dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 TUAN TANAH KEDAWUNG GANES TH Sumber: http://www.boozet.org/derryadrian Re-edit & layout: kiageng80 TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 1 ANGIN menderu-deru bagaikan dengus jutaan hewan liar. Berbaur dengan gemuruh hujan serta halilintar yang pecah berkali-kali di angkasa. Membuat malam itu begitu mengerikan, seakan-akan dunia ini tengah sekarat dalam hembusan nafasnya yang terakhir. Di bawah derai hujan lebat, tampak seorang laki-laki berdiri memandang sebuah bangunan usang di tepi jalan Desa Kedawung. Agak lama ia memandangi bangunan yang tak terurus itu, menatap sekeliling halaman, lalu melangkah masuk. Disibaknya sarang laba-laba yang hampir memenuhi ruangan yang bocor dan gelap. Ia melangkah ke sudut dan menggeser sebuah balok tiang yang runtuh dari langit-langit bangunan tersebut. Dilepaskannya buntalan lusuh dari punggungnya. Ia memungut beberapa serpihan papan dan cabikan kain tua yang berserakan di lantai, lalu dikumpulkan jadi satu. Dari dalam buntalan diambilnya sebuah alat pemantik api yang segera digunakan untuk menyalakan api unggun. Ia membuka bajunya yang basah kuyup, diperasnya kuat-kuat, kemudian digarangnya di atas api unggun yang membesar tertiup angin. Mata laki-laki ini masih memandang ke sekeliling ruangan yang kini diterangi cahaya api. Puing-puing bangunan tampak berserakan di dalam rumah itu. “Lima tahun sejak kutinggalkan, desa ini sudah berubah seperti desa hantu!” Gumamnya di dalam hati. “Entah musibah apa yang melanda rumah Bang Samirun, kasir Ayahku ini?!” Matanya bertanya-tanya menatap ke sekitar ruangan. Ia tertunduk, wajahnya yang terlihat tampan di bawah cahaya api, makin muram dan cemas. “Mudah-mudahan tidak terjadi suatu pun terhadap keluargaku. Ratna istriku..., lima tahun lamanya, tak ada kabar berita. Ibu dan Mirta adikku... entah bagaimana dengan keadaan mereka...?!” Ia menarik napas dalamdalam. Tiba-tiba lelaki itu tersentak, karena telinganya mendengar langkah kaki di dalam rumah itu. Terdengar papan rapuh terpijak. Ia bangkit dan melihat ke arah ruangan dalam. Gelap disitu. Namun ia yakin, ia tidak sendirian di rumah itu. Guntur menggelegar di angkasa. Hujan pun masih tumpah dengan lebatnya. Bunyi berkeriut daun-daun jendela yang dihempas angin, membuat suasana di dalam rumah usang itu terasa makin menyeramkan. Namun laki-laki ini sedikitpun tidak merasa takut. Kembali ia duduk dengan tenang di dekat api unggun. Pada detik itu di antara celah-celah dinding papan, sepasang mata merah liar mengintainya. Bertepatan dengan menggelegarnya halilintar di angkasa, sesosok tubuh mencelat secara tiba-tiba dan mendobrak dinding papan di belakangnya itu. Bersamaan dengan itu, tampak sosok banyangan lompat berlari. “Siapa kau?!” Ia menghardik. Lalu mengejar. Sosok bayangan itu terus berlari ke arah dalam rumah yang gelap pekat itu, yang kadang-kadang hanya diterangi selintas oleh kilatan cahaya halilintar. Laki-laki ini berhasil merengkas kaki sosok bayangan itu, dan tubuh itu tersungkur membentur papan-papan yang segera rubuh bergelimpangan dengan gaduhnya. Laki-laki ini segera mencengkeram baju orang itu. Tapi sosok itu bangkit dan meronta sehingga koyaklah bajunya yang compang-camping itu. Orang itu lari ke sebuah sudut ruangan dan terdengarlah jeritan seorang perem– puan penuh ketakutan. Laki-laki ini tersentak sejenak. Sosok tubuh perempuan itu kurus dengan rambut beriapan. “Hei! Siapa kalian?! Manusia atau hantu?!” Tiada jawaban, hanya terdengar dengus napas-napas yang bersendat dan terlihat kedua sosok tubuh yang berangkulan itu menggigil. Tiba-tiba di antara cahaya kilat yang melintas, tampak jelaslah wajah-wajah kedua sosok tubuh itu yang sangat mengerikan. Perempuan tua itu matanya buta dengan bekas luka yang belum mengering, darah masih mengalir bercampur air dari rongga matanya. Rambutnya putih beriapan. Lengannya gemetar menggenggam sebatang tongkat yang menyanggah tubuhnya. Sebelah lengannya lagi memeluk tubuh putranya yang menggigil dan menatap jalang ke arah laki-laki asing. Laki-laki ini pun tersentak mundur, bukan karena takut, melainkan wajah pemuda itu telah amat dikenalnya. “Kau...?! Kau Mirta, adikku bukan...?!” Ia melangkah maju. Pemuda dan nenek itu mundur merapat ke dinding. “Kenapa kau jadi begini, Mirta?!” Ia mendekat dan menggenggam bahu pemuda itu. Lalu mengguncang bahu si pemuda yang makin pucat ketakutan. “Apa yang telah terjadi, Mirta?! Ke mana Ibu, dan Ratna?! Apa yang terjadi terhadap mereka?! Katakan Mirta!” “Ampun bang Giran...! Ampun...!” Ratap Mirta tersen– dat-sendat. “Ampun?! Apa maksudmu, Mirta?!” Giran men– cengkeram bahu adiknya dan mengguncangnya dengan perasaan tidak mengerti. Rasa cemasnya tiba-tiba makin menyesakkan dadanya. Lengan si nenek menggapaigapai, menepis dan berusaha melepas cengkeraman lengan Giran pada bahu Mirta. “Ampunkan adikmu, Giran...! Kalau kau mau bunuh, bunuhlah Ibu yang sudah tidak berguna lagi ini, Nak!” tukasnya dengan lirih. “Ibu...?!” Mata Giran makin terbelalak menatap perempuan yang buta ini. Suara bicara itu memang jelas suara ibunya. Tapi wajah dan keadaan tubuh perempuan buta ini jauh berbeda dengan ibunya, seorang wanita paling berpengaruh di seluruh Kedawung. Cantik serta kaya-raya sebagai istri Tuan Tanah yang amat disegani oleh seluruh penduduk. Giran sukar memahami dalam kurun waktu yang cuma lima tahun bisa merubah perempuan secantik ibunya menjadi seorang nenek yang amat buruk seperti sekarang ini. Tapi suara bicaranya serta gerakan alis matanya yang kini sudah putih beruban itu, adalah ciri kebiasaan ibunya yang amat dikenalnya. “Kau ibuku...?! Betulkah kau ibuku...?!” desak Giran dengan napas tersengal. Perempuan tua itu mengangguk, jantung Giran terasa terhenti. Ia memandang ke arah Mirta minta kepastian. Adiknya ini mengangguk sambil tertunduk. “Ibu...?! Kenapa Ibu jadi begini?!” Giran menatap tajam-tajam wajah ibunya dengan suara nyaris kandas di kerongkongannya. “Siapa yang telah menganiaya Ibu sampai begini? Siapa?!” Ia nyaris berteriak. Tapi perempuan tua itu berpaling dengan tubuh agak gemetar menahan tangis. Ia bungkam seribu bahasa. Giran makin geram penasaran. “Katakanlah Bu! Siapa manusia laknat itu? Katakan– lah, jangan takut!” desaknya. Perempuan tua ini masih diam tak bersuara, agaknya ada sesuatu yang amat sulit diceritakan terhadap putra tirinya yang baru pulang dari rantau ini. Giran terkejut tak terhingga ketika dirasakan ada sebuah sambaran angin menderu ke arah belakang kepalanya. Ia berkelit tepat ketika sebatang balok melun– cur dan menghantam tiang di sisinya. Dengan gerak reflek Giran melontarkan sebuah tendangan keras kepada si pembokong itu. Sebuah teriakan mengaduh terdengar berbarengan dengan terbantingnya tubuh menghantam dinding. Giran tercengang memandangi tubuh adiknya yang terkapar di atas pecahan papan dinding yang berserakan itu. “Kau sudah gila Mirta?! Apa artinya semua ini?!” Lengan Giran yang kokoh itu mencengkeram leher baju Mirta dan diangkatnya. Tongkat si nenek menggapaigapai dan memukul punggung Giran. “Lepaskan Mirta, Giran! Lepaskan! Baiklah, akan kuceritakan!” Katanya lirih memohon. Jelas terlihat ia amat menguatirkan keselamatan putra kandungnya. Giran melepaskan cengkeramannya pada leher baju Mirta. Ia berusaha bersikap tenang, meski dadanya terasa hampir pecah diamuk berbagai perasaan. “Apa yang terjadi?” katanya tenang. “Samolo, Giran. Semua gara-gara si Samolo. Iblis itu telah menghancurkan segala-galanya...” Suara perempuan ini terdengar gemetar dan parau seperti suara tangisan burung hantu. Giran tercenung seakan-akan memandang sebuah gambaran mimpi aneh berpeta silih berganti di hadapannya. Samolo, centeng paling disayang dan paling dipercaya oleh mendiang ayahnya. Centeng paling setia yang pernah mengasuhnya, bahkan ia merasa dibesarkan di gendongan centeng yang amat perkasa namun lembut hati itu. Kini ibunya sendiri mengatakan dengan tandas bahwa centeng setia itu telah berubah menjadi iblis yang menghancurkan rumah tangga majikannya. Tiba-tiba pikirannya melintas cepat kepada Ratna, istrinya. Peluh dingin pun tanpa terasa mengalir dari pori-pori tubuhnya. “Apa yang telah diperbuatnya?!” “Begitu kau pergi, dia mulai memperlihatkan watak aslinya. Kiranya dia seekor serigala berbulu domba. Dia betul-betul iblis yang paling keji, Giran. Keji sekali!” Ibu ini meratap dan sesengukan dalam tangisnya yang amat memilukan. “Apa yang dilakukannya terhadap Ibu dan Mirta...?” Suara Giran mendesis dari celah giginya. “Dia telah merampas semua yang kita miliki. Harta warisan mendiang ayahmu yang berlimpah itu telah dikangkanginya, sebagian sudah ludes di meja judi!” Tangisnya semakin sengit. “Belum cukup sampai di situ, dia juga hendak meram– pas nyawa ibu dan adikmu sekaligus! Dengan kejam dia aniaya Mirta, hingga adikmu itu terganggu jiwanya...!” Giran memandang adiknya itu, hatinya terasa terenyuh. Mirta duduk menggigil di sudut dengan wajah tegang diliputi ketakutan matanya jalang berputar ke sekitar ruangan. Bunyi derak dari jendela membuat ia terkesiap dan makin nanar menatap ke arah jendela itu dengan tenang. “Dan mata ibu dicukilnya dengan tak kenal rasa kasihan sedikitpun!” Isaknya semakin menyayat hati Giran. Ibu ini memegang rambutnya yang putih bagaikan perak, dan menyibak-nyibaknya sambil menangis tersen– dat-sendat. “Kau lihat rambut ibu ini, Nak! Telah berubah putih dengan mendadak. Karena aku selalu disiksa rasa takut dan was-was terus menerus. Siksaan lahir-batin yang tak tertahankan!” Hening sejenak, namun keheningan itu justru makin menusuk jantung serta syaraf di otak Giran. Lebih-lebih ketika bayangan yang menakutkan itu muncul di benaknya melalui isak tangis ibunya. “Lebih menyakitkan lagi, ternyata Ratna... Istrimu itupun bersekongkol dengan Samolo keparat itu...!” Andaikata saat itu ada kilatan petir yang tiba-tiba menyambar seluruh isi ruangan tersebut, barangkali hati Giran tidak akan seluluh ketika mendengar tentang istrinya itu. Bayangan yang menakutkan itu akhirnya berwujud nyata di hadapannya. Hatinya terasa pedih bagaikan disayat-sayat sembilu. Namun ia mencoba untuk tidak mempercayai begitu saja kata-kata ibunya. Betapa pun dialah yang lebih tahu tentang kehalusan watak Ratna. Gadis desa yang kemayu, lugu dan amat sederhana. Justru sifat-sifat murninya itulah yang telah menambat seluruh hati sanubari putra Tuan Tanah yang serba kecukupan ini, lalu mempersuntingnya sebagai istrinya dan memujanya sebagai dewi. Namun penga– laman pengembaraannya di rantau, selama lima tahun itu, telah banyak yang dilihatnya. Betapa mudahnya sekuntum mawar yang segar dan molek itu menjadi layu hanya oleh bakaran terik matahari atau oleh hempasan angin. Bahkan sebongkah batu cadas yang kokoh itu pun akan terkikis sirna menjadi pasir oleh gempuran gelombang. Apalagi watak manusia, perempuan lagi. Demikian pikirnya. Bayangan yang menakutkan itu kembali muncul dan semakin berpeta nyata di pelupuk matanya. “Ratna...?!” Ia tidak tahu, apakah ia mendesah atau berkata ketika mengucapkan nama istrinya itu. Perasaan rindu selalu saja menguasai dirinya setiap ia menyebut nama itu. “Ya, ibu pun tidak menyangka, Ratna dapat berbuat serendah itu dan sampai hati pula turut mencelakai ibu dan adikmu!” Desah ibu ini sambil menarik napas dalamdalam. Kepala menggeleng-geleng penuh penyesalan dan kecewa. Giran melangkah ke sisi jendela, memandang deru hujan yang bergemuruh seperti degup jantungnya sendiri. Wajahnya merah padam dan muram. “Di mana mereka sekarang?!” “Sudah tentu sedang jadi raja dan ratu di gedung kita!” tukas ibunya sengit. “Hmm, keparat!” Gumam Giran penuh dendam. Pemuda ini mengambil sebuah bungkusan kain putih dari dalam buntelannya, lalu diselipkan di pinggangnya. Suasana kembali jadi hening, kecuali di luar masih terdengar gemuruh hujan dan bunyi guruh di kejauhan. Mirta masih duduk di sudut lalu beringsut mendekat ke sisi ibunya. Perempuan buta ini hanya sanggup menelaah keadaan dan gerak-gerik putra tirinya itu dengan telinganya. “Mau ke mana kau, Giran?!” tanyanya cemas. “Kalian diam saja di sini!” jawab Giran singkat, dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah melompat ke luar jendela. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 2 BADAI masih mengamuk. Guntur menggelegar, kilat menyambar-nyambar di angkasa. Terasa bumi tergetar dan seakan-akan terbelah. Namun gemuruh dendam di hati Giran masih melebihi amarah alam saat itu. Ia berlari dan melompati beberapa parit yang menghadang di depannya. Hatinya masih terus gemuruh dan makin mendidih. “Samolo...! Hmm tunggulah kau jahanam...! Aku pulang untuk merobek nyawamu!” Umpatnya sambil terus berlari. Rambutnya yang gondrong tak terurus itu tersibaksibak dihempas angin. Larinya secepat dan setangkas kijang. Peluhnya mengucur deras bercampur derahan hujan. Cepat sekali ia sudah tiba di muka pintu gerbang dari sebuah bangunan besar. Sebuah gedung megah dan antik yang bertahun-tahun ditinggalkannya. Dia berdiri terpaku memandangi gedung mewah warisan ayahnya, seorang tuan tanah yang pernah jaya penuh kharisma di kawasan Kedawung yang subur, tenteram serta damai. Tapi kini gedung tersebut tegak dalam kesunyian, kosong dan kehilangan wibawanya. Giran menghela napas, lima tahun lamanya ia disiksa kerinduan untuk pulang ke gedung yang pernah memberikan kehangatan kepadanya. Kehangatan cinta kasih istrinya yang cantik dan lembut. Namun kenyataan yang dihadapi sekarang, membuat hatinya terasa beku dan sakit. Pintu gerbang itu terkunci dengan kokohnya. Ia melompat ke atas dinding lalu lompat turun ke halaman yang luas dan sunyi itu. Dipandanginya lagi keadaan taman serta gedung itu. Hening hampa, namun masih tetap terawat baik, seperti ketika ia masih berada di sini. Ia melangkah ke teras gedung. Ruangan utama itu terkunci dan terlihat rapi, dan vas-vas bunga antik itu masih tetap berada di tempatnya seperti dulu. Dengan cermat Giran meneliti semuanya. Terlihat beberapa pot dan vas antik itu diikat dengan kawat dan ditambal, karena bekas pecah berkeping-keping. Dan terlihat pula di tiang pilar yang bulat dan kokoh itu, beberapa goresan dalam bekas terkena hunjaman dan sabetan beberapa jenis senjata tajam. Giran jadi termangu memandangi itu semua. Tanpa terasa bulu kuduknya jadi merinding. Terbayangkan di benaknya sebuah pertarungan dahsyat pernah terjadi di gedung itu. Tak pernah diduganya, ternyata perebutan kekuasaan atas harta warisan ayahnya itu telah menimbulkan pertumpahan darah demikian hebatnya. Pintu ruangan utama itu pun terkunci rapat. Meneliti keadaan gedung yang masih tetap terawat baik, hati Giran agak terhibur sedikit, karena menunjukkan penghuninya masih menghargai peninggalan mendiang ayahnya. Ia meninggalkan teras itu dan memutar ke samping gedung menuju arah halaman belakang. Pintu pagar samping pun didapatinya terkunci. Ia naik ke atas pohon. Meneliti sejenak keadaan halaman belakang yang luas dan sunyi itu. Ia melompat turun dan memandang ke sekitarnya. Tepat di sudut dinding belakang, di sebuah kamar emper bekas gudang kayu itu, tampak lampu masih menyala. Ia menghampiri kamar emper bekas gudang itu, dan melongok melalui jendela yang masih terbuka. Di dalam kamar sempit dan sangat sederhana itu yang diterangi cahaya lampu teplok yang remang-remang, tampak seorang wanita muda sedang duduk di balai bambu, merajut sebuah baju kecil yang sudah penuh tambalan. Kadang-kadang ia berhenti merajut dan merapikan selimut yang menutupi sesosok tubuh kecil yang tergolek tidur di sisinya. Agaknya betapa sering wajah sayu nan cantik itu disiram deraian air mata. Karena setiap tisik jarum setisik air matanya jatuh menetes. Lebih-lebih bila ditatapnya wajah mungil yang sedang terlena tidur dengan napas halus di sisinya itu. Giran masih tertegun memandangi keadaan di dalam kamar itu dari luar jendela. Hatinya terasa tergetar oleh luapan rindu yang bertahun-tahun dipendamnya. Ratna, masih tetap cantik meski kini tubuhnya tampak kurus dan bajunya penuh tambalan. Tiba-tiba hatinya jadi seperti terbakar ketika melihat anak kecil yang sedang tidur di sisi wanita itu. “Anak itu jelas hasil perbuatan nistanya dengan Samolo...!” Geram hati Giran, dan dadanya terasa akan meletup saat itu. Ia menguak pintu, menimbukan bunyi berderit yang mengejutkan Ratna. Ratna berpaling dan tertegun memandang ke arah pintu. Perlahan-lahan ia bangkit, ditatapnya laki-laki yang tegak di ambang pintu kamar itu dengan kilauan mata bagaikan tengah bermimpi. Bibirnya yang pucat itu tampak gemetar. Dengan napas tersendat ia berusaha menyebut nama suaminya, namun suaranya kandas tertahan di kerongkongannya yang terasa tersumbat. Giran masih berdiri beku di depan pintu. Keduannya bagaikan patung-patung bisu, tenggelam dalam kecamuknya perasaan masing-masing. Ratna masih tertegun, seakan-akan memandang suatu fatamorgana. Kemudian dengan isak tangis yang tersendat-sendat Ratna lari menubruk tubuh suaminya dan didekapnya erat-erat seolah-olah takut kehilangan lagi... Tiada katakata yang sanggup terucapkan dari mulutnya, kecuali sedu-sedan yang pecah penuh luapan perasaannya. Giran masih tegak seperti patung perunggu. Cuma matanya saja yang bersinar, tajam dan merah membara. Lama Ratna membenamkan wajahnya di dada Giran yang telanjang dan bidang itu, membasahkannya dengan air matanya yang tumpah tak terbendung. Akhirnya terpatah-patah ia meratap, “Kau telah kembali Kak... Aku sangat rindu padamu...!” Ia mengangkat wajahnya dan menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Berjanjilah Kak... Jangan tinggalkan Ratna lagi...” Pintanya. Mata Giran tajam memandang lurus ke muka, dingin menusuk seperti angin yang berhembus dari luar jendela. “Ratna... Ratna! Tidak perlu kau bersandiwara di hadapanku! Hapuslah air mata buayamu itu...!” gumam Giran dengan dingin. Ratna ternganga tak mengerti. Matanya bulat terbelalak menatap wajah suaminya yang dingin dan sinis. “Apa maksudmu Kak...?” Tanyanya tak mengerti. Tiba-tiba Giran mendorong tubuh Ratna hingga jatuh terpelanting ke atas balai. Anak kecil itu pun terbangun dan menangis. Ratna segera menggendongnya. Wajah Ratna jadi pucat dan bingung. Air matanya makin deras bercucuran. Sambil membelai kepala anaknya ia menatap suaminya yang kaku dan penuh diliputi kebencian. Giran enggan memandang istrinya, ia melangkah ke jendela. Suaranya terdengar parau dan dalam ketika berkata, “Tiada sedetik pun dalam sekian tahun di rantau aku melewatinya tanpa disiksa kerinduan. Bayanganmu senantiasa datang dalam mimpiku!” Ratna tertunduk sambil menggigit bibirnya. Air matanya tumpah makin deras. “Tapi kini aku mengutuki ketololanku sendiri. Mengapa aku mau mengawini perempuan nista semacam kau!” Dingin dan hambar kata-kata Giran, tapi terasa seperti mata pisau yang teramat tajam menyayat-nyayat jantung Ratna. Hingga perempuan ini harus berpegang erat-erat tepi balai agar tidak jatuh bersama anaknya yang berada di dekapannya itu. Dikuatkan hatinya untuk bertanya kepada sang suami, “Apa salah dan dosaku, Kak?! Aku tidak merasa pernah mengkhianati suamiku...! Aku selalu setia kepadamu, Kak Giran.” “Demi Tuhan, aku tidak pernah mimpi apalagi merasa telah punya anak haram seperti itu!” jawab Giran penuh geram. Ratna benar-benar terluka, ia menjerit. “Kau... Kau memfitnah! Anak ini adalah darah daging– mu sendiri!” Giran mendengus. Nada kata-kata Ratna kembali lembut, “Kasihan anak kita ini Kak, dia sangat mendambakan kasih sayang ayahnya. Kuberi nama Girin agar aku selalu merasa dekat di sisimu, kak Giran...!” Katanya lirih. Giran berpaling, matanya menyala menatap Ratna dan putranya itu. “Campakkan anak haram itu! Cuma setanlah yang mau percaya ocehanmu itu!” Giran tak kuasa menahan emosinya, ditudingnya istrinya. “Kau dan Samolo bukan saja telah mendurhakai aku, juga ibuku. Adikku kalian campakkan dari rumah ini! Kau Ratna, kau telah bersekongkol dengan binatang Samolo dengan kelicikan dan kebusukan yang kalian rencanakan masak-masak itu! Kau harus menebus dosamu, Ratna!” Dicengkeramnya lengan Ratna kuat-kuat lalu ditarik ke luar pintu. Ratna menjerit sambil meronta. Girin ikut menjerit ketakutan. “Kau... Kau sudah gila, Kak Giran...?! Tidak! Aku tidak bersalah!” Protesnya sambil berusaha melepaskan lengannya dari cekalan Giran. Amarah Giran makin meledak, tanpa rasa iba sedikitpun diseretnya Ratna yang meronta-ronta itu. “Ayo! Kau harus bersembah sujud dan bersimpuh di bawah kaki Ibuku, untuk menerima hukuman dari dia!” “Tidak! Tidak!” jerit Ratna seraya berusaha bertahan dengan berpegangan pada pintu sekuat tenaganya. Girin terjepit dan menjerit-jerit. Namun Ratna terus berpegangan pada tiang pintu, menolak untuk menemui mertuanya. “Tidak! Aku tidak mau pergi! Meski dibunuh pun aku tidak sudi menemuinya! Tidak!” Ia bertahan. “Keparat! Aku patahkan tangan dan kakimu! Ayo! Setelah kau, akan kucabut nyawa kekasihmu, si Samolo jahanam itu!” Dengan hentakan keras, terlepaslah pegangan Ratna pada tiang pintu itu. Giran terus menyeretnya tanpa menghiraukan jeritan protes istrinya dan tangisan Girin kecil itu. Ratna terjatuh dan terus diseret ke tengah halaman yang becek tersiram hujan itu. Pada detik itu, tiba-tiba sebuah tongkat tepat menghantam lengan Giran. Dengan terkejut Giran melepaskan lengan Ratna sambil melompat mundur dengan penuh waspada. Rasa sakit terasa sampai ke tulang sumsumnya. Seorang laki-laki tua berkumis dan berjangggut memutih telah tegak di antara ia dan Ratna. Suaranya berat, tenang penuh wibawa. “Entah dedemit dari neraka mana, berani mengganggu wanita dari keluarga baik-baik! Siapa kamu?!” Tegur lakilaki tua itu. “Hmm... Samolo! Kebetulan, aku memang sedang mencarimu!” Mendengar suara sang pemuda, wajah centeng tua yang angker itu jadi berubah kaget kemudian tampak berseri-seri. “Oh... Den Giran...! Aden sudah pulang...!” Sapa Samolo gembira. “Jangan berpura-pura! Aku tahu kalian justru mengharapkan aku tidak akan pulang selama-lamanya!” tukas Giran dengan geram. Samolo tertunduk, sikapnya tetap tenang penuh hormat. “Kami selalu menanti kembalinya Aden. Banyak peristiwa telah terjadi. Aku ingin menjelaskan kepadamu Den!” “Tidak perlu! Aku sudah cukup tahu tentang kebusukan kalian berdua! Arwah ayahku pasti akan bangkit dari liang kubur kalau saja beliau tahu, bahwa kau yang sangat dipercayainya sepenuh hatinya, ternyata seekor serigala berbulu domba!” Samolo mengelah napas, suaranya jadi terdengar lebih dalam dan pedih. “Telah kuduga, engkau telah didului oleh perempuan tua celaka itu dan terhasut oleh mulutnya yang berbisa!” Mata Giran mendelik. “Bangsat! Berani kau berkata sekeji itu terhadap ibuku?!” Lengannya meraba bungkusan kain putih di pinggangnya. “Aku kagum akan rasa baktimu terhadap orang tua, Den! Tapi ibumu itu..., begitu rendah martabatnya dan tak patut menerima sujud bakti seorang anak seperti kau, Den!” Giran melompat seraya mencabut pisau pusakanya yang terbungkus kain putih itu. Ia menggeram dengan luapan amarahnya. “Tutup mulutmu! Kau sudah melampaui batas, Samolo!” Ia melangkah maju sambil menghunus pisau pusakanya yang beracun itu. “Kau harus menebus dosa-dosamu! Kau telah melempar keluargaku ke dasar neraka penderitaan paling nista! Kau jadikan ibuku sebagai mayat hidup, bergentayangan di kegelapan sepanjang hidupnya! Benarbenar keji kau, Samolo!” “Dengarlah Den!” Samolo berusaha menenangkan Giran. “Kekerasan tidak mungkin dapat menjernihkan air yang keruh! Tenang dan bersabarlah, akan kujelaskan persoalan yang sangat pelik ini. Tenanglah Den!” Bujuknya. Tapi amarah Giran sudah tidak bisa dikekang lagi. Bayangan penderitaan ibu dan adiknya benar-benar membuatnya menjadi kalap. Tiba-tiba saja ia melompat menerjang dengan tikaman pisau pusakanya tepat ke arah jantung Samolo. Centeng tua yang masih tangkas ini melompat mundur untuk menghindar dari ujung belati yang meluncur bagaikan kilat itu. Giran terus mengejarnya sambil melancarkan tikaman-tikaman yang mematikan. Ratna jadi panik berusaha mencegah kekalapan suaminya. “Jangan Kak! Bang Samolo tidak bersalah...! Jangan...!” Jerit Ratna. Tapi Giran tak menghiraukan jerit-tangis anak istrinya. Ia merangsek terus centeng tua yang selalu berusaha menghindar. Sekali-kali tongkat bambunya itu menangkis atau menyampok mental hunjaman ujung pisau Giran. Hujan masih terus turun dengan lebatnya, guntur menggelegar memekakkan telinga. Ratna menggigil mendekap Girin yang terus menangis kedinginan, juga ketakutan. Dua buah serangan berantai Giran dengan beruntun pula dapat dipunahkan oleh Samolo. Giran semakin penasaran, ia menggeram seraya lompat melancarkan tendangan berantai. Tubuh tua Samolo segera terguling. Sembuah tendangan dengan telak menghantam dadanya. Giran lompat sambil mengangkat pisaunya untuk menghabisi nyawa centeng yang dianggapnya telah menghancurkan keluarganya. Ratna menjerit, dilepaskannya Girin dari dekapannya dan lari menghambur memeluk kaki suaminya. “Kau salah paham Kak! Sadarlah. Kau bertindak terlalu kejam terhadap orang yang tak berdosa! Kau pasti menyesal!” Ratap Ratna mengiba sambil memeluk kaki Giran. “Tak berdosa?! Air tujuh samudra pun tidak akan cukup mencuci bersih noda dan dosa kalian!” Geram Giran sambil menyepakkan kakinya, sehingga tubuh Ratna pun terpelanting di atas tanah becek itu. Putra sulung Tuan Tanah ini semakin mendidih darahnya. Ia mengumpat kepada Samolo yang berlutut, menggapai-gapai mencari tongkatnya. Untuk sesaat Giran jadi tertegun, ia baru mengetahui mata centeng ini sudah tidak berfungsi lagi. “Dia sudah buta...!” gumamnya. Saat itu terlintas kenangan masa lalu ketika ia masih kecil dulu. Sering ia nangkring di punggung laki-laki tua ini yang merangkak-rangkak di halaman main kuda-kudaan. Dia telah mengasuh dirinya dengan penuh telaten serta kasih sayang sebagai anaknya sendiri. Samolo sesungguhnya abdi yang sangat setia ketika itu. Betapa kecewa hatinya, ternyata watak manusia begitu mudah goyah. Darahnya kembali mendidih ketika bayangan wajah ibunya yang menderita buta dan Mirta yang terganggu jiwanya akibat perbuatan centeng ini. Dadanya terasa terbakar kembali. Kini Samolo telah bangkit lagi, berdiri agak limbung di tengah derahan hujan lebat. Tampak darah menetes dari mulutnya, memerahi kumis dan janggutnya yang putih. Darah itu terus menetes, mememerahi genangan air di bawah kakinya. Melihat penderitaan centeng tua itu, hati Ratna terasa ikut tersayat. Ia meratap mengiba-iba kepada suaminya. “Kak Giran, jangan kau terpedaya oleh hasutan Ibu dan Mirta...! Merekalah sesungguhnya yang menjadi biang keladi dari semua malapetaka ini...!” Samolo terbatuk-batuk, bicara dengan napas memburu. “Biarlah Neng Ratna. Suamimu telah begitu dendam kepadaku! Ya, memang akulah yang telah membutakan mata ibumu. Kalau itu satu dosa, aku bersedia menerima hukuman darimu, Den Giran!” “Kalau begitu, kau memang harus mati Samolo!” teriak Giran, seraya menerjang dengan sabetan-sabetan pisaunya. Samolo berkelit dan menangkis dengan tongkat bambunya. Suara benturan senjata seakan-akan bersahutan dengan bunyi guntur di angkasa. Pertarungan berlangsung dengan serunya di bawah curahan hujan lebat. Ratna menggigil sambil mendekap Girin, menahan ketegangan jiwanya. Betapa tidak, karena kedua laki-laki itu adalah orang-orang yang paling dikasihinya dalam hidup ini. Hatinya menjerit dan meratap, namun apa daya...?! Ia cuma bisa terisak menangis sambil memeluk anaknya. Karena faktor usia serta kondisi tubuh yang sudah tak berimbang lagi, Samolo tersungkur tak berdaya. Kepalanya terbentur tiang emper lalu rebah tak berkutik lagi. Ratna menjerit, menubruk tubuh yang nampak masih tegar itu. Diguncang-guncangnya sambil memanggil nama sang centeng. Tapi Samolo cuma merintih sejenak lalu diam terkapar dengan keadaan sangat menyedihkan. Giran menarik lengan Ratna lalu ditariknya. “Biarkan jahanam itu mendapatkan bagiannya! Kini giliranmu!” “Kau. Kau kejam!” Ratna menjerit dan meronta berusaha melepaskan diri. Tapi Giran tak memperdulikannya, terus menyeretnya ke luar halaman belakang gedung itu. Ratna terus meronta, tubuhnya terseret di tanah becek tersiram hujan yang tak kunjung henti. Girin menjerit-jerit mengikuti sambil memanggil ibunya. Tapi Giran yang sudah gelap mata ini dengan tidak mengenal ampun menyeret tubuh istrinya sepanjang sisi gedung terus menuju keluar. “Tidak! Tidak! Aku tidak sudi lagi melihat iblis itu! Lepaskan...! Lebih baik kau bunuh saja aku di sini...! Lepaskan...!” jerit Ratna sepanjang jalanan. Tubuh Ratna tergusur melewati pintu gerbang dan melintasi jembatan yang melintang di atas parit besar yang ada di muka gerbang itu. Girin mengikuti terus sambil menangis memanggil-manggil ibunya. Tepat di tengah jembatan batu yang licin itu anak ini terjatuh tergelincir dan tubuhnya berguling ke bawah jembatan itu. Melihat itu, Ratna menjerit histeris. “Ya Allah, Anakku! Girrriiinnn... Anakku...” Tapi ia tak kuasa menolong anaknya itu, tubuhnya jatuh bangun diseret Giran yang sedang kalap. Girin megap-megap dihanyut air yang mengalir deras itu. Teriakan ibunya kian menjauh, kemudian sirna ditelan gemuruh hujan dan guntur yang masih menggila. Sementara itu, tubuh Samolo mulai bergerak, perlahan-lahan siuman dari pingsannya. Kemudian ia sadar dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Dengan seluruh sisa tenaganya ia berusaha bangkit. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung ia mengejar ke muka pintu gerbang, sambil memanggil-manggil Ratna dan Girin. Tongkatnya menyusuri jembatan batu itu. Tepat pada saat itu, telingannya mendengar sesuatu di bawah jembatan itu. Wajahnya jadi semakin tegang dan beringas. “Tangisan Girin...!” Desisnya cemas. Suara megap-megap di kolong jembatan itu terdengar samar-samar, kemudian lenyap ditelan deru hujan. Samolo mengerahkan daya pendengarannya yang menjadi andalannya selama ini untuk mencari anak kecil itu. Syukurlah Girin yang baru berusia empat tahun ini cukup cerdik untuk menolong dirinya. Ia bergelayutan erat-erat pada akar pohon yang kebetulan tumbuh di tepi parit itu. Samolo pun segera mengetahui di mana anak itu berada. Dengan meraba-raba ia turun ke dalam parit yang sedang pasang dan dengan air yang mengalir amat deras. Tubuhnya bergerak dan menggapai-gapai ke arah Girin yang berpegangan erat pada akar pohon. Arus air yang deras itu menghempas dan menarik tubuh centeng tua ini. Namun dengan sekuat tenaga ia maju terus mendekat ke arah cucu majikannya. “Tenanglah Nak! Berpeganglah erat-erat. Embah akan menolongmu!” kata Samolo memberi semangat kepada bocah kecil itu. Sesaat kemudian lengannya berhasil meraih tubuh anak itu dan langsung dipeluknya. Girin pun merangkul dengan erat. “Tenanglah Nak. Kau sudah selamat kini...!” hibur Samolo sambil berusaha menggapai tepi parit. Girin menangis terisak-isak memeluk leher “Si Embah” ini. Keduanya berhasil naik ke atas parit dan berdiri di atas jembatan. Samolo menggendong Girin yang masih terus menangis, menunjuk ke arah jalanan. “Mama dicelet kecono...!” rengeknya. “Diam Nak, jangan menangis...! Mari kita susul Mama!” Sambil menggendong Girin, Samolo berjalan menuju jalanan besar itu dengan tuntunan tongkatnya. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 3 GIRAN menghempaskan tubuh Ratna ke lantai. Ratna menjerit dan mengumpat dengan kalap dan pedih. “Kau telah membunuh anakku...! Kau ayah yang tak punya perasaan! Kejam...! Oh... Girin... anakku...!” Ratap Ratna sambil menelungkup di lantai berdebu itu. Giran berteriak memanggil ibunya “Ibu...! Aku sudah menyeret perempuan keparat itu ke sini!” Dari balik dinding papan muncullah dua wajah yang diliputi rasa was-was dan curiga. “Keluarlah Bu! Inilah perempuan yang telah membuat Ibu menderita. Kuserahkan dia agar Ibu menghukumnya!” teriak Giran lagi. Bagai dua sosok makhluk ganjil, ibu dan anaknya keluar dari tempat persembunyiannya. Suara ketukan tongkat si nenek sudah cukup membuat bulu kuduk Ratna merinding. Wajah Ratna jadi pucat, seketika, darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Dia merangkak mendekap kaki Giran, meratap dengan suara gemetar. “Jangan...! Jangan biarkan dia membunuhku, Kak...! Oh... Tolonglah aku Kak...! Tolonglah...!” Wajah si nenek menyeringai mengerikan. Biji matanya yang luka bernanah itu bergerak-gerak. Mata Mirta pun ikut liar menatap istri kakaknya itu. Ratna semakin ketakutan. “Bunuh dia, Mirta! Bunuh! Cepat Mirta!” teriak nenek ini tiba-tiba. Mirta memungut sepotong kayu. Melangkah mendekat ke arah Ratna denga wajah menyeringai. Si Nenek pun siap dengan tongkatnya. Ratna menjerit dan bersembunyi di belakang tubuh Giran yang berdiri beku seperti patung. Dengan teriakan mirip orang hutan, Mirta tiba-tiba lompat mengayun pentungannya ke arah Ratna. Ratna mengelak dan lari ke arah pintu. Tapi si nenek sudah mencegatnya di situ sambil mengangkat tongkatnya, dan langsung dipukulkan ke arah Ratna. Untunglah bagi Ratna, karena tidak bisa melihat, pukulan mertuanya itu menjadi ngawur. Tapi teriakannya yang melengking memberi komando kepada Mirta, benar-benar membuat Ratna semakin panik ketakutan. “Cepat Mirta, bunuh setan ini! Bunuh! Ayo cepat. Jangan kasih ampun padanya!” Ratna pontang-panting berlarian di dalam ruangan rumah usang itu. Ia berusaha menyelamatkan diri dari keroyokan adik-ipar serta mertuanya yang sudah seperti kerasukan setan itu. Sementara itu Giran hanya berdiri mematung di sisi jendela, seakan-akan tidak mendengar jeritan Ratna yang mengiba-iba minta tolong kepadanya. Benarkah ia sudah kehilangan perasaan kasih sayang kepada istrinya, sampai hati pula membiarkan istrinya disiksa dengan cara kucing mengeroyok seekor tikus? Entahlah. Tapi yang jelas, ada butiran-butiran air jernih dan hangat jatuh menetes di atas lengannya... Ratna semakin letih dan putus asa. Ia jatuh terjerembab tak berdaya lagi. Dua orang pengeroyoknya itu segera tertegun mengatur napas. Mirta mendengus dengan napas memburu. “Dia sudah kepayahan Bu, tidak bisa lari lagi...!” “Bagus. Ayo cepat Mirta! Habisi dia!” teriak si nenek bernafsu. Mirta sambil tertawa ganas mendekat, mengangkat pentungannya tinggi-tinggi. “Kepalanya, Mirta. Kepalanya!” teriak si Nenek memberi petunjuk. Mirta mengangkat pentungan kayunya tinggi-tinggi dengan sasaran kepala Ratna. Ratna memejamkan matanya. Tepat pada detik kritis itu, sebuah tongkat bambu tiba-tiba berkelebat menghantam lengan Mirta. Dengan teriak kesakitan pemuda sinting ini terpelanting ke dinding, dan dengan pentungan kayu itu melayang menghantam kepala si nenek yang segera menjerit melengking-lengking. “Sssamolo...!” teriak Mirta ketakutan menatap ke pintu. Si nenek terkejut, ia menyuruk-nyuruk ke arah putranya. Keduanya ketakutan seperti melihat Malaikat El-Maut. Samolo tegak di ambang pintu dengan muka angker penuh kebencian. Ratna segera menubruk tubuh Girin dan mendekapnya erat-erat. “Setan dedemit! Masih belum puas juga kalian menghirup darah kami? Iblis!” hardik Samolo sambil menuding kedua orang itu dengan tongkatnya, membuat si nenek dan Mirta makin mepet ke sudut dinding. Samolo melangkah maju, tongkatnya dikibaskan dan tongkat si nenek pun terlontar ke lantai. Perempuan tua ini menjerit dan merangkul putranya yang sama paniknya. Samolo dengan suara berat dan parau terus memakinya. “Aku menyesal membiarkan kalian hidup, dan tidak mencabut nyawa kalian ketika itu. Bila tidak, kalian tentu tidak akan jadi biang penyakit di kemudian hari, seperti sekarang ini.” Si nenek menjerit memanggil Giran. “Kau dengar Giran...?! Kau dengar...! Di hadapanmu dia masih berani berlaku kurang ajar dan menghinaku...!” Si nenek menangis dengan pilunya. Samolo menghela napas, menghampiri Ratna. “Mari Neng! Rumah hantu ini mulai pengap oleh racun yang tersebar dari mulut berbisa perempuan iblis itu. Hati suamimu pun sudah mati terbius.” Dengan hati pedih, Ratna sambil menggendong putranya keluar dari rumah itu, diiringi oleh Samolo yang tetap waspada melindungi nyonya majikan mudanya itu. Si nenek melangkah ke dekat Giran yang masih berdiri termangu dan membisu. Ia merengek mengiba-iba di belakang tubuh anak-tirinya ini. “Mau tunggu apa lagi, Giran? Merekalah yang menjadikan kita sengsara begini! Mana baktimu terhadap orang tuamu, Giran?” Tiba-tiba Giran melesat keluar pintu, menghadang di hadapan Ratna dan Samolo. Wajahnya merah dan muram. “Tunggu! Kalian kira dengan semudah ini persoalan jadi beres? Hmm, jangan mimpi!” gertaknya dengan suara murka. Samolo maju ke muka, dengan suara dalam ia berkata, “Kalau boleh aku memperingatkan kau, Den Giran, engkaulah yang harus sadar dari mimpimu. Tuhan Maha Tahu, siapa sesungguhnya yang bersalah!” Tiba-tiba wajah centeng tua ini berubah, serta-merta menarik tubuh Ratna ke sisi. Berbarengan dengan itu, tongkatnya membabat ke belakang. Maka terdengarlah teriakan melengking. Mirta terpelanting ke tiang rumah. Darah mengucur dari goresan luka di lengannya. Samolo mendengus dengan perasaan muak. “Aku sudah kenal benar dengan watak Orai-Kadud-mu yang licik itu, yang tak segan-segan membokong dari belakang. Seperti beberapa kali kau lakukan terhadap kakakmu, tapi selalu gagal, bukan?” Mendengar kata-kata Samolo itu, Giran agak tersentak lalu memandang ke arah Mirta yang tersandar di tiang memegangi lengannya yang berdarah. “Bohong! Itu bohong!” Mirta membela diri dengan gugup. “Aku benar-benar sedih, sejak Den-Besar wafat, anakanaknya telah jadi murtad. Lebih sedih lagi hatiku, Den- Muda yang kuharapkan bisa mewarisi martabat ayahnya, ternyata sama piciknya dengan ibu dan adik-tirinya yang tamak, licik dan dengki itu. Kasihan, arwah Den-Besar tentu tak tentram di alam baka.” Kata Samolo dengan pedihnya. Giran tertunduk. Kata-kata Samolo bagaikan menusuk-nusuk ulu hatinya, terasa pedih menyakitkan. Namun mendengar cerita ibunya tentang perbuatan centeng itu terhadap keluarganya lebih menyakitkan lagi. Tak mungkin ia bisa memaafkannya, meski ia tahu Samolo telah mengabdi berpuluh tahun pada keluarganya. Ayahnya adalah seorang yang sangat menjunjung tinggi norma-norma adat istiadat. Terutama perihal kebajikan, hormat dan patuh serta bakti terhadap orangtua, adalah paling diutamakan dan kerap dijejalkan ke dalam hati sanubari serta jiwa Giran melalui nasihat dan petuahnya. Sifat itu benar-benar sudah melekat sampai ke setiap sendi tulang sumsumnya. Maka itulah sebabnya, sikap kukuh Giran yang sukar dilunakkan oleh siapapun. Samolo sangat paham akan sikap tuan mudahnya ini. Dalam hal lain, Giran sesungguhnya adalah seorang yang sangat lembut dan penuh belas kasih. Namun dalam hal kebajikan dan bakti, pendirian Giran tak bisa ditawar-tawar lagi. Setiap penyelewengan norma-norma itu merupakan aib besar yang tak terampunkan baginya. Karena memahami watak putra majikannya itu, maka Samolo pun merasa tak perlu lagi banyak bicara. Ia berbisik kepada Ratna. “Neng, bawalah Girin, menyingkir secepatnya dari sini! Pergilah ke pondoknya Nyi Londe! Bila ada umur panjang, aku pasti akan menyusul ke sana, Cepat!” Dengan menahan tangis, Ratna lari menuju hutan jati. Didekapnya Girin erat-erat. Sayup-sayup didengarnya pertarungan antara Samolo dan Giran mulai berlangsung dengan sengitnya. Suara dentingan pisau beradu dengan tongkat bambu itu, seakan-akan menyayat jantung Ratna. Ia berlari terus, hujan dan guntur masih saja merajai suasana. Angin menderu-deru menghembus hutan jati. Dan lebih mengerikan lagi ada sepasang mata yang terus mengintai dan mengikuti langkah Ratna serta anaknya itu dari balik pohon. Bagaikan seekor Serigala lapar mengintai mangsa, bayangan itu menyelinap dari balik pohon ke pohon lain dengan napas berdengus. Matanya liar mencari kesempatan untuk menerkam kedua insan yang sedang dilanda ketakutan ini. Keadaan di hutan jati itu benar-benar menakutkan Ratna. Gelap mengerikan, hanya kadang-kadang diterangi oleh cahaya kilatan halilintar yang menggeletar di angkasa. Ratna mulai kehilangan arah. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napasanya yang memburu. Lengannya tak pernah kendor mendekap Girin yang gemetar kedinginan dan basah kuyup terguyur air hujan. Tepat pada saat itu, bersamaan dengan bunyi menggelegarnya halilintar dan kilatan cahaya yang menyilaukan, melompatlah sesosok tubuh dari balik pohon ke hadapan Ratna, membuat Ratna terkejut tak alang kepalang. Tubuh Ratna jadi gemetar dan mulutnya pun terasa kelu. Karena ia melihat dengan jelas, sosok bayangan yang tiba-tiba menghadang di hadapannya itu adalah Mirta. Pemuda sinting ini dengan wajah cengar-cengir dan terkekeh-kekeh melangkah ke arah Ratna. Matanya jalang menatap tajam ke arah ibu muda yang ketakutan ini. Kaki Ratna terasa lumpuh. Ia memaksakan diri untuk melangkah mundur, lalu berbalik dan kabur sekencangkencangnya dari situ. Mirta tersentak kemudian lari mengejar. Ratna pontang-panting menerobos hutan jati yang amat lebat itu. Mirta pun terus mengejarnya dengan berlompat-lompat seperti kera sambil tertawa terkekehkekeh. Pentungan kayu di tangannya diacung-acungkan. Ratna makin erat mendekap tubuh Girin, lari tak tentu arahnya. Sunggu malang ia jatuh tergelincir dan terguling-guling ke bawah tebing yang cukup curam. Girin terlontar dari dekapannya, dan tersangkut di tepi tebing itu. Sementara Mirta sudah tiba di situ. Ratna kaget bukan main. Tanpa menghiraukan rasa sakit pada tubuhnya, ia bergegas merayap naik ke atas tebing. Tapi Mirta dengan sebelah kakinya telah menginjak tubuh Girin dengan terkekeh-kekeh di atas tebing itu. Sedikit pun tidak ada rasa iba kepada bocah yang meronta dan menjerit-jerit di bawah kakinya itu. Ratna menjerit sejadijadinya. Jantungnya terasa terhenti saat itu. “Mirtaaa! Lepaskan anakku...!” jerit Ratna sambil merangkak naik. Tapi jatuh tergelincir lagi karena tebing tanah merah itu amat licin. Mirta tertawa terbahak-bahak. Lalu matanya berkilatkilat menakutkan menatap Girin yang meronta-ronta di bawah pijakan kakinya. Ia menyeringai dengan mulut berbusa. “Jahanam cilik ini pun akan jadi pewaris harta bapakku! Maka dia juga tidak boleh hidup lama-lama di dunia ini...” Pentungan kayu itu diangkatnya tinggi-tinggi untuk dipukulkan ke kepala Girin. Detik itu darah Ratna seperti membeku. Ia jadi histeris, dan menjerit-jerit sejadinya. Tepat pada detik itu, tanah yang dipijak oleh Mirta tibatiba longsor dan tergulinglah ia ke dasar tebing itu. Girin pun ikut terbawa longsor ke bawah. Ratna bangkit dan meraih tubuh anaknya itu kemudian langsung dibawa kabur dari situ. Mirta menggelepar sesaat lalu bangkit dan mengerang seperti hewan luka. Matanya membara dan semakin liar. Kemudiaan ia lompat mengejar lagi. Ratna sambil mendekap putranya menyelusup di antara pohon-pohon jati dengan napas terengah-engah. Duri dan ranting-ranting tajam sudah tak dihiraukannya lagi. Hujan masih turun dengan lebat. Halilintar sambung menyambung dengan hebatnya. Hutan jati seakan-akan menjelma jadi sebuah alam khayal yang serba misterius dan menakutkan. Ratna mengeluh di dalam hati, karena ia tersesat, kehilangan arah ke pondok Nyi Londe. “Ya, Allah, ya Gusti...! Tolonglah kami...!” Ratap doanya di dalam hati. Angin menderu-deru bagaikan suara rintihan setansetan di neraka. Rasa takut mencengkeram Ratna. Sambil menangis tersengguk-sengguh ia lari tak tentu arah lagi. Tiba-tiba ia malah terserobok dengan Mirta yang sedang mencarinya. Pemuda kurang waras ini tertawa cekikikan. “Baaaa! Kau balik lagi mau mencariku, Ratna?! Hi... hi... hi...” Ratna tersentak mundur. Dengan tatapan menakutkan Mirta melangkah mendekat, Ratna tersandung akar pohon dan jatuh terjerembab. Mirta berlulut di sisinya. Lengannya mencoba membelai rambut Ratna, tapi ditepis dengan perasan jijik oleh Ratna. Mirta tertunduk, lalu berkata seperti kepada dirinya sendiri. “Kau masih secantik dulu... Cintaku tak pernah padam, Ratna...! Meski kau selalu menolakku. Aku memang tidak seberuntung si Giran keparat itu...!” Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, matanya berkilatkilat. “Tapi Giran sudah tidak cinta lagi kepadamu, Ratna! Ini pembalasan rupanya. Hi... hi... hi...! Tapi kau tak perlu sedih, Ratna. Aku masih bersedia menerimamu. Sungguh mati, aku ikhlas dan selalu masih mengharapkan kau, sampai kapan pun...!” Napas Mirta makin memburu. Suaranya gemetar dan parau seperti burung hantu. Tiba-tiba ia mencekal lengan Ratna dan didekapkan ke dadanya. Ia merintih. “Peganglah dadaku ini, Ratna...! Jantungku telah hangus terbakar api cinta yang tak kunjung padam... Oh, Ratna...!” Ratna meronta menarik lengannya, tapi sia-sia. Mirta makin keras menggenggam lengan itu. “Serahkanlah surat wasiat itu kepadaku, Rat... Lalu kita kawin, dan kau akan kujadikan wanita terbahagia di dunia ini!” Ratna menarik lengannya kuat-kuat dan lepas dari genggaman pemuda setengah sinting ini. Ia beringsut menjauh sambil memaki dengan muaknya. “Pergi! Pergi! Kau makhluk durjana. Jangan kau sentuh aku dengan tanganmu yang berlumur noda dan dosa itu. Pergi kataku...!” “Ahh... Ratna sayang... Inilah kesempatan terbaik bagi kita. Biarkan Giran dan Samolo saling bunuh. Seluruh Harta warisan itu akan jadi milik kita berdua” Mirta merayu sambil mendekati Ratna. Tiba-tiba Ratna bangkit dan lari. Tapi Mirta segera menerkamnya dan mereka jatuh berguling di tanah becek berlumpur itu. Ratna dengan nekat menjejak muka Mirta sekuat tenaganya, hingga pemuda ini terjengkang berteriak kesakitan. Namun ia cepat bangun lagi. Bibirnya pecah mengucurkan darah. Sambil mengerang menahan sakit ia mengumpat dan memungut pentungan kayunya. “Dasar perempuan laknat, tak tahu diuntung.” geramnya. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia lompat merebut Girin dari dekapan Ratna. Ratna pun dengan kalap berusaha merebut kembali anaknya itu. Tapi pentungan Mirta sudah mengancam kepala bocah itu. “Ayo, kalau kau mau melihat kepala anakmu ini hancur berantakan. Sekarang katakanlah, maukah kau jadi istriku, Ratna?!” Ratna terdiam, wajahnya tegang dan pucat. Girin terus menjerit dan meronta dalam dekapan pamannya yang kurang waras ini. “Jawab, ya atau tidak! Nyawa anakmu ini tergantung kepada putusanmu sendiri, Ratna!” ancam Mirta dengan mengangkat pentungan kayu yang diarahkan ke kepala Girin. Ratna benar-benar bingung dan gelisah. Ia tahu pasti ancaman Mirta itu bukanlah gertakan kosong belaka. Bahkan perbuatan yang lebih keji dan brutal sekalipun sanggup dilakukan olehnya. “Rupanya kau sudah tidak sayang lagi kepada anakmu ini, Ratna. Baiklah, jangan kau katakan aku kejam!” tangannya yang memegang pentungan itu siap dihantamkan ke kepala Girin. Ratna panik, demi keselamatan anaknya yang amat dikasihinya itu ia rela berkorban apa saja. Ia tertunduk menghapus linangan air matanya, mengangguk perlahan. Mata Mirta berbinar. “Katakan ya, Ratna, katakan Ratna!” “Ya. Lepaskan anakku!” jawab Ratna sambil tersedu... Wajah Mirta berseri-seri. Matanya makin berbinar. “Bersumpahlah Ratna! Bersumpahlah kau kepada langit dan bumi... Juga kepada guntur di angkasa!” teriak Mirta berbarengan dengan gelegar guntur yang pecah di angkasa. Ratna gemetar, dunia terasa semakin gelap. Ia seakanakan jatuh tenggelam ke dasar neraka yang paling gelap gulita. Sebagai seorang gadis desa yang lugu ia amat percaya dengan keramatnya sumpah serapah. Apalagi kini ia sudah jadi seorang wanita bersuami sangatlah pantang mengucapkan sumpah cinta terhadap seorang laki-laki lain. Lebih menyakitkan lagi, justru laki-laki itu yang amat dibencinya. Namun kasih sayang seorang ibu sanggup dan rela berkorban apa saja. Dengan air mata berlinang-linang Ratna bersumpah dengan suara hampir tak terdengar. Namun cukup membuat Mirta berjingkrak kegirangan. Guntur kembali menggelegar di angkasa. Mirta sambil melepaskan Girin dari dekapannya menunjuk ke langit dan tertawa. “Dengar, dengarlah Ratna! Guntur menggelegar di angkasa, dia telah menjadi saksi atas sumpahmu Istriku...! Hi... hi... hi...” Mirta menghampiri Ratna dan berbisik dengan napas memburu. “Bertahun-tahun aku memimpikan saat seperti ini Ratna. A... a... aku sangat mencintaimu.... Sampai dunia kiamat sekalipun!” Tubuh Ratna seakan tak dialiri darah lagi. Ia menggigil. Hatinya begitu pedih dan remuk oleh himpitan rasa berdosa yang amat sangat. Rasa sesak di dadanya kemudian pecah jadi tangisan yang memilukan. Ketika lengan Mirta yang gemetar itu membelai rambutnya dan menciuminya dengan napas berdengus-dengus. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 4 SEMENTARA itu, pertarungan antara Samolo dan Giran masih berlangsung dengan sengitnya. Jelas terlihat Samolo hanya berusaha menghambat Giran, dan sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah. Tiba-tiba wajahnya jadi tegang, karena naluri dan telinganya yang peka itu memperingatkan suatu bahaya yang mengancam Ratna dan Girin. Selama bertempur itu, perhatiannya terpaksa harus terpecah dua. Sejak tadi ia tidak mendengar gerak-gerik Mirta di situ. Hal inilah yang sangat dicemaskan oleh Samolo. Dan ia merasa pasti pemuda sinting itu diamdiam menyelinap untuk mengejar Ratna dan Girin. Centeng tua ini mengeluh di dalam hati, serangan Giran tak sedikitpun memberi waktu luang padanya. Tiba-tiba dengan sebuah pentilan menyilang, ia berhasil membuat pisau Giran terpental ke udara dengan tongkat bambunya itu. Saat lowong itu digunakan Samolo untuk segera mencelat ke arah hutan jati. Giran mengumpat sambil memungut pisau pusakanya itu. Dengan mengandalkan deru angin dan gemersik daun serta derak ranting, jago tua yang buta ini dapat menge– tahui dan mengenal situasi hutan jati yang lebat itu. “Apakah mereka sudah tiba di rumah Nyi Londe? Semoga Tuhan melindungi ibu dan anak itu.” Doanya dalam hati dengan sambil terus berlari. Giran berhasil mengejarnya, langsung menerjangnya. Samolo terpaksa harus melayani, namun hanya sejenak karena setelah menyampok tikaman pisau Giran, ia segera loncat mundur dan lari lagi ke dalam hutan. “Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku, bedebah...!” Bentak Giran, terus mengejar. Samolo menerobos kelebatan hutan jati di bawah derahan hujan lebat. Tiba-tiba ia nyaris jatuh terjerembab, bila tongkatnya tidak segerah menyentuh sesosok tubuh yang tergeletak membujur di tanah. Ia meraba tubuh itu dan terkejut. Karena lengannya menyentuh sesosok tubuh laki-laki, kepalanya luka dengan cairan hangat mengalir dari luka itu. “Darah!” pekiknya di dalam hati. “Binatang! Kau telah membunuh Adikku” teriak Giran tiba-tiba. “Demi Allah, bukan aku yang melakukannya. Dia sudah terkapar di sini ketika aku tiba!” Samolo membantah. Tapi Giran sudah menyerangnya lagi dengan makin kalap. Samolo menepis serangan itu seraya lompat mundur. “Ketahuilah, Den. Mirta, adikmu ini sejak dulu punya hasrat buruk terhadap istrimu. Jiwanya dihantui dendam yang telah membusuk, karena ia tak bisa memperistrikan Ratna!” “Tutup mulutmu, setan laknat!” teriak Giran dengan sebuah tusukan ke arah jantung Samolo. Tapi Samolo berkelit dengan lompatan mundur lalu berbalik langsung lari ke dalam hutan. “Siapakah yang telah menyerang Mirta hingga terkapar dengan kepalanya pecah?!” hati Samolo bertanya-tanya akan peristiwa aneh itu. Tapi perhatiannya lebih tertuju kepada Ratna dan Girin. “Kasihan nasib Ratna dan Girin. Keluarganya telah mencampakkannya seperti sampah. Suami yang diharapkan jadi pelindung kini malah jadi ancaman bagi keselamatan mereka. Sangat sulit menyadarkan Den Giran, selama dia masih terbius oleh kata-kata ibu tirinya yang busuk itu.” Keluh Samolo lagi dalam hati. Tongkat bambunya terus menuntun ke arah pondok yang hendak dituju. Agaknya Samolo hafal sekali dengan daerah tersebut. Sementara Giran terus di belakangnya. Sesaat kemudian centeng ini sudah tiba di tepi sungai yang berbatu-batu. Tongkatnya segera menotok batu-batu itu yang dipijaknya sebagai bacu loncatan ke arah seberang sungai tersebut. Ia melangkah ke arah pondok yang tegak terpencil di tepi sungai, dan berteriak memanggil penghuninya. “Nyi Londe!” “Siapa?!” terdengar sahutan dari dalam pondok itu. “Aku Nyi!” Pintu pondok itu terkuak, sosok tubuh seorang perempuan tua tampak tersembul dari dalam pondok itu. “Oh, kau Samolo. Masuklah, hujan begini lebatnya” Samolo mendekat dan naik ke atas pondok panggung itu. “Wak Londe!” Gumam Giran yang sudah tiba pula di depan muka pondok itu. Tertegun ia memandang perempuan tua itu. “Apa neng Ratna dan Girin sudah berada di rumahmu Nyi?” tanya Samolo cemas. “Keadaannya memilukan sekali. Pedih hatiku melihatnya!” perempuan tua ini menggelengkan kepala sambil menghela napas. “Wak Londe!” sapa Giran tiba-tiba. Nyi Londe memandang ke muka pondoknya, dilihatnya seorang pemuda berdiri di pelataran, basah kuyup di dera hujan yang masih belum juga reda. “Eh, siapa itu? Siapakah orang itu Samolo?” “Den Giran, Nyi” jawab Samolo datar. Perempuan ini tertergun, perlahan-lahan turun dari pondoknya. Bagaikan mimpi menatap pemuda yang tegak di hadapannya itu. Kemudian dengan air mata berderai ditubruknya tubuh laki-laki muda yang gagah ini. Suaranya terpatah-patah menahan rasa haru yang mendesak di dadanya. “Kau... Kau Den... Kau sudah pulang Den!” ditatapnya wajah Giran tajam dengan air mata terus mengucur di pipinya yang mulai keriput dan cekung. “Bagaimana keadaan Uwak sekarang?!” tanya Giran sama terharunya. “Aduh Den, kenapa kau pergi begitu lama? Banyak peristiwa telah terjadi selama kau tak berada di sini” Suara Nyi Londe bergetar penuh penyesalan. Giran menghela napas. “Aku tahu, semuanya akibat pengkhianatan orangorang tak kenal budi. Aku tahu Wak” kata Giran tajam, melirik Samolo yang berdiri di teras pondok panggung itu. Nyi Londe membawa Giran masuk ke dalam pondoknya yang sangat sederhana itu. Giran memandang keadaan ruangan pondok berbilik bambu yang sudah berlubang-lubang, atapnya pun tiris terguyur hujan. “Kenapa Uwak tinggal di sini? Maksudku, mengapa tidak berdiam lagi di rumah kita? “ tanya Giran dengan nada haru. Nyi Londe menghela napas lagi. “Kini semuanya sudah berubah, Giran. Gubuk reyot ini pun cukup memberikan ketentraman kepada Uwak.” Giran tiba-tiba melihat Ratna berada di dalam kamar pondok itu. Api kemarahannya kembali membakar dada– nya. Ditudingnya istrinya yang sedang memeluk Girin. “Hmm. Kau pun rupanya bersembunyi di sini! Perempuan tak tahu malu. Masih ada muka kau hidup di dunia ini?” bentak Giran dengan geram. Nyi Londe menahan tubuh Giran yang hendak menghampiri Ratna. “Enyah kau dari mataku! Atau sebaiknya kau bunuh diri saja. Dari pada kau mencoreng keluargaku dengan noda yang tak terhapus tujuh turunan.” Ratna dengan menggendong Girin segera keluar dari pondok. Nyi Londe berusaha menyabarkan Giran. “Jangan begitu Giran. Kasihan Girin, anak itu sedang demam. Tubuhnya panas sekali.” Tapi Giran tak menghiraukannya. Ia menyusul ke muka pondok. Berteriak dengan penuh dendam yang berapi-api. Lengan Nyi Londe tak lepas-lepas menggeng– gam lengan pemuda ini. “Pergi! Jangan kalian menginjak lagi tanah Kedawung ini. Jika aku masih melihat lagi kau berada di sini, akan kucabut nyawamu semua!” bentak Giran mengancam. Ratna tertunduk menahan tangis sambil memeluk anaknya yang sedang menderita demam, meninggalkan pondok itu diiringi Samolo yang coba membesarkan hatinya. “Jangan bersedih, Neng. Tuhan selalu mengasihi makhluk-Nya yang tak berdosa. Mari! Dunia ini masih terlalu luas untuk kita.” Hujan masih terus turun menyiram bumi. Menelan tiga manusia yang berjalan perlahan-lahan menyusuri sungai, membawa luka di hatinya masing-masing. Nyi Londe termangu-mangu memandang kepergian tiga orang itu sampai lenyap ditelan kepekatan malam yang terus diguyur hujan yang tak kunjung henti itu. Betapa sedih hatinya menyaksikan penderitaan orang-orang yang sangat dikasihinya itu. Terasa air matanya ikut tertelan dan menyangkut di kerongkongannya. Dada perempuan tua ini terasa begitu sesak. Ia mendesah untuk melepaskan perasaan yang menyesak– kan dadanya itu. Suaranya lirih ketika ia berkata kepada Giran dengan masih memeluk tiang pondoknya. “Aku sukar mengatakan sesuatu kepadamu. Kini kau sudah banyak berubah, Giran.” “Uwak sendiri mengatakan bahwa kini semuanya sudah pada berubah. Begitu pun aku. Penyebabnya adalah setan-setan tadi” “Aku tetap menyayangimu, Giran. Sama seperti ketika aku menimangmu waktu kau masih bayi. Ah, rasanya baru kemarin saja waktu itu berlalu...” Nyi Londe melangkah masuk dan menuang air dari kendi untuk Giran minum. Giran menerima gelas itu, memandang wajah pengasuhnya dengan sinar mata lembut dan ada getaran rindu dalamnya. “Aku tidak mungkin bisa melupakan budimu, Wak. Tanpa kau, aku tak kan hidup sampai jadi manusia dewasa seperti sekarang ini.” Ia meminum air itu, lalu termenung memandang air di dalam gelas di lengannya. Tenang ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri. “Dewasa kataku, karena kini mataku seolah-olah baru terbuka, betapa watak dan martabat manusia begitu mudah rusak. Meski dilimpahkan kasih sayang, cinta dan kepercayaan tanpa batas, namun toh masih mengkhianat juga. Aku betul-betul sukar mengerti. Sungguh tidak dapat dimengerti...” keluhnya sambil mereguk minuman– nya lagi. “Kau hanya menilai persoalan dari satu sudut saja. Itu tidak bijaksana, Giran.” Kata Nyi Londe menghela napas. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya, sesaat kemu– dian keluar lagi dengan sebuah kotak kayu yang antik dan indah di tangannya. Lalu diperlihatkan kepada Giran. “Kau kenal dengan kotak ini, Giran?” Kotak kayu itu diletakkan di atas meja di hadapan Giran yang menatapnya dengan perasaan kaget dan heran. “Sudah tentu aku kenal benar dengan kotak ini. Karena ini peninggalan mendiang ayahku!” “Kotak inilah yang jadi pangkal sengketa dan timbulnya berbagai peristiwa hebat yang mengakibatkan terpecah-belahnya keluarga besar ayahmu. Berapa banyak sudah kotak ini menelan korban nyawa, darah dan air mata. Martabat manusia pun runtuh olehnya.” Rasa benci dan muak terkandung di dalam kata-kata perempuan tua ini. Benda itu seakan-akan dianggap sebagai buatan setan yang sangat mengerikan, juga menjijikkan. Ia enggan menatap lama-lama kepada kotak kayu berukir indah itu. Giran menyatakan keherannya, mengapa kotak wasiat yang berisikan kunci-kunci serta surat-surat berharga tentang hak waris atas harta peninggalan ayahnya itu bisa berada di tangan Nyi Londe. Seingatnya ketika ia hendak berangkat ke Borneo untuk melaksanakan pesan ayahnya, meninjau perkebunan karet yang berada di sana, ia telah menyuruh Ratna untuk menyimpan peti pusaka itu. Diakuinya pula, sejak ia menerima kotak itu dari ayahnya yang sedang menderita sakit sampai setelah wafat, ia belum pernah membuka dan melihat isi kotak tersebut. Kini ia baru mengetahui, bahwa yang tertera di atas surat hak waris itu ternyata cuma namanya sendiri. Sedangkan nama ibunya maupun Mirta sama sekali tidak tercantum sebagai pewaris dari sebagian harta peninggalan yang melimpah itu. Kebijakan ayahnya untuk tidak memberikan sesuatu pun dari sebagian hartanya kepada ibu tiri dan adik tirinya itu, pasti mempunyai alasan tertentu. Tapi Giran tidak tahu apakah alasannya itu. Namun ia merasakan bahwa tindakan ayahnya itu sangatlah tidak adil. Akibatnya ibu serta adiknya itu harus hidup terlunta-lunta seperti tikus yang bersarang di puing bangunan rumah Kasir Samirun yang entah kenapa pula jadi berantakan begitu. Giran semakin yakin akan tuduhannya terhadap pengkhianatan Ratna dan Samolo. Karena merasa ikut berhak atas warisan harta itu, sebagai istri yang dinikah secara sah, Ratna telah mengusir ibu mertua dan iparnya dari gedung megah yang ingin dikangkanginya itu. Mungkin mengira suaminya telah meninggal di rantau, Ratna lalu bermain gila dengan Samolo, centeng yang selalu setia mengawal– nya itu. Demikianlah perkiraan dan kecurigaan Giran terhadap istrinya, yang diperkuat pula oleh cerita ibu tirinya. Namun yang jadi tanda tanya bagi Giran, mengapa kotak wasiat itu kini berada di tangan Nyi Londe. Perempuan tua ini menjelaskan bahwa sesung– guhnya kotak pusaka itu telah berpindah-pindah tangan dan setelah diperebutkan dan dipertahankan matimatian, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan kotak itu dan dititipkan kepadanya. “Karena akulah orang satu-satunya yang mereka percayai, sebagai pengasuhmu sejak kau masih bayi merah. Mereka yakin aku akan memberikan peti pusaka ini kepadamu, bila kau sudah kembali” “Siapakah yang Uwak maksud dengan mereka itu?” tanya Giran. “Siapa lagi kalau bukan Ratna dan Samolo!” jawab Nyi Londe tegas. Giran mendengus sinis. Bangkit menuju jendela. Ia yakin pengasuhnya ini berkata demikian karena takut akan ancaman Samolo. Perempuan tua ini mengetahui keraguan hati Giran terhadap ceritanya tadi. Tapi ia tak peduli, ia akan menceritakan semuanya yang sebetulnya telah terjadi di dalam keluarga besar Tuan Tanah itu kepada putra sulung ini. “Aku tahu kau pasti sukar mempercayai ceritaku tadi. Ratna tidak mau menyimpan peti pusaka ini, karena khawatir akan dituduh ingin menyerakahi juga harta warisan itu. Jiwanya pun seolah-olah telur di ujung tanduk, senantiasa terancam bahaya maut dari kelompok orang-orang serakah, yang tak segan-segan menggunakan tipu muslihat keji untuk menguasai peti pusaka tersebut. Untunglah Samolo selalu berhasil menyelamatkannya!” Giran termangu di sisi jendela. “Jadi maksud Uwak, ibu serta adikku itu adalah orang-orang serakah dan tamak, begitu?!” ia berpaling memandang pengasuhnya ini. “Apakah perbuatan yang menyebabkan ibuku mende– rita buta dan merana sepanjang sisa hidupnya itu, adalah bukti kemuliaan dan kesetiaan Samolo? Dan Mirta ter– kapar seperti bangkai anjing di tengah hutan jati adalah juga bukti dari kebajikannya pula?! Kemuliaan dan kebajikan yang telah menghasilkan seorang anak haram. Sungguh luar biasa dan betul-betul mengagumkan!” Sinis sekali kata-kata Giran. “Ibu dan adikmu telah menerima akibat dari perbuatannya sendiri!” kata-kata Nyi Londe pun tak kalah sinisnya, meski diucapkan dalam nada perlahan dan agak gemetar menahan emosi. “Aku justru heran, kenapa kau berprasangka buruk terhadap darah dagingmu sendiri? Aku kenal Ratna seperti aku mengenal diriku sendiri. Begitu pula terhadap Samolo. Dia telah banyak berkorban demi kesetiaannya kepada almarhum ayahmu, juga kepada keturunannya.” “Omong kosong! Dengan membunuh Mirta, apakah Samolo juga mau membuktikan kesetiaannya terhadap keturunan ayahku?! ?” kata Giran dengan ketus. “Itu bukan perbuatan Samolo!” “Lalu siapa?! Apa dicekik hantu hutan jati?!” dengus Giran makin sinis. “Mirta sesungguhnya sudah lama menaruh hati kepada Ratna! Hasrat buruknya itu hampir saja terlak– sana di hutan jati. Tapi Ratna lebih rela mati daripada harus hidup ternoda. Dalam pergulatan mempertahankan kehormatannya, ia sempat menghantam kepala Mirta dengan sepotong kayu...” Nyi Londe menjelaskan peristiwa itu setelah men– dengarnya dari Ratna, yang datang menyelamatkan diri bersama anaknya ke pondok itu sambil menangis tersedu-sedu memeluk dirinya. Giran kembali tercenung. Terdengar ia menghela napas. Lalu menghampiri Nyi Londe. Dengan tersenyum lembut ia menggenggam lengan pengasuhnya ini. “Sudahlah Wak. Aku tahu Uwak bermaksud baik. Ingin mendamaikan persoalan ini. Atau barangkali mereka berdualah yang memintamu untuk mendongeng– kan kisah “Nina Bobok” ini kepadaku. Seperti dulu jika aku tengah merengek-rengek tak mau tidur. Ahh... betapa manis bila masa kecil itu dikenang lagi, ya Wak?” kata Giran sambil tersenyum. Tapi Nyi Londe menarik lengannya, berkata dengan sedih. “Ya baiklah, bila kau tak sudi lagi mendengar dongengku. Karena kini kau sudah merasa cukup takjub mendengar dongeng ibumu itu. Tak apalah Giran. Mungkin matamu kini telah terbuka. Tapi sayang, kau menatap ke arah yang salah!” Kali ini wajah Giran tertunduk dan termenung. Ia tahu benar dengan sifat pengasuhnya ini, yang tak pernah berpura-pura, apalagi berkata dusta kepadanya. Justru sifat itulah yang telah banyak mendidik dan menyerap ke dasar jiwanya. Kini konflik batin tengah bergelut di dasar jiwanya itu. Antara kebenaran cerita Nyi Londe dengan rasa baktinya terhadap orang tua. Satu hal yang amat ditakutinya bila kemudian ia pun terpaksa harus mendurhakai dan mengutuki ibunya sendiri. Melihat kemurungan wajah Giran, Nyi Londe jadi iba. Dibelainya kepala anak asuhannya ini dengan lembut dan tetap dengan perasaan kasih sayang seperti dulu. Ia berkata dengan lembutnya. “Ketahuilah Giran. Sesungguhnya banyak hal serta peristiwa lalu yang belum kau ketahui. Kami memang sengaja menyembunyikannya demi kebaikanmu. Demi keutuhan keluarga besar ayahmu...” Giran tertunduk diam. Nyi Londe melanjutkan. “Aku dan Samolo-lah yang banyak mengetahui berbagai persoalan yang telah terjadi di rumah tangga ayahmu, yang hingga kini tinggal gelap bagimu. Tapi kini, kurasa sudah tiba waktunya untuk kuceritakan semuanya kepadamu. Dengarkanlah...!” Berkisahlah Nyi Londe *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 5 KEDAWUNG sebuah desa kecil dengan tanahnya yang amat subur. Hijau oleh ribuan pohon nyiur yang melambai dihembus angin. Riak gelombang batang padi yang menguning di bentangan petak-petak sawah seluas mata memandang. Semua itu adalah milik seorang Tuan Tanah yang terkenal sangat kaya raya, juga sangat bijaksana serta murah hati. Seluruh penduduk desa itu amat menghormatinya dan menganggapnya sebagai junjungan mereka, melebihi para amtenar atau pengusaha lainnya yang terpaksa tak dapat berbuat semau hatinya terhadap rakyat desa kecil itu. Itu semua karena pengaruh Sang Tuan Tanah yang penuh wibawa itu. Ketika putra sulungnya yang diberi nama Giran, baru berusia tiga bulan, istri Tuan Tanah yang sama bijaksananya juga meninggal dunia. Kini istri mudanya yang bernama Subaidah, mengambil alih seluruh kekuasaan dalam rumah tangga itu. Perawatan Giran sepenuhnya diserahkan kepada seorang pengasuh, Nyi Londe yang telah mengabdi di keluarga Tuan Tanah itu sejak ia masih kanak-kanak. Subaidah yang muda dan cantik itu, tiap hari hanya bersolek dan pesiar dengan kereta kuda, yang kadang-kadang dikusirinya sendiri. Atau ditemani oleh Kasir Samirun, seorang kasir merangkap pemegang tata buku keuangan sang Tuan Tanah. Tubuhnya tinggi kurus, cukup tampan dengan sebuah kumis kecil di atas bibirnya yang tipis, pertanda pandai bicara dan banyak akal. Nyi Londe mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarga Tuan Tanah tersebut. Ia begitu menyayangi Giran dan mengasihinya seperti anak kandungnya, bahkan dihidupkannya anak itu oleh air susunya sendiri. Sering, bila Giran telah tertidur lena di emper buruk kamar Nyi Londe, perempuan ini memandangi wajah mungil yang belum kenal dosa itu dengan mata berkacakaca. Hatinya terasa perih. “Anak yang malang. Jika ibumu masih ada, kau tentu tidak hidup terasing di tengah keluargamu sendiri yang serba berkecukupan ini” ratapnya sambil membelai kepala anak asuhannya. Subaidah, sang istri muda ini ternyata pandai mengambil hati. Bila di hadapan suaminya, ia senantiasa berlaku begitu menyayangi anak tirinya itu. “Kasih Ibu”- nya betul-betul ditonjolkan dengan penuh kasih sayang. Dan Subaidah pun kemudian melahirkan seorang putra, ialah Mirta. Perlakuan yang menyolok terhadap kedua anak itu segera terjadi, jika sang Tuan Tanah yang sering bepergian ini tak berada di rumah. Subaidah meraih baju Giran yang cukup bagus itu dan digantinya dengan baju penuh tambalan. Lalu bocah itu dilempar ke pelukan Nyi Londe, yang segera membawanya ke dalam emper buruknya di belakang gedung megah itu. Barang mainan Giran pun adalah hasil buatan Samolo dan hasil rajutan Nyi Londe. Sementara Mirta sudah bosan dengan mainannya yang mahal-mahal yang khusus dibeli di Batavia. Pada suatu hari, Samirun dengan diiringi Mandor Sarkawi, baru pulang keliling kampung melaksanakan penagihan kepada para penduduk. Ia langsung melapor kepada Tuan Tanah yang sedang berda di ruangan dalam. “Semuanya beres, Den Besar. Kecuali Ki Kewot, sudah hampir tiga bulan ini dia nunggak terus. Selain itu dia pun terlalu besar kepala, Den Besar!” Lapor kasir yang cerdik dan pandai menyenangkan majikannya ini, sambil memperlihatkan catatan di bukunya. Namun Sang Majikan cuma mendehem sambil menghisap cerutunya. Jawabannya pun di luar dugaan. “Biarlah. Aku tahu orang tua itu akhir-akhir ini sering sakit” katanya penuh bijaksana. Lalu sambungnya, “Dia memang sudah terlalu tua untuk bekerja di sawah. Aku kasihan melihat keadaannya. Samirun, coba kau berikan uang se-ringgit kepadanya. Suruh dia berobat!” Samirun yang sedang senyum-senyum bermain mata dengan Subaidah, jadi terkejut. Dengan gugup ia mengangguk. “Ba... baik, Den Besar.” Lalu melangkah keluar ruangan diikuti Mandor Sarkawi yang menunggu di pintu. Kerlingan mata Samirun dibalas oleh senyum genit Subaidah. Hal itu tak lepas dari perhatian Samolo yang sedang bermain dengan Giran di sudut ruangan. Tapi ketika Samirun dan Sarkawi mendatangi Ki Kewot di gubuknya, perintah majikannya ternyata diabaikan. Ia berdiri bertolak pinggang di muka gubuk itu dengan congkaknya. “Hei, Kewot! Tuan Besar marah sekali. Kamu diberi waktu seminggu untuk melunasi hutangmu. Mengerti?” bentaknya. Ki Kewot yang sedang menganyam bakul, terbungkuk-bungkuk memohon kebijaksanaan. Ratna putri kecilnya berdiri ketakutan di sisinya. “Seminggu? Dari mana saya dapat uang buat bayar, Den? Belum lagi bunganya...!” keluh kakek ini. “Itu urusanmu. Seminggu, atau tahu sendiri!” Sambil bersungut-sungut Samirun melangkah meninggalkan muka gubuk itu. Tongkatnya terayun-ayun dengan lagak seorang bangsawan terhormat. Sementara tangan Sarkawi jadi gatal ketika melihat ayam jago Ki Kewot yang sedang dikurung itu. Serta-merta disambarnya ayam itu. Ia menyusul si kasir, dan merengek sambil mengikuti di belakangnya. “Tambahin setalen lagi, Sir...! Buat main sintir di rumah Mat Tompel enter malam nih” Rengeknya sambil terus menadahkan tangannya seperti pengemis. Samirun mendelik dan membentak. “Sialan! Sudah ngembat ayam, masih mau minta duit lagi? Serakah banget lu...” Sarkawi tertawa cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ki Kewot mengumpat di dalam hati, betapa ia begitu muak melihat kedua pemeras itu. Entah sudah berapa banyak penduduk Kedawung ini dibuat sengsara oleh kedua orang itu. Bahkan sampai ada yang gantung diri karena putus asa dan ketakutan, akibat ancamannya. Ki Kewot masih mencoba untuk tetap tabah, karena ia tahu benar dengan sifat Tuan Tanah yang selalu bermurah hati terhadap orang-orang yang benar-benar tidak mampu. Sejak lengannya sudah tak sekuat dulu lagi untuk mengangkat cangkul, karena penyakit rematiknya semakin menyiksanya, kini ia jarang-jarang bisa turun ke sawah milik Tuan Tanah itu. Hingga hutangnya semakin menumpuk. Padahal Tuan Tanah sendiri tidak pernah membebankan para penghutang itu dengan bunga renten yang amat mencekik leher itu. Jelas itu hanya ulah sang kasir saja yang mengeruk keuntungan untuk kantongnya sendiri. Semua penduduk mengetahui kecurangan Samirun, namun tak seorang pun berani melapor kepada majikannya. Apalagi ketika seorang pemuda didapati terkapar jadi mayat tak berkepala di tengah sawah, karena berniat lapor kepada Tuan Tanah tentang pemerasan yang sering dilakukan oleh Samirun serta para begundalnya yang belasan jumlahnya itu. Ki Kewot hanya mampu mengumpat di dalam hati, sambil mengelus kepala putrinya yang menangis karena ayam kesayangannya telah dirampas oleh Sarkawi. Mandor itu selalu setia mengikuti kasir Samirun bila sedang masuk kampung untuk menagih dan memeras rakyat kecil. Karena ia selalu kebagian rejeki. Dari sosok tubuhnya yang gendut itu, sudah dapat diperkirakan bahwa mandor itu memang cuma bisa berfoya-foya. Kerjanya cuma bermuka-muka, mabukmabukan, main judi dan perempuan. Sangat berbeda dengan sifat Samolo. Centeng bertubuh tinggi besar ini, meski bercambang dan memelihara kumis serta janggutnya cukup lebat, tak terlihat kesan garang pada wajahnya. Sikapnya selalu tenang penuh wibawa. Jarang bicara bila tak perlu. Samolo sangat menghormati Tuan Besarnya. Pengabdiannya terhadap keluarga Tuan Tanah Kedawung itu begitu tulus, dan semata-mata didorong oleh rasa balas budi. Jauh sebelum Tuan Tanah itu sejaya sekarang, Samolo pernah ditolong olehnya dari kehancuran akibat tragedi keluarganya. Kini ia mengabdi di gedung besar itu sebagai centeng. Sebagai cucu murid sang Hyang “Bu’uk Perak” pendiri Perguruan “Krakatau” yang legendaris itu. Samolo telah mewarisi sebuah aliran ilmu beladiri yang sangat unik dan langka. Ilmu pukulan tangan kosongnya tak ada tandingannya di wilayah Kedawung dan sekitarnya, bahkan mungkin di seluruh Jawa Barat. Karena ilmu beladiri perguruan “Krakatau” tak ada duanya lagi di jagad ini. Sang Hyang Bu’uk Perak hanya memiliki seorang murid bernama Biang Tarona. Biang Tarona sendiri cuma memungut Samolo seorang sebagai muridnya. Itu pun terpaksa dilakukan demi melacak jejak seorang murid Krakatau yang telah ingkar dan murtad, yang kemudian ternyata murid murtad yang harus dihukum itu adalah ayah kandung Samolo sendiri. Sebuah pertarungan hebat antara dua saudara perguruan Krakatau itu terjadi, tepat pada saat gunung Krakatau meletus dengan teramat dahsyatnya. Seluruh pesanggrahan perguruan itu musnah bersama pendekarpendekar perkasa itu. Samolo terdampar setelah digulung ombak raksasa. Ditolong oleh Tuan Tanah Kedawung, yang sedang mengungsi di sebuah wihara yang secara ajaib luput dari sapuan ombak yang menelan seluruh pesisir pantai Bantai hingga jauh ke tengah. (Kisah ini dapat dibaca dalam novel “KRAKATAU”). Meskipun memiliki ilmu beladiri yang cukup tangguh, Samolo tetap rendah hati. Ia tak pernah mempertontonkan kebolehannya itu di hadapan siapapun, meski kepada para maling kerbau sekalipun. Bagi kasir Samirun, sikap Samolo yang pendiam dan taat beragama itu, membuatnya agak segan dan selalu raguragu mendekati. Paling-paling ia hanya bicara seperlunya pada saat membayar gaji centeng itu. Itu pun Samolo tak pernah memintanya. Bagi Samolo sendiri bukan ia tidak mengetahui sepak terjang Samirun bersama para begundalnya itu di luaran. Namun ia enggan melaporkan hal itu kepada majikannya, sebab ia tak mau menyusahkan hati Tuan Tanah yang diketahuinya berpenyakit lemah jantung itu. Maka sering uang gajinya diberikan kepada para penunggak hutang, agar tidak jadi korban pemerasan Samirun dan Mandor Sarkawi. Cuma sejauh itulah yang bisa dilakukan Samolo untuk sekedar menghindarkan persoalan yang bisa menjengkelkan dan merongrong hati majikannya. Bantuan terhadap para penduduk pun dilakukannya selalu secara diam-diam, dengan menyelinap dan menaruh uangnya di atas balebale atau meja penduduk pada saat si penunggak hutang tersebut sedang bekerja di sawah atau sedang tidur pada malam harinya. Tak seorang pun mengetahui perbuatan Samolo, dan ia pun tak ingin orang lain mengetahuinya, kecuali Nyi Londe, yang sangat akrab dengannya. Pengasuh Giran inilah yang selalu memperhatikan makan serta pakaian Samolo. Bila ada pakaian Samolo yang bolong atau koyak, dialah yang menjahitkannya. Nasib membuat keduanya menjadi akrab, seakrab dua orang bersaudara kandung. Bila Samolo sedang tak ada tugas lain, ia acapkali membantu memomong Giran, atau membelah kayu, atau bahkan menumbuk padi di emper dekat dapur itu bersama Nyi Londe yang biasanya sedang menyuapi Giran. Suatu sore Samolo dan Nyi Londe sedang menyuapi Giran di emper belakang. Samolo berhenti membelah kayu karena mendengar suara tertawa cekikikan seorang perempuan dari balik pohon mangga yang tumbuh di halaman belakang gedung itu. Nyi Londe dan Samolo diam-diam memperhatikannya. Tampak Nyonya Muda Tuan Tanah yang centil itu sedang berdekapan dengan mesranya dengan Samirun. Samar-samar terdengar Subaidah berkata setengah berbisik, “Tiga hari lagi usia Mirta genap tiga tahun, Bang... Aku pikir mau merayakan ulang tahunnya. Hadiah apakah yang akan Abang berikan kepada anak kita itu nanti?” “Sebuah kalung. Untukmu hadiahnya pasti lebih istimewa.” Kata Samirun sambil mencubit pipi kekasih gelapnya ini. Subaidah tertawa cekikikan lagi sambil balas mencubit lengan Samirun dengan genitnya. Lalu sambil bergandengan keduanya masuk ke dalam gudang... Samolo dan Nyi Londe tertegun. Pemandangan yang baru saja dilihat dan didengarnya betul-betul sangat mengejutkan mereka. Gejala-gejala main gilanya kedua insan itu sebenarnya sudah lama diterka oleh Samolo dan Nyi Londe. Namun mereka tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa penyelewengan nyonya muda majikannya itu sudah demikian jauh dan sudah di luar batas. Dan kini mereka baru tahu, bahwa sesungguhnya Mirta adalah hasil benih penyelewengan dua makhluk tak bermoral itu. Samolo dan Nyi Londe baru sadar kini, mengapa wajah Mirta beda benar dengan Tuan Tanah, bahkan wataknya yang keras suka ngamuk dan tak mau diam bila belum diberi uang. Kerakusan terhadap uang yang sudah terlihat dalam usia sekecil itu betul-betul aneh. Namun jelas roman muka dan watak Mirta adalah duplikat dari Samirun sendiri. Anak itu terlalu dimanja oleh ibunya. Apa saja kemauannya tak pernah tidak dituruti. Tuan Tanah sendiri sering menggeleng-gelengkan kepala dan mengurut dada melihat watak “Si Bungsu” yang menguji kesabarannya. Samolo dan Nyi Londe jadi merasa sangat kasihan kepada nasib majikannya. Namun apa yang dilihat dan didengarnya sore itu tetap tersimpan rapat-rapat di dasar hati Samolo dan Nyi Londe. Mereka sama-sama berjanji, demi keutuhan rumah tangga majikannya, lebih baik rahasia itu pecah di perut dari pada pecah di mulut. Waktu berjalan terus, lima belas tahun telah berlalu. Kini Giran dan Mirta sudah sama-sama tumbuh jadi pemuda-pemuda dewasa. Watak serta fisik Mirta makin mirip Samirun. Namun tak seorang pun berani menggunjingi persoalan itu, karena tak sampai hati menyudutkan wibawa Tuan Tanah yang sangat bijaksana itu. Mirta sebagai putra kesayangan nyonya Tuan Tanah yang berkuasa, tiap hari cuma keluyuran menggoda gadis-gadis desa. Mandor Sarkawi merupakan pengawalnya yang sama brutalnya, makin menambah resahnya para penduduk desa Kedawung. Sebagai anak orang mampu, apalagi ayahnya adalah seorang berpendidikan, Giran dan Mirta disekolahkan di sebuah sekolah cukup terpandang saat itu. Letaknya cukup jauh, di Tangerang. Samolo-lah yang setiap hari mengantar dengan delman pribadi. Namun Mirta sering bolos. Ada saja alasannya, sakit kepala atau sakit bisul paling sering dijadikan alasan untuk tidak masuk sekolah. Ayahnya selalu memarahi dan menegur kemalasan putra bungsunya itu. Namun sang ibu senantiasa memanjakannya hingga lama-kelamaan Tuan Tanah pun memasa-bodohkannya. Tak heran akhirnya Mirta jebol sekolah karena berkali-kali tidak naik kelas. Makin liarlah pemuda ini, berkeliaran sepanjang hari bersama mandor Sarkawi. Tuan Tanah makin sering mengurut dada melihat kelakuan “putra” bungsunya kini. Sebaliknya prestasi sekolah Giran sungguh membanggakan hati ayahnya. Namun pemuda tampan ini tak pernah menjadi manja, apalagi besar kepala. Ia selalu bersikap wajar dan lugu. Penampilannya sangat sederhana sebagai putra seorang Tuan Tanah yang sangat kaya raya dan berpengaruh di desa itu. Giran pun sangat berbakti dan patuh kepada kedua orang-tuanya. Ia sangat sayang kepada Mirta. Setiap pulang sekolah selalu ada saja makanan yang dibeli untuk adiknya itu. Untuk melanjutkan sekolahnya Giran terpaksa harus pindah ke Batavia. Tinggal di asrama sekolah. Pada masa liburannya yang pertama, Giran pulang menengok orang tuanya di Kedawung. Namun betapa sedih hatinya, ternyata ayahnya sedang dalam keadaan sakit. Ketika baru saja ia turun dari delman, Samolo sudah menyambutnya dan memberi tahu tentang keadaan kesehatan sang ayah kepadanya. Giran bergegas masuk ke dalam kamar orang tuanya. Dilihatnya orang tua itu terbaring dengan wajah pucat di pembaringan. Ibunya dengan berseri-seri masuk juga ke dalam kamar itu. Giran mencium lengan ayahibunya, duduk di sisi pembaringan. “Mengapa ibu tidak memberi kabar kalau ayah sakit?” Subaidah agak gugup. Ayahnya cepat berkata sambil tersenyum. “Ibumu tak mau mengganggu sekolahmu, Giran. Lagi pula sakit ayah tak seberapa. Dokter cuma menasihati agar banyak istirahat. Tidak apa-apa, beberapa hari lagi pasti sembuh.” Namun Giran merasa cemas juga, hampir setiap hari ia merawat dan menjaga ayahnya. Sementara itu, pertemuan Subaidah dan Samirun makin kerap terjadi. Malam itu kedua insan tak bermoral itu bermesraan di dalam gudang, tempat pertemuan rahasia mereka. “Bagaimana dengan keadaan tua-bangka itu hari ini? Hati-hatilah dengan anaknya itu” terdengar suara Samirun. “Jangan khawatir. Bocah itu terlalu polos dan sangat patuh kepadaku. Si tua-bangka itu lambat laun pasti pessss...!” Kata Subaidah sambil tertawa terkikih-kikih. “Bubuk obat yang Abang berikan itu, telah kucampur dalam buburnya setiap pagi. Itu sudah berlangsung setengah tahun, tapi kok belum apa-apa...!?” “Sabar saja. Bubuk itu memang kerjanya lambat tapi pasti...!” kata Samirun tenang sambil mengepulkan asap rokoknya. “Agar kematiannya nanti terlihat wajar.” Sambungnya dingin. Saat itu sesosok bayangan tinggi besar tegak terpaku di luar jendela. Wajahnya tampak berkilat karena basah oleh peluh. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Hampir saja ia mendobrak daun jendela itu, menyeret kedua manusia keji tersebut dari dalam kamar lalu melumatnya tanpa ampun. Namun Samolo berusaha menekan gejolak amarahnya. Ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan majikannya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat bagaikan kucing. Ringan dan gesit tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Beberapa detik kemudian ia sudah mengetuk jendela emper bilik Nyi Londe. Pengasuh Giran ini keluar dan Samolo segera memberi tahu tentang rencana busuk Subaidah dan Samirun yang berhasil didengarnya tadi. Kening Nyi Londe yang mulai keriput ini tampak makin berkerut. “Keji! Betul-betul keji!” gumamnya. “Kedua setan itu harus dilenyapkan sekarang juga.” bisik Samolo sambil mengeretakkan giginya. Sinar matanya tajam berkilat penuh dendam. “Itu justru akan menambah parahnya sakit Den-Besar. Beliau sangat mencintai perempuan durjana itu. Itulah sulitnya” “Tapi nyawa Den-Besar harus diselamatkan, Nyi!” “Tentu! Tapi masih ada cara lain!” “Cara bagaimana?” “Menukar bubur itu sebelum disajikan kepada DenBesar. Ini memang merepotkan dan sulit. Karena Subaidah-lah yang selalu menyajikan bubur itu” kerutkerut di kening Nyi Londe tampak semakin nyata. “Yang penting, kalau saja aku bisa menciri penyimpan bubuk racun itu” katanya perlahan. “Jika caramu tak berhasil, terpaksa carakulah yang digunakan!” kata Samolo mantap. Esok paginya, Nyi Londe sudah siap dengan bubur panasnya, tatkala Subaidah mengambil sepiring untuk disajikan kepada suaminya. Pada saat Subaidah membubuhi “bumbu” pada bubur tersebut, Nyi Londe diam-diam sudah siap dengan sepiring bubur lainnya. Ia pura-pura sibuk tapi matanya memperhatikan gerakgerik nyonya majikannya itu. Subaidah mengambil sebuah botol kecil dari balik pending emasnya, lalu isinya yang berupa bubuk putih itu ditaburkan sedikit ke dalam bubur. Botol kecil itu di masukkan kembali ke dalam pendingnya. Mata Nyi Londe memperhatikan semuanya. Tepat ketika Subaidah menuang minuman dari poci di atas meja teh itu, Nyi Londe segera menukar piring bubur itu dengan piring bubur yang telah dipersiapkan olehnya. Tanpa curiga Subaidah membawa piring bubur tersebut ke dalam kamar tidur Tuan Tanah. Nyi Londe bernapas lega, lalu membuang bubur yang telah dibubuhi serbuk racun berdaya lambat itu ke dalam selokan. Demikianlah pertolongan Nyi Londe dalam usaha menyelamatkan nyawa majikannya, yang dilakukan setiap pagi dan sore hari. Itu berlangsung terus sampai berbulan-bulan lamanya. Tiga bulan kemudian, Giran pulang liburan sekolah untuk kedua kalinya. Dilihatnya sang ayah masih terbaring sakit, namun keadaannya tidak seburuk dulu lagi. Wajah orang tua itu nampak merah dan segar. Yang dikeluhkannya cuma rasa perih di perut, yang kadangkadang menyerang dengan hebatnya. Menurut Dokter yang khusus datang dari Batavia seminggu sekali itu, ayah Giran menderita radang usus dan lambung yang cukup akut. Namun kini keadaannya sudah mulai berangsur membaik. Kecuali tekanan darah tingginya, perlu pengawasan terus menerus. Terutama penyakit “lemah jantung”-nya itu. Giran benar-benar merasa terharu melihat ketelatenan ibunya merawat ayahnya. Selama Giran berada di rumah, ibunya seakan-akan tak pernah beranjak dari sisi pembaringan, merawat serta mengurus ayahnya dengan penuh kesetiaan dan kasih sayang yang nampaknya begitu tulus. Hal itu membuat Giran makin menghormati dan menambah tebal perasaan kasihnya terhadap ibu tirinya itu. Bahkan menganggap ibunya adalah cermin dari tipe seorang istri yang begitu agung dan sempurna. Di hatinya selalu berangan-angan, bila kelak ia beristri, gadis itu haruslah mirip denga sikap serta perilaku ibunya. Betapa pandainya Subaidah berperan dalam sandiwara yang skenarionya dibuat secara matang oleh Samirun, kasir yang cerdik dan amat pandai mengatur taktik dan strategi, dalam usahanya merebut kekuasaan serta seluruh harta kekayaan Tuan Tanah berpengaruh di Kedawung itu. Sebenarnya keadaan ayahnya yang kini sudah nampak tua dan berpenyakitan, telah membuat Giran banyak berpikir. Ia merasa dibebani tanggung jawab sebagai putra sulung, untuk membantu meringankan penderitaan ayahnya itu. Kini sudah waktunya bagi Giran untuk bertindak sebagai wakil sang ayah mengurus seluruh usahanya. Sebuah pabrik penggilingan beras di Mauk milik ayahnya itu kini nyaris terbengkalai. Sejak ayahnya sakit, usaha tersebut tak terawasi lagi, hingga pihak Pemerinta Hindia Belanda yang mengontrak hasil beras dari penggilingan tersebut sudah beberapa kali menegurnya dan yang terakhir ingin menyitanya pula. Pengurus yang diserahkan tugas untuk mengelola Pabrik penggilingan beras itu pun ternyata kurang cakap, bahkan diketahui kemudian, pengurus itu telah memakai uang kas pabrik untuk mengawini seorang gadis setempat dan membelikan perhiasan yang mahal sebagai maskawinnya. Mendengar laporan tersebut, ayah Giran benar-benar naik pitam, dan penyakit jantungnya kumat lagi. Samirun diperintahkan untuk mengurus kasus korupsi tersebut dan agar si pengurus itu diseret kepada yang berwajib untuk diadili. Tapi di luar tahunya, rupanya Samirun telah memanfaaatkan kejadian itu dengan memeras si pengurus. Akibatnya kasus korupsi tersebut tetap membeku. Dan pabrik penggilingan beras terus berjalan tersendat-sendat. Giran segera mengambil alih persoalan pabrik penggilingan beras itu. Pada suatu hari dengan diiringi Samolo, ia pergi ke pabrik itu dan memeriksa seluruh pembukuannya. Diketahuinya secara pasti serta dengan bukti-bukti yang nyata tentang penyelewengan karyawannya itu. Maka kasus yang amat merugikan perusahaan serta nama baik ayahnya itu, segera dilimpahkan kepada pihak yang berwajib. Si pengurus yang korup itu telah ditindak melalui pengadilan yang cukup bertele-tele dan makan waktu. Akibatnya Giran pun terpaksa harus berhenti sekolah. Dan hal ini pun sebenarnya yang diharapkan Giran, agar bisa sepenuhnya membantu ayahnya. Namun Samirun yang licik itu dapat lolos dari libatan tali hukum berkat kecerdikannya, dan tanpa menimbulkan prasangka serta curiga siapapun. Di hadapan mata Giran, kasir ini tetap adalah seorang pegawai yang berpredikat baik. Samolo hampir saja melucuti kedok kasir licik ini, kalau saja ia tidak mau berpikir panjang, khawatir buntut persoalan ini akhirnya akan mengungkap masalah kehormatan keluarga majikannya. Centeng ini terpaksa harus menelan segala kedongkolan hatinya sendiri. Giran kini secara serius mengambil alih pengurusan seluruh perusahaan ayahnya. Merombak segala sesuatu yang selama ini terbengkalai. Maka dalam waktu yang relatif singkat, perusahaan penggilingan berasnya sudah mulai berjalan lancar lagi. Juga beberapa perkebunan milik keluarganya itu turut dibenahi dengan tuntas. Ia tak segan-segan lagi memecat karyawan yang tidak disiplin, apalagi yang terbukti berlaku tidak jujur. Tenaga-tenaga baru pun ditambah dari para penduduk desa Kedawung, dengan upah yang cukup memadai. Kebijaksanaannya itu mendapat sambutan simpatik dari para penduduk, yang selama ini hidup dalam kemiskinan, karena mereka kebanyakan memang para penganggur. Perubahan besar itu sangat menggembirakan ayahnya. Tuan Tanah ini merasa bahagia mempunyai seorang putra yang patut dibanggakan. Sebaliknya bagi Samirun dan Subaidah, kemunculan Giran sebagai penerus dinasti Tuan Tanah yang penuh kharisma itu, justru menjadi duri di dalam dagingnya. Mereka mulai berkasak-kusuk secara rahasia, merencanakan suatu taktik baru untuk menyingkirkan sang penerus yang jadi penghalang ini. Dalam waktu-waktu senggang, Giran selalu memanfaatkannya untuk bercengkerama dengan para penduduk. Di antara yang sering dikunjunginya adalah Ki Kewot. Petani tua ini sekarang lebih banyak berada di gubuknya, hanya kadang-kadang saja turun ke sawah untuk mencangkul dan mengurus sawah milik Tuan Tanah. Giran tak pernah lupa mencangking bungkusan bila berkunjung ke gubuk orang tua itu. Sekedar oleholeh untuk Ki Kewot dan Ratna, putri cilik yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat rupawan. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa akhir-akhir ini Giran sangat rajin bertandang ke gubuk orang tua itu. Samolo yang selalu setia mengawalnya, kadang-kadang suka tersenyum sendiri melihat tingkah majikan mudanya yang masih serba rikuh bila berhadapan dengan gadis rupawan itu. Namun sikap canggung dan salah tingkah itu menjadi hilang setelah hubungan kedua muda-mudi tersebut semakin intim. Dan senyum Samolo pun berganti dengan sebuah harapan serta doa di hatinya. Semoga putra sulung majikannya ini bisa mewarisi sifat serta keluhuran budi sang ayah. Kecuali nasib buruk sang ayah sebagai suami yang dikhianati istrinya itu, tidak menurun kepadanya. Perkembangan perilaku Giran yang agaknya mulai diresapi getaran cinta remaja itu, selalu diberi tahu Samolo kepada Nyi Londe. Pengasuh yang amat setia itu selalu berbinar bola matanya, mendengar kisah asmara putra asuhannya yang teramat disayanginya itu. Hati kedua abdi yang setia ini senantiasa berdebar, menanti perkembangan asmara itu dengan penuh perhatian. Seakan-akan mereka berdualah yang akan mengambil menantu. Pada suatu hari, sepulangnya Giran mengantar dokter yang merawat ayahnya ke Batavia, ia berpapasan dengan Ratna yang baru saja pulang dari sungai mencuci baju. Gadis ini berjalan beriringan dengan teman-temannya sambil bercanda. Melihat Giran datang, teman-teman Ratna segera menggoda. “Ratna, Arjunamu datang tuh. Hi... hi... hi...” Sambil tertawa terkikih-kikih gadis-gadis desa itu berlalu sambil berlenggang-lenggok dengan bakul cucian di pinggulnya masing-masing. Ratna tertawa lalu tertunduk dengan wajah memerah jambu. Giran menghentikan kuda keretanya. “Ratna, habis mencuci baju?” Ratna mengangguk, masih tertunduk. “Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya Giran lembut. “Baik,” jawab Ratna perlahan dengan masih tertunduk. Giran mengambil sebuah bungkusan dari dalam keretanya, ditaruhnya di dalam bakul cucian Ratna. “Ada sedikit oleh-oleh untukmu dan ayahmu,” ujar Giran sambil tersenyum memandang gadis ayu ini. “Terima kasih, Den...” kata Ratna tersipu, mengangkat wajahnya memandang Giran sejenak lalu tertunduk lagi. Ia tersenyum manis, pipinya tampak semakin merah seperti bunga mawar. Kemudian sambil mengempit bakul cuciannya ia melangkah pergi. Giran memandangi tubuh semampai yang molek itu, lalu naik ke atas kereta, menarik tali les kudanya dan berangkat pulang. Tidak jauh dari situ, tampak Mirta ditemani mandor Sarkawi memandangi pertemuan Giran dan Ratna itu dari balik pohon. Mata Mirta tampak merah membara. Sarkawi segera mengipasi bara api kebencian yang sudah lama mencekam di mata dan hati pemuda ini. “Rupanya abang Den Mirta ada hasrat juga terhadap ‘anak ayam’ Aden yang botoh itu. Kalau kalah cepat, bisabisa diserobot lebih dulu sama dia.” Ujar Sarkawi memanasi. “Kurang ajar! Dia memang selalu memuakkan aku.” geram Mirta sambil memukul batang pohon dengan tinjunya. Lalu dengan langkah lebar mengejar Ratna yang berjalan di atas pematang sawah. Sarkawi berjingkrak mengikuti pemuda brandal itu. Cepat sekali Mirta sudah berada di sisi Ratna. Gadis itu dengan wajah cemberut berusaha menghindar. Ia merasa muak melihat pemuda binal ini yang sering kali mengganggunya. Mirta tertawa sambl mencolek bahu Ratna yang menghindar dengan mempercepat langkahnya. “Ke udik membawa lembing, Ke kota membopong senapan, Jika adik merasa berat menjinjing, Biar abang tolong bawakan... “ Mirta menggoda dengan rayuan pantunya. Sarkawi tertawa terbahak sambil lompat menghadang Ratna yang lari menghindar. Mandor bertubuh gempal ini pun ikut-ikutan berpantun sambil mencegat Ratna. “Et... Et! Kelapa muda, kelapa cengkir, Jangan ditaruh di atas tatakan. Kenapa Nona pergi menyingkir? Jangan bikin hati Den Mirta berantakan!” Mirta nyengir sambil menepuk bahu sang Mandor. “Bagus, Wi! Lusa gua persen se-gobang lu!” Sarkawi tertawa lagi sambil terus berusaha mencegat Ratna. Mirta mendekati gadis ini yang mulai makin ketakutan dan hampir menangis. “Berliku-liku sungai Ciliwung. Anak dara berdayung sampan. Jikalau Adik menjadi burung, Biarlah Abang menjadi dahan.” Mirta berpantun lagi. Mata Ratna mulai berkaca-kaca karena cemas dan marah. Mirta malah makin berani dan lancang tangan. Dipegangnya lengan Ratna yang meronta ketakutan. “Kenari si burung Kenari, Kenari terbang ke hutan lebat. Mari, marilah jantung hati, Hati abang aduh... sudah ngebet” Dengus Mirta dengan pantunya sambil mencoba mencium pipi gadis itu. Ratna melempar bakul cuciannya ke tubuh Mirta, lalu lari menelusuri galangan sawah. Mirta tercengang sejenak, kemudian lari mengejar. Sarkawi hendak ikut mengejar tapi matanya tiba-tiba tertumbuk pada bungkusan oleh-oleh dari Giran yang tercecer di antara cucian Ratna itu. Dipungutnya bungkusan tersebut dan dibukanya. Matanya nanar memandang sehelai kain sutera berwarna hijau muda. Dan sebuah cangklong tembakau terbuat dari gading gajah yang semuanya tampak berharga sangat mahal. Sarkawi tertawa kegirangan, segera menyimpan barang-barang itu ke dalam bajunya. Kemudian dengan berlompatan ia menyusul Mirta. Saat itu, Ki Kewot masih berada di tengah sawah sedang mencangkul. Lengannya tiba-tiba tampak jadi makin gemetar ketika dilihatnya putrinya berlari-lari ke arahnya sambil menangis. Sementara di belakangnya tampak dua laki-laki mengejarnya. Dari jauh jeritan Ratna memanggil-manggil ayahnya sudah terdengar. Sebelum rasa heran dan bingung kakek ini lenyap, putrinya sudah merangkul tubuh tuanya dengan gemetar lalu menyelinap di belakangnya. Mirta dengan napas memburu tiba di tepi sawah, disusul kemudian oleh Sarkawi. “Oh, Den Mirta dan Bang Mandor...!” Sapa Ki Kewot dengan hormatnya. “Ada apa? Maafkanlah kalau anak ini telah berlaku kurang tahu adat. Maklumlah kami orang bodoh. Maafkan Den” Mirta dengan angkuh berdiri bertolak pinggang di atas pematang sawah. Matanya jalang menatap Ratna yang berdiri ketakutan di belakang tubuh ayahnya. Sarkawi yang berdiri di samping Mirta segera berkata, “Hei Ki! Ente patut mengucap syukur ke Gusti yang kuasa. Karena nasib kalian bakal ketiban rejeki nomplok. Bolehnya Den Mirta bisa nyungsep hatinya begitu melihat Ratna. Berapa banyak anak-anak perawan pada ngantri ingin jadi mantu Tuan Besar tapi dilirik pun kagak sama Den Mirta” Mirta tersenyum bangga mendengar sesumbar si Mandor. Ki Kewot mendengus kecil berusaha menyembunyikan kemuakannya melihat tingkah kedua orang yang selalu membuat onar itu. Dituntunnya tangan Ratna. Sambil memanggul cangkulnya petani tua itu beranjak dari tengah sawah naik ke atas tanggul untuk pulang. Mirta tampak tak senang, ia memberi tanda dengan kerlingan matanya kepada Sarkawi. Serta-merta Mandor ini segera lompat menghadang si Kakek serta putrinya itu. “Nanti dulu! Mau apa sih buru-buru pulang, Ki? Tahu diri sedikit, ah.” tegur Sarkawi dengan gaya menggertak. “Maaf mandor, kami orang bodoh. Takut nanti berbuat salah lagi. Ijinkanlah kami pulang.” Kata Ki Kewot memohon. Mirta tiba-tiba menarik lengan Ratna dan diseretnya dengan paksa ke arah sebuah dangau tempat berteduh para petani yang dibangun di tepi tanggul itu. Ratna menjerit minta tolong kepada ayahnya sambil meronta berusaha melepaskan diri. Ki Kewot jadi panik, namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, lengan Sarkawi telah memiting lehernya dan sebelah lengannya dipelintir lalu tubuhnya dibanting ke tanah. Tanpa kenal kasihan mandor segera menduduki tubuh petani tua itu yang siasia meronta tak berdaya. Lebih celaka lagi kaki Sarkawi dengan seenaknya menginjak kepala orang tua itu, hingga mulutnya terbenam penuh lumpur, tak mampu bersuara. “Lepaskan...! Lepaskan... Tolooooongg...!” jerit Ratna sambil terus meronta dan berpegangan kuat-kuat pada tangga dangau. Mirta bagaikan hewan lapar berusaha menyeret mangsanya ke dangau itu. Ki Kewot mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membebaskan diri dari tindihan tubuh Sarkawi yang gempal itu. Namun usaha kakek renta ini sia-sia. Malah kaki Sarkawi makin keras menginjak kepalanya. “Tenang, Ki, tenang! Kenapa sih lu suka ngalangngalangi kesenangan anak-anak muda. Ente kan pernah muda dulu!” bentak Sarkawi dengan kurang ajar. Tepat pada detik itu, sebuah tendangan telak menghantam punggung mandor, hingga tubuhnya terlontar dan terguling ke dalam sawah. Sesosok tubuh tinggi besar yang tiba-tiba sudah tegak di situ, segera membangunkan Ki Kewot. Kakek ini segera memburu ke arah dangau untuk menolong putrinya. Tarik-menarik terjadi. Namun akhirnya Mirta kalah tenaga, langsung jatuh ke dalam lumpur sawah. Ki Kewot segera menarik lengan Ratna lari meninggalkan tempat itu. Sarkawi dengan menahan sakit merayap naik ke atas tanggul sawah, matanya nanar mencari si pembokong tadi. Punggungnya terasa remuk seperti diseruduk kerbau. Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar menegurnya. “Jangan membuat keonaran, Wi! Den-Besar sedang sakit. Kau tahu itu, bukan?” Sarkawi terkejut, karena ia kenal benar dengan suara berat itu. Kemudian dilihatnya sesosok bayangan tinggi besar berkelebat dari bawah pohon, dan lenyap di tikungan jalan yang ditumbuhi semak-semak. Sarkawi meludah sambil mengumpat dengan geramnya, “Bangsat! Awas lu Samolo. Gua hirup darah lu.” Dengan tertimpang-timpang ia bangkit, menghampiri Mirta yang masih meronta-ronta terbenam di dalam lumpur. Ketika tubuh pemuda itu diangkat, Sarkawi hampir tak dapat menahan tawanya. Wajah dan tubuh Mirta hitam legam berlumur lumpur sawah, persis seekor lutung. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 6 JERITAN Subaidah menggema di gedung Tuan Tanah, ketika nyonya muda ini melihat mandor Sarkawi masuk dengan memapah “seekor makhluk ganjil” ke dalam gedung. “Astaga, apa itu!” teriak Subaidah kaget. Dia lebih kaget lagi ketika mengenali putra kesa– yangannya itu. “Aduh Gusti, kenapa kau jadi begini, Mirta?” Mirta dengan suara memelas mengadu kepada ibunya. “Samolo, Bu. Ita enggak apa-apa, tahu-tahu dia mendorong Ita ke dalam sawah. Barangkali lagi pusing habis kalah main sintir.” “Sarkawiiii! Gegares gi lu ke dapur!” teriak Subaidah kalap sambil menuding hidung mandor Sarkawi yang berdiri dengan wajah meringis. “Apa kerja lu, ha? Lu takut sama si Samolo?” Sarkawi garuk-garuk kepala. “Bukannya saya keder sama dia, Nya Besar... Soalnya teman-temannya ikut-ikut mengeroyok. Tujuh yang saya bikin ngambang di kali Cisadane! Eh, Den Giran datang misahin.” Seorang pembantu membawa Mirta ke dalam untuk dimandikan. Wajah Subaidah tampak kecut karena marah. “Orang-orang keparat itu harus dilenyapkan secepatnya!” gumamnya penuh dendam. Lalu ia berpaling kepada Sarkawi. “Sini Lu!” “Y... ya, Nya Besar...” sahut si mandor dengan hati kebat-kebit, lalu mendekat sambil tertunduk-tunduk ke sisi nyonya majikannya. “Cepat lu panggil Den Kasir. Awas, bacot lu jangan bocor!” bisik Subaidah dengan nada mengancam. “Iya... eh... kagak Nya Besar...” Jawab Sarkawi gugup. Mandor ini segera keluar, tingkahnya mirip maling. Membuat Subaidah menyumpah-nyumpah di dalam hati. Nyi Londe sejak tadi pura-pura menyapu di luar jendela, padahal telinganya diarahkan ke dalam. Akhirakhir ini kewaspadaan dan kecurigaannya terhadap kelompok Subaidah dan Samirun makin menjadi-jadi, disebabkan seringnya orang-orang itu kasak-kusuk, agaknya merencanakan sesuatu. Pengasuh ini sangat mengkhawatirkan keselamatan Giran yang telah diasuh dan disusuinya sejak masih bayi. Ia tidak ingin sehelai rambut pun dari pemuda itu diganggu oleh ulah para durjana itu. Sesungguhnya semua ini merupakan suatu siksaan batin yang tidak ringan baginya. Malam itu tampak Samirun dan Sarkawi dengan hatihati bagaikan pencuri, menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar. Namun semua kelakuan kedua laki-laki itu tidak luput dari mata Samolo, yang sejak tadi mengintai dari balik tiang teras belakang gedung luas itu. Sebagai seorang centeng yang sudah mengabdi puluhan tahun, Samolo sangat hafal dengan setiap jengkal keadaan gedung itu. Dia tahu tempat mana yang paling tepat untuk bisa menguping perundingan orangorang itu. Maka dengan segesit seekor kucing, Samolo tiba-tiba melesat ke atas atap dari deretan kamar yang terletak di bagian samping kiri gedung. Lalu dengan gerakan yang amat ringan, tubuhnya bergelantungan di para-para kamar itu. Melalui jendela dilihatnya tiga orang itu sedang berunding dengan wajah serius. Samolo memasang telinganya. “Kenapa muka lu pucat? Takut?” terdengar suara Samirun sinis. “Kalau lu enggak sanggup, bilang saja terus terang, jangan sampai urusan ini jadi kapiran!” lanjut Samirun lebih sinis. “Den Kasir seperti baru kemaren sore saja kenal sama saya. Masa ragu sama si Sarkawi, jawara kesohor dari Pisangan ini?! Pokoknya asal syaratnya cukup. He... he... he...” kata Sarkawi sambil menggesek telunjuk dengan ibu jarinya. Samirun mendehem sambil melirik ke wajah Subaidah, seolah menunggu keputusan kekasih gelapnya itu. Subaidah mengangguk. Lalu Samirun berbisik di dekat telinga si Mandor yang mendengarkannya dengan serius namun tampak wajahnya semakin pucat. Meski suara bisikan itu hanya samar-samar ditangkap telinga Samolo, tapi sudah cukup membuat centeng ini menjadi terkejut dan geram. Mendadak dengan gerakan jurus “Musang Munggih” tubuh Samolo melesat ke atas atap lagi dan mendekam di situ, karena tepat pada detik itu Sarkawi melangkah ke luar dari kamar. Tak lama kemudian, mandor sudah datang lagi bersama Giran, masuk ke ruangan utama gedung itu. Disitu sudah menunggu Subaidah yang duduk menyambutnya dengan senyum lembut keibuan. “Ibu memanggilku?” tanya Giran dengan nada penuh hormat. “Duduklah, ibu ingin bicara padamu.” Giran duduk dengan patuh. Sarkawi berdiri dengan sikap agak gelisah di dekat pintu. “Begini Giran,” kata ibu tiri Giran itu dengan suara lembut, “Ibu mendapat laporan, sejak ayahmu sakit, sering terjadi pencurian kelapa. Coba kau berdua dengan Sarkawi pergi periksa kebun kelapa itu!” “Baiklah, Bu. Kami akan pergi memeriksanya!” Giran bangkit melangkah keluar pintu. “Mari, Wi. Kita berangkat sekarang!” ajaknya pada Sarkawi. *** Sinar bulan kadang-kadang menerobos di antara celah daun-daun kelapa. Semuanya tampak samar-samar. Giran dengan lampu baterainya memeriksa pohon-pohon kelapa itu. “Kebun kelapa ini cukup subur, tak terlihat tandatanda bekas dicuri orang. Iya kan, Wi?” kata Giran sambil terus menyoroti buah-buah kelapa. “Di sebelah dalam barangkali, Den” jawab Sarkawi sedikit gugup. Sementara matanya liar memandang ke sekitar penjuru kebun. Mereka masuk lebih dalam ke areal kebun kelapa. Sesaat kemudian, Giran duduk melepaskan rasa pegal pada kakinya di atas sebatang pohon kelapa yang tumbang. Tanpa curiga sedikit pun kepada gerak-gerik mandor Sarkawi yang selalu mengiringi di belakangnya itu. Mata Sarkawi tampak makin liar menatap ke sekitar tempat itu lalu ke leher Giran. Sementara lengannya dengan agak gemetar mulai meraba gagang goloknya yang selalu terselip di pinggangnya. Perlahan-lahan dicabutnya golok itu. “Ini waktunya buat menukar batok kepala bocah ini dengan duit tiga ringgit,” desahnya di dalam hati. Sarkawi mundur dua langkah membuat ancangancang, goloknya terhunus itu diangkatnya siap dibabatkan ke leher Giran yang masih duduk tenang membelakangi mandor yang sudah gelap mata ini. Mata golok itu terangkat tinggi-tinggi, berkilat diterpa cahaya obor. Tepat pada detik kritis itu, sebutir kelapa tiba-tiba meluncur dari atas dan tepat menghantam kepala Sarkawi. Maka tak ampun lagi tubuh mandor Sarkawi langsung tersungkur mencium bumi, berdebum mengejutkan Giran yang sedang duduk melamun. Pemuda ini melompat bangun, dilihatnya Sarkawi sedang menggelepar dan mendengus-dengus seperti kerbau disembelih, lengannya mendekapi kepalanya yang nyaris remuk tertimpa kelapa. “Kenapa kau, Wi?” tanya Giran sambil memegangi tubuh sang mandor dan meraba kepalanya yang benjol sebesar kepalan tinju. Giran baru menyadari bencana yang telah menimpa mandornya, setelah melihat sebutir kelapa tergeletak tidak jauh dari situ. Kini tubuh Sarkawi pun terdiam tak berkutik lagi. “Ya Allah! Dia pingsan tertimpa kelapa.” gumam Giran dengan iba. Giran segera memboyong tubuh Sarkawi yang cukup berat itu ke atas bahunya, lalu dibawanya pulang. Sementara itu, di atas sebatang pohon kelapa, sesosok tubuh tinggi besar mengawasi peristiwa itu dengan sorot mata marah. “Hmmm, dasar kerbau dungkul. Sudah semaput masih juga menyusahkan Den Giran. Manusia-manusia laknat itu memang harus cepat disingkirkan, agar tidak punya kesempatan lagi untuk mencelakai anak yang terlalu polos itu.” Demikian gumam di hati laki-laki perkasa itu yang segera merosot turun dari pucuk pohon kelapa. Namun hatinya merasa lega. *** Saat itu, di dalam ruangan utama, tampak “si tante girang” Subaidah dan “om senang” Samirun tengah menanti hasil rencana mereka. Subaidah tampak beberapa kali mondar-mandir melongok keluar jendela dengan gelisah. Samirun yang tetap tenang sambil mengepulkan asap rokoknya berusaha menghibur sang “Kekasih”. “Sabar, tenang saja. Sebentar lagi Sarkawi pulang dengan...” Belum lagi ucapannya berakhir, pintu tiba-tiba terbuka, tampak Giran masuk dengan tubuh Sarkawi tergendong di atas bahunya. Subaidah dan Samirun jadi ternganga dengan mata terbelalak. Giran meletakkan tubuh Sarkawi yang lunglai itu di atas bangku panjang. “Kasihan Sarkawi, dia pingsan tertimpa buah kelapa.” Giran menjelaskan kepada ibunya juga kepada Samirun yang sama-sama masih tertegun. “Tertimpa kelapa?!” tanya Samirun seakan-akan tak percaya dengan telinganya sendiri. “Untung tidak pecah kepalanya. Biarlah dia beristirahat dulu untuk beberapa hari. Paman Samirun, tolong berikan dia uang untuk berobat!” “Ba... baik, Den...” Tubuh Sarkawi tampak mulai bergerak, tapi matanya masih terpejam menahan rasa pening pada kepalanya. Subaidah dengan sikap khawatir segera menuang air di gelas lalu diberikan kepada Giran. “Sejak tadi ibu Aden selalu gelisah, karena khawatir akan keselamatan Aden. Maklum kini banyak pencuri berkeliaran di kebun kelapa” kata Samirun mencari kesempatan untuk menutupi kebusukan rencananya. “Nyonya memanggilku untuk menyusul Aden ke kebun. Tapi ternyata Aden sudah pulang lebih dahulu.” “Syukurlah kau tidak apa-apa!” Subaidah pura-pura menarik napas lega. Giran tersenyum, menaruh gelas air yang diminumnya itu di atas meja. Ia merasa terharu melihat kekhawatiran ibunya terhadap dirinya. “Ibu tak perlu cemas. Kebon kelapa kita itu pun tetap aman dari tangan-tangan para pencuri.” Kata Giran menghibur. Setelah mengucapkan selamat malam, Giran mengundurkan diri. Kedua wajah orang ini segera berubah kembali menjadi kaku. Kaki Samirun tiba-tiba melayang ke tubuh Sarkawi yang masih terlentang di atas dipan. Tergulinglah tubuh mandor ke lantai sambil mengaduh dan merintih kesakitan. Subaidah mengangkat poci berisi air teh panas dan dituang seluruhnya mengguyur kepala Sarkawi, hingga mandor sial ini makin kelabakan dibuatnya. “Waduh. Benar-benar jago jempolan, lu Wi! Pulang juga pakai dibopong segala, kayak anak kecil habis kepicirit” Ejek Samirun dengan acungan jempolnya, sedang amarahnya makin meluap. Kembali ditendangnya Sarkawi dengan sekuat tenaga. Sarkawi menggeliat mengaduh lagi, memegangi pinggangnya yang terkena sasaran terompah Samirun. “Sundel! Kenapa lu kagak mampus aja sekalian?!” bentak Samirun makin kalap. Tangannya mencabut pistol yang terselip di pinggangnya. “Lu bikin kucar-kacir gua punya rencana. Lu minta dipersen biji melinjo?!” pistol itu ditodongkan ke kepala Sarkawi yang jadi gemetar ketakutan. “A... a... ampun Sir...! Saya lagi ketiban sial rupanya nih...” ratapnya dengan memelas. “Awas...! Kalau mulut lu bocor, sampai orang tahu... Gua jeder batok kepala lu...! Lu belum kenal siapa Samirun ya!” ancam kasir ini sambil menimang-nimang pistolnya. “Busyet dah. Masa saya kagak kenal sama Den Kasir! Kita kan sahabat lama, cuma nasib saja yang beda. Maka jangan galak-galak, ah! Hi Hi...!” bujuk Sarkawi meringis menahan sakit. “Eh, apaan cengar-cengir? Lu kira gua main-main?! Gua tembak, muncrat benak lu! Mau?” bentak Samirun. Ujung pistolnya ditempelkan ke pelipis Sarkawi yang jadi pucat seketika. Subaidah mendengus, merasa muak menyaksikan adegan itu. “Sudah sudah! Bisanya cuma ngebacot melulu. Huh sebal!” Ia melangkah ke luar ruangan dengan wajah masam. Samirun buru-buru membujuknya. “Sabar Baidah, kita masih punya kesempatan lain.” Tapi Subaidah seakan-akan tidak mendengar, terus berjalan menuju ke ruangan kamar tidurnya sendiri. Samirun jadi semakin kebingungan, dimakinya lagi Sarkawi habis-habisan untuk melampiaskan kedongkolannya. Tapi dasar wataknya memang bebal, mandor ini cuma cengengesan saja, mirip monyet mabuk terasi. *** Bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut keperakan. Serangga malam mengisi keheningan suasana malam itu dengan tembang-tembang yang membangkitkan rasa pukau manusia terhadap seluruh kegaiban alam. Pada keheningan malam yang terasa syahdu ini, ada sepasang muda-mudi sedang memadu kasih di bawah sebatang pohon rindang di tepi sungai, tidak jauh dari gubuk Ki Kewot. Kedua insan remaja ini ialah Giran dan Ratna. Terdengar suara Giran berkata agak gemetar. “Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu Ratna...” “Apa itu, Kak?” tanya Ratna perlahan, meskipun hatinya sudah dapat meraba, apa yang hendak dikatakan oleh pemuda yang duduk di sisinya itu. Namun ia menunggu dengan hati berdebar. Keheningan yang sejenak itu terasa begitu lama baginya. “Maukah kau menjadi istriku?” perlahan sekali suara Giran, namun bagi telinga Ratna kata-kata itu terdengar sebagai gaung dari sebuah gong raksasa, yang seakanakan bergema ke seluruh dunia. Begitu merdu dan menggetarkan kalbunya. Ratna berpaling menatap wajah pemuda pujaannya dengan mata berkaca-kaca. Giran balas menatapnya dan terkejut, memegang kedua pipi Ratna dengan kedua lengannya. “Ratna, kenapa kau menangis...? Apakah kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu?” tanya Giran hati-hati. Ratna menggeleng, air matanya makin deras jatuh berderai, tapi bibirnya tersenyum. “Aku sangat bahagia, Kak” ucapnya sambil merebahkan kepalanya di dada Giran yang bidang. Malam semakin hening. Suara nyanyian serangga malam terdengar semakin merdu pula. “Tapi Kak... kau pasti menyesal kelak. Aku hanyalah gadis desa yang miskin lagi bodoh. Apa kata orang-orang nanti? Terutama kedua orang-tua kakak sendiri?” kata Ratna masih dalam haribaan Giran. Giran membelai kepala gadis yang sangat dicintainya itu dengan lembut, lembut pula kata-katanya. “Kau telah merupakan sebagian dari hidupku. Tanpa kau, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Apapun yang terjadi kelak, aku pasti akan selalu mendampingimu dengan setia, tanpa keluh dan sesal. Percayalah, Ratna” Janji Giran ini membuat Ratna jadi semakin terharu, dan tanpa kata-kata yang dapat melukiskan dan mengungkapkan perasaannya pada saat itu. Pemuda semacam tipe Giran memang bukanlah pemuda yang pandai merayu, semua kata-katanya terlontar dari dasar hati nuraninya yang murni. Ratna pun sudah menyelami watak pemuda itu, maka ia rela menyerahkan seluruh hidupnya kepada pemuda idamannya itu. Andaikata ia harus berkorban nyawa pun ia tak kan ragu. Ia bersumpah di dalam hati, akan menjadi istri paling setia bagi Giran, setia sampai mati. Malam bertambah larut. Giran mengantar Ratna sampai ke muka gubuknya. Ia cuma berani mencium ujung rambut kekasihnya, meskipun barangkali Ratna sendiri mengharapkan lebih dari itu, karena sesungguhnya malam itu merupakan malam paling indah yang patut dikenang selama hidupnya. Namun sentuhan lembut hidung Giran pada rambutnya, cukup membuat jantung Ratna berdebar dan tergetar. Itu berlangsung lama sampai Giran meninggalkan gubuk itu, diiringi Samolo yang menunggu di kejauhan. Getaran itu masih juga menyesakkan dadanya ketika ia berdiri tersandar di belakang pintu. Bahkan masih terasa sampai bertahuntahun kemudian, jika peristiwa manis itu dikenangnya. Agak lama gadis ini tersandar di belakang pintu, menghela napas dalam-dalam dan tersenyum seorang diri. Rasanya bagaikan tengah bermimpi. Wajahnya yang masih ranum itu dijalari warna merah jambu. Suara batuk ayahnya yang ternyata masih belum tidur, tiba-tiba mengejutkannnya. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan dalam. Dilihatnya ayahnya sedang duduk di kursi dekat dapur sambil melinting rokok kawungnya. Sekali lagi orang ini mendehem penuh arti, membuat wajah Ratna terasa panas dan makin memerah. Ia tahu ayahnya memang sengaja sedang menunggunya di situ. “Kau tampak sangat gembira malam ini, Ratna” kata ayahnya sambil terus asik melinting rokok kawung. Ratna tertunduk, menggigit bibirnya. Sambil terbatuk dan mendehem kecil ayahnya lambat-lambat berkata. “Ayah semakin tua dan rapuh. Kadang-kadang ayah lupa bahwa kau kini sesungguhnya sudah dewasa. Adalah wajar setiap manusia harus menemukan jodohnya masing-masing... Ayah pun pernah muda, Nak. Jadi ayah pun tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatimu itu.” Wajah Ratna kian bertambah merah. Dengan perasaan haru ia bersimpuh di haribaan ayahnya. Lengan tua itu begitu lembut membelai kepala sang putri yang manja ini dengan penuh kasih sayang. “Giran seorang muda yang baik. Ayah percaya cintanya terhadapmu itu adalah suci” Hening sejenak, lengan tua itu terus membelai kepala Ratna. “Kalau saja ibumu masih ada, kau tentu akan lebih banyak memperoleh bimbingan serta nasihat-nasihat berharga, sebagai bekal hidupmu kelak.” Air mata Ratna berlinang-linang ke pipinya dan membasahi celana kusam ayahnya. “Tapi pesan ayah, batasilah pergaulanmu dengan Giran...! Kita harus tahu diri, Nak. Kita miskin dan bodoh, satu-satunya harta yang kita miliki hanyalah harga diri dan kehormatan sebagai manusia. Hanya itu! Sedangkan Giran, dia dari keluarga orang berada serta berpengaruh. Meski Giran pribadi tidak pernah mengagulkan diri karena itu. Bertaqwalah selalu kepada Tuhan, karena hanya Dia-lah yang menentukan jalan hidup segala makhlukNya” Ratna cuma bisa mengangguk kepala di haribaan Ayahnya. *** “APA katamu Giran? Kau mau kawin dengan Ratna, anak si Kewot, si tua renta itu?!” terbelalak mata Tuan Tanah memandang putra sulungnya dari kursi-malasnya. Giran mengangguk dengan mantap, semantap hatinya yang sudah siap menghadapi rintangan apa pun. “Sungguh-sungguhkah kau?” tanya Ayahnya dengan suara tinggi. Sekali lagi Giran mengiyakan dengan pasti. Tuan Tanah tersenyum memandang putranya yang sudah dewasa itu. “Bagus. Aku lamarkan Ratna untukmu hari ini juga! Kita rayakan pesta semeriah-meriahnya” Begitu mantap dan bersemangatnya suara Tuan Tanah ini. Subaidah melirik wajah Mirta yang tersandar di ujung meja dengan wajah masam. “Aku memang berharap bisa cepat punya mantu dan menggendong cucu. Ha ha ha...” Gembira sekali Tuan Tanah ini. Tentu saja yang paling gembira dan bahagia ialah Giran sendiri. Tuan Tanah tiba-tiba berpaling kepada istrinya. “Eh, kenapa diam saja, Bu? Kau juga tentu gembira, bukan Bu?” tanya Tuan Tanah kepada istri mudanya ini. Subaidah tersipu dan menjawab dengan gugup. “S... s... sudah tentu Pak! Siapakah yang takkan gembira menyambut hari bahagia itu? Saya akan menyiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya” katanya dengan senyum amat dipaksakan. Mirta melangkah keluar dengan wajah tak sedap dipandang. Sementara suara Tuan Tanah masih terdengar berbicara dengan Giran, membuat Mirta bertambah mual. Subaidah menyusul putranya keluar. Mirta berdiri di luar gedung dengan wajah cemberut. Didekatinya putra kesayangannya ini. “Bangsat! Dia rebut si Ratna dari tanganku” gerutu Mirta sambil bersungut-sungut. “Ibu tahu perasaanmu, Nak. Tapi kau masih terlalu muda untuk berumah tangga” bujuk ibunya. “Apakah si Codot Giran itu lebih dewasa, lebih pandai dariku? Huh! Dasar Ayah memang selalu pilih kasih!” gerutunya dengan termonyong-monyong. “Anak keparat itu memang selalu menyakitkan hatiku. Biarlah, Ita pergi saja dari rumah ini, daripada dihina begini!” “Sabarlah, Mirta. Ibu ada daya...” kata ibunya mendekat dan berbisik di telinga Mirta. Di luar kesadaran mereka, ada sepasang telinga lain yang menangkap pembicaraannya itu. Orang ini ialah Samolo yang berada tidak jauh dari tempat itu. *** MALAM telah larut, terdengarlah suara bergeletak lunak di pintu gubuk Ki Kewot. Sesaat kemudian di antara keremangan cahaya lampu teplok tampak dua sosok bayangan laki-laki menyelinap masuk. Ketika keduanya masuk ke dalam kamar tidur Ratna, dua lakilaki ini jadi menahan napas. Memandangi tubuh molek itu terbaring dengan nyenyaknya. Tampak salah seorang yang bertubuh gempal itu menelan liur. Ratna sekonyongkonyong terbangun dan sangat kaget melihat dua laki-laki bertopeng kain sarung itu berada di hadapannya. Ia menjerit, tapi si tubuh gempal itu segera mencabut golok mengancamnya. “Sssst, jangan ribut. Lihat apa ini!” bentaknya sambil menodongkan golok berkilat itu ke leher Ratna. Lalu tanpa ayal lagi kedua laki-laki bertopeng ini segera meringkus tubuh Ratna dengan selimut. Sia-sia gadis itu meronta dan menjerit, karena tubuhnya sudah dibopong dan dibawa kabur ke luar. Mendengar kegaduhan itu, Ki Kewot pun terbangun, memburu ke kamar putrinya. Tapi Kakek ini rubuh terjengkang diterjang dua penculik yang menerobos ke luar sambil membopong tubuh Ratna yang terbungkus kain selimut itu. “Setan! Lepaskan anakku!” teriak Ki Kewot dengan panik. Belum lagi tubuh tua ini merayap bangun, sebuah tendangan telah membuatnya terguling lagi. “Jangan gegoakan Ki. Sudah malam nih. Mending lu molor lagi dah!” hardik salah seorang dari penculik itu. Ki Kewot berkutat untuk bangkit, tapi ia cuma mampu merayap sambil berteriak-teriak. “Rampok...! Rampoook! Tolooooong!” pekiknya. Teriakan Ki Kewot memecahkan kesunyian malam, tapi apa daya, gubuk itu terpencil di tepi persawahan. Dua penculik itu kabur dengan leluasa menembus kegelapan malam. Ki Kewot berusaha mengejar, tapi ia jatuh tersungkur lagi di muka gubuknya. Dan penculik ini lari terus menerobos hutan jati dengan bungkusan berisi tubuh Ratna pada bahu salah seorang dari mereka. Berbareng dengan berdesirnya hembusan angin, muncullah dengan tiba-tiba sesosok tubuh tinggi besar menghadang di hadapan mereka. Kedua penculik ini dengan amat terkejut menghentikan langkahnya. Ditatapnya sosok tinggi besar itu. Di bawah kesuraman cahaya bulan tampak orang ini sangat mengerikan, seakan-akan sesosok jin penunggu hutan jati yang tiba-tiba muncul dari perut bumi. Kedua penculik ini tersentak mundur beberapa langkah. “Siapa di situ?” hardik si tubuh gempal agak gemetar. Bulan tiba-tiba muncul dari balik awan, kedua penculik ini berseru hampir berbareng. “Samolo!” “Dedemit! Lagi-lagi dia.” Sambung si tubuh gempal gemas. Ia meletakkan bungkusan berisi tubuh Ratna itu di tanah. Lengannya tiba-tiba sudah menghunus goloknya. “Lu selalu mau usil dengan urusan orang lain. Kali ini lu pasti mampus. Serbu!” teriak si tubuh gempal mengajak kawannya untuk mengeroyok penghalang itu. Si tubuh gempal langsung menerjang dengan sebuah sabetan ke arah dada Samolo, disusul pula dengan serangan temannya ke lambung centeng ini. Samolo dengan gesit berkelit sedikit. Bagaikan kilat telapak tangannya berkelebat menggocoh kepala si gempal. Menyusul pula tendangan menghantam perut si penculik yang seorang lagi. Maka dalam satu gebrakan saja, kedua penculik itu rubuh terjungkal ke bumi untuk tak bangun lagi. Samolo membebaskan tubuh Ratna yang pingsan itu dari bungkusan selimut. Dengan sebuah pijatan lunak pada sisi tengkuknya, gadis ini segera menggeliat siuman. Samolo segera beranjak ke balik pohon. Tepat pada saat itu, cahaya-cahaya obor tampak muncul dari kejauhan, puluhan penduduk dengan berbagai senjata di tangan, hiruk-pikuk menyerbu masuk ke dalam hutan jati. Tampak Ki Kewot berjalan di muka sambil berkali-kali memanggil nama putrinya. Kemudian semuanya tertegun memandang Ratna yang terduduk, baru saja siuman dari pingsannya. Ki Kewot segera menubruk tubuh putrinya. Keduanya berangkulan sambil bertangisan. Kedua penculik itu pun pada saat bersamaan siuman dari semaputnya. Sadar dengan keadaan yang tidak menguntungkan itu, keduanya langsung kabur sejadijadinya, nyaris jadi perkedel diamuk orang-orang sekampung. Dari balik pohon, Samolo mau tak mau tersenyum juga menyaksikan tingkah dua penculik yang ketakutan setengah mati. Dengan napas ngos-ngosan Sarkawi nongol di muka pintu rumah kasir Samirun. Subaidah, Samirun dan Mirta tanpa berkedip memandang mandor ini yang berjalan gontai seperti seorang hukuman yang melangkah ke tiang gnatungan. Melihat tampang lecek mandor, Subaidah dan Samirun sudah dapat meraba dengan pasti, bahwa rencana mereka telah gagal total lagi. Dan mereka tidak merasa heran. Tapi Mirta dengan bernafsu menyongsongnya. “Beres, Wi? Lu simpan di mana gacoan gua?” Tapi Mandor Sarkawi cuma tertunduk bungkam. Mirta jadi tidak sabar, dijambaknya baju Sarkawi dan diguncangnya keras-keras. “Lu bawa ke mana si Ratna, ha? Budek kuping lu?” “Sudahlah. Macam gentong nasi begitu mana bisa beres kerjanya. Kalau disuruh menghabiskan nasi tujuh bakul, nah baru beringas dia” nyeletuk Subaidah dengan sinis. Mirta betul-betul naik pitam. Dicakarnya muka Sarkawi hingga berdarah. Kemudian anak kolokan ini menghempaskan dirinya ke atas meja sambil sesambat dengan pilunya. “Kalau begini, lebih baik Ita bunuh diri saja... Buat apa hidup menderita, tanpa si Ratna di sampingku...” Samirun dan Subaidah kewalahan membujuk putrajadah- nya yang rada-rada senewen ini. Sarkawi benarbenar merasa sebal dan dongkol melihat ulah pemuda yang terlalu dimanja itu. “Huh, kolokan banget.” celetuknya tanpa sadar. Mirta makin berjingkrak mendengar ucapan Sarkawi. Dengan kalap diraihnya pistol Samirun. “Gua mampusin lu!” Teriaknya sambil siap menembakkan pistol itu ke arah Sarkawi. Mandor Sarkawi jadi pucat seketika, ia mundur ke sudut dinding dengan dengkul gemetar. “To... tolong Den Kasir... Cepat ambil pistol itu...” ratapnya dengan terpatah-patah. Tapi Samirun maupun Subaidah tetap dingin. “Sumpah disambar geledek, saya sudah berhasil nyulik si Ratna, eh mendadak Samolo muncul bersama ratusan penduduk kampung mengeroyok saya berdua. Si Ucih mati dicincang kayak perkedel. Kalau saya kurang lihai, pasti sudah jadi bangke...” Kata Sarkawi megap-megap coba membela diri. Mirta membanting-banting kaki uring-uringan. Subaidah menghiburnya sambil membelai kepala anak kesayangannya ini. “Sudah, sudah jangan kau sedih, Mir! Ibu akan carikan yang sepuluh kali lebih cantik dari si Ratna. Anak melarat itu tidak sepadan untukmu, Mirta!” “Hati Ita cuma diisi oleh Ratna. Kalau Ibu mau carikan yang lain enggak menjadi soal. Yang penting Ratna harus jadi milik Ita dulu.” Rengek Mirta dengan kepala terbenam di pangkuan ibunya. Samirun menarik napas, kesal sekali nampaknya. Ia merasa sangat kecewa karena tidak berhasil memenuhi keinginan anak hasil hubungan gelapnya itu, yang juga amat dikasihinya secara diam-diam. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 7 TIBALAH hari pernikahan Giran dan Ratna. Seluruh desa Kedawung seolah-olah ikut berpesta. Gedung Tuan Tanah terang benderang selama tujuh hari tujuh malam tanpa henti. Segala macam hiburan tak putus-putusnya bertalu-talu menyambut para tamu yang berdatangan dari segala pelosok, untuk memberi selamat kepada tuan rumah, terutama kepada kedua mempelai. Itulah hari terbahagia bagi sepasang pengantin baru. Giran dan Ratna seakan-akan hidup di dalam dunia khayal 1001 malam. Mereguk segala kenikmatan cumbuan kasih surgawi yang dapat membuat iri pada dewa-dewi khayangan sekalipun. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena pada hari ketujuh, datanglah musibah menimpa Tuan Tanah. Pada pesta terakhir yang naas itu, Tuan Tanah yang mulanya sangat gembira itu, sekonyong-konyong muntah-muntah darah. Paniklah seluruh isi gedung itu. Tuan Tanah segera digotong ke dalam kamarnya. Sementara beberapa orang diperintahkan oleh Subaidah yang kelihatan sangat panik itu untuk mencari obat. Dan Samolo disuruhnya memanggil Giran dan Ratna yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah Ki Kewot. Tuan Tanah masih saja memuntahkan darah segar dari mulutnya. Wajahnya jadi pucat-pasi. Namun ia masih nampak kuat bertahan. Kini di dalam kamar itu cuma ada Subaidah, Samirun, Mirta dan Sarkawi. Subaidah masih terus mengurut dada suaminya. “Pak, kenapa kau, Pak? Oh Gusti...!” ratap perempuan ini. Samirun mendekat ke tepi pembaringan. “Den Besar...?!” “Uh...?!” “Tolong tanda-tangani surat ini, Den...!” Samirun menyodorkan pulpen dan secarik kertas yang bertempelkan materai kepada majikannya. Tuan Tanah memicingkan matanya meneliti isi surat tersebut. Tiba-tiba wajahnya yang pucat itu berubah jadi merah padam seketika. Ia terbatuk dan segumpal darah segar pun tersembur dari mulutnya, membasahi seluruh kertas tersebut. Samirun mundur. Melempar kertas yang berlumur darah itu. Matanya tiba-tiba jadi liar mengerikan. Sekonyong-konyong ia meraih sebuah bantal lalu dibekapkan ke wajah Tuan Tanah yang segera meronta-ronta dengan seluruh sisa tenaganya. Samirun mengerahkan seluruh kekuatannya menekan bantal itu. Tapi tak berhasil. “Pegang tangannya. Cepat!” teriak Samirun setengah tertahan kepada Subaidah. Subaidah yang sejak tadi tertegun dengan wajah pucat, segera menuruti perintah Samirun. Lalu Sarkawi pun disuruhnya untuk membantu. Tinggal Mirta memandangi pergumulan mengerikan itu dengan tubuh menggigil seperti diserang demam. Pergumulan itu tidak berlangsung terlalu lama, karena Tuan Tanah kini telah terkulai tak berkutik lagi di bawah dekapan bantalnya sendiri. Semua tertegun terengah-engah. Mirta menggigil di kolong meja. “Kenapa pada bengong? Ayo siapkan rencana kita berikutnya!” seru Samirun dengan suara di kerongkongan. Subaidah dan Sarkawi segera bergerak menghapus semua bekas tindakan mereka. Jenazah Tuan Tanah dibaringkan dengan rapi di pembaringan. Seakan-akan kematian Tuan Tanah itu disebabkan penyakit yang sudah lama diidapnya. Sesaat kemudian, Giran dan Ratna yang dipanggil oleh Samolo, tiba di gedung yang masih dipajang janur-janur pesta itu. Mereka terpaku di ambang pintu. Tangisan memilukan menggema di ruangan gedung tersebut. Tampak Subaidah tengah terisak memeluki tubuh Tuan Tanah yang terbujur kaku di atas dipan tepat di tengah ruangan utama itu. “Aduh, Pak. Tega benar kau meninggalkan aku serta anak-anak...! Bawalah Subaidah, Pak... Apa artinya hidup ini tanpa kau di sisiku, Pak...! Aduuuuh... perih hatiku, Pak... Hu hu hu” tangis Subaidah melolonglolong, sangat memilukan. Mirta pun tampak menggerung-gerung bersimpuh di sisi dipan. Giran berlutut di sisi tubuh ayahnya yang mulai dingin itu, dibukanya kain penutup jenazah lalu dipandangnya wajah ayahnya yang membiru. “Ayah...?!” Cuma itu yang sanggup terlontar dari mulut Giran, kemudian ia duduk tafakur di sisi jenazah. Tampak bahunya terguncang-guncang. Namun tak terdengar isak tangisnya. Ratna menepis air mata, ikut berlutut di sampingnya. Samirun tertunduk dengan wajah pura-pura sedih. Matanya berkali-kali melirik ke arah Sarkawi. Mandor ini sedang asik mengunyah kue yang terletak di meja. Kasir ini mendehem, tapi Sarkawi tak mengerti dengan tanda isyarat tersebut. Samirun terpaksa mendekatinya lalu menginjak kaki Mandor bego ini. Sarkawi mengaduh kesakitan dengan mulut penuh tersumpel kue. Di sudut ruangan tampak Nyi Londe terisak-isak menepis air mata dengan ujung kebayanya. Di luar pintu terlihat Samolo tertunduk dalam-dalam. Tampak matanya merah berkaca-kaca. Betapa sedih ia mengingat semua kebaikan majikannya itu, yang kematiannya kini terasa tidak wajar. *** Upacara pemakaman Tuan Tanah Kedawung telah berlalu. Namun suasana duka masih melekat di setiap hati para penduduk desa. Desa itu terasa seakan-akan telah kehilangan sebagian sinar matahari, suram dan beku. Terutama bagi gedung besar dan megah itu, dari luar terlihat sunyi. Apalagi pintu utama tak pernah lagi dibuka semenjak wafatnya Tuan Tanah. Giran dan Ratna lebih banyak mengurung diri. Kematian ayahnya nyaris menghancurkan gairah hidup Giran. Untung saja kini di sisinya selalu ada Ratna, yang menghiburnya dan memberikan semua kesejukan pada dasar jiwanya. Samolo kini merasa dibebankan kewajiban dan tanggung jawab untuk menjaga generasi penerus sang majikan. Tanggung jawab serta kewajiban yang diembannya tanpa pamrih, karena budi sang Tuan Tanah baginya tak dapat dibanding-ukur oleh apapun di dalam kehidupan ini. Kecuali Subaidah dan Samirun-lah yang merasa lega dengan meninggalnya perintang utama bagi hasrat mereka itu. “Kini harta warisan itu berada di tangan si bocah bedebah. Kalau dia dan anjing Samolo itu sudah disingkirkan, kitalah raja dan ratu di gedung ini. He he he...!” Mengkhayallah Kasir Samirun dan itu diutarakannya kepada Subaidah ketika mereka pada kesempatan tertentu mengadakan pertemuan rahasianya secara rutin. “Aku ada jalan yang paling lunak untuk melenyapkan anak itu. Lenyap untuk selama-lamanya” kata Subaidah sambil tersenyum iblis di dekapan kekasih gelapnya. Esok harinya, pagi-pagi sekali Subaidah sudah memanggil Giran ke hadapannya. Mata ibu-tirinya terlihat berkaca-kaca dan sembab. Giran tertunduk terharu. “Giran...” terisak-isak Subaidah dan berkali-kali menepis air matanya. “Ya, Bu.” “Sebenarnya sangat berat ibu mengatakannya kepadamu, Nak.” “Katakanlah, Bu...!” “Tapi hati ibu lebih tidak tentram dan selalu gelisah bila belum menyampaikan pesan almarhum ayahmu...!” “Pesan apa, Bu?” tanya Giran ingin tahu. “Pada akhir hayatnya, ayahmu berpesan, agar aku mengirim kau ke Borneo, untuk mengurus kebun karetnya di sana.” “Ke Borneo?” Ulang Giran sambil tercenung. Subaidah mengangguk, isaknya terus berkepanjangan. “Itulah beratnya. Ibu maklum kau masih pengantin baru.” “Tidak apa, Bu. Saya pasti akan melaksanakan pesan ayah itu!” kata Giran pasti. “Berangkatlah besok pagi-pagi, agar cepat pula pulang. Ibu telah mempersiapkan segala sesuatunya untukmu.” “Baiklah, Bu!” Angguk Giran, lalu bangkit melangkah ke luar. Subaidah menutup mulutnya dengan sapu tangan untuk menahan tawanya. Samirun yang sejak tadi purapura sibuk menulis, kini ikut menekap mulutnya menahan geli. Di luar jendela, Nyi Londe diam-diam memperhatikan tingkah aneh kedua orang itu. Malam itu, bagaikan kisah Remeo dan Juliet, Giran dan Ratna berdekapan dengan perasaan sukar dilukiskan, menanti fajar yang begitu cepat dan juga menakutkan. Karena pada dini hari sang “Romeo” akan berangkat meninggalkan “Juliet”-nya menuju Borneo demi melaksanakan pesan almarhum ayahnya yang disampaikan melalui ibu tirinya yang amat “bijak” itu. “Berapa lamakah aku harus menanggung rindu ini, Kak? Aku takut, kalau-kalau terjadi sesuatu padamu di negeri yang amat jauh itu...” bisik Ratna sambil memeluk suaminya erat-erat, takut kehilangan, dan terlalu berat untuk dilepaskan kepergiannya. “Tabahkan hatimu, sayang. Aku akan cepat kembali. Berat hatiku meninggalkan kau. Tapi demi baktiku terhadap orang tua, apa boleh buat!” Gemetar suara Giran. Nun di kejauhan, kokok ayam mulai sayup-sayup terdengar. Ratna makin erat memeluk suaminya yang sangat dicintai dengan segenap jiwa-raganya. Giran bangkit perlahan-lahan, membuka jendela. Tampak fajar mulai terbayang di ufuk timur. Giran menghela napas. “Betapa cepat waktu ini berlalu. Tanpa terasa saat keberangkatanku sudah tiba.” Ratna turun dari pembaringan, menubruk suaminya dan dipeluknya semakin erat. Air matanya terasa hangat membasahi punggung Giran. “Tidak...! Tidak...! Jangan tinggalkan aku... Aku tidak perduli betapa dunia ini akan kiamat sekali pun.” Ratap Ratna dengan hati luluh. Roda kereta itu bergerak membawa Giran ke Batavia, lalu dengan kapal laut akan bertolak ke Borneo. Mata Ratna berkaca-kaca mengiringi kepergian suaminya sampai jauh menjadi titik kecil di kaki langit. Ia masih berdiri terpaku di ujung jembatan itu, seakan-akan sebagian sukmanya telah ikut terbawa pergi. Belum dua minggu madu kasih itu direguknya, kini harus direnggut dari sisinya. Ia masih termenung di situ, sampai lengan Nyi Londe merangkulnya dan membawanya pulang. Di sebuah persimpangan jalan yang akan dilalui kereta berkuda itu, tampak seorang laki-laki berbaju hitamhitam dan kaos loreng, duduk menunggu sejak subuh. Matanya yang setajam mata elang itu hampir tak berkedip menatap lurus-lurus ke ujung jalan. Sesosok bayangan tinggi besar tiba-tiba sudah tegak di belakangnya. “Hmm, Mat Gerong...” Suaranya berat mengejutkan. Si mata elang tersentak berpaling. “Oh, Bang Samolo.” “Rupanya kau yang dapat kehormatan untuk memberi salam dan selamat jalan kepada putra majikanku!” Tukas Samolo dengan nada kalem. Mat Gerong bangkit, sebuah tanda goresan bekas luka bacokan pada pipi kirinya menambah seramnya wajah pentolan penjahat yang sangat ditakuti ini. Keduanya berhadapan dengan waspada. “Rejeki ini adalah pemberian nyonya besarmu sendiri, Bang. Tujuh Ringgit uang emas upah memetik batok kepala bocah ini cukup menarik, bukan? Kita bagi berdua. Setuju?!” “Sebaiknya kau tahu, Mat Gerong. Setiap helai rambut di tubuh pemuda itu, jauh lebih berharga dari nyawa tujuh-turunan manusia macam kau! Karena itu mana mungkin aku tinggal berpeluk tangan saja.” tegas Samolo dengan suara tenang dan mantap. Sementara itu, di ujung jalan tampak debu mengepul dan kereta kuda itu berderap mendatangi, Mat Gerong jadi gelisah dan geram. “Sialan! Kau mau bikin tumplek bakul nasi gua?” Dengan sebuah gerakan kilat Mat Gerong mencabut golok Cibatunya, langsung menerjang ke arah Samolo. Pembunuh bayaran ini benar-benar ingin memburu waktu. Tanpa gentar sedikit pun Samolo menyambut serangan itu dengan kibasan lengan kosongnya. Golok yang menderu itu terlempar ke udara. Bersamaan dengan itu telapak tangan kanan Samolo menyapu leher Mat Gerong. Tapi ternyata nama besar pentolan penjahat ini memang bukan omong kosong. Gerakannya serba kilat dan tangguh. la menangkis serta menyerang dengan tiputipu pukulan yang mematikan. Kedua Jawara ini nyaris seimbang. Pertarungan berlangsung cepat dan sengit. Sementara itu, kereta kuda yang membawa Giran sudah semakin dekat. Mat Gerong jadi nekat, tujuh Ringgit uang emas terlalu berharga baginya untuk dibiarkan lewat begitu saja. Ia merangsak dengan tendangan berantai. Samolo memapaknya dengan tebasan lengannya. Mat Gerong terpekik, betis kananya remuk terbabat telapak tangan Samolo. Ia berguling untuk menyambar golok Cibatunya yang tergeletak di tanah. Dengan masih berguling ia langsung menyerang lawannya dengan tebastebasan beruntun yang sangat berbahaya. Samolo berkelit dan melompat dengan sebuah tendangan keras pada kepala Mat Gerong, yang segera tersungkur mencium bumi. Golok Cibatunya terlotar berputar ke udara. Cepat sekali tubuh Mat Gerong berguling-guling ke arah jalan raya, dengan maksud untuk mencegat “buruannya” yang berada di kereta kuda yang semakin dekat itu. Samolo lompat memetik golok Cibatu yang masih berputar di udara, lalu lompat turun langsung menebang kedua kaki pembunuh bayaran yang rakus itu. Dengan pekikan yang sangat memilukan tubuh Mat Gerong tersentak ambruk ke bumi. Sepasang kakinya terlontar masuk saluran irigasi. Detik itu gemuruh roda kereta serta derap kaki-kaki kuda melintas dengan cepatnya di jalan itu. Samolo lompat berlari ke tepi jalan untuk mengejar kereta yang ditumpangi Giran itu. Tapi mana mungkin ia mampu mengimbangi kecepatan larinya dua ekor kuda putih yang tangkas itu. Dalam sekejap saja kereta itu sudah hilang dari pandangannya. Dengan napas masih memburuh serta perasaan kecewa, Samolo berdiri memandangi ujung jalan yang sunyi itu. “Den Giran, semoga Tuhan memberi firasat padamu, akan kebusukan tipu muslihat ibu-tirimu. Menyesal sekali aku terlambat mengetahui dan tidak sempat pula memberi tahu kepadamu, bahwa kebon karet milik ayahmu di Borneo itu cuma isapan jempol ibu tirimu dan Samirun. Apa boleh buat. Semoga Tuhan melindungimu selalu!” keluh Centeng setia ini dengan pedih. Dengan perasaan sedih dan kecewa Samolo berjalan pulang ke Kedawung, meninggalkan tempat pertarungan yang telah tersimbah darah seorang jawara yang sangat ditakuti sebagai pembunuh berdarah dingin. Mat Gerong masih merintih dan terkapar kehilangan “Rejeki Tujuh Ringgit Uang Emas” berikut sepasang kakinya. Pada kemudian hari, jago dari daerah Sepatan yang ganas ini, akan muncul malang-melintang lagi dengan julukan “Si Buntung dari Cisadane”. Iblis penyebar maut yang sukar ditaklukkan ini, telah berhasil membuat lembaran sejarah hitam pada jamannya. Dendamnya kepada Samolo terbawa sampai mautnya. Peristiwa penghadangan yang gagal itu akhirnya diketahui juga oleh nyonya besar Subaidah dan kasir Samirun. Karena Mat Gerong tidak pernah muncul lagi meminta upahnya, kecuali uang muka itu. Juga berdasarkan laporan Mandor Sarkawi yang diperintah untuk memata-matai pelaksanaan tugas pembunuh bayaran itu secara diam-diam dari kejauhan. “Lagi-lagi Samolo! Anjing itu pun mesti segera disingkirkan. Dia pasti sudah terlalu banyak mencium rencana kita.” Bisik Subaidah dengan wajah kecut. “Ya, bila tidak, kitalah yang akan disingkirkan olehnya.” kata Samirun serius, suaranya terdengar agak gemetar, membuat wajah Subaidah makin kecut dan pias. “Duri utama telah lenyap, duri kedua meski belum berhasil dimusnahkan, tapi setidaknya sudah tidak jadi penghalang lagi. Kini muncul duri ketiga yang cukup berbahaya. Dia tidak bisa disingkirkan dengan cara keras, melainkan harus dengan cara halus.” Bisik Samirun dengan hati-hati. Agaknya kini kehadiran si centeng yang satu ini, memang harus diperhitungkan matang-matang oleh mereka. Karena merasa takut kepada Samolo, niatnya untuk segera menguasai harta warisan Tuan Tanah terpaksa harus ditangguhkan, sampai keadaan benar-benar tepat. Namun semenjak perginya Giran, kegelapan mulai menelungkupi kehidupan Ratna. Caci maki serta siksaan lahir batin dirasakannya setiap hari dari ibu mertuanya yang telah berubah dalam wujud aslinya. Persoalan kecil dan sepele saja telah cukup membuatnya jadi sasaran caci maki serta sindiran yang amat menyakitkan. Ratna pun tidak diperbolehkan lagi tidur di kamar Giran di dalam gedung utama, tapi ia harus tidur bersama Nyi Londe di emper belakang. Ratna menerima semua itu tanpa pernah mengeluh apalagi protes, karena sadar, ia cuma berasal dari keluarga petani miskin lagi bodoh. Ia cukup tahu diri sebagai orang yang menumpang meski statusnya sebagai menantu keluarga Tuan Tanah yang sangat terpandang di Desa Kedawung dan sekitarnya. Ia cuma bisa berdoa dan mengharap, semoga suaminya bisa cepat pulang. Sudah selusin pembantu pria dan wanita yang diberhentikan oleh Subaidah. Akibatnya semua pekerjaan yang ada di gedung itu harus ditangani oleh Ratna yang kadang-kadang dibantu oleh Nyi Londe yang tak sampai hati melihat Ratna bekerja membanting tulang sejak subuh sampai jauh malam. Namun masih saja datang omelan dan celaan dari ibu mertuanya yang sadis itu. “Matamu buta?!” maki Subaidah seperti geledek sambil menjitak kepala Ratna yang baru saja menjatuhkan sebuah cangkir berisi kopi panas buat sang mertua ini. “Huh, dasar si buta baru melek. Kerja sebegitu saja ogah-ogahan. Bertingkah!” “Maafkan dia, Nya Besar. Neng Ratna tidak sengaja” kata Nyi Londe yang baru datang bantu memunguti pecahan cangkir kopi itu. “Hmm, siapa tahu? Dia memang sengaja mau merongrongku agar aku cepat mati... Dan dia jadi nyonya besar di gedung ini. Mentang-mentang jadi menantu Tuan Tanah sudah gede kepala. Lupa waktu melarat dulu, mau gegares juga susah!” Gerutu Subaidah dengan nada sinis yang sangat menyakitkan hati. Ratna tertunduk, memunguti pecahan beling dan mengelap tumpahan air kopi yang telah tercampur dengan air matanya. Nyi Londe menghiburnya sambil menghela napas panjang-pendek. Secara rutin, dua hari sekali Ratna harus menggiling kacang kedelai berbakul-bakul banyaknya, untuk kemudian dibuat tempe dan tahu. Sebuah pekerjaan berat yang biasa dikerjakan laki-laki itu sungguh meletihkan dan menguras tenaga Ratna. “Sudah hampir sebulan ini, Samolo tiap hari disuruh mengirim kelapa dengan gerobak ke Selapanjang. Kadang-kadang dua hari baru pulang, itu pun selalu tengah malam.” kata Nyi Londe ketika membantu Ratna mendorong batu gilingan kedelai yang besar dan berat itu. Sang Nyonya besar Subaidah tiba-tiba sudah muncul di pintu, bertolak pinggang dengan wajah masam. “Eh..., eh... eh... Londe! Siapa sih majikanmu, atau dia?! Kenapa kau begitu repot kalau dia mengerjakan sesuatu? Dasar kau juga yang membuat dia jadi kolokan, pemalas, sok kaya. Sudah. Tak perlu kau temani dia. Cucian masih numpuk sebakul tuh!” katanya dengan ketus. Nyi Londe terpaksa meninggalkan Ratna mengerjakan tugas berat itu seorang diri, seperti kuda beban. Waktu berlalu bagaikan melata dengan lambatnya. Bila malam tiba kedua perempuan ini dengan perasaan letih baru bisa istirahat di emper usangnya. Dan gejala-gejala keletihan yang disertai muntah-muntah mulai terlihat pada Ratna. “Beberapa hari ini, kelihatannya Neng kurang sehat badan. Selalu muntah dan senang makan yang asamasam. Jangan-jangan sedang ngidam. Sudah berapa bulan?” tanya Nyi Londe perhatian sambil memijat kaki Ratna yang tergolek dengan wajah pucat. “Entahlah Nyi. Barangkali baru dua bulan” Jawab Ratna malu-malu. Nyi Londe tersenyum campur haru memandangi wajah sayu. Dan bayangan Giran pun selalu muncul di depan pelupuk pengasuh ini. Pada suatu hari, Ratna dipanggil oleh mertuanya, yang menyongsongnya dengan wajah ramai dihiasi senyum yang sangat ramah. Membuat Ratna jadi agak tertegun keheranan. “Ai, aih... Ratna, sini nak, sini dekat ibu! Sini. Ibu mau tanya kau.” kata Subaidah sambil menggamit lengan Ratna yang masih kebingungan serta takut-takut. “Aih, nih anak. Kenapa kau enggak mau bilang-bilang pada ibu. Kata Nyi Londe kau sedang mengandung. Benarkah itu?” tanya Subaidah sambil memandang perut Ratna, suaranya lembut penuh kasih sayang keibuan. Ratna mengangguk sambil tertunduk. “Waduh, hati ibu jadi gembira mendengarnya. Ibu bakal punya cucu, bukan? Hi hi hi... Ingat, mulai sekarang kau tidak boleh kerja yang berat-berat! Harus bisa menjaga diri. Ingat pesan itu ya, Nak.” “Terima kasih, Bu. Tapi saya masih bisa bekerja!” Jawab Ratna masih diliputi keraguan terhadap sikap mertuanya yang sangat berbeda dari biasanya. “Ah, jangan suka bandel ya. Nanti ibu jewer kupingmu ini. Hi hi hi... Ngerti kau?!” kata Subaidah sambil benarbenar menjewer telinga Ratna dengan lembut, seakanakan kepada anak kesayangannya. “Nah, istirahatlah sono...!” bujuknya lagi sambil menepuk pantat Ratna. Samirun yang pura-pura sibuk menulis jadi tertawa geli menyaksikan adegan mesra tersebut. Ratna dengan wajah merah serta dengan perasaan aneh melangkah luar dari ruangan itu. “Oh ya, Ratna, tunggu dulu!” panggil Subaidah tibatiba. Ratna menghentikan langkahnya di pintu. “Hampir ibu lupa. Coba kau bawa kotak yang berisikan surat-surat itu ke sini. Karena perlu dicatat oleh paman Samirun. Ng... kau ada menyimpan kotak itu, bukan?!” tanya Subaidah, dengan lagak setengah acuh tak acuh. “Ya, Bu!” jawab Ratna tanpa curiga. “Bagus. Cepat bawa ke sini, ya!” perintah Subaidah masih berlagak acuh dan tak acuh. Seolah-olah kotak yang disebutnya itu tak terlalu penting. Ratna keluar dengan masih diliputi tanda tanya akan sifat sang mertua yang tiba-tiba berubah jadi manis terhadapnya. Sekonyong-konyong ia tersentak kaget, ketika seseorang muncul dari balik tiang dan menegurnya. “Neng... Neng Ratna!” Panggilnya dengan suara berbisik. “Siapa?! Oh, Bang Samolo...” kata Ratna perlahan, karena melihat sikap Samolo yang sembunyi-sembunyi dan memberi tanda dengan gerakan jarinya agar ia mendekat. Rupanya Samolo yang selalu waspada ini mengetahui dan menangkap percakapan itu tadi. Demi meyakinkan rencana busuk mertuanya yang berkomplot dengan Samirun, Samolo terpaksa menceriterakan semua kejadian yang hampir saja merenggut nyawa Giran itu kepadanya. Ratna jadi pucat dan terkejut setelah mendengar cerita singkat tersebut. Peluh dinginnya tanpa terasa membasahi pori-porinya. “Ya Allah, tidak kusangka!” keluhnya. “Maka janganlah kau tertipu oleh kata-kata manis dari mertuamu yang berhati ular itu!” bisik Samolo tegas. Lama Ratna termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah, pedih dan bingung. Tiba-tiba darahnya tersirap, ketika selembar wajah penuh senyum licik itu tersembul di pintu. “Hei, Ratna. Kenapa kau?! Sakit?!” tanya Subaidah sambil tersenyum. “Ti... tidak apa-apa, Bu!” jawab Ratna gugup. “Mana kotak warisan... eh... ng... Kotak surat-surat itu, Ratna?!” Tanya lagi Subaidah dengan nada seramah mungkin. “Maaf, Bu. Kak Giran berpesan...” “Ah, anak tolol, kau salah paham, Ratna. Pesan Giran itu memang benar bahwa kotak tersebut tidak boleh diberikan kepada orang lain. Tapi ibu kan bukan orang lain, bukan?” Potong Subaidah dengan senyum yang mulai terlihat dipaksakan. “Tapi Bu...” kata Ratna amat perlahan karena bingung dan takut. “Tapi! Tapi apalagi...?! Akulah ibunya, berhak mengambil kotak itu. Paham kau?! Cepat ambil kotak itu!” hardik Subaidah dengan mata mendelik. “Maafkanlah, Bu! Saya tidak berani melanggar pesan kak Giran!” kata Ratna gemetar. “Setan! Berani kau membangkang perintahku?! Ambil kotak itu atau kupotes batang lehermu. Cepat!” bentak Subaidah menjambak rambut Ratna. “Ampun Bu!” ratap Ratna gemetar. Subaidah sudah tidak sanggup bersandiwara lagi. Dicopotnya sabuknya lalu dideranya Ratna tanpa kenal ampun. Ratna menjerit dan merintih menahan sakit. Sabuk kulit itu terus menghantam tubuhnya bertubi-tubi. Kulitnya matang-biru tergores kepala sabuk yang keras itu. Nyi Londe datang untuk menolong wanita muda yang malang ini, tapi ia dihalang-halangi oleh Samirun yang berdiri di pintu kamar. Untunglah pada saat itu, Samolo melongok di jendela. Terkesiaplah hati Subaidah dan Samirun yang segera ngeloyor meninggalkan kamar itu. Nyi Londe segera memapah Ratna yang terisak-isak di lantai. “Aduh Neng! Tuhan tidak buta Neng. Siapa yang dosa, dia pasti dapat ganjaran yang setimpal.” kata Nyi Londe ikut terisak-isak dengan pilunya. Samolo mengatupkan gerahamnya hingga bunyi bergemelutuk. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 8 HARI dan bulan silih berganti, beterbangan bagaikan awan-gemawan yang melayang-layang dihembus angin, seperti yang selalu dipandang Ratna dari jendela emper penggilingan kacang kedelai setiap hari. Bagaikan jendela penjara yang mengurung dirinya. Air mata Ratna hampir mengering, terkuras oleh deraan siksa dan dendam rindu yang mencekam di dadanya. Namun Giran tak kunjung pulang, meski hanya secarik kertas beritanya dari Negeri seberang. “Kak Giran... Bilakah kau kembali, Kak? Mengapa kau tinggalkan Ratna begitu lama?” ratapnya di dalam hati. Dinding-dinding gedung besar itu laksana penjara yang mengungkungnya. Kerinduannya terhadap ayahnya pun terus menyiksanya. Didengarnya dari Samolo, bahwa orang tua itu sedang menderita sakit. Seorang diri tinggal di gubuknya, tiada yang merawat dan memasaki makanannya. Betapa pedih dan sedih hati Ratna memikirkan keadaan ayahnya yang sudah tua itu. Sulit baginya untuk pergi menengoknya, karena mata mandor Sarkawi terutama tatapan mata Mirta yang sejalang mata serigala itu sungguh menakutkan hatinya. Pemuda sinting itu selalu mencari kesempatan untuk menerkam dirinya. Ratna selalu bergidik ketakutan bila mengingat hal itu. Ia selalu was-was bila berada seorang diri di tempat kerjanya maupun di emper tempat tidurnya. Sebelum sakit, ayahnya memang pernah sekali mengunjunginya. Itu pun dilakukan karena terlalu rindu kepada putri tunggalnya ini. Petani tua itu hampir seharian duduk menunggu di muka pintu gerbang, karena tak berani masuk ke dalam gedung sang besan yang terlalu megah itu. Untunglah Samolo kebetulan keluar dan membawanya masuk untuk dipertemukan dengan Ratna. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Ratna terpaksa harus bersandiwara di depan ayahnya. Seakan-akan hidupnya benar-benar penuh gelimang tawa ceria serta kebahagiaan sebagai seorang menantu Tuan Tanah yang kaya raya. Tapi sesungguhnya hatinya ketika itu sedang menangis dan meratap. Ia tidak tahu apakah ayahnya bisa dikelabui oleh sandiwaranya itu. Ia ragu, karena ia tahu bahwasanya mata seorang ayah maupun pandangan mata seorang ibu, sanggup menembus sampai ke dasar kalbu anak-anaknya. Yang pasti sejak kunjungan itu, ayahnya tak pernah lagi datang menengoknya. Bukan disebabkan oleh sambutan dingin oleh nyonya besannya yang angkuh dan sombong itu. Kini didengarnya kabar tentang sakitnya sang ayah. Hal ini benar-benar menambah beban penderitaannya. Ia cuma bisa berdoa dan meminta Nyi Londe atau Samolo kalau kebetulan sedang sempat, untuk pergi menengok orang tuanya sekalian membawakan makanan secara sembunyisembunyi buat ayahnya itu. Sementara itu, kandungannya pun tampak sudah semakin besar. Sampai pada suatu sore, dandang nasi yang masih mendidih itu nyaris menimpa dirinya ketika sedang diangkat oleh Ratna. Nyi Londe menjerit sambil menubruk tubuh Ratna yang terkulai pingsan. Caci-maki Subaidah sudah tak dihiraukan lagi oleh Nyi Londe yang sedang sibuk menggotong tubuh Ratna ke dalam empernya. Sepanjang malam itu terdengar Ratna merintih. Tampak Nyi Londe sibuk menyiapkan segala keperluan untuk melahirkan. Malam itu terasa begitu hening namun menegangkan bagi Nyi Londe, yang terus mendampingi Ratna yang terbaring dengan pucat bermandikan peluh. Kadangkadang merintih sambil menggeliat merasakan sakit pada perutnya. “Kuatkan hatimu, Neng. Pasrahkan segalanya kepada Tuhan. Semuanya pasti akan beres...” hibur Nyi Londe sambil terus mengurut perut Ratna serta menghapus peluhnya. Samolo duduk di luar emper itu sambil melinting rokok kawung. Wajah centeng ini belum pernah tampak setegang seperti malam itu, meski ia berusaha untuk bersikap tenang. Nampak gulungan rokok di jari-jarinya itu gemetar dan sering gagal. Selang sesaat sebelum fajar, berbarengan dengan kokok ayam, keheningan yang mencekam itu dikoyak oleh jerit lengking tangisan seorang anak manusia yang baru lahir. Samolo menengadah sambil mendesahkan pujian kebesaran Allah Sang Maha Pencipta. Matanya berkacakaca. Setelah detik-detik penuh ketegangan itu berlalu, wajah pucat-sayu si ibu-muda yang banyak menderita ini, akhirnya dihias juga oleh segores senyum kebanggaan, ketika Nyi Londe menyodorkan sang bayi yang terbungkus kain itu kepadanya. “Lihatlah, jagoan cilik kita ini, suaranya saja sudah bisa menyaingi bahkan lebih nyaring dari semua ayamayam jantan yang paling perkasa di seluruh daerah Kedawung ini. Hmm, kau lihat, Neng. Wajahnya mirip benar dengan bapaknya” kata Nyi Londe, bangga dan bahagia seakan-akan menimang cucu kandungnya sendiri. Ratna tersenyum. Semua derita seakan menjadi tak berarti pada saat-saat seperti itu. “Kalau saja kak Giran berada di sisiku saat ini...” cuma itulah yang menjadi pemikiran di hatinya, suatu perasaan yang berbaur antara kesedihan dan kebanggaan. *** SEMINGGU kemudian, komplotan manusia tamak mulai lagi merencanakan suatu tindakan keji. “Sekarang ini Samolo sedang disuruh mengirim gerobak padi ke Mauk. Kalau kali ini lu gagal lagi, pokoknya kepala lu sebagai gantinya!” tegas Samirun berkata kepada Mandor Sarkawi. “Jangan khawatir, Sir. Kali ini pasti beres dah. Masak iya sih, rejeki saya nyeplos melulu? Yang benar saja.” jawab si Mandor yang banyak lagak ini. Mirta serta ibunya yang juga berada di situ jadi sengit. “Jangan banyak cing-cong lu, gendut! Pokoknya, gagalmodar!” Ancam Mirta sambil menimang-nimang pistol Samirun. Wajah Sarkawi jadi pias, melirik pistol itu lalu melangkah ke luar. Dengan mengendap-endap bagaikan pancalongok, Sarkawi mengintai ke dalam kamar emper Ratna. Dilihatnya ibu muda itu sedang menyusui bayinya. “Busyet! Sudah punya anak malah tambah botoh. Pantes si Mirta, bocah cecurut itu begitu tergila-gila...” gumam Sarkawi di dalam hati sambil menelan air liur. Didorongnya pintu emper tersebut langsung masuk. Ratna kaget dan buru-buru merapikan bajunya. “Bang Sarkawi...?! Ada apa?” tanya Ratna gugup. “Astaga! Botoh banget bocahnya, Neng. Siapa sih bapaknya?” kata Sarkawi dengan senyum serta tatapan mata kurang ajar. “Apa maksudmu? Sudah tentu Den Giran-lah ayahnya. Kenapa?!” Ratna tersinggung. Sekonyong-konyong Sarkawi merebut bayi itu dari gendongan Ratna. “Sarkawi! Anakku!” jerit Ratna berusaha merebut kembali anaknya itu. “Kalau ini memang anak Den Giran, neneknya mau melihat, masak kagak boleh.” kata Sarkawi sambil mendekap bayi itu, melompat keluar. “Anakku! Anakku! Jangan kau bawa anakku, Sarkawi!” Ratna mengejar ke luar. “Sarkawi, tinggalkan anakku.” jerit Ratna histeris sambil terus mengejar Sarkawi yang kabur mendekap bayi itu ke luar gedung. Ratna semakin nekat dan terus mengejar sambil menjerit-jerit. Sementara itu bayinya pun terdengar menangis di dalam dekapan Sarkawi yang berlari semakin kencang menuju jalan desa yang sudah sunyi dan gelap itu. Ratna terus mengejarnya. Sarkawi menuju rumah Samirun langsung masuk. Ratna memburu tapi terlambat, pintu itu sudah tertutup rapatrapat. Ia memekik dan melolong sambil menggedor daun pintu dengan kalapnya. “Buka! Kembalikan anakku! Anakku...!” jerit Ratna sambil menangis histeris, karena ia tahu akan kebusukan komplotan mertuanya itu. “Bagus kerja lu, Wi. Biar dia ngegoser di luar jangan lu buka pintu itu!” kata Samirun dengan senyum iblisnya. Sarkawi meletakkan bayi yang menangis kencang itu di atas meja, di hadapan Subaidah dan Mirta yang tak punya perasaan iba sedikitpun terhadap anak itu. Sementara suara gedoran pintu serta tangisan Ratna di luar, menambah gaduhnya suasana di rumah tersebut. Namun hati orang-orang berjiwa iblis ini sedikitpun tak tersentuh, wajah mereka tetap dingin. Sarkawi menghapus peluh dengan kain pengikat kepalanya. “Saya jadi ingat waktu disuruh Den Kasir nyolong anak babinya babah Tiong-Cit tempo hari. Perut saya hampir ambrol diserobot biangnya. Nah, yang ini juga persis, kalau enggak lihai saya pasti sudah ko’it diterjang sama dia. Busyet, galaknya enggak ketulungan, kayak kesetanan, Den.” Desahnya sambil mengipas-ngipas. “Mana upahnya, Den?” sambungnya. “Apa? Upah?!” tanya Samirun, mengambil pistol dari tangan Mirta. “Nih upah! Ayo lu celangap lagi, gua upahin biji melinjo, baru nyahu, lu!” kata Samirun ketus dengan menekan ujung pistolnya ke batang hidung Sarkawi. “Sialan! Kerjaan belum beres sudah minta upah. Mau mampus, lu?” Mata Sarkawi jadi juling menatap laras pistol yang sangat ditakutinya itu. Ia meringis. “Ah, Den Kasir... segitu aja pakai marah. Saya kan cuman bercanda... simpan ah si bongkoknya” katanya sambil melangkah mundur dan berusaha tertawa. Tangisan bayi dan suara gedoran pintu serta jeritan Ratna yang meminta anaknya itu, membuat Sarkawi semakin uring-uringan. Ditendangnya pintu itu berkalikali sambil memaki. “Hei, berisik! Jangan gegoakan melulu, lu! Diam! Eh, Bandel!” Dasar wataknya pandai menjilat, ia berlagak mau jadi jagoan tak kepalang tanggung. “Perempuan itu bandel banget dah. Bagaimana, Den. Saya beresin saja nih?” tanyanya kepada Samirun. Tapi Kasir ini mendorong tubuhnya. “Minggir lu! Nanti rusak pintu gua digedor-gedor.” katanya ketus. Kemudian ia berkata kepada Ratna yang masih meratap di luar. “Hei, Ratna. Kalau kau ingin anakmu ini kembali dan selamat, itu gampang, asal kau bersedia meluluskan sebuah syarat.” “Syarat apa?” tanya Ratna dalam isak tangisnya. “Serahkan kotak itu kepadaku! Anakmu ini pasti kuserahkan kepadamu hidup-hidup! Bila tidak, huh!” Samirun menjelaskan syaratnya. Tidak pernah ada seorang ibu pun yang benar-benar mencintai anaknya, rela mengorbankan buah hatinya hanya demi harta dunia. Begitu pun Ratna. Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Samirun tersebut. “Baik, berjanjilah, kau harus menyerahkan anakku!” isak Ratna minta kepastian dari luar pintu. “Cepat! Aku beri waktu sepuluh menit. Terlambat, jangan kau sesalkan aku terlalu kejam!” jawab Samirun dengan suara dingin. Ratna lari pontang-panting menembus kegelapan malam menuju gedung besar. Setibanya di dalam kamar empernya, ia segera membongkar tempat penyimpanan kotak pusaka tersebut, dengan lengan-lengan gemetar serta perasaan panik luar biasa. Ia seakan-akan tengah berlomba dengan Malaikat El-Maut yang segera akan merenggut nyawa bayinya. Nyi Londe hanya tertegun tanpa daya. Kedua wanita itu bagaikan makhlukmakhluk lemah yang tak berdaya menghadapi segala kekejaman dunia ini. Ratna hampir tak membuang waktu sedetikpun, segera meraih peti berharga itu dan dibawa lari ke rumah kasir Samirun. Setibanya di depan rumah Samirun, dengan napas masih memburu, Ratna langsung berteriak. “Ini peti warisannya, cepat buka pintu, aku mau mengambil anakku!” “Bagus! Coba kau bawa masuk petinya!” jawab Samirun, membuka daun pintu itu sedikit. Ratna menyodorkan peti itu melalui celah pintu yang segera disambar oleh Samirun. Ratna mendorong pintu, tapi pintu itu telah ditutup lagi oleh sang kasir yang licik. Ratna menjerit sambil berusaha mendorong pintu itu dengan sekuat tenaganya, dan memaksakan tubuhnya masuk ke dalam. Dorong-mendorong terjadi. Samirun dengan dibantu oleh Sarkawi mendorong pintu itu kuatkuat, membuat tubuh Ratna terjepit dan tak bisa bernapas. Ibu muda itu tak kuat lagi menorong pintu, sebab selain kesehatan fisiknya belum pulih benar akibat melahirkan, juga akibat kerja tanpa istirahat sepanjang hari. Akhirnya ia jatuh terkulai di depan pintu. Samirun mengunci pintu itu rapat-rapat. Mereka memeriksa peti pusaka yag sangat didambakannya itu dengan seksama. “Periksa, siapa tahu peti ini palsu...” perintah Subaidah. “Palsu? Perempuan setolol dia mana mungkin berpikir sejauh itu!” sela Samirun, berusaha membuka peti warisan. Diperiksanya semua surat-surat berharga yang berada di dalam kotak berukir indah itu. Serenceng kunci-kunci brankas penyimpanan uang emas ringgitan berkantong-kantong banyaknya yang pernah dilihat Subaidah ada disimpan suaminya. Yang paling membuatnya bernafsu, adalah berkotakkotak emas permata yang pernah dilihatnya tersimpan di salah sebuah peti besi di ruangan khusus gedung itu. Kini kunci-kunci dari seluruh harta warisan tersebut berhasil dikuasainya. Wajah Subaidah masih tetap dingin, ia mendekat ke arah si bayi yang masih tetap menangis. “Bapak bayi ini telah luput dari tangan kita. Pada suatu hari dia pasti akan kembali.” katanya dingin. “Kalau seluruh harta sudah di tangan kita, apalagi yang kita takuti di dunia ini? Semuanya bisa diatur.” kata Samirun dengan sombongnya. “Lihatlah, tua bangka itu tidak memasukkan namamu atau Mirta barang secuil pun ke dalam testamen ini.” suara Samirun gemas, setelah meneliti surat warisan yang disegel dengan lak, yang tersimpan rapi di amplop khusus. “Aku sudah menduganya. Jika aku sudah pasti mendapat warisan, buat apa aku ribut-ribut.” jawab Subaidah tenang. “Kelak bayi ini pun pasti akan jadi duri yang tumbuh di daging kita. Maka dia juga harus disingkirkan!” Dingin dan tajam kata-katanya itu. Ratna yang lapat-lapat mendengar kata-kata Subaidah itu langsung jatuh pingsan. “Kalau begitu, tua bangka itu sudah tahu tentang hubungan kita?” bisik Samirun di sisi Subaidah. “Mungkin saja. Tapi cuma disimpan di dalam hatinya.” kata Subaidah sambil senyum sinis bercampur rasa jengah. “Dan dia pun tahu, Mirta sesungguhnya bukan anaknya?!” “Testamen itu sudah menjawabnya.” kata Subaidah tertunduk. Samirun tercenung sejenak. Ada perasaan tidak enak menyelinap di dasar hatinya. Bagaimanapun ia merasa “malu-hati” terhadap, majikannya almarhum. Subaidah melirik memperhatikan sikap Samirun. “Alaaah... buat apa dipikirkan, orangnya pun sudah jadi tanah di liang kubur.” nyeletuk Subaidah, juga seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri. Tubuh Ratna terbaring tak sadarkan diri di muka pintu. Nampak kepala Mirta nongol dari pintu dan matanya tiba-tiba jadi nanar memandang tubuh yang tergeletak seenaknya itu. Ia melangkah mendekat dan berlutut di sisi tubuh Ratna. Tampak mata pemuda ini makir liar menjalari setiap lekuk tubuh yang sangat diimpikannya setiap detik. Napasnya makin memburu menyesakkan dada. Lengannya gemetar mulai mengerayangi tubuh molek itu. “Ratna, kau akan kujadikan milikku untuk selamalamanya.” desis Mirta. Pada detik itu tiba-tiba Ratna tersadar dari pingsannya. Matanya terbelalak kaget memandang wajah Mirta yang begitu dekat di hadapannya itu. Ratna meronta seketika dan mendorong tubuh pemuda sinting ini, ia beringsut menjauh dengan bulu kuduk merinding. “Apa yang kau lakukan, Mirta?” pekik Ratna. Mirta mendekat lagi, matanya begitu liar membuat Ratna tersentak mundur lalu lari ke pekarangan. Mirta mengejar. “Kau... kau sudah gila, Mirta. Jangan sentuh aku! Ingatlah aku adalah istri kakakmu.” jerit Ratna ketakutan. “Giran si keparat itu sudah jadi bangke, Ratna. Itulah upahnya tukang serobot. Heh heh heh...!” Lalu pemuda. ini lompat menerkam. Ratna menghindar dan “si tukang serobot” ini terpaksa “mencium” pohon hingga hidungnya mengucurkan darah. Ratna makin ketakutan, ia lari ke luar sambil menagis tersenggak-senggak. Mirta mendengus sambil menekap hidungnya yang berdarah itu. Mandor Sarkawi yang sejak tadi menonton adegan tersebut tak kuasa menahan tawanya. Mata Mirta jadi melotot, serta-merta meninju pelipis si mandor yang sedang tertawa terbahak-bahak itu hingga terjengkang ke batang pohon. “Sialan! Ngeledek lu, ya?! Gua mampusin lu.” bentak Mirta dengan suara sengau. Sarkawi mengusap pipinya sambil tersandar di pohon. Mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkannya. Dunia ini terasa makin gelap bagi Ratna. Ia sudah tak kuat lagi untuk hidup terus. Ia lari tersuruk-suruk dalam kepekatan malam dan telah nekat untuk mengakhiri nyawanya dengan sebuah gunting yang dilihatnya tergeletak di atas meja di kamar empernya itu. UntungIah Nyi Londe cepat mencegahnya. “Ya Allah! Apa-apaan Neng?! Aduh, kuatkanlah hatimu, Neng! Ingat...!” Seru Nyi Londe sambil merebut gunting yang hampir ditusukkan Ratna ke lehernya itu. Kedua perempuan ini saling bertangisan. Ratna menangis dengan pedihnya di pelukan pengasuh itu yang terus membesarkan hatinya. “Tawakal-lah kepada Yang Maha Kuasa, Neng! Tuhan tidak buta, Neng. Tidak buta!” bujuknya sambil ikut terisak-isak. “Kalau saja sekarang Samolo berada di sini, pasti tidak akan terjadi sampai begini!” katanya lagi sambil menghela napas. Sejak kotak wasiat jatuh ke tangan Subaidah dan Samirun, Mirta anak mereka yang terlalu dimanja, kini hidupnya setiap hari cuma berfoya-foya bergelimang di dalam kemaksiatan. Pelesir dengan para pelacur dan berjudi. Mandor Sarkawi yang punya kegemaran sama makin setia mendampingi sang “pangeran” sinting itu. Lebih-lebih kasir Samirun yang jadi kaya mendadak dan mengikrarkan dirinya sebagai Tuan Tanah baru di wilayah Kedawung. Galaknya melebihi macan kebelet. Penduduk menjadi resah dan makin sengsara diperasnya. Untuk menjaga posisinya Samirun senantiasa berlaku royal bahkan pandai menjilat para amtenar Belanda yang berkuasa di wilayah Jawa Barat. Pada hari pertama saja sebagai Tuan Tanah baru, ia sudah mengantar upeti yang cukup lumayan kepada Tuan Residen sampai pada para Pamong Desa. Maka sebentar saja ia sudah memperoleh pengaruh di desa kecil itu. Kadang-kadang Samirun dan Subaidah terlibat pertengkaran yang cukup sengit, karena nyonya Tuan Tanah ini mendengar selentingan dari Sarkawi bahwa sang “suami” mempunyai beberapa “simpanan” di kampung. Sarkawi yang mendapat tugas khusus dari sang Nyonya, untuk memata-matai sepak terjang “Don Yoan” kampungan ini di luaran, sering memberi laporan kepada nyonya majikannya hanya semata-mata demi mendapatkan upah. Lebih-lebih jika ia dalam keadaan pailit akibat kalah taruhan mengadu ayam atau judi sintir. Persoalan lainnya ia sangat sakit hati atas kepelitan Samirun yang tidak pernah mau lagi memberi persen kepadanya, tapi eks kasir itu selalu bermurah hati kepada para tukang pukul dan beberapa orang tertentu. Bahkan kini Samirun telah menggaji beberapa belas tukang pukul dan centeng yang rata-rata berkelakuan brutal. Dengan tumpleknya para begundal baru itu membuat mandor Sarkawi benar-benar merasa tersisih dan iri hati. Itulah sebabnya ia selalu mengarang ceritera, tentang kebrengsekan Samirun di luaran. Samirun memang paling senang ngibing doger. Persenanannya pun tak kepalang tanggung. Ada seorang primadona doger yang dibelikan seperangkat pakaian yang mahal-mahal serta perhiasan yang berkilauan. Hal itu sampai di telinga Subaidah. Perang pun terjadi di rumah Samirun. *** Gedung besar itu tetap sunyi, kadang-kadang saja Subaidah pulang untuk ber”week end” di tempat tsb. Samirun telah mendandani rumahnya sendiri hingga tak kalah mewah dan lengkapnya dengan Gedung Tuan Tanah, ayah Giran itu. Bukan Samirun tidak ingin menguasai juga gedung megah itu, tapi ia merasa khawatir bila kelak Samolo atau Giran muncul secara tiba-tiba. Pada suatu malam Samolo tiba-tiba muncul di kamar emper Nyi Londe dan Ratna. Sinar mata centeng ini menjadi sayu ketika memandang tubuh Ratna yang kurus dan pucat tengah terbaring di balai-balai itu. Nyi Londe pun tampak kuyu menyedihkan. “Kenapa kau Neng? Sakit? Oh ya, ke manakah si bayi?” tanya Samolo dengan hati serta perasaan tidak enak. Ratna tidak sanggup menjawab, hanya air matanya saja yang tercurah ke atas bantal. Nyi Londe memandang Samolo seakan-akan menyesali kepergiannya yang begitu lama. “Samolo, kenapa kau baru kembali?” tanya Nyi Londe. “Ke mana saja kau selama ini?” Samolo melepaskan buntalannya yang tergemblok di punggungnya. Ia duduk dan menuang air dari kendi, lalu diminumnya. “Ketika aku membawa segerobak padi ke Mauk, di tengah jalan tiba-tiba aku disergap Opas Kompani dituduh mencuri padi. Tanpa mau mendengar penjelasanku mereka langsung saja menjebloskan aku ke dalam bui.” Cerita Samolo dengan suara berat. “Dua minggu lamanya aku disekap di balik terali besi. Dari ceritera bisik-bisik para opas itu aku baru tahu, bahwa sesungguhnya penangkapan atas diriku itu memang telah diatur oleh Samirun. Kemudian aku pun tahu ternyata pintu sel penjara itu sengaja tidak dikunci untuk memancingku kabur dan mereka punya alasan untuk menembakku.” “Lalu bagaimana kau bisa keluar?” tanya Nyi Londe ingin tahu. “Berdiam di dalam sel atau kabur sama saja, mereka memang sengaja ingin membunuhku dengan cara apa saja. Dipancing untuk kabur, ya aku kabur.” “Opas-opas itu tidak menembakmu?” Suara Nyi Londe terdengar berdebar. “Tidak sempat. Karena aku lebih dahulu melabrak mereka.” kata Samolo tenang. “Tapi para hamba wet itu pasti mencarimu...” ujar Nyi Londe khawatir. “Dari dulu pun aku memang orang buronan. Berkat perlindungan dan wibawa Den Besar, mereka tidak dapat berbuat, apa-apa.” “Tapi kini keadaan, sudah lain, Samolo.” tukas Nyi Londe penuh emosi. “Sejak aku melangkah masuk ke mulut desa ini aku sudah dapat menduganya. Telah terjadi sesuatu di sini. Tiga sosok mayat secara berturut-turut kulihat tergantung di pohon. Hal ini belum pernah terjadi, aku tahu benar penduduk desa ini bukanlah orang-orang yang mudah putus asa.” kata Samolo geram. Bergidik bulu kuduk Nyi Londe dan Ratna mendengar ceritera Samolo itu. Lalu Nyi Londe pun menceritakan peristiwa diculiknya bayi Ratna oleh komplotan Samirun untuk memperoleh kotak warisan. “Si bayi harus cepat ditolong. Semoga dia masih selamat.” kata Samolo tegas. “Tolonglah anak saya, Bang...! Tolonglah...!” ratap Ratna memohon dengan setengah menangis. “Pasti, Neng.” tegas Samolo seraya bangkit. “Berdo’alah kepada Yang Maha Kuasa, semoga orangorang sesat itu diberi kesadaran!” Katanya tenang namun mengandung rasa geram dan sesal yang dalam. “Mereka lebih berbahaya dari segala ular berbisa. Maka lebih aman kalau kalian mengungsi dahulu ke rumah ayahmu!” Nyi Londe dan Ratna setuju dengan usul tersebut. Malam itu juga Samolo mengantar Ratna dan Nyi Londe ke rumah Ki Kewot. Lengan tua kakek tersebut jadi gemetar memapah tubuh putrinya yang menangis tersedu-sedu di haribaannya. “Kuatkan hatimu, Nak. Tuhan selalu melindungi hamba-Nya yang tidak bersalah.” hibur Ki Kewot dengan mata berkaca-kaca. Hati orang tua ini rasa teriris-iris. Meskipun hidup dalam serba sederhana, di gubuk yang reyot itu, Ratna tidak pernah menderita seperti sekarang ini. Ia selalu melimpahkan kasih sayang yang tak terbatas kepada putri tunggalnya. Ia tak pernah membiarkan putrinya menangis barang sejenak, apalagi bekerja keras, kedinginan atau kelaparan atau derita lainnya. Seekor nyamuk saja yang hinggap dan mengganggu tidur Ratna sudah cukup membuat Ki Kewot jadi geram dan kalap. Kini betapa tidak akan terenyuh hati orang tua ini melihat keadaan serta penderiataan putrinya, bahkan cucunya yang masih tak mengenal dosa itu pun ikut jadi korban kerakusan orang-orang tak beriman itu. Malam itu bulan dan bintang lenyap, tak tampak cahayanya setitik pun. Langit gelap-gulita bagaikan selembar kain hitam raksasa yang menelungkupi seluruh desa Kedawung. Angin berhembus membawa hujan rintik-rintik disertai bunyi guruh yang lapat-lapat terdengar di kejauhan. Tepat pada saat itu tampak sesosok bayangan melesat ke atas wuwungan rumah Samirun. Dengan gerakan seperti seekor kucing, sosok bayangan itu melompat turun dari lubang genting yang dibongkarnya tanpa suara. Ia tepat berada di kamar Samirun yang sedang tertidur pulas. Di antara cahaya lampu yang remang-remang itu terlihat sosok bayangan tinggi besar yang ternyata Samolo. Dengan hati-hati ia melangkah ke sebuah lemari. Dengan sekali sentuh terbukalah lemari tersebut. Dugaannya sangat tepat, ia mendapatkan kotak wasiat itu berada di dalam lemari itu. Dengan kotak terkempit di lengan, Samolo lompat kembali ke atas wuwungan. Sekeping pecahan genting jatuh meluruk menimpa kepala Samirun yang segera tersadar dengan tiba-tiba. Ia masih sempat melihat ujung kaki “pencuri” itu lenyap di lobang plafon kamarnya. Ia lompat ke lemari dan langsung berteriak sambil meraih pistolnya dari bawah bantal. “Maling! Tangkap pencuri...!” Teriaknya sambil melompat ke luar kamar. Di halaman belakang ia melihat sesosok bayangan berkelebat di atas wuwungan. Ia menembak secara beruntun ke arah bayangan tadi. Tapi sosok bayangan itu telah lenyap melompat ke sisi depan gedung. Samirun jadi kalap. “Pencuri! Pencuri!” Teriaknya kalap sambil berlari ke luar. Sesaat kemudian tampak belasan centeng muncul berserabutan dengan obor serta senjata-senjata terhunus di tangan. Semuanya bergerak ke arah luar gedung untuk mengejar si pencuri yang amat tangkas tadi. Namun yang didapati mereka di luar gedung itu cuma deru angin dan suara lolongan anjing Samirun yang menyalak tanpa henti. Samirun membanting kakinya dengan penuh luapan amarah. Dimakinya para centeng itu habishabisan. Sesaat kemudian Samirun tersentak karena mengingat sesuatu. “Si bayi!” teriaknya, lalu langsung berlari masuk ke dalam rumahnya lagi diikuti oleh derap belasan pasang kaki para centengnya. Mereka langsung pula menerobos masuk ke dalam sebuah kamar. Tampak seorang pengasuh sedang berdiri menggigil ketakutan di sisi ranjang bayi yang sudah kosong. “Bangsat! Tidak salah lagi ini pasti perbuatan Samolo.” Teriak Samirun sambil membalikkan ranjang bayi dengan marahnya. “Sosok bayangan itu jelas mirip si keparat sialan itu.” sambungnya. Lalu matanya mendelik ke arah para centengnya yang jadi tertunduk mengkerat. “Bakul-bakul nasi! Aku gaji kalian bukan untuk tidur ngorok, tahu?!” Semprot Samirun belum hilang kalapnya. Sementara itu Samolo telah menyerahkan si bayi ke dalam pelukaan ibunya. Ratna mendekap bayinya yang dikiranya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dengan ledakan tangis. Kotak wasiat itu pun diberikan kepada Ki Kewot untuk disimpannya. “Terima kasih, Samolo!” Cuma itu yang keluar dari mulut Ki Kewot, karena suaranya terasa menyangkut di kerongkongannya. “Bersyukurlah kepada Tuhan, Ki!” jawab Samolo sambil meminum air kendi. “Aku pikir sebaiknya kita segera meninggalkan rumah ini. Samirun pasti tidak tinggal diam!” sambung Samolo. Perhitungan Samolo memang tepat. Karena menjelang fajar, gubuk kecil itu telah dikepung oleh orang-orang Samirun dan beberapa opas dengan senjata-senjata terhunus. Samirun berteriak memerintahkan Samolo menyerahkan diri atau gubuk itu akan dibakar ludes. Detik itu orang-orang di dalam justru sedang siap-siap untuk pergi mengungsi. Demi keamanan dan keselamatan yang lain, Samolo terpaksa pasrah diborgol dan diseret pergi. “Kalau dia berani kabur lagi, bikin tubuhnya jadi santapan buaya-buaya Cisadane.” perintah Samirun kepada orang-orangnya. Seperginya gerombolan yang menggiring Samolo, Samirun bersama tiga orang centengnya, termasuk mandor Sarkawi menerobos masuk ke dalam gubuk Ki Kewot. “Geledah seluruh sudut gubuk reyot ini!” perintah Samirun kepada tiga orang upahannya sambil bertolak pinggang dengan sombongnya. Tiga begundal itu segera mengobrak-abrik seluruh isi pondok untuk mencari kotak wasiat. Melihat ulah orang-orang ini, Ki Kewot tak dapat menahan diri lagi. “Setan neraka jahanam. Keluar kalian!” tudingnya kepada Samirun yang tersenyum iblis. “Hei, tua bangka pikun! Mana mungkin aku keluar dari kandang babi ini, sebelum kotak itu berada di tanganku. Mengerti kau?!” kata Samirun, balas menuding Ki Kewot dengan tongkatnya. “Kotak apa?! Kalian memang sengaja cuma mau mengacau.” bentak Ki Kewot. “Kau sembunyikan di mana kotak itu?!” bentak Samirun setelah melihat orang-orangnya tak berhasil menemukan kotak wasiat itu. “Ayo katakan! Sebelum peluruku ini mengoyak dada keriputmu.” katanya sambil mengokang pistolnya ke arah dada Ki Kewot. Sungguh di luar dugaan, kakek ini malah maju sambil membuka bajunya dan membusungkan dadanya. “Silahkan! Ayo pilihlah yang paling empuk, kasir keparat!” katanya mantap dan nekat. Meletuslah pistol Samirun diiringi jeritan Ratna dan Nyi Londe. “Ayah!” jerit Ratna sambil menubruk tubuh ayahnya yang limbung dengan darah tersembur dari dadanya. Sarkawi menarik lengan Ratna yang meronta dan menjerit seperti gila. Samirun memerintahkan Sarkawi menyeret Ratna keluar, sementara pistolnya sekali lagi “memakan” tubuh Ki Kewot yang langsung tersungkur ke lantai gubuk. Nyi Londe berusaha menolong kakek ini, tapi ia jatuh tersungkur juga digetok gagang pistol Samirun pada keningnya. Ratna terus diseret Sarkawi ke luar gubuk, yang meronta dan menjerit dengan kalap. Gagal menemukan kotak wasiat itu, Samirun jadi buas. Setibanya di luar ia menyambar obor dan menyulut atap gubuk kemudian melemparnya ke atas atap. Dalam sekejap saja api pun berkobar. Ratna makin panik dan meronta dengan kalap di dalam dekapan tiga begundal itu. “Anakku...! Anakku...!” jerit Ratna seperti gila. Tapi Samirun dan tiga begundalnya terus menyeretnya pergi. Suaranya semakin jauh kemudian tertindih oleh gemuruh api yang makin besar melahap seluruh gubuk itu. Nyi Londe berusaha bangkit namun kepalanya terasa berat dan pening. Dengan terbatuk-batuk ia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk merangkak ke kamar karena dari sana terdengar suara tangisan si bayi. Sementara api dengan cepat menjilat dan melahap rumah bilik itu. Sang pengasuh merangkak menembus asap yang menyesakkan napas. “Cepat tolong cucuku, Nyi...! Cepat...!” Dengus Ki Kewot dengan napas satu-satu, sambil mencoba bergerak dan beringsut ke arah kamar di mana cucunya berada. Darah mengalir semakin deras dari luka di dada dan perutnya, berceceran membasahi lantai. Api semakin besar dan ganas melahap seluruh isi gubuk. Balok-balok berapi pun berjatuhan dari atas, nyaris menimpa Nyi Londe yang terus berkutet merangkak menembus asap, menggapai-gapai mencari pintu kamar tidur si bayi. “Cepat selamatkan cucuku, Nyi. Cucuku...!” Terdengar suara Ki Kewot megap-megap di tengah gulungan asap yang makin tebal. Nyi Londe berhasil mencapai kamar dan langsung meraih tubuh bayi yang menangis kepanasan. Darah tampak mengalir dari kening Nyi Londe tapi tak dihiraukan. Ia mendekap tubuh si bayi erat-erat sambil berdo’a karena api telah mengurung semua jalan keluar. “Oh Tuhan, lindungilah makhluk-Mu yang tak berdosa ini...!” Ratap Nyi Londe dalam do’anya. Sementara itu, Samolo sedang digiring oleh para begundal dan opas menuju Tangsi. Dari atas tanggul yang dilaluinya, terlihat olehnya cahaya api dari arah gubuk Ki Kewot. Hati centeng ini jadi tercekat, ia tahu itu pasti perbuatan Samirun dan begundal-begundalnya. Ia benarbenar merasa khawatir akan keselamatan Ratna dan bayinya juga Nyi Londe dan Ki Kewot yang berada di dalam gubuk. Sekonyong-konyong Samolo menggentak rantai borgolnya hingga putus. Berbareng dengan itu, dua begundal yang berjalan di depannya terjungkal ke dalam sungai dengan kepala remuk dibabat lengan Samolo. Dua opas yang berjalan mengiringinya itu terkejut namun sebelum kedua hamba wet ini siap mengayun kelewangnya, Samolo telah lebih dahulu menyapunya dengan sebuah tendangan berantai yang sangat dahsyat, hingga kedua opas itu terpental saling susul ke bawah tanggul. Sisanya menjadi ciut lalu kabur terbirit-birit dari atas tanggul. Samolo pun memang tidak ada waktu lagi untuk berurusan dengan mereka, karena ia dengan kecepatan penuh berlari ke arah gubuk yang sedang terbakar itu. Api sedang mengamuk dengan dahsyatnya ketika Samolo tiba di muka gubuk yang hampir musnah ditelan lidah-lidah api yang mengganas. Tak terasa peluh dingin Samolo membasahi tubuhnya yang panas terpanggang. Ia berteriak memanggil nama Ki Kewot dan Nyi Londe, tapi suaranya sirna ditelan gemuruh api. Juga Ratna yang dipanggilnya tak ada jawaban. Maka dengan nekat ia lompat menerjang gumpalan asap dan api itu dan menerobos masuk. Samar-samar dilihatnya Ki Kewot sedang merangkak-rangkak menuju kamar. “Ki Kewot, mana Ratna dan bayinya? Juga Nyi Londe?!” Teriak Samolo sambil menghindar dari balok berapi yang berjatuhan. Ia melompati lidah-lidah api yang bergejolak itu langsung menyambar tubuh kakek yang terluka parah ini lalu dibawa lompat ke luar. “Jangan hiraukan aku, Samolo. Tolonglah cucuku dan Nyi Londe...!” kata Ki Kewot megap-megap di kempitan Samolo. Samolo meletakkan tubuh tua yang bersimbah darah itu di pekarangan. “Kotak itu berada di bilik kamar itu...!” ujar Ki Kewot dengan napas makin memburu. Samolo tanpa membuang waktu sedikit pun sudah melompat masuk lagi melalui jendela yang dijebol jerujinya dengan sekali babatan telapak tangannya. “Nyi Londe, tetaplah di situ!” serunya kepada Nyi Londe yang terpaku di sudut bilik sambil mendekap si bayi. Samolo membungkus tubuh si Bayi dengan selimut yang dibasahkan lebih dahulu. “Kau keluar dulu melalui jendela itu, Nyi! Aku mau mencari kotak. Cepat!” Nyi Londe agak ragu karena merasa khawatir dengan keselamatan bayi itu, namun ia keluar juga melalui jendela yang sudah dijebol oleh Samolo. Setibanya di luar Nyi Londe dan Ki Kewot menunggu munculnya Samolo dengan jantung berdebar-debar. Ketegangan serta rasa khawatir seolah telah melumpuhkan seluruh sendi tulang dan syaraf mereka. Bagian samping gubuk itu tiba-tiba runtuh. Nyi Londe dan Ki Kewot tampak makin pucat menggigil. “Samolo...! Samolo cepat keluar...!” Teriak Nyi Londe tak sabar. “Cucuku... Oh, bagaimana dengan cucuku...?!” ratap Ki Kewot tersendat-sendat. Tiba-tiba tampaklah Samolo di tengah gejolak api. Kini tiang-tiang bangunan itu mulai berderak bergoyang. Pada detik terakhir itu, Samolo melesat keluar melalui jendela, dan tepat pada detik itu pula ambruklah seluruh bangunan tersebut dan menjelma jadi tumpukan api unggun raksasa. Samolo berguling dengan sang bayi dalam pelukannya dan kotak wasiat tergemblok di punggungnya dalam buntalan kain sarung. Tampak beberapa bagian baju centeng perkasa ini hangus terbakar. Nyi Londe segera menggendong si bayi yang terus menangis itu, Samolo berlutut di sisi tubuh Ki Kewot untuk memberi pertolongan selanjutnya. Tapi kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan lemah. “Jagalah Ratna dan cucuku... Samolo...!” pesannya. “Tenanglah, Ki. Aku pasti akan selalu melindungi mereka.” janji Samolo dengan suara haru. Kepala Ki Kewot tergolek ke sisi, wafatlah orang tua yang telah banyak menderita itu. Samolo tertunduk dengan hati pilu. Setelah Nyi Londe menceriterakan diculiknya Ratna oleh Samirun, Samolo segera mengubur jenazah Ki Kewot di dekat puing gubuknya. Samolo dan Nyi Londe lama termenung, semua peristiwa itu seakanakan sebuah mimpi buruk yang sangat mengerikan bagi mereka. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 9 NYI LONDE membawa si bayi dan Samolo ke sebuah rumah bilik yang terletak terpencil di tepi sungai setelah berjalan menembus hutan jati yang cukup lebat. Rumah bilik itu tampak masih cukup kuat biarpun sudah banyak yang bocor dan bolong di sana-sini, namun masih bisa untuk mereka berteduh. Di sini mereka merasa lebih aman karena agaknya tempat itu jarang dilalui orang. “Rumah ini sudah lama kosong sejak ayahku meninggal dunia!” kata Nyi Londe sambil menidurkan si bayi. “Mudah-mudahan nasib Girin tidak akan seburuk aku.” sambungnya dengan suara pelan penuh haru. “Girin...?!” Tanya Samolo heran mendengar nama itu. “Agaknya untuk selalu mengingat nama Den Giran, Ratna memberi nama Girin kepada putranya ini!” Nyi Londe menjelaskan dengan tersenyum. Samolo termenung memandang keluar jendela. “Entah bagaimana dengan nasib Neng Ratna sekarang. Dia pasti dibawa ke rumah Samirun. Nanti malam akan kucoba ke sana.” “Hati-hatilah, mereka makhluk-makhluk busuk yang banyak akalnya!” kata Nyi Londe khawatir. “Aku tahu mereka akan menggunakan Neng Ratna untuk ditukar dengan kotak warisan!” Malamnya Samolo berangkat ke rumah Samirun, karena ia yakin Ratna pasti disekap di rumah itu. Dengan gerakan ringan ia menyelinap ke dalam pekarangan dan segera bersembunyi di balik pilar. “Sunyi. Aku yakin Neng Ratna berada di sarang setan ini.” pikirnya dengan penuh waspada. Keadaan di rumah itu terasa sunyi mencekam. Samolo pun telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Sekonyong-konyong sambaran angin mendesing ke arahnya. Samolo berkelit tepat ketika sebatang tombak menancap di pilar hanya beberapa inci dari kepalanya. Berbarengan dengan itu, berlompatanlah belasan orang bersenjata dari berbagai sudut, mengepung Samolo. Samolo sadar bahwa ia telah masuk perangkap. Namun sedikitpun ia tidak gentar. Dengan sikap tenang namun waspada ia tegak di tengah pekarangan. Sementara orang-orang bersenjata itu semakin rapat mengurungnya. “Ha ha ha ha...! Sekarang kau tak mungkin bisa lolos lagi, anjing!” terdengar suara gelak tawa Samirun dari tengah kerumunan para begundalnya. “Sebaiknya kau menyerah saja. Nyawa Ratna dan kau sendiri sudah berada di telapak tanganku. Serahkan kotak itu, kalian pasti selamat!” serunya lagi. “Carilah sendiri di tumpukan puing gubuk yang sudah jadi arang itu!” ejek Samolo. Mata Samolo tajam mencari Samirun di antara para pengepungnya itu. Dia berpikir, jika ingin membunuh ular haruslah kepalanya lebih dulu. Ia sudah mengambil keputusan untuk menghabisi si biang kerok itu. Maka ketika matanya menangkap sesosok tubuh jangkung berdiri di belakang para centeng itu, Samolo tiba-tiba melejit seperti pantulan bola lalu lompat melesat ke arah Samirun. Gerakannya begitu cepat dan sukar diduga, membuat para centeng sewaan jadi tersentak dan bergerak serentak untuk menghalangi terjangan Samolo. Samirun terkejut tak alang-kepalang ketika sosok tubuh tinggi besar itu tiba-tiba saja sudah berada dekat di hadapannya, menerjang bagaikan seekor burung rajawali yang sangat tangkas. Samirun dengan gugup lompat mundur sambil menembak dengan pistolnya. Dua letusan terdengar disusul oleh jeritan mengaduh dua orang centengnya sendiri yang segera rubuh bergelimpangan ke tanah terkena peluru nyasar. Detik itu Samolo sudah lompat lagi setelah berguling menghindar dari desingan peluru. Sasarannya selalu terarah kepada Samirun, membuat kasir ini jadi kelabakan dan menembak membabi-buta karena paniknya. Setiap butir peluru yang dimuntahkan dari moncong pistolnya itu selalu saja merenggut satu atau dua nyawa orang-orang sendiri. Keadaan menjadi kacau-balau. Para centeng lari serabutan atau tiarap karena takut terkena peluru nyasar. Hal ini tentu saja tidak pernah direncanakan oleh Samirun. Keadaan kembali sunyi mencekam. Masingmasing berdiam diri di tempatnya. Gelap di sekitarnya, membuat mata Samirun jadi jalang dengan pistol siap tembak di tangannya yang makin gemetar. Ia tersandar di pilar dengan napas tersengal-sengal, karena penyakit asmanya yang kronis itu tiba-tiba kambuh. Mendadak sesosok tubuh melayang ke arahnya, Samirun dengan gugup menembak. Tubuh itu ambruk tepat di bawah kakinya dan ternyata korban pelurunya itu adalah orangnya sendiri yang sudah jadi mayat. Rupanya Samolo yang melemparkan tubuh itu kepada si kasir yang sedang panik ini. Kini Samolo berdiri tegak di hadapan Samirun yang segera menembak dengan pistolnya. Namun yang terdengar hanya bunyi berjetrek karena telah kehabisan peluru. Samolo sudah memperhitungkan semua itu. Samirun jadi panik dan melempar pistol kosong itu ke arah Samolo tapi melenceng menghantam kepala seorang centeng yang sedang tiarap hingga langsung “tidur pulas” di tanah. “Kepung dia! Bunuh cepat!” teriak Samirun kepada para tukang pukulnya dengan gugup. Kini belasan centeng kembali mengepung Samolo. Tiga orang serentak menerjang dengan tombak dan golok. Samolo berkelit dari sambaran senjata-senjata itu sekaligus membalas hingga mereka terjungkal dan menggelepar di atas bumi. Kembali serangan meluruk ke arah Samolo yang ditangkisnya dengan sebatang tombak yang direbutnya tadi. Kali ini pertarungan menjadi seru, senjata-senjata berkelebatan mengurung dan menyambar-nyambar ke arah Samolo bagaikan badai. Setiap tombak Samolo meluncur dan menikam selalu dibarengi oleh pekikan menyayat seorang pengeroyok. Samolo sambil bertempur terus mundur masuk ke dalam rumah. Para centeng yang agaknya dijanjikan upah yang sangat besar oleh Samirun, mereka terus mengejarnya dan perkelahian berlangsung semakin dahsyat. Dengan mengandalkan kehebatan ilmu tangan kosongnya, Samolo berkelahi bagaikan seekor banteng yang tak kenal takut. Babatan maupun pukulan telapak tangannya selalu melumatkan apa saja yang terkena. Satu demi satu para tukang pukul itu rubuh bergelimpangan dengan kepala atau dada remuk. Seluruh perabotan rumah Samirun menjadi berantakan seperti diamuk topan yang amat dahsyat. Anehnya tak seorang pun dari tukang pukul itu yang gentar, malah makin merangsak dengan bernafsu. Samolo pun sadar bahwa orang-orang sewaan ini hampir semuanya terdiri muka-muka baru dan rata-rata berkepandaian ilmu silat cukup lumayan. Maka tidaklah heran sifat pantang mundur itu dipegang teguh oleh mereka. Suatu sikap yang rata-rata dimiliki para pendekar silat. Begitu pun sikap Samolo, ia rela hancur dan pantang mundur setapak pun demi kehormatan nama besar perguruannya. Meskipun dikeroyok oleh belasan jago-jago silat yang rata-rata cukup tangguh, Samolo sama sekali tidak bergeming, senjata-senjata lawan yang bertubi-tubi menyambarnya tak sepotong pun yan bisa menggores tubuhnya. Paling-paling bajunya saja yang koyak tertikam atau terbabat senjata-senjata tajam itu. Semuanya sudah sama-sama nekat seperti kesetanan. Arena pertarungan itu sekejap saja sudah menjadi porak-poranda. Dindingdinding pun jebol hingga ke atap dan para-para. Lamalama semuanya merasa letih namun tak seorang pun mau menyerah. Mayat-mayat mulai bertumpang-tindih di lantai rumah Samirun. Suatu pemandangan yang mengerikan. Mata Samolo terus mencari Samirun, tapi kasir licik sudah tidak terlihat lagi di situ. Tahulah Samolo bahwa rumah itu telah dijadikan alat perangkap baginya, karena tenyata seluruh kamar sudah kosong dan tak terlihat Ratna berada di situ. Samolo benar-benar menjadi geram. Ia tahu pasti ke mana larinya Samirun. Maka dengan mengerahkan seluruh kemampuannya digempurlah sisa pengeroyoknya yang tinggal tiga orang lagi, yang tampaknya paling tangguh dari seluruh para pengeroyok. Samolo tiba-tiba jadi sadar siapakah tiga orang ini. Melalui jurus-jurus silat mereka itu, Samolo tahu bahwa tiga pemuda ini pasti ada hubungannya dengan Mat Gerong, pentolan kepala Garong yang telah dibikin buntung kakinya. “Kalian apanya Mat Gerong?!” tanya Samolo sambil bertempur. “Kau harus membayar hutang kaki guruku yang kau bikin buntung itu, Samolo!” jawab seorang. “Pulang tanpa membawa sepasang kakimu itu berarti mati bagi kami bertiga.” kata yang seorang lagi. “Kenapa kalian begitu bodoh? Potong saja sepasang kaki mayat itu dan katakan kepada guru kalian bahwa dua kaki itu adalah milikku. Setelah itu kalian menyingkir jauh-jauh dari dia untuk selama-lamanya.” kata Samolo memandang tajam ke tiga pemuda yang agaknya bersaudara karena rupa mereka tampak sangat mirip satu dengan yang lainnya. Ketiga pemuda murid Mat Gerong saling pandang sejenak lalu sama-sama lompat mundur. “Suatu pikiran yang baik. Demi ibuku yang sudah tua dan kini sedang terbaring sakit, kami terima usulmu itu.” kata yang lebih tua. “Bagus! Kalian masih sangat muda. Berbakti kepada orang tua pahalanya sangat besar.” kata Samolo tersenyum. Dan tanpa menunggu lagi untuk melihat tiga pemuda itu melaksanakan usulnya tadi, Samolo segera lompat keluar rumah yang telah porak poranda dan lenyap di kepekatan malam. Tanpa membuang waktu sedetik pun Samolo terus berlari langsung ke gedung Tuan Tanah. Ia melangkah masuk ke pekarangan yang sunyi dan gelap itu. “Hei, Samirun, keluar kau! Sudah cukup kau bikin kotor gedung Den Besar ini. Jangan dikotori lagi oleh darahmu yang busuk itu. Keluar, keparat!” teriak Samolo seperti guntur. Tak ada jawaban dari gedung induk yang terkunci rapat itu. “Baik, aku akan masuk menyeret kau!” Samolo melangkah masuk untuk menjebol pintu utama yang terpaksa harus dilakukannya, karena ia tahu tidak ada jalan lain untuk masuk ke ruangan utama. Pintu yang menuju ke belakang itu pun pasti sudah dikunci oleh Samirun. Samolo sendiri sejak dulu belum pernah berani masuk melalui pintu utama itu. Biasanya ia selalu masuk melalui pintu samping. Hal ini ia terpaksa harus melanggar kebiasaannya itu. Namun sebelum ia lakukan, pintu itu terkuak dan terlihat Samirun muncul sambil mengancam Ratna dengan pisau pada lehernya. “Bawa ke sini kotak warisan itu, atau dia akan mati!” ancam Samirun dengan beringas. Wajah Ratna tampak pucat tapi ia tetap tabah dan tenang. Samolo melangkah maju. Samirun segera menekan pisau itu pada leher Ratna. Tampak mandor Sarkawi mengintai di balik pintu. “Den Giran akan segera pulang, kau dan komplotanmu itu akan digulung oleh hukum karena telah merampas semua hak milik majikanmu.” Samolo balas mengancam. “Huh, dengan harta sebanyak itu di tanganku, hukum pun berada di pihakku.” kata Samirun sinis. “Setan sudah menutup matamu, Samirun. Hukum dunia kau dapat hindari tapi tidak hukum akhirat!” “Tutup mulutmu! Kotak itu atau perempuan ini binasa!” bentak Samirun makin kalap. “Baik! Tapi selembar saja rambut Neng Ratna kau ganggu, hanya Tuhan saja yang bisa menolongmu juga para begundalmu itu, Samirun!” ancam Samolo sambil beranjak pergi. Samolo melesat seperti angin ke luar pintu gerbang, berlari ke arah jalan lalu lenyap di kegelapan malam. Samirun menyeret kembali Ratna ke dalam gedung lalu diikatnya di atas kursi. Sementara ia dan Sarkawi duduk di dekatnya untuk menunggu Samolo. Tapi ternyata Samolo tidak pulang mengambil kotak wasiat itu, ia memutar ke belakang gedung dan memanjat dinding lalu melompat masuk ke halaman belakang. Ia mengintai melalui jendela, tampak olehnya Subaidah dan Mirta sedang sibuk mengurus isi sebuah peti, di pindahkan ke dalam koper-koper. Rupanya mereka sudah siap-siap angkat kaki dari gedung itu. Agaknya cuma peti besi itulah yang sempat dibukanya karena kunci-kunci lainnya yang berada di dalam kotak wasiat keburu dicuri oleh Samolo. Namun harta yang dikurasnya itu sudah cukup membuat mereka kaya-raya selama tujuh turunan. Namun karena jiwa mereka memang terlalu tamak, masih juga menuntut seluruh harta warisan yang ada di gedung Tuan Tanah berikut segenap kekayaan yang ada. Dengan memiliki surat-surat sah atas pemilikan harta peninggalan tersebut, mereka akan merasa lega. Sesungguhnya Samirun pun cukup bertindak hati-hati serta penuh perhitungan. Agar tidak menimbulkan perkara dan sanksi hukum, maka ia tidak segera membunuh Ratna dan anaknya yang tercantum sebagai ahli waris dari harta peninggalan Tuan Tanah itu. Kecuali jika seluruh surat-surat berharga itu sudah berada di tangannya, semuanya bisa diatur dengan mudah, demikian pertimbangan si kasir yang cerdik ini. Bahkan dengan menyandera Ratna, ia masih berharap untuk memperoleh seluruh isi kotak wasiat yang ia yakin masih disimpan oleh Samolo di suatu tempat. Ia tahu benar centeng itu pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan harta benda majikannya. Sikap kesetiaan yang luar biasa dari si centeng terhadap majikannya sangat menggagumkan hatinya juga sekaligus membencinya. Tapi kali ini perkiraan Samirun terhadap Samolo meleset, karena ternyata centeng ini tidak pulang mengambiI kotak wasiat yang akan ditukar dengan nyawa Ratna. Ia lupa Samolo bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi kalau diancam. Maka Samirun tidak sadar kalau pihaknya sendiri yang terancam sekarang ini. Karena macan dari Gunung Krakatau ini sudah siap menerkam Subaidah dan Mirta yang sedang berada di dalam kamar penyimpanan peti-peti harta itu. Dengan beberapa kali gempuran tangan Samolo, jebollah jeruji-jeruji besi jendela kamar itu. Ia lompat masuk disambut jeritan Subaidah dan Mirta yang terkejut setengah mati. Kedua ibu dan anak ini segera lari ke sudut kamar dengan tubuh menggigil tak menghiraukan lagi isi koper-koper mereka yang berceceran di lantai. Samirun dan Sarkawi yang berada di ruangan depan terkejut mendengar jeritan Subaidah dan Mirta. “Tunggu di sini, Wi!” perintah Samirun kepada Sarkawi, maksudnya untuk menjaga Ratna yang terikat di kursi. Ia sendiri masuk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi dengan Subaidah dan Mirta. Dilihatnya Subaidah dan Mirta sedang berdiri ketakutan di sudut ruangan, sinar matanya menunjukkan kepadanya akan adanya bahaya di ruangan itu. Samirun mundur sambil meraih sebatang tancapan lilin bercabang tiga yang sangat runcing dari atas meja. Sekonyong-konyong sebuah lengan dengan kuat mencengkeram leher bajunya dari belakang. Samirun berbalik langsung menikamkan tancapan lilin itu, namun senjata darurat itu tiba-tiba pindah tangan dan tiba-tiba pula terhunjam ke dadanya sendiri. Dengan jeritan yang sangat menyayat tubuh Samirun tergetar terhuyung-huyung, darah segar pun tersembur dari dadanya itu ketika tancapan lilin tersebut dicabut. Ia mendekap dadanya, menatap Samolo yang masih menggenggam tancapan lilin itu dengan sorot mata jalang seekor serigala. Tubuhnya semakin limbung lalu ambruk ke lantai menggapai dan meraup emas permata yang berserakan itu dengan lengan gemetar berlumur darah. Namun hanya sekejap karena sejenak kemudian ia menggeliat lalu tersungkur lagi dengan mata tetap terbelalak mengerikan. Subaidah terpekik histeris merangkul Mirta yang menggigil seperti demam. Samirun tewas penuh penasaran. Konon menurut ceritera penduduk setempat, hantunya acap kali terlihat bergentayangan di gedung itu sampai bertahun-tahun kemudian. Samolo melangkah mendekat ke arah Subaidah dan Mirta yang masih menggigil dengan wajah seperti tidak dialiri darah lagi. “Ular betina berkepala dua! Penyebab dari segala bencana terkutuk. Inilah hari terakhir bagimu.” ancam Samolo dengan suara dalam. Lengannya menuding dengan ujung tancapan lilin yang masih meneteskan darah Samirun. “A... a... ampun Bang Sssamolo...! Ampuni saya dan Mirta...! Saya mengaku salah...!” Ratap Subaidah gemetar sambil semakin ketat memeluk putranya. Mirta menggumam tapi tak jelas apa yang diucapkannya. Mata pemuda itu merah dan nampak liar. Tapi ujung tancapan lilin yang sangat runcing dan masih berteteskan darah itu terus terarah kepada nyonya Tuan Tanah tak bermoral yang meratap mengiba-iba dengan air mata bercucuran. Lenyaplah segala keangkuhan serta kecongkakannya sebagai sang Nyonya Besar yang terlalu berambisi ingin meraih bintang. Tapi kini semua impiannya telah pudar menjadi debu. “Ampun, Bang... Kasihanilah saya dan Mirta...! Ambillah semua harta itu tapi jangan bunuh kami...! Ampuun... Bang...!” Subaidah terus menatap ngeri melihat ujung tancapan lilin berdarah itu. “Minta ampunlah kepada arwah Den Besar bila kalian jumpa di akhirat nanti. Kalian sudah terlalu menghina serta menyiksanya, padahal kalian telah dilimpahkan harta benda serta kasih sayangnya. Mau apa lagi?!” bentak Samolo dengan suara dalam menahan haru dan kepedihan hatinya. Subaidah menangis terisak-isak, entah menyesal atau entah karena takut mati. Sekonyong-konyong Mirta menjerit kalap dan langsung menerjang Samolo seperti celeng liar. Samolo menyambar rambut pemuda itu, namun ketika ia hendak menikamnya dengan tancapan lilin tersebut, terlintaslah bayangan Den Besarnya sedang membelai dan memangku Mirta kecil. Suatu kenangan yang begitu melekat di benaknya. Sesungguhnya Den Besarnya sangat mengasihi anak itu meskipun mungkin majikannya itu akhirnya tahu bahwa anak itu sebetulnya bukan darah dagingnya sendiri, karena sampai pada menjelang ajalnya, sikap Den Besar terhadap Mirta tak pernah berubah. Betapa pedih hati Samolo bila mengingat nasib Den Besarnya yang begitu tragis. Namun itu bukan kesalahan Mirta, ia cuma hasil dari penyelewengan dan ketidakkesetiaan orang-orang tak berbudi, kedua ayah-ibunya, ialah Samirun dan Subaidah, biang keladi dari kehancuran keluarga serta kharisma Tuan Tanah yang sangat bijaksana itu. Samolo jadi tercenung sementara Mirta masih meronta di cengkeramannya. Melihat anak kesayangannya itu terancam nyawanya, Subaidah jadi nekat, ia segera menyerang Samolo dengan kekalapannya sambil menjerit histeris. Samolo melepas cengkeramannya pada Mirta dan menyambut terjangan Subaidah yang kalap itu dengan hempasan lengannya, membuat tubuh Nyonya Besar ini terlontar ke arah sebuah cermin dinding berbingkai antik. Wajah Subaidah tepat menghantam cermin hingga cermin tersebut hancur berkeping-keping. Dengan pekikan yang amat menyayat Subaidah tersentak membalikkan tubuhnya, tampak wajah serta matanya berlumur darah tercacah serpihan kaca. Lengannya menggigil berusaha mencabuti pecahan kaca yang menancap di wajah dan matanya. Ia merintih kesakitan. “Mirta...! Mirtaaa... Tolong ibu, Nak...!” rintihnya. Tapi Mirta mundur ngeri memandang keadaan ibunya. Lengannya mendekap matanya dengan napas tersengalsengal, ia melangkah mundur lalu berbalik lari keluar ruangan. Samolo yang ikut tertegun tiba-tiba jadi geram lalu melempar tancapan lilin itu yang telak menghantam kepala pemuda itu hingga jatuh tersungkur. Namun setelah menggelepar sejenak ia cepat bangkit dan terhuyung-huyung lari ke luar sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Subaidah jatuh tersandar ke dinding, merintih terus dengan tubuh gemetar. Seluruh wajah dan baju kebaya rendanya yang berwarna putih itu penuh tersimbah darah. Samolo tak mau melihat lebih lama lagi penderitaan nyonya majikannya yang telah menerima hukuman akibat perbuatannya. Samolo berbalik hendak beranjak dari situ. Tepat pada saat ia berbalik itulah sebuah tikaman ujung tancapan lilin menghantam dan menancap tepat di kedua matanya. Samolo terpekik sambil menepis tancapan lilin yang sudah terlanjur melukai kedua matanya, seraya menghantam si pembokong pengecut itu. Sebuah teriakan mengiriskan terdengar disusul oleh robohnya tubuh gemuk itu ke lantai. “Sarkawi!” dengus Samolo sambil tangannya mendekap matanya yang mengucurkan darah. Rasa sakit terasa menyayat-nyayat seluruh sendi syaraf dan tulang sumsumnya. Dengan terhuyung-huyung ia melangkah keluar, meninggalkan ceceran darah yang menetes terus dari kedua matanya. Tampak tubuh Sarkawi menggeliat-geliat. Kepalanya pecah terkena gempuran tangan Samolo yang sekeras godam baja itu. Tapi mandor ini masih berusaha merangkak ke arah Subaidah yang merintih-rintih terkapar di dinding. “Mana upah saya, Nya Besar...? Upah... sssa... ya...!” katanya sambil menggapai menengadahkan tangannya. Lalu kepalanya tersungkur ke lantai, diam tak berkutik lagi. Dengan langkah tersuruk-suruk Samolo berjalan ke ruangan utama. Ratna yang duduk terikat di kursi jadi terkejut melihat kemunculan Samolo dengan keadaan yang sangat mengerikan itu. “Bang Samolo...?!” jerit Ratna. “Kenapa mata Abang?” tanyanya dengan iba bercampur ngeri. “Biarlah, semuanya sudah lunas ditebus oleh kedua mataku ini.” kata Samolo menahan sakit yang sangat hebat pada kedua matanya yang sudah buta itu. Lengannya yang nampak gemetar itu meraba tambang yang mengikat tubuh Ratna dan membukanya. Samolo tiba-tiba jatuh berlutut. Ratna segera menubruk tubuh centeng perkasa itu dan memapahnya. “Bang Samolo...” keluh Ratna dengan air mata berlinang-linang. “Mari kita pergi ke rumah Nyi Londe, Girin mungkin sedang menangis menunggumu untuk menyusu...” ujar Samolo dengan suara tetap mantap. Dengan penuh haru dan iba serta air mata bercucuran Ratna memapah Samolo, sang centeng yang sangat setia itu, berjalan meninggalkan gedung yang telah menjadi saksi atas peristiwa tragis. Hujan turun rintik-rintik dibawa hembusan angin ketika keduanya berjalan menembus kegelapan malam menuju hutan jati. * * * TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 10 DEMIKIANLAH sebuah kisah panjang yang dituturkan oleh Nyi Londe kepada Giran, putra sulung Tuan Tanah Kedawung yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. “Begitulah kejadian sesungguhnya yang melanda keluarga besar ayahmu, Giran. Kini terserah kepadamu, mau percaya atau tidak. Yang pasti tugasku kini sudah selesai.” Kata Nyi Londe sambil bangkit dari tempat duduknya. Pemuda ini terpaku, termenung dalam kebisuan. “Peti pusaka itu telah selamat jatuh ke tangan pewarisnya yang berhak. Kukira Ratna dan Samolo pun tidak perlu ucapan terima kasihmu, andai pun kau mau mempercayai semua kenyataan itu secara jujur. Yang penting bagi mereka cumalah pengertian darimu. Karena betapa pun mereka telah banyak menderita, sengsara, bahkan terlalu banyak, Giran!” sambung pengasuh ini tanpa bermaksud membujuk. Giran masih tunduk termenung di jendela, sementara Nyi Londe membungkus pakaiannya dengan buntalannya. “Sebenarnya penderitaan Samolo belum berakhir sampai di situ. Ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan pembantaian masal. Hampir dua tahun perkaranya berlangsung. Berkat pembelaan gigih seorang pengacara kawakan, juga para korban itu terbukti memang para buronan dan penjahat yang sedang dikejar-kejar polisi, maka akhirnya Samolo terbebas dari hukuman seumur hidup atau tiang gantungan.” tutur Nyi Londe lebih lanjut. “Dan untuk apakah Samolo sampai rela mempertaruhkan nyawanya sendiri? Untuk siapakah semua pengorbanannya itu? Padahal dia pribadi sama sekali tidak mengharapkan apa pun. Aku tahu pasti itu.” sambung Nyi Londe dengan suara agak tersendat. Giran masih bungkam, namun sesungguhnya sebuah perang sedang berkecamuk di rongga dadanya. “Dapatkah aku mempercayai semua cerita Uwak Londe? Benarkah ibuku menyuruhku ke Borneo hanya siasat untuk menyingkirkan aku semata? Semula aku mengira, akulah yang bodoh tidak bertanya lebih jelas tentang letak kebun karet milik ayahku itu, padahal ternyata pulau Borneo itu begitu luas dan beribu Onderneming karet ada di sana. Maka sia-sialah aku menemukan kebun karet ayahku yang katanya berada di pulau itu. Uang bekal habis sampai aku hidup terlunta seperti gelandangan. Entah berapa puluh suratku yang kukirim ke sini untuk meminta kiriman uang tanpa satu pun yang terbalas. Mungkin Samirun-lah yang menyita surat-suratku itu. Akibatnya hidupku makin parah dan terpaksa jadi kuli kontrak sebagai penyadap karet. Kehidupan yang benar-benar pahit penuh pergumulan serta pertarungan seperti hewan liar. Kadang-kadang cuma demi sedikit uang, nyawa manusia akan dipertaruhkan. Istri-istri mereka begitu mudah luntur kesetiaannya jatuh ke pelukan para controlir atau kepada laki-laki iseng siapa saja yang mau membayarnya hanya dengan sekeping uang. Begitu mudahnya manusia kehilangan martabat serta harga dirinya hanya demi sepotong logam itu. Sejak itu luntur pula kepercayaanku terhadap yang namanya kesetiaan dan kejujuran. Manusia tidak lebih hanya segumpal daging yang serakah dan tamak. Yang masih dipercayai hanyalah kasih ibu dan persaudaraan yang sejati. Hal itu kuperoleh dari orang tua angkatku, kepala suku Dayak Iban yang baik hati. Atas pertolongannya aku masih bisa hidup sampai sekarang ini. Atas bantuan saudara-saudara suku Dayak itulah akhirnya aku bisa berlayar ke Batavia dan pulang ke rumah lagi. Ternyata peristiwa yang lebih tragis dari kebuasan hidup di belantara hutan karet itu telah terjadi di sini, di tengah keluargaku sendiri! Kini jelas sudah, mengapa ayah tidak mencantumkan nama ibu dan Mirta di dalam surat wasiatnya itu sebagai ahli waris dari harta peninggalannya. Rupanya ayah sudah mengetahui penyelewengan kedua orang itu. Namun demi menjaga nama baik serta keutuhan keluarganya, ia rela menelan semua derita pahitnya itu dan dipendamnya rapat-rapat sampai ajalnya yang sangat menyedihkan itu. Oh, betapa mulia hatimu, ayah...!” Sebuah bayangan seolah-olah terpeta kembali di hadapan Giran, sebuah pengalaman hidup yang begitu pahit yang pernah dialaminya di negeri seberang dan telah menempanya menjadi seorang berwatak keras dan tegas. Kepalsuan serta kelicikan sesama manusia terlalu banyak dilihat dan dirasakannya. Kini ia tak mudah lagi mau mempercayai apa saja tanpa bukti nyata. Sikap itu pula yang diajarkan oleh bapak angkatnya yang membekalinya dengan ilmu beladiri cukup lumayan. Hidup ini memang belantara buas, orang harus cerdik dan pandai bila tidak mau jadi mangsa sesama makhluk yang hidup di atas bumi ini. Demikian prinsip petuah itu tertanam dalam-dalam di dasar jiwa Giran. Nyi Londe mulai berkemas dan memakai kerudungnya. Di luar badai masih mengamuk mesti tidak sedahsyat tadi. “Uwak mau berangkat sekarang? Hujan masih belum reda, nanti Uwak sakit...!” Kata Giran pelan. “Apalah artinya hujan sebegitu, kami sudah terlalu terbiasa menghadapi badai sengsara dan derita dunia ini, Giran.” jawab Nyi Londe tajam. Dengan menjinjing buntalan Nyi Londe menguak pintu. Tepat pada sat itu kilat menyambar. Pohon di muka pondok itu tumbang mengepulkan asap. Tapi tanpa gentar sedikitpun perempuan setengah tua ini melangkah terus. “Kau mau ke mana, Wak...?” Tanya Giran melihat kekerasan hati pengasuhnya itu. “Ke mana lagi kalau bukan menyusul Ratna dan Samolo!” jawab Nyi Londe sambil berjalan terus di bawah deraan hujan lebat. Sementara Giran berjalan mengikuti di sampingnya sambil mengempit kotak pusaka itu. “Ke gedung kita?” “Buat apa ke situ lagi, mereka telah kau usir, bukan?” jawab Nyi Londe agak sinis. Giran tertunduk. Mereka berjalan menembus hutan jati yang lebat itu. Cahaya kilat berkali-kali menerangi hutan itu. Tiba-tiba di antara deru angin yang menerpa daun jati, terdengarlah suara teriakan seseorang, suaranya mirip auman seekor anjing liar. “Dengar, Wak, suara apa itu?” tanya Giran sambil memasang telinganya. “Seperti salakan seekor anjing hutan, bukan?” tanya Giran lagi. “Ya, suara seekor anjing hutan yang sangat liar. Mirta!” “Mirta...?!” tanya Giran kaget, karena diketahuinya “adiknya” itu sudah tergeletak jadi mayat di tengah hutan jati tersebut. Giran terperangah, karena kini tampak olehnya Mirta sedang jalan terhuyung-huyung di tengah hutan jati itu sambil berteriak dan tertawa terbahakbahak seperti orang kemasukan setan. “Hua... ha... ha... ha... Ke sini manisss...! Jangan lari, Ratna... Ratnaaa... Aku cinta padamu... Hi... hi... hi...!” teriak Mirta menggapai-gapai entah kepada siapa. “Mirta, dia tidak mati...?” gumam Giran sambil mengintai dari balik pohon. Mirta memang tidak mati, tapi jiwanya sudah tidak waras lagi, akibat pukulan pada kepalanya serta guncangan-guncangan hebat pada jiwanya. Wajah Mirta yang berlumuran darah itu tiba-tiba berubah buas. Ia menggeram. “Hei, Ratna! Apa yang kau lakukan dengan si bedebah Giran di situ? Bocah keparat itu sudah mati, tahu?!” teriak Mirta makin kalap. “Kesini kau Giran! Kutelan hidup-hidup kau, Bangsat! Kau memang selalu menyaingi aku. Sekarang kau rebut Ratna dariku. Dasar setan laknat kau, Giraaannn!” Giran tersentak bagaikan disambar petir. Ia tertunduk dengan lunglai. Sesaat kemudian Mirta membenturkan kepalanya ke pohon jati, lalu menangis sesengukan. “Aduuuuh, Ratna... Jangan tinggalkan aku, Ratna...!” ratapnya tersedu-sedu seperti anak kecil. Pada saat itu dari kejauhan tampak seorang nenek berambut putih berurai, berjalan dengan tersuruk-suruk dan meraba-raba dengan tongkatnya, menghampiri Mirta. “Mirta... Mirta... Di mana kau, Nak...?!” lirih suara nenek ini memanggil-manggil nama anak kesayangannya. Tapi pemuda yang dipanggil malah jadi ketakutan ketika melihat ibunya, lalu menyelinap ke balik pohon dan mengintai dengan mata terbelalak menakutkan. “Sssssiapa lu...!?” tanyanya dengan mata melotot tak berkedip. “Mirta... Kenapa kau, Nak? Ini ibu...!” Jawab Subaidah semakin lirih. Ia melangkah mendekat. Mirta tersentak lalu lari berputar ke balik pohon. Ditatapnya ibunya tajam-tajam. Ia menjerit dengan tibatiba. “Kau...?! Kau Samolo...! Ampuuun...! Ampuun Samolo...! Jangan...! Jangan bunuh aku...! Jangaaannn...! Bukan aku yang menyuruh membunuhmu, Ratna, Girin dan Nyi Londe... Ibuku dan Samirun-lah yang punya maksud menguasai seluruh harta itu. Sungguh mati, Samolo, bukan aku...!” ratap Mirta terbata-bata ketakutan. Subaidah mendekat, lengannya menggapai-gapai ingin membelai kepala putranya yang semakin angot ini. Tapi tangannya itu ditepis oleh Mirta yang menelungkup dan menggigil ketakutan. “Ampun Samolo... Ampun...!” jerit Mirta sambil menutupi kepala dengan lengannya. Subaidah masih berusaha meraba tubuh anaknya, tetapi malah membuat Mirta makin panik meronta dan lari bersembunyi ke balik pohon lagi. Subaidah pun menangislah. “Ya, Allah, ya Gusti...! Beginilah kiranya kutukan-Mu terhadap diriku yang penuh dosa dan noda ini...?” Ratapnya tersedu-sedu penuh penyesalan. “Ibu...?!” Teriak Mirta tiba-tiba seperti sadar. “Oh Mirta... ini ibu! Ibumu Nak...! Ke sinilah, jangan tinggalkan ibu, Mirta...! Ibu tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain kau...!” Seru Subaidah mengiba-iba. Mirta menghampiri ibunya, mendekapnya sambil menangis. “Ibu, kenapa kita jadi begini, Bu...?! Kenapa...?!” Tanyanya sambil menangis. Air mata Subaidah semakin deras tertumpah dari kelopak matanya yang sudah tak berbiji itu. Mirta menatap wajah ibunya dengan pandangan aneh. Tiba-tiba ia tersentak mundur dan jatuh terduduk di kaki ibunya, wajahnya kembali berubah jadi ketakutan. “Haaaah?! Kau bukan ibuku...! Muka ibuku tidak sejelek seperti hantu...! Ya kau hantu...! Hantu... Hiiiii!” Suara Mirta menggigil seperti benar-benar melihat hantu yang amat mengerikan. “Bukankah kau yang bersama-sama paman Samirun dan Sarkawi mencekik ayahku sampai mati? Kalian bertiga ramai-ramai membunuh dia. Sekarang kau juga mau mencekik aku, seperti yang kaulakukan terhadap ayahku...?!” Jerit Mirta tersendat sambil memegang lehernya sendiri. “Cukup Mirta! Cukup! Jangan kau siksa lagi ibu dengan kata-katamu itu!” jerit Subaidah pilu sambil menekap wajahnya. “Aku memang manusia iblis, Samirun juga setan. Aku diseretnya ke jurang paling nista dalam hidup ini. Sekarang aku beritahukan kepadamu, kau sesungguhnya bukanlah anak kandung yang selama ini kau anggap ayah. Dia ayah Giran, bukan ayahmu. Samirun-lah ayah kandungmu, Mirta!” kata Subaidah sambil menangis terisak-isak. Giran memejamkan matanya, ia telah mendengar semuanya. Setiap kata-kata itu seakan-akan lidah petir yang menyambar, menghanguskan serta mengoyakngoyak jantungnya. Angin masih menderu-deru. Pohon jati meliuk-liuk mengeluarkan suara seperti rintihan yang sangat melirihkan, selirih rintihan dan ratapan Mirta yang bergayut di tubuh ibunya. “Pantas, pantas Ratna tidak mau kepadaku, dia lebih cinta kepada Giran, karena bocah jahanam itu adalah asli dari Tuan Tanah yang kaya raya, hartanya tak habis digegares tujuh turunan. Tapi aku? Aku Cuma anak seorang kasir melarat, si setan Samirun...!” begitu ratap Mirta sambil bergelayut di tubuh ibunya yang jadi limbung keberatan. “Coba kalau dulu si Sarkawi berhasil memenggal kepala bocah sialan itu di kebun kelapa, atau dia mati dihadang Mat Gerong tempo hari, waktu ibu tipu dia supaya berangkat ke Borneo, sekarang Ratna pasti sudah jadi milikku. Oh... dasar nasibku yang sial-dangkalan.” Subaidah jatuh terduduk ke akar pohon ditindih oleh Mirta yang semakin angot gilanya. Pemuda ini mulai bicara tidak karuan lagi. Sekarang ia memandang wajah ibunya sambil tersenyum-senyum genit. Lengannya meraba-raba tubuh kurus itu dengan napas berdengusdengus seperti hewan liar. Membuat Subaidah jadi kelabakan dicumbu anaknya yang sinting ini. “Ratna... Ratna. Lu tambah botoh saja sekarang. Hihihihi...!” rayu Mirta sambil meraba pipi ibunya yang sudah keriput itu. “Sekarang gua sudah kaya, lu mau apa? Kalung? Gelang emas atau giwang? Mau berapa gerobak? Gua beliin dan semuanya, asal... hi... hi... hi...” cumbuan Mirta semakin panas. “Sadar Nak! Eliiiiiinnnggg...!” jerit Subaidah ripuh. “Apa lu bilang? Maling!? Lu katain gua maling?! Lu yang maling si Ratna. Biarin lu nyaru jadi nenek-nenek, gua tahu lu si Giran. Mau mengelabuhi mata gua, lu ya? Gua mampusin lu!” geram Mirta, lengannya mencengkeram leher ibunya yang jadi megap-megap. “Mirta! Ini ibu, Mirta... Aakhhk...!” jerit Subaidah tersendat-sendat. Lengannya berusaha melepaskan cekikan tangan Mirta yang makin kuat mencengkeram lehernya. “Bangsat! Lu kira gua takut sama lu? Lu betul-betul biang penyakit, Giran. Gara-gara lu, gua jadi sengsara begini. Mampusss dah, lu...!” geram Mirta sambil mencekik leher ibunya sekuat-kuatnya. Subaidah meronta-ronta berusaha membebaskan diri dari cekikan putranya yang sudah terganggu jiwanya. Tapi usaha Subaidah sia-sia, cekikan Mirta malah semakin kuat, membuatnya tak bisa bersuara maupun bernapas lagi. Matanya memuncratkan darah, lidahnya pun terjulur keluar. Tubuhnya kejang dalam sekarat. Tangan Mirta masih terus mencekik lalu ditekan kepala ibunya hingga hampir terbenam ke dalam lumpur-daunjati yang membusuk itu. Nyi Londe yang menyaksikan adegan yang sangat mengerikan itu, tanpa terasa menjerit sambil membuang muka ke arah lain. Giran tersentak lalu berusaha mencegah tindakan Mirta yang sudah tak waras lagi itu. Tapi ia terlambat, karena tubuh Subaidah sudah terbujur kaku dengan lidah terjulur ke luar. Giran jadi bergidik dan terpaku di tempatnya. Sesaat kemudian dengan masih terengah-engah Mirta terdiam, memandangi wajah ibunya yang diam membiru. Ia tersentak gemetar. “Mati...!?” Gumamnya sambil melangkah mundur. Dengan beringas ditatapnya kedua lengannya yang gemetar itu lalu pandangannya beralih lagi ke wajah ibunya. Wajahnya nampak makin pucat. “Mati...? Ibu ma...ti...?!” celotehnya berulang-ulang. Lalu ia tiba-tiba menelungkup memeluk kepalanya sendiri, menangis terisak-isak. “Ibuku sudah mati...! Hu... hu... hu...!” Mirta terus meratap. Sekonyong-konyong ia menghempaskan tubuhnya ke batang pohon dan membenturkan kepalanya berkali-kali ke batang pohon itu dengan kerasnya hingga darah pun muncrat dari kepalanya yang memang sudah luka itu. Ia menjerit melengking seakan-akan menyesali perbuatannya sendiri. Giran dan Nyi Londe hanya bisa terpaku memandang kejadian itu dengan perasaan ngeri. Mirta sudah terdiam tenang, hanya matanya saja yang masih nampak liar. Namun sesaat kemudian ia senyumsenyum aneh dan terkekeh-kekeh geli sekali seakan-akan melihat suatu peristiwa yang sangat lucu. Kini tertawanya semakin keras dan terbahak-bahak seru. “Dia sudah matiiiiiii... Hua ha ha haha... Matiiiiii...!” Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil menari-nari. Berputar-putar dari pohon ke pohon. Giran menghampiri dan memanggil namanya, tapi Mirta sudah tak dapat mengenali siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Ia masih terus terbahak-bahak sambil menari. Kini suara tertawanya makin mirip lolongan anjing hutan, melengking dan panjang. Ia terus menari-nari semakin jauh ke tengah hutan jati. Hujan masih tumpah dengan derasnya, guntur dan halilintar berpecahan di angkasa. Sekonyong-konyong secercah cahaya yang sangat menyilaukan mata menyambar sebatang pohon jati, disusul dengan sebuah dentuman dahsyat, dan tumbanglah sebuah pohon jati besar. “Mirta awasss...!” Teriak Giran secara reflek. Mirta terpaku memandang pohon besar itu rubuh tepat ke arahnya. Beberapa detik kemudian tubuhnya lenyap tertindih batang pohon yang tumbang itu. Giran memburu ke tempat itu, ia cuma melihat sebuah lengan Mirta terjulur di antara ranting dan daun jati. Dibongkarnya daun-daun itu, terlihat tubuh Mirta tergencet cabang besar dan sudah tak bernapas lagi. Giran berusaha mengangkat cabang pohon yang menghimpit tubuh Mirta tapi tak berhasil. Ia menghela napas dan termenung di sisi pohon tumbang itu. Kemudian melangkah ke arah tubuh ibu tirinya yang terbujur kaku. Nyi Londe pun sudah berdiri di situ. “Kutukan Tuhan akhirnya datang menghukum mereka.” kata Nyi Londe pelan. “Aku merasa seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi yang begitu menakutkan.” Desah Giran sambil menghela napas dalam-dalam. “Ke manakah kira-kira mereka pergi sekarang ini, Wak...?!” tanya Giran. “Maksudmu Neng Ratna, Girin dan Samolo? Aku pikir mereka pergi ke Cengkareng, seorang bibi Ratna katanya tinggal di sana.” Jawab Nyi Londe. Segores senyum kecil terlihat di wajahnya. Setelah menutupi mayat Subaidah dengan dedaunan, Giran merencanakan untuk mengerahkan penduduk agar mengubur jenazah ibu tiri dan Mirta itu dengan layak. Setelah itu ia dan Nyi Londe akan menyusul anak-istrinya serta Samolo dan membawanya pulang ke gedung warisan ayahnya. Hujan masih turun berderai dan angin pun menderuderu. Dengan langkah masih lunglai Giran berjalan mengiringi Nyi Londe ke luar dari hutan jati, sebuah hutan yang telah membuka tabir rahasia yang selama ini menyelubungi keluarganya. Matanya kini telah melihat dengan jelas, juga mendengar dengan seksama semua peristiwa yang terjadi di balik tabir tersebut. Betapa terenyuh hatinya. Sementara itu di sebuah kandang kerbau, tampak Ratna dan Girin juga Samolo sedang berteduh dari serangan hujan deras. Samolo melangkah ke luar kandang tersebut, tangannya menengadah. “Hujan sudah reda dan sebentar lagi berhenti. Mari kita berangkat sekarang Neng, agar tidak kemalaman di jalan!” kata Samolo. Ratna dengan menggendong Girin keluar dari kandang kerbau tersebut, lalu mereka berjalan menuju Cengkareng, seperti yang telah diduga oleh Nyi Londe. Memang tidak ada sanak-saudara bagi Ratna kecuali bibinya yang di Cengkareng itu. Dari jauh Giran melihat mereka. “Itu mereka, Wak. Di dekat kandang kerbau itu!” kata Giran memberitahu Nyi Londe. “Mana...?” tanya Nyi Londe menyipitkan matanya karena ia cuma melihat dua titik kecil saja di kejauhan. Itupun hanya samar-samar tertutup kabut. Giran segera berlari untuk menyusul mereka. “Ratnaaaa! Samolooo...! Tunggu dulu...!” Teriak Giran memanggil-manggil. Suaranya menggema dan memantul di dinding bukit. Samolo tiba-tiba tersentak menghentikan langkahnya. Wajahnya jadi tegang dan beringas. “Huh! Bocah durhaka itu rupanya masih belum puas bila belum menghirup darah kita.” geram Samolo sambil berbalik menghadap dan menyongsong Giran. “Kak Giran...!” kata Ratna lirih. “Jangan khawatir, Neng. Jagalah Den-Cilik!” seru Samolo. Ratna jadi panik mendekap putranya. Hatinya menangis, sakit rasanya karena sang suami yang sangat dicintai dengan sepenuh jiwa raganya itu ternyata tak punya perasaan. Demikian anggapannya saat itu. “Cepat lari ke atas bukit, Neng. Biarlah nyawa tuaku ini dilahapnya kalau dia masih penasaran.” seru Samolo lagi. Dengan susah payah Ratna mendaki tebing bukit itu, sesaat kemudian ia berpaling kepada Samolo. “Marilah Bang. Jangan ladeni dia...!” Teriak Ratna dengan suara gemetar. Tapi Giran sudah semakin dekat. “Hei, Ratna... tunggu...!” teriak Giran sambil berlari semakin dekat. Air mata Ratna deras mengalir, didekapnya putranya erat-erat. Ia bukan takut kepada suaminya, kalo toh ia harus mati. Ia rela mati di tangan suaminya itu. Yang dikhawatirkan adalah keselamatan putranya yang masih kecil itu. Giran tiba di hadapan Samolo yang tegak menghadangnya. Giran melangkah maju mendekat, tapi Samolo sudah demikian nekat dan menyambutnya dengan sebuah babatan tongkatnya kepada Giran. “Langkahi dulu mayatku, sebelum kau menjamah nyawa istri dan anakmu itu, keparat!” bentak Samolo. Giran terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya mengucurkan darah tergores ujung tongkat Samolo. “Bang Samolo...” Suara Giran tersendat dan gemetar. Samolo tertegun karena Giran tidak berusaha menangkis serangannya tadi, bahkan kini suaranya terdengar lembut mengiba. Sebelum hilang rasa heran Samolo, Giran sudah menubruk kaki si centeng yang setia ini dan tersimpuh sambil menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. “Maafkan saya Bang Samolo...! Saya telah berdosa terhadap Abang dan Ratna... juga kepada anak saya sendiri...” Giran tersedu-sedu memeluk kaki Samolo yang jadi tertegun. Tanpa terasa matanya yang sudah tak dapat lagi melihat dunia ini pun jadi ikut berkaca-kaca. Butiran-butiran air hangat jatuh menetes ke kepala Giran. Nyi Londe yang sudah tiba di situ jadi ikut pula menepis air matanya. Giran masih terisak-isak dengan penuh penyesalan. “Sudahlah Den. Sebagai manusia kita semua tak pernah luput dari kesilapan dan dosa...!” Suara Samolo parau bergetar di kerongkongannya. Lengannya mengangkat tubuh majikan mudanya yang kini telah sadar dari kesalahpahaman itu. “Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih, mau mengampunkan dosa-dosa semua hambanya.” Kata Samolo lirih. Giran tertunduk menghapus air matanya. “Kalian telah banyak menderita. Entah bagaimana harus kuminta maaf padamu, Bang... Budi Abang begitu dalam seperti lautan.” Suara Giran masih bergetar. “Jangan Aden bicara begitu, kalo soal budi mungkin aku-lah yang lebih banyak berhutang kepada mendiang ayahmu, Den!” ujar Samolo sambil menarik napas. Giran pun meminta maaf kepada Nyi Londe dengan mencium tangan pengasuhnya itu. “Aku gembira ternyata kau masih senang mendengar dongengku, Giran.” kata Nyi Londe tersenyum dalam linangan air matanya. “Neng, Neng Ratna!” tiba-tiba Samolo memanggil Ratna. “Bawalah Den Girin menjumpai ayahnya!” Tapi tidak terdengar jawaban Ratna. Senyum Samolo lenyap berganti rasa khawatir yang tergambar di wajahnya. Begitupun dengan Giran dan Nyi Londe, mereka memandang ke sekitar tempat itu lalu ke atas tebing. Namun tidak terlihat bayangan Ratna di manapun. Rasa cemas segera merayapi hati tiga orang ini. Mereka segera berpencar ke tiga penjuru untuk mencari Ratna dan Girin. Giran melompat ke atas tebing, memandang ke sekeliling dan terkesiaplah hatinya karena di balik tebing itu terdapat jurang yang menganga dalam. “Ratnaaaaaaa...!” Teriak Giran keras-keras. Suaranya menggema dan berkumandang ke seluruh penjuru. Tapi tiada jawaban kecuali pantulan gema suaranya sendiri. Samolo dan Nyi Londe pun memanggil-manggil nama Ratna dan Girin, juga tiada jawaban, kecuali gemuruh air sungai yang mengalir sangat deras di bawah jurang terjal itu. Giran dengan putus asa melompat dari tebing, wajahnya pucat dan muram. Ia menghempaskan tubuhnya duduk di atas batu, membenamkan kepalanya di antara kedua sikunya. Samolo dan Nyi Londe samasama lemah lunglai, masing-masing duduk di atas batu pula. Langit mendung kian menggantung di angkasa. Sekelam hati ketiga insan yang tengah dirundung duka nestapa. Wajah kedua abdi yang setia ini tenggelam dalam kepedihan yang sangat dalam. Tiada nampak air mata lagi, karena kali ini yang menangis adalah hati mereka. Wajah Samolo tampak kosong tak berekspresi, ia tafakur menunjang tubuhnya yang kokoh itu dengan tongkatnya. Bagaikan sebuah patung arca yang menunggu kelapukannya dimakan zaman. Mata Nyi Londe pun tampak hampa tak bersinar lagi. Dunia ini terasa begitu kosong bagi mereka. Karena mereka sudah merasa pasti bahwa orang yang mereka sangat kasihi telah tiada lagi di dunia ini, hanyut bunuh diri ke dalam sungai karena kecewa dan putus asa. Membawa anaknya ikut bersamanya, daripada anak itu akan jadi korban kekejaman ayah kandungnya sendiri. Ada rasa penyesalan terhadap sikap tuan mudanya ini, namun mereka tak mau mengutarakannya karena sudah tak berguna lagi. Mereka hanya menyesali nasib, mengapa harus mendera seorang wanita yang lembut hati itu sampai begitu kejam. Bukankah ada orang lain yang lebih jahat dan buruk tetapi bisa hidup senang menikmati hasil kebusukannya? Oh, betapa tidak adilnya kehidupan ini. Demikian pikir Samolo dan Nyi Londe hampir bersamaan. Angin berhembus membawa titik-titik air sisa hujan. Suasana terasa hening membeku seakan-akan seluruh permukaan bumi sudah tidak lagi dihuni manusia. Giran terkulai bagaikan sebatang kayu yang layu. Hilanglah ketegaran jiwanya yang kokoh tak kenal kompromi. Tadinya ia menganggap dirinya sudah demikian dewasa dan matang, namun sesungguhnya ia pun tidak berbeda dengan orang-orang picik dan dungu, juga kekanakkanakan. Memandang corak dan warna kehidupan ini dari sudut yang begitu sempit lalu dengan gegabah memvonisnya tanpa kenal ampun. Giran kini mengutuki dirinya sendiri, ia merasa kerdil dan sangat berdosa, karena telah menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang sesungguhnya sangat mengasihinya. Giran meremas-remas kepalanya penuh penyesalan. Betapa pedih dan hancur hatinya bila mengingat nasib sang istri yang begitu setia dan sabar menantinya, meski setiap hari menerima siksa dari sang mertua yang ternyata berhati iblis. Yang lebih tragis lagi sepulangnya suami yang amat dirindukannya itu malah telah mendatangkan bencana yang lebih fatal lagi. Tak sanggup lagi Giran memikirkan hal itu. Ingin rasanya ia terjun ke dasar jurang untuk menyusul anak dan istrinya itu. Semua yang dimilikinya kini terasa sudah tak berarti sama sekali. Kehidupannya benarbenar sudah terasa hampa, lebih pahit dari kehidupannya ketika harus bergumul di tengah belantara hutan Kalimantan yang buas itu. Bahunya terguncang dalam isak penuh penyesalan. Berkali-kali disebutnya nama Ratna sambil meremasremas kepalanya sendiri. Hingga pada suatu saat, di antara linangan air matanya ia melihat sepasang kaki putih mulus melangkah mendekat dan berhenti di sisinya. Giran pelan-pelan mengangkat wajahnya, ia seakan-akan tengah bermimpi, ditatapnya perempuan yang berdiri menggendong putranya itu, laksana bayangan fatamorgana yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Ratna...?!” Gemetar bibir Giran menyebut nama itu. “Kak Giran...!” lembut jawaban itu namun bagaikan awan mendung menjelang hujan. Dengan perasaan takut kehilangan lagi, Giran segera merangkul tubuh semampai itu, yang sudah bertahuntahun dirindukannya. Erat-ketat bagai tiada sesuatu pun yang dapat memisahkan mereka lagi. Ratna menangis tersedu-sedu terbenam dalam pelukan suaminya. Girin menangis ketakutan. Suatu pertemuan yang amat mengharukan. Ketiganya berdekapan dalam sedu-sedan yang sangat melirihkan namun membahagiakan. Samolo dan Nyi Londe pun ikut menepis air mata karena rasa haru dan bahagia yang menyesakkan dada mereka. Giran membelai kepala putranya. “Girin, anakku...” katanya penuh kasih sayang, juga mengandung rasa bersalah. Girin masih memangis dan memeluk ibunya erat-erat karena takut kepada laki-laki asing yang pernah menganiaya ibunya serta uwak-nya dengan garang itu. “Ini ayah, Nak...! Ayahmu...” Bujuk Ratna dengan mata berkaca-kaca. Tapi Girin masih meronta ketakutan. “Biarkan saja dulu. Kelak kasih sayang jugalah yang akan melunakkan hati dan jiwanya.” ujar Samolo tersenyum. “Betul, cuma kasih sayanglah yang bisa mempersatukan manusia.” sambung Nyi Londe seperti berfilsafat. Samolo manggut-manggut menyetujui pendapat pengasuh yang telah membuktikan sendiri kata-katanya melalui kasih sayang yang dilimpahkan kepada anak asuhannya yaitu Giran. Tanpa kasih sayangnya itu barangkali pamor keluarga Tuan Tanah akan hancur sama sekali. Begitu pun Samolo, demi kasih sayang ia rela berkorban apa saja termasuk sepasang matanya itu. Juga Ratna, dia begitu tabah dan setia, tahan segala derita. Semua demi kasih sayangnya. Maka tak masuk di akal kalau ia menjadi nekat bunuh diri bersama Girin. Hati kecilnya masih punya keyakinan bahwa Giran pada suatu saat akan sadar dari kekeliruannya. Maka ia menyelinap turun dari tebing dan bersembunyi di balik batu. Ia telah mendengar dan melihat perubahan sikap suaminya itu. Dia-lah yang pertama-tama menangis di balik batu itu, tangis bahagia yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi menghinggapi hatinya semenjak malam terakhir Giran pergi meninggalkannya. Kini masa lalu itu bagaikan sebuah mimpi yang amat menakutkan dan telah berakhir. Mereka telah berkumpul kembali, sama-sama menghapus air mata. Berganti denga air mata bahagia yang mengalir dari relung hati serta wajah-wajah yang dihias senyum ceria. Seceria cahaya fajar yang baru menyingsing di ufuk timur. Awan mendung pun telah buyar sudah. Dengan langkah mantap mereka saling berpegangan berjalan pulang untuk menyongsong fajar kehidupan baru. TAMAT