dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 MUTIARA KEHIDUPAN Meditasi Harian Bersama Krishnamurti oleh: J. Krishnamurti Yayasan Krishnamurti Indonesia Jakarta 1 Diterjemahkan dari: THE BOOK OF LIFE, Daily Meditations with Krishnamurti. © 1995 oleh Krishnamurti Foundation of America ke dalam bahasa Indonesia oleh: Dr. Hudoyo Hupudio, MPH © terjemahan (2005) pada: Yayasan Krishnamurti Indonesia, Jakarta 2 Daftar Isi: Introduksi v Januari Menyimak Belajar Otoritas Pengenalan-diri April Keinginan Seks Perkawinan Gairah Februari Proses Menjadi Kepercayaan Tindakan Baik & Buruk Mei Kecerdasan Perasaan Kata-kata Pengkondisian Maret Ketergantungan Kelekatan Hubungan Ketakutan Juni Energi Perhatian Sadar Tanpa Memilih Kekerasan 3 Juli Kebahagiaan Duka Nestapa Rasa Terluka Kesedihan Oktober Waktu Persepsi Otak Transformasi Agustus Kebenaran Realitas Si Pengamat & yang Diamati Apa Adanya November Hidup Mati Reinkarnasi Cinta September Intelek Pikiran Pengetahuan Batin Desember Kesendirian Agama Tuhan Meditasi 4 INTRODUKSI Pada tahun 1934 Krishnamurti berkata, “Mengapa Anda ingin mempelajari buku-buku, alih-alih mempelajari kehidupan? Temukanlah apa yang benar dan apa yang salah di lingkungan Anda beserta segala penindasan dan kekejamannya, maka Anda akan mendapatkan apa yang benar.” Berulang-ulang ia mengemukakan bahwa “buku kehidupan”, yang terus-menerus berubah dengan suatu vitalitas yang tak dapat dikekang dalam pikiran, adalah satu-satunya buku yang pantas “dibaca”, sedangkan semua buku yang lain penuh dengan informasi tangan kedua. “Sejarah umat manusia ada di dalam diri Anda, pengalaman yang amat luas, ketakutan yang berakar dalam, kecemasan, kesedihan, kenikmatan, dan semua kepercayaan yang telah dikumpulkan manusia selama ribuan tahun. Andalah buku itu.” Buku ini, Buku Kehidupan: Meditasi Harian bersama Krishnamurti, disusun menurut urutan yang sedikit banyak meniru cara Krishnamurti menyampaikan ceramah-ceramahnya. Ia biasanya mulai dengan menyimak dalam hubungan antara pembicara dan hadirin, dan berlanjut dengan topik-topik yang secara wajar muncul ketika kehidupan menjadi tertib dan hal-hal yang lebih dalam mulai muncul ke permukaan kesadaran. Pada hari-hari terakhirnya di tahun 1985 dan 1986 ia berbicara tentang kreativitas dan kemungkinan cara hidup yang sama sekali baru. Buku ini mengandung kutipan-kutipan mengenai topik-topik itu. Banyak tema berulang sepanjang ajarannya. Visinya adalah seluruh pengamatan luas akan kondisi manusia, yang di dalamnya setiap aspek kehidupan saling bergantungan. Buku Kehidupan menampilkan kutipan-kutipan mengenai tema baru setiap minggu selama setahun, dengan setiap topik dikembangkan selama tujuh hari. Krishnamurti mulai berbicara di depan umum pada tahun 1929 dengan nada yang oleh Aldous Huxley dikatakan memiliki “otoritas intrinsik”. Penjelajahannya yang kuat ke dalam seluk-beluk kebenaran dan kebebasan telah menyebabkan jutaan kopi ceramah dan dialognya diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam lebih dari empat puluh bahasa. Krishnamurti, sekalipun pemalu dan cenderung menarik diri, tanpa mengenal lelah memberikan ribuan ceramah, yang disampaikan tanpa catatan atau persiapan, dan yang pada dasarnya membabarkan satu tema yang sangat penting: Kebenaran dapat ditemukan oleh setiap orang, tanpa bantuan otoritas apa pun dan—sebagaimana kehidupan selalu ada—dengan seketika. Ceramah-ceramahnya meliputi seluruh bentangan konflik dan keprihatinan pribadi maupun sosial. Pengamatan terhadap kedalaman dan keluasan perilaku kita, pada saat terjadinya di saat kini, merupakan tindakan yang diperlukan untuk mengubah diri kita sendiri dan masyarakat kita. Ketika ditanya oleh seseorang yang menghadiri salah satu ceramahnya, mengapa ia berbicara dan apa yang ingin dicapainya, ia menjawab, “Saya ingin menyampaikan sesuatu kepada Anda, mungkin cara untuk menemukan apa itu realitas—bukan cara sebagai suatu sistem, melainkan bagaimana melangkah. Dan jika Anda dapat menemukan sendiri hal ini, maka tidak hanya ada satu pembicara, melainkan kita semua akan bicara, kita semua akan mengungkapkan realitas dalam kehidupan kita masing-masing di mana kita berada. … Kebenaran tidak dapat ditimbun. v Apa yang ditimbun akan selalu hancur; ia akan layu. Kebenaran tidak pernah layu, oleh karena ia hanya dapat ditemukan dari saat ke saat di dalam setiap pikiran, di dalam setiap hubungan, di dalam setiap kata, di dalam setiap gerak-gerik, di dalam seulas senyum, di dalam air mata. Dan jika Anda dan saya dapat menemukan itu dan hidup sesuai dengan itu—hidup sesuai dengan itu berarti menemukannya—maka kita tidak akan menjadi propagandis; kita akan menjadi manusia kreatif—bukan manusia sempurna, melainkan manusia kreatif, yang sangat berbeda. Dan saya rasa, itulah sebabnya mengapa saya berbicara, dan mungkin itulah sebabnya mengapa Anda ada di sini menyimak. “Yang ada hanyalah masalah; tidak ada jawaban, oleh karena di dalam memahami masalahnya terletak penguraiannya.” Sering kali, ketika diajukan pertanyaan kepadanya, Krishnamurti menanggapi, “Marilah kita temukan apa yang dimaksud dengan ...,” dengan demikian memeriksa pertanyaan itu dan membongkarnya untuk diselidiki, alih-alih langsung memberikan sebuah jawaban. Bagi Krishnamurti, menggali sebuah pertanyaan atau masalah mendorong penyelidikan seperti itu, alih-alih sekadar mencari jawaban yang logis dan intelektual. Kutipan-kutipan dalam buku ini disajikan kepada pembaca sebagai pertanyaan yang mungkin pernah diajukan tanpa isyarat dari pembaca untuk mendapat jawaban cepat. Krishnamurti menekankan bahwa dialog dengan pendengarnya di dalam ceramah-ceramah yang diberikannya bukanlah bersifat intelektual dan tidak tertambat pada pada pikiran dan cita-cita. Ia berkata, “Bagaimana pun juga, maksud ceramah-ceramah ini ialah untuk berkomunikasi satu sama lain, dan bukan memaksakan kepada Anda serangkaian gagasan-gagasan tertentu. Gagasan tidak pernah mengubah batin, tidak pernah menghasilkan transformasi radikal di dalam batin. Tetapi jika kita bisa secara individual berkomunikasi satu sama lain pada saat bersamaan dan pada tingkat yang sama, maka mungkin ada pemahaman yang bukan sekadar propaganda ... jadi ceramah-ceramah ini bukanlah dimaksudkan agar Anda meninggalkan atau menganut sesuatu dengan cara apa pun, baik secara aktual maupun di bawah sadar.” *** Di dalam hampir semua ceramah dan dialognya di depan umum, Krishnamurti menggunakan istilah ‘mankind’ atau ‘man’ ketika mengacu kepada seluruh kemanusiaan. Tetapi di bagian akhir kehidupannya, ia sering memotong dirinya sendiri dan berkata kepada hadirin, “Jika saya mengatakan ‘mankind’, harap dipahami bahwa yang saya maksudkan juga perempuan. Jadi jangan marah kepada saya.” Krishnamurti berbicara dengan kesederhanaan luar biasa, dan bukan sebagai seorang Guru atau pengajar spiritual yang memiliki ajaran turunan, kosakata khusus, atau ikatan dengan suatu organisasi atau sekte tertentu. Permintaan akan ajarannya yang jelas dan otentik meningkat sementara ia berkelana ke seluruh dunia. Dari tahun 1930 sampai meninggalnya pada tahun 1986, ia berbicara kepada hadirin yang semakin banyak di Eropa, Amerika Utara, Australia, Amerika Selatan dan India. Buku ini mengandung kutipan-kutipan yang diambil dari ceramah, dialog dan tulisan yang pernah diterbitkan atau tidak di antara tahun 1933 dan 1968. Di antaranya dari buku vi Krishnamurti pertama yang popular dan dibaca oleh masyarakat luas, Education and the Significance of Life, yang ditulisnya di bawah sebatang pohon oak besar di Ojai, California, dan diterbitkan pada tahun 1953 oleh Harper & Row, yang selama lebih dari tiga puluh tahun terus menerbitkan karya-karyanya di Amerika. Bukunya yang berikut, The First and the Last Freedom, juga diterbitkan oleh Harper & Row dalam tahun 1954, disertai kata pengantar panjang oleh Aldous Huxley. Serangkaian buku Commentaries on Living ditulis dengan tangan antara tahun 1949 dan 1955 di atas kertas tanpa garis pinggir dan tanpa koreksi atau penghapusan. Aldous Huxley mendorong Krishnamurti untuk menulis, dan naskahnya, yang diedit oleh D. Rajagopal, diterbitkan pada tahun 1956. Pada dasarnya, buku itu memuat kisah wawancara-wawancara yang diberikan oleh Krishnamurti kepada orang-orang yang datang dan berbicara dengannya, dan dalam halaman-halaman buku itu terasa suasana pertemuan antara dua sahabat yang berbicara dan menyelidik tanpa ragu atau takut. Bab-bab dalam buku-buku itu sering dimulai dengan uraian singkat tentang pemandangan alam, iklim atau binatang yang ada di sekitar situ. Dari kesederhanaan alam ini terjadilah transisi yang wajar kepada panorama batin yang penuh kebingungan, kecemasan, kepercayaan—masalah-masalah umum atau pribadi yang dibawa orang ke dalam pertemuannya dengan Krishnamurti. Beberapa wawancara tidak diterbitkan dalam ketiga jilid pertama The Commentaries on Living dan muncul dalam buku ini untuk pertama kali. Di dalam beberapa wawancara yang sebelumnya belum pernah diterbitkan, Krishnamurti menggunakan istilah “pikiran-perasaan” untuk menguraikan suatu respons yang merupakan kesatuan. Buku Life Ahead dan Think on These Things diedit oleh sahabat Krishnamurti, Mary Lutyens, pada tahun 1963 dan 1964 dan diterbitkan oleh Harper & Row. Kedua buku ini merupakan kumpulan tanya-jawab yang terpilih dan diedit dari ceramah-ceramahnya kepada kaum muda, dan mendapat sambutan begitu baik sehingga dipandang sebagai buku klasik sastra religius. Setelah itu masih diterbitkan lagi lebih dari lima puluh buku. Krishnamurti melihat dirinya tidak penting dan tidak diperlukan dalam proses memahami kebenaran, proses melihat diri kita sendiri. Suatu kali ia mengacu dirinya sebagai sebuah telepon, suatu alat untuk digunakan oleh si pendengar. Katanya, “Apa yang dikatakan pembicara sangat tidak penting. Yang benar-benar penting ialah bahwa batin sadar tanpa upaya bahwa ia berada dalam keadaan paham sepanjang waktu. Jika kita tidak paham dan sekadar mendengar kata-kata, mau tidak mau kita pergi dengan serangkaian konsep atau gagasan, dan dengan demikian menciptakan suatu pola, yang kepadanya kita lalu mencoba menyesuaikan diri dalam kehidupan kita sehari-hari atau dalam apa yang dinamakan kehidupan spiritual kita.” Mungkin ada gunanya, selagi Anda membaca, untuk menyadari cara Krishnamurti melihat hubungan antara dua orang yang mencari kebenaran. Pada tahun 1981 ia berkata, “Kita ini seperti dua sahabat yang duduk di sebuah taman pada suatu hari yang indah, berbicara tentang kehidupan, berbicara tentang masalah-masalah kita, menyelidiki hakikat keberadaan kita sendiri, dan bertanya kepada diri sendiri secara serius, mengapa hidup ini menjadi masalah yang begitu besar, mengapa—sekalipun secara intelekual kita sangat canggih—tak urung hidup kita sehari-hari begitu susah payah, tanpa makna, kecuali untuk bertahan hidup—yang lagi-lagi vii agak meragukan. Mengapa kehidupan, keberadaan sehari-hari, menjadi suatu siksaan? Kita mungkin pergi ke tempat ibadah, atau mengikuti seorang pemimpin—pemimpin politis atau religius—tetapi kehidupan sehari-hari selalu kacau; sekalipun ada masa-masa tertentu yang kadang-kadang penuh sukacita, bahagia, selalu ada awan gelap dalam kehidupan kita. Dan kedua sahabat ini—yakni kita, Anda dan pembicara—berbicara secara bersahabat, mungkin disertai kasih sayang, perhatian dan kepedulian, tentang apakah mungkin menjalani hidup sehari-hari tanpa masalah sedikit pun.” viii JANUARI •Menyimak •Belajar •Otoritas 1 •Pengenalan-diri 2 Menyimak Menyimak dengan Nyaman Pernahkah Anda duduk dengan sangat diam, bukan memusatkan perhatian pada sesuatu, bukan berupaya untuk berkonsentrasi, melainkan dengan batin sangat hening, sungguh-sungguh diam? Maka Anda akan mendengar segala sesuatu, bukan? Anda mendengar suara-suara yang jauh maupun yang lebih dekat, suara-suara yang amat dekat, yang muncul di dekat Anda—yang sesungguhnya berarti Anda tengah menyimak terhadap segala sesuatu. Batin Anda tidak terkungkung pada satu alur sempit. Jika Anda dapat menyimak dengan cara ini, menyimak dengan nyaman, tanpa tegang, Anda akan mendapati suatu perubahan luar biasa terjadi dalam diri Anda, perubahan yang terjadi tanpa Anda kehendaki, tanpa Anda minta; dan dalam perubahan itu terdapat keindahan luhur dan kedalaman pencerahan. 1 Januari Menyimak Mengesampingkan Tabir-Tabir Bagaimana Anda menyimak? Apakah Anda menyimak dengan proyeksi-proyeksi Anda, melalui proyeksi Anda, melalui ambisi, keinginan, ketakutan, kecemasan Anda, dengan hanya mendengar apa yang Anda ingin dengar, hanya apa yang memuaskan, apa yang memenuhi dahaga, apa yang memberikan kenyamanan, apa yang untuk sementara meringankan penderitaan Anda? Jika Anda menyimak melalui tabir keinginan-keinginan Anda, maka jelas Anda menyimak suara Anda sendiri; Anda menyimak keinginan-keinginan Anda sendiri. Dan adakah bentuk menyimak lain? Bukankah penting untuk menemukan bagaimana menyimak, bukan hanya menyimak apa yang dikatakan, melainkan juga menyimak segala sesuatu— menyimak kebisingan di jalan-jalan, menyimak kicau burung, menyimak berisiknya trem di jalan, menyimak laut yang tidak bisa diam, menyimak suara suami Anda, menyimak istri Anda, menyimak teman-teman Anda, menyimak tangis bayi? Penyimakan menjadi penting hanya bila kita tidak memproyeksikan keinginan-keinginan kita melalui apa yang kita simak. Dapatkah kita mengesampingkan semua tabir itu, yang melaluinya kita menyimak, dan sungguh-sungguh menyimak? 2 Januari Menyimak Di Luar Kebisingan Kata-Kata Menyimak adalah seni yang tidak mudah didapat, tetapi di situ terdapat keindahan dan pemahaman luhur. Kita menyimak dengan berbagai kedalaman diri kita, tetapi cara menyimak kita selalu disertai suatu prakonsepsi atau berangkat dari suatu sudut pandang tertentu. Kita tidak sekadar menyimak; selalu ada tabir menyela berupa pikiran-pikiran, kesimpulan-kesimpulan dan prasangka-prasangka kita sendiri. ... Untuk dapat menyimak haruslah ada keheningan di dalam, kebebasan dari ketegangan untuk memperoleh sesuatu, suatu perhatian yang rileks. Keadaan yang waspada tapi pasif ini mampu mendengar apa yang berada di luar kesimpulan kata-kata. Kata-kata membingungkan; itu hanya cara berkomunikasi lahiriah; tetapi untuk menghayati di luar kebisingan kata-kata haruslah ada sikap pasif tapi waspada di dalam menyimak. Mereka yang mencinta dapat menyimak; tetapi amat jarang orang menemukan seorang penyimak. Kebanyakan dari kita selalu mengejar hasil, menggapai cita-cita; kita selamanya mengatasi dan menaklukkan, dan dengan demikian tidak menyimak. Hanya di dalam menyimak kita mendengar nyanyian kata-kata. 3 Januari Menyimak Menyimak Tanpa Pikiran Saya tidak tahu apakah Anda pernah menyimak seekor burung. Menyimak sesuatu menuntut bahwa batin Anda harus hening—bukan keheningan mistikal, melainkan sekadar hening. Saya mengatakan sesuatu kepada Anda, dan untuk menyimak saya, Anda harus hening, bukan membiarkan segala macam gagasan berdengung di dalam batin Anda. Ketika Anda memandang sekuntum bunga, Anda memandangnya, bukan memberinya nama, bukan menggolongkannya, bukan berkata bunga itu termasuk spesies anu—kalau Anda lakukan itu, Anda tidak lagi memandangnya. Dengan demikian saya berkata, menyimak adalah salah satu hal yang paling sulit dilakukan—menyimak seorang komunis, menyimak seorang sosialis, menyimak anggota parlemen, menyimak sang kapitalis, menyimak siapa pun, menyimak istri Anda, menyimak anak-anak Anda, menyimak tetangga Anda, menyimak kondektur bus, menyimak seekor burung—sekadar menyimak. Hanya apabila Anda menyimak tanpa gagasan, tanpa pikiran, maka Anda berhubungan secara langsung; dan dengan berhubungan langsung, Anda akan memahami apakah yang dikatakannya itu benar atau salah; Anda tidak perlu berdiskusi. 4 Januari Menyimak Menyimak Membawa Kebebasan Bila Anda berupaya untuk menyimak, apakah Anda menyimak? Tidakkah upaya itu sendiri mengalihkan perhatian sehingga menghalangi penyimakan? Apakah Anda berupaya ketika Anda menyimak sesuatu yang menyenangkan Anda? ... Anda tidak menyadari kebenaran, Anda juga tidak melihat yang palsu sebagai palsu selama batin Anda dipenuhi daya upaya, dipenuhi pembandingan, dipenuhi pembenaran dan pengutukan. ... Menyimak itu sendiri adalah tindakan yang lengkap; tindakan menyimak itu membawa kebebasannya sendiri. Tetapi apakah Anda sungguh-sungguh berminat untuk menyimak, atau berminat untuk mengubah kegoncangan di dalam batin Anda? Jika Anda menyimak ... dalam arti menyadari konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi Anda tanpa memaksakannya ke dalam suatu pola pikir tertentu, mungkin semua itu akan berakhir. Lihat, kita terus-menerus mencoba menjadi ini-itu, mencoba mencapai suatu keadaan tertentu, mencoba menangkap suatu pengalaman tertentu dan menghindari pengalaman lain, dengan demikian, batin terus-menerus sibuk dengan sesuatu; ia tidak pernah diam untuk menyimak bisingnya pergulatan dan kesakitannya sendiri. Bersikaplah sederhana ... dan jangan mencoba menjadi sesuatu atau menangkap suatu pengalaman. 5 Januari Menyimak Menyimak Tanpa Upaya Anda sekarang menyimak saya; Anda tidak berupaya untuk menyimak, Anda sekadar menyimak. Dan jika terdapat kebenaran dalam apa yang Anda dengar, Anda akan mendapati suatu perubahan luar biasa terjadi dalam diri Anda—suatu perubahan yang tidak dipikirkan dulu atau diinginkan, suatu transformasi, suatu revolusi menyeluruh, yang di situ kebenaran itu sendiri berkuasa dan bukan ciptaan batin Anda. Dan kalau boleh saya sarankan, Anda harus menyimak secara itu kepada segala sesuatu—bukan hanya kepada apa yang saya katakan, tetapi juga kepada apa yang dikatakan orang lain, kepada kicau burung-burung, kepada peluit lokomotif, kepada kebisingan bus yang melintas. Anda akan mendapati bahwa semakin banyak Anda menyimak kepada segala sesuatu, makin besar keheningan, dan lalu keheningan itu tidak terputus oleh kebisingan. Hanya jika Anda menentang sesuatu, hanya jika Anda mendirikan penghalang antara Anda dengan apa yang Anda tidak mau simak—hanya di situlah terdapat pergulatan. 6 Januari Menyimak Menyimak Diri Anda Sendiri PENANYA: Selagi saya berada di sini menyimak Anda, tampaknya saya paham, tetapi bila saya pergi dari sini, saya tidak paham, sekalipun saya mencoba menerapkan apa yang Anda katakan. KRISHNAMURTI: ... Anda menyimak diri Anda sendiri, dan bukan menyimak pembicara. Jika Anda menyimak pembicara, ia menjadi pemimpin Anda, cara Anda untuk memahami—yang mengerikan, yang jahat, karena Anda lalu membuat hirarki otoritas. Jadi, apa yang Anda lakukan di sini adalah menyimak diri Anda sendiri. Anda memandang gambar yang dilukis oleh pembicara, yang adalah gambar Anda sendiri, bukan gambar pembicara. Jika sampai di sini jelas, bahwa Anda memandang diri Anda sendiri, maka Anda dapat berkata, “Nah, saya melihat diri saya seperti apa adanya, dan saya tidak ingin melakukan sesuatu terhadap itu”—dan semua itu berakhir. Tetapi jika Anda berkata, “Saya melihat diri saya seperti apa adanya, dan harus ada perubahan,” maka Anda mulai bekerja dengan berangkat dari pemahaman Anda sendiri—yang sama sekali lain dari penerapan apa yang dikatakan pembicara. ... Tetapi jika, sementara pembicara berbicara, Anda menyimak diri Anda sendiri, maka dari penyimakan itu timbullah kejelasan, timbullah kepekaan; dari penyimakan itu batin menjadi sehat, kuat. Tanpa menurut atau menentang, batin menjadi hidup, intens—dan hanya manusia seperti itulah yang dapat menciptakan generasi baru, suatu dunia baru. 7 Januari Belajar Memandang dengan Intensitas ... Saya rasa, belajar adalah sangat sukar, seperti menyimak. Kita tidak pernah sungguh-sungguh menyimak kepada sesuatu karena batin kita tidak bebas; telinga kita tersumbat oleh hal-hal yang sudah kita ketahui; dengan demikian menyimak menjadi luar biasa sulit. Saya rasa—atau lebih tepat, faktanya—jika kita dapat menyimak kepada sesuatu dengan seluruh diri kita, dengan tekun, dengan vitalitas, maka tindakan menyimak itu sendiri merupakan faktor yang membebaskan. Tetapi sayang sekali, Anda tidak pernah menyimak, terbukti Anda tidak pernah belajar dari situ. Bagaimana pun juga, Anda hanya belajar bila Anda memberikan seluruh diri Anda kepada sesuatu. Bila Anda memberikan seluruh diri Anda kepada matematika, Anda belajar. Tetapi bila Anda berada dalam keadaan kontradiksi, bila Anda tidak ingin belajar tapi terpaksa belajar, maka itu menjadi sekadar proses penimbunan. Belajar itu seperti membaca novel dengan tokoh-tokoh yang amat banyak; ia menuntut perhatian penuh dari Anda, bukan perhatian yang saling bertentangan. Jika Anda ingin mempelajari sehelai daun—sehelai daun di musim semi atau sehelai daun di musim panas—Anda harus sungguh-sungguh memandangnya, melihat simetrinya, teksturnya, sifat dari daun yang hidup. Ada keindahan, ada kegiatan, ada vitalitas di dalam sehelai daun. Jadi untuk belajar tentang daun, bunga, awan, matahari yang terbenam, atau seorang manusia, Anda harus memandang dengan intensitas sepenuhnya. 8 Januari Belajar Untuk Dapat Belajar, Batin Harus Diam Untuk menemukan sesuatu yang baru, Anda harus berangkat sendirian; Anda harus berangkat dengan betul-betul telanjang, terutama dalam hal pengetahuan, oleh karena mudah sekali, melalui pengetahuan dan kepercayaan, untuk memperoleh berbagai pengalaman; tetapi pengalaman-pengalaman itu tidak lebih dari produk proyeksi-diri, dan oleh karena itu sama sekali tidak nyata, palsu. Jika Anda ingin menemukan sendiri apa yang baru, tidak ada gunanya membawa-bawa beban apa yang lama, terutama pengetahuan—pengetahuan orang lain, betapa pun besarnya. Anda menggunakan pengetahuan sebagai cara untuk memproyeksikan diri sendiri, memperoleh rasa aman, dan Anda ingin merasa yakin bahwa Anda memperoleh pengalaman yang sama seperti Buddha, atau Yesus, atau si X. Tetapi orang yang terus-menerus berlindung di balik pengetahuan jelas bukan pencari kebenaran. ... Untuk menemukan kebenaran, tidak ada jalan. ... Bila Anda ingin menemukan sesuatu yang baru, bila Anda bereksperimen dengan apa pun, batin Anda harus sangat diam, bukan? Jika batin Anda penuh sesak, dipenuhi fakta, pengetahuan, mereka bertindak sebagai penghalang bagi apa yang baru. Kesulitannya bagi kebanyakan dari kita ialah bahwa pikiran menjadi begitu penting, bermakna secara mencolok, sehingga terus-menerus mengganggu sesuatu yang mungkin baru, mengganggu sesuatu yang mungkin berada bersamaan dengan apa yang diketahui. Jadi, pengetahuan dan pembelajaran adalah penghalang bagi mereka yang ingin mencari, bagi mereka yang ingin mencoba memahami apa yang berada di luar waktu. 9 Januari Belajar Belajar Bukan Pengalaman Kata ‘belajar’ punya arti penting. Ada dua macam belajar. Bagi kebanyakan dari kita, ‘belajar’ berarti mengumpulkan pengetahuan, pengalaman, teknologi, ketrampilan, bahasa. Juga ada belajar secara psikologis, belajar melalui pengalaman, baik pengalaman hidup langsung, yang meninggalkan suatu sisa tertentu sebagai tradisi, ras, masyarakat. Demikianlah kedua jenis belajar untuk menghadapi kehidupan ini: secara psikologis dan secara fisiologis; ketrampilan lahir dan ketrampilan batin. Sesungguhnya tidak ada garis pembatas di antara keduanya; keduanya tumpang tindih. Sekarang kita tidak mempersoalkan ketrampilan yang kita peroleh dengan latihan, pengetahuan teknologis yang kita peroleh dengan studi. Yang kita bicarakan adalah belajar secara psikologis, yang selama berabad-abad kita peroleh atau warisi sebagai tradisi, pengetahuan, pengalaman. Ini kita sebut ‘belajar’, tapi saya mempertanyakan apakah itu benar-benar belajar. Saya tidak bicara tentang belajar suatu ketrampilan, bahasa, teknik, melainkan saya bertanya: apakah batin pernah belajar secara psikologis? Ia belajar, dan dengan apa yang dipelajarinya ia menghadapi tantangan kehidupan. Ia selalu menerjemahkan kehidupan atau tantangan baru menurut apa yang telah dipelajarinya. Itulah yang kita lakukan. Apakah itu belajar? Tidakkah ‘belajar’ menyiratkan sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak saya ketahui dan saya belajar? Jika saya sekadar menambah apa yang sudah saya ketahui, itu bukan lagi belajar. 10 Januari Belajar Kapan Mungkin Belajar? Menyelidik dan belajar adalah fungsi dari batin. Saya maksud dengan ‘belajar’ bukan sekadar memupuk ingatan atau mengumpulkan pengetahuan, melainkan kemampuan berpikir secara jernih dan waras tanpa ilusi, berangkat dari fakta dan bukan dari kepercayaan atau cita-cita. Tidak ada belajar jika pikiran berasal dari kesimpulan. Sekadar memperoleh informasi atau pengetahuan bukanlah belajar. Belajar menyiratkan kecintaan terhadap pemahaman dan kecintaan melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri. Belajar hanya mungkin jika tidak ada paksaan dalam bentuk apa pun. Dan paksaan mengambil banyak bentuk, bukan? Ada paksaan melalui pengaruh, melalui kelekatan atau ancaman, melalui dorongan persuasif, atau wujud-wujud halus dari ganjaran. Kebanyakan orang mengira bahwa belajar didorong dengan pembandingan, padahal faktanya adalah kebalikannya. Pembandingan menghasilkan frustrasi dan hanya mendorong irihati, yang dinamakan kompetisi. Seperti bentuk-bentuk lain dari persuasi, pembandingan menghalangi belajar dan memupuk ketakutan. 11 Januari Belajar Belajar Bukanlah Menimbun Belajar itu berbeda dengan mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses yang berlangsung terus-menerus, bukan proses penambahan, bukan proses yang di situ Anda menimbun dan dari situ bertindak. Kebanyakan dari kita mengumpulkan pengetahuan sebagai ingatan, sebagai gagasan, menyimpannya sebagai pengalaman, dan dari situ bertindak. Dengan demikian, kita bertindak dari pengetahuan, pengetahuan teknologis, pengetahuan sebagai pengalaman, pengetahuan sebagai tradisi, pengetahuan yang telah kita peroleh melalui kecenderungan-kecenderungan kita. Dengan latar belakang itu, dengan timbunan itu sebagai pengetahuan, sebagai pengalaman, sebagai tradisi, kita bertindak. Dalam proses itu tidak ada belajar. Belajar tidak pernah akumulatif: ia adalah gerak yang terus-menerus. Saya tidak tahu apakah Anda pernah menyelami masalah ini: apakah belajar itu dan apakah memperoleh pengetahuan itu? ... Belajar bukanlah menimbun. Anda tidak mungkin menimbun pembelajaran, dan dari gudang timbunan itu bertindak. Anda belajar sambil berjalan. Dengan demikian, tidak pernah ada saat kemunduran, kerusakan atau kemerosotan. 12 Januari Belajar Belajar Tidak Punya Masa Lampau Kearifan adalah sesuatu yang harus ditemukan oleh setiap orang, dan itu bukan hasil dari pengetahuan. Pengetahuan dan kearifan tidak dapat berjalan bersama-sama. Kearifan datang apabila terdapat pengenalan-diri yang matang. Tanpa mengenal diri sendiri, tidak mungkin ada ketertiban, dan oleh karena itu tidak ada kebajikan. Nah, belajar tentang diri sendiri, dan mengumpulkan pengetahuan tentang diri sendiri, adalah dua hal yang berbeda. ... Batin yang mengumpulkan pengetahuan tidak pernah belajar. Yang dilakukannya adalah ini: Ia mengumpulkan bagi dirinya sendiri informasi, pengalaman sebagai pengetahuan, dan dari latar belakang apa yang telah dikumpulkannya, ia mengalami, ia belajar; dan oleh karena itu ia tidak pernah sungguh-sungguh belajar, tetapi selamanya mengetahui, memperoleh. Belajar adalah selalu pada masa kini yang aktif; ia tidak punya masa lampau. Pada saat Anda berkata kepada diri sendiri, “Saya telah belajar,” itu telah menjadi pengetahuan, dan dari latar belakang pengetahuan itu Anda dapat menimbun, menerjemahkan, tetapi Anda tidak dapat belajar lebih jauh. Hanya batin yang tidak memperoleh, melainkan selalu belajar—hanya batin seperti itu dapat memahami seluruh entitas yang kita namakan ‘aku’, diri. Saya harus mengenal diri sendiri, strukturnya, hakikatnya, makna entitas ini secara total; tetapi saya tidak dapat melakukannya dengan terbebani pengetahuan terdahulu, dengan pengalaman terdahulu, atau dengan batin yang terkondisi, oleh karena kalau begitu saya tidak belajar. Saya hanyalah menafsirkan, menerjemahkan, memandang dengan mata yang telah kabur oleh masa lampau. 13 Januari Otoritas Otoritas Menghalangi Belajar Pada umumnya kita belajar melalui pengkajian, melalui buku-buku, melalui pengalaman, atau melalui pengajaran. Semua itu adalah cara umum untuk belajar. Kita menghafalkan apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan, bagaimana harus berpikir dan bagaimana tidak seharusnya berpikir, bagaimana merasakan, bagaimana bereaksi. Melalui pengalaman, melalui studi, melalui analisis, melalui penggalian, melalui pemeriksaan introspektif, kita menimbun pengetahuan sebagai ingatan; dan lalu ingatan merespons tantangan dan tuntutan baru, yang dari situ terjadi proses belajar lebih lanjut. ... Apa yang dipelajari dimasukkan ke dalam ingatan sebagai pengetahuan, dan pengetahuan itu berfungsi bila terdapat tantangan, atau bila kita ingin melakukan sesuatu. Nah, saya rasa ada cara belajar yang sama sekali lain, dan saya akan berbicara sedikit tentang itu; tetapi untuk memahaminya, dan untuk belajar dengan cara lain ini, Anda harus membuang otoritas sama sekali; kalau tidak, Anda hanya akan diajari, dan Anda hanya akan mengulang apa yang Anda dengar. Itulah sebabnya sangat penting untuk memahami hakikat otoritas. Otoritas menghalangi belajar—belajar yang bukan penimbunan pengetahuan sebagai ingatan. Ingatan selalu merespons dalam pola; tidak ada kebebasan. Orang yang terbebani dengan pengetahuan, dengan pengajaran, yang terbungkuk-bungkuk dengan hal-hal yang telah dipelajarinya, tidak pernah bebas. Ia mungkin luar biasa fasih berbicara, tetapi timbunan pengetahuannya menghalanginya untuk bebas, dan oleh karena itu ia tidak mampu belajar. 14 Januari Otoritas Menghancurkan Adalah Menciptakan Untuk bebas Anda harus memeriksa otoritas, seluruh kerangka otoritas, mencabik-cabik seluruh hal yang kotor itu. Dan itu membutuhkan energi, energi fisik sesungguhnya, dan itu juga menuntut energi psikologis. Tetapi energi itu musnah, terbuang percuma, bila kita berada dalam konflik. ... Jadi, bila terdapat pemahaman akan seluruh proses konflik, maka terjadilah pengakhiran dari konflik, dan terdapat energi berlimpah. Lalu Anda dapat melanjutkan terus, meruntuhkan rumah yang telah Anda bangun selama berabad-abad dan tidak punya makna sama sekali. Anda tahu, menghancurkan adalah menciptakan. Kita harus menghancurkan, bukan bangunan fisik, bukan sistem sosial atau ekonomi—ini terjadi setiap hari—melainkan pertahanan-pertahanan psikologis, baik yang disadari atau tak disadari, rasa aman yang telah kita bangun secara rasional, individual, mendalam, atau dangkal. Kita harus meruntuhkan semua itu agar kita sepenuhnya tanpa pertahanan, karena Anda harus tanpa pertahanan untuk dapat mencinta dan merasakan kasih sayang. Maka Anda akan melihat dan memahami ambisi, otoritas; dan Anda mulai melihat kapan otoritas perlu dan pada tingkat mana—otoritas polisi dan tidak lebih. Maka tiada otoritas pembelajaran, tiada otoritas pengetahuan, tiada otoritas kemampuan, tiada otoritas yang diambil oleh fungsi dan yang menjadi kedudukan. Memahami seluruh otoritas—dari guru-guru, Master-Master, dan lain-lain—membutuhkan batin yang amat tajam, otak yang jernih, bukan otak yang keruh, bukan otak yang tumpul. 15 Januari Otoritas Kebajikan Tidak Punya Otoritas Dapatkah batin bebas dari otoritas, yang berarti bebas dari rasa takut, sehingga ia tidak mungkin lagi menjadi pengikut? Jika ya, ini mengakhiri peniruan, yang menjadi mekanis. Bagaimana pun juga, kebajikan, etika, bukanlah mengulang-ulang apa yang baik. Pada saat itu menjadi mekanis, itu bukan lagi kebajikan. Kebajikan adalah sesuatu yang harus berlangsung dari saat ke saat, seperti kerendahan hati. Kerendahan hati tidak bisa dipupuk, dan batin yang tidak punya kerendahan hati tidak bisa belajar. Jadi kebajikan tidak punya otoritas. Moralitas masyarakat bukan moralitas sama sekali; itu bahkan tidak bermoral karena mengakui kompetisi, keserakahan, ambisi, dan oleh karena itu masyarakat justru mendorong imoralitas. Kebajikan adalah sesuatu yang mengatasi moralitas. Tanpa kebajikan tidak ada ketertiban, dan ketertiban bukan menurut suatu pola, menurut suatu rumusan. Batin yang mengikuti suatu rumusan dengan mendisiplinkan dirinya sendiri untuk mencapai kebajikan akan menciptakan masalah imoralitas bagi dirinya sendiri. Suatu otoritas luar yang diobyektifkan oleh batin—selain dari hukum—sebagai Tuhan, sebagai moralitas dan sebagainya menjadi destruktif ketika batin berupaya memahami apa kebajikan sejati itu. Kita memiliki otoritas kita sendiri sebagai pengalaman, sebagai pengetahuan, yang kita coba ikuti. Terdapat pengulangan, peniruan terus-menerus yang kita kenal ini. Otoritas psikologis—bukan otoritas hukum, atau polisi yang menjaga ketertiban—otoritas psikologis, yang dimiliki setiap orang, menghancurkan kebajikan karena kebajikan adalah sesuatu yang hidup, bergerak. Seperti Anda tidak mungkin memupuk kebajikan, seperti Anda tidak mungkin memupuk cinta, begitu pula Anda tidak mungkin memupuk kebajikan; dan di situ terdapat keindahan yang luhur. Kebajikan adalah nonmekanis, dan tanpa kebajikan tidak ada landasan untuk berpikir secara jernih. 16 Januari Otoritas Batin yang Tua Terikat oleh Otoritas Masalahnya adalah: mungkinkah batin yang begitu terkondisi—terdidik dalam sekte, agama yang tak terhitung banyaknya, dan segala takhyul, ketakutan—melepaskan diri dari dirinya sendiri dan dengan demikian menghasilkan batin yang baru? ... Batin yang tua pada dasarnya adalah batin yang terikat oleh otoritas. Saya tidak menggunakan istilah ‘otoritas’ dalam arti hukum; yang saya maksud dengan kata itu adalah otoritas sebagai tradisi, otoritas sebagai pengetahuan, otoritas sebagai pengalaman, otoritas sebagai cara untuk memperoleh rasa aman dan tinggal dalam rasa aman itu, secara lahiriah atau batiniah, oleh karena bagaimana pun juga, itulah yang selalu dicari oleh batin—suatu tempat yang di situ ia bisa merasa aman, tak terganggu. Otoritas seperti itu mungkin otoritas sebuah gagasan yang diterapkan sendiri, atau apa yang disebut gagasan religius tentang Tuhan, yang tidak punya realitas bagi orang yang benar-benar religius. Gagasan bukan fakta, tapi fiksi. Tuhan adalah fiksi; Anda mungkin percaya itu, tapi itu tetap fiksi. Tetapi untuk menemukan Tuhan, Anda harus menghancurkan fiksi itu sepenuhnya, oleh karena batin yang tua adalah batin yang takut, yang ambisius, yang takut mati, takut hidup, dan takut berhubungan; dan batin seperti itu terus-menerus, sadar atau tidak sadar, mencari sesuatu yang abadi, mencari rasa aman. 17 Januari Otoritas Bebas Sejak Awal Jika kita bisa memahami dorongan di balik keinginan kita untuk menguasai atau dikuasai, maka mungkin kita bisa bebas dari efek memasung dari otoritas. Kita ingin merasa pasti, merasa benar, memperoleh sukses, mengetahui; dan keinginan akan kepastian ini, akan keabadian, di dalam diri kita membangun otoritas pengalaman pribadi, sementara di luar membangun otoritas masyarakat, keluarga, agama, dan sebagainya. Tetapi sekadar mengabaikan otoritas saja, membuang simbol-simbol lahiriahnya saja, sangat sedikit maknanya. Melepaskan diri dari suatu tradisi dan memeluk tradisi lain, meninggalkan pemimpin ini dan mengikuti pemimpin itu, adalah suatu perilaku yang dangkal. Jika kita ingin menyadari seluruh proses otoritas, jika kita ingin melihat sifatnya yang tertuju ke dalam, jika kita ingin memahami dan mengatasi keinginan akan kepastian, maka kita harus memiliki kesadaran dan pencerahan yang luas; kita harus bebas, bukan pada akhir, melainkan sejak awal. 18 Januari Otoritas Pembebasan dari Ketidaktahuan, dari Kesedihan Kita menyimak dengan harapan dan ketakutan, kita mencari cahaya orang lain, tetapi tidak bersikap pasif dengan waspada untuk dapat memahami. Jika orang yang telah bebas tampak memenuhi keinginan kita, kita menerimanya; jika tidak, kita terus mencari orang yang akan memenuhi keinginan kita; dan yang diinginkan oleh kebanyakan kita adalah pemuasan pada berbagai tingkat. Yang penting bukanlah bagaimana mengenali orang yang telah bebas, melainkan bagaimana memahami diri Anda. Tidak ada otoritas di sini sekarang, atau di akhirat nanti, yang dapat memberi Anda pengetahuan tentang diri Anda; tanpa pengenalan-diri tidak ada pembebasan dari ketidaktahuan, dari kesedihan. 19 Januari Otoritas Mengapa Kita Menjadi Pengikut? Mengapa kita menerima, mengapa kita menjadi pengikut? Kita mengikuti otoritas orang lain, pengalaman orang lain, lalu meragukannya; pencarian otoritas ini, beserta ikutannya yakni kekecewaan, adalah proses yang menyakitkan bagi kebanyakan dari kita. Kita menyalahkan atau mengritik otoritas, pemimpin, guru yang dulu diterima, tetapi kita tidak menyelidiki kehausan kita sendiri akan otoritas yang dapat menuntun perilaku kita; sekali kita memahami kehausan ini, kita akan memahami pula makna keraguan. 20 Januari Otoritas Otoritas Merusak Si Pemimpin maupun Pengikut Kesadaran-diri adalah sulit, dan karena kebanyakan dari kita lebih menyenangi jalan yang mudah dan memberikan impian, kita membuat otoritas yang membentuk pola kehidupan kita. Otoritas mungkin berupa kolektif, negara; atau mungkin bersifat pribadi, Master, juruselamat, guru. Otoritas dalam bentuk apa pun membutakan, ia menghasilkan sikap tidak mau berpikir; dan karena kebanyakan dari kita mendapati bahwa berpikir berarti mengalami kesakitan, kita menyerahkan diri kepada otoritas. Otoritas menyangkut kekuasaan, dan kekuasaan selalu disentralisir dan oleh karena itu sama sekali merusak; ia merusak, bukan hanya si pemegang kekuasaan, melainkan juga merusak orang yang mengikutinya. Otoritas pengetahuan dan pengalaman adalah menyesatkan, entah itu diletakkan pada sang Master, wakilnya atau rohaniwan. Yang penting adalah hidup Anda sendiri, konflik yang tampak tak ada hentinya ini, bukan pola perilaku atau sang pemimpin. Otoritas Master dan rohaniwan mengalihkan perhatian Anda dari masalah pokok, yang adalah konflik di dalam diri Anda sendiri. 21 Januari Pengenalan-diri Dapatkah Saya Bergantung pada Pengalaman Saya? Kebanyakan dari kita puas dengan otoritas karena ia memberi kita kesinambungan, kepastian, suatu rasa terlindung. Tetapi orang yang ingin memahami implikasi dari revolusi psikologis yang mendalam ini haruslah bebas dari otoritas, bukan? Ia tidak dapat mengharapkan otoritas apa pun, baik yang diciptakannya sendiri maupun yang dipaksakan oleh orang lain. Mungkinkah itu? Mungkinkah bagi saya untuk tidak bergantung pada otoritas pengalaman saya sendiri? Bahkan setelah saya membuang semua ungkapan lahiriah dari otoritas—buku, guru, rohaniwan, tempat ibadah, kepercayaan—saya masih merasa bahwa setidak-tidaknya saya dapat bergantung pada penilaian saya sendiri, pada pengalaman saya sendiri, pada analisis saya sendiri. Tetapi dapatkah saya bergantung pada pengalaman saya, pada penilaian saya, pada analisis saya? Pengalaman saya adalah hasil dari keterkondisian saya, persis seperti pengalaman Anda adalah hasil dari keterkondisian Anda, bukan? Saya mungkin dibesarkan sebagai seorang Muslim, atau Buddhis, atau Hindu, dan pengalaman saya ditentukan oleh latar belakang budaya, ekonomis, sosial, dan religius, persis seperti pengalaman Anda juga. Dapatkah saya bergantung pada itu? Dapatkah saya bergantung untuk mendapatkan tuntunan saya, harapan, penglihatan yang membuat saya yakin dalam penilaian saya sendiri, yang lagi-lagi adalah hasil dari akumulasi ingatan, pengalaman, keterkondisian masa lampau yang berjumpa dengan saat kini? ... Nah, bila saya ajukan semua pertanyaan ini kepada diri saya sendiri, dan saya sadar akan masalah ini, saya melihat bahwa hanya ada satu keadaan yang di situ realitas, kebaruan, dapat muncul, yang menghasilkan suatu revolusi. Keadaan itu adalah bila batin sama sekali kosong dari masa lampau, bila di situ tiada si penganalisis, tiada pengalaman, tiada penilaian, tiada otoritas dalam bentuk apa pun. 22 Januari Pengenalan-diri Pengenalan-Diri Adalah Proses Jadi, untuk memahami berbagai masalah yang tak terhitung banyaknya yang dihadapi oleh kita masing-masing, tidakkah mutlak perlu untuk mengenal diri? Dan itu adalah salah satu hal yang paling sukar, kesadaran-diri—yang bukan berarti isolasi, menarik diri. Jelas, mengenal diri adalah mutlak perlu; tetapi untuk mengenal diri tidak berarti menarik diri dari hubungan. Dan jelas salah untuk berpikir bahwa kita dapat mengenal diri secara bermakna, secara tuntas, secara penuh, melalui isolasi, melalui penolakan terhadap orang, atau dengan pergi kepada seorang psikolog, atau kepada seorang rohaniwan, atau bahwa kita dapat belajar mengenal diri dari sebuah buku. Pengenalan-diri adalah jelas suatu proses, bukan tujuan itu sendiri; dan untuk mengenal diri, kita harus sadar akan diri kita dalam tindakan, yang adalah hubungan. Anda menemukan diri Anda, bukan dalam isolasi, bukan dalam menarik diri, melainkan dalam hubungan—dalam hubungan dengan masyarakat, dengan istri Anda, dengan suami Anda, dengan saudara Anda, dengan manusia lain; tetapi untuk melihat bagaimana Anda bereaksi, apa respons Anda, hal itu membutuhkan kewaspadaan batin luar biasa, suatu ketajaman persepsi. 23 Januari Pengenalan-diri Batin yang Tak Terikat Transformasi di dunia dihasilkan melalui transformasi diri sendiri, oleh karena diri adalah produk dan bagian dari keseluruhan proses eksistensi manusia. Untuk mentransformasikan diri, pengenalan-diri adalah mutlak perlu; tanpa mengenal apa adanya diri Anda, tidak ada landasan bagi pikiran benar, dan tanpa mengenal diri Anda sendiri tidak mungkin ada transformasi. Kita harus mengenal diri kita seperti apa adanya, bukan seperti apa yang kita inginkan, yang hanyalah sekadar suatu cita-cita, dan oleh karena itu khayal, tidak nyata; hanya apa adanya yang dapat ditransformasikan, bukan apa yang Anda inginkan. Mengenal diri sendiri seperti apa adanya membutuhkan kewaspadaan batin luar biasa, oleh karena apa adanya itu mengalami transformasi, perubahan terus-menerus; dan untuk dapat mengikutinya dengan cepat batin tidak boleh terikat pada suatu dogma atau kepercayaan tertentu, kepada suatu pola tindakan tertentu. Kalau Anda ingin menelusuri sesuatu, tidak baik jika terikat. Untuk mengenal diri Anda sendiri, harus ada keadaan-sadar, suatu kewaspadaan batin yang di situ terdapat kebebasan dari semua kepercayaan, dari semua idealisasi, oleh karena kepercayaan dan cita-cita hanya memberi Anda warna, yang mendistorsikan persepsi yang sebenarnya. Jika Anda ingin mengenal apa adanya diri Anda, Anda tidak dapat membayangkan atau percaya kepada sesuatu yang bukan apa adanya diri Anda. Jika saya serakah, cemburu, penuh kekerasan, maka hanya sekadar memiliki cita-cita tentang tanpa-kekerasan, tentang tanpa-keserakahan, tidak banyak bermanfaat. ... Pemahaman akan apa adanya diri Anda, apa pun itu—buruk atau indah, jahat atau merugikan—pemahaman akan apa adanya diri Anda, tanpa distorsi, adalah awal dari kebajikan. Kebajikan mutlak perlu, oleh karena ia memberi kebebasan. 24 Januari Pengenalan-diri Mengenal-Diri Secara Aktif Tanpa pengenalan-diri, pengalaman menghasilkan ilusi; dengan pengenalan-diri, pengalaman—yang adalah respons terhadap tantangan—tidak meninggalkan sisa kumulatif sebagai ingatan. Pengenalan-diri adalah penemuan dari saat ke saat gerak-gerik diri, niat-niatnya dan upaya-upayanya, pikiran-pikirannya dan nafsu-nafsunya. Tidak pernah ada “pengalamanku” dan “pengalamanmu”; istilah “pengalamanku” itu sendiri menandakan ketidaktahuan dan diterimanya ilusi. 25 Januari Pengenalan-diri Kreativitas Melalui Pengenalan-Diri Tidak ada metode untuk mengenal diri. Mencari metode mau tidak mau menyiratkan keinginan untuk mencapai suatu hasil—dan itulah yang dikehendaki oleh kita semua. Kita mengikuti otoritas—jika bukan otoritas seseorang, maka otoritas sebuah sistem, atau sebuah ideologi—karena kita menghendaki suatu hasil yang memuaskan, yang akan memberi kita rasa aman. Kita sesungguhnya tidak menghendaki untuk memahami diri kita sendiri, dorongan-dorongan dan reaksi-reaksi kita, seluruh proses berpikir kita, yang disadari maupun tak disadari; kita lebih suka menjalankan sebuah sistem yang memberikan jaminan hasil. Tetapi menjalankan sebuah sistem mau tidak mau adalah hasil keinginan untuk memperoleh rasa aman, memperoleh kepastian, dan hasilnya jelas bukan pemahaman diri sendiri. Bila kita mengikuti sebuah metode, kita harus menganut otoritas—Guru, Juruselamat, Master—yang akan menjamin bagi kita apa yang kita inginkan; jelas ini bukan jalan untuk mengenal diri. Otoritas menghalangi pengenalan diri, bukan? Di bawah perlindungan sebuah otoritas, perlindungan seorang penuntun, Anda mungkin mempunyai rasa aman, rasa sejahtera untuk sementara, tetapi itu bukan pemahaman seluruh proses diri sendiri. Otoritas pada hakikatnya menghalangi penyadaran penuh akan diri sendiri, dan oleh karena itu pada akhirnya menghancurkan kebebasan; hanya di dalam kebebasan terdapat kreativitas. Kreativitas hanya mungkin ada melalui pengenalan diri. 26 Januari Pengenalan-diri Batin Hening, Batin Sederhana Apabila kita sadar akan diri kita sendiri, bukankah seluruh gerak kehidupan adalah jalan untuk membongkar sang ‘aku’, ego, diri? Diri adalah proses yang amat rumit, yang hanya dapat dibongkar dalam hubungan, dalam kegiatan kita sehari-hari, dalam cara kita bicara, cara kita menilai, menghitung-hitung, cara kita mengutuk orang lain dan diri sendiri. Semua itu mengungkapkan terkondisinya pikiran kita sendiri; dan tidakkah penting untuk menyadari seluruh proses ini? Hanya melalui kesadaran akan apa yang benar dari saat ke saat terdapat penemuan akan apa yang berada di luar waktu, yang abadi. Tanpa pengenalan-diri, yang abadi tidak mungkin muncul. Bila kita tidak mengenal diri kita sendiri, yang abadi menjadi sekadar kata semata-mata, suatu simbol, suatu spekulasi, suatu dogma, suatu kepercayaan, suatu ilusi yang kepadanya batin bisa melarikan diri. Tetapi jika kita mulai memahami sang ‘aku’ dalam semua sepak-terjangnya sehari-hari, maka di dalam pemahaman itu sendiri, tanpa upaya apa pun, apa yang tak bernama, yang berada di luar waktu, muncul. Tetapi yang di luar waktu itu bukan ganjaran bagi pengenalan-diri. Yang abadi tidak dapat dikejar; batin tidak bisa memilikinya. Ia muncul bila batin hening, dan batin hanya bisa hening bila ia sederhana, bila ia tidak lagi menimbun, mengutuk, menghakimi, menimbang-nimbang. Hanyalah batin yang sederhana yang dapat memahami apa yang nyata, bukan batin yang penuh dengan kata-kata, pengetahuan, informasi. Batin yang menganalisis, menghitung-hitung, bukanlah batin yang sederhana. 27 Januari Pengenalan-diri Pengenalan-Diri Tanpa pengenalan diri, apa pun yang Anda lakukan, tidak mungkin ada keadaan meditasi. Yang saya maksud dengan ‘pengenalan diri’ adalah menyadari setiap pikiran, setiap suasana batin, setiap kata, setiap perasaan; menyadari kegiatan batin Anda—bukan menyadari diri tertinggi, Aku yang luhur, tidak ada itu; diri yang lebih tinggi, atman, masih berada di dalam lingkup pikiran. Pikiran adalah hasil keterkondisian Anda, pikiran adalah respons ingatan Anda—ingatan nenek moyang atau ingatan belum lama berselang. Dan sekadar mencoba bermeditasi tanpa lebih dulu menegakkan secara mendalam, sehingga tak tercabut kembali, kebajikan yang datang dari pengenalan diri adalah sama sekali menyesatkan dan sama sekali tak berharga. Mohon diperhatikan, ini sangat penting bagi mereka yang serius untuk memahami ini. Oleh karena jika Anda tidak dapat melakukannya, maka meditasi Anda dan kehidupan sehari-hari Anda tercerai, terpisah—begitu jauh terpisah sehingga sekalipun mungkin Anda bermeditasi, duduk bersila terus-menerus, sepanjang sisa hidup Anda, Anda tidak akan melihat lebih jauh dari hidung Anda; sikap tubuh apa pun yang Anda ambil, apa pun yang Anda lakukan, tidak akan berarti sama sekali. ... Penting dipahami apa pengenalan diri ini: sekadar sadar, tanpa memilih sedikit pun, akan sang ‘aku’ yang bersumber pada seonggok ingatan—sekadar menyadarinya tanpa menafsirkan, sekadar mengamati gerakan batin. Tetapi pengamatan itu terhalang bila Anda mengumpulkan melalui pengamatan: apa yang harus dikerjakan, apa yang tak boleh dikerjakan, apa yang harus dicapai; jika Anda lakukan itu, Anda mengakhiri proses yang hidup dari gerakan batin sebagai diri. Artinya, saya harus mengamati dan melihat faktanya, yang aktual, apa adanya. Jika saya mendekatinya dengan sebuah gagasan, dengan sebuah opini—misalnya, “saya harus begini”, atau “saya tidak boleh begitu”, yang adalah respons ingatan—maka gerakan dari apa adanya akan terhalang, terbendung; dan oleh karena itu, tidak terjadi belajar. 28 Januari Pengenalan-diri Kekosongan Kreatif Tidak dapatkah Anda sekadar menyimak ini seperti tanah menerima benih, dan melihat apakah batin mampu menjadi bebas, menjadi kosong? Ia bisa menjadi kosong hanya dengan memahami seluruh proyeksi-proyeksinya, seluruh kegiatannya, bukan kadang-kadang saja, melainkan dari hari ke hari, dari saat ke saat. Maka Anda akan menemukan jawabannya, maka Anda akan melihat bahwa perubahan muncul tanpa diminta, bahwa keadaan kekosongan kreatif bukanlah sesuatu untuk dipupuk—ia ada, ia datang menyelinap, tanpa diundang, dan hanya dalam keadaan itulah terdapat kemungkinan pembaruan, kebaruan, revolusi. 29 Januari Pengenalan-diri Pengetahuan-Diri Berpikir benar datang dengan pengenalan-diri. Tanpa memahami diri Anda, Anda tidak punya dasar untuk berpikir; tanpa pengenalan-diri, yang Anda pikir adalah tidak benar. Anda dan dunia bukan dua entitas berbeda dengan problem terpisah; Anda dan dunia adalah satu. Problem Anda adalah problem dunia. Anda mungkin hasil dari kecenderungan-kecenderungan tertentu, dari pengaruh lingkungan, tetapi Anda tidak berbeda secara mendasar dengan orang lain. Secara batiniah, kita semua sangat mirip; kita semua didorong oleh keserakahan, keinginan jahat, ketakutan, ambisi dan sebagainya. Kepercayaan, harapan, aspirasi kita mempunyai landasan bersama. Kita adalah satu; kita adalah satu kemanusiaan, sekalipun batas-batas artifisial dari ekonomi dan politik dan prasangka memecah-belah kita. Jika Anda membunuh orang lain, Anda merusak diri sendiri. Anda adalah pusat dari keseluruhan, dan tanpa memahami diri Anda sendiri Anda tidak dapat memahami realitas. Kita mempunyai pengetahuan intelektual tentang kesatuan ini, tetapi kita tetap menyimpan pengetahuan dan perasaan dalam kotak-kotak yang berbeda, dan oleh karena itu kita tidak pernah mengalami kesatuan yang luar biasa dari manusia. 30 Januari Pengenalan-diri Relasi Adalah Cermin Pengenalan-diri bukanlah mengikuti suatu rumusan tertentu. Anda boleh pergi kepada seorang psikolog atau psikoanalis untuk mengetahui diri Anda, tetapi itu bukan pengenalan-diri. Pengenalan-diri muncul apabila kita menyadari diri kita di dalam hubungan, yang memperlihatkan apa adanya diri kita dari saat ke saat. Hubungan adalah cermin yang di dalamnya kita melihat diri kita sendiri seperti apa adanya. Tetapi kebanyakan dari kita tidak mampu memandang diri sendiri seperti apa adanya dalam hubungan, oleh karena kita langsung mulai menyalahkan atau membenarkan apa yang kita lihat. Kita menghakimi, kita menilai, kita membandingkan, kita menolak atau menerima, tetapi kita tidak pernah sungguh-sungguh mengamati apa adanya, dan bagi kebanyakan orang tampaknya ini hal yang paling sukar dilakukan; namun hanya inilah awal dari pengenalan-diri. Jika kita mampu melihat diri kita seperti apa adanya di dalam cermin luar biasa dari hubungan, yang tidak mendistorsikan, jika kita bisa sekadar memandang ke dalam cermin ini dengan penuh perhatian dan sungguh-sungguh melihat apa adanya, menyadarinya tanpa menyalahkan, tanpa menghakimi, tanpa menilai—dan kita melakukan ini apabila terdapat minat yang sungguh-sungguh—maka kita akan menemukan bahwa batin mampu membebaskan dirinya dari semua keterkondisian; dan hanya di situlah batin bebas untuk menemukan apa yang terletak di luar lingkup pikiran. Bagaimana pun juga, betapa pun terpelajar atau betapa pun remeh batin, ia sadar atau tidak sadar terbatas, terkondisi, dan setiap perluasan dari pengkondisian ini masih terletak di dalam lingkup pikiran. Maka, kebebasan adalah sesuatu yang sama sekali lain. 31 Januari FEBRUARI •Proses Menjadi •Kepercayaan • Tindakan • Baik dan Buruk Proses Menjadi Menjadi Adalah Pergulatan Hidup yang kita kenal, kehidupan sehari-hari kita, adalah suatu proses menjadi. Saya miskin, dan saya bertindak dengan suatu tujuan dalam pandangan saya, yakni menjadi kaya. Saya jelek dan ingin menjadi cantik. Oleh karena itu hidup saya adalah proses untuk menjadi sesuatu. Keinginan untuk ada adalah keinginan untuk menjadi, pada tingkat kesadaran yang berbeda-beda, dalam keadaan yang berbeda-beda, yang di situ terdapat tantangan, tanggapan, penamaan, dan pencatatan. Nah, menjadi adalah pergulatan, menjadi adalah kesakitan, bukan? Itu adalah perjuangan terus-menerus: saya sekarang begini, dan saya ingin menjadi begitu. 1 Februari Proses Menjadi Semua Proses Menjadi Adalah Perusakan Batin mempunyai suatu gagasan, yang mungkin menyenangkan, dan ia ingin menjadi seperti gagasan itu, yang adalah proyeksi keinginan Anda. Ada keadaan begini, yang tidak Anda sukai, dan Anda ingin menjadi begitu, yang Anda sukai. Yang ideal itu diproyeksikan oleh diri; apa yang berlawanan adalah perluasan dari apa yang ada; itu sama sekali bukan yang berlawanan, melainkan kelanjutan dari apa yang ada, mungkin sedikit diubah. Proyeksi itu dikehendaki oleh diri, dan konflik adalah perjuangan menuju proyeksi itu. ... Anda berjuang untuk menjadi sesuatu, dan sesuatu itu adalah bagian dari diri Anda. Yang ideal itu adalah proyeksi Anda sendiri. Lihatlah betapa batin telah menipu dirinya sendiri. Anda berjuang mengejar kata-kata, mengejar proyeksi Anda sendiri, bayangan Anda sendiri. Anda penuh kekerasan, dan Anda berjuang untuk tidak lagi keras, yakni yang ideal; tetapi yang ideal itu adalah proyeksi apa yang ada, hanya saja dengan nama berbeda. Bila Anda menyadari tipuan yang Anda lakukan terhadap diri Anda sendiri, maka yang palsu terlihat sebagai yang palsu. Perjuangan menuju suatu ilusi adalah faktor yang merusak. Semua konflik, semua proses menjadi adalah perusakan. Bila ada kesadaran akan tipuan yang dilakukan batin terhadap dirinya sendiri, maka yang ada hanyalah apa adanya. Bila batin terbebas dari semua proses menjadi, dari semua yang ideal, dari semua pembandingan dan pengutukan, bila semua struktur dirinya runtuh, maka apa adanya mengalami transformasi sepenuhnya. Selama masih ada pemberian nama terhadap apa adanya, maka ada hubungan antara batin dengan apa adanya; tetapi bila proses penamaan ini—yang adalah ingatan, yakni struktur batin itu sendiri—tidak ada, maka apa adanya tidak ada lagi. Hanya di dalam transformasi ini terdapat integrasi. 2 Februari Proses Menjadi Dapatkah Batin yang Mentah Menjadi Peka? Simaklah pertanyaan itu, simaklah makna di balik kata-katanya. Dapatkah batin yang mentah menjadi peka? Jika saya berkata batin saya mentah, dan saya mencoba menjadi peka, maka upaya untuk menjadi peka itu sendiri adalah kementahan. Harap lihat ini. Jangan heran, tetapi pandanglah. Sedangkan, jika saya melihat bahwa saya mentah tanpa ingin berubah, tanpa mencoba menjadi peka, jika saya mulai memahami apa arti kementahan, mengamatinya dalam hidup saya dari hari ke hari—cara makan saya yang rakus, cara saya memperlakukan orang dengan kasar, kebanggaan, keangkuhan, kekasaran tingkah laku dan pikiran-pikiran saya—maka pengamatan itu sendiri mentransformasikan apa adanya. Demikian pula, jika saya bodoh dan saya berkata saya harus menjadi cerdas, maka upaya untuk menjadi cerdas itu hanyalah wujud kebodohan yang lebih besar; oleh karena yang penting adalah memahami kebodohan. Betapa banyak pun saya mencoba menjadi cerdas, kebodohan saya tetap ada. Saya mungkin mencapai polesan di permukaan dengan belajar, saya mungkin mampu mengutip dari buku-buku, membeo ucapan para penulis besar, tetapi pada dasarnya saya tetap bodoh. Tetapi jika saya melihat dan memahami kebodohan ketika ia menampilkan diri dalam kehidupan saya sehari-hari—bagaimana saya memperlakukan pelayan saya, bagaimana saya memandang tetangga saya, orang miskin, orang kaya, pegawai rendah—maka kesadaran itu sendiri menghasilkan runtuhnya kebodohan. 3 Februari Proses Menjadi Kesempatan untuk Memperluas-diri Struktur hirarkis memberikan kesempatan baik untuk memperluas-diri. Anda mungkin menginginkan persaudaraan, tetapi bagaimana mungkin ada persaudaraan jika Anda mengejar pembedaan spiritual? Anda mungkin tersenyum terhadap gelar-gelar duniawi; tetapi ketika Anda mengakui Sang Master, juruselamat, guru di bidang kerohanian, tidakkah Anda masih membawa sikap duniawi itu? Apakah mungkin ada pembagian dan gelar-gelar hirarkis dalam pertumbuhan spiritual, dalam pemahaman kebenaran, dalam merealisasikan Tuhan? Cinta tidak mengakui pembagian. Entah Anda mencinta atau tidak mencinta; tetapi jangan buat ketiadaan cinta menjadi proses bertele-tele yang tujuannya adalah cinta. Bila Anda tahu Anda tidak mencinta, bila Anda sadar tanpa memilih akan fakta itu, maka ada kemungkinan terjadi transformasi; tetapi memupuk dengan rajin pembedaan antara Guru dan murid, antara orang yang telah sampai dan orang yang belum sampai, antara juru selamat dan pendosa, berarti mengingkari cinta. Si pengeksploitir, yang pada gilirannya dieksploitir, mendapatkan padang perburuan yang menyenangkan dalam kegelapan dan ilusi ini. ... Pemisahan antara Tuhan atau realitas dengan Anda dibuat oleh Anda sendiri, oleh batin yang melekat kepada apa yang diketahui, kepada kepastian, kepada rasa aman. Keterpisahan ini tidak bisa dijembatani; tiada ritual, tiada latihan, tiada kurban yang dapat menyeberangkan Anda; tiada juru selamat, tiada Master, tiada guru yang dapat menuntun Anda kepada yang nyata atau melenyapkan keterpisahan ini. Pembagian ini bukan antara yang nyata dengan Anda; itu ada di dalam diri Anda sendiri. ... Yang penting adalah memahami konflik keinginan yang makin meningkat; dan pemahaman ini hanya datang melalui pengenalan-diri dan kesadaran terus-menerus akan gerak-gerik diri. 4 Februari Proses Menjadi Di Luar Semua Pengalaman Untuk memahami diri dibutuhkan kecerdasan yang kuat, keawasan, kewaspadaan yang kuat, mengamati tanpa henti, sehingga diri itu tidak lolos. Saya, yang amat bersungguh-sungguh, ingin melenyapkan diri. Bila saya mengatakan itu, saya tahu adalah mungkin untuk melenyapkan diri. Harap sabar. Pada saat saya berkata, “Saya ingin melenyapkan ini,” dan di dalam proses yang saya ikuti untuk melenyapkannya terdapat pengalaman tentang diri, dan dengan demikian diri itu diperkuat. Jadi, bagaimana mungkin bagi diri untuk tidak mengalami? Kita dapat melihat bahwa penciptaan sama sekali bukan pengalaman tentang diri. Penciptaan ada bila diri tidak ada, oleh karena penciptaan bukanlah intelektual, bukan berasal dari pikiran, bukan diproyeksikan oleh diri, merupakan sesuatu yang berada di luar semua pengalaman seperti yang kita kenal. Mungkinkah bagi batin untuk sungguh hening, berada dalam keadaan tak mengenal, yang berarti tak mengalami, berada dalam keadaan yang di situ penciptaan dapat berlangsung—yang berarti, bila diri tidak ada, bila diri absen? Apakah pertanyaan saya ini jelas, atau tidak? ... Masalahnya adalah ini, bukan? Setiap gerak dari batin, positif atau negatif, adalah pengalaman yang sesungguhnya memperkuat sang “aku”. Mungkinkah bagi batin untuk tak mengenal? Itu hanya dapat terjadi bila terdapat keheningan sempurna, tetapi bukan keheningan yang merupakan pengalaman dari diri dan yang dengan demikian memperkuat diri. 5 Februari Proses Menjadi Apakah Diri Itu? Mengejar kekuasaan, kedudukan, otoritas, ambisi dan sebagainya adalah bentuk-bentuk diri yang berbeda-beda. Tetapi yang penting adalah memahami diri, dan saya rasa Anda dan saya meyakini hal itu. Jika boleh saya tambahkan, marilah kita bersungguh-sungguh dalam hal ini, oleh karena saya merasa, jika Anda dan saya sebagai individu—bukan sebagai kelompok dari kelas tertentu, masyarakat tertentu, wilayah iklim tertentu—dapat memahami ini dan bertindak terhadapnya, maka saya rasa akan ada revolusi yang sesunguhnya. Pada saat itu menjadi universal dan terorganisasikan dengan lebih baik, maka diri berlindung ke dalamnya; sedangkan, jika Anda dan saya sebagai individu dapat mencinta, dapat menerapkan ini secara aktual dalam kehidupan sehari-hari, maka revolusi yang begitu penting akan terjadi. ... Tahukah Anda, apa yang saya maksud dengan diri? Yang saya maksud dengan itu adalah gagasan, ingatan, kesimpulan, pengalaman, berbagai niat yang dapat disebut atau tidak, daya upaya sadar untuk menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu, timbunan ingatan di bawah-sadar, sifat rasial, kelompok, individu, marga, dan semuanya, entah itu diproyeksikan keluar dalam tindakan, entah diproyeksikan secara spiritual sebagai kebajikan; perjuangan mengejar semua itu adalah diri. Di dalamnya termasuk persaingan, keinginan menjadi sesuatu. Seluruh proses itu adalah diri; dan kita tahu secara aktual—ketika kita menghadapinya—bahwa itu jahat. Saya sengaja menggunakan kata ‘jahat’, oleh karena diri itu memecah-belah; diri itu menutup-diri; kegiatannya, betapa pun mulia, terpisah dan terisolasi. Kita tahu semua itu. Kita juga tahu bahwa adalah luar biasa saat-saat ketika diri itu tidak ada, yang di situ tidak terdapat rasa berupaya, berjuang, dan yang terjadi apabila ada cinta. 6 Februari Proses Menjadi Bila Ada Cinta, Diri Tidak Ada Realitas, kebenaran bukan untuk dikenali. Agar kebenaran bisa muncul, kepercayaan, pengetahuan, pengalaman, kebajikan, pengejaran kebajikan—yang berbeda dari keadaan bajik—semua ini harus pergi. Orang bajik yang dengan sadar mengejar kebajikan tidak akan pernah menemukan realitas. Ia mungkin orang yang sangat sopan; itu sama sekali lain dari orang yang memiliki kebenaran, dari orang yang paham. Bagi orang yang memiliki kebenaran, kebenaran telah muncul. Seorang yang bajik adalah orang yang lurus, dan orang yang lurus tidak pernah dapat memahami apa itu kebenaran; oleh karena kebajikan baginya adalah penyelubungan diri, penguatan diri; oleh karena ia mengejar kebajikan. Ketika ia berkata, “Saya harus bebas dari keserakahan,” maka keadaan yang di situ ia tanpa-keserakahan dan yang dialaminya akan memperkuat diri. Itu sebabnya mengapa penting sekali untuk menjadi miskin, bukan hanya miskin dalam hal-hal duniawi, melainkan juga miskin dalam kepercayaan dan dalam pengetahuan. Orang yang kaya dengan kekayaan duniawi, atau orang yang kaya dengan pengetahuan dan kepercayaan, tidak pernah akan tahu apa-apa kecuali kegelapan, dan akan menjadi pusat segala kerusakan dan kesengsaraan. Tetapi jika Anda dan saya, sebagai individu, dapat melihat seluruh sepak terjang diri ini, maka kita akan tahu apa itu cinta. Percayalah, itu satu-satunya reformasi yang mampu mengubah dunia. Cinta bukanlah diri. Diri tidak dapat mengenal cinta. Anda berkata, “Saya mencinta,” tetapi, ketika berkata itu, ketika mengalami itu, cinta itu tidak ada. Tetapi bila Anda tahu cinta, diri tidak ada. Bila ada cinta, diri tidak ada. 7 Februari Kepercayaan Memahami Apa Adanya Jelas, orang yang memahami kehidupan tidak menginginkan kepercayaan. Orang yang mencinta tidak punya kepercayaan—ia mencinta. Orang yang dipenuhi inteleklah yang punya kepercayaan, oleh karena intelek selalu mencari rasa aman, mencari perlindungan; ia selalu menghindari bahaya, dan dengan demikian ia membangun gagasan-gagasan, kepercayaan-keperrcayaan, cita-cita, yang di baliknya ia bisa berlindung. Apa yang terjadi bila Anda menggarap kekerasan secara langsung, sekarang? Anda akan menjadi bahaya bagi masyarakat; dan oleh karena batin melihat bahaya itu, ia berkata, “Saya akan mencapai cita-cita tanpa-kekerasan sepuluh tahun lagi”—suatu proses yang begitu fiktif, palsu ... Memahami apa adanya adalah lebih penting daripada menciptakan dan menganut cita-cita, oleh karena cita-cita adalah palsu, dan apa adanya adalah yang nyata. Memahami apa adanya membutuhkan kemampuan hebat, suatu batin yang tangkas dan tanpa-prasangka. Oleh karena kita tidak ingin menghadapi dan memahami apa adanya maka kita menciptakan banyak jalan untuk melarikan diri dan memberinya nama-nama indah sebagai cita-cita, kepercayaan, Tuhan. Jelas, hanya apabila saya melihat yang palsu sebagai palsu maka batin saya mampu melihat apa yang benar. Batin yang bingung dalam kepalsuan tidak pernah dapat menemukan kebenaran. Oleh karena itu, saya harus memahami apa yang palsu dalam hubungan-hubungan saya, dalam gagasan-gagasan saya, dalam segala sesuatu tentang diri saya, oleh karena untuk melihat kebenaran dibutuhkan pemahaman akan yang palsu. Tanpa membuang sebab-musabab ketidaktahuan, tidak mungkin ada pencerahan; dan mencari pencerahan ketika batin tak tercerahkan adalah hampa, tanpa makna sama sekali. Oleh karena itu, saya harus mulai melihat yang palsu dalam hubungan saya dengan gagasan-gagasan, dengan orang-orang, dengan benda-benda. Bila batin melihat apa yang palsu, maka apa yang benar muncul, lalu ada gairah kenikmatan, ada kebahagiaan. 8 Februari Kepercayaan Apa yang Kita Percaya Apakah kepercayaan memberikan semangat? Dapatkah semangat bertahan tanpa kepercayaan; dan apakah semangat itu sendiri perlu, atau apakah diperlukan sejenis energi lain, suatu vitalitas, dorongan lain? Kebanyakan kita memiliki semangat untuk suatu hal. Kita sangat berminat dan bersemangat terhadap musik, terhadap olahraga, atau piknik. Kalau tidak dipupuk terus-menerus dengan sesuatu, semangat itu luntur, dan kita mempunyai semangat baru untuk sesuatu yang lain. Adakah daya, energi yang bisa bertahan, yang tidak bergantung pada kepercayaan? Pertanyaan lain ialah: Apakah kita perlu suatu kepercayaan apa pun, dan kalau ya, mengapa perlu? Itulah salah satu masalahnya. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa ada sinar matahari, ada pegunungan, ada sungai-sungai. Kita tidak perrlu kepercayaan bahwa kita bertengkar dengan istri kita. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa kehidupan ini adalah kesengsaraan yang mengerikan dengan kepedihan, konflik, dan ambisi terus-menerus; itu adalah fakta. Tetapi kita menuntut kepercayaan bila kita ingin melarikan diri dari suatu fakta ke dalam apa yang tidak nyata. 9 Februari Kepercayaan Terguncang oleh Kepercayaan Jadi, agama Anda, kepercayaan Anda kepada Tuhan, adalah pelarian dari aktualitas, dan oleh karena itu bukan agama sama sekali. Orang kaya yang mengumpulkan uang melalui kekejaman, melalui ketidakjujuran, melalui eksploitasi yang licik percaya kepada Tuhan; dan Anda juga percaya kepada Tuhan, Anda juga licik, kejam, curiga, iri. Apakah Tuhan dapat ditemukan melalui ketidakjujuran, melalui penipuan, melalui tipuan pikiran yang licik? Oleh karena Anda mengumpulkan semua kitab suci dan berbagai simbol Tuhan, apakah itu menandakan Anda seorang yang religius? Jadi, agama bukanlah pelarian dari fakta; agama adalah pemahaman fakta apa adanya diri Anda dalam hubungan Anda sehari-hari; agama adalah cara Anda berpidato, cara Anda bicara, cara Anda memperlakukan pelayan Anda, cara Anda memperlakukan istri, anak-anak Anda, dan tetangga Anda. Selama Anda tidak memahami hubungan Anda dengan tetangga Anda, dengan masyarakat, dengan istri dan anak-anak Anda, tentu ada kekacauan; dan, apa pun yang dilakukannya, batin yang kacau hanya akan menghasilkan lebih banyak kekacauan, lebih banyak masalah dan konflik. Batin yang melarikan diri dari apa yang aktual, dari fakta-fakta hubungan, tidak akan pernah menemukan Tuhan; batin yang terguncang oleh kepercayaan tidak akan mengenal kebenaran. Tetapi batin yang memahami hubungannya dengan harta benda, dengan manusia, dengan gagasan, batin yang tidak lagi berkutat dengan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hubungan, dan yang untuk itu pemecahannya bukanlah menarik diri melainkan memahami cinta—hanya batin seperti itu dapat memahami realitas. 10 Februari Kepercayaan Di Luar Kepercayaan Kita menyadari bahwa kehidupan ini buruk, menyakitkan, menyedihkan; kita menginginkan suatu teori, suatu spekulasi atau kepuasan, suatu doktrin, yang akan menjelaskan semua ini, dan dengan demikian kita terperangkap di dalam penjelasan, di dalam kata-kata, di dalam teori, dan berangsur-angsur kepercayaan tertanam kokoh dan tak tergoyahkan, oleh karena di balik kepercayaan itu, di balik dogma itu, ada ketakutan yang menetap terhadap apa yang tak diketahui. Tetapi kita tidak pernah memandang ketakutan itu; kita berpaling darinya. Makin kuat kepercayaan, makin kuat pula dogmanya. Dan jika kita meneliti kepercayaan-kepercayaan ini—Kristen, Hindu, Buddhis—kita melihat bahwa kepercayaan-kepercayaan itu memecah-belah manusia. Setiap dogma, setiap kepercayaan memiliki serangkaian ritual, serangkaian kewajiban yang mengikat manusia dan memisahkan manusia. Jadi, kita mulai dengan menyelidik untuk menemukan apa yang benar, apa makna kesengsaraan ini, pergulatan ini, kesakitan ini; dan dengan segera kita terperangkap di dalam kepercayaan, di dalam ritual, di dalam teori. Kepercayaan itu merusak, oleh karena di balik kepercayaan dan moralitas menyelinap pikiran, diri—diri itu tumbuh menjadi besar, kuat dan berkuasa. Kita menganggap kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan terhadap sesuatu sebagai agama. Kita menganggap percaya berarti religius. Pahamkah Anda? Jika Anda tidak percaya, Anda dianggap ateis, Anda akan dikutuk oleh masyarakat. Suatu masyarakat mengutuk mereka yang percaya Tuhan, masyarakat yang lain mengutuk mereka yang tidak percaya Tuhan. Kedua-duanya sama saja. Jadi, agama menjadi sekadar masalah kepercayaan—lalu kepercayaan bertindak dan mempengaruhi batin; lalu batin tidak mungkin menjadi bebas. Tetapi hanya di dalam kebebasan Anda dapat menemukan apa yang benar, apa itu Tuhan, bukan melalui kepercayaan apa pun, oleh karena kepercayaan Anda itu justru memproyeksikan apa yang Anda pikir Tuhan itu seharusnya, apa yang Anda pikir kebenaran itu seharusnya. 11 Februari Kepercayaan Tabir Kepercayaan Anda percaya kepada Tuhan, dan orang lain tidak percaya kepada Tuhan; jadi kepercayaan Anda memisahkan Anda dari orang lain. Kepercayaan di seantero dunia diorganisir sebagai Hinduisme, Buddhisme, atau Kristianitas dll, dan itu memecah-belah manusia yang satu dari yang lain. Kita bingung, dan kita mengira bahwa melalui kepercayaan kita akan menjernihkan kebingungan itu. Artinya, kepercayaan diterapkan terhadap kebingungan itu, dan kita berharap dengan demikian kebingungan itu akan lenyap. Tetapi kepercayaan hanyalah sekadar pelarian dari fakta kebingungan; ia tidak membantu kita menghadapi dan memahami fakta kebingungan itu, melainkan melarikan diri dari kebingungan yang di dalamnya kita berada. Untuk memahami kebingungan tidak diperlukan kepercayaan, dan kepercayaan hanya berperan sebagai tabir di antara kita dengan masalah-masalah kita. Jadi, agama—yang adalah kepercayaan terorganisir—menjadi alat melarikan diri dari apa adanya, dari fakta kebingungan. Orang yang percaya kepada Tuhan, orang yang percaya kepada hari kemudian, atau yang mempunyai suatu bentuk kepercayaan lain, ia melarikan diri dari fakta dirinya. Tidakkah Anda pernah melihat orang yang percaya kepada Tuhan, yang melakukan ibadah, yang mengulang-ulang kata-kata dan doa-doa tertentu, dan yang dalam kehidupan sehari-harinya mendominasi, kejam, ambisius, penipu, tidak jujur? Apakah mereka akan menemukan Tuhan? Apakah mereka sungguh-sungguh mencari Tuhan? Apakah Tuhan akan ditemukan dengan mengulang-ulang kata-kata, melalui kepercayaan? Tetapi orang-orang seperti itu percaya kepada Tuhan, mereka memuja Tuhan, mereka pergi ke tempat ibadah setiap hari, mereka melakukan segala sesuatu untuk menghindari fakta diri mereka—dan orang-orang seperti itu Anda anggap terhormat karena mereka adalah Anda sendiri. 12 Februari Kepercayaan Menghadapi Kehidupan Secara Baru Saya rasa, suatu hal yang kebanyakan dari kita senang menerima dan menganggap benar begitu saja adalah kepercayaan. Saya tidak menyerang kepercayaan. Yang kita coba lakukan ialah mengkaji mengapa kita menerima kepercayaan; dan jika kita dapat memahami motif, sebab-musabab dari penerimaan, maka mungkin kita bukan hanya dapat memahami mengapa kita melakukannya, tetapi juga bebas dari itu. Kita bisa melihat betapa kepercayaan politik dan religius, kepercayaan nasional dan jenis-jenis kepercayaan lain, justru memisahkan manusia, justru menciptakan konflik, kekacauan, dan antagonisme—ini fakta yang gamblang; namun tetap saja kita tidak mau melepaskannya. Ada kepercayaan Hindu, kepercayaan Kristen, kepercayaan Buddhis—kepercayaan nasional dan sektarian tak terhitung banyaknya, berbagai ideologi politik, semua bersaing satu sama lain, yang satu mencoba menarik yang lain masuk ke dalam golongannya. Kita dapat melihat dengan jelas, kepercayaan memisahkan manusia, menciptakan ketidaktoleranan; mungkinkah untuk hidup tanpa kepercayaan? Kita dapat menjawabnya hanya jika kita dapat mengkaji diri kita sendiri dalam berhubungan dengan suatu kepercayaan. Mungkinkah untuk hidup di dunia ini tanpa suatu kepercayaan—bukan mengubah kepercayaan, bukan mengganti suatu kepercayaan dengan kepercayaan lain, melainkan sama sekali bebas dari semua kepercayaan, sehingga kita menghadapi kehidupan ini secara baru dari menit ke menit? Bagaimana pun juga, inilah kebenarannya: yakni memiliki kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu secara baru, dari saat ke saat, tanpa reaksi dari masa lampau yang mengkondisikan, sehingga tidak ada efek kumulatif yang bertindak sebagai penghalang antara diri kita dengan apa adanya. 13 Februari Kepercayaan Kepercayaan Menghalangi Pemahaman Sejati Jika kita tidak punya kepercayaan, apakah yang akan terjadi dengan kita? Bukankah kita sangat takut akan apa yang akan terjadi? Jika kita tidak mempunyai suatu pola tindakan berdasarkan suatu kepercayaan—baik kepercayaan pada Tuhan, atau pada komunisme, atau sosialisme, atau imperialisme, atau pada suatu rumusan religius tertentu, suatu dogma yang di dalamnya kita terkondisi—kita merasa sama sekali kehilangan arah, bukan? Dan bukankah menerima kepercayaan berarti menyelubungi ketakutan itu—ketakutan untuk berada sebagai bukan apa-apa sama sekali, untuk kosong sama sekali? Bagaimana pun juga, sebuah cangkir hanya bermanfaat kalau ia kosong; dan batin yang dipenuhi dengan kepercayaan, dengan dogma, dengan pernyataan, dengan kutipan, sesungguhnya adalah batin yang tidak kreatif; itu cuma batin yang mengulang-ulang. Untuk melarikan diri dari ketakutan itu—ketakutan akan kekosongan, ketakutan akan kesepian, ketakutan akan kemandekan, tidak sampai, tidak berhasil, tidak mencapai, tidak berada sebagai sesuatu, tidak menjadi sesuatu—sesungguhnya adalah salah satu alasan mengapa kita menerima kepercayaan dengan begitu berminat dan begitu rakus, bukan? Dan, dengan menerima kepercayaan, apakah kita memahami diri kita sendiri? Malah sebaliknya. Suatu kepercayaan, entah religius entah politis, jelas menghalangi pemahaman diri sendiri. Ia berperan sebagai tabir, yang melalui itu kita memandang diri kita sendiri. Dapatkah kita memandang diri sendiri tanpa kepercayaan? Jika kita membuang kepercayaan-kepercayaan ini, banyak kepercayaan yang kita miliki, masih adakah sesuatu untuk dipandang? Jika kita tidak mempunyai kepercayaan yang dengan itu batin melihat dirinya, maka batin—tanpa identifikasi—mampu memandang dirinya sendiri sebagai apa adanya—lalu, sesungguhnya terdapat awal dari pemahaman diri sendiri. 14 Februari Tindakan Pengamatan Langsung Mengapa gagasan-gagasan tertanam dalam batin kita? Mengapa bukan fakta yang penting, melainkan gagasan? Mengapa teori, gagasan menjadi begitu penting, bukan fakta? Apakah oleh karena kita tidak dapat memahami fakta, atau tidak punya kemampuan, atau takut menghadapi fakta? Dengan demikian, gagasan, spekulasi, teori menjadi cara untuk melarikan diri dari fakta. ... Anda boleh melarikan diri, Anda boleh melakukan apa saja; faktanya ada di situ—fakta bahwa kita marah, fakta bahwa kita ambisius, fakta bahwa kita menyenangi seks, selusin fakta. Anda dapat menekannya; Anda dapat memolesnya, yang adalah suatu bentuk penekanan juga; Anda dapat mengendalikannya, tetapi semua fakta itu ditekan, dikendalikan, didisiplinkan dengan gagasan. .... Tidakkah gagasan membuang-buang energi kita? Tidakkah gagasan menumpulkan batin? Anda mungkin cerdik dalam berspekulasi, dalam mengutip; tetapi jelas batin yang tumpullah yang mengutip, yang banyak membaca dan mengutip. … Anda melenyapkan konflik di antara hal-hal yang berlawanan dengan sekali bertindak jika Anda diam bersama fakta, dan dengan demikian membebaskan energi untuk menghadapi fakta. Bagi kebanyakan dari kita, kontradiksi adalah suatu bidang luar biasa yang di dalamnya batin kita terperangkap. Saya ingin melakukan ini, tetapi saya melakukan sesuatu yang lain; tetapi jika saya menghadapi fakta “ingin melakukan ini”, maka tidak ada kontradiksi; dan dengan demikian, dengan sekali bertindak saya menghapuskan sama sekali semua perasaan yang bertentangan, dan batin saya kemudian sepenuhnya menaruh perhatian pada apa adanya, pada pemahaman apa adanya. 15 Februari Tindakan Tindakan Tanpa Gagasan Hanya bila batin bebas dari gagasan, ada keadaan mengalami. Gagasan bukanlah kebenaran; dan kebenaran adalah sesuatu yang harus dialami langsung, dari saat ke saat. Itu bukan pengalaman yang Anda inginkan—yang hanya sekadar sensasi. Hanya bila kita bisa mengatasi onggokan gagasan—yang adalah sang “aku”, yang adalah batin, yang memiliki kelangsungan parsial atau lengkap—hanya bila kita bisa mengatasi itu, bila pikiran diam sama sekali, ada keadaan mengalami. Di situ orang akan tahu apa itu kebenaran. 16 Februari Tindakan Tindakan Tanpa Proses Pikiran Apa yang kita maksud dengan gagasan? Jelas gagasan adalah proses pikiran, bukan? Gagasan adalah proses penalaran, berpikir; dan berpikir selalu merupakan reaksi, entah terhadap yang disadari atau terhadap yang tak disadari. Berpikir adalah proses penggunaan kata-kata, yang adalah hasil dari ingatan; berpikir adalah proses waktu. Jadi, bila tindakan didasarkan pada proses berpikir, tindakan itu mau tidak mau terkondisi, terisolasi. Gagasan berlawanan dengan gagasan, gagasan didominasi oleh gagasan. Lalu ada kesenjangan antara tindakan dan gagasan. Yang kita coba temukan ialah apakah mungkin ada tindakan tanpa gagasan. Kita melihat bagaimana gagasan memisahkan manusia satu dari yang lain. Seperti telah saya jelaskan, pengetahuan dan kepercayaan pada dasarnya bersifat memisahkan. Kepercayaan tidak pernah menyatukan manusia; ia selalu memisahkan manusia. Bila tindakan didasarkan pada kepercayaan atau gagasan atau cita-cita, tindakan seperti itu mau tidak mau terisolasi, terpecah-belah. Adalah mungkin untuk bertindak tanpa proses pikiran, pikiran sebagai proses waktu, proses perhitungan, proses melindungi diri, proses kepercayaan, pengingkaran, penyalahan, pembenaran. Tentu Anda melihat ini, seperti saya melihatnya, adanya kemungkinan tindakan tanpa gagasan. 17 Februari Tindakan Apakah Gagasan Membatasi Tindakan? Apakah gagasan pernah menghasilkan tindakan, ataukah gagasan hanya sekadar mencetak pikiran dan oleh karena itu membatasi tindakan? Bila tindakan didorong oleh sebuah gagasan, tindakan tidak pernah dapat membebaskan manusia. Penting sekali bagi kita untuk memahami pokok ini. Jika sebuah gagasan membentuk tindakan, maka tindakan tidak dapat menghasilkan pemecahan bagi kesengsaraan kita, oleh karena sebelum dapat dijadikan tindakan, kita harus lebih dulu menemukan bagaimana gagasan itu muncul. 18 Februari Tindakan Ideologi Menghalangi Tindakan Dunia ini selalu dekat dengan bencana. Tetapi sekarang tampak lebih dekat lagi. Melihat bencana yang menjelang ini, kebanyakan dari kita berlindung di dalam sebuah gagasan. Kita mengira bahwa bencana ini, krisis ini, dapat dipecahkan dengan sebuah ideologi. Ideoologi selalu merupakan penghalang bagi hubungan langsung, menghalangi tindakan. Kita menginginkan perdamaian hanya sebagai gagasan, tetapi bukan sebagai aktualitas. Kita menginginkan perdamaian pada tingkat lisan, yang hanya pada tingkat berpikir, sekalipun dengan bangga kita menyebutnya tingkat intelektual. Tetapi kata ‘perdamaian’ bukanlah perdamaian. Perdamaian hanya bisa terwujud bila kekacauan yang dibuat oleh Anda dan orang lain berakhir. Kita melekat pada alam gagasan dan bukan pada perdamaian. Kita mencari pola-pola sosial dan politik baru dan bukan perdamaian; kita berminat pada rekonsiliasi dari efek-efek dan bukan mengesampingkan sebab musabab dari perang. Pencarian ini hanya menghasilkan jawaban yang terkondisi oleh masa lampau. Keterkondisian ini adalah apa yang kita sebut pengetahuan, pengalaman; dan fakta-fakta baru yang terus berubah diterjemahkan, ditafsirkan, sesuai dengan pengetahuan ini. Jadi, ada konflik antara apa adanya dengan pengalaman yang lalu. Masa lampau, yang adalah pengalaman, mau tidak mau selalu bertentangan dengan fakta, yang selalu berada pada saat kini. Jadi, ini tidak akan menyelesaikan masalah, melainkan hanya melestarikan kondisi yang telah menciptakan masalah itu. 19 Februari Tindakan Tindakan Tanpa Penggagasan Gagasan adalah hasil proses pikiran; proses pikiran adalah respons ingatan; dan ingatan selalu terkondisi. Ingatan selalu di masa lampau, dan ingatan itu menjadi hidup di saat kini oleh suatu tantangan. Ingatan tidak punya kehidupan sendiri; ia menjadi hidup pada saat sekarang bila dihadapkan pada suatu tantangan. Dan semua ingatan, yang tidur atau yang aktif, adalah terkondisi, bukan? Jadi harus ada pendekatan yang lain sekali. Anda harus menemukan sendiri, di dalam, apakah Anda bertindak melalui suatu penggagasan, dan apakah ada tindakan tanpa penggagasan. 20 Februari Tindakan Bertindak Tanpa Gagasan Adalah Jalan Cinta Pikiran selamanya terbatas oleh si pemikir yang terkondisi; si pemikir selamanya terkondisi dan tidak pernah bebas; jika pikiran muncul, dengan segera gagasan mengikuti. Gagasan yang digunakan untuk bertindak mau tidak mau akan menciptakan lebih banyak kekacauan. Dengan mengetahui semua ini, mungkinkah untuk bertindak tanpa gagasan? Ya, itu adalah jalan cinta. Cinta bukanlah suatu gagasan; ia bukan perasaan; ia bukan ingatan; ia bukan perasaan menunda sesuatu, suatu alat untuk melindungi diri. Kita hanya dapat memahami jalan cinta apabila kita memahami seluruh proses gagasan. Nah, mungkinkah melepaskan semua jalan lain, dan memahami jalan cinta, yang adalah satu-satunya penebusan? Tidak ada cara lain, baik politis maupun religius, yang akan memecahkan masalah itu. Ini bukan suatu teori yang Anda renungkan lalu Anda anut dalam hidup; ia harus aktual. ... … Bila Anda mencinta, adakah gagasan? Jangan menerima begitu saja; pandanglah, selidikilah, selamilah secara mendalam; oleh karena kita telah mencoba segala macam jalan lain, dan tidak ada jawaban terhadap kesengsaraan. Para politisi mungkin memberi janji; organisasi-organisasi yang disebut agama mungkin menjanjikan kebahagiaan di masa depan; tetapi kita tidak memilikinya sekarang, dan masa depan relatif tidak penting jika saya lapar. Kita telah mencoba semua jalan lain; dan kita hanya dapat memahami jalan cinta apabila kita memahami jalan gagasan dan melepaskan gagasan, yang berarti bertindak. 21 Februari Baik dan Buruk Konflik dari Hal-hal Berlawanan Saya bertanya, apakah ada yang disebut kejahatan itu? Mohon simak ini, berjalanlah bersama saya, mari kita mengkajinya bersama-sama. Kita berkata ada kebaikan dan ada keburukan. Ada irihati dan cintakasih, dan kita berkata irihati buruk dan cintakasih baik. Mengapa kita membagi-bagi kehidupan ini, menyebut ini baik dan itu buruk, dan dengan demikian menimbulkan konflik dari hal-hal yang berlawanan? Bukan berarti tidak ada irihati, kebencian, kebrutalan dalam pikiran dan hati manusia, tak adanya welasasih, cinta; tetapi, kenapa kita membagi-bagi kehidupan menjadi hal-hal yang disebut baik dan hal-hal yang disebut buruk? Bukankah yang ada sesungguhnya hanya satu hal, yakni batin yang tak memperhatikan? Jelas, bila ada perhatian penuh, artinya, bila batin secara total sadar, waspada, awas, tidak ada lagi yang disebut buruk atau baik; yang ada hanyalah keadaan bangun. Jadi kebaikan bukan suatu kualitas, bukan kebajikan, bukan keadaan cinta. Bila terdapat cinta, tidak ada lagi baik dan buruk, yang ada hanyalah cinta. Bila Anda sungguh-sungguh mencintai seseorang, Anda tidak berpikir tentang baik dan buruk, seluruh keberadaan Anda dipenuhi cinta. Hanya jika perhatian-penuh, cinta itu berakhir, terdapat konflik antara apa adanya diri saya dan apa seharusnya diri saya. Maka apa adanya diri saya itu disebut buruk, dan apa seharusnya diri saya itu disebut baik. … Amatilah batin Anda, dan Anda akan melihat, pada saat batin berhenti berpikir untuk menjadi sesuatu, berakhir pula tindakan, yang bukan berarti kemacetan; itu adalah keadaan perhatian-penuh, yang adalah kebaikan. 22 Februari Baik dan Buruk Di Luar Dualitas Tidakkah Anda menyadarinya? Tidakkah tindakannya gamblang, kesedihannya menghimpit? Siapakah yang menciptakannya kalau bukan masing-masing dari kita? Sebagaimana kita menciptakan kebaikan, betapa pun sedikit, begitu pula kita menciptakan keburukan, betapa pun luas. Baik dan buruk adalah bagian dari kita, dan juga tak tergantung pada kita. Bila kita berpikir dan merasa secara sempit, dengan iri hati, dengan rakus atau benci, kita menambah keburukan yang mengoyak-ngoyak kita. Masalah baik dan buruk ini, masalah konflik ini, selalu menyertai kita selagi kita menciptakannya. Itu telah menjadi bagian dari kita, ingin dan tidak ingin, cinta dan benci, kehausan dan pelepasan. Kita terus-menerus menciptakan dualitas ini, yang di dalamnya pikiran-perasaan terperangkap. Pikiran-perasaan dapat keluar mengatasi kebaikan dan lawannya hanya apabila ia memahami sebabnya—yakni kehausan. Dalam memahami pahala dan dosa, ada kebebasan dari keduanya. Hal-hal yang berlawanan tidak dapat dipadukan, dan mereka hanya dapat diatasi dengan berakhirnya keinginan. Setiap hal yang berlawanan harus direnungkan, dirasakan, seluas dan sedalam mungkin, dengan seluruh lapisan kesadaran. Dengan merenungkan, merasakan seperti ini, suatu pemahaman baru dibangunkan, yang bukan hasil keinginan atau waktu. Terdapat keburukan di dunia, yang kepadanya kita menyumbang, seperti juga kita menyumbang kepada kebaikan. Manusia tampak lebih bersatu dalam kebencian daripada dalam kebaikan. Seorang bijak memahami sebab-musabab keburukan dan kebaikan, dan dengan pemahaman itu pikiran-perasaan terbebas darinya. 23 Februari Baik dan Buruk Membenarkan Kejahatan Jelas bahwa krisis masa kini di seluruh dunia adalah luar biasa, tanpa preseden. Pernah ada berbagai jenis krisis pada berbagai masa sepanjang sejarah—krisis sosial, nasional, politis. Krisis datang dan pergi; resesi ekonomi atau depresi datang, diubah, dan berlanjut dalam wujud lain. Kita tahu itu, kita kenal betul dengan proses itu. Jelas bahwa krisis yang sekarang berbeda, bukan? Dia berbeda karena, pertama-tama, kita tidak berhadapan dengan masalah uang atau benda-benda yang dapat dilihat, melainkan dengan gagasan. Krisis ini luar biasa karena dia menyangkut bidang penggagasan. Kita bertengkar tentang gagasan, kita membenarkan pembunuhan; di mana-mana di seluruh dunia kita membenarkan pembunuhan sebagai cara untuk mencapai tujuan yang baik, dan itu sendiri tidak ada duanya sebelum ini. Sebelum ini kejahatan dilihat sebagai kejahatan, pembunuhan dilihat sebagai pembunuhan, tetapi sekarang pembunuhan adalah cara untuk mencapai suatu tujuan yang mulia. Pembunuhan, baik terhadap perorangan atau terhadap sekelompok orang, dibenarkan oleh karena si pembunuh atau kelompok yang diwakili oleh si pembunuh membenarkannya sebagai cara untuk mencapai tujuan yang bermanfaat bagi umat manusia. Artinya, kita mengorbankan masa kini untuk masa depan—dan tidak penting cara apa yang kita pakai selama tujuan yang kita nyatakan adalah untuk mencapai hasil yang menurut kita akan bermanfaat bagi umat manusia. Oleh karena itu, implikasinya adalah bahwa cara yang salah akan menghasilkan tujuan yang benar, dan Anda membenarkan cara yang salah dengan penggagasan. ... Kita memiliki struktur gagasan-gagasan yang megah untuk membenarkan kejahatan, dan jelas itu tidak ada duanya sebelum ini. Kejahatan adalah kejahatan; dia tidak bisa menghasilkan kebaikan. Perang bukanlah cara untuk mencapai perdamaian. 24 Februari Baik dan Buruk Kebaikan Tidak Punya Motif Jika saya punya motif untuk menjadi baik, apakah itu akan menghasilkan kebaikan? Ataukah kebaikan itu sesuatu yang sama sekali hampa dari dorongan untuk menjadi baik, yang selalu berdasarkan pada suatu motif? Apakah baik itu lawan dari buruk, jahat? Setiap hal yang berlawanan mengandung benih dari lawannya, bukan? Ada keserakahan, dan ada cita-cita tentang ketidakserakahan. Bila batin mengejar ketidakserakahan, bila ia mencoba untuk menjadi tidak serakah, ia masih serakah, karena ia ingin menjadi sesuatu. Keserakahan berarti menginginkan, memperoleh, memperluas. Dan ketika batin melihat bahwa tidak ada manfaatnya untuk serakah, ia ingin menjadi tidak serakah; jadi motifnya tetap sama, yakni untuk menjadi atau memperoleh sesuatu. Bila batin ingin untuk tidak ingin, maka akar dari keinginan, nafsu, masih ada di situ. Jadi, kebaikan bukanlah lawan dari kejahatan; ia adalah suatu keadaan yang sama sekali lain. Dan apakah keadaan itu? Jelas, kebaikan tidak punya motif karena semua motif berdasarkan pada diri; ia adalah gerak egosentrik dari batin. Jadi, apa yang kita maksud dengan kebaikan? Jelas, kebaikan hanya ada bila terdapat perhatian total. Perhatian tidak punya motif. Jika ada motif bagi perhatian, apakah ada perhatian? Jika saya memperhatikan untuk memperoleh sesuatu, maka ‘memperoleh’ itu—entah baik entah buruk—bukanlah perhatian, melainkan pengalihan perhatian, pemecah-belahan. Kebaikan hanya ada apabila terdapat perhatian total, yang di situ tidak terdapat upaya untuk menjadi atau tidak menjadi sesuatu. 25 Februari Baik dan Buruk Evolusi Manusia Apakah kita harus mengenal keadaan mabuk untuk mengetahui keadaan tidak mabuk? Apakah Anda harus mengalami benci untuk mengetahui apa artinya kasih sayang? Apakah Anda harus mengalami perang, memusnahkan diri Anda dan orang lain, untuk mengetahui apa itu perdamaian? Jelas, ini cara berpikir yang salah, bukan? Mula-mula Anda mengasumsikan ada evolusi, pertumbuhan, gerakan dari yang buruk menuju yang baik, lalu Anda menyesuaikan pikiran Anda dengan pola itu. Memang jelas ada pertumbuhan fisik; tunas tumbuh menjadi pohon besar; ada kemajuan teknologi, roda berevolusi selama berabad-abad menjadi pesawat jet. Tetapi adakah pertumbuhan, evolusi psikologis? Itulah yang kita bahas—apakah ada pertumbuhan, evolusi dari sang “aku”, mulai dari yang jahat dan berakhir dengan yang baik. Melalui proses evolusi, melalui waktu, dapatkah sang “aku”, yang adalah pusat segala kejahatan, akan pernah menjadi mulia, baik? Jelas tidak. Apa yang jahat, sang “aku” psikologis, akan tetap jahat. Tetapi kita tidak ingin melihat itu. Kita mengira bahwa melalui proses waktu, melalui pertumbuhan dan perubahan, sang “aku’” akhirnya akan menjadi realitas. Itulah harapan kita, itulah dambaan kita—bahwa sang “aku” akan menjadi sempurna melalui waktu. Apakah sang “aku” itu? Itu adalah sebuah nama, sebuah wujud, seonggok ingatan, harapan, frustrasi, keinginan, kesakitan, kesedihan, sukacita yang berlalu. Kita mau sang “aku” ini berlanjut dan menjadi sempurna; lalu kita berkata bahwa di atas sang “aku” ini terdapat sang “super-aku”, diri yang lebih tinggi, suatu entitas spiritual yang abadi, tetapi oleh karena kita menciptakannya dalam pikiran kita, entitas “spiritual” itu masih berada dalam lingkup waktu, bukan? Jika kita mampu memikirkan itu, jelas itu masih berada dalam lingkup nalar kita. 26 Februari Baik dan Buruk Kebebasan dari Kesibukan Dapatkah batin bebas dari masa lampau, bebas dari pikiran—bukan dari pikiran baik atau pikiran buruk? Bagaimana saya menemukannya? Saya hanya dapat menemukannya dengan melihat apa yang menyibukkan batin. Jika batin saya sibuk dengan sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk, maka ia hanya berminat pada masa lampau, ia sibuk dengan masa lampau. Ia tidak bebas dari masa lampau. Jadi, yang penting adalah melihat bagaimana batin itu sibuk. Jika batin sibuk, ia selalu disibukkan dengan masa lampau, oleh karena seluruh kesadaran kita adalah masa lampau. Masa lampau bukan hanya pada permukaan, melainkan juga pada tingkat tertinggi, dan penekanan pada bawah sadar adalah juga masa lampau. ... Dapatkah batin bebas dari kesibukan? Ini berarti—dapatkah batin sepenuhnya bebas dari kesibukan dan membiarkan ingatan, pikiran yang baik dan buruk, berlalu tanpa memilih? Pada saat batin disibukkan oleh satu pikiran, baik atau buruk, maka ia terlibat masa lampau. ... Jika Anda sungguh-sungguh menyimak—bukan sekadar menyimak dengan kata-kata, melainkan sungguh-sungguh menyimak secara mendalam—maka Anda akan melihat ada stabilitas yang bukan dari pikiran, yang adalah kebebasan dari masa lampau. Namun, masa lampau tidak bisa dikesampingkan. Ada pengamatan terhadap masa lampau sementara ia berlalu, tetapi tidak sibuk dengan masa lampau. Maka batin bebas untuk mengamati tanpa memilih. Bila ada pemilihan dalam arus sungai ingatan ini, terdapat kesibukan; dan pada saat batin sibuk, ia terperangkap dalam masa lampau; dan apabila batin sibuk dengan masa lampau, ia tidak mampu melihat sesuatu yang nyata, benar, baru, orisinal, tak tercemar. 27 Februari Baik dan Buruk Pikiran Melahirkan Upaya “Bagaimana saya bisa tetap bebas dari pikiran-pikiran jahat, pikiran-pikiran jahat dan sesat?” Apakah ada si pemikir, dia yang terpisah dari pikirannya, terpisah dari pikiran-pikiran yang jahat dan sesat? Silakan amati batin Anda sendiri. Kita berkata, “Ada sang ‘aku’, ‘aku’ yang berkata, ‘Ini pikiran sesat,’ ‘Ini buruk,’ ‘Aku harus mengendalikan pikiran,’ ‘Aku harus berpegang pada pikiran ini.’ ” Itulah yang kita tahu. Apakah dia, sang ‘aku’, si pemikir, si penilai, dia yang menghakimi, si penyensor, berbeda dari semua ini? Apakah sang ‘aku’ berbeda dari pikiran, berbeda dari irihati, berbeda dari kejahatan? Sang ‘aku’ yang berkata dia berbeda dari kejahatan ini terus-menerus secara abadi mencoba mengalahkan ‘aku’, mencoba mengenyahkan ‘aku’, mencoba menjadi sesuatu yang lain. Maka Anda bergulat, berupaya mengenyahkan pikiran, berupaya untuk tidak sesat. Dalam proses berpikir itu sendiri, kita telah menciptakan masalah upaya ini. Apakah Anda paham? Maka Anda melahirkan disiplin, pengendalian pikiran—sang ‘aku’ mengendalikan pikiran yang tidak baik, sang ‘aku’ yang mencoba untuk menjadi tidak iri, menjadi tanpa kekerasan, menjadi ini-itu. Jadi Anda telah menciptakan proses upaya itu sendiri, bila ada sang ‘aku’ dan hal yang ingin dikendalikannya. Itulah fakta nyata dari eksistensi kita sehari-hari. 28 Februari MARET • Ketergantungan • Kelekatan • Hubungan • Ketakutan Ketergantungan Batin yang Bebas Memiliki Kerendahan Hati Pernahkah Anda menyelami masalah ketergantungan psikologis? Jika Anda menyelaminya sangat dalam, Anda akan mendapati bahwa kebanyakan dari kita sangat kesepian. Kebanyakan dari kita memiliki batin yang begitu dangkal dan kosong. Kebanyakan dari kita tidak tahu apa arti cinta. Maka, dari rasa kesepian itu, dari rasa ketidakcukupan itu, dari rasa kemiskinan hidup itu, kita melekat kepada sesuatu, melekat kepada keluarga; kita bergantung padanya. Lalu apabila istri atau suami berpaling dari kita, kita cemburu. Cemburu bukanlah cinta; tetapi cinta di dalam keluarga yang diakui masyarakat dijadikan terhormat. Itu adalah bentuk pertahanan lain, bentuk lain pelarian dari diri kita sendiri. Demikianlah setiap bentuk perlawanan menghasilkan ketergantungan. Dan batin yang bergantung tidak pernah bebas. Anda harus bebas, karena Anda akan melihat bahwa batin yang bebas memiliki esensi kerendahan hati. Batin seperti itu, yang bebas dan oleh karena itu memiliki kerendahan hati, dapat belajar—bukan batin yang menolak. Belajar adalah sesuatu yang luar biasa—belajar, bukan menimbun pengetahuan. Menimbun pengetahuan adalah hal yang lain sekali. Yang kita sebut pengetahuan adalah relatif mudah, oleh karena hal itu adalah gerakan dari yang diketahui menuju yang diketahui. Tetapi belajar adalah gerakan dari yang diketahui menuju yang tak diketahui—Anda hanya belajar secara itu, bukan? 1 Maret Ketergantungan Kita Tidak Pernah Mempertanyakan Ketergantungan Mengapa kita bergantung? Secara psikologis, di dalam, kita bergantung pada suatu kepercayaan, kepada suatu sistem, kepada suatu filsafat; kita bertanya kepada orang lain tentang patokan perilaku; kita mencari guru yang akan memberi kita cara hidup yang akan membawa kita kepada suatu harapan, suatu kebahagiaan. Jadi, bukankah kita selamanya mencari suatu bentuk ketergantungan, keamanan. Mungkinkah bagi batin untuk membebaskan dirinya dari rasa bergantung ini? Yang bukan berarti bahwa batin harus mencapai ketaktergantungan; itu hanyalah reaksi terhadap ketergantungan. Kita tidak membicarakan ketaktergantungan, kebebasan dari suatu keadaan tertentu. Jika kita bisa menyelidik tanpa bereaksi mencari kebebasan dari suatu keadaan ketergantungan tertentu, maka kita bisa menyelaminya jauh lebih dalam. ... Kita menerima perlunya ketergantungan; kita berkata itu tidak bisa dihindarkan. Kita tidak pernah mempertanyakan keseluruhan masalah itu sama sekali, mengapa kita masing-masing mencari suatu bentuk ketergantungan. Bukankah kita, sungguh jauh di dalam, membutuhkan keamanan, kekekalan? Berada dalam keadaan bingung, kita menginginkan seseorang akan membebaskan kita dari kebingungan itu. Maka, kita selalu memikirkan bagaimana cara melepaskan diri dari atau menghindari keadaan yang di situ kita berada. Dalam proses menghindari keadaan itu, mau tidak mau kita akan menciptakan suatu bentuk ketergantungan, yang menjadi otoritas kita. Jika kita bergantung kepada orang lain untuk keamanan kita, untuk kesejahteraan batin kita, maka dari ketergantungan itu muncullah berbagai masalah yang tak terhitung banyaknya, lalu kita mencoba memecahkan masalah-masalah itu—masalah kelekatan. Tetapi kita tidak pernah bertanya, kita tidak pernah mendalami masalah ketergantungan itu sendiri. Jika kita dapat sungguh-sungguh dengan cerdas, dengan kesadaran penuh, menyelami masalah ini, maka mungkin kita akan menemukan bahwa ketergantungan bukanlah masalahnya sama sekali—bahwa itu hanyalah satu cara untuk melarikan diri dari suatu fakta yang lebih dalam. 2 Maret Ketergantungan Ada Faktor Lebih Dalam yang Membuat Kita Bergantung Kita tahu kita bergantung—pada hubungan kita dengan orang, atau pada suatu gagasan atau pada suatu sistem pemikiran. Mengapa? ... Sesungguhnya, saya rasa ketergantungan bukanlah masalahnya; saya rasa ada faktor lain yang lebih dalam yang membuat kita bergantung. Dan jika kita bisa membongkarnya, maka ketergantungan dan pergulatan untuk bebas tidak punya banyak makna lagi, maka semua masalah yang timbul dari ketergantungan akan lenyap. Jadi apakah masalah yang lebih dalam itu? Bukankah itu karena batin tidak suka, takut akan gagasan berada sendiri? Dan adakah batin mengetahui keadaan yang dihindarinya? Selama kesepian itu tidak sungguh-sungguh dipahami, dirasakan, ditembus, dilarutkan—apa pun kata yang ingin Anda gunakan—selama rasa kesepian itu tetap ada, mau tidak mau ada ketergantungan, dan kita tidak pernah bisa bebas; kita tidak dapat menemukan sendiri apa yang benar, apa yang adalah agama. 3 Maret Ketergantungan Sadar Secara Mendalam Kebergantungan menggerakkan sikap meninggi dan kelekatan, suatu konflik terus-menerus tanpa pemahaman, tanpa pelepasan. Anda harus sadar akan proses kelekatan dan kebergantungan, menyadarinya tanpa menyalahkan, tanpa menghakimi; maka Anda akan melihat makna dari konflik antara hal-hal berlawanan ini. Jika Anda menjadi sadar secara mendalam, dan dengan sadar mengarahkan pikiran untuk memahami makna sepenuhnya dari kebutuhan, dari kebergantungan, batin sadar Anda akan terbuka dan menjadi jelas akan itu; maka bawah-sadar, dengan motif-motif, daya-upaya, dan niat-niatnya yang tersembunyi, akan memproyeksikan diri ke dalam kesadaran. Bila ini terjadi, Anda harus mempelajari dan memahami setiap bisikan dari bawah-sadar. Jika Anda sering melakukan ini, menyadari proyeksi dari bawah-sadar setelah kesadaran memikirkan problemnya sejelas mungkin, maka, sekalipun Anda mengalihkan perhatian kepada hal-hal lain, kesadaran dan bawah-sadar akan menggarap masalah kebergantungan, atau masalah lainnya. Maka, tegaklah suatu kesadaran terus-menerus, yang dengan sabar dan lembut akan menghasilkan keterpaduan; dan jika kesehatan Anda dan diit Anda baik, pada gilirannya ini akan menghasilkan kepenuhan hidup. 4 Maret Ketergantungan Hubungan Hubungan yang didasarkan kepentingan bersama hanya menghasilkan konflik. Betapa pun kita saling bergantung satu sama lain, kita saling memakai satu sama lain untuk suatu maksud, suatu tujuan. Dengan pandangan untuk mencapai suatu tujuan, tidak ada hubungan. Anda boleh memakai saya, saya boleh memakai Anda. Dalam pemakaian ini, kita kehilangan kontak. Suatu masyarakat yang didasarkan pada saling memakai adalah landasan bagi kekerasan. Bila kita memakai orang lain, kita hanya memiliki gambaran tentang tujuan yang hendak dicapai. Tujuan, keuntungan, menghalangi hubungan, penyatuan. Di dalam memakai orang lain, betapa pun memuaskan dan terasa nyaman, selalu terdapat rasa takut. Untuk menghindari rasa takut ini, kita harus memiliki. Dari pemilikan muncullah irihati, kecurigaan, dan konflik tanpa-henti. Hubungan seperti itu tidak pernah menghasilkan kebahagiaan. Suatu masyarakat yang strukturnya didasarkan sekadar pada kebutuhan, baik fisiologis maupun psikologis, pasti menghasilkan konflik, kekacauan dan kesengsaraan. Masyarakat adalah proyeksi diri Anda sendiri dalam hubungan dengan orang lain, yang di situ kebutuhan dan pemakaian adalah penting. Bila Anda memakai orang lain untuk kebutuhan Anda, baik fisik maupun psikologis, sesungguhnya tidak ada hubungan sama sekali; sesungguhnya Anda tidak mempunyai kontak dengan orang itu, tidak ada penyatuan dengan orang itu. Bagaimana Anda bisa menyatu dengan orang lain, bila orang lain dipakai sebagai sebuah perabot, untuk kemudahan dan kenyamanan Anda? Jadi, adalah penting untuk memahami makna hubungan di dalam kehidupan sehari-hari. 5 Maret Ketergantungan Sang ‘Aku’ Adalah Milik Pelepasan, pengorbanan-diri bukanlah tindakan mulia, untuk dipuji dan ditiru. Kita memiliki karena tanpa milik kita tidak ada. Ada banyak macam milik dan bervariasi. Orang yang tidak mempunyai harta benda duniawi mungkin melekat pada pengetahuan, pada gagasan; orang lain mungkin melekat pada kebajikan, yang lain lagi melekat pada pengalaman, yang lain lagi pada nama dan kemasyhuran, dan seterusnya. Tanpa milik, sang ‘aku’ tidak ada; sang ‘aku’ adalah milik, perabotan, kebajikan, nama. Dalam ketakutannya terhadap ketiadaan, batin melekat pada nama, pada perabot, pada nilai; dan ia akan melepaskan ini agar dapat naik ke tingkat yang lebih tinggi; makin tinggi tingkatannya makin memuaskan, makin abadi. Ketakutan terhadap ketidakpastian, terhadap ketiadaan, menyebabkan kelekatan, kepemilikan. Bila kepemilikan tidak memuaskan atau menyakitkan, kita melepaskannya dan menggantikannya dengan kelekatan yang lebih menyenangkan. Kepemilikan yang paling memuaskan adalah kata “Tuhan”, atau penggantinya, “Negara”. ... Selama Anda tidak mau menjadi bukan apa-apa, yang memang itu faktanya diri Anda, mau tidak mau Anda akan menghasilkan penderitaan dan antagonisme. Kesediaan untuk menjadi bukan apa-apa bukanlah masalah pelepasan, pemaksaan, lahiriah atau batiniah, melainkan adalah melihat kebenaran apa adanya. Melihat kebenaran apa adanya membawa kebebasan dari ketakutan terhadap rasa tidak aman, ketakutan yang menghasilkan kelekatan dan membawa pada ilusi ketakterikatan, pelepasan. Cinta kepada apa adanya adalah awal dari kearifan. Hanya cintalah yang berbagi, hanya dialah yang mampu menyatu; tetapi pelepasan dan pengorbanan-diri adalah jalan isolasi dan ilusi. 6 Maret Ketergantungan Mengeksploitasi Berarti Dieksploitasi Oleh karena kebanyakan dari kita mencari kekuasaan dalam satu atau lain bentuk, maka terbentuklah prinsip hirarkis: si pemula dan orang yang sudah diinisiasi, murid dan Guru, dan bahkan di antara para Master ada tingkat-tingkat perkembangan spiritual. Kebanyakan dari kita senang mengeksploitasi dan dieksploitasi, dan sistem ini memberikan sarananya, baik tersembunyi atau terang-terangan. Mengeksploitasi berarti dieksploitasi. Keinginan untuk memanfaatkan orang lain untuk memuaskan kebutuhan psikologis Anda menyebabkan ketergantungan; dan jika Anda bergantung, Anda harus memegang erat-erat, memiliki; dan apa yang Anda miliki memiliki Anda. Tanpa ketergantungan, halus atau kasar, tanpa memiliki barang, orang, dan gagasan, Anda kosong, tidak penting sama sekali. Anda ingin menjadi orang penting, dan untuk menghindari ketakutan yang menggerogoti akan keadaan bukan apa-apa, Anda masuk organisasi ini-itu, menganut ideologi ini-itu, menjadi anggota tempat ibadah ini-itu; maka Anda dieksploitasi, dan Anda pada gilirannya juga mengeksploitasi. 7 Maret Kelekatan Memupuk Pelepasan Hanya ada kelekatan; tidak ada yang disebut pelepasan. Batin menciptakan pelepasan sebagai reaksi terhadap sakitnya kelekatan. Bila Anda bereaksi terhadap kelekatan dengan menjadi “lepas”, Anda melekat kepada sesuatu yang lain. Jadi seluruh proses itu adalah proses kelekatan. Anda melekat pada istri atau suami Anda, pada anak-anak Anda, pada gagasan-gagasan, pada tradisi, pada otoritas, dan seterusnya; dan reaksi Anda terhadap kelekatan ini adalah pelepasan. Memupuk pelepasan adalah dampak dari penderitaan, kesakitan. Anda ingin melarikan diri dari sakitnya kelekatan, dan pelarian Anda adalah mencari sesuatu yang Anda pikir dapat Anda lekati lagi. Semua kitab berkata, “Lepaskan dirimu,” tetapi apakah kebenarannya? Jika Anda mengamati batin Anda sendiri, Anda akan melihat suatu hal yang luar biasa—bahwa dengan memupuk pelepasan, batin Anda melekat kepada sesuatu yang lain. 8 Maret Kelekatan Kelekatan Adalah Pengelabuan-diri Kita adalah apa yang kita miliki, kita adalah apa yang kita lekati. Kelekatan tidak punya kemuliaan. Kelekatan pada pengetahuan tidak berbeda dengan bentuk-bentuk lain kecanduan yang memberikan kepuasan. Kelekatan adalah absorpsi-diri, baik di tingkat terendah maupun di tingkat tertinggi. Kelekatan adalah pengelabuan-diri, ia adalah pelarian dari kekosongan diri. Apa yang kita lekati—harta benda, orang, gagasan—menjadi mahapenting, oleh karena tanpa banyak hal yang mengisi kekosongannya, diri ini tidak ada. Ketakutan akan ketiadaan membuat kita memiliki; dan rasa takut menghasilkan ilusi, keterikatan pada konklusi. Konklusi, baik material maupun ideasional, menghalangi berbuahnya kecerdasan, kebebasan yang hanya di dalamnya realitas bisa terwujud; dan tanpa kebebasan ini, kecerdikan dianggap kecerdasan. Sepak-terjang kecerdikan selalu rumit dan destruktif. Kecerdikan yang bertujuan melindungi diri inilah yang membuat kelekatan; dan bila kelekatan menyebabkan kesakitan, kecerdikan yang sama ini mencari pelepasan dan menemukan kenikmatan di dalam kebanggaan dan kesombongan pengunduran diri. Memahami sepak-terjang kecerdikan, sepak-terjang diri, adalah awal dari kecerdasan. 9 Maret Kelekatan Hadapi Fakta dan Lihat Apa yang Terjadi ... Kita semua pernah mengalami rasa kesepian hebat, ketika buku-buku, agama, dan segala sesuatu lenyap dan kita merasa kesepian, hampa secara hebat di dalam batin. Kebanyakan dari kita tidak mampu menghadapi kehampaan itu, kesepian itu, dan kita melarikan diri darinya. Kita lari kepada ketergantungan, bergantung pada sesuatu, oleh karena kita tidak berani berdiri sendirian. Kita memerlukan radio, televisi, buku, ngobrol, bergunjing ini-itu tanpa henti, tentang seni dan budaya. Jadi, kita sampai pada titik yang di situ kita tahu ada rasa isolasi-diri yang luar biasa ini. Kita mungkin punya pekerjaan yang sangat baik, bekerja dengan keras, menulis buku, tetapi di dalam batin terdapat kevakuman yang hebat. Kita ingin mengisinya, dan ketergantungan adalah salah satu jalannya. Kita memanfaatkan ketergantungan, hiburan, kegiatan tempat ibadah, agama, minuman keras, perempuan, dan selusin hal lagi untuk mengisinya, menutupinya. Jika kita melihat bahwa adalah sia-sia untuk mencoba menutupinya, sama sekali sia-sia—bukan secara verbal, bukan dengan keyakinan, dan dengan demikian dengan kesepakatan dan tekad—tetapi jika kita melihat absurditas total dari hal itu ... maka kita berhadapan dengan suatu fakta. Soalnya bukan bagaimana membebaskan diri dari ketergantungan; itu bukan fakta; itu hanya reaksi terhadap fakta. ... Mengapa saya tidak menghadapi fakta itu dan melihat apa yang terjadi? Sekarang masalahnya adalah si pengamat dan yang diamati. Si pengamat berkata, “Saya hampa; saya tidak suka itu,” dan lari darinya. Si pengamat berkata, “Saya lain dari kehampaan.” Tetapi si pengamat adalah kehampaan itu; bukan kehampaan yang dilihat oleh si pengamat. Si pengamat adalah yang diamati. Terdapat revolusi hebat di dalam berpikir, di dalam merasa, apabila itu terjadi. 10 Maret Kelekatan Kelekatan Adalah Pelarian Diri Cobalah sekadar menyadari keterkondisian Anda. Anda hanya dapat mengetahuinya secara tidak langsung, dalam hubungan dengan sesuatu yang lain. Anda tidak dapat menyadari keterkondisian Anda sebagai suatu abstraksi, oleh karena ia lalu menjadi sekadar kata-kata, tanpa banyak arti. Kita hanya menyadari adanya konflik. Konflik muncul apabila tidak terdapat keterpaduan antara tantangan dan respons. Konflik ini adalah akibat dari keterkondisian kita. Keterkondisian adalah kelekatan: kelekatan pada kerja, pada tradisi, pada harta benda, pada orang, pada gagasan, dan sebagainya. Jika tidak terdapat kelekatan, apakah ada keterkondisian? Tentu tidak. Jadi mengapa kita melekat? Saya melekat kepada negaraku oleh karena dengan identifikasi seperti itu saya punya arti. Saya mengidentifikasikan diri saya dengan pekerjaan saya, dan pekerjaan itu menjadi penting. Aku adalah keluargaku, harta bendaku; saya melekat kepadanya. Obyek kelekatan itu memberikan kepada saya cara untuk melarikan diri dari kehampaan diri saya sendiri. Kelekatan adalah pelarian diri, dan pelarian diri itulah yang memperkuat pengkondisian. 11 Maret Kelekatan Berada Sendiri Berada sendiri, yang bukanlah filsafat kesepian, adalah jelas berada dalam suatu keadaan revolusi terhadap seluruh tatanan masyarakat—bukan hanya terhadap masyarakat ini, tetapi juga terhadap masyarakat komunis, masyarakat fasis, setiap bentuk masyarakat sebagai kebrutalan yang terorganisasi, kekuasaan yang terorganisasi. Dan itu berarti suatu persepsi luar biasa tentang dampak dari kekuasaan. Tuan, apakah Anda memperhatikan para serdadu itu berlatih? Mereka bukan lagi manusia, mereka adalah mesin, mereka adalah anak Anda dan anak saya, berdiri di terik matahari itu. Ini terjadi di sini, di Amerika, di Rusia, dan di mana-mana—tidak hanya di tingkat pemerintahan, tetapi juga di tingkat biara, menjadi anggota suatu biara, anggota tarekat keagamaan, angota kelompok yang memanfaatkan kekuasaan yang menakjubkan. Dan hanya batin yang tidak menjadi anggota apa-apa dapat berada sendiri. Dan kesendirian bukanlah sesuatu yang harus dipupuk. Anda lihat itu? Bila Anda melihat semua itu, Anda berada di luar, dan tidak ada gubernur atau presiden akan mengundang Anda makan malam. Dari kesendirian itu terdapatlah kerendahan hati. Kesendirian itulah yang mengenal cinta—bukan kekuasaan. Orang yang ambisius, secara religius atau biasa, tidak akan pernah tahu apa cinta itu. Jadi, jika kita melihat semua ini, maka kita memiliki kualitas untuk hidup secara total, dan oleh karena itu kualitas tindakan secara total. Ini datang dari pengenalan-diri. 12 Maret Kelekatan Keinginan Selamanya Keinginan Untuk menghindarkan penderitaan kita memupuk sikap melepaskan. Setelah diperingatkan bahwa kelekatan cepat atau lambat menghasilkan kesedihan, kita ingin menjadi lepas. Kelekatan memang memuaskan, tetapi setelah melihat kepedihan di dalamnya, kita ingin pemuasan dengan cara lain, yakni melalui kelepasan. Kelepasan sama saja dengan kelekatan selama memberikan pemuasan. Jadi yang sesungguhnya kita cari adalah pemuasan; kita haus akan pemuasan dengan cara apa pun. Kita bergantung atau melekat oleh karena hal itu memberikan kenikmatan, keamanan, kekuasaan, rasa sejahtera, sekalipun di dalamnya terdapat kesedihan dan ketakutan. Kita mencari kelepasan juga demi kenikmatan, supaya tidak tersakiti, supaya tidak terluka di dalam batin. Pencarian kita adalah demi kenikmatan, pemuasan. Tanpa menyalahkan atau membenarkan kita harus mencoba memahami proses ini, oleh karena kalau kita tidak memahaminya maka tidak ada jalan keluar dari kebingungan dan kontradiksi kita. Dapatkah keinginan dipuaskan, ataukah itu merupakan sumur tanpa dasar? Entah kita menginginkan sesuatu yang rendah atau yang tinggi, keinginan adalah tetap keinginan, api yang membakar, dan apa yang dapat dilalapnya akan segera menjadi abu; tetapi keinginan akan pemuasan tetap ada, terus membara, terus melalap, tanpa akhir. Kelekatan dan kelepasan sama-sama mengikat, dan kedua-duanya harus diatasi. 13 Maret Kelekatan Intensitas yang Bebas dari Segala Kelekatan Di dalam keadaan penuh gairah tanpa sebab, terdapat intensitas yang bebas dari segala kelekatan; tetapi bila gairah mempunyai sebab, terdapat kelekatan, dan kelekatan adalah awal kesedihan. Kebanyakan dari kita melekat; kita melekat kepada seseorang, kepada suatu negara, kepada suatu kepercayaan, kepada suatu gagasan, dan bila obyek kelekatan kita diambil atau dengan cara lain kehilangan maknanya, kita mendapati diri kita kosong, tidak memadai. Kekosongan ini kita coba isi dengan melekat kepada sesuatu yang lain lagi, yang lagi-lagi menjadi obyek dari gairah kita. 14 Maret Hubungan Hubungan Adalah Cermin Sesungguhnya, hanya di dalam hubungan proses apa adanya diri saya terbabar, bukan? Hubungan adalah cermin, yang di situ kita melihat diri kita seperti apa adanya; tetapi karena kebanyakan dari kita tidak suka kepada diri kita seperti apa adanya, kita mulai mendisiplinkan, entah secara positif entah secara negatif, apa yang kita lihat di dalam cermin hubungan. Maksudnya, saya menemukan sesuatu di dalam hubungan, di dalam tindakan berhubungan, dan saya tidak suka itu. Lalu, saya mulai mengubah apa yang saya tidak suka, apa yang saya lihat sebagai tidak menyenangkan. Saya ingin mengubahnya—yang berarti saya sudah mempunyai suatu pola tentang bagaimana saya seharusnya. Begitu ada pola tentang bagaimana saya seharusnya, tidak ada lagi pemahaman terhadap apa adanya diri saya. Begitu ada gambaran saya ingin menjadi seperti apa, atau saya harus menjadi apa—suatu standar yang berdasarkan itu saya ingin berubah—maka jelas tidak ada pemahaman tentang apa adanya diri saya pada saat berhubungan. Saya rasa sungguh penting untuk memahami ini, karena saya rasa di sinilah kebanyakan dari kita tersesat. Kita tidak ingin tahu apa sesungguhnya diri kita pada saat berhubungan tertentu. Jika kita hanya sekadar memikirkan perbaikan-diri, tidak ada pemahaman tentang diri kita sendiri, tentang apa adanya. 15 Maret Hubungan Fungsi Hubungan Hubungan mau tidak mau menyakitkan, yang terlihat di dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika di dalam hubungan tidak terdapat ketegangan, maka itu bukan lagi hubungan, melainkan sekadar tidur yang nyaman, terbius—yang diinginkan dan lebih disukai oleh kebanyakan orang. Konflik terjadi antara keinginan akan kenyamanan ini dengan apa yang faktual, antara ilusi dan aktualitas. Jika Anda memahami ilusi itu, Anda dapat, dengan mengesampingkannya, mengarahkan perhatian Anda untuk memahami hubungan. Tetapi jika Anda mencari rasa aman dalam hubungan, itu menjadi investasi dalam kenyamanan, dalam ilusi—padahal kebesaran hubungan justru terletak pada rasa tak-amannya. Dengan mencari rasa-aman dalam hubungan, Anda menghalangi fungsinya, yang menghasilkan tindakan dan kemalangannya sendiri. Sesungguhnya, fungsi hubungan adalah untuk mengungkap seluruh keadaan diri kita sendiri. Hubungan adalah proses pengungkapan-diri, pengenalan-diri. Pengungkapan-diri ini menyakitkan, menuntut penyesuaian, kelenturan pikiran-emosi terus-menerus. Itu adalah pergulatan yang menyakitkan, dengan masa-masa kedamaian dengan pencerahan. .... Tetapi kebanyakan kita menghindari atau mengabaikan ketegangan di dalam hubungan, dan lebih menyukai kemudahan dan kenyamanan dalam kebergantungan yang memuaskan, rasa aman yang tak punya tantangan, tempat berlabuh yang aman. Maka keluarga dan hubungan lain menjadi tempat pelarian, pelarian bagi mereka yang tidak mau berpikir. Bila rasa tak-aman menyelinap menjadi kebergantungan, seperti selalu demikian yang terjadi, maka di situ hubungan dibuang dan hubungan baru diambil dengan harapan untuk menemukan rasa aman yang lestari; tetapi tidak ada rasa aman dalam hubungan, dan kebergantungan hanya menghasilkan ketakutan. Tanpa memahami proses rasa aman dan ketakutan, hubungan menjadi penghalang yang membelenggu, jalan kegelapan. Maka seluruh eksistensi ini menjadi pergulatan dan kesakitan, dan tidak ada jalan keluar dari situ kecuali dengan berpikir benar, yang datang dengan pengenalan-diri. 16 Maret Hubungan Bagaimana Mungkin Bisa Ada Cinta Sejati? Gambaran yang Anda peroleh tentang seseorang, gambaran yang Anda miliki tentang para politisi, perdana menteri, tuhan Anda, istri Anda, anak-anak Anda—gambaran ini yang kita pandang. Dan gambaran itu tercipta melalui hubungan Anda, atau melalui ketakutan Anda, atau melalui harapan Anda. Kenikmatan seksual dan lainnya yang Anda peroleh bersama istri Anda, suami Anda, amarah, sanjungan, kenyamanan, dan segala sesuatu yang dibawa oleh kehidupan keluarga—sesungguhnya itu kehidupan yang sangat berbahaya—telah menciptakan gambaran tentang istri atau suami Anda. Dengan gambaran itu Anda memandang. Begitu pula, istri atau suami Anda mempunyai gambaran tentang Anda. Jadi, hubungan antara Anda dengan istri atau suami Anda, antara Anda dengan para politisi, sesungguhnya adalah hubungan antara dua gambaran. Begitu, bukan? Itu adalah fakta. Bagaimana dua gambaran yang adalah hasil pikiran, hasil kenikmatan dan sebagainya, bisa mengandung kasih sayang dan cinta? Jadi, hubungan antara dua individu, yang amat erat berdekatan atau amat jauh terpisah, adalah hubungan antara gambaran-gambaran, simbol-simbol, ingatan-ingatan. Dan di situ, bagaimana mungkin bisa ada cinta sejati? 17 Maret Hubungan Kita Adalah Apa yang Kita Miliki Untuk memahami hubungan, perlu ada keadaan-sadar yang pasif, yang tidak menghancurkan hubungan. Sebaliknya, keadaan-sadar itu membuat hubungan menjadi jauh lebih vital, jauh lebih bermakna. Lalu di dalam hubungan itu ada kemungkinan bagi kasih sayang sejati: terdapat kehangatan, rasa dekat, yang bukan sekadar sentimen atau rasa-tubuh. Dan kalau kita dapat mendekati secara itu, atau berada dalam hubungan terhadap segala sesuatu, maka masalah-masalah kita dapat teratasi dengan mudah—masalah harta benda, masalah milik. Oleh karena kita adalah apa yang kita miliki. Orang yang memiliki uang adalah uang itu. Orang yang melihat dirinya dalam harta bendanya adalah harta benda itu, atau rumah, atau perabot. Begitu pula dengan gagasan, dengan tokoh; dan bila terdapat kepemilikan, tidak ada hubungan. Tetapi kebanyakan dari kita memiliki oleh karena kita tidak punya yang lain jika kita tidak memiliki. Kita adalah kulit yang hampa bila kita tidak memiliki, bila kita tidak mengisi hidup kita dengan perabot, dengan musik, dengan pengetahuan, dengan ini-itu. Dan kulit itu membuat banyak gaduh, dan kegaduhan itu kita sebut hidup; dan kita merasa puas dengan semua itu. Dan bila terdapat gangguan, bila semua itu meninggalkan kita, lalu terdapat kesedihan, oleh karena pada saat itu Anda tiba-tiba menyadari diri Anda seperti apa adanya—sebuah kulit hampa, tidak punya banyak makna. Jadi, menyadari seluruh isi hubungan adalah tindakan; dan dari tindakan itu ada kemungkinan bagi hubungan yang sejati, ada kemungkinan untuk menemukan kedalamannya yang besar, maknanya yang besar, dan mengetahui apa itu cinta. 18 Maret Hubungan Berhubungan Tanpa hubungan, tak ada eksistensi; eksis berarti berhubungan. ... Kebanyakan dari kita tampaknya tidak menyadari ini—bahwa dunia adalah hubungan saya dengan orang lain, satu atau banyak. Masalah saya adalah masalah hubungan. Apa adanya diri saya, itulah yang saya proyeksikan, dan jelas jika saya tidak memahami diri saya, seluruh hubungan akan kacau, dalam lingkaran yang makin melebar. Jadi, hubungan menjadi luar biasa penting, bukan di kalangan khalayak ramai, orang banyak, melainkan di dalam dunia keluarga saya dan sahabat-sahabat saya, betapa pun terbatasnya; hubungan dengan istri saya, anak-anak saya, tetangga saya. Di dalam dunia organisasi-organisasi raksasa, mobilisasi manusia besar-besaran, perpindahan massal, kita takut bertindak dalam skala kecil; kita takut menjadi orang kecil yang membersihkan sepetak tanah sendiri. Kita berkata kepada diri sendiri, “Apa yang bisa saya lakukan sendirian? Saya harus masuk ke dalam gerakan massal untuk dapat melakukan reformasi.” Sebaliknya, revolusi sejati bukanlah melalui gerakan massal, melainkan melalui penilaian batiniah terhadap hubungan—hanya itulah reformasi yang sejati, revolusi yang radikal, terus-menerus. Kita takut mulai dengan skala kecil. Oleh karena masalahnya begitu besar, kita berpikir kita perlu menghadapinya dengan banyak orang, dengan organisasi raksasa, dengan gerakan massal. Jelas, kita harus mulai menggarap masalahnya dalam skala kecil, dan skala kecil itu adalah “saya” dan “Anda”. Bila saya memahami diri saya sendiri, saya memahami Anda, dan dari pemahaman itu datanglah cinta. Cinta adalah mata rantai yang hilang; tidak ada kasih sayang, tidak ada kehangatan dalam hubungan; dan oleh karena kita tidak punya cinta itu, kelembutan itu, kemurahan itu, pengampunan di dalam hubungan, maka kita melarikan diri ke dalam tindakan massal, yang menghasilkan kekacauan lebih banyak, kesengsaraan lebih banyak. Kita mengisi hati kita dengan cetak-biru reformasi dunia, dan tidak memandang faktor penyelesai yang satu, yakni cinta. 19 Maret Hubungan Anda dan Sayalah Masalahnya, Bukan Dunia Dunia bukanlah sesuatu yang terpisah dari Anda dan saya; dunia, masyarakat adalah hubungan yang kita tegakkan atau kita upayakan tegak antara satu orang dengan yang lain. Jadi Anda dan saya adalah masalahnya, dan bukan dunia, oleh karena dunia adalah proyeksi diri kita sendiri, dan untuk memahami dunia, kita harus memahami diri sendiri. Dunia tidak terpisah dari kita; kita adalah dunia, dan masalah kita adalah masalah dunia. 20 Maret Hubungan Tidak Ada Hidup Sendiri Kita ingin melarikan diri dari rasa kesepian kita, beserta ketakutannya yang mencekam, dengan demikian kita bergantung pada orang lain, kita memperkaya diri kita dengan teman-teman, dan seterusnya. Kita adalah penggerak utama, dan orang-orang lain menjadi pion dalam permainan kita; dan ketika pion berbalik dan menuntut sesuatu sebagai imbalan, kita kaget dan bersedih hati. Jika benteng kita sendiri kuat, tanpa suatu titik lemah pun, gempuran dari luar ini tidak banyak berdampak pada diri kita. Kecenderungan yang khas pada usia yang menua harus dipahami dan diluruskan selagi kita masih mampu mengamati dan mengkaji diri kita sendiri secara terlepas dan toleran; berbagai ketakutan kita harus diamati dan dipahami sekarang. Energi kita harus diarahkan, bukan saja kepada pemahaman tekanan dan tuntutan keluar yang menjadi tanggung jawab kita, tetapi juga pemahaman diri kita sendiri, pemahaman rasa kesepian kita, ketakutan kita, tuntutan kita dan kerapuhan kita. Tidak ada hidup sendiri, karena semua kehidupan adalah hubungan; tetapi untuk mampu hidup tanpa hubungan langsung menuntut kecerdasan tinggi, suatu kesadaran yang lebih cepat dan lebih besar untuk dapat menemukan diri. Suatu keberadaan “sendiri”, tanpa kesadaran yang tajam dan mengalir ini, akan memperkuat berbagai kecenderungan yang telah dominan, sehingga dengan demikian menyebabkan ketidakseimbangan, distorsi. Sekaranglah kita harus sadar akan kebiasaan yang menetap dan khas dari pikiran-perasaan yang datang dengan usia tua, dan dengan menyadarinya akan menghapuskannya. Hanya kekayaan batiniah yang membawa kedamaian dan sukacita. 21 Maret Ketakutan Bebas dari Ketakutan Mungkinkah bagi batin untuk mengosongkan dirinya sama sekali dari ketakutan? Ketakutan macam apa pun menghasilkan ilusi; ketakutan membuat batin tumpul, dangkal. Bila terdapat ketakutan, jelas tidak ada kebebasan, dan tanpa kebebasan tidak ada cinta sama sekali. Dan kebanyakan dari kita mempunyai salah satu bentuk ketakutan; takut akan kegelapan, takut akan opini masyarakat, takut akan ular, takut akan nyeri tubuh, takut akan hari tua, takut akan kematian. Kita punya lusinan ketakutan. Dan mungkinkah untuk bebas sama sekali dari ketakutan? Kita bisa melihat apa yang dilakukan ketakutan terhadap masing-masing dari kita. Ketakutan membuat kita berbohong; ketakutan merusak kita dalam berbagai hal; ketakutan membuat batin tumpul, dangkal. Ada sudut-sudut gelap dalam batin yang tidak boleh diselidiki dan diungkapkan selama kita takut. Melindungi-diri secara fisik, dorongan instinktif untuk menjauh dari ular berbisa, untuk mundur dari tepi jurang, untuk mencegah agar tidak terpeleset di depan trem listrik, dan sebagainya, adalah waras, normal, sehat. Tetapi saya mempertanyakan tentang melindungi-diri secara psikologis, yang membuat orang takut akan penyakit, akan kematian, akan musuh. Bila kita mencari pemenuhan dalam bentuk apa pun, entah dengan melukis, melalui musik, melalui hubungan, atau apa pun keinginan Anda, selalu ada ketakutan. Jadi, yang penting adalah sadar akan seluruh proses diri ini, mengamati, mempelajarinya, dan bukan bertanya bagaimana cara melenyapkan ketakutan. Bila Anda hanya sekadar ingin melenyapkan ketakutan, Anda akan menemukan cara-cara melarikan diri darinya, dan dengan demikian tidak pernah ada kebebasan dari ketakutan. 22 Maret Ketakutan Menggarap Ketakutan Kita takut akan opini masyarakat, takut akan tidak sukses, tidak mencapai, takut tidak memperoleh kesempatan; dan melalui semua itu terdapat rasa bersalah yang luar biasa ini—kita telah melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan; rasa bersalah dalam berbuat itu sendiri; kita sehat sedangkan orang lain miskin dan tidak sehat; kita punya makanan dan orang lain tidak punya makanan. Makin banyak pikiran ini menyelidik, menembus, bertanya, makin besar pula rasa bersalah dan kecemasan. .... Ketakutan adalah dorongan yang mencari seorang Master, seorang guru; ketakutan adalah polesan keterhormatan, yang sangat disenangi setiap orang—menjadi terhormat. Apakah Anda bertekad untuk berani menghadapi berbagai peristiwa dalam kehidupan, atukah sekadar mereka-reka untuk mengenyahkan ketakutan, atau mencari penjelasan-penjelasan yang dapat memberikan kepuasan kepada batin yang terperangkap dalam ketakutan? Bagaimana Anda menggarapnya? Menyalakan radio, membaca buku, pergi ke tempat ibadah, melekat pada suatu bentuk dogma, kepercayaan? Ketakutan adalah energi destruktif dalam diri manusia. Ia melayukan batin, mendistorsikan pikiran, menghasilkan segala macam teori yang luar biasa cerdik dan halus, takhyul, dogma dan kepercayaan yang absurd. Jika Anda melihat bahwa ketakutan bersifat destruktif, lalu bagaimana Anda akan mengelap batin Anda menjadi bersih? Anda berkata bahwa dengan menggali sebab-musabab ketakutan Anda akan bebas dari ketakutan. Betulkah demikian? Mencoba mengungkap sebab dan memahami sebab ketakutan tidak melenyapkan ketakutan. 23 Maret Ketakutan Pintu Menuju Pemahaman Anda tidak dapat melenyapkan ketakutan tanpa pemahaman, tanpa sungguh-sungguh melihat seluk-beluk waktu, yang berarti pikiran, yang berarti kata-kata. Dari situ muncul pertanyaan: adakah pikiran tanpa kata-kata, adakah proses berpikir tanpa kata-kata yang adalah ingatan? Tuan, tanpa melihat seluk-beluk batin, gerakan batin, proses mengenal-diri, maka sekadar berkata saya harus bebas darinya tidak punya banyak arti. Anda harus menggarap ketakutan dalam konteks seluruh batin. Untuk melihatnya, untuk menyelami semua ini, Anda perlu energi. Energi tidak datang dari makan—itu bagian dari kebutuhan fisik. Tetapi melihat, dalam arti kata yang saya gunakan, membutuhkan energi yang amat besar; dan energi itu dihamburkan bila Anda bergulat dengan kata-kata, bila anda melawan, mengutuk, bila Anda penuh opini yang mencegah Anda dari memandang, melihat—energi Anda habis di situ. Maka di dalam mempertimbangkan persepsi ini, penglihatan ini, Anda membuka pintu lagi. 24 Maret Ketakutan Ketakutan Membuat Kita Taat Mengapa kita melakukan semua ini—taat, menurut, meniru? Mengapa? Oleh karena di dalam batin kita takut merasa tidak pasti. Kita ingin merasa pasti—kita ingin merasa pasti secara finansial, kita ingin merasa pasti secara moral—kita ingin disetujui, kita ingin kedudukan yang aman, kita tidak ingin menghadapi kesulitan, kesakitan, penderitaan, kita ingin dipagari. Jadi, ketakutan, disadari atau tidak, membuat kita menaati apa kata Guru, pemimpin, rohaniwan, pemerintah. Ketakutan juga mencegah kita melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat, oleh karena kita akan dihukum. Jadi di balik semua tindakan ini, keserakahan, usaha ini, menyelinap keinginan akan kepastian, keinginan akan jaminan. Jadi, tanpa memecahkan ketakutan, tanpa bebas dari ketakutan, sekadar menaati atau ditaati tidak punya banyak makna; yang bermakna adalah memahami ketakutan ini dari hari ke hari, dan bagaimana ketakutan menampakkan dirinya dengan cara berbeda-beda. Hanya bila ada kebebasan dari ketakutan, akan ada sifat batin yang memahami, ada kesendirian yang di situ tidak terdapat penimbunan pengetahuan atau pengalaman, dan hanya itu yang memberikan kejelasan luar biasa dalam mencari yang nyata. 25 Maret Ketakutan Berhadapan Muka dengan Fakta Apakah kita takut terhadap fakta, atau takut terhadap gagasan tentang fakta? Apakah kita takut terhadap suatu hal seperti apa adanya, atau takut terhadap apa yang kita pikirkan tentang hal itu? Ambillah contoh, misalnya, kematian. Apakah kita takut terhadap fakta kematian, ataukah terhadap gagasan kematian? Fakta tentang sesuatu tidak sama dengan gagasan tentang sesuatu itu. Apakah saya takut terhadap kata ‘kematian’ , ataukah terhadap faktanya sendiri? Oleh karena saya takut terhadap kata, gagasan, maka saya tidak pernah memahami faktanya, saya tidak pernah memandang faktanya, saya tidak pernah berhubungan langsung dengan faktanya. Hanya apabila saya menyatu sepenuhnya dengan faktanya, di situ tidak ada ketakutan. Jika saya tidak menyatu dengan faktanya, di situ terdapat ketakutan; dan tidak ada penyatuan dengan fakta selama saya memiliki gagasan, opini, teori, tentang fakta itu. Jika saya berhadapan muka dengan faktanya, tidak ada yang perlu dipahami tentang itu: fakta itu ada, dan saya dapat menggarapnya. Jika saya takut terhadap kata, saya harus memahami kata itu, menyelami seluruh proses yang tersirat di dalam kata atau istilah itu. Jadi, opini, gagasan, pengalamanku, pengetahuanku tentang faktalah yang menciptakan ketakutan. Selama terdapat pengungkapan fakta dengan kata-kata, memberikan sebuah nama kepada fakta, dan dengan demikian mengenalinya atau mengutuknya, selama pikiran sebagai si pengamat menghakimi fakta, tentulah terdapat ketakutan. Pikrian adalah produk masa lampau; ia hanya eksis melalui pengungkapan dengan kata-kata, melalui simbol-simbol, melalui gambar-gambar. Selama pikiran mempunyai pendapat atau menerjemahkan fakta, tentulah terdapat ketakutan. 26 Maret Ketakutan Kontak dengan Ketakutan Terdapat ketakutan fisik. Jika Anda melihat seekor ular, seekor binatang buas, secara instinktif terdapat ketakutan; itu adalah ketakutan yang normal, sehat dan alamiah. Itu bukan ketakutan, itu keinginan untuk melindungi diri—itu normal. Tetapi perlindungan-diri secara psikologis—yakni keinginan untuk selalu merasa pasti—menumbuhkan ketakutan. Suatu batin yang selalu berupaya untuk selalu merasa pasti adalah batin yang mati, oleh karena tidak ada kepastian dalam hidup, tidak ada keabadian. .... Bila Anda langsung berhadapan dengan ketakutan, terdapat respons dari susunan syaraf, dan sebagainya. Lalu, bila batin tidak lagi melarikan diri melalui kata-kata atau melalui aktivitas apa pun, tidak ada pembagian antara si pengamat dan ketakutan sebagai yang diamati. Hanyalah batin yang melarikan diri akan memisahkan diri dari ketakutan. Tetapi bila ada kontak langsung dengan ketakutan, tidak ada si pengamat, tidak ada entitas yang berkata, “Saya takut.” Jadi, pada saat Anda berhadapan langsung dengan kehidupan, dengan apa pun, tidak ada pembagian—pembagian inilah yang menumbuhkan kompetisi, ambisi, ketakutan. Jadi, yang penting bukanlah “bagaimana cara untuk bebas dari ketakutan.” Jika Anda mencari suatu cara, suatu metode, suatu sistem untuk melenyapkan ketakutan, Anda akan selamanya terperangkap dalam ketakutan. Tetapi jika Anda memahami ketakutan—yang hanya dapat terjadi bila Anda berhadapan langsung dengannya, seperti Anda berhadapan langsung dengan rasa lapar, seperti Anda berhadapan langsung dengan ancaman kehilangan pekerjaan Anda—maka Anda melakukan sesuatu; hanya dengan itu Anda akan mendapati bahwa semua ketakutan berakhir—saya maksudkan semua ketakutan, bukan ketakutan ini atau itu. 27 Maret Ketakutan Ketakutan Adalah Tidak Menerima Apa Adanya Ketakutan menggunakan berbagai cara pelarian. Cara yang paling umum adalah pengidentifikasian, bukan?—pengidentifikasian dengan negara, dengan masyarakat, dengan suatu gagasan. Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana respons Anda ketika Anda melihat suatu arak-arakan: arak-arakan militer atau arak-arakan keagamaan, atau apabila negara terancam serangan dari luar? Anda lalu mengidentifikasikan diri Anda dengan negara, dengan suatu makhluk, dengan suatu ideologi. Ada pula saat-saat ketika Anda mengidentifikasikan diri Anda dengan anak-anak Anda, dengan istri Anda, dengan suatu bentuk tindakan tertentu, atau penolakan bertindak tertentu. Pengidentifikasian adalah proses melupakan-diri. Selama saya sadar akan sang “aku”, saya tahu ada kesakitan, ada pergulatan, ada ketakutan terus-menerus. Tetapi jika saya dapat mengidentifikasikan diri saya dengan sesuatu yang lebih besar, dengan sesuatu yang bermanfaat, dengan keindahan, dengan kehidupan, dengan kebenaran, dengan kepercayaan, dengan pengetahuan, setidak-tidaknya untuk sementara, maka terdapat pelarian dari sang “aku”, bukan? Jika saya bicara tentang “negaraku”, saya lupa akan diri saya untuk sementara waktu, bukan? Jika saya bisa bicara tentang Tuhan, saya lupa akan diri saya. Jika saya mengidentifikasikan diri saya dengan keluarga saya, dengan sebuah kelompok, dengan sebuah partai tertentu, dengan sebuah ideologi tertentu, maka terdapat pelarian sementara. Tahukah kita sekarang, apa ketakutan itu? Bukankah itu berarti tidak menerima apa adanya? Kita harus memahami kata ‘menerima’. Saya tidak menggunakan kata itu dalam arti suatu upaya untuk menerima. Tidak ada masalah menerima bila saya melihat apa adanya. Bila saya tidak melihat dengan jelas apa adanya, maka saya memasukkan proses menerima. Oleh karena itu, ketakutan adalah tidak menerima apa adanya. 28 Maret Ketakutan Kekacauan yang Diciptakan oleh Waktu Waktu berarti bergerak dari apa adanya menuju “apa seharusnya”. Saya sekarang takut, dan suatu hari kelak saya akan bebas dari ketakutan; oleh karena itu, diperlukan waktu untuk bebas dari ketakutan—setidak-tidaknya begitulah pikiran kita. Untuk berubah dari apa adanya menjadi “apa seharusnya” dibutuhkan waktu. Nah, waktu menyiratkan adanya upaya di dalam selang waktu antara apa adanya dan “apa seharusnya”. Saya tidak suka ketakutan, dan saya akan berupaya memahami, menganalisis, membedahnya, atau saya akan menemukan akar penyebabnya, atau saya akan melarikan diri sama sekali darinya. Semua ini menyiratkan upaya—dan upaya adalah apa yang kita kenal. Kita selalu berada dalam konflik antara apa adanya dengan “apa seharusnya”. “Apa seharusnya” adalah suatu gagasan, dan gagasan itu khayal, itu bukan ‘apa adanya diri saya’, yang adalah fakta. Dan “apa adanya diri saya” hanya dapat diubah apabila saya memahami kekacauan yang diciptakan oleh waktu. .... Jadi, mungkinkah bagi saya untuk bebas dari ketakutan sama sekali, sepenuhnya, seketika? Jika saya biarkan ketakutan berlanjut, saya akan menciptakan kekacauan selamanya. Oleh karena itu, kita melihat bahwa waktu adalah suatu unsur di dalam kekacauan, bukan cara untuk pada akhirnya bebas dari ketakutan. Jadi, tidak ada proses berangsur-angsur untuk bebas dari ketakutan, persis seperti tidak ada proses berangsur-angsur untuk bebas dari racun nasionalisme. Jika Anda memiliki nasionalisme dan Anda berkata pada akhirnya akan ada persaudaraan sesama manusia, di dalam selang waktu itu akan ada perang, ada kebencian, ada kesengsaraan, ada perpecahan yang mengerikan di antara sesama manusia ini; oleh karena itu, waktu menciptakan kekacauan. 29 Maret Ketakutan Bagaimana Saya Memandang Marah? Jelas, saya memandangnya sebagai seorang pengamat yang marah. Saya berkata, “Saya marah.” Pada saat marah, tidak ada ‘aku’; sang ‘aku’ muncul sesaat kemudian—yang berarti waktu. Dapatkah saya memandang fakta itu tanpa faktor waktu, yang adalah pikiran, yang adalah kata? Ini terjadi bila orang memandang tanpa si pengamat. Lihat ke mana itu menuntun saya. Sekarang saya mulai melihat suatu cara memandang—melihat tanpa opini, tanpa kesimpulan, tanpa menyalahkan, tanpa menghakimi. Maka, saya melihat kemungkinan “melihat” tanpa pikiran, yang adalah kata. Maka batin berada di luar cengkeraman gagasan, konflik dualitas dan seterusnya. Jadi, dapatkah saya memandang rasa takut bukan sebagai fakta terisolasi? Jika anda mengisolasikan suatu fakta yang belum membuka pintu kepada segenap alam batin, marilah kita kembali kepada fakta dan mulai lagi dengan mengambil fakta lain, sehingga Anda sendiri dapat mulai melihat keadaan batin yang luar biasa, sehingga Anda memiliki kunci, Anda dapat membuka pintu, anda dapat menembus ke dalamnya. ... ... Dengan merenungkan satu ketakutan—takut akan kematian, takut akan tetangga, takut bahwa teman hidup Anda akan mendominasi Anda; Anda tahu masalah dominasi itu—apakah itu akan membuka pintu? Itulah yang penting—bukan bagaimana untuk bebas dari itu—oleh karena begitu Anda membuka pintu, ketakutan itu terhapus sama sekali. Batin adalah hasil dari waktu, dan waktu adalah kata—betapa luar biasa memikirkan itu! Waktu adalah pikiran; pikiranlah yang menumbuhkan ketakutan, pikiranlah yang menumbuhkan ketakutan akan kematian; dan waktulah, yang adalah pikiran, yang menggenggam seluruh liku-liku dan kehalusan ketakutan. 30 Maret Ketakutan Akar Segala Ketakutan Keinginan untuk menjadi [sesuatu] menyebabkan ketakutan; menjadi, mencapai, dan dengan demikian bergantung, menghasilkan ketakutan. Keadaan tak-takut bukanlah suatu negasi; itu bukan lawan dari ketakutan, bukan pula keberanian. Di dalam pemahaman akan sebab ketakutan, terdapat akhir dari ketakutan, bukan menjadi berani, oleh karena di dalam proses menjadi terdapat benih ketakutan. Kebergantungan kepada benda-benda, kepada orang atau kepada gagasan menumbuhkan ketakutan; kebergantungan muncul dari ketaktahuan, dari tidak adanya pengetahuan-diri, dari kemiskinan batiniah; ketakutan menyebabkan ketakpastian dari pikiran-hati, menghalangi komunikasi dan pemahaman. Melalui kesadaran-diri kita mulai menemukan dan dengan demikian memahami sebab dari ketakutan; bukan hanya yang dangkal, tetapi juga ketakutan yang kausal, dalam dan akumulatif. Ketakutan kita warisi dan kita dapat; ia berkaitan dengan masa lampau, dan untuk membebaskan pikiran-perasaan darinya, masa lampau harus dipahami melalui masa kini. Masa lampau terus-menerus ingin melahirkan masa kini, yang menjadi ingatan “aku”, “milikku”, “diri”, yang memberi identitas. Diri inilah akar dari segala ketakutan. 31 Maret MEI • Kecerdasan • Perasaan • Kata-kata • Pengkondisian Kecerdasan Batin yang Kaya dengan Kepolosan Kebenaran, Tuhan yang sesungguhnya—bukan Tuhan yang dibuat oleh manusia—tidak menghendaki batin yang telah rusak, remeh, dangkal, sempit, terbatas. Ia membutuhkan batin yang sehat untuk mengapresiasikannya; ia membutuhkan batin yang kaya—kaya, bukan dengan pengetahuan, melainkan dengan kepolosan—suatu batin yang padanya tidak pernah ada goresan pengalaman, suatu batin yang bebas dari waktu. Tuhan-Tuhan yang Anda ciptakan untuk kenyamanan Anda sendiri mengizinkan siksaan; mereka menerima batin yang telah dibuat tumpul. Tetapi yang sesungguhnya tidak menginginkan itu; ia menginginkan manusia yang total dan lengkap, yang hatinya penuh, kaya, jernih, mampu merasa secara intens, mampu melihat keindahan sebatang pohon, seulas senyum anak kecil, dan kepedihan seorang perempuan yang tidak pernah makan kenyang. Anda harus memiliki perasaan yang luar biasa ini, kepekaan terhadap segala sesuatu—kepada binatang, kepada kucing yang berjalan di atas tembok, kepada kekumuhan, sampah dan kotoran manusia yang berkubang dalam kemiskinan, dalam keputusasaan. Anda harus peka—yang berarti merasa secara intens, bukan ke arah tertentu, bukan emosi yang datang dan pergi, tapi yang berarti peka dengan saraf Anda, dengan mata Anda, dengan tubuh Anda, dengan telinga Anda, dengan suara Anda. Anda harus sepenuhnya peka sepanjang waktu. Kecuali Anda sepenuhnya peka seperti itu, tidak ada kecerdasan. Kecerdasan datang bersama kepekaan dan pengamatan. 1 Mei Kecerdasan Apakah Peran Emosi dalam Kehidupan? Bagaimana emosi muncul? Sederhana sekali. Emosi muncul melalui rangsangan, melalui syaraf. Anda menusukkan jarum ke tubuh saya, dan saya melompat; Anda menyanjung saya, dan saya senang; Anda menghina saya, dan saya tidak senang. Melalui pancaindra kita emosi muncul. Dan kebanyakan dari kita berfungsi melalui emosi senang; jelas, bukan. Anda suka dikenal sebagai seorang Hindu. Lalu Anda termasuk dalam sebuah kelompok, dalam sebuah komunitas, dalam sebuah tradisi, betapa pun tuanya; dan Anda suka itu, Bhagavad Gita, Upanishad, dan tradisi-tradisi tua setinggi gunung. Dan orang Muslim menyenangi tradisinya sendiri, dan seterusnya. Emosi kita muncul melalui rangsangan, melalui lingkungan, dan seterusnya. Itu jelas. Apakah peran emosi dalam kehidupan? Apakah emosi berarti hidup? Pahamkah Anda? Apakah kenikmatan itu cinta? Apakah keinginan itu cinta? Jika emosi itu cinta, itu adalah sesuatu yang selalu berubah, bukan? Tidakkah Anda tahu semua itu? ... Jadi kita harus menyadari bahwa emosi, sentimen, semangat, merasa baik dan sebagainya tidak ada kaitannya sama sekali dengan rasa sayang, welas-asih yang sejati. Semua emosi berkaitan dengan pikiran, dan oleh karena itu menghasilkan kenikmatan dan kesakitan. Cinta tidak mengenal kesakitan, tidak mengenal kesedihan, oleh karena ia bukan hasil dari kenikmatan atau keinginan. 2 Mei Kecerdasan Membebaskan Kecerdasan Hal yang pertama-tama perlu dilakukan, kalau boleh saya sarankan, adalah menyelidiki mengapa Anda berpikir dengan cara tertentu, dan mengapa Anda merasa dengan cara tertentu. Jangan mencoba mengubahnya, jangan mencoba menganalisis pikiran dan emosi Anda; melainkan sadarilah mengapa Anda berpikir menurut alur tertentu, dan dari motif apa Anda bertindak. Sekalipun Anda dapat menemukan motifnya melalui analisis, sekalipun Anda mungkin menemukan sesuatu melalui analisis, itu tidak nyata; ia hanya akan nyata apabila Anda sadar secara intens pada saat bekerjanya pikiran dan emosi Anda pada saat kini; maka Anda akan melihat kehalusannya yang luar biasa, kerapuhannya yang halus. Selama Anda mempunyai “harus” dan “tidak boleh”, di dalam dorongan ini Anda tidak akan pernah menemukan pikiran dan emosi yang mengembara dengan cepat. Dan saya yakin Anda telah dibesarkan dalam aliran “harus” dan “tidak boleh”, dan dengan demikian Anda telah menghancurkan pikiran dan perasaan. Anda telah terikat dan lumpuh karena sistem, metode, karena guru-guru Anda. Jadi, tinggalkan semua “harus” dan “tidak boleh” itu. Ini tidak berarti boleh mengumbar hawa-nafsu, melainkan menyadari batin yang terus-menerus berkata, “Saya harus”, dan “Saya tidak boleh”. Maka seperti sekuntum bunga yang mekar pada suatu pagi, begitu pula kecerdasan muncul, ada, berfungsi, menciptakan pemahaman. 3 Mei Kecerdasan Intelek vs. Kecerdasan Melatih intelek tidak menghasilkan kecerdasan. Alih-alih, kecerdasan muncul bila kita bertindak secara selaras dengan sempurna, baik secara intelektual maupun emosional. Terdapat perbedaan besar antara intelek dan kecerdasan. Intelek hanyalah sekadar fungsi pikiran yang bebas dari emosi. Bila intelek, tanpa menghiraukan emosi, dilatih ke arah tertentu, orang mungkin punya intelek kuat, tapi ia tidak punya kecerdasan, oleh karena di dalam kecerdasan terdapat kemampuan inheren untuk merasa dan untuk memikir. Di dalam kecerdasan, kedua kemampuan itu terdapat bersama-sama secara seimbang, secara intens dan harmonis. ... Anda bilang, jika Anda membawa emosi ke dalam bisnis, bisnis itu tak dapat dikelola dengan baik atau bersikap jujur. Jadi Anda membagi-bagi batin Anda ke dalam kotak-kotak: di dalam satu kotak Anda simpan kebutuhan religius Anda, di dalam kotak lain emosi Anda, dan di dalam kotak ketiga kepentingan bisnis Anda, yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan intelektual dan emosional Anda. Pikiran bisnis Anda memperlakukan kehidupan sebagai cara untuk memperoleh uang untuk dapat hidup. Begitulah kehidupan yang kacau balau ini, pemecahbelahan kehidupan Anda, terus berlanjut. Jika Anda sungguh-sungguh menggunakan kecerdasan Anda dalam bisnis, artinya jika emosi Anda dan pikiran Anda bertindak secara harmonis, bisnis Anda mungkin gagal. Yah, itu sangat mungkin. Dan Anda mungkin membiarkannya gagal bila Anda sungguh-sungguh merasakan absurditas, kekejaman, dan eksploitasi yang terlibat di dalam cara hidup seperti ini. Sebelum Anda sungguh-sungguh mendekati seluruh kehidupan dengan kecerdasan Anda, alih-alih sekadar dengan intelek Anda, tak ada sistem apa pun di dunia yang dapat menyelamatkan manusia dari pergulatan tanpa-henti demi sesuap nasi. 4 Mei Kecerdasan Sentimen dan Emosi Menumbuhkan Kekejaman Kita dapat melihat, baik emosi maupun rasa-hati tidak punya tempat sama sekali sepanjang menyangkut cinta. Sentimentalitas dan emosi hanyalah sekadar reaksi senang dan tak-senang. Saya suka kepada Anda dan saya sangat bergairah terhadap Anda—saya suka tempat ini, oh, indah sekali, dan sebagainya, yang menyiratkan bahwa saya tidak suka yang lain, dan seterusnya. Jadi rasa-hati dan emosi menumbuhkan kekejaman. Pernahkah Anda memandangnya? Gagasanntifikasi dengan secarik kain yang dinamakan bendera nasional adalah faktor emosional dan sentimental, dan demi faktor itu Anda bersedia membunuh orang lain—dan itu disebut cinta tanah air, cita terhadap tetangga ...? Kita dapat melihat, bila rasa-hati dan emosi masuk, tidak ada cinta. Emosi dan rasa-hatilah yang menumbuhkan kekejaman dari rasa senang dan tak-senang. Dan kita juga dapat melihat, bila terdapat kecemburuan, jelas tidak ada cinta. Saya merasa iri terhadap Anda karena Anda mempunyai kedudukan lebih baik, pekerjaan lebih baik, rumah lebih baik, Anda tampak lebih bagus, lebih cerdas, lebih sadar dan saya cemburu kepada Anda. Saya tidak sungguh-sungguh mengatakan saya cemburu terhadap Anda, tetapi saya bersaing dengan Anda, yang adalah semacam kecemburuan, irihati. Jadi, irihati dan kecemburuan bukanlah cinta dan saya menghapuskannya; saya tidak terus-menerus bicara tentang bagaimana menghapuskannya dan sementara itu terus merasa iri—saya sungguh-sungguh menghapuskannya seperti hujan membersihkan debu dari hari-hari kemarin pada dedaunan, saya menghapuskannya begitu saja. 5 Mei Kecerdasan Kita Harus Mati terhadap Semua Emosi Kita Apa yang kita maksudkan dengan ’emosi’? Apakah itu suatu rasa-tubuh (sensasi), suatu reaksi, suatu respons dari pancaindra? Kebencian, rasa-bakti, merasa cinta atau simpati terhadap seorang lain—semua itu adalah emosi. Beberapa di antaranya, seperti cinta dan simpati, kita sebut ’positif’, dan yang lain, seperti kebencian, kita sebut ’negatif’, dan ingin kita lenyapkan. Apakah cinta lawan dari kebencian? Dan apakah cinta suatu emosi, suatu rasa-tubuh, suatu perasaan yang berlanjut melalui ingatan? ... Jadi, apa yang kita maksud dengan ‘cinta’? Jelas, cinta bukanlah ingatan. Itu sangat sukar kita pahami, oleh karena bagi kebanyakan dari kita, cinta adalah ingatan. Ketika Anda berkata Anda mencintai istri atau suami Anda, apakah yang Anda maksud dengan itu? Apakah Anda mencintai sesuatu yang memberikan Anda kenikmatan? Apakah Anda mencintai sesuatu yang dengan itu Anda melihat diri Anda dan Anda kenali sebagai milik Anda? Maaf, ini adalah fakta; saya tidak membuat-buat, jadi jangan terkejut. ... Yang kita cintai—atau kita kira kita cintai—adalah gambar, simbol “istriku” atau “suamiku”, bukan individu yang hidup. Saya tidak tahu istriku atau suamiku sama sekali; dan saya tidak akan pernah tahu orang itu selama bagi kita mengetahui berarti mengenali. Oleh karena pengenalan didasarkan pada ingatan—ingatan tentang kenikmatan dan kesakitan, ingatan tentang hal-hal yang saya dambakan, saya rindukan, hal-hal yang saya miliki dan yang terhadapnya saya melekat. Bagaimana saya bisa mencinta bila ada ketakutan, kesedihan, kesepian, bayangan keputusasaan? Bagaimana seorang yang penuh ambisi bisa mencinta? Dan kita semua sangat ambisius, betapa pun terhormatnya. Jadi, untuk sungguh-sungguh menemukan apa cinta itu, kita harus mati terhadap seluruh masa lampau kita, terhadap semua emosi kita, yang baik maupun yang buruk—mati tanpa upaya, seperti kita menghadapi suatu racun yang berbahaya, oleh karena kita memahaminya. 6 Mei Kecerdasan Kita Harus Memiliki Perasaan Luhur Di dunia modern, tempat terdapat begitu banyak masalah, kita cenderung kehilangan perasaan luhur. Yang saya maksud dengan kata ’perasaan’ bukanlah sentimen, bukan emosionalisme, bukan sekadar rangsangan, tetapi kualitas persepsi, kualitas mendengar, menyimak, kualitas merasakan seekor burung berkicau di sebuah pohon, gerakan sehelai daun dalam sorotan sinar matahari. Merasakan sesuatu secara luhur, secara mendalam, secara menembus, amat sukar bagi kebanyakan dari kita, oleh karena kita mempunyai banyak masalah. Apa pun yang kita sentuh seolah-olah menjadi masalah. Dan tampaknya masalah manusia tak ada habisnya, dan ia tampak sama sekali tidak mampu menyelesaikannya, oleh karena makin banyak masalah, makin berkurang perasaan. Yang saya maksud dengan ’perasaan’ ialah menghayati bengkoknya sebuah cabang, kemesuman, kekotoran sebuah jalan, peka terhadap kesedihan orang lain, berada dalam keadaan terpukau ketika kita melihat matahari terbenam. Ini bukan sentimen, ini bukan sekadar emosi. Emosi dan sentimen atau sentimentalitas berubah menjadi kekejaman, hal-hal itu bisa dipakai oleh masyarakat; dan bila ada sentimen, rasa-tubuh, maka kita menjadi budak masyarakat. Alih-alih, kita harus memiliki perasaan luhur. Perasaan terhadap keindahan, perasaan terhadap sebuah kata, keheningan di antara dua kata, dan mendengar sebuah suara secara jelas—semua itu menghasilkan perasaan. Dan kita perlu memiliki perasaan yang kuat, oleh karena hanya perasaanlah yang membuat batin amat peka. 7 Mei Kecerdasan Mengamati Tanpa Pikiran Tidak ada perasaan tanpa pikiran; dan di balik pikiran terdapat kenikmatan, jadi mereka berada bersama-sama: kenikmatan, kata, pikiran, perasaan; mereka tidak terpisah. Pengamatan tanpa pikiran, tanpa perasaan, tanpa kata adalah energi. Energi terbuang percuma oleh kata-kata, asosiasi, pikiran, kenikmatan, dan waktu; akibatnya, tidak ada lagi energi untuk memandang. 8 Mei Perasaan Totalitas Perasaan Apakah perasaan itu? Perasaan itu seperti pikiran. Perasaan adalah sensasi. Saya melihat sekuntum bunga dan saya menanggapi bunga itu; saya suka atau tidak suka. Suka atau tidak suka itu ditentukan oleh pikiran, dan pikiran adalah respons dari latar belakang ingatan. Jadi, saya berkata, ”Saya suka bunga ini,” atau ”Saya tidak suka bunga itu”; ”Saya suka perasaan ini,” atau ”Saya tidak suka perasaan itu.” ... Nah, apakah cinta berkaitan dengan perasaan? Jelas, perasaan adalah sensasi—perasaan suka dan tidak suka, baik dan buruk, citarasa baik dan seterusnya. Apakah perasaan itu berkaitan dengan cinta? ... Pernahkah Anda mengamati jalan di tempat tinggal Anda, pernahkah Anda mengamati cara Anda hidup di rumah Anda, cara Anda duduk, cara Anda bicara? Dan pernahkah Anda mengamati tokoh-tokoh suci yang Anda puja? Bagi mereka gairah adalah seks, dan dengan demikian mereka mengingkari gairah, dengan demikian mereka mengingkari keindahan—mengingkari dalam arti mengesampingkan. Maka, bersama sensasi Anda membuang cinta, oleh karena Anda berkata, “Sensasi akan membelenggu saya—saya akan diperbudak oleh nafsu seks; oleh karena itu saya harus memotongnya.” Dengan demikian Anda membuat seks menjadi masalah besar. ... Bila Anda memahami perasaan dengan tuntas, bukan sebagian-sebagian, bila Anda sungguh-sungguh memahami totalitas perasaan, maka Anda akan tahu apa cinta itu. Bila Anda mampu melihat keindahan sebatang pohon, bila Anda mampu melihat keindahan seulas senyum, bila Anda mampu melihat matahari terbenam di balik dinding kota Anda—melihat secara total—maka Anda akan tahu apa cinta itu. 9 Mei Perasaan Jika Anda Tak Memberikan Nama kepada Perasaan Itu Bila Anda mengamati suatu perasaan, perasaan itu akan berakhir. Tetapi sekalipun perasaan itu berakhir, jika masih ada si pengamat, si penonton, si penyensor, si pemikir yang tetap terpisah dari perasaan itu, maka masih ada kontradiksi. Jadi amat penting untuk memahami bagaimana kita memandang suatu perasaan. Ambillah, misalnya, suatu perasaan yang sangat umum: cemburu. Kita semua tahu bagaimana rasanya cemburu. Nah, bagaimana Anda memandang rasa cemburu Anda? Bila Anda memandang perasaan itu, Anda adalah pengamat dari cemburu sebagai sesuatu yang terpisah dari diri Anda. Anda berupaya mengubah cemburu, memodifikasikannya, atau Anda berupaya menjelaskan mengapa Anda merasa berhak untuk cemburu, dan seterusnya. Jadi ada suatu sosok, si penyensor, suatu entitas yang terpisah dari rasa cemburu dan yang mengamatinya. Untuk sesaat rasa cemburu itu mungkin lenyap, tapi ia akan datang lagi; dan ia datang lagi karena Anda tidak sungguh-sungguh melihat bahwa cemburu itu adalah bagian dari Anda. ... Yang saya katakan ialah, pada saat Anda memberi nama, suatu label terhadap perasaan itu, Anda telah membawanya ke dalam kerangka tua; dan yang tua adalah si pengamat, entitas terpisah yang terbentuk dari kata, gagasan, opini tentang yang baik dan yang buruk. ... Tetapi jika Anda tidak memberi nama perasaan itu—yang menuntut keadaaan-sadar yang luar biasa, suatu pemahaman langsung yang mendalam—maka Anda akan melihat bahwa tidak ada si pengamat, tidak ada si pemikir, tidak ada pusat yang dari situ Anda menghakimi, dan bahwa Anda tidak berbeda dari perasaan itu. Tidak ada ”Anda” yang merasakan perasaan itu. 10 Mei Perasaan Emosi Tidak Menghasilkan Apa-apa Entah Anda didorong oleh emosi Anda, entah Anda didorong oleh intelek Anda, itu membawa kepada keputusasaan, oleh karena tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi Anda menyadari, cinta bukanlah kenikmatan, cinta bukanlah keinginan. Tahukah Anda apa itu kenikmatan, Bapak? Bila Anda memandang sesuatu atau bila Anda mempunyai suatu perasaan, maka memikirkan perasaan itu, menggeluti terus-menerus perasaan itu memberi Anda kenikmatan, dan Anda menginginkan kenikmatan itu dan Anda mengulangi kenikmatan itu terus-menerus. Entah seseorang sangat berambisi atau tidak punya ambisi, itu memberinya kenikmatan. Bila seseorang mencari kekuasaan, kedudukan, keterhormatan atas nama negara, atas nama suatu gagasan, dan sebagainya, itu memberinya kenikmatan. Dia tidak punya cinta sama sekali, dan oleh karena itu ia berbuat kerusakan di muka bumi. Dia menimbulkan perang di dalam maupun di luar. Jadi, kita perlu menyadari bahwa emosi, sentimen, entusiasme, merasa enak, dan sebagainya tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasih sayang, welas-asih sejati. Semua sentimen, emosi berkaitan dengan pikiran dan oleh karena itu menghasilkan kenikmatan dan kesakitan. Cinta tidak punya kesakitan, tidak punya penderitaan, oleh karena ia bukan hasil dari kenikmatan dan keinginan. 11 Mei Perasaan Ingatan Menafikan Cinta Mungkinkah untuk mencinta tanpa berpikir? Apakah yang Anda maksud dengan berpikir? Berpikir adalah respons terhadap ingatan akan kesakitan dan kenikmatan. Tidak ada berpikir tanpa sisa-sisa yang ditinggalkan oleh pengalaman yang tak tuntas. Cinta berbeda dari emosi dan perasaan. Cinta tidak bisa dibawa ke dalam lingkup pikiran; sedangkan perasaan dan emosi bisa. Cinta adalah nyala api tanpa asap, selalu segar, kreatif, bersuka cita. Cinta seperti itu berbahaya bagi masyarakat, bagi hubungan. Maka, pikiran masuk, memodifikasikan, menuntun, mengesahkan, menghilangkan bahayanya; lalu kita bisa hidup bersama itu. Tidakkah Anda tahu, bila Anda mencintai seseorang, Anda mencintai seluruh umat manusia? Tidakkah Anda tahu betapa berbahayanya mencintai seorang manusia? Maka, tak ada lagi dinding penghalang, tak ada lagi nasionalitas; maka, tak ada lagi kehausan akan kekuasaan dan kedudukan; dan segala sesuatu memiliki nilainya yang asli. Orang seperti itu berbahaya bagi masyarakat. Agar cinta ada, proses ingatan harus berakhir. Ingatan muncul hanya apabila pengalaman tidak dipahami secara penuh dan tuntas. Ingatan hanyalah sisa pengalaman; itu adalah hasil dari suatu tantangan yang tidak dipahami dengan tuntas. Kehidupan adalah proses tantangan dan tanggapan. Tantangan selalu baru, tapi tanggapan selalu tua. Tanggapan ini, yang adalah pengkondisian, yang adalah hasil masa lampau, perlu dipahami dan bukan didisiplinkan atau dikutuk habis. Itu berarti menjalani kehidupan dari hari ke hari secara baru, secara penuh dan tuntas. Hidup secara tuntas ini hanya mungkin bila terdapat cinta, bila hati Anda penuh, bukan penuh kata-kata atau penuh hal-hal yang dibuat oleh pikiran. Hanya apabila ada cinta, ingatan berakhir; maka setiap saat adalah kelahiran kembali. 12 Mei Perasaan Jangan Beri Nama Suatu Perasaan Apa yang terjadi jika Anda tidak memberi nama? Anda akan memandang suatu emosi, suatu rasa-tubuh secara lebih langsung dan oleh karena itu mempunyai hubungan yang lain dengannya, seperti hubungan Anda dengan sekuntum bunga jika Anda tidak memberinya nama. Anda terpaksa memandangnya secara baru. Jika Anda tidak memberi nama pada sekelompok manusia, Anda terpaksa memandang masing-masing wajah individual dan tidak memperlakukan mereka sebagai kerumunan massa. Oleh karena itu Anda jauh lebih waspada, jauh lebih tajam mengamati, lebih memahami, Anda memiliki perasaan welas asih dan cinta lebih mendalam; tetapi jika Anda memperlakukan mereka sebagai kerumunan massa, selesailah sudah. Jika Anda tidak memberi label, Anda harus memperhatikan setiap perasaan pada saat munculnya. Bila Anda memberi label, apakah perasaan itu berbeda dari labelnya? Ataukah label itu membangunkan perasaan itu? ... Jika saya tidak memberi nama suatu perasaan, dengan kata lain pikiran tidak berfungsi sekadar karena kata-kata, atau jika saya tidak berpikir dalam kata-kata, gambar-gambar, atau simbol-simbol—yang dilakukan oleh kebanyakan dari kita—lalu apa yang terjadi? Jelas kemudian batin bukanlah sekadar si pengamat. Bila batin tidak berpikir dalam kata-kata, simbol-simbol, gambar-gambar, tidak terdapat si pemikir yang terpisah dari pikirannya, yang adalah kata. Maka batin menjadi hening, bukan?—bukan dibuat hening, dia hening. Bila batin sungguh-sungguh hening, maka segala perasaan yang muncul dapat digarap dengan seketika. Justru jika kita memberi nama perasaan-perasaan itu, dan dengan demikian memperkuatnya, maka perasaan-perasaan itu mempunyai kelangsungan; mereka tersimpan di pusat, yang dari situ kita memberi label-label lagi, untuk memperkuatnya atau mengkomunikasikannya. 13 Mei Perasaan Tetaplah Berada Bersama Perasaan dan Lihatlah Apa yang Terjadi Kita tidak pernah berada bersama perasaan apa pun, dan selalu mengelilinginya dengan tetek-bengek kata-kata. Kata mendistorsikannya; pikiran, yang berputar mengitarinya, mendesaknya ke dalam bayangan, melumpuhkannya dengan ketakutan dan keinginan yang menggunung. Anda tidak pernah tetap berada bersama perasaan, berada bersama apa pun: bersama kebencian, bersama rasa indah yang asing itu. Jika perasaan benci muncul, Anda berkata betapa buruk itu; terdapat dorongan, pergulatan, untuk menaklukkannya, goncangan pikiran tentang hal itu. ... Cobalah tetap berada bersama perasaan benci itu, bersama perasaan iri hati, cemburu, bersama racun ambisi; oleh karena bagaimana pun juga, itulah yang Anda miliki dalam kehidupan sehari-hari, sekalipun Anda ingin hidup bersama cinta, atau bersama kata ‘cinta’. Karena Anda memiliki perasaan benci, keinginan untuk menyakiti seseorang dengan suatu isyarat tubuh atau suatu kata yang menyengat, lihatlah apakah Anda dapat berada bersama perasaan itu. Dapatkah? Pernahkah Anda coba? Cobalah tetap berada bersama suatu perasaan, dan lihatlah apa yang terjadi. Anda akan mendapati bahwa itu sukar sekali. Pikiran Anda tidak membiarkan perasaan itu; pikiran menyerbu masuk dengan berbagai ingatan, berbagai asosiasi, perintah dan larangan, dan celotehnya yang tak penah habis. Pungutlah sebuah kerang. Dapatkah Anda memandangnya, mengagumi keindahannya yang rapuh, tanpa berkata betapa cantiknya itu, atau binatang apa yang membuatnya? Bisakah Anda memandang tanpa gerak pikiran? Dapatkah Anda tinggal bersama perasaan di balik kata, tanpa perasaan yang dibangun oleh kata? Jika bisa, maka Anda akan menemukan sesuatu yang luar biasa, suatu gerak di luar ukuran waktu, suatu musim semi yang tak mengenal musim panas. 14 Mei Kata-kata Memahami Kata-Kata Saya tidak tahu apakah Anda pernah merenungkan atau menyelami seluruh proses verbalisasi ini, proses memberi nama. Jika Anda pernah melakukannya, itu adalah hal yang paling menakjubkan dan sangat menarik dan menggairahkan. Bila kita memberikan suatu nama pada segala sesuatu yang kita alami, lihat, atau rasakan, kata itu menjadi amat bermakna; dan kata adalah waktu. Waktu adalah ruang, dan kata adalah pusatnya. Semua proses pikiran adalah verbalisasi; Anda berpikir di dalam kata-kata. Dan dapatkah batin bebas dari kata? Jangan bertanya, “Bagaimana saya bisa bebas?” Itu tidak punya arti. Tetapi ajukan pertanyaan itu kepada diri Anda sendiri, dan lihatlah betapa Anda diperbudak oleh kata-kata seperti India, Bhagavad Gita, Komunisme, Kristen, Rusia, Amerika, Inggris, kasta di bawah Anda dan kasta di atas Anda. Kata ‘cinta’, kata ‘Tuhan’, kata ‘meditasi’—betapa luar biasa makna yang kita berikan kepada kata-kata ini, dan betapa kita diperbudak olehnya. 15 Mei Kata-kata Ingatan Mengaburkan Persepsi Apakah Anda berspekulasi, ataukah Anda sungguh-sungguh mengalami sementara kita meneruskan diskusi ini? Anda tidak tahu apa batin religius itu, bukan? Dari apa yang Anda katakan, Anda tidak tahu apa artinya; Anda mungkin mempunyai perasaan atau kilatan yang sekilas tentang itu, seperti Anda melihat langit yang biru, cerah dan indah ketika awan tersibak; tetapi pada saat Anda mencerap langit biru itu, Anda mempunyai ingatan tentang itu, Anda ingin memperoleh lebih banyak lagi, dan dengan demikian Anda tersesat di situ, semakin Anda menginginkan kata untuk disimpan sebagai pengalaman, semakin Anda tersesat di situ. 16 Mei Kata-kata Kata Menciptakan Keterbatasan Adakah berpikir tanpa kata? Bila batin tidak dijejali dengan kata, maka berpikir bukanlah berpikir seperti yang kita kenal; melainkan itu suatu kegiatan tanpa kata, tanpa simbol; dengan demikian itu tidak punya batas—kata itu batasnya. Kata menciptakan keterbatasan, perbatasan. Dan batin yang tidak berfungsi dengan kata-kata tidak mempunyai keterbatasan; ia tidak punya perbatasan; ia tidak terikat. ... Ambillah kata ’cinta’, dan perhatikan apa yang dibangkitkannya dalam batin Anda, amati batin Anda; pada saat saya mengucapkan kata itu, Anda mulai tersenyum dan duduk tegak, Anda merasakan. Jadi kata ’cinta’ membangunkan segala macam gagasan, segala macam pemisahan, sebagai ini jasmaniah, itu spiritual, ini profan, itu tak terbatas, dan sebagainya. Tapi temukan apa cinta itu. Sesungguhnya, Bapak, untuk menemukan apa cinta itu, batin harus bebas dari kata itu dan dari makna kata itu. 17 Mei Kata-kata Mengatasi Kata-kata Untuk saling memahami, saya rasa perlu bahwa kita tidak terperangkap dalam kata-kata; oleh karena sebuah kata, seperti ’Tuhan’, misalnya, mungkin mempunyai makna tertentu bagi Anda, sedangkan bagi saya kata itu mungkin mewakili suatu rumusan yang sama sekali lain, atau tanpa rumusan sama sekali. Jadi hampir tidak mungkin berkomunikasi dengan orang lain kecuali kedua pihak berniat untuk saling memahami dan mengatasi kata-kata. Kata ’kebebasan’ pada umumnya menyiratkan bebas dari sesuatu, bukan? Biasanya itu berarti bebas dari keserakahan, dari iri hati, dari nasionalisme, dari amarah, dari ini atau itu. Sedangkan, kebebasan mungkin mempunyai makna yang lain sekali, yang adalah suatu rasa bebas; dan saya rasa sangat penting untuk memahami makna ini. ... Bagaimana pun juga, batin ini terbentuk dari kata-kata, di samping hal-hal lain. Nah, dapatkah batin bebas dari kata ’iri hati’? Cobalah bereksperimen dengan ini, dan Anda akan melihat bahwa kata-kata seperti ’Tuhan’, ’kebenaran’, ’kebencian’, ’iri hati’, mempunyai efek yang kuat dalam batin. Dapatkah batin secara neurologis dan secara psikologis bebas dari kata-kata ini? Jika batin tidak bebas dari kata-kata itu, ia tidak mampu menghadapi fakta iri hati. Bila batin dapat memandang langsung fakta yang dinamakannya ”iri hati”, maka fakta itu sendiri bertindak jauh lebih cepat daripada upaya batin untuk melakukan sesuatu terhadap fakta itu. Selama batin berpikir untuk melenyapkan iri hati melalui cita-cita tentang tanpa-iri hati, dan seterusnya, perhatiannya menyimpang, ia tidak lagi berhadapan dengan faktanya; dan kata ’iri hati’ itu sendiri merupakan pengalihan perhatian dari faktanya. Proses pengenalan adalah melalui kata; dan pada saat saya mengenali perasaan melalui kata, saya memberikan kelangsungan pada perasaan itu. 18 Mei Kata-kata Melihat Secara Luar Biasa Jadi kita bertanya, seperti pada awal tadi, bisakah batin sampai pada penglihatan yang luar biasa, bukan dari tepi, bukan dari luar, bukan dari perbatasan, melainkan sampai ke situ tanpa pencarian apa pun? Dan sampai ke situ tanpa pencarian apa pun adalah satu-satunya jalan untuk menemukan. Oleh karena dengan datang ke situ tanpa tahu, maka tidak ada daya upaya, tiada pencarian, tiada pengalaman; dan ada pengingkaran total dari semua praktek-praktek yang normal untuk sampai kepada pusat itu, kepada pemekaran itu. Jadi batin sangat tajam, sangat sadar, tidak lagi bergantung pada pengalaman apa pun untuk tetap sadar. Jika kita bertanya kepada diri sendiri, kita bisa bertanya dengan kata-kata—memang, bagi kebanyakan orang bertanya harus dengan kata-kata. Dan kita harus ingat: kata bukanlah hal yang dinamakannya—seperti kata ’pohon’ bukanlah pohon, bukan fakta aktualnya. Fakta aktualnya ialah apabila kita menyentuhnya, bukan melalui kata itu, melainkan apabila kita sungguh-sungguh kontak dengannya. Maka itulah aktualitas—yang berarti kata itu telah kehilangan kekuatannya untuk memukau orang. Contohnya, kata ’Tuhan’ telah terbebani begitu berat dan memukau orang begitu kuat sehingga mereka menerimanya atau menolaknya, dan bertingkah seperti tupai di dalam kurungan. Jadi kata dan simbol harus dikesampingkan. 19 Mei Kata-kata Persepsi Kebenaran Terjadi Seketika Keadaan berpikir dengan kata-kata telah dibangun selama berabad-abad, dalam hubungan antara individu dan masyarakat; sehingga kata, keadaan verbal adalah keadaan sosial di samping keadaan individual. Untuk berkomunikasi seperti kita lakukan sekarang, saya membutuhkan ingatan, saya membutuhkan kata, saya harus bisa berbahasa Inggris, Anda harus bisa berbahasa Inggris; itu telah dicapai selama berabad-abad. Kata bukan hanya dikembangkan di dalam hubungan sosial, melainkan juga sebagai reaksi di dalam hubungan sosial itu terhadap individu; di situ diperlukan kata. Masalahnya ialah, setelah memakan waktu begitu lama, berabad-abad, untuk membangun keadaan simbolik, kata-kata, dapatkah itu terhapus dengan seketika begitu saja? ... Melalui waku apakah kita akan membebaskan batin dari pembelengguan oleh kata-kata, yang telah dibangun selama berabad-abad? Ataukah belenggu itu harus patah dengan seketika? Nah, Anda mungkin berkata, ”Itu perlu waktu; saya tidak dapat melakukannya dengan seketika.” Ini berarti Anda membutuhkan waktu berhari-hari, ini berarti kelangsungan apa yang sebelumnya ada, sekalipun dimodifikasikan dalam prosesnya, sampai Anda mencapai tingkat yang di situ Anda tidak dapat berjalan lebih jauh lagi. Dapatkah Anda melakukannya? Oleh karena kita takut, karena kita malas, karena kita tidak mau berubah, kita berkata ”Mengapa pusing-pusing? Itu sangat sukar,” atau kita berkata, ”Saya tak tahu harus berbuat apa”—jadi Anda menunda, menunda, menunda. Tetapi Anda harus melihat kebenaran dari kelangsungan dan modifikasi kata. Persepsi akan kebenaran apa pun berlangsung seketika—bukan di dalam waktu. Dapatkah batin menembus dengan seketika, terhadap pertanyaan itu sendiri? Dapatkah batin melihat kata sebagai penghalang, memahami makna kata dengan sekilas, dan berada dalam keadaan yang di situ batin tidak lagi terperangkap di dalam waktu? Anda tentu pernah mengalami ini; cuma itu amat jarang bagi kebanyakan dari kita. 20 Mei Kata-kata Kebenaran Halus Anda mengalami kilatan pemahaman, pencerahan yang luar biasa cepat, ketika batin sangat hening, ketika pikiran tidak ada, ketika batin tidak dibebani oleh kebisingannya sendiri. Jadi, pemahaman terhadap sesuatu—suatu lukisan modern, seorang anak, istri Anda, tetangga Anda, atau memahami kebenaran, yang ada di dalam segala sesuatu—hanya dapat muncul bila batin sangat hening. Tetapi keheningan itu tidak dapat dipupuk, oleh karena jika Anda memupuk batin agar hening, itu bukan batin yang hening, itu batin yang mati. ... Makin Anda berminat terhadap sesuatu, makin Anda berniat memahami, makin sederhana, jernih dan bebas batin itu. Maka penggunaan kata-kata pun berhenti. Bagaimana pun juga, pikiran adalah kata, dan kata itulah yang mengganggu. Tabir kata-kata, yang adalah ingatan, itulah yang menyela di antara tantangan dan tanggapan. Katalah yang menanggapi tantangan, yang kita namakan penalaran. Jadi, batin yang berceloteh, yang menggunakan kata-kata, tidak dapat memahami kebenaran—kebenaran di dalam hubungan, bukan kebenaran abstrak. Tidak ada kebenaran abstrak. Tetapi kebenaran itu sangat halus. Yang halus sukar diikuti. Itu bukan abstrak. Ia muncul begitu cepat, begitu gelap, sehingga tidak dapat digenggam oleh batin. Bagaikan pencuri di waktu malam, ia datang dalam kegelapan, bukan pada saat Anda siap menerimanya. Penerimaan Anda hanyalah sekadar mengundang keserakahan. Jadi, batin yang terperangkap di dalam kata-kata tidak dapat memahami kebenaran. 21 Mei Pengkondisian Semua Pikiran Tidak Lengkap Anda dan saya menyadari bahwa kita terkondisi. Jika Anda berkata—seperti dikatakan oleh sementara orang—bahwa pengkondisian tidak bisa dihindarkan, maka tidak ada masalah; Anda budak, dan selesailah sudah. Tetapi jika Anda mulai bertanya-tanya, apakah mungkin untuk mematahkan keterbatasan ini, keterkondisian ini, maka ada masalah; jadi, Anda harus menyelidik ke dalam seluruh proses pikiran, bukan? Jika Anda sekadar berkata, “Saya harus sadar akan keterkondisian saya, saya harus memikirkannya, menganalisisnya, untuk dapat memahami dan memusnahkannya,” maka Anda melakukan upaya. Pemikiran Anda, analisis Anda, masih hasil dari latar belakang Anda; maka melalui pikiran Anda jelas Anda tidak mungkin mematahkan keterkondisian yang pikiran itu sendiri adalah bagiannya. Jadi, pertama-tama lihatlah masalah itu saja, jangan bertanya bagaimana jawabannya, pemecahannya. Faktanya kita terkondisi, dan bahwa semua pikiran untuk memahami keterkondisian ini selalu tidak lengkap; jadi tidak pernah ada pemahaman total, dan hanya di dalam pemahaman total akan seluruh proses pikiran terdapat kebebasan. Kesulitannya adalah bahwa kita selalu berfungsi di dalam lingkup batin, yang adalah alat pikiran—masuk akal atau tidak masuk akal; dan seperti telah kita lihat, pikiran selalu tidak lengkap. 22 Mei Pengkondisian Kebebasan dari Diri Untuk membebaskan batin dari semua keterkondisian, Anda harus melihat totalitasnya tanpa pikiran. Ini bukan pepatah; cobalah dan Anda akan melihat. Pernahkah Anda melihat sesuatu tanpa pikiran? Pernahkah Anda menyimak, memandang, tanpa memasukkan semua proses reaksi ini? Anda akan berkata, mustahil untuk melihat tanpa pikiran; Anda akan berkata tidak ada batin yang tak terkondisi. Bila Anda berkata demikian, Anda sudah menghalangi diri Anda sendiri dengan pikiran, oleh karena faktanya adalah Anda tidak tahu. Jadi dapatkah saya melihat, dapatkah batin menyadari keterkondisiannya sendiri? Saya rasa dapat. Silakan mencoba. Dapatkah Anda menyadari bahwa Anda seorang beragama, seorang Sosialis, seorang Komunis, ini-itu; hanya sadar, tanpa mengatakan itu benar atau salah? Oleh karena begitu sulit untuk sekadar melihat, kita berkata itu mustahil. Saya katakan, hanya bila Anda menyadari totalitas diri Anda ini tanpa reaksi apa pun, maka keterkondisian itu lenyap, secara total, mendalam—yang sesungguhnya adalah kebebasan dari diri. 23 Mei Pengkondisian Kesadaran Dapat Menghabisi Semua Masalah Jelas semua proses berpikir adalah terkondisi, tidak ada yang disebut berpikir bebas. Berpikir tidak pernah bebas, itu adalah hasil dari pengkondisian kita, dari latar belakang kita, dari budaya kita, dari iklim kita, dari latar belakang sosial, ekonomi, dan politis kita. Bahkan buku-buku yang Anda baca dan praktek-praktek religius yang Anda lakukan semuanya ada di latar belakang, dan setiap pikiran adalah hasil dari latar belakang itu. Jadi, jika kita bisa sadar—dan nanti dapat kita selami apa artinya hal itu, apa artinya sadar—mungkin kita dapat membongkar keterkondisian batin tanpa proses kehendak, tanpa niat untuk membongkar keterkondisian batin. Oleh karena begitu Anda berniat, terdapat entitas yang menginginkan, entitas yang berkata, ”Saya harus membongkar keterkondisian batin saya.” Entitas itu sendiri adalah hasil dari keinginan kita untuk mencapai hasil tertentu, jadi ada konflik di situ. Jadi, mungkinkah untuk sadar akan keterkondisian kita, untuk sekadar sadar, yang di situ tidak ada konflik sama sekali? Keadaan sadar itu sendiri, jika dibiarkan, mungkin dapat menghabisi masalah yang ada. 24 Mei Pengkondisian Tidak Ada Pengkondisian yang Luhur atau Lebih Baik Tidakkah dorongan batin untuk membebaskan diri dari keterkondisiannya menggerakkan suatu pola lain perlawanan dan pengkondisian? Setelah menyadari pola atau cetakan yang di dalamnya Anda dibesarkan, Anda ingin bebas dari itu; tetapi, tidakkah keinginan batin untuk bebas ini mengkondisikan lagi batin dengan cara lain? Pola lama menekankan bahwa Anda harus menyesuaikan diri dengan otoritas, dan sekarang Anda mengembangkan pola baru, yang menekankan bahwa Anda tidak boleh menyesuaikan diri; jadi Anda mempunyai dua pola, yang satu sama lain berkonflik. Selama ada kontradiksi batiniah ini, terjadi pengkondisian lebih jauh. ... Terdapat dorongan untuk menyesuaikan diri, dan terdapat dorongan untuk bebas. Betapa pun berbeda tampaknya kedua dorongan ini, tidak keduanya secara mendasar mirip? Dan jika keduanya secara mendasar mirip, maka upaya Anda meraih kebebasan adalah sia-sia, oleh karena Anda hanya pindah dari satu pola ke pola lain, tanpa akhir. Tidak ada pengkondisian yang mulia atau lebih baik, dan keinginan itulah yang harus dipahami. 25 Mei Pengkondisian Bebas dari Keterkondisian Keinginan untuk membebaskan diri dari keterkondisian hanya akan melanjutkan keterkondisian. Tetapi jika—alih-alih mencoba menekan keinginan—kita memahami seluruh proses keinginan, di dalam pemahaman itu sendiri muncullah pembebasan dari keterkondisian. Kebebasan dari keterkondisian bukanlah hasil langsung. Pahamkah Anda? Jika saya berketetapan untuk dengan sengaja membebaskan diri dari keterkondisian saya, keinginan itu menciptakan keterkondisiannya sendiri. Saya mungkin melenyapkan salah satu bentuk keterkondisian, tetapi saya terperangkap di dalam keterkondisian lain. Sedangkan, jika terdapat pemahaman akan keinginan itu sendiri, yang mencakup keinginan untuk bebas, maka pemahaman itu sendiri akan melenyapkan semua keterkondisian. Kebebasan dari keterkondisian adalah hasil samping, itu tidak penting. Yang penting adalah memahami apa yang menyebabkan keterkondisian. 26 Mei Pengkondisian Keadaan-sadar Sederhana Sesungguhnya setiap bentuk penimbunan, baik pengetahuan maupun pengalaman, setiap bentuk cita-cita, setiap proyeksi pikiran, setiap praktek bersungguh-sungguh untuk membentuk pikiran—apa yang wajib dan apa yang tidak boleh—semua ini melumpuhkan proses penyelidikan dan penemuan. Jadi, saya rasa penyelidikan kita hendaknya bukan untuk memecahkan masalah-masalah kita yang ada di hadapan kita, alih-alih untuk menemukan apakah batin—batin sadar maupun batin tak sadar yang dalam, yang di situ tertimbun semua tradisi, ingatan, warisan pengetahuan ras kita—apakah semua itu dapat dikesampingkan. Saya rasa itu dapat dilakukan hanya apabila batin mampu sadar tanpa suatu tuntutan, tanpa tekanan—sekadar sadar. Saya rasa itu suatu hal yang paling sukar—untuk sadar—oleh karena kita terperangkap dalam masalah serta pemecahan yang ada di hadapan kita, dan dengan demikian kehidupan kita sangat dangkal. Sekalipun kita mungkin mengunjungi semua psikoanalis, membaca semua buku, memperoleh banyak pengetahuan, datang ke tempat ibadah, berdoa, bermeditasi, mempraktekkan berbagai disiplin, namun, kehidupan kita jelas sangat dangkal oleh karena kita tidak tahu bagaimana menembus secara dalam. Saya rasa pemahaman, jalan penembusan, bagaimana menyelam sangat, sangat dalam, terletak pada keadaan-sadar—sekadar menyadari pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan kita, tanpa menyalahkan, tanpa membandingkan, sekadar mengamati. Anda akan melihat, jika Anda mau mencoba, betapa luar biasa sukarnya, oleh karena seluruh pendidikan kita adalah untuk menyalahkan, membenarkan, membandingkan. 27 Mei Pengkondisian Tidak Ada Bagian Batin yang Tak Terkondisi Batin Anda terkondisi seluruhnya; tidak ada bagian diri Anda yang tak terkondisi. Ini fakta, Anda suka atau tidak. Anda mungkin berkata, ada bagian diri Anda—si pengamat, Ruh yang Lebih Tinggi, Atman—yang tak terkondisi; tetapi oleh karena Anda memikirkannya, itu berada dalam lingkup pikiran; oleh karena itu, terkondisi. Anda dapat membuat banyak teori tentang itu, tetapi faktanya batin Anda terkondisi seluruhnya, yang sadar dan yang tak sadar, dan setiap upaya yang dilakukannya untuk membebaskan dirinya juga terkondisi. Jadi, apa yang harus dilakukan oleh batin? Atau lebih tepat, apakah keadaan batin ketika ia mengetahui bahwa dirinya terkondisi dan menyadari bahwa setiap upaya yang dilakukannya untuk membongkar keterkondisian dirinya masih terkondisi? Nah, ketika Anda berkata, ”Saya tahu saya terkondisi,” apakah Anda sungguh-sungguh mengetahuinya, ataukah itu sekadar pernyataan kata-kata? Apakah Anda mengetahuinya dengan kekuatan yang sama seperti Anda melihat seekor ular kobra? Bila Anda melihat seekor ular dan tahu itu kobra, terdapat tindakan seketika, tindakan yang tak dipikir lebih dulu; dan bila Anda berkata, ”Saya tahu saya terkondisi,” apakah itu memiliki makna penting seperti persepsi Anda tentang ular kobra? Ataukah itu sekadar pengakuan dangkal terhadap fakta itu, dan bukan kesadaran akan fakta itu? Bila saya menyadari fakta bahwa saya terkondisi, terdapat tindakan seketika. Saya tidak perlu berdaya upaya untuk membongkar keterkondisian saya. Fakta bahwa saya terkondisi, dan kesadaran akan fakta itu, membawa pencerahan seketika. Kesulitannya terletak pada tidak menyadari dalam arti memahami seluruh implikasinya, melihat bahwa semua pikiran, betapa halus, betapa licin, betapa canggih atau filosofis, tetap terkondisi. 28 Mei Pengkondisian Beban Bawah-sadar Di dalam batin, di bawah kesadaran, terdapat beban luar biasa dari masa lampau yang mendorong Anda ke arah tertentu. Nah, bagaimana kita dapat menghapuskan semua itu? Bagaimana bawah-sadar dapat dibersihkan dari masa lampau dengan seketika? Orang yang suka berpikir secara analitis berkata, bawah-sadar dapat dibersihkan—untuk sebagian atau seluruhnya—melalui analisis—melalui penyelidikan, penjelajahan, pengakuan, penafsiran mimpi, dan sebagainya—sampai setidak-tidaknya Anda menjadi manusia ”normal”, yang mampu menyesuaikan diri Anda dengan lingkungan sekarang. Tetapi di dalam analisis selalu ada si penganalisis dan apa yang dianalisis, si pengamat yang menafsirkan apa yang diamati, yang adalah dualitas, sumber konflik. Jadi saya melihat, sekadar menganalisis bawah-sadar tidak akan menghasilkan apa-apa. Mungkin bisa membantu saya untuk menjadi agak kurang neurotik, menjadi agak lebih baik hati kepada istri saya, kepada tetangga saya, atau hal-hal dangkal lain seperti itu; tetapi kita tidak membicarakan itu. Saya melihat bahwa proses analitis—yang menyangkut waktu, penafsiran, gerak pikiran sebagai si pengamat yang menganalisis apa yang diamati—tidak dapat membebaskan bawah-sadar; dengan demikian, saya menolak proses analisis sama sekali. Pada saat saya melihat fakta bahwa proses analisis tidak mampu dalam keadaan apa pun melepaskan beban bawah-sadar, saya keluar dari analisis. Saya tidak lagi menganalisis. Jadi apa yang terjadi? Oleh karena tidak ada lagi si penganalisis yang terpisah dari apa yang dianalisisnya, ia adalah itu. Ia bukan entitas yang terpisah dari itu. Maka kita mendapati bahwa bawah-sadar sangat sedikit pentingnya. 29 Mei Pengkondisian Selang Waktu antara Dua Pikiran Nah, saya katakan, pasti mungkin batin bebas dari semua pengkondisian—bukan berarti Anda harus menerima otoritas saya. Jika Anda menerimanya berdasarkan otoritas, Anda tidak pernah akan menemukannya, itu hanya menjadi satu pengganti lagi dan tidak punya makna. ... Pemahaman akan seluruh proses pengkondisian tidak datang kepada Anda melalui analisis atau introspeksi, oleh karena pada saat ada si penganalisis, si penganalisis itu sendiri adalah bagian dari latar belakang, dan oleh karena itu analisisnya tidak punya arti. ... Bagaimana batin ini bisa bebas? Untuk bisa bebas, batin bukan hanya perlu melihat dan memahami ayunannya yang seperti bandul di antara masa lampau dan masa depan, melainkan juga memahami selang waktu di antara dua pikiran. ... Jika Anda mengamati dengan sangat cermat, sekalipun respons, gerak pikiran, tampak begitu cepat, ada jarak atau interval di antara pikiran-pikiran. Di antara dua pikiran terdapat suatu periode keheningan, yang tidak berkaitan dengan proses pikiran. Jika anda mengamati, Anda akan melihat bahwa periode keheningan itu, interval itu, bukan berasal dari waktu; dan penemuan interval itu, pengalaman penuh akan interval itu, membebaskan Anda dari keterkondisian—atau lebih tepat, itu bukan membebaskan “Anda”, melainkan ada kebebasan dari keterkondisian. ... Hanya apabila batin tidak memberikan kelangsungan kepada pikiran, apabila batin hening dengan keheningan yang tidak dibuat, yang tanpa penyebab apa pun—hanya dengan demikian terdapat kebebasan dari latar belakang. 30 Mei Pengkondisian Amati Bagaimana Kebiasaan Terbentuk Tanpa kebebasan dari masa lampau, tidak ada kebebasan sama sekali, oleh karena batin tidak pernah baru, segar, polos. Hanyalah batin yang segar, dan polos yang bebas. Kebebasan tidak ada kaitannya dengan umur, tidak ada kaitannya dengan pengalaman; dan saya melihat hakikat kebebasan terletak dalam memahami seluruh mekanisme kebiasaan, baik yang disadari atau tidak. Ini bukan masalah mengakhiri kebiasaan, melainkan melihat secara menyeluruh struktur kebiasaan. Anda perlu mengamati bagaimana kebiasaan terbentuk dan bagaimana—dengan mengingkari atau melawan satu kebiasaan—tercipta kebiasaan lain. Yang penting adalah menyadari sepenuhnya kebiasaan; oleh karena dengan demikian, seperti Anda akan lihat sendiri, tidak akan ada lagi pembentukan kebiasaan. Melawan kebiasaan, menentangnya, mengingkarinya, hanya memberikan kelangsungan kepada kebiasaan. Bila Anda melawan suatu kebiasaan tertentu, Anda memberi kehidupan kepada kebiasaan itu, lalu perlawanan itu sendiri menjadi kebiasaan lebih jauh. Tetapi jika Anda sekadar menyadari seluruh struktur kebiasaan tanpa perlawanan, maka Anda akan mendapati bahwa terdapat kebebasan dari kebiasaan, dan di dalam kebebasan itu terjadilah sesuatu yang baru. Hanyalah batin yang tumpul dan mengantuk yang menciptakan dan melekat pada kebiasaan. Suatu batin yang penuh perhatian dari saat ke saat—penuh perhatian terhadap apa yang dikatakannya, penuh perhatian terhadap gerak tangannya, gerak pikirannya, gerak perasaannya—akan mendapati bahwa pembentukan kebiasaan lebih jauh telah berakhir. Ini sangat penting untuk dipahami, oleh karena selama batin mematahkan satu kebiasaan dan dalam proses itu menciptakan kebiasaan baru, jelas ia tidak bisa bebas; dan hanyalah batin yang bebas yang dapat melihat sesuatu di luar dirinya. 31 Mei JUNI • Energi • Perhatian • Sadar Tanpa Memilih • Kekerasan Energi Energi Menciptakan Disiplinnya Sendiri Pencarian realitas membutuhkan energi hebat; dan jika manusia tidak melakukannya, ia menghamburkan energinya untuk hal-hal yang menghasilkan kerusakan, dan oleh karena itu masyarakat harus mengendalikannya. Nah, mungkinkah membebaskan energi dalam pencarian Tuhan atau kebenaran dan, dalam proses menemukan apa yang benar, menjadi warga masyarakat yang memahami masalah-masalah mendasar dari kehidupan dan tak dapat dihancurkan oleh masyarakat? Begini, manusia adalah energi, dan jika manusia tidak mencari kebenaran, energi ini menjadi destruktif; oleh karena itu masyarakat mengendalikan dan membentuk si individu, yang mencekik energi ini ... Dan mungkin Anda melihat fakta lain yang menarik dan amat sederhana: pada saat Anda sungguh-sungguh ingin melakukan sesuatu, Anda punya energi untuk melakukannya. ... Energi itu sendiri menjadi alat untuk mengendalikan dirinya sendiri, jadi Anda tidak memerlukan disiplin dari luar. Orang yang mencari realitas dengan spontan menjadi warga masyarakat yang baik, yang bukan menurut pola masyarakat atau pemerintah apa pun. 1 Juni Energi Dualitas Menciptakan Konflik Konflik apa pun—fisikal, psikologis, intelektual—adalah pemborosan energi. Mohon disimak, adalah luar biasa sulit untuk memahami dan bebas dari ini oleh karena kebanyakan dari kita dibesarkan untuk berjuang, berupaya. Ketika kita bersekolah, itulah yang pertama kali diajarkan kepada kita—berupaya. Dan perjuangan itu, upaya itu dibawa sepanjang hidup—yakni, untuk menjadi baik Anda harus berjuang, Anda harus melawan kejahatan, Anda harus menentang, mengendalikan. Jadi, secara edukasi, secara sosiologis, secara religius, manusia diajar berjuang. Anda diajar, bahwa untuk menemukan Tuhan Anda harus bekerja, mendisiplinkan, berlatih, memelintir dan menyiksa roh Anda, batin Anda, tubuh Anda, mengingkari, menekan; Anda tidak boleh memandang; Anda berkelahi terus-menerus di tingkat yang dinamakan tingkat spiritual—yang sama sekali bukan tingkat spiritual. Lalu, secara sosial, setiap orang harus bekerja untuk diri sendiri, dan untuk keluarganya. ... Jadi, di mana-mana, kita membuang-buang energi. Dan pembuangan energi itu pada dasarnya adalah konflik: konflik antara “saya harus” dan “saya tidak boleh”. Setelah menciptakan dualitas, konflik tak dapat dihindarkan. Jadi kita harus memahami seluruh proses dualitas ini—bukan berarti tidak ada laki-laki dan perempuan, hijau dan merah, terang dan gelap, tinggi dan rendah; semua itu fakta. Tetapi di dalam upaya yang dikerahkan dalam pembagian antara fakta dan gagasan, terdapat pemborosan energi. 2 Juni Energi Pola Suatu Gagasan Jika Anda berkata, “Bagaimana saya bisa menghemat energi?”, maka Anda telah menciptakan suatu pola gagasan—bagaimana menghemat energi—lalu menjalankan hidup Anda menurut pola itu; dengan demikian, mulai lagi suatu kontradiksi. Sedangkan, jika Anda melihat sendiri keadaan-keadaan di mana energi itu diboroskan, Anda akan melihat bahwa kekuatan utama yang menyebabkan pemborosan itu adalah konflik—yang berarti memiliki masalah dan tidak pernah menyelesaikannya, hidup dengan ingatan berbahaya tentang sesuatu yang sudah tidak ada, hidup dalam tradisi. Kita harus memahami hal-ihwal pemborosan energi, dan pemahaman akan pemborosan energi ini bukan menurut Shankara, Buddha, atau orang suci lain, melainkan pengamatan aktual terhadap konflik sehari-hari dalam hidup kita. Jadi pemborosan energi yang terutama adalah konflik—yang bukan berarti lalu Anda duduk dan bermalas-malas. Konflik akan selalu ada selama gagasan lebih penting daripada fakta. 3 Juni Energi Di Mana Ada Kontradiksi, Ada Pula Konflik Anda lihat, kebanyakan dari kita berada dalam konflik, menjalani kehidupan penuh kontradiksi, bukan hanya di luar, tetapi juga di dalam. Kontradiksi menyiratkan daya upaya. ... Di mana ada daya upaya, ada pemborosan, ada pemborosan energi. Di mana ada kontradiksi, ada pula konflik. Di mana ada konflik, ada pula daya upaya untuk mengatasi konflik itu—yang adalah bentuk lain perlawanan. Dan di mana Anda melawan, ada pula sejenis energi yang dilibatkan—Anda tahu, bila Anda melawan sesuatu, perlawanan itu sendiri menciptakan energi. ... Semua tindakan berdasarkan pada gesekan antara boleh dan tidak boleh. Dan bentuk perlawanan ini, bentuk konflik ini, menghasilkan energi; tetapi energi itu, jika Anda mengamatinya dengan teliti, sangat destruktif; itu tidak kreatif. ... Kebanyakan orang berada dalam kontradiksi. Dan jika mereka mempunyai karunia, bakat untuk menulis atau melukis atau ini itu, ketegangan dari kontradiksi itu memberi energi untuk berekpresi, mencipta, menulis, berada. Makin banyak ketegangan, makin besar konflik, makin besar keluaran, dan itulah yang kita namakan ciptaan. Tapi itu bukan ciptaan sama sekali. Itu hasil konflik. Menghadapi fakta bahwa Anda berada dalam konflik, Anda berada dalam kontradiksi, akan membawa kualitas energi yang bukan hasil perlawanan. 4 Juni Energi Energi Kreatif Nah, pertanyaannya ialah: adakah energi yang bukan di dalam lingkup pikiran, yang bukan hasil dari energi kompulsif yang saling bertentangan, hasil dari pemenuhan-diri sebagai frustrasi? Anda paham pertanyaan itu? Saya harap saya menyampaikannya dengan jelas. Oleh karena, jika kita tidak menemukan kualitas energi yang bukan sekadar produk pikiran, yang sedikit demi sedikit menciptakan energi tetapi juga bersifat mekanis, maka tindakan menjadi destuktif, entah kita melakukan reformasi sosial, menulis buku yang hebat, sangat cerdik dalam bisnis, atau menciptakan pembagian kebangsaan, atau ikut serta dalam kegiatan politik lain, dan sebagainya. Nah, pertanyaannya ialah, apakah ada energi seperti itu, bukan secara teoretis—oleh karena ketika kita dihadapkan dengan fakta, menampilkan teori adalah kekanak-kanakan, tidak matang. Itu seperti kasus orang yang terkena kanker dan harus dioperasi; tidak ada gunanya mendiskusikan alat apa yang akan digunakan dan sebagainya; Anda harus menghadapi kenyataan bahwa ia harus dioperasi. Seperti itu pula, batin harus menembus dalam, atau berada dalam keadaan begitu rupa sehingga tidak diperbudak oleh pikiran. Bagaimana pun juga, semua pikiran dalam waktu adalah penemuan; semua alat, mesin jet, lemari es, roket, penyelidikan ke dalam atom, ruang angkasa, semua itu hasil pengetahuan, pikiran. Semua itu bukan kreasi; penemuan bukan kreasi; kemampuan bukan kreasi; pikiran tidak mungkin kreatif oleh karena pikiran selalu terkondisi dan tidak pernah bisa bebas. Hanyalah energi yang bukan produk pikiran yang kreatif. 5 Juni Energi Wujud Tertinggi dari Energi Gagasan tentang energi berbeda dari energi itu sendiri. Kita memiliki rumusan atau konsep tentang bagaimana menghasilkan suatu kualitas energi yang mempunyai mutu tertinggi. Tetapi rumusan itu lain sama sekali dari energi yang memperbarui dan menyegarkan. ... Wujud tertinggi dari energi ini, puncaknya, adalah keadaan batin yang di situ ia tidak memiliki gagasan, tidak memiliki pikiran, tidak ada perasaan akan arah atau motif—ia adalah energi murni. Dan kualitas energi seperti itu tidak bisa dicari. Anda tidak bisa berkata, ”Tunjukkan kepada saya, bagaimana cara mencapainya, modus operandi-nya, jalannya.” Tidak ada jalan ke situ. Untuk menemukan sendiri hakikat energi ini, kita harus mulai dengan memahami energi yang kita buang sehari-hari—energi ketika kita bicara, ketika kita mendengar seekor burung, sebuah suara, ketika kita melihat sebuah sungai, langit yang terbentang luas, dan orang-orang desa yang kumuh, berpakaian compang-camping, sakit, kelaparan, dan pohon yang pada waktu senja menarik diri dari seluruh cahaya siang. Pengamatan akan segala sesuatu itu sendiri adalah energi. Dan energi ini kita peroleh melalui makanan, melalui sinar matahari. Energi fisik sehari-hari yang kita miliki ini jelas dapat diperkuat, ditambah dengan makanan yang baik, dan sebagainya. Itu jelas perlu. Tetapi energi yang sama yang menjadi energi jiwa—yakni pikiran—pada saat energi itu berkontradiksi dalam dirinya, energi itu merupakan pembuangan energi. 6 Juni Energi Seni Menyimak Adalah Seni Melepaskan Ada orang mengatakan sesuatu kepada Anda, dan Anda menyimak. Tindakan menyimak itu sendiri adalah tindakan melepaskan. Bila Anda melihat suatu fakta, persepsi tentang fakta itu sendiri adalah pelepasan fakta itu. Menyimak itu sendiri, melihat sesuatu sebagai fakta itu sendiri, mempunyai efek luar biasa tanpa usaha pikiran. ... Marilah kita ambil satu contoh—misalnya, ambisi. Kita telah cukup membahas apa yang dilakukannya, apa akibatnya. Batin yang penuh ambisi tidak pernah tahu apa artinya bersimpati, menaruh belas kasihan, mencinta. Batin yang ambisius adalah batin yang kejam—entah secara spiritual, entah secara lahiriah atau batiniah. Anda pernah mendengar tentang itu. Anda mendengarnya; dan ketika Anda mendengarnya, Anda menerjemahkannya dan berkata, ”Bagaimana saya harus hidup di dunia yang dibangun atas ambisi ini?” Dengan demikian, Anda tidak menyimak. Anda merespons, Anda bereaksi terhadap suatu pernyataan, terhadap suatu fakta; dengan demikian, Anda tidak memandang fakta itu. Anda hanya sekadar menerjemahkan fakta itu, atau membuat opini tentang fakta itu, atau merespons fakta itu; dengan demikian, Anda tidak memandang fakta itu. ... Jika kita menyimak—dalam arti tanpa evaluasi, reaksi, penilaian apa pun—pada waktu itu sesungguhnya fakta itu menciptakan energi yang memusnahkan, menghapuskan, membersihkan ambisi yang menciptakan konflik. 7 Juni Perhatian Perhatian Tanpa Perlawanan Anda tahu apa ruang itu. Ada ruang di kamar ini. Jarak dari sini ke hotel Anda, dari jembatan ke rumah Anda, dari tepi sungai ini ke tepi sana—semua itu ruang. Nah, adakah juga ruang dalam batin Anda? Ataukah batin itu sudah penuh sesak, sehingga tak ada ruang sama sekali? Jika batin Anda memiliki ruang, maka di dalam ruang itu terdapat keheningan—dan dari keheningan itu muncullah segala sesuatu, oleh karena di situ Anda dapat menyimak, Anda dapat memperhatikan tanpa melawan. Itulah sebabnya mengapa penting sekali memiliki ruang di dalam batin. Jika batin tidak terjejali, tidak sibuk terus-menerus, maka ia dapat menyimak anjing yang menyalak itu, menyimak bunyi kereta api melintasi jembatan di kejauhan, dan juga sadar sepenuhnya akan apa yang dikatakan oleh orang yang berbicara di sini. Maka batin itu menjadi hidup, ia tidak mati. 8 Juni Perhatian Perhatian Bebas dari Upaya Adakah perhatian tanpa sesuatu yang menyerap batin? Adakah perhatian tanpa berkonsentrasi pada suatu obyek? Adakah perhatian tanpa motif, pengaruh, kompulsi dalam bentuk apa pun? Dapatkah batin memberikan perhatian penuh tanpa eksklusi apa pun? Jelas bisa, dan itu adalah satu-satunya keadaan perhatian; yang lain hanyalah pemuasan diri, atau akal-akalan batin. Jika Anda dapat memberikan perhatian penuh tanpa terserap dalam sesuatu, dan tanpa eksklusi apa pun, maka Anda akan menemukan apa itu bermeditasi; oleh karena di dalam perhatian itu tidak ada usaha, tidak ada pembagian, tidak ada pergulatan, tidak ada pencarian hasil. Jadi, meditasi adalah proses pembebasan batin dari sistem-sistem, dan memberikan perhatian tanpa terserap atau berusaha berkonsentrasi. 9 Juni Perhatian Perhatian yang Tidak Eksklusif Saya rasa, ada perbedaan antara perhatian yang diberikan kepada suatu obyek dan perhatian tanpa obyek. Kita dapat berkonsentrasi pada suatu gagasan, kepercayaan, obyek tertentu—yang adalah proses eksklusif; lalu ada pula perhatian, kewaspadaan, yang tidak eksklusif. Begitu pula, ada ketidakpuasan yang tidak punya motif, yang bukan akibat dari suatu frustrasi, yang tak dapat disalurkan, yang tak dapat menerima setiap pemenuhan. Mungkin saya tidak menggunakan kata yang tepat untuk itu, tetapi saya rasa, ketidakpuasan yang luar biasa itulah yang penting. Tanpa itu, setiap bentuk ketidakpuasan lain hanyalah sekadar jalan untuk mencapai kepuasan. 10 Juni Perhatian Perhatian itu Tak Terbatas, Tanpa Tapal Batas Di dalam mengembangkan batin, titik berat kita hendaknya pada perhatian, bukan konsentrasi. Konsentrasi adalah proses memaksa batin menyempit kepada satu titik, sedangkan perhatian itu tanpa tapal batas. Di dalam proses konsentrasi itu, batin selalu dibatasi oleh suatu tapal batas, tetapi bila maksud kita memahami totalitas batin, konsentrasi saja menjadi rintangan. Perhatian adalah tanpa batas, tanpa batas pengetahuan. Pengetahuan datang melalui konsentrasi, dan setiap peluasan pengetahuan masih tetap berada dalam batas-batasnya sendiri. Dalam keadaan perhatian, batin dapat dan memang menggunakan pengetahuan, yang niscaya adalah hasil konsentrasi; tetapi bagian tidak pernah menjadi keseluruhan, dan menambahkan bagian-bagian yang banyak tidak menghasilkan persepsi akan keseluruhan. Pengetahuan, yang merupakan proses penimbunan dari konsentrasi, tidak menghasilkan pemahaman akan apa yang tak terukur. Keseluruhan tidak pernah dikurung oleh batin yang terkonsentrasi. Jadi perhatian itu sangat penting, tetapi itu tidak datang melalui usaha konsentrasi. Perhatian adalah keadaan yang di situ batin terus-menerus belajar tanpa suatu pusat yang di seputarnya berkumpul pengetahuan sebagai pengalaman yang tertimbun. Batin yang berkonsentrasi pada dirinya sendiri menggunakan pengetahuan sebagai cara untuk membesarkan dirinya sendiri; dan kegiatan seperti itu bertentangan dalam dirinya dan antisosial. 11 Juni Perhatian Perhatian Penuh Apa yang kita maksudkan dengan perhatian? Apakah ada perhatian bila saya memaksakan diri memperhatikan? Ketika saya berkata kepada diri sendiri, ”Saya harus memperhatikan, saya harus mengendalikan batin saya dan mengesampingkan semua pikiran lain,” apakah itu Anda namakan perhatian? Jelas itu bukan perhatian. Apa yang terjadi bila batin memaksakan diri untuk memperhatikan? Ia menciptakan perlawanan untuk menghalangi pikiran-pikiran lain menyelinap masuk; ia sibuk dengan perlawanan, dengan mendorong pergi; oleh karena itu ia tidak mampu memperhatikan. Itu benar, bukan? Untuk memahami sesuatu secara total, Anda harus menaruh perhatian penuh kepadanya. Tetapi Anda akan segera mendapati betapa luar biasa sulitnya itu, oleh karena batin Anda terbiasa menyeleweng; lalu Anda berkata, ”Ya Tuhan, memang memperhatikan itu baik, tetapi bagaimana saya harus melakukannya?” Jadi, Anda kembali lagi dengan keinginan untuk memperoleh sesuatu, dan Anda tidak pernah dapat memperhatikan secara penuh. ... BIla Anda melihat sebatang pohon atau seekor burung, misalnya, memperhatikan secara penuh bukanlah berkata, ”Itu pohon jati,” atau, ”Itu seekor kakatua,” lalu pergi. Dengan memberinya nama Anda sudah berhenti memperhatikan. ... Sedangkan, jika Anda sadar sepenuhnya, memperhatikan sepenuhnya, ketika Anda memandang sesuatu, maka Anda akan mendapati suatu transformasi menyeluruh berlangsung, dan perhatian total itu adalah yang baik. Tidak ada lagi yang lain, dan Anda tidak bisa memperoleh perhatian total dengan latihan. Dengan latihan Anda memperoleh konsentrasi, artinya Anda membangun dinding perlawanan, dan di dalam dinding perlawanan itu berada orang yang berkonsentrasi, tetapi itu bukan perhatian, itu mengeluarkan. 12 Juni Perhatian Lenyapnya Ketakutan Adalah Awal Perhatian Bagaimana cara menghasilkan perhatian? Ia tidak dapat dipupuk melalui bujukan, pembandingan, ganjaran, atau hukuman, yang semuanya adalah bentuk-bentuk pemaksaan. Lenyapnya ketakutan adalah awal dari perhatian. Ketakutan itu ada selama ada dorongan untuk menjadi sesuatu di masa kini atau di masa depan, yang adalah mengejar keberhasilan, dengan segala frustrasi dan kontradiksinya yang berbelit-belit. Anda dapat mengajarkan konsentrasi, tetapi perhatian tidak dapat diajarkan, sama seperti Anda tidak dapat mengajarkan kebebasan dari ketakutan; dan di dalam memahami sebab-musababnya, maka lenyaplah ketakutan. Dengan demikian perhatian muncul secara spontan bila di sekitar siswa terdapat suasana kesejahteraan, bila ia merasa aman, merasa nyaman, dan sadar akan tindakan tanpa kepentingan yang dihasilkan oleh cinta. Cinta tidak membanding-bandingkan, dan dengan demikian berakhirlah iri hati dan siksaan di dalam proses “menjadi”. 13 Juni Perhatian Tidak Ada Tempat yang di Situ Orang “Sampai” Dapatkah kerendahan hati dilatih? Jelas, sadar bahwa Anda rendah hati bukanlah rendah hati. Anda ingin tahu, apakah Anda sudah “sampai”. Ini menunjukkan bahwa Anda menyimak untuk mencapai suatu keadaan tertentu, bukan?—tempat yang di situ Anda tidak akan terganggu lagi, yang di situ Anda memperoleh kebahagiaan yang kekal abadi, kenikmatan permanen. Tetapi seperti saya katakan tadi, tidak ada “sampai”, yang ada hanyalah gerak belajar—dan itulah indahnya kehidupan. Jika Anda sudah “sampai”, tidak ada apa-apa lagi. Dan Anda semua telah “sampai”, atau Anda ingin “sampai”, bukan hanya dalam bisnis Anda, tetapi juga dalam segala sesuatu yang Anda lakukan. Jadi Anda tidak puas, mengalami frustrasi, murung. Bapak-bapak, tidak ada tempat yang di situ orang “sampai”, yang ada hanyalah gerak belajar ini, yang menyakitkan hanya apabila terdapat penumpukan. Batin yang menyimak dengan perhatian penuh tidak pernah mencari hasil, karena ia terus-menerus mekar. Seperti sebatang sungai, ia selalu bergerak. Batin seperti itu sama sekali tak sadar akan kegiatannya sendiri, dalam arti tidak ada pelestarian suatu diri, sang ‘aku’, yang berupaya untuk mencapai suatu tujuan. 14 Juni Sadar Tanpa Memilih Pengetahuan Bukan Keadaan-sadar Keadaan-sadar adalah keadaan batin yang mengamati sesuatu tanpa mengutuk atau menerima, yang sekadar menghadapi sesuatu seperti apa adanya. Bila Anda memandang sekuntum bunga tanpa pengetahuan ilmu hayat, maka Anda melihat keseluruhan bunga itu; tetapi jika batin Anda dipenuhi oleh pengetahuan ilmu hayat tentang bunga itu, maka Anda tidak memandang bunga itu secara menyeluruh. Sekalipun Anda mungkin memiliki pengetahuan tentang bunga itu, jika pengetahuan itu memenuhi batin Anda, seluruh lingkup batin Anda, maka Anda tidak memandang bunga itu secara menyeluruh. Jadi, memandang suatu fakta berarti berada dalam keadaan-sadar. Di dalam keadaan-sadar itu tidak ada pilihan, tidak ada pengutukan, tidak ada suka atau tak suka. Tetapi kebanyakan dari kita tidak mampu melakukan ini, oleh karena secara tradisional, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak mampu menghadapi fakta tanpa latar belakang. Kita harus menyadari latar belakang itu. Kita harus menyadari keterkondisian kita, dan keterkondisian itu memperlihatkan diri ketika kita mengamati suatu fakta; dan sementara Anda berkepentingan dengan pengamatan fakta itu dan bukan dengan latar belakang, latar belakang itu dikesampingkan. Bila minat utama adalah sekadar memahami fakta, dan bila Anda melihat bahwa latar belakang menghalangi Anda dari memahami fakta, maka minat yang vital terhadap fakta akan menghapuskan latar belakang. 15 Juni Sadar Tanpa Memilih Introspeksi Adalah Tidak Lengkap Di dalam keadaan-sadar hanya ada masa kini—artinya, dengan sadar Anda melihat proses pengaruh dari masa lampau yang mengendalikan masa kini dan mengubah masa depan. Keadaan-sadar adalah suatu proses integral, bukan proses pembagian. Misalnya, jika saya bertanya, ”Apakah saya percaya akan Tuhan?”—di dalam proses bertanya itu sendiri, saya dapat mengamati—jika saya sadar—apa yang membuat saya mengajukan pertanyaan itu; jika saya sadar, saya dapat melihat apa kekuatan-kekuatan yang dulu dan sekarang mendorong saya untuk mengajukan pertanyaan itu. Maka saya menyadari berbagai bentuk ketakutan—ketakutan nenek moyang saya yang telah menciptakan suatu gagasan tertentu tentang Tuhan dan telah mewariskannya kepada saya, dan dengan memadukan gagasan mereka dengan reaksi saya di masa kini saya memodifikasikan atau mengubah konsep Tuhan itu. Jika saya sadar, saya melihat seluruh proses masa lampau, efeknya pada masa kini dan di masa depan, secara integral, secara menyeluruh. Jika kita sadar, kita melihat betapa melalui ketakutan muncul konsep tentang Tuhan dalam diri kita; atau mungkin ada orang yang mempunyai pengalaman orisinal tentang realitas atau tentang Tuhan dan mengkomunikasikannya kepada orang lain yang dalam keserakahannya mengambil-alih konsep itu, dan mendorong proses peniruan. Keadaan-sadar adalah proses yang lengkap, dan introspeksi tidak lengkap. Hasil introspeksi adalah rasa sakit, memedihkan, sedangkan keadaan-sadar adalah semangat dan sukacita. 16 Juni Sadar Tanpa Memilih Melihat Keseluruhan Bagaimana Anda memandang sebatang pohon? Apakah Anda melihat keseluruhan pohon itu? Jika Anda tidak melihatnya sebagai keseluruhan, Anda tidak melihat pohon itu sama sekali. Anda mungkin melewatinya dan berkata, ”Itu pohon, betapa bagusnya!” atau berkata, ”Itu pohon mangga,” atau ”Saya tidak tahu pohon apa itu; mungkin itu pohon asam.” Tetapi jika Anda berdiri dan memandang—saya berbicara secara aktualitas, faktual—Anda tidak pernah melihat keseluruhannya; dan jika Anda tidak melihat keseluruhan pohon itu, Anda tidak melihat pohon itu. Begitu pula dengan keadaan-sadar. Jika Anda tidak melihat keseluruhan kerja batin Anda seperti itu—seperti Anda memandang pohon—Anda tidak sadar. Pohon itu terdiri dari akar, batang, cabang besar dan kecil, dan cabang-cabang sangat kecil yang naik ke sana; dan daun, daun yang mati, daun yang layu, dan daun yang hijau; daun yang dimakan binatang, daun yang buruk, daun yang gugur, buah, bunga—semua itu Anda lihat sebagai keseluruhan bila Anda memandang pohon itu. Seperti itu pula, dalam keadaan melihat kerja batin Anda, dalam keadaan-sadar itu, terdapat rasa menyalahkan, menyetujui, mengingkari, berjuang, sia-sia, putus asa, harapan, frustrasi; keadaan-sadar meliput semua itu, bukan sebagian saja. Jadi apakah Anda sadar akan batin Anda dalam pengertian yang amat sederhana itu, seperti orang melihat lukisan secara utuh—bukan hanya satu sudut saja dari lukisan dan bertanya, ”Siapa pelukisnya?” 17 Juni Sadar Tanpa Memilih Keadaan-sadar Tidak Dapat Didisiplinkan Jika keadaan-sadar dilatih, dijadikan kebiasaan, maka ia menjadi melelahkan dan menyakitkan. Keadaan-sadar tidak dapat didisiplinkan. Apa yang dilatih bukan lagi keadaan-sadar, oleh karena berlatih berarti menciptakan kebiasaan, mengerahkan daya upaya dan kemauan. Daya upaya adalah distorsi. Terdapat keadaan-sadar bukan hanya terhadap dunia luar—burung yang terbang, bayangan, laut yang tidak bisa diam, pepohonan dan angin yang bertiup, peminta-minta dan mobil mewah yang melintas—tetapi juga keadaan-sadar akan proses dalam batin, ketegangan dan konflik di dalam diri. Anda tidak menyalahkan burung yang terbang: Anda mengamatinya, Anda melihat keindahannya. Tetapi, ketika Anda memikirkan pergulatan dalam batin Anda, Anda menyalahkannya atau membenarkannya. Anda tidak dapat mengamati konflik batiniah ini tanpa memilih atau membenarkan. Menyadari pikiran dan perasaan Anda tanpa melihat itu sebagai Anda atau pengingkaran tidaklah melelahkan dan menyakitkan; tetapi di dalam upaya mencari hasil, tujuan yang ingin dicapai, konflik meningkat dan mulailah kelelahan pergulatan. 18 Juni Sadar Tanpa Memilih Biarlah Suatu Pikiran Berkembang Keadaan-sadar adalah keadaan batin yang menerima segala-galanya—burung gagak yang terbang melintas di langit, bunga-bunga mekar pada pohonnya, orang-orang yang duduk di depan, warna-warni pakaian yang mereka kenakan—sadar secara luas, yang membutuhkan memandang, mengamati, menyadari bentuk dedaunan, bentuk batang, bentuk kepala seseorang, apa yang dilakukannya. Sadar secara luas, dan dari situ bertindak—artinya sadar akan keseluruhan keberadaan kita. Sekadar memiliki kemampuan yang sebagian, suatu pecahan kemampuan atau kemampuan terpecah, dan mengejar kemampuan itu dan memperoleh pengalaman dari kemampuan itu yang terbatas—itulah yang membuat kualitas batin remeh, terbatas dan sempit. Tetapi kesadaran akan keseluruhan keberadaan kita, yang dipahami melalui kesadaran akan setiap pikiran dan setiap perasaan, dan tak pernah membatasinya, membiarkan setiap pikiran dan setiap perasaan mekar, dan dengan demikian sadar—itu sama sekali lain dari tindakan atau konsentrasi yang sekadar kemampuan dan oleh karena itu terbatas. Untuk membiarkan suatu pikiran mekar atau suatu perasaan mekar, dibutuhkan perhatian—bukan konsentrasi. Yang saya maksud dengan mekarnya suatu pikiran adalah memberinya kebebasan untuk melihat apa yang terjadi, apa yang berlangsung dalam pikiran Anda, dalam perasaan Anda. Sesuatu yang mekar harus memiliki kebebasan, memiliki cahaya; ia tidak bisa dibatasi. Anda tidak dapat memberikan suatu nilai terhadapnya, Anda tidak dapat berkata, ”Ini benar, itu salah; ini harus, itu tidak boleh”—dengan demikian Anda membatasi mekarnya pikiran. Dan ia hanya dapat mekar di dalam keadaan-sadar ini. Oleh karena itu, jika Anda menyelami hal ini sangat dalam, Anda akan menemukan bahwa mekarnya pikiran ini adalah berakhirnya pikiran. 19 Juni Sadar Tanpa Memilih Keadaan-sadar Pasif Di dalam keadaan-sadar tidak terdapat proses ’menjadi’, tidak ada tujuan yang hendak dicapai. Yang ada adalah pengamatan yang diam tanpa memilih dan tanpa menyalahkan, yang dari situ datang pemahaman. Di dalam proses ini, ketika pikiran dan perasaan mengungkapkan dirinya, yang hanya bisa terjadi bila tidak terdapat pemilikan maupun penerimaan, maka muncullah keadaan-sadar yang meluas, semua lapisan yang tersembunyi beserta maknanya terungkap. Keadaan-sadar ini mengungkapkan kekosongan kreatif yang tak dapat dibayangkan atau dirumuskan. Keadaan-sadar yang meluas dan kekosongan kreatif ini adalah proses menyeluruh dan bukan tahap-tahap yang berbeda. Bila Anda mengamati dengan diam suatu problem tanpa menyalahkan, tanpa membenarkan, muncullah keadaan-sadar pasif. Di dalam keadaan-sadar pasif ini, problem itu dipahami dan terurai. Di dalam keadaan-sadar terdapat kepekaan yang lebih tinggi, yang di situ terdapat bentuk tertinggi dari berpikir negatif. Bila pikiran merumuskan, menghasilkan, tidak mungkin ada penciptaan. Hanya bila batin hening dan kosong, bila ia tidak menciptakan suatu problem—di dalam kepasifan yang waspada itu terdapat penciptaan. Penciptaan hanya dapat terjadi di dalam negasi, yang bukan lawan dari yang positif. Tidak berada bukanlah lawan dari berada. Suatu masalah muncul hanya apabila terdapat pencarian hasil. Bila pencarian hasil berakhir, barulah di situ tidak ada lagi masalah. 20 Juni Sadar Tanpa Memilih Apa yang Dipahami Sepenuhnya Tidak Akan Terulang Kembali Di dalam sadar-diri tidak diperlukan pengakuan, oleh karena sadar-diri menciptakan cermin yang di situ segala sesuatu terpantul tanpa distorsi. Setiap pikiran-perasaan seolah-olah terhampar di layar keadaan-sadar sehingga dapat diamati, dipelajari dan dipahami; tetapi aliran pemahaman ini tersumbat bila ada pengutukan atau penerimaan, penghakiman atau pengidentifikasian. Semakin banyak layar itu ditonton dan dipahami—bukan sebagai kewajiban atau praktek yang dipaksakan, melainkan oleh karena kepedihan dan kesedihan telah menciptakan minat tak terpuaskan yang membawa disiplinnya sendiri—semakin besar intensitas dari keadaan-sadar, dan pada gilirannya ini menghasilkan pemahaman yang meningkat. ... Anda dapat mengikuti sesuatu jika ia bergerak perlahan-lahan; sebuah mesin yang cepat harus diperlambat jika kita ingin mempelajari gerakan-gerakannya. Demikian pula, pikiran-perasaan dapat dipelajari dan dipahami hanya jika batin ini mampu bergerak perlahan-lahan; tetapi sekali kemampuan ini telah terbangun, ia dapat bergerak dengan kecepatan tinggi, yang membuatnya amat tenang. Ketika berputar dengan kecepatan tinggi, beberapa daun kipas angin tampak sebagai sehelai logam yang pejal. Kesukaran kita ialah membuat batin berputar perlahan-lahan, sehingga masing-masing pikiran-perasaan dapat diikuti dan dipahami. Apa yang dipahami secara mendalam dan menyeluruh tidak akan terulang kembali. 21 Juni Kekerasan Kekerasan Apa yang terjadi bila Anda memberikan perhatian sepenuhnya kepada apa yang kita namakan ‘kekerasan’?—kekerasan, bukan hanya yang memisahkan umat manusia, melalui kepercayaan, pengkondisian, dan sebagainya, tetapi juga yang muncul bila kita mencari keamanan pribadi, atau keamanan individual melalui suatu pola masyarakat. Dapatkah Anda memandang kekerasan itu dengan perhatian penuh? Dan bila Anda memandang kekerasan itu dengan perhatian penuh, apa yang terjadi? Bila Anda memberikan perhatian penuh terhadap apa pun—pelajaran sejarah atau matematika, memandang istri Anda atau suami Anda—apa yang terjadi? Saya tidak tahu apakah Anda pernah menyelaminya—mungkin sekali kebanyakan dari kita tidak pernah memberikan perhatian penuh kepada apa pun—tetapi jika Anda lakukan itu, apa yang terjadi? Bapak-Bapak, apakah perhatian itu? Jelas, bila Anda memberikan perhatian penuh terdapat kepedulian, dan Anda tidak peduli bila Anda tidak punya kasih sayang, tidak punya cinta. Dan bila Anda memberikan perhatian yang di situ ada cinta, adakah kekerasan? Mengikutikah Anda? Secara formal saya mengutuk kekerasan, saya melepaskan diri dari itu, saya membenarkannya, saya mengatakan itu wajar. Semua itu bukan perhatian. Tetapi jika saya memberikan perhatian terhadap apa yang saya namakan kekerasan—dan di dalam perhatian terdapat kepedulian, kasih sayang, cinta—di manakah ada ruang bagi kekerasan? 22 Juni Kekerasan Mungkinkah Mengakhiri Kekerasan? Bila Anda berbicara tentang kekerasan, apakah yang Anda maksud dengan itu? Sesungguhnya cukup menarik bila Anda menyelami secara mendalam, untuk menyelidiki apakah manusia yang hidup di dunia ini dapat mengakhiri kekerasan secara total. Mayarakat, komunitas agama, telah mencoba untuk tidak membunuh binatang. Sebagian bahkan berkata, “Jika Anda tidak mau membunuh binatang, lalu bagaimana dengan tumbuhan?” Anda dapat meneruskannya begitu rupa, sampai Anda tidak bisa eksis. Di mana Anda menarik garis? Adakah suatu garis arbitrer, sesuai dengan ideal Anda, dengan gambaran Anda, dengan norma Anda, dengan temperamen Anda, dengan pengkondisian Anda, dan Anda berkata, ”Saya akan berjalan sampai ke situ, tapi tidak lebih jauh”? Adakah perbedaan antara amarah individual, dengan tindakan kekerasan oleh individu, dan kebencian terorganisir dari suatu masyarakat yang memelihara dan membangun suatu tentara untuk menghancurkan masyarakat lain? Di mana, di tingkat mana, bagian kekerasan mana yang Anda bicarakan, ataukah Anda ingin membahas tentang kemungkinan manusia bisa bebas secara total dari kekerasan, bukan hanya bagian tertentu yang disebutnya kekerasan? ... Kita tahu apa kekerasan itu tanpa mengutarakannya dengan kata-kata, kalimat, dalam tindakan. Sebagai manusia, yang di situ binatang masih kuat, sekalipun selama berabad-abad telah ada apa yang dinamakan peradaban, di mana saya harus mulai? Apakah saya harus mulai di tepi, yang adalah masyarakat, ataukah saya harus mulai di pusat, yang adalah diri saya sendiri? Anda berkata kepada saya, jangan melakukan kekerasan, karena itu buruk. Anda menjelaskan kepada saya seluruh alasan, dan saya melihat bahwa kekerasan adalah hal yang mengerikan pada manusia, di dalam dan di luar. Mungkinkah mengakhiri kekerasan ini? 23 Juni Kekerasan Sebab Utama Konflik Jangan mengira bahwa hanya dengan mengidamkan perdamaian, Anda akan memperoleh perdamaian, sementara dalam kehidupan sehari-hari Anda dalam berhubungan dengan orang lain Anda penuh kekerasan, serakah, mencari rasa aman psikologis di sini atau sesudah mati. Anda harus memahami sebab utama konflik dan penderitaan, dan kemudian melarutkannya, dan bukan sekadar mencari perdamaian di luar. Tetapi, kebanyakan dari kita malas. Kita terlalu malas untuk memegang diri kita dan memahami diri kita, dan karena malas—yang sesungguhnya suatu bentuk keangkuhan—kita mengira orang lain akan memecahkan masalah ini buat kita dan memberi kita perdamaian, atau bahwa kita harus memusnahkan segelintir orang sebagai penyebab peperangan. Bila si individu mempunyai konflik dalam dirinya sendiri mau tidak mau ia akan menciptakan konflik di luar, dan hanya dia bisa menghasilkan perdamaian dalam dirinya sendiri dan dengan demikian di dalam dunia, oleh karena ia adalah dunia. 24 Juni Kekerasan Sadari Anda Keras Binatang itu keras. Manusia, yang berasal dari binatang, juga keras; sifat dirinya adalah keras, pemarah, pencemburu, iri hati, mengejar kekuasaan, kedudukan, kehormatan dan sebagainya, mendominasi, agresif. Manusia keras—ini diperlihatkan dalam ribuan perang—lalu ia mengembangkan suatu ideologi yang dinamakannya tanpa-kekerasan. ... Dan bila terjadi kekerasan sesungguhnya, seperti perang antara satu negara dengan negara tetangganya, setiap orang terlibat di dalamnya. Mereka menyenanginya. Nah, bila Anda sesungguhnya keras, dan Anda punya cita-cita tanpa-kekerasan, maka Anda punya konflik. Anda selalu mencoba untuk tidak keras—yang adalah bagian dari konflik. Anda mendisiplinkan diri untuk menjadi tidak keras—yang lagi-lagi suatu konflik, suatu gesekan. Jadi, bila Anda keras dan memiliki cita-cita tanpa-kekerasan, pada dasarnya Anda masih keras. Yang pertama-tama harus dilakukan ialah menyadari bahwa Anda keras—bukan mencoba menjadi tanpa-kekerasan. Melihat kekerasan seperti apa adanya, bukan mencoba menerjemahkannya, bukan mendisiplinkannya, bukan mengatasinya, bukan menekannya, melainkan melihatnya seolah-olah seperti Anda melihatnya untuk pertama kali—yang berarti memandangnya tanpa pikiran muncul. Saya telah menjelaskan apa artinya memandang sebatang pohon dengan kepolosan—yang berarti memandangnya tanpa gambaran sebuah pohon. Secara itu pula, Anda harus memandang kekerasan tanpa gambaran yang terkandung dalam kata itu sendiri. Memandangnya tanpa gerak pikiran sedikit pun berarti memandangnya seolah-olah Anda memandangnya untuk pertama kali, dan dengan demikian memandangnya dengan kepolosan. 25 Juni Kekerasan Bebas dari Kekerasan Jadi dapatkah Anda melihat fakta kekerasan—fakta yang bukan hanya di luar Anda tetapi juga di dalam Anda—dan tidak mempunyai selang waktu di antara menyimak dan bertindak? Ini berarti di dalam tindakan menyimak itu sendiri Anda bebas dari kekerasan. Anda bebas sepenuhnya dari kekerasan oleh karena Anda tidak mengizinkan waktu masuk, suatu ideologi yang dengan itu Anda dapat melenyapkan kekerasan. Ini membutuhkan meditasi yang sangat mendalam, bukan sekadar kesepakatan atau ketaksepakatan verbal. Kita tidak pernah menyimak kepada sesuatu; batin kita, sel-sel otak kita begitu terkondisi kepada suatu ideologi tentang kekerasan sehingga kita tidak pernah memandang fakta kekerasan itu sendiri. Kita memandang fakta kekerasan melalui suatu ideologi; dan memandang kekerasan melalui suatu ideologi menciptakan suatu selang waktu. Dan jika Anda mengizinkan waktu masuk, kekerasan tidak akan berakhir; Anda terus memperlihatkan kekerasan, sementara mengkhotbahkan tanpa-kekerasan. 26 Juni Kekerasan Sebab Utama Kekerasan Saya rasa, sebab utama kekerasan adalah karena masing-masing dari kita di dalam batin, secara psikologis, mencari rasa aman. Di dalam masing-masing dari kita, dorongan untuk memperoleh rasa aman psikologis—keadaan batin yang merasa aman—memproyeksikan tuntutan lahiriah bagi rasa aman. Di dalam batin, masing-masing dari kita ingin merasa aman, merasa yakin, merasa pasti. Itulah sebabnya kita memiliki undang-undang perkawinan; itu agar kita bisa memiliki seorang perempuan, atau seorang laki-laki, sehingga merasa aman dalam hubungan kita. Jika hubungan ini diserang, kita menjadi keras, yang adalah tuntutan psikologis, tuntutan batin, untuk merasa pasti dalam hubungan kita dengan segala sesuatu. Tetapi tidak ada barang yang disebut kepastian, keamanan, di dalam hubungan apa pun. Di dalam batin, secara psikologis, kita ingin merasa aman, tetapi tidak ada yang disebut keamanan abadi. ... Jadi, semua ini adalah sebab-sebab yang menyumbang kepada kekerasan yang ada di mana-mana, merajalela, di seluruh dunia. Saya rasa siapa pun yang pernah mengamati, bahkan hanya sekelumit, apa yang tengah terjadi di dunia, dan terutama di negeri yang malang ini [India], dapat juga, tanpa penyelidikan intelektual yang mendalam, mengamati dan menemukan dalam dirinya hal-hal yang, dengan diproyeksikan keluar, menjadi penyebab dari kebrutalannya, sikapnya yang berhati batu, tak acuh, dan kekerasannya yang luar biasa. 27 Juni Kekerasan Faktanya Adalah Kita Ini Keras Kita semua melihat pentingnya mengakhiri kekerasan. Dan bagaimana saya bisa—sebagai individu—bebas dari kekerasan, bukan hanya secara dangkal, melainkan secara total, menyeluruh, di dalam batin? Jika cita-cita ketidakkerasan tidak dapat membebaskan batin dari kekerasan, lalu apakah analisis tentang sebab musabab kekerasan dapat membantu melenyapkan kekerasan? Bagaimana pun juga, ini adalah salah satu masalah utama kita, bukan? Seluruh dunia terperosok dalam kekerasan, dalam perang; malah struktur masyarakat kita yang bersifat mengambil untuk diri sendiri pada dasarnya adalah keras. Dan jika Anda dan saya ingin bebas dari kekerasan—bebas secara total, secara batiniah, bukan sekadar secara dangkal, secara lisan—lalu bagaimana kita harus menggarapnya tanpa berpusat pada diri sendiri? Anda memahami masalahnya, bukan? Jika minat saya adalah untuk membebaskan batin dari kekerasan, dan saya mempraktekkan suatu disiplin untuk mengendalikan kekerasan dan mengubahnya menjadi ketidakkerasan, jelas itu menghasilkan pikiran dan kegiatan yang berpusat pada diri sendiri, oleh karena batin saya sepanjang waktu terfokus untuk melenyapkan yang satu dan memperoleh yang lain. Namun saya melihat pentingnya batin untuk bebas secara total dari kekerasan. Jadi apa yang harus saya lakukan? Jelas ini bukan pertanyaan bagaimana agar kita bisa tidak keras. Faktanya adalah kita ini keras, dan bertanya ”Bagaimana saya bisa tidak keras?” hanya menciptakan suatu cita-cita, yang menurut saya sama sekali sia-sia. Tetapi jika kita mampu memandang kekerasan dan memahaminya, maka ada kemungkinan untuk memecahkannya secara total. 28 Juni Kekerasan Memusnahkan Kebencian Kita melihat dunia kebencian tengah panen pada saat ini. Dunia kebencian telah diciptakan oleh orang tua kita, oleh leluhur kita, dan oleh kita. Demikianlah, ketidaktahuan dapat ditelusuri ke masa lampau yang tak terbatas. Ia tidak muncul begitu saja. Itu adalah hasil dari ketidaktahuan manusia, suatu proses sejarah, bukan? Kita sebagai individu telah bekerja sama dengan leluhur kita, yang bersama leluhur mereka menggerakkan proses kebencian, ketakutan, keserakahan, dan sebagainya. Sekarang, sebagai individu, kita berperan dalam dunia kebencian ini selama kita, secara individual, menyenanginya. Maka, dunia adalah perluasan dari diri Anda. Jika Anda sebagai individu ingin memusnahkan kebencian, maka Anda sebagai individu harus berhenti membenci. Untuk memusnahkan kebencian, Anda harus menjauhkan diri dari kebencian dalam segala bentuknya yang kasar dan halus, dan selama Anda terseret di dalamnya, Anda bagian dari dunia ketidaktahuan dan ketakutan itu. Maka dunia adalah perluasan dari diri Anda, diri Anda yang dicetak ulang dan dilipatgandakan. Dunia ini tidak ada terlepas dari individu. Ia mungkin ada sebagai gagasan, sebagai keadaan, sebagai organisasi sosial; tetapi untuk menjalankan gagasan itu, untuk membuat organisasi sosial atau keagamaan itu berfungsi, harus ada individu. Ketidaktahuannya, keserakahannya, ketakutannya mempertahankan struktur ketidaktahuan, keserakahan dan kebencian. Jika si individu berubah, daspatkah ia mempengaruhi dunia, dunia kebencian, keserakahan dan seterusnya? ... Dunia adalah perluasan dari diri Anda selama Anda tidak berpikir, terseret dalam ketidaktahuan, kebencian, keserakahan; tetapi jika Anda bersungguh-sungguh, banyak berpikir, dan sadar, Anda bukan saja menjauhkan diri dari sebab-sebab buruk yang menciptakan kesakitan dan kesedihan, tetapi juga di dalam pemahaman itu terdapat kelengkapan, keutuhan. 29 Juni Kekerasan Anda Menjadi Apa yang Anda Lawan Sesungguhnya Anda menjadi apa yang Anda lawan ... Jika saya marah dan Anda menghadapi saya dengan kemarahan apa akibatnya? Lebih banyak kemarahan. Anda menjadi seperti saya. Jika saya jahat dan Anda melawan saya dengan cara-cara yang jahat pula, maka Anda pun menjadi jahat, betapa pun Anda merasa benar. Jika saya brutal dan Anda menggunakan cara-cara brutal untuk mengalahkan saya, maka Anda menjadi brutal seperti saya. Dan ini sudah kita lakukan selama ribuan tahun. Tentunya ada pendekatan lain selain menghadapi kebencian dengan kebencian? Jika saya menggunakan cara-cara keras untuk melenyapkan marah dalam diri saya, maka saya menggunakan cara salah untuk tujuan benar, dengan demikian tujuan benar itu berakhir. Di sini tidak ada pemahaman, orang tidak mengatasi marah. Marah perlu dikaji dengan toleran dan dipahami; ia bukan dikalahkan dengan cara-cara keras. Marah mungkin disebabkan oleh banyak hal, dan tanpa memahaminya tidak ada pembebasan dari marah. Kita telah menciptakan musuh, penjahat, dan kalau kita sendiri menjadi musuh, itu sama sekali tidak akan mengakhiri permusuhan. Kita harus memahami sebab-sebab permusuhan, dan tidak lagi memberinya bahan bakar dengan pikiran, perasaan dan tindakan kita. Ini pekerjaan sulit, menuntut kesadaran-diri dan kelenturan cerdas terus-menerus, oleh karena sesuai dengan kita, begitu pula masyarakat atau negara. Lawan atau kawan adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita sendiri. Kita bertanggung jawab menciptakan permusuhan, dengan demikian lebih penting menyadari pikiran dan tindakan kita sendiri daripada memikirkan lawan atau kawan, oleh karena pikiran yang benar mengakhiri pembagian. Cinta mengatasi kawan dan lawan. 30 Juni JULI • Kebahagiaan • Duka Nestapa • Rasa Terluka • Kesedihan Kebahagiaan Kebahagiaan vs. Pemuasan Apakah yang dicari oleh kebanyakan dari kita? Apakah yang diinginkan oleh masing-masing dari kita? Terutama di dalam dunia yang resah ini, tempat setiap orang mencari sejenis kedamaian, sejenis kebahagiaan, suatu perlindungan, tentulah penting untuk menemukan apa yang kita coba cari, apa yang kita coba temukan, bukan? Mungin kebanyakan dari kita mencoba mencari sejenis kebahagiaan, sejenis kedamaian; di dunia yang penuh dengan gejolak, perang, perselisihan, pergulatan, kita menginginkan perlindungan yang di situ terdapat sekelumit kedamaian. Saya rasa itulah yang diinginkan oleh kebanyakan dari kita. Jadi kita mengejar, pergi dari satu pemimpin kepada pemimpin lain, dari satu organisasi keagamaan ke organisasi keagamaan lain, dari satu guru kepada guru lain. Nah, apakah kita mencari kebahagiaan, ataukah kita mencari sejenis pemuasan yang dari situ kita berharap memperoleh kebahagiaan? Ada perbedaan antara kebahagiaan dan pemuasan. Dapatkah Anda mencari kebahagiaan? Mungkin Anda dapat menemukan pemuasan, tapi Anda tak dapat menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan bersifat derivatif, ia adalah hasil samping dari sesuatu yang lain. Jadi, sebelum kita mengerahkan pikiran dan hati kita untuk sesuatu yang menuntut banyak kesungguhan, perhatian, pikiran, kita harus mengetahui apakah yang kita cari, apakah itu kebahagiaan, atau pemuasan, bukan? 1 Juli Kebahagiaan Kita Perlu Menyelam Dalam untuk Mengetahui Sukacita Sedikit sekali dari kita yang bisa menikmati sesuatu. Kita sedikit sekali bersukacita melihat matahari terbenam, atau bulan purnama, atau seorang yang cantik, atau pohon yang indah, atau seekor burung yang terbang tinggi, atau suatu tarian. Kita tidak sungguh-sungguh menikmati apa pun. Kita memandangnya, kita terhibur atau berminat secara dangkal terhadapnya, kita mengalami suatu perasaan yang kita namakan sukacita. Tetapi penikmatan adalah sesuatu yang jauh lebih dalam, yang perlu dipahami dan diselami. ... Sementara kita bertambah tua, sekalipun kita ingin menikmati berbagai hal, yang terbaik telah hilang dari kita; kita ingin menikmati perasaan-perasaan lain—gairah, nafsu, kekuasaan, kedudukan. Semua itu adalah hal-hal yang normal dalam kehidupan, sekalipun dangkal; itu tidak perlu disalahkan, tidak perlu dibenarkan, melainkan dipahami dan diberi tempat yang wajar. Jika Anda menyalahkannya sebagai hal yang tak berguna, sebagai sensasional, bodoh, dan tidak spiritual, Anda menghancurkan seluruh proses kehidupan. .... Untuk mengetahui sukacita, kita harus menyelam jauh lebih dalam. Sukacita bukan sekadar perasaan. Ia menuntut penghalusan batin yang luar biasa, tetapi bukan penghalusan sang ’aku’ yang terus-menerus menimbun bagi dirinya. Sang ’aku’ seperti itu, orang seperti itu, tidak pernah dapat memahami keadaan sukacita yang di situ dia yang menikmati tidak ada. Kita perlu memahami hal yang luar biasa ini; kalau tidak, hidup menjadi sangat kerdil, remeh, dangkal—lahir, belajar sedikit, menderita, punya anak, memiliki tanggung jawab, mencari nafkah, menikmati hiburan intelektual sedikit, lalu mati. 2 Juli Kebahagiaan Kebahagiaan Tidak Bisa Dikejar Apa yang Anda maksud dengan kebahagiaan? Sementara orang berkata, kebahagiaan adalah memperoleh apa yang Anda inginkan. Anda menginginkan sebuah mobil, Anda memperolehnya, dan Anda berbahagia. Saya menginginkan sebuah pakaian, saya ingin pergi ke Eropa, dan jika saya bisa, saya berbahagia. Saya ingin menjadi politisi terbesar, dan jika saya bisa, saya berbahagia; jika saya tidak bisa mencapainya, saya tidak berbahagia. Jadi, yang Anda namakan kebahagiaan adalah memperoleh apa yang Anda inginkan, pencapaian atau kesuksesan, menjadi mulia, memperoleh apa pun yang Anda inginkan. Selama Anda menginginkan sesuatu dan Anda bisa memperolehnya, Anda merasa berbahagia sempurna; Anda tidak mengalami frustrasi, tetapi jika Anda tidak memperoleh apa yang Anda inginkan, mulailah ketidakbahagiaan. Kita semua memikirkan hal ini, bukan hanya si kaya dan si miskin. Si kaya dan si miskin semuanya ingin memperoleh sesuatu bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat; dan jika mereka terhalang, terhenti, mereka akan tidak berbahagia. Kita tidak membicarakan, kita tidak mengatakan bahwa si miskin tidak boleh memperoleh apa yang mereka inginkan. Itu bukan masalahnya. Kita mencoba menemukan apa itu kebahagiaan, dan apakah kebahagiaan itu sesuatu yang Anda sadari. Pada saat Anda sadar bahwa Anda berbahagia, bahwa Anda memiliki banyak, apakah itu kebahagiaan? Pada saat Anda sadar bahwa Anda berbahagia, itu bukan kebahagiaan, bukan? Jadi, Anda tidak bisa mencari kebahagiaan. Pada saat Anda sadar bahwa Anda rendah hati, Anda tidak rendah hati lagi. Jadi, kebahagiaan bukan sesuatu untuk dikejar; ia muncul sendiri. Tetapi jika Anda mencarinya, ia akan menjauhi Anda. 3 Juli Kebahagiaan Kebahagiaan Bukan Perasaan Pikiran tidak pernah menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan bukan sesuatu untuk dikejar dan ditemukan, seperti perasaan. Perasaan dapat diperoleh berkali-kali, karena setiap kali perasaan selalu lenyap; tetapi kebahagiaan tidak bisa ditemukan. Ingatan akan kebahagiaan hanyalah perasaan, suatu reaksi yang memihak atau menentang saat kini. Yang sudah lenyap bukanlah kebahagiaan; pengalaman akan kebahagiaan yang sudah lenyap adalah perasaan, oleh karena ingatan adalah masa lampau, dan masa lampau adalah perasaan. Kebahagiaan bukan perasaan. ... Apa yang Anda ketahui adalah masa lampau, bukan saat kini; dan masa lampau adalah perasaan, reaksi, ingatan. Anda ingat dulu Anda berbahagia; dan dapatkah masa lampau menguraikan apa kebahagiaan itu? Ia bisa mengingat-ingat, tapi ia tidak bisa menghadirkan. Pengenalan bukanlah kebahagiaan; tahu apa artinya berbahagia bukanlah kebahagiaan. Pengenalan adalah respons ingatan; dan dapatkah batin, timbunan rumit dari ingatan, pengalaman, pernah berbahagia? Pengenalan itu sendiri menghalangi proses mengalami. Jika Anda sadar Anda berbahagia, adakah kebahagiaan? Jika terdapat kebahagiaan, apakah Anda sadar akan itu? Kesadaran hanya muncul bersama konflik, konflik ingatan akan hal yang lebih banyak. Kebahagiaan bukanlah ingatan akan hal yang lebih banyak. Bila terdapat konflik, tidak ada kebahagiaan. Konflik ada di pikiran. Pikiran pada tingkat apa pun adalah respons dari ingatan; dengan demikian pikiran mau tidak mau menghasilkan konflik. Pikiran adalah perasaan, dan perasaan bukanlah kebahagiaan. Perasaan terus-menerus mencari pemuasan. Tujuannya adalah perasaan, tetapi kebahagiaan bukanlah tujuan; ia tidak bisa dicari. 4 Juli Kebahagiaan Dapatkah Kebahagiaan Diperoleh Melalui Apa pun? Kita mencari kebahagiaan melalui benda-benda, melalui hubungan, melalui pikiran, gagasan-gagasan. Jadi benda-benda, hubungan dan gagasan-gagasan itu menjadi mahapenting, bukan kebahagiaan. Bila kita mencari kebahagiaan melalui sesuatu, maka sesuatu itu menjadi lebih bernilai daripada kebahagiaan itu sendiri. Bila dirumuskan seperti ini, masalahnya terdengar sederhana, dan memang sederhana. Kita mencari kebahagiaan di dalam harta benda, di dalam keluarga, di dalam ketenaran; maka harta benda, keluarga, gagasan menjadi mahapenting, oleh karena dengan begitu kebahagiaan dicari melalui suatu cara, lalu cara itu menghancurkan tujuan. Dapatkah kebahagiaan ditemukan melalui cara apa pun, melalui apa pun yang dibuat oleh tangan atau oleh pikiran? Benda, hubungan dan gagasan jelas sekali tidak kekal, kita terus-menerus dibuat tidak bahagia olehnya. ... Benda-benda tidak kekal, mereka aus dan lenyap; hubungan merupakan pergesekan terus-menerus dan kematian menunggu; gagasan dan kepercayaan tidak mempunyai kemantapan atau keabadian. Kita mencari kebahagiaan di dalam hal-hal itu, namun tidak menyadari ketidakkekalannya. Maka kesedihan menjadi teman kita terus-menerus, dan mengatasinya menjadi masalah kita. Untuk menemukan makna sejati dari kebahagiaan, kita harus menyelidiki sungai pengetahuan-diri. Pengetahuan-diri bukan tujuannya sendiri. Adakah sumber dari sebuah sungai? Setiap tetes air dari awal sampai akhir membentuk sungai itu. Membayangkan bahwa kita akan menemukan kebahagiaan pada sumbernya adalah keliru. Ia akan ditemukan ketika Anda berada di dalam sungai pengetahuan-diri. 5 Juli Kebahagiaan Kebahagiaan yang Bukan dari Pikiran Kita mungkin bergerak dari satu penghalusan kepada penghalusan lain, dari satu kedalaman kepada kedalaman lain, dari satu penikmatan kepada penikmatan lain; tetapi di pusat semua itu, terdapat sang ‘aku’—sang ‘aku’ yang menikmati, yang menginginkan lebih banyak kebahagiaan, sang ‘aku’ yang menjelajah, yang mencari, mendambakan kebahagiaan, sang ‘aku’ yang berjuang, sang ‘aku’ yang makin lama makin halus, tetapi tidak pernah mau berakhir. Hanya apabila sang ‘aku’ dalam segala bentuknya yang halus berakhir, maka terdapat keadaan nikmat yang tidak bisa dicari, suatu ekstase, suatu sukacita sejati tanpa kesakitan, tanpa perusakan. Bila batin mengatasi pikiran tentang sang ‘aku’, tentang dia yang mengalami, si pengamat, si pemikir, terdapat kemungkinan akan munculnya suatu kebahagiaan yang tidak pernah rusak. Kebahagiaan seperti itu tidak mungkin permanen, dalam arti yang biasa dikenakan terhadap kata itu. Tetapi batin kita mencari kebahagiaan yang kekal, sesuatu yang akan berlangsung terus, yang akan berlanjut. Keinginan akan kelangsungan itu sendiri adalah perusakan. ... Jika kita bisa memahami proses kehidupan tanpa menyalahkan, tanpa berkata itu benar atau salah, maka saya rasa, ada suatu kebahagiaan kreatif yang bukan ‘milikmu’ atau ‘milikku’. Kebahagiaan kreatif itu seperti sinar matahari. Jika Anda ingin memiliki sinar matahari untuk diri Anda sendiri, itu bukan lagi matahari yang cerah, hangat, dan memberi hidup. Demikian pula, jika Anda menginginkan kebahagiaan oleh karena Anda menderita, atau oleh karena Anda kehilangan seseorang, atau oleh karena Anda tidak sukses, maka itu sekadar suatu reaksi. Tetapi jika batin bisa mengatasi hal-hal itu, maka terdapat kebahagiaan yang bukan dari pikiran. 6 Juli Duka Nestapa Memahami Penderitaan Mengapa kita bertanya, ”apa kebahagiaan itu”? Apakah itu pendekatan yang tepat? Apakah itu penelusuran yang tepat? Kita tidak bahagia. Jika kita bahagia, dunia kita akan lain sama sekali; peradaban kita, budaya kita akan lain secara radikal, seluruhnya. Kita adalah manusia yang tidak bahagia, remeh, sengsara, bergulat, angkuh, mengelilingi diri kita dengan berbagai hal yang tak berharga, sia-sia, merasa puas dengan ambisi remeh, dengan uang, dan kedudukan. Kita adalah makhluk yang tidak bahagia, sekalipun kita mempunyai pengetahuan, sekalipun kita mungkin mempunyai uang, rumah mewah, banyak anak, mobil, pengalaman. Kita adalah manusia yang tidak bahagia, menderita, dan oleh karena kita menderita, kita menginginkan kebahagiaan, lalu kita dibelokkan oleh orang-orang yang menjanjikan kebahagiaan ini—sosial, ekonomis, spiritual. ... Apa gunanya saya bertanya, adakah kebahagiaan, bila saya menderita? Dapatkah saya memahami penderitaan? Itulah problem saya, bukan bagaimana menjadi bahagia. Saya bahagia bila saya tidak menderita, tetapi pada saat saya menyadarinya, itu bukan kebahagiaan lagi. ... Jadi saya harus memahami apa itu penderitaan. Dapatkah saya memahami apa penderitaan itu bila sebagian dari batin saya lari mengejar kebahagiaan, mencari jalan keluar dari kesengsaraan ini? Jadi, jika saya ingin memahami penderitaan, bukankah saya harus menyatu sepenuhnya dengan itu, bukan menolaknya, bukan membenarkannya, bukan membandingkannya, melainkan sepenuhnya berada bersamanya dan memahaminya? Kebenaran dari apakah kebahagiaan itu akan muncul jika saya tahu bagaimana menyimak. Saya perlu tahu bagaimana menyimak terhadap penderitaan; jika saya mampu menyimak terhadap penderitaan, saya dapat menyimak terhadap kebahagiaan, oleh karena itu adalah saya. 7 Juli Duka Nestapa Penderitaan Adalah Penderitaan, Bukan Milik Anda atau Milik Saya Apakah penderitaan Anda sebagai individu berbeda dari penderitaan saya, atau dari penderitaan orang di Asia, di Amerika, atau di Rusia? Seluk-beluknya, peristiwanya mungkin bervariasi, tetapi pada hakekatnya penderitaan orang lain sama dengan penderitaan saya atau penderitaan Anda, bukan? Penderitaan adalah penderitaan—bukan milik Anda atau milik saya. Kenikmatan bukanlah kenikmatan Anda, atau kenikmatan saya—itu kenikmatan. Bila Anda lapar, itu bukan hanya lapar Anda, itu laparnya seluruh Asia juga. Bila Anda didorong oleh ambisi, bila Anda tak kenal kasihan, itu sikap tak kenal kasihan yang sama yang mendorong para politisi, orang-orang yang berkuasa, baik ia berada di Asia, di Amerika, atau di Rusia. Nah, itulah yang tidak bisa kita terima. Kita tidak melihat bahwa kita semua adalah satu kemanusiaan, terperangkap dalam lingkup kehidupan yang berbeda-beda, di wilayah yang berbeda-beda. Bila Anda mencintai seseorang, itu bukan cinta Anda. Jika ya, ia menjadi tiranis, posesif, cemburu, cemas, brutal. Begitu pula, penderitaan adalah penderitaan; itu bukan milik Anda atau milik saya. Saya tidak membuatnya menjadi impersonal, saya tidak membuatnya menjadi abstrak. Bila kita menderita, kita menderita. Bila orang tidak punya makanan, tidak punya pakaian, tidak punya rumah, ia menderita, baik ia hidup di Asia, atau di Barat. Orang-orang yang sekarang dibantai atau terluka—orang Vietnam, orang Amerika—menderita. Untuk memahami penderitaan ini—yang bukan milik Anda atau milik saya, yang bukan impersonal maupun abstrak, melainkan aktual dan kita semua miliki—membutuhkan penembusan, pencerahan yang mendalam. Dan pengakhiran dari penderitaan ini dengan sendirinya akan membawa kedamaian, bukan hanya di dalam, melainkan juga di luar. 8 Juli Duka Nestapa Pahamilah Penderitaan Mengapa saya atau Anda dingin saja terhadap penderitaan orang lain? Mengapa kita tak acuh terhadap kuli yang memikul beban berat, terhadap perempuan yang menggendong bayinya? Mengapa perasaan kita begitu tumpul? Untuk memahami itu, kita perlu memahami mengapa penderitaan membuat kita tumpul. Sesungguhnya, penderitaanlah yang membuat kita tumpul; oleh karena kita tidak memahami penderitaan, maka kita tak acuh terhadapnya. Jika saya memahami penderitaan, maka saya menjadi peka terhadap penderitaan, bangun terhadap segala sesuatu, bukan hanya terhadap diri saya sendiri, tetapi juga terhadap orang-orang di sekitar saya, terhadap istri saya, terhadap anak-anak saya, terhadap seekor binatang, terhadap seorang pengemis. Tetapi kita tidak mau memahami penderitaan, dan pelarian dari penderitaan membuat kita tumpul, dan dengan demikian kita dingin. Pak, pokoknya ialah bahwa penderitaan, bila tidak dipahami, menumpulkan hati dan pikiran; dan kita tidak memahami penderitaan oleh karena kita ingin lari darinya, melalui seorang guru, melalui seorang juruselamat, melalui doa-doa, melalui reinkarnasi, melalui gagasan-gagasan, melalui minuman dan segala macam kecanduan lain—apa saja untuk lari dari apa yang ada. Nah, memahami penderitaan bukan terletak dalam menemukan apa penyebabnya. Setiap orang dapat mengetahui penyebab penderitaan: kurang berpikir panjang, kecerobohan, kesempitan pandangan, kebrutalan, dan sebagainya. Tetapi jika saya memandang penderitaan itu sendiri, tanpa menginginkan suatu jawaban, lalu apa yang terjadi? Lalu, karena saya tidak melarikan diri, saya mulai memahami penderitaan; batin saya waspada mengamati, tajam, yang berarti saya menjadi peka; dan oleh karena peka, saya menyadari penderitaan orang lain. 9 Juli Duka Nestapa Menganut Kepercayaan untuk Mengenyahkan Kesakitan Kesakitan badan adalah tanggapan saraf, tetapi kesakitan psikologis muncul bila saya berpegang teguh pada hal-hal yang memberi saya kepuasan, karena lalu saya takut akan orang atau apa pun yang mungkin merenggut hal-hal itu dari saya. Penimbunan psikologis menghalangi kesakitan psikologis selama tidak terganggu; jadi, saya adalah seonggok timbunan pengalaman, yang mencegah gangguan serius apa pun—dan saya tidak mau terganggu. Dengan demikian, saya takut akan orang yang mengganggunya. Jadi, ketakutan saya berasal dari apa yang diketahui; saya takut berkaitan dengan timbunan itu, baik lahiriah maupun psikologis, yang telah saya kumpulkan sebagai cara untuk mengenyahkan kesakitan atau mencegah kesedihan. Tetapi kesedihan itu ada di dalam proses penimbunan untuk mengenyahkan kesakitan psikologis itu sendiri. Pengetahuan juga membantu mencegah kesakitan. Seperti pengetahuan medis membantu mencegah kesakitan badan, begitu pula kepercayaan membantu mencegah kesakitan psikologis, dan itu sebabnya mengapa saya takut kehilangan kepercayaan saya, sekalipun saya tidak tahu betul atau tidak punya bukti konkrit tentang realitas kepercayaan saya itu. Saya mungkin menolak beberapa kepercayaan tradisional yang telah dicekokkan kepada saya oleh karena pengalaman saya sendiri memberi saya kekuatan, keyakinan, pemahaman; tetapi kepercayaan seperti itu dan pengetahuan yang saya peroleh pada dasarnya sama saja—suatu cara untuk mengenyahkan kesakitan. 10 Juli Duka Nestapa Pemahaman Integral Apa yang kita maksud dengan ’kesedihan’? Apakah itu sesuatu yang terpisah dari Anda? Apakah itu sesuatu yang berlangsung di luar Anda, secara lahiriah maupun batiniah, yang Anda amati, yang Anda alami? Apakah Anda sekadar si pengamat yang mengalami? Atau apakah itu sesuatu yang lain? Jelas ini pokok yang penting, bukan? Bila saya berkata, ”Saya menderita,” apa maksud saya? Apakah saya berbeda dari penderitaan itu? Jelas itu masalahnya, bukan? Marilah kita selidiki. Ada duka nestapa—saya tidak dicintai, anak saya meninggal, entah apa lagi. Ada satu bagian dari diri saya yang menuntut mengapa begitu, menuntut penjelasan, alasannya, sebab-musababnya. Bagian diri saya yang lain menderita kepedihan karena berbagai sebab. Lalu ada bagian lain dari diri saya yang ingin bebas dari duka nestapa, yang ingin mengatasinya. Kita adalah semua itu, bukan? Jadi, jika satu bagian diri saya menolak, melawan kesedihan, bagian diri saya yang lain mencari penjelasan, terperangkap dalam teori-teori, dan bagian lain lagi diri saya melarikan diri dari faktanya—bagaimana saya bisa memahaminya secara total? Hanya apabila saya mampu memahami secara integral, terdapat kemungkinan pembebasan dari kesedihan. Tetapi jika saya tercabik-cabik ke segala arah, maka saya tidak melihat kebenarannya. ... Nah, harap simak berhati-hati; dan Anda akan melihat, bila ada suatu fakta, suatu kebenaran, itu hanya bisa dipahami hanya bila saya dapat mengalaminya seutuhnya tanpa terpecah-belah—bukan bila ada pemisahan dari sang ’aku’ yang mengamati penderitaan. Itulah kebenarannya. 11 Juli Duka Nestapa Andalah Penderitaan Itu Bila tidak ada si pengamat yang tengah menderita, apakah penderitaan itu berbeda dari Anda? Andalah penderitaan itu, bukan? Anda tidak terpisah dari kesakitan—Andalah kesakitan itu. Apa yang terjadi? Tidak ada penamaan, tidak ada pemberian nama dan dengan demikian sikap mengesampingkan—Adalah kesakitan itu, perasaan itu, rasa kepedihan itu. Bila Andalah itu, apa yang terjadi? Bila Anda tidak memberinya nama, bila tidak ada ketakutan berkaitan dengan itu, apakah si pusat berhubungan dengan itu? Bila si pusat berhubungan dengan itu, maka ia takut akan itu. Maka ia harus bertindak dan berbuat sesuatu terhadapnya. Tetapi jika si pusat adalah itu, apakah yang Anda perbuat? Tidak ada sesuatu yang bisa diperbuat, bukan? Jika Anda adalah itu, dan Anda tidak menerimanya, tidak memberinya nama, tidak mengesampingkannya—jika Anda adalah itu, apa yang terjadi? Apakah Anda lalu berkata, Anda menderita? Jelas, suatu transformasi fundamental terjadi. Maka tidak ada lagi “Saya menderita,” karena tidak ada lagi pusat yang menderita, dan si pusat menderita oleh karena kita tidak pernah meneliti apa pusat itu. Kita cuma hidup dari kata ke kata, dari reaksi ke reaksi. 12 Juli Duka Nestapa Apakah Penderitaan Perlu? Ada banyak macam, komplikasi dan tingkat penderitaan. Kita semua tahu itu. Anda tahu betul, dan kita membawa beban ini sepanjang hidup, praktis mulai kita lahir sampai kita masuk liang kubur. ... Jika kita bilang itu tidak bisa dihindarkan, maka tidak ada jawaban; jika Anda menerimanya, maka Anda berhenti menyelidikinya; Anda telah menutup pintu terhadap penyelidikan lebih lanjut. Jika Anda lari darinya, Anda juga menutup pintu. Anda mungkin lari kepada lawan jenis Anda, kepada minuman, hiburan, kepada berbagai bentuk kekuasaan, kedudukan, keterkenalan, dan lamunan pikiran yang sia-sia. Lalu pelarian Anda menjadi mahapenting; obyek yang ke situ Anda lari menjadi luar biasa penting. Maka Anda juga menutup pintu terhadap kesedihan, dan itulah yang dilakukan oleh kebanyakan dari kita. ... Nah, dapatkah kita berhenti melarikan diri dalam bentuk apa pun, dan kembali kepada penderitaan? ... Itu berarti tidak mencari solusi bagi penderitaan. Ada penderitaan fisik—sakit gigi, sakit perut, operasi, kecelakaan, berbagai bentuk penderitaan fisik yang masing-masing mempunyai jawabannya. Ada juga kekhawatiran akan kesakitan di masa depan yang akan mengakibatkan penderitaan. Penderitaan berkaitan erat dengan ketakutan, dan tanpa memahami kedua faktor utama dalam kehidupan ini, kita tidak pernah paham apa artinya memiliki welas asih, mencinta. Jadi batin yang ingin memahami apa itu welas asih, cinta dan sebagainya, sesungguhnya haruslah memahami apa itu ketakutan dan apa itu kesedihan. 13 Juli Duka Nestapa Kesedihan yang Disadari dan Tak Disadari Kesedihan adalah ... duka nestapa, ketidakpastian, perasaan kesepian sepenuhnya. Terdapat kesedihan karena kematian, kesedihan karena tidak mampu memenuhi diri, kesedihan karena tidak diakui, kesedihan karena mencinta dan tidak dibalas cintanya. Terdapat berbagai wujud kesedihan tak terhitung banyaknya, dan saya rasa, tanpa memahami kesedihan, tidak mungkin berakhir konflik, kesengsaraan, beban sehari-hari dari perusakan dan kemerosotan. ... Terdapat kesedihan tersadari, dan juga kesedihan tak tersadari, kesedihan yang tampak tanpa dasar, tanpa sebab langsung. Kebanyakan dari kita tahu tentang kesedihan tersadari, dan kita juga tahu bagaimana menggarapnya. Entah kita lari darinya ke dalam kepercayaan religius, atau kita merasionalisasikannya, atau kita makan obat, baik obat intelektual maupun obat sebenarnya; atau kita menghibur diri dengan kata-kata, dengan hiburan, dengan pertunjukan dangkal. Kita semua melakukan ini, namun kita tetap tidak bisa lepas dari kesedihan tersadari. Lalu ada kesedihan tak tersadari, yang kita warisi selama berabad-abad. Manusia selalu berupaya mengalahkan hal yang luar biasa ini, yang disebut kesedihan, duka nestapa, kesengsaraan; tetapi bahkan ketika kita secara dangkal berbahagia dan memiliki segala sesuatu yang kita inginkan, jauh di lubuk bawah-sadar kita masih terdapat akar-akar kesedihan. Jadi, bila kita berbicara tentang mengakhiri kesedihan, yang kita maksudkan adalah mengakhiri semua kesedihan, baik yang tersadari maupun tak tersadari. Untuk mengakhiri kesedihan kita harus memiliki batin yang amat jernih, amat sederhana. Kesederhanaan bukanlah sekadar gagasan. Untuk bisa sederhana dituntut kecerdasan dan kepekaan yang tinggi. 14 Juli Rasa Terluka Perasaan Terluka Bagaimana kita harus bertindak agar tidak menyusahkan orang lain? Itukah yang Anda ingin tahu? Kalau begitu, saya khawatir kita tidak bisa bergerak. Jika Anda hidup secara penuh; tindakan-tindakan Anda mungkin menyusahkan; tetapi mana yang lebih penting: menemukan apa yang benar, atau tidak mengganggu orang lain? Ini tampak begitu sederhana sehingga tidak perlu jawaban sama sekali. Mengapa Anda ingin menghormati perasaan dan sudut pandang orang lain? Apakah Anda takut perasaan Anda sendiri terluka, atau sudut pandang Anda sendiri bergeser? Jika orang lain mempunyai opini berbeda dengan opini Anda, Anda hanya dapat menemukan apakah mereka benar dengan menanyai mereka, dengan kontak secara aktif dengan mereka. Dan jika Anda menemukan bahwa opini dan perasaan itu tidak benar, temuan Anda mungkin menyebabkan gangguan bagi mereka yang melekatinya. Lalu apa yang harus Anda lakukan? Haruskah Anda setuju dengan mereka, atau berkompromi dengan mereka agar tidak melukai hati teman-teman Anda? 15 Juli Rasa Terluka Imaji-diri Membawa Kepedihan Mengapa membagi masalah menjadi besar dan kecil? Bukankah semuanya masalah? Mengapa membuatnya menjadi masalah kecil dan masalah besar, masalah penting dan masalah tidak penting? Jika kita dapat memahami satu masalah, menyelaminya sangat dalam betapa pun remeh atau penting, maka kita akan menguraikan semua masalah. Ini bukan jawaban retoris. Ambillah masalah apa saja: kemarahan, kecemburuan, iri hati, kebencian—kita tahu benar semua itu. Jika anda menyelami kemarahan dengan sangat dalam, bukan sekadar mengesampingkannya, lalu apa yang terlibat di situ? Mengapa kita marah? Karena kita tersinggung, ada orang mengatakan sesuatu yang mencela; dan bila ada orang yang mengatakan sesuatu yang memuji, Anda bersenang hati. Mengapa Anda tersinggung? Rasa penting-diri, bukan? Dan mengapa ada rasa penting-diri? Oleh karena kita punya suatu gagasan, suatu simbol tentang diri kita, suatu imaji tentang diri kita, bagaimana kita seharusnya tampil, apa diri kita dan apa seharusnya tidak kita lakukan. Mengapa kita menciptakan suatu imaji tentang diri kita? Oleh karena kita tidak pernah mempelajari apa diri kita, secara aktual. Kita mengira kita harus begini atau begitu, menjadi idaman, pahlawan, teladan. Yang menimbulkan marah ialah karena idaman kita, gagasan yang kita miliki tentang diri kita, diserang orang. Dan gagasan kita tentang diri kita adalah pelarian kita dari fakta apa adanya diri kita. Tetapi bila Anda mengamati fakta aktual apa adanya diri Anda, tidak ada orang yang bisa membuat Anda tersinggung. Maka, jika kita seorang pembohong dan ada orang berkata kita pembohong, tidak berarti kita tersinggung; itu fakta. Tetapi jika Anda berpura-pura bukan pembohong dan orang berkata Anda pembohong, maka Anda menjadi marah, melawan. Jadi, kita selalu hidup di dunia gagasan, dunia mitos, dan tidak pernah di dunia aktualitas. Untuk mengamati apa adanya, melihatnya, mengakrabinya secara aktual, tidak boleh ada penghakiman, penilaian, opini, ketakutan. 16 Juli Rasa Terluka Kenikmatan yang Menyimpang Ada hal yang disebut ‘sadisme’. Tahukah Anda arti kata itu? Seorang penulis bernama Marquis de Sade pernah menulis sebuah buku tentang seseorang yang suka menyakiti orang lain dan melihat mereka menderita. Dari situlah datang kata ’sadisme’, yang berarti memperoleh kenikmatan dari penderitaan orang lain. Bagi orang-orang tertentu terdapat kepuasan aneh dalam melihat orang lain menderita. Amatilah diri Anda, dan lihatlah apakah Anda memiliki perasaan ini. Perasaan itu mungkin tidak jelas, tetapi jika ada Anda akan melihat bahwa ia menampakkan diri sebagai dorongan untuk tertawa bila orang lain jatuh. Anda ingin mereka yang berada di atas untuk jatuh; Anda mengritik, bergunjing tanpa pikir panjang tentang orang lain, yang semuanya adalah ungkapan ketakpekaan, suatu bentuk keinginan untuk menyakiti orang lain. Orang mungkin melukai orang lain dengan sengaja, dengan dendam, atau orang mungkin melakukannya tanpa sadar dengan sebuah kata, dengan sebuah gerak tubuh, dengan cara memandang; tetapi dalam semuanya itu terdapat dorongan untuk melukai seseorang; dan hanya sedikit sekali orang secara radikal membuang bentuk kenikmatan yang menyimpang ini. 17 Juli Rasa Terluka Pendidikan Sejati Batin mencipta melalui pengalaman, tradisi, ingatan. Dapatkah batin bebas dari penimbunan, sementara ia memperoleh pengalaman? Anda paham perbedaannya? Yang dibutuhkan bukanlah pemupukan ingatan, melainkan kebebasan dari proses akumulasi oleh batin. Anda menyakiti saya, yang adalah suatu pengalaman; dan saya menyimpan kesakitan itu; dan itu menjadi tradisi saya; dan dari tradisi itu saya memandang Anda, saya bereaksi dari tradisi itu. Itu adalah proses sehari-hari batin saya dan batin Anda. Nah, mungkinkah bahwa, sekalipun Anda menyakiti saya, proses akumulatif itu tidak terjadi? Kedua proses itu sama sekali lain. Jika Anda berbicara dengan keras kepada saya, itu menyakiti saya; tetapi jika kesakitan itu tidak dipentingkan, ia tidak menjadi latar belakang yang dari situ saya bertindak; jadi mungkin bagi saya untuk bertemu dengan Anda secara baru. Itulah pendidikan sejati, dalam makna kata itu yang mendalam. Oleh karena, sekalipun saya melihat efek yang mengkondisikan dari pengalaman, batin tidak lagi terkondisi. 18 Juli Rasa Terluka Berakhirnya Marah Saya yakin, kita semua pernah mencoba meredakan marah, tetapi bagaimana pun juga tampaknya hal itu tidak berhasil melarutkannya. Adakah pendekatan lain untuk melenyapkan marah? ... Marah bisa muncul dari sebab fisik maupun sebab psikologis. Mungkin kita marah karena tidak tercapai apa yang kita inginkan, atau karena reaksi defensif kita runtuh, atau rasa aman—yang telah kita bangun secara berhati-hati—terancam, dan sebagainya. Kita semua kenal dengan marah. Bagaimana kita bisa memahami dan melenyapkan marah? Jika Anda beranggapan bahwa kepercayaan, konsep-konsep, dan opini-opini Anda mahapenting, maka Anda tentu akan bereaksi keras bila hal-hal itu dipertanyakan orang. Alih-alih melekat pada kepercayaan dan opini, jika Anda mulai mempertanyakan apakah hal-hal itu penting bagi kita untuk memahami hidup, maka dengan memahami sebab-sebabnya marah akan berakhir. Dengan demikian kita mulai melarutkan perlawanan kita, yang menimbulkan konflik dan kesakitan. Lagi-lagi ini membutuhkan kesungguhan. Kita terbiasa mengendalikan diri demi alasan sosial atau keagamaan atau demi kenyamanan, tetapi untuk membongkar marah sampai ke akarnya dibutuhkan keadaan-sadar mendalam. ... Anda berkata, Anda marah ketika mendengar suatu ketidakadilan. Apakah itu karena Anda mencintai kemanusiaan, karena Anda penuh welas asih? Apakah welas asih dan marah bisa berada bersama-sama? Bisakah ada keadilan bila ada marah dan benci? Anda mungkin marah terhadap pikiran tentang ketidakadilan, kekejaman secara umum, tetapi kemarahan Anda tidak mengubah ketidakadilan atau kekejaman itu; kemarahan Anda hanya bisa merugikan. Untuk menghasilkan ketertiban, Anda sendiri harus berpikir panjang, penuh welas asih. Tindakan yang lahir dari kebencian hanya akan bisa menciptakan kebencian lebih lanjut. Tidak mungkin ada kelurusan bila ada marah. Kelurusan dan marah tidak bisa berada bersama-sama. 19 Juli Rasa Terluka Maaf Bukanlah Welas Asih Sejati Apa artinya penuh welas asih? Silakan temukan sendiri, rasakan, apakah batin yang terluka, yang bisa terluka, akan pernah bisa memaafkan. Pernahkah batin yang bisa terluka bisa memaafkan? Dan apakah batin seperti itu, yang bisa terluka, yang memupuk kebajikan, yang sadar akan kemurahan, bisakah batin seperti itu penuh welas asih? Welas asih, seperti juga cinta, bukanlah berasal dari batin. Batin tidak menyadari dirinya sebagai penuh welas asih, sebagai mencinta. Tetapi pada saat Anda dengan sadar memberi maaf, batin memperkuat pusat dirinya dalam lukanya sendiri. Jadi, batin yang dengan sadar memberi maaf tidak pernah bisa memaafkan; ia tidak tahu artinya maaf; ia memaafkan agar tidak terluka lagi. Jadi, amat penting untuk menemukan mengapa sesungguhnya batin mengingat, menyimpan. Oleh karena batin terus-menerus berupaya membesarkan dirinya, menjadi hebat, menjadi sesuatu yang penting. Bila batin mau untuk tidak menjadi apa-apa, menjadi bukan apa-apa, bukan apa-apa sama sekali, maka dalam keadaan itu terdapat welas asih. Dalam keadaan itu tidak ada pemaafan maupun keadaan terluka; tetapi untuk memahami itu, kita harus memahami pengembangan sadar dari ‘si aku’. ... Jadi, selama ada pemupukan sadar dari suatu pengaruh tertentu, kebajikan tertentu, tidak mungkin ada cinta, tidak mungkin ada welas asih, oleh karena cinta dan welas asih bukanlah hasil dari upaya sadar. 20 Juli Rasa Terluka Bila Ada Kemungkinan Kepedihan, Tidak Ada Cinta Penanya ingin tahu, bagaimana ia bisa bertindak dengan bebas dan tanpa penekanan-diri bila ia tahu tindakannya akan menyakiti orang-orang yang dicintainya. Nah, mencinta berarti bebas—kedua belah pihak bebas. Bila ada kemungkinan kepedihan, bila ada kemungkinan menderita dalam cinta, itu bukan cinta, itu sekadar bentuk halus dari kepemilikan, keinginan memiliki. Jika Anda mencinta, sungguh-sungguh mencintai seseorang, tidak ada kemungkinan menyakitinya bila Anda melakukan sesuatu yang Anda pikir benar. Hanya apabila Anda ingin ia melakukan apa yang Anda inginkan, atau ia ingin Anda melakukan apa yang ia inginkan, di situ ada kepedihan. Artinya, Anda ingin dimiliki; Anda merasa aman, pasti, nyaman; sekalipun Anda tahu kenyamanan itu hanya sementara, Anda berlindung di dalam kenyamanan itu, di dalam kesementaraan itu. Jadi, setiap perjuangan untuk memperoleh kenyamanan, memperoleh dorongan, sesungguhnya memperlihatkan tidak adanya kekayaan batiniah; dan dengan demikian suatu tindakan yang berdiri sendiri, terpisah dari orang lain itu, dengan sendirinya menciptakan gangguan, kepedihan dan penderitaan; dan orang yang satu harus menekan apa yang sungguh-sungguh dirasakannya, agar bisa menyesuaikan diri dengan orang yang lain. Dengan kata lain, penekanan yang terus-menerus ini, yang dihasilkan oleh apa yang disebut cinta, merusak kedua orang itu. Di dalam cinta seperti itu tidak ada kebebasan; itu hanya sekadar keterikatan yang halus. 21 Juli Kesedihan Hakikat perangkap Kesedihan adalah hasil suatu kejutan; itu adalah keterguncangan sementara dari suatu batin yang telah mapan, yang telah menerima rutinitas kehidupan. Terjadi sesuatu—kematian, kehilangan pekerjaan, sanggahan terhadap kepercayaan yang dipegang erat—maka batin terganggu. Tetapi apa yang dilakukan oleh batin yang terganggu? Ia mencari jalan agar tidak terganggu lagi; ia mencari perlindungan di dalam kepercayaan lain, di dalam pekerjaan yang lebih terjamin, di dalam hubungan baru. Lagi-lagi gelombang kehidupan melanda dan memporakporandakan pengaman-pengamannya, tetapi batin mencari lagi pertahanan-pertahanan lebih jauh; begitulah terus-menerus. Itu bukan cara yang cerdas, bukan? Tidak ada bentuk tekanan lahiriah maupun batiniah yang bisa menolong, bukan? Semua tekanan, betapa pun halus, adalah hasil ketidaktahuan; ia lahir dari keinginan untuk memperoleh ganjaran atau ketakutan akan hukuman. Memahami seluruh hakikat perangkap ini berarti bebas darinya; tidak ada orang, sistem atau kepercayaan apa pun yang dapat membebaskan Anda. Kebenaran inilah satu-satunya faktor pembebas—tetapi Anda harus melihatnya sendiri, dan bukan sekadar dibujuk. Anda harus berlayar menempuh lautan tanpa peta. 22 Juli Kesedihan Akhir Kesedihan Jika Anda berjalan sepanjang jalan itu, Anda akan melihat kemegahan alam, keindahan luar biasa dari ladang-ladang hijau dan langit yang terbentang; dan Anda akan mendengar tawa anak-anak. Tetapi sekalipun demikian, ada suatu rasa kesedihan. Ada kesakitan dari perempuan yang melahirkan anak; ada kesedihan dalam kematian; ada kesedihan ketika Anda mengharapkan sesuatu dan itu tidak terjadi; ada kesedihan ketika suatu bangsa runtuh, menjadi pudar; ada kesedihan dari kerusakan, bukan hanya secara kolektif, tetapi juga secara individual. Ada kesedihan di dalam rumah Anda sendiri, jika Anda memandang secara mendalam—kesedihan karena tidak mampu memenuhi, kesedihan dari keremehan dan ketakberdayaan Anda sendiri, dan berbagai kesedihan yang tak disadari. Ada juga tawa dalam kehidupan. Tawa adalah hal yang menyenangkan—tertawa tanpa alasan, bersukacita dalam hati kita tanpa sebab, mencinta tanpa mengharapkan sesuatu sebagai balasan. Tapi tawa seperti itu jarang terjadi pada kita. Kita terbebani kesedihan; kehidupan kita adalah proses kesengsaraan dan pergulatan, disintegrasi terus-menerus, dan kita hampir tidak pernah tahu apa artinya mencinta dengan seluruh diri kita. ... Kita ingin menemukan solusi, suatu cara, suatu metode untuk memecahkan beban kehidupan ini, dan dengan demikian kita tidak pernah secara aktual memandang kesedihan. Kita mencoba melarikan diri melalui mitos-mitos, melalui imaji-imaji, melalui spekulasi; kita berharap menemukan suatu jalan untuk menghindari beban ini, untuk lolos dari gelombang kesedihan. ... Kesedihan mempunyai akhir, tetapi itu bukan terjadi melalui suatu sistem atau metode apa pun. Tidak ada kesedihan, bila ada persepsi akan apa adanya. 23 Juli Kesedihan Menghadapi Kesedihan Bagaimana Anda menghadapi kesedihan? Saya khawatir, kebanyakan dari kita menghadapinya secara dangkal. Pendidikan kita, pelatihan kita, pengetahuan kita, pengaruh-pengaruh masyarakat yang terhadapnya kita terekspos, semuanya membuat kita dangkal. Batin yang dangkal adalah yang melarikan diri ke tempat ibadah, kepada suatu kesimpulan, kepada suatu konsep, kepada suatu kepercayaan atau gagasan. Semua itu merupakan perlindungan bagi batin dangkal yang berada dalam kesedihan. Dan jika Anda tidak dapat menemukan suatu perlindungan, Anda membangun dinding di sekitar diri Anda, lalu menjadi sinis, keras, tak acuh, atau Anda melarikan diri melalui suatu reaksi neurotik yang sekenanya. Semua pertahanan terhadap penderitaan seperti itu menghalangi penyelidikan lebih jauh. ... Silakan amati batin Anda sendiri; amati bagaimana Anda mencari dalih untuk menutupi kesedihan Anda, melupakan diri dalam kerja, dalam gagasan-gagasan, atau melekat pada kepercayaan kepada Tuhan, atau pada kehidupan di masa depan. Dan bila tidak ada penjelasan, tidak ada kepercayaan yang memuaskan, Anda melarikan diri melalui minuman, melalui seks, atau dengan menjadi sinis, keras, pahit, mudah tersinggung. ... Generasi demi generasi hal ini telah diwariskan dari orang tua kepada anak-anak mereka, dan batin yang dangkal tidak pernah mengangkat kain pembalut dari luka itu; ia sesungguhnya tidak tahu, ia sesungguhnya tidak kenal dengan kesedihan. Ia sekadar punya gagasan tentang kesedihan. Ia punya imaji, simbol tentang kesedihan, tetapi ia tidak pernah menghadapi kesedihan—ia hanya menghadapi kata ‘kesedihan’. 24 Juli Kesedihan Menghindari Kesedihan Kebanyakan dari kita mempunyai kesedihan dalam berbagai bentuk—dalam hubungan, dalam kematian seseorang, dalam kegagalan mencapai kepuasan dan kebahagiaan dan layu tak berarti, atau dalam berupaya mencapai sesuatu, mencoba menjadi sesuatu, dan gagal secara total. Lalu ada masalah kesedihan pada segi jasmaniah—kesakitan, kebutaan, ketidakmampuan, kelumpuhan, dan sebagainya. Di mana-mana terdapat hal luar biasa ini yang disebut kesedihan—dan kematian menunggu tak lama lagi. Dan kita tidak tahu bagaimana menghadapi kesedihan; lalu kita memujanya, atau merasionalisasikannya, atau mencoba lari darinya. Datanglah ke setiap Gereja Kristen, dan Anda akan mendapatkan kesedihan dipuja; kesedihan dijadikan sesuatu yang luar biasa, suci, dan dikatakan bahwa hanya melalui kesedihan, melalui Kristus yang disalibkan, Anda dapat menemukan Tuhan. Di Timur, orang punya cara mereka sendiri untuk menghindar, cara-cara lain untuk menghindari kesedihan, dan tampak sungguh luar biasa bahwa ada begitu sedikit orang, baik di Timur maupun di Barat, yang sungguh-sungguh bebas dari kesedihan. Sungguh mengagumkan bila dalam proses Anda menyimak—tanpa emosi, bukan secara sentimental—terhadap apa yang dikatakan ini ... Anda dapat sungguh-sungguh memahami kesedihan dan bebas sama sekali darinya; oleh karena dengan begitu tidak ada lagi pengelabuan-diri, tidak ada ilusi, tidak ada kecemasan, tidak ada ketakutan, dan otak dapat berfungsi dengan jernih, dengan tajam, dengan logis. Dan, mungkin, kita akan tahu apa artinya cinta. 25 Juli Kesedihan Ikuti Gerak Penderitaan Apakah penderitaan itu? ... Apakah artinya? Apakah yang menderita? Bukan mengapa ada penderitaan, bukan apa sebab dari penderitaan, melainkan apa yang sesungguhnya terjadi? Saya tidak tahu apakah Anda melihat bedanya. Maka saya sekadar sadar akan penderitaan, bukan sebagai sesuatu yang terpisah dari saya, bukan sebagai pengamat yang mengamati penderitaan—ia adalah bagian dari saya, artinya, seluruh diri saya adalah penderitaan. Maka saya dapat mengikuti geraknya, melihat ke mana ia membawa. Jelas, bila saya melakukan itu, ia membuka diri, bukan? Lalu saya melihat bahwa saya telah memberi tekanan pada si ‘aku’—bukan kepada orang yang saya cintai. Orang itu hanya berperan menutupi saya dari kesengsaraan saya, dari kesepian saya, dari kemalangan saya. Karena saya bukan apa-apa, saya harap ia penting buat saya. Lalu ia pergi; saya ditinggalkan, bingung, kesepian. Tanpa dia, saya bukan apa-apa. Jadi saya menangis. Bukan karena ia pergi, melainkan karena saya ditinggalkan. Saya sendirian. ... Ada banyak orang yang mau membantu saya melarikan diri—ribuan orang yang katanya religius, dengan kepercayaan dan dogma mereka, harapan dan fantasi mereka—“Itu karma, itu kehendak Allah”—semua memberi saya jalan keluar. Tetapi jika saya dapat tetap berdiam bersama penderitaan itu, dan tidak mengesampingkannya, tidak mencoba mengitarinya atau menyangkalnya, lalu apa yang terjadi? Bagaimanakah keadaan batin saya ketika batin itu mengikuti gerak penderitaan? 26 Juli Kesedihan Pemahaman Spontan Kita tidak pernah berkata, “Coba saya lihat, apa itu yang menderita?” Anda tidak bisa melihat dengan paksaan, dengan disiplin. Anda harus memandang dengan minat, dengan pemahaman spontan. Lalu Anda akan melihat bahwa apa yang kita namakan penderitaan, kepedihan, apa yang kita hindari, dan disiplinnya, semua lenyap. Selama saya tidak berhubungan dengan hal itu sebagai sesuatu di luar diri saya, tidak ada masalah; begitu saya berhubungan dengan hal itu sebagai sesuatu di luar diri saya, ada masalah. Selama saya memperlakukan penderitaan sebagai sesuatu di luar—saya menderita karena saya kematian saudara saya, karena saya tidak punya uang, karena ini-itu—saya membentuk hubungan dengannya, dan hubungan itu fiktif. Tetapi jika saya adalah itu, jika saya melihat fakta itu, maka seluruhnya mengalami transformasi, semuanya mempunyai makna lain. Maka terdapat perhatian penuh, perhatian terpadu, dan apa yang dipandang secara tuntas dipahami dan larut, maka tidak ada ketakutan, dan dengan demikian kata ‘kesedihan’ tidak ada lagi. 27 Juli Kesedihan Pusat Penderitaan Ketika Anda melihat sesuatu yang amat indah, sebuah gunung yang indah, matahari terbenam yang indah, seulas senyum yang menarik, sebuah wajah yang menarik, fakta itu memukau Anda, dan Anda terdiam; pernahkah itu terjadi pada Anda? Lalu Anda peluk dunia ini dalam lengan Anda. Tetapi itu sesuatu dari luar yang datang ke dalam batin Anda, dan saya berbicara tentang batin yang tidak terpukau, melainkan yang ingin memandang, mengamati. Nah, dapatkah Anda mengamati tanpa lonjakan pengkondisian ini? Kepada seseorang yang berada dalam kesedihan, saya menjelaskan dengan kata-kata: kesedihan itu tidak bisa dihindarkan, kesedihan itu hasil dari pemenuhan. Ketika semua penjelasan berhenti sama sekali, hanya di situ Anda dapat memandang—yang berarti Anda tidak memandang dari sebuah pusat. Bila Anda memandang dari sebuah pusat, daya pengamatan Anda terbatas. Jika saya berpegang pada suatu kedudukan dan ingin berada di situ, terdapat ketegangan, kepedihan. Bila saya memandang dari pusat kepada penderitaan, terdapat penderitaan. Ketidakmampuan mengamati itulah yang menciptakan kepedihan. Saya tidak bisa mengamati jika saya berpikir, berfungsi, melihat dari sebuah pusat—seperti ketika saya berkata, “Saya tidak mau pedih, saya harus menemukan mengapa saya menderita, saya harus melarikan diri.” Bila saya mengamati dari sebuah pusat, entah pusat itu suatu konklusi, suatu gagasan, harapan, keputusasaan, atau apa pun, pengamatan seperti itu amat terbatas, amat sempit, amat kecil, dan itu membawa kesedihan. 28 Juli Kesedihan Kemahaluasan Tak Terukur Apakah yang terjadi bila Anda kehilangan seseorang karena kematian? Reaksi yang langsung adalah suatu rasa lumpuh, dan bila Anda keluar dari syok itu, terdapatlah apa yang kita namakan kesedihan. Nah, apakah arti kata ‘kesedihan’ itu? Berada bersama, kata-kata yang membahagiakan, berjalan-jalan bersama, banyak hal menyenangkan yang Anda lakukan dan Anda harapkan akan lakukan bersama—semua itu terenggut dalam sekejap, dan bagi Anda hanya tersisa rasa hampa, telanjang, kesepian. Itulah yang Anda tolak, terhadap itulah batin berontak: tiba-tiba berada sendiri, benar-benar kesepian, kosong, tanpa dukungan apa pun. Nah, yang penting adalah hidup bersama kekosongan itu, sekadar menghayatinya tanpa bereaksi sedikit pun, tanpa merasionalisasikannya, tanpa lari darinya kepada dukun, kepada teori reinkarnasi, dengan segala kebodohan yang tak berarti itu—hidup bersamanya dengan seluruh keberadaan Anda. Dan jika Anda menyelaminya selangkah demi selangkah, Anda akan menemukan ada pengakhiran kesedihan—pengakhiran yang nyata, bukan sekadar pengakhiran dalam kata-kata, bukan pengakhiran dangkal yang diperoleh melalui pelarian diri, melalui pengidentifikasian dengan suatu konsep, atau komitmen kepada suatu gagasan. Maka Anda akan menemukan tidak ada apa-apa lagi yang perlu dilindungi, karena batin sama sekali kosong dan tidak lagi bereaksi dalam arti berupaya mengisi kekosongan itu; dan bila semua kesedihan dengan cara demikian berakhir, Anda mulai melangkah pada suatu perjalanan lain—suatu perjalanan tanpa awal tanpa akhir. Ada suatu kemahaluasan yang tak terukur, tetapi Anda tidak mungkin memasuki alam itu tanpa pengakhiran kesedihan secara total. 29 Juli Kesedihan Hiduplah Bersama Kesedihan Kita semua mempunyai kesedihan. Tidakkah Anda mempunyai kesedihan dalam satu atau lain bentuk? Dan apakah Anda ingin tahu tentang itu? Jika ya, Anda dapat menganalisisnya dan menjelaskan mengapa Anda menderita. Anda dapat membaca buku-buku tentang itu, atau pergi ke tempat ibadah, dan Anda akan segera tahu tentang kesedihan. Tetapi saya tidak bicara tentang itu; saya bicara tentang pengakhiran kesedihan. Pengetahuan tidak mengakhiri kesedihan. Pengakhiran kesedihan mulai dengan menghadapi fakta-fakta psikologis dalam diri kita dan sadar sepenuhnya akan semua implikasi dari fakta-fakta itu dari saat ke saat. Itu berarti tidak pernah melarikan diri dari fakta bahwa kita berada dalam kesedihan, tidak pernah merasionalisasikannya, tidak pernah menawarkan opini tentang itu, melainkan hidup bersama fakta itu sepenuhnya. Begini, hidup bersama keindahan gunung-gunung itu tanpa menjadi terbiasa dengannya adalah sangat sulit. ... Anda telah memandang gunung-gunung itu, mendengar gemericik sungai itu, melihat bayang-bayang menjalar menyusuri lembah itu, hari demi hari; dan tidakkah Anda melihat betapa mudahnya Anda terbiasa dengan semua itu? Anda berkata, “Yah, itu sangat indah,” dan Anda tak terpengaruh. Hidup bersama keindahan, atau hidup bersama sesuatu yang buruk, tanpa menjadi terbiasa padanya menuntut energi luar biasa—suatu keadaan-sadar yang tidak membiarkan batin Anda menjadi tumpul. Dengan cara yang sama, kesedihan menumpulkan batin jika Anda sekadar terbiasa dengan itu—dan memang kebanyakan dari kita menjadi terbiasa. Tetapi Anda tidak perlu menjadi terbiasa dengan kesedihan. Anda dapat hidup bersama kesedihan, memahaminya, menyelaminya—tetapi bukan untuk mengetahui tentangnya. Anda tahu, ada kesedihan; itu suatu fakta, dan tidak ada lagi yang perlu diketahui. Anda harus hidup. 30 Juli Kesedihan Menyatu dengan Kesedihan Kebanyakan dari kita tidak menyatu dengan apa pun. Kita tidak langsung menyatu dengan sahabat-sahabat kita, dengan istri kita,dengan anak-anak kita. ... Jadi, untuk memahami kesedihan, jelas Anda harus mencintainya, bukan? Artinya, Anda harus menyatu langsung dengannya. Jika Anda ingin memahami sesuatu—tetangga Anda, istri Anda, atau hubungan apa pun—jika Anda ingin memahami sesuatu sepenuhnya, Anda harus berada di dekatnya. Anda harus menemuinya tanpa keberatan, prasangka, pengutukan, atau penolakan apa pun; Anda harus memandangnya, bukan? Jika saya ingin memahami Anda, saya tidak boleh mempunyai prasangka apa pun terhadap Anda. Saya harus mampu memandang Anda, bukan melalui penghalang-penghalang, atau tabir-tabir dari prasangka dan keterkondisian saya. Saya harus menyatu dengan Anda, yang berarti saya harus mencintai Anda. Begitu pula, jika saya ingin memahami kesedihan, saya harus mencintainya, saya harus menyatu dengannya. Saya tidak bisa melakukannya oleh karena saya melarikan diri darinya melalui penjelasan-penjelasan, melalui teori-teori, melalui harapan-harapan, melalui penundaan-penundaan, yang semuanya adalah proses pemahaman dengan kata-kata. Jadi, kata-kata menghalangi saya untuk menyatu dengan kesedihan. Kata-kata—penjelasan, rasionalisasi, yang tidak lain dari kata-kata, yang adalah proses pikiran—menghalangi saya dari menyatu langsung dengan kesedihan. Hanya jika saya menyatu dengan kesedihan saya akan memahaminya. 31 Juli AGUSTUS • Kebenaran • Realitas • Si Pengamat & yang Diamati • Apa Adanya Kebenaran Hati Penuh, Pikiran Kosong Tidak ada jalan menuju kebenaran, kebenaran harus datang kepada Anda. Kebenaran hanya datang kepada Anda bila pikiran dan hati Anda sederhana, jernih, dan terdapat cinta dalam hati Anda; bukan jika hati Anda dipenuhi oleh hal-hal dari pikiran. Bila terdapat cinta dalam hati Anda, Anda tidak bicara tentang mengorganisasikan persaudaraan umat manusia; Anda tidak bicara tentang kepercayaan, Anda tidak bicara tentang pemecahbelahan dan kekuatan-kekuatan yang menciptakan pemecahbelahan, Anda tidak perlu mencari rekonsiliasi. Lalu Anda adalah sekadar sesosok manusia tanpa label, tanpa negara. Ini berarti Anda harus membuang semua hal itu, dan membiarkan kebenaran terwujud; dan ia hanya bisa datang bila pikiran kosong, bila pikiran berhenti mencipta. Maka ia akan datang tanpa Anda undang. Maka ia akan datang secepat angin tanpa diketahui. Ia datang diam-diam, bukan ketika Anda mengamati dan berharap. Ia muncul seketika seperti sinar matahari, semurni gelap malam; tetapi untuk menerimanya hati harus penuh dan pikiran kosong. Sekarang ini pikiran Anda penuh dan hati Anda kosong. 1 Agustus Kebenaran Kebenaran Adalah Keberadaan Tidak ada jalan menuju kebenaran, dan tidak ada dua kebenaran. Kebenaran bukan dari masa lampau atau masa kini, ia bebas dari waktu [timeless]; dan orang yang mengutip kebenaran dari Buddha, dari Shankara, dari Kristus, atau yang sekadar mengulang-ulang apa yang saya katakan, tidak akan menemukan kebenaran, oleh karena pengulangan bukanlah kebenaran. Pengulangan adalah kebohongan. Kebenaran adalah suatu keberadaan ketika pikiran—yang mencoba memilah-milah, yang menjadi eksklusif, yang hanya bisa berpikir dari sudut hasil, pencapaian—berakhir. Hanya di situ ada kebenaran. Batin yang berupaya, mendisiplinkan dirinya untuk mencapai suatu tujuan, tidak bisa mengenal kebenaran, oleh karena tujuan itu adalah proyeksi dirinya sendiri, dan mengejar proyeksi itu, betapa pun mulianya, adalah suatu bentuk pemujaan diri. Orang seperti itu memuja dirinya sendiri, dan dengan demikian ia tidak dapat mengenal kebenaran. Kebenaran hanya bisa dikenal apabila kita memahami seluruh proses pikiran, artinya, apabila tidak ada lagi pergulatan. 2 Agustus Kebenaran Kebenaran Tidak Punya Tempat Menetap Kebenaran itu fakta, dan fakta itu hanya dapat dipahami apabila berbagai hal yang ditempatkan di antara batin dan fakta itu dilenyapkan. Fakta itu adalah hubungan Anda dengan harta milik, dengan istri Anda, dengan sesama manusia, dengan alam, dengan gagasan-gagasan. Dan selama Anda tidak memahami fakta tentang hubungan, pencarian Anda akan Tuhan hanya akan menambah kebingungan, oleh karena ia menjadi sekadar substitusi, pelarian, dan dengan demikian tidak punya arti. Selama Anda mendominasi istri Anda, atau dia mendominasi Anda, selama Anda memiliki dan dimiliki, Anda tidak bisa tahu cinta; selama Anda menekan, mengganti, selama Anda ambisius, Anda tidak bisa tahu kebenaran. Yang akan tahu kebenaran hanyalah dia yang tidak mencari, yang tidak bergulat, yang tidak mencoba mencapai suatu hasil. ... Kebenaran tidak berlanjut, ia tidak punya tempat menetap, ia hanya bisa dilihat dari saat ke saat. Kebenaran selalu baru, oleh karena itu bebas dari waktu. Kebenaran yang kemarin bukanlah kebenaran hari ini, kebenaran hari ini bukanlah kebenaran hari esok. Kebenaran tidak punya kelangsungan. Pikiranlah yang ingin menjadikan pengalaman yang dinamakannya kebenaran itu berlanjut, dan pikiran seperti itu tidak akan tahu kebenaran. Kebenaran selalu baru; ia berarti melihat senyum yang sama, dan melihat senyum itu secara baru; melihat orang yang sama, dan melihat orang itu secara baru, melihat daun nyiur yang melambai itu secara baru, menghadapi kehidupan secara baru. 3 Agustus Kebenaran Tidak Ada Penuntun Menuju Kebenaran Apakah Tuhan dapat ditemukan dengan mencarinya? Dapatkah Anda mencari apa yang tidak Anda ketahui? Untuk bisa menemukan, Anda harus tahu apa yang Anda cari. Jika Anda mencari untuk menemukan, yang Anda temukan adalah suatu proyeksi-diri; itu adalah apa yang Anda inginkan, dan kriteria keinginan bukanlah kebenaran. Mencari kebenaran berarti mengingkarinya. Kebenaran tidak mempunyai tempat tinggal tertentu; tidak ada jalan, tidak ada penuntun menuju kepadanya, dan kata bukanlah kebenaran. Apakah kebenaran dapat ditemukan dalam suatu lingkungan tertentu, dalam suatu iklim tertentu, di kalangan orang-orang tertentu? Apakah ia ada di sini dan tidak di sana? Apakah orang itu penuntun menuju kebenaran, dan bukan orang lain? Apakah ada penuntun sama sekali? Bila kebenaran dicari, yang ditemukan hanya bisa datang dari ketidaktahuan, oleh karena pencarian itu sendiri lahir dari ketidaktahuan. Anda tidak dapat mencari realitas; Anda harus berakhir agar realitas bisa muncul. 4 Agustus Kebenaran Kebenaran Ditemukan Saat demi Saat Kebenaran tidak dapat dikumpulkan. Apa yang dikumpulkan akan musnah kembali; ia akan lapuk. Kebenaran tidak pernah dapat lapuk oleh karena ia hanya dapat ditemukan dari saat ke saat dalam setiap pikiran, dalam setiap hubungan/relasi, dalam setiap kata, dalam setiap isyarat tubuh, dalam seulas senyum, dalam air mata. Dan jika Anda dan saya dapat menemukannya dan menghayatinya—penghayatan itu adalah penemuan itu sendiri—maka kita tidak akan menjadi propagandis; kita akan menjadi manusia kreatif—bukan manusia sempurna, melainkan manusia kreatif, yang amat jauh berbeda. 5 Agustus Kebenaran Revolusioner Sejati Kebenaran bukan bagi mereka yang terhormat, juga bukan bagi mereka yang menginginkan perluasan-diri, pemenuhan-diri. Kebenaran bukan bagi mereka yang mencari rasa aman, keabadian; oleh karena keabadian yang mereka cari hanyalah sekadar lawan dari ketakabadian. Terperangkap di dalam jaring waktu, mereka mencari apa yang kekal abadi, tetapi keabadian yang mereka cari bukanlah nyata karena yang mereka cari adalah produk dari pikiran mereka sendiri. Oleh karena itu, orang yang ingin menemukan realitas harus berhenti mencari—yang bukan berarti ia harus puas dengan apa adanya. Sebaliknya, orang yang mendambakan menemukan kebenaran harus menjadi revolusioner sejati secara batiniah. Ia tidak mungkin termasuk suatu kelas apa pun, suatu bangsa apa pun, suatu kelompok atau ideologi apa pun, agama terorganisir apa pun; oleh karena kebenaran tidak berada di dalam kuil, masjid atau gereja mana pun, kebenaran tidak dapat ditemukan di dalam hal-hal yang dibuat oleh tangan atau oleh pikiran. Kebenaran hanya muncul apabila hal-hal yang berasal dari pikiran dan dari tangan dikesampingkan, dan mengesampingkan hal-hal dari pikiran dan dari tangan bukanlah masalah waktu. Kebenaran muncul bagi orang yang bebas dari waktu, yang tidak menggunakan waktu sebagai cara untuk perluasan-diri. Waktu berarti ingatan akan hari kemarin, ingatan akan keluarga Anda, akan etnik Anda, akan karakter tertentu Anda, akan kumpulan pengalaman Anda yang membentuk sang ‘aku’ dan ‘milikku’. 6 Agustus Kebenaran Lihatlah Kebenaran di Dalam Kepalsuan Anda mungkin secara dangkal setuju bila Anda mendengar orang berkata bahwa nasionalisme, beserta segala emosionalisme dan kepentingan yang ada di dalamnya, menghasilkan eksploitasi dan mempertentangkan manusia satu sama lain; tetapi untuk benar-benar membebaskan batin Anda dari keremehan nasionalisme adalah soal lain. Untuk bebas, bukan hanya dari nasionalisme, tetapi juga dari segala konklusi agama terorganisir dan sistem-sistem politik, penting bagi batin untuk menjadi muda, segar, polos, yang artinya berada dalam keadaan revolusi; dan hanya batin seperti itu dapat menciptakan suatu dunia baru—bukan para politisi, yang mati, bukan pula para pemuka agama, yang terperangkap dalam sistem-sistem keagamaan mereka sendiri. Jadi, beruntung atau tak beruntung, Anda mendengar sesuatu yang benar; dan jika Anda hanya mendengarnya saja dan tidak secara aktif terguncang sehingga batin Anda mulai membebaskan diri dari segala sesuatu yang membuatnya sempit dan terpiuh, maka kebenaran yang Anda dengar akan menjadi racun. Sesungguhnya kebenaran menjadi racun jika ia didengar tapi tidak berdampak pada batin, seperti luka yang meradang. Tetapi untuk menemukan bagi diri sendiri apa yang benar dan apa yang palsu, dan melihat kebenaran di dalam kepalsuan, berarti membiarkan kebenaran bekerja dan menghasilkan tindakannya sendiri. 7 Agustus Realitas Memahami yang Aktual Sesungguhnya tidak rumit, sekalipun mungkin melelahkan. Begini, kita tidak mulai dengan yang aktual, dengan fakta, dengan apa yang kita pikirkan, lakukan, inginkan; kita mulai dengan asumsi-asumsi, atau dengan ideal-ideal, yang bukan aktualitas, dan dengan demikian kita tersesat. Untuk mulai dengan fakta, dan bukan dengan asumsi, kita memerlukan perhatian yang cermat; dan setiap bentuk pikiran yang tidak berasal dari yang aktual adalah penyimpangan. Itulah sebabnya mengapa begitu penting untuk memahami apa yang tengah berlangsung di dalam batin maupun di sekitar kita. Jika Anda seorang Kristen, pandangan Anda mengikuti suatu pola tertentu; jika Anda seorang Hindu, Buddhis atau Muslim, Anda mengikuti pola yang berbeda. Anda melihat Kristus atau Krishna sesuai dengan keterkondisian Anda; pendidikan Anda, budaya yang di dalamnya Anda dibesarkan, menentukan pandangan Anda. Manakah aktualitas: visi, ataukah batin yang telah dibentuk menurut cetakan tertentu? Visi adalah proyeksi dari tradisi tertentu yang kebetulan membentuk latar belakang pikiran. Pengkondisian ini, bukan pandangan yang diproyeksikannya, adalah aktualitas, fakta. Memahami fakta ini adalah sederhana; tetapi itu dibuat sukar oleh kesenangan dan ketaksenangan kita, dengan pengutukan kita terhadap fakta, dengan opini atau penghakiman yang kita lakukan terhadap fakta. Bebas dari berbagai bentuk evaluasi ini berarti memahami yang aktual, apa adanya. 8 Agustus Realitas Penafsiran Fakta Menghalangi Penglihatan Batin yang memberikan pendapat terhadap suatu fakta adalah batin yang sempit, terbatas, dan destruktif. ... Anda dapat menafsirkan fakta menurut satu cara, dan saya dapat menafsirkan fakta yang sama menurut cara lain. Penafsiran fakta adalah suatu kutukan yang menghalangi kita untuk melihat fakta secara aktual dan menggarap fakta itu. Bila Anda dan saya mendiskusikan pendapat-pendapat kita mengenai suatu fakta, fakta itu tidak digarap. Anda mungkin menambahkan sesuatu kepada fakta itu, melihat lebih banyak nuansa, implikasi, makna tentang fakta itu, dan saya mungkin melihat makna yang lebih sedikit tentang fakta itu. Tetapi fakta tidak bisa ditafsirkan; saya tidak bisa memberikan pendapat tentang fakta itu. Fakta itu apa adanya, dan sukar sekali bagi batin untuk menerima fakta itu. Kita selalu menafsirkan, kita selalu memberi makna yang berbeda-beda kepadanya, menurut prasangka, pengkondisian, harapan, ketakutan, dan sebagainya. Jika Anda dan saya dapat melihat fakta tanpa memberikan pendapat, tanpa menafsirkan, memberi makna, maka fakta itu akan jauh lebih hidup—bukan lebih hidup—fakta itu berdiri sendiri, yang lain tidak penting; maka fakta itu mempunyai energinya sendiri yang mendorong Anda ke arah yang benar. 9 Agustus Realitas Hanya Ada Satu Fakta: Ketidakkekalan Kita tengah berupaya menemukan apakah ada, atau tidak ada, suatu keadaan yang kekal—bukan seperti yang kita inginkan, melainkan fakta aktual, kebenarannya. Segala sesuatu tentang kita, baik di dalam maupun di luar—hubungan-hubungan kita, pikiran-pikiran kita, perasaan-perasaan kita—tidak kekal, terus-menerus mengalir. Menyadari hal ini, pikiran mendambakan kekekalan, suatu keadaan damai, cinta, kebaikan, keamanan abadi yang tidak dapat dimusnahkan oleh waktu atau peristiwa. Dengan demikian pikiran menciptakan [gagasan tentang] roh, Atman, dan visi-visi tentang surga yang abadi. Tetapi kekekalan ini lahir dari ketidakkekalan, sehingga di dalamnya terkandung benih ketidakkekalan. Hanya ada satu fakta: ketidakkekalan. 10 Agustus Realitas Mendambakan yang Tak Diketahui Anda ingin saya menceritakan kepada Anda apa itu realitas. Dapatkah apa yang tak teruraikan dirumuskan dengan kata-kata? Dapatkah Anda mengukur sesuatu yang tak terukur? Dapatkah Anda menangkap angin dalam genggaman Anda? Jika dapat, apakah itu memang angin? Jika Anda mengukur apa yang tak terukur, apakah itu memang yang nyata? Jika Anda merumuskannya, apakah itu memang yang nyata? Jelas tidak, oleh karena pada saat Anda menguraikan sesuatu yang tak teruraikan, maka ia bukan lagi yang nyata. Pada saat Anda menerjemahkan apa yang tak diketahui ke dalam yang diketahui, maka ia bukan lagi yang tak diketahui. Tetapi itulah yang kita dambakan. Kita selalu ingin tahu, oleh karena dengan demikian kita dapat terus berlanjut, dengan demikian kita mengira kita dapat menangkap kebahagiaan tertinggi, keabadian. Kita ingin tahu oleh karena kita tidak bahagia, oleh karena kita bergulat dengan penuh kesengsaraan, oleh karena kita aus, melapuk. Namun, alih-alih menyadari fakta yang sederhana itu—bahwa kita melapuk, bahwa kita tumpul, lelah, goncang—kita ingin lari dari apa yang diketahui ke dalam apa yang tak diketahui, yang lagi-lagi menjadi yang diketahui, dan dengan demikian kita tidak pernah dapat menemukan apa yang nyata. 11 Agustus Realitas Apakah Penderitaan Sekadar Kata atau Aktualitas? Apakah penderitaan sekadar kata, atau aktualitas? Jika itu suatu aktualitas, dan bukan sekadar kata, maka kata itu tidak punya makna sekarang, dan yang ada hanyalah rasa sakit yang kuat. Dalam kaitan dengan apa? Dalam kaitan dengan suatu gambaran, dengan suatu pengalaman, dengan sesuatu yang Anda miliki atau Anda tidak miliki. Jika Anda memilikinya, Anda namakan itu kesenangan; jika Anda tidak memilikinya, itu kesakitan. Oleh karena itu, kesakitan, kesedihan adalah dalam hubungan dengan sesuatu. Apakah sesuatu itu sekadar kata-kata, ataukah suatu aktualitas?--seperti rasa takut tidak mungkin berada sendiri, melainkan hanya di dalam hubungan dengan sesuatu, dengan seseorang, dengan suatu peristiwa, dengan suatu perasaan. Nah, Anda menyadari sepenuhnya penderitaan itu. Apakah penderitaan itu terpisah dari Anda, dan dengan demikian Anda hanyalah sekadar pengamat, yang mencerap penderitaan itu, ataukah penderitaan itu Anda? 12 Agustus Realitas Anda dan Ketiadaan Adalah Satu Anda adalah bukan apa-apa. Anda mungkin punya nama dan gelar, harta benda dan rekening bank, Anda mungkin punya kekuasaan dan termasyhur; namun, sekalipun ada semua pengaman-pengaman ini, Anda seperti bukan apa-apa. Anda mungkin sama sekali tidak sadar akan kekosongan ini, ketiadaan ini, atau Anda mungkin cuma tidak mau menyadarinya; tetapi itu ada, apa pun yang Anda lakukan untuk menghindarinya. Anda mungkin berupaya melarikan diri darinya dengan berbagai cara yang licin, melalui kekerasan pribadi atau kekerasan kolektif, melalui pemujaan pribadi atau pemujaan kolektif, melalui pengetahuan atau hiburan; tetapi entah Anda tidur entah Anda jaga, itu selalu ada. Anda dapat sampai pada hubungan antara Anda dengan ketiadaan ini beserta rasa takutnya hanya dengan menyadari-tanpa-memilih upaya-upaya pelarian diri itu. Anda bukan berhubungan dengannya sebagai suatu entitas yang terpisah dan individual; Anda bukan si pengamat yang mengamatinya; tanpa Anda, si pemikir, si pengamat, ia tidak ada. Anda dan ketiadaan adalah satu; Anda dan ketiadaan adalah fenomena bersama, bukan dua proses yang terpisah. Jika Anda, si pemikir, takut kepadanya, dan mendekatinya sebagai sesuatu yang bertentangan dan berlawanan dengan Anda, maka setiap tindakan yang dapat Anda lakukan terhadapnya mau tidak mau akan membawa kepada ilusi, dan dengan demikian kepada konflik dan kesengsaraan lebih jauh. Bila ada penemuan, pengalaman akan ketiadaan itu sebagai Anda, maka ketakutan—yang hanya ada bila si pemikir terpisah dari pikiran-pikirannya dan dengan demikian berupaya mengadakan hubungan dengan merekaakan tanggal sepenuhnya. 13 Agustus Si Pengamat & yang Diamati Bagaimana Kita Mengakhiri Rasa Takut? Kita tengah mendiskusikan sesuatu yang membutuhkan perhatian Anda, bukan kesetujuan atau ketidaksetujuan Anda. Kita memandang kehidupan secara ketat, obyektif, jernih—bukan menurut perasaan Anda, khayalan Anda, apa yang Anda suka atau tidak suka. Yang kita suka dan yang kita tidak suka itulah yang telah menciptakan seluruh kesengsaraan ini. Seluruh yang kita kemukakan adalah ini: “Bagaimana kita mengakhiri rasa takut?” Itu adalah salah satu masalah besar kita, oleh karena jika manusia tidak dapat mengakhirinya, ia hidup abadi di dalam kegelapan, bukan abadi dalam arti Kristen, melainkan dalam arti sehari-hari; satu kehidupan ini saja cukup. Bagi saya, sebagai manusia, haruslah ada jalan keluar, dan bukan dengan menciptakan suatu harapan di masa depan. Dapatkah saya sebagai manusia mengakhiri rasa takut, secara total; bukan sedikit demi sedikit? Mungkin Anda belum pernah menanyakan itu kepada diri Anda sendiri, dan mungkin Anda tidak menanyakannya karena Anda tidak tahu bagaimana caranya keluar dari situ. Tetapi jika Anda menanyakannya secara amat serius, dengan maksud bukan untuk menemukan cara mengakhirinya, melainkan dengan maksud untuk menemukan hakikat dan struktur rasa takut itu sendiri, maka pada saat Anda menemukannya, rasa takut itu sendiri berakhir; Anda tidak perlu melakukan apa-apa terhadapnya. Bila kita menyadari rasa takut itu dan berhubungan dengannya secara langsung, maka si pengamat adalah apa yang diamati. Tidak ada perbedaan antara si pengamat dengan apa yang diamati. Bila rasa takut diamati tanpa si pengamat, terdapat tindakan, tetapi bukan tindakan si pengamat yang bertindak terhadap rasa takut. 14 Agustus Si Pengamat & yang Diamati Dualitas antara Si Pemikir dan Pikirannya Bila Anda mengamati apa pun—sebatang pohon, istri Anda, anak-anak Anda, tetangga Anda, bintang-bintang pada suatu malam, cahaya gemerlapan di permukaan air, burung terbang di angkasa, apa pun—selalu ada si pengamat—si penyensor, si pemikir, dia yang mengalami, si pencari—dan apa yang diamatinya; si pengamat dan yang diamati; si pemikir dan pikirannya. Jadi, selalu ada pembagian. Pembagian itulah waktu. Pembagian itulah intisari dari konflik. Dan bila ada konflik, terdapat kontradiksi. Terdapat ”si pengamat dan yang diamati”—itu kontradiksi; terdapat pemisahan. Dan dari situ, bila ada kontradiksi, terdapat konflik. Dan bila terdapat konflik, selalu ada urgensi untuk mengatasinya, menaklukkannya, mengalahkannya, melarikan diri darinya, melakukan sesuatu terhadapnya, dan semua kegiatan itu melibatkan waktu ... Selama ada pembagian, waktu akan berjalan terus, dan waktu adalah penderitaan. Dan orang yang ingin memahami akhir penderitaan haruslah memahami ini, harus menemukan, harus keluar dari dualitas antara si pemikir dan pikirannya, antara dia yang mengalami dan pengalamannya ini. Artinya, bila terdapat pembagian antara si pengamat dan yang diamatinya, terdapat waktu, dan oleh karena itu tidak ada akhir penderitaan. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Pahamkah Anda akan pertanyaan ini? Saya melihat, di dalam diri saya, si pengamat selalu memandang, menghakimi, menyensor, menerima, menolak, mendisiplinkan, mengendalikan, membentuk. Si pengamat itu, si pemikir itu, adalah hasil dari pikiran, jelas. Pikiranlah yang pertama; bukan si pengamat, bukan si pemikir. Jika tidak ada pemikiran sama sekali, tidak akan ada si pengamat, tidak ada si pemikir; maka, yang ada hanyalah perhatian yang utuh dan total. 15 Agustus Si Pengamat & yang Diamati Pikiran Menciptakan Si Pemikir Pikiran adalah sensasi [pencerapan indra] yang diungkapkan dengan kata-kata; pikiran adalah respons dari ingatan, kata, pengalaman, imaji. Pikiran bersifat cepat berlalu, selalu berubah, tidak kekal, dan ia mencari kekekalan. Maka pikiran menciptakan si pemikir, yang kemudian menjadi yang kekal; ia mengambil peran sebagai penyensor, penuntun, pengendali, pencetak pikiran. Entitas kekal yang merupakan ilusi ini adalah produk pikiran, produk sesuatu yang cepat berlalu. Entitas ini adalah pikiran; tanpa pikiran ia tidak ada. Si pemikir terdiri dari kualitas-kualitas; kualitas-kualitasnya tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Si pengendali adalah yang dikendalikan, ia sekadar memainkan suatu permainan yang menipu dengan dirinya sendiri. Sampai yang palsu terlihat sebagai yang palsu, tidak ada kebenaran. 16 Agustus Si Pengamat & yang Diamati Dinding Pikiran yang Tak Tertembus Bagaimana bisa terjadi penyatuan antara si pemikir dengan pikiran-pikirannya? Bukan melalui tindakan kemauan, bukan melalui disiplin, bukan melalui upaya, pengendalian, atau konsentrasi apa pun, bukan melalui cara apa pun. Penggunaan suatu cara berarti ada suatu pelaksana yang bertindak, bukan? Selama ada si pelaku, selalu ada pemisahan. Penyatuan terjadi hanya apabila batin sepenuhnya hening, tanpa mencoba untuk hening. Ada keheningan ini, bukan ketika si pemikir berakhir, melainkan hanya ketika pikiran itu sendiri berakhir. Harus ada kebebasan dari tanggapan keterkondisian, yang adalah pikiran. Setiap masalah terselesaikan hanya apabila gagasan, konklusi tidak ada; konklusi, gagasan, pikiran, adalah guncangan batin. Bagaimana mungkin ada pemahaman bila batin guncang? Kesungguhan perlu dilunakkan dengan spontanitas yang bergerak cepat. Anda akan menemukan—jika Anda menyimak semua yang dikatakan—bahwa kebenaran akan datang pada saat-saat Anda tidak mengharapkannya. Jika boleh saya katakan, bersikaplah terbuka, peka, sadarlah sepenuhnya akan apa adanya dari saat ke saat. Jangan dirikan di sekeliling Anda sebuah tembok pikiran yang tak tertembus. Kenikmatan kebenaran datang apabila batin tidak disibukkan dengan kegiatan dan pergulatannya sendiri. 17 Agustus Si Pengamat & yang Diamati Ketika Si Pengamat Adalah yang Diamati Ruang adalah perlu. Tanpa ruang tidak ada kebebasan. Kita berbicara secara psikologis. ... Hanya apabila kita berkontak, apabila tidak terdapat ruang di antara si pengamat dengan yang diamati maka kita berada dalam hubungan sepenuhnya—dengan sebatang pohon misalnya. Kita bukan menjadi pohon, bunga, perempuan, laki-laki, atau apa pun, tetapi apabila tidak ada ruang sama sekali yang memisahkan si pengamat dari yang diamati, maka terdapat ruang mahaluas. Di dalam ruang itu tidak ada konflik; di dalam ruang itu terdapat kebebasan. Kebebasan bukanlah reaksi. Anda tidak bisa berkata, “Nah, saya bebas.” Pada saat Anda berkata Anda bebas, Anda tidak bebas, oleh karena Anda sadar akan diri Anda sebagai bebas dari sesuatu, dan dengan demikian Anda berada dalam situasi seperti si pengamat yang mengamati sebatang pohon. Ia menciptakan sebuah ruang, dan di dalam ruang itu ia menumbuhkan konflik. Untuk memahami ini, bukan dibutuhkan kesetujuan atau ketidaksetujuan intelektual, atau berkata, “Saya tidak mengerti,” melainkan dibutuhkan kontak langsung dengan apa adanya. Itu berarti melihat bahwa semua tindakan Anda, setiap saat tindakan adalah dari si pengamat dan yang diamati, dan di dalam ruang itu terdapat kenikmatan, kesakitan dan penderitaan, keinginan untuk memenuhi, untuk termasyhur. Di dalam ruang itu tidak ada kontak dengan apa pun. Kontak, hubungan mempunyai makna amat berlainan apabila si pengamat tidak lagi terpisah dari yang diamati. Ada ruang yang luar biasa ini, dan ada kebebasan. 18 Agustus Si Pengamat & yang Diamati Adakah Si Pengamat yang Mengamati Kesepian? Batin saya mengamati kesepian, dan menghindarinya, lari darinya. Tetapi jika saya tidak lari darinya, adakah pembagian, adakah pemisahan, adakah si pengamat yang mengamati kesepian? Ataukah, hanya ada keadaan kesepian, batin saya sendiri yang kosong, kesepian? Bukan ada si pengamat yang tahu bahwa ada kesepian. Saya rasa ini penting untuk dipahami, dengan cepat, bukan dengan kata-kata yang terlalu banyak. Sekarang kita berkata, “Saya iri hati, dan saya ingin melenyapkan iri hati”; jadi ada si pengamat dan yang diamati; si pengamat ingin melenyapkan apa yang diamatinya. Tetapi tidakkah si pengamat sama dengan yang diamati? Batin itu sendiri yang telah menciptakan iri hati, sehingga batin tidak bisa berbuat apa-apa terhadap irihati itu. Jadi, batin saya mengamati kesepian; si pemikir sadar bahwa ia kesepian. Tetapi dengan tetap berada bersamanya, berkontak sepenuhnya, yang berarti tidak lari darinya, tidak menafsirkannya dan sebagainya, maka adakah perbedaan antara si pengamat dengan yang diamati? Ataukah hanya ada satu keadaan saja, yang adalah batin itu sendiri yang kesepian, kosong? Bukan batin mengamati dirinya sendiri sebagai kosong, melainkan batin itu sendiri kosong. Lalu, dapatkah batin itu, yang menyadari dirinya kosong, dan bahwa apa pun yang diupayakannya, setiap gerakan menjauh dari kekosongan itu hanyalah sekadar pelarian diri, ketergantungan; dapatkah batin melepaskan semua ketergantungan dan tetap apa adanya, sepenuhnya kosong, sepenuhnya kesepian? Dan jika ia berada dalam keadaan itu, tidakkah di situ ada kebebasan dari segala ketergantungan, dari segala kelekatan? 19 Agustus Si Pengamat & yang Diamati Apa yang Dikumpulkan Bukanlah Kebenaran Selama ada yang mengalami yang mengingat pengalamannya, tidak ada kebenaran. Kebenaran bukanlah sesuatu untuk diingat, disimpan, dicatat, lalu ditampilkan. Apa yang dikumpulkan bukanlah kebenaran. Keinginan untuk mengalami menciptakan yang mengalami, yang kemudian mengumpulkan dan mengingat. Keinginan menghasilkan pemisahan antara si pemikir dan pikirannya; keinginan untuk menjadi, untuk mengalami, menjadi lebih atau kurang, menghasilkan pemisahan antara yang mengalami dan pengalamannya. Kesadaran akan liku-liku keinginan adalah pengenalan-diri. Pengenalan-diri adalah awal dari meditasi. 20 Agustus Si Pengamat & yang Diamati Tindakan Seketika Jika Anda berkontak dengan apa pun, dengan istri Anda, dengan anak-anak Anda, dengan langit, dengan awan, dengan fakta apa pun, pada saat pikiran menyela, Anda kehilangan kontak. Pikiran bersumber dari ingatan. Ingatan adalah gambaran, dan dari situ Anda memandang, dan dengan demikian terdapat pemisahan antara si pengamat dan yang diamati. Anda harus memahami ini sangat dalam. Pemisahan antara si pengamat dan yang diamati ini yang menyebabkan si pengamat menginginkan pengalaman lebih banyak, sensasi lebih banyak, dan demikianlah ia terus-menerus mengejar, mencari. Perlu dipahami secara menyeluruh dan total bahwa selama ada si pengamat, si dia yang mencari pengalaman, si penyensor, entitas yang menilai, menghakimi, mengutuk, tidak terdapat kontak seketika dengan apa adanya. Bila Anda merasa sakit, kesakitan fisik, terdapat persepsi langsung; tidak ada si pengamat yang merasakan sakit; yang ada hanyalah rasa sakit. Oleh karena tidak ada si pengamat, terdapatlah tindakan seketika. Yang ada bukanlah gagasan dulu, lalu tindakan, melainkan yang ada hanya tindakan bila ada rasa sakit, oleh karena terdapat kontak fisik langsung. Rasa sakit itu adalah Anda; yang ada rasa sakit. Selama hal ini tidak dipahami, disadari, diselidiki secara menyeluruh dan dirasakan secara mendalam, selama ini tidak dijangkau secara menyeluruh, bukan secara intelektual, bukan dengan kata-kata, bahwa si pengamat adalah yang diamati, maka seluruh kehidupan menjadi konflik, suatu kontradiksi di antara keinginan-keinginan yang saling bertentangan, apa yang “seharusnya” dan apa yang “ada”. Anda dapat melakukan ini hanya jika Anda sadar manakala Anda memandang sebagai seorang pengamat, ketika Anda memandang sekuntum bunga atau segumpal awan atau apa pun. 21 Agustus Apa Adanya Realitas Ada di Dalam Apa Adanya Alih-alih bertanya siapa yang telah ‘sampai’ atau Tuhan itu apa, mengapa Anda tidak memberikan seluruh perhatian dan kesadaran Anda terhadap apa adanya? Di situ Anda akan menemukan yang tak diketahui, atau lebih tepat, ia akan datang kepada Anda. Jika Anda memahami apa yang diketahui, Anda akan mengalami keheningan yang luar biasa itu, yang bukan sengaja diadakan, bukan dipaksakan, kekosongan kreatif yang hanya di dalamnya realitas dapat masuk. Ia tidak dapat datang kepada apa yang [dalam proses] menjadi, yang berjuang; ia hanya dapat datang kepada apa adanya, yang memahami apa adanya. Maka Anda akan melihat bahwa realitas tidak berada jauh; yang tak diketahui tidak berada jauh; ia berada di dalam apa adanya. Seperti jawaban terhadap suatu masalah terletak di dalam masalah itu sendiri, begitu pula realitas terdapat di apa adanya; jika kita dapat memahaminya, kita akan mengenal kebenaran. 22 Agustus Apa Adanya Hadapilah Fakta Saya bersedih hati. Secara psikologis, saya sangat terguncang; dan saya punya pikiran tentangnya: apa yang harus saya lakukan, apa yang tidak boleh saya lakukan, bagaimana itu bisa diubah. Pikiran itu, rumusan itu, konsep itu mencegah saya memandang fakta apa adanya. Gagasan dan rumusan adalah pelarian diri dari apa adanya. Ada tindakan seketika bila ada bahaya besar. Di situ Anda tidak punya gagasan. Anda tidak merumuskan suatu gagasan, lalu baru bertindak berdasarkan gagasan. Batin menjadi malas, lesu, melalui rumusan yang telah memberinya cara melarikan diri dari bertindak terhadap apa adanya. Melihat sendiri seluruh struktur dari apa yang dikatakan tadi—bukan oleh karena itu telah ditunjukkan kepada kita—mungkinkah untuk menghadapi fakta: misalnya, fakta bahwa kita penuh kekerasan? Kita adalah manusia yang keras, dan kita telah memilih kekerasan sebagai cara hidup—perang dan sebagainya. Sekalipun kita bicara terus-menerus tentang tanpa-kekerasan—terutama di Timur—kita bukanlah manusia yang tidak keras, kita adalah manusia keras. Gagasan tanpa-kekerasan adalah gagasan, yang dapat digunakan secara politis. Itu adalah makna yang lain, tapi itu cuma gagasan, bukan fakta. Oleh karena manusia tidak mampu menghadapi fakta kekerasan, maka ia menciptakan cita-cita tanpa-kekerasan, yang menghalanginya menggarap fakta itu. Bagaimana pun juga, faktanya adalah saya keras; saya marah. Apa gunanya gagasan? Ini bukan gagasan tentang marah; fakta marahlah yang penting, seperti fakta lapar. Tidak ada gagasan tentang lapar. Lalu idenya adalah tentang apa yang hendak dimakan; dan didorong oleh kenikmatan, Anda makan. Tindakan berkaitan dengan apa adanya hanya ada apabila tidak ada gagasan tentang apa yang harus dikerjakan terhadap apa yang Anda hadapi, yang adalah apa adanya. 23 Agustus Apa Adanya Kebebasan dari Apa Adanya Kebajikan datang dari pemahaman akan apa adanya, sedangkan proses menjadi saleh adalah penundaan, menutupi apa adanya dengan apa yang Anda inginkan. Oleh karena itu, dengan proses menjadi saleh Anda menghindari tindakan yang langsung terhadap apa adanya. Proses menghindari apa adanya melalui pemupukan ideal ini dianggap kebajikan; tetapi jika Anda memandangnya secara teliti dan langsung, Anda akan melihat bahwa itu sama sekali bukan kebajikan. Itu hanya sekadar menunda menghadapi bermuka-muka apa adanya. Kebajikan bukanlah proses menjadi apa yang tidak ada; kebajikan adalah memahami apa adanya, dan oleh karena itu kebebasan dari apa adanya. Kebajikan penting bagi masyarakat yang tengah runtuh dengan cepat. 24 Agustus Apa Adanya Mengamati Pikiran Saya harus mencintai apa yang saya pelajari. Jika Anda ingin memahami seorang anak kecil, Anda harus mencintainya, dan bukan mengutuknya. Anda harus bermain dengannya, mengamati gerak-geriknya, sifat-sifatnya yang unik, tindak-tanduknya. Tetapi jika Anda hanya mengutuk, menentang, atau menyalahkannya, tidak terdapat pemahaman akan anak itu. Begitu pula, untuk memahami apa adanya, kita harus mengamati apa yang kita pikirkan, rasakan, dan lakukan dari saat ke saat. Itulah yang aktual. 25 Agustus Apa Adanya Pelarian-diri Menghasilkan Konflik Mengapa kita berambisi? Mengapa kita ingin sukses, menjadi orang penting? Mengapa kita berjuang untuk menjadi hebat? Mengapa kita berupaya seperti ini untuk menonjolkan sang ’aku’ ini, entah secara langsung entah melalui sebuah ideologi atau negara? Bukankah penonjolan diri ini sebab utama dari konflik dan kebingungan kita? Tanpa ambisi, apakah kita akan lenyap? Tidak dapatkah kita survive secara fisik tanpa berambisi? Mengapa kita cerdik dan berambisi? Bukankah ambisi itu dorongan untuk menghindari apa adanya? Bukankah kecerdikan ini sesungguhnya bodoh, yang adalah diri kita? Mengapa kita begitu takut akan apa adanya? Apa gunanya melarikan diri kalau apa pun diri kita selalu ada di situ? Kita mungkin berhasil melarikan diri, tetapi apa adanya diri kita selalu ada di situ, membuahkan konflik dan kesengsaraan. Mengapa kita begitu takut akan kesepian kita, atau kehampaan kita? Setiap kegiatan yang menjauhi apa adanya pasti akan menghasilkan penderitaan dan pertentangan. Konflik adalah pengingkaran dari apa adanya, atau pelarian dari apa adanya; tidak ada konflik selain itu. Konflik kita makin lama makin rumit dan tak terpecahkan oleh karena kita tidak menghadapi apa adanya. Di dalam apa adanya tidak ada kerumitan; itu hanya ada di dalam banyak pelarian diri yang kita kejar. 26 Agustus Apa Adanya Ketidakpuasan Tak Mempunyai Jawaban Apakah yang kita tidak puas? Jelas, itu adalah apa adanya. Apa adanya itu mungkin tatanan masyarakat, apa adanya mungkin hubungan, apa adanya mungkin diri kita sendiri, hakekat diri kita—yang buruk, pikiran yang berkelana, ambisi, frustrasi, ketakutan yang amat banyak; itulah hakekat diri kita. Dengan lari dari situ, kita mengira kita akan menemukan suatu jawaban terhadap ketidakpuasan kita. Jadi, kita selalu mencari suatu jalan, suatu cara untuk mengubah apa adanya—itulah yang memenuhi batin kita. Jika saya tidak puas dan saya ingin menemukan suatu jalan, suatu cara menuju kepuasan, batin saya sibuk dengan cara, jalan, dan melatih jalan itu untuk sampai pada kepuasan. Jadi saya tidak lagi peduli dengan ketidakpuasan, dengan bara, dengan nyala api yang berkobar, yang kita namakan ketidakpuasan. Kita tidak menemukan apa yang ada di balik ketidakpuasan itu. Kita hanya memedulikan bagaimana lari dari api itu, dari kecemasan yang membakar itu. ... Itu amat sukar, karena batin kita tidak pernah puas, tidak pernah bersikap menerima dengan penyelidikan apa adanya. Ia selalu mencoba mengubah apa adanya menjadi sesuatu yang lain—yang adalah proses menyalahkan, membenarkan, atau membandingkan. Jika Anda mengamati batin Anda sendiri, Anda akan melihat, bila ia berhadapan muka dengan apa adanya, lalu ia menyalahkan, lalu ia membandingkan dengan ”apa yang seharusnya”, atau membenarkannya dan sebagainya, dan dengan demikian menghalau apa adanya, mengesampingkan apa yang menyebabkan gangguan, kesakitan, kecemasan. 27 Agustus Apa Adanya Daya Upaya Adalah Pengalihan Perhatian dari Apa Adanya Kita harus memahami masalah daya upaya. Jika kita dapat memahami makna daya upaya, maka kita dapat menerjemahkannya ke dalam tindakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bukankah daya upaya berarti pergulatan untuk mengubah apa adanya menjadi apa yang tidak ada, atau apa yang seharusnya ada, atau apa yang seharusnya berkembang? Kita terus-menerus melarikan diri dari apa adanya, mengubahnya atau memodifikasikannya. Orang yang sungguh-sungguh puas adalah orang yang memahami apa adanya, yang memberikan makna yang benar kepada apa adanya. Hanya di dalam keadaan sadar secara pasif, makna apa adanya dipahami. Pada saat ini, saya tidak membicarakan pergulatan fisik dengan bumi, dengan bangunan atau suatu masalah teknis, melainkan membicarakan pergulatan secara psikologis. Pergulatan dan masalah psikologis selalu menutupi yang fisiologis. Anda mungkin mendirikan suatu struktur sosial yang berhati-hati, tetapi selama kegelapan dan perjuangan psikologis tidak dipahami, hal itu selalu menjungkirbalikkan struktur yang dibangun secara berhati-hati. Daya upaya adalah pengalihan perhatian dari apa adanya. Di dalam menerima apa adanya, berakhirlah pergulatan. Tidak ada penerimaan selama ada keinginan untuk mengubah atau memodifikasikan apa adanya. Pergulatan, yang mengisyaratkan kehancuran, mau tidak mau ada selama ada keinginan untuk mengubah apa adanya. 28 Agustus Apa Adanya Kepuasan yang Bukan dari Pikiran Bukankah ketidakpuasan itu penting, bukan untuk ditekan, melainkan didorong, diselidiki, digali, sehingga dengan pemahaman akan apa adanya muncullah kepuasan? Kepuasan itu bukanlah kepuasan yang dihasilkan oleh suatu sistem pemikiran; melainkan adalah kepuasan yang datang dengan pemahaman akan apa adanya. Kepuasan itu bukanlah produk batin—batin yang terganggu, terguncang, tidak tuntas, bila ia mencari kedamaian, bila ia mencari cara melarikan diri dari apa adanya. Dengan demikian batin, melalui pembenaran, pembandingan, penilaian, mencoba mengubah apa adanya, dan dengan demikian berharap mencapai suatu keadaan yang di situ ia tidak akan terganggu, ia akan damai, akan ada keheningan. Dan bila batin terganggu oleh kondisi masyarakat, oleh kemiskinan, kelaparan, kemerosotan, oleh kesengsaraan yang mengenaskan, melihat semua itu, batin mencoba mengubahnya; ia terlibat dalam upaya untuk mengubah, di dalam sistem untuk mengubah. Tetapi jika batin mampu memandang apa adanya tanpa pembandingan, tanpa penilaian, tanpa keinginan mengubahnya menjadi sesuatu yang lain, maka Anda akan melihat ada sejenis kepuasan yang bukan dari pikiran. Kepuasan sebagai produk pikiran adalah pelarian diri. Ia mandul. Ia mati. Tetapi ada kepuasan yang bukan dari batin, yang muncul apabila ada pemahaman akan apa adanya, yang di situ terdapat revolusi mendalam, yang berdampak pada masyarakat dan hubungan pribadi. 29 Agustus Apa Adanya Peliharalah Ketidakpuasan Bukankah ketidakpuasan itu penting dalam hidup kita, bagi setiap pertanyaan, bagi setiap penyelidikan, bagi penelusuran, untuk menemukan apa yang nyata, apa itu kebenaran, apa yang penting dalam hidup? Saya mungkin memiliki ketidakpuasan yang menyala-nyala ini di perguruan tinggi; lalu saya mendapat pekerjaan yang baik, dan ketidakpuasan itu lenyap. Saya puas, saya berjuang untuk menyokong keluarga saya, saya harus memperoleh nafkah, dan dengan demikian ketidakpuasan saya reda, musnah, dan saya berubah menjadi manusia remeh yang puas dengan hal-hal sehari-hari, dan saya bukan lagi tidak puas. Tetapi nyala api itu harus tetap dipelihara dari awal sampai akhir, sehingga terdapat penyelidikan sejati, penelusuran sejati menyelami masalah apa itu ketidakpuasan. Oleh karena batin mudah sekali mencari obat untuk membuatnya puas dengan sifat-sifat baik, dengan kualitas-kualitas, dengan gagasan-gagasan, dengan tindakan-tindakan, ia menegakkan suatu rutinitas dan terperangkap di dalamnya. Kita kenal sekali dengan itu, tetapi masalah kita bukanlah bagaimana meredakan ketidakpuasan, melainkan bagaimana memeliharanya supaya tetap membara, hidup, vital. Semua kitab-kitab suci kita, semua guru-guru spiritual kita, semua sistem politik mendamaikan batin, meredakan batin, mempengaruhi batin supaya surut, mengesampingkan ketidakpuasan dan berkecimpung di dalam salah satu bentuk kepuasan ... Bukankah penting untuk tidak puas agar dapat menemukan apa yang benar? 30 Agustus Apa Adanya Memahami Apa Adanya Kita bertentangan satu sama lain, dan bumi kita terancam kemusnahan. Terdapat krisis demi krisis, perang demi perang; terdapat kelaparan, kesengsaraan; terdapat orang-orang yang sangat kaya berbaju keterhormatan mereka, dan terdapat orang-orang miskin. Untuk memecahkan masalah-masalah ini, yang diperlukan bukanlah suatu sistem pemikiran baru, bukanlah suatu revolusi ekonomis baru, melainkan memahami apa adanya—ketidakpuasan, penggalian terus-menerus terhadap apa adanya—yang akan menghasilkan revolusi yang berdampak lebih jauh daripada sekadar revolusi gagasan-gagasan. Dan revolusi inilah yang begitu penting untuk menghasilkan suatu budaya yang berbeda, agama yang berbeda, hubungan antar-manusia yang berbeda. 31 Agustus SEPTEMBER • Intelek • Pikiran • Pengetahuan • Batin Intelek Kita Mengira Kita Ini Intelektual Kebanyakan dari kita telah mengembangkan kemampuan intelektual—itu dinamakan saja kemampuan intelektual, yang sebetulnya bukan kemampuan intelektual sama sekali—kita membaca begitu banyak buku, yang dipenuhi apa yang dikatakan orang lain, teori-teori dan gagasan-gagasan mereka yang banyak. Kita mengira kita ini sangat intelektual jika kita dapat mengutip dari banyak buku oleh banyak penulis, jika kita telah membaca banyak jenis buku, dan mempunyai kemampuan untuk menghubung-hubungkan dan menjelaskan. Tetapi tidak satu pun dari kita, atau sangat sedikit, yang memiliki konsepsi intelektual yang orisinal. Setelah mengembangkan intelek itu—namanya saja begitu—semua kemampuan yang lain, semua perasaan yang lain, telah hilang dan kita menghadapi masalah bagaimana menghasilkan keseimbangan di dalam hidup kita, sehingga dapat memiliki bukan hanya kemampuan intelektual yang tertinggi dan mampu menggunakan akal budi secara obyektif untuk melihat hal-hal persis seperti apa adanya—bukan terus-menerus mengajukan opini-opini tentang teori-teori dan aturan-aturan, tetapi berpikir sendiri, melihat sendiri apa yang palsu dan apa yang benar. Dan bagi saya, ini adalah salah satu kesulitan kita: ketidakmampuan melihat, bukan hanya hal-hal lahiriah, melainkan juga kehidupan batiniah yang kita miliki, jika kita memang mempunyai kehidupan batiniah. 1 September Intelek Semua Pikiran Adalah Alih-perhatian Batin yang kompetitif, yang terpaku pada konflik dari proses menjadi, yang berpikir dalam pembandingan-pembandingan, tidaklah mampu untuk menemukan apa yang nyata. Pikiran-perasaan yang sadar secara intensif berada dalam proses penemuan-diri terus-menerus; penemuan tersebut—karena benar—bersifat membebaskan dan kreatif. Penemuan-diri seperti itu menghasilkan kebebasan dari sikap mengumpulkan, dan dari kehidupan intelek yang rumit. Kehidupan intelek yang rumit inilah yang mendapatkan pemuasan dalam keasyikan seperti candu: rasa ingin yang destruktif, spekulasi, sekadar pengetahuan, kemampuan, gunjingan dan sebagainya; dan rintangan-rintangan ini menghalangi kesederhana hidup. Suatu kecanduan, suatu spesialisasi memberikan ketajaman batin, suatu cara memusatkan pikiran, tetapi itu bukan mekarnya pikiran-perasaan ke dalam realitas. Kebebasan dari alih-perhatian lebih sukar bila kita tidak memahami sepenuhnya proses berpikir-merasa, yang itu sendiri menjadi cara alih-perhatian. Oleh karena tidak pernah tuntas, dan pintar berspekulasi demi ingin tahu dan merumuskan, ia mempunyai kekuatan untuk menciptakan rintangannya sendiri, ilusinya sendiri, yang menghalangi kesadaran akan apa yang nyata. Demikianlah ia menjadi alih-perhatiannya sendiri, musuhnya sendiri. Karena batin mampu menciptakan ilusi, kekuatan ini perlu dipahami sebelum ia bebas sepenuhnya dari alih-perhatian ciptaannya sendiri. Batin harus sama sekali diam, hening, oleh karena semua pikiran menjadi alih-perhatian. 2 September Intelek Kesatuan Otak dan Hati Melatih intelek tidak menghasilkan kecerdasan. Alih-alih, kecerdasan muncul bila kita bertindak dengan keharmonisan sempurna, baik secara intelektual maupun secara emosional. Ada perbedaan besar antara intelek dan kecerdasan. Intelek hanyalah sekadar pikiran yang berfungsi tanpa tergantung pada emosi. Bila intelek, tanpa emosi, dilatih menurut arah tertentu, kita mungkin punya intelek hebat, tapi kita tidak punya kecerdasan, oleh karena di dalam kecerdasan secara inheren terdapat kemampuan untuk merasa di samping untuk berpikir; di dalam kecerdasan, kedua kemampuan sama-sama terdapat, secara intens dan harmonis. Pada dewasa ini, pendidikan modern mengembangkan intelek, memberikan makin banyak penjelasan tentang kehidupan, makin banyak teori, tanpa kualitas harmonis dari kasih sayang. Dengan demikian, kita mengembangkan batin yang cerdik untuk lari dari konflik; oleh karena itu, kita puas dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh para ilmuwan dan filsuf. Batin—intelek—puas dengan penjelasan yang tak terhitung ini, tetapi tidak ada kecerdasan, oleh karena untuk dapat memahami, perlu ada kesatuan lengkap dari otak dan hati dalam tindakan. 3 September Intelek Intelek Merusak Perasaan Anda tahu, ada intelek, dan ada perasaan murni—perasaan murni dalam mencintai sesuatu, dalam memiliki emosi yang luhur dan melimpah. Intelek mengkaji, menghitung-hitung, menimbang-nimbang, menghitung untung-rugi. Ia bertanya, ”Apakah itu bermanfaat? Apakah itu memberikan sesuatu buat saya?” Di lain pihak, terdapat perasaan murni—menghayati secara luar biasa langit lepas, tetangga Anda, istri atau suami Anda, anak-anak Anda, seluruh dunia, indahnya sebatang pohon, dan sebagainya. Bila kedua hal ini bertemu, terdapat kematian. Pahamkah Anda? Bila perasaan murni dirusak oleh intelek, terdapat keremehan. Itulah yang dilakukan oleh kebanyakan dari kita. Kehidupan kita remeh oleh karena kita senantiasa menghitung-hitung, bertanya kepada diri sendiri apa manfaatnya, keuntungan apa yang bisa kita peroleh, bukan hanya di dunia uang, melainkan juga di dunia yang dinamakan spiritual—”Jika saya lakukan ini, apakah saya akan mendapat itu?” 4 September Intelek Intelek Tidak Akan Memecahkan Masalah Kita Kebanyakan dari kita tidak peduli dengan alam semesta luar biasa yang ada di sekitar kita. Kita bahkan tidak pernah melihat lambaian daun tertiup angin. Kita tidak pernah memandang sehelai rumput, menyentuhnya dengan tangan kita, dan mengetahui kualitas keberadaannya. Ini bukan sekadar puitis; jadi, jangan menyimpang ke dalam suatu keadaan spekulatif atau emosional. Saya berkata, adalah penting untuk memiliki perasaan yang mendalam tentang kehidupan, dan bukan terperangkap dalam liku-liku intelektual, diskusi, upaya untuk lulus ujian, mengutip seseorang, atau mengesampingkan sesuatu yang baru dengan mengatakan bahwa itu pernah dikatakan orang sebelumnya. Intelek bukanlah jalan. Intelek tidak akan memecahkan masalah-masalah kita. Intelek tidak akan memberi kita gizi yang tak mungkin musnah. Intelek dapat berpikir, berdiskusi, menganalisis, sampai kepada kesimpulan berdasarkan inferensi dan sebagainya; tetapi intelek terbatas, oleh karena intelek itu hasil dari keterkondisian kita. Tetapi kepekaan lain. Kepekaan tidak memiliki pengkondisian; ia langsung membawa Anda keluar dari lingkup rasa takut dan kecemasan. ... Kita menghabiskan hari-hari dan tahun-tahun kita dalam mengembangkan intelek, dengan berdebat, berdiskusi, berkelahi, bergulat untuk menjadi sesuatu, dan sebagainya. Namun, dunia yang luar biasa menakjubkan ini, bumi ini begitu kaya—bukan bumi Bombay, bukan bumi Punjab, bumi Rusia atau bumi Amerika—bumi ini milik kita, milik Anda dan milik saya; dan itu bukan omong kosong sentimental, itu fakta. Tetapi sayang sekali, kita telah membagi-baginya dengan keremehan kita, dengan sikap kedaerahan kita. Dan kita tahu mengapa kita melakukannya—demi rasa aman kita, demi lapangan pekerjaan yang lebih baik dan lebih banyak. Itulah permainan politik yang dimainkan orang di seluruh dunia; sehingga kita lupa untuk menjadi manusia, untuk hidup berbahagia di muka bumi yang kita miliki, dan memanfaatkannya. 5 September Intelek Kilatan Pemahaman Saya tidak tahu apakah Anda pernah memperhatikan bahwa terdapat pemahaman apabila batin sangat hening, sekalipun hanya untuk satu detik. Terdapat kilatan pemahaman ketika ocehan kata-kata dari pikiran tidak ada. Cobalah bereksperimen dengan itu, dan Anda akan melihat sendiri bahwa Anda memperoleh kilatan pemahaman, pencerahan cepat yang luar biasa itu, ketika batin sangat diam; ketika pikiran tidak ada, ketika batin tidak dibebani kebisingannya sendiri. Jadi, memahami apa pun—sebuah lukisan modern, seorang anak kecil, istri Anda, tetangga Anda, atau memahami kebenaran, yang ada di dalam segala sesuatu—hanya bisa muncul apabila batin sangat diam. Tetapi diam seperti itu tidak bisa dipupuk, oleh karena kalau Anda memupuk batin yang diam, itu bukan batin diam, itu batin mati. Semakin Anda berminat terhadap sesuatu, semakin Anda bermaksud memahami, semakin sederhana, jernih, dan bebas batin Anda. Lalu kata-kata berakhir. Bagaimana pun juga, pikiran adalah kata, dan kata itulah yang mengganggu. Tabir kata-katalah, yang adalah ingatan, yang campur tangan di antara tantangan dan respons. Katalah yang merespons tantangan, respons itu kita namakan penalaran. Jadi, batin yang berceloteh, yang menggunakan kata-kata, tidak bisa memahami kebenaran—kebenaran dalam hubungan, bukan kebenaran abstrak. Tidak ada kebenaran abstrak. Tetapi kebenaran sangatlah halus. ... Seperti pencuri di tengah malam, ia datang dalam kegelapan, bukan ketika Anda siap untuk menerimanya. 6 September Intelek Intelek yang Tak Terjaga Anda hanya dapat mengenal diri Anda sendiri ketika Anda tidak sadar, ketika Anda tidak menghitung-hitung, tidak melindungi, tidak terus-menerus mengawasi untuk menuntun, mengubah, menaklukkan, mengendalikan; ketika Anda melihat diri Anda secara tak terduga, maksudnya, ketika batin tidak mempunyai prakonsepsi mengenai dirinya, ketika batin terbuka, tidak siap untuk menghadapi apa yang tak dikenal. Jika batin Anda siap, jelas Anda tidak mungkin mengetahui apa yang tak dikenal, oleh karena Andalah yang tak dikenal. Jika Anda berkata kepada diri sendiri, ”Aku Tuhan,” atau ”Aku tidak lebih dari seonggok pengaruh masyarakat atau seonggok sifat-sifat,”—jika Anda mempunyai prakonsepsi mengenai diri Anda, Anda tidak dapat memahami apa yang tak dikenal, apa yang spontan. Jadi, spontanitas hanya muncul ketika batin tidak terjaga, ketika ia tidak melindungi dirinya sendiri, ketika ia tidak lagi takut bagi dirinya sendiri; dan ini hanya bisa terjadi dari dalam. Artinya, apa yang spontan haruslah yang baru, yang tak dikenal, yang tak diperhitungkan, yang kreatif, apa yang harus diungkapkan, dicintai, yang di situ kemauan sebagai proses intelek, pengendalian, pengarahan tidak berperan. Amatilah keadaan emosi Anda, dan Anda akan melihat bahwa saat-saat sukacita besar, gairah besar, tidak pernah direncanakan lebih dulu; mereka terjadi secara misterius, gelap, tanpa dikenal. 7 September Pikiran Ingatan Tidak Punya Kehidupan Dalam Dirinya Apakah yang kita maksud dengan pikiran? Kapan Anda berpikir? Jelas, pikiran adalah hasil dari suatu respons, neurologis atau psikologis, bukan? Ia adalah respons seketika dari pancaindra terhadap suatu sensasi indra; atau ia bersifat psikologis, respons terhadap ingatan yang tertimbun. Ada respons seketika dari syaraf terhadap suatu sensasi indra; dan ada respons psikologis dari ingatan yang tertimbun, pengaruh ras, kelompok, guru spiritual, keluarga, tradisi, dan seterusnya—semua ini Anda namakan pikiran. Jadi, proses pikiran adalah respons dari ingatan, bukan? Anda tidak punya pikiran kalau Anda tidak punya ingatan, dan respons ingatan terhadap suatu pengalaman tertentu menggerakkan proses pikiran. Jadi, apakah ingatan itu? Jika Anda mengamati ingatan Anda sendiri dan bagaimana Anda mengumpulkan ingatan, Anda akan melihat bahwa ingatan itu faktual, teknis, dan berkaitan dengan informasi, dengan rekayasa, matematika, dan sebagainya; atau ingatan adalah sisa dari suatu pengalaman yang tidak tuntas, tidak terselesaikan, bukan? Amatilah ingatan Anda sendiri, dan Anda akan melihatnya. Bila Anda menyelesaikan suatu pengalaman, menuntaskannya, tidak ada ingatan dari pengalaman itu dalam arti suatu sisa psikologis. Hanya ada sisa apabila suatu pengalaman tidak dipahami secara penuh; dan tidak ada pemahaman dari pengalaman oleh karena kita memandang setiap pengalaman melalui ingatan-ingatan masa lampau, dan oleh karena itu kita tidak pernah menghadapi apa yang baru sebagai baru, melainkan selalu melalui tabir penyaring masa lampau. Oleh karena itu, jelas bahwa respons kita terhadap pengalaman selalu terkondisi, selalu terbatas. 8 September Pikiran Kesadaran Adalah dari Masa Lampau Jika Anda memahami dengan sangat teliti, Anda akan melihat bahwa pikiran bukan sesuatu yang konstan, melainkan terdapat suatu selang waktu di antara dua pikiran. Sekalipun mungkin hanya sepersekian detik lamanya, terdapat selang waktu yang penting di dalam ayunan bandul pulang pergi ini. Kita melihat fakta bahwa proses berpikir kita terkondisi oleh masa lampau, yang diproyeksikan ke masa depan. Pada saat Anda memasukkan masa lampau, Anda memasukkan pula masa depan, oleh karena yang ada bukanlah dua keadaan sebagai masa lampau dan masa depan, melainkan satu keadaan yang mencakup yang sadar dan yang tak sadar, masa lampau kolektif maupun masa lampau individual. Masa lampau kolektif dan individual, dalam merespons masa kini memberikan respons-respons tertentu yang menciptakan kesadaran individual; oleh karena itu kesadaran adalah dari masa lampau, dan itulah seluruh latar belakang eksistensi kita. Pada saat Anda mempunyai masa lampau, mau tidak mau Anda mempunyai masa depan, oleh karena masa depan hanyalah kelanjutan dari masa lampau yang diubah, namun itu masih masa lampau. Jadi masalah kita adalah bagaimana menghasilkan suatu transformasi dalam proses masa lampau ini tanpa menciptakan pengkondisian baru, masa lampau baru. 9 September Pikiran Mengapa Kita Tak Acuh? Si pemikir memikirkan pikiran-pikirannya melalui kebiasaan, melalui pengulangan, melalui peniruan, yang menghasilkan ketidaktahuan dan kesedihan. Bukankah kebiasaan itu ketakacuhan? Keadaan-sadar menciptakan ketertiban, tetapi tidak pernah menciptakan kebiasaan. Kecenderungan-kecenderungan yang mengendap hanya menghasilkan sikap tak acuh. Mengapa kita tak acuh? Oleh karena berpikir itu menyakitkan; berpikir menciptakan gangguan, membawa pertentangan, mungkin membuat kita bertindak berlawanan dengan pola yang mapan. Memikir-merasa secara meluas, menjadi sadar tanpa memilih, mungkin akan membawa kepada kedalaman-kedalaman yang tak dikenal, dan batin berontak terhadap apa yang tak dikenal. Jadi batin bergerak dari yang diketahui kepada yang diketahui, dari kebiasaan kepada kebiasaan, dari pola kepada pola. Batin seperti itu tidak pernah melepaskan apa yang diketahui untuk menemukan apa yang tak diketahui. Menyadari sakitnya berpikir, si pemikir menjadi tak acuh melalui peniruan, melalui kebiasaan; oleh karena takut berpikir, ia menciptakan pola-pola ketakacuhan. Karena si pemikir takut, tindakannya lahir dari ketakutan, kemudian ia mengamati tindakannya, dan mencoba mengubahnya. Si pemikir takut terhadap ciptaannya sendiri; tetapi perbuatan adalah yang berbuat, jadi si pemikir takut terhadap dirinya sendiri. Si pemikir adalah ketakutan itu sendiri; si pemikir adalah sebab dari ketaktahuan, dari kesedihan. Si pemikir mungkin membagi dirinya menjadi banyak kategori pikiran, tetapi pikiran itu tetap si pemikir. Si pemikir beserta upayanya untuk berada, untuk menjadi sesuatu, justru adalah akar dari konflik dan kebingungan. 10 September Pikiran Si Pemikir Adalah Pikiran Tidakkah penting untuk memahami si pemikir, si pelaku, si aktor, oleh karena pikirannya, perbuatannya, aksinya tidak bisa dipisahkan dari dia? Si pemikir adalah pikirannya, si pelaku adalah perbuatannya, si aktor adalah aksinya. Di dalam pikirannya si pemikir terungkap. Si pemikir melalui tindakan-tindakannya menciptakan kesengsaraannya, ketidaktahuannya, pergulatannya sendiri. Si pelukis melukis gambar kebahagiaan, kesedihan, kebingungan yang selalu berlalu ini. Mengapa ia menghasilkan gambar yang menyakitkan ini? Jelas, ini masalah yang harus dipelajari, dipahami dan dipecahkan. Mengapa si pemikir memikirkan pikirannya, yang dari situ mengalir semua tindakannya? Inilah dinding batu, yang selama ini Anda adu kepala Anda terhadapnya, bukan? Jika si pemikir dapat mengatasi dirinya, maka semua konflik akan berakhir; dan untuk dapat mengatasinya ia harus mengenal dirinya. Apa yang dikenal dan dipahami, apa yang terpenuhi dan tertuntaskan tidak akan mengulangi dirinya lagi. Pengulanganlah yang memberikan kelangsungan terhadap si pemikir. 11 September Pikiran Tidak Ada Kebebasan Berpikir Saya tidak tahu apakah jelas bagi masing-masing dari kita bahwa kita hidup dalam kontradiksi. Kita bicara tentang perdamaian, dan bersiap-siap untuk perang. Kita bicara tentang tanpa-kekerasan, dan secara mendasar keras. Kita bicara tentang menjadi baik, dan kita tidak baik. Kita bicara tentang cinta, dan kita penuh ambisi, penuh sikap kompetitif, penuh efisiensi yang tak kenal ampun. Jadi ada kontradiksi. Tindakan yang berasal dari kontradiksi hanya melahirkan frustrasi dan menghasilkan kontradiksi lebih jauh. ... Begini, Bapak-Bapak, semua pikiran bersifat parsial; pikiran tidak pernah total. Pikiran adalah respons dari ingatan; dan ingatan selalu bersifat parsial, oleh karena ingatan adalah hasil dari pengalaman. Jadi, pikiran adalah reaksi dari batin yang terkondisi oleh pengalaman. Semua pemikiran, semua pengalaman, semua pengetahuan mau tidak mau bersifat parsial; oleh karena itu, pikiran tidak dapat memecahkan banyak masalah yang kita hadapi. Anda mungkin menggunakan akal budi secara logis, secara waras, tentang banyak masalah ini; tetapi jika Anda mengamati batin Anda sendiri, Anda akan melihat bahwa pemikiran Anda terkondisi oleh situasi Anda, oleh budaya tempat Anda dilahirkan, oleh makanan yang Anda makan, oleh iklim tempat Anda tinggal, oleh koran yang Anda baca, oleh tekanan dan pengaruh dari kehidupan Anda sehari-hari. ... Jadi, kita harus memahami dengan jelas sekali bahwa pemikiran kita adalah respons dari ingatan, dan ingatan bersifat mekanistik. Pengetahuan tidak pernah tuntas, dan semua pemikiran yang lahir dari pengetahuan bersifat terbatas, parsial, tidak pernah bebas. Jadi, tidak ada kebebasan berpikir. Tetapi kita dapat mulai menemukan suatu kebebasan yang bukan proses pikiran, dan yang di situ batin sekadar sadar akan segenap konflik-konfliknya dan segenap pengaruh yang menimpanya. 12 September Pikiran Berpikir Tanpa Si Pemikir Monyet di pohon merasa lapar, lalu muncul dorongan untuk mengambil sebiji buah atau biji-bijian. Tindakan datang lebih dulu, baru kemudian muncul gagasan bahwa sebaiknya Anda menyimpan makanan itu. Dengan kata lain, apakah tindakan datang lebih dulu, ataukah si pelaku? Adakah si pelaku tanpa tindakannya? Pahamkah Anda? Inilah yang selalu kita pertanyakan kepada diri sendiri: Siapakah yang melihat? Siapakah si pengamat? Apakah si pemikir, kalau terpisah dari pikirannya; apakah si pengamat, kalau terpisah dari apa yang diamati; apakah si penerima pengalaman, kalau terpisah dari pengalamannya; apakah si pelaku, kalau terpisah dari tindakannya? ... Tetapi, jika Anda betul-betul meneliti prosesnya, dengan sangat teliti, dengan tajam dan dengan cerdas, Anda akan melihat bahwa selalu terdapat tindakan lebih dulu; dan tindakan itu beserta tujuan yang dibayangkannya menciptakan si pelaku. Dapatkah Anda pahami ini? Jika tindakan mempunyai tujuan yang dibayangkan, maka upaya mencapai tujuan itu melahirkan si pelaku. Jika Anda berpikir dengan jernih dan tanpa prasangka, tanpa menyesuaikan diri, tanpa usaha meyakinkan orang lain, tanpa suatu tujuan yang dibayangkan, maka dalam berpikir seperti itu tidak ada si pemikir—yang ada hanyalah pemikiran. Hanya bila Anda mencari suatu tujuan dalam pemikiran Anda, maka ’Anda’ menjadi penting, dan bukan pikiran itu. Mungkin beberapa di antara kalian pernah mengamati ini. Ini sungguh penting untuk ditemukan, oleh karena dari situ kita akan tahu bagaimana harus bertindak. Jika si pemikir datang lebih dulu, maka si pemikir lebih penting daripada pikirannya; dan semua filsafat, adat istiadat, dan kegiatan dari peradaban masa kini didasarkan pada asumsi itu. Tetapi jika pikiran datang lebih dulu, maka pikiran lebih penting daripada si pemikir. 13 September Pengetahuan Persepsi Seketika Bagi saya, yang ada hanyalah persepsi—yakni melihat sesuatu sebagai benar atau salah dengan seketika. Persepsi seketika ini tentang apa yang benar dan apa yang salah adalah faktor yang esensial—bukan intelek, beserta penalarannya berdasarkan kecerdikannya, pengetahuannya, komitmennya. Kadang-kadang Anda mungkin mengalami bahwa Anda melihat kebenaran sesuatu dengan seketika—seperti kebenaran bahwa Anda tidak mungkin masuk ke dalam apa pun. Itulah persepsi: melihat kebenaran sesuatu dengan seketika, tanpa analisis, tanpa penalaran, tanpa segala sesuatu yang diciptakan oleh intelek untuk menunda persepsi. Ini berbeda sama sekali dengan intuisi, suatu kata yang kita gunakan dengan gampang dan tanpa berpikir panjang. ... Bagi saya, yang ada hanyalah persepsi langsung ini—bukan penalaran, bukan perhitungan, bukan analisis. Anda perlu memiliki kemampuan menganalisis; Anda perlu memiliki batin yang baik dan tajam untuk dapat memikir; tetapi suatu batin yang terbatas pada akal budi dan analisis tidak mampu mencerap apa yang benar. ... Jika Anda menyatu dengan diri Anda sendiri, Anda akan tahu mengapa Anda masuk sesuatu, mengapa Anda menganut sesuatu; dan jika Anda mengamati lebih jauh, Anda akan melihat perbudakan, hilangnya kebebasan, tidak adanya martabat manusiawi yang diakibatkan oleh penganutan seperti itu. Jika Anda mencerap semua ini dengan seketika, maka Anda bebas; Anda tidak perlu berupaya untuk bebas. Itulah sebabnya mengapa persepsi penting. 14 September Pengetahuan Pemahaman Saat-demi-Saat Pemahaman mendasar tentang diri sendiri tidak datang melalui pengetahuan, atau melalui penumpukan pengalaman, yang tidak lebih dari sekadar pemupukan ingatan. Pemahaman diri sendiri adalah dari saat ke saat. Jika kita hanya sekadar menimbun pengetahuan tentang diri sendiri, pengetahuan itu sendiri menghalangi pemahaman lebih lanjut, oleh karena pengetahuan dan pengalaman yang ditimbun akan menjadi pusat, yang melalui itu pikiran terpusat dan berada. 15 September Pengetahuan Pahami Proses Berpikir Anda Misalkan Anda tidak pernah membaca sebuah buku, entah buku agama entah buku psikologi, dan Anda harus menemukan makna, arti dari kehidupan. Bagaimana Anda melakukannya? Misalkan tidak ada Guru-Guru, tidak ada lembaga-lembaga agama, tidak ada Buddha, tidak ada Kristus, dan Anda harus mulai dari awal. Bagaimana Anda melakukannya? Pertama-tama, Anda perlu memahami proses berpikir Anda, bukan?—dan tidak memproyeksikan diri Anda, pikiran-pikiran Anda, ke masa depan dan menciptakan suatu Tuhan yang menyenangkan hati Anda; itu terlalu kekanak-kanakan. Jadi, pertama-tama Anda perlu memahami proses berpikir Anda. Itulah satu-satunya jalan untuk menemukan sesuatu yang baru, bukan? Bila kita berkata bahwa pembelajaran dan pengetahuan merupakan penghalang, rintangan, yang kita maksudkan bukan pengetahuan teknis—bagaimana mengemudikan mobil, bagaimana menjalankan mesin—atau efisiensi yang dihasilkan oleh pengetahuan seperti itu. Yang kita maksudkan adalah sesuatu yang lain: suatu rasa kebahagiaan kreatif yang tidak dapat dihasilkan oleh pengetahuan atau pembelajaran sebanyak apa pun. Menjadi kreatif—dalam arti kata itu yang paling sejati—berarti bebas dari masa lampau dari saat ke saat, oleh karena masa lampaulah yang terus-menerus membayangi masa kini. Sekadar berpegang pada informasi, pada pengalaman orang lain, pada apa yang dikatakan orang lain, betapa pun luhurnya, dan mencoba menyesuaikan tindakan Anda dengan itu—semua itu adalah pengetahuan, bukan? Tetapi, untuk menemukan sesuatu yang baru, Anda harus berangkat sendiri; Anda harus mulai melangkah dalam suatu perjalanan, dengan telanjang sama sekali, terutama telanjang dari pengetahuan, oleh karena mudah sekali—melalui pengetahuan atau kepercayaan—untuk memperoleh pengalaman, tetapi pengalaman-pengalaman ini hanyalah sekadar produk dari proyeksi diri, dan oleh karena itu sama sekali tidak nyata, palsu. 16 September Pengetahuan Pengetahuan Bukan Kearifan Di dalam mencari pengetahuan, di dalam keinginan menumpuk, kita kehilangan cinta, kita menumpulkan rasa akan keindahan, kepekaan akan kekejaman; makin lama kita makin terspesialisasi, dan makin kurang terintegrasi. Kearifan tidak bisa digantikan oleh pengetahuan; sebanyak apa pun penjelasan diberikan, sebanyak apa pun fakta dikumpulkan, tidak akan membebaskan manusia dari penderitaan. Pengetahuan itu perlu, sains mempunyai tempatnya; tetapi jika batin dan hati tercekik oleh pengetahuan, dan jika sebab-musabab penderitaan dicoba untuk dihilangkan dengan dijelaskan, hidup menjadi sia-sia dan tanpa makna. ... Informasi, pengetahuan akan fakta-fakta, sekalipun terus bertambah, pada dasarnya selalu terbatas. Kearifan tidak terbatas; ia mencakup pengetahuan, dan tindakan; tetapi kita memegang suatu cabang, dan mengira itu seluruh pohon. Melalui pengetahuan tentang sebagian, kita tidak pernah merealisasikan sukacita dari keseluruhan. Intelek tidak pernah dapat menjangkau keseluruhan, oleh karena ia hanyalah sekadar suatu segmen, bagian. Kita telah memisahkan intelek dari perasaan, dan mengembangkan intelek sambil mengesampingkan perasaan. Kita seperti kursi berkaki tiga, dengan satu kaki jauh lebih panjang daripada kaki-kaki yang lain, dan kita tidak punya keseimbangan. Kita terdidik untuk menjadi intelektual. Pendidikan kita memupuk intelek agar menjadi tajam, licin, selalu berupaya memiliki, sehingga intelek paling berperan dalam kehidupan kita. Kecerdasan jauh lebih besar daripada intelek, oleh karena kecerdasan adalah paduan antara akal budi dan cinta; tetapi kecerdasan hanya mungkin ada apabila terdapat pengenalan-diri, pemahaman yang mendalam akan keseluruhan proses diri. 17 September Pengetahuan Fungsi Intelek Saya tidak tahu, pernahkan Anda merenungkan tentang fungsi intelek. Intelek beserta kegiatannya adalah baik pada tingkatan tertentu, bukan? Tetapi jika intelek mencampuri perasaan murni, maka orang menjadi remeh. Untuk mengetahui fungsi intelek, dan untuk menyadari perasaan murni itu, tanpa membiarkan keduanya bercampur dan saling melenyapkan, dibutuhkan kesadaran yang amat jernih dan tajam. ... Jadi, fungsi intelek adalah selalu menyelidik, menganalisis, mencari, bukan? Tetapi oleh karena kita ingin merasa aman secara batiniah, secara psikologis, oleh karena kita takut, cemas tentang kehidupan ini, kita sampai pada suatu kesimpulan tertentu, yang kemudian kita pegang erat-erat. Dari satu komitmen kita berlanjut ke komitmen lain; dan saya katakan, batin seperti itu, intelek seperti itu, yang menjadi budak kesimpulan, telah berhenti berpikir, berhenti menyelidik. 18 September Pengetahuan Jadilah Orang Luar Saya tidak tahu apakah Anda pernah mengamati betapa besarnya peran intelek dalam kehidupan kita. Koran, majalah, segala sesuatu di sekitar kita memupuk akal budi. Bukan berarti saya menentang akal budi. Sebaliknya, kita harus mempunyai kemampuan untuk berpikir secara jernih, secara tajam. Tetapi jika Anda amati, Anda akan menemukan bahwa intelek ini terus-menerus menganalisis, kenapa kita termasuk ini atau tidak termasuk itu, kenapa kita harus menjadi orang luar untuk menemukan realitas, dan sebagainya. Kita belajar proses menganalisis diri sendiri. Jadi, ada intelek dengan kemampuannya untuk menyelidik, menganalisis, berpikir dan mencapai kesimpulan; lalu ada perasaan, perasaan murni, yang selalu diinterupsi, diwarnai oleh intelek. Dan bila intelek mengganggu perasaan murni, dari gangguan itu muncullah batin yang remeh. Di satu sisi, kita memiliki intelek, dengan kemampuannya untuk berpikir berdasarkan kesenangan dan ketidaksenangannya, berdasarkan pengkondisiannya, berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya; dan di sisi lain, kita memiliki perasaan, yang dirusak oleh masyarakat, oleh rasa takut. Dan apakah keduanya akan mengungkapkan kebenaran? Ataukah yang ada hanya persepsi, dan tidak ada yang lain? 19 September Pengetahuan Batin yang Belajar Apakah yang kita maksud dengan belajar? Apakah terdapat belajar jika kita hanya sekadar menumpuk pengetahuan, mengumpulkan informasi? Itu satu jenis belajar, bukan? Sebagai mahasiswa teknologi, Anda belajar matematika, dan sebagainya; Anda belajar, memberikan informasi kepada diri Anda tentang subyek itu. Anda mengumpulkan pengetahuan untuk digunakan secara praktis. Belajar Anda bersifat kumulatif, menambah. Nah, jika batin sekadar mengambil, menambah, memperoleh, apakah itu belajar? Ataukah belajar itu sesuatu yang sama sekali lain? Saya berkata, proses penambahan yang sekarang kita namakan ’belajar’ ini bukan belajar sama sekali. Itu sekadar memupuk ingatan, yang menjadi mekanis; dan suatu batin yang berfungsi secara mekanis, seperti mesin, tidak mampu belajar. Sebuah mesin tidak mampu belajar, kecuali dalam arti menambah. Belajar adalah sesuatu yang lain sekali, seperti akan saya coba tunjukkan kepada Anda. Sebuah batin yang belajar tidak pernah berkata, ”Saya tahu,” oleh karena pengetahuan selalu bersifat parsial, sedangkan belajar selalu lengkap selamanya. Belajar bukan berarti mulai dengan sejumlah pengetahuan tertentu, lalu menambahkan pengetahuan baru kepadanya. Itu sama sekali bukan belajar; itu proses mekanis murni. Bagi saya, belajar adalah sama sekali lain, saya belajar tentang diri saya dari saat ke saat, dan diri ini luar biasa hidupnya; ia hidup, bergerak; ia tidak punya awal, tidak punya akhir. Ketika saya berkata, ”Saya tahu diri saya,” belajar pun berhenti dalam timbunan pengetahuan. Belajar tidak pernah bersifat kumulatif; ia adalah gerak mengetahui yang tidak punya awal tidak punya akhir. 20 September Pengetahuan Pengetahuan Mengharuskan Adanya Otoritas Tidak ada gerak belajar apabila terdapat perolehan pengetahuan; keduanya tidak cocok, keduanya saling bertentangan. Gerak belajar menyiratkan suatu keadaan yang di situ batin tidak memiliki pengalaman terdahulu yang tersimpan sebagai pengetahuan. Pengetahuan diperoleh; sedangkan belajar adalah gerak terus-menerus yang bukan proses menambahkan atau memperoleh. Oleh karena itu, gerak belajar menyiratkan suatu keadaan yang di situ batin tidak mempunyai otoritas. Semua pengetahuan mengharuskan adanya otoritas, dan suatu batin yang terpaku dalam otoritas pengetahuan tidak mungkin belajar. Batin hanya bisa belajar apabila proses penumpukan telah berakhir dengan sempurna. Agak sukar bagi kebanyakan dari kita untuk membedakan belajar dengan memperoleh pengetahuan. Melalui pengalaman, melalui membaca, melalui mendengarkan, batin mengumpulkan pengetahuan; itu adalah proses memperoleh, proses menambahkan kepada apa yang telah diketahui; dan dari latar belakang pengetahuan ini kita berfungsi. Nah, yang pada umumnya kita sebut belajar adalah proses yang sama yang memperoleh informasi baru dan menambahkannya pada gudang pengetahuan yang telah kita miliki. ... Tetapi saya berbicara tentang sesuatu yang lain sama sekali. Dengan belajar yang saya maksudkan bukanlah menambahkan kepada apa yang telah Anda ketahui. Anda hanya bisa belajar apabila tidak terdapat kelekatan pada masa lampau sebagai pengetahuan; artinya, apabila Anda melihat sesuatu yang baru dan tidak menerjemahkannya menurut apa yang diketahui. Batin yang belajar adalah batin yang polos; sedangkan batin yang hanya memperoleh pengetahuan adalah tua, tergenang, terusakkan oleh masa lampau. Suatu batin yang polos akan melihat dengan seketika; ia terus-menerus belajar tanpa menumpuk, dan hanya batin seperti itu yang matang. 21 September Pengetahuan Otak Menghasilkan Batin ... Apakah batin itu? Bila saya mengajukan pertanyaan ini, harap jangan menunggu jawaban dari saya. Pandanglah batin Anda sendiri; amati gerak-gerik pikiran Anda sendiri. Yang saya uraikan hanyalah suatu petunjuk; itu bukan realitas. Realitasnya harus Anda alami sendiri. Kata, uraian, simbol, bukanlah apa yang aktual. Kata ’pintu’ jelas bukan pintu. Kata ’cinta’ bukanlah perasaan, kualitas luar biasa yang ditunjukkan oleh kata itu. Jadi, janganlah kita mengacaukan kata, nama, simbol dengan faktanya. Jika Anda hanya berada di tingkat kata-kata dan mendiskusikan apa batin itu, Anda akan tersesat, oleh karena Anda lalu tidak pernah dapat merasakan kualitas dari hal menakjubkan yang disebut batin itu. Jadi, apakah batin itu? Jelas, batin adalah seluruh keadaan-sadar atau kesadaran kita; itu adalah keseluruhan gerak-gerik eksistensi kita, seluruh proses berpikir kita. Batin adalah hasil dari otak. Otak menghasilkan batin. Tanpa otak tidak akan ada batin; tetapi batin itu terpisah dari otak. Ia adalah anak dari otak. Jika otak terbatas, rusak, maka batin juga rusak. Otak, yang mencatat setiap rasa, setiap perasaan senang dan sakit, otak beserta segenap jaringannya, beserta segenap responsnya, menciptakan apa yang kita namakan batin, sekalipun batin itu tidak bergantung dari otak. Anda tidak harus menerima ini. Anda dapat bereksperimen dengannya dan melihatnya sendiri. 22 September Pengetahuan Batin yang Tertambat Kita berjalan terus seperti mesin dalam rutinitas sehari-hari kita yang melelahkan. Betapa dengan senang hati batin menerima suatu pola eksistensi, dan betapa eratnya ia melekat kepadanya! Seolah-olah terpancang dengan paku, batin terpaku dengan gagasan, dan di sekeliling gagasan itu ia hidup dan berada. Batin tidak pernah bebas, lentur, oleh karena ia selalu tertambat; ia bergerak dalam suatu radius, sempit atau lebar, dari pusat dirinya. Dari pusatnya ia tidak berani menjelajah; dan bila ia menjelajah, ia dicengkeram ketakutan. Ketakutan bukanlah takut akan apa yang tak diketahui; tetapi takut kehilangan apa yang diketahui. Yang tak diketahui tidak menimbulkan rasa takut; tetapi ketergantungan pada apa yang diketahuilah yang menimbulkan rasa takut. Ketakutan selalu bersama-sama dengan keinginan, keinginan untuk mendapat lebih banyak atau keinginan untuk membuang. Batin, dengan jalinan pola-pola yang tidak henti-hentinya, adalah pencipta waktu; dan bersama waktu terdapat rasa takut, harapan dan kematian. 23 September Pengetahuan Batin Adalah Hasil dari Waktu Batin selalu terpengaruh untuk berpikir menurut suatu garis tertentu. Dulu hanya lembaga-lembaga keagamaan yang mengatur batin Anda, tetapi sekarang pemerintah-pemerintah telah mengambil alih sebagian besar pekerjaan itu. Mereka ingin membentuk dan mengendalikan batin Anda. Pada permukaan, batin dapat menentang pengendalian mereka. ... Secara dangkal, Anda boleh ikut bicara dalam hal itu, tetapi di bawah permukaan, di bawah-sadar yang dalam, terdapat beban berat dari waktu, dari tradisi, yang mendorong Anda ke arah tertentu. Batin yang sadar sampai taraf tertentu dapat mengendalikan dan menuntun dirinya, tetapi di bawah-sadar ambisi Anda, masalah-masalah Anda yang tak terpecahkan, dorongan-dorongan Anda, takhyul, ketakutan, semua itu menunggu, berdebar, mendesak. ... Seluruh lapangan batin ini adalah hasil dari waktu; ia adalah hasil dari konflik dan penyesuaian, seluruh rangkaian penerimaan tanpa pemahaman penuh. Oleh karena itu, kita hidup dalam keadaan kontradiksi; kehidupan kita merupakan proses pergulatan tanpa henti. Kita tidak bahagia, dan kita ingin berbahagia. Bersifat keras, kita mempraktekkan cita-cita tanpa-kekerasan. Jadi, terdapat konflik yang berlangsung terus—batin ini adalah lapangan pertempuran. Kita ingin merasa aman, padahal di dalam batin tahu, secara mendalam, bahwa sesungguhnya yang dinamakan rasa aman itu tidak ada sama sekali. Kenyataannya adalah bahwa kita tidak mau menghadapi fakta bahwa tidak ada rasa aman; oleh karena itu, kita selalu mengejar rasa aman, dengan hasil takut merasa tidak aman. 24 September Pengetahuan Hidup Adalah Revolusi yang Terbesar Batin terpaku pada pola; eksistensinya sendiri adalah kerangka yang di dalamnya ia bekerja dan bergerak. Pola itu berasal dari masa lampau atau masa depan; ia adalah keputusasaan dan harapan, kekacauan dan utopia, apa yang pernah ada dan apa yang diharapkan ada. Kita semua kenal betul dengan semua ini. Anda ingin mematahkan pola yang lama dan menggantikannya dengan pola yang ”baru”; yang baru itu adalah ubahan dari yang lama. ... Anda ingin menghasilkan dunia baru. Itu tidak mungkin. Anda mungkin mengelabui diri Anda dan orang lain, tapi sebelum pola lama itu runtuh sama sekali, tidak mungkin ada transformasi yang radikal. Anda mungkin bermain-main di sekelilingnya, tetapi Anda bukanlah harapan dunia. Runtuhnya pola, baik yang lama maupun yang katanya baru, adalah sangat penting apabila diharapkan ketertiban muncul dari kekacauan ini. Itulah sebabnya penting untuk memahami gerak-gerik batin. ... Mungkinkah batin berada tanpa pola, bebas dari ayunan keinginan yang maju-mundur ini? Pasti mungkin. Tindakan seperti itu adalah hidup pada saat kini. Hidup berarti berada tanpa harapan, tanpa menghiraukan hari esok; itu bukan putus asa atau tak acuh. Tetapi sekarang ini kita tidak hidup; kita selalu mengejar kematian, masa lampau atau masa depan. Hidup adalah revolusi yang terbesar. Hidup tidak punya pola, tapi kematian punya: masa lampau atau masa depan, yang pernah ada atau utopia. Anda hidup demi utopia, dan dengan demikian Anda mengundang kematian dan bukan hidup. 25 September Pengetahuan Revolusi Batin Apa yang benar hanya dapat ditemukan dari saat ke saat; ia bukan suatu kontinuitas. Tapi batin yang ingin menemukannya—oleh karena dirinya adalah produk dari waktu—hanya dapat berfungsi di dalam medan waktu; oleh karena itu, ia tidak mampu menemukan apa yang benar. Untuk mengetahui batin, batin harus mengetahui dirinya, oleh karena tidak ada sang ’aku’ yang terpisah dari batin. Tidak ada sifat-sifat yang terpisah dari batin, persis seperti sifat-sifat sebutir intan tidak terpisah dari intan itu sendiri. Untuk memahami batin, Anda tidak dapat menafsirkannya menurut gagasan orang lain, melainkan Anda harus mengamati bagaimana keseluruhan batin Anda bekerja. Bila Anda mengetahui keseluruhan proses itu—bagaimana ia berpikir, keinginannya, motifnya, ambisinya, apa yang dikejarnya, iri hatinya, keserakahannya, dan ketakutannya—maka batin dapat melangkah keluar dari dirinya; dan bila itu terjadi, terdapatlah penemuan akan sesuatu yang sama sekali baru. Sifat baru ini memberikan gairah yang luar biasa, semangat yang hebat, yang menghasilkan revolusi batin yang mendalam; dan hanya revolusi batin inilah yang dapat mengubah dunia, bukan suatu sistem politik atau ekonomi apa pun. 26 September Pengetahuan Yang Ada Hanyalah Kesadaran Sesungguhnya hanya ada satu keadaan, bukan dua keadaan seperti kesadaran dan bawah-sadar; hanya ada satu keberadaan, yakni kesadaran, sekalipun Anda mungkin membaginya menjadi kesadaran dan bawah-sadar. Tetapi kesadaran itu selalu berasal dari masa lampau, tidak pernah pada saat kini; Anda hanya menyadari hal-hal yang telah lewat. Anda menyadari apa yang saya coba sampaikan pada detik berikutnya, bukan? Anda memahaminya sesaat kemudian. Anda tidak pernah sadar atau menyimak saat kini. Amatilah hati dan pikiran Anda sendiri, dan Anda akan melihat bahwa kesadaran berfungsi antara masa lampau dan masa depan, dan bahwa masa kini sekadar jembatan dari masa lampau ke masa depan. Jika Anda mengamati kerja pikiran Anda, Anda akan melihat bahwa gerakan ke masa lampau dan ke masa depan adalah suatu proses yang di situ masa kini tidak ada. Entah masa lampau merupakan pelarian dari masa kini, yang mungkin tidak menyenangkan; entah masa depan merupakan harapan yang jauh dari masa kini. Jadi pikiran sibuk dengan masa lampau dan masa depan dan mengabaikan masa kini ... Pikiran entah mengutuk dan menolak fakta, entah menerima dan mengakrabi fakta. Pikiran seperti itu jelas tidak mampu melihat fakta apa pun sebagai fakta. Artinya, keadaan sadar kita, yang terkondisi oleh masa lampau dan oleh pikiran kita, tidak lain adalah respons terkondisi terhadap tantangan fakta; semakin Anda merespons menurut pengkondisian kepercayaan, pengkondisian masa lampau, semakin masa lampau diperkuat. Penguatan masa lampau itu jelas adalah kelangsungan dari diri, yang dinamakannya masa depan. Begitulah keadaan pikiran kita, keadaan kesadaran kita—suatu bandul yang berayun maju mundur antara masa lampau dan masa depan. 27 September Pengetahuan Di Luar Waktu Batin yang terkondisi tentu tidak dapat menemukan apa yang berada di luar waktu. Artinya, batin seperti yang kita kenal ini terkondisi oleh masa lampau. Masa lampau, bergerak melalui masa kini ke masa depan, mengkondisikan batin; dan batin yang terkondisi seperti ini, yang berada dalam konflik, dalam kesulitan, merasa takut, merasa tidak yakin, mencari sesuatu yang berada di luar perbatasan waktu. Itulah yang kita semua lakukan dengan berbagai cara, bukan? Tetapi bagaimana suatu batin, yang adalah hasil dari waktu, menemukan sesuatu yang tanpa waktu? Seluruh bangunan kepercayaan Anda, bangunan harta benda Anda, bangunan kelekatan Anda dan cara berpikir Anda yang nyaman, terus-menerus didobrak. Tetapi batin ini terus mencari rasa aman, sehingga dengan demikian terdapat konflik antara apa yang Anda inginkan dengan apa yang dituntut oleh proses kehidupan dari Anda. Inilah yang terjadi dengan kita masing-masing. ... Saya tidak tahu apakah masalah ini menarik minat Anda sama sekali. Kehidupan sehari-hari, dengan segala kesukarannya, tampaknya cukup bagi kebanyakan dari kita. Satu-satunya minat kita adalah mencari jawaban seketika terhadap berbagai masalah kita. Tetapi cepat atau lambat, jawaban-jawaban seketika itu ternyata tidak memuaskan, karena tidak ada masalah yang mempunyai jawaban yang terpisah dari masalah itu sendiri. Tetapi jika saya memahami masalah itu, memahami segala liku-likunya, maka masalah itu tidak ada lagi. 28 September Pengetahuan Batin dengan Problem Bukanlah Batin yang Serius Salah satu pertanyaan pokok yang harus ditanyakan kepada diri sendiri adalah: Berapa jauh atau berapa dalam batin dapat menembus ke dalam dirinya sendiri? Itulah kualitas keseriusan, karena itu berimplikasi menyadari seluruh struktur diri psikologis kita, beserta dorongan-dorongannya, kebiasaan-kebiasaannya, keinginannya untuk memenuhi, beserta semua frustrasinya, kesengsaraannya, ketegangannya, dan kecemasannya, perjuangannya, kesedihannya, serta problem tak terhitung banyaknya yang dihadapinya. Batin yang terus-menerus memiliki problem bukanlah batin yang serius sama sekali. Tetapi batin yang memahami setiap problem pada saat munculnya dan mengatasinya dengan seketika sehingga tidak terbawa-bawa ke hari esok—batin seperti itulah yang serius. ... Apakah yang diminati oleh kebanyakan dari kita? Jika kita punya uang, kita berpaling kepada hal-hal yang kita sebut spiritual, atau kepada hiburan intelektual, atau kita mendiskusikan seni, atau kita melukis untuk mengungkapkan diri kita. Jika kita tidak punya uang, waktu kita tersita hari demi hari untuk mencari uang, dan kita terperangkap di dalam kesengsaraan itu, di dalam rutinitas tanpa akhir, serta kebosanannya. Kebanyakan dari kita terdidik untuk berfungsi secara mekanis dalam suatu pekerjaan, tahun demi tahun. Kita punya tanggung jawab, istri dan anak-anak yang harus dihidupi. Terperangkap dalam dunia gila ini, kita mencoba menjadi serius, mencoba menjadi religius, pergi ke tempat ibadah, masuk organisasi keagamaan ini-itu—atau barangkali mendengar adanya pertemuan sekarang ini, dan karena kita sedang libur kita datang kemari. Tetapi semua itu tidak akan menghasilkan transformasi batin yang luar biasa ini. 29 September Pengetahuan Batin Religius Mencakup Batin Ilmiah Suatu batin yang religius bebas dari segala otoritas. Dan luar biasa sukarnya untuk bebas dari otoritas—bukan saja otoritas yang diterapkan oleh orang lain, melainkan juga otoritas dari pengalaman yang telah kita kumpulkan, yang berasal dari masa lampau, yang adalah tradisi. Dan batin yang religius tidak punya kepercayaan; ia tidak punya dogma; ia bergerak dari fakta ke fakta, dan oleh karena itu batin religius adalah batin yang ilmiah. Tetapi batin yang ilmiah bukan batin yang religius. Batin religius mencakup batin ilmiah, tetapi batin yang terlatih dalam pengetahuan sains bukanlah batin religius. Sebuah batin yang religius berminat pada totalitas—bukan dengan suatu fungsi tertentu, melainkan dengan berfungsinya secara total eksistensi manusia. Otak berkepentingan dengan suatu fungsi tertentu, ia berspesialisasi. Ia berfungsi dalam spesialisasi sebagai seorang ilmuwan, seorang dokter, seorang insinyur, seorang pemain musik, seorang seniman, seorang penulis. Teknik-teknik yang terspesialisasi dan menyempit inilah yang menciptakan perpecahan, bukan hanya secara batiniah, melainkan juga secara lahiriah. Pada dewasa ini sang ilmuwan mungkin dianggap sebagai orang paling penting yang dibutuhkan masyarakat, seperti juga sang dokter. Dengan demikian fungsi menjadi mahapenting; dan bersama itu terdapat pula status, status adalah prestise. Maka bila ada spesialisasi ada pula kontradiksi dan penyempitan, dan itulah fungsi otak. 30 September OKTOBER •Waktu • Persepsi • Otak • Transformasi Waktu Waktu Tidak Memberikan Pemecahan Semua agama menyatakan bahwa diperlukan waktu, yakni waktu psikologis yang kita bicarakan. Surga terletak sangat jauh, dan orang hanya dapat sampai ke sana melalui proses evolusi yang berangsur-angsur, melalui penekanan, melalui pertumbuhan, atau melalui pengakraban dengan suatu obyek, dengan sesuatu yang lebih tinggi. Pertanyaan kita adalah apakah mungkin untuk bebas dari ketakutan secara langsung. Kalau tidak, ketakutan membuahkan kekacauan; waktu psikologis selalu membuahkan kekacauan luar biasa dalam diri kita. Saya mempertanyakan seluruh gagasan tentang evolusi; bukan evolusi dari badan fisik ini, melainkan evolusi pikiran, yang telah mengakrabi suatu wujud eksistensi tertentu di dalam waktu. Otak jelas telah berkembang sampai kepada tingkatannya sekarang ini, dan ia mungkin masih akan berkembang lebih jauh, meluas lebih jauh. Namun sebagai manusia, saya telah hidup selama empat puluh atau lima puluh tahun di dunia yang terbentuk dari segala macam teori, konflik, dan konsep; dalam suatu masyarakat yang di situ kerakusan, iri hati, dan persaingan telah membuahkan perang. Saya adalah bagian dari semua itu. Bagi seorang yang bersedih hati, tidak ada artinya berpaling kepada waktu untuk mencari pemecahan, dengan ber-evolusi perlahan-lahan selama dua juta tahun mendatang sebagai manusia. Dalam keadaan kita sekarang, mungkinkah untuk bebas dari ketakutan dan dari waktu psikologis? Waktu fisikal tentu ada; Anda tidak bisa lepas dari itu. Masalahnya adalah dapatkah waktu psikologis menghasilkan bukan saja ketertiban dalam individu, melainkan juga ketertiban sosial? Kita adalah bagian dari masyarakat; kita tidak terpisah. Jika terdapat ketertiban dalam diri seorang manusia, mau tidak mau akan terdapat pula ketertiban sosial secara lahiriah. 1 Oktober Waktu Keadaan Tanpa Waktu Kalau kita berbicara tentang waktu, maksud kita bukanlah waktu kronologis, waktu yang diukur dengan arloji. Waktu itu memang ada, harus ada. Jika Anda ingin mengejar bus, jika Anda ingin naik kereta api atau memenuhi janji bertemu esok pagi, Anda harus punya waktu kronologis. Tetapi adakah hari esok, secara psikologis, yang adalah waktu batin? Adakah sesungguhnya hari esok secara psikologis? Ataukah hari esok itu diciptakan oleh pikiran, oleh karena pikiran melihat mustahilnya perubahan secara langsung, seketika, lalu menciptakan proses yang berangsur-angsur ini? Saya melihat sendiri, sebagai manusia, bahwa adalah mahapenting untuk mengadakan revolusi radikal dalam cara saya hidup, berpikir, merasa, dan dalam tindakan-tindakan saya, dan saya berkata kepada diri sendiri, “Saya butuh waktu untuk itu; besok saya akan menjadi lain, atau bulan depan.” Itulah waktu yang kita bicarakan: struktur waktu psikologis, hari esok, atau masa depan, dan di dalam waktu seperti itulah kita hidup. Waktu adalah masa lampau, saat sekarang, masa depan—bukan menurut arloji. Saya ada, kemarin; kemarin bergerak melalui hari ini dan menciptakan masa depan. Itu cukup sederhana. Saya mempunyai pengalaman setahun lalu, yang terekam dalam batin saya, dan saat sekarang saya terjemahkan menurut pengalaman, pengetahuan, tradisi, keterkondisian itu, dan saya menciptakan hari esok. Saya terperangkap dalam lingkaran ini. Inilah yang kita sebut hidup; inilah yang kita namakan waktu. Pikiran, yang adalah Anda, beserta segala ingatan, keterkondisian, gagasan-gagasan, harapan-harapan, keputusasaan, kesepian eksistensi yang mencekam—semua itu adalah waktu. ... Dan untuk memahami keadaan tanpa waktu, ketika waktu berhenti, kita harus menyelidiki apakah batin dapat bebas total dari semua pengalaman, yang berasal dari waktu. 2 Oktober Waktu Hakikat Pikiran Sesungguhnya Waktu adalah pikiran, dan pikiran adalah proses yang menciptakan waktu, sebagai hari kemarin, hari ini, dan hari esok, sebagai alat yang kita gunakan untuk pencapaian, sebagai cara hidup. Waktu bagi kita adalah luar biasa penting; kehidupan demi kehidupan, satu kehidupan berlanjut kepada kehidupan lain yang diubah sedikit, yang terus berlanjut. Jelas, waktu adalah hakikat sesungguhnya dari pikiran, pikiran adalah waktu. Dan selama ada waktu sebagai alat untuk mencapai sesuatu, batin tidak bisa mengatasi dirinya sendiri—kualitas yang mengatasi diri dimiliki oleh batin yang baru, yang bebas dari waktu. Waktu adalah faktor bagi ketakutan. Dengan waktu, saya maksudkan bukan waktu kronologis, yang diukur dengan arloji: detik, menit, jam, hari, tahun, melainkan waktu sebagai proses psikologis, batiniah. Fakta inilah yang menimbulkan ketakutan. Waktu adalah ketakutan; karena waktu adalah pikiran, ia menghasilkan ketakutan. Waktulah yang menciptakan frustrasi, konflik, oleh karena persepsi yang seketika terhadap fakta ini, kesadaran terhadap fakta ini adalah tanpa waktu. ... Dengan demikian, untuk memahami ketakutan, orang harus sadar akan waktu—waktu sebagai jarak, ruang, ’aku’, yang diciptakan oleh pikiran sebagai hari kemarin, hari ini, dan hari esok, dengan menggunakan ingatan akan hari kemarin untuk menyesuaikan diri dengan saat sekarang, dan dengan demikian mengkondisikan masa depan. Dengan demikian, bagi kebanyakan dari kita, ketakutan adalah realitas yang luar biasa. Dan suatu batin yang terlibat ketakutan, terlibat rumitnya ketakutan, tidak pernah dapat bebas; ia tidak pernah memahami totalitas ketakutan tanpa memahami liku-liku waktu. Keduanya berjalan bersama-sama. 3 Oktober Waktu Kekacauan yang Diciptakan oleh Waktu Waktu berarti bergerak dari apa adanya menuju ’apa seharusnya’. Sekarang saya takut, tetapi suatu hari kelak saya akan bebas dari ketakutan, setidak-tidaknya itulah yang kita kira. Untuk berubah dari apa adanya kepada ’apa seharusnya’ terlibat waktu. Nah, waktu menyiratkan upaya di dalam interval antara apa adanya dan ’apa seharusnya’. Saya tidak suka ketakutan, dan saya akan berupaya untuk memahami, menganalisis, membedah, atau saya akan menemukan akar permasalahannya, atau saya akan melepaskan diri secara total dari ketakutan. Semua ini menyiratkan daya upaya—dan daya upaya itulah yang kita kenal sehari-hari. Kita selalu berada dalam konflik antara apa adanya dan ’apa seharusnya’. ’Apa seharusnya’ adalah suatu gagasan, dan gagasan itu fiktif, itu bukan ’apa adanya diri saya’ sekarang, yang adalah faktanya; dan ’apa adanya diri saya’ sekarang hanya dapat berubah apabila saya memahami kekacauan yang diciptakan oleh waktu. Jadi, mungkinkah bagi saya untuk bebas dari ketakutan secara total, sepenuhnya, dengan seketika? Jika saya biarkan ketakutan berlanjut, saya akan menciptakan kekacauan selamanya; dengan demikian kita melihat, bahwa waktu adalah unsur dari kekacauan, bukan suatu cara untuk pada akhirnya bebas dari ketakutan. Jadi, tidak ada proses berangsur-angsur untuk melenyapkan ketakutan, sama seperti tidak ada proses berangsur-angsur untuk melenyapkan racun nasionalisme. Jika Anda memiliki nasionalisme dan Anda berkata pada akhirnya nanti akan ada persaudaraan di antara sesama manusia, di dalam jangka waktu itu ada perang, ada kebencian, ada kesengsaraan, ada perpecahan yang mengerikan antara manusia dengan manusia; oleh karena itu, waktu menciptakan kekacauan. 4 Oktober Waktu Waktu Adalah Racun Di kamar mandi Anda ada sebuah botol berlabel ”racun”, dan Anda tahu itu racun; Anda berhati-hati sekali memegang botol itu, bahkan di dalam gelap. Anda selalu mengawasi botol itu. Anda tidak bertanya, ”Bagaimana saya harus menghindarkan diri, bagaimana saya harus mengawasi botol itu?” Anda tahu itu racun, sehingga Anda mengamatinya dengan teliti. Waktu adalah racun; waktu menciptakan kekacauan. Jika ini merupakan fakta bagi Anda, lalu Anda dapat memahami bagaimana untuk bebas dari ketakutan dengan seketika. Tetapi jika Anda masih melihat waktu sebagai cara untuk membebaskan diri, maka tidak ada komunikasi antara Anda dan saya. Coba lihat, ada lagi yang jauh lebih dalam; mungkin ada suatu jenis waktu yang sama sekali lain. Kita hanya memahami dua jenis waktu ini, waktu fisikal dan waktu psikologis, dan kita terperangkap di dalam waktu. Waktu fisikal memainkan peranan penting di dalam jiwa, dan jiwa mempunyai pengaruh penting terhadap badan. Kita terperangkap di dalam pertempuran ini, di dalam pengaruh ini. Kita harus menerima waktu fisikal untuk mengejar bus atau kereta api, tetapi jika kita menolak waktu psikologis sama sekali, maka kita mungkin dapat tiba pada suatu waktu yang sama sekali lain, suatu waktu yang tidak berhubungan dengan salah satu dari keduanya. Saya ingin Anda bersama saya memasuki waktu itu! Maka waktu bukan lagi kekacauan; waktu adalah ketertiban yang hebat. 5 Oktober Waktu Kebenaran Muncul Sebagai Kilatan Kebenaran atau pemahaman muncul sebagai kilatan, dan kilatan itu tidak mempunyai kontinuitas; ia tidak berada di dalam waktu. Cobalah lihat sendiri. Pemahaman adalah segar, seketika; ia bukan kontinuitas dari sesuatu yang pernah ada. Yang pernah ada tidak dapat memberi Anda pemahaman. Selama kita mencari kontinuitas—menginginkan kelestarian dalam hubungan, dalam cinta, mendambakan perdamaian yang lestari, dan sebagainya—kita mengejar sesuatu yang berada di dalam waktu, dan oleh karena itu tidak termasuk di dalam apa yang tanpa-waktu. 6 Oktober Waktu Sebuah Pengejaran Sia-sia Selama kita berpikir di dalam kerangka waktu, mau tidak mau akan ada ketakutan akan kematian. Saya telah belajar, tetapi saya belum menemukan yang tertinggi dan terakhir, dan sebelum saya mati saya harus menemukannya; atau, jika saya tidak menemukannya sebelum saya mati, setidak-tidaknya saya berharap akan menemukannya dalam kehidupan yang akan datang, dan seterusnya. Cara berpikir kita seluruhnya berdasarkan waktu. Proses berpikir kita adalah apa yang diketahui, ia adalah hasil dari yang diketahui, dan yang diketahui adalah proses waktu; dan dengan batin seperti itu kita mencoba menemukan apa artinya menjadi abadi, di luar waktu, yang adalah pengejaran sia-sia. Itu tidak ada artinya kecuali bagi para filsuf, ahli teori, dan ahli spekulasi. Jika saya ingin menemukan kebenaran, bukan esok, melainkan secara aktual, secara langsung, bukankah saya—sang ‘aku’, diri yang selalu menimbun, berjuang, dan memberikan kontinuitas melalui ingatan—harus berakhir? Apakah tidak mungkin untuk mati selagi hidup—bukan secara artifisial kehilangan ingatan, yang adalah amnesia, melainkan sungguh-sungguh berhenti menimbun melalui ingatan, dan dengan demikian berhenti memberi kelangsungan kepada sang ‘aku’? Sementara hidup di dunia ini, yang adalah di dalam waktu, tidak mungkinkah bagi batin untuk menghasilkan—tanpa paksaan dalam bentuk apa pun—suatu keadaan yang di situ dia yang mengalami dan pengalaman tidak mempunyai landasan? Selama ada dia yang mengalami, si pengamat, si pemikir, mau tidak mau ada ketakutan akan berakhirnya semua itu, dan oleh karena itu akan kematian. ... Jadi, jika mungkin bagi batin untuk mengetahui semua itu, untuk sadar sepenuhnya tentang itu, alih-alih sekadar berkata, “Ya, itu sederhana sekali”—jika batin dapat menyadari proses kesadaran secara total, melihat makna seluruhnya dari kontinuitas dan waktu, dan kesia-siaan pencarian melalui waktu untuk menemukan apa yang di luar waktu—jika batin dapat menyadari semua itu, maka mungkin ada suatu kematian yang sesungguhnya adalah kreativitas yang sepenuhnya di luar waktu. 7 Oktober Persepsi Persepsi Itu Bertindak Anda melihat dan saya tidak melihat—mengapa ini terjadi? Saya rasa itu terjadi karena kita terlibat di dalam waktu—Anda tidak melihat di dalam waktu, saya melihat di dalam waktu. Tindakan melihat Anda adalah tindakan dari seluruh keberadaan Anda, dan seluruh keberadaan Anda tidak terperangkap di dalam waktu; Anda tidak berpikir tentang pencapaian yang berangsur-angsur; Anda melihat sesuatu dengan seketika, dan persepsi itu sendiri bertindak. Saya tidak melihat; dan saya ingin menemukan mengapa saya tidak melihat. Apakah yang akan membuat saya melihat sesuatu secara total sehingga saya memahami keseluruhannya dengan seketika? Anda melihat seluruh struktur kehidupan: keindahannya, keburukannya, kesedihannya, sukacitanya, kepekaan luar biasa, keindahan—Anda melihat seluruhnya, dan saya tidak dapat melihatnya. Saya melihat sebagian darinya, tetapi saya tidak melihat seluruhnya. ... Orang yang melihat sesuatu secara total, yang melihat kehidupan secara total, jelas harus berada di luar waktu. Para hadirin, simaklah ini, karena ini sesungguhnya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari kita; ini bukan sesuatu yang spiritual, filosofis, lepas dari kehidupan sehari-hari. Jika kita memahami ini, maka kita akan memahami rutinitas, kebosanan, dan kesedihan sehari-hari, kecemasan dan ketakutan yang memuakkan. Jadi jangan kesampingkan itu dengan berkata, ”Apa kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari?” Ada kaitannya. Orang bisa melihat—setidak-tidaknya buat saya itu jelas sekali—bahwa Anda bisa memotong, seperti ahli bedah, seluruh tambang kesengsaraan dengan seketika. Itulah sebabnya saya ingin menyelaminya bersama Anda. 8 Oktober Persepsi Pada Tepi Semua Pikiran Apakah Anda pernah mengalami—saya yakin Anda pernah—bahwa Anda tiba-tiba mencerap sesuatu, dan pada saat persepsi itu Anda tidak mempunyai masalah sama sekali? Pada saat Anda mencerap masalah itu, masalah itu berakhir sepenuhnya. Apakah Anda paham, Pak? Anda mempunyai masalah, dan Anda memikirkannya, memperdebatkannya, mencemaskannya; Anda mengerahkan segala cara di dalam batas-batas pikiran Anda untuk memahaminya. Akhirnya Anda berkata, ”Tidak ada lagi yang bisa saya perbuat.” Tidak ada orang lain bisa membantu Anda untuk memahaminya:, tidak ada guru, atau kitab, yang mampu menolong Anda. Anda berada sendirian bersama masalah itu, dan tidak ada jalan keluar. Setelah menyelidiki masalah itu sejauh yang mampu Anda lakukan, Anda membiarkannya. Batin Anda tidak lagi cemas, tidak lagi mengoyak-ngoyak masalah itu, tidak lagi berkata, “Saya harus menemukan jawaban”; dengan demikian batin menjadi hening, bukan? Dan di dalam keheningan itu, Anda temukan jawabannya. Tidakkah hal itu kadang-kadang Anda alami? Itu bukan hal yang luar biasa. Itu terjadi pada ahli matematika dan ilmuwan yang besar, dan orang kadang-kadang mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya? Batin telah mengerahkan sepenuhnya kemampuannya untuk berpikir, dan telah sampai pada tepi semua pikiran tanpa menemukan suatu jawaban; oleh karena itu ia menjadi hening—bukan karena bosan, bukan karena lelah, bukan dengan berkata, “Saya akan menjadi hening dan dengan begitu akan menemukan jawaban.” Setelah melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk mendapatkan jawaban, batin secara spontan menjadi hening. Terdapat keadaan-sadar tanpa memilih-milih, tanpa menuntut, suatu keadaan-sadar yang di situ tidak ada kecemasan; dan dalam keadaan batin seperti itu terdapat persepsi. Hanya persepsi inilah yang akan memecahkan semua masalah kita. 9 Oktober Persepsi Sadar Tanpa Memilih Para orang arif selalu menganjurkan agar kita mencari pengalaman. Mereka berkata bahwa pengalaman memberikan pemahaman. Tetapi hanyalah batin yang polos, batin yang tidak dipenuhi pengalaman, yang bebas sepenuhnya dari masa lampau—hanya batin seperti itulah yang dapat mencerap kenyataan. Jika Anda melihat kebenaran hal itu, jika Anda mencerapnya sesaat saja, Anda akan tahu kejernihan luar biasa dari suatu batin yang polos. Ini berarti rontoknya seluruh kerak ingatan, yang adalah terlepasnya masa lampau. Tetapi untuk mencerap itu, tidak bisa dipersoalkan ”bagaimana”. Batin Anda tidak boleh terganggu oleh ”bagaimana”, terganggu oleh keinginan memperoleh jawaban. Batin seperti itu bukanlah batin yang menyimak. Seperti tadi telah saya katakan dalam ceramah ini, di dalam awal terdapat akhir. Di dalam awal terdapat benih dari akhir dari apa yang kita sebut kesedihan. Akhir dari kesedihan terealisasikan di dalam kesedihan itu sendiri, bukan di luar kesedihan. Beranjak pergi dari kesedihan berarti sekadar mencari jawaban, konklusi, pelarian; tetapi kesedihan terus berlanjut. Sebaliknya, jika Anda menyimak kesedihan sepenuhnya, yang berarti menyimak dengan seluruh keberadaan Anda, maka Anda akan melihat ada persepsi seketika yang di dalamnya tidak terlibat waktu, yang di dalamnya tidak terdapat daya upaya, tidak terdapat konflik. Dan persepsi seketika inilah, keadaan-sadar tanpa memilih, yang akan mengakhiri kesedihan. 10 Oktober Persepsi Batin yang Hening Aktif Batin yang sungguh-sungguh hening luar biasa aktif, hidup, kuat—bukan terhadap sesuatu secara khusus. Hanya batin seperti itulah yang bebas dari kata-kata—bebas dari pengalaman, dari pengetahuan. Batin seperti itu dapat mencerap apa yang benar, batin seperti itu mempunyai pencerapan langsung, yang berada di luar waktu. Batin hanya dapat diam bila ia memahami proses waktu, dan hal itu membutuhkan kewaspadaan, bukan? Tidakkah batin seperti itu bebas, bukan bebas dari sesuatu, melainkan bebas? Kita hanya tahu bebas dari sesuatu. Sebuah batin yang bebas dari sesuatu bukanlah batin yang bebas; kebebasan seperti itu, kebebasan dari sesuatu, hanyalah suatu reaksi, dan itu bukan kebebasan. Sebuah batin yang mencari kebebasan tidak pernah bebas. Tetapi batin itu bebas bila ia memahami faktanya, seperti apa adanya, tanpa menerjemahkan, tanpa mengutuk, tanpa menghakimi; dan karena bebas, batin seperti itu polos, sekalipun ia hidup 100 hari, 100 tahun, mempunyai semua pengalaman. Ia polos karena ia bebas, bukan dari sesuatu, melainkan di dalam dirinya sendiri. Hanya batin seperti itulah yang dapat mencerap apa yang benar, yang berada di luar waktu. 11 Oktober Persepsi Dari Persepsi Datanglah Energi Masalah sesungguhnya adalah membebaskan batin secara total sehingga ia berada dalam keadaan-sadar yang tidak mempunyai tepi, tidak mempunyai batas. Dan bagaimana batin dapat menemukan keadaan itu? Bagaimana ia sampai kepada kebebasan itu? Saya harap Anda mengajukan pertanyaan ini secara serius kepada diri Anda, karena bukan saya yang menanyakannya kepada Anda. Saya tidak mencoba mempengaruhi Anda; saya hanya menunjukkan pentingnya mengajukan pertanyaan ini kepada diri sendiri. Pengajuan pertanyaan ini secara lisan oleh orang lain tidak berarti apa-apa jika Anda tidak mengajukannya kepada diri Anda sendiri dengan tekun, dengan rasa mendesak. Batas kebebasan bertambah sempit dari hari ke hari, seperti tentu Anda lihat bila Anda benar-benar mengamati. Para politisi, para pemimpin, para rohaniwan, koran dan buku yang Anda baca, pengetahuan yang Anda peroleh, kepercayaan yang Anda anut—semua itu membuat batas-batas kebebasan semakin bertambah sempit. Jika Anda menyadari proses ini berlangsung, jika Anda sungguh-sungguh mencerap sempitnya roh, perbudakan batin yang semakin meningkat, maka Anda akan menemukan bahwa dari persepsi itu datanglah energi; dan energi yang lahir dari persepsi inilah yang akan menghancurleburkan batin yang remeh, batin yang terhormat, batin yang pergi ke tempat ibadah, batin yang penuh ketakutan. Demikianlah, persepsi adalah jalan kebenaran. 12 Oktober Persepsi Batin yang Berceloteh Mencerap sesuatu adalah pengalaman yang menakjubkan. Saya tidak tahu, pernahkah Anda sungguh-sungguh mencerap sesuatu—pernahkah Anda mencerap sekuntum bunga atau sebuah wajah atau langit atau laut. Sudah tentu, Anda melihat semua itu selagi Anda melintas naik bus atau mobil; tetapi saya bertanya-tanya, pernahkah Anda mencoba untuk sungguh-sungguh memandang sekuntum bunga? Dan ketika Anda memandang sekuntum bunga, apa yang terjadi? Anda dengan segera menamai bunga itu, Anda memikirkan apa jenis bunga itu, atau Anda berkata, “Betapa indah warnanya. Saya ingin menanamnya di tamanku; saya ingin memberikannya kepada istriku, atau menyisipkannya di lubang kancing bajuku,” dan seterusnya. Dengan kata lain, pada saat Anda memandang sekuntum bunga, batin Anda mulai berceloteh; oleh karena itu Anda tidak pernah mencerap bunga itu. Anda mencerap sesuatu hanya apabila batin Anda diam, jika batin tidak berceloteh. Jika Anda dapat memandang bintang senja di atas laut tanpa suatu gerak batin, maka Anda sungguh-sungguh mencerap keindahannya yang luar biasa; dan jika Anda mencerap keindahan, tidakkah Anda juga mengalami keadaan cinta? Sesungguhnya keindahan dan cinta adalah sama. Tanpa cinta tidak ada keindahan, dan tanpa keindahan tidak ada cinta. Keindahan ada di dalam wujud, keindahan ada di dalam ucapan, keindahan ada di dalam tingkah laku. Jika tidak ada cinta, tingkah laku adalah hampa; ia sekadar produk dari masyarakat, produk suatu budaya tertentu, dan apa yang dihasilkan bersifat mekanis, tanpa jiwa. Tetapi jika batin mencerap tanpa bergetar sedikit pun, maka ia mampu memandang kepada kedalaman total dari dirinya; dan persepsi seperti itu sungguh-sungguh tanpa-waktu. Anda tidak perlu melakukan sesuatu untuk mendatangkannya; tidak ada disiplin, tidak ada praktek, tidak ada metode yang dengan itu Anda bisa belajar mencerap. 13 Oktober Persepsi Pengetahuan Menyimpangkan Batin Anda hanya mempunyai satu alat, yaitu batin; dan batin adalah juga otak. Oleh karena itu, untuk menemukan kebenaran hal ini, Anda perlu memahami liku-liku batin, bukan? Jika batin Anda bengkok, Anda tidak bisa melihat lurus; jika batin Anda amat terbatas, Anda tidak bisa mencerap yang tanpa-batas. Batin adalah alat persepsi, dan untuk mencerap secara benar, batin itu harus diluruskan, ia harus dibersihkan dari segala keterkondisian, dari segala ketakutan. Batin juga harus bebas dari pengetahuan, oleh karena pengetahuan menyimpangkan batin dan membuat segala sesuatu terpuntir. Kemampuan batin yang hebat untuk menciptakan, membayangkan, berspekulasi, berpikir—tidakkah kemampuan ini perlu dikesampingkan sehingga batin menjadi amat jernih dan amat sederhana? Oleh karena hanyalah batin yang polos, batin yang mempunyai pengalaman sangat luas namun bebas dari pengetahuan dan pengalaman—hanya batin seperti itulah yang mampu menemukan apa yang lebih daripada sekadar otak dan batin. Kalau tidak, apa yang Anda temukan akan diwarnai oleh apa yang pernah Anda alami, dan pengalaman Anda adalah hasil dari pengkondisian Anda. 14 Oktober Persepsi Tenggelam Dalam Pengaruh Mengapa batin menjadi tua? Ia menjadi tua, dalam arti menjadi berkeriput, merosot, mengulang-ulang dirinya, terperangkap dalam kebiasaan—kebiasaan seksual, kebiasaan keagamaan, kebiasaan kerja, atau berbagai kebiasaan ambisi. Batin begitu terbebani dengan pengalaman dan ingatan yang tak terhitung jumlahnya, begitu rusak dan berparut dengan kesedihan sampai ia tak mampu melihat sesuatu secara segar, melainkan selalu menerjemahkan apa yang dilihatnya ke dalam kerangka ingatannya, kesimpulannya, rumusannya sendiri, selalu mengutip ini-itu; ia terikat pada otoritas; ia suatu batin yang uzur. Anda dapat melihat mengapa itu terjadi. Segenap pendidikan kita adalah sekadar pemupukan ingatan; dan ada komunikasi massa melalui majalah, radio, televisi; ada profesor yang membacakan kuliah dan mengulang hal yang sama berulang-ulang sampai otak Anda jenuh dengan apa yang mereka ulang, dan Anda memuntahkannya dalam ujian dan memperoleh gelar Anda dan terus melakukan proses itu—pekerjaan, rutinitas, pengulangan tanpa henti. Bukan hanya itu, melainkan juga ada perjuangan ambisi di dalam batin beserta segala frustrasinya, persaingannya—bukan hanya memperebutkan pekerjaan—melainkan juga memperebutkan Tuhan, ingin berada di dekatnya, menanyakan jalan paling cepat kepadanya. ... Maka, yang terjadi adalah dengan melalui tekanan, melalui stres, melalui ketegangan, batin kita dijejali, tenggelam dalam pengaruh, dalam kesedihan, secara sadar atau tidak ... Kita membuat batin kita aus, alih-alih memanfaatkannya. 15 Oktober Otak Otak Lama, Otak Hewaniah Kita Saya rasa penting untuk memahami kerja, fungsi, aktivitas dari otak lama. Bila otak baru bekerja, otak lama tidak mungkin memahami otak baru. Hanyalah jika otak lama, yang adalah otak terkondisi kita, otak hewaniah kita, otak yang telah dipupuk selama waktu berabad-abad, yang terus-menerus mencari keamanan dirinya, kenyamanan dirinya—hanyalah jika otak lama itu hening, Anda akan melihat ada suatu gerak yang sama sekali lain, dan gerak inilah yang akan menghasilkan kejernihan. Gerak inilah kejernihan itu sendiri. Untuk memahaminya, Anda harus memahami otak lama, menyadarinya, mengetahui segala gerak-geriknya, kegiatannya, tuntutannya, daya upayanya, dan itulah sebabnya meditasi amat penting. Yang saya maksud bukan pemupukan suatu kebiasaan pikiran tertentu secara sistematik dan absurd, dan sebagainya; semua itu amat tidak matang dan kekanak-kanakan. Dengan meditasi saya maksudkan memahami kerja otak lama, mengamatinya, mengetahui bagaimana ia bereaksi, apa saja responsnya, kecenderungannya, tuntutannya, daya upayanya yang agresif—mengetahui seluruhnya, bagian yang tak disadari maupun yang disadari. Bila Anda mengetahuinya, bila terdapat kesadaran akan hal itu, tanpa mengendalikannya, tanpa mengarahkannya, tanpa berkata, ”Ini baik, itu buruk; saya akan menyimpan ini, saya tidak akan menyimpan itu”—bila Anda melihat gerak total dari batin lama, bila Anda melihatnya secara total, maka ia menjadi hening. 16 Oktober Otak Batin yang Segar Saya rasa daya upaya terus-menerus untuk menjadi sesuatu, untuk mencapai sesuatu, adalah sebab sesungguhnya dari sifat destruktif batin dan menjadi uzurnya batin. Lihat betapa cepatnya kita menjadi uzur, bukan hanya mereka yang di atas enam puluh tahun, melainkan juga orang-orang muda. Betapa secara mental mereka sudah uzur! Sangat sedikit yang mempertahankan atau memelihara kualitas batin yang muda. Yang saya maksud dengan muda bukan batin yang semata-mata ingin bersenang-senang, berfoya-foya, melainkan batin yang tidak terkontaminasi, yang tidak tercoreng-moreng, terpiuh, terpuntir oleh berbagai kejadian dan pengalaman dalam kehidupan, batin yang tidak aus oleh perjuangan, oleh kesedihan, oleh pergulatan terus-menerus. Memang perlu memiliki batin yang muda, karena batin yang uzur penuh dengan parut ingatan sehingga ia tidak mampu hidup, tidak mampu bersungguh-sungguh, ia batin yang mati, batin yang telah berketetapan. Suatu batin yang telah mengambil keputusan dan menjalani hidup sesuai dengan keputusannya adalah batin yang mati. Tetapi batin yang muda adalah batin yang selalu melihat secara baru; suatu batin yang segar tidak membebani dirinya dengan ingatan yang tak terhitung banyaknya. Suatu batin yang tidak membawa-bawa bayangan penderitaan; sekalipun ia mungkin berjalan di dalam lembah kesedihan, tetap tak tergores. ... Saya rasa batin yang muda seperti itu bukan untuk diperoleh. Ia bukan suatu barang yang bisa dibeli melalui daya upaya, melalui pengorbanan. Tidak ada mata uang untuk memperolehnya, dan itu bukan sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Tetapi jika Anda melihat pentingnya hal itu, perlunya hal itu, jika Anda melihat kebenarannya, maka terjadilah sesuatu yang lain. 17 Oktober Otak Singkirkan Semua Metode Bagaimana batin yang religius atau batin yang baru itu muncul? Apakah Anda membutuhkan sebuah sistem, sebuah metode? Melalui sebuah metode—metode berarti suatu sistem, suatu praktek, sesuatu yang diulang-ulang hari demi hari? Apakah suatu metode dapat menghasilkan batin yang baru? ... Jelas bahwa suatu metode menyiratkan kontinuitas suatu praktek, diarahkan pada suatu jalan tertentu untuk mencapai suatu hasil tertentu—yang berarti mengembangkan suatu kebiasaan mekanis, dan melalui kebiasaan mekanis itu orang ingin mencapai batin yang tidak mekanis. ... Bila Anda menyebut ’disiplin’, semua disiplin didasarkan pada suatu metode menurut suatu pola tertentu; dan pola itu menjanjikan kepada Anda suatu hasil yang telah ditentukan lebih dulu oleh suatu batin yang telah memiliki kepercayaan, yang telah mengambil suatu sudut pandang tertentu. Jadi, apakah suatu metode, dalam arti luas atau sempit, dapat menghasilkan batin yang baru? Jika tidak, maka semua metode sebagai kebiasaan harus disingkirkan karena palsu. ... Metode hanya mengkondisikan batin menurut hasil yang diinginkan. Anda harus membuang semua proses mekanis dari batin. ... Batin harus membuang semua proses mekanis dari pikiran. Jadi, gagasan bahwa suatu metode, suatu sistem, suatu disiplin, suatu kebiasaan yang berkelanjutan akan menghasilkan batin seperti ini tidak benar. Jadi, semua ini harus disingkirkan seluruhnya sebagai sesuatu yang mekanis. Batin yang mekanis adalah batin yang tradisional; ia tidak dapat menanggapi kehidupan, yang tidak mekanis; jadi, metode perlu disingkirkan. 18 Oktober Otak Sebuah Batin Tanpa Tambatan atau Pelabuhan Anda membutuhkan batin yang baru, batin yang bebas dari waktu, batin yang tidak lagi berpikir dalam kerangka jarak dan ruang, batin yang tidak mempunyai cakrawala, batin yang tidak mempunyai tambatan atau pelabuhan. Anda membutuhkan batin seperti itu untuk berhadapan bukan hanya dengan apa yang abadi, melainkan juga dengan masalah-masalah eksistensi saat kini. Maka masalahnya adalah: Mungkinkah bagi kita masing-masing untuk memiliki batin seperti itu? Bukan berangsur-angsur, bukan memupuknya, oleh karena pemupukan, pengembangan, proses berarti waktu. Hal itu harus terjadi dengan seketika; harus ada transformasi sekarang, dalam arti suatu kualitas tanpa-waktu. Kehidupan adalah kematian, dan kematian menanti Anda; Anda tidak dapat berdebat dengan kematian seperti Anda berdebat dengan kehidupan. Jadi, mungkinkah memiliki batin seperti itu?–bukan sebagai pencapaian, bukan sebagai cita-cita, bukan sebagai sesuatu yang harus diraih, bukan sebagai sesuatu yang harus dituju, karena semua itu berarti waktu dan ruang. Kita mempunyai teori yang nyaman dan mewah bahwa ada waktu untuk maju, untuk sampai, untuk mencapai, untuk datang kepada kebenaran. Ini adalah gagasan yang salah, ini ilusi sepenuhnya—dalam arti itulah waktu adalah ilusi. 19 Oktober Otak Aktif tetapi Hening Untuk menemukan batin yang baru, bukan saja perlu memahami respons-respons dari otak yang lama, melainkan juga perlu batin yang lama menjadi hening. Batin yang lama harus aktif tetapi hening. Apakah Anda mengikuti apa yang saya katakan? Lihat, Pak! Bila Anda ingin menemukan sendiri dari tangan pertama—bukan apa yang dikatakan orang lain—mengenai ada-tidaknya suatu realitas; ada-tidaknya apa yang disebut Tuhan—kata ”Tuhan” bukanlah kenyataannya—batin lama Anda, yang telah dibesarkan dalam suatu tradisi, baik anti-Tuhan atau pro-Tuhan, dalam suatu budaya, dalam suatu pengaruh lingkungan dan propaganda, melalui berabad-abad pernyataan-pernyataan masyarakat, harus hening. Oleh karena kalau tidak, batin hanya akan memproyeksikan gambar-gambarnya sendiri, konsep-konsepnya sendiri, nilai-nilainya sendiri. Tetapi nilai-nilai itu, konsep-konsep itu, kepercayaan-kepercayaan itu adalah hasil dari apa yang telah dikatakan kepada Anda, atau hasil dari reaksi Anda terhadap apa yang dikatakan kepada Anda. Jadi, tanpa sadar Anda berkata, ”Ini pengalamanku!” Maka Anda harus mempertanyakan validitas pengalaman itu sendiri—pengalaman Anda sendiri atau pengalaman orang lain; tidak peduli siapa. Maka dengan memeriksa, menyelidik, bertanya, menuntut, meneliti, menyimak dengan penuh perhatian, reaksi otak lama menjadi hening. Tetapi otak tidak tertidur; ia sangat aktif, tetapi hening. Ia sampai pada keheningan itu melalui pengamatan, melalui penyelidikan. Dan untuk menyelidik, untuk mengamat, Anda membutuhkan cahaya; dan cahaya itu adalah kewaspadaan Anda yang terus-menerus. 20 Oktober Transformasi Ada Suatu Keheningan Saya harap Anda dapat menyimak, tetapi bukan dengan ingatan akan apa yang telah Anda ketahui; dan ini amat sukar dilakukan. Anda menyimak sesuatu, dan batin Anda bereaksi seketika dengan pengetahuannya, kesimpulannya, opininya, ingatan masa lampaunya. Ia menyimak, memeriksa, untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut. Amatilah diri Anda sendiri, bagaimana Anda menyimak, dan Anda akan melihat inilah yang terjadi. Entah Anda menyimak dengan sebuah kesimpulan, dengan pengetahuan, dengan ingatan, dengan pengalaman tertentu, atau Anda menginginkan suatu jawaban, dan Anda tidak sabar. Anda ingin tahu apa makna semua ini, apa makna kehidupan ini, kehidupan yang luar biasa rumitnya ini. Sesungguhnya Anda tidak benar-benar menyimak. Anda hanya bisa menyimak bila batin ini hening, bila batin tidak bereaksi dengan seketika, bila ada selang waktu antara reaksi Anda dengan apa yang disampaikan. Maka di dalam selang waktu itu terdapat suatu keheningan, terdapat suatu kesunyian, yang hanya di situ bisa terjadi pemahaman, yang bukan pemahaman intelektual. Jika ada selang waktu antara apa yang dikatakan dengan reaksi Anda sendiri terhadap apa yang dikatakan, maka di dalam selang waktu itu—entah Anda memanjangkannya secara tak terbatas, untuk waktu lama, entah hanya beberapa detik—di dalam selang waktu itu, jika Anda amati, muncullah kejernihan. Selang waktu itulah otak yang baru. Reaksi seketika adalah otak lama, dan otak lama berfungsi dalam suasana yang tradisional, yang diterima, yang reaksioner, seperti hewan. Bila ini bisa ditiadakan, bila reaksi bisa dihentikan, bila ada selang waktu, maka Anda akan melihat bahwa otak baru bertindak; dan hanyalah otak baru yang bisa memahami, bukan otak lama. 21 Oktober Transformasi Tanggung Jawab Kita Untuk mengubah dunia, kita harus mulai dengan diri kita sendiri. Dan yang penting di dalam mulai dengan diri sendiri adalah niat. Seharusnya niatnya adalah untuk memahami diri sendiri, dan bukan membiarkan orang lain mengubah diri mereka atau menghasilkan perubahan sedikit melalui revolusi, entah kiri entah kanan. Penting dipahami bahwa inilah tanggung jawab kita, tanggung jawab Anda dan saya; betapa pun kecil dunia yang kita tinggali ini, jika kita dapat mengubah diri kita sendiri, menghasilkan sudut pandang yang berbeda sama sekali dalam kehidupan kita sehari-hari, maka mungkin kita dapat mempengaruhi dunia luas, hubungan yang luas dengan orang lain. 22 Oktober Transformasi Jika Batin Sibuk Apakah perubahan dihasilkan secara sadar atau tak sadar adalah sama saja. Perubahan secara sadar berarti daya upaya; dan ikhtiar secara tak sadar untuk menghasilkan perubahan juga berarti daya upaya, perjuangan. Selama ada perjuangan, konflik, maka perubahan hanyalah dipaksakan, dan tidak ada pemahaman; dan oleh karena itu bukan perubahan sama sekali. Jadi, mampukah batin menghadapi masalah perubahan—masalah keserakahan, misalnya—tanpa melakukan daya upaya, dan sekadar memandang seluruh implikasi keserakahan? Ini disebabkan karena Anda tidak mungkin melihat seluruh isi keserakahan secara total selama ada ikhtiar untuk mengubahnya. Perubahan hanya dapat terjadi bila batin menangani masalah itu secara segar, bukan dengan semua ingatan yang lesu dari seribu hari kemarin. Jelas Anda tidak dapat memiliki batin yang segar dan bersemangat jika batin ini sibuk. Dan batin akan berhenti sibuk hanya jika ia melihat kenyataan dari kesibukannya sendiri. Anda tidak bisa melihat kenyataan jika Anda tidak memberikan perhatian sepenuhnya, jika Anda hanya menerjemahkan apa yang dikatakan menjadi sesuatu yang cocok bagi Anda, atau menerjemahkannya ke dalam istilah-istilah Anda sendiri. Anda harus menghadapi sesuatu yang baru dengan batin yang segar, dan batin tidak segar bila ia sibuk, secara sadar atau tak sadar. 23 Oktober Transformasi Pengetahuan Merugikan Bagi Perubahan Ini membutuhkan pemahaman, penyelidikan yang mendalam. Jangan setuju dengan saya, tapi selamilah, renungkanlah, obrak-abriklah batin Anda untuk menemukan kebenaran atau kepalsuan semua ini. Apakah pengetahuan—yakni yang diketahui—menghasilkan perubahan? Saya membutuhkan pengetahuan untuk membangun sebuah jembatan; tetapi apakah batin saya harus tahu ke mana ia berubah? Jelas, jika saya tahu bagaimana keadaan batin kalau ia berubah, maka itu bukan perubahan lagi. Pengetahuan seperti itu merugikan bagi perubahan, karena ia menjadi cara mencapai kepuasan, dan selama ada pusat yang mencari kepuasan, ganjaran, atau rasa aman, tidak ada perubahan sama sekali. Dan semua daya upaya kita berdasarkan pada pusat ganjaran, hukuman, sukses, keuntungan itu, bukan? Itulah yang menjadi urusan kebanyakan dari kita, dan jika itu membantu kita memperoleh apa yang kita inginkan, kita mau berubah; tetapi perubahan seperti itu bukan perubahan sama sekali. Jadi, batin yang ingin secara mendasar, secara mendalam, berada dalam keadaan berubah, dalam keadaan revolusi, harus bebas dari yang diketahui. Maka batin menjadi hening secara menakjubkan, dan hanya batin seperti itu yang akan mengalami tranformasi radikal yang begitu perlu. 24 Oktober Transformasi Kekosongan Sempurna Agar perubahan sempurna di dalam kesadaran bisa terjadi, Anda harus menolak analisis dan pencarian, dan tidak lagi dipengaruhi apa-apa—yang adalah amat sukar. Batin, ketika melihat apa yang palsu, mengesampingkan sama sekali apa yang palsu. Jika Anda sudah mengetahui apa yang benar, maka Anda hanya menukar apa yang Anda anggap palsu dengan apa yang Anda bayangkan sebagai benar. Tidak ada lagi pelepasan jika Anda tahu apa yang akan Anda peroleh sebagai ganjarannya. Hanya ada pelepasan jika Anda melepaskan sesuatu tanpa mengetahui apa yang akan terjadi. Keadaan pengingkaran adalah mutlak perlu. Harap ikuti ini dengan berhati-hati, oleh karena jika Anda sudah melangkah sejauh itu, Anda akan melihat bahwa di dalam keadaan pengingkaran itu Anda menemukan apa yang benar; oleh karena pengingkaran adalah pengosongan kesadaran dari apa yang diketahui. Bagaimana pun juga, kesadaran adalah berdasar pada pengetahuan, pada pengalaman, pada warisan rasial, pada ingatan, pada hal-hal yang telah dialami. Pengalaman selalu berasal dari masa lampau, bekerja pada masa kini, diubah sedikit oleh masa kini dan berlanjut ke masa depan. Itulah semuanya yang disebut kesadaran, timbunan luas dari abad demi abad. Ia hanya mempunyai manfaat dalam kehidupan secara mekanis. Menolak semua pengetahuan ilmiah yang diperoleh dari masa lampau yang panjang adalah absurd. Tetapi untuk mendatangkan perubahan dalam kesadaran, revolusi dalam seluruh struktur ini, haruslah ada kekosongan sempurna. Dan kekosongan itu hanya mungkin ada bila ada penemuan, melihat sesungguhnya, apa yang palsu. Maka Anda akan melihat, jika Anda telah melangkah sejauh itu, bahwa kekosongan itu sendiri menghasilkan revolusi lengkap di dalam kesadaran; itu telah terjadi. 25 Oktober Transformasi Perubahan yang Disengaja Bukanlah Perubahan Sama Sekali Di dalam tindakan yang di situ si individu berubah, tentulah yang kolektif juga akan berubah. Keduanya bukan dua hal terpisah yang saling berlawanan—individu dan yang kolektif—sekalipun kelompok-kelompok politik tertentu mencoba memisahkan keduanya dan memaksa individu untuk menyesuaikan diri dengan apa yang disebut kolektif. Jika kita dapat menguraikan bersama-sama seluruh problem perubahan, bagaimana menghasilkan perubahan di dalam individu, dan apa yang tersirat di dalam perubahan itu, maka barangkali di dalam tindakan menyimak, berpartisipasi di dalam penyelidikan, mungkin akan terjadi suatu perubahan tanpa kehendak Anda. Bagi saya, suatu perubahan yang disengaja, suatu perubahan yang dipaksakan, berdisiplin, menyesuaikan diri, bukanlah perubahan sama sekali. Paksaan, pengaruh, suatu penemuan baru, propaganda, ketakutan, tujuan mendorong Anda berubah—itu bukan perubahan sama sekali. Dan sekalipun secara intelektual Anda mudah setuju dengan semua ini, percayalah bahwa untuk menyelami hakekat sesungguhnya dari perubahan tanpa motif adalah luar biasa. 26 Oktober Transformasi Di Luar Lingkup Pikiran Anda telah mengubah gagasan-gagasan Anda, Anda telah mengubah pikiran Anda, tetapi pikiran selalu terkondisi. Apakah itu pikiran tentang Yesus, Buddha, X, Y, Z, itu masih tetap pikiran, dan oleh karena itu satu pikiran bisa bertentangan dengan pikiran lain; dan bila ada pertentangan, konflik antara dua pemikiran, hasilnya adalah kelangsungan pikiran yang diubah sedikit. Dengan kata lain, perubahan itu masih di dalam lingkup pikiran, dan perubahan di dalam lingkup pikiran adalah sama sekali bukan perubahan. Satu gagasan atau himpunan gagasan sekadar menggantikan gagasan lain. Dengan melihat seluruh proses ini, mungkinkah meninggalkan pikiran dan mendatangkan perubahan di luar lingkup pikiran? Yang jelas, seluruh kesadaran—baik dari masa lampau, masa kini, dan masa depan—berada di dalam lingkup pikiran; dan setiap perubahan di dalam lingkup itu, yang menetapkan batas-batas batin, bukanlah perubahan sejati. Suatu perubahan radikal hanya dapat terjadi di luar lingkup pikiran, bukan di dalamnya, dan batin dapat meninggalkan lingkup itu hanya apabila ia melihat keterbatasan, dinding-dinding pembatas lingkup itu, dan menyadari bahwa perubahan apa pun di dalam lingkup itu adalah sama sekali bukan perubahan. Itulah meditasi sejati. 27 Oktober Transformasi Perubahan Sejati Suatu perubahan hanya mungkin dari yang diketahui menuju yang tak diketahui, bukan dari yang diketahui menuju yang diketahui. Marilah merenungkan ini bersama saya. Di dalam perubahan dari yang diketahui menuju yang diketahui, terdapat otoritas, terdapat pandangan terhadap hidup yang hirarkis—Anda tahu, saya tidak tahu. Oleh karena itu, saya memuja Anda, saya menciptakan suatu sistem, saya mencari guru, saya mengikuti Anda karena Anda memberikan kepada saya apa yang ingin saya ketahui, Anda memberikan kepada saya suatu kepastian perilaku yang akan membuahkan hasil, sukses dan buahnya. Sukses adalah yang diketahui. Saya tahu apa artinya berhasil. Itulah yang saya inginkan. Jadi kita melangkah dari yang diketahui menuju yang diketahui, yang di situ harus ada otoritas—otoritas persetujuan, otoritas pemimpin, guru, hirarki, yang satu tahu dan yang lain tidak tahu—dan yang tahu akan menjamin sukses buat saya, sukses di dalam daya upaya saya, di dalam perubahan, sehingga saya akan berbahagia, saya akan memiliki apa yang saya inginkan. Bukankah itu motif kita semua untuk berubah? Silakan amati pikiran Anda sendiri, dan Anda akan melihat liku-liku kehidupan dan perilaku Anda sendiri. ... Jika Anda mengamatinya, apakah itu perubahan? Perubahan, revolusi, adalah sesuatu yang berlangsung dari yang diketahui menuju yang tak diketahui, yang di situ tidak ada otoritas, yang di situ mungkin terjadi kegagalan total. Tetapi jika Anda merasa yakin bahwa Anda akan mencapai, Anda akan berhasil, Anda akan berbahagia, Anda akan hidup kekal, maka tidak ada masalah. Maka Anda akan menempuh arah tindakan yang telah dikenal baik, yang berarti diri Anda selalu berada di tengah-tengah segala sesuatu. 28 Oktober Transformasi Dapatkah Manusia Berubah? Saya yakin, kita harus bertanya kepada diri sendiri, apakah kita ini pernah berubah? Secara lahiriah kita memang berubah: kita menikah, bercerai, mempunyai anak; ada kematian, pekerjaan yang lebih baik, dorongan temuan baru, dan sebagainya. Secara lahiriah terjadi revolusi hebat dalam sibernetika dan otomasi. Kita harus bertanya kepada diri sendiri, apakah mungkin bagi kita untuk benar-benar berubah, bukan sehubungan dengan kejadian-kejadian di luar, bukan perubahan yang hanya sekadar pengulangan atau suatu kelangsungan yang diubah sedikit, melainkan suatu revolusi yang radikal, suatu mutasi total di dalam batin. Ketika kita menyadari, seperti tentu kita lihat di dalam diri kita sendiri, bahwa sesungguhnya kita tidak berubah sama sekali, maka kita mengalami depresi hebat, atau kita lari dari diri sendiri. Jadi pertanyaan yang mau tidak mau muncul adalah: mungkinkah ada perubahan sama sekali? Kita kembali kepada masa kanak-kanak kita, dan itu terkenang kembali oleh kita. Adakah perubahan sesungguhnya dalam diri manusia? Apakah Anda sesungguhnya berubah? Mungkin ada perubahan sedikit di pinggiran; tetapi di dalam, secara radikal, apakah Anda berubah? Mungkin kita tidak ingin berubah, karena kita merasa cukup nyaman. ... Saya ingin berubah. Saya menyadari bahwa saya sangat tidak berbahagia, mengalami depresi, berwatak buruk, penuh kekerasan, dengan kadang-kadang memperoleh kilatan pengalaman akan sesuatu yang lain dari sekadar mengejar motif; dan saya mengerahkan kemauan saya untuk memperolehnya. Saya berkata, saya harus menjadi lain, saya harus meninggalkan kebiasaan ini, kebiasaan itu; saya harus berpikir secara lain; saya harus bertindak secara lain; saya harus lebih begini dan kurang begitu. Kita berusaha keras, dan pada akhirnya kita tetap acak-acakan, mengalami depresi, jelek, brutal, tanpa sifat luhur sedikit pun. Maka kita bertanya kepada diri sendiri, apakah memang ada perubahan. Dapatkah seorang manusia berubah? 29 Oktober Transformasi Transformasi Tanpa Motivasi Bagaimana saya harus berubah? Saya melihat kebenaran—setidak-tidaknya saya melihat sesuatu di dalam itu—bahwa suatu perubahan, transformasi, harus mulai pada suatu tingkat yang tak dapat dicapai oleh batin—baik yang sadar maupun tak sadar—oleh karena secara keseluruhan kesadaran saya terkondisi. Jadi, apa yang harus saya lakukan? Saya harap saya bisa menampilkan masalah ini dengan jelas? Jika saya boleh mengemukakannya secara lain, dapatkah batin saya—yang sadar maupun tak sadar—bebas dari masyarakat?–Masyarakat adalah seluruh pendidikan, budaya, norma, tata nilai, standar. Sebab jika batin tidak bebas, maka perubahan apa pun yang dicobanya dihasilkan dalam keadaan terkondisi itu masih tetap terbatas, dan oleh karena itu bukan perubahan sama sekali. Jadi, dapatkah saya memandang tanpa motivasi apa pun? Dapatkah batin saya berada tanpa suatu insentif, tanpa suatu motif untuk berubah atau tak berubah? Oleh karena motif apa pun adalah hasil dari reaksi oleh suatu budaya tertentu, lahir dari suatu latar belakang tertentu. Jadi, dapatkah batin saya bebas dari budaya yang ada, yang di dalamnya saya dibesarkan? Ini adalah pertanyaan yang sungguh penting. Oleh karena jika batin tidak bebas dari budaya yang di dalamnya dia diasuh, dibesarkan, jelas individu itu tidak pernah bisa merasa damai, tidak pernah bisa bebas. Tuhan-tuhannya, mitos-mitosnya, simbol-simbolnya, dan segala daya upayanya terbatas, oleh karena semuanya masih terkungkung di dalam batin yang terkondisi. Daya upaya apa pun yang dilakukannya, atau tak dilakukannya, di dalam lingkup yang terbatas itu, sesungguhnya sia-sia dalam arti kata yang terdalam. Mungkin ada dekorasi lebih baik di dalam penjara—lebih banyak cahaya, jendela, makanan—tetapi itu masih penjara dari suatu budaya tertentu. 30 Oktober Transformasi Revolusi Psikologis Mungkinkah bagi si pemikir dan pikiran, bagi si pengamat dan yang diamati, menjadi satu? Anda tidak akan menemukannya jika Anda hanya sekadar menengok masalah ini dan secara dangkal bertanya kepada saya apa yang saya maksud dengan ini-itu. Jelas, ini adalah masalah Anda, bukan hanya masalah saya semata-mata; Anda tidak berada di sini untuk melihat bagaimana saya memandang masalah ini atau masalah-masalah lain di dunia. Pertempuran terus-menerus di dalam batin ini, yang begitu destruktif, begitu menggerogoti—ini adalah masalah Anda, bukan? Dan juga masalah Anda adalah bagaimana mendatangkan suatu perubahan radikal dalam diri Anda, dan tidak sekadar puas dengan perubahan dangkal di bidang politik, ekonomi, di dalam bermacam-macam birokrasi. Anda jangan mencoba memahami saya atau cara saya memandang kehidupan. Cobalah memahami diri Anda sendiri, dan ini adalah masalah-masalah Anda yang harus Anda hadapi. Dan dengan mengkajinya bersama-sama—itulah yang kita lakukan dalam ceramah-ceramah ini—mungkin kita dapat saling membantu untuk bisa memandangnya dengan lebih jernih, melihatnya lebih jelas. Tetapi melihat jelas di tingkat kata-kata saja tidaklah cukup. Itu tidak mendatangkan suatu perubahan psikologis yang kreatif. Kita harus melangkah melampaui kata-kata, melampaui semua simbol serta apa yang dirasakan darinya. ... Kita harus mengesampingkan semua ini dan masuk ke masalah pokok—bagaimana melenyapkan sang ’aku’, yang mengikat waktu, yang di situ tidak ada cinta, tidak ada welas asih. Kita hanya bisa mengatasi itu apabila batin tidak memisahkan dirinya menjadi si pemikir dan pikiran. Apabila si pemikir dan pikiran menjadi satu, hanya di situlah bisa terdapat keheningan, keheningan yang di situ tidak terdapat pembuatan gambar, atau menunggu pengalaman berikutnya. Di dalam keheningan itu tidak ada dia yang mengalami, dan hanya di situlah terdapat revolusi psikologis yang kreatif. 31 Oktober Transformasi 32 Oktober NOVEMBER • Hidup • Mati • Reinkarnasi • Cinta Hidup Mematahkan Kebiasaan Marilah kita mengkaji bagaimana memahami seluruh proses pembentukan kebiasaan dan bagaimana mematahkan kebiasaan. Kita bisa mengambil contoh merokok, dan Anda dapat menggantikannya dengan kebiasaan Anda sendiri, masalah khusus Anda sendiri, dan bereksperimen dengan masalah Anda secara langsung, sementara saya bereksperimen dengan problem merokok. Itu adalah masalah, menjadi masalah, ketika saya ingin melepaskannya; selama saya puas dengan itu, itu bukan masalah. Masalah timbul ketika saya harus berbuat sesuatu terhadap suatu kebiasaan tertentu; ketika kebiasaan itu menjadi gangguan. Merokok menjadi gangguan, jadi saya ingin bebas darinya. Saya ingin berhenti merokok; saya ingin membuangnya, mengesampingkannya; dengan demikian pendekatan saya terhadap merokok adalah pendekatan perlawanan atau pengutukan. Jadi, saya tidak ingin merokok, dan pendekatan saya adalah menekannya, mengutuknya, atau mencari pengganti baginya—alih-alih merokok, mengunyah permen. Nah, dapatkah saya memandang masalah itu bebas dari pengutukan, pembenaran, atau penekanan? Dapatkah saya memandang kebiasaan saya merokok tanpa suatu penolakan apa pun? Cobalah bereksperimen dengan itu sementara saya bicara, dan Anda akan melihat betapa luar biasa sulitnya untuk tidak menolak atau menerima. Oleh karena, seluruh tradisi kita, seluruh latar belakang kita, mendorong kita untuk menolak atau membenarkan, alih-alih ingin tahu dan memeriksanya. Alih-alih waspada secara pasif, batin selalu menggarap masalah. 1 November Hidup Menghayati Keempat Musim Setiap Hari Tidakkah penting bahwa harus ada pembaruan terus-menerus, kelahiran kembali terus-menerus? Jika saat kini terbebani oleh pengalaman hari kemarin, maka tidak ada pembaruan. Pembaruan bukanlah tindakan kelahiran dan kematian; ia mengatasi pasangan-pasangan yang berlawanan; hanya kebebasan dari akumulasi ingatanlah yang dapat membawa pembaruan, dan tidak ada pemahaman kecuali pada saat kini. Batin dapat memahami saat kini hanya apabila ia tidak membandingkan, tidak menghakimi; keinginan untuk mengubah atau mengutuk saat kini tanpa memahaminya memberi kelangsungan kepada masa lampau. Hanya di dalam memahami pantulan masa lampau di dalam cermin saat kini, tanpa distorsi, terdapat pembaruan. ... Jika Anda menghayati suatu pengalaman sepenuhnya, selengkapnya, tidakkah Anda menemukan bahwa pengalaman itu tidak meninggalkan jejak sama sekali? Hanyalah pengalaman-pengalaman yang tidak lengkap yang meninggalkan tanda, memberi kelangsungan bagi ingatan yang dikenali sebagai diri. Kita menganggap saat kini sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan, sehingga saat kini kehilangan maknanya yang amat penting. Saat kini adalah yang abadi. Tetapi bagaimana suatu batin yang dibentuk, dibangun, dapat memahami apa yang tidak terbangun, yang mengatasi semua nilai, yang abadi? Sementara setiap pengalaman muncul, hayatilah sepenuhnya, sedalamnya sedapat mungkin; renungkanlah, rasakanlah secara luas dan mendalam; sadarilah kesakitannya dan kesenangannya, sadarilah penilaian-penilaian Anda, identifikasi-diri Anda. Hanya bila pengalaman dituntaskan, terdapat pembaruan. Kita harus mampu menghayati keempat musim setiap hari; sadar secara tajam, mengalami, memahami, dan bebas dari penimbunan setiap hari. 2 November Hidup Kreativitas Anonim Pernahkah Anda merenungkannya? Kita ingin menjadi termasyhur sebagai penulis, penyair, pelukis, politisi, penyanyi, apa saja. Kenapa? Oleh karena kita sesungguhnya tidak mencintai apa yang kita kerjakan. Jika Anda cinta menyanyi, atau melukis, atau menulis sajak—jika Anda sungguh-sungguh cinta itu—Anda tidak akan peduli apakah Anda termasyhur atau tidak. Ingin menjadi termasyhur adalah murahan, remeh, bodoh, tidak punya arti; tetapi, karena kita tidak mencintai apa yang kita kerjakan, kita ingin memperkaya diri kita dengan kemasyhuran. Pendidikan kita yang sekarang ini bobrok, oleh karena ia mengajarkan kita untuk mencintai kesuksesan, dan bukan mencintai apa yang kita kerjakan. Hasil menjadi lebih penting daripada tindakan. Adalah baik untuk menyembunyikan kecemerlangan Anda di balik karung, untuk anonim, mencintai apa yang Anda lakukan dan tidak memamerkannya. Adalah baik untuk ramah tanpa sebuah nama. Itu tidak membuat Anda termasyhur, itu tidak membuat foto Anda terpampang di koran. Para politisi tidak berkunjung ke rumah Anda. Anda sekadar manusia kreatif yang hidup anonim, dan di situ terdapat kekayaan dan keindahan besar. 3 November Hidup Teknik Kosong Anda tidak dapat mendamaikan kreativitas dengan pencapaian teknis. Anda mungkin dapat bermain piano dengan sempurna, tetapi tidak kreatif; Anda mungkin bermain piano dengan sangat cemerlang, tetapi tidak menjadi seorang musikus. Anda mungkin mampu memadukan warna-warna, dengan cerdik mengoleskan cat pada kanvas, tetapi tidak menjadi pelukis kreatif. Anda mungkin mampu menciptakan suatu wajah dari batu, karena Anda menguasai tekniknya, dan tidak menjadi pemahat ulung. Ciptaanlah yang utama, bukan teknik, dan itulah sebabnya kita sengsara dalam hidup kita. Kita memiliki teknik—bagaimana mendirikan rumah, bagaimana membangun jembatan, bagaimana membuat mesin, bagaimana mendidik anak-anak kita mengikuti suatu sistem—kita telah mempelajari semua teknik itu, tetapi hati dan batin kita kosong. Kita adalah mesin-mesin kelas wahid; kita tahu bagaimana beroperasi secara hebat, tetapi kita tidak mencintai sesuatu pun yang hidup. Anda mungkin seorang insinyur yang baik, Anda mungkin seorang pemain piano, Anda mungkin seorang penulis yang baik dalam bahasa Inggris atau Marathi atau bahasa apa pun, tetapi kreativitas tidak terdapat di dalam teknik. Jika Anda ingin mengungkapkan sesuatu, Anda menciptakan gaya Anda sendiri; tetapi jika Anda tidak mempunyai sesuatu untuk diungkapkan, bahkan sekalipun Anda mempunyai gaya yang baik, yang Anda tulis hanyalah sekadar rutinitas tradisional, pengulangan dengan kata-kata baru dari barang sama yang sudah usang. ... Maka, setelah kehilangan nyanyian, kita mengejar si penyanyi. Kita belajar dari si penyanyi teknik bernyanyi, tetapi tidak ada nyanyian; dan saya katakan, nyanyian itulah yang penting, sukacita dalam bernyanyi adalah penting. Jika sukacita itu ada, teknik bisa dibangun dari nol; Anda akan menemukan teknik Anda sendiri; Anda tidak perlu mempelajari kepandaian atau gaya. Jika Anda punya, Anda melihat, dan melihat keindahan itu sendiri adalah seni. 4 November Hidup Tahu Kapan Tidak Bekerja Sama Para pembaru—politis, sosial, religius—hanya akan menimbulkan lebih banyak penderitaan bagi manusia kecuali manusia memahami liku-liku batinnya sendiri. Di dalam memahami proses batin secara total, terdapat revolusi batiniah yang radikal, dan dari revolusi batiniah itu muncullah tindakan kerja sama yang sejati, yang bukan kerja sama dengan suatu pola, dengan otoritas, dengan seseorang yang ”tahu”. Bila Anda tahu bagaimana bekerja sama karena terdapat revolusi batiniah ini, maka Anda akan tahu pula kapan tidak bekerja sama, yang sesungguhnya amat penting, mungkin lebih penting. Kita sekarang bekerja sama dengan setiap orang yang menawarkan pembaruan, perubahan, yang hanya melestarikan konflik dan kesengsaraan; tetapi jika kita tahu apa artinya memiliki semangat kerja sama yang muncul dengan pemahaman akan proses batin secara total dan yang di situ terdapat kebebasan dari diri, maka ada kemungkinan menciptakan suatu peradaban baru, suatu dunia yang sama sekali lain, yang di situ tidak ada upaya memiliki, tidak ada iri hati, tidak ada pembandingan. Ini bukan utopia teoretis, melainkan keadaan batin aktual, yang terus-menerus menyelidik dan mengejar apa yang benar dan terberkati. 5 November Hidup Mengapa Ada Kejahatan? Lihat, entah ada pemberontakan di dalam pola-pola masyarakat, atau suatu revolusi lengkap di luar masyarakat. Revolusi lengkap di luar masyarakat adalah apa yang saya namakan revolusi religius. Setiap revolusi yang bukan religius adalah di dalam masyarakat dan oleh karena itu bukan revolusi sama sekali, melainkan hanyalah sekadar kelangsungan yang diubah sedikit dari pola yang lama. Saya rasa, yang terjadi di seluruh dunia adalah pemberontakan di dalam masyarakat, dan pemberontakan ini sering kali mengambil bentuk apa yang dinamakan kejahatan. Mau tidak mau akan selalu ada pemberontakan jenis ini selama pendidikan kita hanya mementingkan pelatihan generasi muda untuk menyesuaikan diri ke dalam masyarakat—yakni, mencari pekerjaan, mencari nafkah, mengumpulkan, memiliki lebih banyak, dan menyesuaikan diri. Itulah yang dilakukan oleh apa yang disebut pendidikan di mana-mana—mengajar generasi muda untuk menyesuaikan diri, secara religius, secara moral, secara ekonomis; sehingga wajarlah bila pemberontakan mereka tidak punya arti, kecuali bahwa itu harus ditindas, diperbarui, atau dikendalikan. Pemberontakan seperti itu masih berada di dalam kerangka masyarakat, dan oleh karena itu sama sekali tidak kreatif. Tetapi melalui pendidikan yang benar kita mungkin dapat menghasilkan pemahaman yang berbeda dengan membantu membebaskan batin dari segala pengkondisian—yakni dengan mendorong generasi muda untuk menyadari berbagai pengaruh yang mengkondisikan batin dan membuatnya menyesuaikan diri. 6 November Hidup Tujuan Hidup Ada banyak orang yang memberikan kepada Anda tujuan hidup; mereka akan mengatakan kepada Anda apa yang dikatakan dalam kitab-kitab suci. Orang-orang pintar akan menemukan apa tujuan hidup ini. Kelompok politik akan mempunyai satu tujuan, kelompok agama akan mempunyai tujuan lain, dan seterusnya. Jadi, apakah tujuan hidup bila Anda sendiri bingung? Bila saya bingung, saya mengajukan kepada Anda pertanyaan ini, ”Apakah tujuan hidup?”, oleh karena saya berharap bahwa melalui kebingungan ini saya akan mendapatkan sebuah jawaban. Bagaimana saya dapat memperoleh jawaban yang benar bila saya bingung? Pahamkah Anda? Jika saya bingung, saya hanya dapat memperoleh jawaban yang juga penuh kebingungan. Jika batin saya bingung, jika batin saya kacau, jika batin saya tidak indah, hening, jawaban apa pun yang saya terima akan melalui tabir kebingungan, kecemasan, dan ketakutan; oleh karena itu jawaban itu akan terpiuh. Jadi, yang penting bukanlah bertanya, ”Apakah tujuan hidup, tujuan eksistensi?”, melainkan menjernihkan kebingungan yang ada di dalam diri Anda. Itu seperti seorang buta yang bertanya, ”Apakah cahaya itu?” Jika saya katakan kepadanya apa cahaya itu, ia akan menyimak menurut kebutaannya, menurut kegelapannya; tetapi seandainya ia bisa melihat, maka ia tidak akan pernah bertanya, ”Apakah cahaya itu?” Itu ada di situ. Demikian pula, jika Anda dapat menjernihkan kebingungan di dalam diri Anda, maka Anda akan menemukan apa tujuan hidup itu; Anda tidak perlu bertanya, Anda tidak perlu mencarinya; yang Anda perlu lakukan hanyalah bebas dari semua hal-hal yang menyebabkan kebingungan. 7 November Hidup Hiduplah di Dunia Secara Anonim Mungkinkah hidup di dunia ini tanpa ambisi, sekadar menjadi diri Anda apa adanya? Jika Anda mulai memahami diri Anda apa adanya, tanpa berupaya mengubahnya, maka apa adanya diri Anda akan mengalami transformasi. Saya rasa kita bisa hidup di dunia ini secara anonim, sama sekali tak dikenal, tanpa menjadi termasyhur, penuh ambisi, kejam. Kita bisa hidup sangat berbahagia bila tidak menganggap penting diri kita; dan ini juga bagian dari pendidikan yang benar. Seluruh dunia memuja sukses. Anda mendengar kisah-kisah bagaimana seorang anak miskin belajar di waktu malam dan akhirnya menjadi hakim, atau bagaimana ia mulai dengan menjual koran dan berakhir dengan menjadi multimilyuner. Anda dijejali pemuliaan sukses. Bersama pencapaian sukses besar terdapat pula kesedihan besar; tetapi kebanyakan dari kita terperangkap dalam keinginan untuk mencapai, dan sukses jauh lebih penting bagi kita daripada pemahaman dan pengakhiran kesedihan. 8 November Mati Tinggal Hidup Satu Jam Lagi Jika Anda punya waktu satu jam lagi untuk hidup, apakah yang akan Anda lakukan? Apakah Anda tidak membereskan hal-hal yang perlu dibereskan secara lahiriah, pekerjaan Anda, surat wasiat Anda, dan sebagainya? Tidakkah Anda akan memanggil sanak keluarga dan handai taulan Anda dan minta maaf kepada mereka untuk hal-hal menyakitkan yang pernah Anda lakukan terhadap mereka, dan memaafkan mereka untuk hal-hal menyakitkan yang pernah mereka lakukan terhadap Anda? Tidakkah Anda ingin mati sepenuhnya terhadap segala sesuatu yang ada di dalam batin Anda, terhadap segala keinginan dan terhadap dunia? Dan jika itu dapat dilakukan selama satu jam, tentu dapat pula dilakukan selama berhari-hari dan bertahun-tahun yang tersisa di hadapan kita. ... Cobalah dan Anda akan melihat. 9 November Mati Mati Setiap Hari Apakah umur itu? Umur adalah jumlah tahun yang telah Anda lewati, bukan? Itu adalah sebagian makna umur: Anda lahir pada tahun anu, dan sekarang Anda berumur lima belas, empat puluh atau enam puluh tahun. Tubuh Anda menjadi tua—begitu pula batin Anda kalau batin dibebani dengan segala pengalaman, kesengsaraan, dan kelelahan hidup, dan batin seperti itu tidak pernah dapat menemukan apa kebenaran itu. Batin hanya bisa menemukan bila ia muda, segar, polos; tetapi kepolosan bukanlah soal umur. Bukan hanya anak-anak yang polos—dia mungkin tidak polos—melainkan batin yang mampu mengalami tanpa menimbun sisa-sisa pengalaman. Batin harus mengalami, mau tidak mau. Ia harus menanggapi segala sesuatu—menanggapi sungai, menanggapi binatang yang sakit, menanggapi jenazah yang diusung ke tempat pembakaran, menanggapi orang-orang desa miskin yang memikul bawaan mereka sepanjang jalan, menanggapi siksaan dan penderitaan hidup—kalau tidak batin itu sudah mati; tetapi batin harus mampu menanggapi tanpa terbelenggu oleh pengalaman. Tradisi, penimbunan pengalaman, abu ingatanlah yang membuat batin menjadi tua. Batin yang mati setiap hari terhadap ingatan-ingatan hari kemarin, terhadap semua kenikmatan dan kesedihan masa lampau—batin seperti itu segar, polos, dia tidak punya umur; dan tanpa kepolosan itu, entah Anda berumur sepuluh atau enam puluh tahun, Anda tidak akan menemukan Tuhan. 10 November Mati Rasakan Keadaan Mati Kita takut mati. Untuk mengakhiri ketakutan terhadap maut, kita harus merasakan kematian, bukan dengan gambaran yang telah dibentuk pikiran tentang kematian, melainkan kita harus benar-benar merasakan keadaan itu. Kalau tidak, ketakutan itu tidak akan berakhir, oleh karena kata ’mati’ menciptakan ketakutan, dan kita bahkan tidak mau mendiskusikannya. Dalam keadaan sehat, normal, mampu berpikir secara jernih, berpikir secara obyektif, mengamati, mungkinkah kita merasakan fakta itu, secara total? Badan jasmani ini, karena aus, karena sakit, akhirnya akan mati. Jika kita sehat, kita ingin menemukan arti kematian. Ini bukan keinginan yang tidak sehat, oleh karena mungkin dengan mati kita akan memahami hidup. Hidup, seperti adanya sekarang, adalah siksaan, gejolak tanpa akhir, kontradiksi, dan oleh karena itu terdapat konflik, kesengsaraan, dan kebingungan. Setiap hari pergi ke kantor, kenikmatan yang berulang terus-menerus, disertai kesakitan, kecemasan, meraba-raba, ketidakpastian—itulah yang kita namakan hidup. Kita menjadi terbiasa dengan hidup semacam itu. Kita menerimanya; kita menjadi tua bersamanya, lalu mati. Untuk menemukan apa arti hidup, dan juga menemukan apa arti mati, kita harus merasakan kematian; yakni kita harus mengakhiri segala sesuatu yang kita ketahui setiap hari. Kita harus mengakhiri gambaran yang telah kita bangun tentang diri kita, tentang keluarga kita, tentang handai taulan kita, gambaran yang dibangun melalui kenikmatan, melalui hubungan kita dengan masyarakat, segala sesuatu. Itulah yang akan terjadi bila kematian tiba. 11 November Mati Takut Mati? Mengapa Anda takut mati? Apakah mungkin karena Anda tidak tahu bagaimana caranya hidup? Jika Anda tahu bagaimana caranya hidup secara penuh, apakah Anda akan takut mati? Jika Anda mencintai pepohonan, matahari terbenam, burung-burung, dedaunan yang berguguran, jika Anda menyadari manusia yang bergelimang air mata, orang miskin, sungguh-sungguh merasakan cinta di dalam hati Anda, apakah Anda akan takut mati? Begitukah? Jangan terpengaruh oleh saya. Marilah kita merenungkannya bersama-sama. Anda tidak hidup dengan sukacita, Anda tidak berbahagia, Anda tidak peka secara vital terhadap berbagai hal; itukah sebabnya Anda lalu bertanya apa yang akan terjadi bila Anda meninggal? Bagi Anda kehidupan adalah penderitaan, maka Anda lebih berminat kepada kematian. Anda merasa mungkin ada kebahagiaan sesudah mati. Tetapi itu adalah masalah besar, dan saya tidak tahu apakah Anda ingin menyelaminya. Bagaimana pun juga, ketakutan mendasari semua ini—takut mati, takut hidup, takut menderita. Jika Anda tidak dapat memahami apa yang menyebabkan ketakutan dan bebas daripadanya, tidak terlalu penting apakah Anda hidup atau mati. 12 November Mati Saya Takut Penyelidikan saya sekarang adalah bagaimana caranya bebas dari ketakutan terhadap yang diketahui, yang adalah takut kehilangan keluarga, reputasi, kepribadian, rekening bank, nafsu-nafsu, dan sebagainya. Anda mungkin berkata bahwa ketakutan timbul dari hati nurani; tetapi hati nurani Anda terbentuk dari pengkondisian, jadi hati nurani tetap adalah hasil dari yang diketahui. Apakah yang saya ketahui? Pengetahuan adalah memiliki gagasan-gagasan, memiliki opini tentang berbagai hal, memiliki rasa kesinambungan seperti dalam hubungan dengan yang diketahui, tidak lebih dari itu. ... Ada ketakutan terhadap kesakitan. Kesakitan jasmani adalah respons saraf, tetapi kesakitan psikologis timbul bila saya melekat pada hal-hal yang memberi saya kepuasan, oleh karena lalu saya takut terhadap seseorang atau sesuatu yang mungkin merenggutkan hal-hal itu dari saya. Penimbunan psikologis mencegah kesakitan psikologis selama tidak terganggu; berarti, saya adalah seonggok timbunan, pengalaman, yang mencegah gangguan serius apa pun—dan saya tidak mau diganggu. Oleh karena itu, saya takut akan orang yang mengganggunya. Jadi ketakutan saya adalah terhadap yang diketahui, saya takut akan penimbunan—jasmaniah atau psikologis—yang telah saya kumpulkan sebagai cara untuk menolak kesakitan atau mencegah kesedihan. ... Pengetahuan juga membantu mencegah kesakitan. Sebagaimana pengetahuan kedokteran membantu mencegah kesakitan jasmaniah, begitu pula kepercayaan membantu mencegah kesakitan psikologis, dan itulah sebabnya saya takut kehilangan kepercayaan saya, sekalipun saya tidak tahu pasti atau memiliki bukti konkrit tentang realitas dari kepercayaan seperti itu. 13 November Mati Hanya yang Meninggal Dapat Memperbarui Diri Jika kita berbicara tentang entitas spiritual, jelas yang kita maksud dengan itu adalah sesuatu yang tidak berada di dalam lingkup pikiran. Nah, apakah sang ’aku’ entitas spiritual seperti itu? Jika ia entitas spiritual, tentu ia harus berada di luar waktu; oleh karena itu, ia tidak dapat dilahirkan kembali atau berkesinambungan. Pikiran tidak dapat memikirkannya, karena pikiran berada di dalam ukuran waktu, pikiran berasal dari hari kemarin, pikiran adalah gerak yang terus-menerus, respons dari masa lampau; jadi, pikiran pada dasarnya adalah produk waktu. Jika pikiran dapat berpikir tentang sang ‘aku’, maka sang ‘aku’ itu adalah bagian dari waktu; oleh karena itu, sang ‘aku’ tidak bebas dari waktu, oleh karena itu ia bukan spiritual—ini jelas. Jadi, sang ‘aku’, ”Anda”, hanyalah sekadar proses pikiran; dan Anda ingin tahu apakah proses pikiran itu, yang berlanjut terpisah dari tubuh jasmani, dilahirkan kembali, bereinkarnasi kembali di dalam suatu wujud jasmani. Sekarang, selamilah lebih dalam lagi. Sesuatu yang berlanjut, dapatkah ia menemukan yang sejati, yang berada di luar waktu dan ukuran? Sang ‘aku’—entitas yang adalah proses pikiran—dapatkah ia bersifat baru? Jika tidak dapat, maka harus ada pengakhiran pikiran. Tidakkah sesuatu yang berlanjut pada dasarnya destruktif? Sesuatu yang memiliki kesinambungan tidak mungkin memperbarui dirinya. Selama pikiran berlanjut melalui ingatan, melalui keinginan, melalui pengalaman, ia tidak mungkin memperbarui dirinya; oleh karena itu, sesuatu yang berlanjut tidak dapat mengetahui yang sejati. Anda mungkin lahir kembali seribu kali, tetapi Anda tidak mungkin mengetahui yang sejati, oleh karena hanya yang meninggal, yang berakhir, dapat memperbarui dirinya. 14 November Mati Mati Tanpa Membantah Tahukah Anda apa artinya kontak dengan kematian, apa artinya mati tanpa membantah? Oleh karena maut, bila ia datang, tidak akan berdebat dengan Anda. Untuk dapat menemuinya, Anda harus mati setiap hari terhadap segala sesuatu: terhadap penderitaan Anda, terhadap kesepian Anda, terhadap hubungan-hubungan yang Anda lekati; Anda harus mati terhadap pikiran Anda, mati terhadap kebiasaan Anda, mati terhadap istri Anda sehingga Anda bisa memandang istri Anda secara baru; Anda harus mati terhadap masyarakat Anda, sehingga sebagai manusia Anda menjadi baru, segar, muda, dan Anda dapat memandangnya. Tetapi Anda tidak dapat menemui kematian bila Anda tidak mati setiap hari. Hanya apabila Anda mati terdapat cinta. Suatu batin yang ketakutan tidak punya cinta—ia punya kebiasaan, ia punya simpati, ia dapat memaksakan dirinya menjadi ramah dan penuh perhatian secara dangkal. Tetapi ketakutan menghasilkan kesedihan, dan kesedihan adalah waktu sebagai pikiran. Maka untuk mengakhiri kesedihan berarti kontak dengan kematian selagi hidup, dengan mati terhadap nama Anda, terhadap rumah Anda, terhadap tanah Anda, terhadap perjuangan Anda, sehingga Anda menjadi segar, muda, jernih, dan Anda dapat memandang berbagai hal sebagaimana adanya tanpa suatu distorsi. Itulah yang akan terjadi bila Anda meninggal. Tetapi kematian kita terhadap tubuh jasmani ini terbatas. Kita tahu jelas secara logis, secara waras, bahwa jasmani ini pasti akan berakhir. Maka kita menciptakan kehidupan kita selama ini yang berupa kesakitan setiap hari, ketidakpekaan setiap hari, berbagai masalah yang terus meningkat, beserta kebodohannya; kehidupan yang kita kenal seperti itulah yang ingin kita bawa terus, yang kita namakan ”roh”—yang kita katakan sebagai sesuatu yang paling suci, bagian dari keilahian, tetapi itu masih tetap bagian dari pikiran Anda dan oleh karena itu tidak ada kaitannya dengan keilahian. Itulah hidup Anda! Jadi, kita harus hidup setiap hari dengan mati—oleh karena dengan mati Anda kontak dengan kehidupan. 15 November Mati Di Dalam Kematian Terdapat Keabadian Sesungguhnya, di dalam pengakhiran terdapat pembaruan, bukan? Hanya di dalam kematian sesuatu yang baru bisa muncul. Saya tidak memberi Anda kenyamanan. Ini bukan sesuatu untuk dipercaya atau dipikir-pikir atau secara intelektual diselidiki dan diterima, oleh karena kalau begitu Anda akan membuatnya menjadi suatu kenyamanan kembali, seperti Anda sekarang percaya akan reinkarnasi atau kelangsungan di akhirat, dan sebagainya. Tetapi fakta yang aktual adalah bahwa sesuatu yang berlangsung tidak punya kelahiran kembali, tidak punya pembaruan. Oleh karena itu, di dalam mati setiap hari terdapat pembaruan, terdapat kelahiran kembali. Itulah keabadian. Di dalam kematian terdapat keabadian—bukan kematian yang Anda takuti, melainkan kematian dari kesimpulan-kesimpulan, ingatan-ingatan, pengalaman-pengalaman yang lalu, semua yang Anda kenal sebagai ‘aku’. Dengan matinya ‘aku’ setiap menit terdapat keabadian, terdapat kekekalan, terdapat sesuatu yang dialami—bukan untuk direka-reka atau diceramahkan, seperti yang Anda lakukan dengan reinkarnasi dan sebagainya itu. ... Bila Anda tidak lagi takut, oleh karena setiap menit terdapat pengakhiran dan oleh karena itu pembaruan, maka Anda akan terbuka terhadap yang tak diketahui. Realitas adalah yang tak diketahui. Kematian adalah juga yang tak diketahui. Tetapi mengatakan bahwa kematian adalah indah, mengatakan betapa mengagumkannya kematian karena kita akan berlangsung terus di akhirat dan semua nonsens seperti itu, tidak punya kenyataan. Yang nyata adalah memandang kematian sebagaimana adanya—pengakhiran; pengakhiran yang di situ terdapat pembaruan, kelahiran kembali, bukan kelangsungan. Karena sesuatu yang berlangsung pasti akan luruh; tetapi sesuatu yang mampu memperbarui dirinya adalah abadi. 16 November Reinkarnasi Reinkarnasi Pada Dasarnya Egoistik Anda ingin saya memberi jaminan kepada Anda bahwa Anda akan hidup terus dalam kehidupan yang akan datang, tetapi di situ tidak ada kebahagiaan maupun kebijaksanaan. Mencari kehidupan kekal melalui reinkarnasi pada dasarnya egoistik, dan oleh karena itu tidak benar. Pencarian Anda akan kehidupan kekal hanyalah wujud lain dari keinginan akan kelangsungan reaksi-reaksi mempertahankan-diri melawan kehidupan dan kecerdasan. Kehausan seperti itu hanya akan menghasilkan ilusi. Jadi yang penting bukanlah apakah ada reinkarnasi atau tidak, melainkan mencapai pemenuhan lengkap pada saat sekarang. Dan Anda hanya dapat melakukan itu apabila hati dan pikiran Anda tidak lagi melindungi diri terhadap kehidupan. Pikiran ini licin dan halus dalam mempertahankan diri, dan ia harus melihat sendiri sifat ilusif dari perlindungan-diri. Ini berarti Anda harus berpikir dan bertindak secara baru sepenuhnya. Anda harus membebaskan diri dari jaring nilai-nilai palsu yang diterapkan oleh lingkungan kepada Anda. Harus ada ketelanjangan sama sekali. Maka di situ terdapat kehidupan kekal, realitas. 17 November Reinkarnasi Apakah Reinkarnasi Itu? Marilah kita selidiki apakah yang Anda maksud dengan reinkarnasi—kebenarannya, bukan apa yang Anda ingin percaya, bukan apa yang dikatakan orang lain kepada Anda, atau apa yang dikatakan oleh Guru Anda. Jelas bahwa kebenaranlah yang membebaskan, bukan kesimpulan, bukan opini Anda sendiri. ... Bila Anda berkata, ”Aku akan lahir kembali,” Anda harus tahu apa ’aku’ itu. ... Apakah ’aku’ itu suatu entitas spiritual, apakah ’aku’ itu sesuatu yang berlangsung terus, apakah ’aku’ itu sesuatu yang bebas dari ingatan, pengalaman, pengetahuan? ’Aku’ itu entah suatu entitas spiritual atau hanya sekadar proses pikiran. Entah sesuatu yang berada di luar waktu, yang kita namakan spiritual, tidak terukur menurut waktu, entah berada dalam lingkup waktu, dalam lingkup ingatan, pikiran. Tidak ada kemungkinan lain. Marilah kita selidiki, apakah ia berada di luar ukuran waktu. Saya harap Anda mengikuti ini. Marilah kita selidiki, apakah sang ’aku’ pada dasarnya bersifat spiritual. Nah, yang kita maksud dengan spiritual adalah sesuatu yang tidak dapat terkondisi—bukan?—sesuatu yang bukan proyeksi batin manusia, sesuatu yang bukan berada dalam lingkup pikiran, sesuatu yang tak akan mati. Jelas, bila kita berbicara tentang suatu entitas spiritual, yang kita maksudkan ialah sesuatu yang tidak berada dalam lingkup batin. Nah, apakah sang ’aku’ itu entitas spiritual seperti itu? Jika itu suatu entitas spiritual, ia harus berada di luar waktu sepenuhnya; oleh karena itu, ia tidak dapat lahir kembali atau berlanjut. ... Apa yang berlanjut tidak dapat memperbarui dirinya. Selama pikiran berlanjut melalui ingatan, melalui keinginan, melalui pengalaman, ia tidak mungkin memperbarui diri; oleh karena itu, apa yang berlanjut tidak mungkin mengetahui apa yang nyata. 18 November Reinkarnasi Adakah Roh Itu? Jadi untuk memahami masalah kematian, kita harus bebas dari rasa takut, yang menciptakan berbagai teori tentang kehidupan sesudah mati atau kehidupan kekal atau reinkarnasi. Jadi kita berkata, mereka di Timur berkata, ada reinkarnasi, ada kelahiran kembali, suatu pembaruan berlangsung terus-menerus—roh, apa yang disebut roh. Nah, mohon disimak dengan teliti. Adakah yang seperti itu? Kita ingin beranggapan bahwa ada yang seperti itu, oleh karena ia memberikan kenikmatan, oleh karena ia adalah sesuatu yang kita taruh di luar pikiran, di luar kata-kata, di seberang sana; ia adalah sesuatu yang abadi, spiritual, yang tidak dapat mati, jadi pikiran melekat kepadanya. Tetapi adakah apa yang disebut roh itu, yang ada di luar waktu, sesuatu yang tidak diciptakan oleh manusia, sesuatu yang di luar hal-ihwal manusia sehari-hari, sesuatu yang bukan dibentuk oleh pikiran yang licin ini? Oleh karena batin melihat begitu besar ketidakpastian, kebingungan, tidak ada yang permanen dalam kehidupan ini—tidak satu pun. Hubungan Anda dengan istri Anda, suami Anda, pekerjaan Anda—tidak satu pun yang permanen. Maka pikiran menciptakan sesuatu yang permanen, yang disebutnya ‘roh’. Tetapi karena batin bisa memikirkannya, pikiran bisa memikirkannya, ia masih berada dalam lingkup waktu—dengan sendirinya. Jika saya bisa memikirkan sesuatu, ia adalah bagian dari pikiran saya. Dan pikiran saya adalah hasil dari waktu, dari pengalaman, dari pengetahuan. Jadi, roh itu masih berada dalam lingkup waktu. ... Maka gagasan tentang kelangsungan roh yang akan lahir kembali berulang-ulang tidak punya arti, oleh karena ia adalah ciptaan pikiran yang ketakutan, pikiran yang berkeinginan, yang mencari kelangsungan melalui keabadian, yang menginginkan kepastian, oleh karena di situ ada harapan. 19 November Reinkarnasi Apa yang Anda Maksud dengan Karma? Bukankah karma menyiratkan sebab dan akibat?—tindakan berdasarkan sebab, menghasilkan suatu akibat tertentu; tindakan yang lahir dari pengkondisian, dan menghasilkan akibat lebih jauh. Jadi, karma menyiratkan sebab dan akibat. Dan apakah sebab dan akibat itu statis, apakah sebab dan akibat itu selalu tetap? Tidakkah akibat menjadi sebab juga? Jadi, tidak ada sebab tetap dan tidak ada akibat tetap. Hari ini adalah akibat hari kemarin, bukan? Hari ini adalah hasil dari hari kemarin, secara kronologis maupun secara psikologis; dan hari ini adalah sebab bagi hari esok. Jadi, sebab adalah akibat dan akibat menjadi sebab—semua itu suatu gerakan yang terus-menerus ... tidak ada sebab tetap dan tidak ada akibat tetap. Jika ada sebab tetap dan akibat tetap, maka akan ada spesialisasi; dan bukankah spesialisasi itu kematian? Setiap spesies yang berspesialisasi jelas akan berakhir. Kebesaran manusia ialah bahwa ia tidak dapat berspesialisasi. Ia mungkin berspesialisasi secara teknis, tetapi dalam struktur ia tidak dapat berspesialisasi. Sebuah biji jagung terspesialisasi—ia tidak bisa lain daripada apa adanya. Tetapi manusia tidak berakhir sepenuhnya. Ada kemungkinan untuk pembaruan terus-menerus; ia tidak dibatasi oleh spesialisasi. Selama kita memandang sebab, latar belakang, pengkondisian, sebagai tidak berhubungan dengan akibat, selalu ada konflik antara pikiran dengan latar belakang. Jadi masalahnya jauh lebih rumit daripada sekadar percaya atau tidak terhadap reinkarnasi, oleh karena masalahnya adalah bagaimana bertindak, bukan apakah Anda percaya akan reinkarnasi atau karma. Itu sama sekali tidak relevan. 20 November Reinkarnasi Tindakan Berdasarkan Gagasan Dapatkah tindakan menghasilkan pembebasan dari rantai sebab-akibat ini? Saya telah melakukan sesuatu di masa lampau; saya mempunyai pengalaman, yang jelas mengkondisikan respons saya hari ini; dan respons hari ini mengkondisikan respons hari esok. Itulah seluruh proses karma, sebab dan akibat; dan jelas—sekalipun mungkin menghasilkan kenikmatan untuk sementara waktu—proses sebab-akibat seperti itu pada akhirnya hanya akan menghasilkan kesakitan. Itulah pokok persoalannya: Dapatkah pikiran menjadi bebas? Pikiran atau tindakan yang bebas tidak menghasilkan kesakitan, tidak menghasilkan pengkondisian. Itulah pokok terpenting dari seluruh masalah ini. Jadi, adakah tindakan yang tidak berhubungan dengan masa lampau? Adakah tindakan yang tidak berdasarkan gagasan? Gagasan adalah kelangsungan hari kemarin dalam bentuk yang diubah sedikit, dan kelangsungan itu akan mengkondisikan hari esok; itu berarti tindakan berdasarkan gagasan tidak pernah bisa bebas. Selama tindakan didasarkan pada gagasan, mau tidak mau akan menimbulkan konflik lebih jauh. Adakah tindakan yang tidak berhubungan dengan masa lampau? Adakah tindakan tanpa beban pengalaman, pengetahuan hari kemarin? Selama tindakan adalah hasil masa lampau, tindakan tidak pernah bisa bebas, dan hanya dalam kebebasan Anda dapat menemukan apa yang benar. Yang terjadi ialah, karena batin tidak bebas, ia tidak mampu bertindak; ia hanya dapat bereaksi, dan reaksi adalah dasar dari tindakan kita. Tindakan kita bukanlah tindakan, melainkan sekadar kelangsungan dari reaksi, oleh karena ia adalah hasil dari ingatan, dari pengalaman, dari respons hari kemarin. Jadi, pertanyaannya ialah, dapatkah batin bebas dari keterkondisiannya? 21 November Reinkarnasi Cinta Bukanlah Kenikmatan Tanpa memahami kenikmatan Anda tidak pernah dapat memahami cinta. Cinta bukanlah kenikmatan. Cinta sama sekali lain. Dan untuk memahami kenikmatan, seperti saya katakan, Anda harus mempelajarinya. Nah, bagi kebanyakan kita, bagi kebanyakan manusia, seks merupakan masalah. Mengapa? Simaklah ini dengan sangat hati-hati. Oleh karena Anda tidak mampu memecahkannya, Anda melarikan diri darinya. Seorang sannyasi melarikan diri darinya dengan bersumpah hidup selibat, dengan menyangkal. Lihatlah apa yang terjadi dengan batin seperti itu. Dengan menyangkal sesuatu yang menjadi bagian dari seluruh struktur diri Anda—kelenjar dan sebagainya—dengan menekannya, Anda membuat diri Anda gersang, dan ada pertempuran terus-menerus berkecamuk dalam diri Anda. Seperti kita katakan, tampaknya hanya ada dua cara untuk menghadapi problem apa pun: entah menekannya, entah lari darinya. Sesungguhnya menekannya sama saja dengan lari darinya. Dan kita punya banyak cara untuk melarikan diri—sangat rumit, intelektual, emosional—dan kegiatan yang biasa sehari-hari. Ada berbagai cara melarikan diri, yang tidak akan kita dalami sekarang. Tetapi kita punya problem ini. Seorang sannyasi melarikan diri dengan satu cara, tetapi ia tidak menyelesaikannya; ia menekannya dengan mengambil sumpah, dan seluruh problem itu bergolak di dalam dirinya. Secara lahiriah ia mungkin mengenakan jubah kesederhanaan, tetapi ini juga menjadi masalah yang luar biasa baginya, seperti halnya bagi orang yang menempuh kehidupan biasa. Bagaimana Anda akan memecahkannya? 22 November Reinkarnasi Cinta Tidak Dipupuk Cinta tidak untuk dipupuk. Cinta tidak bisa dibagi menjadi cinta ilahi dan cinta jasmaniah; hanya ada cinta—bukan Anda mencintai seorang atau mencintai banyak orang. Pertanyaan ini juga absurd, ”Apakah Anda mencintai semua orang?” Lihat, sekuntum bunga yang harum tidak peduli siapa yang datang menghirup keharumannya, atau siapa yang berpaling membelakanginya. Begitu pula cinta. Cinta bukan ingatan. Cinta bukan berasal dari batin atau intelek. Tetapi ia muncul secara alamiah sebagai welas asih, bila seluruh problem eksistensi ini—sebagai ketakutan, keserakahan, iri hati, keputusasaan, harapan—telah terpahami dan terselesaikan. Seorang yang penuh ambisi tidak bisa mencinta. Seorang yang melekat kepada keluarganya tidak punya cinta. Begitu pula cemburu tidak ada kaitannya dengan cinta. Bila Anda berkata, “Aku mencintai istriku,” sesungguhnya Anda tidak bermaksud demikian, oleh karena pada saat berikutnya Anda cemburu kepadanya. Cinta menyiratkan kebebasan besar—bukan untuk berbuat sesuka hati. Tetapi cinta muncul hanya apabila batin sangat hening, tidak berkepentingan, tidak berpusat pada diri sendiri. Ini bukan cita-cita. Jika Anda tidak punya cinta—apa pun yang Anda lakukan—mencari tuhan ke seluruh pelosok dunia, melakukan semua kegiatan sosial, mencoba mengentaskan kemiskinan, berpolitik, menulis buku, menulis sajak—Anda manusia mati. Dan tanpa cinta problem Anda akan bertambah, berkembang biak tanpa henti. Dan dengan cinta, apa pun yang Anda lakukan, tidak ada risiko; tidak ada konflik. Maka cinta adalah intisari kebajikan. Dan sebuah batin yang tidak berada dalam keadaan cinta bukan batin yang religius sama sekali. Dan hanya batin yang religius yang bebas dari problem, dan yang tahu keindahan cinta dan kebenaran. 23 November Reinkarnasi Cinta Tanpa Insentif Apakah cinta tanpa motif itu? Mungkinkah ada cinta tanpa suatu insentif, tanpa menginginkan sesuatu untuk diri sendiri dari cinta itu? Mungkinkah ada cinta yang di situ tidak ada rasa terluka bila cinta tidak berbalas? Saya ulurkan persahabatanku kepada Anda dan Anda berpaling, apakah saya tidak terluka? Apakah perasaan terluka itu hasil dari persahabatan, dari kemurahan, dari simpati? Sesungguhnya, selama saya merasa terluka, selama ada rasa takut, selama saya membantu Anda disertai harapan Anda akan membantu saya—yang disebut pelayanan—maka tidak ada cinta. Jika Anda memahami ini, jawabannya ada di situ. 24 November Reinkarnasi Cinta Itu Berbahaya Bagaimana orang bisa hidup tanpa cinta? Kita hanya bisa eksis, dan eksistensi tanpa cinta berarti pengendalian, kebingungan dan kesakitan—dan itulah yang diciptakan oleh kebanyakan dari kita. Kita berorganisasi demi eksistensi dan kita menerima konflik sebagai sesuatu yang tak dapat dihindarkan oleh karena eksistensi kita adalah tuntutan tanpa henti akan kekuasaan. Sesungguhnya, bila kita mencinta, organisasi mempunyai perannya sendiri, peran yang benar; tetapi tanpa cinta, organisasi menjadi hal yang menakutkan, sekadar sesuatu yang mekanis dan efisien, seperti tentara; seperti masyarakat modern berdasarkan sekadar efisiensi, kita harus memiliki tentara—dan tujuan tentara adalah menciptakan perang. Bahkan pada masa yang disebut damai, semakin kita menjadi efisien secara intelektual, makin kita tidak kenal kasihan, makin brutal, makin berhati dingin. Itulah sebabnya mengapa ada kebingungan di dunia, mengapa birokrasi menjadi semakin berkuasa, mengapa makin banyak pemerintahan menjadi totaliter. Kita pasrah terhadap semua ini sebagai sesuatu yang tak bisa dihindarkan karena kita hidup dengan otak kita dan bukan dengan hati kita, dan oleh karena itu tidak ada cinta. Cinta adalah unsur yang paling berbahaya dan tidak pasti dalam kehidupan; dan karena kita tidak ingin merasa tidak pasti, karena kita tidak ingin berada dalam bahaya, maka kita hidup di dalam pikiran. Seorang yang mencinta adalah berbahaya, dan kita tidak ingin hidup secara berbahaya; kita ingin hidup secara efisien, kita ingin sekadar hidup di dalam kerangka organisasi karena kita mengira organisasi akan membawa ketertiban dan kedamaian di dunia. Organisasi tidak pernah menghasilkan ketertiban dan kedamaian. Hanya cinta, hanya kemauan baik, hanya pengampunan dapat menghasilkan ketertiban dan kedamaian, pada akhirnya dan oleh karena itu sekarang. 25 November Reinkarnasi Apa Reaksi Anda? Ketika Anda melihat para perempuan miskin memikul beban berat berjalan ke pasar, atau mengamati anak-anak tani bermain-main di lumpur tanpa suatu mainan apa pun, yang tidak mengenyam pendidikan yang pernah Anda nikmati, yang tidak punya rumah yang layak, kurang kebersihan, kurang pakaian, makanan yang tidak memadai—ketika Anda mengamati semua itu, apa reaksi Anda? Sangat penting Anda menemukan sendiri apa reaksi Anda. Saya akan katakan kepada Anda, apa reaksi saya. Anak-anak kecil itu tidak punya tempat yang layak untuk tidur; ayah dan ibunya sibuk bekerja sepanjang hari, tanpa pernah libur; anak-anak itu tidak pernah tahu apa artinya disayang, diperhatikan; orang tua mereka tidak pernah duduk bersama mereka dan mendongeng tentang keindahan bumi dan langit. Dan masyarakat macam apa ini yang telah menghasilkan keadaan seperti ini—yang di situ ada orang yang sangat kaya yang memiliki apa saja di muka bumi yang diinginkannya, dan pada saat bersamaan ada anak-anak yang tidak punya apa-apa? Masyarakat macam apa itu, dan bagaimana masyarakat itu bisa muncul? Anda mungkin melakukan revolusi, menghancurkan pola-pola masyarakat ini, tetapi di dalam penghancuran itu lahirlah masyarakat baru, yang lagi-lagi hal yang sama dalam wujud baru—para komisaris politik dengan rumah vila di pedalaman, hak-hak istimewa mereka, pakaian seragam mereka, dan seterusnya sampai ke bawah. Ini terjadi sehabis setiap revolusi, di Perancis, di Rusia, di Cina. Mungkinkah menciptakan suatu masyarakat yang di situ tidak ada lagi korupsi dan penderitaan? Masyarakat seperti itu dapat tercipta hanya apabila Anda dan saya sebagai individu-individu melepaskan diri dari apa yang kolektif, bila kita bebas dari ambisi dan tahu apa artinya mencinta. Itulah seluruh reaksi saya, dalam satu kilatan. 26 November Reinkarnasi Welas Asih Bukan Istilahnya Pikiran tidak dapat—dengan cara apa pun—memupuk welas asih. Saya tidak menggunakan kata ’welas asih’ untuk makna kebalikan atau antitesis dari kebencian atau kekerasan. Tetapi kalau masing-masing dari kita tidak memiliki suatu rasa welas asih yang mendalam, kita akan menjadi semakin brutal, semakin tidak manusiawi terhadap sesama. Kita akan memiliki pikiran mirip komputer, yang sekadar terlatih untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu; kita akan terus mencari rasa aman, baik secara fisikal maupun psikologis, dan kita akan kehilangan kedalaman dan keindahan luar biasa, seluruh makna penting dari kehidupan. Dengan welas asih, bukan saya maksudkan sesuatu yang harus didapat. Welas asih bukanlah katanya, yang sekadar dari masa lampau, melainkan sesuatu yang berada pada saat kini yang aktif; ia adalah katakerja dan bukan istilah, nama, atau katabenda. Ada perbedaan antara katakerja dan istilah. Katakerja berada pada saat kini yang aktif, sedangkan istilah selalu berada pada masa lampau dan oleh karena itu statis. Anda mungkin memberi vitalitas dan gerakan pada nama, pada istilah, tetapi itu tidak sama dengan katakerja, yang adalah saat kini yang aktif. ... Welas asih bukan rasa hati; itu bukan simpati atau empati yang lembut. Welas asih bukan sesuatu yang dapat Anda pupuk melalui pikiran, melalui disiplin, pengendalian, penekanan, tidak pula dengan bersikap baik hati, ramah, lembut, dan sebagainya. Welas asih hanya muncul bila pikiran berakhir sampai ke akarnya. 27 November Reinkarnasi Welas Asih dan Kebaikan Dapatkah welas asih, rasa kebaikan, rasa kesucian dari kehidupan, yang telah kita bicarakan pada waktu terakhir kali kita bertemu—dapatkah perasaan itu dihasilkan melalui paksaan? Sesungguhnya, bila ada paksaan dalam bentuk apa pun, bila ada propaganda atau moralisasi, tidak ada welas asih; juga tidak ada welas asih jika perubahan diadakan sekadar dengan melihat perlunya menghadapi tantangan teknologi sedemikian rupa sehingga manusia akan tetap manusia dan bukan menjadi mesin. Jadi haruslah ada perubahan tanpa sebab apa pun juga. Suatu perubahan yang dihasilkan melalui sebab bukanlah welas asih; itu hanya barang dagangan di pasar. Itu satu masalah. Masalah lain adalah, jika saya berubah, bagaimana itu akan mempengaruhi masyarakat? Atau apakah saya tidak peduli sama sekali dengan itu? Oleh karena sebagian terbesar manusia tidak tertarik kepada apa yang kita bicarakan; Anda juga tidak, jika Anda menyimak hanya karena ingin tahu atau didorong oleh suatu dorongan tertentu, lalu pergi. Mesin-mesin berkembang begitu pesat sehingga manusia hanya didorong maju, dan tidak mampu menghadapi kehidupan dengan kekayaan cinta, dengan welas asih, dan dengan renungan mendalam. Dan jika saya berubah, bagaimana itu akan mempengaruhi masyarakat, yang adalah hubungan saya dengan Anda? Masyarakat bukanlah suatu entitas mitis yang luar biasa; itu adalah hubungan kita satu sama lain; dan jika dua atau tiga orang di antara kita berubah, bagaimana itu akan mempengaruhi dunia selebihnya? Atau adakah cara untuk mempengaruhi batin manusia secara total? Artinya, adakah suatu proses, yang dengan itu individu yang telah berubah dapat menyentuh bawah-sadar manusia? 28 November Reinkarnasi Memancarkan Welas Asih Jika saya berminat dengan welas asih, ... dengan cinta, dengan rasa sesungguhnya akan sesuatu yang suci, lalu bagaimana perasaan itu dipancarkan? Harap ikuti ini. Jika saya memancarkannya melalui mikrofon ini, melalui mesin propaganda, dan dengan demikian meyakinkan orang lain, hatinya akan tetap kosong. Api ideologi akan bekerja, dan ia hanya akan mengulang, seperti Anda semua mengulang, bahwa kita harus ramah, baik, bebas—semua nonsens yang dikatakan oleh para politisi, kaum sosialis, dan lainnya. Jadi, melihat bahwa bentuk paksaan apa pun, betapa pun halusnya, tidak menghasilkan keindahan ini, mekarnya kebaikan, mekarnya welas asih, apakah yang harus dilakukan oleh individu? Apakah hubungan antara orang yang memiliki rasa welas asih ini dengan orang yang batinnya terperangkap dalam yang kolektif, dalam yang tradisional? Bagaimana Anda menemukan hubungan antara keduanya, bukan secara teoretis, melainkan secara aktual? ... Sesuatu yang menyesuaikan diri tidak pernah mekar dalam kebaikan. Harus ada kebebasan, dan kebebasan hanya muncul apabila Anda memahami seluruh problem iri hati, keserakahan, ambisi, dan keinginan akan kekuasaan. Kebebasan dari hal-hal itulah yang memungkinkan keluarbiasaan yang dinamakan karakter untuk mekar. Orang seperti itu memiliki welas asih, ia tahu apa artinya mencinta—bukan orang yang hanya mengulang-ulang ribuan kata tentang moralitas. Jadi mekarnya kebaikan tidak terletak di dalam masyarakat, oleh karena masyarakat itu sendiri selalu korup. Hanya orang yang memahami seluruh struktur dan proses masyarakat, dan membebaskan diri darinya, memiliki karakter, dan hanya dialah yang dapat memekarkan kebaikan. 29 November Reinkarnasi Datanglah kepadanya dengan Tangan Kosong Welas asih tidak sulit dicapai bila hati tidak dipenuhi dengan hal-hal yang cerdik dari pikiran. Pikiran itulah, dengan tuntutan dan ketakutannya, kelekatan dan penolakannya, dengan tekadnya dan dorongannya, yang menghancurkan cinta. Dan betapa sulit untuk bersikap sederhana tentang itu! Anda tidak membutuhkan filsafat atau doktrin untuk menjadi lembut dan baik hati. Mereka yang efisien dan berkuasa di negeri ini akan mengorganisir upaya untuk memberi makan dan pakaian kepada rakyat jelata, untuk menyediakan perumahan dan perawatan kesehatan bagi mereka. Itu tidak bisa dihindarkan dengan peningkatan produksi yang pesat; itu adalah fungsi dari pemerintah yang baik dan suatu masyarakat yang seimbang. Tetapi organisasi tidak memberikan kemurahan hati dan uluran tangan. Kemurahan hati datang dari sumber yang lain, suatu sumber di luar segala ukuran. Ambisi dan iri hati menghancurkannya, seperti api menghanguskan. Sumber ini harus disentuh, tetapi kita harus datang kepadanya dengan tangan kosong, tanpa doa, tanpa kurban. Buku tidak dapat mengajarkan sumber ini, juga tidak guru mana pun. Itu tidak bisa dicapai dengan memupuk kebajikan, sekalipun kebajikan itu perlu; juga tidak melalui kemampuan dan kepatuhan. Ketika batin tenang, tanpa suatu gerak apa pun, dia muncul. Ketenangan adalah tanpa motif, tanpa dorongan untuk memperoleh lebih banyak. 30 November DESEMBER • Kesendirian • Agama • Tuhan • Meditasi Kesendirian Kesendirian Memiliki Keindahan Saya tidak tahu apakah Anda pernah merasa kesepian; ketika tiba-tiba Anda menyadari bahwa Anda tidak punya hubungan dengan siapa pun—bukan suatu kesadaran intelektual, melainkan kesadaran aktual ... dan Anda terisolasi sepenuhnya. Setiap pikiran dan emosi terhalang; Anda tidak bisa berpaling ke mana pun; tidak ada siapa pun untuk didatangi: Tuhan, dewa, malaikat, semua telah lenyap di balik awan, dan ketika awan itu lenyap, mereka juga lenyap; Anda sepenuhnya kesepian—saya tidak akan menggunakan kata ‘sendirian’. ’Sendiri’ mempunyai arti yang lain sekali; ’sendiri’ memiliki keindahan. Berada ’sendiri’ mempunyai makna yang sama sekali lain. Dan Anda harus berada sendiri. Bila manusia membebaskan diri dari struktur sosial dari keserakahan, iri hati, ambisi, arogansi, pencapaian, status—jika ia membebaskan diri dari semua itu, maka ia berada sepenuhnya sendiri. Itu hal yang lain sekali. Maka di situ terdapat keindahan besar, rasa akan energi yang besar. 1 Desember Kesendirian Kesendirian Bukan Kesepian Sekalipun kita semua sama-sama manusia, kita membangun dinding di antara kita dan tetangga kita melalui nasionalisme, melalui ras, kasta, dan kelas—yang lalu menimbulkan isolasi, kesepian. Nah, batin yang terperangkap dalam kesepian, dalam keadaan terisolasi, tidak mungkin dapat memahami apa itu agama. Ia mungkin percaya, ia mungkin memiliki teori, konsep, akidah, ia mungkin mencoba menghubungkan dirinya dengan apa yang disebutnya ’Tuhan’; tetapi agama, menurut saya, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepercayaan apa pun, dengan rohaniwan apa pun, dengan lembaga keagamaan apa pun, atau apa yang dinamakan ’kitab suci’ mana pun. Keadaan batin yang religius hanya dapat dipahami apabila kita mulai mengerti apa itu keindahan; dan pemahaman keindahan harus didekati melalui kesendirian total. Hanya apabila batin berada sendiri sepenuhnya, ia dapat mengetahui apa itu keindahan, dan tidak dalam keadaan lain apa pun. Kesendirian jelas bukan isolasi, dan itu bukan keunikan. Unik hanyalah sekadar istimewa dalam salah satu hal, sedangkan untuk berada sendiri sepenuhnya dituntut kepekaan, kecerdasan, pemahaman luar biasa. Untuk berada sendiri sepenuhnya berarti batin sepenuhnya bebas dari segala macam pengaruh, dan oleh karena itu tidak tercemar oleh masyarakat; dan ia harus berada sendiri untuk memahami apa itu agama—yang berarti menemukan sendiri apakah ada sesuatu yang abadi, di luar waktu. 2 Desember Kesendirian Mengetahui Kesepian Kesepian sama sekali lain dari kesendirian. Kesepian itu harus diatasi agar bisa berada sendiri. Kesepian tidak bisa dibandingkan dengan kesendirian. Orang yang mengetahui kesepian tidak pernah bisa mengetahui apa yang berada sendiri. Apakah Anda berada dalam keadaan sendiri itu? Pikiran kita tidak terpadu untuk berada sendiri. Adanya pikiran itu sendiri bersifat memisahkan. Dan apa yang memisahkan mengetahui kesepian. Tetapi kesendirian tidak bersifat memisahkan. Itu adalah sesuatu yang bukan dari yang banyak, yang tidak terpengaruh oleh yang banyak, yang bukan hasil dari yang banyak, yang tidak dibentuk seperti pikiran ini; pikiran adalah dari yang banyak. Pikiran bukanlah entitas yang berada sendiri, oleh karena pikiran terbentuk, tersusun, terbuat selama berabad-abad. Pikiran tidak bisa berada sendiri. Pikiran tidak mungkin bisa memahami kesendirian. Tetapi dengan menyadari kesepian ketika melaluinya, muncullah kesendirian. Hanya dengan demikian bisa muncul apa yang tak terukur. Sayang sekali kebanyakan kita mencari kebergantungan. Kita menginginkan teman, kita menginginkan sahabat, kita ingin hidup dalam keadaan terpisah, dalam keadaan yang menghasilkan konflik. Apa yang berada sendiri tidak pernah berada dalam keadaan konflik. Tetapi pikiran tidak mungkin bisa melihatnya, tidak mungkin bisa memahaminya, ia hanya bisa mengetahui kesepian. 3 Desember Kesendirian Hanya dalam Kesendirian Terdapat Kepolosan Kebanyakan dari kita tidak pernah berada sendiri. Anda mungkin menarik diri ke gunung dan hidup sebagai petapa, tetapi sementara Anda secara fisik berada sendiri, Anda memiliki seluruh gagasan-gagasan Anda, pengalaman Anda, tradisi Anda, pengetahuan Anda tentang masa lampau. Rahib Kristen di dalam sel biaranya tidak sendiri; ia bersama Yesus konseptualnya, bersama teologinya, bersama kepercayaan dan dogma-dogma tertentu yang mengkondisikannya. Begitu pula, sang sannyasi di India yang menarik diri dari dunia dan hidup terisolir tidak sendiri, karena ia pun hidup bersama ingatan-ingatannya. Saya bicara tentang kesendirian yang di situ batin sepenuhnya bebas dari masa lampau, dan hanya batin seperti itulah yang bajik, oleh karena hanya di dalam kesendirian inilah terdapat kepolosan. Mungkin Anda berkata, ”Itu tuntutan yang terlalu banyak. Kita tidak bisa hidup seperti itu di dunia yang kacau ini, yang di situ orang harus pergi ke kantor setiap hari, mencari nafkah, membuat anak, menanggung gerutu istri atau suami, dan sebagainya.” Tetapi saya rasa, apa yang kita bicarakan berhubungan langsung dengan kehidupan dan tindakan sehari-hari; kalau tidak, itu tidak punya nilai sama sekali. Nah, dari kesendirian ini muncul suatu kebajikan yang kuat yang membawa rasa luar biasa akan kemurnian dan kelembutan. Tidak penting apakah kita membuat kesalahan; itu sangat tidak penting. Yang penting adalah memiliki rasa berada sendiri sepenuhnya, tak tercemari, oleh karena hanya batin seperti itulah yang dapat mengetahui atau menyadari apa yang berada di luar kata-kata, di luar nama, di luar segala proyeksi imajinasi. 4 Desember Kesendirian Orang yang Sendiri Adalah Polos Salah satu penyebab penderitaan adalah kesepian luar biasa manusia. Anda mungkin memiliki teman, Anda mungkin memiliki tuhan-tuhan, Anda mungkin memiliki pengetahuan yang luas, Anda mungkin aktif luar biasa di bidang sosial, bergunjing tidak habis-habisnya tentang politik—dan itulah yang dilakukan oleh kebanyakan politisi—dan kesepian ini tetap ada. Oleh karena itu manusia mencari suatu makna dalam kehidupan, dan ia menciptakan suatu makna, suatu arti. Tetapi kesepian itu tetap ada. Jadi, dapatkah Anda memandangnya tanpa pembandingan sedikit pun, sekadar melihat apa adanya, tanpa mencoba lari darinya, tanpa mencoba menutupinya, atau meloloskan diri darinya? Maka Anda akan melihat kesepian itu menjadi sesuatu yang lain sama sekali. Kita tidak sendiri. Kita adalah hasil dari ribuan pengaruh, ribuan pengkondisian, warisan psikologis, propaganda, budaya. Kita tidak sendiri, dan oleh karena itu kita adalah manusia bekas. Bila kita sendiri, sendiri sepenuhnya, tidak termasuk keluarga apa pun—sekalipun mungkin kita punya keluarga—juga tidak termasuk bangsa apa pun, budaya apa pun, komitmen apa pun, terdapat rasa sebagai orang luar—orang luar terhadap setiap bentuk pikiran, tindakan, keluarga, bangsa. Dan hanyalah dia yang sepenuhnya sendiri yang polos. Kepolosan inilah yang membebaskan batin dari penderitaan. 5 Desember Kesendirian Ciptakan Dunia Baru Jika Anda ingin menciptakan suatu dunia baru, suatu peradaban baru, seni baru, segala sesuatu baru, tidak tercemar oleh tradisi, oleh ketakutan, oleh ambisi, jika Anda ingin menciptakan sesuatu yang anonim, yang adalah milik Anda dan saya, suatu masyarakat baru, bersama-sama, yang di situ tidak ada Anda dan saya melainkan ’kita’, bukankah harus ada batin yang sama sekali anonim, dan oleh karena itu sendiri? Bukankah ini berarti harus ada pemberontakan terhadap penyesuaian diri, pemberontakan terhadap keterhormatan, karena orang yang terhormat adalah orang yang remeh karena ia menginginkan sesuatu, ia bergantung pada pengaruh demi kebahagiaannya, pada apa yang dikatakan tetangganya, pada apa yang dikatakan gurunya, pada apa yang dikatakan oleh kitab Bhagavad-Gita atau Upanishad atau Alkitab atau Kristus. Batinnya tidak pernah sendiri. Ia tidak pernah berjalan sendiri, melainkan ia selalu berjalan dengan seorang teman, ditemani oleh gagasan-gagasannya. Tidakkah penting untuk menemukan, melihat, seluruh makna dari campur tangan, dari pengaruh, kemapanan sang ’aku’, yang adalah kebalikan dari keanoniman? Dengan melihat keseluruhan itu, tidakkah mau tidak mau timbul pertanyaan: mungkinkah dengan seketika menghasilkan keadaan batin yang tidak terpengaruh, yang tidak dapat dipengaruhi oleh pengalamannya sendiri atau pengalaman orang lain, batin yang tidak ternoda, yang berada sendiri? Hanya dengan demikian ada kemungkinan menghasilkan suatu dunia lain, suatu budaya lain, suatu masyarakat lain, yang di situ mungkin terdapat kebahagiaan. 6 Desember Kesendirian Kesendirian yang di Situ Tidak Ada Ketakutan Hanya jika batin mampu menanggalkan semua pengaruh, semua campur tangan, dan berada sepenuhnya sendiri ... terdapat kreativitas. Di dunia, makin lama makin banyak teknik dikembangkan—teknik bagaimana menpengaruhi orang melalui propaganda, melalui pemaksaan, melalui peniruan. ... Tak terhitung banyaknya buku ditulis tentang bagaimana melakukan ini-itu, bagaimana berpikir efisien, bagaimana membangun rumah, bagaimana membuat mesin, sehingga berangsur-angsur kita kehilangan inisiatif, inisiatif untuk memikirkan sesuatu yang orisinal bagi kita sendiri. Dalam pendidikan kita, dalam hubungan kita dengan pemerintah, dengan berbagai cara, kita dipengaruhi untuk menyesuaikan diri, untuk meniru. Dan bila kita membiarkan suatu pengaruh membujuk kita untuk mengambil sikap atau tindakan tertentu, dengan sendirinya kita menciptakan perlawanan terhadap pengaruh-pengaruh yang lain. Di dalam proses menciptakan perlawanan terhadap pengaruh lain, tidakkah kita menyerah kepadanya secara negatif? Tidakkah batin seharusnya selalu berada dalam keadaan berontak, untuk dapat memahami berbagai pengaruh yang selalu menerpa, mencampuri, mengendalikan, membentuk? Bukankah salah satu sifat batin yang remeh adalah bahwa ia selalu ketakutan, dan—karena bingung—ia menghendaki ketertiban, ia menghendaki konsistensi, ia menghendaki suatu wujud, suatu bentuk yang dapat menuntunnya dan mengendalikannya. Namun, wujud-wujud ini, berbagai pengaruh ini menciptakan kontradiksi di dalam individu, menciptakan kebingungan di dalam individu. ... Pilihan apa pun di antara berbagai pengaruh itu tetap berada di dalam keremehan itu. ... Tidakkah batin seharusnya memiliki kemampuan untuk menyelami—bukan meniru, bukan dibentuk—dan untuk berada tanpa ketakutan? Tidakkah seharusnya batin seperti itu berada sendiri dan dengan demikian kreatif? Kreativitas seperti bukan milik Anda atau milik saya; dia anonim. 7 Desember Agama Mulailah di Sini Seorang yang religius tidak mencari Tuhan. Orang yang religius berminat untuk mengubah masyarakat, yang adalah dirinya sendiri. Orang yang religius bukanlah orang yang melakukan ritual terus-menerus, mengikuti tradisi, hidup dalam budaya masa lampau yang mati, menafsirkan tanpa henti kitab-kitab suci, mengaji tanpa henti, atau menjadi rahib—itu bukan orang yang religius; orang seperti itu lari dari kenyataan. Orang yang religius berminat secara total dan penuh untuk memahami masyarakat, yang adalah dirinya sendiri. Ia tidak terpisah dari masyarakat. Menghasilkan dalam dirinya suatu perubahan yang total dan lengkap berarti berakhirnya secara menyeluruh keserakahan, iri hati, ambisi; dan oleh karena itu ia tidak tergantung pada peristiwa-peristiwa di sekitarnya, sekalipun ia adalah hasil dari peristiwa-peristiwa di sekitarnya—dari makanan yang dimakannya, buku yang dibacanya, film yang ditontonnya, dogma, kepercayaan, ritual agama dan sebagainya. Ia bertanggung jawab, dan oleh karena itu seorang yang religius harus memahami dirinya, yang adalah produk masyarakat yang diciptakannya sendiri. Oleh karena itu, untuk menemukan realitas ia harus mulai di sini—bukan di dalam sebuah tempat ibadah, bukan pada sebuah gambar—baik gambar itu dibuat oleh tangan atau oleh pikiran. Kalau tidak, bagaimana ia bisa menemukan sesuatu yang sama sekali baru, suatu keadaan baru? 8 Desember Agama Batin yang Religius Adalah Eksplosif Dapatkah kita menemukan sendiri apakah batin religius itu? Seorang ilmuwan di laboratoriumnya adalah sungguh-sungguh ilmuwan; ia tidak dipengaruhi oleh nasionalismenya, oleh ketakutannya, oleh kebanggaannya, ambisinya, dan tuntutan-tuntutan lokal; di situ ia sekadar meneliti. Tetapi di luar laboratorium, ia seperti orang lain memiliki prasangka, ambisi, kebangsaan, kebanggaan, kecemburuan, dan sebagainya. Batin seperti itu tidak dapat mendekati batin yang religius. Batin yang religius tidak berfungsi dari suatu pusat otoritas, baik pusat itu kumpulan pengetahuan sebagai tradisi, maupun pusat sebagai pengalaman—yang sesungguhnya adalah kelangsungan tradisi, kelangsungan pengkondisian. Batin yang religius tidak berpikir dalam kerangka waktu, hasil yang langsung, pembaruan langsung di dalam pola masyarakat. ... Kami mengatakan batin yang religius bukanlah batin yang ritualistik; ia tidak termasuk suatu agama apa pun, kelompok apa pun, pola pikir apa pun. Batin yang religius adalah batin yang telah masuk ke dalam yang tak diketahui, dan Anda tidak mungkin masuk ke dalam yang tak diketahui kecuali dengan melompat; Anda tidak dapat menghitung-hitung dengan teliti dan masuk ke dalam yang tak diketahui. Batin yang religius adalah batin revolusioner yang sesungguhnya, dan batin revolusioner bukanlah reaksi terhadap apa yang ada. Batin yang religius sesungguhnya eksplosif, kreatif—bukan dalam arti kata ‘kreatif’ yang biasa diterima, seperti dalam sebuah syair, dekorasi, atau bangunan, seperti arsitektur, musik, puisi, dan sebagainya—ia berada dalam keadaan mencipta. 9 Desember Agama Doa Adalah Sesuatu yang Rumit Seperti semua masalah manusia yang mendalam, doa adalah sesuatu yang rumit, dan tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa: ia membutuhkan kesabaran, pendalaman yang hati-hati dan toleran, dan kita tidak bisa menuntut kesimpulan dan keputusan yang pasti. Tanpa memahami diri, orang yang berdoa mungkin dengan doanya itu malah menipu diri sendiri. Kita kadang-kadang mendengar orang berkata, dan beberapa orang berkata kepada saya, bahwa bila mereka berdoa kepada apa yang mereka namakan ‘Tuhan’, doa mereka sering dikabulkan. Jika mereka beriman, dan tergantung pada intensitas doa mereka, apa yang mereka minta—kesehatan, kesejahteraan, harta benda duniawi—akhirnya mereka dapatkan. Jika kita senang melakukan doa permohonan, itu akan membawa ganjarannya sendiri, apa yang diminta sering kali dikabulkan, dan ini sering kali memperkuat permohonan. Lalu ada doa—bukan minta harta atau minta orang—melainkan untuk mengalami realitas, mengalami Tuhan, yang juga sering kali dijawab; dan masih ada bentuk-bentuk lain dari doa permohonan, lebih halus dan berputar-putar, tetapi tetap memohon, meminta dan menawar. Semua doa seperti itu mempunyai ganjarannya sendiri, doa-doa itu menghasilkan pengalaman sendiri; tetapi apakah doa-doa itu menuntun kita merealisasikan realitas yang terakhir? Bukankah kita ini hasil masa lampau, dan oleh karena itu bukankah kita ini terkait dengan timbunan luar biasa dari keserakahan dan kebencian, dengan lawan-lawannya? Sesungguhnya, jika kita mengajukan permohonan, atau memanjatkan doa permohonan, kita menggunakan timbunan keserakahan ini, dan sebagainya, yang memang membawa ganjaran, dan mempunyai harga yang harus dibayar ... Apakah permohonan kepada sosok lain, kepada sesuatu di luar, dapat menghasilkan pemahaman akan kebenaran? 10 Desember Agama Jawaban terhadap Doa Doa, yang adalah permohonan, permintaan, tidak mungkin menemukan realitas yang bukan hasil dari tuntutan. Kita minta, memohon, berdoa hanya bila kita bingung, bersedih hati; dan karena tidak memahami kebingungan atau kesedihan itu, kita berpaling kepada sosok lain. Jawaban terhadap doa adalah proyeksi kita sendiri; dalam satu atau lain cara itu selalu memuaskan, memenuhi harapan; kalau tidak, kita akan menolaknya. Jadi, bila kita telah belajar cara menenangkan pikiran melalui pengulangan, kita mempertahankan kebiasaan itu, tetapi jawaban terhadap permohonan tentu harus dibentuk sesuai dengan keinginan orang yang memohon. Nah, doa, permohonan, permintaan, tidak pernah dapat mengungkapkan apa yang bukan proyeksi pikiran. Untuk menemukan apa yang bukan buatan pikiran, batin harus hening—bukan dibuat hening dengan mengulang kata-kata, yang adalah menghipnotis diri, juga tidak dengan jalan lain untuk membuat batin diam. Keheningan yang dibuat, dipaksakan, bukan keheningan sama sekali. Itu seperti meletakkan seorang anak kecil di sudut—secara lahiriah ia mungkin diam, tetapi di dalam ia marah. Jadi, batin yang dibuat hening dengan disiplin tidak pernah sungguh-sungguh hening, dan keheningan yang dibuat tidak dapat mengungkap keadaan kreatif yang di situ realitas muncul. 11 Desember Agama Apakah Agama Itu Kepercayaan? Agama seperti yang kita ketahui atau akui secara umum, adalah kumpulan kepercayaan, dogma, ritual, takhyul, pemujaan patung, jimat dan guru yang akan menuntun Anda kepada apa yang Anda inginkan sebagai tujuan terakhir. Kebenaran terakhir adalah proyeksi pikiran Anda, ini adalah yang Anda inginkan, yang akan membuat Anda berbahagia, yang akan memberi jaminan akan kehidupan kekal. Demikianlah batin yang terperangkap dalam semua ini menciptakan agama, agama dogma, kependetaan, takhyul dan pemujaan berhala—dan di situ Anda terperangkap, dan batin Anda mandek. Apakah itu bisa disebut agama? Apakah agama itu soal kepercayaan, soal pengetahuan tentang pengalaman dan kata-kata orang lain? Atau apakah agama itu sekadar mengikuti suatu moralitas? Anda tahu, bersikap moralis itu relatif mudah—melakukan ini dan tidak melakukan itu. Karena mudah, Anda dapat meniru suatu sistem moral. Di balik moralitas itu mendekam sang diri, tumbuh, meluas, agresif, mendominasi. Tetapi apakah itu yang disebut agama? Anda harus menemukan apa itu kebenaran, karena itulah satu-satunya yang penting, bukan apakah Anda kaya atau miskin, bukan apakah Anda berbahagia dengan keluarga dan anak-anak Anda, karena semua itu akan berakhir, selalu berakhir dengan kematian. Maka, tanpa suatu bentuk kepercayaan apa pun, Anda harus menemukan; Anda harus memiliki semangat, percaya-diri, inisiatif, sehingga bagi Anda sendiri Anda tahu apa itu kebenaran, apa itu Tuhan. Kepercayaan tidak akan memberi apa-apa kepada Anda; kepercayaan hanya akan merusak, membelenggu, membuat gelap. Batin hanya bisa bebas melalui semangat, melalui percaya-diri. 12 Desember Agama Adakah Kebenaran di Dalam Agama? Pertanyaannya ialah: tidak adakah kebenaran di dalam agama, di dalam teori, di dalam cita-cita, di dalam kepercayaan? Marilah kita selidiki. Apakah yang kita maksud dengan agama? Jelas bukan agama terorganisir, bukan Hinduisme, bukan Buddhisme, atau Kristianitas—yang semuanya adalah kepercayaan terorganisir, dengan propaganda, pertobatan, proselitisme, tekanan, dan sebagainya. Adakah kebenaran di dalam agama terorganisir? Ia mungkin mencakup, menjalin kebenaran, tetapi agama terorganisir itu sendiri tidak benar. Oleh karena itu, agama terorganisir adalah palsu, ia memisahkan manusia dari manusia. Anda seorang Muslim, saya seorang Hindu, yang lain seorang Kristen atau seorang Buddhis—dan kita bertengkar, berbunuh-bunuhan. Adakah kebenaran dalam semua itu? Kita tidak membicarakan agama sebagai pencarian kebenaran, melainkan kita membicarakan apakah ada kebenaran di dalam agama terorganisir. Kita begitu terkondisi oleh agama terorganisir sehingga berpikir di situ ada kebenaran, bahwa dengan menyebut diri seorang Hindu kita menjadi penting, kita akan menemukan Tuhan. Betapa absurdnya, Pak. Untuk menemukan Tuhan, untuk menemukan realitas, harus ada kebajikan. Kebajikan adalah kebebasan, dan hanya melalui kebebasan kebenaran bisa ditemukan—bukan sementara Anda terperangkap dalam cengkeraman agama terorganisir, dengan kepercayaannya. Dan adakah kebenaran dalam teori, dalam cita-cita, dalam kepercayaan? Mengapa Anda punya kepercayaan? Jelas bahwa kepercayaan memberi kepada Anda jaminan, kenyamanan, rasa aman, tuntunan. Dalam diri Anda sendiri Anda ketakutan, Anda ingin dilindungi, Anda ingin bersandar pada seseorang, dan oleh karena itu, Anda menciptakan cita-cita, yang menghalangi Anda memahami apa adanya. Oleh karena itu, cita-cita menjadi penghalang bagi tindakan. 13 Desember Agama Untuk Mendaki Tinggi Orang Harus Mulai dari Bawah Organisasi agama menjadi menetap dan kaku seperti pikiran orang yang berada di dalamnya. Kehidupan adalah perubahan terus-menerus, proses menjadi yang tak pernah berhenti, revolusi tanpa akhir, dan karena organisasi tidak mungkin lentur, ia menghalangi perubahan; ia menjadi reaksioner untuk melindungi dirinya sendiri. Pencarian kebenaran adalah individual, bukan berjemaat. Untuk menyatu dengan yang nyata harus ada kesendirian; bukan isolasi, melainkan kebebasan dari semua pengaruh dan opini. Pengorganisasian pikiran mau tidak mau menjadi penghalang bagi pikiran. Seperti Anda sadari sendiri, keserakahan akan kekuasaan hampir tidak pernah habis di dalam apa yang disebut organisasi spiritual; keserakahan ini ditutupi dengan segala macam istilah yang manis dan kedengaran resmi; tetapi kanker kekikiran, keangkuhan, dan antagonisme dipupuk dan dibagi. Dari sini tumbuhlah konflik, ketidaktoleranan, sektarianisme, dan berbagai perwujudan buruk lainnya. Tidakkah lebih bijaksana memiliki kelompok kecil yang terpelajar terdiri dari dua puluh atau dua puluh lima orang, tanpa iuran atau keanggotaan, bertemu kapan saja memungkinkan untuk mendiskusikan dengan ramah pendekatan terhadap realitas? Untuk mencegah agar tidak menjadi eksklusif, masing-masing anggota dapat sekali-sekali mendorong dan mungkin bergabung dengan kelompok kecil lain; itu akan menjadi ekstensif, tidak sempit dan parokial. Untuk mendaki tinggi orang harus mulai dari bawah. Dari awal yang kecil ini kita bisa membantu menciptakan dunia yang lebih waras dan berbahagia. 14 Desember Tuhan Tuhan-tuhan Anda Memecah-belah Anda Apakah yang terjadi di dunia? Anda memiliki Tuhan Kristen, Tuhan-Tuhan Hindu, kaum Muslim dengan konsep khasnya tentang Allah—masing-masing aliran dengan kebenaran khasnya; dan kebenaran-kebenaran ini seperti penyakit di dunia memecah-belah manusia. Kebenaran-kebenaran ini, di tangan segelintir orang, menjadi alat eksploitasi. Anda mendatangi masing-masing, satu demi satu, mencicipinya, karena Anda mulai kehilangan rasa memilah-milah, karena Anda menderita dan Anda butuh obat, dan Anda menerima obat apa pun yang ditawarkan oleh suatu aliran, apakah Kristen, Hindu, atau aliran lainnya. Jadi, apakah yang tengah terjadi? Tuhan-tuhan Anda memecah-belah Anda, kepercayaan Anda kepada Tuhan memecah-belah Anda, namun Anda berbicara tentang persaudaraan umat manusia, persatuan di dalam Tuhan, dan pada saat yang sama mengingkari apa yang ingin Anda temukan itu sendiri, oleh karena Anda melekat erat kepada kepercayaan-kepercayaan ini sebagai cara paling kuat untuk menghancurkan keterbatasan, padahal mereka justru memperkuatnya. Semua ini begitu gamblang. 15 Desember Tuhan Agama Sejati Tahukah Anda apa agama itu? Agama bukan di dalam mengaji, ia bukan di dalam puja, atau ritual apa pun, ia bukan di dalam pemujaan terhadap Tuhan perunggu atau arca batu, ia bukan di dalam kuil-kuil atau gereja-gereja [tempat ibadah], ia bukan di dalam membaca Bhagavad-Gita atau Alkitab [kitab suci], ia bukan di dalam pengulangan sebuah kata keramat atau di dalam mengikuti takhyul lain yang dibuat manusia. Semua itu bukan agama. Agama adalah rasa kebaikan, cinta yang bagaikan sungai, hidup, bergerak sepanjang zaman. Dalam keadaan itu Anda akan menemukan bahwa akan datang suatu saat yang di situ tidak ada lagi pencarian sama sekali; dan berakhirnya pencarian ini adalah awal dari sesuatu yang sama sekali lain. Mencari Tuhan, kebenaran, rasa baik sepenuhnya—bukan memupuk kebaikan, kerendahan hati, melainkan mencari sesuatu yang berada di luar buatan atau tipuan pikiran, melainkan merasakan adanya sesuatu itu, hidup di dalamnya, menjadi dia—itulah agama sejati. Tetapi Anda hanya dapat melakukannya apabila Anda meninggalkan genangan kolam yang telah Anda gali untuk diri Anda, lalu terjun ke dalam sungai kehidupan. Maka kehidupan mempunyai cara yang mencengangkan untuk memelihara Anda, oleh karena di situ Anda tidak memelihara diri Anda sendiri. Kehidupan membawa Anda ke mana ia suka, karena Anda adalah bagian darinya; maka tidak ada lagi masalah keamanan, masalah apa yang dikatakan atau tidak dikatakan orang, dan itulah keindahan kehidupan. 16 Desember Tuhan Pelarian-diri yang Mengagumkan Apakah yang ada di balik pencarian akan Tuhan, dan apakah pencarian itu nyata? Bagi kebanyakan dari kita, pencarian itu adalah pelarian dari kenyataan. Jadi, kita harus jelas dalam diri kita sendiri, apakah pencarian Tuhan ini sekadar pelarian, ataukah pencarian kebenaran di dalam segala sesuatu—kebenaran dalam hubungan-hubungan kita, kebenaran di dalam nilai berbagai hal, kebenaran di dalam gagasan-gagasan. Jika kita mencari Tuhan karena kita bosan dengan dunia ini beserta kesengsaraannya, maka itu adalah pelarian diri. Lalu kita menciptakan Tuhan, dan oleh karenanya itu bukan Tuhan. Jelas bahwa Tuhan yang ada di kuil-kuil [tempat ibadah], yang ada di dalam buku-buku [kitab suci], bukanlah Tuhan—itu adalah pelarian diri yang mengagumkan. Tetapi jika kita mencoba menemukan kebenaran, bukan di dalam serangkaian tindakan kita yang eksklusif, tetapi di dalam seluruh tindakan, gagasan, dan hubungan, jika kita mencari penilaian yang benar terhadap makanan, pakaian dan perumahan, maka oleh karena batin kita mampu memperoleh kejelasan dan pemahaman, bila kita mencari realitas kita akan menemukannya. Maka itu bukan pelarian diri. Tetapi jika kita bingung mengenai hal-hal duniawi—makanan, pakaian, perumahan, hubungan, gagasan-gagasan—bagaimana kita bisa menemukan realitas? Kita hanya bisa menciptakan realitas. Jadi, Tuhan, kebenaran, atau realitas, tidak bisa diketahui oleh suatu batin yang bingung, terkondisi, terbatas. Bagaimana batin seperti itu bisa berpikir tentang realitas atau Tuhan? Mula-mula ia harus menguraikan kondisi-kondisi yang membatasinya. Ia harus membebaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan yang mengungkungnya, dan baru setelah itu ia dapat mengetahui apa itu Tuhan, jelas bukan sebelumnya. Realitas adalah yang tak diketahui; dan apa yang diketahui bukanlah yang nyata. 17 Desember Tuhan Tuhan Anda Bukan Tuhan Seorang yang percaya kepada Tuhan tidak pernah dapat menemukan Tuhan. Jika Anda terbuka terhadap realitas, tidak mungkin ada kepercayaan terhadap realitas. Jika Anda terbuka terhadap apa yang tak diketahui, tidak mungkin ada kepercayaan terhadapnya. Bagaimana pun juga, kepercayaan adalah suatu bentuk perlindungan-diri, dan hanya batin yang picik percaya kepada Tuhan. Lihat saja kepercayaan para pilot dalam perang, yang berkata Tuhan menemani mereka sementara mereka menjatuhkan bom! Jadi Anda percaya kepada Tuhan ketika Anda membunuh, ketika Anda memperalat dan memeras sesama manusia. Anda memuja Tuhan dan Anda terus memeras uang dengan kejam, menyokong tentara—sekalipun Anda percaya akan pengampunan, welas asih, kebaikan hati ... Selama ada kepercayaan, tidak mungkin ada apa yang tak diketahui; Anda tidak bisa merenungkan apa yang tak diketahui; pikiran tidak bisa mengukurnya. Pikiran adalah produk masa lampau; ia adalah hasil hari kemarin; dapatkah batin seperti itu terbuka terhadap apa yang tak diketahui? Ia hanya dapat memproyeksikan suatu gambaran, tetapi proyeksi itu tidak nyata; dengan demikian Tuhan Anda bukan Tuhan—itu hanya suatu gambaran yang Anda buat sendiri, suatu gambaran untuk memuaskan hati Anda sendiri. Realitas hanya bisa muncul apabila batin memahami seluruh proses dirinya sendiri dan berhenti. Bila batin sama sekali kosong—hanya pada saat itulah ia mampu menerima apa yang tak diketahui. Batin tidak akan bersih sampai ia memahami isi hubungan—hubungannya dengan benda-benda, dengan manusia—sampai ia menegakkan hubungan yang benar dengan segala sesuatu. Sebelum ia memahami seluruh proses konflik dalam hubungan, batin tidak mungkin bebas. Hanya apabila batin sama sekali diam, sepenuhnya tidak aktif, tidak memproyeksikan, bila ia tidak lagi mencari dan sama sekali hening—hanya pada saat itulah apa yang abadi dan berada di luar waktu muncul. 18 Desember Tuhan Orang Religius Apakah keadaan batin yang berkata, ”Saya tidak tahu apakah ada Tuhan, apakah ada cinta,” yakni ketika tidak ada respons dari ingatan? Harap jangan menjawab pertanyaan ini dengan seketika kepada diri sendiri, oleh karena jika Anda lakukan itu, jawaban Anda hanyalah sekadar mengenali apa yang Anda pikir begini atau bukan begitu. Jika Anda berkata, ”Itu adalah keadaan negasi,” Anda membandingkannya dengan sesuatu yang telah Anda ketahui; oleh karena itu, keadaan yang di situ Anda berkata, ”Saya tidak tahu,” tidak ada. ... Maka, batin yang mampu berkata, ”Saya tidak tahu,” ia berada dalam satu-satunya keadaan yang di situ dapat ditemukan apa pun. Tetapi orang yang berkata, ”Saya tahu,” orang yang telah mempelajari berbagai pengalaman manusia yang tak terhitung banyaknya, dan yang batinnya penuh dengan beban informasi, penuh dengan pengetahuan ensiklopedik, dapatkah ia mengalami sesuatu yang tidak tertimbun? Itu akan sangat sukar baginya. Bila batin mengesampingkan secara total seluruh pengetahuan yang pernah dikumpulkannya, yang baginya tidak ada lagi Buddha-Buddha, Kristus-Kristus, para Master, para guru, agama-agama, kutipan-kutipan; bila batin berada sendiri sepenuhnya; tidak tercemar, yang berarti bahwa gerakan dari apa yang diketahui telah berhenti, hanya di situ ada kemungkinan suatu revolusi yang hebat, suatu perubahan fundamental. ... Orang religius adalah orang yang tidak merasa dirinya termasuk suatu agama apa pun, bangsa apa pun, ras apa pun, yang di dalam dirinya berada sendirian sepenuhnya; berada dalam keadaan tidak tahu; dan bagi dia muncullah berkah dari yang suci. 19 Desember Tuhan Saya Tidak Tahu Jika kita dapat sungguh-sungguh sampai pada keadaan yang di situ kita berkata, ”Saya tidak tahu,” itu menunjukkan rasa rendah hati yang luar biasa; tidak ada keangkuhan pengetahuan; tidak ada jawaban yang menonjolkan diri untuk menimbulkan kesan hebat. Bila Anda dapat sungguh-sungguh berkata, ”Saya tidak tahu,” yang sangat sedikit orang dapat mengatakannya, maka di dalam keadaan itu seluruh ketakutan berakhir, karena seluruh rasa pengenalan dan pencarian ke dalam ingatan berakhir; tidak ada lagi penyelidikan ke dalam lingkup yang diketahui. Lalu muncullah sesuatu yang luar biasa. Jika Anda mengikuti apa yang saya bicarakan sampai sekarang, tidak hanya secara lisan, melainkan jika Anda sungguh-sungguh mengalaminya, Anda akan menemukan bila Anda dapat berkata, ”Saya tidak tahu,” seluruh keterkondisian berhenti. Lalu apakah keadaan batin itu? Kita mencari sesuatu yang kekal—kekal dalam arti waktu, sesuatu yang menetap, abadi. Kita melihat segala sesuatu di sekeliling kita tidak kekal, terus mengalir, lahir, menjadi layu, dan mati, dan pencarian kita selalu untuk menegakkan sesuatu yang akan menetap di dalam lingkup yang diketahui. Tetapi yang sungguh-sungguh suci berada di luar ukuran waktu; ia tidak dapat ditemukan di dalam lingkup yang diketahui. Yang diketahui bekerja hanya melalui pikiran, yang adalah respons ingatan terhadap tantangan. Jika saya melihat itu, dan saya ingin menemukan bagaimana mengakhiri pikiran, apakah yang harus saya lakukan? Jelas saya harus—melalui pengenalan-diri—menyadari seluruh proses pikiran saya. Saya harus melihat bahwa setiap pikiran, betapa pun halus, betapa pun luhur, atau betapa pun hina, bodoh, berakar pada yang diketahui, dalam ingatan. Jika saya melihat itu dengan sangat jelas, maka batin—yang menghadapi masalah amat besar—mampu berkata, ”Saya tidak tahu,” oleh karena ia tidak mempunyai jawaban. 20 Desember Tuhan Di Luar Keterbatasan Kepercayaan Bagi saya, menjadi teis atau ateis kedua-duanya absurd. Jika Anda tahu apa kebenaran itu, apa Tuhan itu, Anda tidak akan menjadi teis atau ateis, oleh karena di dalam kesadaran itu tidak diperlukan kepercayaan. Hanya manusia yang tidak sadar, yang hanya berharap dan beranggapan, yang berpaling kepada kepercayaan atau ketidakpercayaan untuk mendukungnya, dan membimbingnya bertindak dengan cara tertentu. Nah, jika Anda mendekatinya dengan cara lain, Anda akan menemukan sendiri, sebagai individu, sesuatu yang nyata yang di luar semua keterbatasan kepercayaan, di luar ilusi kata-kata. Tetapi itu—penemuan kebenaran, atau Tuhan—membutuhkan kecerdasan tinggi, yang bukan pernyataan kepercayaan atau ketidakpercayaan, melainkan mengenali rintangan yang diciptakan oleh tidak adanya kecerdasan. Jadi, untuk menemukan Tuhan atau kebenaran—dan saya katakan itu ada, saya telah mencapainya—mengenali itu, merealisasikan itu, batin harus bebas dari semua rintangan yang telah diciptakan sepanjang zaman, berdasarkan proteksi-diri dan rasa aman. Anda tidak bisa bebas dari rasa aman dengan sekadar berkata bahwa Anda bebas. Untuk menembus dinding rintangan ini, Anda membutuhkan banyak kecerdasan, bukan sekadar intelek. Bagi saya, kecerdasan adalah otak dan hati yang selaras sepenuhnya; lalu Anda akan menemukan sendiri, tanpa bertanya kepada orang lain, apa realitas itu. 21 Desember Meditasi Bebas dari Jerat Waktu Tanpa meditasi, tidak ada pengetahuan diri; tanpa pengetahuan diri, tidak ada meditasi. Jadi Anda harus mulai mengetahui apa diri Anda. Anda tidak bisa pergi jauh tanpa mulai dari yang dekat, tanpa memahami proses sehari-hari dari pikiran, perasaan dan tindakan Anda. Dengan kata lain, pikiran harus memahami liku-likunya sendiri, dan apabila Anda melihat diri Anda sendiri bekerja, Anda akan mengamati bahwa pikiran bergerak dari yang diketahui menuju yang diketahui. Anda tidak bisa memikirkan apa yang tak diketahui. Apa yang Anda ketahui tidak nyata, karena apa yang Anda ketahui hanya berada di dalam waktu. Untuk bebas dari jerat waktu adalah masalah yang penting, bukan berpikir tentang apa yang tak diketahui, oleh karena Anda tidak dapat memikirkan yang tak diketahui. Untuk menerima yang tak diketahui, batin itu sendiri harus menjadi yang tak diketahui. Batin adalah hasil dari proses pikiran, hasil dari waktu, dan proses pikiran itu sendiri harus berakhir. Batin tidak dapat berpikir tentang yang abadi, yang di luar waktu; oleh karena itu batin harus bebas dari waktu, proses waktu dari batin harus luluh. Hanya apabila batin sama sekali bebas dari hari kemarin, dan dengan demikian tidak menggunakan masa kini untuk menjangkau ke masa depan, baru dia mampu menerima apa yang abadi. ... Dengan demikian, masalah kita dalam meditasi adalah untuk mengenal diri sendiri, tidak hanya secara dangkal, melainkan seluruh isi kesadaran-dalam yang tersembunyi. Tanpa memahami semua itu dan bebas dari pengkondisiannya, Anda tidak mungkin melangkah keluar dari keterbatasan batin. Itulah sebabnya proses pikiran harus berhenti; untuk berhenti harus ada pengenalan diri. Oleh karena itu meditasi adalah awal dari kearifan, yang adalah memahami pikiran dan hati kita sendiri. 22 Desember Meditasi Meditasi Saya akan membahas selangkah demi selangkah apa meditasi itu. Mohon jangan menunggu sampai selesai, mengharap memperoleh uraian lengkap tentang bagaimana cara bermeditasi. Apa yang kita lakukan sekarang adalah bagian dari meditasi. Nah, yang harus kita lakukan adalah menyadari si pemikir, bukan mencoba mengatasi kontradiksi dan menghasilkan integrasi antara pikiran dan si pemikir. Si pemikir adalah entitas psikologis yang telah mengumpulkan pengalaman sebagai pengetahuan; ia adalah pusat yang terikat dalam waktu, yang adalah hasil dari pengaruh lingkungan yang terus-menerus berubah, dan dari pusat ini ia memandang, ia menyimak, ia mengalami. Selama kita tidak memahami struktur dan anatomi pusat ini selalu akan ada konflik, dan suatu batin yang berada dalam konflik tidak mungkin memahami kedalaman dan keindahan meditasi. Dalam meditasi tidak boleh ada si pemikir, yang berarti bahwa pikiran harus berakhir—pikiran yang didorong oleh keinginan untuk memperoleh hasil. Meditasi tidak ada kaitannya dengan memperoleh hasil. Meditasi bukan bernafas dengan cara tertentu, atau menatap ujung hidung Anda, atau membangunkan daya-daya untuk melakukan berbagai sulapan, dan semua tetek-bengek yang tidak dewasa itu. ... Meditasi bukan sesuatu yang terpisah dari kehidupan. Ketika Anda mengendarai mobil atau duduk di dalam bus, ketika Anda mengobrol tanpa arah, ketika Anda berjalan seorang diri di hutan atau memandang seekor kupu-kupu yang terbang bersama angin—menyadari semua itu tanpa memilih adalah bagian dari meditasi. 23 Desember Meditasi Kenali Seluruh Isi dari Satu Pikiran Tidak menjadi sesuatu adalah awal dari kebebasan. Jadi, jika Anda mampu merasakan, mampu menyelami ini, Anda akan menemukan—sementara Anda menjadi sadar—bahwa Anda tidak bebas, bahwa Anda terikat pada begitu banyak hal, dan bahwa pada saat yang sama batin berharap untuk bebas. Dan Anda dapat melihat bahwa kedua hal itu saling bertentangan. Jadi, batin harus menyelidiki mengapa ia melekat kepada sesuatu. Semua ini berarti kerja keras. Ini lebih keras daripada pergi ke kantor, daripada pekerjaan jasmani apa pun, daripada semua sains dikumpulkan menjadi satu. Batin yang rendah hati dan cerdas memusatkan perhatian pada dirinya sendiri tanpa mementingkan diri sendiri; oleh karena itu ia harus luar biasa waspada, sadar, dan itu berarti kerja keras sesungguhnya setiap hari, setiap jam, setiap menit. ... Hal itu menuntut kerja yang tekun, karena kebebasan tidak muncul dengan mudah. Segala sesuatu menghalanginya—istri Anda, suami Anda, anak-anak Anda, tetangga Anda, tuhan Anda, agama Anda, tradisi Anda. Semua itu menghalangi Anda; tetapi Anda telah menciptakan mereka karena Anda menginginkan rasa aman. Dan batin yang mencari rasa aman tidak akan pernah menemukannya. Jika Anda menyimak sedikit di dalam dunia ini, tidak ada yang namanya rasa aman. Istri meninggal, suami meninggal, anak-anak pergi—sesuatu yang tak diharapkan terjadi. Kehidupan ini tidak menetap, sekalipun kita ingin membuatnya demikian. Tidak ada hubungan yang menetap, karena seluruh kehidupan adalah gerakan. Itulah yang harus dipegang, kebenaran yang harus dilihat, dirasakan, bukan sesuatu untuk diperdebatkan. Maka Anda akan melihat—sementara Anda mulai menyelidik—bahwa sesungguhnya itu adalah proses meditasi. Tetapi jangan terpukau oleh kata itu. Menyadari setiap pikiran, mengenali dari sumber mana ia muncul, dan apa niatnya—itulah meditasi. Dan mengenal seluruh isi dari satu pikiran akan mengungkapkan seluruh proses batin. 24 Desember Meditasi Mencetuskan Nyala Kesadaran-diri Jika Anda merasa sukar untuk sadar, cobalah mencatat setiap pikiran dan perasaan yang muncul sepanjang hari; tuliskan reaksi-reaksi Anda berupa kecemburuan, iri hati, kesombongan, nafsu indrawi, iktikad di belakang kata-kata Anda, dan sebagainya. Luangkan waktu sebelum makan pagi untuk menuliskannya—yang mungkin mengharuskan Anda tidur lebih awal dan mengesampingkan kegiatan sosial tertentu. Jika Anda menuliskan hal-hal ini setiap ada kesempatan, dan di waktu malam sebelum tidur membaca kembali semua yang telah Anda tulis sepanjang hari itu, mengkaji dan menelitinya tanpa menghakimi, tanpa menyalahkan, Anda akan mulai menemukan dorongan-dorongan tersembunyi dari pikiran, perasaan, keinginan dan kata-kata Anda. ... Yang penting di sini adalah meneliti dengan kecerdasan bebas apa yang Anda tulis, dan dengan meneliti secara itu Anda akan menyadari keadaan Anda. Di dalam nyala kesadaran diri, pengenalan diri, sebab-sebab dari konflik akan terungkap dan terbasmi habis. Anda harus terus menuliskan pikiran dan perasaan Anda, iktikad dan reaksi Anda, bukan hanya satu-dua kali saja, melainkan selama berhari-hari sampai Anda mampu menyadarinya dengan seketika. ... Meditasi bukan hanya pengenalan diri terus-menerus, melainkan juga pelepasan diri terus-menerus. Dari berpikir benar timbullah meditasi, dan dari situ muncul keheningan kearifan, dan dalam ketenteraman itu yang tertinggi pun terealisasikan. Menuliskan apa yang kita pikirkan dan rasakan, keinginan dan reaksi kita, menghasilkan kesadaran-dalam, kerjasama antara bawah-sadar dan kesadaran, dan pada gilirannya itu akan menghasilkan integrasi dan pemahaman. 25 Desember Meditasi Jalan Meditasi Apakah kebenaran itu sesuatu yang final, mutlak, menetap? Kita menginginkan kebenaran itu mutlak, karena lalu kita bisa berlindung padanya. Kita menginginkan kebenaran itu permanen, karena lalu kita bisa berpegang padanya, menemukan kebahagiaan di dalamnya. Tetapi apakah kebenaran itu mutlak, menetap, untuk dialami berulang-ulang? Pengulangan pengalaman hanyalah sekadar pemupukan ingatan, bukan? Dalam saat-saat keheningan saya mungkin mengalami suatu kebenaran tertentu; tetapi jika saya melekat kepada pengalaman itu melalui ingatan dan membuatnya mutlak, menetap—apakah itu kebenaran? Apakah kebenaran itu kelangsungan, pemupukan ingatan? Ataukah kebenaran itu hanya dapat ditemukan apabila batin sama sekali diam? Ketika batin tidak terjerat dalam ingatan, tidak memupuk ingatan sebagai pusat pengenalan, melainkan sadar akan segala sesuatu yang saya katakan, akan segala sesuatu yang saya lakukan dalam hubungan-hubungan saya, dalam kegiatan-kegiatan saya, melihat kebenaran di dalam segala sesuatu sebagaimana adanya dari saat ke saat—sesungguhnya itulah jalan meditasi, bukan? Terdapat pemahaman hanya apabila batin diam; dan batin tidak dapat diam selama ia tidak mengenal dirinya sendiri. Ketidaktahuan itu tidak lenyap dengan disiplin apa pun, dengan mengejar suatu otoritas, baik kuno maupun modern. Kepercayaan hanya menciptakan perlawanan, pengasingan; dan bila terdapat pengasingan, tidak mungkin ada ketenangan. Ketenangan muncul hanya apabila saya memahami seluruh proses diri saya sendiri—berbagai bagian yang saling bertentangan satu sama lain yang membentuk sang ’aku’. Karena itu adalah pekerjaan yang sukar dan membosankan, kita berpaling kepada orang lain untuk belajar berbagai kiat, yang kita sebut meditasi. Kiat-kiat batin bukanlah meditasi. Meditasi adalah awal dari pengenalan-diri; dan tanpa meditasi, tidak ada pengenalan-diri. 26 Desember Meditasi Batin Dalam Keadaan Kreasi Meditasi adalah pengosongan batin dari segala sesuatu yang telah dibentuk oleh batin. Jika Anda lakukan itu—mungkin Anda tidak akan melakukannya, tapi tidak apa-apa, dengarkan saja—maka Anda akan mendapati ada suatu ruang luar biasa di dalam batin, dan ruang itu adalah kebebasan. Maka Anda harus menuntut kebebasan dari sejak awal, dan bukan sekadar menunggu, berharap akan mendapatkannya pada akhirnya. Anda harus mencari makna kebebasan dalam pekerjaan Anda, dalam hubungan Anda, dalam segala sesuatu yang Anda lakukan. Maka Anda akan menemukan bahwa meditasi adalah kreasi. Kreasi adalah suatu istilah yang kita gunakan dengan enteng, dengan mudah. Seorang pelukis mengoleskan beberapa warna di atas kanvas, dan menjadi amat bergairah. Itu adalah pemenuhan dirinya, cara ia mengekspresikan dirinya; itu adalah pasar tempat ia memperoleh uang dan kemasyhuran—dan itu disebutnya ”kreasi”! Setiap penulis ber-”kreasi”, dan ada kursus-kursus ”menulis kreatif”, tetapi tidak satu pun berkaitan dengan kreasi. Itu semua adalah respons terkondisi dari suatu batin yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu. Kreasi yang saya maksud adalah sesuatu yang lain sama sekali. Itu adalah batin yang berada dalam keadaan kreasi. Ia mungkin mengungkapkan keadaan itu atau tidak. Pengungkapan tidak banyak berarti. Keadaan kreasi itu tidak punya penyebab, dan oleh karena itu suatu batin yang berada dalam keadaan itu setiap saat mati dan hidup dan mencinta dan berada. Itu semua adalah meditasi. 27 Desember Meditasi Letakkan Landasan dengan Seketika Batin yang hening tidak mencari pengalaman apa pun. Dan jika ia tidak mencari dan oleh karena itu diam sama sekali, tanpa gerakan dari masa lampau dan oleh karena itu bebas dari yang diketahui, maka Anda akan menemukan, jika Anda berjalan sejauh itu, ada suatu gerakan dari apa yang tak diketahui, yang tak dikenal, yang tak dapat diterjemahkan, yang tak dapat dirumuskan dengan kata-kata—maka Anda akan menemukan ada gerakan dari yang mahaluas. Gerakan itu adalah dari apa yang tanpa-waktu, oleh karena di situ tidak ada waktu; juga tidak ada ruang, tidak ada sesuatu untuk dialami, tidak ada sesuatu untuk diperoleh, untuk dicapai. Batin seperti itu tahu apa arti kreasi—bukan kreasi si pelukis, penyair, ahli pidato, melainkan kreasi yang tak bermotif, yang tak punya ungkapan. Kreasi itu adalah cinta dan kematian. 28 Desember Meditasi Menemukan Keheningan Jika Anda mengikuti pengkajian tentang apa meditasi itu, dan telah memahami seluruh proses berpikir, Anda akan menemukan bahwa batin sama sekali diam. Dalam keheningan batin yang total itu tidak ada si penonton, si pengamat, dan oleh karena itu tidak ada dia yang mengalami sama sekali; tidak ada entitas yang mengumpulkan pengalaman, yang adalah kegiatan batin yang berpusat pada diri sendiri. Jangan berkata, ”Itulah samadhi”—yang adalah nonsens, oleh karena Anda hanya membaca tentang itu dalam buku-buku dan tidak menemukannya sendiri. Ada perbedaan besar antara kata dan hal yang dikatakan. Kata bukanlah hal yang dikatakan; kata ’pintu’ bukanlah pintu itu sendiri. Jadi, meditasi adalah membersihkan batin dari kegiatan yang berpusat pada diri sendiri. Dan jika Anda sudah sampai sejauh ini dalam meditasi, Anda akan mendapati ada keheningan, kekosongan total. Batin tidak terkontaminasi oleh masyarakat; ia tidak lagi tunduk pada pengaruh apa-apa, tidak lagi tunduk oleh tekanan keinginan apa-apa. Ia sama sekali sendiri, dan oleh karena sendiri, ia tidak tersentuh, ia polos. Maka ada kemungkinan bagi apa yang ada di luar waktu, apa yang abadi, muncul. Seluruh proses itu adalah meditasi. 29 Desember Meditasi Kemurahan Hati Adalah Awal Meditasi Kita akan membahas sesuatu yang membutuhkan batin yang dapat menembus sangat dalam. Kita harus mulai dari sangat dekat, oleh karena kita tidak bisa pergi sangat jauh jika kita tidak tahu bagaimana mulai dari sangat dekat, jika kita tidak tahu bagaimana mengambil langkah pertama. Mekarnya meditasi adalah kebaikan, dan kemurahan hati adalah awal meditasi. Kita telah membahas banyak hal yang menyangkut kehidupan, otoritas, ambisi, ketakutan, keserakahan, irihati, kematian, waktu; kita telah membahas banyak hal. Jika Anda telah mengamati, jika Anda telah menyelaminya, jika Anda telah menyimak dengan benar, semua itu adalah landasan bagi batin yang mampu bermeditasi. Anda tidak dapat bermeditasi jika Anda penuh ambisi—Anda mungkin bermain-main dengan gagasan meditasi. Jika batin Anda terbelit otoritas, terbelenggu tradisi, menerima, mengekor, Anda tidak akan tahu apa artinya bermeditasi terhadap keindahan luar biasa ini. ... Mengejar pemenuhan lewat waktu menghalangi kemurahan. Dan Anda memerlukan batin yang bermurah hati—bukan hanya batin yang luas, batin yang penuh ruang, tetapi juga hati yang memberi tanpa berpikir panjang, tanpa motif, dan tidak mencari pahala sebagai balasan. Tetapi memberi sedikit atau banyak yang kita miliki, sifat spontanitas yang tertuju keluar, tanpa pembatasan, tanpa menahan sesuatu, adalah perlu. Tidak mungkin ada meditasi tanpa kemurahan, tanpa kebaikan—yang adalah bebas dari kebanggaan, tidak pernah memanjat tangga kesuksesan, tidak pernah tahu apa artinya menjadi masyhur; yang berarti mati terhadap segala sesuatu yang pernah kita capai, setiap menit sepanjang hari. Hanya pada tanah yang begitu subur kebaikan dapat tumbuh, dapat mekar. Dan meditasi adalah mekarnya kebaikan. 30 Desember Meditasi Meditasi Adalah Penting bagi Kehidupan Untuk memahami seluruh masalah pengaruh, pengaruh pengalaman, pengaruh pengetahuan, pengaruh motif lahiriah dan batiniah—untuk menemukan apa yang benar dan apa yang palsu dan melihat kebenaran di dalam apa yang disebut palsu—semua itu membutuhkan pencerahan hebat, suatu pemahaman mendalam akan segala sesuatu seperti apa adanya, bukan? Sesungguhnya, seluruh proses ini adalah jalan meditasi. Meditasi adalah penting dalam kehidupan, dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti pentingnya keindahan. Persepsi akan keindahan, kepekaan terhadap segala sesuatu, terhadap yang buruk maupun yang baik, adalah penting—melihat pohon yang indah, langit senja yang cantik, melihat cakrawala luas tempat awan berkumpul selagi matahari terbenam. Semua ini perlu, persepsi akan keindahan dan pemahaman akan jalan meditasi, oleh karena semua itu adalah kehidupan, seperti juga pergi ke kantor, pertengkaran, kesengsaraan, ketegangan terus-menerus, kecemasan, ketakutan mendalam, cinta, dan kelaparan. Nah, pemahaman akan seluruh proses eksistensi—pengaruh, kesedihan, ketegangan dari hari ke hari, pandangan otoritatif, tindakan politis, dan sebagainya—semua itu adalah kehidupan, dan proses memahami semua itu, dan membebaskan batin, adalah meditasi. Jika kita sungguh-sungguh memahami kehidupan ini, maka selalu ada proses meditatif, selalu ada proses kontemplasi—tetapi bukan tentang sesuatu. Sadar akan seluruh proses eksistensi ini, mengamatinya, memasukinya tanpa terlibat secara emosional, dan bebas darinya, itulah meditasi. 31 Desember