermusuhan pada lahimya itu, dan apa saja yang telah diperbuat dan direncanakan oleh perusuh. “Kerjakan tugasmu dengan baik,” pesan Sang Patih. “Peranggi semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak. Pedagang-pedagang Islam meninggalkan Tuban Kota, pindah ke kota-kota bandar di barat. Sedang pedagangpedagang Islam yang kecil-mengecil masuk ke pedalaman ” “Patik akan kerjakan sebaik-baiknya, Gusti.” “Benar kata Syahbandar. Nampaknya hanya kau yang bisa lakukan tugas ini,” katanya lagi seakan mengulangi Sayid Habibullah. “Kau tahu apa artinya semua ini.” “Belum, Gusti.” “Artinya, memang Tuban diancam oleh kerusakan dari luar dan dari dalam. Kau rela Tuban, negerimu, Gustimu, kebesaran Tuban. rusak?” “Dewa Batara! Sama sekali tidak, Gusti.” “Berangkatlah dengan sejahtera.” Dan ia pun berangkat. la berangkat dengan membawa pengertian: surat dan cap itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam hati. Sedang surat yang telah dibongkar oleh Sang Patih lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan Arab. Itu pun pendek sekali. Jelas hanya isyarat belaka. Dia sungguh cerdik, pikirnya. Dipilihnya aku untuk melakukan pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih. Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa lain, karena dia pun punya kepentingan dengan kematianku pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan: menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki Aji Benggala jelas akan membunuh aku. Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai. Sayid Habibullah Az-Zubaid juga menganggap diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu Idayu. Bukankah Nyi Gede Kati sendiri tak segan-segan membicarakan ini dengan istrinya, dan istrinya dengannya? Liem Mo Han pernah memperingatkan: Tuan Syahbandar Tuban sungguh-sungguh dibenci oleh setiap dan semua orang, sampai jauh-jauh di Jepara dan Lao Sam. Dia meremehkan para saudagar Islam dan Tionghoa, sebagaimana ia lakukan di Malaka dulu. Dialah pengkhianat Malaka. Tak urung ia akan jadi pengkhianat Tuban juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia sendiri Sang Adipati. Di Malaka dulu dia bertingkah sebagai raja muda. “Sebaliknya, Wira,” ia meneruskan, “Wira dan istri merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada satu kebahagiaan yang lebih besar daripada dicintai dan dihormatri semua orang. Itu adalah modal yang membikin orang dapat mencapai segala-galanya. Sahaya harap Wira mengerti perbandingan ini.” Dan ia menganggap dirinya mengerti: Syahbandar Tuban menghalaunya dengan meminjam tangan Rangga Iskak alias Ishak Indrajit alias Ki Aji Benggala, kemudian ia akan menghadap Sang Adipati dan memohon agar Idayu dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan memiliki apa yang diberahikannya selama ini, juga akan dapat meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui Idayu sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat mempengaruhi Sang Adipati. Tetapi mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin terhadap Gelar, anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri? Ah, mengapa tidak mungkin? bantahnya sendiri. Setiap ningrat yang punya harem adalah juga orang yang tak acuh terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi, memburu dan memuaskannya. Mengapa kau heran? Kasihan kau, Gelar. Seperti seekor anak burung… ia teringat pada kata-kata Rama Cluring tentang burungburung. Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai petani memasuki pedalaman. Makin mendekati desa Rajeg, desa-desa yang dilaluinya nampak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar ketakutan dan kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada mereka dijawab seperlunya tanpa keramahan dan tiada di antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan menginap. Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di tepi sebuah rimba-belantara. Teman-temannya, juga berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya. Gubuk panggung di depannya sana masih seperti dulu juga. Nampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum juga rusak. Gubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pernah menginap di situ bersama tiga orang temannya untuk dapat mendengarkan seorang guru-pembicara dari seberang, yang mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali Allah, dan bahwa semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengarpendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti betul maksudnya. Orang-orang memberi komentar: guru itu membawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya bahasanya juga aneh. Ia memerlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di kejauhan dilihatnya empat orang temannya berjalan aman mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersarong putih dan berkopiah putih telah mengepungnya dengan mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipergunakan oleh para prajurit – tombak-tombak berburu. Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik. Yang termuda sekira dua belas tahun. Wiranggaleng melirik untuk dapat melihat rambut mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba putih – seperti bangau. “Hei, kau!” tegur yang tertua, “tidak berbaju tidak berkopiah, biadab! Berambut panjang seperti kuda betina! Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke neraka.” “Betapa galak,” pikir Wiranggaleng. sebelum kena tegur lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada bibir: “Ampun, Bapa, tersasar.” “Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau!” “Galeng, Bapa.” Orang itu tertawa melecehkan. dan mata Wiranggaleng tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga menghias. “Galeng? Siapa tidak kenal Galeng? Biar pun kau juara gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari kota untuk memata-matai. Kau, kafir sialan, kafir laknat!” “Apa yang dimata-matai, Bapa? Nanti dulu, siapa yang aku hadapi ini?” “Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya. Siapa hendak kau mata-matai?” “Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji Benggala. Lain tidak.” “Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal Adipati Tuban.” “Mengapa Sang Adipati, Bapa, nampaknya Bapak memusuhinya?” “Puh, Adipati, satria tidak tahu menepati janji. Apakah orang kota tidak tahu pengkhianatan Tuban terhadap Jepara? Terhadap Aceh, Riau, jambi dan Banten? Malaka tidak jatuh, kemelaratan merajalela di Tuban! Kapal-kapal tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!” Mengertilah Wiranggaleng, benar Ki Aji Benggala telah menggunakan kemerosotan Tuban untuk menaikkan dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: “Benar, Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu Aku mencaricari Ki Aji Benggala – tak tahu tempatnya, – membawa surat untuk beliau – surat berbasa dan bertulisan Arab.” “Pembohong! Adipatimu tak perlu tulisan dan basa Arab – munafik itu.” “Aku tak tahu artinya itu, Bapa. Sesungguhnya surat itu bukan dari Gusti Adipati – dari Tuan Syahbandar Tuban, dari Sayid Habibullah Almasawa, seorang Arab tulen.” “Ki Aji tidak menunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi dari Syahbandar keparat itu.” “Mengapa keparat, Bapa?” “Mengapa? Dengan mulutmu yang kotor, najis, kau bertanya mengapa? Coba, bukankah dia juga yang mengaku Arab tulen dan keturunan Nabi besar sekaligus?” ia meludah ke tanah. “Dia hanya budak kafir Peranggi. Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari budak kafir Peranggi? Kau, si rambut panjang?” Wiranggaleng berusaha terus bicara dengan harapan pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya. sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan itu disebarkan oleh Ki Aji untuk membenarkan dirinya sendiri. “Budak dari budak kafir Peranggi,” ia bergumam. “Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa salahkan orang yang tidak tahu?” Setelah tertawa melecehkan orang itu mengejek: “Memang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak, apa bedanya? Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa tempat yang dijanjikan.” “Aku semakin tidak mengerti, Bapa.” “Apa tahumu? Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani, sesungguhnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa tempat yang dijanjikan.” “Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa?” “Nasib kafir sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu yang patut kau dengar sebelum mati.” Dan Wiranggaleng harus bicara terus. “Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak Peranggi. Tak tahukah, Bapa, rangdesa Galeng ini pernah menyerang Peranggi di Malaka? “Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu.” “Maka aku yang mengatakan.” “Karenanya makin jelas kebohonganmu.” Wiranggaleng kini dapat menjajagi betapa pengaruh Rangga Iskak telah mulai mendalam. Ia harus berhati-hati. “Bagaimana, Paman?” salah seorang di antara tiga bocah itu bettarn a di belakangnya. “Masih juga dia dibiarkan begini?” “Nanti dulu, jangan keliru,” tegah juara gulat itu sambil menengok sekilas ke belakang. “Lihat dulu surat yang aku bawa ini. Tulisan dan bahasa Arab tulen.” “Jih!” orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar muda yang mengulurkan surat. “Semua yang keluar dari pokal kafir hanyalah najis”. “Hweeee!” terdengar bentakan berbareng di belakang mereka. Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawalpengawalnya. Tanpa pengalaman menggunakan senjata menyebabkan mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang tombak mereka menjadi penghalang utama untuk membela diri. “Jangan sentuh aku, kafir!” pekik orang tertua tak berdaya itu. Matanya menyala-nyala menyemburkan kebencian, kejijikan dan penyesalan. Bocah-bocah yang juga terikat itu kini berpandangpandangan satu sama lain dengan ketakutan. “Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa tombak,” gumam Syahbandar-muda. “Perdamaian yang sungguh tidak jujur, Bapa.” “Mata-mata! Telik!” pekik orang itu seperti gila. Suaranya menggaung di tepian rimba. “Allah mengutuk kau, dunia dan akhirat!” “Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau Allah? Ataukah Bapa sama dengan Allah?” balas Syahbandar-muda. “Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini. Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu sempit. Dan kalian,” ia perintahkan pada para pengawalnya. “bawa sisanya ke dalam rimba, terikat! Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung,” perintahnya pada tawanannya yang terkecil, “biar aku lepas talipengikatmu, dan mari aku diantarkan. Jangan menyasarkan, karena paman dan saudara-saudaramu bisa binasa. Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku.” Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan bersama si buyung. tujuan: desa Rajeg, pusat kekuatan Ki Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang mata yang nampak heran memandanginya: seorang berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit dengan rambut kafir panjang terurai, langkahnya mantap tanpa ragu-ragu, dan mengiringkan seorang bocah. Di sawah dan ladang orang memerlukan berhenti bekerja untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu. Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan. Beberapa desa telah dilewati. Kemudian sampailah mereka di Rajeg. Wiranggaleng heran melihat wajah-wajah yang sudah dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah penduduk Tuban Kota yang biasanya belayar atau berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya menyapukan pandang padanya, bahkan membalas senyum dan salamnya pun tidak. Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan juga memerlukan berhenti bicara, meminggir, memberinya jalan, dan mengawasinya dengan mata bertanya-tanya. Dan Wiranggaleng menyadari betapa sulit keadaannya. Sampailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo beratap sirap. Tiang-tiang guru terbuat daripada balok-balok kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya terbuat daripada tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di tengah-tengahnya tergelar tikar lampit dengan sebuah meja rendah di atasnya. Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu. Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di pendopo yang kosong melompong itu. Ia heran mengapa tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia angkat pandangnya untuk melihat susunan kasau, nampak olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan Arab. Barangkali itu mantra penjaga dan pekarangan, pikirnya. Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas tiada tertanami, nampaknya memang sengaja akan dibuat men jadi taman. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah, nampak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai umur, terusmenerus bergoyang gelisah. “Nuwun… hasalamu halaikoooom!” sebutnya. Si buyung pergi ke belakang melalui samping rumah. Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharapharapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan langkah ragu ia mendekati Wiranggaleng. berhenti di depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyalanyala gusar: “Wiranggaleng!” raungnya. “Sahaya, Ki Aji,” ia bersimpuh di tanah dan menyembah. Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu mesti meraung. “Berpakaian putih berambut panjang, datang untuk serahkan nyawa.” “Sahaya, Ki Aji.” “Syahbandar-muda, juara gulat….” “Sahaya, Ki Aji.” Dari suara-suara di belakangnya Wiranggaleng tahu, beberapa orang sudah berdiri dengan tombak untuk sewaktu-waktu akan menjojoh punggungnya. “Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang sebagai kau?” “Sahaya, Ki Aji,” dan sekilas dalam tunduknya ia dapat menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang menghampiri Rangga Iskak dari belakang. Dialah penolongku, pintanya dalam hati. “Sahaya menghadap hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang.” “Utusan siapa? Hhh! Kafir-kufur yang terkantuk-kantuk menunggu datangnya iblis-iblis Peranggi terkutuk pula itu?” ia diam dan menolak ke belakang. Wiranggaleng mengangkat pandang dan melihat waktu itu menyembah pada Rangga Iskak sambil tetap berdiri, bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia Iihat Rangga Iskak alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita itu tajam-tajam, kepalanya menggeleng atau mengangguk. Kemudian ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu pergi. Tetapi yang disuruhnya manda saja. “Ya,” kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada Wiranggaleng, “hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang kemari,” ia mengangguk-angguk. “Sahaya datang bukan sebagai utusan Gusti Adipati, Ki Aji, tetapi Tuan Syahbandar Habibullah Almasawa.” “Anjing Ispanya itu! Begundal Peranggi! Bekas Syahbandar Malaka keparat! Terlalu lambat orang mengetahuinya.” Wanita di depannya itu menyembah Ki Aji dari belakang, kemudian menepuk bahunya. Kembali suara Ki Aji menjadi lunak. “Munafik keparat!” makinya pelan. “Tak ada ampun lagi bagi iblis laknat itu. Datang di Goa, dijualnya Goa pada Peranggi. Datang di Malabar, dijualnya Malabar pada Peranggi. Betapa terlambat orang mengetahui. Datang ke Malaka begitu juga. Datang di Tuban… apalagi yang sedang diperbuatnya sekarang? Dan adipatimu, si goblok yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan pangkal keadaan….” “Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala.” Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan kesempatan itu dipergunakannya untuk mengeluarkan surat dari Sayid Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk dilihat oleh Ki Aji. Tetapi orang di depannya itu tak menggubrisnya. “Perkenankan sahaya mempersembahkan surat ini,” ia terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan raguragu. Wanita di belakangnya nampak memberikan isyarat dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya. “.Ya,” gumamnya kemudian, “Nabi pun berkirim surat pada umat kafir Romawi dan kaisar kafir yang lain. Betul juga kau, Khaidar.” Suaranya sekarang meninggi, “Sini surat itu.” Wiranggaleng memanjangkan badan dan menyampaikan. “Bedebah!” raung Ki Aji. “Ini bukan surat. Ini hanya alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan mematamatai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal Peranggi keparat! ia remas-remas surat kertas itu dan melemparkannya pada muka utusan itu. “Jangan kalian kira Peranggi bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa lagi Tuban, Tuban yang mau untungnya saja dari Islam, tapi tak kerja sesuatu pun untuknya.” “Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji,” sembah utusan itu. Dan ia telah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan semakin genting. Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan, kemudian memberikan isyarat pada Wiranggaleng agar menyerahkan kembali surat teremas yang telah terkapar di tanah itu. Begitu telah diterimanya, wanita itu mengambil dari tangannya dan membacanya, tersenyum, mengangguk dan memandangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata assalamualaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu. Ki Aji Benggala kembali menatap Wiranggaleng. “Surat,” katanya menggerutu, “hanya berisi assalamu alaikum. Lebih tidak,” kekerasan yang hampir meledak lagi tiba-tiba mereda dari wajahnya. “Wajiblah bagimu,” katanya lebih pada diri sendiri, “membalasnya. Ya, wajib, di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.” la diam dan nampak berpikir. Kemudian tersenyum dan memperhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip. “Baik,” katanya. “Bedebah Moro itu berhasil. Dia telah menyampaikan salam damai, begundal Peranggi itu.” “Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang sahaya sedang menunggu balasan untuk sahaya bawa pulang.” “Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri rupanya, Galeng. Kau memang pandai, licik.” “Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa perbuat selain menjalankan perintah?” “Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan balas surat ini.” ia merengut. “Tunggu kau di situ. Jangan tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika mengenainya.” Ia masuk. Wanita itu masih berdiri memandangi utusan itu tapi tiada berkata sesuatu pun. Dan lama ia harus menunggu. Terik matari telah memeras keringat dari tubuhnya. Di samping menyampingnya mulai berdatangan bocah-bocah menontonnya. Ia tetap menekuri tanah. Ki Aji Benggala keluar lagi membawa kertas surat. “Hei, kau, Wiranggaleng, sampaikan oleh mulutmu sendiri pada tuanmu begundal Peranggi itu, aku, Ki Aji Benggala, Rangga Iskak, Ishak Indrajit, telah menerima suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku perintahkan sebagaimana termaktub dalam surat ini. Dia akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak.” “Sahaya, Ki Aji.” “Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan.” “Sahaya, Ki Aji.” “Lepaskan mereka, kembalikan baju mereka.” “Sahaya, Ki Aji.” “Pergi!” bentaknya keras. “Tinggalkan bumi ini dan jangan balik kalau tak bosan hidup.” Wiranggaleng mengangkat sembah. Setelah Ki Aji pergi dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan jalan, dan… pengawal-pengawal berbaju serba putih itu menarik mata tombak mereka dari tubuhnya dan membiarkannya pergi. “Hasalamu alaikoooom!” ia mendahului beruluk salam. Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata tombak memenuhi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga beruluk salam tanpa jawaban. Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan. 0o-dw-o0 14. Syahbandar, Idayu dan Gelar Ia terkejut. Dilihatnya Syahbandar tiba-tiba saja sudah ada di depannya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala menerkam. “Selamat bagimu, Idayu!” katanya lunak, memikat dan membujuk sekaligus. Cepat cepat Idayu menepiskan Gelar pada dada, begitu keras sehingga anak itu terpekik terkejut dan pengap. Melihat Idayu terkejut, Tholib Sungkar tertawa menghibur dengan gerak tangan ramai. Kemudian: “Masa begitu saja terkejut, Idayu!” Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu. “Mengapa kau begitu aneh, Idayu?” “Apa Tuan kehendaki di sini?” tanyanya megap-megap. “Biar sahaya pergi ke dapur, memasak bersama Nyi Gede.” “Buat apa, Cantik? Guna apa? Nyi Gede masih tidur.” “Biarlah sahaya ikut membersihkan taman dengan Paman Marta.” “Buat apa, Idayu? Bukan pekerjaanmu membersihkan taman. Lagi pula Paman Marta sedang mengurus mayat anaknya.” “Kalau begitu, jangan masuki rumah sahaya ini” “Idayu, Permata Tuban, pujaan setiap pria. Betapa murung kau ditinggalkan suami. Tiadakah kau suka bersenang dalam kesepian yang begini mencekik? Idayu!” Ia bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya. “Ampuni sahaya, Tuan Sayid. Jangan dekati sahaya, dan jangan masuki rumah sahaya.” Syahbandar itu tertawa senang dan maju selangkah. “Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Permata?” “Suami sahaya, Tuan Sayid. Tidak lain dari suami sahaya.” “Apa kau harapkan dari suamimu?” “Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya.” “Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan pada tubuh yang semolek ini….” “Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun memadai, Tuan ” jawab Idayu mulai berani setelah terbebas dari kejut. Gelar dalam pelukan meronta minta kembali bebas. Kepalanya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya bergerak binal. “Mengapa tak kau lepaskan anak itu? Biar dia bermainmain sendiri seperti biasanya.” “Biarlah dia temani ibunya dalam menghadapi ayahnya.” “Menghadapi ayahnya? Mengapa mesti dihadapi? Lagi pula dia belum lagi pulang.” “Ayah tidak pergi, bukan, Gelar? Ayahmu tidak pergi, bukan? Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam ayahmu. Dia sedang merayu ibumu.” “Ayahmu sedang ke pedalaman, Gelar.” “Ingat-ingat kejadian ini, Gelar, selama hidupmu.” Gelar berhenti meronta, memandangi Syahbandar dengan mata ter-heran-heran. “Mak!” serunya kemudian. “Ya. Itulah ayahmu, Nak, kenali dia baik-baik dari dekat.” Idayu memasang Gelar demikian rupa sehingga si bocah itu berhadap-hadapan dengan Syahbandar. Anak itu sebagai besi berani menarik mata lelaki itu. Dua pasang mata itu bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya. “Ya, Gelar,” Idayu meneruskan, “itu ayahmu sendiri. Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya….” Muka Tholib Sungkar Az-Zubaid merah-padam. Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai. Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada perempuan berkata begitu. “Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya maka dia anakku?” “Kau dengar sendiri suaranya, Gelar. Memang tidak menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang asli.” “Jangan bercericau seperti nuri!” sambarnya bengkeng. “Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu, Gelar. Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya. Makin hari kau akan makin kenal….” “Jangan teruskan, Idayu,” Syahbandar sekarang merajuk. “… Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik.” “Idayu, kau ajari anak itu kurangajar.” “Dengar, kau, Gelar, dia tak mau dikurangajari.” “Idayu diam!” “Dia belum bisa bicara, Tuan Sayid, biarlah dia meminjam dulu kata-kata ibunya’ “Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku.” “Inilah anak Tuan, Tuan Sayid. Bukankah Tuan tahu sejarah kelahirannya?” “Bagaimana sejarah kelahirannya? Aku tak tahu. Jangan sebut sekali lagi dia anakku. Tuan Sayid Habibullah Almasawa tak pernah beranak-kan dia!” matanya membeliak memperingatkan. “Tak ada yang dengar, Tuan, hanya sahaya, Tuan dan anak Tuan sendiri.” “Aku tak beranakkan dia!” Tholib Sungkar hampir membentak. “Itu, itulah ayahmu, Gelar, kasihan kau, ayahmu untuk di dunia dan untuk di kemudian hari.” Seakan mengerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap Syahbandar seperti lelaki setengah baya itu baru sekali ini dilihatnya. Tetapi melihat wajah orang itu berubah jadi galak, ia menjerit ketakutan. Idayu kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara seperti meratap ia meneruskan: “Nasibmu, Nak, punya ayah tiada mengakui. Tapi kau harus akui dia. Dasar sudah nasibmu, punya ayah semacam itu kelakuannya….” “Idayu!” “… Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada gandarwa.” “Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari berbaik, Idayu,” katanya lagi membujuk. “Dengarkan dulu aku, jangan ditentang juga. Kau ini, Idayu, belum lagi mengenal dunia.” “Kau, Nak, anak seorang Syahbandar yang mengenal dunia. Nasibmu, betapa buruk. Menggendong saja dia tak mau. Nasib.” “Diamlah, Idayu. Apa kataku tadi? Kau belum lagi mengenal dunia.” “Apalah gunanya dunia sahaya kenal, kalau hanya seperti yang Tuan lihat?” “Haiyaaa.” Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan, masing-masing berusaha tunduk-menundukkan tanpa kekerasan. “Itulah, Idayu, itulah, justru karena tak kenal dunia, kau anggap semua sudah mencukupi.” “Hidup sahaya telah mencukupi, Tuan Sayid, dengan kasih-sayang suami sahaya, si Galeng anak desa yang bodoh itu.” “Husy. Dengarkan dulu aku. Kau biarkan suamimu yang seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi… jangan sela dulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri orang lain.” “Apalah gunanya?” Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa ramah. Ia tegakkan bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas bahu, kemudian bertepuk-tepuk: “Kalau di negeri lain sana, Idayu, pastilah kau akan jadi ratu.” “Huh!” Idayu berpaling melecehkan. “… Tidak jadi istri seorang Galeng yang selalu pergi, membiarkan kau merana dalam menunggu.” “Sahaya perempuan Tuban, Tuan Sayid, yang berbahagia menunggu suami pulang.” “Jangan kau jadi bodoh seperti perempuan Tuban lain. Cerdiklah sedikit,” ia maju setengah langkah. “Dalam menunggu suami pulang sahaya berbahagia.” “Mak, turun, Mak,” pinta Gelar. “Jangan, Nak, temani dulu emakmu.” Gelar meronta lagi minta turun dan Idayu membiarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke pelataran memanggil-manggil Nyi Gede Kati. Ia langsung menuju ke dapur. Tholib Sungkar berseri-seri dan maju lagi seperempat langkah: “Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia karena menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik daripada menunggu. Malah, Idayu, kau tak tahu pula apa yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang.” Melihat penari itu mendengarkan ia semakin berani, “Pekerjaannya berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa mati. Apalagi sekarang ini. Mungkin ia takkan kembali lagi untuk selama-lamanya….” “Apalah yang sahaya herani bila suami mati?” “Jadi kau mengharapkan dia mati?” “Apakah hebatnya kematian, Tuan Sayid? Tiadakah pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti suami yang mendahului mati? Tidakkah pernah Tuan dengar? Di Tuban Kota memang sudah tidak kejadian lagi. Pergilah ke pedalaman.” “Jangan, Idayu. Semua orang tahu. Tapi jangan lakukan. Betapa bodoh orang membiarkan kecantikan dan kemolekan seperti ini punah dimakan api,” larangan sambil mendekat lagi. “Jangan lebih dekat, Tuan Sayid, dan jangan coba-coba masuki rumahku,” Idayu memperingatkan. “Sahaya sedang jaga, tidak mimpi dalam tidur.” “Apakah keberatanmu selama tempat ini jadi bagian dari kesyahbandaran? Dan isinya pun dalam kekuasaanku?” “Sahaya bilang: jangan.” “Layani aku, Idayu, lupakan suamimu.” Syahbandar melangkah menerjang hadangan Idayu sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar. Idayu meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya Gelar memanggil-manggil dari sesuatu jarak. Syahbandar berusaha menangkapnya lagi. “Bodoh!” gumam Syahbandar. “Kurang hormat apakah perempuan bodoh ini?” kata Idayu cepat-cepat dan terengah-engah. “Tuan Sayid, keluar dari sini!” dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu mengancam. Syahbandar itu terkejut dan undur keluar dari kamar. Naluri beladiri menyebabkan dengan sendirinya ia mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: “Di mana pun begitu mesti bisa ditundukkan,” ia tertawa melecehkan, “apa lagi, kau, Idayu. Sampai di mana kekuatanmu? Kalau kupukul kau, keris-kecilmu takkan berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selama-lamanya. Takkan lagi yang bakal mengagumi kau. “Pukullah, Tuan.” Tetapi lelaki itu meneruskan gerutunya tanpa mengharapkan jawaban: “Apa yang kau andalkan? Wiranggaleng? Kesetiaannya padamu? Hah! Mungkin dia sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal tulang-tulang berantakan termakan anjing.” “Memang itulah yang Tuan kehendaki.” “… Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau, perempuan bodoh, bila dia toh balik, segar dan selamat… kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. Kerisnya akan tembusi dadamu. Akan diminumnya darahmu seperti dia minum tuak. Dibuangnya mayatmu tanpa upacara.” “Jadi apa sesungguhnya yang Tuan Sayid harapkan dari sahaya?” Idayu bertanya bodoh. “Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki?” “Kalau soalnya cuma itu, Tuan Sayid, betapa sederhana keinginan Tuan.” “Masih juga kau bercericau!” “Mari sahaya ceritai, Tuan,” Idayu bermanis-manis. “Barangkali Tuan mau mendengarkan.” Tholib Sungkar mengendorkan pegangannya pada tongkatnya. Matanya tetap waspada memperhatikan tangan Idayu yang masih juga mengamangkan senjatanya. “Apa ceritamu, Idayu?” “Cerita sahaya, Tuan, betapa sederhana memilih bagaimana cara berlawan atau mati.” “Kau tetap melawan aku, Idayu?” “Sahaya sedang melawan, Tuan.” “Keris Wira akan menembusi dadamu!” “Apalah salahnya. Tapi sebelum itu dari mulut Tuan sendiri ingin sahaya dengar, dengan mata sahaya sendiri ingin melihat, Tuan sudi mengakui Gelar sebagai anak Tuan sendiri, karena memang dia anak Tuan.” “Tiada aku beranakkan dia!” lelaki itu membentak. “Keluar!” pekik Idayu. “Takkan ada orang datang menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan. Keluar! Sahaya tak mengulangi kata-kata sahaya.” Idayu melangkah dan lelaki itu dengan sendirinya bersiaga dengan tongkatnya. Tholib Sungkar tak juga beranjak dari tempatnya. Idayu melompat maju sambil menyerang dengan cundriknya. Syahbandar melompat ke samping, mengelak. Wanita itu menikam dari samping. Syahbandar melompat lagi dan mengayunkan pukulan pada tangan lawannya yang bercundrik. Idayu menarik tangan dan berputar menikam punggung. Lelaki itu melompat ke depan dan lari meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan bajunya sobek dan darah memerahi sekitar sobekan. Panggilan Gelar semakin terdengar mendekat. Idayu keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari anaknya. Tak ada dilihatnya lelaki bongkok itu. Yang muncul adalah Gelar yang masih juga memanggil-manggil. Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia selit-kan pada sanggul. Kemudian ia berjongkok menyambut anaknya. Dengan sekali renggut Gelar telah berada dalam gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali. “Nasibmu, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada mengakuimu.” Gelar memeluk leher ibunya. “Sayang kau pada emak?” Gelar mengencangkan pelukannya. 0o-dw-o0 15. Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh Syahbandar langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke belakang. Ada terdengar olehnya sepotong kata-kata Syahbandar dalam Melayu: “… tak ada hak patik untuk mengusirnya….” Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: “Siapa bilang kami mengusir atau memerintahkan mengusir? Patih Tuban mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak meriam. Maka itu kami mengundang mereka.” Wiranggaleng meneruskan jalannya dan masuk ke dapur kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu Syahbandar pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk di atas bangku kayu sedang mengipas-kipas badan. Melihat Syahbandar-muda datang ia tersenyum senang dan menyilakannya duduk. “Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat perjalananmu.” Dan belum lagi penghadap itu bersembah ia telah meneruskan, “Pasti kau lihat tadi Syahbandar habis menghadap. Dipergunakannya segala alasan untuk menghalangi orang-orang Peranggi petualang itu datang menghadap ke mari. Apa boleh buat. Gusti Adipati berkenan memberikan perlindungan, dengan dugaan mereka mau mengajar membikin meriam. Telah kami persembahkan petualangan mereka di Lao Sam. Sia-sia, Wira. Jangankan Peranggi mau membagi ilmunya, orang Tionghoa di sini saja segan mengajar membikin kertas. Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang Peranggi itu. Bagaimana pendapatmu? Ah-ya, nanti dulu, mereka toh masih berada di bawah perlindungan Syahbandar. Bagaimana kepergianmu?” Dan Wiranggaleng bersembah. “Jadi sudah jelas Rangga Iskak memang hendak bertingkah. Dia telah bikin kawula Tuban membangkang dan melawan. Mana surat itu?” Melihat surat itu bertulisan Arab ia hanya mengangguk. “Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada keluargamu. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil menghadap Mashud bersama denganmu.” Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang dan keesokannya menghadap lagi bersama Mashud. 0o-dw-o0 “Bapa Mashud,” kata Sang Patih, “kami perintahkan padamu membaca surat Arab ini baris demi baris dan terjemahkan baris demi baris pula.” Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan: “Selamat bagimu,” sebaris lagi, “Dilimpahkan oleh Allah kiranya padamu taufik dan hidayatnya,” sebaris lagi, “Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka,” selanjutnya, “Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan dan menyampaikan, melindungi mempertahankan dan mengamalkan,” sebaris lagi, “Maka itu kerjakan apa yang kami sebutkan di bawah ini….” Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti keranjingan. “Mengapa, Bapa Mashud?” Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan ludah dan meneruskan. Tetapi kata-katanya sudah tak jelas lagi artinya. Sang Patih memerintahkannya berhenti dan menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada Sang Patih guru daripada Mashud. Ia seorang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka, bernama Jamhur Tenga, barangkali seumur hidup selalu menggunakan jubah coklat dan sorban coklat pula. Dengan tenang dan percaya diri ia mulai menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang memucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruknubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud. Sang Patih mengangguk dan memerintahkannya pergi. Seorang perwira lain menghadapkan seorang Melayu pelarian dari Malaka, telah kehabisan modal dan kehilangan kapal. Ia telah diambil sewaktu sedang bersiapsiap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak bersorban, tetapi berpakaian Pribumi Tuban. Ia menghadap dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama Kamang Sani. Terjemahannya mulai baris yang memucatkan itu tiada kesamaan baik dengan Mashud ataupun Jamhur Tenga. Sang Patih memerintahkannya pergi. “Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di dalamnya. Rahasia ini mengikat Rangga Iskak dengan para penterjemah pada satu pihak dan Rangga Iskak dengan Syahbandar Tuban pada lain pihak. Di sebelah sana lagi ada Peranggi. Di sampingnya ada perusuh yang menentang Tuban ” Sang Patih memutarkan tinju dalam genggaman tangan yang lain. “Aneh, Rangga Iskak bermusuhan dengan Syahbandar, juga bermusuhan dengan Peranggi, juga bermusuhan dengan Tuban. Syahbandar bermusuhan dengan Rangga Iskak dan kami mencurigainya bersahabat dengan Peranggi.” “Barang tentu surat gawat, Gusti.” “Pergi kau sekarang juga ke Gresik. Carikan terjemahan yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu.” Dan dengan demikian mendaratlah Wiranggaleng di bandar Gresik. 0o-dw-o0 Bandar itu tidak seindah Tuban, namun masih lebih ramai, juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang lalu peranannya jauh lebih penting daripada Tuban, dan sampai sekarang pun masih bandar terbesar di Jawa. Sebelum Portugis menduduki Malaka dan Maluku, sebagian terbesar rempah-rempah Maluku datang kemari, dari sini berpecahan ke seluruh bandar di Jawa dan dunia. Tiga ratus tahun setelah menjadi bandar tanpa tuan, mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke sebelas Masehi mendapat prasasti penghargaan dari Sri Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan Tuban dan bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi. Dari Gresik ini pula sebagian angkatan laut Majapahit muncul untuk mencapai daratan Asia dan Afrika. Dan seperti halnya dengan Semarang dan Lao Sam, juga Gresik pada mulanya dibangun menjadi bandar oleh pendatang-pendatang dari Tiongkok. Setelah jatuhnya Majapahit pada 1478 Masehi, Gresik berada dalam keadaan tanpa tuan lagi. Tetapi perdagangan berjalan terus seakanakan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada mempunyai sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan, sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh Darmawangsa. Satu kekuasaan yang kemudian timbul lagi adalah justru karena ingin menguasai bandar dan keuntungannya ini. Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain sampai akhirnya balatentara Giri Dahanapura turun dari Blam-bangan melakukan pameran militer memasuki wilayah inti Majapahit, membungkam kekuatan-kekuatan kecil yang bertarung memperebutkan Gresik. Raja Blambangan Hindu, Ranawijaya Girindra Wardhana sejak tahun 1485 menguasai Gresik sebagai bawahan Giri Dahanapura atau Blambangan. Gresik yang berpindah-pindah tangan itu tetap berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk memindahkan Gresik ke bandar-bandarnya sendiri, Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pameran militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali dengan Gresik dalam keadaan utuh. 0o-dw-o0 Keadaan memang agak lengang waktu Wiranggaleng mendarat. Namun jauh lebih sibuk daripada Tuban. Orangorang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang mengenakan baju juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai oleh kaum pedagang Islam. Penduduk sudah banyak mengenakan terompah seperti para pendita di pedalaman, terbuat daripada kulit kayu, pelepah atau kulit kambing mentah. Dan Wiranggaleng terheran-heran melihat betapa sedikit orang yang berkain batik. Orang lebih banyak mengenakan pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan desa. Orang-orang bertombak dan berpedang sama sekali tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan satria memang sudah tak punya sesuatu kekuasaan. Setelah mendapat ijin masuk segera ia mencari-cari keterangan. Tapi pandang mata yang tertuju padanya seperti memperhatikan seekor binatang aneh yang terlepas dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa menggelung rambut dan menutupinya sama sekali dengan destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang setempat. Baru ia merasa dapat bergerak agak leluasa. Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu, bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para dewa dan para leluhur, pada Hyang Widhi, dan dimintanya seorang untuk mencukur rambutnya. Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk melaksanakan. Tak ada orang bersedia memotong rambut panjang seorang kafir, karena ada orang dan tempat tertentu untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya, baik yang dipangkas ataupun yang memangkas bisa terkena kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pesantren. Kemudian ia ketahui pesantren adalah tempat para santri, dan santri sendiri tidak lain dari ucapan guru agama dari seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang terhormat, di sinipun telah mulai berubah bunyinya jadi Kiai oleh guru-guru agama dari seberang itu pula. Ia pergi ke sebuah pesantren, yang ternyata adalah sebuah asrama pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia sudah lakukan satu kekeliruan. Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanakkeluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan rambut itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh membawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih. Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia datang ke sebuah pesantren terdekat pada bandar Gresik. Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab pertanyaan dan permintaannya pun segan. Ia memaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan yang ada dan menemui orang lain. Lelaki dewasa berkalung sarong itu menegurnya: “Hei, rambut panjang, apa keperluanmu?” “Sahaya bermaksud mencukurkan rambut,” jawabnya merendah. “Manakah saksimu yang memberi kerelaan dan mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad? Mana pula syarat untuk hajad?” Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta diterangkan. “Tiada sahaya bersaksi, tiada pula bersyarat.” “Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan panggilan ini. Mari aku potong rambutmu.” Dan rambut itu pun dipotong sambil Wiranggaleng menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama karena memang tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar memendekkan sejari dari kulit kepala. “Apa lagi yang kau kehendaki?” tanyanya lagi. “Rambut itu boleh kau buang ke kali.” Buru-buru Wiranggaleng mengumpulkan potongan rambut dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan menanamnya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur, para dewa dan Hyang Widhi. “Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi. Aku pun masih banyak pekerjaan. Siapa namamu?” “Itung.” “Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya Islam, pergunakan sekarang nama Islam, Salasa. Bisa menghafalnya? Salasa, karena kau datang kemari pada hari ke tiga.” “Salasa.” “Pulanglah dengan selamat.” “Bolehkah kiranya sahaya…,” ia tak tahu bagaimana menyebut orang itu, “diperkenankan belajar agama baru di sini?” “Bahasamu baik, tentu kau sudah pernah mengikuti pendidikan. Tentu saja kau boleh belajar di sini’ orang itu tertawa ramah, mengangguk dan memandanginya dengan kasihan. “Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka dan berkelakuan baik.” “Kalau sudah tidak suka lagi?” “Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar? Jadi santri?” Wiranggaleng mengangguk mengiakan. “Kalau begitu mari aku antarkan kau ke tempatmu.” Seperti seekor kambing yang tertuntun Syahbandar-muda itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya disusun ambin-ambin seperti dalam asrama di pedalaman. Tapi tak ada seorang pun nampak di dalam. “Kau boleh ambil tempat kosong itu, Salasa.” Wiranggaleng tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan berkata: “Surat inilah sebenarnya yang membawa sahaya kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, tetapi sahaya tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah jawakan tulisan ini pada sahaya.” Orang itu menerima surat itu dan mengawasinya dengan terheran-heran. “Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana kau dapat?” “Jauh, jauh dari sini.” “Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan pada Bapa Kiai.” Sekali lagi ia mengikuti orang itu seperti seekor kambing dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang disebut Bapa Kiai itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain menyertainya. Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan bacaannya dan menutup kitabnya, menegur dalam Melayu: “Allah memberkahimu dengan keselamatan, anakku. Ada keperluan apa maka kau datang menghadap?” Pengantar itu menjawakan, dan dalam Melayu menjawabkan Wiranggaleng sambil mengulurkan surat tulisan Arab. Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh memperhatikan wajah Bapa Kiai. Betul juga dugaannya, kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan Bapa Kiai nampak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbatabata: “Dari mana kau peroleh surat ajimat ini?” dan pengantar menjawakan. “Nun di pinggir jalan di desa sahaya.” “Di mana desamu?” “Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan, mungkin lebih.” “Nama, nama desamu.” “Kuda, Bapa Kiai, Kuda Kondang.” “Kabupaten mana itu anakku?” “Bojanegara, Bapa Kiai.” “Sedang ada apa di desamu?” “Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen.” “Atau di dekat-dekat desamu?” “Juga tak ada apa-apa, Bapa.” “Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu.” “Apakah kiranya isi ajimat itu, Bapa Kiai?” Bapak Kiai yang nampaknya masih muda itu mengawasi Wiranggaleng, menaksir-naksir badannya yang besar. Suaranya berubah mencurigai: “Kau belum patut mengetahui, Nak,” jawabnya curiga. “Biar aku simpan surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang seperti kau.” “Itu sahaya punya, Bapa Kiai.” “Bukankah sudah aku katakan? Ini tidak tepat kau simpan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.” Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak memasukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat. Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat itu. Bapa Kiai memekik. Wiranggaleng menguguh mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil memekikmekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wiranggaleng untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung meninggalkan tempat itu. Para santri lainnya sedang bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka yang bertombak atau berpedang. Mereka takkan dapat menghalang-halanginya. Setelah jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan yang sama. Ia akan mencari pesantren lain, satu dengan lain tidak selamanya bersahabat. Permusuhan sering timbul di antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan perang kecil. Ia merasa aman. Ia berjalan pelan-pelan setelah mendapatkan nafasnya kembali. Dirasainya kepalanya begitu ringan seakan ikat kepalanya melekat pada tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya telah terpotong ia merasa menyesal. Dirasainya suatu kesedaran menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti gerak kesedarannya. Benarkah aku sekarang sudah Islam? Muslim? Bernama Salasa? Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti kemarin, hanya kepalaku saja terasa ringan tak berambut. Tapi kau telah ucapkan mantra orang Islam itu, satu pengakuan, satu kesaksian kau sudah Islam, Muslim seperti yang lain. Tidak, aku masih tetap seperti kemarin. Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan kesamaannya. Tidak beda. Beda! Tidak. Beda! Rambutmu telah pendek dan kau telah geletarkan melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri siapa dewa dan pemimpinmu yang baru. Tidak, aku masih tetap seperti kemarin. Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau memotong rambut dan mengucapkan mantra itu. Semua atas kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan sepengetahuanmu sendiri, dengan lidah dan suaramu sendiri. Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari terjemahan? Gerak lidah itu telah padam, suara itu telah beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia akan mulai panjang. Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri sendiri? Kau sudah Islam. Kau harus akui kebenaran ini. Pusing karena pertikaian di dalam diri sendiri ia melompat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soalsoal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pesantren baru nanti? Apakah aku harus meninggalkan kebencian orang terhadap diriku? Teringat ia pada Liem Mo Han: Wira, Tuan adalah orang berbahagia, karena dicintai dan dihormati orang banyak. Dan di Gresik sini? Tak ada orang mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku? Ia merasa-rasakan. Dan ia tetap masih merasa berbahagia. Kebahagiaanmu tak lain dari pesangon cinta dan hormat orang di Tuban sana, seakan Liem Mo Han meneruskan kata-katanya. Kemudian Rama Cluring muncul di depan mata batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak membutuhkan cinta dan hormat kalian; selama kata-kataku hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku. Dia tidak membutuhkannya, seakan Liem Mo Han berseru, karena dia tidak hidup dalam jamannya sendiri atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara. Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah dalam dirinya. Pada hari itu juga ia dapatkan pesantren baru, yang sama saja dengan sebelumnya. Hanya lebih kecil. Ia lalui harihari pertama dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore hari dan belajar membaca disore hari. Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu. Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia perhatikan galanya. Ia dapat mengetahui adanya seorang santri yang dianggap terpandai dan telah lebih sepuluh tahun belajar. Orang itu yang dipilihnya untuk membantunya mendapatkan terjemahan. Dan ia takkan mendekati Kiai. 0o-dw-o0 Genap seminggu kemudian ia sudah mulai meramahi Danu, santri terpandai itu. Juga Danu yang bercerita padanya, Gresik bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati. Makin tak ada mereka makin baik. Di jaman Majapahit, tak ada punggawa mencampuri pesantren, ia bercerita. Sri Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa malah memberikan tanah pada kiai-kiai yang tidak dikenakan pajak atau kerja negeri – sama halnya yang didapat oleh asrama-asrama Buddha. Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya Girindra Wardha-na memasuki Gresik, ceritanya lagi, dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda, dan dititahkannya semua memindahkan harta dan perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan. “Lihat, bagaimana hebatnya Gresik,” ia meneruskan. “Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa Giri Dahanapura, Gresik akan tetap hidup. Mereka bersembah, Giri Dahanapura dapat dipindahkan ke Gresik, tetapi Gresik tak bisa dipindahkan ke mana pun!” Danu adalah seorang patriot Gresik. Wiranggaleng tak sempat membikin perbandingan dengan bandar Tuban. Ia sibuk mencari-cari kesempatan untuk bisa berdua saja dengan Danu. Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga. Sore itu mereka telah mandi di saluran air sawah. Enam belas orang jumlahnya, termasuk dirinya. Semua sedang bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung. Sekali-dua terdengar sayup guruh menggerutu seperti dari perut bumi. Ia hampiri Danu, menawarkan jasanya. “Biar aku cuci paculmu, Kang Danu!” dan tanpa menunggu jawaban ia memasukkannya ke dalam saluran dan mencucinya dengan setekam rumput. “Kalau aku sudah tamat nanti,” katanya menambahi sambil menyerahkan pacul Danu, “aku akan masuk ke daerah kafir Blambangan, mendirikan pesantren sendiri.” “Kau!” Danu tertawa geli, “belum lagi dua minggu belajar! Tidak semudah itu,” dan dengan gaya keguruguruan meneruskan. “Abangku sudah setahun di Dahanapura. Apa hasilnya? Buh! Tak ada. Apa kekurangan dia? Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau tinggalkan Blambangan hendak berusaha di Nusa Tenggara.” “Di sana dia tentu akan berhasil, Insya Allah.” “Tuhan akan menunjukkan padanya jalan yang terang.” “Aku ingin memasuki Dahanapura, Kang.” “Di sana kau akan jadi kafir lagi. Belajar saja baik-baik.” “Tentu, Kang Danu. Aku akan belajar baik-baik. Bagaimana pun Blambangan sangat menarik. Kerajaan sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun punya bandar dan angkatan laut.” “Buh!” Danu melecehkan, “penyebaran agama bukanlah perang,” ia meneruskan, “majunya tidak seperti tentara berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, tetapi hati manusia! hati yang harus dirambahnya. Ada kau mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura?” “Katanya Peranggi sudah masuk ke sana. Kang, ada yang membuka perguruan, kata orang, menyebarkan agama sendiri. Itu kata orang, Kang.” “Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku, beberapa waktu yang lalu,” Danu mulai berjalan di atas pematang menuju ke desa dan Wiranggaleng mengikutinya dari belakang. “Di mana abangmu sekarang, Kang Danu?” “Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di Blambangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam, dia lebih suka pada Peranggi. Tak pernah dikaruniakan tanah pada pesantren, tapi orang Peranggi dikaru-niainya. Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan pada Kongso Dalbi di Malaka…. Tahu siapa Kongso Dalbi?” ia menengok dan menyaksikan gelengan Wiranggaleng. “Raja Peranggi di Malaka. Utusan itu, kata abangku, telah mempersembahkan pada Kongso Dalbi sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di Blambangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan pengukirnya.” “Apa yang diukir pada kayu itu, Kang?” “Satu adegan dari Ramayana, Lesmana dan Sinta di dalam hutan.” “Pengukirnya, Kang?” “Pengukir asal Tuban, Borisrawa.” Wiranggaleng mengangguk di belakang Danu. Dia sudah di sana, pikirnya. Tetapi yang keluar dari mulutnya: “Taklukkah Dahanapura pada Malaka, Kang?” “Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil semakin terdesak oleh meluasnya Islam. Maka dia surati Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon bantuan sepuluh pucuk meriam untuk menahan arus kekuasaan Islam; dengan peluru dan penembaknya.” “Apa meriam itu, Kang?” “Senjata Peranggi. Yang dilemparkan bukan mercon udara seperti cet-bang, tapi besi sebesar kepalan.” Enam belas santri lainnya mulai mengikuti keduanya dari belakang, memanggul pacul masing-masing. “Apakah Peranggi suka memberikan meriam?” “Pada lawan Islam? Boleh jadi,” jawab Danu ragu-ragu. “Karena itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya bisa besar dan ampuh.” “Jadi kafir Dahanapura Blambangan sudah bersekutu dengan kafir Peranggi?” “Kira-kira. Kan kau sendiri yang memberitakan tadi, Peranggi sudah ada di sana? Persembahan Patih Udara itu nampaknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal Peranggi sudah mulai kelihatan juga di Gresik, menuju ke Pasuruan dan Panarukan.” Mereka semua telah meninggalkan tanggul saluran dan berada di jalanan desa. Garu dan luku ditinggalkan mereka bergeletakan di atas lumpuran sawah. Matari di sebelah barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur angsa ajaib. Dan dengan segala usaha Wiranggaleng mencoba menarik Danu dengan pertanyaan-pertanyaan agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil memperlambat jalan. Dan usahanya berhasil. Santri-santri lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan katakata Danu yang menggurui. Dan begitu jarak mereka telah nampak jauh, Wiranggaleng membuka maksudnya: “Tolonglah aku, Kang Danu. Ada padaku sebuah ajimat, tapi aku tak tahu tuah di dalamnya,” ia keluarkan bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, setelah meletakkan pacul di tanah, dan berhenti. Danu pun berhenti dan memperhatikannya membuka bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu. “Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah.” Dengan baik hatinya Danu membuka kertas itu dan mulai membaca. “Ini bukan ajimat,” katanya setelah membaca sebarisdua. “Ini surat biasa. Masyaallah! Dari mana kau dapat surat ini? Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang meriam, di sini sudah disebut-sebut soal meriam. Minta dikirimi paling tidak dua pucuk meriam Peranggi, kalau tidak….” “Kalau tidak, apa Kang?” “Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini?” tanya Danu mendesak dan bersungguh-sungguh. “Jangan jalan dulu, Kang, berhenti di sini saja, biar aku ceritai kau.” Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa yang sunyi itu. Wiranggaleng memperhatikan dengan pandang selintas, bahwa santri terpandai itu masih tetap mengawasinya, sedang santri-santri lain telah hilang di tikungan jalan. Lambat-lambat ia mulai bercerita; dan ia mengulangi ceritanya di pesantren pertama, hanya ditambah lebih banyak. “Sekarang kau teruskan membacanya, Kang, kau belum selesai.” Dan Danu sudah melepaskan sikap keguru-guruannya. Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan. Dengan suara rendah ia berkata: “Kau tidak berhak memegang surat ini. Akan kuserahkan pada Bapa Kiai. Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali juga terjemahanku tidak benar.” “Jangan, Kang, jangan.” “Siapa sebenarnya kau ini? Kau datang kemari bukan hendak belajar. Ketahuan dari kata-katamu yang berlagak bodoh. Ayoh, katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar akan kusampaikan pada Bapa Kiai, kemudian pada Gusti Bupati, yang tentu akan memanggil Bapa Kiai lagi. Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!” “Jangan, Kang, jangan,” tegah Wiranggaleng dengan suara ketakutan. “Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya.” Tangan Wiranggaleng cepat melayang, menangkap tengkuk Danu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu patah. Lidah Danu menyelir keluar sedikit meneteskan air liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah. Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu lebih jauh lagi. “Ampuni aku, Kang Danu. ampuni aku, ya, Dewa Batara.” Ia tak pulang ke desa pesantren, justru sebaliknya…. 0o-dw-o0 Ia tak menempuh jalan laut. Setelah dapat menangkap makna isi surat ia langsung mengambil jalan darat pulang ke Tuban. Sepanjang perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini? Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku? Aku tak punya urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani. Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya telah jadi bagian dari kekuasaan Sang Adipati Tuban dan kelangsungan hidup praja Tuban. Inikah cara mengambil kembali kebesaran dan kejayaan masasilam pada guagarba haridepan? Untuk Tuban? Inikah? Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun aku salah. Dan ia tanam potongan rambut yang selama ini ia simpan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di pinggir hutan. Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak, jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari. Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari. Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang. Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta meriam Peranggi pada Syahbandar Tuban dengan ancaman, lenyap kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati Tuban. “Ya,” katanya setelah agak lama berdiam diri, “berikan surat ini pada yang berhak.” Wiranggaleng berjalan cepat menuju ke Syahbandaran. Sekilas ia lihat Idayu berjalan dari dapur menuju ke kamar, dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke gedung utama dan mendapatkan Syahbandar Tuban sedang duduk membaca kitab. “Hasalamu alaikooom!” serunya. Tholib Sungkar Az-Zubaid melompat terkejut. Melihat Wiranggaleng mula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan menelan ludah. Awan dengan lambat berarak meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan membalas: “Wa alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi Islam, Wira. Ah, ya, benar sekali!” ia bertepuk-tepuk tanpa menegakkan bongkoknya. “Siapa menduga kau sudah berambut pendek begini. Kau kelihatan lebih hitam, tapi lebih berseri dan lebih bersih dan lebih berbahagia.” “Alhamdulillah, tuan Syahbandar.” “Siapa yang mentaubatkan kau? Rangga Iskak?” “Tidak salah, Tuan Syahbandar.” “Tak pernah kau nampak begitu periang seperti sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa lain. Bukan main. Apa kata Rangga Iskak?” “Bukan hanya kata, Tuan Syahbandar, malahan surat balasan.” “Surat balasan! Nanti dulu, ceritakan bagaimana perjalananmu.” Dan Wiranggaleng membikin-bikin cerita sendiri, bahwa perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu aral melintang. Dan Syahbandar Tuban menyambutnya dengan tertawa-tawa senang. “Mana surat balasan itu?” tanyanya tak acuh. “Mana. mana?” Syahbandar-muda itu memperhatikan dengan saksama tingkah-laku majikannya, untuk dapat membedakan antara kepura-puraan dari kesungguhan. “Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering sahaya genggam, kuatir kalau-kalau hilang.” Syahbandar menerima dengan mata melirik tajam padanya. Tapi pada bibirnya tetap tertarik senyum mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi bersungguh-sungguh. Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu, pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu nampak berubah-ubah. Kemudian Syahbandar itu berhenti membaca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki wajahnya. “Wira’ panggilnya dengan menusukkan pandang pada matanya: “Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap?” “Tidak, tuan Syahbandar.” “Memang orang keparat,” katanya dan kembali mempelajari keadaan surat itu. “Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga Iskak?” “Demi Allah, Tuan.” “Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah memegangnya, dan beberapa pasang mata telah melihat dan membacanya. Bagaimana keteranganmu, Wira?” “Demi Allah, Tuan Syahbandar.” Syahbandar Tuban mengawasinya. Pegulat itu merasa dirinya diragukan. “Kalau begitu lama pergi,” Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan penyelidikannya. “Sahaya memerlukan belajar sebelum pulang. Apalah salahnya, Tuan Syahbandar, sekedar untuk perbekalan pulang.” “Siapa saja pernah membaca ini?” “Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga Iskak yang bisa menulis dan membaca Arab.” “Kau bohong!” tuduhnya. “Demi Allah, kata sahaya. Memang Ki Aji bilang sudah kehabisan kertas, maka ia menulis di atas kertas bekas.” Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri dan berjalan mondarmandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi, kemudian berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan tiba-tiba berhenti di hadapan Wiranggaleng. “Kau begitu lama pergi. Aku tak yakin tak ada orang membaca surat ini.” “Tak apalah kalau tuan Syahbandar tak mempercayai sahaya lagi.” “Orang bilang, pernah melihat kau di Tuban antara keberangkatanmu dan kedatanganmu sekarang.” “Kalau Tuan lebih mempercayai dia, perintahkan padanya menghadap Ki Aji Benggala, jangan sahaya.” “Nampaknya kau sudah mulai hendak berselisih denganku.” “Bukankah sahaya tak bisa memaksa Tuan Syahbandar percaya pada sahaya? Terserah saja pada Tuan sendiri hendak percaya atau tidak. Sahaya pun tidak membutuhkan kepercayaan Tuan. Sungguh.” Tholib Sungkar kembali duduk dan menggerak-gerakkan tangkai tongkat dari gading itu. Dan gerakan gading berukir itu selalu membikin orang tertarik pada persambungannya dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga tertangkup jadi satu. Mengetahui pikiran pembantu-utamanya mulai terlena, dengan nada membujuk ia bertanya: “Lamakah sudah surat ini kau simpan?” “Segera setelah sahaya menerimanya.” “Aku percaya padamu, Wira,” ia diam lagi. Dan Wiranggaleng tahu, ia tak percaya. “Aku senang kau telah masuk Islam, Wira.” “Salasa nama sahaya, Tuan.” “Salasa! Nama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, Wira, tepat. Satu artinya baik. Dua berarti lebih baik. Tapi tiga artinya sempurna,” ia tertawa dibuat-buat. “Baiklah, lain kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan, Salasa? “Tentu saja, Tuan Syahbandar.” “Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang kau sudah masuk Islam. Tetapi istrimu masih kafir. Kau harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang kafir yang baik. Kalau seorang kafir itu pembohong, menipu suaminya, itu sudah selayaknya, karena dia kafir, tak tahu ajaran. Kau jauh lebih mulia daripada kafir mana pion, Salasa, apalagi dari istrimu, kau pun lebih mulia dari Sang Adipati ataupun Sang Patih. Mengerti kau?” “Belum, Tuan Syahbandar.” “Di hadapan Allah kau lebih mulia daripada semua mereka.” “Di hadapan Allah, Tuan Syahbandar. Di hadapan mereka sendiri bagaimana, Tuan?” “Tentu saja tetap seperti biasa.” Wiranggaleng menahan tawanya. Ia menunduk dalam. “Dan tentang istrimu itu, Wira Salasa, karena kau sudah bertaubat, kau harus bisa tertibkan dia sebaik-baiknya. Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang pergi….” Ia diam dan menunggu tanggapan pembantu-utamanya. “Dia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu sahaya tahu.” “Tentu pengetahuanmu kurang sempurna, Wira?” “Bagaimana menyempurnakannya, Tuan Syahbandar?” “Menari di pendopo, Wira,… Sang Adipati. Ah, bagaimana harus aku katakan. Tentu kau mengerti.” Wiranggaleng menunduk dalam. “Mengapa kau diam saja?” “Baik, Tuan Syahbandar.” “Syukurlah kalau kau mengerti.” “Bagaimana biasanya ia perbuat kalau sahaya pergi Tuan?” “Ah, Wira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah dengar suara orang? Semua sudah bercerita. Wira, betapa hinanya lelaki seperti kau dipunggungi istri sendiri…. Pulanglah, Tuhan memberimu petunjuk dan keselamatan dan semoga kukuh imanmu. Tak ada kafir yang baik di hadapan Allah.” Dengan kepala masih menekur juara gulat itu pulang, melangkah pelan-pelan seakan kepalanya menjadi beban bagi tubuhnya sendiri. 0o-dw-o0 Idayu tak menyambutnya di serambi. Ia menunggu kedatangannya di dalam kamar. Gelar tidak nampak. Ia nampak prihatin duduk di atas ambin sambil mengunyah sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuannya. Dan matanya sayu seperti belum lagi tidur selama tiga malam. Di atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang. “Mengapa kau diam saja, Idayu?” Hanya dengan matanya yang sayu ia pandangi suaminya. “Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu?” Idayu menunduk. “Sakitkah kau?” Ia menggeleng. “Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku?” “Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, Dan kau memang nampak sudah berubah dengan rambutmu yang pendek.” Lelaki itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu istrinya. “Berubahkah aku, Dayu?” “Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk Islam nampaknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan perubahanmu, perubahan sikapmu,” suara Idayu semakin pelahan dan sayu. “Aku masih juga ragu apakah aku boleh mendahului kata atau tidak. Siapa tahu, Kang, kau sudah tak suka mendengarkan aku lagi, suaraku, diriku….” “Mengapa kau bicara begitu?” dan duduklah ia di samping istrinya. Diambilnya cundrik dari atas bantal. “Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik membawa cundrik sambil duduk begitu.” “Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, Dayu. Apa yang sudah terjadi?” “Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan, banyak melihat dan banyak mendengar. Kata orang tua-tua: berjalan banyak melihat, curiga banyak mendengar.” “Untuk apa cundrik ini ikut menyambut kedatanganku?” “Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri di hadapanmu?” “Baru beberapa minggu, Dayu, kau sudah begini kurus.” “Untuk memohon pada para dewa buat keselamatanmu. Kang.” “Kau masih suka dipanggil menari?” “Masih, Kang.” “Dan mimpi lagi seperti dulu?” “Tidak, Kang.” “Apakah Syahbandar masih suka mengintip seperti itu?” Idayu mengangkat kepala dan melihat sebagian dari muka Syahbandar terlindung pada tiang jendela. Ia mengangguk. “Apakah kau masih suka dengar bicaranya, Kang?” “Dia majikanku, Dayu, tapi kau adalah istriku.” Galeng mempermain-mainkan cundrik kecil. “Mana sarongnya ini, Dayu?” “Sarong yang mana?” Wiranggaleng mengangkat pandang ke arah jendela gedung utama dan muka Syahbandar Tuban sudah tiada. “Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan tinggalkan kau terlalu lama, Idayu.” “Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan ragaku.” “Ceritai aku tentang Gusti Adipati.” “Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka menonton kalau aku menari. Kemudian wanita kadipaten itu mengantarkan aku pulang dan menemani aku di sini.” “Ceritai aku tentang Tuan Syahbandar.” “Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar aku ambilkan sarong cundrik itu, Kang,” ia berdiri tetapi ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, “Apakah benar kau membutuhkan sarong yang lama? Tidakkah kau menghendaki yang baru?” Wiranggaleng berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. Idayu memeluknya dan air-mata membasahi mukanya. 0o-dw-o0 16. Datangnya Meriam Portugis Pesta laut itu tidak semeriah biasanya. Pada sore hari gadis-gadis menari mengelilingi Sela Baginda yang tinggal umpaknya sebagai pembukaan pesta. Langit terus menerus bermendung dan sebentar-sebentar turun gerimis kecil. Lomba perahu belum lagi selesai. Bila lomba usai dan bunga-bungaan dan ketupat telah ditebarkan ke laut orang pun akan naik ke darat untuk mengikuti pesta api. Tetapi pesta itu kini telah ditiadakan. Dahulu dalam pesta ini tulang-belulang atau mayat-mayat dibakar bersama-sama di empat penjuru kota, bila memang banyak yang harus dibakar. Bila abunya telah diambil, janda-janda pun menyusul masuk ke dalam api unggun sampai lumat jadi abu pula. Pesta api sudah tiada. Orang-orang Islam telah berusaha melawan adat kejam dan mengerikan ini sambil memasyhurkan agamanya. Golongan wanita terutama yang menyambut perlawanan kaum Muslimin itu. Mula-mula dengan diam-diam mereka bersimpati pada agama baru itu dan membenarkan, bahwa adat itu memang kejam dan mengerikan. Maka juga golongan wanita yang paling mula dalam pembisuannya menerima Islam tanpa sepengetahuan suaminya. Menerima Islam pada tingkat pertama berarti bagi mereka dibenarkan menghindari api maut. Dan sekali kaum wanita menerimanya, pengaruhnya menentukan di dalam kehidupan rumahtangga dan anak-anaknya. Dalam hanya satu generasi pembakaran janda mulai susut keras dan kemudian hilang seperti tertiup angin badai. Sebagai akibatnya Tuban mulai menghadapi masalah janda hidup dan tinggal hidup. Tak ada yang mau mengawini mereka. Mereka dianggap wanita pembawa sial bagi mendiang suami dan keluarga. Bahkan untuk memberikan atap untuk melindungkan kepala mereka dari hujan dan panas orang tidak sudi, takut terjalari kesialan. Maka mengembaralah mereka bergelandangan di kampungkampung para perantau untuk mendapatkan sekedar makan, suami baru atau sekedar kasih dan kekasihan. Bila nasib baik mereka memang bisa mendapatkan dirinya sebagai istri atau gundik. Yang tidak beruntung terus bergelandangan di pelabuhan sebagai pelacur untuk awak kapal. Dan di daerah pelabuhan juga janda-janda yang kurang beruntung mendirikan gubuk-gubuk-nya dari daun kelapa. Walau pun pada umumnya penduduk negeri Tuban beragama Buddha, tetapi pengaruh Hindu dan adatistiadatnya masih mendarah-daging. Pergantian raja karena perang ataupun tidak mengakibatkan banyak kala terjadi pergantian agama: Syiwa, Wisynu, Brahma dan Buddha, bagaimana saja rajanya. Dengan demikian penduduk negeri tidak mempunyai kesempatan cukup lama untuk menganut salah satu agama dengan mendalam. Suatu hal yang menyebabkan pembakaran janda tetap umum di manamana di negeri Tuban. Dan wanita yang menceburkan diri ke dalam api mengikuti mendiang suami mendapat nilai sebagai wanita setiawan dan terpuji. Dengan berpengaruhnya Islam terhadap mereka – sekalipun baru terbatas pada penghindaran dari sang api – makin lama makin banyak pelacur bergentayangan. Kapal adalah sumber penghidupan mereka yang pokok. Kendaraan laut itu memuntahkan untuk mereka awak kapal yang haus wanita. Dan penghidupan baru itu membikin mereka ber-tingkah-laku sesuai dengan kehendak sang hidup. Pejabat-pejabat bandar tak jarang mengalami kesulitan karena mereka, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bandar Tuban adalah bandar bebas, juga untuk mereka, Pribumi mau pun asing, penetap ataupun pendatang. Dan kini kelengahan bandar telah mengancam penghidupan mereka. Penghidupan sulit diharapkan datang dari laut. Mereka terhalau makin ke darat, meninggalkan daerah bandar, mengembara ke mana-mana untuk mendapat sekedar makan. Dengan adanya pesta air, mereka datang lagi menduduki gubuk-gubuknya kembali. Juga mereka berkepentingan untuk ikut memeriahkannya, karena itu mengingatkan mereka pada masa kanak-kanak sewaktu mereka bukan segolongan orang yang dikucilkan. Dan berhubung tiada kapal datang berlabuh, mereka berubah jadi serombongan penekad. Setiap nampak oleh mereka orang asing, segera mereka kepung, mereka tarik-tarik ke suatu tempat, dan merampas barang apa yang ada pada diri mangsanya. Demikianlah pada pesta air ini Liem Mo Han menjadi korban mereka…. Malam itu mendung menutup semua bintang di cakrawala. Kilat antara sebentar mengerjap kejam, seperti mata bencana sedang mengintip dunia. Liem Mo Han datang ke pelabuhan untuk mencari Wiranggaleng. Tahu yang dicarinya sedang menunggu istrinya menari tunggal di depan umum. Tetapi ia tak dapat menemukannya. Maka ia berjalan-jalan sambil menunggu selesainya pertunjukan. Serombongan janda gelandangan telah menyergapnya. Ia meronta dan melawan, tapi sia-sia. Ia tahu mereka adalah wanita-wanita lemah, dan ia tahu, tak mungkin ia harus menggunakan kekerasan. Adalah memalukan kemenangannya terhadap mereka. Maka ia membiarkan dirinya masuk dalam sergapan, la ikuti arus yang menyeretnya. Lebih baik begini daripada jadi tertawaan seluruh negeri, pikirnya. Kuncirnya yang panjang telah dicengkeram oleh tak kurang dari enam tangan. Juga dua belah tangannya. Juga bajunya. Ia sudah tak ingat lagi di mana topi hitamnya yang kecil itu terjatuh. Tapi ia tak menyangka dalam waktu sekejap segala apa yang ada pada tubuhnya mereka lolosi. Dan tertinggal ia di lapangan, telanjang bulat seperti seorang bayi baru keluar dari rahim ibunya. Dalam keadaan seperti itu ia dilepaskan. Dan larilah Liem Mo Han dalam malam gelap bermendung itu, telanjang bulat, mencari perlindungan. Mula-mula ia menuju ke warung Yakub. Ternyata pintunya tertutup dan terkunci dari dalam. Ia lari ke syahbandaran, tanpa mengindahkan larangan untuk memasuki daerah itu tanpa seijin Syahbandar. Dan bersembunyi ia di sesuatu tempat sambil menunggu kedatangan Wiranggaleng. Ia masih sempat menimbang-nimbang tempat mana sebaik-baiknya untuk menghindari pandangan orang: di gandok sebelah kanan yang sehari-hari kelihatan lebih tenang dan lengang. Begitu ia mendekam memanaskan badan terhadap serangan angin, nyamuk mulai menyerangnya tanpa ampun. Dan kepalanya terasa panas seakan tengkoraknya sudah menganga setelah sebanyak itu tangan yang menjahili kuncirnya. Dengan pakaian sewajarnya ia sudah beberapa kali melakukan pengintaian di sini. Tanpa pakaian ia merasa kikuk dan bersalah terhadap segalanya. Maka ia taksirtaksir kegelapan mana yang kiranya cukup untuk jadi pakaiannya. Ia berdiri dan mengulangi pengintipannya. Dan sekarang ia baru tahu dengan jelas di mana orangorang yang selama ini diburunya: Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Ternyata mereka berada dalam sebuah ruang gudang yang pintunya terpasak dari luar. Dari suatu celah ia dapat melihat rantai besar mengikat kaki mereka pada sebuah tiang. Dan mereka duduk dan bicara lepas-lepas: “Anjing Moro itu mau jual kita pada Malaka.” “Bagaimana kita bisa terantai begini?” Esteban menggerutu gusar dengan menyesali diri. “Bukan untuk dibeginikan kita berkelana. Kemarin kita masih bebas. Bodoh. Mengapa tidak waspada terhadap anjing busuk itu?” “Kau masih ingat kata-katanya? Seperti sudah jadi kaisar saja. ‘Mulai hari ini jangan Tuan-tuan pergi ke manamana’, katanya, seperti Tuban ini sudah jadi miliknya pribadi.” Esteban mendengus jengkel. Kemudian: “Seperti sudah setinggi langit kekuasaannya. ‘Tuan-tuan aman dalam perlindunganku’, katanya. Dan kita aman dalam perantaian seperti ini. ‘Tuan-tuan takkan jatuh ke tangan Sang Adipati, karena matilah Tuan-tuan di tangannya.’ Uih, bangunbangun sudah terantai begini.” “Barangkali Sang Adipati memang menghendaki jiwa kita?” “Psss. Dia bukan sekutu Demak,” Esteban barangkali sudah menerangkan untuk ke sekian kalinya. “Ah, tunggu, benar, dia toh sekutu Jepara. Tapi kita tak ada sesuatu urusan.” Liem Mo Han mendengar sesuatu dari belakangnya. Ia lari menghindar. Terdengar olehnya suara teguran: “Siapa?” dalam Melayu. Ia lari berputar ke belakang Syahbandaran dan menuju ke gandok kiri. Justru pada waktu Wiranggaleng bersama istrinya sedang melintasi jalanan taman untuk masuk ke dalam rumah. “Kaukah itu, Wira Salasa?” “Sahaya, Tuan Syahbandar.” “Dengan istrimu, Wira?” “Sahaya, tuan Syahbandar.” “Tak ada kau lihat orang berjalan di sini?” “Tidak. Sahaya justru baru datang.” Percakapan itu selesai. Wiranggaleng bersama istrinya masuk ke dalam rumahnya. Orang telanjang bulat itu mengetuk-ngetuk lemah dan memanggil-manggil pelan: “Wira, Wira, keluar sebentar, sahaya ada di sini. Liem Mo Han di sini, Wira.” Juara gulat itu mengenal suaranya, ia segera keluar. Dan tertawa ia terbahak mendengar cerita pengalaman kecelakaan sahabatnya. Ia masuk lagi untuk mengambilkan pesalin. “Mari aku antarkan keluar dari sini,” Wiranggaleng menawarkan jasanya. “Tidak, Wira, mari ikuti aku ke gandok sana. Ada sesuatu yang perlu Tuan saksikan sendiri. Selama ini Tuan masih juga belum percaya.” Mereka berdua berjalan mengendap-endap kegelapan. Hujan mulai jatuh dengan derasnya, dan satu-satunya bahaya adalah kilat. Mereka sampai di tempat tujuan dan hujan mendadak berhenti. Mereka mengintip bergantian. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di hadapan dua orang Portugis yang masih juga duduk-duduk tak peduli seperti tadi. Pada tangan Syahbandar terdapat selembar nampan dengan cerek tembikar di atasnya. Syahbandar-muda tak mengerti Portugis. Ia serahkan celah pada temannya. Dan ia menjaganya. Liem Mo Han melihat Esteban del Mar dan Rodriguez Dez mulai berdiri dan berjalan menghampiri Syahbandar sampai pada batas rantai mengijinkan. Nyala lilin di dalam tidak begitu terang. Ia tak dapat memperhatikan roman mereka dengan jelas. Tetapi suara mereka jelas terdengar olehnya. Mereka sedang memaki-maki. “Pengecut, penipu!” suara Rodriguez. “Kau rantai kami dalam tidur. Hanya bedebah Moro saja bisa berbuat begini. Sophari yang hina itu pun takkan sepengecut ini.” “Hei, Moro, apa salah kami terhadap kau? Anjing? Bukankah kami tamumu, yang makan garammu?” suara Esteban, agak lunak. “Sabar, Tuan-tuan. Bukankah Tuan-tuan haus setelah begitu lama tidur? Di luar sana pesta air baru saja selesai. Kalau tidak dibeginikan Tuan-tuan akan menggunakan kebebasan untuk mencelakakan aku. Maafkanlah,” Syahbandar membuka pidatonya. “Lepaskan rantai ini,” Rodriguez meraung. “Jangan keras-keras,” Syahbandar memperingatkan. “Biar pun hujan lebat, lebih baik pelan-pelan saja, maksud Tuan-tuan tercapai juga maksudku.” “Binatang!” suara Rodriguez. “Aku bisa meraung sekuat paru-paruku.” “Sabar. Suara Tuan sendiri yang bakal memanggil maut Tuan. Dengarkan. Kalau tak kurantai dan Tuan-tuan pergi dari sini sebagai tamuku, matilah Tuan-tuan diterkam balatentara Tuban. Nasibku sendiri? Takkan jauh dari Tuan-tuan – celaka. Buat keselamatan Tuan-tuan sendiri dan juga aku terpaksa aku perbuat ini. Percayalah.” “Bedebah! Siapa bisa percaya pada mulutmu? Hanya si goblok saja mau dengarkan kafir Moro. Lepaskan,” Rodriguez mengancam. “Awas, jangan sampai aku marah.” “Ah, Tuan-tuan boleh marah sesuka Tuan. Tak semudah yang kalian sangka untuk berbuat sesuatu terhadapku. Syahbandar dilindungi kuat oleh Sang Adipati selama kalian tidak lepas,” jawab Syahbandar setelah menaruh cerek tembikar di atas lantai, kemudian diambilnya tongkat dari bahu dan mengamang-amangkan. “Tidakkah kalian bisa sopan barang sedikit? Sudah lenyapkah kesopanan yang leluhur ajarkan pada bangsamu?” Rodriguez menjawab dengan semburan ludah pada muka Tholib Sungkar Az-Zubaid. Yang belakangan ini menyeka muka dengan lengan jubahnya, kemudian meludah sendiri ke lantai. “Baiklah kalau kalian tak mau bersopan-sopan,” dengan ujung tongkatnya ia mulai menyerang sehingga Rodriguez mundur-mundur dan rantai pada kakinya menjadi kendor gemerincing. “Sudah, sudah, hentikan itu,” Esteban menyabarkan Syahbandar. “Sekarang begini, Tuan Syahbandar. Kau ini hanya bajingan tengik. Kami akui, kami pun bajingan petualang belaka. Kau dan kami sama saja. Bukankah kita bisa kerjasama?” “Baik, aku dengarkan usulmu.” “Sebenarnya kau ini begundal raja Pribumi atau begundal d’Albuquerque? Kalau kau hanya begundal raja Pribumi, Sang Adipati itu, katakan saja apa dia mau, dan kami akan laksanakan. Kami akan bebas, dan akan tetap bekerjasama denganmu.” “Indah sekali. Teruskan.” “Baik. Sebaliknya kalau kau begundal d’Albuquerque, kami lebih suka mati di sini bersama denganmu.” “Bagus. Andaikan aku begundal Sang Adipati, bagaimana usulmu setepatnya,” ia terbatuk-batuk. “Nah, kau lihat bagaimana aku memberi contoh bersopan-sopan.” “Ya, memang cukup sopan untuk seorang begundal.” “Bagus. Sopanlah, sabarlah. Aku tahu orangtua, guru dan padri-padrimu mengajarkan dan menganjurkan begitu. Ayoh, mulai. Aku dengarkan kata demi kata.” Rodriguez telah siap dengan makian baru. Esteban mencegahnya. Dan tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan bermain sandiwara. “Jangan kalian kira aku belajar Portugis untuk dengarkan maki-maki-annya. Aku yakin lebih banyak buku Portugis aku baca daripada kalian. Teruskan, Esteban.” Tapi Esteban masih sibuk menyabarkan temannya. “Kau benar, Esteban. Kau nampaknya lebih tua dan lebih punya pengertian. Hanya kalian agak salah terka, aku bukan bajingan. Juga bukan bajingan petualangan seperti kalian.” “Baiklah, setidak-tidaknya begundal. Tuan Syahbandar masih mau dengarkan aku, tidak?” “Ayoh, mulailah.” “Kalau rajamu itu menghendaki bantuan kami, kita bertiga bisa bikin persekutuan. Apalah bisanya orang Pribumi? Kami berdua bisa usahakan kau naik jadi raja, dan kami berdua pembantumu yang paling setia.” “Mereka bukan boneka, Tuan-tuan. Mereka punya alat pemerintahan dan kekuasaan seperti kerajaan mana pun di Eropa.” “Semua itu bisa diakali, Tuan Syahbandar. Dan Tuan sendiri punya banyak akal dalam persediaan.” “Usulmu ternyata lebih bodoh daripada orang Pribumi. Impian di siang bolong. Dengarkan sekarang. Sang Adipati Tuban mengetahui, entah dari setan mana, kalian ini ahli meriam. Ia menghendaki kalian mengajarkan membikin meriam….” Rodriguez tertawa terbahak. “Mengapa tidak dari kemarin bicara? Aku sanggup, apa lagi Esteban. Tanggung beres. Lepaskan rantai ini.” “Sabar, nanti dulu. Kalau aku menyanggupinya, matilah aku di sini,” Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan pidatonya. “Kalian hanya penembak meriam. Lebih tidak. Apa pengetahuan kalian tentang pengecoran logam? Kalau kalian punya keahlian lebih dari menembak, menembaki kapal-kapal yang tak berdaya, itulah justru petualangan dan kebohongan kalian.” “Kafir!” maki Rodriguez. “Jadi aku punya rencana lain, agar kalian selamat dan aku pun tak kurang suatu apa.” “Tak kurang suatu apa buat Moro berarti kerugian buat semua orang,” gertak Rodriguez. “Terserahlah pada penilaian kalian. Mengapa kalian aku rantai? Aku mengerti darah Portugis. Kalau kalian orang Ispanya, barangkali lebih daripada rantai. Mungkin kalian aku pakukan pada tiang ini.” “Jadi dia mau jual kita pada d’Albuquerque, Esteban.” “Kira-kira. Jangan lupa, dia orang Moro.” “Tidak. Kalian bocah-bocah Portugis. Aku tahu kalian membutuhkan pangkalan-pangkalan di Jawa untuk menguasai laut dan darat Nusantara sebelah selatan – terutama laut,” Syahbandar Tuban meneruskan. “Biarlah kalian mendapatkan kembali kesempatan mengabdi pada raja dan negeri kalian.” “Tak ada urusan,” bentak Rodriguez. “Kalau itu bukan urusan kalian lagi, tak ada artinya aku bawakan cerek ini,” dengan tongkatnya Tholib Sungkar menuding pada cerek di atas lantai, “tak perlu kuantarkan kemari, biar kalian mampus kehausan.” “Diam kau, Rodriguez. Biar aku yang bicara. Nah, teruskan Tuan Syahbandar Tuban. Kami yang mendengarkan sekarang.” “Nah, belajar agak bijaksana. Ketahuilah, Tuan-tuan, kapal-kapal Jawa masih juga menerobos ke Maluku. Kapalkapal kalian terlalu sedikit untuk dapat mengawasi perairan seluas ini. Pangkalan baru masih dibutuhkan. Lebih banyak lebih baik. Nah, itulah, Tuan-tuan yang terhormat, untuk kepentingan negeri Tuan-tuan sendiri, untuk kepentingan padroa-do, kami masukkan Tuan-tuan ke dalam rencana kedua ini. Kalian akan merasa puas di kemudian hari dan akan berterimakasih pada orang Moro tulen yang Tuantuan benci ini.” “Dia memang hendak jual kita pada Malaka!” Rodriguez memperingatkan. “Hati-hati, Esteban.” “Tidak, demi Allah. Lagi pula d’Albuquerque sudah tak ada di Malaka. Dan kalau Tuan-tuan menghendaki acara ketiga, itu lebih mudah. Tuan-tuan celaka, aku selamat dan dapat tambahan real.” “Tuan Syahbandar,” Esteban menyela. “Ingatkah kau bagaimana Moro diusir dari negeriku oleh orangtua kami?” “Aku kelahiran Ispanya.” “Bagus. Jadi kau mengerti. Sejak itu tak ada orang Spanyol atau Portugis, bahkan bayi dalam kandungan pun, bisa percaya pada mulut Moro,” Esteban menambahi. “Bagus. Biar begitu, orang Moro juga yang menjamu Tuan-tuan selama ini. Garam orang Moro yang kalian makan. Arak orang Moro yang kalian minum. Sekarang,” Tholib Sungkar menyorong cerek arak dengan ujung tongkat ke dekat mereka, “orang Moro juga yang melayani Tuan-tuan dengan arak ini. Pasti kalian tidak akan menolaknya. Minumlah.” “Mengapa kau sorong dengan tongkat? Kurangajar! Terlalu mahalkah tanganmu?” Esteban memprotes. “Dijauhkan oleh Allah kiranya aku dari tangan kalian.” Rodriguez menghentak-hentak lantai dan rantai tegang kembali karena ia mencoba menyambar Tholib Sungkar Az-Zubaid. “Batang lehernya memang berhak untuk dipatahkan,” gumam Rodriguez gemas. Ia tak berhasil menyambar Syahbandar. “Ya, katakan semau kalian. Nyawa kalian toh tetap di tanganku.” Esteban pun kehilangan kesabarannya. Tholib Sungkar pura-pura hendak pergi. Ia terpaksa memanggilnya kembali. Dan Syahbandar kembali berbalik dengan tangkai tongkat hendak menarik cerek. “Kalau kalian tak suka pada pelayanan orang Moro busuk ini, baiklah cerek ini kubawa pulang,” katanya mengancam. Rodriguez menangkap cerek yang hendak ditarik itu dan meneguk puas-puas. Baru kemudian disorongkan pada Esteban yang juga segera meminum isinya. Setelah kosong dilemparkannya cerek itu pada muka Syahbandar. Tholib Sungkar tak sempat mengelak. Benda itu berdentam menubruk pelipisnya dan jatuh menggerontang di lantai. Tak pecah. “Begitulah orang Portugis menyatakan terimakasihnya,” ia menggerutu sambil menyeka lukanya. “Tapi kalian memang terlalu berharga untuk dibunuh di sini.” “Ayoh, dekat-dekat sini kau!” tiba-tiba Esteban meluap. “Biar kugigit putus tenggorokanmu, biar aku kunyahkunyah jakunmu! Ayoh, dekat sini.” “Kalau Tuan-tuan memang berniat mau mengajar Pribumi bikin meriam, sebentar lagi aku lepas. Sayang Tuan-tuan takkan dapat membikinnya untuk sisa hidup kalian. Jadi selamat bermimpi, Tuan-tuan, membikin meriam, pulang ke Lisboa!” Tanpa diduga-duga Tholib Sungkar Az-Zubaid menghantamkan tongkatnya pada Rodriguez. “Ampun, ampun,” gumam Rodriguez dengan suara semakin lemah tak nyata, kemudian terguling, tertidur. “Kau pun mendapat bagianmu,” tongkatnya menghantami punggung Esteban. Orang Portugis yang dihantami itu nampak seperti orang yang kehabisan kemauan. Kedua belah tangannya tergantung lunglai, mulut menganga. Tak lama kemudian ia tersungkur dan juga jatuh tertidur. Syahbandar menyorong-nyorongkan kepala mereka dengan terompahnya, bergumam tak nyata, keluar dari ruangan dan memasak pintu dari luar. Ia sama sekali tak tahu ada dua orang yang sedang mengintainya. Ia berjalan cepat-cepat dalam malam gelap bermendung dan tanah basah di bawahnya melewati gedung utama, langsung ke pintu gandok Wiranggaleng dan mendengar-dengarkan. Kemudian ia pergi meninggalkan kesyahbandaran. 0o-dw-o0 Bulan tua itu mengintip dari celah mendung. Tholib Sungkar Az-Zubaid masih juga tak tahu sedang diikuti oleh dua orang. Sebentar saja ia memasuki warung yang pintunya ternyata tak terkunci itu. Ia keluar lagi diikuti oleh beberapa orang. Sampai di kesyahbandaran ia menuding ke arah gandok kanan, kemudian masuk ke dalam dan terburu-buru keluar lagi, mengikuti segerombolan orang itu ke gandok kanan. Mereka semua masuk ke tempat Esteban dan Rodriguez terantai, dan keluar lagi menggotong mereka berdua. Sampai di gedung utama Syahbandar memberikan sesuatu pada Yakub dan orang itu memeriksanya, langsung memasukkan ke dalam sakunya. Syahbandar masuk ke rumah dan tak keluar lagi. Wiranggaleng dan Liem Mo Han mengikuti penggotongan sampai pada suatu jarak. Mereka berdua naik ke atas menara pelabuhan. Dua orang penjaga itu ternyata sedang tidur nyenyak. Persediaan makan malam mereka belum lagi tersinggung. Waktu bulan memperlihatkan seluruh wajah tuanya dari bolongan mendung, jauh sekali, nampak kelap-kelip lampu tiang agung sebuah kapal di tengah laut. Sebuah perahu dayung besar sedang meluncur menuju ke kapal tersebut. Di atasnya adalah gerombolan Yakub membawa Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. “Jelek benar nasibnya,” kata Liem Mo Han. “Kalau mereka membuka matanya, mereka sudah berhadapan dengan pengadilan kapal. Enam kali aku sudah pernah lihat. Tangan mereka terikat ke belakang. Seorang imam kapal akan membacakan sesuatu sambil berjalan mengikuti mereka menuju ke tiang gantungan, tiang layar utama. Di sana mereka akan tergeong-geong mati. Mayatnya dibuang ke laut untuk hiu.” “Hanya Sang Adipati saja tidak percaya Syahbandarnya hanya orangnya Peranggi,” kata Wiranggaleng. “Sang Adipati mengerti benar, Wira. Dia tidak kurang cerdiknya daripada siapa pun. Sampai jauh-jauh di barat sana orang mengakui kecerdikannya. Ia berusaha untuk tidak akan menggunakan kekerasan dalam mencapai semua maksudnya. Ada itu tercatat dalam buku besar kami. Juga sekarang ini, Wira. Ia tahu apa yang ia kehendaki. Selama Syahbandar itu masih bisa dipergunakannya untuk keselamatan dirinya dan Tuban, dia akan tetap dilindungi dan mendapatkan hak-haknya.” “Dan nampaknya Peranggi akan mencoba membikin pangkalan di Jawa.” “Dia akan teruskan bikin pangkalan-pangkalan yang bisa mengepung Maluku dari semua jurusan. Mereka punya kepentingan untuk memutuskan hubungan antara Jawa dengan Maluku. Lihat, Wira, bedanya dengan kami bangsa Tionghoa. Perjanjian antara Ceng He dan Sang Adipati menyebutkan, kami tidak akan memasuki wilayah Maluku. Kami tak pernah melanggar perjanjian itu. Peranggi lain lagi, Wira. Maka itu Gusti Kanjeng Adipati Unus seluruhnya benar, musuh pertama adalah Peranggi, mereka harus dihalau dari perairan Nusantara.” Wiranggaleng mendengarkan dengan diam-diam. Pengetahuan semacam itu takkan dapat diperolehnya dari para punggawa, hanya bisa dari orang asing dan para nakhoda. Perahu dayung besar itu semakin lama semakin hilang ke dalam kegelapan malam bermendung. Hilang pula ombak dan puncak-puncak-nya. Hanya lampu kapal di kejauhan sana masih kelihatan samar. Dan waktu hujan turun lagi dengan lebatnya, nyalanya pun hilang-lenyap seakan keluar dari ruang kehidupan. 0o-dw-o0 Esteban terbangun dan mencoba duduk. Selalu ia gagal dan roboh kembali. Ia mulai mengingat-ingat. Tapi pikirannya beku. Ia berusaha keras untuk mengenangkan peristiwa terakhir sebelum tertidur. Tak mampu. Ia berusaha lagi untuk duduk. Kemudian dirasainya tangan dan kakinya terikat erat-erat. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Tapi ingatannya menolak disuruhnya bekerja. Dirasainya punggungnya memar dan kepalanya berdenyut-denyut berat. Dunia di hadapannya seperti diliputi awan tipis. Ia tajamkan pengelihatannya. Juga tak berhasil. Kemudian ia tutup kembali matanya dan menopangkan kepala di atas lutut. Sebuah bundaran cahaya dan beku mulai tertangkap oleh pengelihatannya, samar dan tidak meyakinkan. Bundaran cahaya itu makin lama makin terang, makin terang. Dan diketahuinya itu tak lain daripada sebuah patrisporta kapal. Patrisporta kapal! Kapal apa? Di mana? Dan mengapa sampai bisa datang ke mari? Sekarang ingatannya mulai berjalan tanpa diperintahnya. Kapal! Di kapal! Ia tebarkan pandang ke sekelilingnya. Kapal apa? Kapal Siapa? Pandangnya yang samar itu tertumpuk pada ambin kayu di sampingnya. Ambin kayu, ia mengingat-ingat. Ia hendak merabainya, apakah itu ambin kayu benar. Dan tangannya berat diangkat, tali pengikat itu semakin memperberat. Di sebelah sana berdiri sebuah meja. Dan daun meja itu tergantung dengan dua helai rantai besi pada dinding. Kemudian ia menyedari adanya Rodriguez yang tidur miring tak jauh dari sebelahnya. Juga tangan dan kakinya terikat tali. Kedua belah lengannya terbuka mendepai udara. Kepalanya miring dan air liur menetes dari sudut mulurnya. Dengan sendirinya Esteban menyeka sudut mulut sendiri dengan bahu. Teringat sedang ada di dalam kapal, sekali lagi ia terkejut. Mulai ia berpikir keras: di kapal! Tentu kapal Portugis! “Maut,” bisiknya, dan dibangunkannya temannya. “Aha!” seseorang berseru dari belakangnya. Kontan ia berpaling ke belakang. Pada daun pintu yang terkirai seorang perwira sedang mengintipnya. Esteban mencoba berdiri untuk menghormat. Ia jatuh terduduk kembali dan pemandangannya berputar. Dari mulurnya keluar ucapan selamat, pelan dan ragu-ragu – ia tidak tahu waktu. “Puas berpetualang, he?” ejek perwira itu. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab. “Akhirnya pulang kembali ke geladak lama juga?” Jantung Esteban mulai berdebaran kencang. Ia mencoba untuk berdiri lagi. Tapi perwira itu telah hilang. Pintu tertutup kembali. Kesadarannya mulai pulih. Ia berusaha membangunkan temannya. Rodriguez hanya menggeliat malas, kemudian meneruskan tidurnya sambil menyeka mulut. “Bangun, bangun kau,” ia goyang-goyangkan temannya dengan tangannya yang terikat. Melihat Rodriguez tak juga bangun ia membisikkan pada telinganya, “Bangun kau, anjing, kita sudah terkunci dalam kamar kapal. Di dalam kamar perwira! Bangun, anjing!” Ia sorong-sorong temannya. Rodriguez menggeliat lagi kemudian mencoba membuka tapuk matanya yang berat. Dan mata itu tertutup kembali. “Anjing terkutuk!” makinya, “menikmati tidur, tak tahu kau, sebentar lagi kau akan tidur untuk selama-lamanya.” Melihat temannya tak juga mau bangun ia pergunakan sikut untuk menyakitinya. Rodriguez bangun dengan malasnya. Dan ia mengulangi pengalaman Esteban. Ia buka matanya dengan tapuk berat. “Memang kita masih mabuk,” kata Esteban. “Sebentar lagi kau tahu sendiri apa sedang menunggu kita.” Rodriguez telah menutup matanya kembali. Dengan dua tinjunya yang terikat Esteban memukul pipinya, dan temannya jatuh di geladak sambil menggeram. Esteban menggunakan sikutnya lagi dan Rodriguez bangun menyentak. Dari bawah tapuk matanya yang berat bola matanya mengintip. “Hhhh?” tanyanya. “Sekarang ini bangun kau! Sebentar lagi kau dapat cukup waktu untuk tidur.” Dan ia usahakan agar temannya menjadi sadar untuk dapat menyertainya dalam ketakutan. Ia tahu tidak menghadapi orang Moro atau Pribumi, tapi bangsanya sendiri. Dengan sikutan dan tonjokan Rodriguez menjadi sadar. Sadar juga ia akan tali yang mengikat kaki dan tangannya. Ia siap hendak memaki. “Sttt,” cegah Esteban. “Jangan gaduh. Kita sedang di kapal Portugis.” Kesedaran membikin Rodriguez terkejut, kemudian pucat. Pintu terbuka lagi dan perwira yang tadi masuk ke dalam membawa sebilah tongkat: “Anak maut!” katanya menggigit pahit. Ia pandangi Rodriguez yang berjuang hendak berdiri menghormatinya. Ia melangkah padanya dan menendang dengan sepatunya pada lambungnya. Rodriguez berpilin, meliuk kesakitan dan jatuh. “Habis suka datang duka, he? Akhirnya di geladak yang lama juga. Apa sudah lupa memberi hormat? Sekali lagi Rodriguez berjuang untuk dapat bangun. Esteban tinggal duduk di tempat. “Bagaimana? Sudah siap menghormat, kalian, anak-anak maut terkutuk?” Rodriguez berdiri dan Esteban berdiri pula dengan berpegangan pada dinding. Perwira itu nampaknya asyik dan senang melihat mereka berdua. Ia menahan tawanya sehingga darah menjompak pada mukanya. “Kalau semua pemuda Portugis semacam kalian ini, apa jadinya dengan Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri kalian? Bagaimana dengan tugas suci kalian? Ha? Memang hanya tali gantungan yang terbaik. Ya, menghormat!” Mereka berdua memberi hormat. Tapi perwira itu tidak membalas, mengawasi mereka dari ujung rambut sampai ke tumit: “Mana sepatu kalian?” “Sudah lama hancur, Tuan,” jawab Esteban. “Pakaian apa kalian kenakan itu? Merampas kepunyaan kafir perbegu?” Tak ada yang menjawab. Perwira itu maju ke hadapan mereka dan meninju muka Esteban. Ia menggelepar jatuh miring di geladak. “Bangun!” perintahnya. Sebelum ia dapat bangun, Rodriguez mendapat giliran. Ia jatuh tertelentang dan menjerit kesakitan menindih tangan sendiri. “Apa kataku? Bangun!” Dengan susah-payah mereka berusaha bangun dalam pengawasan kejam perwira itu. “Sekawanan burung gereja yang malang. Sudah siap maju ke pengadilan kapal? Mengapa diam saja? Sudah tak punya lidah? Sudah kau gadaikan lidah itu pada kafir perbegu? Sambar geledek, kalian. Heh baru dengar, dengar saja, pengadilan kapal, sudah seperti tikus jatuh ke dalam kuah. Jawab.” “Siap menghadap ke pengadilan kapal, Tuan.” “Bagus. Begitulah pemuda Portugis menghadapi mautnya.” Perwira itu menarik sebuah kursi, menarik buku dari laci meja dan mulai memeriksa petualangan mereka. Pemeriksaan dan pencatatan itu berlangsung lebih dari tiga jam. Kemudian: “Jadi kalian sudah banyak tahu tentang daerah pesisir Jawa utara. Coba pikir, sekiranya kalian dulu dengan perintah,” ia tertawa mengejek, “Sri Baginda dan Sri Ratu pasti akan berkenan menerima kalian. Musik istana akan menyambut kalian. Kebangsawanan kalian, sekiranya ada darah biru pada kalian, akan dipulihkan. Kalau tidak boleh jadi kalian akan mendapatnya. Siapa tahu mungkin diangkat jadi laksamana… Barisan kehormatan berkuda akan mengelu-elukan kalian dan mengantarkan kalian dalam kereta jemputan dari istana. Apa sekarang? Aku pun muak melihat kalian. Mengapa gemetar? Belum lagi cukup merampok nasi Pribumi?” Mendengar nasi dua orang tangkapan itu sekilas teringat belum lagi makan selama ini, dan merasa lapar membelit di dalam usus. Tiba-tiba mereka merasa dirinya sangat lemah untuk dapat mempertahankan keseimbangannya. “Jawab!” “Dua hari satu malam kami belum lagi makan,” jawab Esteban del Mar. “Kasihan hiu-hiu itu. Tentu kau terlalu kurus untuk mereka. Kasihan, bukan?” melihat mereka tak juga menjawab, ia menggertak: “Kasihan, bukan?” “Ya, Tuan, kasihan sekali,” jawab Rodriguez. “Mengapa dengan sekali?” “Karena mungkin mereka seminggu belum makan.” “Bagus. Jadi apa yang kau tunggu sekarang?” teriaknya pada Rodriguez, kemudian mendadak menuding Esteban: “Tiang gantungan, Tuan.” “Bagus. Tiang gantungan. Indah, bukan, tiang itu?” mendadak ia alihkan tudingan pada Rodriguez: “Indah, Tuan.” “Tanpa sekali?” “Kalau Tuan membutuhkan yang sekali….” Tinju melayang dan untuk yang kesekian kalinya Rodriguez jatuh. Tapi perwira itu menyambarnya dengan pertanyaan: “Tanpa sekali, tanyaku.” “Tanpa sekali, Tuan,” jawab Rodriguez sambil berdiri. “Bagus. Tanpa sekali. Kau simpan dimana sekali itu sekarang?” ia tunggu Rodriguez kukuh dalam tegaknya. “Kau simpan di mana?” Rodriguez bingung untuk menjawabnya. “Di mana?” pekik perwira itu. “Sudah tertelan, Tuan.” “Tertelan? Jadi dalam perut?” dan dipukulnya perut Rodriguez. Dan sekali ini Rodriguez Dez tak bangun lagi. Ia pingsan. “Kau bagaimana, kau, bagaimana bagusnya tiang gantungan?” “Seperti seorang penari, Tuan.” “Penari? Coba terangkan mengapa seperti penari.” “Langsing, Tuan, cantik, cantik tanpa sekali, Tuan. Kalau lelaki dia gagah, Tuan.” “Juga tanpa sekali, Tuan.” “Kira-kira tanpa, Tuan.” “Anak maut! Mengapa tanpa?” “Karena Tuan belum menghendakinya.” Ia tertawa senang, berjalan mendekati pintu dan menjenguk keluar. Memanggil-manggil: “Kelasi. He, kelasi!” ia kembali ke tempatnya dan duduk. Kelasi yang dipanggil masuk, memberi hormat dan berdiri di tempat. “Lepaskan tali pada kaki mereka, anak-anak maut ini biar berjalan sendiri ke tiang-gantungannya.” Kelasi itu mengeluarkan sebilah belati dan memutuskan. Rodriguez masih nyenyak dalam pingsannya. “Kelasi, kau tinggal di sini. Tunggu sampai yang satu itu bangun lagi,” dan pada Esteban, “mengerti kau? Dengan kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.” “Indah, Tuan, dengan kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.” “Dan kalau kau sudah mati, jadi iblis gentayangan, apakah kau akan membalas dendam padaku?” “Tidak, Tuan.” “Mengapa tidak, kau, calon iblis?” “Karena Tuan menjalankan tugas untuk Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri Portugis.” “Bagus. Kelasi! bangunkah orang itu. Tadi dia pingsan sekarang ia pura-pura.” Dan Rodriguez bangun terburu-buru. “Nah itulah tingkah pemuda Portugis yang tidak patut. Hei, kelasi. Coba lihat baik-baik pemuda-pemuda ganteng ini. Dan coba katakan padaku, bagaimana kalau mereka sebentar nanti mulai menaiki ancak gantungan.” “Lebih cepat dari sekarang, Tuan.” “Lantas?” “Kakinya mungkin gemetar. Kalau terlalu amat sangat gemetarnya seseorang harus membantunya.” “Cuma itu saja?” ‘Tentu saja tidak, Tuan. Masih ada, celananya sudah jadi basah dan busuk. Bibirnya tak berdarah dan sebentarsebentar menelan ludah, kerongkongannya kering.” “Tahu betul kau, kelasi. Apakah kau sendiri pernah menggantung o-rang.” “Pekerjaan tambahan, Tuan.” “Pantas. Dengarkan itu, anak-anak maut! Teruskan, kelasi.” “Beruntunglah yang lehernya lemah, Tuan. Kalau ancak dilepas, dia akan mudah patah dan sekaligus mati. Celakalah yang lehernya kuat.” “Orang tak terbunuhi lagi kalau ancak jatuh?” “Ya, hanya bunyi sekali nafas tersekat, kadang diikuti bunyi kecil ‘klik’ dari persambungan tulang leher yang patah. Setelah itu hanya lidah menjelir seperti anjing, Tuan, sebagai pertanda: saat itu….” “Ya-ya, aku mengerti, saat itu dia jadi iblis.” “Mereka biasanya lupa mengucapkan terimakasih pada apa pun dan siapa pun. Kalau tali sudah mengalungi leher, dan kaki mulai meliuk, orang biasanya sudah pingsan, Tuan. Betapa takutnya orang pada maut.” “Dan kau sendiri, kelasi, kapan kau berniat untuk digantung orang?” “Selama bersetia pada Portugis, Tuan, Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri… Tuhan takkan membiarkan diri ini mati di tiang gantungan, dengan lidah menjelir seperti anjing kepanasan.” “Bukan seperti, mereka memang anjing. Teruskan, kelasi!” “Dengan ejekan, sumpahan dan makian orang, tentu dari juru gantung juga, Tuan, mereka menurunkannya dari tali sebagai bangkai sial, dan dengan sorak orang melemparkannya ke laut. Selanjutnya…” “Bagus. Pandangi sekali lagi anak-anak maut ini sebelum berjalan ke pengadilan. Tentu kau sudah tak kenal. Hampir lima tahun menghilang.” “Empat tahun,” Esteban membetulkan. “Nafsu hidupmu masih menyala, Esteban!” tegur perwira itu. “Apa yang masih kau harapkan dari sepenggal hidup ini?” ‘Tiang gantungan yang indah itu, Tuan.” “Apakah kau juru gantung hari ini, kelasi?” “Boleh jadi, Tuan, belum ada perintah.” “Bagus. Kau sudah memberikan cerita yang indah pada anak-anak maut ini. Bisakah kau bercerita setelah mereka nanti gentayangan sebagai iblis?” Kelasi itu membuat gerak salib dan perwira itu terdiam, kemudian: “Cukup, pergi kau.” Kelasi itu memberi hormat dan pergi. Perwira itu mengawasinya sampai hilang di balik pintu. “Dengarkan, kalian: Sri Baginda dan Sri Ratu sungguh menyesal dengan masih adanya pemuda-pemuda Portugis yang berangkat ke tiang gantungan. Apa boleh buat, tanpa kepatuhan yang jadi sendi kebesaran Portugis dan Salib, negeri akan jatuh. Kalian tahu betul itu. Kalian telah dengarkan waktu kata-kata itu dibacakan dalam upacara kalian memasuki angkatan laut. Bukankah kalian meninggalkan negeri dan keluarga tak lain hanya dan hanya untuk kebesaran Portugis dan Salib?” “Demikianlah pada mulanya, Tuan,” sambar Rodriguez. “Pada mulanya, ya. Dan pada akhirnya tali gantungan juga.” Rodriguez terdiam lagi, nampaknya menyesal telah menyambar. Esteban memperhatikan tangan perwira itu. Nampaknya pikirannya beku. “Jangan kalian kira Sri Baginda dan Sri Ratu tak punya pengampunan. Ada, ya, selama pengabdian padanya dan pada Salib tetap dijunjung tinggi-” “Kami sanggup mengabdi lebih baik!” Rodriguez mendesis. “Diam, kau, calon iblis. Aku tak bertanya.” “Ya, Tuan.” “Nah, apa maksudmu bermulut lancang itu?” “Mengabdi lebih baik, Tuan, lebih baik dan lebih, lebih baik.” “Bukankah itu sudah terlambat?” “Kami masih hidup, Tuan,” sekarang Esteban memperkuat. Airmuka perwira itu kelihatan kehilangan kekerasannya. Secuwil senyum manis mencerahi bibirnya. Matanya memancarkan cahaya ramah. Dan terdengar suaranya yang ramah pula, memikat dan menawarkan: “Ya, tentu, lebih dan lebih baik lagi. Dan sudah aku pikir baik-baik, tentunya kalian masih sanggup melayani meriam setelah berpetualangan selama empat tahun belakangan ini. Belum lupa, kan?” “Meriam itu rasanya masih hangat dalam genggaman, Tuan,” sambar Rodriguez. “Dan mengapa temanmu membisu saja, Rodriguez?” “Lebih dari melayani meriam kami pun sanggup, Tuan.” “Nah, begitu pemuda Portugis,” perwira itu tertawa, memperhatikan wajah dua orang tangkapan itu dan matanya berseri-seri mengejek. “Nafsu hidup kalian memang besar.” Ia keluarkan sepucuk surat dari kantong. “Kalian sudah pandai berbahasa Melayu dan Jawa. Bagus. Dan tentunya kalian kenal juga siapa itu Tholib Sungkar Az-Zubaid.” ‘Tidak, Tuan,” jawab Esteban del Mar mencoba meramahi perwira itu. “Dasar goblok. Mestinya kau Pribumi Jawa atau Malaka, bukan Portugis. “Siapa yang menangkap kalian kalau bukan Tholib Sungkar Az-Zubaid? Syahbandar Malaka?” “Bukan, Tuan, Sayid Habibullah Almasawa, Syahbandar Tuban,” Esteban mendapatkan semangatnya pribadi. “Serigala pun lebih cerdik daripada kalian.” “Ya, Tuan.” “Dengarkan: Tholib Sungkar Az-Zubaid, bekas Syahbandar Malaka, apakah namanya Tholib Sungkar ataukah Sayid Mahmud ataukah Sayid Habibullah, telah meminta padaku untuk keselamatan nyawa kalian. Dengar?” “Ya, Tuan,” mereka menjawab berbareng. “Dia minta hendaknya kalian tidak diserahkan pada tali tiang gantungan. Nyawa kalian diperlukan olehnya. Daripada kalian jadi makanan hiu, pintanya, baiklah kalian diberi hidup sebagaimana dikehendaki olehnya. Kalian barangkali sekarang lebih mengerti: Tholib Sungkar itu penyelamat nyawa kalian. Tapi entahlah bagaimana kalian nanti menjawab di depan pengadilan kapal.” “Kami akan menjawab sebaik-baiknya, demi Sri Baginda dan Sri Ratu, demi Portugis, demi Salib,” Esteban mewakili. Dan perwira itu tidak menggubris. “Mari aku bawa kalian ke pengadilan.” Perwira itu berjalan keluar dari bilik kapal. Esteban dan Rodriguez mengikuti dengan kedua belah tangan terikat ke belakang. 0o-dw-o0 Mereka melalui lorong yang dapat dikenal dalam setiap kapal Portugis. Pandang mata sepanjang jalan tidak menjadi pertimbangan mereka. Nyawa lebih penting daripada pandang orang. Tetapi mereka tidak dibawa ke dek. Di sana biasanya pengadilan diadakan, disaksikan oleh awak kapal. Mereka terus juga mengikuti perwira itu menuruni tangga sampai ke dasar kapal, dan sampailah mereka di sebuah ruangan gelap. Perwira itu memerlukan membawa lentera gantung. Mereka berdiri di tengah-tengah barang-barang rusak atau setengah rusak dan meriam-meriam dengan atau tanpa roda. “Pada mulanya,” perwira itu memulai lagi, “dua pucuk ini akan kukirimkan ke Pasuruan.” Mendadak ia tertawa dengan muka tertengadah pada langit-langit. “Kafir-kafir dungu itu mengira, dengan meriam orang bisa jadi segagah Portugis. Tidak jadi barang-barang ini kukirimkan ke Blambangan. Aku ada pikiran lain. Kalian berdua, Esteban dan Rodriguez, sanggupkah kalian melayani dua pucuk meriam ini?” ‘Tapi ini barang rusak, Tuan,” Rodriguez menyambar. Tinju itu menghantam mulut Rodriguez dan ia meliuk. Darah keluar dari mulutnya. Ia meludahkan darah dan gigi. “Kami bisa betulkan, Tuan,” Esteban memperbaiki. “Betul. Itu jawaban gaya Portugis. Kalian bisa betulkan sendiri. Memang meriam rusak semua ini. Kalian justru harus berterimakasih dengan adanya barang-barang ini. Kalaulah tidak karena ini, tali gantungan yang akan kalian temui.” “Ya, Tuan,” Esteban menjawab sangat sopan. “Kami pun bersedia dan rela dikirimkan ke Blambangan.” “Ke mana dikirimkan, aku yang menentukan.” “Ya, Tuan,” Esteban menjawab lebih sangat sopan lagi. “Kalau ada kesediaan dan kesetiaan melayani senjata ini…. Pikir cepat, jangan gegabah. Kalian terikat, hidup atau mati pada senjata ini.” Dan Esteban dan Rodriguez justru tak dapat berpikir. “Bagaimana?” “Kami berdua ada kesediaan dan kesetiaan itu, Tuan,” jawab Esteban. “Betul? Sudah dipikirkan dengan baik dan cepat sebagai pemuda Portugis?” “Betul, Tuan.” Perwira itu tertawa melecehkan. Kemudian: “Memang, tali lebih berat daripada meriam. Hanya sekali ini kesempatan diberikan, kesempatan hidup, kesempatan memperbaiki diri. Tidak benar? Tali gantungan juga yang kalian parani.” “Ke mana pun kami dikirimkan, kami akan setia padanya sampai mati,” Esteban hampir-hampir mengulangi sumpahnya sebagai kanonir. Perwira itu memberi isyarat. Ia berjalan lebih dahulu dan dua orang tangkapan yang terikat itu mengikutinya dari belakang seperti dua ekor anjing. Di geladak itu memang tak ada persiapan pengadilan kapal juga tak nampak ada persiapan penggantungan. Sebaliknya ada serombongan orang bukan Portugis sedang berdiri menggerombol dan tersenyum-senyum memandangi mereka. “Ya!” seru perwira itu pada mereka, kemudian dalam Melayu, “bawa mereka turun!” Dengan bantuan beberapa orang Esteban dan Rodriguez diturunkan melalui tangga tali ke sebuah perahu dayung besar. Mereka masih tetap terikat dengan tangan ke belakang. Hari telah malam dan mendung tebal mengapung di udara. Lampu-lampu dari atas kapal membikin mereka dapat melihat, didalam perahu itu sudah menanti beberapa orang berpakaian Pribumi. Tetapi dari raut mukanya mereka nampaknya peranakan Arab atau Benggal. Di tengahtengah perahu besar itu berdiri dua buah meriam beroda dan peluru-peluru besi. Dengan muatan ini bisa jadi perahu ini pecah dan tenggelam, pikir Esteban. Dan dengan tangan terikat begini… maut masih belum dapat dihindari. Orang mulai mendayung. Perahu mulai bergerak, makin lama makin menjauhi kapal Portugis, menuju ke arah titik nyala nun jauh di seberang sana, kecil, hampir-hampir tak nampak. Para pendayung itu tak ada yang bicara. Esteban mencoba menembusi kegelapan dengan matanya yang sudah kehilangan keawasannya karena lapar dan tegang selama ini. Namun ia masih dapat melihat beberapa biduk Portugis mengikuti dari belakang. Mereka berdayung beriringan. Semua menuju ke titik nyala. Dan gerimis kecil mulai turun, membikin Esteban dan Rodriguez merasa kedinginan. “Makan!” tiba-tiba Rodriguez meraung. Seseorang menjejalkan sesuatu pada mulutnya dengan diam-diam. Dan Rodriguez tidak merasa terhina, juga tidak menyemburkan jejalan itu. Ia mulai mengunyah dengan giginya yang kurang dan menelannya dengan lahap. Esteban duduk merenung-renung. Seseorang memasukkan penganan ke dalam mulutnya. Ia tembusi kegelapan untuk menangkap muka orang itu. Dan ia mengenalnya: Yakub, pewarung arak dan tuak. Ia merasa agak lega dan aman. Dan penganan itu pun tidak terasa jahat. Ia mengunyah dan menelannya. “Lagi!” teriak Rodriguez dalam Melayu. “Dan minum, bedebah!” Ia mendapatkan apa yang dipintanya dan terdiam. Juga Esteban mendapat tambahan dan minum sampai kenyang dan merasa tenaganya agak pulih. Terutama karena minum manis itu. “Lepaskan tali ini,” raung Rodriguez memerintah. “Ayoh, bedebah! Lepaskan!” Ia lihat Yakub berdiri, mendekati Rodriguez dan meninju mulutnya. Tak ada yang melihat giginya rontok lagi atau tidak. Ia tak membuka mulut lagi. Iring-iringan biduk dan perahu dayung itu meluncur terus ke arah titik nyala di kejauhan, menerobosi kegelapan malam dan hujan gerimis. Waktu kilat mengerjap, nampak pantai masih sangat jauh, dan sebuah kapal pengawal pantai sedang menuju ke arah barat. “Moga-moga kapal kafir itu tak melihat kita,” doa Yakub. “Mereka akan menduga kita nelayan.” Dan mereka semua menunggu mengerjapnya kilat lagi. Mereka akan balik kanan jalan kembali ke kapal Portugis bila diburu. Tetapi kapal peronda itu tidak melepaskan eetbang, Semua menunggu-nunggu. Dayung berhenti bergerak, dan perahu dan biduk terayun-ayun di atas laut tanpa bergerak maju. Waktu kilat berkejap lagi bentuk kapal peronda itu semakin kecil dengan layarnya menggelembung penuh. Yakub memberi perintah untuk maju lagi, dan majulah semua iring-iringan, tetapi ke arah cahaya yang timbultenggelam di kepala ombak. Lurus ke barat daya. 0o-dw-o0 Iring-iringan itu memasuki hutan bakau-bakau yang agak rapat. Para penumpang dan pendayung turun dan mendorong perahu besar yang kaku dan berat itu. Di belakang mereka orang-orang Portugis memaki-maki dalam bahasanya sendiri. Seseorang menyalakan obor dan menebangi ranting dan batang yang menghalangi. Pantai itu sendiri terletak pada suatu ketinggian. Sebuah api unggun yang gelisah menebarkan sinar ke laut lepas, tetapi hutan bakau-bakau itu tak tertembusi olehnya. Mereka berjuang untuk dapat mencapai ketinggian itu. Nyamuk mendengung dan menyerang setiap titik kulit yang terbuka. Hanya Esteban dan Rodriguez tinggal di atas perahu itu. Dan tak ada seorang pun yang menggugat mereka. Nyamuk makin berdatangan, seperti awan tipis menandingi asap yang keluar dari obor. Dan orang-orang Portugis itu tak juga berhenti menyumpah-nyumpah. Menjelang pagi baru mereka dapat mencapai pantai. Para penunggu api sedang berhangat-hangat dan mengobrol ramai. Mendengar kecibak air mereka bangkit berbareng, mencoba menembusi kegelapan dan bertanya: “Yakub?” “Ya, Yakub di sini,” ia menjenguk ke perahu dan memerintahkan Esteban dan Rodriguez turun. Orang mulai sibuk menurunkan meriam dan peluru. Juga orang-orang Portugis yang beberapa belas itu menurunkan barang-barang dari biduknya masing-masing: peluru, onderdil meriam dan perlengkapan sendiri. Esteban dan Rodriguez menghindarkan mukanya dari sebangsanya sendiri. Dan mereka pun tak berniat untuk menegur. Langsung mereka mendekati api unggun, duduk, kemudian merebahkan diri di rumputan yang kering. Dan mereka tak juga dilepaskan dari tali pengikatnya. Tak ada orang mengganggu mereka merebahkan diri. Mereka sudah sangat mengantuk, lapar dan haus. Dalam keadaan pura-pura tidur mereka melihat orang-orang sebangsanya mendirikan kemahan, membangunkan sendiri api unggun, menghangati makanan kemudian makan, tanpa datang pada mereka berdua untuk menawari sesuatu. Untuk pertama kali dalam hidupnya Esteban merasa disisihkan dari bangsanya sendiri. Bahkan makanan sebangsa sendiri, yang selama ini tak pernah dimakannya, juga tersingkirkan daripadanya. Ia merasa nelangsa. Dan ia tak tahu pula hendak diapakan dirinya dibawa ke hutan di tepi laut ini, tetap terikat dan dijaga oleh sebangsa sendiri. “Setidak-tidaknya,” bisik Rodriguez, “sampai detik ini kita masih hidup. Sambar gledek mereka.” Esteban menutup matanya dengan melindungkan mukanya pada rumputan. Seperti Rodriguez ia pun tidur tengkurap dengan kedua belah tangan di atas. Dan waktu tungau menyerang kemaluan mereka, mereka menyumpahnyumpah, lupa akan keadaan. Sebangsanya hanya melihatkan mereka bingung tak dapat menggunakan tangan untuk menggaruk. Dalam serangan gatal-panas paha mereka dikerahkan. Sia-sia. Mereka gigit pundak, tapi tak sampai. Mereka melompatlompat. Tapi tungau-tungau celaka itu semakin masuk ke dalam kulit. “Tolong, Tuan Yakub,” pinta Esteban, “ada binatang masuk ke celana.” “Tidak mati kau karena binatang celaka itu. Dia sendiri yang bakal mati. Tidur.” Rodriguez menyumpah. Ia tak berani menatap pada Yakub yang menyala-nyala marah. Dua orang Portugis dengan musket meronda ke keliling. Waktu berada di dekat mereka minta tolong. Dan mereka jalan terus tanpa menggubris. Anak buah Yakub seorang demi seorang jatuh tertidur. Juga orang-orang Portugis. Yang tinggal jaga hanya Rodriguez dan Esteban, deru angin, dan deburan ombak, dan nyala api. Bahkan dua pucuk meriam itu pun nampak tertidur. 0o-dw-o0 17. Balatentara Tuban Turun Tangan Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan Rangga Iskak telah mempersembahkan pagardesa mereka tak sanggup lagi menghadapi perusuh-perusuh Ki Aji Benggala. Penjarahan terhadap desa-desa semakin banyak terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti terancam takkan terpenuhi pada panen mendatang. Waktu selama sebulan yang diberikannya oleh Sang Patih telah terlampau sia-sia. Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai menyebut Rangga Iskak bukan lagi Ki Aji Benggala, tetapi sudah jadi Kiai Benggala, dan terakhir malah berubah lagi jadi Sunan Rajeg. “Ya,” Sang Patih memutuskan. “Kalian telah menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak ada jalan lain daripada mengirimkan balatentara ke pedalaman. Dan semua itu jadilah tanggungan desa-desa kalian sebagaimana telah jadi aturan. Jangan kalian mengeluh karena harus makan lebih sedikit dan bekerja lebih banyak.” Regu-regu prajurit dari sepuluh orang, masing-masing di bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke sembilan desa terancam dengan perintah untuk mendesak para perusuh sampai mereka masuk kembali ke desa Rangga Iskak dan memukul mereka di kandang sendiri. Mereka berangkat setelah mendapat restu Sang Patih, berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala desa, wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang menyaksikan keberangkatan ini. Gong, canang dan gendang sama sekali tidak berbunyi. Setelah hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia mengetahui betapa gentingnya pedalaman. Agar kawula tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik bupati-bupati tetangga dan Peranggi di laut sana untuk ikut serta berpesta pora. Maka juga tak banyak orang yang tahu: sembilan regu yang dikirimkan ke sembilan desa itu ternyata takkan pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas. Dan berita tumpasnya regu-regu itu tidak datang dalam bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat Tuban Kota. Seorang penjual bertanya pada langganan mengapa belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang anaknya belum juga kembali selama ini, tak ketahuan ke mana perginya. Mereka adalah prajurit kaki Tuban. Seorang penjual lain menambahi, kira-kira mereka tertawan atau tertumpas oleh anah buah Kiai Benggala. Seorang pedagang dari pedalaman menambahi, bahwa orang sudah mulai meninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang Patih. Sang Patih telah memerintahkan satu kesatuan berkuda untuk menghubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa bersangkutan pun telah tumpas atau melarikan diri. Setelah penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia menghadap Sang Adipati. Ini terjadi di serambi belakang. “Ambil tindakan seperlunya saja,” kata Sang Adipati acuh tak acuh. Sang Patih mencoba meyakinkan gustinya, betapa telah menjalar Kiai Benggala. “Jangan gegabah,” Sang Adipati menjawab. “Tidak kami benarkan seluruh negeri Tuban menjadi keruh. Di mana kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata tertutup lumpur, takkan ada yang tahu bakal datang di hadapan.” Ia masih mencoba meyakinkan gustinya. “Orang itu bukan turunan satria, tidak pernah beroleh keprajuritan. Jangan membesar-besarkan.” “Tetapi bawahannya, Gusti Adipati sesembahan patik, barang tentu terdiri dari prajurit-prajurit tangguh. Kalau tidak, tidak mungkin…”, ia tak berani mempersembahkan hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan sembilan regu prajurit kaki. “Ular berbisa itu, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, biar pun kecil, mungkin masih telor, pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera ditumpas.” “Apa yang kakang Patih inginkan?” Dan Sang Patih memohon agar diperkenankan mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar, seyogianya pasukan kuda, di bawah pimpinan perwira yang paling cakap. “Kerusuhan seyogianya ditumpas dengan cepat, Gusti, cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.” Dan Sang Adipati murka. Dengan suara pelahan tertindih amarah, dengan mata menyala, ia berkata cepat: “Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang. Ambil tindakan sekedarnya, biar pun hasilnya hanya sekedar menghalangi pertumbuhan mereka. Tindakan yang seolah tidak terjadi sesuatu. Bisa apa petani-petani itu? Pergi!” Sang Patih pulang membawa kejengkelan – kejengkelan semata. Dan bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap gustinya, kejengkelan yang selalu mengenangkannya pada cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang Adipati juga yang karena sikapnya itu yang mengambrukkan Majapahit sampai ke dasarnya. Tanpa sepengetahuan Sang Adipati ia mengambil kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal yang terkenal cakap dan patuh, Mahmud Barjah, seorang Islam, muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu untuk memimpin dua ratus orang prajurit kaki untuk memimpin penumpasan terhadap perusuh Rangga Iskak alias Iskak Indrajit alias Kiai Benggala, alias Sunan Rajeg. “Sahaya akan segera berangkat, Gusti,” sembah Mahmud Barjah. “Hanya ijinkan sahaya mempersembahkan sedikit pikiran, karena sahaya orang Islam sedang Sunan Rajeg pun Islam.” Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih sendiri peratus dan prajurit yang akan dibawanya. Dan ia diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya. Dengan demikian pada suatu subuh berangkatlah Mahmud Barjah, juga tanpa gong, canang atau gendang, untuk menumpas para perusuh di pedalaman. Ia naik seekor kuda, cambuk parang terselit di pinggang, cambuk kuda di tangan, tanpa pedang dan tanpa tombak. Di belakangnya mengikuti dua ratus orang prajurit pilihan…. 0o-dw-o0 Belum lagi Mahmud Barjah dan pasukannya meninggalkan batas kota, Sang Patih telah duduk bersimpuh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya Sang Adipati. Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan muka ke tanah sambil menyembah, mempersembahkan, keadaan semakin gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang pada bandar Tuban akan terancam oleh kemerosotan dan perdagangan yang sepi akan menjadi mati sama sekali. Dan untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa kerusuhan di pedalaman mempunyai persangkutan erat dengan bandar. Bila Rangga Iskak dikembalikan pada kedudukan semula sebagai Syahbandar dan Sayid Habibullah bilamana dipindahkan ke Rajeg, kerusuhan dapat dipadamkan tanpa campur tangan balatentara. Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang Adipati yang sedang menggandeng selir baru dan di belakangnya mengikuti Nyi Gede Daludarmi. Sang Adipati berpaling pada sang selir, mendenguskan tawa pendek dan berkata: “Tak diketahuinya hari masih sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik daripada depan pintu keputrian.” Ia angkat telunjuk menuding Sang Patih dan membentak: “Kerjakan apa yang telah tertitahkan. Kami yang menentukan.” Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah gustinya segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih di hadapan seorang selir dan seorang pengurus keputrian. Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah dan memperhatikan gustinya lewat sambil terus menggandeng selir baru dalam iringan Nyi Gede Daludarmi. Waktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia mengangkat sembah lagi, kemudian berjalan terburu-buru pulang ke kepatihan membawa kesakitan dalam hatinya. Betapa mungkin gustiku berbuat demikian terhadapku? Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri? Memang ia memahami alasan Sang Adipati: bila balatentara Tuban bergerak ke pedalaman, bukan hanya para bupati tetangga, terutama Demak bisa menyerbu dengan leluasa. Memang sudah lama bandar Tuban yang indah itu jadi sumber cemburu mereka. Dan hanya karena kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka sampai sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Memang bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa kekuasaan persekutuan. Tetapi Demak adalah kekuatan yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru. Dan memang Sang Adipati punya hak mencemburui dirinya sebagai patih. Barangkali gustiku punya pikiran, aku mempunyai persekutuan dengan mereka untuk merampas Tuban buat diriku sendiri. Memang, memang. Tetapi menyakiti hati patihnya sendiri, pembantu-utamanya dengan sekasar dan sehina ini? Ia tak dapat menerima. Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan, Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa tak lain dari matarantai kekuasaan Peranggi di lautan, maka harus disingkirkan. Selama itu Sang Adipati hanya mendengarkan tanpa tanggapan. Sekarang ledakan itu telah terjadi, pertanda tak sesuatu dalih untuk menyingkirkannya. Ia tahu, bagi Sang Adipati yang terpenting adalah bandar-bandar adalah kebesaran. Ia tak begitu mementingkan kawula tani yang jadi sandaran negeri Tuban. Ia terlalu mempercayakan segala pada pasukan gajah sebagai kekuatan Tuban. Boleh jadi Sang Adipati menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah, para perusuh akan dapat ditumpas. Gustinya tak pernah mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan Rangga Iskak yang melepaskan dendamnya pada Sang Adipati, tapi sudah merupakan pemberontakan dari perubahan sikap. Dan bila mereka dibiarkan dengan kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri Tuban sudah terjamah, juga kekuatan Tuban pasukan gajah itu – akan kewalahan, kebesaran Tuban -bandar itu – akan jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri Tuban akan lenyap dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar. Ia menyesali Sang Adipati yang selalu berkukuh: hanya dengan jasa-jasanya Syahbandar itu saja Peranggi dan Ispanya akan datang sebagai sahabat – seperti dilakukan oleh Giri Dahanapura Blambangan? Terlalu banyak yang dipertaruhkan untuk keselamatan Sayid Habibullah. Bahkan persembahan tentang permintaan meriam Kiai Benggala pada Syahbandar dianggapnya ringan. ‘Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan meriam?’ katanya. ‘Omong kosong saja. Satu kerajaan yang kuat di Nusantara ini tak ada yang mempunyai, apa pula hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari Peranggi dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu berpikir sejauh itu? Memang kapal-kapal Islam pada kabur berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam tangannya Peranggi dan Ispanya memang tidak bisa ditahan – mereka sedang naik pada jaman jayanya.’ Dan ia tahu gustinya telah kena terkam ajaran Syahbandar: dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut jaya. Dan itulah pandangan gustinya sekarang, seakan orang di luar yang jaya, orang tak dapat membangunkan kejayaan sendiri. Pada puncak kejengkelannya ia mengulangi pandangannya yang lama yang membikin Sang Adipati cemburu: Aku dapat ambil seluruh kekuasaan atas negeri Tuban. Aku dapat perintahkan seluruh balatentara Tuban. Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan Majapahit. Tapi lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat dalam hatiku untuk membikin kau menungging di bawah kakiku. Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garuda menyambar elang. Tapi selalu ia dicegah oleh pikiran, bahwa hukuman pastilah yang sedang digalangnya bila perhitungan meleset. Dan hukuman mati itu bisa dicegah hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan garuda menyambar elang juga terhadap gustinya sendiri, dan diri sendiri menggantikan. Dan ia bersumpah untuk mengabdi pada gustinya sampai mati. Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati yang itu juga. Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan ketidakpedulian. 0o-dw-o0 Pukulan pertama itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua datang menyusul, dan tidak terduga-duga. Dari persembahan para penghubung didapat keterangan: Pasukan Mahmud Barjah ternyata juga hilang tanpa bekas. Dua ratus prajurit, dua peratus dan seorang perwira pengawal. Pukulan kedua itu hanya membikin semakin parah kelumpuhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih, sebagai saudara sepupu dan sebagai kawula. Ia tak punya sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau memikirkannya. Hampir seminggu lamanya orang-orang itu berkampung di tepi laut di sebelah timur Tuban. Dari daratan mereka terlindung oleh hutan belantara. Dari laut oleh hutan bakau-bakau. Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh kapal-kapal peronda pantai. Esteban dan Rodriguez hampir mati kebosanan dikerubut nyamuk dan tungau tanpa dapat sedikitpun kesempatan membela diri. Tangan mereka tetap terikat ke belakang. Dan perondaan itu terjadi pada subuh hari waktu datang rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak kurang dari delapan puluh orang telah mendarat. Orangorang Portugis segera membongkari perkemahan mereka, mengangkutinya ke biduk masing-masing dan berangkat entah ke mana. Waktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutanhutan bakau, Esteban mulai menyumpah dan Rodriguez meraung seperti orang gila: “Tak sepatah kata pun mereka tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut makanan hiu.” Belum lagi Esteban sempat memuaskan kejengkelannya, Yakub telah datang dan memerintahkan dengan kasar, semua orang dan semua barang harus segera berangkat. Ia tak bilang berangkat ke mana. Semua orang terkecuali dua orang Portugis itu mulai sibuk. Esteban dan Rodriguez menduga, semua akan berangkat ke Blambangan. Mereka tak dapat bayangkan di mana tempat itu. Orang pun tak bakal memberitahukan. Dengan petunjuk Esteban orang mulai membongkari meriam dari roda-rodanya, kemudian semua dipikul. Juga peti-peti obat dan peluru besi. Iring-iringan panjang lebih dari seratus dua puluh orang itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara, makin masuk ke pedalaman. Tiga orang berjalan di depan dengan parang terhunus sebagai pembuka jalan. Setelah tiga hari perjalanan mereka baru sampai di sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan terus menghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang dikuasai oleh Sunan Rajeg. Penduduk desa itu bersorak-sorai menyambut mereka, menggabungkan diri dan mengganti memikul beramairamai sampai ke desa selanjutnya. Dan mereka mengherani orang-orang kulit putih yang terikat tangannya di belakang badan, terutama yang berambut pirang dan ompong gigi depannya. Mereka mengherani meriam, dan roda meriam, dan peti-peti dan logam-logam bulat sebesar tinju. Di desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki perempuan. Nampaknya tak ada seorang pun ingin melewatkan keanehan sekali ini. Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di depan rumah joglo Sunan Rajeg. Rangga Iskak dan Khaidar, istrinya dari Malabar itu, berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia mengenakan pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas Angin yang selama ini tak pernah dikenakannya, sorban putih bersulam benang kuning. Khaidar mengenakan sari dari sutra biru. Wajah mereka berseri-seri, senyum lebar tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau. Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di samping-menyam-ping mereka regu-regu bertombak duduk dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatangpendatang itu mengangkat sembah. Juga Yakub, yang duduk di kepala barisan pengangkut. Dan dengan pandang mencuri-curi mereka menyuruh Esteban dan Rodriguez duduk di tanah pula dan menyembah. Tapi dua orang Portugis itu tetap berdiri dengan tangan terikat ke belakang. Dan Rangga Iskak Sunan Rajeg, yang melihat dua orang kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak tersinggung. Ia malah mengangguk-angguk pada mereka. Ia turun dari pendopo untuk dapat menjamah laras meriam. Khaidar mengikuti dan juga menjamah, malah mengintip pada mulut meriam, kemudian membersihkan tangan dengan kulit kakinya. Mereka berdua naik lagi ke bendul pendopo. “Keselamatan untuk Tuan Sunan Rajeg,” seru Yakub mengacarai serah terima meriam dan penembaknya. “Keselamatan untuk kalian semua.” “Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk meriam, obat dan pelurunya, dan dua orang Peranggi penembaknya,” katanya dalam Melayu. “Hei, kalian, Esteban dan Rodriguez, hormatilah Tuan Sunan Rajeg.” “Meriam dan perlengkapannya. Alhamdulillah,” sambut Sunan Rajeg sambil mengangguk-angguk puas. “Alhamdulillah!” dengung semua pengikutnya, suaranya berkumandang ke seluruh Rajeg. Dua orang bertombak telah menyorong-nyorong ke hadapan Kiai Benggala. Dan mereka maju dan tetap berdiri di hadapan bekas Syahbandar Tuban, enggan memberi hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari kemuakan. “Kasih hormat, kasih tabik, kafir-kafir keparat!” teriak Yakub di tempatnya dalatri Melayu. Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintahnya ia berdiri sambil menyembah Sunan Rajeg, mendekati dua orang itu dan membagikan spdokan tinju pada pinggang mereka. “Hormat! Hormati kanjeng Sunan Rajeg,” orang-orang berseru-seru memperingatkan dalam Jawa. “Tiada kalian dengar itu?” Sunan Rajeg memperkuat perintah mereka dalam Melayu. Tak sabar melihat tingkat Esteban dan Rodriguez beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil menyembah Rangga Iskak dan menekan bahu mereka sehingga berlutut di tanah. Kepala mereka pun ditekan pula ke bawah sampai mencium debu. “Betapa angkuhnya kafir-kafir Peranggi ini,” kata Sunan Rajeg. “Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, kafir! Bertahun-tahun kalian telah tembaki kapal-kapal dan bandar-bandar Islam. Atau kalian kira di sini pun kalian jaya tanpa perlindunganku? Hei, hati-hati, jangan kalian sampai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari Sunan Rajeg adalah hukum. Mulai hari ini, Insya Allah, hidup atau mati kalian berada dalam tanganku.” Mendengar itu Rodriguez dan Esteban berdiri memprotes. “Tak pernah kami kenal siapa Tuan,” kata Esteban, “kami berdua maka tak mungkin bersalah pada Tuan,” dalam Melayu yang cukup jelas. “Mengapa kami diperlakukan begini?” “Dari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-orang yang Tuan tak pernah kenal ini?” tambah Rodriguez. “Kesalahan kalian?” Sunan Rajeg kini menarik airmuka bersungguh-sungguh. ”Bukan hanya padaku,” ia menuding dirinya sendiri, kemudian tangan itu berkembang menunjuk pada semua orang di hadapannya, “pada seluruh ummat Islam. Dungu! Tak mengerti kalian apa kataku?” ia membentak. “Mengapa diam saja?” Suaranya kini mendekati gerutu: “Nyawa semut pun lebih berharga daripada kalian! Hei, semua pengikutku, jagalah jangan sampai dua kafir laknat ini lepas tanpa seijinku.” Satu suara bersama bergalau membubung dari para hadirin di depannya. “Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian? Siapa tidak tahu dosa-dosa kafir Peranggi? Perompak, bajak, pembunuh, perampas harta, nyawa dan negeri!” Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk dan menekurkan kepala mereka ke tanah. Sunan Rajeg kembali mendapatkan keramahannya. Ia mengangguk-angguk membenarkan. “Kiriman paling memberkahi,” tiba-tiba ia tertawa pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu mengangguk-angguk menyetujui. “Alhamdulillah!” orang-orang mengulangi dengan suara menggelora. “Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan dan penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana kehendaknya,” katanya dalam Jawa. Kemudian dalam Melayu. “Hei, kafir-kafir tak tahu diuntung. Dulu, bertahun-tahun kalian tujukan meriam kalian pada kami, ummat Islam. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada tanganku, mulai saat ini kalian harus tujukan meriammeriam itu pada kafir, kafir Jawa, kafir Peranggi, kafir apa saja. Jawab kalau kalian bersedia.” “Tidak mungkin menembak dengan dua tangan terikat,” bantah Rodriguez bengkeng. “Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei, ompong, pernahkah aku katakan pada kalian harus menembak dengan tangan terbelenggu?” “Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai manusia yang punya juga kehormatan sebagai manusia.” seru Esteban lantang. Sunan Rajeg tertawa senang sampai bahunya terguncang. “Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada kafir Peranggi punya kehormatan, tapi hanya karena kalian bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku, dan bersedia menjalankan perintahku. Demi Allah!” “Demi Allah!” para pengikat mendengung mengulangi. “Aku dapat melihat pada mata kalian, hai kafir Peranggi, kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui kekuasaan yang diberitakan oleh Allah padaku.” “Kami bukan kafir!” bantah Rodriguez, mukanya merahpadam karena marah. “Bukan kafir?” pekik Sunan Rajeg. “Baik, kurung mereka selama seminggu dengan tangan tetap terikat dan makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi selesai kuningannya mereka akan sudah ter-kaing-kaing minta ampun. Kurung!” Dan dikurunglah mereka. 0o-dw-o0 Penembak-penembak meriam yang berbadan kukuh itu kini sudah kurus kering kelelahan, kejengkelan dan kelaparan. Belum lagi selesai yang seminggu, mereka telah memohon agar diperkenankan menghadap Sunan Rajeg. Jadi dibawalah mereka menghadap ke depan pendopo. Mereka telah melihat meriam-meriam itu masih berdiri di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga petipeti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada orang-orang bertombak, tak ada para pengikut. “Sudah patahkah kebanggaan diri kalian?” Sunan Rajeg mendahului dari bendul pendopo. “Kami bersedia melayani meriam itu, Tuan,” kata Esteban. “Mengapa baru sekarang menjawab?” “Kami berdua harus memikirkan terlebih dahulu. Tuan boleh gusar sebelumnya, jangan kemudian. Maka kami pikirkan masak-masak untuk dapat memutuskan.” “Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu teruskan persembahanmu.” “Memang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari Tuan. Tapi lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani meriam-meriam itu. Baiklah, kami terima. Tapi tahukah, Tuan, kalau barang-barang itu sudah rusak dan disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini?” “Rusak?” Sunan Rajeg memekik. Kemudian menggerutu. “Bedebah itu hendak menipu aku. Si bedebah!” “Kalau terjadi kemacetan…,” Rodriguez menambahi. Kiai Benggala alias Sunan Rajeg menebarkan pandang pada meriam-meriam yang berdiri telanjang bulat di tempat semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmukanya berseri kembali. “Tidak apa,” katanya, “meriam adalah meriam. Yang penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barangbarang itu, huh, semua bikinan manusia, bisa dibetulkan atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi Tuban yang ikut denganku bisa memperbaiki segala barang apa dari logam.” “Dan obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.” “Bagaimana dengan belenggu kami?” Rodriguez mendesak. “Kalian kafir, selalu menuntut tanpa pikir. Kalian kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian menuntut bebas.” Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseruseru ramai. Kemudian disusul dengan suara orang berlarian. Sunan Rajeg memanggil seorang pengantar tangkapan itu dan menyuruh pergi mencari keterangan. Sebelum suruhan itu datang muncul beberapa orang bertombak, berlutut di bawah kaki Rangga Iskak dan minta ampun. Kemudian: “Ampun Kanjeng Sunan, Yakub meloloskan diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.” “Pergi! Bawa kemari ular kepala dua itu, hidup atau mati!” Dan tertuju pada dua orang Portugis itu, “Juga kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani meloloskan diri dari kekuasaanku. Beruntung dia bila kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku – kalian akan lihat bagaimana ular kepala dua akan kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum kehilangan kepalanya yang dua.” Esteban dan Rodriguez terdiam menunggu Sunan Rajeg terlepas dari kemarahannya terhadap Yakub. “Ya, bagaimana persembahan kalian?” “Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah Tuan.” jawab Rodriguez cepat-cepat, melihat Sunan Rajeg sudah mulai agak ramah. “Jadi kalian sudah bersedia melayani meriam?” “Ya, tuan.” Esteban memperkuat. “Baik. Itu baik sekali. Setuju menembaki musuhmusuhku, semua kafir, termasuk kafir Peranggi.” Esteban terdiam dan Rodriguez menyambar: “Kami sanggup, Tuan.” “Mengapa kau diam saja?” tanya pada Esteban. “Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami berdua,” jawabnya. “Baik. Apa lagi?” “Kami berdua bersedia juga melatih tentara Tuan berperang cara Eropa, secara Peranggi.” Sunan Rejeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit mengangguk lambat, bertanya sambil memperlihatkan senyum: “Mengapa tidak kemarin-kemarin kalian persembahkan? Aku senang mendengar itu. Tapi kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada kafir, apalagi kafir Peranggi seperti kalian – sudah bergelimang dengan banyak dosa.” “Kami memang Peranggi, tapi bukan kafir.” Rodriguez membantah. “Kami Kristen.” Sekali lagi Sunan Rajeg tertawa menang, dan tertawanya terdengar tajam menyiksa kedua orang Peranggi tangkapan itu. “Memang tidak suka dinamai kafir? Bukankah kalian menamai kami juga kafir?” Esteban dan Rodriguez seakan sudah setuju dalam batin untuk tidak menjawab. “Mengapa diam? Bukankah kami kafir untuk kalian dan kalian kafir untuk kami?” Dan dua orang itu membisu. Mereka tahu pertanyaan itu mengandung ancaman maut. “Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan?” Sunan Rajeg mendesak terus. Setelah agak lama berdiam diri Esteban berkata ragu: “Semua yang Tuan inginkan.” “Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan oleh Allah. Karena tiada sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaannya’ ia turun dari bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. “Sebaiknya, dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini, kalian pun berhak mendapatkan apa yang kalian butuhkan. Tapi ingat, aku tak mempunyai kafir.” Sekali ini Rodriguez dan Esteban lama terdiam, merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki oleh Sunan Rajeg. “Apakah Tuan menghendaki kami masuk Islam?” Esteban bertanya ragu-ragu. Sunan Rajeg tak menjawab. Hanya sinar matanya berkilau-kilau semakin ramah. Ia pandangi tenang-tenang dua orang tangkapan itu, tersenyum manis, dan keluar katakata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: “Mana bisa aku menghendaki kalian bertaubat masuk Islam? Kalian sendiri yang menentukan, bukan aku dan bukan siapa pun. Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, karena kalian sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang lain.” “Kami bersedia,” Rodriguez menyambar. “Orang tidak mengatakan bersedia masuk Islam,” Sunan Rajeg memotong, “orang bertaubat dengan suka sendiri, kerelaan sendiri dan suka sendiri.” “Kami akan bertaubat, Kanjeng Sunan,” Rodriguez membetulkan kata-katanya, dan ia mengangkat sembah. Sunan Rajeg meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk memanggil. Dalam waktu pendek depan pendopo telah penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah dalam terik matari menunggu kata-katanya: “Dengarkan kalian, bahwa pada hari ini,” ia memulai dalam Jawa. “Orang Peranggi yang ompong ini…” tiba-tiba dalam Melayu, “siapa namamu, ompong?” “Rodriguez, Kanjeng Sunan.” “… Bahwa pada hari ini Rois akan bertaubat masuk Islam. Syukur Alhamdulillah.” “Syukur Alhamdulillah,” orang-orang mengulangi dengan suara menggelora. “Dan kau, siapa pula namamu?” “Esteban, Kanjeng Sunan.” “Ya, Manan. Dan kau, Manan, bagaimana denganmu?” “Sama saja. Kanjeng Sunan.” Sunan Rajeg lupa sudah, bahwa Yakub benar-benar telah lolos dan tak dapat ditemukan lagi…. Rasanya belum lagi selesai penduduk Rajeg menyambut peng-Islaman Esteban dan Rodriguez, dan siang itu juga terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu semakin lama semakin dekat, kemudian nampak serombongan orang desa mengantarkan seorang penunggang kuda yang masih muda, gagah, tampan, berkulit kehitaman, tapi tidak lebih hitam daripada Sunan Rajeg. Orang itu berpakaian perwira balatentara Tuban, perwira pengawal. Sunan Rajeg dan Khaidar menjemput di bendul pendopo. Wajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur. “Assalamu alaikum!” perwira itu memulai sambil turun dari kudanya. Ia berjalan menghampiri Sunan Rajeg. “Paman!” dan diulurkan tangannya setelah membuat sembah dada. Sunan Rajeg menerima tangan itu, dan itulah untuk pertama kali penduduk melihat orang bersalaman. “Bibi!” tegurnya pada Khaidar, dan memberikan sembah dada pula. Khaidar membalas dengan sembah dada pula. “Naik, naik, Nak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu,” kata Sunan Rajeg dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh istri dan tamunya. Khaidar tak ikut menemui tamu. Ia berjalan langsung masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu. Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua di tengah-tengah pendopo. Dengan tangannya Sunan Rajeg menghalau orang-orang yang masih menggerombol di depan pendopo. Mereka bubar setelah menyembah. “Akhirnya kau bisa lolos juga,” kembali Sunan Rajeg membuka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi tamunya. “Betapa lama sudah kami menunggu di sini,” ia memulai dengan menggunakan Melayu. “Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan Allah telah mengaruniai sahaya dengan kesempatan seindah ini.” “Ceritakan, ceritakan,” desak tuan rumah berkobarkobar. Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup mulutnya. Bahunya terguncang begitu tinggi. Dadanya yang telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu membungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja itu tertarik jadi siku-siku. “Tak baik tertawa berlebih-lebihan, Nak,” Sunan Rajeg memperingatkan. Dan peringatan itu membuat perwira itu reda dari tawanya. “Ceritanya begini, Paman, Sang Patih telah perintahkan sahaya untuk menindas Paman,” ia tak dapat menahan tawanya lagi. Dan gaya tawanya menggoda Sunan Rajeg untuk ikut tawa. “Teruskan, teruskan.” “Karena bernafsu untuk menindas Paman dengan terburu-buru dia kirimkan pasukan yang lebih besar daripada yang diperkenankan oleh Gusti Adipati. Dua ratus prajurit!” “Dua ratus!” seru Sunan Rajeg. “Teruskan, Nak.” “Sahaya persembahkan yang dua ratus ini pada Paman, di samping diri sahaya sendiri.” Sunan Rajeg merangkulnya: “Nak, Nak, kemenakan yang setia. Tidak percuma ibumu melahirkan kau. Dilimpahilah kiranya kau ini dengan karunia.” “Dua ratus prajurit yang sahaya pilih sendiri, Paman.” “Kau pilih sendiri!” “Semua prajurit Tuban asli, gagah berani. Anak-anak laut pelawan ombak penakluk pulau!” “Tuhan memberkahi, Nak. Di mana mereka sekarang?” “Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk dari Kanjeng Sunan Rajeg.” “Betapa tahu adat, kau ini, Nak.” “Sahaya adalah seorang perwira, Paman.” “Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka masuk, Mahmud. Tiada kafir di antara mereka, bukan?” “Pilihan terperinci, Paman. Nah, biar sahaya pergi menjemput mereka. Dua ratus, Paman. Tidak sedikit. Sediakan tempat dan makannya?” “Mudah, Mahmud. Ah-ah, panglimaku datang, panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah mereka seorang demi seorang,” ia bangkit untuk memberi isyarat pada Mahmud Barjah agar segera pergi. Mahmud Barjah pergi, melompat ke atas kudanya dan perpacu hilang di balik debu mengepul. Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu memanggil orang untuk mendengarkan perintah Sunan Rajeg. Dan orang pun meninggalkan sawah dan ladang, rumah dan pekarangan, memenuhi pelataran depan pendopo Sunan Rajeg. Dan orang bersorak-sorak mendengar dari mulutnya: dua ratus prajurit Tuban pilihan telah bergabung dengan mereka. “Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama dideritakan. Sambutlah mereka dengan pesta dan syukur!” Menjelang subuh pasukan Mahmud Baijah baru tiba. Mereka sempat menikmati hidangan dan bersuka. Kelelahan yang amat sangat memaksa mereka mencari tempat seterlindung mungkin untuk dapat tidur senyenyak mungkin. Pesta terpaksa ditunda sampai mereka bangun. Mahmud Barjah sendiri mendapat tempat di dalam rumah Sunan Rajeg. Lain lagi yang terjadi di gedung utama kesyahbandaran. Dalam beberapa hari belakangan ini Syahbandar Tuban sangat gembira. Segala apa yang diusahakannya nampak berhasil. Dan menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar nampaknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal beberapa langkah lagi, dan seluruh Tuban akan menari-nari menurut tarikan tangannya. Balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam. Kekacauan dan kebalauan akan membikin orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri. Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya. Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan kaki? Dan apalah artinya pasukan kaki tanpa petani membayar jatah upeti? Pasukan kuda? Apalah artinya pasukan kuda tanpa ada petani mempersembahkan upeti rumput? Pasukan laut? Apalah artinya pasukan laut bila daratnya kocar-kacir? Ya, balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam. Dan bila kekuatan dan kewibawaan Tuban ringsek, para pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, ambruk berkeping-keping. Tuban harus jadi bangkai yang membusuk dari dalam. Dia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka bandar Tuban, bandarnya, akan menjadi pangkalan Peranggi. Dan dari sini Peranggi akan dapat mengawasi perairan bumi selatan. Jasa-jasanya akan dibayar berganda di Malaka atau Lisboa. Atau dikirimkan kepadanya di rumahnya di Andalusia, Ispanya. Tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin tinggal tiga tahun lagi. Itu pun paling lama. Dan satu kehidupan senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup selanjutnya. Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi. Diri akan tinggal duduk-duduk membacai cerita-cerita Arab semasa kekuasaan Muawiah di semenanjung Iberia, mengagumi orang-orang besar dalamberbagai bidang keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia, filsafat, tauhid, matematika. Dan ia akan mengulangi tafsir atas Platon dari Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina… Jatuhnya Tuban nampaknya jauh lebih mudah daripada Malaka, tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa lain, Malaka bandar yang sedang kembang-kembangnya, Tuban sedang dalam keadaan runtuh. Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh, manusia-manusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti merak, kau Idayu! Apalah artinya kau! Ia tindas kegagalannya. Lima puluh orang sebagus kau, lebih bagus daripada kau, bisa kudapatkan sekaligus di Ispanya sana. Huh! Dan kalau Tuban runtuh seperti pedati masuk jurang, kaulah yang paling dulu akan merayap pada kakiku minta penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk dapat menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang Adipati mendapat selir kesayangan baru, seorang gadis Tionghoa persembahan penduduk Lao Sam, Nyi Ayu Campa namaharemnya. Dari percakapan dengan Paman Marta ia mengetahui, orang Tua-tua Tuban sudah mulai membicarakan tandatanda kejatuhan Tuban, sama dengan tanda-tanda kejatuhan Majapahit, yakni apabila seorang raja mulai menyelir gadis Tionghoa. Bukankah Bre Wijaya Purnawisesa jatuh setelah menyelir Ratna Subanci anak saudagar Gresik, Tan Go Hwat, yang lebih terkenal dengan sebutan Babah Ba tong itu? Melihat Nyi Gede Kati sedang datang membawa nampan berisi penganan segera ia menegur: “Ai, Nyi Gede’ Wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiapsiap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia tinggal berdiri di hadapannya. “Ada kau dengar tentang Nyi Ayu Campa, Nyi Gede?” “Tidak, Tuan, tiada pernah sahaya dengar nama itu.” “Orang-orang sudah membicarakannya, Nyi Gede. Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia, Kati?” “Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, Nyi Ayu Campa sahaya tidak tahu.” “Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau sudah mulai menyembunyikan sesuatu daripadaku?” “Tidak, Tuan, demi Allah.” “Baik, demi Allah. Sekarang sudah seminggu berlalu, Kati. Bagaimana jawabanmu sekarang?” “Bukankah sahaya telah menjawab, Tuan Sayid?” “Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki.” “Sahaya telah menjawab, Tuan, sahaya tiada lagi akan menghubungi keputrian. Sekali salah sahaya ini bersalah. Tidak untuk kedua kalinya.” “Itu salah benar, Kati, Nyi Gede. Hubungan lama jangan dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak melupakan hubungan lama? Tidak ada beratnya. Hanya berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak, sedikit pun jadi. Bukankah begitu?” “Betul, Tuan Sayid, sahaya tidak bersedia.” “Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan permintaan, tapi perintah.” “Betul, Tuan, perintah.” “Kau kuperistri atas perintah Sang Adipati. Seorang istri tidak patut menolak perintah suami. Orang harus melakukannya. Bukan, Kati?” “Benar, Tuan, tapi menghubungi keputrian sahaya tidak sedia.” “Kau membangkang, Kati,” kata Syahbandar itu tak bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa. “Sahaya telah berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua kalinya pada Gusti Adipati. Sahaya akan tetap di Tuban, Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat meninggalkan tempat ini entah ke mana-mana.” “Akan kubawa ke mana pun aku pergi kau, Kati. Jangan kuatir,” Tholib Sungkar menghibur istrinya dan dirinya sendiri. “Tidak, Tuan, ini adalah negeri sahaya.” “Tapi kau istriku!” Syahbandar menekan. “Sahaya istri Tuan Sayid.” “Lakukan perintah suamimu,” perintahnya keras. “Hubungi keputrian, kataku,” matanya melotot. “Sahaya telah dan akan lakukan perintah Tuan, suami sahaya, kecuali khianat untuk kedua kalinya.” “Apakah aku bilang kau harus berkhianat? Kau hanya berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan lama,” Tholib Sungkar menurunkan kembali nada suaranya. “Itulah sudah semua jawaban sahaya. Di samping itu besok sahaya akan pergi ke desa Awis Krambil, mengantarkan Idayu untuk melahirkan.” “Binatang,” desis Syahbandar Tuban dan berdiri dari tempat duduknya. Ia berdiri di hadapan istrinya. “Moga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini,” katanya tenang, “tidak lagi seperti Tuan.” “Kurangajar kau!” makinya dan dicengkamnya rambut Nyi Gede Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai hampir lepas kulit kepala dari tengkorak. Dengan telunjuk kanan ia menuding-nuding wanita yang meringis kesakitan itu seperti hendak menotok biji matanya. “Lepaskan sahaya, Tuan,” pohon Nyi Gede. Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan cengkaman pada rambut tak juga dilepaskannya. “Ampun, Tuan, lepaskan sahaya.” Syahbandar itu menghentakkan cengkamannya ke belakang. Wanita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya nampak sudah kalap dalam menundukkan istrinya. Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke atas untuk dilandaskan pada tubuh Nyi Gede. Melihat ayunan tongkat yang mengancam, bekas pengurus harem itu mengisarkan badan sambil mengait sebelah kaki Tholib Sungkar. Kemudian ia berguling berputar. Syahbandar yang jangkung itu kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak terpelanting. Tarbusnya berguling-guling dengan segala kehormatan, kemudian berhenti mendarat pada kaki meja. Dan belum ia mendapatkan keseimbangannya dan kesedaran apa yang sesungguhnya terjadi atas dirinya, istrinya telah melompat dan membikinnya jadi tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang dan wanita itu telah duduk di atas tengkuknya. “Akan sahaya patahkan tangan lancang ini, Tuan.” Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengerang kesakitan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperhatikan tarbusnya yang terhormat. Tak diingatnya lagi sang tongkat yang angker, yang telah sempat menohok iganya sendiri sebelum terpental. “Jangan, Nyi Gede, jangan.” “Dan kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala Tuan yang mulia ini akan sahaya remukkan dengan tongkat Tuan sendiri.” Kaki Tholib Sungkar meronta-ronta, tapi tak berdaya menyelamatkan seluruh tubuhnya. Kepalanya meneleng ke samping, pipih pada lantai dan mulutnya terbuka mengucurkan liur. Di bawah tindihan tubuh montok Nyi Gede kepala yang pipih itu nampak jadi lebih tipis, seperti terbuat dari ketan hitam. “Lepaskan aku,” rintihnya. “Mintalah ampun, Tuan.” Dan lelaki itu pantang meminta ampun. Nyi Gede Kati menambahi pulirannya pada tangan suaminya. Dan lelaki itu mengaduh, mengerang dan merintih. “Ya-ya, ampun, Nyi Gede.” Wanita itu melepaskan pulirannya, dan tangan lelaki itu jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk suaminya, berdiri, kemudian dengan tangan sendiri menolong mengangkat kepala Syahbandar Tuban, menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan orang terhadap anak-anak anjing yang nakal. “Ampun, ampun, ampun, Nyi Gede!” rintih Syahbandar dengan kata-kata yang tak terdengar jelas. “Nah, Tuan, inilah ampun’ ia berdiri lagi dan menolong suaminya berdiri. Bibir lelaki itu berdarah-darah. Dan wanita itu menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari lipatan. Tholib Sungkar mengebas-ngebaskan debu dari pakaiannya, meraba-raba pipi dan muka, rambut, dan: “Mana tarbusku? Tarbus mulia buat kepala mulia?” Nyi Gede Kati mengait topi itu dengan kaki, mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan kepala suaminya di dalamnya. “Apa saja kau lakukan ini, Kati?” tanya lelaki jangkung itu sambil memperbaiki letak tarbusnya. “Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan sungguh tidak patut.” “Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya,” protesnya. “Memang tak ada, Tuan. Di sini pun, di negeri ini, juga tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau suami itu sudah begitu kurangajarnya….” “Aku…. ?” “Siapa lagi, Tuan,” Nyi Gede berjalan beberapa langkah dan mengambil tongkat yang terpental. “Maukah Tuan mendengarkan sahaya?” melihat lelaki itu mengangguk lesu ia meneruskan: “Di sini, Tuan, petani yang sebodohbodohnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau dia memang sudah gila. Jangan bicara dulu. Di sini, Tuan, seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya sebagai suami saja, juga sebagai gurunya dan sebagai dewanya sekaligus. Tuan orang asing di sini. Sahaya sampaikan ini agar Tuan mengerti, karena semua itu mungkin tak ada dalam ajaran Tuan.” Tholib Sungkar duduk lagi di kursinya untuk melupakan ceramah yang bodoh itu. “Kau wajib minta ampun pada suamimu.” “Tentu, Tuan,” jawab wanita itu dan mengembalikan tongkat pada pemiliknya. “Sahaya minta ampun. Sekiranya terulang kembali penganiayaan terhadap sahaya, janganlah tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.” “Perempuan haibat! Tak pernah aku temui,” ia menggeleng-geleng pusing. Nyi Gede Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan tanpa menghormatinya. Syahbandar membenahi kitab-kitabnya, beberapa kali menyapu muka dan bibir yang masih juga mengeluarkan rasa asin, menarik-narik hidungnya yang pipih dan bengkung merajawali, kemudian mengenangkan dengan tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu. Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditumbangkan seorang wanita yang selalu penurut itu. Dan berjanji ia dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya. Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka, pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina seperti dia, tantangnya, dan seribu kali seribu jantan seperti dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan sanggup membendung kekuatan Portugis, kekuatan yang sedang jaya. Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada kekalahannya terhadap Idayu. Di mana harus kusangkutkan mukaku kalau dia menyaksikan peristiwa itu tadi? Tidakkah Nyi Gede akan menyampaikan gempa bumi ini padanya? Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar, bagaimanapun mereka takkan sanggup membendung kekuatan Portugis. Dua perempuan Pribumi ini sudah membikin aku bongkar-bangkir. Tapi tunggu! 0o-dw-o0 Selesai sembahyang asar waktu itu. Sunan Rajeg memperkenalkan Mahmud Barjah pada Manan, dulu Esteban, dan Rois, dulu Rodriguez. “Teman-temanmu ini,” katanya lagi “Adalah penembakpenembak meriam. Nanti akan kau lihat senjata-senjata kita itu.” “Meriam? seru Mahmud Barjah. “Meriam betul? Meriam Peranggi?” Sunan Rajeg hanya mengangguk-angguk membenarkan. “Dan kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih anak-anak berperang cara Eropa, cara Peranggi.” Mahmud Barjah mengernyitkan kening. Mengetahui sinar cemburu memancar pada mata Mahmud, Sunan Rajeg buru-buru menambahkan: “Dan perwira Tuban ini, Mahmud Barjah, adalah panglimaku. Memang Manan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah perintahmu, Mahmud. Dan kau harus mengerti, Mahmud, perang secara Pribumi takkan mungkin dapat menghadapi Peranggi. Cara baru harus dipergunakan, biarpun asalnya dari Peranggi. “Bagaimanakah kiranya berperang cara Peranggi?” Barjah mengangkat dagu meremehkan. “Belum pernah aku dengar atau lihat.” “Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. Ayoh, bersalam-salaman kalian.” Mereka bersalam-salaman. Dan segera setelah itu Mahmud Barjah pergi dengan alasan hendak melihat anakbuahnya. Sunan Rajeg menggeleng-geleng tak memahami cemburu hati panglimanya. Panglima Rajeg itu muncul lagi menjelang magrib untuk berjemaah di mesjid. Ia bergabung dengan semua makmum sampai isya. Kemudian semua orang turun dari mesjid untuk mengikuti Sunan Rajeg menyampaikan wejangannya pada seluruh penduduk yang sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa tikar masing-masing. Malam itu langit bermendung tapi tidak hujan. Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan pandang ke mana-mana seperti biasa. Damarsewu terpasang di mana-mana dengan apinya yang gelisah. Sunan Rajeg duduk di atas selembar permadani di dalam pendopo. Di belakangnya duduk Mahmud Barjah dan para tetua. Dengan semangat tinggi ia memperkenalkan panglima baru, kemudian diteruskan dengan wejangan yang biasa itu, seluruhnya dalam Jawa: “Sudah pernah kukatakan pada kalian, ada kerajaan Islam di Jawa ini, Demak. Katanya saja kerajaan Islam. Yang Islam hanyalah Dewan atau Majelis kerajaan, beberapa Kiai yang dianggap wali Islam, digelari Sunan, dan para pembesarnya. Kawulanya tidak tahu sesuatu tentang Islam, kafir-kufur jahil. Dan rajanya? Tidak beda, sama dengan yang selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya kerajaan Islam yang pertama-tama.” Ia memperdengarkan tawa yang pahit menggigit. “Siapa yang menamakan itu? Pasti bukan Sunan Rajeg,” ia meneruskan. “Juga bukan kalian. Tapi: Majelis kerajaan dan musafir Demak yang gentayangan ke mana-mana itu.” Mahmud Barjah terlongok-longok tidak mengerti. Dan karena itu Sunan Rajeg mengulangi wejangannya yang penduduk sudah hafal di luar kepala: “Kalian tahu benar siapa musafir-musafsir Demak itu – ratusan orang yang dikirimkan oleh Demak ke semua mata-angin untuk bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang Demak, rajanya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan anggota-anggotanya,” ia menengok pada Mahmud Barjah. “Sunan Rajeg dan kalian, pengikut-pengikutnya,” ia meneruskan, “tidak bisa ditipu begitu mudah. Kerajaan Islam pertama-tama di Jawa tidak di Demak, tapi di sini!” dan ditudingnya lantai pendopo sedang matanya menyalanyala pada para hadirin di depannya. Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak ditanyai. Para tetua dan Mahmud Barjah, yang duduk di belakang Sunan Rajeg, tiada mengangkat kepala, seakan patung-patung tembaga pada sebuah candi. “Pekerjaan musafir-musafir celaka itu hanya membedaki dan merias muka Sultan Al-Fatah dan memajang-majang Demak, karena muka Sultan itu bopeng dan karena Demak itu busuk. Ingatingat kalian, anak-anakku, Islam tidak boleh disekutukan dengan kebohongan dan dusta macam apa pun. Maka juga tidak ada hak Demak menamakan kerajaan Islam pertamatama di Jawa’ Dengan pandang menantang seakan Demak ada di depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Katakatanya curah dari mulut diberani-kan oleh kedatangan panglimanya. “Hei, kau, Sultan Demak. Dari manakah hakmu mengangkat diri jadi khalifah? Kau orang ayan? Siapa gurumu? Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah dengan pengangkatan begitu? Berani kau dan kalian menyamakan Al-Fattah dengan Ali dan Umar? Apa dasarmu dan dasar kalian?” Waktu perasaannya meluap, penyakit lamanya menyerang. Ia terbatuk-batuk, badannya membungkuk dan kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya. Mahmud Baijah dan para tetua gelisah ingin memijati bahu dan punggung pemimpinnya, tetapi tak berani. Para hadirin memanjangkan leher untuk dapat melihat bagaimana Sunan Rajeg bertahan terhadap serangan batuk, apakah dia punya kekuatan gaib untuk menundukkan sang gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. Dan untuk ke sekian kalinya kekuatan gaib itu tidak menyatakan dirinya. Sunan Rajeg menggapai-gapaikan tangan meminta bantuan. Mahmud Barjah mendekat dan menangkap tangan itu. Ia membantunya berdiri dan membawa tubuh pemimpin yang terbongkok-bongkok karena batuknya masuk ke dalam. Dan hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar karena sebelum ada tengara untuk itu. Waktu dilihatnya Mahmud Barjah muncul kembali, ternyata bukanlah untuk memberikan perintah bubar. Perwira muda yang tampan itu duduk di atas permadani bekas Sunan Rajeg. Ia berdiri membelakangi para tetua. Ia dengar hadirin mulai bergumam menyatakan keheranan dan kecurigaan dan tak senang hatinya. Tapi ia tidak memaklumi. Setelah mengucapkan salam, yang disambut menggelora, ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap Sang Adipati, tentang maksiat pembesar-pembesar Tuban, tentang harem Sang Adipati yang penuh dengan wanita bukan muhrim, namun tanpa malu adipati itu menamai diri Islam, tak pernah bersembahyang pula. Ia sama sekali tidak pernah menyebut Demak. Dan pidatonya makin lama makin melarut membeberkan perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, kebohongan dan khayalan, bertele, meliuk ke sana dan ke mari. Pelita damarsewu dipadamkan satu per satu. Ia masih terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga. Damarsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para tetua di belakangnya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia tetap bicara. Hujan jatuh dengan lebatnya. Hadirin lintangpukang melarikan diri, bukan dari kebasahan, tapi dari pembicara ulung: panglima Rajeg Mahmud Barjah. Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar negeri. Sang Adipati telah duduk di atas singgasanagadingya. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri seorang diri di pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua, para pemimpin pasukan: Braja, kepala pasukan pengawal kadipaten, Banteng Wareng, kepala pasukan kuda, Kala Cuwil, kepala pasukan gajah, Rangkum, kepala pasukan kaki. Wajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah Wiranggaleng. Ia telah mengenakan gelang baja tiga susun. Ia duduk sebagai kepala pasukan laut. Tempat Sang Patih masih juga kosong. Sang Adipati nampai gelisah tak bersenanghati. Berkalikali dipandangnya tempat yang kosong itu. Dan tetap kosong. Karena tak dapat menahan kesabarannya, keluar suara tuanya yang meledak seperti gerutu macan betina: “Di manakah kakang Patih?” Tiada berjawab. Semua menunduk. “Tulikah kalian maka tiada yang bersembah?” Tiada berjawab. Kegelisahan mulai menguasai seluruh penghadap. “Tiadakah diketahui keadaan gawat? Kalian para kuwu dan demang, benarkah pagardesa kewalahan menghadap perusuh?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” salah seorang yang tertua di antara mereka bersembah, “demikianlah adanya.” “Dan kesatuan kecil pasukan kuda hilang?” “Ampun, Gusti,” sembah Banteng Wareng, “demikianlah adanya.” “Dan sembilan puluh prajurit kaki Tuban hilang tanpa bekas?” “Ampun, Gusti, sesembahan, demikianlah adanya,” sembah Rangkum. “Dan dua ratus pasukan kaki Tuban dengan dua orang peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal Mahmud Barjah juga lenyap tanpa bangkai?” “Demikianlah adanya,” sembah Rangkum. “Dan perusuh itu mendesak terus ke arah Tuban seakan Tuban hanya segumpal daging tanpa tulang di hadapan sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, dua ratus tahun lamanya Tuban tak pernah diganggu musuh karena balatentaranya? Apakah Kakang Patih lupa, pasukanpasukan Tuban tiada mungkin terkalahkan? Dalam dua ratus tahun balatentara Tuban telah ikut menegakkan Majapahit di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut maupun di hutan? Braja! Katakan sesuatu biar orang tahu, apa dan siapa Gustimu! “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Patik, kepala pasukan pengawal Gusti Adipati tiada rela Tuban dijamah oleh musuh dari mana pun datangnya, siapa pun orangnya, apa pun dalih dan kapan pun makarnya. Seluruh pasukan pengawal adalah kulit Gusti Adipati. Barang siapa menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan pasukan pengawal, karena Braja yang akan menjawab.” “Kesetiaanmu adalah kesetiaan lama dari perwira Majapahit. Kau, Banteng Wareng, bersembah.” “Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, ada pun pasukan kuda Tuban setiap saat siap untuk menyerang segala yang bergerak menuju ke Tuban dengan kejahatan di dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa dijadikan malam, sebagaimana Gusti Adipati titahkan. Telapak kudanya akan capai semua jarak dan cambukcambuknya akan menggeletari udara dan hati musuh durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar menepis puncak-puncak ombak. Musuh akan diporakporandakan sebelum mencapai luar kota Tuban, Banteng Wareng adalah dada Gusti Adipati.” “Kau sungguh melegakan dada hati kami, Banteng Wareng. Darah tersirap mendengar persembahanmu, darah Majapahit, bukan darah kecoak. Ah, Kala Cuwil, kaulah yang bersembah.” “Ampun, Gusti Adipati. Pasukan gajah selamanya jantung hati Tuban dan Gusti Adipati. Tanpa kesudian Gusti, tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan darah pertahanan Tuban. Gajah-gajah yang lincah dan berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah tentara sejati, adalah bukit-bukit otot di tangan pawang tentara yang ulung. Punahlah musuh Tuban terlindas oleh kakinya, terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam gadingnya. Bila musuh ingin mencoba, pasukan gajah Gusti Adipati akan memberikan pada mereka apa yang mereka kehendaki. Gusti Adipati sesembahan patik, kesetiaan pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan Gusti,” “Kami tak meragukan, Kala Cuwil. Kau tetap perwiraku andalan Tuban. Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan gelisah. Sudah berapa prajuritmu yang hilang?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Ada dua ratus sembilan puluh tidak termasuk perwira Mahmud Barjah.” “Bagaimana bisa maka kau sampai kehilangan orang sebanyak itu? Dan mengapa kau sendiri tidak pernah persembahkan?” “Ampun, Gusti, patik persembahkan jumlah yang hilang tersebut kepada Gusti Patih berdasarkan titah.” “Apakah kau sudah bikin pasukan kaki Tuban jadi tape yang bisa dikeping-keping dan ditelan? Dua ratus sembilan puluh tanpa bekas tanpa dibangkai. Hadapkan sini Kakang Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau, Rangkum, dan segera.” Setelah menyembah Rangkum tergopoh-gopoh mengundurkan diri. Penghadapan itu dikuasai oleh suasana ketegangan luarbiasa. Jangankan senyum, keramahan sedikit pun tak nampak pada airmuka Sang Adipati. Bibir yang biasa tersenyum itu keunguan karena murka. Keriput pada wajahnya nampak semakin dalam. Mendadak Sang Adipati menengok pada Syahbandar Tuban: “Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Al- Masawa,” katanya dalam Melayu. “Dalam bulan ini hanya ada tiga kapal Atas Angin masuk. Sebelum Tuan menjabat, jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot. Sekarang tinggal tiga.” “Ampun, Gusti Adipati Tuban, Allah s.w.t. telah membikin lautan dan daratan untuk manusia. Manusia membikin kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi daratan. Itulah usaha manusia, Gusti. Tetapi semua ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak, singgah atau tidak. Dan hukum itu hanya berasal dan milik Tuhan.” Sang Adipati mengisyaratkan biti-biti perwara di bawahnya, dan wanita-wanita itu mempersembahkan nampan sirih. Dengan cepat Sang Adipati mengambil dan bercepat-cepat pula mengunyahnya. Seorang biti lain dengan gopoh-gapah mempersembahkan tempolong ludah, dan lelaki itu meludah ke dalamnya. Tak pernah orang melihat penguasa Tuban itu makan sirih secepat itu, tanpa menikmatinya. “Tuhanlah yang telah menentukan bandar-besar dan makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana. Lenyap dalam kemerosotan. Allahlah yang membagi-bagi rejeki di antara ummatNya!” Sekali lagi Sang Adipati meludah cepat-cepat. “Sebentar satu bandar dimakmurkan-Nya, sebentar pula dilupakan-Nya. Sama sekali bukanlah pekerjaan seorang Syahbandar untuk memanggil kapal-kapal itu, Gusti.” “Sampai di mana usahamu untuk mengembalikan semarak bandar Tuban?” “Ampun, Gusti, kejayaan juga berpindah-pindah karena bandarnya. Kerajaan jatuh dan jaya karena bandarnya. Itu sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya, hanya bisa memohon pada Tuhan. Kapal bisa berpindahpindah, Gusti, tetapi bandar tidak. Tak ada kekuasaan di bawah kolong langit dapat memerintah: hei, kau, kapalkapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya Nabi Musa a.s. dapat membuka jalan laut hanya dengan tongkatnya dan menyelamatkan ummat-Nya.” “Bukankah yang kami tanyakan sampai di mana usahamu? Dahulu orang memerlukan datang ke Tuban untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan susut. Tak ada sebuah pun kapal Atas Angin berlabuh.” “Segala usaha telah patik tempuh, Gusti, akhirnya Tuhan jua yang menentukan. Hamba tak mampu memaksa kapal-kapal berlayar dari Maluku ke Malaka singgah di Tuban. Bahkan kapal-kapal dagang Tuban sendiri mulai dilabuhkan di bandar-bandar lain: Jepara, Banten, Pasai. Tinggal benderanya saja yang masih Tuban.” “Diam!” bentak Sang Adipati. Wiranggaleng yang duduk sejajar dengan para kepala pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya tentang pasukan laut Tuban, belum mengerti sampai di mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang harus dapat mengukuhkan sikap pasukan laut pada Sang Adipati. Justru pada saat itu muncul Sang Patih. Mukanya pucat dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring, tidak segaris dengan batang hidungnya. Kerisnya agak terdalam terselitkan. Dan matanya merah seperti tidak tidur selama seminggu atau seperti habis menangis sepanjang hari. Ia jatuhkan diri di hadapan Sang Adipati, bersimpuh dan menyembah, kemudian dengan tak acuh menempati tempatnya di depan para kepala pasukan dan menunduk dalam. “Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada menghadap pada waktunya? Adakah kau sudah bosan pada adipatimu maka demikian tingkahmu?” Sang Patih menyembah tiga kali berturut-turut tetapi tak berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula. ‘Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan matamu merah. Kau masih kuat membawa badan sendiri. Apakah kurang kami terhadapmu?” Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia tetap tak bersembah barang sepatah. Sang Adipati mengernyitkan kening dan membentak: “Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk dipersembahkan lagi?” Pelahan Sang Patih mengangkat kepala dan menyembah lagi, tetapi kepala itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak beberapa kali, namun suara tak keluar dari mulurnya. “Adakah kami yang tuli, ataukah kau yang bisu?” “Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” kata Sang Patih parau. “Apalah lagi yang mesti patik persembahkan? Dalam satu minggu belakangan ini semua telah patik persembahkan dan Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik tiada berkenan mendengarkan bahkan patik mendapat murka Gusti Adipati.” “Berapa kalikah harus kami katakan, balatentara Tuban tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal kecuali perang? Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang. Dan kau Kang Patih, telah kirimkan dua ratus sembilan puluh prajurit untuk hilang tanpa bekas tanpa bangkai. Bukankah demikian?” “Patik, Gusti Adipati.” “Dan kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih banyak, lebih banyak dan lebih banyak, sampai balatentara Tuban akan terkuras habis.” Sang Patih tidak bersembah. “Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu.” “Ampun, Gusti Adipati, dua ratus sembilan puluh adalah kehilangan besar. Tetapi pasukan kaki Tuban belumlah bergerak dalam bentuknya yang semestinya. Kalau dua ratus sembilan puluh prajurit patik hilang, pasti bukan perang, Gusti. Yang demikian tidak mungkin terjadi. Ampunilah patik bila akan mempersembahkan sesuatu yang mendahului-Gusti Patih Tuban. Ialah bahwa hilangnya prajurit-prajurit patik besar kemungkinan adalah karena pengkhianatan.” Semua penghadap melihat ke arah Rangkum. Sementara sunyi-senyap. “Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian? Dan bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, kiranya benar persembahan Rangkum, kepala pasukan kaki. Mahmud Barjah, perwira peranakan Koja itu, telah bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh telah mendapat tambahan kekuatan sedang Tuban kehilangan.” “Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi dalam tubuh balatentara Tuban. Coba, siapakah yang pernah dengar adalah prajurit Tuban berkhianat?” Kesenyapan menyusul lagi. “Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan pilihan atas mereka yang harus berangkat itu?” “Demikianlah adanya, Gusti.” “Dan tanpa sepengetahuan kami?” “Demikianlah adanya, Gusti.” “Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan gustimu?” “Sama sekali tidak keliru, Gusti. Maka jatuhkanlah hukuman pada patik karena kekeliruan ini.” Sang Adipati nampak menghela nafas panjang. Airmukanya mulai nampak terang seperti biasa. Ditariknya tangan kanannya dari atas paha kanan dan dipergunakan untuk menyangga kepala. Ia titahkan Sang Patih untuk meneruskan persembahannya. “Kalau permohonan patik untuk mengerahkan balatentara agar dapat menumpas perusuh secepatcepatnya, Gusti, Gusti timbang sebagai kekeliruan juga, memang hanya hukuman yang patik tunggu, dan tiada sesuatu yang patut patik persembahkan lagi,” ia mengangkat sembah dan berdiam diri. “Kami mengerti kesulitanmu, Kakang Patih, dan itulah tanggungjawab sebagai Patih Tuban. Kami tahu kesetiaanmu. Tetapi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan titah… “, ia tak meneruskan kata-ka-tanya. “Baik, demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau mengeluarkan lima ratus prajurit, dapat kau ambil dari berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut, Wiranggaleng, ayoh, persembahkan sesuatu tentang pasukanmu.” Wiranggaleng mengangkat sembah. Selama itu ia telah susun kata-katanya. Begitu mendapat kesempatan, meluncur mereka seperti air pada saluran sawah. “Ampun, Gusti, sesungguhnya belum lagi lama patik memegang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari, dengan lampu-lampu dipadamkan. Tetapi kilat di musim hujan tak urung dapat menerangi dunia. Penjaga menara tidak melihat, dan kapal-kapal pengawal pantai nampaknya juga segan mempersembahkan. Boleh jadi takut menghadapi Peranggi. Ampun, Gusti, pada waktu itu patik belum memegang pasukan laut. Adanya kapal-kapal yang mencurigakan itu, Gusti Adipati sesembahan patik, pertanda akan adanya bahaya dari laut. Dan bahaya dari laut tidak kalah buruknya daripada darat. Jatuhnya Malaka, Gusti, jadi peringatan….” “Kau betul, Wira, maka kami menolak pengerahan besar-besaran balatentara. Tapi kau pun harus ingat juga, penyerangan laut Adipati Unus Jepara, dengan dua puluh ribu orang atas Malaka, tidak berhasil. Serangan laut selamanya tidak mesti berhasil. Walau demikian kalau pertahanan dalam kosong, seperti Malaka dulu, jatuh juga yang diserang. Bukankah begitu, Tuan Syahbandar Tuban?” Semua orang menengok ke arah Syahbandar. Orang jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok. Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai mencari kata. Dan waktu kata-katanya keluar, terdengar agak ragu-ragu: “Ampun, Gusti, tentang Malaka itu sahaya kurang periksa, malahan tidak pernah mendengarnya.” “Setiap Syahbandar mengetahui segala sesuatu tentang tepian laut. Aneh bahwa Syahbandarku, Syahbandar Tuban bisa tidak mengetahui barang sesuatu tentang Malaka’ Orang masih juga melihat pada Syahbandar yang jarijarinya bergerak-gerak, tapi tak ada kata keluar lagi dari mulutnya. Sang Adipati tersenyum dan meneruskan: “Dengarkan semua penghadap: Tuban bukan Malaka. Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta bukan Sultan Mahmud Syah. Malaka jatuh karena usaha manusia untuk memiliki bandar itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. Gajahgajahnya mati termakan racun. Habislah andal-andal Malaka. Maka itu, ingat-ingat Kala Cuwil, akan gajahgajahmu.” “Peringatan Gusti Adipati jadilah ajimat untuk patik. Tak seekor pun gajah Tuban dapat didekati orang, siang dan malam, Gusti, kecuali oleh pawang masing-masing, sejak jatuhnya Malaka.” Wiranggaleng gelisah di tempatnya karena persembahannya belum lagi selesai. “Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih?” Patih Tuban itu menyembah tiga kali tapi tak berkata sesuatupun. Sikapnya itu membikin gelisah para penghadap. Dan Wiranggaleng sendiri merasa jengkel karenanya. Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan kebijaksanaannya? Ia pun merasa tidak puas terhadap Sang Adipati yang terus-menerus memojokkan Sang Patih. Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain katakata, sedang Syahbandar tenang-tenang menempa rencananya? Baik Sang Patih mau pun Sang Adipati tahu tentang rencananya itu. Dan mengapa tak juga ada sesuatu tindakan diambil terhadapnya? Dari kenyataan itu ia menarik kesimpulan Sang Adipati masih tetap melindunginya. Ia membenarkan perbuatan Sang Patih. Tetapi pasukan yang dikirimkannya tumpas. Pasukan yang lebih besar harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran. Prajurit sejumlah lima ratus orang yang diperkenankan memang terlalu kecil. Tapi mengapa Sang Patih tidak mempersembahkan pendapatnya? Malah semestinya meyakinkan Sang Adipati, bahwa lima ratus orang itu tidak mempunyai sesuatu arti dalam menghadapi Mahmud Barjah dan pasukannya? Mengapa dia hanya menyembah dan membisu? “Ketahuilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan harapkan balatentara kami dititahkan bergerak. Jangan coba-coba lagi persembahkan itu. Kami ampuni kau tentang hilangnya dua ratus sembilan puluh prajurit kaki. Pergunakan lima ratus! Wiranggaleng, bagaimana cetbangmu?” “Dalam keadaan siap dan menunggu titah, Gusti?” “Jangan ada cetbang dipergunakan dalam pertempuran darat, karena itulah aturan Majapahit. Tarik semua yang di darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.” Wiranggeleng hampir saja menyangkal titah yang dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. Dan semakin terheran-heran ia mengapa Sang Adipati tak juga ingin mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan itu. “Bila cetbang sudah dimulai dipergunakan di darat, kerusakan akan datang lebih cepat dari kebaikannya.” “Patik laksanakan titah Gusti.” “Kakang Patih, ada kau dengarkan kami?” Kembali Sang Patih hanya menyembah tapi tak berkata sesuatu pun. “Jadi kau tidak membenarkan kami?” suara Sang Adipati meledak dengan suara parau. Semua orang di penghadapan menekur dalam. Dan semua perhatian terpusat pada ledakan-ledakan selanjutnya. Ketegangan membenam mereka semua dalam kewaspadaan yang makin lama makin meruncing. Sunyi. Dan di sela-sela kewaspadaan itu juga masih terdengar oleh mereka ledakan lain, dari kejauhan, sayup-sayup, dengan gemanya yang berguling-guling seperti guruh yang sedang malas. Beberapa bentar kemudian kewaspadaan itu buyar. Satu ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang pohon beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh gemerasak ke tanah. Sang Adipati berdiri dan meninjau ke arah alun-alun, pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk untuk menoleh ke belakang, tapi tak dibenarkan oleh ketentuan. Tak ada seorang pun bicara. Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan untuk ke dua kalinya. Dan beberapa bentar kemudian gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah. “Meriam!” seru Syahbandar Tuban. “Masyaallah, meriam, Gusti, meriam!” “Meriam!” gumam Sang Adipati. “Meriam Peranggi!” seru Syahbandar. “Diam!” bentak Wiranggaleng pada Tholib Sungkar Az- Zubaid. “Tak ada canang dari menara pelabuhan.” “Betul, tidak dari pelabuhan, Gusti,” baru Sang Patih bersembah, “meriam Peranggi. Perusuh sudah punya meriam Peranggi, Gusti. Laut dan darat mengancam.” “Betul. Laut dan darat mengancam,” Sang Adipati mengulangi. “Tuban bukan Malaka. Tuban tetap jaya!” ia berteriak: “Tuban tetap jaya. Gusti Adipati tetap jaya!” semua penghadap bersorak menyambut. Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah dan pohon beringin kurung yang somplak. Sebutir lagi jatuh antara gapura roboh dengan pendopo. Para penghadap mulai gelisah di tempat duduknya. Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung mereka masing-masing. Dan orang mulai membayangbayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh para penghadap jadi penyok kejatuhan. “Persembahkan sesuatu, Kakang Patih,” kata Sang Adipati dengan masih tetap berdiri dan matanya tertuju ke luar pendopo. Sang Patih mengulangi sembahnya yang tiga kali kemudian membisu lagi. “Kau Wiranggaleng, pelantang dan pelancang, persembahkan sesuatu.” “Menurut dugaan patik, Gusti, para perusuh sudah sangat dekat dengan kota Tuban. Perkenankanlah, ya Gusti sesembahan, perkenankan patik memohon agar Gusti menitahkan balatentara Tuban bergerak… tiada kan lama, dan perusuh itu…” “Diam, kau, pelancang!” Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang Adipati pada peluru yang mungkin akan segera jatuh lagi. Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. Dan dalam kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh para penghadap sudah gelisah, tapi kepala mereka tetap pada lehernya, tak ada yang bergerak. Kemudian terdengar derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati gapura balok yang roboh, melalui pengawal-pengawal pendopo. Penunggangnya berpakaian serba putih, dan bertopi putih yang kekecilan di atas kepalanya yang tak berambut. Pada tangannya ia membawa tombak teramang. Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang Adipati yang melihat penunggang itu mendekati. Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang kuda dari pasukan Tuban yang memburunya. “Terima ini!” pekik penunggang kuda serba putih itu dan melemparkan tombaknya ke arah pendopo. Tombak itu melayang dan berhenti menancap pada salah sebuah tiang pendopo. Prajurit-prajurit pengawal mulai pada berhamburan memburu penunggang kuda itu tak menggubris mereka yang tercecer jauh di belakangnya. Dengan kudanya ia melompati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun, membelok ke sebelah timur dan hilang dari pemandangan. Rombongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, kemudian pun hilang ke arah timur. Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan, bahwa ada serangan meriam dari arah selatan. Sebelum ia menyembah untuk mengundurkan diri masuk ke dalam kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang bersembah: “Seorang perusuh, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, dengan berkuda telah memasuki Tuban Kota, memasuki kadipaten dan melemparkan tombak ke pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang memburunya. Dia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini,” ia menyembah dan mengundurkan diri. “Kakang Patih! Bawa prajurit yang lima ratus itu. Kau sendiri yang kami angkat jadi senapati. Dengarkan semua: hari ini Kakang Patih kami angkat jadi Senapati Tuban. Selamatlah kau, sejahteralah kalian. Kepala-kepala pasukan, ikuti senapatimu. Pergi!” “Ampun, Gusti Adipati…,” Sang Patih mencoba menyela. Penguasa Tuban itu tak dapat lagi mengendalikan amarah yang telah dicobanya ditindasnya selama ini. Dalam keadaan masih berdiri dan siap untuk menyemburkannya ia berkomat-kamit. Seorang prajurit pengawal datang menghadap, bersimpuh dan menyembah, kemudian dengan terburu-buru mempersembahkan: “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan, telah patik cabut tombak perusuh dari tiang pendopo. Padanya disertakan lontar ini, Gusti,” dan dipersembahkannya surat tertulis dalam basa dan huruf Jawa. “Baca, biar semua dengar,” titah Sang Adipati. Prajurit itu membawa lontar itu di depan matanya, dan mulai membacanya dengan suara lantang sehingga terdengar ke seluruh pendopo: “Adipati Tuban kafir-kufur Rangga Demang Tumenggung Wilwatikta, “Telah kau dengar sendiri gelegar meriamku yang menggetarkan Tuban Kota dan hatimu,” “Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau, itulah suara Sunan Rajeg, aku, yang menguasai negeri Tuban selatan.” “Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap jengkal tanah dari tangan dan hati munafik, karena tak akan ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.” “Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan musnah di medan perang.” “Sunan Rajeg tak membutuhkan jawaban dari mulut atau hati si kafir-kufur tanpa harga.” Prajurit itu menyembah dan mempersembahkan lontarlontar yang habis dibacanya. Sang Adipati menentang lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. Dan prajurit itu pun mengundurkan diri tanpa mengambilnya. “Berangkat kau, Senapati Tuban, dengan restu kami. Dengan jumlah yang telah kami tentukan untukmu.” Melihat Sang Patih masih juga akan mempersembahkan keberatannya Sang Adipati menyambar tempolong kuningan tempat ludah sirih dari nampan yang dibayang oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemparkannya dan melayang mengenai muka Sang Patih. Tanpa melihat pada siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan pendopo dan hilang dari pemandangan. Semua penghadap menurunkan sembah, kemudian bubar meninggalkan kepala pasukan yang membantunya membersihkan ludah sirih dari muka, dada dan pakaiannya. Balatentara Tuban mulai bergerak. 0o-dw-o0 18. Dan Pertempuran Meletus Sunan Rajeg tak dapat menahan kesabarannya setelah menyaksikan sendiri betapa dua pucuk meriam itu ternyata dapat dipergunakan dengan baik. Ia melihat bagaimana meriam itu yang ditujukan ke arah bukit itu menyemburkan peluru dengan iringan halilintar. Peluru-peluru menyeberangi langit di atas padang rumput, kemudian di kejauhan nampak suara gerak pada kehijauan hutan. Dengan semangat tinggi ia hadiahkan satu regu dari prajuritnya untuk melayani meriam, dan satu regu khusus untuk menjaga keselamatan senjata ampuh dan para pelayannya. Ia pun sudah saksikan sendiri latihan perang secara Peranggi, yang diajarkannya oleh Manan dan Rois, dua orang mualaf Portugis itu. Dan ia berbesar hati dan yakin, kemenangan pasti akan jatuh ke tangannya. Panglima Rajeg, Mahmud Barjah, belum dapat menghargai cara perang Peranggi, bahkan melihat latihanlatihan itu pun ia segan. Dua ratus orang yang berada di bawah kekuasaannya tak diperkenankannya ikut menyertai. Ia membikin latihan-latihan sendiri, Sunan Rajeg tak mampu mengendalikannya. Akhirnya ia tidak memaksanya. Manan dan Rois sudah berusaha keras menyabarkan Sunan Rajeg: balatentara Rajeg belum cukup masak untuk dipergunakan.Dan Sunan Rajeg sudah melihat sendiri bagaimana balatentara Tuban dan kemampuannya, memastikan, tentaranya jauh lebih unggul daripada Tuban. “Mereka ini belum pernah diuji oleh perang, Kanjeng Sunan,” kata Esteban. “Lain halnya dengan yang langsung dipimpin oleh panglima Rajeg.” Dengan keyakinannya Sunan Rajeg tak dapat diajak bicara lagi. Esteban memperingatkan, dalam setiap orang, kesabaran diperlukan. Perang bukanlah perkelahian. Perang adalah untuk memenangkan tujuan. Tetapi Sunan Rajeg membantahnya, sekaranglah waktunya yang setepattepatnya untuk memukul Tuban: Ia jatuhkan perintah untuk segera menyerang. Mahmud Barjah, yang mendapat perintah, dengan segala dalih juga mencoba menunda pelaksanaan perintah. Ia melihat persiapan untuk itu belum lagi memenuhi syarat. Ia tidak membantah, hanya menunda-nundanya tanpa bicara. Sunan Rajeg melihat tentaranya belum juga bergerak tidak lagi bertanya pada Panglimanya, juga tidak pada kepala pasukan Melayu – pelarian dari Malaka itu. Ia turun sendiri dari rumah joglonya dan mengadakan pemeriksaan. “Perintah harus dijalankan,” perintahnya. Bersama Manan dan Rois dan Jabal, kepala pasukan Melayu, dan Panglima Rajeg, Sunan Rajeg ikut serta menyaksikan rencana penyerangan. Mahmud Barjah menggariskan, penyerangan akan dilakukan seperti biasa dilakukan di Jawa dan di manamana: kesatuan-kesatuan bersorak-sorai menyerbu ke perkubuan musuh atau menyerbu ke kota bila tidak dilindungi oleh pasukan. Bila musuh bersedia melawan dan punya persiapan di luar kota, kesatuan-kesatuan harus juga berhenti di luar kota, bersorak-sorai menantang, memanaskan hati musuh agar keluar ke medan pertempuran atas paksaan sorak-sorai. Maka akan terjadi pertarungan penentuan pertama. Sementara itu meriammeriam harus menembaki barisan belakang musuh sewaktu mereka turun ke gelanggang. Manan dan Rois menyangkal cara yang dianggapnya kuno itu. Itu bukan perang cara Peranggi, katanya, itu hanya adu kekuatan. Tak ada yang tahu apakah yang dikatakannya itu benar atau khayalannya semata. Dengan adu kekuatan saja, katanya selanjutnya, Tuban mesti menang, menang jumlah, menang kekuatan dan menang pengalaman. Tuban punya balatantara yang kuat, belum lagi pagardesa, belum lagi kawula biasa, sedang Kiai Benggala Sunan Rajeg hanya punya pagardesa dan sedikit prajurit. Latihan-latihan belum dapat mengubah seseorang jadi prajurit. Seorang yang dapat melemparkan tombak dengan baik, dapat memanah dengan baik, dan dapat berbaris cara Peranggi dengan baik, belum tentu bisa jadi prajurit yang baik. Sunan Rajeg tak dapat mendengarkan alasan itu. Mahmud Barjah diam saja mendengarkan keterangan Manan alias Esteban. Rangga Iskak merasa tak patut menarik kembali perintahnya. “Kalau begitu,” kata Esteban alias Manan. “Seluruh tentara Kanjeng Sunan harus dipecah-pecah dalam beberapa laskar dan tidak diajukan sekaligus, juga tidak semua harus menuju ke satu medan perang. Satu laskar dengan pimpinan yang baik, dengan prajurit yang baik dan dengan cara Peranggi, dengan bantuan meriam mungkin bisa menghancurkan seluruh kekuatan Tuban.” “Bukan dengan bantuan meriam,” bantah Sunan Rajeg, “meriam yang harus dibantu oleh semuanya.” “Kalau pasukan meriam itu terdiri atas kekuatan dua ratus pucuk mungkin bisa terjadi,” kata Manan. Mahmud Barjah yang tidak mempunyai sesuatu pengalaman dengan meriam masih tetap berdiam diri: Dan dalam hati ia mengherani cara berpikir mualaf itu tentang perang. Bahkan dalam hati-kecilnya ia latihan-latihan cara Peranggi itu dapat membikin para prajurit jadi jari-jari pada lengan seorang panglima. Ia sangat setuju. Tetapi dalam menggariskan soal perang ia tidak setuju, semua harus tunduk padanya sebagai panglima dengan pasukan inti. Semua harus menerima garisnya. Ia membantah Manan, ia pun membantah Sunan Rajeg. Pertikaian mulai terjadi. Sunan Rajeg hampir-hampir tak dapat mengendalikan kesabarannya. Melepaskan diri ia pun tidak bisa, karena dirinya sendiri yang memulai. Selama ini perintahnya dan saran-sarannya selalu didengarkan oleh penguasa tertinggi Tuban. Seorang mualaf dan seorang perwira pengawal saja sekarang berani membantahnya. Ia mengalami krisis emosi. Dan tak ada seorang pun di antara dua orang mualaf dan panglimanya mengetahui sesuatu tentang krisis emosi. Mereka hanya melihat Sunan Rajeg terengah-engah, terpaksa dipapah ke tempat tidurnya. Sebelum Khaidar selesai mengurapinya dengan jahe pada seluruh tubuhnya, ia masih sempat berpesan agar penyerangan segera dilakukan. Sekarang Manan dan Rois berhadap-hadapan dengan panglima Mahmud Barjah. Panglima Rajeg terus-menerus terdesak dalam pertikaian pendapat tentang perang. Dua orang Peranggi itu tidak dapat ditundukkannya. Mereka berdua hanya bicara atas pengalaman perangnya di laut dan darat, di Eropa, di Asia dan Afrika. Mahmud Barjah hanya mengenal cara perang di Jawa. Akhirnya ia mengalah dan itu berarti menerima pemecahan balatentara jadi laskarlaskar. “Kalian tahu, pasukanku akan kupimpin sendiri. Dan siapa yang memimpin laskar-laskar itu?” “Tuan Panglima yang menentukan, bukan kami. Kami hanya mengurus soal meriam dan pasukan pengawalnya.” “Apakah meriam juga mendengarkan perintahku?” “Tentu saja, Tuan Panglima, hanya garis perang harus diselesaikan dulu.” Pertikaian dengan demikian mereda. Kesimpulannya : dalam penyerangan pertama tidak dipergunakan centara perang Jawa. Tuban harus dikejuti sedemikian rupa sehingga tak punya kesempatan untuk mengerahkan balatentara, apalagi pagardesa, harus dikirimkan surat tantangan yang dapat memuntahkan kemarahan, sehingga musuh dengan terburu-buru akan langsung turun ke medan pertempuran tanpa cukup persiapan. “Tak pernah terjadi surat tantangan dikirimkan,” bantah Mahmud Barjah, “perang adalah perang.” Dan untuk ke sekian kalinya Panglima Rajeg terdesak dalam pertikaian tentang makna perang. Jauh tengah malam semua pikiran Manan dan Rois tak dapat lagi dihindari oleh Panglima. Dan dengan demikian terjadilah apa yang harus terjadi. Orang-orang berhenti bekerja menyingkirkan gapura yang roboh untuk mengangkat sembah pada para pembesar yang sedang meninggalkan kadipaten. Rombongan penghadap itu berjalan diam-diam dan lambat-lambat penuh pikiran. Mereka berjalan ke tengahtengah alun-alun untuk dapat meneruskan perundingan tanpa didengar oleh yang dianggap tidak berhak. Mereka mendapatkan sebutir peluru besi sebesar tinju menggeletak tak berdaya agak jauh dari cabang-cabang yang somplak, melotot di atas tanah. Sang Patih, sekarang Senapati Tuban, yang berjalan paling depan, berhenti, mengambil peluru dan mengamatinya sebentar, kemudian menyerahkannya pada yang lain. Berjalan pada buntut rombongan adalah Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Langsung di belakang Sang Patih adalah kepala-kepala pasukan, termasuk Wiranggaleng. Selama berjalan kepala pasukan laut itu mencoba memahami mengapa Sang Patih kehilangan semua kemauannya dan ragu-ragu mempertahankan pendiriannya sendiri. Sekarang ia hanya mendapat lima ratus orang prajurit dan musuh punya meriam. “Masih ingat?” tanya Sang Patih padanya waktu mendapat giliran memegang peluru itu. Wiranggaleng menyerahkan peluru itu pada Kala Cuwil dan menjawab: “Tidak, Gusti,” dan ia lihat kepucatan sudah agak berkurang pada wajah Senapati Tuban itu. “Sama sekali tidak menakutkan sebagaimana didongengkan orang,” kata Kala Cuwil memberikan pendapatnya. “Tapi bagaimana mereka bisa sudah memiliki meriam?” tanyanya kemudian sambil menyerahkan peluru itu pada yang lain. “Jangan terpengaruh oleh sebutir besi,” Patih Tuban merangkap Senapati mulai membuka pidatonya di bawah pohon beringin kurung. Kemudian kata-katanya keluar sebagai air bah dari mulutnya yang tua, mendesis melalui giginya yang sudah banyak ompong: “Keadaan sungguh sangat sulit. Sang Adipati tak berkenan berkisar sedikit pun dari pendiriannya. Ini adalah masa tergenting dalam hidup kita. Juga Sang Adipati maklum. Dunia kita sudah mulai berubah. Kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya perubahan ini. Sang Adipati juga maklum. Maka timbul banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian. Sang Adipati menghendaki keadaan tetap seperti yang lama sementara menghadapi yang baru,” ia melangkah pelahan mengitari beringin kurung. “Sang Adipati menghendaki dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak. Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan tambahan dari yang baru, dan itu yang Gusti Adipati tidak bisa terima. Kita masih dapat mengingat betapa Tuban mengirimkan gugusan pasukan laut ke Jepara dengan waktu yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas Malaka gagal, hancur, kalah. Kita semua mendapatkan malu. Apa pun yang telah diperbuat oleh Demak terhadap Tuban, Adipati Unus Jepara benar. Sang Adipati melepaskan gugusan Tuban untuk memberikan pukulan berlipat atas Demak, tetapi Tuban sendiri yang rugi. Malaka tidak jatuh, Peranggi tetap berdiri, dan bandar Tuban seperti bandarbandar lain di seluruh Jawa.” Dan Wiranggaleng tak bisa mengerti mengapa Sang Patih masih juga berpidato. Tak nampak tanda-tanda ia hendak bertindak menghalau perusuh. Dengan maksud menghentikan pidatonya ia menyambar sengit: “Lima ratus prajurit laut Tuban telah diberangkatkan ke Malaka, Gusti Patih, dengan lima buah kapal dan cetbang-cetbang Trantang. Gugusan Tuban telah siap bertempur”. “Kau betul, Wira, bahkan kau sendiri ikut serta. Apa sudah kau perbuat di Malaka? Tiada sesuatu, kecuali melihat apa yang telah terjadi dari kejauhan. Lima hari Tuban terlambat berangkat, untuk membuktikan keraguraguan Sang Adipati dalam menghadapi yang baru ini.” Wiranggaleng semakin tak mengerti melihat Sang Patih masih juga berpidato. Ia menelan ludah untuk menyabarkan diri. “Malaka hampir jatuh seluruhnya, baik dari darat mau pun laut. Armada Peranggi datang. Kalau bukan karena keterlambatan Tuban, Malaka telah beberapa hari jatuh. Dan yakinlah, Peranggi takkan mampu tandingi tentara gabungan sebanyak itu dan di daratan pula. Penyerangan tidak pernah selesai. Tentara gabungan Aceh-Jepara tertinggal di Malaka. Tuban pulang membawa malu dan sesal. Tapi Gusti Adipati berhasil menyelamatkan lima kapal dan lima ratus prajurit. Malaka tetap dikuasai Peranggi. Semua perhitungan Adipati meleset, sekarang kehilangan segala-galanya. Bahkan putranya sendiri, tak mampu menderitakan malu, bersumpah takkan menginjakkan kaki di bumi Tuban.” “Ampun, Gusti Patih dan Senapati Tuban,” Wiranggaleng menyela. “Kaum perusuh sudah dekat, Gusti.” Tetapi Sang Patih tak peduli dan meneruskan: “Ternyata baik di Jepara maupun di Demak Raden Kusnan tidak pernah tertemukan lagi, menghilang entah ke mana. Sang Adipati masih juga ragu-ragu, tetap hendak mengikuti yang lama sambil mendapatkan keuntungan dari yang baru. “Lihat itu!” ia menuding pada Syahbandar Tuban yang berdiri menjauh-jauh di buntut rombongan. “Semua orang tahu siapa sesungguhnya dia: begundal Peranggi.” “Tidak benar, Gusti Patih dan Senapati Tuban,” bantah Tholib Sungkar Az-Zubaid, “tak pernah Gusti Adipati mendakwa patik seperti itu. Itu hanya fitnah dari seorang yang enggan berperang menghalau perusuh negeri. Maka patiklah yang disalahkan.” “Tiada satria enggan berperang, Sayid. Tuan menghendaki perang di dalam negeri agar Peranggi masuk dengan berlenggang. Bukan? Mana dua orang Peranggi yang kami minta itu?” “Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekati rombongan. Ia gantungkan tongkatnya pada lengan dan angkat bicara dengan gerak-gerik tangan ramai, mata bersinar-sinar dan senyum terbuka melecehkan: “Ah, Gusti Patih dan Senapati Tuban, tak pernah leluhur patik membenarkan fitnah, apalagi karena hukuman seberat-beratnya dijatuhkan pada pemfitnah. Demi Allah, bukankah telah patik persembahkan mereka telah lari meninggalkan Tuban? Mereka bukan Pribumi yang takluk di bawah Sang Adipati. Mereka telah larikan badan mereka sendiri, bukan badan Pribumi kawula Tuban.” Wiranggaleng meremas-remas tangan. Ia merasa telah kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bertindak. Dan ia tak dapat bertindak. “Bagus,” Sang Patih meneruskan. “Perlukah diingatkan padamu, hai, Syahbandar Tuban, tidak lain dari engkau sendiri yang melarikan mereka ke kapal Peranggi?” “Gusti Patih Senapati Tuban,” Wiranggaleng menyela. “Perlukah disebutkan saksi-saksi? Hei, Syahbandar Tuban, sekarang kau masih dilindungi oleh Gusti Adipati Tuban. Tetapi akan tiba masanya….” “Mereka sedang mendesak Tuban, Gusti Senapati,” sekali lagi Wiranggaleng mencoba memutuskan perbantahan dan mengembalikan Sang Patih pada tugasnya sebagai Senapati. Tetapi Sang Patih lebih sibuk membela kebijaksanaannya sendiri: “Yang penting sekarang ini sama sekali bukan perang. Dengarkan yang baik, Wira, biar kau mengerti. Tapi menyadarkan Gusti Adipati dari kekeliruannya. Tanpa itu perang, bagaimana pun besar dan hebatnya, akan sia-sia. Ayoh, Wira, kau sanggup menyedarkan?” Kepala-kepala pasukan lain nampak juga telah mulai kehilangan kesabaran. Mereka mengawasi Wiranggaleng yang sedang bergulat dalam dirinya untuk menyedarkan Sang Patih Senapati dari keasyikan membela kebijaksanaan sendiri. “Perusuh sedang mengancam, Gusti Senapati,” sekali lagi kepala pasukan laut itu memperingatkan. “Ancaman itu tidak berasal dari kaum perusuh. Dengarkan kalian semua kepala pasukan. Semua kerusuhan berasal dari kekeliruan Gusti Adipati sendiri. Selama Sang Adipati tak juga menyedari dan berubah pendirian, perusuh-perusuh lain akan berdatangan.” “Sekarang ini perusuh sudah menyerang, Gusti.” “Wira!” bentak Sang Patih. “Pernahkah kau merasai penghinaan sebagai karunia pengabdian yang tulus? Apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak dihargai dan dihina?” “Apakah Gusti Patih lupa telah dititahkan jadi Senapati?” Sang Patih menatap Wiranggaleng tenang-tenang, mencibir, kemudian mengalihkan tatanannya pada para kepala pasukan seorang demi seorang. Dan ia lihat mereka dengan pandangnya membenarkan kepala pasukan laut itu. Juara gulat itu telah bertekad untuk memperingatkan Senapati akan kewajibannya. “Kau, Wira, anak baru kemarin!” “Adakah Gusti Patih Senapati ragu-ragu, takut, ataukah sedang membangkang?” Rombongan penghadap itu mulai bergerak melingkungi Sang Patih Senapati untuk melindunginya dan menjauhkan Wiranggaleng daripadanya. Tapi yang dijauhkan mendesak terus untuk mendekat. “Dengarkan!” Sang Patih meneruskan dari tengahtengah lingkaran dan tak acuh terhadap keadaan. “Apakah yang harus diperbuat oleh seseorang yang lain yang menghinanya sebagai balas jasa dari semua pengabdiannya sementara membiarkan musuh berjingkrak di atas kepalanya?” “Musuh tidak berjingkrak di atas kepala kita, Gusti Senapati, dia sedang mendatangi hendak menerkam!” sambar Wiranggaleng yang menjadi galak. “Ah, priyayi baru dari desa! Siapa musuh itu? Kiai Benggala Sunan Rajeg atau Peranggi? Atau kedua-duanya? Bukankah tidak lain dari kau sendiri yang tahu tadi. Rangga Iskak telah melepaskan peluru Peranggi? Rangga Iskak adalah Peranggi, dan Peranggi adalah Peranggi. Dan itu Sayid Habibullah Almasawa adalah kumis-kumisnya. Mana dia si kumis-kumis Peranggi itu? Biar aku tunjukkan pada kalian semua.” “Percuma, Gusti. Yang datang bukan Peranggi, tapi Rangga Iskak. Dia datang dari selatan, bukan dari laut.” “Aduh, kau priyayi baru,” Patih itu tertawa menghinakan. “Apa artinya itu Ishak Indrajit tanpa Peranggi? Kalau dengan kekuatan kecil tentara Tuban bergerak ke selatan, perang akan berlangsung lama, lama sekali, dan Peranggi akan datang dari utara dengan penuh kekuatan. Itu semua orang tahu kecuali si bangau dan si trenggiling. Dan tidak lain dari kau sendiri yang tahu: Sayid keparat itu perencananya. Peranggi membutuhkan pangkalan di Jawa. kalau tidak Tuban, bandar lain jadilah. Selama kumis-kumis Peranggi ada di sini, Tubanlah yang jadi incaran!” Kepala-kepala pasukan tetap membisu, juga tetap melindungi mereka. “Gusti benar. Tak perlu semua itu diulang-ulang,” bantah Wiranggaleng. “Perintahkan saja apa yang kami harus perbuat sekarang ini.” “Dahulu ada seorang anak desa seperti kau, Galeng, Gajah Mada namanya. Tentu kau sudah tahu. Tapi biar Gajah Mada pun tak bakal tahu, bila Rangga Iskak terkutuk itu bisa menang atas Tuban, Peranggi takkan memasuki Tuban. Kalau Tuban dan Kiai Benggala Sunan Rajeg terus berkelahi, Peranggi masuk. Kalau Tuban menang, kita akan hadapi Peranggi dan sunan-sunan yang lain yang akan muncul, dan yang sekarang ini kita belum tahu.” Melihat Sang Patih mulai bermain teka-teki tidak menentu dan perintah tidak juga dijatuhkan, tahulah Wiranggaleng, Senapati Tuban memang tidak mempunyai niat untuk bertindak. Di samping Peranggi dan Sunan Rajeg, Senapati Tuban sendiri kini berdiri di hadapannya sebagai musuh Tuban. Ia kebaskan apitan, melompat menerjang lingkaran, mencabut keris dan menikam Sang Patih pada pinggangnya. Orang-orang itu terpekik. Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh keris dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu keris itu masih tetap dipegangi oleh kepala pasukan laut Wiranggaleng. “Ampuni patik, Gusti Patih Senapati Tuban!” pekik juara gulat itu dengan suara lantang. “Baik. Aku ampuni kau, Galeng. Berangkatlah ke medan perang. Kau Gajah Mada baru. Hanya kau dapat kerahkan seluruh balatentara. Aku ampuni kau! Tapi semua akan percuma selama raja-raja adalah seperti Gusti Adipati, gustiku.” Ia tak mengedipkan mata pada orang yang menikamnya. Tubuhnya mulai meliuk, jatuh ke tanah. “Aku ampuni, kau.” Sang Patih Senapati Tuban mati di tempat. Dengan keris berlumuran darah di tangan Wiranggaleng memindahkan pandang dari mayat itu dan mengangkat matanya menatap semua kepala pasukan seorang demi seorang. Mata itu membeliak siaga “Siapa tidak suka? Maju!” Orang-orang masih terkejut, terpaku pada tanah, tak bergerak. “Kalian saksikan, Wiranggaleng telah bunuh Gusti Patih Senapati Tuban. Katakan, kalian saksi pembunuhan ini.” Beberapa orang menyebut ragu-ragu: “Kami saksi, Wiranggaleng telah bunuh Sang Patih Senapati Tuban.” “Semua!” bentaknya sambil berkeliling memutari lingkaran. Mereka menyebut berbareng. Suaranya agak keras tetapi masih tetap ragu-ragu. “Siapa ragu-ragu? Dia menantang aku. Sebutkan sekali lagi, lebih keras, tanpa ragu-ragu.” Mereka menyebut lagi, dengan suara lebih keras, terang, mengumandang ke seluruh alun-alun. “Sebutkan: Tuban dan Gusti Adipati harus diselamatkan.” … Dengan suara menggelora kepala-kepala pasukan mengulangi. “Sekarang Wilanggaleng Senapati Tuban, Senapati kalian. Sebutkan lebih keras.” “Wiranggaleng Senapati kami!” “Wiranggaleng Senapatiku!” Wiranggaleng membetulkan. “Wiranggaleng Senapatiku!” Kepala-kepala pasukan mengulangi dan mengulang dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun sekitarnya. Keadaan tidak sunyi sehabis jatuhnya pelurupeluru Peranggi. Suara itu bergaung-gaung bolak-balik dari alun-alun ke pedalamannya, juga masuk ke bilik-bilik dalam kadipaten. “Kepala-kepala pasukan tinggal di sini,” perintahnya. “Perintahku harus dijalankan oleh semua dan akan segera kuberikan. Pergi kalian yang bukan kepala pasukan!” Yang lain-lain pun pergi dengan ragu-ragu, tak mengerti adalah harus menyembah pada Senapati baru atau tidak. “Tak perlu kalian sembah aku,” katanya memperingatkan. Mereka pergi bercepat-cepat. “Katakan sekarang juga, siapa tidak setuju Wiranggaleng Senapati Tuban?” Tak berjawab. “Tak ada yang tidak setuju?” “Kami menyetujui,” jawab Kala Cuwil, kepala pasukan gajah. “Ambil tanda-tanda Sang Patih, kenakan pada diriku, Senapati Tuban!” perintahnya. Dan keris berlumuran darah itu masih tetap di tangannya. Empat orang pemimpin pasukan itu mengerjakan perintahnya. Ia memperhatikan mereka menyembah pada mayat itu kemudian melolosi tanda-tanda jabatan dan pangkat: gelang, baja empat susun, kalung, keris, permata pada destar dan ikat pinggang. Semua itu dikenakan pada diri Senapati baru. “Kau, Braja, tarik semua pasukan pengawal dan pasang semua di balik semak-semak di sekitar bandar. Kalau ada kapal Peranggi datang, atau sebangsanya, jangan biarkan berkesempatan menembak: Tahan mereka. Berlaku bijaksana, jangan sampai terjadi bentrokan. Usahakan agar kapal-kapal mereka tetap berada dalam jarak tembak cetbang. Hindari setiap kemungkinan berkelahi dengan mereka. Bila tak dapat dihindarkan bakar layar-layarnya dengan tembakanmu. Hati-hati, karena semua kapal perang dan pasukan laut akan ditarik seluruhnya dari Tuban, ke suatu tempat yang akan kutunjuk. Lepaskan semua pakaian dan tanda keprajuritan. Pelabuhan kuserahkan padamu.” “Gusti!” “Panggil aku Senapatiku.” “Senapatiku,” ulangnya rikuh. “Jalankan perintah itu dan pergi kau.” “Adakah kadipaten tidak dikawal, Senapatiku?” “Kosongkan dari pengawalan.” Braja pergi untuk menjalankan perintah. “Dan kalian, kepala-kepala pasukan yang lain, ikuti aku. Siapkan seluruh pasukan kalian. Kita langsung turun ke medan pertempuran, kalian dan aku.” “Senapatiku!” mereka menyahut. “Tidak ada pembangkangan!” perintahnya. “Senapatiku, tidak ada pembangkangan.” “Berangkat!” “Senapatiku, berangkat!” Dengan langkah cepat mereka meninggalkan alun-alun. Meninggalkan mayat Sang Patih terkapar sendirian di bawah langit bermendung. Meninggalkan kota Tuban yang sunyi senyap. Sayup-sayup terdengar guruh, tetapi tak ada peluru meriam datang menyambar. Tuban Kota semakin senyap. Setelah melepaskan berturut-turut empat butir peluru pengaget, Manan dan Rois memerintahkan agar meriammeriam segera ditarik kembali jauh ke pedalaman. Regu meriam itu sedang mendorong-dorong gerobak obat dan peluru dan meriam melalui jalan desa yang lebar diapit oleh deretan pohon turi waktu terdengar derap kuda datang mendekati dari tikungan jalan. Regu pengawal meriam telah menyiapkan tombak. Manan memerintah semua berhenti dan bersiaga. Meriam, obat dan peluru di atas gerobak disingkirkan ke pinggir jalan, dan semua yang bersenjata telah bersiap untuk berkelahi. Dari tikungan jalan muncul Mahmud Barjah tanpa pengawal. Ia telah menarik cambuk perang, siap hendak menyobek siapa pun yang dilecutnya dengan talinya yang berduri-duri baja.”Kalian sudah lari sebelum berperang!” ejeknya pada Manan dan Rois. Ia meludah ke tanah menghinakan. “Tidak ada Peranggi lari sebelum berperang!” Jawab Manan. “Panglima belum lagi berpengalaman perang darat dengan meriam.” “Kalian sudah tinggalkan gelanggang!” “Meriam, Panglima, tidak bisa berperang sendiri atau bergabung dengan pasukan yang hanya berpedang dan bertombak. Musket yang harus melindungi. Kalau tidak, dalam sebentar waktu biar kena serbu pasukan kuda musuh. Dan kita tak punya pasukan kuda.” Pertikaian itu terjadi di selereng sebuah bukit kecil yang hanya beberapa meter tingginya. Mahmud Barjah masih tetap marah, namun cambuk perang itu diselitkannya kembali pada pinggangnya. Waktu Manan memerintahkan meneruskan perjalanan, Mahmud tak membantah. Laskar tombak tentara Sunan Rajeg berbaris dalam serba putih melewati mereka. Tombak yang terpanggul berdiri pada bahu mereka menggermang ke atas. Dari kejauhan nampak seperti ulat putih berbulu tombak sedang merangkaki jalanan. Regu pengawal meriam dan regu pelayannya sendiri diam-diam di kaki bukit kecil itu memperhatikan tiga orang itu bertikai dalam Melayu. Begitu laskar itu lewat Mahmud dari atas kudanya menetakkan kata-katanya: “Bukankah telah disetujui dan diputuskan, meriam-meriam harus menembaki musuh sebelum mereka turun ke gelanggang?” “Benar sekali, Panglima. Tetapi juga menurut keputusan tentara kita harus mesanggrah menunggu kedatangan musuh. Panglima sendiri ragu-ragu menentukan tempat mesanggrah dan memerintahkan langsung masuk ke Tuban. Kalau mengikuti Panglima, meriam-meriam kita bisa jadi takkan menembaki musuh, sebaliknya menembaki kita sendiri di tangan mereka.” “Aku Panglima.” “Benar sekali, tapi yang mengetahui tentang meriam adalah kami. Panglima bisa menghukum kami, tapi meriam-meriam ini takkan berguna.” Mahmud Barjah menuruni bukit kecil itu dan pergi tanpa meninggalkan kata. Ia berpacu ke jurusan dari mana arah datangnya laskar, mencari kesatuannya. Belum lagi ia sampai di tempat, dari sebuah pertigaan jalanan desa dilihatnya seorang petani penunggang kuda sedang menunggu di bawah sebatang pohon sengon di tengah-tengah pertigaan. Panglima Rajeg berpacu menghampirinya. Orang itu turun dari atas kudanya. Tombaknya ditancapkannya ke tanah dan menunggu kedatangan Mahmud Barjah. “Gusti Panglima,” ia memulai. “Adapun pembawa surat tantangan telah tewas bersama dengan kudanya di dekat pasar Tuban Kota. Dia tak dapat menghindari orang-orang yang berlarian mengungsi turun ke laut. Ia tersusul oleh pasukan kuda. Hujan tombak telah membikin dia terjungkal bersama kudanya. Mati, Gusti Panglima.” “Surat itu sudah sampai?” “Sampai dengan pasti.” “Baik. Bagaimana hasil meriam?” “Peluru-peluru meriam jatuh di alun-alun dan di depan kadipaten seperti disengaja, Gusti. Waktu itu sudah terjadi perselisihan antara para penghadap. Puncaknya adalah matinya Patih Tuban, sedang mayatnya dibiarkan tergeletak di alun-alun, sampai sahaya berangkat dan sampai di sini ini.” “Siapa Senapati Tuban?” “Tidak bersenapati, Gusti Panglima, sejauh sahaya dengar. Belum tahu sekarang ini.” “Tidakkah balatentara Tuban bergerak?” “Belum nampak ada tanda-tanda, Gusti.” “Teruskan pada Kanjeng Sunan Rajeg.” “Gusti.” Pelapor itu memacu kudanya memasuki jalanan lain. Mahmud Barjah memacu kudanya. Pada suatu pinggiran hutan ia bertemu dengan laskar yang kesekian. Ia perintahkan pada peratusnya untuk melonjak-lonjakkan panji-panji. Panji-panji dilonjak-lonjakkan. Barisan itu mempercepat jalan. “Lebih cepat!” perintahnya lagi. Panji-panji makin cepat turun-naik. Barisan itu maju setengah lari. Ia berpacu terus, dan setiap laskar yang dipapasinya mendapat perintah yang sama. Ia berpacu dan berpacu dan hilang di balik kepulan debu. Lima laskar Sunan Rajeg telah hampir sampai di perbatasan Tuban Kota. Di mana-mana seakan Mahmud Barjah ada. Ia di belakang di depan, mengenal medan di lambung, kadang mendahului sangat di depan. Ia balik lagi. Dengan isyarat ia perintahkan semua panji-panji dari semua laskar digelenggelengkan. Pada saat itu juga pecah sorak-sorai gemuruh seperti hendak membelah langit. Dan debu pun seakan ikut bersorak, mengepul tanpa hentinya jadi kabut tipis ke udara kemudian jatuh menaburi bumi. Sekarang Mahmud Barjah mengitari barisannya. Destarnya yang putih, seperti yang lain-lain, berkibar-kibar pada ujungnya. Kaki binatang tunggangannya menari-nari rampak, kelihatan hampir-hampir tak menyentuh tanah. Laskar paling depan adalah para pemanah. Dan seorang pembawa panji berada paling depan di tengah-tengah barisan. Panji-panjinya berwarna hitam dengan sirip putih. Di belakangnya adalah laskar tombak berperisai. Setiap orang membawa empat batang tombak yang langsing. Tangkainya dari kayu coklat tua berat. Juga mata tombaknya langsing. Laskar terakhir adalah berpedang dan berperisai. Di antara laskar yang satu dengan yang lain terdapat regu gendang dan gong. Makin cepat panji dilonjakkan, makin menderu gong dan gendang, dan makin cepat langkah para prajurit. Sorak-sorai, ancaman, ejekan, raungan, berpadu jadi satu guruh, kadang terdengar mencakar dan menggaruk, kadang menggonggong dan melolong, kadang melenguh dan menghiba-hiba. Tiba-tiba satu barisan tipis pasukan kuda Tuban muncul di depan mereka dengan debu berkepulan tertinggal di belakang. Barisan tipis itu semakin lama nampak semakin nyata. Tentara Sunan Rajeg bersorak dengan sekuat paruparu mereka. Melihat barisan kuda itu tidak menghadapi mereka dari depan mereka mengejek, memaki, menghina dengan kata-kata sekotor mungkin. Pasukan kuda yang tipis itu semakin menjauhi laskar panah dan tombak, menyingkir barang tiga ratus depa, mendepis-depis ke pinggiran padang, tak menghiraukan ejekan dan cacian. Dan tentara Sunan Rajeg terus juga maju ke jurusan Tuban Kota. Tak menggubris musuh yang mendepis-depis. Panji-panjinya melonjak dan menggeleng, menggeleng dan melonjak. Barisan kuda yang tipis itu tiba-tiba meninggalkan tepian tanah lapang seperti sekawanan elang menyambar barisan pedang sambil bersorak-sorai: “Kambing gembel dari gunung: Mau cari apa ke Tuban?” dan menggeletarkan cambuk perang mereka, mengatasi sorak-sorai lawannya. “Kirik Tuban! Anjing Peranggi!” balas lawannya. “Ayoh mendekat, lebih mendekat, biar kubelah kepala kalian!” Pasukan kuda kecil itu dipimpin langsung oleh Banteng Wareng, terdiri dari seratus orang. Mereka hanya meledekledek, mendekat dan menjauh pada laskar pedang Sunan Rajeg, menggeletarkan cambuk, mendekat dan menjauh lagi dengan terus-menerus memaki, bahkan meludahi. Tanah lapang yang sangat luas di luar kota itu mendengung karena caci-maki dan geletar cambuk. Panglima Mahmud Barjah berteriak-teriak mengelilingi tentaranya, memperingatkan dengan suara yang sudah jadi parau: “Jangan layani! Jangan tinggalkan barisan. Jangan menyerang tanpa perintah: Langsung masuk kota!” Suaranya terbenam dalam keriuhan caci-maki dan soraksorai dan gendang dan gong, dan geletar cambuk perang. Mengetahui perintahnya tidak lagi kedengaran ia hampiri laskar-laskar dan memerintah tidak lagi menggelengkan panji-panji. Seluruh laskar Rajeg diam dan terus mempercepat langkahnya untuk dapat memasuki Tuban sebelum matari tenggelam. Melihat musuhnya tak terpengaruh oleh ledekan dan cacian. Banteng Wareng memerintahkan melemparkan batu-batu bawaan mereka pada barisan pedang. Dan batubatu pun beterbangan ke tengah-tengah barisan pedang. Tak sebuah pun melayang sia-sia. Semua mengenai orang-orang yang berbaris rapat itu. Pekik kesakitan dan marah menjawabi setiap batu. Beberapa orang nampak telah jatuh dan terinjak-injak oleh barisan sendiri. Barisan Banteng Wareng terus menerus mengganggu sambil mengintip ke mana-mana untuk mencari tempat meriam. Tetapi yang dicari-cari tidak nampak. Mereka lepaskan tugas pokoknya dan memperhebat gangguan. Batu-batuan terus beterbangan. Pekik kesakitan dan geram amarah semakin riuh. Gong dan gendang dan sorak kembali membelah udara. Mendung tipis menaungi bumi dan angin kecil memuputi dunia. Tak ada seorang pun di antara mereka yang sedang kejangkitan semangat perang itu memperhatikan. Mahmud Barjah menghentikan lagi sorak-sorai. Suaranya yang parau terdengar memerintah langsung masuk ke Tuban Kota. Barisan kuda yang kecil itu mulai menyambarnyambarkan cambuk perang pada tubuh para prajurit Rajeg. Setiap cambuk jatuh kulit pun belah dan darah mengucur. Perintah-perintah Mahmud sudah tidak didengarkan oleh barisan pedang lagi. Dan cambuk itu tak dapat dilawan dengan perisai dan pedang. Juga tak dapat ditangkap tangan karena tajamnya gerigi baja. Tangan yang tercambuk akan melepaskan senjatanya. Kulit dan nadi teriris dalam. Muka yang terkena bersilang-silang darah. Dan ujung cambuk yang dihantamkan pada mata akan merenggut keluar biji dari rongganya. Tak tahan menderitakan gangguan dari barisan kuda musuhnya, pinggiran barisan pedang mulai buyar, tak dapat membela diri dan mulai menyerang. “Dengarkan gustimu, dengar Panglima Rajeg!” pekik Mahmud Barjah parau, “jangan tinggalkan barisan!” Barisan pedang semakin banyak meninggalkan laskarnya, digerakkan oleh geram mereka mulai menyerbu musuhnya yang berkaki empat, cepat dan gesit itu. Dengan pedang dan perisai mereka tak dapat mencapai, laskar pedang itu bubar. Pimpinannya tak dapat mengendalikan lagi. Melihat bencana sedang mendatangi Mahmud Barjah berpacu ke depan, memerintahkan barisan pemanah untuk membinasakan barisan kuda yang terlalu sedikit jumlahnya. Melihat laskar pemanah berbalik ke belakang dan mulai memburu, Banteng Wareng memerintahkan untuk memencarkan diri dan kembali mendepis-depis di tepian tanah lapang sambil bergerak melingkar, seorang-seorang, dan lama-kelamaan menjadi lingkaran besar mengepung barisan yang telah membubarkan diri. Para pemedang semakin lama semakin jauh satu sama lain. Laskar tombak yang masih utuh itu maju terus ke depan: Pada suatu titik mereka terhenti untuk menghindari tubrukan dengan laskar pemanah yang berbalik ke belakang. “Manan keparat! Rois laknat!” sumpah Mahmud Barjah. “Senang-senang dia di belakang dengan meriamnya. Dibelah-belah barisan begini rupa. Awas kau!” Ia sendiri mulai kehilangan kendali atas tentaranya. Tergoda oleh laskar panah yang berbalik dan memburu barisan Banteng Wareng, juga laskar tombak dengan sendirinya terseret oleh arus sungsang. Dalam waktu yang sangat pendek semua tentara Mahmud Baijah telah bergubal jadi satu kebalauan yang mengejar barisan kuda Tuban. Dan itulah justru yang dikehendaki Banteng Wareng. Ia perintahkan membikin gerakan pengepungan semu, semakin lama semakin tipis dan melebar. Anak panah dan tombak mulai beterbangan di udara. Barisan kuda Tuban yang kecil itu semakin melebarkan dan merenggangkan kepungan semunya. Dan pada gilirannya juga tentara Rajeg menjadi semakin melebar mengisi kekosongan medan, seperti air yang tercurah di atas dataran. Pada waktu tentara Rajeg sudah tak dapat dikendalikan lagi, semakin lama semakin memecah dan memencarkan diri mencari sasaran masing-masing, muncul lima belas ekor gajah dari kejauhan. Belalainya terangkat naik, memekik berbareng terdengar seperti seribu serunai. Setiap ekor diikuti oleh lima belas pemanah dari pasukan kaki. Di bawah pengendalian pawang-pawangnya, binatangbinatang yang melihat pertempuran itu lari ke depan dengan belalai tetap terangkat dan bersuling. Juga pasukan kaki di belakangnya ikut lari mengikuti. “Tumpas! Tumpas!” mereka bersorak dan bersorak. Dan di atas setiap ekor terikat kotak bentengan dari kayu keras, tak tertembusi oleh panah ataupun tombak. Di situ terdapat enam orang pelempar tombak dan pemanah sekaligus, mahir dan terlatih. Tubuh dan kepala gajah yang dilindungi oleh berlapis-lapis kulit kerbau nampak seperti jubah kebesaran, melambai-lambai, juga tak tertembusi oleh anak panah dan tombak. Pada setiap langkah kaki belakang binatang-binatang itu berdencing oleh krenyak atau sirah baja yang melindungi tumitnya. “Tentara putihhhhhhh!” Mahmud Barjah memekik. “Gajah! Awas gajah datang!” “Gajahhhh!” terdengar seruan dari mana-mana. Perhatian tentara Rajeg terpecah-pecah antara kuda dan gajah dan dari gajah ke kuda. Dan bukit-bukit hidup yang menyemburkan anak panah dari atasnya itu semakin mendekati juga. Anak panah itu keluar berbareng seperti petir yang sedang menyambar, melesit tanpa ampun menembusi tubuh yang dikenainya. Gajah-gajah itu terus juga maju memasuki medan pertempuran. Tentara Rajeg kacau-berlarian kehilangan posisi. Keadaan itu tak dibiarkan oleh Banteng Wareng. Ia perintahkan barisannya menyerbu ke dalam kekacauan itu. Dengan suara parau Mahmud Barjah berseru-seru dari atas kudanya dengan di tangan melambai-lambaikan pedang: “Goblok! Otak binatang! Mundur. Munduuuuuur! Terobos itu kepungan kuda!” “Ayoh, Mahmud! Jangan hanya teriak-teriak!” tantang Banteng Wareng. “Perlihatkan moncongmu yang besar itu.” Tetapi Mahmud tak dengar tantangan itu. Ia sibuk untuk mengundurkan tentaranya, dengan punggung pedang ia hantami prajuritnya yang tak mau dengarkan perintah. Barisan kuda tak membiarkan mereka menerobos. Seakan terbang kuda-kuda itu menyambari para penerobos, menggeletarkan cambuk perang, menyobeki daging. Matari hilang di balik mendung. Hujan lebat pun mengancam dari langit. Kilat seakan menyoraki mereka yang sedang berbunuh-bunuhan. Dan gajah-gajah maju terus tak mempedulikan barangsiapa terinjak dan terdesak. Anak panah yang bersemburan dari pasukan kaki di belakang dan bawahnya merebahkan siapa saja yang terkenai. Korban-kor-ban jatuh bergelimpangan dan darah merah mewarnai baju putih mereka dan bumi negerinya sendiri. “Trobos kuda sambil memekik kencaaaang!” perintah Mahmud. Suaranya semakin parau. Juga di sana-sini prajurit kuda Tuban menggelimpang jatuh untuk kemudian dihujani dengan tombak dan pedang. Laskar panah Rajeg tak dapat berbuat sesuatu pun dalam kegalauan medang perang. Kepungan semu kemudian bobol. Dan tak bisa lain. Gajah-gajah itu telah memasuki tengah-tengah medan pertempuran, mendesak ke segala jurusan. Belalainya menyambar-nyambar seperti naga. Barang siapa tertangkap akan melayang ke udara tanpa semau sendiri untuk kemudian jatuh ke bumi dan tak bangun untuk selamalamanya. Dan barang siapa kejatuhan korban kedua akan ringsek tanpa sempat mengaduh. Kakinya melangkah tanpa peduli siapa kena terjang, adalah laksana empat batang pengganda yang menggerincing karena krenyaknya. Barang siapa tersenggol akan terbalik dan terinjak penyek. Dari belakangnya arus anak panah pasukan kaki Tuban, gelombang demi gelombang, beraturan, melayang seperti jari-jari Batara Kala. Manusia dan hewan akan tumpas terkena olehnya. Anak panah yang meniup dari atasnya dari tangan-tangan termahir adalah laksana hembusan Batara Yamadipati. Tak ada bisa meluputkan diri. Seperti air membuyar dari dataran tinggi tentara Rajeg menerobosi kepungan semu barisan kuda Banteng Wareng, membuyar lari ke segala jurusan. Dan Banteng Wareng memerintahkan anakbuahnya untuk mengundurkan diri ke belakang pasukan gajah yang dipimpin oleh Kala Cuwil. Dengan susah-payah mereka menarik diri, melindungkan diri ke belakang hewan-hewan raksasa, yang pada kulit kerbau perisainya telah bergelantangan anak panah lawannya. Dilihat dari belakang bekas jalan gajah-gajah itu bumi telah menjadi merah karena darah dan daging menganga. Sedang gajah yang terluka mengamuk maju terus sambil bersuling, menerjang, menangkap, membanting, menginjak dan mencaling dengan belai seperti baling-baling berputar. Tentara Rajeg terdesak terus dalam keadaan parah dan kocar-kacir. Di atas salah seekor gajah, di dalam benteng kayu keras, duduk Wiranggaleng dan Kala Cuwil. Dengan tanda-tanda pangkat dan jabatan, tangan kiri Senapati Tuban diletakkan di atas pundak Kala Cuwil. Pada tangan kanannya tergenggam tombak. Dengan tangan kiri itu juga ia menuding ke bawah, pada pertempuran yang sedang berlangsung. Tudingan itu terarah pada seorang penunggang kuda berpakaian serba putih di tengah-tengah tentara putih yang kacau-balau. Ia lihat pengendara kuda itu melambailambaikan pedang dengan tangan kanan. Pada tangan kirinya ia memegangi cambuk perang. Kendali sama sekali tak digubrisnya. “Hanya prajurit pengawal Tuban bisa begitu,” katanya. “Itulah Mahmud Barjah, Senapatiku, peranakan Koja.” “Pantas. Perhatikan bagaimana dia berusaha mengundurkan tentaranya dalam keselamatan.” Waktu mengatakan itu ia teringat pada kata-kata Rama Cluring sebelum meninggal: ‘Darah ningrat Jawa sudah kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah habis di dalam keputrian.’ “Pantas,” ia mengulangi; “Peranakan Koja.” “Apanya yang dikagumi, Senapatiku?” “Kalau dia ningrat Jawa, dia akan lari selamatkan dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa Malaka dapat jatuh begitu mudah.” Kala Cuwil menatap Senapati dari samping, tak mengerti. “Lihat!” Wiranggaleng berseru, “dia telah kehilangan kepemimpinannya dalam kekacauan itu. Dia tetap berusaha. Lihat!” Kala Cuwil nampaknya tak senang mendengarkan pujipujian untuk musuh dan pengkhianat itu. “Senapatiku, digusur ke mana tentara perusuh ini?” “Sorong terus ke depan sampai matari tenggelam.” “Sorong terus sampai matari tenggelam,” Kala Cuwil mengulang. “Mereka akan jadi remah-remah.” Ia angkat panji-panji dengan menuding ke depan. Banteng Wareng yang melihat senapatinya menuding ke arah Mahmud Barjah menghentakkan kendali. Kudanya melesit seperti binatang beralih menembusi awan coklat dan putih di depannya, langsung menuju ke arah Panglima Rajeg. Pedangnya berayun ke kiri dan kanan. Anakbuahnya pun segera menyusul untuk melindungi pemimpinnya. Porak-poranda prajurit-prajurit putih yang sedang kacau itu terkena terjang pasukan kuda seperti permukaan sawah terkena garu, licin dan rata. “Banteng Wareng!” Senapati Tuban berteriak dengan tangan dicorongkan pada mulut. “Kembali! Tarik pasukanmu!” Pemimpin pasukan kuda itu tidak mendengar. “Dia akan tangkap Mahmud, Senapatiku,” Kala Cuwil mencoba menerangkan. “Musuh sudah kacau dan lelah, jera dan kehabisan senjata.” “Tepat! Tapi dia tak boleh lakukan itu.” “Dia akan mudah ditangkap,” Kala Cuwil mencoba menerangkan untuk ke sekian kalinya. “Tepat! Siapa pun tahu. Tapi dia tak boleh lakukan itu. Kita harus lihat sampai di mana Mahmud bisa urus anakbuahnya.” Kemudian menjerit: “Banteng Wareng! Kembali!” Seorang prajurit kuda yang terkebelakang meneruskan teriakan itu, Juga suaranya tenggelam dalam keriuhan pertempuran…. Dari atas gajah Senapati Tuban melihat Mahmud menyedari akan datangnya pasukan kuda Tuban. Ia kelihatan berteriak-teriak memperingatkan anakbuah di selingkungannya, dan mereka berbalik menghadapi Banteng Wareng. “Kala Cuwil! Larikan gajah. Dekatkan pada mereka!” “Didekatkan pada mereka, Senapatiku!” Dan gajah pimpinan yang sejak tadi berjalan tenang itu sekarang mengangkat belalai tinggi-tinggi, lari sambil bersuling. “Biar dia mendapat kesempatan selamatkan dan undurkan anakbuah-nya, kataku. Beri dia kesempatan bertempur yang baik. Sekarang ia hanya tikus dalam perangkap. Lepaskan dia!” Perkelahian dengan pedang telah terjadi antara pembelapembela Mahmud Barjah dengan prajurit-prajurit kuda. Logam beradu logam berdentangan memainkan lagu maut. Prajurit-prajurit Rajeg yang membela panglimanya tak dapat bertahan terhadap desakan kuda. Mereka terdesak semakin rapat mengepung panglimanya sendiri. Terkurung oleh anakbuah sendiri Mahmud dan kudanya tak dapat bergerak sebagaimana harusnya. Mahmud menggeletarkan cambuk perang, tapi cambuk itu terlepas dari tangan dan jatuh di sela-sela bahu anakbuahnya, ke tanah. Dan di sekelilingnya adalah mata pedang anakbuah sendiri. “Banteng Wareng, lepaskan dia!” teriak Wiranggaleng. Dan gajah itu semakin mendekati juga, melalui bekas jalanan pasukan kuda. Di atasnya Senapati Tuban melambai-lambaikan tangan. Tetapi pasukan kuda tak mengerti maksud isyaratnya dan terus mendesak. Mahmud Barjah dengan para pengawalnya telah berada dalam kepungan pasukan kuda. Makin lama makin rapat. Pengawal-pengawal Panglima Rajeg berjatuhan seorang demi seorang. “Matari hampir tenggelam, Senapatiku!” Matari sudah lama hilang ditelan mendung. “Hentikan pengejaran!” perintah Senapati. “Pengejaran dihentikan, Senapatiku,” Kala Cuwil mengangkat panji-panji datar dengan dua belah tangannya. Gajah itu berhenti. Tak ada tanda-tanda matari di barat. Hanya mendung, perbukitan dan hutan hitam. Mahmud Barjah tertinggal seorang diri dalam kepungan. Semua pedang terarah padanya. Ia menangkis ke segala penjuru. Waktu akhirnya pedangnya patah ia berdiri di atas punggung kuda. “Berhenti!” teriak Wiranggaleng dari atas gajahnya. Pedang Banteng Wareng melayang menyambar kaki Mahmud. Dari atas gajah Senapati melemparkan tombak. Dan tombak itu melayang cepat di atas kepala orang dan kuda. Bunyi berdentang menyusul. Mata tombak itu menerjang mata pedang Banteng Wareng, patah dua-duanya. Kaki Mahmud tak jadi tertebang tatas. Semua orang menengok ke arah datangnya tombak. Dan mereka melihat panji-panji terpegangi datar oleh Kala Cuwil dan Senapati melambai-lambaikan tangan menyuruh semua kembali. Baru orang mendengar teriakan senopati mereka: “Lepaskan dia! Lepaskan dia dengan damai! Pergi kau, Mahmud! Pergi kau dengan damai!” Prajurit-prajurit kuda menurunkan pedang masingmasing. Mahmud duduk kembali di atas kudanya. Ia jalankan kendaraannya dua langkah maju. Tangannya dilambaikannya ke atas, berteriak: “Selamat untukmu, Wiranggaleng, anak desa yang perwira! Lain kali berjumpa lagi!” Kuda diputarnya lambat-lambat, berjalan melangkahi bangkai yang bertebaran di tanah, kemudian memacu tanpa menengok lagi ke belakang, hilang di balik rimbunan hutan yang diselaputi rembang senja. Dua kekuatan yang bermusuhan telah dilerai oleh malam. Tentara Rajeg menarik diri ke arah kedatangan mereka. Tentara Tuban berhenti di tempat dan mesanggrah. Senapati Tuban berdiri di atas gajah, masih juga melambai-lambai tangan. Dan semua mata terarah padanya. Suaranya keras dan nyaring, keluar dari paruparunya yang penuh: “Dengarkan semua! Dengarkan, bahwa perang adalah perang. Perang bukanlah keinginan untuk membunuh sesama, dia adalah bentrokan dari dua keinginan. Jangan jadi pembunuh! Dan kalian prajuritprajurit Tuban yang perwira dan satria, hargailah juga keperwiraan dan kesatriaan, sekalipun itu ada pada musuhmu. Kalian lihat sendiri, dalam keadaan sulit Mahmud Barjah tidak meninggalkan gelanggang. Dia tidak lari sendirian dan membiarkan anakbuahnya tumpas. Dia undurkan anakbuahnya pada keselamatan. Dia punya kesetiaan pada anakbuahnya.” “Dia hanya pengkhianat!” pekik Banteng Wareng membantah tanpa pikir panjang. “Sebagai pengkhianat negeri dan terhadap Gusti Adipati dia akan mendapat hukumannya. Sebagai setiawan anakbuah dia harus dihargai. Bergerak! Berkampung kalian ke pesanggrahan. Matari telah tenggelam. Dan hujan akan turun.” Seluruh prajurit berbalik menuju ke pesanggrahan yang telah dibangun oleh kesatuan-kesatuan di belakang. Malam jatuh dengan cepatnya. Dan pesanggrahan di luar kota itu memberikan mereka perlindungan dari hujan yang mulai mengancam. Dan sebelum mereka melepaskan lelah dalam tidur nyenyak, suatu bunyi ledakan terdengar di kejauhan. Dua butir peluru besi telah terbang beriringan menerjang langit bermendung melewati perbatasan kota. Gajah-gajah pun bergidik dan bersuling pelan. Kudakuda meringkik lemah. Kemudian sunyi senyap. 0o-dw-o0 19. Kesepian di Tuban Pelabuhan itu sepi. Hanya kadang saja terdengar seseorang menohok-nohok memperbaiki sesuatu. Pasar pelabuhan kosong. Bangsal-bangsal pelabuhan yang selalu kedatangan rempah-rempah baru dari Maluku sekarang melompong dengan pintu semua terbuka. Rejeki telah segan datang dari laut. Dari darat pun tiada sesuatu datang ke tempat ini. Dengan gerobak tidak, dengan pikulan pun tidak. Bahkan wanita-wanita gelandangan pada meninggalkan pondok daun kelapanya, mengungsi entah ke mana: Perkampungan orang-orang Islam di sebelah timur sana tertinggal lengang. Tinggal kucing dan ayamnya tidak dibawa mengungsi ke pedalaman masih berkeliaran tanpa pemilik. Di pantai barang dua puluh atau dua puluh lima perahu tercancang pada patok. Air hujan mulai mengisinya. Mereka berayun tidak menentu, hanya menunggu datangnya hujan deras untuk kemudian tenggelam. Warung Yakub pun sudah lama tutup. Ada terdengar berita dari seseorang yang telah bertemu dengannya di Gresik, ia telah membuka warung tuak di sana. Berita lain menyebutkan orang pernah memapasi-nya di Pasuruan. Berita ketiga mengabarkan ia telah masuk jadi prajurit pada balatentara Demak. Tak ada berita yang pasti. Yang jelas warungnya tinggal tutup. Kapal peronda pantai Tuban tiada lagi nampak sebuah pun. Semua telah diungsikan ke Gresik atas perintah Senapati Tuban. Kapal-kapal itu takkan dapat membela diri terhadap serangan Peranggi, percuma mondar-mandir sepanjang pantai untuk menunggu peluru besi. Harus bisa membikin meriam sendiri maka kapal-kapal itu bisa berguna kembali. Tholib Sungkar Az-Zubaid tak mempunyai kegiatan harian. Ia kelihatan lebih kurus daripada biasanya. Jarang ia nampak di rumah. Ia lebih sering kelihatan di dalam kadipaten, baik dipanggil atau tidak oleh Sang Adipati. Tak sering lagi orang melihatnya berjalan memeriksai bagianbagian pelabuhan yang membutuhkan perbaikan. Dana untuk itu sudah tak ada lagi dalam perbendaharaan kesyahbandaran. Dan setiap berada di dermaga orang dapat melihat ia sedang gelisah meninjau ke jurusan timur. Menara pelabuhan tiada berpenjagaan lagi. Tinggal canangnya tergantung tanpa disentuh orang lagi. Pemukulnya menggeletak di pojokan geladak. Kesyahbandaran lebih sunyi daripada di mana pun. Gandok kiri dan kanan tiada berpenghuni. Gedung utama pun kosong. Gedung batu kedua di seluruh negeri Tuban itu kehilangan serinya, nampak seperti candi besar yang telah ditinggalkan oleh pemeluk agamanya. Syahbandar sendiri jarang nampak. Dan tiada terdengar gelaktawa atau tangis Gelar. Ia dibawa oleh Idayu ke Awis Krambil. Nyi Gede Kati ikut pula ke sana. Hanya Paman Marta yang setiap hari kelihatan mengurus taman. Di luar kesepian ini terdapat kesibukan yang tak dapat difahami oleh penduduk. Ratusan lelaki berjalan kuat dan tegap selalu kelihatan berjalan tersebar ke sana ke mari tanpa pekerjaan. Karena tiada keris pada pinggang dan tiada tombak pada tangan, orang yang tak mengenalnya menduga mereka prajurit-prajurit yang sedang melepaskan diri dari kesatuan. Dan mereka selalu berada di luar daerah pelabuhan. Orang-orang yang mengenal salah seorang di antara mereka segera tahu, mereka tidak lain daripada anggotaanggota pasukan pengawal kadipaten yang tidak berpakaian prajurit. Gerak-gerik menarik perhatian. Dan orang-orang tak pernah dapat mendapat keterangan apa sedang mereka kerjakan. Karena di balik semak-semak hutan yang membatasi daerah pelabuhan dengan daerah tak berpenghuni ditempatkan cetbang-cetbang yang semua diarahkan ke laut. Orang hanya menduga-duga mereka disiapkan untuk menanggulangi kemungkinan masuknya Peranggi atau sebangsanya dari laut, sementara pertempuran sedang terjadi di pedalaman. Perkampungan non-Nusantara juga sepi karena setelah terjadi kerusuhan sebagian besar penduduknya telah meninggalkan Tuban belayar entah ke mana. Hanya penduduk Pecinan tidak susut, karena hukum Tuban melindungi mereka di waktu perang. Artinya, semua prajurit dari dua belah tentara yang bermusuhan tidak diperkenankan menginjak daerah itu baik untuk kepentingan penyerangan ataupun pertahanan. Penduduk biasa pun tidak diperkenankan memasuki di waktu perang, sekalipun untuk menyelamatkan diri. Belum jelas benar dari mana asalnya hak perlindungan yang seakan berjalan dengan sendirinya ini. Boleh jadi sudah sejak Majapahit atau lebih tua lagi. Sedang perjanjian antara Ceng He dengan Adipati Tuban memperkokoh perjanjian itu untuk ganti pengakuan armada Tiongkok itu. Pada monopoli Tuban atas sumber rempah-rempah Maluku Pecinan malah mendapat hak bertahan dan hak kepolisian demi keselamatan warganya. Sunyi pula alun-alun yang biasanya jadi pusat keramaian dan daerah pusat praja. Tak ada orang menginjakkan kaki di sini, apalagi kanak-kanak. Kalau orang tua melewatinya, ia berjalan tanpa semau sendiri. Peristiwa pembunuhan atas diri Sang Patih didekat pohon beringin kurung, telah membikin tempat ini jadi sangar. Bahkan mereka yang tinggal di sekitar situ lebih suka mengambil jalan belakang dan menerjang-nerjang pelataran tetangga. Mayat Sang Patih masih juga tergeletak, berpindah dari tempat semula karena serbuan anjing. Lalat dan gagak ikut pula menyerangnya. Bau busuk dibawa angin ke seluruh penjuru mata-angin. Tak ada orang memeliharanya. Keluarga Sang Patih sendiri pun tak berani turun tangan. Di dalam kadipaten Sang Adipati kelihatan selalu murung dan gusar. Tak ada seorang pun prajurit pengawal menjaga kadipaten. Mesin praja lumpuh sama sekali. Arus bahan makanan ke dalam kadipaten terputus, dan bahaya kelaparan akan segera mengancam bila keadaan tidak berubah. Sang Adipati tak dapat berbuat sesuatu apa tanpa pengawal dan tanpa punggawa. Dan para punggawa telah diperintahkan keluar dari kadipaten oleh pasukan pengawal atas perintah Wiranggaleng. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia baru mengerti, tanpa kawula yang dengan sukarela melayani dan menjalankan perintahnya, ternyata ia tidak berarti sesuatu pun. Anggapan, bahwa seorang raja dimungkinkan oleh para dewa, dan oleh para dewa saja, kini ternyata menghadapi ujian. Dan justru karena pengetahuan baru itu ia menjadi murung dan gusar setiap hari, tak tahu apa harus diperbuatnya. Dari ajaran-ajaran istana leluhur ia tahu dan yakin, kekuasaan seorang raja tidak berasal dari dunia manusia, untuk mengatur kawula, untuk mengatur perang dan damai, perjanjian dan pembatalannya. Semuanya berasal dari Dia yang membikin hidup. Maka sudah menjadi patokan, barangsiapa melanggar ketentuan praja, membangkangnya, adalah juga melanggar dan membangkang terhadap Dia. Bagaimana sekarang? Sang Patih jelas telah membangkang terhadap dirinya. Dia layak menerima hukumannya. Kematiannya adalah sudah sepatutnya sebagai satria – mendapat tikaman keris sekali. Dalam hal ini para dewa benar. Dia yang membikin hidup telah mengawal aturanNya sendiri. Bila dia tidak mati karena Wiranggaleng, pasti karena perintahnya. Dan itu pasti terjadi. Biarlah itu jadi peringatan pada setiap kawula. Karena itu setiap permohonan untuk memelihara dan merawat mayatnya ia tolak tanpa alasan. Tetapi Wiranggaleng! Apakah yang diperbuatnya? Dia telah menarik dan mengerahkan semua balatentara Tuban. Ia telah bunuh Sang Patih tanpa perintahnya. Ia telah seret Tuban seluruhnya dalam perang, memberi kelonggaran pada bupati-bupati tetangga untuk datang menyerbu. Ia membiarkan Tuban terbuka terhadap Demak! Dia telah kosongkan kadipaten dari pengawalan dan punggawa. Tanpa kawula, tanpa balatentara, tanpa punggawa, tanpa saksi dunia yang mengagumi, tanpa kebesaran, terutama tanpa kawula yang menghinakan dan merendahkan diri dengan sukarela terhadapnya, tanpa kekecilan di sekitar diri – seorang raja tidak mempunyai sesuatu arti. Dia sama dengan seorang desa tak berpendidikan. Bahkan gamelan tiada keindahannya lagi. Tarian tiada daya penarik lagi bagi mata dan hati. Makanan hilang rasa: Tetapi jantung terus juga berdenyut. Hiburan batin yang ada padanya adalah: balas dendam. Ya, kelak bila semua telah kembali dalam genggaman tangan, tumpaslah mereka yang lancang mengurangi kebesaran dan kekuasaan ini. Tumpaslah semua mereka. Ia akan jatuhkan hukuman yang sekejam-kejamnya. Dan untuk mengisi waktu menunggu datangnya waktu itu ia lewatkan hari-harinya yang sunyi, murung dan gusar di dalam keputrian. Maka harem yang mengisap daya kekuatan tuanya itu menyusutkan diri dan pribadinya. Dendam dalam hati, keriaan yang meriah dan kesenangan badani di luarnya. Ia sudah tidak mengingat lagi musuh dari darat ataupun laut. Negeri dan praja tak punya sesuatu arti lagi baginya. Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah punya waswas. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada penguasa yang lain telah membangunkan sikap batin satria: hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tidak kurang dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut karena lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah karena kehormatan sebagai satria, di medan perang dan di mana saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah karena hukuman dan tidak dengan keris. Dan seorang satria hanya boleh mengambil dua nilai yang sebelum terakhir. Setiap saat ia bersedia mati baik karena usia mau pun karena kehormatan. Ia tak pernah punya keraguan. Bila ternyata Wiranggaleng kelak melakukan pengkhianatan terhadap dirinya, ia akan mengambil nilai kedua. Dan pengkhianatan itu bisa datang dari setiap sudut, dan ia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan. Ia yakin dirinya sendiri, ia akan menghembuskan nafas penghabisan sebagai satria dengan kehormatan. Dan apalah salahnya selama ia tetap satria? Putra-putranya akan mendengar berita kematiannya itu, dan mereka akan mengerti dan menghormatinya. Dan setiap ia ingat pada putra-putranya, ia mengebaskan mereka semua dari pikirannya. Tak ada perlunya mengingat mereka. Mereka akan dihadapi oleh jamannya, atau jaman itu sendiri akan membunuh-nya bila ia melawannya, karena jaman adalah tidak lebih dan tidak kurang daripada Batara Kala itu sendiri, tak peduli mereka Islam atau Hindu, atau Buddha atau Peranggi sekalipun. Semua sudah mendapat tempatnya. Tetapi yang satu ini: kekosongan dari kekuasaan. Kesepian dari kebesaran. Tak ada orang-orang kecil di selingkungan yang melaksanakan segala apa yang diri kehendaki. Semua sudah terasa ingkar terhadapnya. Tanpa kekuasaan dan kebesaran segala-galanya menjadi berubah. Dan semua bersumber hanya pada seorang anak desa yang tak tahu adat. Seorang anak desa telah membunuh saudara sepupunya, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi Patih Senapati Tuban! Siapakah dewa sembahannya maka dia berbuat tanpa titahku? Terngiang-ngiang ajaran praja itu: seorang raja tidak akan berbuat sesuatu berdasarkan belas kasihan, ia berbuat hanya demi keselamatan praja. Seseorang raja tidak akan berbuat sesuatu berdasarkan terimakasih, ia berbuat hanya demi keselamatan praja. Dan beberapa kalimat lagi sebangsanya. Dan praja sekarang lumpuh. Dan praja adalah raja. Bagaimana pun dan ke mana pun pikirannya ia kerahkan, datangnya pada satu nama itu juga: Wiranggaleng, seorang anak desa tanpa makna yang telah berani membunuh seorang dari darah Majapahit, darah tertinggi dalam kehidupan yang dikenalnya. Anak desa lancang itu begitu bodohnya, dia tidak mengerti, bahwa setiap orang yang dialiri darah Majapahit mempunyai hak untuk menjadi raja. Pengetahuannya tentang sejarah praja, bahwa Majapahit bisa berdiri hanya karena bantuan orang-orang kebanyakan, dan orang-orang itu kemudian diangkat oleh Sri Baginda Kertarajasa menjadi gubernur terper-caya tak juga mampu melenyapkan dendamnya pada Wiranggaleng. Ia harus membunuhnya, dengan jalan dan cara apa pun sebagaimana o-rang-orang lain telah juga dibunuhnya. Hanya ada kesulitan pelaksanaan terhadap orang yang satu ini: ia dicintai dan dihormati oleh kawula Tuban. Bagaimana menghukum dia kalau semua orang mencintai dan menghormatinya? Tidakkah kawula Tuban akan melindunginya, dan itu berarti menentangnya? Hukuman padanya akan berarti kebencian yang tertujukan kepada raja. Dan bagaimana kalau seluruh kawula karenanya ingkar dan membangkang terhadap dirinya? Bila demikian maka dewa-dewa tidak lagi membenarkan kekuasaannya, mencabut kembali kebesarannya. Ternyata dewa-dewa juga berpihak pada manusia…. Dan bila pikiran itu sampai di situ ia menjadi pusing. Dalam kepusingan itu satu-satunya tempat yang baik hanya haremnya. Sang Adipati mendengar peristiwa di dekat pohon beringin itu dari persembahan Syahbandar Tuban. Nampaknya orang lain tak ada yang berani menghadap. Persembahan yang cukup teliti itu telah menyorong Wiranggaleng ke pojokan sebagai biangkeladi segala keonaran yang tak patut mendapat sedikit pun pengampunan daripadanya. “Wira, si anak desa itu, Gusti, telah berani melanggar titah setelah dia mengangkat diri jadi Patih Senapati Tuban,” Tholib Sungkar As-Zubaid mengadu, “bukan hanya menggerakkan lima ratus prajurit. Dia telah perintahkan semua kepala pasukan untuk mengikuti dan menjalankan perintahnya. Dialah yang pertama-tama menguasakan kepala pasukan pengawal. Dia telah membikin-bikin alasan untuk bertengkar dengan Sang Patih dan membunuhnya, membunuh atasannya, ya Gusti, seperti membunuh anak kambing.” Sang Adipati hanya mengajukan satu pertanyaan: “Bagaimana bisa kepala-kepala pasukan mendengarkan dia?” “Takut, Gusti. Setan telah merasuki dirinya.” Sang Adipati mengerti, bukan karena takut mereka mendengarkannya. Juga bukan karena kerasukan setan. Memang ada sesuatu yang hidup dalam jiwa si anak desa itu. Dan semua itu takkan terjadi tanpa perkenan dewadewa. Dan tidak mungkin kalau hanya karena kepalakepala pasukan itu bukan berdarah ningrat. Sekiranya mereka berdarah ningrat pun, kalau dewa-dewa telah berkenan, mereka akan mendengarkannya juga. Yang teringat olehnya adalah pemberontakanpemberontakan besar yang berkali-kali meletus dalam masa kejayaan Majapahit, hanya karena pembagian kekuasaan antara ningrat dan tidak ningrat. Ini jugakah akan jadi akhir kadipaten Tuban? Bila pikirannya sampai di situ ia pun menjadi pusing. Syahbandar Tuban tak membiarkan kesempatan berlalu tanpa membakar-bakar Sang Adipati untuk bertindak terhadap anak desa itu bila keadaan sudah reda. “Tidak bisa dibiarkan anak desa itu mengangkat diri jadi Patih dan Senapati sekaligus, Gusti, itu adalah menyalahi darah, menyalahi takdir, melawan ketentuan kodrat,” dan ia merenungkan makna dari darah, takdir dan kodrat. Tetapi Sang Adipati lebih cenderung untuk mengingatingat akan mendesaknya Gajah Mada, si anak desa itu, ke atas sehingga jadi Mahapatih Majapahit. Ia teringat juga pada anak desa lain, juga mendesak naik terus, bukan saja jadi Patih, malah jadi raja. Dan anak desa itu adalah Ken Arok, orang yang darahnya hidup dalam tubuh raja-raja di Jawa kemudian. Tetapi Wiranggaleng takkan jadi Patih Tuban, juga takkan jadi raja Tuban, selama Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwantikta belum lenyap dari muka bumi. Dan sejak mempersembahkan peristiwa di alun-alun Tholib Sungkar Az-Zubaid selain berkitar-kitar di sekeliling kadipaten, tak peduli pada bau mayat yang mengembara ke mana-mana. Ia merasa lebih aman di dekat Sang Adipati. Sebaliknya keputrian yang kadang membosankan itu membikin Sang Adipati merindukan Syahbandar Tuban – satu-satu orang yang kini dapat diajaknya bicara. Pada kesempatan-kesempatan seperti itu Tholib Sungkar suka mencoba-coba bicara tentang jalannya pertempuran di pedalaman. Tetapi Sang Adipati tidak pernah melayaninya. Ia percaya pada balatentara Tuban. Biar pun musuh itu menggunakan meriam, balatantaranya takkan mungkin dapat dikalahkan. Dengan atau tanpa Wiranggaleng ataupun Sang Patih, balatentara Tuban pasti akan menang. Tidak percuma selama dua ratus tahun jadi andal-andal Majapahit. Bila Syahbandar Tuban mulai bicara tentang Wiranggaleng makin jelas gambaran anak desa itu di hadapannya untuk waktu dekat mendatang. Anak desa itu akan menghadap padanya dan mempersembahkan, musuh telah dikalahkan. Dia akan menganggap kemenangan balatentara Tuban sebagai kemenangannya sendiri. Pada waktu itu dia akan tahu, sekiranya ada seekor anjing dapat diangkat jadi Senapati, balatentara Tuban akan tetap menang. Dia akan menghadap seperti seekor anak kambing yang mengembik-ngembik memohon pengesahan. Dan dia akan menunggu datangnya karunia dari tanganku. Kambing yang mengembik itu takkan mendapat umpan. Selamanya badut yang tidak lucu dihukum oleh penonton. Ia tidak menanggapi Tholib Sungkar Az-Zubaid. Pertempuran akan segera selesai. Semua akan kembali seperti sediakala, atau semua akan tumpas tanpa ia saksikan sendiri. Sederhana. Di dalam rumah-rumah penduduk Tuban yang suram pula orang masih juga tak habis-habis pikir tentang perbuatan Wiranggaleng. Tak ada seorang kawula yang mempunyai perasaan tidak senang terhadap Sang Patih. Orang menganggapnya bijaksana. Mengapa justru anak desa itu yang membunuhnya? Mengapa Wiranggaleng? Anak desa yang justru dicintai dan dihormati itu? Dan orang pun terkenanglah pada masa ia diarak jadi pengantin agung dengan Idayu. Semua orang ikut bersuka cita bersama dengannya. Apakah perbuatannya yang menggoncangkan itu bukan telah diramalkan dalam jatuhnya tandu pengantin? Dan mengapa sebagai Senapati Tuban ia tidak mengerahkan pagardesa dan penduduk? Mengapa hanya balatentara yang dikerahkannya? Dalam rumah-rumah yang suram dalam suasana yang suram pula pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiada pernah terjawab. Maka oranghanya bisa menunggu selesainya pertempuran. Seperti halnya dengan setiap orang Tuban, gumpilan-gumpilan sejarah masalalu tentang seorang anak desa yang naik ke atas. Gajah Mada dan Ken Arok. Tetap tak ada yang dapat meramalkan apa yang bakal terjadi. Setidak-tidaknya setiap orang percaya, pertempuran di pedalaman akan segera selesai, dan semua akan kembali seperti semula. Yang orang tak habis-habis mengerti ialah mengapa Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa, yang dicurigai dan tak disukai oleh setiap orang itu, justru menjadi semakin dekat pada Sang Adipati. Tak ada seorang pun berani menjamah kulitnya. Dan memang orang tidak tahu apa yang hidup dalam hati Sang Adipati. Dan Idayu? Seluruh kota Tuban mengerti dia sedang tetirah ke Awis Krambil untuk melahirkan. Dan mungkin juga sudah melahirkan. Mereka semua berdoa dengan diam-diam agar anak yang dilahirkan pada waktu sekitar terjadinya pembunuhan terhadap Sang Patih tidak akan terjatuh dalam pengaruh Sang Banaspati. Semoga anak itu memang menjadi perpaduan kemuliaan antara bapak dan ibunya. Anak cinta itu semestinya jadi gemilang, lebih gemilang daripada kedua orangtuanya. Pada hari-hari itu langit selalu bermendung, ditingkah oleh guruh dan petir. Hutan-hutan yang hijau kelam di kejauhan nampaknya sedang menggigil ketakutan menunggu datangnya taufan. Angin tak henti-hentinya bertiup, dan kesenyapan semakin membikin hati gundah. Di malam hari bintang yang sekecil-kecilnya pun enggan menjenguk bumi. Dan laut pun tak jera-jera berdebur, sedang hati penduduk Tuban tawar kehilangan gairah. Tinggal Sang Adipati saja percaya: tak lain dari Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa yang bisa mendatangkan persahabatan dan Peranggi dan Ispanya. Ia merasa masih mempunyai cukup kehormatan: Ia tidak akan mengirimkan utusan sebagaimana halnya dengan raja Blambangan Giri Dahanaputra, Girindra Wardhana. Tuban tidak perlu mengakui keunggulan Malaka…. 0o-dw-o0 20. Pertempuran dan Pertempuran Hujan jatuh tak semena-mena di atas pesanggrahan balatentara Tuban. Malam gelap-pekat. Angin kencang antara sebentar menggeleparkan atap-atap dan dinding daun kelapa setiap gubuk pesanggrahan. Bila kilat mengerjap, gubuk-gubuk itu nampak seperti sekelompok anak kucing yang mendekam putus asa kehilangan induk. Dalam salah sebuah gubuk pesanggrahan ini sebuah pelita minyak kelapa memancari wajah dan tubuh beberapa orang yang berdiri di sekelilingnya. Setiap kali nyala pelita itu bergerak, wajah mereka yang mengelilinginya nampak berubah-ubah, seperti bukan wajah manusia tetapi makhluk menyeramkan dari alam lain. Tak ada di antara mereka tersenyum atau tertawa. Semua memusatkan pikiran dan kesungguhan mereka menegangkan suasana. “Yang telah kita hadapi dan hancurkan pada hari ini bukanlah dan belumlah seluruh kekuatan mereka,” kata Kala Cuwil. “Mungkin baru sebagian kecil. Malahan di mana disembunyikan meriam itu kita belum lagi tahu.” “Dari bunyi ledakannya jelas disembunyikan di arah tenggara,” seseorang memberikan pendapatnya. “Jelas seperti siang. Tapi meriam bisa berpindah setiap waktu.” “Dia tetap akan meninggalkan bekas.” “Orang bisa membikin supaya tidak berbekas.” “Mereka takkan mempunyai cukup waktu untuk itu.” “Moga-moga.” “Selama mereka masih menembakkan meriamnya, induk pasukan mereka belum lagi bergerak,” sambung Rangkum, kepala pasukan kaki. “Dan hanya sedikit-sedikit tembakannya,” Kala Cuwil meneruskan, “barangkali pelurunya sangat terbatas. Mereka takkan bisa bikin sendiri. Atau, mereka bertekad untuk melakukan perang lama seperti Paregreg. Dan bila itu yang mereka kehendaki dan kita tidak bisa mengatasi, Tuban akan diterkam bahaya kelaparan. Sedang bandar akan hanya menjadi beban.” “Kita akan usahakan mereka tak punya kemampuan untuk berperang lama,” Banteng Wareng memperdengarkan suaranya, “pedalaman kita tidak begitu subur. Daerah Tuban Kota sendiri tandus. Selama ini hanya kebesaran bandar yang diagung-agungkan. Kalau pedalaman kacau dan laut pampat, hanya kelaparan yang ada.” “Semua itu benar kecuali satu yang tidak dilihat: kita inilah kunci’ Wiranggaleng menyarani. “Kalau mereka menghendaki perang panjang, kitalah yang akan membikin pendek.” Banteng Wareng mengangkat muka. Suatu perasaan tak senang terpancar pada wajahnya. Dengan tenang ia memperdengarkan suaranya: “Dan mereka bisa juga memegang kunci atas kita. Menyesal sekali Mahmud Barjah dilepas murah.” Kala Cuwil mendengus menahan kegusaran Banteng Wareng. Ia memang terkenal sebagai jurudamai yang tidak pernah berpihak, maka orang mendengarkan setiap katanya: “Ikan besar umpan pun besar.” “Ikan itu belum lagi kelihatan,” bantah Banteng Wareng, “lagi pula kita tidak sedang mengail, kita sedang berperang.” “Dengarkan, kau, Rangkum,” Senapati Tuban membelokkan perhatian mereka, “aku minta separoh dari pasukan kaki. Berangkat malam ini juga, kau dan aku. Besok bila mereka bangun, mereka akan tahu telah terputus dari induk pasukannya sendiri!” “Tak pernah ada balatentara bergerak di waktu malam,” bantah Banteng Wareng. “Apakah Senapati kalian kira keturunan raja? Aturan perang Senapati kalian bukan berasal dari para raja. Apa katamu, Kala Cuwil?” “Biarlah kepala pasukan kaki sendiri yang menjawab.” “Mereka sudah terlalu lelah, Senapatiku,” jawab Rangkum. “Besok mereka masih membutuhkan tenaganya sendiri. Mereka tak berkuda, tak bergajah. Biarlah mereka mengasoh. Petani-petani pedalaman itu takkan dapat lari jauh. Mereka masih ada di dekat-dekat sini, Senapatiku.” Dan Wiranggaleng tahu, hanya Senapati tidak bijaksana disangkal oleh bawahannya. Semua mengawasinya seakan mengukuhkan ketidakbijak-sanaannya. Dan jatuh hujan di atas atap daun kelapa itu kembali terdengar oleh mereka. “Senapatiku belum lagi selesaikan perbincangan ini,” Banteng Wareng memperingatkan. “Aku tidak biasa bicara seperti kalian. Yang aku tahu, hari ini kita telah mendapatkan kemenangan gemilang.” “Senapati baru sekali ini berperang,” bantahnya. “Dalam seumur hidupku, balatentara Tuban hanya sekali ini turun untuk berperang. Pengalamanmu tidak lebih banyak dari aku,” jawab Senapati. Dengan sendirinya tangannya terkepal jadi tinju. Bantahan ini dirasainya tidak layak setelah kemenangan gemilang hanya karena dirinya yang memerintahkan dimulainya gerakan, la telah pertaruhkan nasibnya dengan mengambil-alih kesenapatian. Ia pandangi kepala pasukan itu seorang demi seorang. Dan ia tak mendapat sokongan. Juga Kala Cuwil tak menyokongnya. “Tak ada yang bilang mereka tak boleh mengasoh. Bukan raja pun harus tidur. Cobalah fahami maksud Senapati,” katanya menyarani. “Kalian memang boleh menyanggah seorang Senapati anak desa, tapi perang adalah perang.” “Kepala pasukan kaki tidak menyanggah, Senapatiku. Mereka lelah, hari hujan dan gelap. Harap Senapatiku bijaksana.” “Kala Cuwil!” panggil Senapati. “Juga kau sendiri tahu, yang paling lelah adalah pasukan kuda. sekalipun tidak dengan kakinya sendiri. Lagi pula hanya sebagian dari pasukan kaki yang dikerahkan pada hari ini. Tak sampai separoh. Bagaimana jawaban ini?” “Rangkum menolak, Senapatiku, sebagaimana pada sebaliknya Senapatiku melepaskan Mahmud Barjah dari kepungan, demikian juga Rangkum melepaskan anakbuahnya untuk beristirahat,” jawab Rangkum tegas. “Baik. beristirahatlah. Aku kenal daerah ini. Aku tahu pasukan kuda dan gajah tak bisa jalan pada malam seperti ini. Namun sesuatu harus kita kerjakan pada malam ini. Sekalipun kalian menolak, aku masih mengharapkan ada yang mau berangkat. Siapa siap berangkat?” Tak berjawab. Senapati masih memerlukan memandangi kepala-kepala pasukan sekali lagi untuk mendapat jawaban. Sia-sia. “Baik,” katanya kemudian, “Banteng Wareng, sediakan untukku seekor kuda yang segar.” “Kemana Senapatiku akan pergi, seorang diri?” “Memutuskan mereka dari induk pasukannya.” Banteng Wareng menatap Senapati dengan diam-diam. Melihat Wiranggaleng tetap pada pendiriannya, lambatlambat tapi pasti ia menjawab: “Baik. Kalau begitu seluruh pasukan kuda akan bergerak mengikuti Senapatiku, malam ini juga.” “Tidak. Seekor saja aku perlukan. Biar aku berjalan sendiri, dan biar kalian tahu bagaimana orang yang tak tahu aturan perang para raja ini bertarung.” Sejenak kepala-kepala pasukan itu terdiam. Banteng Wareng menatap Rangkum, dan yang belakangan ini mengangguk. “Senapatiku,” jawab Rangkum, “pasukan kaki akan bergerak malam ini juga, mengikuti Senapatiku.” Malam itu juga, dalam kegelapan dan hujan, pasukan itu bergerak bergandengan tangan dan lari maju bila kilat menerangi bumi barang sekejap. Tanah berumput di bawah kaki memudahkan perjalanan. Dan mereka berjalan dan berjalan. Hujan berhenti dan curah kembali. Mereka terus berjalan melintasi padang rumput berbatu-batu, kemudian memasuki jalanan desa yang berbatu-batu pula. Hujan berhenti lagi dan bintang-bintang mulai mengintip dari sela-sela mendung. Beberapa kali ayam liar dan ayam hutan terdengar berkeruyuk. Kemudian unggas-unggasan yang lain mulai menyanyi dari segala pelosok, dan matari pun mulai memancarkan lembayung merah dari bawah bumi, jauh di timur sana. Laskar-laskar Rajeg yang dicari ternyata tiada. “Apa katamu sekarang. Rangkum?” “Senapatiku benar. Mereka bergerak di malam hari.” “Apa artinya itu, Rangkum?” “Artinya, kita sudah binasa, bila mereka menyerang dengan sepenuh kekuatan, Senapatiku.” Demikianlah maka berita, laskar-laskar musuh bergerak di malam hari diterima dengan terkejut di pasanggrahan. Pada waktu itu juga gubuk-gubuk dibongkar dan semua bergerak menyusul Senapati. Gerakan penjejakan diadakan. Bekas-bekas mereka pada siang kemarin telah terhapus oleh hujan. Berita, bahwa Tuban terpancing turun ke gelanggang tanpa persiapan dan tanpa mengerahkan pagardesa ataupun penduduk, menerbitkan suka cita Ki Aji. Mereka akan mati kelaparan, kehujanan dan kedinginan. Setelah magrib, di depan pendopo, di hadapan para pengikut ia memberikan wejangan pendek sebelum isya: “Anak-anakku, kawulaku, sudah berkali-kali aku ajarkan pada kalian, jangan percaya pada ningrat Jawa. Mereka bilang dewa-dewa yang telah pilih mereka jadi ningrat untuk memerintah orang desa.” “Semua orang tua-tua kalian tahu tentang cerita pertentangan antara ningrat dan bukan ningrat semasa Majapahit. Di Tuban aku pun sudah banyak dengar tentang itu, bahkan juga dari para nakhoda dan saudagar asing yang punya perhatian pada kejayaan Majapahit di masa silam. Juga punya perhatian, mengapa kemaharajaan yang besar itu bisa jatuh berkeping-keping dan tak mampu berdiri lagi.” “Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang Paregreg. Bukankah kalian juga masih ingat soalnya karena tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani Suhita yang masih juga mau meneruskan memberikan kekuasaan pada bukan ningrat? Dan bukankah kalian juga masih ingat, bahwa dalam kekuasaan Majapahit hampir semua pangeran itu tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan besar? Dan bahwa yang besar-besar hampir seluruhnya dilakukan oleh orang-orang keturunan desa?” “Lebih sepuluh tahun aku telah mengabdi pada Adipati Tuban sebagai Syahbandar. Aku sudah jelajahi bandarbandar di Jawa, dari Banten sampai Panarukan. Sama saja di mana-mana: ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar.” Lihat itu raja Ciri Dahanapura Blambangan, yang menamakan diri pewaris tunggal Majapahit. Bukankah sudah diketahui semua orang dia mengemis-ngemis meriam pada Peranggi? Pada Kongso Dalbi di Malaka? Begitulah ningrat Jawa. Untuk mengambil hati Peranggi, raja Blambangan itu tak malu-malu mengaruniakan sebidang tanah dan tenaga kerja pada Peranggi-peranggi di Blambangan untuk digarap dan untuk mendirikan rumah di Panarukan dan Pasuruan. Dibiarkan mereka mendirikan rumah-rumah besar. Tak tahu malu. Apakah Islam datang pada kalian karena meriam? Dan disertai orang Arabnya sekali? Tidak! Tak ada orang Arab menyampaikan ajaran di Jawa ini, di seluruh Jawa, di seluruh benua kepulauan Nusantara ini. Orang-orang Arab datang hanya untuk memaneni jerih-payah orang lain. Islam datang dari kandungan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh hati mereka yang bersih pula, berkembang damai seperti berkembangnya bunga jambu. Lain dengan Peranggi dengan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan meriam, dan dengan Perangginya sekali. Islam datang tanpa meminta tanah. Mereka datang dan membutuhkan tanah.” Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada Rois dan Manan, Peranggi mualaf, membersihkan tenggorokan dan mulai lagi: “Manan dan Rois datang bukan sebagai Peranggi Blambangan. Mereka berdua datang untuk jadi bagian dari kita. Untuk jadi saudara sendiri.” Dari kejauhan telah terdengar guruh bergumam dan gerimis tipis mulai turun. Kiai Benggala Sunan Rajeg tak juga berkisar dari tempat duduknya, meneruskan: “Kalau Tuban telah kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan, mengusir Hindu dan Nasrani dan Peranggi dari Blambangan. Tak ada alasan Tuban bisa mengalahkan kita. Adipati Tuban sama dengan ningrat Jawa yang lain, lemah, tak berkemauan. Ingin aman dan senang terus sampai mati, tanpa berbuat apa-apa dengan merugikan semua orang. Munafik! Lihat saja dia itu. Tak ada maharaja memerintah dia. Pasukan gajahnya kuat, lebih dua ratus tahun jadi perisai Majapahit. Mengaku Islam. Sekarang Majapahit tinggal segenggam tanah yang bernama Blambangan, jangan harapkan dia mau dan berani bergerak ke selatan. Dia malah mau meniru raja Blambangan, Girindra Wardhana, mau mengemis-ngemis persahabatan dari Peranggi, sekalipun dengan caranya sendiri. Malah anak-anaknya sendiri pada lari meninggalkannya. Hujan mulai melebat. Dan untuk pertama kali dalam kekuasaannya di Rajeg ia mempersilakan para pengikut masuk ke dalam pendopo yang tak berdinding itu. Dan ia terpaksa meneruskan wejangannya, karena memang belum lagi sampai pada pokok kesukaan: Demak. “Nah,” ia meneruskan setelah semua mendapat tempatnya, “kalian sudah tahu siapa yang menganggap dirinya Sultan Islam pertama-tama di Jawa. Kalian memanggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak sesederhana itu namanya. Lengkapnya: Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Sama sekali bukan nama Jawa. Memang dia bukan orang Jawa. Jangan dengar musafir-musafir Demak berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah Majapahit. Bohong! Semua pemasyhuran tentang Demak oleh musafirmusafir itu bohong belaka. Ningrat Jawa sekarang ini takkan punya kemampuan membuat sesuatu yang baru, apalagi mendirikan kerajaan Islam pertama. “Aku tahu ada di antara kalian di sini bekas musafir Demak, hei, kau bekas musafir Demak, benarkah Sultan Demak orang Jawa?” ia tertawa mengejek. “Yang kalian sebut Sultan Demak orang itu sama sekali tidak bisa baca dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. Dia hanya bisa bicara sedikit Melayu. Anak dusun yang bodoh itu bisa baca dan tulis. Masa seorang raja Jawa tidak bisa? Bukan itu saja, kulitnya bukan kulit Jawa dan matanya bukan mata Jawa. Hei, kau bekas musafir Demak, cobalah jawab: sipit atau tidakkah Sultan Demak?” Seorang pemuda jangkung nampak memanjangkan badan dan leher dan menjawab: “Sahaya belum pernah melihatnya, Ki Aji.” “Bahkan musafirnya sendiri tak pernah melihatnya. Dia memang tak pernah muncul di depan umum. Dan jangan percaya kalian pada orang selama dia mengaku diri musafir Demak. Mari aku ceritai kalian: “Sultan Demak memang tidak pernah muncul di depan umum. Dia takut dilihat oleh kawulanya sendiri. Karena itu dia membutuhkan musafir untuk menyebarkan kebohongannya ke seluruh Jawa.” “Jadi siapa gerangan, Kanjeng Sunan?” Pertanyaan itu menyebabkan orang tergugah dari kebosanan. Ada hal baru yang nampaknya bakal mereka ketahui: “Itu hanya dalam kitab seorang Syahbandar. Selama ada Syahbandar di pelabuhan-pelabuhan di Jawa, orang akan dapat memperoleh keterangan yang benar tentang raja-raja Jawa sekarang ini. Itulah tambo. Kalian harus tahu tambo untuk mengetahuinya duduk perkara. Waktu kalian belum ada… “, ia memulai dengan ceritanya, “ada tersebut dalam kitab para Syahbandar, datanglah armada dari utara sana, memang bukan untuk menaklukkan negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya, bukan untuk menaklukkan dan juga bukan untuk membajak. Mereka datang untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Mereka datang dengan dalih telah terusir dari negerinya dan minta perlindungan pada Majapahit. Tidak lain dari Sang Adipati Tuban yang lebih tahu bagaimana isi perjanjian itu, karena dialah waktu itu ditunjuk oleh Sri Baginda Bhre Wijaya Purnawisesa untuk melayani mereka. Mereka diperkenankan tinggal di Lao Sam sekarang dan Semarang sekarang, tetapi mereka tidak boleh memasuki perairan Maluku. Mereka boleh mendapatkan rempah-rempah hanya dari bandar-bandar di Jawa. Laksamana armada ini kalian tahu namanya: Dampo Awang. Orang hanya mengenal gelarnya: Ceng He. “Memang mereka tidak seperti Peranggi dan Ispanya. Dan mereka berdagang biasa, tidak mampu menguasai perdagangan rempah-rempah seluruhnya. Mereka melalui jalan dagang dan jalan laut seperti halnya dengan kapalkapal Jawa.” “Armada itu sangat besar, walau mungkin takkan sebesar armada Majapahit di masa jayanya. Dan karena waktu itu di Jawa tak ada armada besar lagi, armada itu nampaknya memang sangat besar. Orangtua kalian tahu betul tentang itu, tetapi ada banyak hal yang mereka tidak pernah tahu.” “Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang, tidak menembak dengan meriam atau cet-bang, tidak merampas bandar orang dan tidak menumpas rajanya.” “Di mana armada itu sekarang, Kanjeng Sunan, karena menurut cerita kapal Dampo Awang sendiri tenggelam di pantai Rembang.” “Armada itu sendiri sudah banyak buyar di banyak bandar!” Orang berdesakan mendekat untuk tidak terganggu oleh tampias dan bunyi jatuh air di perlimbahan. “Mereka memang tidak kembali ke negeri sendiri. Mereka tersekat di sini karena di negerinya sendiri terjadi pergantian kaisar. Berdasarkan persetujuan dengan Majapahit, dengan Tumenggung Wilwatikta, mereka membuka daerah-daerah rawa-rawa Semarang sekarang, mereka bikin jadi bandar perdagangan dengan nama Sampo Toa-lang. “Dulu orang segan singgah di sana, tidak sehat, banyak penyakit. Lama-lama ada juga yang datang dan mendapat pelayanan. Tentu tidak sebaik pelayanan Tuban sewaktu aku masih jadi Syahbandar. “Dengan jatuhnya Majapahit kelompok besar armada musafir kuatir akan terjadinya perang antara para gubernur untuk berebut jadi raja di antara mereka. Mereka kuatir perjanjian dan Tumenggung Wilwatikta itu kehilangan kekuatannya. Mereka tahu gubernur yang paling kuat adalah Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, maka dari timurlah mereka menduga akan datangnya bahaya. Begitulah mereka bentengi pangkalannya dengan melantik sebuah kerajaan baru dekat sebelah timurnya. Kerajaan benteng Sampo Toa-lang itulah Demak.” “Bukan Kanjeng Sunan, bukan begitu babad berdirinya Glagah Wangi Demak,” seseorang membantah berapi-api sambil berjongkok meninggikan badan. “Bukankah kau bekas musafir Demak, Firman?” “Betul, Kanjeng Sunan, bukan begitu. Sungguh bukan begitu.” “Memang bukan begitu yang diajarkan padamu untuk jadi musafir Demak. Coba, adakah pernah seorang raja Jawa menyebarkan musafir? Itu bukan adat raja-raja Jawa. Raja-raja Jawa biasanya hanya menyuruh pujangganya untuk membual tentang kebesarannya, tentang kemuliaan asal-usulnya. Bohong kalau dia keturunan Majapahit, anak Retna Su-banci, cucu Babah Bantong dari Gresik. Dengarkan baik-baik. Babah Ban-tong memang orang Tionghoa Islam. Nama sebenarnya Tan Go Hwat. Bapakku mengenal dia, karena beberapa kali dia memang pernah berlayar ke Malaka. Benar anaknya telah diselir oleh Sri Baginda Bhre Wijaya, tetapi tidak benar anaknya itu dihadiahkan pada Arya Damar, Adipati Palembang dan melahirkan Al-Fattah. Uh, kalian, orang Jawa. Dalam lontar kalian hanya yang itu-itu juga yang disalin. Tak ada yang baru. Bahkan tak ada orang Jawa jadi Syahbandar! “Tidak, Firman, anak ganteng. Retna Subanci tidak pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh ayahnya ke Malaka semasa masih gadis kecil. Memang dia mengandung dan mendapat anak dari raja Majapahit, tapi anak itu kemudian mati. Dia sangat menderita di dalam keputrian, hampir-hampir tak bisa dikendalikan, selalu merengek minta menjenguk orangtuanya. Sri Baginda dalam pada itu tidak terlalu suka padanya. Tanyalah pada Sang Adipati Tuban, ke mana itu Retna Subanci. Boleh jadi hanya dialah yang tahu. Anak Babah Bantong itu dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban. Anak yang dilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca. Selanjutnya kalian tahu sendiri. Oleh ibunya sebelum meninggalnya dia diserahkan pada Gouw Eng Cu untuk dididik.” “Seluruh Majelis Kerajaan Demak tidak bakal bisa bantah aku, Sultan Demak itu tak lain dari peranakan awak armada Ceng He. Itu ada dalam kitab para Syahbandar, boleh jadi juga dalam klenting-klenting di Tuban dan Lao Sam, boleh jadi juga di Semarang sendiri.” Sebentar terjadi kegaduhan dan Mohammad Firman menjawab pertanyaan dari beberapa orang di dekatnya. “Apa?” sambar Sunan Rajeg yang menangkap kegaduhan itu. “Betul Jaka Seca itu kemudian jadi Raden Said, sekarang Sunan Kalijaga, tahu betul bahasa Cina, maka juga ikut mengelompok di Demak. Demak dan Islam dibikin jadi satu – dengarkan itu, karena kekuatan di Jawa sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang Islam. Apakah Sultan Demak sesungguhnya sudah setingkat keislamannya dengan Sunan Rajeg ini? Hei, kau, bekas musafir Demak, pernahkah kau mendengar Sultan Demak menyebutkan barang satu ayat dari kitab suci? Atau orang pernah bercerita tentang itu? Mengapa kau diam saja? Tak ada urusan. Urusannya hanya keselamatan Semarang.” Sikap Sunan Rajeg yang memusuhi Demak itu sudah sangat diketahui oleh umum. Mohammad Firman yang dikirimkan ke pedalaman Tuban sama sekali tidak bisa menandinginya, apalagi meyakinkannya. Ia malah tertelan oleh pengaruh Sunan Rajeg. Biar pun begitu pernyataan bahwa Sultan Demak bukan berdarah Majapahit dan peranakan awak kapal Dampo Awang sungguh menggoncangkan: Dan melihat terjadinya kegaduhan Kiai Benggala Sunan Rajeg buru-buru melambaikan tangan untuk menenangkan: “Bukan soal ini sebenarnya aku ingin sampaikan. Ialah bahwa ningrat Jawa sudah begitu lemahnya, bukan saja armada yang tersekat itu sampai dapat membuka bandar dan perkampungan besar, tapi juga tidak berdaya sesuatu melihat ada seorang bukan Jawa telah naik tahta jadi raja Islam pertama-tama. Mungkin kalian tidak tahu, Semaranglah-bandar Demak. Apakah kalian tidak malu adalah orang yang tak tahu basa dan tulisan Jawa, tak bisa bicara Jawa menjadi raja dari orang-orang Jawa?” Sampai pada puncak semangatnya kembali ia terserang oleh batuk, dan sekali ia mencoba sekuat daya untuk bertahan. “Aku pun bukan orang Jawa, orang Benggala, orang Keling. Apakah aku tak bisa bicara dan membaca Jawa? Bawa sini semua lontarmu, dan aku bisa bacakan mungkin lebih baik daripada guru-guru kalian. Dan semua isinya omong kosong belaka tanpa bisa dibuktikan. Maka aku tidak datang pada ningrat Jawa, tapi pada kaum pedagang dan petani seperti kalian, orang-orang biasa, orang desa… lain halnya dengan Sultan Demak, mendirikan kerajaan untuk jadi benteng Semarang. Islam dipergunakan dalih.” “Dan lihat di ujung Barat Pulau Jawa sana. Aku kira belum ada di antara kalian pernah ke sana. Aku pernah. Di sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri Dahanapura Blambangan, Pejajaran namanya. Rajanya juga lemah seperti Girindra Wardhana. Penghasilannya melimpahlimpah, tanahnya subur dan kawulanya rajin dan patuh. Karena rajanya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah karena kekayaannya. Dia pun berusaha mendapatkan persahabatan dengan Peranggi. Dia mencari persahabatan dari singa yang lapar.” Bedug masjid Rajeg telah memanggil-manggil untuk bersembahyang isya. “Begitulah raja-raja di Jawa, maka semua bakal dikuasai oleh Peranggi,” Sunan Rajeg meneruskan, “dan itu tidak boleh. Tidak boleh. Demi Allah!” dan ia memberi tekanan pada kata-katanya: “Maka aku, orang Benggala, mengajukan diri untuk melindungi Jawa dari tangan najis kafir Peranggi, aku, Sunan Rajeg.” “Maka itu kita harus melawan Tuban. Sekarang balatentara Tuban sedang terpancing turun ke gelanggang. Pasukan gajahnya akan punah oleh meriam kita, akan terkubur dalam perangkap, insya Allah, kita pasti menang.” 0o-dw-o0 Mahmud Barjah dengan membawa dendamnya terhadap Manan dan Rois menarik pasukannya pada malam itu juga. Kalau tidak, bila seluruh tentara Tuban yang dikerahkan, dengan kuda dan gajahnya sebelum ia mempunyai persiapan kedua, pasti dan terjadi penumpasan yang tak dapat dielakkan. Hujan deras yang turun pada malam itu telah diperhitungkannya akan menjadi pelindungnya. Balatentara Tuban tidak akan menyusul. Bila toh dilakukan juga takkan dapat menemukan. Dengan diam-diam ia perintahkan melaksanakan rencana Manan dan Rois untuk membangunkan parit-parit penjebakan terhadap kuda dan gajah musuh. Mereka harus masuk ke dalam penjebakan untuk tumpas. Sementara itu ia perintahkan untuk membikin jejak-jejak ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang dibangun. Ia membutuhkan waktu pendek untuk rencananya itu. Hampir-hampir ia tak percaya pada telik-teliknya yang melaporkan, tentara Tuban telah melakukan gerakan di malam hari. Ia sebarkan telik-telik baru untuk menguji laporan pertama. Dan dua-dua laporan itu tidak berbeda. Memang balatentara Tuban bergerak juga di malam hari. Pembikinan jebakan terpaksa dilakukan siang-malam, tak mengindahkan cuaca, dan dengan hasil yang tidak memuaskan. Hujan dan air menghalangi penggalian. Namun petani-petani yang terbiasa bergaul dengan tanah dan lumpur menggali terus tanpa mengeluh. Bahkan hujan itu menghemat tenaganya dibandingkan dengan pemborosan di waktu panas. Tapi air curah itu tetap menghalangi kemajuan. Sebagaimana halnya dengan Manan dan Rois, ia tidak menyetujui perang yang belum waktunya ini. Tapi perang telah dimulai. Kekalahan pada hari pertama ia anggap sebagai kewajaran yang harus diterima. Namun ia masih juga belum dapat berdamai dengan kekalahannya yang pertama. Ia pun belum dapat berdamai dengan nafsu segera perang dengan gampang dari Sunan Rajeg. Dan ia pun menyesali diri sendiri tak dapat mencegah semua itu, bahkan dengan diam-diam mengakui, diri sendiri ingin segera masuk ke Tuban kota sebagai pemenang, megah dikagumi oleh semua penduduk, tak ada seorang pun yang bakal memerintah, malah memerintah semua orang. Betapa lama ia sudah mengimpikan datangnya hari, semua atasannya dulu datang padanya, berlutut di bawah kakinya dan menyembah mengakui keunggulannya. Kekalahan pertama ini menjauhkan dari impiannya sendiri. Ia harus bekerja lebih keras. Sedang Manan dan Rois itu mereka menambahi segalanya pula, karena harus berbagi pendapat dengan mereka. Ia takkan datang melapor pada Sunan Rajeg karena kekalahan ini. Ia akan bergerak terus. Dan sekarang melakukan gerakan semu untuk mengelabui musuh untuk melindungi pembikinan jebakan. Sebelum mendapat kemenangan ia tidak akan muncul untuk melapor. Anak buah yang membikin bekas-bekas kaki pun bekerja siang dan malam tanpa henti. Tak bisa lain: ia membutuhkan paling tidak tiga hari untuk dapat membuka pertempuran baru. Jebakan yang dibuat menurut rencana Manan dan Rois adalah sebuah parit berbentuk tapal kuda yang bermulut luas. Pasukan kuda dan gajah musuh harus masuk ke dalam kantong tapal kuda ini. Di belakangnya akan dipasang pasukan pemanah yang akan melemparkan anak panah api dan biasa Bila kuda dan gajah telah menjadi kacau ketakutan karena api, meriam akan beraksi sehingga musuh kehilangan keseimbangan. Serangan selanjurnya tinggal pembabatan penyelesaian, dan akan dilakukan oleh bekas tentara Tuban sendiri. Ia telah kirimkan penghubung untuk menempatkan meriam. Manan dan Rois mengikuti perintahnya. Mereka mengarahkan regu-regu pelayan dan pengawalnya. Pasukan pemanah pun telah siap di belakang tapal kuda. Tinggal gerakan pemancingan terhadap musuh yang berhari-hari mencari dengan sia-sia, masih harus dirancang dengan seksama. Dan semua kegiatan itu melupakannya kepada pertentangan dengan Esteban dan Rodriguez, juga pada penyesalannya terhadap Sunan Rajeg dan diri sendiri. 0o-dw-o0 Pada suatu hari pasukan kaki Rangkum melihat serombongan prajurit putih melintasi jalanan negeri. Dari kejauhan nampak jumlah mereka begitu sedikit. Pasukan kaki Tuban segera bersorak dan mengejar. Dan sorakan itu memanggil pasukan-pasukan lain untuk bergabung. Arus balatentara Tuban mengalir dari segala penjuru menuju ke tempat Mahmud Barjah telah menunggu dengan diam-diam. Laskar Rajeg yang berjumlah kecil itu seakan lari ketakutan langsung masuk ke dalam tapal kuda, melompati tirnbunan-timbunan tanah, men-ceburi tanah, menceburi parit, menyeberanginya dan keluar dari jebakan, hilang di balik semak-semak. Sebagian dari pasukan kaki Rangkum telah memasuki jebakan waktu di kejauhan Wiranggaleng dari atas gajah mengirimkan penghubung berkuda untuk menghentikan pasukan kaki. Dari ketinggian itu dilihatnya Rangkum sedang memasuki jebakan raksasa. Penghubung itu mencapai kepala pasukan kaki waktu ia sudah berada di tengah-tengah jebakan. Dengan terbata-bata Rangkum memberikan perintah berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu serangan. Banteng Wareng menyebarkan pasukannya di luar daerah jebakan untuk melakukan gerakan penyisiran. Mahmud Barjah melihat tentara Tuban berhenti di tengah-tengah jebakan mengerti, musuh telah menyadari masuk perangkap dan tidak bisa kembali, juga tidak mungkin maju terus. Dengan hati berat ia jatuhkan perintah untuk menghujaninya dengan api dan anak-panah. Ia lihat prajurit-prajurit Tuban mengangkat perisai sebagai payung. Anak panah dan api berjatuhan seperti hujan, bersemburan dari balik-balik semak tanpa kelihatan pemanahnya, dan mereka sambil bersorak-sorak menggugupkan lawannya. Banteng Wareng mengalami kesulitan dalam melakukan penyisiran. Daerah luar jebakan itu ditumbuhi dengan semak-semak telakan yang rapat dengan batangnya yang liat. Ia tak maju. Dalam semak-semak sendiri gelap kegelapan yang memuntahkan anak panah dan api. Ia tak dapat menanggulangi serangan. Ia perintahkan pasukannya mundur dengan meninggalkan banyak korban. Melihat kegagalan ini dari atas gajahnya Wiranggaleng memerintahkan pasukan gajah menggantikan pasukan kuda. Gajah-gajah Tuban itu tak lama kemudian lari memasuki semak-semak yang ditinggalkan oleh Banteng Wareng. Dari atas gajahnya Senapati melihat pasukan Rangkum di dalam jebakan ini berusaha hendak mundur berpayung perisai tanpa bisa membalas. Dan dari belakang jebakan sorak-sorai tentara Rajeg semakin lama semakin bersemangat. Kerusakan pada pasukan kaki itu cukup besar, tanpa bisa membalas, namun berhasil keluar dari tungku maut. Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya waktu kudanya melarikan diri dari api yang sedang menandatangani, tetapi terjungkal dengan kepala pecah kena peluru meriam. Ia digotong keluar gelanggang oleh anakbuahnya. Semak-semak yang diterjang pasukan gajah itu menjadi rata. Prajurit-prajurit Rajeg yang berada di dalamnya tak dapat melukai dan mengenai binatang-binatang itu ataupun penunggangnya, terhalang oleh semak-semak persembunyian sendiri, sorak-sorai pengunduran diri mereka terdengar riang penuh kemenangan. Meriam tiba-tiba berhenti menembaki. Pasukan gajah terus melakukan gerakan penyisiran. Mereka tinggal berhadapan dengan semak-semak. Senapati mengerti berhentinya penembakan meriam disebabkan karena senjata-senjata itu juga terpaksa diundurkan. Mahmud Barjah dengan senyum puas memerintahkan seluruh tentaranya mundur. Ia telah terhibur karena telah dapat menebus kekalahannya yang pertama. Tak ada seorang pun di antara anakbuahnya tewas atau hilang. Beberapa orang saja terkena cedera karena kecelakaan. Sekarang ia mendapatkan keseimbangannya lagi. Ia akan tidak malu lagi menghadap pada Sunan Rajeg. Kalau perlu Manan dan Rois akan dihalaunya ke tempat yang tidak berarti di mata Sunan. Dalam perjalanan mengundurkan diri ia mulai merencanakan pembikinan parit yang tidak lengkung tapal kuda tapi lurus menghadang perjalanan musuh. Pos-pos pengintaian akan ditempatkan pada puncak pepohonan tertinggi untuk dapat melihat gerak-gerik musuhnya. Ia menyadari, ketinggian gajahlah yang menyebabkan jebakannya kelihatan dari kejauhan. Jebakan baru harus tidak kelihatan dari ketinggian. Dan terutama sekali pasukan gajah dan kuda yang harus dihancurkan. Wiranggaleng, setelah melihat kerusakan pada pasukan kaki, segera turun dari kendaraannya dan mendatangi Rangkum. Kepala pasukan itu sedang duduk di atas tandu waktu ia datang. “Pasukanku rusak, Senapatiku.” “Benar. Tapi kau tidak kalah. Juga tidak hancur.” “Tidak, tidak kalah, juga tidak hancur. Masih sanggup bergerak terus.” Rangkum ternyata tidak bersedia untuk diganti. Ia hanya menginginkan kuda baru. Dan Senapati merasa bersyukur. Ia mengerti maksud Rangkum, dia menghendaki tugas pendesakan dan penggiringan musuh diserahkan pada dirinya. Rangkum memaklumi tugasnya mendesak dan menggiring musuh sampai pada suatu titik di mana mereka tak bisa lagi menyerang, melawan, bertahan ataupun bergerak. Ia nilai pertempuran kedua sebagai kemenangan, karena tentara Rajeg toh terdesak dan tergiring lebih ke pedalaman. Pertemuan itu terjadi di pendopo antara Sunan Rajeg, Mahmud Barjah, Esteban dan Rodriguez. Panglima Rajeg dengan bersemangat melaporkan tentang jalannya pertempuran dan bagaimana kemenangan diperoleh. Bahwa pasukan kaki Tuban rusak, dan tak ada sesuatu kerugian pada pihak Rajeg. Manan dan Rois diam-diam mendengarkan dan tidak memberikan sesuatu pendapat. Mahmud Barjah kemudian menjanjikan kemenangan gemilang dalam pertempuran ketiga. Ia telah mempunyai rencana yang masak. Sunan Rajeg tak dapat bicara suatu apa, terbenam oleh semangat kemenangan. “Kapan pertempuran ke tiga sebaiknya diadakan, Paman Sunan?” tanyanya kemudian. “Tentu kau yang lebih mengetahui daripada aku. Berperang dengan jalan penjebakan rupanya sangat baik. Teruskan saja,” ia berpaling pada Esteban dan Rodriguez, “bagaimana pendapat kalian, Manan dan Rois?” “Pengalaman kedua ini sungguh memuaskan,” Manan memuji-muji rencananya sendiri, “jebakan, anak panah dan api. Bila ada ledakan-ledakan lebih banyak lebih baik, gajah takkan berani mendekat. Dia takut pada api dan ledakan.” “Sayang tak cukup obat peledak dalam persediaan,” susul Rois. Tidakkah Kanjeng Sunan punya tenaga yang bisa membikinnya? Barang sepuluh orang?” Sunan Rajeg menjanjikan akan memberikan tenaga itu. Sementara bahan peledak belum tersedia, perbincangan berkisar pada pencarian jalan untuk menumpas pasukan gajah. Dan Sunan Rajeg mengharap pada Manan dan Rois yang punya pengalaman perang di Afrika dan Asia untuk menyatakan pendapatnya. “Memang ada jalan yang mudah,” Rois alias Rodriguez memulai. “Kelemahan gajah ada pada tumitnya. Binatang yang kaku itu, dengan pandang selalu ke depan, karena kupingnya yang terlalu besar, sangat mudah diserang dengan cepat dari belakang. Sambil lari di belakangnya orang dapat mengapak tumitnya, dan dia takkan berdaya lagi untuk selama-lamanya. Ia akan menggelosot sampai mati.” “Betul, Kanjeng Sunan, itu memang bukan rahasia. Semua prajurit yang berpengalaman di benua hitam tahu akan rahasia itu. Bisa dijalankan dengan mudah.” “Anak kecil pun tahu kalau hanya begitu,” ejek Mahmud Barjah, “untuk itu tak perlu berpengalaman perang di mana-mana. Sebarkan penunggang kuda yang mahir, dan sambar tumit itu dengan kapak atau tombak… beres. Lihat, tak ada pasukan kuda pada kita. Lagi pula bukan percuma bila setiap ekor gajah Tuban diiringkan oleh paling sedikit limapu-luh prajurit kaki. Mereka bukan hanya menyerang ke depan. Mereka juga mengawal tumit gajahnya.” “Tetapi Rois betul,” Manan membenarkan temannya. “Jawabannya memang pasukan kuda. Kalau itu ada pada kita memang mudah. Karena tiada, harus diadakan penggantinya: penyergapan mendadak dan cepat terhadap pasukan kaki pengiring sambil menghancurkan tumit binatang itu.” “Di mana pengalaman perang kalian?” Mahmud mengejek. “Apakah kalian tak tahu setiap gajah perang dan di waktu perang semua tumitnya dilindungi dengan zirahbaja? Dengarkan, gajah perang Tuban bila berjalan, zirahnya bergerincing nyaring pada setiap langkah, seperti kopyak ki dalang. Ah-ya, mungkin di negeri-negeri lain tak demikian. Kasihan, betapa sengsaranya gajah perang di negeri orang itu.” Sunan Rajeg tertawa mendamaikan. “Kalian semua betul,” katanya. “Serangan cepat mendadak membongkar zirah. Tumit itu pun hancurlah.” “Tidak semua orang-orang bisa membongkarnya, apalagi dengan cepat dalam serangan mendadak,” Mahmud membantah. “Setiap bikinan manusia dapat dihancurkan oleh manusia. Soalnya adalah penggunaan waktu sependekpendeknya. Lihatlah, Paman Sunan, pembongkaran zirah itu sendiri memakan waktu lama di tangan bukan ahli daripada pendadakannya. Sebelum pembongkaran selesai, serangan sudah selesai. Maka serangan seperti itu bukan saja tidak akan mendapat tumit, tidak akan mendapat zirahnya, sebaliknya belalai gajah membantingnya ke bumi”. “Soalnya hanya pada cara menghancurkan tumit itu,” Manan berkukuh. Dan untuk ke sekian kalinya Mahmud tak berhasil menyudutkan dua orang saingannya itu. Pembicaraan itu terputus karena datangnya seorang penghubung: memberitakan: ada beberapa orang penunggang kuda yang diduga sedang menuju ke jurusan jebakan baru. “Halangi dan belokkan perhatiannya,” perintah Mahmud Barjah. Dan setelah penghubung itu pergi, ia meneruskan, “Kita harus berpanen, bukan mengasak. Lupakah zirah dan tumit gajah untuk sementara ini, Paman Sunan. Pertempuran ke tiga sedang di ambang pintu. Kita bersiap-siap.” Sunan Rajeg berpaling pada Manan, berkata: “Manan, aku ikut bersama dengan meriammu.” Dan mereka pun berangkat ke medan pertempuran. 0o-dw-o0 Meriam-meriam Portugis itu telah ditempatkan pada sebuah bukit yang dirimbuni pepohonan. Tempat itu sejuk. Peti-peti obat tertumpuk jauh dari senjata-senjata itu. Peluru-peluru besi bergeletakan seperti buah jeruk di bawah roda-roda meriam. Para pelayan pada berdiri dengan tampang angker di belakang senjatanya. Pandang mereka tertuju pada suatu titik di kejauhan di rendahan sana. Dan titik itu sebentar lagi akan jadi sasaran. Para pengawal meriam bersiaga di kaki bukit berdiri berkeliling, seperti bulu di selingkaran mata. Manan dan Rois sedang sibuk memeriksa sepucuk di antara yang dua. Dalam beberapa hari ini mereka tidak melaporkan yang sepucuk sudah tak diperlukan lagi, dinding kamar ledaknya telah cuwil, tebalnya tidak rata lagi. Bila dipergunakan salah-salah kamar ledak itu yang sendiri meledak. Melihat adanya kejanggalan itu segera Sunan Rajeg menegur, mengapa hanya sepucuk saja dipersiapkan? “Musuh terlalu kecil untuk dilayani dengan dua,” jawab Manan mantap. Dari atas bukit kecil nampak pasukan kuda Tuban bergerak pelahan mengapit pasukan gajah. Sunan Rajeg menuding ke jurusan mereka. “Mereka nampak sudah lelah mencari-cari,” katanya memberi perhatian. “Hajarlah dengan meriammu, biar segera tumpas!” “Tidak boleh ada serangan. Kanjeng Sunan, sebelum mereka berada dalam jarak tembak. Perintah pun belum diberikan oleh Panglima Mahmud.” “Aku lebih tinggi daripada Mahmud.” Rois tertawa. Dan Sunan Rajeg tersinggung mendengar tawa itu, berpaling padanya dan membentak: “Tertawa.” “Kita sudah menguasai medan Kanjeng Sunan,” Manan cepat-cepat menengahi. “Tak perlu terburu-buru bertindak. Mereka belum lagi sampai di tempat yang telah kita tentukan. Lagi pula mereka sama sekali belum tampak lelah. Kalau dalam keadaan begitu meriam ditembakkan, pasukan kuda mereka akan temukan tempat ini.” “Jadi kalian tak percaya pada kekuatan balatentara Sunan Rajeg, kalian, Manan dan Rois?” tetak Sunan. Ia menuding Rois dengan tongkatnya. Beberapa orang dari pengawal meriam datang berlarian, langsung mengepung Manan dan Rois mengacukan tombak mereka. “Aku tahu apa aku kehendaki,” Sunan Rajeg meneruskan bentakannya. “Tidakkah kalian mengerti Sunan Rajeg harus saksikan mereka, kafir-kafir itu bergelimpangan karena meriamnya? Manan! mengapa kau diam saja?” “Kanjeng Sunan,” Manan datang mendekati Sunan. “Seorang prajurit penembak meriam Peranggi bersumpah sehidup semati dengan meriamnya. Dia tidak boleh menembak tanpa perhitungan. Meriam adalah dirinya sendiri yang kedua. Dia harus selamatkan meriamnya bila dalam keadaan bahaya dan dia….” “Diam!” bentak Sunan Rajeg, “kalian bukan lagi penembak meriam Peranggi. Kalian penembak meriamku.” Sunan Rajeg terpaksa menghentikan curah katanya. Gelombang batuk tiba-tiba menyerangnya. Keadaan itu dipergunakan oleh Manan untuk menyelamatkan keadaannya menolong Sunan Rajeg meringankan serangan batuk, dan berkata lunak: “Kanjeng Sunan menghendaki kemenangan kecil tapi akan berpanen kehancuran. Kalau itu yang Sunan kehendaki, baik, kami akan menembak!” Sunan Rajeg mengebaskan diri dari tangan Manan. Berkata sengit dan menggigit: “Bukan kau yang menentukan. Hanya Allah.” Rois hendak membantu temannya tetapi telah kena bentak terlebih dahulu. Ia berjalan mundur-mundur karena ditarik ke belakang oleh para pengawal meriam. “Semua Allah yang menentukan, Kanjeng Sunan,” Manan masih juga membuka mulut. “Semua Kanjeng Sunan, tetapi yang tahu bertanggung jawab hanyalah manusia.” “Ajaran kafir. Dari mana datangnya ajaran tanggungjawab itu? Nasrani? Tak ada aku ajarkan pada kalian. Kalian pelayan meriam. Atau Sunan Rajeg sendirikah kau ini?” “Sudahlah, mari kita menembak,” Rois bersuara lagi dari tempatnya, dan ia mulai bersiap-siap. Atas isyarat Sunan para pengawal meriam lari menuruni bukit dan melakukan tugasnya. Sunan Rajeg mundur menjauh sambil menutupi dua belah kuping dengan telapak tangan. Pertikaian selesai dan tenang kembali kerindangan di bawah pepohonan itu. Rois telah memasukkan obat ke dalam kamar ledak. Manan memasukkan peluru dari moncong meriam. Kemudian laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada musuh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. Dan roda-roda meriam itu meninggalkan bekas dalam setelah digeser, di sebelahnya terbentuk bukitan tanah kecil di bawah kaki. Sumbu obat mulai dibakar. Kiai Benggala Sunan Rajeg mundur lima langkah lagi dan semakin merapatkan tangan pada telinga. Kemudian semua orang menutup telinganya sendiri, bukan telinga orang lain. Sunan Rajeg menghadap ke arah musuh untuk melihat bagaimana mereka menerima maut dari meriamnya. Api sumbu menjalar cepat masuk ke dalam bilik ledak. Ledakan yang menggemparkan udara dan hati manusia. Meriam itu seakan hendak melompat muncul dari bumi ke angkasa. Api menyemburat dari moncong meriam melemparkan peluru. Dan dari atas bukit kecil itu nampak peluru terlontar itu terbang cepat membelah udara menuju ke arah balatentara musuh yang sedang bergerak Mereka berada di luar jarak tembak…. Mendengar ledakan meriam dan melihat peluru jatuh di hadapan pasukan gajah itu berhenti seketika. Sebaliknya pasukan kuda lari ke depan meninggalkan gajah membentuk barisan corong dan berpacu maju ke jurusan sarang meriam untuk mengepung dan membinasakannya. “Mereka sedang menuju ke mari, Kanjeng Sunan!” Manan memperingatkannya. “Tembaki terus!” ‘Tidak mungkin, terlalu tipis untuk ditembak.” “Mereka akan terhalang oleh parit’ jawab Sunan Rajeg pelahan. “Ayoh tembaki, tembaki terus.” “Pengawal” raung Rois, “selamatkan Sunan Rajeg!” Mahmud Barjah datang dengan kudanya. Mukanya merah-padam karena marah. Tangan kirinya memegang kendali. Tangan kanan mengayunkan cambuk kuda. “Bangsat!” Pekiknya murka sambil mencambuk Manan. Yang dicambuk melompat menghindar. “Siapa perintahkan menembak?” “Kanjeng Sunan,” jawab Rois. “Apakah kalian sudah buta? Mahmud Barjah Panglima,” dengan cambuknya Mahmud menyambar kepala Rois yang juga melompat mengelak. “Mereka datang kemari!” teriak Manan. Panglima Rajeg itu mencambuk penggul kudanya dan berpacu turun untuk memimpin pertempuran. Derap kudanya makin terdengar pelan kemudian hilang sama sekali, ditelan oleh semak. Dengan dipapah Sunan Rajeg menuruni bukit sambil berkomat-kamit. Para pengawal menaikkannya ke atas tandu, dan berangkat mereka kembali ke desa. 0o-dw-o0 Setelah diurut dengan cermat dan dapat menggunakan tangannya kembali, walaupun masih lemah, Rangkum menolak tandu. Dengan tangan kanan lemah memegangi kendali dan tangan kiri membawa cambuk perang ia memimpin kembali pasukan kakinya. Pasukannya berbaris dalam formasi supit udang melewati pasukan gajah dan maju ke depan mengikuti jejak pasukan kuda. Terhenti karena parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu melambai pada pasukan kaki di belakangnya untuk melebarkan supitnya. Mereka bergerak untuk menemukan ujung-ujung parit. Mahmud Barjah tak menghendaki mereka menemukan ujung-ujung itu. Perintah penyerangan dijatuhkan. Tetapi musuhnya tak memperdulikan serangan itu dan terus bergerak meninggalkan jebakan. Dari balik-balik semak di seberang parit terjal bersemburan anak panah dan api dan tombak. Orang mulai bergelimpangan terluka atau mati, terinjak oleh temanteman sendiri. Prajurit-prajurit Tuban yang telah berhasil mencapai ujung-ujung parit segera menyerang musuhnya di seberang parit. Pertempuran terjadi. Meriam Manan dan Rois berdentuman. Pelurunya berjatuhan tepat pada tempat yang telah ditentukan, di depan parit. Mereka tak berani menembaki musuh yang telah menyusup dalam semaksemak di belakang jebakan. Dengan semangat hendak menebus kerusakan dalam pertempuran kedua, pasukan kaki Tuban sama sekali tak mengindahkan bahaya mengancam. Melalui ujung-ujung parit kiri dan kanan mereka mencurahi belakang jebakan, mendesak maju terus. Semak-semak itu bosah-basih terinjak dan tertebang. Panah tak bisa dipergunakan. Tombak mengambil alih. Pasukan kuda mundur mengikuti pasukan kaki yang mengamuk. Api anak panah dan tombak tak lagi beterbangan di depan parit jebakan. Di belakang pasukan kuda mengikuti pasukan gajah. Dan balatentara Tuban mendesak terus. Semak-semak yang terinjak pun ludes rata dengan tanah. Melihat tentara Rajeg terdesak Manan segera memerintahkan mengungsikan meriam dan segala perlengkapan, obat dan peluru. Regu-regu pengangkut lari naik ke atas dan mengungsikan perlengkapan. Mereka lari ke bawah, melintasi dataran, lari sambil membawa bebannya seperti serombongan kucing menggondol anaknya sendiri. Dan pucuk meriam itu menuruni bukit dengan gampang. Manan dan Rois pun lari, sepanjang jalan sambil memaki-maki dalam bahasanya sendiri. Tentara Rajeg yang terdesak tak mampu lagi menyusun barisan. Mereka mundur atau melarikan diri ke dalam rumpunan semak yang lebih dalam. Mahmud Barjah tak mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri. Berpegangan pada pengalaman sebelumnya kini Wiranggaleng tak mau lagi kehilangan jejak musuhnya. Ia memerintahkan terus mendesak, siang dan malam. Ia tak mau tentaranya menderita lelah hanya untuk mencari-cari. Sorak-sorai tentara Tuban yang mengguruh dari dalam semak-semak menjadi pertanda Rajeg telah terdesak dan didesak. Sorak-sorai tentara Tuban itu terdengar semakin mendekat. Manan memerintahkan agar regu pengangkut meninggalkan medan terbuka dan masuk ke dalam hutan. Waktu pasukan Banteng Wareng datang, mereka sudah tidak nampak kecuali bekas-bekas yang tertinggal. Pecahan-pecahan tentara Rajeg yang bersebaran di medan terbuka segera pula melarikan diri masuk ke dalam hutan. Mereka membuangi pakaian putihnya dan segera hilang di antara kehijauan dan kecoklatan. Tandu Kiai Benggala Sunan Rajeg tergoncang-goncang dibawa lari oleh para pemikulnya. Antara sebentar terdengar Sunan berseru-seru memperingatkan dari atas tandunya. Dari bawah para pemikul juga memperingatkan ke atas: “Ampun, Kanjeng Sunan, mereka sudah dekat’ dan terus lari tak peduli tandu semakin berguncangan. Waktu derap kuda mulai terdengar, para pemikul memerlukan berhenti untuk mengambil nafas dan menengok ke belakang. Mereka tidak keliru dengar pasukan Tuban sedang berpacu mendatangi sambil menggeletarkan cambuk perang ke udara. Dengan serta merta mereka turunkan tandu. “Lari, Kanjeng Sunan, lari, lari dengan kaki sendiri.” Dan larilah mereka, yang menandu dan yang ditandu, dengan kaki sendiri, masuk ke dalam hutan…. 0o-dw-o0 Matahari belum lagi tenggelam. Banteng Wareng dan pasukannya menyisiri setiap jengkal tanah yang terbuka. Bukan lagi tentara Rajeg untuk menandingi kelajuan dan kesigapan mereka. Pasukan kaki di bawah Rangkum kemudian datang menyusul dan memburu musuhnya masuk ke dalam hutan. Baru kemudian nampak pasukan gajah sebagai bukitbukit daging yang menggetarkan, berlenggang dengan hidungnya. Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk mempertemukan dua tentara yang bermusuhan. Di bawahnya ditumbuhi semak-semak bamban dan combrang. Rotan melata datar di tanah dan menjulur melibati pepohonan tinggi mengatasi rambatannya sendiri bergumul meliliti barang apa yang dapat ditangkapnya, kemudian melambai-lambaikan puncak-puncaknya pada langit dengan penuh kemenangan dan keangkuhan. Yang terdengar di dalam hutan hanya gemerasak kaki menerjang semak. Sorak-sorai telah padam. Unggas hutan telah dari tadi terbang melarikan diri, lupa pada kicauannya sendiri… O0-dw-oO 21, Keributan di Bandar Tuban Hari ini warung Yakub nampak terbuka. Langganannya hanya seorang: Tholib Sungkar Az-Zubaid Syahbandar Tuban. Ia duduk di pojokan mencangkungi cawan arak. Yakub sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang, berdiri dengan diam-diam, bukan karena menunggu langganan yang tak kunjung datang. “Yakinkah tuan kita masih selamat dan tetap akan selamat?” tanyanya dengan nada keluh tanpa kepercayaan diri. “Pertanyaan bodoh. Bukankah semua orang tahu, Syahbandar Tuban ini selalu berada di kadipaten?” “Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang sahaya keadaan masih tetap aman buat si Yakub ini?” “Lebih aman daripada di pangkuan ibumu sendiri.” “Sahaya lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun sahaya tak merasa aman lagi. Sekiranya sudah, tuan siapkan surat balasan itu…” ‘Tak ada surat balasan Yakub”. Yakub duduk sambil menghembuskan nafas keluh. Dan Tholib Sungkar tak mempedulikannya. Mereka duduk diam-diam mengikuti pikiran masing-masing. “Ya, memang terlalu sepi,” Syahbandar membenarkan keluhannya. ‘Tapi kau hidup dari air dan dari darat, dari tuak, arak dan penipuan.” “Ah, Tuan Syahbandar Tuban, hanya untuk jasa-jasa tuan si Yakub celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri dari maut dengan pertolongan Allah saja.” “Cukup baik. Tuban takkan melupakan jasa-jasamu.” “Bagaimana jadinya bandar ini. Tuan?” “Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan ramai kembali.” “Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin hanya Tuan dengan Yakub menghabiskan arak ini.” “Kau belum lagi bercerita, Yakub.” “Hanya satu yang sahaya dengar di Blambangan sana. Katanya Peranggi sudah menaklukkan sebuah pulau di Nusa Tenggara sana”. “Dia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira karena kapal-kapal Gresik terlalu berani menerobos ke Maluku – pedagang-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau Peranggi membuka pangkalan baru di Nusa Tenggara, tentu untuk menghadapi mereka yang gegabah itu. Dan aku kira bukan hanya satu, tapi sudah banyak pulau yang didudukinya”. “O, itu mulai kelihatan orang berdatangan,” seru Yakub pelahan, tapi dari nada suaranya tetap terdengar kegelisahan hatinya. Tholib Sungkar menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya orang-orang itu berjalan menuju ke bandar tanpa menengok ke arah warung. “Tak ada yang singgah ke mari nampaknya.” “Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada apa gerangan?” Tetapi Tholib Sungkar Az-Zubaid sudah mencangkungi cawannya lagi, berkata: “Ada apa? Takkan ada apa-apa. Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi.” “Hampir sama dengan hewan,” Yakub membenarkan. “Perbedaannya sudah nampak sebagai cetbang dengan meriam. Kau sudah lihat sendiri meriam itu, kan? Ya begitulah cetbang, dan begitulah meriam,” Syahbandar Tuban menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk senang. “Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dungu begini tidak berhak hidup di jaman meriam ini, Yakub.” “Memang meriam saja yang menentukan dunia sekarang ini, Tuan. Dan bangsa-bangsa dari utara sana akan selalu berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.” Syahbandar Tuban meneguk. Yakub kembali memperhatikan orang-orang yang makin banyak juga menuju ke bandar. “Dan biadab!” Syahbandar menambahi. “Arakmu cocok sekali hari ini”. “Untuk Syahbandar Tuban terbaik, arak terbaik. Memang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, orang ke dua, dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobekrobek anjing. Dan tiada seorang Islam pun memeliharanya. Dan mereka mengaku Islam pula, Tuan.” “Sudah selayaknya… orang-orang jahil, bodoh itu.” “Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling bandar, di balik semak-semak?” tiba-tiba Yakub mengalihkan percakapan. “Siapa yang tidak tahu? Uh, apa artinya cetbang?” “Sahaya kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. Sahaya lihat sendiri kapal-kapal perang Tuban pada berlabuh di Gresik. Orang-orang Gresik pada bernafsu untuk menyewanya ke Maluku.” “Tentu tak ada yang menyewakan.” “Memang tak ada, Tuan.” ‘Tuban hanya menunggu giliran saja. Yakub. Apa lagi yang kau kua-tirkan?” “Boleh jadi Demak sana membantu.” Mula-mula Yakub hendak menuntut upah untuk keterangannya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan keamanan yang tergantung pada jaminan Tholib Sungkar Az-Zubaid menyebabkan ia mengendalikan diri. Kemudian memulai dengan ragu-ragu. “Di Jepara sedang terjadi sesuatu, tuan.” Syahbandar Tuban itu pura-pura tidak berminat, tetapi matanya yang bulat itu melirik sekejab di bawah keningnya. ‘Tentu saja,” sambutnya tak peduli untuk mencegah keluarnya upah. “Masa seorang Syahbandar bisa tidak tahu? Lagi pula kau sudah terlalu banyak mendapat uang dari pundi-pundiku,” katanya lagi pura-pura tidak tertarik. “Biar pun sahaya sudah banyak menerima dari Tuan. Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya…,” akhirnya Yakub tak dapat menahan nafsu untuk mendapat upah juga, “rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. Yakub tak pernah merugikan orang.” “Jangan terlalu rakus, Yakub,” Syahbandar menasihati, “katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.” Suatu keributan menghentikan pembicaraan. Yakub berdiri dan gugup. Tholib Sungkar meneguk arak. “Apa itu. Tuan Syahbandar?” mata Yakub menjadi liar. “Lihat, Tuan,” ia menuding ke jalanan. Berdua mereka keluar dari warung dan melihat kuncir Liem Mo Han di balik punggung, juga berjalan ke arah bandar. “Masyaallaaaaah!” teriak Syahbandar waktu dilihatnya sebuah kapal Peranggi telah berlabuh dan mengikatkan tali pada patok dermaga. “Sudah gila penunggu menara itu!” teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke pelabuhan. Berpuluh-puluh orang tak dikenal telah padat memenuhi dermaga. Dan Syahbandar Tuban tak dapat melihat apa yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan untuk minta jalan. Di depannya orang berteriak-teriak lebih keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia. Dan ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah kapal itu sedang turun tapi dihalang-halangi oleh mereka. Padatan orang itu kemudian diketahuinya bersenjatakan tongkat kayu. Ia melihat Liem Mo Han menelisip di antara mereka dan menjadi bagian dari mereka. Kemudian bukan hanya punggung dan kuncirnya, juga seluruh badannya hilang di dalam kepadatan manusia itu. “Minggir! Minggir!” sayup-sayup ia dengar teriak seorang Portugis dalam Melayu. “Panggilkan Syahbandar. Francisco de Sa perlu dilayani.” “Syahbandar tak ada!” teriak yang lain menjawab. “Syahbandar sudah mampus!” teriak yang lain. Mendengar itu Tholib Sungkar Az-Zubaid naik pitam. Dengan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi tongkatnya dan menegakkan bongkok berjalan kian ke mari penasaran, berteriak: “Ada di sini Tuan Syahbandar! Ada di sini!” Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja menenggelamkan teriakannya. Ia mulai menarik dan mendorong, menyerudug dan menerobos. Kekuatannya tak mencukupi. “Sini Syahbandar, Tuan Syahbandar!” pekiknya. Sekarang ia melonjak-lonjak seperti burung gereja. Dan tangannya melambai-lambai. Tongkatnya pun berkibarkibar. Dan tetap sia-sia. “Beri jalan!” pekik Francisco de Sa. “Portugis akan temui Sang Adipati.” “Gusti Adipati tak menerima siapa pun!” orang berteriak berbareng dengan berbagai cara dan nada. “Kembali kalian, Peranggi!” “Ayoh, kembali!” “Bukan cara Portugis diperlakukan begini!” pekik de Sa. “Tuan Syahbandar ada di siniiiiiiii!” Tholib Sungkar meraung. Ia kembali menguak dan menyibak, menyerudug dan mendorong. Tetap tanpa hasil. “Buka jalan untuk Tuan Syahbandar!” Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan menengok ke belakang dan menertawakannya beramairamai. Sekarang Syahbandar itu berseru-seru dalam Portugis: “Tuan-tuan, Tuan Syahbandar ada di sini,” sambil mengangkat tongkat dan melonjak-lonjak lagi seperti burung gereja. Francisco de Sa di depan sana naik pitam. Kulitnya yang kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidungnya kembang-kempis. “Yesus! Bunyikan meriam!” perintahnya dalam Melayu. “Beri jalan!” raung Jesus Laslo, pengiringnya. “Kalau tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri,” dalam Melayu. Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek. “Jangan ragu-ragu,” perintah de Sa dalam Portugis, “kembali dan bu nyikan.” “Kalian Peranggi!” tuding Liem Mo Han dalam Portugis, “yang letak kan kekuatan pada meriam semata. Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semua obatmu!” “Siapa bicara Portugis itu?” tanya Francisco de Sa melotot. “Katakan pada anjing-anjing ini, Portugis akan menembak!” “Kami bisa menembak kalian lebih dulu. Pergi! Tinggalkan Tuban!” jawab Liem Mo Han. Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak. Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal Portugis mulai mengalir turun dari kapal membawa segala macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa musket. Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan manusia itu mulai memainkan tongkat mereka dan mengusir, memaksa dan menyorong mereka kembali ke kapal. Orang pun meraung-raung senang sambil memainkan tongkat. Awak kapal yang belum mendapatkan daratan di bawah kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan tongkat. Juga Francisco de Sa dan Jesus Laslo tidak urung terpaksa masuk ke kapal juga. Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali kapal. Orang makin ramai bersorak berjingkrak melambailambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak. “Pergi! Ayoh pergi! Kembali ke Malaka! Kembali ke Peranggi! Tinggalkan Tuban!” “Kapal celaka! Pergi!” Kapal Portugis itu memasang layar. Tak ada seorang pun di antara mereka mencoba menyerbu masuk ke dalam. Dan kapal itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Di dermaga sendiri orang terus juga meledak dan mengejek. “Francisco de Sa akan datang lagi!” teriak Portugis itu. “Awas!” Setelah kapal bergerak ke tengah, seperti diperintahkan oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mulai berlarian meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang juga berlarian hendak datang berjualan. Barang-barang mereka berpelantingan kocar-kacir, ayam-ayam bebas berterbangan dan kambing dan babi mendapat kesempatan untuk ikut berjingkrak dengan majikannya. Waktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari pelabuhan, para pedagang mengumpulkan barang dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka. Dan selain menemukan semua barang sendiri mereka menemukan juga tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak oleh orang banyak. Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu yang melekat pada kulit dan pakaiannya. “Tongkatku!” perintahnya. Orang menemukan tongkat itu tanpa kerusakan dan menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan memberengut. “Tarbusku!” perintahnya lagi. Orang tak mengerti maksudnya, dan Syahbandar naik pitam. “Tarbus! Goblok,” waktu dilihatnya tarbus itu menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna merahnya berganti dengan coklat muda lebu, ia berjalan terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit! punggung dan mengambilnya, membersihkannya dari lebu, kemudian menciumnya. Pedagang-pedagang pada mengutuk dan memaki meninggalkan daerah bandar. Tinggallah dia: Syahbandar Tuban Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibuliah Almasawa. Ia berdiri mengenakan tarbusnya kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jangan pada tongkatnya. Dibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang bikinan pandai besi Trantang yang bergelang-gelang itu telah ditujukan pada kapal Portugis. Dan lambat-lambat tapi pasti kapal itu mulai semakin jauh meninggalkan jarak tembak. Dari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan ornamen haluan yang indah lagi gagah. Dan kalau orang mengalihkan pandang dari kapal itu pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri seorang diri di dermaga menghadap ke laut, dan kapal Peranggi yang sedang menjauh. Dengan tangan kanan ia melambai-lambaikan tangan memanggil kembali kapal tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya. Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpahnyumpah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap tak peduli dan semakin menjauh. “Di sini Syahbandar! Di sini Tuan Syahbandar!” suaranya parau menghiba-hiba. Sekarang imbauan Syahbandar dijawab oleh kapal. Meriam melemparkan peluru-pelurunya ke bandar. Bondongan tembakan pertama menyebabkan Tholib Sungkar Az-Zubaid terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru mendesis ke atas kepalanya dan suara gemerasak menghancurkan atap-atap bangunan pasar. Bondongan tembakan kedua memaksa Syahbandar merangkak-rangkak sambil menyeret tongkat. Peluru-peluru itu memporakporandakan gudang-gudang pelabuhan. Ia rebahkan kembali kepalanya ke tanah, menengok ke kiri dan memanggil-manggil Tuban. Mukanya yang tipis berhidung panjang bengkung itu menghadap ke warung Yakub. Pewarung itu tidak kelihatan. Bondongan peluru yang ke tiga membikin Tholib terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari rangkakannya. Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan arak dan barang-barang dagangan. Bondongan tembakan ke empat membikin Syahbandar itu berhenti dari rangkakannya. Sebuah peluru jatuh di depan kamar kerja kesyahbandaran. Kemudian Portugis menghentikan tembakannya. Dari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mulai menyambut kedentaman. Peluru-peluru beterbangan seperti bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala ledakan, berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir pun mencapai sasaran. Syahbandar Tuban nampak tak bergerak lagi. Ia diam tertelungkup di atas lebuan. Ia mengucapkan syukur Alhamdulillah, karena yakin tak ada sepasang dan sebelah mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak henti-hentinya berkomat-kamit. Di daerah pinggiran pelabuhan, Braja bertolak pinggang mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia. Dengan sekali gerak ia mengungguli pemandangan itu. Ia kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan tinjunya pada kapal Portugis yang makin menjauh. Dari belakangnya ia dengar beberapa orang mulai menyumpahi pandai-pandai Trantang. Kemudian ia dengar juga yang lain mengutuki pandai-pandai peluru. Waktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang sedang tenggelam dalam bisik-bisik. Dan mereka nampak kaget terpandangi oleh pemimpinnya. “Jangan punya pikiran buruk terhadap Senapatiku,” tegurnya. “Memang dia orang desa namun dia lebih daripada hanya kalian. Tutup mulut kalian.” Walau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat cetbang tak mampu menandingi meriam. Dan dengan perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang pohon. Dituliskannya sepucuk surat di atas lontar, menghapuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam daun pisang kering dalam ikat pinggangnya. “Cari Senapati sampai dapat,” perintahnya pada dua orang yang tadi berbisik-bisik. “Sampaikan lontar ini. Braja menunggu di tempat. Pergi.” Setelah menerima lontar, dua orang melompat ke atas kudanya, memasuki kota, kemudian ke pedalaman. 0o-dw-o0 22. Pertempuran Penentuan Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap. Parit di depannya lebur, curam dan berair. Tanah di bawah kaki terlalu berlumpur dan licin. Dari semak-semak di seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang beralih. Dan api yang dilemparkan itu jauh lebih besar daripada sebelumnya. Kini diketahui tentara Rajeg menggunakan alat pelempar api. Binatang-binatang raksasa itu berlarian gugup tak terkendali. Seperti bunyi gunung rubuh dari seberang parit beratusratus kentongan bambu dipukul berbareng. Binatang-binatang raksasa itu bingung. Dari kubu kayu di atas gajahnya Kala Cuwil memberi isyarat dengan tombak pimpinan, memerintahkan agar segera meninggalkan tempat itu. Tak terdengar sorak-sorai balatentara Tuban. Sebaliknya tentara Rajeg di balik semak-semak di seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan kentongan suaranya riuh rendah membelah langit. Dengan bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan membunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang dan berlari-larian liar merusak tubuh balatentara sendiri. “Mundur! Cepat mundur!” pekik Kala Cuwil sambil menaik-turunkan tombak dengan kedua belah tangan. Di sampingnya berdiri Wiranggaleng yang mencoba menembusi balik semak-semak di seberang parit dengan pandangnya. “Tak pernah pasukan gajah Tuban terusir seperti ini. Senapatiku. Dalam cerita mana pun tak pernah ada. Memalukan,” gumam Kala Cuwil. “Dan hanya melawan orang desa!” “Husy. Bukan soal mau atau tidak, orang desa atau orang kota. Sebentar lagi meriam mereka akan menyerang. Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.” Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu menjauhkan diri dari binatang-binatang yang gugup takut itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentarbentar menyebabkan orang jatuh tergelincir. Gajah-gajah itu dapat menginjak mereka. Beberapa ekor yang agak dapat dikendalikan bergerak menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada musuh. Tapi Kala Cuwil dengan tombak pimpinan mencegah mereka meneruskan niatnya dan memerintah mundur sama sekali. Waktu akhirnya binatang-binatang itu dapat diundurkan dengan susah-payah, peluru-peluru meriam berjatuhan di ujung-ujung parit yang telah dikosongkan. Peluru-peluru itu kemudian juga berjatuhan tepat di tengah-tengah medan jebakan. Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling sambil jatuh ke samping. Seperti dituangkan prajuritprajurit yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi dan tak bangun lagi. Binatang yang terkena itu mencoba berdiri, la jatuh lagi. Dari seberang parit orang bersorak-sorai semakin meningkat. Sorak kemenangan. Sebuah peluru telah menyambar kotak benteng seekor gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertumpah ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. Binatang yang kaget dan tanpa pawang itu lari, lari gila ke mana dia suka tanpa bisa dihalang-halangi. Kala Cuwil dengan tombak pimpinan terus sibuk memberikan perintah mundur. Gajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia. Sulingnya makin lama makin pelahan, kemudian terhenti dan berganti dengan suara terhisak-hisak. Dari matanya menetes airmata. Dan makin lama ia makin jauh ditinggalkan oleh yang lain-lain. Meriam berhenti menembaki. Di luar dugaan, dengan alat-alat yang telah dipersiapkan, tentara Rajeg keluar dari semak-semak, menyeberangi parit dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mulai mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan. Banteng Wareng menghampiri gajah Senapati sebagaimana telah diperintahkan kepadanya. “Kudamu takut pada api?” tanya Senapati Tuban. ‘Takut, Senapatiku. Tapi nampaknya mereka telah berhenti bermain api. Mereka menggunakan anak panah biasa.” “Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. Gajah mundur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang. Mereka membutuhkan waktu untuk melemparkan apinya. Gajah akan berbalik lagi.” Seperti angin Banteng Wareng lari tanpa kesulitan di atas tanah basah berlumpur untuk menjemput pasukannya yang bersembunyi di dalam hutan. Waktu seluruh pasukan gajah telah meninggalkan medan jebakan, kecuali yang telah terkapar, dan telah keluar dari jarak tembak meriam, muncullah pasukan kuda Banteng Wareng, langsung berpacu dalam bentuk supit udang, membiarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah. Mereka memasuki medan melalui pinggiran jebakan, di atas tanah basah, berlumpur dan licin. Tapi untuk kaki kuda sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran. Tentara Rajeg yang sedang menyeberangi parit di atas titian bambu, segera berbalik kembali lari ke tempat asal sambil memperingatkan teman-temannya. Di dalam jebakan tentara Rajeg tak dapat melarikan diri di atas tanah berlumpur itu. Mereka bergerak lambat seperti kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetimbangan. Orang berjatuhan terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi mangsa pedang dan cambuk perang. Pekik-jerit yang memilukan menggantikan sorak-sorai. Dengan kembalinya pasukan gajah memasuki medan jebakan, gerakan penumpasan dimulai. Meriam tak lagi bersembunyi. Dan hujan lebat jatuh kembali. “Apa boleh buat,” Wiranggaleng bergumam, “penumpasan ini akan mematahkan kekuatan mereka.” “Tentara Tuban pelarian belum lagi mereka turunkan, Senapatiku,” Kala Cuwil memperingatkan. “Mahmud Barjah takkan sebodoh itu melepaskan anakbuah terbaik dalam pertempuran murahan begini. Dia membutuhkan untuk kemenangan dan keamanannya sendiri. Lihat Kala Cuwil, aku tak suka pada penumpasan ini tapi apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi. Kekalahan mereka selama ini, dan kegagalan bertubi, dengan penumpasan ini moga-moga akan mematahkan mereka sama sekali.” “Tidak patut Senapati berbelas kasihan.” “Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala Cuwil, yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga Iskak,” ia menarik napas panjang. “Boleh jadi ada di antara mereka itu sanak dan kenalanku sendiri.” “Apa boleh buat.” “Ya, apa boleh buat. Dan setelah ini tinggal prajuritprajurit sejati saja masih akan berlawan.” Tergubal pada lumpur dan hujan tentara Rajeg ini terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat sesuatu pun sebagai prajurit dalam perang. Membawa diri sendiri pun sudah sulit. Menjelang jatuhnya malam tentara Rajeg di dalam jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda Banteng Wareng dan pasukan gajah Kala Cuwil tanpa dapat melawan. Dan malam itu hujan berhenti. Langit merah dan bulan pun mengambang dengan manisnya. Balatentara Tuban telah mesanggrah jauh dari bekas medan perang. Pada malam seperti itu utusan Braja datang menghadap Wiranggaleng, menyampaikan beberapa lembar lontar. Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk. Duduk di antara kepala-kepala pasukan Senapati membacanya dalam hati. Sebentar saja. Dipanggilnya dan orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala pasukan ia berkata: “Ketahuilah, dalam soal meriam memang belum ada yang dapat menandingi Peranggi. Kita akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita memang hanya punya cetbang, dan hanya itu yang kita miliki. Jangan kalian punya pikiran Senapati hendak memerintahkan kalian berperang melawan meriam Peranggi. Kita akan melawan meriam Peranggi dengan cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan Peranggi dari pantai sebelum Rangga Iskak kalah, bukan untuk melawan meriam mereka. Kalau cara-cara menghadapi mereka tak juga dapat ditemukan, kelak kita akan hadapi mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan katakataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati, hanya karena cetbang tak dapat kalahkan meriam.” Setelah mereka pergi baru ia tanyai Rangkum: “Bagaimana menurut perhitunganmu? Apakah tentara Rajeg sudah banyak kehilangan kekuatannya?” “Terlalu banyak, Senapatiku.” “Tinggal berapa kiranya kekuatannya?” “Kira-kira masih cukup untuk bertempur dua kali.” “Dua kali!” Senapati Tuban mengulangi. “Bagaimana pendapatmu Banteng Wareng?” “Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum.” “Apa pun kekuatannya,” Kala Cuwil menambahi, “yang tersisa sudah tidak akan lebih kuat.” “Dua kali pertempuran lagi”, Senapati mengulangi katakata Rangkum. “Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku mereka masih mencadangkan satu induk dengan tentara Tuban pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran penentuan.” “Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini, Senapatiku.” “Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum, sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai menjelang fajar dengan menggunakan pertolongan bulan. Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dapat temukan meriam-meriam itu. Pasukan-pasukan tidak beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.” Dan pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diamdiam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang bulan dan langit yang cerah. Untuk pertama kali kekuasaannya Rangga Iskak mulai merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: Mahmud Barjah. Selama jadi Syahbandar, sang Adipati pun tak pernah dirasainya sebagai atasannya, lebih banyak sebagai sekutu dan sahabat dalam mengeduk keuntungan dari laut dan bandar. Mahmud Barjah lain. Ia jelas jawabannya tetapi dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tumbuh jadi kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Dan ia tak berbuat sesuatu apa terhadapnya. Pasukan lebih mendengarkan dia daripada dirinya. Sekarang Panglima Rajeg itu semakin membikin hatinya cemburu. Beberapa kali Mahmud telah menolak panggilannya. Sudah lama tak muncul di Rajeg. Ia selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya yang berasal dari Tuban. Rangga Iskak alias Iskak Indrajid, Kiai Benggala Sunan Rajeg merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya terhadap penduduk, yang telah dibangunkannya siangmalam kini dengan sangat mudah tanpa kerja, diambil begitu saja oleh Mahmud Barjah. Pernah terpikir olehnya, untuk memulihkan kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya: menyingkirkan anak muda itu. Tetapi bagaimana jalannya? Panglima itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya. Anakbuahnya dengan dia mempunyai satu ikatan nasib di hadapan Tuban, tetapi tidak punya ikatan mesra dengannya sebagai seorang Sunan. Mereka lebih dekat pada Panglimanya. Dan dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi tergantung padanya tanpa semau hatinya sendiri. Balatentara Rajeg pun telah menjadi jarijari pada lengan Sunan. Manan dan Rois, andal-andalannya selama ini, juga lebih mendengarkan Mahmud. Dan batuk yang suka menyambar-nyambar dadanya itu pun tidak kurang memusingkan. Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata kurang sesuai, kadang banyak pertentangan dengan segala yang diimpikannya selama ini. Dan bila ia renungkan segala yang diimpikannya, kadang ia dikejutkan oleh kenyataan, bahwa sesungguhnya maksud untuk menghalau Adipati Tuban sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah sesungguhnya yang mendorong mengangkat diri jadi Sunan ini. Persoalan Peranggi, Hindu Blambangan, Hindu Pajajaran, Islam Demak, yang hendak ditiadakannya, hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang pertama-tama. Dan semua bangunan impian ini bisa runtuh berantakan sekali Mahmud Barjah menyentuhnya dengan sebuah saja di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan Sunan, juga tahta dan mahkota Tuban lebih dekat pada tangan Mahmud daripada Sunan. Sekarang ia sudah mulai memastikan kalau Panglima Rajeg berhasil menaklukkan Tuban, dia tak mungkin menyerahkan tahta dan mahkota itu pada Sunan. Dia akan marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk daripada Adipati Tuban sendiri. Dia hanya orang kecil yang tak pernah menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan membuncah tanpa kendali. Dan Rangga Iskak menilai dirinya jauh lebih baik dan jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu daripada sepuluh atau lima puluh orang semacam Mahmud Barjah. Tahta dan mahkota Tuban lebih layak jadi miliknya. Ia tak dapat melupakan tingkahlaku Panglima waktu menghukum Manan dan Rois, hanya karena mereka berdua telah menembakkan meriam atas perintahnya. Ia masih dapat mengingat airmuka orang muda itu yang melecehkan perintahnya. Keadaan memang berkembang tidak sebagaimana ia kehendaki. Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di manakah mukaku akan kusembunyikan? Tempat yang masih terbuka untuk dapat menaungkan diri adalah Demak – satu-satunya kekuasaan Islam yang nyata. Tapi musafirmusafir Demak itu tentu sudah melaporkan pada atasannya bagaimana sikap Sunan Rajeg terhadap Al-Fattah dan Semarang. Majelis Kerajaan Demak kira-kira sudah mempunyai sikap pasti akan dirinya. Untuk menghibur diri sendiri ia harus mempunyai patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali sikap dan perbuatan yang akan datang. Dan patokan itu ialah Rangga Iskak Kiai Benggala Sunan Rajeg adalah seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan lebih berilmu daripada siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya tahta dan mahkota Tuban pada dirinya berarti berkah bagi seluruh kawula Tuban, untuk kemenangan Tuban dan agama. Maka semua yang menghalangi sikap dan perbuatannya adalah juga musuh yang dikalahkan dan untuk dibasmi. Dan musuh pertama yang muncul dalam pikirannya justru Mahmud Barjah. Dari titik tolak itu ia telah bertekad hendak meracun Panglima dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar anakbuahnya tidak punya syak terhadap dirinya. Kalau dia sudah tersingkirkan, Manan dan Rois akan menjadi tangan kanan dan kirinya, dan semua akan beres. Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimbang. Pada suatu malam tak terduga-duga Panglima Mahmud Barjah datang menghadap. Sunan mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap orang muda itu. Dan ia berjanji tidak akan memberinya sesuatu bantuan bila dia membutuhkan. Ia pun berjanji takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus menegakkan kewibawaannya. Dengan mengangkat suaranya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia bertanya lunak: “Anakku, bukankah semestinya Tuban sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini?” “Betul, Paman Sunan, sekiranya laskar depan kita tidak terpancing oleh Banteng Wareng dalam pertempuran pertama,” jawab Mahmud tenang. “Bukankah tentara Tuban yang sebenarnya terpancing?” “Betul, Paman, mula-mula mereka, kemudian kita.” Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal jalannya perang juga. “Bukankah kau belum lupa, kita harus memasuki Tuban sebelum Peranggi masuk? Itu kau sendiri yang telah tentukan. Peranggilah musuh sesungguhnya.” “Tidak keliru, Paman Sunan.” “Jadi kapan Tuban dapat dimasuki?”, “Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.” “Betul anakku, tetapi sekarang ini kita yang kena serang terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau menyerang?” Mahmud Baijah tak segera menjawab, dan Sunan Rajeg pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja mengenal. Sunan Rajeg mengawasi wajah orang muda itu, yang pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin mungkin. Orang ini tak akan nikmati hidup mudanya demi kemenangan ajaran. Dia akan jadi korban syahid. “Belum lagi tahu, Paman Sunan,” jawab Mahmud. “Tentara Tuban terus bergerak tidak menentu. Siang dan malam. Sunan diperkirakan tujuannya.” “Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari kita di perdalaman. Kita mencari jalan lain masuk ke Tuban tanpa sepengetahuan mereka. Semua tak ada yang tinggal.” Mahmud Barjah mengangkat muka dan dengan terheranheran menatap Sunan Rajeg. Ia lihat uban pamannya itu telah semakin banyak juga. Ia menguji mata orang yang lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya bermain-main atau bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak mengiakan. Sebaliknya Sunan Rajeg melihat juga orang muda itu sudah nampak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor dan mesum. Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang melecehkan seperti dulu. Bibir itu kini selalu tertarik tegang. Mahmud Barjah tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya. Sunan Rajeg mempunyai dugaan terhadap sikapnya, pertama, orang muda itu karena pengalaman perangnya dalam waktu pendek sekali telah menjadi masak dan sedang menyiapkan dirinya menjadi gunung berapi yang tak dapat diduga kapan akan meletus dan menyemburkan lahar. Ke dua, ada kemungkinan ia sudah merasai akan datangnya ajal. Tentang Mahmud Barjah ini ia harus menyediakan waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam…. Dengan menyampaikan gagasan mendadak di bidang ketentaraan pada Mahmud, ia merasa keunggulannya menjadi pulih. Mahmud sendiri tak pernah punya gagasan semacam itu. Dan dengan perasaan unggul yang pulih ini dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas permadani pendopo. Di pelataran sana orang sudah pada duduk berjajar-jajar di atas tikar bawaan masing-masing. Suaranya kembali jadi lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada pertimbangan-pertimbangan semula. la telah mulai dengan gaya dan caranya yang lama. Kemudian: “Mana Mohammad Firman, itu bekas musyafir Demak? Takkan bosan-bosan aku memperingatkan padamu: jangan lagi kau ikut-ikut menyebarkan kebohongan Demak. Adalah takabur menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap orang yang takabur tidak menggunakan akal yang diberikan oleh Allah kepadanya. Ia tidak menggunakan akal karena ia tak menggunakan pancainderanya sendiri dengan baik. Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dunia ini, maka orang akan mendapat pengertian. Dari pengertian itu orang mendapat pertimbangan. Kalau tidak, seperti Demak dan musafir-musafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau tentang mula dan tentang kemudian. Itu menyalahi nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kita.” “Kalian masih ingat waktu armada Dampo Awang benar-benar tak dapat pulang ke negerinya karena pergantian kaisar, bukan? Allah Maha Besar! Maka kapalkapal Islamlah yang kemudian berdatangan dengan damai, juga untuk berdagang rempah-rempah. Kalau armada Dampo Awang tidak kehilangan kekuatan, mungkin sekali kapal-kapal Islam tak ada kesempatan untuk datang ke mari, dan tahu akibatnya? Ialah – semua penduduk Jawa ini akan masih tetap kafir jahiliah.” “Alhamdulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal Islam datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak membajak. Hanya karena di jalan Aliahlah maka kapalkapal ini lebih berhasil daripada armada Dampo Awang dengan kesempatan yang sama. Kemudian Peranggi datang. Dia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk memenuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan. Semua dia tembaki kapal Islam, Tionghoa dan Pribumi Nusantara. Kalau semua kendaraan laut binasa hanya Peranggi yang merajai lautnya semua hamba Allah ini. Itu tidak boleh, itu menentang ketentuan Allah, maka kita tidak akan membiarkan Peranggi merajalela. Dia musuh semua bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda tahu belaka itu. Dia harus dihalau. Bumi ini diciptakan Allah untuk semua bangsa, bukan untuk Peranggi saja. Kunci untuk mengalahkan Peranggi ini sederhana saja: lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan ajarannya.” “Satu negeri yang tidak melawannya, tidak punya niat untuk itu, seperti Tuban, adalah sama dengan membenarkan Peranggi. Membenarkan dia berarti tidak berada di jalan Allah. Hukumnya adalah musuh. Dan negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun hanya dalam hati saja, seperti Adipati Tuban, adalah musuh Allah itu sendiri, karena dia sudah bersekutu dengan iblis.” “Memang kekuatan Peranggi ada pada meriamnya. Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimbangan kita mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin meriam sendiri. Sebelum bikin, kita harus berusaha mendapatkannya. Dan kita telah mendapatkan dua pucuk dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.” “Peranggi juga punya kelemahannya. Selama dia bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantung pada bandar. Bagaimana sikap kerajaan bandar itu terhadapnya seperti Tuban? Dan bukankah setiap negeri di Nusantara ini kerajaan bandar? Kecuali Demak, dan karenanya menyerbu Jepara untuk jadi kerajaan bandar seperti yang lain-lain? Karena kerajaan yang bukan kerajaan bandar tidak pernah masuk hitungan? Kalau semua kerajaan bersikap seperti Tuban, seluruh Nusantara pasti jatuh dalam kekuasaan Peranggi. Kalian mengerti?” Dan semua pendengar menjawab mengerti. “Syukur Alhamdulillah.”. “Syukur Alhamdulillah,” semua menggemakan. “Maka semua kerajaan bandar yang tidak melawan Peranggi adalah musuh kita,” ia terbatuk-batuk. Badannya melengkung, kepalanya diletakkan di atas meja rendah di hadapannya. Dan para tetua tak berani memijitinya. Hanya Mahmud Barjah yang berani lakukan itu, tetapi ia tak ada. “Tetapi ingat-ingat, tidak semua yang memusuhi Peranggi adalah sahabat kita. Orang-orang Tionghoa juga tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu juga tidak suka. Demak yang katanya Islam itu juga tidak suka itu. Dan mereka semua bukan sahabat kita,” ia angkat tangannya untuk meyakinkan. “Semua itu memang bisa bersatu melawan Peranggi, termasuk kita – Perbegu, Tionghoa dan Islam. Tapi ingat-ingat hanya Rajeg kerajaan Islam pertama-tama bila Tuban jatuh.” Ia terengah-engah kehabisan nafas. “Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa Semarang dan Demak itu satu. Maka itu juga kalian lantas jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai Demak. Kita lebih maju daripada Demak…. karena apa yang kita kerjakan selama ini ada di jalan Tuban, bukan di jalan Dampo Awang.” “Kanjeng Sunan”, seseorang menyela, “putra mahkota Demak, Pangeran Sabrang Lor, sekarang Adipati Unus Jepara, telah menyerang Peranggi di Malaka. Kita sendiri belum pernah berbukti menghadapinya. Bukankah itu pertanda mereka jauh lebih maju daripada kita?” Sunan Rajeg tertawa melecehkan. “Mari aku ceritai kau, hai bekas musafir Demak. Bukankah kau sudah tahu Sultan Demak Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa? Bukankah kau juga tahu, permaisurinya bukan orang Jawa sesungguhnya? – anak perempuan Kiai Ampel. Apakah belum pernah aku ceritai kalian siapa Kiai Ampel?” “Belum, Kanjeng Sunan”. “Baik. Kiai Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti Sultan Demak. Sunan Rajeg ini lebih tahu, telah bicara dalam Jawa pada kalian selama ini. Dia tak tahu. Kiai Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam Melayu Gresik. Dia orang seberang, orang Campa mengakunya, orang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka. Anak perempuannya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga bukan orang Jawa. Nah, mengapa Unus itu menggunakan gelar Jawa Adipati dan disebut Kanjeng Gusti? Karena, walaupun Demak mengaku kerajaan Islam pertama-tama di Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot lagi jadi kerajaan Jawa biasa dengan segala gelar dan keprajaannya.” “Biar begitu Peranggi telah dihadapinya, dilawannya.” “Nanti dulu, kau, Mohammad Firman yang berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. Dengarkan baik-baik. Patah ini menamakan diri Khalifah pertama di Jawa. Gelar yang dia pergunakan gelar Parsi, dan nama ibukotanya sama sekali tak berbau Islam: Glagah Wangi, Bintoro Demak. Bagaimana bisa begitu? Karena memang tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas utamanya. Kalian tentu masih ingat tugas utama Demak: melindungi Semarang dari serbuan dari timur. Jadi di luar tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para wali, para sunan yang itupun sekarang sudah bertentangan satu sama lain. Salah seorang di antara mereka telah mereka bunuh beramai-ramai karena perselisihan berebut pengikut. Dan Sunan Kalijaga cucu Babah Bantong itu, putra Adipati Tuban, kabarnya sudah menghilang entah ke mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa. Boleh jadi ia tak mampu mengatasi perpecahan.” “Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih maju daripada Demak. Bila kita telah berhasil mendapatkan Tuban, segera akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh Nabi: Yathrib. Dan Demak akan kita majukan jangan sampai terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang kafir. Kemudian, anakanakku, Malaka pun insya Allah akan dijadikan oleh Allah akan jatuh ke tangan kita. Jadi…” Belum lagi selesai wejangan itu, seseorang datang padanya dan berbisik pada kupingnya. Sunan Rajeg mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian tertawa dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh semuanya bubar. Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal Sunan Rajeg dan pembisiknya. Kemudian tertawa meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah, menuju ke sesuatu tempat. Dan mulut Sunan berkomatkamit aneh: “Idayu, Idayu! Kau juga, kau!” 0o-dw-o0 Mahmud Barjah telah memutuskan mengerahkan seluruh tentara Rajeg untuk memasuki Tuban dengan menempuh jalan-jalan yang belum dikuasai balatentara Tuban. Saran Kiai Benggala Sunan Rajeg telah ia pelajari, dan kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik, dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan musuhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa perlawanan. Dengan menembusi rimba balatentara Rajeg, termasuk meriamnya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka yang bukan kekuatan perang mengikuti garis berat dan jauh itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang membawa perbekalan dan alat-alat sendiri. Hujan dan dingin tak mereka hiraukan. “Allah bersama kita,” Sunan Rajeg merestui. “Hanya Allah yang menentukan. Nasib kita semua berada di tangan-Nya”. Maksud Barjah tahu benar, belum seluruh kekuatan balatentara Tuban telah dikerahkan oleh Wiranggaleng. Walau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu, Tuban dalam keadaan kosong. Orang akan dapat berlenggang-kangkung memasukinya, langsung masuk ke dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi. Ia pun mengetahui pasukan musuh yang bersenjatakan cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran pelabuhan. Cetbang tak dapat dipergunakan untuk setiap keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipergunakan bertahan terhadap setiap macam serangan. Ia telah temukan cara untuk menumpasnya. Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang dicadangkan oleh Tuban. Hanya di mana cadangan itu ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya tak tahu. Dari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengirangira kan. Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa menjadi sumber bencana. Tetapi menunggu lebih lama adalah kebinasaan…. O0-dw-oO Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu menerobosi mendung putih itu. Dua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak pohon tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri lebih dari tiga rangkulan manusia. Sesampainya di puncak mereka segera dapat melihat pemandangan luas di bawahnya: padang rumput, hutan, sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan jalan desa. “Ha! itu mereka!” pengintai pertama berseru terangsang. “Berhari-hari ditunggu…,” yang kedua menambahi. “Berminggu!” yang pertama membetulkan. “Berminggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa? Lihat! Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk ke Tuban. Bahaya! Sedang kita masih sibuk mencari-cari”. ‘Turun! Cukup! Jangan sampai ketinggalan waktu”. “Nampaknya mereka berangkat malam,” kata pengintai kedua. Ia bercepat-cepat menuruni tangga batang bambu. “Bagaimana pun kita akan lebih dulu sampai,” jawabnya sambil juga menuruni tangga. “Jangan meremehkan,” pengintai kedua memperingatkan, “biarpun kita berkuda”. Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masingmasing yang selama itu gelisah diserang nyamuk. Mereka berpacu. Di sebuah padang rumput pengintai pertama berpesan: “Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda Maesa Wulung. Terus menghadap Senapati dan sekalian hormatku”. Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung ke kota. Pengintai ke dua mencambuk kuda, membelok ke kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padang ilalang. Setelah padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil, kemudian sampai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang prajurit. Seseorang telah mengganti kudanya dengan yang baru. Selama memasang abah-abah pengintai kedua itu berkata pada seorang prajurit yang datang menghampiri. “Sampaikan pada pasukan kuda Maesa Wulung: Mereka bergerak untuk langsung memasuki Tuban dari jalan negeri. Setiap orang membawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari. Teruskan, aku akan menghadap Senapati”. “Berapa kekuatan mereka?” “Membeludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan memasuki kota pada waktu matahari tenggelam”. Ia melompat ke atas kudanya dan hilang di antara rimbunan pepohonan buah. Prajurit yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada dua orang prajurit lainnya, kemudian berpacu mengikuti pengintai kedua. Dan kedua orang prajurit itu berpacu pula ke jurusan lain. Prajurit pengintai pertama yang menuju ke kota itu disambut oleh dua orang prajurit yang sudah siap dengan kudanya. Ia menyampaikan perintah pada mereka, kemudian ketiganya berangkat, menempuh jalan berlainlainan, semua dengan satu tujuan menghadap kepala pasukan pengawal, Braja. Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri. Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar meminggir. Beberapa desa telah dilewatinya tanpa menengok. Desa-desa hilang berganti dengan hutan tipis yang rimbun dengan semak-semak petai cina. “Brenti!” sayup-sayup ia dengar pekikan dari hadapan. Ia tak dapat menembusi semak-semak petai cina itu dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada punggung kuda. Tangan kirinya memeluk batang leher kuda dan tangan kanan mencambuki binatang itu. agar berpacu terus, lebih cepat. “Tombak!” ia dengar lagi pekikan lain. Bersamaan dengan itu beterbangan tombak dari hadapan menyambar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tombak. Sebilah telah mengenai pinggang binatang itu, tembus sampai ke dada. Binatang itu terhenti pada suatu jarak. Dengan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras. Kepalanya menengok ke kiri kemudian ke kanan, mencoba melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia melonjak sambil menjerit. Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium mukanya. Sebatang tombak lain melayang dan menyerompat iganya. Binatang itu memekik dan melarikan diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggul. Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan mulai bermunculan. Tak kurang dari dua puluh. Mereka kumpulkan kembali tombak-tombak yang luput. “Berpacu secepat itu pasti membawa berita,” seorang di antaranya memberikan pendapat sambil menembuskan tombak dalam tubuh pengintai dan memalui tembusan itu mencabutnya. “Dalam lodong pelupuknya ada lontar,” katanya lagi sembari membersihkan tombak berdarah itu dengan daun-daunan. “Lebih baik lagi,” sambung yang lain. “Lisan maupun tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!” Mayat pengintai pertama dilemparkan ke pinggir jalan, kemudian mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina di kanan dan kiri jalan. 0o-dw-o0 Kedai minuman Yakub pagi itu kedatangan banyak langganan seperti kemarin atau kemarin dulu. Pertamatama karena peluru-peluru Portugis yang telah dikumpulkannya ia pajang di warungnya jadi tontonan. Kedua orang ingin mendengar cerita dari mulut pertama bagaimana warungnya dirusak oleh peluru Portugis itu. Ketiga, berita-berita yang disiarkan olehnya bersama Tholib Sungkar Az-Zubaid tentang bakal datangnya banyak, terlalu banyak kapal Peranggi, bukan untuk berperang, tapi berdagang. Sambil melayani Yakub berkicau terus-menerus. Penutup dari semua tetap sama: betapa hebatnya meriam Portugis itu. Juga pada pagi ini. Dan pagi itu Tholib Sungkar juga sudah menduduki bangkunya, sebuah tempat penghormatan untuknya di pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan Yakub. Warung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari. Sejak itu seorang langganan baru, selalu berpakaian seberang, berkumis bapang tanpa jenggot, selalu mengambil tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau Melayu. Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan bersarung tenunan desa yang dinila. Langganan baru itu tak lain daripada Braja. “Sungguh berbahaya bermain-main dengan Peranggi,” Tholib Sungkar mengegongi. “Kerajaan-kerajaan besar ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia dibikin marah”. “Memang begitu.” Yakub meneruskan. Tak ada yang dapat menahan mereka, Tuan Syahbandar. Lihat saja pelurunya. Seratus meriam bisa gugurkan gunung yang setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging dan tulang. Sungguh menakutkan”. “Setidak-tidaknya, Gusti Tuan Syahbandar,” seorang langganan lain di dekat Braja menyela, “di Tuban dia pernah dihina dan dihalau”. “Apa? Dihina dan dihalau?” seru Yakub, “dihina dan dihalau katanya, Tuan Syahbandar. Janganlah itu disebut lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! Dan Peranggi tak akan lupakan itu. Sungguh mati”. “Peranggi takkan pernah melupakan sesuatu,” Tholib Sungkar mengegongi lagi. “Dihina dan dihalau!” langganan itu berkukuh. “Dihina dan dihalau katanya Yakub”, Syahbandar itu berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai tongkatnya. ‘Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datang?” ia mendelik pada langganan di samping Braja. “Yang akan datang?” Braja ikut campur, dalam Melayu – bicara untuk pertama kali, “dibinasakan sama sekali”. “Puh! Berapa lama Malaka jatuh? Berapa bentar Maluku dikuasai? Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa Tenggara? Dan terlalu banyak takluk sebelum dikelahi: Banda, Ambon, Temate, Halmahera, Kei, Tanimbar….” Semua mata tertuju pada Braja. Dan orang mengawasinya baik-baik, dan tahulah orang, pedagang serba wulung nila itu tak lain daripada Braja, kepala pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-angguk tak acuh. Yakub dan Syahbandar terperanjat. Suasana yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh datangnya seorang penunggang kuda. Dengan masih menuntun kudanya ia masuk ke dalam warung, mendapatkan Braja. Semua mata mengikuti kepala pasukan pengawal yang sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda. Kemudian kedua-duanya meninggalkan warung. “Bukankah itu Braja?” seorang langganan berbisik. “Bukan!” seorang langganan lain yang juga belum dikenal namanya membantah. “Bukan Braja. Braja aku kenal, dulu pernah aku jadi pelayannya, lima tahun”. Kata-kata itu menenangkan Yakub dan Tholib Sungkar. “Tuh! Orang tak tahu persoalan,” langganan yang duduk di dekat Braja tadi mengulas, “pedagang biasanya lebih tahu dari petani, ini lebih dungu,” ia tatap Tholib Sungkar untuk memberi simpati. “Tak pernah ada memang Peranggi dibinasakan. Apalagi dengan sama sekali”. “Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya,” Tholib Sungkar mulai hidup kembali. Dan pengagungan terhadap Portugis mulai lagi. Orang di dekat Braja tadi juga ikut meramaikan, tak lagi membantah. Semua ikut serta membenarkan, menggarami, membubui. Syahbandar dan Yakub semakin bersemangat. Langganan itu pun minum lebih banyak walaupun hanya tuak murah bukan arak. Dan Yakub dan Syahbandar nampaknya kurang cermat memperhatikan mereka. Mereka adalah prajurit-prajurit pengawal. Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseorang berdiri terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat ke jurusan jalan raya. Dan mereka melihat pemandangan ajaib. Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya, dengan sebatang tombak tertancap pada pinggul dan darah meleleh dari bawah mata tombak, sedang berjalan payah terpincang-pincang kesakitan entah ke tujuan mana. Tombak itu jelas bukan milik tentara Tuban. “Sunan Rajeg sudah mendekati kota,” seseorang memastikan. Semua langganan keluar dari warung untuk dapat memperhatikan tombak dan binatang itu. “Itu kuda tentara Tuban. Lihat tanda pada kupingnya!” “Ya, memang kuda tentara Tuban,” orang membenarkan. Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mulai kelihatan rombongan petani tanpa barisan membawa pedang dan tombak tentara Tuban, juga busur dan perisai. “Itulah tentara Rajeg”, bisik Tholib Sungkar megapmegap. Tak ada yang menanggapi. Sebentar kemudian menyusul pemikul-pemikul cetbang di belakang rombongan kacau itu. “Bukan balatentara Tuban”, Tholib Sungkar meyakinkan, “jelas tentara Sunan Rajeg. Mereka sedang memasuki kota.” “Masyaallah, Tuan Syahbandar!” sebut Yakub, “kita tutup kedai dengan lupa membayar minuman….” Segera setelah menerima laporan, Braja mengerahkan pasukan pengawal. Daerah pelabuhan dikosongkannya, dan diarahkannya kekuatan-nya ke luar kota, melalui jalan-jalan yang bakal ditempuh oleh tentara Rajeg. Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari prajuritprajurit pilihan yang diambil dari pasukan-pasukan lain karena keberanian dan ketangkasan serta kecerdasannya. Setiap di antara mereka dapat mempergunakan semua macam senjata dan penunggang kuda yang mahir. Setelah pulih dari kekecilan hati mereka menerima balasan dari Wiranggaleng, dengan pasukannya yang kecil ia bertekad untuk menghancurkan tentara Rajeg dengan berondongan cetbang sambil menunggu sampai pasukanpasukan Tuban lainnya datang membantu. Tuban yang keramat tidak boleh dijamah oleh tangan pemusuh ia bersumpah. Setelah sampai di luar kota cetbang-cetbang dipasang, dihadapkan ke arah musuh akan datang. Prajurit-prajurit selebihnya diperintahkannya membiak ke kiri dan ke kanan jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan meninjau ke seluruh medan. 0o-dw-o0 Mahmud Barjah telah memerintahkan agar tentaranya tidak bersorak sama sekali, tidak membunyikan gendang dan gong, tidak menggunakan umbul-umbul ataupun panjipanji, sebelum berhasil memasuki Tuban. Ia pun telah memberikan perintah, begitu memasuki kota semua prajuritnya harus menyebar ke sana-sana. Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan melalui jalan belok dan akan memasuki Tuban melalui pesisir sebelah timur kota, dan akan menyelesaikan segala kesulitan dengan cetbang. Maesa Wulung pada mulanya tidak percaya, musuh sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah aman selama ini. Juga prajurit-prajuritnya mengikuti sikap pemimpinnya. Waktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke mana mereka pergi. Dan dengan hanya separah kekuatan ia berangkat ke medan pertempuran. Waktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di depannya, barisan musuh yang terlalu besar jumlahnya. Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam seperti barisan pengantar mayat. Seumur hidup ia tak pernah melihat barisan demikian. Dan ia merasa ngeri. Dihentikannya pasukan itu dan diperintahkannya berlindung di balik pepohonan. Tak tahu ia apa yang harus diperbuat. Padang ilalang itu akan membikin pasukannya terbuka dari serangan panah dan tombak, dan musuh telah mendapat posisi lebih dahulu. Untuk membentuk formasi apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini pun akan membikin kuda-kuda cepat lelah, dan dalam melakukan serangan nyamuk menggigit kuping binatang itu. Ia ragu-ragu. Seorang prajurit keluar dari balik pepohonan dan melewatinya. Ia tak menegurnya. Dan prajurit itu langsung berpacu ke jurusan musuh, dengan membawa tombak. Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi. Maesa Wulung merasa menghalangi jalanan, dan ia pun berangkat maju. Pasukan kuda yang kecil itu mulai bersorak-sorak maju dan menyerang. Dan tombak-tombak berlayangan jatuh di tengah-tengah laskar musuh yang membalas dengan anak panah. Pasukan kuda itu tak berani mendekat-dekat. Medan tak memungkinkan. Setiap habis melempar mereka menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. Setelah lemparan yang ke empat mereka telah kehabisan tombak dan mengundurkan diri untuk mendapatkan yang baru. Tombak-tombak itu mengenai sasaran, namun tentara musuhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota dengan meninggalkan korban di jalanan. Waktu pasukan kaki cadangan datang dalam jumlah yang cukup besar, barulah Maesa Wulung mendapatkan kepribadiannya kembali. Dengan Danang, pemimpin pasukan kaki cadangan, didapatkan kesepakatan untuk menggunting putus tentara Rajeg dengan menggunakan baris lebar. Maka gabungan pasukan kuda dan kaki mulai menyerbu dengan formasi lebar, formasi ombak laut. Tetapi itu pun tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki Tuban yang lari menyerbu dengan telapak kaki berdarah-darah tercucuki dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh daun rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti untuk mengurus tunas alang-alang yang patah dalam telapak kaki itu, kemudian lari lagi. Dan tak kurangkurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincangpincang. Namun mereka bersorak gegap gempita. Tentara Rajeg tetap tak bersuara. Anak panah dan tombaknya berterbangan mengusir para penyerang. Dan para penyerangnya menyerbu terus. Perkelahian seorang lawan seorang sudah mulai terjadi. Barisan tentara Rajeg terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejarkejaran, bertarung. Dan barisan yang putus itu bersambung dengan laskar di belakangnya, meninggalkan mereka yang sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah Tuban. Demikian seterusnya, terputus bila terpm&m serangan yang melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban pada ke dua belah pihak. Antara sebentar Danang memaki-maki karena Maesa Wulung tak dapat mengatur pasukannya sehingga tak menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi gusar, karena dalam balatentara, kedudukan pasukan kuda berada di atas pasukan kaki, demikian pula dengan perwiraperwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan gabungan. Ketidakserasian itu sementara menguntungkan tentara Rajeg. Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya dapat terus berjalan masuk ke kota, namun banyak juga antara musuhnya yang dapat dirobohkan. 0o-dw-o0 Wiranggaleng menerima berita tentang gerakan tentara Rajeg yang menuju ke kota di tempat lain pada siang hari. Banteng Wareng yang nampak sudah kurus itu diperintahkannya mengejar dan menyerang dari belakang setelah dapat menjejak jalan mereka. Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda. Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali memasuki Tuban bersama dengan seluruh pasukan gajah. Duduk di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala Cuwil: “Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dapat dikerjakan. Jangan ada yang menghadap Gusti Adipati”. Dan ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan Banteng Wareng yang telah memasuki hutan. Jalan yang habis ditempuh oleh tentara Rajeg itu tak lama kemudian dapat ditemukan. Jalanan baru yang habis dibikin nampak terbuka, dan lebih lebar setelah kena terjangan tentara Rajeg. Di kiri dan di kanannya berkaparan bekas tebangan. Dibawa lumpur telah bercampur dengan dedaunan dan kayu-kayuan busuk, ranting, batang kayu melintang, yang hanya bisa dilalui dari bawah atau atasnya. Di mana-mana bagian air menggenang sampai ke paha berwarna kelabu. Hutan itu mengembangkan bau daun kayu busuk. Potongan berduri tak jarang ikut terpendam dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda, dan hanya dapat dihindari dengan membuat jalan belok. Dan pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara karena sulitnya medan. Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri yang terbuka dan terpelihara. Dan kuda-kuda itu pun terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus mesanggrah di udara terbuka. Jalanan negeri itu kini telah rusak permukaannya karena telah jadi bubur. Tetapi untuk pasukan kuda tak ada suatu rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu matahari mulai condong, buntut pasukan Rajeg telah nampak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di atas padang rumput hijau. Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak bumi lagi. Mereka mulai menyusul dan melewati barisan musuhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan. Bila pinggiran mulai kacau dalam usaha untuk dapat mempertahankan diri. prajurit-prajurit kuda lainnya menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran pedang. Maka laskar terakhir tentara Rajeg adalah laksana buntut seekor ulat putih yang diserang oleh serombongan semut. Ia meliuk-liuk tapi perasaannya tidak menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan waktu laskar buntut itu menjadi bubar torobrak-abrik terjadilah perkelahian dengan medan lebar. Banteng Wareng dan Wiranggaleng berpacu terus untuk dapat mencapai kepala barisan musuh. Sampai pada pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda Tuban di bawah Maesa Wulung dan pasukan kaki di bawah Danang sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling untuk ditumpas. Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran. Senapati melihat Maesa Wulung keluar dari medan pertempuran dan menghadap padanya. “Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok!” tegur Banteng Wareng, tanpa memperhatikan bawahannya dan terus mengawasi jalannya pertempuran. Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di seberang daerah pertempuran sana serombongan prajurit Rajeg tampak sedang mengangkuti sesuatu. “Ya, itulah meriamnya!” seru Wiranggaleng. “Maesa Wulung, tinggalkan gelanggang. Kerahkan seluruh pasukanmu, sergap rombongan sana itu!” Maesa Wulung berbalik, langsung turun ke medan pertempuran, dengan cambuk perang menggeletar di udara, memekik: “Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!” Tinggallah pasukan kaki mengamuk di tengah-tengah barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa Wulung datang dan langsung masuk ke tengah medan menggantikan yang pergi. 0o-dw-o0 Regu pengangkut dan pengawal meriam itu sedang menuju ke arah setumpuk tanah kubah ketinggian untuk tempat memasang meriamnya guna menembaki Tuban. Melihat datangnya limabelas prajurit kuda musuh mereka meletakkan beban masing-masing dan melindungkan diri dalam lingkaran pasukan pengawal. Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu. “Ganggu mereka!” perintah Maesa Wulung. “Jangan beri kesempatan!” Panah dan tombak mulai beterbangan. Pasukan kuda itu meledek menjauh dan mendekat sambil memaki dan menghina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung cambuk itu menyambar dan menyobeki daging dan kulit dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan lawannya. Mereka berputar-putar dan menari-nari mengelilingi musuhnya. “Bantuan!” pekik Esteban alias Manan dari tengahtengah lingkaran. Tetapi suaranya tenggelam dalam keriuhan orang berperang tanding. “Lingkar! Kepung!” perintah Maesa Wulung. “Lingkar! Kepung! Hore!” sambut anakbuahnya. “Babat begundal Rangga Iskak!” “Musafir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Robohkan!” “Lingkar! Kepung! Hore! Hore!” Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran kepungan makin lama makin menyempit. “Tombak!” perintah Maesa Wulung. “Tombak! Tombak! Tombak!” seru anakbuahnya mengulangi. Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam selipan pinggang, dan tombak pun mulai dimain-mainkan di udara. “Lepas!” dan tombak pun belepasan dari atas kuda. Prajurit-prajurit dari regu pengawal dan pelayan meriam mulai bergelimpangan. Dan lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit jua. Esteban dan Rodriguez tak pernah berperang tanpa senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan cambuk ia menjadi kecil hati Dan bantuan yang dibutuhkannya tak juga datang. Dua orang itu bersiap-siap dengan pedang dan berlindung di balik peti-peti obat. Regu pengangkut dan pengawal meriam itu semakin tipis. Tombak dan cambuk Tuban telah menyarangkan mereka. “Pedang!” perintah Maesa Wulung. “Pedang! Pedang!” anakbuahnya menyambut. Pedang pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. Dan senjata itu mulai membabat dan menyambar, digerakkan oleh tangantangan ahli dan terlatih. Dan regu pengawal dan pengangkut meriam yang telah digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan sekarang pedang itu menjadi semakin tipis, mulai berlarian mencoba meloloskan diri dari kepungan. Melihat bahaya yang semakin mendesak, Esteban dan Rodriguez melompat ke atas peti untuk mendapatkan tempat ketinggian. Pedang mereka berputar-putar di udara menunggu serangan. “Lari, ayoh, lari!” Maesa Wulung berseru pada musuhnya. “Lari, ayoh, lari!” sorak anakbuahnya. Mereka lari dan tidak dikejar. Pertahanan meriam itu semakin tipis juga. Semua tinggal bersenjatakan pedang. “Pedang di tangan kiri!” perintah Maesa Wulung. “Kiri! Kiri!” sorak sambutan anakbuah dari atas kuda. “Cambuk di tangan kanan!” “Kanan! Kanan!” Kecuali cambuk bergeletar memerahi kulit yang terkena dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran darah terputus. “Terjang!” ‘Terjang! Terjang!” sorak-sorai. Esteban dan Rodriguez kehilangan akal berhadapan dengan cambuk yang menyambar-nyambar bergelataran yang memekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya di Asia dan Afrika tak pernah mereka menghadapi semacam ini. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi cambuk. ‘Tombak!” Rodriguez menyarani Esteban. Ia menyambar sebatang tombak dari tangan seorang pengawalnya yang telah rebah. Terpengaruh oleh saran itu Esteban pun membungkuk mengambil sebatang. Tapi ujung cambuk bergerigi baja itu telah menyambar mukanya, bahu dan punggungnya. Darah menutupi pemandangannya. Tombak dan pedang di tangan tiada berguna. Sebuah cambuk yang menggeletar telah merenggutkan tombak dari tangan Rodriguez, mengelupas pergelangannya. Ia terpekik dan cambuk lain telah hujan pula pada mukanya. “Panglima! Panglima!” Esteban memekik. “Keparat!” sumpah Rodriguez. Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini berdiri di atas peti, sibuk menyeka muka dari darah. “Tangkap hidup-hidup!” teriak Maesa Wulung. Tubrukan kuda membikin Esteban dan Rodriguez yang setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka telah terikat ke belakang. Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatang pohon punggung-memunggung, di bawah pengawalan seorang prajurit kuda Sisa regu pengawal dan pengangkut meriam telah lenyap dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan meriam yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai dalam keadaan setengah mati Dan pasukan kuda kecil yang telah berkurang jumlahnya itu balik dan turun lagi ke medan pertempuran. Tentara Rajeg tak berkesempatan lagi untuk menyelamatkan meriam mereka dan penembakpenembaknya. Medan pertempuran makin lama makin meluas, karena pasukan kuda Tuban di bawah Banteng Wareng setelah mengobrak-abrik buntut barisan musuhnya kemudian berpacu ke depan dan membikin medan pertempuran jadi semakin lebar. Matahari mulai tenggelam. Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentuman cetbang. Pertempuran di pinggiran kota juga telah dimulai. Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun. Bahkan bulan muda sudah mulai nampak di langit cerah. 0o-dw-o0 23. Idayu Jadi Sandera Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi melihat dan menjenguknya. Ia pun belum lagi bisa menelungkup. Baru belajar miring. Setelah melahirkannya Idayu merasa sangat berbahagia. Bayi ini tidak seperti Gelar. Wajahnya cerah seperti ayahnya dan hidungnya seperti ibunya. Setiap han penduduk desa ada saja yang memerlukan datang untuk menjenguk dan untuk ikut merawat. Semua di antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang Patih Senapati Tuban. Maka kebesaran pun sudah mulai dipersembahkan kepada sang bayi. Tidak lain dari kepala desa itu juga yang paling gopohgopoh mengurus kesejahteraan dan kebutuhan si ibu dan anaknya. Dan semua itu disambut dengan kewaspadaan oleh Idayu. Dan tidak lain dari kepala desa itu juga yang sering menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah karena kebijaksanaannya mengirimkan Idayu dan Galeng ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu. Kebahagiaan meliputi hati Idayu. Bayi itu adalah segalanya. Dan datanglah satu regu prajurit, yang dengan sopannya memberitahukan: atas perintah Sang Patih Senapati Tuban, Idayu dan anaknya dan Nyi Gede Kati harus diboyong dari Awis Krambil ke Tuban Kota; anakbuah Sunan Rajeg telah bersebaran di mana-mana; mereka bertiga harus diselamatkan. Di bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuanya mereka berangkat meninggalkan Awis Krambil: Idayu dengan menggendong si bayi, Nyi Gede Kati yang membawa popok bayi dan menggandeng Gelar. Barangbarang lain diangkat oleh prajurit-prajurit. Mereka berjalan pelan-pelan. Baik Idayu maupun Nyi Gede Kati merasa was-was terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih Senapati Tuban mengirim tandu untuk seorang wanita yang baru melahirkan. Tapi mereka tak bertanya. Tiga buah desa telah dilewati. Kepala regu penjemput, yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh Nyi Gede Kati melangsungkan perjalanan ke Tuban. “Sendirian?” “Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu, tapi tanpa anak yang kau tuntun itu”. “Bagaimana dengan Nyi Gede Idayu nanti?” “Begitulah perintah Senapati”. “Biar aku bawa Gelar”. “Tidak, jalan kau sendiri”. Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi Idayu dan Gelar dan si bayi membelok ke kanan dalam iringan regu penjemput. Ia tetap berdiri di situ sampai mereka hilang di kejauhan, baru kemudian meneruskan perjalanan seorang diri. Wanita yang baru melahirkan menggendong bayi, membawa bungkusan dan menggandeng Gelar itu tidak diperkenankan beristirahat. Idayu mulai curiga. Bayi itu pun tak boleh disusuinya. Gelar sudah mulai lelah, tidak boleh beristirahat, dan antara sebentar minta digendong. Dan tak ada seorang pun di antara regu penjemput itu mengulurkan tangan penolongnya. Tahulah ia sekarang, ia telah jatuh ke tangan musuh suaminya. Ga-leng takkan mungkin memperlakukan keluarganya seperti ini. Ya, Dewa Batara, pintanya dalam hati, selamatkan aku dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini. Dan makin lama Gelar makin sering minta digendong. Dengan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu. “Ke mana kami akan dibawa?” sekali ia memberanikan diri bertanya. “Ke mana? Ke suatu tempat di mana Wiranggaleng akan datang dan menemui matinya,” jawaban yang cukup menyakitkan dan kurangajar sekaligus. Setelah itu ia tak bertanya lagi. Menjelang tengah malam setelah melalui banyak desa, barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan pintu dipasak dari luar. Dengan menggerayang-gerayang ditemukannya ambin tak bertikar, di situ ia letakkan anak-anaknya dan mulai menyusui anaknya sambil memijiti kaki Gelar. Ia sudah tak dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi. Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih tidur. Ia duduk dan memandangi mereka. Lubang-lubang pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan kakinya masih juga sesak dan pegal. Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu membuat ia menggerayap menghadapi pintu dan bersiaga. Di lubang pintu itu berdiri Sunan Rajeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit. Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat kilat ia ambil bayinya dan didekapkannya pada dada. Dengan punggung melindungi Gelar yang masih nyenyak dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi bajunya telah basah diompoli bayinya. “Ah, ah, si Upik!” tegur Sunan Rajeg dengan senyum menggigit, “lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan gugup. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga? Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu? Cukup kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai perempuan?” Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan Idayu: “Tidak tahu,” jawabnya pendek. “Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan Syahbandar Tuban?” ‘Tuan Syahbandar Sayid….” “Sayid Sayid!” lelaki itu melecehkan. “Dari mana sayidnya si iblis itu? Ya, tentu dari iblis dan setan laknat juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku, Idayu.” Suaranya membangunkan Gelar. Anak itu berdiri di atas ambin, berteriak ketakutan. Idayu menengok ke belakang sejenak untuk menenteramkan anak itu dengan memberikan punggungnya. Gelar mengerti, menempel pada punggung itu, memeluk leher ibunya dan mengintip Sunan Rajeg dari samping leher ibunya. Dan ia tetap berdiri di atas ambin. “Mengapa pada takut padaku? Apakah aku kelihatan menakutkan?” orang itu bertanya. “Kau sendiri juga takut, Idayu. Hei, apakah kau tak pernah dengar nama Sunan Rajeg di desamu Awis Krambil? Inilah aku, Idayu”. Idayu tak menanggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia justru menajamkan kewaspadaan dan mengikuti gerak-gerik tangannya.. Dan bayi itu mulai menangis lapar, tapi ia tak menggubrisnya, juga tak mendiamkannya. Matanya tetap tertuju pada tangan Sunan Rajeg. “Kau, Upik, siapa tidak tahu kau? Juara tari tiga kali berturut pujaan Tuban. Di sini, Idayu, kau bukan pujaan siapa pun. Kau, isteri satu-satunya Wiranggaleng”. Ia menunggu sambutan. Idayu tetap membisu. “Mengapa diam saja? Masih takut?” melihat wanita itu tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah kemerahan karena tersinggung. “Tahu kau mengapa di sini?” ia belai-belai jenggot untuk menyalurkan kemarahannya. Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang mulai membanyak. Mengetahui Idayu tak juga bicara ia meneruskan dengan gaya pemain panggung: “Bukan salahku, kau didatangkan ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini. Suamimu Wiranggaleng, si anak desa tak tahu di untung itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan Senapati Tuban. Bukan karena pengangkatannya itu ia sendiri menyusahkan aku Idayu, tapi asalnya! Asalnya! Karena bukan ningrat, hanya anak desa, tak pernah belajar keprajuritan, mendadak jadi Senapati, tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka perangnya ngawur serampangan, tak dapat ditebak apa maunya. Mengerti kau?” Gelar mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si bayi menggerayangkan tangan pada dada Idayu. Sunan Rajeg tetap mengawasi wanita itu dan meneruskan dengan nada menurun seakan mengharapkan simpati yang ikhlas. “Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau. Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke Tuban. Sekiranya kau dulu memilih jadi selir, memang semua tidak akan begini jadinya, Idayu”. Gelar mengintip Sunan Rajeg dari balik tengkuk ibunya. Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan perhatian pada anak itu. Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada Gelar: “Mengapa anak itu tak ada kesamaannya dengan Galeng? Ah, Kau. Idayu pujaan Tuban. Lepas dari Sang Adipati jatuh ke dalam terkaman si Habibullah keparat itu”. Ia diam memperhatikan Gelar yang sekarang mencoba menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. Sunan Rajeg tertawa menggigit dan mengejek: “Kau layani dua lelaki, Idayu! Tak salah lagi. Hidungnya sama bengkuknya, matanya, rambutnya yang agak keriting. Hah! Mukanya sama tipisnya. Kulit kehitaman. Sama sekali tak dapat dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau memang layani dua pria! Yang satu begundal Peranggi, yang lain anak dungu begundal munafik” Tak tahan lagi Idayu mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya menunduk, makin menunduk. Kedua orang anaknya harus selamat. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan diterimanya dengan menunduk. “Malu? Pura-pura malu?” Dengan menahan kesakitan hati pelan-pelan ia angkat kepalanya. Ia pandangi Sunan Rajeg, berkata lembut, seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: “Suamiku sendiri. Sunan, tak pernah mengejek dan menggugat seperti itu”. “Karena dia dungu. Sedikit saja cerdik… takkan lama kau menghirup udara. Cukup lama aku tinggal di Tuban. Aku tahu gelagak darah pria Tuban. Dan si dungu itu, kalau bukan karena dungunya, dia takkan mungkin berani mengangkat diri jadi Senapati. Sekarang dia jadi penghalangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi selatan ini”. “Ya, Sunan. Si dungu itu suamiku. Senapati Tuban,” Idayu berkata lambat-lambat dan hati-hati untuk tidak menakutkan Gelar, dan bangga ia istri Wiranggaleng. “Dan kau perempuan tidak setia. Betapa banyak ragamnya.” “Hanya suamiku yang menilai diriku”. “Suaminya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak setia patut bangga pada suaminya yang dungu”. “Kalau yang menilai itu Wiranggaleng, Sunan,” Idayu berkata lebih lunak lagi. “Wiranggaleng Senapati Tuban, tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya, terserah. Setiap orang memang menilai setiap orang”. “Kau memang bijaksana, perempuan!” Sunan Rajeg tertawa mengejek, “menyerahkan penilaian pada suami dungu. Kau bijaksana,” ia berkecap-kecap senang, “seperti dalam dongeng, Idayu. Tapi biarlah, justru karena suamimu memuja kau, seperti orang-orang gila lainnya itu, pasti dia akan datang kemari. Dia musuhku”. “Ya, Sunan.” “Tak ada yang menyebut aku Sunan – Kanjeng Sunan.” “Ya, Kanjeng Sunan”. “Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa kadipaten. Baiklah. Kau sendiri memang bukan musuhku. Apalagi anak-anakmu. Jangan buang airmata di hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang Senapati menangisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata itu, penari agung. Sayang di sini tarianmu tiada harga. Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadapan bukan muhrim”. Idayu dapat mengerti mengapa ia dihina seperti itu sebagai istri Senapati Tuban. Itu sudah sewajarnya. Tapi hatinya sakit karena hal yang lain: penghinaan terhadap tariannya. Guru-gurunya telah membikin ia jadi seorang penari ulung, berhasil memenangkan tiga kali kejuaraan berturut. Seluruh Tuban mengakui, mengapa orang yang satu ini justru menghinanya? Dan kedua belah tangannya sudah pegal dari menggendong kemarin dan sekarang ia masih juga tahankan sekuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan. “Apa aku bilang? Tak ada airmata berharga di hadapanku. Istri seorang musuh bukanlah musuh, apalagi bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, Idayu, bukan kafir jahiliah”. Ia panggil beberapa orang yang datang berdiri di belakangnya. “Lihat, ini Idayu, istri Wiranggaleng, istri tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat, karena dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat Jawa tak pernah punya kesetiaan pada istri dan anakanaknya, tapi istri dan istri-istrinya harus selalu setia mutlak padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anakanak sendiri. Mereka tak lain daripada merak jantan, kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri. Mengerti?” “Sahaya, Kanjeng Sunan.” “Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan, dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari orang-orang yang lebih kuat daripada yang punya hawa nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu? Kita sudah bertekat untuk mengubah nasib Jawa agar tak jadi seperti itu, tapi sesuai dengan ajaran, larangan dan petunjuk”. Kemudian kata-katanya dialihkan lagi pada Idayu: “Bukankah sudah aku katakan padamu? Jangan menangis. Suamimu akan terpanggil kemari karena kesetiaannya padamu. Apa keberatannya sekarang, Idayu?” “Apakah yang akan kukatakan? Sudah sejak semula aku hanya ditipu untuk datang kemari”. “Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan salah. Ini hanya muslihat perang.” “Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku ditanyai?” “Diam!” bentak Sunan Rajeg. “Kau tak juga mau mengerti siapa yang kau hadapi”. Idayu menunduk, mengetahui tak ada gunanya bicara. “Mengapa diam? Siapa yang kau hadapi” Idayu tetap membisu. “Siapa?!” bentaknya lagi. Dan Idayu tak juga membuka mulut. Suaranya kemudian merendah jadi gerutu. “Betapa banyak orang yang kutolak permohonannya untuk menghadap? Semestinya kau bangga aku ajak bicara”. Dan suaranya menaik lagi. “Siapa sedang kau hadapi sekarang?” “Sunan Rajeg.” “Kanjeng Sunan Rajeg,” Rangga Iskak membetulkan. “Kanjeng Sunan Rajeg.” “Betul. Siapa lagi?” “Musuh suamiku seperti kata-katamu sendiri”. “Diam kau, perempuan perbegu! Tak ada gunanya keangkuhan itu di hadapanku”. “Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan.” “Ya, itulah keangkuhan.” “Guru-guru mengajarkan pada kami sikap tahu harga diri dan kehormatan diri”. “Di mana harga dan kehormatanmu? Terlalu banyak disanjung orang, ya? Maka di hadapan Sunan Rajeg juga minta disanjung? Apa modalmu untuk angkuh di hadapanku? Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak untukku. Gamelan tak punya bunyi di sini, bisu, hanya barang-barang kafir tiada harga. Tak pernah tersebut dalam ajaran. Sombong, akui, ya? bicara tentang kehormatan dan harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu? Semua sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh anak haram itu di wilayah kekuasaanku. Bahkan perkawinanmu pun tidak sah. Tapi tidak aku anggap kalian anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan garamku. Semua orang di sini tahu aturan, tahu suruhan dan larangan. Penjaga-penjaga di sini akan menjaga keselamatan dan keamananmu sampai suamimu datang menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka kau seangkuh itu? Di sini takkan ada seorang pun dihukum tanpa dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan pengadilan yang adil”. “Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadapan Kanjeng Sunan Rajeg berarti keangkuhan, memang tak perlu lagi aku bicara”. “Jih! Dasar kafir turunan kafir!” Ia tinggalkan rumah itu bersama pengiring-pengiringnya dan pintu kembali dipasak dari luar. Setelah mereka pergi Idayu baru sadar, di atas ambin telah tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi minum dan pasu kayu berisi air. “Tidak ada apa-apa, Nak,” katanya pada Gelar dan disusuinya anaknya yang kecil. ”Makanlah. Apakah emak harus layani?” ia melayani Gelar sambil menyusui. Ia mempunyai alasan untuk takut. Dan ia tak perlihatkan kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada dirinya sebagai pelindung tergoncang. Mereka justru memerlukan perlindungannya pada saat seperti ini. Tidak lebih dari seminggu kemudian terdengar bunyi kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dindingdinding bambu masuk ke dalam rumah itu. Idayu duduk di atas ambin mendengarkan. Si bayi berkicau di tengah-tengah ambin dengan Gelar sedang mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang mengucapkan syukur pada para dewa telah terlindungi dari pendarahan. “Apa yang ramai itu, Mak?” Gelar bertanya. Idayu mulai memperhatikan keriuhan itu. Tak lama kemudian terdengar langkah orang berlarian di depan rumah, makin lama makin banyak. “Siapa pada lari itu, Mak?” Suara orang berlarian itu berhenti. “Tak ada apa-apa, Gelar. Mainlah lagi dengan adikmu”. Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang menangis dibawa lari. Dari suara mereka terdiri dari berbagai kelamin dan umur. Suara-suara itu kemudian berkurang. Kemudian terdengar suara seorang nenek yang tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lambat: “Cepat, Yung, jangan terlambat.” “Ya, lebih cepat, kalau tidak, binasa kau,” suara seorang lelaki dewasa yang melewatinya. Tertarik oleh suara-suara itu Idayu meninggalkan ambin, mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.Dari lubang dilihatnya orang berduyun-duyun membawa harta bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada digendong dan bocah-bocah pada ditarik-tarik dalam gandengan. Seorang wanita muda dilihatnya menyisih dari rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: “Mengapa mesti berlari-lari begini? Gusti Adipati raja kita, tak mungkin kawulanya dibunuh tanpa dosa”. Nampaknya ia tak mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri, kemudian menggabungkan diri dengan yang lain-lain, juga lari. Kentongan dan bedug telah berhenti bertalu. Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang diri: “Mengapa mesti ikut lari? Apa dosaku?” ia berhenti lagi untuk mendapatkan nafasnya kembali, kemudian meneruskan jalan dengan pelan-pelan. Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa mendapat jawaban. Dan bocah itu lari terus. Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada dadanya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari mulutnya keluar keluh dan umpatan, kemudian: “Nasibmu, Nak, nasibmu. Bapakmu tewas entah di mana. Lahirmu tak ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini. Terkutuk sekarang dan kemudian”. Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan berhenti di depan pintu, lambat-lambat duduk bersandar pada daun pintu. Idayu tak dapat melihatnya lagi. “Ada apa, Mak?” tiba-tiba Gelar bertanya dari belakang. Ibu muda yang nampaknya baru melahirkan itu kini memperdengarkan suaranya lagi: “Ada orangkah di situ? Mengapa pintu dipasak dari luar?” Idayu menutup mulut Gelar dengan tangannya. Dan terdengar lagi suara ibu muda itu: “Ijinkan aku masuk. Tolonglah aku!” Idayu tak menjawab, malah memberi isyarat pada anaknya agar tak bersuara. “Ah, keterlaluan!” sebut ibu muda itu dari luar. “Jaman sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain. Siapakah di dalam situ? Tolonglah aku. Aku sakit. Belum seminggu aku melahirkan”. Terdengar orang itu mengerang. “Ah, dipasak mati dari luar begini”. Kemudian katakatanya jadi singkat-singkat, terkejut. “Ya Allah, ya Dewa Batara, pendarahan! Mati aku, Nak, kalau begini. Siapa mesti rawat kau nanti?” ia menangis ter-hisak-hisak. Idayu menarik Gelar, dibawanya naik lagi ke ambin. Tak disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang kapiran itu. Dengan diam-diam ditariknya bayinya dan disusuinya. Tidakkah nasib ibu muda itu akan menimpa diri dan anak-anaknya ini? Tangannya yang lain kini menggapai Gelar dan merangkulnya, kemudian menciumnya. “Emak menangis, Mak,” bisik Gelar, dan ia seka airmata ibunya. Masih juga dapat didengar perempuan di luar itu mencoba membuka pasak. Tersusul kemudian oleh suara seorang lelaki yang berseru-seru dari sesuatu jarak: “Jangan ganggu pintu itu!” Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar ibu muda itu mencoba membuka pasak. Mungkin telah pergi menyingkir dari depan pintu itu. Dan waktu si bayi dan Gelar telah tertidur, ia turun lagi dari ambin dan mengintip. Keadaan telah lengang. Tak seorang pun nampak. Balik lagi ke ambin ia ciumi Gelar, satu-satunya orang selama hari-hari belakang ini dapat diajaknya bicara. Anak itu terbangun, kemudian juga adiknya. “Ada apa, Mak?” ‘Tak ada apa-apa. Gelar. Barangkali saja bapakmu akan datang”. “Bapak, Mak?” “Bapakmu, ya. Barangkali membawa balatentara yang sangat banyak”. Gelar turun dari ambin dan lari ke dinding untuk mengintip. Bayi itu menangis, dan Idayu menyusuinya lagi. “Kembali, Gelar, sini saja dengan emak”. Terdengar suara beberapa orang lelaki. Gelar lari dari dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin mendekati pintu. “Siapa itu, Mak?” “Stt,” Idayu menarik mukanya dari pintu. “Ya Dewa Batara”, bisiknya berdoa, “datanglah kau, Kang, selamatkan anak-anak ini”. Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. Dan pintu itu terbuka. Idayu tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya Gelar mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba putih, bertombak dan berpedang. “Mari,” kata salah seorang di antaranya, “mari kami antarkan Mbok-ayu ke tempat lain”. Idayu turun dari ambin. Bayi itu digendongnya, dan Gelar digandengnya. “Mari, Mak, kita pergi,” dan tak diteruskannya mengatakan: pergi untuk selama-lamanya. Sekilas ia melihat lelaki yang bicara itu muda, tinggi semampai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan rumah. Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada Gelar: “Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan, rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan lupa lihat dulu ibumu ini,” ia berjongkok untuk dapat dilihat oleh anaknya. “Mengapa harus dilihat semua, Mak”. “Biar kau akan selalu ingat di kemudian hari, Gelar”. “Ke sebelah sini, Mbokayu”, orang muda itu berkata lagi. Dengan Gelar dalam gendongan dan si bayi dalam gendongan ia membelok. Orang-orang lelaki berpedang dan bertombak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam. Suara pemuda itu membangkitkan kenang-kenangan yang indah, jauh, samar, dalam ingatan Idayu. Siapakah yang pernah memanggilnya Mbokayu dengan suara seperti itu? Seindah dan mengandung perasaan seperti itu? Jantungnya berdentaman. Dan tetap ia tak dapat mengingat. Lagi pula apalah gunanya mengingat-ingat sesuatu dalam sisa hidup yang terlalu pendek ini? Mereka telah datang untuk menghabisi istri dan anak musuhnya. 0o-dw-o0 24. Demak Tahun 1518 Masehi Sesuatu telah terjadi di Demak – Demak yang dicemburui oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Ribuan orang berduyun-duyun di depan istana, kemudian bergerak ke mesjid agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan wafatnya Sultan Demak: Sultan Syah Sri Alam Akbar al- Fattah atau Raden Patah, Khalifah pertama-tama di Jawa. Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu. Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka memasuki mesjid agung, sebagian besar tiada bisa masuk dan berdiri di pelataran depan. Dengung Allahu Akbar berkali-kali membuntingi udara, membubung berat baik dari dalam mau pun di luar mesjid. Gerak dan suara mereka berirama dalam bertakbir bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang di depan mesjid mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir. Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah barisan pengawal kerajaan Demak. Dan seperti prajurit kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada. Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari tombak mereka terhiasi dengan pita putih pula. Di samping-menyamping jenasah berjalan beberapa orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bergelar Sunan, tak lebih dari empat orang. Dan Sunan Kalijaga, yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik, tiada nampak. Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan sedang berada di Demak. Menyusul kemudian para punggawa dan rakyat biasa. Di tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning keemasan. Di dalamnya terdapat putra mahkota Demak: Adipati Unus Jepara. Di samping-menyamping tandu adalah para keluarga Sultan, kecualiwanita, karena tak ada seorang pun wanita di dalam seluruh iring-iringan panjang ini. Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan pelataran mesjid. Waktu buntut barisan telah hilang dari pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan sepi. Seluruh Demak berada dalam suasana berkabung. 0o-dw-o0 Delapan minggu kemudian sekitar alun-alun menjadi ramai kembali. Tidak tampak adanya suasana berkabung. Gong dan canang bertalu-talu riuh-rendah menyerukan kegembiraan. Sepasukan prajurit pengawal bertombak berbaris keluar dari istana. Rakyat yang berada di alun-alun bersorak-sorai menyambut. Mereka mengangkat tangan dan selendang dan kerudung. Di belakang pasukan pengawal nampak lagi tandu bertenda putih dengan bola kayu keemasan di atasnya, diapit oleh prajurit-prajurit pengawal berpedang terhunus. Di belakangnya pasukan pengawal lagi. Kemudian barisan dan barisan dan barisan. Semua menuju ke mesjid agung Bintoro. Alun-alun semakin lama semakin ramai. Orang berdatangan tiada henti-hentinya. Dan di mana-mana dipasang umbul-umbul berwarna-warni dan berwarna ganda. Begitu akhir barisan memadat di halaman mesjid, peluru cetbang berledakan di udara. Kemudian tenang, dan tiada antara lama kemudian membubung ucapan syukur di udara: Alhamdulillah berkali-kali. Gong dan canang semakin riuh. Adipati Unus Jepara telah dinobatkan jadi Sultan Demak. Tandu meninggalkan mesjid dan memasuki istana. Dengan bantuan dua orang Sultan Demak kedua didudukkan di atas singgasana – ia tak mampu lagi tegakkan badan tanpa bantuan. Serpihan-serpihan laras cetbang yang belum dapat dicabut dari tubuhnya telah membuatnya jadi cacad untuk selamanya. Pada hari ia naik tahta dijatuhkannya titah memanggil kembali semua musafir Demak. Mereka yang kebetulan sedang berada di ibukota harus dipersiapkan untuk menerima amanat sebelum mereka menuju ke daerah pekerjaan masing-masing, dengan membawa cerita tentang Demak yang lama dengan sultannya yang baru, dan – kebijaksanaan baru. Amanat itu kemudian ternyata diadakan di balairung penghadapan. Isinya: Sultan Demak kedua berseru pada seluruh penduduk di lawa untuk melawan Peranggi sebagai musuh yang takkan dapat diajak Iyr baik. Sultan Demak berseru pada raja-raja di Jawa dan di seluruh Nusantara untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna membangunkan armada gabungan yang perkasa. Sultan Demak kedua berseru agar para raja menentang setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan Peranggi dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu musuh dan harus dihancurkan juga…. Tiada terkira terkejut orang mengetahui, sampai Sultan baru itu dinaikkan lagi ke atas tandu, tak juga keluar titah yang bersangkut-pautan dengan agama. Orang masih tetap menunggu tanpa memberikan ulasan. Maka para musafir mulailah bersebaran menuju ke seluruh pelosok Jawa. Beberapa belas orang mancal dari Jepara menuju ke seberang: Jambi, Aceh, Semenanjung, sepanjang pesisir Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku. Di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Sumatera, seruan itu membangkitkan harapan baru akan terjadinya perbaikan pelayaran dan perdagangan sehingga kembali seperti sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Dan seruan itu terdengar begitu jantan, sehingga orang tak pernah mengingat lagi, bahwa Sultan Demak baru adalah seorang yang telah cacad, bahkan untuk tegak berdiri harus dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi tampil jadi laksamana. Bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa kekuasaan pusat pada memerlukan datang menghadap menyatakan kesediaannya. Di antara mereka ada yang menyanggupi balatentara. Beberapa yang lain menyatakan berada di bawah perlindungan Demak tanpa dipukul dengan perang. Satu-satunya penantang Portugis telah marak jadi raja! Kekuasaan mutlak telah ada di tangannya. Tak bisa lain, orang harus mendengarkan setiap katanya. Ia memang pernah dikalahkan Portugis, dan ia pun mengakui kekalahannya, namun takluk ia tak pernah. Titah yang kemudian menyusul lebih menggoncangkan: segala dana dan daya di dalam kerajaan Demak, tanpa kecuali, harus dikerahkan untuk membangun armada. Pelabuhan Jepara dititahkan jadi pusat galangan kapal yang paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan bumi selatan. Akhir dari titah itu adalah pernyataan, bahwa ia telah mendapat firasat takkan memerangi segala apa yang akan dipersiapkannya, namun sisa kekuatannya sepenuhnya akan dibaktikannya untuk kepentingan ini. Dan bahwa tak ada orang akan merasa aman di belahan bumi selatan ini, selama Peranggi masih bercokol di sini. Kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blambangan dan Pajajaran membaui datangnya bahaya ini. Dengan serta merta mereka berusaha lebih giat untuk mendapatkan persahabatan dari Portugis di Malaka. Sebaliknya titah ke dua itu juga menimbulkan perasaan kurang puas pada Majelis Kerajaan. Mengapa di dalamnya tidak disinggungsinggung tentang kepentingan agama dan pengluasannya? Dalam suatu penghadapan khusus mereka mendapatkan jawaban yang tidak kurang kerasnya: “Bagaimana bisa hal ini dipersembahkan? Bukankah sudah jelas Peranggi mengancam apa yang telah Bapa-bapa Sunan yang terhormat sebarkan di pulau Jawa ini? Dapatkah hasil penyebaran dipertahankan, dapatkah pertumbuhannya disuburkan, selama Peranggi masih mengancam?” Jawaban itu menyebabkan Majelis Kerajaan ragu-ragu terhadap kekhalifahan Sultan baru. Pertikaian baru terjadi dalam tubuh Majelis yang mengancam terjadinya perpecahan baru. Dan pertikaian itu memang tak pernah terselesaikan. Seorang anggota, sebagai protes, telah meninggalkan Majelis Demak untuk selama-lamanya, mengutamakan perguruannya, dan menolak membicarakan kebijaksanaan Sultan Demak baru sampai meninggalkan. Titah Sultan yang ke dua itu bergema juga di Aceh, melalui bandar Pasai. Dari Pasai sampai pada Portugis di Malaka. Pengalaman telah mengajarkan pada Portugis, belum lagi Adipati Unus punya kerajaan telah berani jadi penantangnya yang cukup berbahaya, bahkan nyaris mengusir mereka dari Malaka. Sekiranya dahulu Malaka jatuh, mereka sudah akan menjadi lemah dalam pelayaran antara Goa dengan Maluku. Maka Demak terlalu berbahaya. Ia tidak menggubris pendekatan Pajajaran dan Blambangan. Diperintahkannya kapal-kapalnya menjauh dari pesisir Jawa. Pelayaran ke Maluku dan Nusa Tenggara harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sedang Blambangan dan Pajajaran dipergunakannya sebagai sumber keterangan tentang kegiatan Demak. Akibat titah ke dua. Laut Jawa terbebas dari kapal-kapal Portugis. Pelayaran Pribumi mulai ramai kembali, sekalipun masih ragu-ragu memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara. Beberapa orang pedagang telah melakukan percobaan pelayaran ke Maluku dalam bentuk armada dagang gabungan dengan mengibarkan bendera kuputarung Jepara. Mereka berhasil mendapatkan rempahrempah. Armada dagang gabungan lain-lainnya pada meniru. Perdagangan dengan Maluku dan Nusa Tenggara mulai hidup kembali. Arusnya memantai pulau Jawa, dan tergabung dengan lada dari Sumatra Selatan arus itu makin membesar, memantai Sumatra sebelah barat dan menuju ke Teluk Bayur. Seperti ditiup dari langit Teluk Bayur menjadi bandar ramai, menghubungkan Atas Angin dengan Nusantara. Arus yang menuju ke Pasai mulai mengendor. Bandar-bandar di Jawa Utara mulai hidup kembali, bernafas legapenuh pengharapan. Dan para pelaut seperti digerakkan oleh persetujuan gaib mengakui. Unus berlidah api. Baru kata-katanya, dan keadaan laut sudah mulai berubah, apa pula nanti tindakannya! Jepara tiba-tiba berubah jadi kota industri yang giat. Tenaga ahli dari seluruh Jawa terhisap ke sini. Kotanya melambung menjadi besar dalam hanya beberapa tahun. Pasar-pasar diperbesar dan ditambah jumlahnya. Dan para musafir semakin giat mengagungkan Demak dan rajanya. Tetapi Demak sendiri juga terhisap oleh Jepara. Sejak Sultan Demak baru ini, hubungan mesra antara Demak dengan Semarang mulai retak. Demak berdiri sebagai kerajaan bebas. 0o-dw-o0 Hanya Tuban belum juga bangun dari kemuramannya. Kerusuhan di dalam negeri menyebabkan para saudagar enggan menyinggahi. Tak ada sesuatu bisa diperoleh dengan mudah dan murah di Tuban. Bahkan para insinyur dan tukang kapal meninggalkan negerinya mencari penghidupan di Jepara. Armada dagang Tuban sendiri enggan kembali ke pangkalan asal. Hanya benderanya, merah putih panjang, masih dapat dilihat, di semua bandar, kecuali di Tuban sendiri. 0odwo0 25. Akhir Perang Dengan pedang terawang di atas kepala Wiranggaleng dan Banteng Wareng terjun ke tengah-tengah medan pertempuran. Dan seperti pedang kembang senjata-senjata itu menyambar ke kiri dan ke kanan, bawah dan atas. Dalam pada itu dua-duanya tak henti-hentinya berseru: “Pulang! Ayoh pulang kalian! Pulang ke desa! Pulang! Buang senjata! Pulang! Jangan bikin bini kalian jadi janda, anak jadi lola! Pulang! Pulang! ke desa!” “Yang tak mau pulang kena tebang! kena tebang!” Matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba terdengar suara parau memberi balasan: “Jangan kena dibodohi. Serang terus!” dan itulah suara Mahmud Barjah. Dengan sepasukan kaki ia sedang bergerak hendak merampas kembali meriam dan membebaskan Esteban dan Rodriguez. “Buru dia!” perintah Senapati sambil membebaskan diri dari para penyerangnya dan langsung memburu Mahmud. “Jangan dengarkan begundal kafir Peranggi!” teriak Mahmud menghina. “Budak Koja, kambing Rangga Iskak!” teriak Banteng Wareng. “Senapatiku, serahkan padaku. Jangan lari kau pengkhianat. Inilah harimau”. Mahmud duduk di atas kudanya. Ia cabut pedang begitu melihat yang mendatangi juga berpedang. Laskar kaki yang dipimpinnya untuk mengambil kembali meriam ia tinggalkan untuk menyambut musuhnya. Ia menengok ke belakang memberi perintah: ‘Teruskan tanpa aku. Saksikan bagaimana begundal-begundal kafir Peranggi ini tumpas di tangan Mahmud Barjah,” ia berpacu mendatangi pemburu-pemburunya. “Percuma, Mahmud!” teriak Banteng Wareng. “Lebih baik kau lari seperti yang lain. Atau serahkan lehermu.” Beberapa prajurit berkuda Tuban menyusul untuk menyelamatkan Senapati dan Banteng Wareng dari kepungan laskar kaki Rajeg. Dengan cambuk menggeletar di udara mereka menerjang dan membubarkannya. Sebagian lari berpacu mengejar mereka yang hendak menyelamatkan meriam dan penembaknya. “Terlalu hina melayani pengkhianat, Senapatiku!” pekik prajurit-prajurit kuda itu. “Dan pedang terlalu mulia untuk lehernya.” “Biar kami cambuki saja, Senapatiku!” Laskar putih itu masih jadi penghalang Mahmud untuk dapat bertemu dengan Senapati atau Banteng Wareng. ‘Tuban sudah jatuh!” pekik Panglima Rajeg memberanikan tentaranya. “Kalian tinggal masuk. Semua jadi milik kalian, wanita dan harta Jangan tunggu! Serang terus!” “Pembohong!” bentak Banteng Wareng dan diterjangnya lapisan prajurit Rajeg dengan kudanya sampai porakporanda. Ia melambaikan tangan ke belakang. “Cambuki pengkhianat ini sampai rompang-ram-ping. Bukan satria yang kita hadapi, hanya pengkhianat keparat”. Wiranggaleng berhenti, tak terus mendapatkan Mahmud, berbalik memunggungi. Mahmud menjadi marah merasa dihina oleh Senapati Tuban karena tak dilayani. Ia memekik dengan suara parau: “Jangan lari, anak desa! Kembali sini! Rasakan pedang Panglima Rajeg, Mahmud Barjah”. la hentakkan kuda, meninggalkan lapisan laskarnya sendiri dan mulai memburu. Yang diburu menyusup ke tengah-tengah pertempuran dan meneruskan seruannya. “Mati di mana-mana, kiri, kanan, depan, belakang. Buang senjata! Lari! Pulang! Urusanak-bini kalian! Apa arti Mahmud Barjah anak Koja? Saksikan bagaimana dia terbalik dari kudanya kena cambuk Tuban jadi babi yang merangkak-rangkak”. Senapati melarikan kudanya, berputar-putar, untuk membikin Mahmud Barjah kalap. “Hanya mereka bagian iblis. Sini, Galeng, jangan lari, biar kupapras moncongmu. Jangan lari, Galeng!” Mahmud mencoba menerobos medan pertempuran untuk dapat mencapai Senapati Tuban. Pedangnya berdentingan menyambar, menetak dan menangkis prajuritprajurit kaki Tuban. Kemudian diketahuinya ia telah terpancing dan terkepung oleh lima orang prajurit kuda Tuban. Lima pedang menyerangnya berbareng. Matanya yang tajam itu gemerlapan dalam senja yang muram itu, mengerling, membelalak, menyipit, menangkap segala gerak yang hendak membelah kepala dan badannya, menangkisi semua serangan. Namun masih sempat ia mengerling Senapati dan berteriak parau: “Jangan lari, Galeng, anak desa! Tani busuk jadi senapati! Senapati dagelan! Mari dekat sini, biar aku lecuti. Pedangku merasa hina menjamah jagatmu”. Wiranggaleng tetap mencemoohkannya dengan menyambar-nyambarkan pedangnya pada musuh di sekeliling dan tak juga henti-hentinya berseru: “Maut bagi yang tak mau lari! Selamat bagi yang pulang ke desa!” “Jangan lari di balik punggung anak-buah, Galeng!” Mahmud memekik lagi tak dapat menahan marah dan kekesalannya. Dengan sekali lompatan yang menakjubkan kuda Mahmud keluar dari kepungan dan memburu Senapati di tengah-tengah pertempuran. Ia sarongkan pedang dan menarik cambuk perang dari pinggang. Tiga orang prajurit kuda Tuban memburunya dengan cambuk perang pula dan mencambuki dari belakang. Punggung dada dan tangan Mahmud telah bermandi darah dan sobekan-sobekan pada kulitnya menganga dari robekan bajunya yang berbelang-belang merah. “Pengecut! Pengecut!” teriak Mahmud Barjah murka, terus memburu Senapati tanpa mengindahkan para penyerang di belakangnya. Tak tahan terhadap lecutan dari belakang tanpa menengok ia melecut ke belakang. Ujung cambuknya mencabut sebiji bola mata pemburunya. Tanpa dilihatnya penunggang kuda itu terjungkal di tanah. Cambuk dari belakangnya semakin bertubi dengan sorakan: “Nasib pengkhianat tak pernah baik!” Dua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang mengenai mukanya, telah mengiris hidung dan menghancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh tarikan cambuk musuh-musuhnya yang membelit dan mengiris leher. Dengan muka tertutup darah dan telah buta ia meraungi: “Galeng, selesaikan aku dengan pedangmu! Jangan kau hinakan aku begini. Aku pun seorang prajurit”. Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak telah menyambar dadanya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua tangan memegangi mata tombak yang menyembul dari rusuk, kemudian ia tak bangun Lagi untuk selama-lamanya di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan prajurit kedua belah pihak yang sedang berkelahi. “Mahmud Barjah mampus!” seseorang memekik. “Panglima Rajeg tewas!” seorang lain menjerit. Seluruh tentara Tuban yang bertempur di sekitar bersorak. Dan seperti mendapat perintah gaib semua prajurit Rajeg berhenti menyerang, juga berhenti bersorak, seakan lidah tercabut dari mulut mereka. “Nasib pengkhianat tak pernah baik!” seorang memekik. “Ayoh pulang! Pulang sekarang!” Senapati tak bosanbosannya berseru. “Panglima kalian telah tewas. Buang senjata! Pulang!” Menyaksikan sendiri betapa panglimanya tewas, tentara Rajeg membuang senjata mereka, buyar tanpa kekang tanpa kendali. Tanda-tanda kehancuran kekuatan Sunan Rajeg telah menjenguk di ambang pintu. Hanya sebagian kecil mengamuk kehilangan akal dan pegangan. Sebagian besar telah mulai melarikan diri tanpa senjata. Panji-panji Mahmud Barjah, panji-panji Panglima, telah lama tidak nampak. Pembawanya telah kena langgar seekor kuda, lari masuk ke dalam hutan tanpa mengingat bawaannya lagi. “Berhenti menyerang!” perintah Senapati. “Beri kesempatan pada saudara-saudaramu. Biar mereka pulang ke desa masing-masing. Berkumpul kalian!” Dan balatentara Tuban berhenti menyerang. Mereka bergerak untuk berkumpul sambil melihat tentara Rajeg menarik dan membubarkan diri masuk ke dalam hutan. “Balik ke Tuban!” Senapati menjatuhkan perintah. Dimulai dari para prajurit di dekat-dekat Senapati, kemudian juga merambat jauh-jauh, balatentara Tuban mulai balik kanan jalan dan bergerak ke arah kota. Buntut barisan yang pulang itu masih kedengaran berseru-seru: “Buang senjata! Pulang!” Dalam selingan sorak-sorai riang kemenangan. Tasukan pengawal Tuban telah menyiapkan cetbangcetbang pada sebuah tikungan jalan, sesuatu ketinggian yang mengawasi jalan lurus ke depannya. Begitu panji dan umbul-umbul tentara Rajeg yang serba putih nampak di senja hari, cetbang-cetbang melepaskan peluru mendatar pada mereka. Hujan ledakan jatuh dalam tubuh barisan depan-suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka perhitungkan. Mahmud telah merencanakan, pasukan inti tentara Rajeg akan memasuki Tuban dari sebelah pesisir timur tanpa perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai. Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai delapan ratus depa itu sama sekali tak dapat ditangkis atau pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan kulitnya, api belerang dan sendawa, dan kerikil berapi dan udara panas membakar. Orang pun jatuh bergelimpangan. Barisan depan itu berantakan lari kocar-kacir ke segala penjuru. Mereka tak mampu meneruskan barisannya. Panji dan umbul-umbul menggeletak tak berdaya di tanah. Tanpa angin mereka kehilangan kebesaran dan daya. Dengan angin pun mereka tinggal sesobek kain berwarna. Tetapi Braja pun tidak tahu, inti tentara Rajeg sudah mulai memasuki Tuban dari pesisir sebelah timur. Mereka menyapu seluruh pesisir timur tanpa bersorak dan merunduki sarang-sarang cetbang di sekitar daerah pelabuhan. Yang dirunduk ternyata tiada. Mereka berhadapan dengan pecahan-pecahan pasukan pengawal yang ditinggalkan. Pertempuran antara dua kekuatan yang terlatih ini berjalan dengan kegigihan dari ke dua belah pihak. Dahulu mereka sama-sama bagian balatentara Tuban. Kini berkelahi saling menerkam. Sebuah pecahan kecil telah dilindas tanpa bisa menyerang dan hanya bisa mempertahankan diri. Hanya seorang dapat lolos, lari menghindari terkaman maut untuk dapat mencapai pemimpinnya: Braja. “Pecah barisan!” Braja memerintah. “Kecuali cetbang, pelayan dan pengawal, semua balik ke kota!” Dan pada pasukan cetbang yang ditinggalkan ia memerintahkan terus menembaki musuh sambil terus maju, sampai peluru habis. Ia pun melompat ke atas kudanya dan berpacu ke jurusan kota membawa pasukan pengawal. Perintah penyerangan segera dilakukan dari punggung tentara Rajeg. Pertempuran sengit di waktu senja itu meletus di sepanjang pantai kota Tuban, dilatar belakangi oleh bunyi ledakan peluru-peluru cetbang di luar kota, disaksikan oleh langit yang sedang ditinggalkan oleh matahari. Malam jatuh. Perkelahian dalam kegelapan berlangsung tanpa kenal ampun. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sebelah barat. Tak lama kemudian sorak-sorai itu diselingi oleh suling gajahgajah yang kembali memasuki kota. Inti tentara Rajeg dengan tiba-tiba pula menghentikan serangan. Mereka mengendap menyelinap mengetahui kedatangan pasukan gajah. Suatu kekagetan telah mengubah sama sekali pandangan mereka tentang jalannya pertempuran bukan tentara Rajeg yang memasuki kota Tuban tanpa perlawanan, tetapi pasukan gajah Tuban sendiri. Mengetahui perhitungan mereka ternyata meleset dan segala usaha akan jadi sia-sia, mereka pun mengundurkan diri di bawah lindungan kegelapan malam. Dengan demikian selesailah perang dalam negeri yang minta terlalu banyak korban itu. Semua prajurit Tuban yang tiada gugur atau terluka seluruhnya kembali memasuki kota dengan bersorak-sorai. Penduduk pun berduyun-duyun keluar dari persembunyian dan pengungsian untuk menyongsong mengelu-elukan. Para nelayan yang lari dan darat dengan perahuperahunya, malam itu juga memerlukan kembal» ke pantai. Kota Tuban seakan-akan berpesta pora. Orang pun bersorak memekikkan nama Wiranggaleng dan para pemimpin pasukan balatentara Tuban. Ke sekian harinya inti pasukan Rajeg kembali melancarkan serangan. Braja menghadapi mereka dengan bantuan pasukan kuda. Pertempuran yang berdarah dan tak kenal menyerah itu berhenti pada tengah hari dengan tumpasnya seluruh sisa pasukan Rajeg tanpa seorang pun bertekuk lutut. Sebuah krangkeng besi telah dipasang di dermaga pelabuhan atas perintah Senapati. Beberapa hari kemudian Esteban dan Rodriguez dimasukkan ke dalamnya untuk disaksikan oleh dunia seluruh negeri bagaimana Tuban menghinakan Portugis. Lima belas hari lamanya setiap orang boleh menonton dan menghinakan dua orang itu tanpa boleh menyiksa atau melukai. Dari bandar-bandar tetangga dan kampung-kampung nelayan setiap hari datang kapal dan perahu yang mendaratkan penonton. Pelabuhan menjadi ramai dan pasar bandar hidup kembali. Namun perdagangan antarpulau belum juga pulih. Saban hari Esteban dan Rodriguez bermandi peluh sendiri dan ludah penonton. Dengan keterbiasaan melihat dan menghinakan Peranggi, lama-kelamaan ketakutan orang pada mereka meruap terbang. Juga Peranggi bisa ditangkap dan dihinakan. Belum lagi lima belas hari dua orang Portugis itu jadi tontonan Wiranggaleng telah memerintahkan pada Braja, mencari sampai dapat dan menangkap mereka yang dahulu telah menyelewengkan terjemahan surat Rangga Iskak alias Iskak Indrajid alias Kiai Benggala alias Sunan Rajeg. Mereka didapatkan dan ditangkap tanpa kesulitan. Dalam sidang pemimpin-pemimpin pasukan, mereka dijatuhi hukuman mati dengan jalan membandul mereka dengan batu dan melemparkan ke laut. Dan kadipaten tidak berpengawal. Wiranggaleng telah menjatuhkan perintah pada Braja untuk tidak memasuki kadipaten tanpa seijinnya. Hanya punggawa yang diperkenankan bekerja lagi. Ia menganggap pekerjaan belum selesai selama Rangga Iskak belum tertangkap, hidup atau mati. Orang pun mulai bertanya-tanya mengapa kebesaran Sang Adipati belum juga dipulihkan, mengapa seluruh kekuasaan atas Tuban dapat berpindah ke tangan si anak desa juara gulat bernama Galeng. Dahulu hanya Sang Adipati yang mempunyai duga sangka Wiranggaleng lah yang menghendaki jabatan patih seperti halnya dengan Gajah Mada. Sekarang orang menduga anak desa bukan menghendaki itu, boleh jadi ia hendak mengangkat diri jadi Adipati sendiri, menjadi raja, seperti Ken Arok. Setiap orang punya duga-sangkanya, duga sangka belaka. Mereka tak berani mempergunjingkannya. Wiranggaleng belum juga nampak pulang ke kesyahbandaran. Nyi Gede Kati setiap hari membersihkan kamar gandok kanan itu. Dan tidak lain dari dialah yang sangat mengharapkan kedatangannya untuk dapat menyampaikan berita tentang Idayu dan anak-anaknya. Dan berbeda dari semua orang, Syahbandar Tubanlah sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak desa itu. Pikirannya terpusat pada dua hal: siapa sesunguhnya yang berkuasa sekarang ini, Sang Adipati atau Sang Senapati? Bila yang pertama yang berkuasa, ia masih punya perlindungan dan Sang Senapati takkan meletakkan tangan pada kulitnya. Bila yang kedua yang berkuasa, tak ada jalan lain baginya daripada harus melarikan diri. Ke mana? Dan bagaimana? Maka disesalinya sendiri karena tak menyediakan persiapan sebelumnya. Lari melalui laut tidak mungkin. Pasukan pengawal menjaganya dengan ketat. Pasukan laut pun telah dipanggil pulang dari Gresik. Lari ke darat juga tidak mungkin. Pasukan kaki memagari Tuban. Tenaga dan keberaniannya pun tidak cukup untuk itu. Dengan hati-hati ia meletakkan harapan pada kemungkinan pertama. Buktinya, Senapati belum juga mengambil tindakan terhadap dirinya. Dan selama Sang Adipati yang berkuasa, anak desa itu harus menempuh jalan-jalan yang layak untuk dapat membinasakannya dengan perkenan Sang Adipati. Bahkan dua orang Portugis itu juga tidak dibunuh, adalah pertanda juga Sang Senapati tak berani melakukannya. Tentang hukuman atas para penterjemah yang tidak jujur, ia dan semua orang pun tak tahu duduk perkaranya. Ia sudah mencoba memikirkannya. Tak mampu. Kemudian ia menganggap karena mereka itu terlibat dalam kerusuhan. Dan ia sudah puas dengan anggapannya. Tetapi dua orang Peranggi itu kini yang mengganggu ketenteramannya. Ia menduga mereka akan diperas keterangannya sampai mengakui segala-galanya yang menyangkut soal meriam. Dari mana meriam itu? Boleh jadi tak ada yang dapat membuktikan dari mana. Tetapi mereka mengenal Yakub, dan pewarung itu jelas telah membawanya ke pedalaman, menyerahkannya pada Rangga Iskak. Tidak, Yakub akan membisu sampai mati selama ia berada di Tuban. Keselamatannya sendiri ikut dalam pertaruhan. Hanya bila dua orang itu menyebut-nyebut nama Yakub, barulah kemudian namanya akan dikedepankan pula. Tak bisa tidak hanya dua orang Peranggi itu yang bisa mencelakakannya. Sama saja siapa yang berkuasa, Sang Adipati ataukah Sang Senapati, bila namanya tersebut dalam persoalan meriam, jiwa juga tebusannya. Ia menyesali Portugis celaka yang semudah itu dapat ditangkap – punya meriam dan punya pengalaman perang begitu banyak! Dan ia mengenal pengadilan Pribumi – tak banyak membutuhkan bukti, lebih mendasarkan pada hukum pikiran dan suara orang banyak, tidak jarang didasarkan pada harapan belaka hendaknya Sang Adipati menjadi senang. Ia memang makin bisa bersilat lidah dan batalkan semua dakwaan, tapi pikiran Pribumi tidak akan menggubrisnya. Mereka punya cara berpikir kafir dalam mengurus keadilan. Ia harus mencari jalan keselamatan…. Dan pada suatu pagi di antara pagi-pagi yang murung dan menakutkan, sedang ia duduk di kursi sambil berpikirpikir, datang Nyi Gede Kati membawakan kabar. Justru pada waktu itu ia sedang mengherani, bagaimana mungkin dua orang Portugis itu dapat ditangkap begitu mudah oleh prajurit-prajurit yang tak punya pengalaman perang di mana-mana. Dan tertangkap dalam keadaan hidup! “Mengapa Tuan kelihatan murung, pucat dan kurus? Tak ikut bergembira Tuan nampaknya dengan kemenangan Tuban”. “Aku sedang mencari jalan bagaimana bisa menghadap Gusti Adipati”. “Tuan biasa menghadap ke sana”. “Sekarang tak bisa. Kati. Para punggawa itu pun mengatakan Gusti selalu berkunci diri. Juga kadipaten tak boleh dimasuki oleh siapa pun kecuali para punggawa”. “Bukankah Tuan juga Punggawa?” “Ya, tapi bukan punggawa kadipaten”. “Bagaimana mungkin Tuan tak diperkenankan menghadap?” “Mana aku tahu, Kati. Cobalah tolong aku, Kati, kau saja datang ke sana memohonkan perkenan untukku buat menghadap”. “Bagaimana Tuan ini? Bukankah Tuan sendiri tahu kadipaten tertutup bagi siapa pun, apalagi sahaya?” “Baiklah,” katanya mengalah dan menghirup kopi. “Kalau begitu pergi kau ke mana saja mencari warta. Ke mana saja”. Ia tahu, Nyi Gede Kati menolak dan takkan pergi ke mana pun. Kalau demikian ia sudah senang perempuan itu meninggalkannya seorang diri untuk meneruskan pikirannya.” Dengan berani ia memutuskan Esteban dan Rodriguez harus dihabisi sebelum diadakan pengadilan. Dan pengadilan itu pasti akan dibesar-besarkan untuk mengejek dan menghina Portugis. Mereka berdua harus aku habisi dengan tanganku sendiri, jalan lain tak ada. Kalau tidak mereka akan menghabisi dua-duanya, kemudian juga aku. Ia bangkit dari tempatnya. Masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Dari sebuah peti yang terletak di pojokan ia keluarkan sebuah botol tembikar berisi cairan kehitaman. Dibukanya kayu hitam pada ujung tongkatnya. Sebilah pisau panjang sempit kehitaman muncul di depan matanya. Cepat-cepat ia masukkan pisau itu ke dalam cairan di dalam botol dan ditariknya mata pisau itu ke atas dan membiarkan cairan itu menetes balik ke dalam botol. Ia berkomat-kamit. Suaranya tergumam tak jelas. Walau demikian nampak ia meletakkan seluruh kepercayaannya pada keampuhan pisau tongkatnya. Kemudian ia melatih diri dengan gerakan-gerakan tikam untuk berbagai jarak. Lengannya yang tipis dan senjatanya yang kurus bergerak begitu cepat seperti ular kobra yang sedang menyambarnyambar. Rupa-rupanya ia telah terlatih menggunakan senjata khusus ini. Setelah keringat mulai membasahi tubuh ia berhenti, memasang kembali sarong kayu dan jadilah kembali bentuk tongkat yang semula. Ia seka muka dengan baju, meninggalkan kamar dan keluar dari rumah. Ia hendak lewatkan hari itu dengan berjalan-jalan di pelabuhan, di dermaga, untuk melihat-lihat keadaan, dan terutama untuk dapat berhadapan mata dengan orang-orang Portugis celaka itu. Ia berjalan pelan-pelan untuk melihat sampai di mana penjagaan pasukan pengawal. Dan ia melihat mereka sudah mempercayakan keselamatan Esteban dan Rodriguez pada aturan yang telah ditentukan dan pada kuatnya krangkeng besi. Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini telah kembali dijaga oleh dua orang baru. Ia mencoba mengobrol sebentar, kemudian memeriksa seluruh medan bandar dengan cermat, menaksir orang-orang yang lalulalang, dan akhirnya ia mendapat keputusan dapat melaksanakan rencananya. Dari menara itu juga ia dapat melihat warung Yakub yang terkunci sejak balatentara Tuban masuk kembali ke kota. Ke mana saja buaya darat itu pergi selama ini? Adakah perasaannya begitu tajamnya maka dia tahu bahaya sedang mengancam lehernya? Tiba-tiba ia cemburu pada kemudaan pewarung itu yang mempunyai kegesitan dan ketangkasan seperti itu. Ya-ya, mungkin aku telah menginjak tua. Sementara Ini menara itu memberinya kedamaian. Penjaga menara itu terus mencoba untuk mengobrol Mereka selalu mengambil perang yang brtru saja berlalu sebagal pokok untuk kemudian menyanjung nyanjung Wiranggaleng. Anak desa itu jelas menjadi bintang tuban yang tidak dapat diragukan lagi. Ia dengarkan obrolan bagaimana Senapati memancing mancing Mahmud Barjah untuk dapat terjauhkan dari tentaranya, dan untuk dapat dilecuti dengan cambuk sebagai penghianat. “Seorang penghianatt tak layak mendapatkan pedang, apalagi keris, Clambuk memang sepatutnya, cocok untuk seekor kera yang busuk”, kata seorang di antaranya. Tholib Sungkar Al Zobaid hanya mengjingguk angguk mengiakan dan ikut memuji-muji Syahbandar-muda itu, Siang itu ia tidur di menara pelabuhan Itu, dan dua orang penjaga itu tak mengganggunya. Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara, langsung pulang. Dan jantungnya terasa berhenti berdenyut waktu dilihatnya Nyi Gede Kati sedang bicara dengan Wiranggaleng di jalanan antara gedung utama dongan gandok kanan. Senapati itu menunduk tak melihat ke kesana kecuali ke sekitar kakinya nendiri. Dan istrinya sedang bicara bersungguh-sungguh. Mereka berdua tak melihatnya, Buru-buru ia masuk ke dalam rumah, ke kamar, kemudian pura-pura tidur. Tongkat berhulu gading itu tergeletak di sampingnya. Dan betapa lega hatinya mendengar langkah-langkah kaki lelaki menakutkan itu di atas jalanan kerikil itu meninggalkan kesyahbandaran. Ia pun jatuh tertidur. Makan malam itu ia hadapi dengan muka masam dan suram. Sehari itu ia hanya minum kahwa. Nyi Gede Kati, mengetahui kegelisahan suaminya pada hari-hari belakangan, tak lagi bertanya padanya mengapa ia tak suka makan. Juga ia tidak perhatikan suaminya hanya mengunyah-ngunyah sesuatu dan menelannya, kemudian bangkit dan duduk-duduk di kamar tamu. Ia sendiri, tanpa bicara sesuatu pun kemudian masuk kedalam kamar dan tak keluar lagi. Malam itu gelap luar biasa. Mendung tebal menutup langit Guruh tiada terdengar sama sekali dan kerjapan kilat apalagi. Cuaca seperti itulah yang dikehendaki oleh Syahbandar Tuban. Lewat tengah malam. seorang diri ia berjalan terbongkok-bongkok seperti kakek-kakek menuju ke dermaga pelabuhan. Kepalanya menoleh ke mana-mana walau pun ia telah kendalikan agar mata saja yang melirik kesegala jurusan yang mungkin. Tetapi kegelapan malam yang membisikkan padanya takkan semudah itu orang dapat menyaksikan dirinya sering menoleh, Dari pancainderanya ia mengetahui tak ada seorang pun yang menyaksikan kehadirannya, Tetapi dari perasaannya ia tahu, ada bebeapa orang prajurit pengawal yang melakukan perondaan di dermaga dan dengan pedoman perasaannya itu juga ia menyembunyikan diri dibalik pohon asam menunggu mereka pergi. Ternyata perasaannya lebih tajam daripada pancainderanya. Waktu hujan turun ia dengar empat orang lari meninggalkan dermaga. Dengan hati-hati ia menuju dermaga dengan mempergunakan tongkat untuk merabai tepi jalan dan dermaga. laut yang Hangat dalam itu bisa menelannya. Ia tak bina berenang dan tidak pyrruih melakukannya dalam hidupnya. Semampainya di tempat yang dituju, sambil berpegangan pada jeriji krangkeng ia memanggil-manggil dalam Portugis: “Sini kalian, Nak, Esteban, Rodriguez! Kesini kalian. Masih tidur? Bangunlah, tuan Syahbandar ada di sini”. Ia dengar suara bergerak di dalam krangkeng itu, tak nyata, bercampur dengan bunyi deburan ombak dan pukulannya pada karang dermaga. Dan jantungnya pun berdeburan menandingi langit laut di sekitarnya. “Dekat-dekatlah sini, Nak. Mari kita bongkar krangkeng ini bersama-sama”. “Benarkah itu Tuan Syahbandar?” seseorang bertanya dalam Portugis. Suaranya lemah dan lebih tak menentu karena tiupan angin malam yang dingin. “Tentu saja benar. Tuan Syahbandar ada di sini. Telah aku sediakan perahu layar untuk kalian. Sinilah mendekat. Tak dapat aku membuka kunci ini seorang diri saja”. “Dilindungi Tuhan hendaknya Tuan ini”. “Jangan keras-keras bicara, Nak”, ia memperingatkan sambil membuka sarang pisau tongkat. “Kebetulan hujan sudah reda, kilat pun tiada. Ini, ini sambungan pintu”. “Kami sedang kena demam tinggi, Tuan”. “Ya-ya, aku tahu kalian terluka. Semua akan baik kembali di tengah laut nanti”. “Apa gunanya lari, Tuan, badan sakit begini, demam, pengelihatan rusak”, suara itu semakin mendekat dan getaran pada jeriji krangkeng itu memberitakan pada Tholib Sungkar mereka sedang merambat berjalan dengan susahpayah untuk dapat mendekati. Syahbandar itu mulai merasa tangannya diraba-raba oleh tangan Esteban atau Rodriguez yang panas karena demam. “Kasihan kau, Nak, sakit demam begini,” dan dengan cepat ia tikam-kan pisau tongkatnya pada tubuh yang berdiri di hadapannya. Suatu pekikan lemah membeku ditelan deburan ombak memukul pada karang dermaga, menyusul bunyi badannya yang jatuh. Yang seorang lagi meraung-raung ketakutan dan berputar-putar di dalam krangkeng untuk menghindari maut yang mematuk-matuk dari sela-sela jeriji krangkeng. “Pembunuh! Tolong! Tolong!” pekiknya dalam Melayu. Gugup karena jeritan dan takut kalau-kalau diketahui orang, dengan lebih cepat lagi Syahbandar berputar mengelilingi krangkeng dengan terus menikam-nikamkan senjatanya dalam kegelapan itu ke dalam kegelapan itu ke dalam krangkeng. Hanya udara kosong yang diserangnya. Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan penikaman-penikaman lagi. Nafasnya mulai terengahengah. Rasa-rasanya ia akan jadi gila tak juga mendapatkan daging untuk ujung pisaunya. Di mana dia? Dalam krangkeng besi persegi kecil ini tak mungkin dia melepaskan diri. Dari kejauhan terdengar guruh, menggerutu seperti kucing marah. Hujan mulai turun lagi. Iblis! Mana tubuh Portugis yang satu lagi? Dia tak boleh lepas. Sepancaran kilat melesit di langit seperti sebilah tombak api terlempar. Tiba-tiba dunia menjadi terang. Dan nampak Esteban sedang menggelantung dengan kaki dan tangan pada bagian atas krangkeng. “Ha! Kau di situ, Iblis!” bisik Syahbandar dan menikamkan pisau panjang itu pada punggung korbannya. Dunia kembali jadi kelam pekat. Satu raungan seperti keluar dari tenggorokan macan betina marah menggaruk udara dibarengi dengan bunyi tubuhnya yang jatuh menggeletak. Hujan menjadi lebat kembali. Kilat mulai sambarmenyambar. Syahbandar kembali ke gedung utama, basah kuyup tapi dengan perasaan lega. Tak diketahuinya sepasang mata menyaksikan dari sebuah biduk yang sedang tertambat pada dermaga…. 0odwo0 Di dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh binatang-binatang buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di dalam tubuh bukit terdapat sebuah gua. Ribuan kelelawar bersarang di dalamnya. Ratusan ular dari berbagai jenis hidup makmur dari anak-anak burung atau telurnya. Dan tanah pada dasar rongga pekat dan tebal oleh tumpukan kotoran burung. Orang menamai gua ini: Gowong. Sekarang gua ini sepi dari burung dan ular, bahkan juga dari serangga. Pembakaran belerang dalam jumlah besar telah mengusir dan membunuh semua makhluk hidup di dalamnya. Dasarnya tak lagi lumpur kotoran burung, karena semua telah disingkirkan dan dilambari dengan balok-balok kayu persegi. Rongga itu sendiri telah dibagi dalam bilik-bilik dari papan kayu. Sisa bau belerang telah diusir dengan pembakaran setanggi yang terus-menerus. Di depan gua itu menjulur sebuah jalan setapak yang semakin lama semakin lebar karena setiap hari dilewati oleh beberapa belas orang yang mengangkuti peti-peti dan barang-barang lain untuk ditimbun di dalamnya. Jalan setapak yang semakin lebar itu belum lagi lama dibikin orang. Belum lagi lima belas hari. Kini gua itu telah siap untuk ditinggali. Tetapi bila orang masuk ke dalamnya, ia takkan melihat satu peti pun, karena semua itu tersimpan dalam rongga di bawah geladak balok kayu. Maka pedalaman gua yang berbilik-bilik itu nampaknya tidak berperabot. Yang pertama-tama meninggali gua ini adalah Idayu dan dua orang anaknya. Beberapa orang bertombak dan berpedang telah mengawal mereka memasuki hutanbelantara itu dan membawanya ke mari, kemudian menguncinya di dalam salah sebuah bilik kayu yang gelap berbau sisa belerang, apak-asam kotoran burung dan setanggi. Pada hari berikutnya masuk empat orang wanita, istriistri Kiai Benggala Sunan Rajeg. Khaidar nampak ada di antara mereka. Dan tak ada mereka membawa anak, karena dari suami bersama mereka tiada pernah melahirkan. Mereka menempati kamar besar bersama-sama. Juga pintu kamar mereka dipasak dari luar, seperti halnya dengan bilik Idayu. Beberapa belas pekerja berpakaian serba putih itu masih mengangkuti beberapa peti lagi dan beberapa bungkusan. Dan setelah semua pengangkutan selesai baru nampak Sunan Rajeg diiringkan oleh seorang muda tinggi semampai, berkumis dan tanpa jenggot, yang memikul bungkusan-bungkusan berat dengan empat batang tombak sebagai pikulan. Pemuda itu juga yang mengawal Idayu anak-beranak waktu menuju ke Gowong ini. Waktu Sunan Rajeg memasuki Gowong, pemuda jangkung itu tak takut. Ia pergi mengelilingi kaki bukit kecil itu dan berhenti di bawah sebatang pohon raksasa. Ia perhatikan pohon yang baru dilihatnya seumur hidup itu. Dan itulah pohon pelaka. la perhatikan tamba-tambi atau tunjangannya, rendah, tipis dan panjang, kemudian duduk di atas salah satu di antaranya. Bungkusan-bungkusan bawaannya ia jajar di atas tanah. Dengan kakinya ia mulai membersihkan tempat itu dari luruhan daun kering dan ranting-ranting busuk, dan mulai ia dengan parang membikin tungku dari cabang-cabang kayu. Seseorang datang padanya membawakan dandang dan kuali tembaga dan air di dalam lodong-lodong bambu. Seorang lagi membawakan kayu bakar dan sebuah kranjang rotan berisi daging rusa, ”Kanjeng Sunan memerintahkan masak besar hari ini. Bumbu disediakan berlimpah-limpah. Tak pernah terjadi selama ini”, si jangkung mengumumkan. “Untuk berapa orang kau masak?” “Cukup untuk tiga puluh”. “Tentu bukan untuk kita. Mungkin akan datang banyak tamu nanti”, “Tamu siapa akan datang ke mari?” si jangkung menukas, “Makan besar buat kita semua yang ada di sini”, “Untuk pertama kali. Akhirnya,” orang itu berkecapkecap, “Bahkan masuk ke pendopo saja baru beberapa minggu belakangan ini kita diperbolehkan” Tiga orang itu mulai sibuk menyalakan api dan memasang beberapa dandang di atannya, serta dua belanga dari tembaga pula. “Asal tak hujan saja”, si Jangkung memperingatkan. Semua memandang ke langit yang suram tertutup mendung tipis. “Sudah, tolong carukkan kelapa, biar lebih cepat”. Bertiga mereka mencaruk kelapa sampai menghasilkan satu kranjang. Dan setelah diperas jadi santan si Jangkung bicara lagi: “Sudah, sana. selesaikan pekerjaan kalian, biar aku masak sendiri”. “Mengapa kita pergi ke mari, Firman?” seorang bertanya. “Mana aku tahu?” “Orang bilang tidak lain dari kau yang menunjukkan tempat ini”. Tetapi Mohammad Firman enggan terlibat dalam pembicaraan. Ia hanya mengerutkan kening, dan dua orang pembantunya itupun pergi menghindar. Si Jangkung berkumis itu memperhatikan mereka pergi, menghilang di dalam hutan. Mematuhi aturan yang diberikan oleh Sunan Rajeg, orang tak dibenarkan berada di dapur di waktu jurumasak sedang bekerja. Selama masih ada orang lain, jurumasak harus mengusirnya dan tidak diperkenankan memasak sebelum mengetahui betul, tak ada orang lain lagi di dekatnya. Juru masak harus tahu, tak ada orang mengurangi atau menambahi bahan makanan yang telah tersedia. Setelah tinggal seorang diri baru ia mulai bersiap-siap dengan gulai Api yang menyala besar itu memaksa ia membuka baju, dan muncul barisan iga pada dadanya. Dan dada itu mengkilat kekunmgan karena warna kulitnya dan karena api yang kemerahan. Walau masak seorang diri untuk orang sebanyak itu nampak ia tak gugup atau memberengut. Dan memasak memang sudah pdt kesukaannya. Ia merebus daging, menanak, menjerang, menumbuk bumbu, mengipasi badan dengan baju, menetapkan besar api, menimbang dan mendua beras, mencicip dan menggulai. Dan hanya ia seorang diri yang tahu apa yang hidup dalam hatinya sendiri waktu itu; ia mencurigai perintah Sunan Rajeg yang semakin lama semakin aneh. la seorang bekas musafir Demak tadinya memasuki Tuban untuk membawa Kiai Benggala berpihak pada Demak, karena Demak menilainya sebagai seorang yang berilmu dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan Nusantara. la pun mendapat tugas untuk membersihkan pedalaman Tuban dari guru guru pembicara kafir yang mengembara dari desa ke desa, la terpilih untuk tugas ini karena dilahirkan dan dibesarkan disini, Sebelum berangkat seorang guru menyampaikan padanya disebuah pojookan mesjid agung, bahwa agama Buddha dan Syiwa telah kehilangan kekuatannya, keruntuhan telah di ambang pintu, maka pembicaraan guruguru sudah tidak punya pegangan lagi pada agama mereka dari lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya. Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu sangat baik untuk punahnya Syiwa dan Buddha sendiri. Maka sekaranglah waktu itu datang untuk mengembangkan Islam, karena mereka sudah tidak diperlukan lagi. Maka kembalilah ia ke negeri Tuban untuk melakukan tugas itu sebaik-baiknya, dengan jalan dan cara apa pun. Dan ternyata ia tak mampu mengendalikan Sunan Rajeg, yang jauh lebih berpengalaman daripadanya, lebih berilmu dan berpengaruh, la tak berhasil membawanya berpihak pada Demak. Lagi pula sunan Rajeg ternyata mempunyai impian untuk sendiri marak jadi sultan dan khalifah sekaligus. Sekarang balatentara Rajeg telah terpukul dari semua medan pertempuran. Sunan Rajeg harus lari menyelamatkan diri. Dalam kekalahan ini ia dapat melihat watak Rangga Iskak yang sebenarnya tak sedikit pun berniat dalam hatinya untuk menyelamatkan pengikutnya, hanya diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Ia tak habis-habis mengherani bagaimana seorang pemimpin yang berpengaruh begitu besar, berilmu dan berpengetahuan, guru yang sangat didengarkan, bisa bertingkah laku seperti itu. Dalam kedamaian dan kemenangan ia sudah dapat mengenali kerakusannya. Dalam kekalahan pengaruh, ilmu dan pengetahuan hanyalah untuk dirinya sendiri dan miliknya. Orang yang rakus akan harta benda dan kekuasaan di dunia dan rakus akan tempat di sorga di kemudian hari itu, dalam kekalahan ini memperlihatkan diri sebagai pribadi yang tak dapat ia hargai. Sunan Rajeg itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya. Tangannya bersilang pada dada dan pada tangan kanan tergantung tasbih. Mulurnya komat-kamit tanpa henti sedang batuk antara sebentar menyerang dadanya yang tipis. Belakangan ini ia kelihatan tua, kurus dan bongkok. Rongga mata dan pipinya nampak lebih cekung daripada biasanya. Uban pun semakin banyak menyelusupi rambutnya yang hitam-lekam. Melihat kegesitan Mohammad Firman dalam memasak ia tertawa menyapa. Lambat-lambat ia masukkan tasbih ke dalam saku baju, membelai-belai janggut dengan tangan kiri dan berkata lambat-lambat: “Sudah aku ajarkan padamu memasak nasi secara Kabul. Ternyata kalian suka, bukan? Sekarang orang sudah mulai menggunakan nasi kabuli untuk berhajat. Firman, sudah kau cicipi gulai itu? Baik. Sekarang campurkan serbuk mi sampai rata ke dalamnya dan tenangkan agak lama setelah mendidih sekali lagi”. Pada juru masak ia serahkan sebuah cepuk kecil dari anyaman bambu. “Kau sendiri yang menuangkan, Firman. Dengan serbuk ini gulai akan jadi gulai Malabari. Kalian akan rasakan nanti untuk pertama kali dalam hidup kalian. Gulai Malabari! Ada juga yang menamainya kare, tapi lain dari yang dari Malabar ini. Tapi awas, jangan kau cicipi, bila dicicip ia bisa berubah jadi racun!” ‘Jadi racun. Kanjeng Sunan? ” “Jadi racun Bukan main-main. Bumbu bukan sembarang bumbu, bumbu bikinan leluhur,sudah ratusan tahun, yang menyebabkan bocah-bocah bisa berhidung mancung dan orang dewasa jadi panjang umur. Bumbu ini bagilah menjadi dua, setiap bagian untuk satu belanga gulai itu”. Sunan Rajeg berjalan meninggalkan tempat itu untuk melihat-lihat sekitar tungku, kemudian balik lagi pada Firman: “Sebelum semua dihidangkan, Firman, ingat-ingat, semua puntung kayu dan arang, juga tungkunya sekaligus, harus ditanam sampai tak nampak mata. Iblis pun tak boleh mengetahui. Itulah anehnya syarat-syarat untuk bumbu itu”. Dan ia pun pergi, yakin semua pengikutnya mematuhi semua katanya, yakin setiap katanya adalah hukum. Tetapi juru masak seorang ini bukan saja telah terdidik mengebaskan tahyul dan omong kosong sebagai musafir pilihan, ia pun semakin mencurigai Sunan Rajeg yang semakin aneh. Ia tak dapat mempercayai adanya hubungan antara bumbu dengan hidung yang dapat mancung atau pun dengan umur panjang. Dan apakah gunanya hidung semancung dan setipis itu kalau toh rapuh dalam setiap tubrukan? Dan umur itu, bukankah dia bukan urusan manusia? Dan tidak lain dari Sunan Rajeg sendiri yang sering mengajarkan? Dan apa sebab bekas-bekas harus ditanam, sedangkan iblis akan tetap dapat mengetahui? Adapun kecurigaan dan keheranannya harum dan sedap bau gulai itu memang luarbiasa dan menarik liur untuk bertetesan semaunya sendiri. Baunya mengawang berat dan buyar ke mana-mana penjuru dalam udara tak berangin itu. Beberapa kali ia melihat sosok tubuh mengintip dari kejauhan tertarik oleh sang harum sedap. Dan ia pura-pura tak tahu. Namun matanya jadi menerobosi balik-balik dedaunan. Ia sendiri ingin mencicipi Dan mana bisa seorang juru masak tak boleh mencicip? Mengetahui di balik dedaunan hutan tak lagi ada mata mengintip, ia sambar sepotong daging gulai dari belanga, bercepat-cepat menghindar ke balik palaka, duduk di atas tambi. Daging itu terlalu lama dimasak, sangat panas dan gamoh, hampir lumat, jatuh di antara kedua belah kakinya. Firman menyebut. Ia menyadari perbuatannya tidak diridhoi maka tak mengambil sepotong lagi. Dilihatnya beberapa pengintip muncul lagi dari balik dedaunan hutan terpanggil oleh harum sang gulai. Ia pergi ke tungku dan memadamkan api. Tanakan dan makanan ia turunkan di atas tanah, kemudian dengan pacul kayu kecil bermata baja ia menggali lubang, memasukkan bekas-bekas tungku dan puntung-puntung ke dalamnya. Hilang semua itu dari pandangan mata. Nasi ia masukkan ke dalam bakul besar. Gulai tetap dalam belanga, demikian juga halnya dengan air minum. Tanah bekas ia masak ia sapu dengan seikat ranting hidup, dan hilanglah bekasnya, sekalipun masih nampak menguap. Sekarang tinggal melepaskan lelah barang sebentar. Kembali ia pergi mendekati pohon palaka dan duduk pada tambinya. Teringat pada nasib daging yang terjatuh, ia bangkit lagi untuk mengambil pacul. Ia harus menanamnya sekali. Matanya gerayangan mencarinya, dan daging itu tiada! Tak jauh dari tempat itu menggeletak seekor biawak pohon yang baru saja mati. Bumbu itu beracun, pikirnya, kalau bukan biawak itu tentulah aku yang mati. Binatang itu ia angkat pada tengkuknya dan ia cium-cium mulutnya. Benar. Mulutnya berbau kare. Sunan Rajeg telah bermaksud menumpas sisa pengikutnya yang paling setia untuk menyelamatkan hartabendanya. Gila! Kekecewaannya terhadap pemimpinnya itu kini mencapai puncaknya dan berubah jadi kemuakan dan kebencian. Orang itu lebih biadab dari pada orang yang dibusuk-busukkannya selama ini, tidak lebih baik daripada Sang Adipati atau pun kafir, kufur, munafik mana pun. Dialah orang yang tak tahu berterima kasih kepada Tuhan dan semua ummat. Ia masuk ke dalam gua dan melihat ruang tengah telah digelari dengan daun pisang hutan. Dan itu berarti ia sudah boleh memasukkan hidangan. Menurut aturan yang baru diterimanya, dalam tata-tertib Gowong, yang pertama-tama dilayani adalah istri-istri Sunan dan Sunan sendiri, kemudian para pengikut, dan paling akhir sandera Idayu dan anak-anaknya. Berjalan melewati ruang tengah setelah kembali dari membawa ca-dong untuk istri-istri Sunan, ia dapati Rangga Iskak telah duduk bersama pengikut-pengikutnya yang tersetia itu mengepung hidangan. “Firman”, tegur Sunan Rajeg, “sekali ini kau pun bersama-sama kita semua menikmati rejeki dari Allah ini. Ayoh, sini, jangan ragu. Satu kehormatan bagi kalian makan bersama-sama dengan Sunan Rajeg”. Jurumasak itu ikut duduk mengepung hidangan. Tak lain dari Sunan sendiri yang mengucapkan doa. Hidangan dibongkar dan dibagi-bagi-kan oleh si jangkung. Orang pun mulai menyantap dengan lahap. “Ayoh, habiskan. Mau melihat bagaimana kalian makan gulai malabari. Jurumasak, yang belakang jangan dihidangi dulu. Sekali ini mereka akan makan belakangan. Ayoh, semua, jangan enggan”. Dalam kerikuhannya orang makan semakin lahap, lupa memperhatikan yang lain-lain. Firman mengangkat daun pisangnya tinggi-tinggi, memperlihatkan sedang makan dengan rakus. Matanya jeli memperhatikan Sunan Rajeg, yang tak juga menjamah makanannya, dan terus juga bicara. Kelihatan ia seperti orang pemurah yang ikhlas. Harum kare itu memang tak tertahankan. Makanan Firman pun terkenal tanpa tandingan. Kerikuhan sama sekali hilang tergantikan dengan kerakusan makan. Jurumasak itu memperhatikan teman-temannya sambil terus pura-pura makan dengan daun pisang terangkat tinggi. Ia menunggu apa yang akan terjadi. Dan memang sedang akan terjadi sesuatu. Tak antara lama ia lihat beberapa orang terhenti makan dengan mengejut, berdiri, berjalan terhuyung-huyung mendekati Sunan, berhenti, kakinya goyah, mulurnya menganga tanpa bisa mengeluarkan suara, kemudian jatuh seperti karung kosong di lantai. Yang lain-lain pun berhenti makan, menarik-narik jakun atau memutar-mutarkan kepala, berdiri untuk kemudian jatuh di lantai juga dan tak bergerak lagi. Firman menduga, kerongkongan dan lidah dan bibir mereka mula-mula jadi kelu dan kaku sehingga jadi mutlak gagu, seperti kena kecubung, mungkin juga usus dan kemudian melumpuhkan bagian-bagian lain yang penting. Mata mereka nampaknya juga menjadi buta sebelum mati. Sunan Rajeg masih duduk di tempatnya mengawasi semua kejadian dengan kening berkerut-kerut. Sekarang matanya diarahkannya pada Firman yang masih juga belum menggeletak. Tak ada jalan lain bagi si jangkung daripada mesti mengikuti contoh teman-temannya. Ia berdiri dengan mulut ternganga, meraba-raba, dan jatuh dengan kepala miring dan mata tertutup lengan, mengintip Sunan Rajeg. Ia lihat Rangga Iskak bangun dari tempat duduk. Airmukanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah seorang korban dan berbisik padanya: “Ya Allah, terjadilah apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau telah benarkan semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendak- Mu, semua ini takkan mungkin berlaku”. Ia berjalan meneliti wajah seorang demi seorang. Sampai pada Firman ia berhenti lama dan agak ragu-ragu, merabaraba jantungnya yang masih juga berdenyut dan paruparunya yang masih juga kembang-kempis. Ia menganggukangguk dan berkata padanya: “Tidak aku berikan kesakitan padamu, Firman. Semua jalan menuju ke akhirat. Kau hanya lebih cepat. Ampunilah aku”. Percaya, bahwa jurumasak itu akan segera mati pula, ia meninggalkannya, berdiri di tengah-tengah ruangan, bimbang, sekali lagi menebarkan pandang pada korbankorbannya. Ia melangkah ke jurusan bilik Tak jadi. Ia raguragu. Dibelai-belainya jenggotnya, tiba-tiba tertawa riang terbahak dan berpidato: “Dahulu, tidak, masih kemarin kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dunia dan akhirat. Anak-anakku, sekarang kalian tidur nyenyak seperti bocah-bocah, anak Adam yang damai. Untuk keselamatan pemimpin kalian, untuk Sunan Rajeg, semua ini telah terjadi atas kehendak-Nya. jangan menyesal. Pada akhirnya akhirat akan lebih baik, lebih menentu, daripada dunia.” Seperti orang kehilangan akal tiba-tiba ia terhenti, menoleh ke mana-mana dan memekiki: “Khaidar! Khaidar! Bawa semua saudarimu ke mari. Kita ada kerja!” ia menghitung dengan telunjuk jumlah korbannya. Sembilan belas. “Khaidar! Cepat! Apa kau tunggu-tunggu di dalam?” “Khaidar sudah mati, Kanjeng Sunan!” jawab jurumasak dengan suara bisik. “Astagafirullah!” sahut pemimpin itu. Matanya terbeliak mencari-cari mayat yang dapat bicara itu. “Suara apa kudengar ini? Khaidar! Ayoh, sini, keluar”. Jurumasak mengulangi jawabannya. Dan Sunan Rajeg mulai curiga. Ia dekati bangkai itu seorang demi seorang sambil menggoyang-goyangkan kepala mereka. “Mati!” katanya setiap habis memeriksa. Sekarang sampailah ia pada Firman. Tangannya mencekam rambut jurumasak dan menatap wajahnya. Si jangkung meraung tinggi dan melompat berdiri. Sunan Rajeg terbalik sangking kagetnya. “Ya, akulah iblis!” raung Firman, kemudian tawanya bergaung-gaung berpendanan dalam rongga gua itu. “Jangan kau kira aku biarkan kau dapat terlepas dari tanganku”, ancamnya dengan suara dada yang dalam. Sunan Rajeg gemetar tak mampu mempertahankan tegak badannya sendiri. Suaranya sangat pelan memanggilmanggil Khaidar, minta tolong. Tangannya bergerayangan untuk mencari tempat bersandar. Kemudian mulurnya berkomat-kamit mengucapkan doa pengusir roh jahat. Dalam keadaan seperti itu ia tak sempat terbatuk-batuk. “Pergi! Pergi kau, iblis pengganggu”, pekiknya setelah selesai doanya. “Pergi kau ke alammu sendiri”. “Telah kau bunuh aku, Sunan Rajeg, doa-doamu tidak mempan terhadapku. Ya-ya-ya, apa dosaku maka kau bunuh?” “Kembalilah tenang, berserah diri ke alam Baka, Firman! Dengarkan Firman”, kembali Sunan mencobai memidatoi dan nampak ia menabah-nabahkan diri. Jurumasak memungut segumpak daging kare, diciumnya sebentar, kemudian diulurkan pada pemimpinnya. Suaranya menggeledek: “Makan ini, pembunuh! Makan, kataku!” “Tidak, aku tak suka kare”. “Harum bau dan lezat rasanya, bikin hidung jadi mancung dan umur jadi panjang. Mengapa tak suka lagi pada kare? Lebih muda jadi pesek?” ia semakin maju mendekati. “Makan, ayoh, gulai Malabari, Sunan”. Rangga Iskak menolak dengan tangan gemetar. “Dijauhkan aku dari makanan itu,” sebutnya. ‘Tak mau kare? Atau lebih suka pisau dapur?” jurumasak mengeluarkan pisau dari pinggangnya. “Jangan, jangan. Kau boleh ambil satu dari peti-petiku dan pergilah demi Tuban. Jangan ganggu aku. Ambil satu peti dan pergilah dengan damai,” kata pemimpin Rajeg itu setelah mengetahui, jurumasak itu tidak mati. “Khaidar! Khaidar!” “Juga Khaidar sudah mati kau bunuh!” “Bohong. Tak pernah Sunan Rajeg membunuh orang. Kau, dengan tanganmu sendiri yang membunuh mereka”, katanya sambil menuding korban-korbannya yang bergelimpangan. “Kau pembunuh!” tuding Firman. “Ningrat Jawa takkan lakukan kekejian semacam ini”. “Pergi! Pergi!” pintanya gugup. “Bawa satu peti”. “Hanya satu?” Firman menggertak, “setelah pembunuhan keji ini?” “Dua. Ya, dualah”. “Dua peti takkan dapat kuhabiskan seumur hidup”. “Sampai dengan cucumu takkan habis, Firman, dinar dan real, emas dan perak, intan, zamrud, delima, mirah, kecubung, kalimaya, batu-batuan mulia yang tak pernah kau lihat seumur hidup… ah, kau bisa jadi maharaja dengan dua peti itu. Kain-kain, khasa, sutra, kaliko, permadani buatan Libanon dan Ashkhabad….” “Bahkan kematian istrimu pun kau tak ratapi”. “Siapa tidak?” “Setelah kau membunuhnya?” “Bukan aku. Kau!” tuduh Sunan Rajeg. “Ayoh, makan daging kare ini”. “Tiga peti!” “Lebih baik kau susul istri-istrimu…’ ‘Tiga peti. Tak dibenarkan oleh Tuhan membunuh dirinya sendiri dan membelanjakan harta tiada sepatutnya”. “Kau tak perlu membunuh dirimu sendiri. Sini, biar aku yang mengerjakan. Sini! Si… ni”. Di dalam bilik kayu itu udara lembab, berat dan mencekik. Mereka harus membiasakan diri untuk dapat tinggal di situ. Gelar dan adiknya nampaknya merasai bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak memprotes apa pun yang terjadi. Maka ketenangan menguasai bilik itu. Mendengar ribut-ribut di luar bilik, Idayu melompat ke pintu yang takkan mungkin dibongkarnya dari dalam itu. Dan ia hanya dapat menangkap suara-suara ribut, jelas sedang memperebutkan sesuatu. Dalam kegelapan bilik Gelar pun bergegas ke pintu mendekati ibunya. Kata-kata keras di luar itu berhamburan menembusi dinding kayu dan lubang-lubangnya. Mereka tak dapat melihat sesuatu. “Berapa ratus, berapa ribu saja orang mati karena kau! Kau sendiri takut mati! Ayoh, makan sendiri racunmu ini. Apa kau lebih memilih pisau dapur?” “Jangan, ambillah tiga peti itu”. “Kau pun orang asing pembikin onar. Orang asing lain jadi Sultan ka u mengiri, mendengki. Kau sendiri mau menggagahi semua, menipu, mengacau, memutar balikkan, mengadu domba, mau jadi raja paling berkuasa, dengan keringat dan darah dan nyawa orang lain!” “Tiga peti cukup, Firman, demi Allah”. “Tak ada sesuatu yang baik dapat dipungut dari kau!” suara bentakan “Hidung mancung, ganteng, banyak ilmu, pandai mewejang, hafal semua firman Allah… hanya iblis laknat belaka. Rasakan ini!” Cepat-cepat Idayu mengangkat Gelar dan mereka purapura tidur nyenyak. Jantung ibu itu berdebar-debar kencang mendengar langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin mendekat. Dan balok-balok yang terinjak itu bergesekan satu dengan yang lain. Dan langkah itu kian mendekat juga. Ia dekap Gelar erat-erat, dan anak itu menyembunyikan mukanya pada dada ibunya dalam kegelapan. Langkah kaki itu berhenti di depan pintu bilik. “Dewa Batara!” bisik Idayu hampir tak terdengar. “Mak”. Terdengar pasak pintu dibuka dari luar bilik. Segumpal cahaya rem-bang masuk ke dalam. “Keluar!” terdengar oleh Idayu dan Gelar suara yang memerintah pelahan dan lembut. Mereka pura-pura tidur. “Tidurkah kau, Mbokayu?” Tersirap darah Idayu. Ia pernah dengar suara itu – suasana yang sama sekali tidak jahat. Ya-ya suara pemuda pengawal yang membawanya ke mari. Mengapa suaranya selalu selunak itu? Orang itu tak masuk ke dalam bilik, tetap berdiri di ambang pintu dan mengulangi perintahnya dengan suaranya yang lunak itu juga, dan manis, dan memikat. Idayu tak dapat mempertahankan pura-puranya lebih lama. Ia turun dari ambin. Gelar tak sudi melepaskan rangkulannya dan menjerit. Ia gendong anak itu dan menghampiri pengawal muda jangkung berkumis tanpa jenggot itu. Bertanya: “Akan dibunuhkah kami?” ia tak dengar si bayi sudah mulai menangis pula. “Ah, Mbokayu, mana bisa orang akan bunuh pujaan Tuban?” Seperti tersihir oleh suaranya ia masuk lagi dan mengambil bayinya. Gendong melengket pada punggungnya. “Mari tinggalkan tempat ini. Mari aku antarkan ke Tuban. Kang Galeng sudah lama menunggu”. Siapakah orang ini? Tapi ia tak berani bertanya. “Mari aku bantu. Biar kugendong kemenakan tertua ini”. Gelar meronta dan meraung. Dan ia tak memaksa. “Biar si bayi saja kugendong”, katanya mengulurkan tangan. Idayu memandanginya dengan curiga. Matanya liar tak mempercayai. Dan bayi itu tak diserahkannya. “Ah, Mbokayu sendiri. Kau lupa padaku. Akulah Pada”. 0odwo0 26. Pertemuan Kembali Regu kuda itu kecil saja jumlahnya, tak lebih dari dua puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh Banteng Wareng. Oleh Maesa Wulung pun tidak. Wiranggaleng sendiri yang membawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur. Mereka sedang berusaha mencari Idayu dan anak-anaknya. Seluruh Tuban gempar mendengar berita Idayu, penari pujaan itu, diculik oleh gerombolan Sunan Rajeg. Tak ada orang bisa memaafkan bila dia sampai terkena cedera. Bahkan desas-desus tentang perlakuan Syahbandar Tuban terhadapnya, bila tidak karena perlindungan Sang Adipati, telah lama dapat membunuh Tholib Sungkar itu secara kejam. Apalagi kini: diculik oleh musuh Tuban. Takkan ada ampun. Semua berdoa dan berharap agar penari itu diselamatkan. Para pemimpin pasukan telah mendesak Senapati agar mengerahkan balatentara untuk mencarinya sampai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya, belum tentu ada penari seperti itu lagi. Jadi tak lain dari Senapati Tuban sendiri yang berangkat dengan dua puluh orang pasukan kuda. Sekiranya tidak berangkat dengan diam-diam tak kurang-kurangnya orang yang bersedia bergabung dalam barisan pencari. Dengan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung desa Rajeg, yang selama ini memang belum lagi dijamah oleh balatentara. Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu berkendara pelan-pelan memperhatikan kehidupan yang sedang mulai hendak pulih kembali. Orang telah mulai menggarap sawah dan ladang. Kedamaian yang dulu kelihatan sedang membiak kembali. Dan bila malam datang gamelan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-tempat tertentu orang belajar membaca Al-qufan tanpa gangguan. Di tempat lain lagi orang mendengarkan guru pembicara yang semua saja mengumpat dan mengutuk Sunan Rajeg. Perguruan-perguruan Buddha semakin susut. Dan dengan adanya pengajian-pengajian anak-anak mendapat dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh Buddha dan Syiwa semakin susut. Tak bisa lain, berabadabad lamanya agama raja adalah agama kawula, dan Sang Adipati dimasyhurkan oleh kawulanya telah memeluk Islam. Di satu dua desa regu kuda itu mengetahui juga adanya beberapa orang lelaki melarikan diri melihat mereka datang. Dan Sang Senapati memerintahkan pada anakbuah untuk membiarkan mereka lari. Dan pada desa demikian ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk mengaduk desa. karena Senapati Tuban adalah juga anak desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa, menjadi petani seperti yang lain-lain. Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu menambahi: “Jangan takut Kami tak memusuhi kalian. Memang ada yang kami cari: Sunan Rajeg. Katakan ke mana dia bersembunyi. Dia yang berdosa, bukan seorang pun di antara kalian. Kata-kata semacam itu melenyapkan kegelisahan dan ketakutan. Namun tak juga didapatkan keterangan di mana Sunan Rajeg bersembunyi. Sampai di desa Rajeg, regu kuda itu hanya menemui kesunyian. Desa itu sama sekali telah ditinggalkan. Tak ada tanda-tanda orang tinggal. Hanya kucing kelaparan gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda. Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih menunggang kuda Senapati memasuki pendopo rumah joglo Sunan Rajeg, berhenti di tengah-tengah, kemudian masuk ke dalam rumah dengan pedang telanjang di tangan. Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rumah masih utuh, tetapi semua barang berharga tiada nampak. Melihat semua itu ia menarik kesimpulan, bekas Syahbandar Tuban itu mempunyai cukup persiapan untuk melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta bendanya. Maka in takkan dapat pergi jauh. juga di rumah itu Idayu tak ditemukan. Wiranggaleng memerintahkan memeriksa setiap rumah. Di setiap rumah yang dimasuki pintu didapatkan terbuka dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai, pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru. Tak seorang pun ditemukan. Apalagi Idayu dan anakanaknya. Ia perintahkan memeriksa daerah sekitar. Kuburan orang Islam pun diperiksa. Bekas galian diselidiki. Di dekat kuburan itu mereka mendapatkan mayat seorang wanita yang telah rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya. Wiranggaleng memerlukan menelitinya, dan ia mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya. Mayat-mayat itu kemudian ditimbun dengan tanah dan ditinggalkan. Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. Dan Senapati menambahi pesannya: “Penduduk desa Rajeg supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda yang masih tertinggal, tetapi jangan lagi tinggal di situ. Tinggalkan Rajeg, menetaplah di desa lain. Jangan lagi desa sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan”. Semakin meninggalkan Rajeg semakin bertetesan keterangan yang bisa didapat tentang arah perginya Sunan Rajeg. Regu itu mulai dapat menjejak tempat Rangga Iskak yang terakhir. Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang melebar itu, sampai lebaran itu berakhir, dan di sanalah Gowong, persembunyian bekas Syahbandar Tuban itu. Dari kejauhan mereka telah dapat melihat bukit kecil tujuan. Persiapan untuk perkelahian telah diatur. Kuda dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas pepohonan dan puncak bukit. Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia. Yakin dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin merangsang dan semakin memuakkan. Dan sampai di depan pintu gua keadaan tetap sunyi. Tetapi bau bangkai menjadi-jadi. Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua. Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat mubal beterbangan ke luar masuk gua. “Tak ada orang di dalam. Masuk!” Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka. Dan pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau belerang menyebabkan binatang buas tidak menyerbu ke mari. Melihat bangkai-bangkai itu Wiranggaleng melompat turun dari kuda. Ia periksa mayat-mayat yang sudah rusak itu seorang demi seorang. Dan lalat tak henti-hentinya mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di antara mereka. Juga semua prajurit ikut memeriksa. “Dayu! Idayu!” teriak Wiranggaleng memanggilmanggil. Hanya gema yang menjawabi kembali. “Seorang mati ditikam keris, Senapatiku!” seorang melaporkan. Mereka memeriksa yang mati terkeris. “Periksa seluruh gua!” pekik Senapati. “Inilah si keparat Rangga Iskak. Hem. Kaulah ini gerangan? Hanya begini saja akhirmu?” Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggota badan serta luka-luka tikaman yang telah mengeluarkan belatung itu. Mati terbunuh atau bunuh diri? Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan mengetahui: pisau dapur. Rangga Iskak dibunuh oleh perempuan, pikirnya, dan diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam atau di luar gua terdapat sebuah dapur. Mungkinkah Idayu yang membunuhnya? Dan ia berteriak memanggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang menjawabi. Prajurit-prajurit yang memeriksa lebih ke dalam menemukan empat bangkai perempuan. Segera ia melaporkan. Senapati bergegas masuk membawa obor dari ranting-ranting kayu dan serangga beterbangan menubrukinya. la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi seorang, dan ia ragu tak dapat memastikan. Hanya hatinya yang hilang: itu bukan orang yang kau cari. “Perbanyak obor!” perintahnya. Tapi hatinya lebih keras meraung: Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan begini, dan tak boleh di sini. Dan api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari seluruh rongga berlapis papan itu. Dalam bilik yang lain orang menemukan selembar popok bayi. Senapati itu sendiri masuk ke dalam dan memeriksa popok itu, Satu raungan keluar dari mulurnya, seperti suara orang gila: “Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!” “Nyi Gede Idayu!” yang lain-lain mulai berlarian keluar dan memanggil-manggil ke sekitar. Suara ramai dan keras itu bergema-gema di dalam rongga, juga di dalam rimba. Prajurit itu pergi untuk mendapatkan dapur. Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil berseru-seru dari atas kudanya. Tetapi hanya gaung yang menjawabi. Mereka hanya mendapati timbunan kotoran burung pada sebuah lekukan tanah. Dalam pembongkaran tak didapatkan bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada tulang, tak ada pakaian. Kemudian didapatkan galian baru, tertimbun tanah yang agak baru. Waktu dibongkar ternyata bekas-bekas dapur. Dalam waktu dekat didapatkan tanah terbakar bekas tempat tungku. Wiranggaleng itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada cabang-cabang kayu di dekat-dekatnya untuk mendapatkan bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidaktidaknya kapur itu tidak akan terganggu oleh binatang ataupun cuaca. Dan ia tidak mendapatkannya. Bukan seorang perempuan yang masak di sini, ia memutuskan, seorang lelaki. Bukan Idayu yang membunuh Rangga Iskak, tapi seorang juru-masak lelaki. Mereka menemukan sumber air yang mengalir jemih. Di sana mereka membersihkan diri. “Bakar gua itu!” perintahnya. Orang pun mengangkuti kayu dan ranting, menjejalnya di tempat mayat-mayat bergelimpangan. Daun-daun kering ditimbunkan dan kemudian dibakar. “Kembali!” perintah Senapati. Regu itu meninggalkan bukit dan gua Gowong. Hasilnya dua: selembar popok dan kenyataan Rangga Iskak telah mati, ditikam dengan pisau dapur dan tidak jelas siapa menikamnya. Api di dalam gua itu dengan cepat membubung. Rongga itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baranya masih juga menganga Dan popok itu memberi firasat pada Senapati, bahwa anaknya belum mati, juga istrinya. Gelar duduk di atas bahu Pada alias Mohammad Firman dan tangannya berpegangan pada kepala. Idayu menggendong bayi. Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam rimba belantara itu. Idayu membawa tombak sebilah dan pada pinggangnya tergantung pedang yang terlalu panjang untuknya. Gelar membawa empat bilah tombak. Juga pada pinggangnya tergantung pedang. “Betapa jadinya anak-anak ini, Pada, kalau kau tak datang menolong?” bisik Idayu dalam usahanya untuk menyatakan terimakasihnya. Rimba itu terlalu lebat. Sinar matari tak mampu menembusi. Dengan tombak di tangan dua orang itu selalu waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas untuk dapat menghindari ular yang sedang menunggu mangsa. Dan memang ular itu juga musuh yang paling berbahaya. Baunya yang langau memang segera dapat dikenal, tetapi tanpa mata awas boleh jadi orang tak memperhatikan baunya lagi. Pandang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan tombak setiap waktu siap untuk dilemparkan. Namun pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan oleh wanita pujaan itu. “Dan betapa jadinya”, ia menjawab lambat-lambat, “kalau Kang Galeng jalankan apa yang diperintahkan padanya? Kau pun tak bakal menemui aku lagi, Mbokayu”. “Betapa berliku-liku hidup ini”, desis Idayu. “Ya, Mbokayu, berliku-liku memang, dan tak ada orang tahu bagaimana bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja menuju ke arah kematian, memasuki akhirat”. “Apa gunanya bicara tentang kematian? Yang baru lewat pun sudah seperti itu. Dan yang sekarang: rimba belantara seperti ini”. “Bukankah ada Pada di sampingmu? Adakah dia kurang jantan, Mbokayu?” “Sunan Rajeg dalam keadaan sendirian seperti itu Pada, tak bisa keluar dari rimba ini?” “Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam lagi, sebidang bulak rumput, kemudian desa pertama”. “Dua malam lagi?” “Insya Allah, dua malam lagi”. Dan mereka terus berjalan dalam rembang rimba. Rasarasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan memperebutkan setiap ikat sinar matari dari langit, tak sudi berbagi dengan yang di bawahnya. Dan di bawahnya itu justru melata dengan meranyahnya pepohonan petaicina dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesakdesakan, memperebutkan sisa sinar matari yang mungkin jatuh tercecer dari langit. Antara sebentar mereka memapasi jalur-jalur bekas jalan babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepohonan dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang, runcing dan tajam, mengancam di mana-mana. Segala jenis monyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan buah-buahan hutan. Musafir di dalamnya tiada kan mati kelaparan. Bila haus orang tinggal menebang batang rotan muda dan menampung kucuran dan tetesan airnya yang berbuih dengan mulut. Umbi-umbian tinggal memilih mana yang disukai. Hanya kacang-kacangan yang tiada. Terhadap binatang buas pada banyak berpengalaman sudah selama mengembara sebagai musafir Demak. Ia tahu cara menghindari atau melawan. Hanya gangguan nyamuk dan lintah darah sungguh tak tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar tinggi membikin kantung jadi gangguan tambahan. “Berapa anakmu sekarang. Pada?” “Seorang pun belum”. “Kau belum lagi kawin?” “Nantilah kalau sudah temukan seorang seperti Mbokayu”. “Ah, kau “. Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil mengusiri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau gedrugan kaki. Kadang mereka membiarkan sampai lama lintah jatuh sendiri dari tubuh setelah kenyang menghisap. Dan dengung serangga di pepohonan terasa menumpulkan pancaindera. “Apa menurut dugaanmu anakbuah Sunan Rajeg tak keluyuran di sini?” “Tidak. Semua telah dikerahkan ke medan perang” Gelar telah tertidur duduk di atas bahu Pada dan membungkuki kepala kendaraannya. Diturunkan ia dari atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan tetap siaga dengan tombaknya. “Ceritai aku sejak kau tinggalkan Tuban”. “Begitulah”. Pada langsung memulai, “Kang Galeng membawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang Adipati. Itu kau sudah tahu, Mbokayu. Kang Galeng tidak bunuh aku. Diberikannya kembali nyawaku, diberinya aku kesempatan melompat ke laut. Aku melompat dan berenang ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu belum lagi jauh dari Tuban. Aku tiba di Lao Sam, sebuah bandar Tionghoa yang tenang. Penduduknya hanya sedikit dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seorang telah memungut aku jadi anak-angkatnya, Mbokayu, karena dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya”. “Dan kanak-kanak yang terlalu nakal”. “Ya, terlalu nakal. Mbokayu. Juga karena diketahuinya aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten Tuban. Di rumahnya itu aku belajar masak, karena dia tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak dengarkan aku, Mbokayu?” “Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dulu aku diselir oleh Sang Adipati… kau. Pada, tega juga kau….” “Ah, Mbokayu… semua itu ceritera lama. Dan siapa tidak mengimpikan seorang Idayu dalam hidupnya? Sekalipun dia masih kanak-kanak?” “Huh!” “Aku teruskan ceritaku?” mengetahui Idayu tak menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian masalalu. Dan melihat Idayu nampak tak acuh, ia memberikan perhatian. “Kau sudah bosan mendengarkan”. “Teruskan saja ceritamu”. “Kau sajalah yang bercerita”. “Sudah habis ceritaku, Pada”. “Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat: Juana, Jepara, Demak, dan juga Semarang. Semarang hampir sama dengan Lao Sam. Penduduknya Tionghoa berkucir melulu, tapi kotanya jauh lebih besar, lebih banyak penduduknya dan rumah-rumahnya lebih besar dan bagus, walau pelabuhannya tidak baik. Tuban jauh lebih bagus. Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di Demak. Diberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di Demak sana. Jadi tinggallah aku di rumah orang yang kuberi surat itu. Bersama dengan banyak pemuda lain di rumahnya aku belajar agama Islam, macam-macamlah, kau tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para wali, babad Demak. Kemudian kami pindah belajar di mesjid agung Bintoro. Setelah itu kami dikirimkan ke manamana dan aku ditunjuk untuk kembali ke Tuban, pedalaman Tuban maksudku. Pada mulanya aku berpangkalan di Bonang. Pada Sunan Bonanglah aku melaporkan semua kegiatan Sunan Rajeg… sudah bosan, Mbokayu?” “Tidak. Ayoh teruskan”. “Aku yakin kau bisa tertarik mendengar pekerjaanku”. ‘Teruskan saja. Pada”. Dan mereka terus berjalan. Lelaki itu tahu Idayu tak tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak meneruskan. “Mengapa kau terdiam? Jangan bikin aku mengantuk”. “Baiklah. Sunan Bonang tidak setuju pada Sunan Rajeg. Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan peradaban Jawa daripada menyebarkan agama Islam. Kata Sunan Bonang, orang tak bisa membikin peradaban yang sama sekali baru dalam sepuluh tahun. Ia mengakui Sunan Rajeg pandai bicara, pandai menarik hati, pandai meyakinkan, tapi ia terlalu gegabah dan tak punya kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan. Bila tidak, dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan Demak. Mbokayu, akulah sesungguhnya yang ditugaskan untuk mendekatkan dia dengan Demak”. “Ternyata kau orang penting Demak, Pada”. ‘Tidak, hanya musafir. Apalah artinya seorang Pada?” “Mengapa kau ceritakan semua itu? Bukankah itu pekerjaan rahasia?” “Ya, Mbokayu, rahasia. Sekarang tidak lagi. Sunan Rajeg telah mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang membunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan Atas Angin sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap Demak. Sebaliknya kerakusannya membikin semua kelebihannya menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi jurumasaknya. Iblis masih mau memberi pada seseorang untuk maksud dan kepentingan sendiri. Sunan Rajeg tak mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani membayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi daripada desadesa lain kepada Tuban. Benih yang didapatkan dari dia harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali memberi makan enak, dia bermaksud membunuh mereka – orang-orang yang justru paling setia padanya”. “Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu?” “Itulah kekeliruan ajaran lama barangkali kerumunilah orang berilmu, ikuti dia, selamatkan dia dan jalani petunjuk dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak desa segunung-gunungnya hafal nyanyian itu. Di Demak pun ajaran itu dinyanyikan oleh semua orang”. “Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamamu yang baru itu. Pada?” “Allah yang punya langit dan bumi ini, punya seluruh alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang diwahyukan pada para nabi dan Nabi Besar Mohammad, di bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu Sultan Al-Fattah, raja Demak. Khalifah mengatur semua orang Islam di tanah Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang Islam di Jawa harus datang ke Demak, bersembahyang di mesjid agung dan membesarkan nama Sultan”. “Makin banyak kata-katamu yang aku tak mengerti”. “Lama kelamaan kau akan mengerti juga, Mbokayu”. “Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti itu”. “Celakalah orang Islam Jawa yang tak mematuhi Khalifahnya, dunia dan akhirat”. “Yang lain, Pada”. “Sunan Rajeg, biar pun Islam, karena menentangnya, dia celaka juga”. “Dan kau yang membunuhnya. Pada. Apakah itu juga perintah dan Demak?” “Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat dan terjaga. Dia terlalu merugikan Demak dan penyebaran agama Islam. Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, rajaraja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh dari pesisir. Guruku bilang: orang Jawa tidak mau kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu, pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu besar, tapi tidak bisa menetap, sebentar kemudian akan lebih kembali ke dalam alam jahiliah.” “Betapa banyak kata-katamu yang sulit”. “Bukankah Mbokayu juga sudah Islam?” Dan Idayu mendengus tertawa. “Kata orang, Mbokayu, Kang Galeng juga sudah masuk Islam. Bukankah itu benar?” “Pantas kau mendapat kepercayaan dari Sultan Demak. Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang Galeng. Dia hanya pintar gulat”. “Dia telah berhasil hancurkan kekuatan Rangga Iskak. Aku harus membantu menyelesaikan sedikit. Mbokayu, tidak benarkah Kang Galeng sudah masuk Islam?” “Apakah artinya Islam-tidaknya kami berdua bagimu? Kami hanya orang-orang biasa, hanya ingin jadi petani biasa. Kang Galeng tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau, maka tak perlu bagi kami masuk Islam “Ah, Mbokayu”. “Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para dewa ataupun dari Aliahmu, maka dia tidak ingin membunuh atau dibunuh oleh siapa pun”. “Mbokayu!” Pada menegah. “Mengapa? Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin jadi manusia biasa….” “Mbokayu!” “Lihat, rakus kekuasaan menyebabkan Rangga Iskak ingin menggantikan Sang Adipati. Kerakusan itu juga menyebabkan Demak membunuh Rangga Iskak melalui tanganmu….” “Mbokayu!” “… Takut kehilangan kekuasaan menyebabkan balatentara Tuban memerangi Rangga Iskak dan Kang Galeng dipaksa jadi Senapati Tuban. Kerakusan menyebabkan matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada, kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa”. “Ah, Mbokayu, Mbokayu, kau belum mengerti dudukperkara,” Pada menyela. “Itulah duduk-perkaranya”. “Siapa yang mengajarinya begitu, Mbokayu?” “Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu banyak dari para guru pengembara di desa-desa”. “Masih banyakkah guru-pembicara mengembarai desadesa?” “Belakangan ini berkurang memang”. “Guruku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman Daud dan Musa… siapa di antaranya yang paling Mbokayu puja?” “Rama Cluring. Suaranya lantang penuh keberanian dan kebesaran”. ‘Tentu dia sudah mati”. “Ya. Sebelum kami berdua berangkat ke Tuban”. “Siapakah kiranya yang berhasil membunuhnya?” “Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan membunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan kejayaan di kemudian hari untuk sesama orang?” Mereka berhenti. Gelar bangun dari tidurnya. Mereka memunguti buah jambu yang telah dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka telah memakannya sampai perut merasa agak isi kemudian berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak boleh makan buah sampai kenyang. Gelar berjalan kaki lagi. tetapi kelelahan kemarin yang belum juga habis menyebabkan ia segera juga minta duduk di atas bahu, dan di sana ia menyanyi-nyanyi. “Mengapa Rama Curing harus dibunuh?” mendadak Idayu bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya lagi. “Demakkah yang menghendaki? Dan kau yang harus kerjakan?” Pada tak menengahi. “Setelah mendengarkan ceritamu, Pada, terpaksa aku membayangkan Demak, di sana tentu takkan ada gurupembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh”. “Tidak, itu tidak benar. Di mana-mana ada, di kota, di desa. Bukankah aku sendiri juga seorang guru-pembicara? Cuma di Demak namanya musafir Demak”. “Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain daripada di desa-desa di luar Demak. Dari ceritamu tadi sekali lagi aku terpaksa membayangkan, Pada,, gurupembicara alias musafir Demak itu bicara untuk mendapat pengikut atau merebut pengikut orang lain. Guru-pembicara kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak punya apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaannya. Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau. Bukankah kau jadi musafir Demak karena kebencianmu terhadap Sang Adipati? Dan Sang Adipati hendak membunuhmu karena kau merugikannya lebih dahulu?” Ia memerlukan menengok ke belakang melihat pada Pada, dan lelaki itu tak membantah. “Kata orang, dahulu kala mereka itu adalah guru-guru Buddha. Makanya pun didapatkannya dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan. Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau memberinya perlindungan”. “Ternyata kau pun pandai bicara, Mbokayu”. “Kau tak marah padaku setelah menolong kami?” “Apa harus dimarahkan? “Karena ternyata kita berlainan?” “Bagaimana pun kebenaran akan menang, Mbokayu. Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu guru pembicara di desa-desa seperti itu, maka ada seribu macam pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh, semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sama sekali”. “Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah terbiasa memilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah karena itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku keliru?” “Ah, Mbokayu, selama kebenaran berasal dari manusia, dia meragukan, karena hanya Allah pemilik kebenaran, yang Maha Besar”. “Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum mengenal. Orang-tua kami tak mengenalnya sama sekali, karena mendengarnya pun belum. Betapa berdosanya kami kalau harus menganggap mereka tidak mengenal kebenaran, hanya karena tak tahu Aliahmu”. Idayu merasa, ia sudah sampai pada titik di mana pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan katakatanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anakanaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada sengaja tak meneruskan bicaranya. Hanya Gelar tertawatawa dan menyanyi di atas bahu Pada. 0o-dw-o0 Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Rantingranting dan dedaunan kering mereka kumpulkan untuk alas tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu membubungkan asap tebal dan kelabu. “Kadang-kadang,” kata Pada, “datang macan atau ular atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak akan menerkam atau mengganggu. Matanya memancarkan gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi seperti habis menonton tarianmu, Mbokayu.” Dari balik-balik luruhan daun jati basah mereka mengumpulkan sejumlah besar kepompong jati. Mereka membakari binatang kecil-kecil coklat itu dan memakannya dengan senang. Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap lagi, dan berjalan lagi. Dan kini rimba belantara telah dilalui. Sebuah padang ilalang membentang di hadapan mereka. Dari kejauhan telah nampak bagian-bagian yang telah terbakar. Dan di suatu tempat bekas bakaran, di mana tumbuh ilalang muda, sekawanan rusa nampak sedang merumput. “Padang alang-alang”. Pada memulai, “yang paling menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semaksemak. Macan. Mbokayu, sarang macan. Matanya mengintip di mana-mana”. “Sudah banyak bekas bakaran kulihat”. “Ya, syukur alhamdulillah. Nampaknya Mbokayu belum juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu. Maklumlah penari. ‘Bakarlah alang-alang, petani’ bukankah begitu?” “Tumbuhlah yang muda,” Idayu meneruskan. “Ribuan rusa berdatangan merumput….” “Lupakan ladang dan sawahmu”, Pada menyambung. “Macan menerkamnya sehari seekor. Selamatlah perjalananmu” Mereka ingat sajak nyanyian itu. Namun mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak juga meninggalkan hutan. “Sebelum tentu si macan berhasil menangkap seekor dan si petani sudah lewat melintasi”, Pada berkata pelahan pada padang alang-alang di depannya. “Apa guna cerita seperti itu? Pada, kau sudah pergi ke mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu bangsa yang suka makan orang?” “Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu ajaran”. Dengan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mulai menyeberangi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan setapak yang hampir hilang. “Mengherankan,” Idayu meneruskan untuk melupakan kekuatirannya. “Orang makan orang. Bagaimana bisa? Sewaktu memakannya tidakkah terbayang orangtua atau anaknya sendiri? Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali akan dimakan juga oleh yang lain?” “Bodoh, kataku, jahil. Pikirannya tak panjang. Itu sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka”. Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan sendiri. “Barangkali itu lebih baik”. Sambung Idayu. “Apa baiknya kebodohan, kejahilan?” Pada menolak. “Mereka makan-memakan karena lapar, kiraku. Ajaran datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuhmembunuh, tidak sampai makan-memakan, dan bukan karena lapar. Mungkin salah karena ajaran yang kau bawa”. Pada tak menanggapi. Idayu tahu, ia tersinggung. “Kau marah, Pada? di desa-desa takkan ada orang marah karena ucapan seperti itu. Maafkan kalau kau tak bersenang hati. Tak apa, Pada.” “Kau memancing-mancing, Mbokayu”, Pada menuduh. “Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan sesamanya. Kau lantas membawa soal ajaran. Jangan hubungkan”. “Kita sedang menyeberangi padang yang menggetarkan ini”. “Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar”. Sementara mereka berjalan tanpa bicara. Gelar di atas bahu nampaknya juga merasai kegentaran mereka. “Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut pendapatmu? Mereka itu ingin makan daging, tapi perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mudah ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana pendapatmu. Pada?” Dan Pada tak menjawab. Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke mana-mana. Gelar bersorak-sorak di atas bahu Pada melihat sekawanan rusa yang merumput damai di kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang. Waktu angin bertiup dan menyampaikan suara manusia dan baunya, binatang-binatang itu terhenti dari kesibukannya. Semua memanjangkan leher dan menegangkan kuping. Moncong hitamnya mereka angkat tinggi. Setelah mengetahui, hanya serombongan manusia berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anakanaknya berlompat-lompatan lagi. “Kalau sudah dilewati padang ini, kita akan sampai ke sebuah hutan muda, kemudian padang rumput pendek, dan sampailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana, Mbokayu? Ke kanan berarti ke Tuban, ke kiri ke Awis Krambil”. “Ke kiri. Pada, Awis Krambil.” “Dan Kang Galeng nanti?” “Kalau dia masih memerlukan anak dan bininya, tentu dia akan mencari kami di desa,” ia betulkan bayinya dan dalam gendongan dan menyusuinya “Tak dapat aku tinggal lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan”. “Kasihan Kang Galeng”. “Biarlah dia kembali saja ke desa”. “Senapati Tuban kembali ke desa? Mau jadi apa? Jangan main-main, Mbokayu. Apa kau suruh dia mencangkul dan membajak?” Mereka berjalan dan berjalan. “Dia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan manusia. Dia akan kembali ke desa.” “Kalau tidak? Kalau dia memang dengan semau sendiri jadi Senapati untuk dapat berkuasa?” Idayu mempercepat jalannya. “Kalau dia tidak mau pulang ke desa? Tidak membutuhkan Mbokayu lagi?” Idayu menyusui anaknya sambil mempercepat jalannya. 0o-dw-o0 27. Demak Bergolak Pelayaran di laut Jawa pulih kembali seperti sediakala. Hanya kapal-kapal Atas Angin masih juga tak banyak kelihatan.Kapal-kapal Pribumi mendapat kesibukan luar biasa mengangkuti barang dagangan untuk dibawa ke bandar Banten, untuk memudahkan saudagar-saudagar Atas Angin mendapatkan dagangan. Maka Banten pun jadilah bandar terbesar dan teramai di Jawa, mengalahkan Gresik, apalagi Tuban. Dan untuk sementara penguasa-penguasa bandar di Jawa tidak mencemburui, mengingat bandar itu kepunyaan sahabat Portugis, kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya Demak yang tak bersenang hati. Tetapi saudagar-saudagar Pribumi yang sudah lama terjauh dari keuntungan dengan serta-merta berdatangan untuk berdagang. Juga kapal-kapal Islam dari Atas Angin. Para saudagar mengira, keadaan yang nisbiah baik akan tetap baik untuk selama-lamanya: rejeki dari laut tidak sesendat selama ini dan cuaca damai menghangati seluruh Jawa. Orang tak biasa lagi tentang perang. Di Jepara pembangunan kembali, armada Demak sedang giat dilakukan, seolah-olah kebesaran di Jawa sebelah timur akan dipindahkan ke sebelah tengah. Tahun 1521 Masehi. Mendadak suatu perubahan yang cepat telah mengubah segala-galanya. Portugis sudah sepuluh tahun menguasai Malaka. Dan pada suatu hari yang sudah diduga orang, Sultan Demak kedua, yang semakin keras juga sakitnya karena serpihan laras cetbang di dalam tubuhnya, wafat. Satu-satunya penantang Portugis telah wafat. Armada besar yang sedang digalang akan jatuh ke tangan orang lain. Siapa orang lain itu? Dan adakah akan dipergunakan untuk meneruskan cita-cita Unus? Tak ada orang yang bisa menduga tentang teka-teki ini. Jururamal mulai sibuk dengan perhitungan dan ramalannya. Siapa Sultan Demak ke tiga? Karena Unus tiada berketurunan? Raja-raja Nusantara ikut berkabung, terutama para saudagar dan pemilik kapal. Perhatian seluruh Jawa, sepanjang pesisir selatan Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, tertuju ke Jawa, ke Demak. Lain lagi yang terjadi di Malaka. Berita wafatnya Unus disambut dengan sorak berderai. Di darat dan laut anggur pun dibagi melimpah-limpah untuk merayakan kematiannya. Armada Portugis akan dapat menjelajahi semua perairan Nusantara tanpa kekuatiran. Mereka tidak peduli siapa bakal mengganti Sang Penantang, karena hanya ada seorang penantang selama ini, dan ia sudah mati, dan penantang lain tak bakal dilahirkan. Ancaman dari selatan sudah padam. Untuk sementara tak ada berita tentang penggantinya. Majelis Kerajaan mengambil-alih kekuasaan untuk sementara. Kekosongan Demak untuk waktu yang dianggap terlalu lama itu menyebabkan orang digoda untuk membikin duga-dugaan: Adakah kerajaan yang belum lagi berumur setengah abad ini akan pecah-pecah jadi dusun kembali? Siapa yang bertikai dan dengan siapa maka belum juga ada penobatan baru? Majelis Kerajaan lawan keluarga raja? Ataukah keluarga raja dengan keluarga raja? Ketegangan merambati seluruh Demak tanpa kepastian. Dari pengalaman berabad orang tahu benar, keadaan tidak menentu demikian biasanya diikuti dengan kerusuhan dan kerusuhan melahirkan perang. Diberanikan oleh kekosongan ini juru tafsir dan ramal sampai-sampai berani menjajakan pikirannya di pasar dan di sepanjang jalan dan di alun-alun dan surau dan di mesjid agung sendiri, tanpa kegentaran. Praja Demak hampir-hampir lumpuh. Tafsiran dan ramalan kemudian padam: Sultan Demak ke tiga telah dinobatkan dan telah naik ke tahta kerajaan. Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, namun itulah kenyataannya: Trenggono, adik Unus. 0o-dw-o0 Sekali lagi Portugis berpesta-pora mendengar Trenggono naik tahta. Mereka tahu betul Sultan baru itu tak punya perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perbandaran, apalagi terhadap Malaka. Rencana baru pun ditempa. Apa lagi? Di perairan bagian belah bumi selatan ini takkan ada halangan lagi selama Unus tak ada. Segera mereka menyerbu Pasai. Dan Pasai pun jatuh. Banda Aceh kehilangan bandarnya yang sedang kembali berkembang. Portugis berpesta lagi di Malaka, juga di Pasai, mengetahui, bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta hanya dengan melalui bangkai abangkandungnya sendiri, Pangeran Seda Lepen. Abangnya itu yang akan dinobatkan oleh Majelis Kerajaan, tetapi Sunan Kalijaga menjagoi Treng-gono. Maka Portugis menimbang Sultan baru ini sebagai seorang yang rakus kekuasaan. Terhadap pribadi demikian mereka sama sekali tidak menaruh gentar. Juga mereka berpesta mengetahui, pemimpin perang balatentara Banda Aceh, Fathillah1 dengan kekalahannya di Pasai telah meninggalkan negerinya. Orang tak tahu pasti ke mana perginya. Dan Portugis lebih tidak peduli lagi. Anggur diedarkan, bertong-tong ditumpahkan untuk membasahi tenggorokan Peranggi yang haus dan tidak haus, anggur terbaik dari Oran dan Aljazair. Setelah Pasai jatuh pelayaran dan perdagangan di laut Jawa kembali tergoncang. Pasai menjatuhkan juga pasar lada. Portugis dengan Pasai-nya tidak peduli. Mereka tertawa. Dengan jatuhnya lada mereka akan terpaksa datang ke Pasai atau langsung ke Malaka. Seluruh kekuasaan atas Selat Semenanjung telah jatuh seluruhnya ke tangan Portugis. Tak satu kapal Pribumi, Atas Angin atau Tionghoa bisa melaluinya tanpa mengakui pernaungan meriam-meriamnya. Dan kalau lada tak mau datang ke Pasai atau Malaka? Campang. Portugis akan mendatangi sumber-sumbernya. Dan sumber utama lada adalah: Pajajaran dengan ibukotanya Pakuan, dengan bandar-bandamya Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk. Bila Pajajaran jatuh kelak di tangan Portugis, lada takkan lagi mengalir ke Campa, Tiongkok atau Jepun. Semua akan dibanjirkan ke Eropa. Apakah sulitnya menundukkan Pajajaran yang sendiri sudah merasa membutuhkan perlindungan Portugis, terancam oleh ketidak setiaan kawulanya sendiri di sepanjang pesisir utara, terutama pelarian dari Malaka, Tumasik dan Pasai karena kelainan agama? Pajajaran harus menyerah tanpa perang! Portugis akan memberinya “perlindungan”. Kuasai bandar Banten dan Sunda Kelapa, maka bukan hanya lada lebih banyak mengalir ke Eropa tanpa henti-hentinya, juga kekuasaan Portugis di Malaka akan semakin kukuh dan kerajaankerajaan bandar di Jawa dan Sumatra akan semakin lemah. Barang-barang dagangan lain, beras, minyak-minyakan, gula dan garam, dan kayu manis dan kapur barus, untuk kepentingan Asia dan Nusantara sendiri, pun akan jatuh ke tangannya dengan harga lebih murah tanpa saingan. Selanjutnya perairan Sumatra dan Jawa yang sangat ramai itu pun akan dapat dikuasainya. Portugis dalam usahanya untuk melaksanakan rencananya memutuskan untuk menghubungi kembali “sahabat lama” Pajajaran dan minta ijin untuk mendirikan “kantor dagang” di Sunda Kelapa. Dengan adanya “kantor dagang” Pajajaran tak perlu memiliki meriam sendiri, karena “kantor” akan melindunginya dari serangan kerajaan-kerajaan lain. Utusan dikirimkan menghadap Prabu Sedah, raja Pajajaran. Konon jumlah penghadap cukup banyak termasuk beberapa orang padri Nasrani yang mohon perkenan untuk tinggal di Pakuan untuk menyebarkan agamanya. Tak terkirakan gembira hati Sri Baginda Prabu Sedah. Semua yang disarankan dan dipohon oleh para penghadap diluluskan. Para padri bukan saja boleh tinggal di Pakuan, bahkan diperkenankan mewartakan ajarannya, dan dengan demikian Islam tidak lagi merupakan satu-satunya agama baru di dalam wilayah kekuasaannya. Pesta besar-besaran diadakan dengan pengerahan penyanyi dan penari terbaik di seluruh negeri. Dan dengan upacara khidmat pihak Portugis dan Pajajaran menyaksikan dua orang pernahat dari dua belah pihak mulai memahat lambang persetujuan dan persahabatan pada sepotong batu panjang berbentuk penggada. Demikianlah Portugis kembali ke Malaka membawa kemenangan diplomasi gilang-gemilang tanpa perang dan meninggalkan beberapa orang padri di Pakuan…. Dalam waktu pendek berita itu tersebar ke seluruh Nusantara. Pajajaran sendiri mempunyai kepentingan menyebarkannya dengan maksud mengendalikan nafsu lawan-lawannya untuk menyerbu negerinya. Dan persahabatan dengan Peranggi adalah juga suatu kebesaran baginya. Jatuhnya Pasai segera terdesak oleh perjanjian persahabatan Portugis-Pajajaran. Satu-satunya kerajaan yang membuka mata lebar-lebar terhadap perkembangan baru ini adalah prajawan-prajawan Demak. Dan di luar istana orang lebih banyak meributkan dan membicarakannya di mesjid, surau, jalanan dan di mana saja. Lama-kelamaan suara itu berkembang dan memuncak menjadi pertikaian-pertikaian. Mula-mula pertikaian berkisar pada kelakuan Trenggono yang begitu sampai hati membunuh abangnya sendiri, kemudian diperkuat oleh sikapnya yang polos terhadap peristiwa Pakuan. Mengapa Sultan tak juga menyatakan sikap menentang usaha Portugis yang sudah mulai gerayangan ke Jawa? Sikap itu semakin ditunggu semakin tak datang. Para musafir yang sudah tak dapat menahan hati lagi telah bermusyawarah dan membentuk utusan untuk menghadap Sultan. Mereka ditolak dengan alasan: apa yang terjadi di Pajajaran tak punya sangkut paut dengan Demak dan musafir. Jawaban itu mengecewakan para musafir. Bila demikian, mereka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para musafir mengagungkan Demak, karena keagungannya memang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar peninggalan Unus, yang telah dua tahun disiapkan kalau bukan untuk mengusir Portugis dan dengan demikian terjamin dan melindungi Demak sebagai negeri Islam pertama-tama di Jawa? Masuknya Peranggi ke Jawa berarti ancaman langsung terhadap Islam. Kalau Trenggono tetap tak punya sikap, jelas dia tak punya sesuatu urusan dengan Islam. Segolongan kecil para musafir menolak alasan itu dengan dalih, tugas utama para musafir adalah menyebarkan Islam yang telah dirintis oleh para sunan. Pekerjaannya tak bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. Tetapi kerajaanlah yang melindungi pekerjaan itu. Kemungkinan dan keleluasaan, karena adanya perlindungan, menyebabkan para musafir berkewajiban memperteduh perlindungan dengan jalan mengagungkan Demak. Golongan besar musafir menuduh, bila demikian mereka stidah sepenuhnya punggawa perajaan, bukan musafir, bukan pembantu muballigh itu sendiri, dan mempersekutukan agama dengan kekuasaan, dan kekuasaan itu justru telah kehilangan kekhalifahannya yang murni. Pertikaian kemudian dicampuri oleh kerajaan. Golongan besar dipanggil menghadap. Mereka menolak dan melarikan diri. Golongan kecil yang taat, kehilangan kewibawaannya. Tepat sebagaimana dituduhkan oleh golongan besar, mereka kemudian menjadi punggawa kerajaan belaka. Sejak itu Demak tak punya musafir lagi. Mereka yang pada waktu itu sedang bertugas di pedalaman negeri lain atau di seberang, memutuskan hubungan dengan Demak dan menjadi muballigh bebas. Pertikaian pun tak kurang sengitnya di dalam keluarga Sultan sendiri. Dan ini menjalar juga pada penduduk biasa. Tak dapat menanggungkan semua pertikaian yang tiada henti-hentinya dan mengancam perpecahan dalam kerajaan Demak sendiri. Trenggono mengambil tindakan untuk menjawab semua itu: pekerjaan persiapan armada besar itu dihentikan sama sekali. Dana dan daya kerajaan Demak ditarik dari pantai dan dipusatkan di pedalaman. Akibat tindakan itu tak terkirakan besarnya, dan pada umumnya merugikan Demak. Insinyur dan tukang-tukang kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang membusuk-busukkan Trenggono,ditampilkan sebagai raja yang bodoh dan mengkhianati amanat almarhum abang dan ayahnya. Bupati-bupati bekas di pedalaman mengejek kembali Demak sebagai kerajaan yang masuk ke pedalaman karena takut pada armada Portugis, lebih suka berkubang dalam lumpur tanah tandur pedalaman daripada menghadapi lawan pokoknya. Bupati-bupati pesisir, yang selama ini menyumbang iuran tahunan untuk pembangunan armada, menyumpah-nyumpah karena merasa tertipu oleh Trenggono. Bupati-bupati pesisir lainnya yang menyatakan berlindung di bawah Demak tanpa pukulan perang, menolak perlindungan dan menyatakan berdiri sendiri kembali dalam kebebasannya. Trenggono naik pitam oleh perkembangan baru ini. Pada suatu pagi, sebelum matari sempat terbit, sebuah tandu diusung meninggalkan Demak. Beberapa puluh orang mengikutinya berjalan kaki di belakangnya, di belakangnya lagi beberapa puluh lagi orang pemikul. Mereka berjalan beriringan dengan diam-diam seakan takut membangunkan yang masih tidur. Di atas tandu adalah Gusti Ratu Aisah, biasa disebut Ngaisah permaisuri Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah almarhum. Ia adalah ibunda Adipati Unus dan Trenggono. Dan iring-iringan yang membisu itu menuju ke Jepara. Orang segera mengerti: pertikaian antara Sultan dan ibunya tertumbuk pada jalan buntu. Gusti Ratu Aisah harus menyingkir karena tak mau tahu lagi tentang Demak. Bahwa Jepara jadi tujuan adalah karena itulah tempat putranya tercinta Unus almarhum. Bahwa Gusti Ratu berpihak pada sikap dan pendirian Unus, bahwa, bahwa, bahwa…. Orang pun segera mengerti: boyongan agung itu tak lain artinya daripada, bahwa Trenggono tak ada niat untuk menyerang Portugis, baik di Malaka, Pasai atau mana pun, baik di darat atau lautan. Dan pertanyaan yang tetap tinggal tak terjawab: untuk apakah armada besar yang dipersiapkan itu? Apakah akan dibiarkan tenggelam karena tak terawat? Belum lagi bayangan agung terlupakan, datang pula berita besar: Majelis kerajaan bubar. Kebenaran berita itu masih banyak disangsikan, karena seorang Sultan di Demak takkan dapat berbuat sesuatu pun tanpa Majelis. Berita itu disusul oleh desas-desus, Sultan tak suka bermusyawarah, tak mau mendengarkan Majelis, ia telah terjatuh jadi raja Pribumi jahiliah, kafir. Sebaliknya penyokong Trenggono pun tidak sedikit. Pasukan kuda Demak, pasukan kebanggaan, sepenuhnya menyokongnya. Pasukan itu sendiri belum lagi lama didirikan, karena sebelumnya hampir-hampir tak terdapat kuda di Demak. Sultan Al-Fattah yang membangunkannya dengan jalan mendatangkan bibit dari Atas Angin dengan bantuan Semarang dan saudagar-saudagar Islam Atas Angin. Pertikaian belum lagi reda, datang berita besar lagi. Pajajaran mengadakan pesta agung…. 21 Agustus 1522 Serombongan besar orang Portugis telah mendarat di bandar Sunda Kelapa. Di antara mereka terdapat dutanya: Henrique Leme. Ia datang untuk mengesahkan perjanjian Portugis-Pajajaran. Dalam iringan pasukan pengawal bermusket dan berpedang dan sebarisan pemusik, mereka telah dieluelukan oleh Pangeran Sunda Kelapa sebagai gubernur dan wakil Prabu Sedah. Dengan upacara penyambutan besar mereka diiringkan beristirahat di pesanggrahan Sang Pangeran. Dan pada keesokan harinya dengan iringan pesta besar sebagian dari para tamu memudiki kali Ciliwung menuju ke Pakuan, menghadap Sri Baginda. Di Pakuan pesta kehormatan besar menyambut mereka. Henrique Leme mempersembahkan terimakasih atas perlindungan dan karunia berupa tanah dan rumah dan tenaga pekerja kepada para padri-padri Portugis di Pakuan sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa dan telah mulai membuka rumah penampungan untuk janda dan yatim-piatu. Acara khusus telah disediakan oleh para tamu untuk mendengarkan musik Portugis di mana Prabu Sedah dan permaisuri dan keluarga raja berkenan ikut menyaksikan. Dan itulah untuk pertama kali Pakuan mendengar musik dari Eropa. Mereka turun balik ke Sunda Kelapa diiringkan oleh Pangeran Sunda Kelapa. Di bandar Sunda Kelapa sendiri telah didirikan sebuah umpak batu hitam berbentuk kerucut terpotong. Di atasnya didirikan batu perjanjian Portugis-Pajajaran, pahatan bersama antara dua belah pihak. Henrique Leme dengan regu musik yang sangat sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan Pangeran Sunda Kelapa dengan para pengawal di lain pihak. Mereka saling menyampaikan pesan dengan terjemahan Melayu. Dengan demikian perjanjian Portugis-Pajajaran telah menjadi kenyataan. Pihak Portugis mendapat sebidang tanah dan berkenan untuk mendirikan “kantor dagang”. Pihak Pajajaran mendapatkaan jaminan bantuan militer bila mendapat serangan dari luar. Pesan-memesan selesai. Ratusan gadis beterbangan seperti bunga-bungaan di atas kolam raksasa yang ditiup oleh angin puyuh. Mereka bertaburan di sekeliling para tamu, kemudian bertaburan lagi dan berlarian mengitari tugu, menari sambil menyanyi dan menebarkan bunga-bungaan, dengan latar belakang laut, kapal-kapal Pribumi dan Peranggi, perahu-perahu nelayan. Latar belakang sebelah selatan adalah kehijauan dedaunan dan di sana-sini tajuk, rumpunan bakau-bakau mengintip dari balik bibir rawa-rawa. Di atas adalah langit yang cerah, biru dengan awan berarak putih-putih, kemudian di bawahnya pegunungan yang tiada habishabisnya. Selesai upacara di mana seorang pendeta Hindu mentahbiskan tugu, pihak Portugis segera memainkan musik yang menggelora…. Itulah berita yang kembali menggoncangkan Demak. Pertikaian yang belum lagi reda merebak kembali. Orang pada menunggu-nunggu sikap Trenggono, sikap yang agak jantan. Orang sudah mulai berbisik: apakah dia hanya berani membunuh saudara kandung sendiri, dan tetap tidak berani terhadap Peranggi? Bukankah perbuatan Portugis di Pakuan dan Sunda Kelapa tak lain dari tantangan terhadap Islam, dan karenanya terhadap khalifah Demak? Dan apa pula gunanya armada besar yang telah makan biaya begitu banyak? Ternyata orang perlu begitu lama harus menunggu. Dari atas singgasananya Sultan Trenggono bersabda: “Kita, manusia, hidup dan mati di atas tanah yang dikaruniakan oleh Allah s.w.t. kepada kita. Maka tanah karunia ini harus kita bela, berapa pun harganya. Selama tanah ini di dalam genggaman, tak ada suatu bahaya pun bakal mengancam, kita akan membelanya, karena modal pertama adalah tanah. Tanpa tanah orang tak bisa berbuat sesuatu.” Belum lagi orang habis terheran-heran mengapa Sultan bicara tentang tanah, bukan tentang agama dan Peranggi sebagai musuhnya, bukan tentang kekhilafan yang ditantang, dan mengapa hanya tanah, tanah belaka sekalipun ia karunia Allah, orang semakin terheran-heran karena ada terdengar suara wanita, dan wanita itu sudah tua, suaranya sayup-sayup datang dari Jepara. Wanita tua itu adalah Gusti Ratu Aisah: “Bukan hanya tanah, seluruh alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau orang tak tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa, Unus yang mengatakan itu”. Pertikaian itu kemudian berpusat dalam keluarga raja sendiri, diwakili oleh Trenggono di satu pihak dan Gusti Ratu Aisah di lain pihak. Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan, menjadi bahan pemikiran pra-jawan di mana-mana – air dan tanah, laut dan darat. Setelah terdengar suara ibunya Trenggono diam, tidak membalas Dalam membisu ia perbesar pasukan daratnya, terutama pasukan kuda, dengan biaya yang semestinya untuk menyelesaikan armada agung. Tanpa menyatakan pada siapa pun, tak menunggu pendapat Majelis Kerajaan yang semakin menjadi lemah, ia hendak membuktikan, bahwa ibunya keliru. Bahwa tanpa laut pun Demak akan jadi besar dan jaya. Tetapi dari Jepara ibundanyalah yang membuka suara lebih dulu: “Ketahuilah, hanya dengan armada saja orang dapat menghalau Peranggi, musuhnya, dengan pasukan darat orang cuma akan memerangi saudara-saudaranya sendiri, bukan musuhnya”. Suara wanita tua itu berpendar-pendar di darat maupun laut. Tiba-tiba para bupati merdeka menjadi sadar, bahaya dari Demak sedang di ambang pintu: Demak akan meluaskan daerah kekuasaannya dengan pukulan perang. Dan perang akan segera berkecamuk. Di luar Demak wanita tua itu terus-menerus ditunggu-tunggu kata-katanya selanjurnya. Ia didengar, diperhatikan dan dihormati. Juga di Demak sendiri. Tapi apakah yang dilakukan wanita yang telah kehilangan kewibawaan terhadap Sultan, putranya? Dengan diamnya Ratu Aisah, berbondong-bondong utusan menghadap ke Jepara membawa persembahan, sekedar hanya untuk mendapatkan kata-katanya yang kuat bijaksana dan petunjuk tentang apa yang bakal terjadi. Dan wanita tua itu justru membisu. Di desa-desa pinggiran negeri Demak, penduduk mulai pada mengungsi untuk melarikan diri dari wajib perang. Sebaliknya, terbujuk oleh janji jarahan dan rampasan terhadap hak milik kafir, pemuda-pemuda desa meninggalkan kampung halaman menuju ke ibukota untuk menggabungkan diri jadi prajurit tetap pasukan darat Demak. Bahkan yang punya kuda sendiri langsung menggabungkan diri bersama kudanya pada pasukan kuda. Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir: antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. Dan pertanyaan kemudian yang timbul: Adakah Sultan akan mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana ia telah melakukannya terhadap abang-kandungnya. Pangeran Seda Lepen? Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan prihatin terhadap keselamatan wanita tua itu. Sultan Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan terhadap ibunya. Ia makin kranjingan membangun pasukan daratnya. Hampir setiap hari orang dapat melihat ia berada di tengah-tengah pasukan kuda kebanggaannya, baik dalam latihan, sodor, mau pun ketangkasan berpacu sambil memainkan pedang menghajar boneka yang digantungkan pada sepotong kayu. Ia sendiri ikut dalam latihan-latihan ini. Dan dalam salah satu kesempatan semacam ini pernah ia berkata secara terbuka: “Tak ada yang lebih ampuh daripada pasukan kuda. Lihat, kawula kami semua!” Dan para perwira pasukan kuda pada berdatangan dan merubungnya, semua di atas kuda masing-masing. “Pada suatu kali, kaki kuda Demak akan mengepulkan debu di seluruh bumi Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke bumi, ingat-ingat para kawula, akan kalian lihat, takkan ada satu tapak kaki orang Peranggi pun nampak. Juga tapaktapaknya di Blambangan dan Pajajaran akan musnah lenyap tertutup oleh debu kuda kalian.” “Berapalah kuatnya Blambangan dan Pajajaran? Mereka tak punya pasukan kuda. Dan tanpa kuda, kedua-duanya hanya tumpukan bangkai. Siapa tidak percaya? Barangsiapa tidak percaya, jangan terburu mati, saksikan Trenggono dengan sumpahnya ini….” Sekaligus orang mengerti ucapan itu ditujukan pada ibundanya sendiri. Tapi para bupati lebih mengerti, kebebasan mereka sedang dalam ancaman. Di rumah-rumah orang kebanyakan orang pada membicarakan. Orang tua-tua pada mengelus dada – bagaimana bisa seorang anak, sekalipun raja, bisa berkata begitu kasar terhadap ibunya, melalui orang-orang lain? Tak sukakah Sultan melihat ibunya yang tua dan terhormat itu meninggal dalam kedamaian? Tidakkah ia bisa membisu tanpa mengatakan sesuatu? Ratu Aisah tidak menjawab putranya pada ketika mendengarnya. Tetapi pada kesempatan lain, di tengahtengah pasar bandar Jepara, ia berkata: “Tidak percuma wanita ditakdirkan melahirkan anak. Tapi memang banyak yang merasa percuma mempunyai ibu”. Di tengah-tengah pasukan kuda yang habis berlatih Trenggono memanggil perwira-perwiranya dan berkata keras: ‘Tidak percuma seorang anak punya ayah. Almarhum Sultan Al-Fattah pun tak percuma menyebarkan ratusan musafir, ke timur, barat, utara dan selatan. Setiap musafir mendatangkan doa seratus hati yang rela untuk kejayaan Demak. Siapa yang belum pernah dengar nama Demak di pulau Jawa ini? Dia tuli! Seluruh tanpa kecuali”. Dalam suatu pelantikan pasukan kuda baru ia mengatakan: “Sungguh bodoh pikiran lama yang hendak mendepai Jawa dengan kapal. Langkahi dia dengan kudamu! Sekali langkah Blambangan pecah. Balik, dan melangkah tiga kali. Pajajaran belah”. Wanita tua itu tak menjawab. Dan orang mulai lebih memperhatikan Sultan Trenggono yang suaranya makin keras melantang. Trenggono punya kekuatan bersenjata, Aisah hanya punya kebijaksanaan. Walau demikian orang tetap bertanya-tanya, mengapa suara-suara itu tak didengungkan dari atas tahta dan hanya di lapangan? Adakah dengan demikian nilainya bukan keprajaan? Bukan sabda seorang Sultan? Hanya ucapan pribadi semata? Trenggono tidak menjawab teka-teki itu dengan katakata, tetapi dengan perbuatan: Majelis kerajaan tak didengarkannya lagi. Ia mengikuti kemauannya sendiri. Bahkan kata orang: Majelis yang harus mendengarkan dia. Suaranya semakin gencar. “Tak ada yang lebih sia-sia daripada kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit dan oleh ular di darat? Burung segan hinggap dan ular pun segan melatai untuk tempat bercengkerama pun kerajaan itu tidak aman. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya menghasilkan ikan kecil? Tapi raja besar dan kuat menguasai tanah untuk merebut laut. Bila tanah telah dikuasainya, musuh takkan menikam dari belakang, apalagi dari depan. Demak bukan Malaka, bukan Pasai. Pada suatu kali Juana akan jadi ibukota, menentang dan menentang setiap kapal Peranggi. Kawulanya akan masyhur di manamana. Bikin semua orang tahu, siapa Sultan Trenggono: darat akan dikuasai, laut akan dirajai, karena… Gusti Ratu Aisah tidak sia-sia melahirkannya….” Ucapan yang lantang itu didengarkan oleh para pengiring dalam suatu perburuan harimau di pedalaman Demak. Pengepungan itu semakin rapat. Ratusan kawula bersorak-sorak menggiring dengan bambu runcing, mengeluarkan dari rumpun bambu. Seekor harimau betina yang sedang membawa anaknya mengamuk di tengah-tengah kepungan ratusan orang bertombak bambu runcing. Trenggono berdiri pada sanggurdi dan berkokok: “Saksikan bagaimana macan Peranggi akan terguling di bawah tombak Trenggono, Sultan Demak”. Ia lemparkan tombaknya, melayang indah ke jurusan jantung perburuan. Tetapi binatang itu tak meneruskan jalannya dan mata tombak itu menancap pada leher. Sang harimau menjondil, mengaum dalam kegeraman. Tak peduli pada beratus tombak yang mengepungnya ia melompat dan menerkam, dan menggigit, dan menyobek dan menggaruk. Beberapa orang mengepung rebah bermandi darah dan kepungan rantas. Binatang itu menyerang kembali dari belakang untuk menyelamatkan anaknya. Didapatinya anaknya telah tewas tertembusi tombak: la angkat anaknya dengan gigitan pada tengkuk, sekali lagi menyerang kepungan dan hilang ke dalam hutan bambu dengan tombak-tombak pada badannya sendiri dan anaknya yang telah mati. “Bagaimana pun ia akan mati oleh tombak Trenggono Demak. Serahkan binatang itu pada kami.” Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan kudanya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke ibukota. Dan orang menganggap kejadian itu sebagai perlambang kekuasaan Trenggono yang akan datang, dan nasib Demak yang takkan dapat diingkari: kandas di tengah jalan, takkan menyelesaikan garapan. Setelah perburuan itu agak lama Sultan tak bicara. Dan karena Ratu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan sudah membisu untuk selama-lamanya, orang menganggap pertikaian sudah selesai. Ternyata tidak demikian. Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar telah menyebabkan Trenggono bicara lagi. Sembah pembesar itu: “Sudahkah Gusti Kanjeng Sultan pertimbangkan nasib Sunan Rajeg yang ditumpas hanya oleh seorang anak desa bernama Wiranggaleng?” Sejenak Trenggono termangu-mangu untuk menjawab. Ia tarik-tarik dagunya, kemudian menjawab lantang: “Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditumpas oleh Gajah Mada di jaman jahiliah dulu? Ingat-ingat kesalahan Kiai Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk kejayaannya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja dan mati untuk dia. Ajaran dipergunakannya sebagai modal, dan ia hanya memungut bunga dari modal yang diberikan oleh Allah kepadanya. Tuban mengutuknya. Ilmu dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang menyambarnya, hanya seekor oret mematahkan batangnya. Walhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang dalam segala hal, kecuali cebok dan berak tergantung pada jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, karena Sultan Trenggono tidak akan pernah demikian”. Ratu Aisah tetap membisu. Wanita tua itu mempunyai kesibukan sendiri. Setelah wafatnya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke Mantingan dari Jepara. Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semarang, bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukangtukang Pribumi oleh Unus diperintahkan belajar bagaimana membikin batu dan membangun rumah dari batu. Maka mesjid itu akan jadi bangunan batu yang ke tiga di seluruh Jepara. Dan ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu berlantai rendah di Welahan. Pada mulanya masyarakat Tionghoa akan mempersembahkannya pada Sultan Unus untuk dijadikan pesanggrahan. Dengan wafatnya mereka membatalkan niat itu. Mesjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga undakundakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap termasuk hubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa dan penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua. Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun Mantingan tak lain daripada Babah Liem Mo Han. Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah dengan Liem Mo Han, di dalam mesjid yang hampir selesai itu, terjadi suatu percakapan yang kembali membangunkan pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak. “Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum Unus. Sayang Allah belum mengijinkan, cedera badan menghalangi rencananya. Siapa lagi sekarang penantang Peranggi? Babah mengenal sendiri putraku almarhum. Sendiri naik ke Malaka dan memimpin pertempuran. Dia gagal, tapi pendengarnya tidak pernah gagal, tapi pandangannya tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. Barangsiapa raja tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. Barangsiapa raja tidak berpandangan seperti dia, dia sudah kalah sebelum menghadapi Peranggi itu sendiri. Peranggi bisa dihalau dan dikalahkan, kata putraku almarhum, dengan persekutuan semua raja di Jawa, Sumatra, Melayu, Sulawesi dan Kalimantan dan Nusa Tenggara dan Maluku sendiri, dan Tionghoa. Tindakan yang sebaliknya akan berakibat panen yang sebaliknya”. Liem Mo Han tidak menyela, hanya mendengarkan dengan menunduk. Dan ia tahu tak boleh mencampuri pikiran Gusti Ratu. Lagi pula ia menganggap wanita tua itu sedang melepaskan pikirannya sendiri tak menghendaki tanggapan. Kata-katanya sampai juga ke Demak. Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu dan anak. Dan berita itu sampai juga ke Pasai dan Malaka. Portugis menarik kesimpulan: Trenggono terang bukan Unus. Armada Unus dalam persiapan mereka anggap memang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. Dan Portugis memutuskan untuk memadamkan pengaruh Ratu Aisah. Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki. 0o-dw-o0 Pagi itu matari belum lagi setinggi pohon pisang. Bangku kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang tua menutas surat bertulisan Arab dan berbahasa Jawa. Di bawahnya duduk seorang perempuan Melayu. Dengan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata dalam Melayu: “Bagaimanakah, perempuan Melayu, istri seorang Peranggi Malaka, Sibarani itu seberangi laut jauh, datang pada kami, hanya untuk menyampaikan surat Peranggi yang sehina ini isinya? Tidak, perempuan Melayu, tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali. Sampaikan pada Peranggimu, entah di Malaka, entahlah di Pasai, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami dengan Gusti Kanjeng Sultan dapat menguasai seluruh Jawa. Gusti Kanjeng Sultan tak membutuhkan meriam Peranggi. Bahkan sekiranya Aisah ini pula, kami sendiri akan datang menggambar Malaka”. Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah perempuan Melayu itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadapan itu pecah sejadi-jadinya ke seluruh dan semua bandar di Nusantara. Di Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan melawan Trenggono. Walau demikian mereka tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan antara Unus dan Trenggono terlalu besar. Dan berapa bedanya dua orang dari satu orang tua dan satu pendidikan itu. Sekiranya Unus masih hidup dan berseru para bupati untuk melakukan serangan gabungan ke Malaka, mereka akan bergabung tanpa ragu-ragu. Tetapi Trenggono mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan yang takkan menyatu akibatnya. O0dwoO Walaupun utusannya pada Ratu Aisah tak membuahkan sesuatu hasil, Portugis di Malaka untuk sementara waktu berpegangan pada kata-kata wanita tua itu tak ada pertikaian mendalam antara Trenggono dengan ibunya; wanita itu bukan telah berani bicara atas nama Sultan menolak tawaran meriam. Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya, pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap Peranggi. Pada dasarnya ia sama dengan abangnya: Malakalah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan. Maka diputuskanlah: belum masanya untuk melaksanakan pembukaan “kantor dagang” di Jawa, di Sunda Kelapa pun belum walau tempatnya jauh dari Demak. Pengaruh Unus masih tetap kuat. Rencana Sunda Kelapa harus ditangguhkan. Kedatangan wanita Melayu mengadap Ratu Aisah dan berita tentang penolakan tawaran meriam itu benar-benar mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah, menyelamatkan namanya dari kecaman umum. Tetapi ia pun menjadi murka karena perempuan itu berani begitu lancang bicara atas namanya. Para pembesar telah mencoba-coba mengetahui tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. Dan ia merasa harus mengendalikan diri. Bagaimanapun suara itu berasal dari seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri adalah seorang anak. Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak, akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia harus belajar mengambil manfaat dan setiap hal yang menguntungkan. Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam iringan pasukan kuda. Sultan Trenggono berangkat ke Jepara untuk bersujud pada Gusti Ratu Aisah. Orang harus mengerti, tak ada apa-apa antara ibu dan anak, tak ada pertikaian, tak ada perselisihan, hanya ada kedamaian dan perdamaian. Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan kemewahan. Mereka semua bersenjata tombak tunggal dengan umbai-umbai berwarna-warni pada persambungan antara paksi dengan tangkai. Dada mereka yang tertutup baju kutang putih. Dan pedang pendek menghiasi setiap pinggang. Juga kepala kuda dihiasi dengan warna-warni bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan perunggu. Umbul-umbul kecil berkibar-kibar di tengahtengah, di depan Sultan. Tak pernah Demak, apalagi Jepara, menyaksikan pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. Dan mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan. Di Jepara sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling kota – suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah sebelumnya dalam sejarah Jepara. Sebagian kecil pasukan mengiringkan Sultan untuk mendapat Gusti Ratu Aisah. Trenggono disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu seakan sedang mengepungnya. Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. Di lantai duduk para inang, sedang Trenggono duduk di atas kursi di hadapannya – lebih tinggi, karena dialah Sultan. Ratu Aisah mengenakan kain batik, kemben wulung dan selendang batik. Pada kepalanya seperti biasa, menghias kerudung batik pula. Sultan mengenakan jubah sutra kuning dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai mas dengan intan bertaburan pada jumbai balik di atas kening – juga bernama kuning. Ratu Aisah bertelanjang kaki. Sultan mengenakan terompah kulit. Pertemuan ini adalah suatu kejadian yang akan menentukan nasib Jawa dan Nusantara di waktu dekat mendatang dan jauh di kemudian hari – pertemuan antara ibu dan anak, perbenturan antara dua pandangan dan pendapat. Ratu Aisah memutar-mutarkan tangkai bunga kuning dengan jari-jari tuanya. Bunga itu bermain-main di atas pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta Dengan senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan suara lemah ia berkata: “Sembah dan sujud putranda Baginda Sultan adalah laksana siraman air sejuk di hati bunda dalam terik berapa tahun. Alhamdulillah Baginda Sultan tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum Baginda Sultan adalah putra Sultan dan Khalifah, sedang si tua-renta ini hanya anak seorang guru agama di pesisir.” “Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu telah ibunda pilih agar tak terulang lagi yang telah ibunda Ratu ucapkan pada kakanda Unus almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada almarhum harus mengurangi kasih pada sahaya?” “Jangan menjadikan kecil hati Baginda Sultan. Seorang ibu mengasihi semua putranya”, jawab Ratu Aisah, dan tangannya masih terus juga memutar-mutar tangkai bunga itu. “Ada terasa di hati besarnya kasih tiada sama, ibunda Ratu.” “Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang lebih memesrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih dimesrai, kadang seorang putra lebih dimesrai karena apa yang telah dipersembahkannya pada ibunya.” “Berilah sahaya waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu, untuk mendapatkan kemesraan yang merestui itu,” kata Trenggono dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di luar. “Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono dan Demak”. “Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahanda almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda Sultan Unus almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan”. “Baru di tangan Trenggono mendapatkan bentuknya”. “Syukurlah. Allah telah mengabulkan”. “Ibunda Ratu, Kakanda Unus almarhum telah mempersembahkan pertempuran Malaka ke bawah kaki Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padamu. Insya Allah. Kalau tangan seorang raja Demak mulai menggenggam tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.” “Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah lempung pegunungan, Putranda Baginda Sultan. Putranda Sultan tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, tapi di atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda dilahirkan di pesisir Gresik maka tahu tentang pasir.” Trenggono tak mengindahkan dan meneruskan: “Tak sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun Peranggi takkan memperolehnya.” “Pasir telah tergenggam di tangan Peranggi di sebelah utara sana.” “Yang di utara takkan berarti tanpa selatan.” “Mungkinkah Putranda Baginda Sultan? Mungkinkah tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah kehidupan tak ada di dalamnya?” “Tangan Trenggono bukan tangan bangkai!” Trenggono memotong gusar. “… karena nadi darah kehidupan mengalir adalah selat Semenanjung di utara sana?” “Sultan Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah kehidupan ada di selat, karena Demaklah jantung kehidupan”. “Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan? Dan dapatkah jari-jari menggenggam mengepal tanpa darah?” “Karena tanah dapat digenggam, dan air tidak”. “Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya, darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada darat?” Sekali lagi Trenggono tak mengindahkan. Ia kepalkan tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya. “Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju”. “Putranda Baginda Sultan, bayi lahir dengan mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. Dia takkan mengepal lagi. Tapi bayi itu tidak mengepal tanah. Dia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepalan itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamnya?” “Ampun, Ibunda. Dijauhkan putranda ini hendaknya dari menghadapkan pada Ibundanya sendiri. Tapi tinju ini memang dihadapkan, insya Allah, dikodratkan, insya Allah, ditakdirkan, insya Allah, untuk mengepal pulau Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu jua sahaya pohon.” “Dengarkan kata-kata seorang ibu, biarpun putranya telah raja,” kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir Sultan akan segera pergi karena marah, “tak ada indahnya sebuah kepalan, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang jeli lebih indah, putranda Baginda Sultan, karena tiada mata, jangankan satu, satu laksa tinju pun takkan dapat merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi meninju. Dia hanya akan gerayangan.” Orang melihat Trenggono menjadi gugup. Sudah beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga belum menemukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo. Dan Ratu Aisah tetap memutar-mutar tangkai bunga. “Ibunda Ratu”, terdengar Trenggono bicara dengan nada rendah, “biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya, dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaikbaiknya, pula.” Trenggono berpaling ke belakang pada para pembesarnya. Seorang pun tak membantunya bicara. Dan Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya. “Ibunda Ratu,” katanya lagi. “Jari-jari putranda akan mencengkam ke arah matari terbit dan ke arah matari tenggelam, agar surya tetap memancar di atas kepala, di atas bumi Demak. Kakanda Unus almarhum… Peranggi tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah digenggamnya.” “Dan pada waktu itu Kakandamu Unus almarhum pulang membawa kekalahan. Peranggi belum lagi sekuat sekarang. Maka dibangunkannya armada perkasa, dan kekalahan dan cedera dibawanya pulang ke Jepara. Sekarang Peranggi lebih kuat,” kata Ratu Aisah tanpa bahasa kias lagi, “selat mutlak di tangan dia, menutup hari depan Jawa dan Nusantara. Kecuali bagi dia yang berani, tabah, dan bermata jeli, dapat jadi penantangnya. Jawa dan Nusantara tanpa selat, apalah artinya? Mata jeli pun tidak berguna bila tinju memukul saudara-saudaranya sendiri bukan musuhnya”. “Ibunda Ratu….” “Dengarkan Kakandamu almarhum: ‘Barangsiapa berpendapat menguasai Jawa lebih penting daripada menghancurkan Peranggi dia akan dikutuk oleh anak-cucu, karena sudah tahu sebelumnya, pendapatnya itu telah menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman Peranggi sudah sejak dalam kandungan ibunya.” “Peranggi akan dihadapi di darat.” “Hampir setiap bocah mengatakan begitu”. “Maka darat harus dikuasai”, sekali lagi Trenggono menengok ke belakang. “Kalian! Persembahkan sampai di mana kesanggupan kalian”. “Kepala dan hati patik sekalian sudah patik pertaruhkan untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli Kanjeng Gusti Sultan”, seseorang mempersembahkan. “Begitu Unus wafat”. Ratu Aisah meneruskan tanpa mempedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda Demak. “Pasai segera direbutnya. Sekarang Peranggi sudah mencoba-coba di Sunda Kelapa dan Blambangan. Apa bakal terjadi lusa?” “Lusa Sunda Kelapa dalam genggaman Trenggono, Ibunda Ratu. Jangan kuatir. Sultan Demak menjanjikan: Peranggi takkan mengusik pulau Jawa selama dia masih hidup”. Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati Trenggono menyerahkan tangannya untuk dicium. Suasana hening tanpa perbenturan itu, menampilkan mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak bayinya. Wanita tua itu memegangi kedua belah pipi Sultan dan menatap wajah Sultan dengan mata sayu, dan mata itu berkaca-kaca. Trenggono tak berani menentang mata itu dan menunduk. Rasa-rasanya pertikaian telah punah, tak ada lagi jarak antara ibu dan anak. Percakapan terbuka dan terdengar setiap orang yang hadir kini berubah jadi bisikan, dimulai oleh Ratu Aisah: “Putranda Baginda Sultan, waspadalah terhadap racun. Biar setitik raksasa pun bisa binasa, jari tak dapat bergerak lagi apa pula tangan. Dan setiap pikiran yang keliru adalah racun, bisa membunuh setiap raja. Barang siapa tak waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan racun itu selamanya bersumber pada pikiran sendiri.” Trenggono melepas kedua belah tangan ibunya dari mukanya Mukanya masih tetap menunduk. “Ibunda Ratu,” bisiknya kembali, “mata yang jeli dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam? Mata yang jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang jernih.” ‘Tak taulah aku kapan Allah akan memanggil diri. Rasarasanya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang, Trenggono, anakku, hapuskan darah abangmu yang kau kucurkan di bumi Allah ini. Tanpa ampun-Nya takkan ada sesuatu dari pekerjaanmu mendapat berkah. Persembahkan suatu kebahagiaan semua orang dan para almarhum dan pada Tuhanmu sendiri: satu perang pengusiran atas Peranggi dari Malaka, Pasai dan Nusantara. Armada raksasa Unus janganlah dibiarkan tenggelam sebelum menempuh perang. Masuki semenanjung, jangan kecewakan setiap dan semua orang.” Waktu Aisah menolakkan bahu Sultan supaya pergi, orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca. Bunga di tangannya jatuh di lantai tanpa disadarinya. 0odwo0 28. Tuban dalam Suasana Baru Seluruh Tuban kembali dalam ketenangan dan kedamaian – kota dan pedalaman. Sang Patih Tuban mendiang telah digantikan oleh Kala Cuwil, pemimpin pasukan gajah. Nama barunya: Wirabumi. Panggilannya yang lengkap: Gusti Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan sebagai patih ia masih tetap memimpin pasukan gajah, maka Kala Cuwil tak juga terhapus dalam sebutan. Pasar kota dan pasar bandar ramai kembali seperti sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan Atas Angin, pulih kembali. Sang Adipati telah menjatuhkan titah: kapal-kapal Tuban mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di Malaka ataupun Pasai. Tapi penghasilan bandar tetap saja tak dapat lagi menutup kemerosotan besar. Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala Cuwil. Sang Adipati sendiri telah kehilangan perhatiannya terhadap segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa bandar atau berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten. Bercengkerama di taman kesayangan di tentang kandang gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya. Dan di kadipaten sendiri Idayu tak pernah muncul lagi dari tariannya. Sejak padamnya pemberontakan Rangga Iskak Sang Adipati tak pernah sehat, telah kehilangan semua kegesitan dan kesegarannya. Ia nampak sudah sangat tua. Semangat dan dayanya hilang. Jalannya telah tertatih-tatih dan sudah tidak bisa tegak lagi. Rangga Iskak telah nyata tewas, kekuatannya telah tumpas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang merusuhi pikirannya. Tapi tidak, pikiran lain selalu datang mengganggunya: penyesalan karena saudara sepupunya yang muda itu Patih Tuban yang terbunuh secara tidak layak tanpa perlawanan oleh seorang anak desa bernama Wiranggaleng. Juga penyesalannya telah membohongi Adipati Unus mendiang tak pernah dapat dibohonginya dengan alasan, bahwa Unus ini juga yang telah merampas Jepara dari tangannya. Penyesalan lain yang juga merusuhi pikirannya: ia tak dapat mengambil sesuatu tindakan sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap Wiranggaleng. Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan nama Idayu. Semestinya dia segera ditumpas setelah adanya persembahan tentang “persekongkolannya” dengan Rama Cluring mendiang. Dan cemburunya masih juga dapat dirasainya karena anak itu ternyata dihormati, dicintai dan didengarkan oleh kawula Tuban. Malah pemimpin-pemimpin pasukan seperti orang kehilangan akal mendengarkan dan mematuhinya. Anak desa yang lancang itu…. Sebagai seorang penguasa mutlak tanpa seorang pun dapat menghalangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih Senapati Tuban itu. Masih sering terbayang-bayang dalam ingatannya peristiwa yang satu itu. Waktu itu hari penghadapan pertama setelah padamnya kerusuhan Rangga Iskak. Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mulai terancam bahaya kelaparan. Balatentara Tuban telah ditarik kembali ke Tuban Kota oleh Wiranggaleng. Namun pendopo itu tetap tiada berpenghadap. Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah. Pasukan pengawal mulai menduduki tempat-tempatnya yang semula. Gapura kadipaten telah berdiri kembali dan rupa-rupanya telah ditukangi orang pada malam hari. Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan kadipaten. Dan: Punggawa-punggawa praja, para pembesar dan kepala-kepala pasukan, juga Wiranggaleng, datang bersimpuh menghadap. Seorang punggawa telah datang menghadap padanya, mempersembahkan datangnya para penghadap. Jantung tuanya berdebar-debar. Pada punggawa itu bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga. Dan punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai kekuatan baru bergolak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar rumput pun di dalam praja kadipaten Tuban, yang bisa menghalangi keturunannya sendiri untuk menggantikan dirinya sebagai adipati. Ia perintahkan jururias melakukan pekerjaannya, dan kembalilah ia jadi Sang Adipati yang dulu juga, hanya telah berubah jadi kakek dengan rambut seluruhnya telah putih dan jalan tak tegak lagi. Seseorang harus membantunya naik ke atas singgasana gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi itu. Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan tergantung. Begitu duduk di atas singgasana, ia tak menanyai patihnya, karena dia sudah tiada. Juga ia tidak menanyai seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja. pada siapa saja, pada semua. “Bagaimana kerusakan yang diderita oleh kawula kami di pedalaman?” Dan semua penghadap melihat pada Wiranggaleng, Sang Patih Senapati Tuban. Dengan hati berat Wiranggaleng, Patih Senapati tanpa pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah sebesar yang diharapkan oleh Sunan Rajeg, kemudian meneruskan dengan sangat hati-hati: “Sunan Rajeg telah kedapatan tewas dalam gua Gowong beserta pengikutpengikutnya terakhir. Gusti Adipati Tuban sembahan patik.” “Siapa mempersembahkan itu?” “Patik, Gusti, Syahbandar-muda, kepala pasukan laut, si Wiranggaleng”. “Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama yang mempersembahkan?” “Telah hamba bunuh Patih Tuban karena keraguraguannya.” “Maka itu kau anggap dirimu Patih Tuban?” “Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” Kala Cuwil menengahi. “Adapun Sang Patih Senapati Tuban Wiranggaleng telah tumpas kerusuhan besar itu, Gusti. Ampunilah dia karena tiada tahunya tentang adat praja maka telah menyebutkan nama kotor si perusuh itu di hadapan duli Gusti Adipati. Ampun, Gusti, memang besar keragu-raguanlah yang telah menewaskan Gusti Patih almarhum. Dan itulah sesungguhnya bea untuk kemenangan Tuban. Maka itu sudah sepatutnya Sang Patih Senapati Tuban Wiranggaleng dikukuhkan oleh Gusti Adipati akan jabatannya itu”. “Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, tidak lain dari Senapati Wiranggaleng yang merajang-rajang balatentara perusuh yang terlampau kuat itu sampai berkeping-keping, Gusti, tak berdaya dan binasa, musnah”. Banteng Wareng menambahkan. “Adakah kalian mengira. Adipati Tuban bersinggasana pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si pelancang”, suaranya lambat dan pelahan. gemetar namun tegap. Suasana penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi tegang. Seorang yang telah memimpin mereka ke arah kemenangan sedang menghadapi keruntuhan di hadapan penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang masih juga duduk menekur tak tahu apa harus diperbuatnya. “Siapakah orangnya yang menempatkan dia di tempat terhormat itu?” Wiranggaleng menyembah, kemudian beringsut-ingsut duduk dengan para kepala pasukan. Dan semua menjadi gelisah memperhatikan Sang Senapati tanptt pengangkatan itu duduk menunduk di samping rangkum. “Siapakah orangnya yang mendapatkan dia pada barisan kepala pasukan?” Sang Adipati menetak lagi dengan suara lambat, perlahan gemetar namun tegap dan dingin. “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik”, kata Kala Cuwill “adapun Wiranggaleng telah menempati tempatnya sendiri sebagai kepala pasukan laut”. “Adakah patut seorang pelancang mendapat kehormatan semacam itu?” Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan beringsut ke barisan di belakangnya lagi, barisan pembesar praja. Tak ada di antara kepala pasukan berani bersembah. Suasana yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu lama dan tak bakal habis. Tiba-tiba terdengar seseorang bicara dalam Melayu, dan semua mata terarah kepadanya. “Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya Gusti Adipati Tuban yang bijaksana. Yang berdosa tidak mungkin berjasa, yang berjasa tidak mungkin berdosa, kata pantun nasihat”. “Kau benar, Tuan Syahbandar Tuban”. Dan Wiranggaleng mengangkat sembah lagi, beringsut ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di pelataran. “Majulah kau. Kala Cuwil, di hadapan kami, karena kaulah Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan perhatikan semua titah kami lakukan semua urusan Tuban dan prajanya. Jangan sampai ada pelancang mendapat kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. Dengan kau tiada kan ada ancaman terhadap Tuban”. Kala Cuwil beringsut maju sambil menyembah. “Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di alun-alun sebagai hukuman bagi si pembangkang. Beruntunglah dia karena keluarganya tiada ikut tertumpas. Dan apakah hukuman yang patut bagi si pelancang?” Sang Adipati menunggu sokongan dari semua penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandang ke seluruh penghadapan. Dan ia lihat setiap kepala menunduk. Tak ada sembah terangkat, la tahu tak mendapatkan sokongan. Kemudian ia berpaling pada Kala Cuwil Sang Wirabumi dan minta pendapatnya. “Ampun, Gusti, tak ada pelancang di antara kawula Sang Adipati sembah Kala Cuwil. ”Tiadakah kau sendiri dengar titah kami: apa hukuman yang patut bagi pelancang? Dengarkan semua: bagaimana pembangkang harus jalani hukumannya?” “Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Sang Patih Tuban almarhum”, Kala Cuwil bersembah dengan gugup, “telah menjalani hukumannya sebagai pembangkang, tewas di ujung keris. Patik sebagai Patih Tuban Sang Wirabumi tidak akan sanggup melaksanakan dan menjatuhkan hukuman yang dititahkan terhadap senapatinya, kecuali bila Senapati menentukah sendiri hukumannya dengan sukarela”. “Apa hukuman yang patut untuknya?” Kala Cuwil berpaling ke belakang dan berseru: “Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi bertanya padamu. Senapatiku, Wiranggaleng, apakah hukuman yang patut untukmu?” Dari tempatnya di pelataran pendopo Wiranggaleng menjawab dengan suara lantang: “Tidak ada yang patut. Hanya, bila Wiranggaleng ini akan dihukum juga”, serunya, “perkenankan dia menanam mayat Sang Patih almarhum dengan sebaik-baiknya dulu”. “Usir dia dari Tuban!” bisik Sang Adipati gemetar. “Direjam sampai mati, Gusti Adipati yang bijaksana”, Tholib Sungkar Az-Zubaid bersembah, “seorang pelancang adalah juga pengkhianat”. Sang Adipati melambaikan tangan pada Kala Cuwil Sang Wirabumi, dan memerintahkan padanya untuk menolong turun dari singgasana. Dan orang pun terheranheran melihat Syahbandar Tuban meninggalkan tempatnya dan ikut masuk ke dalam kadipaten. Kala Cuwil kembali ke pendopo, menghadapi pada penghadap dan memerintahkan mereka bubar. Mereka membubarkan diri dan mengerumuni Wiranggaleng. Semua menawarkan tenaga untuk membantu merawat sisa-sisa jenasah Sang Patih Tuban. Ia menolak. “Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih mengetahui betapa aku menghormatinya sampai ke dasar hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku akan kembali”. “Kami akan antarkan”. “Apakah yang dapat kami sumbangkan?” “Senapatiku! Senapatiku!” “Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik dengan abah-abahnya yang baik pula”. 0o-dw-o0 Setelah melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah dengan saksi para pembesar praja, para kepala pasukan dan semua yang mencintainya, ia dekati Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi, yang sedang memegangi kendali kuda. “Sepeninggalku, Kala Cuwil”, ia berpesan pada sahabatnya “awaslah pada Demak. Guruku, Rama Cluring, sudah lebih dahulu memperingatkan”. “Panglimaku!” Kala Cuwil tak mampu meneruskan. Wiranggaleng melompat ke atas kudanya. “Senapatiku, mari kami antar”. “Jangan”. “Senapatiku tak membawa sesuatu pun, pedang tidak, tombakpun tidak.” Orang mengulurkan cambuk perang. Ia tak menerimanya. “Anak desa pulang ke desa. Dia tak memerlukan senjata”. Kala Cuwil merangkul kaki Senapati, dan berbisik: “Tak mungkin Tuban tanpa Senapatiku”. Wiranggaleng mencambuk kudanya dan hilang di balik debu jalanan di kejauhan. 0o-dw-o0 Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang Adipati. Betapa ingin ia menumpas sama sekali orang itu – seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang ningrat keturunan maha Majapahit. Dia berani mengangkat diri jadi Sang Patih Senapati Tuban. Bila dibiarikan semua aturan akan rusak binasa. Dan pengusiran adalah hukuman terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala pasukan berontak terhadap dirinya. Beban lain yang memberati hati Sang Adipati adalah hilangnya pafit putra yang mengabdi pada Demak. Menengok ke Tuban mereka tiadak lagi, apalagi menghadap. Beritanya pun tiada pernah sampai lagi. Dan ia sendiri sudah merasa tua. Siapakah Adipati Tuban setelah dirinya? Siapakah dia, yang berhak mendapatkan gelar Adipati? Ia tak mampu bayangkan. Kemenakankemenakannya ditimbangnya terlalu lemah, bukan pribadi yang bakal mampu jadi penguasa Tuban yang berat dipikul berat pula dijinjing. Dan ia tak rela Tuban jatuh ke tangan salah seorang dari kepala-kepala pasukan yang semua bukan berdarah ningrat. Apalagi Wiranggaleng, si lancang. Dan justru yang akhir ini orang yang paling akhir dapat menggenggam Tuban. Tidak, ia tak rela. Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem. Atau ia rebahkan diri di peraduan dan memanggil Tholib Sungkar Az-Zubaid untuk mendongengkan kisah seribu satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah, yang langsung dilisankannya ke dalam Melayu. Atau ia minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas Angin. Dan Syahbandar Tuban seorang yang pandai bercerita. Gerak tangannya yang mempesonakan dan turun naik bongkoknya memberi hidup pada ceritanya. Pada bagianbagian tegang ia melambai-lambaikan tangan dan bertepuktepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi hidup atas ceritanya. Dan bila cerita itu sampai pada bagian asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan, dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia melolong meratapi. Ia sendiri memang suka bercerita, dan mungkin terlalu lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya, Zanggi dan bukan Zanggi. Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya, Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan Arab dan tentang Al Tarik yang menyerbu dengan kudanya, dengan kudanya pula memasuki rumah-rumah dan istana. Dan ia bercerita tentang pembangunan mesjid dan istanaistana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatnya dalam hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis Zanggi perbegu yang menari seperti kesetanan, dan tentang peramal-peramal Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan Muawiyah di Iberia. Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada Peranggi dan Ispanya. Dan ia tetap tak pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Apabila ia minta diri, ia tiada mendapat sesuatu jawaban dari Sang Adipati, karena pendengar-tunggalnya telah berkeruh dalam tidurnya. Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya Sang Adipati merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan menanyakan apa yang dideritanya. “Ah, Tuan Sayid”, jawabnya, “sekiranya diri masih muda… dengan kekuatan utuh dan badan penuh….” “Gusti Adipati masih muda, belum tua”. “Membawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan Sayid. Betapa indahnya hidup muda….” Dan dengan demikian Syahbandar Tuban jadi penghadap tetap dalam kadipaten. Orang menduga, orang Moro itu akan mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang Adipati. Ternyata dugaan itu keliru. Penguasa Tuban itu tetap membatasi wewenang Tholib Sungkar Az-Zubaid. Apalagi setelah Kala Cuwil Wirabumi tampil menjadi patih. Dari sehari ke sehari, dari tahun ke tahun keadaan Sang Adipati tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia tak pernah melalaikan ramuan-ramuan yang dipersembahkan kepadanya. Dan Tholib Sungkar Az- Zubaid terus juga menghadap untuk bercerita. Dan setelah cerita yang diketahuinya habis, mulailah ia mendongeng tentang khayal yang tumbuh sendiri dalam kepalanya. Dan waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah mengalirlah segala kebohongannya. Syahbandar itu sudah tak tahu lagi mana yang benar. Sang Adipati yang membutuhkan ceritanya atau dirinya sendiri yang ta. Ia membutuhkan waktu sampai Portugis celaka yang tak juga muncul dengan armadanya datang ke Tuban, dan barulah ia merasa aman. Di pembaringan juga Sang Adipati menerima utusan atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau tidak disertai oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar saja dihadirinya sebagai syarat, kemudian Sang Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi dititahkan meneruskan segala urusan. Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari menunggu datangnya Sang Maut, dan ia akan menyambutnya dengan senang hati dan perasaan terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari Jepara. Orang itu adalah Aji Usup yang dahulu pernah diterimanya di taman kesayangan di tentang kandang gajah pribadi. “Gusti Adipati Tuban yang mulia”, ia bersembah. “Demak dan Jepara ikut berprihatin dengan gering Gusti. Itulah sebabnya patik datang: menghadap, menyampaikan salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan karunia Allah dari Gusti Ratu Aisah, serta dibenarkan oleh Gusti Kanjeng sultan Trenggono”. Sang Adipati melambaikan tangan menitahkan semua orang keluar dari bilik peraduan kecuali Sang Duta. Juga Kala Cuwil pergi setelah mengangkat sembah. Aji Usup mempersembahkan beribu terimakasih dan syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan untuk menghadap tanpa disertai oleh siapa pun. “Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di dalam hati. Dekat dekatlah sini, agar kami dapat mendengarkan Tuan dengan terang” Aji Usup mendekat sambil membawa tempolong ludah, mempersembahkan dan Sang Adipati membuang ludah sirih ke dalamnya kemudian berbaring lagi. “Dalam keadaan Gusti gering begini, patik merasa tidak patut menyampaikan sesuatu yang penting, Gusti”. “Gering begini kami tetap masih Adipati Tuban, Tuan Duta. Kesempitan kesempitan dari hati Tuan”. “Ampun, Gusti Adipati, sebagai duta, patik ingin mendapat amanat dari Gusti, adalah kiranya Gusti Adipati Tuban berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada suatu persekutuan membentuk armada gabungan untuk menggempur Malaka, menghalau Peranggi?” Mendengar itu Adipati Tuban mencoba duduk di pembaringan dan Aji Usup membantunya. “Ulangi lagi persembahan Tuan Duta”. Dan Aji Usup mengulangi kata-katanya: Sang Adipati kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan, mengangguk-angguk dan pada mata tuanya yang memburam itu memancar sinar hidup. Aji Usup buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan bantal kaki di atasnya. Nampaknya Sang Adipati sangat berkenan melihat pada kebaikan duta itu. Lama Adipati Tuban tidak menjawab. Ia kerahkan pikiran tuanya untuk kembali bekerja mengurus praja. Dengan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugusan Tuban ke Malaka untuk menenggang laksamana Adipati Unus dan sekaligus untuk membalaskan dendamnya dengan kebohongan melanggar janji. Kemudian ia menyesal untuk selama-lamanya. Sesal kemudian memang tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan persekutuan membentuk armada gabungan lagi. Ia menawarkan jalan untuk dapat membebaskan dari sesalan di haritua. Hari-harinya telah dapat dihitung, dan kesempatan ini mungkin takkan datang lagi sampai matinya. Dan ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan. Kini ia akan mendapat kesempatan bagaimana sesalannya bisa tertebus, boleh jadi ia sempat pula menyaksikan gugusan Tuban pulang ke pangkalan dengan kemenangan. Dan namanya takkan jatuh di mata kawula Tuban. Dengan cepat ia dapat temukan cara memberangkatkan gugusan itu sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya ataupun Peranggi. Ia mengakui masih mengimpikan datangnya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak akan menomer-satukan lagi. Ia mulai menomor-duakannya. Ispanya dan Peranggi toh tak juga datang membawa persahabatan. “Ketahuilah, Tuan Duta Aji Usup yang terhormat”, katanya lunak, “telah lama kami pikirkan kemungkinan itu”. Dan Aji Usup segera mempersembahkan terimakasihnya. ‘Tuban, Tuan Duta, sudah lama bersedia untuk menggunakan kesempatan itu”. “Ya, Gusti Adipati Tuban yang mulia, kesertaan gugusan Tuban insya Allah akan menjamin kemenangan, Gusti, semoga Allah s.w.t. merah-mati Gusti dengan kesehatan, kenikmatan dan panjang usia”. “Hanya kami tak mampu menyediakan kapal”. Aji Usup menyembunyikan kekecewaannya. Tapi Sang Adipati dapat menangkap perubahan pada airmukanya. “Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan Duta yang terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar keterlambatan. Dapatkah Tuan memahami kelemahan kami?” “Besarlah sudah kemurahan Gusti Adipati Tuban. Berapakah kiranya besarnya pasukan yang Gusti relakan untuk armada gabtungan itu, Gusti?” “Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan Duta, tepat seperti dahulu. Hanya kami memang merasa malu menggunakan kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua, jauh tertinggal dari kapal-kapal bikinan Jepara”. Dan Aji Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaimana harus mendapatkan kapal untuk mengangkut lima ratus orang dengan persenjataan dan perbekalan. Ia termangu-mangu. “Kapal perang Tuban cukup baik, Gusti Adipati, sebagaimana pernah patik saksikan, malahan patik pernah membawa sendiri guguasan dari Banten sampai di atas Tumasik”, “Tidak, Tuan Duta, kami sudah cukup mendapat malu dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi bikin. Keadaan laut tidak begitu memberanikan kami membikin yang baru. Janganlah berkecil hati karena prajurit laut Tuban adalah sesungguh-sungguh prajurit”. “Besarlah kemurahan Gusti Adipati. Tuban akan melimpahi Gusti dengan berkah, yang insya Allah tiada kan putus-putusnya. Ampun Gusti, apabila Gusti berkenan bolehkah patik mengetahui siapa gerangan calon Panglima gugusan Tuban?” “Tentu, dengan panglimanya sekali, panglima tanpa tandingan tuan Duta – Wi-rang-ga-leng, Senapati Tuban”. Aji Usup mengangkat sembah tiga kali untuk menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keraguraguannya. Wiranggaleng jadi lebih berharga daripada lima buah kapal perang Tuban. “Dia pun kepala pasukan laut Tuban, Tuan Duta”. Hampir-hampir duta itu tak dengar kata-kata Sang Adipati yang terakhir. Ia sedang mengenangkan mendapat Liem Mo Han – Wiranggaleng, itulah pimpinan perang tanpa tandingan untuk melaksanakan rencana Persekutuan. Ia pernah menyatakan lebih suka mendapat orang itu dengan atau tanpa pasukan, bahkan tanpa kapal sebuah pun. Duta itu memohon diri dengan bersuka cita! Malam itu Sang Adipati tidur nyenyak tanpa cerita Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban. 0odwo0 29. Lahirnya Persekutuan Rahasia Sebelum Aji Usup menghadap Adipati Tuban sebenarnya telah terjadi sesuatu yang penting baik di Jepara maupun Demak. Dan kejadian itu adalah demikian: Memang tiada seorang pernah menduga, Sultan Trenggono sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan mencium kaki tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud waktu Ratu Aisah telah pergi meninggalkannya. Sultan menegakkan badan dan agak lama masih juga diam berlutut. Waktu ia berdiri orang melihat matanya merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh semua pembesar pasukan kuda. Sampai di pelataran Sultan masih memerlukan menghadap pada rumah itu dan sekali lagi mengangkat sembah dalam tegak berdiri. Kemudian ia menaiki kudanya. Dan pasukan kuda itu pulang ke Demak meninggalkan kepulan debu tanah Jepara di belakangnya. Tak ada yang tahu apa sesungguhnya telah dibisikkan oleh ibu dan anak yang nampaknya begitu mesra itu. Perdamaian, orang menduga. Kalau perdamaian itu tak lain artinya daripada terjadi kompromi antara dua pandangan dan dua pendapat. Bagaimana bentuk kompromi itu? Orang pun tak tahu. Dan orang menduga-duga, armada Demak akan jadi menyerang Malaka sedang pasukan darat yang tertinggal akan mencekam seluruh pulau Jawa, dari Blambangan sampai Pajajaran. Kompromi kira-kira, orang menduga, adalah pedang bermata dua: Demak akan menyerang Malaka sekaligus menguasai Jawa. Dugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan bahwa Demak takkan mungkin mengeluarkan biaya sebanyak itu. Tetapi di luar Demak, kecuali Tuban yang masih dalam keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi atau tidak antara Sultan dengan Ratu Aisah. Demak tetap dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan dan melatih balatentaranya masing-masing. Seluruh Jawa, kecuali Tuban, siap dengan persiapan perang. Beberapa orang bupati -apalagi mereka yang punya ikatan darah atau perkawinan – sudah pada membikin persekutuan militer untuk menanggulangi muntahnya kepunday. Dengan adanya persiapan-persiapan itu orang menaksir Tuban sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa pertama dari Trenggana. Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan kapalnya untuk menyinggahi Jepara. Akibatnya Jepara terkena boikot dari Jawa sendiri. Di Malaka, berbulan-bulan lamanya para pembesar Portugis mencoba menemukan apa sesungguhnya diucapkan dalam babak terakhir muan antara Sultan dan Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa, bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja Nusantara seperti diimpikan oleh Unus ada kemungkinan bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bumi bagian selatan ini sudah dapat diramalkan. Portugis akan terusir dari Malaka, Pasai, maluku dan seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai Goa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau saudagar Atas Angin. Perdagangan dan jalanlftra antara Jawa dan Malaka boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke tangan Pribumi. Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan membatasi lagi pelayarannya ke Maluku, tidak lagi memasuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya pada garis Pasai-Malaka, membentuk bentengan laut yang tak bakal kena terjang. Di Demak sendiri berita-berita tentang pertikaian antara Sultan dan Ratu menjadi padam. Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang dengan pedang bermata dua? Mengapa Sultan tiba-tiba nampak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan kaki? Sebaliknya, mengapa Jepara sekarang jadi sibuk lagi dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali seakan armada itu sudah akan terangkatkan dalam setengafctujgR mendatang? Bila benar demikian, bukan itu berarti kemenangan mutlak bagi Ratu Aisah? Sebaliknya juga berarti kekalahan bagi Trenggono? sedang bila Ratu yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha kearah persekutuan dengan raja-raja Nusantara. Maka orang pun dengan cucuknya menunggu-nunggu apakah amanat Sultan Demak. Dan benar, Sultan mengeluarkan amanat, yang berseru pada para raja dan bupati di Jawa dan Nusantara untuk bersahabat dengan Demak dan untuk bersekutu melawan Peranggi. Tetapi para penguasa di Jawa tak ada yang menanggapi seruan itu. Mereka pada umumnya menganggap seruan itu sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada gabungan yang akan dibentuk Demak akan dapat mengurangi penggunaan kekuatannya sendiri, memperbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka tidak menggubrisnya, bahkan memperuncing kewaspadaannya. Hanya Adipati Tuban tidak menanggapi semua itu. Ia sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu datangnya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah membikin persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak membeludaknya pasukan darat Demak. Ia tahu Demak pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan kaki dari penduduk sebelah barat Tuban yang dikenakan wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap Demak, yang dinilainya tak punya kekuatan gajah. Ia tak tahu, bahwa Demak menganggap enteng pasukan gajah Tuban, yang takkan mungkin menempuh jarak jauh untuk mempertahankan perbatasan. Tapi Kala Cuwil juga yakin dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang sekuat-kuatnya tak pernah bisa menghancurkan pasukan gajah. Demak tak punya dasar untuk menentang Tuban. Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian. Apalagi pedalaman Tuban sudah mulai pulih kembali dan bandar pun mulai sedikit hidup. Sang Adipati yang hanya sibuk dengan persoalannya sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala Cuwil. Wiranggaleng merasa telah diusirnya tanpa ampun ke desanya kembali. Jauh dari para kepala pasukan ia takkan berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala pasukan tak dapat berbuat apa-apa. Dia pun takkan berbuat apa-apa. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa di pedalaman sana. Dia akan kembali jadi petani biasa tambah tanpa sesuatu kekuasaan dan pengaruh. Tetapi ia teringat pada Gajah Mada dan Ken Arok kadang timbul pernyataan dalam hatinya: siapa dapat meramalkan apa akan diperbuat, oleh seorang anak desa dungu dan pelancang justru karena dungunya? Dan ia serahkan semua persoalan pada Kala Cuwil juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para kawula suka menyesakkan dadanya. Dan ia mengakui tak berani menyingkirkan dari muka bumi. Maka sekarang ini, sekiranya Demak datang padanya minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggempur Malaka, Blambangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini akan hilang dari hari-harinya yang terakhir. Kala Cuwil mempersembahkan amanat seruan Sultan Trenggono dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah laksana lambaian tangan dari sorga. Ia titahkan Sang Patih untuk menunggu datangnya utusan resmi. Tuban tak perlu menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah Demak menghormati Tuban atau tidak. Bila dia datang, ia akan mengia kan dengan baik. Tapi sekiranya Demak memukul Tuban secara khianat ia pun sudah sediakan jawabannya: Wiranggaleng akan diangkatnya secara resmi sebagai Senapati Tuban. Di Demak sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara kawulanya. Sekarang yang harus menanggalkan anggapan, bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda, reda di Demak. Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan balasan dari Gusti Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa maupun di luarnya. Kemenangan mutlak akan jatuh ke tangannya. Di Jepara Ratu Aisah meneruskan kesibukannya dengan masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka. Ia akan membukanya nanti sebagai peringatan berangkatnya armada gabungan menyerang Malaka, mungkin juga Pasai, sebagai kenang-kenangan. Pada salah satu kunjungannya pada mesjid yang belum dibuka itu ia dapatkan Liem Mo Han sudah berdiri menunggunya. Wanita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis seperti kain dengan gambar biru yang nampak bukan berasal dari dunia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita tentangnya, bagaimana membuatnya, apa bahan-bahannya, dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun. Juga sekali ini: “Sahaya sudah banyak menjelajah negeri orang lain Gusti, juga negeri Peranggi sendiri. Belum ada bangsa lain selain leluhur sahaya yang bisa bikin tembikar semacam ini, yang membikin cniipp ini lebih indah dan berharga. Tembikar-tembikar ini, Gusti, dibikin menurut kesukaan Gusti Ratu, bukan hal dibikin dan dipasang. Maka jadilah semua ini lambang, bahwa semua orang Tionghoa di semua Bandar di Jawa menyokong Gusti Ratu, sama seperti kami menyokong Gusti Kanjeng Sultan Al- Fattah dan Gusti Kanjeng Unus almarhum”. Ratu Aisah senang mendengar keterangan itu. Mata tuanya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nama itu begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suaminya almarhum dan putranya almarhum. “Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata persembahan sahaya Gusti Ratu. Semua ada terentang dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semarang. Tulisan tidak berubah, Gusti, biarpun kata lisan bisa berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong penghalauan atas Peranggi dari belah bumi bagian selatan ini”. Mereka masuk ke dalam bangunan, meneliti relief itu satu per satu untuk ke sekian kali. Kemudian mereka berhenti pada sebuah relief yang menggambarkan seorang wanita yang sedang menari. Kembali Liem Mo Han mempersembahkan keterangan. “Ini, Gusti Ratu, yang baru dipasang adalah gambar seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertama-tama taubat dan menjadi Islam. Di negeri leluhur sahaya. Gusti, wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga tampil sebagai panglima perang”. Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi bicara tentang gambar penari itu. “Pernah kami berangsur-angsur, Babah,” bisiknya, “ah,” terengah-engah, sekarang ia tertawa, “berangsur-angsur sekiranya jadi pria. Tidak, bukan kami hendak menyalahi ketentuan Allah s.w.t. hanya berangan-angan… sekiranya kami pria, ada praja di tangan….” “Dengan kewibawaan Gusti Ratu, tanpa Gusti sendiri”. Liem Mo Han menggarami, “Kanjeng Gusti Unus almarhum sudah melaksanakan”. “Kau betul Babah”. “Kanjeng Gusti Itu sudah mempersiapkan armada besar dulu, sudah menyerang Malaka. Sebelum wafat dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan kewibawaan Gusti Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar, dan membawa tugas yang megah dan agung? Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng Gusti Unus Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi armada nelayan, Gusti? Sampai punya pikiran begitu macam?” “Ampun. Gusti, jangan menjadi kegusaran Gusti, karena sayang sekali bila demikian nanti akan jadinya”. “Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke Malaka, Babah”. Seorang calon penunggu mesjid mendengarkan semua pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan itu tersebar ke seluruh negeri, membangkitkan kegusaran pada pasukan kuda dan pasukan kaki Demak. Tidak lebih dari lima belas hari kemudian seorang yang tidak dikenal telah menghadap pada Ratu Aisah, mempersembahkan: Demak berada dalam keadaan gelisah. Setiap saat Sultan Trenggono bisa jatuh karena pembangkangan. Bahwa sumber kegelisahan adalah Gusti Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan Demak akan menyerbu Malaka, menyalahi persetujuan Sultan dan Ratu dalam pertemuan terakhir. Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetahui. Trenggono seorang berhati keras, tak ragu-ragu membunuh abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang sederhana pikirannya itu. Ia menduga orang itu utusan dari pasukatt kuda Demak. Dan bila demikian halnya Trenggono yang kurang cerdik itu terjebak dalam taman pasukan kuda kebanggaannya sendiri. Sultan berada dalam bahaya. Memang! Ia memutuskan untuk membuat kungkungan balasan. Liem Mo Han mengambil tempat di dekat rana berukir. Ratu duduk sambil mengunyah sirih. Tak ada biti-biti atau inang di sampingnya. Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: “Kami semua menyokong Gusti Ratu. Bagaimana bisa lain daripada itu Gusti?, peranggi adalah juga musuh kami bersama. Mereka mengganggu pelayaran perdagangan kami se-Maluku dan perairannya. Banyak kapal kami ditenggelamkan dengan atau tanpa pembajakan sebelumnya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka membuka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mulai digerayangi. Dua bangtjji celaka, Gusti, Peranggi dan Ispanya, harus dihadapi bersama-sama”. “Ya, dihadapi bersama seperti pendapat Unus almarhum”. Tetapi bukan itu yang diharapkan oleh Ratu Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaimana ia harus hadapi Sultan dalam kemungkinan pembangkangan pasukan kuda. Dan ia tidak berani terang-terangan mengatakan. “Dalam usaha penghalauan Peranggi, Gusti, tak ada orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang bernama Wiranggaileng. Telah dia tumpas perusuh Kiai Benggala di Tuban dalam hanya beberapa minggu. Dia pun telah jalankan berbagai tugas dengan baik. Tapi sekarang dia sedang diusir dari praja Tuban”. Dan beralihlah pembicaraan pada Wiranggaleng. “Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak desa? Jangankan memimpin pertempuran laut, berlayar pun tak pernah”. Dan Liem Mo Han jadi berkobar-kobar: ‘Tidak benar, Gusti. Orang yang bernama Wiranggaleng pernah ikut gugusan Tuban, ke Malaka mengikuti armada Jepara, Gusti.” “Di bawah Raden Kusnan?” “Tidak keliru, Gusti. Kalau sahaya tak salah, orang itu pernah memikul tandu almarhum Gusti Kanjeng Unus waktu mendarat di Jepara dari kapal bendera. Dialah yang memimpin pulang gugusan Tuban dari Jepara. Diangkatnya anak desa itu jadi kepala pasukan laut Tuban. Setelah jadi Patih Senapati Tuban dan mengalahkan Kiai Benggala dia di usir dari praja”. “Apa kesalahannya, Babah?” “Kesalahannya adalah karena dia hanya anak desa”. “Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat menghargai anak itu. Mungkinkah dia berani menghadapi Peranggi di laut?” “Dia pernah perintahkan pasukan pengawal Tuban mengusir kapal Peranggi. Sahaya sendiri ikut menyaksikan. Gusti, kapal itu dipimpin oleh Peranggi berangsangan bernama Francisco de Sa. Peranggi menembaki Tuban dengan meriam….” “Peristiwa itukah yang kau maksudkan?” “Ya, Gusti, peristiwa yang menggemparkan semua bandar di Jawa itu. Gusti. Tuban membalas dengan enteng. Bukan karena Tuban dapat menenggelamkan kapal Peranggi itu yang sahaya nilai, tetapi kepandaian Wiranggaleng dalam mengatur dan menggunakan balatentara yang ada padanya bisa menghadapi Peranggi, di laut, di darat, di mana pun”. “Jadi dia mungkin berani hadapi Peranggi di laut?” “Bukankah tak perlu benar Peranggi dihadapi di laut, Gusti? Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana almarhum Gusti Kanjeng Unus, mendarat di utara Malaka, dan dari sana bergerak ke selatan, langsung menyerang sarang Peranggi.” Suara Liem Mo Han kehilangan kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. “Kalau Gusti Ratu menyerahkan tugas pada sahaya untuk membujuk Gusti Adipati Tuban untuk ikut bergabung, sahaya sanggup, Gusti”. “Jangan, Babah. Itu bukan urusanmu. Berikan saja padaku Wiranggaleng”. Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus memecahkan sendiri bagaimana sebaiknya menghadapi Sultan. Di bawah tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditambah dengan kekerasan hati sultan sendiri sejak kecil bila menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan sebagai Ratu Aisah terhadap Sultan. Ia akan berusaha membujuknya untuk melaksanakan penyerangan ke Malaka. 0o-dw-o0 Waktu tandunya memasuki perbatasan kota Demak, satu regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu rombongan gendang mengelu-elukan bersama dengan sebarisan pembesar. Di alun-alun barisan-barisan berkuda, mungkin terbesar yang pernah di lihat di Jawa selama ini, menyambut kedatangannya. Dan barisan-barisan itu kemudian bergerak mengiringkannya. Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah mengerti, semua telah diatur menurut kehendak pasukan kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam balairung penghadapan. Sultan Trenggono menyambutnya dari atas singgasana, turun dan membimbingnya duduk di atas singgasana permaisuri. Wanita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia membisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke Demak hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia dari singgasana permaisuri. Penghadapan bubar dengan kekecewaan. Trenggono mengikuti Ratu Aisah dari belakang. Dan wanita tua itu langsung menuju ke taman dalam. Juru taman telah menyingkir dan disanalah ia hadapi Sultan sebagai seorang anak. “Trenggono, anakku.” katanya lembut. “Aku tahu sejak kecil kau kepala batu. Kepala batu memang tidak apa-apa kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kanak lagi. Kau seorang Sultan. Majelis sudah tak kau dengarkan lagi. Ibumu sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi kehendakmu. Tetapi yang kudengar belakangan ini kau tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri telah perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan secara menyolok, berlebih-lebihan”. “Tidak benar, bunda. Sahaya memang kepala batu. Tapi tidak benar pasukan kuda bisa menekan sahaya, apalagi menelan. Takkan sahaya lupakan ajaran keprajuritan, sekalipun berasal dari jaman jahiliah, bahwa tanpa perang pasukan yang besar akan jadi penyakit praja.” “Jadi kau akan segera membuat perang?” Trenggono tidak menjawab. “Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera menyerang, itu hak seorang raja. Namun jangan lupa pesanku: Malaka.” Ratu Aisah pulang kembali ke Jepara tanpa penghormatan pasukan kuda. Ia membawa janji Sultan, bahwa ia akan mengirimkan armada ke Malaka dalam jumlah tidak sebagaimana direncanakan oleh Unus. Ia pun membawa oleh-oleh: seorang cucu perempuan, anak Trenggono’. Tetapi yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan: kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang Malaka terlalu kecil. Jadi Sultan akan tetap menyerang saudarasaudaranya, tetangganya untuk dapat menguasai Jawa. Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putranda tercinta Unus daripada sekutu-sekutu perang. Trenggono nyata sudah tak dapat di harapkan. Dengan hendak menguasai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk menyerang Malaka. Ia akan tetap mencoba dan berusaha, Bila takkan didapatkannya sekutu Jawa, akan dicobanya di luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. Dan kalau semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu perempuan. Ia akan mendidiknya jadi pelaksana cita-cita Unus. Demikian ia memasuki Jepara membawa kekecewaan di satu pihak dan harapan di lain pihak. Dan di Jepara yang ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada telah berhenti, sepi lagi seperti kehabisan angin. Namun ia tetap tidak putus asa, justru makin meluap. Dengan bantuan Liem Mo Han terjadilah persekutuan rahasia dengan Aji Usup, seorang pengikut Adipati Unus yang setia. Aji Usup adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia mempunyai pengaruh besar di kalangan praja dan golongan agama. Beberapa tahun sebelum penyerbuan Unus ke Jepara ia telah menunaikan rukun Islam ke lima dan telah menjelajah ke negeri Arab. Ia juga penasihat Unus tentang persoalan manca praja. Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak armada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang dengan raja-raja di Jawa. Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati dan didengarkan di seluruh negeri Demak dan Jepara. Dan persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan usaha pembebasan Malaka pada satu pihak dan pada pihak lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya untuk menguasai Jawa. Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rahasia adalah menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan Portugis dan akibat buruknya terhadap Nusantara seluruhnya, jahatnya rencana Trenggono yang hendak memerangi saudarasaudaranya sendiri. Penyiaran itu dilakukan melalui nakhoda dan awak kapal yang akan berangkat meninggalkan bandar Jepara dan Lao Sam. Dengan pengaruh yang ada padanya Aji Usup meniupkan semangat baru pada pasukan laut Demak yang berkedudukan di Jepara dan lebih suka disebut pasukan laut Jepara. Ia telah berhasil membikin pasukan laut itu mengambil sikap bila Trenggono tetap menganak-tirikan mereka, mereka akan bikin Jepara memisahkan diri dari Demak, dan membikin Demak jadi segumpal tanah lempung tandus tidak berarti. Pasukan laut Jepara telah merupakan satu kebulatan. Bila Trenggono mulai menindas bupati-bupati merdeka, mereka pun akan mulai memisahkan diri dari Demak. Beberapa kali Liem Mo Han memperingatkan Aji Usup agar tidak mengulangi kekandasan armada Dampo Awang yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. Karena itu pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono mulai menyerang tetangga-tetangganya, tetapi pada waktu ia menjadi kewalahan. Dalam keadaan demikianlah kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke Malaka takkan menemui rintangan.. Setelah persekutuan rahasia mendapat kata sepakat dalam semua pokok, Aji Usup meninggalkan Jepara dan menghubungi para bupati merdeka di Jawa, Sumatra dan Sulawesi Selatan. Dan ia kembali dengan semangat rendah. Pada umumnya para bupati merdeka dan raja-raja, yang dihubunginya, menolak. Mereka tak menyukai kepongahan Trenggono. Dan mereka menilai sultan baru itu kepala batu, dungu, dibandingkan dengan abangnya, dan kegiatan yang terpokok hanya menghancurkan segala yang telah dibangun oleh abangnya. Dan Aji Usup mewakili siapa? Bukankah Jepara pangkalan pasukan laut Demak? Walau demikian Aji Usup, yang selalu menggunakan nama Trenggono dan Ratu Aisah, telah menerima kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan menunggu armada Jepara tiba di Aceh. Sekutu lain Demak, Jambi, dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut serta. Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh Bugis telah memadai untuk tingkat permulaan. Dan Aji Usup akan menghubungi sekutu lama di Jawa: Tuban. Persekutuan juga telah sepakat untuk menampilkan Wiranggaleng sebagai pimpinan pasukan-pasukan gabungan dari Jawa. Mereka tinggal menunggu Trenggono menyerbui tetangganya dan kewalahan. 0o-dw-o0 Trenggono kemudian mengetahui juga sikap pasukan laut di Jepara. Takut pada perpecahan menyebabkan ia menjadi ragu-ragu. Tetapi pasukan kuda terus menerus mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mulai tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang duaduanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut dan tanpa armada, Peranggi sudah lama akan membalaskan dendamnya terhadap Demak. Ia tak boleh melihat Jepara dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat perangnya tidak disalurkan. Dalam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetanggatetangganya, yang sebelumnya diawali dengan pemberitahuan, pasukan-pasukan Demak datang bukanlah untuk berperang, hanya mengawasi perbatasan dari kerusuhan para penjahat. Tetapi pertempuran sesungguhnya terjadi juga di sana-sini. Dan ia terpaksa lagi untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukanpasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan lama. Dalam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia membantu Sultan, baik dalam penyiaran agama Islam maupun dalam usaha perang. Surat yang tertulis dalam Arab berbahasa Melayu itu berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di Pasai melawan Portugis. Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai cucu Bhre Paramesywara, pendiri Malaka. Dan ia belum lagi tahu, yang disuratinya. Unus, telah wafat. Dengan sebuah kapal Arab yang kembali melalui sebelah barat Sumatra, balasan Trenggono dibawa. Fathillah datang. Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsing dan berisi, berhidung mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang matanya dalam seakan semua yang dilihatnya hendak dimasukkan ke dalam rongganya. Dan ia berjubah putih dan bersorban putih tanpa perhiasan. Sekali pandang Trenggono telah berkenan hatinya pada pemimpin perang Pasai itu. Dalam pembicaraan khusus, Trenggono tak segan-segan menyampaikan kesulitankesulitannya menghadapi perpecahan dalam kekuatannya sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan ibunda Ratu Aisah. Trenggono memang bukan Fathillah. Trenggono menghendaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa. Fathillah mengimpikan penyebaran Islam ke seluruh Jawa dan pembalasan dendam terhadap Portugis. Ia masih tak dapat melupakan kekalahannya di Pasai. Dan di Demak ia melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua impiannya. “Nampaknya tidak begitu sulit, Baginda Sultan,” ia mulai menjelaskan pikirannya, “pertentangan dengan pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. Demak akan tetap utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun akan merestui. Patik berpengalaman perang di darat, dan patik pun pelaut. Apabila Baginda Sultan ada kepercayaan pada patik biarlah semua itu patik urus”. Trenggono menumpahkan kepercayaan padanya. Pada suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan diiringkan oleh beberapa belas prajurit kuda Fathillah meninggalkan Demak masuk ke Jepara. Diperiksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi kapal. Dan pada malam hari ia menghadap Ratu Aisah, dan menyampaikan dalam Melayu, bahwa Demak telah siap mengirimkan seluruh armada ke Malaka. “Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima?” “Setiap waktu, Gusti Ratu”. Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan perubahan airmuka pada wajah wanita tua itu. Ia dapat menangkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dapat dikendalikan. Keesokan harinya ia mengunjungi Aji Usup. Percakapan dilakukan, dalam Arab sehingga para saksi tak ada yang mengerti. Hanya semua orang melihat, bahwa kedua orang itu nampaknya sama-sama puas. Ketegangan antara Demak dan Jepara nampaknya akan reda. Tak lebih dari sebulan setelah kunjungan Fathillah, Demak merayakan pesta besar. Oleh Sultan, Fathillah dikawinkan dengan adiknya perempuan. Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa hari ia di samar kemudian pulang lagi ke Jepara. Demak dirasainya terlalu panas. Dan apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan ataukah janji janji Fathillah yang mewakili Sultan, keputusankeputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus menjalankannya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak percaya pada Demak dengan Panglima barunya, yang dengan begitu gampang bisa mendapatkan kepercayaan dari Sultan. Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa orang asing pendatang baru itu pandai melayani dan membenarkan semua keinginan pribadi Sultan dan pasti untuk dapat melaksanakan keinginan-keinginan sendiri. Dan betapa terkejut persekutuan rahasia itu melihat pada suatu hari pasukan kaki Demak yang cukup besar ditempatkan di luar kota Jepara. “Fathillah telah mengetahui rencana kita”, Aji Usup berpendapat “Mereka datang untuk menghalangi pasukan laut Jepara bertindak.” Dan ia berpendapat pula, hanya karena adanya Ratu Aisah di antara mereka dalam persekutuan, Sultan tidak mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga Liem Mo Han berpendapat demikian pula. Hanya mereka berdua tak sampai hati menyatakan satu kepada yang lain. Dalam pertemuan terakhir dipusatkan untuk mendapatkan keterangan, kapan Demak akan menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh Trenggono. Begitu armada akan bergerak mereka sudah harus mendapatkan Wiranggaleng untuk jadi pimpinan dan lansung menuju ke Malaka. Untuk kepentingan itu Aji Usup harus pergi ke Tuban menghadap Sang Adipati. Dan Liem Mo Han harus kembali ke Lao Sam demi keselamatannya. Aji Usup berangkat dengan kapal yang sama dengan Liem Mo Han Dan tinggalah Ratu Aisah seorang diri di Jepara dengan pikiran tuanya, disibuki oleh menantunya Sang Panglima Demak, pendatang baru dari Mekah, putra Pasai, menantu Bhre Paramesywara: Fathillah. 0odwo0 30. Petani Wiranggaleng Sudah beberapa lama Wiranggaleng hidup di desa perbatasan Awis Krambil, menjadi petani seperti penduduk selebihnya. Ia telah dapat melaksanakan impian-mudanya – impiannya bersama Idayu. Mereka telah mendirikan pondok beratap injuk berdinding pelupuh. Dan pondok itu berdiri tinggi di atas tiang. Di waktu senggangnya Pada ikut membantu semua pekerjaan: menebang dan mengangkuti bambu dan pemukulnya jadi pelupuh, membuka huma, menggali saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah membantu menggarap tanah. Untuk itu ia tak punya kesabaran ataupun kesenangan. Pada telah membuka pengajian di desa itu pula. Persahabatannya dengan Wiranggaleng menyebabkan ia mendapat kepercayaan dari penduduk desa. Dengan bermodalkan kata-kata “Wiranggalenglah yang menolong jiwaku” dan dibantu oleh kata-kata Idayu “Mohammad Firman alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak Wiranggaleng” ia muncul sebagai orang terpandang di desa Awis Krambil. Leluhur Awis Krambil telah mengajarkan: seorang yang telah menolong jiwa orang baik-baik seyogyanya dibalas kebaikannya selama hidupnya oleh semua orang baik-baik sedesa. Dan Wiranggaleng sendiri tak punya perhatian terhadap kegiatan sehari-hari Firman. Juga ia tidak menganjurkan pada anak-anak desa untuk belajar padanya. Idayu juga tidak pernah menganjurkan. Tetapi pengalaman Pada yang banyak, pengembaraannya yang cukup luas, pergaulannya dengan banyak orang, dan bakatnya dalam berceritera, telah menarik anak-anak kepadanya. Gubuknya selalu berisi dengan kanak-kanak. Dan gubuk itu didapatkannya sebagai pemberian desa dengan ladang yang cukup luas di belakangnya. Tetapi ia tak pernah tertarik untuk menggarap tanah maka ia pun tidak pernah jadi petani. Setelah banyak kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya ia mulai mendongeng, kemudian memperkenalkan nabinabi yang pernah dipelajarinya di Demak. Tetapi segera seluruh desa tergoncang waktt ia mulai memasukkan aturan yang memisahkan anak-anak lelaki dari perempuan. Orang tua-tua memerlukan datang untuk bertanya: apa salahnya anak-anak perempuan itu? Mengapa mereka dibedakan hanya karena mereka perempuan? Dan ia menjawab, ia seorang bujangan maka tak baik punya murid perempuan. Akibat jawaban itu tidak sedikit orang-orang desa yang tak punya prasangka keagamaan itu, mendesaknya agar ia mengawini salah seorang gadis Awis Krambil. Ia tak pernah menjawab dengan jelas, hanya berdalih-dalih. Kemudian desa dibikin terheran-heran mengapa pengajiannya tidak mengajarkan baca tulis Jawa, dan bagaimana jadinya kalau anak-anak itu nanti besar dan tidak mengetahui sesuatu tentang ajaran letafttft sendiri? Ia menjawab, tentang itu anak-anak itu nanti bisa belajar sendiri dari guru-guru lama dan dari orang-tuanya. Kesulitan yang ke sekian mulai dihadapi oleh Pada. Huruf Arab yang diajarkannya terlalu sulit untuk bisa dipergunakan untuk diucapkan. Dan murid-murid itu mulai berguguran seorang demi seorang; Ia sedang menghadapi kegagalan. Dan Wiranggaleng ataupun Idayu tidak menyokongnya, Bahkan Gelar tidak pernah datang ke pondoknya. Ia mengerti keberatan mereka: pengalaman mereka berdua dengan Kiai Benggala telah cukup tidak menyenangkan dan akan kenang-kenangan buruk sepanjang masa; Maka juga ia tak pernah meminta sokongan itu. Ia harus dapat tegakkan dirinya sendiri. Satu-satunya jalan untuk mengatasi kegagalan adalah kesabaran. Dimulainya menulis tembang dalam bahasa dan tulisan Arab tentang kisah Rasulullah. Muridnya yang tinggal sedikit telah merambatkan tembang; itu ke seluruh desa Awis Krambil, dan merasa berbahagia dengn suksesnya. Ia dapat dengarkan tulisannya itu dinyanyikan di atas punggung kerbau di padang rumput, atau di malam sepi waktu bulan tiada terbit di rumah-rumah yang tersebar luas dalam kegelapan. Namun muridnya tidak juga bertambah. Dan Wiranggaleng ataupun Idayu tak pernah datang menengok gubuknya. Kesulitan baru datang menantangnya waktu ia mulai mengamatkan tentang larangan-larangan: makanan dan minuman. Kembali orang tua-tua datang kepadanya dan menanyakan apa sebabnya babi dan binatang bertaring lainnya tak boleh dimakan, dan mengapa tuak tak boleh diminum. Ia menjelaskan, bahwa masih terlalu banyak makanan dan minuman kecuali yang dilarang. Orang tuatua itu tidak bisa mengerti dan tidak bisa membiarkan ajaran tentang larangan itu. Dan Pada harus mengatakan atau ia harus keluar dari desa Awis Krambil. Ia mengatakan: boleh makan dan diminum, asal tidak banyak, sedikit saja cukup. Itu pun tak bisa diterima oleh desa. Malah orang mulai mencurigainya hendak mendirikan kekuasaan baru seperti Sunan Rajeg dengan mula-mula membikin peraturan. Hanya persahabatan dengan Wiranggaleng dan Idayu membikin ia tidak terusir. Suasana mereda, tapi muridnya kian sedikit, tinggal barang tiga orang. Tiba-tiba goncangan muncul kembali waktu menghadapi pesta panen besar. Pada mengajarkan, cacing tanah tidak boleh dimakan. Tentangan dari orang tua-tua, bahkan seluruh desa, tak dapat dikendalikan lagi. Berabad-abad lamanya cacing tanah jadi makanan pesta yang tak pernah ditinggalkan. Setelah dipurut cacing itu direndam dalam air enau selama sehari, kemudian setiap orang memakannya. Pada terpaksa menarik ajarannya. Dan ia menjadi orang yang tidak populer di Awis Krambil. Ia harus lebih bersabar lagi. Dalam kesulitan yang amat sangat itu ia datang pada sahabatnya untuk minta perlindungan. Waktu itu Wiranggaleng sedang di hutan untuk menyadap enau. Ia tak berani naik ke rumah dan menyusul sahabatnya masuk ke dalam hutan. 0o-dw-o0 Dan setiap Pada datang ke gubuk di pinggir hutan, dan Wiranggaleng tak ada, dan ia terus menyusul ke ladang, huma atau hutan, Idayu dapat melihat sinar aneh pada mata orang muda jangkung berkumis dan tidak berjenggot itu. Sinar mata itu sama dengan yang terpancar waktu ia diambil dari rumah tahanan untuk dibawa ke gua persembunyian, sama dengan waktu mereka berempat menyeberangi padang alang-alang yang menggentarkan itu, melewati hutan muda dan kemudian menyeberangi padang rumput pendek… desa pertama, desa kedua, ketiga dan sampai ke jalan negeri. Ia masih dapat mengingat waktu mereka berhenti di pertigaan itu. Pada menatap matanya dengan sinar yang aneh itu pula. “Jadi Mbokayu tak membelok ke kanan? ke Tuban?” “Tidak, Pada”. “Ke kiri? Awis Krambil?” Ia lihat sinar mata itu tiba-tiba jadi beku dan kepalanya menunduk. “Dan kau sendiri hendak ke mana, Pada?” ia bertanya. “Biar aku antarkan sampai Awis Krambil”, jawabnya kemudian. “Itu-pun kalau Mbokayu tidak merasa terganggu.” “Tentu lebih baik begitu. Tentu takkan ada yang mencurigai kau sebagai pelarian pengikut Sunan Rajeg, kecuali kalau kau berganti pakaian. Buang itu yang serba putih”. Ia ikuti orang muda itu minta diri barang sebentar dan pergi menghilang dengan parang telanjang di tangan kanan. Ia menunggu di gaan. Memang agak lama. Kemudian ia datang lagi membawa sir pisang susu matang dan pakaiannya yang serba putih telah menjadi coklat dilumuri getah pisang. “Begini baik, bukan, Mbokayu?” “Cukup baik”. Mereka mulai membelok ke kiri ke jurusan Awis Krambil. Waktu ia menengok ke samping ia lihat Pada sedang mengawasinya, kemudian dengan gugup menyembunyikan pandangannya pada pepohonan di kejauhan. Juga sinar matanya aneh, sinar mata seorang yang gandrung kasmaran. “Kau tak pernah ceritakan di mana rumahmu, Pada”. “Aku adalah seekor burung, Mbokayu, di mana pun bertengger di sanalah rumahku.” Suara lelaki itu terdengar gembira tercampur tawa, dan Idayu tak tahan mendengarnya. Ia merasai di dalamnya terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin orang muda ini menyebabkan ia takut pada Pada, berjalan lebih cepat dari biasanya dan ragu-ragu untuk memulai percakapan. Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dari suara Gelar yang duduk pada tengkuk ia dapat menduga berapa depa Pada berjalan di belakangnya. Pagi dan siang sudah lama lewat. Hari telah senja. Sawah dan ladang; tepi desa Awis Krambil telah senyap ditinggalkan oleh semua orang. Hujan pun jatuh rintikrintik. Pintu-pintu rumah desa telah tutup untuk menolak angin dan dingin. Dari atap-atap keluar asap pendiangan ternak atau dapur. Ia dengan bayi dalam gendongan berhenti di depan gapura rumah orangtuanya. Dan ia ragu-ragu untuk masuk. Seekor kuda coklat dengan becak-becak putih tercancang di samping rumah di dekat pesajian rumah tangga, yang terbuat dari tumpukan batu merah. Abah-abah dan sanggurdi kuda itu masih terpasang. “Ya, Mbokayu, memang kuda Tuban”. Pada memperingatkan. “Sanggurdinya tak dapat dikelabui, kuningan pipih-lebar. Juga hiasan kepala itu. Kau raguragu, Mbokayu”. Ia memang ragu-ragu untuk masuk. Dan orang muda itu mendekatinya dengan Gelar masih juga duduk pada tengkuknya. Sekarang ia merasa tak senang di dekat Pada. Ia kalahkan keragu-raguannya dan melewati gapura dengan si bayi dalam gendongan, meninggalkan Pada di belakangnya. Kuda itu masih berkeringat dan nafasnya masih gelisah. Ia berhenti lagi, ragu-ragu untuk terus. Ia terpaksa menunggu Pada, dan berjalan di belakangnya untuk mendapatkan perlindungan. Tali abah-abah tempat pengikat tombak-tombak lempar tidak tersimpul. Mungkin penunggang kuda itu membawa tombak-tombak-nya ke dalam rumah. Mereka tak langsung memasuki pintu, tapi berjalan dari samping rumah. Sebentar mereka berhenti untuk mendengar-dengarkan. Dan tak ada terdengar sesuatu pun dari dalam. Juga pintu samping itu tak terkunci, Idayu masuk. Kosong tiada suara. Tak ditemuinya seorang pun. Di manakah orangtua dan adik-adiknya? Dan siapa penunggang kuda itu? Dan di mana dia? Ia masuk ke dapur, dan api sedang menyala riang di dalam tungku. Belanga di atasnya ia buka – gulai bebek. Ia buka dandang di sebelahnya: nasi yang belum lagi masak, dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa. Dalam belanga di atas tanah dengan penutup tertindih batu telah tersedia daging babi panggang yang telah disayat-sayat. Tapi di mana orang-orang rumah? Dan mengapa anjing-anjing pun tiada? Ia keluar untuk meninjau rumah-rumah tetangga yang jauh-jauh letaknya. Sayup-sayup terdengar orang tertawatawa ramai – dan suara itu dibawa oleh angin sore yang dingin itu. Ia melangkah ke arah kandang sapi. Binatangbinatang itu sedang bersimpuh di tanah di dekat pediangan sambil memamah-biak. “Mungkin semua orang sedang berkumpul di sana,” katanya pada diri sendiri. Ia suruh Pada dan Gelar beristirahat di ambin ruang depan, di mana dulu Rama Cluring ia rawat. Pada dengan Gelar yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan. Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. Dan untuk pertama kali ia berdebar-debar melihat pancaran mata itu. Si bayi ia tidurkan di atas ambin dapur dan ia meneruskan masak. Belum lagi masakan selesai terdengar ramai-ramai di depan rumah. Ia lari ke depan, membuka pintu depan dan keluar. Gelar dan Pada terbangun. “Anak desa Awis Krambil jadi Senapati Tuban!” bocahbocah berseru mengelu-elukan, “Tidak pernah kalah. Terus menerus menang!” “Ya-ya, kagumi dia, bocah-bocah! Kagumi, biar kalian jadi orang besar juga kelak. Kagumi!” Di hadapan Idayu satu rombongan besar orang sedang melewati gapura, bocah-bocah dan orang dewasa, laki dan perempuan. Rombongan itu mengiringkan seorang bertubuh dempal perkasa. Dan Idayu tidak keliru. Itulah suaminya: Wiranggaleng. Ia lari menyambutnya. Tanpa bicara ia menubruk, merangkulnya dan menangis tersedansedan. “Dayu, aku tahu kau selamat”. Suaminya mengeluarkan popok dari ikat pinggangnya dan disekakannya pada wajah istrinya, kemudian memapahnya masuk ke rumah. Ia merasa aman di dekat juara gulat ini. “Dengarkan, penduduk Awis Krambil Galeng Senapati Tuban, kembali ke desanya. Sekarang dia telah bertemu dengan isterinya. Dan khusus pada Idayu, “Mana Anakku?” Mereka memasuki rumah disambut oleh Pada yang berdiri seperti orang kehilangan akal. Ia melihat lelaki muda itu seperti terpesona oleh kehadiran Wiranggaleng. Matanya tidak lagi memancarkan sinar aneh. Ia lari masuk ke dapur, mengambil bayi yang tidur nyenyak diatas ambin depan dan menyerahkannya pada bapaknya dengan hangat “Inilah anakmu, belum lagi bernama”, dan ia seret Gelar dan diberikannya pada Galeng, “dan ini Gelar anakku”. Senapati Tuban dalam pembuangan itu menerima bayi itu menciumnya. Pada wajahnya memancar kebahagiaan, kepuasan, syukur dan terima kasih, kemudian menyerahkannya kembali pada ibunya. Kini ia angkat Gelar dan berseru: “Kau, Gelar, kau sudah bisa menyanyi?” “Dia terus menyanyi di atas tengkuk Pada, Kang” Air muka Wiranggaleng berubah. Tanpa mengindahkan jawaban bocah itu ia turunkan ke tanah. Matanya mencaricari orang diantara orang sebanyak itu. Airmukanya menjadi keras. “Pada, di mana kau?” seru Idayu, dan ia sendiri menjadi kuatir melihat perubahan airmuka suaminya. “Inilah aku”, jawab Pada dan meneroboskan diri menghadap pada Senapati. “Inilah aku, Kang, adikmu sendiri”. Ia menjatuhkan diri, bersujud dan mencium kaki Wiranggaleng. “Dia, Kang, Mohammad Firman alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak Wiranggaleng”. Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Sunyisenyap dalam ruang depan yang sempit oleh manusia sebanyak itu. Dan semua mata tertuju pada Senapati Tuban dan orang yang bersujud di hadapannya. Tiba-tiba Gelar merangkul leher Pada, bertanya: “Mengapa tak bangun-bangun, Paman?” “Ya, bangun, kau, Pada”. Dan Pada bangun, berdiri. Mukanya pucat seperti habis bangun dari sakit demam sebulan. “Nanti akan kuceritakan di depan semua orang ini bagaimana ia selamatkan kami, Kang.” "Aku datang untuk menyusul kau, Idayu”. ‘Tidak. Aku tak perlu kau susul. Aku takkan kembali ke Tuban”. ‘Tidak. Aku pun takkan kembali lagi ke Tuban, Idayu. Aku kembali jadi si anak desa yang dahulu.” “Kang!” seru Idayu tak percaya. “Kita akan membuka huma, Idayu, mendirikan gubuk di pinggir hutan, di tepian desa”. “Kang!” Pada menarik diri dan berdiri diam-diam di pojokan memperhatikan semua kejadian itu. 0o-dw-o0 Berita tentang wafatnya Adipati Unus dan digantikan oleh Trenggono telah memperkukuh niatnya untuk tidak kembali ke Demak. Apalagi setelah ia tahu Sultan baru itu tidak memperhatikan dan tidak membutuhkan jasa para musafir. Bahkan ke Bonang pun ia tak pernah lagi, apalagi menyampaikan laporan. Tetapi alasan terutama adalah Idayu. Wanita itu membikin ia tak mampu meninggalkan Awis Krambil. Bahkan hanya namanya pun telah menyebabkan ia merasa tergenggam tanpa daya. Dan ia mendengarkan suara hatinya – menetap di Awis Krambil. Ia telah menjadi seorang Ki Aji kecil. Orang sudah mulai memanggilnya Kiai. Dan ia tidak membantah. Dalam percakapan dengan Wiranggaleng dan Idayu dengan diam-diam ia terpengaruh oleh pandangan yang tidak menginginkan sesuatu kekuasaan atas orang lain pun tidak menginginkan harta-benda orang lain. Ia tahu beberapa ucapan Idayu padanya dalam perjalanan dulu ada yang tidak cocok dengan…. Ia tak pernah membangkit-bangkitnya kembali. Tapi ia pun tahu betapa perempuan itu berpengaruh terhadap suaminya. Dan mereka berdua begitu cinta-mencintai seakan dunia luar tidak mereka perlukan lagi. Mereka memisahkan diri dari desa dan tidak pernah turun ke balai desa. Hanya karena besarnya kepribadian mereka orang-orang justru datang pada mereka. Akhirnya ia pun berniat hendak hidup sederhana seperti itu, membuang segala impian tentang kebesaran dan kehormatan. Ia lepaskan sama sekali hubungannya dengan Demak, bahkan juga dalam pikirannya. Ia bertekat hendak hidup sebagai manusia sederhana seperti mereka, menjadi bagian dari kehidupan tanpa menentukan kehidupan. Ia belajar meyakinkan dirinya sendiri: ia berbahagia dengan hidup begini. Ia pun mengakui dalam hatinya: seorang saja sebenarnya yang telah mengubah jurusan yang semula hendak ditempuhnya, dan mengubah -gaya dan cara hidupnya. Orang itu adalah Idayu. Apa pun yangKtHptitejf buatnya seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan pikirannya. Dan benang itu secara gaib dikendalikan oleh Idayu. la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus hati. Idayu! istri sahabatnya! ia yang lebih tua daripadanya! ibu dari dua orang anak! istri orang yang telah mengembalikan jiwanya dari tangan Adipati Tuban!. Bila kasadarannya bekerja, ia merasa mengkhianati sahabatnya dengan diam-diam Dan ia pun sadar: bukan mau dirinya sendiri ia mencintai Idayu. 0o-dw-o0 Kemudian datanglah berita itu: balatentara Demak telah membludag. Trenggono akan menyerang ke timur dan barat. Mendengar itu ia lupa pada pengajiannya, lupa pada persoalan persoalan pribadi. Dan segera ia lari menuju ke gubuk sahabatnya di pinggir desa. Watak lama dari pekerjaan lama telah mengembalikannya jadi Mohammad Firman yang lama. Ia dapatkan Wiranggaleng sedang menguliti rusa betina yang terperangkap dalam ranjaunya. Tangannya berlumuran darah. Binatang celaka itu tergolek di atas gelaran daun pisang, telanjang tanpa kulit. Dari dalam kandungannya ia keluarkan bayi rusa yang belum cukup tua. diletakkan binatang kecil belum berkulit dan bermata terlalu besar itu di atas telapak tangan. Pada berjongkok di hadapannya. “Suka kau?” tanyanya padanya. Pada bergidik. Dan Galeng memakannya mentah-mentah sampai habis. Darah berlumuran pada mulutnya. “Seperti Trenggono makan pulau Jawa,” kata Pada. Wiranggaleng tak memperhatikan siratan kata Pada. Ia meneruskan pekerjaannya, memotong-motong daging binatang celaka itu dan menjajar-jajarnya di atas daun pisang. “Kang Galeng, tak kau dengarkan aku?” “Seperti Trenggono makan pulau Jawa, katamu. Mengapa, Pada apa maksudmu?” “Mengapa? Masa kau seorang senapati tak punya perhatian? “Apa yang perlu diherani? Dan apa yang perlu diperhatikan? Sebelum Trenggono naik tahta, orang sudah pernah meramalkan hati-hatilah kalian terhadap Demak”. “Jadi bagaimana kau ini kalau Tuban diserang?” Wiranggaleng meneruskan pekerjaan tanpa memperhatikannya. “Kau diam saja. Kang?” “Aku hanya orang desa, petani. Pada, jangan macammacam pertanyaanmu”. “Tidak benar. Dengan diam-diam kau telah memikirkannya”. “Lantas apa kau harapkan daripadaku? Pertahankan Tuban? Serang Demak? Atau pertahankan tanah ini? Huma dan ladang ini, gubuk ijuk ini?” ia menuding pada gubuknya. “Kalau hanya begini di mana pun aku bisa dirikan lagi Di mana pun aku bisa dapatkan tanah, mungkin lebih baik dari ini. Kaulah yang semestinya bercerita, Pada, bukan aku. Kau orang Demak.” “Aku anak Tuban, Kang, dilahirkan dan dibesarkan di Tuban, seperti kau juga.” Wiranggaleng berhenti bekerja dan menancapkan pisau sayatnya pada daging paha binatang itu. “Itulah persoalanmu. Pada. Kau orang Tuban dan pengabdianmu pada Demak. Bukan persoalanku.” “Aku bersungguh-sungguh, Kang. Relakah kau Tuban diterjang Demak?” “Aku bersungguh-sungguh. Kang. Lupakah kau pada cerita-ceritamu sendiri tentang Peranggi dan Ispanya? Tentang meriam mereka? Mengapa kau bunuh Sang Patih Tuban dan kau meratapinya untuk sisa hidupmu untuk dapat menghancurkan Kiai Benggala? Tak mungkin kau tak punya perhatian dan pemikiran.” ”Trenggono bukan Kiai Benggala!” “Bukan.” ‘Trenggono sama dengan Kiai Benggala.” “Memang sama.” “Lantas apa lagi?” “Hanya kerusakan saja akibatnya, Kang. Dua-duanya akan melemahkan Jawa dan memudahkan masuknya Peranggi. Bukankah itu ceritamu sendiri? Sekarang Trenggono membuka medan, dan kau enak-enak bertani dan menjebaki rusa dan celeng”. “Sudah ada orang lain yang mengurus, Pada.” ‘Tak ada yang sebaik kau.” Wiranggaleng mencabut pisau dan meneruskan pekerjaannya. Pada merampas pisau itu dan menancapkannya pada batang pisang. “Aku sungguh-sungguh, Kang.” “Mulai kapan kau dapat jabatan untuk mengurus soal perang?” “Aku hanya ingin tahu pikiran dan pendapatmu.” “Mengapa kau yang jadi sibuk? Bukan urusanmu.” Gelar datang membawa kranjang. Tubuhnya bongsor. Hampir setinggi ayahnya, sehat, kukuh dan kuat. “Bilang pada makmu, sebagian besar daging supaya didendeng. Dan paha ini saja digantung di dapur.” “Ha!” seru Pada. “Kau sudah bersiap-siap dengan makanan kering. Jadi kau hendak berangkat juga kiranya.” “Berangkat ke mana? Cobalah lihat rusa ini, Pada. Pulau Jawa sudah seperti dia, terkuliti, terkeping-keping. Bangkai utuh pun sudah tiada, sudah jadi dendeng dan sayatan yang siap untuk dimasak dan ditelan oleh pelahap.” “Jadi kau memang sudah memikirkannya, Kang.” “Sudah lama aku memikirkannya, dan tak ada gunanya untuk memikirkannya lagi.” “Kau putus asa, Kang.” “Aku tak mengharapkan sesuatu. Dulu aku masih punya harapan dulu, sewaktu Gusti Unus belum wafat. Dan hanya seorang saja, duanya. Setelah wafatnya semua nakhoda, pedagang dan orang po...... kiranya tahu: seperti bangkai rusa terkeping-keping itulah nasib Jawa.” “Kau putus asa. Kang. Kau, yang sendiri pernah urungkan datangnya si pelahap.” Wiranggaleng berdiri dan tertawa. Pisau-sayat itu ia cabut dari batang, pisang, mengasah kering pada batu asahan, kemudian berjongkok dan meneruskan pekerjaannya. Ketika itu ia teringat pula kata-kata Rama Cluring dalam ajarannya terakhir di balai-desa Awis Krambil: Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar telah runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana-mana. Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan raja Demak. Dewa-dewanya bukan dewa kalian. Dewa-dewanya tidak mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian. Hei, kalian yang lebih suka jadi bebal, kelak kalau Demak mulai menyerang kalian, memburu-buru dewa-dewa kalian, menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur kalian pun tak aman lagi tinggal di alam kahyangan kalian sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa, tak sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu aku telah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar katakatamu, Rama. Sekarang ramalan itu memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan. Baru ia menjawab, pelahan, dengan gaya Rama Cluring: “Waktu itu masih dimungkinkan. Sekarang lain, Pada. Sekali seorang raja bernafsu menguasai Jawa, perang akan terus menerus berkobar, takkan henti hentinya. Sampai si rakus itu mati tua, kalau dia selamat dari sekian banyak medan perang, cita-citanya takkan terlaksana. Dan begitu si rakus mati, taklukannya akan bangkit lagi melawan, mungkin mengantikan si rakus itu sendiri. Dan seterusnya, Pada, tak ada habis-habisnya. Suaranya jadi sayu dan murung, “Waktu itu sudah lewat, waktu orang dapat mempersatukan Nusantara. Nusantara, Pada, bukan hanya Jawa. Dalam hanya empat puluh, barangkali juga cuma tiga puluh atau dua puluh tahun orang dapat mempersatukan Nusantara. Sampai jambulnya beruban Trenggono takkan dapat menguasai Jawa. Ia tak punya syarat untuk itu.” Pada senang mendengar juara gulat ini bicara, karena ia bicara dengan seluruh kehadirannya, dengan hati dan dengan otot-ototnya. “Kau bicara tentang syarat, Kang.” “Tentu, semua ada syaratnya. Barangkali di Demak kau tak pernah pelajari itu. Coba dengarkan kata-kata Rama Cluring, yang kau mendapat perintah untuk membunuhnya itu: ‘Jawa bisa dipersatukan hanya dalam kesatuan Nusantara. Kesatuan Nusantara bisa digalang hanya oleh jiwa besar, berpandangan luas, meliputi luasnya Nusantara dengan darat dan lautnya. Orang itu adalah Gajah Mada.’ Kita tak bicarakan Trenggono lagi. Pada.” “Kau bicara tentang syarat, Kang. Aku hanya bertanya, bagaimana kalau Trenggono menyerang Tuban?” “Kami akan mengungsi dengan orang-orang sedesa. Buka daerah baru. Gelar!” pekik Galeng, “tiada kau jamu pamanmu ini?” Gelar yang memasuki umurnya yang ke lima belas itu datang berlarian. “Mengapa tidak, Bapak? Aku pun sedang membantu masak,” ia tertawa pada Pada kemudian lari menghilang. Wiranggaleng pergi ke sumur untuk mencuci tangan dan kaki, dan Pada mengikutinya dari belakang. “Pada!” tiba-tiba Galeng menengok padanya. “Mengapa kau tak juga kawin? Kami berdua hidup berbahagia. Aku lihat sudah terlalu lama kau mencintai istriku.” “Kang!” Pada terpekik, dan pekikannya sama seperti yang disuarakannya di atas kapal dagang dulu. “Matamu tak dapat bohongi aku, Pada.” “Kang,” Pada menyebut lemah. “Kau terlalu muda baginya. Lagi pula dia bukan Islam. Dia mencintai anak-anaknya. Bahkan aku sendiri tak mendapat bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan Awis Krambil, Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar yang betul di sana sambil cari-cari calon istri. Bukan salahku, Pada, kalau di seluruh Tuban hanya ada seorang Idayu. Juga bukan salahku mengapa aku tak juga mati.” “Ya, Kang, aku akan ke kota, Kang.” “Kau sudah dilupakan oleh Sang Adipati. Carilah Liem Mo Han. Dia lebih banyak tahu dari hanya berita desasdesus.” Setelah makan Pada minta diri. Ia berjalan lambatlambat tanpa menoleh. Idayu, Wiranggaleng, Gelar dan Kumbang mengantarkan sampai batas sawah. Kemudian suami-istri itu mengikutinya dengan pandang, sampai ia hilang di balik semak-semak petai cina. Gelar lari pulang,dan balik lagi membawa kuda, melompat ke atasnya. “Biar aku antarkan dia sampai ke desa ke dua!” katanya pada Wiranggaleng, dan tanpa menunggu jawaban ia memacu kudanya. Tinggallah suami-istri itu dan anaknya yang bungsu. “Mari naik,” Idayu mengajak. “Dia mencintai kau, Idayu,” bisik suaminya. “Kasihan. Begitu muda,” jawab Idayu dan membuang muka. “Siapakah lagi yang jatuh cinta padamu?” Idayu naik ke atas tangga rumah, tak sudi meneruskan percakapan seperti itu. Dan suaminya mengikutinya cepatcepat dari belakang. “Jadi kau sudah tahu?” tanyanya. “Dia takkan pergi ke kota. Dia masih takut pada hukumannya. Mungkin ke Lao Sam”. “Makin jauh dari sini makin baik untuknya sendiri.” “Kumbang! Ayoh naik!” seru Idayu. “Jangan jauh-jauh pergi. Abang mu tak ada. Macan-macan itu selalu menghindari jebakan.” “Sudah kukatakan padanya, sayang hanya ada satu Idayu,” suaminya meneruskan. “Apa kau bicarakan ini?” Idayu memprotes. Tapi Wiranggaleng menariknya dan dibawanya ia ke beranda gubuk yang menghadap ke jalan. Di kejauhan, kepala kuda dan Gelar dan Pada masih kelihatan di atas tajuk semak-semak petai cina. “Macan itu tak mau memasuki jebakan. Babinya bodoh dan macannya malas. Begitulah jadinya,” kata Idayu pada Kumbang. Pondok itu berdiri tinggi di atas tiang kayu nangka kuning, tetapi selebihnya terbuat daripada bambu. Dapurnya pun berada di atas. Dan dari atas pula pandangan nampak sampai jauh-jauh di sekitar rumah, sampai ke batas hutan dan sawah dan ladang. Duduk di lantai beranda begini Gateng merasa seperti di atas panggung gajah. Dan kini para penunggang kuda mulai timbul dan tenggelam di balik semak-semak. Mereka masih juga mengikuti dengan pandangan sampai mereka hilang sama sekali. “Kau tahu apa yang dibawa Pada?” “Mana aku tahu?” ‘Tiada sesuatu, kecuali pemujaannya kepadamu.” Idayu melengos kemudian masuk ke dalam bilik, Wiranggaleng menarik Kumbang dan memangkunya. Pandangnya masih juga pada mereka yang lenyap di balikbalik semak, la berbisik pada Kumbang: “Kenalkah kau siapa Idayu?” “Emak, Bapak.” “Apa lagi?” “Penari tanpa tandingan, Bapak.” “Apa lagi?” “Mak! Mak!” Kumbang berseru memanggil-manggil. “Apa lagi, Mak?” “Husy! jangan minta bantuan makmu. Dengarkan: jangan sampai lupa; orang tercantik di seluruh negeri Tuban, Kumbang, di seluruh jagad raya.” Dan Kumbang tertawa-tawa senang, kemudian meloncat dari pangkuan bapaknya untuk mengadu pada emaknya. Tak lama kemudian terdengar dari dalam bilik suara Idayu: “Husy, jangan dengarkan bapakmu.” Dan Wiranggaleng duduk seorang diri di beranda menunggu kedatangan Gelar. Sementara itu ia mulai memikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada. Tidak! Trenggono tidak boleh memulai perang tanpa akhir ini, kalau berita itu benar. Seorang Sultan harus lebih bijaksana. Mungkin dia memang bukan orang bukan bijaksana. Kalau tidak dia takkan membunuh abang sendiri untuk jadi raja. Atau haruskah dia membunuh saudara sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa kendali? Takkan ada orang lagi seperti Unus. Dengan alasan Islam ia persatukan raja-raja untuk menggempur Peranggi, dan kalah. Trenggono tak bisa menggunakan Islam jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan Islam di Jawa. Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa, ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul – ia hanya kerakusan belaka – ingin lebih banyak tanah, lebih banyak orang yang takut takluk, mendengarkan dan menjalankan perintahnya. Sekali seorang raja memulai…. Tak pernah Jawa dipersatukan tanpa persatuan seluruh Nusantara, kata Rama Cluring. Itu adalah ketentuan Maha Dewa, Hyang Widhi, kata Rama pula. Dari kejauhan nampak kepala Gelar timbul tenggelam dari atas tajuk semak-semak. Makin lama makin mendekat, kemudian muncul seluruh badannya dan kuda tunggangannya di ujung jalan sana. Dia lebih pandai menunggang kuda daripada aku, anak semuda ini. Tanpa guru. 0o-dw-o0 Selang tiga bulan kemudian Pada datang. Langsung ia temui. Wiranggaleng di hutan sedang menurunkan air enau dari pohon. Kemudian ia menolongnya memikulkan lodong-lodong bambu ke rumah. Bersama-sama mereka memasaknya agak jauh dari pondok, menggunakan kuali tanah besar. Pada waktu memasak itu bekas musafir Demak itu mulai bercerita tentang usaha Aji Usup menghubungi para raja di seberang untuk duduk dalam armada gabungan memukul Malaka. Wiranggaleng mendengarkan dengan diam-diam. la gembira tapi tidak menunjukkan pada tamunya. Liem Mo Han telah menceritakan segala-galanya untuk diteruskan pada sahabatnya itu kecuali satu hal: pertikaian antara Ratu Aisah dan Sultan Trenggono. Dalam hati ia mengucapkan syukur telah ada kesepakatan bulat di Demak untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar daripada beberapa belas tahun yang lalu. Aceh juga akan menyumbangkan pasukan di samping sendiri akan berusaha mengusir Peranggi dari Pasai. “Dan, Kang Galeng, sekali ini pasukan Bugis-Makasar yang gagah berani itu akan ikut serta juga. Mereka akan berangkat lebih dahulu dan menunggu di Aceh. Aku lihat kau bersinar-sinar, Kang.” Gelar dan Kumbang berlarian mendapatkan Pada. “Paman kelihatan kurus!” tegur Gelar. “Dan kau nampak semakin gagah, Gelar. Hai, Kumbang, sudahkah ada makanan buat paman kurus yang kelaparan ini?” “Tunggu!” sambut Kumbang, dan ia lari mendaki tangga Terdengar ia berseru-seru pada emaknya. Idayu muncul di beranda pondok dan menegur keraskeras: “Pada Kaukah itu?” “Akulah ini, Mbokayu. Kalau masak hati-hati,” Pada memperingatkan. “Tentu, babi takkan tercampur dalam makananmu.” “Gelar, kayu bakar itu sudah cukup kering, bawa ke bawah rumah” Wiranggaleng memerintahkan anaknya. “Seluruh kekuatan akan didaratkan. Perang laut akan dihindari” “Tak bisa lain. Memang harus begitu,” Senapati Tuban itu mengangguk dan matanya bersinar-sinar, lupa bahwa ia hanyalah seorang petani di sebuah desa perbatasan. Dan diulanginya kata-kata yang disukainya itu, “Benar kata Rama Cluring, Jawa bisa dipersekutukan hanya dalam kesatuan Nusantara. Betapa aulia dia. Tapi benarkah Trenggono pewaris cita-cita Unus? Mungkinkah itu? Bukankah berita terdahulu ia hendak menguasai seluruh Jawa? Apakah bukan kau yang salah dengar?” “Itu cerita Babah Liem. Kau sendiri mengenal siapa dia. Kau ragu-ragu terhadapnya?” “Apa pun keraguanku, Pada, penghalauan Peranggi dan Malaka adalah kunci, kunci segala.” “Bayangkan, Kang Galeng, berpuluh-puluh kapal dan Jepara bergabung dengan kapal dari mana-mana, membeludag di atas laut. Siapakah takkan berbesar hati jadi laksamananya?” Pada diam. Lelaki yang sedang mengaduk air enau mendidih di depannya itu termenung-menung. “Dan barangkali juga Tuban ikut serta di dalamnya,” sambungnya. Ia lihat Wiranggaleng menggeleng tak kentara. “Kapal Jepara takkan kurang dari tujuh puluh!” “Baik, itu baik. Gelar, mari aku bantu. Teruskan mengaduk, Pada”. Ditinggalkannya Pada mengaduk bubur gula. Ia sendiri mengangkati kayu bakar membantu anaknya. Tak lama kemudian ia berseru-seru ke atas: “Jangan terlambat, Dayu. Sudah siap-belum kelapa parutan?” Idayu turun dari rumah membawa kelapa parutan di atas daun pisang, menghampiri Pada, melemparkan kelapa itu ke dalam bubur gula. Dari tempatnya Wiranggaleng dapat menangkap pandang Pada yang membelai wajah dan tubuh istrinya. Tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan duka merasakan kepahitan hidup sahabatnya. Cepat-cepat pikirannya ia alihkan pada Trenggono jauh di sebelah barat sana. Dalam hati-kecilnya ia masih belum yakin Sultan Demak dapat berbalik pikir begitu cepat. Raja itu orang yang tidak mampu memegang, tidak mungkin bisa bermufakat dengan orang lain. Kalau tidak dia takkan sampai membunuh abangnya sendiri. Tak mudah orang dapat meninggalkan kerakusan. Bila toh benar Trenggono hendak mengirimkan armada besar ke Malaka, barang tentu telah terjadi sesuatu. Dan apakah sesuatu itu? Adakah muncul orang tertentu yang begitu berpengaruh terhadap Sultan? Selesai mengangkuti kayu ia kembali menghampiri Pada. Dan Idayu sedang membariskan cetakan gula dari potongan-potongan ruas bambu. “Apakah Liem Mo Han pernah menghadap Sultan?” “Itu aku tak tahu.” “Sudah, tinggalkan cetakan itu, biar kuteruskan.” Idayu pergi dan naik ke atas rumah. “Barangkali sudah terjadi sesuatu yang baru di Demak?” “Memang ada, Kang Galeng, datangnya Fathillah, sekarang ipar Sultan.” “Aku kenal nama itu. Teruskan, Pada.” “Kabarnya ia telah diangkat jadi Panglima Demak. Seluruh pasukan darat kecuali pasukan kuda berada di tangannya, juga seluruh armada Demak.” Dan berceritalah Pada tentang segala yang diketahuinya sambil tak melepaskan perhatian pada airmuka Senapati Tuban akhirnya: “Hm tampaknya kau tak percaya pada keampuhan Fatahillah. Kang, dia orang dari Pasai.” “Ya, aku tahu. Dia pernah dikalahkan Peranggi di Pasai, Dia telah tinggalkan negerinya, makin jauh dari Peranggi. Mungkin semakin jauh begitu dia akan semakin berani. Mungkinkah setelah semakin jauh begitu dia akan berani mendatangi Malaka? Aku ragu, Pada.” “Tujuh puluh kapal, Kang Galeng, paling tidak dapat memuat sepuluh ribu prajurit” “Demak takkan punya kekuatan sebanyak itu. Kau mengimpi. Padas”. “Siapa dapat melihat dalamnya telor, Kang Galeng. Dan itu belum lagi yang bakal bergabung. Dengan armada semacam itu ayam pun berani menyerbu Malaka.” Wiranggaleng tetap termangu-mangu. Pikirannya bekerja seakan ia kembali jadi Senapati Tuban. Tujuh puluh kapal besar, ditambah dengan yang bakal bergabung! Laut. Meriam. Armada Peranggi semua tiba-tiba jadi masalahnya pribadi. Dan kapal-kapal itu dirasakan seperti kulit tubuhnya sendiri, dan layar sebagai paru-parunya sendiri. Dan pikiran itu selalu menjondil bila nama Trenggono masuk kedalamnya. Mungkinkah telah terjadi perubahan pada Sultan? Tetapi pemipin pasukan kuda Demak tetap di tangannya…. Pada mulai menuang bubur gula ke dalam cetakan. Busa bubur itu telah surut terkena kelapa parutan dan kini mulai mengental. “Ada yang belum dikatakan padamu, Kang. Jangan kau terkejut. Putra-putra Semenanjung sendiri juga akan ikut bergabung. Dan, dan, ada juga armada kecil Tiongkok yang akan datang dari utara. Perang telah juga mengganggu perairan Tiongkok, selamat Kang.” Wiranggaleng mendengarkan dengan hati-hati dan tetap dengan keragu-raguan pada pasukan Kuda Demak. Waktu makan bersama Senapati Tuban itu telah tenggelam dalam pikirannya. Ia belum dapat mempercayai seluruhnya. Ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada Trenggono, karena dialah kunci Nusantara sekarang. Tak ada sesuatu yang baik yang dapat diharapkan keluar dari perbuatan seorang pembunuh saudara. Idayu memperhatikan raut muka dua orang lelaki itu bergantiganti. Dan ia mencoba mengalihkan suasana dengan bicara soal makanan dan perburuan dan perladangan. Tak berhasil. Setelah selesai makan, kecuali Pada, semua minum tuwak. Dan orang lelaki itu kemudian menarik diri dan bertiduran di geladak serambi. Dan waktu matari mulai condong ke barat Senapati Tuban membangunkan tamunya, memberitahukan sudah tiba waktu baginya untuk bersembahyang. “Dan akan terus turun ke sawah. Pada, Gelar! Kau yang membawa sapi!” “Aku ikut,” kata Pada. “Kau belum lagi bersembahyang.” “Nanti di sawah sana.” Dan mereka pun turun, berangkat ke sawah. Yang tertinggal di rumah hanya Idayu dan Kumbang. Sawah itu bersambungan dengan sawah desa. Dari air buangan itu ia menggenangi sawahnya sendiri. Dan tidak dapat dikatakan luas, kurang dari satu bahu dan ditanami sekali saja dalam setahun untuk menghasilkan beras selama setahun penuh, bahkan berlebihan. Di musim kering ia berladang dan sawah ia tinggalkan jadi padang rumput. Pada dan Gelar menggaru bergantian. Wiranggaleng menghancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah yang tak terkena garu. Dan bongkah-bongkah tanah yang terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing tanah dan kelabang dan jengkerik berapungan, berenang mencari daratan kering di tanggul-tanggul, menyelamatkan diri dari kebinasaan. Gelar mencambuki binatang-binatang itu sambil menyanyi menyenggaki Pada di atas luku yang sedang mendendangkan kisah para nabi. Di sawah desa tiada seorang pun nampak bekerja, karena memang belum waktunya. Dalam mencangkul seorang diri di pojokan petak pikiran Wiranggaleng tetap tercencang pada Trenggono. Muka dan seluruh badannya bergelimang lumpur. Orang takkan mengenalnya lagi. Antara sebentar ia cuci mukanya dengan air lumpur yang agak bening, tapi tak lama kemudian lumpur menutup mukanya lagi. “Orang yang tak pernah mencangkul tanahnya sendiri itu yang justru paling banyak tingkah mengurusnya,” pikirnya kemudian. “Kalau Trenggono pernah mencangkul begini, mungkin tak ada pikiran padanya untuk merayah tanah orang lain.” Dan pada waktu itu datang seorang penunggang kuda, berseru-seru lantang: “Senapatiku! Senapatiku!” Wiranggaleng mencaup air yang nampak agak bening, menyeka mukanya, dan dari balik pemandangan yang agak kabur dilihatnya seorang prajurit pengawal Tuban dan menghampiri. “Sini!” balas Wiranggaleng. Dengan masih membawa cangkul ia naik ke atas pematang. Prajurit itu melompat turun dari kuda, lari mendapatkannya, bersujud dan menyembah. “Bangun!” bentak Senapati Tuban. “Apa artinya semua ini?” “Sahaya mengawal Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi, datang untuk mengunjungi Senapatiku. Gajahnya masih agak jauh di belakang” ’Dengan gajah. Dia datang sebagai Patih Tuban,’ pikir Wiranggaleng, “Urus kudamu.” Kemudian ia menceburkan diri ke dalam saluran sawah, mandi di dalam air kuning itu, menggosok badan dengan celana yang habis dicucinya. “Tani begini, prajurit, tak pernah berkulit bersih.” “Senapatiku, sahaya pun anak petani.” “Dan kau lebih suka jadi prajurit pengawal daripada tani, bukan?” “Sahaya, Senapatiku.” “Jangan panggil aku Senapati, aku si petani kotor,” katanya sambil mengenakan celananya yang basah dan melompat naik ke atas tangguk “Masa Senapatiku lupa pada bidai keprajuritan: Selama musuh ada, belum ada atau sudah dikalahkan, Senapati tetap Senapati? Marilah Senapatiku, datang menyongsong Gusti Patih Kala Cuwil Sang Wirabumi” “Berangkat kau dulu, Prajurit! Aku tak menyongsong siapa pun.” “Ampun, Senapatiku, bukan maksud sahaya….” “Berangkat!” perintahnya. Prajurit itu mengangkat sembah, menuntun kudanya dan pergi ke arah datangnya. “Ada sesuatu yang sedang terjadi di Tuban, Kang,” Pada menukas “Tuban membutuhkan seorang Wiranggaleng.” “Husy!” “Dan sekali ini aku pasti akan ikut denganmu. Tidak untuk kau suruh melompat ke laut.” Gelar mengikuti percakapan itu tanpa mengerti duduk perkara. “Lebih baik kau pergi sekarang, Kang. Kami berdua akan selesaikan petak ini.” “Pergi dengan seluar basah begini?” “Betul juga.” Dari kejauhan terdengar sorak orang-orang desa. “Itulah barangkali Gusti Patih Tuban,” Gelar naik ke tanggul dan mendengar-dengarkan. “Hari ini kita bekerja sampai di sini Paman, mari mandi.” Wiranggaleng pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah keluar dari hutan muda dari kejauhan nampak olehnya gajah kendaraan Sang Patih diapit oleh prajuritprajurit berkuda bersenjatakan tombak. Kala Cuwil berdiri di atas bentengan kayu menerima sembah penduduk desa, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menjawabi sembah dengan lambaian tidak kentara. Destarnya gemerlapan karena intan-intan yang menghiasinya sedang bercumbuan dengan sinar matari senja. Dan di belakangnya orang-orang desa segera berdiri dari sujud dan sembah dan kemudian bersorak riuh. Ia berhenti sejenak untuk melihat Kala Cuwil dengan kebesarannya, menggeleng-geleng, tersenyum, kemudian langsung menuju ke pondoknya. Dilihatnya Idayu dan Kumbang telah turun dari rumah untuk menyambut, dan ia menggabungkan diri dengan anak dan istrinya. Di hadapan mereka membentang panjang jalanan yang dibikin oleh desa sampai ke depan pondok. Dan gajah itu telah memasuki jalanan baru itu. Pasukan pengawal kadipaten itu mengedrap kudanya seiringan dengan gajah yang berjalan lambat. Di belakangnya semua penduduk desa mengiringkan. Makin lama gajah itu makin dekat, makin mendekati pondok. Pengawal yang di depan melepaskan diri dari barisan dan seperti melayang menghampiri pondok, berhenti di hadapan Wiranggaleng dan mengangkat tombak mereka. Seorang di antaranya berseru: “Senapatiku! Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi berkenan datang untuk berkunjung.” “Wiranggaleng sudah menunggu,” jawab Senapati. Prajurit-prajurit itu serentak menurunkan tombaknya dan kembali menggabungkan diri pada barisannya. Gajah itu semakin dekat, makin dekat. Dua puluh depa dari pondok binatang dalam apitan barisan itu berhenti. Kala Cuwil berdiri dalam bentengan, mengangkat tangan kanan dan berseru: “Senapatiku! Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi datang berkunjung.” “Masuklah, Sang Wirabumi!” Gajah itu berlutut, kemudian mendekam. Kala Cuwil turun dan mengangkat sembah dada pada Senapati. Dan Wiranggaleng tidak membalasnya. Idayu berlutut menyembahnya dan Kumbang bersimpuh, menyembah pula. Jalanan itu telah penuh dengan semua penduduk desa, juga dari desa-desa lain. Kepala dan tetua desa keluar dari rakyatnya, menghampiri Sang Patih, bersujud dan mencium kaki bergantian. Kala Cuwil dan Wiranggaleng serta keluarga naik ke rumah. Dari bentengan kayu di atas gajah orang menurunkan kranjang-kranjang garam dan ikan asin dan trasi dan memasukkannya ke pondok Idayu. Penduduk desa masih pada duduk di jalanan menunggu perintah dari Sang Patih Tuban. “Kau datang sebagai Patih Tuban dengan segala kebesaran, Kala Cuwil,” Wiranggaleng memulai. “Tetap sebagai teman, Senapatiku.” “Kau harus menginap. Sebentar lagi malam.” “Ya, kami semua harus menginap.” “Kepala desa nanti akan mengatur segalanya.” “Bagaimana kesehatan Senapatiku dan keluarga?” “Samalah dengan Sang Patih Tuban.” ‘ah’ “Nampaknya kau sudah sangat berkuasa, Kala Cuwil.” “Keris Senapatiku yang bikin aku jadi patih ini.” Wiranggaleng merasa tersinggung mendengar jawaban itu. Ia tidak menduga tamunya sudah begitu berubah dan mabok kekuasaan, sehingga kematian Sang Patih lama dianggapnya sebagai pendukung atas kekuasaannya. Kala Cuwil memperhatikan pakaian tuan rumah yang kuning tercampur lumpur. Kemudian terdengar suaranya yang di ucapkan dengan gaya pembesar terhadap bawahan: “Mana Gelar, anak Senapatiku?”!’ “Uah, anak desa, masih di sawah. Senja ini baru akan pulang” Dan Kala Cuwil belum juga mengatakan apa maksud kedatangannya, Wiranggaleng memperhatikan airmuka tamunya dengan waspada. Patih Tuban itu mendekatinya, membisikkan sesuatu, kemudian tertawa terbahak. Tetapi tuan rumah tidak menyertainya tertawa. “Aku bisa bayangkan,” Senapati mengangguk-angguk, “betapa suli melayani orang tua yang semakin bawel dan bertingkah. Lihat, akan kau biarkan kawulamu, penduduk desa ini bersimpuh menghormati begitu rupa?” “Tiada kulihat mereka.” “Kau hanya melihat ke atas. Kala Cuwil,” ia turun, menyuruh penduduk pulang, menyiapkan santapan malam dan penginapan untuk tamu agung. Ia memberikan petunjuk khusus pada kepala desa. Waktu ia naik kembali Sang Patih sedang bicara dengan Idayu terdengar olehnya buntut kata-kata Idayu: “Si Kumbang belum cukup dia keloni. Gusti.” Wiranggaleng menghentikan langkahnya. Ia lihat Idayu dengan terburu-buru seperti orang marah, menarik Kumbang, memeluknya kemudian dibawanya masuk ke dalam bilik. Ia masih sempat melihat Kala Cuwil membalikkan badan untuk menunggu kedatangaannya. Kemudian dari dalam bilik terdengar olehnya suara istrinya; “Nasibmu, Nak, nasibmu.” Wiranggaleng mengawasi Sang Patih dengan mata curiga “Bukan maksudku, juga bukan kehendakku. Senapatiku. Sang Adipati memanggil kembali Sang Senapati. Senapati telah diangkat jadi pimpinan gugusan Tuban untuk ke Malaka. Lima ratus orang ada Senapatiku, seperti beberapa belas tahun yang lalu.” Wiranggaleng terduduk di ambin. Ia terpukau. pada sesuatu yang justru tidak dilihatnya. Tangannya mendekam paha kemudian berubah jadi tinju. “Senapatiku! Aku datang sebagai Patih Tuban Sang Wirabumi.” Wiranggaleng tak menjawab. Bibirnya tertarik lempang dan menghembuskan nafas desis. “Bukankah Senapatiku masih kawula Tuban?” Wiranggaleng menarik kedua belah lengannya jadi sikusiku dan menompangkan tinju pada kedua belah pahanya. Duduknya tegak, giginya berkerut. Dari dalam bilik dia dengar suara istrinya, tak jelas. “Senapatiku belum juga menjawab.” Tuan rumah bangkit berdiri, melangkah cepat-cepat masuk ke dalam bilik, dan tamu itu mendengar suatu percakapan pelahan antara suami dan istri. Agak lama. Kemudian, tanpa diduganya, terdengar suara Idayu kesal: “Semua yang berbahaya dan berat diberikan kepadamu. Bakal mendapat apa anak-anak ini nantinya?” 0odwo0 31. Kembali ke Malaka Memang berbeda dengan peristiwa tahun 1275 Masehi. Dahulu itu bandar Tuban penuh dengan umbul-umbul dan sorak-sorai yang berkumandang seperti guruh. Pendetapendeta Buddha dengan jubah kuning menggemerincingkan giring-gliing naik-turun ke kapal-kapal, tiga puluh buah banyaknya, untuk memberikan restu. Sri Baginda Kartanegara, raja Singosari sendiri mengantarkan berangkatnya armada yang dipimpin oleh Raden Wijaya dan seorang admiral yang kelak terkenal dengan nama Mahesa Anabrang. Baginda bersabda: Ekspedisi militer ini harus berhasil, harus, demi Maha Buddha. Kalau tidak, Jawa akan remuk dilindas kekuatan Jenghis Khan. Dan berangkatlah armada itu untuk memasuki daerahdaerah yang diperkirakan bisa jadi pangkalan armada kerajaan langit Jenghis Khan! Sekali armadanya berhasil menusuk ke selatan, memuntahkan balatentaranya yang termasyhur penunggang kuda dan lebih masyhur juga akan keganasannya, maka Jawa dan Nusantara takkan bangun lagi. Maka Sri Baginda Kartanegara telah memerintahkan: persatukan Nusantara. Setiap pulau harus jadi benteng terhadap serangan dari utara: Dan dengan demikian armada Singosari muncul dengan segala kebesaran negerinegeri Melayu. Dua ratus tiga puluh tiga tahun kemudian, pada 1523 Masehi, berangkat pula sebuah armada ekspedisi militer. Tidak ke daerah Melayu, tetapi ke Malaka. Tidak dengan umbul-umbul dan upacara, tanpa pendeta-pendeta Buddha membawa giring-giring, tidak dengan tiga puluh kapal perang tetapi dengan tiga puluh buah jung! Tidak diantarkankan Sang Adipati Tuban, hanya oleh Patih Sang Wirabumi. Tidak ada sorak sorai. Semua yang mengantarkan, semua penduduk kota menonton dengan diam-diam, dan curiga. Bahkan Sang Adipati menolak menyerahkan dua pucuk meriam. Juga dalam dada mereka yang mengantarkan tanpa sorak telah terjalari perasaan umum: mereka pergi untuk tidak kan kembali. Mereka balatentara dari gugusan Tuban itu. “Baik,” kata Wiranggaleng pada Kala Cuwil yang berdiri di dermaga. “Kami akan berangkat sebagai hukuman.” “Patih Tuban tidak menghukum siapa pun, Senapatiku. Semua atas perintah langsung Sang Adipati.” “Ingat-ingat ini: Wiranggaleng takkan kembali ke negeri ini sebelum Sang Adipati mati.” “Senapatiku, Kala Cuwil tak bisa berbuat apa-apa.” “Ada! Katakan padaku, jung-jung siapa semua ini?” “Jung-jung para pedagang Tionghoa, Senapatiku, ditarik dari mana-mana bandar oleh Liem Mo Han. Senapatiku nanti akan bertemu dengannya di Lao Sam. Sang Adipati tak sudi menyerahkan kapal barang sebuah pun.” “Lima ratus orang diserahkan untuk jadi perburuan kapal Peranggi! Kami diharapkan jadi makanan hiu. Tak dapat bertahan sedikit pun terhadap Peranggi. Baik, kami jalani hukuman mati ini.” “Kala Cuwil tak dapat berbuat apa-apa.” Wiranggaleng tak menggubris ulangan itu. Dengan geram ia memasuki jungnya diiringkan oleh Pada. Sunyisenyap di dalam jung itu: ia jatuhkan perintah berangkat. Dan jung-jung itu mulai bertolak. Tiada orang bicara. Prajurit laut yang diberangkatkan bertanya-tanya dalam hati: Apa kesalahan maka Sang Adipati berlaku demikian terhadap kawula sendiri, dan siapa sesungguhnya yang mengajukan namanya untuk menyertai ekspedisi ini? Mereka sendiri saksikan betapa geram pemimpinnya, Senapati Wiranggaleng. Dan orang melihat, tak seorang pun di antara keluarga Senapati datang menguntapkan keberangkatannya. Orang pun mengetahui: Idayu telah menyatakan seumur hidup takkan sudi menginjakkan kaki di ibukota negeri Tuban. Bahkan anaknya memasuki umur lima belas itu tidak mengantarkan – suatu hal yang dianggap tidak patut bagi seorang anak Senapati. Dan ditambah lagi dengan sumpah Wiranggaleng sendiri yang takkan kembali lagi ke Tuban sebelum Sang Adipati mati. Setiap orang punya pikirannya sendiri. Juga Senapati. Ia masih sempat mengenangkan peristiwa manis sebelum berangkat meninggalkan Awis Krambil. Anak-anak itu bersimpuh dan mencium kakinya, berjanji akan menemani, membantu dan membela ibu mereka. Dan Idayu, ah, wanita yang selalu ditinggalkannya itu – ia tak bicara apaapa. Hanya mata merahnya mengatakan segala-galanya; protes keras tak terucapkan terhadap Sang Adipati. Dan seluruh penduduk desa datang untuk mengucapkan selamat jalan. Wanita pada menangis untuk Idayu, dan pria menekur mengherani keputusan Sang Adipati mondarmandir terhadap anak desa yang perwira itu. Ia naik ke atas benteng penduduk: “Jaga Nyi Gede Idayu dan anakanaknya. Urus keselamatan dan kesejahteraan mereka.” Di Tuban Kota Sang Adipati menolak dihadap. Dan sekarang jung-jung, bukan kapal perang untuk berangkat ke medan perang. Lain lagi halnya dengan Pada. Berkali-kali ia mengucapkan syukur alhamdulillah karena keberangkatannya. Setidak-tidaknya ia merasa mendapatkan kembali kemerdekaannya. Semakin jauh jung-jung bendera itu meninggalkan pantai, semakin mudah ia dapat menyusun pikirannya. Di Awis Krambil ia merasa otak dan hatinya terbelenggu. Salah seorang isi rumah di pinggir hutan itu terus juga mendayu-dayu memanggilnya. Kalaulah tidak disuruh Wiranggaleng tak bakal ia dapat meninggalkan desa perbatasan itu untuk menemui Liem Mo Han. Pada hari pertama kedatangannya di Lao Sam ia diajak Liem Mo Han beiialan-jalan sepanjang Dusun, menikmati pemandangan pantai yang dijaga oleh bukit-bukit rumah. Suara Gabah Liem tinggi menusuk. Sekalipun dalam tiupan angin keras terus-menerus, suaranya tetap tak menyenangkan masuk ke pendengarannya. Dan ia ingat sepatah demi sepatah. “Memang banyak bandar-bandar yang menolak bergabung, kira-kira takut pada pembalasan Peranggi bila serangan gagal. Memang sulit untuk dapat meramalkan. Semestinya Malaka dengan mudah bisa dijatuhkan. Ada suatu kelemahan umum pada mereka: penjagaannya di belakang tidak serapi yang di depan. Penyerangan dari barisan punggungnya akan membikin mereka kocar-kacir. Kita akan lakukan itu.” Dan ia bertanya: “Kita? Maksud Babah Tiongkok juga akan ikut serta?” Dan Liem Mo Han menjawab: “Tidak, kami hanya perantauan buangan dari Tiongkok. Kami hanya bisa membantu dengan apa saja yang dapat kami bantukan. Kami hanya pedagang, bukan prajurit. Aku sudah usahakan agar ada kesatuan Tiongkok ikut bergabung. Mereka menyanggupi dan akan diturunkan dari Teluk Tonkin.” “Siapa mereka itu?” Liem Mo Han tak menjawab, hanya berkata, “Aku sebenarnya malu tak mampu menyertai di medan perang nanti. Sudah diserukan di mana-mana negeri supaya orangorang Tionghoa punya perhatian dan ikut bergabung dalam penyerangan umum. Belum jelas apa jadinya nanti. Kesatuan Tiongkok akan serta. Semoga berhasil.” Kata-kata itu sama sulitnya untuk dapat ia pahami dengan tingkah hatinya sendiri yang mengimpikan Idayu, istri dari seorang sahabat Wiranggaleng, dan berharga bagi dirinya sendiri. Seluruh awak jung yang tiga puluh buah itu tak berbahasa Jawa atau Melayu. Semua orang Tionghoa totok, dan nampaknya semua mereka menghindari percakapan dengan para prajurit. Bila terpaksa hanya bahasa gerak yang dipergunakan. Sebagian kecil dari awak kapal beragama Islam dan pada setiap kesempatan ikut berjemaat. Di Lao Sam armada jung itu berlabuh. Liem Mo Han menjemput Wiranggaleng dan menemukan Pada ikut serta. “Tak perlu lama-lama berlabuh di sini,” pesan Babah Liem. “Senapatiku bisa tertinggal oleh armada Jepara.” Sementara itu dari dermaga dipunggah ke dalam jungjung itu bahan makanan, pakaian dan senjata. “Juga tidak perlu bermalam di Jepara. Bila sudah sampai di Semenanjung, memantai sebelah barat Sumatra, Senapatiku mendarat di mana saja di sebelah utara Malaka. Pasukan-pasukan Aceh sudah tahu di mana harus mendarat. Bila Senapatiku sampai di Aceh, pasukan gabungan Aceh-Bugis sudah menunggu di sana.” Wiranggaleng terheran-heran mengapa kata-kata sahabatnya begitu kacau, dan mengapa dia yang memberikan petunjuk kemiliteran dan bukan Panglima Demak Fathillah. Ia tatap sahabatnya dengan pandang tidak mengerti. Melihat itu Liem Mo Han meneruskan dengan gugup: “Ya, Senapatiku, sahaya hanya meneruskan pesan Gusti Ratu Aisah, Ibunda Sultan. Tuban, Aceh dan Bugis akan merupakan satu kesatuan tersendiri. Demak akan menyerang dari sebelah selatan sebagai kesatuan tersendiri pula, dan akan melakukan pendaratan dari sebelah timur Semenanjung. Boleh jadi armada Demak sudah berangkat terlebih dahulu. Atau lebih kemudian.” Wiranggaleng semakin terheran-heran. Bagaimana bisa demikian? Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia curiga. Ia anggap Liem Mo Han tak mempunyai sesuatu hak untuk memberinya petunjuk barang sedikit pun di bidang ini. Dan ia menatapnya dengan curiga. Dan Liem Mo Han berusaha untuk tidak bicara lagi, mencari dalih untuk segera dapat menghindarinya. Senapati Tuban mengucapkan terima kasih atas usahanya mendapatkan jung sebanyak itu. Pada berusaha menyertai bicara, tetapi Liem Mo Han hanya menghormatinya dengan sopan kemudian mengundurkan diri, dengan dalih yang tidak masuk di akal. Armada jung meneruskan pelayaran. Suasana tetap: suram bertanya-tanya. Walau telah dipesan oleh Liem Mo Han agar tak bermalam di Jepara, Wiranggaleng memutuskan untuk singgah dan mencari keterangan yang benar. Ia ingin mendapatkan petunjuk dan perintah langsung dari Fathillah. Ia melihat Pada nampak bingung, kuatir dibangkit-bangkit, maka ia sengaja tak hendak bertanya padanya. Sedang Pada sendiri pun tidak mengerti mengapa Liem Mo Han menjadi begitu aneh. Terhadap dirinya pun ia bersikap seolah tak mengenal, seakan bukan lagi seorang ayah angkat. Dan nampak olehnya orang itu gugup dan ingin segera pergi mengakhiri pertemuan itu. Armada jung itu berlayar terus dalam suasana muram. “Kosong!” seru Wiranggaleng waktu dari jung bendera ia melihat pelabuhan Jepara kosong. Hanya sebuah kapal perang nampak, dan itulah kapal bendera Adipati Unus yang dipajang di pelabuhan. “Tak kelihatan barang sebuah pun kecuali yang satu itu!” serunya geram. Bekas kapal bendera itu bergeleng-geleng lemah. Berbelas tahun lamanya menjalankan perintah Unus untuk jadi tontonan ummat manusia sebagai kapal yang pernah bertempur melawan Peranggi silelananging jagad. Sekalipun kalah dan dikalahkan dia pernah melawan! Dan kapal pameran itu seakan dimaksudkan sebagai lambang kapal mana pun bisa melawan Peranggi. Adipati Unus telah melarang diadakannya perbaikan setelah 1513. Tiang-tiang layar dibiarkan patah, haluannya terpenggal, bahkan kaki cetbangnya terbalik dengan tubuh tinggal sebagian kecil. Dindingnya yang complak tinggal menganga. Perbaikan yang diperkenankan hanya atas kerusakan yang bisa membikin kapal itu tenggelam. Dan semua orang diperkenankan naik ke atasnya untuk menonton. Sultan Trenggono tak suka melihatnya. Ia tak pernah memerintahkan untuk menenggelamkannya. Hanya pekerjaan perawatan tak diperkenankan diteruskan. Dengan demikian bekas kapal bendera itu dinamaikan satu itu. Lima ratus prajurit laut Tuban yang bersemangat rendah sejak mancal, melihat kekosongan Jepara seperti melihat bekas pesta. Di mana-mana nampak daun bekas pembungkus yang bersebaran dan bermain-main ditiup angin. Dan kalau selama pelayaran mereka banyak termenung-menung, sekarang mereka mulai berteriakteriak: ”Kurangajar! Tak tahu diuntung!” Wiranggaleng dapat mengerti perasaan anakbuahnya. Perasaan mereka adalah juga perasaannya sendiri. Ia telah menduga ada pengkhianatan tersembunyi dalam perintah pemberangkatan ini. Ia belum tahu apa dan bagaimana. Bahkan ia pun mulai mencurigai Pada. Bagaimanapun sahabatnya itu bekas seorang musafir Demak, dan mungkin masih tetap seorang musafir Trenggono. Jung bendera mulai melewati yang satu itu, memasuki selat antara pulau Kelar dan pulau Panjang. Senapati Tuban itu memerlukan mengangkat sembah pada gambaran gaib Adipati Unus. Dan jung menuju langsung ke pelabuhan. Bandar itu sunyi walaupun di mana-mana terpasang umbul-umbul segala warna. Galangan dan bengkel sama sekali berhenti bekerja. Bahkan Syahbandar pun tak nampak menjemput, sebaliknya seorang wanita tua berpayung hitam, berdiri, bersama seorang gadis, di samping sebuah tandu yang tergeletak di atas tanah. Para penandu nampak duduk-duduk di kejauhan menonton berlabuhnya armada aneh itu. Wiranggaleng mendarat dengan wajah merah padam. “Anakku,” tegur wanita tua berpakaian serba hitam itu. “Sudah kami duga kau akan singgah.” Senapati Tuban segera teringat pada wanita tua itu. Ia bersimpuh dan menyembah: “Gusti Ratu, patik singgah.” “Armada Jepara telah berangkat mendahului. Tentu Babah Liem sudah sampaikan segalanya padamu, Wiranggaleng, Senapati Tuban. Jangan berkecil hati, karena kau, anakku, akan membentuk kesatuan sendiri dengan Aceh dan Bugis. Terimalah ini, cincin yang pernah dibawa dan dikenakan almarhum Unus waktu menyerang Malaka, pertanda kau diberi wewenang oleh Jepara dan Demak. Sri Baginda Sultan Trenggono merestui kau. Senapati Tuban. Allah akan memimpin dan memberkati dan melindungi kau dan semua anakbuahmu, demi doa kami. Insya Allah selamat dan berhasil.” Wanita tua itu minta Wiranggaleng mengulurkan tangan-kanannya, kemudian memasangkan cincin. Dan Senapati membalas dengan sembah dan beribu terimakasih dengan kepercayaan itu. Ia memberanikan diri mengangkat muka dan bertanya: “Ya, Gusti Ratu, apakah gerangan sebabnya pasukan kami diangkut dengan jung Tionghoa, bukan dengan kapal perang sebagaimana layaknya?” “Jangan bertanya, anakku, karena itulah kiriman Allah dan bukan sekedar manusia yang mengusahakan.” “Bagaimanakah jung-jung ini tanpa barisan pendayung untuk bisa bergabung dengan armada Jepara-Demak?” “Jalan dan tugasmu telah ditentukan, anakku. Lepaskan armada Jepara-Demak dari pikiranmu.” “Armada jung ini takkan dapat lari dari Peranggi, Gusti Ratu, tak dapat melawan sedikit pun di laut.” “Kau takkan dikejar Peranggi, juga tidak melawan di laut. Tugasmu melakukan pendaratan.” Wanita tua itu naik ke atas tandu bersama cucunya. Dan para penandu lari menghampiri, menyembah, kemudian mengangkatnya, bergerak meninggalkan bandar. Wiranggaleng tertinggal berlutut di atas pasir. Ia makin tidak mengerti. Ia perintahkan para peratus untuk segera mendarat: “Sampaikan pada anakbuah kalian, jangan berkecilhati. Apa pun yang terjadi dan tersedia, kita bertekat untuk menggempur Malaka. Jangan pikirkan yang lain.” Orang mulai berdatangan di pelabuhan untuk melihat armada aneh – armada jung berbendera Majapahit. Armada apakah ini gerangan? Armada dagang membawa beras ke Pasai? Dan tidak lain dari Wiranggaleng juga yang merasa jengkel armada-anehnya jadi tontonan, dianggap sebagai keanehan jaman yang perlu disaksikan. Dari suatu tempat yang terlindung. Ratu Aisah di atas tandunya mengantarkan armada jung itu dengan pandang yang memendungi selaput awan. “Nenenda,” panggil cucunya, “ke mana mereka belayar?” “Malaka, mengusir Peranggi.” “Mengapa nenenda menangis?” “Kapal-kapal besar dan kuat dan mewah bikinan pamanmu. Upik, semestinya mengangkut mereka.” “Ya, nenenda, tapi mengapa nenenda menangis?” “Upik, kadang ada gunanya orang menangis untuk mengucapkan syukur, kadang untuk mengucapkan doa dan diri merasa demikian rendahnya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Masih kau ingat pamandamu, Unus, penantang Peranggi?” “Tentu, nenenda. Paman Adipati Unus, penantang Peranggi.” “Dan ingat-ingatlah satu nama lagi: Wiranggaleng. Dia pun menantang Peranggi. Kau masih terlalu kecil untuk dapat mengingat wajah pamanmu almarhum. Tapi Wiranggaleng kau sudah lihat sendiri. Jangan sampai kau lupa seumur hidup.” “Yang dikaruniai cincin tadi, nenenda?” “Ya, yang tadi itulah. Lihatlah ke sana sekarang, antarkan armadanya dengan doa selamat, cucunda. Sertai nenenda mengucapkan doa untuk kemenangannya.” Wanita itu mengucapkan sebaris kalimat doa dan cucunya mengulangi. Kalimat demi kalimat sehingga selesai. Kemudian dengan suara dalam karena perasaan tertekan ia meneruskan: “Kelak kalau orang-orang seumur aku telah dipanggil Tuhan, cucunda, orang-orang seumurmu masih harus mengingat satu nama itu, dan satu lagi itu. Kalau kelak negerimu aman, makmur dan sentausa, adil dan sejahtera, adalah karena mereka. Kalau yang sebaliknya yang terjadi mereka gagal. Ya-ya, kelak kau akan mengerti, musuh negeri dan bangsamu bersaf-saf, berlapis-lapis. Aaa, kau tidak dengarkan.” Tandu itu berangkat lagi dengan mengirimkan doa pada armada jung dan cericau cucu tentang umbul-umbul dan rombongan penonton di pelabuhan. Setelah bersembahyang magrib Ratu Aisah berdoa sampai menjelang isya, doa terpanjang yang pernah diucapkan di dalam khalwat. Dengan berlinangan airmata ia memohon kedamaian dan kemampuan untuk memaafkan putranya Sultan Trenggono, karena armada Jepara-Demak telah dilarang oleh putranya menerima penggabungan Tuban, dan berangkat satu hari sebelum waktu yang dijanjikan. Dan bukan sebagian armada yang berangkat, seluruhnya dan dengan seluruh pasukan laut ditambah dengan pasukan kaki. Ia sendiri tak percaya armada itu menuju ke Malaka. Maka ia berdoa agar Allah menggerakkan putranya untuk menggerakkan armada itu langsung ke sasaran. Tapi hatinya tidak yakin. Setelah bersembahyang isya ia menengok cucunya yang ternyata belum lagi tidur, dan direbahkan tubuh tuanya di samping cucunya. “Mengapa nenenda begitu terlambat?” tegur cucunya. “Sekarang, cucunda bacalah surah-surah yang kau sudah hafal.” Cucu itu mulai mengulang-ulang dari surah hafalan sambil bertidur-an. Suaranya semakin lama semakin lemah untuk kemudian terhenti dan disambung dengan nafasnya yang teratur. Ratu Aisah bangkit dan keluar dari bilik. Makan malam itu tak dijamahnya. Ia pergi ke taman, memandangi bintang-bintang bertaburan di langit gelap. Jiwa yang telah tua itu meraung-raung pada antariksa, memanggil-manggil, berseru-seru, terhisak-hisak dalam kekuatiran, dan menjolak-jolak dengan harapan. Ia rasai buminya tiada keteguhan lagi, setapak tanah pun tak lagi kekukuhan untuk berpijak. Ambillah makhluk-Mu ini, habisilah kesia-siaannya, seorang wanita, tua dan tanpa daya. Hidupi terus cucuku, dengan semangat yang sudah dimulai oleh pamannya. Segala sudah aku tempuh, aku usahakan. Janganlah datangkan jaman sebagaimana aku dan orang-orang sebelum aku tiada menghendaki, karena jaman yang itu akan membikin sia-sia segala dan semua yang telah umat-Mu taburkan di bagian bumi ini. Ya Allah, ya Allah. Tengah malam ia baru masuk ke dalam rumah. Para inang masih juga menunggui. Makan malam telah dihangatkan lagi. Ia tak juga datang untuk menjamah. Terdengar percikan air. Ratu Aisah mengambil air wudhu, kemudian kelihatan ia masuk ke dalam khalwat kembali dan bersembahyang tahajjud sampai subuh. Dengan susah-payah armada jung itu berlayar ke arah utara untuk mendapatkan angin yang lebih menguntungkan. Dan Wiranggaleng masih juga tenggelam dalam pembisuannya. Tak ada yang berani mengganggunya. Orang melihat keterangan telah memperkosa airmukanya. Orang-orang yang datang untuk menunggu perintah tinggal duduk-duduk menunggu dan menunggu Bahkan tak ada orang yang berani menyilakannya makan. Tempat kesukaannya adalah lambung kiri. Di sana ia berdiri dengan pandang ditebarkan pada pantai Jawa yang serasa tiada kan habis-habis-nya, siang dan malam. Dan sekali ini ia sengaja mengenangkan kembali pidato Rama Cluring yang terakhir itu, sewaktu cengkaman gurupembicara pada hadirin mulai mengendor, dan di sana-sini orang mulai terdengar mendehem dan terbatuk-batuk. Dan tiba-tiba semua pandang terarah pada Idayu yang angkat bicara: “Rama, aku tak begitu tertarik pada kata-katamu yang belakangan itu. Ceritai saja kami tentang jaman kejayaan yang kau agung-agungkan itu.” Rama Cluring menengok ke arah Idayu, tersenyum dan mengangguk: “Permintaan yang bijaksana. Gadis, agar kalian tahu perbandingan dengan jaman kalian sendiri sekarang ini. Dengarkan, Gadis: “Dalam seluruh pengembaraanku, aku selalu mengagungkan jaman kejayaan itu, biar orang tua-tua sekarang ini tahu sampai di mana mereka sudah merosot, ya sampai ke lutut dibandingkan dengan nenek-moyangnya sendiri. Sayang sekali. Gadis, orang-orang tua itu kalau diceritai, hanya mengangakan mulut seperti buaya berjemur menunggu lalat. Pengelihatannya dan pendengarannya sudah tak peka lagi. Kau anak berbahagia, Gadis. Memang aku lebih suka melayani pertanyaan dan permintaan gadis dan perjaka, karena jaman ini adalah permulaan dari jamannya, dan kalian sendiri, bukan orangtua kalian yang sudah berlengahlengah tak sanggup membiakkan kelapa itu.” “Kau sendiri sudah menyia-nyiakan jamanmu sendiri, Rama,” seseorang memprotes. “Itu menurut kau. Soalnya karena kalian sejak dulu tak mau mendengarkan aku. Sampai berbulu putih begini aku masih terus bicara dan kalian masih juga menganga menunggu datangnya lalat.” “Mulailah dengan cerita itu!” Idayu mendesak. “Baik,” sambar Rama Cluring untuk meninggalkan pertengkaran secepat mungkin. “Dahulu adalah seorang anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang dan sepuluh depa lebar, bisa mengangkut sampai delapan ratus o-rang prajurit dan dua ratus tawanan, kapal-kapal besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini. Pada tiang agungnya selalu terpasang bendera merah-putih yang berkibar tak jemu-jemunya. Seperti bendera kapal-kapal kecil Tuban sekarang ini, hanya lebih pendek. “Beratus-ratus kapal semacam itu dibuat di galangangalangan Majapahit di Tuban, Gresik, Kawal, Panarukan, Pasuruan, Pacitan, Juana… aku kira jumlahnya takkan kurang dari tiga ribu. Penuhlah laut dengan armada Majapahit. Setiap di antaranya pasti akan kalian sangka istana Dewi lautan. Dan setiap kapal pimpinan selalu berlayar sutra kuning gemerlapan.” “Apakah Rama pernah melihat dan menaikinya?” Idayu bertanya lagi. “Waktu muda, ya, dari Gresik sampai ke Nalagasari, dari Malaka sampai ke utara sana, memudiki Kali Mutiara. Tak ada yang menyamai besar dan kelajuannya. Kapalkapal Atas Angin itu, huh, apalah artinya, seperti kambing di sebelah kuda. Dan bila semua layar telah dikembangkan, laksana elang ia meluncur meninggalkan di belakangnya semua bikinan manusia yang terapung di atas laut. Seribu bajak takkan dapat memburu apalagi mengepungnya. Ya, Gadis, aku pernah ikut berlayar dengan sisa jenis kapal Majapahit ini. Tak ada lagi yang bisa membikinnya sekarang.” “Mengapa tak bisa? Bukankah di bandar-bandar orang terus menggalang?” Idayu merangsang. “Aku sendiri pernah berkunjung ke sebuah galangan Tuban setahun yang lalu.” ‘Tidak bisa. Gadis. Sudah lebih seratus tahun orang tak dapat membikinnya lagi. Orang yang dapat mengetahui kayu lunas yang dipergunakan oleh Mpu Nala sudah tiada. “Bocah dari kampung nelayan Tuban itu bukan saja seorang Mpu kapal, ia pun seorang ahli kayu. Memang ia pernah ke kepulauan cengkeh dan pala. Hanya sebuah saja katanya, yang menghasilkan. Pulau itu tidak begitu besar dengan sebuah gunung berapi. Kira-kira seratus tahun setelah Mpu Nala wafat, orang memang masih membangunkan kapal Majapahit, karena masih ada persediaan kayu lunas. Setelah habis, habis pula kemungkinan. “Pada suatu kali,” Rama Cluring meneruskan. Airmukanya nampak lunak, dan ia tidak mempedulikan kegelisahan yang masih juga berkuasa di dalam hati setengah orang, “Sebuah iring-iringan kapal datang ke sana, begitu menurut cerita guruku dulu. Ternyata gunung itu telah meletus, menghancurkan semua hewan, manusia dan tetumbuhan di atasnya. Yang tertinggal hanya seperlima dari pulau itu, putih, tinggal pasir dan karang semata.” “Kalau begitu kayu itu sekarang sudah tumbuh lagi di sana,” Galeng mencoba menyertai. “Mungkin kau tak salah, Perjaka. Tapi orang sudah tak tahu lagi kayu yang mana, pada umur berapa baru bisa diteras dan ditebang, bagaimana merawatnya sebelum dan sesudah ditebang. Lagi pula orang datang ke sana bukan untuk mencari kayu, tapi rempah-rempah semata.” Ia diam sebentar untuk minum. “Memang tidak semudah itu. Mpu Nala telah merahasiakannya. Kalau setiap orang tahu, semua kerajaan di dunia ini bisa juga, maka kapal-kapal Majapahit bukan lagi satu-satunya yang menguasai laut.” “Mengapa kau tak bicara lagi, Kang?” Idayu berbisik pada Galeng. Dan Galeng hanya menggeleng, tenggelam dalam cerita guru itu. “Beruntunglah aku pernah ikut berlayar dengannya. Lunasnya masih tetap utuh, biarpun badannya telah berkali diganti. Kata guruku, sebelum kayu dibentuk jadi lunas, beberapa bulan lama direndam dalam lumpur larutan sesuatu. Orang tak tahu ramuannya. Pewaris tunggal ramuan adalah anaknya, juga seorang Mpu kapal. Sayang,” ia menghembuskan nafas keluh, “ia tewas dalam pertempuran laut di sebelah utara Singaraja dalam perang Paregreg. Ah, jaman silam! Kapal-kapal megah yang mampu membawa ratusan prajurit begitu, dan perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapalkapal semacam itu masih ada, dan sebanyak dulu, tak bakal ada kapal Parsi, Arab dan Benggala berkeliaran ke mari. Satu demi satu kapal itu binasa dalam Perang Paregreg. Kapal dari satu jenis berhadap-hadapan, dengan senjata satu jenis: cetbang. Tenggelam terkubur di dasar laut akhirnya semuanya. Sebuah kapal dari jenis ini pernah dilarikan dari Tuban ke Malaka. Yang melarikan ialah suami kaisar Suhita. Dengan diiringkan oleh beberapa buah kapal kecil Pangeran Bhre Paramesywara itu marak jadi raja di Malaka, tetapi tak pernah dapat membangunkan sendiri kapal Majapahit. Apa yang dijanjikannya tak pernah ditepati. Kalau Majapahit tak mampu hidup di Selatan, kami akan hidupkan dia di utara, kata Pangeran Bhre Paramesywara. Ternyata Malaka tidak pernah melahirkan Mpu Nala. Bandarnya tak lebih baik dan tak lebih besar ataupun bagus daripada Tuban, namun merugikan bandar-bandar di bawahnya, dan tinggal jadi bandar dagang dan persinggahan. Majapahit runtuh di selatan dan tak bangun di utara.” “Rama,” seseorang menegur, “sebenarnya kau hendak bicara tentang apa? Bicaramu tidak menentu. Kau mengagungkan kejayaan Majapahit. Yang kau agungkan runtuh. Di mana pula kejayaannya? Bicaramu melompat-lompat seperti katak diburu ular! “Uah! kau benar,” Rama during mengangkat dagu tinggi-tinggi, mukanya telah berkilat-kilat karena keringat. “Ada kalanya katak berlompatan dikejar ular. Ada kalanya dia mati kena terkam. Namun sebagian terbesar dari hidupnya yang pendek dia mengagungkan hidup bukan mati. Hanya kau, yang dalam hidupmu melihat katak cuma dalam buruan ular. Mengerti kau apa maksudku? Boleh jadi kau sedang menunggu-nunggu datangnya kata-kataku yang bisa memperluas hatimu. Puh! Rama CIuring bukan si pengluas hati.” “Tak ada yang berkeberatan Rama seorang pengeluas hati atau tidak. Bukankah tahu juga kau, mayat orang baikbaik dibakar, hanya orang-orang tak menentu ditanam? Yang dibakar nyawanya terbang ke Suralaya, yang ditanam hancur dimakan cacing dan nyawanya jadi dedemit. Kau bicara tentang yang sudah mati, Rama,” penyanggah itu menetak gencar. “Katakanlah, kau bicara tentang suralaya atau kerajaan dedemit?” “Suralaya dan kerajaan dedemit dan nirwana aku tak tahu. Itulah perkara parabiksu, pandita dan pedanda. Aku tak bicara tentang kema-tian. – tentang kehidupan, tentang hidup dan bercipta dan mencipta. Majapahit kehilangan Mpu Nala, dan Malaka tidak melahirkannya. Di Suralaya dan di kerajaan dedemit dia tidak ada. Kalau ada kapalkapalnya sudah pasti akan datang di bandar-bandar seluruh dunia. Tetapi, dengarkan, kau yang tak mengerti tentang kebesaran dan kejayaan. Dengarkan yang baik, kau pembantah, negeri dengan bandar begini,… orang cukup duduk seminggu di pelabuhan, melihat-lihat besar dan banyaknya kapal sendiri yang mondar-mandir pergi dan datang… orang akan tahu sampai berapa artinya negeri itu. Hanya orang hidup dari kekecilan negeri ini yang tidak bakal mengerti maksudku. Dan barangkali karena katakataku ini bukan saja seorang tapi banyak Mpu Nala, karena panggilan ini, membenih dalam guagarba perawanperawan yang ada di dalam balai-desa sekarang ini/’ Rama CIuring diam dan berdoa. Juga Galeng mengangkat sembah. Kata-kata Rama yang terakhir itu menggelora berseru-seru dalam hatinya. Segera ia akan kawini Idayu. Dan kelak anak-anaknya juga harus jadi Mpu penggalang kapal, pendiri kebesaran dan kajayaan. Ia sendiri, seperti yang lain-lain, telah banyak mendengar tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit – Majapahit yang kini telah mati tinggal jadi cerita itu. Doa Rama CIuring ia rasai seakan tertuju pada dirinya semata: kau, kau munculkan dia dari guagarba haridepan. Ketika ia menengok pada Idayu, perawan itu sedang tersenyum melirik dari samping. Ia betulkan letak kain kerudung pada bahu pacarnya. Kemudian tangannya mencari tangan Idayu, dan mereka berpegangan tangan seakan tiada kan lepas lagi untuk selama-lamanya. “Panas’ bisik Idayu. “Mereka namai dia seorang dewa haridepan,” gumamnya. Tanpa pikir panjang, hanya untuk menyatakan penghargaannya, ia angkat kata: “Rama, kau tahu tentang jaman lewat, kau sendiri hidup dalam jaman kemerosotan ini seperti kau sendiri telah katakan, maka kau berseru-seru pada jaman mendatang, seakan kau hendak memberikan pada kami tiga-tiga jaman itu tidak berpisahan seperti banyak orang bergandeng-gandengan dalam suatu permainan.” “Tidak pernah berpisahan, Perjaka, bersambungan dan bergandengan tak putus-putusnya.” “Ya, bersambungan terus-menerus. Tapi tidakkah kau keliru. Rama, atau sengaja membodohi kami, atau memang melebih-lebihkan, atau barangkali kau seorang tua pembohong, waktu kau mengatakan lunas kapal Mpu Nala jauh lebih tahan dari badan kapal yang berkali diganti, sampai kapal itu mencapai umur lebih dari seratus tahun?” “Indah sekali pertanyaan itu, Perjaka. Memang aku tak dapat membuktikan karena barangnya sudah tidak ada. Kau boleh tuduh aku bodoh, bohong dan melebih-lebihkan. Kau sendiri pun takkan dapat membuktikan kebohonganku. Di jaman jaya dulu memang seorang pembicara harus bisa buktikan kebenaran omongannya, kalau diminta. Itu aturan dulu. Dalam jaman kemerosotan ini aturan itu hilang dengan sendirinya.” Rama Cluring menggerakkan tangan untuk melukiskan bentuk lunas. “Rama, kau tidak memanggil kebesaran pada guagarba haridepan. Kau memanggil balatentara Tuban untuk menumpas kami…,” seseorang menuduh. Orang tua itu tidak peduli dan meneruskan: “Mpu Nala bukan sekedar hanya mendapatkan kayu itu. Dia punya sumber cipta agung. Dia juga yang membuat aturan sehingga puluhan kapal yang bersebaran di permukaan laut dapat bicara satu-sama-lain seperti aku dan kalian sekarang ini.” “Rama, karena kau sudah bilang para guru-pembicara sekarang ini tak dikenakan aturan membuktikan kebenaran kata-katanya, terbebaslah kau, jadi kau boleh membohong sekuat mulutmu. Kau hanya ngomong, ngobrol, tak lebih.” Orang tua yang serba putih itu terhenyak. Matanya menyala-nyala. Mukanya yang keriput makin berkerutkerut dalam, seakan sedang menyiapkan ledakan. Dan ledakan itu ternyata tiada. Ia menuding pada para pendengar yang duduk berbanjar-banjar. Ia menelan ludah. Tak ada keluar kata-kata dari mulut. Dari beberapa tempat mulai terdengar orang mengejek. Dan mereka yang arif dapat segera melihat, guru-pembicara itu merasa tersinggung. Mereka yang sudah mengenal wataknya tahu, singgungan terhadap kebesaran dan kejayaan Majapahit adalah juga singgungan terhadap kehormatan pribadi Rama. “Mengapa terdiam? Mengapa tidak memekik dan berjingkrak?” “Jangan menangis, Rama,” seorang dari banjar tengah melengking ria, “memang orang-orang muda wajib menghormati orang tua, tapi jangan kau kira kau boleh semburkan abab semau sendiri.” Rama Cluring belum juga menjawab. Nampak benar ia sedang bergulat untuk menindas perasaannya. Tak lain dari Idayu yang berusaha menyelamatkan Rama. Berseru ia keras-keras: “Aku menghargai Rama.” Idayu berdiri, seakan menantang semua orang. Sekali lagi Galeng menarik duduk. Pemuda-pemudi desa berseru-seru menyokong Idayu dan membenarkannya. Baru kemudian keluar kata-kata Rama yang berat dan sepatah-sepa-tah: “Kalian datang di hadapanku untuk apa? Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara.” Suara itu bernada rendah memohon simpati…. “Seorang diri aku berseru-seru: Jangan biarkan anak-anak kalian tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan kemerosotan. Lebih dua puluh tahun aku bicara. Tetapi orang masih juga tak mau mengerti.” Sekarang suaranya mengambil nada semula, cepat dan bersemangat: “Tugasku adalah bicara agar kalian mengerti, jaman sudah beralih dari kejayaan pada kemerosotan sekarang ini. Kalau kemerosotan tak dapat ditahan, yang bakal datang tak lain dari kebinasaan.” “Kalau begitu. Rama,” Galeng memaksa bicara hanya untuk menunjukkan simpati. “Ceritai kami bagaimana orang membangkitkan kejayaan, menahan kemerosotan. Jangan gubris mereka yang hanya tahu mengejek, yang tak mampu mengerti.” “Kau jadi panas, Kang?” Idayu berbisik memperingatkan. “Para pengejek itu tak hanya sekelompok buaya.” Suasana berubah waktu gadis anak kepala desa datang membawa nampan berisi gendi, meletakkannya di hadapan Rama, dan mengambil cawan yang telah kosong, kemudian pergi lagi. Guru itu nampak sangat haus. Ia ambil gendi dan minum dari kucuran cucuknya. “Dengarkan kalian yang ikut bersama kemerosotan jaman ini! Orang bijaksana mengetahui berubahnya jaman dari pengertian-pengertiannya. Guru-pembicara seperti aku ini hanya menyampaikan pengertian. Orang yang tidak bijaksana, yang bebal, baru tahu jaman sudah atau sedang berganti kalau cambukan perang telah mendera-dera pada punggungnya. Tetapi darah dan keringat yang dikucurkannya sudah sia-sia belaka bakalnya. Dia akan meregangkan nyawa di mana saja, di ladang, sawah, jalanan, laut atau darat, untuk kesia-siaan itu. Kesalahannya hanya: bebal, tak punya kebijaksanaan.” Tiba-tiba Rama Cluring meringis. Tangannya menelusuri perutnya. Sakit perut! orang menduga. Kemudian nampak Rama mengerutkan gigi. Dan begitu wajahnya cerah kembali ia melanjutkan kata-katanya, cepat-cepat: “Dengarkan, kau Perjaka, bagaimana orang telah membangkitkan kejayaan, dan itu lebih berarti daripada hanya sekedar menahan kemerosotan.” Kembali ia meringis. Tangannya gelisah menelusuri perut. “Ada seorang anak desa, seorang anak lurah,” katanya cepat-cepat. “Anak ini diemong oleh bujangnya, seorang prajurit pelarian balatentara Tatar Kublai Khan. Dari pengemongannya si bocah belajar membikin senjata-api penangkap rusa dan babi hutan. Bocah bukan sembarang bocah. Dia pun punya cipta dan dayacipta besar. Aku akan perbaiki senjata-api ampuh ini, dibuat sebanyak-banyaknya, dan balatentara yang menggunakannya akan menjadi pemenang tunggal di atas bumi manusia ini. Ia bertekad menjadi orang besar untuk dapat menggunakan senjatanya. Setelah dewasa ia tinggalkan desa dan orangtua dan pengemongnya, dan masuk ia ke pusat kerajaan Majapahit. Dengan ilmu berkelahi dari pengemongnya dengan mudah ia dapat hancurkan kepala banteng dengan sebelah tangan, dan jadilah ia perwira pengawal Sri Baginda Jayanegara. Ia mendapat nama militer: Gajah Mada.” Wajah Rama kelihatan pucat. Tapi ia berkukuh meneruskan ceritanya: “Dengan daya cipta besar ia berhasil meningkat jadi Mahapatih. Uh, pemberontakan Kuti itu sangat berarti bagi seorang seperti dia. Pada waktu itulah ia kembangkan senjata-api yang kini kalian kenal dengan nama cetbang. Dan dengan kapal-kapal Mpu Nala yang dipersenjatai cetbang armada Majapahit tak pernah menemui perlawanan. Bila pelurunya berledakan di udara, kerajaan-kerajaan bandar pada takluk dan menyerah.” Kembali ia meringis dan menekan-nekan perut. Idayu bangkit untuk menolongnya. Rama CIuring meneruskan: “Tidak menemui perlawanan di mana pun. Di setiap bandar kerajaan di seberang, raja-raja pada turun dari singgasana, datang menyongsong armada di bandarnya. Peluru-peluru cet-bang yang berledakan di udara, seperti kilat dan guruh sekaligus, membikin Majapahit jadi penguasa tunggal atas Nusantara – suatu yang pernah dicapai oleh Sriwijaya selama tiga ratus tahun. Di tengah laut peluru-pelurunya berluncuran di atas permukaan air membinasakan armada-armada perampok dan bajak laut. Maka darat dan laut aman. “Dalam sepuluh tahun kemudian Majapahit mulai jadi kekaisaran. Kemudian seluruh Nusantara bersatu di bawah bendera merah-putihnya.” Ia menguruti perut, dan dada dan leher. Suaranya kehilangan kekuatannya, namun ia masih tetap meneruskan: “Waktu itu hanya ada dua kaisar. Kaisar Tiongkok di utara dan Kaisar Majapahit di selatan….” Kebesaran dan kejayaan masa lalu, Wiranggaleng bergumam, kemudian menghembuskan nafas dalam. Kapal besar, kapal pemenang di seluruh jagad. Dan sekarang aku hanya dengan jung… jung Tiongkok pula…. Malam datang. Dingin mulai tak tertahankan. Ia lepas kain penutup celana, selembar kain batik buatan istrinya, dan dibuatnya jadi penutup dada. Sekarang ia terkenang pada rusa yang malam ini mungkin pada berbaris menyerang ladang-ladang petani. Entah sudah berapa puluh saja binatang itu telah memasuki jebakan ranjaunya. Semua telah ia kuliti, ia potong-potong, didendeng. Rusa-rusa itu – makhluk yang tak berbahagia di negerinya sendiri. Setiap ekor pada suatu kali mengalami seperti itu. Ya, tidak berbahagia di negeri sendiri. Sedang yang bijaksana tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa bicara di desa-desa. Yang dungu mempunyai segala-galanya dan dapat mengerahkan semua untuk berperang dan mati buat kesukaannya. Makin malam makin riuh pergolakan dalam dirinya. Bukan bayangan yang memburu-buru, bukan rusa bukan kijang, tapi tanya dan duga yang tiada putus-putusnya. Bagaimana mereka jadinya dalam sepuluh tahun mendatang? Apakah serba kebalikan daripada impian Rama Cluring impianku pribadi? Bagaimana bakalnya nasib Gelar dan Kumbang? Apakah mereka akan lebih buta dan lebih tidak berdaya, tidak berkemampuan, daripada aku? Apakah mereka akan hanya jadi korban kesia-siaan raja-raja yang dungu? Dan Pada yang terus mendampinginya menjadi gelisah melihat perkembangan sahabatnya yang jadi aneh itu. Ia memberanikan diri bertanya: “Bukankah kita tetap menuju ke Malaka, Kang?” “Jangan pikirkan yang lain-lain,” ia ulangi perintahnya pada para peratus di bandar Jepara. “Kita akan gempur Malaka.” Tengah hari waktu itu. Pesisir pulau Jawa nampak dari kejauhan sebagai garis putih yang gemerlapan, bersambung naik dengan hijau-kelam hutan dan gunung-gemunung, dengan puncak-puncaknya yang semakin tinggi semakin cerah menantang laut. “Kau ingat rumah, Kang?” “Belum lagi kau selesaikan ceritamu tentang Trenggono dan Fathillah.” “Jung-jung ini takkan mungkin dapat memburu armada Fathillah,” Pada mengalihkan percakapan. ‘Trenggono dan Fathillah, Pada,” Wiranggaleng memperingatkan. “Ya, Trenggono dan Fathillah. Apa lagi perlunya kita fikirkan, Kang. Hanya Malaka tujuan kita. Mereka hanya Sultan dan Panglimanya, laksamananya, mereka hanya ipar dengan ipar. Kita bukan apa-apanya. Urusan kita tetap Malaka, Kang.” “Mengapa Liem Mo Han tak ramah terhadapmu?” “Juga tidak padamu. Urusan kita tetap Malaka, Kang.” Armada jung aneh itu tidak menyinggahi bandar-bandar kecil. Dan prajurit-prajurit laut ini berlayar semata-mata dengan kekuatan angin. Setiap hari mereka tak mempunyai banyak kerja, dan mencoba melupakan tugas tidak menentu dengan mengobrol, bercerita mendalang atau berlaku sebagai seorang guru-pembicara. Bergurau pun tidak terjadi, kuatir bisa menimbulkan salah duga pada pemimpin mereka. Ketiga armada jung akan melalui bandar Banten, dari kejauhan nampak armada Jepara-Demak seperti sebarisan camar yang sedang mengapung di permukaan air, putihkelabu dengan layar keperakan, dan dua buah kapal berlayar dengan layar kuning gemerlapan. Semua orang memerlukan meninjau. Dan mereka tidak bersorak, seakan sedang melihat sesuatu yang sama sekali tidak mereka harapkan. “Kembangkan semua layar. Tambah kalau bisa!” perintah Wiranggaleng. Ia sendiri malu memerintahkan untuk mengejar. Yang demikian-memang tidak mungkin. Orang menghindarkan pandang dari bandar Banten dan membutakan hati pada kerinduan pada darat. Semua layar dipasang penuh, bahkan layar-layar tambahan mulai dikembangkan pula. Titik-titik bersayap keperakan dan keemasan itu makin lama makin kecil. Memang tak mungkin dapat menyusul. Namun pengejaran yang sia-sia diteruskan juga, sedang hati membisu dan hati digumul jengkel. Dari jung paling belakang orang berseru-seru bersama: ”Aaaaa!” dan armada Jepara-Demak membelok ke kiri, memantai pesisir barat Banten menuju ke selatan, ke Ujung Kulon. “Khianat! Benar ada pengkhianatan,” gumam Wiranggaleng pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum: begitu juga barangkali yang dirasakan oleh Adipati Unus waktu Tuban tidak juga muncul untuk bergabung. Sekarang ia telah dapat menangkap gambaran selengkapnya: semua harapan tentang Jepara-Demak harus dilepaskan. Dan bahwa ia dikirimkan dari Tuban untuk mati di laut, atau di daratan orang, atau di mana saja, asal mati, bersama lima ratus orang yang tak ada merasa bersalah pada Sang Adipati. Gila! Armada Jepara-Demak di bawah Panglima Laksamana Fathillah telah membelok ke kiri, memantai sepanjang barat Banten. Para prajurit laut Jepara terheran-heran: mengapa tidak ke Utara? Mereka bertanya-tanya satu pada yang lain: apa sesungguhnya sedang terjadi? Tetapi semua isyarat dari kapal-kapal yang ditujukan pada kapal bendera tidak berjawab. Sampai di Ujung Kulon hanya beberapa regu prajurit dari kapal bendera diperintahkan mendarat. Juga Panglima- Laksamana Fathillah mendarat dan sendiri memimpin anakbuah itu menjajagi darat. Tidak lama. Dan mereka naik lagi membawa terlalu banyak kelapa muda. Kemudian armada itu balik lagi ke utara, memasuki selat Sunda, kembali ke Jepara. Semua kebijaksanaan tentang armada raksasa ini diserahkan kepada Fathillah oleh Sultan Trenggono berdasarkan persekutuan militer untuk meneruskan rencana menguasai Jawa bukan hanya dari darat, juga dari laut. Dengan demikian pertikaian antara pasukan laut dan pasukan kuda dapat dipadamkan – dua-duanya ditundukkan pada keinginan Trenggono sendiri akan memimpin gerakan dari darat. Dan persekutuan militer ini akan melancarkan gerakannya bila pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis telah mulai melakukan serangan di Malaka. Portugis akan sibuk melayani serangan, maka bahaya terhadap pelaksanaan persekutuan militer Demak tidak akan ada. Maka itu armada raksasa harus berangkat satu hari sebelum gugusan Tuban diperkirakan akan datang ke Jepara. Jung-jung itu tak boleh menyusul. Demak harus bisa menggunakan hasil persekutuan rahasia Aisah-Usup- Liem Mo Han. Setelah armada berlabuh untuk beberapa hari di bandar Banten dan berangkat lagi ke Ujung Kulon, mereka tak tahu, bahwa jung-jung telah melihat mereka. Juga tidak mengetahui, Tuban telah melihat mereka membelok ke kiri. Sesampainya di Jepara kembali armada itu beristirahat selama tiga bulan, kemudian berangkat lagi, menempuh garis pelayaran yang sama. Dan tak lain dari Aji Usup yang giat mondar-mandir antara Jepara, Demak dan Lao Sam. Ia tahu urusannya telah gagal. Armada raksasa itu tak dapat dibelokkan ke utara. Dan seluruh pasukan laut Jepara tak dapat berbuat sesuatu pun terhadap Fathillah. Sejumlah besar pasukan kaki yang dibaurkan dalam tubuh pasukan laut telah membikin prajurit-prajurit Jepara itu tak dapat berbuat sesuatu pun daripada mengikuti perintah. Aji Usup insaf ia telah kehilangan segala-galanya. Bahkan ia telah kehilangan keberanian ke luar lebih jauh dari tiga tempat tersebut. Ia merasa telah kehilangan muka. Setelah kunjungannya terakhir ke Lao Sam ia tak pernah lagi meninggalkan Jepara. Ia memilih mati dan berkubur di Jepara. Pada suatu hari yang telah diduganya satu regu pasukan pengawal berkuda Demak datang mengepung rumahnya. Tak seorang pun dapat menolongnya. Sepucuk tombak telah menembusi dada hingga bahunya. Ia mati di atas anaktangga rumahnya sendiri. Dua orang anaknya yang berusaha melarikan diri mengalami nasib yang sama. Istri dan menantu-perempuan mati di dalam bilik dengan tikaman keris. Cucu kesayangannya yang cuma seorang terdapat pecah kepalanya tersorong di kolong ambin. Aji Usup telah dipunahkan sampai keturunannya. Sejak hari itu Ratu Aisah tak pernah kelihatan keluar dari rumah. Seorang sahabatnya telah ditumpas beserta seluruh keturunannya: Liem Mo Han tak pernah muncul. Ia menunggu dengan rela datangnya regu pengawal Demak untuk menghabisi jiwanya pula. Dan akan selesailah cerita tentang persekutuan rahasia itu. Akan selesai pula cita-cita Adipati Unus. Trenggono tetap pada niatnya. Seluruh Jawa harus sujud di bawah kakinya, dari Blambangan sampai Banten, dari laut Jawa sampai lautan Kidul. Ratu Aisah bersumpah untuk tidak akan menemui siapa pun, kecuali seisi rumah sendiri dan regu penumpas dari Demak. Ia takkan mengampuni Sultan. Dan ia akan gunakan sisa hidupnya yang sedikit untuk mengasuh dan mendidik cucunya, dan mengabdi pada Tuhannya, dan berdoa tak henti-hentinya untuk keselamatan dan kemenangan pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis…. 0o-dw-o0 Sepanjang pelayaran memantai pesisir barat Sumatra armada jung itu dibantu oleh angin yang cukup baik. Tak pernah iring-iringan itu berpapasan dengan armada bajak dalam pemusatan besar, tak pernah memergoki kapal Peranggi, tak pernah dihadang oleh taufan ataupun badai. Karena tak jadi menyinggahi Banten dan perhitungan karenanya jadi keliru, terjadi kekurangan air dan perbekalan. Walau demikian pelayaran berjalan damai dalam suasana gembira. Orang tak lagi memikirkan armada Jepara-Demak. Mereka sudah berpikir dan bersikap sebagai kesatuan tersendiri. Makin jauh dari Jawa, makin jauh juga dari pengkhianatan! Mungkin untuk pertama kali dalam hidup mereka melihat negerinya sendiri sebagai sarang pengkhianatan, sarang intrik, sejak Tuban sampai Ujung Kulon. Orang bernyanyi ria. Dan di malam hari orang membaca lontar kuno dan satu lingkaran duduk mendengarkan. Seorang lain lagi menafsirkan. Atau orang berpantunpantunan, sahut-menyahut diikuti gelak tawa. Puncak kegembiraan ialah waktu mereka mendarat di bumi Banda Aceh. Beratus-ratus rebana menyambut mereka. Pasukan Aceh yang berpakaian celana panjang dan baju serba hitam berikat pinggang selendang merah atau kuning dan berdestar hitam, pasukan Bugis yang berpakaian celana dan baju serba genggang dan pasukan Tuban yang bercelana ditutup dengan kain batik dan bertelanjang dada – semua berhimpun, berkampung dan bersuka-ria. Mereka bergerak bebas dan di setiap rumah yang mereka masuki orang mendapatkan segala penganan dan pelayanan. Taritarian dihidangkan setiap malam dalam tingkahan gendang dan seruling. Setiap orang mendapatkan kesukaan dan persahabatan. Untuk pertama kali orang-orang Tuban itu terpeluk dalam persahabatan yang semesra ini. Kemudian datanglah hari keberangkatan. Aceh menyerahkan tiga ratus prajurit, Bugis dua ratus. Jumlah seluruhnya seribu lebih dua orang: Wiranggaleng dan Pada. Pihak Bugis menawarkan diri untuk lakukan pekerjaan perintisan dan pengintaian, yang disambut dengan soraksorai semua orang. Di tanah lapang diadakan sembahyang bersama untuk ummat Islam, memohonkan keselamatan untuk mereka yang akan berangkat ke medan perang. Begitu mancal dari darat begitu pula mata Wiranggaleng berkaca-kaca melihat ribuan orang, laki dan perempuan, tua dan muda, semua berpakaian serba hitam, celana, baju dan destar, bersorak-sorak mengucapkan selamat berperang. Uh! Tidak dilihatnya yang demikian di Tuban, pun tidak di Jepara. Di sana hanya ada pengkhianatan dan intrik. Di tengah-tengah saudara-barunya ia merasa lebih aman, dan tak lagi merasa seorang hukuman yang sedang menemui algojo. Juga Aceh, juga Bugis tahu: Peranggi harus dihalau. Apa pun yang akan terjadi, penyerangan terhadap Malaka takkan sia-sia. Mereka melihat tempat pendaratan di sebuah kampung nelayan sekira jarak tiga hari-tiga malam pelayaran di sebelah utara Malaka. Penduduk kampung melarikan diri entah ke mana, menyangka kedatangan perampok lanun. Kampung di atas tiang-tiang kayu itu tertinggal kosong. Sebuah rumah terbaik disediakan bagi Wiranggaleng yang telah mereka angkat bersama sebagai panglima gabungan dengan panggilan Hang Wira. Tak ada bangku, meja ataupun ambin di seluruh kampung ini. Geladak pelupuh adalah segala-galanya. Di atasnya digelari tikar pandan rawa. Hampir-hampir tak ada perkakas rumahtangga kecuali perabot masak. Barangbarang gerabah sangat sedikit. Dan bau busuk ikan dijemur di atas para-para bambu sepanjang kampung menyesakkan nafas. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung itu. Dan penduduk tak juga muncul. Karena tak dapat menahan keheranannya Wiranggaleng terpaksa bertanya pada Pada: “Bukankah kau pernah dengar dari cerita Liem Mo Han pasukan Semenanjung akan bergabung dengan kita? Mana batang hidungnya? Semestinya mereka telah melihat kita datang dan menghubungi kita.” “Benar Panglimaku. Aku pun belum melihat batang hidungnya. Heran.” “Dan manakah armada kecil Tionghoa dari utara itu?” “Benar, Panglimaku. Aku pun belum lagi melihat kuncirnya.” “Apa artinya semua ini?” “Tahu, Panglimaku.” “Ya, begini inilah jadinya.” “Kita hanya memikirkan Malaka ini saja, Kang.” Seorang bocah penduduk kampung telah tertangkap oleh prajurit yang sedang mengenali medan. Tak banyak yang dapat diketahui dari anak kecil itu kecuali, bahwa penduduk selebihnya sedang mengungsi ke dalam hutan. Anak itu dilepaskan setelah diberi makan dan perbekalan, dan diikuti dari kejauhan. Persembunyian penduduk dapat diketahui, dan mereka diperintahkan kembali ke kampung. Juga penduduk tak tahu akan adanya pasukan Semenanjung ataupun Tionghoa. Mereka menerangkan sebaliknya: justru Peranggi yang sering datang, baik dari darat maupun dari laut. Perintah siaga dijatuhkan. Kapal dan jung-jung diperintahkan meninggalkan semenanjung. Dan pasukan dari seribu orang lebih dua itupun berbaris meninggalkan kampung dan memasuki hutan belantara. Mereka melalui jalan setapak yang tampak sering dilalui orang. Dan semakin memasuki hutan semakin banyak ditemukan bekas sepatu, samar-samar. Penduduk yang ditinggalkan melihat semua prajurit pergi menjadi terheran-heran. Lebih heran lagi melihat jung-jung dan kapal-kapal mereka sudah sama sekali tiada dan hartabenda mereka dan perahu-perahu mereka tak kurang suatu apa. Pasukan gabungan itu bergerak terus dengan melepaskan harapan akan bergabungnya pasukan Demak, Tionghoa atau Semenanjung. Mereka menuju ke arah selatan. Perundingan antara kepala-kepala pasukan menghasilkan keputusan: Langsung menyerbu ke sasaran. Dan mereka berbaris menuju ke selatan, melewati kampung-kampung yang terdiri dari beberapa rumah. Penduduknya berlarian entah ke mana. Yang tertinggal biasanya hanya orang tua-tua yang sudah tak kuat lari, atau orang sakit keras, dan terutama orang gila. Sama tak dapat ditanyai. Satu-satu keterangan yang diperoleh: sekali-dua Peranggi pernah datang dan tak pernah melakukan gangguan: Setelah dua hari menembusi hutan, perundingan antar-sekutu menyimpulkan: penyerangan langsung ke Malaka ternyata tidak mungkin. Tak adanya pasukan semenanjung telah memusnahkan kemungkinan untuk mendapatkan perbekalan. Tanpa perbekalan jangankan menyerang, bertahan pun tidak bisa. Maka diputuskan menunda penyerangan langsung, ladang pertanian harus dibuka terlebih dahulu. Pasukan gabungan itu membelok ke timur lebih dalam lagi dan membuka huma. Dan tidak lain dari Wiranggaleng yang menyadari: prajurit-prajurit ini akhirnya datang tidak untuk berperang tapi untuk bertani. Ia tahu sudah sejak asal, ekspedisi militer ini akan gagal. Pengenalan medan terus-menerus dilakukan, bergantian antara tiga macam kesatuan. Tetapi pembukaan humalah yang mengambil pekerjaan terpokok. Patroli tak hentihentinya dikirimkan. Namun persiapan penyerangan tetap harus ditunda. Sekali peristiwa kesatuan Bugis mendapat giliran untuk mengenali medan. Mereka menemukan sebuah kampung jauh di dalam hutan. Rumah-rumah yang bersirip tinggi di atas tiang-tiang itu telah ditinggalkan oleh penduduknya. Dan di bawah rumah-rumah itu Peranggi sedang sibuk memasak-masak. Kesatuan Bugis serta-merta merunduk dan melepaskan tombak. Pekikan maut dan seruan terjadi: Serdadu-serdadu Peranggi yang tidak terkena tombak berlarian membawa musket masing-masing dan mulai menembak dari balikbalik pepohonan. Mereka membikin lingkaran pertahanan dalam kepungan kesatuan Bugis. Tombak beterbangan lagi. Korban di pihak Portugis jatuh lagi. Dan jatuhnya tombak sedemikian gencar sehingga musuh terhenti itu tak sempat lagi memasang obat dan bubar melarikan diri. Sebagian lagi tewas pula sewaktu menerobosi kepungan. Sisanya hilanglenyap ke dalam hutan. Daerah pengenalan dan patroli makin diperluas ke sebelah selatan. Kampung bekas tempat pertempuran pertama kini mendapat kehormatan jadi tempat markas gabungan. Dan waktu penduduknya datang kembali bersama-sama mereka membabat hutan, mengeringkan dan membakarnya untuk dijadikan huma. Tidak lebih dari seminggu kemudian di sebelah selatan nampak asap besar membubung ke langit Asap itu terlalu kecil untuk dianggap sebagai hutan terbakar dan terlalu besar untuk dianggap sebagai rumah terbakar. Orang segera menduga itulah Peranggi sedang membakar sebuah kampung besar. Seluruh kekuatan mulai bersiap-siap karena tempat kebakaran itu tidaklah begitu jauh. Dengan separoh kekuatan kesatuan Tuban Wiranggaleng berangkat untuk menyergap mereka. Seorang pengintai telah dikirimkan terlebih dahulu, dan ia pulang dengan laporan, benar yang melakukan pembakaran tak lain dari Peranggi, dan mereka sedang bergerak ke jurusan kampung sebelah utara. Jumlah kekuatan mereka cukup besar. Kesatuan Tuban segera disusun dalam bentuk jebakan. Dari kejauhan telah terdengar Peranggi menembaknembak untuk menghancurkan semangat lawannya. Wiranggaleng memeriksa tempat penjebakan yang ditempatkannya di daerah hutan dengan semak-semak di bawahnya. Di hadapan jebakan adalah tempat terbuka yang bakal di tempuh oleh serdadu-serdadu Peranggi. Ia telah banyak dengar tentang keampuhan musket musuhnya, dan hanya dengan jalan berlindung di balik-balik pepohonan semprotan pelurunya dapat dihindari. Di tempat terbuka, sekali tembakan dapat melukai sepuluh orang yang sedang berdiri berjajar dalam jarak lima belas depa, sedang tombak hanya bisa mengenai seorang, itu pun kalau kena. Dan bunyi tembakan itu memang mengecutkan bagi mereka yang sudah mengetahui keampuhannya. “Kalian datang ke mari untuk menghadapi mereka. Kita akan hadapi mereka. Kita belum pernah mangalami pertempuran melawan musket. Sekaranglah waktunya. Lihatlah kesatuan Bugis. Mereka telah berhasil. Kita akan juga berhasil.” Mereka telah memasang perangkap di tempat yang tidak terbuka itu, di tempat yang dapat menahan semprotan peluru musket. Ternyata lain lagi yang terjadi. Serdaduserdadu Portugis tidak menggerombol sebagaimana halnya dengan prajurit Tuban atau tentara Jawa pada umumnya. Musuh itu pun tidak memasuki jebakan yang disediakan. Mereka berpecah-pecah, seorang-seorang sesuai dengan keampuhan senjata dan daya tembaknya, dan tiba-tiba saja kesatuan Tuban yang berada di atas-atas pohon berteriakteriak: “Peranggi telah mengepung kita!” Teriakannya dibarengi dengan letusan-letusan yang menyesakkan dada dan menggeletarkan jantung. Dari segala penjuru, kecuali dari belakang anak-anak panah mulai berlayangan dari atas-atas pohon dalam keriuhan letusan. Beberapa orang prajurit Tuban terjungkal dari panjatannya diikuti dengan gemeratak tubuhnya yang menyangsang di atas semak-semak atau bergedebug di atas tanah gundul. Wiranggaleng memerintahkan mengubah hadap ke arah tiga penjuru angin, tetap bersembunyi di balik pepohonan, menyiapkan tombak atau panah, dan tetap memperhatikan datangnya musuh. Ia sendiri hampir-hampir kehilangan akal menghadapi pertempuran yang aneh itu. Dan belum lagi sampai ke Malaka! Tembakan-tembakan semakin mendekat. Semprotan musket yang rasa-rasanya tiada kan henti-hentinya mematahkan ranting-ranting semak dan menggugurkan dedaunan dan melubangi batang pohon dan tanah yang dikenainya, dan merobek kulit pohon, dan mendesingkan bunyi bisikan maut seperti selaksa tawon datang menyerang. Satu semprotan musket berlalu di atas kepala Wiranggaleng. Dan ia bergidik. Bulu romanya berdiri. ”Tahankan!” serunya, “tahankan sampai muka mereka bertemu dengan mukamu, dan sergap dia tanpa ragu-ragu.” Pertempuran aneh. Prajurit-prajurit Tuban dalam jarak jauh tak bisa melakukan serangan ataupun balasan, dan cuma harus diam-diam menunggu, dan menunggu, dalam semprotan maut yang tak putus-putusnya, ledakan dan desingan dan gemerasak dan ranting-ranting berguguran. Dua orang telah jatuh pingsan di tempat karena kejengkelan, kehilangan kesabaran dan kebingungan. Begitu orang beringsut dari tempat di balik pepohonan, semprotan peluru pun mendarat dan mengeram di dalam daging. Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan! Dalam perang dengan musket begini tak ada prajurit, tak ada satria, yang ada hanya pembunuh dan korbannya. “Mereka lebih hebat daripada kita,” seru Panglima memberanikan. Dengan musketnya Peranggilah yang justru mengepung. Dan dengan musketnya pula mereka tak membutuhkan terlalu banyak kekuatan. Di sana-sini perkelahian orang-orang mulai terjadi. Orang yang sudah kehilangan kesabaran melompat ke luar dari balik persembunyiannya dan mengamuk dengan tombak. Makin lama makin banyak yang ke luar. Tembakan menjadi berkurang. Perkelahian orang-seorang menyebabkan Portugis tak semudah itu lagi menembak dan membikin bentengan peluru. Mereka mulai menggunakan pedang. Kesatuan Tuban bersorak. Itulah yang mereka kehendaki. Semua meninggalkan persembunyian. Dan pemain-pemain tombak itu memperlihatkan keunggulannya di setiap jengkal tanah di dalam hutan itu. Orang mengakui keberanian Peranggi menghadapi lawan yang jauh lebih besar. Ayunan pedang mereka begitu mantap, kuat dan gesit, tak peduli pada ranting semak yang menghalangi dan rotan berguguran. Hanya karena jatuhnya malam saja mereka mulai menarik diri, menghilang ke dalam hutan dengan meninggalkan korban-korbannya. Beberapa pucuk musket telah kena rampas, beberapa pedang, beberapa peralatan makan dan pakaian. Juga kesatuan Tuban kehilangan beberapa prajuritnya. Wiranggaleng mengatakan: pertempuran sekali ini sama sekali tidak dimenangkan oleh Peranggi, juga tidak oleh Tuban. Namun seluruh pasukan gabungan telah mendapatkan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas ketakutan terhadap Peranggi dan kehebatannya. Dan itulah modal untuk dapat mengalahkan dan mengusir mereka dari Malaka. Malam itu juga diadakan penguburan untuk temanteman seperjuangan yang tewas dan perawatan bagi mereka yang terluka. Separuh dari kesatuan Tuban mengadakan pengejaran seperti halnya waktu terjadi pertempuran besar melawan Kiai Benggala. Mereka bermaksud mendahului kedatangan musuhnya di suatu tempat, menghadangnya, dengan pengetahuan, di malam hari musket Portugis takkan berdaya. Wiranggaleng memimpin pengejaran. Tetapi hutan itu terlampau gelap dan jalan yang tersedia hanya jalan setapak yang telah dilalui Portugis. Jalan itu jugalah yang ditempuh. Mereka tak dapat melalui apalagi menghadang. Mereka hanya bisa menguntit dan menemukan musuhnya sedang berkampung di sebuah kampung yang habis dibakarnya. Suatu serangan dalam kegelapan. Dan sisa pasukan musuh melarikan diri. Kesatuan Tuban dalam kegelapan itu tidak tahu, bahwa dalam pengejarannya selanjutnya mereka sudah berada di dekat daerah peluaran kota Malaka. 0odwo0 32. Gelar Jadi Sandera Kemarin dulu Idayu masih berseru dari beranda gubuk panggung itu: “Gelar! jangan begitu. Belajar yang baik!” Tapi Gelar tak peduli. Dengan melepas kendali ia menggantungkan diri di samping kuda, tangan memeluk leher binatangnya. Kuda itu lari terus, dan ia melompat melalui punggung kuda, berbuat semacam itu di samping lain. Kemudian ia berpacu di jalanan desa dengan memunggungi arah. Tak lama kemudian ia berpegangan sanggurdi dan menggantung di bawah badan kuda. Ia tak mau dengar emaknya memekik-mekik ketakutan. Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan telah jadi satu. Dan berlatih menguasai kudalah kesibukannya sehari-hari sehabis kerja. Dan sekarang ia menggeletak di atas ambin kayu. Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang memasuki bangsal dan menengoknya, mentertawakannya. Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim: “Apa kau renungkan, Buyung! Anak Senapati Tuban bukan seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menangislah keraskeras, biar kami gendangi, biar semua orang tahu, anak Senapati punya sejambang airmata.” Untuk menghindari semua gangguan ia tutup mukanya dengan bantal. Sekali terjadi seseorang menarik bantal itu dan menjelirkan lidah padanya. Ia rebut kembali bantalnya dan ditekankan erat-erat pada mukanya lagi. Seorang lain masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari ambin dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan sorai tawa. Pada mulanya ia meraung-raung minta dikasihani terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya sebelumnya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala desa pun tidak. Apakah salahku sampai diperlakukan demikian? Sekarang ia tidak meraung lagi, walau ia tidak berani melawan atau membela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar. Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa. Semua lelaki, prajurit, tak ada seorang wanita pun! Di malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar olehnya seseorang bicara pada yang lain: “Jangan ganggu dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan dihormati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak tahu batas.” Gelar mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat olehnya seorang prajurit pengawal bergelang baja bicara pada bawahannya. Ia merasa mendapat perlindungan. Dadanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di antara mereka mulai merebahkan diri di sampingmenyampingnya dan segera kemudian tertidur dengan menyemburkan bau tuak dari mulut. Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. Kemudian merangkak lagi ke tempatnya. Ia kenangkan kembali percakapan antara Prajurit Tuban itu dengan ibunya: “Nyi Gede Idayu, jangan kaget. Gusti Adipati Tuban telah menitahkan agar Gelar, putra Nyi Gede yang pertama, dibawa ke Tuban.” “Apakah salahnya anakku? Bukankah suamiku sudah juga dibawa ke Tuban?” “Tak ada yang dapat mencegah titah Gusti Adipati, Nyi Gede. Panggillah anak itu.” Dan dihadapkan pada orang-orang yang berperawakan kukuh tertutup dengan gumpalan otot. “Gelar, kau akan kami bawa ke Tuban.” “Bapak berpesan untuk menjaga dan membantu emak dan adik.” Ia membantah, dan menerangkan tugasnya sebagai lelaki tertua dalam keluarga. Dan prajurit-prajurit itu mentertawakannya. “Seluruh desa akan menjaga dan membantu Nyi Gede. Itulah yang jadi titah Gusti Patih.” “Aku telah berjanji pada bapak….” Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian dan amarah pada mata Idayu. Dan wajah Idayu itu tetap cantik seperti semasa masih berada di Tuban dulu, dan tubuhnya tetap semampai berisi karena latihan-latihan. Cuping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan betina yang mencium bahaya yang mendatangi. “Dulu begini juga yang diperbuat oleh Kiai Benggala,” bentak Nyi Gede. “Kami datang membawa titah Gusti Patih.” “Kita tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Biar aku siapkan pakaianmu.” wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi membawa bungkusan kecil dan selembar kain batik dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. “Dan ini, Gelar, kain mak, pergunakan kalau kau kedinginan. Kau harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu pun tak bisa. Jangan kau menangis. Nak sudah besar, hampir lima belas. Berangkatlah kau dengan doaku. Jadilah kau seorang lelaki.” Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat mempertahankan dirinya, juga tak dapat mempertahankan pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun meraung, menjatuhkan diri dan memeluk kaki ibunya. Dengan prihatin ibunya mengusap-usap kepalanya. “Belum lagi kepala ini sempat berdestar…” gumam ibunya. Kumbang pun memekik, merangkul leher abangnya tercinta, meraung: “Tidak boleh. Kang Gelar jangan pergi!” Prajurit-prajurit itu dengan hati-hati melepaskan Gelar dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya. Ia angkat Gelar dalam bopongan. Dan yang dibopong meronta dan melawan. Dengan demikian bermulalah perjalanannya ke Tuban. Dalam hidupnya yang semuda itu ia mulai dapat merasakan adanya kekuasaan dan pengaruh ayah dan ibunya terhadap kehidupan di Awis Krambil. Wiranggaleng Senapati, semua orang senang padanya, bahkan Sang Patih Tuban tidak tanpa hormat menghadapinya. Ibunya seorang penari tanpa tandingan. Semua orang datang padanya bila bertanya sesuatu tentang tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. Tapi apa sekarang? Ternyata kekuasaan ayah dan ibunya takluk pada yang lebih tinggi lagi. Dan ayahnya dan ibunya tak dapat berbuat sesuatu pun. Bahkan membantah pun tidak bisa. Dua macam kekuasaan itu ia rasai berlainan, bertentangan, bermusuhan, tapi tak pernah terucapkan. Dan tanpa diketahuinya kini ia telah dijadikan sandera oleh Sang Adipati. Penguasa tua itu telah menitahkan agar ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal kadipaten, dipersiapkan untuk jadi prajurit pengawal. Di dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikirannya terusmenerus diganggu oleh pertanyaan bagaimanakah ibunya sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari tanpa dirinya? Siapa yang mengambil rusa, atau celeng dari ranjau perangkap? Siapa yang menguliti? Siapa pula yang mengerjakan sawah dan ladang? Dan siapa yang diajak adiknya bermain? Siapa pula yang menjaganya? Betapa akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menahan kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam kasih-sayang, tenteram dan damai, yang dimasukinya sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan. Sampai sejauh itu para prajurit pengawal menduga, si bocah itu disanderakan karena Wiranggaleng pernah menyatakan sumpah takkan kembali ke Tuban sebelum Sang Adipati mati. Dugaan yang kurang berdasar, karena Sang Adipati tak pernah mendengar sumpah itu. Yang didengarkan justru lain: Trenggono telah menuduh Sang Adipati Tuban bersekongkol dengan Wiranggaleng untuk menantang kekuasaan Demak, dan Sultan mengancam akan menangkap Sang Adipati hidup-hidup di waktu dekat mendatang dan akan membelahnya hidup-hidup jadi empat bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa, namun ia tetap tidak rela Tuban terinjak oleh balatentara lain. Maka ia menyesal telah memberangkatkan Wiranggaleng dan lima ratus prajurit laut, ia telah batalkan harapannya akan kematian Senapati. Ia membutuhkannya untuk mempertahankan Tuban. Dengan Gelar sebagai sandera ia mengharap anak desa itu sewaktu-waktu akan dapat dipanggilnya kembali. Gelar menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya menyebabkan untuk kedua kalinya ia terjatuh di lantai. Matari ternyata telah tinggi. Sepantun suara keras menggertaknya: “Pemalas! Aturan mana orang bangun tertinggal matari?” Sekarang Gelar mengerti, tak ada seorang pun akan melindunginya. Tak percuma emaknya mengharapkan akan jadi lelaki. Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu. Di hadapannya berdiri seorang prajurit bertubuh kekar. Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik membalik menjadi dendam yang membuncah dalam dadanya. Dengan segala yang pernah diajarkan dan dilatihkan oleh bapaknya ia melompat dan menerkam prajurit pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu. Dengan dua belah tangan prajurit itu menolaknya keraskeras. Gelar terjatuh di lantai setelah menubruk dinding. Dan dada prajurit itu berlumuran darah. “Kucing keparat!” sumpahnya sambil menyeka dada dengan lengan. “Sekali lagi, kucekik sampai mampus.” “Dan kutikam kau sampai mampus!” balas Gelar, berdiri dan bersiap membela diri terhadap segala penganiayaan yang mungkin menyusul. “Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang dirimu? Sandera!” “Ayoh, cobalah sekali lagi.” “Tak ada yang lebih hina daripada sandera. Kalau aku jadi sandera, lebih baik kukuliti mukaku,” katanya sembari terus membersihkan dadanya. “Cobalah sekali lagi,” tentang Gelar. “Tak bisa kutikam waktu jaga. waktu tidur pun kena.” Kuatir akan terjadi geger, prajurit itu mengalah dan pergi sambil mengurus dadanya yang berdarah dengan pijitan dan cengkaman. Seorang diri didalam bangsal ia mulai merenungi katakata prajurit itu sandera, jadi sandera! Dan ia mengerti hidupnya berada di ujung pedang. Setiap waktu, tanpa pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya tanpa tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera. Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan siaga. Dilihatnya pemanggilnya seorang prajurit yang sedang duduk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda lainnya. Ia memberi isyarat dengan tangan. “Naik!” perintahnya. Dan Gelar naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang lain. Dan sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak, seseorang telah mencambuk binatangnya. Kuda itu terkejut, melompat. Gelar terbalik di atas punggung kendaraannya dan jatuh ke samping. Secepat kilat ia berpegangan pada sanggurdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan. Prajurit yang memerintahkan tadi mendekati dan dari atas kuda membentak. “Siapa perintahkan kau turun? Dengar perintah baikbaik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena,” ia menggerakkan kudanya dan memacunya mengelilingi alunalun. Gelar bangun berdiri, memeriksai kakinya yang sobeksobek dan berdarah, kemudian membasahinya dengan ludahnya sendiri. Binatangnya berhenti di suatu tempat tak jauh dari padanya. Kuda itu jinak dan larinya kencang, memang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu namanya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak disebut-sebut belakangan ini: “Sultan! Sultan!” ia menghampirinya sambil berpincang. Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus datang padanya. Angkuh kau, Sultan! Dipegangnya kendali dan ditepuk-tepuk bahu binatang itu, dipegang kepala dan diusap-usapnya. Kepala binatang itu ditariknya ke bawah pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai bersih. Kemudian ia rangkul leher Sultan dan melompat ke atasnya. “Lari, Sultan, lari, kejar dia, bikin aku jadi lelaki. Susul dia, biar aku gebuk kepalanya.” Gelar tak duduk di atas pelana. Ia memeluk leher kuda yang tinggi besar itu dan mulai memburu. Yang diburu lari, mengelak, meliuk-liuk. “Ayoh, Sultan, jangan kau beri aku malu,” bisiknya pada kuping Sultan. Melihat prajurit itu mengelak-elak juga, ia menjadi bersemangat. “Tubruk, Sultan, tubruk, biar dia menjempalit!” Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu pertarungan. Prajurit-prajurit mulai turun ke alun-alun untuk menonton. Kemudian orang lalulalang pun memerlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa pengumuman penonton semakin lama semakin banyak. Orang berjingkrak melompat-lompat, orang menahan nafas ketegangan. Pada suatu tubrukan yang telah direncanakan kudanya, tinju bocah itu menggedabir mengenai angin. Dan demikian beberapa kali lagi terjadi. Gelar naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya telah lapar, dan peluh kuda telah bercampur dengan peluhnya sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dapat kupukul dengan tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu membungkuk dengan dua belah tangan erat-erat memeluk leher Sultan dan ia persiapkan diri untuk melakukan tubrukan yang menentukan. Prajurit pengawal itu bukanlah anak kemarin. Dengan suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke sekian kalinya. Tetapi ia salah perhitungan. Tangan Gelar tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher prajurit itu dua belah kaki dan membikin jepitan sila. Dua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher prajurit itu tetap dalam jepitan Gelar. Sorak-sorai menjadi riuh. Orang mulai mengagumi ke-tangkasaan pengendara muda belia itu. Dan tangan Gelar tetap memeluk Sultan. “Jatuhkan, orangmuda! jatuhkan!” Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan dan bahunya telah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh. Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan prajurit itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula melayangkan tumit pada muka prajurit itu. Tak diketahuinya tumit telah masuk ke dalam rongga mata. Ia pun berayun kembali ke atas punggung kudanya. Penonton terdiam terkejut. Ia sendiri masih siapkan kudanya untuk tubrukan yang terakhir setelah dapat melihat prajurit itu duduk goyah di atas kendaraannya. “Sudah! Sudah! Cukup!” orang berseru-seru. Waktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak Gelar menghentikan Sultan. Prajurit itu mulai miring. Tangannya yang sebelah memegangi matanya dan kepalanya menunduk miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan pelan-pelan, kemudian berhenti. Gelar turun dan lari menyongsong. Dan orang-orang pun lari mendapatkannya. “Bodoh!” bentak prajurit bergelang baja yang semalam. “Tidak ada aturan menggunakan kaki.” Orang itu diturunkan dari kuda dengan muka berlumuran darah. Gelar tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong sambil memanggil-manggil Sultan yang telah ia lepas. Binatang itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di belakangnya. Bola mata prajurit itu telah keluar dari rongganya. Dan Gelar tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendamnya menungging, dan belas-kasihannya muncul ke permukaan. Dan ia tak dapat berbuat sesuatu. Hari itu kota Tuban digemparkan oleh berita tentang Gelar si muda belia, si penunggang kuda tanpa tandingan, Gelar anak Senapati Tuban, calon prajurit pengawal, calon Senapati, Gelar anak Nyi Gede Idayu. Temui dia dalam hidupmu: Dan penduduk kota Tuban, terdidik memuliakan kepahlawanan, datang berbondong-bondong mengunjungi bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa menjatuhkan seorang prajurit pengawal pada hari pertama jadi calon prajurit. Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk mengaguminya. Kepala-kepala regu menjadi sibuk mengurusi para pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan pengagum tak dapat dan tak mungkin dicegah karena memang sudah jadi adat yang mendarah-daging. Gadisgadis datang membawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjamah tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagahberaninya. Tiga hari lamanya bangsal pasukan pengawal ramai dikunjungi orang. Buah-buahan, penganan, ikan laut dan daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dan tempat tidur Gelar tak pernah sunyi dari daun bunga yang ditebarkan. Kemudian keadaan pulih kembali seperti biasa. Gelar tak mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditumpahkan kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad untuk membalas dengan setimpal. Maka ia terus-menerus bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayang di lingkungannya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang ibu dan adik, tidak ada seorang guru, tiada pula pembimbing. Yang ada hanya kekasaran, nafsu penganiaya dan penindasan. Dan pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya? Ia tidak mengerti. Ia bingung.Seorang prajurit lain yang ditugaskan untuk melatihnya memainkan tombak, sebelumnya telah memamerkan keunggulannya, baik dalam melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat, untuk mematahkan keberaniannya. Dan anak muda desa manakah di Tuban tak tahu memainkan tombak? Juga Gelar tahu. Hanya lengannya belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan permainannya kurang cepat Juga pelatihnya mempunyai kecenderungan untuk menindas dan mengejeknya, mentertawakan dan menghinanya. Dan ia dapat raba semua itu dari sikap pelatihnya yang angkuh terhadapnya. Prajurit pelatih itu tak mampu mengubah cara-cara Gelar yang dianggap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan kelemahan-kelemahan yang memberikan peluang bagi lawan untuk memasukkan serangan. Gelar tetap menolak tak mau mengikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, tetapi keadaannya sebagai sandera dan perlakuan terhadap dirinya. Pelatih yang jadi jengkel tapi segan mengambil tindakan itu menghentikan latihannya, mendengus: “Kepala kerbau!” “Apa?” “Lepaskan cara lama. Salah semua.” “Senapatiku lebih tahu daripada kau. Dia guruku.” “Senapati tak pernah dididik jadi prajurit” “Dia sudah pimpin kau dalam kemenangan,” bantahnya. “Kalau terus membantah, kau takkan jadi prajurit yang baik.” “Dan siapa bilang aku harus jadi prajurit?” “Ada, yang jauh lebih berkuasa dari prajurit?” “Peduli apa?” “Dan siapa kau kira bapakmu?” pelatih itu jadi jengkel. “Siapa lagi?” “Senapati Wiranggaleng? Bukan!” prajurit pelatih itu menggeleng-geleng dan berkecap. “Siapa bilang Senapati itu bapakmu?” “Semua orang.” “Pembohong! Tak ada orang pernah bilang begitu.” Dan Gelar merasa kehormatan keluarganya telah dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan. Orangtuanya tak pernah bicara semacam itu, apalagi penduduk Awis Krambil selebihnya. Prajurit itu tertawa dan Gelar semakin tersinggung. “Memang Nyi Gede pernah melahirkan kau. Nyi Gede yang terhormat itu. Tapi Senapati bukan bapakmu. Tidak pernah! Coba katakan, apakah Wiranggaleng pernah mengatakan kau anaknya? Kau, pembohong!” Melihat Gelar mulai mengukuhkan pegangan pada tombaknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. Dan ia pun tahu telah menghinakankeluarga dan pribadi yang sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya. “Jangan mencoba-coba gurumu, pelatihmu,” kata prajurit itu. “Kalau bukan karena menghormati Sang Senapati dan Nyi Gede, kepalamu sudah pecah. Lepaskan tombak itu!” Cuping hidung bengkung Gelar sudah kembang-kempis sebagai halnya Idayu bila marah. “Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu Sang Senapati sungguh bukan bapakmu.” Tetapi Gelar sudah tak mendengar lagi. Darah yang telah menyesaki kepalanya membikin ia menjadi kalap dan menyerang dengan tombaknya. Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu mengelakkan semua serangan. Ia tahu, Gelar bersungguhsungguh hendak membinasakannya. Ia bersungguhsungguh bertahan. Perkelahian dengan tombak adalah perebutan kesempatan untuk dapat melemparkan senjata pada tubuh lawan. Mata tombak hampir-hampir tidak dimainkan, tapi justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. Duaduanya tidak menggunakan tombak lempar, tapi tombak pengawal. Dengan tangkainya yang kuat dan panjang perkelahiannya menyerupai permainan sodor. Gelar terus menyerang dan pelatih terus bertahan. Dalam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan tangkisan silang. Tombak Gelar terlepas dari tangan tanpa ia ketahui sebabnya. “Ambil lagi tombakmu!” perintah pelatih. Gelar melompat memungut senjatanya dengan mata tak lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat melemparkan tombaknya. Prajurit itu mengelak lebih cepat dan menangkap tangkainya, kemudian melemparkannya kembali pada Gelar dan jatuh menancap di antara dua kaki. “Ambil tombakmu,” perintahnya lagi. Tanpa diketahui oleh Gelar, orang sudah datang merubung. Dan Gelar mulai melakukan serangan jarak pendek. Nafasnya telah terengah-engah dan gerak-geriknya seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk dapat diduga. Dan pelatih itu tetap tidak berkisar dari tempatnya. Si penyerang berputar-putar mengitari, melompat dan mengendap, berkelit dan menjuju. Seorang kepala regu bergumam: “Bukan orang, iblis kelaparan itu,” kemudian memerintahkan: “Selesai! Bubar!” Bersamaan dengan itu satu pukulan telah membikin jarijari Gelar tak dapat mencekam. Tombaknya terlepas jatuh ke tanah. Cepat ia mengambilnya kembali.Tombak itu jatuh lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu. Ia dengar tawa di sekelilingnya. Dan dendamnya serasa akan memecahkan dadanya. “Pulang!” perintah kepala regu. Semua bubar. Gelar berjalan paling belakang. Begitu ia memasuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang berseri bersuka-cita atas kegagalannya. Dan dendamnya bergumul bergulung-gulung dengan kemurungan. Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mukanya dengan bantal dan menahan tangisnya. Ia rasai airmatanya mengalir hangat pada mukanya. Ia marah pada diri sendiri karena tak bisa membinasakan pelatih itu. Dan ia ingin dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya. Dan ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka lepaskan ia rasai gatal, panas dan menggigit. Ia makin tidak mengerti mengapa semua orang memusuhinya, hanya karena tidak mampu mencapai apa yang telah dicapai oleh bapaknya. Tak ada sesuatu senjata di tangannya. Bila ada ia akan melompat dan mengamuk. Ia menangis. Ia kerutkan gigi karena amarah. Ia panggil-panggil emaknya dalam hatinya. Dan semua dewa yang pernah dikenalnya ia tuntut perlindungan dan kekuatannya. Ia tak dapat menenggang kekalahannya yang begitu mudah. “Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung!” seseorang melengking ria. “Kalau bantal sudah tertutup mata….” “Itulah tanda hujan deras membasahi bumi….” Dan ingin sekali ia membuang bantal dan berteriak ia tak takut pada siapa pun. Ingin – ingin – tapi seluruh tubuhnya menolak melakukan keinginannya. “Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung? Lihat, seorang wanita datang membawa keranjang….” “Mana Gelar, anakku?” Gelar mendengar suara wanita – suara lembut memanggil-manggil. “Itu, Bu, di ambin, sedang patah hati, tak mau makan.” Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya. Kemudian terdengar lagi suaranya: “Gelar, anakku, bangun.” “Gelar! Bangun, kau!” kepala regu memerintah. Gelar menghela nafas panjang untuk mendamaikan perasaannya, bangun dan menemui wanita itu. “Aduh, kau sudah besar begini, Gelar, sudah perjaka.” Dan Gelar berhadapan dengan seorang wanita bermata agak sipit. “Perjaka!” orang bersorak-sorak senang. Gelar duduk pada tepi ambin. Juga wanita itu. “Aku baru dengar kau ada di sini. Nak. Lupakah kau padaku? Orang yang menyambut kedatanganmu yang paling mula, waktu kau dilahirkan?” “Nyi Gede,” bisik Gelar, lupa pada perasaannya yang kacau sebentar tadi. Ia turun dari ambin, bersujud dan menyembah. Dan wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada kepalanya. “Kau sudah berdestar begini,” katanya. “Aku ikut mengantarkan Senapatiku berangkat. Tapi tak ada aku lihat dia. Kau pun tak kelihatan. Gelar. Mengapa pakaianmu begini buruk? Tak dibekali secukupnya dari rumah? Keterlaluan Idayu. Datanglah ke kesyahbandaran, Gelar.” “Tidak boleh, Ibu,” seseorang mencampuri. “Anak yang luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan asrama tanpa titah Gusti Adipati, kecuali kalau sedang latihan.” “Tapi prajurit pengawal lainnya boleh,” bantah Nyi Gede. “Ya, yang ini tidak.” “Baiklah,” sambungnya. “Ini kubawakan penganan sekedarnya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang ke mari. Kau sudah punya kelengkapan prajurit. Gelar?” “Tak ada satu pun padaku kecuali itu,” ia menuding pada bungkusan pakaian. “Emakmu memang keterlaluan.” “Apalah gunanya? Itu pun sudah cukup, Nyi Gede.” “Di rumah masih ada peninggalan Sang Senapati, pakaian, pedang dan empat bilah tombak. Nanti aku bawakan.” “Jangan. Ibu.” seseorang mencegah, “ia hanya sandera, tak boleh punya senjata sendiri.” “Sandera!” pekik Nyi Gede Kati. “Siapa bilang dia sandera? Tidak mungkin!” “Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat diragukan.” “Apa kesalahan Wiranggaleng Sang Senapati?” Pertanyaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang dilepas tak menepati tugas. “Gelar! Gelar!” ratapnya tiba-tiba. “Siapa yang menyebabkan semua ini?” Mendadak ia terdiam dan pandangnya terpusat pada sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: “Biar, Gelar. Sabarlah dulu. Biar aku urus, Nak, semoga berhasil” ia mendehem. ‘Tinggallah tenang-tenang di sini.” Ia bersiap-siap, kemudian pergi bercepat-cepat. Tepat sebulan selama di dalam asrama datanglah beberapa orang dari Awis Krambil mengantarkan upeti. Mereka mampir untuk menemuinya: kepala desa dan para pemikul. Mereka membawakan untuknya pakaian dan perlengkapan prajurit: tiga bilah tombak lempar, sebilah pedang, sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala makara. Tetapi semua kelengkapan itu harus dibawa pulang kembali karena tidak diperkenankan. Beberapa lembar lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung jumbai adalah suara dari ibunya: “Gelar, anakku. Kau harus mengerti keadaanmu. Kau dibuat jadi sandera untuk menjamin kesetiaan Senapati pada Sang Adipati. Maka jangan kau pikirkan emak dan adikmu. Jagalah dirimu sendiri baik-baik, Gelar, jagalah keselamatanmu. Kau sekarang sudah dewasa. Jangan titikkan airmata untuk dukacitamu, jangan kau permalukan Senapati dan emakmu. Belajar kau baik-baik, apa saja yang harus patut kau pelajari. Sebagai sandera tak ada seorang pun yang dapat melindungimu kecuali dirimu sendiri. Begitu kau memasuki asrama, kau sudah menjadi prajurit dan sudah dewasa. Maka itu aku meminta padamu, Gelar untuk mengerti satu hal. Satu hal saja, ialah, bahwa emakmu masih mengharapkan dapat bertemu denganmu, pada suatu kali, di mana saja. Emak tidak menengokmu di Tuban, dan jangan kau harapkan yang demikian akan terjadi. Demi sumpahku, Gelar.” Dan Gelar mengerti benar apa yang tersirat di dalam lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan emak! Pada suatu tempat. Ia tak punya persediaan lontar. Ia berusaha mendapatkannya dari tamu-tamunya. “Kau tak ada hak untuk menulis surat!” tegah kepala regunya. “Jangan menulis.” “Sampaikan sembah sujudku pada emakku yang mulia,” katanya dengan suara keras menantang seluruh bangsal, “telah kubaca lontarnya dan mengerti isinya,” dan ia persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali mengucapkan terimakasih. Orang-orang sedesanya melingkunginya dengan pandang belas kasih. Ia bercepat memunggungi mereka, dan waktu mereka telah pergi semua ternyata para prajurit sedang ramai-ramai membaca lontarnya. Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal, bahkan dari bangsal-bangsal lain orang ikut memeriahkannya. Gelar diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Orangorang ini memperlakukan aku seperti itu hanya karena aku sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh. Surat itu sudah tak mungkin jadi miliknya lagi. Dan ia tak ingat semua yang tertulis di dalamnya, kecuali suara ibunya yang memanggil mendayu-dayu: ‘pada suatu kali, di mana saja’. Ia tahu, si ibunya mengharapkan pada suatu kali nentukan ‘suatu kali’ itu dan ‘di mana saja itu? Jelas bukan emaknya. Aku sendiri, ia menentukan, tak lain diriku sendiri. Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa. Sekali ini kepala desa tidak ikut serta. Juga beberapa lembar lontar datang dan: “Aku dengar banyak ejekan ditimpakan pada dirimu. Gelar, Aku sangat berprihatin. Kau dipanggilpanggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermainmainkan hidungmu, seakan-akan anakku tidak lagi mempunyai kehormatan dan harga diri, seakan-akan Senapatiku Wiranggaleng belum berbuat apa-apa dalam hidupnya, seakan-akan Idayu tak pernah mencapai sesuatu pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang tua-tua kita mengajarkan tentang kehormatanjdan harga diri. Itu di desa-desa, Gelar, di kota rupanya orang sudah tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai tentang Rama Cluring dan guru-guru lainnya. Cerita-cerita itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu! Tak ada orang lain yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. Senapati Wiranggaleng adalah bapak yang terbaik untukmu. Tidak ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia sebagaimana emakmu menghormati dan mencintainya, maka semua ejekan dan hinaan akan kalis. Kau lebih berharga untuk emakmu daripada seribu pengejekdan penghinamu. Si pengejek akan tinggal jadi pengejek Si penghina semakin menjadi hina sendiri untuk seumur hidupnya. Tapi kau, Gelar, anakku, akan tumbuh lebih berharga daripada mereka dikumpulkan jadi satu. Kau tak perlu membalas surat emak ini, karena aku tahu kau tak diperkenankan. Walau demikian Idayu tidak bicara pada si gagu-bisu, tanpa surat pun Gelar mengerti perasaan emaknya. Banyak-banyaklah berprihatin. Pada suatu kali di sesuatu tempat entah di mana. Yakinilah itu, dan jangan malas berdoa untuk bapakmu, jangan malas belajar untuk dirimu sendiri.” Gelar tak membalas surat itu. Ia sengaja tak meramahi para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di dalam asrama yang suka membuang-buang waktu melaporkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang lain ataupun langsung pada emaknya. Dan ia kadang merasa berterima kasih kadang pun merasa malu karena perbuatan orang tak dikenal itu. Dan ia bermaksud mencari orang itu. Ia kibar-kibarkan lontarnya dan berseru-seru menantang: “Ayoh, barangsiapa mau merampas surat ini, ayoh sini!” Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. Dan ia tersenyum senang, senyum pertama selama dua bulan ini. Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia membacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan pengawal pada umumnya. Dan orang-orang yang mendengar itu duduk menekur seakan sedang menghadapi taufan amarah dari Idayu sendiri. Juga kepala regu itu menunduk dalam. 0o-dw-o0 Sesampainya di rumah Nyi Gede Kati dengan tak sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. Dan begitu Tholib Sungkar Az-Zubaid datang segera saja ia menyerang: “Tak ada orang lain yang dapat berbuat begitu kejam sejak semula daripada Tuan. Keji! Bahkan pada anaknya sendiri! Tuan malu punya anak seperti dia maka kau mau binasakan dia sebagai sandera,” “Ada apa kau ini, Kati?” Tholib Sungkar terheran-heran tak tahu sesuatu apa. “Hanya Tuan seorang yang sering menghadap Sang Adipati hanya kau!” Tholib Sungkar berubah airmukanya dipanggil kau dan bukan tuan. “Apa kau ini?” ulangnya tersinggung. “Kau telah menghasut. Kau! Kau bikin Gelar, anakmu sendiri, jadi sandera,” tuduh Nyi Gede. “Dari rumah utama ini, ke rumah Idayu sana, dan lahirlah Gelar. Idayu sendiri yang berkata. Seluruh Tuban tahu ceritanya, semua tahu, siapa Gelar, kecuali Gelar sendiri barangkali, dan kau yang pura-pura tak tahu.” “Apa kau ini, Kati?” “Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda sampai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.” Tholib Sungkar Az-Zubaid mengambil tongkat dan berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan ancaman hendak menyerangnya. “Betapa kau hinakan Idayu. Kau paksa dia mengandungkan anakmu selama sembilan bulan….” “Bohong! Tak ada cara begitu pada Sayid Habibullah Almasawa. Kau kira siapa Idayu dibandingkan dengan bidadari-bidadari lainnya?” “Dan mengapa mereka kau tinggalkan, dan menghambakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu kau hinakan? Mengapa kau diam saja? Biar aku panggil tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini.” “Stt. Mengapa orang luar harus ikut dengar?” “Dengarkan kata Idayu? Kaulah pula yang mengirimkan Wiranggaleng ke sarang Kiai Benggala biar terbunuh.” “Kati!” “Kaulah yang mengada-ada mengirimkannya ke Malaka dengan hanya uang! Kaulah pula yang merampas Gelar dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umum dan terbebas dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan menggunakan kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua itu tidak benar!” “Tak satu pun benar,” Tholib Sungkar menjawab tegas. “Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan, biar aku tuduh kau di depan umum,” Nyi Gede Kati menangkap tangan suaminya dan mulai menyeretnya. “Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu.” Wanita itu menyeretnya terus. “Aku pukul kau,” Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban itu melawan tarikan dan mengamangkan tongkat. Nyi Gede Kati mendadak melepaskan seretannya dan Syahbandar itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melompat mengangkang? dan menginjak kedua telapak tangan suaminya Syahbandar itu terkaing-kaing kesakitan. Jari-jari tangannya dirasai hampir remuk dan tak bisa melepaskan diri. “Hancur jari-jari ini,” pekik Syahbandar, “Biar remuk!” “Aku tak bisa menulis lagi nanti,” pekiknya. Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang dikangkangi istrinya sendiri ia tak meneruskan niatnya, tapi segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja mencabuti rumput. “Peduli apa? Aku sendiri nanti menghadap Gusti Adipati.” “Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, Nyi Gede.” “Jadi kau mengaku menghasut, memfitnah, mencemarkan keluarga sebaik itu? Kau takut pada Wiranggaleng, maka kau carikan kuburan baginya di dalam jung. Kau kalah perbawa dari Idayu, maka kau rampas anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus, bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu tatasusila!” Nyi Gede Kati melepaskan akan injakannya dan menyepak kepala suaminya. Syahbandar Tuban duduk dan memijit-mijit tangan. Dilihatnya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau tongkat dan mencoba mengaitnya. “Pelindung kepala mulia!” Nyi Gede menyepak topi itu dan jatuh ke atas pangkuan suaminya. “Dua kali kau aniaya aku. Nyi Gede.” “Kaulah yang menganiaya mereka. Aku mau menghadap sekarang juga.” Tholib Sungkar melompat berdiri dan menubruk istrinya. “Jangan, jangan, Gusti Adipati sedang gering.” ”Menghadap Patih Tuban Sang Wirabumi.” “Jangan, Gusti Patih sedang ke Malaka.” “Aku mau ke pasar dan sampaikan semua ini pada semua orang,” ancam Nyi Gede. “Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku akan penuhi, Nyi Gede.” “Mulut tak pernah bisa dipercaya begini!” “Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar Gelar bebas dari sandera. Biar dia kemudian kembali ke desa dan berkumpul dengan emak dan adiknya.” “Baik, baik, akan kuusahakan. Tapi bukan aku yang berkuasa. Kau sendiri tahu.” “Usahakan, kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia sampai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah… awas, kau tahu apa bakal terjadi atas dirimu.” Sejak hari pertengkaran itu kedua orang suami-istri itu tidur dan hidup berpisahan. Tholib Sungkar As-Zubaid terpaksa makan di warung dan menghabiskan hari-harinya yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di malam hari, apa pula kapal-kapal Atas Angin tak juga kunjung berlabuh. Dan Nyi Gede Kati tak lagi menegurnya. Dipasangnya selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya satu coretan setiap hari. Dan sudah beberapa kali Syahbandar menghadap untuk mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang nasib Gelar. Nyi Gede tak pernah menanyakan. Ia hanya menunggu coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid memang tak ada maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali membuai Sang Adipati dalam dongengan…. 0o-dw-o0 Memasuki bulan ke tiga Gelar dianggap lulus dalam naik kuda dan mempergunakan tombak di atas tanah.ua pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan mendatang adalah memainkan tombak di atas punggung kuda dan mempergunakan cambuk perang. Dalam dua bulan itu ia belum juga memperoleh seorang sahabat. Seorang sandera menduduki tempat terhina dan terendah dalam tata hidup Tuban. Sahabat seorang sandera dianggap pula orang hina dan dijauhi. Dan kini ia berdiam diri bila diejek. Dan siapa pula tidak mengejek dan menghinanya? Tampangnya adalah lain dari pada yang lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lima jari lebih rendah, orang akan bertemu dengannya sebagai Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada sesuatu yang lucu di rumah dulu dan tersenyum, bahkan senyumnya pun sama dengan tuan Syahbandar sewaktu dia masih bayi. “Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai sandera?” Darah Gelar tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan Syahbandar, bahwa emaknya tidak mempunyai kesetiaan pada Sang Adipati, bahwa setiap waktu ia dapat dibunuh. Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu: Emaknya masih mengharap dapat bertemu denganmu. ada suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta Sang Adipati. Mak, aku dengar suaramu, Mak! Aku dengar! Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak. Gelar mengaduh, meliuk-liuk pinggang,, merintih, purapura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari kecil sambil mengaduh. Makin jauh berjalan, makin sunyi Di tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang di sana. Ia menunggu sampai orang itu pergi. Kemudian sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang kuda. “Sultan! Sultan!” bisiknya memanggil-manggil. Binatang yang dipanggilnya bangun berdiri dan meringkik pelahan. Gelar masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang pintu, memeluk kuda itu pada lehernya, dan membawanya keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk leher kuda itu, berbisik: “Bawa aku pulang. Sultan, jangan gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam ini.” ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa sanggurdi. Bocah dengan kudanya yang tinggi besar itu mulai berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandang, memasuki padang alang-alang. Setelah jauh dari daerah perumahan Gelar memacunya ke jurusan jalanan negeri Malam terang bulan itu tiada angin meniup. Pepohonan berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada berawan. Dan bintang-bintang redup bertebaran enggan di angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang mengepul di belakang. Dari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan. Gelar tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya dan nafas Sultan. Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang adalah maut dan penindasan. Dan Sultan akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya, biarpun ditambah dengan tiga lemparan tombak. 0odw-o0 33. Demak Mulai Bergerak Begitu telah mendapat kepastian pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis mulai menyerang daerah peluaran kota Malaka, dan Portugis terpaksa membatasi ruang geraknya di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan menyerang. Pasukan kuda dan kaki Demak dengan cepat menerjang kabupaten-kabupaten sebelah timur negerinya. Santenan jatuh. Balatentara itu bergerak tenis mengejar bab tentara Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan tentara bupati Blora. Dan dua orang bupati yang sekeluarga itu tak punya pasukan kuda. Trenggono memperhitungkan: juga Blora akan segera jatuh. Semua orang lelaki kabupaten Santenan yang berumur di atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat melarikan diri, di seret terus ke timur untuk jadi serdadu tambahan. Balatentara gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari kelemahannya memasang perangkap-perangkap kaki kuda dengan ranjau gambangan dari bambu, yang dijajar renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan dedaunan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan terdepan pasukan kuda Demak memasuki semua perangkap dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya. Trenggono sangat marah melihat kerusakan pada pasukan kuda kesayangannya. Ia mengancam bupati-bupati bersangkutan akan merejamnya hidup-hidup. Maka pasukan kaki Demak yang digalakkan oleh harapan menjarah melewati pasukan kuda, menempuh jalan hutan, dan menyerbu ke depan. Dua-dua pihak balatentara yang bermusuhan tidak lagi mengindahkan aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk kemudian bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan Demak mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya, menerjang yang terkena terjang membongkar yang terkena bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kampung yang dilewati. Di sebelah utara, balatentara Demak yang telah dipusatkan Mfeetumnya di Juana, juga bergerak ke timur. Rembang tidak mengosongkan daerahnya seperti halnya dengan Pesantenan Satu pertempuran yang mendarah terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang pesisir di mana penikan kuda Demak tak dapat berbuat sesuatu pun. Dan pertempuran itu berlarut-larut hingga Trenggono memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan sendiri turun ke medan. Pada hari Trenggono memerintahkan penyerangan, armada Jepara Demak, armada terbesar setelah jatuhnya Majapahit, tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh Panglima-Laksamana Fathillah. meninggalkan bandar Jepara untuk ke tiga kalinya dan menempuh garis pelayaran yang sama: ke jurusan Banten. Sama halnya dengan dua pelayaran sebelumnya di setiap bandar dikatakan mereka sedang berlayar untuk menghadap Peranggi. Mengetahui, bahwa balatentara Demak bergerak ke jurusan timur dan mulai menaklukkan bupati-bupati tetangga sendiri, orang menjadi curiga dan bersiaga. Mengapa armada yang ditimang-timang Adipati Unus itu tak juga menuju ke Malaka. Maka di setiap bandar hanya dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke Banten dan membelok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan memang sedang berja-ga-jaga agar Portugis tak masuk ke Jawa. Walau demikian seluruh Banten telah bersiaga. Kepercayaan orang terhadap Trenggono telah punah sama sekali. Gerak-gerik armada diikuti oleh Banten dari pesisir Mereka melihat armada besar itu menurunkan beberapa pasukan di Ujung Kulon. Dan di sana sudah menunggu pasukan Banten Pertempuran sengit segera terjadi. Armada menurunkan pasukan bantuan, kemudian mengangkat sauh dan semua berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukanpasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam pertempuran. Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda. Tiba-tiba membelok ke kanan, memasuki bandar Banten sambil melepaskan tembakan-tembakan cetbang. Banten pun melepaskan cetbangnya, tetapi pasukan-nya telah banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran cetbang yang berjalan selama setengah hari telah menghabiskan peluru Banten. Pendaratan dimulai oleh para penyerbu. Dan pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana, ditutup hanya oleh malam. Dan dalam malam itu juga Demak meneruskan pendaratannya. Mereka tahu Perangi sedang sibuk di Malaka, dan mungkin melakukan sergapan dari belakang. Bandar besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya Pada hari ketiga setelah pendaratannya kekuatan Demak memasuki ke pedalaman Banten. Balatentara Banten kalah dalam jumlah dan persiapan. Dan setelah seminggu bertahan pertahanannya pasukan Banten jatuh ke dalam kekuasaan Demak. Fathillah bergerak dengan cepat la dudukkan orangorang Demak jadi pemegang kekuasaan di Banten. Dengan keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan datangnya Portugis. Sebagian dari kapal-kapalnya melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir barat dan utara Banten. Taraf pertama persekutuan militer Trenggono-Fathillah telah berhasil. Dengan Banten sebagai pangkalan Demak, seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. Dan Demak harus jadi modal. Dalam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih kembali. Fathillah mulai memanggili penduduk dewasa untuk dijadikan prajurit. Dengan jalan demikian ia telah ganti kerugian manusia selama pertempuran seminggu. Semua pandai besi dikerahkan untuk membikin peralatan perang baru. Bandar dibuka kembali Dan negeri yang kaya akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari Atas Angin. Banten adalah penghasil lada dan minyak kelapa. Dengan jatuhnya Malaka dan Pasai, ia telah menggantikan kedudukan Gresik sebagai bandar terbesar di Jawa. Tetapi Banten sendiri tidak mempunyai armada dagang ataupun militer, karena percaya kegiatan perdagangan takkan menyebabkan kekuasaan lain akan berniat menyerbu selama dia sendiri tak menghendaki daerah orang lain. Pertahanan dalam negerinya disia-siakan. Dan semua ini telah diperhitungkan oleh Fathillah Dan sekarang Fathillah akan menggunakan penghasilan bumi dan laut Banten untuk memperluas gerakan memasuki pedalaman sampai he Laut Kidul. Penduduk bandar Banten sendiri membantu dan menyokongnya. Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampungkampung tersebar di sekitar bandar. Sebagian adalah penduduk bangsa-bangsa Nusantara dan non-Nusantara dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan takluk dan setia pada Demak. Tak bisa lain: balatentara Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu orang itu takkan mungkin dapat ditahan oleh kekuasaan manapun! Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh orang di Banten yang telah naik haji, dan seorang di antara beberapa belas orang yang tahu berbahasa Arab. Dengan pengetahuannya tentang agama Islam dalam waktu hanya beberapa bulan orang mulai melupakan penyerbuannya dan melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di mesjid dengan bahasa Melayu, la panggili para ulama setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan agama Islam secara teratur, juga mewajibkan padanya membentuk barisan musafir sebagaimana pernah dilakukan oleh Demak, hanya sekarang untuk memasyhurkan Gubernur-Panglima-Laksamana Fathillah. Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman. Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk menghalau penduduk yang menolak Islam dalam segala isi dan bentuknya. Pada mulanya orang melawan dengan senjata, tetapi kekuatan besar Demak yang membeludak itu tiada terlawan. Kemudian mereka melawan dengan katakata – makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun tanpa makna. Mereka terpaksa melarikan diri dan mencan daerah hidup baru tanpa Fathillah. Jatuhnya Banten dan Pesantenan ke dalam kekuasaan Demak sampai pada Wiranggaleng dua bulan kemudian: “Khianat” bisiknya seorang diri dan pergi menyendiri ke suatu tempat untuk memikirkannya “Tepat sebagaimana kuduga. Semua telah berkhianat! Semua hendak menarinari dengan Peranggi di atas pundak si Wiranggaleng, anak desa ini: Trenggono, Adipati Tuban, Fathillah Liem Mo Han, Kala Cuwil, Ratu Aisah,… Dan pasukan gabungan ini sekarang menjadi lola di negeri orang ” Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang terjadi telah melawan cita-cita Rama Cluring, bertentangan dengan Adipati Unus. Dicobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan Jawa. Ia tak mampu. Semua punya ikatan dengan Jawa, justru bersangkut-sangkutan, bertali-temali. Ia pulang ke markasnya. Dan Pada telah menunggunya, juga dalam keadaan gelisah dan menunduk menunggu teguran. Wiranggaleng tak menegurnya. Senapati itu duduk diam-diam di atas ambin. Waktu pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan Peranggi, dapat digarap jadi daerah pertanian tetap. Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak memberikan jawaban ia bertanya apakah tidak atau kurang menyetujui. ‘Tidak, Hang Wira,” jawabnya, “bukan soal tidak atau kurang menyetujui. Kami ada persoalan lain. Setelah Sultan Mughayat Syah, Sultan kami, Sultan Banda Aceh Darussalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik, dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang.” Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu Sultan Aceh yang baru telah kehilangan kepercayaannya pada Trenggono. “Sembah sujudku ke bawah duli Baginda Sultan. Semoga penumpasan terhadap Peranggi dari Malaka tetap jadi perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaikbaiknya.” Berita dari Jawa itu telah melumpuhkan semangat kesatuan Tuban. Di mana-mana tempat mereka menggerombol dan membicarakan kemungkinan terjadinya penyerbuan Demak terhadap Tuban sendiri “Sedang kita ada di sini’ mereka mengeluh. Dan keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang Wira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata betul tidak untuk pembebasan Malaka, sebaliknya untuk melampiaskan nafsu kekuasaan pribadi. ‘Trenggono!” sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin kesatuan, “telah mengubah kedudukan kita menjadi badut yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui Peranggi berjumlah kecil, keampuhannya hebat. Dan sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan kepergian kesatuan Aceh.” “Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda Sultan dan mempersembahkan semua ini,” pimpinan kesatuan Aceh menyampaikan, “bebasnya Malaka dari Peranggi juga jadi urusan Banda Aceh Darussalam.” “Kami akan tetap tinggal di sini,” pimpinan kesatuan Bugis memberikan jaminan. “Jatuhnya Malaka juga jadi urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke utara akan kembali terbuka.” Dua minggu setelah itu kesatuan Aceh minta diri untuk kembali. Kesempatan itu dipergunakan Hang Wira untuk mengirimkan Pada pulang ke Jawa. “Carilah berita yang benar, dan tengok mbokayumu dan kemenakan-kemenakan,” pesan Hang Wira. “Cari Liem Mo Han, cari keterangan tentang Kala Cuwil: jangan lupa menghadap Gusti Ratu Aisah.” Dan dengan demikian berangkatlah Pada. Setelah pertahanan Rembang patah dan medan pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, balatentara Demak memasuki Rembang, menjarah-riah segala yang dapat dan ditemuinya. Penduduk melarikan diri ke hutan-hutan pedalaman. Balatentara pemenang itu kemudian membelok ke selatan untuk membantu menghancurkan persekutuan militer Pesantenan Blora. Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangnya balabantuan musuh dari utara, meliuk kena terjang dan melarikan diri ke selatan. Balatentara Demak, di bawah pimpinan Trenggono sendiri, menang untuk ketiga kalinya. Sultan Demak semakin berbesar hati. Seorang ke Banten dan memberikan perintah baru: Ambil Sunda Kelapa! Dalam pada itu balatentara Demak dari barat dan utara yang bertemu di Blora, dengan membawa serdadu baru dari tempat yang baru ditaklukkan, diperintahkan menerobos ke timur laut untuk menaklukkan Tuban dan Bojonegara. Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik balatentara Demak. Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang dari jurusan barat daya Tuban, disiapkannya pasukan gajah di perbatasan. Ia percaya Demak takkan mungkin dapat menembus pasukan gajah. Telah ia pilih tanah lapang untuk membuka medan ini di mana ia berjanji akan giling bonyok balatentara musuhnya. Ditunggunya para penyerbu itu menyeberangi tanah lapang itu. Dan perhitungannya tidak keliru. Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda Demak yang bersenjata tombak berjumbai berwama-wami itu bersorak-sorak menyeberangi lapangan untuk mengutip kemenangan yang ke sekian kalinya. Nyaris sampai ke pinggiran lapangan, gajah-gajah Tuban pada berdiri, bersuling, lari ke depan membawa bentengan kayu di atas punggung. Kuda-kuda Demak terkejut Tombak-tombak mereka yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar siap untuk melayang. Tetapi mereka tak pernah berlatih menombak pada sasaran tinggi. Dan kuda-kuda kaget itu menyulitkan pembidikan. Sebaliknya panah dan tombak dari atas gajah berlayangan bebas menuju ke sasaran. Kuda-kuda Demak masih terus berlarian gugup melihat gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di hadapannya. Kegugupan Demak menyebabkan tubrukantubrukan antara mereka sendiri. Dan kuda-kuda di belakangnya langsung membelok menghindari tanah lapang. “Lindungi Sultan!” seseorang berseru. Mendengar Sultan ada dalam pasukan kuda itu Kala Cuwil menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. “Tangkap Sultan!” ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui ribuan mulut lainnya. Panah dan tombak berhamburan di medan pertempuran. Balatentara Demak mengalami banyak kerusakan dan segera mengundurkan diri sebelum pasukan kaki Tuban dikerahkan memburu. Bagi Trenggono sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk gerakan militer selanjurnya. Dari Tubanlah seluruh Jawa Timur akan dapat dikuasai. Dari sini akan dapat ditumpas Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas namanya. Dan Islam, menurut Fathillah yang kemudian juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari Peranggi. Khusus untuk Trenggono, Blambangan adalah gudang peninggalan Majapahit. Dengan benda-benda kerajaan Majapahit itu Demak saja yang bakal jadi kerajaan pewaris syah dan tunggal dari Majapahit, dan seluruh Jawa akan sujud dengan badan dan matinya padanya, pada Demak. Kegagalannya di perbatasan barat daya Tuban membikin ia menjadi beringas. Ditariknya semua pasukan kaki ke utara untuk dapat merebut Tuban dari pesisir. Sebagian kecil pasukan kuda ia perintahkan tinggal untuk menyibuki pasukan gajah. Tetapi Kala Cuwil tidak dapat ditipu dengan siasat itu. Melihat balatentara Demak mengurangi kekuatannya ia pindahkan semua pasukan gajah kembali ke kota. Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan untuk menyibuki pasukan kuda Demak. Demikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa kerusakan pada kedua belah pihak. Induk pasukan Demak yang bergerak dari pesisir utara menghindari daerah koloni Tionghoa Lao Sam, kemudian mengancam perbatasan timur Tuban. Meriam Portugis di tangan Tuban menyambut kedatangan mereka. Demak tertegun menerima peluru-peluru besi itu sehingga gerakannya terhenti sama sekali. Kemudian mereka menempuh jalan lain dan mendesak terus tiada tertahankan. Cetbang-cetbang Tuban mulai berledakan. Demak meliuk lebih ke selatan dan mulai membuka medan pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri. Balatentara Tuban yang dipaksa bertahan melepaskan pasukan gajah. Dan Demak meliuk kembali ke utara. Sekali ini Demak berhasil menjebol pertahanan Tuban dengan meninggalkan pasukan gajah. Banteng Wareng dengan pasukan kudanya belum juga dikeluarkan oleh Kala Cuwil. Patih-Panglima Tuban itu punya rencana hendak menggunakannya untuk menyergap dari belakang, bila Demak berhasil dengan desakannya. Tidak diketahui penghubungnya telah tertangkap oleh musuh dan tewas di pinggiran medan pertempuran. Di kota Tuban, kehidupan masih berjalan tenang. Tak ada orang percaya Demak bisa menembusi pasukan gajah Tuban. Dua ratus tahun lamanya pasukan ini telah jadi tulang punggung Majapahit Demak hanya kerajaan kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga pasukan pengawal kadipaten masih tenang-tenang di tempatnya masing-masing. Kala Cuwil pun belum lagi memberikan perintah untuk siaga. Meriam Portugis dan cetbang tak berhasil membendung desakan Demak. Sorak-sorainya kini mulai terdengar di Tuban kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa perintah Patih-Panglima mulai disiagakan untuk mempertahankan kadipaten dan kota. Dengan gopoh-gopoh Braja memasuki kadipaten untuk mempersiapkan pengungsian Sang Adipati. Beberapa orang perwira diperintahkannya memberitahukan pada penduduk untuk mengungsi. Di depan pintu peraduan Sang Adipati didapati Braja dua orang pengawal bertombak itu masih berdiri di tempatnya. “Siapkan tandu!” perintahnya. Dua orang itu lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga masuk. Jantungnya berdebaran dan pikirannya sibuk untuk mendapatkan kata-kata yang tepat. Ia menyembah, menarik tali untuk memberitahukan pada penjaga di dalam. Tetapi tarikannya tak mendapat jawaban. Ia buka pintu. Dilihatnya Sang Adipati tergolek tenang di atas peraduan. Dan tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu. “Braja!” panggil Sang Adipati. Braja menjatuhkan diri, berlutut dan menyembah. “Ampun Gustiku, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” ‘Trenggono berkhianat” “Sorak-sorainya telah terdengar dari sini. Gusti.” “Kami tak dengar. Sorak-sorai Demak?” “Sorak-sorai Demak, Gusti.” “Khianat! Khianat!” ia ulangi kata-kata itu dengan suara semakin lama semakin pelahan, kemudian tak terdengar lagi. “Gusti, sudah datang waktunya untuk mengungsi.” Sang Adipati tak menjawab. Braja mendekati untuk mengulangi. Sang Adipati sudah tak bernapas lagi. Wajahnya telah menjadi begitu ciut dan rambutnya yang begitu putih seluruhnya terberai di atas bantal. Destarnya terlepas dan jatuh di samping kepala. Ia ambil destar itu, ia tutupkan pada wajah jenasah itu. Kemudian ia lari keluar dan berteriak-teriak: “Cepat! Mengungsi semua! Mengungsi! Gusti Adipati Tuban jangan ditunggu. Gusti telah mangkat.” Ia terus lari ke belakang, tak mempedulikan orang berlarian silang-pukang. Digedornya harem. Waktu pintu itu terkirai, ia masuk di bawah protes Nyi Gede Daludarmi, ia tak peduli, berteriak: “Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke mana saja kalian suka. Sang Adipati mangkat. Balatentara Demak sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua barang kalian! Perempuan-perempuan itu pada menjerit kebingungan. “Diam!” bentak Braja. “Bawa harta-benda kalian. Lari sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.” la tinggalkan kadipaten dengan bimbang. Siapa dan apa sekarang ia kawal? Jenasah Sang Adipati? Harta-benda kadipaten? Ia lari masuk ke dalam asrama, memanggil semua anakbuahnya, kemudian memerintahkan semua bergerak ke selatan untuk mendapatkan Kala Cuwil Sang Wirabumi. “Gila! Balik! Pertahankan Tuban Kota.” “Apa yang dipertahankan? Sang Adipati telah mangkat.” Kala Cuwil berlutut. Kepalanya menunduk dalam. Mangkat? Ia termangu-mangu. Apa lagikah yang harus dipertahankan? Dan Tuban Kota jatuh jadi rayahan dan jarahan tentara Demak – tiga puluh ribu prajurit. Balatentara Demak asli! Tambahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu! Dalam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari kendaraannya di depan gedung kabupaten Tuban. Dengan langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para pengawal. ‘Takluk menyerah kalian yang di dalam!” serunya, “Sultan Trenggono Demak datang!” Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri Tuban tidak, selir-selir pun tidak, apalagi prianya. Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu datangnya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia menengok ke belakang. Semua prajuritnya turun belakangan dari kuda masing-masing dan tak menyaksikan suatu penyerahan. “Bedebah! Tumpas setiap yang hidup di dalam sini” perintahnya. Pasukan kuda mulai memasuki kadipaten, Trenggono sendiri diiringan regu pemeriksa gedung. “Peraduan Adipati Tuban,” seorang perwira mempersembahkan. “Bedebah! Keluar kau anjing Tuban!” pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada Sang Adipati yang terbujur di peraduan. la cabut kerisnya. Dan tubuh terbujur itu tiada memperdulikan-nya. “Kaulah ini kiranya,” bentaknya murka, dan dicabutnya destar itu dari wajah Sang Adipati Tuban. Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat Dipunggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali kerisnya dan bergumam, “Sayang. Tak kau saksikan bagaimana kejatuhanmu sendiri. Takkan lagi kau saksikan bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang kau tak melihat pasukan gajah andal-andalanmu tersobeksobek oleh pasukan kuda Demak!” Ia berbalik lagi dan melusuhi mayat itu. Dengan demikian ia tak jadi bermarkas di kadipaten. Pasukan Tuban menyingkir ke selatan. Dan Kala Cuwil masih juga tak dapat memutuskan apa harus diperbuat. Tak lain dari Banteng Wareng yang sangat kecewa terhadap pimpinan Kala Cuwil. Ia lebih suka mati di medan pertempuran daripada menderita kan malu telah kalah tanpa berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan kuda Tuban, biarpun tak banyak jumlahnya. Ia tak rela kalah sebelum bertempur Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa memberitahukan atau minta diri dan Kala Cuwil pasukan kuda itu melakukan serangan mendadak atas Tuban Kota yang telah jatuh ke tangan musuhnya. Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan yang telah kehilangan raja melakukan serangan pembalasan Maka juga Demak tak pernah memikirkan terjadinya kemungkinan itu Tapi serangan adalah serangan. Dan pagi itu balatentara Demak, yang masih lelah dari berpesta merayah dan menjarah kemarin dan semalam, masih aman tenang bersembunyi di bawah selimut masing-masing. Dengan cambuk-perang dan pedang terhunus pasukan kuda Tuban menyambar-nyambar seperti elang Balatentara Demak lari kocar-kacir ke jurusan barat dengan meninggalkan jarahannya Trenggono sendiri belum lagi bangun waktu serangan terjadi. Prajurit pengawal membangunkannya dengan kasar dan menariknya pada kuda yang telah disiapkan. “Bedebah!” pekik Trenggono “Mereka menyerang, kembali. Gusti” “Siapa menyerang, bedebah? Adipati Tuban sudah mampus.” Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya mencari pedangnya, tetapi senjata itu belum lagi padanya. Bila ada, prajurit itu akan belah jadi dua. Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan Banteng Wareng mengguruh dan segala penjuru. Buru-buru Trenggono melompat ke atas kudanya. “Ke sini. Gusti,” seorang prajurit. Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. Dadanya serasa hendak meledak karena murka, merasa dihina dan dipermain-mainkan. Dan dalam serangan mendadak itu Banteng Wareng bertindak menggiring musuhnya keluar kota Tuban. Ia segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang Adipati. Kemudian dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali, meninggalkan Tuban Kota dalam keadaan kosong. Meninggalnya Adipati Tuban tak didengar oleh Wiranggaleng. Dengan berita masuknya Demak ke negeri kelahirannya kembali ia bergulat dalam pikirannya. Ia harus mengubah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat. Kalau Demak menyerang Tuban, jelas Tuban tidak berkhianat lagi pada cita-cita Adipati Unus. Tapi mengapa Tuban mengirimkan armada jung? Di mana kapalkapalnya? Mengapa tidak diserahkan padanya? Dan mengapa meriamnya ditahannya sendiri? la belum dapat memutuskan. Setidak-tidaknya Demak harus dipisahkan dari persoalan Tuban. Dulu Demak menyerang Peranggi, dan Tuban mengkhianati. Sekarang Demak tidak menyerang Peranggi, tapi menyerang Tuban, dan Tuban mengirimkan kekuatannya ke Malaka. Dulu Tuban mengirimkan tentaranya ke Malaka dengan ragu-ragu, sekarang pun masih tetap ragu-ragu. Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya. Kelolaan menyebabkan pasukan ini tiada mempunyai pusat pengabdian. Memang gerakannya telah berhasil membatasi ruang-gerak musuhnya. Tetapi apakah artinya semua itu bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan, sudah tak mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap Peranggi? Dan beban tambahan yang tak kurang memberati pikirannya adalah kemerosotan semangat prajuritnya. Dari prajurit yang berani dengan cepat mereka berubah jadi petani yang bersenjata. Dari mengusir Peranggi tugas mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan Peranggi dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang subur menghidupi itu. Hanya dengan ancaman hukuman keras saja ia berhasil memerintahkan telik-teliknya memasuki Malaka untuk mendapatkan keterangan. Dan betapa kecewa hatinya mengetahui, Pribumi dalam negeri Malaka tidak mempunyai perhatian terhadap pembebasan negerinya sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi Nasrani, menjadi Peranggi itu sendiri. Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini? Dan tak ada yang dapat membantunya berpikir. Kadangkadang ia menyesali diri bodoh hanya karena berasal dari desa. Kemudian ia bantah kembali: apa kurangnya Trenggono? Dia Sultan memiliki segala-segalanya, namun dungu! Dari pengalaman selama ini ia merasa hanya mendapatkan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. Dan pelajaran ini takkan dilupakannya selama ia masih menghadapinya. Dan apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata tidak benar seluruhnya. Portugis hanya mengutamakan bandar-bandar pangkalan untuk dapat menyelamatkan pelayaran ke Maluku pulang balik. Ia tak mengutamakan luasnya daerah taklukan seperti Trenggono. Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan Portugis sendiri? Para telik tidak tahu. Wiranggaleng pun tidak. Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi, malah makin lama makin kendor kehabisan gairah, mengetahui pula armada Jepara-Demak tidak ditujukan pada Malaka. Portugis mulai memikirkan kembali rencana lama untuk menguasai sumber lada dari selatan. Jatuhnya bandar Banten ke tangan musuhnya yang lama, Fathillah, telah membikin kering arus lada. Harganya di benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali lipat itu pun masih sulit didapatkan. Portugis telah memberi penntah pada Goa, Goa pada Malaka agar segera mengisi pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-banyaknya. Pedagang-pedagang sekongkol Portugis memberitakan armada Demak kini merajai Selat Sunda, melakukan apa yang dilakukan oleh Portugis di Selat Malaka, mengawasi kapal dan perahu yang meninggalkan atau memasuki bandar. Malaka telah mengirimkan sekongkol-sekongkolnya untuk menyelidiki apa sesungguhnya sedang terjadi di daerah Selatan Dan Malaka mendapat berita: armada Demak mulai menutup lalulinlas laut dengan… bukan hanya Banten, juga Sunda Kelapa, sumber utama lada. Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama saja: Fathillah tetap tidak membuka blokade. Wiranggaleng tidak tahu sama sekali tentang apa yang terjadi persoalan musuhnya. Kesulitannya sendiri semakin menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Keduaduanya telah makin memerosotkan kegiatan kemiliteran, dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menambah kekuatan manusia? Prajurit setempat tidak ada. Kampungkampung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada pertanian dan pertukaran barang semata-mata. Mereka tak mempunyai kepentingan dengan penghalauan terhadap Portugis. Pemuda-pemuda kampung yang ikut bergabung merupakan keluarbiasaan. Dan pemuda-pemuda itu kemudian dibenci oleh orang-orang sekampungnya. Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampung kecil itu kehilangan daya dalam mengimbangi kebutuhan asmara dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang yang dalam segala hal lebih unggul pula. Dengan dukacita Hang Wira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin banyaknya berita yang datang tentang gerakan balatentara Demak, semangat para prajurit Tuban itu semakin merosot juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di Tuban, di negeri sendiri. Dan semakin lama mereka bergaul dengan penduduk setempat, semakin dalam mereka terlibat dalam soal-soal asmara. Maka prajurit-prajurit mulai berubah jadi pengelana asmara dari kampung ke kampung. Dan begitu seorang prajurit menikahi seorang perawan kampung, seperti wabah yang lain-lain pun mengikuti. Habislah perawan-perawan kampung. Yang belum berhasil menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke kampung-kampung nelayan yang lebih jauh. Dan begitu pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai prajurit. Ia menjadi petani atau nelayan saja. Wiranggaleng tahu ia tak punya kemampuan untuk membendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya telah buyar karena Trenggono. Ia tahu juga: Malaka takkan bakal jatuh ke tangannya. Pada meninggalkan Banda Aceh Darusalam menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa mendarat di Makasar. Di sini ia menumpang sebuah perahu Bali dan mendarat di Gresik. Dengan perahu Gresik ia menuju ke Tuban. Bandar itu sunyi senyap. Tak ada seorang pun kelihatan. Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kesyahbandaran pun sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar. Warung Yakub terkunci dari dalam. Dari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai balatentara Tuban, tapi Demak, Celaka! pikirnya. Kewaspadaan terhadap kemungkinan ditangkap punggawa Sang Adipati karena dosa-dosa lama lenyap, digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan Demak. Ia rasai ke mana pun pandang dilayangkan hanya mulut maut juga yang menganga. Dengan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke Pecinan: Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing, yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jumpai. Juga Pecinan mengangakan mulut maut. la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepatcepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri, menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun. Dan siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada apa-apanya? Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu itu ia merasa, setiap orang yang akan menemukannya di situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di perguruan dan pesantren, dan guru-guru, dari dongengan dan wayang dari Tuban dan manusia, dari kehidupan dan orang tua sendiri, ambyar tanpa makna. Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari tak bisa membela diri. Puluhan ribu prajurit yang bersoraksorak di kejauhan itu hanya punya dua perhatian: Jarahan dan korban. Mereka datang bukan untuk berkenalan atau anjangsana tapi untuk membunuh dan hanya membunuh. Terlepas dari prajurit yang satu orang akan jatuh ke tangan yang lain. Pada alias Mohammad Firman berseru-seru dalam tengkurapnya pada Tuhannya, memohon perlindungan atas dirinya untuk sekali ini saja, karena dalam keadaan seperti itu ia merasa telah kehilangan kemampuan untuk dapet melindungi sesuatu, jiwanya dan raganya. Ia mengintip dan melihat pasukan kaki Tuban berlarian tanpa atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian telah berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan berpendaran ke mana-mana mencari jalan paling dekat untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar mereka menengok ke belakang Dan sorak-sorai balatentara Demak makin lama makin mendekat Pasukan yang diburu itu mulai melempar-lemparkan perisai yang mengganggu gerak. Ratusan orang yang diburu oleh kepulan debunya sendiri itu menghadang ke jurusan timur lenyap dari penglihatan Pada. Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan ketakutan yang amat sangat menusuk seperti jarum panjang di dalam dadanya Tuhan, suruhlah balatentara Demak mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. Setelah berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikirannya tiba-tiba ia merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang mencintai dan menyayangi aku? Bahkan pikirannya sendiri ogah menjawab, la gigit lengannya untuk membunuh pikirannya sendiri. Tuhan menjauhkan aku dari pikiran khianat. Dan di depan matanya kini melela pasukan kuda Demak yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang memburu tikus. Masing-masing membawa perisai dan tombak yang telah siap di lempar atau dijojohkan. Ya, seperti petani-petani sedang memburu tikus di sawah. Itukah wajah Demak yang selama itu kumasyhurkan? Itukah wajahnya yang sesungguhnya? Sebagian kecil pasukan kuda itu membelok ke kiri, memasuki daerah pelabuhan. Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras tanpa semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur agar tepukan berhenti. Tetapi sesuatu yang merambat pada tulang belakang memaksa pantat ini menggelombang, memukuli tangannya, gelombang demi gelombang. Detapa memalukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan manusia yang sudah jadi lain Ini… aku hanya seekor cacing. Ya Tuhan, bila kau tamatkan aku dari bahaya ini, aku akan lebih berbakti pada-Mu, lebih, lebih dari yang sudah-sudah. Lima orang prajurit berkuda Demak mengelilingi tiangtiang menara, melihat-lihat ke atas. Tangan Pada telah basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup matanya. Dan waktu dibukanya kembali, dari sela-sela geladak ia lihat mereka mulai meninggalkan daerah pelabuhan. Sunyi-senyap sekarang. Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur. Seluar dan kainnya kotor. Dalam keadaan seperti itu ia tak berani mengucapkan syukur pada Tuhannya. Setelah agak tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian kotor dan kaki Dan sorak-sorai menggelombang lagi dari kejauhan. Makin lama makin mendekat. Dari sebelah timur pasukan kuda berdatangan lagi untuk kemudian bertemu dengan pasukan kaki. Mereka mengerumun seperti gerombolan semut. Sorak-sorai kini padam. Kerumunan itu membubarkan diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumahrumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak. Dengan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang tidak membuka diri dirusak. Rumah kesyahbandaran dilindas oleh bondongan orang. Warung Yakub bedah hingga dinding-dindingnya. Orang mengambil apa saja yang dapat diambil, memasukkan jarahan ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah jadi makian dan tawa bahak. Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah canang perunggu. Gelombang prajurit Demak mulai menyerbu ke pelabuhan. Galangan kapal kemudian jadi api unggun, demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuhrendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa jarahan masing-masing. Sekarang Tuban Kota mendapat giliran. Malam jatuh. Penjarahan dilangsungkan di tempattempat lain. Pada alias Mohammad Firman telah lama dingin di tempat. 0odwo0 34. Kekacauan di Jawa Pada sadar. Keadaan telah sunyi dan malam telah larut. Galangan dan bangunan lainnya di pelabuhan telah runtuh menjadi bara. Di sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia membersihkan diri. Dijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan bawaannya yang lain pada lengan, dan ia turun ke bawah. Di sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada keselamatannya sendiri. Tak jadi. Turun lagi. Di bawah ia merasa resah karena belum merasa bersih. Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa mendapatkan air. Satu pikiran menegahnya: Tuban telah jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan kepuasan sehabis menghalau musuhnya dan menjarahmenjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan pikirkan kebersihan. Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia melangkah. Tenaganya mulai pulih sebagai semula. Dan ia merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia tidak percaya pada kekuasaan Tuhannya. Kalau peristiwa itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada dirinya sendiri. Sesampainya di luar kota ia memasuki pekarangan rumah yang telah ditinggalkan, langsung mencari sumur dan membersihkan diri, mencuci pakaian yang dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati, tanpa membangkitkan bunyi. Dengan mengenakan pakaian basah ia mengambil wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang telah dilanda para penjarah. Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian basah. Dan malam itu dingin, perutnya lapar. Angin menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menahan diri dari gigilan sengaja ia mempercepat jalan, tubuh lari sampai terengah-engah. Ia mengerti takkan mungkin dapat menemui Sang Patih dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia. Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik: Awis Krambil – Idayu. Ah, benar ia mengakui. Idayulah yang meniupkan keberanian menerobos! Tuban. Kota dalam pendudukan Demak, la berjalan cepat, lari, terengahengah. Waktu matari pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu datangnya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia memakannya. Segala yang dapat dimakannya peda muson kering itu dilahapnya: dedaunan muda, buah, dalam serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang sebelumnya telah di-injak-injaknya menjadi kasur. la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. Darahnya masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu benda berat dan hangat terah menahannya, la dengar nafas hangat memuputi mukanya. Dan ia meronta. Kemudian ia dengar suara: “Bangun! Ya-ya, bangun,” suara wanita. Dengan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam pelukan seseorang. “Tidak salah lagi. Pada Uh ini,” suara seorang wanita lainnya. Pada merontak bangun. “Mati, matilah aku sekarang,” pikirnya, “mereka sudah tangkap aku.” “Tidak salah lagi” terdengar wanita lain berseru lega, “memang Pada ini” “Benar,” seru wanita lain menggarami dengan suara hati-hati. ‘Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dapat dicuri. Memang dia.” “Sudah jantan dia sekarang,” suara wanita pertama-tama menambahi dan pelukannya dilepaskan. Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri. Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dapat diatasinya. Ia merasa sedang lari di atas hawa dengan kaki terpakukan pada tanah. “Jangan lari Pada!” mereka menegah. “Kau harus tolong kami” Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba mengetahui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung rapat oleh lebih dari dua puluh orang: Semua wanita. Ya. wanita. Mengapa wanita? Tak ada seorang pun di antaranya bersenjata. Dan tangan-tangan mereka tak ada yang kasar. Semua halus. Dan wajah mereka nampak tak pernah kena sinar matari, kemerah-merahan, kulitnya memancarkan kesehatan. Dan semua can-tik-rupawan. Tak seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda mereka semua tak bersuami. Tetapi mengapa tidak hitam? Adakah semua penari? Hanya seorang di antara mereka nampak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit, jelas seorang gadis Tionghoa. “Lupakah kau padaku, Pada? Pada kami? Jantanku?” seseorang bertanya. “Mengapa nampak takut pada kami?” Lambat-lambat tapi pasti ingatan Pada mulai bekerja dan mencakup kenangan lama: para selir Sang Adipati! Ia tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik. “Lepaskan aku.” pintanya sopan. “Mengapa Nyi Ayu sekalian ada di sini?” “Kau belagak bodoh. Pada. Dari mana saja kau, sampai tak tahu ada perang? Dan Gusti Adipati sudah mangkat?” “Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada?” seseorang bertanya, kemudian menggelendot padanya. Pada sedang teringat pada sumpah Wiranggaleng. Dan sekarang Hang Wira telah terbebas dari sumpahnya: Sang Adipati telah mangkat. Ia bisa pulang ke Tuban. “Senang kau melihat kami terlantar seperti ini?” “Mari aku antarkan ke perbatasan. Semua dari perbatasan, bukan?” “Tidak semua,” salah seorang menyangkal. “Aku pun tidak!” yang paling tua di antara mereka membenarkan. Suaranya tegas dan mantap. “Dan sahaya dari Lao Sam,” gadis Tionghoa itu memperdengarkan suaranya. Pada menatap yang tertua dan termuda itu bergantiganti. Ia belum pernah mengenal mereka. Yang tua tentulah pengurus keputrian, yang muda tentu selir terbaru. “Nyi Gede?” ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu menjawab dengan sembah dada. Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara bela diri. Ia melihat ketabahan pada matanya, namun tak tahu apa harus diperbuat dalam keadaan seperti itu. “Mari berjalan,” Pada menyilakan. “Kakiku, Pada,” seseorang menyatakan protes sambil memijit-mijit kakinya. “Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan harapkan aku mau menggendong.” “Jantanku! Jantanku! Begitu kejamnya kau sekarang. Lupa kau pada Nyi Ayu Sekar Pinjung?” Pada tertegun dan menengok padanya. “Barangkali karena aku sudah jadi tua begini, Pada?” Dan Pada merasa iba. Tapi cepat-cepat dibuangnya perasaan. Ia mulai berjalan bergegas mencari jalan setapak, menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian mengikutinya seperti anak-anak ayam membuntuti induknya. Dan semua membawa bungkusan, di-sunggi di atas kepala, dibopong atau digendong. Dari ujung paling belakang wanita-wanita harem itu nampak seperti cendawan yang sedang bergerak berpindah tempat. Dan jantan yang seorang itu tak mau menengok barang sekali, seakan ia sedang memperlihatkan diri sudah memunggungi masa lalunya untuk selama-lamanya. Antara sebentar ia dengar suara memanggil-manggil minta ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja baginya sudah pahala yang mencukupi. Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat, terus lari mengejar, takut ketinggalan. Dan kecuali Nyi Gede semua berebutan untuk berada di dekat Pada. Dan Pada merasa seorang yang paling berani di atas bumi ini. Nampaknya Nyi Gede Daludarmi telah banyak mendengar tentang pada. Dari buntut barisan ia berseruseru: “Pada, Pada, berhenti dulu!” katanya seperti memerintah. Dan Pada berhenti, berpaling ke belakang. Wanitawanita itu mulai melaluinya, dan ia berhadapan dengan pengurus harem itu. “Gusti Adipati sudah mangkat,” katanya bersungguhsungguh, “tapi aku masih membawa tugasnya, mengemong wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubunganmu dengan mereka di masa-masa yang lalu. Aku pun tak peduli apa perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta, pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang membutuhkan perlindungan.” Sejenak Pada memberontak terhadap kata-kata itu. Wanita seorang yang ada di hadapannya itu nampak teguh pada tugasnya. “Aku ada kepentingan sendiri’ Pada menerangkan. “Bila pasukan Demak memburu, kau pun tak bakal selamat sendiri, kita tumpas bersama. Untuk apa memburu kepentingan sendiri? Kepentingan kita semua sama: selamat’ Dan mereka yang telah melewatinya kini pada berbalik melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: musuh paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan binatang buas hutan. Tapi hutan itu makin lama makin rapat juga. Pada mulai berjalan pelan-pelan dan Daludarmi tetap berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai penjaga dan pengemong. Di depan barisan Pada dapat merasakan, ia menaruh hormat padanya, tapi ia takkan mengucapkannya. Beberapa orang telah mengeluh kelaparan. Ia tak menggubris, la sendiri lapar Dan wanita-wanita itu tak mengerti dan tak menanyakan lagi kapan si jantan itu akan berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mulai menangis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti. Senja telah membikin hutan rapat itu jadi gelap. Perjalanan memang sudah tak mungkin dapat diteruskan. Ia memerintahkan menyiapkan tempat tidur masing-masing di atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa orang mulai menggelar apa saja yang patut dipergunakan jadi tilam. Api unggun disiapkan. Ia kemudian menyiapkan obor dari ranting-ranting dan pelepah kering. Dengan itu ia memimpin mereka mencari umbi-umbian dan buah-buahan. Dan semua mengikuti perintahnya dengan diam-diam. Ia sengaja menghindari percakapan. Dengan diam-diam pula orang membakar dan memahami pendapatan mereka. Waktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka telah dirambati oleh semut dan segala macam serangga, juga ulat berbagai macam. Orang menjadi sibuk membersihbersihkan. Pada memisahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura tak mengetahui sesuatu. Melihat itu perempuan-perempuan itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekatdekatnya dengannya. Dan dalam malam menjelang tidur demikian ketakutan lebih banyak pada binatang buas daripada manusia buas. Daludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin. Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa risi. Seorang diri ia pergi ke api unggun dan menjaganya agar tak padam sampai tengah malam. Dalam desakan wanita yang terbaring di sampingmenyampingnya Pada memikirkan soal lain: sekiranya Sang Adipati masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini mengepungnya? Adakah dia akan melindungi mereka dari balatentara Demak? Ataukah dia akan melarikan diri sendiri? Dalam keadaan bahaya yang tak dapat ditawartawar ini? Dan dengan puas hati ia menjawab pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selamatkan diri sendiri. Dan ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang telah lolos dari hukuman matinya, justru yang melindungi orang-orang penghiburnya selama itu. Pada! tidak lain dari Pada! Di tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini, ia merasa sebagai manusia yang lebih agung daripada seorang Adipati yang pernah berkuasa atas hidup dan matinya. Dan telah mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaannya. Ia jadi iba hati. Bukan hanya Sang Adipati, ia berani memastikan, sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa ia masih kanak-kanak, dan mungkin masih ada juga jantan lain. Tuhan, ampunilah orang-orang ywg tak punya kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang karena kedaifan, tanpa ajaranMu, telah melanggar laranganMu. Selir-selir yang jauh daripadanya, dan tak yakin akan keselamatan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya, berebutan memeluk atau memeganginya untuk mendapatkan perasaan terlindung dari binatang buas. Dan Pada meronta bangun juga akhirnya. “Lepaskan aku!” pintanya lembut ‘Takut, Pada, kami semua takut.” “Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. Ayoh, tidur, api itu pun harus kujaga.” Dari kejauhan terdengar auman harimau. Semua terdiam, juga Pada. “Macan,” akhirnya seseorang berbisik memperingatkan. “Karena itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku pergi seorang diri malam ini juga.” Dan pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya Nyi Gede Daludarmi. Dari tempatnya wanita itu memperingatkan para selir. “Kalau tak mau diatur, uruslah sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan.” Dan Pada berjalan mondar-mandir seperti seorang kaisar yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani, seorang panglima yang kehabisan musuh. Wanita-wanita itu tak dapat berbuat lain daripada mengikuti perintah. Tiada antara lama kemudian mereka mulai tertidur. Pada mendengar Daludarmi menghembuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang Adipati dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri, menggabungkan diri dengan yang lain-lain, kemudian membaringkan badannya yang berisi itu di atas tilam semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh api. la pun segera jatuh tertidur. Pada menghampiri mereka, mengamati seorang demi seorang. Semua telah tertidur dalam kelelahan. Dan tak ada seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur dengan mulut dan mata setengah terbuka. Ia masih dapat mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dapat mengingat mana-mana yang pernah digaulinya semasa kanak-kanak dulu, dan semua beberapa tahun lebih tua daripadanya, kecuali Nyi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang seorang itu semua lebih tua daripada Nyi Gede Idayu. Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan kesudian Sang Adipati. Dan Sang Adipati tidak jarang hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. Dalam sepuluh tahun, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala macam bahaya. Dengan berbantalkan bungkusan masing-masing mereka tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang Adipati. Kemarin dulu orang bisa kehilangan kepala bila kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja! Sekarang mereka bergeletakan tanpa harga. Berapa ratus perjaka saja pernah mengimpikan kasih sayang dan tubuh dan hati mereka dulunya? Berapa saja di antaranya telah putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mutlak Sang Adipati, dan lari meninggalkan desa dan harapan masingmasing? Dan Pada melihat pada mulut-mulut yang setengah menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan prastika. Sekali lagi ia umpani api dengan kayu bakar baru. Dengan tanah mentah yang habis digaruknya ia bertayamum, kemudian bersembahyang, bertakbir, bertahmid dan beristigfar. Dan ia memohon mendapatkan kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam takwa. Dan ampunilah mereka, ya Tuhan, sebagaimana Engkau ampuni orang-orang yang terdahulu. Api mulai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di bawah kaki mereka dan tertidur. Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada keras lagi. Dalam rembang rimba itu ia menduga-duga matahari sudah lama terbit. Dan para selir yang terbiasa bangun terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangunkan mereka, tanpa memberi peluang untuk bisa bermanja atau mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. Dan bersama-sama mereka mengitari tempat sekeliling. Ia potongkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan buah mlinjo, dan pungutkan mereka madu lebah. Kemudian mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang tidak secepat kemarin. Ia pun mau membantu memikulkan beberapa bungkusan. Sampai di depan Gowong Pada sengaja berhenti untuk mengenangkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan Idayu dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik kebahagiaannya yang tertinggi: menyelamatkan orang yang dipujanya. Memang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa yang bersama Idayu. Tak ada tubuh dan jiwa lain di dalamnya, apa lagi jiwa selir. Dan Idayu: ibu dari dua orang anak dan istri sahabatnya. Didekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat digenggamnya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya? “Mengapa berhenti di sini?” Daludarmi bertanya. Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan rumput telah menutup sebagian mulut gua. Pada merasai suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya. “Dahulu ada seorang dewi tinggal di dalamnya’ ia mendongeng, “dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua itu…. kemudian datang seorang satria… dan ia merasa diri satria yang disebutnya sendiri, dan sekarang ia pun merasa sebagai satria gagah, didapatinya kepala drubiksa telah bunuhi bawahannya karena ia ingin memiliki Sang Dewi untuk dirinya sendiri. Tetapi Sang Dewi menolaknya.” Para selir mulai merubungnya dengan khidmat, tapi tak berani tebarkan pandang pada mulut gua. “Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam sana. Mari kita masuk,” dan kala dilihatnya tak seorang pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. Dan lebih heran mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa satria itu dan siapa pula dewi itu. Ia kecewa. “Mengapa kalian tak bertanya mengapa Sang Dewi menolak?” “Mari berjalan terus,” seseorang yang kengerian memohon. “Ya, mari berjalan terus. Satria itu membunuh kepala drubiksa itu dengan kerisnya, jauh kemudian hari ia merasa menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan keris… oh, tidak, ia menghabisinya dengan pisau dapur.” ‘Tentu satria itu semacam orang linglung.” Daludarmi menyela, “Tak ada seorang satria membawa pisau dapur ke mana-mana.” “Ya, barangkali semacam satria linglung,” Pada menjawab. Dan orang mulai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan Pada heran mengapa tak ada orang menanggapi dongengnya. Dan ia pun mulai berjalan melupakan Gua Gowong. Dengan nada memaksa sekarang ia bertanya: “Mengapa Sang Dewi menolaknya?” “Mungkin Sang Satria sudah linglung.” “Mungkin Sang Satria sudah tua,” seseorang memaksakan diri menjawab. “Sang Adipati adalah satria tua, kalian masih juga mau menerimanya. Itu bukan alasan.” “Kalau begitu Sang Satria masih terlalu muda.” “Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan satria, dan kalian pernah juga mau menerimanya.” Mereka semua tertawa terkikik-kikik. “Karena Sang Dewi bukan manusia maka ia berpikir tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke kayangan, berkumpul lagi dengan para Dewa.” Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi pula apakah gunanya orang lain harus melihat kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah? Ia kembali berdiam diri. Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi dalam hutan Memasuki daerah alang-alang yang menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada nampak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. Dan wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi. Kini semua termangu-mangu di tepi hutan. Pada masuk lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembahyang memohon keselamatan untuk seluruh rombongan. Ia berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua keselamatan, ya Tuhan, penguasa bumi dan langit. Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan teguhkan iman, Tuhan-lah semua yang menentukan. “Mari berangkat!” Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan atau terbelakang. Maka sekarang Daludarmi berjalan paling depan daripada paling belakang. Tak ada seorang pun berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi. Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Permukaan alang-alang tak juga mau tenang, mengimbak-imbak seperti ombak laut setiap angin datang meniup, menyesatkan orang dari gerakan yang mencurigakan itu. Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir akan membangunkan raja maut yang sedang mengintip entah dimana. Ketakutan pada mati telah menindas perasaan-perasaan yang lebih kecil. “Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada maut,” gumam Pada setelah selamat melalui padang alangalang dan memasuki hutan muda. “Alhamdulillah, ya Allah, ya Robbi,” ia duduk tersandar pada sebatang pohon kluwih dan para selir duduk mengelilingi. “Mereka yang kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan semacam itu,” bisiknya kemudian pada dirinya sendiri. Suaranya dikeraskan: “Kalau sudah terlewati hutan muda ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di sana.” ‘Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri,” seseorang membantah. “Siapa tahu perang masih berkecamuk di jalanan kita nanti? Kami akan tetap mengikuti,” seorang lain membantah juga. “Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama matahari sedang tenggelam dan kita menginap di sana.” Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam telah jatuh. Tak ada suara gamelan. Tak ada lampu menyala. Rumah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki. Masih ada orang tinggal di dalamnya: suami-istri dengan dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan segala kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin dalam kegelapan itu. Dan hidangan itu sama sekali tidak mencukupi untuk orang sebanyak itu. Dan tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi. Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan rombongan yang lain. “Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya.” Orang-orang yang menanggung kelaparan dan kelelahan dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligus merasa aman di dalam lingkungan manusia yang belum diubah perangainya oleh perang. Belum lagi lama mereka tidur, dan matari telah menyembul di timur. Derap kuda memaksa semua orang melompat dari ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya telah lebih dahulu lari, dan nampak sedang menyeberangi padang rumput menuju ke hutan. Bagi Pada tak ada jalan lain daripada naik ke atas pohon nangka di samping rumah: Pohon itu sangat rimbun tetapi tiada berbuah. Prajurit-prajurit berkuda itu memasuki rumah dengan masih berkendara. Seorang prajurit, yang melihat beberapa orang wanita lari ke padang rumput di belakang rumah, segera mengejar dan menyambar salah seorang serta mengangkatnya ke atas kudanya. Yang lain-lain terpaksa berhenti dan kembali ke rumah mengikuti perintah. Dari tempat persembunyiannya Pada tak melihat cambuk-perang pada pinggang prajurit itu. Bukan tentara Tuban, ia memutuskan. Apakah bedanya di masa perang, apakah dia tentara Demak atau Tuban? Ia mendekam mengawasi. Dan ia tahu, ia tidak setakut di menara pelabuhan dulu. Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta ketakutan. Prajurit itu memeluknya sambil tertawa-tawa. Di dalam rumah selir-selir lain memekik-mekik pula. Dan prajurit itu memacu kudanya, menghilang entah ke mana. Pekik-pekik semakin meriuh dalam rumah. Pada hanya bisa mendengarkan. Kemudian tak terdengar lagi perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang menyesatkan. Tiada antara lama kemudian mendadak serombongan prajurit kaki datang bersorak-sorak. Mereka telah melihat beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu. Dari pintu belakang rumah nampak prajurit-prajurit berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat lari membawa pedang masing-masing menuju ke hutan, melintasi padang rumput. Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar mengepung dan memasuki rumah. Dan Pada dapat melihat di antara dedaunan nangka itu tombak-tombak beterbangan mengejar. Yang dikejar menggunakan pedangnya menangkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada ketelanjangannya di bawah surya. Mereka terus lari ke arah hutan. Yang mengejar pun mempercepat larinya. Beberapa orang prajurit kaki Tuban melompat ke atas kuda-kuda yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak masing-masing. Dalam waktu pendek yang terkejar tersusul. Perkelahian tak dapat dihindari Gemerincing pedang beradu pedang dan tombak terdengar nyaring dari tempat Pada. Dan dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun lagi buat selama-lamanya, la dapat saksikan dari balik dedaunan prajurit-prajurit yang telanjang bulat itu tertubruk oleh kudanya sendiri Mereka punah tertumpas. Dari tempatnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan rumah petani itu, hilang dari pemandangan. Empat orang berkuda dengan pedang atau tombak berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah persembunyian Pada. “Memang selir-selir Gusti Adipati,” seseorang berkata. “Bagaimana bisa sampai ke mari?” “Mengikuti orang bernama Pada, hendak kembali ke desa.” “Di mana Pada sekarang?” “Katanya lari waktu orang-orang Demak datang.” “Dia tidak melindungi selir-selir itu?” “Melindungi bagaimana? Dia tak bersenjata, bukan prajurit. Katanya juga Gusti Adipati telah mangkat” Pasukan Tuban telah pergi. Ia belum juga turun dari tempatnya. Kemudian nampak seekor gajah perang berjalan diiringkan oleh pasukan kaki di belakangnya. Seorang perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi. Ia masih harus menunggu sampai matari tenggelam, baru ia turun. Dan suami-istri petani itu sudah pula kembali. “Begitu sehari-hari,” tuanrumah memulai. Dikeluarkan ubi dan gembili kemudian dibakarnya. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain?” “Sudah dibawa tentara Tuban.” “O,” ia tak meneruskan. Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-anak mereka tanpa bicara merangkak ke tempat tidur masing-masing, kemudian tak terdengar lagi suaranya. Dan malam itu juga ia minta diri dan mengucapkan beribu tenma-kasih. Pada subuh hari sampailah ia di rumah Idayu. Pondok dipinggir hutan itu kosong. Pintu rumahnya telah dipalang silang dengan dua potong bambu belah sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk ke dalam. Hampir saja ia terlelap begitu menyandarkan badan pada daun pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga, berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk menebak di mana Idayu berada. Dulu ia dan Wiranggaleng dan Gelar telah membuka huma di dalam hutan untuk tempat pengungsian bila perang terjadi. Jalan setapak itu hampir tak nampak lagi karena telah kejatuhan luruhan daun selama ini. Dan ia berjalan dengan susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi, terperosok dan tersasar. Pada tengah hari setelah berputar-putar dalam hutan sampailah ia di tempat yang dituju. Dari suatu jarak ia sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan huma itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana berdiri di tengah-tengah. Dan tentu Gelar ada di dalam situ. Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandangannya terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengharap wajah Idayu segera akan nampak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi tombak menyambar di atas kepalanya. Dan tangkai tombak itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon tempat ia tadi berhenti. “Gelar! Aku di sini, aku, Pada,” ia memekik. “Pamankah itu?” terdengar suara Gelar, dan pemuda itu muncul dari balik semak-semak. “Beribu ampun, Paman, tiada terduga. Paman dari Malaka? Mengapa kelihatan lebih tinggi dan kurus? Mari, mari.” Ia dapatkan Idayu tiada kurang suatu apa. Nampak ia terawat baik. Wajahnya segar dan tetap dalam keadaan bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyambutnya. “Kau kelihatan lebih tua. Pada.” “Dan Mbokayu kelihatan lebih muda lagi’ jawabnya menegang. Kemudian ia langsung bercerita tentang Wiranggaleng dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di Semenanjung. Idayu mendengarkan dengan diam-diam. Dan Gelar mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu membikin ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap orang-orang besar yang mempermain mainkan Senapati. “Dan kau, Gelar, kau kelihatan lebih kukuh,” Pada langsung memasuki persoalan pribadi setelah ceritanya selesai. “Lemparan tombakmu seperti prajurit sungguh.” Dan Gelar hanya tersenyum senang mendengar pujian itu. Ia malu bercerita telah lari dari pasukan pengawal. Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari Semenanjung sampai ke Tuban dengan suara semakin lama semakin pelahan. “Kau lelah. Pada.” tegur Idayu. “Dan matamu merah seperti itu. Sudahlah, kau tidur dulu.” Setelah beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali ke Malaka. Masih banyak yang harus dikerjakan Dan Idayu seakan menggenggamnya tanpa ingin melepaskannya Ia semakin mencintai isteri sahabatnya ini. Dan justru karena itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya pada Idayu dan dua orang anaknya, pesan apa yang harus disampaikannya pada Senapati. Dan dari tiga orang ibuberanak itu ia hanya mendapatkan satu pesan untuk yang tercinta di Malaka sana: pulanglah, karena Sang Adipati telah mangkat, dan tak ada orang yang menyokong pembebasan atas Malaka Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang wanita yang dicintainya dan tidak pernah membalas cintanya. Tapi juga gembira karena akan dapat melepaskan dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya, memandangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan ketabahannya. Tetapi bila karena sesuatu hal pandangnya bertatapan dengan pandangannya, ia rasai seribu panah menerjang dadanya, dan darahnya membeludag seakan hendak membikin jantungnya meledak. Beberapa kali saja ia memohon ampun pada Tuhannya karena telah mencintai wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, ampun., tetapi hatinya punya kemauan dan hukum sendiri Waktu ia minta diri Idayu hanya menatapnya, kemudian mengangguk tanpa bicara, seakan hendak mengatakan, bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia menambahi: “Ampuni aku telah menyusahkan Mbokayu selama ini.” Ia mengharapkan sesuatu yang manis diucapkan oleh wanita tercinta itu. Gelar pergi untuk mengurus kuda. Ia akan mengantarkan tamunya sampai ke luar hutan. Dan Kumbang sedang sibuk membelah kayu bakar. “Ya, pergilah kau dengan selamat. Dan kalau aku boleh berpesan padamu pribadi. Pada, janganlah kau pandangi aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan perempuan yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan terbebas dari sikap yang mengganggu hidupmu selama ini’ Pada membuang muka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk, ia hampiri Kumbang dan minta diri padanya, kemudian bersama Gelar menerobos hutan berkendara dua ekor kuda. “Mengapa kau tak di medan perang. Gelar?” tanya Pada untuk melupakan kata-kata Idayu. “Di pihak siapa. Paman?” “Di pihak Tuban tentu.” “Tuban? Apakah yang sudah diperbuat Adipati Tuban terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku sendiri? Kau lihat sendiri Paman, bapakku. Senapati, telah dibuangnya di negeri orang untuk berperang.” Ia dapat temukan kata-kata berontak dari Idayu, dari Senapati dan dari Rama Cluring. Keluarga ini nampaknya benar-benar anak-rohani Rama during. Dan sekilas ia teringat pada ajaran salah seorang gurunya dulu bagaimana seorang musafir Demak harus bersikap dan berbuat terhadap guru-pembicara kafir tumpas! Ternyata pengaruh Rama Cluring sangat besar terhadap keluarga seorang yang dicintainya. Timbul dorongan dalam hatinya untuk mengetahui lebih banyak tentang guru-guru itu. Tapi ia tak jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini? Sudah bukan tugasnya lagi. “Gelar, kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik kuda dan melemparkan tombak, segera aku dapat mengetahui kau pernah jadi prajurit.” “Betul, Paman. Aku pernah jadi calon prajurit pengawal Tuban,” Gelar mengakui. “Kemudian sebentar jadi Prajurit Demak.” “Demak?” “Betul.” “Kau mondar-mandir tidak karuan.” Gelar tertawa, kemudian meneruskan: “Aku rasa, tinggal bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk emak dan Kumbang Apalah artinya pengabdian pada Tuban dan Demak? Sampai sekarang aku tak tahu.” Coba kau ceritakan, bagaimana kau bisa mondar-mandir pada dua daerah yang saling bermusuhan.” ‘Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang lain.” “Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk? Demak Islam, Tuban setengah Warn.” “Dua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk pembebasan Malaka, apalagi setelah ternyata Senapatiku dibuang tidak menentu di sana. Orang bilang berangkat hanya dengan jung!” Sekali Pada melihat semangat si Wiranggaleng di dalam kata-katanya. Dan ia membiarkan Gelar meneruskan katakatanya. Begitu, paman, hanya di rumah aku merasa damai. Di Tuban orang selalu mengejek dan mengganggu dan menghina. Benarkah aku bukan anak Senapatiku?” Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di belakang Gelar sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu tajam ke jurusan lain. “Kau diam saja, Paman. Nampaknya juga Paman tak mau menerangkan.” “Tahu apa aku tentang itu? Yang kuketahui selama mi kau anak Senapati dengan Idayu. Mengapa justru bertanya padaku “Emak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang ‘tidak cukup baikkah Wiranggaleng dan Idayu jadi orang tuamu?’ Aku tak sampai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seorang gurupembicara, ia lupa namanya… ia mengulangi kutipan itu hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin bimbang” “Apa katanya?” “Tak ada seorang manusia pun,” katanya, “pernah meminta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi. Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.” “Itulah guru-pembicara dungu.” Pada terangsang. “Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak atau ibunya.” “Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja’ Pada terkejut, tetapi pura-pura tak memperhatikan. Tak pernah ada orang bicara semacam itu. Sendiri seorang gurupembicara, bekas musafir Demak, dilatih untuk mematahkan pengaruh guru-pembicara bukan golongan sendiri, kafir, secara naluriah ia bangkit untuk mengobrakabrik pengaruh itu. “Gelar, mungkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran bukan saja membawa rahmat, juga membawa pesan pada dunia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja. Pesan itu juga diberikan kepadamu, padaku, juga untuk kita teruskan Dari negeri Melayu sana datang bidai ‘Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah’”. “Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya barangkali. Dan perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan karunia?” Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir Pada. Dan cepat-cepat ia membelokkan: “Gelar, cobalah singkirkan dulu soal raja-raja itu. Sekiranya kau tidak lahir, bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti halnya sekarang? Bukankah itu karunia?” Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Dan Pada mengakui tak dapat mR matahkan pengaruh para guru-pembicara yang telah berakar di dalam keluarga Wiranggaleng. Akhirnya mereka terdiam kebosanan. Tapi Gelar tak urung mengulangi pertanyaannya: ‘Paman belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak Senapatiku?” “Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan perjalanan seorang diri, Gelar. Tentang itu, datanglah pada emakmu. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup dewasa untuk mengetahui segala yang patut kau ketahui. Aku tak tahu apa-apa, dan tidak punya hak apa-apa. Nah, terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada emakmu, dan berbaktilah lebih baik.” Ia ulurkan tangan untuk dicium Gelar, tetapi bocah itu tak mengenal adat itu. Gelar mengangkat sembah dada. Kekafiran masih berkuasa atas mereka, keluhnya, kemudian ia berjalan kaki keluar dari hutan. Begitu lepas dari cengkeraman hutan ia berhadapan dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia memerlukan naik ke atasnya, meninjau gubuk yang selama ini ditinggali oleh wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu telah tergeletak jauh di beranda, dan pintunya telah terbuka. Ia masuk ke dalam. Semua perkakas telah berantakan di lantai: orang-orang Demak telah memasuki rumah ini. Cepat-cepat ia turun, lari, balik memasuki hutan. 0odwo0 35. Lao Sam – Pajajaran -Sunda Kelapa Perang di Tuban bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada untuk menghadap Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi gagal. Ia lepaskan usahanya. Dengan menghindari daerahdaerah pertempuran ia memasuki Lao Sam dari sebelah selatan. Belum lagi memasuki daerah perkampungan Lao Sam ia telah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia telah terkena dilaso. Seutas tali telah menjerat kaki, membantingnya ke tanah dan mengangkatnya ke udara. Dan tergeonggeonglah ia dengan kepala ke bawah. Bungkusan bawaannya terlempar entah di mana. Kelelahan dari perjalanan menyebabkan ia tak mampu mengangkat badan untuk membebaskan kaki dengan tangannya. Darah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah dan menyesak dalam kepalanya. Nafasnya terengah-engah. Dalam rembang malam itu dilihatnya tiga orang Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih tinggi. Mereka datang menghampiri. Pada tahu ia telah jatuh ke dalam tangan Nan Lung, Naga Selatan. Dengan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang bertanya: “Tuban apa Demak?” Dalam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab tabah: “Dua-duanya tidak.” “Bukankah kau Pribumi?” “Betul,” Pada telah merasai kesakitan pada bagianbagian badan yang tersekat oleh tali. “Bukankah kau tahu, Pribumi tak boleh memasuki Lao Sam di waktu perang?” orang itu bertanya lagi. “Tahu, tahu betul.” “Mengapa berani-berani masuk kemari?” “Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian.” Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di kepalanya turun, membikin kakinya jadi semutan. Mereka mengancamnya dengan senjatanya, “Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong.” “Aku datang untuk mencari Babah Liem Mo Han.” “Ha! Siapa kau ini?” Pada mulai berdiri, menjawab: “Siapa? Apa kalian tidak kenal aku? Aku anak angkat Babah Liem.” “Tidak kenal.” “Kalau begitu kalian orang baru di Lao Sam ini.” Dan benar, mereka memang pendatang baru. Setelah Demak menyerbu Tuban, ratusan orang Tionghoa didatangkan ke Lao Sam dari bandar-bandar lain, terutama dari Semarang, untuk melindungi perjanjian Semarang- Demak dan Ceng He-Majapahit Dua macam perjanjian yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu mereka rasai sedang terancam setelah Demak berada dalam kekuasaan Trenggono. Mereka tidak mengenal Pada. Tetapi mendengar korbannya ingin menemui Liem Mo Han mereka melepaskannya dari ikatan dan menggiringnya di bawah ancaman tiga trisula menuju ke tengah-tengah kota Lao Sam. Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah dikenalnya -rumah Babah Cia Mie An. Ia disuruh duduk di atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada pangkuannya. Dan ia mengucapkan terimakasih dalam bahasa Tionghoa. Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu membawa lampu tambahan. Pada mengocok matanya. Tidak salah. Ia mengenal dua orang wanita itu. Dan mereka nampak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak menegurnya, tapi Coa Mie An kebetulan sedang masuk, dan mereka pergi menghindar. “Ah, sahabat Pada Mohammad Firman,” tegur tuan rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh. “Sahabat mau menemui Babah Liem, aku dengar.” Pada menggangguk. Pikirannya masih tetap terpaut pada perempuan-perempuan itu. Malah matanya masih terpancang pada pintu ke mana mereka tadi menghilang. “Nampaknya sahabat punya perhatian pada mereka. Atau suka barangkali?” Pada dipaksa untuk menyimak tuan rumah, la menggeleng. “Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lainlain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku maksudkan untuk diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin punya anak. Tapi kalau sahabat menghendaki. ..” Pada tahu dua orang itu tak lain dari Nyi Ayu Sekar Pinjung dan Nyi Ayu Campa. “Tidak, Babah, terimakasih. Dari siapa Babah membeli mereka?” “Dari seorang perwira, sahabat, jarahan perang.” “Perwira mana? Demak atau Tuban?” “Tuban.” “Masyaallah,” sebut Pada. “Bukankah Babah tahu mereka selir-selir Sang Adipati? Bukankah yang seorang itu Nyi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain Nyi Ayu Campa?” “Tidak salah, sahabat. Dan perwira Sang Adipati sendiri yang menjualnya. Nampaknya sahabat begitu terkejut” Dunia apakah semua ini, pikir Pada. Dan yang keluar dari mulutnya: “Aku datang dari Malaka…’ “Ya, aku tahu, sahabat.” “Untuk bertemu dengan Babah Liem.” “Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan Tionghoa bergabung? Dan pasukan Semenanjung sendiri? Dan pasukan Demak?” “Seorang pun tak ada,” Pada menggeleng. “Sudah aku duga. Dalam catatan disebutkan, Pasukan Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang. Mereka juga dibutuhkan di perairan Manado dan Kalimantan. Maaf, kami tak bisa berbuat sesuatu.” “Biar aku mencari Babah Liem’ “Koh… Gouw Eng Cu sudah berkali-kali memberitahukan pada Liem Mo Han agar jangan menyampaikan janji pada siapa pun. Rupanya dia telah sampaikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan Gouw Eng Cu sebelum berangkat ke Malaka?” ‘Tidak.” “Mestinya sahabat menemui dia lebih dahulu. Sayang dia telah meninggal, pada hari pertama Demak masuk. Memang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa dihindari. Perang, sahabat.” “Dibunuh?” “Ya.” Mereka terdiam. Kemudian Coa Mie An meneruskan: “Karena Babah Liem toh sudah menyampaikan pada sahabat, aku merasa perlu untuk meminta maaf pada Senapati melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.” Pada tak menanggapi, dan ia meneruskan: “Melihat penyerbuan Demak kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak mengirimkan seorang pun ke Malaka.” “Biar aku temui Babah Liem sendiri.” “Nanti dulu. Nampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah dilayani wanita-wanita tadi?” ‘Tidak, aku sungguh terburu-buru.” “Lebih baik sampaikan saja padaku, karena akulah sekarang penggantinya.” ‘Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan.” “Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa sesungguhnya telah terjadi: ayah angkat sahabat sudah tiada.” “Mati?” “Ya. Dua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan Demak dan diseret dengan kuda di atas jalanan sampai ajalnya.” Pada menyebut. “Itu belum semua. Sewaktu membunuhnya, mereka bersorak-sorak hendak juga menumpas Wiranggaleng dan seluruh keturunannya. Juga namamu disebut-sebut. Kalian dianggap bersekongkol melawan Demak.” Pada minta diri. “Nanti dulu, masih banyak yang harus dipercakapkan. Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak punya sanakkeluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan….” Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengucapkan terimakasih atas segala yang telah diketahuinya. Malam itu juga ia tinggalkan Lao Sam kembali ke jurusan tenggara. Ia terpaksa balik ke Awis Krambil untuk membawakan berita ancaman itu. Dalam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di Awis Krambil. Ia terpaksa menemui lagi Idayu dan menceritakan segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih ke dalam lagi memasuki daerah kabupaten Bojonegara. Di sana ia tinggal selama tiga bulan, membantu menyiapkan ladang dan huma. Dengan menyandarkan kepercayaan pada kebesaran Tuhannya ia tak merasa merana lagi karena cintanya. Sebaliknya Gelarlah yang memberinya kesulitan. Ia selalu mengajak berdebat dan Idayu mendengarkan dengan diam-diam. Ia tahu Idayu takkan berpihak padanya. Dari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu kesimpulan. Gelar membenci apa saja yang berbau raja. Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelaliman. Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat diatur tanpa ada seorang raja? Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak memuaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi untuk melakukan tugasnya. Sekali lagi Gelar mengantarkan sampai ke perbatasan Tuban. Sebelum perpisahan ia memerlukan bertanya: “Apa jawaban emakmu?” “Tentang apa, paman?” “Anak Senapatiku kau ini atau bukan?” Ternyata Gelar belum juga mendapat jawaban. Dan mereka berpisahan. Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya pada dua bilah tombak lempar. Pada pinggangnya sekarang tergantung sebilah pedang. Walau pun ia tak pernah mengalami masa keprajuritan, dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih aman. Perjalanan melalui daerah tandus yang merupakan sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu sangat berat. Lebih-lebih lagi karena ia tahu balatentara Demak yang menghendaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di luar kekuasaan Demak. Setelah sampai waktu harus membelok ke utara, ia berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan bekas rajanya. Dengan demikian ia selamat sampai di Jepara. Ia sudah tak punya daya lagi untuk meneruskan perjalanan. Ia telah biarkan kumis dan jenggotnya dan cambangnya melebat pada mukanya. Dan ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu Aisah. Sama sulitnya dengan menghadap Kala Cuwil. Seminggu sudah ia berjemur din di depan pendopo rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang menegurnya. Maka ia pun memutuskan, bila pada hari yang ke tujuh ini tak juga mendapat tegur sapa, ia akan meneruskan perjalanan ke Malaka. Matari sudah mulai condong dan badannya sudah sesiang tadi mandi keringat. Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang menghampin, berkata: “Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau bersimpuh hendak menghadap Nenenda. Tidak bisa, Paman, Nenenda tak hendak menemui siapa pun. Siapa kau ini. Paman?” “Sahaya utusan dari Malaka, Raden, utusan Senapati Wiranggaleng, datang untuk menghadap Gusti Ratu.” “Wiranggaleng,” gadis cilik itu berseru riang. “Aku kenal nama itu!” Dengan kekanak-kanakan dan keramahan Iuarbiasa ia meneruskan, “Kalau begitu akan aku sampaikan. Duduk saja di situ, Paman, biar kubisikkan pada Nenenda Ratu.” Ia lari ke samping rumah dan menghilang. Pada menghela nafas lega. Dan matan sudah mulai tenggelam. Ia masih menunggu. Gadis cilik itu keluar lagi membawa sebuah bungkusan dan pundi-pundi. “Nenenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun,” katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. “Ini untuk Paman, dinar-dinar mas untuk perjalananmu, dan ini,” ia menyerahkan bungkusan, “untuk siapa saja yang mampu mengenakannya, kata Nenenda. Sekarang Paman buruburu saja tinggalkan Jepara. Berlayar sampai Semarang, kemudian jalan darat sampai Banten baru kemudian menyeberang. Begitu pesan nenenda.” Anak itu tak mengulangi kata-katanya dan menyuruhnya pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat tanpa harga Dengan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini? Dia pikul bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tombak dan pedang yang telah dibungkuanya dengan daun pisang. Dengan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke Semarang kemudian berjalan darat memasuki pedalaman. Ia menduga, pesan Ratu Aisah mempunyai hubungan dengan gerakan armada Jepara-Demak. Maka ia harus mematuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. Dan dengan demikian ia menempuh jarak jauh menuju ke Pajajaran. la tahu tak mungkin ia turun ke bandar Banten setelah tempat itu diduduki oleh Demak, la harus turun ke bandar Sunda Kelapa. Ia pun sudah mendengar armada Jepara- Demak melakukan garis pengepungan terhadap Selat Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau tidak. Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya akan lebih buruk daripada Demak yang Islam atau Tuban yang setengah Islam. Segala yang kafir pasti buruk. Dan teman-teman seperjalanannya dengan senanghati mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat. Di perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah lama ia ingin mengetahui apa isi bungkusan dari Ratu Aisah. Dengan ragu-ragu ia membukanya, mengetahui bukan haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah. Tetapi ia tetap ragu-ragu. Dan bagaimana nanti kalau ada punggawa memeriksanya dan ia tak tahu apa isinya? Pada Tuhannya juga ia serahkan putusannya. Sinar matari yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas bungkusan dan berdansa-dansa dalam bercak-bercak keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih yang sudah agak tua. Di dalamnya ada pembungkus lagi dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning, malang dan bujur. Dan pembungkus itu berputar-putar beberapa kali, lebih dari dua depa panjang. Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik bergambar kupu-tarung. “Lambang Jepara Adipati Unus almarhum!” pikirnya. Kain itu dibukanya dan di dalamnya terdapat destar dengan gambar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu, katanya dalam hati, mungkin pembungkus kedua adalah tilam almarhum. Di dalam destar terdapat sebuah pundi-pundi coklat dari kulit kepompong berisikan cincin mas dengan gambar itu pula, terukir pada bagian depan. Dalam pundi-pundi coklat lainnya yang berselang-seling dengan wama jambu, juga dari kulit kepompong, hanya lebih besar, terdapat seutas kalung dengan pemberat selembar mas berukir dengan tengah-tengahnya terdapat lambang itu juga. Gambar kupukupu itu seperti ditempel di atas lembaran mas itu, kaki dan belalai-nya dari perak dan matanya dari intan. Selanjutnya terdapat dalam bungkusan lain sebuah ikat pinggang dari lembaran perak dan mas berselang-seling, berukir indah dan pada bagian kepalanya pun terdapat gambar yang sama. Dalam sebuah kasut dari kulit terdapat sebuah bungkusan kulit kepompong kuning berisikan sebuah gelas emas berukir gambar yang sama. Terakhir adalah keris yang terbungkus kain biru nila. Sarung dan tangkainya terbuat dan mas bertatahkan mutu manikam. Ia perhatikan barang-barang itu sebuah demi sebuah, mengagumi indahnya ukiran. Tiba-tiba ia berseri-seri Suatu pikiran datang padanya: ia akan memasuki Pajajaran sebagai seorang pangeran. “Aku akan kenakan barang-barang kerajaan ini. Mengapa tidak? Memang bukan hakku, hak orang yang dapat meneruskan cita-cita Gusti Adipati Unus. Aku hanya akan meminjam agar barang-barang bisa lebih cepat sampai pada yang berhak.” Ia kemasi semua dan dengan girang meneruskan perjalanan, terus seorang diri. Di pinggiran desa Baleugbak di tepi Ctbwung, ia mulai mengubah din-nya jadi seorang pangeran. Mula-mula ia mandi bersih-bersih. Ia gosok badannya dengan pasir kali, mengeringkan badan, dan mengenakan semua pakaian kerajaan itu. Memang agak pendek dan longgar, tapi apa salahnya. Seorang pangeran takkan dilihat dengan sebelah mata karena pakaiannya kependekan dan kelonggaran Dan ia harus berjalan hati-hati, kasut itu tidak cocok untuk kakinya yang tak pernah beralas, kekecilan. Dari kejauhan dilihatnya orang-orang desa sedang mengangkuti panen. “Bismillah,” bisiknya, dan dalam pakaian Adipati Unus ia mengangkat sedikit kainnya dengan tangan kiri sambil menjinjing bungkusan, dan dengan tangan kanan berlenggang bergaya raja. Bungkusan itu ia sembunyikan dalam sebuah rumpun semak di pinggir kali. Ia tahu betul gaya ningrat bila berjalan. Baginya tak ada sesuatu kesulitan. Dengan tabah, menyerahkan segalanya pada Allah ia berjalan melenggang dengan tangan kanan, meninjau ke sana-sini seakan sedang memeriksa sawah sendiri. Orang pertama yang dipapasinya adalah seorang gadis yang mencari kejauhan untuk buang air. Anak itu cepatcepat menyingkir, meletakkan bakulnya di tanah, berlutut dan menyembah. Dan Pada mengetahui benar anak itu sudah tak dapat menahan desakan perutnya. la lambaikan tangan dan meneruskan jalannya, berlenggang bangsawan dan bergaya, lambat-lambat berwibawa. Tanpa melihat ke belakang ia pun tahu gadis cilik itu telah lari dari pandangan orang. Ia berhenti di bawah pohon sambil tersenyum-senyum mengagumi keindahan dirinya sendiri yang bukan dirinya sendiri lagi. Beginilah rasanya jadi pangeran. Belum-belum sudah dapat satu sembah. Tetapi gadis itu terlalu lama belum juga muncul, ia mulai memanggil-manggilnya. Anak itu muncul juga dengan kain basah. Ia merunduk-runduk mendekat dan menyembah lagi. Dua sembah, senyum Pada alias Mohammad Firman. “Hai, Upik!” perintahnya, “pergi kau mendapatkan kepala desamu. Sampaikan Sang Pangeran Adipati Pada agar dijemput.” Ia tak yakin gadis itu dapat menangkap kata-kata Sundanya, namun ia segera menyembah dan lari meninggalkan keranjangnya. Dan Pada menunggu di tengah jalan dengan satu tangan bertolak pinggang dan tangan lain memegangi ujung kainnya. Sawah-sawah di kiri-kanan jalan hampir seluruhnya telah terpaneni, jalan itu sendiri diapit oleh saluran air yang mengalirkan air jernih tanpa putus-putusnya. Selama hidup di daerah utara Jawa Tengah dan Umur ia tak pernah melihat tanah sesubur itu, kaya akan air yang terkendali. Jelas daerah ini jauh lebih baik daripada Tuban, Jepara atau Demak. Udaranya sejuk dan nyaman. Dari kejauhan terdengar olehnya kentongan ditabuh bertalu-talu, dan tampak olehnya orang berlarian gugup. Sebentar ia ragu-ragu adakah itu kentongan bahaya yang mencurigai dirinya, ataukah kentong suka untuk menyambut kedatangan Pangeran Adipati Pada. Ia tersenyum bahagia melihat orang berbondongbondong datang tanpa membawa senjata. Dan ia mengucap syukur. Orang-orang berpakaian lebih baik daripada umumnya penduduk negerinya sendiri. Kulit mereka langsat. Cara mengenakan destar pun berlainan, lebih ke bawah dan tak ada nampak sudut-sudut datar yang dikakukan dengan kanji, semua jatuh layu di bawah tengkuk. Lelaki dan perempuan datang bersama-sama seperti biasa terjadi di desa-desa pedalaman. Dan wajah mereka berseri-seri, mungkin karena panen yang berhasil, mungkin pula karena kedatangannya. Tidak, bantahnya setelah teringat pada kata-kata Gelar, tak ada orang desa berseri-seri ikhlas karena kedatangan seorang pangeran. Jangan bohongi dirimu. Seorang lelaki setengah tua berpakaian lebih baik, satusatunya yang menyelitkan kens pada punggungnya, menyembahnya sekali, kemudian menyila kannya berjalan lebih dulu. Dan Pangeran Adipati Pada pun berjalan dengan satu tangan berlenggang besar, tangan lain mengangkat kain. Seseorang membawakan barang-barangnya. Dan semua orang mengiringkan di belakangnya. Pelataran kepala desa hampir-hampir penuh dengan tumpukan padi sebagaimana halnya di pelataran lain. Wanita-wanita berlutut di antara tumpukan-tumpukan itu dan menyambutnya dengan sembah. Melalui tumpukan padi pula ia diiringkan memasuki rumah. Juga di tangga rumah anggota-anggota keluarga kepala desa berlutut menyembah. Bocah-bocah bersimpuh di tanah, juga menyembah. Selamat, pikir Pada, semua takluk di bawah kekuasaan Sang Pangeran, insya Allah. la naiki tangga dan masuki pendopo yang digeladaki dengan pecahan kayu sadang yang mengkilat hitam. Sebuah meja rendah disiapkan untuk kedudukan Sang Pangeran. Tak ada bangku di seluruh desa itu. Dan semua orang, baik di geladak ataupun tanah, menghadap padanya seakan mereka punggawa pada hari penghadapan. “Betapa sukacita sekalian kawula di sini mendapat kunjungan Gusti Pangeran..” “Pangeran Adipati Pada!” Pada membantunya sambil mengangkat lengan memamerkan gelang masnya. “Dari manakah gerangan Gusti Pangeran Adipati maka datang ke desa Baleugbak tanpa pengiring?” Pada mengumpulkan kata-kata Sunda yang dibutuhkannya, tapi ia tak mengerti betul apakah tepat untuk keperluan resmi semacam ini. Ia menjawab sejadijadinya: “Kami datang dari jauh, dari timur sana. Dari Jepara.” “Jepara!” seru beberapa mulut. Orang tak memperhatikan keanehan kata dan kalimatnya. Orang tersentak karena Jepara. “Bagaimana mungkin, Gusti Pangeran, sedang armada Gusti sedang menerjang bandar Sunda Kelapa….” Pada menggeragap. la menyesal telah menggunakan kata Jepara. Mengapa ia tak menggunakan tempat lain? Mengapa mesti Jepara? Nama yang sedang dibenci di mana-mana. Ia tabah dadanya untuk mendapatkan ketabahannya kembali. Ia tak boleh lebih lama gugup. Ia harus segera menjawab. Dibukanya senyum manis dan berkata meyakinkan, lebih pada diri sendiri: “Ketahuilah, kau. Kepala Desa, kami Pangeran Adipati Jepara tidak setuju armada Jepara-Demak melanggar Sunda Kelapa. Maka itulah sebabnya kami berselisih dengan Sultan Trenggono Demak, saudara kami, juga dengan Panglima- Laksamana-Gubernur Fathillah.” Ia hampir-hampir kehabisan kata. Sedang kata-kata yang terhambur pun belum tentu betul. Waktu ia belajar bahasa Tionghoa, Liem Mo Han mengatakan padanya: kalau kau sudah bisa menipu dengan bahasa ini, kau benar-benar sudah pandai Tionghoa. Dan sekarang ia sedang menipu dalam bahasa Sunda, dan ia tahu benar sama sekali tidak pandai Sunda. Semua orang menunggu kata-katanya selanjutnya. Dan ia meneruskan tersendat-sendat: “Jadi larilah kami kemari untuk mengabdi di bawah duli Sri Baginda Prabu Sedah. Barangkali diterima dan diluluskan untuk dapat menghadapi Panglima-Laksamana-Gubemur Fathillah.” Pada diam dan menebarkan pandang pada semua orang di hadapannya. Ia tahu bahasanya menubruk-nubruk, tak ada jalan lain yang dapat ditempuhnya. Belum lagi kepala desa membuka suara ia menggeragap lagi, menyedari bahaya baru yang mungkin menimpa dirinya dengan serbuan Fathillah terhadap Sunda Kelapa. Ia bermaksud hendak menerobos kepungan Demak dari Sunda Kelapa, sekarang bandar ini justru jatuh ke tangan Demak. Dengan menantang Fathillah hanya karena hendak berkelakar ia akan terjatuh dalam kesulitan yang lebih parah. “Patik semua di sini bergagama Hindu, Gusti, sedang Gusti Islam. Orang-orang Islamlah yang menyerbu negeri kami dari laut, sedang Gusti memasuki negeri kami dari darat.” Ia sepenuhnya mengerti ketidak-percayaan kepala desa itu. Dan sekali dimulai dengan kebohongan, kebohongan lain harus membantunya. Celaka. Cepat-cepat ia menerangkan: “Ketahuilah, Pangeran Adipati Jepara ini masuk dari darat tanpa membawa balatentara. Ia datang sebagai pelarian.” “Kalau begitu soalnya, Gusti akan patik kirimkan utusan untuk mempersembahkan kedatangan Gusti Pangeran kepada Gusti Patih di Ibukota.” Pada menjadi pucat. Dan kata-katanya tak juga mau datang ke otaknya. Ia gerak-gerakkan lengan untuk menutupi kegugupannya. Dan keluar saja dari mulutnya: “Ketahuilah, kami akan menghadap sendiri. Sediakan untuk kami pengiring secukupnya, sediakan untuk kami penginapan untuk beberapa hari….” 0o-dw-o0 Armada Jepara-Demak memblokade bandar Sunda Kelapa dari laut dan darat. Perdagangan dan kesibukan bandar jatuh. Perahu-perahu kecil dari pantat jauh dari bandar, juga dari bandar kedua Pajajaran, Cimanuk, berbondong-bondong menerobos ke Panjang di ujung selatan Sumatra, meloloskan diri dari blokade. Armada Fathillah tak mampu mengatasi penerobosan di jarak sejauh itu, Maka ia jatuhkan perintah untuk menguasai sama sekali Sunda Kelapa. Pendaratan serentak dimulai. Pertempuran yang tidak begitu berarti terjadi. Mula-mula di daerah sekitar bandar, kemudian meluas ke daerah rawa-rawa di peluaran bandar. Kekuatan Pajajaran di Sunda Kelapa terlalu kecil dan lemah dibandingkan dengan belasan ribu balatentara penyerbu. Pangeran Sunda Kelapa sendiri yang memimpin pertahanan. Dalam hanya satu hari pertempuran pertahanan Sunda Kelapa dadal, pasukan Pajajaran terdesak mundur sampai ke pedalaman. Pangeran Sunda Kelapa ditemukan tewas di tengahtengah empat orang perwira yang hendak menyelamatkannya. Fathillah, yang sendiri memimpin pendaratan, ikut melakukan penghalauan dan pembersihan terhadap daerah bandar. Ia temukan tugu perjanjian Portugis-Pajajaran yang berdiri di atas sebidang tanah, yang dicadangkan untuk kantor dagang Portugis. Ia memerintahkan untuk merobohkannya dan menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa sesuatu upacara. Keesokan harinya Fathillah mendapat serangan pembalasan. Pajajaran menurunkan balatentara besar untuk menguasai kembali Sunda Kelapa. Pertempuran baru segera terjadi di rawa-rawa, riuh-rendah ditingkah sorak-sorak dan canang dari kedua belah pihak. Demak menggunakan cetbang bikinan pandai Blambangan. Dan Pajajaran tak pernah mengenal senjata ledak yang melumpuhkan syaraf ini. Mereka terhalau meninggalkan rawa-rawa dan naik ke darat dalam pengejaran peluru cetbang. Melihat balatentara Pajajaran menarik diri Fathillah memerintahkan penghentian pengejaran. Seluruh bandar jatuh ke tangan Demak. Perlawanan Pajajaran patah dan Sunda Kelapa terpaksa dilepaskan. Walaupun Trenggono-Fathillah berkokok-kokok untuk menumpas kerajaan Hindu di sebelah barat ini, namun Fathillah tidak bermaksud menguasai pedalaman. Tanpa bandar, katanya pada suatu kali di dalam khotbahnya, Pajajaran akan jatuh dengan sendirinya tanpa arti. Maka bandarnya yang kedua, Cimanuk, juga harus direbut. Seluruh pesisir harus dikawal. Dan itulah yang akan dikenakannya. Ia kerahkan penduduk Sunda Kelapa yang telah beragama Islam, dipilihnya yang muda-muda, dilatih dan dipersenjatai, kemudian dinaikkan ke kapal dan dikirimkan ke Cimanuk Pasukan kaki Demak ditinggalkan di Sunda Kelapa sebagai tentara pendudukan. Ia sendiri sekarang tinggal di Sunda Kelapa sebagai Panglima Laksamana Gubernur Banten dan Sunda Kelapa. Penduduk Sunda Kelapa tidaklah banyak. Dalam banyak hal bandar ini tak mampu melawan bandar Banten. Daerah bandarnya sendiri pada umumnya ditinggali oleh pelarian dari Semenanjung, terutama Malaka. Orang Pajajaran sendiri segan tinggal di sini karena hebatnya penyakit demam-pembunuh. Pendatang-pendatang itu seluruhnya beragama Islam. Mereka lebih berpihak pada Demak yang Islam daripada Pajajaran. Apalagi Demaklah satu-satunya kekuatan yang dengan sunguh-sungguh berusaha mengusir Peranggi dari negeri kelahiran mereka. Maka jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Demak terlalu mudah. Fathillah tak menghadapi sesuatu kesulitan dalam mengatur kembali kehidupan. Bahkan perintahnya untuk mendirikan mesjid kemenangan di wilayah bandar disambut dengan bersemangat oleh penduduk. O-rangorang Hindu yang sedikit, yang tak dapat menenggang kerja untuk desa lain dan untuk menguasai lain pada membangkang atau melarikan diri, meninggalkan harta benda dan kampung-halaman. Mereka menghilang di balikbalik perbukitan pedalaman. Yang tertinggal kemudian ditangkapi dan ditindas dengan kerja paksa. Tak ada tempat lagi di bawah kekuasaan Fathillah untuk mereka yang beragama Hindu. Selama pembicaraan di pendopo Pada dapat melihat hadirnya seorang gadis yang selalu memperhatikan gerakgerik dan bahasanya yang aneh, kaku dan dipaksapaksakan. Dialah satu-satunya yang tidak menunduk Matanya laksana sepasang bulan kembar, bulat, dengan bulu mata panjang dan lengkung. Nampaknya ia bersimpati pada tamu agung yang jelas berada dalam kesulitan dan sedang mencoba sekuat daya untuk keluar daripadanya. Ia adalah Sabarani, anak kepala desa. Ia jatuh kasihan. Baginya tamu itu sama sekali bukan tamu agung, bukan seorang pangeran, hanya manusia biasa yang membutuhkan pertolongan. Dalam gambarannya, pasukan Pajajaran yang dibakar oleh dendam pada Jepara- Demak akan merejamnya tanpa ampun. Dan gambarannya itu pasti akan menjadi kenyataan dalam beberapa hari ini. Ia mendengarkan suara hatinya yang memanggilmanggil untuk menolongnya. Tapi bagaimana? Ia belum lagi tahu. Ia harus menolongnya. Bagaimana? Sedang dirinya sendiri pun membutuhkan pertolongan? Ia sendiri harus melarikan diri dari desanya. Seorang ningrat Pakuan dalam beberapa bulan mendatang akan merenggutkannya dari desanya. Ia akan diselir olehnya. Orang tuanya tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh desa pun tidak. Ia menunduk waktu orangtuanya menyatakan bersenanghati menerima Pangeran itu sebagai tamunya, sudi menyediakan penginapan, dan berjanji akan mengirimkan utusan ke Pakuan. Setelah pertemuan selesai, di ruang belakang ibunya berkata padanya: “Kau, Sabarini, putri berbangsa, hanya kau saja yang patut melayani Gusti Pangeran.” Dengan demikian ia mulai melayani tamu agungnya, mencuci kakinya dengan air hangat, merapikan tempat tidur dan menyediakan makan dan minumnya. Simpati menyebabkan ia merasa lebih dekat pada orang asing ini daripada seluruh penduduk desa. Mungkin perpaduan antara kesulitan pribadi dan kesulitan tamu itu dapat menghasilkan satu penyelesaian bagi mereka berdua. Selama ini tak ada pemuda sedesa berani menyatakan kasih-sayang pada seorang calon selir ningrat. Untuk itu jiwa bisa jadi tebusannya. Maka sebagai seorang gadis ia tumbuh seorang diri dalam kesepian. Ia hanya dapat menyaksikan teman-temannya ria bergembira menikmati keremajaannya. Dengan diam-diam ia berjanji dalam hati untuk membantu tamu itu melarikan diri, dan ia akan mengikutinya kapan saja dan ke mana saja, asal tidak menjadi selir saudaranya sendiri. Dari cerita ibunya ia dan seluruh penduduk desa sendiri pun tahu, pada suatu kali dalam perburuan kerajaan, Patih Narogol mendapat penginapan di rumah kepala desa. Oleh ayahnya, ibunya disediakan untuk Sang Patih buat jadi pelayannya selama persinggahan. Sejak itu sang ibu tidak digauli oleh ayahnya, sampai si bayi dilahirkan. Dan si bayi itu dinamai Sabarini. Seluruh desa menganggapnya sebagai putri Sang Patih. Dan tak ada seorang pun berani mempersembahkannya pada Narogol. Lima belas tahun kemudian suatu perburuan singgah lagi di desa Baleugbak. Putra Narogol yang melihat Sabarini sekaligus tertarik pada kecantikannya dan meminta pada kepala desa untuk menyelimya. Ia akan mengambilnya barang tiga tahun kemudian. Ditinggalkan olehnya sebentuk cincin pada keluarga itu dan selembar destar sebagai tanda pengikat. Tak ada yang dapat mematahkan ikatan ini kecuali Sri Baginda sendiri atau Sang Patih. Pelanggaran berarti tebusan jiwa. Setelah beberapa hari menginap, dan sawah telah dituai seluruhnya, pesta panen untuk memuliakan Dewi Sri. Upacara-upacara telah selesai sedang pesta menunggu setelah itu. Sebuah kalangan dibuka untuk mengalahkan juara tahun lalu. Mula-mula diadakan pertunjukan demonstrasi perkelahian kanak-kanak yang ditingkah dengan gamelan sederhana, gendang kemong dan banyak suling. Waktu gamelan berhenti, anak-anak keluar dari kalangan. Muncul sang juara dengan sebilah tongkat bambu mengkilat seperti telah lama di ganggang di atas api dan digosok bermingguminggu. Beberapa orang penantang mengeroyoknya berbareng. Pertarungan sengit terjadi, juara itu melompat dan menerjang, berpaling dan bergulung-gulung seperti baling-baling lepas. Penonton bersorak-sorak gegap-gempita dalam sinar cempor-cempor besar di empat penjuru. Baik juara maupun para penantang berkilau-kilau bermandi keringat dan debu. Dan setelah agak lama pertunjukan berjalan, senjata seorang penantang terungkit lepas oleh tongkat bambu sang juara, melambung ke atas dan ditangkap oleh penantang lain. Penantang yang kehilangan senjata keluar dari kalangan dalam iringan sorak pujian untuk sang juara. Selang beberapa bentar sebuah senjata lagi terungkit lepas lagi. Dan demikian seterusnya sehingga para pengeroyok terpaksa meninggalkan kalangan. Sang juara mempertahankan kejuaraan desanya. “Demikianlah kebiasaan di desa patik sejak nenekmoyangnya,” kepala desa menerangkan pada tamuagungnya. Sekilas terangsanglah Pada untuk bercerita tentang Tuban dan pes tatah unannya. Satu kesedaran, bahwa ia seorang pangeran Jepara, mematikan rangsangan. Ia mengangguk dan menggarami: “Bagus. Calon-calon prajurit ulung.” “Bukan calon prajurit, Gusti. Perang soal lain lagi. Yang pandai berkelahi belum tentu pandai berperang. Lagi pula negeri kami tak pernah berperang seperti negeri Gusti. Kami lebih suka hidup dalam kedamaian.” Pada menggeragap. Ia tahu telah salah menanggapi. Dan ia merasa beruntung kepala desa itu tidak melanjutkan persoalan. Gamelan bertalu lagi. Suling-suling mengimbau memanggil juara baru. Dan tak terkirakan heran Pada melihat seorang gadis tampil ke gelanggang membawa dua batang bambu kecil sepanjang lengan. Kainnya dilipat sedemikian rupa sehingga menjadi cawat, dan rambutnya terkondai ramping seperti destar. Dan gadis itu adalah Sabarini. “Juara?” Pada bertanya. “Juara, Gusti,” jawab kepala desa yang duduk di bawah sebelah samping. Matanya berkilau-kilau bangga. Sabarini memutar-mutarkan dua bilah tongkat pendek itu ke udara dan menangkapnya kembali, melontarkan dan menangkapnya lagi. Tongkat-tongkat itu berputar seperti kitiran. Dan Pada baru sekali akan melihat perkelahian dengan dua tongkat pendek. Seorang gadis lain melompat ke gelanggang dengan sebilah parang dan langsung menyerang. Orang bersoraksorak, kemudian terdiam melihat hebatnya serangan. Hantaman-hantaman parang itu tertangkis oleh bambubambu pendek yang melindungi lengan. Pada melihat, dengan bambu-bambu pendek itu Sabarini ternyata juga bisa menyerang. Satu di antara bambu itu melesit berputar mengenai tangan si penyerang. Parang itu meleset ke samping, dan dengan bambu yang lain gadis itu memukul tangan berparang sehingga senjata itu jatuh ke tanah tanpa daya. Orang bersorak-sorak riang. Penantang meninggalkan gelanggang. Sabarini melontar-lontarkan bambunya ke udara lagi sebagai undangan untuk penantang baru. Tak seorang pun tampil ke depan. “Gusti Pangeran!” seseorang berteriak. “Ya-ya, Gusti Pangeran,” yang lain-lain membenarkan. “Gusti,” kepala desa itu memohon, “itulah adat desa kami. Gusti dipersilakan turun ke gelanggang.” “Kami!?” tanya Pada tak percaya. Peluh dingin mulai membasahi tubuhnya. Seumur hidup ia tak pernah berlatih berkelahi. Sekarang! Sekarang akan terbongkar belangnya. Mana ada seorang pangeran tak pernah berlatih keprajuritan dan berkelahi? Mana ada? Haruskah diri dipermalukan di depan umum oleh seorang gadis pula? Gadis desa Baleugbag? Betapa dunia akan mentertawakan ningrat Jepara di kemudian hari. “Silakan Gusti Pangeran Adipati Jepara!” Dan Pada mengerahkan pikiran untuk menemukan akal. Lambat-lambat ia berjalan memasuki gelanggang. Memang tak ada jalan lain untuk menyelamatkan muka. Sabarini berlutut. Dua potong bambu pendek itu digeletakkannya di hadapan Sang Pangeran, dan ia menyembah. Aku hanya pernah belajar bicara, pilar Pada, itu pun belum tentu dapat dan bisa meyakinkan orang…. Langkahnya gontai dan kakinya berat. Ia ambil dua bilah dari bambu di hadapannya dan pura-pura mengagumi. Buat para penonton perbuatannya terlalu lama. Orang sudah tak sabar. Tapi akal belum juga datang pada Pada. Sekarang ia pura-pura mengagumi Sabarini, ikut pula berlutut seakan-akan sedang mengikuti adat gelanggang, tetapi bibirnya menggeletar berbisik: “Sabarini, ah, Sabarini.” Sabarini menyembah lagi, juga berbisik: “Gusti Pangeran, patik di sini, Gusti,” suaranya lunak, bening dan bernyanyi, menyirapkan darah Pada. Orang-orang bersorak tak sabar. Pada berdiri. Sabarini juga berdiri setelah mengambil jarak. Pada mengembalikan bambu pada yang punya. Sambil berpaling pada kepala desa ia berkata dengan nada protes: ‘Tak pernah di tempat kami bambu begini dipergunakan untuk berkelahi.” “Ambilkan dua bilah pedang.” seseorang berteriak. Celaka, raung Pada dalam hatinya, dari bilah bambu beralih ke pedang. Akal! Hei, kau, akal, mengapa kau tak juga datang hei akal? Seseorang masuk ke gelanggang membawa dua bilah pedang lebar tapi pendek. Dan badan Pada telah basah kuyup oleh keringat dingin sendiri. Pembawa pedang itu berjongkok menyembah, kemudian mempersembahkan dua-dua senjata itu untuk dipilih mana yang lebih cocok Dan Pada menerima dua-duanya dan menimang-nimang. Berdoalah ia di dalam hati memohon perlindungan dan petunjuk dari Tuhannya. Keadaan ini harus diatasi. Dan doa itu memberinya ketenangan barang sedikit. Keluar lagi kata-kata bernada protes dari mulutnya: ‘Tidak ada cara di negeri kami seorang satria menghadapi wanita dalam gelanggang semacam ini/’ “Kang Acep, kau tampil, kang,” seseorang berseru. Celaka, sekarang juara lelaki yang akan tampil. Menghadapi Sabarini sekarang harus dianggapnya sebagai kesempatan baik – sebaik-baiknya. Ia tak memprotes lagi. Dengan membawa dua-dua pedang ia menghampiri Sabarini dan menyerahkan semua. Cepat-cepat ia berbisik “Lebih baik kuperistri kau daripada aku binasakan, Sabarini, manis.” Sabarini mengangkat mata dan memandangnya. Tangannya salah menerima pedang dan senjata itu jatuh ke tanah. Dan Sabarini tak juga segera memungutnya. Orang-orang terdiam, heran melihat seseorang juara luput menerima senjata. Gamelan berhenti mengejut. Suling-suling membisu. “Bagaimana, Sabarini?” bisik Pada. “Pedang itu jatuh, Gusti, dan tak ada kekuatan pada patik untuk memungutnya,” Sabarini berbisik menjawab. Pada mendapat kepribadiannya kembali dan berseru: “Ambillah pedangmu, Sabarini!” Orang melihat gadis itu gemetar. Sabarini membungkuk, tangannya layu mengambil pedangnya, tapi badan itu lambat sekali tegaknya. Dan belum lagi badan itu berdiri lurus, lututnya kemudian tertekuk, pedang tergelincir dan nampak tak ada niat padanya untuk memungutnya. “Sabarini!” terdengar beberapa wanita berseru-seru. Sekarang gamelan berbunyi lagi, pelan-pelan, tanpa suling. Kepala desa masuk ke gelanggang, menyembah Pada dan menghampiri anaknya, bertanya: “Mengapa kau, anakku?” dan berpaling pada Pada. “Dia telah menyerah, Kepala Desa, menyerah.” Gamelan berhenti sama sekali. Kepala desa membantu anaknya berdiri. Sabarini mengangkat sembah lagi pada tamu agung, menerima tangan bapaknya dan berdiri dengan susahpayah, berjalan gemetar keluar gelanggang. Pesta malam itu bubar dengan keheranan semua penduduk. 0o-dw-o0 Sesampai di rumah Pada segera pergi ke belakang dan kemudian bersembahyang di dalam bilik, mengucapkan syukur yang sebesar-besar-nya atas rahmat dan petunjuk yang diterimanya. Selesai bersembahyang ia lihat, sebagaimana biasa sebelum tidur, Sabarini masuk ke dalam bilik membawa air hangat pencuci kaki. Ia turun dari ambin dan menyerahkan kakinya. “Gusti,” bisik Sabarini, “benarkah yang patik dengar di gelanggang tadi?” “Mengapa, Sabarini?” “Karena, Gusti, ternyata orangtua patik telah mengirimkan utusan ke Pakuan begitu panen dan upacara panen selesai. Pastilah tentara Pajajaran akan segera datang. Larilah, Gusti, dan bawalah patik.” Suara ribut terdengar di luar rumah: “Kepala desa! Mana itu Pangeran Adipati Jepara?” “Mereka telah mulai datang, Gusti, mari patik antarkan lari, mari….” Sabarini menarik tangan Pada dan yang ditarik menyambar bungkusan-bungkusan bawaan. Mereka lari setelah memadamkan pelita, ke belakang, langsung menuruni tangga belakang, melintasi ladang, kemudian sawah, sampai ke pinggir Ciliwung. “Naik, Gusti, naik ke atas rakit ini.” Sabarini menarik tali rakit, dan rakit itu meminggir. Mereka berdua melompat ke atasnya, dan Sabarini mengetengahkannya dengan sorongan galah. Tanpa bicara gadis itu meluncurkan dan mengemudikan rakitnya menuju ke hilir. Pada sendiri masih terlongok-longok, kurang semangat, belum juga sembuh dari terkejutnya, Dunia apakah semua ini, ya Tuhan, tanyanya pada Tuhannya. Dan ia tak mendapat jawaban. Ia menongkrong di atas rakit bambu, menenggelamkan kepala di antara dua belah lutut. Dan Sabarini, terus juga berjalan mondarmandir menyorong rakit yang laju dibawa air deras. “Sudah jauh, Sabarini, berhentilah kau.” “Belum, Gusti, mereka masih bisa memburu dengan sampan,” dan ia bekerja terus. Pada berdiri, menghampiri gadis itu, ragu-ragu sebentar, kemudian berkata: “Sini, Sabarini, biar aku gantikan. Kau lelah.” “Biarlah, Gusti. Patik biasa membawa rakit begini Sedang Gusti tidak pernah.” “Aku biasa mendayung perahu.” “Rakit bukan perahu, Gusti, lain.” “Air cukup deras begini, dia akan berjalan sendiri.” “Kalau tidak dikemudikan akan menubruk-nubruk, Gusti. Patik kenal riam-riam Ciliwung ini.” Sabarini tak dapat dihampirinya. Ia terus juga mondarmandir mendorong rakit dengan galahnya. Pada tidak tahu sesuatu tentang rakit. Ia ingin membuka pembicaraan. “Sudahlah, biar rakit berjalan sendiri.” “Nanti berputar-putar. Gusti.” “Biar berputar-putar,” dan ditangkapnya tangan gadis itu. Ia rasai tangan itu gemetar. “Ke mana kau akan pergi malam-malam begini?” “Ke mana saja asal Gusti selamat.” Pada melepaskan tangan itu. Sejak kanak-kanak ia sudah terbiasa bergaul dengan wanita-wanita harem. Ia lakukan apa saja yang mereka inginkan. Tapi gadis seorang ini menerbitkan hormat dalam hatinya. Ia tidak inginkan sesuatu daripadanya. Ia hanya ingin menyelamatkannya. “Dan kalau aku sudah selamat kau akan ke mana lagi?” “Ke mana saja Gusti pergi.” “Sabarini!” dan gadis itu tak menyahut. “Terimakasih. terimakasih atas pertolonganmu. Nampaknya keselamatanku menjadi kepentinganmu benar.” “Bukankah Gusti sudah mengucapkan kata-kata itu? Bukankah Gusti seorang satria, sekalipun Islam?” Malam itu gelap. Dan Pada tidak mengerti bagaimana gadis pendekar ini dapat mengendalikan rakit tanpa petunjuk jalan. Nampaknya ia sudah mengenal alur Ciliwung. Ia perhatikan arus kali permukaan air dan airmuka Sabarini dalam kegelapan. Dan ia tak mampu menduga. Ia tunggu gadis itu menyatakan sesuatu, dan Sabarini tidak membuka mulut. Jauh di sebelah timur sana ada seorang wanita yang membangkitkan kekaguman dan hormatnya, menyemaikan cintanya yang tulus. Orang itu adalah Idayu. Di Pajajaran ini ada juga seorang. Dan dia adalah Sabarini. Benarkah langkahku, ya Tuhan? Adalah gadis asing ini Kau pertemukan padaku dengan cara seperti ini untuk jadi teman-hidupku yang tulus? Dan ia tak mendapat jawaban dari Tuhannya. Tetapi dari lubuk hatinya sendiri terdengar suara lantang: Kau dungu kalau tetap mengimpikan Istri seorang sahabat, ibu dari anak-anaknya. Sabarini cukup baik untukmu. Suara dari lubuk hatinya tak berulang lagi. Dan ia sendiri merasa memang telah membutuhkan seorang istri. “Sampai di mana kalau terus menghilir?” ia bertanya. “Sunda Kelapa, Gusti.” “Sunda Kelapa”, untuk ke sekian kalinya Pada menggeragap. Mereka akan tangkap dirinya, juga Sabarini. Ia merasa tak patut terlalu sering menggeragap begini. Ia merasa kepercayaannya pada Tuhannya belum cukup sempurna. Seorang yang beriman tidak akan sering menggeragap, karena ada iman padanya, karena ada kepercayaan pada Tuhan dan kekuasaanNya. “Ya, Sabarini. Kita akan sampai ke Sunda Kelapa, memasuki daerah pendudukan Demak. Mereka akan paksa kau masuk Islam. Bagaimana kau?” “Semua terserah pada Gusti. Patik hanya mengikuti Gusti!” ”Tidakkah kau akan takut pada hukuman dari dewadewamu?” “Barangtentu Gusti cukup bijaksana untuk memilihkan yang baik untuk patik,” jawab gadis itu sambil terus mendorong rakit dengan galahnya. “Baik. Jadi kau sudah sedia jadi istriku.” Sabarini tak menjawab. Sorongan pada rakitnya bertambah keras, dan mondar-mandirnya semakin cepat. “Kau diam saja, Sabarini.” Waktu melewatinya Pada mendengar nafas gadis itu yang terengah-engah karena mendorong sekuat tenaga dengan galahnya. Bahkan dalam kegelapan ia mengetahui Sabarini sama sekali tidak menengok padanya. Matanya tertuju pada permukaan air yang samar-samar. “Kita akan kawin di Sunda Kelapa secara Islam, Sabarini, dan kau akan jadi istri-tunggalku.” Ia menunggu agak lama dan tetap tak mendapat jawaban. “Kau diam saja.” “Apalah yang harus patik katakan lagi, Gusti? Semua Gusti yang menentukan. Kebijaksanaan Gusti tidak akan patik ragukan, Gusti.” “Baiklah. Jadi kau akan jadi istri-tunggalku.” “Bagaimanakah dengan selir-selir Gusti?” “Selir? Seorang pun aku tak punya. Kaulah calon istriku pertama-tama, calon istri-tunggal.” Dan Sabarini tak menanggapi. Ia hanya menjalankan rakit, tanpa pernah menengok pada Pada. Menjelang subuh rakit dihentikan di sebuah tempat persinggahan. Gadis itu melompat turun ke darat dan mencancang rakit pada sebatang pohon ketapang. Galah ia letakkan baik-baik di atas rakit, kemudian diulurkan tangannya pada Pada untuk membantunya turun. Dua orang itu bergandengan mendaki tebing, menuju ke sebuah bangsal bambu pada tubir tebing. Bangsal itu luas dan menjadi penginapan mereka yang pulang-balik melalui Citarum. Tak ada penjaga khusus. Perawatannya diserahkan pada setiap perakit atau pemilik perahu. Dan pada subuh itu dalam bangsal telah ada sebuah keluarga pelarian dari Sunda Kelapa. Dari percakapan antara mereka dengan Sabarini Pada dapat mengetahui, Sunda Kelapa benar-benar telah jatuh ke tangan balatentara Demak. “Mereka begitu berangsangan,” salah seorang memberikan komentarnya, “seperti orang tak pernah bertemu nasi. Tak ada lagi bisa merasa aman, maka kami lari naik kemari. Juga orang Islam sendiri tidak aman. Semua dipaksa menyerahkan batang bakau-bakau buat perbentengan. Jangan turun, lebih baik naik kembali.” Pada mendengarkan dengan diam-diam dari luar bangsal sambil menggambarkan tingkah-laku prajurit-prajurit Demak yang dikatakan berangsangan itu. Ia belum berani bertemu dengan orang, la masih berpakaian pangeran. “Masih mungkinkah turun ke sana dengan rakit?” Sabarini terdengar bertanya. Suaranya bening, merdu dan menyanyi. ‘Tentu saja dapat. Mengapa tak dapat? Tapi buat apa? Salah-salah jiwa tebusannya. Paling tidak orang akan terbongkok-bongkok mengangkuti bakau-bakau setiap hari sampai mati kena demam rawa.’ Pada mengherani apa sebabnya balatentara Demak hendak mendirikan perbentengan. Seakan-akan mereka sedang bersiap-siap menunggu datangnya musuh. Dan musuh dari mana? Mungkinkah Peranggi akan membantu Pajajaran sebagaimana pernah diperbincangkan orang? Dan apa keuntungan Peranggi dengan bantuannya? Tidak mungkin. Peranggi takkan membantu siapa pun tanpa mendapat keuntungan. Boleh jadi Fathillah membentengi dirinya sendiri dari serangan Demak. Dia akan membangkang dan berdiri sendiri jadi raja. Ia tak dengar percakapan selanjurnya antara Sabarini dengan keluarga pelarian itu. Hari telah terang tanah. Burung-burung dari hutan sekitar menyanyi ria menyambut datangnya sang surya. Pagi itu ia tidak bersembahyang, hanya mengucapkan doa selamat. Tak lama kemudian Sabarini keluar dari bangsal, menyembah dan berbisik padanya: “Lepaskan semua pakaian Gusti, dan kenakan pakaian tani.” Pada menggeleng-geleng menyedari betapa kikuk ia selama memainkan peranan Adipati Jepara. Ia mengakui memang tidak pandai menjadi seorang penipu. Dilepasnya semua pakaian Pangeran Adipati Uitus dan dikenakannya pakaian sendiri, pakaian santri. Waktu ia hendak lepas kasut kerajaan itu, tahulah ia barang itu masih tertinggal di rumah orangtua Sabarini. Mendung yang menutup puncak pegunungan itu kini berubah jadi hujan deras dan membekukan darah. Keluarga pelarian itu menyalakan pediangan penghangat kemudian naik ke ambin pelupuh dan meneruskan tidurnya. Pada dan Sabarini pun naik ke ambin, menggolekkan badan berdampingan dan tertidur dalam kelelahan dan kantuk. Hujan makin deras dan makin deras. Dan waktu matari dengan lemahnya mewarnai langit, dan silhuet puncak pegunungan dan tajuk pepohonan mulai muncul, hujan masih juga turun. Ciliwung telah meluap sejadi-jadinya. 0o-dw-o0 Ciliwung adalah jalanan utama yang menghubungkan Pakuan dengan Sunda Kelapa. Hasil bumi dari pegunungan turun ke bandar melalui kali ini pula. Sebaliknya barangbarang dari laut naik ke pegunungan melalui kali ini pula. Tapi kali ini kini sunyi. Rakit dan perahu nampak segan meluncur di atasnya setelah Sunda Kelapa jatuh. Waktu Pada terbangun hujan belum juga berhenti. Ia lihat Sabarini sudah tak ada di tempat. Penginap-pengmap dari Sunda Kelapa telah berangkat meneruskan pemudikan. Ia turun ke kali dan dilihatnya Sabarini dalam keadaan telanjang bulat sedang berenang menuju ke rakit yang kini sudah berada di tengah-tengah. Pohon ketapang tempat mencancang berada barang sepuluh depa dari tepi air. Ia lihat gadis itu menyelam untuk mendapatkan tali pada batang ketapang. Kemudian ia muncul lagi dengan membawa tali menarik rakit sambil berpegangan batang kayu itu, kemudian melompat ke atasnya dan mendorongnya ke tepian. Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebutnyebut melihat keindahan tubuh Sabarini: “Masyaallah… Allah Maha Besar… Kau karuniakan keindahan semacam itu kepadaku, ya Tuhan, kepada hamba-Mu yang justru tidak mencari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya Tuhan’ Ia sama sekali tidak perhatikan air kali yang kini telah berubah kuning berlumpur. Sinar matari yang jatuh ke bumi setelah menerobosi mendung hanya samar-samar menerawang. Namun kesamaran itu tidak membatalkan pengetahuan Pada, bahwa ia sedang mengagumi tubuh cantik, indah, gesit – tubuh seorang wanita yang belum lagi jadi istrinya. Ia perhatikan gadis itu mengenakan pakaiannya yang disangkutkan pada cabang batang gempol, dan dengan pandangnya mengikutinya naik ke tebing. Dengan membawa bungkusan ia keluar dari persembunyian dan turun ke atas rakit. Dan sekali lagi ia mengagumi keberuntungannya dalam kepercayaan pada keagungan dan kemurahan Tuhannya. Ia mulai periksa rakit. Sebentar-sebentar ia meninjau ke atas mencari-cari Sabarini. Tapi gadis itu belum juga nampak. Ia berteriak-teriak memanggil, kemudian ia lihat gadis itu lari menuruni tebing. Wajah merah dan nafasnya terengah-engah. Tanpa bicara ia turun ke rakit, melompat lagi ke pantai dan melepaskan tali pencancang, lompat lagi ke rakit, mengambil galah dan mulai mendorong. “Kita belum lagi makan pagi, Sabarini.” Ia tak menjawab. Dan Pada mencoba merebut galah, dan Sabarini tidak mengijinkan. “Patik tidak mengenal air sejak dari sini sampai ke Sunda Kelapa, Gusti, apalagi Gusti sendiri. Biar patik yang mengemudikan sendiri-lebih baik Gusti ikat bungkusan itu agar tak terlempar kalau ada apa-apa.” Pada merasa malu telah kalah wibawa, ia merasa dirinya menjadi begitu bodoh di dekat gadis luarbiasa ini. Biasanya ia merasa cerdas dan dapat memecahkan banyak perkara yang pelik-pelik. Ia menguasai persoalan neraka dan sorga, ia dapat menghafal nama dua puluh nabi, ajaran dan mukjizatnya. Tapi di dekat gadis ini ia seperti seorang tua yang pikun. Saking gemasnya pada kepikunannya sendiri akhirnya ia menongkrong di buritan rakit Pada sebuah celah batang bambu ia lihat sebutir lada terjepit sendirian tanpa kawan. Ia korek dengan kuku, memungut dan menggigitnya. Memang lada. Rakit hanya dipergunakan sekali ke Sunda Kelapa. Sampai di sana dijual atau ditinggal. Tentu sebelum ia dan Sabarini menggunakannya, orang pernah memunggah lada di sini, kemudian di bongkar lagi dan lada di daratkan kembali, tak jadi turun ke Sunda Kelapa. Ia lihat air berkecibak di belakang rakit. Seekor kakap melompat ke atas air, berenang lari ke hulu. Di belakangnya nampak sirip hiu cucut yang memburu, membentuk garis lurus membelah air. “Di sini ada hiu, Sabarini?” “Kalau kali banjir, Gusti, kadang-kadang ada juga.” Kalau kali banjir, kata Sabarini. Mengapa kali ini banjir sebelum datang musim penghujan? Dan mengapa di sini sudah mulai turun hujan? Dan mengapa di Semenanjung sana lain pula jatuhnya musim penghujan? “Gusti!” terdengar Sabarini memekik Belum sampai ia sempat menengok rakit telah menubruk sesuatu. Pada jatuh dari cangkungannya, tertelentang pada geladak rakit. Dan belum lagi ia dapat berdiri gadis itu datang padanya dan menolongnya berdiri. “Ampun, Gusti, patik tak lihat ada tonggak di bawah air.” ”Tidak apa, Sabarini.” ”Tidakkah Gusti terluka?” ”Tidak.” “Rakit harus meminggir. Gusti. Tali bagian depan putus.” Gadis itu mengambil lagi galahnya dan meminggirkannya. Dengan cekatan ia melompat ke darat, mengambil sebuah batu tajam, dan menariki kulit pohon warn. Pada tak tahu apa sedang diperbuat gadis itu. Ia berdiri di dekatnya, bertanya: “Membikin tali?” “Ya, Gusti.” “Sini, barangkali aku lebih pandai daripada kau.” ”Tidak, Gusti, sebaiknya Gusti lihat-lihat kalau ada perahu balatentara Pajajaran memburu kita.” Jengkel karena kekikukannya Pada menjauh, mencari pohon yang sekiranya dapat ia panjat. Tetapi pepohonan hutan itu tak ada sebuah pun yang dapat dipanjat. Semua besar-besar. ”Tak usah naik, Gusti,” seru Sabarini. “Semua pohon menjadi licin habis hujan begini. Lihat-lihat di dekat patik sini saja, Gusti.” Dan Pada menjadi malu pada dirinya sendiri. Betapa gadis yang belum dikenalnya itu mengutamakan keselamatannya – keselamatan seorang asing yang mukanya penuh jenggot dan kumis dan cambang bauk. Tentunya seorang gadis dengan pendidikan baik. Matari berada di atas kepala waktu tali-tali itu habis terpilin. Mereka berdua mengikat bagian depan rakit dan mengencangkan tali-temali dengan pasak bambu. “Kita teruskan mengilir, Gusti.” Dan rakit meneruskan pelayarannya. 0o-dw-o0 Dengan seruan assalamualaikum pada penjagaan setiap tikungan kali rakit itu memasuki Sunda Kelapa. Prajuritprajurit Demak membiarkan mereka lewat. Dan apa yang diberitakan para pengungsi itu ternyata benar. Orang-orang sibuk memikuli batang bakau-bakau yang berat itu dari rawa-rawa ke bandar. Di sepanjang bandar orang mendirikan tonggak-tonggak untuk perbentengan. Ribuan orang mengangkuti pasir dan menimbun tanggul untuk menjadi dermaga dan benteng sekaligus. Juga ribuan balatentara Demak bekerja mengangkuti batu. Dari kejauhan mereka nampak seperti serumpun semut yang sedang menggalang perumahannya sendiri. Mereka berdua mendarat di tepi muara tanpa mendapat gangguan. Cukup hanya dengan assalamu alaikum. Dan mereka tidak tahu, bahwa Fathillah menghendaki agar orang-orang pedalaman turun sebanyak-banyaknya ke Sunda Kelapa, bukan saja untuk bertaubat, juga agar jumlah penduduk yang terlalu sedikit itu bertambah tiga sampai empat kali lipat Dengan penduduk terlalu sedikit ia tak banyak dapat berbuat. Maka setiap pendatang dari pedalaman untuk sementara tidak dikenakannya peraturan apa pun. Dan pendatang-pendatang baru memang ada, walaupun tidak banyak. Sebagian terbesar dari yang tidak banyak datang dari sebelah barat Sunda Kelapa. Mereka adalah orang-orang Banten yang bermaksud mencari perlindungan dari Pajajaran setelah masuknya Jepara-Demak ke sana. Serentak mereka mengetahui Sunda Kelapa juga telah dikuasai Fathillah, mereka melarikan diri ke barat kembali atau naik memasuki pedalaman Pajajaran. Sebagian kecil dari mereka – orang tua-tua dan kanak-kanak yang tak mampu meneruskan perjalanan – terpaksa tertinggal. Di antaranya terdapat juga wanita-wanita dengan bayinya. Fathillah memberi mereka tempat di bedeng-bedeng bandar yang paling jauh. Bedeng-bedeng terdekat dipergunakan oleh asrama prajurit-prajuritnya. Pendatang dari selatan adalah laksana tetesan air, tidak semakin banyak, malah semakin tiada. Pada dan Sabarini adalah pendatang terakhir dari selatan. Mereka melangsungkan perkawinan di mesjid, dengan dalih mengulangi perkawinan mereka yang telah mereka lakukan secara Hindu. Sabarini bertaubat masuk Islam dan Pada bertaubat untuk kedua kalinya. Apabila mereka tinggal sampai sebulan, Pada akan terkena wajib kerja seperti yang lain-lain. Bukan maksudnya untuk jadi penduduk Sunda Kelapa. Ia berada dalam perjalanan tugas. Ia harus segera meninggalkan tempat ini. Ia sempat menyaksikan selesainya tanggul yang sangat panjang itu. Ia ikut menghadiri pesta pembukaan kembali bandar. Fathillah telah menyatakan Sunda Kelapa telah siap untuk menerima lalulintas laut. Tetapi sebagaimana halnya dengan bandar Banten, perdagangan lada ditentukan olehnya. Harga yang menjadi lebih tinggi karena tingginya pajak menyebabkan para saudagar enggan singgah baik di Banten ataupun Sunda Kelapa. Sebaliknya sumber lada kedua, Sumatra terselatan. Kini berubah jadi ramai. Bandar Panjang tiba-tiba menjadi ramai dan penting. Di sekitar mesjid orang pada membicarakan peraturanperaturan yang berlebih-lebihan dari Fathillah. Maka Pada dapat mengetahui, perkembangan tidak berjalan sebagaimana dikehendaki Sang Panglima-Laksamana- Gubemur itu. Orang telah mendengar ancaman telah dinyatakannya untuk menghancurkan bandar Panjang. Untuk keperluan itu ia telah batalkan persiapannya untuk meneruskan penyerangan dari Cimanuk ke Cirebon. Ancaman itu tak jadi dilaksanakan karena tersusul datangnya utusan dari Trenggono yang tidak membenarkan maksudnya, karena itu menyalahi persekutuan militer Trenggono-Fathillah. 0odwo0 36. Blambangan Bandar Banten dan Sunda Kelapa tetap sunyi. Bandar Panjang di ujung selatan Sumatra menjadi meriah. Mengetahui akan kekeliruannya Fathillah bermaksud membuka kembali Sunda Kelapa jadi pelabuhan bebas. Pada hari ketentuan itu dikeluarkan, Pada dengan terburu-buru membeli sebuah perahu layar kecil dengan dinar pemberian Ratu Aisah. Dipunggahnya perbekalan dalam perahu itu bersama dengan Sabarini. Keesokan harinya pengantin baru itu berlayar menuju Panjang. Armada Jepara-Demak yang melakukan penjagaan itu tidak terlalu jauh dari pantai. Perahu layar kecil itu hanya sekali ditahan kemudian diperkenankan meneruskan pelayaran. Dan mereka berlayar tenang meninggalkan pulau Jawa yang sedang kacau-balau. Meninggalkan Sunda Kelapa bagi Pada berarti juga meninggalkan keadaan yang penuh kekacauan pertama-tama yang pernah ada dalam sepanjang sejarah Jawa. la gembira. Dan Sabarini tak kurang gembiranya, berlayar dengan seorang suami yang adalah untuk dirinya sendiri. Namun ia tetap membisu bila tak ditanyai…. Begitu mendengar balatentara Demak telah sampai di selatan Lao Sam, Tholib Sungkar Az-Zubaid dengan bantuan para pekerja bandar mengangkuti harta-bendanya ke atas sebuah kapal Bali yang kebetulan sedang mencari dagangan lada. Munculnya kapal itu sungguh-sungguh suatu kebetulan Bila tidak ia akan terpaksa menyewa perahu layar. Tak ia tinggalkan sesuatu pun pada Nyi Gede Kati kecuali kata-kata ini: “Nyi Gede Kati, maafkan aku selama ini kita sudah tidak saling menegur. Sang Adipati sudah tidak dapat menyatakan sesuatu. Pendengarannya sudah begitu merosotnya, maka semua kata yang dipersembahkan sia-sia saja… Sekarang ini aku harus pergi untuk sementara dari Tuban. Tinggallah kau di sini dalam lindungan Allah Yang Maha Pengasih.” “Ke manakah Tuan, biar sahaya tahu di mana tempat Tuan.” Ia tak memberi jawaban, turun ke perahu dan belayar ke jurusan timur. Tujuan: Pasuruan, bandar Blambangan Hindu untuk perdagangannya dengan Maluku. Nakhoda menasihatinya agar ia langsung saja ke Panarukan, karena bandar itu tidak terlalu sunyi, karena perdagangannya dengan Nusa Tenggara tetap berjalan baik. Pelabuhan Pasuruan sendiri hampir saja nasibnya dengan Gresik atau Tuban. Memang Panarukan lebih kecil daripada Pasuruan, tetapi adanya perdagangan yang terpelihara menyebabkan kehidupan jauh lebih baik. “Barangkali ada baiknya aku ikuti nasihat Tuan,” jawabnya. Dan demikian ia tidak mendarat di Pasuruan Sejak mancai dari Tuban sebenarnya ia bermaksud ke Panarukan Ia hanya hendak menyesatkan nakhoda. Syahbandar Panarukan ternyata bukan Arab, juga bukan Benggala, bukan Koja dan bukan Keling, tetapi Pribumi sendiri, yang berbahasa Jawa, Bali, Melayu dan sedikit Arab. Ia tetap beragama Hindu, la disambut dengan bahasa Arab. Aturan bandar lebih longgar daripada Tuban; Syahbandar mempunyai wewenang memberikan ijin tinggal di dalam ataupun luar wilayah bandar tanpa menghadap bupati atau raja. Setelah mendapat ijin tinggal dan membayar bea untuk barang-barangnya, ia kawal gerobak pengangkut hartabendanya menuju ke kantor dagang Portugis yang sedang dalam pembangunan. Untuk menghadapi pertemuan itu ia berpakaian Portugis dengan tetap bertarbus dan bertongkat. Tubuhnya sudah lebih bongkok daripada tahun-tahun sebelumnya. Kepalanya tak henti-hentinya menengok ke kiri dan kanan, memperhatikan pagar-pagar dari susunan batu karang, dan arca-arca kayu di pojokan perempatan jalan, berdiri megah di dalam bangunan persegi, seakanakan barang-barang dengan mata besar itu sedang mengawasi perempatan. Gapura-gapura juga menarik perhatiannya, terbuat daripada batu merah, dan kadang dihiasi dengan relief. Pada pagar batu itu kadang-kadang terdapat ceruk berisi arca pula. Dan kadang ia menindas tawanya sendiri melihat bentuk matanya yang seperti mata peda. Berbeda dengan di Tuban atau Malaka, pagar di sini menyebabkan rumah-rumah hanya kelihatan sirap atau ijuknya. Dan tajuk nyiur selamanya menaungi pelataran depan dan belakang setiap rumah. Gedung kantor dagang itu belum lagi selesai sepenuhnya. Pagarnya terbuat daripada tembok batu tinggi, tetapi gedung itu terbuat dari kayu dengan nampak batu. Hampir semua tukang adalah Portugis. Di tempat mana pun mereka bekerja, penduduk dewasa, pria atau wanita, berkerumun memperhatikan. Seorang Portugis yang berperawakan tinggi besar mengawasinya sejak grobaknya memasuki pelataran. Dan Tholib dapat melihat orang itu menunjukkan tak senanghatinya akan kedatangan dan kermunculannya. “Oh, Tuan Tholib Sungkar Az-Zubaid,” tegurnya dalam Portugis, “tahu-tahu Tuan sudah ada di sini. Mengapa tak kabar lebih dahulu?” “Rupa-rupanya Tuan kurang senang mendapat kunjungan ini.” “Suatu kehormatan,” jawabnya dengan muka masam. ”Kebetulan sekali ada kamar yang baru saja siap. Tuan bisa segera masuk.” “Apakah aku perlu memperlihatkan suratku?” sambut Tholib menantang. “Tidak, Tuan, bukan maksudku hendak menguji surat dari Malaka itu. Siapa tidak mengenal Tuan?” katanya lagi mencoba agak ramah. “Mari aku antarkan.” Kamar itu baru saja selesai dibersihkan. Lantainya masih kotor. Seorang pria Pribumi yang masih muda datang membawa sapu lidi dan membersihkannya, kemudian memasukkan barang-barangnya dan menumpuknya di sebuah pojokan. Tholib Sungkar sendiri memberi petunjuk bagaimana harus berbenah. Sebuah peti berukir dipisahkan dari yang lain-lain dan selalu berada di dekat bantal. Syahbandar Tuban itu sama sekali tak heran melihat Martinique sengaja memperlihatkan tak senanghatinya. Ia sudah terbiasa melihat pembesar Portugis yang mencemburui kedudukannya, – suatu kedudukan tanpa pengawasan, selalu mendapatkan nafkah pokok dari Portugis dan mendapat tambahan pula dari sangkutpautnya. Lagi pula di dalam kawasan Portugis ia harus diperlakukan dengan baik, sekalipun di luar itu ia berada di bawah setiap orang Portugis. Sekarang ia menggunakan haknya untuk dilayani sebaik-baiknya. Tidak mau bisa mendatangkan kesulitan. Dari dalam kamarnya yang masih berbau kapur itu ia sudah dapat melihat roda kesibukan mulai berputar. Dan semua disebabkan karena kedatangannya. Ia sengaja berlama-lama di kamar untuk memberikan kesempatan pada Martinique menyiapkan ruang-tamu yang patut. Dari jendela ia dapat melihat kesibukan di dapur. Dan taman yang belum lagi siap itu sekarang dikerjakan dengan tenaga Pribumi tambahan. Ia tersenyum-senyum puas. Ia lepas sepatu dan mulai bertiduran, kemudian merancang-rancang apa yang harus ia kerjakan. Tetaplah sudah niatnya hendak kembali ke Malaka dan mengakui kegagalan Portugis di Tuban: bukan karena kesalahannya pribadi tapi karena kelengahan Portugis sendiri, tak juga datang pada waktu terbaik sebagaimana ia pernah sarankan. Sekarang jatuhnya Tuban ke tangan Demak telah melenyapkan arti bandar itu untuk mengukuhkan kekuasaan jalan laut di bagian selatan Nusantara. Tak ada yang dapat menyalahkan bila ia tinggalkan Tuban. Dengan berkuasanya Demak di sana tempat itu kehilangan artinya bagi Portugis. Pada pihak lain gerakan penguasaan atas seluruh Jawa oleh Trenggono telah membantu Portugis dalam menguasai jalan laut di sebelah utara Jawa: hubungan antar Jawa dengan Maluku akan putus sama sekali dan rempah-rempah Maluku akan lebih sedikit datang ke Jawa. Bukan salah dirinya kalau tak berhasil. Perkembangan telah bergerak ke jurusan yang lebih menguntungkan bagi Portugis tanpa bantuannya. Pada akhirnya ia akan bisa pulang ke Ispanya dan menghabiskan hari-tuanya di Andalusia sebagai orang berada tanpa kekurangan suatu apa, kecuali, bila antara Portugis dan Ispanya terjadi pertikaian berdarah lagi. Dan di Andalusia, sebagai seorang Moro, ia takkan dan tak pernah mengalami kesulitan selama ia mengikuti segala yang berlaku di lingkungan hidupnya. Memang ia harus membayar pajak lebih tinggi, memang banyak, terlalu banyak yang menghinakannya hanya karena ia seorang Moro, tapi apa salahnya kalau ia bisa bertenang-tenang pada hari tuanya? Sebagai orang muda ia telah tinggalkan semenanjung lberia. Ia telah tinggalkan anak dan istrinya. Dan ia akan kembali sebagai orang tua yang telah menyelesaikan tugas membantu kebesaran yang sedang berkembang dan membantu menenggelamkan kekerdilan yang sedang menghilang. Itulah yang dinamainya tindakan peneracaan sejarah pada masanya. Waktu pelayan orang Portugis datang ke kamarnya dengan muka memberengut, memberitakan tuan Martinique sudah menunggu di ruang duduk, ia pun kenakan pakaian Portugis terbaik. Terompah ia ganti dengan sepatu. Celananya putih dan bajunya pun putih, dengan kemeja berenda-renda kecil pada lehernya, namun ia tetap bertarbus dan bertongkat. Ia pandangi tubuhnya sendiri pada cermin sambil memberengut juga, memprotes ketuaannya, menegakkan bongkok, kemudian tersenyum senang, bahwa tanpa bongkok ia kelihatan lebih muda. dan berjanji takkan membiarkan dirinya membengkok lagi Ah, berapa tahun sudah diri tak bertemu cermin! Maka dengan badan tegak ia kunci kamar dari luar dan berjalan menuju ke ruang duduk Martinique telah menunggunya sambil menghisap segelintir kecil tembakau yang segera dimasukkan ke dalam kantong lagi. “Nampaknya Tuan ada keperluan penting,” Martinique memulai, dan memperlihatkan wajah cerah. “Bukan hanya penting, bahkan tak dapat ditangguhkan.” ‘Tentu saja. Barangkali ada yang dapat kuperbantukan ?” “Pasti Tuan akan dapat membantu aku dengan sebuah tempat yang sebaik-baiknya, di kapal yang pertama-tama menuju ke Malaka.” Tentu itu suatu hal yang mudah, asal Tuan sudi mengatakan dengan kapal Portugis atau bukan.” ia kelihatan lega mendengar itu, “Hanya soal tempat di kapal itu saja, Tuan?” “Untuk sementara.” “Kalau begitu Tuan punya tugas lain.” Syahbandar Tuban itu tertawa mengancam. “Kalau begitu bersenang-senanglah Tuan di Panarukan ini. Dalam beberapa hari ini mungkin akan tiba kapal dari Timor untuk terus ke Malaka,” ia menajamkan kewaspadaan. Bertanya lagi, “Kata orang Demak terus mendesak ke timur. Benarkah itu. Tuan?” “Kira-kira berita itu ada benarnya.” “Mungkin Tuban akan jatuh?” ”Terlalu sulit untuk bisa menjatuhkan Tuban. Kalau Tuban mau. Demak bisa dipukul dalam beberapa minggu.” “Oh.” “Jadi Tuan menduga aku datang ke mari karena melarikan diri? Suatu dugaan yang jahat.” “Tak ada aku punya dugaan seperti itu.” Mata tua Tholib menembusi mata bening tuan rumah dan mencoba menyusupi otaknya. “Seperti matari yang tenggelam sekarang ini, demikian juga Demak akan tenggelam di sebelah barat sana. Tuan Martinique. Boleh jadi Tuban dalam pertempuran akan bisa terdesak sementara belum dapat menemukan bentuk pertahanan yang tepat, tapi sesudah itu kekuatannya akan jadi berlipat ganda dan tak dapat dibendung lagi.” “Sekiranya yang sebaliknya yang terjadi?” “Maksud Tuan kalau ramalanku meleset?” “Bukan meleset, Tuan Tholib. Tentu ramalan Tuan pasti tepat. Tapi sekiranya, kataku, sekiranya kejadian justru tidak mengindahkan ramalan Tuan? Kalau Tuban yang jatuh?” “Lihat, Tuan. Itu bisa saja terjadi. Jatuhnya Tuban berani jatuhnya seluruh bagian tempur Jawa ini. Dan kantor Tuan yang bagus bergeladak tebal ini, belum juga selesai, akan segera kena landa juga. Laut dan darat Jawa akan tertutup bagi Portugis,” Tholib tertawa menggigit. “Lagi pula. Tuan Martinique, siapa sebenarnya punya pikiran membuka kantor di sini?” ‘Tentu ada,” jawab tuanrumah gelisah, “aku hanya menjalankan perintah.” “Kira-kira tidak begitu, Tuan. Aku pun punya tenaga di kerajaan Blambangan ini. Berdasarkan keterangan dia telah aku sarankan ke Malaka, agar pekerjaan di sini tidak diteruskan. Panarukan hanya baik untuk menguasai jalan laut Nusa Tenggara, sedang untuk itu cukup di Timor. Tuan sebagai bekas nakhoda bukankah dapat membenkan saran pada Malaka?” “Apakah artinya aku ini?” “Jawablah Tuan, itu menunjukkan Tuan ada kepentingan pribadi dengan Panarukan.” “Itu tidak benar.” “Boleh jadi, tetapi aku akan bikin penyelidikan yang teliti. Tuan Martinique. Siapa pun melihat betapa bagusnya istana Tuan ini, rasa-rasanya Tuan sendiri yang mengusulkan, agar Tuan dapat hidup bersenang dan bertenang di sini di luar segala pengawasan.” “Dan Tuan tidak memperhatikan kerajaan-kerajaan Bali di sebelah sini.” “Bali tidak akan menyerang Jawa. Dia kasa menyerang hanya ke seabelah lebih timur, dengan penduduk lebih sedikit. Maka itu untuk ke sekian kalinya Timor juga yang lebih penting dari Panarukan. Jadi bagaimana Tuan usulkan pada Malaka?” ”Tiada sesuatu.” “Mungkin Tuan lupa, aku bukan hanya menuju ke Malaka, juga ke Luboa!” “Itu terserahlah pada Tuan Tholib sendiri.” “Jangan Tuan marah.” “Pastilah setiap orang Portugis akan marah bila merasa disinggung kebesaran negerinya.” “Apalah gunanya marah karena merasa kebesaran negerinya tersinggung, sementara itu membiarkan din dungu dalam mengurus kebesaran itu? Untuk apa marah kalau hanya hendak mencari jalan membalas dendam?” “Apalah gunanya kita bertengkaran begini? Aku akan berusaha keras menghindari usaha-usaha Tuan mencari dalih untuk bertengkar. Biar pun, ya, biar pun Tuan hanya seorang Moro.” Dan Martinique tahu benar, sebagaimana halnya dengan pejabat-pe-jabat Portugis di perairan selatan, bahwa Moro yang seorang ini adalah pelapor ulung yang jarang bandingan. Banyak di antara laporannya mencelakakan pejabat, tak ada yang menguntungkan. Sedang Malaka juga membutuhkan dia untuk menjaga agar pejabat-pejabatnya di darat tidak lengah karena kemakmuran dan kesenangan karena dimanjakan oleh raja-raja Pribumi. “Justru hanya seorang Moro, Tuan Martinique, dia lebih mengetahui kebutuhan Portugis. Dia dapat melihat dan mengerti lebih baik. Lihat, apakah perlunya membikin kantor di sudut dunia tanpa lalulintas besar ini? Tentu Tuan pernah mengusulkan, Tuan sendiri, dari Panarukan Jawa bisa dikendalikan dan timur, dari Sunda Kelapa dari Barat!” “Jangan Tuan berlarut-larut menyinggung perasaanku. Tuan tidak punya wewenang untuk memeriksa pribadiku. Ada kekuasaan lain. Setidak-tidaknya bukan seorang Moro. Terlalu banyak orang Portugis yang pandai, seratus kali daripada Tuan.” “Tentu saja. Tapi apa yang Tuan katakan padaku juga penting untuk Malaka.” “Kapal Tuan akan datang dan katakan semua itu di Malaka sana nanti apa yang jadi kemasgulan Tuan. Aku tak suka Tuan campuri dalam soal Panarukan ini.” ”Tuan jangan salah mengerti, Tuan Martinique, bagiku tak ada guna mencari kesulitan dengan Tuan. Aku bicara hanya tentang kepentingan Portugis. Sebagai orang Portugis tentunya Tuan berterimakasih ada orang bukan Portugis, malah orang Moro begini, punya pikiran dan usaha untuk kebaikan Portugis.” Martinique tak dapat lagi menenggang kata-kata yang penuh hukuman terhadap dirinya itu. Dan ia memang tak dapat berbuat sesuatu apa terhadap Moro kepercayaan Malaka ini. Justru karena dia bukan Portugis, kata-katanya didengarkan oleh Malaka, keselamatannya dijaga dan permintaannya dikabulkan, biar pun hanya berupa lima atau sepuluh ons kopi. Orang bisa melakukan sesuatu kekerasan terhadapnya. Mudah untuk melakukannya. Tetapi orang bisa takkan melihat tanah-air kembali dan salah-salah bisa tak melihat pepohonan lagi. Ia tak dapat melakukan sesuatu kekasaran. Kedatangannya berarti ancaman terhadap kedudukannya di Panarukan. Martinique sendiri memang punya banyak kelemahan di hadapan Tholib Sungkar Az-Zubaid. Di pojok pulau Jawa yang tenang dan damai ini ia tak perlu menghadapi perang laut ataupun darat. Ia lebih suka bersahabat dengan raja Blambangan Giri Dahanapura. Bahkan dengan Patih Udara ia mempunyai hubungan baik. Di sini, dapat sedikit menyenangkan raja, ia akan memperoleh yang ia inginkan. Tak ada orang Portugis lain yang lebih tinggi kedudukannya. Dari Sri Baginda Girindra Wardhana yang telah tua itu, ia mendapat bantuan dua ratus orang untuk pekerjaan membakar kapur dan batu bata dan membantu pembangunan kantornya. Dan semua dapat ia perhitungkan dalam nilai uang, dan Malaka harus membayarnya. Keluarganya di negeri Portugis sana terjamin. Dan benar sekali kata Tholib Sungkar tak ada pengawasan terhadap dirinya di sini. Dan justru karena semua itu ia tersinggung. Tholib ini pasti akan bersuara di Malaka sana. Ia pasti akan ditarik dan Panarukan dan kembali memasuki dinas lama. Mungkin seorang baru akan datang menggantikannya. Mungkin kantor ini akan dibatalkan sama sekali dan ditinggalkan. Dalam hati ia membenarkan cerita banyak teman-temannya: orang akan jadi jengkel, gelisah, marah dan ingin membunuh si hidung bengkung ini, tapi tak berani. Sebaliknya si Moro yang seorang itu terus juga bawel, cerewet, sikapnya tenang-tenang dan tak malu-malu memperlihatkan diri sebagai seorang penjual jasa terbaik bagi Peranggi. Dan Malaka dan Goa memang mengakui jasa-jasanya dalam membangunkan kekuasaan atas jalan laut dan dalam membangunkan monopoli perdagangan rempah-rempah, baik dengan jalan kekerasan, persahabatan, perang, melihat ataupun diplomasi, la termasuk salah seorang perancangnya. Martinique telah mempersiapkan jalan untuk melakukan pembalasan dendam atas nama sejawat-sejawatnya, dan ia akan kaget! tamunya ini dengan dendamnya. Tholib takkan mungkin akan bisa membalas. Maka dalam beberapa hari itu ia jamu tamunya dengan baik. Menghalangi si Moro irri berlayar ke Malaka adalah suatu perbuatan yang tidak mungkin. Dia mengetahui lalulintas kapal-kapal Portugis, dan Tholib pun terkenal punya kebiasaan menempuh banyak jalan untuk menghubungi Malaka, surat-surat, utusan atau kunjungan pribadi. Dan bila ia ke Malaka bukan tidak berarti jalanjalan lain tidak ditempuh. Orang harus berpikir beberapa kali bila toh hendak membinasakannya di laut, karena suaranya toh akan datang juga ke Malaka. ‘Tidakkah Tuan ada keinginan untuk mengunjungi Saudara Cortez?” pada suatu hari Martinique membuka perangkapnya. “Ia telah berhasil membuka rumah perawatan di peluaran Panarukan, suatu jarak yang patut ditempuh untuk berjalan-jalan.” Syahbandar Tuban itu sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan segala macam rumah perawatan di atas dunia ini. Perhatian pun ia tak punya, la tak menanggapi. “Barangkali ada juga baiknya,” Martinique menyarani. “Tuan mengenal baik Rodriguez, bukan?” Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid yang besar itu memancarkan pandang curiga pada tuanrumah. “Tentu ada baiknya,” Martinique menemukan, “bukan saja karena Rodriguez, rumah perawatan itu patut juga dilihat, lagi pula Saudara Cortez adalah paman Rodriguez.” “Rodriguez yang mana?” “Siapa lagi kalau bukan si pelarian itu? Tuan justru yang lebih mengenalnya.” ‘Tidak, aku tak kenal.” “Aa, nampaknya Tuan sudah agak lupa. Bukankah Tuan sendiri yang menyuruh Yakub membawanya ke kapal dalam keadaan terbius dan terikat?” Ia pura-pura tak melihat tamunya nampak agak gugup dan membetulkan letak tarbusnya. “Mungkin Tuan bisa memberinya sedikit keterangan tentang Rodriguez. Ia dipesan oleh adiknya, ibu si pelarian itu.” Tamu yang terbend itu tidak mengerti mengapa ia menuruti saran tuanrumah, dan pada suatu pagi ia tinggalkan kantor pergi ke luar kota. Martinique mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Melihat tamunya agak ragu-ragu, ia memberanikan: “Tak ada yang perlu dikuatirkan di sini. Tuan. Seluruh Blambangan ini sama aman, mungkin lebih aman daripada Lisboa atau Madrid. Tidak seperti di daerah-daerah Islam sana. Malahan di sini tak pernah ada pasukan peronda, tak ada hermandad yang nyinyir dan lancang tangan. Tuan bisa berjalan senang dan aman sampai ke luar kota sana ” Syahbandar Tuban itu berjalan, tertindih oleh bongkoknya sendiri, bertelekan pada tongkat. Sepanjang jalan, pagar dari susunan batu karang itu juga yang kelihatan, rapi menarik dilepa dengan tanah liat. Arca-arca yang mengawasi perempatan jalan itu ia tetap tak tahu namanya. Martinique pun tidak tahu. Sekali ia memerlukan memperhatikan. Arca itu berdiri di bawah atap ijuk dan semua bangunan di bawahnya merupakan umpak tempatnya berdiri, setinggi barang lima meter. Sesajian bunga-bungaan dan beras berserakan pada ke empat pojok umpak. Para gadis berjalan bebas bertelanjang dada seperti di pedalaman Tuban sana. Anak-anak kecil berlarian di jalanjalan telanjang bulat seperti monyet. Dan hampir semua lelaki bertelanjang dada dengan keris tersandang pada pinggang. Nampaknya semua lalulalang mengagumi tarbusnya yang berjumbai lentur ke bawah, hidungnya yang bengkung, bongkoknya yang tidak indah dan terompahnya yang berat. Apa saja yang pernah dilihat orang Blambangan ini dalam hidupnya, pikirnya. Beberapa kali ia melihat wanita tua ditandu atau seorang pemuda bangsawan memperagakan diri di atas kudanya. Dan ia tertawa dalam hatinya melihat kuda mereka yang kecil lagi kurus dan tidak jarang berpenyakit kulit. Dengan pandang sekilas ia dapat membedakan mana ningrat mana bukan sekalipun sama-sama bertelanjang dada. Antara satria dengan petani terdapat perbedaan sikap dan tingkah-laku terlalu besar. Dan sering ia mengherani betapa perbedaan bisa terjadi hanya karena kelainan tempat dilahirkan dan dikandungkan. Perbedaan yang menggelikan. Sangat sedikit orang bisa Melayu di sini dibandingkan dengan di Tuban. Dan pada umumnya orang tertawa mendengarkan ia berbahasa Jawa Tuban. Tetapi ia tidak peduli dan meneruskan jalannya. Rumah perawatan yang dimaksudkan telah nampak dari jauh. Pelataran depannya terbuka tanpa pagar. Pada pintu depan dipasangi dengan salib besar dari kuningan, mengkilat dengan paku-paku kuningan pula dengan kepalanya yang setengah bulat. Dan pintu itu nampaknya selalu tertutup. Orang luar tak dapat melihat ke dalamnya. Ia berpaling ke belakang waktu mendengar langkah orang yang sedang lari. Tak jauh di belakangnya dilihatnya seorang wanita lari sambil menggendong anak yang kotor dan telanjang. Kainnya diangkatnya naik sampai ke paha. Wajahnya kemerah-merahan oleh kelelahan. Ia mundur beberapa langkah. Dan wanita itu tak mempedulikannya, lari terus dengan kencang. Di belakangnya lagi serombongan kecil orang memburunya sambil berseru-seru dalam bahasa Jawa setempat “Pogoh! Balik! Pulang1 Serahkan dirimu pada para dewa. Pogoh! Jangan ke situ!” Ia dengar nafas wanita itu terengah-engah dan melewatinya. Rambutnya terurai jatuh dari sanggul. Para pengejarnya semakin dekat juga. Dan nampaknya mereka sudah lari menempuh jarak yang tidak pendek. Beberapa orang di antaranya sudah mulai tak mampu lari lagi. Semua lebih tua daripada perempuan menggendong yang dipanggil Pogoh, laki dan perempuan. la lihat Pogoh masuk ke pelataran rumah perawatan, langsung menuju ke pintu bersalib kuningan, berteriakteriak dan menggedor-gedor dengan kedua tangannya. Pada salah seorang pengejar Syahbandar itu bertanya dalam Jawa: “Ada apa ini?” Seorang lelaki menghampiri dan meludahi mukanya: “Kalian orang Peranggi busuk, di mana-mana mengganggu kami!” tuduhnya. la berhenti menghadapi Tholib. Dan Tholib menyeka mukanya dengan selembar setangan putih. “Jangan keliru!” raung Tholib, dan mengangkat tongkat. “Aku pendatang baru.” “Baru atau lama semua Peranggi sama saja!” ia meludah lagi dan lari meneruskan pengejaran, menggabungkan diri pada yang lain-lain. “Keparat!” Syahbandar memekik, mengamangkan tongkat dan menyeka mukanya. Di sana pintu bersalib itu terbuka. Seorang lelaki Portugis berpakaian pelaut memunculkan kepala dari kiraian pintu, melihat pada Pogoh, kemudian melihat pada para pengejarnya. Ia keluar dari pintu, mengembangkan kedua belah tangan seakan sedang menghalangi serbuan para pengejar. Dan Pogoh berlindung di balik punggung orang Portugis. Para pengejar tak berani menangkap perempuan itu. Tholib Sungkar mempercepat jalan, dan tak lama kemudian juga sampai di depan pintu bersalib itu. “Jangan sentuh dia, Pogoh,” pinta para pengejar itu di hadapan orang Portugis itu. “Jangan masuki rumahnya. Jangan. Jangaaaaan!” pekik seorang wanita setengah baya. Syahbandar berdiri di belakang para pengejar itu, terengah-engah. “Lindungi sahaya, Bapa,” pinta Pogoh dari belakang punggung Portugis berpakaian pelaut itu. “Masuk cepat ke dalam,” perintah Portugis itu sambil sedikit menengok padanya. Tetapi Pogoh tak berani masuk. Portugis itu mendorongnya dengan kakinya dan hilang di balik pintu. ”Ugh” “Kembalikan Pogoh kami. Bapa,” wanita setengah baya itu meratap. Tak ada di antara para pengejar berani memasuki pintu bersalib itu. Bahkan melalui Portugis yang seorang itu pun tak berani. “Sahaya bapaknya, Bapa, sahaya berwenang menyelamatkan dia,” lelaki yang meludahi Tholib itu membela haknya. “Kau takkan selamatkan dia,” bantah Portugis itu dalam Jawa setempat. “Kau dan kalian hanya akan aniaya dan bunuh dia. Sudah kuterima Pogoh dalam perlindunganku. Pergi kalian dengan damai. Jangan lewati pintu tanpa ijin dan tanpa wewenang seperti diajarkan oleh leluhur kalian sendiri. Jangan ganggu ini rumah orang lain, yang bernyawa atau tidak, seperti ajaran leluhur kalian sendiri juga. Pulang! Pulanglah dengan damai.” “Pogoh, Bapa,” wanita itu mengulangi ratapannya. “Pada suatu kali Pogoh akan kembali pada kalian, dalam keadaan lebih baik dan lebih berbahagia.” “Anak sahaya. Bapa,” wanita itu merengek, “juga cucu sahaya. Bapa.” “Pulang! Semua pulang! Jangan-jangan Sri Baginda mengetahui ini dan menghukum kalian,” ancam Portugis itu. Dengan ragu-ragu para pengejar meninggalkan pelataran, menyumpah-nyumpah. Melihat Tholib berdiri di situ orang lelaki setengah baya itu meludahi lagi ditambah dengan sumpahan. Syahbandar mengayunkan tongkat dan si peludah tidak menggubrisnya, malahan meludahinya lagi. Sekali ini ke tanah. Dan sekali lagi Tholib terpaksa mengeluarkan setangan dan menyeka muka. Portugis berpakaian pelaut itu masih berdiri di depan pintu di bawah salib kuningan waktu Syahbandar itu datang padanya dan mengulurkan tangan. “Selamat pagi, saudara Cortez,” katanya dalam Portugis. Cortez mengawasi Portugis kehitaman itu sejenak, mengamatinya dari kaki sampai ke tarbus, tersenyum terpaksa berkata: “Selamat pagi. Siapakah yang aku hadapi?” “Syahbandar Tuban, Saudara Cortez.” “O-ya, Tuan Syahbandar Tuban. Sudah beberapa hari ini aku ingin menemui Tuan sebelum berangkat ke Malaka. Mari masuk.” Mereka masuk. Cortez menutup pintu dan terhenti berdiri. Kakinya dipeluk oleh Pogoh yang bertelut di lantai, sedang anaknya sedang merangkak-rangkak. “Lindungi sahaya, Bapa.” “Apakah semua ini, Saudara?” tanya Syahbandar dalam Portugis. “Hanya kejadian sehari-hari,” kemudian dalam Jawa pada Pogoh: “Kau sudah dalam keadaan dilindungi di sini. Pogoh namamu, bukan?” Syahbandar menebarkan pandang selintas. Ruangan besar itu dapat dikatakan kosong dari perkakas. Beberapa orang wanita sedang bekerja membersihkan lantai dan dinding, semua dari kayu. Melalui pintu dalam ia lihat wanita dan hanya wanita atau bayi. “Semua perempuan,” katanya kemudian. “Bangunlah kau, Pogoh,” kata Cortez dalam Portugis. Pogoh yang menengadahkan muka itu nampak bermandi airmata. “Bangun, kau!” Tholib Sungkar Az-Zubaid menjawakan. “Makhluk celaka di negerimu sendiri ini,” kata Cortez dalam Jawa pada Tholib Sungkar. “Seperti Pogoh ini,” Ia menuding pada wanita itu. “Lari dari bangsanya sendiri. Yesus Maria! Celaka bertubi celaka, suami meninggal dan sebagai janda ia harus dibakar untuk mengikuti roh suami.” “Bukan sahaya menolak mengikuti suami sahaya,” Pogoh memprotes. “Bangsa kafir, jahil celaka,” kata Syahbandar dalam Portugis. “Ada yang lari ke mari dalam keadaan bunting tua,” kata Cortez dalam Jawa. “Allah Bapa, melindungi.” “Sahaya tidak bunting, Bapa,” protes Pogoh. “Bangkit kau berdiri.” perintah Cortez pada Pogoh dalam Portugis. Bayi yang merangkak-rangkak itu kembali pada ibunya dan menangis minta dada. Dan Pogoh mengambil anaknya dan menyusuinya. Ia berdiri membungkuk, mengawasi lantai dan memprotes dengan suara sangat lemah sehingga baik Cortez maupun Syahbandar mencangkung untuk dapat menangkap: “Bukan sahaya kurang atau tidak berbakti pada suami. Bukannya suami kurang kasih dan sayang pada sahaya. Cuma sahaya tak ada keberanian melompat ke dalam api, meliuk-liuk dan menyeringai, kemudian jadi arang dan debu kelabu tiada bentuk. Sahaya selalu ingat pada anak sahaya yang seorang ini Siapa nanti akan menyusui dan merawatnya.” ‘Takkan ada orang akan mengambil kau dari sini tanpa semaumu sendiri,” Cortez meyakinkan. Kau berada di tengah-tengah saudara-saudarimu sendiri. Hidup dan bekerja dengan mereka.” “Anak sahaya, Bapa.” “Anakmu juga selamat di sini.” “Sahaya lari dari api karena anak ini.” “Beristirahat kau barang dua-tiga hari. Tenangtenangkan hatimu.” “Kau masih akan punya anak lagi,” kata Syahbandar. Cortez memandangi Syahbandar untuk mencegahnya ikut campur. Yang dipandangi merasa diberanikan, dan meneruskan: “Dan seorang lagi, dan seorang lagi….” “Sahaya orang baik-baik. Bapa. Bukan untuk beranak dan beranak sahaya larikan diri dari suami-dewa sahaya.” “Diamlah Tuan,” kata Cortez dalam Jawa pada Syahbandar. “Diamlah kau,” kata Tholib dalam Jawa pada Pogoh. Cortez nampak tak bersenang hati melihat campurtangan tamu tak diundang itu dan menyorong Pogoh menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian pintu dalam itu ia tutup. “Banyak yang dapat dituai di negeri jahiliah begini,” Syahbandar memulai. “Bukan, Tuan Syahbandar, kami baru membuka ladang. Menyebar benih pun belum.” “Bagaimana rencana Tuan dengan mereka?” “Ummat Nasrani makin lama makin banyak datang dari segala pojok dunia untuk menjenguk Panarukan. Kapalkapal Portugis mengarungi semua samudra. Pada suatu kali barangkali mereka akan kunjungi juga tempat ini dan berangkat dengan mereka sebagai domba Kristus. Anakanak yang dibesarkan di sini akan mengembarai bumi tumpah darahnya membawa terang pada bangsanya….” Tak ada sebuah kursi pun di dalam ruangan itu. Dan wanita-wanita pekerja itu telah masuk semua ke dalam. Syahbandar membelokkan percakapan pada maksud kedatangannya. “Adapun tentang Rodriguez, kemenakan Saudara Cortez, tentara Tuban telah membunuhnya. Mayatnya dihancurkan dan dibuang ke laut. Itulah yang dapat aku beritakan dengan dukacita kepada Saudara.” “Yesus Maria!” sebut Cortez dan membuat salib dengan jarinya. “Benarkah Tuan ini?” ‘Tidak ada yang lebih benar daripada itu, Saudara.” “Tuan mengetahui betul?” ‘Telah aku bikin penyelidikan yang teliti.” ‘Tentu Tuan mengetahui betul. Manakah yang benar. Tuan. Di Pasai sana orang mengabarkan bukan tentara Tuban yang membunuhnya, walau pun dia dan temannya memang dijatuhi hukuman mati. Jelas tentara Tuban memang akan membunuhnya,” ia pandangi Syahbandar itu seakan baru saja dilihatnya. “Tuan Syahbandar Tuban, bukan?” “Tidak keliru, Saudara.” “Sayid Habibullah Al-Masawa, bukan?” “Benar, Saudara Cortez, Sayid Habibullah Al-Masawa.” “Alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi, bukan?” Syahbandar Tuban ragu-ragu. Matanya mengerjapngerjap dan pegangannya pada hulu tongkatnya diperkukuh. Ia tak menjawab. Pertanyaan itu dirasainya mengandung maksud buruk. “Alias Tholib Sungkar Az-Zubaid, bukan?” Cortez meneruskan. “Ya, itulah kata orang di Pasai sana, orangorang Portugis, maksudku. Mengapa Tuan diam saja?” Melihat tamunya menjadi curiga dan waspada dan bersiapsiap hendak melakukan sesuatu, ia meramahkan wajah dan tersenyum ikhlas meneruskan: “Melalui nakhoda kapal Lisboa – tentu Tuan masih ingat kapal itu, bukan? – melalui nakhodanya, Malaka telah menebus pada Tuan untuk harga kemenakanku dan temannya bernama Esteban. Benar begitu, bukan?” Nafas Tholib Sungkar terengah-engah seperti habis mendaki gunung, sedang bongkoknya naik-turun kembangkempis seperti insang ikan di darat. “Mengapa Tuan diam saja? Yesus Maria! Beginilah macamnya seorang pembunuh? Keluar! Mengotori tempat ini dengan kehadiranmu? Penjahat paling hina yang pernah ada di atas bumi. Orang tak kenal azas!” Dan Syahbandar itu masih kehilangan kepribadiannya. Matanya kelap-kelip memandangi penuduhnya yang kehabisan kata-kata, menge-bas-ngebaskan jari-jarinya dan masuk ke dalam melalui pintu dalam. “Astagafirullah!” sebut Tholib kemudian. Dengan perasaan kacau-balau ia keluar dari rumah pemeliharaan dan langsung pulang ke kantor dagang Portugis. Sampai di dalam bilik hatinya masih juga penasaran. Perkara itu nampaknya telah diketahui oleh orang-orang Peranggi di Pasai, dan barang tentu di Malaka juga, di Goa dan Malabar, di Madrid dan Lisboa juga, menjalar juga kira-kira di Maluku: Tholib Sungkar Az-Zubaid telah menerima uang tebusan buat dua orang Portugis pelarian, kemudian ia sendiri yang membunuhnya. Memang benar ada saksi yang menyerahkan pelarian-pelarian itu, ada saksi juga yang melihat ia menerima uang tebusan. Itu saja mungkin belum begitu. Tapi berita ia telah membunuh mereka? Membunuh orang Portugis – Moro membunuh orang Portugis? sekaligus dua? Dan sekarang ia merasa menyesal tidak membantah Saudara Cortez berdepan-depan. Kalau begitu Martinique barangkali juga mengetahui. Tidak, Martinique berada dalam kekuasaanku karena sekandal Panarukan ini. Sekali kubuat laporan dia akan jatuh merangkak-rangkak seperti kepiting laut di debuan bekas kebakaran. Ia dengar-dengar suara ramai di depan kamarnya. Tak salah: suara Martinique. Dan ia merasa kecut untuk keluar. Kalau semua orang Portugis tahu siapa pembunuh mereka, negeri Portugis dan Ispanya takkan mungkin lagi dapat diinjaknya. Dengan senang hati baik pedang Peranggi maupun Ispanya akan berjatuhan pada tubuh seorang Moro terbenci. Akan runtuhlah sisa hidup di hari tua? Ia merasa Martinique memang sengaja mondar-mandir di depan kamarnya. Maka ia sambar tongkat dan pergi ke luar. Ia akan bertahan, Bertahan! “Aa, Tuan Tholib Sungkar!” seru Martinique dengan suara bernada kemenangan. “Mari duduk-duduk. Hari ini ada borongan, Tuan, lain dari yang lain. Satu partai kulit macan dari raja Klungkung di Bali sana,” ia menuding ke arah pulau Bali. “Aku ada rencana untuk Malaka, Tuan. Biar mereka persembahkan kulit-kulit ini sebagai permadani bawah peraduan, persembahan ke bawah duli Sri Baginda dan Sri Ratu. Tak bakal ada raja di seluruh Eropa berpermadani kulit macan. Bayangkan, Tuan.” “Rupa-rupanya Tuan tak pernah dengar tentang istana Ispanya. Sudah sejak jaman khalifah kulit singa Afrika dengan kepala utuh sudah dipergunakan untuk lapik bercengkerama, berdeklamasi, berbicara tentang obatobatan baru…” “Setidak-tidaknya bisa dijual ke Paris atau Wina.” Tholib Sungkar tertawa meremehkan. Martinique menutupi kekalahannya dengan menetakkan persoalan baru: ‘Tentu Tuan disambut dengan gembira oleh Saudara Cortez. Orang menganggap, bahwa Tuanlah yang tahu betul tentang nasib Rodriguez dan temannya itu. Siapa pula namanya? O, ya, Esteban. Aneh, orang-orang Portugis dengan nama Spanyol. Ah-ya, mungkin saja.” “Aku tak tahu tentang itu.” “Mengapa Tuan terburu-buru ke rumah Saudara Cortez seperti mendapat panggilan dari seorang kekasih? Dan mengapa Tuan begitu buru-buru pulang seperti diburu macan?” Syahbandar Tuban megap-megap sebentar. Ia raba dadanya. Rupanya aku sudah tua, pikirnya. Syarafku mulai begini lemahnya. “Baiklah kalau Tuan tak suka membicarakan soal pembunuhan itu. Tentang menerima tebusan itu mungkin mau. Rupa-rupanya Tuan kurang periksa, tidak lain dari aku yang mengurus pelarian-pelarian itu waktu diserahkan oleh Yakub ke kapal.” Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. “Kapal Tuan akan datang lusa, dan akan berangkat pada hari itu juga. Malaka akan bersorak-sorai menyambut Tuan. Bukan sebagai penerima tebusan yang hina itu, lebih dari itu, sebagai pembunuh dua orang Portugis!” “Seorang pengabdi Portugis takkan membunuh Portugis,” bantah Tholib. “Sia-sia, Tuan. Tuan kira waktu itu Tuan seorang diri di dermaga Tuban? Ada seorang saksi ketika kilat memancar dan Tuan tikamkan isi tongkat Tuan itu,” ia menuding pada hulu gading tongkat tamunya, “pada salah seorang di dalam krangkeng besi itu. Perlukah saksi itu dipanggil?” ‘Tidak, tidak ada saksi seorang pun. Dermaga sunyi!” bantah Tholib. Martinique tertawa terbahak. Dan Tholib menjadi pucat setelah ucap-annya sendiri yang terakhir. Ia ketahui tangannya gemetar dan dalam hati ia mengutuki syarafnya yang telah jadi begitu lemah. “jadi betul Tuan ada di dermaga waktu itu. Dan Tuan mengira tak ada saksi. Mengapa Tuan jadi pucat? Karena Malaka telah menunggu Tuan? Dengan tiang gantungan?” “Coba Tuan terangkan’ Syahbandar itu berlunak-lunak, “bagaimana Tuan sampai pada pikiran aku membunuh mereka?” “Begini saja, Tuan, mintalah keterangan itu di Malaka sana. Pasti Tuan akan merasa puas.” “Baik!” jawabnya untuk memutuskan persoalan yang tak menyenangkan itu. “Bersama dengan kulit macan dari Bali itu.” Tetapi Martinique belum lagi puas dalam membalaskan dendamnya. Ia masih harus melepaskan anak panahnya: “Ingatkah Tuan pada seorang pewarung di bandar Tuban yang bernama… ah, siapa pula namanya itu, oh, ya, Yakub,… bukanlah dia juga yang mengantarkan pelarianpelarian itu di kapalku dulu? Ya-ya, Yakub namanya. Dengarkan Tuan, pada suatu kali dia ingin juga kembali melihat warungnya. Dia berdayung memantai dari timur, sampai di dermaga naik, kilat menyambar, dan melihat Tuan, tidak lain dari Tuan Syahbandar Tuban bermain pisau tongkat…. Itulah dia si Yakub pelarian. Dan tongkat di tangan Tuan itulah yang Tuan mainkan. Berani bertaruh, dalam tongkat Tuan itu ada pisaunya,” “Semua orang tahu, pewarung arak selalu menipu.” “Dan Tuan selalu bersedia membayar tipuannya, bukan? Aku juga membeli dari dia seperti Tuan.” “Baiklah, kita sama-sama korban penipu yang seorang itu, ia berdiri dari tempat duduk pura-pura tidak menderita cedera pada pedalaman dirinya. “Siapkan kulit-kulit macan Tuan, biar aku kawal ke Malaka.” Ia melangkah ke arah biliknya kembali. Betapa hebat orang itu menakut-nakuti! Perintah penangkapan tak pernah dia keluarkan. Uh, mudah benar aku ditakut-takuti. Kalau dia merasa benar, dia tak perlu menakut-nakuti, dia akan biarkan aku berlayar ke Malaka.” Dan sesungguhnya ia takut juga. 0o-dw-o0 Pada hari yang telah ditentukan Martinique mengantarkan tamunya ke pelabuhan. Kulit-kulit macan telah dimasukkan ke dalam kapal. Barang-barang Tholib Sungkar masih menumpuk di dermaga. Syahbandar itu nampak kurus dan gelisah. Pipinya cekung tergantung dan matanya suram. Jalannya lambatlambat seakan bongkoknya, menjadi dua puluh kali lebih berat. Keributan kecil tiba-tiba terjadi di dermaga. Lambatlambat ia berjalan mendekati bersama Martinique. Dalam sebuah lingkaran berdiri seorang pelaut Pribumi yang bicara lantang pada para pendengarnya: “Pada hari ke dua, teman-teman. Banteng Wareng dari pasukan kuda Tuban menghalau Demak dari Tuban. Ia tidak rela pasukannya jadi tertawaan umum. Bukan main Banteng Wareng. Demak mundur dan maju lagi lusa harinya, seperti air banjir membongkar tanggul Banteng Wareng terdesak ke timur. Tetapi sebelum sampai ke kota. Kala Cuwil Patih Tuban Sang Wirabumi dengan pasukan gajahnya memotong dari selatan. Air banjir Demak patah di tengah seperti saluran kejatuhan sekaten. Pasukan pengawal Tuban menceburkan diri di dalam kancah. Kemudian pasukan kaki Tuban memukul dari luar Tuban. Hampir-hampir Trenggono tertangkap hidup-hidup oleh pasukan kaki. Dengan kakinya sendiri ia lari tunggang-langgang menerjang-nerjang, hilang di dalam semak-semak. Hebat benar Tuban! Banteng Wareng! Kala Cuwil! Rangkum! dan Braja! Tanpa raja! Kami akan balik ke Tuban hari ini. Hari ini juga. Siapa ikut boleh turut!” “Aku ikut!” seru Syahbandar Tuban. “Pindahkan barang-barang ke dalam perahumu!” perintahnya. ‘Tuan tidak jadi ke Malaka?” tanya Martinique. Tholib Sungkar Az-Zubaid tak menjawab, dan orang mulai memindahkan barang-barangnya ke sebuah perahu layar Tuban. “Bedebah!” maki Martinique. Syahbandar Tuban buru-buru turun ke perahu Tuban. 0odwo0 37. Panjang – Jayakarta Bulan Juli 1527 Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran melalui kepulauan Seribu, gugusan pulau yang tersebar antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan keduanya mendayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di daerah perairan sini. Semua lari menghindarkan diri dari armada Jepara-Demak. Di hadapan mereka nampak gunung-gemunung pulau Sumatra, di belakang mereka gunung-gemunung pulau Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar surya dari sebelah barat. Kebetulan laut pun sedang tenang. Air nampak biru dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada permukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara sebentar menghasilkan ikan ekor kuning, sedang yang dipasangi dengan baling-baling bulu ayam putih menghasilkan layur. Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau kecil tanpa penduduk. Dunia berisikan kesukaan semata. Dan sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh. Dengan demikian pulau demi pulau disinggahi atau dilewati. “Mengapa kau tak pernah bercerita?” Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan tangan, memandanginya sambil tersenyum dan membuang muka. Ia mulai mendayung lagi. Wajahnya kemerahmerahan seperti buah tomat menjelang matang. “Tentu karena ingat pada rumah,” desak Pada. “Mereka sekarang tak ada di rumah lagi, Gusti,” jawabnya dengan suara dan lagu menyanyi bening itu. “Mereka semua telah melarikan diri masuk ke hutan-hutan.” “Ya, Gusti, karena kita lari. Mereka akan menerima hukuman dari Sri Baginda. Karena patik lari. Mereka akan dihukum oleh Sang Patih Narogol.” “Mereka akan dapat menangkap kasut kami.” Sabarini mendengus tertawa. “Betapa besar dosaku pada mereka.” Sabarini mengayuh cepat-cepat. “Bagaimana harus kutebus dosa kita?” Pada bertanya. “Tidak perlu. Gusti. Bapak sahaya sendiri yang bersalah. Jangan jadi fikiran, Gusti. Mereka akan lari ke hutan-hutan, berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup – tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda. Kalau mereka tak suka membuka hutan, barangkali mereka akan turun ke Sunda Kelapa.” “Nampaknya kau tak berprihatin.” “Bukankah sudah cukup lama patik berprihatin?” “Cukup lama. Coba ceritakan, istriku.” “Ya Gusti,” Sabarini mulai suka bicara. “Di desa kami gadis-gadis dikawinkan pada umur yang masih sangat muda. Kadang-kadang baru tiga tahun. Orangtuanya takut kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan dibawa ke Pakuan. Patik sendiri tumbuh jadi gadis tua karena ketentuan putra Sang Narogol. Perjaka-perjaka tak berani melamar patik. Orang memandang patik dengan belas-kasihan semata. Semua orang tahu nasib buruk seorang selir.” Pada mendengarkan suara bening istrinya yang bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara sebanyak itu. Ia mengangguk-angguk memberanikan. Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih indah daripada kebenaran yang terkandung di dalamnya: “Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita, Gusti. Janganlah Gusti menjadi risau. Semua akan bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan seseorang yang dicintainya. Semua akan bersedia membantu dan melindungi dan berkorban – tahu mereka bakal mati di ujung tombak. Gusti sama sekali tak berdosa pada mereka.” “Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak suka bicara seperti orang-orang lain?” Mata gadis itu bersinar dan bibirnya tersenyum. Kemudian menunduk malu. “Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di tengah laut tanpa saksi begini?” “Ah, Gusti, Gusti tidak tahu bagaimana perasaan patik. Bagaimanakah patik harus lewatkan kebahagiaan ini dengan hanya bicara?” “Stt. Mulai sekarang, jangan panggil aku Gusti.” Sabarini memandanginya bersungguh-sungguh. “Sekarang ceritakan tentang kebahagiaanmu.” Dan berceritalah gadis itu tentang asal-muasal kelahirannya, dan tentang kepala desa serta seluruh penduduk desa yang tak berani mempersembahkan dudukperkara kelahirannya pada Patih Narogol. Betapa ia menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang yang berani membela dan melindunginya, ia akan membela dan melindungi dirinya sendiri. “Apabila patik berhasil dalam usaha patik,” Sabarini meneruskan, “patik akan mengembara jauh, jauh entah ke mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. Patik lulus, kemudian datang seorang pangeran dari Jepara, yang sekarang memperistri patik. Pangeran itu harus lari dari kejaran tentara Pajajaran. Patik pun akan jadi orang kejaran. Mengapalah patik takkan lari dengannya?” Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus diambil. Dan keputusan itu juga diambil secara tepat Dan tidak lain dari Sabarini yang berjasa. “Begitulah Allah mempertemukan kita. Segala pujipujian untukNya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia bila kau berbahagia, janganlah sebut dirimu Patik. Terganggu perasaanku mendengar itu. “Aku sama sekali bukan seorang pangeran”. Pada memperhatikan perubahan pada airmuka istrinya. Dan perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran, dianggapnya perempuan itu tak begitu mendengarkan. “Aku sama sekali bukan seorang pangeran,” ia mengulangi. “Apakah bedanya suamiku seorang pangeran atau tidak? Seorang pangeran takkan mengindahkan istrinya sebagaimana suamiku mengindahkan diriku’ Pada agak kecewa melihat Sabarini tidak terkejut “Sabarini lebih suka kalau suaminya seorang petani biasa, karena seorang petani hanya sederhana, tidak ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula kulihat, tamu agung itu, itu sudah aku lihat ia seorang orang biasa dalam pakaian kebesaran.” “Sabarini!” gumam Pada setelah mendengar begitu banyak kata tercurah. “lihat, bandar Panjang sudah mulai nampak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi Sumatra.” Matari mulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal muncul dari balik-balik gunung di daratan Sumatra. Angin kencang mulai bertiup seperti dihembuskan oleh mulut raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah mengancam. Guruh mengaum dari kejauhan dan kilat sambar- menyambar di cakrawala. Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan terpancari sisa sinar matari nampak di kejauhan, di tentang kaki langit. “Armada Peranggi,” gumam Pada. “Ayoh, dayung cepat.” Mereka mendayung cepat-cepat memasuki pelabuhan Panjang. Dan bersamaan dengan itu badai taufan mulai mengamuk sejadinya. Hujan jatuh mendadak bercampur angin seperti langsung dilemparkan dari langit. Setelah mencancang perahu pengantin baru itu dengan membawa barang-barangnya yang sedikit lari masuk ke dalam sebuah bedeng yang telah penuh dengan tumpukan kranjang lada. Seorang penjaga memberi tempat berteduh pada mereka di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindung dari angin dan air. Pada terheran-heran melihat tumpukan kranjang lada sebanyak itu. Dan bedengnya bukan hanya sebuah. Tak kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan nampak belum lagi lama didirikan. Dari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal Peranggi akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan Banten setelah lolos dari blokade armada Jepara-Demak. Lada tetap datang seperti dicurahkan. Panjang mendadak jadi bandar ramai. Saudagar dari Sunda Kelapa, Banten dan Cimanuk berlomba-lomba memindahkan kegiatannya di sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan. Dalam kurang dari setahun Panjang akan telah sangat berubah. Kemakmuran telah menarik orang-orang dari pedalaman untuk bekerja di bandar sehingga pedalaman kekurangan tenaga untuk mengurusi pertanian dan panen lada. Beras pun terpaksa dimasukkan dari tempat-tempat lain, dan minyak, dan kacang-kacangan, dan tenunan, dengan harga yang tinggi. Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa kemakmuran bisa berpindah-pindah dari bandar yang satu ke yang lain. Dan bila armada Jepara-Demak terus-menerus menindas bandar-bandar lain dan membikinnya jadi bandar tak bebas, Panjang bisa menggantikan Malaka atau Pasai. Setelah berunding dengan istrinya mereka bersepakat menunda pelayaran ke Malaka untuk melihat-lihat Panjang lebih lama. 0o-dw-o0 Armada Portugis itu tak mau berkisar dari tujuan semula, menolak berlindung di bandar Panjang. Francisco de Sa, pemimpin armada, adalah seorang muda berumur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat dengan cepat dari kelasi menjadi kepala setting, jurumudi, wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin armada. Menurut perintah yang diterima ia harus memulai pembangunan kantor dagang sekaligus benteng di Sunda Kelapa selama setengah tahun dengan menurunkan serdadu dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke Malaka membawa lada dari Panjang. Tetapi ia juga punya rencana pribadi. Ia akan selesaikan pekerjaannya dalam tiga bulan di Sunda Kelapa. Yang tiga bulan lagi akan dipergunakannya untuk membangun kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk Portugis. Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa jadi pemimpin Portugis di Asia yang berkedudukan di Malaka. Ia tak mengindahkan kekuatiran anak buahnya sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelombang pun semakin menggunung. Satu mata taufan telah menerjang armada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan tenggara. Beberapa tiang kapal telah patah dengan layar compang-camping. Laut yang ditekan taufan itu menjompak naik jadi gunung-gumunung yang gulungbergulung. Beberapa kapal telah patah kemudi, dan tanpa daya diseret terus dalam cengkeraman gelombang. Taufan itu mendesak sampai separoh dalam laut, menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar timbul dari balik puncak ombak. Dengan tenggelamnya surya alam pun menjadi kelabu hitam. Curah hujan menyebabkan orang tak bisa lagi melihat ke depan. Semua layar telah digulung, tetapi deras angin menghalau mereka ke selatan. Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menandakan adanya manusia yang hidup di tengah laut itu. Dan lenteralentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari Francisco de Sa pada kapal-kapalnya yang tak terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, menghantamhantamkan kaki pada geladak, memaki dan menyumpah. Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal curahnya dan kilat sabung-menyabung merajai alam. Bagi Francisco de Sa hanya peristiwa yang sekali ini saja ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu kegemilangan tanpa batas sedang menunggu-nunggunya di waktu dekat mendatang. Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda Kelapa! Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi tapi atas nama Portugis: pembalasan dendam atas Tuban yang telah berani menghina beberapa tahun yang lalu. Dalam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho telah menyelonong paling depan, kadang berputar dalam mata taufan, kadang mendorong permukaan laut, kemudian meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas kemudinya telah patah dan tak ada satu tiang pun utuh. Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas, kemudian dalam kerjapan kilat nampak cepat menyelam ke dasar laut dan tak muncul lagi. Beberapa puluh anak kapal berapungan timbul-tenggelam di puncak-puncak ombak. Petir menyambar. Sebuah kapal pecah, miring, kemudian tenggelam. “Jesus Maria!” sebutnya. “Pantang mundur! Maju terus! Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.” Isyarat-isyaratnya memerintahkan: Maju terus! 0o-dw-o0 Kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho tak dapat keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar kucing kapal itu kemudian terangkat ke udara dan terbang dengan cepatnya. Waktu cengkaman agak kendor ia menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar ke daratan, melindas pohon-pohon nyiur pantai, kemudian jatuh di atas rawa-rawa dengan menumbangkan pepohonan. Air rawa itu menyembur ke atas dan lunas kapal menancap pada dasarnya. Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah berentakan, Manusia di dalamnya kehabisan daya, adalah laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami cedera, itu pun hanya karena kebetulan. Duarte Coelho sendiri tergeletak di geladak dengan lengan patah. Namun ia masih mampu memberikan perintah. Dan perintahnya yang terakhir terdengar adalah: “Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!” Dua orang yang masih jaya terlongok-longok heran melihat kapal tak lagi berada di atas laut. Di sekitarnya hanya semak-semak rawa. “Terdampar jauh di darat!” seorang di antaranya berseru. “Sayang kapal sebagus ini.” Dan mata taufan itu bergerak terus meninggalkan mereka di tengah-tengah daerah rawa, tak sudi mengembalikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke jurusan tenggara. “Terdampar jauh di darat!” pekik kelasi itu. Tak ada yang menanggapi. Ia turun ke tanah. Matari baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan melemparkannya ke tanah. Kemudian ia berdiri di atas batang pohon kelapa rebah dengan akar-akarnya jadi pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon lain. ‘Terdampar di tengah-tengah rawa!” serunya ke atas. Juga tak ada sambutan. Mereka naik lagi ke atas, langsung mendapatkan Duarte Coelho yang pingsan tak sadarkan diri. 0o-dw-o0 Prajurit-prajurit Demak yang bertugas menjaga perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di belakangnya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti. Daerah itu tak pernah dimasuki orang selama ini. Orang gentar pada demam rawa yang membunuh. Maka ia lari mendapatkan teman-temannya. Dan semua ragu-ragu. Daerah itu juga menjadi sarang buaya besar. Dalam rawarawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik di air ataupun di darat. Monyet dari atas pohon yang tak berbilang banyaknya mungkin juga akan menyulitkan bila yang memasuki hanya beberapa orang saja. Seratus orang kemudian masuk berbareng dengan tombak di tangan dan pedang di pinggang. Dan mereka mendapatkan kapal Portugis yang telah compang-camping tanpa tiang tanpa layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal sebesar itu dapat mendarat begitu jauh dari laut. Hanya seorang Portugis ia lihat bergerak di dalam kapal itu. Kemudian seorang lagi. Monyet pada memekik-mekik dan burung-burung bernyanyi seperti lima ratus tahun yang lalu. Tak ada buaya nampak di sekitar. Mula-mula para prajurit berunding berbisik-bisik, kemudian mendengar-dengar kan lagi. Tapi di atas kapal itu sunyi saja. Seorang prajurit mengambil batu dan melembarkan pada kapal Seorang Portugis muncul dan menjenguk ke bawah, kemudian pergi lagi. Peratus memerintahkan menyerbu. Mereka turun ke air, langsung menuju ke kapal. Dan mereka tak dapat naik, semua mendongakkan kepala ke atas. Barisan prajurit di belakang datang membawa batangbatang pohon yang habis ditebangnya. Orang mulai naik. Dua orang Portugis dengan pedang di tangan menghantam setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu. Dan melihat semakin banyak orang datang membawa batang, mereka pun menggunakan musket dan menembaki. Dari darat dilemparkan beberapa tombak, dan dua orang Peranggi itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya menukik dari atas dan kepalanya menancap pada lumpur dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air. Seseorang menghantamkan pedangnya, dan tubuh itu kemudian rebah. Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mulai naik ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah dengan tombak dan pedang terhunus. Yang mereka dapatkan hanya tubuh-tubuh Peranggi yang bergelimpangan tanpa daya. Tombak dan pedang menghabisi mereka tanpa perlawanan. Dalam biliknya orang menemukan Duarte Coelho dengan tangannya yang sehat mencoba memberikan perlawanan. Pertarungan dengan pedang sebentar berlaku. Baja beradu baja berdentingan sebentar kemudian padam sama sekali. Sebilah tombak telah melumpuhkan Duarte Coelho dari lambung. Ia jatuh terkapar. Prajurit Demak bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai bergelimpangan. Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Duarte Coelho masih sempat bicara dalam Melayu: “Kami datang untuk bersahabat.” Ia sudah tak mendengar lagi waktu prajurit Demak menjawabinya. Tak antara lama seratus prajurit lagi datang. Seluruh kapal compang-camping itu diperiksa. Semua benda dikumpulkan di geladak termasuk sembilan pucuk meriam, peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, musket, perkakas tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat kebaktian, patung dan salib milik pribadi awak kapal. Peratus itu memerintahkan menurunkan semua dan mempersembahkan pada Fathillah. Demikian mereka mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak yang baru diretas. Sebagian dari para prajurit mendapat perintah membikin jembatan untuk menurunkan meriam dan barang-barang berat lain. Sebagian mendapat perintah membikin tali. Tapi sebagian besar melakukan pengangkutan. Daerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan melarikan diri. Asap mulai mengepul untuk menjerangkan air minum dan makan siang. Tengah hari Fathillah sendiri memerlukan datang dan melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke bandar. Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari penanggulan pesisir bandar yang menghalangi pasang-surut air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak punya dugaan sesuatu, mabok mendapat jarahan. Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang prajurit tambahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan melebarkan jalan setapak untuk dapat dilalui oleh barangbarang besar. Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi menghadapi tanah lapang. Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rumah ini. Dalam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya. Fathillah berjalan mondar-mandir dalam markasnya menunggu datangnya meriam-meriam rampasan. Tetapi barang-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran luruhan dedaunan. Waktu musket-musket datang ia keluar dari markas dan memerintahkan membongkarnya dari ikatan. Diperintahkannya datang pasukan pengawalnya dan membagi-bagikannya pada mereka, kemudian sendiri memberikan petunjuk bagaimana menggunakannya. Dua ratus pucuk telah dirampas pada hari itu. Seorang prajurit mempersembahkan padanya sebuah bola dunia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki dan menendangnya. Dunia menggelinding dan berhenti pada kaki seorang prajurit, tanpa jagang. Prajurit, yang menduga bola itu barang sihir, melompat kecut. Ketakutan menyebabkan wajahnya nampak jadi ungu. ‘Tendang!” perintah Fathillah. Bola itu ditendang oleh prajurit lain lagi, menggelinding dan menggelinding, ditendang dan ditendang. Waktu jatuh ke laut benda itu telah penyek. Sebuah teropong yang dihadapkan segera diambil oleh Fathillah. Ia memeriksanya sebentar kemudian menggunakannya untuk meneropong laut lepas. Benda itu ia panjang-pendekkan. la lepas. Dikocoknya matanya. Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu diperiksanya, kemudian dipendek-panjangkan. Meneropong lagi ke laut lepas. Kemudian melihat dengan mata telanjang pada ke jauhan dan meneropong lagi. Ia berpikir sebentar. Kemudian bertanya pada pengiring yang berdiri di belakangnya; dalam Melayu: “Coba lihat sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk ini?” “Ada patik lihat, Gusti, tapi tidak jelas,” jawab pengiring itu, juga dalam Melayu. “Apa yang kau lihat?” “Beberapa titik putih. Gusti.” “Coba dengan ini.” Pengiring itu mengenakan teropong, melepas dan mengenakannya kembali, melepas dan memeriksa kacakaca teropong, kemudian meninjau dengan mata telanjang dan mengenakannya lagi. “Apa kau lihat?” “Tiga kapal asing, Gusti, dengan teropong ini.” Fathillah mengambil teropong itu dan mengenakannya. Kemudian dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya melihat ke kejauhan, setelah itu disuruhnya dengan teropong. “Dengan barang ini muncul tiga kapal asing, Gusti, sedang menuju ke Sunda Kelapa.” “Pengangkutan meriam supaya lebih cepat!” perintahnya pada yang lain. Dan meriam yang sudah ada ia perintahkan dipasang di belakang bentengan kayu bakau-bakau. “Dan peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus prajurit lagi untuk mengangkut!” perintahnya pada seorang peratus Demak. Orang itu lari untuk menjalankan perintah. Lima pucuk meriam telah terpasang di balik bentengan. Fathillah sendiri memberi petunjuk cara menggunakan sebagaimana pernah didengar-dengamya dari Arabia dan Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke tangan. Fathillah melarang siapa pun melakukan serangan tanpa perintah, la menghendaki pertempuran di darat untuk dapat merampas semua kapal Portugis yang datang dan merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus depa. “Hentikan pengangkutan!” seorang peratus meneruskan perintah Fathillah. “Siapkan pedang dan tombak.” Moncong-moncong meriam rampasan telah ditujukan pada sisa armada Francisco de Sa yang mendatangi. Semua terlindung oleh semak-semak asli dan buatan. Dan semua orang berbesar hati dengan adanya meriam. Dengan teropong di tangan Fathillah melakukan pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki. Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal itu akan terampas dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya tumpas. Panglima-Laksamana-Gubernur meneropong dan meneropong. Betapa lama rasanya. Dan kapal-kapal itu semakin lama semakin membesar. Juga nyamuk semakin giat menyerang mereka yang bersiaga dalam keadaan diam. Betapa lama. Dan memang lama. Kapal-kapal itu ternyata tidak memasuki muara Ciliwung. Tiga-tiganya membuang sauh jauh dari darat. Lama, lama sekali rasanya, baru kemudian mereka menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani meriam tanpa pernah berlatih telah gatal tangan untuk segera menembak. Mereka yang mendapat pembagian musket juga tanpa pernah berlatih telah gelisah. Setidak-tidaknya balatentara Jepara-Demak sedang dalam semangat tinggi. Kapal-kapal mulai menuangkan prajuritnya ke semua sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke muara Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang. Duduk pada dasar sekoci musket mereka menggermang ke atas, lebih tinggi dari kepala mereka. Dari tempatnya yang terlindung Fathillah meneropong. “Mereka turun ke sekoci dengan tangga tali’ ia memperingatkan. “Hati-hati. Mereka kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. Peranggi tetap Peranggi. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi. Mereka lebih suka tewas daripada bertekuk lutut. Jangan gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya’ Serdadu-serdadu Portugis itu diturunkan di tepian muara Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk meneruskan pendaratan. “Awasi setiap gerak-geraknya,” Fathillah menekan kekecewaan karena yang turun mendarat seluruhnya hanya berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kapal di sana itu tetap terjaga dari dalam. Dari teropongnya ia melihat meriam-meriam kapal ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya tembak cetbang. “Mereka yang mendarat harus ditumpas. Kapal-kapalnya kemudian ditembaki, tenggelam atau lan tersapu.” Dari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya dihias dengan jumbai-jumbai kuning dan pada dadanya terhias selempang merah Itulah Francisco de Sa. Serdadu-serdadu yang telah turun mulai dibariskan. Francisco de Sa berjalan dalam iringan tiga orang. Kemudian seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka menuju ke lapangan bandar. Dan bansan itu berhenti. Francisco de Sa berhenti, meninjau ke segala penjuru. Nampaknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu sama sekali Sunda Kelapa sudah jatuh dan tangan Pajajaran pada Demak, la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke samping, kemudian kembali ke barisan. Dengan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung, ke muara. Ia mulai perhatikan perahu-perahu yang tertambat, semua tanpa manusia. Dan sekoci-sekocinya tercancang rapi seperti susunan ikan. Semua tanpa manusia. la kembali lagi pada barisan. Seorang pengiring memberikan pikiran padanya, mungkin penduduk Sunda Kelapa masih ketakutan pada taufan dan melarikan diri ke pegunungan. De Sa membantah, karena bukan adat pelaut lari dari angin. Mungkin sedang merayakan pesta di pedalaman. Seorang pengiring lain menyarankan untuk membawa naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau kehilangan terlalu banyak waktu. Ia hanya bisa memberikan jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu dengan Pangeran Sunda Kelapa, Gubernur bandar, untuk segera bisa memulai pekerjaan. Dan bila pertemuan tak mungkin, pekerjaan akan dimulai tanpa sepengetahuan Sang Gubernur. Dan di mana pula Syahbandar? Dari pengalaman di Tuban ia mengerti, bila seorang Syahbandar tak datang menyambut sewaktu Portugis datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Di mana Syahbandar? Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun tinggal lengang tak bermanusia. Tak tahan terkepung oleh kesenyapan Francisco de Sa menjadi penasaran. Ia berjalan cepat menuju ke kantor Syahbandar dan berteriak kencang; tangan dicorongkan pada mulut: “Syahbandar! Syahbandar!” Hanya deburan laut jua yang menjawab. Ia memberikan perintah agar pasukannya bergerak maju. Dan majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke tempat kantor Syahbandar, kemudian membelok ke kanan menuju ke tempat tugu perjanjian Portugis-Pajajaran. Francisco de Sa menjadi murka melihat tugu itu telah hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan mengetahui belum lama berselang suatu perusakan dengan senjata telah dilakukan oleh orang: suatu kekuatan telah menantang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap tempur. Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong rampasan. Pasukan kecil Portugis itu bersiap-siap untuk balik ke laut sambil siaga berbaris mundur menghadap ke daratan menuju ke tempat sekoci. Francisco de Sa menarik pandang tinggi, memekik. Dari balik semak-semak pasukan Demak bersorak-sorak sambil melemparkan tombak. Musket Demak tak ada sepucuk pun meledak. Contoh penggunaan yang diberikan oleh Fathillah ternyata tidak kena. Prajurit-prajurit Portugis memencar barisan. Tembakannya mulai terdengar. Mula-mula satu-satu, kemudian bergelombang-gelombang. Semburan pelurunya beterbangan dan berjatuhan menjadi hujan logam. Meriam rampasan mulai berdentaman dari balik semaksemak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapalkapal Portugis. Tangan-tangan tak terlatih itu menghamburkan peluru tanpa mengenai sasaran. Prajurit-prajurit Demak sudah mulai bergelimpangan. Fathillah segera mengerti, pertempuran jarak jauh akan menguntungkan Portugis. Dengan jarak dekat mereka takkan segera dapat menyiapkan senjatanya. Ia perintahkan pelemparan tombak terus-menerus sambil menerjang maju. Dengan pedang di tangan ia pimpin sendiri penyergapan. Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar dalam puputan angin seperti melambai-lambai pada barisannya. Pasukan Portugis menyelamatkan Francisco de Sa di tengah-tengahnya sambil terus mundur ke jurusan Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring, keras, dan dengan pedang dilambai-lambaikan ke udara. Mereka yang roboh terkena tombak ditinggalkan dalam gerakan mundur. Tak seorang pun korban mereka bawa. Dari seberang Ciliwung tentara Demak mulai bersoraksorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda pasukan Portugis melepaskan tembakan sekali lagi dan buyar berebut dulu turun ke sekoci masing-masing. Yang tak mendapat tempat melompat dalam sampan dan perahu penduduk. Dari seberang tentara Demak mulai menaiki biduk juga dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan anak panah. Portugis membalas dengan tembakantembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan. Tak sebuah pun sekoci Portugis tertinggal. Mereka mendayung berpencaran melalui peluru meriam Demak yang berjatuhan di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu telah mengenai salah satu di antaranya, oleng, dan penumpangnya berlompatan ke laut. Dari teropongnya Fathillah melihat Francisco de Sa tetap berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu pedang dan matanya terpaku pada Sunda Kelapa. Wajahnya merah padam karena murka. Dan nampaknya ia tak tahu apa harus diperbuatnya. Meriam-meriam kapal tak dapat leluasa menembak, takut mengenai teman-temannya sendiri. Francisco de Sa mengetahui usahanya gagal, la tak berani mendaratkan pasukannya. 22 Juni 1527 Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan, seakan sudah seia dengan Wiranggaleng: “Mereka takkan datangi lagi tempat di mana mereka pernah dikalahkan.” Biduk-biduk itu telah sampai di kapal masing-masing. Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang mengherankan telah terjadi: Portugis tak melepaskan satu peluru pun dari meriam-meriamnya. Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa armada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah itu menuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa. Tentara Jepara-Demak bersorak-sorai dalam kegembiraannya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun telah pernah menghadapi Peranggi le-lananging jagad dalam suatu pertempuran sesungguhnya. Perasaan rendah takut pada Peranggi yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi pudar Peranggi ternyata memang hanya manusia biasa yang dapat juga dihalau. Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah mengumumkan: “Dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang dilimpahkan-Nya pada kita, kita telah halau Peranggi ke laut. Insya Allah mereka takkan menginjakkan kaki lagi di bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku nyatakan bandar ini berganti nama, dan menjadilah Jayakarta. Jaya pada awal dan kemudiannya, karta untuk selama-lamanya.” Berita penghalauan Portugis dari Sunda Kelapa dan terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di Panjang. Di mana-mana terbentuk gerombolan orang yang membicarakannya dengan bersemangat. Tetapi saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka tetap tertumpuk di bedeng-bedeng. Untuk dapat memberitakan pada Wiranggaleng dengan lebih jelas Pada memutuskan untuk sekali lagi menunda keberangkatannya ke Malaka. Dan istrinya menyambut putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari ia bergelandangan di bandar kecil yang mendadak kehilangan kegembiraannya itu. Berita Portugis akan mengambil lada tak terdengar lagi. Berita lain datang menyusul: sisa armada Portugis itu berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap pertemuan dengan armada Jepara-Demak. Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapalkapal Parsi, Arab, Benggala, yang masih ragu-ragu hendak meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh, berebut cepat mendapatkan lada di Panjang. Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya sedapat ia jual. Pada dan Sabarini bekerja memunggah lada untuk penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi biasanya. Mungkin juga Peranggi berjanji hendak mengambilnya dengan harga lebih mahal. Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu banyak tumpukan lada yang belum terjual. Bandar kembali jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai membeli sisa itu dan mengangkutnya ke Pasai atau Malaka. Dengan lada bandar-bandar dalam kekuasaan Portugis selalu terbuka. Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng, kembali Pada dan Sabarini tak mempunyai suatu pekerjaan tertentu. Berdua mereka tinggal di bandar dengan kegiatan hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari Madura, membawa berita, bahwa bandar Banten dan Jayakarta untuk ke dua kalinya telah dinyatakan sebagai bandar bebas oleh Fathillah. Memang perahu-perahu mulai berdatangan, tetapi tidak untuk berdagang, hanya untuk mendapatkan air dan beras dan sayuran. Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan bandar Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil melompat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap, belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana. Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh serdadu-serdadu itu.” Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: “Tidak bertemu dengan armada Peranggi?” “Alhamdulillah, kami selamat Yang lain-lain tak dapat menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang dari Tuban dan Demak dan Jepara dibunuh,” Nakhoda Madura itu menjawab sambil memilin kumisnya yang tebal. “Di mana bertemu dengan mereka?” “Di atas Juana.” “Jadi mereka tak mendarat di Jepara?” “Tidak. Setelah Juana mereka mulai mendekati pantai. Tapi mereka terus ke jurusan timur.” “Ke Blambangan barangkali?” “Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah Demak mereka tidak berani.” Berita itu tidak lengkap dan belum tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus menunggu. Kapal-kapal dari Atas Angin berdatangan lagi melalui barat Sumatra. Dan Portugis tak kunjung tiba. Lada yang didatangkan oleh para penyelundup dari luar bandar-bandar dalam kekuasaan Demak memang terus berdatangan, tetapi jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan. Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan sangat cepat, persediaan habis, tetapi keadaan tidak menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan Banten sendiri. Nampaknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan bandar-bandarnya. Kapal-kapal Atas Angin mulai tersedot ke sana. Akibatnya bandar Panjang surut menjadi sepi seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja bandar tak punya pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke pedalaman untuk mengurus lada. Pada dan Sabarini ikut saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari penghidupan seperti yang lain-lain. Sebuah berita hebat telah pecah, mengabarkan Portugis akan datang mengambil lada yang telah dijanjikan. Orang pun berbondong-bondong turun ke bandar Panjang. Pedagang-pedagang lada sedang sibuk mengangkuti barangbarangnya untuk melarikan diri dari bandar. Tiadanya persediaan lada akan menyebabkan Portugis bakal melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh bandar. Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi. Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera dirubung orang untuk mendapatkan beritanya. “Kami takkan dapatkan lada di Tuban,” katanya. “Ke Jayakarta dan Banten kami takut. Kami bukan Islam. Maka kami cari lada ke mari. Lagi pula, kata orang, harga lada di sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.” Mendengar Tuban disebut-sebut Pada mendesak ke depan dan bertanya: “Apakah Peranggi tidak mendarat di Tuban?” “Takkan didapatkan sesuatu di Tuban. Mereka mendarat dan mengamuk di sana.” “Siapa mereka? Maksudmu Peranggi?” “Siapa lagi kalau bukan Peranggi?” “Bukankah Tuban sudah jadi daerah Demak?” ‘Tidak. Hanya sehari Demak memasuki Tuban. Mereka diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke tangan balatentara Tuban. Pada waktu itulah Peranggi masuk.” “Jelas Peranggi sudah menguasai Tuban?” “Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar.” “Jadi bagaimana halnya dengan balatentara Tuban dan Demak?” “Tuban mengundurkan diri ke luar kota. Demak tidak meneruskan serangannya ke Tuban.” “Jadi Tuban kena keroyok?” “Boleh jadi begitu jadinya.” Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi. Mereka memasuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam mengawasi laut, memperhatikan perahu mereka yang sudah lama tiada mereka pergunakan. “Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini. Kita akan teruskan pelayaran.” “Karena berita-berita itu?” “Karena berita-berita itu, Sabarini.” “Bukankah belum tentu semua itu benar?” “Seorang nakhoda selamanya bicara benar. Kalau tidak dia akan jadi tertawaan di setiap bandar, penghidupannya akan mati.” 0od-w-o0 38. Yang Lola di Semenanjung Hari itu Hang Wira berkunjung ke kampung-kampung penduduk. Kemudian juga memasuki kampung-kampung para prajurit Tuban dan Bugis, yang kini telah menjadi petani atau nelayan sepenuhnya. Mereka telah belajar melupakan negeri kelahiran masing-masing. Dan dengan menjadi petani atau nelayan sepenuhnya, dengan wanita setempat yang kini jadi istrinya, pergulatan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari telah menggantikan perjuangan bersenjata. Perdagangan dan pertukaran barang telah mendesak jiwa prajunt dan kebiasaan prajurit. Bila setiap hari seorang suami-istri berhasil dapat menanam lima belas pohon pisang, setelah membabat semak dan menebang hutan, berarti mereka telah menyimpan lima belas hari bahan makanan untuk tahun yang akan datang. Dan bila mereka berhasil menanam jagung selebar dua puluh depa persegi setiap hari, mereka telah menyimpan sepuluh hari makanan sehari untuk empat bulan mendatang, justru pada waktu pengantin baru mereka harus bekerja keras. Tahun depan seorang bayi akan lahir atas nama mereka, dan tenaga bakal tinggal sang suami saja. Wiranggaleng tahu, ia tak mampu mengatasi kemerosotan prajurit-prajurit. Dan dalam bicara dengan mereka ia berusaha baik-baik menutupi kekecewaannya, apalagi bila menghadapi istri-istri mereka. Dan di mana-mana suara mereka sama saja: “Apakah yang bisa diharapkan lagi di Jawa? Kami dapat mati sia-sia untuk mengabdi tidak menentu. Ampuni kami, Senapatiku.” Ya, mereka lebih berhak atas diri masing-masing, lebih berhak daripada Trenggono ataupun Sang Adipati. Setelah Sultan Demak meneruskan usahanya untuk menguasai Jawa, kepercayaan orang padanya jatuh, dan pembebasan Malaka bukan saja tinggal jadi impian di langit biru, malah telah jadi lelucon yang mengibakan. Wiranggaleng menghargai perasaan mereka. Ia tak mempunyai kekuatan atau hak apa pun untuk mencegah kemerosotan. Kegiatan ketentaraan tinggal hanya kesibukan pertahanan. Menyerang mereka sudah tidak lagi. Lagi pula Portugis tidak lagi meronda keluar perbatasan kota Malaka. Suatu gencatan senjata berjalan dengan diam-diam tanpa persetujuan tanpa perjanjian. Dan semua itu membikin hati Wiranggaleng menjadi lengang, la tak melihat adanya hari depan yang lebih baik daripada masakini, baik untuk negerinya sendiri mau pun untuk diri sendiri. Tak ada tanda-tanda kebesaran dan kejayaan yang bisa dipanggil dari guagarba haridepan. Haridepan itu sendiri tidak ada. Yang ada hanya kekosongan yang menganga, bolong dan melompong. Dalam salah satu pertemuan malah ia pernah dengar kata-kata ini: “Senapatiku, apa sesungguhnya yang kita kehendaki? Toh bukan kematian yang percuma?” Demikianlah ia berjalan dari gubuk ke gubuk, dari kampung ke kampung. Di mana-mana pisang dalam pertumbuhan, dan pohon-pohon buah, dan pohon-pohon turi sepanjang jalan baru, kecil sempit dan belum lurus. Luas daerah pertanian itu kini menjadi berlipat ganda, dan setiap bekas prajurit memiliki jauh lebih luas daripada penduduk asli. Beberapa orang malah mulai membuka kebun kelapa, cengkeh dan barus. Kelengangan di dalam hati itu mencopoti kekuatannya untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap kali ia mencoba mendapatkan pegangan baru, setiap kali pula luput. Gapaian tinggal gapaian, dan pikirannya membuncah murka bila teringat pada pengkhianatan dari segala penjuru yang nampaknya dicurahkan pada dirinya seorang. Dan kemerosotan anak buahnya meluncur terus ke bawah. Dengan seorang istri orang sudah bertekad menetap di Semenanjung ini, pikirnya. Mereka telah mendapatkan segala-galanya dalam hidupnya: Istri, rumah, ladang, anak, kedamaian, penghidupan, tanpa gangguan seorang raja atau sultan. Tanah di sini lebih subur daripada Tuban, Demak ataupun Jepara. Air mencukupi. Dan raja-raja di Jawa sana hanya sibuk cari kebesaran dan kekayaan dan melepas nafsu sendiri. Ya, mereka berhak berpihak pada hidup dan dirinya sendiri. Ia berjalan terus ke daerah yang jalan-jalannya belum lagi teratur, memasuki kampung-kampung yang lebih baru. Dan setiap keluarga me nyambutnya dengan ramah. Itulah satu-satunya penghibur dirinya. Dari seorang Senapati dan Panglima pasukan gabungan ia berubah jadi seorang tetua bagi mereka. Dan apa lagi yang ia bisa perbuat kalau sudah ada tambahan bayi sebagai tambahan warganya? Bayi kelahiran Semenanjung? Tak mengenal Tuban dan Jawa? Memang tak ada yang diperbuatnya. Kemerosotan keprajuritan me luncur terus menuju ke titik terdalam. Pada suatu sore ia memasuki kampung penduduk asli. Seorang wanita berlutut di hadapannya, menyembah dan menangis: “Hang Wira, ampunilah sahaya, tolonglah sahaya.” Kemudian datang juga suaminya, berdiri angkuh memegangi hulu parang dan menatapnya dengan pandangan mengancam. Tak lama kemudian seluruh penduduk kampung dari beberapa rumah itu datang merubung. “Apa aku bisa tolongkan. Perempuan?” “Anak sahaya, Hang Wira, seorang Tuban telah menculiknya, anak perawan sahaya. Kembalikan dia pada sahaya.” “Kalian datang ke mari memang hanya mau bikin rusuh!” terdengar suara parau suaminya yang masih juga memegangi hulu parang. “Kembalikan anakku!” “Anakmu akan dikawini dengan baik-baik, perempuan. Bukankah semua pernah dengar sudah tiga orang prajurit Tuban dijatuhi hukuman mati karena perkosaan?” “Kembalikan anakku!” suara parau suaminya semakin mengancam. “Tak bisa kami diperlakukan begini lebih lama.” “Hai, Perempuan, anak itu anakmu ataukah anak lelaki ini?” “Anak sahaya sendiri.” “Maksudmu orang ini bapak-tirinya?” “Betul, Hang Wira.” “Baik. Anakmu akan dikawini baik-baik. Kau akan mendapatkan menantu yang baik. Apakah lamarannya pernah kau tolak?” “Suami sahaya yang menolaknya, Hang wira.” “Anak itu kubesarkan sejak kecil,” gumam sang suami sambil menghampiri Wiranggaleng, “patutkah menerima pinangan seorang petualang? Kembalikan dia, atau kami akan perangi semua petualang Tuban di sini.” Rubungan orang itu bubar melihat perkelahian akan terjadi. “Jangan, Bang, jangan,” tegah perempuan itu pada suaminya sambil memegangi tangannya. Tetapi lelaki itu mengenaskannya sehingga ia jatuh terpelanting dan masih tetap menegah: “Jangan, jangan!” melihat suaminya mulai menarik parang. Wiranggaleng melangkah ke samping dan menegah: “Jangan. Lagi pula anak itu bukan anakmu. Mengapa kau yang marah; sedang berhak tidak?” Dan lelaki itu menjawab dengan ayunan parang, memekik: “Rasakan parang Semenanjung!” Wiranggaleng melompat dan melompat. Dan lelaki itu menyerang dan menyerang. Para perubung bubar. Pada suatu kesempatan Senapati dapat menyambar potongan bambu untuk penangkis. Dan bunyi parang beradu dengan bambu itu mendebarkan orang yang menyaksikan. “Jangan, Bang, jangaaaan,” teriak istrinya. “Sudah, sudah cukup!” tegah Hang Wira. Lelaki itu sudah menjadi kalap. Sinar keputihan telah memancar dan pandangannya, sehingga bola-bola matanya nampak seperti terbalik Melihat itu Wiranggaleng mulai memekik menyerang dengan bambunya. Pada suatu kesempatan ia serampang kaki lawannya sehingga terpekik dan terpincang-pincang mengendorkan serangan. Namun ia masih juga menyerang. Dengan hantaman luarbiasa keras Hang Wira menyerampang kakinya yang lain. Sekali lagi orang itu terpekik dan jatuh terduduk kemudian mengerang-ngerang. Matanya melotot gusar. “Bukan maksudku hendak menganiaya,” kata Hang Wira. Ia tinggal berdiri menunggui lelaki itu kalau-kalau masih hendak menyerang juga. Lelaki itu telah kehilangan gairah. Dan ia tetap juga duduk meraba-raba tulang-keringnya. Mulurnya berkomatkamit dan meringis. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia lemparkan parang pada Wiranggaleng, menyerempet pada betis, jatuh menancap ke tanah. Hang Wira melihat pada betisnya. Serempetan itu tidak melukai, karena bukan mata parang yang telah mengenai. Kembali orang datang merubung. Istrinya mencabut parang itu dari tanah dan menyerahkan pada orang lain. Kemudian ia menolong suaminya berdiri dan memapahnya masuk ke rumah. Juga Wiranggaleng ikut masuk. Ia duduk diam-diam. “Tidak. Kaki itu tidak aku patahkan. Perempuan, biarlah aku pergi mencari menantumu itu. Dan kalian, penduduk kampung, janganlah mencari-cari sengketa. Kami tak pernah bikin percederaan dengan kalian. Kalau ada anakbuahku yang tidak senonoh, dan di antara kalian pun ada yang demikian, janganlah dijadikan sengketa. Biar kita urus bersama semua dengan baik. Anak-buahku bukan hanya sekedar teman dan tetangga; mereka telah mulai jadi saudara dan kerabat kalian sendiri. Assalamu….” Ia keluar dari rumah, berjalan murung pulang ke markas, la sangat menyesal. Bukan jadi keinginannya untuk berkelahi dengan penduduk. Ia datang untuk mengusir Peranggi. Yang diusir tetap berdiri di tempatnya. Dan permusuhan dari penduduk adalah satu kutukan. Ia harus dapat mengelakkan. Kalau sekali mereka bersekutu dengan Peranggi… Dan ia mengakui, persoalan wanita memang jadi masalah gawat sekalipun wajar. Beberapa orang anakbuahnya ada yang telah membikin perahu dan hanya untuk membajak wanita di kampung-kampung nelayan untuk diperistri dan untuk bisa menetap di Semenanjung. Lebih enam ratus lelaki! Dan lelaki memang dilahirkan oleh wanita. Ia pun diperuntukkan wanita! Tak perlu ia menduga akan menghadapi masalah ini la datang untuk berperang. Dan kini semua telah berkisar menjurus ke arah yang sama sekali berlainan. Ia berhenti waktu mendengar jerit seorang bayi. “Kelahiran baru,” ia membelok ke sebuah pondok, menjenguk ke dalam. “Lelaki!” seseorang terdengar berseru girang. Wiranggaleng berjalan terus. Kelahiran baru. Anak itu tidak tahu negeri nenek-moyangnya. Bila sudah besar, mungkin Portugis bukan musuh dan bukan persoalannya. Bukankah orangtuanya sendiri sudah memunggungi persoalan itu karena kekecewaan pada raja-rajanya sendiri? Ia menarik nafas panjang, memenuhi paru-parunya dengan udara malam yang segar. Ya, aku telah dibebaskan dari tugasku. Keadaan yang telah membebaskan aku…. Sesampainya di markas ia dapatkan Pada sedang duduk bersama seorang wanita muda cantik, bermata bulat dengan bulu mata panjang. Dua-duanya sudah nampak lelah dan mengantuk, tetapi bertekad menunggu sampai ia datang. Waktu ia mendekat mereka tak menyedari sedang tertarik ke alam mimpi, la mendeham dan mereka membuka mata. “Kau datang, Pada,” tegur Hang Wira. Pada melompat berdiri dan merangkulnya. Ia menangis gembira, ter-hisak-hisak seperti anak kecil. Sabarini mengangkat sembah dari tempatnya dan memperhatikan dua orang lelaki yang berangkulan seperti bocah itu. “Ampuni aku bila terlalu lama.” “Sudah tak ada bedanya lama atau tidak. Pada. Kau baik dan selamat. Itu sudah cukup.” “Banyak yang hendak kusampaikan. Kang. Antaranya seorang ipar untukmu. Sini, Sabarini, inilah Kang Galeng, abangku.” Hang Wira tertawa senang melihat Sabarini yang menunduk dan mengangkat sembah: “Anak dari mana kau, Upik?” tanyanya dalam jawa. “Bukan jawa, Kang.” “Aceh? Jambi, Minang?” “Sunda,” jawab Sabarini dengan suaranya yang menyanyi. Wiranggaleng mengangkat tangan memberikan restu. Pada dan Sabarini berlutut. Panglima dari pasukan gabungan lola itu meletakkan tangan sabelah pada tiap kepala: “Syukur pada Hyang Widhi, restu untuk kalian, semoga kekallah perkawinan ini dan dikaruniai kebahagiaan lumintu dan anak-anak yang sehat, dilimpahi hendaknya dengan kehidupan yang terang dan gilanggemilang. Berdirilah kalian.” Mereka berdua berdiri dan masih menyembah dada dan menunduk. “Pada, bawalah istrimu beristirahat.” Mereka berdua bergerak meninggalkannya. Dari sinar lampu Senapati itu melihat kilau airmata bahagia mereka berdua. “Ya, berbahagialah kalian.” la segera tenggelam dalam kenangan pada perkawinannya yang gilang-gemilang dulu. Ia tersenyum sunyi. Tak ada duanya perkawinan besar semacam itu, penuh keagungan dan kejayaan. Seluruh kota ikut merayakan. Ia dianggap sebagai Kamajaya dan Idayu sebagai Kamaratih. Kemudian tandunya jatuh. Sebagai pengantin ia dan istrinya terjerembab di tanah. Terjerembab! Mungkin perlambang kejatuhannya selama irii. Tahyul! pekiknya menolak gagasan tentang perlambang itu. Tahyul! Kegagalan hanya buah usaha yang memang gagal. Barangsiapa tak pernah berusaha dia pun takkan pernah gagal. Kegagalan yang berisikan penyesalan – banyak penyesalan. Sang Patih Tuban telah tewas karena tangan dan kerisnya. Orang sebaik itu, sebijaksana ini! seorang majikan dan seorang guru sekaligus! Dan kiai di Gresik itu – banyak namanya pun ia tak tahu. Dan Danu – santri terpandai itu. Tiga orang yang telah tewas karena tangannya – dan tidak karena perang! Ia tinggalkan markas dan memasuki malam. Selama pelayarannya dari Panjang ke Semenanjung memantai pesisir timur Sumatra Pada telah berpikir keras untuk dapat memahami perkembangan di Jawa. Dan ternyata tak semudah itu ia dapat mengikuti kejadiankejadian yang simpang siur seperti benang kacau itu. Ratu Aisah – mengapa wanita tua itu berkunci diri di dalam rumah? Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas Adipati Unus? Liem Mo Han mengapa pula dibunuh oleh tentara Demak? Dan mengapa pula keluarga Wiranggaleng terancam kebinasaan? Mengapa Senapati dituduh bersengkongkol menentang Demak? Dan mengapa pula dirinya sendiri disangkut-pautkan dengan semua itu? Ia tak dapat menjawab. Gerakan Trenggono ke jurusan timur dan barat Demak, penaklukan atas kabupaten tetangga, penaklukan atas Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk – semua pelabuhan penting. Sekarang Cirebon diancam pula. Apakah Trenggono sudah bertekad menguasai semua bandar di Jawa sebagai kerajaan yang pada mulanya tak punya bandar? Adakah hanya Tuban mendapatkan bandar Jepara maka Trenggono bernafsu menggagahi banyak bandar lain? Dan mengapa lawan-lawan Sultan Demak tak ada yang mampu menahan gelombang balatentaranya? Mengapa pula Tuban yang beratus tahun jadi andal-andal Majapahit dapat ditangannya, bahkan telah terjamah ibukotanya? Lagi pula apa sebabnya balatentara Tuban mencoba terus menghalau musuhnya sekalipun Sang Adipati telah mangkat. Dan mengapa pula Peranggi langsung masuk ke Tuban setelah kegagalannya di Sunda Kelapa? Seakan-akan semua itu berputar untuk keuntungan Peranggi? Dan di Jayakarta dan Banten untuk kedua kalinya Fathillah menyatakan dua bandar itu jadi bandar bebas. Dan mengapa armada Jepara-Demak mengakhiri blokadenya? Dan mengapa balatentara armada itu tak meneruskan penusukannya lebih jauh ke pedalaman? Dan mengapa bukan Banten dan Jayakarta sebagai bandar bebas dengan sekali pukul telah mematikan bandar Panjang? Benang yang kacau itu semakin kacau. Yang paling memusingkannya adalah: Mengapa Trenggono menyia-nyiakan kekhalifahan ayahandanya almarhum. Sudah selesaikah riwayat kerajaan Islam pertama-tama di Jawa, dan terjatuh jadi kerajaan kafir sebagai semula? Mengapa justru Wiranggaleng yang harus mengusahakan pembebasan Malaka dengan sekutu-sekutu yang ditarik kembali dan yang tidak ada? Mengapa ia mendapatkan armada yang bukan kapal negeri, hanya jung? Mengapa tidak boleh diperlengkapi dengan meriam Peranggi? Bahkan tak boleh dengan cetbang? Dan bukankah Wiranggaleng itu sendiri yang telah merampas senjata ampuh itu. Dan mengapa Senapati yang paling berjasa pada Tuban itu justru diusir dari Tuban? Dan mengapa ia sekarang harus menduduki jabatan sebagai panglima pula? Dalam pelayaran kembali ke Malaka ia menjadi kurus dan nampak lebih jangkung daripada sesungguhnya. Ia tak mampu keluar dari teka-teki pulau Jawa. Lebih memusingkan baginya adalah masalah Tuban. Untuk siapa balatentara Tuban berkelahi mati-matian melawan Demak? Dan mengapa Tuban begitu mudah dimasuki Portugis? Benar-benar ia tak mampu menyusun sangkut-paut peristiwa yang susul-menyusul begitu cepat. Ia merasa diri semakin jadi bodoh. Mungkin, pikirnya memaafkan diri sendiri, karena sedang dalam suasana pengantin baru maka diri menjadi bebal. Waktu memasuki Pati ternyata tak ada gangguan dari pihak Portugis. Mereka memang nampak kasar dan tidak tahu adat, tetapi tak selembar pun barang-barangnya mereka rampas, apalagi perahu layarnya. Juga perahu-perahu lain tiada mengalami sesuatu kesulitan. Beberapa keranjang lada yang dibongkarnya segera dibeli oleh Peranggi dengan uang perak. Dan ia tak melihat adanya permusuhan tertuju padanya. Ia pun dapat meninggalkan bandar tanpa dicurigai. Semua itu menambahi masalah dalam pikirannya. Mengapa Peranggi-Peranggi itu nampak begitu damai? Dan jarang di antara mereka membawa senjata? Dan mengapa di Tuban justru sebaliknya? Waktu berjalan memikul beban menuju ke markas Wiranggaleng sedang istrinya menggendong pada punggung, sampailah ia pada puncak kegugupannya. Ia takan mampu menyusun laporan untuk panglimanya. Dan ia merasa akan menderita aib sekiranya Wiranggaleng menuduhnya hanya mengurusi soal bini semata dan tidak melakukan tugasnya. Maka sambutan Hang Wira yang ramah dan tidak menuding, bahkan merestui perkawinannya, melenyapkan seluruh kerisauannya. Galeng yang lama itu tampil lagi dalam hatinya sebagai seorang abang yang pemurah dan bijaksana. Keesokan harinya ia telah berniat hendak menyampaikan berita-berita sebagaimana adanya. Ternyata ia tidak mampu menyusunnya. Ia temui Hang Wira sedang duduk bertopang dagu di sebuah bangku kebun di belakang markas. Nampaknya Panglima sedang berpikir keras. Matanya suram. Pelahan-pelahan ia duduk di dekatnya. Dan di luar dugaannya ternyata ia ditegur lebih dahulu dengan suara lunak: “Coba ceritakan bagaimana kau mendapatkan istrimu,” ia tersenyum. Ketegangan Pada hilang sama sekali Mereka berdua tertawa-tawa dan berseri dan menyebutnyebut dan bertepuk-tepuk kegirangan seperti dua orang bocah yang belum mengenal dunia di sebuah dusun terpencil, aman dan damai. “Jadi kau sudah tahu rasanya jadi pangeran.” “Mungkin begitu juga rasanya anak-anak dewa di atas dunia ini, Kang.” “Di mana kau peroleh peralatan badut itu. Dan Pada tak menduga dengan begitu mudah ia mendapatkan jalan untuk menyampaikan segala yang telah dilihat dan didengarnya sendiri di Tuban, Lao Sam, Jepara, Pajajaran, Sunda Kelapa dan Panjang, malah juga di Pasai. Pengalamannya dengan Coa Mie An dan cucu Ratu Aisah. Dan: “Seminggu tepat aku duduk di depan pendopo dalam terik matan dengan kekuatiran amat sangat kalau-kalau tentara Demak menyergap aku. Satu minggu penuh, Kang. Hanya seorang gadis kecil menyampaikan sebuah bungkusan. Aku tahu bungkusan itu untuk Kang Galeng. Ampunilah aku karena telah kukenakan untuk mendapatkan sedikit kesenangan sebagai pangeran. Nanti sore akan kuserahkan bungkusan itu. Hanya saja kasut n ya tertinggal di rumah kepala desa Baleugbag, desa Sabarini, istriku.” “Semua ketakutan dan kelelahanmu telah ditebus. Kau telah mendapatkan seorang istri yang tiada duanya. Belum pernah aku dengar suara yang begitu bening dan indah dan menarik seakan hanya keluar dari mulut bidadari, bukan manusia.” “Kau melebih-lebihkan, Kang.” “Tidak melebih-lebihkan. Kau saja yang pura-pura dungu. Ayoh, teruskan ceritamu.” Pada meneruskan ceritanya tentang jatuhnya Banten dan Sunda Kelapa ke tangan Demak. Bahwa Sunda Kelapa telah diubah jadi Jayakarta. Bahwa Cimanuk kemudian juga diseibu oleh armada Jepara-Demak. Dan setelah itu armada bergerak dengan bantuan tenaga setempat menduduki Cirebon. Wiranggaleng diam termenung mendengar bagaimana Fathillah menghalau Portugis dan kapal-kapalnya. Dan armada itu meninggalkan Sunda Kelapa tanpa melepaskan sebutir pun peluru meriam. “Apakah kau tidak keliru. Pada?” ‘Tidak. Portugis tidak menembak. Mereka terus berlayar ke timur, terus ke timur.” “Dan memasuki Tuban.” “Ya, dan memasuki Tuban.” “Mungkin mereka hendak selamatkan pelurunya untuk Tuban.” Hang Wira menerangkan. “Mungkin karena itu mereka dapat menusuk Tuban dengan mudah. Jadi kau tak dapat menemui Kala Cuwil?” ‘Tidak, Kang. Semua usaha gagal. Satu yang belum aku ceritakan: Sang Adipati mangkat waktu Demak masuk.” Wiranggaleng seperti tersengat kalajengking. Dipandanginya tajam-tajam akan Pada tanpa bertanya. Melihat airmuka Pada tidak berubah, ia berbalik dan berjalan tanpa menoleh. Pada yang masih juga duduk menunggu akhirnya berdiri juga dan mencarinya. Didapatinya Senapati sedang berdiri merenungi saluran yang berair bening. Tangan kanannya bertahan pada sebatang kayu. “Kau telah terbebas dari sumpah. Kang.” “Apakah hanya itu saja yang penting?” “Memang tidak. Ada yang lebih penting: balatentara Tuban berperang tanpa raja. Untuk siapa mereka berperang?” “Itulah, Pada… itulah satu masa di mana raja lama mati, raja baru tidak ada. Dan tak ada anak desa tampil marak menobatkan dirinya sendiri. Ada suatu jaman di mana seorang anak desa dapat tampil demikian. Tiga ratus tahun yang lalu. Pada.” “Kau sudah terlalu sering menceritakannya: Ken Arok Rajasanagara.” “Betul, Pada. Dan jaman itu takkan berulang. Tuban tidak melahirkan Ken Arok. Kala Cuwil sesungguhnya bisa marak, atau Banteng Wareng. Mereka takkan bakal ada keberanian untuk itu Mereka memang lain dari Ken Arok. Dia muncul berlandaskan perjuangan untuk keadilan. Kepala-kepala pasukan Tuban tidak. Mereka berlandaskan gengsi ketentaraan semata.” Mereka berdua terdiam, masing-masing sedang mengerahkan otak untuk membuat penilaian. Dan memang mereka yakin Kala Cuwil dan Banteng Wareng tak ada keberanian untuk itu. Sekiranya ada boleh jadi wajah tanah Jawa akan berubah. “Kang,” tiba-tiba Pada mengganggu, “kau sendiri sebenarnya bisa, Kang’ “Husy. Kau masih juga tidak mengerti Galeng ini” “Kau sudah begitu berpengalaman, semua orang mengenal dan mengasihi kau, Kang. Kau bisa, Kang.” “Kau keliru.” “Aku tidak keliru, Kang. Kau begitu senang bercerita tentang memanggil kejayaan dan kebesaran pada guagarba haridepan….” “Bukan untukku, Pada. Bodohnya kau jadi petani tanpa tidak lebih dari Idayu, hanya menginginkan jadi petani tanpa gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun… itulah yang justru membikin aku menyasar-nyasar begini, melalui jadi Syahbandar-muda sampai Senapati dan Panglima gabungan yang kapiran sekarang ini” Sabarini muncul dan menyilakan Hang Wira makan. “Aah, adikku Sabarini,” tegur Senapati dalam bahasa Melayu. “Aku senang mendapatkan seorang saudari seperti engkau. Jangan kau menyesal datang ke tempat ini: hutan semata, tanpa sawah, tanpa ladang yang bagus dan tanpa kebun yang indah seperti di negerimu.” “Sahaya akan tetap senang selama tidak ditinggalkan oleh suami sahaya,” jawab Sabarini dengan suaranya yang menyanyi. “Nah, kau dengar sendiri itu, Pada.” “Ya, Kang Galeng. Selama aku tak mengabdi pada seorang raja takkan dia bakal kutinggalkan.” “Kau benar, Pada. Kau benar. Lihat Sabarini, suamimu ini. Dia sudah jenuh jadi abdi raja, apalagi raja itu begitu besar kuasanya sehingga tak perlu berpikir lagi, dungu seperti kerbau dan bebal seperti bebek. Hanya celaka sajalah yang menimpa diri. Kau dengar sendiri, Sabarini, selama dia tak mengabdi pada seorang raja, kau akan selalu dapat mengikutinya, dan dia takkan meninggalkan kau, barangkali juga dialah yang mengikuti kau.” Sabarini malu kemerah-merahan dan mencibirkan bibir. Wiranggaleng tersenyum senang melihatnya dan berseru: “Lihat Pada, istrimu itu. Pantas kau tergila-gila padanya. Aku tak salahkan kau.” ‘Tidak bisa, Kang,” bantah Pada, “dialah yang tergilagila padaku.” “Benar, Sabarini?” Dan Sabarini lari tersipu meninggalkan mereka. “Jangan kau sia-siakan dia, Pada, kau! Kau bekas kutu harem! Anak itu sangat baik untukmu. Dia adalah laksana bunga yang kembang pada waktunya. Selama kau rukun dengan dia, kau akan tetap berbahagia. Begitu kau bertingkah dan balik jadi kutu seperti dulu, selesailah riwayatmu.”‘ “Mengapa begitu, Kang?” “Ah, yang kau ketahui tentang selir saja. Itulah salahmu. Perhatikan dia baik-baik, resapkan dan nilai setepatnya tingkah-lakunya dan kecantikannya. Dengan mata tertutup aku akan dapat mengetahui dari suaranya saja, dia seorang wanita pilihan, khusus disediakan untukmu.” “Kang.” “Apalagi kau bertaubat.” “Sudah lama aku bertaubat.” “Mari makan.” Dalam berjalan kembali Wiranggaleng tenggelam dalam pikirannya. Baginya pun Tuban merupakan teka-teki. Atau barangkali datangnya waktu inilah yang dimaksudkan oleh Rama Cluring? Datangnya memanggil kejayaan dan kebesaran itu? Rama Cluring keliru. Dua-duanya tak dapat dipanggil datang ke Tuban. Kuncinya tetap: Semenanjung. Apalah arti Tuban tanpa Malaka? Tuban adalah negeri kelahirannya yang tertinggalkan oleh jalan laut dan perdagangan rempah-rempah. Rama Cluring keliru. Untuk menguasai kembali jalan laut dan perdagangan Malaka harus dibebaskan. Dan Malaka tak dapat dibebaskan karena kurangnya persatuan antara raja-raja bandar. Atau harus timbul Majapahit kedua yang sama sekali menguasai Malaka. Dan itu tidak mungkin. Untuk menguasai seluruh Jawa pun sampai seumur hidupnya orang takkan berhasil. Harus ada senjata baru yang lebih ampuh dari cetbang, baru orang berhasil. Dan cetbang pun sekarang telah dikalahkan oleh meriam. Senjata itu harus lebih ampuh dari meriam. “Bagaimana, Kang?” ”Ayoh makan.” Dan malam itu Senapati Tuban berjalan ke ladang untuk bicara-bicara dengan para penjaga babi hutan. Ia mulai menyalakan api unggun, tetapi para penjaga belum juga datang. Yang datang justru Pada membawa bungkusan. “Mengapa kau tinggalkan istrimu?” “Sudah tidur. Kang. Bukankah aku boleh meninggalkannya?” “Kau meninggalkan seorang pengantin seorang diri. Itu tidak patut Apa kau bawa itu?” “Sengaja aku tahan para penjaga babi di sana, biar dapat kusampaikan padamu bingkisan ini: dari Gusti Ratu Aisah.” ”Hmm. Pakaian pangeran itukah, yang menyebabkan kau mendapatkan Sabarini?” “Benar. Hanya saja kasutnya hilang sebagaimana pernah aku ceritakan,” ia mulai membongkarnya. Yang pertama keluar adalah kain batik bergambar kuputarung. Seperti kena kejang Wiranggaleng mencengkam kain itu kemudian meletakkan pada dadanya: “Aku pernah melihat bendera dengan lambang ini. Adipati Unus Jepara. Pulang membawa luka dan kekalahan dan Malaka. Seorang aulia!” Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk menguasai perasaannya sendiri, kemudian, “Dahulu aku mencurigainya, tidak mempercayainya. Hampir lima belas tahun yang lalu. Waktu itu aku masih terlalu muda, sangat mengagungkan Gusti Adipati Tuban. Aku pernah menjalankan tugas untuk memata-matainya. Aku pernah laporkan semua yang aku ketahui pada Gusti Adipati Tuban. Aku pernah ikut mengkhianatinya waktu menyerang Malaka. Dan ternyata hanya Gusti Kanjeng Adipati Unus yang benar. Betapa aku menyesal telah pernah mencurigai, memata-matai dan mengkhianatinya.” “Semua itu sudah lewat sekarang, kang.” “Lewat saja tiada mengapa, Pada, tetapi lewat dengan segala ketidakberesan begini.” “Kang Galeng, Raden Ajeng cilik yang menyerahkan bingkisan padaku itu menyampaikan pesan Gusti Ratu Aisah, bingkisan ini untuk siapa saja yang mampu mengenakannya, Kang. Kaulah itu yang mampu. Tak ada orang lain. Kala Cuwil tidak, Banteng Wareng pun tidak. Hanya kau. Kaulah Ken Arok kedua. Kang.” Wiranggaleng masih tenggelam dalam emosinya, pada masa lalu dan pada cita-cita Adipati Unus. “Bungkus kembali!” katanya pelahan dan parau. la berjalan dan hilang di dalam kegelapan. Mohammad Firman mencoba mengikutinya dari belakang dan menemukannya sedang berdiri di bawah sebatang pohon dengan dua belah tangan dan kening pada batang itu. “Aku tahu kau sedang berdukacita, Kang.” ‘Temani istrimu. Pada.” “Bagaimanakah aku dapat meringankan dukaritamu. Kang.” “Pergilah kau, jangan ganggu aku.” “Aku akan tetap di belakang. Kang.” “Pergilah kau. Pada,” ia diam sebentar. “Aku katakan sudah untuk kedua katinya.” “Untuk kedua kalinya aku bilang, aku tetap di belakangmu, Kang. Katakan semua padaku. Aku tahu kau kalah untuk kedua katinya untuk merebut Malaka. Semua orang tahu. Katakanlah, curahkan semua dukacitamu, Kang.” Lama Wiranggaleng tak bicara. Kemudian mulai ia bicara, lambat; berat, sepatah-sepatah: “Hampir-hampir aku tak dapat menahan perasaanku, Pada. Aku hanya si anak desa yang tersasar ke tempat Yang bukan tujuannya. Hampir lima belas tahun yang lalu semestinya Peranggi telah terusir dari sini. Sekarang mereka lebih kuat. Kita lebih lemah, Pada. Tak ada nama yang begitu terbenci dalam hidupku kecuali yang satu itu: Trenggono, Sultan Demak. Ia telah jerumuskan Jawa dalam peperangan melawan yang bukan musuh, dan membiarkan musuh semakin kuat begini. Ia telah perhamba orang-orang serumah sendiri sedang di luarnya orang telah merampas dan menguasai sumber kehidupan.” “Ya, Kang, kemenangan di Sunda Kelapa memang tanpa makna, kecuali untuk Fathillah pribadi.” “Semua kemenangan atas Peranggi tanpa mereka terusir dari Malaka hanya omong kosong, Pada.” “Betul, Kang, hanya omong kosong.” “Dan bagiku Jayakartanya Fathillah adalah nama untuk jaman kemerosotan ini.” “Ya, Kang untuk jaman kemerosotan ini.” “Rasanya tidaklah akan begitu sakit sekiranya pasukan gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa kalau Demak tak memukul semangat kita. Ditariknya pasukan Aceh mungkin juga tidak seberapa. Tapi Trenggono, betapa beda kau dari abangmu.” “Ya, Kang, keadaan sudah jadi begini.” “Pasukan gabungan ini tak bisa digerakkan lagi untuk menyerang. Dan menyerang apa? Untuk apa? Mengabdi pada apa aku ini? Pada diriku sendiri pun tidak. Padahal tak banyak yang kupinta dalam hidup ini. Barangkali sama dengan kau: pengabdian pada haridepan barangkali. Haridepan tidak terbina, yang didapat musuh, musuh di mana-mana. Kehidupan macam apa ini?” “Ya, Kang, manusia hanya bisa mengusahakan. Allah juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaNya.” “Hiburan semacam itu aku tak butuhkan. Pada. Muridmuridmu mungkin memerlukan lebih dari dirimu sendiri. Bagiku lain. Bagimu aku seorang kafir, dan aku senang dalam kekafiranku. Aku tak membutuhkan kata-kata hiburan,” suaranya menjadi bersungguh-sungguh disarati oleh pergulatan batin, “biarlah hati ini patah karena sarat dengan beban, dan biarlah dia meledak karena ketegangan. Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan mengakhiri. Bagiku kata-kata hiburan hanya sekedar membasuh kaki, sebagaimana Sabarini membasuh kakimu. Memang menyegarkan, tapi tiada arti. Jangan kau marah, Pada. Ambillah kata-kata hiburan untukmu sendiri. Aku tidak memerlukan. Barangkali pada titik inilah kita berpisah.” Ia berjalan lagi memasuki kegelapan dan hilang. Pada sangat kecewa dengan jawaban yang tak didugaduganya Ia tahu sahabatnya dihembalang oleh kekecewaan dan dukacita. Ia menginginkan sesuatu yang berada di luar kekuasaannya, di luar kekuatannya. Dan itulah kekecewaan dan dukacita itu sendiri. Tak ada yang dapat diperbuat Pada kecuali berdoa pada Tuhannya, memohonkan ampun dan taufik-hidayat untuk si kafir sahabatnya yang keras kepala itu. Kemudian ia pulang ke markas membawa bungkusan. 0o-dw-o0 Panglima itu sedang menemui pemimpin kesatuan Bugis- Makasar di pondoknya. Pembicaraan adalah sekitar kemerosotan semangat yang terus-menerus dan tiada terkendalikan. juga pemimpin itu merasa tak dapat berbuat sesuatu. Semua dikembalikannya pada Wiranggaleng. Berdasarkan kenyataan itu mereka berdua memutuskan untuk membuat pertemuan bersama: pada minggu mendatang. Pada siang hari ia pulang ke markas dalam keadaan tenang seperti dahulu. Tapi Pada dapat melihat bagaimana hatinya menggeletar, karena si kafir itu enggan menyerahkan kesulitannya pada Yang Maha Kuasa. Dan ia telah jarang berkhotbah di hadapannya. “Kau suka tinggal di Semananjung sini, Sabarini?” tibatiba ia bertanya. “Kalau Kang Pada suka, sahaya pun demikian.” “Jangan dengan sahay a-sahayaan,” ia melirik pada Pada, “nampaknya suamimu suka tinggal di sini. Itu baik, baik, selama orang sudah mulai berdamai dengan tempat tinggalnya yang baru,” ia tak bicara lagi dan pergi. Dalam pertemuan seminggu kemudian ia menyatakan, pasukan gabungan Tuban-Bugis-Makasar dalam keadaan lola tanpa batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke negerinya masing-masing kesempatan diberikan. Barangsiapa lebih suka tinggal, juga diperkenankan. Di depan pertemuan itu juga ia menyatakan telah melepaskan kepanglimaannya, bukan lagi atasan mereka, hanya sebagian dari mereka. Ia jelaskan tentang pengkhianatan Sultan Trenggono yang menyebabkan semua terdampar sebagai prajurit di sini, tetapi untuk sebahagian toh mendapatkan kebahagiaannya sebagai petani dan nelayan, terutama sebagai suami di tengah-tengah alam yang indah dan subur. ”Negeriku, Tuban, sekarang diduduki oleh Peranggi. Jadilah Itu bagiku panggilan untuk kembali menghadapi mereka di sana, karena Tuban negeriku. Aku tak memaksa kalian ikut. Hanya mereka yang ikut serta kembali denganku untuk mengusir Peranggi akan kuterima dengan segala senang bati.” Hanya dua puluh lima orang yang menyatakan hendak kembali. “Aku meninggalkan Tuban membawa lima ratus orang dan akan kembali dengan hanya dua puluh lima. Adipati Unus telah gagal. Beberapa belas tahun kemudian juga Wiranggaleng gagal. Karena kegagalan ini disebabkan oleh Trenggono, kalau kalian menyetujui, sebelum keberangkatanku, namailah daerah tinggal kalian ini dengan nama itu pula: Trenggono.” Pada hari yang telah ditentukan, Wiranggaleng bersama dengan dua puluh lima orang pengikutnya diiringkan beramai-ramai ke pantai. “Janganlah gusar kalau aku memilih tinggal di sini. Kang Galeng.” “Kau berhak, Pada.” “Bagiku Jawa hanya tumpukan kekacauan yang tiada habis-habisnya.” “Selama Malaka, Selat ini, berada di tangan mereka. Pada, selama itu Jawa akan tetap kacau.” “Nampaknya mereka akan tetap menguasainya, Kang ” “Kita tidak tahu apa bakal jadinya. Jangan kau kecewakan Sabarini Dan kau, Sabarini, aku masih ingin melihat anakmu lagalah kesehatanmu. Kirimkan anakmu kelak ke Jawa. Bagaimanapun dia masih punya leluhur.” 0odwo0 39. Tuban Jadi Kancah Perang Kali ini untuk pertama terjadi Tholib Sungkar Az-Zubaid tidak mengawasi barang-barangnya. Orang-orang mengangkutinya ke gedung kesayahbandaran dari dermaga, dan ia berjalan seorang diri mendahului. Begitu naik ke dermaga Tuban ia bersujud, mencakup tanah berpasir hancuran batu karang, menciumnya. Tak pernah ia mencintai Tuban sebagaimana halnya dengan sekarang. Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya mengucapkan syukur karena tidak terbawa oleh kapal Portugis ke Malaka. Tempat yang indah dulu itu kini bisa menjadi kuburannya setelah penganiayaan berat akan mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan Portugis bila terbukti pernah membunuh seorang Nasrani baik Ispanya ataupun Portugis, sekalipun yang dibunuhnya hanya seorang petualang tanpa arti. Ia telah menyedari haridepannya di Andalusia telah musnah. Semenanjung Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk haritua-nya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan Portugis dan Ispanya kini tak lain dari sebuah penggorengan besar bagi dirinya. Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh mukanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula. Akhir-akhirnya jabatan Syahbandar Tuban sudah cukup baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang penghasilan. Di Tuban sini ia akan hidup tenang dan senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk memperbaiki kelakuannya dan bertekad hendak membalas budi pada semua orang yang telah berbuat kebajikan padanya. Ia akan minta ampun pada Nyi Gede Kati, dan akan menempatkannya sebagai wanita yang semuliamulianya. Ia akan minta ampun pada istrinya dan akan membantunya dalam segala kesulitannya. Dan ia akan ambil Gelar sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan dirinya pada Wiranggaleng bila ia sudah balik dari Malaka. Dan ia akan urus bandar Tuban sebaik-baiknya. Ia akan panggil anak-istrinya yang ada di Goa untuk menemani di harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk dikuburkan di Bumi Tuban. Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di belakangnya, tongkatnya masih tetap setia di tangannya. Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna merahnya. Pakaian Portugis telah ditanggalkannya di perahu, dan kini ia pergunakan pakaian Syahbandar yang lama. Kakinya pun kembali berterompah. Mendekati kesyahbandaran ia berhenti, membiarkan para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan muka, leher dan lengan dengan setangan, kemudian menjentikjentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui Nyi Gede Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia tak ambil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar yang telah runtuh jadi tumpukan arang hitam. Aku tak ikut merusakkan Tuban, pikirnya. Tak ada tanggungan dalam nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah mulai ditumbuhi rumput serta pepohonan yang mati karena terganggang oleh panas kebakaran. Hitam, hitam saja barang ke mana matanya ditujukan. Dan ia berjanji akan membangun kembali bandar ini dalam waktu pendek. Ia membutuhkan kepercayaan dari semua orang. Sambil berjalan ia merencanakan bagaimana harusnya menemui Nyi Gede Kati. Ya, ia akan cium tangan-nya dan segera minta ampun pada saat itu juga. Para pengangkut itu telah memasuki pelataran kesyahbandaran. Paman Merta tak nampak dan taman depan rumah telah kehilangan Keindahannya yang dulu. Juga itu akan ia bangun kembali. Dan gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan perbaiki. “Ia terbangun dari semua pikiran dan rencananya melihat Kesyahbandaran dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal, Seorang prajurit berlarian datang padanya dan memberi tahukan dengan cepat-cepat: ‘Tuan Syahbandar Tuban? Segera tinggalkan tempat ini” “Inilah Syahbandar Tuban baru tiba.” “Segera tinggalkan tempat ini.” “Jantungnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih tertumpuk di tepi jalanan taman di depan rumah. Para pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah ada Syahbandar lainkah karena aku pergi tanpa minta diri tanpa ijin? Semua yang direncanakan goyah. Dalam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa: waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran kesyahbandaran dan para pengangkut mulai mengangkati barang-barangnya. Dari belakangnya ia dengar seseorang berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang prajurit datang menyusulnya dan menyilakannya masuk. Ia tersenyum puas mengetahui ia dikenal dan diakui kembali oleh praja Tuban. Segala-galanya akan jadi baik kembali seperti dulu. Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah orang yang berkumis dan berjenggot itu? Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertombak, melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak berikat kepala. Rambut panjangnya yang ikal jatuh bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian malah menutupi mukanya. ‘Tuan Syahbandar,” tegurnya ramah tanpa menghormatinya, bahkan tetap duduk di atas bangku. Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekat, kemudian berhenti dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah orang ini? Ia tak mengenalnya lagi Orang Demakkah gerangan? Demak? Keringat dingin mulai mengucur pada punggungnya. Ia hanya dapat membungkuk menghormat dan dengan tangan kanan bertekuk di depan dada. Dan orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa menggerakkan badan atau kepala ataupun tangan. Kepalanya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya tertutup rambut memandang tajam padanya. “Jadi Tuan Sayid Habibullah Almasawa datang lagi.” Barulah Tholib Sungkar tahu ia sedang berhadapan dengan Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. “Tugas sahaya sebagai Syahbandar Tuban memanggil, Gusti Patih,” jawabnya. Ia lihat tangan Kala Cuwil bergerak. Telunjuknya menuding ke arah muka Syahbandar, dan suaranya terdengar pelahan dan parau: “Lihatlah dia, hei kalian, terpanggil kembali oleh tugasnya.” “Demikianlah yang ditugaskan oleh Gusti Adipati Tuban pada sahaya.” Kala Cuwil menjatuhkan tangan pada pangkuannya. Ia kelihatan sangat lelah. Kepalanya tetap tak bergerak. Dan Syahbandar itu sudah sangat ingin mengetahui mengapa Sang Patih berada di gedung kesyahbandarannya. “Pengawal!” kata Sang Patih. Suaranya lelah. “Masukkan dia ke dalam krangkeng.” “Krangkeng?” pekik Tholib Sungkar. “Ya, krangkeng orang-orang Peranggi dulu:” Dan dua orang pengawal itu menangkapnya. “Apa dosa sahaya. Gusti?” “Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya. Peranggi biar tahu, Tuban tetap pada sikapnya.” “Sahaya Moro, Gusti, bukan Peranggi.” Dengan suara dan tenaga tuanya Tholib Sungkar meronta dan membangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang kesyahbandaran dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi, dikunci dari luar. Ia pegangi jeriji krangkeng dan digoncang-goncangkan. Besi itu tak sudi takluk pada kemauannya. Matanya liar berpendaran ke mana-mana. Dan tak ada dilihatnya Nyi Gede Kati. Paman Marta pun tidak. Yang ada hanya prajurit-prajurit pengawal. Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke dermaga. Ia berseru-seru gila, memanggil-manggil Sang Adipati, Nyi Gede Kati, Paman Merta, bahkan juga Wiranggaleng. Suaranya gemetar seirama dengan geletaran krangkeng yang disorong. Seorang pengawal berlari-larian menyusul dan menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh. “Sudah, jangan ribut-ribut,” nasihat pengawal itu.”Nyi Gede Kati nanti akan datang kalau dia tahu kau ada di sini.” “Gusti Adipati—,” ia meraung. “Apa yang kau raungkan? Dia sudah lama mati.” Syahbandar itu berhenti meraung. Ia menggigil. Tak ada lagi kekuatan yang sekarang akan melindunginya. Sang Adipati telah lama mati, katanya. Seorang prajurit takkan berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang Adipati memang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat daripada yang diduga. Ia terduduk di pojokan dan tulangtulang- nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia berlayar ke Malaka, pastilah tiada akan begini jadinya. Dan krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawalpengawal itu telah pergi. Ia pandangi laut dengan perahuperahu kecil yang bertebaran. Dan tak sebuah pun kapal pasukan laut Tuban yang nampak. Apalah arti hidup semacam ini? Laut itu pun sudah kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan panasnya sengangar. Semua manusia hanya memusuhinya. Semua kata hanya menyakitkan hatinya. Dari alun-alun terdengar canang dipukul bertalu-talu memanggil orang untuk mendengarkan pengumuman. Orang pun mulai berduyun-duyun berlarian, berebut dulu untuk dapat melihat Syahbandar Tuban dalam krangkeng. Orang bersorak-sorak Syahbandar itu membuang muka terhadap bondongan orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadapnya, dan tak dapat berbuat sesuatu pun karena perlindungan Sang Adipati. Ya, Allah apa lagikah yang akan menimpa diriku ini? Belum cukupkah ketakutanku selama ini, yang telah Kau berikan jalan keluar? Tidakkah aku Kau selamatkan dari orang sebanyak itu? la telah dengar langkah kaki berlarian menghampiri. Dan ia tahu tak dapat membela diri. Tak ada penolong dalam bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya sampai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya sampai pecah karena itu. Matanya mengembara dari ruji ke ruji, kemudian dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa manusia. Tetapi ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia telah membunuh Esteban dan Rodriguez, membikin bulu badannya menggermang. Ia melihat jeruji atas di mana dulu salah seorang di antara korbannya menggelantung mengelakkan diri dari tikaman. Dan ia tikam dia waktu kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung oleh tulang, dan tubuh itu jatuh bergede-buk di tempat ia duduk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu. Ia pandangi kelilingnya; mulut-mulut yang meludahi, lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas pengap, mata yang menyala-nyala penuh dendam. Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak, tidak ada saksi! Tapi apa pula artinya saksi dalam pengurusan hukum Pribumi di Tuban? Mati. Mati juga yang akan dihadapinya. Dan ia belum rela mati. Dengan pengalaman sebanyak itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik itu… mungkinkah seorang manusia harus mati dalam keadaan sehina ini? Tidak! Tidak layak! Hanya orang dungu tak berpengalaman, tak berilmu, mati hina. Orang makin banyak juga datang berduyun. Dalam waktu pendek ia telah mandi air ludah dan keringat sendiri, basah-kuyup. Seluruh badannya berbau amis. Ia tak tahu tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng. Karena tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba mengusir mereka dengan tongkatnya. Dan mereka sama sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk menggunakan pisau tongkat dan mengamuk. Tapi ia masih mengharapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak berani. Ia tak dapat membela diri apa lagi melawan orang sebanyak itu, sekalipun mereka hanya meludah dan menyumpah. Dicarinya tempat paling tengah, menjauhi tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan bahunya, tepat seperti dialami Esteban dan Rodrigeuz dulu. Dan di situlah ia duduk tak mempedulikan kata orang, duduk membungkuk memeluk lutut, menenggelamkan muka, dengan pantat sakit terkena ruji besi. Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, Yakub harus datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan membunuh aku, presis seperti aku sendiri telah lakukan terhadap Rodriguez dan Esteban. Dia punya alasan, Yakub terkutuk itu. Dia sudah jual keterangan pada Cortez dan Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan mau membayarnya dengan uang – uang apa saja, asal emas atau perak. Di mana si terkutuk itu sekarang? Pantas dia jarang kelihatan lagi. Hujan ludah terus berlangsung. Suara bising melampiaskan dendam dan kejengkelan terhadap dirinya bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya. Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir dermaga yang sebentar tadi telah diciumnya dengan penuh pengharapan. Wajah-wajah di sekelilingnya mengernyit dan mengancam, meringis dan merongos, membelalak dim mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, meraung dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memonyong dan menjebik. Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menarinari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol, dan kekuasaan ada padaku kembali… kalian akan remuk di dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dungu seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul semua kalian akan binasa. Ia diam saja dalam duduknya. Badan dan pakaiannya semakin basah. Ludah itu bukan lagi menempel pada pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan menetes. Dan udara pengap dan bau amis itu -betapa bedanya dari udara segar di atas sana. Dan angin yang tak henti-hentinya meniup tak sampai padanya, terhalang oleh ratusan, ribuan orang yang mengepungnya. Para penonton mulai lelah dengan tingkahnya. Mereka mulai menipis. Dengan lirikan ia ikuti di antara ketipisan penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak membawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka mulai dapat ia tangkap satu-dua patah kata, tapi tetap tak jelas. Matari tenggelam dan keadaan mulai sepi Deburan laut kini menjadi jelas mencapai pendengarannya. Tidak, Yakub, kau tak perlu datang, apa lagi malammalam begini. Barulah ia mengangkat kepala. Dan segera ia menunduk lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang seperti yang lain-lain? Anjing yang seekor ini? Jantungnya yang selama ini meriut kecil sekarang berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah kiranya dia yang berjual simpati pada orang di dalam krangkeng maut ini? ‘Tuan Syahbandar!” ia dengar panggilan pelahan. Tholib Sungkar berdiri bangun dan menubruk penonton yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu karena semutan. “Kati, Kati! Nyi Gede!” desaunya, “istriku yang setia. Aku tahu kau akan datang.” “Bagaimana, Tuan Syahbandar, mengapa jadi begini?” “Bagaimana? Bagaimana aku tahu? Hanya kaulah yang bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!” “Ah, Tuan, bagaimana Tuan bisa tak tahu Gusti telah mangkat?” Syahbandar itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan Nyi Gede, berbisik: “Menghadaplah pada Sang Patih.” “Sahaya akan menghadap. Tuan.” “Ya-ya, menghadaplah kau, istriku yang setia, yang berani, yang mulia. Kati, Nyi Gede Kati….” “Mengapakah-Tuan kembali ke Tuban?” Semangat Tholib mulai bangkit lagi. Dengan istrinya ini ia merasa menjadi kuat. Dengan suara berkeyakinan dalam kegugupan ia menjawab: “Allah mengirimkan aku kemari dan Allahlah yang akan menghukum orang-orang zalim itu. Allah telah membisikkan padaku untuk mengambil dan memelihara istrinya sebaik-baiknya…” “Sahaya bawakan makan sekedarnya, Tuan. Makanlah. Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan dalam keadaan seperti ini. Tapi Tuan harus makan, dan minumlah banyak-banyak, karena hari besok akan punya kemungkinan lain.” Ia sorongkan lodong bambu berisi air. Syahbandar itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit, dan Nyi Gede pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata. Mengetahui suaminya hanya mau makan dari kirimannya Nyi Gede Kati mengusahakan datang ke krangkeng pada setiap hari bila para penonton sudah tiada. Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi seperti ini: “Orang datang padaku hanya untuk mengejek, mencemooh dan meludahi aku, Kati,” Tholib mengadu. “Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada larangan mungkin mereka telah bunuh aku. Hanya kau, istriku yang setia, yang memeliharakan aku. Allah akan membalas semua kebajikanmu. Ampunilah segala perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. Demi Allah, bila umur panjang akan aku muliakan kau, Kati.” “Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, sahaya adalah istri Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini? Sahaya sudah menghadap Sang Patih.” “Ya-ya, bagaimana hasilnya?” Tholib menyambar dengan rakus. “Nanti, nanti! kata Gusti Patih, dan cuma itu. Tuan.” Syahbandar Tuban melengos dan menghembuskan nafas panjang kemudian duduk tanpa daya. “Ya Allah,” keluhnya, “siang panas dan malam dingin, terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa ini – sampai kapankah berakhir?” “Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semua bakal ada akhirnya juga.” Lama suami-istri itu berdiam diri. Tholib menunduk dan istrinya mengawasinya dengan dukacita. “Ampunilah sahaya tak dapat berusaha lebih baik.” Syahbandar mengangkat muka dengan harapan amat sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: “Cobalah menghadap kepala-kepala pasukan, Kati.” “Semua telah sahaya usahakan. Tuan.” Syahbandar menunduk lagi. Sekarang terpikir olehnya akan kesulitan Nyi Gede dan bertanya: “Bagaimana hidupmu. Kati, istriku?” “Seperti yang lain-lain. Tuan-” “Tiadakah kau mendapatkan kesulitan dari mereka?”, “Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suami yang sedang menderita?” “Betapa mulia hatimu. Nyi Gede. Mengapa baru aku ketahui sekarang? Betapa bodohnya aku ini.” “Syukur kepada Allah, Tuan, bahwa akhirnya Tuan mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia. Sahaya berbahagia mengetahui itu, Tuan.” Dan pergilah wanita itu pulang setelah menyorongkan beberapa lodong bambu air untuk mandi suaminya. Ia menuju ke gubuknya di daerah bandar, sebuah pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua terbuat dari daun kelapa, bekas tempat tinggal wanita gelandangan. Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak mengikutinya. Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di belakangnya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk mengurus suaminya. Maka ia harus menghadapinya dengan tabah dan sabar. “Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua ini,” ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka. Anak-anak berseru-seru riang setiap ia memperdengarkan suaranya. “Mengapa cuma kau yang mau mengurusi Almasawa?” “Hanya orang gila mau melayani dia!” yang lain menambahi. “Kau gila, Nek?” “Ya, ya, gila dia. Dulu di gedung bagus, sekarang di gubuk. Bagaimana takkan gila.” Nyi Gede Kati membuka pintu, disambut oleh kegelapan di dalam dan menyilakan anak-anak itu masuk. Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang yang membawa sebilah ranting mencoba menggelitikinya. Ia tangkap ranting itu dan menariknya. Sejenak anak itu terbawa dan Nyi Gede melepas kembali. Anak itu jatuh terduduk. Yang lain-lain semakin ramai bersorak-sorak Kalau aku punya anak, pikir Nyi Gede, mungkin ada dia di antara mereka. Ia tersenyum. “Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.” Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul. Kemudian pada batang kayu berbelerang. Waktu api telah jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: “Ayoh masuk, di dalam sini masih ada sedikit makanan.” Dan anak-anak itu mulai jadi ragu-ragu. Seorang yang paling kecil dilambainya. Dan anak itu bergerak mundurmundur dengan pandang memancarkan ketakutan. “Nah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk.” “Mengapa kau urus si Almasawa?” seorang yang terbesar memberanikan diri bertanya. “Mengapa? Dia suamiku.” “Dia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mungkin di krangkeng.” “Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus mengurusnya, bukan? Walau dia penjahat?” “Tidak bisa!” pekik anak paling besar itu. ‘Tidak mungkin bapakku seperti dia!” “Ah, Nak, siapa tahu bolak-baliknya nasib?” Tapi anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu. la ambil batu dan melemparkannya pada Nyi Gede. Wanita itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mulai menghujani pondok daun kelapa itu dengan kerikil dan kerakal. Seminggu Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi keramaian. Tontonan baru telah terjadi untuk penduduk Tuban Kota: Yakub, terikat tangannya, berjalan menunduk dalam pengawalan prajurit-prajurit. “Semua begundal Peranggi tertangkap!” seorang prajurit berteriak mengumumkan. “Dulu dibiarkan merajalela.” Pengumuman itu seperti sambaran petir dalam dada Syahbandar. Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus bersiap-siap menghadapi persoalan itu. Orang berbondong-bondong turun ke dermaga, tak menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepatcepat atau lari ke jurusan kesyahbandaran. Larangan masuk ke pelataran rumahnya sudah tidak berlaku lagi. Dari kejauhan ia melihat Yakub terikat dalam giringan. Jantungnya semakin berdebaran: pengadilannya akan segera dibuka. Ia telah dapat mengambil sikap: ia akan lemparkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam. Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selamatkan aku, ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. Yakub tak kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali ini. Dan ia lihat Yakub dibawa masuk ke kesyahbandaran. Ia menunggu sampai sore hari. Seorang prajurit pengawal datang padanya. Tholib menenang-nenangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan dimulai? Apa? Prajurit itu tidak membukakan pintu krangkeng. Senyum ramahnya untuk minta keterangan dijawab dengan seringai oleh prajurit itu. Dan seringaian itu mematahkan senyumnya. Prajurit-prajurit lain pada berdatangan. Kemudian bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang baru datang menudingnya dengan muka merah oleh murka: “Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda Peranggi di Tuban? Bedebah!” “Tidak benar,” bantah Tholib. “Dan Yakub akan jadi patihmu!” ”Bohong!” pekik Syahbandar, menduga begitulah pengadilan atas perkaranya mulai disidangkan. “Kau kirimkan meriam pada si brandal Kiai Benggala buat tumbangkan Tuban. Semua kawula Tuban, dengarkan jawabannya.” Kepercayaan diri Syahbandar mulai goncang. Kefasihannya yang dipersiapkan macet. Inikah macamnya? Bagaimana Tuban atas diri dan perkaraku? Inikah macamnya? Bagaimana aku mesti membela diri di depan pengadilan semacam ini? Siapa sesungguhnya penuduh dan siapa pula hakimnya? “Kau suruh orang mengambil meriam-meriam dari kapal Peranggi sambil mengantarkan dua orang Peranggi itu dalam keadaan terbelenggu dan terbius.” “Bohong! Tidak benar! Fitnah!” raung Tholib Sungkar dalam kegugupannya. “Yakub dan gerombolannya yang kau suruh.” “Yakub keparat!” pekik tahanan itu. Ia tetap kehilangan keseimbangannya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah krangkeng dengan memegangi tongkat. Semua yang telah dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada sesuatu pun yang bakal menolongnya. Tuhan tidak, kecerdasan dan kefasihan sendiri pun tidak. Pikirannya tetap tak mau bekerja sebagaimana harusnya. Dengan putus-akal ia tutup mukanya dan hanya kata-kata itu juga yang keluar “Yakub keparat! Yakub keparat!” “Raja-muda Tuban!” orang-orang mulai bersorak menuduh. “Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar!” ia memekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora soraksorai menuduh. Matanya membeliak tanpa melihat keluar, tapi ke dalam batin sendiri. Dan batin itu kehilangan kemampuan untuk membela nyawa sendiri. “Kiai Benggala berkirim surat padamu melalui Wiranggaleng.” “Tidak! Tidak benar. Wiranggaleng keliru!” pekiknya, kemudian mendesau-desau, “Wiranggaleng keliru!” pekiknya, “sungguh-sungguh sesat, keliru.” “Kau bunuh Esteban.” “Tidak, tidak, bukan aku membunuhnya. Bukan. Bukan.” Krangkeng itu telah dilingkari oleh padatan manusia. Semua mata tertuju padanya. Dan setiap pandang mengancamnya. “Siapa yang membunuh dia?” “Bukan aku. Yakub!” “Pembohong!” pekik orang itu. Dan orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya, mengancam, mencemooh dan menghinanya. Suara-suara itu bergalau menjadi satu. Syahbandar tak dengar kata-kata mereka. Hanya hatinya dapat menangkap ancaman yang terkandung di dalamnya. “Kau bunuh Rodriguez!” “Tidak. Tidak. Bukan aku. Yakub yang membunuhnya.” “Pembohong.” “Betul. Betul bukan aku. Bukan.” “Kau khianati Sultan Mahmud Syah Malaka.” “Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. Yakub yang mengkhianati.” “Kau racuni gajah-gajah Sultan Mahmud Syah.” “Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu.” Panas matari tak tertahankan oleh semua orang. Baik para prajurit maupun rombongan penonton telah menipis meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telinganya, dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: “Kau bius Idayu!” ‘Tidak benar!” ia meraung melolong. ‘Tak pernah aku bius Idayu atau siapa pun. Dan Gelar bukan anakku. Benar, tidak, tidak, tidaaaaaak!” “Kau nasihati Kiai Benggala untuk menculik Idayu anakberanak,” desau angin meneruskan tuduhannya. “Bohong! Semua bohong! Kiai Benggala yang menculik Nyi Gede Idayu. Bukan aku.” “Kau tipu Gusti Adipati dengan cerita-cerita bohong.” “Aku orang suci!” raung Tholib putus-akal. Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya, la mengeluh dan menangisi ketidakmampuannya sendiri. Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, Allah, Kau hukum aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku membela diri. Kau telah tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau telah rampas keseimbanganku. Kau telah bikin aku jadi gila dan hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatankah aku ini? la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan makian, hinaan dan ludahnya. Beramai-ramai mereka mendorong krangkeng beroda itu meninggalkan dermaga. Badan Tholib menggeletar karena geletaran krangkeng dan berayun-ayun mempertahankan keseimbangan. “Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut!” seseorang berseru. “Besok, Ulasawa, Raja-muda Peranggi, besok!” yang lain menambahi dengan gemasnya. Dan besok selesailah apa yang dinamai hidup ini. Kiamat pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini. Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali. Mendadak perhatiannya beralih pada rombongan lain yang menyoraki Yakub, menuju ke arah krangkengnya yang telah berhenti di tengah-tengah lapangan bandar. Ia lihat Yakub berhenti di dekatnya, kemudian orang mengikatnya pada sebatang patok barang tiga depa dari krangkengnya. Suatu padat-an manusia telah melingkar lebar. “Nah, katakan semua tadi, Yakub!” “Dia itulah,” Yakub memulai dengan menuding Syahbandar Tuban dengan dagunya, “dia itulah biangkeladi segala-segalanya. Sahaya sekedar menjalankan perintahnya sebagai bawahan.” Tholib Sungkar Az-Zubaid sengaja berdiam diri. Ia berusaha memulihkan kemampuan dan nilai-nilai pribadinya. Tetapi tuduhan Yakub lebih kuat daripada usahanya. Separah dari semua tuduhan Yakub tertangkap olehnya dan seperempat dari usahanya mendapatkan hasil. Setelah orang mendesak dan memaksa-maksa untuk menjawab, keluar juga kata-katanya: “Demi Allah. Orang itu hanya penipu. Telah kujelajahi bandar-bandar di dunia ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak pernah ada seorang pewarung arak dipercayai omongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh Gusti Adipati Tuban yang bijaksana itu? Aku ataukah dia?” ia tertawa menghinakan. “Siapa yang jadi Syahbandar Tuban? Aku ataukah dia?” Ia tertawa menghinakan. “Siapa yang jadi Syahbandar Tuban? Aku ataukah dia? Katakan, kau, Yakub, kau bukan penipu. Ayoh, buktikan.” Sekarang Yakublah yang tak mau bicara, Ia hanya menunduk, seseorang telah mengambilkan kopiahnya dan mengenakannya pada kepala Yakub. “Bicara, kau, Yakub!” bentak seseorang. “Semua telah sahaya persembahkan pada Gusti Patih Sang Wirabumi,” jawabnya. “Tak ada guna mengulangi lagi.” “Apa telah kau persembahkan, penipu?” “Katakan, Yakub,” seorang wanita memohon. Dan orang itu adalah Nyi Gede Kati yang berpakaian compangcamping. Yakub tetap pada sikapnya. Mendengar suara istrinya Tholib merasa mendapat sokongan kekuatan batin. “Ayoh katakan, penipu, penghasut, pemfitnah, pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana kau menipu dan membunuh!” bentaknya. “Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak punya kehormatan dan harga diri!” seorang prajurit membentak Syahbandar. Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan ludah. Kemudian lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang terikat didatangkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada tonggak-tonggak yang telah tersedia. Orang mulai mengerumuni mereka kecuali seorang: Nyi Gede Kati. Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan terakhir dari prajurit itu betul-betul menyakitkan. Hatinya kembali meriut. Disekanya hidungnya dengan lengan baju yang telah dekil. “Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati? Mengapa diam saja? Demi Allah, aku tak bersalah sedikit pun. Memang aku pernah bermaksud menganiaya kau, dulu, tapi kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku telah memaafkan. Bukan, Kati? Istriku?” Kati memandanginya dengan iba sambil menyodorkan bungkusan daun pisang dengan sepotong kelapa mengintip dari celah-celah sobekan. Dari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Orangorang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah datangnya panggilan. Dalam waktu pendek daerah pelabuhan menjadi sunyi kembali. Beberapa depa dari krangkeng Yakub dan temantemannya berdiri tanpa daya memunggungi tonggak pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara. “Tuan, biarlah sahaya pergi dulu mendengarkan pengumuman di alun-alun,” Nyi Gede Kati minta diri. Ia pergi tanpa menunggu jawaban. Syahbandar Tuban hanya bisa mengiringkan dengan pandangnya. Sobekan pada kain istrinya itu memperlihatkan sedikit dari betisnya. Dan ia berpaling untuk tak melihatnya. “Ya, beginilah macam pengadilanku,” ia meyakinkan dirinya sendiri, “Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang kafir jahil ini.” Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak ada seorang pun di antaranya mencoba bicara…. Pengumuman dari panggung alun-alun itu tak kurang menggemparkan. Seorang peseru menyampaikan: gerombolan Yakub telah dapat ditangkap, dipersalahkan membantu Sayid Habib Almasa wa dalam menggerakkan pemberontakan Kiai Benggala, mengangkut dua pucuk meriam dari kapal Peranggi ke pantai dan mengantarkannya ke Rajeg. Bersama dengan itu dikirimkan pula dua orang pelayan meriam Peranggi bersama dengan meriam itu. Gerombolan ini akan menjalani hukuman mati menurut perintah Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi. Sayid Habibullah Almasa wa telah diadili sebagai biang keladi utama dan dijatuhi hukuman krangkeng sampai mati untuk dipertontonkan pada dunia, terutama Portugis. Pengumuman kedua lebih menggemparkan lagi, menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis dari kota, termasuk Tuban Kota sendiri, besok harus menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di tanah lapang sebelah barat kota sebelum matari terbit. Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamuk. Dan sekarang Tuban tidak lagi bertahan, tapi menyerang. Orang kembali ke rumah masing-masing, tak mengindahkan lagi pada mereka yang dijatuhi hukuman mati. Perang yang akan datang mungkin membunuh setiap orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa? Perang! Sekali lagi perang! kapan akan selesai semua ini? Seminggu setelah pengumuman, perang besar telah terjadi di sebelah barat luar kota. Demak sedang memusatkan kekuatannya. Trenggono telah bertekad bulat menggunakan pukulan terkuat untuk dihantamkan pada Tuban. Dan Tuban tetap jadi impiannya untuk jadi pangkalan meneruskan penyerangannya ke Gresik dan Blambangan…. Pasukan gajah Tuban yang selama ini diundurkan ke pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh balatentara dipanglimai oleh Banteng Wareng. Kala Cuwil tinggal berkedudukan sebagai Patih Tuban merangkap kepala pasukan gajah. Balatentara Demak selama ini meremehkan pasukan gajah untuk membesarkan hati tentaranya. Setelah melihat sembilan puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan iringan pasukan kaki yang membeludak dan pasukan kuda di sela-selanya, menjadi gopoh-gapah dan gentar. Gajahgajah itu maju terus tanpa menoleh. Dari setiap bentengan kayu di atasnya ditiupkan hujan anak panah tanpa hentihentinya. Canang perang Tuban bertalu berbareng tiada jera-jeranya, ditingkah oleh sorak pasukan kaki dan pagardesa yang dikerahkan. Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan menerjang barang apa yang ada di hadapannya. Baju kubtkerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang Arab, tak mempan dipedang, di panah ataupun ditombak. Barisan Demak telah goncang dan turun semangat, bimbang untuk terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti matari dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling berbareng. Kuda-kuda Demak, melihat bukit-bukit pada berjalan mendatangi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan sendiri, tiada terkendalikan. Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan kuda Banteng Wareng seperti air curah. Medan pertempuran menjadi kuning karena kepulan debu dan pasir. Pekikan maut tenggelam dalam sorak-sorai dan canang. Trenggono pun gugup melihat balatentaranya rusak dan tetap dalam pengejaran. Dengan murkanya ia perintahkan seluruh tentaranya mundur ke barat, ke daerah Rembang. Dan di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali kekuatannya. Di sini pula ia mengambil putusan untuk menghentikan gerakan militer ke timur buat sementara. Balatentara Tuban sendiri berhenti di perbatasan dan mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka. 0odwo0 40. Dan Portugis pun Memasuki Tuban Kehidupan di Tuban agak pulih. Kala Cuwil telah memerintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya ma-sing-masing dan kembali melakukan pekerjaan seharihari. Bandar Tuban Kota mulai berisi lagi dengan manusia. Selama pertempuran di barat kota Nyi Gede Kati tetap mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari. Dan sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya bagaimana ia mendapatkan makannya. Dan terjadilah hari itu. Nyi Gede Kati datang pada waktu sore dengan membawa bungkusan dan lodong air. Dan bungkusan itu bukan lagi daun pisang, tapi kain batik yang telah usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji besi, berkata: “Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna untuk selimut di waktu malam dan berteduh di waktu siang.” Tepat pada waktu Tholib Sungkar menerimanya canang pelabuhan bertalu-talu. “Ada kapal asing datang!” gumam Syahbandar sambil meninjau ke menara pelabuhan. “Dan Syahbandar masih di sini,” gumamnya lagi, sekarang meninjau ke ufuk. “Kau lihat kapalnya, Kati?” “Lihat, Tuan.” “Demi Allah, aku bebas, Kati, karena hanya akulah Syahbandar. Kapal manakah gerangan? Aku tak lihat.” “Nampaknya kapal Peranggi, Tuan.” “Peranggi? Masyaallah,” matanya bersinar-sinar penuh harapan. “Lihat baik-baik, Kati.” “Peranggi, Tuan, tiga kapal.” “Tiga kapal! Dia datang bukan untuk berdagang, Kati,” Ia mencoba melihat, tapi tak dapat. Kelemahan badan selama ini membikin matanya menjadi rabun. Dan mata itu berhenti pada tonggak-tonggak yang selama ini ditakutinya. Di sana Yakub dan teman-temannya telah menjalani hukuman mati, seorang demi seorang, diperas darahnya, tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan hatinya menggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran dan perasaan. Sekarang: Portugis! Portugis datang! Mereka takkan lebih berbahaya dari Kala Cuwil si pongah Tuban itu! “Alhamdulillah,” sebutnya berkali-kali. “Peranggiiiiiii!” Pekik penjaga menara. Baik Nyi Gede Kati maupun Tholib melihat penjaga menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke kesyahbandaran. Beberapa bentar kemudian tiga orang penunggang kuda berpacu hilang di tikungan. Canang alun-alun sekarang bertahi tiada henti-hentinya, titir tanda bahaya. Canangcanang desa kemudian pun bertalu-talu, memberitakan akan datangnya bahaya dari laut. Dan balatentara Tuban masih mesanggrah di perbatasan barat. Canang kemudian berubah irama, memberikan isyarat agar semua perempuan dan anak-anak meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman. “Mereka datang!” bisik Syahbandar, “tak salah lagi.” Nyi Gede Kati memandangi suaminya, mencibirkan bibir. Tangan suaminya yang memegangi lengannya ia lepaskan. “Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala Cuwil!” Dari kejauhan mulai terdengar ledakan meriam melepaskan peluru. Tak lama kemudian pelurunya beterbangan di atas krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkarbangkir kena terjang. Sebutir peluru meriam yang jatuh di jalanan pasir membikin segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar. Ditiup angin debu itu pun mengembang dan buyar bersama dengan angin sore. Nyi Gede Kati meludah. Kemudian lari melintasi daerah tembak meriam ke sebelah timur. Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekam sambil berdoa tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak mengenal Syahbandar Tuban. Ia hanya mengenal sasaran. Dan ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran. Ia adalah Tholib Sungkar Az-Zubaid, tidak lebih dan tidak kurang. Dan Portugis belum lagi membayar penuh untuk segala jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi, dan Portugis tak perlu melunasi hutangnya. Tak patut ia tewas meninggalkan piutang. Tapi peluru-peluru itu buta, tak mengenal hutang ataupun piutang. Orang lari berserabutan dari bandar. Merekalah yang lebih berhak mendapat peluru, bukan Syahbandar Tuban. Perempuan yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih besar. Lelaki yang memanggul bungkusan. Kakek atau nenek bertongkat, berjalan lambat-lambat. Seorang nenek bongkok berjalan tak menentu dengan dua kaki dan dua tangannya. Anjing-anjing yang berputar-putar sekitar majikannya yang sedang mengungsi. Dari kejauhan terdengar cetbang dan meriam Tuban memberikan tembakan balasan. Nampaknya kapal-kapal Tuban sedang dalam perjalanan kembali ke pangkalan. Tholib Sungkar mengintip dari sela-sela jari untuk menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapalkapal Tuban, hanya silang-siur dari peluru di udara, dan hanya tiga kapal Portugis itu juga yang semakin mendekat ke bandar. Riuh-rendah peluru menerjang bangunan. Membenarmkan suara manusia dan hewan. Nampaknya kapal-kapal Tuban dianggap tidak penting oleh Peranggi. Peluru makin mendesak ke arah Kota. Dan tak ada seorang pun dapat menangkis. Gedung kesyahbandaran telah roboh atapnya. Dalam hanya seperempat jam telah banyak bangunan kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud, atau atapnya compang-camping. Kebakaran mulai muncul di sana-sini. Dan asap hitam mengepul ke langit senja yang biru itu. Bandar telah mulai kosong. Sisa armada Francisco de Sa setelah lari dari Sunda Kelapa terus berlayar ke timur. Di luar perintah Malaka ia bermaksud melaksanakan rencana kedua, menduduki bandar Tuban. Sunda Kelapa lepas, Tuban harus kena. Ia harus tinggalkan Sunda Kelapa karena tak mengetahui benar perobahan yang telah terjadi. Dan kini, di luar pengetahuan Malaka sisa armadanya telah siap untuk berlabuh. Tetapi gangguan kepal-kapal Tuban, di antaranya ada yang melepaskan tembakan meriam telah menyendatkan rencananya dengan beberapa puluh bentar. Cetbangcetbang itu memang tidak digubrisnya, tetapi meriamnya harus mendapat pelayanan yang layak. Dengan salvo meriam selama lima bentar, empat buah kapal Tuban telah menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan menjadi isarat salvonya harus di arahkan ke sasaran semula. Ia perintahkan berlabuh dan membuang sauh di luar jarak tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mulai diturunkan Menyusul kemudian serdadu-serdadunya bersenjata lengkap. Meriam terus memuntahkan peluru untuk melindungi pendaratan. Dendamnya akan dilampiaskannya pada Tuban. Ia tak dapat memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda Kelapa. Dari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru ia mengetahui, Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan Demak. Ia takkan kembali ke sana. Dari tangkapan-tangkapan di laut itu pula ia mengetahui, Tuban sedang kosong dari balatentara yang sedang berperang melawan Demak. Dengan jatuhnya Tuban ke tangannya Demak akan putus hubungannya dengan Maluku. Pucuk dicinta ulam tiba. Dengan menduduki bandar Tuban ia harus dapat selamatkan muka dan namanya. Adalah memalukan bagi seorang pembesar Portugis dikalahkan oleh Pribumi, karena kalahnya juga kekalahan ras, kekalahan agama, kekalahan keyakinan. Dan itu tidak boleh terjadi atas diri Francisco de Sa. Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus mendarat. Dayung ke arah bandar. Tak ada sebuah pun tertinggal. Dalam lima belas bentar prajurit-prajuritnya sudah harus mendarat. Dan dari teropongnya ia melihat regu pertama telah mulai naik ke dermaga tanpa perlawanan. Ia perintahkan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang pengawal. Pagar desa Tuban telah dikerahkan dengan kilat. Bersenjatakan tombak, panah dan perisai mereka menyerbu ke bandar. Hanya ada beberapa orang prajurit beserta mereka untuk memimpin perlawanan. Seperti semut mereka menyerbu ke bandar, bersebaran di setiap tempat dan bersorak-sorak untuk memberanikan diri sendiri. Meriam dari kapal telah berhenti menembak. Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mundur. Pertempuran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam dengan sendirinya. Tombak peluru musket itu tak dapat ditembus, sebaliknya membinasakan, menyusupi daging dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan mundur terus. Didermaga Portugis tak henti-hentinya mendaratkan balatentara. Pagar desa segera berlarian meninggalkan bandar dan menarik diri ke kota yang juga telah kacau-balau dengan rumah-rumah yang binasa dan terbakar. Musket Portugis terus mengusir dan membinasakan siapa saja yang ada di depannya, manusia dan hewan. Begitu serdadu Portugis mendarat, mereka terus lari maju dan menduduki tempat di depan pasukan sebelumnya. Dan demikian terus menerus. Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta. Yang terakhir mendarat adalah Francisco de Sa. Tholib Sungkar tidur menelungkup di atas ruji-ruji krangkengnya. Waktu tembakan meriam telah berhenti dan tembakan musket makin lama makin meninggalkan bandar memasuki kota, ia angkat kepalanya dan berhenti berdoa. Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci telah berangkat lagi ke kapal dan mengangkuti peralatan. Di dermaga ia lihat beberapa orang Portugis. Dan ia dapat melihat mereka adalah para pembesar. Ia mengucapkan syukur untuk keselamatannya, dilupakan oleh peluru meriam dan musket. Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di dermaga menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan meriam dan rodanya “Bekas Syahbandar Malaka?” “Tepat. Alias Sayid Habibullah Al-Masawa.” “Cukup!” Bertiga mereka lari menggabungkan diri dengan rombongan Francisco de Sa yang sudah hampir meninggalkan wilayah bandar. Francisco berhenti, menengok ke arah krangkeng, kemudian berjalan menghampiri, dan mengawasi Tholib yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar. Syahbandar itu membungkuk dan melambaikan tangan, menghormat: “Selamat datang. Tuan, Tholib Sungkar Az- Zubaid, Tuan.” Francisco de Sa tidak menanggapi. Matanya tajam mengawasinya. Sekaligus Tholib melihat pada mata itu perasaan dendam atas terbunuhnya Esteban dan Rodriguez. Mata itu mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari mulutnya: ‘Telah lama kutunggu kedatangan armada Portugis yang jaya. Betapa berbahagia sekarang tiba.” “Di mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa tahun yang lalu dan orang-orang Tuban menghina aku?” “Syahbandar Tuban sedang mereka injak-injak. Di tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan.” “Di mana orang-orang itu sekarang?” “Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan menunjukkan di mana mereka bersembunyi.” Francisco de Sa mendeham. la perhatikan konstruksi krangkeng besi itu. “Pembesar siapakah yang dihadapi oleh Syahbandar Tuban sekarang ini?” tanyanya dengan kata Syahbandar ditekankan. Francisco de Sa tak menjawab. Kemudian ia berpaling dan berjalan menuju ke gedung kesyahbandaran dalam pengawalan. “Ya Allah, ya Allah!” sebut Tholib “Akhirnya tanganmu juga yang terulur.” Ia menangis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur. Dicakupnya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan dituangkan pasir pada rambutnya dan dikacaunya. Ingusnya meleleh dan ditiupnya dengan sumbatan sebelah jari. Ia tahu, pembebasan telah tiba. Mungkin hanya untuk beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada mengapa. Dalam sementara itu kemungkinan baru akan terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang terbaik di antaranya. “Allah Maha Besar. Allah Maha Besar.” Francisco de Sa berjalan terus dan masuk ke kesyahbandaran yang atapnya telah kempes. Dan matari sudah tenggelam. Seorang pengiring nampak lari ke dermaga, kemudian datang bersama temannya ke krangkeng membawa martil besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan palunya pada lidah-lidah pasak sampai bengkok, melipatlipatnya dengan pukulan, kemudian patah. Linggis tak terpakai Pintu besi itu pun terbuka. Tholib Sungkar Az-Zubaid keluar dari krangkeng, menghirup udara sepenuh paru-parunya menjatuhkan diri di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya. Pasukan pagardesa berhamburan melarikan diri dari bandar. Di Tuban Kota pun mereka tidak aman. Di antara kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh serdadu-serdadu Portugis yang terus maju. Mereka menginsafi tak dapat menahan tembok semprotan peluru musuhnya, memasuki kampung-kampung pinggiran kota, terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masingmasing. Para pengungsi memenuhi jalanan, grobak dan pemikul, penggendong dan penuntun. Dan peristiwa penyerbuan Portugis segera disusul oleh berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepalakepala pasukan. Kala Cuwil menyalahkan Banteng Waieng yang sebagai Senapati atas seluruh pasukan Tuban telah membiarkan bandar tidak terjaga. Banteng Wareng menyalahkan Kala Cuwil karena sebagai Patih kurang betul dalam memberikan keterangan tentang keadaan bandar. Perselisihan semakin hari semakin meruncing. Kepalakepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa pemihakan. Balatentara Tuban terancam bubar karena pertikaian dari atas. Serangan pembalasan terhadap Peranggi di Tuban Kota tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan hidup dan keselamatan di luar kota ternyata tak dapat hidup dengan tenteram. Para petani yang telah bosan pada perang dan selalu menjadi korban tak menanggapi kegentingan negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang menang nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan jasa semata. Mereka tak suka lagi membantu seperti dulu. Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal mendapat bantuan dari siapa pun. Di Tuban Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi mereka yang tidak mengungsi. Syahbandar Tuban dengan giatnya menjadi petunjuk jalan serdadu-serdadu Portugis mengepungi kampung-kampung dan menakut-nakuti dengan tembakan. Semua lelaki ditangkap dan digiring masuk ke bandar, diperintahkan mendirikan bedeng-bedeng baru. Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh musket. Lama kelamaan patroli Portugis juga berani memasuki daerah luar kota dan menangkapi lelaki siapa saja yang dapat ditangkapnya. Bedeng-bedeng di bandar dalam waktu cepat telah bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dahulu. Dan semua tangkapan yang dipekerjakan kemudian di sekap di dalamnya. Penjagaan yang ketat tidak memungkinkan mereka menjenguk ke luar. Beberapa orang yang mencoba melarikan din telah rebah mencium tanah, baik karena peluru ataupun karena pisau tongkat Tholib. Ia sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota dengan tongkatnya yang beracun dan mendapatkan kenikmatan dalam merampas jiwa orang. Berita tentang perselisihan antar kepala pasukan sama hebatnya dengan tongkat samber nyawa Syahbandar Ulasawa. Orang berani mengancam kepala-kapala pasukan yang pada naik pitam. Tetapi Syahbandar dengan tongkatnya mendapat banyak julukan karena setiap hari paling tidak ia mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sumber bencana yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan menikamkan senjatanya pada kanak-kanak ataupun kakekkakek, perempuan ataupun bayi. Ia juga memasuki kampung-kampung merampasi segala apa yang berupa mas dan perak. Untuk itu ia selalu membawa serdadu. Dalam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum sambil memekik senang: “Kafir!” Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana ia sendiri tak jarang juga ikut melakukannya sendiri. Kampung nelayan telah menjadi senyap tanpa penduduk. Dengan perahu dan keluarganya mereka beramai-ramai pindah ke tempat lain di malam hari. Semuanya menuju ke sebelah timur. Pasar Tuban tiada didatangi orang lagi. Jalan-jalan lengang. Yang mondarmandir hanya serdadu Portugis. Mereka tak bertekad tidak mengungsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut. Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanpa perawat. Dan bila Portugis mengetahui ini segera mereka membakar rumahnya sekaligus. Setelah seminggu menduduki Tuban dan balatentara Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, Portugis mulai memberikan perintah pada Tholib Sungkar Az- Zubaid untuk membikin benteng bawah tanah di sebelah kiri kesyahbandaran. Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng bandar dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya langsung. Mulailah mereka yang lesu kelaparan dan ketakutan itu bekerja keras sejak matari terbit sampai tenggelam. Harga manusia Tuban dalam pendudukan sudah tak ada, merosot jadi serumpunan hewan yang tak boleh punya kemauan sendiri atau bersama, tak boleh punya harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari ditanamkan pada hati mereka melalui ancaman dan pengaiayaan untuk membikin mereka jadi kecil di hadapan Tholib Sungkar dan Portugis. Seperti penduduk Sunda Kelapa mereka harus bekerja menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas permukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul, memadatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mulai mereka kenal, alat-alat Eropa mulai mereka pegang: gergaji lempang, serut dan paku. Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan sekaligus lubang penembak. Di atas benteng berdiri sebuah menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan. Seorang peninjau selalu nampak menyandang musket Meriam-meriam dipasang di bandar dan di sekitar benteng. Semua menghadap ke pedalaman. Gedung kadipaten telah dijadikan tangsi pula setelah bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa bawah tanah serta simpanan barang-barang berharga semasa Majapahit. Pecinan, tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong menjadi rayahan Portugis. Penduduknya mengungsi lewat laut dan darat ke Lao Sam. Kehidupan Pribumi di laut ataupun darat serasa telah berhenti. Setelah benteng jadi orang-orang yang ditahan dan melakukan kerja-paksa diusir, dilarang memasuki wilayah pelabuhan. Sebaliknya perempuan gelandangan mulai berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kelapa dan menampung penyakit baru yang mulai dikenal waktu itu rajasinga. Di daerah bandar sendiri orang pun mulai berkenalan dengan binatang baru: tikus. Setelah meninggalkan suaminya dengan membawa kemuakan terhadap lelaki yang diurusnya dalam kesulitan selama ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang. Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timur memasuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur pantai. Tembakan-tembakan cetbang menyebabkan ia menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana ia melihat bagaimana empat buah kapal Tuban tenggelam dihajar oleh meriam Portugis. Ia jatuh berlutut, mencium tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan – di darat kalah, dilaut pun kalah. Bakal jadi apakah semua ini nantinya? Dan badan seorang diri di dunia ini? Sang Adipati mengusir. Suami dikrangkeng karena perbuatannya yang hina dan memuakkan. Sekarang Peranggi datang dan mengalahkan semua-muanya. Apakah harus hidup dalam semak-semak begini dan menjadi hewan liar? Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semaksemak di timur bandar itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia ke pondoknya. Seorang perempuan lain telah menempatinya, dan dengan kekerasan ia mengusirnya. Dengan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang hendak memasuki. Dan makin lama makin banyak perempuan berkampung. Gubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam ramai dengan tawa kikik dan kekak. Perempuan dan hanya perempuan. Di depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu dengan suaminya yang diiringkan oleh beberapa orang serdadu Portugis. Ia lihat suaminya bicara dengan serdaduserdadu itu yang kemudian menyebar memasuki gubukgubuk yang lain. Tholib Sungkar Az-Zubaid masuk ke dalam: “Begini tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang perempuan semulia kau. Bawalah semua barangmu. Aku telah mendapat tempat di bekas warung Yakub.” “Terimakasih, Tuan, tempat sahaya ada di sini.” Mereka duduk di ambin bambu dan lelaki itu membujuk dan membujuk. Akhirnya: ‘Tahukah kau, Kati, aku telah bersumpah hendak memeliharamu baik-baik, menempatkan kau di tempat yang mulia….” “Itulah sumpah Tuan sendiri, bukan sahaya.” “Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan memenuhi sumpahku.” “Sahaya tak perlu dipelihara. Tuan, dapat memelihara diri sahaya sendiri.” ‘Tapi sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih mulia, lebih patut untukmu.” ‘Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan. Sahaya akan tinggal di sini.” ‘Tapi kau istriku. Kati.” “Kalau Tuan memerlukan sahaya, datanglah Tuan ke sini. Sahaya akan tinggal di sini.” “Kau tak ada sanak-keluarga, Kati?” “Tidak, Tuan. Mengapalah Tuan baru tanyakan sekarang?” “Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran Tuban?” ‘Tidak, Tuan, Gresik. Waktu perawan sahaya diculik oleh seorang perompak dan dijual ke Tuban pada seorang Tionghoa.” “Apakah kau tak ingin pulang lagi ke Gresik?” “Begini sudah baik, Tuan, sahaya telah mati untuk keluarga sahaya. Pada hari tua sahaya begini, sahaya ingin seorang diri, melupakan semua dan dilupakan oleh semua.” “Juga olehku. Kati?” “Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk sahaya, begini sudah baik. Tuan.” “Makanmu bagaimana. Kati?” “Mengapalah Tuan tanyakan itu? Burung-burung pun bisa mencan makannya sendiri, masakan sahaya tiada bisa?” Serdadu-serdadu itu menjemput Syahbandar, dan mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok daun nyiur. Tak lama kemudian datang gelombang demi gelombang orang-orang Portugis. Bila memasuki pondok Nyi Gede Kati mereka segera pergi lagi, karena perempuan yang seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. Dan waktu matari tenggelam, gelombang yang pergi dan datang tak kunjung berhenti. Sekali terjadi seorang Portugis setengah mabok memasuki gubuknya dan tiga hari kemudian ia rasai saluran seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang wanita lainnya ia telah terkena penyakit Peranggi... Berita tentang masuknya Portugis di Tuban telah tersiar luas di pedalaman, melewati perbatasan, sampai ke tempat pengungsian Idayu sekeluarga di daerah Bojonegara. Berita tentang mengganasnya Syahbandar Ulasawa menerbitkan sesalan orang pada mendiang Adipati Tuban, yang terlalu mempercayainya. Juga di tempat-tempat yang jauh orang menjadi gemas karena kelakuannya. Waktu itu tengah malam di pondok pengungsian Idayu. Gelar baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar berita itu. Setelah memasukkan kuda ke kandang ia sorong pintu gubuk. Dalam rembang sinar pelita ia lihat ibu dan adiknya, Kumbang, telah tidur. Ia raba kaki ibunya, dan Idayu terperanjat bangun. “Ada apa Gelar?” Dan Gelar memandanginya seperti orang bingung. “Tak pernah kau bangunkan aku seperti ini,” Idayu duduk dan ia lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. “Adakah kau habis berkelahi?” Gelar menggeleng lemah-lemah, dan dengan kasihnya ia pimpin ibunya menjauh dari Kumbang yang tidur nyenyak. “Ada apa kau ini? Kau begini aneh?” Dan Gelar bercerita tentang masuknya Peranggi di Tuban dan mendirikan benteng, dan membunuhi banyak orang, dan membakari rumah, dan memang punya banyak meriam. Kemudian matanya meredup waktu sampai pada titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku Syahbandar Tuban. Keberaniannya hilang. Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya memberinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak memberitahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia memang bukan anak Wiranggaleng, tapi Syahbandar celaka itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: ’kesamaan rupa antara dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan. Dan kekecewaan bukan anak Senapati malahan hanya anak orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam jiwanya. Kalau benar Syahbandar Tuban bapakku, seorang bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah sembah dan sujud dan ketakzimanku pada Senapati? Dan betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi semacam kotoran bagi Senapatiku? Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan sebagai bapaknya, tampil sebagai orang hina, kejam terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut yang mengganggu pendengaran dan mengotori hati. Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. Dewa! Bahkan sampai-sampai tongkatnya pun diberitakan orang, dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya yang seperti hidungku, dan gerak bibirnya bila ia sedang menanamkan mata pisau-tongkatnya pada tubuh seseorang. Kalau benar Syahbandar itu bapakku, mengapa emak tak pernah sampaikan padaku? Malukah emakku pada perbuatannya sendiri? Pada ketidaksetiaannya pada Senapatiku? Dan adakah aku hanya anak yang tidak diharapkan?’ Jantungnya meriut kecil. Tapi justru sekaranglah waktu itu datang untuk menanyakan. Ia menjadi ragu-ragu melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan merabaraba hatinya. Dan rangsang ingin-tahu-nya sudah memuncak sampai pada titik letus. Ia masih juga tak berani bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan muka seperti beberapa kali pernah terjadi? Ah, emak, emakku, betapa kau menderita, hanya karena pertanyaan. Pertanyaan belaka, mak! “Ya, Nak, aku sudah dengar Peranggi memasuki Tuban. Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok? Mengapa pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan? Sakitkah kau?” “Mak,” Gelar terhenti lagi. “Lama sudah aku ingin tahu.” dan ia terhenti. Dan betul saja sebagaimana ia duga, Idayu sudah mulai melengos membuang muka. “Mak, apakah Emak berkeberatan punya Gelar ini sebagai anakmu, Mak?” Cepat-cepat Idayu menarik muka dan menatapnya. “Menyesalkah Emak punya anak aku?” “Gelar!” Ia cengkam bahu anaknya. “Kurang baikkah aku mengurus kau, mengasihi, mengasuh dan membesarkan?” “Hyang Widhi lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang terbaik yang pernah aku temui di antara semua perempuan.” “Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan pertanyaan semacam itu?” “Ampunilah aku, Mak ampuni aku.” Di luar dugaan Gelar emaknya tiba-tiba merangkulnya, suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang dinding: “Apa saja kata orang tentang emakmu. Nak, sampai kau mentala bicara semacam itu? Apakah kau tidak suka punya emak semacam ini?” Gelar merasai airmata emaknya jatuh ke lengannya. Ia beranikan diri: “Jangan menangis begini, Mak,” ia terhenti, “lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Emak sendiri,” ia diam untuk mendapat keberanian. “Kau selalu tak mau menjawab. Entah sudah berapa kali.” Idayu melepaskan rangkulan dan melengos memunggungi anaknya: “Ya, Nak. Aku mengerti maksudmu. Karena itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu: apakah seorang lelaki yang bernama Galeng itu kurang baik sebagai bapakmu?” “Demi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi lebih berharga.” Ia pandangi anaknya dan bertanya: “Apakah itu tidak cukup, anakku?” “Tidak cukup, Mak, ampuni aku,” ia berbisik pelan dan hati-hati. “Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak tertanggungkan itu, Mak, aku bukan anak Wiranggaleng?” dan tiba-tiba keberaniannya menjadi utuh. Idayu mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya sendat-sendat: “Kau sedang menggugat aku, Gelar.” “Emak!” ia memerosotkan diri dari duduknya dan menyembah dan mencium pangkuan ibunya. “Para dewa mengutuki anakmu ini bila berani menggugatmu, Mak. Ampuni aku. Tak ada yang lebih baik dari Emak dan Senapatiku.” “Mengapa kau ulangi juga pertanyaan semacam itu?” Gelar berdiri, kemudian duduk di samping Idayu, tak berani menatap wajah ibunya. Dalam hatinya ia mengetahui emaknya sudah basah karena airmata kesedihan. “Kau sudah dewasa. Nak. Kau sudah jadi tulangpunggungku selama ini. Kau sudah jadi anak yang baik untuk emakmu, bapakmu dan abang yang sangat baik untuk adikmu. Apa lagikah yang masih kurang?” “Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke medan perang? Dan kalau aku tewas, Mak, tegakah kau melihat aku mati tanpa mengetahui sesungguhnya siapa bapakku? Siapa akan aku cari di alam sana nanti?” “Kau masih merasa kurang, anakku.” “Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu, Mak, beri aku kebenaran itu.” “Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup padamu?” “Hanya kebenaran itu yang kurang, Mak. Apalah arti harga diri dan kehormatan yang selalu Emak ajarkan dan tunjukkan contoh-contohnya kalau kebenaran itu kurang mencukupi?” “Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu, dan apalah gunanya bila demikian?” ia menghela nafas dalam, kemudian menghembuskan ke luar seperti puputan. “Jadi benar bapak bukan bapakku,” Gelar mendahului. Idayu melengos lagi. Ia hendak bicara tapi tak jadi. “Kalau begitu siapa sesungguhnya dia, bapakku itu, Mak?” melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak lembut, “orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab, bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan menjawabkan untukku.” Setelah untuk ke sekian kali menghembuskan nafas besar Idayu berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan: “Benar, Gelar. Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu kali aku harus juga sampaikan. Memang aku takut menyampaikan. Bukan karena takut pada kebenaran. Aku takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah. Keantaanmu pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh lag? seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu yang terjadi? Kau memang berhak, dan kau menuntut hakmu. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, Nak, bila matari telah terbit, jangan dalam malam suram semacam ini. Tidurlah kau.” “Mak!” “Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat memberikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih membutuhkan keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru bisa rusak semua-muanya. Soalnya memang tidak sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.” Tanpa memandang anaknya Idayu kembali ke ambin dan membetulkan letak selimut Kumbang, kemudian ia, tidur miring menghadap ke dinding. Gelar masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dapat memberikan kebenaran yang jadi haknya. Keruyuk pertama ayam jantan sudah mulai terdengar. Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak dapat tidur. Pikiran, bahwa ia anak Syahbandar Tuban, membikin semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi, dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan. Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada orangtuanya tergoncang keagungannya – hanya oleh yang seorang itu, satu nama yang membusukkan segalanya. Keruyuk ke dua telah berhenti. Ia keluar dari gubuk, menghisap udara pagi segar, kemudian pergi ke dapur. Ia bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk pertama kali ia melakukannya. Biasanya Idayu sendiri yang mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak enak badan. Ia tunggui air sampai mendidih. Emaknya belum juga turun. Jagung muda yang ditebusnya telah masak. Idayu belum juga muncul. Ia pergi ke anak sungai dan mandi. Matari sudah memancarkan lembayung merah di ufuk timur. Waktu hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia lihat mata wanita tercinta itu bengkak. Gelar menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. Tapi hanya hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran. Maka ia singkirkan perasaannya. “Mak!” ia menegur lebih dahulu. “Ya, Gelar, mari pergi ke ladang.” Dan di ladanglah Idayu mulai bercerita tentang impianimpiannya setiap habis menari di kadipaten waktu Wiranggaleng tak ada di Tuban. Siapakah dapat mengatakan impian mengandung kebenaran? “Dan kau membutuhkan kebenaran itu, dan kebenaran itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.” Idayu menerangkan pada Gelar tentang kehidupan seksuil. Kemudian: “Dan bukti yang paling menentukan adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku tahu kau bukan anak Wiranggaleng. Telah aku serahkan diriku pada bapakmu, Nak, aku serahkan diriku dengan sebilah cundrik, tapi bapakmu tidak menancapkan senjata itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni emakmu ini.” “Ah, Emakku, betapa kau menderita karena kelahiranku.” “Hanya Hyang Widhi juga mengetahui, Nak, betapa perasaanku waktu itu. Nyi Gede Kati telah siap melihat aku bermandi darah. Bapakmu tak juga membunuh aku. Betapa menderita dia, barangkali dia pun telah lama jadi olokolokan orang sebagai lelaki Tuban yang tak ada harganya sebagai lelaki….” “Cukuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak? “Setelah kau lahir, dia masih mencoba lagi. Tidak dalam impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dapat membela diriku. Bila suamiku bukan Wiranggaleng, sudah lama emakmu ini tumpas dibunuhnya, juga kau, juga orang itu. Dan justru karena percobaannya dalam keadaan aku sadar dan dapat membela diri, Gelar, aku dapat memastikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. Kemudian orang ramai membicarakan dia suka membius orang untuk mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: Nyi Gede Kati.” “Mak, jadi benar Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa!” pekik Gelar. “Kemudian dibiusnya juga penjaga-penjaga menara pelabuhan. Kabarnya kemudian juga dua orang pelarian Peranggi. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak impian, anakku, aku telah kena bius. Obat biuslah senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu bagaimana caranya aku terkena biusnya.” “Cukup, Mak cukup, terimakasih, Mak.” “Itulah ceritanya. Gelar. Aku takkan menuntut padamu untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau menimbang dan menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak punya arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar dari emakmu sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau anggap emakmu tidak setia pada Wiranggaleng, sudahlah jadi nasibku, terserah padamu. Kalau kau menjadi murka padaku, terserahlah pula padamu….” “Terimakasih, Mak, anakmu yang bernama Gelar ini lebih percaya pada emaknya daripada siapa pun. Sekarang, Mak apakah orang itu, yang suka membius itu—” “Apalah gunanya kau tanyakan lagi? Aku tak sudi kau menyebutkan namanya.” “Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya,” dan ia lihat duka-cita telah membenam wajah ibunya. Buruburu ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugup, “hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.” Kemudian ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya menyala-nyala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri. “Gelar!” pekik ibunya. “Gelar! Gelaaaar!” ia lari memburunya. Di dekatnya ia berkata menghiba-hiba, “Aku telah kecewakan kau. Maafkan aku. Gelar.” Gelar berjalan menuju ke kandang kuda, membuka palang-palang dan menuntun Sultan keluar. “Kau mau ke mana, anakku? pagi-pagi begini?” tanya ibunya kuatir. “Mari ke gubuk dulu, Mak.” Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda, menuju ke gubuk. Gelar masuk ke dalam dan memanggil adiknya. “Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak. Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang. Gantikanlah pekerjaanku selama aku tak ada.” “Kau mau ke mana. Gelar?” Idayu bertanya. “Mak, ambilkan pedangku.” Tanpa membantah Idayu pergi mengambilkan apa yang dipinta oleh anaknya. Dan waktu ia datang Gelar segera berkata: ‘Tanganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu sendiri.” “Kau mau ke mana. Gelar? Aku tak mau kehilangan kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil,” pohonnya selama memasangkan ikat pinggang pedang pada tubuh Gelar. “Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang.” “Apa kataku kalau bapakmu datang?” “Mak, pasangkan destarku.” Idayu pergi lagi dan datang membawa destar terbaik. Gelar berlutut di hadapan ibunya untuk dibenahi rambutnya sebelum didestari. “Aneh benar tingkahmu. Nak?” “Keris bapak, Mak.” “Kau seperti hendak berangkat perang,” kata ibunya sambil menyelitkan keris yang telah membunuh Sang Patih Tuban. Gelar berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum, bertanya: “Lihatlah anakmu sebelum berangkat, Mak, gagahkah dia?” “Tak ada yang lebih gagah.” “Gagah manakah dengan orang itu sewaktu muda, Mak?” “Jangan sakiti hati emakmu. Gelar.” “Ampun, Mak, ampun. Pandangi anakmu baik-baik, Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar kau bisa kenangkan dia dengan baik.” “Gelar! Mau ke mana kau?” untuk ke sekian kalinya Idayu memohon. “Kau takkan tinggalkan kami berdua, bukan?” Sekarang Gelar berlutut lagi dan menyembah ibunya. “Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat,” dan Idayu terpaksa merestuinya. Kemudian ia berjalan keluar dan memanggil kudanya: “Sultan! Sultan!” Kuda itu datang menghampiri. Ia melompat ke atasnya. “Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang?” Ia selitkan cambuk-perang yang selama ini dipergunakannya berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang tombak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di belakangnya. Ia berdiri di atas sanggurdi dan meninjau langit. Kuda itu bergerak, berpacu. Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, kemudian hilang di dalam hutan…. 0odwo0 41. Setitik Busa di Samudera Kehidupan Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu. Pada suatu padang rumput barulah berhenti. Gelar turun dan membiarkan Sultan merumput Ia sendiri duduk di tepian padang, makan rebus jagung muda. Selama enam belas tahun benih jagung yang dibawa Syahbandar Tuban ke Jawa telah menyebar ke seluruh pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawanya. Juga Gelar tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita. Setelah kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat pelahan-la-han mencari sungai yang biasa dilewatinya. Dibiarkan kuda itu minum secukupnya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan kembali. “Puh, puh, puh! lari, cepat Sultan, cepat. Lebih cepat! Awas, jangan kau lemparkan aku dari punggungmu.” Padang rumput itu telah terlalui dan kini ia memasuki jalanan desa. “Stt. Kau lari ini hendak ke mana? Tahu kau ke mana kau harus bawa aku?” Sawah dan beberapa rumah mulai dilewati dan dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan kudanya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil melambai-lambaikan cambuk. Anak-anak babi pada berlarian seakan jiwanya sendiri yang terpenting di dunia ini. “Ah-ah, kau memang cerdik, Sultan, tahu ke mana aku hendak pergi.” Kuda telah meninggalkan desa dan kembali memasuki persawahan. “Awas, jangan sampai kau pergokkan aku pada Peranggi,” ia memperingatkan. “Sekiranya, Sultan, sekiranya aku tak bisa kembali, kau harus bisa pulang sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa kembali. Mengerti? Apa? Kau sudah lelah lagi? Matari pun belum lagi bergeser sejengkal. Jangan manja.” Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanannya. Derap kuda dan desau angin pada kuping menyebabkan ia tak banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. Dan ia pun tak mendengar seseorang berseru-seru dari atas pohon tinggi, menyuruhnya berhenti. Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan bambu dari atas pohon. Ia anggap itu suara burung. Sampai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. Gelar menebarkan pandang ke keliling. Macan: Kuda itu tetap menolak maju dan terus juga meringkik. “Turun!” terdengar suara dari balik semak hutan. Gelar menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia mencabut tombak. “Orang siapa? Demak?” “Bukan.” . “Peranggi?” ‘Tidak.” “Tuban?” “Tiga-tiganya tidak!” “Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah. Siapa kau?” “Keluar kau dari semak, lelaki, inilah Gelar.” Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa belas orang keluar melingkarinya. Gelar sendiri duduk di atas kuda menyiap tombak dan meruncingkan kewaspadaan. “Kau, Gelar!” mereka berseru senang. “Ayoh, turun.” Gelar curiga. Tapi suara tawa mereka ramah. Pandangnya berpendaran pada wajah-wajah yang melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang prajurit pengawal Tuban. “Ayoh, Gelar, turun! Tak ada orang punya gaya berkuda seperti kau.” “Siapa kalian,” Gelar bertanya curiga. “Demak atau Tuban?” ia bertanya kembali. “Tuban. Sudah butakah matamu? Ayoh, minum tuak dulu! Semua ini teman-temanmu sendiri sepasukan. Tidak, tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang seperti itu?” Gelar mengembalikan tombak pada tempatnya, tertawa waspada dan turun. “Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran…’ ia awasi prajurit-prajurit pengawal itu. “Pertengkaran apa? Terlalu banyak musuh untuk boleh bertengkar Demak, Peranggi. Kau toh akan bergabung dengan kami?” Dengan tetap memegangi hulu pedang ia hamp iri bekas tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: “Aku mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke Tuban. Dengar?” “Beres. Bergabung dulu. Minum, ambil tuak itu. Tuaaaak.” Mereka masuk ke dalam hutan, merubung ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. Dan sebentar kemudian mereka telah riuh-rendah dalam kegembiraan. “Kau sudah perjaka gagah berani. Gelar!” seorang memulai. ‘Tahukah, kau. Gelar,” seseorang menyambung, “Syahbandar itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih?” Gelar tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam menembusi mata si penanya, kemudian meletakkan cangkir di tanah. “Jangan kau gusar,” segera orang meredakan. “Peranggi telah membebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi segala macam kecelakaan.” Gelar menahan diri. Ia mencoba memahami adakah ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan menghina ataukah sekedar memberitahukan, Belum lagi ia dapat memutuskan terdengar derap kuda datang mendekati. “Siapa itu?” Gelar bertanya curiga. “Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, Gelar, kau mau ke mana dengan kelengkapan perang selengkap ini?” Gelar tak bermaksud menjawab. Orang lain telah bicara: “Ingin kami lihat tampangmu kalau sudah berhadapan dengan Peranggi. Terhadap teman-temanmu sendiri kami sudah cukup tahu. Gelar ” “Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau mendengar musket dan meriam. Pucat, kau. Gelar, mungkin pingsan sewindu”. Dari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru dan derap kudanya padam: “Kembali kalian! Semua! Senapatiku telah datang, Senapatiku yang lama. Ayoh kembali!” Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke jalanan. Seorang pengawal yang masih duduk di atas kuda menyampaikan perintah: ‘Tanpa kecuali, semua kembali. Senapatiku telah datang.” “Banteng Wareng?” “Bodoh. Wiranggaleng! Bersoraklah untuk Senapatiku.” Orang pun bersorak-sorai. Gelar menyembunyikan muka pada bulu suri kudanya. Ia menangis. Ia tahu orang itu bukan bapaknya lagi. Semua orang berbangga pada Sang Senapati Tuban. Ia merasa seumur hidupnya telah jadi duri dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang Senapati? “Sultan!” sebutnya pada kudanya meminta simpati. Kuda itu menengok padanya. Sorak-sorai itu telah berhenti. “Kau tidak ikut bersorak. Gelar!” seseorang menegur. “Seumur hidupku aku telah bersorak untuknya,” jawabnya cepat-cepat dan menyekakan muka pada punggung Sultan. “Ayoh, semua berangkat sekarang juga.” Orang pun mengemasi bawaannya masing-masing dan naik ke atas kuda. Juga Gelar bergabung dengan sendirinya dan ikut berangkat Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan telah hilang di balik tabir debu. la membutuhkan waktu untuk memantapkan kembali hatinya. Senapatiku! Senapatiku, masihkah diri ini anakmu? Akan kau terima diri ini bila ikut datang menjemputmu? Mengabdi padamu? Aku bangga berbapak kau. Ah, Senapatiku. Ia pacu kudanya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku. Bapak! Bapak, aku, Gelar datang. Gelar diterima kembali oleh pasukannya. Dan Senapati Tuban, Wiranggaleng, ternyata tak pernah dapat ditemuinya. Belum ada orang yang dapat bercerita bertemu, apalagi bicara dengannya. Namun demikian kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap prajurit. Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap seperti dihembus angin. Setiap saat orang menunggu dengan taat akan datangnya perintahnya. Dan dalam waktu pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dapat dilawannya. Prajurit-prajurit yang selama ini dibiayai oleh praja Tuban, dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani, telah menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja prajurit yang sepangkat-pangkatnya hanya akan hidup dari perampokan langsung atas petani. Senapati telah tindas kecenderungan jahat ini, dan memerintahkan setiap prajurit menjadi petani dan setiap petani menjadi prajurit. Dan ternyata setiap prajurit bisa menjadi petani dan setiap petani bisa menjadi prajurit. Dan Senapati Tuban masih juga tidak dilihat oleh orang. Gelar harus tahan kerinduannya untuk bertemu, untuk mendapat restu, untuk mendapat ijin istimewa memasuki Tuban, menemui Syahbandar Sayid Habibullah AlMasawa. Idayu telah mengatakan melalui jalan kelok, Syahbandar itulah bapaknya yang sebenarnya, la harus menemuinya dan menyembahnya sebagai seorang ayah. Biar semua orang membenci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya, orang yang suka membius itu. Ia ingin tahu dengan mata dan kuping sendin bagaimana macamnya. Dan keinginan itu tak juga terpenuhi. Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih memainkan senjata. Dan betapa ia berlatih diri begitu fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan selamat. Dan semua berita tentang bapaknya yang sejati ia dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. Dan betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang membenci orang Moro itu. Mereka berhak membencinya dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam perang terakhir nanti. Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang saja bisa membikin diri dan emak dan Senapati menelan kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak Syahbandar itu sendiri yang harus menanggungkannya? Tidak adil! ia meraung sunyi. Dan bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan pengiriman seorang telik untuk memasuki kota, ialah yang terpilih. Ia telah mendapat nilai sebagai pemuda yang berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan syukur pada Hyang Widhi. Dengan menyandang semua senjatanya ia naik ke atas punggung Sultan dan berpacu ke utara. Sampai di sebuah kampung nelayan ia berhenti. Ia nikmati pemandangan laut yang nampak tanpa batas, bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak ada kapal, besar ataupun kecil kelihatan. Perahu nelayan pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakaubakau. Rumah-rumah itu nampak sangat miskin, suram, tak ada kegembiraan, beda daripada pondoknya dalam pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang telah lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin. Ia masuki sebuah rumah, telah doyong, dan dua orang anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata orangtuanya pergi ke daerah selatan, mencari tanah pertanian. Juga di rumah-rumah lain, yang ada hanya bocah-bocah. Semua nelayan telah meninggalkan laut untuk bertani. Di malam hari waktu mereka pulang ia mendapat cerita, penangkapan ikan tidak lagi menghidupi. Tak ada lagi orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman. Mereka pun telah berhenti membikin ikan asin dan trasi. Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan. Tetapi Gelar melihat, sawah-sawah garam mereka sudah tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan yang amat sangat. Walau begitu ia tak ragu-ragu memerintahkan seorang laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara kuda dan barang-barang titipannya. Dengan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke jurusan timur – pengalaman pertama dalam hidupnya sebagai orang pedalaman. Ia telah mendapat tugas untuk menemukan pemusatanpemusatan kekuatan Peranggi, mencatat adat-kebiasaannya di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah geraknya. Dalam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri pada ketajaman matanya. Dan ia bangga hidup di tubir maut begini – suatu kehormatan untuknya. Ia akan tunjukkan pada emaknya, pada Senapati, pada semua yang mengenal dan tidak mengenalnya, ia mampu lakukan tugas berbahaya tanpa teman, bahwa ia layak jadi anak Senapati Tuban. Dan Senapati akan bangga punya anak seperti dirinya. Ia takkan memalukan orangtuanya. Dengan modal kebanggaan dan hati besar ia tak menemukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan selamat di barat bandar kota, dan bandar itupun terbentang di hadapannya seperti sebuah cobek tua yang tinggal pecahnya. Dengan melumuri badan yang hampir-hampir telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat, berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan mata menatap hanya pada satu titik. Rambut kacaunya jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya, terutama hidung-bengkungnya. Tanpa ragu-ragu ia mendekati prajurit-prajurit Portugis dan mengajak bicara. Dan mereka menghalaunya dengan cacian, dengan lemparan batu. Ia merasa puas dengan permunculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan. Kepalanya terlindungi oleh sisa destar yang merupakan tali sempit. Dengan demikian ia dapat kukuhkan letak rambut yang harus dapat menutup hidungnya. Kesulitan satu-satunya adalah pangan, tapi justru itu yang menyebabkan ia mengurus dan nampak pucat. Dan itu lebih baik baginya. Untuk mendapatkan pemusatan-pemusatan kekuatan baginya tak merupakan kesulitan. Meriam-meriam ia dapat mengetahui ditujukan ke arah selatan sedang yang di sekitar benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu. Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidupan Peranggi. Sedang bandar sendiri nampaknya tak begitu terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng memang merupakan bahaya awal bagi belatentara Tuban, tetapi di malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga mata tentara Peranggi itu tidur di malam hari. Ia lihat serdadu-serdadu berkeliaran di kampungkampung dan menggauli wanita yang tak mampu meninggalkan kota. Tapi lebih banyak lagi adalah yang berkeliaran di gubuk-gubuk bandar. Dan di sini pula ia sekali melihat Syahbandar Tuban keluar dari sebuah gubuk, tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus tua. Kemudian ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh Nyi Gede Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak terpelihara lagi seperti dulu. Beberapa hari lamanya ia memata-matai Syahbandar, la selalu melihat orang itu berada dalam kawalan serdadu dan setiap sore berkunjung ke gubuk Nyi Gede Kati, seorang diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk itu pengawal-pengawalnya kemudian pergi dan masuk ke tempat-tempat lain. Sekali waktu ia tidur bergolak-golak di pasiran pinggir jalan ia lihat Syahbandar lewat dalam pengawalan. Ia berhenti, mengawasinya sejenak kemudian bicara sesuatu dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat Syahbandar itu memerlukan untuk meludahinya, dan Gelar tertawa berbahagia mendapat ludah itu dan menyekanya dengan rambutnya. Ia ikuti orang terbongkok-bongkok itu dengan pandangnya. Itulah bapakmu yang sesungguhnya. Gelar, buruk sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia? Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan? Tak pernah terdengar sesuatu yang mulia tentangnya? Tapi itulah bapakmu. Semua orang tahu. Emakmu sendiri mengatakan dengan jalan dan cara lain. Betapa emakku menderita karena kau, menanggung malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke tanganku iblis tua! Inilah Gelar, anakmu, dia akan datang padamu. Hati-hatilah. Dua puluh hari kemudian, pada suatu sore ia melihat Nyi Gede Kati menggendong bakul entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran, la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya telah goyah, tiada mantap seperti biasanya. Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu memasuki gubuk dan sebentar kemudian juga Syahbandar dalam iringan tiga orang pengawal, la perhatikan pengawalpengawal itu menjauh dan memasuki gubuk lain. Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara tawa Syahbandar dan Nyi Gede. “Kau semakin kelihatan kurus, Kati.” “Tidak, Tuan, sahaya hanya lelah.” Seorang pelacur yang lewat telah mengganggunya dengan ludah dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa, mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain muncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari bercekikikan. Ia belok kanan jalan memburu mereka, kemudian kembali ke gubuk Nyi Gede. Pintu daun kelapa itu terbuka. Ia melompat masuk sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung. Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mulurnya ternganga. Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. Nyi Gede berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap serangan. Tholib Sungkar Az-Zubaid naik ke atas ambin kedudukannya, bersiaga dengan tongkatnya. Perempuan itu segera mengenalnya dan berseru dari tempatnya: “Gelar!” “Nyi Gede!” tiba-tiba saja Gelar lupa pada kegilaannya. “Gelar! anakku, mengapa kau jadi begini?” ia melangkah mendekat. Dan Gelar merasa agak berkecilhati karena wanita itu segera mengenalnya. Ia melengos memandangi Syahbandar. “Beginilah nasib anakmu, Nyi Gede.” “Gelar?” Syahbandar bengong dan turun dari ambin. “Ya, inilah Gelar.” “Sudah kucari Nyi Gede ke mana-mana. Beri aku makan,” perintah Gelar. Kasar. “Gelar? Kau sudah bisa sekasar itu? Ya, tunggulah aku masakkan. Nampaknya kau sudah lapar.” “Makan?” Gelar tertawa sinting. “Siapa yang cukup makan sekarang? Siapa cukup pakaian?” ia melotot pada Tholib. “Compang-camping begitu,” gumam Syahbandar, “mungkin memang sudah gila.” Ia mengendurkan kesiagaannya. “Kulihat memang Gelar seperti celeng keluar dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar, biar Nyi Gede selesaikan masaknya.” “Di mana emakmu?” tanya Nyi Gede. “Lari. Tak tahu aku ke mana.” “Seperti gila, tapi bisa menjawab,” Syahbandar meneruskan bicara pada diri sendiri. “Busuk benar baunya, dan lalat mengikuti begitu rupa.” Dan sekarang ditujukan pada Gelar, “Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan prajurit Tuban?” “Minum, Nyi Gede!” Gelar meminta kasar, membelalak. Dan wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta maaf dan menghampiri: ‘Tuak aku tak punya, Gelar.” “Air tawar?” gumam Gelar, kemudian meneguk dan meletakkan gendi di atas lantai tanah. “Aku kotor, lapar, tapi masih tetap Gelar, Nyi Gede,” ia tersenyum di buatbuat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada Syahbandar, “Siapa orang ini, Nyi Gede?” Perempuan itu mengambil gendi dari tanah dan menaruhnya kembali di dalam gantungan: “Masa kau lupa siapa dia?” “Apa guna kau mengenal aku?” Syahbandar menolak untuk disebut namanya. Ia bergerak hendak keluar dari pintu. Gelar mencegahnya melangkah lebih jauh. “Siapa!” tanyanya pendek dengan suara menggeram. “Tingkahmu menakut-nakuti orang Gelar. Dulu kau tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, Gelar. Kau begitu kotor dan busuk.” Dan kembali Syahbandar bersiaga dan mundur menjauh beberapa langkah. “Jangan mundur!” tegah Gelar. “Biar kuingat-ingat siapa kau;” ia raba-raba hidungnya sendiri. “Hidungku seperti hidungmu.” gumamnya. “Aku lupa seakan pernah kulihat kau dalam hidupku.” “Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat,” tegah Nyi Gede sambil meneruskan masak. “Bukankah itu Tuan Syahbandar Tuban?” “Dia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan Syahbandar,” Gelar meneruskan gumamnya. “Kalau aku sudah menjadi tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau?” Tholib Sungkar berusaha hendak keluar dan gubuk, dan kembali gelar menghalangi. “Kupukul kau kalau merintangi jalanku,” ancam Syahbandar. “Syahbandar, Tuan Syahbandar,” bisik Gelar. “Tuan Syahbandar Tuban. Tapi siapakah namanya? Sudah lama kurindukan waktu untuk bertemu dengannya. Tapi siapakah namanya?” “Gelar! Kau mengganggu aku memasak. Jangan ganggu pula Tuan Sayid Habibullah Al-Masawa itu.” “Benar, Sayid Habibullah Al-Masawa!” Gelar mendengus. “Benar, ingat aku sekarang.” “Mengapa kau nampak begitu menakutkan?” tegur Nyi Gede yang kembali mendekatinya. “Hormati dia sebagaimana kau menghormati orangtua.” Gelar mencibir. Dan Syahbandar tetap siaga dengan tongkatnya. “Gelar! Kau atau aku yang pergi dan situ!” bentak Syahbandar. “Kau ini orang Demak atau Tuban, atau hanya main pura-pura gila?” “Kau menghadapi Tuan Syahbandar sebagai menghadapi…,” Nyi Gede memperingatkan. “Nyi Gede, ingatkah Nyi Gede semasa aku masih kecil?” tiba-tiba Gelar bertanya kekanak-kanakan. “Ini dia Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Al-Masawa. Kata orang. Nyi Gede, dia bapakku.” “Penipu! Tak ada aku beranakkan kau!” bentak Tholib Sungkar Az-Zubaid, tak jadi pergi. “Benarkah itu, Nyi Gede?” Wanita itu meneliti wajah Gelar, memarahi: “Kau datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan tidak pada waktunya.” Gelar tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak: “Mengapa begitu pucat. Tuan Syahbandar? Jangan, jangan pergi. Anakmu ingin bicara,” “Tak ada aku punya anak seperti kau.” “Jadi kau bukan bapakku? Kaukah yang menipu ataukah emakku Idayu?” “Jelas Idayu penipu!” Syahbandar memutuskan. Nyi Gede memegangi bahu anak muda itu, bertanya lunak: “Pernahkah Idayu bilang begitu?” “Tak pernah Idayu mengasuh anaknya jadi penipu, Nyi Gede, kau yang pernah membidani emak waktu aku lahir. Apa katamu?” Nyi Gede menarik Gelar agar duduk di ambin, tapi ia menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan masakannya. “Jangan menakut-nakuti begitu, kau, Gelar,” ia memperingatkan, “kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan Syahbandar, nampaknya memang seperti dua orang kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai. Tuan Syahbandar….” “Apa saja semua ini…,” protes Syahbandar. “… Jangkung, tapi tua dan bongkok. Memang sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata, rambut….” “Diam, kau, Kati,” bentak Tholib Sungkar. “Gila kalian berdua ini. Aku pergi.” Dan Gelar menghadang. “Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami? Nyi Gede, ceritakan penderitaan emakku setelah melahirkan.” “Betul. Dia sangat menderita. Dia merasa pasti akan dituduh oleh suaminya, Wiranggaleng. Si periang itu, jadi pendiam untuk selama-lamanya setelah itu, jadi pemenung. Dia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan sendiri. Dia telah serahkan diri pada suaminya untuk dicundrik mati.” “Kau dengar itu, Tuan Sayid, bapakku?” “Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan emakku karena tingkahmu. Kau! Teruskan, Nyi Gede.” “Wiranggaleng tidak mencundrik emakmu. Dia tetap mencintainya. Betapa agung cinta lelaki itu. Tetapi wanita itu, perasaannya telah rusak binasa sejak itu, takkan dapat pulih kembali.” “Dan semua dimulai dengan obat bius,” Gelar menambahi. “Kemudian, baru kemudian itu diketahui,” Nyi Gede Kati membetulkan. “Tak perlu aku membius seorang pun!” bantah Syahbandar. “Aku pun pernah kau bius, Tuan,” Nyi Gede menuduh. “Kau, Kati, kau juga menuduh aku?” “Dan penjaga-penjaga menara, dan dua orang Peranggi pelarian,” Gelar meneruskan, “korban obat bius.” “Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan penderitaan Idayu?” Syahbandar seperti kehilangan kepribadiannya. Ia menoleh-noleh pada setiap pembicara, la tak dapat memutuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada sumpahnya untuk mengakui Gelar sebagai anaknya. Dan anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu aturan. “Setiap dia melihat kau. Gelar,” Kati meneruskan, dia akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan yang mengguncangkan itu, karena dia sangat, sangat mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa saja. Karena besarnya cintanya itu sebelumnya dia telah hadapi maut, menolak jadi selir Sang Adipati, menolak segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan Syahbandar membiusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran dosa telah meraba tubuhnya, dan kau, Gelar, kau pun lahirlah. Kau anak Tuan Syahbandar ini. Tak salah lagi. Jangan pergi. Tuan, dengarkan juga istrimu ini bicara.” Tholib Sungkar berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan, tapi justru mendengarkan. “Marilah duduk sini di sampingku. Tuan,” tapi Syahbandar tak menggubris seolah tak dengar. “Gelar! Akulah yang pertama-tama menyambut kedatanganmu di dunia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak lain dari anak Tuan Sayid ini Akulah juga orang yang pertama-tama kaget. Setelah kau kumandikan dan kutidurkan di samping emakmu, emakmu dengan diamdiam menangis. Ia tak bicara apa-apa. Nah, Tuan Sayid, Tuanlah sekarang yang bicara.” “Dia tak pernah mengatakan aku anaknya,” Gelar menuduh. “Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan punya anak dia?” ‘Tak ada guna dengarkan cericau dua orang gila.” Gelar makin menghadang dengan tongkat pada ketiak. Syahbandar berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan suatu gerakan semu. Gelar meliriki tangannya, tertawa, kemudian: “Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepalamu. Uh, siapa belum pernah dengar tentang tongkat ajaib itu? Orang-orang tak berdaya telah kau bunuhi, seakan hanya babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhunus di hadapanku, tangan yang menghunusnya akan kuremukkan. Kalau tidak percaya, ayoh coba.” Tholib Sungkar tak meneruskan usahanya. “Telah kau aniaya perasaan emakku sejak kelahiranku. Telah kau hinakan Senapatiku. Diam! Jangan bicara. Telah kau aniaya dan kau khianati penduduk Tuban. Dengarkan kalau Gelar bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. Telah kau bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-mana dan kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan emakku! Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!” Untuk sekian kali Tholib Sungkar berusaha menguasai diri. Tapi syarafnya sudah tak bisa dikendalikannya. Kefasihan dan kecerdasannya pun sudah tak sanggup membantunya melawan anak kemarin yang tak berpengetahuan ini. Terdengar “Kau sudah bikin bahaya untuk dirimu sendiri.” “Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa.” ‘Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak?” “Setiap saat serdadu Peranggi bisa datang dan bunuh kau, anak gila.” “Biarlah bapak dan anak mati bersama. Apalah bedanya?” “Tidakkah pernah kau dengar? Sedikit saja tanganku melambai, dan serdadu Peranggi akan tergopoh berdatangan?” ‘Tangan itu akan remuk sebelum melambai.” “Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding, dengan atau tanpa nama.” “Jari itu akan patah sebelum menuding.” “Itu benar, Gelar,” Nyi Gede menggarami. “Aku telah datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi: adakah kau bapakku?” ‘Tak pernah aku punya anak seperti kau.” “Bagus. Maha Buddha takkan mengutuk aku. Lebih mudah rasanya berhadapan denganmu sebagai bukan bapak,” ia menuding. “Kau sumber sengsara. Kau bukan bapakku, aku bukan anakmu.” “Kau memang terlalu. Tuan, Gelar sudah marah begitu.” “Dia kira mudah membunuh Sayid Habbibullah Al- Masawa,” ejek Syahbandar. ”Kau hadapi seribu Peranggi. Kau takkan lepas!” “Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak sendiri? Dia darah dan daging Tuan sendiri!” “Diam!” bentak Syahbandar pada istrinya. Dan pada Gelar, “Setan mana yang membawa kau padaku?” Syahbandar tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat tongkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang hitam telah terhunus dan dengan cepat maju-mundur membikin gerak penikaman yang mematikan. Gelar berkelit ke samping dan memutar tongkat kayunya sambil mendesis cepat: “Nyi Gede, jangan sesali aku kalau kuperlakukan suamimu seperti ini.” Nyi Gede menghindarkan diri dari dua lelaki, ayah dan anak, yang sedang bertarung. Ia berteriak mencoba melerai: “Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk kau!” tapi suara yang berseru-seru itu tak keluar dari mulut. Tongkat Gelar berputar-putar. Dan tusukan-tusukan pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu kobra. Baru pada waktu itu orang menyaksikan Syahbandar dengan pisau-tongkatnya adalah laksana seekor ular berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan berkelit, maju dan mundur dalam kesatuan dengan senjatanya. Ruangan yang sempit itu terasa sesak dengan dua manusia. Nyi Gede melompat ke atas ambin. Sekarang suaranya dapat keluar nyaring. ‘Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!” “Kau membela dan memberanikan dia!” jawab Syahbandar sambil terus menyerang. ‘Terkutuk si pembunuh anak!” Pisau-tongkat Syahbandar terlontar dari tangan, melesit ke atas, menemui atap daun kelapa, tersangsang dan tak turun lagi. “Menjijikkan,” dengus Nyi Gede melihat Syahbandar berdiri tanpa bongkok di hadapan Gelar tanpa bergerak, “mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut mendapat ganjaran setimpal. Orang tua tak tahu diri.” “Kau tidak membela aku. Kati.” Gelar berdiri diam-diam dengan tongkat di tangan di hadapan Syahbandar. Nyi Gede Kati turun dari ambin dan mendekati suaminya, menudingnya: “Dalam penderitaan kau kubela. Dalam kebinatangan kau kulawan, terkutuk kau!” Gelar membiarkan dua-duanya sebagai suami-istri. “Sebagai istri kau tak patut memusuhi aku.” “Tutup mulutmu. Makin banyak bicara kau makin menjijikkan. Panggil semua serdadumu. Tak ada seorang pun di antara mereka bisa dan mau menolongnya.” “Kau pun akan binasa, Kati.” “Aku tahu, tapi tidak tanpa kehormatan seperti kau,” bentak Gelar dan melayangkan tongkatnya pada kepala Syahbandar. Nyi Gede menutup mata dengan tangan, memekik: ‘Terkutuk, kau Gelar, pembunuh ayah sendiri!” Kepala Syahbandar tua itu pecah, tongkat itu patah, dan tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidungnya dan mulutnya dan kupingnya keluar darah. Gelar menarik tangan Nyi Gede ke arah pintu. “Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri!” “Peranggi akan aniaya kau!” “Binatang! Pergi!” Gelar keluar dari gubuk, dan matahari telah tenggelam. Ia lari entah ke mana. Nyi Gede Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian pun lari entah ke mana…. 0odwo0 42. Koma Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan balatentara Tuban di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk dan bedeng-bedeng dari daun kelapa nampak sinar pelita suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa serta dedaunan kering dari hutan-hutan keliling. Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin membikin udara semakin dingin. Tetapi tak ada seorang pun membikin pendiangan. Semua prajurit diperintahkan beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di malam hari. Istirahat sepanjang itu membikin mereka jadi gelisah, menduga sendiri apa akan diperbuat oleh Senapati Wiranggaleng dalam mengusir Peranggi. Pada malam itulah Gelar datang ke pesanggrahan. Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya, kemudian ia turun. “Sekarang kau boleh beristirahat, Sultan,” bisiknya. Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang bicara hati-hati: “Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan Senapatiku sejak dulu diperoleh dalam gerakan malam, berlindungkan kegelapan.” Gelar mendeham dan percakapan berhenti. Ia masuk dan mendapatkan peratusnya sedang duduk bersama peratus lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat ditangkapnya. Kemudian peratus lain itu pun pergi. Ia melaporkan segala yang telah dilihatnya di Tuban, kecuali urusan pribadinya dengan Syahbandar dan Nyi Gede Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan pekerjaannya baik. ‘Tetapi,” katanya lagi, “kalau keterangan-keteranganmu ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak pernah masuk ke Tuban Kota… kau tahu sendiri ganjarannya.” “Barang tentu, peratusku!” “Siapa saja yang pernah kau temui di sana?” “Nyi Gede Kati bekas pengurus keputrian kadipaten, la tinggal di gubuk daun kelapa di daerah pelabuhan. “Maksudmu di gubuk-gubuk perempuan gelandangan?” “Benar, peratusku!” “Tak pernah kau melihat… eh, eh. Syahbandar?” “Lebih dari melihat, peratusku.” “Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi?” Dan Gelar dengan rikuh menceritakan segala yang telah terjadi di dalam gubuk Nyi Gede Kati. “Gelar!” serunya, “bukankah kau dididik dalam Buddha?” “Benar, peratusku.” “Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu?” “Tahu, peratusku.” “Bagaimana bisa kau lakukan….” “Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada.” Peratus itu menatap prajuritnya dengan mata tajam. Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. Kemudian ia pergi tanpa bicara lagi. Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara Tuban beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki. Mereka nampak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api, membikin mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala Cuwil, Rangkum, Banteng Wareng dan Wiranggaleng. Mereka menyimpulkan: Portugis jelas bisa diusir dari Tuban, tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan terutama dari darat. Mereka mengakui: pertempuran malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh Wiranggaleng dalam sejarah perang di Jawa, akan menjamin kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi meriam musuh. Masalah yang kemudian timbul: sampai berapa lama Peranggi dapat menahan serangan? Benteng bawah-tanah mereka memberikan perlindungan yang tak tertembusi oleh tombak, panah ataupun pedang, sedangkan serangan harus kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena. Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau matari akan menyebabkan meriam-meriamnya menggagalkan semua usaha. Meriam rampasan telah tenggelam di laut, tak bisa diharapkan. Kesimpulan kedua: serangan harus merupakan sekali pukulan yang mematikan. Masalah yang kemudian timbul: balatentara Demak. Walau musafir-musafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik dulu, setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di mana-mana. Bila Demak tahu apa sedang direncanakan Tuban, Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambilalih semua usaha Tuban, bahkan menguasainya pula. Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan. Dan yang diserahi adalah Senapati Tuban Wiranggaleng. Dengan demikian persidangan sambil berdiri mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar, Senapati masih sempat bertanya: “Bagaimana berita telik terakhir?” “Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu, dengan tambahan, dia telah memerlukan menghabisi jiwa Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa,” jawab Kala Cuwil. Wiranggaleng terdiam. “Dia telah kerjakan lebih dari tugasnya,” Patih Tuban itu menambahkan. “Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki.” “Baik, Senapatiku.” ‘Tugaskan dia mencari minyak tanah. Terserah pada dia di mana dan cara dia mendapatkan.” Gelar telah berusaha dengan berbagai cara dan jalan untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil. Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya. Senapati sendiri tak pernah kelihatan pada umum. Orang-orang bilang: jiwanya harus diselamatkan dari intaian Demak. Di mana saja Senapati berada, orang tak banyak tahu. Juga dan apalagi Gelar. Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang telah diperbuatnya terhadap Syahbandar terkutuk itu. Ia merasa telah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak mendapatkan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu menghapus aib orangtua. Ia telah merasa sebagai pahlawan keluarga. Musuh segala orang itu telah tumpas, oleh tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu membalas budi? Tak kurang suatu apa? Bahkan ia pun abang yang baik untuk adiknya dan prajurit yang baik untuk senapatinya? Untuk itu ia telah pertaruhkan jiwanya, segala- galanya? Mereka akan bangga pada dirinya. Tuban pun akan bangga punya seorang prajurit seperti dirinya. Siapa lagi bisa memusnahkan Syahbandar Tuban yang selalu dalam kawalan Peranggi kalau bukan hanya Gelar? Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan mendapat pujian daripadanya. ingin segera pulang untuk berpanen pujian itu. Tapi tak mungkin. Sekiranya Senapati bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan balatentara, kembali dalam lingkungan kasih-sayang emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. Wiranggaleng akan malu pada umum punya anak yang melarikan diri dari kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan. Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa kegiatan. Panggilan dari Senapati itu tak kunjung datang. Ia harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang lebih besar. Ataukah Senapati sengaja tak mau melihatnya lagi? Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia mengenal Gelar. Dan peratus itu tak juga memberinya tugas penting. Ia menjadi gelisah resah. Pada puncak kerisauan ia telah siap untuk berbuat sesuatu – apa saja untuk menarik perhatian Senapati. Dan perintah itu datang: memimpin tiga ratus prajurit kaki, cari minyak tanah di mana saja, dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan padanya pribadi: perintah langsung dari Senapati sendiri. Waktu: tiga minggu. Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan setelah menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat. Semua bersenjata lengkap. Membawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman baru bagi seorang prajurit muda. Dan hanya prajurit luarbiasa saja ada kemungkinan mendapat kehormatan seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya daripada tiga orang peratus sekaligus. Pikiran itu membesarkan hatinya. Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia memutuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke Bojonegara. Senapati tak dapat ditemui. Baik. Ia akan meminta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi: membawa berita pada Idayu tentang kedatangan Senapati. Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat. Begitu turun dari kuda ia langsung mendapatkan emaknya dan berkata: “Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang prajuritku sekarang.” Dan Idayu dan Kumbang mengagumi prajurit sebanyak itu, mengagumi Gelar, semuda itu telah pimpin ratusan orang yang lebih tua daripada dirinya sendiri. “Kau mendapat kepercayaan besar, Gelar.” “Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang memberi kepercayaan ini?” “Mana aku tahu, Nak?” “Nanti aku bilangi. Sekarang…,” ia berbisik pada Idayu dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak berpendaran berputar-putar kesana-sini. Tiba-tiba emaknya memekik: “Gelar!” sambil menyorongkan badan anaknya. “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu. Aku tak percaya.” Gejolak dan rangsang girang dalam dada Gelar berobah jadi beku, kaku dan membatu. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah melahirkan, menyusui membesarkan dan mendidiknya. Idayu berdiri tegak seperti patung. Matanya masih membelalak tidak bergerak dan tidak berkedip. Gelar kehilangan semangat dan kepribadiannya. Lambat-lambat Idayu memejamkan mata, menunduk. Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak: “Memuakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada anakku bisa berbuat seperti itu!” Gelar tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa lenyapnya seorang yang selama itu menyedihkan hatinya, merusak ketenangan batinnya, ternyata tidak menggirangkan hatinya? Ia kehilangan pegangan. Seorang ibu yang benar-benar dicintainya telah menolak persembahan bakti…. “Jadi apa harus kukerjakan, Mak?” “Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku? Kau berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya?” Katanya dengan suara pedih. Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti tanpa mengerti duduk-soalnya. “Kau merestui keberangkatanku, Mak.” “Betul, tapi bukan untuk perbuatan seperti itu. Memuakkan, memuakkan.” “Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.” “Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha Buddha tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan sanggup – sekalipun kau bohong!” Ada juga keringanannya, pikir Gelar. Dan Idayu sekaligus telah demikian berobah, bukan emaknya yang dulu, dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa ramah dan menyambut seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah nampak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain, lebih berhati-hati. Semua dirasainya telah jadi asing. Juga dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara memohon: “Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah restu.” “Berangkatlah,” kata Idayu seperti pada orang asing. “Kau tak merestui aku, Mak?” “Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. Gelar, berangkatlah.” “Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak?” Dan wanita yang dihadapinya itu memang sudah bukan emak yang dulu, menjadi wanita yang tidak dikenalnya. “Baik, Mak,” katanya sambil berdiri. “Aku berangkat lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu. Senapatiku Wiranggaleng sudah datang di Tuban.” “Bapak!” seru Kumbang. Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati Gelar. Ia tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya. Lambat-lambat wajah Idayu kembali seperti semula. Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan. “Aku tinggalkan tiga orang prajurit untuk mengantarkan Emak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi, Mak, sampaikan sembah-sujudku pada Senapatiku, sebagai prajuritnya.” Ia hendak mengatakan kalau toh tak mengakui aku sebagai anaknya, tetapi kata-kata itu tersekat beku di dalam jakun. Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi memasuki lebih dalam wilayah Bojonegara. Dari seorang prajurit yang berpengalaman dalam hal minyak-tanah ia mendapat keterangan, minyak bisa didapatkan di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu biasanya sumber minyak. Ia tak tahu-menahu tentang itu. Diserahkannya pimpinan pencarian padanya. “Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak yang membunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air? Dan penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan Kiai Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula penerangan berlebihan di waktu perang? Bukankah cukup dengan minyak kelapa? Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak mempersoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan Demak, dan itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan mungkin akan terlewati. Kecompang-campingan dan kebolongan hatinya segera terdesak oleh tugasnya sebagai prajurit. Kewaspadaan dan kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan musuh. Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi perbukitan Kendeng mencari sumber minyak…. Wiranggaleng bersama dengan para pemimpin pasukan sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa orang pengawal bersenjata tombak, pedang dan perisai. Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka adalah perbukitan rendah yang setengah gundul. Wiranggaleng berdiri bertolak pinggang dengan pandang merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih tegap daripada tujuh belas tahun yang lalu. Hanya matanya nampak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya. Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu seperti sekepal ijuk. “Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang, bahkan diganti, sementara itu mungkin lebih banyak lagi Peranggi datang.” “Senapatiku!” sela Rangkum, “telah kumasukkan dalam pasukan itu seorang yang dahulu bekas pencari minyaktanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahnya kita tak tahu. Bila ada halangan, pasti karena menghindari tentara Demak.” “Senapatiku, nampak ada orang-orang datang dari celahcelah bukit,” pengawal datang memperingatkan. Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan seorang pengawal. Dan seorang lain melompat ke atas kuda, menuju ke celah-celah bukit itu. “Nampak seperti orang desa biasa,” Banteng Wareng berkata, “nampaknya ada juga beberapa orang prajurit.” “Prajurit Tuban,” kata Braja. “Seperti prajuritku,” kata Rangkum. “Seorang menuntun anak. Perempuan nampaknya. Dan jalan itu jarang ditempuh orang.” Mereka menyingkir dari tempat terbuka, menghindari di balik rumpun telekan, meneruskan pembicaraan. Senapati menerangkan tentang keyakinannya, bahwa sekali Peranggi dikalahkan di sesuatu tempat, mereka takkan kembali untuk membuat perhitungan, mereka akan pergi untuk selama-lamanya. Bahwa alat dan cara perang mereka memang ampuh tidak menyalahi kenyataan, mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang Tuban. Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih mulia, tapi memang lebih unggul karena cara kerjanya. Mereka juga punya kelemahan: takkan berdaya di malam kelam. Mereka manusia biasa. Alat-alat perangnya pun bikinan manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa. Ia memerintahkan pada para kepala pasukan agar semua prajurit Tuban memahami itu, dan bahwa lelanangin jagad adalah dongengan kanak-kanak semata. Mereka dengar rombongan pendatang itu mendekati dan ternyata memang ada beberapa orang prajurit Tuban di antaranya. Di dekat semak-semak telekan rombongan itu berhenti, dan terdengar suara wanita memanggil-manggil: “Kang Galeng, Kang, aku datang.” Wiranggaleng kurang mendengar. Seorang pengawal berkuda datang menghadap dengan masih memegangi kendali dan melaporkan: “Senapatiku, Nyi Gede Idayu datang menghadap.” Seluruh pancaindra Senapati seakan berhenti bekerja. Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu, sambung-menyambung tiada habis-habisnya: alam dan manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya satu nama: Idayu. Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang lain-lain mengikutinya. Dan ia dapatkan anak dan istrinya berdiri menanti. Ya, mereka adalah impian masalalu. Dan ia jadi begitu kikuk. “Kang Galeng,” panggil Idayu sekali lagi. “Bapak!” teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke tanah, menyembah kemudian memeluk kakinya. “Kau datang, Idayu.” “Ya, Kang, dan itu anakmu,” Idayu menuding pada Kumbang dengan pandangnya. Senapati mengambil anak itu dari kakinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak melemparkannya ke langit. “Sudah besar, kau Nak.” “Kau tak juga datang, Kang. Mungkin tak patut aku datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk mengantarkan anakmu. Dia berhak melihat bapaknya dan bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dapat memuliakan kau dengan sembah yang sempurna.” Senapati itu menurunkan anaknya. Dan Kumbang berlutut: “Sembahlah bapakmu. Nak, dengan sembah yang tulus, biarpun sekiranya kau tak diterimanya.” “Ada apa Idayu? Mengapa kata-katamu begitu pahit?” Idayu tak menjawab, dan Senapati membelai rambut anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di atas sampai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar. “Betul, sudah besar kau. Di mana kau tinggal sekarang? Ah-ya, siapa pula namamu?” Semua yang mendengar tertawa. “Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya,” tegur Idayu. “Hhh, hhh, tinggal di mana kau, Nandi?” “Huh-huh, namaku bukan Nandi, Bapak.” “Nandi itu anakmu yang lain lagi, yang ada di Malaka sana,” sela Idayu. “Kunamakan siapa kau dulu?” tanya Senapati. Kembali orang pada tertawa dan Senapati menurunkan Kumbang ke tanah. “Kumbang, Bapak,” si anak membetulkan. “Kami tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang Gelar yang menjaga kami. Sekarang dia pergi.” “Kumbang. Benar, Kumbang,” bisik Senapati, “bapak sudah mulai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana Gelar pergi?” “Dengan pasukan, Bapak.” Wiranggaleng terdiam. Keningnya berkerut. Matanya ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal, akhirnya pada Idayu: “Pasukan mana?” “Pasukan Senapati Wiranggaleng,” jawab istrinya. Mata Senapati cepat dialihkan pada para pemimpin pasukan, bertanya: “Pasukan siapa berkeliaran di sana?” tanyanya tajam. “Pasukan dengan tugas khusus,” jawab Braja, “dengan perintahmu. Senapatiku, mencari minyak-tanah.” “Dialah yang bilang Bapak sudah kembali,” Kumbang menambahkan. Idayu merasa perlu untuk menerangkan, agar suasana yang mulai mengandung ketegangan ketentaraan itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata pelahan setengah bisik: “Gelar menggabungkan diri kembali pada tentara Tuban setelah Peranggi masuk. Ditinggalkannya kami berdua di pedalaman. Kemudian dia datang lagi membawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.” “Dia yang membawa?” tanya Senapati membelalak. “Dia yang memimpin pasukan?” kembali pandangnya berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. “Dewa Batara!” sebutnya. “Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan khusus itu,” sela Braja. Senapati memegangi kedua belah bahu istrinya: “Tidakkah dia berbohong waktu mengatakan membawa pasukan?” “Tak pernah aku ajari dia berbohong,” jawab Idayu. Wiranggaleng menoleh pada Braja, bertanya: “Bukankah pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari Tuban Kota, Braja?” ‘Tepat, Senapatiku.” “Ampun, Dewa Batara,” sebut Wiranggaleng. “Apakah Senapatiku ingin segera mengetahui orang itu Gelar atau bukan?” tanya Braja. Senapati tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti oleh semua orang. “Gelar, Senapatiku, seorang prajurit yang gesit seperti elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya kelakuan cukup baik,” Braja menyarani. “Maafkan kami,” Kala Cuwil menambahkan, “bahwa tak ada di antara kami mengetahui apakah kepala pasukan khusus itu Gelar’ “Bagaimana keadaanmu, Idayu?” tanya Senapati. “Kumbang,” panggil Idayu. “Mintalah gendong pada bapakmu. Belum cukup engkau digendongnya dulu. Nak.” 0o-dw-o0 Kumbang dan Idayu belum pulang ke desa. Bersama dengan anak-anak dan perempuan lain mereka ditempatkan di sebuah desa pembikin grabah. Seluruh bocah dan wanita ditugaskan untuk mengempleng tanah liat untuk dibikin jadi gendi-gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan tak dapat berdiri. Mereka harus membikin beberapa ribu buah dalam waktu tiga minggu. Gendi-gendi yang belum dibakar dijemur berderet di atas jerami, sedang pembakaran bekerja tanpa henti-hentinya. Dan pada suatu hari dalam kesibukannya Idayu bertanya pada anaknya: “Ada bapakmu menengok hari ini?” “Belum, Mak. Di sana orang lebih cepat membikin, Mak.” “Apakah kau kira kita kurang cepat? Kecuali malam saja kita bisa mengasoh, dan sudah lima hari. Mengasohlah kau, Nak, biar aku balik sendiri jemuran itu nanti.” Tetapi Kumbang menolak dan kembali ke tempat pekerjaan. Dari kejauhan terdengar Kumbang berseru-seru: “Datang lagi, Mak. Mereka datang lagi.” Semua orang yang sedang bekerja menengok ke jurusan tudingan Kumbang, dan mereka melihat serombongan kecil pengangkut lodong bambu muncul di jalanan hutan. Mereka adalah rombongan ketiga dalam seminggu yang mengangkuti minyak-tanah dari pedalaman. Idayu berdiri dan lari menyongsong. Tetapi ia tak dapatkan Gelar di antara mereka. Uh, sudah berhari-hari ia ingin bertemu. Ia ingin bicara bersungguh-sungguh dan tenang dan mendalam. Dan ia sangat menyesal melayani anaknya seperti yang telah terjadi. Kurang layak. Ia harus tetap berlaku sebagai seorang ibu yang bijaksana, bukan seperti seorang penuduh. “Di mana yang lain-lain?” ia bertanya. “Belum bisa pulang, tentara Demak menyergap, kami diungsikan lebih dahulu. Mereka masih terus bertempur.” Idayu berlutut di pinggir jalan memunggungi rombongan yang lewat, la berdoa untuk keselamatan Gelar. “Mengapa Kang Gelar, Mak?” “Berlututlah, Nak, dan berdoalah untuk keselamatannya.” Dan Kumbang pun berlutut, membikin sembah dada dengan kepala menunduk. “Nyi Gede,” seseorang mendekati, “ada apa?” “Anakku. Pasukannya disergap Demak. Anak semuda itu.” Orang-orang pun berlutut dan bersama-sama mereka berdoa. “Nyi Gede, tak usah kau ikut kerja. Jangan kuatir. Nyi Gede, semua akan selesai pada waktunya.” “Mari bekerja lagi,” jawabnya. Dan ia bekerja lagi, sekarang lebih keras daripada yang sudah-sudah. Ia menyesal tak merestui keberangkatannya. Anak manja itu. Dan bagaimana ia berani merestui seorang yang telah… tak mungkin. Dia patut menerima hukumannya pada umur tuanya. Tapi mengapa yang melakukan harus anakku? anaknya? Mengapa bukan orang lain? Mengapa bukan Galeng? Bahkan Kang Galeng pun nampak terkejut dan tak senang. Bagaimana jadinya anak ini bila perang selesai? Tak ada seorang pun mau diajaknya bergaul. Anak-anak akan takut padanya dan orang-orangtua akan menyingkirinya. Gadis-gadis akan lari daripadanya. Bagaimana akan jadinya? Haruskah dia mengembarai dunia ini seorang diri sampai matinya? Bahkan emaknya sendiri, aku, telah kehilangan kepercayaan terhadapnya, tak mampu hidup di bawah satu atap dengannya. Dan Kang Galeng, bagaimana sikapmu? Betapa sulit bisa bertemu denganmu. Ia sadar sedang duduk melamun tak kerja waktu Kumbang datang dan menegurnya: “Emak tak bekerja?” Ia terbangun, tetapi matari sudah hampir tenggelam. Di kejauhan nampak beberapa dapur pembakaran mulai mengepulkan asap tipis ke udara. 0o-dw-o0 43. Tuban Dibebaskan Keterangan tentang Peranggi di Tuban Kota telah lengkap di tangan pimpinan balatentara Tuban. Sudah jelas benteng bawah tanah musuh berpintu hanya sebuah, sedang dinding-dinding berlubang untuk tempat menembak dan untuk jalan udara. Di dalamnya tersimpan obat meriam dan senapan. Satu regu tak henti-hentinya mondar-mandir meronda kota siang dan malam Gedung kadipaten dipergunakan sebagai tempat mengatur patroli, ke sana mereka pulang, dan dari sana mereka berangkat. Patroli-patroli tak jarang memasuki luar kota dan merampasi ternak dan harta-benda. Tak ada perlawanan, dan mereka dapat berbuat sesukanya. Kekuatan Peranggi seluruhnya ditaksir 450 orang, prajurit berpengalaman perang di mana-mana. Obat ledaknya yang berkadar tinggi tak dapat dianggap enteng. Tapi yang lebih menggentarkan adalah semangat tinggi dan berkobar mereka dari suatu bangsa muda yang sedang gairah menaklukkan dunia. Dengan diam-diam Senapati menilai mesiu dan dayaledak tinggi yang jadi sumber keampuhan Peranggi itu harus tetap berdaya-ledak tinggi untuk menghancurkan Peranggi sendiri. Semua rencananya berkisar pada menggunakan kekuatan yang ada pada lawannya sendiri. Sekarang datang waktunya ia hendak membuktikan, bahwa juga lelananging jagad dapat dimusnahkan. Balatentara Tuban akan dicoba keunggulannya. Seribu lodong bambu minyak-tanah telah dituang ke dalam beribu botol tanah buatan wanita dan anak-anak. Setiap prajurit yang akan maju ke medan perang adalah juga pembakar. Pada pinggang mereka bergelantungan botol-botol. Laskar pembakar yang khusus dibentuk untuk keperluan itu digelantungi dengan delapan, sedang laskar penyerang tiga di samping perlengkapan yang biasa. Menjelang senja balatentara Tuban yang beribu-ribu jumlahnya mulai bergerak. Dan mereka berangkat diamdiam tanpa sorak-sorai. Barisan paling depan yang bergendi delapan sama sekali tidak berperisai. Mereka hanya membawa tombak. Bereguregu di antaranya tidak bersenjata sama sekali. Mereka hanya mengangkuti peluru-peluru cetbang. Dan laskar itu berjalan jauh di selatan Kota menuju ke timur. Mereka memasuki hutan. Waktu keluar lagi mereka telah memikuli kayu kering. Keluar dari hutan malam gelap telah turun, dan dalam lindungannya mereka terus berjalan sampai melewati selatan pinggiran tertimur Kota, membelok ke kiri, ke kiri lagi memasuki Kota. Mereka menggunakan waktu sebaik-baiknya di kala patroli Peranggi sedang kembali untuk berganti di gedung kadipaten. Dengan gerak cepat mereka tumpuk kayu kering bawaan mereka lima ratus depa di sebelah timur kadipaten, menyelang-nyelingi bagian atas dengan peluru cetbang dan membasahinya dengan minyak-tanah. Tumpukan kayu itu menjadi bukit kecil. Laskar kedua hanya bersenjatakan panah. Pada pinggang mereka juga bergelantungan delapan gendi. Mereka berangkat setelah yang pertama. Pada waktu barisan pertama melakukan penumpukan kayu mereka menyebar ke sekitar tumpukan dan di dekat sebelah timur kadipaten. Laskar ketiga, yang merupakan laskar terbesar, berangkat beberapa waktu kemudian, dari barat langsung ke kota melalui darat dan laut. Mereka bersenjata tombak dan pedang dan perisai. Pinggang mereka digelantungi hanya dengan tiga botol. Laskar keempat berjalan menyusuri pantai, diperhitungkan akan tiba terakhir. Pada waktu yang telah ditentukan tumpukan kayu mulai terbakar. Api cepat menaik dan menjilat-jilat langit. Tak lama kemudian peluru-peluru cetbang berledakan, melesit, beterbangan ke udara, memuntahkan bunga api dan menerangi bumi. Prajurit-prajurit Portugis di dalam gedung kadipaten keluar. Patroli pengganti berlari-larian ke arah api dan ledakan. Mereka disambut dengan hujan anak panah yang beterbangan dari atas pepohonan. Sama sekali tak menduga adanya pencegatan. Mereka berjatuhan seperti jerami di babat. Tak ada satu orang pun yang tidak kena. Racun telah merembes ke dalam jantung mereka. Lebih banyak lagi serdadu keluar dari kadipaten. Pencegatan diajukan lebih dekat lagi ke gedung. Panah bersemburan lagi dari atas pepohonan. Sekali lagi serdaduserdadu Peranggi bergelimpangan. Yang selamat melarikan diri masuk lagi dalam pengejaran anak-panah. Sebagian yang dapat melarikan diri menggelimpang pula sebelum mendapat perlindungan. Ledakan peluru cetbang masih riuh. Lonceng menara benteng bawah-tanah dan kadipaten bertalu tak putusputusnya. Serdadu dari benteng mulai keluar dan berlarian dengan bedil dan pedang, bersiap untuk mendatangi keributan. Aba-aba mereka terdengar bersahut-sahutan Semua serdadu di bandar telah ditarik pula ke benteng. Dan tak lama kemudian mereka berpecahan dalam regu-regu dan menempuh berbagai jalan, bersebaran, berlarian. Hujan anak panah bersemburan lagi. Portugis kemudian mengetahui adanya pencegatan. Mereka tembaki semua tajuk pepohonan. Prajurit Tuban mulai bergedebukan jatuh seperti buah nangka, binasa pada malam itu juga. Dari belakang serdadu Portugis bermunculan pasukan tombak Tuban. Mereka mulai menyerang tanpa pekikan tanpa seruan seakan sepasukan tentara gagu. Tombaktombak lempar berlayangan, bertancapan tepat pada sasaran oleh lemparan tangan-tangan yang ahli dan terlatih. Pekik-jerit kesakitan memenuhi udara dan merangsang pendengaran. Segelombang pasukan Tuban dengan pedang terhunus menyapu lapangan. Dari atas benteng peluru musket berhamburan seperti hujan, sedang dan dalam benteng sendiri tembakantembakan tiada putus-putusnya. Dan sekarang ganti prajurit Tuban yang berjatuhan atau menjatuhkan diri. 0o-dw-o0 Gelar mendapat tugas paling berbahaya dari semua laskar. Petunjuk dan perintah diterimanya langsung dari Banteng Wareng sebagai penyelaras seluruh balatentara. Tugasnya ialah melakukan penyerangan dan penghancuran benteng bawah-tanah dengan jalan menyusun pantai dan menyerang dari belakang. la merasa, bahwa ia dikirimkan ke medan pertempuran bagian terberat ini untuk tidak dilihat orang lagi dalam keadaan hidup. Ia merasa telah terjadi persekutuan di antara para pemimpin pasukan untuk menghalaunya dari muka bumi, sebagai hukuman terhadap peristiwa anak-ayah di Tuban Kota. Ia telah merasa tak ada seorang pun yang akan mengampuninya. Tak seorang pun memberikan sokongan batin pada perbuatannya, termasuk Senapati dan emaknya sendiri. Dan ia mencoba berdamai dengan hukuman yang diberikan padanya. Ia harus belajar rela menerimanya. Sebagai anak Senapati ia masih akan tunjukkan dan buktikan pada seluruh Tuban, pada Wiranggaleng dan Idayu, pada bumi dan langit, ia masih memilih mati sebagai pahlawan, la akan mati. Orangtuanya harus ada kebanggaan padanya. Mati! Mati! suara itu memanggil-manggil mengatasi tindasan hukuman batin yang tak mengenal ampun itu, yang tak pernah diucapkan kepadanya, hanya disiratkan pada pandang mata dan sikap orang. la bawa pasukan dari tiga ratus orang, mengendap-endap dalam bayang-bayang api di balik pepohonan. Tanpa suara sebagaimana telah diperintahkan. Didapatinya daerah pelabuhan sudah hampir tiada berpenjagaan, menara pelabuhan telah kosong. Prajurit Tuban telah menjolok penjaganya dengan semburan anak panah. Tetapi menara benteng masih terus menggigil dengan taluan lonceng. Beberapa orang serdadu peninjau sedang melihat ke arah api unggun di kejauhan. Semprotan anak panah mengenai dua orang. Yang seorang tetap memukul lonceng. Laskar Gelar datang ke benteng waktu serdadu-serdadu di dalamnya telah ditarik keluar untuk menadahi serangan umum Tuban di sekitar kadipaten. Penjagaan yang tak seberapa besar telah kena runduk. Beberapa serdadu yang tidak menduga akan datang gelombang musuh dari pesisir tak sempat lagi menembak melarikan diri dan membuang senjata yang tak dapat dipergunakan. Dan sebelum mereka sempat menggunakan pedang tombak lempar telah berlayangan. Di kejauhan api semakin menjilat-jilat langit Ledakan peluru cetbang makin lama makin berkurang. Tembakan Portugis juga semakin kendor, semakin jauh dan bersebaran. Orang dapat menduga lelaninging jagad sudah mulai terhalau. Gelar terheran-heran: tugasnya ternyata tidak seberat yang ia duga. Benteng bawah-tanah itu hampir tak dipertahankan lagi. Pada waktu itu ia baru memahami: Peranggi telah terjebak, tertarik keluar dari benteng dan telah diatur sedemikian rupa sehingga tak dapat kembali berlindung ke benteng – jalan-jalan telah digunting dengan pencegatan. Ia masuki benteng dengan pedang terhunus, diikuti oleh laskarnya. Beberapa belas orang sedang bersiap-siap untuk juga turun ke medan pertempuran. Gendi-gendi minyak dilemparkan pada mereka. Dihujani gendi mereka gugup dalam membela diri, tak sempat menyiapkan musket dan menghunus pedang. Baja beradu baja. Gerak tangan dan kaki telah menyempitkan ruangan. Orang-orang Portugis yang sedikit itu terdesak terus oleh tombak dan pedang dari musuhnya yang berpuluh kali lebih banyak. Mereka disorong ke ujung penghabisan benteng dan berlompatan ke atas peti-peti mesiu. Hujan gendi membikin mereka jadi basah kuyup. Minyak membasahi semua yang ada, bahkan telah mulai mengalir di lantai. “Keluar!” pekik Gelar. Orang berlarian keluar dan gendi-gendi terus juga dilemparkan ke dalam. Tombak berapi melayang memasuki benteng. Benda-benda dari kayu mulai dirambati api, makin lama makin lebar, makin tinggi, seluruh lantai mulai menyala. Gelar membawa pasukannya lari dari daerah benteng, memasuki sebuah bangunan baru. Ia lihat seorang berjubah putih sedang berlutut di depan sebuah patung kayu. Sebelum ia dapat memastikan rumahyang dimasukinya dan patung apa yang dilututinya, ia menduga orang itu tentu Syahbandar Tuban angkatan Peranggi, botol-botol minyak telah berlayangan membasahi jubah putihnya. Orang itu tetap tidak bergerak dari sikapnya. Seseorang telah lari menghampiri, menyambarkan pedang pada tubuhnya. Gelar memerintahkan keluar. Bangunan baru pun menjadi unggunan api, tinggi menjilat-jilat langit. Di tengah-tengah kota balatentara Tuban menguasai seluruh medan. Kadipaten mulai diserbu oleh gelombang besar prajurit. Gendi-gendi beterbangan dan membasahi segala yang dikenalnya. Orang-orang Portugis yang berhasil meloloskan diri lari tanpa menoleh lagi, masuk ke dalam kegelapan, ke mana saja asal selamat. Di atas setumpuk tanah yang ketinggian berdiri wanita dan kanak-kanak memandangi api yang menjilat-jilat di kejauhan, di Tuban Kota. Mereka melihat unggun yang hanya sebuah, kemudian menjadi dua, tiga, empat. Letusan dan ledakan diikuti semburat bunga-api ke udara menyebabkan mereka membisu terpukau. Tak seorang pun di antara mereka membuka suara. Mereka tahu maut sedang berjingkrak berpanen nyawa di Tuban Kota. Setiap di antara mereka tak menghendaki orang-orang tercinta dan tersayang tumpas terpaneni oleh sang maut. Di antara mereka terdapat Idayu. Ia berdiri memegangi bahu Kumbang. Langit menjadi merah dan warnanya melembayung pada wajah. Letusan dan ledakan makin lama makin berkurang. Idayu menekan bahu anaknya, menyuruhnya berlutut. “Memohon, Nak, pada Hyang Widhi, selamatlah hendaknya bapak dan abangmu,” bisiknya. “Mak, aku sudah memohon sejak mereka berangkat,” bisik kembali Kumbang. Ia cium anaknya dan berbisik lebih ditujukan pada diri sendiri: “Kau masih membutuhkan bapak dan abang. Nak.” “Tak lama lagi aku pun akan besar, Mak.” ‘Tentu, tak lama lagi. Tapi besar saja belum cukup. Kau membutuhkan bapak seperti bapakmu. Aku sendiri tak tahu dunia, Nak.” Kemudian terdengar ledakan paling dahsyat di Tuban Kota sana. Di atas ledakan itu segala macam berwarna merah menyala terangkat naik ke udara, mengembangkan bunga-api. Hujan percikan ke bawah seperti berasal dari letusan gunung berapi. Setelah itu sunyi-senyap. Kebakaran di kejauhan makin lama makin surut, kemudian tak kelihatan lagi, tertutup oleh puncak hutan. Tak ada di antara mereka melihat, bahwa dengan pelanpelan, tanpa bunyi, di samping mereka, jauh di atas tajuk pepohonan hutan, bulan tua sedang memperlihatkan diri. Semua orang berlutut dan menekur dengan mata tertutup. “Memohon, Nak, memohon, untuk bapak dan abangmu.” Idayu memohon lagi. Tetapi, bila doanya dipanjatkannya untuk keselamatan Gelar, dia macat. Ada suatu perasaan melintang di dalam hati dan pikirannya. Ia hentikan usahanya. Pikirannya bergumul kacau, mengapa hati tak rela berdoa untuk anak sendiri. Dan mengunci kegagalannya ia berkata pada Kumbang: “Ledakan terakhir berarti perang selesai, Nak. Hanya kepunyaan Peranggi bisa meledak menandingi petir dewa. Bapak dan abangmu selamat.” Tetapi Kumbang telah tersedat ke alam mimpi. Kepalanya telah rebah pada pangkuan emaknya. Ia berdiri sambil mengangkat bangun Kumbang. Dan orang-orang lain mengikuti contohnya – berdiri juga. Bersama-sama mereka berjalan pulang ke bedeng perumahan. “Dia belum lagi bertemu dengan bapaknya,” gumam Idayu. “Abangmu.” “Sekarang ke mana, Mak?” “Pulang. Mengasoh. Menunggu bapakmu.” “Tinggal di kota lagi, Mak?” “Tidak. Mak tak pernah suka di sana. Kau suka?” Kumbang sudah tak dengar. Dalam berjalan ia melayang-layang dalam alam impian. Ia telah berusaha untuk tetap jaga, tapi kelelahan dan kantuk sudah tak dapat ditawarnya. Dalam sekejap dari usahanya ia masih sempat bertanya: “Bapak akan tinggal di desa lagi, Mak?” “Mana emak tahu? Tanyalah nanti padanya sendiri.” Kumbang tersedot sepenuhnya dalam alam mimpi. Dan kakinya tetap bergerak terpimpin oleh tangan emaknya. Seakan Idayu mendengar suara anaknya masih bertanya dengan suara sangat, sangat pelan: “Mengapa tak suka tinggal di kota?” “Mengapa?” jawab Idayu. “Emak lebih suka jadi orang biasa, orang desa biasa, tak menghendaki sesuatu yang berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun, bekerja seperti yang lain-lain.” Ia bicara terus, pelahan, sambil berbisik, tak menyedari ia sedang bicara dengan diri sendiri. “Menari, menyanyi dan menangis bersamaan dengan yang lain-lain. Bersuka dan berduka seperti dan dengan yang lain-lain. Tak pernah aku mengimpikan kekayaan dan kekuasaan. Sejak ada dua-duanya, bapakmu menjadi jauh dari Emak, dan Emak jadi jauh dari dia, bukan hanya tempatnya, juga hatinya. Apakah arti kasih-sayang yang terpisahkan oleh dua-duanya? Mana ada manusia suka dengan pecahan dan gumpilan kasih-sayang?” Sudah tak keluar bisikan kata dari mulut Idayu. Suara itu bergema-gema hanya dalam hati sendiri: “Perang, kekuasaan, kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalamnya.” Wanita dan kanak-kanak itu masuk ke dalam bedeng pembikin gerabah. Pembakaran baru sudah tiada. Beberapa hari yang lalu apinya sudah padam. Idayu menaikkan Kumbang ke ambin. Ditutupnya pintu. Ia pun rebahkan diri di samping anaknya, di samping wanita dan kanak-kanak yang lain. “Menangkah kita?” wanita di sampingnya bertanya. “Menang,” jawab Idayu. “Bagaimana Nyi Gede bisa tahu?” “Kalau orang kalah di negerinya sendiri, apa lagikah yang bisa diharapkan?” Sunyi-senyap di perumahan pembikin gerabah itu. Matari baru saja terbit. Pasukan kuda di bawah pimpinan Banteng Wareng telah memenuhi jalanan kota. Mayatmayat bergelimpangan di mana-mana, Portugis dan Tuban. Dan mereka sama sekali tak menemukan musuh yang masih hidup. Meriam-meriam tak sempat ditembakkan berjajar-jajar di lapangan kadipaten seperti mainan kanak-kanak tanpa dosa. Barang-barang itu berdiri mati di atas roda masingmasing, moncong sedikit mendongak. Orang memerlukan turun dari kuda untuk melihat-lihat dan merabanya. Dingin, tak berdaya, mati. Lebih dingin daripada mayat yang bergelimpangan di dekat-dekatnya. Dan jari-jari peraba meninggalkan bekas pada embun. Peluru besi, bulat-bulat sebesar kepalan, bertebaran seperti batu hitam di tepi kali. Sungguh tak masuk di akal bendabenda seperti itu sudah banyak menenggelamkan kapal, menghancurkan dan merobohkan rumah, dan menjadi sendi kekuasaan dan kekuatan Peranggi. Seorang penunggang kuda berkendara tenang-tenang di antara reruntuhan rumah diiringkan oleh satu regu prajurit berkuda yang bersiaga dengan tombak. Antara sebentar ia berhenti, menebarkan pandang ke mana-mana, bicara pada pengawalnya yang terdekat sambil menuding-nuding. Ia berdaster dengan ikatan longgar. Rambutnya jatuh berurai di atas punggung. Mukanya mesum oleh kumis dan jenggot yang tak terpelihara. Selembar kain batik melingkari leher dan kedua ujungnya jatuh di punggung pula. Bila berpacu baik ujung-ujung batik mau pun rambutnya berkibar-kibar seperti bendera. Sebagaimana halnya dengan para pengiringnya ia pun menyandang pedang pada pinggang. Berbeda dari yang lain-lain, sebilah keris terselit melintang di bawah dada. Hulu keris itu dari mas berukiran gambar kupu-tarung. Juga sarung kerisnya terbuat daripada mas. Itulah Senapati Tuban Wiranggaleng. Kemudian Senapati berpacu berpacu ke pelabuhan. Ia periksa bekas benteng bawah-tanah, kini jadi lubang besar panjang, dengan kepulan asap di sana-sini. Di sekitarnya bergelimpangan mayat prajurit Tuban di antara sejumlah Portugis. Bandar telah jadi tumpukan arang, dengan asap yang masih berkepulan. “Dengar semua kalian!” katanya pada para pengiring. “Mereka takkan mencoba datang kemari lagi. Untuk sepanjang masa Tuban akan bebas dari Peranggi. Itulah berkah semua temanmu yang tewas pada malam tadi. Pada hari ini aku nyatakan musuh telah kalah dan kita menang.” Satu-dua tembakan masih terdengar sayup-sayup di kejauhan. ‘Tembakan itu sebentar lagi akan padam sama sekali. Kalian lihat: Tak ada kapal mereka nampak berlabuh. Masih ada di antara mereka yang sempat lari meninggalkan yang lain-lain dalam cengkeraman maut. Ingat-ingat ini: juga lelananging jagad ini kenal takut dan dapat digebah punah dalam semalam.” “Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku,” seorang pengiring berjanji. “Dan sampaikan pada anak-anakmu, pada temantemanmu, bahkan juga pada musuh-musuhmu.” “Kami akan lakukan. Senapatiku.” “Tapi kalian jangan sampai lupa, kemenangan di Tuban sangat kecil, belum berarti.” “Kita sudah menang. Senapatiku, kemenangan gilanggemilang tiada tara.” “Kau keliru. Kalian belum berhak bergirang-girang, dengarkan aku baik-baik: selama Peranggi belum terusir dari Selat dan Semenanjung, belum terusir dari Malaka dan Pasai, urat-nadi kehidupan Tuban, Jawa dan seluruh Nusantara, tetap berada dalam kekuasaan mereka.” “Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku.” “Dan selama mereka masih menguasai Maluku, kemakmuran takkan lagi menyinggahi Tuban.” “Senapatiku.” ‘Terserah pada kalian. Adakah Tuban akan bangkit kembali atau tidak. Bila ya, perang masih panjang, pengusiran atas Peranggi dari seluruh Nusantara dan Semenanjung. “Demak tetap mengancam. Senapatiku.’* “Melawan Demak lain lagi. Itu perang melawan kebodohan.” “Kami belum mengerti. Senapatiku.” “Musuh Demak sesungguhnya Peranggi. Trenggono mencari kebesaran dengan mencari musuh yang dianggapnya tidak kuat. Dengan begitu ia bisa bebas lari dari musuhnya yang utama: Peranggi.” “Bukankah Demak telah mengusir mereka dari Sunda Kelapa, Senapatiku?” pengawal terdekat bertanya. “Siapa saja dapat mengusir Peranggi kalau jumlahnya hanya beberapa gelintir, habis ditimpa bencana laut pula. Ayoh, jalan!” Mereka bergerak melalui jalan raya negeri, kemudian membelok ke timur dan berpacu mendekati arah datang suara tembakan satu-satu. Sampai di suatu tempat bunyi tembakan itu padam sama sekali. Di jalanan mereka berpapasan dengan prajurit-prajurit Tuban yang berjalan dalam bondongan sedang kembali ke pusat Kota. Mereka mengangkat tombak masing-masing, bersorak-sorak menyambut Senapati. Wajah mereka berseri-seri gembira penuh kepercayaan pada pemimpinnya. Mereka meneruskan perjalanan masing-masing. Prajuritprajurit yang pulang itu sudah tak nampak lagi. Hanya sorak-sorai kemenangannya masih saja terdengar. Wiranggaleng berhenti melihat ke suatu jurusan. Di kejauhan ia melihat seorang prajurit Peranggi sedang berlutut menghadap pada sebatang pohon kayu, barangkali sedang bersembahyang. Dua belah tangannya terangkat di tentang dada. la jalankan kudanya dan mendekatinya peiahan-lahan. Mengetahui ada seorang musuh, para pengiring memacu kuda, mengepung serdadu itu. Tombak-tombak pun teracu siap untuk dijojohkan. “jangan ganggu dia!” pekik Senapati menegah. Orang pun menarik tombaknya kembali tetapi tetap mengepungnya. Dan Wiranggaleng berpacu menghampiri. “jangan ganggu. Lihat baik-baik. Dia lagi bersembahyang pada dewanya. Tarik kembali semua tombak. Ingat-ingat kalian, prajurit Tuban, jangan sampai kalian meletakkan mata senjata pada seseorang yang takkan bisa melawan dan tak mampu melawan-Barangsiapa sedang bersembahyang, dia tidak menghadapi manusia. Menyingkir kalian dari dia.” Orang pun menyingkir. Dari belakangnya seseorang membantah: dan Senapati menoleh, berkata: “Dia musuh sewaktu memusuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan tenaga untuk bermusuhan, samalah keadaannya dengan bayi atau istri yang sedang menyusui.” “Kalau kemudian dia memusuhi lagi, Senapatiku?” “Kembali kau harus memeranginya.” “Lebih baik dibunuh sekalian, Senapatiku.” “Kalau begitu kau bukan prajurit, tapi pembunuh,” ia menengok ke kiri dan kanan. “Itu tak boleh terjadi. Maka kalian harus tetap waspada. Artinya kalian harus selalu tegak dan tetap perwira.” Orang Peranggi itu telah selesai bersembahyang. Dengan kudanya Wiranggaleng makin mendekati. Orang itu pucat. Mukanya penuh dengan jenggot, kumis dan cambang. Ia tidak berdiri dan tak nampak bermaksud untuk beranjak dari tempatnya. Ditengadahkan wajahnya yang pucat itu pada Senapati. “Mengerti Melayu?” tanya Wiranggaleng. Sekarang orang Portugis itu mencoba bangun, tapi jatuh berlutut kembali. Dan orang melihat darah pada kaki dan pahanya. “Sedikit, ya. Tuan.” “Mengapa kau tak selamatkan jiwamu?” “Kaki tak bisa dibawa lari. Maut tak dapat dihindari. Telah kuserahkan semua pada Tuhan,” jawabnya sambil membuat salib. “Bawa dia. Peliharakan dia sampai baik,” Senapati memerintahkan. “Tak ada orang boleh ganggu atau sakiti dia. Bila sudah sembuh, sediakan perahu layar, persediaan makan untuk tiga minggu, dan bebaskan dia.” Orang Portugis itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah tangan ke arah langit, mengucapkan syukur, dan sekali lagi membikin gerakan salib. Kemudian dengan suara lemah: “Semoga kebaikan Tuan akan terbalas.” “Semoga Dewa Batara melindungi kau, Peranggi. Siapa namamu selengkapnya?” “Sylyester da Costa, Tuan.” “Kosta!” Senapati mengulangi dan Portugis itu mengangguk. Setelah mengangkat tangan memberi restu Senapati menarik kendali. Binatang itu menengok dan berjalan berputar kemudian meninggalkan Da Costa yang terluka. Sebagian pengiring tertinggal untuk menjalankan perintahnya. Sylyester da Costa ditolong naik ke atas kuda. Seseorang menuntun binatang itu. Yang lain-lain tetap di atas kuda masing-masing. Dan mereka berjalan diam-diam penuh pikiran, mencoba memahami maksud dan ucapan Senapati. Waktu iring-iringan itu sampai di jalan raya negeri, baru terdengar seseorang bicara: “Mungkinkah kiranya Sang Senapati marak jadi raja?” “Dengan dia kita selalu menang. Coba, menang melawan Peranggi!” “Bisakah seorang anak desa jadi raja?” “Mengapa tidak? Raja-raja besar pun keturunan orang desa semata.” “Sedang pada musuh yang tak berdaya dia begitu pengasih dan penyayang, apa pun pada kawula sendiri bila marak.” “Mungkin ada rencana baru terhadap Demak.” “Uh, apakah kita masih akan berperang terus-menerus begini? Bisa habis kita ini bakalnya.” “Bukankah kita harus mengingat-ingat selalu? Semenanjung, Selat, Pasai, Malaka dan Maluku, seluruh Nusantara? Selama Peranggi masih berkuasa….” “Dan Demak tetap mengintai.” “Hei, Kosta, mengapa kalian tak mau pergi dari Semenanjung?” seseorang bertanya dalam Melayu. “Apakah aku ini? Hanya orang kecil tak menentu,” jawab Sylyester da Costa dalam Melayu pula. “Semua orang kecil. Hanya satu-dua orang besar. Tapi yang besar kecil juga dulu-dulunya.” “Kalau aku yang orang besar,” Da Casta meneruskan. “Kau caplok semua pulau Jawa ini.” “Dan jadi kedodoran sepanjang jaman,” orang lain menambahi. Iring-iringan berjalan terus dan kembali tenggelam dalam kediaman. Di kejauhan, di pusat Kota, kedengaran orang bersoraksorai, berderai-derai, dan mengguruh seakan hendak meruntuhkan langit. Waktu iring-iringan mulai menginjak daerah Kota, mereka dapati mayat-mayat telah tersingkirkan. Seluruh balatentara Tuban berkumpul di alun-alun, di depan puing kadipaten dan bersorak-sorak gembira. Mereka menyambut pernyataan Senapati: Portugis telah ditumpas dari bumi Tuban; balatentara Tuban keluar sebagai pemenang. Walau demikian kesulitan masih tetap banyak: Selat, Semenanjung, Pasai, Malaka dan Maluku, dan… Demak. Sorak-sorai padam seketika dalam renungan umum. Ya, dalam renungan umum semata-mata…. 0o-dw-o0 44. Arus Balik Selesai ucapan pernyataan kemenangan rombongan Senapati berpacu ke selatan meninggalkan Kota. Mereka: Senapati dan para pemimpin pasukan. Mereka langsung menuju ke sebuah bukit kecil, turun dari kuda masingmasing, duduk menghadap Senapati. Tempat itu terlindung oleh semak-semak telekan dan dipayungi oleh pokok laban. Beberapa saat lamanya mereka semua menunduk diamdiam dalam ucapan syukur. Ketenangan sekitarnya dan kecerahan alam membikin suasana menjadi syahdu. “Aku bawa kalian ke mari,” Sang Senapati memulai, “karena ada sesuatu yang kalian patut ketahui. Kita telah kalahkan Peranggi dengan penyerangan cepat dan mendadak. Kalian harus ketahui watak musuh yang sangat berbahaya ini: mereka hendak menguasai urat nadi kehidupan – kehidupan hanya untuk diri mereka sendiri, dan semua harus mengabdi untuk kepentingan itu, dan: mereka tak sudi kalah untuk kedua kedinya. Mereka takkan datang lagi ke Tuban, bukan saja karena telah dikalahkan di sini, juga karena nadi-kehidupan telah dialihkan dari Tuban ke tempat lain. Peganglah ini sebagai ketentuan.” “Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selama Peranggi menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang gelap,” ia teringat pada kata-kata lamanya. Senapati mengangkat telunjuk memberi peringatan: “Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah, makin gelap pojokan kita. Apabila mereka tak dihalau dari tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan – ambruk entah sampai berapa keturunan.” “Senapatiku!” Banteng Wareng angkat bicara setelah beberapa saat Senapati berdiam diri sambil mengunyah sirih. “Bagaimana menghalau mereka?” “Tunggu,” tegah Wiranggaleng, “biar aku ceritai kalian. Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya – semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.” “Tidak mungkin. Senapatiku!” bantah Kala Cuwil. ‘Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung. “Aku telah ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seorang yang bukan hanya menyedari ini, bahkan membendungnya. Bukan hanya membendung, bahkan melawan. Orang itu adalah Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah beliau sepanjang jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahmana dan satria, seorang aulia yang akan dihormati sampai akhir jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya berbentuk kupu-tarung.” “Mengapa kupu-tarung? Dua ekor kupu bertarung adalah lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih yang sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan, memperebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari kehidupan. Kedua-duanya sama indah di hadapan sang surya, sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri, sama lemah terhadap perkisaran angin, sama berasal dari ulat yang hina-dina. “Sebenarnya kupu yang satu, kita ini, sama sekali tak perlu kalah karena lawannya juga tidak kuat. Kalian telah dapat halau Peranggi dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka, daripada menang atas Peranggi itu sendiri. Kita belum mengalahkannya sama sekali dari jalan laut. “Jangan sela aku. Biar dapat kuteruskan dengan tenang. “Kalau kupu yang satu itu, arus selatan itu, kalah, bukanlah karena kupu Peranggi, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah karena kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan persoalannya. Dia hindari Peranggi, arus utara itu, dengan berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan itu justru seperti dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara akan tenggelam. Surya akan segan memberkahi dengan sinarnya yang menghidupi.” “Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap Demak?” Banteng Wareng bertanya. “Itulah teka-teki buah si malakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati,” jawab Wiranggaleng sedih. “Kalian hadapi Demak, kalian menjadi lemah di hadapan Peranggi, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan jadi lemah juga di hadapan Peranggi” “Memang persoalannya tak lain dari menghadapi Peranggi,” Banteng Wareng membetulkan pertanyaannya. “Bagaimana harus menghadapi Peranggi, Senapati?” sekarang Kala Cuwil bertanya. “Majapahit telah memberikan jawaban pada kalian: kesatuan Nusantara. Singosari telah memberikan jawaban: kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari telah memberikan jawaban terhadap ancaman kaisar dari utara dulu: kesatuan Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha penyatuan itu? Memang pernah dulu ada seorang Gajah Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda Kartanegara dari Singosari dan Raden Wirang dari Majapahit…” “Engkaulah Gajah Mada!” Kala Cuwil berseru. “Senapatiku, kaulah Gajah Mada!” Braja memperkuat “Kami semua sependapat!” Rangkum menambahi. “Tidak bisa lain,” bisik Banteng Wareng seperti doa. Sang Senapati menunduk. Orang melihat gelombang dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam. Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar. “Gajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan yang kuat, dan kerajaan itu mempunyai cita-cita. Kerajaan yang kuat sekarang adalah Demak, mempunyai balatentara dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa menaklukkan bandar-bandar, dia pun punya cita-cita, hanya untuk tidak berhadapan dengan Peranggi sendiri. Tanpa raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang Gajah Mada.” “Setelah Trenggono melancarkan gerakannya yang dungu, tak seorang pun raja di Nusantara menaruh kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa dibina – karena jaman kita ini memerlukan kekuatan gabungan sebagaimana dicita-citakan Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah nama beliau sepanjang jaman.” “Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada Jepara- Demak? Beberapa kerajaan di Jawa dan seberang telah bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak akan ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara telah ditentukan.” “Kaulah Gajah Mada!” ulang Kala Cuwil. ‘Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama Galengtahu takkan mampu membendung perkembangan kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup bagaimana satu balatentara telah jadi rusak dan merosot karena kehilangan pegangan.” Ia mengangkat kepala dan memandangi Kala Cuwil: “Kau, Kala Cuwil, kau yang tertua di antara semua kepala pasukan, lepaskan destarmu dan gelar di hadapan kita.” Kala Cuwil terheran-heran dan memandangi Senapati dengan mata bertanya-tanya. “Tidak, bukan untuk mengurangi kehormatanmu.” Dengan ragu Sang Patih melepas destar, menggelarnya di hadapan Wiranggaleng dan merapikan ujung-ujungnya yang keriput. “Hanya melepas destar pun kau ragu-ragu, Sang Wirabumi,” tegur Wiranggaleng. “Lebih banyak lagi yang bakal dipinta dari dirimu.” “Senapatiku.” “Nah, dengarkan baik-baik sekarang. Jangan sampai sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian, karena aku takkan mengulangi lagi.” “Senapatiku!” pekik Rangkum. “Dengarkan!” perintah Senapati. ‘Telah aku baktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dan utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya. Gajah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbakimbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri. “Jaman Gajah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin jadi kedi dan anak, anak desa jadi lebih kecil lagi. “Aku menyedari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua kuserahkan pada kalian.” “Senapatiku!” Banteng Wareng menyela. “Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. jangan berdukacita, karena surya enggan memancarkan rahmatnya pada yang berdukacita.” Wiranggaleng melepas bungkusan di punggung dan meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi bungkusan itu. “Lihatlah ini,” katanya lagi dan membuka bungkusan, dan meletakkan isinya satu per satu di atas destar Kala Cuwil, “cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang karena keteledoran pembawanya. Nah, ini gelang,” kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, “dan ini keris bersarung dan berbulu mas dengan kupu-tarung pula. Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja baik-baik.” Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan. “Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian – peninggalan Gusti Kanjeng Adipati Unus, melalui Gusti Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, melalui aku, Wiranggaleng, Senapati Tuban…. “Nah, kalian, empat orang, masing-masing pegangi sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu menggelantung di tengah destar.” “Pegangi terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di antara kalian,” ia pandangi para pemimpin pasukan itu seorang demi seorang “dapat memahami kata-kataku, memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus balik dan pesan Gusti Kanjeng Unus, ambillah dan pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman. “Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan Wiranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani bernama Galeng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk memusnahkannya.” Senapati itu berdiri. Ia tinggalkan kepala-kepala pasukan yang masing-masing memegangi ujung destar Kala Cuwil. Ia melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu melangkah pelan-pelan menuruni bukit, kemudian berpacu ke selatan. Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di sebidang padang rumput tak seberapa luas pengejar itu berseru-seru. Galeng menghentikan kuda dan menengok. Dilihatnya seorang prajurit Tuban berkuda datang menghampiri. Seluruh badannya telah bersalut debu. Prajurit itu melompat turun, berjalan berjongkok dengan cepat dan mengangkat sembah mendekati kaki kuda Senapati. Suaranya gemetar dan meletup-letup jadi pekikan tak terkendali: “Senapatiku! Bapak! Tiadakah aku patut lagi bersujud padamu dan mencium kakimu?” “Siapa kau?” “Gelar, Bapak, anakmu.” “Kuterima sujud dan sembahmu dari atas kuda ini, Gelar.” “Senapatiku, Bapakku, adakah aku,” ia terhisak-hisak. “Aku, aku, aku masih patut jadi…,” hisakannya semakin keras, “jadi, jadi, jadi anakmu?” “Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang tidak mendatangkan kutukan dari Maha Buddha,” jawab Senapati dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke selatan. “Tidak patutkah aku mendapat kata lebih banyak lagi, Senapatiku? Bapakku?” kembali ia terhisak dengan punggung terangguk-angguk ke atas. “Segala yang telah kulakukan selama ini sudah bersuara dan bergema dan bergaung dalam hatimu. Engkau sudah tahu dan mengerti.” “Ya, Bapak.” “Ciumlah kakiku, dan kembali kau pada pasukanmu. Patuhlah pada suara dan gaung hatimu. Wiranggaleng bukan Senapati, dia hanya petani biasa. Kutunggu kau di desa, setelah segala yang kau citakan tercapai” Gelar berdiri membungkuk, melepas sembah, memeluk kaki kiri penunggang kuda itu dan menciumnya. Beberapa bentar kemudian Galeng merenggutkan kaki, menggerakkan kuda, berpacu terus ke selatan. Gelar tertinggal bersujud di atas tanah dan menangismeraung sekerasnya sampai suara dan airmatanya habis. Dengan punggung masih terangguk-angguk karena hisak ia bangun, berdiri dan memeluk leher kudanya. “Sultan,” sebutnya, “tinggal kaulah sekarang padaku. Seorang demi seorang telah pergi daripadaku. Tak seorang pun mengajak aku. Sultan, bawalah aku ke mana kau suka.” Ia naik ke atas kuda tanpa mengindahkan sesuatu. Ia turun lagi dan melepas kendali dan abah-abah, dan dibuangnya ke rumputan. Kuda itu telanjang seperti bukan kuda balatentara. Ia naik lagi. Dan kuda itu berjalan lambat-lambat sekehendak hatinya. Mata Gelar terundukkan ke bawah, bahkan mengiringkan Senapati dengan pandangnya pun tidak. Senapati itu sendiri terus berpacu ke selatan. Di sebuah jalanan hutan ia berhasil menyusul Idayu dan Kumbang dan turun dari kuda. “Bapak!” seru Kumbang. Wiranggaleng mengangkatnya dan menaikkannya di atas punggung binatang itu. Ia berjalan di samping Idayu, pelanpelan tanpa bicara. “Bapak ikut pulang ke desa?” tanya Kumbang. “Ya, Nak, ikut pulang,” jawabnya. Idayu melirik pada suaminya. Hanya sekilas. “Mak, Mak, Bapak ikut pulang.” “Ya, Nak, biar sekali-sekali menengok rumah,” jawab Idayu dan melirik pada suaminya lagi. “Kau tak membawa perlengkapan perang, Kang?” ‘Tidak.” “Demak setiap waktu menyerang lagi, Kang.” “Sekarang Galeng hanya petani, Idayu.” Idayu berhenti berjalan dan memegangi tangan suaminya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca. Mereka berbisik-bisik, kemudian berjalan lagi, makin lama makin jauh memasuki daerah hutan dan hilang di balik kehijauan abadi…. Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang mengemban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah di tengah jalan, namun ia telah mencoba. 0odwo0 Penutup Sylyester da Costa tak dapat melupakan pengalamannya. Di Tuban waktu balatentara Portugis terjebak oleh tipuan balatentara Pribumi. Peranggi telah terpancing oleh api unggun raksasa dan ledakan, lengah keheranan. Dan sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, balatentara Pribumi datang dari kegelapan, menyambar-nyambar seperti elang rajawali. Dalam satu malam itu juga ia ikut menyaksikan bagaimana balatentara tumpas. Benteng bawah-tanah siasia, bahkan didekati pun tak bisa. Meledak. Francisco de Sa kebetulan sedang berlayar ke Maluku. Pengawalan meriam dari laut tak ada. Dibandingkan dengan di Banda, pertahanan Peranggi di Tuban sungguhsungguh lapuk. “Berbahagialah de Britto,” tulis Sylyester da Costa, “berbahagialah Antonia Galyano. Celakalah kami.” Tulisnya selanjurnya dalam buku hariannya: Aku kira hanya beberapa belas orang saja dapat melarikan diri ke timur, hanya untuk dapat mencari kuburannya sendiri yang agak lebih jauh dari teman-temannya. Prajurit-prajurit Pribumi memburu kami tanpa ampun. Aku sendiri terguling di pinggir jalan, kemudian merangkak menjauh. Tak mampu melarikan diri lagi. Sepucuk anak panah telah menembusi pahaku. Masih beruntung tidak terkena nadi karangan maut. Setiap gerak mendatangkan nyeri tak tertahankan. Anak panah itu terbuat daripada bambu, matanya dari tulang, entah babi entahlah sapi. Entah bagaimana keterangannya, yang menembusi pahaku itu tidak berbisa. Kaki kananku telah memar tertumbuk pada bongkahan batu. Satu-satunya jalan bagiku hanya tinggal berdoa untuk keselamatan sendiri. Di mana musket dan pedangku aku sudah tak tahu lagi. Pakaianku compang-camping seakan aku seorang pengemis di depan salah sebuah gereja di Lisboa, bukan lagi prajurit Portugis kebanggaan negeri, raja Portugis. Lengan bajuku telah kuputus untuk menghentikan jalan darah pada lukaku. Rasa-rasanya, bila tak ada Tuhan, tak ada Kristus, tinggal malam saja melindungi aku dari maut. Ah, betapa menggeletar ketakutan hati ini waktu bulan muncul dengan pelannya. Suara prajurit Pribumi yang bersorak-sorak memburu dan menumpas masih kedengaran di mana-mana. Mereka akan temukan aku juga. Puji kepada-Mu, sorak-sorai kemudian semakin lama semakin menjauh. Kesunyian menyusul. Dalam kesakitan, ketakutan, kegentaran dan sebatang kara di medan perang yang telah sunyi ditinggalkan begini, terkenang aku pada orang-tuaku, pada saudara-saudaraku yang sudah sejak semula tak setuju aku berlayar ke Umur. Terkenang aku pada malam sebelum mancal. Ayah mewejang: memang mulia cita-cita menaklukan negerinegeri kafir dan mentaubatkan mereka sesuai dengan keputusan Tahta Suci. Aku sendiri bangga. Ibu tak hentihentinya memandangi anak lelakinya yang bungsu, aku inilah, anak tersayang dan termanja. Seakan mata itu tertuju pada Tuhan Kristus sendiri dan bertanya bagaimana nasib anak bungsunya kelak. Beginilah keadaanku sekarang. Pagi-pagi benar mereka temukan juga aku. Matilah aku sekarang, pikirku. Ketakutan telah menghilangkan rasa nyeri. Satu regu berkuda balatentara Pribumi, barangkali sedang melakukan pemeriksaan medan sehabis serangan malam, telah menemukan aku yang sedang bersembahyang menyerahkan jiwaku kepada Tuhan, Bapak. Aku tahu, hanya itu jalan bagiku. Maka kupersiapkan diri untuk mati di dalam pengampunan-Nya. Kafir-kafir itu mengerahkan tombak-tombaknya padaku. Derap kudanya tak lagi terdengar. Jelas mereka sedang melingkar mengepung aku. Puji kepada Tuhan, karena berkah permohonanku suatu mukjijat telah terjadi. Pemimpin regu Pribumi itu telah menunjukkan kemuliaan hatinya. Ia perintahkan agar aku dirawat. Dirawatlah aku, mungkin perawatan terbaik menurut setahu mereka. Mereka naikkan aku ke atas kuda sambil bercakap-cakap dalam bahasanya sendiri. Di sebuah rumah mereka bius aku dengan obat yang aku tak tahu namanya. Waktu aku siuman kembali anak panah itu telah tercabut dari pahaku. Sebagai gantinya kulihat bebatan dari kain tenun berwarna kuning. Kakiku yang memar telah tertutup dengan selapisan obat berwarna putih yang membubungkan bau sedap. Bau yang membikin aku selalu mengantuk. Tiga bulan aku dirawat. Selama itu mulai aku mengerti sedikit Jawa. Walau tidak banyak, ada juga dapat kumengerti tentang cerita dan percakapan mereka. Waktu aku sudah sembuh mereka beritahukan padaku: aku harus meninggalkan Tuban. Aku pun bersiap-siap hendak pergi untuk mencari bangsaku, entah di Malaka entahlah di Maluku. Sebagai seorang Kristen, orang Portugis, orang Eropa, yang lebih tinggi peradabannya daripada kafir-kafir itu, tentu aku merasa berhutang budi, terutama pada pemimpin regu yang menyelamatkan jiwaku. Tanpa perlindungannya barangkali aku sudah mati, biar pun tak terkena mata tombak. Jadi sebelum berangkat aku perlukan menyampaikan terimakasih pada mereka. Juga aku utarakan keinginanku hendak menghadap pemimpin regu yang dulu itu. Dia sudah pergi, mereka bilang. Tak ada yang tahu. Baiklah, barangkali memang aku tak boleh bertemu. Paling tidak aku harus ketahui namanya. Siapa tahu, tidak sekarang kelak pun mungkin dapat aku lakukan bila Tuhan menghendaki. Namanya Wiranggaleng, tanpa gelar. Bawahannya memanggilnya Senapatiku. Aku ingat-ingat benar nama itu. Rasa-rasanya aku pernah dengar sebelumnya. Mereka sediakan untukku sebuah perahu layar kecil, lengkap dengan perbekalan, kayu bakar, air tawar, baja, batu dan kaul, juga pakaian. Di tengah-tengah laut ada teringat olehku sesuatu: bukankah dia orang yang membikin balatentara Portugis tak dapat keluar lebih jauh dari kota Malaka? Kira-kira memang dia. Hang Wira Malaka itu. Hang Wira -Wiranggaleng. Barangkali, aku tak tahu betul. Agaknya terlalu jauh. Setelah sampai di Maluku, kubuat ini jadi pekerjaan. Aku mulai bertanya-tanya. Kemudian tak lain kesimpulanku: Hang Wira memang Wiranggaleng itu juga, penumpas kami di Tuban. Sekiranya dalam hidupku aku tak ada kesempatan berterimakasih padanya… Dalam tulisan yang sudah banyak rusak dan hampirhampir tak terbaca disebutkan ia telah dipecat dari dinasnya, dan selanjutnya: Orang Portugis siapa pun akan lebih suka tinggal di Banda daripada di mana saja di Maluku ini. Nampaknya aku akan terpakukan di negeri ini dan jadi penduduk sini sampai mati. Berbahagialah kau, Magelhaen, dapat mendarat dan mancal sesukamu, mengelilingi dunia, melaksanakan impianmu. Sayang kekasaran Portugismu kau bawa ke mana-mana sehingga kau tewas oleh anak panah Pribumi Filipina. Aku sendiri tersekat dari pulau yang satu ke yang lain di Maluku, dan masih selamat sampai sekarang ini. Banda akhirnya harus kutinggalkan juga. Begitu Ruy Yaz Pereira jadi panglima di Malaka tahun ini, 1544, aku harus meninggalkan Banda, ditunjuk jadi juruborong di Halmahera. Tetapi keadaan di sini mencurigakan. Setiap waktu bisa terjadi Tuban kedua. Telah aku coba dekati Pribumi. Nampaknya mereka tak suka pada orang kulit putih. Aku minta pindah, dan diperintahkan ke Temate, 1548. Istriku menolak kubawa serta. Bersama dengan anakanaknya, wanita Pribumi Ambon, mereka pulang ke kampungnya di Ambon. Tak mengerti aku mengapa ia menolak ke Temate, boleh jadi karena ia takut pada orang Islam. Maka sudah sejak di kapal dapat kurasai betapa kan sunyi kehidupanku sebagai juruborong di sana. Waktu aku mendarat, penyambutku hanya seorang Pribumi. Atau bukan Pribumi Temate? Aku belum tahu pasti. Setidak-tidaknya dialah yang mengangkuti barangbarang ke loji. Ternyata dia tukang kebun, seorang Kristen yang kelihatan saleh dan kemudian kuketahui tak pernah melewatkan hari kebaktian. Pakaiannya selalu rapi, bersih dan baik. Setiap ke gereja ia mengenakan setelan Portugis sekalipun tidak bersepatu dan hanya bercakar ayam. Ia menerima pakaian itu dari bekas tuannya, Gonsalyes Mateo, juruborong untuk Temate. Tukang kebun itu tidak beristri dan dengan sendirinya tidak beranak. Ia bernama Paulus. Tak ada sahabat atau teman padanya. Nampaknya ia pemurung dan pemenung. Bila sudah sampai pada puncak kesepiannya ia memukul tetabultan, yang di Maluku sini disebut totobuang, sebuah alat musik yang biasa dipergunakan dan kelihatan di Tuban. Tukang kebun ini menarik perhatianku. Bukan saja lagu yang dibunyikannya tidak sama dengan lagu pribumi sini, juga wajahnya tidak ada kesamaan dengan Melayu gereja daripada Pribumi. Aku menduga dia seorang Moro. Pada suatu malam sedang dia memukul totobuang aku datangi dia di kamarnya di ujung gandok dekat dapur. Tak dilihatnya aku masuk. Wajahnya murung seperti biasa. Betul, lagu yang dimainkannya pernah kudengar di Tuban sana. Maka setelah selesai ia kaget melihat aku. Nampak ia seperti… benarkah dia seorang Moro? “Aku pernah dengar lagu seperti itu,” kataku, “dulu di Tuban?” Ia pucat dan pemukulnya jatuh dari tangan. Ia menutup mulut seperti hendak menindas jeritnya sendiri. Dan sejak itu ia selalu ketakutan bila melihat aku. Berhati-hati aku mencoba meramahi dia. Waktu kuulangi pertanyaanku dulu ia nampak tidak lagi terkejut. “Ya, Tuan Besar. Semua telah kuserahkan pada kandungan gereja. Sudah tak tersisa sesuatu pun dari masa laluku.” Seorang yang banyak mengalami penderitaan seperti aku ini segera dapat menangkap, ia mempunyai beban pada punggung dan hatinya. Dugaanku tidak salah. Setelah mulai bisa diajak bicara aku dapat menangkap ia seorang pedosa besar, atau setidak-tidaknya ia merasa demikian, seorang pembohong besar, yang hanya dalam Kristus saja dapat memperoleh damai. Setahun kemudian baru dapat kukumpulkan kalimatkalimat yang sedikit itu yang pernah dikatakannya, yaitu setelah ia mendapat keyakinan pihak Portugis takkan menghukumnya. Ia kelahiran Tuban, mengaku pernah membunuh ayahnya sendiri. Mula-mula ia tak mau mengaku mengapa. Lama-kelamaan, dengan ragu-ragu ia mengatakan, pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan rencana, karena ayahnya menyebabkan penderitaan ibunya, terutama sekali karena ayahnya berpihak pada Portugis dan mengkhianati Tuban. “Tidak ada Pribumi Tuban berpihak pada Portugis,” bantahku. Ia menerangkan ayahnya bukan Pribumi, tetapi seorang Moro, Syahbandar Tuban. Semua orang Portugis di Maluku tahu cerita gila tentang Moro gila bernama Tholib Sungkar Az-Zubaid. Inilah rupa-rupanya anaknya. Ibunya seorang Pribumi, seorang penari kenamaan, katanya. Ia bercerita tentang kelahirannya yang tak diharapkan oleh siapa pun. Namun ibunya mengasihinya sampai terjadinya pembunuhan itu. Setelah itu bukan hanya ibunya, seluruh masyarakat mengucilkannya. Mereka tak dapat menenggang dan mempercayai seorang pembunuh orangtua, pemeluk-pemeluk Buddha itu. Ia mengembara ke mana-mana. Setelah kudanya mati tua ia tak bisa berbuat lain kecuali menggabungkan diri dengan balatentara Demak. Dalam pasukan kuda ia bersahabat dengan seorang prajurit pengawal yang cantik, lebih cantik dari seorang wanita, katanya, kelahiran Trenggono, sebuah tempat di Semenanjung, anak paman Paulus sendiri yang menetap di sana. Pamannya itu juga kelahiran Tuban. Dan anak cantik ini. Jafar, mungkin karena kecantikannya ditarik oleh Sultan Trenggono jadi pengawal pribadi dan pelayan. Karena keistimewaan kedudukannya ia dijuluki Juru Taman, menjuru tamani Sultan. Sekali peristiwa Paulus mendapat perintah untuk melakukan pekerjaan telik di Blambangan. Trenggono telah sampai di batas kerajaan Hindu Blambangan. Untuk dapat melakukan serangan gilang-gemilang dan mematikan. Sultan telah memanggil Fathillah untuk memimpin serangan umum atas Blambangan. Paulus – tentu saja waktu itu ia tidak bernama demikian, entah apa – mendapat perintah untuk mengumpulkan keterangan. Dalam penyusupannya di Blambangan pada suatu pagi ia mendapatkan sebuah gubuk di tengah-tengah huma dalam kepungan rimba-belantara, daerah yang terlalu banyak macannya. Ia mengagumi penghuni, suami-istri yang sudah tua itu. Perawakan lelaki itu tegap katanya. Ia mendekatinya. Lelaki tua itu mengawasinya dengan curiga. Dua-duanya berhadap-hadapan. Paulus segera menjatuhkan diri pada kaki orang tua itu dan memanggilmanggil: Senapatiku! Senapatiku! Sampai pada bagian ini aku menajamkan perhatian. Panggilan Senapatiku itu segera kukenal. “Wiranggaleng?” tanyaku. Paulus terkejut. Ditatapnya aku lama-lama. Aku mencoba meredakannya dan masih juga ditatapnya aku. Suaranya sangat pelan waktu bertanya: “Kenalkah Tuan Besar pada nama itu?” “Seorang kafir yang berbudi,” jawabku. Ia menjadi sentimentil. Suaranya makin pelan dan muncul kekafirannya yang lama dalam ia membantah: “Bukan, Tuan Besar, Senapatiku bukan kafir. Memang aku tak dapat mengatakan apakah ia Islam, ataukah Buddha, Syiwa atau Wisynu. Menurut cerita ibuku dia lulusan perguruan Buddha. Jangan sebut dia kafir, Tuan Besar, karena itu menyakiti hati barangsiapa pernah mengenalnya. Dia seorang yang perwira dalam kemenangan dan kekalahan.” Paulus pernah bercerita bagaimana ia mencintai kudanya. Waktu binatang itu telah kehabisan tenaga karena tuanya dan menjelang kematiannya, ia merawatnya di tengahtengah hutan. Bangkainya ia timbuni dengan rantingranting dan dedaunan, dan kayu-kayu kering kemudian dibakarnya dengan penghormatan. Maka orang yang dapat begitu setia pada binatangnya barangkali dapat mencintai manusia dengan sedalam-dalam cinta. Ternyata Wiranggaleng adalah ayahnya yang resmi. Ia bertanya pada ayahnya mengapa ia tinggal di hutan menyendiri seperti pertapa. “Aku tinggal di luar jamanku. Dalam jaman ini tenagaku terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar. Entah di jaman lain kelak. Di tengah hutan ini aku bisa memandang sampai batas-batas tebangan itu dengan bebas dan lega. Di luar batas itu, selama ada manusia, di situlah kemerosotan. Aku tak perlu melihat. Kau datang kemari bukankah tidak dengan sengaja?” Paulus menceritakan tugasnya. Senapati menganggukangguk. “Betul dugaanku. Kalau begitu kau belum mencapai citacitamu, karena kau memang tidak mempunyai cita-cita. Bukankah aku dulu bilang akan menunggumu di rumah kalau cita-citamu telah tercapai? Kau datang kemari sebagai telik Demak!” Senapati memanggil istrinya, seorang wanita yang juga sudah nampak tua tapi sehat. “Inilah anakmu, datang untuk bersujud padamu.” Paulus bersujud pada kaki ibunya. Ia tak dapat mengatakan sesuatu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya justru yang bukan dimaksudkannya: “Di manakah Kumbang, Mak?” “Kusuruh dia mencari ilmu untuk mengalahkan musuhmusuh bapaknya. Dia pergi ke Giri Dahanapura, kemudian di sana dia ikut dengan orang Peranggi. Bertahun-tahun dia sudah pergi. Terakhir datang dia minta diri akan berlayar dengan kapal Peranggi, ke negeri Peranggi. Sejak itu dia belum pernah datang lagi. Dan kau, sekarang kau hanya hamba seorang sultan yang dijijikkan Senapati.” Mendengar itu Paulus mengerti, Wiranggaleng, masih juga belum dapat berdamai dengan persoalannya, dan karena itu semestinya juga jijik terhadap dirinya. Setelah menyembah ia minta diri dan meneruskan perjalanan tanpa singgah ke gubuk. Setelah tugasnya selesai dan ia kembali ke pesanggrahan tentara Demak tetaplah sudah hatinya: ia harus bunuh Sultan Trenggono. Emak dan Senapati harus dapat mengampuninya. Mahluk yang menjijikkan mereka itu harus hapus dari muka bumi. Pada sahabatnya, Jafar, ia ceritakan semua persoalan yang lalu. Jafar si Juru Taman pun sudah muak terhadap kelakuan Sultan atas dirinya. Suatu persekutuan rahasia terjadi. Jafar si Juru Taman akan mengeris Sultan dan Paulus akan menjaga keselamatannya. Di depan pesanggrahan balatentara Demak peristiwa itu terjadi. Jafar menikam rajanya sebagaimana direncanakan. Para prajurit pengawal di selingkungan Suitan ternyata lebih lincah. Trenggono memang mati seketika. Tapi Jafar si Juru Taman juga tertembusi tombak-tombak waktu hendak mencabut keris dari tubuh korbannya. Karena, ya, karena seorang satria takkan meninggalkan keris pada tubuh korbannya. Melihat itu Paulus lari. Ia melompat ke atas salah seekor dari dua kuda yang telah disiapkannya, menghindari hujan tombak yang terarah padanya. Sekali ia sempat menengok dan melihat pemuda cantik itu telah hancur berkepingkeping. Jafar si Juru Taman seorang yang mengalahkan Demak. Balatentaranya mundur, intinya pulang ke Demak, sisanya buyar ke tempat asalnya masing-masing. Dengan matinya Trenggono, juga Demak sebagai kerajaan runtuh dan tak bangun lagi! Paulus masuk ke Blambangan dan mewartakan pada penduduk: “Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan kerisku!” Raja Blambangan mengangkatnya jadi perwira. Dengan segala kebesaran ia berkunjung pada orangtuanya di tengah hutan. Dengan sorak-sorai penuh kemenangan dalam hati ia wartakan pada mereka di dalam gubuk: “Bapak, Emak, telah aku selesaikan apa yang sudah sewajarnya harus kuselesaikan untuk membendung kemerososotan besar. Telah aku bunuh Sultan Trenggono di Pasuruan.” Betapa lukahatinya melihat kedua mereka hanya memandanginya dengan iba. Suatu rangsang marah tibatiba menjompak seperti perjaka tertolak kasih oleh idaman hati. Tangannya meraba keris. Sekilas itu pula ia sadar, keluar dari gubuk dan kembali ke Blambangan. Hatinya remuk-redam. Semua telah kehilangan arti kembali. Ia tinggalkan Blambangan dan berlayar ke Maluku. Menurut ceritanya, entah benar entahlah bohong, ia pernah sempat menjamah jubah Franciscus Xaverius, dan sejak itu, ia mengakui mendapat kedamaian hati…. Itulah Paulus, seorang yang bisa lakukan perbuatan besar, tetapi, seperti dikatakan oleh Senapatinya sendiri, tidak mempunyai cita-cita, hidup di bawah kebesaran orangtuanya. Suatu tragedi kehidupan. Rupa-rupanya ia menyesal telah menceritakan semua itu. Ia ingin hilang-lenyap tiada berbekas. Seorang saja mengetahui riwayatnya, semua akan mengetahui. Tidak, Paulus, takkan kuceritakan ini pada siapa pun. Kembali ia tak dapat berdamai dengan hatinya. Pada suatu kali ia minta diri untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada Kristus. Ia tinggalkan Temate, entah ke mana, mungkin ke Sangir, mungkin Manado, mungkin juga ke pulau Kai. Ia turun naik ke atas kapal Portugis dengan pakaian pemberian Gonsalyes Mateo. Ia pergi sebelum aku sempat mengucapkan terimakasih untuk ayahnya yang resmi, Senapati Tuban, Wiranggaleng…. END