dapatkan ebook menarik lainnya di http://salga.heck.in jika sahabat ingin membantu untuk memperbanyak koleksi ebook hp kami silahkan donasikan pulsa ke nomor 085255251680 BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG Ebook Oleh: kiageng80 Kitab: Pendekar212 WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 1 ANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar megah. Serombongan burung-burung pipit berarak dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar matahari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung. Bila seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Di satu tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia memandang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang dilihatnya. Pohonpohon menghijau di kejauhan. Di utara dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa penjaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena ditimpa sinar matahari. Wiro menyeka peluh yang mencucur di keningnya dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya. Setelah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia melanjutkan perjalanan kembali dan kali ini dengan mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia berharap akan sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyuruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya. Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, Wiro memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti L akan sia-sia! Dari memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro Sableng berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk mencangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup! Yang membuat Wiro Sableng heran ialah apa yang tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang panjangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya. Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwarna di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan cairan berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak mengetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ. Wiro terus memperhatikan dengan tak bersuara. Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya dilakukan seenaknya dan asalasalan saja. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah teriknya sinar matahari! Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk tidak mengganggu si orang tua, maka Wiro Sableng melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang tua berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti lukisannya. “Ah... bagus sekali... bagus sekali! Bocah itu tentu akan senang melihatnya!” Suara orang tua ini kecil halus seperti perempuan. Wiro Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua telah melukis seorang perempuan telanjang yang berbaring di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus. Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela ke lantai kamar yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat lukisan perempuan telanjang? Betul-betul keblinger, pikir Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini? Sementara itu si orang tua kelihatan menambah beberapa guratan pada lukisannya. Wiro Sableng memperhatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya. Karena jauh Wiro tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin tahu akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro Sableng hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta meningkahi derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan. Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan itu bergerak perlahan. Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya. Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak berpaling. Apakah dia tuli? Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si orang tua. “Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta bisa lewat.” Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanannya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melanjutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah kanan lukisan. Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si orang tua tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun tidak! Dari dalam kereta terdengar suara seseorang. “Pengawal, ada apakah kereta berhenti?” “Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,” jawab prajurit yang turun dari kuda. Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang laki-laki berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-laki ini membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta. Digeleng-gelengkan kepalanya. “Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua,” kata laki-laki ini. Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi pekerjaannya. “Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini. Apakah kau sudi menjualnya?” Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan tersenyum lagi. “Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi sayang, lukisan ini bukan untuk dijual...” Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu. “Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja harganya...” Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual. Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain.” “Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini,” kata Raden Mas Cokro. “Menyesal sekali...” “Akan kubeli lima puluh ringgit.” “Maaf Raden Mas...” “Seratus ringgit!” “Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun tak dapat kukabulkan Raden Mas...” “Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!” Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit betul-betul harga yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya! “Ini terimalah.” kata Raden Mas Cokro seraya mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala. “Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat kujual Raden Mas. Mohon maafmu...” Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, “Apa dengan harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada Adipati Pamekasan?” “Ah...” Si orang tua menjura dalam-dalam. “Tak tahunya aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,” katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya, “Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan, lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau tak perlu membayar mahal... Kau pasti tak akan kecewa Raden Mas...” Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa. Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke dalam kereta. “Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau, orang tua. Di mana tempat tinggalmu?” tanya Raden Mas Cokro lewat jendela kereta. Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia menjawab, “Aku seorang pengembara luntang-lantung, Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap. Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku akan antarkan sendiri ke Pamekasan...” Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasaran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintahkannya anak buahnya melanjutkan perjalanan! Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan pekerjaannya. Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua. Betul-betul manusia ini aneh sekali! Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua. Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya begitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng memperhatikan dengan seksama. Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek. Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning kelihatan menjorok ke luar. “Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus luar biasa!” berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang tersandar di batu. Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-kata pada bagian bawah kanan lukisan itu. “Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!” kata si gemuk dengan suara keras lantang hingga mengumandang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini! Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diperdulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi tiada diambil perhatian oleh si orang tua! “Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!” bentak si gemuk. Barulah orang tua itu berpaling. Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit senyum tersungging di bibirnya. “Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis Dari Selatan?” *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 2 I GEMUK terkesiap karena tiada menyana kalau orang tua kurus kering itu mengetahui dirinya. Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan manusia sembarangan. “Bagus sekali kau kenali aku!” kata si gemuk. “Ini membuat aku tak banyak cerewet untuk meminta lukisan itu padamu!” Si orang tua tertawa panjang. Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia persilatan di daerah selatan pada masa itu dikenal dua orang sakti bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan. Dia berjuluk Iblis Kurus. Yang kedua berbadan gemuk pendek juga bermuka buruk seram dan bergelar Iblis Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan dengan si orang tua itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus kedua-duanya lebih dikenal dengan sebutan Dua Iblis Dari Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga hadir Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang muncul. Dan dalam dunia persilatan keduanya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati jahat sehingga pantas sekali julukan ‘Iblis’ itu bagi keduanya! Di samping berhati jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan mengumpulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata kuno, patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan yang dibuat si orang tua maka hatinyapun tertariklah dan dia musti mendapatkan lukisan itu. Tentu saja bukan dengan jalan membeli, tapi menurut caranya sendiri yaitu kekerasan. Setelah meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka menjawablah si orang tua, “Lukisan ini tak bisa kuberikan padamu, atau pada siapapun.” “Setelah tahu siapa aku apakah kau berani menolak?!” ujar Iblis Gemuk. “Ah sudahlah pekerjaanku masih belum selesai. Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis Gemuk.” Si orang tua memutar kepalanya S kembali dan hendak meneruskan pekerjaannya. Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras. “Suka atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan padaku! Kalau tidak kau akan menyesal orang tua...!” Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa mengacuhkan Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali pekerjaannya. Marahlah Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke samping. Tapi belum lagi tumit itu sampai, si orang tua sudah berkelit dan berdiri. Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh tapi gerakannya untuk mengesampingkan orang tua tadi adalah salah satu jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang tidak mudah untuk dikelit. Ini membuat Iblis Gemuk tambah marah dan serta merta pukulkan tangan kirinya ke arah dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong itu! “Manusia tidak tahu diri!” bentak si orang tua mulai marah, “Lekas kau pergi dari sini...!” “Aku akan pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu pukulan padamu dan mendapatkan lukisan itu!” Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan dengan lambaikan tangan kanannya ke muka! Iblis Gemuk menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana sambaran angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan saja pukulannya membelok ke samping tapi sekaligus membuat tubuhnya terhuyung-huyung sampai empat langkah ke belakang! “Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa kau sesungguhnya?!” bentak Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa pendek. “Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat ini sebelum aku betul-betul marah!” “Manusia jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di badanmu kubikin berantakan!” Habis berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke muka dan kirimkan serangan yang ganas. Dalam tempo yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di tikungan jalan yang sempit itu. Di samping mereka, menunggu jurang batu yang luas dan dalam. Salah saja membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau terpeleset, tak ampun lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang! Pertempuran telah berjalan delapan jurus. Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua yang kurus kering itu memiliki gerakan yang demikian sebat dan entengnya. Beberapa kali dia melihat bahwa orang tua ini mempunyai peluang untuk menjatuhkan tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada dipergunakan. Nyatalah bahwa orang tua ini berhati demikian polosnya sehingga menghadapi lawan yang terangterangan hendak bermaksud buruk kepadanya, dia masih belum mau lepaskan tangan keras! “Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat kaki dari sini?!” “Kunyuk kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung Menentang Bukit ini!” teriak Iblis Gemuk. Tinju kanannya menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi pukulan dan tendangan itu sampai, anginnya saja sudah menderu dahsyat! Buukk! Terdengar menyusul suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis Gemuk terbanting ke belakang, punggungnya menghantam gundukan batu di atas mana Wiro Sableng duduk, kemudian melosoh jatuh duduk di tanah. Nafasnya megap-megap ketika berdiri. Masih untung dia terbanting ke samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan terlempar masuk jurang dan tamat riwayatnya. “Masih belum cukup peringatan yang kuberikan padamu Iblis Gemuk?!” tanya si orang tua. Iblis Gemuk berkemak-kemik. Mukanya pucat. Nyatalah dia telah menderita luka di dalam yang cukup parah akibat pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya! “Bangsat tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis Dari Selatan akan menunjukkan jalan ke akhirat padamu!” Si orang tua tertawa mengekeh. “Kau mau panggil kambratmu si Iblis Kurus...? Silahkan... silahkan! Masa ada tamu yang bakal datang aku hendak pergi tinggalkan tempat ini? Pekerjaanku pun belum selesai!” Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat tinggalkan tempat itu, sedang si orang tua seperti tiada terjadi apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya! Di atas batu yang tinggi Wiro Sableng memutar otaknya berusaha mengingat-ingat siapa adanya orang tua yang berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil mendadak entah dari mana datangnya, tahutahu Wiro Sableng melihat di bawahnya telah berdiri seorang neneknenek berbadan bungkuk berambut putih yang mukanya buruk sekali. Karena Wiro sama sekali tiada mendengar kedatangan perempuan ini nyata sekali dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi luar biasa! Setelah memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar di atas batu maka perempuan tua renta ini menegur bertanya, “Orang tua, apakah kau melihat dua orang kawanku lewat di sini...?” Tidak seperti biasanya, sekali ini begitu ditegur maka orang tua itu hentikan pekerjaannya dan berpaling. Matanya yang sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksama sedang keningnya berkerenyit. “Hanya ada seorang yang lewat di sini barusan,” jawab si orang tua. “Iblis Gemuk, apakah dia yang kau maksudkan?” “Bukan!” jawab perempuan tua itu. Dia melirik pada lukisan yang tersandar di batu. “Itu kau yang membuatnya?” “Betul.” “Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka lukisan itu harus kau bawa ke Gunung Sumpang dan menyerahkannya padaku! Kau dengar?” “Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak bisa kuberikan pada siapa-siapa!” “Aku tak perduli!” sentak si perempuan bongkok. “Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak ingin buru-buru mampus! Karenanya jangan banyak mulut! Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada tanggal satu bulan di muka!” “Tidak mungkin!” “Kau membantah?!” Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala. “Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi!” “Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!” “Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak berikan. Adipati Pamekasan berniat membelinya dua ratus ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya. Tetap saja aku tak bisa memberikan!” “Kalau begitu kau berikanlah nyawamu!” sahut si perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap untuk kirimkan satu pukulan. “Tahan dulu sobat!” ujar si orang tua berbadan kurus. “Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu menginginkan lukisan itu?!” “Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis perkara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?!” “Lucu! Sungguh lucu!” “Apa yang lucu?!” sentak si perempuan bungkuk bermuka keriput. “Lukisan begini rupa banyak orang yang menginginkannya, apa itu bukan lucu?!” “Orang tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serahkan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini!” Habis berkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan kirinya ke arah batu di atas mana Wiro Sableng duduk sembunyi sejak tadi! Byur! Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam jurang dengan suara menggemuruh. Wiro sendiri begitu merasa bagian bawah batu hancur segera melesat dan berpindah ke puncak batu yang lain! Si orang tua tarik nafas panjang-panjang dan geleng-gelengkan kepala. “Pukulan yang bagus luar biasa! Pukulan yang hebat!” katanya memuji. Kemudian dipandanginya paras perempuan di hadapannya. “Sungguh mataku yang telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku masih bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku betul-betul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang terkenal itu!” Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak mengherankan si perempuan bungkuk berambut putih. Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewaktu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya! “Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan, apakah kau masih banyak cerewet tak mau serahkan lukisan itu?!” “Langit memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah semua itu dapat melebihi tinggi dan luasnya budi manusia yang berhati luhur?” Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu. “Lekas beri tahu siapa kau!” sentaknya. Si orang tua geleng-gelengkan kepala. “Manusia tetap manusia sekalipun dia punya seribu nama! Manusia tak perlu agul-agulkan nama terhadap sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama...!” “Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa lukisan itu kuambil sekarang juga!” kata Nenek Rambut Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di batu. Namun mendadak sontak perempuan tua itu merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu sentilan ujung jari ke arahnya! “Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah?!” lengking Nenek Rambut Putih. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini lebih seru dari pertempuran antara si orang tua dengan Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan lenyap berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil berhamburan, debu jalanan beterbangan. Wiro Sableng memperhatikan dengan mata tak berkedip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat luar biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat sepuluh jurus Nenek Rambut Putih berhasil didesaknya ke tepi jurang! “Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di dasar jurang sana!” Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan satu tendangan ganas. Lawannya berkelit gesit ke samping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkeping-keping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat hal ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya. Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap saja tubuhnya lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih kebingungan sendiri! Bret! Si nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang robek besar dan kulit badannya terasa dingin sedang di hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa dan menegur, “Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini!” Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik. Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan tandingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya, Nenek Rambut Putih berkata, “Sayang aku tengah mencari dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun aku akan ladeni kau.” Si orang tua ganda tertawa. “Permusuhan tanpa alasan bisa dicari,” sahutnya “Berlalulah...!” “Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus sudah kau sampaikan ke Gunung Sumpang! Kalau tidak aku dan kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang tua!” “Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa mintaminta ampun segala?!” menyahuti si orang tua. Tapi Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang dari tempat itu! Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan sebelah kanan, maka dari tikungan sebelah kiri terdengar seruan nyaring, “Orang tua keparat! Aku datang untuk menagih jiwamu!” *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 3 ERNYATA yang datang bukan lain daripada Iblis Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si orang tua berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian, tapi bersama seorang laki-laki berbadan tinggi yang kurus luar biasa, lebih kurus dari si orang tua sendiri. Keadaan tubuhnya serta tampangnya yang mengerikan persis seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini pun menguncir ke atas rambutnya yang gondrong dan dia bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak kandung dan kakak seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada Iblis Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah mencari kakaknya itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang tua melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelumnya! Si orang tua yang tadi sudah hendak mencangkung untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara seruan nyaring itu segera berdiri. “Hem... kau betul-betul datang menepati janji, Iblis Gemuk!” kata si orang tua sambil melirik pada Iblis Kurus. Iblis Kurus memandang mencemooh. “Adikku, apakah ini manusianya yang telah berani turunkan tangan lancang terhadapmu?!” “Betul, memang dia bangsatnya!” sahut Iblis Gemuk. Iblis Kurus memperhatikan lukisan di belakang si orang tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta merangsang. Tidak salah kalau adiknya demikian tertarik dan menginginkannya. “Manusia kurus cacingan macam ini saja kau tidak sanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku menjadi luntur!” Si orang tua tertawa dingin. “Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis Kurus. Karenanya tak perlu mencela orang lain...” “Kakakku, kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar dengan bangsat tua ini. Mari kita musnahkan dia!” ujar Iblis Gemuk. T Si orang tua tertawa mengekeh. “Nyalimu melembung besar kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan kakakmu ini, bukan?!” “Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih bisa bicara sombong!” Si orang tua berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata, “Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama kudengar. Antara kita tak ada permusuhan...” “Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap adikku, apakah itu bukan berarti permusuhan?!” potong Iblis Kurus. “Itu salah adikmu sendiri!” sahut orang tua itu dengan nada sabar. “Dia inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah kalau aku memberi sedikit pelajaran padanya?!” “Tapi tidak seorangpun yang boleh turun tangan seenaknya terhadap Dua Iblis Dari Selatan!” tukas Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa mengejek. “Sifat manusia memang banyak yang aneh,” katanya. “Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau!” Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada. “Orang tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu pada adikku. Niscaya kami Dua Iblis Dari Selatan tidak akan bikin urusan menjadi panjang!” Orang tua itu geleng-gelengkan kepala. “Heran,” katanya, “mengapa di dunia ini masih banyak manusiamanusia yang ingin memaksakan kehendaknya terhadap orang lain...” “Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak?!” bentak Iblis Kurus. “Kalau begitu lekas terangkan namamu! Aku tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu nama atau julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau!” Si orang tua tertawa panjang tapi kali ini tawanya bernada rawan. “Seharian ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu namaku,” katanya. “Padahal semua manusia dilahirkan tidak bernama...” “Jangan ngaco! Lekas beritahu namamu!” hardik Iblis Kurus sambil maju satu langkah. Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu keluarkan serangkaian nyanyian: Puluhan tahun mengembara Tiada berumah tiada bertempat tinggal Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan Bukankah pekerjaan baik, melukis segala yang indah? Mendengar suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari Selatan. Mereka saling pandang sejenak. “Jadi rupanya kaulah Si Pelukis Aneh yang selama ini malang melintang dalam dunia persilatan?!” ujar Iblis Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa adanya manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut Si orang tua yang memang Si Pelukis Aneh adanya mengusapusap dagunya. “Sungguh tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan akan berhadapan dengan Si Pelukis Aneh akan pasrahkan jiwanya di tanganku!” Si pelukis Aneh tertawa panjang-panjang. “Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut pantangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain hendaki jiwaku, mana mungkin aku berpangku tangan...?!” “Bagus! Sekarang terima jurus pertama ini kunyuk tua!” teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta menyerang ke muka. Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya sudah tinggi maka Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu silatnya. Tahu menghadapi lawan yang tangguh maka Iblis Kurus keluarkan jurusjurus terhebat dari ilmu silatnya sehingga dalam waktu yang singkat serangannya laksana hujan bertubi-tubi melanda tubuh Si Pelukis Aneh! Dalam lima jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin terdesak hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Gemuk untuk bergerak mengambil lukisan perempuan telanjang yang tersandar di batu! Meski dalam keadaan terdesak, si Pelukis Aneh masih sempat melihat gerakan lawannya yang satu itu. Maka dengan melengking tinggi orang tua ini melompat sejauh dua tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu tendangan ke arah Iblis Gemuk. Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengambil lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin tendangan lawan deras dan bahayanya bukan olah-olah! Baru saja Si Pelukis Aneh jejakkan kakinya di tanah, maka Iblis Kurus telah menyerbunya dengan dua tendangan, dua pukulan! Namun kali ini Si Pelukis Aneh telah rubah permainan silatnya. Matanya yang tajam dan penuh pengalaman itu sudah melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis Kurus merasakan desakan serangan yang hebat sekali membuat dia selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak hebat. Dia sama sekali tak dapat melihat gerakan lawan dan tahu-tahu tangan atau kaki orang tua itu sudah berada dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurnalah maka dia masih sanggup elakkan semua serangan lawan itu! Tapi sampai beberapa lama dia sanggup bertahan?! Iblis Kurus menjadi gemas sekali. Semakin lama seakan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak bisa dilihatnya mengacaukan serangan serta jurus-jurus pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus keluarkan keringat dingin sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi jurang! Setiap dicobanya untuk melompat ke samping selalu dia berhadapan dengan tendangan-tendangan atau jotosanjotosan lawan yang menyambar di muka hidungnya hingga dia terpaksa membatalkan niatnya untuk melompat ke samping! Dalam pada itu, detik demi detik tepi jurang semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran yang kelima belas tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa langkah saja lagi di belakangnya! “Gemuk! Lekas bantu aku!” teriak Iblis Kurus. Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi sudah punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang sebelumnya telah menghajarnya segera cabut senjata dari balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan dilapisi emas murni maka sinar kuning kelihatan menderu sewaktu pedang itu membabat ke arah punggung Si Pelukis Aneh! Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar Iblis Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran angin yang deras datang menerpanya dari belakang! Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis Aneh dengan cepat memutar badan menghadapi serangan pedang berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk! Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk melompat ke samping menjauhi tepi jurang batu lalu dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya sama dengan yang di tangan Iblis Gemuk. Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro Sableng menjadi penasaran. Segera dia hendak melompat dari atas puncak batu untuk membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si kakek telah berkelebat dan kini di tangannya memegang pelepah pisang yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia meletakkan cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan untuk melukis! Dengan mempergunakan benda ini sebagai senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya dengan hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar sekali, ditambah dengan saluran tenaga dalam yang tinggi maka setiap benda itu berkilat menderulah angin deras luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis Gemuk dan Iblis Kurus! Dua sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung ganas. Agaknya Dua Iblis Dari Selatan itu mulai mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka. “Bagus! Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku mau lihat!” seru Si Pelukis Aneh. Daun pisang di tangannya bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali setiap jurus serangan yang dilancarkan. Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi leletkan lidah ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di tangan lawan sanggup membuat satu goresan pada daun pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski digerakkan demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata namun cairan-cairan aneka warna yang ada di daun pisang itu tidak satu tetespun yang tumpah atau meleleh! Benarbenar luar biasa kehebatan Si Pelukis Aneh! Dalam mengagumi kehebatan orang tua itu tiba-tiba terdengar pekikan setinggi langit. Ternyata daun pisang di tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis Kurus. Pedangnya mental sedang tubuhnya terpelanting sampai beberapa tombak dan celakanya terus terguling ke tepi jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba memegang sebuah batu runcing yang menonjol di tepi jurang. Tapi pukulan daun pisang yang dialiri tenaga dalam yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama sekali kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang batu runcing itu dan menahan dirinya agar tidak jatuh ke dalam jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya melayang masuk jurang. Batu-batu runcing menantinya di dasar jurang! Untuk kedua kalinya terdengar jeritan Iblis Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan! Melihat kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik. Berdua dia tak sanggup menghadapi Si Pelukis Aneh, apalagi seorang diri! Maka tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama Iblis Gemuk segera ambil langkah seribu! Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang Iblis Kurus yang menggeletak di tanah. “Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup lebih lama, Iblis Gemuk!” teriak Si Pelukis Aneh lalu lemparkan pedang ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri! Pedang itu menancap tepat di pertengahan punggung Iblis Gemuk terus menembus sampai di luar ujung pada dadanya! Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan! Si Pelukis Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas dalamdalam lalu dia duduk menjelepok di tanah dan memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan kepala dari lukisan itu, dia berseru, “Orang yang sembunyi di atas batu tinggi harap turun!” Kagetlah Wiro Sableng. Pendekar ini garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi keluar dari persembunyiannya dan melompat turun. *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 4 ENDEKAR 212 Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menjura dan berkata, “Aku yang muda merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan penjuru angin.” Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan yang tengah dipandangnya. “Siapa namamu...?” “Wiro.” “Apa kau punya gelar?” Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab dengan gelengan kepala. Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi, “Kenapa kau sembunyi di atas batu sana?” “Aku tak ingin mengganggumu, orang tua.” “Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya.” Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh palingkan wajah dan meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala. “Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?” tanya Si Pelukis Aneh. “Bagus luar biasa,” jawab Wiro Sableng. Si Pelukis Aneh tertawa pendek. “Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau menerimanya...?” Wiro berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah menawar lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si Pelukis Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu kepadanya! P Wiro menjawab, “Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu yang bagus luar biasa ini?!” Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya. “Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,” berkata Si Pelukis Aneh. “Apa yang kelihatan bagus itu belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu...?” Wiro anggukkan kepala. “Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya buruk?” Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian menunjuk ke arah gunung itu. “Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?” “Ya... ya..., aku lihat.” “Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan. Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak lebih daripada pohonpohon besar liar, semak-semak belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya.” Pelukis Aneh tertawa. “Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang muda?” Wiro Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab. Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran. Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-senyum, “Pengalaman adalah guru yang paling baik dan bijaksana bagi setiap manusia...” Si Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandanglah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung dan jurang batu. “Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar. Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat macammu, Wiro!” Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut ‘bocah’. Maka bertanyalah Wiro, “Pelukis Aneh, siapakah yang kau maksudkan dengan bocah itu?” “Calon muridku!” jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian ditelitinya lukisan di hadapannya. Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa. Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata. Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga. “Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak menjualnya?” tanya Wiro. Si Pelukis Aneh tertawa. “Bacalah tulisan di sudut kanan bawah.” katanya. Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh telanjang si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi: Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira Prakarsa. Wiro manggut-manggut “Calon muridmu itu, di manakah sekarang?” “Tentu saja di rumahnya.” sahut Si Pelukis Aneh. “Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas tahun baru dia kuambil jadi murid.” “Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak kau serahkan padanya?” tanya Wiro tak mengerti, “Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang muda.” Wiro maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian, pendekar ini berkata pula, “Begitu selesai apakah lukisan ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?” Pelukis Aneh gelengkan kepala, “Aku tidak terlalu bodoh.” jawabnya. “Sekarang saja orang-orang jahat sudah pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan.” “Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya...?!” Si Pelukis Aneh tertawa. “Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan dunia, kita manusia ini tahu apa?!” Wiro maklum kalau si orang tua adalah seorang yang pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi gelar Si Pelukis Aneh kepadanya! “Wiro.” berkata Pelukis Aneh. “Kalau aku tak salah raba agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau sebetulnya?” Wiro Sableng merasa bimbang untuk mengatakannya terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan. Maka pendekar ini menjawab, “Manusia macamku ini berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua.” Setelah bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro Sableng minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar 212 Wiro Sableng teruskan perjalanannya dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul. Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana bintang malam bergerak cepat ke arah selatan. Wiro hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas. Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu adalah dua orang manusia yang tengah berlari cepat. Wiro memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana sebelumnya Wiro berada. Akhirnya dua titik kuning itu lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar! Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke gunung itu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik terhadap Si Pelukis Aneh. Wiro merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan perjalanan namun langkah yang dibuatnya tertahan-tahan oleh rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 membalikkan diri lalu berlari cepat ke jurusan selatan. Dua kali peminum teh baru Wiro Sableng sampai ke tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dia sampai di tempat itu! Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang terkatup rapat-rapat! “Terkutuk!” desis Pendekar 212. Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat dari besi berlapiskan emas. Benda-benda yang merupakan senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung racun yang luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro melihat tubuh Si Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru. Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di tangan kanan Si Pelukis Aneh yang sudah tidak bernyawa itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang dilihatnya sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara Si Pelukis Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya masih mencengkeram lengan itu! Wiro Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat yang baik mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa jauh dari tepi jurang. Cepat-cepat Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian compang-camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan. Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya tolol sekali! “Namamu tentu Wira.” tegur Pendekar 212. Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu memandang pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihat tubuh Si Pelukis Aneh maka anak ini kembali menangis lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan bagaimana dia sampai berada di tempat itu. Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermain-main di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah seorang dari mereka langsung mendukungnya dan membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning itu menyerang calon gurunya. Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menyerempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi! Wiro maklum kini apa yang telah terjadi. “Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?” Wira Prakarsa menggeleng. “Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan itu?” Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab dengan masih sesenggukan. “Yang mendukungku matanya cuma satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, bermata besar merah dan tak punya kuping...” Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu dengan dua manusia macam itu, juga tak pernah mendengar tentang ciri-ciri mereka sebelumnya. “Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini sebelum dia meninggal?” “Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam lukisan itu ada...” Si anak tarik kembali lidahnya dan tak teruskan bicara. “Ada apa...?” tanya Wiro ingin tahu. “Tidak, tak ada apa-apanya.” Menyahuti si anak, lalu kembali dia menangis. Pendekar 212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada tersembunyi satu rahasia besar yang cuma Si Pelukis Aneh dan calon muridnya itu yang tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu rahasia itu sehingga mereka menginginkan lukisan tersebut? Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan perempuan bertelanjang itu belaka? Tapi agaknya dua manusia berpakaian kuning yang telah membunuh Si Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan. Mungkin sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang terkandung dalam lukisan itu! Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur Si Pelukis Aneh maka Wiro Sableng mendukung Wira Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang ke rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani miskin yang saat itu masih belum kembali dari ladangnya. “Wira,” kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si anak. “Karena pemilik sah lukisan itu adalah kau, maka aku akan mencarinya sampai dapat dan mengembalikannya padamu...” Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak habis pikir bagaimana Si Pelukis Aneh telah memilih anak yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang tolol geblek maka segala pikiran yang bukan-bukan tentang Si Pelukis Aneh maupun anak tadi segera lenyap. “Kalau dia tolol karena dia masih anak-anak,” ujar Wiro dalam hati. “Aku yang sudah dedengkot begini rupa masih sableng! Masih mending anak itu!” *** Satu bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebohan. Tokohtokoh silat terkenal dari delapan penjuru angin dan partai-partai persilatan berusaha keras untuk mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang mengandung rahasia besar. Siapa yang berhasil mendapatkan lukisan itu dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti akan sangat beruntung karena di dalam lukisan itu terkandung semacam ilmu silat dan ilmu kesaktian yang hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di delapan penjuru angin! Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh silat. Terakhir sekali kabarnya kembali jatuh ke tangan sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu bulan itu telah belasan tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar hancur lebur semua gara-gara lukisan perempuan telanjang yang mengandung rahasia besar itu! *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 5 ENDEKAR 212 Wiro Sableng tengah berlari di antara rapatnya pohon-pohon dan semak belukar di dalam sebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan santar menggeledek membentaknya. “Berhenti!” Wiro terkesiap dan hentikan larinya. Belum lagi dia sempat berpaling tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai ke dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi kiri kanan tergantung dua buah bumbung bambu. “Dewa Tuak!” seru Pendekar 212. Hatinya gembira tapi juga bersangsi. Manusia di hadapannya kelihatan tambah tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski demikian masih tetap tegap kuat. Wiro Sableng menjura dalam-dalam. Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk tuak di dalamnya sampai lepas dahaganya. Setelah menyeka mulutnya yang berselomotan tuak maka Dewa Tuak berkata, “Beratus hari mencarimu, saat ini baru bertemu!” Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini masih hendak melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk mengetahuinya maka Wiro cepat-cepat bertanya, “Apakah kau masih juga hendak memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak...?” Dewa Tuak angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya beberapa kali. Kemudian digelengkan kepalanya perlahan-lahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya minuman yang diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar 212 merasa lega sedikit. Namun demikian apa pula gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah beratus hari dia mencari-cari dirinya? “Aku tahu... aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik! Soal jodoh P mana bisa dipaksakan?!” Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. “Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini, Dewa Tuak?” “Kau sendiri tengah menuju ke mana Wiro?” Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang mencari lukisan perempuan telanjang yang tengah dihebohkan dunia persilatan waktu itu. Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan berkata, “Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat dalam mencari lukisan itu, orang muda?” Wiro terkejut. “Kunasihatkan padamu agar segera mengundurkan diri saja. Lukisan itu hanya mendatangkan malapetaka, lain tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya. Satu partai besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau juga ingin mati percuma hanya karena lukisan telanjang itu?!” “Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku, Dewa Tuak...” “Eh, sangkut paut bagaimana?” tanya Dewa Tuak heran. Maka Wiropun menuturkan pertemuannya dengan Si Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu calon murid Si Pelukis Aneh itu. Dewa Tuak menarik nafas panjang. “Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang muda. Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu kembali pada pemiliknya yang sah...” Keduanya berdiam diri sebentar. “Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang muridmu?” tanya Wiro. “Sudah... sudah! Aku gembira melihat dia kini berada dan bertapa di Goa Dewi Kerudung Biru. Dia beruntung sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid oleh Dewi Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku bertemu katanya dia hendak mempersuci diri, mengundurkan diri dari segala urusan duniawi.” Wiro Sableng termenung mendengar keterangan Dewa Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat, berdua-duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu. “Sekarang marilah ikut aku,” kata Dewa Tuak. “Ikut ke mana Dewa Tuak?” “Ikut sajalah.” “Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau sendiri sudah maklum.” “Justru aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang ada sangkut pautnya dengan lukisan yang tengah kau cari itu!” ujar Dewa Tuak. Mendengar ini maka Wiro tidak membantah. Keduanya segera meninggalkan tempat itu memasuki lebih dalam rimba belantara yang jarang didatangi manusia! Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai di bagian rimba belantara yang paling lebat. Pohon-pohon sangat besar dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang sunyi sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya daun-daun pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti di malam hari layaknya! Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang tinggi. Wiro sampai di cabang dan berdiri di samping Dewa Tuak, terkejutlah dia. Sekira dua puluh tombak di bawah sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang beratap rumbia. “Pondok siapakah itu?” tanya Wiro. Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu dengan suara perlahan dia berbisik, “Ikut aku dan jangan keluarkan suara!” Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat di atas wuwungan atap rumbia tanpa keluarkan suara sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah berada pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat namun tanpa mereka mengandalkan ilmu meringankan tubuh pastilah atap itu akan roboh! Dewa Tuak membungkuk dan dengan hati-hati membuat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar Wiro melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu lubang di atas atap itu. Keduanya kemudian mengintai ke dalam pondok. Karena di dalam pondok agak gelap maka mula-mula Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya yang mengintai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam legam berdiri terbungkukbungkuk di sudut pondok. Kedua matanya meram tapi mulutnya yang kempot berkomat-kamit. Wiro hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa adanya nenek-nenek itu tapi dia khawatir suaranya terdengar oleh si nenek maka lantas dia pergunakan ilmu menyusupkan suara. Namun belum sempat dia ajukan pertanyaan mendadak pintu pondok terpentang lebar dan dua orang masuk ke dalam. Keduanya ternyata nenek-nenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut biru, yang kedua berambut putih. Di bahu masing-masing memanggul dua sosok tubuh yang agaknya telah ditotok kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan lain Nenek Rambut Putih yang sebelumnya telah dilihatnya di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan lainnya itu pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam! “Pemimpin!” ujar Nenek Rambut Biru, “Inilah bangsat-bangsat yang kau inginkan itu!” Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi pemimpin kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedua laki-laki yang menggeletak di muka kakinya. “Buka jalan suara mereka!” perintahnya. Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada jalan suara kedua orang itu. Begitu jalan suaranya terbuka maka salah seorang dari dua lakilaki itu membentak, “Iblis betina, kau rupanya yang jadi biang racun! Lekas lepaskan totokanku dan kawan-kawanku!” Nenek Rambut Hitam tertawa melengking-lengking. “Ketua Partai Angin Timur, aku akan bebaskan kalian berdua jika kau beritahu di mana sarangnya Sepasang Elmaut Kuning!” Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki yang seorang itu adalah ketua sebuah partai, pastilah ilmunya tinggi sekali! Dan dari situ dapat pula diukur tingginya ilmu Nenek Rambut Biru dan Rambut Putih yang telah berhasil menawan ketua partai itu bersama seorang kawannya. “Ada apa kau tanyakan sarang kambratku itu?!” balas menanya Ketua Partai Angin Timur. “Bedebah! Aku tak suruh kau bertanya setan?!” bentak Nenek Rambut Hitam. Plaak! Tamparan Nenek Rambut Hitam melayang melanda sang Ketua, membuatnya tergelimpang dan terguling di lantai pondok. Dua buah giginya mencelat mental sedang bibirnya pecah! Paras Ketua Partai Angin Timur membesi. Nyata kemarahan menggelegak dalam dirinya, tapi karena ditotok maka yang bisa dilakukannya ialah memaki habis-habisan! Nenek Rambut Putih menjambak rambut Ketua Partai Angin Timur dan menyentakkannya hingga laki-laki itu berdiri kembali di hadapan, pemimpinnya! “Lekas terangkan di mana sarang Sepasang Elmaut kuning!” hardik Nenek Rambut Hitam. Ketua Partai Angin Timur mendengus! “Maksudmu untuk mencari lukisan telanjang itu tak akan berhasil, iblis betina!” “Keparat betul! Kau mau bilang apa tidak?!” Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur mendengus. “Aku tidak tahu!” sahutnya. “Sekalipun tahu aku tak akan bilang padamu!” Nenek Rambut Hitam marah sekali. Diulurkannya tangannya. Sekali remas saja maka hancurlah telapak dan jari-jari tangan kanan sang Ketua! Laki-laki itu menjerit kesakitan dan memaki habishabisan! Kawannya keluarkan keringat dingin. “Itu masih belum apa-apa,” ujar Nenek Rambut Hitam. “Kalau kau tetap membangkang tak mau kasih keterangan, seluruh tubuhmu akan kubikin hancur! Lekas katakan!” “Nenek Rambut Hitam, kawanku itu betul-betul tidak tahu letak sarangnya Sepasang Elmaut Kuning,” berkata kambrat Ketua Partai Angin Timur. “Kau tak usah berbacot!” bentak sang nenek. “Kalau dia tak tahu kau tentu tahu ya?!” Pucatlah wajah laki-laki itu. “Ayo lekas kalian katakan! Kalau tidak kalian akan disiksa sampai setengah mampus!” teriak Nenek Rambut Biru. “Nenek Rambut Hitam! Kalian dan kami masing-masing satu golongan, kenapa berbuat sejahat ini?” Nenek Rambut Hitam tertawa melengking, “Kalau kau dan kambratmu tidak mau binasa percuma lekas beri keterangan!” “Kalian penggal pun kami berdua, tetap aku tak bisa kasih keterangan!” “Aku mau lihat!” ujar Nenek Rambut Hitam. Sekali dia gerakkan tangan kanannya maka tanggallah lengan kiri Ketua Partai Angin Timur! Laki-laki ini melolong laksana srigala lapar, mengerikan sekali! Pendekar 212 Wiro Sableng bergidik. “Dewa Tuak, aku tak bisa melihat kekejaman terkutuk itu berjalan lebih lama!” kata Wiro. Dia bergerak cepat hendak menerobos atap. Tapi lebih cepat dari itu si orang tua yang memanggul dua buah bumbung bambu memegang lengannya dan menjawab dengan ilmu menyusupkan suara seperti yang dilakukan oleh Wiro waktu berkata padanya tadi. “Biarkan, kita lihat saja! Ketua Partai Angin Timur tidak beda dengan tiga orang nenek serta seorang kawannya itu! Mereka samasama dari golongan hitam tukang bikin kejahatan di dunia persilatan! Biar saja mereka saling bunuh! Kita menonton saja!” “Tapi Ketua Partai Angin Timur berada dalam keadaan tak berdaya!” tukas Wiro Sableng. “Perduli amat! Sudahlah kita lihat saja!” bentak Dewa Tuak pula. Wiro Sableng menggerutu dalam hati lalu dia mengintai lagi lewat lobang. “Ayo! Apa kau masih tidak mau kasih keterangan?!” Si Nenek Rambut Hitam membentak. Jawaban Ketua Partai Angin Timur adalah suara raungan yang mengerikan! Nenek Rambut Hitam berpaling pada kawan Ketua Partai Angin Timur. “Jaliwarsa! Kau tentu tak ingin menerima nasib macam kambratmu itu, bukan?!” Pucatlah wajah laki-laki yang bernama Jaliwarsa. “Apa maksudmu Nenek Rambut Hitam...?” “Kau tentu tahu! Lekas katakan di mana tempat kediaman Sepasang Elmaut Kuning!” “Demi setan aku tidak tahu sama sekali Nenek Rambut Hitam...” Nenek Rambut Hitam mendengus marah. Dia berpaling pada anak buahnya. “Rambut Biru! Cungkil mata kirinya!” perintah Nenek Rambut Hitam. “Tobat! Jangan...!” teriak Jaliwarsa. “Kalau begitu lekas buka mulut!” sentak Nenek Rambut Hitam. Jaliwarsa menangis macam anak kecil. Meratap mengatakan bahwa dia betul-betul tidak tahu di mana letak sarang Sepasang Elmaut Kuning. “Tak ada ampun bagimu! Cungkil matanya!” bentak Nenek Rambut Hitam. Maka Nenek Rambut Biru melompat ke muka. Dua buah jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa. Terdengar suara mengerikan sewaktu biji mata laki-laki itu mencelat bersama semburan darah yang disusul oleh suara melolong Jaliwarsa yang laksana gila karena kesakitan! *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 6 EREMPUAN iblis!” teriak ketua Partai Angin Timur yang menggeletak di lantai pondok. “Kalian bunuhlah kami! Biar kami bisa jadi setan dan mencekik batang leher kalian!” Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh. “Nyalimu boleh juga, kunyuk sialan! Kalian minta mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian memang tidak berguna hidup lebih lama!” Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Sekali kedua tangannya bergerak maka mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke atas atap. Serentak dengan itu si nenek berseru, “Tukang-tukang intip keparat, terima ini!” Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak sangka kalau si nenek begitu lihai sehingga sudah mengetahui kehadirannya bersama Dewa Tuak di atas atap! Wiro dan Dewa Tuak cepat melompat ke samping. Pada saat itu pula atap pondok bobol dihantam dua tubuh yang dilemparkan Nenek Rambut Hitam! Tubuh Ketua Partai Angin Timur menghantam sebuah pohon, pinggangnya hancur dan jatuh ke tanah tanpa nyawa! Kawannya menyangsang sebentar di sebuah pohon lain, lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala pecah! Maklum kalau tiga perempuan tua berbadan bungkuk itu sudah mengetahui kedatangannya bersama Wiro, maka Dewa Tuak segera melompat turun, masuk ke dalam pondok lewat atap yang bobol. Wiro menyusul dan berdiri di sampingnya. Kelima orang itu saling menyapu dengan pandangan mata masing-masing. Diam-diam ketiga nenek itu mengagumi kegagahan tampang Wiro Sableng meskipun kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik ketololan! Sedang masingmasing mereka sama kerenyitkan kening sewaktu melihat Dewa Tuak membawa dua buah bumbung bambu yang agaknya berisi cairan. Cairan apa mereka tak bisa menduga. “Siapa kau?!” tanya Nenek Rambut Hitam. “Dan kau juga?!” P katanya sambil goyangkan kepala pada Wiro Sableng. Dewa Tuak tak segera menjawab melainkan mengangkat salah satu dari bumbung bambu dan meneguk isinya beberapa kali. Perlu diketahui kedua bumbung itu tidak ditutup. Meski dibawa berlari bagaimanapun kencangnya atau dibawa melompat namun satu tetes pun tuak itu tidak tumpah. Ini adalah berkat kehebatan tenaga dalam Dewa Tuak yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya! Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum bahwa si orang tua berjanggut itu bukan seorang yang bisa dianggap remeh maka dia cuma memandang saja dengan mata mendelik! “Sobat-sobatku,” kata Dewa Tuak kepada tiga orang nenek, “Sebelum kita bicara-bicara apakah tidak lebih bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini dulu?” Nenek Rambut Hitam terkesiap seketika. Diperhatikannya orang tua di hadapannya lebih teliti. Kemudian, “Kalau aku tak salah duga, apakah kau manusia yang bergelar Dewa Tuak?!” Dewa Tuak usut-usut janggutnya yang panjang sampai ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi tuaknya beberapa kali. “Aku memang doyan tuak, tapi aku bukan dewa!” “Sejak puluhan tahun belakangan ini kau lenyap dari dunia persilatan! Tahu-tahu kini muncul unjukkan tampang! Tentu ada yang menyebabkannya! Apakah kau yang sudah tua karatan ini telah terlibat pula dalam urusan mencari lukisan perempuan telanjang itu?!” Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. “Rupanya di dalam otakmu hanya lukisan itu saja yang teringat nenek bangkotan! Kita yang sudah tua-tua begini bukan tempatnya lagi mengurus segala macam persoalan duniawi!” “Lantas perlu apa kau datang ke sini dan mengintip tak tahu adat?! Dan cecunguk hijau ini apamu?!” Wiro Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya disebut cecunguk hijau lalu tertawa geli! “Orang muda! Nyalimu cukup besar untuk berani tertawa di hadapanku!” “Tertawa saja apa susahnya?!” ujar Wiro lalu tertawa lagi lebih keras hingga pondok itu terdengar hebat! Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak buahnya. Tiada dinyana kalau si anak muda memiliki tenaga dalam yang sehebat itu! “Kau tanyakan dia?” ujar Dewa Tuak seraya tuding Wiro dengan ibu jarinya. “Dia adalah calon mantuku yang tidak jadi!” Lalu orang tua ini tertawa bekakakan sampai kedua matanya berair. Wiro cuma cengar-cengir mendengar ucapan Si Dewa Tuak. “Cepat terangkan mengapa kau berada di daerah ini?!” Saat itu untuk pertama kalinya Nenek Baju Biru buka suara, “Pemimpin, bukan tak mungkin bangsat-bangsat ini tengah mencuri dengar percakapan kita tadi dengan Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya mereka akan dapat diam-diam mencuri dengar keterangan sarang Sepasang Elmaut Kuning!” Nenek Rambut Putih menimpali, “Bukan tak mungkin pula mereka tahu banyak tentang soal lukisan itu, pemimpin!” Ucapan-ucapan anak buahnya itu termakan oleh Nenek Rambut Hitam. Maka segera dia memerintah, “Rambut Biru! Kau ringkus si tua bangka itu! Dan kau Rambut Putih, bekuk cecunguk hijau itu!” Nenek Rambut Biru memang lebih tinggi kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia disuruh meringkus Dewa Tuak. “Perempuan-perempuan keriputan! Kalian betul-betul tidak tahu adat!” gerutu Dewa Tuak lalu cepat-cepat menyingkir ke samping kanan, mengelakkan totokan yang dilancarkan Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak Dewa Tuak angkat bumbung bambunya hingga ujungnya dengan tiada terduga menyerang ke arah pinggang lawan! Tapi Nenek Rambut Biru tidak berkepandaian rendah! Penasaran melihat totokannya lewat, dengan satu jeritan keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah pertempuran yang hebat. Nenek Rambut Putih di lain pihak maju menghadapi Wiro Sableng. Dengan memandang enteng dia lakukan serangan dan sekali menyerang dia yakin akan sanggup meringkus si pemuda hidup-hidup. Tapi alangkah terkejutnya ketika sambil tertawa lawannya berkelit dengan mudah bahkan berkata mengejek, “Ah, jurus seperti ini telah kulihat kau pergunakan untuk menyerang Si Pelukis Aneh!” “Bocah hijau! Ada hubungan apa kau dengan Si Pelukis Aneh?!” tanya Nenek Rambut Putih. Wiro tertawa. Bukan dia menjawab pertanyaan si nenek malah berkata, “Orang tua semacammu ini sepantasnya banyak bikin ibadat dan sucikan diri! Bukannya malang melintang bikin kejahatan dan ikut campur segala macam urusan duniawi!” “Kentut ingusan. Atas nasihatmu itu aku akan hadiahkan jurus Ekor Naga Mematuk Cakar Garuda Berkiblat! Terimalah!” Gerakan si nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal bayangan dan tahu-tahu tiga jari tangan kanannya menotok ke dada, sedang lima jari kiri mencakar ke arah muka. Cakaran yang datangnya lebih dulu itu sebenarnya hanya tipuan belaka karena serangan yang sebenarnya ialah totokan pada dada! Bila lawan coba hindarkan mukanya dari cakaran maka kecepatan totokan tangan akan ditambah dua kali lipat! Dan celakanya Pendekar 212 kini kena tertipu! Begitu melihat lima jari mencakar di depan hidung dia segera buang kepala ke belakang dan kaki kanan menderu ke arah si nenek. Namun di saat itu si nenek sudah melesat ke samping, sedang tiga jari tangannya dengan kecepatan luar biasa menderu ke arah dada Wiro Sableng! Penasaran sekali karena dia tahu bahwa totokan yang lihai itu tak mungkin dikelit maka Wiro hantamkan tangan kanannya dari atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si nenek berseru keras. Dia tersurut sampai dua tombak, mukanya pucat bahkan terkejut. Nenek Rambut Hitam segera maklum bahwa tenaga dalam anak buahnya itu jauh rendahnya dari si pemuda. Ini adalah satu hal yang tak pernah disangkanya. Dan ketika dia memandang ke lengan Si Rambut Putih, lengan nenek-nenek itu kelihatan bengkak membiru sedang lengan Wiro Sableng hanya berbekas merah sedikit! Kemudian dilihatnya pula pertempuran si rambut biru dengan Dewa Tuak. Anak buahnya itu tengah dibikin sibuk bahkan dipermainkan malah! Gusarlah Nenek Rambut Hitam. Segera dia berseru, “Kalian berdua jangan bikin malu aku! Kuberi kesempatan tiga jurus lagi! Jika kalian tak bisa meringkus kunyuk-kunyuk itu, kalian akan tahu rasa!” Mendengar seruan Si Rambut Hitam, Rambut Putih dan Rambut Biru jadi takut sekali. Keduanya segera loloskan setagen yang melilit di pinggang masing-masing lalu menyerang dengan lebih sebat! Dua setagen yang merupakan senjata ampuh itu tak ubahnya laksana dua ekor ular besar yang meliuk-liuk sebat kian kemari, kadang-kadang bergerak cepat membelit pinggang, kadang-kadang menotok jalan darah bahkan kadang-kadang mematuk ke arah kedua mata! Dan semua itu terjadi bertubi-tubi laksana kilat. Betapapun Wiro dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka, namun tetap saja keduanya dibikin terdesak dan tak sanggup ke luar dari gulungan setagen lawan! “Setagen sialan,” gerendeng Pendekar 212. Baik dia maupun Dewa Tuak kini segera merubah sikap. Kalau tadi mereka cuma main-main dan mengejek lawan mereka, maka setelah terdesak hebat dan terkurung setagen yang berbahaya itu, mereka mulai lancarkan serangan-serangan balasan sehingga pertempuran berjalan semakin hebat! Dalam tempo yang singkat lima jurus telah lewat. Nenek Rambut Hitam penasaran sekali melihat kedua anak buahnya tiada sanggup meringkus lawan masing-masing, padahal tiga jurus yang ditentukannya telah berlalu! “Kalian berdua mundurlah!” bentaknya marah. Nenek Rambut Biru segera melompat mundur. Namun karena agak gugup ketakutan oleh bentakan pemimpinnya, dia menjadi sedikit lengah dan akibatnya ujung selendangnya berhasil ditarik oleh Dewa Tuak sehingga robek! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak! Di lain pihak Nenek Rambut Putih begitu melompat begitu dirasakannya sekujur tubuhnya tak sanggup digerakkan. Ketika ditelitinya ternyata lawannya telah melibat sekujur badannya dengan setagennya sendiri! Pucatlah paras nenek tua ini. Dia maklum bahwa pemuda itu berilmu tinggi sekali dan kalau bermaksud jahat pastilah sudah sejak tadi dia kena celaka! Nenek Rambut Hitam maju ke hadapan kedua orang itu. “Bagus!” katanya. “Rupanya kalian memiliki ilmu yang diandalkan! Aku mau lihat! Apakah kalian maju berdua atau seorang-seorang?!” Dewa Tuak mendengus. “Bagusnya berdua sekaligus biar lekas kubereskan!” Dewa Tuak tertawa lagi dan meneguk tuaknya beberapa kali. “Dengar Rambut Hitam,” kata Dewa Tuak pula. “Main-main dengan dua orang anak buahmu itu sudah cukup. Lain kali saja kau kami hadapi...!” “Kentut tua bangka! Katakan saja kau tidak punya nyali menghadapi Nenek Rambut Hitam!” Dewa Tuak ganda tertawa. Dia berpaling pada Wiro Sableng dan berkata, “Mari kita pergi!” Tapi baru saja dia bergerak Nenek Rambut Hitam sudah melompat ke hadapannya dan kirimkan satu serangan yang luar biasa dahsyatnya. Kalau saja si orang tua tidak bersikap waspada pastilah dadanya akan kena jotosan keras dan mukanya disambar cakaran dahsyat! Marahlah Dewa Tuak melihat kenekatan si nenek. “Dasar tua bangka geblek! Masih saja mengikuti amarah membabi buta!” “Jangan banyak ribut setan tua! Makan jariku ini!” Dengan lebih ganas lagi Nenek Rambut Hitam menyerbu ke muka. Lima jari tangan kanan bergerak ke perut sedang lima jari tangan kiri mencengkeram ke muka Dewa Tuak. Angin serangan ini bukan main derasnya. Dewa Tuak memaklumi bahwa dibandingkan dengan kedua anak buahnya sekaligus, si nenek yang satu ini jauh lebih berbahaya! Dewa Tuak melompat ke belakang dan putar kedua bumbung tuaknya. Maka punahlah kedua serangan Nenek Rambut Hitam! Sebelum si nenek menyerang lagi Dewa Tuak berseru, “Wiro kau layanilah perempuan bongkok jelek ini!” Terkejutlah Nenek Rambut Hitam dan dua nenek lainnya sewaktu Dewa Tuak menyebut nama si pemuda. “Manusia-manusia keparat! Kau berani main-main terhadapku?!” sentak Nenek Rambut Hitam. “Siapa yang main-main? Kau tanya aku jawab!” sahut Dewa Tuak. “Apakah kau manusianya yang bernama Wiro Sableng?! Yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” tanya Nenek Rambut Hitam. “Ah, perlu apa segala macam nama, segala macam gelar! Majulah! Kuharap kau yang tua mau memberikan sedikit pelajaran padaku si bocah hijau!” sahut Wiro pula. Meski Wiro tidak mengaku terus terang siapa dia adanya namun Nenek Rambut Hitam yakin bahwa pemuda itu memang Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Sejak berbulanbulan belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya seorang pemuda gagah di dunia persilatan, yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Banyak tokoh silat golongan hitam yang berilmu tinggi mati konyol di tangannya. Bahkan terakhir sekali, Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul, kabarnya juga telah menemui kematian di tangan pendekar muda ini! Mau tak mau si Nenek Rambut Hitam menjadi gentar juga. Untuk mengelakkan baku bantam dengan si pemuda tapi tanpa kehilangan muka maka Nenek Rambut Hitam berpaling pada Dewa Tuak dan berkata lantang, “Kalau kau tak punya nyali untuk menghadapiku, sebaiknya segera angkat kaki dari sini!” Dewa Tuak yang sudah dapat menduga hati perempuan itu tertawa dan berkata, “Aku yang tak punya nyali atau kau yang takut hadapi kawanku itu?” Nenek Rambut Hitam tertawa bergetar. “Orang muda! Tadinya aku hanya berniat untuk meringkusmu hidup-hidup! Tapi karena kau begitu berani menantangku, terpaksa umurmu cuma sampai hari ini saja!” Sesudah berkata begitu si nenek menerjang ke muka. Wiro bergerak cepat. Mengelak dan lancarkan serangan balasan yang anginnya saja membuat si nenek mengeluh! Tenaga dalam si pemuda jauh lebih tinggi dari yang dimilikinya. Dalam tempo dua jurus Nenek Rambut Hitam tak sanggup lagi lancarkan seranganserangan bahkan musti mempertahankan diri dan dalam jurus keempat terdesak hebat ke pojok pondok! Tiba-tiba si nenek melengking dahsyat! Tubuhnya lenyap dan jurus permainan silatnya berubah sama sekali. Serangannya gencar tiada terduga. Gerakan kaki dan tangannya mendatangkan angin bersiuran dan tipu-tipunya berbahaya mematikan! Inilah ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan yang telah dipelajari Nenek Rambut Hitam dari mendiang gurunya! Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan memang patut dikagumi. Nyatanya selama lima jurus Wiro Sableng dibikin bingung dan musti berhati-hati. Meski ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalamnya jauh di atas si nenek namun gerakan lawan yang tiada terduga-duga itu mematahkan pertahanannya! Dan dua jurus di muka satu hantaman telapak tangan si nenek berhasil mampir di dada Pendekar 212! Wiro merasakan dadanya sakit dan nafasnya sesak. Dia maklum kalau saja dia tidak lebih tinggi tenaga dalamnya dari si nenek pastilah dia akan mendapat luka di dalam yang amat berbahaya! Di lain pihak Nenek Rambut Hitam tidak kepalang tanggung. Dia menyerbu lagi dengan lebih gencar! Tangan dan kakinya laksana bertambah menjadi beberapa pasang lagi! Dan kembali Wiro Sableng terdesak! Dewa Tuak kerenyitkan kening. Hanya sebegitukah kehebatan Pendekar 212 sehingga menghadapi ilmu silat si nenek dia sudah dibikin kewalahan demikian rupa?! Si nenek sendiri juga tiada menyangka bahwa dia akan berhasil memukul lawannya. Diamdiam dia merasa berada di atas angin kini! Tiba-tiba Wiro menyurut sejauh satu tombak. “Ha... ha! Apakah nyalimu sudah lumer orang muda?!” ejek Nenek Rambut Hitam. “Ah, jangan lekas-lekas berbesar hati sobat tua! Kau rasakan dulu pukulanku ini!” sahut Wiro. Serentak dengan itu dia sudah alirkan sebagian tenaga dalamnya ke ujung tangan kanan. Tangan itu dikepal dan diangkat ke atas. Didahului oleh satu bentakan nyaring, Wiro Sableng pukulkan tangannya ke arah si nenek. Begitu memukul begitu jari-jari tangan yang mengepal membuka kembali! Inilah Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang tak asing lagi! Nenek Rambut Hitam terkejut sekali sewaktu merasakan gelombang angin keras laksana batu besar melanda ke arahnya. Sambil pukulkan kedua tangannya sekaligus untuk menangkis dia cepat-cepat jungkir balik lalu membuang diri ke samping! Braaak! Dinding pondok di belakang si nenek pecah dan berhamburan! Tergetarlah hati Nenek Rambut Hitam melihat kehebatan pukulan itu. Setelah tenangkan hatinya dia maju menghadapi lawannya kembali. Dan pada saat itu untuk pertama kalinya Wiro Sableng membuka jurus pertempuran dengan menyerang lebih dahulu! Si nenek dibikin gelagapan kini. Serangannya selalu mengenai tempat kosong sedang pertahanannya saat demi saat semakin mengendur. Bila dia tidak kuat lagi menghadapi pemuda itu maka tanpa malumalu Nenek Rambut Hitam lepaskan setagen dan cabut tusuk konde emas dari rambutnya! Dengan kedua senjata itu dia menyerang Wiro Sableng. Setelah bertempur dua jurus maka Wiro segera mengetahui bahwa tusuk konde yang kecil di tangan kanan si nenek jauh lebih berbahaya daripada setagen di tangan kanannya! Semakin lama pertempuran semakin seru. Tiba-tiba si nenek hentikan gerakannya dan memandang bingung karena lawannya lenyap seperti ditelan bumi! “Aku di sini, Rambut Hitam!” Terdengar suara Wiro di belakangnya! Nenek Rambut Hitam kertakkan geraham dan secepat kilat membalikkan tubuh. Tapi begitu tubuhnya membalik maka, plaaak...! Telapak tangan kanan Wiro Sableng menghantam keningnya! Perempuan tua itu melengking kesakitan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding pondok. Pemandangannya gelap, kepalanya terasa pening sedang keningnya sakit bukan main! Kedua anak buah Nenek Rambut Hitam terkejut! Belum pernah mereka melihat pemimpin mereka dihajar demikian rupa! Selama ini tak pernah seorang pun yang sanggup menghadapi Nenek Rambut Hitam tanpa mendapat celaka! Dan yang membuat mereka lebih terkejut lagi ialah sewaktu melihat kening pemimpin mereka. “Pemimpin, keningmu!” seru Nenek Rambut Biru. Nenek Rambut Hitam usap keningnya. Kening itu sakit sekali dan panas, tapi tidak terluka. Namun apakah yang menyebabkan Rambut Biru demikian terkejutnya? Tak lain karena akibat pukulan telapak tangan kanan Wiro tadi kini di kening Nenek Rambut Hitam tertera tiga deretan angka yaitu 212! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak dan cegluk... cegluk... cegluk, dia lalu teguk tuaknya. “Rambut Hitam, sobatku telah hadiahkan tiga buah angka di keningmu! Apakah kau masih belum mau mengaku kalah?!” Berubahlah paras Nenek Rambut Hitam! Dia maklum apa yang telah terjadi kini. Pukulan 212 yang mengguratkan angka telah menimpa keningnya. Tiga deretan angka itu tak akan bisa dihilangkan seumur hidupnya! Nenek Rambut Hitam menggerutu macam singa lapar! “Anak haram jadah mampuslah!” lengking si nenek. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya berkomatkamit. Seluruh pondok itu dengan tiba-tiba dilanda hawa yang amat dingin menyembilu. Wiro sendiri yang tak mengerti apa yang tengah terjadi sampai-sampai bergeletar tubuhnya dilanda hawa dingin itu. Geraham-gerahamnya bergemeletukan. Melihat ada kelainan ini secepat kilat Dewa Tuak berseru, “Wiro cepat menghindar! Bangsat keriput ini mau lepaskan pukulan Salju Kematian!” Habis berteriak begitu Dewa Tuak secepat kilat meneguk tuaknya. Dalam pada itu Nenek Rambut Hitam melengking nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro dan Dewa Tuak! Satu gelombang benda putih yang bentuknya putih seperti salju, menderu amat dingin ke arah kedua orang itu. Dewa Tuak runcingkan mulutnya yang menggembung lalu menyembur ke muka! Terdengar suara laksana air bah sewaktu semburan tuak dan pukulan salju kematian saling beradu. Bumi seperti mau kiamat. Dewa Tuak cepat tarik lengan Wiro Sableng lalu melompat ke atas atap menerobos melewati lobang besar. Dari sebuah cabang pohon kemudian Wiro melihat bagaimana pondok itu hancur lebur dan setengahnya tertimbun oleh lapisan salju putih! Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ketiga nenek itu tidak kelihatan. Pendekar 212 lalu putar kepala ke cabang di samping. Dia terkejut sewaktu melihat Dewa Tuak duduk bersila di atas cabang dengan pejamkan mata. Wajah orang tua ini pucat sekali. Rupanya bentrokan ilmu pukulan tadi telah membuat si orang tua menderita luka di dalam yang parah juga. Lama Dewa Tuak bersila seperti itu. Sewaktu dia buka kedua matanya kembali, cepat-cepat diambilnya sebutir pil dan ditelannya. Sesaat kemudian wajahnya yang pucat telah normal lagi seperti biasa! Dewa Tuak tarik nafas panjang, geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah sewaktu memandang ke pondok yang kini tertimbun salju kematian itu! “Ternyata benar perempuan busuk itu telah mendapatkan ilmu Pukulan Salju Kematian!” kata Dewa Tuak seakan-akan pada dirinya sendiri. “Kelihatannya masih kurang sempurna. Tapi sudah demikian luar biasa...!” Wiro sendiri diam-diam bergidik juga melihat pukulan yang bernama Salju Kematian itu. Tenaga dalam Dewa Tuak berada jauh di atas Nenek Rambut Hitam, tapi pukulan Salju Kematian yang dilepaskan si nenek membuat Dewa Tuak menderita luka yang cukup hebat! “Meski seseorang memiliki tenaga dalam yang sepuluh kali lebih tinggi, tapi jangan coba-coba berani adu kekuatan dengan pukulan salju kematian itu.” Dewa Tuak geleng-geleng kepala kembali. “Aku tak mengerti, bagaimana keparat betina itu berhasil memiliki ilmu Salju Kematian. Itu adalah salah satu dari beberapa ilmu pukulan yang pernah menggetarkan dunia persilatan dan menjadi raja-raja ilmu pukulan!” “Jika ilmu semacam itu dipergunakan untuk kejahatan bisa berbahaya,” kata Wiro pula. “Itulah yang aku kuatirkan,” desis Dewa Tuak. Diam-diam Wiro ingin sekali menghadapi Nenek Rambut Hitam itu kembali. Apakah ilmu pukulan Sinar Matahari-nya sanggup menghadapi ilmu pukulan Salju Kematian itu? “Dewa Tuak, apa yang kita buat sekarang?” tanya Wiro. “Aku bermaksud meneruskan perjalanan mencari lukisan telanjang itu...” Tak ada jawaban. Wiro berpaling. Astaga! Dewa Tuak tak ada lagi di sampingnya. Dia mencari-cari tapi orang tua itu tiada kelihatan. “Dewa Tuak! Di mana kau?!” teriak Wiro memanggil. Tetap tak ada jawaban. Wiro hendak melompat turun. Tapi tiba-tiba pada batang pohon di mana dia berada dilihatnya sebaris tulisan, Pergilah ke utara! Pasti itu adalah tulisan Dewa Tuak. Maka tanpa menunggu lebih lama Wiro segera melompat dari atas pohon. *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 7 ATA yang cuma sebuah itu memandang tanpa berkedip pada lukisan perempuan telanjang yang terletak di atas meja. Digelengkannya kepalanya lalu dirobahnya letak lukisan itu dan ditelitinya kembali. Dirobahnya lagi, ditelitinya lagi, demikian sampai satu jam lebih. Akhirnya dia menjadi penasaran sekali dan memaki habis-habisan. “Keparat betul! Keparat betul!” “Mata Picak!” satu suara menegur laki-laki yang memaki-maki itu. “Lama-lama kau bisa jadi gila!” Elmaut Kuning Mata Picak palingkan kepala dan mendelikkan matanya yang cuma satu. “Kuping Sumplung! Kau bisanya mengejek saja!” kata si Mata Picak. “Perlu apa tergesa-gesa? Toh lukisan itu sudah ada di tangan kita. Dan lambat laun pasti kita akan berhasil membongkar rahasia yang terkandung di dalamnya!” “Tolol betul kau Kuping Sumplung!” sentak Mata Picak. “Apa kau tidak tahu dunia persilatan kalang kabut? Tokoh-tokoh persilatan kasak-kusuk mencari-cari lukisan ini? Ingat waktu lukisan ini dirampas oleh Awan Langit tempo hari? Aku khawatir lukisan yang mengandung ilmu silat hebat ini akan dirampas orang lain lagi sebelum kita berhasil memecahkan rahasianya!” “Tapi marah-marah dan memaki begitu mana mungkin kau bakal bisa memecahkannya!” ujar Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Keduanya bukan lain daripada dua tokoh silat golongan hitam yang bergelar Sepasang Elmaut Kuning. Merekalah yang telah membunuh Si Pelukis Aneh dan melarikan lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu telah lama berada di tangan mereka namun tak seorang pun dari mereka yang berhasil memecahkan rahasianya. Lukisan itu telah berpuluh-puluh jam mereka teliti mereka jungkir balikkan, namun tetap saja tak dapat mereka membongkar rahasia ilmu silat yang M menurut keterangan terkandung dalam lukisan itu! Jangan-jangan Si Pelukis Aneh hanya menipu saja! Lukisan ini tak ada apa-apanya! Elmaut Kuning Kuping Sumplung perhatikan lengan kirinya yang buntung akibat dibetot putus oleh Si Pelukis Aneh sewaktu bertempur beberapa bulan yang lalu! Dia kemudian tertawa dingin dan berkata, “Kau sekarang yang jadi orang tolol! Kalau lukisan ini tak ada apa-apanya masakan orang tua keparat itu sampai-sampai mau mengadu jiwa!” Elmaut Kuning Mata Picak jambak-jambak rambutnya. “Tapi sialan sekali! Masakan sampai saat ini kita tak bisa memecahkan rahasianya?!” Kuping Sumplung duduk di sebuah bangku batu. Ditatapnya sebentar lukisan di hadapannya. Dia sendiri sebenarnya heran juga karena sampai sedemikian lama tak sanggup membongkar rahasia lukisan tersebut. “Apakah kau sudah meneliti kayu pigura lukisan itu?!” bertanya Elmaut Kuning Kuping Sumplung. “Setiap sudut lukisan ini sudah kuteliti. Juga bagian belakangnya!” sahut Mata Picak. “Agaknya kita membutuhkan seseorang yang bisa membuka rahasia lukisan ini...” desis Kuping Sumplung. “Tapi siapa manusianya?!” tanya Mata Picak. “Satu-satunya manusia yang tahu rahasia lukisan ini adalah Si Pelukis Aneh sendiri! Dan dia sudah mampus di tangan kita!” “Siapa tahu calon muridnya juga mengetahui...” kata Kuping Sumplung pula. Elmaut Kuning Mata Picak tertegun. “Mungkin juga...” desisnya. “Kalau begitu kita datangi anak itu kembali dan paksa dia memberi keterangan!” ujar Kuping Sumplung seraya berdiri dari duduknya. “Tempat anak itu ratusan kilo dari sini...” “Soal jauh bukan halangan!” potong Kuping Sumplung. “Ada hal lain yang aku khawatirkan,” ujar Mata Picak. “Apa?” “Kalau kita pergi berarti kita harus membawa lukisan ini. Dan kau tahu sendiri! Puluhan orang-orang persilatan mengincar-incar lukisan ini! Kita bisa konyol sendiri dikeroyok beramai-ramai!” Elmaut Kuning Kuping Sumplung tertawa dingin. “Apa nyalimu sudah keropok?!” ejeknya dengan pencongkan hidung. Mata Picak menjadi gusar. “Mulutmu kelewat tekebur, Kuping Sumplung! Meski kita berilmu tinggi namun aku tak mau terlibat dengan manusia-manusia yang membikin kita jadi berabe dan tambah urusan! Di lain hal kita musti mengakui bahwa di atas kita masih ada tokoh-tokoh persilatan yang benar-benar lihai dan kosen! Apakah kau mau kehilangan satu lenganmu lagi?!” Merahlah paras Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Dia balikkan badannya dengan cepat hendak tinggalkan tempat itu. Tapi mendadak di ambang pintu goa langkahnya tertahan dan parasnya berubah. “Mata Picak! Lekas ke sini!” seru Kuping Sumplung. Mata Picak heran mendengar nada seruan kawannya itu. Dia melangkah cepat ke pintu goa dan terkejut. Goa di mana mereka berada itu terletak di satu dasar lembah yang penuh dengan batubatu besar. Di balik batu-batu yang bertebaran di lembah kelihatan banyak sekali orang laki-laki yang berseragam hitam. Di tangan masing-masing tergenggam sebatang golok besar berbentuk empat segi seperti golok penjagal babi! Menurut taksiran Mata Picak, orangorang yang ada di lembah itu semuanya berjumlah sekitar duapuluh orang! Melihat kepada golok-golok besar empat persegi di tangan mereka yang berkilau-kilau ditimpa sinar matahari, melihat pula kepada pakaian seragam hitam yang mereka kenakan, Sepasang Elmaut Kuning segera mengenali siapa mereka itu adanya. “Kroco-kroco sialan ini pasti hendak membalaskan sakit hati ketua mereka,” desis Mata Picak. “Kurasa demikian. Agaknya mereka belum tahu letak tempat kita ini. Apakah perlu kita segera bertindak...?” tanya Kuping Sumplung. Mata Picak manggut-manggut. Dengan tersenyum aneh dia melangkah ke luar dari goa. Kuping Sumplung mengikut di belakang. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak melesat ke balik sebuah batu besar. Dalam kejap itu pula terdengar suara keluhan pendek. Di lain kejap dari balik batu itu melesatlah sesosok tubuh berpakaian hitam, laksana terbang ke udara dan kemudian jatuh di atas sebuah batu besar dalam keadaan tulang belulang hancur berantakan! Belasan manusia berpakaian hitam-hitam yang ada di lembah batu itu terkejut dan lari ke batu besar di mana kawan mereka menggeletak mengerikan tanpa nyawa! Semuanya terkejut dan berubah paras masing-masing. Dan darah mereka tersirap sewaktu di lembah batu itu mengumandang dua buah suara tertawa yang menggidikkan! Ketika mereka palingkan kepala, semuanya melihat dua orang berjubah kuning berewokan berdiri di atas sebuah batu yang menjulang lima tombak tingginya! “Sepasang Elmaut Kuning!” seru mereka hampir serentak. Elmaut Kuning Mata Picak dan Kuping Sumplung tertawa lagi cekakakan. Tiba-tiba Mata Picak hentikan tawanya dan bertanya membentak, “Siapa yang menjadi pemimpin rombongan tikus-tikus busuk ini?!” Seorang laki-laki berbadan tegap, berkumis melintang, dada berbulu, melompat ke muka dan menuding keren. “Kalian berdua turunlah untuk menerima kematian!” Sepasang Elmaut Kuning saling pandang lalu untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak. “Apakah kau mimpi atau mengigau di siang bolong?!” sentak Kuping Sumplung. “Ketuamu sudah mampus di tangan kami!” “Ketua Perguruan Seberang Kidul boleh lenyap. Tapi Perguruan Seberang Kidul tak dapat dimusnahkan dari muka bumi ini...!” “Kalau begitu kami Sepasang Elmaut Kuning akan menggusur Perguruan Seberang Kidul hari ini juga hingga cuma tinggal nama!” “Tak usah bermulut besar! Lekas turun!” teriak si kumis melintang. Dia dan kawan-kawannya adalah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Ketua mereka telah menemui kematian di tangan Sepasang Elmaut Kuning gara-gara terlibat dalam perebutan lukisan perempuan telanjang! “Tikus-tikus busuk! Ketahuilah kalian akan melepas jiwa di sini!” teriak Mata Picak dan serentak dengan itu, diikuti oleh kambratnya si Kuping Sumplung dia melompat ke bawah. Belasan laki-laki bersenjata golok besar dan berpakaian seragam hitam segera mengurung dan dengan serempak menyerbu Sepasang Elmaut Kuning! Maka terjadilah pertempuran yang amat hebat di lembah berbatu-batu itu. “Kalian mencari mati!” seru Mata Picak. “Bangkai kalian akan membusuk di sini! Akan digerogoti burungburung pemakan mayat!” bentak Kuping Sumplung! Lalu keduanya dengan berbarengan hantamkan tangan kanan ke muka. Dua larik sinar kuning menderu. Puluhan benda berwarna kuning yang berbentuk paku beterbangan gencar ke arah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul yang hendak menuntut balas kematian ketua mereka. “Paku Emas Beracun!” pekik anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Yang berkepandaian tinggi putar golok mereka dengan sebat menangkis. Yang lain-lain berserabutan menghindar. Tapi serangan senjata rahasia paku emas beracun dari kedua tokoh silat golongan hitam itu luar biasa sekali, tak sanggup ditangkis, sukar dikelit! Dua kelompok anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul roboh bertumpukan. Mereka berkelojotan sebentar lalu diam meregang jiwa! Tubuh masing-masing penuh ditancapi paku-paku emas beracun! Dua belas orang yang masih hidup dengan kalap membabi-buta menyerang Sepasang Elmaut Kuning. Dua belas golok besar menderu bersirebut cepat! Laksana hujan menerpa ke arah dua manusia yang diserang! Sepasang Elmaut Kuning ganda tertawa. Keduanya hantamkan tangan kembali ke muka. Dan terdengar lagi pekikan-pekikan manusia yang dilanda serangan senjata rahasia itu. Delapan orang menggeletak roboh! Delapan jiwa melayang! “Kawan-kawan larilah!” seru seorang dari empat anak murid Perguruan Seberang Kidul yang masih hidup. Maka serentak dengan itu keempatnya keluar dari kalangan pertempuran dan melarikan diri. “Mau lari ke mana?!” bentak Mata Picak. “Kalian musti ikut sama-sama kawan kalian ke neraka!” Lalu menyusul selarik sinar kuning menderu ke punggung keempat orang yang lari menyelamatkan jiwa itu. Sinar kuning menyambar! Keempatnya mencelat mental dan menjerit, lalu roboh menyusul kawan-kawan mereka! Seperti yang dikatakan oleh Elmaut Kuning Kuping Sumplung tadi, maka kini Perguruan Seberang Kidul betul-betul hanya tinggal nama saja lagi! “Manusia-manusia tolol!” desis Mata Picak seraya sapukan pandangannya pada mayat-mayat yang bertebaran di atas dan di antara batu-batu di lembah itu. Kuping Sumplung sebaliknya bertanya, “Bagaimana? Kurasa makin cepat kita berangkat ke tempat anak itu, makin baik!” “Anak mana maksudmu?” tanya Mata Picak. “Calon muridnya si Pelukis Aneh!” “Ah, rencanamu itu perlu dipikirkan masak-masak dulu!” sahut Mata Picak seraya melangkah ke goa. Dengan hati penasaran Kuping Sumplung melangkah di belakangnya. Baru saja Mata Picak sampai di mulut goa tiba-tiba meledaklah suaranya, “Celaka! Lukisan itu lenyap!” Kedua orang itu melesat masuk ke dalam goa! Lukisan perempuan telanjang yang sebelumnya terletak di atas meja kini tak ada lagi di tempat itu! “Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani-beranian jadi maling di sarangku?!” teriak Mata Picak lari ke luar goa dan melompat ke atas sebuah batu yang tinggi. Sewaktu dia sampai di atas batu dan memandang berkeliling, di jurusan timur dilihatnya sesosok tubuh berlari cepat sekali. Dan sosok tubuh itu memboyong sebuah benda empat persegi yang bukan lain daripada lukisan perempuan telanjang adanya! *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 8 ANUSIA yang melarikan lukisan perempuan telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia mengenakan jubah merah yang panjang sekali hingga menjela-jela sepanjang larinya. Debu, pasir, dan batu-batu kerikil beterbangan dilanda angin jubah manusia katai ini. Hebatnya manusia ini larinya luar biasa cepatnya. Dalam sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah batu. Pohon-pohon di kiri kanan yang dilaluinya laksana terbang! Tiba-tiba dia merasa ada yang mengejar di belakangnya. Dia berpaling dan melihat dua manusia berjubah kuning laksana kilat berlari ke arahnya. Si katai terkesiap dan tancap gas, berlari lebih cepat. Lewat sepeminum teh seketika dia menoleh lagi ke belakang, kedua pengejarnya ternyata hanya tinggal beberapa puluh langkah saja lagi! Manusia katai ini merutuk. “Celaka! Kedua bangsat itu betul-betul lihai!” Dan bila kedua pengejar yang bukan lain daripada Sepasang Elmaut Kuning adanya hanya tinggal lima belas langkah di belakangnya maka si katai segera robah ilmu larinya. Gerakan kakinya menjadi lambat dan tidak teratur, tapi anehnya bagaimana pun sepasang Elmaut Kuning mempercepat lari mereka, tetap jarak mereka tak berobah dari lima belas langkah! Itulah ilmu lari yang disebut Seribu Kaki Menipu Jarak yang telah dikeluarkan oleh manusia katai. Ilmu lari semacam ini hanya beberapa tokoh silat saja yang memilikinya! “Heran!” kata Elmaut Kuning Kuping Sumplung. “Jarak kita demikian dekatnya tapi kenapa tidak bisa mengejar bangsat itu?!” “Kurasa dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki Menipu Jarak,” sahut Mata Picak yang berpengalaman lebih luas dan berpemandangan tajam. “Berhenti!” teriak Kuping Sumplung. M Tapi mana si katai mau hentikan larinya! Marahlah Mata Picak. Hilang kesabarannya. “Berhenti! Kalau tidak aku akan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun!” Tergetarlah hati si katai. Tapi untuk berhenti dia juga tidak mau. Dia lari terus dan berusaha memperlebar jarak! “Bedebah laknat!” maki Mata Picak. Tangan kanannya diangkat ke atas dan dihantamkan ke muka. Si katai menoleh sewaktu dirasakannya sambaran angin dingin menyambar di belakangnya. Melihat selarik sinar kuning dan pakupaku emas menderu ke arahnya dengan segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia membalas dengan satu pukulan tangan kosong yang mendatangkan angin panas yang luar biasa dahsyatnya! Sepasang Elmaut Kuning tersirap kaget dan buru-buru menghindar. “Badan kate, jubah merah panjang dan pukulan angin panas! Pastilah maling ini Si Katai Bisu!” teriak Mata Picak. Dan ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu sudah dua puluh tombak jauhnya. Bersama Kuping Sumplung dia mengejar kembali! Di satu pendakian, mendadak si katai hentikan larinya dan kaget sekali. Jalan buntu dan di depannya kini terbentang sebuah jurang yang lebar dan tak mungkin untuk dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam! “Ha-ha! Kau mau lari ke mana maling laknat?!” teriak Kuping Sumplung. Tapi Si Katai Bisu tidak kehilangan akal. Laksana seekor burung walet dia melompat ke cabang sebuah pohon. “Turun!” teriak Mata Picak. “Serahkan lukisan itu dan berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu!” “Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” Si Katai Bisu keluarkan suara. “Ayo turun lekas!” teriak Kuping Sumplung. “Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” “Kurang ajar! Kalau begitu kau mampuslah!” Mata Picak angkat tangan kanannya. “Ha-hu!” Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya lalu menunjuk ke lukisan perempuan telanjang kemudian tertawa dan mencibir! Mata Picak yang tak mengerti apa maksud manusia itu siap untuk memukulkan tangannya ke atas. Tiba-tiba Si Katai Bisu lindungi dirinya dengan lukisan perempuan telanjang! Mata Picak terkesiap kaget dan batalkan serangannya. Kini dia maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si Katai Bisu tadi. Yaitu jika dia meneruskan melancarkan pukulan Paku Emas Beracun maka paku-paku itu akan merusak lukisan perempuan telanjang karena Si Katai Bisu mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya! Mata Picak memaki hahis-habisan. Tiba-tiba Kuping Sumplung melompat ke muka dan memukul. Braak! Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tumbang. Tapi Si Katai Bisu sudah melompat ke pohon lain! “Setan alas!” Mata Picak melesat ke depan dan lancarkan satu serangan dari jarak satu tombak. Si Katai Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil pergunakan lukisan perempuan telanjang untuk menangkis serangan lawan. Mau tak mau Elmaut Kuning Mata Picak tak berani lancarkan serangan yang terlalu ganas terhadap lawannya karena khawatir akan merusak lukisan! “Kuping Sumplung! Serang bangsat itu dari belakang!” teriak Mata Picak marah sekali. Elmaut Kuning Kuping Sumplung segera berkelebat dan menyerang Si Katai Bisu dari belakang, sedang dari muka Mata Picak kembali menyerbu! Namun Si Katai Bisu tidak menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia putar lukisan perempuan telanjang seputar badannya. Karena lukisan itu kini dialiri tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka bukan saja putaran lukisan mengeluarkan angin dahsyat sekali, tapi juga merupakan serangan balasan yang sekaligus memapaki serangan Sepasang Elmaut Kuning! Dalam waktu yang singkat sepuluh jurus telah berkecamuk! Sepasang Elmaut Kuning menyumpah-nyumpah tak ada hentinya. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak mendapat akal. Sewaktu pertempuran berjalan seru-serunya dia memukul ke bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini membuat Si Katai Bisu melompat ke udara. Melihat ini dengan cepat Mata Picak menyusul dengan satu serangan ke arah selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa ke arah kedua tangannya kemudian berputar lagi ke belakang menyambar lengan kiri Kuping Sumplung yang hendak menotok punggung Si Katai Bisu! Hampir tiga puluh jurus berlalu maka berserulah Elmaut Kuning Mata Picak pada kambratnya. “Keluarkan jurus Elmaut Menggila!” Kedua manusia berjubah kuning itu mundur setombak lalu dibarengi dengan jerit pekik dahsyat yang laksana merobek gendanggendang telinga keduanya menyerbu kembali dalam satu jurus aneh! Lambat laun suara pekik dan jerit yang datangnya dari pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi gugup dan panik gerakan-gerakan silatnya! Tiba-tiba tangan kanan Elmaut Kuning Mata Picak memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu dengan sambaran lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya hanya tipuan belaka. Karena begitu lukisan menderu secepat kilat Mata Picak tarik pulang serangannya dan ganti dengan satu tendangan ke arah pinggang. Pada saat yang sama dari belakang Elmaut Kuning Kuping Sumplung lancarkan pula satu serangan ganas ke arah kepala. Si Katai Bisu menggerung lalu membuang diri ke samping kanan. Lukisan disabetkan dengan cepat ke bawah sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian bawah jubahnya. Serangkum angin merah menyambar ke arah Kuping Sumplung membuat manusia ini batalkan serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain pihak Elmaut Kuning Mata Picak yang tidak berani adu kekuatan dengan lukisan yang menyambar kakinya, terpaksa tarik pulang tendangannya. Namun Mata Picak menjadi gugup sewaktu melihat bagaimana ujung pigura lukisan menyambar ganas ke arah matanya tak sanggup dikelit! Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan matanya hanyalah dengan pergunakan lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan merusakkan lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis tentu akan terluka pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut Kuning Mata Picak lebih baik melihat lukisan itu rusak, toh nanti bisa diperbaiki lagi. Juga merasa lebih baik lengannya mendapat luka daripada harus kehilangan matanya yang cuma tinggal satu-satunya! Maka diapun angkat lengan kirinya dengan cepat. Braak! Kayu pigura lukisan perempuan telanjang patah dan sudutnya menganga. Lengan kiri Elmaut Kuning Mata Picak juga patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian dengan kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan Paku Emas Beracun! Rasa sakit membuat dia tidak perduli lagi apakah pukulannya yang dahsyat itu akan menghancurkan lukisan di tangan lawan! Melihat datangnya serangan yang dahsyat dari lawan, Si Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas kebutkan jubah merahnya. Segelombang sinar merah laksana topan prahara memapasi serangan Elmaut Kuning Mata Picak. Belasan paku kuning beracun yang melesat ke arah manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di antaranya ada yang membalik menyerang Mata Picak sendiri, membuat manusia ini dengan cepat menghindar ke samping selamatkan diri! Si Katai Bisu membalikkan badan dengan cepat sewaktu di belakangnya terasa sambaran angin dingin. Namun kasip! Belasan paku kuning telah dilepaskan Kuping Sumplung! Jaraknya sudah dekat sekali, tak mungkin ditangkis tak bisa dikelit! Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk berjibaku dan tendangan kaki kanannya ke kepala Kuping Sumplung sedang tangan kanan mendorong ke muka! Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Si Katai Bisu! Sembilan paku emas beracun menancap di dadanya. Tiga di antaranya langsung menembus jantung! Tak ampun lagi begitu jatuh di tanah, nafasnya lepas sedang sekujur badannya kelihatan menggembung biru! Di lain pihak meski dia dapat menyelamatkan kepalanya dari tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut Kuning Kuping Sumplung tak sempat menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan yang dilepaskan Si Katai Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau saja tubuh itu tidak membentur patahan pohon yang tadi dipukulnya, pasti Elmaut Kuning Kuping Sumplung akan melayang ke dasar jurang batu! Kuping Sumplung muntahkan darah segar lalu roboh pingsan! Mata Picak segera menyambar lukisan yang rusak piguranya lalu memanggul tubuh Kuping Sumplung dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 9 I SEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menjulang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia tengah menuju ke sebuah kota kecil yang terletak di selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi Pendekar 212 hentikan larinya dan berjalan seperti biasa. Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpakaian compangcamping berjalan melenggang-lenggok dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi batu yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya terkempit sebuah tas daun pandan. Yang membuat Wiro diam-diam jadi tertegun ialah karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua berpakaian compangcamping itu sudah berada di hadapannya. Wiro sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus saja melangkah seenaknya dan hendak memapasi Wiro. Maka Pendekar 212 pun menegur bertanya, “Orang tua, apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala?” Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh pada si pemuda dia membuka mulut, “Siapa tanya siapa?” Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu berbunyi berkerontangan. Wiro tersenyum lagi. “Namaku Wiro. Aku dalam perjalanan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang betul?” Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan memandang Wiro Sableng dari atas sampai ke kaki. “Ah... melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang...” Dan habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan lagi kaleng di tangan kanannya. Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan si orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini. D “Coba ulurkan telapak tangan kirimu!” si orang tua tiba-tiba memerintah. Wiro Sableng meragu seketika. Dia tidak kenal dengan orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya. Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu Wiropun ulurkan telapak tangan kirinya. Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan garis pada telapak tangan pemuda itu. Wiro Sableng terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah batu besar yang ratusan kati beratnya! Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada telapak tangannya dan Wiro merasa tangannya tergetar hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua. Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil batuk-batuk dia berkata, “Orang muda, masa depanmu penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi kau tak perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati semuanya.” Orang tua aneh kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu meneruskan, “Garis percintaanmu tidak begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik...” Kaleng berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar 212 kelihatan merah menjengah! Dan si orang tua bertanya, “Kau tengah menuju ke Paritsala?” “Betul orang tua,” jawab Wiro. “Kunasihatkan agar dibatalkan saja...” “Memangnya ada apakah?” “Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan dan bahaya di mana-mana...” “Tapi seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke utara...,” kata Wiro yang ingat akan petunjuk yang diberikan Dewa Tuak. Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontang-kerontangkan kalengnya lalu hendak menindak meninggalkan tempat itu. “Orang tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu. Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu...” Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan dengan melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan Wiro Sableng sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku tidak tahu... Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua aneh itu terus diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap di kejauhan. Wiro Sableng berdiri terlongong-longong. Orang persilatan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu? Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengembara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan mengatakan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul. Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh orang-orang dunia persilatan. Wiro merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan orang tua itu. Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persimpangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan gemeletak suara kereta. Wiro berpaling, sepuluh orang penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan. Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu. Dan sewaktu Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi Wiro masih terkesiap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana sinar bintang timur di malam cerah! Wiro memandang ke jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 212 akan ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah menempuh jalan yang ditempuh rombongan itu. Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng memasuki Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun tertambat di halaman. Karena bangunan itu adalah rumah penginapan maka Wiro Sableng pun segera menuju ke sana. Baru saja Pendekar 212 berdiri di tangga bawah pintu penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah agak lanjut. “Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini?” “Betul” sahut Wiro. “Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang...” “Seluruh kamar?” ujar Wiro heran. Dia menggoyangkan kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di halaman. “Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah menempatinya?” “Ya.” “Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?” “Enam belas... Mengapa?” “Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas orang,” kata Wiro. “Pasti ada kamar yang masih kosong untukku...” “Sudah kubilang semua kamar diambil oleh rombongan itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja yang hendak menginap di sini...” Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya, “Kalau begitu aku musti cari penginapan lain,” katanya setengah menggerutu. “Di sini tak ada lagi penginapan lain.” “Hem...” Wiro menggumam. “Terpaksa kau menolong menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak jadi apa.” “Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!” Wiro Sableng jadi penasaran. “Apa kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?!” Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal. “Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara lantang. Salah-salah kau bisa berabe!” Wiro keluarkan suara bersiul. “Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?” tanya pemuda ini “Ah! Tak usah kau banyak tanya!” Pelayan itu putar tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro mencekal bahunya hingga dia tak bisa bergerak. “Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe!” desis Wiro ke telinga pelayan itu. Dan si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu merasakan bagaimana telapak tangan Wiro yang berada di bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai! “Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan dilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi...” Wiro angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada sekilas bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya lewat jendela kereta. “Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu, Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali tampar saja pasti kepalamu menggelinding!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!” Tiba-tiba satu suara garang membentak dan sesaat kemudian seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro. Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat! “Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!” “Hak apakah kau mengusirku?!” tanya Wiro dengan senyum mengejek. Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya dengan cepat diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng. Begitu terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir! “Mampus!” teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditanggalkannya kepala Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyentakkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan darah di dadanya! Si tinggi besar mengeluh tertahan. Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan kaku, Wiro cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya ke sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi besar menyangsrang di antara cabang pohon, tak bisa bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. Wiro sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu! Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti kepergian Pendekar 212. *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 10 ETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang mendekatinya dari arah belakang. Menyangka bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon. Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada di jalan itu. Tapi tiba-tiba lenyap entah ke mana. “Hai! Kau mencari aku?!” tanya Wiro dari balik pohon. Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon. “Lekas ikut bersamaku!” kata si pelayan. “Ikut ke mana?” tanya Wiro heran. “Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!” “Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!” Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali! “Lekaslah!” kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda cemas. Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung kuda di belakang si pelayan. “Bapak,” bisik Wiro waktu mereka berlalu dengan cepat, “Kalau kau menipuku, aku akan gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!” Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling. Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan penginapan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal tangan si pelayan. “Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke sini?!” desis Wiro Sableng. “Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot batang K leherku!” jawab si pelayan. Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap ditelan hembusan angin malam di kejauhan! “Ikut aku!” kata pelayan itu. “Tunggu!” jawab Wiro. “Terangkan dulu apa arti semua ini!” “Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun tak ada yang bermaksud jahat padamu!” “Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah itu?!” tanya Wiro Sableng lagi, “Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!” Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola matanya berputar liar waspada kian kemari sambil melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan. Suasana sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah gudang tempat menyimpan segala macam perabotan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya mereka sampai di sebuah gang. Pelayan memberi isyarat agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya. Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti dan berpaling pada Wiro. “Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu adalah orang yang memerintah aku!” Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam kamar, terkesiaplah Pendekar 212! Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbunga-bunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda. Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujurnya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah kembali ke tengah kamar. “Saudari apakah artinya ini?” tanya Wiro Sableng. Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang dilihatnya di tengah jalan tadi sore! “Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyusupkan suara?” si gadis bertanya perlahan. Wiro Sableng terkejut “Apaan pula ini?” tanyanya dalam hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis berkata, “Aku telah saksikan apa yang kau lakukan terhadap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi. Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan penolongku...” “Hem...,” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Pertolongan apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan Garuda Sakti.” Si gadis anggukkan kepala. “Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi...” “Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melangsungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi.” “Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si jelita. Lalu sambungnya, “Perkawinanku dengan anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah! Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk menghindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.” “Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, kenapa tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 212 pula. “Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akan-anak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri mendapat tekanan dari mereka.” Wiro merenung sejenak. “Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang kau cinta?!” tanya Wiro seenaknya, Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian anggukkan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia berkata, “Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di sebuah goa batu...” Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian mengambang di kelopak mata si gadis. “Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?” tanya Wiro. “Menolong agar perkawinanku bisa batal!” “Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan itu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala. “Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Pertolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur hayat.” Wiro berpikir, lalu, “Kau ingin kularikan sekarang?!” tanya Wiro mengambil keputusan pendek. “Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi menjelang hari-hari perkawinan itu...” “Berabe juga kalau begini,” kata Wiro. Dipijit-pijitnya keningnya. “Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di puncak Merapi?” “Lusa siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis. Wiro berpikir-pikir lagi. “Baiklah,” kata Pendekar 212 kemudian. “Aku sudah dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawinanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara pernikahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi apakah aku boleh tahu namamu...?” Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar suara lantang. “Permani! Buka pintu cepat.” Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu matanya membentur jendela, Wiro segera melompat. Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga dia sudah lenyap di luar sana setelah terlebih dulu menutupkan daun jendela kembali! “Permani!” Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedoran-gedoran. Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul. Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang besar penuh teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki dengan hati berdebar. “Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!” tanya Manik Tunggul. Permani tertawa. “Kecurigaan ayah terhadap anak sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu. “Siapa dan untuk apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar ini?!” Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat tidur! “Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar Permani. Manik Tunggul masih belum percaya akan ucapan anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya. Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali. “Permani, menjelang hari perkawinanmu ini kuharap kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!” “Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu, tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain daripada patuh atas segala kemauanmu...” kata Permani dengan tundukkan kepala. Manik Tunggul tepuk bahu anaknya. “Kau anak yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan kamar. *** Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain? Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Perguruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya sendiri. Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghiraukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memukaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan! Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu, “kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik...” Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau. *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 11 I PUNCAK Gunung Merapi. Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir serta hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk lingkaran, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian sebelah utara panggung berbentuk lingkaran terdapat sebuah podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan cekung. Dialah Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, calon suami Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan dan beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang disegani! Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa naik ke atas podium dan upacara perkawinan segera akan dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila upacara pernikahan selesai, para tamu akan dijamu makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-pertandingan silat yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan di atas panggung besar kayu jati! Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling. Dari sebuah bangunan keluarlah pengantin perempuan, diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang memandang kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji kecantikan paras Permani! Dilihat kepada rupa memang ada juga di antara para tamu yang merasa kurang cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta? Siapa yang tak kenal dengan Sokananta yang berilmu tinggi?! Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas D panggung di depan podium maka pengantin laki-laki pun berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di masa itu Wararayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di bawah pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup bahagia! Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga muncul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik Tunggul serta Sokananta kelihatan gelisah. Permani yang berdiri dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai saat itu orang yang hendak menolongnya belum juga kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlambat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?! Telah lewat sepeminum teh. Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat sangat membuat kulit muka Manik Tunggul merah laksana saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung jawab mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan karena malu melainkan merasa terhina! Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul seorang berjubah biru. Manik Tunggul tersirap kaget. Jubah biru adalah pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik batu karang itu? Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini, terkejutlah Manik Tunggul serta para hadirin. Langkah si jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat, maka tersiraplah darah Manik Tunggul dan semua orang. Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi anehnya jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik Tunggul sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada dan siapa pula manusia yang datang ini?! Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakan diikat dengan robekanrobekan kain berbagai bentuk dan warna. Di tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut runcing sedang di tangan kanannya menggenggam sebatang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat di sekitar kawah gunung. Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti segera hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam posisi mengurung si jubah biru. Akan tetapi Permani begitu dia melihat si jubah biru ini, meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan rambut awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar penginapan, bukan lain orang yang diharapkannya sebagai tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit. Tapi apa-apaan dia berbuat macam orang gila begini rupa? Tiba-tiba si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar 212 keluarkan suara macam orang tua dan menggigil, “Uh... uh... dinginnya! Dingin sekali!” Dan kedua tangannya didekapkan di dada sedang geraham-gerahamnya bergemeletukan persis macam orang kedinginan! Di samping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang telinga para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka injak! Semua orang heran campur terkejut! Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?! “Jubah biru!” bentak Manik Tunggul. “Manusia atau setankah kau?!” “Hai... aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak merasa? Apakah kalian semua di sini tidak kedinginan? Uh.. uh...!” Semua orang saling pandang. “Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?!” Kembali Manik Tunggul buka suara keras. Wiro Sableng dengan menahan geli di dalam hati pura-pura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri. Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di tangan kanan dia berkata, “Anak-anakku... kalian semua dengarlah!” “Persetan manusia edan!” hardik Bogananta beringas. “Kau kira kami ini apamu sampai memanggil kami anak-anakmu?!” Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan Merapi itu. “Kalian dengar dulu... jangan ganggu bicaraku. Siapa yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa di khayangan!” Lalu Wiro Sableng pura-pura menggigil kedinginan lagi! “Dingin... uh... dingin sekali! Di dasar kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main! Uh...!” “Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari sini kutekuk batang lehermu!” ancam Manik Tunggul. “Aku bukan manusia... bukan manusia!” kata Wiro lantang keras hingga setiap orang yang mendengar tergetar dadanya! “Aku adalah titisan dewa di khayangan! Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua! Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian...” “Keparat pendusta!” bentak Manik Tunggul. “Kau kira kami bisa dikelabuhi oleh orang gila macammu?!” Wiro Sableng menyeringai dan keluarkan suara mengekeh. Dalam hatinya dia memaki! “Aku pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu...?! Kau akan lihat... akan lihat!” kata Wiro pula dengan suara keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun! Di tepi kawah Wiro komat-kamitkan mulut. Dalam hati dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan pecahan kaca rias diputar-putarnya kian kemari! Kemudian terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas. “Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah menyaksikan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila! Demi memandang mukaku, demi menjaga kesucian tempat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap perlihatkanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka...!” Wiro putar-putarkan kedua tangannya ke udara. “Hukumlah mereka wahai dewa!” seru Wiro lagi dan seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan. Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh. Maka mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan mereka yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang! “Tahan!” teriak Manik Tunggul seraya melompat ke muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan Wiro. Pakaiannya berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang keluar dari tangan sang Pendekar 212! “Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara padamu!” Berada sedemikian dekat Manik Tunggul melihat bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat! Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga. Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa! “Tahan!” teriak Manik Tunggul sekali lagi. “Aku mau bicara!” Wiro tertawa mengekeh dan mendongak ke langit. “Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah kemurkaanmu.” Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan Manik Tunggul yang ada di sampingnya Wiro melangkah kembali ke atas panggung di depan podium sambil tertawa mengekeh-ngekeh! “Masih untung, masih untung dewa mau mengampuni kalian manusia-manusia sombong!” kata Wiro. Dia melirik ke samping. Manik Tunggul berada di dekatnya. Dan Wiro buka mulut kembali, “Itu baru sepersepuluh dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti kalian semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana daun kering dan mampus!” Wiro komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke muka. “Sekarang kalian dengar semua!” serunya menggeledek. “Dewa telah mengampuni kalian orang-orang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengampunan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini dewa memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan kepadaku!” Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya terkejut. Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta mendelik memandang kepadanya. Cuma seorang yang kelihatan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain Permani. Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang menyamar itu. “Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserahkan padaku...!” Wiro melangkah mendekati Permani. Tapi baru satu langkah, Manik Tunggul sudah memapasinya. “Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau kau maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku ini!” Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti melompat ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat! *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 12 IRO Sableng terkejut melihat datangnya serangan dua tangan yang mencengkeram dengan dahsyat itu. Buru-buru dia melompat ke belakang dan kiblatkan tombak batu hitam di tangan kanannya memapasi serangan lawan! Kini Manik Tunggullah yang terkejut! Serangan yang dilancarkannya tadi adalah jurus Sepuluh Jari Sakti Menggarap Gunung, merupakan satu jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya. Tapi si jubah biru mengelakkannya dengan cepat bahkan kalau dia tidak cepat menarik pulang kedua tangannya pastilah akan dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah biru! Wiro tertawa mengekeh. “Manusia sombong dan kotor hendak melawan titisan dewa?!” ejeknya. “Kau akan tahu rasa!” Malu bercampur amarah yang meluap Manik Tunggul siap menyerang kembali. Tapi di saat itu sesosok tubuh melompat ke depan dan satu seruan terdengar, “Ketua Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon mantumu tunjukkan bakti padamu! Biar aku yang ringkus manusia kentut dewa itu!” Sreet! Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, si pengantin laki-laki yang akan jadi suami Permani cabut pedangnya lalu tanpa tedeng aling-aling menyerbu kirimkan satu tusukan satu babatan! Pendekar 212 tertawa gelak-gelak dan elakkan serangan pedang dengan satu putaran tombak batu. Dengan penasaran Sokananta susul dua tusukan kilat dan dua tebasan sekaligus! Wiro putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran Terbang Ke Langit. Melihat gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah serangannya bukan main dongkolnya Sokananta. Dia ambil keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga dalam sekaligus! Trang! Trak! W Tombak batu hitam di tangan kanan Wiro Sableng patah dua. Sebaliknya pedang di tangan Sokananta terlepas mental, tangannya tergetar hebat dan pedas membuat dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap ketika dia hendak melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua Perguruan Merapi ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental ternyata sudah berada di tangan lawannya! Gelaplah muka Sokananta ditelan rasa malu dan kegeraman yang menyala! Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara semua orang! Sokananta adalah anak kandung gemblengannya sendiri. Meski tenaga dalamnya masih belum mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap ringan, dan di samping itu seluruh ilmu silatnya telah dikuasai oleh Sokananta! Bagaimana kini dia bisa dipecundangi dalam satu gebrakan itu saja? Untuk tidak membuat anaknya kehilangan muka maka Bogananta berseru memerintahkan anak-anak buahnya menyerang si jubah biru. Di lain pihak Manik Tunggul segera pula memerintahkan anak-anak buahnya. Enam belas orang berlomba ke depan podium bukan saja mengurung Wiro tapi dengan serentak menyerangnya! Pendekar 212 tertawa dan keluarkan suara bersiul. Begitu gelombang serangan datang menggempurnya, pemuda ini melompat ke udara dan sewaktu menukik turun, kembali terdengar jerit empat orang pengeroyok. Keempatnya menggelinding ke tanah dalam keadaan pingsan. Dan di depan podium, empat orang lainnya berdiri mematung karena ditotok oleh Wiro dengan bagian belakang yang tumpul dari patahan tombak batu hitamnya! Melihat ini baik Bogananta maupun Manik Tunggul segera maklum bahwa si jubah biru bukanlah tandingan anak-anak murid mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya belum tentu berada di bawah mereka! “Bangsat!” bentak Bogananta marah. “Rupanya kau sengaja datang mengacau ke sini! Lekas berlutut atau aku akan urus jalan ke akhirat bagimu!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Terhadap titisan dewa kau berani main perintah seenaknya! Makan pukulanku ini!” bentak Wiro pura-pura marah lalu lancarkan satu pukulan yang sebenarnya hanya satu kepura-puraan saja. Dia tiada permusuhan dengan semua orang di situ, karenanya dia tak punya niat untuk turun tangan jahat! Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat luar biasa, Bogananta cepat-cepat menghindar sewaktu angin pukulan menyambar ke arahnya dan dengan jurus Naga Menyelinap Dari Balik Rimba Belantara, Ketua Perguruan Merapi ini kembali menyerbu! Wiro tak melihat gerakan lawan tahu-tahu tubuhnya sudah berada dekat sekali dan tinju kiri kanan sudah berada di depan hidung! Hanya sedetik Pendekar 212 terkesiap melihat jurus serangan yang tak terduga dari lawan. Sekejap kemudian tangan kirinya sudah bergerak dan pecahan kaca rias bersudut-sudut runcing melesat ke arah tenggorokan Bogananta! “Keparat!” maki Bogananta. Dia pergunakan tangan kanan memukul kaca itu hingga hancur lebur, sebaliknya tinju kiri diteruskannya ke arah muka lawan! Namun serangan ini telah berkurang kecepatannya karena gerakan yang dibuatnya waktu memukul hancur kaca tadi! Dan dengan sendirinya tangan kiri Bogananta menjadi makanan yang empuk bagi Pendekar 212. Namun karena dia tak punya niat turun tangan jahat maka Wiro cuma tarik lengan laki-laki itu, memuntirnya dengan cepat! Begitu tubuh Bogananta terputar, Wiro segera menotok punggungnya. Keluh kesakitan yang hendak keluar dari mulutnya Bogananta sirna di tenggorokannya karena tubuhnya keburu kaku dilanda totokan Pendekar 212! Tercekatlah hati Manik Tunggul. Ilmu silat dan kepandaian calon besannya itu dua tingkat lebih tinggi dari dia! Berarti adalah mencari konyol kalau dia coba pula turun tangan! Tapi agar tidak dicap pengecut, Ketua Perguruan Garuda Sakti ini segera lompat ke depan Wiro. Begitu menyerang dia keluarkan jurus ilmu silatnya yang paling hebat yaitu Seribu Garuda Mengamuk! Kedua tangan Manik Tunggul terkembang ke samping laksana sayap burung garuda. Sekali tubuh kena terpukul pasti hancur remuk! Dari mulutnya keluar suara berkuik-kuik macam suara garuda sedang di samping memukul, kedua tangannya secepat kilat bisa berobah mencengkeram setiap bagian tubuh lawan! Satu jurus Pendekar 212 kena dirangsak ke sudut panggung dekat para tamu duduk. Tapi memasuki jurus kedua sekali berkelebat terdengarlah keluhan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke muka. Sepasang kakinya laksana tiada bertulang. Tubuhnya tergelimpang di panggung. Wiro telah menotok kedua urat kakinya sekaligus sehingga Manik Tunggul laksana lumpuh tak sanggup berdiri! Wiro memandang berkeliling dengan tawa berderai. Tamu-tamu dilihatnya dicekam oleh rasa kejut dan takut. Inilah saatnya untuk melarikan Permani, pikir Wiro. Segera dia hendak melompat ke tempat sang dara. Namun dari panggung sebelah timur melesat sesosok tubuh berjubah hitam. Lesatannya sangat ringan luar biasa dan tanpa suara tahu-tahu dia sudah di atas panggung kayu jati! Manusia berjubah hitam ini ternyata seorang perempuan separuh baya yang berparas cantik sekali. Namun sekali melihat sinar matanya, Wiro segera maklum bahwa manusia ini di samping tinggi ilmu silatnya juga mempunyai hati jahat! Tiba-tiba jubah hitam menunjuk cepat-cepat ke arah Wiro Sableng! “Manusia yang mengaku titisan dewa, harap datang ke hadapanku!” Suara perempuan ini besar parau dan menggetarkan liang telinga. Wiro mengagumi kehebatan tenaga dalam perempuan ini. Siapakah dia pikir Wiro dan tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang tak boleh dibuat main-main, Pendekar 212 segera melompat ke panggung kayu jati! Semua mata kini ditujukan ke panggung, pada kedua orang itu! “Aku tak suka bikin urusan dengan manusia yang sembunyikan tampangnya di balik penyamaran! Lekas perlihatkan mukamu yang sebenarnya dan buka jubah biru itu!” Wiro kaget namun dia tertawa. “Kupuji ketajaman matamu! Tapi harap kau suka terangkan siapa kau dan apa maksudmu jual lagak di atas panggung ini!” Tentu saja Si Jubah Hitam marah sekali. Dia tahan kemarahannya dan berkata datar, “Ketahuilah, aku datang untuk menagih hutang jiwa!” “Ohh... kukira kau berdiri di sini hendak membela kedua ketua perguruan itu.” “Aku tak ada sangkut paut dengan mereka! Aku adalah kakak seperguruan Dewi Kala Hijau yang kau bunuh beberapa tahun yang lalu!” (Tentang siapa adanya Dewi Kala Hijau harap baca serial Wiro Sableng yang berjudul Neraka Lembah Tengkorak). Kaget Wiro Sableng bukan alang kepalang! Dewi Kala Hijau yang pernah dibunuhnya tempo hari ilmunya tinggi luar biasa. Dan kini kakak seperguruannya datang menuntut balas! Tentu ilmunya lebih hebat lagi! Tapi meskipun demikian mana pemuda ini merasa jerih. Malah dia tertawa dan berkata, “Kau datang kurang cocok waktunya, perempuan gagah. Sekarang bukan saatnya menagih segala macam hutang, apalagi hutang jiwa!” Dengan acuh tak acuh Wiro bertindak mendekati Permani, tapi dari samping Sokananta telah memapasi. Di tangannya kiri-kanan kini tergenggam dua bilah pedang mustika yang berkilauan ditimpa sinar matahari! Begitu memapas begitu anak Ketua Perguruan Merapi ini kiblatkan kedua senjatanya. Wiro yang maklum bahwa dua batang pedang itu bukan pedang biasa tak mau bertindak ceroboh. Anginnya saja sudah memerihkan kulitnya. Dia melompat mundur mengelak dan pada saat dia berada dekat Bogananta secepat kilat Wiro mencabut pedang yang tergantung di pinggang kiri Ketua Perguruan Merapi itu! Kini sibuklah Sokananta. Dia terdesak hebat ketika salah satu pedangnya dibikin mental. Muka pemuda berambut jarang ini pucat lesu sewaktu ujung pedang ayahnya yang di tangan Wiro menyambar laksana kilat dan merobek besar pakaian di bagian dadanya! Dalam dia terkesiap kaget dan kecut itu, Wiro lepaskan pukulan tangan kosong. Tak sempat mengelak tahu-tahu Sokananta telah merasakan tubuhnya kaku tegang tak bisa bergerak lagi! “Sudah cukup aku melihat pertunjukanmu!” kata satu suara di samping Wiro. “Sekarang kau hadapi Si Jubah Hitam.” Sekali mengusap mukanya maka semua orangpun gegerlah. Muka yang tadi cantik menawan hati itu kini berubah menjadi muka tengkorak yang membuat bulu kuduk menggerinding! Didahului oleh satu lengkingan dahsyat, Si Jubah Hitam pukulkan tangan kanannya ke depan. Gelombang angin keras melanda Pendekar 212. Wiro bersuit nyaring dan berkelebat dengan cepat tapi dari samping Si Jubah Hitam susul dengan pukulan tangan kiri! Pendekar 212 terkurung di antara dua angin pukulan sekaligus! “Sialan!” maki Wiro. Dengan serta merta pendekar ini angkat kedua tangannya dan dorongkan ke muka dalam jurus pukulan yang bernama Benteng Topan Melanda Samudera! Dua pukulan dahsyat yang mengandung tenaga dalam hebat luar biasa saling bergulat tindih menindih! Semua orang yang menyaksikan adu kekuatan tenaga dalam ini menahan nafas dengan tegang. Jarang sekali pertempuran yang begini hebat mereka saksikan! Si Jubah Hitam kernyitkan kening tengkoraknya. Di kening Wiro sebaliknya kelihatan butiran-butiran keringat. Braak! Lantai kayu jati yang diinjak oleh Pendekar 212 hancur roboh! “Celaka!” keluh Pendekar 212. Ternyata tenaga dalam lawan tidak berada di bawahnya, malah satu dua tingkat berada di atasnya! Dengan bersuit nyaring Wiro melompat mundur sejauh dua tombak lalu jungkir balik sampai tiga kali berturut-turut dan jatuhkan diri di lantai dan seterusnya berguling cepat! Dengan demikian baru dia berhasil menolak dan melebur serangan tenaga dalam Si Jubah Hitam yang sangat dahsyat itu! “Gila betul!” maki Wiro dalam hati. Kalau dihadapi terus manusia bermuka tengkorak ini meski belum tentu dia bisa dikalahkan dengan mudah tapi bisa berabe! Maka dengan cepat Wiro melompat menyambar tubuh Permani! Tapi celaka, begitu tubuh sang dara berada di atas bahu kirinya, enam orang telah mengurungnya. Mereka adalah tokoh-tokoh silat yang menjadi tamu dan bersahabat baik dengan kedua Ketua Perguruan yang kini berada dalam keadaan ditotok tak berdaya! Dengan demikian manusia yang mengeroyok Wiro berjumlah tujuh ditambah dengan Si Jubah Hitam! Si Jubah Hitam tertawa panjang. “Enam manusia tak tahu diri! Kalian mundur semua! Nyawa pemuda itu hak milikku!” “Perempuan muka tengkorak!” jawab seorang di antara yang enam sambil melintangkan senjatanya yaitu sebuah ruyung perak. “Urusanmu, urusanmu! Kami juga punya kewajiban untuk membunuh manusia yang hendak menculik anak gadis sahabat kami!” “Di hadapan Iblis Tengkorak kalian berani jual tampang petantang-petenteng! Pergilah semua!” Si Jubah Hitam yang mengaku bergelar Iblis Tengkorak dorongkan kedua tangannya ke muka! Gelombang angin yang dahsyat menyambar. Laksana daun-daun kering keenam tokoh silat itu terpelanting ke luar panggung! Dua orang muntah darah. Empat lainnya melingkar pingsan di tanah! Sewaktu orang-orang itu bertengkar mulut dan sewaktu Iblis Tengkorak menggempur keenam tokoh silat, maka kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk berlalu dengan cepat. Tapi lebih cepat lagi, tahu-tahu Si Jubah Hitam Iblis Tengkorak sudah berada di depannya! Dan sekaligus lancarkan sejurus serangan ganas! Wiro berkelit gesit dan selundupkan satu tendangan ke perut lawan! Tapi dengan sigap Iblis Tengkorak hantamkan tangan kanannya ke bawah. Karena tenaga dalam lawan lebih tinggi, Wiro terpaksa tarik pulang tendangannya dan sebagai gantinya kirimkan serangan Kunyuk Melempar Buah. “Apakah tak ada ilmu pukulanmu yang lebih berguna?!” ejek Iblis Tengkorak. Dan sekali dia kebutkan lengan jubah hitamnya maka buyarlah serangan Wiro Sableng yang berkekuatan dua per tiga tenaga dalamnya itu! “Hebat sekali iblis betina ini!” rutuk Wiro. Tubuh Permani diturunkannya, kemudian diiringi oleh satu bentakan nyaring dia menyerbu ke muka. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang! Dua gelombang angin pukulan melanda Iblis Tengkorak, masingmasing pukulan Orang Gila Mengebut Lalat dan pukulan Angin Es. Angin besar menderu-deru, mengibarkan jubah hitam Iblis Tengkorak. Sedang udara mendadak sontak menjadi dingin luar biasa. Semua orang menggigil bergemeletukan geraham mereka! Tapi Iblis Tengkorak ganda tertawa. Dua tangan memukul ke muka. Dua larik sinar hitam menggebu! Wiro meraung! Tubuhnya mental sampai empat tombak, pakaiannya robek hampir di setiap bagian sedang dari hidung dan sela bibirnya kelihatan darah ke luar! Tak ayal lagi Wiro segera telan dua butir pil. Matanya beringas galak. Dan sewaktu Iblis Tengkorak datang mendekat dengan tertawa, Pendekar 212 segera sambut dengan pukulan Sinar Matahari. “Aha! Pukulan Sinar Matahari!” seru Iblis Tengkorak. “Inilah yang kutunggu!” Tangan kanannya bergerak membuat lingkaran, kemudian laksana kilat dihantamkan ke muka! Terdengar suara laksana guntur! Satu gelombang angin hitam bergerak berputar bergulunggulung lalu menghantam ke muka laksana topan prahara! Sinar putih perak pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212 tiada berdaya dan terbuntal dalam gelungan-gelungan angin hitam pukulan lawan untuk kemudian melesat kembali menyerang dirinya sendiri, sekaligus bersama serangan angin pukulan lawan! Itulah pukulan Raja Angin Mengamuk yang telah dilepaskan oleh Iblis Tengkorak! “Tobat.” keluh Pendekar 212! Tangan kanannya bergerak sebat! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata berkiblat dan,... Buum! Satu letusan yang luar biasa kerasnya terdengar! Puncak Gunung Merapi bergetar! Suara letusan yang dipantulkan kembali oleh dasar kawah tak kalah hebatnya sehingga semua orang di situ merasakan dunia laksana mau kiamat! Iblis Tengkorak terkejut besar. Jantungnya mendenyut sakit sedang kedua lututnya agak tertekuk! Ketika dia memandang ke depan dilihatnya pemuda itu berdiri dengan tubuh bergetar, muka pucat pasi dan sepasang mata merah sedang di tangan kanannya tergenggam sebuah kapak bermata dua, yang gagangnya terbuat dari gading dan berbentuk kepala naga-nagaan! Terkesiaplah Iblis Tengkorak melihat kehebatan senjata lawan! Kapak Maut Naga Geni 212 nyatanya bukan senjata kosong belaka! Pukulan Raja Angin Mengamuk yang dilepaskan tadi adalah pukulan paling hebat dan ganas yang dimilikinya! Selama sepuluh tahun memiliki ilmu pukulan itu tak satu lawan gagah pun yang sanggup menghadapinya! Tapi kini seorang lawan berusia muda sekali dengan Kapak Naga Geni 212 berhasil memusnahkan pukulannya itu! Kedua mata Pendekar 212 terbuka perlahan. Satu seringai maut tersungging di bibirnya. Parasnya yang selama ini macam paras anak-anak dan tolol kini berubah total menggidikkan! Sinar matanya laksana menembus tembok baja! “Iblis Tengkorak!” desis Wiro Sableng. “Kalau hari ini aku tak sanggup memisahkan kepala dan badanmu, biarlah aku mengundurkan diri dari dunia persilatan selama-lamanya!” Sebenarnya pemuda ini sudah terluka di dalam. Tapi begitu Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya satu aliran sejuk keluar dari gagang kapak dan memberi kekuatan baru padanya meskipun luka di dalam yang dideritanya tidak bisa dikatakan sembuh! Perempuan muka tengkorak tertawa dingin. “Keluarkan semua ilmu simpananmu. Kalau kau punya sepuluh senjata cabut sekaligus agar tidak mati penasaran! Sekali Iblis Tengkorak inginkan nyawa seseorang pasti tak bisa lepas. Tak perduli apakah kau punya tiga kepala enam tangan!” “Manusia sombong! Kalaupun aku mampus di tanganmu tapi kejahatan tak akan sanggup menumbangkan kebenaran!” “Jangan mengigau di siang bolong! Hari ini gelar Pendekar Kapak Maut Geni 212 akan kuhapus dari dunia persilatan!” Iblis Tengkorak menggembor macam kerbau marah. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu dua belas serangan telah menyerbu Wiro Sableng! Yang diserang tak tinggal diam. Begitu Kapak Naga Geni 212 berkiblat maka suara menderu laksana suara ribuan tawon merangsang telinga! Sedang dari mulut sang pendekar melengking suara siutan nyaring yang tak menentu dan menusuk gendanggendang telinga! Kejut Iblis Tengkorak bukan alang kepalang. Putaran angin kapak tak sanggup diterobos oleh pukulan-pukulan yang dilancarkannya. Sebaliknya angin kapak itu memerihkan mata serta kulitnya. Dan ditambah pula oleh suara mengaung serta siulan yang tiada henti-hentinya menusuk liang telinganya, membuat gerakan-gerakannya kacau-balau! Dengan penasaran dan kalap, dalam jarak sedekat itu Iblis Tengkorak lepaskan pukulan Raja Angin Mengamuk. Tapi cepatcepat dia tarik pulang tangan kanannya karena jurus putaran kapak yang bernama Pecut Sakti Menabas Tugu yang dilancarkan oleh Pendekar 212 hampir saja membuat tangan kanannya terbabat putus! Semua orang yang menyaksikan tak dapat lagi melihat wujud tubuh kedua manusia yang bertempur itu. Menyaksikan lama-lama mata mereka menjadi sakit dan kepala masing-masing menjadi pusing! Telah dua kali Iblis Tengkorak tukar ilmu silatnya namun tetap saja dia kena didesak! Tubuhnya telah mandi keringat dingin. Tibatiba dengan licik manusia muka tengkorak ini menyelundup ke belakang tubuh Pendekar 212 dan dari belakang ini lancarkan satu serangan maut yang ganas! Tapi Wiro sudah lebih dahulu rasakan datangnya angin serangan yang dingin di punggungnya. Dengan lancarkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar Wiro balikkan badan! Iblis Tengkorak tak mengira lawannya akan mengetahui posisinya dan bisa menyerang secepat itu. Dengan gugup dia mengelak. Wiro susul dengan jurus Membuka Jendela Memanah Rembulan yang tak asing lagi. Tangan kirinya membabat ke pinggang lawan. Jubah hitam masih bisa berkelit tapi serangan yang lebih ganas tak dapat dihindarkannya yaitu serangan kapak yang laksana anak panah melesat menyambar ke arah batang lehernya! Craas! Darah memancur. Tubuh Iblis Tengkorak roboh ke lantai panggung. Kepalanya menggelinding mengerikan! Semua orang menjadi gempar! Dan ketika mereka memandang lagi ke atas panggung, Wiro Sableng sudah tak ada. Bahkan kemudian mereka menyadari bahwa Permani pun tak ada lagi di hadapan podium! Untuk kedua kalinya semua orang menjadi gempar! *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 13 NIKAH Goanya?” tanya Wiro seraya melompat turun dari punggung kuda. Dalam perjalanan melarikan diri bersama Permani mereka berhasil mendapatkan dua ekor kuda hitam milik anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti. Permani anggukkan kepala lalu turun pula dari kudanya. Sebuah batu yang sangat besar menyumpal mulut goa. Wiro Sableng kerahkan tenaga dalam. Setelah bekerja keras beberapa lamanya baru batu besar itu bisa disingkirkan. Didahului oleh Permani keduanya masuk ke dalam. Ternyata goa itu cuma delapan tombak dalamnya. “Kanda Panuluh!” Tiba-tiba mengumandang pekik Permani. Dara ini laksana diburu setan lari ke depan dan meraung keras. Menangis sambil tiada hentinya menyebut nama tadi! Wiro Sableng berdiri termangu. Seorang pemuda yang berada dalam keadaan menyedihkan tersandar ke dinding goa. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi yang dipakukan ke dinding kuat sekali. Dia hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah yang dalam bekas cambukan. Mukanya babak belur. Bibir pecah, pipi lecet, sedang kedua mata bengkak menggembung. Pada bawah mata dan hidung kelihatan noda-noda darah yang telah membeku! Dan Permani menangis memeluki tubuh pemuda itu. Wiro menggigit bibir. Dia maklum kalau pemuda itu sudah tiada bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro berteriak, “Jangan!” Dan secepat kilat melompat ke muka menangkap tubuh Permani. “Bunuh diri tak ada gunanya!” seru Wiro. Menyadari bahwa pemuda kekasihnya telah mati maka tadi Permani hendak benturkan kepalanya ke dinding goa. Untung Wiro masih sempat menghalanginya. “Tenanglah Permani,” bisik Wiro coba menghibur. I “Tidak! Lepaskan aku Wiro! Lepaskan!” teriak sang dara keras dan meronta-ronta laksana orang gila! “Jangan mengambil jalan sesat!” “Tak perlu aku hidup lebih lama! Orang yang kukasihi telah tiada!” Lengking Permani. “Lepaskan! Biar aku bunuh diri Wiro! Lepaskan!” Karena Permani adalah seorang gadis yang mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya maka dengan susah payah baru Wiro berhasil menotok tubuhnya hingga dia lemas dan disandarkan ke dinding. Suara tangisnya menyayat hati. Wiro melepaskan dengan paksa rantai-rantai yang mengikat tangan serta kaki Panuluh lalu membaringkan pemuda itu di lantai goa. Permani tutupkan kedua matanya, tak tahan melihat keadaan kekasihnya itu. “Apakah ayahmu yang melakukan kekejaman ini?” tanya Wiro. “Sokananta! Dia dan orang-orangnyalah yang melakukan!” “Bangsat itu akan dapat ganjaran dariku kelak!” desis Wiro Sableng. Dia memandang ke luar goa. “Masih ada waktu untuk menguburkan jenazahnya petang ini sebelum senja datang. Apakah kau bisa menahan hati? Kalau tidak, aku tak bisa melepaskan totokanmu...” Permani tak menjawab. Suara tangisnya memenuhi seluruh goa. Wiro Sableng memanggul mayat Panuluh dan membawanya ke luar goa. Satu jam kemudian ketika dia masuk, Permani masih juga menangis meskipun kedua matanya yang seperti bintang timur itu kini telah menjadi bengkak. Wiro duduk bersandar di hadapannya, tak berkata apa-apa. Kalau sudah letih tentu dia akan hentikan sendiri tangisnya, pikir Wiro. Senja telah turun dan malam pun tiba. Di luar angin malam yang dingin merambas masuk ke dalam goa. Wiro merasakan perutnya yang sudah lapar menjadi tambah perih oleh hembusan angin dingin itu. Bila tangis Permani sudah mereda maka Wiro berkata, “Aku akan cari makanan buat kita. Kau tunggulah di sini! Berteriak keras-keras kalau ada apa-apa!” Kemudian Wiro berdiri dan melangkah. Belum lagi dia mencapai mulut goa mendadak di luar sana, dalam kegelapan malam didengarnya suara semak belukar bergesekan dan suara langkahlangkah kaki yang banyak sekali. Sesaat kemudian kelihatanlah beberapa sosok manusia bergerak ke arah goa. Wiro yang maklum akan datangnya bahaya segera menyongsong ke luar goa. Jika terjadi pertempuran satu lawan banyak di dalam goa dia bisa kepepet! Yang datang berjumlah lima belas orang. Orang pertama dikenali Wiro adalah bukan lain dari Sokananta, kemudian Bogananta, menyusul Manik Tunggul. Yang lain-lainnya adalah anak-anak murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal pedang! Ketika Wiro Sableng memandang ke ujung kanan, samarsamar di kegelapan malam dilihatnya orang yang keenam belas! Orang ini tak dikenal dan tak dilihat sebelumnya waktu di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk luar biasa seperti bola api, lucunya celana panjang dan bajunya sangat kecil sekali, hampir-hampir tak dapat menutupi tubuhnya yang macam kerbau buntak itu. Manusia berkepala botak ini memegang seuntai tasbih di tangan kirinya dan mulutnya senantiasa komat-kamit tak bisa diam! Tiba-tiba Manik Tunggul melangkah besar-besar ke hadapan Wiro dan membentak nyaring, “Mana anakku?!” Wiro sunggingkan senyum sinis lalu menunjuk pada kuburan baru yang tanahnya masih merah. “Tanyakanlah pada makam baru itu!” Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-lainnya. “Bangsat rendah! Anakku kau bunuh?!” Manik Tunggul menggeram dan sepuluh kuku-kuku tangannya menyambar ke muka tapi dielakkan dengan gesit oleh Wiro. “Mari kita satai beramai-ramai jahanam ini!” teriak Bogananta seraya kiblatkan pedang dan kirimkan satu tusukan ke leher Wiro. Sokananta dan dua belas orang lainnya segera menyerbu! Empat belas batang pedang berserabutan dan sepuluh jari berkuku panjang mencakar dengan ganas! Satu-satunya orang yang tak ikut menyerang ialah si gemuk pendek yang memegang tasbih. Dia memperhatikan saja sambil mulutnya terus berkomat-kamit! “Tahan!” teriak Wiro sambil melompat mundur ke pintu goa. Tapi yang menyerangnya terus memburu! “Sialan! Kalau kalian tak mau hentikan serangan ini jangan menyesal!” Bogananta dan yang lain-lainnya tak ambil perduli. Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Wuut! Sinar putih menyilaukan menderu, suara laksana ribuan tawon menggerung dan empat anak buah Perguruan Merapi menjerit roboh mandi darah. Yang lain-lainnya tersurut mundur sampai lima langkah! Mereka menjadi kecut dan bimbang untuk menyerbu kembali! “Manik Tunggul!” kata Wiro dengan suara keras sehingga semua orang mendengar. “Anakmu masih hidup. Tapi kehancuran hati yang dideritanya membuat nasibnya lebih buruk daripada seseorang yang telah mendahuluinya!” “Kalau masih hidup di mana dia sekarang?” tanya Sokananta lantang. “Durjana cacingan tak usah buka mulut! Aku tidak bicara pada kau!” tukas Wiro. Kelamlah paras Sokananta ditelan kemarahan! “Lalu ini kuburan siapa?!” tanya Manik Tunggul. “Jangan pura-pura tidak tahu, Manik Tunggul! Masa kau lupa pada seorang pemuda bernama Panuluh, yang ditawan dan disiksa setengah mati oleh durjana cacingan itu lalu disekap di goa ini sampai akhirnya menemui kematian dalam cara yang mengerikan?!” Kagetlah Manik Tunggul. Dia berpaling pada Sokananta. Tapi saat itu Sokananta sudah membentak Wiro kembali, “Lekas katakan di mana calon istriku!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Kekasihnya kau tawan, kau siksa sampai mati! Apakah kau masih punya muka untuk mengawini gadis itu?!” Rahang Sokananta kelihatan terkatup rapat-rapat. Manik Tunggul masih memandang pada Sokananta, lalu bertanya, “Calon menantuku, apakah yang diucapkan bedebah ini betul?!” Sokananta tertawa. “Namanya saja manusia bedebah. Masa bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia melarikan Permani di depan hidung kita apakah bangsat ini masih bisa dipercaya?! Dia hendak mengelabuhi kita dan mengadu domba kita satu sama lain!” Wiro menggerendeng. “Keparat, dosamu sudah lewat takaran! Lekas kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki dari sini! Kalau tidak kau bakal menjadi manusia pertama yang bakal kubelah kepalanya sesudah empat krocomu itu!” “Bangsat rendah! Jangan kira kali ini kau bisa lolos dari liang kubur yang telah kau gali sendiri!” Sokananta palingkan kepala ke arah laki-laki gemuk yang memegang tasbih. “Tasbih Kumala, kau tunggu apalagi?!” Manusia gemuk pendek kepala botak menyeringai. Mulutnya dalam menyeringai itu masih terus juga berkomat-kamit! Sekali dia bergerak, tubuhnya sudah berada di samping Sokananta. “Inikah tampang manusianya yang kau minta aku untuk membereskannya, Soka?” tanya Tasbih Kumala dengan mata menyelidik dari atas ke bawah. Sokananta mengangguk. Tasbih Kumala tertawa gelak-gelak. Hebat sekali suara tertawanya, laksana merobek langit di malam hari itu! Tasbih Kumala melirik pada senjata yang di tangan Wiro lalu membentak, “Pemuda bau pupuk! Betul kau orangnya yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” “Sobat,” sahut Wiro, “melihat kepada gelarmu pastilah kau seorang tokoh silat yang ternama. Aku hormati kau. Tapi harap jangan ikut campur urusan orang! Karena kau tak kuundang untuk datang ke sini, sebaiknya segera angkat kaki!” “Bapak moyangmu!” bentak Tasbih Kumala, dia melangkah ke muka. “Tunggu dulu!” seru Manik Tunggul. “Sebelum kita mengeremus budak keparat ini, aku harus tahu dulu beberapa hal!” “Ah, kau hanya menambah panjang umurnya beberapa detik saja, Manik Tunggul!” kata Bogananta. “Sokananta, betul kau yang menangkap dan menyiksa Panuluh, lalu menyekapnya sampai mati di dalam goa ini?!” Sokananta jadi beringasan! “Kenapa antara kita musti berprasangka yang bukan-bukan?!” Wiro menengahi, “Manik Tunggul, kau juga ikut bertanggung jawab atas kematian Panuluh! Kau yang memaksa anak gadismu untuk kawin dengan jahanam cacingan ini! Kau gila nama besar! Kau pengecut kelas satu yang mau menjual anak sendiri karena ditekan oleh Ketua Perguruan Merapi...” “Tutup mulutmu!” teriak Manik Tunggul marah. Tiba-tiba Sokananta berteriak beri komando. Maka Bogananta, Tasbih Kumala dan anak-anak murid Perguruan Merapi segera menyerbu. Manik Tunggul tetap berdiri dengan bimbang. Dua orang anak buahnya karena melihat Ketua mereka berdiam diri, tidak berani masuk ke dalam pertempuran! Mendadak dari dalam goa terdengar seruan perempuan, “Wiro! Wiro! Kaukah yang bertempur itu? Wiro...!” Mengenali bahwa itu adalah suara anaknya yang ternyata masih hidup, legalah hati Manik Tunggul dan pikiran jernih menyeruak di dalam kepalanya kini. Tiba-tiba dia melompat ke muka dan berteriak, “Sokananta bajingan! Kaulah yang jadi biang racun! Kau harus mampus di tanganku!” Sepuluh kuku-kuku jari dengan ganas menyambar Sokananta! Karena tak diduga akan diserang sehebat itu dan secara tiba-tiba oleh calon mertuanya sendiri maka Sokananta yang mengeroyok Wiro Sableng tak punya kesempatan untuk mengelak! *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 14 EKEJAP lagi sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan mengeremus hancur muka Sokananta, tiba-tiba, Wuut! Sebuah pedang menyambar dahsyat ke arah kedua lengan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu! “Manik Tunggul manusia ular kepala dua! Akulah lawanmu!” Ketika berpaling ke kanan ternyata yang menyampokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah di kepala Manik Tunggul! “Bogananta keparat! Kau sama saja dengan anakmu!” Maka kedua orang itupun bertempurlah satu lawan satu dengan hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya lebih rendah dan lawan bersenjatakan pedang pula maka lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun kena didesak! Di lain pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan Tasbih Kumala serta tujuh orang lainnya berkelebat cepat, bertahan dengan hebat dan sekali-sekali lancarkan serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan dua orang anak murid Perguruan Merapi, namun keadaannya tak bisa dikatakan di atas angin. Sokananta dan yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih Kumala-lah yang tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat, satu gelombang angin yang laksana gunung beratnya menerpa Pendekar 212! Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda oleh tasbih sakti itu! Dua jeritan terdengar. Dua anak murid Manik Tunggul yang ikut mengeroyok Bogananta mandi darah dilanda pedang. Pada jurus keenam tadi dalam pertempuran satu lawan satu, Manik Tunggul telah didesak hebat oleh Bogananta. Kedua anak buahnya turun membantu dalam jurus kesembilan mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini dalam jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul didesak hebat! Pada saat Wiro Sableng berhasil merobohkan lagi dua orang pengeroyoknya, maka pada saat itu pula terdengar jeritan Manik S Tunggul! Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua tangan memegangi dada yang robek besar dibabat ujung pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar di tanah, detik itu pula nyawanya lepas! “Jahanam!” teriak Pendekar 212. Dari mulutnya terdengar suara bentakan menggeledek. Tubuhnya melesat enam tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212 berkiblat memancarkan sinar putih dan menebar suara bergaung. “Ayah, awas!” teriak Sokananta. Bogananta memang sudah melihat datangnya sambaran senjata lawan. Dengan cepat dia angsurkan pedang mustikanya ke depan untuk menangkis! Trang! Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan Bogananta patah dan mental. Di kejap itu pula terdengar lolongannya macam kerbau disembelih! Batang lehernya hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke tanah! Wuut! Satu sambaran angin mendera ke arah punggung Pendekar 212. Wiro melompat ke muka dan balikkan badan, sekaligus kiblatkan kapak. Yang menyerangnya ternyata Tasbih Kumala! “Manusia-manusia keparat!” kertak Wiro. “Satu nyawa Manik Tunggul harus dibayar dengan nyawa kalian semua!” Dari mulut Pendekar 212 kemudian terdengarlah kumandang suara siulan yang menggidikkan bulu roma! Jurus-jurus silatnya dengan serta merta berubah total. Tiga pekikan terdengar, menyusul kemudian dua pekikan lagi! Lima korban terhampar di tanah! Kecutlah nyali Tasbih Kumala dan lebih-lebih Sokananta. Hanya mereka berdua kini yang masih hidup! Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek Tasbih Kumala keluarkan seruan kesakitan. Lengan kanannya yang memegang tasbih terbabat buntung. Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak Naga Geni 212 berbalik dan, cras! Terpisahlah kepala dan badan Tasbih Kumala! Lumerlah nyali Sokananta! Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh dan ambil langkah seribu! “Jahanam cacingan! Kau mau minggat ke mana?! Tempatmu toh di neraka!” Wiro gerakkan tangan kirinya. Siap untuk lepaskan pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya. Sebagai gantinya dia lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh! Tak ampun lagi tubuh Sokananta yang lari kencang itu mendadak sontak menjadi kaku tegang! Permani meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah melepaskan totokan gadis itu. Kegelapan malam, angin dingin yang mencucuki tulang-tulang sungsum, tebaran mayat di mana-mana serta suara tangis Permani merupakan hal-hal yang tidak enak bagi Wiro Sableng. Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro kemudian berkata, “Tak ada gunanya tangis itu, Permani. Tak ada gunanya membuangbuang air mata lebih banyak! Kejadian begini sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang Kuasa. Masuklah ke dalam goa...” Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka kedua matanya. Setindak dia hendak melangkah ke mulut goa, pandangannya membentur Sokananta yang tegak kaku akibat totokan Wiro. Maka menggemuruhlah amarah Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah keris yang tersisip di pinggang ayahnya dan berlari ke arah Sokananta seraya berteriak, “Bangsat! Kaulah yang jadi biang racun segala-galanya!” “Permani!” seru Sokananta dengan keras tapi gemetar. “Ampunilah selembar nyawaku ini.” “Ini ampun untukmu!” teriak Permani garang dan keris bereluk tujuh di tangan kanannya dihunjamkannya keras-keras ke dada pemuda itu. Sekejap lagi ujung keris akan menembus dada Sokananta, sebuah tangan yang kuat mencekal lengan Permani! “Lepaskan tanganku!” teriak si gadis kalap. Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu silat serta memiliki tenaga dalam yang cukup ampuh agak sukar juga bagi Wiro menahan gadis itu. “Dengar Permani! Kematian dengan tusukan keris seperti ini terlalu enak baginya!” kata Wiro. “Bangsat ini musti diberi ganjaran yang setimpal...!” Gelora amarah Permani menyurut. Dua bola matanya memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia kemudian maklum apa yang dikatakan Wiro adalah benar. Dilemparkannya keris di tangan kanan. Lalu dijambaknya rambut Sokananta dan diseretnya ke dalam goa. Dengan rantai-rantai besi yang dulu pernah mengikat Panuluh, Permani membelenggu kedua tangan dan kaki Sokananta. “Permani, kau mau bikin apa...?!” tanya Sokananta. Keringat dingin membasahi sekujur badannya. Gadis itu tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu masuk lagi di tangannya ada seutas akar gantung sepanjang satu setengah tombak. Permani putar-putarkan akar gantung itu di atas kepalanya. “Permani...” Suara seruan Sokananta putus dilanda bunyi akar gantung yang mendera dadanya. Pakaiannya yang bagus robek, kulit dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan kali di dalam goa itu terdengar suara cambukan-cambukan yang dahsyat! Sokananta telah lama pingsan. Parasnya hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang darah. Pakaiannya robek-robek, sekujur kulit badannya pecah-pecah bermandi keringat dan darah! Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di depan mulut goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi. Kuburan Manik Tunggul yang berdampingan dengan kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu diletakkan dua buah batu besar dan pada batu itu dengan dua ujung jari-jari tangannya Wiro telah menggurat nama kedua orang itu. “Kau akan kembali ke kota?” tanya Wiro Sableng yang berdiri di samping Permani dan tengah memandangi dua kuburan bertanah merah itu. Si gadis gelengkan kepalanya. “Memang tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih baik terus langsung pulang ke kota kediamanmu...” “Tidak, aku tak akan kembali pulang.” Wiro kernyitkan kening. “Lalu...?” “Aku akan tinggal di sini. Akan bertapa di goa...” Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia berkata, “Ibumu akan susah bila kau tak kembali...” “Setelah ayah meninggal, aku cuma sebatang kara di dunia ini...” “Jadi ibumu juga sudah meninggal?” Permani mengangguk. “Kau tak punya kerabat atau saudara?” “Tidak...” “Tapi hendak bertapa dalam umur semudamu ini betul-betul belum masanya, Permani. Kau menyia-nyiakan masa mudamu dan juga masa depanmu!” “Masa muda dan masa depanku tak ada lagi sejak orang yang kucintai masuk di bawah tumpukan tanah merah itu...” sahut Permani dan butir-butir air mata berjatuhan melewati kelopak kedua matanya. Wiro Sableng menghela nafas. Sungguh sayang dara secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi bagaimana dia bisa melarang? Diam-diam diperhatikannya paras Permani dari samping dan ketika gadis itu memutar kepala ke arahnya, pandangan mereka saling beradu untuk beberapa lamanya. “Dunianya Panuluh berakhir sampai di tempat ini, Wiro,” bisik Permani. “Aku akan tinggal di sini sampai akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku pun akan berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya...” Wiro Sableng merasa terharu sekali. Betapa agungnya nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda ini. “Di samping bertapa, aku akan memperdalam ilmu silat yang pernah diwariskan ayah...” “Itu sudah semestinya...” kata Wiro perlahan. Hatinya tetap menyayangkan keputusan gadis itu untuk tinggal di goa itu dan bertapa sekalipun sambil memperdalam ilmu silatnya. “Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat. Setiap kejahatan kadangkala dibarengi dengan ilmu yang tinggi-tinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui nasib buruk...” Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu tundukkan kepalanya dan untuk beberapa lamanya suasana diliputi kesunyian. “Aku akan mencuci tangan di anak sungai tak jauh dari sini. Sebentar aku kembali...” kata Wiro. *** WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG 15 ETIKA berjalan kembali ke goa sehabis membersihkan tangan dan beberapa bagian tubuhnya Wiro tersentak kaget. Telinganya yang tajam mendengar suara ribut-ribut seperti suara orang berkelahi yang diselingi suara tertawa gelak-gelak! Tanpa membuang waktu dia berlari cepat. Begitu sampai di depan goa, terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini! Dilihatnya Permani tengah bertempur melawan seorang laki-laki berjubah kuning yang tangannya cuma satu. Sebenarnya tak bisa dikatakan pertempuran. Lebih tepat kalau dikatakan bahwa Si Jubah Kuning bertangan buntung itu tengah mempermain-mainkan Permani serta kurang ajar dan sambil tertawa-tawa. Setiap kali dia bergerak tangan kanannya meraba ke bagian-bagian tubuh Permani yang terlarang hingga gadis ini mengamuk penuh amarah. Tapi semua serangannya luput! Tak jauh dari tempat terjadinya perkelahian tegak berdiri orang kedua, juga berjubah kuning dan cuma punya satu mata alias picak! Dia menyaksikan perkelahian itu dengan gelak tawa gembira. “Ayo Sumplung! Robek saja pakaiannya! Biar mataku yang cuma satu ini bisa lihat kebagusan tubuhnya! Ah...! Sudah lama mataku tak melihat tubuh telanjang! Ha... ha... ha!” Di samping si mata picak ini, tersandar ke sebatang pohon, kelihatan sebuah lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu sudah agak kotor dan kayu pigura bagian bawahnya ada bekas sambungan! Seperti kawannya, diapun memelihara berewok. Kalau tadi Wiro sudah demikian terkejutnya melihat pertempuran antara Permani dan si tangan buntung maka melihat lukisan telanjang itu puluhan kali dia lebih terkejut! Tak bisa tidak kedua manusia berjubah kuning ini adalah Sepasang Elmaut Kuning yang telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan perempuan telanjang itu! Ditambah dengan menyaksikan apa yang diperbuat si tangan buntung terhadap K Permani maka menggemuruhlah amarah Wiro Sableng. “Iblis-iblis kesasar! Dicari-cari tidak ketemu! Sekarang tahu-tahu kalian muncul di depan hidungku!” Serentak dengan itu Wiro Sableng segera melompat ke hadapan si tangan buntung! Kedua manusia berjubah kuning itu memang bukan lain dari Sepasang Elmaut Kuning adanya. Bagaimana mereka bisa sampai ke tempat itu? Seperti telah diceritakan sebelumnya, mereka diam di sebuah goa yang terletak di lembah berbatu-batu. Karena sebegitu jauh mereka belum juga bisa membongkar rahasia yang tersembunyi di dalam lukisan perempuan telanjang maka keduanya akhirnya memutuskan untuk pergi ke kampung tempat kediaman calon murid Si Pelukis Aneh yaitu Wira Prakarsa. Mereka menduga anak itu pasti mengetahui rahasia tersebut dan kemudian memaksanya untuk memberi keterangan! Di samping itu, diam lama-lama di lembah batu sudah terasa tidak aman bagi Sepasang Elmaut Kuning. Anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul dan Si Katai Bisu telah mengetahui tempat persembunyian mereka tersebut. Meski orang-orang itu telah berhasil mereka kirim ke akhirat namun bukan tak mustahil banyak lagi tokoh-tokoh silat akan mendatangi mereka untuk menuntut balas ataupun mencuri lukisan yang ada di tangan mereka. Maka keduanya pun berangkatlah meninggalkan lembah batu. Dalam perjalanan mereka melewati tempat di mana Permani berada dan yang saat itu tengah berdiri di depan makam Panuluh dan ayahnya. Melihat gadis cantik di tengah daerah liar begitu rupa, tentu saja Sepasang Elmaut Kuning jadi tertarik. Nafsu bejat merangsang keduanya dan Elmaut Kuning Kuping Sumplung ‘turun tangan’ lebih dulu hingga akhirnya terjadilah pertempuran! Sepasang Elmaut Kuning bukan kepalang terkejut mereka sewaktu mendengar bentak memaki Wiro Sableng. Lebih-lebih Kuping Sumplung yang saat itu tengah menjamahi tubuh Permani sambil tertawa mengekeh! Dia dengan cepat menyurut mundur sewaktu merasa satu angin mendorongnya dengan hebat hingga kalau saja dia tidak lekas-lekas kerahkan tenaga dalamnya pastilah akan dibuat mencelat mental! “Pemuda gondrong hina dina!” bentak Kuping Sumplung. “Siapa kau?!” “Kau dan kambratmu yang bermata satu itu pastilah Sepasang Elmaut Kuning!” “Hem... matamu cukup tajam untuk mengenali kami. Lekas terangkan siapa kau dan apakah mau mencari mampus sengaja membuat kericuhan di sini?!” Wiro tertawa mengejek. “Mataku bukan cuma cukup tajam mengenali tampang-tampang kalian, tapi juga mengetahui bahwa kalianlah bangsat-bangsatnya yang telah membunuh Si Pelukis Aneh lalu melarikan lukisan perempuan telanjang itu! Dan kini kau yang berkuping sumplung bertangan buntung berani bikin kurang ajar terhadap kawanku!” “Ho... ho, jadi kau adalah kawannya si cantik ini?! Kalau begitu biar kau kubikin mampus lebih dulu agar kami berdua tak banyak rintangan untuk menikmati tubuhnya nanti!” Elmaut Kuning Kuping Sumplung tutup ucapannya dengan serangan tangan kanan yang hebat dan berkekuatan sepertiga tenaga dalamnya. Satu kali pukul dia berharap akan dapat membuat pemuda itu menemui ajalnya, sekurang-kurangnya luka parah dan cacat seumur hidup! Tapi bukan main kejut Kuping Sumplung ketika melihat bagaimana pemuda itu bukan saja berhasil mengelakkannya tapi juga ganti membalas dengan satu serangan yang ganas! Elmaut Kuning Kuping Sumplung melompat ke samping. Tangan kanannya kirimkan jotosan angin keras sedang kaki kanan serentak dengan itu menendang ke pinggang. Inilah jurus yang dinamakan Dua Palu Sakti Melanda Mega. Angin serangannya saja hebatnya bukan olah-olah! Pendekar 212 Wiro Sableng melompat satu setengah tombak ke udara. Tendangan maut lawan lewat, sebaliknya dengan tangan kirinya Wiro sengaja memapasi lengan lawan. Elmaut Kuning Kuping Sumplung kertakkan rahang! Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan! Sebagai seorang tokoh silat yang ditakuti di delapan penjuru angin, Kuping Sumplung merasa bahwa tenaga dalamnya jauh lebih tinggi dari lawan. Dia sengaja mengambil keputusan untuk bentrokan lengan dengan lengan dan memastikan lengan lawannya akan patah! Di lain pihak memang bentrokan inilah yang dikehendaki Wiro Sableng! Sekejap kemudian lengan kedua orang yang bertempur itupun beradu! Wiro Sableng mengerenyit. Lengannya tergetar sakit. Kulitnya keriputan dengan serta merta. Sebaliknya dari mulut Elmaut Kuning Kuping Sumplung terdengar suara pekik setinggi langit. Dia melompat dua tombak ke belakang. Lengannya yang beradu kelihatan terkulai bergoyang-goyang! Ternyata tulang lengannya telah patah! Untung daging lengan itu hanya sebagian saja yang hancur, kalau tidak pasti di saat itu juga lengan kanan Kuping Sumplung akan putus dua! Namun demikian keadaan Kuping Sumplung adalah parah sekali! Tak mungkin baginya untuk meneruskan pertempuran! Bahkan mungkin lengannya itu tak bisa dipergunakan lagi untuk selama-lamanya! Dengan menggigit bibir menahan rasa sakit, Kuping Sumplung totok beberapa urat di pangkal bahunya. Rasa sakitpun hilang. Melihat kambratnya dibikin demikian rupa marahlah Elmaut Kuning Mata Picak! Berewoknya meranggas kaku karena luapan amarah itu! Di samping marah dia juga terkejut karena tidak menyangka bahwa pemuda bertampang tolol itu berkepandaian sedemikian tingginya! Dengan langkah-langkah besar Mata Picak maju ke hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng! “Budak anjing hina dina!” bentaknya, “Aku tak begitu senang membunuh manusia yang aku tidak tahu siapa adanya! Lekas terangkan namamu!” Wiro tertawa bergelak dan bertolak pinggang. “Bicaramu keren sekali, Mata Picak,” sahut Wiro. Dia melirik pada Elmaut Kuning Kuping Sumplung yang duduk menjelepok di tanah sambil berusaha mengobati lengannya yang patah. “Namaku kau tak perlu tahu. Tapi apakah kau kenal dengan tiga buah angka ini?!” Habis berkata begitu Wiro pukulkan telapak tangan kanannya ke arah dada Mata Picak. Selarik angin menyambar panas! “Kurang ajar!” maki Mata Picak seraya menyingkir ke samping. Dia terkejut ketika mendengar suara jeritan di belakangnya. Sewaktu berpaling dilihatnya Kuping Sumplung yang menjelepok di tanah terjerongkang ke belakang, menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi! Dan di keningnya yang saat itu menjadi hitam jelas kelihatan tiga buah angka putih 212! Tergetarlah hati Elmaut Kuning Mata Picak! Sejak hampir satu tahun belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Belasan tokoh silat golongan hitam menemui ajal di tangannya! Bahkan banyak pula partai-partai silat yang hancur diobrak-abrik Pendekar 212! Pendekar itu sudah merupakan momok paling ditakuti oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Dan kini tiada dinyana dia sendiri berhadap-hadapan dengan Pendekar 212 itu! Lebih tidak dinyana lagi ialah bahwa Pendekar 212 itu adalah seorang pemuda belia bertampang tolol! Dan telah merampas jiwa kawannya, di depan mata kepalanya sendiri! Mata Picak yang berotak cerdik dan tahu bahwa pemuda itu bukan lawan enteng serta mengkhawatirkan pula akan lukisan perempuan telanjang, sambil tertawa dan berbatuk-batuk berkata, “Ah... ah... dengan seorang gagah! Nama besarmu sudah sejak lama kudengar, Pendekar 212!” Lalu dengan rangkapkan tangan di muka dada dia meneruskan, “Sebenarnya antara kita tak ada permusuhan, tak ada silang sengketa bahkan di hari ini baru bertemu muka. Gerangan apakah yang membuatmu sampai demikian tega merampas nyawa sahabatku?!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Kalau tak ada hujan masakan ada geledek!” kata Wiro. “Kambratmu itu telah berani berlaku kurang ajar terhadap sahabatku...” “Hem...,” Mata Picak menggumam dan tarik nafas panjang. “Sahabatku itu memang ceriwis dan tak boleh lihat perempuan cantik! Tapi kurasa dia sudah menebus kekurangajarannya itu dengan nyawanya sendiri? Sekarang antara kita tak ada apa-apa lagi. Aku akan pergi dan di lain hari kuharap bisa bertemu dengan kau lagi!” “Mana bisa kau pergi seenaknya!” Terkejutlah Mata Picak mendengar ucapan Wiro. “Kau telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan yang tersandar di pohon itu! Untuk itu kau patut menerima hukuman!” Paras Mata Picak berubah membesi. “Agaknya kau punya sangkut paut dan hubungan tertentu dengan Si Pelukis Aneh...” “Ada hubungan atau tidak, kau tak usah ambil perduli. Yang penting kau musti serahkan lukisan itu kepadaku! Sedang sebagai hukuman karena telah membunuh Si Pelukis Aneh, kau harus cungkil biji matamu yang tinggal satu itu!” Elmaut Kuning Mata Picak tertawa terbahak-bahak. “Aku sudah relakan kematian sobatku. Sekarang kau minta barang yang bukan milikmu. Menyuruh aku mencungkil mataku sendiri! Sungguh keterlaluan! Nama besarmu terpaksa kulenyapkan dari muka bumi hari ini juga!” Begitu selesai bicara Mata Picak menggembor dan menerjang ke muka. Dalam sekejap saja kedua orang ini sudah terlibat dalam satu pertempuran dahsyat. Gerakan Mata Picak hebat sekali, tubuhnya lenyap. Hanya bayangan sinar kuning jubahnya saja yang kelihatan menelikung mengurung tubuh Pendekar 212! Di lain pihak begitu diserang lawan Wiro segera maklum bahwa Mata Picak ilmu silat dan kesaktiannya lebih tinggi dari Kuping Sumplung. Karenanya dengan berhati-hati Wiro melayani lawannya ini. Dalam tempo yang singkat sepuluh jurus sudah berlalu! Elmaut Kuning Mata Picak membentak nyaring dan tukar permainan silatnya dengan jurus-jurus yang disebut Elmaut Menggila. Untuk lima jurus lamanya Wiro Sableng bertahan mati-matian. Lima jurus kemudian Pendekar 212 mulai terdesak! Sambil keluarkan suara bersiul Wiro percepat gerakannya tapi dia terkejut ketika di sekelilingnya terdengar suara, wutt... wutt... wutt... wutt! Selarik sinar hijau melingkarinya dan mengeluarkan angin dingin yang menyembilu sekujur tubuh Pendekar 212! Wiro tak tahu senjata apa yang di tangan lawan, karena gerakan yang dibuat Mata Picak sangat cepat luar biasa! Dalam pada itu detik demi detik kekuatan tubuhnya semakin mengendur sedang setiap serangannya senantiasa terbendung oleh lingkaran sinar hijau! Breet! Wiro merasa dadanya laksana dipalu! Dia melompat mundur. Parasnya berubah. Pakaian putih di bagian dadanya robek besar. Belum sempat dia berbuat sesuatu apa, tiba-tiba Mata Picak sudah menyerangnya lagi. Meski sekilas tapi Wiro berhasil melihat senjatasenjata di tangan lawannya. Senjata itu ternyata adalah sebuah kebutan yang terbuat dari bulu-bulu halus berwarna hijau! Wuuut! Kebutan itu menderu lagi dengan hebatnya. Dua tiga kali Wiro lepaskan pukulan yang mengandung tenaga dalam hebat tapi senjata sakti di tangan lawan benar-benar mematikan dan membuyarkan pukulan-pukulan tangguhnya itu. Wiro mulai memaki-maki dalam hati. Suara siulan mengumandang aneh dari sela bibirnya! Tangan kanan menyelinap datar kian kemari. Tibatiba jari-jari tangan itu telah berubah menjadi putih dan kukukukunya laksana kilauan perak mendidih! “Mata Picak ayo tangkis pukulan Sinar Matahari-ku ini!” teriak Wiro Sableng. Mendengar nama pukulan itu, Elmaut Kuning Mata Picak lipat gandakan tenaga dalamnya dan mendahului menyerang. Tapi di saat itu pula Wiro sudah turunkan tangan kanannya! Wuss! Mata Picak terpekik! Kebutan di tangannya mental dan hancur bertaburan sedang tangan kanannya hangus hitam laksana terbakar! Buru-buru manusia ini alirkan tenaga dalamnya ke tangan yang terluka, telan sebutir pil dan atur jalan darah! Untuk menolak racun pukulan dia kemudian menotok urat besar di bahunya! Diam-diam Wiro memuji kehebatan daya tahan manusia ini. Seseorang yang tersambar pukulan Sinar Matahari biasanya tak ada ampun lagi, pasti akan menggeletak mati! “Anjing hina dina! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Mata Picak. Mulutnya berkomat-kamit, kedua tangan diangkat ke atas dan memancarkan sinar kekuning-kuningan. Melihat ini Wiro segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Lalu Elmaut Kuning Mata Picak pukulkan kedua tangannya ke muka. Terdengar suara menderu laksana topan prahara. Dua gelombang sinar kuning melesat. Puluhan Paku Emas Beracun bertaburan menyambar ke arah tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! Kapak Naga Geni 212 berkiblat membuat gerakan setengah lingkaran! Sinar putih menyilaukan menggebu ke muka memapasi dua gelombang sinar kuning yang melesatkan puluhan paku-paku emas beracun. Laksana daun kering dihembus angin puting-beliung demikianlah bermentalannya senjata rahasia sakti Elmaut Kuning Mata Picak itu! Mata Picak tersirat kaget. Mukanya pucat laksana mayat! Selama sepuluh tahun ini tak satu kekuatan lawanpun yang sanggup menumbangkan pukulan Paku Emas Beracunnya itu demikian hebatnya! Apalagi serangan itu tadi dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya! Melihat ini dan memaklumi bahwa naga-naganya dia akan mencari penyakit jika meneruskan pertempuran maka tak ayal lagi Mata Picak segera melompat mundur, menyambar lukisan perempuan telanjang dan larikan diri dengan cepat! “Hai! Jalan ke neraka bukan ke situ Mata Picak!” seru Wiro Sableng. Dia mengejar dengan sebat. Enam langkah di belakang lawan Wiro buat gerakan Burung Walet Menembus Awan. Tubuhnya melesat di udara dan ketika turun tahu-tahu sudah menghadang larinya Mata Picak! “Keparat! Mampuslah!” hardik Mata Picak dan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun dengan tangan kirinya! Tapi sekali ini dia terlambat! Belum lagi paku-paku itu berlesatan, Kapak Naga Geni 212 sudah membabat dan, cras! Putuslah lengan kiri Mata Picak! Manusia ini meraung kesakitan. Tubuhnya terasa panas. Dari buntungan tangannya mengalir hawa aneh yang menggidikkan bulu kuduknya. Pasti racun Kapak Naga Geni 212 telah mulai menggerayangi tubuhnya! Dengan kalap Mata Picak hantamkan lukisan perempuan telanjang ke kepala Wiro Sableng. Wiro menangkis. Braak! Kayu lukisan itu hancur berantakan. Bagian bawah dari lukisan robek sepanjang setengah jengkal! Mata Picak makin penasaran dan kirimkan satu tendangan kilat ke bawah perut lawan! Kapak Naga Geni menderu turun. Untuk kedua kalinya terdengar suara cras! Untuk kedua kalinya pula terdengar raungan Mata Picak. Betisnya telah terbabat putus. Tak ampun lagi tubuhnya tergelimpang ke tanah. Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar macam ikan meregang nyawa. Kemudian tubuhnya tak bergerak lagi tanda rohnya melayang sudah! Wiro Sableng usap-usap lengannya yang dihantam pigura lukisan. Lengan itu lecet dan bengkak, tapi tidak mengkhawatirkan. Diambilnya lukisan yang terhampar di tanah dan kembali ke depan goa. Permani tak kelihatan di situ. Tentu di dalam goa, pikir Wiro. Dia masuk ke dalam. Tapi sang dara juga tak kelihatan. Diperhatikannya Sokananta yang terbelenggu di dinding. Sekujur tubuhnya bergelimang darah. Mukanya hancur. Ketika didekati dan diperhatikan oleh Wiro, ternyata manusia itu sudah tak bernafas lagi! Pembalasan yang setimpal telah didapatnya! Wiro keluar dari goa dan berseru memanggil Permani. Tak ada jawaban. Dia memandang kian kemari. Pada saat itulah dilihatnya sederet tulisan di atas tanah. Wiro terkejut dan membacanya: “Permani berjodoh untuk jadi muridku, pengganti Anggini. Sampai jumpa, Dewa Tuak.” Membaca tulisan di atas tanah itu, legalah hati Wiro Sableng. Dia bersyukur Dewa Tuak melakukan hal itu. Bukan saja Permani kelak bakal mendapat pelajaran ilmu silat dan ilmu kesaktian yang tinggi, tapi yang lebih penting bagi Wiro ialah bahwa gadis itu tak jadi meneruskan niatnya untuk hidup sebagai pertapa! Wiro mendongak ke langit. Matahari telah tinggi, hampir mencapai titik kulminasinya. Wiro kemudian memperhatikan lukisan di tangan kirinya. Kayu piguranya telah hancur bagian bawah. Wiro berpikir, apakah perlu dia memperbaiki kayu pigura yang hancur itu dan menjahit bagian lukisan yang robek, kemudian baru membawanya ke tempat kediaman Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh itu? Dia menimbang-nimbang. Lukisan itu selama dua bulan belakangan ini telah diperebutkan oleh belasan tokoh silat dan beberapa buah partai serta perguruan. Membawanya secara terangterangan pastilah akan mencari kesulitan karena lukisan diincar oleh hampir semua tokoh-tokoh silat, terutama mereka dari golongan hitam! Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Akhirnya Wiro Sableng mendapat akal. Dibukanya keempat sisi kayu pigura lukisan itu satu demi satu. Dengan menggulung lukisan itu dan menyimpannya di balik pakaian pasti akan aman dalam perjalanan. Ketika kayu pigura sudah dilepaskan, ketika Wiro hendak menggulung lukisan itu, jari-jari tangannya merasakan kain lukisan itu bergeser-geser. Diperhatikannya dengan teliti. Ternyata di bawah kain lukisan perempuan telanjang itu, terdapat lagi sebuah kain lain yang putih bersih. Tentunya ini sebagai alas saja pikir Wiro. Tapi tak sengaja tiba-tiba kain putih di bagian bawah itu menjulai ke bawah dan tersingkap. Terkesiaplah Wiro Sableng sewaktu melihat bagian pada kain yang disangkanya cuma sebagai alas itu ternyata terdapat tulisantulisan banyak sekali dan juga gambar-gambar orang bermain silat! Dan ketika diteliti ternyata semua tulisan dan gambar-gambar itu adalah sebuah ilmu silat aneh yang mengandung jurus-jurus luar biasa hebatnya! Wiro geleng-gelengkan kepala. Rupanya inilah rahasia besar yang disembunyikan Si Pelukis Aneh dalam lukisan perempuan telanjang itu. Pantas saja Si Pelukis Aneh tak mau menjualnya tempo hari pada Adipati Pamekasan meskipun sudah ditawar duaratus ringgit. Sungguh cerdik sekali orang tua itu menyembunyikan ilmu silat yang hendak diwariskannya pada calon muridnya! Wiro meneliti lagi pelajaran silat yang tertulis di kain putih itu. Si Pelukis Aneh menamakan ilmu silatnya itu Ilmu Silat Selusin Jurus Aneh. Sesuai dengan namanya, maka seluruh pelajaran berjumlah dua belas jurus tapi bisa dipecah-pecah sampai puluhan anak jurus! Wiro harus mengakui kehebatan ilmu silat yang ditulis oleh Si Pelukis Aneh itu. Tak dapat tidak, siapa yang mempelajarinya pasti akan menjadi seorang tokoh besar yang dikagumi dalam dunia persilatan! Sebagai seorang pendekar berhati polos jujur, Wiro tak mau mencuri mempelajari ilmu silat itu. Perlahan-lahan digulungnya kedua kain itu sekaligus. Sesaat kemudian diapun sudah berlalu dari situ. TAMAT BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG Ebook Oleh: Dewi Tirai Kasih Scan: kelapalima WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 1 IAI Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikitpun tubuh itu tidak bergerak lagi karena nafasnya sudah sejak lama meninggalkan tubuh! Orang tua itu menggeletak menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga perempat jengkal berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Darah bercucuran menutupi seluruh wajahnya. Dalam jari-jari tangan kiri Kiai Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat persegi. Sedang tepat di ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai batu tergurat tulisan: TAMBUN TULANG. Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah menuliskan dua buah kata itu pada saatsaat menjelang detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata yang kedua. Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan. Kini dia datang terlambat. Kiai Bangkalan hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi! Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal empat persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan. Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas itu tertulis: SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN. Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh pendekar ini. Yaitu bahwa K Kiai Bangkalan menemui kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang diketahuinya. Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti mengandung racun jahat, karena seseorang yang ditusuk bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu rendah. Dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan siapakah kirakira yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini? Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus menguburkan jenazah Kiai Bangkalan. Didukungnya tubuh tiada bernyawa itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu? Atau mungkin harimau siluman? Kulit itu kering dan bersih. Ini membawa pertanda, bahwa itu bukan kulit harimau hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit harimau itu ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat. *** Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah kekuningan sang matahari yang hendak keluar dari peraduannya. Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan jelas. Di bawah sorotan sinar matahari, air laut laksana hamparan permadani yang indah sekali. Kemudian mataharipun keluarlah tersembul di ufuk timur itu, merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah muncul dari dalam lautan luas! Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip memandang ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat kemunculan sang surya di tengah lautan. Betapa indahnya. Sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia memperhatikan keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan keahliannya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup menuang segala keindahan yang ada di depan mata itu ke atas kain lukisannya. Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang tenang, dihembus angin barat. Ke manapun mata memandang hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan penglihatan manusia yang menandakan bahwa sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka dibandingkan dengan kehebatan alam! Angin dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar perahu besar menggembung dan perahu meluncur lebih pesat. Di kejauhan kelihatan serombongan burung terbang di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya masih terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia melangkah ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di sebelah tenggara. Wiro tak tahu apa yang tengah diperhatikan laki-laki pemilik perahu ini. “Ada apakah, Bapak?” tanya Wiro. Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik perahu menjawab, “Orang muda, perhatikan baik-baik. Adakah terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dari kejauhan sana...? Awan semacam itu biasanya membawa pertanda tidak baik.” “Tidak baik bagaimana?” tanya Wiro yang tak tahu apa-apa segala soal pelayaran ataupun keadaan di laut. “Akan timbul angin ribut.” kata pemilik perahu pula. Lalu dia pergi ke haluan dan menyuruh anak buahnya merubah arah menjauhi awan kelabu itu. Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh sekali. Udara sekitar mereka bagus dan indah. Perlu apa dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! Maka karena segala sesuatunya dianggap tak perlu dikhawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai membayangi hati pemuda ini. Di sebelah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan bergerak cepat sekali ke arah perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di mana-mana. Pemandangan yang serba indah kini menjadi diselimuti kemendungan. Anginpun bertiup keras dan tak tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan semakin tebal. Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu tersendat-sendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun. “Arahkan perahu ke pulau itu!” teriak pemilik perahu pada pemegang kemudi. Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam. Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah titik hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat yang disusul oleh gelegar guntur, maka hujan yang tadinya rintik-rintik kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup bersama karena derasnya, laut marah menyabung gelombang, menghempaskan perahu kian ke mari sementara udara telah berubah laksana malam hari, gelap pekat! Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu. Tapi ini hanya menambah rasa ketakutan orang-orang yang ada di dalam perahu itu. “Gulung layar besar!” teriak pemimpin perahu. Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu angin dahsyat menerpa perahu. Kraak! Tiang layar utama perahu patah. Perahu condong tajam mengikuti arah tumbangnya bagian atas tiang layar. Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang yang luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan deru hujan, di antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit pekik manusia yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu hanya sebentar saja karena sedetik kemudian perahu itu telah amblas digulung gelombang! Sewaktu perahu itu muncul kembali maka keadaannya hanya merupakan hancuran dan kepingan-kepingan papan dan balok-balok belaka yang tersebar kian kemari untuk kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas. Setiap manusia yang ada dalam perahu itu, dengan segala daya yang ada berusaha menyelamatkan diri. Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan alam yang maha dahsyat itu?! Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga untuk keluar dari bencana maut yang mengerikan itu. Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan perahu, namun mana mungkin berenang dalam gelombang yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul telah disapu kembali oleh air laut! Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia melihat sebuah papan besar kira-kira dua belas tombak di hadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru saja satu tombak, sebuah gelombang mendera tubuhnya. Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut. Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah lenyap! “Celaka! Tamatlah riwayatku!” kata Pendekar 212 dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu sebuah gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang. Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak membuat pemandangannya menjadi gelap! Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di permukaan air laut dalam keadaan setengah hidup setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan keras. Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah! Wiro tak tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu karena dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian otaknya masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu adanya mungkin bisa dipakai untuk menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan tangannya untuk menangkap benda itu. Pertama kali dia cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak berhasil apa-apa namun kali yang keempat baru dia berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat. Beberapa saat kemudian ketika kedua matanya sudah bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok pendek yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya. Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa mempertahankan diri agar tidak tenggelam untuk kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum lama pemuda ini berpegang pada papan itu, terombangambing dipermainkan ombak, satu benda meluncur di hadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika diperhatikan ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh seorang penumpang perahu. Ditangkapnya tangannya. Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan pingsan, perutnya gembung. Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang didapatnya tidak cukup besar untuk menolong mereka berdua sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan pada papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang. “Mudah-mudahan kau selamat, Anak.” kata Wiro dalam hati. Dia memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau balokpun yang kelihatan. Laut yang tadi menggila kini mulai tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan! Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa yang akan mendengar? Siapa yang akan menolongnya? Lagi pula mulutnya serasa terkancing. Dicobanya berenang. Namun kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan air laut pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh di hadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya. Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang manusia berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat maut yang hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia menyebut nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik itu pula tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari permukaan air laut. *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 2 ETIKA dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya berdenyut sakit. Matanya berat sekali untuk dapat dibuka. Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam akhirat, berada di neraka?! Wiro Sableng membuka kedua matanya dengan perlahan. Yang pertama sekali dilihatnya ialah atap rumbia. Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau masih hidup aku ini, pikir Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia berada di atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda, meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau Andalas! Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya amblas ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan seorang anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya tenggelam di dalam laut dan tak tahu apaapa lagi! Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding kayu, dilihatnya isi pondok kecil itu, bermimpikah dia?! Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi! Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada di hadapannya saat itu. Untuk memastikan dicobanya bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu di mana dia terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu terhempas kembali ke atas balai-balai. Wiro mengeluh kesakitan. Dan dia pingsan lagi. Kedua kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam yang menyerangnya telah berkurang tapi tubuhnya masih lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapat-lapat didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma desau angin yang meniup telinganya. Rasa haus menyerang tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia minta air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada sanggup? Didengarnya suara berkeretekan di belakang kepalanya. Dia tak bisa berpaling. Dia tak tahu suara apa itu. Namun kemudian seorang K laki-laki tua berpakaian putih tahu-tahu sudah berdiri di samping balai-balai. Rambutnya jarang sekali hingga kulit kepalanya kelihatan jelas. Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut maupun kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna putih. Yang membuat Wiro jadi menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua tak dikenal ini! Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat lebar dan cekung. Mukanya tiada beda dengan tengkorak karena tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang menutupi parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan bengkok seperti paruh burung kakaktua. Dia tersenyum, tapi senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada parasnya. Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya berdiri. Manusia atau setankah yang berdiri di hadapannya itu? Kalau manusia, tak pernah dia menyaksikan yang seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan matanya yang lebar luar biasa dan menyeringai. “Sudah sadar, hah?!” bentaknya menggeledek. Wiro terkejut. Dirasakannya balai-balai di mana dia terbaring bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara berkereketan. “Empat hari empat malam mendengkur terus-terusan. Enak betul!” orang tua bermuka angker itu berkata lagi. Wiro membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit suarapun yang sanggup dikeluarkannya. Dalam kengerian melihat orang tua itu dia masih terus berpikir siapa adanya manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua itu adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi setelah menolong mengapa sikapnya demikian keras serta menunjukkan hati jahat?! “Apa yang kau pikirkan!” tiba-tiba orang tua itu membentak lagi. Balai-balai serta pondok kembali bergetar. Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini. Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara meskipun perlahan, “Air...” “Apa?!” “Air...” desis Wiro. “Air?! Kau minta air?! Kau kira aku ini pelayanmukah?! Sialan betul!” Kedua mata si orang kelihatan tambah lebar. Wiro terkesiap mendengar jawaban orang tua bertampang angker itu. Diam-diam dia menggerutu dalam hati. Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si orang tua mendampratnya. Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu. “Ah... anakku!” kata si orang tua seraya mendukung anak yang baru masuk. Wiro terkejut. Anak yang dalam dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil yang tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai mengamuk. Semakin jelas bahwa orang tua itulah yang telah menolongnya dan juga menolong anak laki-laki itu. Tapi mengapa sikapnya demikian aneh dan galak? “Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini minta air...? Gila betul dia! Disangkanya bapakmu ini budaknya!” Habis berkata begitu si orang tua tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan membentak si anak, “Hai! Kau dengar apa tidak?!” Dibentak keras begitu, si anak berumur dua tahun menangis dan meluncur turun dari dukungan si orang tua, lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. “Orang gila.” katanya kemudian pada Wiro, “Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi air. Ambil sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak, bukan kacung!” Lalu dia keluar dari pondok. “Edan!” desis Wiro. “Eh, apa?! Kau memakiku edan?! Kau yang edan!” Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk kembali. Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah didengarnya. Braak! Orang tua aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri Wiro Sableng. Tak ampun lagi balai-balai itu roboh dan Wiro terguling ke lantai, lalu pingsan lagi! Si orang tua tertawa gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok itu. Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur baik dan segar. Sesudah duduk bersila mengatur jalan nafas serta darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian tubuh yang perlu maka dia turun dari balai-balai. Di atas meja reyot di sudut pondok ada sebuah kendi berisi air putih. Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa dingin dan segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian sewaktu melihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi Wiro segera menyambarnya. Mendadak di luar didengarnya suara si orang tua. “Ah... salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi... nah. Eee... itu tangan kananmu musti begini. Bagus... Sekarang coba memukul ke muka... ah salah! Salah! Dasar bocah geblek!” Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro Sableng. Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan pemandangannya berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di pintu pondok dia berdiri dengan bersandar dan memandang ke halaman. Orang tua berwajah angker itu dilihatnya tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang berumur dua tahun. Dari gerak-gerik dan apa-apa yang dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro Sableng tertawa geli. Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu silat langsung disuruh memukul! Dan si anak sendiri kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu. Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala. “Apa?!” bentak si orang tua, “Kau tak mau diajar silat?! Bocah geblek! Kalau besar kau mau jadi apa?! Mau jadi laki-laki banci pengecut?!” Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma sekali itu mendengar anak itu menangis. Sebaliknya melihat anak tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan memaki-maki. Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis! Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. “Aneh sekali orang tua ini.” katanya dalam hati. “Mungkin otaknya kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali.” Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng. Sifatnya hampir sama dengan orang tua ini. “Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah sana mainmain! Nanti kalau ada yang mengatakan kau laki-laki pengecut jangan salahkan aku!” Habis berkata demikian si orang tua pukulpukul keningnya sendiri sambil membalikkan badan dan melangkah ke pondok. Mendadak dia hentikan langkahnya dan memandang mendelik ke pintu pondok. “Orang edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di situ?!” bentak si orang tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia marah sekali dan banting-banting kedua kakinya di tanah. Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat bagaimana tanah yang kena bantingan kaki orang tua itu amblas sampai setengah jengkal! Tiba-tiba Wiro ingat bahwa siapapun adanya orang tua bertampang angker itu dia adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar 212 menjura dalam-dalam. “Betul-betul kau sudah gila!” sentak si orang tua. “Apa-apaan menjura segala?!” “Orang tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang budi. Aku...” “Hutang nyawa?! Hutang budi...?! Kau gila!” “Bukankah kau yang telah menolongku sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam di lautan? Kemudian merawatku di sini?!” Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti seorang yang tengah berpikir-pikir atau mengingat-ingat. “Tidak!” katanya kemudian dengan keras. “Aku tak pernah menolong orang gila macam kau!” Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila namun dia bertanya juga, “Lantas bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini?” “Mana aku tahu! Tanya dirimu sendiri!” menyahuti orang tua bertampang angker. “Meski kau tak mau mengakui terus terang tapi aku yakin bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan diriku, juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih. Di lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan budi kebaikan itu. Sudilah kau memberitahukan namamu, orang tua...” “Buat apa?!” “Agar dapat kuingat selama hidupku.” jawab Wiro pula. “Hanya sekedar diingat?” tukas orang tua itu. Wiro tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu kemudian dilihatnya duduk di bawah sebuah pohon kelapa dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya, bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara orang mengigau! Tiba-tiba orang tua itu hentikan nyanyiannya dan pukulkan tangan kanan ke atas pohon kelapa. Terdengar suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata pukulan tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda. Dua tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa tubuh si orang tua, tiba-tiba orang tua ini ambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke arah kelapa yang melayang turun! Buah kelapa itu berlubang dan dari lubang itu memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya. Air kelapa memancur masuk ke mulut orang tua sampai akhirnya habis! Wiro sampai ternganga dan melotot melihat hal ini. Luar biasa hebatnya apa yang disaksikannya itu. Gurunya sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan sementara itu buah kelapa yang airnya sudah habis itu terkatung-katung di udara seperti ada tangan yang tak terlihat memegangnya! Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Wuuut! Kelapa itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok dalam kecepatan yang luar biasa! Wiro melompat ke samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih lemah. Dan di dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan. Buah kelapa telah menghantam kendi air terus membobolkan dinding pondok! Wiro memaki dalam hati habis-habisan. Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata! “Orang gila! Kemari kau!” Orang tua itu memanggil Wiro. Dia melototkan mata sewaktu Wiro dilihatnya tak bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga memandang tak berkedip pada orang tua itu. Maka menggeramlah si tampang angker ini. “Bah, kau berani menantangku, hah?!” Dari balik pakaiannya orang tua ini mengambil sesuatu. Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu dan tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke arahnya. Untuk kedua kalinya Pendekar 212 dipaksa melompat dalam keadaan tubuh lemah demikian rupa. Kali ini dia tak sanggup lagi mengimbangi dirinya. Meski benda yang dilemparkan itu lewat di atas kepalanya namun tubuhnya tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja sembuh lukanya kini berdarah kembali! Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia berpaling ternyata benda yang dilemparkan orang tua tadi adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni 212! Pantas saja anginnya membuat tubuhnya laksana dilanda badai! Senjata itu menancap di tiang pondok sebelah kiri. Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke dekat alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah untuk mengambil Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan, dari samping datang serangkum angin halus. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah benang aneh berwarna putih dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro cepat-cepat tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih itu telah melibat lengannya! Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia menyentakkan benang tersebut maka Wiro tertarik keras ke arahnya. Wiro merasakan tangannya seperti mau copot! Dia memaki lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah dia mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa! “Ha... ha! Orang gila macam begini yang hendak membangkang kepadaku?!” ejek orang tua itu begitu Wiro sampai di hadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan benang tapi sukar sekali. “Orang gila, siapa namamu?!” “Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila terusterusan!” kata Wiro dengan kesal. “Ah... kau memang gila!” tukas si muka angker. “Ayo katakan siapa namamu!” “Wiro.” sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak gusar. “Wiro apa?!” bertanya lagi si muka angker. Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat menahan kesal. “Hai! Apa kau tuli?! Wiro apa?!” “Wiro Sableng.” menyahuti juga pemuda itu akhirnya. “Wiro Sableng?! Nah... itu buktinya kau memang orang gila. Kalau bukan orang gila mana ada manusia yang memakai nama sableng! Sableng sama saja artinya dengan edan alias gila!” “Tapi itu bukan mauku memakai nama demikian...” “Aku tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu padamu...” “Bukan, tapi guruku!” potong Wiro Sableng. “Ah... kalau begitu berarti gurumu juga sableng alias keblinger!” Marahlah Pendekar 212. Dia melangkah ke hadapan si muka angker dan menghardik, “Orang tua, jangan hina guruku!” Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh yang melibat lengannya kuat sekali hingga tak sanggup diputuskan oleh sentakan itu! Si muka angker sebaliknya tertawa melihat perbuatan Wiro dan berkata, “Jangankan kau! Gurumu dan nenek gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan benang kahyangan ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu namamu, sekarang lekas beri tahu kau punya gelar!” “Aku tak punya gelar apa-apa.” jawab Wiro. Tangannya yang tadi disentakkan untuk melepaskan libatan benang kahyangan terasa sakit dan pedas. “Jangan berani dusta terhadapku orang gila! Sekali kusentakkan benang ini dalam Jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!” “Kalau hatimu memang jahat begitu rupa mengapa tidak segera dilaksanakan?!” tukas Wiro Sableng menantang. Orang tua itu mendelikkan matanya sehingga kelopaknya yang merah membuka lebar dan tampangnya jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak-gelak. “Orang gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku tadi anggap saja-tidak ada. Tapi sebagai gantinya lekas kau beri tahu nama gurumu!” “Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru.” “Jadi kau tidak mau beri tahu?!” “Tidak.” jawab Wiro Sableng tegas. Si muka angker mendelik. “Hidup delapan puluh tahun, kau adalah orang yang kedua yang pernah membangkang terhadap perintah si Tua Gila ini!” Habis berkata begitu si muka angker yang menyebut dirinya Tua Gila itu goyangkan benang kahyangan yang dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan tubuhnya mencelat ke atas sampai beberapa tombak! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 3 UA GILA tertawa gelak-gelak dan diam-diam perhatikan gerakan jungkir-balik yang dibuat Wiro Sableng sewaktu melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah. “Ah gerakan Kincir Padi Memutar yang belum sempurna hendak dipamerkan di depan hidungku!” ejek Tua Gila lalu tertawa lagi gelakgelak. Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan yang dinamakan Kincir Padi Memutar yaitu yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup, terkejut dan ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya Tua Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar 212 Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si muka angker itu hanya terus duduk dan tertawa gelak-gelak. Wiro berdiri dengan nafas sesak dan muka pucat. Matanya tiada berkesip memandang si orang tua. Jika dia diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang dan ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup menahan kesabarannya? Sampai berapa lama dia akan menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya? Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?! “Kau masih mau membangkang?!” Wiro tak menjawab. Tua Gila berkata, “Mengingat bahwa kau telah menyelamatkan seorang anak laki-laki yang bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila.” “Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang keterlaluan...” “Perlakuanku apa yang keterlaluan?!” bentak Tua Gila marah T sekali. “Manusia tidak tahu diri! Sudah diampuni jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama gurumu!” “Kaubunuh pun aku tak akan memberi tahu!” “Apa kau tidak takut mati?!” “Kenapa musti takut?!” jawab Wiro pula. Tua Gila tertawa pendek dan berkata, “Apa di dunia ini betul-betul ada manusia yang tidak takut mati?!” “Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau!” Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama puluhan tahun hidup tak pernah dia ingat tentang kematian sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia lain menemui kematian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan hati dan mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu. Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua butir air mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun menetes pipinya yang cekung! Wiro Sableng merasa heran melihat hal ini! Si orang tua yang begitu keras adat, galak, tertawa tak karuan dan aneh itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air mata. Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya. Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. “Apa arti angka 212 di dadamu itu?!” Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan celana panjang saja sedang tubuhnya bagian atas tiada berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki yang ditolongnya. “Guruku yang menuliskannya.” kata Wiro. “Dasar tolol! Aku tanya apa arti angka itu! Bukan siapa yang menulisnya. Sekalipun setan atau jin yang menulisnya aku tak perduli!” “Tak bisa kuterangkan orang tua.” jawab Wiro. Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah. “Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau akan kubunuh saat ini juga.” Lalu Tua Gila tarik benang yang dipegangnya, Wiro tersentak ke muka. “Bersiaplah untuk mati, orang gila!” Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan hendak dipukulkan, tiba-tiba ditariknya kembali. Dia menyeringai. “Ah... sebetulnya aku sudah muak melihat kematian! Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga!” Wiro Sableng kertakkan rahang. Dan Tua Gila lantas ajukan pertanyaan, “Menurutmu orang tua manakah yang paling celaka hidupnya di dunia ini?!” Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah angker orang tua itu. “Kalau kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!” Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke atas pohon kelapa dan berkata, “Aku akan jatuhkan sebuah kelapa. Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa menjawab pertanyaanku tadi!” Tua Gila memukul ke atas. Wiro kerutkan kening. Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat! Bumm! Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah! Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan. “Jiwamu kuampuni, orang gila.” katanya. “Jawabanmu memang betul.” Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua Gila mengeluarkan sebuah benda dan diacungkannya di hadapan Wiro. “Benda ini kutemui di dalam saku pakaianmu yang dibuat pengikat anak lakilaki yang kau tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!” Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan kulit harimau yang tempo hari ditemui Wiro di Goa Belerang di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang tua itu. “Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku Seribu Macam Pengobatan, ha?” Wiro mengangguk. “Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan kau ambil sebagai milikmu?! Berarti kau maling besar karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku itu akan diwariskannya kepadamu!” “Aku tidak mengatakan hendak mengambil atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya kewajiban untuk mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang telah mencuri buku itu.” “Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau bukan muridnya Kiai Bangkalan!” “Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di tangan orang yang bukan pemiliknya.” “Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan buku itu?” “Aku akan pelajari isinya,...”, “Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!” potong Tua Gila. “Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan bahwa dia akan mengajarkan ilmu pengobatan padaku. Kini dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri kepandaian orang lain!” Tua Gila tertawa. “Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari buku tulisannya tanpa izin orang itu sama saja dengan mencuri. Kiai Bangkalan berkata akan memberikan pelajaran ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia sendiri, bukan dari bukunya. Jangan mengada-ada, orang gila!” Wiro Sableng menjadi penasaran sekali. Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi, “Karenanya kau tak usah teruskan perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja. Kau akan siasia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi hakmu!” “Apakah menjadi hakmu melarang aku?!” tukas Wiro. Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang. “Perjalananku semata-mata bukan cuma untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus mencari manusia yang telah membunuh Kiai Bangkalan!” “Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas! Kau dengar orang gila?!” “Tapi aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang budi itu tak akan lunas sebelum aku berhasil membekuk si pencuri dan si pembunuh!” “Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai Bangkalan...?” ejek Tua Gila. “Kalau keadaan memaksa.” sahut Wiro. Tapi di hatinya dia yakin bahwa dia kelak betul-betul akan membunuh manusia itu. “Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!” Wiro sunggingkan senyum sinis dan menjawab, “Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milikmu?!” Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. “Kau meskipun gila nyatanya pintar bicara! Sekarang kau kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi muak melihat tampangmu!” Wiro menggerendeng. Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali, satu aliran angin aneh menjalar di benang yang mengikat lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat! Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 4 ARI Tua Gila, Wiro berusaha mendapat keterangan di mana letaknya bukit Tambun Tulang. Dulu sewaktu berangkat meninggalkan Pulau Jawa, dari seorang pelaut dia mendapat tahu bahwa Tambun Tulang adalah nama sebuah bukit yang terletak di Pulau Andalas. Namun Tua Gila mengejeknya, malah mendamprat dan memakimakinya. “Orang gila! Bagusnya kau tak usah pergi ke situ. Kalaupun kau berhasil sampai ke sana, kau cuma datang mengantar nyawa...” “Setiap bahaya maut adalah tantangan hidup yang harus kita hadapi.” kata Wiro pula. Tua Gila tertawa sinis. “Jangan bicara sombong. Orang gila, apa kau tahu artinya Tambun Tulang? Kalau aku kasih tahu baru bulu kudukmu merinding. Kalau tidak pingsan pasti kau terkencingkencing karena ketakutan.” “Kalau aku begitu pengecutnya masakan aku berani ambil keputusan untuk mengadakan perjalanan.” sahut Wiro karena merasa dihina sekali. Tua Gila membelai janggutnya sebentar lalu berkata, “Nyalimu memang besar, orang gila. Tapi percuma saja keberanian yang luar biasa kalau kau tidak punya ilmu yang diandalkan!” Wiro Sableng tertawa. Untuk kesekian kalinya, meskipun Tua Gila marah-marah dan mendampratnya, namun Wiro mengucapkan terima kasih kepada orang tua aneh berwajah angker itu dan minta diri. “Apa?! Kau mau pergi?! Tidak bisa! Kau tetap berada di pulau ini sampai kau ada kemampuan untuk membuat urusan di Tambun Tulang.” Dua hal membuat Wiro Sableng terkejut. Yang pertama ucapan Tua Gila yang mengatakan bahwa dia tak boleh meninggalkan pulau itu. Selama berhari-hari bersama si orang D tua aneh, baru hari itu dia tahu kalau dia berada di sebuah pulau. Pantas saja seringkali didengarnya suara menderu seperti ombak sedang angin keras sekali. Hal kedua yang mengejutkan Pendekar 212 ialah bahwa dia musti tinggal di pulau itu sampai dia ada kemampuan untuk ini, berarti bahwa Tua Gila si orang aneh bertampang angker itu hendak memberinya pelajaran ilmu silat? Melihat sikap dan ucapan-ucapannya agaknya Tua Gila mengetahui banyak hal tentang Tambun Tulang! Tengah Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir begitu rupa tibatiba Tua Gila membentaknya, “Coba perlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang kau anggap paling hebat!” “Apa maksudmu sebenarnya, orang tua?” tanya Wiro Sableng dengan hati meragu. “Tak usah banyak tanya! Lekas perlihatkan!” bentak Tua Gila. Wiro Sableng yang saat itu sudah sembuh dan berada dalam keadaan normal seperti sedia kala segera maklum bahwa orang tua aneh itu mempunyai maksud tertentu terhadapnya. Maka dia segera mainkan beberapa jurus ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng! Mula-mula dikeluarkannya jurus yang dinamakan Segulung Ombak Menerpa Karang, menyusul Ular Naga Menggelung Bukit, lalu Wiro balikkan badan dan lancarkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar dan yang keempat kalinya jurus yang dinamai Membuka Jendela Memanah Rembulan. Semua gerakan itu dilakukannya dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia sudah menyelesaikannya. Tua Gila tertawa gelak-gelak. Sambil batuk-batuk kemudian dia berkata, “Coba kau ulangi lagi keempat jurus itu.” Lalu dia mematahkan sebatang ranting dan berdiri empat langkah di hadapan Wiro Sableng. Tahu kalau dirinya hendak diuji maka sewaktu bergerak kembali Wiro Sableng sengaja lipat gandakan tenaga dalam dan berkelebat dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya! Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap ditelan oleh gerakannya sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang! Pada waktu Wiro Sableng mengeluarkan jurus Segulung Ombak Menerpa Karang maka kedua tangannya kiri kanan memukul sebat sampai mengeluarkan suara angin yang deras, betul-betul laksana ombak dahsyat memukul karang. Debu dan pasir serta batu-batu kerikil beterbangan. Semak belukar bergoyang-goyang! Anehnya Si Tua Gila menyerangnya. Wiro Sableng lipat gandakan daya gerakannya. Jurus yang dinamai Segulung Ombak Menerpa Karang itu mengeluarkan angin pukulan yang laksana ganas mencari sasaran di kepala dan dada Tua Gila. Tua Gila mendengus. Ranting di tangan kanannya lenyap dan gerakan memutar sedang tubuhnya sendiri jingkrak-jingkrakkan tak menentu macam monyet terbakar ekor! Anehnya meski gerakan si orang tua bertampang angker jingkrak-jingkrakkan tak karuan dan dilakukan sambil cengar-cengir mengejek namun jurus Segulung Ombak Menerpa Karang secara aneh dapat dielakkannya dengan mudah! Wiro Sableng penasaran sekali. Tak pernah selama ini jurus yang dikeluarkannya itu sanggup dielakkan lawan demikian mudahnya! Karenanya dengan satu bentakan keras Wiro susul dengan jurus Ular Naga Menggelung Bukit. Jurus ini didahului oleh satu tendangan dahsyat ke arah bawah perut. Namun ini hanyalah gerak tipu belaka. Bila lawan menangkis atau mengelak akan menyusul sambaran sepasang lengan ke arah leher atau pinggang. Sekali leher atau pinggang kena digelung oleh lengan yang berisi kekuatan tenaga dalam luar biasa itu, tak ampun lagi pasti akan putus dan orangnya akan konyol! Dengan gerakan gerabak-gerubuk Tua Gila hindarkan tendangan ke arah bawah perutnya. Juga dengan gerakan aneh macam begitu dia berhasil pula mengelakkan gelungan tangan lawan yang mengincar leher lalu turun ke arah pinggang! “Edan!” maki Pendekar 212. Dalam lain kejap dia sudah melompat ke muka dan lancarkan jurus Membuka Jendela Memanah Rembulan. Tapi dia cuma menyerang tempat kosong karena si orang tua sudah lenyap di hadapannya dan terdengar suara dengus mengejeknya di belakang! Wiro bersuit nyaring. Balikkan badan dengan cepat sambil lancarkan serangan dalam jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar! Tapi lagi-lagi dengan gerakan aneh gerabak-gerubuk macam monyet mabuk si orang tua berhasil mengelakkan jurus serangan terakhir yang dilancarkan Wiro Sableng itu! Wiro melompat mundur. “Orang tua, aku mengaku kalah!” kata Wiro sejujurnya. Dia kagum sekali melihat kelihayan orang tua ini. Tua Gila tertawa mengekeh dan sambil membuang ranting kering yang di tangannya dia berkata, “Aku tidak memikirkan soal menang atau kalah! Hanya tukang-tukang judilah yang memikirkan kalah menang!” Kemudian dia duduk di bawah pohon kelapa dengan masih tertawa mengekeh. “Dengan ilmu silat picisan itu kau mau pergi ke Tambun Tulang...? He... he... he... he... Belum sampai, mungkin kau sudah kojor!” Wiro Sableng panas sekali hatinya. Ilmu silat warisan Eyang Sinto Gendeng yang selama ini dianggapnya hebat dan lihay kini dikatakan sebagai ilmu silat picisan! Betul-betul Pendekar 212 jadi mengenas hatinya. Namun demikian adalah satu kenyataan bahwa dia tak sanggup menghadapi si orang tua dalam keempat jurus tadi! Ini membuktikan bahwa sepandai-pandainya manusia, masih ada manusia lain yang lebih pandai dari dia. Bahwa di luar langit ada langit lagi! Diam-diam Wiro menggerendeng sambil tundukkan kepala. Tapi ketika kepalanya ditundukkan, astaga, membeliaklah matanya karena terkejut! Betapakah tidak! Baju putih yang dikenakannya ternyata robek besar di empat bagian! Wiro angkat kepala dan memandang tak berkesip pada si orang tua! Kalau saja benda di tangan Tua Gila tadi adalah sebatang pedang dan benar-benar dipakai untuk mencelakai dirinya, pastilah sudah sejak tadi nyawanya melayang ke akhirat! Betul-betul bahwa di luar langit ada langit lagi! Tua Gila sementara itu tertawa terkekeh-kekeh sambil usap-usap janggutnya yang putih panjang. “Sia-sia orang gila! Sia-sia kalau dengan ilmu yang kau miliki sekarang ini kau hendak pergi ke Tambun Tulang! Kau akan mampus percuma!” “Kalau begitu aku mohon petunjukmu, orang tua.” kata Wiro Sableng pula. “Apa? Siapa sudi kasih petunjuk pada orang gila macam kau!” damprat Tua Gila membuat Wiro untuk kesekian kalinya memaki dalam hati! “Aku sudah lihat jurus-jurus silatmu yang tak berguna itu!” bicara lagi Tua Gila. “Sekarang coba keluarkan ilmu-ilmu pukulan saktimu! Aku mau lihat apakah juga tak ada artinya?!” Penasaran sekali Wiro menyurut mundur delapan langkah. Kedua kakinya direnggangkan. Tenaga dalam segera dialirkan ke lengan kanan. “Orang tua! Berdirilah!” seru Wiro Sableng ketika dilihatnya Tua Gila masih duduk di bawah pohon kelapa sambil cengar-cengir seenaknya. “Ah, untuk menerima pukulanmu yang tak berguna kenapa musti berdiri segala?! Silahkan memukul, orang gila!” Wiro kertakkan rahang dan lipat gandakan tenaga dalamnya. “Kalau kau mendapat celaka, jangan salahkan aku!” gerendeng Wiro. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka kelima jari membuka dan satu gumpalan angin keras menderu ke arah Tua Gila yang masih saja duduk tertawa-tawa. “Ah! Cuma pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tak ada gunanya bagiku!” ejek tua Gila. Tangan kirinya dilambaikan ke arah gumpalan angin yang hendak melabraknya. Terdengar suara berdentum. Wiro tersurut tiga langkah ke belakang! Ketika dia memandang ke muka, si orang tua dilihatnya tertawa mengekeh dan masih tetap duduk di bawah pohon kelapa itu! Wiro merutuk setengah mati. Kedua tangan diangkat ke atas. “Tua Gila! Terima pukulanku yang kedua ini!” Kemudian tanpa tunggu lebih lama Wiro putar-putarkan kedua tangannya di udara. Gelombang angin yang tiada tara dahsyatnya menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batu-batu kerikil mental. Semak belukar luruh, daun-daun pohon berguguran bahkan banyak cabang-cabang dan rantingnya yang patah! Pakaian, rambut dan janggut Tua Gila kelihatan berkibar-kibar! Tapi anehnya dia tetap saja duduk di tempatnya, malah berkata, “Ah, sejuknya pukulan Angin Puyuh ini. Mataku sampai-sampai mengantuk!” Dia menguap lalu letakkan kepalanya di atas lutut seperti sikap orang yang hendak tidur mencangkung! “Edan!” maki Wiro Sableng. Pukulan Angin Puyuh segera diganti dengan pukulan Angin Es. Udara di atas pulau itu mendadak sontak menjadi dingin tiada terperikan. Binatang-binatang kecil seperti burung, jatuh menggelepar kaku. Sebaliknya si orang tua mendongak ke langit dan berkata seakanakan pada dirinya sendiri, “Ah, panas sekali hari ini! Tubuhku sampai keringatan!” Lalu Tua Gila kibas-kibaskan pakaian putihnya. Dengan serta merta lenyaplah pengaruh pukulan Angin Es yang telah dilepaskan oleh Wiro Sableng! “Orang gila! Apakah kau masih punya ilmu simpanan yang lain?!” seru Tua Gila dengan nada mengejek! Wiro jambak-jambak rambutnya saking gemas. “Ayo! Pukulan Sinar Matahari belum kau keluarkan! Sudah lama aku tidak melihat pukulan itu!” Sebenarnya sudah sejak tadi Wiro Sableng terkejut karena Tua Gila mengetahui setiap jurus pukulan yang hendak dilepaskannya. Bahkan kini kejutnya itu bertambah lagi sewaktu Tua Gila menyuruhnya mengeluarkan pukulan Sinar Matahari! Siapa sesungguhnya orang tua aneh ini, pikir Wiro tiada henti! “Ayo! Kenapa jadi macam orang pikun?! Keluarkan pukulan Sinar Matahari!” berseru lagi Tua Gila. Penasaran sekali Wiro alirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya komat-kamit. Sekejap kemudian tangannya itu mulai dari siku sampai ke ujung-ujung jari berubah menjadi putih sekali! Lima kuku-kuku jarinya memijar menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari! Tua Gila untuk pertama kalinya berdiri dengan cepat. Matanya yang lebar memandang ke muka tak berkedip. Tubuhnya sedikit dibungkukkan dan pada saat dilihatnya Wiro memukulkan tangan kanan ke muka, orang tua ini dorongkan telapak tangan kanannya ke depan! Dari tangan Wiro Sableng menderu satu larik besar sinar putih yang tiada terkirakan panasnya! Sebaliknya dari tangan Tua Gila berkiblat tujuh sinar pelangi yang menderu ganas dan memapasi sinar putih berkilau! Terdengar suara berdentum yang teramat dahsyat! Langit laksana robek! Pulau itu laksana tenggelam ke dasar laut! Dunia seperti mau kiamat! Wiro Sableng mencelat sampai tiga tombak. Ketika dia berdiri mengimbangi badan, dadanya terasa sakit. Tenggorokannya gatal. Dia terbatuk tapi darah yang menyembur! Cepat-cepat Wiro telan sebutir pil! Lalu atur jalan darah dan nafasnya! Di seberangnya dilihat sepasang kaki Tua Gila amblas ke dalam tanah sedalam betis! Sambil batuk-batuk dan tertawa-tawa, orang tua itu cabut kedua kakinya. “Ah... baru pukulanmu yang satu itu yang agak berguna di mataku!” kata Tua Gila. Perlahan-lahan dia duduk kembali di bawah pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling ke kiri dan mendamprat keras, “Bocah sialan! Kau berani mengintai urusan orang! Pergi!” Ternyata yang dibentak dan diusirnya itu adalah anak kecil yang tempo hari ditolong oleh Wiro di tengah lautan. Si anak dengan takut segera lari meninggalkan tempat itu. Tua Gila mendongak ke langit. Saat itu sang surya telah menggelincir ke arah barat. “Hem... sudah rembang petang. Tentu pasang sudah naik.” Dia berpaling pada Wiro dan berdiri. Lalu katanya, “Mari ikut aku ke pantai!” Mula-mula Wiro merasa bimbang dan tetap berdiri di tempatnya. Tapi ketika Tua Gila membentaknya dengan mata melotot marah, maka dengan rasa ingin tahu apa yang hendak diperbuat orang tua aneh itu akhirnya Wiro mengikut juga! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 5 EPERTI yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang kini mereka sampai di tepi pantai. Orang tua itu melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa meninggalkan sedikit jejak pun! Sebaliknya ketika dia memandang ke belakang, meski tak begitu kentara namun tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah tinggi dan sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia merasa malu sendiri! Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu karang yang menonjol tinggi. Lebih tinggi dari batu-batu di sekelilingnya. Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun, entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu karang itu! Namun sampai saat itu keduanya masih tetap berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang tiada terkalahkan sepanjang masa! Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawakan lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat di atas batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke bawah dan berteriak pada Wiro, “Kau melompatlah ke batu karang yang di sebelah sana!” “Kau gila!” teriak Wiro. “Kalau ombak dalang kau pasti dihantam dan terpelanting ke batu-batu karang yang runcing menonjol itu. Kirakira dua puluh tombak!” Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah puncak batu karang! Wiro berseru memberi ingat agar Tua Gila lekas melompat turun! S Tapi gilanya, malah Tua Gila memutar tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrakjingkrak di atas puncak karang itu seperti seorang anak yang gembira sekali di kala keluar rumah mandi hujan! Begitu ombak mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya menyongsong ke muka! Byuur! Ombak menerpa. Batu karang bergoyang keras. Tapi Tua Gila masih berdiri di atas puncak karang itu. Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira. “Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi lebih besar!” “Manusia aneh gila!” desis Wiro, tapi diam-diam dia kagum sekali! Sedangkan batu karang itu waktu dilanda ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu oleh ombak! Benar-benar tak bisa dipercaya kalau dia tak menyaksikannya sendiri. “Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?!” teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih berdiri bengong melompong di bawah sana! “Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!” sahut Wiro. Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya. Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu-tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan telah melibat pinggangnya. Benang kahyangan! Belum sempat Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan melesat ke atas puncak karang yang kedua. Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sempit runcing, serta licin berlumut itu! Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu karang di mana dia berada bersama Tua Gila. “Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan tangan!” teriak Tua Gila. “Begitu ombak datang songsong dengan pukulan kedua telapak tangan!” Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempaskan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu, dengan sedapatdapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila! Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya mencelat mental! “Tobat! Tamatlah riwayatku!” keluh Wiro Sableng. Satu tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu cadas tiba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah menyentakkan benang kahyangan yang menjerat pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di puncak batu karang itu! “Ayo orang gila! Jangan takut!” seru Tua Gila sambil tertawa gelak-gelak. “Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo, sambutlah!” Byuuur! Ombak menggulung menerpa bagian atas puncak-puncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh Wiro Sableng mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batu-batu cadas, kembali Tua Gila menariknya dan melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap ombak menerjangnya jatuh! Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro disapu ombak dan “dipermainkan” oleh Tua Gila. Lambat laun timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng. Dengan menguatkan diri dan menabahkan hati, ketika untuk kesekian kalinya ombak datang lagi menderu maka pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila. Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan didorongkan ke muka! Byuur! Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang, maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut keluar darah. Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan mengerahkan tenaga untuk melakukan pekerjaan yang tak pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya Tua Gila tertawa gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh Wiro Sableng sudah berada di atas bahu kirinya. Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke arah bulan sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata, “Tidak percuma... tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya murid macam ini! Tidak percuma!” Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak Gunung Gede! Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda. Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan tertawa-tawa Tua Gila berkata, “Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan kau telah jadi murid. Antara kita tak ada hubungan apa-apa...!” “Terima kasih orang tua! Terima kasih!” kata Wiro. “Tapi mengapa kau sampai demikian bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan itu?” Tua Gila tertawa gelak-gelak. “Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat... ah... Agaknya tak perlu kuteruskan...” Wiro Sableng merasa tak enak. “Karena mengingat apa, orang tua...?” “Sudah! Tak usah banyak tanya!” kata Tua Gila tak senang. “Ilmu pukulan yang telah kau pelajari itu bernama Dewa Topan Menggusur Gunung. Merupakan satu di antara tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang, untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang bernama Ilmu Silat Orang Gila. Sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus.” kata Tua Gila. Wiro segera menyerang orang tua itu dengan gencar! Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena didesak dan akhirnya dipaksa “makan” sebuah jotosan pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua Gila kelihatannya gerabakgerubuk tidak teratur! Tapi justru di situlah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat Wiro Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu. Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri, pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat kesempurnaan. Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng. “Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku untuk melihat tampangmu!” kata si orang tua. Wiro terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah menyambung, “Karenanya hari ini pula kau harus angkat kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah melihatmu!” Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk di hadapan Tua Gila. Dia tahu orang tua ini bersifat aneh. Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki dari situ. “Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Terima kasih karena kau juga telah mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat yang hebat padaku...” “Lalu apa lagi?” tanya Tua Gila. “Ah, sudahlah! Perutku sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat!” Tua Gila lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok. “Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila.” kata Wiro. “Eh, petunjuk apa?!” “Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun Tulang.” “Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!” “Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa keterangan.” “Keterangan apa?!” tanya Tua Gila cepat seperti orang yang tidak sabar. “Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya Tambun Tulang itu...” “Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di situ?!” Tua Gila tertawa mengekeh. “Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua.” sahut Wiro. “Betul! Sedang tidur pun bisa mampus! Tapi mati yang paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita rasakan sebagai kewajiban!” Orang tua itu tertawa lagi seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya yang cekung, Tua Gila membuka mulut lagi, “Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira di pertengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu memang terletak di sana?” Tua Gila tertawa kembali. Lalu meneruskan lagi, “Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang. Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka, seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup, orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan saja niatmu pergi ke situ?!” Wiro gelengkan kepalanya. “Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia-sia!” kata Tua Gila pula. Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu, malah dia bertanya, “Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama Sipatoka itu yang telah membunuh Kiai Bangkalan dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?” “Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku! Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu padamu!” Wiro mendumel dalam hati. “Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk tokoh silat golongan hitam?” “Itu urusanmu untuk menyelidikinya!” jawab Tua Gila “Mengenai bukit tulang manusia itu... apakah itu manusiamanusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya?” tanya Wiro lagi. Tua Gila tertawa dingin. “Kau akan melihat dan mengetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik, kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang itu! Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!” Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah dengan cepat ke pintu. “Orang gila! Tunggu dulu!” seru Tua Gila memanggil. Wiro Sableng membalikkan badan. “Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau turun meninggalkan puncak Gunung Gede?!” Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia berasal dari Gunung Gede?! “Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang kau tapi tidak tentang orang lain itu!” “Orang lain siapa, Tua Gila?” tanya Wiro. “Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku tak mendengar kabar beritanya!” Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah. “Kau... kau kenal dengan guruku?!” “Jawab dulu, sudah berapa lama kau turun gunung?!” Wiro berpikir-pikir. “Kurasa ada satu tahun.” sahutnya. “Ada apakah orang tua?” “Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan si Sinto Gendeng?!” Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya dengan “Si Sinto Gendeng” nyatalah bahwa Tua Gila mempunyai hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?! “Tidak.” Wiro menjawab pertanyaan Tua Gila tadi. “Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku, Tua Gila?” Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini terbayang di ruang matanya. Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua. Aneh, pikir Wiro. Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila tertawa gelakgelak. “Kadang-kadang orang yang sudah tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak kecil!” Tua Gila kemudian hela nafas panjang. “Sebenarnya aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru...” Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng! Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat dia menjura dalam-dalam di hadapan Tua Gila. “Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah... pantas saja kau sakti dan lihay sekali!” Kembali Tua Gila tertawa rawan. “Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila...” Dan dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. “Gurumu itu sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali! Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup dulu pun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu...! Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!” Untuk kedua kalinya Tua Gila menghela nafas dalam. Lalu meneruskan penuturannya, “Orang gila, aku naksir pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan janda itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila perbuatanku!” Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya sendiri! “Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar! Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di mana-mana! Seluruh tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa tunduk dan takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada yang memberi gelar ‘Pendekar Gila Patah Hati’. Ada pula yang menjuluki ‘Iblis Gila Pencabut Jiwa’. Banyak lagi gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di tanganku?” Wiro angkat bahu. Tua Gila hela nafas lagi. “Tiga ratus lebih.” katanya mendesis. “Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kupertanggungjawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian kurasa itu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah penyesalan. Tapi apa gunanya lagi? Sudah nasib!” “Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu dengan guruku?” tanya Wiro ingin tahu. “Pernah... memang pernah, orang gila! Waktu itu keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compang-camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun mendatang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betul-betul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantaskah orang setuaku dan setua gurumu itu melangsungkan perkawinan?!” Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Hatinya geli sekali. “Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak ada halangannya...” Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata. “Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarang! Tapi semua orang tentu akan menertawai dan menganggap kami berdua pada gila dan memang aku dan gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, mendalami ilmu silat ciptaanku dan memperyakin beberapa ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan seorang anak yang telah kuambil jadi murid!” Lama kedua orang itu sama berdiam diri. “Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa sampaikan salamku padanya.” kata Tua Gila. Wiro mengangguk. “Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau sendiri yang datang menyambanginya...” “Ah... hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!” “Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya.” kata Wiro. Dan Tua Gila menyambungi, “Segala liku keanehan itu akan berakhir pada satu hal yakni kematian. Nah Wiro, sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!” Wiro Sableng tertawa dan berkata, “Aku tetap berharap kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung Gede!” Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak, “Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!” Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura cepatcepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pendayungnya. Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke utara! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 6 I TENGAH pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang berkerumun dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki separuh baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam. Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan parasnya jelita. Seperti laki-laki tadi, di bibirnya yang segar juga selalu mengulum senyum yang diberikan pada orang ramai di sekelilingnya. Laki-laki berpakaian hitam melangkah ke tengah lingkaran, memandang berkeliling lalu menjura ke segala penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia bicara. “Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih saudarasaudara sudah sudi berkumpul di sini. Kita bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini. Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung ke pasar ini sekedar memberi hiburan tak berguna untuk mencari uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudarasaudara tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak keberatan bermurah hati memberi beberapa ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima kasih...” Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang menghentikannya ialah karena dua buah matanya melihat kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap, berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Di bagian dada pakaiannya kelihatan lukisan kepala harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki separuh baya yang ada di tengah lingkaran merasa tak enak. Demikian juga anaknya kelihatan berubah air mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan, begitu mengetahui D kedatangan penunggang kuda ini segera bersibak menjauh dengan muka yang membayangkan ketakutan. Banyak di antara mereka yang tak punya minat lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak itu dan berlalu dengan cepat! Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak kembali meneruskan ucapannya. “Saudara-saudara sekalian. Maksud kami melakukan pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata hanyalah untuk mencari uang guna membeli sesuap nasi. Kami tahu pula, di antara saudarasaudara yang hadir di sini tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang jauh lebih tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang kami akan mulai...” Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari pinggangnya. Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya dekat-dekat pada penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betul-betul senjata tajam bukan keris palsu yang terbuat dari kayu atau kertas tebal! Kemudian laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis itu mengambil sebuah gendang dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju. Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian mengikuti irama pukulan gendang, laki-laki ini menari sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan kanannya ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk kulit daging tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka, tergores pun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang semakin cepat tarian yang dimainkannya dan semakin gencar pula tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya! Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-laki itu hentikan pula permainannya lalu menjura kepada orang banyak yang disambut dengan tepuk sorak yang riuh! “Saudara-saudara sekalian, pertunjukan berikutnya dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah anak saya sendiri.” Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang golok tajam putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk membuktikan bahwa benda itu sebenarnya golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati terbelah dua! Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan si dara baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang. Tariannya bagus sekali dan lemah gemulai membuat, semua orang terpesona. Ketika ayah sang dara melangkah mendekati anaknya dengan golok terhunus semua orang merasa ngeri meskipun pertunjukkan demikian sudah sering mereka saksikan. Laki-laki itu mulai pula menari mengelilingi anaknya. Kemudian wuut, goloknya dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara buuk! Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok yang tajam bukan saja tidak melukai punggung sang dara tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan dengan senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada terjadi apa-apa sementara golok menderu bertubi-tubi membacok bagian atas tubuhnya dan suara Buuk... buuk... buuk, terdengar tak kunjung henti! Kengerian orang banyak berubah menjadi tepuk sorak kagum! Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan yang kedua itupun berakhirlah! Orang banyak bertepuk riuh dan bersorak gembira. Beberapa di antara mereka ada yang melemparkan uang logam ke tengah lingkaran yang segera dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu dimasukkan ke dalam kotak. “Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara.” kata lakilaki berpakaian hitam. Dia melirik sekilas pada penunggang kuda berkumis melintang yang sampai saat itu masih berada di situ dan menyaksikan pertunjukan. “Saudara-saudara sekalian,” kata laki-laki itu selanjutnya, “saudara lihat kuali besar di belakang itu? Kuali itu berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudara-saudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke dalamnya dan mandi!” Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali yang besar sekali. Bagian bawah kuali yang ditopang oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan asap panas. “Tapi,” berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka ke segala penjuru, “mungkin saudara-saudara mengira air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam bukanlah seorang penipu!” Dari dalam sebuah kotak, laki-laki yang mengaku bernama Pagar Alam itu mengeluarkan seekor tikus. Tikus itu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Binatang itu mencicit dan meregang nyawa di situ juga. Bau dagingnya yang terbakar meranggas hidung! Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu dicemplungkannya ke dalam air yang mendidih. Tikus itu mencicit sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati matang! Setelah mengeluarkan tikus itu dari dalam kuali Pagar Alam berkata, “Sekarang saudara-saudara saksikan sendiri bahwa aku tidak menipu kalian! Nah, aku akan masuk ke dalam kuali ini!” Semua penonton menahan nafas penuh tegang sebaliknya di sudut bibir penunggang kuda berkumis melintang tersungging senyum penuh arti! Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia berdiri di atas kuali berair mendidih yang di bawahnya berkobar api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh, seakan-akan air di dalam kuali itu adalah air dingin biasa! Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya berkeliling sambil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah! “Saudara-saudara, sekarang aku akan duduk dalam kuali ini dan akan mandi! Sudah lama badan buruk ini tak pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur tubuhku!” Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata masing-masing dibentangkan lebih lebar. Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja dia bergerak sedikit tiba-tiba laki-laki ini menjerit keras dan melompat keluar dari kuali. Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut kelihatan putih matang laksana daging direbus! Semua orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya dikeluarkannya sejenis bubuk lalu ditebarkannya di kedua kaki ayahnya yang merintih kesakitan di tanah! Rupanya seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah “menahan” dan “memunah” ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan akibatnya kedua kaki itu terebus matang! Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri dan memandang beringas ke segala penjuru. “Saudara-saudara, siapakah di antara kalian yang begitu tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya permusuhan dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual lagak atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk mencari makan! Sungguh keterlaluan kalau ada yang demikian jahatnya mencelakai ayahku!” Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling. Sepasang matanya beradu pandang dengan penunggang kuda berkumis melintang! Hatinya berdetak! Kemudian dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis ini berteriak keras, “Siapa yang telah mencelakai ayah silahkan maju ke hadapanku! Siapapun dia adanya aku tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa padanya!” Orang banyak memandang pula berkeliling. Dan rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas punggung kuda! “Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani unjuk muka adalah pengecut terkutuk!” teriak Mayang lantang! Sementara itu dengan merintih kesakitan Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah peti. Sepasang matanya menyorot penuh amarah, memandang berkeliling. Bila matanya itu menyapu paras laki-laki yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun membuka mulut dengan suara bergetar, “Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?!” Si penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia gerakkan badan maka tubuhnya ringan sekali melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang duduk di tanah bersandar ke peti! Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar Bumi ini berkata, “Sudah berulang kali kuperingatkan bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau pedulikan! Dan pajak yang musti kau berikan pada atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau serahkan!” “Penghasilan kami tak ada artinya!” teriak Mayang. “Dan pajak yang kau minta melewati batas besarnya! Lagi pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari kami? Semua rakyat bebas mencari penghasilan. Rakyat tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan penguasa negeri ini!” “Aha... Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau Datuk mendengarnya pasti kau akan celaka!” Mayang meludah ke tanah. “Aku tidak takut pada Datukmu itu!” Gempar Bumi menyeringai dan puntir-puntir kumisnya. “Aku tahu Gempar Bumi!” tiba-tiba Pagar Alam berkata. “Kau mencelakai diriku bukan karena soal pajak ataupun soal yang lain! Tapi karena aku dan anakku telah menolak lamaranmu dua minggu yang lalu!” Gempar Bumi tertawa dingin. “Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang hendak coba-coba menentang kekuasaan Datuk dan pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi hajaran baru menyesal!” “Aku tidak menyesal telah menolak lamaran manusia macammu!” sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa berdiri mungkin sudah diserangnya laki-laki itu! Gempar Bumi memandang berkeliling dan berkata dengan suara nyaring. “Siapa-siapa yang coba menantang kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya sama saja dengan mencari mati!” “Bangsat terkutuk!” damprat Mayang. “Aku lebih baik mampus daripada jadi istrimu. Aku lebih baik mati berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk keparatmu!” Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam ini menyambar sebilah golok dan menyerang Gempar Bumi! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 7 UASANA di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan Mayang berkiblat kian kemari dengan suara menderu. Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana Gempar Bumi terbungkus sambaran golok yang menyerangnya ke seluruh bagian tubuh! Gempar Bumi sendiri tiada menyangka kalau si gadis memiliki kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum mengejek Gempar Bumi menghadapi si gadis dengan tangan kosong dan buka jurus pertahanan. Senjata lawan lewat di depan pinggangnya. Jurus pertahanan diganti kini dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat menyelusup ke dada Mayang, siap untuk menjamah buah dadanya yang padat montok! Wuuut! Tersirap darah Gempar Bumi sewaktu golok di tangan sang dara membalik laksana kilat! Kalau saja dia tidak cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan terbabat putus! Mayang sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaransambaran goloknya laksana hujan mencurah! Gempar Alam tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari ayahnya sendiri! Tentu dia telah berguru pada seorang jago silat, pikir Gempar Bumi. Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan Gempar Bumi masih berada di bawah angin. Laki-laki ini mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap saja berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya berkelebat kian kemari membuat bayangbayang hitam. Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang. Lengan kanannya kena dipukul oleh lawan. Golok terlepas mental dan di saat itu pula, dara ini merasakan tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata sewaktu memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar Bumi menotok dada Mayang dengan jari-jari tangan kirinya! S “Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama perempuan!” bentak Pagar Alam yang tergeletak duduk di tanah bersandar ke peti. Gempar Bumi tertawa mengekeh! “Anakmu hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak lamaranku tempo hari, tapi saat ini terpaksa kau harus menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku!” Laki-laki berpakaian hitam ini tertawa lagi. “Keparat! Kau mau bikin apa?!” hardik Pagar Alam seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya terduduk kembali. Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk ditegakkan! Darah laki-laki ini bergejolak marah. Pelipisnya mengembung! “Bikin apa lagi kalau bukan mau membawanya ke tempatku!” jawab Gempar Bumi seraya melangkah ke arah Mayang. “Anjing baju hitam! Kalau kau berani menjamah tubuhnya kupecahkan kepalamu!” Gempar Bumi menyeringai! “Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau membunuh aku?!” Dan dia melangkah lagi mendekati Mayang. Tapi begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang sang dara tiba-tiba, buuk! Punggungnya dihantam orang dari belakang yang kerasnya cukup membuat Gempar Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling dengan cepat dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya! Ternyata yang meninju punggungnya tadi bukan lain anak laki-laki kecil adik Mayang! “Buyung! Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin kena tempelak!” bentak Gempar Bumi. “Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku, aku akan...” “Akan apa?!” tanya Gempar Bumi seraya bertolak pinggang. Si anak menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya yang kecil tapi cukup keras dihantamkan ke perut Gempar Bumi. Tapi tentu saja Gempar Bumi bukan tandingan si buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu dipuntirnya ke belakang hingga si anak menjeritjerit kesakitan dan coba menendang paha Gempar Bumi dengan tumitnya! Gempar Bumi mendorongnya ke muka hingga hampir saja dia jatuh menyungkur tanah! Tiba-tiba si anak melihat golok yang dipakai kakaknya untuk menyerang Gempar Bumi. Dengan cepat dia membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik menyerang Gempar Bumi kembali! “Tikus cilik tak tahu diuntung!” maki Gempar Bumi dan sebelum senjata itu sampai ke dekat tubuhnya, tangan kanannya sudah bergerak. Plaak! Si anak terpekik. Bibirnya pecah dan berdarah. Dua buah giginya mencelat mental. Tubuhnya terpelanting satu tombak dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri! “Bangsat rendah! Terima ini!” teriak Pagar Alam dengan amarah mendidih. Dijangkaunya keris yang terletak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah Gempar Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang leher Gempar Bumi! Yang diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi ujung keris akan menembus tenggorokannya, laki-laki ini gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya senjata itu dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk! Itulah ilmu menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang menyaksikan hal ini sama leletkan lidah kagum, tapi bila mereka ingat siapa Gempar Bumi adanya, maka kekaguman itu mendadak sontak berubah menjadi kebencian! Gempar Bumi timang-timang beberapa kali keris itu. Tiba-tiba tangannya itu digerakkan dan, cup! Senjata itu menancap di peti di mana Pagar Alam duduk bersandar, hanya setengah senti dari telinga kirinya! Gempar Bumi tertawa gelak-gelak! “Jika tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti sudah kutembus keningmu dengan senjata itu!” katanya. Lalu dia menambahkan, “Tapi di lain hari jika kau masih tidak tahu tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Ngarai Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu!” Habis berkata demikian Gempar Bumi melompat ke hadapan Mayang. Dan kini tak satu orang pun yang bisa atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu! Tangan kanan bergerak meraih pinggang Mayang dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu terlepas kembali. Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat sebuah benda kecil menghantam sambungan siku Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet. Sekujur lengan kanan Gempar Bumi tergetar dan rasa sakit membuat dia melepaskan raihannya! Tak seorangpun agaknya yang mengetahui kejadian itu selain Gempar Bumi sendiri! Laki-laki ini memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari siapakah manusia yang telah melemparkan benda itu! Tapi siapa yang hendak diduga di antara orang sebanyak itu?! Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang dipakai untuk menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir kerikil yang besarnya tak sampai seujung jari kelingking! Nyatalah ada seorang pandai yang telah turun tangan. Sementara itu semua orang termasuk Pagar Alam dan Mayang sendiri merasa heran kenapa Gempar Bumi tak jadi meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar bumi berdiri bimbang seketika. Tiba-tiba laksana kilat tubuh Mayang sudah disambarnya dan dengan cepat membawa gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri Gempar Bumi menepuk pinggul binatang itu. Rasanya sekali tepuk saja kuda itu akan segera melompat dan lari! Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan lari, bergerak pun tidak! Gempar Bumi menepuk sekali lagi lebih keras. “Ayo! Larilah!” Tapi binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat kakinya tak bergeser sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya saja yang digerakgerakkan. Kemudian binatang ini meringkik beberapa kali! “Ayo lari!” bentak Gempar Bumi. Tetap saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping rasa heran dan penasaran kekejutan juga timbul di hati Gempar Bumi. Ketika diperiksanya dengan cepat ternyata keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki binatang ini! Tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi melompat dari punggung kuda terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu lari jauh karena sebutir kerikil lagi menyelusup menembus kaki pakaiannya terus menghantam belakang lutut kaki kanannya! Dengan serta-merta kaki kanan itu kesemutan dan lemas sukar digerakkan! Gempar Bumi yang tahu gelagat bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang lihay yang tersembunyi di antara manusia banyak di tengah pasar itu perlahan-lahan turunkan tubuh Mayang. Orang ramai masih tak tahu apa yang telah terjadi. Sementara itu sepasang mata Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir kerikil dekat kaki kanan Gempar Bumi. Gadis bermata tajam dan memiliki ilmu yang cukup tinggi ini untuk pertama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan bila dia memandang paras laki-laki itu sangat berubah! Gempar Bumi menyadari kalau diteruskannya niat untuk melarikan Mayang, pasti orang pandai yang tersembunyi di antara manusia banyak di pasar itu akan turun tangan dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan-lemparan batu kerikil tadi bukan lain merupakan peringatan keras terhadapnya! Perlahan-lahan Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata dengan suara lantang, “Pagar Alam, biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk mengambilnya!” Gempar Bumi lepaskan totokan pada keempat kaki kudanya lalu naik ke punggung binatang itu. Sebelum berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian cepat-cepat menghilang dari tempat itu. *** Di jalan yang buruk penuh dengan lobang-lobang demikian rupa bendi itu tak dapat berjalan cepat. Apalagi barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam perjalanan pulang. Karena nasib buruk yang menimpa Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati memberi sumbangan uang lebih banyak kepadanya hingga pendapatannya hari itu tiga kali lipat lebih besar dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak tidak menggembirakan hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia ingat si Gempar Bumi keparat itu. Cepat atau lambat pasti dia akan datang kembali untuk mengambil Mayang dengan paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar Bumi bukan tandingannya, juga bukan lawan anaknya. Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu, tetap saja mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama yang merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan kakinya itu. Meski sudah diobati oleh anak gadisnya tapi dalam seminggu dua minggu pasti tak akan sembuh! Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga menempuh jalan buruk dan sunyi. Kedua tepi jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang semak belukar itu berderetan pohon-pohon besar tinggi. Bendi bergerak terus dan mereka bicara-bicara juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak mencampuri lagi pembicaraan kedua beranak itu. Tali kekang kuda dipegangnya dengan terkantuk-kantuk. Hembusan angin yang sejuk di tengah hari itu memang menimbulkan rasa kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pembicaraan mereka. Di kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama makin keras. Dari balik tikungan di hadapan mereka muncul seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam. Pada bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau berwarna kuning. Ketika penunggang kuda itu tambah dekat, berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar Alam meraba hulu keris yang tersisip di pinggangnya. Mayang mengeluarkan golok dari dalam peti sedang kusir bendi bersiap-siap dengan sebatang besi yang tergeletak di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang kuda bukan lain dari Gempar Bumi adanya! Gempar Bumi hentikan kudanya. Kusir bendi pun telah pula menghentikan kendaraannya. “Sekarang kuharap kau tak usah banyak rewel, Pagar Alam!” kata Gempar Bumi dengan nada keren. “Anakmu akan kuambil!” “Kau manusia yang paling tidak bermalu di dunia ini, Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak! Aku kau celakai dan kini kembali kau memaksa untuk melarikan anakku!” Gempar Bumi tertawa sinis. “Mulutmu masih tetap besar! Aku hargai nyalimu! Tapi agar tidak lebih celaka, kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih keras padamu!” “Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi.” desis Pagar Alam. “Tapi... langkahi dulu mayatku!” Dan Pagar Alam menghunus kerisnya! Gempar Bumi tertawa bergelak dan menyentakkan tali kekang kudanya. Sesaat kemudian kuda dan bendipun telah bersisi-sisian. “Turun dari bendi itu, Mayang!” perintah Gempar Bumi. Pagar Alam beringsut ke samping kereta sebelah kanan. Dalam jarak yang cukup dekat itu tanpa banyak bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepat-cepat ke muka Gempar Bumi! “Manusia tolol!” maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan tangan kanan memukul lengan Pagar Alam, mentallah keris laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul kelihatan bengkak matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan. Dalam pada itu dari samping menderu satu sambaran golok ke arah batok kepala Gempar Bumi. Ternyata Mayang telah melancarkan serangan yang pertama sambil melompat dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam. Dengan sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang ke arah bahu kanan Gempar Bumi sementara Pagar Alam mengambil sebuah lembing dari dalam peti. Si Malin, kusir bendi meski tak ada sangkut paut dalam urusan itu, tapi memang sudah sejak lama membenci terhadap Gempar Bumi tak ayal lagi segera mengambil batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar Bumi dari belakang! Diserang begitu rupa Gempar Bumi marah bukan main! Dia berteriak, “Jangan menyesal kalau kalian kuhajar babak belur!” Lalu dia melompat dengan cepat dan gerakkan kedua tangannya. Dua orang terpekik! Yang pertama anak laki-laki Pagar Alam. Kayu di tangan anak itu mental. Tangannya yang kecil laksana tanggal dari persendiannya. Tubuhnya mencelat dan terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta terus pingsan! Orang kedua yang terpekik ialah Malin si kusir bendi. Gempar Bumi yang merasakan sambaran angin di belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat serangan dari arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung kuda Gempar Bumi laksana kilat hantamkan sikut kanannya ke belakang! Kraak! Suara kraak itu hampir tak kedengaran karena pekik setinggi langit yang keluar dari tenggorokan Malin! Tulang iganya sebelah kanan patah dua buah. Tubuhnya mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia sudah tak sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah lembing namun dia tak bisa berbuat suatu apa karena dia tak bisa berdiri apalagi berjalan dan turun dari kereta. Otomatis pertempuran itu kini hanya berjalan satu lawan satu yaitu Gempar Bumi menghadapi Mayang. Tingkat kepandaian Mayang jauh lebih rendah dari lawannya. Maka dalam setengah jurus saja gadis berparas jelita yang telah membuat Gempar Bumi tergila-gila itu terdesak hebat. “Gadis cantik!” kata Gempar Bumi dengan senyum mengejek. “Kalau saja kau serahkan dirimu secara baik-baik, pastilah...” Wuuut! Gempar Bumi tak bisa melanjutkan ucapannya. Sebuah benda panjang berdesing ke arahnya. Ternyata lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar Alam dari atas bendi! Gempar Bumi rundukkan kepala. Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada saat yang sama kaki kanan Mayang menderu ke arah dadanya. “Mayang! Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya ini!” kata Gempar Bumi. Ditangkapnya kaki kanan dara itu. Dengan kalap Mayang membacok ke bawah. Gempar Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa tarik pulang bacokan goloknya karena kalau diteruskan pasti akan membabat kaki kanannya sendiri! Begitu serangan ditarik, begitu Gempar Bumi gerakkan tangan kiri. Maka terampaslah golok di tangan Mayang. Gempar Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia segera hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si gadis jatuhkan diri di tanah lalu berguling. Ketika bangun lagi di tangannya sudah tergenggam lembing yang tadi dilemparkan ayahnya! “Batang lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri!” jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan kilat ke leher lawannya! Gempar Bumi bergerak untuk merampas senjata itu tapi tusukan lembing kini berubah menjadi satu kemplangan yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran Gempar Bumi sambut hantaman lembing dengan pukulan lengan kiri. Lembing patah dua! Bagian yang runcing mental ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di tangan Mayang dan dengan patahan lembing itu si gadis bertahan mati-matian. Tapi sampai beberapa lamakah dia dapat mempertahankan diri?! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 8 IRO Sableng Si Pendekar 212 murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede tengah menempuh rimba belantara, mengambil jalan memotong agar lebih lekas sampai di tempat tujuan yaitu antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Lapat-lapat didengarnya suara orang membentak beberapa kali yang diselingi suara seseorang yang tertawa gelakgelak. Wiro yang sudah banyak pengalaman segera mengetahui bahwa biasanya bentakan-bentakan itu keluar dari mulut seseorang yang marah dan geram. Sebaliknya tertawa mengekeh keluar dari mulut orang yang mengejek kemarahan dan kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu hanya ditemui dalam satu perselisihan yang kemudiannya akan berkelanjutan dengan perkelahian atau pertempuran! Karena pohon-pohon sangat rapat, semak belukar sangat lebat, agak sukar bagi Wiro untuk bergerak. Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! Wiro mempercepat langkahnya dan tak perduli lagi pakaiannya yang cabik robek dikait ranting semak belukar! Dia yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu telah terjadi perkelahian. Yang mengherankannya ialah karena satu dari dua jeritan itu kedengarannya seperti jeritan anak kecil! Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat buruk terkejutlah pendekar ini menyaksikan pemandangan yang terbentang di depan matanya. Adalah tidak dinyananya kalau yang bertempur adalah seorang laki-laki tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya sama berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju lakilaki terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Yang lebih mengejutkan Wiro Sableng ialah karena laki-laki itu bukan lain manusia berkumis melintang yang tadi di pasar hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah orang yang telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau dilarikan! Rupanya si kumis melintang yang bernama Gempar Bumi itu sudah nekad untuk membawa lari si W jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis telah dihadang! Di tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi. Seorang anak kecil menggeletak dekat roda bendi. Kemudian seorang lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia adalah kusir bendi. Dan di atas bendi tampak duduk laki-laki bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan cemas sekali! Betapakan tidak, anak gadisnya tengah bertempur mati-matian mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang hendak melarikannya, sedang dia sendiri tak dapat berbuat suatu apa! Di atas bendi tak ada lagi benda-benda yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak melihat anaknya terdesak hebat itu dan tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh menyeruak dari semak-semak. Ternyata yang muncul adalah seorang pemuda bertubuh tegap, bertampang seperti anak-anak dan berambut gondrong! “Hentikan pertempuran!” teriak Wiro Sableng. Suara teriakannya yang menggeledek mengiang anak telinga mengejutkan orang-orang yang ada di situ, terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam merasakan dadanya bergetar karena kerasnya teriakan itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi pasti hal itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya menenangkan dirinya kembali. Kemunculan pemuda ini memberikan sekelumit harapan padanya. Tapi apakah pemuda ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula? Melihat kepada potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia bukan penduduk setempat! Akan Gempar Bumi begitu mendengar bentakan yang menggeledek tadi dengan cepat melompat mundur. Padahal saat itu dia sudah hampir dapat meringkus Mayang. Ketika dia berpaling di depan semak belukar dilihatnya seorang pemuda tak dikenal berdiri dengan bertolak pinggang! “Orang sinting! Siapa kau?!” hardik Gempar Bumi. “Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki dari sini atau kutekuk batang lehermu!” Paras Gempar Bumi membesi. Pelipisnya mengembung. “Sepuluh tahun malang melintang di Pulau Andalas baru hari ini ada bangsa kucing dapur yang bicara hendak menekuk batang leherku!” Mengetahui bahwa si pemuda menunjukkan sikap demikian maka legalah sedikit hati Pagar Alam dan Mayang. Jika berani membentak demikian berarti dia memiliki ilmu yang diandalkan. Namun Gempar Bumi seorang yang berilmu sangat tinggi, akan sanggupkah pemuda belia yang bertampang tolol itu menghadapinya?! Diam-diam kedua ayah dan anak itu jadi gelisah harap-harap cemas! “Manusia kumis melintang! Aku tidak main-main. Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia mengampuni kekejianmu! Lekas pergi sebelum aku berubah pikiran!” Gempar Bumi bertolak pinggang. Matanya melotot meneliti Wiro Sableng dari kepala sampai ke kaki. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Kucing dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau yang ada di dada bajuku ini?!” “Itu bukan gambar kepala harimau!” sahut Wiro. Gempar Bumi beliakkan mata. Dan Wiro menyambung, “Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing dapur!” Lalu Pendekar 212 tertawa gelak-gelak. Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat hinaan dan ejekan demikian rupa! “Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa berhadapan?” “Buset kau bisa memaki aku anak setan!” jawab Wiro dengan sunggingkan senyum. “Kalau aku anak setan, apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya setan?!” Mayang dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan itu namun terheran-heran melihat sikap dan tindak-tanduk si pemuda yang agak aneh! Bicaranya seperti orang main-mainan saja! Sebaliknya dengan nada mendesis karena mendidih hawa amarah yang menggejolakkan darahnya Gempar Bumi berkata, “Melihat kepada tampangmu agaknya kau bukan orang sini! Pantas kau tak dapat membedakan mana tikus dan mana singa jantan...” “Oh... jadi kau adalah seekor singa jantan? Pantas! Pantas! Kau memang punya tampang seperti singa jantan!” kata Wiro pula memotong ucapan Gempar Bumi lalu tertawa gelak-gelak! Kemarahan Gempar Bumi tak dapat dikendalikan lagi. Dia melompat ke hadapan Wiro dan hantamkan tinju kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia berharap akan menghancurkan kepala si pemuda! Karena itu sengaja dikeluarkannya jurus ilmu silatnya yang hebat yang bernama Palu Sakti Memukul Genta! Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala Pendekar 212. Pada saat serangan lawan baru bergerak setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan dari samping kirimkan satu tempelak untuk menanggalkan sambungan sikut lawan! Terkejutlah Gempar Bumi. Serangannya yang hebat itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi malah kebalikannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas membuat tempelakan Wiro Sableng lewat. Dengan cepat kemudian Gempar Bumi kirimkan satu tendangan ke perut lawan sedang tangan kanan untuk kedua kalinya turun menghantam batok kepala Wiro Sableng! Pendekar 212 bersiul! Meskipun gerakan ilmu silat Gempar Bumi agak aneh tapi dasarnya tiada beda dengan ilmu silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa! Begitu bersiul Wiro kelebatkan badannya! Untuk kedua kalinya Gempar Bumi dibikin kaget. Dia tak mengerti bagaimana pemuda bertampang tolol sanggup mengelakkan sekaligus kedua serangannya. Sedangkan dalam pada saat itu tahu-tahu tangan kirinya sudah menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan kilat yang mendatangkan angin keras! Penuh penasaran Gempar Bumi pergunakan lengan kanannya untuk memapasi serangan lawan. Kalau ilmu silat lawan boleh diandalkan, dalam tenaga dalam tentu si pemuda tak akan menang, begitulah pikiran Gempar Bumi! Wiro sendiri yang melihat datangnya serangan memapas ini, meski tamparannya pada dada tadi pasti akan mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tenaga dalam lawan sengaja melintangkan tangan kirinya! Buuk! Maka beradulah kedua lengan itu! Gempar Bumi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya terjajar sampai tujuh langkah ke belakang sedang lengannya yang beradu dengan lengan lawan bukan saja tergetar hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika ditelitinya lengan itu tampak kemerah-merahan! Menciutlah hati laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya tenaga dalam si pemuda tidak berada di bawahnya! Menurut taksiran Gempar Bumi tenaga dalam lawan berada dua atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar Bumi ini meleset. Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka Wiro Sableng cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja dari tenaga dalamnya! Lengannya pedas kesemutan sedang tubuhnya tergontai nanar beberapa detik lamanya! Menyadari bahwa lawan lebih unggul dalam tenaga dalam maka Gempar Bumi segera mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang paling diandalkan, yang telah diyakininya selama delapan tahun yaitu Ilmu Silat Harimau. Kedua kakinya menjejak bumi laksana batu karang. Tubuhnya setengah merunduk sedang kedua tangan terpentang ke muka dengan jari-jari membuka. Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan bahwa ke sepuluh kuku jari laki-laki itu panjang-panjang. Tubuh Gempar Bumi semakin merunduk sedang dari mulutnya keluar suara menggerang macam harimau hendak menerkam mangsanya dan kedua matanya menyorot ganas! Keseluruhan paras manusia ini membayangkan maut! Tiba-tiba gerangan di mulutnya berubah keras menyeramkan! Dan di kejap itu pula tubuhnya melesat ke muka persis seperti seekor harimau lapar menerkam mangsanya! Dua tangan yang tadi terpentang berkelebat tak kelihatan saking cepatnya. Hanya suara siurannya yang terdengar menyambar! Wiro dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya bergerak ke muka menyambut dengan Jurus Segulung Ombak Menerpa Karang. Jurus ini mengeluarkan sambaran angin laksana topan prahara. Kedua lengan Wiro menghantam ke depan sekaligus! Melihat lawan memapaki serangannya dengan cara begitu rupa dan sudah tahu kalau Wiro memiliki tenaga dalam yang lebih tinggi, maka Gempar Bumi tak berani bentrokan untuk kedua kalinya! Dengan cepat dia membuyarkan jurus serangannya tadi dan laksana kilat pula menyerbu kembali dalam jurus yang dinamakan Harimau Sakti Melompati Gunung Menukik Ngarai! Tubuhnya mencelat ke udara. Kedua kaki mencari sasaran di perut dan dada lawan. Namun ini hanya serangan sambilan saja karena begitu Wiro mengelak dan begitu Gempar Bumi berada dua tombak di udara tiba-tiba dia menukik ke bawah dengan kedua tangan diacungkan siap untuk mencengkeram kepala Wiro Sableng! Wiro bersiul nyaring. Setengah merunduk dia lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah ke arah lawan di atasnya! Laksana berpegang pada sebuah tiang yang tak kelihatan Gempar Bumi berkelit ke samping. Angin pukulan Kunyuk Melempar Buah lewat di sebelahnya dan sedetik kemudian tubuhnya meliuk lalu berputar dengan kedua kaki meluncur deras ke dada serta kepala Wiro Sableng! “Gerakanmu hebat juga, Gempar Bumi!” seru Wiro. Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat di dada dan kepalanya, Pendekar 212 membentak keras. Tangan kanannya didorongkan ke atas! Angin sedahsyat badai mengamuk menggebu! Inilah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang dilancarkan dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalam! Mula-mula Gempar Bumi merasakan serangannya laksana ditahan oleh tembok baja yang tak kelihatan. Dia terkejut sekali dan belum habis kejutnya ini mendadak tubuhnya terdorong keras ke udara, mencelat sampai beberapa tombak! Sambil jungkir balik tiga kali berturut-turut Gempar Bumi keruk saku pakaiannya. Sebelum kedua kakinya menginjak tanah maka dari tangan kanannya melesat puluhan benda hitam yang berdesing mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini bukan lain senjata rahasia jarum hitam yang direndam dalam racun jahat! Sekali seseorang kena dihantam sebuah saja dari jarum ini, pasti dalam tempo dua puluh empat jam nyawanya akan lepas ke akhirat! Dari bunyi yang mendesing dan warna jarum-jarum Wiro sudah maklum kalau itu adalah senjata rahasia yang ampuh sekali! Tanpa menunggu lebih lama dia pukulkan tangan kanannya ke depan yang disusul dengan pukulan tangan kiri. Dua angin deras menderu susul menyusul. Inilah yang dinamakan ilmu pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih! Bukan saja puluhan jarum-jarum itu mental dan luruh ke tanah tapi beberapa di antaranya kembali melesat menyerang tuannya sendiri! Dengan kertakkan rahang Gempar Bumi kebutkan lengan baju hitamnya! Jarum-jarum yang menyerangnya luruh ke tanah! Dan kedua lawan itu saling pandang memandang. Yang satu dengan mata membeliak beringas sedang yang lain dengan cengar-cengir seenaknya! “Orang muda!” kata Gempar Bumi. “Antara aku dan kau tidak saling mengenal! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu! Mengapa kau mau mencampurinya?” Wiro tertawa dingin. “Bagiku terhadap manusia jahat semacam kau tentu ada urusan yang musti diperhitungkan! Kecuali kalau kau mau angkat kaki dari sini sekarang juga!” Gempar Bumi mendengus. “Apakah bukan lebih baik kau saja yang cepat-cepat berlalu dari hadapanku sebelum aku betul-betul menghajarmu? Ilmumu boleh juga! Percuma kalau kau mampus dalam usia muda begini rupa!” Wiro keluarkan satu siulan. “Terima kasih atas nasihatmu, Gempar Bumi! Nah, kau pergilah!” Sikap tenang Gempar Bumi tadi kini menjadi marah yang mendidihkan darahnya. “Kau orang rantau, sungguh mengenaskan mampus di negeri orang! Belum tentu pula angin akan membawa pulang namamu ke kampung halaman!” “Ah, jangan bersajak sobat!” tukas Wiro Sableng. “Aku tidak bersajak!” sahut Gempar Bumi. “Aku hanya akan mengukir nyawamu di pintu akhirat!” Lalu laki-laki ini cabut sebilah keris dari pinggangnya! Senjata itu berhulu gading, bereluk dua belas dan berwarna sangat hitam! Sinar yang memancar dari keris ini menggidikkan sekali! “Manusia yang akan mampus! Keris ini bernama Keris Si Penyingkir Jiwa! Delapan puluh dua jiwa telah musnah ditelannya! Apakah kau berniat untuk menjadi korban yang ke delapan puluh tiga...?!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Apapun nama keris di tanganmu itu aku tidak perduli! Juga berapa korban yang dimakannya aku tidak tanya! Sebaliknya bagaimana kalau keris itu kurebut, lantas kupergunakan untuk membuat konyol kau sendiri...?!” “Boleh, boleh kau coba untuk merebutnya!” jawab Gempar Bumi dengan hati geram. “Nah ini, kau rebutlah!” Secepat kilat Gempar Bumi tusukkan senjata itu ke dada Wiro Sableng. Sinar hitam terasa dingin menyambar dada sang pendekar. “Awas orang muda!” seru Pagar Alam dari atas kereta. “Keris itu mengandung racun jahat!” Diam-diam laki-laki ini merasa cemas. Jika Gempar Bumi sudah mengeluarkan senjata itu, biasanya lawan tak akan sanggup bertahan lama. Sekali saja tergores kulit, dalam tempo dua puluh empat jam pasti menemui kematian. “Terima kasih atas nasihatmu, Bapak!” kata Wiro sambil cepatcepat berkelit. Ketika kelihatannya serangan Gempar Bumi hanya mengenai tempat kosong tiba-tiba keris Si Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan, hampir-hampir akan melanda iga meliuk pula ke perut dan tiba-tiba laksana kilat, menusuk ke arah lekuk dagu dekat ujung leher! Di samping itu angin yang keluar dari Keris Si Penyingkir Jiwa dinginnya menyembilui tulang-tulang sumsum, membuat darah Pendekar 212 laksana beku dan berhenti mengalir. Untuk mencegah agar dirinya tidak terpengaruh oleh hawa jahat senjata lawan cepatcepat Wiro Sableng alirkan hawa panas dari pusarnya ke seluruh bagian tubuh! Sesudah itu diapun menghadapi serangan lawan tanpa main-main lagi. Tiga jurus yang berlalu Wiro tak bisa berbuat apa-apa selain bertahan dengan gigih. Keris di tangan lawan laksana curahan hujan dan berubah jadi puluhan banyaknya. Menusuk, menyambar dan memapak ke pelbagai bagian tubuh Wiro Sableng. Jurus ke empat dan ke lima sampai seterusnya keadaan Wiro semakin buruk. Bagaimanapun dia berkelebat cepat tapi sia-sia saja! Sinar hitam senjata lawan laksana jaring atos yang tak sanggup ditembusnya! Pagar Alam yang menyaksikan pertempuran itu menjadi pusing karena tak dapat lagi menyaksikan gerakan-gerakan mereka yang bertempur saking cepatnya! Mayang sendiri yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya mengedipkan matanya beberapa kali! Diam-diam gadis ini leletkan lidah melihat hebatnya pertempuran yang berjalan! Siapakah pemuda berambut gondrong yang bersedia mengorbankan keselamatan dan jiwanya itu untuk menolong dia bersama ayahnya?! Ilmunya tinggi, tapi apakah sanggup bertahan menghadapi Gempar Bumi yang ganas dan bertubi-tubi itu? Setahunya tak satu orang pun yang sanggup menghadapi Gempar Bumi bila Keris Si Penyingkir Jiwa itu sudah berada dalam tangannya! Dan melihat kenyataan bagaimana si pemuda terdesak hebat maka mengeluhlah sang dara. Pagar Alam sendiri kembali menjadi cemas! “Saudara! Ambil golok ini sebagai senjatamu!” seru Mayang sambil melemparkan goloknya yang tadi telah dirampas oleh Gempar Bumi, tapi kemudian oleh Gempar Bumi dibuang begitu saja ke tanah. “Terima kasih Saudari, aku tak perlu senjata menghadapi tikus berkumis melintang ini!” jawab Wiro. “Tapi kau terdesak, Saudara!” seru Pagar Alam dari atas kereta. “Dan pertempuran ini tidak adil!” menyambungi Mayang. “Dia pakai senjata, kau bertangan kosong!” Maka meski Wiro tidak mau diberikan senjata namun sang dara melemparkan juga golok itu kepadanya. Wiro Sableng mau tak mau segera menyambut senjata itu. Tapi, traang! Keris Si Penyingkir Jiwa lebih cepat. Golok yang dilemparkan mental ke udara dalam keadaan patah dua! “Sialan!” maki Wiro. Kalau tidak cepat-cepat dia menarik tangannya pasti senjata lawan menyambar tangan itu! Sesaat kemudian terjadi lagi pertempuran seru dan Wiro makin kepepet! Tiba-tiba Pendekar 212 bersuit nyaring! Tubuhnya lenyap dalam satu kelebatan yang sukar dilihat mata. Dengan merobah jurus-jurus ilmu silatnya maka dia mulai membuka serangan. Dari sela bibirnya terus menerus melesat suara siulan yang nyaring tak menentu dan menyakitkan telinga! Permainan silat Gempar Bumi agak mengendur sedikit akibat pengaruh siulan Pendekar 212. Tapi begitu dia tutup jalan pendengarannya maka pengaruh yang mengacaukan itupun lenyap dan kembali dengan gencar laki-laki ini mendesak lawannya! Di samping memaki habis-habisan Wiro juga mengagumi keampuhan senjata sakti di tangan lawan. Setiap serangannya selalu kandas laksana menghadang tembok kukuh yang tak kelihatan! Tubuh lawan seperti terbungkus oleh satu kekuatan yang tidak nampak! Dan Pendekar 212 dalam keadaan kepepet itu mulai pikirpikir untuk keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212! Tapi sebelum maksudnya itu kesampaian tiba-tiba dia ingat! Bagaimana kalau dia mengeluarkan jurus-jurus silat yang diajarkan Tua Gila kepadanya?! Ah, benar-benar tolol sekali dia! Mengapa tidak dari tadi dia mengeluarkan Ilmu Silat Orang Gila dan sekaligus untuk menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat yang diajarkan oleh Tua Gila itu?! Pendekar 212 membentak nyaring. Tubuhnya lenyap. Gempar bumi mengiringi gerakan lawan itu dengan tawa mengejek, “Keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu! Dalam tiga jurus di muka nyawamu tak bisa diselamatkan lagi, tikus busuk!” Dan sebelum Wiro bergerak dia telah menyerang lebih dulu dengan satu tusukan yang ganas cepat! Wiro Sableng gerakan kedua kakinya dalam gerakan yang aneh dan tak teratur kelihatannya. Tubuhnya diliukkan ke samping laksana batang padi dihembus angin sedang kedua tangan bergerak ke kiri ke kanan juga dalam gerakan yang tak teratur! Tapi justru gerakan yang acak-acakan ini berhasil melewatkan tusukan senjata lawan! Dengan gemas Gempar Bumi kirimkan lagi satu serangan yang lebih cepat dan lebih ganas! Suara keris menderu. Sinar hitam berkiblat! Wiro mencak-mencak kian kemari! Wuut! Ujung keris di tangan Gempar Bumi menderu ke muka pemuda itu dan kelihatannya dalam kejap itu juga akan menghunjam di wajahnya! Pagar Alam mengeluarkan seruan tertahan. Mayang menutup wajahnya, tak berani menyaksikan bagaimana keris itu akan menancap di muka pemuda yang diharapkan bakal menolong dirinya! Tapi aneh! Sedetik lagi ujung senjata Gempar Bumi akan menemui sasarannya, dalam satu gerakan tak menentu kelihatan kepala Pendekar 212 seperti disentakkan oleh satu tenaga besar ke belakang. Dan ini membuat tusukan keris Gempar Bumi hanya menghantam tempat kosong! Gempar Bumi kertakkan rahang. Segera dia lipat gandakan tenaga dalam serta keluarkan seluruh tipu-tipu serangan ilmu silatnya! Wiro bergerak cepat. Jingkrak kiri lompat kanan. Mundur terhuyung-huyung dan maju laksana babi celeng! Tangan dan kaki menyambar tiada menentu dan tiada terduga! Bagaimanapun Gempar Bumi percepat serangan dan keluarkan segala jurus yang terlihay dari ilmu silatnya, tetap saja dia tak sanggup mendesak lawan seperti yang sudah-sudah. Beberapa kali dia menusuk dengan seluruh tenaga tapi cuma menghantam tempat kosong hingga tubuhnya tersaruk ke muka dan beberapa kali hampir membuatnya kena dihantam kaki dan tangan lawan! Diam-diam sambil mundur Gempar Bumi perhatikan ilmu silat aneh yang dimainkan si pemuda. Buuk! Gempar Bumi tertatih-tatih sampai sembilan langkah ke belakang. Diusapnya dadanya yang kena dipukul lawan dengan tangan kiri dan pada sela bibirnya kelihatan darah kental berlelehan! Gempar Bumi seka darah itu dengan ujung lengan baju. Nafasnya sesak, cepat-cepat diaturnya jalan darah dan pernafasan. Kedua matanya menyorot ganas. “Tikus busuk! Kalau aku tidak salah lihat kau telah memainkan jurus-jurus silat orang gila. Apakah kau muridnya Tua Gila!” “Kau tak ada hak bertanya, monyet berkumis!” jawab Wiro Sableng! “Keparat! Kau dengarlah! Hari ini kuampuni jiwamu! Tapi jika kau berani muncul lagi di depan hidungku jangan harap ada ampunan yang kedua kalinya!” Wiro tertawa mengejek. Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata, “Pada tanggal tiga bulan mendatang kudengar kau akan meresmikan berdirinya Perguruan Kejora! Hari itu aku akan datang untuk mengambil anakmu! Dan jangan harap belas kasihan dariku kalau kau berani berlaku seperti yang sudah-sudah! Niscaya kau akan mampus berdarah!” “Manusia anjing tidak bermaki! Apakah hajaran yang kau terima hari ini tidak membuat kau insyaf?!” hardik Pagar Alam. Gempar Bumi tidak menyahuti hardikan itu tapi berpaling pada Wiro Sableng dan berkata, “Apa yang kuterima hari ini kelak akan kubayar berikut bunganya dalam waktu singkat! Sekarang katakan kau punya nama agar tidak susah aku mencarimu!” “Mau tahu namaku? Baiklah. Ini...” Tiba-tiba Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke muka. Karena tiada menduga. Gempar Bumi tak sempat berkelit Tapi anehnya pukulan jarak jauh lawan itu tidak mencelakakannya sekalipun dirasakannya angin itu menyambar dadanya. Tapi sewaktu dia memandang ke dadanya terkejutlah laki-laki ini. Pada dada kiri baju hitamnya terpampang tiga buah angka. Angka 212! Gempar Bumi tidak tahu apa artinya tiga deretan angka tersebut. Namun kepandaian untuk membuat angka-angka seperti itu dalam jarak jauh demikian rupa bukan kepandaian sembarangan. Nyali Gempar Bumi menciut lumer. Tanpa banyak bicara lagi dia segera berkelebat meninggalkan tempat itu! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 9 EGITU Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera menjura di hadapan Wiro Sableng dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu kemudian menganggukkan kepala pada Pagar Alam. “Orang muda,” kata Pagar Alam, “pertolonganmu sangat besar terhadap kami ayah dan anak! Kami mengucapkan terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari mana kau datang?” “Namaku Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa.” “Ah... ternyata kau orang perantauan. Pantas permainan silatmu hebat! Tapi melihat kau tadi mengeluarkan ilmu silat orang gila aku jadi heran. Setahuku pencinta ilmu silat itu adalah seorang tua aneh yang diam di satu pulau di sebelah barat Pulau Andalas ini, jadi bukan dari Pulau Jawa.” Wiro Sableng menuturkan riwayat perjalanannya secara singkat. Pagar Alam angguk-anggukkan kepala. “Kau beruntung, Wiro. Tak sembarang orang diberi anugerah ilmu kepandaian seperti itu oleh Tua Gila si orang aneh. Bahkan jarang sekali dia memperlihatkan diri, dicari pun sukar!” Wiro Sableng memandang ke kaki Pagar Alam yang terebus air mendidih sewaktu mengadakan pertunjukan mencari uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir pil dan diberikannya pada laki-laki itu. “Telanlah, mungkin bisa menolong lukamu itu.” Pagar Alam menerima pil itu, menelitinya sebentar lalu menelannya tanpa ragu-ragu. Setengah menit kemudian rasa sakit pada kedua kakinya lenyap sama sekali, meskipun keadaan kedua kaki itu di luarnya tidak ada perubahan apa-apa. “Terima kasih Wiro.” kata Pagar Alam sementara Mayang mengangkat adiknya yang mulai siuman ke atas kereta. Malin si Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan duduk menjelepok di tanah sambil mengurut-urut tulang iganya yang patah B dan merintih kesakitan. Wiro memeriksa keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di beberapa bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu sudah mempelajari ilmu pengobatan pada Kiai Bangkalan pastilah dalam waktu yang singkat dia sanggup mengobati penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi. “Kalau aku boleh tanya, urusan apakah yang telah membuatmu sampai menginjakkan kaki di Pulau Andalas ini?” tanya Pagar Alam. “Hanya sekedar ingin berkelana saja.” jawab Wiro tak mau menerangkan maksud perjalanannya. Tapi kemudian dia ingat tanpa mencari keterangan dari penduduk setempat tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh Kiai Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka bertanyalah Pendekar 212, “Aku berniat pergi ke bukit Tambun Tulang. Mungkin kau bisa memberi petunjuk jalan mana yang musti kutempuh agar bisa lekas sampai di situ?!” Pagar Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-sama terkejut. “Kau mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro...?” “Ya. Menurut si Tua Gila, orang yang tengah kucari mungkin berada di situ...” tanpa disadari oleh Wiro walau tadi dia menyembunyikan maksud perjalanannya tapi kini diungkapkannya sendiri. “Siapakah orang yang kau cari itu?” tanya Pagar Alam. “Aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi dia telah membunuh seseorang dan mencuri sebuah kitab penting!” “Tambun Tulang adalah bukit maut bagi penduduk sekitar sini.” kata Malin. Dan Pagar Alam menyambungi, “Tak ada seorangpun yang berani berada dekat-dekat ke bukit itu. Bukit Tambun Tulang dan daerah sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan berhati iblis! Sejak usia belasan tahun dia telah menebar kejahatan dan membunuh ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia yang jadi korbannya atau anak-anak buahnya dikumpulkan di satu tempat hingga lambat laun, bertahun-tahun kemudian tempat itu telah menjadi sebuah bukit putih yang terdiri dari timbunan tulang-belulang manusia!” “Tua Gila ada menerangkan hal itu padaku.” ujar Wiro. “Dan manusia yang kau hajar tadi adalah tangan kanan pembantu utama Datuk Sipatoka. Di samping dia, Datuk Sipatoka masih mempunyai beberapa pembantu berkepandaian tinggi, memiliki beberapa puluh anak buah yang kerja mereka bukan lain daripada merampok dan memeras penduduk, melarikan perempuanperempuan desa tak perduli apakah istri orang, apalagi anak-anak gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka memelihara pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada segala perintahnya! Beberapa tokoh dunia persilatan pernah turun tangan dan datang ke sana. Sampai saat ini mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui. Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun Tulang? Dua buah partai silat belum tiga bulan yang lalu secara serempak menyerbu ke Tambun Tulang. Hasilnya? Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau saksikan sendiri kehebatan keparat bernama Gempar Bumi itu! Dan Datuk Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu tinggi ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan orangorangnya sudah lewat batas, tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi siapa manusianya yang sanggup menghadapi dia dan anak-anak buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?! Kehidupan penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa ketakutan setiap hari!” Wiro Sableng menghela nafas dalam. Kalau kejahatan di atas dunia sudah demikian besarnya, mengapa tokoh utama seperti Tua Gila tidak mau turun tangan atau mungkin pernah tapi tidak membawa hasil? Tengah Wiro berpikir-pikir begitu Pagar Alam berkata, “Kurasa memang ada kemungkinan bahwa Datuk Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan. Dan sesudah kau tahu siapa dia, apakah kau masih hendak meneruskan niat pergi ke Tambun Tulang?” Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. “Sekali pergi pantang bagiku untuk kembali pulang.” Pagar Alam mengagumi keberanian pemuda ini. “Kami hendak meneruskan perjalanan. Kuharap kau sudi ikut sama-sama dan mampir di rumahku. Kita bisa bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat membantumu dalam usahamu pergi ke Tambun Tulang.” Wiro menimbang sebentar. Kemudian dia ingat akan ucapan Gempar Bumi sebelum pergi tadi yaitu bahwa laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka pada hari peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Maka diapun menerima permintaan Pagar Alam lalu naik ke atas bendi. Karena Malin masih sakit, terpaksa Wiro yang pegang tali kekang kuda penarik bendi. Seumur hidupnya baru kali itulah Pendekar 212 menjadi kusir bendi! Ketika hari menjelang petang, Wiro minta diri pada Pagar Alam dan keluarganya untuk meneruskan perjalanan. Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda ini sampai tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari dia meresmikan berdirinya Perguruan Kejora yang dipimpinnya. Namun sebagai seorang laki-laki berhati jantan yang tidak ingin memaksakan diri untuk mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan niatnya itu. Pendekar 212pun meneruskan perjalanan. Belum lagi seratusan meter dia meninggalkan rumah Pagar Alam, disadarinya bahwa dia tidak sendirian. Telinganya yang tajam telah sejak lama mendengar suara orang mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Karena khawatir orang itu adalah Gempar Bumi yang berniat hendak membokongnya maka Wiro pun berhenti dan memutar tubuh seraya berseru, “Manusia tukang kuntit, tak usah sembunyi! Segera perlihatkan tampangmu!” Suara Pendekar 212 bergema di seantero rimba belantara. Tapi tak satu orang pun yang muncul! Wiro jadi penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si penguntit berada yaitu di belakang sebatang pohon jati yang besarnya tiga pemeluk tangan. “Ayo lekas keluar! Kalau tidak jangan menyesal!” Tetap saja orang yang sembunyi di balik pohon tidak mau keluar. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera hantamkan tangan kanannya ke pohon jati itu. Satu gelombang angin besar menderu laksana topan. Kraak! Batang jati yang besarnya tiga pelukan tangan manusia itu patah lalu tumbang dengan mengeluarkan suara dahsyat ribut! Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok tubuh melompat sebat! “Ah... kau!” seru Wiro ketika dia melihat siapa adanya orang itu. “Untung saja kau tidak kena celaka.” Nyatanya dia bukan lain dari Mayang, anak gadis Pagar Alam. “Kenapa kau ikuti aku?!” tanya Wiro. Paras sang dara memerah jengah. “Aku tidak mengikutimu, Saudara Wiro.” kata Mayang. “Lalu?!” tanya Wiro dan dia tahu kalau si gadis berdusta. “Aku ingin balas dendam pada si keparat Gempar Bumi!” Wiro angguk-anggukkan kepala macam orang tua. “Kau memang seorang gadis berhati jantan! Kupuji keberanianmu! Tapi kau pergi dalam keadaan ayahmu masih sakit begitu rupa...?” “Ibu bisa merawat ayah sendirian. Lagipula lukanya tidak berat...” “Soalnya bukan adanya ibumu atau luka ayahmu yang tidak berat itu. Tapi apa kau lupa bahwa walau bagaimanapun ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan Gempar Bumi? Sekali kau mencarinya bukankah itu sama saja dengan sengaja mengantarkan diri?! Apalagi seminggu di muka ayahmu akan meresmikan Perguruan Kejora! Kau tentu sangat dibutuhkannya...!” “Tapi... tapi...” Wiro tertawa dan melangkah ke hadapan gadis itu, “Kembalilah pulang...” “Tapi apakah... apakah kau tidak akan kembali lagi... maksudku tidak akan mampir lagi ke rumah?” Wiro kembali tertawa. “Tentu aku akan mampir lagi.” sahut Wiro. Dia maklum akan perasaan gadis ini. Dan gadis yang diamuk perasaan seperti Mayang bukan baru sekali ini ditemui oleh Pendekar 212. Soalnya apakah dia bersedia melayani dan menurutkan kata hatinya. Diam-diam Wiro Sableng ingat pada Permani. Mayang tidak kalah kecantikannya dengan Permani, dan juga telah banyak Pendekar 212 menemui gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia tak bisa melupakan Permani! “Aku berjanji akan kembali.” kata Wiro meyakinkan Mayang. Tapi dara itu tak beranjak dari hadapannya. Wiro mengeluh dalam hati. Kalau lama-lama berdiri berhadap-hadapan seperti ini bisa celaka pikirnya. Ditepuknya bahu Mayang seraya berkata, “Pulanglah. Di lain hari aku akan mampir menyambangimu.” Habis berkata begitu Wiro berkelebat dan lenyap dari hadapan Mayang. Sang dara hela nafas panjang. Gemuruh hatinya kini berubah menjadi satu kekecewaan, namun juga satu harapan. *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 10 ULUTNYA terkatup rapat-rapat sehingga kedua rahangnya menonjol dan pelipisnya menggembung. Sepasang matanya memandang menyorot tak berkedip ke bawah bukit kecil, ke arah sebuah kampung yang kini hanya tinggal musnahannya saja berupa reruntuhan rumah-rumah yang telah jadi debu! Jelas dilihatnya mayat-mayat yang bergelimpangan di sana sini, mayatmayat manusia dan binatang-binatang yang mati tertambus hiduphidup di dalam api! Dan yang paling menusuk matanya ialah mayat anak-anak yang menemui kematian mereka secara mengenaskan dalam pelukan ibu mereka! Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dalam landasan kemusnahan itu! Kemusnahan yang telah dilakukan oleh manusiamanusia jahat tanpa rasa belas kasihan sama sekali! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng ingat akan kampung-kampung yang dimusnahkan Dewi Siluman di Pulau Madura tempo hari. Dan kemusnahan kampung yang hari ini disaksikannya tidak ada beda, malah lebih membuat luapan amarah menggejolak, darahnya laksana api disiram dengan minyak! “Siapakah manusia-manusia keparat yang membuat kebiadaban begini rupa?!” tanya Wiro Sableng pada dirinya sendiri. Untuk menjawab pertanyaan itu, pemuda ini segera menuruni bukit dan memasuki kampung yang telah musnah itu. Penyelidikannya tak membawa hasil apa-apa. Dan hati kemanusiaannya memaksa dia untuk menggali beberapa buah lubang lalu menguburkan mayatmayat yang bergeletakan di sana sini. Rata-rata semua menemui kematian akibat tusukan atau bacokan senjata tajam! Wiro melanjutkan perjalanan sewaktu matahari tergelincir ke barat. Kalau daerah sekitar situ berada di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka, pastilah yang berbuat ganas itu Datuk Sipatoka atau anakanak buahnya! Dan ini mendorong Wiro Sableng untuk mempercepat perjalanannya. M Menjelang senja dia berhenti di sebuah anak sungai dangkal berair jernih. Wiro membuka pakaian dan langsung masuk ke dalam sungai. Betapa sejuknya air sungai itu. Tengah dia asyik-asyik mandi mendadak sepasang telinganya mendengar suara hiruk pikuk pekik manusia banyak sekali di kejauhan! Ketika dia memandang ke arah datangnya suara itu maka tampaklah langit di arah itu kemerahanmerahan! “Kebakaran.” pikir Wiro. Disudahinya mandinya lalu naik ke darat dan berpakaian dengan cepat. Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang angin ke jurusan langit malam yang merah menyala! Ketika Pendekar 212 sampai ke tempat kejadian itu, yang dilihatnya bukan cuma kebakaran! Beberapa orang berpakaian hitam bertempur melawan penduduk kampung. Perempuan dan anak-anak berpekikan dan lari menyelamatkan diri. Kira-kira setengah lusin mayat telah bergelimpangan di tanah! Wiro segera maklum apa yang terjadi. Kebakaran itu adalah kebakaran yang disengaja dan pelakunya adalah manusia-manusia berseragam hitam. Mereka bukan saja membakar rumah-rumah penduduk dan membunuh sewenang-wenang tetapi juga merampok! Dan ketika Wiro memandang berkeliling, dari dalam sebuah rumah yang telah setengahnya dimakan api kelihatan seorang laki-laki berpakaian hitam tengah menyeret seorang perempuan muda yang meronta dan menjerit-jerit! Mendidihlah amarah Pendekar 212! “Keparat betul!” bentak Wiro. Dia melompat dan menghantam dengan tinju kanan! Laki-laki berpakaian hitam yang tengah menyeret perempuan muda tiada menyangka akan mendapat serangan begitu rupa! Karenanya dia tak sanggup mengelak sama sekali! Tubuhnya mencelat! Pekiknya setinggi langit! Begitu jatuh di tanah dia tak berkutik lagi sebab kepalanya yang kena hantam rengkah bermandikan darah dan air otak! Wiro menyerbu ke tengah-tengah manusia-manusia berseragam pakaian hitam lainnya yang tengah menempur habis-habisan penduduk yang coba mempertahankan hak dan harta serta nyawa dan keselamatan pribadi serta keluarga mereka! Dua orang tergelimpang dihantam tendangan dan tinju kirinya. Yang lima orang lainnya terkejut! “Bedebah! Siapa kau?!” teriak salah seorang dari mereka. Begitu habis berteriak orang ini melihat sesuatu menyambar di hadapannya. “Awas!” teriak kawan-kawannya. Tapi orang itu tak keburu berkelit ataupun menangkis. Yang dilihatnya berkelebat ialah pukulan tangan kanan Wiro Sableng yang melayang tepat-tepat ke keningnya! Praak! Orang itu menjerit! Keningnya pecah! Nyawanya lepas! Bukan saja empat kawannya menjadi kaget tapi juga tergetar hati masing-masing! Setelah memberi tanda serempak mereka menyerbu! Pendekar 212 Wiro Sableng diserang dari empat penjuru! “Setan-setan kesasar! Keganasan kalian cukup sampai hari ini! Makan ini!” Wiro kirimkan dua pukulan dua tendangan! Wutt... wutt... wutt... wutt! Keempat serangannya hanya mengenai tempat kosong! Wiro terkejut! “Bangsat, apakah mereka ini punya ilmu melenyapkan diri?!” maki Wiro dan memandang berkeliling! Dalam pada itulah empat angin pukulan tahu-tahu melanda ke arahnya dengan ganas! Pendekar 212 menggereng macam harimau lapar! Kedua tangannya kiri kanan menghantam berkeliling! Dua gelombang angin pukulan yang dahsyat membadai berputar! Dua orang pengeroyok terpekik! Tubuh mereka berpelantingan. Satu menghantam pohon, pinggangnya patah, nyawanya lepas! Yang satu lagi begitu jatuh di tanah coba berdiri tapi terus muntah darah dan kojor di situ juga! Dua orang lainnya seputih kertas pucat paras mereka. Yang satu tanpa pikir panjang segera ambil langkah seribu. Kawannya melompat ke balik sebatang pohon dan keluarkan satu suitan nyaring! “Monyet hitam! Tempat larimu adalah ke akhirat!” teriak Wiro seraya hantamkan tangan kanannya ke arah laki-laki yang ambil langkah seribu! Belum lagi angin pukulan Wiro sampai orang itu telah memekik macam dihadang setan! Kemudian pekiknya lenyap dan tubuhnya mencelat beberapa tombak. Terguling di tanah tanpa nyawa lagi! Wiro Sableng segera pula hendak kirimkan pukulan maut ke arah laki-laki yang bersembunyi di balik pohon. Sekaligus dia hendak hantam pohon dan orangnya! Tapi baru tangan kanan diangkat, tahutahu empat bayangan hitam melompat di hadapannya dan serentak mengurungnya. Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Keempat manusia berpakaian dan berdestar serba hitam itu rata-rata berbadan tegap dan bertampang ganas. Keempatnya memelihara kumis melintang. Dan pada dada pakaian masing-masing terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Wiro teringat pada manusia bernama Gempar Bumi, pembantu utama Datuk Sipatoka. Ada perbedaan gambar harimau yang terpampang di dada pakaian keempat orang ini dengan yang dilihatnya pada dada pakaian yang dikenakan Gempar Bumi. Perbedaannya ialah pada besar kecilnya. Gambar kepala harimau di pakaian Gempar Bumi besar sedang pada keempat manusia ini agak kecil! Ini mungkin berarti bahwa keempatnya adalah pembantu-pembantu Datuk Sipatoka juga tapi dari tingkat yang lebih rendah dari Gempar Bumi! “Pemuda keparat! Melihat tampangmu nyata kau bukan penduduk sini! Lekas katakan siapa kau?!” membentak salah seorang dari empat manusia berkumis melintang. Wiro mendengus. “Kau tak layak bertanya! Lebih bagus kau tanyakan bagaimana caranya cepat-cepat pergi ke neraka!” Dan habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kanannya dalam jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang diperbawa dua perlima tenaga dalamnya! Yang diserang terkejut melihat datangnya angin keras ke arahnya dan dengan serta-merta pukulkan pula tangan kanannya ke depan memapasi serangan lawan! Dalam pada itu ketiga kawannya tidak tinggal diam. Serentak ketiganya menyerbu Pendekar 212 dari tiga jurusan! Seorang di antaranya mencengkeram dengan kedua tangan dari belakang! Sekali melihat bagaimana pukulan Kunyuk Melempar Buahnya sanggup dipapasi lawan dan melihat pula gerakan tiga orang lainnya dalam melancarkan serangan itu Wiro segera maklum bahwa keempatnya berkepandaian tinggi yang tak bisa dianggap remeh! Kalau dinilai masing-masing setiap dua manusia yang mengeroyoknya itu sebanding dengan kepandaian Gempar Bumi. Dengan kata lain saat itu dia menghadapi dua lawan berkepandaian setinggi Gempar Bumi. Pertempuran hebat berkecamuk! Wiro andalkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengelit serangan-serangan lawan yang sangat ganas dan bertubi-tubi. Tubuhnya merupakan bayangan-bayang putih yang coba didesak oleh keempat manusia berpakaian hitam-hitam itu! Karena telah pernah bertempur melawan Gempar Bumi maka sedikit banyaknya Wiro mengerti gerakan-gerakan lawan! Dan ini banyak menolongnya. Meski pada empat jurus pertamanya dia kena didesak namun jurusjurus selanjutnya dia mulai berada di atas angin. Seranganserangannya membuat keempat pengeroyok mundur terus-terusan dan dalam jurus ke delapan salah seorang dari mereka terjungkal keluar kalangan pertempuran dengan tulang dada dan beberapa tulang iga ringsek dilanda tendangan kaki kanan Wiro Sableng! Nafasnya sesak, mulutnya megap-megap. Dari kerongkongannya terdengar suara seperti orang tercekik dan sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak lagi! Kematian seorang kawan mereka membuat tiga manusia baju hitam lainnya menjadi tergetar. Apalagi sesudah dalam jurus-jurus selanjutnya mereka dipaksa bertahan mati-matian dalam desakan hebat serangan berantai Pendekar 212! Salah seorang berseru memberi tanda. Wiro menyangka mereka hendak melarikan diri maka dia siapkan pukulan jarak jauh untuk melabrak ketiganya bila mereka benar-benar hendak kabur! Tapi dugaannya meleset! Ketiga anak buah Datuk Sipatoka itu dalam gerakan yang aneh yaitu lompatan-lompatan macam katak menyerbunya dari tiga jurusan! Wiro pukulkan kedua tangannya berkeliling! Tiga lawan gerakkan kedua kaki dan dalam keadaan tubuh melayang di udara mereka membuat satu lompatan lagi, begitu-Wiro hendak menghantam ke atas, ketiganya tahu-tahu sudah melesat ke bawah dan entah kapan mereka menggerakkan tangan mereka tahu-tahu tiga bilah keris hitam menderu ke arahnya! Satu menusuk ke kepala, yang dua lainnya membabat dari dua jurusan yang berlawanan! Wiro terkesiap kaget melihat serangan yang hebat ini! Dengan cepat segera dia keluarkan jurus pertahanan yang terlihay dari Ilmu Silat Orang Gila yaitu yang dinamakan jurus Orang Gila Melenggang ke Awan! Kedua tangannya dikembangkan ke atas sedang kedua kakinya menjejak ke tanah mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh! Laksana panah lepas dari busurnya, tubuh Wiro Sableng melesat melenggang-lenggok ke atas, dua kembangan tangan yang mendatangkan angin bukan saja sanggup menangkis tusukan keris yang datang dari atas tapi sekaligus membuat lawan terpelanting laksana daun kering dihembus angin! Meskipun tubuhnya selamat namun tak urung pakaiannya masih sempat dirobek oleh ujung keris salah seorang lawan yang menyerang dari samping! “Edan!” maki Wiro. Segera dia siapkan jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya! Sementara itu salah seorang dari lawan-lawannya yang bermata awas berseru, “Kawan-kawan! Kulihat bangsat ini mengeluarkan jurus ilmu silat Orang Gila! Pastilah dia muridnya Si Tua Gila! Ingat bahwa Datuk kita punya dendam kesumat terhadap Tua Gila pada empat puluh tahun yang lalu?! Kalau kita musnahkan muridnya ini pasti kita mendapat pahala besar dari Datuk! Mari!” Serentak dengan itu dan diikuti oleh kedua kawannya maka menyeranglah dia! Tapi kali ini ketiganya dibikin terkejut. Karena begitu mereka bergerak Wiro hantamkan tangan kanannya ke depan! Dua orang berseru keras dan melompat ke samping! Yang seorang lagi terlambat untuk selamatkan diri. Kedua tangannya diletakkan ke muka dada laksana seorang yang berusaha menahan tindihan benda berat yang tak kelihatan di depan dadanya! Wiro putar sedikit telapak tangannya! Laki-laki di depan sana menjerit keras! Tubuhnya mental dan ketika menggeletak di tanah kelihatan bagaimana seluruh tubuh laki-laki ini terutama dari bagian dada ke atas hancur memar laksana buah pepaya dibantingkan ke batu! Pucat pasilah wajah dua anak buah Datuk Sipatoka lainnya! Mereka saling memberi isyarat. Lalu mengeruk saku pakaian masingmasing dan sedetik kemudian enam puluh batang jarum hitam yang mengandung bisa jahat beterbangan ke arah Pendekar 212! Jarumjarum ini bentuknya sama dengan senjata rahasia milik Gempar Bumi. Wiro gerakkan tangan kanannya! Sebagian dari jarum-jarum itu mental yang sebagian lagi berbalik ke arah pemiliknya! Salah seorang dari mereka tiada menduga hal ini hingga terlambat untuk selamatkan diri! “Akhhh...” Jerit maut keluar dari mulutnya. Belasan jarum menembus tubuh dan jantungnya. Nyawanya lepas saat itu juga! Yang seorang lagi masih untung! Begitu lolos dari bahaya maut segera putar tubuh untuk ambil langkah seribu! Tapi perbuatannya ini sia-sia saja karena lebih cepat dari itu satu totokan telah menyambar punggungnya, membuat dirinya tegak kaku kejap itu juga! “Monyet hitam, sekarang kau akan jadi penunjuk jalanku! Kau musti antarkan aku ke sarang majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka itu!” Mendadak terdengar jeritan perempuan yang disusul oleh teriakan seorang laki-laki. “Tolong! Anakku... anakku!” Wiro berpaling cepat! Masih sempat dilihatnya sesosok bayangan hitam memboyong lari seorang gadis dan lenyap di kegelapan malam! Wiro kerenyitkan kening, gigit bibir. Hatinya memaki. Dia berpaling pada laki-laki di hadapannya dan berkata, “Monyet hitam! Keadaan memaksaku membuat nasibmu lebih baik dari kambratkambratmu yang lain! Kau kulepaskan hidup-hidup! Tapi jangan lupa sampaikan pesanku pada Datukmu bahwa di satu hari dalam waktu yang singkat aku akan membuat perhitungan dengan dia! Bila dia menanyakan siapa aku, ini kutuliskan namaku di keningmu!” Kemudian dengan ujung jarinya Wiro menggurat angka 212 di kulit kening laki-laki itu! Lalu tanpa tunggu lebih lama dia berkelebat ke jurusan lenyapnya laki-laki yang memboyong gadis tadi! Namun satu teriakan memanggil membuat dia hentikan lari! “Wiro!” *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 11 IRO Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah dia! Yang berseru memanggil namanya bukan lain daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhuyung-huyung dengan sebatang pedang pendek menancap di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat membopong tubuh laki-laki itu ke langkan sebuah rumah. Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam dan menodai pakaian Wiro sendiri! Melihat kepada keadaannya tak mungkin tertolong lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur. “Bagaimana kau bisa sampai di sini, Bapak?” tanya Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki dirinya sendiri. Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan demikian rupa. “Wiro, tolonglah selamatkan anakku... Mayang dilarikan oleh... Gempar Bu... mi...” “Bedebah itu lagi!” desis Wiro dengan geraham-geraham bergemeletukan! “Kej... kejar dia, Wiro...” “Tapi kau sendiri, Pak...” Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara. “Diriku tak... usah kau pikirkan Nak. Tak ada harapan... Yang perlu Mayang. Nasib dan... dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian...” Pagar Alam tak dapat meneruskan kata-katanya. Kepalanya terkulai. Kedua matanya terbalik dan nafasnya lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro membaringkan jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipandanginya tubuh tanpa nafas itu beberapa ketika. “Nasib dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian...” Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapannya, tapi Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak disampaikan laki-laki itu. W Tanpa menunggu lebih lama pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan cepat, lenyap di jurusan perginya manusia yang telah melarikan Mayang! Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran. Tapi siasia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak diketahui ke mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di sekitarnya hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat terdengar pula suara burung hantu mengerikan sementara angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke tulang-tulang sumsum. Wiro Sableng garuk-garuk kepala, menghela nafas kesal. Kemana dia harus meneruskan pengejaran? Jika menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa celaka dan tak ada artinya menyelamatkan dara itu! Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke Tambun Tulang. Ini berarti dia musti lekas-lekas melakukan pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk membuat perhitungan dengan Datuk Sipatoka. Tapi bagaimana kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke sana? Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?! Pendekar 212 banting-banting kaki karena gemas! Gemas karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia tahu gadis itu pasti akan mendapat celaka malam ini juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Dan apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis kalau bukan kehormatannya?! Wiro Sableng memandang ke langit di atasnya yang hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada satu bintang pun yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar Bumi terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu telah dilakukan oleh Gempar Bumi?! “Kalau betul-betul itu dilakukannya, akan kupatahkan batang lehernya! Akan kupatahkan!” kata Wiro dengan hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan, brak! Sebatang pohon yang tak punya dosa apa-apa patah tumbang ke bumi! *** Di malam sunyi dan gelap itu sesosok tubuh berlari laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpanggul seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak berdaya. Dara ini bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang tengah memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi! Beberapa jam berlari, menjelang tengah malam baru dia berhenti hanya sekedar untuk beristirahat kemudian dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah yang dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak sungai ini penuh dengan pohon tembakau. Di salah satu bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari dasar pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya lagi di atas sungai, ditopang oleh dua buah tiang yang terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi membawa Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan mencapai pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam pondok, kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di ambang pintu dengan rangkapkan kedua tangan di muka dada. Ketika melihat orang yang datang dengan membawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan kening. “Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!” orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di hadapannya. Gempar Bumi menyeringai. “Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu!” Ketika mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi adalah tubuh seorang dara berparas jelita, laki-laki bernama Sati menelan ludahnya. “Dari mana kau dapat, Gempar Bumi?” tanya Sati dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti. “Semprul! Dari mana aku dapat bukan urusanmu! Lekas pergi!” Mata Sati tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah Gempar Bumi tidak diperdulikannya malah dia melangkah lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Gempar Bumi. Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan Sati. “Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan batang lehermu!” Sati menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya ditinggalkannya tempat itu. Gempar Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai papan. Sebagian dari lantai ditutup dengan tikar pandan. Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini. Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah Mayang, “Manusia keparat! Lepaskan totokanku...!” “Ah, kau masih saja bersikap galak,” kata Gempar Bumi. “Bedebah! Lepaskan totokanku!” “Kalau kau masih keras kepala terpaksa kutotok jalan suaramu kembali!” mengancam Gempar Bumi dan diulurkannya tangan kanannya. “Jangan sentuh!” teriak Mayang. Gempar Bumi ganda tertawa. Dibelainya pipi gadis itu. Mayang memaki habis-habisan sampai suaranya serak. “Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku akan kawini kau secara baik-baik, tapi...” “Siapa sudi kawin dengan manusia anjing macammu!” potong Mayang. “Tapi kalau kau berkeras kepala macam ini jangan menyesal akan kuperlakukan secara kasar!” “Manusia anjing, lebih bagus kau bunuh aku siang-siang! Saat ini juga...” “Eh, apakah kau tidak takut mati?!” “Lebih baik mati daripada jadi korban kebejatanmu!” Gempar Bumi tertawa mengekeh. “Mati muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau inginkan mati biarlah nanti terserah pada putusan Tuhan! Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku... Kau akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa nikmatnya... betapa...” “Tutup mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh tubuhku lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai ke lautan apipun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!” Gempar Bumi tertawa gelak-gelak. “Kurasa nanti itu kau mencariku bukan untuk membunuh tapi untuk mengajak kembali menikmati segala keindahan hidup itu! Ha... ha... ha... ha!” “Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur akan kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu sampai lumat!” “Ilmu silatmu ilmu silat kampungan!” ejek Gempar Bumi. “Menghadapiku beberapa jurus saja sudah tak sanggup, bagaimana mungkin kau hendak mencincangku?!” “Kalau tidak aku ada orang lain yang akan melenyapkanmu dari muka bumi ini!” “Aha... siapa kira-kira orangnya?!” tanya Gempar Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang tebal melintang. “Guruku!” “Gurumu?!” Gempar Bumi tertawa membahak. “Perempuan tua renta yang bernama Inyak Nini itu? Kepandaiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau! Dalam sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi mayat dia kalau berani berhadapan denganku!” Mayang mendengus. “Kalaupun guruku kalah masih banyak orang-orang sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu sanggup membunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka itu!” “Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-orang sakti itu?!” ujar Gempar Bumi. “Di antaranya pemuda berambut gondrong yang mempecundangimu tempo hari!” sahut Mayang. Berubahlah paras Gempar Bumi. Dia memang tak pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi pembantu utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru angin Pulau Andalas, belum pernah dia menghadapi lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk mengundurkan diri dengan muka tebal karena malu. “Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan dia? Tempo hari aku sengaja menghentikan pertempuran karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan niscaya tidak kuampunkan jiwanya...” “Justru pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran padamu untuk ambil langkah seribu!” Gempar Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba tangannya diulurkan kembali dan kali ini dengan cepat menyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang! Gadis ini berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan seringai nafsu yang mengembang-kempiskan cuping hidungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas dada sang dara! *** Bagaimana Mayang dan ayahnya sampai di kampung yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil melaksanakan niatnya melarikan si gadis? Seperti telah diceritakan sebelumnya, Pagar Alam hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang dinamakannya Perguruan Kejora. Tapi karena adanya maksud Gempar Bumi untuk datang pada hari peresmian itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam mengundurkan peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Dia harus mencari seorang yang dapat diandalkan yang sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawannya. Karena itu sesudah luka pada kedua kakinya sembuh, bersama Mayang laki-laki ini dengan mengendarai dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat kediaman Inyak Ninik, guru Mayang. Di tengah jalan mereka berhenti dan menginap di sebuah kampung. Justru pada malam itu pula anak-anak buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi mendatangi kampung itu, merampok dan membakar serta melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kampung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu terdapat pula Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu dia menunggu berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap Mayang mendadak didengarnya suara suitan nyaring di sebelah barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya! Bersama keempat orang itu Gempar Bumi cepat menuju ke barat kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu soal mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi anakanak buahnya di bagian barat sana! Dan sewaktu dia sampai di bagian barat kampung, berubahlah parasnya. Untung saja malam itu gelap hingga keempat anak buahnya tak dapat melihat perubahan parasnya itu! Seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong tengah mengamuk dengan hebat. Dan pemuda ini bukan lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari! Meski dia membawa anakanak buah yang berkepandaian tinggi namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Di lain hal kalau dia melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin tak akan kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk melarikan Mayang. Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang Wiro Sableng. “Bunuh bangsat itu!” demikian dia memerintah! Dan dari tempat gelap dia memperhatikan jalannya pertempuran. Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli anak-anak buahnya satu demi satu! Padahal keempat anak buahnya itu berkepandaian hanya dua tingkat saja di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumi jadi tambah mencair! Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh menjadi korban Wiro Sableng, tidak tunggu lebih lama saat itu juga Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu. Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang lebih rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemunculan Gempar Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa artinya ini, maka segera saja dengan sebilah pedang pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi dan menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat! Walau bagaimanapun Gempar Bumi bukan tandingan Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan lawan bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus saja sudah kena didesak oleh Gempar Bumi. Melihat ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan bantuan! Tetap saja pertempuran tidak berjalan seimbang. Gempar Bumi berhasil merampas pedang di tangan Pagar Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua beranak! Dalam satu gebrakan yang hebat Gempar Bumi berhasil menyelundupkan pedangnya dan menancap dengan tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Mayang berhasil ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang, Gempar Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam dalam keadaan tak berdaya dan bergumul dengan maut hanya bisa berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang kemudian segera melakukan pengejaran. *** Darah di tubuh Gempar Bumi laksana air mendidih bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur tubuh Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak dan menangis. Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan pondoknya berlari di kegelapan malam tanpa tujuan. Ingatannya masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakannya parasnya yang jelita, kulitnya yang mulus kuning langsat dan potongan tubuhnya yang montok padat! Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang terteguntegun. Hatinya mendorong-dorong agar kembali ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian mengintip pun jadilah. Dan semakin besar rasa yang mendorongdorong di hati Sati, Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah ditempuhnya. Kembali ke pondok di tepi sungai itu! Ketika sampai di pondok itu segera Sati mencari sebuah lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali. Sekujur tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya memanas dan seperti menyungsang mengalirnya ketika dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan matanya, di bawah penerangan pelita. Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis serak. Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa selembar pakaian pun! Berkalikali Sati meneguk ludahnya. Seperti hendak diterjangnya saja dinding pondok di hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, menggulung tubuh gadis itu. “Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi!” desis Sati. “Keparat betul si Gempar Bumi ini!” Mendadak Gempar Bumi menghentikan segala gerak yang dibuatnya lalu membalik dengan cepat. Sepasang matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan kanannya dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan. Braak! Dinding itu berlobang besar. Di luar pondok seseorang terdengar berteriak, “Keterlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri diserang!” “Sati keparat! Kau berani kembali dan mengintip? Kau akan terima hukuman berat dariku!” teriak Gempar Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan pakaian hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum pintu itu sempat dibukanya, di atasnya terdengar suara sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar Bumi memandang ke atap pondok, sesosok tubuh melayang turun dan satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 12 ERKEJUT Gempar Bumi bukan alang-kepalang! Di hadapannya berdiri seorang perempuan tua renta berpakaian putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang terbuat dari perak dan berkilauan ditimpa sinar pelita. Begitu melihat perempuan ini, Mayang berseru, “Guru!” Si perempuan tua lemparkan sebuah mantel untuk menutupi tubuh Mayang. Mendengar seruan Mayang tadi Gempar Bumi maklum kini bahwa perempuan tua di hadapannya bukan lain Inyak Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak kehormatannya! Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya, tapi baru kali ini dia berhadapan. Tak bisa dia menduga sampai di mana kehebatan perempuan ini walau sebelumnya di hadapan Mayang dia telah menganggap Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa dirobohkannya di bawah sepuluh jurus! “Manusia bejat!” suara Inyak Nini bergetar. “Kau harus bayar dengan kau punya jiwa atas perbuatan yang kau telah lakukan terhadap muridku!” Gempar Bumi tertawa sedingin angin malam. “Apa kau masih belum tahu berhadapan dengan siapa, neneknenek bongkok?!” Inyak Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah karena susur yang senantiasa menyumpal di mulutnya. “Nama Gempar Bumi terlalu sering kudengar! Terlalu memuakkan untuk didengar! Dan malam ini aku akan menumpas segala kemuakan itu!” Tanpa banyak cakap lagi Inyak Nini melompat ke muka. Pedang perak di tangan kanannya berkiblat. Angin tebasan menderu! Gempar Bumi mengelak dengan sebat lalu selipkan satu serangan balasan, tapi senjata lawan membalik ganas membuat dia melompat T mundur dan memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak Nini bukan lawan yang bisa dibuat main-main. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam muncul di ambang pintu. “Gempar Bumi, biar aku yang hadapi setan tua ini!” kata orang yang di ambang pintu. Dia bukan lain daripada Sati. “Sati keparat!” bentak Gempar Bumi. “Kau tetap di tempatmu dan awas kalau berani lari! Kau akan terima hukuman dariku!” Menciut hati Sati. Maksudnya hendak menghadapi Inyak Nini adalah sebagai penebus kesalahannya. Ternyata Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan tetap akan menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia berpikir-pikir untuk lari tapi itu tentu membuat Gempar Bumi akan bertambah-tambah kemarahannya! Karenanya Sati berdiri di ambang pintu itu dengan hati yang tidak enak dan serba salah! Pondok itu tidak seberapa besar, karenanya tanpa senjata agak sukar juga bagi Gempar Bumi menghadapi amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari, memapas dan membacok, sedang tusukan-tusukan ganas meluncur berulang kali! Namun mata Gempar Bumi yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Segera dia menggempur tempat-tempat pertahanan yang lemah ini hingga pertempuran berjalan berimbang beberapa lamanya! “Tua renta sialan! Makan ini!” teriak Gempar Bumi. Tangannya mengeruk saku, sedetik kemudian puluhan jarum mendengung laksana tawon, menyambar ke arah Inyak Nini! Inyak Nini terkejut! Serta merta dia putar pedangnya. Belasan jarum hitam mental dan luruh ke lantai. Tapi beberapa di antaranya tak sanggup dipapasinya dengan pedang, dan terus menembus dagingnya! Inyak Nini menggerung macam serigala dan menyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu keganasan racun yang terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah kerahkan tenaga dalamnya untuk menutup beberapa jalan darah yang penting agar racun jahat itu tidak merambas ke jantungnya namun tetap saja rangsangan jarum membobolkan jalan darah, terus mengalir menuju jantung! Inyak Nini sadar bahaya besar yang mengidap dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat jam jika tidak terdapat pertolongan pasti jiwanya melayang! Gempar Bumi tertawa sewaktu mengetahui senjata rahasianya berhasil menemui sasaran di beberapa bagian tubuh lawan. “Perempuan tua! Lebih baik kau bunuh diri sebelum racun jarum itu menghancurkan kau punya jantung!” “Manusia dajal, kau musti menyertaiku ke akhirat!” teriak Inyak Nini lalu menggembor dan menyerang dengan dahsyat. Braak! Sambaran pedang Inyak Nini mengenai tempat kosong dan menghantam dinding pondok hingga hancur bobol! Gempar Bumi pergunakan kesempatan ini untuk menyerang dari samping! Tapi, buuk! Tahu-tahu tendangan kaki kanan Inyak Nini bersarang di bahunya! Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan bahunya sakit bukan main! “Perempuan bedebah!” maki Gempar Bumi. Mulutnya komat kamit, tubuhnya membungkuk hampir sebungkuk Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang ke muka dengan sepuluh jari-jari menekuk! Inyak Nini maklum kalau lawan hendak keluarkan jurus ilmu silat yang hebat. Maka tidak menunggu lebih lama dia mendahului menyerang dengan pedang di tangan! Dalam detik itu pula Gempar Bumi keluarkan suara keras macam harimau meraung dan tubuhnya berkelebat ke depan! Gerakan kedua tangannya asing sekali bagi Inyak Nini, suara seperti harimau meraung yang keluar dari mulut Gempar Bumi membuat perempuan tua itu terkesiap dan bergidik! Kemudian terdengarlah pekik perempuan tua itu! Dan menyusul pula pekik Mayang yang melihat paras gurunya berlumuran darah mengerikan! Inyak Nini terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Kulit mukanya terkelupas dalam lima guratan yang dahsyat, parasnya berselomotan darah sedang pedang perak di tangan kanannya sudah berpindah ke dalam tangan kanan Gempar Bumi! Sungguh dahsyat jurus Mencakar Kepala Ular Naga, Merampas Busur Pemanah yang telah dilancarkan Gempar Bumi tadi. Jurus itu adalah salah satu jurus terhebat dari Ilmu Silat Harimau. “Apakah masih belum mau bunuh diri?!” ejek Gempar Bumi. Inyak Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk dan tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah macam orang hendak roboh. Tapi mendadak diiringi satu lengkingan dahsyat perempuan ini melompat ke muka, hantamkan kedua tinju kiri kanan dan lancarkan dua tendangan susul-menyusul! Ini adalah satu serangan percuma saja. Rasa marah dendam kebencian yang bertumpuk di hati Inyak Nini membuat dia lupa memperhitungkan bahwa lawannya tidak lagi bertangan kosong saat itu, tapi menggenggam pedang perak miliknya sendiri! Sekali Gempar Bumi memutar pedang maka terdengarlah raungan Inyak Nini. Kedua lengannya terbabat putus, salah satu kakinya luka parah! Mayang menjerit lalu menangis tersedu-sedu! Inyak Nini terhampar di lantai pondok. Tubuhnya berkelojotan beberapa detik kemudian diam tak berkutik lagi. Gempar Bumi melangkah cepat-cepat ke hadapan tubuh Mayang dan memanggul gadis yang telah hilang keperawanannya itu. “Bunuh aku! Bunuh aku keparat!” “Kau terlalu banyak rewel!” hardik Gempar Bumi dan menotok jalan darah di leher Mayang hingga Mayang disamping kaku tak bisa bergerak kini juga tak dapat keluarkan suara! Di ambang pintu Gempar Bumi hentikan langkahnya dan memandang dengan sorot mata melotot pada Sati yang berdiri dengan paras pucat. “Kesalahanmu terlalu besar Sati...!” Sati menjatuhkan dirinya dan menangis macam anak kecil. “Harap kau sudi mengampuni aku. Gempar Bumi,” pintanya. “Aku ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah satu matamu yang suka mengintip itu! Lekas!” “Gempar Bumi!” Sati menggerung dan bersujud. “Keparat! Lekas korek matamu!” bentak Gempar Bumi. “Atau aku sendiri yang akan mengorek kedua-duanya sekaligus?!” Sati maklum tak ada lagi keringanan baginya. Daripada hilang dua mata atau hilang jiwa lebih baik dia cepat-cepat mengorek salah satu matanya! Dengan jari-jari tangan kanan Sati kemudian menusuk mata kirinya. Craas! Biji mata itu mencelat keluar bersama busaian darah. Sati terduduk di ambang pintu, merintih-rintih menahan sakit yang tiada taranya! “Itu lebih bagus bagimu daripada mampus!” kata Gempar Bumi pula. Lalu dengan tubuh Mayang di bahunya dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun langkahnya terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan ke tanah! Di Timur pondok terdengar suara orang membentak. “Manusia jahanam! Berani bergerak satu langkah saja kupecahkan batok kepalamu!” Waktu suara teriakan orang di malam buta itu belum habis gemanya ketika tahu-tahu sesosok tubuh sudah berdiri tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi! Paras Gempar Bumi mendadak sontak berubah pucat putih laksana kain kafan! Mayang dengan susah payah coba putar mata memandang ke muka! Satu harapan muncul di hatinya sewaktu melihat bahwa yang datang itu benarlah orang yang diduganya. Kalau saja mulutnya sanggup bersuara pastilah dia akan berseru memanggil nama orang itu! “Turunkan gadis itu...! Cepat!” “Bangsat! Dia milikku! Kalau kau inginkan dia silahkan ambil sendiri!” jawab Gempar Bumi. Lalu tak ayal lagi segera dia cabut Keris Si Penyingkir Jiwa. “Dajal bermuka manusia, kali ini jangan harap ada ampun bagimu!” Orang ini hantamkan tangan kanannya ke arah kaki Gempar Bumi. Satu gumpalan angin yang bertenaga tiga perempat tenaga dalam menyambar dengan cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat. Tengkuknya terasa dingin ketika memandang ke bawah dan melihat bekas angin pukulan lawan! Tanah dan pasir bermuncratan. Sebuah lobang besar kelihatan di tanah! Itulah akibat pukulan Kunyuk Melempar Buah yang telah dilepaskan oleh si pendatang tadi yang bukan lain Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya! Menghadapi lawan tangguh berkepandaian tinggi dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja sangat berbahaya bagi Gempar Bumi. Maka sebelum Wiro kembali lancarkan serangan, Gempar Bumi sudah meletakkan tubuh Mayang di tanah. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang hebat! Kalau dalam pertempuran pertama dulu kelihatannya agak seimbang itu adalah karena Wiro masih memberi hati terhadap Gempar Bumi. Tapi hari ini tak ada lagi segala macam belas kasihan di hati Pendekar 212 Wiro Sableng. Melihat tubuh Mayang yang hanya tertutup sehelai mantel dia sudah tahu apa yang dilakukan Gempar Bumi terhadap gadis itu! Sebenarnya, di satu tempat pada malam itu Wiro sudah berniat menghentikan pengejarannya terhadap Gempar Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur tapi lapat-lapat didengarnya suara teriakan, suara pekik raungan. Suara itu didengarnya sampai berulang kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga Wiro laksana terbang segera lari ke jurusan sumber suara. Dia berada beberapa puluh tombak di satu pedataran tinggi sewaktu di ambang pintu sebuah pondok yang diterangi oleh pelita dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian hitam, memanggul sesosok tubuh! Meski dalam jarak sejauh itu Wiro tak dapat melihat jelas tampang manusia itu namun dia yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi! Keris hitam di tangan Gempar Bumi laksana puluhan buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa buah tusukan dalam satu jurus serangan! Betapapun hebatnya Gempar Bumi, namun segala kehebatannya itu hanya sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya. Jurus-jurus berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh permainan silat Orang Gila yang mulai dikembangkan Wiro. Dalam keadaan terdesak Gempar Bumi lepaskan senjata rahasianya. Tapi tiada guna. Sekali Wiro hantamkan telapak tangan kirinya ke muka, jarum-jarum hitam itu bermentalan kian ke mari! “Aku minta tangan kirimu dulu, Gempar bumi!” kata Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka dalam gerakan yang terhuyunghuyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi merupakan suatu gerakan yang sangat mudah untuk diserang! Segera dia tusukkan Keris Penyingkir Jiwa ke dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala! Namun dalam gerakan yang tak teratur Wiro berhasil mengelit tusukan itu. Dan Gempar Bumi memekik keras sewaktu tahu-tahu tangan lawan telah mencengkeram lengan kirinya! Gempar Bumi menusuk lagi dengan kalap. Tapi tubuhnya terbanting ke kanan dan, kraak! Suara kraak itu disusul dengan suara pekikan setinggi langit dari mulut Gempar Bumi! Lengan kirinya sebatang bahu tanggal, daging dan urat-urat berbusaian! Darah memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan! “Berteriaklah memanggil majikanmu Datuk Sipatoka!” ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya menyusup ke depan. Kraak! Untuk kedua kalinya terdengar lagi pekik Gempar Bumi. Dua buah tulang iganya yang sebelah kanan patah! “Kau akan mampus dengan menderita lebih dulu, Gempar Bumi keparat! Kau akan terima imbalan atas dosa-dosa kejimu!” Kembali dengan mengeluarkan jurus-jurus silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, Wiro tusukkan lagi dua jari tangan kanannya. Craas! Gempar Bumi melolong. Biji matanya yang sebelah kanan berbusaian keluar. Tubuhnya terhuyung nanar. “Sati! Bantu aku!” teriak Gempar Bumi. Tapi Sati sudah sejak lama terhampar di muka pintu pondok dalam keadaan pingsan! “Kenapa tidak minta bantuan pada setan-setan penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah kau manusia turunan iblis juga hah?!” bentak Wiro dan melangkah mendekati Gempar Bumi. Gempar Bumi mundur terus. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan tak ampun lagi tubuhnya tergelimpang jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Mulanya disangkanya, tubuh yang terhimpit badannya itu adalah tubuh Sati tapi ketika ditolehnya ternyata tubuh Mayang. Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi. Meski bagaimanapun dia tak ada harapan untuk hidup! “Pemuda keparat! Kau inginkan perempuan ini! Ambillah!” teriak Gempar Bumi dan serentak dengan itu dihunjamkannya Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang! Laksana orang kemasukan setan Wiro Sableng meraung! Seantero bergetar! Sinar putih melesat menyambar ke arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba membuang diri ke samping untuk menghindarkan Pukulan Sinar Matahari itu tapi sia-sia saja! Sebagian dari tubuhnya kena tersambar dan hangus hitam! Gempar Bumi menjerit. Terguling di tanah sampai enam tombak dan mengerang kesakitan. Meski dalam beberapa kejap mata lagi Gempar Bumi akan segera menghembuskan nafas penghabisan namun Wiro masih belum puas. Dia melompat ke muka, mencengkeram rambut dan dada Gempar Bumi. Terdengar suara patahnya tulang leher manusia terkutuk itu! Tamatlah riwayat kedurjanaan Gempar Bumi! Wiro Sableng lari menghampiri Mayang. Dipangkunya gadis ini. Darah telah membasahi dada yang tiada tertutup apa-apa. Wiro tak memperdulikan darah yang membasahi pula pakaiannya. “Mayang...” bisiknya. “Mayang.” panggil Wiro lebih keras. Diusapnya kening dan rambut perempuan itu. Sepasang mata Mayang membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya daripada hitamnya. “Wi... ro...” Mata yang sudah mengabur itu masih sanggup juga mengenali wajah di depannya. “Sakit sekali rasa... nya...” “Kau... kau akan kuobati. Kau akan sembuh.” kata Pendekar 212 tersendat-sendat karena dia tahu kata-katanya itu tak bakal menjadi kenyataan. Mayang juga tahu ajalnya akan sampai. Seulas senyum muncul di bibirnya. Dan pada kejap matanya ditutupkan, nafasnya berhenti. Malaekat maut telah mengambil nyawanya. Dia mati dengan senyum masih membayang di bibirnya yang mungil dan agak membuka sedikit. Wiro tak tahu entah sudah berapa lama dia merangkuli tubuh yang tidak bernafas dan mulai mendingin itu. Dia baru sadar ketika di ufuk timur kelihatan sinar terang. Ternyata fajar telah menyingsing. Dipandanginya lagi wajah Mayang di keheningan pagi yang segar. Perlahan-lahan ditundukkannya kepalanya dan diciumnya bibir yang membuka itu dengan segala rasa kasih dan mesra. Kemudian diangkatnya tubuh Mayang, dibawanya ke pondok. Di pintu pondok tergelimpang tubuh Sati yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro gerakkan kaki kanannya. Tubuh Sati mencelat mental, dadanya remuk. Dan kalau tadi tubuhnya tak bergerak karena pingsan maka kali ini tubuh itu tak berkutik lagi tanpa nafas! Di dalam pondok Wiro menemui mayat seorang perempuan tua. Dia tak tahu siapa perempuan tua ini adanya tapi sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa perempuan tua itu seorang yang berilmu tinggi dan dari golongan putih. Karenanya sesudah menggali kubur untuk Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perempuan tua itu. Dan bila sang surya muncul menerangi jagat raya maka di muka pondok di tepi sungai itu kelihatanlah dua buah kuburan saling berdampingan. *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 13 ATAHARI berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah hari tepat. Angin dari barat bertiup keras, menggoyang dan melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga menimbulkan suara gemerisik yang keras. Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak diperdulikannya keterikan sinar matahari. Tak diacuhkannya butir-butir keringat yang turun mendekati alis matanya yang tebal. Juga tak diperdulikannya hembusan angin yang keras. Seperti tak terdengar di telinganya suara gemerisik daun-daun pepohonan. Sepasang mata dan perhatian Pendekar 212 tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang sebuah bukit putih. Di sebelah timur kaki bukit putih tampak sebuah bangunan besar yang juga berwarna putih, dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro memandang lagi ke bukit putih itu. Dia tahu, bukit itu kalau didekati bukan lain dari tumpukan tulang-belulang dan tengkorak manusia yang jadi korban Datuk Sipatoka dan anak buahnya! Berapa ribukah manusia yang telah menjadi korban keganasan itu?! Berapa ribukah tulang-belulang dan tengkorak manusia ditumpuk demikian rupa hingga kemudian menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun Tulang?! Wiro memperhatikan baik-baik rumah besar dan sekitarnya. Rumah besar ini beratap seperti tanduk kerbau. Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga, sedang di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga yang menghubungkan tanah dengan pintu rumah besar. Yang membuat Wiro Sableng merasa aneh ialah karena matanya tidak melihat seorang manusia pun baik di dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan paling mengerikan dan membawa maut?! Atau mungkin itu bukan Bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?! Wiro tak mau membuang waktu lebih lama untuk tenggelam M dalam segala macam pikiran begitu rupa. Diperbaikinya letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pinggang di balik baju putihnya. Kemudian diambilnya buntalan yang terletak dekat kakinya dan sekali berkelebat dia sudah melompat sejauh delapan tombak, terus lari laksana tiupan angin menuruni lereng pedataran tinggi. Ketika dia sampai ke pagar putih itu suasana masih tenangtenang saja seperti sediakala. Dan waktu memandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih itu terbuat dari susunan tulang-belulang dan tengkorak manusia! Wiro tekankan telapak tangan kirinya ke pagar tulang-belulang dan mendorong. Astaga! Pagar itu kokoh luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya! Tetap saja pagar itu tak bergerak apalagi bobol! Wiro memandang berkeliling lalu mendongak ke atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua puluh tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan tengkorak kepala manusia. Wiro melompat ke cabang sebuah pohon besar. Dia melompat-lompat di atas cabang itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang lalu dengan satu gerakan yang lebih keras maka tubuhnya terlempar melesat ke atas susunan tengkorak. Setelah meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro melayang turun ke halaman dalam. Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti keadaan sekitarnya. Rasa ngeri menyelinap di hati pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata dari tiang-tiang sampai ke atapnya terbuat dari tulang-belulang dan tengkorak manusia! Belum lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa ngeri ini mendadak semua pintu dan jendela-jendela rumah besar terpentang lebar! Terdengar suara mengaum dahsyat laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sableng bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu dan jendela-jendela rumah besar berserabutan keluar puluhan ekor harimau besar, mengaum memperlihatkan taringnya yang besar runcing lalu serempak menyerbu ke arah Wiro Sableng! Wiro sadar kalau dia telah masuk ke dalam perangkap kematian! Segera dia songsong serangan harimau itu sekaligus dengan dua pukulan Kunyuk Melempar Buah! Belasan harimau terdorong dan terpelanting tapi sesaat kemudian dengan serempak mereka telah menyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang berkeliling kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman itu telah penuh dengan harimau! Dia merasa laksana berada di tengah lautan harimau! Dan kesemua binatang itu sama-sama menyerbu, bersirebut cepat untuk merobek atau menerkam tubuhnya! Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan Sinar Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng mulai bergerak menghadapi puluhan harimau! Melihat kilauan dan angin deras ganas yang keluar dari Kapak Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa ketika saja. Sesaat kemudian mereka sudah menggerung dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau mengaum dahsyat dan rebah bermandikan darah kena disambar Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin lainnya mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia menghadapi seorang manusia mungkin dia sudah bertempur seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau telah ditewaskannya! Namun yang masih tinggal menyerang lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena melihat genangan darah kawan-kawan mereka! Wiro putar terus Kapak Naga Geni 212 dan tangan kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang. Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup yang menjadi ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut mundur. Setelah sama-sama menggerung kesemuanya melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu pula semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah menggerakkan alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu! Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuhnya terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya. Tulang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian. Ke jurusan mana saja dia memandang hanya bangkai-bangkai harimau yang kelihatan. Dan suasana yang diliputi kesunyian itu membuat Wiro benar-benar jadi bergidik! Keletihan membuat dia duduk terhenyak di tanah. Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta mengembalikan tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku awas. Entah perangkap apa lagi yang bakal menghadangnya! Bila dirasakannya kekuatannya sudah pulih maka Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar tempat sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda adanya manusia di situ, tapi Wiro yakin bahwa setiap gerak pasti tengah diawasi orang dari tempat yang tersembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi lumpur akibat darah binatang-binatang itu! Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia berteriak, “Datuk Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut tamu yang datang untuk menyelesaikan urusan? Harap keluar perlihatkan dirimu...!” Baru saja Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya tanah berlumpur yang dipijaknya bergetar. Kedua kakinya laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang kepalang. Halaman di mana bergelimpangan puluhan harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari utara ke selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang besar. Telinganya menangkap suara berkereketan. Astaga rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke pusat cekungan. “Gendeng betul!” maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat ke atas atap rumah yang berbentuk tanduk kerbau dan dari sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia sampai di atas puncak pagar dan memandang ke bawah, seperti mimpi dia rasanya. Rumah besar dan bangkai-bangkai harimau lenyap! Yang kelihatan kini ialah sebuah halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok matanya. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini bisa terjadi?! Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba dia melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah timur. Tadi sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang tak bisa dimengerti oleh Wiro. Dan mendadak pintu itu terbuka. Wiro cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya. Ampun! Yang muncul bukan bahaya yang dikhawatirkannya tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning bergemerlapan ditimpa sinar matahari. Keduanya melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar tempat Wiro berdiri dengan bantalan di tangan kiri lalu salah seorang di antaranya berseru. “Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun!” “Kalian siapa?!” tanya Wiro. “Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!” “Kalau begitu katakan padanya bahwa aku hendak bertemu dengan dia.” “Turunlah! Kami antarkan kau padanya!” Wiro berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya bukan main, menggetarkan pagar tulang-belulang di mana dia berada. Bukan mustahil dengan mengandalkan kedua dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang perangkap baru baginya! “Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini!” ujar Wiro. Jelas kelihatan perubahan pada wajah kedua dara berpakaian kuning. “Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh turun untuk diantar menghadap Datuk Sipatoka kau tak mempunyai keberanian sama sekali?!” “Sialan! Kalau aku tak punya keberanian masakan mau datang kemari?! Lekas panggil Datukmu! Katakan aku membawa oleh-oleh bagus untuknya!” Kedua dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang seorang, yang sejak tadi berdiam diri saja tiba-tiba buka mulut keluarkan suara, “Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup keluar hidup-hidup!” Wiro Sableng tertawa. “Setiap ada datang musti ada pergi! Setiap ada masuk musti ada keluar!” Si dara baju kuning mendengus. “Apa matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?!” Wiro tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada hal-hal yang mencurigakan yang dilihatnya. Tapi hidungnya mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya bergetar. Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut semacam asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis aneh inilah yang mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro. Di bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju kuning. “Sekali kau berani melompat coba menerobos Asap Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur hidup! Lekas turun!” Wiro tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk menakutnakutinya. Dia telah rasakan sendiri kehebatan asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang sedang debaran jantungnya bertambah keras! Heran, padahal dia telah digembleng demikian rupa hingga kebal terhadap segala macam racun, tapi mengapa Asap Seribu Tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?! Dengan kertakkan rahang Wiro Sableng melompat turun. Untuk beberapa detik lamanya dia saling pandang memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam hatinya Wiro berkata, “Buset, gadis-gadis begini cantik jadi pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek betul!” Agaknya kedua gadis pun telah terpesona melihat kegagahan tampang Pendekar 212. Namun yang seorang segera membentak, “Lekas ikut kami!” “Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan mampus percuma!” peringatkan Wiro. Kedua gadis tak berkata apa-apa dan melangkah menuju pintu di sebelah timur, Wiro mengikuti di belakang penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga segala kemungkinan yang ada! Mereka memasuki pintu di sebelah timur pagar tulang-belulang. Begitu masuk begitu pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipatgandakan kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggalkan pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke bawah, disusul oleh sebuah lorong sepanjang dua puluh tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua. Kedua dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti. Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki lorong ini. Lorong ini baik bagian lantai maupun atas serta samping dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa hingga seperti bunga! Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak enak. “Ini ke mana?!” tanyanya. “Jangan banyak tanya! Ikut sajalah!” sentak dara baju kuning paling muka. Tak lama kemudian lorong itu sampai juga ke ujungnya. Sebuah pintu gerbang kelihatan di depan, dikawal oleh dua orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari harimau-harimau yang telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika Wiro memandang ke bagian atas pintu gerbang tulang-belulang itu, di situ terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang iga manusia yang berbunyi: ISTANA SIPATOKA. Pintu gerbang itu diberi hiasan gaba-gaba untaian tulang-tulang manusia. Kedua gadis menyibakkan gaba-gaba ini lalu memberi jalan pada Wiro Sableng. Pendekar 212 tak segera masuk. Dia memandang ke dalam dengan mata menyelidik dan terkesiap. Di hadapan pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput yang dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang-belulang! Di seberang halaman berumput kelihatan bagian depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan terbuat dari tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu dibayangi kengerian bagi Pendekar 212. “Ayo masuk!” seru dara baju kuning. Wiro menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk masuk tapi sudah terlambat untuk kembali. Dengan kuatkan hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar 212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka. *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 14 AMPAI di hadapan tangga gedung besar dari tulang-belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya. “Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah menanti kedatanganmu!” kata salah seorang dari dara-dara baju kuning. “Kalian sendiri mau ke mana?” “Apa urusanmu?!” Wiro memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti suasana sebentar lalu menaiki tangga. Dilewatinya ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di satu ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh orang kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di atas kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki, tulang iga dan tulang punggung manusia! Semuanya berpakaian hitam, hanya seorang yang berpakaian lain dari yang lain. Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk di deretan terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol sekali, demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan dengan tubuhnya yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali, demikian juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai bahu, kumis tebal melintang dan janggut macam janggut kambing! Sepasang matanya yang merah menyorot tajam, keseluruhan air muka manusia ini membayangkan kebengisan! Inikah Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia menduga manusia bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar, tapi nyatanya cebol begitu rupa. Di samping potongan tubuh dan raut wajahnya yang bengis itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian Wiro Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini. Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan panjang yang terbuat dari kulit harimau, kuning berbelang hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal! Itulah hal S kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah kedua tangan manusia ini yang berwarna hitam legam tanda dia memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat dan mengandung racun jahat! Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu, sejauh dua puluh tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi di pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Hanya pandanganpandangan mata yang saling bentrokan dengan pandangan mata Wiro Sableng! Ketika hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi juga, Wiro akhirnya berkata, “Apakah aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka dari Tambun Tulang?!” Si tubuh cebol kepala besar memandang lekat-lekat pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan tertawa gelak-gelak! Suara tertawanya demikian dahsyat hingga menggetarkan sekujur tubuh Wiro Sableng dan menyendat-nyendat jalan darahnya. Buntalan di tangan kirinya kalau saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas! Wiro kaget bukan main! Cepat-cepat dia kuasai jalan darah dan kerahkan tenaga dalam untuk menolak gempuran suara tawa yang dahsyat itu. “Istana Sipatoka di bawah Bukit Tambun Tulang! Siapa datang jangan harap bisa pulang!” si cebol kepala besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang diucapkannya itu laksana genta yang memukul jalan pendengaran Wiro Sableng hingga kembali pendekar ini merasa tergetar sekujur tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya kembali. Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun. “Delapan puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka telah musnah! Halaman luar banjir darah! Entah apa pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat demikian rupa?!” Wiro kerenyitkan kening mendengar ucapan-ucapan berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun menjawab dengan ucapan berpantun pula! “Jauh berjalan menyeberangi samudera. Mengarung maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal sebabnya. Masakan mau berbuat sedemikian rupa?” Semua orang kelihatan saling berpandangan sedang Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis matanya. Dan saat itu Wiro berkata pula, “Delapan puluh lima harimau mati percuma! Pemiliknya bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal berbuat begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?!” Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab, “Silang sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun baru hari ini! Kalau sudah bosan hidup katakan saja! Mengapa datang sengaja mencari mati?!” Wiro tertawa mengekeh. “Datuk Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun macam orang main sandiwara tapi untuk mengusut urusan yang telah kau buat di Pulau Madura!” “Urusan apa, hai orang gila?!” tanya Datuk Sipatoka yang saat itu masih merah mukanya karena ucapan Wiro tadi. “Di Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab miliknya!” Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu! “Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau punya bukti atas tuduhanmu itu?!” “Dua buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan sama dengan keris-keris yang bergelantungan di pakaianmu!” sahut Wiro Sableng. “Ocehanmu bagus sekali!” tukas Datuk Sipatoka. Wiro menyeringai. “Kita akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang berkicau macam burung kehilangan sarang!” Habis berkata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan kanan dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit harimau yang ditemui Wiro di pertapaannya Kiai Bangkalan di Pulau Madura tempo hari. “Itu adalah robekan pakaianmu yang kutemui di tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih mau mungkir? Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk mungkir!” Air muka Datuk Sipatoka membesi. “Katakan siapa namamu dan apa sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan?!” “Namaku telah kusampaikan beberapa hari yang lalu lewat seorang anak buahmu.” sahut Wiro seraya memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang laki-laki yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Laki-laki inilah yang memiliki pondok di tepi sungai yang telah dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang. Datuk Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia memang telah mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi tidak menyangka kalau inilah pemudanya yang telah “mengukir” tiga buah huruf itu di kening anak buahnya! “Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan, bukan urusanmu untuk menanyakan!” “Pemuda, nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak mempunyai tiga kepala enam tangan?! Mungkin hendak mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang kemari hanya untuk mencari mati!” Wiro tertawa dingin. Ini membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia memandang berkeliling. Namun sebelum dia memerintah anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong, “Datang jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk. Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu!” Setelah berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang sejak tadi dipegangnya di tangan kiri. “Apa ini?!” sentak Datuk Sipatoka. “Silahkan buka sendiri!” jawab Wiro seenaknya. Meski hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka berikan isyarat pada seorang anak buahnya. Anak buahnya ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk membuka ikatan buntalan yang terletak di hadapan kaki Datuk Sipatoka. Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan! Yang terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah kepala manusia! Matanya sebelah kanan hanya merupakan rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak dan busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan tersebut yang tak mengenalinya! Kepala itu adalah kepala Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka! Datuk Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa. Marah, heran, dan entah apa lagi! Mungkin juga dirinya dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu utamanya yang berkepandaian sangat tinggi di antara anak buahnya! Tapi toh dia mati demikian rupa! Dan siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang telah membunuh Gempar Bumi! “Bedebah bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu terpaksa kupercepat!” Datuk Sipatoka memandang berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek, “Semua yang ada di sini serbu bedebah itu! Hancur lumatkan tubuhnya hingga jadi debu!” Maka dua puluh orang laki-laki berseragam hitam berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di antaranya adalah pembantu-pembantu kelas satu dengan gambar kepala harimau kuning besar di dada pakaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi yang tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele! Ketika menyerbu pembantu-pembantu biasa dan pembantupembantu kelas dua langsung mencabut keris. Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan tangan kosong! Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212 sedang tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji Pukulan Sinar Matahari! Begitu lawan menyerbu Wiro segera bergerak. Terdengar suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu terhuyung-huyung, muntah darah dan rubuh! Tiga orang pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak berkutik lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa mencelat mental dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa nafas! Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya demikian juga, bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terkejut! Waktu lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah gerakkan kedua tangan tapi sama sekali belum menghantam! Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa dahsyatnya di atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya roboh! Datuk Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan menggoyanggoyangnya beberapa kali. Empat puluh dara-dara jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di tangan. Mereka adalah pesuruhpesuruh istana tapi yang sekaligus merangkap peliharaan Datuk Sipatoka! “Lepaskan Asap Seribu Tulang! Tutup semua jalan keluar!” perintah Datuk Sipatoka pada dara-dara itu. Begitu perintah dikatakan begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng. Datuk Sipatoka memandang ke langit-langit ruangan di belakang Wiro lalu membentak, “Orang yang sembunyi di atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!” Wiro Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas loteng terdengar suara tertawa bergelak. Dia rasa-rasa pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa menduga dengan pasti siapa orangnya! “Sipatoka, kau belum layak melihat diriku!” kata orang yang di atas loteng. Datuk Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat jago kelas satu dan memberi isyarat! Keempat anak buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan kanan memegang keris sedang tangan kiri menghantam. Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke atas! Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur berantakan! Tapi bersamaan dengan jatuhnya hancuran tulangtulang itu, keempat jago kelas satu itupun terhempas ke lantai, mengeluh panjang lalu muntah darah dan konyol! Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergemeletakan. Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka pucat! Dan di loteng, tepat di atas kepala Datuk Sipatoka, kembali terdengar suara tertawa bergelak! “Kurang ajar!” geram Datuk Sipatoka. Tangan kanannya bergerak mencabut sepuluh keris emas kecil yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap kemudian senjata-senjata itu laksana kilat melesat ke loteng di atas kepalanya! *** WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG 15 API betapa terkejutnya Datuk Sipatoka. Masih setengah jalan tahu-tahu laksana ranting-ranting kering dilanda angin putingbeliung ke sepuluh keris itu berpelantingan ke bawah. Dua buah melesat ke arah Datuk Sipatoka, selebihnya bermentalan ke arah pembantu-pembantunya yang duduk di kursi! Sekali mengebutkan jubah kulit harimaunya maka mentallah kedua keris yang menyerang Datuk Sipatoka. Tapi tidak demikian dengan pembantu-pembantunya! Suara pekik melengking raungan laksana hendak meruntuhkan langit-langit. Delapan orang terkulai di kursi masing-masing tanpa bisa bergerak lagi. Mereka adalah dua orang pembantu kelas satu, empat orang pembantu kelas dua dan dua orang pembantu biasa! Tubuh-tubuh mereka ditancapi keris kuning milik datuk mereka sendiri! Ada yang menancap tepat di ubun-ubun, ada yang di muka, di dada dan di perut! Paras Datuk Sipatoka kelam membesi. Mulutnya berkomat-kamit. Janggut dan kumisnya laksana kawat meranggas karena amarah! Kedua tangannya yang hitam saling digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian dari kedua tangannya itu mengepullah asap hitam yang berbau busuk! “Manusia di atas loteng tahukah kau pukulan apa yang sebentar lagi hendak kulepaskan jika kau tetap berkeras kepala tidak mau unjukkan diri?!” Orang di atas loteng tertawa gelak-gelak. “Dari tempatku ini aku dapat melihat jelas, Sipatoka! Cuma Ilmu Pukulan Hawa Neraka, siapa yang takutkan? Sayang ilmu itu adalah ilmu kesaktian paling hebat yang terakhir kau miliki. Sayang...” dan orang itu tertawa lagi gelak-gelak lalu menyambungi, “Tapi jika kau mau mengadakan perjanjian aku bersedia muncul unjukkan diri!” “Perjanjian macam mana?!” tanya Datuk Sipatoka seraya hentikan menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Sampai saat T itu dia masih tetap duduk di kursi kebesarannya! “Kau bertempur sampai seratus jurus melawan pemuda pakaian putih rambut gondrong itu...!” Wiro Sableng tersentak kaget. “Lalu?!” bentak Datuk Sipatoka. “Jika pemuda itu menang, kau harus bunuh diri! Sebelum bunuh diri kau harus pesankan pada anak-anak buahmu, pada seluruh isi Istana Sipatoka ini untuk memusnahkan semua bangunan yang ada di sini dan agar mereka semua kembali ke jalan yang benar!” “Jika dia yang kalah apa imbalannya?” tanya Datuk Sipatoka. “Pertama kau boleh bunuh pemuda itu, juga boleh tamatkan riwayatku. Kedua, buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang kini ada padaku silahkan kau miliki untuk selama-lamanya!” Berubahlah paras Datuk Sipatoka. Dia tidak terkejut pada syaratsyarat perjanjian yang dikatakan. Tapi begitu mengetahui bahwa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan berada di tangan orang yang di atas loteng itu kagetlah dia! Wiro Sableng sendiri terkesiap karena justru kedatangannya ke Tambun Tulang adalah untuk mencari buku itu! “Kurang ajar!” terdengar makian Datuk Sipatoka menggeledek. “Dari mana kau ambil buku itu?!” “Dari dalam kamarmu tentu!” sahut orang di atas loteng dan tertawa mengekeh. “Bagaimana?!” Dalam hati Datuk Sipatoka mengutuk habis-habisan. Jika orang itu dapat masuk ke dalam Istana Sipatoka dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan dari dalam kamarnya, nyatalah kepandaiannya luar biasa sekali dan dia telah saksikan sendiri tadi! Menurut pandangan Datuk Sipatoka kalau bertempur melawannya belum tentu dia bisa dikalahkan oleh orang sakti itu. Tapi untuk mengalahkan lawan bukan hal yang mudah pula bagi Datuk Sipatoka. Dan karena menganggap Wiro Sableng seorang pemuda yang tak perlu begitu ditakutkan maka diapun mendongak ke loteng dan berseru, “Aku terima perjanjianmu!” “Bagus! Tapi harap kau sampaikan dulu pesanmu pada seluruh isi istana ini!” sahut orang yang masih bersembunyi di balik loteng. “Kentut, apa kau kira pemuda tengik itu pasti akan mengalahkan aku?!” teriak Datuk Sipatoka marah. “Belum tentu, memang! Tapi kalau kau tak bersedia menerima persyaratan berarti perjanjian batal. Dan terpaksa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan kubawa pergi!” “Kurang ajar!” maki Datuk Sipatoka geram. Tapi dia kerahkan juga tenaga dalam dan berteriak hingga mengumandang ke seluruh pelosok Istana Sipatoka. “Seluruh isi Istana Sipatoka,. kalian dengarlah pesan datukmu ini! Aku akan bertempur melawan seorang pemuda tengik yang kesasar datang ke tempat kita! Jika aku kalah maka kalian harus memusnahkan segala apa yang ada di sini dan kalian kembali ke dunia luar, ke dalam jalan yang benar. Sekian!” Datuk Sipatoka memandang ke atas dan berseru, “Nah orang di atas loteng, puaskah kau sekarang?!” “Puas... puas!” sahut orang itu. Sekejap kemudian diiringi dengan suara tertawa gelak-gelak maka bobollah langit-langit ruangan dan sesosok tubuh berpakaian putih berkelebat dan hampir tak dapat disaksikan oleh mata saking cepatnya tahu-tahu orang ini sudah duduk menjelepok seenaknya di sudut ruangan! Di pangkuannya ada sebuah kitab. Seisi ruangan terkejut. Wiro sampai ternganga dan garuk-garuk kepala! “Tua Gila...” desis Pendekar 212 lalu cepat-cepat menjura hormat. “Ah! Kau masih saja pakai segala macam peradatan yang membikin muak perutku!” kata orang yang duduk di sudut ruangan yang memang Tua Gila adanya! “Hadapi si cebol itu! Kalau nasibmu baik kau menang tapi kalau tidak kau akan mampus, aku akan konyol!” Sehabis berkata keras begitu Tua Gila pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi bisikan pada Wiro. “Kapak di tangan kanan. Pukulan Sinar Matahari di tangan kiri! Sekali-kali jangan pukul bagian tubuhnya! Jika dia pergunakan Ilmu Pukulan Hawa Neraka, tangkis dengan Pukulan Sinar Matahari dan hantam dengan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang kuajarkan padamu!” “Ayo Sipatoka kau tunggu apa lagi?!” Tua Gila membentak. Dan Datuk Sipatoka melompat turun dari kursinya. Gerakannya seringan kapas! Setelah meneliti Wiro sejenak dia bertanya, “Maumu dengan tangan kosong atau pakai senjata?!” Wiro ingat nasihat Tua Gila. Maka diapun menjawab, “Kalau kau punya senjata silahkan dikeluarkan!” Datuk Sipatoka tertawa sinis dan cabut sebilah keris hitam yang bercabang tiga! Sinar senjata ini hitam menggidikkan! “Mulailah!” kata Datuk Sipatoka. Wiro tertawa. “Kau tuan rumah silahkan mulai lebih dulu!” Lalu Wiro cabut Kapak Naga Geni 212. Datuk Sipatoka sunggingkan seringai mengejek. Meski dia belum bisa mengukur ketinggian ilmu lawannya namun dia merasa yakin akan membereskan si pemuda di bawah dua puluh jurus! Tubuhnya dibungkukkan hingga makin tambah cebol kelihatannya. Dari mulutnya terdengar suara menggereng macam suara harimau. Mulamula perlahan lalu mendadak sontak keras menggeledek, menggetarkan seantero ruangan! Baiknya Wiro Sableng sudah kerahkan tiga perempat dari tenaga dalamnya hingga suara bentakan dahsyat itu tidak mempengaruhinya! Tiba-tiba tubuh Datuk Sipatoka berkelebat lenyap! Tahu-tahu keris hitam bercabang tiga sudah berkelebat hanya tinggal satu jengkal dari muka Wiro Sableng! Wiro terkejut lekas-lekas melompat ke samping. Meski tangan kirinya mempunyai kesempatan leluasa menjotos tubuh lawan tapi karena ingat akan ucapan Tua Gila tadi maka hal itu tidak dilakukannya! Hampir keris bercabang tiga itu lewat di sampingnya tiba-tiba dengan sebat Datuk Sipatoka menusuk ke perut sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan yang hebat! Wiro geser kaki kanan. Sambil miringkan badan, Kapak Naga Geni 212 dibabatkan ke bawah! Meski senjatanya adalah senjata mustika sakti namun melihat kapak lawan yang agaknya bukan sembarang senjata pula maka Datuk Sipatoka tak berani ambil keputusan untuk adu senjata! Tarik pulang tangan kanan Datuk Sipatoka lipat gandakan pukulan tangan kirinya hingga angin pukulan yang keluar laksana topan prahara! Di lain pihak Wiropun sudah menangkis dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan seluruh bagian tenaga dalamnya! Terdengar suara seperti letusan sewaktu kedua angin pukulan itu saling beradu dengan segala kehebatannya. Istana Sipatoka bergetar. Wiro Sableng terhuyung-huyung sampai tujuh langkah. Datuk Sipatoka jika tidak lekas-lekas pergunakan ilmu mengentengi tubuhnya, meski dia tak sempat terhuyung ke belakang namun mungkin akan terhenyak jatuh duduk di lantai tulang! Terkejutlah manusia cebol ini. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu hebat, lebih tinggi sekitar satu dua tingkat dari tenaga dalamnya sendiri! Dan diam-diam dia mulai menyangsikan apakah dia akan sanggup mengalahkan pemuda itu di bawah dua puluh jurus sebagaimana yang dipastikan semula! Jurus kedua dibuka kembali oleh Datuk Sipatoka dengan serangan yang lebih ganas dari pertama tadi. Dia meraung macam harimau ketika serangannya yang sekali inipun berhasil dielakkan lawan. Jurus ketiga, Datuk Sipatoka keluarkan ilmu silat yang paling diandalkannya yaitu ilmu Silat Harimau! Wiro telah pernah menghadapi ilmu Silat Harimau yang dimainkan Gempar Bumi. Waktu itu kalau dia tidak mengeluarkan ilmu Silat Orang Gila yang diajarkan Tua Gila pastilah dia kena dicelakai. Dan kini Datuk Sipatoka memainkan Ilmu Silat Harimau yang jurus-jurusnya aneh berbahaya dan lima kali lebih hebat dari yang dimainkan Gempar Bumi! Dan dari mulut Pendekar 212 Wiro Sableng keluar suara suitan keras yang disusul dengan siulan tinggi tak menentu luar biasa Wiro mulai keluarkan jurus-jurus pertahanan dari ilmu Silat Orang Gila! Dalam tempo yang singkat lima belas jurus sudah berlalu. Datuk Sipatoka merutuk dalam hati dan perhebat serangannya! Tiba-tiba mengiang suara halus laksana suara nyamuk di telinga Wiro Sableng. “Goblok! Mengapa cuma bertahan? Apa tidak mampu menyerang?!” Itulah dampratan yang dilontarkan Tua Gila yang duduk enak-enak di sudut ruangan. Wiro juga sadar. Meski dia bisa bertahan tapi kalau tak membalas serangan lawan lama-lama dirinya bisa dicelakai juga. Dia pegang hulu Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan lebih erat. Lalu memasuki jurus ke enam belas untuk pertama kalinya dia menyerang dengan mempergunakan Jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Kapak Naga Geni 212 mendengus laksana suara ribuan tawon. Sinar pulih berkiblat. Kepala kapak menderu ke bawah lalu laksana seekor naga yang memunculkan kepalanya dari dalam lautan senjata itu melesat ke arah batang leher Datuk Sipatoka! Sang Datuk sengaja tidak berkelit. Keris cabang tiga ditusukkannya ke depan, ke arah bawah ketiak lawan karena dia berkeyakinan bahwa tusukan senjatanya akan lebih cepat menemui sasarannya daripada senjata lawan! Pendekar 212 tidak bodoh. Dia sudah memperhitungkan kerugian posisinya bila dia meneruskan serangannya. Karenanya dengan cepat Wiro geser kedua kaki dan berkelit. Begitu berkelit begitu dia susul dengan jurus serangan baru yang dinamakan Kincir Padi Memutar! Kapak Naga Geni 212 mengaung dahsyat dan berkiblat dalam bentuk putaran yang sangat kecil! Datuk Sipatoka berseru keras dan tundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata lawan. Tapi sedetik kemudian mata kapak telah menyambar ke bahu kirinya! Sang Datuk melompat ke kanan dan dia memaki keras sewaktu sesaat kemudian senjata lawan telah memapas ke pinggul terus ke arah kedua kakinya! Satu-satunya jalan untuk mengelakkan serangan yang berputar itu ialah melompat keluar dari kalangan pertempuran. Meskipun ini akan memberi pandangan pada orang-orangnya bahwa dia mulai kewalahan menghadapi si pemuda berambut gondrong tapi Datuk Sipatoka terpaksa melompat keluar dari kalangan pertempuran. Bila dia sudah lepas dari serangan yang berputar itu dia akan segera balas menyerang. Tapi kejutnya bukan alang kepalang karena ketika baru saja dia keluar dari kalangan pertempuran tahu-tahu senjata lawan memburu dalam jarak yang sangat dekat dan sangat cepat. Mengelak pasti kasip! Tiada jalan lain daripada menangkis. Datuk Sipatoka palangkan keris mustikanya Traang! Bunga api memercik. Datuk Sipatoka tersurut tiga langkah. Salah satu cabang kerisnya patah dan mental! Tangannya tergetar hebat! Wiro sendiri merasakan tangan kanannya yang memegang gagang Kapak Naga Geni 212 menjadi pedas sekali. Dia tidak perduli, malah dengan mempergunakan tiga perempat tenaga dalamnya dia lepaskan Pukulan Sinar Matahari! Beberapa orang anak buah Datuk Sipatoka menyingkir seketika melihat selarik sinar pulih yang silau dan luar biasa panasnya menderu di depan mereka! Meski dalam keadaan kepepet, Datuk Sipatoka tidak kehilangan akal! Serta merta dia jatuhkan diri sama rata dengan lantai dan berbarengan dengan itu tangan kirinya cabut sepuluh keris-keris emas yang bergantungan di pakaiannya lalu dilemparkan ke muka! Pukulan Sinar Matahari menyambar ke atas tubuh Datuk Sipatoka. Keris emas melesat di bawah sinar pukulan yang dilepaskan Wiro lalu menyambar dengan ganas ke arah sepuluh bagian tubuh Pendekar 212. Wiro Sableng kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dalam Jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan. Trang... trang... trang! Suara itu terdengar berturut-turut sampai sepuluh kali. Dan ke sepuluh senjata mustika yang dilemparkan Datuk Sipatoka mental patah tersambar Kapak Naga Geni 212! Dikejap yang hampir bersamaan Pukulan Sinar Matahari yang tak berhasil menerpa tubuh Datuk Sipatoka terus melanda dinding Istana Sipatoka. Dinding yang terbuat dari tulang yang kokoh itu bobol berkeping-keping. Atap istana turun ke bawah hampir runtuh! “Kurang ajar!” rutuk Datuk Sipatoka seraya melompat bangun. Seluruh ilmu simpanannya telah dikeluarkannya. Mereka telah bertempur hampir enam puluh jurus dan ternyata dia tak sanggup menumbangkan lawannya malah nyawanya hampir saja dilalap mentah-mentah! “Kematianmu dalam saat ini juga, keparat!” desis Datuk Sipatoka. Kerisnya dimasukkan ke balik pinggang. Kedua tangannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian asap hitam mengepul dari kedua tangan itu. Asap hitam yang berbau busuknya bangkai manusia! Wiro tutup indera penciumannya. Sesuai dengan ucapan Datuk Sipatoka, Kapak Naga Geni 212 dimasukkan kembali ke dalam pakaiannya. Pukulan Sinar Matahari disiapkan di tangan kiri sedang telapak tangan kanan sudah terisi aji pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Kepulan asap hitam yang busuk luar biasa itu semakin banyak memenuhi ruangan. Anak-anak buah Datuk Sipatoka yang ada di tempat itu sudah sejak tadi menyingkir karena mereka maklum akan kedahsyatan Pukulan Hawa Neraka yang hendak dilepaskan pemimpin mereka. Kalaupun lawan tak sampai mati oleh pukulan itu tapi tubuhnya akan berbau busuk seumur hidup! “Orang muda, sekalipun kau punya seribu macam ilmu kesaktian, jangan harap kali ini kau bisa larikan diri dari liang neraka!” Wiro berdiri dengan siap saja. Meski kewaspadaan penuh tapi suara siulan tak teratur dari sela bibirnya sampai saat itu masih mengumandang, membuat Datuk Sipatoka merasa dirinya dianggap sepi saja! Suasana sehening di pekuburan sewaktu perlahan-lahan Datuk Sipatoka angkat kedua tangannya ke atas. Kemudian suara menggeledek keluar dari mulutnya. Serentak dengan itu kedua tangan dipukulkan ke muka, dua larik sinar hitam pekat yang busuk, menggidikkan menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Sewaktu Datuk Sipatoka memukul ke depan, Wiro juga telah memukulkan tangan kirinya ke muka. Sinar putih menyilaukan melesat ke depan, sekaligus memapasi dua sinar hitam. Terdengar letupan yang dahsyat! Masing-masing pihak tersurut lima langkah ke belakang. Sinar putih dan sinar hitam masih kelihatan di udara karena kedua orang yang bertempur masih belum turunkan tangan masing-masing. Tiga sinar itu laksana tiga ekor naga yang berpalunpalun, berkelahi dan saling gempur dengan dahsyat! Masing-masing sudah keluarkan keringat dingin dan urat-urat leher menegang biru! Wiro membentak dan dorongkan lagi tangan kirinya. Tubuh Datuk Sipatoka tergontai-gontai. Wiro membentak lagi sampai beberapa kali. Datuk Sipatoka laksana ditekan dinding baja. Dia mundur terus menerus dan bertahan dengan sekuat tenaga. Ketika untuk ke lima kalinya Wiro membentak lagi dan dorongkan kembali tangan kirinya, Datuk Sipatoka tak sanggup bertahan lebih lama. Tubuhnya terhampar jatuh duduk di lantai. Ilmu Pukulan Hawa Nerakanya buyar dan lenyap sedang Pukulan Sinar Matahari Wiro terus menyerampang salah satu kakinya! Datuk Sipatoka meraung terguling-guling. Wiro tidak memberi hati. Tangan kanan didorongkan kini. Dan satu gelombang angin yang luar biasa hebatnya menyapu tubuh Datuk Sipatoka membuat tubuh itu terguling-guling di halaman berumput Istana Sipatoka. Tangan dan kaki tanggal dari persendiannya sedang kepala hancur memar! Itulah kehebatan ilmu Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang telah dilepaskan Wiro Sableng tadi! Suasana yang hening menggidikkan itu dirobek oleh suara tertawa Tua Gila. Orang tua ini berdiri dari duduknya dan berkata, “Pertempuran hebat! Luar biasa sekali untuk disaksikan!” Kemudian Tua Gila memandang berkeliling dan berseru, “Empat puluh perempuan-perempuan muda yang ada di luar istana harap segera masuk!” Sesaat kemudian ke empat puluh pesuruh Datuk Sipatoka yang terdiri dari perempuan-perempuan muda belia itu masuk ke dalam istana. Melihat kolega-kolega mereka yang ada di dalam istana, yaitu sisa-sisa pembantu Datuk Sipatoka pada berlutut di lantai maka ke empat puluh perempuan-perempuan ini pun berlutut pula di hadapan Tua Gila dan Wiro Sableng. “Berdiri semua!” bentak Tua Gila. Serempak semua orang itu berdiri. “Kalian semua sudah dengar pesan perjanjian datuk keparat itu? Semua orang mengiyakan. “Begitu kami pergi, kalian segera memusnahkan istana bejat ini. Hancurkan semua yang ada rata dengan tanah. Lalu tinggalkan tempat ini dan pergi ke mana kalian mau asal saja menempuh jalan kehidupan yang benar! Kalau kelak kutemui atau kudengar ada di antara kalian yang coba-coba untuk kembali jadi orang jahat atau memperhamba diri pada orang jahat, pasti tak ada ampunan bagi kalian!” Tua Gila berpaling pada Pendekar 212 dan menyodorkan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang kulitnya sudah robek. “Ambillah. Kau rupanya memang berjodoh dengan kitab ini...” Wiro menerima kitab itu lalu menjura sambil berkata, “Banyak terima kasih atas segala bantuanmu, Tua Gila.” Kemudian ketika dia angkat kepalanya ternyata si orang tua sudah lenyap dari hadapannya! Hanya kumandang suara tertawanya yang terdengar di kejauhan! Wiro Sableng hela nafas dalam dan garuk-garuk kepala. TAMAT